Dewa Arak 96 - Malaikat Tanpa Wajah


Sebuah perahu kecil bergerak lambat mendekati pinggir 
sungai. Satu-satunya penumpang di perahu itu adalah 
seorang pemuda tampan berpakaian ungu. Ketika perahu 
sudah mencapai tepi sungai, ditariknya agak ke darat lalu 
ditambatkan pada sebatang tonggak. 

Pemuda yang memiliki wajah jantan dan bertubuh 
tegap kekar itu kemudian mengambil keranjang rotan 
berisi ikan dari lantai perahu. Sejenak pandangannya 
diedarkan berkeliling. Arah tatapannya terhenti pada pohon 
yang tergolek di tanah, sekitar sepuluh tombak dari 
tempatnya berada. 

Langkahnya terayun begitu cepat. Sekejap saja 
pemuda yang mengenakan caping dan menjinjing 
keranjang rotan itu telah berada di dekat pohon meranggas 
yang tergolek di tanah. Pemuda itu melepas capingnya. 
Rambutnya yang digelung ke atas pun diuraikan. Panjang 
mencapai pinggang dan benparna putih keperakan! 
Rambut yang mempu nyai warna tidak seperti rambut 
pemuda pada umumnya itu diayunkannya ke arah batang 
pohon. 

Crasss! 

Batang pohon sepanjang satu tombak dengan besar 
sepelukan tangan orang dewasa itu terbelah dua. Rambut 
yang telah menegang kaku karena aliran tenaga dalam, 
hingga tak ubahnya sebilah pedang, menghantamnya 
dengan telak. 

Pemuda berpakaian ungu tampaknya bukan orang 
sembarangan. Dia memiliki ilmu cukup tinggi. Terbukti, 
dapat menggerakkan rambutnya untuk membelah pohon. 
Ketika rambutnya kembali menghantam, batang pohon 
terbelah menjadi puluhan potongan kayu sebesar 
pergelangan tangan. 



Si pemuda lalu menghempaskan pantatnya pada 
belahan batang pohon yang lain. Dengan bantuan batu api 
dia membuat perapian dari potongan-potongan kayu yang 
tadi dibelahnya! Beberapa saat kemudian, dia sibuk 
memanggang ikan-ikan hasil tangkapannya. 

Bau sedap menyebar ke sekitar tempat itu. Pemuda 
berambut putih keperakan ini mendengar bunyi langkah 
kaki mendekati tempatnya berada. Datangnya dari arah 
belakang. Karena, saat ini dia tengah duduk menghadap 
sungai. 

Tapi meskipun tahu akan adanya orang yang menuju ke 
tempatnya, si pemuda bersikap biasa saja. Dia tetap 
meneruskan kesibukannya. Hanya indera pendengarannya 
lebih dipertajam. Sikapnya pun terlihat sedikit waspada 
untuk rnenjaga segala kemungkinan yang tak diinginkan. 

"Ayah...!" 

Tertangkap oleh telinga pemuda tampan itu nada 
ucapan yang halus dan merdu. Suara itu begitu lirih. Kalau 
saja ia tak memiliki pendengarannya yang luar biasa tajam, 
tak akan terdengar sapaan itu. 

"Menurut pendapatku, tak perlu kita mencari tahu 
siapa pemilik perahu itu. Lagi pula, andai kata benar 
pemiliknya adalah orang yang tengah me manggang ikan, 
tak perlu kita minta izinnya...." 

"Maksudmu kita mencurinya. Begitu, Pringgani?!" 
timpal orang yang disapa ayahnya. 

"Tidak seperti itu, Ayah," bantah suara seorang gadis. 
"Maksudku, kita bawa saja dulu perahu itu. Kelak kita akan 
kembalikan ke sini dan sekaligus memberikan ganti rugi 
yang berlipat ganda. Kau tahu sendiri Ayah, waktu kita 
sangat sempit. Aku khawatir...." 

"Lupakan saja maksudmu itu, Pringgani," potong sang 
ayah, tak sabar. "Aku tak setuju dengan usulmu. Aku lebih 
baik mati daripada harus melakukan kejahatan yang 
memalukan ini! Mencuri perahu. Huh! Betapa rendahnya!" 

Pringgani tak memberikan tanggapan lagi, la tahu 
pendirian ayahnya tak mungkin dapat berubah. Dia hanya 
menghela napas berat dan menampakkan sikap tak 
puasnya. Dengan roman wajah seperti itu, diikutinya 
ayahnya yang tengah menghampiri pemuda berpakaian 
ungu. 

"Maaf, Kisanak...." 

Sapaan yang dikeluarkan ayahnya Pringgani membuat 
pemuda berpakaian ungu tak dapat terus berpura-pura 
tidak mengetahui kehadiran mereka. 

"Ada apa, Paman?" pemuda itu bangkit berdiri setelah 
meletakkan ikan panggangnya. 

Diperhatikannya dua sosok tubuh yang berdiri di 
hadapannya. Terlihatlah seorang lelaki setengah baya, 
berkumis tebal, dan berpakaian putih. Lelaki ini 
mengembangkan senyum ramah di bibir. Sebaliknya, di 
sebelahnya dengan wajah cemberut berdiri seorang gadis 
jelita bertubuh montok dan berpinggang ramping. 

Hanya sekilas pemuda berpakaian ungu 
memperhatikan Pringgani. Perhatiannya kini lebih 
ditunjukkan pada wayah gadis itu. Di samping tak nyaman 
menatap wajah yang cemberut, juga ayahnya Pringgani 
mengajaknya berbicara. 

"Kau tahu pemilik perahu itu?" tanya laki-laki 
berpakaian putih seraya menunjuk ke arah sungai. 

"Tahu, Paman. Akulah pemiliknya." 

"Sungguh kebetulan sekali!" sahut ayahnya Pringgani, 
gembira. "Saat ini aku sangat membutuhkan perahu untuk 
menyeberangi sungai ini bersama anakku, Kisanak. 
Sayang, kami telah kehabisan uang, jadi tak bisa membeli 
atau menyewanya. Tapi percayalah, aku Paksi Dilaga, 
bukan seorang penipu. Kelak kami akan kembali dan 
memberikan ganti rugi yang berlipat ganda. Bagaimana, 
Anak Muda?" 

Pemuda berpakaian ungu meneliti wajah lelaki 
setengah baya yang tengah menatapnya. Dia sedang 
menunggu jawaban atas permintaannya. 

"Ambil saja, Paman. Tampaknya kau lebih 
memerlukannya daripada aku," jawab pemuda itu 
kemudian. 

Wajah Paksi Dilaga langsung berseri-seri. Lelaki ini 
kelihatan gembira sekali. Ditatapnya sang pemuda penuh 
rasa terima kasih, kemudian mengalihkannya pada 
putrinya. 

"Bagaimana, Pringgani? Bukankah keputusan yang 
Ayah ambil jauh lebih tepat? Kita tak perlu melakukan 
tindakan yang tercela untuk mendapatkan sebuah perahu. 

Pringgani hanya tersenyum pahit. Kendati demikian, 
kilatan pada sepasang matanya yang bening dan indah 
menyiratkan kegembiraan pula. Betapapun juga, dia lebih 
gembira mendapatkan perahu itu tanpa perlu mencurinya. 

Pringgani sama sekali tidak mengira akan demikian 
mudah memintanya. Hasil yang menyenangkan ini 
membuatnya agak memperhatikan pemilik perahu. Namun, 
dengan diam-diam dia melakukannya. Sebagai seorang 
gadis, dia merasa malu untuk memperhatikan seorang 
pemuda secara terang-terangan. 

Dalam pandangan yang hanya sekilas itu Pringgani 
harus mengakui kalau sang pemilik perahu tersebut cukup 
menarik. Tubuhnya tegap dan kekar. Sayang, wajahnya tak 
terlihat jelas karena terhalang oleh caping yang bertengger 
di kepalanya. 

"Terima kasih, Anak Muda. Kau baik sekali. Kami tak 
akan melupakan budi baik ini. Bila Tuhan mengizinkan, 
kami akan kembali untuk membalas jasamu. Siapa kau, 
Anak Muda? Dan di mana tempat tinggalmu?" tanya Paksi 
Dilaga. 

Pemuda berpakaian ungu ini tersenyum. 

"Lupakan saja, Paman. Aku tak menganggap hal ini 
sebagai budi yang harus dibalas. Namaku Arya," sahut 
pemuda ini, masih dengan tersenyum. 

"Aku Paksi Dilaga, Arya. Dan ini putiku. Pringgani," Paksi 
Dilaga balas memperkenalkan diri. Dia tak mendesak 
ketika Arya tak mengatakan di mana tempat tinggalnya. 

"Tapi apa pun pendapatmu kami tak akan bisa melupakan 
budi baik ini. Kalau saja waktu mengizinkan, kami suka 
berbincang-bincang denganmu. Sayang, kami mempunyai 
urusan penting yang harus segera diselesaikan. Sekali lagi 
terima kasih atas kebaikan hatimu, Arya" 

Pemuda berpakaian ungu yang bernama Arya Buana 
alias Dewa Arak ini, hanya tersenyum. Dan senyum 
pemuda ini semakin lebar ketika melihat Pringgani 
melempar senyum pula padanya. Senyum tipis yang 
mengutarakan perasaan terima kasih. 

Arya menatap kepergian Paksi Dilaga dan putrinya yang 
bergegas menuju tepi sungai. Baru ketika ayah dan anak 
itu telah menghanyutkan perahu ke sungai, pemuda ini 
meneruskan kesibukannya yang tadi tertunda. Diraih ikan 
panggangnya yang telah matang dan hampir dingin. 
Perutnya telah sejak tadi menjerit-jerit minta diisi. 

***

Arya merebahkan tubuhnya di tanah. Punggungnya 
disandarkan pada batang pohon yang tadi didudukinya. 
Perut kenyang dan angin bertiup lembut yang bertiup 
membuatnya mengantuk. 

Saat itu cuaca sudah tidak pagi lagi. Matahari telah 
naik cukup tinggi. Namun, awan-awan yang menggantung 
di angkasa membuat keadaan dipersada tidak terasa 
panas. Malah Arya merasa cukup nyaman sehingga jatuh 
tertidur. 

Baru beberapa saat terlena, pemuda berpakaian ungu 
ini terbangun. Dia mendengar bunyi derap kaki kuda 
bertubi-tubi menghantam bumi. Dari bunyinya yang 
semakin keras, agaknya binatang itu berlari cepat menuju 
ke arahnya. 

Arya tak bergeming dari sikapnya. Bahkan ketika bunyi 
derap kaki kuda tidak terdengar lagi, dan sekitar dua 
tombak di hadapannya telah berdiri tiga ekor kuda perkasa 
dengan tiga orang penunggang di atasnya. Ketiga orang 
penunggang kuda itu menatap Arya yang masih 
merebahkan tubuh dengan bersandarkan pada batang 
pohon. 

"Bagaimana Angkeran?" tanya penunggang kuda coklat 
putih, seraya menoleh pada penunggang kuda hitam di 
sebelahnya. "Perlukah kita tanyakan pada anjing kecil itu 
tentang kelinci-kelinci buruan kita?" 

Angkeran, lelaki tinggi besar berkulit hitam dan berikat 
kepala loreng, mengelus-ngelus cambang bauknya yang 
lebat. 

"Kurasa tak ada salahnya kita tanyakan pada anjing 
kecil itu, Longga!" tandas Angkeran kemudian. Suaranya 
parau dan keras. 

Longga, yang memiliki kepala botak dan berbibir 
sumbing tampak meyeringai. Dia merasa gembira 
mendapatkan dukungan Angkeran. Sorot sepasang 
matanya memancarkan maut ketika ditujukan pada Arya. 

"Sudah nasibnya anjing kecil itu menjadi korban 
sembelihan kita!" desis Longga. Suaranya melengking 
tinggi, mirip ringkik kuda. Mungkin cacat pada bibirnya 
yang menyebabkan suaranya terdengar demikian. 

Angkeran dan penunggang kuda yang lainnya ertawa 
bergelak mendengar ucapan Longga. Teman Angkeran ini 
bertubuh tinggi kurus dan berkulit kuning seperti 
penyakitan. Dunggul namanya. 

Dengan diiringi tawa Angkeran dan Dunggul, Longga 
melompat dari punggung kuda. Dihampirinya tempat Dewa 
Arak merebahkan diri. Sekitar lima kaki dari pemuda 
berpakaian ungu itu, lelaki berkepala botak ini 
mengibasakn tangannya. 

Wuuusss! 

Angin luar biasa keras meluruk ke arah Arya. Longga 
dan kawan-kawannya telah membayangkan tubuh pemuda 
berambut putih keperakan itu akan terlempar jauh, lalu 
terbanting keras di tanah. Paling ringan Arya akan patah 
tulang. 

Namun kenyataan yang terlihat membuat ketiga lelaki 
itu kebingungan. Dewa Arak memang terlempar dari 
tempat semula. Tapi tidak hanya pemuda itu sendiri yang 
benasib demikian. Batang pohon yang menjadi sandaran 
punggungnya pun ikut terlempar, dalam keadaan masih 
menempel dengan punggung Arya! 

Keterkejutan Longga dan kawan-kawannya semakin 
besar. Arya dan batang pohon itu kembali ke tempat 
semula setelah melayang beberapa tombak, seakan-akan 
ditarik kekuatan tak nampak. Tak terdegnar suara berisik 
ketika mendarat di tanah. 

Longga, Dunggul, dan Angkeran langsung mengetahui 
kalau kejadian yang menimpa Dewa Arak bukan sebuah 
kebetulan. Dungkul dan Angkeran tahu betul kejadian aneh 
itu bukan terjadi karena perbuatan Longga. Lelaki 
berkepala botak itu tak bermaksud demikian ketika 
mengibaskan tangannya. 

Longga bermaksud membangunkan Arya yang dikiranya 
tengah tertidur. Wataknya yang keji membuat lelaki ini 
membangunkan tidak dengan cara baik-baik. Kibasannya 
hendak membuat tubuh Arya terlempar lalu jatuh 
terbanting. Kalaupun batang pohon ikut terlempar, karena 
tubuh Dewa Arak bersandar padanya, tidak akan seperti ini 
kejadiannya. 

Setelah keterkejutan yang melanda mereka, Longga 
langsung naik pitam. Kejadian itu pasti disengaja oleh 
Dewa Arak. Dan, mereka menganggap hal itu sebagai 
tantangan! 

Longga menggeram. Tapi, bunyi yang tercipta tak 
ubahnya ringkik seekor kuda. 

"Rupanya kau punya kepandaian juga, Anjing Kecil! Kau 
mau main-main denganku, heh?! Baik, kuladeni! Tapi 
sebelumnya kuberitahukan dulu dengan siapa kau 
berhadapan. Aku Longga, salah seorang dari Tiga Hantu 
Pantai Selatan. Nah! kalau kau bukan seorang pengecut, 
perkenalkan dirimu! Merupakan pantangan besar bagiku 
membunuh orang yang tak terkenal sama sekali!" 

"Kalau begitu sekali ini kau langgarkan pantanganmu, 
Longga. Aku tak mau memberitahukan nama atau 
julukanku. Apalah artinya semua itu!" sambut Arya tanpa 
merubah sikapnya. "Lagi pula, untuk apa kuberi tahu. Toh, 
kau pun tak akan menyapa dengan namaku. Panggil saja 
aku sekehendak hatimu, Longga!" 

"Sombong!" geram Longga. Sepasang alisnya hampir 
bertaut karena amarah yang melanda. "Rupanya 
pertunjukan tak ada artinya yang kau pamerkan tadi 
membuatmu besar kepala! Kau tak tahu tingginya langit 
dan dalamnya lautan, Anjing Buduk!" 

"Jadi, kau tahu tingginya langit dan dalamnya lautan, 
Longga? Sungguh kebetulan sekali! Boleh aku tahu berapa 
tingginya langit dan dalamnya lautan? Barangkali saja nanti 
ada yang menanyakan hal itu padaku." 

Bukan hanya Longga, Dunggul, dan Angkeran pun 
terkesima mendengar sambutan Arya. Terutama Longga. 
Mereka tak menyangka akan mendapatkan tanggapan 
seperti itu. Sadarlah Longga kalau dirinya menjadi korban 
permainan Arya. 

"Anjing kecil! Mampuslah kau...!" 

Longga mengirimkan pukulan jarak jauh bertubi-tubi 
dengan kepalan tangan kanan-kirinya. Angin keras 
menderu saling susul, meluruk deras ke arah Dewa Arak. 

Arya tahu, Longga tak main-main lagi. Serangan- 
serangan jarak jauhnya mengandung pengerahan tenaga 
dalam kuat. Maka, dia pun tak bisa bertindak 
sembarangan seperti sebelumnya. 

Dewa Arak membuka kelopak mata, lalu tangannya 
dikibaskan bagaikan orang mengusir lalat. Batang pohon 
yang menjadi tempat sandaran punggungnya bergeser ke 
belakang seperti didorong, membawa serta tubuh pemuda 
berambut putih keperakan itu. 

Serangan-serangan Longga pun kembali kandas. Dan 
hanya mengenai tanah beberapa tombak di depan sasaran 
yang dituju. Bunyi riuh-rendah terdengar ketika pukulan- 
pukulan jarak jauh itu menghantam. Debu mengepul tinggi. 
Ketika telah sirna tertiup angin, terlihat lubang-lubang 
cukup besar di tanah. 

"Nasibmu cukup baik, Anjing Cilik! Dua kali kau lolos 
dari seranganku. Tapi, jangan besar kepala! Belum pernah 
ada seorang pun yang mampu menandingiku selama 
belasan tahun aku meRajalela di dunia persilatan. Jangan 
mimpi kau bisa selamat dari tanganku!" 

Longga menutup ucapannya dengan sebuah terkaman. 
Kegagalan berturut-turut membuat lelaki botak ini 
memutuskan untuk mengadakan pertarungan jarak dekat. 

Dewa Arak bangkit berdiri. Dipapaknya kedua cakar 
lawan yang mengancam dada. Jari-jari tangan pemuda 
berambut putih keperakan ini terkembang membentuk 
cakar pula. 

Prattt! 




Tubuh Longga terpental ke belakang ketika benturan itu 
terjadi. Namun, dengan gerakan yang ringan lelaki ini 
berhasil mematahkannya. Dijejaknya tanah dengan kedua 
kaki, kendati agak terhuyung. Arya sendiri tak mengalami 
akibat yang berarti. 

Angkeran dan Dunggul terdengar mengeluarkan seruan 
kaget. Kalau tak melihat sendiri, kedua orang ini tak akan 
percaya. Mana mungkin Longga dibuat terlempar dalam 
satu benturan seperti itu. 

"Apakah Longga tidak bersungguh-sungguh dengan 
serangannya, sehingga dengan begitu mudah dapat 
dipatahkan?!" pikir Angkeran dan Dunggul. "Tapi, rasanya 
tak mungkin. Lubang besar pada tanah telah menjadi bukti 
kalau Longga mengeluarkan seluruh tenaganya." 

Tak hanya Angkeran dan Dunggul yang menduga, Dewa 
Arak memiliki kepandaian tinggi. Longga pun demikian. 
Kejadian terakhir membuatnya yakin kalau Arya bukan 
lawan yang dapat dengan mudah dirobohkan. 

Meskipun demikian, keyakinannya akan kepandaian 
dirinya membuat lelaki botak ini tak bisa menerima 
kekalahannya. Dengan didahului pekikan melengking, dia 
kembali menyerang Dewa Arak. 

Pertarungan jarak dekat pun berlangsung begitu Arya 
menyambuti. Longga demikian bersemangat. Dia 
menyerang kalang kabut, seperti harimau terluka. Setiap 
serangannya tak ubahnya tangan-tangan malaikat maut 
yang siap merenggut nyawa. Angin keras dan bunyi 
bersiutan senantiasa mengiringi setiap gerakan Longga. 

Dewa Arak kelihatan demikian tenang. Pemuda itu 
hanya mengelak ke sana kemari. Dia belum melancarkan 
serangan balasan. 

Dunggul dan Angkeran yang memperhatikan jalannya 
pertarungan segera mengetahui kalau Dewa Arak terlalu 
tangguh. Kalau dibiarkan, Longga akan roboh di tangan 
lawannya. 

Longga sendiri belakangan baru menyadari kalau Dewa 
Arak benar-benar terlalu tangguh baginya. Setiap 
serangannya dengan mudah ditangkal Arya. Sebaliknya, dia 
selalu terpontang-panting setiap kali pemuda berambut 
putih keperakan itu balas menyerang. Beberapa kali tokoh 
tiga Hantu Pantai Selatan itu jatuh terjengkang. 

Dalam belasan jurus saja Longga telah terdesak hebat. 
Serangan-serangannya sekarang tak terlihat lagi. Lelaki 
botak ini hanya bisa bermain mundur dan terus-menerus 
mengelak. Hanya sesekali dia menangkis. Itu pun karena 
tak ada pilihan lain. 

Keadaan Longga membuat Dunggul dan Angkeran tak 
bisa tinggal diam. Setelah saling pandang sejenak, kedua 
tokoh Tiga Hantu Pantai Selatan ini melompat dari 
punggung kuda. Mereka lalu melesat ke kancah 
pertarungan untuk membantu Longga. 

Di saat berada di udara, Dunggul dan Angkeran 
mengeluarkan senjata andalan masing-masing. Dengan 
senjata di tangan kedua tokoh ini menyerang Dewa Arak. 

Dunggul dan Angkeran ternyata turun tangan pada 
waktu yang tepat. Saat itu Longga terjengkang ke belakang, 
setelah menangkis serangan Dewa Arak. Ikut campurnya 
kedua rekan Longga membuat Arya membatalkan 
maksudnya untuk melancarkan serangan susulan. 

Angkeran yang bersenjatakan golok besar berbatang 
lebar mengirimkan bacokan ke arah leher. 

Sedangkan Dunggul menusukkan trisulanya ke arah 
perut. Dua serangan yang mematikan itu meluncur dalam 
waktu yang bersamaan! 

Serangan rekan-rekan Longga meluncur cepat. Tapi, 
gerakan Dewa Arak masih lebih cepat lagi. Pemuda ini 
mengelakkannya dengan melakukan lompatan harimau ke 
samping. Dilanjutkan dengan bergulingan di tanah, lalu 
melenting ke udara, dan menjejak tanah dengan mantap. 

