Pendekar Perisai Naga 2 - Selendang Mayat

 
Tiga kuntum bunga kamboja putih rontok keti-
ka sebuah sekop membentur pohon kamboja yang me-
naungi kubur Ki Linggar. Salah seorang dari tiga lelaki 
yang tengah menggali kubur Ki Linggar ini menarik 
napas dalam-dalam. Rasa lega menyejukkan  rongga 
dadanya sewaktu dilihatnya peti jenazah dalam  kere-
mangan sinar bulan itu. Ini berarti pekerjaan menggali 
liang lahat telah selesai. Tak diperlukannya lagi sekop 
atau linggis. Untuk membuka tutup peti jenazah itu, 
cukuplah dengan satu pukulan tangan. Meski peti je-
nazah itu terbuat dari kayu jati pilihan, lelaki itu me-
rasa pasti tenaga dalam yang dialirkan ke telapak tan-
gannya bisa membuat peti jenazah itu hancur berkep-
ing-keping. 
’’Cukup! Biar kubuka di sini saja!” kata lelaki 
itu kepada kedua temannya. Akan tetapi, sewaktu ia 
mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil mengatur 
pernapasan, salah seorang temannya mencengkeram 
pergelangan tangan yang siap dihempaskan itu. 
"Kita angkat dulu ke atas!” kata temannya yang 
mencekal pergelangan tangannya. 
’’Untuk apa? Buang-buang waktu! Toh sama 
saja pecah di sini dan di atas” sahut lelaki itu seraya 
mengibaskan tangan temannya. 
”Aku khawatir, gundukan tanah itu rontok dan 
mengotori kain kafan yang kita perlukan. Pesan Ki 
Demang Kerpa, kain kafan itu harus bersih sewaktu 
kita serahkan. Jangan sampai pekerjaan kita sia-sia 
sebab jangan-jangan Ki Demang tidak mau membayar 
upah kita!” 
’’Betul kau!” sokong teman yang satunya lagi.  
”Aku juga ingat pesan wanti-wanti Ki Demang Kerpa. 
Katanya, jika kain itu terkena tanah kubur sedikit sa-
ja, tidak akan berguna lagi!” 
’’Sebenarnya untuk apa Ki Demang Kerpa me-
nyuruh kita mengambil kain kafan Ki Linggar ini?” 
tanya lelaki yang tadi hampir memukulkan tangannya 
ke tutup peti Jenazah. 
’’Mana aku tahu? Mungkin ada hubungannya 
dengan pangkat demang yang dulu pernah disandang 
Ki Linggar.” 
”Apa hubungannya kain kafan itu dengan 
pangkat demang?” bantah teman yang satunya lagi 
sambil menahan tawa. 
’’Bukan begitu maksudku. Ini hanya perkiraan 
saja, kok. Mungkin, untuk bisa menjadi demang di De-
sa Sanareja dalam waktu yang lama, Ki Kerpa harus 
bisa memiliki kain kafan bekas demang di desa itu.” 
’’Siapa yang mengharuskan begitu?” sahut lela-
ki yang tadi membantah. 
’’Kudengar Ki Demang Kerpa sedang berguru 
ilmu setan....” 
’’Alaaah, itu hanya perkiraanmu saja! Ayo, ce-
pat kita naikkan ke atas. Badanku terasa gatal-gatal. 
Aku kepingin cepat-cepat mandi!” Lelaki yang bertin-
dak sebagai pimpinan penggalian menukas, la tak sa-
bar mendengar cerita temannya yang belum pasti be-
nar itu. la tahu Ki Demang Kerpa memang sedang ber-
guru ke Gunung Merapi. Tetapi, apa hubungannya 
kain kafan dengan ilmu silat? Lalu, kenapa harus kain 
kafan yang membungkus tulang-tulang Ki Linggar? 
Akhirnya peti jenazah Ki Linggar mereka kelua-
rkan dari liang lahat. Mereka bertiga bergegas mem-
bersihkan sisa-sisa tanah merah yang menempel pada 
tutup peti jenazah itu. Betapapun mereka ingin sece- 
patnya membuka peti jenazah itu, mereka tetap ingat 
keinginan Ki Demang Kerpa. Kalau sampai Ki Demang 
Kerpa tidak mau membayar upah yang dijanjikannya, 
mereka pun harus berpikir dua tiga kali untuk me-
maksa demang baru Desa Sanareja itu. 
’’Congkel saja dengan linggis,” usul salah seo-
rang dari mereka. 
”Tak perlu! Untuk apa kita belajar ilmu silat ka-
lau membuka peti saja pakai linggis? Ini bukan peti 
besi, tolol!” sergah lelaki yang paling penasaran untuk 
segera membuka peti jenazah itu. 
”Ya, tapi bersihkan dulu tanganmu.” 
Lelaki yang memimpin penggalian bergegas 
membersihkan telapak tangannya dengan ujung kaki 
celana pangsinya. Setelah yakin tangan itu tidak lagi 
dilumuri tanah merah, ia mengangkat telapak tangan 
itu tinggi tinggi, mengatur pernapasan, dan dengan se-
kuat tenaga ia menghantamkan sisi telapak tangannya 
ke tutup peti jenazah. 
Brettt! Wusss! Blukkk! 
Setengah jengkal sebelum sisi telapak tangan 
itu menyentuh tutup peti jenazah, tiba-tiba ada sesua-
tu yang melilit pergelangan tangan kanan lelaki itu. Se-
jurus kemudian tubuh lelaki itu terpelanting ke bela-
kang dan  jatuh menimpa sebuah nisan. Seketika itu 
juga lelaki itu tewas dengan perut tertembus nisan 
runcing yang terbuat dari kayu nangka. 
Dua orang temannya terbelalak memandangi 
sosok bayangan putih yang kini berdiri tegap di hada-
pan mereka. Sejenak saja mereka diguncang rasa ka-
get. Selebihnya, mereka berdua secepat kilat menghu-
nus golok yang terselip di pinggang masing-masing se-
raya memasang kuda-kuda. 
’’Iblis laknat! Bosan hidup!” seru salah seorang  
dari mereka sambil membabatkan goloknya ke leher 
sosok serba putih yang berdiri di depan mereka. 
Akan tetapi, dengan mudahnya sabetan golok 
itu dihindari oleh bayangan serba putih itu. Hanya 
dengan sedikit membungkukkan badan maka golok itu 
lewat di atas kepala dan hanya mengenai angin malam. 
Namun, orang kedua segera memburu dengan 
bacokan ke arah kepala yang menjulur ke depan itu. 
Kali ini, bayangan serba putih itu membentur golok 
lawan dengan gagang cambuknya. 
Tring! 
Golok di tangan lelaki itu patah menjadi dua, 
dan lelaki itu membuang goloknya yang kutung sebab 
jari-jari tangannya dirasakannya kejang dan nyeri. 
Melihat temannya meringis sambil memegangi 
pergelangan tangan kanannya, lelaki yang tadi lebih 
dulu menyerang kini lebih waspada menghadapi lawan 
yang ternyata berilmu tinggi itu. Kalaupun tadi ia ge-
gabah menyerang, hanya karena ia melihat lawan yang 
dihadapinya bukanlah salah seorang dari orang-orang 
sakti yang sudah dikenalnya. Lagi pula, dari terangnya 
sinar bulan purnama, akhirnya bisa dikenali juga wa-
jah anak muda yang usianya tak lebih dari dua puluh 
tiga tahun. 
’’Kisanak, sebelum hilang kesabaranku, kupe-
ringatkan kau bahwa di antara kita tidak pernah ada 
urusan!” kata lelaki itu untuk menutupi rasa takutnya. 
”Di antara kita memang tidak ada urusan. Te-
tapi, aku punya urusan untuk memelihara kubur yang 
kalian bongkar itu,” jawab anak muda itu sambil meli-
litkan kembali cambuknya ke pinggang. 
”Tak ada yang berhak mengawasi kuburan ini 
kecuali juru kunci di sini, Kisanak! Dan, akulah juru 
kunci di kuburan ini!” 
 
”Oh, jadi begitukah tugas juru kunci? Mem-
bongkar kuburan itukah tugas juru kunci desa ini? 
Aneh! Lalu, siapa yang mengangkatmu sebagai juru 
kunci di sini?” 
’’Peduli apa kau dengan urusanku?” 
’’Sudah kukatakan, aku memang tidak pernah 
peduli dengan urusanmu. Tetapi, aku peduli dengan 
kuburan yang baru saja kalian bongkar itu. Dan, sebe-
lum kalian bertiga ku masukkan ke liang lahat itu ber-
sama peti jenazah ini, harap kalian kubur kembali peti 
jenazah ini dan mintalah maaf kepada arwah jenazah 
yang ada dalam peti itu!” 
’’Lancang benar mulutmu!” sergah lelaki itu. 
’’Walaupun kau memiliki ilmu demit mana pun, 
jangan kau kira aku takut menghadapimu!” 
’’Kalau memang tidak takut, kenapa tak kau te-
ruskan serangan golokmu?” 
Werrr! 
Tiba-tiba lelaki yang tadi terdiam dan meringis-
ringis kesakitan, dengan tangan kirinya menyabetkan 
linggis ke pelipis anak muda berpakaian serba putih 
itu. Namun, untuk kesekian kalinya serangan itu ha-
nyalah membentur angin. Bahkan untuk yang kedua 
kalinya lelaki itu meringis kesakitan sebab tangan 
anak muda itu menampar pelipisnya. 
’’Kalau masih juga menyerangku, pelipis  mu 
akan kubuat bolong dan otakmu akan berhamburan, 
Pak Tua!” bentak anak muda itu memperingatkan. 
Sewaktu ia menampar tadi, ia memang tidak 
mengerahkan tenaga sepenuhnya sehingga tamparan 
itu hanya membuat pelipis lelaki itu memerah dan pe-
dih. Kalau saja anak muda itu mengerahkan seluruh 
tenaganya, sudah pasti pelipis lelaki itu pecah dan 
nyawa lelaki itu melayang. 
 
’’Mereka berdua memang bukan tandingan mu, 
Anak Muda. Sekarang, bersiaplah menghadapi seran-
ganku!” 
’’Tunggu!”  sahut anak muda berpakaian serba 
putih itu. ’’Sekarang kita adakan perjanjian sebelum 
kita teruskan perkelahian kita! Bagaimana?”. 
’’Katakanlah, dan kau sendiri yang akan mene-
bus perjanjian yang kau buat itu!” 
’’Jika kau kalah, berjanjilah bahwa kau akan 
mengatakan siapa yang menyuruh kalian menggali 
kuburan ini. Sebaliknya, jika aku kalah, sebelum kau 
bunuh aku, aku sanggup merapikan kembali kuburan 
ini setelah kalian dapatkan apa yang kalian inginkan. 
Setuju?” 
”Kau tidak akan pernah mendengar jawabanku, 
Anak Muda! Karena kaulah yang harus menepati janji 
yang kau buat sendiri!” 
”Baik! Kita lihat saja nanti. Nah, aku sudah 
bersiap!” Anak muda itu menarik kaki kirinya ke bela-
kang dan menyilangkan tangan kirinya di depan dada 
serta melipat tangan kanannya hingga kepalan tangan 
kanan itu berada persis di bawah ketiaknya. 
’’Jangan terlalu pongah, Anak Muda! Apa kau 
pikir aku tak layak berhadapan dengan cambuk di 
tanganmu?” 
Lelaki bodoh, pikir anak muda itu. Lalu, untuk 
melegakan lawannya, ia terpaksa mengurai cambuk 
yang melilit di pinggangnya. Namun anak muda itu 
hanya menggunakan gagang cambuknya untuk me-
nangkis serangan golok lawan. Bunga api berpijaran 
ketika gagang cambuk yang terbuat dari batu hitam itu 
membentur mata golok lawan. 

Lelaki itu diam-diam bersyukur tadi telah men-
gerahkan tenaga dalamnya sebelum menyerang lawan.  
Kalau tidak, sudah pasti tenaga dalam yang dialirkan 
ke gagang cambuk itu akan membuat tubuhnya ter-
pental dan tangan kanannya terkilir. Lebih dari itu, le-
laki itu juga semakin mawas diri. Ia tahu, anak muda 
itu sengaja hanya menggunakan gagang cambuknya 
sebab belum merasa perlu menggunakan ujung cam-
buknya yang sejak tadi digenggamnya. Entahlah apa 
yang terkait di ujung cambuk itu. Hanya saja, selinta-
san tadi lelaki itu melihat sinar-sinar  hijau kebiru-
biruan berpendar-pendar dari sela jari-jari tangan yang 
menggenggam ujung cambuk itu. 

Lelaki itu, juga dua orang temannya, tentu saja 
tidak mengenal siapa sesungguhnya anak muda yang 
mereka hadapi ini. Mereka bertiga adalah pendatang 
baru di Desa Sanareja. Mereka adalah orang-orang se-
rakah yang memburu upah. Di desa asalnya, di Kaki 
Gunung Merapi, mereka bertiga dikenal sebagai jago-
jago bayaran. Mereka bersedia membunuh siapa saja 
asalkan dijanjikan upah yang memadai. 
Tiga hari yang lalu, mereka mendengar kabar 
bahwa Kerpa, demang yang menggantikan kedudukan 
Ki Demang Sanareja alias Ki Linggar, menginginkan 
kain kafan Ki Linggar dengan imbalan bayaran yang 
memuaskan. Untuk apa kain kafan itu nantinya, me-
reka bertiga tidak ambil peduli. Bagi mereka, secepat-
nyalah mereka bertiga bisa membawa kain kafan itu 
kepada Demang Desa Sanareja yang baru itu dan 
mengambil upah mereka. 

Akan tetapi, mereka bertiga tidak pernah me-
nyangka bakal berhadapan dengan Joko Sungsang 
alias Pendekar Perisai Naga yang selalu mereka ingat 
nama besarnya. 
Rasa penasaran yang menggeluti dada Joko 
Sungsang membuatnya ingin secepatnya menghenti- 
kan perkelahian, ia ingin segera tahu siapa yang men-
ginginkan dibongkarnya kubur ayahnya itu. Ketika ta-
di ia tiba di tempat itu, ia melihat seorang lelaki tengah 
mengangkat telapak tangannya untuk memecahkan 
peti jenazah itu. Maka tak ada jalan pintas untuk men-
cegah tangan itu kecuali dengan melilitkan Perisai Na-
ga ke tangan lelaki itu. 
Tiga kali serangan golok lawan berhasil dite-
piskannya. Dan, Joko Sungsang semakin bisa mengu-
kur kekuatan lawannya. Kalau saja lelaki setengah 
umur itu tidak berilmu cukup tinggi, sudah barang 
tentu benturan-benturan gagang Perisai Naga akan 
membuatnya terpental dan tak bangun lagi. Bahkan le-
laki itu masih bisa meloloskan diri dari serangan bala-
san yang dilancarkan Joko Sungsang dengan kecepa-
tan sulit diikuti mata. Namun begitu, Joko Sungsang 
tetap harus bisa mengekang diri agar tidak melancar-
kan jurus-jurus yang mematikan. Toh ia menginginkan 
pengakuan dari mulut lelaki itu. 

Oleh sebab itu, untuk tidak mencelakakan la-
wan, Joko Sungsang terpaksa menggunakan lilitan Pe-
risai Naga nya. Sewaktu lawan untuk yang kesekian 
kalinya membabatkan golok ke arah lehernya, Joko 
Sungsang merunduk seraya melilitkan Perisai Naga ke 
pinggang lawan. Lalu dengan sekuat tenaga tubuh itu 
diputar sehingga lelaki itu kehilangan keseimbangan 
dan terhuyung jatuh seraya muntah-muntah. 

Sebelum laki-laki itu bangkit, gagang Perisai 
Naga telah menempel di bagian belakang kepalanya. 
’’Sedikit saja kau bergerak, kepalamu akan ber-
derak dan pecah, Pak Tua,” ancam Joko Sungsang. 
”Aku mengaku kalah, Anak Muda. Tentu saja 
aku akan menepati perjanjian yang sudah kita sepaka-
ti tadi,” kata lelaki setengah umur itu tanpa berani  
bergerak sedikit pun. 
Joko Sungsang menyimpan kembali Perisai Na-
ga di pinggangnya. 
’’Sebelum kau jelaskan siapa yang menyuruh 
kalian bertiga menggali kuburan ini, lebih dulu kalian 
kembalikan peti jenazah itu ke tempatnya dan rapikan 
kembali gundukan tanahnya seperti sediakala,” perin-
tah Joko Sungsang. 
 
*** 
 
Joko Sungsang diam-diam menyesali tindakan-
nya lima tahun yang lalu, membiarkan Kerpa tetap hi-
dup. Dari penjelasan kedua orang upahan ini, jelas ba-
ginya bahwa Kerpa sekarang sedang berusaha mem-
perdalam ilmu silatnya. Usaha memperdalam ilmu silat 
ini sudah barang pasti untuk berjaga-jaga diri. Sebagai 
demang, agaknya ia tak ingin kehilangan kenikmatan 
sehari-hari hanya karena dikalahkan oleh seseorang. 
Dan, se-seorang yang dianggapnya musuh bebuyutan 
tak lain adalah Joko Sungsang. Toh sudah bukan ra-
hasia lagi bahwa kematian Ki Linggar disebabkan oleh 
fitnah yang ditebarkan Kerpa. 
’’Tetapi, kalau boleh, kami ingin tahu siapa se-
sungguhnya Kisanak ini,” kata lelaki yang baru saja 
menghentikan ceritanya. 
’’Saya? Saya anak bekas demang desa ini,” ja-
wab Joko Sungsang tanpa mengalihkan pandang ma-
tanya. Mata anak muda itu menatap bulan purnama 
yang berada di atas ubun-ubun mereka bertiga. 
’’Jadi, benar kuburan yang baru saja kami gali 
tadi kubur ayahmu, Kisanak?” lelaki itu bertanya den-
gan paras muka memucat. Takut jika anak muda itu 
marah dan membunuh mereka bertiga. 
 
’’Kalian berdua tetap menginginkan upah dari 
demang itu?” tanya Joko Sungsang di luar dugaan me-
reka berdua. 
’’Bagaimana mungkin kami mengharapkan 
upah dari Ki Demang kalau nyatanya pekerjaan kami 
gagal?” 
’’Kalian tetap akan mendapatkan upah da-
rinya!” sahut Joko Sungsang. 
Dua orang lelaki setengah umur itu melebarkan 
mata. 
’’Kalian ikut aku ke kademangan. Nanti aku 
yang akan memintakan upah untuk kalian,” kata Joko 
Sung sang seraya melangkah meninggalkan kuburan 
itu. Dua orang lelaki upahan itu saling memandang 
sebelum mereka mengangguk berbarengan dan men-
guntit langkah anak muda itu.
 
Setiba mereka di depan regol kademangan, Jo-
ko Sungsang memberikan isyarat agar kedua lelaki 
upah an itu mendahului masuk regol. Setelah kedua-
nya masuk halaman kademangan, Joko Sungsang me-
nyelinap ke samping kademangan melompati tembok 
samping Seperti yang pernah dilakukannya sewaktu 
menculik Trinil, Joko Sungsang bertengger di genting, 
persis dl atas pendopo kademangan. Dari tempat ini ia 
bisa menguping pembicaraan antara Kerpa dengan dua 
lelaki upahan itu. 
’’Kalau memang kalian tidak berhasil menda-
patkan kain kafan Ki Linggar, kenapa kalian masih be-
rani menghadapku?” kata Ki Demang Kerpa. 
’’Sebenarnya kami tidak akan menuntut upah 
kami. Tetapi, ada seseorang yang menyuruh kami tetap 
harus menuntut upah....’’ 
”Apa?” Mata Ki Demang Kerpa terbeliak dan 
memerah. ’’Jadi, kalian mau merampokku? Kalian su- 
dah punya nyawa rangkap?” 
’’Sudah kubilang, ada seseorang  yang menyu-
ruh kami berdua agar tetap menuntut upah dari Ki 
Demang,” kata lelaki yang lebih tua sambil menoleh ke 
belakang. Tetapi, kenapa anak muda itu tidak menyu-
sul mereka berdua? 
’’Walaupun kalian disuruh oleh sundel bolong, 
demit, setan, banaspati, apa kalian pikir aku lantas 
memberikan uangku kepada kalian? Sebaiknya, kalian 
pergi saja sebelum kesabaranku hilang!” Ki Demang 
Kerpa meraba hulu pedangnya sambil menyibakkan 
kumis yang berjuntai menutupi bibirnya. 
Tanpa menimbulkan suara, Joko Sungsang 
membuka dua buah genting. Kemudian ia mengurai 
Perisai Naga dari pinggangnya. Maka sewaktu Ki De-
mang Kerpa menyabetkan pedangnya ke leher lelaki 
upahan itu, secepat kilat Perisai Naga melilit pedang 
Itu dan menariknya ke atas genting. 

Ki Demang Kerpa, dua orang upahan itu, dan 
dua orang pengawal Ki Demang Kerpa secara serentak 
memandang ke atas. Tetapi, mereka hanya melihat dua 
buah genting yang terbuka. Dan, sinar bulan purnama 
menerobos masuk lewat lubang genteng itu. 
’’Bedebah keparat! Bosan hidup!” Berkata begi-
ni Ki Demang Kerpa langsung melenting ke atas dan 
menerobos lubang genting itu. Dua orang pengawalnya 
berlarian ke halaman, bersiap-siap memberikan ban-
tuan. 
”Anak muda itu benar-benar memiliki ilmu se-
tan,” kata salah seorang lelaki upahan itu sambil me-
langkah keluar. 
Dari halaman pendopo kademangan, mereka 
menyaksikan perkelahian seru antara Ki Demang Ker-
pa dengan Joko Sungsang. Mereka berdua berkelahi  
dengan tangan kosong sebab mereka melihat pedang 
milik Ki Demang Kerpa terselip di pinggang anak muda 
yang berpakaian serba putih itu. 

Sewaktu Joko Sungsang mengarahkan seran-
gannya ke kaki, Ki Demang Kerpa terpaksa berjumpali-
tan ke belakang dan akhirnya mendarat di halaman 
kademangan. Akan tetapi, dalam sekejap mata saja 
Joko Sungsang telah berdiri di belakangnya seraya 
menyapa,  
”Aku di sini, Ki Demang.” 
’Tangkap anak muda ini,” perintah Ki Demang 
Kerpa kepada dua orang pengawalnya.. 
Dua ujung tombak bersamaan meluncur ke 
arah dada Joko Sungsang. Namun, Joko Sungsang se-
perti menghilang dari pandang mata mereka. Sewaktu 
anak muda itu menampakkan diri lagi, dua orang pen-
gawal Ki Demang Kerpa itu sudah tersungkur di tanah 
sambil merintih-rintih. Kedua sisi telapak tangan Joko 
Sungsang baru saja menggedor punggung mereka ber-
dua. 
’’Jahanam keparat!” maki Ki Demang Kerpa, te-
tapi tak kunjung menyerang lawan yang sudah me-
nunggunya. 
’’Rupanya pedang ini jadi barang andalanmu, Ki 
Demang?” kata Joko Sungsang sembari melemparkan 
pedang milik Ki Demang Kerpa. 

Terhuyung dua langkah ke belakang Ki Demang 
Kerpa ketika menangkap pedangnya. Ada tenaga yang 
mendorongnya ketika pedang itu jatuh di telapak tan-
gannya. Sewaktu ia berhasil menguasai tubuhnya, tiba 
tiba anak muda yang berpakaian serba putih itu telah 
menimang-nimang cambuk yang ujungnya terkait bola 
berduri. 
’’Perisai Naga..?” Ki Demang Kerpa mendesis.  
Tanpa disadarinya, kakinya bergerak mundur bebera-
pa langkah. la mengutuki ketololannya sendiri. Ya, ke-
napa tidak sejak tadi ia mengenali anak muda itu se-
bagai Pendekar Perisai Naga? 
’’Sekarang kau tahu siapa aku, Ki Demang?” 
kata Joko Sungsang setelah melilitkan Perisai Naga 
kembali di pinggangnya. 
”Den... Den...?” 
”Tak usahlah memanggilku ’Den’, Ki Demang. 
Aku bukan lagi anak demang yang terpaksa harus kau 
hormati. Dan, tentunya kau sekarang ini menghendaki 
kematianku, bukan?” tukas Joko Sungsang. 

Ki Demang Kerpa menoleh ke kanan dan ke ki-
ri. Dua orang pengawalnya masih tergeletak di tanah. 
Tak ada lagi orang yang diharapkan membantunya. Ti-
dak boleh tidak ia harus menghadapi musuh besarnya 
ini seorang diri. 
”Aku sudah siap jika kau memang menghenda-
ki nyawaku, Ki Demang,” kata Joko Sungsang seraya 
memasang kuda-kuda. Kaki kiri anak muda itu terte-
kuk hingga tumitnya menyentuh pantat, sedangkan 
kaki kanan tegak lurus menyanggah badan. Lalu tan-
gan kiri anak muda itu menyilang di depan dada se-
mentara siku tangan kanan ditarik ke belakang hingga 
kepalan telapak tangan berada di ketiak. Inilah jurus 
pembuka ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’! 
”Nama besarmu memang sudah aku dengar, 
Pendekar Perisai Naga. Tetapi, betapa tinggi hatimu ji-
ka nyatanya kau hanya dengan tangan kosong menco-
ba menghadapi ilmu pedangku?” kata Ki Demang Ker-
pa. 
”Ha ha ha! Dasar mabuk pangkat kau, Ki De-
mang! Pikiranmu tak lagi bersih sebab dikotori oleh 
keserakahan mu, rasa iri mu, dan rasa jahil mu! Baik- 
lah, Ki Demang yang terhormat. Kalau kau memang 
yakin ilmu pedangmu bisa mengalahkan silat tangan 
kosong ku, aku turuti kemauanmu. Tetapi sebenarnya 
aku juga menyangsikan silat tangan kosong mu. Jan-
gan-jangan kau menantangku adu senjata karena kau 
sebenarnya tidak becus menggunakan tangan kosong 
mu, Ki Demang!” 
’’Jahanam keparat bosan hidup!” seru Ki De-
mang Kerpa sebelum menyarungkan pedangnya. Lalu, 
secepat kilat tubuhnya melayang ke atas kepala Joko 
Sungsang sambil mengirimkan tendangan ke arah leh-
er. 

