Mestika Lidah Naga 4

Karya: Panjidarma 
ORANG itu kira-kira berusia 30 tahun. Tubuhnya 
tinggi besar. Kulitnya sawo matang. Otot-otot yang 
menghiasi  anggota badannya, menandakan bahwa ia 
seorang lelaki yang mengandalkan kekuatan luar. 
Sebenarnya lelaki itu bernama Soma. Dan orang-
orang Tegalinten mengenal Soma sebagai lelaki yang 
jujur tapi berangasan dan tidak bisa bersikap semu. 
Walaupun Soma bukan anggota laskar kerajaan, 
namun ia seorang pengagum Senapati Jugala yang fa-
natik. Siapa pun yang berani mengejek atau membu-
ruk-burukkan nama Senapati Jugala di depan Soma, 
maka Soma akan menganggap orang itu sebagai la-
wannya. Dan ia akan menghadapinya, kalau perlu de-
ngan kekerasan. 
Ketika Senapati Prabayani mengatakan bahwa ‘se-
lama ini balatentara kerajaan dibiarkan dalam kea-
daan lemah’, langsung saja Soma naik pitam. Pikir 
Soma, “Senapati baru ini sombong sekali. Menganggap 
Kanjeng Senapati Jugala membiarkan balatentara ke-
rajaan dalam keadaan lemah? Huh... lantas apa yang 
bisa dilakukan oleh seorang wanita seperti dia?” 
Maka, dengan mengandalkan ilmu silatnya (yang 
tentu saja masih tergolong kelas pasaran), Soma ne-
kad... melompat ke atas panggung ujian dan langsung 
menantang Senapati Prabayani secara halus. 
Dengan melihat cara Soma melompat ke atas pang-
gung tadi, Senapati Prabayani sudah bisa menilai bah-
wa Soma cuma seorang ‘jagoan pasaran’. Maka dengan 
senyum di bibir, Senapati Prabayani menoleh ke arah 
Aria Pamungkas yang masih duduk di panggung ke-
hormatan. Lantai panggung kehormatan itu lebih ting-
gi daripada panggung ujian, karena sang Putra Mahko-
ta harus duduk lebih tinggi daripada orang-orang yang 
hadir di alun-alun itu. 
 
Maka dengan agak menengadah, Senapati Prabaya-
ni berkata, “Gusti Aria, mungkin banyak lagi orang 
yang meragukan kemampuan hamba sebagai Senapati 
Kerajaan Tegalinten. Hamba mohon perkenan Gusti 
Aria, karena hamba akan mengumpulkan mereka se-
mua dan menghadapinya sekaligus.” 
Aria Pamungkas memang merasa gusar atas keha-
diran lelaki bernama Soma itu, yang tampaknya seperti 
ingin menentang Senapati Prabayani, dan itu berarti 
menentang keputusan Aria Pamungkas sendiri. 
Aria Pamungkas pun masih ingat apa yang telah di-
lakukan oleh Prabayani dengan ‘selendang terbang’-
nya, yang membuktikan bahwa ilmu wanita yang satu 
itu sangat menakjubkan. Maka dengan keyakinan 
bahwa Senapati Prabayani akan selalu ‘survive’, Aria 
Pamungkas menyahut, “Lakukanlah apa yang terbaik 
bagi kita semua!” 
“Terima kasih, Gusti Aria,” ujar Prabayani yang lalu 
menoleh kepada lelaki bernama Soma itu. 
“Mana kawan-kawanmu yang lain?” tanya Senapati 
Prabayani, dengan senyum mengejek. 
Soma menepuk dadanya, berkata, “Aku, si Soma 
ini, selamanya bertindak sendirian! Tidak pernah me-
nyeret siapa pun untuk sesuatu yang...” 
Belum habis Soma berkata, tiba-tiba saja ia meme-
kik “aaau!”, dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu 
tangan yang dipakai menepuk dadanya itu... lenyap! 
Dan tahu-tahu Senapati Prabayani sudah menga-
cungkan tangan Soma yang sudah terlepas dari perge-
langannya itu, sambil berteriak lantang, “Kecuali Gusti 
Putra Mahkota, tak seorang pun kuizinkan menepuk 
dadanya di depan mataku! Lelaki bernama Soma ini 
kujadikan contoh, tentang hukuman apa yang harus 
diterimanya kalau melanggar laranganku!” 
 
Soma memekik-mekik kesakitan, dengan darah 
yang menyembur dari pergelangan tangannya. 
Hadirin menjadi gempar. Heran bercampur ngeri: 
Bagaimana caranya sehingga tangan Soma bisa putus 
begitu saja dan tahu-tahu sudah berada di tangan wa-
nita itu? 
Dan Senapati Prabayani mendramatisir peristiwa 
itu, dengan melemparkan potongan tangan Soma ke 
arah gong pusaka, diiringi tenaga dalam yang cukup 
tinggi. Maka gong pusaka itu berdentum dibuatnya. 
Guooooooong...! 
Keras sekali bunyi gong pusaka itu, sehingga hadi-
rin yang duduk di dekat gong itu terperanjat dan me-
nutup telinganya masing-masing. 
Lalu terdengar suara Senapati Prabayani, “Lelaki ini 
tidak patut berdiri di sini!” Disusul dengan tendangan 
kilat gadis berhati iblis itu. Dan... tahu-tahu Soma 
yang bertubuh tinggi besar itu terpental ke udara... 
tinggi sekali... lalu jatuh di atas candi, dalam keadaan 
tak bernyawa lagi! 
Para penonton yang berdiri di dekat candi pemu-
jaan, menjadi gempar dibuatnya. 
Namun kegemparan itu diatasi oleh suara Senapati 
Prabayani yang melengking-lengking... terdengar nyata 
sampai ke sekeliling istana dan alun-alun. “Siapa pun 
yang meragukan kemampuanku dan ingin mengalami 
nasib seperti lelaki bernama Soma itu, kupersilakan 
naik ke atas panggung sekarang juga, supaya acara 
berikutnya bisa segera dilaksanakan!” 
Bermacam-macam reaksi muncul di antara para 
hadirin. Ada yang masih menganggap peristiwa itu se-
bagai ‘permainan sihir’ yang telah direncanakan sebe-
lumnya. Ada yang beranggapan bahwa Senapati Pra-
bayani memang seorang wanita berilmu tinggi, tapi ke- 
jam sekali. Ada pula yang beranggapan, memang de-
mikianlah seharusnya seorang senapati bertindak, 
demi tegaknya kewibawaan dan kejayaan laskar Tega-
linten. Namun kebanyakan di antara hadirin tidak be-
rani mengemukakan tanggapan secara terang-
terangan. Mereka hanya berbisik-bisik atau memen-
damnya dalam hati saja. 
Ketika hadirin masih berbisik-bisik memperbin-
cangkan tindakan senapati baru itu, tiba-tiba dua 
orang pendeta bangkit dari kursinya, kemudian me-
langkah tenang ke arah panggung ujian. Kedua pende-
ta itu dikenal oleh penduduk kotaraja sebagai Baga-
wan Padma Kembar. Mereka memang dua orang lelaki 
kembar dan sama-sama mengabdikan dirinya untuk 
kepentingan agama. Selain terkenal sebagai dua pen-
deta yang alim, mereka juga terkenal sebagai dua pen-
deta berilmu tinggi. Berlainan dengan Resi Ekaraga 
yang mengabdikan diri kepada keluarga raja, kedua 
pendeta kembar itu tidak mau ‘dikurung’ di dalam is-
tana. Dengan kata lain, mereka ingin menyebarkan 
agama secara bebas, tanpa mau mengikatkan diri den-
gan keluarga raja. Walaupun begitu, keluarga raja 
menghormati mereka. Itulah sebabnya mereka hadir di 
alun-alun dan ditempatkan sejajar dengan para pem-
besar Tegalinten. 
Sebenarnya kedua pendeta yang bergelar Bagawan 
Padma Kembar itu bernama Aswabahu dan Aswakaca. 
Tapi sulit membedakan mana yang Aswabahu dan ma-
na yang Aswakaca, karena dua-duanya berkepala gun-
dul, dua-duanya berjubah kuning dengan lambang bu-
nga teratai di dadanya, dua-duanya memegang tongkat 
yang juga berhiaskan ukiran bunga teratai pada ba-
gian kepalanya dan dua-duanya berkalungkan tasbih 
hitam. Hanya ada tanda kecil yang bisa dijadikan pa- 
tokan, yakni tahi lalat di dahi Aswabahu itu, sementa-
ra Aswakaca tidak bertahi lalat di dahinya. 
Dengan gerakan yang ringan, Bagawan Padma 
Kembar melayang ke atas panggung ujian, dan menda-
rat tepat di muka Senapati Prabayani. 
Melihat lompatan kedua pendeta kembar itu, cepat 
saja Senapati Prabayani dapat menilai bahwa mereka 
berilmu tinggi. Maka dengan sikap yang agak hati-hati, 
Senapati Prabayani menegur mereka. 
“Dua orang pendeta suci naik ke atas panggung ini, 
tentu dengan maksud baik. Apakah kalian berdua 
hendak memberi restu-pastu padaku?” 
Aswabahu menjawab, “Memang orang-orang seperti 
kami ini hanya boleh melakukan kebaikan dan pan-
tang melakukan kejahatan.” 
Aswakaca menyambung, “Dan kami melihat suatu 
perbuatan di luar batas perikemanusiaan, telah dila-
kukan oleh seorang yang baru saja diangkat sebagai 
Senapati Kerajaan Tegalinten.” 
Disambung lagi oleh Aswabahu, “Seorang senapati 
seharusnya mengayomi rakyatnya, dan bukannya de-
ngan seenaknya membunuh seperti yang terjadi tadi. 
Kalau memang tangan sang Senapati sudah gatal, in-
gin membunuhi orang... umumkan perang saja dengan 
negara lain! Di situlah pandai atau bodohnya seorang 
panglima dalam ilmu perang, akan kelihatan! Kenapa 
harus rakyat sendiri yang dibunuh?” 
Sebenarnya Senapati Prabayani sudah ingin lang-
sung bertindak, untuk ‘menghukum’ kedua pendeta 
kembar yang telah dengan ‘lancang’ mencercanya di 
muka umum itu. Tapi tiba-tiba didengarnya bisikan 
halus di telinganya, “Bersikaplah seluwes mungkin. Di 
hadapanmu banyak pembesar kerajaan. Jangan sam-
pai mereka membencimu.” 
 