Dunggul dan Angkeran menggertakkan gigi karena 
geram. Mereka tak segera menyerbu Dewa Arak kembali. 
Yang dilakukan kedua tokoh ini adalah menatap Arya. 
Sepasang mata mereka seperti hendak menelan pemuda 
itu bulat-bulat. 

Longga segera bergabung bersama kedua rekannya. 
Dia mengeluarkan sebuah gada berduri! Senjata yang 
mengerikan itu diamang-amangkannya di atas kepala. 

Tanpa bersepakat lebih dulu, Tiga Hantu Pantai Selatan 
ini mendekati Dewa Arak dengan cara berpencar. 

Arya tetap berdiri diam di tempatnya. Pemuda ini tak 
bergeming sama sekali, seakan tak peduli akan tindakan 
lawan-lawannya. Sepasang bola matanya saja yang 
bergerak ke sana kemari. Siap menghadapi serbuan Tiga 
Hantu Pantai Selatan. 

Setindak demi setindak Angkeran dan rekan-rekannya 
semakin mendekati Dewa Arak. Senjata di tangan mereka 
putar-putarkan dan siap diluncurkan pada sasaran. 
Sementara Arya belum mengambil gucinya yang tersampir 
di punggung. 

Tiga Hantu Pantai Selatan terkenal sebagai tokoh-tokoh 
sesat tingkat tinggi. Julukan mereka telah sampai ke 
telinga Arya. Tapi, baru kali ini dia berhadapan langsung 
dengan mereka. Arya tak berani memastikan akan dapat 
mengalahkan tokoh-tokoh sesat itu! 

"Itu putri si keparat Paksi Dilaga!" 

Seruan itu sebenarnya tak perlu dikeluarkan Longga. 
Angkeran dan Dunggul pun telah melihatnya. Hanya Arya 
yang tak melihat. Pemuda itu berdiri membelakangi sungai. 

Seruan tersebut membuat Arya menyempatkan diri 
menoleh ke belakang. Memang, ada sepercik dugaan 
kalau seruan itu sengaja dikeluarkan untuk mengalihkan 
perhatiannya. Bagi tokoh-tokoh sesat seperti Tiga Hantu 
Pantai Selatan, cara apa pun bukan merupakan masalah 
untuk mencapai kemenangan. Tidak ada istilah curang. 
Yang penting adalah menang! 

Sekelebatan Arya menoleh. Waktu yang hanya sekejap 
itu telah cukup untuk membuktikan kebenaran seruan 
Longga. Pringgani tengah berenang menuju pinggir sungai! 

"Mengapa Pringgangi berenang? Ke mana perahunya? 
Mana ayahnya?" pikir Arya bingung. Pandangannya kembali 
diarahkan pada Tiga Hantu Pantai Selatan. Arya tidak 
berani berlama-lama mengalihkan perhatian dari mereka, 
khawatir akan adanya serangan bokongan. 

Kemunculan Pringgani menimbulkan pengaruh yang 
cukup besar. Bukan hanya pada Dewa Arak. Tapi, juga 
pada Angkeran dan rekan-rekannya. 

Arya melihat perhatian mereka terpecah. Pemuda 
berambut putih keperakan ini adalah seorang yang cerdik. 
Dari percakapan Tiga Hantu Pantai Selatan tadi, dia tahu 
kalau mereka tengah mengejar-ngejar gadis itu. 

"Kau urus gadis liar itu, Longga. Biar anjing kecil yang 
usilan ini kami yang bereskan!" seru Angkeran, keras. 

Belum juga gema seruan itu lenyap, Angkeran melesat 
menerjang Dewa Arak. Dunggul segera mengikuti tindakan 
Angkeran. Longga sendiri melesat cepat menuju pinggir 
sungai. 

Di dalam hati Dewa Arak memuji kecerdikan Angkeran. 
Lelaki tinggi besar itu mampu berpikir cepat, sehingga Arya 
tak mempunyai kesempatan untuk menolong Pringgani, 
jika hal itu memang akan dilakukannya. 

Dewa Arak sendiri memang bermaksud untuk 
menolong Pringgani. Kendati dia belum mengetahu urusan 
ketiga lawannya dengan gadis itu, tapi melihat Tiga Hantu 
Pantai Selatan, Arya dapat memperkirakan pihak mana 
yang harus dibantunya. 

Arya tak mau bertindak ayal-ayalan karena Pringgani 
tengah terancam. Diambil guci araknya lalu diputar- 
putarkan. Benteng sinar keperakan melindungi sekujur 
tubuh Arya. Demikian cepatnya putaran guci sehingga 
tubuh Dewa Arak terbungkus gulungan sinar. 

Trang...! Trang.. ! 

Bunyi nyaring berkali-kali terdengar. Diikuti dengan 
berpercikannya bunga-bunga api ke udara. Bunyi itu 
tercipta ketika golok dan trisula berbenturan dengan guci. 

Angkeran dan Dunggul memekik tertahan. Tubuh 
mereka terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang. 
Sekujur tangan mereka sakit dan ngilu, bahkan hampir 
lumpuh. Cekalan terhadap senjatanya pun hampir terlepas. 
Mereka merasakan trisula dan goloknya seperti bukan 
membentur guci, melainkan tembok baja yang amat tebal, 
sehingga membuat tenaga mereka berbalik. 

Di lain pihak, Dewa Arak tak terpengaruh dengan 
benturan yang terjadi. Kesempatan di saat kedua lawannya 
tengah terhuyung-huyung dipergunakannya untuk bersalto 
ke belakang. Kemudian, melesat ke pinggir sungai untuk 
menolong Pringgani dari ancaman Longga. 

Angkeran dan Dunggul tak membiarkan tindakan Dewa 
Arak. Sambil memaki-maki kalang kabut, keduanya lalu 
melesat mengejar. 


***


Sementara itu, di pinggir sungai. Pringgani yang melihat 
melesatnya Longga ke arahnya segera menyadari akan 
adanya bahaya. Dia menganal Longga sebagai salah 
seorang di antara pengejar-pengejar dirinya dan ayahnya. 
Maka, putri Paksi Dilaga ini pun mempercepat 
berenangnya. Dia berhasil tiba lebih dulu di pinggir sungai 
daripada Longga. 

Pringgani langsung mencabut pedang yang tersampir di 
punggung. Diterjangnya Longga yang baru tiba dengan 
sebuah tusukan ke arah leher. 

Menghadapi serangan maut itu, Longga hanya 
menyeringai meremehkan. Diayunkan gadanya untuk 
menangkis. 

Trang...! 

Pedang di tangan Pringgani terlepas dari pegangan, 
karena kuatnya benturan yang terjadi. Tubuh gadis itu pun 
terpental ke belakang. 

Longga tak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, dia 
melesat mengejar. Dikirimkannya tendangan kanan-kiri 
bertubi-tubi yang dilakukan dengan tubuh berputaran 
seperti gasing. 

Pringgani terlihat gugup. Kedudukannya saat itu tidak 
menguntungkan. Tapi, dia tak ingin nyawanya yang hanya 
selembar itu melayang. Sebisa-bisanya dia mengelak. 

Desss... ! 

Tubuh Pringgani terlempar ketika tendangan Longga 
menyerempet bahunya. Sepasang bibir yang merah 
membasah dan berbentuk indah itu mengeluarkan pekik 
kesakitan. 

Tapi, Longga belum puas! Lelaki botak ini mengirimkan 
serangan susulan dengan tendangan terbang. Saat itu 
tubuh Pringgani masih melayang di udara. 

Bresss! 

Jeritan menyayat hati keluar dari mulut Longga! Lelaki 
botak ini terlempar kembali ke belakang. Beberapa kaki 
sebelum serangannya mengenai sasaran, dari belakang 
Pringgani melesat dengan kecepatan tinggi si Dewa Arak! 

Pemuda berpakaian ungu itu memapak serangan 
Longga dengan tendangan terbang pula. Kemarahan besar 
yang melanda, melihat kekejaman Longga terhadap 
Pringgani, membuat Arya mengeluarkan seluruh 
tenaganya. 

"Longga...!" 

Jeritan penuh rasa kaget dikeluarkan hampir 
berbarengan Angkeran dan Dunggul. 

Bagaikan telah disepakati sebelumnya, Dunggul 
melesat menuju ke arah melayangnya tubuh Longga. 
Sedangkan Angkeran dengan kemarahan meluap-luap 
menyerbu Dewa Arak. 

Arya yang saat itu hendak menangkap tubuh Pringgani 
terpaksa mengurungkan niatnya. Dia memutushan untuk 
lebih dulu menghadapi serangan Angkaran. Serangan yang 
tertuju ke arah dada itu dihadapinya dengan mengegoskan 
kepala. 

Wung.J 

Caping yang sejak tadi bertengger di kepala Arya 
melesat dengan kecepatan tinggi, memapaki serangan 
golok Angkeran. Caping meluncur bagaikan dilontarkan 
tangan yang memiliki tenaga dalam tinggi. 

Di saat caping meluncur, Dewa Arak memutar- 
mutarkan rambutnya di atas kepala. Angin keras 
berhembus searah dengan luncuran caping. 

Pyarrr.J 

Caping hancur berkeping-keping ketika berbenturan 
dengan golok Angkeran. Tapi, Angkeran sendiri terjengkang 
ke belakang. Tangannya bergetar hebat dan senjata 
hampir terlepas dari pegangan. 

Belum lagi tokoh Tiga Hantu Pantai Selatan ini berhasil 
meredakan rasa terkejutnya, hancuran-hancuran caping 
yang semula berpencaran ke berbagai penjuru meluncur 
deras ke arah Angkeran. Putaran rambut Dewa Arak yang 
menjadi penyebabnya! Putaran yang mengandung tenaga 
dalam kuat itu mengarahkan kepingan-kepingan caping ke 
arah Angkeran. 

Crap, Crap, Crappp...! 

"Aaakh...!" 

Angkeran menjerit kesakitan. Kepingan-kepingan 
caping menancap di paha, bahu, dada, dan perutnya. 
Padahal lelaki tinggi besar ini telah berusaha 
mengelakkannya. Tapi karena banyaknya kepingan, 
usahanya tak sepenuhnya berhasil. Darah pun mengucur 
dari bagian tubuh yang terluka. Bahkan, sebelah tangan 
dan kakinya yang terhujam kepingan caping sukar untuk 
digerakkan. 

Dewa Arak tak mempergunakan kesempatan itu untuk 
melancarkan serangan. Dia malah menatap Angkeran 
dengan sorot tajam. Angkeran balas menatap penuh 
dendam. Dia tak menyerang lagi.Tak ada gunanya hal itu 
ditakukan. Lawan terlalu lihai untuknya. Apalagi setelah 
sebelah kaki dan tangannya lumpuh. 

Beberapa saat lamanya mereka saling bertatapan. 
Angkeran kemudian terlihat mengangguk-anggukkan 
kepala. Dia telah bisa memperkirakan siapa adanya 
pemuda berpakaian ungu ini. Pakaian, guci, dan terutama 
sekali rambutnya yang putih keperakan telah menjadi 
petunjuk yangjelas. 

"Kau..., Dewa Arak, bukan?" tanya Angkeran meminta 
kepastian. 

"Kalau benar, mengapa?" Arya malah balas bertanya 
Wajahnya tampak penuh kesungguhan. Tak lagi bermain- 
main seperti ketika berbicara dengan Longga. 

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan kalau kau 
adalah tokoh sombong dan usilan yang sering dibicarakan 
orang," kilah Angkeran. Mulutnya menyeringai oleh rasa 
sakit pada lukanya yang mulai menggigit. 

"Aku memang tokoh yang kau maksudkan itu. Puas?!" 
tandas Arya. 

Angkeran membuang ludah dengan sikap angkuh. 
Kasar dan menjijikkan sekali carannyaa. Bahkan, sepasang 
matanya masih tertuju pada Arya dengan sinar mata penuh 
tantangan. 

"Pergilah, Angkeran," Dewa Arak mengalihkan 
pembicaraan. "Aku tak mempunyai urusan denganmu dan 
kawan-kawanmu. Memang nama besar kalian telah sampai 
ke telingaku. Tapi, kejahatan kalian belum pernah 
kusaksikan! Jadi sebelum pikiranku berubah, pergilah. 
Bawa rekan-rekanmu,meninggalkan tempat ini!" 

Angkeran menggertakkan gigi. Dia merasa terhina 
sekali. Tapi, disadarinya pula tidak ada gunanya mengikuti 
perasaan. Dewa Arak terlalu tangguh untuk dihadapi. 

"Nama besarmu pun telah lama kudengar, Dewa Arak. 
Gaung yang menggema di dunia persilatan memang tak 
terlalu berlebihan. Kau sungguh lihai. Aku dan kawan- 
kawanku menerima kekalahan hari ini. Tapi ingat, urusan 
kita belum selesai sampai di sini. Kelak kami akan datang 
dan mengirim nyawamu ke neraka! Camkan itu!" 

Arya hanya mengangkat bahu. Seakan tak begitu peduli 
dengan keputusan Angkeran. Sementara Angkeran, setelah 
mengeluarkan ancaman itu, membalikkan tubuh dan 
meninggalkan Dewa Arak dengan tertatih-tatih. Kendati 
demikian dadanya dibusung-busungkan! Dihampirinya 
Dunggul yang telah memanggul tubuh Longga. 

Longga tak sadarkan diri. Benturan dengan Dewa Arak 
berakibat terlalu dahsyat untuk dirinya. Kedua kakinya 
patah dan terluka dalam. Untung saja Dunggul lebih dulu 
menangkap tubuhnya sebelum terbanting keras di tanah. 
Kalau tidak, Longga akan lebih menderita lagi. 

Dunggul tak bicara apa-apa ketika melihat Angkeran 
meninggalkan Dewa Arak. Memang, ada sedikit rasa tak 
puas di hatinya melihat Angkeran tak mau melanjutkan 
pertarungan. Namun, akal sehatnya membuat Dunggul 
dapat membenarkan keputusan tersebut. Karena itu, 
setelah melemparkan kerling penuh dendam pada Dewa 
Arak, dia mengikuti rekannya meninggalkan tempat itu. 




"Benarkah kau Dewa Arak?!" tanya Pringgani. Nada 
suaranya terdengar penuh keterkejutan. 

Gadis berpakaian kuning ini menatap Arya lekat-lekat. 
Sorot mata itu mengandung kekaguman dan 
ketidakpercayaan. Dia telah mendengar tentang julukan 
Dewa Arak. Sudah lama Pringgani mengaguminya. Tapi, 
sungguh dia tak pernah menyangka akan dapat bertemu. 

Arya berdiri berhadapan dengan puti Paksi Dilaga itu. 
Dikembangkannya senyum lebar seraya menganggukkan 
kepala. 

"Benar Nona," jawab Arya kalem. 

"Kalau saja tak melihat sendiri kepandaianmu dan 
mendengar tokoh sesat itu menyebutkannya, aku tak akan 
pernah tahu kau adalah Dewa Arak. Semula kukira kau 
seorang nelayan biasa...." 

"Berita yang tersebar di dunia persilatan terlalu 
berlebihan, Nona," sahut Arya merendah. 

"Sama sekali tidak! Persis seperti yang kudengar 
mengenai dirimu, Dewa Arak. Seorang pendekar muda 
yang sakti, rendah hati, dan budiman. Pakaian yang 
dikenakan berwarna ungu, rambut putih keperakan, dan 
guci perak yang merupakan senjata andalannya," puji 
Pringgani. Sepasang matanya tampak berbinar-binar. Tak 
dipedulikan sahutan Arya yang menyanggah pujiannya 
pertama tadi. 

Arya hanya tersenyum tipis menanggapi pujian-pujian 
Pringgani. 

"Gembira sekali aku bisa bertemu denganmu, Dewa 
Arak. Tapi sayang...," desah putri Paksi Dilaga itu. 
Kemudian menghela napas berat. Wajahnya yang semula 
berseri-seri mulai tersaput awan kedukaan. 

Arya mengerutkan sepasang alisnya. Dia tak mengerti 
maksud ucapan gadis berpakaian kuning itu. Tapi, Arya tak 
mengutarakan ganjalan perasaannya. Pringgani telah 
melanjutkan ucapannya. 

"Kalau saja di saat perjumpaan kita pertama kali aku 
tahu kau adalah Dewa Arak, mungkin sekarang aku tak 
perlu berpisah dengan ayahku." 

"Sejak tadi pun aku bertanya-tanya sendiri mengapa 
kau tak bersama ayahmu, Nona. Ke mana beliau, dan 
mengapa kau kembali dengan berenang?" Arya 
mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi 
menggayuti benaknya. 

Wajah Pringgani semakin muram. Rupanya pertanyaan 
Dewa Arak mengingatkannya akan pengalaman yang tak 
menyenangkan. 

"Ceritanya cukup panjang, Dewa Arak. Aku khawatir kau 
akan bosan mendengarkannya...." 

"Mudah-mudahan saja tidak, Nona," jawab Arya, 
menghibur. 

Pringgani mengukir senyum. Terlihat agak dipaksakan. 
Kendati demikian, wajahnya yang jelita tampak semakin 
cantik. Gadis ini menghela napas berat sebelum memulai 
kisahnya. 

"Menurut penuturan ayahku, sewaktu berusia dua 
puluh tahun beliau melanglang buana di dunia persilatan 
untuk mengamalkan ilmunya. Membela si lemah dari 
tindasan sang angkara murka. Tak terhitung sudah 
banyaknya tokoh sesat yang tewas di tangannya. Julukan 
ayahku Harimau Bertangan Delapan, karena kehebatannya 
bermain tangan kosong beliau." 

Arya tak merasa heran mendengar cerita itu. Sejak 
pertama kali melihat Paksi Dilaga, dia sudah bisa 
memperkirakan kepandaian lelaki setengah baya itu. 
Walaupun demikian, Arya tak yakin kalau Paksi Dilaga 
mampu mengalahkan Tiga Hantu Pantai Selatan yang 
mengejar-ngejarnya. 

"Tindakan mulia itu tetap berlanjut kendati telah 
menikah dengan seorang gadis pendekar. Malah, bersama- 
sama mereka menentang tindak kejahatan. Keputusan 
yang mereka sepakati membuat ayah dan ibuku tak 
mempunyai tempat tinggal tetap. Mereka selalu berpindah- 
pindah dari satu tempat ke tempat lain," Pringgani 
melanjutkan ceritanya. 

Tiga tahun setelah menikah ibunya Pringgani 
mengandung. Paksi Dilaga yang ingin agar anaknya lahir 
selamat memutuskan untuk menetap di satu tempat. 
Mereka berdua tak melanglang buana lagi. Hanya kadang- 
kadang Paksi Dilaga meninggalkan rumah untuk 
mengamalkan ilmunya. Kebiasaan itu tak berubah sampai 
Pringgani lahir. 

Sewaktu Pringgani berumur tiga tahun, tempat tinggal 
mereka disatroni tbkoh-tokoh sesat yang dikenal sebagai 
Tiga Hantu Pantai Selatan. Kedua orang tua Pringgani 
menghadapi mereka, sehingga terjadi pertarungan. 
Ternyata tokoh-tokoh itu luar biasa tangguh. Ibunya 
Pringgani tewas, sementara ayahnya hanya luka ringan. 

Sebelum wafat, ibunya Pringgani berpesan pada 
suaminya untuk memelihara anak mereka baik-baik. Pesan 
terakhir itu membuat Paksi Dilaga meninggalkan lawan- 
lawannya, meski dengan terpaksa dan berat hati. Paksi 
Dilaga mencari tempat yang tersembunyi untuk tempat 
tinggal mereka. Paksi Dilaga menjauhi kehidupan dunia 
persilatan dan menyambung hidupnya dengan bertani. 

"Tapi, malapetaka rupanya belum berhenti menimpa 
kami. Beberapa bulan yang lalu Tiga Hantu Pantai Selatan 
berhasil menemukan tempat persembunyian kami. 
Kembali kami berdua menjadi orang-orang buruan. Ayah 
tak bermaksud mencari tempat persembunyian baru. 
Beliau ingin membawaku ke tempat tinggal keluarganya, 
yang diyakininya mempakan tempat yang aman bagiku. 
Sementara beliau sendiri akan membalaskan kematian Ibu 
pada Tiga Hantu Pantai Selatan...." 

Arya tercenung ketika Pringgani menghentikan 
ceritanya. Sejenak diaturnya napas untuk menenangkan 
perasaan hatinya yang terguncang. Kisah lama yang tak 
menyenangkan itu membuat kesedihan Pringgani 
bertambah. 

"Dalam pelarian menuju tempat tinggal keluarga Ayah 
itu, kami bertemu denganmu dan mendapatkan pinjaman 
perahu. Sayang, di tengah perjalanan gerombolan bajak 
sungai menyerbu kami, Ayah menyuruhku pergi, sementara 
beliau menghadapi penjahat-penjahat itu. Semula aku 
berkeras untuk bersamanya. Aku lebih rela mati bersama 
Ayah daripada meninggalkannya menghadapi bahaya 
maut. Tapi, beliau berkeras. Hhh.J Kalau saja Ayah 
memberiku pilihan, aku lebih suka bersamanya...." 

Arya ikut menghela napas berat ketika Pringgani 
mengakhiri ceritanya. Dia menyetujui sikap yang diambil 
Paksi Dilaga, yang memerintahkan putrinya untuk pergi. Di 
lain pihak, Pringgani pun tak bisa disalahkan. Dia tak ingin 
meninggalkan ayahnya menghadapi bahaya sendirian. 

"Mudah-mudahan saja ayahmu selamat, Nona," ujar 
Arya akhirnya. 

"Begitulah harapanku, Dewa Arak. Andaikata pun beliau 
tewas, aku harus menemukan mayatnya! " tandas 
Pringgani. 

"Itu merupakan sebuah keharusan, Nona. Tentu saja 
bila keadaan memungkinkan. Aku bersedia membantumu 
kalau kau tak keberatan," ucap Arya menawarkan jasa. 

"Terima kasih atas kesediaanmu, Dewa Arak." 

"Tak perlu kau permasalahkan hal itu, Nona. Tolong- 
menolong merupakan kewajiban kita. Kurasa kau sendiri 
pun tahu, karena ayahmu seorang pendekar," kilah Arya. 

Pringgani mengangguk-anggukkan kepala. Sikap dan 
ucapan pemuda berrambut putih keperakan yang menarik 
hatinya itu membuat kedukaannya sedikit berkurang. 