Namun, sebelum sisi telapak kaki itu menyen-
tuh kulit lehernya, Joko Sungsang meraih pergelangan 
kaki lawan dan dengan sekuat tenaga menghentakkan 
kaki itu ke tanah. 
"Desss!" 
Kedua tumit Ki Demang Kerpa menghunjam 
tanah. Tetapi, secepat kilat Ki Demang Kerpa melenting 
lagi dan mengirimkan kedua tumitnya ke dada Joko 
Sungsang. 
"Desss! Desss! Blukkk!" 
Kali ini tubuh Ki Demang Kerpa jatuh telak. 

Untuk sejenak ia bergulingan di tanah. Dan, ketika ia 
mencoba bangkit dan menapakkan tumit itu ke tanah, 
ia merasakan kedua tulang tumitnya pecah. Seolah ba-
ru saja ia jatuh dari tebing dan kedua tumitnya meng-
hunjam karang. Maka kembali Ki Demang roboh dan 
bergulingan di tanah. 
Itulah akibat dari benturan ilmu ’Pukulan Om-
bak Laut Selatan’ yang tersalur pada punggung tangan 
Joko Sungsang. Sewaktu Ki Demang menghunjamkan 
kedua tumitnya ke dadanya, Joko Sungsang tidak 
menghindar, tetapi melindungi dadanya dengan kedua  
punggung tangannya. Kalau saja punggung kedua tan-
gan itu tidak dilambari ilmu ’Pukulan Ombak Laut Se-
latan’, bisa dipastikan tulang-tulang kedua tangan itu-
lah yang patah. 
”Kau lihat sendiri aku tetap bertangan kosong, 
Ki Demang?” ejek Joko Sungsang sambil merentang-
kan kedua tangannya. Memang terasa sedikit ngilu ke-
dua punggung tangannya, tetapi cepat-cepat ia menga-
lirkan hawa murni untuk mengatasi rasa ngilu itu. 
Ki Demang Kerpa menggigit bibirnya kuat-kuat. 
Kemudian ia bangkit dengan bersitelekan pada pe-
dangnya. Hati-hati ia menapakkan kakinya agar tumit 
malang itu tidak menyentuh kerikil yang berserakan di 
halaman kademangan itu. 
’’Bagaimana, Ki Demang? Masih pilih mencoba 
silat tangan kosongku?” kata Joko Sungsang sembari 
menyesali kebodohan lawannya. Betapapun sudah be-
lasan tahun malang-melintang di rimba persilatan, 
nyatanya Ki Demang Kerpa belum mengenal ilmu silat 
tangan kosong dari Padepokan Karang Bolong yang 
tersohor itu. Matanya masih tertutup! 
 
*** 
 
 
Menghadapi Pendekar Perisai Naga, Ki Demang 
Kerpa merasa menemukan lawan yang bukan tandin-
gannya. Selama lima tahun ia berguru kepada Ki Da-
nyang Bagaspati, ia telah mewarisi ilmu silat yang cu-
kup tinggi. Sayang ia belum berhasil menguasai jurus 
pamungkas yang disebut jurus ’Selendang Mayat Pe-
nyapu Awan’. Akan tetapi, untuk menghadapi anak  
muda seusia Pendekar Perisai Naga ini seharusnyalah 
ia tak memerlukan jurus pamungkas itu. 

Maka diam-diam Ki Demang Kerpa mengutuki 
dirinya sendiri. Ya, kenapa tugas menggali kubur Ki 
Linggar itu tidak dijalaninya sendiri? Kenapa ia takut 
melakukannya? Kenapa ia menyuruh orang-orang 
upahan yang akhirnya justru mendatangkan kesuli-
tan?  Padahal, kalau saja ia telah mendapatkan kain 
kafan Ki Linggar, ia hanya membutuhkan waktu tak 
lebih dari sebulan untuk mempelajari jurus ’Selendang 
Mayat Penyapu Awan’! 

Dengan kedua tumit terangkat, Ki Demang Ker-
pa harus tetap mati-matian melawan Joko Sungsang. 
Kini terpaksa ia meloloskan pedangnya sebab serangan 
lawan makin lama semakin membahayakan. Tak 
mungkin baginya terus-menerus berkelit menghindari 
serangan lawan. Dengan pedangnya, ia akan menang-
kis serangan lawan tanpa harus berloncatan ke sana-
sini. 

Kalaupun Joko Sungsang tetap bertahan pada 
jurus-jurus tangan kosongnya, tidak berarti ia menye-
pelekan jurus-jurus pedang lawan. la memang sengaja 
mempraktekkan ilmu silat tangan kosong yang dipela-
jarinya dari Ki Sempani baru baru ini. Seperti yang 
pernah diceritakan Wiku Jaladri kepadanya, ia menga-
kui bahwa ilmu silat tangan kosong dari Padepokan 
Karang Bolong memang boleh diandaikan. Belum lagi 
jurus pamungkasnya yang disebut ilmu ’Pukulan Om-
bak Laut Selatan’. Pukulan yang tanpa meninggalkan 
bekas, tetapi membuat seisi dada lawan rontok. Kalau-
pun mengenai anggota tubuh yang lain, maka tulang 
yang ada di dalamnyalah yang pasti luluh lantak. Se-
perti yang baru saja diderita tumit Ki Demang Kerpa. 
Tulang pada kedua tumit itu hancur akibat berbentu- 
ran dengan punggung lengan Pendekar Perisai Naga 
yang telah dialiri ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’. 

Lalu, sewaktu Ki Demang Kerpa membabatkan 
pedangnya ke kaki Joko Sungsang, kembali Demang 
Desa Sanareja ini mengaduh sebab tulang lengannya 
senasib dengan tulang pada kedua tumitnya. Tidak di-
duganya bahwa anak muda itu akan menghindar ma-
suk dan menabrak lengannya dengan sisi telapak kaki 
kanannya. 
Ki Demang Kerpa meloncat mundur sambil 
memegangi lengannya yang tak berdaya lagi. Ia benar 
benar tidak tahu, ilmu apa yang dipakai anak Ki Ling-
gar  itu. Selama belasan tahun malang melintang di 
dunia persilatan, baru kali ini ia merasa kewalahan 
menghadapi lawan yang hanya bertangan kosong. 
’’Bagaimana, Ki Demang? Masih ingin dite-
ruskan? Atau mungkin kau menghendaki aku me-
mainkan cambuk ku?” ejek Joko Sungsang. 
Menghadapi Perisai Naga? Baru juga mengha-
dapi ilmu silat tangan kosong, ia sudah selayaknya 
mengaku kalah. Bagaimana mungkin ia mengadu ju-
rus-jurus pedangnya dengan Perisai Naga! 
’’Bedebah! Jangan cepat tinggi hati, Anak Mu-
da! Silat tangan kosong mu memang hebat. Tetapi be-
lum tentu permainan cambuk mu sehebat permainan 
tangan kosong mu!” kata Ki Demang Kerpa untuk me-
nutupi rasa takutnya, 
’’Baiklah! Karena aku sudah kenal baik den-
ganmu sebelum kau mencuri kedudukan demang di 
desa ini, aku turuti kemauanmu. Nah, bersiaplah!” Jo-
ko Sungsang mengurai Perisai Naga nya dan memutar 
cambuk itu di atas kepalanya. Bola berduri di ujung 
cambuk itu meraung-raung. Warnanya menyilaukan 
mata. Melihat warna hijau kebiru-biruan yang kini  
berwujud lingkaran itu, serta merta Ki Demang Kerpa 
ingat warna benda langit yang sering melintas-lintas 
pada malam hari. 

Ki Demang Kerpa memindahkan pedangnya ke 
tangan kiri. Tangan kanannya ternyata betul-betul tak 
berdaya lagi mengangkat pedang itu. Bahkan untuk di-
lipat pun tak bisa. Bagaimana bisa jika tulang yang 
menyangga tangan itu hancur! 
Lecutan Perisai Naga membuat Ki Demang Ker-
pa mengurungkan niatnya menyerang. Ia harus bergu-
lingan di tanah sebab ujung cambuk itu hampir saja 
melibas pinggangnya.  Namun, justru dalam keadaan 
seperti inilah Ki Demang Kerpa merasa menemukan 
kesempatan untuk menyerang. Maka cepat ia mengi-
baskan gagang pedangnya, dan meluncurlah beberapa 
butir kerikil beracun dari gagang pedang itu. Inilah ke-
rikil beracun yang diambil dari Kepundan Gunung Me-
rapi! 
"Sring! Sring! Sring!" 
Tiga butir kerikil terbentur bola berduri di 
ujung cambuk, sedangkan sisanya menyambar angin. 
Sambil memutar Perisai Naga, Joko Sungsang berjum-
palitan ke udara. 
Dua orang upahan yang sejak tadi mengikuti 
jalannya pertarungan di halaman kademangan itu 
kembali berdecak-decak kagum. 
‘’Benar-benar ilmu setan!” bisik yang lebih tua 
kepada temannya. 
’’Untung kita tadi tidak nekad melawannya,  
ya?” 
 ’’Seharusnya Ki Demang Kerpa sudah menye-
rah sejak tadi. Tetapi, ia memang keras kepala! Ba-
ginya, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup 
bercermin bangkai! Bukan main!” 
 
’’Tetapi, untuk apa mati-matian melawan kalau 
akhirnya juga kalah?” 
’’Semestinya Ki Demang Kerpa berpikiran seper-
ti kau. Lihat saja tangan kanan dan kedua tumitnya!” 
" Desss! Blukkk!" 
Tubuh Ki Demang Kerpa terhuyung-huyung 
mundur. Pedangnya tergeletak di tanah, dan tangan 
kirinya memegangi dada. Maka yang terjadi kemudian 
membuat kedua penonton itu melongo. Betapa tidak! 
Seperti kain basah, tubuh Ki Demang Kerpa pelan-
pelan terjatuh duduk dan akhirnya ngelimpruk tak 
berdaya. 
’’Gara-gara aku mendengarkan ocehanmu, ja-
dinya...!” 
”Kau sendiri kenapa mendengarkannya pakai 
mata, bukan pakai kuping, jangkrik!” sergah temannya 
kesal. 
’’Kalian geledah sakunya. Pasti ada uang di sa-
na!” perintah Joko Sungsang mengejutkan kedua 
orang upahan itu. 
’’Terima kasih, Kisanak,” ucap mereka berdua 
bersamaan. Kemudian mereka berebut langkah meng-
hampiri mayat Ki Demang Kerpa. 
 
*** 
 
Untuk sejenak Joko Sungsang termenung me-
mandangi lawannya yang terbaring di tanah dengan 
mulut bersimbah darah. Begitu mengerikan ilmu ’Pu-
kulan Ombak Laut Selatan’. Meski Perisai Naga dalam 
genggamannya, Joko Sungsang tetap ingin menjatuh-
kan lawannya dengan jurus pamungkas dari Padepo-
kan Karang Bolong itu. Itulah kenapa Ki Demang Ker-
pa tewas meski tanpa tersentuh Perisai Naga sedikit  
pun. 

Joko Sungsang mengelus punggung jari-jari 
tangannya. Terasa sedikit nyeri. Sesungguhnyalah Ki 
Demang Kerpa memiliki punggung yang kuat. Kalau 
saja kepalan tangan Joko Sungsang tidak dilambari 
ajian ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’, belum tentu 
pukulan itu dirasakan oleh punggung Ki Demang Ker-
pa. Punggung itu hampir sekeras cadas gunung. Se-
waktu Joko Sungsang masih kanak-kanak, sering ia 
melihat Kerpa memamerkan  kekuatan punggungnya. 
Pintu rumah yang terpalang bisa didobrak dengan ke-
kuatan punggung itu. Lebih-lebih setelah Kerpa belajar 
ilmu silat, semakin berlipat ganda kekuatan pung-
gungnya. 

’’Boleh kami menggeledah isi rumah, Kisanak?” 
tanya salah seorang lelaki upahan itu setelah tak me-
nemukan sepeser pun uang di kantong Ki Demang 
Kerpa. 
’’Boleh. Tetapi, jangan ganggu seisi rumah ini 
setelah kau dapatkan upah yang kau cari!” jawab Jo-
ko. 
’’Kami berjanji, Kisanak!” Berkata begini kedu-
anya langsung berebut lebih dulu menggapai pintu 
rumah. 
Mereka mendobrak lemari pakaian, dan me-
mang di situlah Ki Demang Kerpa menyimpan ua-
ngnya. Mereka tertawa-tawa sambil menciumi uang di 
telapak tangan. 
’’Sayang, kita hanya boleh mengambil ua-
ngnya,” kata lelaki yang lebih muda. 
”Itu pun sudah merupakan karunia! Kalau bu-
kan anak muda itu mana mungkin kita dibiarkan hi-
dup? Ha ha ha, betul-betul pendekar sejati! Beruntung 
kita bisa bertemu dengan Pendekar Perisai Naga yang  
kesohor itu, ya?” 

Mereka kembali berada di pelataran kademan-
gan. Mereka ingin sekali lagi mengucapkan terima ka-
sih kepada anak muda berhati emas itu. Akan tetapi, 
mereka tidak lagi melihat anak muda yang berpakaian 
serba putih itu. Sebaliknya, mereka malahan melihat 
lelaki tua yang berpakaian serba merah. 
’’Empu Wadas Gempal...!” 
”Ya, aku, cacing belang! Ha ha ha, ho ho ho, he 
he he!” Empu Wadas Gempal berkacak pinggang sem-
bari tertawa terpingkal pingkal. Dia adalah gurunya 
Hantu Lereng Lawu. Muridnya itu tewas di tangan Jo-
ko Sungsang karena itu dia sangat dendam pada Joko 
Sungsang (Untuk lebih jelasnya baca serial Pendekar 
Perisai Naga dalam episode "Hantu Lereng Lawu”). 
Kedua lelaki setengah umur yang baru saja ter-
tawa riang sebab mendapatkan uang yang tidak sedikit 
jumlahnya itu kini berdiri dengan kaki menggigil. Me-
reka secepatnya menyadari bahwa sebentar lagi nyawa 
mereka pasti melayang. 

’’Cacing tanah!” bentak Empu Wadas Gempal 
dengan mata melotot. ’’Katakan, siapa yang membu-
nuh Kerpa, demang goblok itu? Sebab aku yakin kalian 
berdua tidak akan bisa membunuhnya!” 
’’Kami... kami... kami tidak tahu....” 
’’Goblok! Dungu! Otak kerbau! Kalian tak perlu 
tahu namanya! Sebutkan saja ciri-ciri orangnya, cacing 
dungu!” 
’’Orangnya... eh, anak muda itu... anu... anu 
masih muda....” 
”Ha ha ha! Dasar pikiranmu masih bercampur 
tanah! Dasar mata duitan! Bicara asal buka bacot! 
Mana ada anak muda yang sudah tua, cacing kudi-
san!”  
 
’’Maksud kami, anak muda itu... pakai baju pu-
tih-putih, dan senjatanya....” 
’’Cambuk kambing?” tukas Empu Wadas Gem-
pal menebak. 
”Betul, betul Ki Lurah. Ki Demang bilang, dia... 
Pendekat Perisai....” 
’’Perisai kambing!” sahut Empu Wadas Gempal. 
’’Sekarang, di mana penggembala kambing itu, he?!” 
 ’’Kami... kami juga... juga sedang mencari dia, 
Ki Lurah. Kami kira tadi dia... dia masih di sini....” 
”Mata kalian lantas buta kalau sudah melihat 
uang!” Empu Wadas Gempal meloncat maju dan tiba-
tiba telah mencengkeram leher kedua lelaki upahan 
itu. 
’’Ampuni kami, Ki Lurah....” 
”Tak ada ampun buat perampok macam kalian! 
Mengerti?! Kalian cuma pantas dihabisi, bukan diam-
puni!” 
Tangan kedua laki-laki upahan itu berusaha 
meraih gagang golok yang mencuat dari balik baju me-
reka. Akan tetapi, sebelum jari-jari tangan itu menyen-
tuh tanduk kerbau itu, tubuh mereka terangkat tiga 
jengkal dari tanah. 
’’Jangan coba-coba kau gunakan akalmu untuk 
melawanku, cacing kremi!” bentak Empu Wadas Gem-
pal sambil menurunkan kembali tubuh kedua lelaki itu 
ke tanah. 
”Ha ha ha! Rupanya ada juga rajawali yang 
doyan cacing tanah!” 
Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari luar 
regol. kademangan. 
Empu Wadas Gempal membuang tubuh kedua 
lelaki itu seraya menoleh ke arah datangnya suara. 
Meski pemilik suara itu berada di keremangan malam,  
orang sesat dari Hutan Ketapang ini tetap saja bisa 
mengenalinya. 
’’Dari suaramu yang mirip burung gagak, aku 
tahu kau Danyang Gunung Merapi!” kata Empu Wadas 
Gempal. ’’Tetapi, apa urusanmu datang kemari men-
campuri urusanku, Bagaspati?” 
Ki Danyang Bagaspati menampakkan dirinya di 
samping obor yang menempel di tiang regol. Kini nam-
pak jelas perwujudan lelaki tua itu. Rambutnya yang 
putih terbalut ikat kepala berwarna putih kusam. Di 
tubuhnya yang kurus itu menyilang kain putih yang 
juga berwarna kusam. Dan, dari pinggang hingga lutut 
dibalut kain batik kawung. 
’’Tentu saja aku jauh-jauh datang kemari kare-
na ada urusan, Wadas Gempal! Tetapi, sayang orang 
yang punya urusan denganku sudah kau bunuh. Ka-
lau begitu, dengan kaulah aku harus berhadapan se-
karang!” 
’’Jangan lancang bicara, Bagaspati! Buat apa 
aku membunuh cacing macam Kerpa? Kalau tidak 
percaya, tanyailah cacing-cacing ini!” Empu Wadas 
Gempal menuding kedua lelaki yang telentang di tanah 
tanpa berani bergerak itu. 
’’Untuk apa aku harus mempedulikan jawa-
banmu, Wadas Gempal? Kau atau bukan yang mem-
bunuh Kerpa, tetap saja kau harus berurusan dengan-
ku. Kecuali jika kau berbaik hati meninggalkan tempat 
ini...." 
”Ho ho ho!” Tawa Empu Wadas Gempal menya-
hut. ’’Kita memang sama-sama punya urusan, Bagas-
pati! Kau datang ke sini karena Kerpa pernah berguru 
kepadamu, bukan? Dan, aku datang ke sini karena 
akulah yang menjadikannya demang di desa ini. Teta-
pi, kalau saja waktu itu aku mau menjadikannya mu- 
rid, tak mungkin kau berada di tempat ini sekarang.”  
”Jadi, kenapa tidak segera kau tinggalkan tem-
pat ini?” 
’’Begini saja! Ini semua hanyalah urusan kecil. 
Tetapi, kalau aku begitu saja pergi dari sini, kau pasti 
mengira aku takut dengan kain bungkus mayatmu itu. 
Nah, sekarang kita uji saja siapa yang paling pantas 
tinggal di sini lebih lama. Setuju?” 
”Ha ha ha, hmm! Usulan yang menarik! Maumu 
apa, orang hutan?” 
’’Kebutkan kain kafan  mu, dan aku dorong 
dengan angin puyuhku. Nah, siapa yang terdorong 
mundur, itulah yang harus minggat lebih dulu dari 
tempat ini!”  
’’Bersiaplah, Wadas Gempal!” sahut Ki Danyang 
Bagaspati, dan secepat kilat ia menyabetkan kain ka-
fan yang semula mengikat rambut di kepalanya. 
Akan tetapi, pada saat yang sama, Empu Wa-
das Gempal pun telah mendorongkan kedua telapak 
tangannya ke depan dada. Inilah jurus ’Angin Puyuh 
Melabrak Gunung’! 
Wusss! Wusss! Desss! 

Dua kekuatan angin bertabrakan. Kedua orang 
sakti itu terpental mundur beberapa langkah. Dua 
orang lelaki yang tadi telentang di tanah bergulingan 
terbawa angin dan tubuh mereka membentur tiang 
pendopo. Seketika itu juga mereka tewas dengan 
punggung patah terganjal tiang pendopo. 
”Apa perlu kita mengadu kekuatan kita yang 
lain, Wadas Gempal?” Ki Danyang Bagaspati mendahu-
lui bertanya. 
Suasana di pelataran kademangan itu kini re-
mang-remang. Dua buah obor yang menempel di tiang 
regol seketika tadi mati terhembus angin yang mendo- 
rong tubuh Ki Danyang Bagaspati. Namun begitu, ma-
ta kedua orang sakti itu terlalu tajam untuk menem-
bus kegelapan malam. Apalagi masih ada bantuan si-
nar bulan purnama yang berada di balik mendung. 
”Ada baiknya orang tua bangka macam kita se-
sekali berlatih silat berdua, Bagaspati,” jawab Empu 
Wadas Gempal. 
’’Majulah. Dan, aku berjanji akan meninggalkan 
tempat ini lebih dulu jika kau menyentuh kain ka-
wungku, Wadas Gempal!” 
’’Bukan orang Hutan Ketapang kalau tidak bisa 
menjambret kain lusuhmu itu, Wong Gunung!” sahut 
Empu Wadas Gempal sebelum menerkam  ke depan 
dengan jari-jari tangan terkembang. Jari-jari yang se-
mula berwarna kecoklatan Itu kini berubah menjadi 
hitam kebiru-biruan. 

Menyadari betapa berbahayanya jari-jari tangan 
orang tua dari Hutan Ketapang ini, Ki Danyang Bagas-
pati secepatnya merentangkan kain kafannya untuk 
menyambut serangan lawan. 
’’Hiyaaa!” Empu Wadas Gempal menarik kem-
bali kedua tangannya. Sebagai gantinya, ia mengirim-
kan tendangan ke arah lutut lawan. 
”Bagus juga jurus tipuanmu, Wadas Gempal!” 
seru Ki Danyang Bagaspati setelah berhasil mencegah 
tendangan lawan dengan kain kafannya. Hampir saja 
kain kafan itu membalut kaki Empu Wadas Gempal 
kalau saja ia tidak sigap membelokkan tendangan ka-
kinya. 
Ki Danyang Bagaspati memilin kain kafannya, 
kemudian melecutkannya ke arah kaki Empu Wadas 
Gempal. Dan, ketika orang sesat dari Hutan Ketapang 
itu melenting ke udara maka kain kafan terpilin itu 
pun sudah siap memburu ke udara. Empu Wadas  
Gempal menyadari bahwa lawannya tak lagi sekedar 
main-main. Kalau ia masih meladeninya dengan sikap 
bersahabat, sama halnya menyerahkan nyawa dengan 
cuma-cuma. Mengingat itu semua, Empu Wadas Gem-
pal menukik sambil mendorong lawan dengan jurus 
’Angin Puyuh Melabrak Gunung’. 
Sambaran angin yang begitu kuat membuat 
kuda-kuda Ki Danyang Bagaspati goyah. Ia terhuyung 
sehingga arah senjatanya melenceng. Kesempatan ini 
dipergunakan oleh Empu Wadas Gempal untuk menje-
jakkan kaki di tanah. 
’’Menurutku, cukuplah latihan kita kali ini, Ba-
gaspati! Lain kali bolehlah kita teruskan!” kata Empu 
Wadas Gempal. 
’’Apakah tidak lebih enak didengar jika kau ka-
takan bahwa kau takut menghadapiku?” ejek Ki Da-
nyang Bagaspati. 
"Katakan saja kapan kau siap bertarung sam-
pai mati, aku akan selalu melayanimu, kodok gunung!" 
"Aku akan melabrakmu di Hutan Ketapang jika 
hujan pertama turun nanti, babi hutan! Tetapi, sebe-
lum kau minggat dan sini, katakan siapa pembunuh 
Demang Kerpa tolol ini agar aku tidak dendam pada-
mu, demit hutan' 
”Ha ha ha! Kalaupun aku tahu, tidak akan ku-
katakan kepadamu, kodok gunung! Cecurut yang 
membunuh murid mu itu harus mati di tanganku se-
bab ia pun pernah membunuh murid kesayanganku!” 
sahut Empu Wadas Gempa!. 
"Pendekar Perisai Naga?” bisik hati Ki Danyang 
Bagaspati ia pernah mendengar cerita tentang tewas-
nya Hantu Lereng Lawu oleh lecutan Perisai Naga. 
"Nah, aku tunggu kau di Hutan Ketapang jika 
hujan pertama nanti turun, penggali kubur. Tetapi jika  
kau ingkar janjimu, aku akan tatakan Gunung Merapi 
biar kau mampus tertimbun di sana!” ujar Empu Wa-
das Gempal sebelum menghilang di keremangan ma-
lam. 
Setelah mendapat keterangan tentang siapa 
pembunuh Ki Demang Kerpa orang sesat dari Hutan 
Ketapang ini berjanji dalam hati untuk secepatnya me-
nemukan Pendekar Perisai Naga. 
 Lima tahun sudah ia mencari pembunuh mu-
rid kesayangannya itu, tetapi rupanya baru sekarang 
nama Pendekar Perisai Naga muncul lagi di dunia per-
silatan. 

Tuntutan balas dendam atas kematian Hantu 
Lereng Lawu ini menyebabkan Empu Wadas Gempal 
tidak ingin meneruskan pertarungannya dengan Ki 
Danyang Bagaspati. Dalam beberapa jurus tadi, ia su-
dah bisa mengukur tingkatan ilmu orang sakti dari 
Gunung Merapi itu. Dengan senjata Selendang Mayat-
nya, Ki Danyang Bagaspati bukan lagi tawan yang bisa 
diremehkan. Empu Wadas Gempal merasa tidak yakin 
bisa mengalahkan lawan tangguh sesama golongan ini. 