Senapati Prabayani segera tahu bahwa yang me-
ngirimkan suara bisikan itu, adalah ayahnya sendiri. 
Suara bisikan yang dikirimkan dari jarak jauh, lewat 
ilmu mengirim suara. Dan suara bisikan itu hanya da-
pat didengar oleh Senapati Prabayani sendiri. 
Senapati Prabayani mematuhi bisikan yang hanya 
bisa didengar olehnya sendiri itu. Maka dengan sikap 
‘luwes’, ia berkata kepada Bagawan Padma Kembar. 
“Mungkin kalian berdua terlalu banyak menekuni ki-
tab-kitab suci, sehingga kalian lupa bahwa seorang se-
napati berkewajiban menegakkan kewibawaan kera-
jaan. Bukan hanya mengayomi rakyat dan memenang-
kan setiap peperangan.” 
“Kewibawaan tidak harus ditegakkan dengan keke-
jaman,” tukas Aswabahu. “Bahkan sebenarnya keke-
jaman hanya akan menimbulkan dendam terselubung 
di hati rakyat!” 
Kemudian Aswabahu menoleh, setengah menenga-
dah ke arah Aria Pamungkas, sambil berkata, “Ampun, 
Gusti Aria! Hamba berdua mulai cemas terhadap kera-
jaan yang akan dipimpin oleh Gusti Aria ini. Tampak-
nya wanita ini lebih jahat daripada perampok. Barang-
kali Gusti Aria masih punya kesempatan untuk mem-
pertimbangkan kembali keputusan Gusti tentang pen-
gangkatan wanita ini sebagai senapati.” 
Dan Aswakaca ikut menengadah, ikut berkata kepa-
da Aria Pamungkas, “Memimpin suatu negara dengan 
tangan berlumuran darah, pada akhirnya hanya akan 
mendatangkan keruntuhan. Seekor semut pun kalau 
diinjak, akan menggigit dulu sebelum mati. Seorang 
manusia akan merasa sakit kalau dipukuli. Tapi kalau 
pukulan itu sudah terlalu sering, dia tidak akan mera-
sa sakit lagi, Gusti Aria.” 
Aria Pamungkas bahkan menjadi gusar. Ia berdiri di  
panggung kehormatan. Ia membentak dengan suara 
lantang. “Bagawan Padma Kembar! Apa maksud kalian 
sebenarnya? Apakah kalian secara diam-diam sedang 
melancarkan hasutan untuk memberontak terhadap 
kerajaan?” 
Aswabahu menyimpan kedua tangan di dadanya. 
Menyahut, “Hamba berdua hanya menjalankan darma, 
Gusti Aria. Adalah muskil bagi hamba berdua untuk 
membiarkan kekejaman berlangsung di depan mata 
hamba berdua.” 
Aswakaca pun menyimpan kedua tangan di da-
danya, lalu berkata, “Hamba berdua tidak pernah ikut 
campur dalam soal pemerintahan. Tapi hari ini hamba 
berdua seperti dipaksa untuk menyaksikan berlang-
sungnya suatu kekejaman dari wanita yang baru di-
angkat sebagai senapati itu. Bagaimana mungkin 
hamba berdua bisa menutup mata dan pura-pura ti-
dak melihat peristiwa mengerikan tadi?” 
Aria Pamungkas berseru, “Senapati Prabayani! Sele-
saikanlah masalah ini dengan cara yang kau pandang 
baik. Sepenuhnya kuserahkan pada kebijaksanaanmu!” 

Kemudian Aria Pamungkas turun dari panggung 
kehormatan. Dan bergegas melangkah menuju pintu 
gerbang istana, diiringi oleh para pengawalnya. 
Kepergian Aria Pamungkas justru membuat dada 
Senapati Prabayani lega. Pikirnya, “Sekarang akulah 
yang berkedudukan paling tinggi di antara seluruh ha-
dirin di alun-alun ini. Sekarang aku leluasa untuk me-
lakukan tindakan apa pun, terlebih lagi karena sang 
Putra Mahkota sudah mengizinkanku untuk bertindak 
dengan caraku sendiri.” 
Senapati Prabayani kembali memusatkan pandang-
annya pada kedua pendeta kembar itu. “Dengan me- 
mandang kalian sebagai orang-orang yang berkecim-
pung di bidang keagamaan, aku masih ingin berbaik 
hati. Aku tidak akan mengirim kalian ke nirwana, 
asalkan kalian menyembah kakiku tiga kali, sebagai 
tanda penyesalan atas kelancangan kalian tadi.” 
Hadirin menjadi riuh. Ada yang menganggap uca-
pan Senapati Prabayani sebagai hal yang keterlaluan 
dan melewati batas, karena selama ini kedudukan 
pendeta sangat dihormati di Kerajaan Tegalinten. Tapi 
para pendukung Senapati Prabayani yang duduk di 
sebelah utara itu, kontan bertepuk tangan dan berte-
riak-teriak, “Sikat saja pendeta-pendeta keblinger itu! 
Jangan dikasih ampun!” 
Kedua pendeta itu sendiri tampak tenang. Tapi wa-
jah mereka yang mendadak merah padam, adalah per-
tanda bahwa mereka sedang menahan kemarahan 
yang luar biasa. 
Dan Aswabahu menyahut tenang, “Di dalam sejarah 
Tegalinten, belum pernah terjadi seorang pendeta ha-
rus menyembah kaki seorang senapati. Bahkan seo-
rang raja pun menghormati kedudukan seorang pende-
ta.” 
“Kalau begitu, kalian harus menerima hukuman 
atas kelancangan kalian tadi!” bentak Senapati Pra-
bayani sambil memberi isyarat khusus kepada Praba-
laya. 
Dan Prabalaya langsung mengerti apa yang diingin-
kan oleh kakaknya. Maka, dengan gerakan yang demi-
kian cepatnya, sehingga tidak terlihat oleh hadirin, 
Prabalaya melemparkan sesuatu ke arah kakaknya—
seekor ular Dadali! 
Rupanya dalam keadaan bagaimana pun, Prabalaya 
selalu punya ‘stock’ ular bersayap yang sangat berba-
haya itu. Dan ular yang bisanya sangat mematikan itu,  
telah berada di tangan Senapati Prabayani. 
Tampaknya kedua pendeta kembar itu tahu betapa 
berbahayanya ular bersayap yang kini telah berada di 
tangan Senapati Prabayani, karena mereka langsung 
menegakkan tongkatnya masing-masing, dengan sikap 
waspada. 
Aswakaca masih sempat berteriak lantang, “Lihat! 
Pantaskah seorang senapati mempergunakan ular Da-
dali sebagai senjatanya?!” 
Banyak di antara hadirin yang terperanjat, khusus-
nya mereka yang pernah mendengar cerita tentang ba-
haya ular bersayap itu. Bahkan apa yang bergumam, 
“Gila...! Bagaimana mungkin seorang wanita seperti dia 
bisa bersahabat dengan ular jahat itu?” 
Pada saat itu pula seorang lelaki muda menyelinap-
nyelinap di antara jejalan rakyat Tegalinten. Lelaki mu-
da itu, adalah Rangga. 
Rupanya Rangga baru tiba di kotaraja dan langsung 
tertarik ketika melihat banyaknya orang yang mengeli-
lingi alun-alun Tegalinten itu. Dan ia berhasil menyeli-
nap sampai di sebelah selatan panggung ujian itu, di 
tempat yang tidak begitu jauh dari ‘tempat demonstra-
si’ Senapati Prabayani. 
“Lagi-lagi ular Dadali,” pikir Rangga setelah melihat 
apa yang sedang terjadi di atas panggung ujian itu. 
“Entah dari mana keluarga Prabaseta mendapatkan 
ular yang sangat langka dan amat jahat itu. Mungkin 
pada suatu saat aku harus menggeledah sarang pe-
mimpin golongan hitam itu. Siapa tahu dia memang 
sengaja mengembangbiakkan ular yang sangat berba-
haya itu.” 
Sementara itu, ular Dadali di tangan Senapati Pra-
bayani sudah liuk-liuk liar, seakan tak sabar lagi, ingin 
segera membinasakan calon korbannya. 
 
