Pendekar Perisai Naga 1 - Hantu Lereng Lawu


 
Bulan purnama mengintip di balik mendung. 
Tak seperti biasanya jika bulan purnama tiba, kali ini 
Desa Sanareja tak ubahnya sebuah kuburan tua. 
Sunyi dan senyap. Sejak matahari tenggelam, pendu-
duk desa itu pantang keluar dari rumah mereka. Me-

reka berusaha sebisa mungkin agar cepat tertidur. 
Akan tetapi, bagaimana mungkin bisa tidur jika hati 
dan pikiran mereka dicekam ketakutan? 
Ki Linggar, demang di desa itu, melangkah 
mondar-mandir di pendopo rumahnya. Sesekali saja le-
laki berusia enam puluh tahun itu mengintip ke hala-
man sambil menajamkan pendengarannya. 
’’Kenapa tak kau biarkan saja Perdopo dan Sa-
radan berjaga-jaga di sini, Ki?” kata Nyai Demang me-
mecah keheningan. Sudah beberapa lama perempuan 
itu duduk meringkuk di sudut pendopo sambil me-
mandangi gerak-gerik suaminya. 
’’Untuk apa? Mengantarkan nyawa?” jawab Ki 
Linggar tanpa mengalihkan pandang matanya yang 
menghunjam ke lantai. 
’’Lalu, apa kau bisa menghadapi orang-orang 
itu seorang diri?” 
”Aku tidak akan menghadapi mereka dengan 
kekerasan! Kekerasan hanya akan mengundang cela-
ka!” 
”Apa yang akan kau perbuat?” 
"Ya, apa yang harus aku perbuat? Ki Linggar 
alias Ki Demang Sanareja menanyai dirinya sendiri 
Mungkinkah aku mampu menghadapi kemarahan 
Hantu Lereng Lawu hanya dengan permintaan maaf 
ku? Tetapi, untuk melawannya seorang diri, apa mod- 
alku? Jangan lagi aku melawannya seorang diri, se-
dangkan seandainya seisi desa ini aku kerahkan untuk 
mengeroyoknya pun belum tentu bisa menang. Dan, 
sudah pasti Hantu Lereng Lawu datang bersama anak 
buahnya! 
Ki Demang Sanareja menghela napas berat 
sambil menengadahkan wajahnya ke langit langit pen-
dopo. Namun, bukan lagi anyaman bambu yang terli-
hat di sana, melainkan gambaran yang mengerikan. 
Tergambar di langit-langit pendopo itu sejumlah pen-
duduk desa yang terkapar bermandikan darah! 
Ya, itulah yang akan terjadi jika mereka ku ke-
rahkan  untuk melawan Hantu Lereng Lawu beserta 
anak buahnya, pikir lelaki tua itu seraya kembali me-
langkahkan kakinya. 
’’Tidak seharusnya kau menanggung perkara ini 
seorang diri,” kata Nyai Demang meneruskan. 
’’Sebaiknya Nyai tidur saja. Biarlah aku sendiri 
yang menghadapi mereka.” 
”Aku tidak akan tidur jika aku belum melihat 
kau selamat!” sahut Nyai Demang. 
’’Nyai, aku memang mungkin tidak akan sela-
mat. Tetapi, Nyai harus tetap selamat demi anak kita.” 
”Apa kau pikir mereka akan puas dengan mem-
bunuh kau seorang?” 
Ki Demang Sanareja menarik napas. Serta-
merta terngiang kembali di telinganya ancaman Hantu 
Lereng Lawu tujuh hari yang lalu, ’’Kalau memang da-
lam tujuh hari ini kau belum menyerahkan orang yang 
membunuh anak buahku, kau sekeluarga yang akan 
ku basmi, Demang Goblok!” 
”Para peronda itu seharusnya ikut bertanggung 
jawab. Siapa tahu sebenarnya mereka yang membu-
nuh...!” 
 
’’Mereka tidak mungkin bisa mengalahkan anak 
buah Hantu Lereng Lawu! Apalagi sampai membunuh!” 
tukas Ki Demang Sanareja. 
’Tapi, apa mungkin ada orang dari desa lain 
yang membuang mayat itu ke desa kita?” 
’’Mungkin saja! Karena orang itu ketakutan jika 
harus berhadapan dengan Hantu Lereng Lawu?” 
’’Pengecut!” 
Ki Demang Sanareja tak lagi menyahuti ucapan 
istrinya. Dan, seperti yang dipikirkan pada malam-
malam sebelumnya, ia kembali memeras otak, menca-
ri-cari siapa kira-kira orang yang telah melancarkan 
fitnah itu? Siapa pengecut itu? Bagaimana mungkin ia 
berani mencurigai seseorang jika nyatanya ia merasa 
tidak pernah menyakiti hati seseorang, apalagi memu-
suhi. 
Suara burung emprit gantil semayup terbawa 
angin. Bulu kuduk suami istri itu merinding. Sudah 
menjadi kepercayaan penduduk di desa itu bahwa jika 
terdengar kicau burung emprit gantil maka kematian 
akan mewarnai malam! Dan, jantung Ki Demang Sana-
reja hampir copot ketika tiba tiba terdengar suara ke-
tukan di pintu. 
’’Siapa?” sapa Ki Demang Sanareja. 
’’Saya, Ki. Saradan!” jawab Saradan agak berbi-
sik. 
Cepat-cepat Ki Demang Sanareja membuka pin-
tu. 
’’Bukankah sudah kubilang agar kau tidak ke-
luar rumah?” bentak Ki Demang Sanareja begitu ber-
hadapan dengan Saradan. 
’’Saya dipaksa Perdopo, Ki. Saya disuruh me-
nemaninya mencegat mereka di mulut desa....” 
’’Cari penyakit!” tukas Ki Demang Sanareja.  
’’Sekarang juga suruh Perdopo pulang!” 
’’Sekarang Perdopo sedang berkelahi melawan 
mereka, Ki.” 
”Apa?” Mata Ki Demang Sanareja membelalak. 
Sungguh, ia tidak mengira Perdopo akan senekat itu. 
Memang Perdopo memiliki ilmu silat yang cukup lu-
mayan. Tetapi, apalah artinya jika harus berhadapan 
dengan Hantu Lereng Lawu dan anak buahnya? 
’’Perdopo....” 
’’Pasti mati!” sergah Ki Demang Sanareja. 
’’Sekarang, pulanglah jika kau ingin selamat. 
Mudah-mudahan saja mereka cukup puas telah mem-
bunuh Perdopo.” 
’’Tapi, bagaimana mungkin kami tega melihat Ki 
Demang menjadi tumbal desa ini?” 
’’Kalau aku lari dari desa ini, seisi kampung ini 
akan dihabisi! Mengerti? Kalau memang kalian tidak 
tega melihat aku dan keluargaku mati, seharusnya ka-
lian tidak bawa kemari mayat itu! Kenapa baru seka-
rang kau pikirkan tentang keselamatanku sekeluarga?” 
Saradan menundukkan kepala sambil mere-
mas-remas sarung yang dikalungkan di lehernya. 
’’Kalau memang kau ingin membantuku, pergi-
lah ke dalam. Bantu Nyai Demang membawa Joko lari 
dari desa ini. Tak usahlah kau pikirkan keselamatan-
ku. Ini sudah menjadi tanggung jawabku sebagai de-
mang di desa ini.” 
”Tak akan ada yang bisa lari dari desa ini, Ki 
Demang!” Tiba-tiba saja salah seorang anak buah Han-
tu Lereng Lawu telah berdiri di reg kademangan itu. 
’’Kebo Dungkul!” seru Ki Demang Sanareja da-
lam hati. la paham betul siapa yang sedang dihada-
pinya. Inilah orang kedua dalam kelompok orang-orang 
sesat yang dipimpin Hantu Lereng Lawu! Dan, sebelum 
 
Ki Demang Sanareja mengucapkan sepatah kata pun 
untuk menyambut kedatangan Kebo Dungkul, dua 
orang anak buah Hantu Lereng Lawu yang lain muncul 
di belakang Kebo Dungkul. Salah seorang dari mereka 
menyeret mayat Perdopo seperti halnya menyeret gede-
bok pisang. 
Kebo Dungkul tertawa. Lalu katanya, ’’Sebe-
narnya kami datang bukan untuk membunuh orang-
orangmu, Ki Demang. Tetapi, agaknya kau telah per-
siapkan cecurut ini untuk menyambut kami di mulut 
desa. Untuk itu, sebagai imbalan atas keberanian ka-
lian melawan kami, terpaksa kami harus membasmi 
seisi desa ini!” Berkata begini Kebo Dungkul lantas me-
raba senjata yang melingkar di lehernya, seuntai rantai 
yang pada salah satu ujungnya terkait sebuah mata 
kapak selebar telapak kaki orang dewasa. 
Kedua sisi mata kapak berkilat tertimpa cahaya 
obor yang baru saja diselipkan Saradan di tiang regol. 
Karena cahaya obor ini pula maka Ki Demang Sanareja 
mengenali wajah Kebo Dungkul dan kedua kaki-
tangannya. Wajah wajah yang tidak bersahabat. 
Meskipun sudah sering mendengar cerita tentang se-
pak terjang Kebo Dungkul, baru kali ini Ki Demang 
Sanareja melihat dengan mata kepala sendiri wajah 
itu. Mata yang merem sebelah itu dinaungi alis yang 
tebal. Hidung yang menjulur di sela-sela alis mata itu 
lebih mirip gagang golok. Bibirnya yang tebal tak bisa 
terkatup jika tidak dipaksakan, sebab terganjal dua 
buah gigi yang menjorok keluar. 
’’Tunggu apa lagi kalian?” bentak Kebo Dungkul 
kepada dua lelaki yang berdiri di kanan-kirinya. "Bu-
nuh seisi rumah ini sebelum mereka coba-coba melari-
kan diri!” 
’’Sabar, Kisanak,” kata Ki Demang Sanareja  
sembari menghadang langkah kedua anak buah Hantu 
Lereng Lawu itu. 
”Ada apa lagi, Ki Demang?” tanya Kebo Dung-
kul seraya melangkah maju. 
’’Kalau memang kalian belum puas membunuh 
Perdopo, bunuhlah aku. Tetapi, jangan ganggu anak 
dan istriku.’’ 
’’Terlalu enak buatmu, Ki Demang! Ayo, tunggu 
apa lagi?” Kebo Dungkul melotot ke arah dua kaki-
tangannya. Dan, karena Ki Demang Sanareja tetap ti-
dak mau minggir, seperti dikomando kedua lelaki itu 
bersamaan mengirimkan tendangan ke arah dada lela-
ki tua itu. 
”Augh!” Ki Demang Sanareja terlempar dan ja-
tuh terjerembab. 
”Ki Demang!” Saradan berlari hendak meno-
long, tetapi secepat kilat Kebo Dungkul mengayunkan 
rantai berkapak ke arah lehernya. 
’’Laknat!” kutuk Ki Demang Sanareja setelah 
melihat Saradan berkelojotan dengan leher hampir pu-
tus. Darah menyembur dari leher lelaki itu. 
”Kau pun akan bernasib sama dengannya sete-
lah nanti kau  dengarkan jerit kematian anak dan is-
trimu, Ki Demang,” ujar Kebo Dungkul sambil menga-
lungkan kembali rantai berkapaknya ke leher. 
Sementara itu, Nyai Demang menjerit-jerit 
sambil mengejar lelaki yang membopong Joko Sung-
sang ke halaman. Kebo Dungkul tertawa-tawa me-
nyaksikan pemandangan yang menurutnya menggeli-
kan itu. 
’’Binatang!” Dengan sisa tenaga yang dimili-
kinya, Ki Demang menerjang Kebo Dungkul. Akan te-
tapi, apalah arti serangan lelaki setengah tua yang ti-
dak mengenal ilmu silat itu bagi Kebo Dungkul! Hanya  
dengan menggerakkan leher sedikit, terbanglah mata 
kapak yang menggantung di leher Kebo Dungkul. 
”Crak!” 
Mata kapak itu melabrak pelipis Ki Demang 
Sanareja. Melihat suaminya tersungkur dengan pelipis 
terbelah, Nyai Demang menjerit dan jatuh pingsan. 
’’Bunuh mereka!” perintah Kebo Dungkul kepa-
da kedua kaki-tangannya sebelum kemudian menghi-
lang di kegelapan malam. 
Joko Sungsang meronta-ronta dalam dekapan 
lelaki berbibir sumbing itu sambil memanggil-manggil 
ayah-ibunya. Kedua tangannya memukuli wajah lelaki 
itu. 
”Anak setan!” bentak lelaki itu seraya men-
gangkat tinggi-tinggi bocah berumur sepuluh tahun 
itu. Ketika tubuh bocah itu hendak dihempaskan ke 
tanah, tiba-tiba terdengar ledakan cambuk, dan lelaki 
berbibir sumbing itu terpelanting. 
Untuk sejenak teman si Sumbing terpana me-
mandangi seorang kakek-kakek berpakaian serba pu-
tih yang telah berdiri di samping tubuh Nyai Demang 
sambil membopong Joko Sungsang. 
”Wiku Jaladri...?” desis lelaki itu sambil me-
langkah mundur. 
Namun, sewaktu ia hendak membalik langkah 
dan kabur, sekali lagi cambuk di tangan Wiku Jaladri 
meledak. Pedang yang tadi siap ditebaskan ke leher 
Nyai Demang itu, kini menembus leher tuannya. 
 
***
 
”Joko.... Ke mana, anakku? Ke mana Joko?” 
rintih Nyai Demang begitu siuman.  
Dari sekian banyak orang yang mengerumu-
ninya, tak seorang pun bisa memberikan jawaban. 
Dan, mereka memang tidak tahu di mana Joko Sung-
sang. Masih hidupkah atau sudah matikah? Sewaktu 
mereka beramai-ramai keluar dari rumah masing-
masing, karena mendengar suara kentongan, mereka 
tak melihat seorang pun berkelebat di halaman kade-
mangan. Bahkan semula mereka  mengira Nyai De-
mang pun sudah tak bernapas lagi. 
’’Kenapa kalian semua diam saja?” bentak Nyai 
Demang marah. 
’’Kami... kami tidak tahu di mana Den Joko, 
Nyai,” jawab salah seorang penduduk. 
’’Kalian memang hanya tahu enaknya saja! Ka-
lian tidak mau tahu bagaimana harus menghadapi 
orang-orang jahat itu! Kalian biarkan suamiku yang 
sudah tua bangka itu menghadapi mereka seorang di-
ri!” Dengan langkah terhuyung, Nyai Demang mende-
kati tubuh suaminya yang terbujur kaku. Nyai Demang 
menekap mulutnya begitu melihat  pelipis Ki Demang 
yang menganga. Kemudian ia ingat bagaimana kapak 
Kebo Dungkul terayun dan melabrak pelipis itu. 
”Nyai..„” 
”Diam kau! Tak sudi aku mendengarkan oce-
hanmu!” sergah Nyai Demang sebelum lelaki yang ber-
diri di belakangnya menyelesaikan ucapannya. 
”Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Nyai 
Demang. ” 
’’Siapa? Pembunuh itu? Masih kurang puas su-
dah membunuh suamiku dan menculik anakku?” 
”Dia bukan pembunuh itu. Nyai. Dia seorang 
kakek-kakek. Kami semua memang belum pernah me-
lihatnya. ” 
Kerumunan penduduk desa itu tersibak. Seper- 
ti ada tenaga gaib yang mendorong mereka untuk me-
nyingkir. Kemudian seorang kakek-kakek berusia tidak 
kurang dari delapan puluh tahun berjalan mendekati 
Nyai Demang. 
Seperti terkena sihir, tak seorang pun mampu 
membuka mulut. Bahkan Nyai Demang sendiri pun 
merasa tenggorokannya tersumbat sesuatu. Mata pe-
rempuan itu terbelalak memandangi orang asing yang 
lebih mirip mayat hidup itu. Betapa tidak! Lelaki tua 
itu berpakaian serba putih. Sekujur rambut yang 
nampak pun seputih kapas. Dari alis, kumis, jenggot, 
dan rambut di kepalanya putih mengkilap. Rambut 
gondrong itu dibiarkan tergerai digerak-gerakkan an-
gin. 
’’Kakek ini siapa?” tanya Nyai Demang yang 
hanya berhenti di tenggorokan. Akan tetapi, lelaki tua 
serba putih itu seperti mendengar apa yang terungkap 
di hati Nyai Demang. 
’’Nyai Demang tidak perlu tahu siapa saya. Te-
tapi, sayalah yang membawa anak Nyai Demang. Ini 
saya lakukan demi kebaikan, demi keselamatan anak 
itu. Percayalah, anak Nyai akan aman berada di pade-
pokan saya. Suatu ketika nanti, Nyai akan bisa berte-
mu dengannya. Hanya saja, untuk sementara waktu 
ini sebaiknya Nyai jangan menemuinya. Malahan saya 
anjurkan agar Nyai mengungsi dari desa ini.”  
Tanpa memberikan kesempatan bagi penden-
garnya untuk bertanya, lelaki tua yang berpakaian 
serba putih itu melesat. Jubah putih yang dikenakan-
nya berkepak bagaikan sayap bangau raksasa. 
”Dia bisa terbang!” bisik Nyai Demang kepada 
dirinya sendiri. Dewakah dia? Atau jin? Tetapi, tidak 
mungkin dia itu setan maupun iblis. Dia tidak jahat. 
Sepeninggal tamu aneh itu, mereka ramai 
 
membicarakan lelaki tua yang bisa terbang itu. Mulut 
mereka yang tadi terkunci oleh wibawa lelaki serba pu-
tih itu baru bisa terbuka setelah mata mereka tak me-
lihat lagi sosok berwarna putih itu. 
 
***
 
 
Siapa mengira bahwa di kedalaman jurang yang 
semestinya hanya menghidupi binatang berbisa Itu 
tinggal dua sosok manusia! Satu orang berusia tak ku-
rang dari delapan puluh tahun, dan satu lagi seorang 
bocah yang paling banyak berusia sepuluh tahun. Me-
reka berdua tak lain dan tak bukan adalah Wiku Jala-
dri dan Joko Sungsang.     
Udara gunung yang begitu dingin, binatang 
berbisa yang melata-lata setiap saat, atau kepekatan 
malam tak mereka hiraukan. Belum lagi mengingat 
bahwa di jurang itu tak akan mereka jumpai makanan 
yang semestinya dimakan manusia. Mereka berdua 
hanya mengandalkan kebiasaan. Kalau memang sudah 
terbiasa dengan sesuatu, maka sesuatu itulah yang 
bakal menghidupi makhluk tersebut. Begitulah nasihat 
yang ditanamkan oleh Wiku Jaladri kepada Joko 
Sungsang. 
”Buah-buahan, dedaunan, dan daging ular 
yang ada di sekitar kita inilah yang akan menghidupi 
kita,” kata Wiku Jaladri menambahkan. 
Sehari-dua hari Joko Sungsang memang tidak 
mau menyentuh santapan yang terhidang di depannya. 
Sebagai anak demang, ia sudah terbiasa makan enak. 
 
Tetapi, di jurang ini, ia diharuskan makan buah yang 
tidak manis dan tidak pernah dikenalnya. Ada juga 
daging, tetapi bukan daging kambing atau sapi. 
”Di sini tidak mungkin kita bertemu dengan 
kambing atau sapi. Di sini hanya ada ular,” kata Wiku 
Jaladri sebab tahu apa yang sedang dipikirkan Joko 
Sungsang. 
Udara dingin membuat perut bocah berusia se-
puluh tahun itu semakin melilit-lilit. Sementara itu, 
tenaganya sudah jauh menurun. Ia hanya bisa duduk 
bersandar di dinding gua. 
”Aku membawamu ke sini agar kamu tetap hi-
dup, Joko. Tetapi, kalau kamu tidak mau mengisi pe-
rutmu, bagaimana bisa hidup?” 
’’Saya mau pulang ke kademangan!” sahut Joko 
Sungsang. 
Di sana tidak ada siapa-siapa Kamu melihat 
sendiri bagaimana orang-orang jahat itu membunuh 
ayah dan ibumu. Kamu mau hidup sendirian di desa 
itu? Orang-orang di desa itu sudah mengungsi semua-
nya ke desa-desa lain. Dan lagi, apa kamu bisa naik ke 
atas sana? Jurang ini jauh lebih dalam dari sumur di 
kademangan. Bagaimana kamu bisa pulang?” 
’’Tapi, kenapa Kiai bisa naik-turun?” 
Wiku Jaladri tertawa terkekeh-kekeh menden-
gar kepolosan bocah itu. 
’’Nanti aku tunjukkan bagaimana dan kenapa 
aku bisa naik-turun jurang ini. Makanlah dulu biar 
kamu bisa melihat aku terbang!” 
’’Terbang? Kiai bisa terbang? Terbang seperti 
burung?” 
”Ya. Terbang seperti burung. Kamu juga bisa 
kalau kamu mau aku ajari. Mau?” 
Joko Sungsang mengangguk. Tiba-tiba saja  
muncul kegembiraan di hatinya. Enak sekali kalau bi-
sa terbang seperti burung, pikir bocah polos itu. 
’’Kalau begitu, kamu harus makan biar bisa 
berlatih terbang. Kalau kamu tidak punya tenaga se-
perti sekarang ini, tidak mungkin kamu bisa berlatih 
terbang. Ayo, makanlah. Memang tidak enak. Tapi, la-
ma-lama nanti kamu bisa merasakan enaknya daging 
ular dan buah-buahan itu.” 
Ragu-ragu Joko Sungsang meraih sepotong 
daging ular panggang. Tapi, setelah lidahnya menyen-
tuh daging itu, ia pun dengan lahap menyantapnya. 
”Nah, enak bukan?” Wiku Jaladri terkekeh-
kekeh. Kemudian, sambil menatap Joko Sungsang 
yang sedang menikmati daging ular, Wiku Jaladri ber-
cerita panjang-lebar tentang kejahatan orang-orang 
yang membunuh Ki Demang Sanareja dan istrinya. 
Sengaja lelaki tua itu membenarkan anggapan bocah 
itu bahwa ibunya pun terbunuh. Joko Sungsang me-
mang tidak mengira bahwa ibunya malam itu hanya 
pingsan karena ngeri menyaksikan kening Ki Demang 
Sanareja yang terbelah kapak. Jika bocah itu tahu 
bahwa ibunya masih hidup, sudah barang pasti tak 
mau ia tinggal di gua bersama kakek-kakek yang be-
lum pernah dikenalnya itu. 
’’Kiai sudah membunuh mereka, kenapa saya 
harus takut? Kenapa orang-orang harus mengungsi?” 
Wiku Jaladri manggut-manggut sambil tertawa terke-
keh-kekeh. Malam itu Joko Sungsang memang tidak 
melihat bahwa Kebo Dungkul melesat pergi. Dan, tentu 
saja bocah yang masih polos itu tidak mengira bahwa 
Kebo Dungkul hanyalah salah satu dari orang-orang 
jahat yang berilmu tinggi. 
’’Mereka jumlahnya banyak, Joko. Aku hanya 
membunuh dua orang saja malam itu. Dua orang yang  
tidak memiliki ilmu silat yang sempurna ” 
’Tapi Kiai juga tidak punya ilmu silat. Kiai 
membunuh mereka hanya dengan ular ” 
Lagi-lagi Wiku Jaladri terkekeh mendengarkan 
kepolosan ucapan bocah itu. Ya, sudah barang tentu 
bocah itu mengira Wiku Jaladri malam itu memegang 
seekor ular. Sebab cambuk yang dipegang Wiku Jala-
dri memang terbuat dari kulit ular Dan, itulah yang 
oleh kalangan persilatan dikenal dengan nama ’Perisai 
Naga’. 
Tentu pula Joko Sungsang belum bisa berpikir 
bahwa tanpa disentuh ilmu silat yang tinggi maka Pe-
risai Naga tidak akan berguna, apalagi bisa untuk 
membunuh. 
”Ya, aku membunuh mereka dengan ular. Teta-
pi, ular mati,” kata Wiku Jaladri. 
’Ular mati?” Secara refleks mata Joko Sungsang 
menatap cambuk yang melilit di pinggang Wiku Jaladri 
 ’’Cambuk ini aku bikin dari kulit ular, Joko Te-
tapi, kalau tidak dengan jurus-jurus silat, cambuk ini 
tidak akan bisa membunuh.” Berkata begini Wiku Ja-
ladri mengurai Perisai Naga dari pinggangnya dan 
mengulurkan kepada Joko Sungsang. 
’Panjang sekali Pasti ularnya besar sekali. Kiai 
bisa membunuh ular besar? Tidak takut dimakan?” 
Joko Sungsang bertanya sambil meneliti cambuk di 
tangan Wiku Jaladri. 
’’Cambuk ini kubuat dari kulit ular, Joko. Teta-
pi kalau tidak dengan jurus-jurus silat, cambuk ini ti-
dak akan bisa membunuh!” Wiku Jaladri menunjuk-
kan PERISAI NAGA-nya pada Joko Sungsang. 
’’Kiai bisa membunuh ular besar?” Joko Sung-
sang bertanya sambil memperhatikan cambuk itu tan-
gannya. 
 