Bahkan bukan tidak mungkin ia sendiri yang tewas ji-
ka pertarungan tadi diteruskan. Dan, ini tidak dike-
hendakinya. Ia tidak ingin mati sia-sia sebelum berha-
sil membalaskan kematian murid kesayangannya. 
Sambil berloncatan meninggalkan Desa Sanare-
ja, Empu Wadas Gempal terus menaksir  naksir, di 
mana kiranya ia bisa menemukan Pendekar Perisai 
Naga. Kemudian, ia mengutuk kemunculan Wasi Eka-
cakra di mulut Desa Cemara Pitu lima tahun yang lalu. 
Kalau saja petani dari Desa Dadapsari itu tidak mun-
cul malam itu, sudah pasti Pendekar Perisai Naga mati 
di tangannya. Tidak akan Pendekar Perisai Naga mam-
pu menghadapi guru dan murid dari Hutan Ketapang. 
 
Toh menghadapi keroyokan Hantu Lereng Lawu dan 
Kebo Dungkul saja Joko Sungsang sudah kerepotan. 
Andaikata saja tidak muncul gadis bertombak pendek 
itu, belum tentu Pendekar Perisai Naga mampu mero-
bohkan Hantu Lereng Lawu (Baca serial Pendekar Peri-
sai Naga dalam episode ’’Hantu Lereng Lawu”). 
’’Terkutuk pulalah kau, gadis binal!” dengus 
Empu Wadas Gempal sembari mempercepat langkah-
nya. 
 
*** 
 
 
Sepeninggal Empu Wadas Gempal, bergegas Ki 
Danyang Bagaspati meneliti sosok tubuh yang berge-
limpangan di pelataran kademangan itu. Ia harus tahu 
siapa pembunuh Ki Demang Kerpa. Ia berharap salah 
seorang dari mereka bisa memberikan keterangan yang 
diperlukannya. 
Sewaktu ia membalikkan tubuh salah seorang 
pengawal Ki Demang Kerpa, saat itulah terdengar 
erangan kesakitan. 
”Ha, masih hidup rupanya kau!” seru Ki Da-
nyang Bagaspati kegirangan. ”Nah, katakan cecurut 
mana yang telah membunuh Demang Kerpa, he?” 
Orang itu menggerakkan bibirnya. Suaranya 
terdengar bisik-bisik. Ki Danyang Bagaspati mende-
katkan telinganya ke mulut lelaki malang itu. 
”Siapa?” tanyanya sambil menggoyang-goyang 
paha lelaki yang tengah sekarat itu. 
’’Pendekar... Perisai... Na... Na....” Dan, kepala 
pengawal Ki Demang Kerpa itu terkulai. 
 
’’Pendekar Perisai Naga?” ujar Ki Danyang Ba-
gaspati sambil memicingkan mata. Lalu buru-buru ia 
meneliti kembali mayat Ki Demang Kerpa. la sangsi se-
bab pada mayat itu tidak terdapat jejak Perisai Naga 
seperti yang pernah didengarnya dari mulut ke mulut. 
Tak ada sayatan-sayatan dengan garis-garis biru di 
kanan kiri luka. Mayat itu bahkan utuh. Hanya ada 
darah , yang sudah mengering di bibir dan dagu. Itu 
pun darah muntahan. 
Setaraf dengan tingkatan ilmu silat yang dimili-
kinya, Ki Danyang Bagaspati berani menyimpulkan 
bahwa Ki Demang Kerpa mati akibat terkena pukulan 
yang hanya menimbulkan luka dalam. Dan pukulan 
itu begitu sempurna sehingga tidak meninggalkan be-
kas apa pun di kulit korban. 
’’’Pukulan Ombak Laut Selatan’!” dengus Ki Da-
nyang Bagaspati. Kemudian ia ingat akan Ki Sempani, 
satu-satunya tokoh dalam dunia persilatan yang ber-
hasil mempelajari ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’. 
Dan, ia pun ingat masih punya urusan dengan 
orang sakti dari Padepokan Karang Bolong itu. Untuk 
bisa mengalahkan Ki Sempani inilah ia harus mencuri 
kain kafan di kuburan sebagai sarana mempelajari ju-
rus ’Selendang Mayat Penyapu Awan’. Enam tahun ia 
berdiam di Kaki Gunung Merapi demi memperdalam 
ilmu ini. 

Enam tahun yang lalu, Ki Danyang Bagaspati 
terlibat pertempuran hidup dan mati dengan Ki Sem-
pani di Pesisir Laut Selatan. Ia yang datang ke tempat 
itu untuk mengajarkan ilmu sesat kepada penduduk 
desa di pinggiran laut itu, tidak boleh tidak harus be-
rurusan dengan Ki Sempani. Sebagai pendekar yang 
mengabdi pada kepentingan rakyat banyak, Ki Sempa-
ni terpaksa turun tangan mencegah kejahatan yang  
meracuni Pesisir Laut Selatan dan sekitarnya. Maka 
pertarungan hidup dan mati dengan Ki Danyang Ba-
gaspati tak bisa dielakkannya lagi. Da-lam pertarungan 
inilah Ki Danyang Bagaspati terdesak dan tergiring ke 
dalam pelukan ombak laut Selatan yang ganas itu. 
Akan tetapi, nasib baik masih mengekornya Seseorang 
yang mengaku sebagai kaki tangan penguasa Laut Se-
latan menyelamatkannya Malahan kemudian menu-
runkan ilmu silat yang disertai 'aji pamungkas berna-
ma jurus ’Selendang Mayat Penyapu Awan' kepadanya. 
’’Untuk bisa menguasai jurus ini, kau harus bi-
sa mendapatkan kain kafan yang membungkus mayat 
orang yang paling kau benci, Bagaspati,'' kata sang 
guru 
’Kain kafan?" Bulu kuduk Ki Danyang Bagaspa-
ti berdiri. Sungguh, tak pernah bisa membayangkan 
bakal mendapat perintah membongkar kuburan dan 
mengambil kain kafan yang membungkus mayat peng-
huni kuburan itu. 
”Kau takut? Hi hi hik! Kalau untuk membong-
kar kuburan seseorang saja kau takut. bagaimana 
mungkin kau bisa mengalahkan musuh besarmu? 
’’Tidak, tidak Guru Saya hanya kaget menden-
gar persyaratan yang sangat aneh ini"  sahut Ki Da-
nyang Bagaspati untuk menutupi rasa malunya. 
Bagus Kalau begitu, malam Jum’at Kliwon nan-
ti kau harus sudah menyerahkan kain kafan yang 
membungkus mayat orang yang paling kau benci Dan 
kain kafan itu harus sudah terkubur lebih dari tiga ta-
hun. Paham?” 
”Paham, paham, Guru ” Ki Danyang Bagaspati 
mengangguk berulang-ulang. 
"Jangan sampai lupa pesan-pesanku tadi. Sa-
lah ambil, tidak akan berfaedah kain kafan itu!” 
 
’’Saya mengerti, Guru. Saya harus menda-
patkan kain kafan orang yang paling saya benci, dan 
kain kafan itu harus sudah terkubur di liang lahat se-
lama lebih dari tiga tahun. Benar begitu, Guru?” 
Begitulah kenapa akhirnya orang sesat dari Ka-
ki Gunung Merapi ini berhasil menguasai jurus ’Selen-
dang Mayat Penyapu Awan’ Dan hampir saja jurus 
maut itu diturunkan kepada Ki Demang Kerpa. 
Ki Danyang Ragaspati menyeringai. Lalu ia ter-
tawa terbahak-bahak sambil melompat pergi mening-
galkan halaman kademangan. Bayangan Ki Sempani 
memajang di pelupuk matanya Hatinya girang sebab ia 
melihat jejak-jejak munculnya murid Ki Sempani. 
"Dari muridnya inilah aku bisa memaksa kepit-
ing pantai itu untuk menongolkan dirinya!” kata hati 
Ki Danyang Ragaspati. 
 
*** 
 
Bulan tak lagi tampak penuh. Purnama sudah 
berlalu beberapa hari yang lalu. Peristiwa di Kademan-
gan Desa Sanareja itu sudah dilupakan oleh Joko 
Sungsang. Kalaupun Ki Demang Kerpa terbunuh da-
lam pertarungan di halaman kademangan itu, ini se-
mua di luar rencana anak bekas demang Desa Sanare-
ja ini. Di luar dugaannya jika malam itu dia akan beru-
rusan dengan Ki Demang Kerpa, bahkan sampai mem-
bunuhnya. 
Lima tahun yang lalu Joko Sungsang telah 
memaafkan Kerpa. Meski ia tahu bahwa tewasnya Ki 
Linggar karena fitnah yang ditebarkan Kerpa, tetap sa-
ja ia menganggap bahwa Hantu Lereng Lawu dan anak 
buahnyalah yang harus menebus kematian Ki Linggar. 
Itulah kenapa Joko Sungsang membiarkan Kerpa tetap  
hidup setelah ia berhasil membunuh Hantu Lereng 
Lawu. 

Malam itu, setelah berhasil membunuh Hantu 
Lereng Lawu (Baca serial Pendekar Perisai Naga dalam 
episode ’’Hantu Lereng Lawu”) di mulut Desa Cemara 
Pitu, Joko Sungsang mengantarkan Sekar Arum kem-
bali ke Padepokan Karang Bolong. Ia terpaksa me-
nangguhkan rasa rindunya bertemu dengan ibunya 
sebab ia merasa harus lebih mengutamakan kepentin-
gan orang lain. Ia harus secepatnya menggiring Sekar 
Arum kembali ke Karang Bolong demi keselamatan ga-
dis itu. Tanpa ilmu silat yang tinggi, belum selayaknya-
lah Sekar Arum malang-melintang di dunia persilatan. 
Dan, gadis itu pun mengaku bahwa hampir saja ia ce-
laka di tangan Kebo Dungkul jika tidak muncul Wiku 
Jaladri menolongnya. 
”Aku yakin, jika kau sudah menguasai seluruh 
ilmu yang diajarkan Ki Sempani, jangan lagi seorang 
Kebo Dungkul, sedangkan Hantu Lereng Lawu pun 
akan roboh berhadapan denganmu, Arum,” kata Joko 
Sungsang. 
’’Mungkin,” kata gadis itu sambil mengerling. 
’’Bukan mungkin lagi Pasti!” sahut Joko Sung-
sang. ’’Siapa orangnya yang tak kenal  ilmu ’Pukulan 
Ombak Laut Selatan’? Guruku sendiri mengakui bah-
wa ilmu pukulan tangan kosong itu tidak ada duanya 
di dunia persilatan.” 
’’Tetapi, tidak gampang mempelajari ilmu puku-
lan yang satu itu.” 
’’Karena tidak gampang dipelajari itulah maka 
tidak gampang juga dicarikan tandingannya, Arum.” 
 ”Ya. Tetapi, sudah berkali-kali aku gagal me-
nempuh.” 
’’Cobalah sekali lagi. Siapa tahu sekaranglah  
saatnya kau berhasil menguasai ilmu pukulan maut 
itu. Dan, kalau memang Ki Sempani mengizinkan aku 
bersedia belajar denganmu.” 
Gadis itu menghentikan langkahnya. Ia mena-
tap tidak percaya wajah anak muda yang berada di 
sampingnya itu. 
"Kau sudah bergelar Pendekar Perisai Naga. 
Kau sudah menguras semua ilmu yang dimiliki Kiai 
Wiku Jaladri. Bahkan kau dengan mudah bisa mem-
bunuh Hantu Lereng Lawu dan Mahesa Lawung den-
gan jurus ‘Perisai Naga’ mu. Kenapa kau masih ingin 
mempelajari ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’?” kata 
gadis itu seolah tidak percaya mendengarkan penga-
kuan Joko Sungsang. 

”Tak ada sesuatu pun yang paling hebat di mu-
ka bumi ini, Arum Begitu pula tak ada ilmu silat yang 
paling hebat di muka bumi ini. Memang benar aku te-
lah mewarisi seluruh ilmu silat yang dimiliki Kiai Wiku 
Jaladri. Tetapi, pantaskah aku merasa menjadi orang 
yang paling sakti di muka bumi ini? Tidak, Arum. 
Bahkan aku merasa tidak mungkin mampu mengha-
dapi Empu Wadas Gempal jika tidak datang Kiai Wasi 
Ekacakra menolongku,” jawab Joko Sungsang tulus. 
Diam-diam Sekar Arum mengagumi kerenda-
han hati anak muda ini. Meski anak muda ini sudah 
bergelar Pendekar Perisai Naga, tetap saja ia merasa ti-
dak akan bisa mengalahkan Empu Wadas Gempal, 
guru Hantu Lereng Lawu. Padahal gadis itu melihat 
sendiri bagaimana anak muda itu memainkan Perisai 
Naga di tangannya. Karena itu pula ia menganggap 
bahwa anak muda ini memang pantas bergelar sebagai 
Pendekar Perisai Naga. 

Lalu gadis itu menengok dirinya sendiri. Lalu ia 
merasa kecil sekali berada di samping Pendekar Perisai  
Naga, la yang hanya memiliki ilmu silat sekuku hitam 
sudah berani kiprah di dunia persilatan, la  bahkan 
sudah berani meninggalkan Padepokan Karang Bolong 
sebab merasa sudah memiliki ilmu silat yang hebat. 
Tetapi, nyatanya hampir saja ia celaka dan diperkosa 
oleh Kebo Dungkul. 
”Aku merasa malu sekali bertemu denganmu, 
Joko,” ucap gadis itu seraya menundukkan kepala. 
”Malu?” Joko Sungsang mengangkat kedua 
alisnya. 
”Ya. Aku terlalu pongah dengan ilmu silatku 
yang....” 
’’Arum,” tukas Joko Sungsang. ’’Menurutku, il-
mu silatmu sangatlah tangguh. Permainan tombak 
pendek-mu mengagumkan. Buktinya Kebo Dungkul 
akhirnya tewas tertikam tombak pendekmu. Kalaupun 
beberapa waktu yang lalu guruku terpaksa menolong-
mu, itu karena dia melihat kecurangan dalam perta-
rungan di depan kedai itu. Aku yakin, tanpa bantuan 
Hantu Lereng Lawu, tak mungkin Kebo Dungkul lolos 
dari aji pamungkas tombak pendekmu.” 
Sekar Arum membenarkan ucapan anak muda 
itu.  Ya, kalau saja tidak datang Hantu Lereng Lawu 
membantu, tentulah Kebo Dungkul sudah tewas di de-
pan kedai itu. Tewas oleh jurus ’Memancing Mangsa 
Keluar Sarang’! 
’’Maksudku, aku malu kenapa aku tidak berpi-
kiran sepertimu. Kau yang sudah menguasai seluruh 
ilmu Padepokan Jurang Jero saja masih ingin belajar 
dari padepokan lain. Tapi, .kenapa aku yang belum 
berhasil menguasai seluruh ilmu yang diajarkan Ki 
Sempani...?” 
’’Penyesalan tidak ada gunanya, Arum.” Kemba-
li Joko Sungsang memotong keluhan gadis itu. ’’Yang  
penting sekarang kau berniat kembali ke Karang Bo-
long, dan berjanji akan lebih tekun lagi belajar. Bukan 
begitu?” 
’’Dengan bantuanmu, semoga kali ini aku tidak 
patah semangat!” ujar gadis itu sambil mempercepat 
langkah. 
Menjelang pagi hari, mereka tiba di Padepokan 
Karang Bodong. Ki Sempani terkejut melihat kedatan-
gan Sekar Arum disertai seorang anak muda yang ber-
senjatakan Perisai Naga. Tak disangka-sangka ia bakal 
melihat lagi kemunculan Pendekar Perisai Naga dimu-
ka bumi ini. 
’’Kisanak, kalau mata tuaku ini tidak salah li-
hat, cambuk yang melilit di pinggang Kisanak itu tidak 
lain dari Perisai Naga,” kata Ki Sempani sebelum Sekar 
Arum sempat memperkenalkan Joko Sungsang kepada 
gurunya. 
’’Kalaupun pandang mata Kiai terpengaruh oleh 
bertambahnya usia Kiai, tetapi saya percaya mata hati 
Kiai tidak akan salah melihat,” jawab Joko Sungsang 
seraya mengangguk hormat. 
’’Jadi, benar aku sedang berhadapan dengan 
Pendekar Perisai Naga?” 
’’Begitulah kalau memang Kiai mengizinkan 
saya mewarisi gelar dari Kiai Wiku Jaladri. ” 
’’Gusti Allah Maha agung!” desis orang tua itu. 
’’Sejak dulu aku tidak percaya Kakang Wiku Jaladri 
tewas di dasar jurang itu. Suatu ketika pasti dia mun-
cul lagi untuk membangun bumi yang bobrok ini.” 
’’Sewaktu saya meninggalkan Padepokan Ju-
rang Jero, keadaan Guru sehat walafiat, Kiai. Malahan 
Guru mengirimkan salam teruntuk Kiai di Padepokan 
Karang Bolong sini.” 
”Ha ha ha, rasanya umurku bertambah panjang  
mendengar kabar baik tentang Kakang Wiku Jaladri! 
Apalagi kabar baik itu disampaikan oleh muridnya 
yang bergelar Pendekar Perisai Naga! Oh, siapa nama 
Kisanak... eh, Anakmas ini?” 
’’Joko Sungsang, Kiai.” 
’’Joko Sungsang? Wah, wah, pasti Anakmas ini 
ketika lahir dalam keadaan  sungsang. Artinya, Anak 
mas lahir dengan kaki mendahului kepala. Betul begi-
tu?” 
’’Menurut pengakuan ayah saya, memang begi-
tulah alasannya kenapa saya diberi nama Joko Sung-
sang, Kiai.” 
’Tetapi, saya lebih suka memanggilnya Pende-
kar Perisai Naga, Guru,” sela Sekar Arum sambil meli-
rik Joko Sungsang. 
”Ya, ya, ya. Kalau aku tadi menanyakan nama 
lahir, tidak berarti aku menganggap Anakmas Joko 
Sungsang ini tidak pantas bergelar Pendekar Perisai 
Naga, Arum. Hanya saja, aku percaya Anakmas Joko 
Sungsang akan merasa risih jika aku memanggilnya 
dengan Anakmas Pendekar Perisai Naga! Bukan begitu, 
Anakmas?” 
”Betul sekali, Kiai. Apalah artinya gelar saya ji-
ka saya sedang berhadapan dengan pertapa sakti ma-
cam Kiai?” sahut Joko Sungsang merasa tidak enak 
hati. Tentu saja ia merasa kecil sekali berhadapan 
dengan Ki Sempani. Dan, selama ini toh musuh-
musuhnya yang menggelarinya Pendekar Perisai Naga. 
Sesungguhnya, ia sendiri merasa belum pantas me-
nyandang gelar warisan dari gurunya itu. 
”Ho ho ho, tidak juga begitu, Anakmas.  Kalau 
memang Anakmas Joko Sungsang benar-benar telah 
mewarisi seluruh ilmu yang dimiliki Kakang Wiku Ja-
ladri, tidak perlu Anakmas merasa kecil hati berhada- 
pan denganku. Aku ini hanyalah orang tua yang tidak 
tahu diri. Sudah seharusnya aku ini hidup menyepi, 
jauh dari kekotoran dunia. Tetapi, aku masih saja in-
gin campur tangan. Tidak seperti Kakang Wiku Jaladri 
maupun Dimas Wasi Ekacakra. Bukan begitu, Anak-
mas?” 
”Maaf, Kiai. Saya tidak berani membenarkan 
ucapan Kiai. Sebab, menurut saya, justru orang-orang 
sakti macam Kiai ini sedang dibutuhkan oleh rakyat 
yang tertindas, Kiai. Tentang Guru dan Kiai Ekacakra, 
sebenarnya mereka pun tidak tega melihat orang-orang 
sesat menyebarkan penderitaan dari desa ke desa. Kiai 
boleh bertanya kepada Arum, siapa yang menolong 
kami berdua sewaktu Empu Wadas Gempal mencam-
puri urusan kami berdua dengan Hantu Lereng Lawu, 
kalau bukan Kiai Wasi Ekacakra!” 
’’Betul, Guru. Kami yang muda ini masih tetap 
membutuhkan dukungan dari sesepuh macam Guru. 
Malahan Pendekar Perisai Naga jauh-jauh datang dari 
Padepokan Jurang Jero kemari karena ingin belajar 
ilmu silat lagi dari Guru,” kata Sekar Arum menimpali. 
”Ha ha ha, kojur, kojur! Susah memang bicara ' 
dengan anak muda macam kalian ini,” Ki Sempani 
menggeleng-gelengkan kepala. Lengan bajunya yang 
komprang bergoyang goyang. 
”Apa yang dikatakan Arum memang benar, Kiai. 
Saya datang kemari memang dengan niat berguru ke 
pada Kiai. Tetapi, tentu saja jika Kiai tidak merasa hi-
na menerima saya sebagai murid,” kata Joko Sungsang 
menegaskan. 
"Anakmas, tentu saja aku akan besar kepala 
punya murid macam Anakmas. Tetapi, apa lagi yang 
bisa aku ajarkan? Semua yang aku punyai pasti sudah 
dipunyai oleh Kakang Wiku Jaladri, dan sudah diajar- 
kan kepada Anakmas Joko Sungsang....” 
”Guru, ” tukas Sekar Arum. ’’Kalau memang 
benar ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’ merupakan 
jurus andalan Padepokan Karang Bolong, berarti Joko 
Sungsang tidak mungkin mendapatkan ilmu itu dari 
gurunya!” 
”Ho ho ho, itu hanyalah jurus mainan anak ke-
cil, Anakmas,” sahut Ki Sempani. 
’’Kalau begitu, aku ini hanya bayi kemarin 
sore!” sergah Sekar Arum sambil memberengut. 
”Lha, kenapa begitu?” Mata Ki Sempani yang 
sipit itu melebar. 
”Guru bilang bahwa ilmu ’Pukulan Ombak Laut 
Selatan’ hanyalah mainan anak-anak kecil. Tetapi 
sampai sekarang aku tidak....” 
”Ha ha ha!” Tawa Ki Sempani memenggal uca-
pan muridnya. ’’Bukan itu maksudku, Arum. Aku ka-
takan ilmu itu hanyalah mainan anak-anak kecil, ka-
rena aku sedang berbicara dengan Pendekar Perisai 
Naga. Kalau aku bicara dengan musuhku, tentu akan 
kukatakan bahwa ilmu itu paling jempolan di muka 
bumi ini! Mengerti?” 
Sekar Arum tetap memberengut. Joko Sung-
sang merasa tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya 
menatap guru dan murid itu bergantian. 
’’Lagi pula, dengan tombak pendekmu itu kau 
sebenarnya mempunyai senjata andalan yang tak ku-
rang ampuhnya jika dibandingkan dengan ilmu ’Puku-
lan Ombak Laut Selatan’, Arum. Bukan begitu, Anak-
mas Joko Sungsang?” 
’’Tepat sekali, Kiai!” Joko Sungsang manggut-
manggut. ’’Saya sudah melihat sendiri bagaimana 
Arum memainkan tombak pendeknya, Kiai. Saya me-
rasa pasti, andai saja jurus-jurus tombak pendek itu 
 
diperdalam, akan sulit dicarikan tandingannya, Kiai.”  
’’Apakah berarti Guru tidak mengizinkan aku 
mencoba mempelajari ilmu ’Pukulan Ombak Laut Sela-
tan’ lagi?” 
”Cah Denok, kapan saja kau mau mempelaja-
rinya, aku selalu mengizinkan. Tetapi, kali ini kau ha-
rus berjanji, tidak akan meninggalkan Padepokan Ka-
rang Bolong lagi sebelum kau berhasil dalam latihan-
mu Bagaimana?” 
”Aku berjanji!” Sekar Arum menyahut tegas. 
 
*** 
 
 
Akan tetapi, Sekar Arum ternyata mengingkari 
janjinya. Ia diam-diam pergi meninggalkan padepokan 
setelah untuk kedua kalinya gagal dalam latihannya. 
Gadis keras kepala dan keras hati ini merasa malu dan 
minder melihat keberhasilan Joko Sungsang mempela-
jari ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’. 
Oleh sebab itulah Joko Sungsang ditugaskan 
oleh Ki Sempani untuk mencari gadis itu dan membu-
juknya agar mau kembali ke Padepokan Karang Bo-
long. Dan, sebelum menemukan adik seperguruannya 
ini, Joko Sungsang lebih dulu menemukan orang-
orang upahan yang menggali kubur ayahnya. Maka tak 
bisa dihindari lagi pertarungan hidup dan mati mela-
wan Ki Demang Kerpa di halaman kademangan itu. 
Sementara Joko Sungsang melacak jejak Sekar 
Arum dari desa ke desa, dunia persilatan sedang di-
landa pergolakan. Tokoh-tokoh dari golongan hitam 
bermunculan dan berebut untuk bisa menduduki desa  
desa tertentu yang mereka pandang makmur. Di samp-
ing itu, mereka juga berlomba untuk bisa menda-
patkan julukan sebagai tokoh dunia persilatan yang 
paling disegani. Maka tak jarang terjadi pertarungan 
hidup dan mati antar sesama tokoh sesat. 