Dan Senapati Prabayani memperingatkan, “Untuk 
terakhir kalinya kuperingatkan... kalau kalian tidak 
mau menyembah kakiku tiga kali, berarti kalian me-
maksa ularku menjatuhkan hukuman dengan caranya 
sendiri.” 
Kedua pendeta kembar itu tidak menyahut. Mereka 
bahkan berdiri saling membelakangi, dengan pung-
gung saling merapat... kaku... mengedipkan mata pun 
tidak. 
Melihat sikap kedua pendeta kembar itu, Senapati 
Prabayani tersenyum dingin. Ia tahu bahwa kedua 
pendeta itu sedang mengerahkan hawa murni di tu-
buhnya masing-masing, untuk menolak serangan ra-
cun yang mungkin terjadi setelah ular bersayap itu di-
lepaskan. 
Ular itu benar-benar dilepaskan dan langsung mele-
sat ke arah bahu Aswabahu! 
Secepat kilat Aswabahu mengibaskan tongkatnya, 
dengan maksud untuk menangkis terjangan ular ber-
sayap itu, sekaligus memecahkan kepalanya, kalau bi-
sa. Tapi rupanya ular itu sudah sangat terlatih. Begitu 
melihat Aswabahu menggerakkan tongkatnya, ular itu 
mengubah arah... memekik ke bawah dan melesat ke 
arah perut Aswabahu yang tidak terlindung. 
Aswabahu terkejut, karena tidak menduga kalau 
ular itu bisa mengubah arah dalam tempo demikian 
cepatnya. Tapi Aswabahu pun bukan anak kemarin 
sore. Begitu melihat perubahan arah terjangan ular 
bersayap itu, secepat kilat Aswabahu melompat... cu-
kup tinggi... dan ular bersayap itu lewat di bawah ka-
kinya. 
Tapi ular itu mendapat calon korban baru: Aswakaca. 
Dan justru Aswakaca dalam keadaan kurang was- 
pada, karena tidak menyangka kalau ular itu akan me-
nerjangnya pula. 
Ular bersayap itu melesat ke arah punggung Aswa-
kaca, membuat pendeta itu kaget dan cepat-cepat 
menjatuhkan diri... bertiarap di lantai panggung. Na-
mun tak urung perut ular itu sempat menyerempet ju-
bah Aswakaca pada bagian punggungnya. Jubah kun-
ing itu langsung hangus dan robek pada bagian pung-
gungnya! 
Wajah Aswabahu terpucat-pucat menyaksikan ke-
dahsyatan ular Dadali yang sudah terlatih itu. Sentuh-
an perutnya saja, mampu menghanguskan punggung 
jubah Aswakaca. Apalagi ‘sentuhan’ gigi berbisanya! 
Sementara itu, Senapati Prabayani tenang-tenang 
saja, bertolak pinggang di sudut utara, sambil terse-
nyum-senyum menyaksikan adegan maut itu. 
Dan ular bersayap itu telah memutar arah, untuk 
menerjang Aswakaca yang masih tertelungkup di lantai 
panggung. Ular itu terbang rendah sekali, hanya se-
jengkal jaraknya dari lantai panggung, menghambur ke 
arah ubun-ubun Aswakaca. 
Aswakaca sudah di ambang maut! Tapi... tiba-tiba 
saja sesosok tubuh melesat dari arah selatan... lang-
sung menghantam ular jahat itu! 
Ular bersayap itu terpental ke arah utara dan jatuh 
di tengah-tengah kelompok golongan hitam itu! 
Terdengar pekikan-pekikan kaget dari kelompok go-
longan hitam yang duduk di sebelah utara itu. 
Dan seorang lelaki muda telah berdiri di atas pang-
gung. Menatap Senapati Prabayani dengan pandangan 
berapi-api. 
Terdengar seruan Prabalaya dari deretan kursi para 
adipati. 
“Awas! Dialah orang yang bernama Rangga itu!” 
 
*** 
 
SENAPATI Prabayani yang sudah mendengar dari 
adiknya, tentang kehebatan lelaki muda bernama 
Rangga itu, lalu bersikap hati-hati sekali. Bahkan ada 
sedikit kegentaran di hatinya. Namun setelah teringat 
bahwa ayahnya hadir di sebelah utara panggung ujian 
itu, hatinya tenang kembali. 
Sementara itu, Rangga berkata kepada Bagawan 
Padma Kembar, “Kuharap paman-paman turun dulu. 
Biarlah perempuan ini kuhadapi sendiri.” 
Kedua pendeta kembar itu maklum bahwa lelaki 
muda yang tiba-tiba muncul di depan mereka pastilah 
seorang pendekar berilmu tinggi. Itu bisa dibuktikan 
dengan binasanya ular bersayap tadi, oleh tendangan 
lelaki muda yang belum mereka kenal itu. 
“Terima kasih atas pertolonganmu, anak muda,” ka-
ta Aswakaca sambil melompat turun dan duduk kem-
bali di tempat semula. Diikuti oleh saudara kembar-
nya, yang lalu duduk pula di sampingnya. 
“Siapa pemuda itu?” bisik Aswabahu kepada Aswa-
kaca. 
“Entahlah,” Aswakaca menggeleng. “Tapi tampaknya 
dia berada di pihak kita.” 
Sementara itu, Rangga telah maju beberapa lang-
kah, semakin mendekati Senapati Prabayani. 
“Kau sudah tahu siapa aku, dari adikmu tadi,” kata 
Rangga dingin. 
“Ya,” Senapati Prabayani mengangguk dengan se-
nyum genit. “Aku sudah tahu bahwa kau bernama 
Rangga dan pernah mengganggu adikku di dalam hu-
tan. Lalu, apakah kau belum puas dengan kejahilan-
mu itu, sehingga sengaja naik ke atas panggung untuk  
mengacaukan acara kami?” 
“Aku tidak pernah mau mengacaukan acara siapa 
pun, terkecuali kalau aku melihat terselipnya kejaha-
tan dalam acara itu,” sahut Rangga tenang. “Dengan 
ular Dadali itu, kau hampir merenggut nyawa dua 
orang pendeta yang sangat dibutuhkan oleh rakyat Te-
galinten. Karena itu, aku tak bisa berpeluk tangan.” 
“Hmm... Rangga... Rangga. Kau merasa paling sakti 
di dunia ini, sehingga dengan lancang kau campuri 
urusan kami... urusan Kerajaan Tegalinten! Apakah 
kau tidak tahu bahwa pada saat ini berkumpul orang-
orang gagah dari segenap penjuru kerajaan?” 
“Aku tidak peduli dengan urusanmu. Aku hanya 
merasa tidak tega melihat kedua pendeta itu binasa 
dengan cara yang begitu kejam!” 
“Omong kosong! Kehadiranmu di atas panggung ini 
jelas merupakan tantangan bagiku... bagi Senapati Ke-
rajaan Tegalinten!” 
“Aku tidak menantang seorang senapati. Aku hanya 
ingin mencegah putra-putri Prabaseta bertindak sewe-
nang-wenang di kotaraja ini,” sahut Rangga dengan 
suara yang disertai pengerahan tenaga dalam, supaya 
kata-katanya terdengar ke seluruh alun-alun. “Aku ju-
ga tahu bahwa Prabaseta yang bergelar Jalak Ruyuk 
itu, hadir di sebelah utara sana,” lanjut Rangga sambil 
menunjuk ke arah kelompok golongan hitam itu. 
Hadirin terperanjat. Tadi, waktu Rangga menye-
butkan nama Prabaseta, mereka masih diam, karena 
nama Prabaseta tidak begitu dikenal oleh masyarakat. 
Tapi gelar ‘Jalak Ruyuk’ itu, sudah banyak yang men-
getahuinya, sebagai tokoh golongan hitam yang sangat 
kejam. 
Hadirin yang bukan dari golongan hitam, baru seka-
li itu tahu bahwa senapati yang baru diangkat itu anak 
si Jalak Ruyuk. Maka tentu saja mereka jadi cemas: 
Bagaimana jadinya dengan negara ini, kalau keturu-
nan penjahat besar dijadikan panglima perang? 
Suara yang disertai pengerahan tenaga dalam Rang-
ga tadi, bukan hanya terdengar ke seluruh alun-alun, 
melainkan juga terdengar sampai di dalam istana... 
sampai di telinga Aria Pamungkas! 
“Apa?! Prabayani itu anak si Jalak Ruyuk?!” seru 
Aria Pamungkas di dalam hatinya. Dan bergegas sang 
Putra Mahkota melangkah ke arah alun-alun kembali. 
Tapi Resi Ekaraga mencegatnya di tengah jalan. 
“Sebaiknya Gusti Aria jangan muncul di alun-alun. 
Tampaknya akan terjadi yang... yang sebaiknya tidak 
dihadiri oleh Gusti Aria, demi keselamatan Gusti sen-
diri.” 
“Tapi... oh... aku telah mengangkat anak Jalak 
Ruyuk sebagai senapati... oh, oh, ooooh...! Kenapa aku 
jadi begini gegabah mengangkat orang untuk kedudu-
kan yang begitu penting?!” Aria Pamungkas memijit-
mijit dahinya sendiri. 
“Tenanglah, Gusti Aria. Sebaiknya Gusti biarkan 
dulu mereka menyelesaikan masalahnya masing-
masing. Nanti, kalau suasananya sudah reda, barulah 
Gusti Aria muncul di depan mereka.” 
“Yaaah,” keluh Aria Pamungkas, “mungkin itulah ja-
lan terbaik bagiku.” 
Kemudian Resi Ekaraga memerintahkan salah seo-
rang prajurit untuk menutupkan pintu gerbang istana. 
Sementara Aria Pamungkas sudah bergegas masuk 
kembali ke dalam purinya, dengan kemelut merajalela 
di dalam benaknya. 
*** 
Suasana  di alun-alun dicengkeram ketegangan. 
 