”Ya, ularnya besar sekali. Lebih besar dari po-
hon itu,” kata Wiku Jaladri seraya menunjuk sebatang 
pohon yang nampak dari dalam gua. 
”Ular naga?” 
”Ya, ular naga kalau dalam dongeng. Oleh ka-
rena itu, cambuk ini aku namakan PERISAI NAGA.” 
’’Saya ingin melihat lagi Kiai memainkan Perisai 
Naga ini. Juga ingin melihat Kiai terbang,” kata Joko 
Sungsang. Seperti halnya bocah-bocah kecil seusianya, 
tentulah senang melihat sesuatu yang menakjubkan, 
yang tidak mungkin bisa mereka lakukan. 
Wiku Jaladri menggandengnya keluar dari gua. 
Dibawanya Joko Sungsang ke tanah yang sedikit la-
pang yang dipagari pohon-pohon besar dan menjulang 
tinggi. 
”Di sini aku berlatih terbang, ” kata Wiku Jala-
dri. 
’’Tapi, tempatnya becek sekali, Kiai. Seperti 
tempat mandi kerbau,” kata Joko Sungsang sambil 
mencari-cari tanah yang agak kering dan kuat untuk 
berpijak. 
Untuk merangsang minat bocah itu berlatih si-
lat, Wiku Jaladri sengaja memamerkan ilmu silat yang 
dimilikinya. Dengan sekali lecutan, Perisai Naga berha-
sil menumbangkan sebatang pohon gundul sebesar 
tubuh Joko Sungsang. 
”Nah, kamu bisa duduk di pohon itu,” kata Wi-
ku Jaladri sambil menuding pohon yang baru saja 
tumbang. 
Joko Sungsang terbelalak melihat keajaiban 
yang terjadi di depan matanya. Maka masih dengan 
mulut ternganga dan mata terbelalak, bocah itu meng-
hampiri pohon tumbang yang melintang tak jauh dari 
tempatnya berdiri. 
 
’’Masih ingin melihat permainan Perisai Naga?” 
tanya Wiku Jaladri sambil menahan tawa. 
Joko Sungsang menggeleng. Tiba-tiba saja ada 
rasa takut menjalari rongga dadanya. Takut jika semua 
pohon di sekitarnya tumbang dan menimpanya. 
”Mau melihat bagaimana aku terbang?” 
Cepat-cepat Joko Sungsang mengangguk. 
’’Brebet!” Hanya terdengar suara jubah yang di-
kenakan Wiku Jaladri yang bertabrakan dengan angin 
gunung. Tiba-tiba saja lelaki tua berjubah putih itu te-
lah berada di dahan salah satu pohon yang tingginya 
tak kurang dari lima tombak. 
Makin lebar mulut Joko Sungsang ternganga. 
’’Tapi, bagaimana Kiai nanti turun?” katanya 
cemas. 
Seperti burung bangau turun ke punggung ker-
bau, seperti itulah Wiku Jaladri turun dari dahan po-
hon dan hinggap di pohon tumbang yang diduduki Jo-
ko Sungsang. 
’’Kiai tidak punya sayap, tetapi bisa terbang,” 
desah Joko Sungsang sambil memandang kagum ke 
arah Wiku Jaladri. 
’’Kalau kamu senang, kamu juga bisa, Joko. ” 
’’Senang sekali kalau bisa terbang. Saya mau 
belajar. Tapi, bagaimana caranya, Kiai?” 
’’Sebelum berlatih terbang, kamu harus lebih 
dulu berlatih silat ” 
’’Berlatih silat? Apa burung-burung itu juga 
berlatih silat?” 
Wiku Jaladri menepuk-nepuk bahu bocah itu. 
"Burung, capung, dan sebangsanya bisa ter-
bang karena kodrat. Tetapi, manusia kalau ingin bisa 
terbang harus berlatih. Nah, sekarang kita istirahat 
dulu. Besok baru kita mulai berlatih.” 
 
’’Saya mau sekarang, Kiai,” bantah Joko Sung-
sang. 
’’Tubuhmu belum kuat untuk berlatih. Kamu 
harus lebih banyak lagi makan daging ular dan buah-
buahan. Sekarang ini tubuhmu masih lemah  karena 
dua hari kamu tidak mau makan. Selain itu, kamu ju-
ga harus makan sebanyak banyaknya supaya tubuh-
mu jadi kuat. ” 
 
***
 
Sebelum siang hari, matahari tak pernah bisa 
nampak dari kedalaman jurang itu. Kalaupun nampak 
pada siang hari, hanyalah samar-samar karena kabut 
tebal menghalangi pandangan. Udara pagi begitu din-
gin menggigit. Namun begitu, Joko Sungsang nekat 
mengajak Wiku Jaladri berlatih silat. Semangat yang 
meluap-luap dalam dada bocah itu mampu mengalah-
kan dinginnya udara pagi di gunung itu. 
’’Berani kamu masuk ke lumpur itu?” Wiku Ja-
ladri menunjuk kubangan berlumpur yang mirip ku-
bangan kerbau. 
”Kata Kiai, kita mau latihan silat?” Joko Sung-
sang bertanya tidak mengerti. 
’’Sebelum berlatih silat, kamu harus berlatih 
melawan udara dingin di gunung ini. Ayo, mencebur ke 
lumpur itu.” 
Berjingkat  Joko Sungsang melangkah mende-
kati kubangan berlumpur. 
’’Lompat!” teriak Wiku Jaladri. 
Joko Sungsang melompat, dan tertancaplah tu-
buhnya di dalam lumpur pekat itu hingga leher. 
’’Kiai, saya tidak bisa bergerak!”  
’’Kamu harus mencoba bergerak. Nah, terus! 
Terus! Meloncat-loncat ke atas!” 
’’Tidak bisa, Kiai!” 
’’Dicoba! Jangan bilang ’tidak bisa’! Dulu aku 
juga tidak bisa terbang!” kata Wiku Jaladri memberi-
kan semangat. 
Joko Sungsang dengan sekuat tenaga mencoba 
meloncat-loncat Akan tetapi, sekujur tubuhnya seperti 
terhimpit. Jangan lagi untuk meloncat ke atas, se-
dangkan untuk bergerak ke samping saja berat sekali. 
’’Tidak bisa, Kiai!” keluh Joko Sungsang. Na-
mun, kepada siapa dia harus mengeluh? Wiku Jaladri 
tidak nampak lagi. Entah menghilang ke mana. 
Joko Sungsang melihat-lihat ke atas. Barangka-
li saja orang tua itu ada di pohon. Tak ada. Ke mana 
dia? Bagaimana aku keluar dari lumpur ini kalau tidak 
ditolong Kiai? 
’’Kiai! Kiai! Jangan tinggalkan saya!” teriak Joko 
Sungsang. Namun, ia tidak mendengar jawaban dari 
Wiku Jaladri. la hanya mendengar gema suaranya 
sendiri. 
Joko Sungsang mencoba melangkah. Tidak bi-
sa. Lumpur itu menggigitnya. Ia terengah-engah keha-
bisan tenaga. la marah kepada orang tua yang tega 
menyiksanya itu. Dalam marahnya, ia mencoba meng-
gerakkan kaki dan tangannya. Bisa! 
”Nah, sudah mulai bisa bergerak kamu, Joko!” 
Joko Sungsang terkejut. Ia menoleh ke arah da-
tangnya suara. la melihat Wiku Jaladri menimang-
nimang Perisai Naga di tangannya. Ia bangga menda-
patkan pujian dari gurunya itu. Guru? Ya, dia memang 
guruku, pikir Joko Sungsang. 
’’Sekarang, cobalah meloncat-loncat!” teriak Wi-
ku Jaladri. 
 
Joko Sungsang mencoba meloncat. Sedikit saja 
tubuhnya bergerak ke atas. Tak sampai sejengkal. Pa-
dahal, di luar lumpur, ia bisa meloncat setinggi ping-
gang. 
’’Cukup! Besok bisa dicoba lagi!” Berkata begini 
Wiku Jaladri lantas melayang sambil menggerakkan 
Perisai Naga. Seperti seekor ular, cambuk itu membelit 
tubuh Joko Sungsang. Dan, sekali hentak tubuh bocah 
itu terlontar ke dalam pelukan gurunya. 
Setelah diturunkan dari gendongan Wiku Jala-
dri, Joko Sungsang langsung berlutut sambil berucap, 
’’Sudilah Kiai mulai hari ini menyebut saya sebagai 
murid. Dan, bolehkah kiranya saya menyebut Kiai 
dengan sebutan guru’?” 
Wiku Jaladri tertawa terkekeh-kekeh. Anehnya, 
tawa orang tua itu kali ini menimbulkan getaran se-
hingga tubuh Joko Sungsang terjengkang. 
"Bangunlah, Joko. Tak usah kamu berlutut se-
perti menghadap Kanjeng Ratu. Aku memang gurumu. 
Tetapi, aku lebih senang jika kamu menyebutku ’Kiai” 
saja. Sekarang, pergilah ke sungai dan bersihkan ba-
danmu.” 
’’Terima kasih, Guru... eh, Kiai!” Joko Sungsang 
bangkit dan berlari-lari menuju sungai. 
Berendam di kedalaman sungai, Joko Sungsang 
masih penasaran untuk berlatih. Ia mencoba melon-
cat-loncat. Lebih ringan dibandingkan dengan melon-
cat-loncat di lumpur. Lebih ringan dan lebih tinggi lon-
catannya. Jika ia berdiri biasa, permukaan air sungai 
menggapai dagunya. Akan tetapi, sewaktu dia melon-
cat, permukaan air sungai turun hingga  pusarnya. 
Maka semakin bersemangat Joko Sungsang berlatih 
meloncat-loncat di air. 
Tiba kembali di dalam gua, ia melihat Wiku Ja- 
ladri sedang menumpuk ranting-ranting kering. Baru 
kali ini ia menyadari bahwa di dasar jurang ini tak 
mungkin bisa mendapatkan api Lalu dari mana Kiai 
bisa memperoleh api? 
’’Kamu bisa menyalakan kayu bakar ini, Joko?” 
tanya Wiku Jaladri seakan tahu apa yang tengah dipi-
kirkan bocah itu. 
”Di mana kita bisa mendapatkan api, Kiai?” ba-
lik Joko Sungsang bertanya. Kini tubuhnya menggigil. 
Setelah tidak bergerak-gerak, dan dirasakannya udara 
gunung yang dingin. Terlebih ia dalam keadaan basah 
kuyup. 
Wiku Jaladri mengurai Perisai Naga dari ping-
gangnya. Matanya yang hanya berupa garis itu mena-
tap batu hitam di samping tumpukan ranting kering. 
Ketika ujung Perisai Naga menyentuh batu hitam itu, 
keluarlah pijaran api. 
Baru kali ini Joko Sungsang mengamati benda 
yang menghiasi ujung Perisai Naga. Seperti batu, tetapi 
bukan batu. Benda yang berbentuk bulat dan berduri 
mirip buah kecubung itu berwarna hijau-kebiru-
biruan. 
”Itu namanya batu cincin,” kata Wiku Jaladri. 
”Batu cincin?” 
”Ya, seperti yang menghiasi cincin ayahmu.” 
Joko Sungsang mengangguk kecil-kecil. Kem-
bali tangannya meraba-raba bulatan berduri itu. Meski 
terbuat dari batu cincin, duri-duri itu setajam ujung 
jarum. Bagaimana membuatnya? Dan, bagaimana ka-
lau mengenai kepala orang? 
Maka Joko Sungsang ingat dua orang jahat 
yang mati di ujung Perisai Naga itu. Pasti karena leher 
mereka tergores duri-duri ini, pikir bocah itu menyim-
pulkan. 
 
’’Cepat keringkan pakaianmu, Joko. Mumpung 
api masih besar,” anjuran Wiku Jaladri memenggal 
lamunan Joko Sungsang. 
Joko Sungsang membentang baju satu-satunya 
yang dimiliki itu di dekat api. Pikirannya kembali me-
layang-layang. Semakin banyak hal-hal yang tidak di-
ketahuinya, yang harus ditanyakan kepada orang tua 
sakti ini. 
 
***
 
 
Tiga puluh tahun sudah orang-orang dari dunia 
persilatan melupakan Wiku Jaladri. Khususnya dari 
golongan hitam, mereka menganggap bahwa pendekar 
yang bersenjatakan cambuk kulit ular sanca itu sudah 
tewas di dasar jurang. Tiga puluh tahun yang lalu, 
Empu Wadas Gempal bersama anak buahnya berhasil 
mengurung Wiku Jaladri dan menggiring ke bibir ju-
rang. Lalu, dengan serangan serentak mereka mende-
sak Wiku Jaladri. Tak ada jalan lain bagi Wiku Jaladri 
kecuali menceburkan diri ke jurang. 
’’Mereka tidak menyangka bahwa dengan cam-
buk ini aku bisa menyelamatkan diri,” kata Wiku Jala-
dri lebih lanjut. 
’’Bagaimana cara Kiai menyelamatkan diri?” 
tanya Joko Sungsang. 
’’Seperti inilah caraku menyelamatkan diri.” 
Berkata begini Wiku Jaladri menjejakkan kedua ka-
kinya ke tanah dan tubuhnya melenting hingga pucuk 
sebuah pohon. Sewaktu tubuhnya melayang turun la- 
gi, secepat kilat ia melecutkan Perisai Naga ke sebuah 
dahan. Cambuk itu melilit ketat dahan pohon sehingga 
Wiku Jaladri bisa bergelayutan. 
Joko Sungsang pun mengerti kenapa gurunya 
waktu itu tidak remuk terhempas batu cadas di dasar 
jurang. 
’’Sejak itulah aku kemudian memutuskan un-
tuk tinggal di dasar jurang ini,” kata Wiku Jaladri sete-
lah duduk kembali di depan Joko Sungsang ’’Berarti 
waktu itu Kiai belum bisa...?” 
”Ya! Waktu itu ilmu meringankan tubuh belum 
aku perdalam. Keadaan yang memaksaku harus mem-
perdalam ilmu meringankan tubuh seperti yang kau 
pelajari sekarang ini. Tanpa bisa meringankan tubuh 
sesempurna mungkin, tak akan dapat kita keluar dari 
dasar jurang ini, Joko,” tukas Wiku Jaladri. 
’’Apakah kemunculan Kiai di dunia ramai ma-
lam itu akan menyadarkan para pendekar bahwa Kiai 
ternyata masih hidup? Maksud saya, apa mungkin ada 
yang mengenali Kiai malam itu di kademangan?”  
’’Sudah pasti, Joko. Luka yang diakibatkan lili-
tan Perisai Naga mudah dikenali orang-orang dari ka-
langan persilatan. Jangan lagi Empu Wadas Gempal 
sendiri, sedangkan muridnya pun akan tahu bahwa 
kaki-tangannya mati karena Perisai Naga. Hantu Le-
reng Lawu akan terbeliak melihat leher kedua anak 
buahnya yang tersayat bola berduri ini,” jelas Wiku Ja-
ladri seraya menimang-nimang bola berduri yang 
menghiasi ujung Perisai Naga. 
’’Apakah Kiai yakin Kebo Dungkul akan mene-
mukan mayat kedua orang kaki-tangannya itu?” 
’’Kenapa tidak? Kau  pikir orang-orang desa 
sempat mengubur kedua mayat itu? Setelah mengubur 
jenazah ayahmu, mereka semua bergegas pergi me- 
ninggalkan Desa Sanareja. Mereka tahu apa yang bak-
al menimpa desa itu jika Hantu Lereng Lawu tahu ke-
dua orang anak buahnya tidak kembali.” 
"Bagaimana dengan jenazah ibu saya, Kiai?” 
 ’’Ibumu masih hidup, Joko,” kata Wiku Jaladri 
setelah tertawa terkekeh-kekeh. 
’’Masih hidup?” Mata Joko Sungsang terbelalak.  
’’Sebenarnya, malam itu ibumu hanya pingsan. 
Kau masih terlalu kecil untuk membedakan orang 
pingsan dan orang mati....” 
’’Lalu, di mana ibu saya sekarang, Kiai?” tukas 
Joko Sungsang tak sabar. 
’’Saatnya belum tiba untuk memberitahu di 
mana ibumu sekarang, Joko. Kau tentu akan nekat 
mencarinya jika aku menunjukkan di mana ibumu 
mengungsi. Bekalmu belum cukup untuk pergi me-
ninggalkan jurang ini, Joko. Bersabarlah. Kepergianmu 
hanya akan mengantarkan nyawa.” 
’’Saya sudah mewarisi seluruh ilmu yang Kiai 
miliki. Kenapa Kiai mengkhawatirkan saya?” 
’’Belum semuanya kau miliki. Kalau hanya un-
tuk menghadapi Kebo Dungkul, aku tidak lagi 
mengkhawatirkanmu. Tetapi, menghadapi Hantu Le-
reng Lawu dan gurunya, kau masih akan menemui ke-
sulitan. Selama tiga puluh tahun aku memperdalam 
ilmu silatku di dasar jurang ini, selama itu pula aku 
yakin bahwa Empu Wadas Gempal pun gigih melaku-
kan latihan-latihan.” 
’’Maksud Kiai, Empu Wadas Gempal selalu 
membantu muridnya jika muridnya menemui lawan 
yang tangguh?” 
’’Itulah ciri khas orang-orang dari golongan hi-
tam. Mereka bukan saja membela, malahan tidak malu 
mengeroyok beramai-ramai.” 
 
’’Saya paham, Kiai. Tetapi, izinkan saya secepat 
mungkin mendapatkan ilmu pamungkas dari Kiai. 
Saya belum lega kalau belum melihat keadaan ibu 
saya, Kiai.” 
’’Ibumu sehat-sehat saja. Dia dalam perlindun-
gan sahabat baikku. Tak perlu kau terburu nafsu un-
tuk menyelesaikan pelajaran silatmu. Tak akan sem-
purna segala sesuatu yang dipelajari secara terburu-
buru. Apalagi umurmu masih terlalu muda untuk me-
nerima gemblengan yang bertubi-tubi. Baru lima tahun 
kau belajar ilmu silat di dasar jurang ini. Dibanding-
kan dengan waktu yang aku perlukan untuk memper-
dalam jurus-jurus Perisai Naga, apalah artinya? Ber-
sabarlah. Dan, sekali lagi kau camkan, bahwa di dunia 
ini tidak ada manusia yang paling sakti. Di atas yang 
sakti masih ada yang lebih sakti. Hanya Tuhan yang 
paling sakti, yang tak akan tertandingi oleh siapa pun. 
Camkan itu. Agar kau tidak gegabah menganggap ilmu 
silat yang kau miliki  sekarang ini tak ada yang bisa 
menandingi. ” 
’’Maafkan saya, Kiai. Saya bukannya tidak 
mengingat-ingat nasihat Kiai. Saya tadi hanya terdo-
rong oleh rasa kangen saya bertemu dengan ibu saya, 
satu-satunya orang tua saya yang masih hidup,” kata 
Joko Sungsang penuh sesal. 
’’Tidak berarti aku akan menegaskan keper-
gianmu, Joko. Tetapi, bukan watak ku melindungi mu-
rid dari ancaman musuh. Lagi pula, aku ingin menu-
runkan semua ilmu yang kumiliki kepadamu agar kau 
tidak lagi mengharapkan bantuan dariku.” 
’’Apakah berarti nantinya Kiai tidak mau lagi 
bertemu dengan saya?” 
’’Setelah kau pergi nanti, aku tidak ingin lagi 
berhubungan dengan manusia mana pun dan siapa 
 
pun. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku di dasar 
jurang ini. Aku akan menikmati kemerdekaan ku. Aku 
merdeka karena aku tak lagi harus memikirkan nasib 
orang-orang kecil yang terjajah angkara murka. Aku 
sudah mempunyai kau sebagai wakil ku untuk melin-
dungi mereka dari kekejaman orang-orang sesat. 
Amalkan ilmu yang kau dapat dariku agar aku nanti 
mati dengan membawa pahala. Kau paham, Joko?” 
’’Paham, Kiai, dan saya tidak akan melupakan 
semua nasihat yang Kiai berikan kepada saya.” Joko 
Sungsang mengangguk dalam-dalam. 
 
***
 
Selama puluhan tahun malang-melintang di 
dunia persilatan, baru kali ini Hantu Lereng Lawu me-
rasa cemas. Betapa tidak cemas! Bermimpi pun ia tak 
pernah bahwa ia bakal berurusan dengan Wiku Jala-
dri. Ia tahu persis kemampuan Wiku Jaladri dalam 
memerangi kejahatan. Tiga puluh tahun yang lalu, ia 
tak yakin masih bisa hidup jika tidak ditolong Empu 
Wadas Gempal, gurunya. Hampir saja bola berduri di 
ujung Perisai Naga membuat otaknya berceceran jika 
tidak ada serangan lain yang membuat Wiku Jaladri 
menarik kembali Perisai Naganya. 
Dan, Hantu Lereng Lawu merasa pasti bahwa 
gurunya pun tidak akan mampu menghadapi Wiku Ja-
ladri seorang diri. Karena itulah Empu Wadas Gempal 
meminta muridnya untuk membantu menggiring Wiku 
Jaladri ke bibir jurang. 
Maka dalam kegelisahannya memikirkan ke-
munculan kembali Wiku Jaladri, Hantu Lereng Lawu 
merasa perlu menghadap gurunya di Hutan Ketapang. 
 
’’Sudah lama kau tidak datang, Pragosa, ” sam-
but Empu Wadas Gempal melihat kemunculan Hantu 
Lereng Lawu alias Pragosa. 
’’Maafkan saya, Guru. Saya menemui Guru ka-
rena saya menemui kesulitan.” 
”Ha-ha-ha! Dasar anak setan, baru mau datang 
jika menemui kesulitan! Tapi, coba kalau sedang me-
nemui kenikmatan, mana mau kau menengok  ku, 
Hantu Ingusan?” Bahu Empu Wadas Gempal naik-
turun diguncang tawanya. 
’’Maafkan saya, Guru. Bukan saya tidak mau 
membagi-bagi kenikmatan kepada Guru. Hanya saja, 
saya selalu ingat bahwa guru sudah tak mau lagi men-
gecap kenikmatan duniawi....” 
’’Bagus! Otakmu ternyata tidak setumpul otak 
kerbau!” sahut Empu Wadas Gempal menukas. ’’Lalu, 
kesulitan apa yang membuatmu terbirit-birit kemari? 
Ha-ha-ha, baru kali ini aku melihat hantu ketakutan! 
Bukannya menakutkan, tetapi ketakutan! Lucu, bu-
kan?” 
’’Mungkin Guru tidak percaya bahwa kali ini 
saya harus berurusan dengan Wiku Jaladri.” 
”Apa?” Tiba-tiba paras muka Empu Wadas 
Gempal berubah menjadi tegang. ”Apa aku tidak salah 
dengar?” 
’’Tidak, Guru. Wiku Jaladri muncul kembali. 
Ternyata dia masih segar-bugar, Guru.”  
 ”Dia sudah modar di dasar jurang itu, Pragosa. 
Ah, kau pasti mimpi!” 
’’Sungguh, Guru! Dua orang anak buah saya 
mati tersayat Perisai Naga.” 
’’Bagaimana kau bisa menyimpulkan bahwa ti-
kus-tikus itu mati di  tangan penggembala kambing 
itu?” 
 
 ’’Dari luka-luka di leher mereka, saya bisa 
mengenali jenis senjata yang melukai leher mereka. 
Garis-garis biru di antara sayatan yang memutuskan 
urai leher!” 
”Kau lihat sendiri luka-luka itu? Atau hanya 
dari cerita Kebo Dungu anak buahmu itu?” 
’’Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, 
Guru.”  
’’Jangan-jangan matamu yang tidak beres? 
Atau kepalamu yang lagi puyeng karena kebanyakan 
arak?” Secara refleks Hantu Lereng Lawu mengucek-
ngucek matanya. 
’’Bukannya saya takut menghadapi tua bangka 
itu, Guru. Hanya saja, saya merasa perlu menda-
patkan restu dari Guru,” kata Hantu Lereng Lawu yang 
merasa diejek gurunya. 
”Ha ha-ha, dasar otak udang! Julukanmu me-
mang membuatmu jadi pongah, Pragosa. Kalau benar 
kau harus menghadapi Pendekar Perisai Naga, kau ha-
rus cari nyawa serep! Jangan lagi kau, aku sendiri saja 
belum tentu bisa menandinginya.” 
’’Sebenarnya, bukan Wiku Jaladri yang harus 
saya hadapi....” 
’’Lalu, siapa? Arwahnya?” tukas Empu Wadas 
Gempal. 
’’Muridnya. ” 
’’Muridnya?  Pendekar Perisai Naga punya mu-
rid? Ha-ha-ha! Sejak kapan manusia sombong itu mau 
menurunkan ilmunya?” 
”Dia membawa kabur anak Demang Sanareja, 
Guru.” 
’’Tapi, tidak akan dijadikan murid!” 
’’Kenapa tidak, Guru?” 
’’Kecuali Pendekar Perisai Naga sudah bosan  
hidup!” 
’’Saya tidak mengerti maksud Guru.” 
”Dia bersumpah tidak akan mengangkat siapa 
pun menjadi muridnya sebelum dia tahu ajalnya bakal 
datang!” 
’’Mungkin sekaranglah saatnya dia harus me-
nurunkan ilmu yang dimilikinya kepada muridnya, 
Guru. ” 
”Ah, ternyata penggembala kambing itu tidak 
mampus,” keluh Empu Wadas Gempal sambil menge-
lus-elus perutnya yang buncit. ’’Padahal, orang yang 
paling goblok pun tahu, tak ada manusia maupun bi-
natang yang bisa keluar dari jurang itu kecuali bisa 
terbang. Kalau begitu, tentu selama tiga puluh tahun 
ini dia berlatih keras agar bisa naik. Ah, tapi mana 
mampu dia menandingi jurus-jurus baru ciptaanku? 
Ha-ha-ha! Dia pikir, cambuk kambing itu masih bisa 
menjerat leherku?” 
’’Jadi, Guru sudah menciptakan jurus penang-
kal Perisai  Naga?” Mata Hantu Lereng Lawu serta-
merta berbinar-binar. 
’’Sekarang tak perlu aku turun tangan. Cukup 
kau sendiri turun menghadapi jurus-jurus cambuk 
kambing itu.” 
’’Kalau saja guru tidak datang waktu itu, saya 
pasti sudah dikirim ke neraka....” 
’’Goblok!” sergah Empu Wadas Gempal. ’’Tentu 
saja kau harus pelajari dulu jurus penangkal cambuk 
kambing itu, Hantu Dungu!” 
’’Terima kasih jika Guru mau menurunkannya 
kepada saya. ” Hantu Lereng Lawu menunduk dalam-
dalam hingga jidatnya menyentuh tikar pandan yang 
mengalasi pantatnya. 
”Kali ini latihan yang harus kau jalani tidak en-
 
teng, Pragosa. Kau harus berpuasa sehari-semalam 
sebelum kau berlatih jurus-jurus yang aku maksud-
kan tadi. Aku namakan jurus itu Jurus Bidadari Men-
gurai Benang Kusut. Bagus, bukan, namanya? Ha ha-
ha!” 
’’Mulai kapan saya bisa berlatih, Guru?” tanya 
Hantu Lereng Lawu tak sabar. 
’’Mulai kapan kau mau berpuasa?” 
"Tapi, kalau saya boleh tahu, kenapa malahan 
harus mengosongkan perut, Guru? Bukankah kita 
memerlukan tenaga besar untuk berlatih keras?” 
’’Sejak kapan kau berani mengusut gurumu, 
Pragosa?” 
”Oh, maafkan saya, Guru. ” Berkali-kali Hantu 
Lereng Lawu merundukkan kepalanya. 
 