Seperti yang terjadi di Desa Gedong Alit malam 
itu. Dua orang tokoh dari golongan hitam bertarung 
untuk bisa saling menaklukkan satu sama lain. Mere-
ka berdua tak lain adalah Empu Wadas Gempal mela-
wan Cekel Janaloka. 
Sewaktu Joko Sungsang tiba di tempat itu, ia 
melihat Empu Wadas Gempal sudah berhasil mende-
sak lawannya. Jari-jari mautnya bahkan sudah berha-
sil melukai pundak Cekel Janaloka. 
”Tak perlu aku membunuhmu, besok pagi juga 
kau bakal sekarat, Janaloka!” seru Empu Wadas Gem-
par sambil berkelit menghindari ruyung hitam yang 
mematuk kepalanya. 
’’Jangan banyak bacot, demit hutan! Selama 
kau tidak lari, kaulah yang akan lebih dulu modar!” 
sahut Cekel Janaloka sebelum mengubah arah senja-
tanya. Kini ruyung hitam yang ujungnya dihiasi baja 
mirip mata kail itu mengancam perut Empu Wadas 
Gempal. 
”Ho ho! Kau pikir aku ini mujair di kali?” Empu 
Wadas Gempal menangkis senjata lawan dengan tan-
gan kanannya yang seolah telah berubah menjadi besi. 
Sudah barang pasti ia menangkis tepat pada sambun-
gan yang menghubungkan ruyung hitam itu dengan 
mata kail sebesar sabit itu. 
“Desss! Krakkk!” 
Akibatnya sungguh di luar dugaan mereka yang 
menyaksikan pertarungan itu. Joko Sungsang sendiri 
heran melihat ruyung hitam itu patah berbenturan  
dengan sisi telapak tangan orang sakti dari Hutan Ke-
tapang itu. 
Merasa senjata andalannya kutung, Cekel Ja-
naloka mundur beberapa langkah. Selain ia merasa 
kehilangan senjata, ia juga merasakan nyeri di pundak 
kirinya semakin menjadi-jadi. Kini bahkan terasa pa-
nas bak tersengat bara. Inilah akibat cakaran jari-jari 
Empu Wadas Gempal yang dilumuri racun laba-laba 
hitam dari Hutan Ketapang.  
”He he he, Janaloka! Menyerahlah agar aku bi-
sa mengampunimu dan memberimu obat penangkal 
racun laba-laba hitamku!” 
“Singgg!” 
Cekel Janaloka menyambitkan sisa ruyung hi-
tam yang masih dipegangnya. Penggalan ruyung itu 
berputar dan mengarah ke leher Empu Wadas Gempal. 
Namun, seketika itu juga tubuh orang sesat dari Hutan 
Ketapang itu berputar searah putaran ruyung. 
’’Jurus ’Bidadari Mengurai Benang Kusut’!” bi-
sik hati Joko Sungsang. Serta-merta ia ingat Hantu Le-
reng Lawu yang menggunakan jurus ini untuk me-
nangkal lilitan Perisai Naga. Lima tahun yang lalu, se-
lama Hantu Lereng Lawu berputar mirip gasing maka 
selama itu pula Perisai Naga tak akan berhasil membe-
litnya. Untuk itu Joko Sungsang lantas menggunakan 
jurus ’Mematuk Elang Dalam Mega’ untuk menghenti-
kan putaran tubuh murid Empu Wadas Gempal itu. 
Ruyung hitam itu berputar-putar dan berbenturan 
dengan tubuh Empu Wadas Gempal yang juga berpu-
tar. Namun, tak diduga-duga oleh siapa pun jika 
ruyung itu akan mental dan melabrak leher tuannya 
sendiri. 
Cekel Janaloka berjumpalitan ke belakang 
menghindari serangan balik senjatanya. Sayang, ia ti- 
dak bersiap-siap bahwa Empu Wadas Gempal akan 
memburunya dengan tendangan kakinya. 
”Augh!” Cekel Janaloka bergulingan di tanah 
dengan bahu kanan patah. 
”Kau tinggal bisa menggunakan kedua kakimu, 
Janaloka!” ujar Empu Wadas Gempal sambil mengu-
sap kumisnya yang basah oleh keringat. 
Tertatih-tatih Cekel Janaloka bangkit dengan 
kedua bahu tak bertenaga lagi. Meski demikian, tetap 
saja tokoh hitam dari Gunung Sumbing ini berusaha 
menyerang lawan. Kaki kanannya ditarik jauh-jauh ke 
belakang, telapak tangan kiri menyerong ke kiri, dan 
tiba-tiba tubuhnya melenting mengirimkan tendangan 
beruntun. 
’’Ciaaat!” Desss!” 
Tubuh Cekel Janaloka terbanting ke tanah 
dengan mulut memuntahkan darah segar. Kali ini Em-
pu Wadas Gempal membenturkan siku tangan kanan-
nya ke tulang kering lawan. Dan, sebelum lawan turun 
dari udara, secepat kilat sisi telapak tangannya me-
nimpa punggung lawan. 
’’Karena kau tetap tidak mau menyerah, aku 
harus menyatukan tubuhmu dengan debu, Janaloka!” 
Berkata begini, Empu Wadas Gempal siap merobek-
robek tubuh lawannya dengan kuku-kuku jari tangan-
nya. 
Tetapi, sebelum kelima jari maut itu tertanam 
di tubuh Cekel Janaloka, tiba-tiba berkelebat bayan-
gan putih dari balik semak-semak dan langsung mela-
brak lengan kanan Empu Wadas Gempal. 
’’Haiyaaa!” Empu Wadas Gempal mengegoskan 
tubuhnya hingga tumit kaki yang mengarah ke len-
gannya lewat begitu saja. Berdesing di atas telinganya. 
”Arum!” teriak Joko Sungsang tertahan. Lalu,  
secepat kilat ia melecutkan Perisai Naga ke arah tubuh 
gadis itu. Cambuk itu melilit pinggang Sekar Arum, 
dan dengan sekali sentak tubuh gadis itu tertarik ke 
balik semak-semak tempat Joko Sungsang bersem-
bunyi. 
’’Kenapa...?” 
Joko Sungsang tidak menjawab, la menarik 
lengan gadis itu dan dibawanya tubuh gadis itu me-
lenting ke kerimbunan dahan jati. Dari dahan ke da-
han Joko Sungsang terus melarikan Sekar Arum men-
jauhi tempat pertarungan itu. 
”Dia bukan lawanmu, Arum, ” kata Joko Sung-
sang setelah yakin Empu Wadas Gempal tak mungkin 
menemukan mereka. 
’’Tetapi, dia iblis kejam! Aku tidak tega melihat-
nya...!” 
”Aku pun demikian, Arum, ” tukas Joko Sung-
sang.  
’’Tapi, kau mungkin tidak tahu siapa lawan 
Empu Wadas Gempal itu.” 
’’Cekel Janaloka, bukan?” 
’’Betul. Maksudku, Cekel Janaloka pun sebe-
narnya manusia kejam. Apa salahnya jika ia mendapat 
balasan atas kekejaman yang pernah dibuatnya.”  
’’Maksudmu, dia juga tega membunuh lawan 
yang sudah tidak berdaya?” 
’’Membunuh dan menghancurkan tubuhnya 
dengan cabikan besi di ujung ruyung hitamnya!” 
’’Hiiih!” Gadis itu mengedikkan bahunya. 
”Nah, sekarang ceritakan kenapa  kau bisa be-
rada di tempat itu, Arum?” kata Joko Sungsang setelah 
mereka kembali menginjakkan kaki di tanah. 
”Lho, seharusnya aku yang bertanya, kenapa 
kau juga ada di tempat Itu? Kalau aku, memang sudah 
tiga malam aku menginap di Desa Gedong Alit” 
’’Tiga malam? Ada apa rupanya sampai kau ke-
rasan tinggal di desa itu selama tiga malam?” Joko 
Sungsang memperlambat langkah kakinya. 
’’Jawab dulu pertanyaanku!” Sekar Arum bersi-
keras. 
’’Kebetulan saja aku lewat di desa itu. Dan, ru-
panya firasatku benar bahwa orang yang aku cari se-
lama ini ada di desa itu!” 
’’Siapa?” Sekar Arum berpura-pura. 
’’Bidadari Karang Bolong!” 
Sekar Arum mencubit pinggang anak muda itu. 
Tak dihindari cubitan itu sebab Joko Sungsang me-
mang ingin sekali menikmati cubitan gadis yang dicin-
tainya ini. Sudah puluhan hari ia tidak bercanda den-
gan gadis pautan hatinya itu. Tepatnya, sejak gadis itu 
meninggalkan Padepokan Karang Bolong karena gagal 
mempelajari ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’. 
Joko Sungsang memaklumi jika Sekar Arum ti-
dak tahan bermalam-malam harus bergulat dengan 
ombak Laut Selatan. Kalau saja ia tidak pernah digem-
bleng di dasar jurang yang udaranya menggigit-gigit 
tulang, sudah pasti ia pun akan gagal seperti halnya 
gadis itu. Maka Joko Sungsang bersyukur telah dipak-
sa oleh Wiku Jaladri hidup di dasar jurang di Gunung 
Lawu itu. Ia bukan saja terlatih dengan udara dingin, 
melainkan juga darahnya menjadi panas sebab setiap 
hari ia makan daging ular sanca. Bahkan tak jarang ia 
harus makan daging biawak. Suhu darahnya yang lain 
dengan suhu darah Sekar Arum inilah yang membuat-
nya tahan bermalam-malam bergelut dengan ombak. 
Sebaliknya, Sekar Arum yang tubuhnya cepat 
menggigil, dengan mudah terpelanting dihantam om-
bak. Kendatipun ia berhasil bangkit lagi, tetapi ombak  
akan terus membuatnya terhempas ke pasir pantai. 
Padahal, ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’ harus di-
dasari oleh kekuatan kuda-kuda dalam menahan 
hempasan ombak. Tanpa kuda-kuda yang benar, mus-
tahil tenaga inti jasmani akan bisa dilontarkan. Lonta-
ran tenaga inti jasmani inilah yang nantinya akan me-
rontokkan apa saja yang tersembunyi di dalam anggota 
tubuh manusia, tanpa harus melukai bagian luar ang-
gota tubuh itu sendiri. 
”Kau pasti disuruh Guru untuk mengajakku 
pulang ke padepokan lagi,” kata Sekar Arum mem-
buyarkan lamunan Joko Sungsang. 
"Syukurlah jika kau sudah berpikir begitu." 
’Tetapi, aku tidak akan sudi dipermalukan un-
tuk yang kedua kalinya, Pendekar Perisai Naga!” Tiba-
tiba nada bicara gadis itu meninggi. Malahan Joko 
Sungsang melihat sorot mata gadis itu menjadi agak 
liar. 
’’Arum, siapa yang sebenarnya kau anggap 
membuatmu malu?” tanya Joko Sungsang hati-hati. 
’’Siapa lagi kalau bukan ombak keparat itu!”  
”Dan, kau malu kepada siapa?” 
”Aku murid tunggal di padepokan itu sebelum 
kau datang! Akulah yang semestinya mewarisi ilmu 
’Pukulan Ombak Laut Selatan’! Tetapi, nyatanya justru 
kau yang lebih dulu mewarisinya!” 
’’Arum, aku sama sekali tidak merasa menjadi 
ahli waris ilmu Padepokan Karang Bolong. Sungguh, 
Arum. Aku belajar di sana juga atas izinmu. Dan, se-
benarnya aku ke sana hanyalah semata-mata karena 
ingin menyampaikan kabar baik guruku kepada guru-
mu. Kalau memang sekarang kau malu terhadapku, 
biarlah aku berjanji tak akan menggunakan aji pa-
mungkas dari Padepokan Karang Bolong itu. Biarlah  
aku cukup mengandalkan jurus-jurus Perisai Naga 
ku.”  
’’Bukan itu yang kumaksudkan! Aku senang 
kau bisa merangkap dua ilmu dari dua perguruan se-
kaligus! Aku bangga jika kau menjadi pendekar yang 
tidak terkalahkan di kolong langit ini! Aku... ah!” Gadis 
itu mendekap mukanya dengan kain parang rusak 
yang membalut pinggulnya. 
Joko Sungsang semakin kebingungan mengha-
dapi ulah gadis itu. Seumur hidupnya, belum pernah 
ia melihat dan mengetahui bagaimana cara menghen-
tikan tangis seorang gadis. Terlebih gadis yang diam-
diam dicintainya. 
”Aku tidak akan kembali ke Karang Bolong, ” 
kata Sekar Arum di sela isak tangisnya. ”Aku hanya 
akan mempermalukan Guru di depan musuh-
musuhnya. Mereka mengira aku telah mewarisi ilmu 
’Pukulan Ombak Laut Selatan’. Tetapi, nyatanya aku 
tidak pernah berhasil!” 
”Arum,  dengarlah penjelasan dariku. Beri aku 
waktu untuk menjelaskan kenapa oleh Ki Sempani kau 
dipersenjatai tombak pendek itu. Kau mau menden-
garkannya?” 
Sekar Arum menyusut air matanya. Kini pan-
dang matanya tak lagi galak dan liar. Mata itu sedikit 
sembab, tetapi tidak mengurangi daya tarik wajah ga-
dis itu. 
’’Tombak pendek yang sekarang terselip di 
pinggangmu itu, sebenarnya bukan sembarang tom-
bak, Arum. Tombak itu tidak terbuat dari sembarang 
besi atau baja seperti umumnya tombak. Tombak itu 
terbuat dari tanah liat dari liang kubur seorang pende-
kar yang dibentuk menjadi tombak bermata dua, lalu 
dibakar di kawah gunung. Setelah itu, barulah diren- 
dam pasir pantai selama puluhan tahun. Nah, cobalah 
kau teliti sekali lagi tombak pendekmu. Kau timang-
timang, benarkah berat tombak itu cocok dengan ba-
han bakunya. Maksudku, jika tombak itu terbuat dari 
baja atau besi, belum tentu tangan semungil tangan-
mu akan mampu memainkan dengan lincah dan gesit.” 
Sekar Arum melolos tombak pendeknya dari 
balik kain parang rusak di pinggangnya la mengamati 
dua mata tombak pendek itu. Ada cahaya kebiru-
biruan yang diseling warna merah bata. Maka ia ingat 
warna batu bata yang terlampau lama terbakar, yang 
disebut bata leleh. 
’’Tapi, kenapa Guru mewariskannya kepada-
ku?” tanya gadis itu setelah mempercayai berita yang 
dituturkan Joko Sungsang. 
’’Hanya murid kesayangannya yang akan mene-
rima tombak pendek itu, Arum.” 
’’Tapi, kenapa asal-usul tombak ini tidak per-
nah diceritakan kepadaku oleh Guru sendiri?” 
’’Karena Ki Sempani takut kau menuduh cerita 
itu hanya untuk menghiburmu.” 
”Aku tidak mengerti maksudmu.” 
”Arum, sebenarnya sejak semula Ki Sempani ti-
dak yakin bahwa kau bakal bisa mewarisi ilmu ’Puku-
lan Ombak Laut Selatan’. Sebagai gantinya, Ki Sempa-
ni menciptakan jurus-jurus tombak pendek khusus 
untukmu. Itulah kenapa Ki Sempani sendiri tidak per-
nah dikenal sebagai Pendekar Bertombak Pendek di 
rimba persilatan. Sebab, sebelum kau menjadi murid-
nya, Ki Sempani sama sekali tidak mengenal jurus ju-
rus tombak pendek. Sampai-sampai kalangan persila-
tan menjulukinya sebagai pendekar bertangan kosong 
yang sulit dicari tandingannya. Dan, kau tahu kenapa 
Ki Sempani tidak pernah mau menggunakan senjata  
dalam bertarung?” 
Gadis itu menggeleng pelahan. Lehernya yang 
jenjang semakin memikat mata Joko Sungsang. 
Goyangan leher kuning langsat itu benar-benar mem-
buat darah anak muda itu tersirap. Ingin rasanya anak 
muda itu mencium leher yang mulus itu. 
’’Pantang bagi Ki Sempani melihat darah lawan, 
Arum. ” 
Mata gadis itu membulat. Bulu matanya yang 
lebat bergerak-gerak seperti daun songgo langit. 
”Dari mana kau tahu kalau Guru takut melihat 
darah?” 
’’Dari guruku tentu saja. Mereka berdua teman 
sejati sejak mereka masih kanak-kanak. Sudah pasti 
mereka mengenal lebih dalam satu sama lain.” 
’’Tentu ada sesuatu yang membuat Guru takut 
melihat darah.” 
’’Darah membuat Ki Sempani ingat pada den-
damnya yang tak kesampaian.” 
’’Dendam tak kesampaian?” 
”Ya. Ki Sempani mengurung diri di Padepokan 
Karang Bolong karena ingin membalaskan kematian 
kedua orang tuanya. Tetapi, sewaktu ia merasa mam-
pu menandingi musuh bebuyutannya itu, orang yang 
dicarinya itu telah bunuh diri dengan pedang merobek-
robek dada. Orang itu mati dengan sekujur tubuh di-
lumuri darah! 
 
*** 
 
’’Bedebah! Ular busuk! Kau tambahi dosamu 
sendiri dengan mencuri mangsaku! Aku ratakan wa-
jahmu jika kutemukan kau, gembala sapi!” rungut 
Empu Wadas Gempal begitu menyadari bahwa lawan 
 
barunya ditolong deh Joko Sungsang alias Pendekar 
Perisai Naga. 
Hutan jati itu dikitarinya, diselusupinya, tetapi 
tak diketemukannya gadis belia dan anak muda yang 
telah membunuh murid kesayangannya itu. Kemara-
han Empu Wadas Gempal semakin menjadi-jadi. Maka 
dengan jari-jari tangannya dirobohkannya beberapa 
pohon jati yang dianggapnya telah menyembunyikan 
buruannya. 
”Guru dan murid sama saja! Sama-sama pen-
gecutnya! Ayo, lawan Empu Wadas Gempal jika kau 
memang pantas bergelar Pendekar Perisai Naga! Atau, 
kau lebih seriang aku sebut Pendekar Perisai Kerbau? 
Sapi? Kuda? Kambing? Bebek? Ayo, keluar! Ledakkan 
cambukmu di kepalaku!” Suara Penguasa Hutan Keta-
pang itu bergema. Hewan-hewan yang hidup di hutan 
jati itu berlarian. 
Lalu sepi. Hanya terdengar kesiur angin ber-
campur dengan suara daun-daun jati bergesekan. 
Daun-daun yang kering melahirkan suara yang me-
nyakitkan gen-dang telinga. 
’’Kucincang dan ku  gantung lehermu dengan 
cambuk kambing mu sendiri, dan kusuruh telan bola 
berduri yang menghiasi ujung cambuk mu!” Masih ju-
ga Empu Wadas Gempal bersumpah-serapah ketika 
melangkah meninggalkan pinggiran hutan jati yang 
membatasi Desa Gedong Alit dengan Desa Gedong 
Tengen itu. 
Tiba-tiba mendung menutup cahaya bulan. 
Empu Wadas Gempal menadahkan telapak tangannya. 
Beberapa titik air hujan membasahi telapak tangan 
itu. 
’’Hujan pertama? Hujan pertama, aku ada janji. 
Tapi, dengan siapa? Di mana? Janji apa?” Orang sesat  
dari Hutan Ketapang itu menepuk-nepuk jidatnya. 
Namun begitu, apa yang berusaha diingatnya tak per-
nah muncul di batok kepalanya. 
Syukurlah gerimis segera berhenti. Angin ken-
cang membuyarkan mendung hitam yang memayungi 
hutan jati itu. Empu Wadas Gempal tertawa tergelak-
gelak. Justru sewaktu gerimis berhenti, ia ingat jan-
jinya dengan Ki Danyang Bagaspati. 
’’Tetapi, aku belum berhasil mencincang si 
Gembala Kambing itu, Bagaspati,” ujarnya dalam hati. 
Kemudian ia membayangkan adegan pertarungannya 
nanti dengan Ki Danyang Bagaspati. Bagaimanapun 
juga ia merasa was-was menghadapi orang tua berilmu 
demit itu. Banyak senjata di muka bumi ini, tetapi 
orang aneh dari Gunung Merapi itu justru memakai 
kain kafan sebagai senjata andalan. Meskipun hanya 
kain kafan, kain lusuh yang tentunya sudah tak ulet 
lagi, jika sudah dipilin dan dialiri tenaga dalam maka 
akan menjadi ancaman bagi benda apa saja yang dis-
entuhnya. 
Belum lagi jika kain kafan itu berpasangan 
dengan senjata rahasia kerikil kepundan yang setiap 
butirnya mampu menembus kulit dan meracuni darah 
dalam tubuh. Sebutir saja kerikil beracun itu merobek 
kulit maka tubuh akan kejang dan mata terbeliak mi-
rip orang ayan. 
"Biarlah aku mati di tangan demit itu asalkan 
aku lebih dulu bisa membunuh Pendekar Perisai Na-
ga,” keluh Empu Wadas Gempal setelah menaksir-
naksir tingkatan ilmu Ki Danyang Bagaspati. 
 
  
*** 
 
 
Tewasnya Cekel Janaloka membuat murid 
tunggalnya gusar bukan kepalang. Ia seorang gadis 
yang berusia kurang dari dua puluh tahun. Namun 
demikian, tingkatan ilmu silatnya hampir bisa diseja-
jarkan dengan ilmu silat yang dimiliki gurunya. Kalau 
bisa dianggap sebagai satu kelebihan jika dibanding-
kan dengan Cekel Janaloka, gadis ini memiliki senjata 
andalan berupa toya, terbuat dari kayu dewondaru. 
Toya ini berwarna merah-kecoklat coklatan dan tak 
akan mungkin terlukai oleh segala jenis senjata tajam. 
Serat-serat kayu dewondaru memungkinkan toya itu 
tidak mudah terpatahkan. Selama senjata andalan 
Perguruan Gunung Sumbing ini berada di tangan Ce-
kel Janaloka, belum sekali pun terlukai oleh senjata 
lawan, apalagi terpatahkan. Oleh sebab itulah, tanpa 
senjata andalannya ini, Cekel Janaloka tak mampu 
bertahan melawan Empu Wadas Gempal. Kalau saja 
orang sakti dari Gunung Sumbing ini belum mewa-
riskan toya dewondarunya  kepada murid tunggalnya, 
bukan tidak mungkin telapak tangan Empu Wadas 
Gempal yang hancur dalam pertarungan di Desa Ge-
dong Alit malam itu. 
Endang Cantikawerdi, gadis murid Cekel Jana-
loka itu, langsung berniat mencari Empu Wadas Gem-
pal di Hutan Ketapang. Dari keterangan yang dida-
patkannya, ia tidak ragu lagi bahwa Empu Wadas 
Gempallah yang harus menebus kematian Cekel Jana-
loka. 
Dalam perjalanan menuju Hutan Ketapang in-
ilah Endang Cantikawerdi terpaksa harus berurusan 
dengan Sekar Arum. Meski merasa harus secepatnya  
tiba di Hutan Ketapang, melihat kegaduhan di hala-
man kedai minum itu, ia menyempatkan diri untuk 
melihat-lihat. 
Meluap kemarahan Endang Cantikawerdi begi-
tu melihat seorang gadis merobohkan tiga orang lelaki 
yang diketahuinya sebagai penduduk Kaki Gunung 
Sumbing. Maka gadis murid Cekel Janaloka ini lang-
sung memutar toyanya dan menyongsong serangan 
tombak pendek yang sejengkal lagi merobek dada seo-
rang lelaki yang masih mampu bertahan. 
“Trang! Trang! Trang!” 
Tombak pendek bermata dua itu bertemu den-
gan toya dewondaru milik Endang Cantikawerdi. Aki-
batnya kedua gadis itu sama-sama berjumpalitan ke 
belakang untuk kemudian memasang kuda-kuda. 
’’Gadis liar yang tak tahu adat! Katakan nama-
mu sebelum toyaku ini menggebuk pantatmu dan 
mengempiskan dadamu!” hardik Endang Cantikawerdi 
dengan pandang mata mirip pandang mata harimau 
lapar. 
’’Perempuan jalang bermulut kotor! Siapa pun 
namaku, aku tak ada urusan denganmu! Dan, jangan 
berkhayal tongkat penggebuk anjingmu itu bisa me-
nyentuh kulitku!” Sekar Arum tak kalah gertak. 
 