Pandangan hadirin terpusat ke arah panggung ujian. 
Beberapa orang yang bernyali kecil, mulai meninggal-
kan alun-alun secara diam-diam. 
Secara diam-diam pula Senapati Prabayani mulai 
menanggalkan selendang yang terikat di pinggangnya, 
lalu merentangkannya di depan Rangga. 
Dan tubuh Senapati Prabayani mulai menggigil. Wa-
jahnya menjadi pucat-pasi, namun kedua tangannya 
menjadi merah sekali. Lalu... tiba-tiba saja tubuhnya 
berpusing, dengan tangan tetap merentangkan selen-
dangnya. 
Makin lama pusingan tubuh Prabayani makin ce-
pat, sehingga akhirnya tubuh menggiurkan itu seolah-
olah menghilang dan tinggal bayangan seperti kaca ti-
pis saja. 
Lalu, “Eaaaaaat...!” Senapati Prabayani berseru 
sambil melepaskan selendangnya. Dan seperti yang 
pernah dipertunjukkan pada sang Putra Mahkota, se-
lendang itu berputar-putar dengan cepatnya... laksana 
senjata Cakra sang Kresna... terbang ke arah Rangga, 
dengan bunyi mendengung-dengung seperti tawon. 
Rangga segera sadar bahwa ‘selendang terbang’ itu 
digerakkan oleh ilmu hitam. Maka cepat-cepat Rangga 
bersemadi, dengan menutup pancaindranya, sambil 
membaca mantra pengusir ilmu hitam. 
Apa yang terjadi? 
Selendang terbang itu mendesing dan menyeruduk 
ke arah leher Rangga. Tapi begitu hendak menyentuh 
sasarannya, selendang itu ambruk ke lantai panggung 
dan lemas kembali seperti sediakala! 
Senapati Prabayani terbelalak. Baru sekali itulah 
selendangnya dibuat tak berdaya oleh lawannya. 
Namun pada saat itu pula Prabalaya mendengar 
suara ayahnya, lewat bisikan jarak jauh, “Prabalaya...  
marilah kita bantu Prabayani. Bacakan mantra Kala-
murka.” 
Senapati Prabayani pun mendengar bisikan jarak 
jauh, “Jangan mundur. Ayah dan adikmu akan mem-
bantumu dari kejauhan. Bacakan mantra Kalamurka!” 
Beberapa saat kemudian, selendang Prabayani 
mendadak terbang kembali... melesat dengan ganasnya 
ke arah Rangga. Dan Rangga terkejut, karena tidak 
menyangka kalau selendang itu mampu terbang kem-
bali... bahkan kini menyerangnya dengan lebih ganas! 
Ya, Prabaseta dan putra-putrinya bersama-sama 
membacakan mantra Kalamurka, ilmu hitam yang ter-
cipta demikian dahsyatnya. Selendang itu berpusing 
cepat sekali... melesat ke arah perut Rangga. Dan 
Rangga kembali memusatkan pikirannya, sambil 
membaca mantra penolak ilmu hitam. Mantra Indra-
suci. 
Tapi... selendang terbang itu seperti ‘memaksa’ un-
tuk memotong perut Rangga. 
Rrrrt...! Pakaian Rangga pada bagian perutnya ter-
koyak! Rangga terkejut dan cepat-cepat menggerakkan 
lututnya untuk menepiskan selendang itu. 
Selendang itu terpental ke atas, karena tepisan lu-
tut Rangga disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi 
Rangga sendiri agak meringis, karena lututnya terasa 
kesemutan! 
Tadi Rangga mengira bahwa selendang itu digerak-
kan oleh satu orang saja, sehingga pertahanan yang di-
sediakan pun hanya untuk melayani satu orang lawan. 
Itulah sebabnya Rangga merasa lututnya seperti di-
hantam oleh tenaga yang demikian kuatnya manakala 
bersentuhan dengan selendang terbang tadi, karena 
selendang itu digerakkan oleh tiga orang berilmu tinggi 
yang mempersatukan kekuatan ilmu hitam mereka. 
 
“Gila,” pikir Rangga. “Kenapa kekuatannya jadi begi-
tu hebat? Rasanya aku seperti menghadapi lawan lebih 
dari seorang!” 
Dan selendang itu menukik lagi... menyerbu ke arah 
kepala Rangga, demikian cepatnya, sehingga Rangga 
harus membungkuk, melompat-lompat ke kanan-kiri... 
sementara selendang itu malah semakin ganas mem-
burunya! 
Memang begitulah dahsyatnya ilmu hitam Kalamur-
ka kalau sudah dikerahkan oleh tiga orang secara se-
rempak. Kalau lawannya menghindar, selendang itu 
akan semakin garang menguber si lawan. Kalau Rang-
ga berhasil mengelak, selendang itu secepatnya mem-
belok, lalu mengirimkan serangan baru. 
Ya, Rangga mengelak ke kiri, selendang itu lewat di 
samping telinga Rangga, tapi lalu secepatnya membe-
lok dan menyeruduk perut Rangga, dan Rangga cepat-
cepat melompat ke atas, tapi ketika Rangga masih be-
rada di udara... selendang itu sudah memburu selang-
kangan Rangga. Dan ini terpaksa harus ditepiskan 
dengan tendangan yang disertai pengerahan tenaga da-
lam..., traak...! Selendang itu terpental jauh. 
Dan... lagi-lagi Rangga meringis. Kakinya yang di-
pakai menendang tadi, terasa kesemutan. 
Ketika Rangga masih meringis, tiba-tiba pula Pra-
bayani menerjang dengan keris di tangannya! Dan ke-
ris itu langsung dihunjamkan ke arah dada Rangga! 
Walaupun belum siaga, Rangga cepat-cepat menge-
lakkan tusukan keris Senapati Prabayani, dengan 
mengegos ke samping kanan, sehingga keris Senapati 
Prabayani lewat ke samping kirinya. Pada saat itulah 
Rangga sempat menghantamkan tangan kanannya ke 
bahu kiri Senapati Prabayani. 
Praaak...! Pukulan itu mampu membuat tulang ba- 
hu kiri Senapati Prabayani retak! 
Senapati Prabayani memekik kesakitan, lalu mun-
dur tiga langkah, sambil memegangi bahunya yang sa-
kit. 
Seharusnya Senapati Prabayani sadar, bahwa kalau 
Rangga bermaksud mencelakakannya, pastilah puku-
lan tadi bisa menghancurkan bahunya. Tapi Rangga 
hanya mengeluarkan sedikit saja tenaga dalamnya, se-
hingga akibatnya pun ‘hanya’ meretakkan tulang bahu 
Senapati Prabayani. 
Memang pada dasarnya Rangga tidak tega menyaki-
ti seorang wanita. Itulah sebabnya, tadi ia hanya me-
mukul ‘perlahan’ saja. Tapi perlahannya pukulan mu-
rid Kudawulung, tentu tidak sama dengan perlahannya 
pukulan pendekar kelas kambing. Perlahannya puku-
lan murid Kudawulung, sudah cukup untuk meretak-
kan tulang  bahu Senapati Kerajaan Tegalinten yang 
baru itu! 
Dan diam-diam Rangga berpikir, “Tadi, waktu aku 
memukul bahunya, terasa tolakan tenaga dalamnya ti-
dak begitu kuat. Sekarang dia bahkan tampak kesakit-
an. Berarti dia memang tidak sehebat perkiraanku ta-
di. Lalu, kenapa dia bisa menggerakkan selendangnya 
demikian hebatnya?” 
Dan diam-diam Rangga berhasil memecahkan suatu 
teka-teki. “O, sekarang aku tahu! Pasti ada orang yang 
membantunya secara gelap! Dan... ah... kenapa aku 
lupa bahwa di alun-alun ini ada saudara Prabayani? 
Ya... bahkan mungkin ayahnya pun ada di sekitar 
panggung ini!” 
Sementara itu, selendang terbang itu mulai berpu-
sing dan menyerang lagi dari arah utara. Semakin ya-
kinlah Rangga bahwa lawannya dibantu oleh satu atau 
dua orang di luar panggung. 
 