*** 
 
 
Nama jurusnya memang enak didengar. Akan 
tetapi, latihan-latihan yang harus dijalani Hantu Le-
reng Lawu sungguh tidak mengenakkan. Orang sesat 
yang sudah terbiasa makan enak ini bukan saja mera-
sa tersiksa karena harus berpuasa sehari-semalam se-
belum berlatih, melainkan juga harus jungkir-balik se-
bab kehilangan keseimbangan badan. 
’’Begitulah kenapa kau harus berpuasa, Prago-
sa. Kalau saja perutmu penuh makanan, kau akan le-
bih tersiksa lagi. Kau akan muntah-muntah dan lemas 
sebab tiba-tiba kehilangan tenaga. Nah, mulailah ber-
putar lagi,” ujar Empu Wadas Gempal sebelum mena- 
rik tambang yang melilit sekujur tubuh muridnya. 
Begitu tambang ditarik, berputarlah tubuh 
Hantu Lereng Lawu. Semakin lama putaran itu sema-
kin lamban, dan kemudian Hantu Lereng Lawu ter-
jengkang. 
”Ha-ha-ha! Ada juga setan yang bisa terjeng-
kang!” ejek Empu Wadas Gempal dengan perut ber-
guncang-guncang. 
’’Bagaimana bisa membalas serangan kalau ak-
hirnya terjengkang begini, Guru?” tanya Hantu Lereng 
Lawu betul-betul tidak memahami maksud gurunya 
membuatnya seperti gangsingan. 
’’Goblok! Dungu!” sergah Empu Wadas Gempal 
gusar, "Tentu saja kau harus berlatih terus hingga kau 
tidak terjengkang, Hantu Dungu Lereng Lawu!*’ 
Sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, kemba-
li Hantu Lereng Lawu melilitkan tambang ke sekujur 
badannya. Lalu, kembali Empu Wadas Gempal mena-
rik tambang itu kuat-kuat. Kembali tubuh Hantu Le-
reng Lawu seperti diputar angin puyuh. 
”Nah, setelah kau nanti tidak merasa puyeng, 
barulah kau melatih memutar badanmu tanpa harus 
ditarik tambang,” kata Empu Wadas Gempal setelah 
Hantu Lereng Lawu berdiri sempoyongan. 
Meski belum mengerti makna dari gerakan 
memutar itu, Hantu Lereng Lawu tetap dengan rajin-
nya berlatih, la tahu, gurunya tidak akan memberikan 
penjelasan sebelum ia menguasai jurus yang harus di-
pelajarinya. 
Seperti halnya yang dialami Hantu Lereng La-
wu, gerakan meloncat-loncat di lumpur lima tahun 
yang lalu pun tidak dipahami maknanya oleh Joko 
Sungsang. Setelah ia berhasil keluar dari lumpur 
hanya dengan satu loncatan, barulah Wiku Jaladri  
memberikan penjelasan. Karena itulah Joko Sungsang 
semakin gigih berlatih ilmu meringankan tubuh itu. 
Ternyata, tanpa tubuhnya terhimpit lumpur, ia begitu 
ringan menerbangkan tubuhnya dan hinggap di se-
buah dahan yang berketinggian tak kurang dari lima 
tombak. 
Berbekal kemampuan meringankan tubuh in-
ilah Joko Sungsang mulai melatih diri menghadapi se-
rangan. Hampir segala jenis senjata dipergunakan oleh 
Wiku Jaladri untuk menyerang Joko Sungsang.  
Kelincahan menghindari serangan saja tak cu-
kup sebab kelincahan akan dibatasi oleh kekuatan fi-
sik. Oleh sebab itu, Wiku Jaladri pun mengajarkan ba-
gaimana Joko Sungsang harus melatih pernapasan. 
Latihan pernapasan yang teratur dan benar akan me-
lahirkan tenaga dalam. Dan, tenaga dalam inilah yang 
harus dipergunakan untuk membentur serangan la-
wan sekaligus mengirim serangan balasan. 
Lima tahun sudah Joko Sungsang menggem-
bleng diri di bawah bimbingan Wiku Jaladri. Kegigi-
hannya berlatih membuat Joko Sungsang begitu cepat 
menguasai setiap jurus baru yang diajarkan oleh gu-
runya. 
’’Jurus-jurus tangan kosongmu memang sudah 
bisa diandaikan, Joko. Akan tetapi, untuk Jurus Peri-
sai Naga masih harus tetap kau latih. Belum semua 
Jurus Perisai Naga kuajarkan. Karena itu maka aku 
masih menahan kepergianmu dari dasar jurang ini” 
"Saya paham, Kiai Dan, kalau Kiai tidak kebe-
ratan, sudilah kiranya Kiai mengajarkan sisa-sisa Ju-
rus Perisai Naga yang belum saya pelajari. 
’’Jurus Mematuk Elang dalam Mega ini sesung-
guhnya tidak berat melatihnya. Hanya saja sangat 
memerlukan ketekunan. Ketekunan inilah yang akan  
menentukan cepat atau lambatnya keberhasilanmu 
berlatih. Nah, kau lihat ikan di dasar sungai itu!” Wiku 
Jaladri menunjuk seekor ikan di dasar air sungai yang 
bening. 
”Saya sudah melihatnya, Kiai,” kata Joko Sung-
sang. 
’’Mungkin tidak kau mengambil ikan itu tanpa 
memberinya kesempatan untuk bergerak?” 
"Itu ikan hidup, Kiai. Mana mungkin?” 
’’Mungkin! Lihatlah,” kata Wiku Jaladri seraya 
melecutkan Perisai Naga. Bola berduri di ujung cam-
buk itu membelah air sungai dengan kecepatan yang 
sulit diikuti mata. Kepala ikan hancur diterjang batu 
cincin berduri itu. Ikan mengambang tanpa kepala. 
Joko Sungsang manggut-manggut kagum. Jan-
gan lagi ikan di kedalaman sungai, sedangkan misal-
nya ikan itu menggeletak di tanah pun belum tentu 
kena aku bidik dengan ujung Perisai Naga, pikirnya. 
”Nah, mulailah berlatih!” Wiku Jaladri men-
gangsurkan Perisai Naga kepada Joko Sungsang. 
Mulailah Joko Sungsang membidik ikan-ikan 
yang berseliweran di kedalaman sungai dengan ujung 
Perisai Naga. Namun, berkali-kali dicobanya, berkali-
kali ia hanya bisa membuat air beriak dan ikan-ikan 
itu berlari menyelamatkan diri. Baru pada hari ketu-
juh, Joko Sungsang berhasil melecut seekor ikan. 
”Ah, tapi ikan ini tadi hanya sejengkal di bawah 
permukaan air,” keluhnya dalam hati ”Guru bisa 
menghancurkan kepala ikan yang berada satu tombak 
di bawah permukaan air. Aku pun harus bisa!” 
Tak kurang dari tiga bulan Joko Sungsang baru 
berhasil menghancurkan kepala ikan di dasar sungai 
dengan ujung Perisai Naga. Rasa lega menyejukkan 
dada anak muda ini. 
 
’’Tetapi, itu belum cukup,” kata Wiku Jaladri. 
”Kau baru bisa membunuh ikan yang tidak bergerak. 
Tak beda dengan menyerang benda mati. Kau tahu, 
bukan, maksudku?” 
’’Saya mengerti, Kiai. Musuh yang saya hadapi 
tentu saja tidak akan diam seperti ikan itu. Artinya, 
saya harus berlatih membidik ikan yang sedang berla-
ri-larian.” 
 
***
 
Hampir enam tahun Hantu Lereng Lawu me-
nunggu kemunculan Joko Sungsang. Dan, selama itu 
pula Kebo Dungkul menjelajahi desa-desa untuk me-
nemukan anak ingusan yang bakal menjadi duri di 
mata itu. Bahkan sepulang Hantu Lereng Lawu dari 
Hutan Ketapang setelah mempelajari jurus baru dari 
gurunya, Kebo Dungkul sengaja membuat keonaran di 
sana-sini untuk memancing kemunculan Wiku Jaladri. 
Desa Sanareja yang dibakar enam tahun yang 
lalu, kini telah menjadi tempat iseng bagi lelaki ber-
duit. Tempat pelacuran merangkap sebagai tempat per-
judian ini sengaja dibuka di Desa Sanareja oleh Kebo 
Dungkul sebab ia merasa sakit hati gagal membunuh 
Joko Sungsang dan Nyai Demang. Bahkan bekas ka-
demangan itu sekarang menjadi tempat tinggal salah 
seorang gundik Kebo Dungkul. 
Tanpa kekerasan, sulit bagi Kebo Dungkul dan 
kawan-kawannya untuk mendapatkan perempuan de-
sa yang mau dilacurkan. Untuk itu, beberapa hari se-
kali mereka menyerbu desa-desa untuk menculik ga-
dis-gadis desa yang berparas cantik. Tak seorang pun 
penduduk desa yang berani mencegah perbuatan Kebo  
Dungkul dan kawan-kawannya ini. Mencegah berarti 
menyerahkan nyawa. Mereka lebih memilih menyerah-
kan anak gadis atau saudara mereka daripada menye-
rahkan nyawa. 
Akan tetapi, suatu hari terjadi sesuatu yang 
membuat alis Kebo Dungkul turun naik. Matanya yang 
melek sebelah itu mengerjap-ngerjap seolah tidak per-
caya pada apa yang dilihatnya. Betapa tidak! Salah 
seorang kaki tangannya berkelojotan di tanah hanya 
karena tertendang tumit mungil seorang gadis yang 
hendak ditangkapnya. 
Gadis itu berusia tak  lebih dari lima belas ta-
hun. Parasnya cantik, kulit kuning langsat, rambut 
tersanggul di atas kepala dengan tusuk konde bambu 
melintang. la mengenakan pakaian serba putih dengan 
kain parang rusak melilit pinggulnya. Menilik dari pa-
kaian yang dikenakannya, jelas gadis itu bukan gadis 
desa pada umumnya. Setidaknya, pastilah ia pernah 
hidup di sebuah padepokan. 
Kebo Dungkul mengamati gadis itu dari ujung 
rambut hingga ujung kaki. Sewaktu tadi kaki tangan-
nya mencegat gadis itu, Kebo Dungkul memang tidak 
menaruh perhatian, la sedang menikmati sebotol arak 
di kedai itu. Kalau saja sejak tadi ia memperhatikan 
gadis itu, sudah pasti ia tidak akan membiarkan kaki-
tangannya menghadapi gadis itu seorang diri. 
”Hei, Anak Bidadari! Katakan siapa namamu 
sebelum aku berlaku kasar terhadapmu. Dan, kalau 
memang kau datang dari kahyangan, katakan kau 
anak betari siapa,” ujar Kebo Dungkul sambil mengu-
sap sisa arak di kumisnya yang mirip buntut bajing 
itu. 
Gadis itu mencibirkan bibirnya yang mungil. 
Matanya yang bulat berputar putar menghitung sejum- 
lah lelaki yang telah mengurungnya Merasa dilirik oleh 
gadis itu, secara tidak sadar mereka mundur selang-
kah. 
”Hei, kenapa kalian seperti anak ayam melihat 
elang betina?” bentak Kebo Dungkul kepada anak 
buahnya. 
’’Jangan kau salahkan mereka, Kebo Dungkul! 
Mereka memang bukan tandinganku!” kata gadis itu 
seraya mengulum senyum. 
"Anak Setan!” Kebo Dungkul meloncat dari 
tempat duduknya dan langsung berhadapan dengan 
gadis itu. ”Kau sudah mengenal namaku. Seharusnya 
kau hati-hati berucap di depanku, Monyet Betina!” 
”Hi-hi-hik, kenapa aku harus takut berkoar di 
depan Kebo Dungu?” 
”Ular Betina, katakan namamu dan siapa gu-
rumu sebelum mata kapakku ini menoreh noreh tu-
buhmu yang mulus!" Kebo Dungkul mengurai rantai 
yang digelayuti kapak yang melingkari lehernya. Ter-
dengar suara gemerincing. 
”Tak perlu nama. Tak perlu kau tahu siapa gu-
ruku! Aku tidak ingin namaku nanti akan membuat 
gurumu lari terbirit-birit ke hutan untuk bersem-
bunyi...!” 
’’Haram jadah!” sergah Kebo Dungkul seraya 
memutar rantai berkapaknya ke arah leher gadis itu. 
Akan tetapi, dengan sikap tenang gadis itu me-
rundukkan kepala sambil berkelit ke samping kanan 
Kebo Dungkul. Lalu, secepat kilat kakinya yang mungil 
menerjang pinggang lelaki bermata satu itu. 
”Ngekkk!” Kebo Dungkul terhuyung ke kiri Sete-
lah kembali memasang kuda-kuda, kembali ia ber-
sumpah-serapah sambil mengirimkan serangan bertu-
bi-tubi. 
 
’’Trang! Trang! Trang!” Bunga api berpercikan 
akibat dua senjata yang sama-sama terbuat dari logam 
itu beradu. Seperti tangan tukang sulap, tiba-tiba saja 
tangan gadis itu sudah memegang tombak pendek 
bermata dua. 
Kebo Dungkul mundur beberapa langkah. Ia 
merasakan telapak tangannya pedih, seolah-olah ran-
tai yang digenggamnya menggigit telapak tangan itu. 
Maka ia semakin sadar bahwa gadis yang dihadapinya 
ini bukan sembarang pesilat. Sama halnya yang dira-
sakan gadis itu. Barulah ia mengakui bahwa lawannya 
kali ini bukan sembarang penjahat. Kalau saja ia tadi 
tidak mengerahkan tenaga dalam, sudah barang pasti 
tombak pendek di tangannya itu akan terpental. 
Gadis itu lebih waspada menunggu serangan 
lawan berikutnya. Apalagi lima orang anak buah Kebo 
Dungkul mulai bergerak menyerang. Sewaktu ia me-
nangkis dua bilah golok yang mengarah ke perutnya, 
tiba-tiba kapak berantai itu mengarah ke pelipisnya. 
Terpaksalah gadis itu menjatuhkan tubuhnya ke bela-
kang sambil memutar tombak pendeknya untuk me-
lindungi kepalanya. Tak sia-sia ia memutar senjatanya 
sebab secepat kilat kapak berantai milik Kebo Dungkul 
berbalik dan menghujam ke muka gadis itu. Untuk ke-
dua kalinya dua senjata itu beradu. 
Setelah gadis itu kembali berdiri di atas kuda-
kudanya, dua bilah golok membabat lehernya dari 
arah belakang. Gadis itu merunduk sembari memutar 
kuda-kudanya, dan seperti baling-baling tombak pen-
dek bermata dua di tangannya merobek pinggang dua 
orang pembokongnya sekaligus. 
Melihat dua orang anak buahnya tersungkur 
bermandikan darah, Kebo Dungkul berteriak parau, 
’’Mundur! Terlalu sombong dia untuk dikeroyok!” Tiga  
lelaki bergolok itu berloncatan mundur. Mereka paham 
bahwa Kebo Dungkul ingin mencincang gadis itu seo-
rang diri. 
’’Sundel Bolong! Kau telah membunuh dua 
orang-ku! Tetapi, jangan dulu pongah! Mereka memang 
hanya penebang kayu yang tak pernah berhadapan 
dengan setan betina macam kau! Dan....” 
”Dan, kau memang hanya pantas mengepalai 
pencuri kayu di hutan, Kebo Dungkul!” tukas gadis itu 
seraya tertawa mengikik. 
’’Kuberi kau kesempatan untuk menyebutkan 
namamu sebelum kucincang tubuhmu yang montok 
itu, Anak Setan Belang!” Kini Kebo Dungkul lebih ber-
hati-hati mengendalikan kemarahannya, la tahu, gadis 
itu sengaja memancing kemarahan agar serangannya 
jadi asal-asalan. 
’’Bukannya sebaliknya, Kebo Dungu? Kau yang 
akan mampus dengan membawa namaku? Sibakkan 
rambut gembelmu itu agar kupingmu bisa mendengar! 
Katakan kepada malaikat penjaga kuburmu bahwa 
aku, Sekar Arum, yang mengirimmu ke kubur!” 
”Ha-ha-ha! Namamu memang enak untuk di-
cium! Tetapi, sebentar lagi hanya cacing tanah yang 
mau mencium bangkaimu, Sundel Bolong!” 
’’Kerahkan seluruh ilmu dedemitmu, aku siap 
menangkalnya, Kebo Picak!” 
Mendengar cacat sebelah matanya disebut-
sebut, Kebo Dungkul tak mampu lagi menahan kema-
rahannya. Picak yang berarti mata rusak memang le-
bih menyakitkan dibandingkan dengan istilah buta, 
’’Takkan kubiarkan darahmu tumpah di tanah, 
Iblis Betina!” seru Kebo Dungkul sambil mengayunkan 
kapak berantainya. 
’’Memang darahku tak akan pernah tumpah!”  
jawab Sekar Arum sambil berjumpalitan di udara. 
’’Akan ku  hisap pula sumsum tulangmu!” Ka-
pak berantai Kebo Dungkul menyusul gerak Sekar 
Arum di udara, tetapi untuk kesekian kalinya hanya 
menimbulkan suara berdesing. 
Selama menjadi murid Ki Sempani, baru kali ini 
Sekar Arum menemukan lawan yang tangguh. Ia baru 
percaya bahwa orang sesat dari Lereng Lawu ini me-
mang bukan hanya mengandalkan keseraman wajah-
nya, melainkan juga memiliki ilmu silat yang cukup 
tinggi. Tanpa memiliki tenaga dalam yang sempurna, 
mustahil! ia bisa memutar rantai berkapak sebesar itu. 
Maka Sekar Arum mulai mempergencar seran-
gan balasan. Tombak pendek bermata dua di tangan-
nya berkali kali mengancam dada dan leher lawan. 
Akan tetapi, Kebo Dungkul selalu berhasil melindungi 
sekujur tubuhnya dengan putaran rantainya. Sesekali 
saja mata kapak itu balas menyerang. 
Melihat pertahanan lawan yang begitu ketat, 
Sekar Arum merasa perlu mengeluarkan jurus pa-
mungkasnya. Inilah Jurus Mengail Mangsa Keluar Sa-
rang! 
Sekar Arum mundur beberapa langkah, kemu-
dian merendahkan kedua lututnya dan menunggu se-
rangan lawan. Ketika Kebo Dungkul terpancing untuk 
menyerang, ketika itulah Sekar Arum melenting ke 
udara dan turun dengan tikaman tombak ke arah leher 
belakang lawan. 
’Trang!” 
Sekar Arum terkejut bukan kepalang sebab ada 
senjata lain yang membentur mata tombak pendeknya. 
Sewaktu ia sudah kembali berdiri di atas kuda-
kudanya, ia melihat seseorang telah berdiri di depan 
Kebo Dungkul. 
 
”Ha-ha-ha! Gadis kecil bernyali besar Bagus!” 
kata Hantu Lereng Lawu seraya menyarungkan pedang 
ke sarungnya. 
Untuk sejenak Sekar Arum memeras otak. Ia 
memang pernah mendengar cerita tentang lelaki yang 
berpakaian serba hitam, berdahi lebar, dan berambut 
kemerah merahan ini. 
’Tentu kau yang bernama Hantu Lereng Lawu!” 
ujar gadis itu setelah ingat siapa lelaki yang tengah di-
hadapinya ini. 
”Ha-ha-ha, benar dugaanmu, Anak Manis. Aku-
lah Hantu Lereng Lawu yang tentunya pernah disebut-
sebut oleh gurumu!” 
’’Jangan pongah! Guruku takkan sudi mengin-
gat-ingat namamu yang hanya bisa menakut-nakuti 
orang yang tidak ber-Tuhan itu!” sahut Sekar Arum se-
raya mencibir. 
”Waii, tambah cantik kalau kau mencibir begi-
tu, Anak Betari. Ha-ha ha!” 
’’Sepuasmulah kau tertawa sebelum kau kuki-
rim ke liang kubur dan kau tidak akan bisa lagi mem-
buka mulut!” 
”Ya, ya, ya, aku memang paling suka menda-
patkan gadis cantik yang galak dan sombong seperti-
mu. Eh, siapa namamu?” 
”Tak perlu aku menyebutkan namaku! Kalau 
memang kalian hendak mengeroyokku, keroyoklah! 
Dan, aku yakin kalian memang hanya berani main ke-
royok!” 
Hantu Lereng Lawu memandang Kebo Dungkul, 
kemudian keduanya tertawa terbahak-bahak. Bahkan 
tiga anak buahnya yang tadi terlongong-longong meli-
hat kehebatan Sekar Arum, kini ikut tertawa. 
’’Sebelum kami mengeroyokmu, aku lebih dulu  
ingin mengujimu, pantas tidak kami ini mengeroyok-
mu. Majulah, Gadis Bengal!” tantang Hantu Lereng 
Lawu seraya mencabut kembali pedang di pinggang-
nya, 
’’Pantang bagiku untuk menyerang lebih dulu! 
Majulah kalau memang kau ingin mati mendahului 
anak buahmu!” 
’’Mulutmu memang lebih cocok dicium pedang!” 
ujar Hantu Lereng Lawu sambil mengayunkan pe-
dangnya. 
Sekar Arum tidak gegabah membenturkan 
tombak pendeknya untuk menangkis serangan lawan. 
la yakin, ilmu silat Hantu Lereng Lawu berada seting-
kat di atas Kebo Dungkul. Sudah barang tentu tenaga 
yang dialirkan ke pedang itu lebih dahsyat dibanding-
kan tenaga Kebo Dungkul. 
Maka gadis itu menarik kaki kanannya ke bela-
kang sambil merundukkan kepalanya. Pedang lebar 
bermata dua itu berdesing sejengkal di atas kepala ga-
dis itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh gadis itu 
untuk membalas serangan. Namun, di luar dugaan ge-
rak pedang itu berbalik dan kini mengancam lutut ga-
dis itu. 
Terpaksa Sekar Arum membatalkan serangan 
balasannya. Ia harus melenting ke udara agar lututnya 
tidak terbabat. 
”Ilmu silatmu memang lumayan bagus, Anak 
Manis. Tetapi, aku ingin tahu apakah nafasmu sebaik 
ilmu silatmu!” Berkata begini Hantu Lereng Lawu me-
mutar pedangnya hingga tak terlihat lagi bentuk pe-
dang itu. Sekar Arum hanya melihat sinar kebiru-
biruan yang membentuk payung di atas kepala lawan. 
Inilah Jurus Pedang Penangkal Hujan, pikir ga-
dis itu selintas. Untuk selanjutnya, ia harus secepat- 
nya berloncatan ke kanan-kiri lawan agar tubuhnya ti-
dak terpotong-potong. 
Melihat gadis itu tak punya peluang untuk 
mengirimkan balasan, Hantu Lereng Lawu semakin 
bersemangat memburunya, ia memang belum ingin 
melukai gadis itu. Ia hanya ingin menguji sejauh mana 
murid Ki Sempani itu menguasai jurus-jurus pernapa-
san. Dari penjelasan gurunya, Hantu Lereng Lawu ta-
hu persis kelemahan ilmu silat dari Bukit Karang Bo-
long ini. Mereka hanya mengandalkan kecepatan me-
nyerang dan kelincahan menghindari tanpa memperhi-
tungkan kesempurnaan pernapasan. Apalagi gadis ini 
masih begitu belia, dan pasti belum berpengalaman 
bertempur sampai puluhan jurus. Terbukti, sewaktu 
melawan Kebo Dungkul tadi, gadis itu buru-buru men-
geluarkan jurus pamungkasnya. 
”Akh!” jerit Sekar Arum sambat memegangi ce-
lana pangsinya yang robek di bagian paha. Kulit pa-
hanya yang putih mengintip membuat Hantu Lereng 
Lawu dan anak buahnya bersamaan menelan ludah. 
”Itu peringatan kecil buatmu, Gadis Bengal! ’ 
ujar Hantu Lereng Lawu seraya tertawa terbahak-
bahak. 
’’Iblis Mata Bakul! Kalau memang kau mengaku 
lelaki, bertempurlah secara jantan!” pekik Sekar Arum. 
’’Nafasmu  tinggal satu-satu, bagaimana mung-
kin aku tega melawanmu, Manis? Tanganmu pun ha-
rus memegangi sebelah pahamu. Apa tidak sebaiknya 
kau lepaskan saja celanamu?” 
’’Iblis cabul!” sergah Sekar Arum sambil menje-
jak tanah lalu tubuhnya terbang ke atas kepala lawan. 
Namun, sewaktu tombak pendek di tangannya hendak 
menghujam ubun-ubun lawan, kembali pedang di tan-
gan Hantu Lereng Lawu memayungi kepala itu. 
 