’’Kuntilanak busuk!” bentak Endang Cantika-
werdi, yang langsung menerjang dengan sodokan 
toyanya ke arah ulu hati Sekar Arum 
Secepat Itu pula Sekar Arum melompat ke 
samping, dan segera mengeluarkan senjata andalan-
nya yang berbentuk tombak pendek mata dua! 
Menyadari bahwa lawan langsung melancarkan 
serangan yang mematikan, Sekar Arum melompat ke 
samping dan mengirimkan serangan balasan. Namun,  
gadis liar yang tidak dikenalnya ini ternyata sudah siap 
menerima serangan balasan. Dengan sigap ia menarik 
toyanya dan membenturkannya pada mata tombak 
yang mengancam pelipisnya. Tangkisan yang disertai 
aliran tenaga dalam yang sempurna ini membuat Se-
kar Arum mengaduh mundur beberapa langkah. Kini 
ia benar-benar meyakini bahwa lawannya memang 
menghendaki kematiannya, Maka secepatnya ia men-
galirkan tenaga murni untuk mengusir rasa nyeri di 
bahu kanannya. 
’ Hi hi hik! Rupanya besar mulutmu tak sesuai 
dengan besar tenagamu, sundel bolong!” ejek Endang 
Cantikawerdi yang merasa di atas angin. 
Joko Sungsang yang menyaksikan pertarungan 
itu dari dalam kedai menyesali sikap Sekar Arum yang 
mudah meremehkan lawan. Seharusnya, gadis itu tak 
cukup hanya mengandalkan kecepatan dalam menye-
rang tetapi juga harus menyertai serangan itu dengan 
tenaga dalam. Rupanya ia lupa bahwa yang dihadapi 
nya bukan lagi lelaki-lelaki hidung belang yang hanya 
mengandalkan otot itu. 
Setelah rasa nyeri di bahu kanannya teratasi 
Sekar Arum kembali menerjang dengan tombak pen-
deknya. Dua mata tombaknya susul-menyusul men-
gancam pinggang lawan. Serangan itu memang ditung-
gu oleh Endang Cantikawerdi. Itulah kenapa ia tadi 
membuka pinggangnya agar lawan mengiranya lena. Ia 
ingin mengadu lagi toya dewondaru-nya dengan tom-
bak pendek milik lawan. 
“Trang! Trang!” 
Kedua mata tombak pendek itu bertemu lagi 
dengan kedua ujung toya berwarna merah kecoklat-
coklatan itu. Namun, kali ini tubuh kedua gadis itu 
sama-sama terpental ke belakang dan bergulingan di  
tanah. Dua tenaga dalam yang teralirkan lewat dua 
senjata bertemu. 
’’Cukup!” Dalam sekejap mata, Joko Sungsang 
tiba-tiba saja telah berdiri di antara kedua gadis itu. 
Mata Endang Cantikawerdi terbelalak meman-
dangi anak muda yang berpakaian serba putih dan di 
pinggangnya terlilit Perisai Naga. Kendatipun gadis ini 
belum lama terjun di dunia persilatan, setidaknya ia 
pernah mendengar cerita dari gurunya perihal Pende-
kar Perisai Naga ini. 
Endang Cantikawerdi melenting bangkit, ke-
mudian menyilangkan toyanya di depan dada. Matanya 
meneliti sosok anak muda yang berdiri menghadapnya. 
Ia berani memastikan anak muda ini kawan baik gadis 
bertombak pendek itu! 
”Aku sudah mendengar nama besarmu, Pende-
kar Perisai Naga! Tetapi, kalaupun kau hendak meng-
gantikan gadismu itu menghadapiku, jangan kau pikir 
aku takut!” ujar gadis itu seraya memutar toya dewon-
darunya. 
’’Jangan buruk sangka. Aku terpaksa menghen-
tikan perkelahian ini sebab aku tidak melihat alasan 
kalian berdua mesti berkelahi hidup dan mati. Aku le-
bih dulu berada di tempat ini sebelum....” 
’’Bagaimana mungkin kau yang bergelar Pende-
kar Perisai Naga membiarkan gadis liar itu membunuh 
penduduk desa yang tidak bersalah? Atau, memang 
kau senang melihat kekejaman terjadi di depan mata-
mu?” tukas Endang Cantikawerdi. 
"Bagaimana mungkin kau menyimpulkan bah-
wa para lelaki hidung belang itu tidak bersalah?” balik 
Joko Sungsang. 
’’Sudahlah, Joko! Biarkan dia memuaskan ke-
hendaknya! Dia pikir aku gentar menghadapinya!” sela  
Sekar Arum. 
’’Tidak, Arum. Kita tidak punya perselisihan 
dengannya. ” 
’’Siapa bilang? Ayo, keroyoklah aku kalau me-
mang kalian takut menghadapiku satu lawan satu!” 
sahut Endang Cantikawerdi. 
”Aku tahu kau seorang pendekar budiman. Kau 
ingin melindungi penduduk desa yang tertindas. Teta-
pi, apakah tidak lebih baik kau tanyakan dulu kenapa 
mereka sampai terlibat perkelahian dengan gadis ini?” 
kata Joko Sungsang menunjuk Sekar Arum yang ber-
diri di sampingnya. 
Endang Cantikawerdi bimbang sejenak. Bagai-
manapun juga ia tidak ingin gegabah menanam per-
musuhan dengan Pendekar Perisai Naga yang kesohor 
ini. Lagi pula, ia masih punya urusan dengan Empu 
Wadas Gempal. Seharusnyalah ia menanamkan per-
saudaraan terhadap anak muda murid Wiku Jaladri 
ini. 
”Hei, kemari kau!” Endang Cantikawerdi menu-
dingkan tongkatnya ke arah lelaki yang berdiri di anta-
ra mayat teman-temannya. 
Lelaki itu takut-takut mendekati gadis murid 
Cekel Janaloka itu. 
”Apa yang telah kalian perbuat sehingga kalian 
berurusan dengan gadis ini?” tanya Endang Cantika-
werdi sambil menaruh toyanya di pundak lelaki itu. 
’’Kami... kami... hanya bergurau menggo-
danya....” 
’’Bohong!” tukas Sekar Arum cepat.  
’Tangan kotor tikus-tikus itu hampir saja me-
nodai bajuku!” 
’’Kembali kau ke desamu, bawa serta mayat te-
man-temanmu itu sebelum kuhancurkan batok kepa- 
lamu dengan toyaku ini!” Endang Cantikawerdi mendo-
rong dada lelaki itu dengan toyanya. Tubuh lelaki itu 
terhuyung dan kemudian jatuh terduduk di tanah. 
”Nah, kiranya di antara kita memang tidak ada 
yang harus diperselisihkan,” kata Joko Sungsang. ’’Ka-
lau begitu, izinkan kami meninggalkan desa ini. Tetapi, 
alangkah bangga hati kami jika kami tahu dengan sia-
pa kami berhadapan sekarang ini.” 
Sekar Arum memberengut. la jengkel melihat 
Joko Sungsang begitu merendahkan diri di depan ga-
dis binal ini. Kenapa mesti ingin tahu nama perem-
puan jalang bermulut kotor ini? 
”Aku memang bukan pendekar terkenal seper-
timu. Tetapi, nama Perguruan Gunung Sumbing sudah 
cukup dikenal di rimba persilatan. Maaf, aku masih 
punya urusan!” Endang Cantikawerdi melompat pergi, 
meninggalkan halaman kedai minum itu. 
 
*** 
 
Joko Sungsang kebingungan menentukan 
langkah. Semula ia ingin mengajak Sekar Arum mem-
buntuti gadis bertoya dari Perguruan Gunung Sumbing 
itu. Akan tetapi, di luar dugaannya, Sekar Arum sendi-
ri menghilang ke arah yang berlawanan dengan arah 
kepergian gadis murid Cekel Janaloka itu. Sungguh, 
anak muda itu tidak mengira bahwa Sekar Arum akan 
tersinggung dan lari meninggalkannya. 
Sudah barang pasti Sekar Arum tersinggung 
melihat perlakuan Joko Sungsang terhadap gadis liar 
itu. Meski ia merasa belum tentu bisa mengalahkan 
gadis bertoya itu, setidaknya ia merasa belum berhasil 
membalas rasa nyeri di bahu kanannya. Padahal ham-
pir-hampir Sekar Arum tadi mengeluarkan aji pa- 
mungkas nya ketika tiba-tiba Joko Sungsang datang 
melerai perkelahian kedua gadis itu. Dengan jurus 
’Memancing Mangsa Keluar Sarang’, Sekar Arum me-
rasa pasti bisa merobohkan gadis binal dari Perguruan 
Gunung Sumbing itu. la tidak yakin gadis binal itu il-
mu silatnya lebih tinggi dibandingkan ilmu silat Kebo 
Dungkul. Kalau nyatanya Kebo Dungkul tewas oleh aji 
pamungkasnya, kenapa gadis binal ini tidak? 
Lebih dari itu, Sekar Arum merasa dibanding-
bandingkan dengan gadis bertoya itu. Karena gadis itu 
cantik maka Joko Sungsang memaafkan perbuatannya 
dan membiarkan gadis itu pergi? Karena gadis itu ber-
tubuh molek maka Joko Sungsang lantas merendah-
kan diri dan berusaha tahu nama gadis itu? Atau 
mungkin Joko Sungsang menganggap gadis itu ilmu 
silatnya hebat. 
Sekar Arum terus berlari. Ia mengerahkan ilmu 
meringankan tubuh sekuatnya. Maka yang tampak 
hanyalah bayangan putih berkelebat. Dan, Sekar Arum 
baru mengurangi kecepatan larinya setelah yakin Joko 
Sungsang tidak mengejarnya. 
’’Atau, jangan-jangan ia mengejar perempuan 
jalang itu!” kata Sekar Arum terkesiap. Kemudian ia 
menghentikan langkahnya, menajamkan pendenga-
rannya, sambil dalam hati berharap mudah-mudahan 
Joko Sungsang mengejarnya. 
Namun, harga diri gadis itu berkata lain. Untuk 
apa ia harus menunggu orang yang belum tentu men-
cintainya? Apalagi orang itu sekarang sedang menaruh 
perhatian kepada gadis lain! 
”Ya, pasti ia mengejar perempuan jalang itu!” 
kata hati Sekar Arum sambil kembali melangkah. Ia 
yang beberapa waktu yang lalu sudah memutuskan 
untuk kembali ke Padepokan Karang Bolong, kini  
mengubah keputusan itu. Ia harus pergi jauh agar ti-
dak terbujuk lagi oleh kata-kata manis Joko Sungsang! 
Sekar Arum mengayun langkahnya sambil me-
naksir-naksir bagaimana kiranya perasaan Joko Sung-
sang terhadapnya. Dia memang penuh perhatian ter-
hadapku. Tetapi, pada saat-saat tertentu, Joko Sung-
sang seperti tak ambil peduli. Seperti ketika sikapnya 
di kedai sewaktu para lelaki mata keranjang itu meng-
godaku, pikir gadis itu. 

Kendatipun Sekar Arum yakin bisa mengatasi 
lelaki-lelaki kasar itu, setidaknya ia berharap Joko 
Sungsang merasa cemburu dan lantas melabrak mere-
ka. Namun, toh yang terjadi justru sebaliknya. Joko 
Sungsang malahan menahan-nahan tawanya ketika 
dua dari empat orang lelaki kasar itu mulai mencolek-
colek lengan baju Sekar Arum. Bahkan sewaktu Sekar 
Arum bereaksi, dan empat orang lelaki kasar itu men-
gurungnya, tetap saja Joko Sungsang tidak beranjak 
dari duduknya. 
’’Itukah yang namanya cinta? Itukah bukti cin-
ta lelaki terhadap wanita yang dicintainya?” kata hati 
Sekar Arum lagi. Lalu gadis itu menyesal kenapa tadi 
ia membiarkan saja perempuan jalang dari Perguruan 
Gunung Sumbing itu berlalu. Seharusnya ia tak perlu 
mempedulikan ucapan-ucapan Joko Sungsang. Seha-
rusnya ia memburu perempuan jalang itu dan menga-
jaknya bertarung hingga salah satu dari mereka mati. 
Lebih baik mati daripada hidup hanya untuk diband-
ing-bandingkan dengan gadis lain! 
Tidak mustahil jika Sekar Arum cemburu meli-
hat Endang Cantikawerdi. Gadis muda belia dari Per-
guruan Gunung Sumbing ini memang tak kalah cantik 
jika dibandingkan dengan gadis murid Ki Sempani itu. 
Dengan pakaian yang serba jingga, Endang Cantika- 
werdi nampak begitu cantik dan menggemaskan. Bi-
birnya  yang tipis sungguh selaras dengan matanya 
yang sedikit sipit. Apalagi jika dipadukan dengan hi-
dungnya yang runcing dan sedikit mendongak. Kulit-
nya kuning langsat, kontras dengan warna rambutnya 
yang hitam legam. Pinggulnya yang menggemaskan 
terbungkus kain lereng berwarna merah bata. Nampak 
sekali kalau saja gadis itu tidak membawa-bawa toya 
dewondarunya, tak akan mereka yang melihat me-
nyangka bahwa gadis itu murid orang sesat macam 
Cekel Janaloka. Sungguh amat disesalkan jika gadis 
semolek itu ternyata seorang pembunuh kejam berali-
ran sesat!. 

Tak ada yang tahu kenapa Endang Cantikawer-
di terseret ke lingkungan orang-orang sesat kecuali 
Cekel Janaloka sendiri. Bahkan kedua orang tuanya 
pun tidak tahu bahwa ilmu silat gadis itu beraliran hi-
tam. Mereka hanya tahu bahwa anak mereka berada di 
bawah asuhan orang sakti dari Perguruan Gunung 
Sumbing. 

Lima tahun yang lalu, sewaktu Endang Canti-
kawerdi berusia empat belas tahun, seorang kepala 
rampok hampir saja menodai gadis itu di depan mata 
kedua orang tuanya yang terikat tak berdaya. Ketika 
kepala rampok itu sudah berhasil merobek baju bagian 
dada pakaian gadis itu, muncullah Cekel Janaloka 
menyelamatkannya. Dengan sekali ayun, tongkat de-
wondaru di tangan Cekel Janaloka membuat pelipis 
kepala rampok itu pecah. Dan, dalam beberapa jurus 
kemudian sembilan anak buahnya menyusul roboh. 
Orang tua Endang Cantikawerdi yang tidak 
mengenal dunia persilatan itu sama sekali tidak bisa 
membedakan mana pendekar yang beraliran sesat dan 
mana pendekar yang beraliran lurus. Itulah kenapa  
mereka tanpa sungkan-sungkan lagi menyerahkan 
anak gadisnya kepada Cekel Janaloka untuk dijadikan 
murid. 
”Ha ha ha, kebetulan sekali! Kedatanganku ke 
desa ini memang terdorong oleh mimpiku semalam! 
Kalian tahu aku bermimpi apa?” kata Cekel Janaloka 
kegirangan. 
Kedua orang tua Endang Cantikawerdi mengge-
leng bersamaan. 
”Aku bermimpi melihat mutiara yang belum di-
asah tersembunyi di rumah ini! Nah, nyatanya anak 
gadis kalian yang sesungguhnya berbakat menjadi 
pendekar, tetapi sama sekali tak melawan menghadapi 
kambing-kambing bandot itu!” 
’’Jadi, Kiai tidak keberatan jika kami menye-
rahkan anak gadis kami untuk Kiai gembleng di Pergu-
ruan...?”  
’’Perguruan Gunung Sumbing!” timpal Cekel 
Janaloka meneruskan ucapan ayah Endang Cantika-
werdi yang terputus oleh ketidaktahuannya.  ’Ya, ya! 
Sudah lama sekali aku mencari-cari anak gadis yang 
sekiranya cocok menjadi murid tunggalku. Tetapi ru-
panya anak gadis kalianlah yang berjodoh mewarisi il-
mu silatku. Ha ha ha!” 
’’Terima kasih. Kiai. Selain Kiai telah menyela-
matkan harta dan nyawa kami sekeluarga, Kiai juga 
mengabulkan permintaan kami. Kami berdua memang 
orang-orang bodoh yang tidak menyadari betapa keja-
hatan semakin merajalela di muka bumi ini. Kami hi-
dup hanya untuk memburu harta, tanpa tahu bagai-
mana cara melindunginya, Kiai,” ratap ayah Endang 
Cantikawerdi sambil bersujud di depan kaki Cekel Ja-
naloka. 
*** 
 
 
Sebelum Endang Cantikawerdi menyebutkan 
nama perguruannya, sebenarnya Joko Sungsang su-
dah bisa menebak murid siapakah gadis yang bersen-
jatakan toya itu. Jurus-jurus silat yang digunakan ga-
dis itu sewaktu melawan Sekar Arum tak beda dengan 
jurus-jurus yang diterapkan Cekel Janaloka dalam 
pertarungannya melawan Empu Wadas Gempal di De-
sa Gedong Alit. Oleh sebab itulah, Joko Sungsang 
sempat mencemaskan pertahanan Sekar Arum sewak-
tu melawan gadis yang berpakaian serba jingga itu. Ka-
lau saja murid Cekel Janaloka itu tidak memberikan 
kesempatan kepada Sekar Arum untuk mengalirkan 
tenaga mumi ke pundaknya yang terasa nyeri, bukan 
tidak mungkin Sekar Arum akan tewas seketika itu ju-
ga. 

Joko Sungsang tak habis pikir, kenapa gadis 
molek itu bisa mewarisi ilmu sesat. Mana mungkin ia 
tidak tahu bahwa Cekel Janaloka adalah tokoh aliran 
sesat! Atau mungkin, gadis itu memang benar-benar 
tidak tahu? Atau, gadis itu menaruh dendam terhadap 
salah seorang pendekar golongan lurus? Atau, adakah 
kemungkinan gadis itu dipaksa oleh Cekel Janaloka 
agar mewarisi ilmu sesatnya. 

Untuk menemukan jawaban yang tepat, tidak 
boleh tidak Joko Sungsang harus berusaha kenal lebih 
dekat dengan gadis itu. Tetapi, bagaimana dengan 
pengawasannya terhadap Sekar Arum? Bukankah ia 
sudah berjanji di depan Ki Sempani untuk membawa 
Sekar Arum kembali ke Padepokan Karang Bolong?. 
Joko Sungsang untuk sejenak dilanda keragu-
raguan. Tak mungkin ia bisa menguntit kepergian ga- 
dis murid Cekel Janaloka itu tanpa mengabaikan pen-
gawasannya  terhadap Sekar Arum. Sebaliknya, tak 
mungkin ia bisa mengawasi Sekar Arum tanpa melu-
pakan gadis bertoya dari Perguruan Gunung Sumbing 
itu. 

Akan tetapi, setelah menghubung-hubungkan 
kemunculan gadis itu dengan kematian Cekel Janaloka 
di Desa Gedong Alit, tahulah Joko Sungsang langkah 
mana yang harus ditempuhnya lebih dulu. Pengeja-
rannya terhadap Sekar Arum masih mungkin ditun-
danya. Sebaliknya, ia tidak mungkin membiarkan ga-
dis murid Cekel Janaloka itu memasuki Hutan Keta-
pang dan berhadapan dengan Empu Wadas Gempal. 
Tak ada tujuan lain gadis itu kecuali Hutan Ketapang!. 
Dengan ilmu meringankan tubuh yang sulit di-
carikan tandingannya, Joko Sungsang dengan  cepat 
berhasil menyusul langkah Endang Cantikawerdi. Se-
belum gadis itu memasuki kawasan Hutan Ketapang, 
Joko Sungsang telah menangkap bayangan Jingga 
yang berkelebat di sela-sela pepohonan.  

Sampai kemudian jarak mereka tinggal bebera-
pa tombak, Joko Sungsang belum menemukan cara 
mencegah gadis itu menemui Empu Wadas Gempal. 
Bersyukurlah Pendekar Perisai Naga ini begitu ingat 
cerita penyamaran Wiku Jaladri sewaktu menyela-
matkan Sekar Arum dari ancaman Kebo Dungkul lima 
tahun yang lalu. Maka buru-buru ia menanggalkan ba-
ju putihnya, ikat kepala dari kulit ular yang menjadi 
ciri khasnya, dan yang terpenting menyembunyikan 
Perisai Naga dari penglihatan gadis itu. 
Baju putih itu kini membalut separuh wajah-
nya, rambutnya yang biasa terikat di atas kepala kini 
tergerai melewati pundak, dan Perisai Naga yang semu-
la melilit pinggangnya berpindah melilit paha kanan  
dalam lindungan celana pangsi komprang. Adapun ikat 
kepala yang biasanya melingkar di atas alis mata itu 
kini mengikat paha kirinya, tersembunyi di balik cela-
na pangsi putih itu. 
Endang Cantikawerdi menimang-nimang 
toyanya sambil mengamati lelaki aneh yang mengha-
dang langkahnya. 
’’Kalaupun kau menutup seluruh mukamu, aku 
akan tetap melabrakmu, gembel busuk!” ujar gadis itu 
yang menganggap lelaki di hadapannya itu mencoba 
menakut-nakutinya. 
”He he he, jangan lantaran kau cantik dan pa-
kaianmu indah maka kau menganggapku gembel!” 
Ujar Joko Sungsang sengaja meniru suara kebanyakan 
tokoh dari golongan hitam. 
’’Kalau kau ingin kuanggap sebagai orang wa-
ras, bukalah tutup mukamu! Tetapi, kalau kau me-
mang malu karena bibirmu sumbing, aku maafkan 
tingkahmu yang memuakkan itu!" Endang Cantika-
werdi tersenyum sinis. 
”Ha ha ha, ho ho ho, hm! Apa urusanmu bila 
aku tutup sekujur badanku atau aku buka semua pa-
kaianku? Ah, rupanya di Gunung Sumbing tidak ada 
orang aneh sepertiku....” 
’’Tutup mulutmu, jahanam!” sergah gadis itu 
sembari menyabetkan toyanya ke arah mulut Joko 
Sungsang. 
’’Sejak tadi aku sudah menutup mulutku, ma-
can betina!” sahut Joko Sungsang sambil menarik ke-
palanya ke belakang. Hampir saja tutup mukanya ter-
sambar toya merah-kecoklat-coklatan itu. Bahkan an-
gin yang terbawa gerakan toya itu cukup kuat untuk 
menerbangkan penutup muka itu kalau saja Joko 
Sungsang tidak kuat menalikannya ke belakang telin- 
ga. 
’’Badut keparat! Bosan hidup!” Semakin ganas 
serangan Endang Cantikawerdi. Kini toya dewonda-
runya menyambar leher, dada, dan kaki lawan secara 
beruntun. 
Karena merasa tidak mungkin lagi merunduk, 
melompat ke samping kiri atau kanan, Joko Sungsang 
mengenjot tanah dan tubuhnya berjumpalitan di uda-
ra. Dan, sewaktu kakinya hampir mendarat lagi di ta-
nah, gadis itu menyambutnya dengan sodokan toya ke 
arah lutut. 
“Desss!” 
Terpaksa Joko Sungsang mengadu tumit ka-
kinya dengan toya peninggalan Cekel Janaloka itu. 
Tentu saja ia lebih dulu mengisi tumitnya dengan te-
naga dalam yang didasari ilmu ’Pukulan Ombak Laut 
Selatan’, Sengaja ia menggunakan ilmu silat dari Pade-
pokan Karang Bolong agar penyamarannya tidak ter-
cium oleh gadis murid Perguruan Gunung Sumbing 
ini. 
Cepat-cepat Endang Cantikawerdi menarik 
tongkatnya yang sempat tergencet tumit Joko Sung-
sang. Dan, kalau saja ia tidak mengerahkan tenaga da-
lamnya, ia pastikan toya itu terlepas dari genggaman 
tangannya. Mulailah gadis itu menyadari bahwa la-
wannya kali ini bukan lelaki sembarangan yang hanya 
mengandalkan keberanian. 
”Luar biasa jurus seranganmu, Cah Denok! An-
dai saja gurumu masih bisa menyaksikan, dia akan 
bangga. Sayang, dia buru-buru pulang ke asalnya!” 
ujar Joko Sungsang. 
Endang Cantikawerdi kaget bukan kepalang. 
Siapa sebenarnya lelaki bertopeng ini? Kenapa ia tahu 
Perguruan Gunung Sumbing baru saja kehilangan Ce- 
kel Janaloka? Dan, ada hubungan apa lelaki bertopeng 
ini dengan Empu Wadas Gempal? 
’’Kisanak, sebenarnya apa maksudmu mengha-
lang-halangi perjalananku? Bukankah di antara kita 
tidak pernah ada urusan?” Endang Cantikawerdi me-
nahan-nahan kemarahannya. Bagaimanapun juga la-
wannya kali ini tidak mungkin dihadapinya dengan 
membabibuta. 
”Siapa bilang kita tidak ada urusan?” balik Jo-
ko Sungsang. "Selama kau melintasi daerah ini, berarti 
kau harus berurusan denganku! Akulah penguasa 
pinggiran Hutan Ketapang ini, mawar gunung!” 
”Manusia licik!” sergah Endang sigap. ”Buka 
kedokmu kalau memang kau ingin bertarung secara 
jantan! Tidak sudi aku membunuh manusia yang tidak 
aku ketahui asal-usulnya, dan apa urusannya!” 
”Ho ho, jadi kau tetap yakin bisa menjatuhkan-
ku?” ejek Joko Sungsang. ”Nah, kalau kau bisa me-
nyentuh kulitku dengan toyamu itu aku berjanji akan 
membuka tutup wajahku! Bagaimana?” 
’’Bersiaplah, manusia pongah! Bukan saja ku-
litmu yang akan tersentuh toyaku, melainkan juga jan-
tungmu!” Endang Cantikawerdi benar-benar telah ke-
hilangan kesabarannya. Kali ini ia menyerang dengan 
jurus ’Toya Sakti Pengusir Malaikat’. Gerakan toya itu 
begitu aneh sehingga Joko Sungsang kerepotan mene-
bak ke arah mana serangan tawan kali ini. Untuk itu, 
terpaksa ia melenting ke udara dan menyambar rant-
ing pohon untuk menjaga kulitnya dari sentuhan toya 
maut itu. 
“Trak! Trak! Krak!” 
Ranting sebesar gagang Perisai Naga itu patah 
menjadi dua begitu berbenturan dengan toya merah-
kecoklat-coklatan itu. Hal ini memang sudah ada da- 
lam perhitungan Joko Sungsang. Apalah artinya seba-
tang ranting jika diadu dengan toya yang terbuat dari 
kayu dewondaru! 
Melihat lawan berjumpalitan ke belakang, En-
dang Cantikawerdi semakin bersemangat untuk me-
nyerang. Maka semakin garang ia menyerang dengan 
jurus andalannya. Betapapun lawan begitu lincah 
menghindar, ia merasa pasti bisa menyentuhkan 
toyanya ke kulit tawan. Jika tawan terpaksa menang-
kis serangannya, ini berarti tawan terpaksa menyentuh 
toya! 
Namun, semuanya sudah ada dalam muslihat 
Joko Sungsang. Ia sengaja menghindar terus agar ga-
dis itu terus pula memburunya. Maka tanpa disadari 
oleh gadis itu, Hutan Ketapang akan semakin jauh di-
tinggalkannya. Apalagi Sesekali Joko Sungsang berlari 
kencang dengan lagak ketakutan. 
Hanya saja, rencana Joko Sungsang ternyata 
berjalan tidak semulus yang diharapkan. Justru se-
waktu Hutan Ketapang sudah jauh ketinggalan di be-
lakang mereka, tiba-tiba muncul Empu Wadas Gempal 
membuyarkan rencana Joko Sungsang. 
”Ho ho ho! Rupanya ada belalang sedang dike-
jar-kejar burung merak! Tetapi, sayangnya si Merak 
terlalu bodoh!” Suara Empu Wadas Gempal membuat 
Endang Cantikawerdi menghentikan putaran toyanya. 
Lalu, begitu mengenali siapa yang bertengger di 
atas dahan, gadis itu langsung bersumpah serapah, 
’’Gembel busuk! Kebetulan jika kau ada di sini, orang 
hutan! Turunlah biar ku pecah batok kepalamu!” 
”He he he! Kenapa kau tidak minta tolong aku 
saja untuk menangkap belalang itu, Cah Ayu? Apa kau 
kira dengan marah-marah begitu...?” 
”Tutup mulutmu, Empu Wadas Gempal!” tukas  
Endang Cantikawerdi. Bersamaan dengan itu, ia me-
nyabetkan toyanya ke tanah, dan melayanglah batu hi-
tam sebesar kepalan tangan ke arah dahi Empu Wadas 
Gempal. 
’’Heiiit!” 
“ Plak!” 
Dengan mengandalkan tenaga angin yang ke-
luar dari telapak tangannya, Empu Wadas Gempal 
berhasil menjinakkan luncuran batu itu. Kini batu hi-
tam itu berada dalam genggamannya. 
Semakin marah Endang Cantikawerdi melihat 
kelihaian orang tua dari Hutan Ketapang itu. Kini toya 
di tangannya berkelebat dan robohlah pohon yang me-
nyangga tubuh Empu Wadas Gempal. 
”He he he, kukira burung merak, tidak tahunya 
ular beludak!” ujar Empu Wadas Gempal sembari me-
layang turun mendahului gerak pohon tumbang. Sam-
bil melayang turun inilah Penguasa Hutan Ketapang 
itu mengirimkan angin dari kedua telapak tangannya 
ke arah betina liar yang tidak dikenalnya itu. 
Cepat-cepat Endang Cantikawerdi memutar 
toyanya untuk melindungi tubuhnya dari serangan la-
wan. Namun begitu, tetap saja tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang hingga beberapa tombak. 
”Ular betina tidak tahu tatakrama! Sebenarnya 
ada urusan apa kau tiba-tiba berbelok menyerangku? 
Bukankah kau harus menangkap belalang tanpa baju 
itu?” Empu Wadas Gempal menuding ke arah Joko 
Sungsang. Tetapi, ketika matanya memandang ke arah 
tudingan  jari tangannya, anak muda itu sudah tidak 
berada di tempatnya. 
’’Urusanku dengannya hanyalah urusan kecil, 
Wadas Gempal! Tetapi, urusanku denganmu adalah 
urusan hidup dan mati!” 
 