"Maaf, Dewa Arak. Aku mempunyai sebuah dugaan 
mengenai dirimu. Tapi, aku khawatir kau akan marah jika 
aku mengatakannya, " ucap Pringgani ragu-ragu, memecah 
keheningan yang menyelimuti mereka. 

"Katakan saja, Nona. Tidak perlu khawatir. Kurasa aku 
tak akan marah. Apakah aku kelihatan seperti orang yang 
gampang marah-marah?" tanya Arya setengah bergurau. 

Pringgani tersenyum. Tak disahutinya gurauan Dewa 
Arak. 

"Satu hal yang perlu kau ingat, Nona," Arya terdengar 
bersungguh-sungguh. "Hal yang telah berlalu biarkan 
berlalu. Kita boleh saja berduka karena malapetaka yang 
menimpa, tapi berlarut-larut dalam kedukaan hanya akan 
merugikan diri sendiri. Lagi pula, setiap kejadian di muka 
bumi ini tak luput dari kehendak Tuhan. Jadi terimalah 
semua ini dengan lapang dada." 

Pringgani tercenung sejenak memikirkan nasihat Dewa 
Arak. Gadis yang cerdas ini segera dapat menerima 
kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kembali 
kedukaannya sedikit terusir pergi. 

"Begini Dewa Arak, keadaanmu membuatku menduga 
kau tengah menyembunyikan diri. Maksudku... kau seperti 
tak ingin dikenal orang. Aku berpikir demikian karena 
melihat kau menyembunyikan wajah dan rambutmu di 
balik caping. Apakah dugaanku ini benar, Dewa Arak?" 
tanya Pringgani kemudian. Ditatapnya wajah Arya lekat- 
lekat, seolah ingin membaca apa yang terkandung di hati 
pemuda berambut putih keperakan itu. 

Arya lebih dulu tersenyum sebelum menganggukkan 
kepalanya. 

"Mengapa, Dewa Arak? Apakah kau pun tengah dikejar- 
kejar musuh-musuhmu yang jauh lebih sakti?" desak 
Pringgani, ingin tahu. "Rasanya aku tak percaya ada orang 
yang lebih lihai dari padamu. Kudengar kau belum pernah 
dikalahkan tokoh mana pun. Malah, Tiga Hantu Pantai 
Selatan dapat kau pecundangi!" 

"Tidak terlalu tepat benar, Nona," kilah Arya. "Memang, 
aku tak ingin dikenali. Tapi bukan karena takut 
pembalasan dari musuh-musuhku. Aku hanya berusaha 
menjauhkan gangguan orang-orang. Bila aku tampil seperti 
biasanya, kemungkinan besar tokoh-tokoh persilatan 
mengenaliku." 

Arya menghentikan ucapannya sebentar, la ingin 
memberikan kesempatan pada Pringgani untuk mencerna 
kata-katanya. 

"Tentu saja kalau ada tindak kejahatan, aku tak akan 
tinggal diam. Penyamaranku pun akan kutanggalkan. Dan 
yang pasti, sedikit banyak tindakan penyamaranku ini 
mengurangi jumlah orang yang tewas, karena menaruh 
dendam padaku." 

Pringgani mengangguk dengan wajah puas. 

Keadaan menjadi hening ketika Arya tak berbicara lagi. 
Pringgani sendiri tampak belum menemukan bahan 
pembicaraan lain. 

"Kita seperti telah bersahabat lama, Nona. Saling 
bercerita seakan telah saling mengenal. Kalau tak salah 
namamu Pringgani, bukan?" 

"Betul," jawab putri Paksi Dilaga itu dengan wajah 
memerah, karena agak malu. "Kau sendiri..., maksudku..., 
nama aslimu Arya Buana?" 

"Benar, Nona. Arya Buana nama pemberian 
orangtuaku. Kuharap kau memanggilku dengan nama saja. 
Aku lebih suka dipanggil dengan nama asliku daripada 
julukan kosong pemberian orang-orang persilatan yang 
terlalu berlebihan," jawab Arya. 

"Aku setuju saja, De..., eh, Arya," wajah Pringgani 
semakin memerah. Entah mengapa dia merasa risih 
memanggil pemuda tampan di hadapannya dengan 
namanya. "Bukan hanya kau saja yang lebih suka dipanggil 
dengan nama. Aku pun demikian. Karena itu, panggillah 
aku dengan nama yang diberikan orangtuaku. Jangan 
nona-nonaan segala." 

"Baiklah, No..., eh, Pringgani'" 

Pringgani tersenyum geli mendengar Arya kerepotan 
menyapanya. Perasaan ini sedikit mengusir rasa malu yang 
mendera, dan membuatnya lebih berani untuk berbicara. 

"Panggil saia aku Gani, Arya. Orang-orang biasanya 
memanggilku demikian." 

"Kurasa itu lebih enak diucapkan, Gani..." 

Pringgani menundukkan waiahnya yang memerah. 
Ketika itulah si gadis baru sadar akan keadaan dirinya. Dia 
berbincang-bincang dengan seorang pemuda di saat 
seluruh pakaiannya basah kuyup! Pakaian itu melekat 
hingga potongan tubuhnya terlihat jelas. Bahkan dua bukit 
kembar di dadanya menonjol dengan jelas. 

Arya sendiri harus mengakui kalau Pringgani, seorang 
gadis yang sempurna. Bukan hanya wajahnya yang jelita 
dengan kulit putih mulus, tapi bentuk tubuhnya pun benar- 
benar menggiurkan hati. Semua itu terlihat jelas karena 
pakaian si gadis yang basah kuyup. Sebagai seorang 
pemuda, Arya tak kuasa untuk menekan debaran 
jantungnya. 

"Kurasa...," ujar Pringgani lirih seraya mengangkat 
wajahnya. "Lebih baik aku berganti pakaian dulu, Arya. Tapi 
sayang, aku tak mempunyai pakaian ganti. Semuanya 
tercebur di sungai." 

"Jangan khawatir, Gani," sambut Arya, cepat. 

"Aku mempunyai beberapa potong pakaian di 
buntalanku. Mungkin sedikit kebesaran. Tapi, kurasa itu 
lebih baik daripada kau mengenakan pakaian basah." 

Pringgani mengedarkan pandangan berkeliling setelah 
menerima pakaian dari Arya. Sejauh mata memandang, 
yang terlihat hanya kesunyian. Tak hanya di sekitar sungai. 
Tapi di daratan. Arya tahu maksud gadis berpakaian kuning 
itu. Maka, tanpa banyak bicara, tubuhnya segera 
dibalikkan. Tanpa membuang-buang waktu, Pringgani 
bergegas membuka pakaiannya dengan pandangan yang 
tak lepas dari Arya. Gadis ini merasa tegang. Kalau saja tak 
ingat orang yang berada di depannya adalah Dewa Arak, 
dia tak akan sudi berganti pakaian dengan cara demikian. 




Dewa Arak berdiri membelakangi Pringgani tanpa berani 
menoleh sedikit pun. Tapi, kekhawatiran mulai merayapi 
hatinya ketika tak mendengar adanya bunyi. 

"Gani...," tegur Arya ragu-mgu. Suaranya terdengar lirih. 
Sungguhpun demikian, pemuda berambut putih keperakan 
ini yakin Pringgani akan mendengarnya. 

Tidak ada sahutan. Arya menunggunya beberapa saat. 
Tapi sahutan yang diharapkannya tak kunjung tiba. 
Kekhawatiran Arya mulai membesar. Apalagi ketika 
dirasakannya keadaan demikian lengang. Tak terdengar 
bunyi apa pun selain desau angin dan riak air sungai. 

"Gani...!" sapa Arya lebih keras. "Sudah selesaikah kau? 
Katakanlah! Kalau sudah, aku akan berbalik. Kita harus 
bergegas agar dapat mencari ayahmu...." 

Tetap saja tak ada sahutan. Arya jadi kehilangan 
kesabaran, karena rasa khawatir yang semakin besar akan 
keselamatan Pringgani. 

"Ku hitung sampai tiga, Gani. Bila kau tetap diam, aku 
akan menganggap kau telah selesai. Aku akan berbalik!" 

Untuk kesekian kalinya tak ada sahutan atas perkataan 
Dewa Arak. Kenyataan ini membuat pemuda tersebut 
kehilangan kesabarannya. 

"Satu..., dua..., ti...," Arya menggantung hitungan yang 
terakhir, untuk memberikan kesempatan pada Pringgani 
menyela. Tapi, harapan pemuda berpakaian ungu itu sia- 
sia. "Ga.J", lanjut Arya dengan suara keras. "Aku berbalik, 
Gani." 

Pemuda berambut putih keperakan ini membalikkan 
tubuhnya. 

"Ah.. !" 

Dewa Arak tak kuasa untuk menahan seruan kagetnya. 
Dia tak melihat Pringgani! Arya sampai terjingkat ke 
belakang menghadapi kenyataan tak diduganya itu. 

"Gani!" seru Arya sambil mengedarkan pandangan ke 
sekeliling. Tapi, hanya kesunyian yang disaksikannya. 

"Ke mana perginya Pringgani?" tanya Dewa Arak dalam 
hati. "Mungkinkah dia diam-diam pergi dari sini? Tapi, 
rasanya tak mungkin! Aku pasti akan mendengar bunyi 
langkahnya. Lagi pula, tak mungkin dia pergi tanpa 
mengenakan pakaian." 

Pakaian-pakaian yang berserakan di tanah membuat 
Dewa Arak yakin kalau Pringgani telah diculik. Bulu kuduk 
Arya berdiri tanpa dapat dicegahnya. Arya membayangkan 
betapa tingginya kepandaian si penculik, sehingga bisa 
membawa putri Paksi Dilaga tanpa dia mendengarnya. 
Kalau saja saat itu sang penculik membokongnya, 
kemungkinan besar Arya akan celaka! 

Peristiwa penculikan terhadap putri Paksi Dilaga itu 
merupakan tantangan terhadap dirinya. Karena itu, 
pemuda berambut putih keperakan ini memutuskan untuk 
mencarinya! Dia telah mempunyai patokan arah si penculik 
pergi. Yangjelas, tidak ke arah Arya semula menghadap 

***

Arya menatap ke seberang. Diperkirakannya lebar 
sungai yang terbentang di hadapannya. Beberapa lama 
pemuda ini bersikap demikian. Kemudian, dengan 
didahului pekikan nyaring, dia menjejak tanah dan bersalto 
beberapa kali untuk menambah jauh jarak yang 
dicapainya. 

Seperti yang telah diperhitungkan Arya, tubuhnya 
melayang turun ketika baru berjarak delapan tombak dari 
pinggir sungai. Padahal, jarak yang terbentang dari tepi 
sungai yang satu ke tepi yang lain tak kurang dari dua 
puluh tombak! 

Arya tetap bersikap tenang. Di saat tubuhnya meluncur 
turun, sabuk yang melilit pinggang diloloskan lalu 
dilecutkannya ke arah permukaan air. 

Ctarrr.J 

Permukaan air sungai bergolak hebat bak dilanda angin 
besar. Tapi, Dewa Arak tak mempedulikan hal itu. Dia 
kemudian membenturkan sabuknya pada permukaan air, 
meminjam tenaga benturan sabuk dengan air untuk 
melentingkan tubuhnya ke udara! 

Jlig! 

Arya menjejakkan kaki secara mantap di seberang 
sungai. Untuk mencapai tempat ini, pemuda berambut 
putih keperakan ini beberapa kali melecutkan cambuknya 
ke permukaan sungai. 

Daerah pinggir sungai ini berbeda dengan pinggir 
sungai yang ditinggalkan Arya. Di tempat ini banyak 
terdapat gundukan-gundukan batu berukuran beraneka 
ragam. 

"Bodoh! Kalian benar-benar goblok!" 

Makian-makian keras itu tertangkap telinga Arya, ketika 
baru saja melangkah dua tindak. Tanpa pikir panjang lagi 
pemuda ini menyelinap ke salah satu gundukan batu. Dari 
tempat tersebut dia berindap-indap menuju asal suara. 

Beberapa tombak kemudian pemuda berambut putih 
keperakan ini mengintai. Tampak olehnya enam sosok 
tubuh tengah duduk bersila. Lima orang lelaki berompi 
hitam duduk berhadapan dengan seorang lelaki 
berpakaian kulit ular. 

"Aku benar-benar tak mengerti! Bagaimana mungkin si 
macan ompong itu dapat lolos?!" 

Itu ucapan orang yang pertama kali didengar Arya. 
Pemuda ini segera tahu siapa pemiliknya! Sosok 
berpakaian kulit ular yang duduk di atas gundukan batu 
berpermukaan rata. 

"Kalau di daratan, bisa kumaklumi macan ompong itu 
bisa mempecundangi kalian! Tapi di sungai? Apa artinya 
julukan kalian yang besar? Lima Setan Air! Buktinya, nol 
besar!" 

"Bukan hanya Datuk, kami sendiri kalau tak 
mengalaminya sendiri tak akan percaya," jawab salah 
seorang dari lima lelaki berompi hitam. Dia bertubuh tinggi 
kurus. "Si keparat Paksi Dilaga itu ternyata memiliki 
kemampuan luar biasa. Tak kalah dengan kami. Setelah 
memerintahkan putrinya segera lolos, dia kabur pula!" 

Sosok berpakaian kulit ular, adalah seorang kakek 
berusia delapan puluh tahun. Wajahnya tirus mirip muka 
tikus. Tubuhnya kecil kurus. Kelihatan ringkih dan lemah 
jika dibandingkan dengan anggota-anggota Setan Air. Si 
datuk mendengus, mendengar alasan yang dikemukakan 
lelaki berompi hitam. Hal ini membuat Lima Setan Air 
menjadi gelisah. 

"Percayalah Datuk, kami tak bohong! Kami berjanji 
akan membawa mereka ke hadapan Datuk!" sambung 
lelaki tinggi kurus. Dia terlihat lebih pandai bicara daripada 
rekan-rekannya. Empat rekannya segera menganggukkan 
kepala, membenarkan ucapan itu. 

Kakek berpakaian kulit ular kembali mendengus. 

"Dengar baik-baik, Kecoa-Kecoa Air!" rutuk kakek itu. 
"Aku tak pernah memberikan kesempatan lain pada siapa 
pun! Tak terkecuali pada kalian! Jelas?!" 

Wajah Lima Setan Air langsung pucat pasi. Jawaban si 
kakek merupakan pertanda buruk bagi mereka. 

"He he he.J" 

Si kakek terkekeh berkepanjangan. Mula-mula Lima 
Setan Air tak merasakan adanya hal yang aneh. Tapi, 
beberapa saat kemudian mereka mengetahui kalau tawa 
itu bukan tawa sembarangan. Lelaki-lelaki berompi hitam 
ini merasakan getaran hebat pada dada. Telinga mereka 
pun berdengung seakan ada puluhan lebah marah masuk 
ke dalamnya. 

Sesaat kemudian, kelimanya menggelepar-gelepar 
seperti binatang disembelih. Bergulingan ke sana kemari 
dengan wajah menyiratkan kesakitan. Lolong kesakitan 
menyayat hati keluar dari mulut mereka. 

Si kakek terus tertawa. Karena, memang melalui 
tawanya yang mengandung pengerahan tenaga dalam dia 
menyiksa Lima Setan Air. Wajah kakek ini berseri-seri. 
Sepasang matanya berbinar-binar melihat para korbannya 
menderita hebat. 

Kakek ini baru menghentikan tawanya ketika Lima 
Setan Air tak bergerak-gerak lagi. Mereka tewas dalam 
keadaan begitu mengenaskan. Dari lubang hidung, mata, 
dan telinga mereka mengalir darah segar. 

"Kunyuk-kunyuk yang tak punya guna!" 

Sambil merutuk jengkel, si kakek mengarahkan 
pandangan lurus ke depan. 

"Kurasa..., sudah saatnya kau unjukkan diri, Pengintai 
Hina! Atau kau ingin aku yang memaksamu keluar?!" 

Arya terperanjat di tempat pengintaiannya. 

"Begitu lihaikah kakek ini sehingga dapat mengetahui 
keberadaanku?" pikir pemuda itu setengah tak percaya. 
"Padahal aku berjarak tiga tombak darinya." 

"Rupanya kau pikir aku main-main, heh?! Tidakkah kau 
lihat nasib kunyuk-kunyuk yang tak menyenangkan hatiku 
itu? Kau ingin bernasib seperti mereka?!" sambung kakek 
berwajah tirus. Atau kau benar-benar seorang pengecut! 
Hanya berani mengntai di tempat tersembunyi. Tidakkah 
kau dapat bertindak sedikit jantan, Monyet?!" 

Pernyataan kedua kalinya dari si kakek sangat 
menyinggung harga diri Arya. Pemuda ini tak sudi dianggap 
pengecut! Dia telah bersiap untuk keluar dari tempat 
persembunyiannya. Tapi, maksud itu segera ditunda. 
Kakek berpakaian kulit ular terdengar kembali berujar. 

"Kubuktikan ancamanku, Pengecut Hina!" 

Belum lenyap gema teriakan itu, Arya mendengar bunyi 
melengking. Kakek berpakaian kulit ular ini mengerahkan 
tenaga dalam pada lengkingannya. Hanya, pemuda ini 
heran ketika tak merasakun adanya pengaruh serangan 
terhadap dirinya. 

"Ke mana kakek itu menujukan serangannya?!" tanya 
Arya dalam hati. 

"Seperti hendak memberikan jawaban atas 
kebingungan si pemuda, terdengar bunyi ledakan keras. 
Arya hampir terlompat saking kagetnya. Bunyi gaduh itu 
berasal dari hancurnya gundukan batu sebesar kerbau 
yang berada di sebelah kiri si kakek. Sementara Arya 
berada di balik batu yang berada di sebelah kanannya. 

Debu mengepul tinggi ke udara. Pemandangan yang 
terpampang di balik gundukan batu tadi terhalang. Ketika 
debu-debu itu terusir pergi, Arya tersentak kaget melihat 
sosok yang tampak! Hampir saja seruan yang berada di 
ujung lidahnya terlontar kelar. Untung, di saat-saat terakhir 
dia teringat! Akhirnya seruan itu hanya terpekik di dalam 
hati. 

"Paman Paksi!" 

Sosok yang dilihat Arya memang Paksi Dilaga. Lelaki itu 
berdiri tegak menatap kakek berpakaian kulit ular yang 
menundukkan kepala, bersikap memandang remeh. 

"Siapa kau, Anjing Pengecut?!" dengus si kakek penuh 
ancaman. "Sungguh berani kau mengintaiku! Rupanya kau 
telah bosan hidup, heh?!" 

Paksi Dilaga tak segera menjawab pertanyaan itu. Dia 
masih belum dapat menekan guncangan dalam dadanya. 
Keberadaannya yang diketahui dan hancurnya gundukan 
batu tanpa si kakek menyentuhnya, terlalu 
mengejutkannya. 

"Aku tidak serendah itu. Dan, aku tak pernah mengintai. 
Aku telah berada di sini sebelum kau dan kaki tanganmu 
datang!" 

Kakek berwajah tirus menatap paksi Dilaga. Yang 
ditatap merasakan bulu kuduknya berdiri. Sepasang mata 
si kakek mencorong tajam dan bersinar kehijauan laksana 
mata seekor harimau dalam gelap. Hanya karena 
kekerasan hati, ayahnya Pringgani ini rnampu untuk 
menatap terus. 

"Aku tak peduli!" tandas si kakek dengan wajah bengis. 
"Kau boleh memberikan alasan apa pun, namun aku akan 
tetap menghukummu! Tapi sebelum kau mampus, 
perkenalkan dulu dirimu! Aku tak ingin membunuh orang 
yang tak pernah kukenal!" 

Merah padam selebar wajah Paksi Dilaga. Dia merasa 
tersinggung bukan main. Karena dorongan perasaan itu 
pula, dia kemudian bertindak nekat. 

"Akan kubuktikan padamu kalau aku bukan seorang 
pengecut!" geram Paksi Dilaga. "Dengar baik-baik, aku 
adalah orang yang kau cari-cari! Akulah Paksi Dilaga!" 

Kakek berwajah tirus terperanjat. Diperhatikannya 
ayahnya Pringgani dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. 
Sikapnya penuh rasa tak percaya. 

"Kau?! Paksi Dilaga?!" ujar si kakek setengah tertawa. 
Karena tak menyangka akan dapat menemukan orang 
yang dicari-carinya. 

"Benar! Aku Paksi Dilaga! Mengapa kau mencariku? 
Sepengetahuanku, aku tak pernah berurusan denganmu. 
Kenal pun tidak!" 

"Aku memang tak mempunyai urusan dengan monyet 
cilik sepertimu! Tapi pemimpinku, Sang Pangeran Muda, 
mencari-carimu! Kau dan anakmu harus kubawa ke 
hadapannya, hidup atau mati!" 

"Kau belum memperkenalkan siapa dirimu! Atau..., kau 
takut mengatakannya?!" ujar Paksi Dilaga dengan berani. 

"Orang sepertimu tak pantas untuk mengenalku, 
Monyet Kecil! Tapi karena saat ini perasaanku tengah 
gembira, kau mendapat kehormatan untuk mengenal 
diriku. Aku adalah Raja Ular Berbaju Emas." 

Paksi Dilaga merasakan jantungnya berdegup keras. 
Julukan Raja Ular Berbaju Emas telah sampai di telinganya. 
Salah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat di empat 
penjuru mata angin. Tokoh itu, bersama datuk-datuk 
lainnya, tak pernah terdengar lagi beritanya. Lenyap begitu 
saja bagai ditelan bumi! 

Paksi Dilaga tak pernah menyangka akan bisa bertemu 
Raja Ular Berbaju Emas, yang diduganya tak akan pernah 
muncul lagi. Ayahnya Pringgani ini mempunyai alasan kuat 
untuk menduga demikian. Dia tahu penyebab lenyapnya 
empat datuk sesat itu. Padahal, sebagian besar tokoh 
persilatan tak mengetahuinya. 

"Sebenarnya aku merasa malu menangkap kroco 
sepertimu!" ucap Raja Ular Berbaju Emas. Tak 
dipedulikannya Paksi Dilaga yang belum dapat menguasai 
perasaannya. "Karena itu, kuberikan perintah Sang 
Pangeran Muda pada tokoh-tokoh seperti Lima Setan Air. 
Tapi, sekarang apa boleh buat. Kau telah berada di 
depanku, dan tak ada orang lain yang dapat kuperintahkan 
untuk menangkapmu!" 