"Tring!” 
Sedikit sekali ujung tombak pendek itu beradu 
dengan pedang Hantu Lereng Lawu, tetapi getaran 
yang menjalari tangan gadis itu mampu membuat ba-
hu gadis itu seakan somplak. 
Sekar Arum berdiri di atas kuda-kudanya sam-
bil menahan rasa nyeri hebat di bahunya. Kalau saja ia 
tidak harus memegangi celana pangsinya yang robek, 
pastilah tangannya secara refleks akan memijat-mijat 
bahu itu. 
’’Sekarang, bisa kau  teruskan pekerjaanmu, 
Kebo Dungkul!” kata Hantu Lereng Lawu sebelum me-
ninggalkan tempat itu sambil tertawa puas. 
Kebo Dungkul mengusap kumisnya dengan 
punggung tangannya. Ia tahu, gadis itu sekarang tak 
akan segarang tadi. Bahu kanannya tidak akan bisa 
lagi mendukung permainan tombak pendek di telapak 
tangan gadis itu. Kalau saja gadis itu tidak memiliki 
tenaga dalam yang lumayan, tentu sudah copot engsel 
tulang bahunya. Kebo Dungkul sendiri pernah mera-
sakan hebatnya Jurus Pedang Penangkal Hujan. Kare-
na jurus itu pula maka ia terpaksa bertekuk lutut di 
depan Hantu Lereng Lawu. Hampir sebulan lebih Kebo 
Dungkul harus menggendong tangannya akibat rantai 
berkapak yang dipegangnya membentur pedang yang 
diputar Hantu Lereng Lawu. 
Sekar Arum mundur beberapa tindak. Ia men-
coba memainkan tombak pendeknya dengan tangan 
kiri sementara tangan kanannya yang nyeri dipergu-
nakan untuk memegangi celana pangsinya yang robek. 
Diam-diam ia mengutuk Hantu Lereng Lawu yang tadi 
telah menyelamatkan Kebo Dungkul dari tikaman 
tombak di leher belakangnya. 
”Hei, kenapa kalian diam saja? Ringkus gadis  
bengal ini!” perintah Kebo Dungkul kepada tiga orang 
anak buahnya. 
Mereka bertiga bergerak mengurung Sekar 
Arum. Meski hanya dengan tangan kiri, gadis itu ter-
nyata masih mampu membuat mereka bertiga kucar-
kacir. Ketiganya terlempar begitu golok di tangan me-
reka membentur tombak pendek di tangan gadis itu. 
”Huh! Kalian memang hanya pantas mencuri 
kayu di hutan!” dengus Kebo Dungkul. Lalu katanya 
kepada Sekar Arum, ”Sekali lagi aku beri kau waktu 
untuk berpikir, Cah Ayu. Kau  pilih mati terbelah ka-
pakku, atau kau pilih menuruti kemauanku....” 
’’Jangan berangan-angan, Kebo Dungu!” sergah 
gadis itu. ’’Selama napas ku masih ada, tak akan aku 
mengaku kalah! Majulah, biar kurobek perutmu yang 
buncit itu!” 
”Wah, betul-betul bosan hidup rupanya! Tapi, 
terlalu enak buatmu jika kau mati tanpa memberi ku 
kenikmatan lebih dulu. Nah, bersiaplah! Keluarkan il-
mu yang kau warisi dari gurumu!” Kebo Dungkul men-
gembangkan tangannya dan menubruk gadis itu. 
Sekar Arum memagari dirinya dengan putaran 
tombak pendeknya. Akan tetapi, di luar dugaannya ji-
ka ternyata Kebo Dungkul menarik kembali dua tan-
gannya dan sebagai gantinya kaki kanannya mener-
jang betis indah gadis itu. Gerakan itu begitu cepat 
dan di luar dugaan Sekar Arum. Tak pelak lagi betis 
gadis itu terdorong dan gadis itu bergulingan di tanah. 
Sewaktu ia hendak melenting bangun, tiba-tiba mata 
kapak yang tadi menggantung di leher lawan sekarang 
telah menempel di lehernya. 
”Ha-ha-ha! Pengalamanmu baru secuil, tetapi 
kesombonganmu segerobak, Gadis Bengal!” 
Sekar Arum hendak menikamkan tombak pen- 
deknya ke leher Kebo Dungkul yang hanya beberapa 
jengkal jaraknya dari wajahnya, tetapi secepat kilat ti-
ga buah golok menahan tangan kiri gadis itu. 
’’Sekali lagi kau mencoba melawan, kapak ini 
akan memenggal lehermu, Cah Manis,” kata Kebo 
Dungkul seraya menekankan mata kapaknya lebih 
kuat lagi. 
”Lebih baik leherku terpenggal daripada terja-
mah tanganmu yang menjijikkan!” sahut Sekar Arum 
sebelum menggerakkan tumitnya ke lutut Kebo Dung-
kul. 
”Ha-ha-ha! Sudah kubilang, terlalu enak buat-
mu mati sebelum kami berempat bisa menikmati tu-
buhmu yang mulus ini!” Dengan mudah Kebo Dungkul 
menguasai kaki kanan gadis itu. Kini tangan kirinya 
bersiap-siap merobek krah baju gadis itu. 
’’Bunuhlah aku jika kau merasa....” 
”Ha-ha-ha! Hi-hi-hik! Ho-ho-hok!” Mereka be-
rempat tertawa bersamaan. 
”Nah, mari kita lihat apakah dada gadis ini se-
keras hatinya!” Kebo Dungkul mencengkeram krah ba-
ju gadis itu. Akan tetapi, sebelum tangan itu menarik 
robek krah baju itu, tiba-tiba ada benda cair melabrak 
matanya yang melek. Bau amis menyelinap ke lubang 
hidung, pandangan Kebo Dungkul gelap gulita. Satu-
satunya mata yang berfungsi telah tertutup kuning te-
lur yang lengket. 
Ketiga anak buah Kebo Dungkul menoleh ke 
arah datangnya telur ayam itu. Sementara itu Kebo 
Dungkul menyumpah-nyumpah sambil membersihkan 
lumuran kuning telur di matanya. 
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Sekar 
Arum. Dengan sisa tenaga yang ada, ia menjejakkan 
kakinya dan berjumpalitan ke belakang.  
’’Bangsat tengik! Kalau memang pendekar seja-
ti, hadapi Kebo Dungkul! Jangan hanya main lempar 
dari persembunyian!” tantang Kebo Dungkul meski 
matanya belum jelas memandang sekeliling. 
Tiga orang anak buah Kebo Dungkul yang tadi 
menyerbu ke dalam kedai, satu per satu terlempar ke-
luar sambil memegangi leher. Tak lama kemudian me-
reka berkelojotan dan terkulai lemas. 
’'Tunggu, Kisanak!” desis Sekar Arum seraya 
memburu bayangan putih yang melesat ke arah bela-
kang kedai. 
 
***
 
 
Kebo Dungkul tak bisa menebak siapa manusia 
yang telah membunuh ketiga anak buahnya itu. Se-
waktu ia berhasil menjernihkan pandang matanya, di 
tempat itu tak ada lagi seorang pun yang bisa ditanyai. 
Ia hanya bisa menatap ketiga mayat yang lehernya 
hampir putus. 
Akan tetapi, ia bisa memastikan bahwa pembu-
nuh ketiga anak buahnya itu orang yang berilmu ting-
gi. Dalam sekejap pembunuh itu bisa menguasai golok-
golok lawan dan menggorokkan ke leher-leher  lawan-
nya. Dan, dengan ilmu setannya pembunuh itu mam-
pu melemparkan kuning telur mentah tanpa menyer-
takan putih telurnya. Tentulah bukan dengan tangan, 
melainkan dengan mulut! 
Sementara Kebo Dungkul memutar otaknya 
mencari-cari jawaban, Sekar Arum pun belum berhasil  
menemukan orang yang telah menolongnya. Selain ia 
ingin mengucapkan terima kasih, ia juga ingin berke-
nalan dengan pendekar berilmu tinggi itu. Meskipun 
ketiga anak buah Kebo Dungkul bukan lawan yang be-
rarti, tak akan dalam sekejap terbunuh jika tidak oleh 
seseorang yang berilmu tinggi. Lagi pula, baru kali ini 
Sekar Arum gagal mengejar bayangan yang sempat 
nampak di mata. Di Pantai Selatan, ia sudah terbiasa 
berkejaran dengan burung walet. Dan, tadi pun ia 
mengerahkan Jurus Walet Menyambar Mangsa sewak-
tu mengejar bayangan serba putih itu. Toh dia tidak 
berhasil menyusul! 
’’Dalam dunia persilatan, hanya ada satu orang 
yang ilmu meringankan tubuhnya tak tertandingi!” 
Mengiang kembali kata-kata Ki Sempani di telinga ga-
dis itu. 
’’Pendekar Perisai Naga! Ya, tak salah lagi!” de-
sis Sekar Arum menyimpulkan. 
Tetapi, bukankah dia sudah terbunuh oleh 
Empu Wadas Gempal dan Hantu Lereng Lawu tiga pu-
luh tahun yang lalu? Gadis itu kembali diliputi kera-
guan. Atau, mungkinkah dia tadi murid pendekar sakti 
itu? Ah, menurut cerita Guru, Pendekar Perisai Naga 
tak pernah mau mengangkat siapa pun menjadi mu-
ridnya. Sampai kemudian ia tewas oleh kelicikan Em-
pu Wadas Gempal. Lalu, siapa pendekar budiman yang 
telah menolongku tadi? 
Dan, gadis itu semakin sangsi sebab ia tadi tak 
mendengar suara lecutan cambuk seperti yang pernah 
diceritakan Ki Sempani. 
Gadis itu melangkah sambil terus memikirkan 
pendekar berpakaian serba putih yang hanya selinta-
san dilihatnya tadi. Bukan hanya pakaiannya yang 
berwarna putih, melainkan rambutnya pun berwarna  
putih. Artinya, pendekar tadi memang sudah lanjut 
usia. Setidaknya seusia dengan Ki Sempani. 
Sekar Arum memang bocah kemarin sore yang 
belum berpengalaman di dunia persilatan. Lima belas 
tahun yang lalu, ia bahkan belum ada di bumi ini. Ia 
masih dalam kandungan ibunya. Umur sebelas tahun, 
mulailah ia mengenal jurus-jurus silat sebab kedua 
orang tuanya menyerahkannya kepada Ki Sempani. 
Karena kecerdikannya, dalam waktu empat tahun ga-
dis kecil itu telah menguasai sebagian besar ilmu silat 
yang diturunkan oleh Ki Sempani. Namun demikian, Ki 
Sempani tetap menyadari bahwa muridnya ini belum 
layak bertanding dengan orang-orang sesat macam Ke-
bo Dungkul dan Hantu Lereng Lawu. 
Sebelum Sekar Arum nekat  meninggalkan Pa-
depokan Karang Bolong, sekali lagi Ki Sempani mence-
ritakan jahatnya dunia persilatan agar gadis itu mawas 
diri. Akan tetapi, darah muda yang mengalir di tubuh 
gadis itu membuat gadis itu ingin secepatnya mencoba 
ilmu silat yang didapatkannya dari gurunya. Itulah ke-
napa Sekar Arum sengaja melintasi kedai yang menjadi 
tempat mabuk-mabukan Kebo Dungkul dan anak 
buahnya. 
Beruntung sewaktu gadis itu tak lagi berdaya 
menghadapi Kebo Dungkul, tiba-tiba muncul Wiku Ja-
ladri menyelamatkannya! 
 
***
 
”Ki Sempani memang bukan orang lain bagiku. 
Akan tetapi, aku sengaja menghilang dari pandang ma-
ta muridnya agar Ki Sempani tidak kaget mendengar 
cerita tentang kemunculanku kembali, ” kata Wiku Ja- 
ladri setelah menceritakan perihal Sekar Arum, murid 
Ki Sempani. 
’’Berarti, Ki Sempani percaya bahwa Kiai sudah 
tewas tiga puluh tahun yang lalu?” tanya Joko Sung-
sang. 
’’Begitulah menurut apa yang aku dengar.” 
’’Karena tidak ingin dikenali murid Ki Sempani 
maka Kiai tidak juga membawa-bawa Perisai Naga?”  
’’Perisai Naga sudah menjadi milikmu, Joko 
Dan, sejak kau mewarisi ilmu Perisai Naga, maka kau-
lah yang harus bergelar Pendekar Perisai Naga. ” 
Joko Sungsang mencium lutut Wiku Jaladri se-
bagai Ungkapan rasa harunya. Saking terharunya, 
sampai-sampai lidahnya tak mampu berucap sepatah 
kata pun. 
’’Kebo Dungkul sendiri tidak akan mengenali 
aku sore tadi. Sengaja matanya yang tinggal sebelah 
itu aku tutup dengan kuning telur ayam yang aku am-
bil dari kedai itu. Hantu Lereng Lawu, bahkan Empu 
Wadas Gempal akan bingung mendengarkan laporan 
dari Kebo Dungkul.” 
’’Bagaimana jika mereka menganggap Ki Sem-
pani yang mempecundangi Kebo Dungkul, Kiai?” 
”Itu  sudah ada dalam perhitunganku, Joko. 
Aku tidak ingin mereka menaruh dendam kepada Ki 
Sempani. Karena itu aku sengaja meminjam golok me-
reka untuk membungkam mulut mereka, anak buah 
Kebo Dungkul itu. Empu Wadas Gempal maupun Han-
tu Lereng Lawu tahu persis bagaimana tabiat aneh Ki 
Sempani. ” 
’’Tabiat aneh?” Dahi Joko Sungsang berkerut-
kerut. 
’’Bukankah aneh jika ada orang yang tidak mau 
melihat musuh bersimbah darah?” 
 
’’Lalu, bagaimana cara dia melumpuhkan mu-
suh-musuhnya, Kiai?” 
’’Dengan pukulan yang merontokkan isi dada 
lawan. Itulah yang dikenal dengan Pukulan Ombak 
Laut Selatan!” 
Joko Sungsang manggut-manggut paham. Lalu, 
katanya, ’’Terima kasih, untuk kedua kalinya Kiai sudi 
membiarkan Kebo Dungkul tetap hidup.” 
’’Pendekar-pendekar dari golongan putih tidak 
akan membunuh lawan yang menjadi musuh bebuyu-
tan pendekar segolongannya. Apalagi Kebo Dungkul 
musuh bebuyutan muridku sendiri,” sahut Wiku Jala-
dri memberikan penjelasan. 
’’Maafkan saya, Kiai,” sahut Joko Sungsang 
dengan perasaan bersalah. 
’’Sekali lagi aku katakan kepadamu, Joko, bah-
wa setelah kau pergi dari dasar jurang ini, berarti tu-
gas-tugasku sudah aku limpahkan kepadamu. Dan, 
camkan sekali lagi bahwa di dunia ini tidak ada manu-
sia yang paling sakti. Kau harus tetap yakin bahwa 
masih banyak pendekar yang ilmunya jauh lebih tinggi 
darimu. Selama kau ingat pesanku ini, kau tidak akan 
pongah dalam menghadapi segala macam rintangan.”  
’’Saya akan laksanakan tugas tugas yang telah 
Kiai bebankan ke pundak saya. Saya tidak akan seke-
lumit pun melupakan nasihat dan pesan-pesan Kiai.” 
”Kau bisa menemui ibumu di Desa Dadapsari, 
Joko. Di desa itu juga kau akan bertemu dengan Sekar 
Arum, murid Ki Sempani itu. Cobalah kau bujuk  dia 
agar kembali ke Padepokan Karang Bolong. Sifat pon-
gah dan kekerasan hatinya membuatnya hampir saja 
celaka.” 
’’Apakah Kiai mengizinkan saya bertemu den-
gan Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong?” tanya  
Joko Sungsang ragu-ragu. 
’’Kunjung-mengunjungi sesama pendekar me-
mang baik sekali. Aku senang sekali jika kau bisa 
membawa kabar tentang aku kepada Ki Sempani.” 
’’Saya akan merasa bangga bisa mewakili Kiai 
menemui pendekar semacam Ki Sempani. Tetapi, apa 
kiranya Ki Sempani masih mau percaya jika saya men-
gaku sebagai murid Kiai? Sebab, seperti yang Kiai ka-
takan bahwa Ki Sempani sendiri percaya bahwa Kiai 
telah tewas.” 
’’Perisai Naga di pinggangmu akan bercerita 
tentang siapa kamu meskipun kamu datang ke Karang 
Bolong dengan mulut membisu.” 
”Ah, saya hampir lupa, Kiai,” sahut Joko Sung-
sang sambil meraba Perisai Naga yang melingkari 
pinggangnya. 
’’Pergilah, Joko. Tetapi, sebelum kau benar-
benar meninggalkan dasar jurang ini, tutuplah pintu 
gua biar aku tenang menghabiskan sisa waktuku di 
sini.” 
’’Maksud, Kiai?” Mata Joko Sungsang membela-
lak. 
’’Jangan seperti anak kemarin sore. Takdir Tu-
han telah menuliskan segalanya tentang kita. Pergilah, 
dan jangan lagi kau tambahi beban pikiranmu dengan 
memikirkan tentang nasibku di gua ini.” 
’’Kiai....” Joko Sungsang menubruk kedua tela-
pak kaki Wiku Jaladri dan menciumi telapak kaki itu. 
 
**** 
 
Desa Cemara Pitu adalah desa pertama yang 
disinggahi Joko Sungsang dalam perjalanannya menu-
 
ju Desa Dadapsari. Dinamakan Desa Cemara Pitu ka-
rena di ujung jalan yang membelah desa itu tertanam 
tujuh batang pohon cemara. Menurut kabar burung, 
tujuh pohon cemara itu sudah berumur ratusan tahun 
dan tak seorang pun berani mengganggu kelestarian 
pohon-pohon itu. Konon, ketujuh pohon itu tak bisa 
ditumbangkan oleh tenaga apa pun. 
Fajar baru saja merekah ketika Joko Sungsang 
memasuki mulut desa itu. Udara pegunungan masih 
terasakan oleh Joko Sungsang. Namun, di pagi yang 
masih dingin itu, suasana di desa itu tak ubahnya su-
asana siang hari. Penghuni desa sudah bertebaran di 
sawah-sawah. Seolah-olah mereka telah bekerja bebe-
rapa jam sehingga keringat membuat tubuh mereka 
berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi. 
Joko Sungsang menikmati pemandangan pagi 
hari di mulut desa yang sudah hampir tujuh tahun tak 
dinikmatinya. Selama berada di dasar jurang bersama 
Wiku Jaladri, ia hanya bisa menikmati pepohonan 
yang menjulang dan dihiasi suara binatang liar dan 
buas. Maka Joko Sungsang menghirup napas sepenuh 
dada. Ingin ia menghirup udara pagi di desa sepuas-
puasnya. 
Akan tetapi, keindahan pagi itu rusak oleh da-
tang-nya serombongan orang berkuda. Debu jalanan 
mengepul menghalau kabut tipis yang menyelimuti ja-
lanan. 
Joko Sungsang menyelinap ke balik pohon ce-
mara yang terbesar. Ia tidak ingin kehadirannya di de-
sa itu tercium oleh orang-orang dari kalangan persila-
tan. Dan, tentunya orang-orang berkuda itu bukan 
penduduk Desa Cemara Pitu yang tak mengenal seluk-
beluk dunia persilatan. Mereka pastilah datang dari 
suatu tempat dan membawa-bawa nama perguruan  
mereka 
’’Berhenti!” teriak lelaki yang berkuda paling 
depan memberikan aba-aba kepada lima orang yang 
berkuda di belakangnya. 
Lelaki tinggi besar yang mengenakan baju tan-
pa lengan ini agaknya pimpinan rombongan. Sebilah 
pedang menyilang di punggungnya. Mata lelaki itu me-
rah seperti mata orang yang tak pernah tidur. Kumis-
nya yang tebal dan panjang dipelintir sehingga mem-
bentuk sumping wayang. Celana pangsi hitam yang di-
kenakannya dihiasi kain berwarna kuning emas. Ada 
kesan bahwa dia datang sebagai punggawa kerajaan, 
’’Kenapa berhenti di sini, Kakang?” tanya lelaki 
kedua yang agaknya orang kepercayaan lelaki pertama. 
Dua bilah pedang pendek menggelantung di pinggang 
kanan-kiri lelaki Ini. 
’’Kita lihat apakah mereka bekerja bersungguh-
sungguh,” jawab lelaki pertama 
’’Mereka memang bekerja bersungguh-sungguh. 
Hanya saja, mereka memang keberatan menyerahkan 
hasil sawah mereka kepada kita,” kata lelaki kedua. 
’’Kalau begitu, kita laksanakan saja perintah 
Kakang Adipati, Ambil semua kekayaan desa ini! Bu-
nuh dan bakar rumah mereka yang coba-coba mela-
wan!”  
”Apa tidak sebaiknya sekali lagi kita perin-
gatkan, Kakang?” 
Pimpinan rombongan itu tidak lagi mendengar-
kan ucapan orang kedua. Ia langsung berteriak, men-
gerahkan anak buahnya agar menggiring orang-orang 
yang sedang bekerja di sawah itu berkumpul di bawah 
tujuh pohon cemara itu. 
ingin sebenarnya Joko Sungsang tetap men-
dengarkan pembicaraan mereka. Akan tetapi, jika nan- 
ti orang-orang itu sudah berkumpul, tentulah salah 
seorang dari mereka akan melihatnya bersembunyi di 
balik pohon terbesar itu. 
Maka dengan Ilmu Harimau Mengincar Kijang, 
Joko Sungsang bergeser menjauh tanpa menimbulkan 
suara sama sekali. Kemudian ia melenting dan hinggap 
di dahan yang paling rimbun daunnya. 
Orang-orang yang tadi bekerja di sawah mulai 
berkumpul dan duduk bersila di depan kuda yang di-
tunggangi pemimpin rombongan berkuda itu. 
’’Siapa yang dituakan di desa ini?” tanya pimpi-
nan rombongan itu dari punggung kudanya. 
Orang-orang yang kini berwajah pucat karena 
takut itu saling memandang satu sama lain. 
"Kalian ini bisu apa tuli?” bentak lelaki yang 
berpedang dua. 
’’Saya yang paling tua....”' 
’’Goblok!” sergah pimpinan rombongan sambil 
memajukan kudanya sehingga kaki depan kuda itu 
hampir menyentuh hidung lelaki tua yang tadi menja-
wab. 
”Yang dituakan! Bukan yang paling tua!” kata 
lelaki berpedang dua memberikan penjelasan. 
”Hei, sekarang kamu saja aku tunjuk sebagai 
pimpinan kalian semua. Nah, sekarang dengarkan pe-
rintahku. Sebelum tengah hari nanti, kalian sudah ha-
rus mengumpulkan seluruh padi yang ada di lumbung 
desa ini. Mengerti?” 
"Kami tidak pernah menyimpan persediaan pa-
di.” 
”Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kalau siang 
nanti kalian tidak menyiapkan apa yang aku minta, 
aku rata-kan desa ini dengan tanah!” sergah pimpinan 
rombongan itu seraya menyepak perut kudanya. Maka  
lima kuda yang lainnya memburu derap kuda pimpi-
nan rombongan itu meninggalkan mulut Desa Cemara 
Pitu. 
’’Kenapa tidak kita lawan saja mereka?” Berkata 
seorang pemuda yang duduk menyandar pada salah 
satu pohon cemara. 
’’Kenapa kau tadi diam saja? Bicara jangan asal 
buka mulut!” bentak kakek-kakek yang tadi berbicara 
dengan orang-orang berkuda itu. 
’’Sama-sama mati, memang lebih baik kita me-
lawan,” sahut lelaki yang tadi duduk di samping ka-
kek-kakek itu. 
”Kau tidak memikirkan bagaimana nasib anak 
dan istrimu di rumah?” sahut yang lainnya lagi. 
’’Lalu, dari mana kita bisa dapatkan padi se-
lumbung seperti yang mereka inginkan?” 
Hening. Mereka semua menekuri tanah. Daun 
cemara berdesau-desau. Dan, di antara desau daun 
cemara inilah terdengar siulan mirip siulan burung 
emprit gantil. Seperti dikomando, mereka semua me-
nengadahkan kepala mencari-cari arah datangnya si-
ulan. Mereka sadar bahwa yang mereka dengar siulan 
manusia, bukan siulan burung. 
’’Gusti Allah!” desis mereka berbarengan sambil 
melebarkan mata memandang Joko Sungsang yang ti-
duran di dahan cemara. Besar dahan yang ditiduri 
anak muda itu tak lebih besar dari gagang cangkul! 
***
 
 
 