”Apa? Ha ha ha Apa kupingku yang tua ini ti-
dak salah dengar?” 
’’Lebarkan lubang telingamu kalau memang 
kau ingin tahu siapa aku, dan kenapa aku menan-
tangmu, kakek pikun!” 
”Ha ha ha! Kau tentu bidadari kahyangan yang 
ingin membagikan kebahagiaan kepadaku! Bukan be-
gitu?” Empu Wadas Gempal merapikan jubah merah-
nya seakan sedang berhadapan dengan wanita yang 
dihormatinya. 
’’Kalau kau rasa neraka itu membahagiakanmu, 
bacotmu memang tidak salah, kakek gembel!” 
”Wah, rupanya ada juga bidadari yang mulut-
nya kotor! He he he! Tapi, tak apalah! Kepingin juga 
rasanya menikmati cubitan gadis cantik macam kau! 
He he he!” 
“Rasakan toya dewondaruku, iblis hutan!” sa-
hut Endang Cantikawerdi seraya menerjang perut la-
wan dengan sodokan-sodokan toyanya. 
”Hei, ada hubungan apa kau dengan Cekel Ja-
naloka, Cah Ayu?” Empu Wadas Gempal sama sekali 
tak menggeser kuda-kudanya. Ia hanya merendahkan 
tubuhnya sambil mendorongkan kedua telapak tan-
gannya ke depan Meski demikian, angin yang keluar 
dari telapak tangan itu mampu membuat ujung toya 
dewondaru melenceng ke samping kirinya hingga dua 
jengkal. 
Endang Cantikawerdi menarik kembali toyanya, 
menaruh kedua telapak tangannya pada satu ujung 
toya, dan menggunakan ujung yang lain untuk menje-
jak tanah. Kalau saja Empu Wadas Gempal belum per-
nah berhadapan dengan Cekel Janaloka, tentu ia tidak 
akan mengira bahwa gadis itu akan mengirimkan ten-
dangan ke arah mukanya. 
 
“Plak! Plak!” 
Tubuh Endang Cantikawerdi bergulingan di ta-
nah. Sungguh, ia tidak mengira bahwa serangan kilat 
kedua tumitnya akan terbaca oleh orang sakti dari Hu-
tan Ketapang itu. Dengan sigapnya Empu Wadas Gem-
pal menepiskan kedua betis gadis itu setelah menarik 
kepalanya sejengkal ke arah kanan. Beruntung gadis 
itu sebab Empu Wadas Gempal belum menggunakan 
jurus jari-jari mautnya yang mengandung racun. 
“Tahu aku sekarang, kenapa kau bernafsu se-
kali membunuhku, Cah Denok! Rupanya kau ingin 
membalaskan kematian gurumu, ya?” ujar Empu Wa-
das Gempal. 
Endang Cantikawerdi merasakan kedua betis-
nya sedikit nyeri. Namun, dengan cepat ia berhasil 
mengalirkan tenaga mumi untuk mengatasi rasa nyeri 
itu. Kemudian, tanpa mempedulikan ucapan-ucapan 
lawannya, kembali ia menerjangkan kedua ujung 
toyanya susul-menyusul. Inilah jurus ’Toya Sakti Pen-
gusir Malaikat’ yang beberapa saat yang lalu mere-
potkan pertahanan Joko Sungsang. Kombinasi antara 
sodokan dan pukulan toya ini tak lagi diremehkan oleh 
Empu Wadas Gempal. Tak mungkin lagi baginya untuk 
menangkis serangan lawan dengan kedua telapak tan-
gannya. Maka Penguasa Hutan Ketapang ini melompat 
ke belakang dua tombak, dan kemudian menyongsong 
serangan lawan dengan putaran tubuhnya. Angin yang 
ditimbulkan oleh putaran tubuh ini menyebabkan 
ujung toya gadis itu seakan memukul roda karet yang 
tengah berputar kencang. 
“Trak! Trak! Trak!” 
Endang Cantikawerdi menghentikan serangan-
nya, dan tubuhnya berjumpalitan ke belakang untuk 
menghindari putaran tubuh Empu Wadas Gempal  
yang mendesaknya. Ia memang pernah mendengar ce-
rita tentang jurus ’Bidadari Mengurai Benang Kusut’ 
ini, tetapi ia tidak mengira bahwa jurus pertahanan ini 
sekaligus bisa dijadikan jurus untuk menyerang. 
”Nah, sudah berapa jurus aku membiarkanmu 
menyerangku terus-menerus, Cah Ayu? Sekarang, ba-
gaimana kalau aku dapat giliran menyerangmu?” ujar 
Empu Wadas Gempal setelah menghentikan putaran 
tubuhnya. 

’’Sejak tadi aku sudah bersiap menerima seran-
ganmu, kakek pikun!” sahut Endang Cantikawerdi te-
tap garang. Betapapun ia mengakui bahwa lawannya 
kali ini ternyata bukan tandingannya, tetap saja ia 
pantang mengaku kalah. Bagaimana mungkin ia bisa 
memenangkan pertarungan ini jika nyatanya lawan tak 
mempan diterjang dengan jurus ’Toya Sakti Pengusir 
Malaikat’ yang diandalkannya? 

’’Bersiaplah menyusul gurumu ke neraka, kuc-
ing betina!" ujar Empu Wadas Gempal seraya men-
gembangkan kesepuluh jari tangannya. Dalam sekejap 
jari-jari tangan Penguasa Hutan Ketapang ini berubah 
warna. Inilah pertanda  racun laba-laba hitam Hutan 
Ketapang telah mengaliri kesepuluh jari tangan itu. 
Endang Cantikawerdi memegang toyanya erat-
erat. Selintasan ia memang pernah mendengar cerita 
bahwa gurunya mati bermula karena cakaran jari-jari 
maut ini. Malahan ruyung hitam dari Gunung Sumb-
ing pun patah berbenturan dengan jari-jari beracun 
ini! 
Namun begitu, gadis dari Perguruan Gunung 
Sumbing ini merasa pasti bahwa toya dewondarunya 
masih mampu menahan keganasan cakar Iblis Hutan 
Ketapang ini. 
Ketika serangan Empu Wadas Gempal bertubi- 
tubi mengurungnya, tak ada jalan lain bagi Endang 
Cantikawerdi kecuali menghadang jari-jari lawan den-
gan kedua ujung toyanya. Maka sembari bersalto, ia 
memagari tubuhnya dengan putaran toyanya. 
“Trak! Trak! Trak!” 
Kedua ujung toya dewondaru susul-menyusul 
membentur jari-jari maut Empu Wadas Gempal. Na-
mun, orang sesat dari Hutan Ketapang ini seolah tak 
merasakan benturan toya pada kesepuluh jari tangan-
nya. Ia malahan semakin mendesak maju, memburu 
lawan yang masih berjumpalitan di udara. Hampir saja 
Empu Wadas Gempal berhasil menanamkan jari-jari 
mautnya ke paha gadis itu ketika tiba-tiba dari tangan 
gadis itu menyembur Pasir Beracun Gunung Sumbing. 
Inilah pertahanan terakhir yang dimiliki Endang Can-
tikawerdi! 
’’Hiyaaat!” seru Empu Wadas Gempal sembari 
mengebutkan jubah merahnya untuk menangkis sem-
buran senjata rahasia lawan. 
Tubuh Endang Cantikawerdi kembali mendarat 
di tanah. Kalaupun pasir beracun itu akhirnya gugur 
ke tanah, setidaknya ia memiliki kesempatan untuk 
mendaratkan kaki dan memasang kuda-kuda kembali. 
”Nah, apa lagi yang bisa kau pamerkan, pera-
wan gunung?” ejek Empu Wadas Gempal sambil men-
gibas-ngibaskan jubah. Beberapa butir pasir sempat 
menempel di jubah merah itu. 
”Kau memang bukan tandinganku, Wadas 
Gempal! Tetapi, jangan harap aku menyerah begitu sa-
ja! Selama toya ini berada di tanganku, jangan beran-
gan-angan kau bisa menyentuh kulitku!” 
”Ha ha ha! Kalau begitu, akan ku paksa  kau 
menyerahkan tongkat pengemismu itu! Nah, pegang 
erat-erat tongkatmu kalau tidak ingin cepat-cepat kehi- 
langan senjata andalanmu, Cah Denok!” Empu Wadas 
Gempal secepat kilat memutar tubuhnya dan mener-
jang toya yang menyilang di depan dada gadis itu. 
“Brettt! Dukkk!” 
Tubuh Endang Cantikawerdi terpelanting ke 
samping dan toya dewondaru-nya telah berpindah ke 
tangan lawan. Sengaja Empu Wadas Gempal menotok 
jalan darah di pundak gadis itu agar dengan mudah ia 
bisa menguasai toya yang diincarnya. 
Endang Cantikawerdi ingin bangkit, tetapi ia 
merasakan sekujur badannya kejang. Barulah ia me-
nyadari bahwa kedua tangannya tak lagi bisa digerak-
kan. Sementara itu, kedua pergelangan kakinya terte-
kan kedua ujung toya, dan telapak kaki Empu Wadas 
Gempal bertengger di tengah-tengah toya yang menyi-
lang itu. 
’’Kalau kugenjot sedikit saja kaki kananku, pa-
tahlah kedua kakimu yang  menggairahkan ini, gadis 
bengal!” hardik Empu Wadas Gempal. 
”Tua bangka keparat! Lakukanlah kalau me-
mang kau mampu melakukannya!” tantang Endang 
Cantikawerdi. Meski ia sudah putus asa, tetap saja ia 
mencoba mengalirkan tenaga dalamnya ke pergelangan 
kakinya yang terancam patah. 
”Ha ha ha! Untuk apa aku menyakiti gadis can-
tik macam kau? Tidakkah lebih baik aku nikmati ke-
cantikan dan keindahan tubuhmu?” kata Empu Wadas 
Gempal seraya mengirimkan dua totokan lagi untuk 
melumpuhkan kaki gadis itu 
"Iblis cabul mata bakul! Terkutuklah kau jika 
kau 
berani melakukan niat busukmu!” Sengaja En-
dang Cantikawerdi melontarkan sumpah serapan agar 
orang tua mata keranjang itu marah dan membunuh- 
nya. 
”Ho ho ho, apa perlu mulutmu yang menggai-
rahkan itu aku bungkam agar aku tenang menikmati 
keindahan tubuhmu, Cah Denok?” 
’’Nama besarmu tak sesuai dengan moralmu 
yang bejat, Wadas Gempal1” 
"Sesukamulah kau memaki makiku, sebelum 
kubuat mulutmu senasib dengan tangan dan kakimu! 
Tapi, sayangnya aku tidak banyak waktu untuk me-
manjakanmu! Nah, ingin kulihat apa yang bisa kau la-
kukan jika kulucuti pakaianmu yang indah ini!” Kedua 
tangan Empu Wadas Gempal terjulur ke arah kain Se-
reng yang membelit pinggang gadis itu Lalu dengan se-
kali sentak terlepaslah lilitan kain lereng itu Maka ma-
ta Empu Wadas Gempal membelalak memandangi pe-
rut berwarna kuning langsat yang dihiasi pusar mun-
gil. 
Empu Wadas Gempal menelan ludahnya yang 
tiba-tiba menyumpal tenggorokan. Kini tangannya 
menjulur ke arah dada Endang Cantikawerdi Tali jing-
ga yang tersimpul di dada gadis itu pun ditariknya. 
 
*** 
 
 
Akan tetapi, ketika jari-jari tangannya hendak 
menyingkapkan kain jingga penutup dada gadis itu, 
satu ledakan cambuk mengharuskan Empu Wadas 
Gempal membuang tubuhnya dari atas tubuh mang-
sanya. Tubuh itu bergulingan dari tubuh gadis yang 
tak berdaya itu. Sengaja Joko Sungsang hanya mele-
dakkan Perisai Naganya di dekat kuping sebelah kanan  
Penguasa Hutan Ketapang itu. Pantang baginya mem-
bokong lawan. 
’’Kadal buntung! Jahanam keparat!” maki Em-
pu Wadas Gempal setelah berdiri di atas kuda-kuda 
kalanya. Dan, melihat siapa yang berjongkok di sisi 
tubuh gadis Itu, mata orang sesat dari Hutan Ketapang 
ini menyala-nyala. Serta-merta ia mengembangkan ke-
sepuluh jari tangannya dan menerkam Joko Sungsang. 
Sambil bergulingan menghindar Joko Sungsang 
merengkuh tubuh Endang Cantikawerdi untuk kemu-
dian melemparkan tubuh gadis itu ke tumpukan daun 
kering. Sengaja ia tak membebaskan totokan di tubuh 
Endang Cantikawerdi agar gadis itu nantinya tidak 
mencampuri pertarungannya dengan Empu Wadas 
Gempal. 
”Maaf, terpaksa untuk sementara kau jadi pe-
nonton saja!” seru Joko Sungsang sambil bersalto 
bangkit. 
”Ha ha ha! Rupanya kau juga menghendaki tu-
buh mulus gadis itu, gembala kambing!” ejek Empu 
Wadas Gempal. Tetapi, sebelum kau berangan-angan 
menikmatinya, nyawamu akan kukirim ke neraka me-
nemui muridku yang kau bunuh lima tahun yang la-
lu!” Joko Sungsang tidak menyahut. Ia berlagak sibuk 
merapikan lilitan Perisai Naga di pinggangnya, la me-
rasa belum membutuhkan cambuk itu. Agaknya ilmu 
silat tangan kosong dari Padepokan Karang Bolong 
perlu dipertunjukkan di depan mata Iblis Hutan Keta-
pang ini. 
’’Bocah pongah, kenapa kau simpan lagi cam-
buk kambingmu? Bukankah kau pikir batu akik di 
ujung cambukmu itu bisa menghancurkan pelipisku?” 
’’Hancurkan pelipis itu dengan Perisai Naga-mu, 
Pendekar Perisai Naga!” teriak Endang Cantikawerdi  
dari tempatnya berbaring. Murid Perguruan Gunung 
Sumbing ini ingin sekali melihat kehebatan Perisai Na-
ga seperti yang pernah diceritakan oleh gurunya. Baru 
mendengar ledakannya pun Iblis Hutan Ketapang itu 
terbirit-birit menghindar, apalagi jika bola berduri di 
ujung cambuk itu mematuk pelipisnya. 
Namun, harapan Endang Cantikawerdi tetap 
saja terbatas pada harapan. Anak muda yang bergelar 
Pendekar Perisai Naga itu tetap membiarkan cambuk-
nya melingkari pinggangnya, la hanya mengandalkan 
kelincahannya menghindar ketika serangan-serangan 
Empu Wadas Gempal mulai mengurungnya. Bahkan 
kemudian ia berani membenturkan sisi telapak tan-
gannya pada punggung tangan yang dialiri racun itu. 
“Desss!” 
Tubuh Joko Sungsang terpental satu tombak 
ke belakang. Ia merasakan dorongan angin yang mele-
bihi dorongan ombak Laut Selatan. Kalau saja ia tidak 
biasa menerima terjangan ombak Laut Selatan, sudah 
barang pasti tubuhnya akan terbanting ke tanah dan 
tulang punggungnya akan luluh lantak. Secepatnya 
Joko Sungsang mengalirkan tenaga murni untuk men-
cegah racun menjalari telapak tangannya. 
Seperti halnya yang dialami Joko Sungsang, 
tubuh Empu Wadas Gempal pun terdorong mundur. 
Tokoh hitam dari Hutan Ketapang ini diam-diam men-
gagumi ilmu pukulan yang dilancarkan lawan. Dan, 
rasanya ia pernah mendengar kehebatan ilmu pukulan 
ini. Yang pasti ini bukan ilmu pukulan tangan kosong 
dari Padepokan Jurang Jero. Belum pernah ia merasa-
kan berbenturan tangan dengan Wiku Jaladari hingga 
terdorong tiga langkah ke belakang seperti sekarang 
ini. 
’’Pantas saja muridku mati di tanganmu, gem- 
bala kerbau! Rupanya kau mewarisi pula ilmu setan 
dari Pesisir Laut Selatan!” Tiba-tiba Empu Wadas 
Gempal ingat seseorang yang sudah lama tidak dijum-
painya. Siapa lagi kalau bukan Ki Sempani, orang sakti 
dari Pesisir Laut Selatan. 
”Mari, kita adu cakar iblismu dengan ilmu ’Pu-
kulan Ombak Laut Selatan’, Wadas Gempal!” Joko 
Sungsang menyilangkan tangan kirinya ke depan da-
da, kaki kanannya dilipat  ke depan, dan tangan ka-
nannya dilipat ke belakang dengan tinju persis berada 
di bawah ketiak. 
”Ho ho ho! Rupanya cambuk kambingmu sudah 
tidak manjur lagi makanya kau berguru lagi, Anak 
Demang!” Berkata begini Empu Wadas Gempal mendo-
rongkan kedua telapak tangannya ke depan. 
“Wusss!” 
Joko Sungsang terpaksa melenting ke udara 
untuk menghindari sambaran angin yang menerjang 
sekujur tubuhnya. Ketika turun, tumit kanannya 
menghunjam ke arah tengkuk lawan. Namun, dengan 
jari-jari tangan kanannya, Empu Wadas Gempal me-
nyongsong hunjaman tumit itu. 
“Desss!” 
Secepat kilat Joko Sungsang membelokkan 
arah tumit kanannya, kemudian dengan sisi telapak 
kaki kanannya pula ia menendang bahu lawan. Tubuh 
Empu Wadas Gempal bergulingan di tanah. Di luar 
dugaan Joko Sungsang jika  Iblis Hutan Ketapang itu 
masih mampu bersalto dan berdiri di atas kuda-
kudanya. 
”Ha ha ha! Lumayan juga ilmu silat tangan ko-
song dari Pantai Selatan! Kalau saja bukan aku yang 
menerima tendanganmu, rontoklah isi dada ini!” Empu 
Wadas Gempal menyingsingkan lengan jubahnya, dan  
lagi-lagi ia menyerang dengan jurus ’Angin Puyuh Me-
nabrak Gunung’. Hanya saja, kali ini angin itu hanya 
mengarah ke lutut Joko Sungsang. 
Meski belum pernah mengalami menerima se-
rangan semacam ini, Joko Sungsang merasa pasti 
bahwa ini hanyalah serangan tipuan. Maka ia pun ber-
jumpalitan di udara sambil menunggu serangan susu-
lan dari lawan. Dan, serangan susulan yang merupa-
kan serangan inti itu terlampau cepat datangnya se-
hingga Joko Sungsang tak sempat lagi mengelakkan-
nya. Benturan keempat tangan yang sama-sama dialiri 
tenaga dalam itu tak terelakkan lagi. 
“Desss! Desss!” 
Tubuh Joko Sungsang melayang turun dan ter-
guling-guling di tanah. Sementara itu, Empu Wadas 
Gempal masih mampu turun dengan kaki dalam posi-
si-kuda-kuda. Namun, kedua telapak tangannya tak 
mampu lagi mengembangkan kesepuluh jarinya. Ilmu 
’Pukulan Ombak Laut Selatan’ telah meremukkan tu-
lang yang menghidupkan kesepuluh jari maut itu. 
Joko Sungsang bersalto bangkit, untuk kemu-
dian mengatur kuda-kuda. Akan tetapi, ia merasakan 
seribu jarum menusuk-nusuk sisi kedua belah telapak 
tangannya. Inilah akibat dari cakaran jari-jari Empu 
Wadas Gempal yang mengandung racun laba-laba hi-
tam dari Hutan Ketapang. 
’Tanganmu keracunan, Pendekar Perisai Naga! 
Bebaskan totokan keparat di tubuhku ini biar aku am-
bilkan penawar racun untukmu!” teriak Endang Canti-
kawerdi dari tempatnya berbaring. 
Mendengar teriakan gadis itu, semangat Joko 
Sungsang bangkit kembali. Seganas apapun racun la-
ba-laba hitam itu, ia masih tetap punya waktu untuk 
menyudahi pertarungan hidup dan mati itu. 
 
’’Untuk mempercepat sekaratmu, terimalah 
hunjaman kedua siku tanganku, gembala sapi!” ujar 
Empu Wadas Gempal seraya melipat kedua tangannya, 
merapatkan kedua siku tangan itu, dan berputarlah 
tubuhnya yang gemuk itu. 
Tak ada jalan lain bagi Joko Sungsang untuk 
menghadapi jurus ’Bidadari Mengurai Benang Kusut’ 
ini kecuali dengan Perisai Naga nya. Sigap ia mengurai 
Perisai Naga dari pinggangnya, dan meraung-raung bo-
la berduri di ujung cambuk itu. Ketika putaran tubuh 
Empu Wadas Gempal yang menyerupai putaran roda 
bertombak itu menerjangnya, Joko Sungsang mele-
cutkan Perisai Naga-nya dengan jurus ’Mematuk Elang 
Dalam Mega’. 
Tarrr! Tarrr! Tasss! 
Pada lecutan yang ketiga, bola berduri di ujung 
Perisai Naga mematuk dahi Empu Wadas Gempal Pu-
taran tubuh Iblis Hutan Ketapang ini tak lagi terarah. 
Dan, sewaktu putaran itu melambat, Perisai Naga telah 
siap membelit kedua lutut yang merapat menjadi satu 
itu. Maka dengan sekali hentak, tubuh orang sesat dari 
Hutan Ketapang itu terpelanting dan akhirnya terbant-
ing di tanah. 
’’Cepat bebaskan totokan keparat ini kalau kau 
tidak ingin terbunuh oleh racun itu, Pendekar Perisai 
Naga!” Sekali lagi Endang Cantikawerdi mengingatkan. 
Joko Sungsang melompat ke sisi gadis itu, 
membalikkan tubuh gadis itu,  dan membebaskan 
keempat totokan jalan darah pada tubuh gadis dari 
Perguruan Gunung Sumbing ini. 
 