"Sombong!" maki Paksi Dilaga dalam cekaman 
kemarahan yang bergelora. Kedua tangannya dihentakkan 
ke arah Raja Ular Berbaju Emas. 

Wuusss...! Wusss.J 

Angin yang luar biasa keras berhembus. Tapi, Raja Ular 
Berbaju Emas hanya terkekeh pelan. Dia tak bergeming 
dari tempatnya. Tindakan si kakek membuat Paksi Dilaga 
kebingungan. 

"Sudah gilakah kakek ini, sehingga membiarkan saja 
serangan yang tertuju ke arahnya?" 

Biar, biar, biar...! 

Paksi Dilaga terperanjat. Tanah di sekitar tempat itu 
yang terkena pukulan jarak jauhnya. Terbongkar di sana- 
sini menampakkan lubang-lubang besar. Serangan itu 
melenceng ke kanan dan kiri, beberapa kali sebelum 
mencapai sasaran. Di sekeliling tubuh kakek bemajah tirus 
seakan terdapat dinding yang tak tampak. 

Paksi Dilaga ternganga. Dia hampir tak percaya akan 
kejadian yang dialaminya. Lelaki ini tak tahu bagaimana 
hal itu bisa terjadi. Namun, tidak demikian halnya dengan 
Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu 
betul apa yang terjadi. Tawa terkekeh yang dilontarkan si 
kakek mengandung pengerahan tenaga dalam untuk 
menangkal serangan jarak jauh lawan! 

Kenyataan ini membuat jantung Dewa Arak berdetak 
lebih cepat. Kakek berwajah tirus itu memiliki kepandaian 
amat tinggi! Jika orang sehebat itu hanya anak buah, tak 
bisa dibayangkannya kepandaian yang dimiliki Sang 
Pangeran Muda. 

Arya segera sadar kalau Paksi Dilaga bukan tandingan 
Raja Ular Berbaju Emas. Maka, dia bersiap-siap untuk 
memberikan pertolongan. Pemuda ini sengaja tak segera 
muncul, agar bisa mengetahui persoalan yang membelit 
Paksi Dilaga. 

Sementara itu, Paksi Dilaga tak menjadi gentar dengan 
kegagalan serangannya. Ayahnya Pringgani kembali 
melancarkan serangan susulan. Paksi Dilaga 
mengeluarkan ilmu andalannya, yang membuat namanya 
terkenal dengan julukan Harimau Bertangan Delapan. 
Dikirimkannya sampokan susul-menyusul ke arah kepala 
Raja Ular Berbaju Emas. 

Plak, plak, plak.J 

Tubuh Paksi Dilaga terhuyung-huyung beberapa 
langkah ke belakang ketika Raja Ular Berbaju Emas 
mengangkat tangan kirinya, memapak. Lelaki ini 
menyeringai kesakitan! 




"Harap menyingkir, Paman Paksi! Biar aku yang 
menghadapinya!" 

Seruan itu tidak lantang. Tapi, pengaruhnya luar biasa 
besar. Tanpa banyak membantah Paksi Dilaga menuruti. 
Dihentikannya serangan susulan yang hampir 
dilancarkannya. 

Pada saat yang bersamaan, sesosok bayangan ungu 
berkelebat datang dan menjejakkan kaki di sebelah 
ayahnya Pringgani. 

"Kau?" Paksi Dilaga menggantung ucapannya. Dia 
merasa pernah melihat si pemuda. Namun penampilannya 
ketika itu agak berbeda. "Kau..., Arya?" 

"Benar, Paman. Aku Arya si tukang perahu...," jawab 
Arya setengah bergurau. 

Paksi Dilaga hendak mengajukan pertanyaan lagi, 
karena melihat keberadaan pemuda itu di tempat ini. Tapi 
maksudnya terpaksa diurungkan. Raja Ular Berbaju Emas 
terdengar membentak keras. Kakek ini merasa tersinggung 
melihat sikap Paksi Dilaga dan Arya yang tak menganggap 
keberadaan dirinya. 

"Keparat!" 

Paksi Dilaga terhuyung-huyung dengan wajah pucat! 
Dadanya bergetar hebat akibat bentakan tersebut. Buru- 
buru dikerahkannya tenaga dalamnya agar pengaruh yang 
melanda tak menimbulkan akibat yang lebih parah. 

Apa yang menimpa Paksi Dilaga, tak terjadi pada Dewa 
Arak. Pemuda ini tak terpengaruh bentakan Raja Ular 
Berbaju Emas yang mengandung tenaga dalam tinggi. Raja 
Ular Berbaju Emas mendengus untuk menutupi rasa 
kagetnya, ketika dia melihat Dewa Arak tak terpengaruh 
bentakannya. 

"Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian, Kunyuk 
Kecil?! Pantas kau berani lancang mencampuri urusanku. 
Tapi, kau jangan besar kepala dulu. Aku belum 
mengeluarkan kemampuan secuil pun!" 

"Aku percaya, Raja Ular," timpal Arya, kalem. "Meskipun 
begitu, aku tak gentar. Demi menegakkan kebenaran dan 
keadilan, siapa pun akan kuhadapi." 

"Sombong! Kau mencari mati sendiri, Kunyuk Kerdil!" 

Raja Ular Berbaju Emas tak terlihat menggerakkan 
tangan atau kaki. Tapi, tubuhnya yang masih dalam 
keadaan bersila melayang ke arah Dewa Arak! Dari udara 
kakek ini melancarkan tusukan bertubi-tubi dengan 
sepuluh jari tangannya. 

Kakek ini tampaknya tak bertindak main-main. Sekali 
menyerang dia telah menggunakan jurus 'Ular' yang 
menjadi andalan. Desisan keras mengiringi setiap luncuran 
serangannya. 

Dewa Arak mengelak dengan melompat ke belakang 
dua tindak. Bersamaan dengan itu kepalanya mengegos. 
Rambutnya yang panjang akan lebih dulu menghantam 
pelipis Raja Ular Berbaju Emas apabila si kakek bersikeras 
melanjutkan serangan. 

Raja Ular Berbaju Emas menggeram. Dia tak punya 
pilihan lagi kecuali melompat mundur. Maksudnya untuk 
melancarkan serangan susulan bergegas diurungkan. 

Raja Ular Berbaju Emas menatap tajam pada Dewa 
Arak. Arya tak mau kalah gertak. Dia melakukan hal yang 
sama. 

"Kemampuanmu cukup lumayan, Kunyuk Kerdil! Dan, 
kurasa kau cukup pantas untuk mati di tanganku. 
Perkenalkan dirimu agar tak mati penasaran!" 

Arya tersenyum mendengar ucapan lawannya. 

"Kau pandai bicara, Raja Ular. Sengaja menyinggung 
kehormatan orang agar mau menurut kehendakmu. Nah, 
dengar baik-baik. Namaku Arya Buana. Orang-orang 
persilatan lebih mengenalku sebagai Dewa Arak!" 

"Ahhh.J" 

Seruan itu keluar dari mulut Paksi Dilaga. Memang, 
kendati menjauhkan diri dari dunia persilatan, selentingan 
mengenai Dewa Arak telah sampai di telinganya. Dia 
terkejut bukan main mengetahui pemuda yang dikiranya 
tukang perahu ternyata seorang pendekar besar. 

Raja Ular Berbaju Emas pun telah mendengar berita 
tentang Dewa Arak. Tapi, kakek ini tidak kelihatan terkejut. 
Dia malah terkekeh gembira. 

"Sungguh kebetulan sekali! Begitu mendengar berita 
mengenai dirimu, aku merasa penasaran dan ingin 
membuktikan kebenarannya. Aku ingin tahu apakah 
kepandaianmu seperti yang digembar-gemborkan orang!" 

Arya hanya tersenyum pahit. Tak sepatah kata pun 
keluar dari mulutnya. Yang dilakukannya malah mengambil 
guci arak dari punggung, lalu menuangkan isinya ke dalam 
mulut. 

Raja Ular Berbaju Emas tersenyum sinis. 

"Itukah senjatamu, Kunyuk Kecil? Kudengar 
merupakan senjata pusaka yang jarang tandingan. Mana 
yang lebih kuat, gucimu atau Tongkat Ular Emas-ku!" 

Raja Ular Berbaju Emas lalu terkekeh. Sebatang 
tongkat kekuningan tampak melayang dari punggung 
menuju ke tangannya melalui atas kepala. Si kakek 
menangkap tongkat itu dan memalangkannya di depan 
dada sehingga Paksi Dilaga dan Dewa Arak melihatnya 
dengan jelas. 

Tongkat Raja Ular Berbaju Emas ternyata bukan 
sembarang tongkat. Bukan terbuat dari kayu baja, atau 
bahan mati lainnya. Tongkat itu berwujud makhluk hidup. 
Seekor ular berwarna kuning keemasan yang dikeringkan 
hidup-hidup! 

"Jaga seranganku, Kunyuk Kecil!" 

Belum habis gema ucapan itu, Raja Ular Berbaju Emas 
telah menerjang. Tongkatnya diputar cepat hingga lenyap 
bentuknya. Berubah menjadi gulungan sinar keemasan 
yang diiringi bunyi menderu-deru. 

Dewa Arak yang sejak tadi sudah bersiaga segera 
menyambutinya. Pertarungan yang tertunda pun 
berlangsung kembali. Jauh lebih seru dari sebelumnya. 
Paksi Dilaga yang menyaksikan jalannya pertarungan 
merasa tegang bukan main. 

Di kancah pertarungan, Dewa Arak maupun Raja Ular 
Berbaju Emas segera menyadari kalau lawan yang dihadapi 
memang tangguh. Kenyataan membuat Raja Ular Berbaju 
Emas menjadi penasaran. Puluhan jurus telah terlewati. 
Selama itu jalannya pertarungan masih berimbang. Masing- 
masing pihak silih berganti melancarkan serangan. 

Raja Ular Berbaju Emas tak bisa sabar lagi. Bila tak 
dilakukan perubahan dalam bertarung, kemungkinan besar 
dirinya yang akan roboh. 

Telah dibuktikan oleh Raja Ular Berbaju Emas kalau 
dalam kelincahan dan tenaga dia tak bisa unggul. Dalam 
pengalaman bertarung pun pemuda itu tak dapat ditekan. 
Tidak ada lagi segi-segi menguntungkan yang dapat 
dipergunakannya untuk mendesak Dewa Arak. 

Arya mengernyitkan alis. Disadarinya gerakan Raja Ular 
Berbaju Emas mulai berubah. Gerakan tongkat si kakek 
tetap menderu-deru seperti semula, tapi bunyi yang 
terdengar tidak riuh lagi melainkan melengking nyaring. 
Semakin lama semakin meninggi. 

Sesaat kemudian, terdengar desisan-desisan tajam dari 
berbagai penjuru. Bau amis pun menyebar. 

Orang yang dapat melihat jelas penyebab keriuhan itu 
adalah Paksi Dilaga. Bulu kuduk lelaki ini berdiri. 
Ditatapnya dengan mata membelalak lebar pada penyebab 
desisan dan bau amis. Ular! Tidak hanya seekor, melainkan 
ratusan! Dari segala penjuru dan dalam jenis beraneka 
ragam. Sebagian diketahuinya sebagai jenis ular berbisa 
yang sangat mematikan. 

Semula Paksi Dilaga hendak menyambut kemunculan 
ular itu. Gagang pedang telah dicekal dan siap untuk 
dicabut. Tapi, niat itu diurungkannya. Dia kemudian malah 
melompat ke atas. Dilemparkannya pedang sekaligus 
sarungnya ke tanah. 

Cap, cap! 

Pedang amblas di tanah hampir setengahnya. 
Sedangkan batang pedang menancap pada gagangnya. 
Bertumpuk! Di atas gagang pedang itulah Paksi Dilaga 
menjejakkan kaki. 

Rombongan ular tak mempedulikan Paksi Dilaga sedikit 
pun. Binatang-binatang itu melaluinya terus menuju 
kancah pertarungan. Dengan ganasnya ular-ular itu 
kemudian menyerang Dewa Arak. 

Bantuan binatang-binatang melata tersebut membuat 
Dewa Arak harus membagi perhatiannya. Dalam beberapa 
jurus saja dia sudah terdesak! Terpontang-panting ke sana 
kemari menyelamatkan nyawa. Sesekali dikirimkannya 
pukulan jarak jauh pada rombongan ular. Beberapa ekor 
terpental dalam keadaan hancur. Tapi, jumlah binatang itu 
seperti tak berkurang. Terus merangsek maju. 

"Jangan khawatir, Dewa Arak! Aku datang...!" 

Seruan itu dikeluarkan Paksi Dilaga. Lelaki ini 
melompat turun ke tanah lalu mencabut pedangnya. 
Sekejap kemudian telah terjun dalarn kancah pertarungan. 

Cras, cras, crasss...! 

Darah bermuncratan ketika pedang Paksi Dilaga 
terayun. Setiap kali lelaki ini mengayunkan pedang, 
beberapa ekor ular menjadi bangkai. Kendati demikian, 
jumlah binatang melata itu tak berkurang. Jumlahnya yang 
demikian banyak membuat bantuan Paksi Dilaga hampir- 
hampir tak berarti. Dewa Arak tetap saja terjepit. 

Arya sendiri tahu akan gawatnya keadaan. Bukan 
hanya dirinya yang terancam. Tapi, juga ayahnya Pringgani. 
Pemuda ini tak yakin pembunuhan besar-besaran terhadap 
ular-ular akan berarti. 

Dewa Arak menggeram keras. Geraman yang 
berkepanjangan dan mengandung pengerahan tenaga 
dalam. Geraman itu mampu menutup suara lengkingan 
yang timbul dari gerakan tongkat Raja Ular Berbaju Emas. 
Pengaruhnya terhadap ular-ular jadi terhalang. 

Akibatnya, keberingasan binatang-binatang melata itu 
lenyap. Memang, lengkingan Raja Ular Berbaju Emas 
merupakan panggilan terhadap ular-ularnya. Lenyapnya 
bunyi itu membuat rombongan ular kebingungan. 

Raja Ular Berbaju Emas tak mau kehilangan 
kesempatan. Dikeluarkan lengkingan yang mengandung 
getaran jauh lebih kuat dari pularan tongkat. Ular-ular itu 
menjadi buas kembali! Tapi sebelum binatang-binatang 
melata itu menyerang lagi, Dewa Arak meningkatkan 
kekuatan geramannya. 

Raja Ular Berbaju Emas tak mau kalah. Ditambahnya 
kekuatan suara lengkingan. Bentuk pertarungan pun 
berubah. Kedua tokoh hebat itu saling adu kekuatan 
tenaga dalam. 

Yang merasakan langsung akibat pertarungan unik itu 
adalah ular-ular dan Paksi Dilaga. Binatang-binatang 
melata tersebut tampak gelisah. Paksi Dilaga lebih 
menderita lagi. Lelaki ini merasakan dadanya bergetar 
hebat. Sepasang telinganya berdengung keras. Bahkan, 
kedua kakinya menggigil. Namun, dengan pengerahan 
seluruh tenaganya, ayahnya Pringgani ini mampu bertahan. 
Meskipun demikian, cepat atau lambat dia tetap akan 
celaka! Maka dengan tubuh terhuyung-huyung Paksi Dilaga 
meninggalkan tempat itu. 

Adu tenaga dalam antara Dewa Arak dan Raja Ular 
Berbaju Emas semakin menegangkan. Dari kepala kedua 
petarung ini mengepul uap. Bunyi yang tercipta pun tak 
ketahuan lagi nadanya. Akibatnya, ular-ular kebingungan! 
Sebagian di antara mereka malah saling serang satu sama 
lain. Tapi, sebagian besar meninggalkan tempat itu. 

Dalam waktu sekejap, yang tinggal hanya Dewa Arak 
dan Raja Ular Berbaju Emas. Keadaan kedua tokoh ini pun 
semakin mengkhawatirkan. Asap yang mengepul dari atas 
kepala bertambah banyak dan menebal. Wajah dan leher 
mereka dipenuhi butiran-butiran peluh sebesar biji jagung. 
Tapi, asap dan peluh yang keluar dari tubuh Raja Ular 
Berbaju Emas jauh lebih banyak. Bahkan, kedua kakinya 
pun menggigil keras! 

"Hugh.J" 

Hampir berbarengan, Dewa Arak dan Raja Ular Berbaju 
Emas mengeluh tertahan. Tubuh keduanya terhuyung ke 
belakang. Baru beberapa langkah, cairan merah kental 
terlontar dari mulut mereka. 

"Kau...," ujar Raja Ular Berbaju Emas. Tangannya 
mendekap dada yang terasa sakit bukan main. Darah 
segar mengalir dari mulutnya. 

"Ternyata kau lebih hebat dari perkiraanku. Kau.... 
Kau...." 

Pernyataan Raja Ular Berbaju Emas terhenti di tengah 
jalan. Malaikat maut telah lebih dulu menjemput nyawanya. 
Kakek berwajah tirus ini ambruk ke tanah. Diam, tak 
bergerak-gerak lagi. 

"Hhh.J" 

Arya menghela napas berat. Sejenak ditatapnya mayat 
Raja Ular Berbaju Emas. Kemudian kakinya diayunkan 
meninggalkan tempat itu. Beberapa kali pemuda berambut 
putih keperakan itu terhuyung. 

Jarak dua puluh tombak ditempuh Arya dengan susah 
payah. Di sini pemuda itu menghempaskan pantatnya ke 
tanah. Duduk bersemadi untuk mengobati luka dalamnya. 




"Buka matamu, Anak Setan!" 

Bentakan keras menggelegar itu membuat Arya 
membuka sepasang matanya. Hanya berjarak tiga tombak 
darinya, berdiri seorang kakek bertubuh jangkung kurus 
laksana bambu. Pakaian yang dikenakannya tampak 
kebesaran. 

Arya menyudahi semadinya, lalu bangkit berdiri. Kakek 
jangkung itu agaknya memiliki kepandaian tinggi. Karena, 
hanya orang-orang demikian yang mampu memunculkan 
diri dengan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. 

"Siapa yang kau maksud dengan anak setan itu, Kek? 
Akukah?" tanya Arya. Suaranya terdengar tenang, kendati 
sebenarnya tersinggung bukan main. Sapaan itu sama 
artinya dengan penghinaan terhadap orang tuanya. Kalau 
dirinya dianggap anak setan, bukankah artinya orang 
tuanya adalah setan? 

"Tentu saja! Hanya kau dan aku yang ada di sini. Mana 
mungkin aku menyapa diriku sendiri. Tak mungkin, 
bukan?!" dengus kakek jangkung dengan kasarnya. 
"Dengar baik-baik, Anak Setan. Mana kawan-kawanmu? 
Cepat tunjukkan!" 

Arya melongo. Bingung mendengar pertanyaan aneh 
itu. 

"Kawan-kawanku? Aku tak mengerti maksudmu, Kek?!" 
sahut Arya, jujur. 

"Tidak usah berpura-pura, Anak Setan! Cepat katakan 
di mana kawan-kawanmu. Tak ada gunanya 
membohongiku!" 

"Aku makin tak mengerti, Biang Setan!" sergah Arya, 
kesal. Amarahnya mulai diumbar. Sikap si kakek benar- 
benar memancing kejengkelannya. 

Si kakek tersenyum sinis. Sepasang matanya yang 
mencorong tajam, merayapi sekujur tubuh Arya, mulai dari 
rambut sampai ke kaki. 

"Aku mencium bau amis ular di tubuhmu, Anak Setan! 
Aku yakin kau mempunyai hubungan dengan bangkai- 
bangkai ular di sana!" tandas si kakek. Telunjuknya 
menuding ke arah tempat Raja Ular Berbaju Emas tewas. 

"Benar. Aku memang dari tempat itu!" 

"Bagus kalau kau mengaku! Sekarang, katakanlah di 
mana kawan-kawanmu! Atau..., kau hendak mengatakan 
kalau kau sendiri yang membunuh Raja Ular Berbaju Emas 
tiga hari yang lalu?!" desak kakek jangkung. 

"Aku tak peduli kau percaya atau tidak!" ujar Arya. 

Kendati pernyataan si kakek membuatnya terperanjat. 
Kalau benar ucapan kakek itu, berarti dia tenggelam dalam 
semadinya selama tiga hari. 

"Orang yang kau maksudkan itu memang tewas di 
tanganku. Raja Ular Berbaju Emas memang luar biasa 
hebat!" 

Wajah kakek jangkung menyiratkan ketidakpercayaan 
besar. 

"Begitukah?! Aku jadi ingin tahu sampai di mana 
kelihaianmu, Anak Setan! Kalau benar kau mampu 
menewaskan Raja Ular, berarti kau mampu 
menewaskanku pula!" 

Si kakek menutup ucapannya dengan serangan 
sampokan tangan kanan dan kiri bertubi-tubi tertuju ke 
kepala Dewa Arak. Tapi dengan menarik kaki kanan ke 
belakang seraya mencondongkan tubuh, pemuda itu 
membuat serangan lawan mengenai tempat kosong. 

Kakek jangkung menjadi penasaran. Dia tak bertindak 
ragu-ragu lagi. Serangan lanjutannya kini menggunakan 
tangan dan kaki. Demi mempertahankan selembar 
nyawanya, Arya terpaksa meladeninya. Padahal meski luka 
dalamnya tak berbahaya lagi, keadaan pemuda itu masih 
lemah. Hanya sebagian tenaganya yang kembali. 

Arya mengeluh dalam hati. Seperti yang telah 
diduganya, kakek jangkung itu benar-benar lihai. Tingkat 
kepandaiannya tak berada di bawah Raja Ular Berbaju 
Emas. Dalam beberapa jurus Arya dibuat terpontang- 
panting menyelamatkan diri. 

Si kakek tertawa mengejek. 

"Hanya sampai di sini saja kepandaianmu, Anak Setan? 
Dan kau berani bicara besar telah mengalahkan Raja Ular!" 

Desss...! 

Sebuah gedoran telak si kakek mengenal dada kanan 
Arya. Pemuda itu terjengkang ke belakang. Dari mulutnya 
mengalir darah segar. 

Sambil terkekeh menyeramkan, kakek jangkung 
melesat mengejar. Hendak diberikannya serangan susulan. 
Serangan yang dapat mengirim nyawa Arya ke neraka! 