Dari penjelasan penduduk desa, akhirnya Joko 
Sungsang tahu siapa mereka yang datang berkuda dan 
hendak merampas kekayaan Desa Cemara pitu tadi. 
Mereka adalah orang-orang kepercayaan Adipati So-
rengdriyo. Pimpinan rombongan itu bernama Mahesa 
Lawung. Di sekitar Kadipaten Banyu Asin, nama Ma-
hesa Lawung memang sangat ditakuti, ilmu  silatnya 
setingkat di bawah ilmu silat Adipati Sorengdriyo. Na-
mun, kekejamannya dua tingkat di atas kekejaman 
sang adipati. 
Mengingat kekejaman Mahesa Lawung ini maka 
para penduduk Desa Cemara Pitu terpaksa harus me-
nyerahkan sebagian besar hasil panen mereka kepada 
Adipati Sorengdriyo. Kalaupun sekarang mereka mem-
bangkang, tidak berarti bahwa mereka siap melawan 
Mahesa Lawung dan anak buahnya. Mereka kali ini 
memang tidak memetik hasil sawah mereka akibat 
serbuan hama tikus. 
’’Akan tetapi, mana mereka mau tahu alasan 
kami, Anakmas?” kata lelaki tertua di antara pendu-
duk yang berkerumun di bawah tujuh pohon cemara 
itu. 
’’Kalau begitu, sebaiknya siang nanti tak seo-
rang pun keluar dari rumah. Biar saya yang mengha-
dapi Mahesa Lawung dan kawan-kawannya,” kata Jo-
ko Sungsang. 
’’Mereka orang-orang  kejam, Anakmas,” kata 
seorang lelaki yang berdiri di samping lelaki tua itu. 
’’Karena mereka kejam maka saya ingin mewa-
kili penduduk desa ini menemui mereka.” 
’’Biar saya membantu Kisanak!” kata seorang  
pemuda. Joko Sungsang tahu, inilah pemuda yang tadi 
memiliki gagasan untuk melawan para penjarah itu. 
’’Terima kasih. Tetapi, saya akan mencoba 
menghadapi mereka seorang diri. Saya tidak mau me-
libatkan seorang pun penduduk desa ini. Kalaupun 
mereka menaruh dendam, biarlah mereka mendendam 
kepada saya. Tetapi, saya akan mengusahakan agar 
mereka tidak menaruh dendam.” 
’’Berarti, Kisanak harus membunuh mereka 
semua!” 
’’Tidak. Bahkan saya tidak akan melukai mere-
ka jika tidak terpaksa. ” 
’’Mereka tidak akan takut kepada orang asing 
seperti Kisanak!” 
’’Betul, Anakmas. Mereka hanya takut kepada 
Hantu Lereng Lawu.” 
Dahi Joko Sungsang berkerut-kerut. Lalu ka-
tanya, ’’Apakah ada hubungannya antara Adipati So-
rengdriyo dengan Hantu Lereng Lawu?” 
’’Betul, Anakmas. Semenjak Adipati Sorengdriyo 
dikalahkan Hantu Lereng Lawu, semenjak itulah hasil 
panen kami harus kami serahkan sebagian besar ke 
kadipaten. ” 
’’Padahal dulu kabarnya Adipati Sorengdriyo 
orang baik-baik dan dicintai rakyat, ” sahut pemuda 
yang lain lagi. 
’’Artinya, Adipati Sorengdriyo diperalat oleh 
Hantu Lereng Lawu,” sahut Joko Sungsang. 
’’Tepatnya memang begitu!” Hampir bersamaan 
mereka menjawab. 
’’Saya akan bicara dengan Hantu Lereng Lawu!” 
’’Apa?” Mata mereka membelalak. 
’’Tidak berarti saya ini teman Hantu Lereng La-
wu. Tetapi, kebetulan saja saya memang ingin mene- 
muinya. Saya ada urusan tersendiri dengan orang se-
sat dari Lereng Lawu itu.” 
’’Barangkali Kisanak mau membalas dendam?” 
tanya pemuda yang punya semangat melawan kejaha-
tan itu. 
’’Ayah saya tewas di tangan anak buah Hantu 
Lereng Lawu!” jawab Joko Sungsang dengan geraham 
mengeras. 
”Oooh,” desah mereka bersamaan. 
Kemudian mereka bubar dan pulang ke rumah 
masing-masing atas saran dari Joko Sungsang. Sebe-
lum mereka bubaran, sekali lagi Joko Sungsang berpe-
san agar tidak seorang pun penduduk keluar dari ru-
mah mereka sewaktu rombongan dari Kadipaten 
Banyu Asin itu datang. 
Joko Sungsang terpaksa menunda perjalanan-
nya hingga siang hari. Ia merasa terpanggil untuk 
membantu mengamankan desa itu. Ia tidak ingin desa 
itu bernasib sama dengan Desa Sanareja, desa kelahi-
rannya. Kalau benar bahwa Hantu Lereng Lawu dan 
anak buahnya mencari-cari Pendekar Perisai Naga se-
perti yang diceritakan Wiku Jaladri, maka urusan den-
gan Desa Cemara Pitu akan dilupakannya! 
Lagi pula, Joko Sungsang merasa pasti bahwa 
Adipati Sorengdriyo berbuat demikian karena terpaksa. 
Mungkin ia merasa putus asa sebab merasa tidak ada 
orang yang berpihak kepadanya. 
Matahari persis berada di atas pohon cemara 
sewaktu rombongan yang dipimpin Mahesa Lawung 
kembali memasuki mulut Desa Cemara Pitu. Mereka 
datang dengan kereta kuda yang bakal dipakai untuk 
mengangkut hasil jarahan. Rupanya mereka begitu ya-
kin bahwa penduduk Desa Cemara Pitu pasti menye-
diakan hasil bumi yang mereka inginkan. 
 
Tiba-tiba saja derap kaki kuda mereka terhenti. 
Mata mereka menengadah ke  atas, mengikuti gerak 
tubuh Mahesa Lawung yang tiba tiba saja melayang ke 
atas dan bertengger di sebuah dahan cemara. Kuda 
yang tadi ditungganginya kini melesat tanpa terkenda-
likan. 
Mahesa Lawung tidak gegabah melayang turun 
dari dahan pohon itu. Bukan berarti ia takut turun, la 
pun memiliki ilmu meringankan tubuh seperti layak-
nya orang orang dari dunia persilatan. Tak akan ia me-
rasa ngeri kalau hanya turun dari ketinggian sepuluh 
tombak. Namun, ia sadar bahwa kini ia sedang berha-
dapan dengan lawan yang berilmu tinggi. Entah den-
gan ilmu setan mana, anak muda itu membawanya 
terbang dengan lilitan cambuk di leher. Dan, cambuk 
itu kini masih melilit lehernya. Dengan sekali hentak, 
Mahesa Lawung bisa membayangkan apa yang bakal 
menimpa dirinya. 
Cambuk milik Joko Sungsang melilit di leher 
Mahesa Lawung! Dia tidak berani gegabah terhadap 
pemuda itu. Karena dengan sekali hentak, Mahesa La-
wung bisa membayangkan apa yang bakal menimpa 
dirinya! 
’’Anak muda, aku merasa tidak punya urusan 
denganmu. Kenapa kau membuat persoalan dengan-
ku?” kata Mahesa Lawung hati-hati. 
’’Mulai detik ini, kau dan anak buahmu harus 
berurusan denganku!” jawab Joko Sungsang. Lalu, 
dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata, tiba-
tiba saja cambuk yang tadi melilit leher Mahesa La-
wung telah melingkar di telapak tangan anak muda 
itu. 
’’Apakah tidak lebih baik kita bicara di bawah 
agar anak buahku bisa ikut mendengarkan apa yang  
kau. bicarakan?” 
’’Memang sebaiknya begitu,” sahut Joko Sung-
sang lalu mendahului melayang turun. 
Semua anak buah Mahesa Lawung memundur-
kan kuda mereka ketika anak muda yang berpakaian 
serba putih itu mendarat di tanah. Mereka sadar bah-
wa anak muda ini bukan sembarang anak ingusan 
seusianya. Apalagi tadi mereka melihat pimpinan me-
reka pun tidak berani gegabah menghadapi anak ingu-
san ini. 
’’Kisanak, katakan apa maumu dan apa uru-
sanmu sehingga berani menghentikan perjalanan ka-
mi!” kata Mahesa Lawung begitu berhadapan dengan 
Joko Sungsang di tanah. 
’’Bukankah kalian mau mengambil hasil panen 
penduduk desa ini?” 
"Kalaupun iya, aku kira tidak ada urusan den-
ganmu, Kisanak” 
’’Justru harus berurusan denganku!” sahut Jo-
ko Sungsang. ’’Lihatlah, betapa sepi desa ini. Kalian 
tak akan menemukan seorang pun penduduk desa ini. 
Mereka semua sudah aku usir dari desa ini Nah, su-
dah jelas, bukan? Desa ini sekarang ada dalam kekua-
saanku'” 
Meski memiliki rasa cemas berhadapan dengan 
Joko Sungsang, di depan anak buahnya yang begitu 
memujanya Mahesa Lawung tetap harus menunjuk 
kan keberaniannya. Toh kalau memang terjadi perke-
lahian, ia tidak seorang diri menghadapi pendekar in-
gusan ini.. 
’’Kau pikir aku mempercayai bualan mu? Jan-
gan coba-coba kau menakut-nakuti kami dengan bua-
lan mu itu!” kata Mahesa Lawung seraya meraba ga-
gang pedangnya. 
 
’’Kau bilang aku membual?” Berkata begini Jo-
ko Sungsang lalu melecutkan Perisai Naga ke arah tali 
pedang yang melintang di dada Mahesa Lawung. Tak 
pelak lagi, sarung pedang Mahesa Lawung terjatuh se-
bab tali yang menahannya terputus Kalau saja gagang 
pedang itu tidak tergenggam tangan Mahesa Lawung, 
tentulah nasib pedang itu akan sama dengan nasib sa-
rungnya 
’’Bedebah! Berani kau menghinaku!’ Mata Ma-
hesa Lawung mendelik Akan tetapi, untuk langsung 
menyerang lawannya, ia masih harus berpikir dua kali. 
’’Serahkan anak tikus ini kepadaku, Kakang” 
kata lelaki yang menyandang dua bilah pedang di 
pinggulnya. Dengan gesit lelaki itu meloncat dari 
punggung kuda dan berdiri gagah di depan Joko Sung-
sang ’’Lompati dulu  mayatku sebelum kau hinakan 
Kakang Mahesa Lawung, Anak Tikus!” 
’’Kita lihat saja siapa yang pantas jadi anak ti-
kus!” sahut Joko Sungsang setelah melingkarkan Peri-
sai Naga di pinggangnya. 
’’Bosan hidup!” seru lelaki itu sambil men-
gayunkan dua bilah pedangnya dengan gerakan meng-
gunting. 
Joko Sungsang melipat lutut kanannya dan 
membuang kaki kirinya lurus ke belakang sehingga 
dua bilah pedang itu berdesing di atas kepalanya. Se-
belum lawan menarik kembali pedang-pedangnya, se-
cepat kilat Joko Sungsang menggebrak kedua siku la-
wan. 
”Augh!” Lelaki itu melompat ke belakang dan 
kedua pedangnya tergeletak di tanah. Tak kuasa lagi 
kedua tangan itu menggenggam pedang. 
Melihat orang andalannya patah siku dalam se-
kali gebrak, Mahesa Lawung semakin berhati-hati 
menghadapi Joko Sungsang. Namun begitu, tetap saja 
ia merasa malu untuk merendahkan diri di depan 
anak buah-nya. Maka katanya  sambil menimang-
nimang pedang, ’’Sebelum aku mencincang tubuhmu, 
ada baiknya aku mengetahui siapa namamu, Kisanak” 
”Tak perlu kau mencincangku, Mahesa Lawung. 
Hantu Lereng Lawu akan marah kepadamu jika kau 
lancang membunuh musuh besarnya!” 
’’Dasar mulut besar!” seru salah seorang anak 
buah Mahesa Lawung seraya menusukkan tombak ke 
arah dada Joko Sungsang. 
Hanya dengan mengegoskan sedikit. badannya, 
Joko Sungsang berhasil meloloskan diri dari tusukan 
tombak itu. Kemudian, punggung telapak kaki kirinya 
bergerak cepat ke arah perut si penyerang. 
’’Hukkk!” Lelaki bertombak itu tersungkur. 
”Kau tetap ingin tahu namaku, Mahesa La-
wung?” tanya Joko Sungsang tanpa mempedulikan la-
wan yang tengkurap di samping kaki kirinya, ’’Atau, 
kau sendiri juga ingin menyerangku seperti kedua 
anak buahmu yang bodoh itu?” 
”Kau sudah tahu namaku, sudah selayaknya 
jika aku pun tahu namamu!” 
”Aku akan berterima kasih sekali jika kau mau 
menyampaikan pesanku kepada Hantu Lereng Lawu. 
Katakan kepadanya bahwa Pendekar Perisai Naga me-
nunggunya di sini pada malam purnama bulan ini!”  
’’Pendekar Perisai Naga?” desis salah seorang 
anak buah Mahesa Lawung. 
’’Tunggu!” katanya seraya maju beberapa lang-
kah. ’’Senjata yang kau miliki memang mengingatkan-
ku pada cerita tentang Pendekar Perisai Naga. Tetapi, 
jangan  kau pikir kami akan begitu saja mempercayai 
ucapanmu!” 
 
”Aku tidak akan memaksa kalian untuk per-
caya. Hanya saja, jika kalian tetap ingin membunuhku, 
sama halnya kalian menghina Hantu Lereng Lawu. 
Sudah kukatakan bahwa Hantu Lereng Lawu meng-
hendaki nyawaku, bukan?” 
’’Pendekar Perisai Naga sudah mampus di Ju-
rang Jero puluhan tahun yang lalu! Bagaimana mung-
kin kau mengaku ngaku sebagai Pendekar Perisai Na-
ga?” kata Mahesa Lawung. Serta-merta ia ingat penje-
lasan dari Adipati Sorengdriyo tentang Pendekar Peri-
sai Naga. 
”Apa kalian dan orang orang yang menyebar ce-
rita itu menemukan mayatnya?” balik Joko Sungsang. 
"Ya. Tetapi, pendekar itu umurnya sudah lebih 
dari empat puluh tahun sewaktu menghilang dari du-
nia persilatan! Kau? Aku kira tak lebih dari usia anak-
ku!” 
"Apa salahnya jika aku mewarisi namanya? Toh 
aku mewarisi ilmu silatnya. Juga mewarisi Perisai Na-
ga! Menurutku, hanya orang yang memegang Perisai 
Naga yang berhak mengaku sebagai Pendekar Perisai 
Naga!» 
Hening sejenak. Mahesa Lawung dan anak 
buah-nya mulai dilanda keraguan. Kalau benar yang 
mereka hadapi ini Pendekar Perisai Naga, memang me-
reka harus menyampaikan berita ini kepada Hantu Le-
reng Lawu. Tetapi, kalau anak muda ini hanya mem-
bual? 
"Nah, aku tidak punya banyak waktu untuk 
berbicara dengan kalian. Kalau memang kalian hendak 
nekat mengeroyokku keroyoklah! Tetapi, jangan me-
nyesal jika kalian dicincang Hantu Lereng Lawu. Itu 
pun kalau kalian selamat dari cambukku!” gertak Joko 
Sungsang. 
 
 
"Bukan aku takut menghadapimu, Kisanak. 
Aku akan tetap mencarimu jika ternyata kau hanya 
membual! Aku anggap bahwa sebenarnya kau tidak 
berani menghadapiku maka lalu kau karang cerita ten-
tang Pendekar Perisai Naga tadi!” kata Mahesa Lawung 
seraya memberikan isyarat kepada anak buahnya agar 
bergerak pergi. 
 
*** 
 
Joko Sungsang tersenyum-senyum memandan-
gi kepergian mereka. Kemudian ia meledakkan Perisai 
Naga tiga kali sebagai isyarat agar para penduduk desa 
keluar dari persembunyian masing-masing Setelah me-
reka berkumpul dengan wajah terkagum kagum, Joko 
Sungsang berkata,  
’’Sekarang desa ini tidak akan mereka ganggu 
lagi. Hanya saja, saya mohon izin menemui mereka lagi 
di sini pada malam purnama bulan ini. Maaf, saya ha-
rus secepatnya melanjutkan perjalanan. 
"Anakmas, apakah tidak sebaiknya Anakmas 
istirahat dulu barang semalam di desa ini agar kami 
bisa menjamu Anakmas?” kata lelaki tertua itu mewa-
kili penduduk desa, 
’’Terima kasih, Ki Mungkin lain waktu saya bisa 
mampir lagi untuk menikmati keindahan pemandan-
gan di sini ” 
’’Kami sungguh berhutang budi kepada Anak-
mas” 
’’Saya pun sangat senang menerima keper-
cayaan dari penduduk desa ini, Ki. Maaf jika saya ter-
paksa mengecewakan penduduk desa ini dengan me- 
nolak jamuan makan". Joko Sungsang tak lagi me-
nunggu reaksi mereka. Sekali berkelebat, ia telah 
menghilang dari pandang mata penduduk desa itu 
’’Sejak Pendekar Perisai Naga menghilang, baru 
kali ini muncul pendekar budiman lagi,” kata lelaki ter-
tua itu seperti berbicara kepada dirinya sendiri. 
’’Atau, siapa tahu dia tadi murid Pendekar Peri-
sai Naga?” sahut yang lain. 
"Kalau memang benar dia murid Pendekar Peri-
sai Naga, artinya tidak benar berita yang aku terima ti-
ga puluh tahun yang lalu " 
’’Berita apa yang kau dengar, Ki?” tanya pemu-
da yang memiliki semangat juang itu. 
’’Menurut kabar, Pendekar Perisai Naga tewas 
di tangan Hantu Lereng Lawu....” 
’’Gusti Allah! Lagi-lagi Hantu Lereng Lawu!” de-
sah pemuda itu sambil mengepalkan tinjunya. 
’’Mudah-mudahan saja anak muda tadi bisa 
membuktikan bahwa Pendekar Perisai Naga masih hi-
dup sampai detik ini. Dan, kalau saja Adipati So-
rengdriyo tahu, ia akan memiliki keberanian untuk 
melawan orang sesat dari Lereng Lawu itu.” 
 
**** 
 
 
Adipati Sorengdriyo memicingkan mata men-
dengarkan penjelasan dari Mahesa Lawung tentang 
munculnya Pendekar Perisai Naga. Ia tidak begitu saja 
mempercayai laporan itu. Namun, untuk membantah, 
ia pun tidak berani. Dalam hatinya timbul harapan, ji-
 
ka benar Pendekar Perisai Naga masih hidup, artinya 
ia akan terlepas dari cengkeraman Hantu Lereng Lawu. 
Sudah bisa dipastikan bahwa kemunculan Pendekar 
Perisai Naga berarti kematian bagi Hantu Lereng Lawu. 
"Sekarang, coba kau ceritakan bagaimana ciri-
ciri anak muda itu,” kata Adipati Sorengdriyo penasa-
ran. 
”ia berpakaian serba putih, rambut digelung 
kecil di atas kepala, memakai ikat kepala kulit ular, 
dan bercambuk kulit ular juga, Kakang Adipati,’ jawab 
Mahesa Lawung. 
’’Ciri-cirinya memang mirip dengan ciri-ciri Wi-
ku Jaladri” Adipati Sorengdriyo manggut-manggut ”Te-
tapi, bisa saja setiap orang meniru pakaian orang lain. 
Tetapi, tunggu! Kau perhatikan bagaimana ujud cam-
buk kulit ular yang dibawanya?” 
"Bagaimana tidak aku perhatikan, Kakang Adi-
pati? Cambuk itu sempat melilit leherku dan bola ber-
duri di ujungnya seperti menggigit-gigit urat leher-
ku....” 
 ’’Bola berduri itu berwarna hijau-kebiru-
biruan?”tukas Adipati Sorengdriyo 
’’Benar, Kakang Adipati. Dan, bola itu juga yang 
memutuskan tali pengikat pedangku. Anehnya, bola 
berduri Itu seperti tidak menyentuh dadaku.” 
’’Kalau begitu, sudah pasti dia murid Wiku Ja-
ladri! Ya, tidak akan ada lagi manusia yang bersenja-
takan Perisai Naga kalau bukan orang yang berhubun-
gan erat dengan Wiku Jaladri alias Pendekar Perisai 
Naga!” Akhirnya Adipati Sorengdriyo berani mengambil 
kesimpulan. 
”Lalu, menurut Kakang Adipati, langkah apa 
yang harus kita ambil? Maksudku, apa kita harus me-
nyampaikan pesan itu kepada Hantu Lereng Lawu,  
atau...?”  
’’Atau kau  pilih dicekik Hantu Lereng Lawu!” 
tukas Adipati Sorengdriyo kesal ’’Tentu saja harus se-
cepatnya kita sampaikan berita ini kepada orang sesat 
itu! Dengan begitu, secepatnya pula kita akan terbebas 
dari cengkeramannya Lawung. 
’’Kakang Adipati yakin anak muda itu akan 
mampu menghadapi Hantu Lereng Lawu?” 
’’Akan kita atur siasat agar dia menang dalam 
pertarungan mereka di Desa Cemara Pitu nanti1” 
’’Siasat?” Mahesa Lawung melongo. Benar be-
nar ia tidak mengerti jalan pikiran Adipati Sorengdriyo 
ini. 
”Aku percaya, Kebo Dungkul tidak akan ber-
diam diri melihat Hantu Lereng Lawu bertarung mela-
wan anak muda itu. Untuk itu, kita harus membuat 
siasat agar Kebo Dungkul tidak bisa membantu Hantu 
Lereng Lawu.” 
’Bagaimana jika Empu Wadas Gempal ikut tu-
run tangan, Kakang Adipati?” 
Adipati Sorengdriyo seperti tersadar dari mimpi. 
Ia menghela napas berat. Angan-angannya untuk bisa 
lepas dari cengkeraman orang-orang sesat dari Lereng 
Lawu itu pun buyarlah. Bagaimanapun tingginya ilmu 
anak muda yang mengaku sebagai murid Wiku Jaladri 
itu, tak akan mampu ia menghadapi ilmu iblis Empu 
Wadas Gempal. 
’’Kalaupun kita kerahkan seluruh orang di Ka-
dipaten Banyu Asin, belum tentu bisa membantu mu-
rid Wiku Jaladri itu,” jawab Adipati Sorengdriyo lesu. 
’’Jadi, lebih baik tidak kita sampaikan pesan 
murid Pendekar Perisai Naga itu, Kang Adipati?” 
’’Kalau kau bisa menyediakan padi selumbung, 
tak perlu kau sampaikan pesan anak muda itu!” ’’Ta- 
pi...?” 
’’Setidaknya, kita bebas upeti bulan ini jika kita 
laporkan kejadian di Desa Cemara Pitu tadi kepada 
Hantu Lereng Lawu!” sahut Adipati Sorengdriyo menu-
kas. 
’’Baiklah. Sekarang juga, aku akan pergi ke Le-
reng Lawu, Kakang Adipati,” ujar Mahesa Lawung se-
belum mundur dari hadapan penguasa Kadipaten 
Banyu Asin itu. 
 