*** 
 
Endang Cantikawerdi mengeluarkan serbuk anti
racun dari balik kain lerengnya. Ramuan khusus 
yang dibuat deh Cekel Janaloka ini memang mampu 
melawan segala jenis racun binatang. 
Joko Sungsang tak bisa lagi memikirkan siapa-
kah gadis yang berusaha menolongnya ini. Tak lagi 
terpikir olehnya bahwa gadis murid tokoh sesat ini ju-
stru bisa mempercepat kematiannya dengan racun 
yang lebih ganas lagi. Racun laba-laba hitam dari Hu-
tan Ketapang itu membuat kepalanya berputar. Kesa-
darannya mulai mengambang. Wajah gadis yang bera-
da di hadapannya nampak kabur. Pakaian berwarna 
jingga yang dikenakan gadis itu berubah menjadi hi-
tam. Pepohonan di sekitarnya pun berwarna hitam. 
Dan, akhirnya gelap menyelimuti segalanya. 
Endang Cantikawerdi cepat-cepat menaburkan 
serbuk anti racun pada luka-luka yang menganga pada 
sisi telapak tangan anak muda yang baru saja dikenal-
nya ini. Sudah ada gambaran dalam benaknya bahwa 
anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga ini 
akan mengalami hilang ingatan. Meskipun demikian, 
diam-diam ia memuji daya tahan anak muda murid 
Wiku Jaladri ini. Dengan racun laba-laba hitam yang 
mulai menyerang aliran darah di tubuhnya, ia masih 
mampu memainkan jurus andalan Perisai Naga-nya. 
’’Perempuan jalang berotak kotor!” Tiba-tiba 
muncul bayangan serba putih dan langsung menye-
rang Endang Cantikawerdi. 
“Trang! Trang! Trang!” 
Sambil bergulingan di tanah, Endang Cantika-
werdi memutar toya dewondaru-nya untuk melindungi 
tubuhnya dari hunjaman tombak pendek bermata dua 
di tangan Sekar Arum. 
’’Betina liar tak punya otak! Kau pikir apa yang 
aku lakukan terhadap temanmu ini?” Mata Endang  
Cantikawerdi berapi-api menatap Sekar Arum. 
”Apa lagi yang kau lakukan kalau bukan hen-
dak berbuat mesum, perempuan sesat!” sahut Sekar 
Arum. Ia tetap yakin bahwa gadis murid Cekel Janalo-
ka ini hendak melampiaskan nafsu binatangnya kepa-
da Joko Sungsang yang tidak berdaya itu. 
’’Mulutmu memang pantas dihancurkan dengan 
ujung toya ini, ular betina!” kata Endang Cantikawerdi 
seraya menyabetkan ujung toyanya ke mulut Sekar 
Arum. 
Namun, gadis dari Padepokan Karang Bolong 
ini sudah meramalkan akan datangnya serangan. Be-
tapapun sabetan toya itu sulit diikuti mata, dengan 
mudah Sekar Arum membebaskan mulutnya dari an-
caman toya Dewondaru itu. Dengan merundukkan ke-
pala, Sekar Arum maju selangkah sambil memutar ka-
ki kanannya. Tendangan baling-baling yang mengarah 
ke betisnya ini memaksa Endang Cantikawerdi harus 
mengubah arah senjatanya. Kini toya berwarna me-
rah-kecoklat-coklatan itu berkelebat membabat kaki 
Sekar Arum. 
“Trang!” 
Sekar Arum menyambut serangan lawan den-
gan putaran tombak pendeknya. Endang Cantikawerdi 
melompat mundur. Matanya liar menatap Sekar Arum. 
Ini adalah perkelahian mereka untuk yang ke-
dua kalinya. Pada perkelahian pertama kemarin, En-
dang Cantikawerdi merasa telah memaafkan gadis te-
man Pendekar Perisai Naga ini. Kalau saja bukan Pen-
dekar Perisai Naga yang melerai mereka kemarin, tidak 
akan ia meninggalkan begitu saja lawannya. Namun, 
kali ini agaknya tak diperlukan lagi sikap bersahabat. 
Sikap mengalah hanya akan membuat gadis bertom-
bak pendek itu semakin besar kepala. Lagi pula, En- 
dang Cantikawerdi merasa sangat tersinggung men-
dengar tuduhan Sekar Arum pada awal pertemuan me-
reka tadi. Padahal, ia telah berbuat baik dengan mem-
berikan obat pemunah racun kepada Pendekar Perisai 
Naga. Tetapi apa balasan gadis temannya itu? Tudu-
han yang begitu menyalatkan! la merasa dituduh hen-
dak memperkosa Pendekar Perisai Naga yang sedang 
tidak berdaya? 
’’Perempuan keparat! Lancang mulut! Terimalah 
jurus ’Toya Sakti Pengusir Malaikat’ jika kau merasa 
sakti dan berhati suci!” seru Endang Cantikawerdi se-
raya membuka jurus andalan toya dewondarunya. 
’’Sejak tadi aku siap menghadapi tongkat pen-
gusir anjingmu itu, perempuan jalang! Tetapi, sayang-
nya aku bukan anjing yang dengan mudah bisa kau 
usir!” sahut Sekar Arum. Dan, melihat lawan telah 
mengeluarkan jurus andalannya, ia pun bersiap-siap 
dengan jurus ’Memancing Mangsa Keluar Sarang’. 
"Arum, tunggu!” Suara Joko Sungsang menga-
getkan mereka berdua. Masih dengan langkah lim-
bung, anak muda ini mendekati 'Sekar Arum dan En-
dang Cantikawerdi. 
’’Biarkan aku habisi riwayat iblis betina ini! Ka-
lau tidak, bumi ini akan semakin dikotori oleh ting-
kahnya yang menjijikkan!” kata Sekar Arum. 
”Kau salah sangka, Arum. Dia baru saja mem-
beriku obat penangkal racun. Karena aku memang su-
dah tidak berdaya lagi, terpaksa ia membubuhkan obat 
itu ke luka luka di telapak tanganku....” 
”Dia tidak membutuhkan penjelasan! Sejak 
kemarin dia memang ingin menanam permusuhan 
denganku, Pendekar Perisai Naga!” tukas Endang Can-
tikawerdi sigap. 
’’Mana mungkin murid tokoh sesat berbuat ke- 
bajikan? ’ bantah Sekar Arum. 
’’Arum, lihatlah mayat siapa yang tergeletak di 
belakangmu.” 
Sekar Arum malas-malasan menoleh. Akan te-
tapi, matanya lantas membelalak begitu melihat mayat 
siapa yang menggeletak dengan dahi pecah itu. 
’’Penguasa Hutan Ketapang...?” desis Sekar 
Arum 
”Ya. Dari jari-jari mautnyalah aku terkena ra-
cun laba-laba hitam dari Hutan Ketapang Tetapi, syu-
kurlah ada yang berbudi baik memberikan obat pemu-
nahnya. Jadi, yang baru saja kau lihat bukan seperti 
yang kau bayangkan, Arum,” jelas Joko Sungsang. 
Semburat merah mewarnai seluas pipi Sekar 
Arum. Rasa malu membuat gadis itu bungkam. Bah-
kan untuk berdiam diri di depan Joko Sungsang dan 
Endang Cantikawerdi pun ia tak lagi mempunyai kebe-
ranian. Maka Sekar Arum membalikkan badan dan 
meloncat pergi meninggalkan mereka berdua. 
:”Arum!” Joko Sungsang hanya bisa mencegah 
dengan suaranya. Ia bimbang. Untuk  meninggalkan 
gadis murid Cekel Janaloka ini begitu saja, rasanya 
sangatlah tidak sopan. Gadis itu telah menyelamatkan 
jiwanya. Ucapan terima kasih pun belum terlontarkan 
dari mulutnya. Tetapi untuk membiarkan Sekar Arum 
pergi untuk yang kedua kalinya, rasanya terlalu masa 
bodoh terhadap adik seperguruan yang harus diawa-
sinya. Lebih dari itu, sesungguhnya ia merasa sedih ji-
ka harus berjauhan dengan gadis yang telah merebut 
hatinya itu. 
’’Pergilah menyusul dia. Biarkan aku mene-
ruskan perjalananku,” kata Endang Cantikawerdi. 
"Terima kasih atas budi baikmu menyela-
matkan nyawaku dan racun itu. Dan, sekali lagi aku  
ingin tahu dengan siapa aku sekarang ini berhadapan,’ 
ucap Joko Sungsang. 
’Namaku memang tidak ada artinya jika diban-
dingkan dengan namamu yang kesohor, Pendekar Pe-
risai Naga....” 
’’Panggil saja aku ’Joko’. Joko Sungsang, itulah 
namaku sejak aku dilahirkan di bumi ini,” tukas Joko 
Sungsang merasa risi menerima julukan Pendekar Pe-
risai Naga. Selain itu, ia juga sedang bersiasat agar ga-
dis itu mau menyebutkan namanya 
’ Aku lahir di kaki gunung. Anak gadis yang la-
hir di kaki gunung biasanya dinamai Endang. Aku En-
dang Cantikawerdi,” kata gadis itu setelah sejenak di-
landa keraguan. 
”Aku akan selalu mengingat namamu, Endang 
Cantikawerdi. Dan, sekali lagi aku mengucapkan teri-
ma kasih atas pertolonganmu. ” 
”Kau lebih dulu menolongku, Joko. Tanpa per-
tolonganmu maka aku tidak mungkin bisa menolong-
mu Terima kasih. Maaf, aku harus pergi, dan kau juga 
harus mengejar gadis temanmu itu ” 
 
*** 
 
 
Joko Sungsang semakin yakin bahwa Endang 
Cantikawerdi bukan murid yang tepat bagi Cekel Jana-
loka yang berilmu sesat. Meski gadis itu menguasai il-
mu sesat dari Perguruan Gunung Sumbing, tetap saja 
ia tak mau sembarangan mengumbar kekejaman. Ter-
bukti dua kali ia membiarkan Sekar Arum lolos dari 
Jurus mautnya. Ia juga tahu membalas budi orang  
yang belum dikenalnya. Kalau saja ia memang menji-
wai ilmu sesat, tak akan ia mau memberikan obat pe-
munah racun bagi siapa saja yang beraliran lurus. 
Tidak berarti Joko Sungsang meremehkan ilmu 
silat Sekar Arum. Hanya saja, jika dibandingkan den-
gan ilmu silat Endang Cantikawerdi, apa yang dida-
patkan Sekar Arum dari Padepokan Karang Bolong be-
lum bisa disejajarkan dengan ilmu silat dari Perguruan 
Gunung Sumbing itu. Betapapun Sekar Arum tangkas 
menggunakan tombak pendeknya, belum tentu ia 
mampu menghadapi jurus ’Toya Sakti Pengusir Malai-
kat. Apalagi jika jurus itu digabung dengan senjata ra-
hasia yang berupa pasir beracun dari Gunung Sumb-
ing itu. Joko Sungsang sendiri melihat betapa cepatnya 
tangan gadis itu menyebarkan pasir beracunnya ke tu-
buh Empu Wadas Gempal. Andai saja bukan Empu 
Wadas Gempal yang diserang dengan senjata rahasia 
itu, belum tentu mampu mencampakkan pasir bera-
cun itu ke tanah. 

Benar-benar Joko Sungsang ingin mengetahui 
lebih jauh lagi siapa sesungguhnya Endang Cantika-
werdi itu. Melihat usia gadis Itu, rasanya memang ada 
kemungkinan ia tidak tahu ilmu silat yang diwarisinya 
adalah ilmu sesat. Ilmu silat Perguruan Gunung 
Sumbing hanya layak dimiliki oleh golongan hitam 
yang selalu menebarkan kejahatan di sana-sini. Sung-
guh amat disayangkan jika ilmu sesat dari Perguruan 
Gunung Sumbing telanjur meracuni gadis macam En-
dang Cantikawerdi. 
’’Selain membasmi kejahatan, membela kebena-
ran, dari melindungi orang-orang yang tertindas, tu-
gas-mu  juga meluruskan segala sesuatu yang me-
nyimpang, Joko. Kalau kau melihat orang yang bersa-
lah dan tidak menyadari tindakannya yang salah, tu- 
gasmulah mengingatkannya. ” Terngiang kembali di te-
linga Joko Sungsang sebagian dari pesan serta nasihat 
Wiku Jaladri. 
Maka Joko Sungsang kembali memutuskan un-
tuk membuntuti ke mana gadis bertoya itu pergi Akan 
halnya tugas untuk mengawasi Sekar Arum, agaknya 
tidak harus diutamakan lagi. Setelah Empu Wadas 
Gempal tewas, bahaya besar bagi gadis lewatlah su-
dah. Sebaliknya, jika ia membiarkan Endang Cantika-
werdi lebih lama lagi, ilmu sesat gadis itu akan sema-
kin menjerumuskan gadis itu sendiri. 
Meski punya julukan Pendekar Perisai Naga, 
meski lawan dan kawan segan mendengar julukan itu, 
tetap saja Joko Sungsang masih ’ingusan’ di dunia 
persilatan. Kurangnya pengalaman di dunia persilatan 
membuatnya kurang tahu persis tokoh-tokoh jahat 
mana yang harus diperhitungkannya. Baik dari Wiku 
Jaladri maupun Ki Sempani, ia telah mendengar ba-
nyak nama tokoh sesat dari golongan hitam yang beru-
saha merajai dunia persilatan Akan tetapi, ia kurang 
memperhitungkan bahwa tokoh-tokoh sesat yang dice-
ritakan gurunya tadi kapan saja bisa muncul dan 
mengancam siapa saja yang mereka anggap sebagai 
pihak lawan. 
Seperti halnya tokoh sesat dari Kaki Gunung 
Merapi, yang lebih dikenal sebagai Orang Sesat Berse-
lendang Mayat alias Ki Danyang Bagaspati ini. Menu-
rut penuturan Ki Sempani, orang sesat dari Kaki Gu-
nung Merapi ini sudah tewas tertelan ombak Laut Se-
latan. Akan tetapi, tidak seharusnya Joko Sungsang 
menganggap Ki Danyang Bagaspati sudah lenyap dari 
muka bumi. Banyak tokoh-tokoh dari dunia persilatan 
yang dikabarkan tewas, ternyata muncul kembali den-
gan ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Tak jauh berbeda  
dengan yang dialami oleh Wiku Jaladri sendiri. Orang 
sakti yang melahirkan julukan Pendekar Perisai Naga 
ini pernah dikabarkan tewas ditelan kedalaman Jurang 
Jero. Tetapi, toh akhirnya muncul lagi dan menggem-
parkan dunia peralatan dengan jurus-jurus Perisai Na-
ganya yang diperdalam selama puluhan tahun di Pa-
depokan Jurang Jero. 
Pengalaman malang-melintang di dunia persila-
tan, sayangnya belum dimiliki oleh Joko Sungsang. Ia 
memang lebih banyak bersembunyi di Padepokan Ju-
rang Jero, dan lima tahun ia berada dalam gemblengan 
Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong. Tidak meng-
herankan jika ia mudah beranggapan bahwa tewasnya 
Empu Wadas Gempal berarti musnahnya bahaya besar 
bagi Sekar Arum. 
Maka Joko Sungsang sangatlah kaget begitu 
mendengar kabar tentang kemunculan Ki Danyang 
Bagaspati dari penduduk Desa Gedong Tengen. 
’’Apakah saya tidak salah dengar?” tanya Joko 
Sungsang kurang yakin. 
’’Betul, Kisanak. Siapa lagi yang memakai kain 
kafan sebagai senjata kalau bukan Ki Danyang Bagas-
pati?” 
’’Tetapi, lima tahun yang lalu ombak Laut Sela-
tan telah menewaskannya.” 
”Apa Kisanak melihat mayatnya?” 
’’Memang tidak.” 
’’Sebelum kita melihat mayatnya, sebaiknya 
jangan percaya begitu saja kabar tentang tewasnya 
orang-orang sakti. Banyak orang sakti yang dikabar-
kan tewas, tetapi nyatanya masih hidup. Seperti um-
pamanya kabar tentang tewasnya Pendekar Perisai Na-
ga puluhan tahun yang lalu. Kisanak pernah menden-
garnya?” 
 
”Ya, ya! Saya memang pernah mendengar,” sa-
hut Joko Sungsang sebelum menutup Perisai Naga di 
pinggangnya dengan lengan bajunya. la bersyukur le-
laki di depannya ini belum mengenal macam mana 
senjata yang disebut Perisai Naga. Kalaupun lelaki itu 
melihat, pastilah ia menganggap cambuk di pinggang 
Joko Sungsang itu hanyalah Perisai Naga tiruan. Sa-
lah-salah malah menuduh Joko Sungsang mencuri 
cambuk itu! 
’’Sebaiknya Kisanak jangan sampai mencampu-
ri urusan Ki Danyang Bagaspati. Sudah banyak anak 
muda yang tewas di tangannya. Mereka yang baru be-
lajar ilmu silat sehari-dua hari, tetapi mereka sudah 
berani mencampuri urusan orang sakti macam Ki Da-
nyang Bagaspati.” 
Joko Sungsang  hanya mengangguk dalam-
dalam. ’’Seperti yang terjadi siang tadi di mulut desa 
ini,” lanjut lelaki berpakaian petani itu. 
”Ada apa siang tadi, Ki?” tanya Joko Sungsang 
menyahut cepat 
’’Seorang gadis mencoba membela penduduk 
desa ini yang hampir dibunuh Ki Danyang Bagaspati.”  
’’Seorang gadis? Bagaimana ciri-ciri gadis itu, 
Ki? Maksud saya pakaian gadis itu, mungkin senja-
tanya?”  
"Pakaiannya putih putih, senjatanya tombak 
pendek..„” 
’’Boleh saya tahu di mana gadis itu sekarang, 
Ki?” tukas Joko Sungsang was-was. 
’’Nasib baik masih melindungi gadis itu! Ada se-
seorang yang menyelamatkannya. Tetapi, hampir se-
mua penduduk desa yang melihat perkelahian itu ti-
dak bisa menerangkan bagaimana ujud pendekar yang 
menyelamatkan gadis itu. Kejadiannya begitu cepat  
berlalu. Orang sakti itu hanya seperti bayangan. Mak-
sud saya, hanya merupakan bayangan berwarna putih, 
dan lalu hilang di balik rumah penduduk desa.” 
’’Mungkinkah Ki Sempani yang menyelamatkan 
Sekar Arum?” tanya Joko Sungsang kepada dirinya 
sendiri. ’Tapi, bagaimana jika yang membawa lari Se-
kar Arum tadi tokoh jahat lainnya?” 
Maka bergegas Joko Sungsang meninggalkan 
Desa Gedong Tengen. Ia harus mendapat keterangan 
yang lebih jelas tentang siapa yang telah menyela-
matkan Sekar Arum dari ancaman Ki Danyang Bagas-
pati! 
 
*** 
 
Endang Cantikawerdi benar-benar tidak me-
mahami perasaannya sendiri. Perasaan aneh yang 
seumur hidupnya baru dialaminya sekarang ini. Kena-
pa ia merasa berat hati meninggalkan anak muda yang 
bergelar Pendekar Perisai Naga itu? Kenapa sosok anak 
muda itu terus melintas-lintas di pelupuk matanya? 
Kenapa pula ia membenci gadis bertombak pendek itu? 
Hanya karena gadis itu lebih dekat dengan Pendekar 
Perisai Naga? Karena Pendekar Perisai Naga telah me-
nyelamatkan nyawanyakah? Atau, karena anak muda 
itu ilmu silatnya lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu 
silat yang dimilikinya? 
Padahal, sudah seharusnya ia marah melihat 
Pendekar Perisai Naga membunuh Empu Wadas Gem-
pal. Seharusnya ia merasa bahwa musuh besarnya te-
lah direbut oleh anak muda murid Wiku Jaladri itu. 
Atau, setidaknya ia harus malu sebab musuh besarnya 
tewas bukan oleh tangannya sendiri. Maka sudah se-
layaknya jika ia melupakan anak muda yang telah  
mempermalukannya itu! 
Endang Cantikawerdi menyabetkan toya de-
wondarunya ke batu sebesar kepala kerbau yang 
menghadang langkahnya. Batu yang tak aus oleh kiki-
san arus sungai itu hancur berkeping-keping. Maka 
perasaan gadis itu sedikit lega. Seolah ia telah mem-
buang perasaan aneh dalam dadanya lewat sabetan 
toyanya. Dan, andai saja ia menjumpai lawan, ia ingin 
menjadikan kepala lawannya senasib dengan batu itu. 
Tetapi, siapakah lawan yang harus dicarinya? Adakah 
musuh bebuyutan bagi dirinya? Pernahkah ia mena-
nam permusuhan dengan seseorang? Atau, mungkin 
seseorang itulah yang menanam permusuhan dengan-
nya? 
Keinginannya membunuh makhluk hidup yang 
tidak disenanginya tiba-tiba meracuni hati gadis murid 
Perguruan Gunung Sumbing itu. Matanya liar menatap 
sekeliling. Dan, ketika pandang mata itu membentur 
pada sesuatu yang bergerak melata ke arahnya, gadis 
itu melompat  dan menusukkan ujung toya dewonda-
runya ke kepala ular sanca yang malang itu. 
’’Sekalipun kau keluarkan jurus andalan toya-
mu, ia tak akan mungkin melawanmu, gadis kejam!” 
teriak seseorang mengejutkan gadis itu. 
Endang Cantikawerdi menoleh ke arah datang-
nya  suara. Di sana, di atas sebongkah batu cadas, 
berdiri seorang lelaki dengan wajah separuh tertutup. 
Rambutnya yang panjang tergerai melewati bahu, ber-
kibar-kibar tertiup angin. 
’’Manusia licik! Memang kau yang sebenarnya 
hendak aku bunuh!” sergah Endang Cantikawerdi se-
raya melayang ke arah lelaki itu sambil mengirimkan 
serangan. 
Namun, dengan tenangnya lelaki berkedok se- 
paruh wajah itu menarik kaki kanannya ke belakang, 
dan lewatlah ujung toya gadis itu sejengkal di depan 
matanya. 
’’Katakan apa sebenarnya maumu mengikutiku 
terus!” hardik Endang Cantikawerdi sambil bersiap 
menyerang lagi. 
”Aku berhak melarangmu duduk-duduk di 
pinggir kali ini. Sebab, kali ini masih termasuk wilayah 
yang harus....” 
’’Jahanam keparat!” Kali ini Endang Cantika-
werdi menyerang dengan pasir beracunnya, la memang 
ingin agar lelaki itu secepatnya roboh. 
’’Hiyaaat!” seru lelaki itu sambil melenting ke 
udara. 
Endang Cantikawerdi benar-benar tak ingin 
melihat lelaki itu lebih lama lagi. Maka ia secepatnya 
menyusul ke udara sambil-menyabetkan toya dewon-
daru-nya ke arah tubuh yang tengah berjumpalitan 
itu. 
“Desss! Desss!” 
Lelaki itu, yang tak lain adalah Joko Sungsang, 
terpaksa membenturkan kedua punggung tangannya 
untuk menangkis serangan lawan. Dua tenaga dalam 
yang berbenturan mengakibatkan tubuh mereka ber-
dua mental berlawanan arah. 
Endang Cantikawerdi merasakan nyeri yang 
bukan kepalang menyerang telapak tangannya. Toya 
yang dipegangnya seolah berbalik menyerang dirinya 
sendiri. Di lain pihak, Joko Sungsang pun merasakan 
kedua punggung  tangannya ngilu bukan main: Ra-
sanya toya dewondaru itu telah meremukkan tulang-
tulang tangannya. Bisa dibayangkan akibat dari bentu-
ran itu pada dirinya jika ia tadi tidak mengaliri kedua 
tangannya dengan ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’. 
 
 Setelah berhasil mengatasi rasa nyeri di tela-
pak tangan kanannya, Endang Cantikawerdi menatap 
tajam sosok lelaki yang sudah bersiap lagi menunggu 
serangan. Tiba-tiba ia merasa harus lebih berhati-hati 
menghadapi lawan yang tak dikenalnya ini. Dari ujud 
badannya yang telanjang, jelas lelaki itu masih teramat 
muda. Dadanya yang bidang belum sedikit pun me-
nampakkan kerut-merut. Usia lelaki ini tak akan lebih 
dari dua puluh lima tahun. Tetapi, tenaga dalamnya 
begitu  sempurna. Rasanya ia belum pernah bertemu 
dengan lawan yang berani membenturkan anggota tu-
buhnya pada toya dewondaru. 
’’Kenapa diam saja, Perawan Gunung Sumb-
ing?” usik Joko Sungsang begitu melihat gadis itu 
hanya menatapnya tanpa usaha untuk menyerangnya 
kembali. 
Endang Cantikawerdi tak mengacuhkan uca-
pan lelaki itu. Ia masih terus memeras otak, mengin-
gat-ingat siapa kiranya lelaki muda usia yang begitu 
sempurna tenaga dalamnya. Tak ada lagi, kecuali Pen-
dekar Perisai Naga! 
”Aku sama sekali tidak mengira bahwa Pende-
kar Perisai Naga senang mempermainkan wanita!” 
dengus Endang Cantikawerdi. 
’’Maafkan aku, Cantikawerdi,” kata Joko Sung-
sang setelah membuka tutup wajahnya. ”Aku hanya 
ingin mengatakan kepadamu bahwa akulah yang men-
cegatmu di pinggiran Hutan Ketapang waktu itu. Tan-
pa bertingkah seperti tadi, mustahil kau akan mem-
percayai pengakuanku.” 
Endang Cantikawerdi menghela napas lega. Le-
ga bahwa tebakannya ternyata tidak meleset. Tetapi, ia 
pun merasa malu sebab begitu mudahnya ia diper-
mainkan anak muda ini. Seharusnya, sudah sejak di  
pinggiran Hutan Ketapang itu ia tahu siapa sebenar-
nya lelaki berkedok separuh wajah itu. 
”Kau masih tetap ingin membunuhku?” Kemba-
li Joko Sungsang yang membuka suara. 
Endang Cantikawerdi menundukkan kepalanya 
dalam-dalam. Pertanyaan itu dirasakannya sebagai 
ejekan. Bagaimana mungkin ia berani berangan-angan 
membunuh Pendekar Perisai Naga yang dikaguminya! 
Sejak pertemuan mereka di depan kedai minum itu, 
Endang Cantikawerdi langsung memutuskan untuk ti-
dak menanam permusuhan dengan Pendekar Perisai 
Naga ini. Terlebih lagi setelah mereka bertemu kembali 
di Hutan Ketapang, dan Pendekar Perisai Naga ini telah 
menyelamatkannya dari ancaman nafsu hewani Empu 
Wadas Gempal. 
”Aku ingin membunuh lelaki yang berkedok, 
bukan Pendekar Perisai Naga,” jawab gadis itu sambil 
menahan senyum. 
"Panggil aku Joko Sungsang saja. Julukan Pen-
dekar Perisai Naga itu sebenarnya hanya pantas dis-
andang oleh guruku,” sahut Joko Sungsang. 
”Para pendekar berlomba-lomba mengadu ilmu 
untuk mencari nama besar. Tetapi, kau justru meno-
lak.” 
’’Apalah artinya nama besar jika ilmu yang kita 
miliki hanya sebesar biji sawi?” 
’’Meskipun aku baru saja turun dari gunung, 
tetapi aku percaya ilmu silatmu tidak ada yang bisa 
menandingi!” 
’’Meskipun kau baru saja turun gunung, tetapi 
ilmu toyamu amat luar biasa!” Joko Sungsang tak mau 
kalah bicara. 
”Ya, luar biasa. Tetapi, apalah artinya gebukan 
toya ini jika berhadapan dengan ilmu ’Pukulan Ombak  
Laut Selatan’? Tiba-tiba saja toya ini berubah menjadi 
sebatang lidi!” 
’’Baiklah. Bukan berarti aku membenarkan 
ucapanmu. Hanya saja, aku memang tidak pandai ber-
silat lidah. Aku kalah.” Joko Sungsang membungkuk-
kan badannya sebagai penghormatan. 
”Aku, bocah gunung yang tidak tahu diri inilah 
yang lebih pantas mengaku kalah.” Endang Cantika-
werdi membalas penghormatan anak muda itu. 
 