Tapi, maksud itu diurungkannya di tengah jalan, la 
mendengar seruan lantang dari sebelah kanannya. 

"Kalau kau ingin aku campur tangan, lanjutkan 
seranganmu!" 

Si kakek menoleh. 

"Ahhh.J" 

Tokoh tua itu berseru kaget sambil melangkah mundur. 
Sikap dan parasnya menampakkan keterkejutan besar. 
Juga rasa gentar. 

Sang pendatang baru yang mengenakan pakaian 
kuning keemasan menggumam tak jelas. Wajahnya tak 
terlihat. Tertutup selubung yang sewarna dengan 
pakaiannya. Hanya sepasang matanya yang terlihat tajam 
berkilat-kilat. Karena, selubung itu mempunyai dua lubang 
kecil untuk mata. 

"Kau?! Kau masih hidup?!" ujar kakek jangkung 
terbata-bata. Tak mampu menyembunyikan keterkejutan¬ 
nya. 

Sang pendatang baru kembali mendengus. 

"Tak kusangka aku akan bertemu Dewa Arak. Padahal 
yang kucari adalah Paksi Dilaga," gumam sosok itu dalam 
hati. Kemudian, terdengar suaranya yang besar berwibawa. 
"Seperti yang kau lihat. Kalau aku sudah mati, mana 
mungkin bisa berada di sini!" 

"Tapi..., kau terkena Racun Ular Emas. Tak ada yang 
tahu pemunahnya kecuali si Raja Ular. Dan tak pernah ada 
orang yang dapat lolos dari maut akibat racun itu!" kakek 
jangkung masih kebingungan. 

"Kenyataannya aku masih hidup!" tandas sosok 
berselubung. 

Si kakek terdiam. Tapi hanya sesaat. 

"Kalau begitu kesempatan terbuka bagiku untuk 
membalas dendam. Kau telah membuatku terpaksa 
mengucilkan diri selama dua puluh tahun lebih. Sekarang 
kau harus menerima balasannya!" 

Kakek jangkung melesat ke arah sosok berselubung. 
Serangan-serangan dahsyat dan mematikan dikirimkannya. 
Tapi, orang yang diserang hanya mendengus. Tanpa 
bimbang sedikit pun, ditangkisnya serangan-serangan si 
kakek. 

Plak, plak, plak...! 

Tubuh kakek jangkung terlontar kembali ke belakang. 
Seringai kesakitan menghias wajahnya. Sosok berselubung 
tak bergeming dari tempatnya. 

"Kalau kau masih sayang nyawa, cepat tinggalkan 
tempat ini. Lupakan urusanmu dengan pemuda itu!" tandas 
si sosok berselubung. 

Kakeng jangkung bukan orang bodoh. Dia tahu, 
berkeras hanya akan merugikan dirinya sendiri. Sosok 
berselubung terlalu tangguh untuk dihadapinya. Kendati 
demikian, pergi begitu saja terlampau merendahkan diri. 

"Kali ini kau boleh menang, Malaikat! Tapi ingat, 
kejadian hari ini dan peristiwa dua puluh tahun lalu tak 
akan kulupakan begitu saja. Ingat-ingatlah hal ini!" 

Sosok berselubung hanya mendengus tak peduli. 
Bahkan, ketika kakek jangkung melesat pergi 
meninggalkan tempat itu. 

Arya yang menyaksikan tingkah kakek jangkung dan 
sosok berselubung segera melangkah maju. 

"Terima kasih, Kek. Kalau kau tak datang menolong, 
mungkin saat ini aku telah menjadi mayat!" ujar Arya ragu 
menyapa sosok berselubung dengan panggilan 'kek'. 
Bukankah sosok ini kenal betul dengan kakek jangkung? 
Setidaknya usia mereka kemungkinan besar sebaya. 

"Lupakanlah, Anak Muda," jawab sosok berselubung 
dengan sorot mata aneh. Sorot orang yang merasa geli. 
"Hal yang lebih penting adalah merawat lukamu. Kau 
terluka cukup parah, Anak Muda. Serangan lawanmu 
mengandung racun berbahaya!" 

"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Kek. Tapi aku 
baik-baik saja. Dan..., ahh...!" 

Arya menghentikan ucapannya. Kepalanya tiba-tiba 
terasa pening. Tubuhnya bergerak limbung. Sebelum 
ambruk ke tanah, sosok berselubung telah lebih dulu 
menangkapnya. 

Kesadaran Arya telah hampir lenyap. Kendati demikian, 
dia masih dapat mengetahui tindakan sosok berselubung. 
Sisa kesadaran yang masih ada membuat pemuda ini 
sempat merasakan hal aneh. Sayang, dia tak bisa 
memikirkan kemungkinan itu. Arya telah jatuh tak 
sadarkan diri. 


***


"Uhhh.J" 

Arya menggeliatkan tubuh merenggangkan tangan dan 
kakinya. Sepasang matanya pun dibuka. Pemuda ini 
tersentak kaget ketika melihat sosok yang duduk bersila di 
depannya. 

"Paman Paksi!" seru Arya, kaget bercampur gembira. 
Tak disangka dia akan bertemu ayahnya Pringgani kembali. 

Paksi Dilaga tersenyum dan menganggukkan kepala. 

"Bagaimana kau bisa berada di sini, Paman? Dan, 
mengapa pula aku bisa berada di sini?" Arya teringat pada 
pertemuannya dengan sosok berselubung. 

"Mengenai keberadaanmu di tempat ini aku tak tahu, 
Arya. Sedangkan diriku hanya kebetulan saja. Karena 
perasaan curigaku...," beri tahu Paksi Dilaga. "Kulihat 
seseorang berpakaian kuning selama beberapa hari setiap 
pagi dan sore masuk ke gua ini. Aku jadi ingin tahu. 
Ternyata kau yang kujumpai." 

Arya tersentak kaget. 

"Beberapa hari? Berarti selama itu aku tak sadarkan 
diri?" gumam Arya lirih. 

"Tingkah orang berpakaian kuning itu membuatku 
curiga, Arya. Apa keperluannya sehingga selama beberapa 
hari datang ke gua ini." 

"Lalu di mana orang berpakaian kuning itu, Paman?" 

"Aku tidak tahu, Arya," Paksi Dilaga mengangkat 
bahunya. "Kali ini tampaknya dia tidak datang. Sekarang 
telah siang. Padahal biasanya dia datang pagi. Kalau boleh 
kutahu, sebenarnya apa hubunganmu dengan orang itu?" 

"Tidak ada hubungan apa-apa, Paman. Kami hanya 
kebetulan bertemu. Dia menolongku dari ancaman maut." 

Secara singkat Arya kemudian menceritakan semua 
kejadian yang dialaminya. Paksi Dilaga mendengarkan 
dengan penuh minat. Wajahnya berubah ketika Arya 
menceritakan ciri-ciri penolongnya. 

"Ada apa, Paman? Apakah kau mengenal penolongku 
itu?!" tanya Arya yang sempat melihat perubahan wajah 
Paksi Dilaga. 

"Aku tak pasti, Arya," jawab Paksi Dilaga. Lalu dihelanya 
napas berat. "Hanya ceritamu mengingatkanku akan 
kejadian berpuluh tahun silam di dunia persilatan. Ciri-ciri 
penolongmu hanya dimiliki tokoh yang berjuluk Malaikat 
Tanpa Wajah." 

"Mungkin tokoh itu yang telah menolongku," timpal 
Arya. "Kudengar lawanku menyapanya 'malaikat'. 

"Mungkin, Arya. Tapi menurut berita yang kudapat, 
Malaikat Tanpa Wajah telah mati karena racun." 

Arya tertegun. Sungguh tak disangkanya akan 
mendapat berita seperti itu dari Paksi Dilaga. 

"Yakinkah kau dengan berita yang kau dapatkan itu, 
Paman?!" Arya meminta penegasan. 

"Tentu saja, Arya!" tandas Paksi Dilaga. 

Arya diam. 

"Masih ingatkah kau akan tokoh sesat yang hendak 
membawaku pada Sang Pangeran Muda? Toloh sesat yang 
memanggil ular untuk menghadapimu?" tanya Paksi Dilaga. 

Arya menganggukkan kepalanya. 

"Dia berjuluk Raja Ular Berbaju Emas," sahutnya. 

"Benar. Raja Ular Berbaju Emas. Nah! Datuk sesat 
itulah yang telah menyarangkan racun dalam tubuh 
Malaikat Tanpa Wajah. Sehingga, tokoh yang luar biasa itu 
menemui ajalnya beberapa bulan kemudian." 

Keterangan itu membuat Arya teringat kembali akan 
ucapan kakek jangkung. Si kakek pun menyangka sosok 
berselubung telah tewas! 

"Beberapa puluh tahun lalu...," tanpa diminta Paksi 
Dilaga bercerita. "Di dunia persilatan berkuasa empat 
datuk kaum sesat. Di antaranya adalah Raja Ular Berbaju 
Emas. Mereka menyebar angkara murka di mana-mana. 
Seorang tokoh tingkat tinggi, golongan putih yang berjuluk 
Malaikat Tanpa Wajah tak bisa tinggal diam. Datuk-datuk 
sesat itu dicarinya. Salah seorang datuk dapat ditewaskan. 
Sisanya terluka amat parah. Luka yang sulit untuk 
disembuhkan. Membutuhkan waktu puluhun tahun untuk 
memulihkan kemampuan seperti semula." 

"Kalau empat datuk sesat itu berhasil dikalahkan, 
bagaimana Malaikat Tanpa Wajah dapat diracuni?" Arya 
rnasih belum jelas. 

"Raja Ular Berbaju Emas merupakan datuk sesat yang 
licik!" tandas Paksi Dilaga penuh kebencian, sehingga 
membuat Arya keheranan. "Begitu mendengar seorang 
datuk roboh di tangan Malaikat Tanpa Wajah, dia segera 
mengajak datuk yang tersisa untuk bergabung. Bersama 
mereka mengeroyok Malaikat Tanpa Wajah. Tapi, tokoh 
yang penuh rahasia itu memang luar biasa. Pengeroyokan 
lawan-lawannya dapat dipatahkan. Bahkan, dia mampu 
membuat mereka terluka parah. Sayang, Raja Ular Berbaju 
Emas sempat menyarangkan Racun Ular Emas pada 
dirinya. 

Arya terdiam. Dia tak menduga akan mendengar cerita 
seperti ini. Julukan Malaikat Tanpa Wajah telah demikian 
terkenal. Arya menatap Paksi Dilaga yang menundukkan 
kepala. Lelaki itu kelihatan demikian mengagumi Malaikat 
Tanpa Wajah. 

"Menurutmu, dari empat datuk sesat itu hanya satu 
orang yang tewas, Paman?" tanya Arya, sekadar untuk 
mengalihkan perhatian Paksi Dilaga. 

"Benar." 

"Berarti masih ada tiga datuk yang hidup," lanjut Dewa 
Arak. "Kalau Raja Ular Berbaju Emas sanggup hidup, 
kemungkinan besar dua datuk lainnya pun masih hidup 
pula. Sekarang aku dapat mengira siapa sebenarnya kakek 
jangkung itu. Pasti dia salah seorang dari empat datuk 
sesat itu." 

"Menurut berita yang kudengar, datuk yang memiliki ciri 
jangkung dan kurus berjuluk Iblis Tangan Bayangan, yang 
seorang lagi berjuluk Lelembut Berwajah Dewa!" jelas Paksi 
Dilaga. 

Arya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. 

Suasana menjadi hening ketika Arya maupun Paksi 
Dilaga tak berbicara. Tapi, keadaan itu tak berlangsung 
lama. 

"Aku mempunyai pemikiran aneh, paman. Tapi kurasa 
masuk akal juga," celetuk Arya. 

"Mengenai apa, Arya?" 

"Nasib Malaikat Tanpa Wajah." 

"Maksudmu?" paksi Dilaga belum mengerti. 

"Begini, Paman. Kalau datuk-datuk sesat yang memiliki 
kemampuan di bawah Malaikat Tanpa Wajah saja bisa 
lolos dari maut, bukan tak mungkin tokoh itu pun berhasil 
menyembuhkan keracunannya. Kenyataannya kulihat 
sendiri. Dan mengenai kepandaiannya, memang luar 
biasa." 

"Kematian Malaikat Tanpa Wajah tak usah kau 
sangsikan lagi, Arya. Aku melihatnya sendiri. Bukan 
mendengar berita dari orang lain. Namun ceritamu 
membuatku penasaran. Aku ingin tahu, siapa yang telah 
begitu lancang memalsukan tokoh penuh rahasia itu!" 

"Mungkin keturunan atau muridnya, paman?!" Arya 
mencetuskan dugaannya. 

Paksi Dilaga terperanjat. Ditatapnya waiah Arya lekat- 
lekat. Tapi, tak sepatah kata pun dilontarkan. Tampaknya 
lelaki itu berniat melanjutkan pembicaraan. Maka, Arya 
pun tak mendesaknya. Ketika tiba-tiba teringat pada 
Pringgani, dengan hati-hati diceritakannya pada Paksi 
Dilaga. 

Paksi Dilaga mendengarkan cerita Dewa Arak dengan 
penuh perhatian. Saat Arya menyelesaikan ceritanya lelaki 
itu menghela napas berat dengan wajah muram. 

"Kalau menurut pendapatku, Paman," kata Arya hati- 
hati. Pemuda ini hendak menghibur hati Paksi Dilaga. 
"Pringgani masih hidup. Kalau hendak dibunuh, untuk apa 
repot-repot menculiknya. Bunuh saja di situ langsung." 

"Aku setuju dengan pendapatmu, Arya," wajah Paksi 
Dilaga agak berseri. Dia bisa merasakan kebenaran dalam 
pendapat Arya. "Pringgani dalam keadaan selamat. Kendati 
demikian, hatiku merasa tak tenang. Kalau dia sampai 
celaka, aku tak berani bertemu dengan istriku di akhirat 
sana...." 

Arya bisa memaklumi kegalauan yang melanda hati 
Paksi Dilaga. Dia telah mendengar tentang pesan 
almarhum istrinya yang disanggupi lelaki itu. 

"Aku akan berusaha mendapatkan putrimu kembali, 
Paman," janji Arya. 

"Terima kasih, Arya. Aku yakin dengan kemampuanmu 
kau bisa berbuat lebih banyak. Kalau penculiknya memiliki 
kepandaian di atasku, aku dapat mengandalkan dirimu." 

"Kau terlalu memandang tinggi padaku, paman," keluh 
Arya agak tersipu. 

"Itu kenyataan, Dewa Arak!" bantah Paksi Dilaga. 
"Nama besarmu telah mengguncangkan dunia persilatan." 

Arya hanya diam saja. 

"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Paman?!" 
tanyanya kemudian mengalihkan pembicaraan. 

"Mencari putriku, Arya. Karena tak tahu harus 
mencarinya di mana, biarlah kulakukan sambil lalu. Aku 
akan menemui keluargaku lebih dulu. Kau mau ikut?" 

"Tentu saja, Paman!" jawab Arya, cepat. "Bukankah aku 
telah berjanji akan membantumu mencari Pringgani. 
Bagaimanapun juga aku merasa bersalah. Atau, kau lebih 
suka mencari putrimu itu sendirian, Paman?!" 

"Kau tidak bersalah, Arya," bantah Paksi Dilaga. "Bila 
kau tak menolongnya, mungkin dia telah tewas di tangan 
penjahat-penjahat keji dari Pantai Selatan itu." 

"Kau lebih suka kalau kita mencarinya berpencar, 
Paman?!" desak pemuda berambut putih keperakan. Salah 
satu pertanyaannya belum terjawab. 

"Itu terserah padamu. Aku tak berani meminta. 
Walaupun, aku akan merasa terhormat bila bisa 
melakukan perjalanan bersama tokoh besar sepertimu." 

"Aku hanya hendak memastikan, Paman," kilah Arya. 
"Barangkali saja kau mempunyai urusan yang amat pribadi 
dengan keluargamu. Aku kan terhitung orang luar." 

"Bukan, Arya. Hanya urusan biasa saja. Bagaimana, kau 
mau pergi bersamaku?" 

Arya mengangguk. 

"Masih jauhkah tempat kediaman keluargamu itu, 
Paman?" 

"Tidak. Tidak sampai dua hari kita telah tiba di sana," 
beri tahu Paksi Dilaga seraya mengayunkan kaki. 

Arya pun bergegas melangkah mengikuti. 




Arya melirik Paksi Dilaga yang tertunduk menekuri tanah. 
Pemuda ini berdiam diri, tak ingin mengganggunya. Dia 
bisa merasakan kesedihan yang mendera ayahnya 
Pringgani. 

"Kalau tak melihatnya sendiri, aku tak akan percaya, 
Arya," ujar tokoh yang belasan tahun lalu terkenal dengan 
julukan Harimau Bertangan Delapan. Suaranya bergetar 
penuh kesedihan, perasaan hatinya begitu terpukul. 

Arya hanya menghela napas berat. Mereka berdua 
berdiri di depan bangunan cukup besar yang kelihatan 
kotor tak terawat, seperti telah bertahun-tahun ditinggal 
pergi. Bangunan yang selama ini menjadi tempat tinggal 
keluarga Paksi Dilaga. 

"Aku tak mengerti bagaimana ini bisa terjadi," keluh 
Paksi Dilaga. Kemudian, tanpa diminta dia menceritakan 
tentang keluarganya. 

"Maaf, bukan maksudku untuk mengajari paman. Tapi, 
apa pun di dunia ini bisa saja terjadi," ujar Arya hati-hati. 
Khawatir Paksi Dilaga tersinggung. "Kebencian para 
pengejarmu ternyata tak hanya tertuju pada dirimu, tapi 
juga keluargamu." 

"Dari mana mereka tahu penghuni rumah ini adalah 
keluargaku, Arya?" tanya Paksi Dilaga dengan nada sedih. 
"Tak seorang pun tahu dari mana aku berasal. Juga 
mengenai keluarga ini." 

"Aku masih belum mengerti maksudmu, Paman." 

Paksi Dilaga menghela napas berat. Ditatapnya Arya 
dalam-dalam. 

"Aku percaya padamu, Arya. Maka meski hal ini 
sebenarnya rahasia keluarga kami, aku akan memberitahu- 
kanmu." 

"Kalau merupakan rahasia keluarga, kukira lebih baik 
tak usah dibicarakan, Paman," tolak Arya. 

"Tidak Arya. Kau merupakan kekecualian!" 

Paksi Dilaga berkeras dengan kehendaknya. "Kau tentu 
masih ingat mengenai Malaikat Tanpa Wajah." 

Arya mengangguk. 

"Perlu kau ketahui, Arya. Aku terkejut sekali mendengar 
ucapanmu. Kau mengatakan kalau tokoh yang kau temui 
mungkin keturunan atau murid Malaikat Tanpa Wajah. 
Terus terang, aku baru pertama kali mendengar ucapan 
seperti itu. Selama ini orang-orang persilatan menganggap 
Malaikat Tanpa Wajah tak pernah mati. Jadi, Malaikat 
Tanpa Wajah yang muncul dua ratus tahun lalu adalah 
Malaikat Tanpa wajah yang muncul dua puluh tahun lalu. 
Hanya aku yang mempunyai pendapat berbeda. 
Bagaimana kau bisa menduga demikian, Arya?" 

"Aku pernah menemukan tokoh yang melegenda 
seperti itu, Paman," jawab Arya (Untuk jelasnya, silakan 
baca episode: "Peninggalan Iblis Hitam") 

Paksi Dilaga mengangguk maklum. 

"Dugaanmu memang tepat, Arya. Malaikat Tanpa Wajah 
tak hanya seorang. Selubung dan pakaian yang 
dikenakannya membuat orang itu tak dikenal jati dirinya. 
Sehingga, tak ada seorang pun yang tahu kalau selama 
kurun waktu ratusan tahun telah beberapa kali Malaikat 
Tanpa Wajah berganti-ganti. Leluhurku yang pertama kali 
menjadi Malaikat Tanpa Wajah, Dewa Arak. Beliau seorang 
pelaut. Pekerjaannya membuatnya mengenal banyak 
orang. Salah seorang kenalan memberinya mantera 
pemanggil makhluk gaib. Ilmu 'Nyambat' namanya. Dari 
makhluk-makhluk gaib itu beliau mempelajari kesaktian. 
Kemudian, ilmu-ilmu itu diwariskan pada keturunannya." 

Paksi Dilaga menghentikan ceritanya sejenak. 
Diambilnya napas dan ditelannya ludah untuk membasahi 
tenggorokannya yang kering. 

"Sayang, dua keturunan terakhir yaitu aku dan ayahku 
tak memiliki bakat baik. Kami tak mampu menguasai ilmu- 
ilmu tingkat tertinggi keluarga kami. Kendati demikian, 
Ayah masih lebih berbakat daripada aku. Tapi tetap saja 
beliau tak boleh menggantikan tugas menjadi Malaikat 
Tanpa Wajah, karena tak mempunyai ilmu khas. Jadi ketika 
kakek wafat oleh Racun Ular Emas, tak ada lagi yang 
menggantikan menjadi Malaikat Tanpa Wajah." 

"Berarti..., seharusnya Malaikat Tanpa Wajah tak 
muncul lagi ke dunia persilatan," cetus Arya. 

"Benar, Arya," dukung Paksi Dilaga. "Sekarang kau 
mengerti mengapa aku merasa heran ayah dan ibuku bisa 
terbunuh. Kami keluarga yang penuh rahasia. Tempat kami 
pun terpencil. Rasanya mustahil ada orang mengetahui 
rahasia ini. Andaikata pun ada yang tahu, rasanya sulit 
untuk dapat membunuh Ayah. Kepandaian beliau jauh 
lebih tinggi dari aku. Empat datuk sesat pun belum tentu 
mampu mengalahkan Ayah." 

"Kita harus melihat kenyataan, Paman. Ayah dan ibumu 
telah tewas terbunuh. Kalau hanya bingung memikirkan 
mengapa mereka bisa tewas, tak akan kita temukan 
jawabannya. Bukankah lebih baik kalau kita menyelidiki 
pelaku tindak kekejian ini?" usul Arya, hati-hati. 

Paksi Dilaga tersenyum. Tapi, terlihat belum dengan 
sepenuh hati. 