*** 
 
Menjelang matahari tenggelam, Joko Sungsang 
tiba di Desa Sanareja, desa kelahirannya. Ia tidak ka-
get melihat perubahan suasana desa itu. Wiku Jaladri 
telah menceritakan apa saja yang terjadi di desa itu se-
lama Joko Sungsang berada di Jurang Jero. Dan, un-
tuk terakhir kalinya ia mendengar cerita tentang desa 
itu, yakni sewaktu Sekar Arum hampir saja terbunuh 
oleh Kebo Dungkul. 
Langkah Joko Sungsang terhenti, la melihat so-
sok seorang lelaki berjalan menuju luar desa. Bergegas 
Joko Sungsang menyelinap ke balik semak-semak. la 
ingin tahu lebih dulu siapa lelaki itu. Kalau memang 
lelaki itu anak buah Kebo Dungkul, ia merasa perlu 
untuk menghindar, la tidak ingin kehadirannya di desa 
itu tercium oleh orang-orang dari Lereng Lawu. 
Dalam jarak lima tombak, Joko Sungsang bisa 
mengenali wajah lelaki itu. la heran, kenapa Kebo 
Dungkul membiarkan lelaki ini tetap hidup? Padahal, 
menurut kabar yang diterimanya, semua lelaki pendu-
duk asli Desa Sanareja harus mati sebagai tebusan 
atas kematian orang orang dari Lereng Lawu yang te- 
was di desa itu. Rasa heran ini membuat Joko Sung-
sang muncul dari persembunyiannya dan menghadang 
lelaki itu. 
Lelaki itu ketakutan begitu melihat seseorang 
yang tidak dikenalnya menghalang halangi langkah-
nya. Secepatnya ia membalik langkah dan berlari. 
Akan tetapi, dengan mudah Joko Sungsang membuat 
lelaki itu menghentikan langkah seribunya. Dengan sa-
tu loncatan, Joko Sungsang menotok jalan darah di 
punggung lelaki itu sehingga tubuh lelaki itu kejang. 
Joko Sungsang memanggul tubuh lelaki itu dan 
dibawanya ke tempat sepi, di pinggiran sebuah kubu-
ran tua. Di tempat ini pula Joko Sungsang sering ber-
main dengan anak-anak seusianya tujuh tahun yang 
lalu. Ia masih ingat, di tempat ini ada rumah kosong 
yang bisa dipergunakan untuk berbicara rahasia den-
gan lelaki yang dipanggulnya itu. 
Joko Sungsang mengumpulkan ranting kering 
dan membuat perapian sebelum membebaskan toto-
kan di punggung lelaki itu. Begitu merasakan tubuh-
nya kembali normal, lelaki itu hendak berlari lagi. Na-
mun, dengan Perisai Naganya, Joko Sungsang mena-
han tubuh lelaki itu. 
”Kang Dipo tak usah takut. Aku Joko Sungsang 
yang hilang dari desa ini tujuh tahun yang lalu,” kata 
Joko Sungsang sambil membebaskan lilitan cambuk di 
pinggang lelaki itu. 
”Joko Sungsang? Eh, Den Joko?” Mulut Dipo 
menganga. Matanya melebar seolah ia melihat hantu 
kuburan tua itu. 
”Ya, aku Joko, anak Ki Linggar. Tidak takut kan 
sekarang?” 
”Oh, syukurlah Den Joko selamat!” Dipo mene-
puk-nepuk dadanya sendiri.  
’’Bagaimana kabar Kang Dipo? Maksudku, ke-
napa Kang Dipo bebas keluar-masuk desa ini?” 
’’Ceritanya memalukan sekali, Den. Tetapi, le-
bih baik saya dipermalukan daripada saya mati dan ti-
dak bisa membesarkan anak saya ” 
’’Jadi, Kang Dipo sudah punya anak7” 
’’Begitulah, Den. Tetapi, istri saya sekarang ja-
di...” Dipo tidak meneruskan kalimatnya. la menunduk 
menekuri ranting-ranting kering yang mulai membara 
’’Jadi apa, Kang?” desak Joko Sungsang. 
”Jadi orangnya Kebo Dungkul, Den.” 
’’Maksud Kang Dipo, ia jadi anak buah Kebo 
Dungkul?” 
’’Bukan, Den. Maksud saya, jadi... jadi perem-
puan nakal yang bekerja untuk Kebo Dungkul.” 
”Oh, aku mengerti,” sahut Joko Sungsang. 
”Desa ini sekarang sudah jadi desa maksiat, 
Den. ” ”Aku juga sudah mendengar, Kang. Semua yang 
terjadi di desa ini, aku sudah tahu.” 
’Tetapi, mungkin ada yang belum Den Joko ke-
tahui. Soal Kerpa.” 
’’Kenapa Kang Kerpa?” 
’’Saya benar-benar tidak mengira dia tega 
membuat bencana di desanya sendiri, Den.” 
”Apa yang diperbuatnya, Kang?” 
”Lho, Ki Demang, ayah Den Joko terbunuh tu-
juh tahun yang lalu, itu karena ulah Kerpa. ” 
’’Ayahku dibunuh Kebo Dungkul, Kang. Dan, 
malam itu Kang Kerpa tidak ada di kademangan,” ban-
tah Joko Sungsang. 
’’Memang, Den. Mungkin semua orang di desa 
ini menganggap bahwa Kerpa sudah mati. Paling tidak, 
dia pasti juga  sudah minggat dari desa ini. Mungkin 
hanya saya dan istri saya yang tahu bahwa Kerpa yang  
menyebabkan bencana di desa ini. Karena ulah Kerpa 
maka Hantu Lereng Lawu menyuruh Kebo Dungkul 
membunuh Ki Demang....” 
’’Maksud Kang Dipo, Kang Kerpa yang menaruh 
mayat anak buah Hantu Lereng Lawu malam itu?” tu-
kas Joko Sungsang menebak. 
’’Betul sekali, Den. Sebenarnya anak buah Han-
tu Lereng Lawu itu terbunuh di luar desa. Tetap, Kerpa 
membawa mayat itu ke mulut desa agar desa ini di-
timpa bencana kemarahan Hantu Lereng Lawu.”  
’’Sekarang, di mana Kang Kerpa tinggal, Kang?”  
’’Dialah sekarang yang dipercaya Kebo Dungkul 
untuk menjaga perempuan perempuan nakal di kade-
mangan, bekas rumah Den Joko.” 
’’Jangan kau bilang rumah kotor itu kademan-
gan lagi, Kang,” sahut Joko Sungsang. la tidak rela 
nama kademangan dihubung-hubungkan dengan per-
buatan maksiat. 
”Oh, maafkan saya, Den. Maksud saya hanya 
ingin menjelaskan bahwa rumah Den Joko sekarang...” 
”Aku mengerti.” Joko Sungsang menepuk bahu 
Dipo. 
’’Saya senang jika Den Joko bisa membalaskan 
sakit hati orang-orang sedesa ini kepada Kerpa.” 
’’Maksud Kang Dipo, aku harus membunuh 
Kang Kerpa?” 
’’Begitulah, Den. Saya kira semua penduduk 
desa ini mengharapkan kematian Kerpa.” 
”Dia berbuat seperti itu karena dia ingin hidup, 
Kang. Aku tahu, dulu dia sakit hati kepada ayahku se-
bab ayahku lebih mempercayai Paman Perdopo. Pa-
dahal Paman Perdopo ilmu silatnya masih kalah se-
tingkat dengan Kang Kerpa.” 
’’Tetapi, menurut pendapat saya, Ki Demang  
sudah berbuat adil, Den. Ki Demang memilih Perdopo 
sebab Perdopo memang orangnya jujur dan setia.” 
 ’’Jadi, sekarang dia sudah hidup enak, bu-
kan?”  
"Hidup enak, tapi di atas kesengsaraan orang 
sedesa!” kata Dipo dengan perasaan penuh amarah 
dan dendam. 
’’Sekarang yang penting aku harus menolong is-
tri Kang Dipo keluar dari rumah laknat itu. Siapa na-
ma istri Kang Dipo?” 
”Oh, terima kasih, Den. Maaf, saya tadi mau la-
ri. Soalnya saya tidak mengenali Den Joko lagi. Untung 
Den Joko....” 
”Aku tanya, siapa nama istri Kang Dipo?” tukas 
Joko Sungsang. 
”Oh, anu, Den... Trinil! Dia dari Desa Cemara 
Pitu, Den.” 
’’Kang Dipo tunggu saja di sini. Nanti aku bawa 
Yu Trinil ke sini.” 
’’Hati-hati ya, Den?” 
Akan tetapi, bayangan Joko Sungsang telah hi-
lang dari pandang mata lelaki itu. Terkagum kagum 
Dipo memikirkan ilmu silat Joko Sungsang. Maka dia 
merasa pasti, Joko Sungsang akan dengan mudah 
membawa Trinil kepadanya. 
 
***
 
Tak sulit bagi Joko Sungsang memasuki hala-
man rumah bekas kademangan itu tanpa diketahui 
seorang pun. Ia hafal betul keadaan di sekeliling ru-
mahnya itu. 
Di regol, tampak orang-orang dari Lereng Lawu  
berjaga-jaga. Dua buah obor besar menerangi tempat 
itu. Joko Sungsang menyelinap masuk pekarangan le-
wat tembok pagar samping rumah. Kemudian ia me-
layang dan hinggap di bubungan atap rumah. Untuk 
sejenak ia menajamkan telinga. Ia mendengarkan sua-
ra-suara yang datang dari pendopo. Memang ada suara 
Kerpa di situ. Tetapi, bagaimana ia bisa mengenali su-
ara Trinil? 
Joko Sungsang membuka genting tanpa me-
nimbulkan suara. Lalu tampak di matanya pemandan-
gan yang menjijikkan di pendopo itu. Beberapa lelaki 
minum arak sambil meraba-raba dada perempuan 
yang berada di pangkuan mereka masing-masing. 
’Terkutuklah mereka!” rutuk Joko Sungsang 
dalam hati. Kemudian ia bergeser, mencari-cari genting 
yang berada tepat di atas kamar belakang rumah itu. 
Tentulah pemandangan di dalam kamar ini lebih men-
jijikkan lagi, pikirnya sebelum membuka sebuah gent-
ing. 
Di bawah sana, di tempat tidur yang dulu diti-
duri Joko Sungsang dan Nyai Demang, seorang lelaki 
sedang menggumuli seorang perempuan nakal. Tak in-
gin lama-lama Joko Sungsang memandang dua manu-
sia penuh dosa itu. Maka ia melayang turun dan lang-
sung menotok jalan darah di leher lelaki itu. 
Lelaki itu menghentikan gumulannya. Ia mera-
sa lehernya kaku sekali dan suara di tenggorokannya 
hilang entah ke mana. Perempuan yang tadi meme-
jamkan mata, langsung terbelalak ketika melihat Joko 
Sungsang berdiri di samping pembaringan. 
’’Kenakan pakaianmu dan jangan coba-coba te-
riak!” ancam Joko Sungsang seraya memalingkan wa-
jahnya. 
Setelah perempuan itu berpakaian, Joko Sung- 
sang meraih golok yang tergeletak di meja kecil di su-
dut kamar itu dan menempelkannya ke leher perem-
puan itu. 
’’Siapa namamu?” tanyanya. 
”Min... Min... Minten....” Tergagap-gagap pe-
rempuan itu menjawab. 
”Aku penggal lehermu dan leher kerbau ini jika 
kau mencoba melawan perintahku!” kata Joko Sung-
sang sambil menuding lelaki yang terduduk di pojok 
kamar dengan leher dan mulut kejang itu. 
Perempuan itu mengangguk berulang-ulang 
sambil menggigit bibirnya. 
’’Panggil ke sini temanmu yang bernama Trinil, 
dan jangan coba-coba memberitahu seorang pun ten-
tang kedatanganku di kamar ini. Mengerti?” 
Mengangguk lagi perempuan itu. Setelah Joko 
Sungsang menunjuk pintu kamar dengan golok di tan-
gannya, perempuan itu setengah berlari keluar menuju 
pendopo rumah. Tak lama kemudian ia kembali masuk 
kamar dengan menggandeng perempuan yang dimak-
sudkan Joko Sungsang. Dengan sigap Joko Sungsang 
menekap mulut Trinil yang hampir saja berteriak ka-
rena ketakutan. 
Dengan gerakan yang sulit diikuti mata, Joko 
Sungsang membuat ketiganya pingsan, dan kemudian 
melayang kembali ke atas genting sambil memanggul 
tubuh Trinil. 
Berseri-seri wajah Dipo memandang kedatan-
gan Joko Sungsang yang memanggul tubuh Trinil. Tak 
bisa dibayangkannya bagaimana cara anak muda itu 
masuk rumah maksiat itu dan kembali dengan tanpa 
menimbulkan keributan. 
’’Setelah Yu Trinil siuman, bawa secepatnya 
pergi dari desa ini, Kang. Dan, untuk beberapa hari ini, 
 
sebaiknya kalian jangan dulu kembali ke rumah ka-
lian. Percayalah bahwa suatu hari nanti desa ini akan 
terbebas dari bencana,” kata Joko Sungsang. 
”Den Joko mau ke mana?” 
”Aku harus menemui Nyai Demang, Kang.” 
”Di mana sekarang Nyai Demang, Den?” 
”Tak usah Kang Dipo tahu. Yang pasti, Nyai 
Demang dalam keadaan sehat. Nah, cepat tinggalkan 
tempat ini sebelum mereka tahu apa yang terjadi di 
kamar belakang itu.” 
”Baik, Den. Terima kasih, Den. Semoga Gusti 
Allah selalu melindungi Den Joko.” 
 
***
 
 
Mahesa Lawung memutar otaknya setelah 
mendengar pernyataan Adipati Sorengdriyo. Ia tidak 
setuju  jika kemunculan Pendekar Perisai Naga diper-
gunakan sebagai alasan untuk mengkhianati Hantu 
Lereng Lawu. Bagaimanapun tingginya ilmu silat Pen-
dekar Perisai Naga, tetap saja ia bocah ingusan. Tidak 
akan ia mampu mengalahkan Hantu Lereng Lawu yang 
telah malang-melintang di dunia persilatan selama pu-
luhan tahun.  
Kalaupun Wiku Jaladri turun tangan membela 
muridnya, belumlah jaminan bahwa Hantu Lereng La-
wu bisa mereka robohkan. Lagi pula, Empu Wadas 
Gempal tidak mungkin akan berpangku tangan meli-
hat murid tunggalnya terancam bahaya! 
Lebih dari itu, Mahesa Lawung pun sudah te- 
lanjur merasakan kenikmatan yang didapatkannya da-
ri hasil kerja sama antara punggawa Kadipaten Banyu 
Asin dengan orang-orang Lereng Lawu. Dan, kenikma-
tan itu tak boleh berakhir begitu saja hanya karena 
munculnya Pendekar Perisai Naga! 
Maka setiba di hadapan Hantu Lereng Lawu, 
tangan kanan Adipati Sorengdriyo ini sudah membu-
latkan tekad untuk tetap bekerja sama dengan orang-
orang sesat itu. Apalagi kedatangannya kali ini bersa-
maan dengan kedatangan Empu Wadas Gempal. 
Semakin ia menemukan alasan untuk 
mengkhianati Adipati Sorengdriyo. 
’’Kedatanganmu di Lereng Lawu tidak disertai 
kereta pengangkut barang, Mahesa Lawung? Apakah 
ini berarti Adipati Sorengdriyo sudah berani menen-
tangku?” tanya Hantu Lereng Lawu sebelum Mahesa 
Lawung selesai mengatur napas. 
’’Begini, Ki Lurah. ” Mahesa Lawung berusaha 
meredakan nafasnya yang memburu. 
’’Bukan kami berniat menentang Ki Lurah. Kali 
ini kami memang gagal memungut hasil bumi di Desa 
Cemara Pitu, Ki Lurah.”  
’’Kalau memang kau menemukan kesulitan, 
kenapa kau tidak minta bantuan ke sini? Ingat, jangan 
coba-coba membodohiku, Sapi Tolol!” sergah Hantu Le-
reng Lawu. 
’’Harap Ki Lurah bersabar. Saya belum menje-
laskan kenapa kali ini kami gagal mengeruk hasil bumi 
Desa Cemara Pitu, Ki Lurah....” 
’’Katakan cepat! Kau tahu aku sedang ada tamu 
agung? Jangan buang-buang waktuku hanya karena 
aku harus mengubur mayatmu!” tukas Hantu Lereng 
Lawu semakin gusar. 
”Ki Lurah, sebenarnya kami hendak membunuh  
manusia yang menjadi penghalang di Desa Cemara Pi-
tu itu. Tetapi, kami juga takut berbuat lancang. Karena 
itulah kami memutuskan untuk melapor lebih dulu 
kepada Ki Lurah.” 
”Kau memang bosan hidup!” bentak Hantu Le-
reng Lawu seraya mengangkat tangannya hendak 
menghancurkan kepala Mahesa Lawung. Namun, den-
gan sigap tangan Empu Wadas Gempal mencekal tan-
gan muridnya ini. 
’’Sabar, Pragosa! Sabar. Beri dia kesempatan 
untuk bicara lebih panjang lagi,” kata Empu Wadas 
Gempal menengahi. 
”Ki Lurah, manusia yang menjadi penghalang 
kami kali ini tidak lain adalah Pendekar Perisai Naga,” 
lanjut Mahesa Lawung dengan badan gemetaran. 
’’Pendekar Perisai Naga?” Hantu Lereng Lawu 
menoleh ke arah gurunya. 
’’Lalu, kenapa tidak kau coba menghadapinya? 
Kau takut mendengar nama besarnya? Ha-ha-ha, da-
sar sapi!” ujar Empu Wadas Gempal sambil memegangi 
perutnya yang diguncang tawa. 
’’Bukan begitu, Ki Lurah Sepuh. Kami sengaja 
tidak meladeninya sebab ada pesan dari Pendekar Pe-
risai Naga yang harus kami sampaikan kepada Ki Lu-
rah.” 
’’Pesan? Pesan apa?” sahut Hantu Lereng Lawu. 
’’Pendekar Perisai Naga menantang Ki Lurah 
pada malam purnama bulan ini di mulut Desa Cemara 
Pitu!” 
”Ha-ha-ha, ho-ho ho, he-he-he, dasar tolol!” La-
gi-lagi Empu Wadas Gempal memegangi perutnya yang 
turun-naik. 
’’Gembala kambing itu mengira kita takut 
menghadapi Perisai Naganya yang kesohor itu, Guru. ”  
Hantu Lereng Lawu pun tertawa tergelak-gelak 
’’Kesohor bagi anak-anak kemarin sore macam 
orang dari Kadipaten Banyu Asin ini, bukan? Ha-ha-
ha!” 
Mahesa Lawung mengumpat-umpat dalam hati 
dianggap sebagai anak kemarin sore. Namun, ia hanya 
berani menggerakkan bola matanya, melirik Empu 
Wadas Gempal yang masih saja tertawa. Baru kali ini 
ia bertemu muka dengan orang sakti dari Hutan Keta-
pang itu. Selama ini ia hanya mendengar cerita dari 
Adipati Sorengdriyo.  
Memang, selama Hantu Lereng Lawu merajale-
la, belum pernah gurunya ini turun tangan memban-
tunya. Karena memang Hantu Lereng Lawu belum 
pernah menjumpai kesulitan. Pendekar-pendekar dari 
golongan putih merasa jerih berhadapan dengan 
orang-orang sesat dari Lereng Lawu ini, yang menye-
barkan maut dari desa ke desa. Baru sekarang ini 
muncul Pendekar Cambuk Naga di dunia ramai. 
 
***
 
Sosok Empu Wadas Gempal tak jauh berbeda 
dengan sosok muridnya. Mereka sama-sama berperut 
buncit, berkepala botak, dan berambut merah serta ja-
rang. Bahkan keduanya sama-sama suka bicara kasar 
sambil tertawa. Yang membedakan mereka berdua, se-
lain usia juga pakaian yang mereka kenakan. Empu 
Wadas Gempal memakai jubah merah dan celana 
pangsi merah pula, sedangkan Hantu Lereng Lawu 
berpakaian serba hitam dan serba kedodoran. 
Hantu Lereng Lawu menghentakkan kakinya ke 
lantai. Hampir saja Mahesa Lawung terjengkang sebab 
 
ia merasakan lantai itu bergetar hebat. 
”Ada lagi pesan dari gembala kambing itu?” 
tanya Hantu Lereng Lawu. 
”Ya, ya, ya, Ki Lurah!” Mahesa Lawung men-
gangguk dalam-dalam. ’’Katanya, Ki Lurah jangan 
sampai datang seorang diri!” Sengaja Mahesa Lawung 
memancing agar Hantu Lereng Lawu melibatkan gu-
runya dalam pertempuran antara hidup dan mati me-
lawan Pendekar Perisai Naga nanti. 
’’Maksudmu, dia ingin aku dan Guru menge-
royoknya?” 
’’Begitulah pesannya, Ki Lurah. Dia memang ke-
lihatan pongah sekali. Padahal, kalau saja saya tidak 
harus menyampaikan pesan ini kepada Ki Lurah, pasti 
sudah saya kirim ke neraka dia!” 
”Apa kau  pikir kau lebih hebat dari aku? Apa 
perlu kubelah tubuhmu agar bacotmu tidak bisa see-
naknya bicara?” Mata Hantu Lereng Lawu semakin 
memerah.  
’’Bukan, bukan begitu, Ki Lurah. Maksud 
saya....” 
 ”Ha-ha-ha, he-he-he, ho-ho-ho!” Tawa Empu 
Wadas Gempal menghapus ketegangan yang terjadi. 
’’Cacing tanah berangan-angan bisa menelan ular be-
ludak! Kau pikir  Pendekar Perisai Naga bisa kau usir 
dengan pedang curian milikmu itu? Kau lebih pantas 
menyandang golok pemotong daging, Balung Sapi!” 
" Setan alas! Mahesa Lawung kembali men-
gumpat dalam hati. Dianggapnya dia tak pantas me-
nyandang pedang yang kebetulan memang mirip den-
gan pedang milik Hantu Lereng Lawu. 
’’Mahesa Lawung!” 
”Ya, Ki Lurah?” 
’’Suruh Adipati Sorengdriyo mengajak orang- 
orang Banyu Asin melihat bagaimana aku mencincang 
Pendekar Perisai Naga!” 
”Baik, Ki Lurah.” 
 
***
 
Kedatangan Kebo Dungkul sehari setelah keda-
tangan Mahesa Lawung di Lereng Lawu membuat ke-
marahan Hantu Lereng Lawu semakin menjadi-jadi. 
Kebo Dungkul pun melapor bahwa Pendekar Perisai 
Naga telah datang ke Desa Sanareja dan menculik Tri-
nil. 
’’Jadi, kenapa kau biarkan saja dia pergi, Kebo 
Dungu?” sergah Hantu Lereng Lawu menyahut 
 ”Aku sendiri kebetulan tidak di sana, Kakang. 
Kalaupun aku di sana, belum tentu juga aku melihat-
nya. ”  
’’Matamu yang sebelah masih bisa melihat atau 
tidak, Kebo Dungkul!” 
’’Maksudku, dia datang langsung ke kamar dan 
membawa pergi Trinil....” 
’’Bedebah! Bosan hidup! Apa dia pikir aku takut 
menghadapi Perisai Naga? Tiga puluh tahun yang lalu 
memang Perisai Naga membuatku hampir mampus. 
Sekarang? Ah, kenapa bulan purnama tak kunjung da-
tang!” omel Hantu Lereng Lawu berkepanjangan. 
”Tak perlu Kakang Pragosa maju. Serahkan ke-
padaku jika memang dia berani muncul lagi ke Desa 
Sanareja.” 
’’Otak kerbau! Enak saja kau bicara! Jangan la-
gi menghadapi Pendekar Perisai Naga, sedangkan 
menghadapi murid Ki Sempani saja kau hampir mod-
ar!” sergah Hantu Lereng Lawu.  
’’Yang datang bukan si Tua Bangka itu, Kakang. 
Hanya muridnya, anak ingusan yang bernama Joko 
Sungsang itu.” 
”Apa? Jadi, bukan Wiku Jaladri?” 
’’Menurut cerita yang aku dengar, dia memang 
bersenjatakan cambuk, tetapi usianya tidak lebih dari 
dua puluh tahun.” 
’Ya, tetapi sama saja! Wiku Jaladri akan menu-
runkan semua ilmu yang dimilikinya kepada murid 
tunggalnya. Kalau tidak, tidak akan dia berani menan-
tangku bertarung hidup dan mati malam purnama 
nanti!” 
 ’’Jadi, Kakang Pragosa sudah bertemu dengan 
anak ingusan itu?” 
’’Sekarang dia yang menguasai Desa Cemara Pi-
tu. Baru kemarin Mahesa Lawung datang ke sini mem-
berikan laporan. Sekaligus ia menyampaikan pesan 
bahwa Pendekar Perisai Naga yang ingin bertarung 
denganku di Desa Cemara Pitu purnama nanti.” 
Kebo Dungkul mengusap-usap mata kapaknya. 
Lalu katanya, ’’Kalau saja Kakang Pragosa mengizin-
kan, biarlah aku yang menghadapi anak demang itu. 
Dan, seharusnya akulah yang ditantang sebab aku 
yang menghabisi nyawa Ki Demang Sanareja.” 
’’Sudah kubilang, dia bukan lawanmu. Kalau 
saja aku tidak memperdalam Jurus Bidadari Mengurai 
Benang Kusut, belum tentu aku bisa mengalahkannya. 
Tetapi, lihat saja nanti. Kalau memang kau lebih pan-
tas bertanding dengannya, biarlah aku jadi penonton. 
Sekarang, lebih baik kau pergi ke Banyu Asin. Pasti-
kan bahwa Adipati Sorengdriyo tidak akan mengkhia-
nati kita.” 
’’Mengkhianati kita? Kenapa Kakang Pragosa ti-
ba-tiba berpikiran begitu?” 
 
’Tak perlu banyak pertanyaan! Berangkatlah ke 
Banyu Asin, dan katakan kepada Adipati Sorengdriyo 
bahwa aku menghendaki kehadirannya purnama nanti 
di Desa Cemara Pitu!” 
 
***
 
Dalam pada itu, perjalanan Joko Sungsang me-
nuju Desa Dadapsari kembali terhalang. Kali ini ia ha-
rus turun tangan memberantas ketidakadilan. Bukan-
kah tidak adil jika ada seorang gadis belia dikeroyok 
puluhan lelaki? Dan, Joko Sungsang semakin ingin se-
cepatnya turun tangan begitu mengenali siapa sesung-
guhnya gadis berpakaian serba putih dan bersenjata-
kan tombak pendek bermata dua itu! 
Akan tetapi, serta-merta ia menjadi bimbang. Ia 
khawatir, jangan-jangan gadis itu justru tersinggung 
menanggapi pertolongannya. Toh dia masih kelihatan 
perkasa menghadapi lawan lawannya. Sepintas kilas 
tadi, Joko Sungsang mendengar teriakan lelaki yang 
memakai ikat kepala berwarna merah itu. Lelaki ber-
senjatakan trisula itu menyebut-nyebut nama Adipati 
Sorengdriyo. Berarti, mereka jelas ada hubungannya 
dengan Mahesa Lawung. Mereka termasuk punggawa 
Kadipaten Banyu Asin yang bertugas memungut upeti 
dari desa ke desa. Tetapi, bagaimana bisa bentrok den-
gan murid Ki Sempani? 
Joko Sungsang memang tidak tahu apa yang 
terjadi sebelum Sekar Arum bertarung melawan anak 
buah Mahesa Lawung ini.  Sewaktu ia tiba, pertarun-
gan sudah lewat beberapa jurus. Bahkan Sekar Arum 
telah mengeluarkan tombak pendeknya. Ini berarti il-
mu silat tangan kosong gadis itu tak mungkin diperta- 
hankan lagi. 
Siapa sebenarnya orang-orang yang menge-
royok Sekar Arum ini? Mereka tak lain adalah anak 
buah Kebo Dungkul yang telah bergabung dengan 
anak buah Mahesa Lawung. Mereka memang ditu-
gaskan merampas hasil bumi Desa Pilangsari. Akan te-
tapi, kali ini mereka tidak hanya ingin mengambil upe-
ti, melainkan juga ingin menodai anak gadis Ki Wase-
so, demang desa itu. Sewaktu mereka menyeret gadis 
malang itulah Sekar Arum lewat dan menghadang me-
reka, 
’’Anjing anjing keparat! Mau kalian apakan ga-
dis itu?” tegur Sekar Arum mengejutkan mereka. 
Untuk sejenak mereka membeliakkan mata. 
Mereka seolah tidak percaya pada pandang mata me-
reka sendiri. Seorang gadis cantik, berpakaian celana 
pangsi putih, baju putih, dan pinggulnya terbungkus 
kain parang rusak begitu tenang menghadang puluhan 
lelaki seorang diri. Tanpa senjata pula. 
”Ha-ha ha, ada yang lebih cantik dan menggi-
urkan datang tanpa kita undang!” kata lelaki berikat 
kepala merah, pimpinan rombongan itu. 
”Ya, aku datang memang untuk menggantikan 
gadis itu,” kata Sekar Arum. ’’Lepaskan gadis itu, dan 
keroyoklah aku!” 
”Oh, bidadariku yang cantik, tak perlu kami 
mengeroyokmu. Aku akan memiliki mu untuk kujadi-
kan istri. Mereka tidak akan mungkin berani meng-
ganggumu, Cah Ayu,” sahut lelaki berikat kepala me-
rah itu. 
’’Sebelum kau memperistri aku, sebutkan na-
mamu supaya aku bisa mempertimbangkan lamaran-
mu,” kata Sekar Arum sembari maju mendekati lelaki 
itu.  
’’Namaku? Oh, seluruh desa di tlatah Banyu 
Asin ini tahu siapa Carang Gupita, Cah Manis. Dan, 
namamu?” 
”Aku akan menyebutkan namaku jika kau bisa 
menyentuh tubuhku!” 
”Apa? Ha-ha-ha! Gampang sekali persyaratan-
nya, Cah Denok? Nah, diamlah biar aku gendong kau 
pulang ke Banyu Asin!” Carang Gupita maju selangkah 
dan merentangkan kedua belah lengannya. Akan teta-
pi, sebelum tangan itu menyentuh tubuh Sekar Arum, 
sebuah tendangan membuat lelaki itu terpelanting. 
”Peri busuk! Rasakan trisulaku!” Carang Gupita 
bangkit dan langsung menyerang dengan senjatanya 
yang tadi diselipkan di pinggang. Namun, untuk kedua 
kalinya lelaki itu merasakan derasnya tendangan tumit 
mungil gadis itu. Kalau saja ia tidak memiliki sedikit 
ilmu kekebalan, sudah pasti tubuhnya luluh-lantak 
dibuatnya. 
Melihat Carang Gupita kewalahan menghadapi 
lawan, mereka yang tadinya menjadi penonton seren-
tak mengurung Sekar Arum. Lebih dari dua puluh le-
laki bersenjatakan golok dan tombak mengeroyok gadis 
keluaran Padepokan Karang Bolong itu. 
 