“Seharusnya,” pikir Rangga, “kalau Prabayani se-
dang kesakitan, selendangnya pun akan ikut-ikutan 
lemah. Tapi selendang itu... menyerangku lagi dengan 
kuatnya!” 
Wuuuut...! Rangga mengelakkan serangan selen-
dang terbang itu, dengan lompatan kilat ke sebelah ki-
ri. Sementara Prabayani pun mulai menyerang lagi, 
walaupun bahu kirinya masih terasa sakit sekali. 
Terjangan keris Senapati Prabayani hampir tidak 
ada artinya bagi Rangga. Karena sambil menahan sakit 
pada bahu kirinya, gerakan Senapati Prabayani jadi 
‘kurang meyakinkan’. Dengan mudah saja Rangga me-
nangkap pergelangan tangan kanan Senapati Prabaya-
ni, sambil berkata di dalam hatinya, “Aku harus me-
maksa pendukung gelapnya naik ke atas panggung! 
Karena itu, aku harus secepatnya merobohkan perem-
puan ini!” 
Maka, ketika Rangga masih menggenggam perge-
langan tangan kanan Prabayani—yang membuat keris 
Prabayani terjatuh ke lantai panggung—Rangga berpu-
ra-pura hendak melayangkan pukulan maut ke dada 
lawannya. 
Pada saat itulah, terasa ada angin dingin menyam-
bar dari sebelah utara, ke arah punggung Rangga! 
Secepatnya Rangga mendorong Senapati Prabayani 
ke samping, lalu membalikkan tubuhnya untuk meng-
hadapi sesuatu yang menimbulkan angin dingin itu. 
Ternyata seorang lelaki tua, bertubuh tinggi kurus, 
bermata sipit seperti mata elang, berpakaian serba hi-
tam, memegang tongkat aneh di tangannya... melesat 
ke arah Rangga. Itulah Prabaseta, alias si Jalak Ruyuk! 
Senapati Prabayani jatuh terlentang. Dan Rangga 
langsung menyambut terjangan si Jalak Ruyuk dengan 
kedua tangan dijulurkan ke depan. 
 
Si Jalak Ruyuk terpaksa membatalkan serangan bo-
kongannya, karena ia merasa angin yang sangat ken-
cang bertiup dari kedua telapak tangan Rangga. Ru-
panya Rangga sedang menyalurkan tenaga Tolakbayu 
lewat kedua telapak tangannya! 
Walaupun si Jalak Ruyuk telah mengegos ke kiri, 
tak urung rambutnya berkibar-kibar, tertiup oleh 
‘pinggiran’ angin dari kedua telapak tangan murid Ku-
dawulung itu! 
Rangga berdiri tenang. Melirik ke arah Senapati Pra-
bayani yang sudah bangkit kembali di sebelah kirinya, 
melirik ke arah si Jalak Ruyuk yang sudah memasang 
kuda-kuda di sebelah kanannya, dan bertanya, “Kena-
pa pendukung gelap yang lain tidak sekalian naik ke 
atas panggung ini?” 
Sebenarnya pertanyaan Rangga itu hanya untuk 
memancing-mancing saja, karena ia sendiri belum ta-
hu pasti berapa orang yang membantu Senapati Pra-
bayani tadi. Namun pertanyaan itu cukup menge-
jutkan si Jalak Ruyuk, yang mengira bahwa Rangga 
demikian saktinya, sehingga perbuatan si Jalak Ruyuk 
dan Prabalaya tadi diketahui secara pasti olehnya. 
Maka dengan wajah merah padam, si Jalak Ruyuk 
memanggil anaknya, “Prabalaya, naiklah ke sini. Kita 
akan bermain-main sebentar dengan orang muda yang 
hebat ini!” 
Lalu melompatlah Prabalaya ke atas panggung dan 
berdiri di antara kakak dengan ayahnya. 
Rangga sudah mendengar dari gurunya, bahwa to-
koh golongan hitam yang bergelar Jalak Ruyuk itu ber-
tubuh tinggi kurus, bermata sipit seperti mata elang 
dan selalu membawa-bawa tongkat yang berbentuk se-
ekor ular dan terbuat dari baja hitam. 
Maka yakinlah Rangga bahwa lelaki tua yang bera- 
da di sebelah kanannya itu, adalah si Jalak Ruyuk. 
“Para hadirin sekalian!” seru Rangga tiba-tiba, “Saat 
ini telah hadir tiga tokoh yang sangat terkenal di selu-
ruh wilayah Tegalinten. Mereka adalah... Prabaseta 
alias Jalak Ruyuk, Prabayani alias Meong Koneng dan 
Prabalaya alias Ajag Hawuk!” 
Tentu saja para pembesar dan rakyat Tegalinten ter-
kejut sekali, terutama setelah mendengar bahwa Sena-
pati Prabayani itu adalah si Meong Koneng... wanita 
berhati iblis yang sudah sangat terkenal kekejaman-
nya! 
Dan memang itulah yang diinginkan oleh Rangga. 
Bahwa dengan sengaja ia ingin membuka kedok Pra-
bayani dan Prabalaya, supaya hadirin mulai memper-
timbangkan apakah kedua kakak beradik itu patut 
menjadi pembesar kerajaan atau tidak. 
Adipati  Mundingrana yang sudah sejak lama tidak 
setuju dengan pengangkatan Aria Pamungkas sebagai 
putra mahkota, kini semakin sebal lagi setelah menge-
tahui siapa sebenarnya perempuan yang sudah telan-
jur diangkat sebagai Senapati Kerajaan Tegalinten itu. 
Maka secara diam-diam Adipati Mundingrana me-
ninggalkan alun-alun, lalu pulang ke Pasirluhur. 

*** 

Tanpa mempedulikan reaksi hadirin yang mulai 
tampak resah, Prabaseta memandang wajah Rangga 
dengan mata berapi-api, lalu berkata tajam, “Tampak-
nya kau sengaja ingin membentangkan permusuhan 
dengan keluarga Praba, sekaligus berdiri di pihak la-
wan kerajaan. Siapa sebenarnya gurumu, wahai orang 
muda?” 
Dengan santai Rangga menjawab, “Perbuatanku 
adalah tanggung jawabku. Tidak ada alasan untuk  
menyeret-nyeret nama guruku ke atas panggung ter-
hormat ini.” 
“Biasanya, seorang murid yang tidak mau menye-
butkan nama gurunya, adalah murid yang murtad,” 
desis Prabaseta dingin. 
“Murtad atau setianya seorang murid pada gurunya, 
tergantung pada bagaimana dia mengamalkan ilmu 
yang telah diterima dari gurunya. Meskipun saban hari 
dia menyembah kaki gurunya, tapi kalau ilmunya di-
gunakan untuk kejahatan, dia adalah seorang murid 
yang murtad,” bantah Rangga dengan senyum di bibir. 
Panas kuping Prabaseta dibuatnya. Ucapan Rangga 
tadi terasa sebagai sindiran. Bukankah Prabaseta tidak 
dianggap sebagai murid Citralaga lagi, karena Prabase-
ta menggunakan ilmunya untuk kejahatan? 
Walaupun penampilan Prabaseta tampak lebih 
‘luwes’ daripada kedua anaknya, namun sebenarnya ia 
seorang tokoh golongan hitam yang sangat jahat dan 
pantang tersinggung. Maka setelah mendengar ‘sindi-
ran’ Rangga tadi, secara diam-diam Prabaseta mene-
kan salah satu bagian tongkat baja hitam yang berben-
tuk ular itu...! 
Sebenarnya tongkat Prabaseta bukan tongkat sem-
barangan. Benda yang dibentuk seperti ular itu sebe-
narnya memiliki ‘kamar-kamar dan pintu-pintu’ kecil. 
Bagian dalamnya, mirip sel-sel sarang lebah. Dan se-
tiap sel berisi satu macam racun atau alat rahasia, 
yang tujuannya hanya satu, yakni untuk membinasa-
kan musuh secara licik dan kejam. Itulah yang dimak-
sud dengan ‘kamar-kamar’ dalam tongkat Prabaseta. 
Ukiran berbentuk sisik ular pada tongkat itu, sebe-
narnya merupakan ‘pintu-pintu’ kecil, yang dapat dige-
serkan oleh pemiliknya... untuk mengeluarkan salah 
satu pencabut nyawa yang terdapat di dalamnya! 
 
Hanya Prabaseta dan kedua anaknya yang tahu 
persis pintu rahasia mana yang harus digeserkan, un-
tuk mengeluarkan isi yang dikehendaki. 
Dan kini Prabaseta telah menggeserkan ‘pintu’ yang 
paling berbahaya. ‘Pintu’ itu akan mengeluarkan isi-
nya... racun ciptaan Prabaseta sendiri! Racun itu ter-
buat dari ramuan khusus, yang diberi nama ‘Singawe-
reng’. Racun itu sangat berbahaya, karena selain tidak 
menimbulkan uap maupun asap, juga tidak menim-
bulkan bau apa-apa. Tapi ‘daya kerja’-nya luar biasa. 
Begitu orang menghisap racun Singawereng, orang itu 
akan menjadi lumpuh dan tak berdaya lagi seumur hi-
dupnya! 
Sengaja Prabaseta mengeluarkan racun yang tidak 
mematikan, tapi akibat yang akan ditimbulkannya le-
bih jahat daripada pembunuhan.  Karena orang yang 
sudah telanjur menghisapnya, akan cacat seumur hi-
dupnya. 
Sebelum menggerakkan tongkatnya, si Jalak Ruyuk 
berdesis perlahan, “Singawereng...!” 
Sebenarnya ucapan Prabaseta itu merupakan kode 
bagi kedua anaknya, supaya mereka cepat-cepat 
menghindar atau menahan napas dalam waktu yang 
telah ditentukan. Karena kalau racun yang tidak ber-
bau apa-apa itu sampai terhisap, siapa pun akan men-
jadi korban, termasuk Prabayani dan Prabalaya. 
Prabalaya dan Prabayani kontan mengerti apa yang 
akan dilakukan oleh ayah mereka. Tapi Rangga justru 
salah duga. Rangga mengira bahwa Singawereng itu 
merupakan salah satu jurus ciptaan Prabaseta yang 
akan dipakai untuk menyerangnya. 
Maka Rangga hanya memperhatikan gerak-gerik ke-
tiga lawannya, tanpa menyadari bahwa racun jahat itu 
telah membersit dari dalam tongkat Prabaseta. 
 