"Aku bisa menerima kebenaran ucapanmu, Arya. Orang 
yang sudah mati memang tak akan kembali lagi. Kau 
benar. Akan kucari orang yang telah melakukan kekejian 
ini. Hhh...! Tugasku jadi bertambah, Arya. Tak hanya 
mencari Pringgani sekarang, tapi juga pembunuh ayahku..." 

***

Sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi bergerak 
lambat. Jalan berupa permukaan tanah tak rata membuat 
gerobak berguncang-guncang. Semua itu seperti tak 
dipedulikan sang kusir yang duduk melengguk di 
tempatnya. 

Gerobak masih berjarak belasan tombak di belakang 
dua orang yang tengah berjalan seenaknya. Sungguhpun 
demikian, pemuda berpakaian ungu dapat mengetahui 
keberadaannya. Rekan lelaki setengah baya berpakaian 
putih ikut pula mendengar. Dua orang itu memang bukan 
orang sembarang. Mereka adalah Paksi Dilaga dan Dewa 
Arak. 

Arya dan Paksi Dilaga bersikap tak peduli. Keduanya 
tetap mengayunkan langkah, tanpa menoleh sedikit pun ke 
belakang. Padahal dari bunyi yang tertangkap telinga, 
gerobak sapi itu berada semakin dekat dengan mereka. 

Kedua tokoh golongan putih ini hanya bergeser agak ke 
tepi jalan, agar gerobak dapat melaju tanpa terhambat 
mereka. Jalan itu sendiri cukup lebar untuk menampung 
dua buah gerobak sapi sekaligus. Di kanan kirinya, 
dipisahkan oleh parit kecil, membentang tanaman alang- 
alang. 

Gerobak sapi itu telah mulai mensejajari langkah Arya 
dan Paksi Dilaga. Kedua tokoh itu tetap bersikap tak 
peduli, seakan tak mengetahui kehadiran gerobak sapi. 

"Dewa Arak!" 

Cepat Arya menoleh ke arah asal suara. Paksi Dilaga 
ikut-ikutan. Tapi, sang kusir gerobak cepat melanjutkan 
ucapannya. Nadanya tetap lirih seperti khawatir didengar 
orang lain. 

"Tak perlu menoleh. Harap dengan baik-baik ucapanku 
ini. Di malam bulan purnama akan ada pertemuan tokoh- 
tokoh golongan putih, untuk menyusun kekuatan dan 
rencana guna menghadapi gerombolan sesat di bawah 
pimpinan Sang Pangeran Muda. Kami berharap kau dapat 
hadir. Tempatnya di Lembah Maut di lereng Gunung 
Merapi. Apakah keteranganku sudah jelas, Dewa Arak?!" 

"Sangat jelas, "jawab Arya tanpa menoleh. 

"Kalau begitu, selamat tinggal. Mudah-mudahan 
kelompok sesat itu dapat kita hancurkan." 

Bersamaan dengan lenyapnya perkataan terakhir, 
gerobak bergerak lambat meninggalkan Dewa Arak dan 
Paksi Dilaga. Sedikit derni sedikit gerobak itu semakin 
jauh. 

"Malam bulan purnama...," gumam Arya pelan, seperti 
bicara pada dirinya sendiri. 

"Dua malam lagi, Arya," timpal Paksi Dilaga setengah 
memberi tahu. 

"Kalau begitu, waktu yang tersedia cukup untuk ke 
sana, Paman...." 

"Apa yang kau katakan itu tak salah, Arya. Waktu yang 
kita miliki lebih dari cukup. Dengan demikian, kita tak pertu 
terburu-buru." 


***


Sebetulnya Arya dan Paksi Dilaga merasa heran. 
Namun mereka mampu meredamnya, sehingga tak 
terlihat. Wajah dan sikap kedua tokoh ini tetap biasa. 

"Sang kusir gerobak mengatakan akan ada pertemuan 
tokoh-tokoh golongan putih. Tapi, mengapa hanya 
beberapa orang saja yang hadir? Mana yang lainnya? Atau 
ini hanya tipuan belaka?" 

Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut di benak Arya dan 
Paksi Dilaga. Untuk kesekian kalinya kedua tokoh ini 
mengedarkan pandangan berkeliling. Ditatapnya sekilas 
tokoh-tokoh lang hadir. Hanya tiga orang yang ada di situ 
selain mereka berdua. 

"Kurasa...," cetus seorang kakek bermuka merah 
memecahkan keheningan yang menyelimuti mereka. "Tak 
ada gunanya lagi kita menunggu. Malam telah semakin 
larut. Aku yakin tak akan ada lagi orang yang datang." 

"Apa yang diucapkan Raja Tuak memang tepat. Kita tak 
perlu lagi menunggu. Mungkin rekan yang lain khawatir 
kalau-kalau Sang Pangeran Muda dan gerombolannya 
muncul di tempat ini. Kita tak bisa menyalahkan mereka," 
timpal kakek yang memiliki tangan sebelah dengan sikap 
bijaksana." 

Kakek bermuka merah yang ternyata berjuluk Raja 
Tuak, terkekeh. Tabung bambu yang sejak tadi tergeletak 
di dekatnya diangkat lalu dituangkan ke mulut. Tuak 
mengalir ke dalam mulutnya yang terbuka lebar. Bunyi 
menggeluguk terdengar ketika minuman memabukkan itu 
melewati tenggorokannya. 

"Sebelum kita lanjutkan pertemuan ini...," kata Raja 
Tuak seraya meletakkan tabung bambunya lagi. Disekanya 
tepi-tepi mulutnya yang basah. Sepasang matanya yang 
tajam berkilat diedarkan pada semua orang, dan berhenti 
di wajah Dewa Arak. "Kurasa ada baiknya kalau kita saling 
memperkenalkan diri dulu." 

Raja Tuak menunjuk pada kakek bertangan sebelah, 
sementara pandangannya tertuju pada Dewa Arak dan 
Paksi Dilaga. Pada kedua tokoh itulah kakek bermuka 
merah hendak memberitahukannya. 

"Sahabat ini berjuluk Naga Bercakar Tunggal." 

Dewa Arak dan paksi Dilaga tersenyum. Kepalanya 
dianggukkan dan balas memperkenarkan diri pada Naga 
Bercakar Tunggal yang menyunggingkan senyum ramah. 

"Dan sahabat yang satunya lagi..." lanjut Raja Tuak. 
Perhatiannya dialihkan sebentar pada kakek terakhir yang 
ada di situ. Dia berkepala botak dan kelihatan licin 
mengkilat. Terkekeh ramah pada Dewa Arak dan paksi 
Dilaga. "Dikenal orang dengan julukan Dewa Berkepala 
Baja." 

"Aku telah mendengar julukan Dewa Arak yang 
menggetarkan dunia persilatan. Dan, telah lama 
mengaguminya. Tapi, baru kali ini aku mendapat 
keberuntungan bertemu muka. Sungguh menakjubkan 
sekali! Dalam usia semuda ini telah memiliki kepandaian 
luar biasa serta nama besar." 

"Ahhh..., apalah artinya dibandingkan dengan kakek 
bertiga. Berita yang tersiar itu terlalu dibesar-besarkan, " 
sahut Arya merendah. 

"Sungguh sebuah sikap yang bagus," puji Raja Tuak. 
"Dan kau Paksi Dilaga, kami tahu kau pun telah membuat 
dunia persilatan geger dengan tindakan-tindakanmu. 
Sehingga kau mendapat julukan Harimau Bertangan 
Delapan. Kami manghargai sekali kehadiran kalian berdua 
di tempat ini." 

"Kami hanya ingin menyumbangkan sedikit 
kemampuan yang kami miliki, Raja Tuak," kilah Arya. 

Arya dan Paksi Dilaga tahu kalau Raja Tuaklah yang 
menjadi kusir gerobak sapi dan mengundang mereka ikut 
pertemuan. Sungguh tak mereka sangka kalau si kakek 
yang menjadi pemimpin pertemuan. 

"Tidak ada yang patut dikagumi dari diriku, Raja Tuak," 
kilah Paksi Dilaga, memberikan tanggapan atas pujian 
yang dilontarkan Raja Tuak. Nada ucapan lelaki ini 
terdengar getir karena teringat akan keadaan dirinya. "Aku 
hanya seorang pengecut yang melarikan diri dari kejaran 
musuh-musuh yang ingin membunuhku!" 

Raja Tuak, Naga Bercakar Tunggal, dan Dewa 
Berkepala Baja agak heran mendengar jawaban tersebut. 
Namun mereka tak mendesak lebih jauh. Tanggapan Paksi 
Dilaga membuat ketiga kakek itu tahu kalau dia telah 
mengalami kejadian tak menyenangkan. Adalah sikap 
kurang patut memintanya menjelaskan maksud 
pernyataannya tadi. 

"Tujuan kita berkumpul di sini sebenarnya untuk 
menyusun kekuatan guna mencegah angkara murka Sang 
Pangeran Muda dan komplotannya." 

Raja Tuak langsung berbicara pada pokok persoalan, 
sekaligus membuka jalannya pertemuan. 

"Tapi, yang kita temui ternyata tak berjalan sesuai 
keinginan. Hanya kita yang berkumpul di tempat ini. Kita 
berlima! Semula aku telah memperhitungkan puluhan 
orang yang akan hadir. Karena itulah kupilih tempat yang 
cukup luas ini. Tapi kenyataannya?" 

Raja Tuak mengangkat kedua bahu, menampakkan 
sikap kecewanya. Semua yang hadir di situ bisa 
memakluminya. Kakek bermuka merah itu telah bersusah 
payah mencari temat yang nyaman. Tanah lapang luas 
yang ditumbuhi rumput setinggi dua kaki. Dikelilingi pohon- 
pohon cukup besar di tepinya. Luas lapangan itu cukup 
untuk menampung puluhan orang. 

"Entah masalah apa yang membuat rekan-rekan 
lainnya tertahan untuk hadir di sini. Tapi, kuharap kalian 
semua tak berkecil hati. Rencana mulia kita jangan sampai 
hancur karenanya." 

Raja Tuak menenggak minumannya kembali sebelum 
melanjutkan bicara. 

"Dan, kuminta yang hadir di sini sedapat mungkin 
membawa rekan-rekan lain untuk ikut pertemuan dua 
pekan yang akan datang. Bagai mana, kalian setuju?" 

"Aku tak yakin akan keberhasilannya, Raja Tuak," Naga 
Bercakar Tunggal menimpali. "Kurasa mereka telah 
telanjur berpendapat kalau Sang Pangeran Muda tak bisa 
ditanggulangi. Mereka berpikir, tak ada gunanya menyusun 
kekuatan dan mengadakan perlawanan. Hanya akan 
mengakibatkan pertumpahan darah besar-besaran." 

"Apa yang dikatakan Naga memang benar, Raja Tuak," 
celetuk Dewa Berkepala Baja memberikan dukungan. 
"Komplotan Pangeran Muda luar biasa kuat. Jangankan 
tokoh misterius itu, wakil-wakilnya saja mungkin tak akan 
terlawan oleh kita. Siapa yang tak kenal Raja Ular Berbaju 
Emas, Iblis Tanpa Bayangan, dan Lelembut Bermuka Dewa. 
Datuk-datuk sesat empat penjuru mata angin. Puluhan 
tahun yang lalu pun mereka tak terkalahkan" 

Arya mengerling pada Paksi Dilaga. Ayahnya Pringgani 
melihat. Dan, dia tahu apa artinya. Kerling sekilas itu 
mengandug pertanyaan besar akan kebenaran cerita Paksi 
Dilaga yang menyatakan datuk-datuk sesat empat penjuru 
angin telah dikalahkan kakeknya. 

Paksi Dilaga pun menunjukkan rasa penasaran. Dia 
telah memberikan bantahan. Tapi, Naga Bercakar Tunggal 
telah mendahului berbicara. 

"Kau keliru, Dewa. Sepanjang yang kutahu keempat 
datuk sesat itu berhasil dikalahkan seorang tokoh 
golongan putih yang berjuluk Malaikat Tanpa Wajah! 
Bahkan, tokoh yang telah muncul sejak ratusan tahun lalu 
itu berhasil menghadapi keroyokan dua datuk." 

"Aku pun mendengar berita itu, Naga," kelit Dewa 
Berkepala Baja. "Tapi, Malaikat Tanpa Wajah tak bisa 
dimasukkan ke dalam datuk golongan putih, karena 
kemisteriusannya. Tak ada seorang pun tahu siapa 
sebenarnya tokoh itu. Apalagi mengingat kemunculannya 
pertama kali, pada ratusan tahun lalu sebelum dia 
menyebabkan empat datuk sesat menghilang dari dunia 
persilatan. Anehnya, sejak empat datuk sesat menghilang, 
tokoh itu pun lenyap pula. Lagi pula, menurutmu 
mungkinkah ada orang yang mampu hidup sampai usia 
dua ratus tahun?" 

Naga Bercakar Tunggal terdiam. Kebingungan dia 
memberikan bantahan. Dewa Berkepala Baja semakin 
bersemangat memojokkannya. 

"Bila kau menghitung, Malaikat Tanpa Wajah itu 
berusia lebih dari dua ratus tahun. Cobalah kau 
perhitungkan saat pertama kali tokoh itu muncul, hingga 
lenyapnya dia bersama empat datuk sesat, Naga!" 

Naga Bercakar Tunggal tetap terdiam. Kakek bertangan 
sebelah ini tampak gelisah. 

Arya melirik ke arah Paksi Dilaga. Lelaki berpakaian 
putih itu merupakan satu-satunya orang yang dapat 
memberikan keterangan secara lengkap. Sayang, dia tak 
dapat ikut campur. Itu akan membuka rahasia yang selama 
ini tertutup rapat. 

"Sebenarnya...," Arya ikut campur dalam perdebatan. 
Tindakannya ini mengundang perhatian semua orang. 
Mereka ingin tahu kelanjutan pernyataan Dewa Arak. "Hal 
yang tak memungkinkan mengenai Malikat Tanpa Wajah 
bisa saja terjadi," cetus Arya hati-hati. 

"Apa maksudmu, Dewa Arak?" tanya Dewa Berkepala 
Baja dengan alis berkernyit. Kakek berkepala botak ini 
sudah memperkirakan Arya akan mengeluarkan pendapat 
yang mendukung pernyataan Naga Bercakar Tunggal. 
Karena itu, kakek ini yang paling merasa penasaran. 

"Maksudku, mengenai kemustahilan usia Malaikat 
Tanpa Wajah seperti yang kau kemukakan tadi, Kepala 
Baja," jelas Arya. "Memang ada hal yang mencurigakan 
mengenai tokoh misterius itu. Tentang usianya." 

"Benar, Dewa Arak. Apakah kau ingin mengatakan 
kalau mustahil seseorang berusia sampai dua ratus 
tahun?" desak Dewa Berkepala Baja. 

"Aku tidak mengatakan demikian, Kepala Baja," bantah 
Arya. "Yang jelas, aku percaya Malaikat Tanpa Wajah yang 
muncul sejak ratusan tahun lalu membuat datuk-datuk 
sesat empat penjuru angin menghilang dari dunia 
persilatan." 

"Kau berbelit-belit, Dewa Arak!" cela Dewa Berkepala 
Baja tak sabar. "Kalau kau percaya Malaikat Tanpa Wajah 
terus muncul hingga dua puluh tahun lalu, itu berarti kau 
harus percaya seseorang dapat berusia dua ratus tahun." 

Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak mengernyitkan 
alis. Mereka merasakan kebenaran ucapan Dewa 
Berkepala Baja. Arya berbelit-belit dengan berbagai alasan. 
Pada akhirnya dia juga akan mendukung pernyataan Dewa 
Berkepala baja. 

"Mungkinkah Arya akan membuka rahasia tentang 
siapa sebenarnya Malaikat Tanpa Wajah?" pikir Paksi 
Dilaga mulai khawatir. "Mudah-mudahan hal itu tak 
dilakukannya. Arya tahu hal itu merupakan rahasia besar 
keluargaku." 

Arya terlihat tetap tenang. Bibirnya mengembangkan 
senyum. 

"Kalau kau mencerna pernyataanku lebih dalam, kau 
akan dapat membedakannya, Kepala Baja. Kukatakan aku 
tak percaya bila seseorang bisa berusia sampai dua ratus 
tahun. Tapi, aku percaya kalau Malaikat Tanpa Wajah bisa 
berusia sampai dua ratus tahun." 

"Sepertinya pernyataan itu memang bertentangan satu 
sama lain. Tapi, sekarang mari kita membuktikan 
kebenarannya," tantang Dewa Berkepala Baja. 

"Siapa di antara kalian yang pernah melihat paras 
Malaikat Tanpa Wajah?" tanya Arya. Pandangannya 
diedarkan berkeliling. Dtatapnya satu persatu tokoh yang 
ada di situ. 

Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak terdiam. 
Demikian pula Paksi Dilaga, kendati jantungnya berdetak 
lebih cepat. Tapi, tidak demikian halnya dengan Dewa 
Berkepala Baja. 

"Kurasa kita cukupkan perdebatan ini, Dewa Arak. 
Pertanyaanmu saja telah membuktikan kalau kau tak tahu 
apa-apa mengenai Malaikat Tanpa Wajah. Dengar, Dewa 
Arak! Hampir semua tokoh persilatan tahu kalau Malaikat 
Tanpa Wajah mengenakan selubung. Selubung itu menjadi 
petunjuk jelas kalau dia tak ingin dikenal. Lalu, bagaimana 
mungkin orang dapat melihat wajahnya? Kau malah 
menanyakan hal itu. Bukankah itu berarti kau tak tahu apa 
pun. Perdebatan ini tak ada gunanya dilanjutkan!" 

Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak kembali harus 
mengakui kebenaran pendapat Dewa Berkepala Baja. 
Sedangkan Paksi Dilaga gelisah mendengar bantahan 
kakek berkepala botak. Dia khawatir Dewa Arak akan kalah 
berdebat dengan kakek yang pandai bicara itu. 

"Di sinilah kekeliruannya, Kepala Baja, " kata Arya 
dengan ketenangan yang menakjubkan. "Kalau tak ada 
yang pernah melihat wajahnya, siapa yang dapat 
membuktikan wajah di balik selubung tokoh Malaikat 
Tanpa Wajah ratusan tahun lalu adalah wajah yang sama. 
Siapa yang bisa menjamin?" 

Naga Bercakar Tunggal, Raja Tuak, dan Dewa 
Berkepala Baja terkejut bukan main mendengar alasan 
Dewa Arak. Alasan yang luar biasa kuat! 

"Aku yakin wajah di balik selubung itu senantiasa 
berganti-ganti!" lanjut Dewa Arak. "Aku mempunyai alasan 
kuat untuk pernyataan ini. Aku pernah menemui tokoh 
melegenda seperti Malaikat Tanpa Wajah. Tokoh itu 
berjuluk Iblis Hitam! Tokoh yang merupakan datuk sesat ini 
terkenal sejak ratusan tahun lalu." (Untuk jelasnya, 
silahkan baca episode : "Iblis Hitam"). 

"Semua tokoh-tokoh persilatan bingung mengapa tokoh 
itu tetap muncul di dunia persilatan. Padahal, menurut 
perhitungan dia sebenarnya sudah meninggal karena usia 
tua. Belakangan baru ketahuan kalau Iblis Hitam yang 
selalu berselubung itu senantiasa berganti. Keturunan- 
keturunannya yang menggantikannya. Aku yakin sekali 
Malaikat Tanpa Wajah pun demikian." 

Raja Tuak, Naga Bercakar Tunggal,d an bahkan Dewa 
Berkepala Baja harus mengakui kembali kebenaran 
pernyataan Dewa Arak. Dalam hati mereka menyesali diri 
sendiri megnapa takberpikir demikian. 

Paksi Dilaga menjadi lega mendengar akhir perdebatan 
itu. Arya tak membuka rahasia mengenai Malaikat Tanpa 
Wajah. Pemuda itu hanya mengutarakan alasan yang bisa 
diterima akal. Jawaban sebenarnya dapat ditemukan 
orang-orang yang mau berpikir panjang. 

"Kalau benar demikian...," celetuk Dewa Berkepala 
Baja. Suaranya tak segagah sebelumnya, "megnapa telah 
dua puluh tahun lebih Malaikat Tanpa Wajah tak muncul- 
muncul di dunia persilatan lagi?!" 

"Bukan merupakan hal yang aneh, Kepala Baja," jawab 
Arya. "Banyak jawaban untuk pertanyaan itu. Bisa saja 
orang yang menjadi Malaikat Tanpa Wajah terakhir tak 
mempunyai keturunan. Atau..., keturunannya tak 
mempunyai bakat seperti yang diharapkan." 

Dewa Berkepala Baja mengangguk-anggukkan kepala. 
Tampaknya dia setuju dengan penjelasan Dewa Arak. 

"Kukira..., persoalan mengenai Malaikat Tanpa Wajah 
telah selesai. Sekarang kita kembali pada pokok persoalan, 
bagaimana menyusun kekuatan untuk menentang 
komplotan Sang Pangeran Muda," sela Raja Tuak buru- 
buru sebelum ada yang bicara lagi. 




"Masih belum tuntas perbincangan kalian?" 

Raja Tuak, Dewa Berkepala Bala, Naga Bercakar 
Tunggal, Paksi Dilaga, dan Dewa Arak terperanjat kaggt 
mendengar teguran itu. Serempak mereka bangkit dari 
duduk dan bersikap waspada. 

Seiring dengan lenyapnya gema teguran itu, dari balik 
sebatang pohon bermunculan dua sosok. Seorang di 
antaranya kakek jangkung yang hampir membunuh Dewa 
Arak. Iblis Tanpa Bayungan! 

"Aku yakin mereka datuk-datuk sesat yang telah dua 
puluh tahun lenyap," desis Raja Tuak dengan pandangan 
tertuju pada dua sosok yang menghampiri mereka. 

"Yang yang berbicara berada di atas pohon. 
Mungkinkah dia yang terkenal sebagai Sang Pangeran 
Muda itu?" Arya menujukan pandangan ke atas pohon. 

Serentak yang lainnya segera mengarahkan pandangan 
ke sana. Mereka melihat seseorang yang tak terlihat jelas, 
karena berdiri membelakangi bulan. Dia berdiri di atas satu 
kaki pada cabang pohon sebesar ibu jari. Anehnya, cabang 
itu tak melengkung sedikit pun. Seakan-akan yang berdiri 
di atasnya bukan manusia, melainkan seekor cengcorang! 