*** 
 
 
Sekar Arum tak mungkin terus-menerus meng-
hindari serangan. Untuk itu, ia meloloskan tombak 
pendeknya yang tersembunyi di balik kain parang ru-
sak yang membalut pinggulnya. Beberapa golok ter-
 
pental begitu beradu dengan tombak pendek bermata 
dua yang berputar mirip baling baling itu. Dan, para 
pengeroyok yang kehilangan golok itu semuanya mera-
sakan nyeri yang menyerang bahu kanan mereka. 
Meskipun lebih dari lima orang telah meloncat mundur 
menjauhi  arena pertarungan, tetap saja Sekar Arum 
kerepotan menghadapi para pengeroyoknya. Apalagi 
mereka yang masih tinggal kini mulai menggunakan 
jurus-jurus andalan mereka. 
Dua orang pengeroyoknya roboh bermandikan 
darah sewaktu gadis itu mengeluarkan Jurus Mengail 
Mangsa Keluar Sarang. Tengkuk mereka terhujam 
tombak pendek gadis itu. 
Inilah jurus yang hampir saja menamatkan ri-
wayat Kebo Dungkul, kalau saja waktu itu tidak da-
tang Hantu Lereng Lawu menolongnya, pikir Joko 
Sungsang dari tempat persembunyiannya. 
Matahari tinggal separuh bulatan. Sebentar lagi 
gelap akan menyelimuti arena pertarungan itu. Maka 
gadis itu akan merugi sebab para pengeroyoknya rata-
rata berpakaian hitam. Sementara itu, para penge-
royoknya akan merasa beruntung sebab gadis itu ber-
pakaian serba putih. Kalau saja mereka bertarung di 
bawah panas terik, gadis itulah yang beruntung. War-
na putih pakaiannya akan menyilaukan mata lawan-
lawannya. Tetapi, sekarang yang terjadi sebaliknya. 
Warna putih itu akan memudahkan lawan-lawannya 
untuk mengirimkan serangan menuju sasaran! 
Joko Sungsang melihat gadis itu mulai terde-
sak. Putaran tombak pendek gadis itu tak lagi secepat 
tadi. Patukan-patukan tombak bermata ganda itu pun 
tak lagi mematikan. Napas gadis itu mulai memburu. 
Sementara itu, lawan-lawannya punya kesempatan un-
tuk mengatur napas sebab sekarang mereka menye- 
rang bergantian. 
Joko Sungsang tak lagi mempertimbangkan ke-
tersinggungan gadis murid Ki Sempani itu Maka, se-
waktu mata trisula Carang Gupita hampir menyeruduk 
pinggang Sekar Arum secepat kilat ia melayang turun 
dari pohon tempat persembunyiannya dan mengirim-
kan tendangan ke bahu kanan Carang Gupita. Tak 
mengira bakal menerima serangan dari arah lain, Ca-
rang Gupita tak sempat lagi menghindari. Tak pelak 
lagi, tendangan Joko Sungsang membuat tubuh lelaki 
itu terpelanting beberapa tombak di sebelah kanan Se-
kar Arum. 
Melihat Carang Gupita terbanting dan tak ban-
gun lagi, para pengeroyok yang lain berlompatan mun-
dur, Mereka menyadari kehadiran lawan baru yang il-
munya lebih tinggi dibandingkan ilmu silat gadis itu. 
Akan halnya Sekar Arum? Hampir saja ia me-
nyerang lelaki lancang yang kini berdiri di sampingnya 
itu kalau saja ia tidak mengenali Perisai Naga yang me-
lingkar di pinggang lelaki muda itu. 
”Maaf, saya terpaksa lancang membantumu. 
Sebentar lagi hari gelap. Warna pakaianmu akan men-
guntungkan mereka,” kata Joko Sungsang sebelum 
Sekar Arum membuka mulut. 
’’Terima kasih. Kalau tidak salah, saya sedang 
berhadapan dengan Pendekar Perisai Naga.” 
’’Panggil saja aku Joko Sungsang. Terlalu berat 
bagiku menyandang gelar itu,” sahut Joko Sungsang 
merendah. 
’’Mari kita bereskan dulu tikus-tikus bau ini, 
baru kita teruskan obrolan kita!” kata Sekar Arum se-
raya kembali memasang kuda-kuda. 
Tanpa dikomando, lawan mereka terbagi men-
jadi dua kelompok. Sekelompok mengurung Joko  
Sungsang, dan sekelompok lagi tetap mengurung Se-
kar Arum. Kali ini pertarungan tidak lagi seimbang. Se-
lain mereka telah kehilangan Carang Gupita, tentu sa-
ja kehadiran Joko Sungsang membuat mereka sema-
kin sia-sia memeras tenaga. Apalagi mereka menyadari 
bahwa anak muda yang telah menjatuhkan Carang 
Gupita ini tak mau melukai lawan. Anak muda yang 
juga berpakaian serba putih ini hanya berjumpalitan 
ke udara untuk menghindari serangan. Kalaupun 
membalas menyerang, hanyalah dengan totokan-
totokan  yang membuat lengan-lengan mereka kejang 
dan tak mampu lagi menggenggam senjata. 
’’Katakan kepada Mahesa Lawung bahwa kalian 
bertemu dengan Pendekar Perisai Naga! Maka kalian 
akan mendapatkan ampunan jika kalian kembali ke 
Banyu Asin tanpa membawa hasil rampasan!” seru Jo-
ko Sungsang seraya meledakkan Perisai Naga tiga kali. 
Sinar hijau-kebiru-biruan menyilaukan mata. 
Tak perlu lagi mereka menyangsikan ucapan anak 
muda itu. Ya, inilah Pendekar Perisai Naga yang di-
jumpai Mahesa Lawung di Desa Cemara Pitu, pikir me-
reka seraya berlompatan mundur. Dalam sekejap ma-
ta, mereka telah menghilang dari pandang mata Joko 
Sungsang dan Sekar Arum. 
’’Sebaiknya segera kita tinggalkan desa ini sebe-
lum penduduk desa kebingungan menjamu kita,” kata 
Sekar Arum. 
”Aku pun berpikiran begitu,” sahut Joko Sung-
sang. 
Dua bayangan putih berloncatan meninggalkan 
Desa Pilangsari. Di pinggiran hutan jati yang memben-
tang tak jauh dari Desa Pilangsari, barulah Joko Sung-
sang dan Sekar Arum menghentikan langkah mereka. 
Sekar Arum duduk menyandar pohon seraya memijit- 
mijit bahu kanannya yang terasa nyeri lagi. Baru dis-
adarinya bahwa bahu itu sesungguhnya belum sem-
buh benar. Tenaga Hantu Lereng Lawu memang luar 
biasa. Hanya berbenturan senjata saja cukup mem-
buat bahu kanan gadis itu seperti terlepas dari badan. 
”Kau sempat terkena pukulan mereka?” tanya 
Joko Sungsang. 
”Ah, tidak. Dan, aku yakin kau pun tahu pe-
nyebab bahu ku sakit hingga sekarang ini,” kata gadis 
itu mengira bahwa Pendekar Perisai Naga ini sedang 
berpura-pura tidak tahu. 
’’Bagaimana mungkin? Kita baru bertemu seka-
rang....” 
”Dan, baru sekarang aku bisa mengucapkan te-
rima kasihku atas pertolonganmu tempo hari,” tukas 
Sekar Arum. 
”Oh, ingat aku sekarang! Kau salah mengerti. 
Waktu itu bukan aku yang menolongmu....” 
’Tak ada duanya Pendekar Perisai Naga di du-
nia ini, bukan?” 
’Ya. Memang hanya guruku yang pantas me-
nyandang gelar itu.” 
”Oh, maaf! Bukan itu maksudku. Maksudku, 
siapa lagi kalau bukan kau?” Gadis itu tersipu-sipu, 
merasa telah menyinggung perasaan lelaki muda yang 
baru saja dikenalnya itu. 
”Aku baru saja hendak menjelaskan bahwa Kiai 
Wiku Jaladri yang telah menolongmu waktu itu.” Sekar 
Arum semakin malu dibuatnya. Karena itulah ia hanya 
bisa menekap mukanya untuk menutupi wajahnya 
yang kian memerah lantaran malu. 
”Aku pun membawa salam dari guruku terun-
tuk Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong,” lanjut 
Joko Sungsang. 
 
Kini wajah gadis itu berseri-seri, la merasa 
bangga nama gurunya dikenang oleh Pendekar besar 
macam Pendekar Perisai Naga dari Jurang Jero. 
’’Dengan senang hati aku akan menyampaikan-
nya kepada guru jika aku kembali ke Karang Bolong 
nanti,” kata Sekar Arum. 
’’Apakah ini berarti aku tidak kau izinkan ikut 
ke Karang Bolong?” sindir Joko Sungsang. 
’’Maksudmu, kau juga ingin bertemu dengan Ki 
Sempani?” Semakin berseri wajah gadis itu. Oh, betapa 
bahagianya berjalan berdua dengan lelaki ini menuju 
Pantai Laut Selatan, pikir gadis itu. 
’’Kalau memang kau tidak keberatan berjalan 
berdua denganku,” kata Joko Sungsang. 
’’Guruku akan senang sekali mendengar kabar 
tentang Kiai Wiku Jaladri. Apalagi jika kabar itu diden-
garnya langsung dari mulut murid Pendekar Perisai 
Naga sendiri,” kata gadis itu sebelum berdiri dan me-
langkah. 
’’Kalau begitu, kita bisa bertemu lagi purnama 
nanti di Desa Cemara Pitu. Atau, mungkin aku boleh 
menemuimu? Di mana?” 
Gadis itu berhenti melangkah dan membalik-
kan badannya. 
’’Kenapa mesti bertemu di Desa Cemara Pitu?” 
tanya gadis itu sembari mengerutkan dahi. 
’’Karena aku ada urusan dengan Hantu Lereng 
Lawu di desa itu pada malam purnama nanti. Setidak-
nya, setelah malam itulah aku baru bisa pergi meng-
hadap Ki Sempani.” 
”Ada urusan apa dengan orang sesat dari Le-
reng Lawu itu?” Semakin dalam kerutan di dahi gadis 
itu. 
”Atas perintahnya, Kebo Dungkul telah mem- 
bunuh ayahku.” 
Sekar Arum manggut-manggut paham. Ia me-
mang tidak meragukan kehebatan ilmu silat anak mu-
da ini. Tetapi, bagaimana seandainya Empu Wadas 
Gempal ikut campur dalam pertempuran di Desa Ce-
mara Pitu nanti? 
"Baiklah. Kita bisa bertemu di mana saja sete-
lah malam purnama nanti. Tetapi, tentu saja kau yang 
harus menentukan tempat pertemuan kita,” kata Joko 
Sungsang. Betapa pun ia ingin sekali untuk dapat ber-
duaan bersama gadis itu lebih lama lagi, namun kerin-
duannya untuk bertemu dengan ibu yang melahirkan-
nya tak bisa dibendungnya lagi. 
”Aku akan menemuimu di Desa Cemara Pitu. 
Aku kira, aku harus melihat pertarungan pendekar 
sakti macam kau dan Hantu Lereng Lawu.” 
’’Jangan terlalu merendahkan diri. Aku sudah 
tahu kehebatan ilmu silat Padepokan Karang Bolong,” 
sahut Joko Sungsang merasa risih menerima pujian 
yang berlebihan. 
Kemudian mereka berpisah meski dengan hati 
yang berat. Joko Sungsang sendiri mengakui bahwa 
hatinya berdesir-desir begitu melihat gadis dari Pade-
pokan Karang Bolong ini. Namun, ia berusaha men-
campakkan perasaannya terhadap gadis itu. Ia ingat, 
masih banyak tugas yang dipikulnya. Seperti yang di-
pesankan Wiku Jaladri kepadanya, ’’Kalau memang 
kau harus membunuh Hantu Lereng Lawu dan Kebo 
Dungkul, jangan karena didasari oleh dendam. Sebab, 
tanpa ayahmu terbunuh pun orang-orang macam Han-
tu Lereng Lawu dan Kebo Dungkul memang harus dis-
ingkirkan dari muka bumi. Tunjukkan bahwa kau 
membasmi kejahatan bukan karena tuntutan kepen-
tingan pribadimu, melainkan karena memang sudah  
menjadi kewajibanmu ” 
Joko Sungsang mempercepat langkahnya. Kini 
tubuhnya seperti bangau yang terbang rendah. Hanya 
sesekali saja kedua telapak kakinya menyentuh tanah. 
Inilah ilmu meringankan tubuh yang dilatihnya selama 
hampir lima tahun dalam kubangan di dasar jurang 
itu. 
Hampir tengah malam sewaktu Joko Sungsang 
memasuki Desa Dadapsari. la melihat beberapa orang 
peronda malam berjaga-jaga di mulut desa. Tak sulit 
baginya untuk menghindarkan diri dari pandang mata 
para peronda itu. la toh bisa melintas lewat dahan 
yang satu ke dahan yang lain. Setelah melewati gardu 
peronda itu, barulah ia melayang turun dan berjalan 
sambil merapatkan tubuh ke pagar. 
Rumah tempat Nyai Demang mengungsi selama 
tujuh tahun itu telah ditemukannya. Inilah tempat ke-
diaman Wasi Ekacakra, teman sejati Wiku Jaladri. Se-
perti halnya yang dilakukan Wiku Jaladri, yang dila-
kukan Wasi Ekacakra juga mengasingkan diri dari du-
nia persilatan, la menyamar menjadi petani di Desa 
Dadapsari sebab ia tak ingin lagi terlibat urusan saling 
bunuh dan saling mendendam. 
Sebagai pendekar yang ilmunya setingkat den-
gan Wiku Jaladri maupun Ki Sempani, Wasi Ekacakra 
tentu saja mendengar langkah seseorang memasuki 
halaman rumahnya. Sekalipun Joko Sungsang telah 
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, te-
tap saja getar telapak kakinya dirasakan oleh Wasi 
Ekacakra. 
Namun, mata tajam bekas pertapa itu segera 
mengenali Perisai Naga yang melilit di pinggang anak 
muda yang berpakaian serba putih ini. Maka Wasi 
Ekacakra menarik napas lega sebelum membuka pintu  
dan menyapa, ’’Selamat datang di pondok saya, Anak-
mas. ” 
Joko Sungsang membatalkan niatnya menyeli-
nap ke balik pohon. Rasa malu karena tertangkap ba-
sah secepatnya ia campakkan. Ia sadar bahwa yang di 
hadapinya kali ini bukan sembarang orang yang se-
nang menertawakan orang lain. 
’’Selamat malam, Kiai. Maafkan saya, Kiai. Te-
tapi, bukan maksud saya....” „ 
’’Saya mengerti, Anakmas. Kakang Wiku Jaladri 
sudah berpesan kepada saya tentang kedatangan 
Anakmas. Hanya saja saya tidak mengira akan secepat 
ini,” tukas Wasi Ekacakra. ’’Silakan masuk, Anakmas.” 
’Terima kasih, Kiai. Tetapi, malam sudah mulai 
larut. Sebenarnya, kedatangan saya malam ini hanya 
ingin memastikan bahwa keadaan Nyai Demang baik-
baik saja.” 
’’Berkat lindungan-Nya, Nyai Demang sehat-
sehat saja, Anakmas. Nyai Demang tentu kaget jika 
melihat Anakmas datang menengoknya.” 
’’Tentunya juga atas kemurahan hati Kiai maka 
Nyai Demang sehat hingga sekarang ini. Untuk itu, 
saya hanya bisa berdoa semoga Gusti Yang Maha 
Agung yang akan membalas kemurahan hati Kiai.”  
’’Sudah menjadi kewajiban saya, Anakmas. Apa 
pun yang bisa saya lakukan untuk menolong, pasti 
akan saya lakukan. Tetapi, kenapa Anakmas seper-
tinya tidak ada waktu untuk bertemu dengan Nyai 
Demang walau hanya sebentar?” 
’’Kiai, maafkan saya. Saya kira, akan lebih ba-
hagia hati Nyai Demang jika saya menemuinya setelah 
saya selesai menunaikan tugas-tugas saya. Dan, saya 
pun akan merasa lebih lega menemui Nyai Demang se-
telah tidak ada lagi sesuatu yang mengganggu pikiran  
saya. ” 
 ”Saya bisa memakluminya, Anakmas. Kalau 
begitu, dalam beberapa hari ini saya akan menunggu 
kedatangan Anakmas kembali. Tetapi, percayalah 
bahwa kedatangan Anakmas malam ini tetap akan 
saya rahasiakan di depan Nyai Demang. ” 
’’Terima kasih, Kiai. Sekaligus saya minta doa 
restu Kiai agar saya tetap bisa kembali menemui Kiai.” 
Joko Sungsang membungkuk hormat sebelum me-
ninggalkan halaman rumah itu. 
 
***
 
Rasa rindu terhadap perempuan yang telah me-
lahirkannya ke dunia ini terpaksa ditahan tahannya. 
Entah kenapa, begitu berhadapan dengan Wasi Ekaca-
kra, pikiran Joko Sungsang serta-merta berubah. Tiba-
tiba ia sadar bahwa tugas utamanya bukan menemui 
Nyai Demang, melainkan memberantas kejahatan. Lagi 
pula, betapa hati perempuan tua itu akan lebih tente-
ram  setelah  ia mendengar bahwa Kebo Dungkul dan 
Hantu Lereng Lawu tak mungkin lagi mengganggu ke-
tenangannya. 
Malam purnama yang dijanjikannya kepada 
Hantu Lereng Lawu masih beberapa malam lagi baru 
tiba. Joko Sungsang masih memiliki hari-hari untuk 
lebih memperdalam ilmu silatnya. Untuk itu ia mencari 
tempat yang tak mungkin terjamah kaki manusia. 
Sengaja ia memasuki hutan dan mencari tempat ter-
lindung  untuk bersemedi. Selain itu ia juga sengaja 
melatih kembali jurus-jurus silat maupun jurus jurus 
Perisai Naga hingga tak selangkah pun gerak yang ter-
lupakannya. 
 
Pemusatan pikiran, latihan pernapasan, serta 
pengendalian perasaan membuat Joko Sungsang terle-
na pada urusan duniawinya. la tak lagi merasa harus 
menunggu-nunggu hingga purnama tiba. Sewaktu 
tanpa sengaja pandangan matanya menangkap warna 
merah bulan penuh di ufuk Timur, seketika itulah ia 
ingat janjinya kepada Hantu Lereng Lawu. 
Desa Cemara Pitu seperti desa mati yang tak 
berpenghuni Penduduk desa itu telah menutup pintu 
rumah masing-masing semenjak matahari tenggelam 
sore tadi Seperti yang dipesankan oleh Joko Sungsang 
kepada mereka, tak seorang pun diperbolehkan keluar 
dari pintu rumah sebelum terdengar ledakan Perisai 
Naga sebanyak tujuh kali berturut-turut 
Keadaan di bawah tujuh pohon cemara di mu-
lut desa itu seolah-olah mengisyaratkan bahwa tempat 
itu hanya boleh didatangi oleh orang-orang yang beril-
mu silat tinggi. Barang siapa gegabah melintasi tempat 
itu maka tak sampai tujuh langkah nyawa mereka 
akan melayang. 
Hanya mereka yang berilmu silat tinggi yang bi-
sa merasakan bahwa tempat itu menyembunyikan le-
bih dari sepuluh sosok tubuh manusia. Kebo Dungkul 
menempati semak semak di bagian pojok Barat semen-
tara Mahesa Lawung menempati semak-semak yang 
berseberangan jalan. Beberapa langkah dari mulut de-
sa itu telah berjejer anak buah Mahesa Lawung mau-
pun anak buah Kebo Dungkul dan Hantu Lereng Lawu 
Mereka semuanya siap dengan senjata tergenggam erat 
di telapak tangan. Joko Sungsang sendiri tidak mengi-
ra bahwa kedatangannya bakal disambut oleh baris 
pendem ini. 
Namun, bukan Pendekar Perisai Naga jika me-
rasa was-was menyadari jumlah orang yang bersem- 
bunyi di kanan-kiri jalan di bawah tujuh pohon cemara 
itu. Dari dengus napas yang tertangkap oleh telin-
ganya, Joko Sungsang bisa memastikan jumlah mere-
ka yang sedang melakukan baris pendem ini. 
Bulan purnama berada dua tombak di atas ca-
krawala. Warna pakaian yang dikenakan Joko Sung-
sang seakan bercahaya tertimpa sinar bulan. Maka 
amat mudah bagi Kebo Dungkul dan orang-orangnya 
untuk mengawasi bayangan putih di bawah pohon ce-
mara itu Dan, sesungguhnyalah sejak Joko Sungsang 
memasuki mulut desa itu mereka sudah tak sabar un-
tuk menyergapnya. Akan tetapi, mereka tetap ingat pe-
san Hantu Lereng Lawu sebelum mereka berangkat. 
"Tak kuizinkan siapa pun menampakkan diri di 
hadapan Pendekar Perisai Naga sebelum aku tiba di 
tempat itu!” pesan wanti-wanti Hantu Lereng Lawu 
kembali mengiang di telinga mereka. 
Kebo Dungkul yang sejak tadi sudah meni-
mang-nimang rantai berkapaknya terpaksa harus me-
nahan diri agar tidak melanggar pesan orang pertama 
dari Lereng Lawu itu. 
Suasana tetap senyap meski Joko Sungsang 
sudah berusaha memancing mereka keluar dari per-
sembunyian. Pendekar Perisai Naga ini sengaja me-
langkah mondar-mandir di dekat semak-semak agar 
mereka terpancing untuk membokong. Akan tetapi, 
hanya desah angin di rerimbunan daun cemara yang 
terdengar mengisi kesenyapan malam di tempat itu. 
Kesabaran Joko Sungsang lambat-laun terkikis 
habis. Untuk apa ia datang ke tempat itu jika hanya 
untuk menjadi tontonan mereka yang berada di tempat 
persembunyian? Maka, bersamaan dengan hilangnya 
kesabaran di dalam dada, tubuh Joko Sungsang mele-
sat  ke udara dan kemudian hinggap di salah sebuah  
dahan cemara yang berdaun paling rimbun. 
’’Sekarang kalian tidak bisa lagi menontonku! 
Sebaliknya, akulah yang sekarang jadi penonton!” te-
riaknya dari rimbun daun cemara. 
’’Bocah sombong! Turunlah sebelum kau jatuh 
terhempas pohon cemara ini!” sambut Kebo Dungkul 
seraya siap menerbangkan kapaknya ke pohon yang 
menyangga tubuh Joko Sungsang 
’’Begitulah seharusnya kau menyambut tamu 
agung, Kebo Dungkul! Kenapa mesti sembunyi-
sembunyi?” Joko Sungsang melayang turun dan men-
darat persis di depan Kebo Dungkul. 
”Kau jangan lancang, Kebo Dungu!” Tiba-tiba 
terdengar bentakan dari arah lain. Dan, dalam sekejap 
Hantu Lereng Lawu telah berdiri di belakang Kebo 
Dungkul. 
 