Ketika Prabalaya dan Prabayani menyerangnya, 
Rangga tidak tahu bahwa sebenarnya serangan itu 
hanya tipuan. Sedangkan tujuan sesungguhnya, cuma 
ingin menjebak Rangga... supaya mendekati tongkat 
Prabaseta! 
Dan... wuuuut... tiba-tiba saja Prabaseta mengi-
baskan tongkatnya ke depan wajah Rangga. Memang 
tongkat itu tidak menyentuh wajah Rangga, tapi ra-
cunnya... mulai menyelusup ke dalam rongga hidung 
Rangga! 
Tak ayal lagi... Rangga kontan ambruk, karena se-
pasang kakinya mendadak lemas, seolah-olah tak ber-
tulang lagi. 
Kemudian meledaklah tawa Prabaseta, “Hahaha-
hahha haaaa...! Kau kira manusia macam aku ini bisa 
dikalahkan oleh pendekar kemarin sore?!” 
Rangga sadar bahwa dirinya sudah menjadi korban 
kelicikan dan kekejaman Prabaseta. Tapi kesadaran-
nya sudah terlambat. Ia hanya bisa menelentang pa-
srah, dengan anggota badan yang tak dapat digerak-
kan lagi! 
Dan Prabaseta menghantamkan tongkatnya ke arah 
kepala Rangga, tentu dengan maksud untuk memecah-
kannya. Rangga hanya bisa memandang tongkat itu... 
dengan pasrah. 
Tapi tiba-tiba Prabalaya berseru, “Jangan bunuh 
dia!” 
Prabaseta membatalkan pukulan mautnya. Menoleh 
kepada anaknya, sambil bertanya heran, “Kenapa?” 
“Gusti Aria sangat membutuhkan beberapa kete-
rangan darinya,” sahut Prabalaya. 
 
*** 
 
ALUN-ALUN Tegalinten sudah sunyi. Panggung ujian 
dan panggung kehormatan masih berdiri di ten-
gahnya. Tapi para pembesar dan rakyat Tegalinten te-
lah pulang ke rumahnya masing-masing. 
Dan hari mulai senja. 
Aria Pamungkas masih berdiri di menara istana, 
sambil memandang ke arah barat sana, ke arah alun-
alun yang telah lengang itu. 
Ketika Resi Ekaraga muncul di atas menara istana 
itu, Aria Pamungkas masih berpeluk tangan dan me-
mandang ke kejauhan sana. 
“Prabalaya sudah kuberangkatkan ke Kawahsuling,” 
desis Aria Pamungkas tanpa menoleh. 
“Oh, itu baik sekali, Gusti. Seorang calon raja besar, 
harus selalu menepati janjinya,” sahut Resi Ekaraga 
dengan seringai di bibirnya. Seringai yang aneh. Sea-
neh seringai waktu ia diam-diam memencilkan diri tadi 
siang, karena ia tidak mau bertemu muka dengan Pra-
baseta... saingan masa mudanya. 
“Aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi kelak. 
Aku telah mengangkat dua orang tokoh golongan hi-
tam, sebagai pembesar-pembesar di negeri ini.” 
“Ah,  rakyat Tegalinten hanya akan mengikuti saja 
apa yang telah diputuskan oleh Gusti Aria. Hamba ra-
sa tidak akan ada pemberontakan di negeri ini. Terle-
bih lagi sekarang, Gusti Aria telah mempunyai dukun-
gan orang-orang yang sangat ditakuti oleh rakyat.” 
“Tapi... orang-orang yang sangat ditakuti itu justru 
berasal dari golongan hitam, Paman Resi. Tadinya aku 
ingin agar diriku dipandang baik oleh rakyat Tegalin-
ten. Aku tidak ingin namaku diam-diam jadi pergun-
jingan. Dan sekarang? Ah... pasti banyak yang tengah 
mempergunjingkanku, sebagai calon raja yang berse-
kutu dengan orang-orang jahat.” 
 
“Lupakanlah kekuatiran seperti itu, Gusti. Sebenar-
nya banyak hal yang menguntungkan bagi Gusti seka-
rang.” 
“Maksud Paman Resi?” 
“Dengan dukungan dari orang-orang seperti Sena-
pati Prabayani dan Adipati Prabalaya... keamanan di 
negeri ini akan mantap.” 
“Keamanan di negeri ini akan mantap?!” tukas Aria 
Pamungkas. 
“Benar, Gusti Aria. Para pencuri, perampok dan se-
bangsanya, tidak akan berani melakukan kejahatan 
lagi. Sedikitnya mereka akan segan, karena panglima 
di negeri ini adalah anak pemimpin mereka. Bukankah 
ini suatu keuntungan besar bagi Gusti Aria?” 
Meledaklah tawa Aria Pamungkas. “Hahahahaaaa...! 
Paman Resi memang benar! Keamanan di negeri ini 
akan menjadi mantap... mantap sekali!” 
“Ada keuntungan lain yang bisa diambil oleh Gusti 
Aria,” ujar Resi Ekaraga lagi. “Orang-orang dari golong-
an hitam itu, bisa ditarik... sedikitnya untuk dijadikan 
mata-mata.” 
“Mata-mata?!” Aria Pamungkas serasa diingatkan 
pada sesuatu yang selama ini masih dirahasiakan. 
“Ya... Gusti Aria bisa memanfaatkan mereka untuk 
menyelundup ke Tanjunganom, misalnya...” 
“Paman Resi...,” sergah Aria Pamungkas, “dari mana 
Paman Resi tahu bahwa aku punya maksud tertentu 
terhadap Kerajaan Tanjunganom?” 
Resi Ekaraga tersenyum. Menyahut, “Orang yang 
sudah tua seperti hamba ini, seringkali lebih waspada 
daripada orang-orang muda, Gusti.” 
Aria pamungkas seperti enggan membicarakan hal 
itu lebih jauh. Lalu melangkah menuruni tangga, sete-
lah berkata, “Hari sudah malam. Aku ingin memeriksa  
tahanan itu.” 
“Tahanan itu kelihatannya berbahaya,” kata Resi 
Ekaraga sambil mengikuti langkah Aria Pamungkas 
menuruni tangga. “Mungkin Gusti Aria harus dikawal 
oleh senapati baru itu.” 
“Ya,” Aria Pamungkas mengangguk. 

*** 

Sementara itu, di dalam ruang tahanan yang dijaga 
ketat, Rangga menelentang lemah. Telah berkali-kali ia 
mencoba membebaskan diri dari pengaruh racun yang 
telah melumpuhkan anggota badannya itu. Tapi hasil-
nya tetap nihil. 
Sampai akhirnya ia berpikir, “Ah... mungkin nasib-
ku harus begini. Harus menjadi orang lumpuh dan tak 
berdaya. Biarlah...” 
Tiba-tiba pintu besi itu terbuka. Aria Pamungkas 
muncul di ambang pintu, didampingi oleh Senapati 
Prabayani. Dua prajurit pembawa obor berdiri di bela-
kang mereka. 
Aria Pamungkas menyuruh salah seorang prajurit 
untuk mengangkat obornya tinggi-tinggi, supaya wajah 
Rangga kelihatan. 
“Namamu Rangga, bukan?” desis Aria Pamungkas 
sambil bertolak pinggang di dekat tawanannya. 
Rangga tak menyahut. Melirikkan matanya pun ti-
dak. Seolah-olah tak peduli dengan kehadiran sang Pu-
tra Mahkota di dalam ruang tahanan itu. 
“Ada satu hal yang ingin kuketahui darimu,” kata 
Aria Pamungkas lagi, “mengenai kakakku... Aria Lu-
mayung. Engkau pasti tahu di mana dia berada seka-
rang.” 
Rangga tetap membisu dan memandang langit-
langit ruang tahanan itu, tanpa mempedulikan perta- 
nyaan sang Putra Mahkota. 
“Jawaaab!” bentak Aria Pamungkas sambil menen-
dang paha Rangga sekuatnya. 
Tendangan itu membuat Rangga berguling-guling di 
lantai. Membuat Rangga terkejut: Oh! Hanya oleh ten-
dangan biasa saja, aku sudah terguling-guling! Apakah 
aku sudah begini lemahnya? 
“Ayo jawab! Di mana dia berada sekarang?” bentak 
Aria Pamungkas lagi. 
Rangga tetap tidak mau menyahut. 
Senapati Prabayani, yang sesekali masih memegangi 
bahunya karena  keretakan tulangnya masih menim-
bulkan sakit, sekalipun telah diobati oleh ayahnya, di-
am-diam memperhatikan wajah Rangga dengan pera-
saan kagum: Sebenarnya dia tampan sekali. Sean-
dainya dia bisa kutarik menjadi sekutuku, ah, alang-
kah menyenangkan...! 
“Senapati,” Aria Pamungkas menoleh kepada Sena-
pati Prabayani, “apakah dia sudah menjadi bisu? Dia 
sama sekali tidak mau menjawab pertanyaanku.” 
“Hamba rasa, sebaiknya dia diberi tempo dulu. Nan-
ti hamba sendiri yang akan menanyainya,” sahut Pra-
bayani sambil membungkukkan badannya. 
Aria Pamungkas mengerutkan dahinya. Lalu berge-
gas meninggalkan ruang tahanan, diiringi oleh Senapa-
ti Prabayani dan kedua prajurit pembawa obor itu. 
Dan Rangga meludah ke lantai, “Cuh...! Biar dibu-
nuh pun, aku tidak akan menjawab pertanyaan me-
reka!” 
 