Raja Tuak dan yang lainnya tanpa sadar menelan ludah 
melihat pameran ilmu meringankan tubuh. Dari apa yang 
terlihat saja mereka tahu kalau orang di atas pohon 
memiliki kepandaian luar biasa. 

Kekeh penuh ejekan dari kakek yang berada di sebelah 
Iblis Tanpa Bayangan membuat rombongan Raja Tuak 
mengalihkan perhatian. Kakek itu berwajah ramah penuh 
senyum. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh seri. 
Lelembut Berwajah Dewa julukannya! 

"Kalian benar-benar tak ubahnya anjing-anjing buduk!" 
maki Lelembut Berwajah Dewa. Telunjuknya menuding 
pada rombongan Raja Tuak. 

Sikap dan ucapannya kasar bukan main. Bertolak 
belakang dengan gerak-geriknya yang halus dan wajah 
penuh senyuman. Tak aneh kalau dia mendapat julukan 
Lelembut Berwajah Dewa. 

"Apa yang kalian andalkan sehingga berani bertindak 
demikian lancang, mencoba menentang Sang Pangeran 
Muda?!" 

Raja Tuak melangkah maju dua tindak. Dadanya yang 
tipis dibusungkan. 

"Kami memang hanya memiliki sedikit kepandaian. 
Tapi bukan berarti kami takut. Kami rela mengorbankan 
nyawa asal iblis-iblis semacam kalian lenyap dari muka 
bumi!" 

"Begitukah?!" ejek Iblis Tanpa Bayangan. Ikut campur 
dalam perdebatan. "Kalau begitu, pergilah kau ke neraka!" 

Wusss.J 

Angin menderu keras ketika kakek jangkung itu 
menghentakkan kedua tangannya. Seketika, rombongan 
Raja Tuak terpencar untuk menyelamatkan diri. Serangan 
jarak jauh Iblis Tanpa Bayangan pun menerpa tempat 
kosong. 

"Jangan serakah, Iblis," ujar Lelembut Berwajah Dewa. 
"Babi-babi busuk itu cukup banyak. Biar aku ikut ambil 
bagian untuk mencincang daging-dagingnya yang bau!" 

Kakek yang memiliki wajah ramah ini lalu meludah 
berkali-kali. Tidak ke tanah sebagaimana layaknya orang 
membuang cairan menjijikkan itu, tapi menunjukkannya ke 
arah Raja Tuak. 

Sing...! 

Bunyi nyaring yang menyakitkan telinga itu menyeruak 
ketika gumpalan-gumpalan ludah meluncur. Raja Tuak 
yang menjadi sasaran serangan segera menenggak 
minumannya. Kemudian dsemburkannya untuk memapak 
serangan lawan. 

Gumpalan-gumpalan benda cair itn berbenturan di 
tengah jalan dengan menimbulkan suara nyaring. 
Gumpalan dari mulut Raja Tuak langsung terpental dan 
jatuh ke tanah. Sedangkan ludah Lelembut Berwajah Dewa 
terus meluncur. 

Namun beberapa kaki sebelum mencapai tujuan, 
kehabisan daya luncur dan jatuh ke tanah. 

Lelembut Berwajah Dewa memaki kalangkabut. 
Sedangkan Raja Tuak mengeluh dalam hati. Dari hasil 
benturan itu tenaga dalamnya ternyata masih di bawah 
tenaga datuk sesat berparas menyenangkan ini. 

Meskipun demikian, Raja Tuak tak menjadi gentar. 
Ketika lawannya meluruk menerjang, dengan berani 
disambutinya. Pertarungan seru pun terjadi. 

***

Bukan hanya Raja Tuak yang terlibat pertarungan. Naga 
Bercakar Tunggal dan Dewa Berkepala Baja bahu- 
membahu menghadapi amukan Iblis Tanpa Bayangan. 
Sedangkan Dewa Arak dan Paksi Dilaga masih belum 
bertindak. Arya masih memperhatikan sosok yang berada 
di atas pohon. Sang Pangeran Muda! 

"Paman, harap kau bantu Raja Tuak...," pinta Arya 
melalui ilmu mengirim suara dari jauh pada Paksi Dilaga. 

Saat itu keadaan Raja Tuak memang meng¬ 
khawatirkan. Kepandaiannya masih terpaut cukup jauh 
dengan Lelembut Berwajah Dewa. Dalam beberapa jurus 
datuk sesat itu berhasil membuat Raja Tuak terdesak 
hebat. Untunglah, Paksi Dilaga datang membantu. 
Sehingga tekanan Lelembut Berwajah Dewa sedikit 
berkurang. 

Suasana yang semula hening jadi hiruk-pikuk. Tidak 
hanya teriakan. Gerakan tokoh-tokoh yang bertarung pun 
menimbulkan bunyi nyaring menyakitkan telinga. 

Pertarungan yang berlangsung seru dan sengit. Tapi, 
belasan jurus kemudian keadaan mulai berubah. Lelembut 
Berwajah Dewa dan Iblis Tanpa Bayangan terlalu tangguh 
untuk dihadapi. Raja Tuak dan rekan-rekannya yang telah 
mengerahkan seluruh kemampuannya tetap saja 
kewalahan. 

Keadaan yang menimpa mereka membuat Dewa Arak 
gelisah. Kalau tak segera dibantu, Raja Tuak dan rekan- 
rekannya akan tewas. Tanpa menunggu lebih lama 
dilancarkannya serangan beruntun dengan jurus 'Pukulan 
Belalang'. 

Wusss, wusss, wusss.J 

Angin keras berhawa panas menyengat bertubi-tubi 
meluncur ke arah Iblis Tanpa Bayangan dan Lelembut 
Berwajah Dewa. Datuk-datuk sesat itu menyambutinya 
dengan cara yang sama. Terdengar benturan nyaring 
memekakkan telinga dan menggetarkan sekitar tempat itu. 
Tubuh mereka terlihat terhuyung-huyung. 

Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk 
menerjang Lelembut Berwajah Dewa. 

"Menyingkirlah! Biar aku yang menghadapinya!" seru 
Arya di saat tubuhnya masih melayang di udara. 

Serangan Arya mendapat sambutan langsung dari 
lawan. Lelembut Beruaiah Dewa menyambuti kedatangan 
Arya dengan sebuah serangan mematikan. 

Wuuttt.J 

Sampokan Lelembut Berwajah Dewa yang ditujukan 
pada pelipis mengenai tempat kosong. Arya telah lebih 
dulu merendahkan tubuhnya. Hampir bersamaan 
waktunya, pemuda itu mengirimkan gedoran ke arah dada. 

Desss...! 

Lelembut Berwajah Dewa memekik ngeri. Telapak 
tangan Arya mendarat di bahu kanannya. Tubuh kakek itu 
pun terjengkang ke belakang. Darah segar mengalir dari 
sudut bibirnya. Serangan yang tak disangka-sangka itu 
membuat elakannya tak sepenuhnya berhasil. Kendati 
demikian, cukup untuk menyelamatkan selembar 
nyawanya. 

Tanpa mernpedulikan keadaan lawan. Dewa Arak 
melesat ke arah pertarungan Iblis Tanpa Bayangan yang 
menghadapi Dewa Berkepala Baja dan Raja Bercakar 
Tunggal. Karena dilihatnya Paksi Dilaga dan Raja Tuak 
belum mencapai kancah pertarungan mereka. 

Bersamaan dengan melesatnya Dewa Arak, Iblis Tanpa 
Bayangan mengeluarkan lengkingan nyaring. Hanya 
sebentar. Tapi, mampu membuat kedua lawannya 
terkesima. Sukma mereka seperti melayang entah ke 
mana. Dada terasa berguncang hebat dan sepasang kaki 
menggigil keras! 

Kesempatan yang hanya sesaat itu dimanfaatkan 
sebaik-baiknya oleh Iblis Tanpa Bayangan. Dikirimkannya 
tamparan berturut-turut ke arah pelipis kedua lawannya. 

Plak, plak, plak...! 

Terdengar bunyi berderak cukup keras. Disusul dengan 
pekikan tertahan dan ambruknya tubuh Naga Bercakar 
Tunggal serta Dewa Berkepala Baja. Mereka tewas dengan 
tulang pelipis retak mengucurkan darah. 

Arya menggertakkan gigi melihat kejadian yang tak 
diinginkannya itu. Kedatangannya sudah terlambat 
Sungguhpun demikian, maksudnya tetap tak diurungkan. 
Diterjangnya Iblis Tanpa Bayangan untuk membalaskan 
kematian mereka. Pertarungan pun terjadi ketika sang 
datuk sesat menyambuti. 

Sementara itu di atas pohon Sang Pangeran Muda 
memperhatikan Dewa Arak dengan dahi berkernyit. 

"Pemuda ini berkepandaian lumayan juga. Dia dapat 
menjadi ancaman besar kalau tak dilenyapkan. Kalau aku 
tak bertindak cepat, kemungkinan besar Iblis Tanpa 
Bayangan akan tewas," gumamnya lirih. 

Tokoh yang disebut-sebut sebagai Sang Pangeran 
Muda ini berpakaian putih. Celananya merah dan berikat 
kepala hijau. Wajahnya dingin memancarkan keangkuhan 
besar, sebagaimana layaknya tingkah orang-orang 
berkedudukan. 

Ketika Arya dan Iblis Tanpa Bayangan terlibat 
pertarungan, Sang Pangeran Muda berdehem. Bukan 
sembarang deheman. Tapi mampu membuat sehelai daun 
lepas dari tangkainya dan melayang ke bawah. 

Tanpa menekuk lutut, Sang Pangeran Muda 
meninggalkan cabang pohon tempatnya berdiri. Laksana 
seekor burung besar dia melayang turun dan menjejakkan 
salah satu kakinya pada daun itu! 

Seakan-akan tak menerima beban, daun yang lebarnya 
hampir setelapak tangan orang dewasa itu melayang 
ringan ke tanah. Dan ketika telah mendarat di tanah, 
pentolan kaum sesat yang penuh rahasia ini membentak 
keras. 

"Berhenti...!" 

Sekitar tempat itu tergetar hebat karena kuatnya 
tenaga yang terkandung dalam bentakan. Tapi, pengaruh 
yang melanda tokoh-tokoh dalam kancah pertarungan 
lebih besar lagi. Mereka semua menghentikan gerakannya, 
kemudian melompat mundur. Tanpa sadar mereka 
mematuhi seruan Sang Pangeran Muda! Ada pengaruh 
aneh yang membuat mereka mengikuti seruan itu. 

Pertarungan tak berlanjut lagi. Iblis Tanpa Bayangan 
dan Lelembut Berwajah Dewa melangkah mundur, 
membiarkan pemimpin mereka maju menghadapi 
kelompok Raja Tuak yang berdiri berjejer. Sang Pangeran 
Muda sendiri bersikap seolah Raja Tuak dan Paksi Dilaga 
tak berada di situ. Pandangannya hanya ditujukan pada 
Arya. 

Dewa Arak balas menatap. Pemuda ini harus mengakui 
kalau Sang Pangeran Muda memiliki wibawa menggiriskan 
hati. Sepasang matanya yang tajam berkilat mengandung 
pengaruh besar. Malah, Paksi Dilaga dan Raja Tuak 
merasakan bulu kuduk mereka meremang. Sepasang mata 
yang sinarnya amat tajam itu membuat orang tak kuat 
menatapnya berlama-lama. 




"Kepandaianmu lumayan juga, Sobat Kecil!" suara Sang 
Pangeran Muda terdengar begitu dingin. 

Nada bicara dan sikapnya demikian merendahkan Arya. 
Tetapi Arya tetap tenang. Dia tak terpancing untuk 
melakukan hal serupa. 

"Tapi, perlu kuberitahukan padamu. Kau tak perlu 
mencari penyakit dengan berani menentangku. 
Kepandaianmu tak ada artinya bagiku. Menentang Sang 
Pangeran Muda sama artinya kau telah bosan hidup. 
Sayangilah nyawamu, Sobat Kecil. Jadilah anak buahku! 
Untuk apa kau mengikuti langkah tua bangka yang tak bisa 
berpikir jernih karena terlalu mabuk menenggak minuman 
setannya!" lanjut Sang Pangeran Muda menyindir Raja 
Tuak. 

"Terima kasih atas perhatianmu, Sobat Besar. Sayang, 
aku tak bisa memenuhinya. Sejak dulu aku telah bertekad 
membasmi setiap angkara murka di muka bumi ini. Dan, 
sejak dulu pula nyawa yang ada di tubuh ini bukan milikku 
lagi. Telah kuberikan untuk membela orang-orang yang 
tertindas!" sahut Arya, kalem. 

Berbeda dengan Dewa Arak yang tetap tenang, Raja 
Tuak tidak. Kakek ini merasa tersinggung sekali. Perasaan 
ini mendorong amarahnya dan membuat akal sehatnya 
hilang. Rasa ngeri Raja Tuak terhadap Sang Pangeran 
Muda menciut dengan cepat. Keinginannya yang 
mendesak adalah melampiaskan amarah itu. 

"Manusia sombong!" bentak Raja Tuak. Kakinya 
melangkah maju dengan telunjuk menuding pada Sang 
Pangeran Muda. "Kau kira aku takut padamu? Aku Raja 
Tuak, bukan orang yang takut mati! Mampuslah!" 

Wuuut... ! 

Kakek bermuka merah itu melancarkan pukulan kanan 
kiri susul-menyusul ke arah dada. 

Buk, buk! 

Tubuh Sang Pangeran Muda tak bergeming sama 
sekali, kendati kepalan Raja Tuak menghantamnya telak. 
Pentolan kaum sesat ini tak tampak kesakitan. Padahal, 
dia tak kelihatan mengerahkan tenaga. 

Raja Tuak terkejut melihat hasil serangannya. Dia lebih 
terkejut lagi ketika mengetahui sepasang tangannya 
melekat pada dada lawan. Betapapun dikerahkan seluruh 
tenaganya untuk menarik kembali, hasilnya sia-sia. 
Sementara Sang Pangeran Muda tak tampak mengeluar¬ 
kan tenaga untuk mempertahankannya. 

"Orang lancang sepertimu harus diberi pelajaran agar 
kapok!" dengus Sang Pangeran Muda penuh ancaman. 

Ucapannya menimbulkan perasaan kaget. Tidak hanya 
pada Raja Tuak, tapi semua tokoh yang berada di situ. 
Mereka tahu pasti adalah pantangan besar bagi orang yang 
tengah mengadu tenaga dalam untuk berbicara. 
Pengerahan tenaga jadi membuyar. Ini berbahaya sekali! Di 
samping akan terkena serangan tenaga dalam lawan, juga 
kemungkinan terpukul oleh tenaga dalamnya sendiri yang 
membalik. Tapi, Sang Pangeran Muda mampu melakukan¬ 
nya. 

Sekejap setelah mendapat ancaman Sang Pangeran 
Muda, Raja Tuak mendapatkan buktinya. Kedua tangannya 
seperti dimasukkan ke dalam tungku perapian. Panas 
bukan main! Semakin lama semakin panas. Sehingga, 
kakek ini menggeliat-geliat seperti cacing di abu panas. 
Peluh membasahi sekujur tubuhnya. 

Melihat kejadian yang dialami Raja Tuak, Dewa Arak 
tak bisa tinggal diam. Sebelumnya pun dia bermaksud 
mencegah tindakan kakek bermuka merah itu. Sayang, dia 
terlambat. Sekarang Arya tak ingin terlambat lagi. 

Dewa Arak tak berani bertindak sembrono seperti yang 
dilakukan Raja Tuak, kendati dia memiliki tenaga dalam 
dnggi. Tapi kalau tenaganya kalah kuat, dia akan 
mengalami nasib serupa. 

Pemuda berambut putih keperakan itu menenggak 
araknya, lalu menyemburkannya pada Sang Pangeran 
Muda. Arak yang meluncur tidak berbentuk cair, melainkan 
agak panjang dan runcing seperti jarum. Banyaknya 
ratusan. 

Arya yang memiliki kecerdikan mengagumkan telah 
memperkirakan serangan araknya tak dapat melukai kulit 
Sang Pangeran Muda. Maka, serangan itu ditujukan pada 
bagian-bagian tubuh paling lemah. Mata, ubun-ubun, dan 
kerongkongan! 

Memang, betapapun sakti dan kuatnya tenaga dalam 
seseorang, bila matanya terkena serangan akan 
mengakibatkan kebutaan. Sang Pangeran Muda pun tahu 
hal itu. Maka, disambutnya serangan Dewa Arak dengan 
tiupan. Percikan-percikan arak pun kembali seperti semula, 
menjadi butiran-butiran arak yang kemudian runtuh ke 
tanah. 

Pengerahan tenaga untuk meniup membuat daya tarik 
untuk melekatkan tangan Raja Tuak berkurang. 
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja 
Tuak. Cepat ia menarik tangannya. 

Kali ini usaha Raja Tuak berhasil. Tapi karena terlalu 
kerasnya menarik, dia terhuyung-huyung ke belakang tak 
bisa menguasai keseimbangan. 

Sang Pangeran Muda tak mau membiarkan calon 
korbannya selamat. Dia hendak mengirimkan serangan 
maut. Tapi, Dewa Arak mendahului pentolan datuk sesat 
itu. Diserangnya Sang Pangeran Muda dengan ayunan guci 
ke arah kepala. 

Plak! 

Tangkisan yang dilakukan Sang Pangeran Muda 
membuat Arya terputar lalu terpelanting. Gucinya hampir 
terlepas dari pegangan, karena telapak tangannya terasa 
panas dan sakit. 

Sang Pangeran Muda benar-benar yakin akan 
kemampuannya. Dia tak menggunakan kesempatan untuk 
melancarkan serangan. Tokoh yang menggiriskan hati ini 
menunggu lawannya memperbaiki kedudukan. 

Dewa Arak merasakan jantungnya berdetak jauh lebih 
cepat. Ketegangan melanda dirinya. Sejak semula dia telah 
menyangka Sang Pangeran Muda memiliki kepandaian 
tinggi. Tapi, sama sekali tak disangkanya akan demikian 
hebat. 

"Kau hebat, Pangeran Muda," puji Arya sejujurnya. 

"Syukur kalau kau mengetahuinya, Sobat Kecil. 
Mumpung pendirianku belum berubah, kuberikan 
kesempatan padamu untuk merubah jawaban. Kalau kau 
masih bersikeras, aku akan mengirimmu ke akhirat!" 

"Kau hanya membuang-buang waktu, Pangeran Muda. 
Pendirianku tak akan berubah. Apa pun yang akan terjadi 
aku tetap menentangmu!" tandas Arya. 

Paras Sang Pangeran Muda membesi. Sorot sepasang 
matanya memancarkan hawa maut ketika menatap Arya. 
Dewa Arak tak menjadi gentar. Dia balas menatap. 
Kemarahan Sang Pangeran Muda semakin menjadi. 

Tangan dedengkot kaum sesat itu dijulurkan ke depan 
sejajar bahu. Dewa Arak yang berdiri tiga tombak darinya 
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Tapi ketika 
melihat tindakan dedengkot kaum sesat itu, dia bersikap 
menunggu. Ingin diketahuinya maksud tindakan lawan. 

"Ahhh.J" 

Seruan kaget itu dikeluarkan Paksi Dilaga. Paras dan 
pancaran sepasang matanya menyiratkan keterkejutan 
besar. Biji matanya bak hendak melompat keluar dari 
rongga. 

Keterkejutan Paksi Dilaga tak menarik perhatian siapa 
pun. Tokoh-tokoh yang ada di situ menunjukkan perhatian 
pada Sang Pangeran Muda dan Dewa Arak. Terpancang di 
benak mereka pertarungan yang akan terjadi benar-benar 
dahsyat. 

Arya yang semula bersikap menunggu terperanjat 
ketika merasakan kekuatan tak nampak menekannya dari 
segala arah! Kekuatan sihir luar biasa dahsyat seperti 
hendak menghancurkan tubuhnya. 

Dewa Arak menyadari adanya bahaya. Dia bermaksud 
melesat menghindar. Tercekat hatinya ketika mengetahui 
tak dapat melakukan hal itu. Kekuatan yang menghimpit 
bak dinding yang menghalangi. 

Karena tak mau mati konyol, Arya mengerahkan tenaga 
dalam untuk menahan himpitan pada dirinya. Pertarungan 
tenaga dalam secara langsung pun tak dapat dihindarkan 
lagi. 

Arya mengeluh dalam hati. Dia telah mengerahkan 
seluruh tenaganya sehingga pengaruh yang menekan agak 
berkurang. Bila hal ini terus berlangsung dia akan tewas 
dengan isi dada hancur. Semua tokoh yang menyaksikan 
jalannya pertarungan merasa tegang. 

Di antara mereka, Paksi Dilaga yang paling tegang. Dia 
mengenal baik bentuk serangan Sang Pangeran Muda. 
Serangannya itu sering dilihatnya puluhan tahun lalu. 
Hanya saja bukan dilakukan dedengkot kaum sesat itu, 
melainkan kakeknya yang tewas karena kelicikan Raja Ular 
Berbaju Emas. 

Itulah sebabnya tadi, Paksi Dilaga berseru kaget. Lelaki 
berpakaian putih itu segera menggali ingatannya. Kendati 
tak menguasainya, Paksi Dilaga hafal dengan jurus- 
jurusnya. Kini dia menguras seluruh ingatannya untuk 
mencari kelemahan ilmu itu. 

Beberapa saat kemudian, wajahnya tampak berseri- 
seri. Dia telah berhasil mengingatnya. 

"Jongkok, Arya! Jongkok! Rendahkan tubuhmu...!" seru 
Paksi Dilaga keras, agar bisa didengar Arya. 

Dewa Arak memang mendengarnya. Saat itu Arya 
tengah berada dalam keadaan genting. Wajahnya telah 
merah padam dan dari atas kepalanya mengepul uap 
putih. 

Tanpa pikir panjang lagi Dewa Arak segera berjongkok. 
Dan memang, kekuatan yang menekannya langsung 
lenyap. Arya pun mengerti kalau tekanan dari segala arah 
itu hanya menyerang bagian pinggang ke atas! 

Sang Pangeran Muda menggertakkan gigi. Sorot 
matanya memancarkan maut ketika mengerling ke arah 
Paksi Dilaga. Dia tahu yang memberikan petunjuk pada 
Arya sehingga pemuda itu dapat lolos dan serangannya. 