***
 
10 
 
”Oh, inikah Hantu Lereng Lawu yang kesohor 
itu?” sapa Joko Sungsang sambil meneliti sosok Hantu 
Lereng Lawu dari ujung rambut hingga jari-jari kaki. 
”Ha-ha-ha, dasar bocah ingusan! Nah, amatilah 
supaya kau tidak menyesal di alam kuburmu nanti, 
Bocah Gembala Kambing!” Hantu Lereng Lawu sengaja 
menghindari bayangan daun cemara agar terlihat jelas 
oleh mata Pendekar Perisai Naga. 
’’Kita lihat saja nanti, siapa di antara kita yang 
lebih pantas mendahului masuk liang kubur atau ke-
layapan menjadi hantu sepertimu, Hantu Lereng La- 
wu.”  
’’Gembel busuk! Langkahi dulu mayatku, baru 
kau pantas berhadapan dengan Hantu Lereng Lawu!” 
sahut Kebo Dungkul sambil maju selangkah. Akan te-
tapi, tubuhnya terdorong mundur lagi sebab tangan 
Hantu Lereng Lawu sigap menarik bahunya. 
’’Maafkan kelancangan anak buahku yang be-
lum pernah mendengar kebesaran nama Pendekar Pe-
risai Naga,” ujar Hantu Lereng Lawu. ’’Namun begitu, 
terlalu pongah jika kau hanya datang kemari seorang 
diri, Anak Demang!” 
’’Sejak lima puluh tahun yang lalu, Pendekar 
Perisai Naga memang tak pernah berkomplot dengan 
siapa pun. Apalagi hanya untuk menghadapi orang se-
sat macam kau, Hantu Lereng Lawu.” 
’’Bersiaplah, Bocah Pongah. Tetapi, ingatlah 
bahwa aku bukan cecurut macam Mahesa Lawung 
yang kau jumpai di sini beberapa hari yang lalu!” Ber-
kata begini Hantu Lereng Lawu sambil membuka sepu-
luh jari tangannya dan menerjang dada Joko Sung-
sang. 
Joko Sungsang merasakan sambaran angin 
yang begitu kuat lewat di samping telinga kanannya 
sewaktu ia merunduk ke kiri menghindari jari-jari 
maut Hantu Lereng Lawu itu. Dan, sebelum ia mengi-
rimkan serangan balasan, dengan cepat jari-jari tangan 
itu berputar setengah lingkaran ke arah bawah dan 
hampir saja menerjang mukanya. 
Murid Wiku Jaladri memang belum berpenga-
laman dalam dunia persilatan. Akan tetapi, setidaknya 
ia pernah mendengar dari cerita gurunya bahwa jari-
jari tangan Hantu Lereng Lawu ini bukan sembarang 
jari. Selain jari-jari itu memang besar dan kuat, masih 
juga dialiri tenaga dalam yang sempurna. Dalam arena  
pertarungan, jari-jari itu seakan berubah menjadi gar-
pu baja yang dilumuri racun. Jangan lagi sampai jari-
jari itu tertanam dalam daging, sedangkan sedikit 
goresan pada kulit pun sudah cukup membahayakan. 
Oleh sebab itu, Joko Sungsang menjatuhkan 
tubuhnya sambil menerjang kaki kanan Hantu Lereng 
Lawu. Merasa kaki kanannya terancam, orang sesat 
dari Lereng Lawu itu menarik kaki kanannya ke bela-
kang sehingga terpaksa ia menggagalkan serangan be-
rikutnya. 
’’Lumayan juga ilmu silatmu, Bocah Sanareja!” 
ujar Hantu Lereng Lawu. 
 ’’Sayang, aku tak banyak waktu untuk mela-
deni bocah ingusan! Nah, bersiaplah menghadapi pe-
dangku!” 
Melihat lawan sudah menghunus senjata, Joko 
Sungsang pun mengurai Perisai Naga dari pinggang-
nya. 
Tiga puluh tahun yang lalu, Hantu Lereng Lawu 
memang merasa cemas menghadapi kehebatan Perisai 
Naga. Akan tetapi, sekarang ia malah tertawa-tawa se-
raya berkata, ”Ayo, seranglah aku dengan cambuk 
kambingmu itu, Pendekar Perisai Naga!” 
Sungguh, baru kali ini Joko Sungsang men-
jumpai lawan yang berani menertawakan Perisai Na-
ganya. Malahan mengejek sebagai cambuk kambing! 
Menggelegak darah muda Joko Sungsang. Maka tanpa 
menunggu lawan menyerang, ia mendahului mengi-
rimkan serangan. Dan, inilah Jurus Naga Melilit Gu-
nung. Dengan sekali lecut, Perisai Naga berhasil melilit 
pinggang Hantu Lereng Lawu. Sekejap saja cambuk itu 
melingkar di pinggang Hantu Lereng Lawu. Sebab, se-
belum Joko Sungsang sempat menghentakkan Perisai 
Naganya, tubuh Hantu Lereng Lawu mendahului ber- 
putar dan pudarlah lilitan cambuk itu. 
Joko Sungsang terpana. Tak disangkanya la-
wan bisa menangkal Jurus Naga Melilit Gunung. Tentu 
saja ia tidak mengira bahwa Hantu Lereng Lawu telah 
mempelajari Jurus Bidadari Mengurai Benang Kusut 
Tak pernah sekelumit pun Wiku Jaladri mengin-
gatkannya bahwa orang sesat dari Lereng Lawu itu 
memiliki jurus penangkal Perisai Naga. 
”Ha-ha-ha! Jangan besar kepala karena kau 
memiliki Perisai Naga, Bocah Goblok! Nah, sekarang gi-
liranku memamerkan kehebatan pedangku!” Hantu Le-
reng Lawu memutar pedangnya di atas kepala. Pedang 
yang berwarna keemasan itu kini berubah bentuk 
menjadi  payung berwarna kuning menyilaukan. Dan, 
putaran pedang itu tiba tiba menerjang leher Joko 
Sungsang. 
’Tring!” 
Bunga api berpijaran akibat benturan dua sen-
jata. Sewaktu Joko Sungsang berjumpalitan ke udara 
dan mengirimkan balasan ke arah kepala lawan, ketika 
itulah pedang Hantu Lereng Lawu memayungi kepa-
lanya. Maka bola berduri Perisai Naga yang hampir 
mematuk kepala Hantu Lereng Lawu pun terpental. 
’’Kau pikir aku begitu bodoh membiarkan batu 
akikmu itu menyentuh kepalaku? Ha-ha-ha! Dasar Bo-
cah Tolol!” ujar Hantu Lereng Lawu. 
Dalam pada itu, Kebo Dungkul, Mahesa La-
wung, dan para anak buah mereka begitu terpaku me-
nyaksikan pertarungan yang sedang berlangsung. Se-
makin lama mereka memperhatikan, semakin mereka 
terkagum-kagum. Mereka tidak lagi melihat sosok 
Hantu Lereng Lawu maupun Joko Sungsang. Mereka 
hanya melihat bayangan putih dan bayangan hitam 
saling menyerang dengan senjata-senjata yang berwar- 
na kuning dan hijau-kebiru-biruan. 
Puluhan jurus telah terlewati. Namun, belum 
seorang pun di antara mereka berdua kelihatan terde-
sak Joko Sungsang sendiri baru sekarang mengakui 
nama besar Hantu Lereng Lawu. Bukan mustahil jika 
banyak orang yang tidak berdosa menjadi korban ke-
ganasan orang sesat dari Lereng Lawu ini. Berkali-kali 
Joko Sungsang berhasil melilitkan Perisai Naga ke tu-
buh lawan, tetapi berkali-kali pula lilitan itu pudar se-
belum ia sempat menghentakkan Perisai Naganya. 
’Tong!" 
Untuk kedua kalinya bola berduri di ujung Pe-
risai Naga membentur payung pedang yang memben-
tengi tubuh Hantu Lereng Lawu. Namun, kali ini tubuh 
mereka sama-sama surut beberapa langkah ke bela-
kang. Dua tenaga dalam yang teralirkan lewat senjata-
senjata mereka beradu. Kalau saja Joko Sungsang ti-
dak tekun melatih pernapasan, sudah barang pasti ia 
akan terjengkang dan tidak bangun lagi. 
Akan halnya Hantu Lereng lawu? Orang sesat 
yang telah puluhan tahun malang-melintang di dunia 
persilatan ini diam-diam memuji kehebatan ilmu silat 
anak muda dari Sanareja ini. Diam-diam ia bersyukur 
tidak membiarkan Kebo Dungkul coba-coba mengha-
dapi anak muda ini. Maka ia pun mengakui bahwa 
anak muda dari Padepokan Jurang Jero ini memang 
pantas bergelar Pendekar Perisai Naga! 
Setelah berhasil mengatasi rasa nyeri yang me-
nyerang pangkal lengannya, kembali Hantu Lereng La-
wu menerjang dengan pedangnya. Kali ini pedang itu 
tidak lagi berputar. Pedang itu bergerak separuh ling-
karan ke kanan-kiri dengan gerakan menyilang. 
Tak ada jalan lain bagi Joko Sungsang kecuali 
melenting ke udara sambil melindungi tubuhnya den- 
gan putaran cambuknya. Ia yakin, pedang itu bakal 
memburunya ke udara. Namun, tanpa diduga-duga, 
tangan kiri Hantu Lereng Lawu mengirimkan pukulan 
sewaktu Joko Sungsang hampir menjejakkan kakinya 
ke tanah. 
’’Desss!” 
Tumit Joko Sungsang beradu dengan kepalan 
tinju orang sesat dari Lereng Lawu itu. Tubuh Joko 
Sungsang berguncangan sementara tubuh Hantu Le-
reng Lawu terlempar beberapa tombak ke belakang. 
’’Cincang anak ingusan itu!” Perintah Hantu Le-
reng Lawu kepada anak buahnya setelah ia berhasil 
berdiri lagi di atas kuda-kudanya. 
Kebo Dungkul, Mahesa Lawung, dan sepuluh 
orang anak buah mereka langsung mengurung tubuh 
Joko Sungsang. Bahkan sebelum Joko Sungsang 
bangkit, mereka telah menyerang bersamaan Terpaksa 
murid Wiku Jaladri ini bergulingan kembali untuk 
menghindari pedang Mahesa Lawung  dan rantai ber-
kapaknya Kebo Dungkul yang mengancam tubuhnya. 
Keadaan seperti ini memang sudah diramalkan 
oleh Joko Sungsang. Tidak akan Hantu Lereng Lawu 
berani bertarung satu lawan satu sampai titik darah 
penghabisan. Masih untung Empu Wadas Gempal ti-
dak ikut mengeroyoknya. 
”Tar! Tar! Tar!” 
Perisai Naga meledak tiga kali, dan tiga orang 
anak buah Hantu Lereng Lawu terpental dengan ken-
ing menyemburkan darah. Dalam sekejap saja bola 
berduri di ujung cambuk itu melibas tiga kening lelaki 
malang itu. 
Melihat tiga anak buahnya tewas, Hantu Lereng 
Lawu mulai menerjang Joko Sungsang lagi. Kini Joko 
Sungsang merasa kewalahan menghadapi keroyokan  
mereka. Untuk menghadapi Hantu Lereng Lawu seo-
rang diri pun ia merasa harus berjuang mati-matian, 
apalagi sekarang ditambahi dengan serangan Mahesa 
Lawung dan kebo Dungkul. Bolehlah ujung-ujung 
tombak anak buah mereka itu diabaikan. Tetapi, ha-
ruskah Joko Sungsang mengabaikan tiga orang yang 
kini telah bergabung itu? 
Perisai Naga menyambar-nyambar, tetapi pe-
dang Hantu Lereng Lawu selalu berhasil memagari me-
reka bertiga. Rupa-rupanya Hantu Lereng Lawu hanya 
bertugas menangkis serangan, sementara ia menu-
gaskan Mahesa Lawung dan Kebo Dungkul untuk 
membalas serangan. 
Empat orang anak buah Hantu Lereng Lawu ja-
tuh lagi. Tetapi, hanya itulah yang bisa diperbuat Joko 
Sungsang. la menyingkirkan orang-orang bertombak 
ini supaya ia lebih bisa konsentrasi menghadapi tiga 
orang tangguh yang mengurungnya. Namun, meskipun 
akhirnya anak buah Hantu Lereng Lawu maupun anak 
buah Mahesa Lawung terkapar semuanya,  tetap saja 
Joko Sungsang terdesak. Hampir-hampir tiga orang 
lawannya ini tak memberinya kesempatan untuk 
membalas. Mereka terus menerjang dengan jurus-
jurus yang mematikan. 
Joko Sungsang merasakan tenaganya mulai 
terkuras. Ke mana pun ia menghindar, salah satu sen-
jata lawan selalu membuatnya. Mereka bertiga seakan 
sudah terlatih untuk bersatu mengeroyok. Satu-
satunya kemungkinan adalah menjatuhkan salah satu 
dari mereka bertiga terlebih dulu. Dan, tentu saja Ma-
hesa Lawung yang paling mungkin untuk segera dija-
tuhkan. 
Mulailah Joko Sungsang mengarahkan seran-
gan cambuknya ke tubuh Mahesa Lawung. Namun, di  
luar dugaannya, Hantu Lereng Lawu selalu melindungi 
orang kepercayaan Adipati Sorengdriyo itu. Setiap Peri-
sai Naga bergerak melilit, setiap itu pula tubuh Hantu 
Lereng Lawu yang terlilit. Sudah pasti tubuh orang se-
sat dari Lereng Lawu ini maju dengan Jurus Bidadari 
Mengurai Benang Kusut. 
Joko Sungsang benar-benar merasakan tena-
ganya terkuras habis. Kalaupun ia masih lincah 
menghindari serangan mereka, gerakan menghindar 
ini pun semakin menguras tenaganya. Dan, selama 
Hantu Lereng Lawu masih ada di antara mereka, maka 
Joko Sungsang merasa percuma menyerang. 
Dalam keputusasaannya, Joko Sungsang tiba-
tiba melihat bayangan putih menyerang Kebo Dungkul. 
Sebelum ia bisa menebak siapa yang muncul memban-
tunya ini, bayangan putih itu berteriak,  
’’Biarkan aku membalas rasa sakit hatiku, Joko!” 
”Arum? Sekar Arum!” desah Joko Sungsang 
merasa lega. Bagaimanapun juga kehadiran gadis itu 
akan memisahkan Kebo Dungkul dari Hantu Lereng 
Lawu dan Mahesa Lawung. 
’’Rupanya kau melepaskan gadis itu, Kebo 
Dungu?” ujar Hantu Lereng Lawu. Ia masih ingat se-
waktu ia berhasil membuat gadis itu tak berdaya bebe-
rapa hari yang lalu di depan kedai itu. 
”Kau menyesal melepaskan aku waktu itu, 
Hantu Keparat?” sahut Sekar Arum. 
Kesempatan yang hanya beberapa detik ini tak 
disia-siakan oleh Joko Sungsang. Begitu Kebo Dungkul 
mulai sibuk menghadapi serangan tombak pendek di 
tangan Sekar Arum, dan perhatian Hantu Lereng Lawu 
terpecah, saat itulah Perisai Naga melecut dan melilit 
leher Mahesa Lawung. Dan, dengan sekali hentak, Ma- 
hesa Lawung tersungkur dengan leher menyemburkan 
darah. Bola berduri ujung Perisai Naga membabat 
urat-urat leher orang dari Kadipaten Banyu Asin ini. 
”Dia memang pantas mati, Bocah Tolol! Tetapi, 
ingatlah kau masih harus menghadapiku! Dan, jangan 
berangan-angan kau bisa melilitkan cambuk kam-
bingmu ke tubuhku!” teriak Hantu Lereng Lawu seraya 
memutar tubuhnya seperti gasing. 
Kembali menghadapi Hantu Lereng Lawu seo-
rang diri, kekacauan pikiran Joko Sungsang mulai bisa 
teratasi. Dan, melihat lawannya hanya berbentuk gu-
lungan sinar kuning, ia serta-merta ingat latihan-
latihannya di pusaran air kali. Maka ia pun ingat Ju-
rus Mematuk Elang dalam Mega yang bisa menerobos 
pusaran air kali sederas apa pun. 
"Berputarlah sepuasmu, Hantu Gasing!” kata 
Joko Sungsang sebelum melenting ke udara dan me-
matukkan bola berduri di ujung cambuknya dengan 
Jurus Mematuk Elang dalam Mega. 
Hampir saja bola berduri itu berhasil menem-
bus putaran tubuh Hantu Lereng Lawu ketika tiba-tiba 
ada angin kuat melabrak tubuh Joko Sungsang. Tu-
buh murid Wiku Jaladri ini terpental dan bola berduri 
itu tertarik menjauh dari kepala Hantu Lereng Lawu. 
”Ho-ho-ho, he-he-he, hi-hi-hi! Rupanya tua 
bangka penggembala kambing itu masih punya jurus 
simpanan!” Empu Wadas Gempal memegangi perutnya 
sambil menarik-narik kumisnya. 
’’Selamat datang, Guru,” sambut Hantu Lereng 
Lawu sambil membungkuk hormat ke arah gurunya. 
’’Kalau saja aku tidak kebetulan lewat di sini, 
kau sudah dikirim ke neraka oleh penggembala muda 
itu, Pragosa!” sahut Empu Wadas Gempal. 
’’Kebetulan lewat? Bilang saja kalian memang  
sudah berjanji main keroyokan di sini! Tua bangka ti-
dak tahu diri!” sembur Sekar Arum setelah berhasil 
mengirimkan tumitnya yang mungil ke perut Kebo 
Dungkul. 
Terhuyung-huyung Kebo Dungkul sambil me-
megangi perutnya yang melilit-lilit. Tadi ia memang 
lengah sehingga tumit gadis itu berhasil menerjang pe-
rutnya. Kehadiran Empu Wadas Gempal membuyar-
kan konsentrasi Kebo Dungkul. 
”Ha-ha-ha! Sesukamulah kau menuduh, Cah 
Ayu! Yang pasti, aku datang memang untuk membu-
nuh kalian berdua! Nah, tinggalkan Kebo Dungkul, 
dan bantulah Pendekar Perisai Naga menghadapiku!” 
Empu Wadas Gempal mendorongkan kedua telapak 
tangannya, dan angin yang keluar dari telapak tangan 
itu menjauhkan tubuh Kebo Dungkul dari hadapan 
Sekar Arum. 
’’Kalaupun kami harus mati, kami memilih mati 
secara ksatria! Pantang bagi kami main keroyokan se-
perti orang-orangmu!” sergah Sekar Arum. 
’’Kalau begitu, hadapilah aku, Gadis Bengal!” 
Berkata begini, Hantu Lereng Lawu langsung mengha-
dang di depan murid Ki Sempani. 
”Kau merasa pernah mengalahkanku, Hantu 
Keparat? Tetapi, kali ini, jangan harap pedangmu itu 
bisa menyentuh pakaianku! Bersiaplah sebelum tom-
bakku memburaikan ususmu!” Sekar Arum memutar 
tombak pendeknya. Dua mata tombak itu berkilauan 
tertimpa sinar bulan. 
’’Tunggu apa lagi, Bocah Bagus? Kawanmu su-
dah mulai menyerang, kenapa kau masih juga beku?” 
ujar Empu Wadas Gempal sambil mengirimkan angin 
telapak tangannya ke arah Joko Sungsang. 
Meski sudah berusaha berkelit, tetap saja Joko  
Sungsang merasakan sambaran angin dari telapak 
tangan tokoh hitam dari Hutan Ketapang ini. Bahkan 
hembusan angin itu sempat membuat ikat kepalanya 
terbang. 
”Nah, kalau saja aku mengeluarkan seluruh te-
nagaku, kepalamulah yang terbang, Anak Demang!” 
Joko Sungsang merasa tidak mungkin meng-
hadapi kakek sakti ini hanya dengan tangan kosong. 
Maka ia bersiap-siap dengan Perisai Naga tergenggam 
erat di tangannya. 
’’Cobalah  kau serang  aku dengan jurus baru 
ciptaan gurumu itu! Aku memang belum tahu nama 
jurus itu, tetapi aku bukan Hantu Dungu yang tak 
kenal semedi itu, Bocah Ingusan!” 
”Ya! Dan, tidak seharusnya kau mencampuri 
urusan bocah-bocah ingusan, Wadas Gempal!” Tiba-
tiba terdengar jawaban seseorang dari kerimbunan 
daun cemara. 
Empu Wadas Gempal membatalkan serangan-
nya, ia menoleh ke arah datangnya suara seraya men-
girimkan serangan jarak jauh. Terdengar suara dahan 
berderak patah, dan nampaklah sesosok tubuh me-
layang turun dan mendarat di depan Joko Sungsang. 
”Maaf, Anakmas. Orang tua dari Hutan Keta-
pang ini memang bukan lawan kalian berdua,” kata 
Wasi Ekacakra sambil menoleh ke belakang. 
”Ho-ho-ho! Kau rupanya! Aku memang sudah 
lama menunggumu, Ekacakra! Hanya sayangnya, di 
sini ada anak-anak ingusan yang tidak tahu urusan ki-
ta berdua! Baik, ini memang bukan urusan tua bangka 
seperti kita! Urusan kita bisa kita selesaikan lain wak-
tu!” Empu Wadas Gempal berjumpalitan ke belakang 
dan menghilang di kerimbunan semak-semak. 
”Nah, Anakmas Joko Sungsang, saya harus tetap 
mengawasi kepergian kakek dari Hutan Ketapang 
itu. Selesaikanlah urusan kalian berdua!” 
"Terima kasih, Kiai,” ucap Joko Sungsang sam-
bil membungkuk hormat. Dan, sewaktu ia menenga-
dahkan mukanya, petani tua dari Desa Dadapsari itu 
telah menghilang dari pandang matanya. 
Melihat gurunya kabur, Hantu Lereng Lawu 
memberikan isyarat kepada Kebo Dungkul agar cepat-
cepat meninggalkan gadis murid Ki Sempani itu. akan 
tetapi, Joko Sungsang telah menghadang dengan puta-
ran Perisai Naganya. 
’’Urusan kita belum selesai, Hantu Lereng La-
wu!” kata Joko Sungsang kembali bersiap-siap dengan 
Jurus Mematuk Elang dalam Mega yang tadi digagal-
kan oleh Empu Wadas Gempal. 
’’Jangan besar kepala, Anak Demang! Kau kira 
cambukmu masih bisa melecutku tanpa kehadiran gu-
ruku?” 
’’Cobalah kau berputar lagi, dan aku memang 
tidak akan melilitkan cambukku ke tubuhmu! Tetapi, 
bola di ujung cambuk inilah yang pasti memecahkan 
tengkorak kepalamu!” 
’’Pergilah ke neraka menyusul kedua orang tua-
mu!” Hantu Lereng Lawu memutar tubuhnya dengan 
pedang menyilang di dada. 
Karena tak mau lagi menguras tenaga, Joko 
Sungsang pun langsung menerapkan Jurus Mematuk 
Elang dalam Mega. Bersamaan dengan itu, Sekar Arum 
melenting ke atas kepala Kebo Dungkul dan ketika tu-
run... crasss! Tombak pendek bermata dua itu menan-
cap di tengkuk Kebo Dungkul. 
Kebo Dungkul tersungkur dengan leher bolong 
tertusuk tombak pendek murid Ki Sempani. Dan, di 
hadapan Joko Sungsang pun, Hantu Lereng Lawu ter- 
jerembab setelah tubuhnya limbung dan kepalanya pe-
cah terpatuk batu cincin berduri di ujung Perisai Naga. 
Sekar Arum dan Joko Sungsang tersenyum le-
ga. Serentak mereka menyimpan senjata masing-
masing ke pinggang. Lalu, Joko Sungsang mendahului 
membuka suara, 
’’Sekarang kita ke Padepokan Karang Bolong?” 
’’Nanti, setelah kau berhasil mengalahkanku!” 
jawab Sekar Arum seraya mendahului melompat me-
ninggalkan tempat berbau amis darah itu. 
Bukan Pendekar Perisai Naga jika dalam seke-
jap mata tidak bisa menyusul langkah gadis itu! Itu 
pun dilakukannya setelah terlebih dulu ia memungut 
ikat kepalanya yang tadi tercampakkan oleh sambaran 
angin telapak tangan Empu Wadas Gempal. 
”Kau belum cerita kenapa kau pergi dari Ka-
rang Bolong, Arum,” kata Joko sungsang sambil berlari 
di samping gadis murid Ki Sempani itu. 
Gadis itu melirik, dan kemudian jawabnya, ’’Ka-
lau saja aku tidak bertemu dengan Pendekar Perisai 
Naga, mungkin aku tetap tidak menyadari bahwa ilmu 
silatku masih memalukan di dunia persilatan!” 
”Ah, aku tidak melihat kelemahan ilmu silatmu. 
Jangan terlalu merendahkan diri, Arum. Aku yakin, Ki 
Sempani  tidak mungkin mau membawa seluruh il-
munya ke liang kubur.” 
’’Akulah yang keras kepala. Guru belum menu-
runkan semua ilmunya kepadaku, tetapi aku berkeras 
pergi dari padepokan. ” Wajah gadis itu kini tertunduk. 
Pandang matanya yang semula galak menjadi sayu.  
Joko Sungsang menghela napas lega. Ia merasa 
tega sebab gadis ini menyadari kekeliruannya. Lalu dia 
pun melihat penduduk Desa Cemara Pitu mulai berke-
luaran dari rumah mereka masing-masing. Sebelum 
para penduduk desa tersebut sempat mengucapkan te-
rima kasih, Joko Sungsang dan Sekar Arum telah ber-
kelebat meninggalkan mereka. 
’’Kalian kubur mayat-mayat itu dengan baik! 
Dan sekarang kalian bisa menikmati hasil panen sen-
diri tanpa diganggu lagi!” Joko Sungsang mengirimkan 
suaranya dari jarak jauh pada penduduk  desa yang 
sedang bergembira itu. 
 
SELESAI