*** 
 
LIMA orang penunggang kuda memasuki hutan di 
sebelah selatan Tegalinten. Yang dua orang berada 
di muka, yang seorang berada di tengah dan yang dua 
orang lagi berada di belakang. Mereka adalah Adipati 
Mundingrana bersama empat orang pengawalnya. 
Di muka pertapaan Prabu Suriadikusumah, mereka 
menghentikan kudanya masing-masing. Dan Adipati 
Mundingrana turun dari kudanya, lalu melangkah ke 
arah pertapaan. 
Prabu Suriadikusumah yang tidak lagi mengenakan 
pakaian kebesaran seorang raja, dan sudah menggan-
tinya dengan pakaian seorang pertapa, menyongsong 
kedatangan Adipati Mundingrana di ambang pintu per-
tapaan, dengan senyum di bibir. 
Adipati Mundingrana bersimpuh di depan Prabu 
Suriadikusumah, sebagai tanda baktinya. “Hamba 
menghaturkan sembah bakti, Gusti Prabu.” 
Prabu Suriadikusumah mengangguk, “Kuterima sem-
bah baktimu, Adipati Pasirluhur. Tapi... angin apa 
yang membawamu ke mari?” 
“Angin duka, Gusti Prabu. Duka bagi seluruh rakyat 
Tegalinten.” 
“Suka dan duka itu memang wajar dialami oleh ma-
nusia yang masih bernyawa,” sabda sang Prabu, “Tapi, 
cobalah katakan, berita duka apa yang ingin kau sam-
paikan padaku?” 
“Sebenarnya berat hati hamba untuk menghatur-
kannya ke hadapan Gusti Prabu, karena apa yang in-
gin hamba haturkan ini, menyangkut putra Gusti Pra-
bu sendiri.” 
“Hmm... Adipati Pasirluhur hendak menyampaikan 
soal Aria Pamungkas, bukan?!” 
“Be... benar, Gusti Prabu.” 
“Aku sudah tahu semuanya. Tentang pengangkatan 
perempuan bernama Prabayani, sebagai senapati. Ten-
tang pengangkatan lelaki bernama Prabalaya, sebagai 
Adipati Kawahsuling. Dan aku juga sudah tahu bahwa 
ayah mereka, adalah Prabaseta alias Jalak Ruyuk.” 
Adipati Mundingrana terperangah. “Ja... jadi Gusti 
Prabu sudah menyetujui semuanya itu?” 
“Aku tidak bilang setuju. Aku hanya bilang  bahwa 
aku sudah tahu. Dan... yaaah... aku tidak bisa berbuat 
apa-apa lagi, karena kekuasaan sudah kupasrahkan 
kepada putraku,” sabda Prabu Suriadikusumah sambil 
tersenyum getir. 
Adipati Mundingrana menghela napas panjang. Mem-
bisu beberapa saat. Lalu katanya, “Kalau hamba tidak 
kasihan kepada rakyat Tegalinten, mungkin hamba ti-
dak akan ikut campur pada apa pun yang dilakukan 
oleh Gusti Aria Pamungkas. Tapi... sekarang... rakyat 
dari kotaraja bahkan mulai banyak yang mengungsi ke 
daerah Pasirluhur, Gusti Prabu.” 
“Mengungsi ke Pasirluhur?!” tukas Prabu Suriadi-
kusumah. 
“Daulat, Gusti Prabu. Tampaknya mereka sudah 
menganggap kotaraja sebagai neraka rakyat, yang pe-
nuh dengan siksaan dan penderitaan. Mereka senanti-
asa dicengkeram ketakutan, terutama setelah anak 
Prabaseta itu diangkat sebagai senapati.” 
“Sebaiknya katakan saja, apa yang ingin kau usul-
kan padaku?” 
“Ampun Gusti Prabu... menurut pendapat hamba, 
belum terlambat bagi Gusti Prabu, untuk membatal-
kan keputusan tentang pengangkatan putra mahkota.” 
“Inilah yang sangat sulit bagiku,” keluh Prabu Su-
riadikusumah. “Sebagai seorang raja, aku tidak boleh 
menjilat air ludahku sendiri. Aku telah mengangkat 
Aria Pamungkas sebagai putra mahkota. Bahkan pen- 
gangkatan itu kulakukan secara resmi, di depan selu-
ruh pembesar Tegalinten. Lalu... apa kata mereka nan-
ti, kalau aku membatalkan keputusanku sendiri?” 
“Tapi... demi rakyat Tegalinten, mungkin Gusti Pra-
bu masih berkenan mendampingi Gusti Aria Pamung-
kas dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan 
pengawasan dari Gusti Prabu, mungkin masih banyak 
yang bisa diperbaiki dalam jiwa putra Gusti.” 
“Itu juga sulit kulakukan, karena aku sudah mulai 
memasrahkan diri ke dalam jalan kesucian semata. 
Aku bahkan sedang merencanakan untuk menobatkan 
Aria Pamungkas secara resmi, sebagai Raja Tegalin-
ten.” 
“Duh, Gusti Prabu. Hamba tidak dapat mem-
bayangkan malapetaka apa yang akan melanda negeri 
ini, kalau Gusti Prabu secara resmi memasrahkan 
mahkota kepada putra Gusti yang... yang masih terlalu 
muda itu.” 
Prabu Suriadikusumah hanya membelai jenggotnya 
yang telah memutih, sambil memandang ke arah sang 
Mangkubumi yang sedang bersemadi di sudut perta-
paan. 