"Kau akan mendapatkan ganjaran yang setimpal atas 
kelancanganmu ini, Paksi Dilaga!" desis Sang Pangeran 
Muda. "Kau memang telah lama kucari-cari. Setelah 
kukirim monyet kecil ini ke neraka, giliranmu akan tiba!" 

Sang Pangeran tak bisa melanjutkan ucapannya. Dewa 
Arak telah menyerangnya. Pemuda ini menggulingkan 
tubuhnya, kemudian melancarkan tendangan ke arah 
pusar. 

Desss.J 

Tubuh Dewa Arak terpental ke belakang, lalu terguling- 
guling. Sang Pangeran Muda telah lebih dulu mengayunkan 
kaki memapak! Dedengkot kaum sesat itu tergetar 
tubuhnya. 

Kali ini Sang Pangeran Muda tak bertindak murah hati 
lagi. Tak diberinya kesempatan pada lawan untuk 
memperbaiki kedudukan. Dewa Arak dikirimkannya 
serangan bertubi-tubi. Serangan yang membuat Paksi 
Dilaga tak henti-hentinya berseru kaget. Jurus-jurus sang 
dedengkot kaum sesat itu dikenalinya sebagai ilmu milik 
keluarganya. 

Sang Pangeran Muda memang hebat bukan main. Arya 
membuktikannya sendiri. Dia dibuat terpontang-panting 
dalam usahanya memberikan perlawanan. Seluruh 
kemampuannya telah dikerahkan. Bahkan, ilmu 'Belalang 
Sakti' andalannya dikeluarkan pula. Tapi, Arya harus 
menerima kenyataan kalau lawan jauh lebih unggul. 
Tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya berada di 
atasnya. 

Hanya berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang' Dewa 
Arak mampu bertahan. Kendati demikian, lambat laun dia 
terdesak juga. Apalagi setelah Sang Pangeran Muda 
memecahkan rahasia jurus itu. 

Plak! 

Tubuh Arya terlempar. Tamparan Sang Pangeran Muda 
menghantam bahunya. Darah menyembur dari mulut Dewa 
Arak. Arya masih mampu mendarat dengan kedua kakinya. 
Saat Dewa Arak dalam keadaan tak menguntungkan itu, 
Sang Pangeran Muda menerkam bak seekor macan lapar. 

Dewa Arak hendak melompat menghindari serangan. 
Namun, kedua kakinya tak dapat diangkat. Telapak kaki itu 
seakan melekat dengan tanah. Arya segera sadar peristiwa 
aneh yang menimpanya tidak terjadi begitu saja. 
Kemungkinan besar karena kedahsyatan jurus dedengkot 
kaum sesat itu. 

Dia tak bisa mengelak lagi. Jalan satu-satunya untuk 
mematahkan serangan hanya dengan menangkis. Sayang, 
sebelah tangannya tak dapat digunakan. Kalau 
mempergunakan satu tangan yang lain, dia tak akan 
mampu mementahkan gempuran Sang Pangeran Muda. 
Nyawanya bagaikan telur di ujung tanduk! 

Di saat-saat terakhir, dari belakang Dewa Arak melesat 
sesosok bayangan kuning keemasan. Gerakannya cepat 
bukan main yang terlihat hanya sekelebatan bayangan. 
Sosok ini melesat memapak terjangan Sang Pangeran 
Muda. 


10 


Bresss... ! 

Sekitar tempat itu bergetar hebat. Bahkan, getarannya 
dirasakan oleh semua orang yang hadir. Untuk pertama 
kalinya setiap pasang mata membelalak lebar. Tubuh Sang 
Pangeran Muda terlempar ke belakang, seperti juga sosok 
bayangan kuning keemasan. Dedengkot kaum sesat yang 
luar biasa itu ternyata bisa juga terlempar. 

Dan seperti juga penolong Dewa Arak, Sang Pangeran 
Muda berhasil menjejak tanah dengan mantap. Dia 
berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya 
terlempar. 

Kedua kalinya semua orang membelalakkan mata. 
Terutama Paksi Dilaga, Iblis Tanpa Bayangan, dan 
Lelembut Berwajah Dewa! Pandangan mereka tertuju pada 
sang penolong Dewa Arak. Sinar mata ketidakpercayaan 
memancar di sana. 

"T..., ti..., tidak mungkin...!" desis Paksi Dilaga dengan 
bibir bergetar. Berusaha diyakinkan dirinya akan ketidak¬ 
benaran yang dilihatnya. 

"Malaikat Tanpa Wajah?!" gumam Lelembut Berwajah 
Dewwa dan Iblis Tanpa Bayangan, tanpa menyembunyikan 
kegentaran dalam nada suaranya. 

"Siapa kau, Keparat?!" bentak Sang Pangeran Muda, 
setelah berhasil meredakan perasaan kagetnya. "Sungguh 
berani kau menyamar sebagai Malaikat Tanpa Wajah!" 

Penolong Dewa Arak yang dipanggil Malaikat Tanpa 
Wajah terdengar mendengus. Sepasang matanya 
mencorong tajam dan bersinar kehijauan tertuju lurus ke 
arah Sang Pangeran Muda. Sorot mata ini sukar ditebak 
maksudnya. Apalagi karena wajahnya terlindung selubung 
kuning keemasan. 

"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Biang Keparat!" balas 
Malaikat Tanpa Wajah tak kalah keras. "Perlu 
kuberitahukan, sebelum memaki-maki sebaiknya kau 
bercerminlah lebih dulu. Jelas-jelas kulihat ilmu yang kau 
pergunakan adalah ilmu-ilmu milik Malaikat Tanpa Wajah. 
Dari mana kau mendapatkannya, heh?!" 

Sang Pangeran Muda terdiam. Di sekelilingnya, semua 
tokoh persilatan mendengarkan jalannya perdebatan 
dengan penuh minat. Mereka tertarik untuk mendengar 
kelanjutannya. Terutama Paksi Dilaga, orang yang merasa 
paling berkepentingan. 

Keadaan di tempat ini pun jadi hening. Semua tokoh 
yang ada berdiri mematung. Seakan khawatir kalau sedikit 
gerakan yang mereka lakukan akan membuat jawaban 
Sang Pangeran Muda tidak tertangkap. Bahkan bernapas 
pun hampir-hampir ditahan. 

"Kalau kukatakan dari mana ilmu-ilmu ini, kau mau 
berjanji memperkenalkan diri dan membuka selubung¬ 
mu?!" tantang Sang Pangeran Muda. 

"Tidak!" jawab Malaikat Tanpa Wajah, tanpa berpikir 
lebih lama. "Aku tidak mau berjanji seperti itu. Lagi pula, 
tanpa kau jawab pun aku tahu. Kau mencurinya, bukan?!" 

"Tutup mulutmu, Keparat! Aku bukan orang semacam 
itu!" bentak Sang Pangeran Muda. "Pantang bagiku 
mencuri ilmu orang lain!" 

"Memang bukan kau yang mencurinya. Tapi ayah, 
kakek, atau gurumu. Kau mempelajari ilmu curian itu 
darinya. Bukankah itu berarti kau mencurinya pula!" 

"Mampuslah kau...!" 

Dibarengi teriakan menggeledek, dedengkot kaum 
sesat itu menerjang Malaikat Tanpa Wajah. Sebuah 
tendangan terbang dikirimkannya. 

Pertarungan dua tokoh yang memiliki kepandaian tinggi 
itu segera terjadi. Padahal, saat itu Dewa Arak masih 
berada di antara mereka. Kemungkinan besar dirinya akan 
terkena serangan nyasar. Arya bergegas menggulingkan 
tubuhnya menjauh. 

Hampir tanpa selang waktu, Malaikat Tanpa Wajah ikut 
melesat. Tokoh ini memapaki serangan Sang Pangeran 
Muda dengan gerakan yang sama. Benturan yang terjadi 
beberapa saat kemudian membuat tubuh mereka 
terpental. Kemudian, keduanya kembali saling serang. 

Semua pasang mata terhrju pada jalannya 
pertarungan. Arya menoleh ke arah Paksi Dilaga dengan 
sorot mata mengandung pertanyaan. Kemunculan Malaikat 
Tanpa Wajah begitu mengejutkan. Bukankah orang terakhir 
yang menjadi tokoh legenda itu adalah ayah Paksi Dilaga 
dan telah tewas? Bagaimana mungkin dapat muncul 
Malaikat Tanpa Wajah lainnya?! 

Arya segera tahu tak akan mendapat jawaban yang 
memuaskan. Dilihatnya sendiri Paksi Dilaga tak kalah 
bingungnya. Perhatiannya pun kembali dialihkan pada 
jalannya pertarungan. 

Di kancah pertarungan, Sang Pangeran Muda dan 
Malaikat Tanpa Wajah terlibat pertarungan unik. Seringkali 
gerakan-gerakan mereka mirip satu sama lain, menunjuk¬ 
kan kalau ilmu keduanya berasal dari satu sumber. 

Ketika pertarungan telah berlangsung belasan jurus, 
Sang Pangeran Muda berteriak keras. 

"Tunggu apa lagi? Habisi mereka!" 

Iblis Tanpa Bayangan dan Lelembut Berwajah Dewa 
tersadar dari terkesimanya, seperti orang tertidur yang 
diguyur air. Hampir berbarengan keduanya melesat 
menyerang rombongan Raja Tuak. 

Pertarungan pun terjadi. Dewa Arak kembali bertarung 
dengan Iblis Tanpa Bayangan. Raja Tuak dan Paksi Dilaga 
bekerjasama menghadapi Lelembut Berwajah Dewa. 

Baru saja pertarungan berlangsung, muncul Tiga Hantu 
Pantai Selatan. Tanpa banyak bicara mereka langsung 
terjun ke dalam kancah pertarungan. Diserangnya Paksi 
Dilaga dan Raja Tuak. Sebaliknya, Lelembut Berwajah 
Dewa malah meninggalkan kancah pertarungan dan 
menyerang Dewa Arak. Sehingga pemuda ini menghadapi 
keroyokan dua orang lawan. 

Dalam keadaan terluka, Arya segera terdesak hebat. 
Keadaan Dewa Arak ternyata tak luput dari perhatian 
Malaikat Tanpa Wajah. Sorot matanya memancarkan 
kecemasan besar. Cara pertarungannya pun berubah. 
Tokoh misterius ini menyerang tanpa mempedulikan 
pertahanan dirinya. 

Sang Pangeran terperanjat melihat tindakan nekat 
lawannya. Tapi dia juga merasa gembira. Apalagi ketika 
dilihatnya pertahanan lawan banyak mempunyai celah- 
celah yang dapat dijatuhi serangan. 

"Hih.J" 

Sang Pangeran melancarkan pukulan tangan kanan 
lurus ke arah dada yang tak terlindungi. Sudah terbayang di 
benak dedengkot kaum sesat ini kalau lawannya terlempar 
jauh dan terluka dalam yang parah. 

Dugaan Sang Pangeran Muda tak sepenuhnya tercapai. 
Di saat terakhir, Malaikat Tanpa Wajah memiringkan tubuh. 
Bersamaan dengan itu dikirimkannya bacokan ke arah 
tengkuk dengan sisi telapak tangan. Karuan saja, Sang 
Pangeran Muda tercekat hatinya. Dia sama sekali tak 
menyangka kejadiannya akan seperti ini. 

Duk, des! 

Kejadian itu berlangsung hampir berbarengan. Pukulan 
Sang Pangeran Muda menyerempet dada Malaikat Tanpa 
Wajah, tapi tengkuhnya terkena bacokan lawan. Tubuh 
Malaikat Tanpa Wajah dan Sang Pangeran Muda 
terhuyung-huyung. 

Malaikat Tanpa Wajah masih mampu berdiri kendati 
agak limbung. Sebaliknya, Sang Pangeran Muda ambruk ke 
tanah. Dedengkot kaum sesat ini tewas karena tulang 
lehernya patah. 

Tanpa mempedulikannya rasa sakit yang mendera, 
Malaikat Tanpa Wajah memasuki kancah pertarungan 
Dewa Arak. Arya tengah terhuyung-huyung, sedangkan dua 
lawannya meluruk ke arahnya dengan serangan maut. 

Malaikat Tanpa Wajah melancarkan gedoran ke arah 
Iblis Tanpa Bayangan. 

Duk, des! 

Tubuh Iblis Tanpa Bayangan terpental jauh. Terhantam 
gedoran Malaikat Tanpa Wajah. Tapi, di saat yang 
bersamaan tokoh legenda itu terkena pukulan Lelembut 
Berwajah Dewa. Malaikat Tanpa Wajah pun terlempar. 

Arya terpukul melihat kenekatan Maiaikat Tanpa Wajah 
untuk menolong dirinya. Pemuda berambut putih 
keperakan ini pun menghentakkan kedua tangannya, 
melancarkan jurus 'Pukulan Belalang’. 

Wusss... ! 

Bresss! 

Lelembut Berwajah Dewa menjerit menyayat hati. 
Pukulan jarak jauh Dewa Arak telah menghantamnya. Saat 
tubuhnya melayang, nyawanya pun ikut melayang. Kulit 
tubuhnya gosong dan bau hangus daging menyebar. 

Arya tak rnempedulikan korban serangannya. Dia 
melesat ke arah Malaikat Tanpa Wajah yang tergolek di 
tanah. Dilihatnya bagian pinggang atas tokoh legenda itu 
hangus dan menyebarkan bau amis. Tampaknya serangan 
Lelembut Berwajah Dewa mengadung racun! 

Karena mengkhawatirkan keselamatan Malaikat Tanpa 
Wajah, Dewa Arak merobek pakaian di bagian yangterluka. 
Dia hendak menyedot racun yang belum menjalar jauh itu. 
Arya tak peduli kendati orang yang akan ditolongnya 
menggeleng-gelengkan kepala. 

"Jangan, Arya...." 

Bret.J 

Arya merobeknya agak lebar sampai ke dada. Seketika 
pemuda itu terperanjat. Wajahnya merah padam. Dada 
Malaikat Tanpa Wajah terlihat membusung. Putih halus 
dengan putting susu merah segar. Tokoh yang luar biasa ini 
ternyata seorang wanita! 

Arya kebingungan. Ditutupnya lagi robekan pakaian itu. 
Dia teringat akan ucapan Malaikat Tanpa Wajah tadi. 
Seketika keheranannya timbul. 

"Dari mana kau tahu namaku!" 

"Bukalah selubungku ini, Arya...," kata Malaikat Tanpa 
Wajah, tak menjawab pertanyaan Arya. 

Di saat Dewa Arak melepas selubung itu, Paksi Dilaga 
dan Raja Tuak ikut mendekat. Tiga Hantu Pantai Selatan 
telah berhasil mereka tewaskan. Tubuh tokoh-tokoh sesat 
itu bergeletakan di tanah. Sekarang kedua tokoh golongan 
putih itu menanti dengan penuh rasa ingin tahu. Mereka 
tak sabar ingin melihat wajah orang yang berada di balik 
selubung. 

"Pringgani!" 

Seruan kaget itu dikeluarkan Arya dan Paksi Dilaga. 

Seraut wajah cantik di balik selubung itu memang 
wajah Pringgani. Mulut, hidung dan telinganya mengalirkan 
darah segar. Napas gadis ini telah tersengal-sengal. 
Kendati demikian, bibirnya menyunggingkan senyuman. 

"Ayah..., " desis Pringgani, lirih. "Mungkin Ayah kaget 
mengapa aku bisa seperti ini..." 

Paksi Dilaga hanya bisa mengangguk-anggukkan 
kepala. Dia tak sanggup bicara lagi. Kesedihan dan 
keharuan besar melanda hatinya. Kerongkongannya terasa 
tercekik. Kalau saja tak ingat akan malu, lelaki ini telah 
menangis meraung-raung melihat keadaan Pringgani. 
Kendati demikian sepasang matanya yang berkaca-kaca 
tak dapat dihindarkan. 

Arya sendiri, bahkan Raja Tuak, ikut dililit perasaan 
haru. 

"Kau pun mungkin kebingungan dengan hilangnya 
diriku, Aryu," ujar Pringgani lagi. Yang segera dibalas 
dengan anggukan kepala oleh Arya. 

"Tentu saja, Gani. Aku dan ayahmu mencarimu ke 
mana-mana," jawab Arya. 

Pringgani tersenyum. Tapi, yang terlihat adalah seringai 
kesakitan. Arya buru-buru menotok beberapa jalan darah di 
tubuh gadis itu untuk mengurangi rasa sakitnya. Bahkan, 
disalurkan hawa murni untuk mengusir racun dalam tubuh 
Pringgani. Asap hitam mengepul dari bagian tubuh yang 
terluka, mula-mula hitam pekat. Tapi, semakin lama 
semakin memudar warnanya. Berbarengan dengan itu, 
warna hitam pada bagian pinggang Pringgani berangsur- 
angsur lenyap. 

"Aku akan menceritakan kejadiannya," kata Pringgani. 
Diberinya isyarat agar Dewa Arak menghentikan 
penyaluran hawa murninya. "Sudah lebih baik, Arya," 
ujarnya. 

Pringgani tercenung mengingat-ingat kejadian yang 
dialami sebelum mulai bercerita. 

***

Pringgani yang telah tak berpakaian berusaha secepat 
mungkin mengenakan pakaian pemberian Dewa Arak. Tapi, 
mendadak punggungnya seperti tersentuh sesuatu. 
Seketika itu pula gadis ini merasakan sekujur tubuhnya 
lemas tak bertenaga. Ada seseorang yang telah 
menotoknya dari belakang! Totokan itu membuat Pringgani 
tak kuasa untuk berdiri. Bak sehelai kain basah, tubuhnya 
ambruk ke tanah. 

Tapi sebelum tubuh putri Paksi Dilaga itu berbenturan 
dengan tanah, sehelai sabuk hitam melilit pinggangnya. 

Pringgani yang sudah tak berdaya tak mampu menolak 
ketika tubuhnya ditarik ke belakang. Kejadian berturut- 
turut itu berlangsung demikian cepat. Namun Pringgani 
masih mampu berpikir jernih. Hal ini yang membuatnya 
dapat meredam keterkejutan. Padahal, jeritan meminta 
tolong telah berada di ujung lidah. 

Apabila dia mehjerit, Dewa Arak pasti akan menoleh. 
Tapi hal itu tak diinginkannya. Dia tengah berada dalam 
keadaan tanpa busana. Gadis ini lalu memutuskan untuk 
melihat keadaan lebih dulu. Belum terlambat baginya 
untuk menjerit bila keadaannya terancam. 

"Penculikku ternyata seorang nenek, " jelas Pringgani. 
"Dia membawaku ke tempat tinggalnya setelah lebih dulu 
membuatku tak bersuara. Di kediamannya nenek itu 
memberitahukan tentang dirinya. Dia adalah kakak dari 
kakeknya ayah. Anak yang disia-siakan oleh ayahnya 
sendiri, yaitu kakek dari kakekku." 

Paksi Dilaga terkejut mendengar penjelasan putrinya. 
Dia sama sekali tak ingat kalau kakeknya mempunyai 
kakak perempuan. Anak yang disia-siakan. Memang, dalam 
keluarga mereka anak lelakilah yang diharap-harapkan 
kelahirannya. 

"Nenek yang disia-siakan itu kabur dari rumah ketika 
ibunya meninggal. Bertahun-tahun dia terlunta-lunta. 
Sampai akhirnya, disuatu malam beliau bermimpi bertemu 
dengan leluhurnya yang pertama kali. Leluhur itu 
mengajarinya mantera-mantera yang terdapat pada 
lembaran kitab. Beliau belajar dari leluhurnya sehingga 
menjadi sakti. Bahkan, beliau sampai mempunyai ilmu 
yang dapat memindahkan semua ilmu yang dimilikinya 
pada orang lain. Kepadakulah ilmu-ilmu itu diwariskan, 
Ayah. Setelah mewariskan semua ilmunya, beliau pun 
wafat." 

Pringgani juga menceritakan kalau si nenek 
mengetahui dari leluhurnya bahwa ada orang yang mencuri 
ilmu-ilmu keluarga mereka. Orang itu adalah pelayan ayah 
si nenek. Dia memperhatikan setiap kali buyut Pringgani 
mengajari kakeknya. Belakangan dia kabur dengan 
membawa kitab-kitab ilmu keluarga. Kepada Sang 
Pangeran Muda ilmu curian itu diwariskan. Karena itu, 
Sang Pangeran Muda mengejar-ngejar Pringgani dan 
ayahnya. Dia tahu, mereka berdualah keturunan terakhir. 

"Ahhh.J" desah Paksi Dilaga dan Arya. Kaget 
bercampur haru mengingat nasib yang diderita sang nenek. 

Raja Tuak yang tak tahu apa-apa berdiam diri saja dan 
terus mendengarkan. 

"Mengapa kau sampai berkorban demikian besar untuk 
menolongku, Gani," keluh Arya, seakan menyesali tindakan 
Pringgani. 

Pringgani mengulas senyum. Sesaat sepasang matanya 
berbinar-binar. 

"Tidakkah kau dapat menduganya, Arya?" tanya gadis 
itu lirih. Wajahnya merah padam karena rasa malu. "Aku..., 
aku mencintaimu..., Arya...." 

Arya merasa terharu sekali dengan pengorbanan gadis 
berpakaian merah itu. Dengan penuh rasa terima kasih, 
dikecupnya kening Pringgani. 

Paksi Dilaga tersenyum. Pringgani pun ikut tersenyum. 
Tapi, luka yang diderita membuat senyum Pringgani tidak 
manis. Gadis ini tampak tak ambil peduli. Dia terlalu 
bahagia mendapat kecupan dari Arya. Hal ini membuatnya 
bersemangat. Untuk menjawab pertanyaan Paksi Dilaga 
mengenai tingkahnya yang mondar-mandir ke gua. 

Pringgani tengah mencarikan obat untuk Arya. 
Keharuan kembali menyeruak di hati Dewa Arak. Obat itu 
adalah untuk menawarkan racun serangan Raja Ular 
Berbaju Emas. Pemberian obat yang mesti teratur. Pagi 
dan sore selama tiga hari, hingga membuat gadis itu harus 
mondar-mandir. 

Arya menatap ke langit. Hatinya begitu gundah. Ada 
satu pertanyaan bergayut di hatinya. 

"Adakah cinta untuk Pringgani kalau di lubuk hatiku 
hanya ada bayangan Melati?!" 


SELESAI