*** 
 
 
Matahari telah melompat ke belahan bumi ba-
gian Barat Sinarnya keperak-perakan dipantulkan oleh 
air kali yang bening itu. Mata Endang Cantikawerdi 
mengerjap-ngerjap memandangi bayangan matahari di 
permukaan kali itu. Selama tinggal di Gunung Sumb-
ing, hampir tak pernah ia menatap langsung bulatan 
matahari. Maka mata indah itu agak kaget menerima 
sergapan pantulan cahaya matahari yang berkilat ta-
jam itu. 
Dalam pada itu, Joko Sungsang belum lagi me-
nemukan kalimat untuk mengisi kebisuan mereka 
berdua. Entahlah, ia merasa tidak lagi pandai bicara 
berada di depan gadis berpakaian serba jingga itu. Ti-
dak seperti halnya jika berhadapan dengan Sekar 
Arum. Barangkali karena Sekar Arum sudah diang-
gapnya sebagai saudara? Dan lagi, mereka berdua 
memang satu perguruan. Sama-sama berguru kepada 
Ki Sempani. 
’’Jadi, kenapa kau waktu itu mencegatku di  
pinggiran Hutan Ketapang, Pendekar... eh, Joko Sung 
sang?” Suara Endang Cantikawerdi memecah kehenin-
gan. 
”Aku tidak ingin kau terlibat permusuhan den-
gan Penguasa Hutan Ketapang itu, Cantikawerdi.” 
’’Karena ilmu silatku masih begitu rendahkah?” 
’’Jangan salah mengartikan. Maksudku, sebe-
narnya tak ada alasan bagimu untuk membalaskan 
kematian gurumu. Gurumu tewas melawan Empu Wa-
das Gempal karena memang sudah dikehendakinya.” 
Mata Endang Cantikawerdi membulat Bulu mata-nya 
yang indah itu hampir bersentuhan dengan alis ma-
tanya yang rimbun. 
”Aku tidak mengerti maksudmu. Setahuku, tak 
pernah guruku ingin mati di tangan Iblis Hutan Keta-
pang itu!” Agak meninggi suara Endang Cantikawerdi. 
’’Mereka yang berlomba mengadu kesaktian 
demi mendapatkan sebutan ’paling sakti’, tentunya 
sudah didasari niat membunuh atau kesediaan dibu-
nuh. Nah, siapa bisa menyalahkan pihak yang mem-
bunuh jika pertarungan itu sudah mereka sepakati 
bersama? Lain halnya jika kematian seseorang tadi 
disebabkan oleh kesewenang-wenangan orang lain. 
Mungkin, untuk kejadian seperti inilah balas dendam 
perlu ditegakkan. Seperti penyebab balas dendamku 
terhadap Hantu Lereng Lawu lima tahun yang lalu, mi-
salnya. Ayahku yang sama sekali tidak pernah beruru-
san dengannya, tiba-tiba saja dibunuh. Tanpa ada per-
lawanan sebab ayahku memang tidak memiliki ilmu si-
lat secuil pun. Paham maksudku?” 
’’Bukan seperti itu nasihat yang pernah aku te-
rima dari guruku,” sahut Endang Cantikawerdi meski-
pun samar-samar ia bisa memahami maksud penutu-
ran Joko Sungsang. 
 
“Ya. Perbedaan antara nasihat yang kau terima 
dari gurumu dengan nasihat yang aku terima dari gu-
ruku tentu ada. Bukan tidak mungkin berlawanan. Ya, 
karena memang kita berbeda aliran. Tetapi, aku tidak 
percaya kau sengaja mempelajari aliran yang berbeda 
dengan aliran yang aku pelajari, ” Joko Sungsang me-
nemukan kesempatan baik untuk memancing penga-
kuan gadis itu. 
’’Maksudmu, ilmu silat yang aku pelajari terma-
suk aliran hitam?” tanya Endang Cantikawerdi agak 
tersendat. 
"Aku tidak mengatakan begitu. Tetapi, bukan 
rahasia lagi bahwa penduduk desa, juga orang-orang 
yang telah lama malang-melintang di rimba persilatan 
mengatakan bahwa Cekel Janaloka termasuk tokoh 
sesat dari golongan hitam. Sekali lagi aku katakan 
bahwa aku tak bermaksud menuduhmu berilmu sesat, 
Cantikawerdi. ” 
"Bukankah aku murid salah seorang tokoh se-
sat seperti yang dikatakan orang banyak tadi?’’ 
"Menurutku, ukuran sesat atau lurus tidak se-
gampang yang kita ketahui. Bisa saja aku tersesat dan 
akhirnya  aku menggunakan ilmu silatku untuk me-
nyebarkan kejahatan. Nah, apa bisa dikatakan bahwa 
aku ini berilmu lurus? Padahal sudah jelas, guruku 
dikenal sebagai pendekar dari golongan lurus. Sebalik-
nya, selama kau mempergunakan ilmu silatmu untuk 
kebajikan, hanya orang bodoh yang akan mengatakan 
bahwa kau berilmu sesat. Ah maaf, agaknya aku terla-
lu. ..”  
”Aku paham,” tukas Endang Cantikawerdi. 
”Dan, sebenarnya selama ini aku sendiri bingung me-
mikirkan nasibku. Bagaimana aku bisa sampai tidak 
menyadari telah berguru kepada tokoh sesat? Tetapi, 
 
mana mungkin aku melupakan begitu saja ilmu si-
latku sedangkan aku merasakan kehebatan ilmu si-
latku? Pemikiran seperti ini yang membuatku tak 
mempunyai keberanian untuk pulang menghadap ke-
dua orang tua-ku... ” 
’’Jadi?” tukas Joko Sungsang kaget. ’’Maksud-
mu, kau takut jika kedua orang tuamu...?” 
”Ya.” Endang Cantikawerdi menyahut sigap. 
’’Kalau memang benar guruku dikenal orang banyak 
sebagai orang sesat, sudah sepantasnya kedua orang 
tuaku pun akan menuduhku berilmu sesat.” 
”Kau menjadi murid Cekel Janaloka tanpa se-
pengetahuan orang tuamu? Maksudku, tanpa izin me-
reka?” 
’’Justru merekalah yang menyerahkan aku ke-
pada guruku. Tetapi, aku percaya mereka tidak tahu 
bahwa orang sakti yang telah menyelamatkan kami se-
keluarga waktu itu ternyata orang sesat.” 
”Aku percaya, kedua orang tuamu bisa memak-
lumi. Malahan, bukan tidak mungkin mereka hanya 
bisa menyalahkan diri mereka sendiri. Tetapi, tentunya 
bukan itu yang kita harapkan.” 
’’Lalu, apa yang bisa aku lakukan?” tanya En-
dang Cantikawerdi semakin terbuka. Meski ia baru be-
berapa hari mengenal Pendekar Perisai Naga ini, ia me-
rasa tak perlu lagi menyembunyikan sesuatu di hada-
pan anak muda ini. 
”Apa yang bisa kau lakukan? Temui kedua 
orang tuamu, buktikan kepada mereka bahwa ilmu si-
latmu hanya akan kau pergunakan untuk berbuat ke-
bajikan,” jawab Joko Sungsang. 
Endang Cantikawerdi tak ragu lagi untuk me-
nentukan langkahnya. Lima tahun ia memendam ke-
rinduan. Lima tahun lebih ia tidak melihat bagaimana  
ujud kedua orang tuanya. Selama ini, ia hanya men-
dengar kabar tentang kesehatan ayah ibunya dari mu-
lut Cekel Janaloka. 
’’Kita masih bisa bertemu lagi, Joko Sungsang?” 
kata Endang Cantikawerdi sambil bersiap-siap me-
ninggalkan pinggiran kali itu. 
’’Pasti! Kita mempunyai tugas yang sama, Can-
tikawerdi. Bertahun-tahun kita digembleng oleh guru 
kita hanya karena kita diharapkan bisa menjadi pelin-
dung bagi mereka yang lemah. Kita pasti bertemu lagi, 
dan bukan sebagai lawan!” 
”Kau sendiri hendak ke mana, Joko?” 
”Aku harus kembali dulu ke Karang Bolong. Ba-
ru saja aku mendapat kabar bahwa Sekar Arum dis-
elamatkan oleh seseorang....” 
’’Gadis temanmu itu?” tukas Endang-
Cantikawerdi dengan harapan akan mendapatkan pen-
jelasan, siapakah gadis itu sebenarnya bagi Pendekar 
Perisai Naga. 
’’Sekar Arum adalah adik seperguruanku. Se-
benarnya ia lebih dulu berguru kepada Ki Sempani, te-
tapi sifat keras kepalanya menghambat kemajuannya 
belajar ilmu silat. Aku yang memintakan maaf jika kau 
merasa sakit hati melihat ulahnya. ” 
”Kau merasa pasti yang menyelamatkannya itu 
guru kalian?” 
’’Itulah yang ingin aku pastikan. Kalau memang 
benar Ki Sempani yang menyelamatkannya, berarti se-
karang juga Sekar Arum sudah berada kembali di Pa-
depokan Karang Bolong.” 
”Aku berharap, memang begitulah yang terjadi.” 
 ’’Kita saling berharap, saling memohon agar 
Gusti Yang Maha asih  senantiasa melindungi orang-
orang yang kita cintai.” 
 
”Dan, aku selalu berharap bahwa kita akan ber-
temu lagi.” 
’’Begitu pula aku.” 
Dengan berat hati, Endang Cantikawerdi me-
langkahkan kaki meninggalkan anak muda yang dika-
gumi-nya itu. Dan, dalam perjalanan menuju Desa Ka-
rangreja, ia mulai berandai-andai. ”Ya, andaikata saja 
aku diperbolehkan mempelajari ilmu silat Pendekar Pe-
risai Naga, aku akan tinggalkan ilmu silat yang kuda-
patkan dari Perguruan Gunung Sumbing!” 
 
*** 
 
Rasa lega menyejukkan  hati Joko Sungsang. 
Lega bahwa ia telah berhasil menasehati Endang Can-
tikawerdi yang hampir saja terperosok ke dunia orang-
orang sesat. Melangkahkan kaki pun rasanya ringan 
sekali. Tak ada lagi jalan simpang yang menghadang-
nya. Tak perlu bingung lagi ke mana ia harus melang-
kahkan kakinya. Ke mana lagi kalau bukan ke Pade-
pokan Karang Bolong! 
Namun, baru beberapa tombak ia melangkah, 
tiba-tiba ada angin kencang menerpanya. Ini jelas bu-
kan angin yang ditimbulkan oleh perjalanan alam se-
mesta. Ini pastilah angin yang keluar dari tubuh seseo-
rang untuk mencelakakannya. Maka secepat kilat Joko 
Sungsang mengurai Perisai Naga dari pinggangnya, 
melecutkan cambuk itu ke sebuah dahan besar, dan 
tubuhnya pun bergelayutan sambil berpegangan pada 
gagang Perisai Naga. 
”Ha ha ha! Rupanya yang kucari selama ini ha-
nyalah anak bau kencur!” ujar Ki Danyang Bagaspati 
sambil melompat keluar dari persembunyiannya. 
”Kau, Ki Danyang Bagaspati! Tidak kuduga  
orang dari Gunung Merapi hanya pandai membokong!” 
Joko Sungsang melayang turun, dan mendarat persis 
di hadapan Ki Danyang Bagaspati. 
’’Hanya berani membokong? Ha ha ha! Kalau 
memang aku berniat membokongmu, sejak kau duduk 
berdua dengan gadismu tadi, pendekar ingusan!”  
’’Bagaspati, kau bilang mencariku? Apa kau ti-
dak salah ucap?”     
’’Salah ucap? Ho ho! Aku memang sudah tua, 
tetapi ingatanku lebih baik daripada ingatanmu, Anak 
Muda! Kau agaknya sudah lupa dengan peristiwa  di 
halaman Kademangan Sanareja malam itu? Nah, se-
dangkan aku yang sudah tua masih ingat! Bagaimana 
mungkin kau mengatakan aku salah ucap?” 
’’Karena aku membunuh Demang Kerpa? Kalau 
begitu, kaulah yang memesan kain kafan itu!” 
’’Bagus! Dan, karena kau sudah mengerti pe-
nyebab kenapa aku mesti mencarimu, bersiaplah un-
tuk menebus dosa-dosamu, Pendekar Perisai Naga!” 
’’Sebelum aku atau kau yang mati, akan sedikit 
mengurangi dosa-dosamu jika kau mau mengatakan di 
mana sekarang gadis bertombak pendek yang kau te-
mui di Desa Gedong Tenge itu, Bagaspati! ” Tiba-tiba 
Joko Sungsang ingat cerita tentang perkelahian antara 
Sekat Arum dengan orang sesat dari Gunung Merapi 
ini. 
"Ada sangkut paut apa kau dengan gadis itu? 
Kau pikir kau terlalu gagah untuk dicintai gadis-gadis 
cantik?” 
’Dia adik seperguruanku, Bagaspati!” 
”Ho ho! Jadi, benar kau berguru kepada kepit-
ing pantai itu?” tukas Ki Danyang Bagaspati dengan 
mata berbinar-binar. 
’’Jangan gegabah memberikan julukan buat gu- 
ruku, Bagaspati! Langkahi dulu mayatku sebelum kau 
sebut-sebut nama guruku! 
’’Baiklah! Sebelum ku langkahi  mayatmu, me-
mang ada baiknya kau tahu bahwa gadis bertombak 
pendek itu telah diselamatkan gurumu. Tetapi, sebe-
lum malam nanti, mereka pun akan mengalami nasib 
yang sama denganmu...” 
”Lancang mulut!’' sergah Joko Sungsang sambil 
melecutkan Perisai Naga ke mulut Ki Danyang Bagas-
pati. 
Brettt! 
Begitu cepat Ki Danyang Bagaspati menyambar 
kain kafan yang mengikat kepalanya dan memben-
tangkan gulungan kain itu untuk menangkis ujung Pe-
risai Naga. 
’Tariklah cambuk  mu, dan jika aku maju se-
langkah saja, artinya kau bisa mengalahkanku, Anak 
Muda!” tantang Ki Danyang Bagaspati sambil menahan 
lilitan Perisai Naga pada kain kafannya. 
Joko Sungsang mengerahkan tenaga dalamnya 
untuk melawan tenaga dalam lawan. yang dialirkan 
lewat kain kafannya. Kemudian ia mencoba menghen-
takkan Perisai Naga, tetapi tubuh orang tua dari Gu-
nung Merapi itu sama sekali tidak bergeming. 
”Ha ha ha! Nama besar Pendekar Perisai Naga 
ternyata hanya digembar-gemborkan oleh orang-orang 
tolol! Omong kosong mereka!” ejek Ki Danyang Bagas-
pati. 
Kesempatan inilah yang memang ditunggu-
tunggu Joko Sungsang. Pada saat la wan berbicara, ia 
melihat pertahanan lawan sedikit kendur Maka ia 
menjejakkan kedua kakinya ke tanah, dan sambil 
menghentakkan Perisai Naga nya, ia bersalto ke udara. 
Sewaktu turun, kedua tumitnya menerjang sepasang  
bahu ki Danyang Bagaspati. 
’’Haladalah!” dengus Ki Danyang Bagaspati 
sambil menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Terpaksa ia 
melepaskan sebelah ujung kain kafannya agar bisa 
membebaskan diri dari terjangan tumit lawan. 
Begitu kedua tumitnya menyentuh tanah, Joko 
Sung-sang kembali melentingkan tubuh ke udara. Se-
bab kain kafan di tangan Ki Danyang Bagaspati telah 
siap menyambar kedua lututnya! Sambil melompat, dia 
pun melontarkan Perisai Naga-nya! 
”Ha ha ha! Lumayan juga ilmu silatmu, Anak 
Muda! Rasanya aku boleh percaya bahwa kaulah yang 
merobohkan Demit Hutan Ketapang itu! Kalau benar 
begitu, artinya dosamu tambah satu lagi! Kau telah 
merebut calon korban Selendang Mayatku!” 
“Tak akan ada dosa bagi pembunuh iblis pe-
nyebar maut macam kau, Bagaspati!” sahut Joko 
Sungsang. 
“Terimalah pahala dariku kalau memang paha-
la yang kau harapkan, pendekar ingusan bau kencur!” 
ujar Ki Danyang Bagaspati sebelum memilin-milin kain 
kafannya, dan kemudian menyabetkannya ke kepala 
Joko Sungsang. 
Joko Sungsang merunduk sembari merentang-
kan Perisai Naga-nya di atas kepala. Maka ketika kain 
ka~ fan itu berubah haluan, menghantam ke arah ba-
wah, kembali dua senjata itu bertemu. Hanya saja, kali 
ini Perisai Naga lah yang terbelit kain kafan itu. 
Namun, sebelum Ki Danyang Bagaspati me-
nyentakkan kain kafannya, Joko Sungsang telah men-
dahului membabat sepasang kaki keriput itu dengan 
balingan kaki kanannya. 
Desss! Bukkk!     
 Tubuh Ki Danyang Bagaspati terbanting ke ta- 
nah. Namun, bak seekor belalang, orang tua kurus 
kering itu melenting dan kembali berdiri di atas kuda-
kuda kakinya. 
’’Jahanam keparat! Jangan berpikir kau akan 
bisa menyentuh kulitku lagi, anak setan!” maki Ki Da-
nyang Bagaspati seraya memutar senjatanya di samp-
ing badannya. Inilah jurus ’Selendang Mayat Penyapu 
Awan’ 
yang diandaikan orang sesat dari Gunung Me-
rapi itu. 
Dari mendengarkan suara berciutan yang di-
timbulkan kain kafan itu, tahulah Joko Sungsang 
bahwa lawannya telah melancarkan jurus andalannya. 
Maka segera ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk 
meredam suara aneh yang menyerang telinganya. la 
yakin, suara itu akan mampu merobohkan lawan yang 
hanya mengandalkan kekuatan jasmani. Orang-orang 
dari golongan hitam memang berusaha menempuh se-
gala -cara untuk bisa secepatnya membunuh lawan. 
’’Hiyaaat!” sambil berteriak lantang, Ki Danyang 
Bagaspati menyabetkan kain kafannya dengan dah-
syat-nya. Sabetan yang membentuk angka delapan ini 
memaksa Joko Sungsang harus membuang tubuhnya 
ke belakang, dan kemudian berjumpalitan ke udara 
untuk balas menyerang. Namun, sewaktu ia mele-
cutkan Perisai Naga ke arah kepala lawan, dengan ce-
katan orang sesat dari Gunung Merapi itu memben-
tangkan kain kafannya di atas kepala. Untuk yang ke-
sekian kalinya ujung Perisai Naga terkait senjata la-
wan. 
Joko Sungsang mengerahkan tenaga dalamnya 
untuk membebaskan Perisai Naga dari belitan kain ka-
fan itu. Sambil menghentakkan Perisai Naga, ia mem-
buang tubuhnya ke bawah dan mengirimkan tendan- 
gan ke betis lawan. 
Wusss! 
Ki Danyang Bagaspati rupanya telah membaca 
gerakan lawan. Oleh sebab itu, begitu Joko Sungsang 
menghentakkan cambuknya, Ki Danyang Bagaspati 
menggenjot tanah sembari mengirimkan angin dari 
telapak tangannya. 
Hampir saja tubuh Joko Sungsang terbentur 
batu cadas kalau tidak secepatnya ia menghancurkan 
batu cadas itu dengan bola berduri di ujung cambuk-
nya. Begitu deras dorongan angin dari telapak tangan 
lawan sebab masih ditambah lagi dengan tenaga lun-
curan tendangan Joko Sungsang sendiri. 
Melihat batu cadas sebesar tubuh kerbau itu 
hancur lebur, tersirap darah Ki Danyang Bagaspati. 
Sungguh-sungguh ia tidak mengira bahwa bola berduri 
sebesar buah kecubung itu ternyata mampu melebur 
batu cadas sebesar itu. Namun demikian, ia tak mau 
lagi memberikan kesempatan kepada lawan untuk ber-
siap diri. Oleh karenanya, secepatnya pula ia menye-
rimpung  kaki Joko Sungsang dengan kain kafannya 
begitu kaki anak muda itu menyentuh tanah. 
Akan tetapi, pada saat yang sama cambuk d 
tangan Joko Sungsang berputar memagari kedua ka-
kinya. 
Srettt! Krekkk! 
Kali ini perhitungan Joko Sungsang tidak mele-
set lagi. Bola berduri di ujung cambuknya bertemu 
dengan kain kafan itu. Tak pernah terbayangkan oleh 
Ki Danyang Bagaspati bahwa bola berduri itu berhasil 
merobek kain kafannya. 
"Jahanam busuk! Kau robekkan kain kafan-
ku?” dengus Ki Danyang Bagaspati setelah bersalto ke 
belakang untuk mengambil jarak. 
 
’’Bukankah kain itu memang sudah rapuh dari 
sananya, Bagaspati?” ejek Joko Sungsang. 
’’Jangan besar kepala, anak setan! Sekalipun 
kau bisa membelah kain kafanku ini, tetap saja aku 
bakal bisa memecahkan batok kepalamu!” Ki Danyang 
Bagaspati menarik kain selempang di dadanya dan 
menjadikannya sebagai senjata pengganti kain ikat ke-
palanya yang robek. 
Serangan tokoh hitam dari Gunung Merapi itu 
semakin ganas mengurung Joko Sungsang. Panjang 
kain selempang itu dua kali lipat panjang kain kafan 
yang mengikat kepala. Sudah barang pasti angin yang 
ditimbulkannya pun lebih kencang dibandingkan angin 
yang menyembur dari ikat kepala itu. 
Tak pelak lagi, Joko Sungsang semakin kehi-
langan ruang untuk menghindar. Ke mana pun ia me-
lompat, ke situlah kain kafan itu memburunya. Berka-
li-kali ia terpaksa bersalto ke belakang untuk meng-
hindari ganasnya terjangan senjata lawan. Melihat la-
wan berkali-kali surut ke belakang inilah Ki Danyang 
Bagaspati merasa dirinya berada di atas angin. Terle-
bih lagi ketika ia berhasil menggiring Joko Sungsang 
ke tebing kali yang curam. 
’’Sekaranglah ajalmu tiba, pendekar bau ken-
cur!” ujar Ki Danyang Bagaspati yang mengira lawan 
tidak mungkin lagi menghindar mundur. 
Sebenarnya tak ada masalah bagi Joko Sung-
sang menghadapi kecuraman tebing kali itu. Diban-
dingkan dengan kedalaman Jurang Jero, jelas tak ada 
seperlimanya. Namun, ia tidak ingin meninggalkan la-
wannya. Untuk itulah ia harus menepis serangan la-
wan yang mengurungnya. Maka tak ada jalan lain ba-
ginya kecuali mengeluarkan ilmu ’Pukulan Ombak 
Laut Selatan’. Sambil melecutkan Perisai Naga nya,  
tumit Joko Sungsang melabrak perut Ki Danyang Ba-
gaspati. 
Brettt! Desss! 
Tubuh Ki Danyang Bagaspati terpelanting bebe-
rapa tombak ke belakang dan kemudian terbanting ke 
tanah. Perut orang sesat dari Gunung Merapi ini men-
jadi sasaran empuk tumit Joko Sungsang, sebab tan-
gan kiri yang semestinya melindungi perut itu terpaksa 
memegangi ujung kain kafan yang lain, untuk mena-
han lecutan Perisai Naga. 
Ki Danyang Bagaspati tertatih-tatih bangun se-
belum memuntahkan darah segar dari mulutnya. Na-
mun begitu, tangan kanannya masih mampu memutar 
kain kafannya untuk melindungi tubuhnya dari anca-
man bola berduri yang mematuk dari segala arah. 
Bahkan tangan kiri orang tua itu masih sempat mene-
barkan kerikil beracun. 
Sring! Sring! Sring! 
Melihat gerakan tangan kiri Ki Danyang Bagas-
pati, Joko Sungsang secepatnya memagari tubuhnya 
dengan putaran Perisai Naga-nya. Sejak semula ia 
memang sudah menebak bahwa di balik kain batik 
kawung itu tersimpan senjata rahasia. Inilah kerikil 
beracun yang berasal dari Kepundan Gunung Merapi! 
Dan, luncuran senjata rahasia ini tentu saja lebih ga-
nas jika dibandingkan dengan luncuran senjata raha-
sia dari tangan Ki Demang Kerpa. 
Diam-diam Joko Sungsang kagum melihat daya 
tahan Ki Danyang Bagaspati ini. Meski perutnya telah 
terkena tendangan yang dialiri ilmu ’Pukulan Ombak 
Laut Selatan’, tetap saja ia masih mampu bertahan. 
’Tendanganmu memang menghancurkan isi pe-
rutku, Anak Muda! Tetapi, aku belum mau mati sebe-
lum ku gantung lehermu dengan kain kafanku ini!”  
ujar Ki Danyang Bagaspati sebelum menyerang mem-
babi  buta. Dan, hampir saja kain kafan itu berhasil 
melilit leher Joko Sungsang kalau saja gagang Perisai 
Naga tidak menghalanginya. 
Ketika kain kafan itu membelit gagang Perisai 
Naga, saat itulah Joko Sungsang menyambitkan bola 
berduri di ujung Perisai Naga-nya ke pelipis lawan. 
Meski Ki Danyang Bagaspati berhasil menghindari bola 
berduri itu, di luar dugaan tendangan kaki kanan Joko 
Sungsang kembali bersarang di perutnya. Sambitan 
bola berduri tadi memang hanya sebagai tipuan agar Ki 
Danyang Bagaspati lengah melindungi perutnya. 
Tghhh!” 
Ki Danyang Bagaspati melepaskan pegangan 
pada kain kafannya. Ia surut beberapa langkah ke be-
lakang sambil mendekap perutnya dengan tangan ka-
nannya. Sementara itu, tangan kirinya kembali meng-
genggam kerikil beracun dan siap disambitkan. Na-
mun, dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, Perisai 
Naga meledak dan melilit leher orang sesat dari Gu-
nung Merapi itu.     
 Srettt! 
Darah menyembur dari leher Ki Danyang Ba-
gaspati bersamaan dengan terjerembabnya tubuh ku-
rus kering itu ke tanah. Duri-duri pada bola yang 
menghiasi ujung Perisai Naga memotong urat-urat leh-
er yang menyangga kepala Ki Danyang Bagaspati. 
’’Anggap saja ini semua Balasan dari Sekar 
Arum penghinaanmu di Desa Gedong Tengen, Bagas-
pati!” kata Joko Sungsang sambil menyimpan kembali 
Perisai Naganya di pinggang. 
Ketika Ki Danyang Bagaspati tengah sekarat 
meregang maut, Joko Sungsang telah pergi meninggal-
kannya. Dia kembali melanjutkan pengembaraannya.  
Melanjutkan tugas kependekarannya yang dinanti-
nanti oleh rakyat banyak. 
 
 
SELESAI