*** 

Dan jauh di utara sana, di dalam istana Tegalinten, 
sang Putra Mahkota sedang berbicara dengan Senapati 
Prabayani. 
“Sudah hampir dua bulan kita menahan lelaki ber-
nama Rangga itu. Tapi sampai hari ini kita belum juga 
mendapat keterangan apa pun dari mulutnya. Lalu 
sampai kapan kita harus menunggu?” 
“Memang dia bandel sekali, Gusti Aria. Tapi hari ini 
dia harus bicara. Benda ini yang akan memaksanya 
buka mulut.”  
Senapati Prabayani memperlihatkan sebuah cupu 
perak. 
“Apa isi cupu itu?” Aria Pamungkas mengernyitkan 
keningnya. 
“Serbuk Kucubung Rawa,” Senapati Prabayani me-
layangkan senyum genit. Senyum yang sering mem-
buat Aria Pamungkas merinding. 
“Kucubung Rawa?!” 
“Benar, Gusti Aria. Serbuk ini memang keras sekali. 
Memaksa seseorang membuka segala rahasia yang 
masih dipendamnya. Tapi... ia sendiri tidak akan tahan 
lebih dari sehari.” 
“Maksudmu?” 
“Setelah makan serbuk ini, orang itu akan menja-
wab setiap pertanyaan kita. Dan setelah mengoceh, ia 
akan berkelojotan... sekarat. Dan paling lama sehari ia 
kuat menahannya... lalu mampus!” 
Aria Pamungkas tercengang, lalu tersenyum, sekali-
pun hatinya merasa ngeri... ngeri membayangkan ba-
gaimana jahatnya perempuan cantik yang sedang be-
rada di depannya itu. Perempuan yang sudah mendu-
duki jabatan sangat penting di Kerajaan Tegalinten itu. 
Pikir Aria Pamungkas, “Prabayani selalu memiliki 
cara dan alat untuk mencapai maksudnya. Dan aku 
tidak tahu apa yang tersimpan di dalam benaknya saat 
ini. Mudah-mudahan saja dia tidak pernah bermaksud 
meracuniku. Tapi... bagaimana caranya supaya aku 
punya jaminan bahwa dia tidak akan punya maksud 
buruk terhadap diriku?” 
Agak lama Aria Pamungkas terdiam. Merenung dan 
sesekali melirik ke arah perempuan cantik itu. 
Dan Senapati Prabayani mengira bahwa sang Putra 
Mahkota meragukan kehebatan serbuk Kucubung Ra-
wa itu. Maka katanya, “Percayalah, Gusti Aria. Serbuk  
Kucubung Rawa buatan ayah hamba ini, tidak pernah 
gagal.” 
“Aku tidak menyangsikan serbuk dalam cupu itu,” 
sahut Aria Pamungkas. “Yang kusangsikan justru diri-
mu sendiri.” 
“Diri hamba?!” Senapati Prabayani terheran-heran. 
“Bukankah hamba telah berhasil membentuk barisan 
khusus dalam waktu singkat, berhasil menciptakan 
keamanan di negeri ini, berhasil....” 
“Ya, kau telah berhasil dalam banyak hal,” sergah 
Aria Pamungkas. “Tapi kau belum berhasil meyakin-
kanku, bahwa kau tetap akan setia padaku. Bahwa 
kau tidak pernah berniat mengkhianatiku.” 
Senapati Prabayani sedikit bingung. Entah bagai-
mana caranya untuk meyakinkan hati sang Putra 
Mahkota, pikirnya. 
Namun lalu Senapati Prabayani berdesis, “Percaya-
lah, Gusti Aria. Hamba berada di istana ini, semata-
mata karena ingin membaktikan diri kepada Gusti 
Aria.” 
Dan toh Aria Pamungkas masih belum yakin. “Da-
hulu, kau bicara begitu juga kepada Adipati Natajaya, 
bukan? Dan kemudian... kau bunuh adipati yang ma-
lang itu.” 
Senapati Prabayani terperangah. Tak disangkanya 
bahwa sang Putra Mahkota akan mengungkit-ungkit 
kembali persoalan yang tadinya sudah dianggap selesai 
itu. Tapi Senapati Prabayani bukanlah anak si Jalak 
Ruyuk, kalau ia tidak bisa mencari jawaban untuk su-
atu persoalan. Maka lalu katanya, “Hamba sudah 
mengutarakan alasan utama yang membuat hamba 
merasa berkewajiban untuk  melenyapkan Adipati Na-
tajaya. Dan bukankah Gusti Aria sudah memaklu-
minya?”  
“Ya,” Aria Pamungkas mengangguk. “Kau memang 
punya alasan kuat untuk membunuh Adipati Natajaya. 
Lalu... alasan apa pula yang membuatmu tega membu-
nuhku di kemudian hari?” 
“Ah... kenapa Gusti Aria bisa punya pikiran seburuk 
itu?” Senapati Prabayani mengerling dengan sikap 
khusus. Sikap seorang wanita yang membutuhkan le-
laki. 
“Seorang calon raja besar seperti aku ini, harus se-
lalu memperhitungkan segala kemungkinan.” 
“Baiklah. Hamba mohon Gusti Aria sudi memperhi-
tungkan satu kemungkinan saja mengenai diri ham-
ba... bahwa hamba akan membuktikan kebaktian 
hamba dengan... dengan cinta.” 
“Cinta?!” 
“Benar, Gusti Aria. Kalau Gusti Aria tidak bisa 
mempercayai hamba, peristrikanlah diri hamba  ini. 
Dan hamba siap mengandung putra-putri Gusti di da-
lam perut hamba. Dari putra-putri itulah, hamba akan 
selalu merasa terikat kepada Gusti Aria... terikat seca-
ra kekal.” 
Aria Pamungkas agak terpanar. Seorang perempuan 
diam-diam menggilai seorang pangeran bukanlah hal 
yang aneh, tapi seorang perempuan secara terang-te-
rangan menawarkan diri kepada seorang lelaki, masih 
merupakan hal yang ‘luar biasa’ bagi zaman itu. 
Tapi, bagaimanapun juga ‘tawaran’ Senapati Pra-
bayani itu merupakan hal cukup menarik bagi sang 
Putra Mahkota. Karena, dengan memperistrikan seo-
rang wanita yang berilmu tinggi seperti Prabayani, ke-
dudukan Aria Pamungkas akan semakin kokoh. 
Aria Pamungkas lalu tercenung. Berpikir, “Adalah 
sangat menguntungkan kalau aku punya pengawal 
seumur hidup seperti Senapati Prabayani. Kalau dia  
jadi istriku, tentu saja dia akan selalu membelaku. Ta-
pi sayangnya, dia bukan keturunan raja. Apakah 
mungkin aku bisa mengawininya?” 
Seperti maklum pada apa yang tengah dipikirkan 
oleh Aria Pamungkas, Senapati Prabayani berkata, 
“Kalau Gusti Aria tidak mungkin menerima hamba se-
bagai istri utama, tentu Gusti Aria tidak akan berkebe-
ratan menerima hamba sebagai selir.” 
Selir, pikir Aria Pamungkas, ya... kenapa aku tidak 
mengawininya saja sebagai seorang selir?! 

*** 

Aria Pamungkas memang seorang pangeran yang am-
bisius, licik dan kejam. Untuk mendapatkan dukungan 
sebanyak-banyaknya, demi kedudukan tertinggi yang 
diincarnya, ia tidak sayang-sayang menghamburkan 
harta negara. Dan kalau dengan jalan ‘halus’ itu, ia be-
lum juga berhasil mencapai maksudnya, ia tidak se-
gan-segan mengorbankan nyawa orang lain. Katakan-
lah ia bisa menghalalkan segala macam cara, untuk 
mencapai cita-citanya. 
Tapi anehnya, Aria Pamungkas seperti kurang terta-
rik kepada perempuan. Padahal di usianya yang telah 
menanjak dewasa itu, seharusnya ia sedang gila-
gilanya mengagumi lawan jenisnya. 
Itulah sebabnya, walaupun ia sudah menjadi putra 
mahkota, ia belum pernah terlibat dalam percintaan 
dengan gadis mana pun. 
Dan kini, ia berhadapan dengan ‘gadis’ yang sudah 
begitu berpengalaman dalam meruntuhkan hati lelaki. 
Ini adalah hal baru bagi sang Putra Mahkota. 
Perempuan. Ya, perempuan. Apa sebenarnya yang 
bisa menguntungkan dari seorang perempuan? Menga-
pa lelaki harus selalu didampingi oleh perempuan? 
 
Demikianlah yang terpikir oleh sang Putra Mahkota, 
ketika Senapati Prabayani masih menengadah dengan 
penuh harap. 
Dan akhirnya Aria Pamungkas berkata, “Kau harus 
menurunkan seluruh ilmumu padaku. Barulah kemu-
dian aku akan memperistrikanmu.” 
Berbinar-binar mata Senapati Prabayani dibuatnya. 
“Oh, benarkah itu?” 
“Ya,” Aria Pamungkas mengangguk. “Seperti yang 
kukatakan tadi, aku akan memperistrikanmu secara 
resmi. Tapi terlebih dahulu kau harus menurunkan se-
luruh ilmu yang kau miliki padaku.” 
“Kalau boleh hamba tahu, apa yang membuat Gusti 
Aria tertarik untuk memiliki ilmu hamba?” 
“Karena sekarang aku sadar. Seorang pemimpin ha-
rus menguasai segala macam ilmu. Termasuk ilmu ke-
digjayan.” 
Senapati Prabayani juga termasuk manusia yang 
menghalalkan segala macam cara, untuk mencapai tu-
juannya. Maka untuk mendapatkan apa yang diingin-
kannya dari sang Putra Mahkota, tidak segan-segan ia 
mencium kaki sang Putra Mahkota, sambil berdesis, 
“Hamba akan memenuhi segala kehendak Gusti Aria.” 
Sebenarnya ciuman di kaki Aria Pamungkas itu bu-
kan cuma ciuman bakti. Senapati Prabayani menam-
bahnya dengan gigitan lembut. Gigitan yang merang-
sang. 
Dan toh Aria Pamungkas tidak terangsang. Bahkan 
berkata, “Marilah kita laksanakan pemeriksaan taha-
nan bernama Rangga itu.” 
“Gila,” umpat Prabayani dalam hati. “Putra Mahkota 
ini jauh lebih mementingkan urusan politik daripada 
perempuan!” 
Namun Senapati Prabayani tidak memperlihatkan  
kekecewaannya itu. Ia segera mengikuti langkah sang 
Putra Mahkota ke arah penjara yang terletak agak jauh 
di sebelah timur istana. 

*** 

Setibanya Aria Pamungkas dan Senapati Prabayani 
di dalam penjara, terjadi kegemparan. 
Rangga telah hilang dari ruang tahanannya! 
Dan prajurit-prajurit penjaga penjara menjadi ka-
lang kabut, mencari-cari Rangga ke seluruh pelosok 
penjara.  Tapi mereka tidak menemukannya. Jejaknya 
pun tidak mereka temukan. 
Tentu saja hal ini membangkitkan kemarahan Se-
napati Prabayani dan sang Putra Mahkota. Kepala pen-
jaga penjara dipanggil. Dihardik: “Goblok! Tolol! Ba-
gaimana ini bisa terjadi? Bukankah tahanan itu kalian 
jaga dengan ketat?” 
“Be... benar,” Kepala penjaga itu ketakutan sekali. 
“Ham... hamba sudah mengatur penjagaan demikian 
rapinya. Se... seperti Gusti lihat sendiri, pintu itu dija-
ga oleh sepuluh orang. Tapi...” 
“Tapi buktinya dia lolos!” sergah Aria Pamungkas 
sambil mendaratkan tamparannya di muka kepala 
penjaga itu, plaaaar...! 
Senapati Prabayani mencoba untuk menenangkan 
sang Putra Mahkota. “Biarlah... nanti akan hamba cari 
lagi si bedebah itu.” 
“Tapi... bukankah kau bilang bahwa dia akan lum-
puh seumur hidupnya?! Lalu kenapa sekarang dia bisa 
melarikan diri?” 
“Hamba rasa, ada seseorang yang menolong dia.” 
“Ada seseorang yang menolong dia...,” gumam Aria 
Pamungkas yang lalu meninggalkan penjara dengan 
wajah murung. 
 
*** 
 
APA sebenarnya yang menyebabkan Rangga bisa hi-
lang dari penjara Tegalinten itu? Apakah dia men-
dadak sembuh dan bisa berjalan lagi seperti biasa, lalu 
mengerahkan ilmunya untuk melarikan diri? 
Sebenarnya begini kejadiannya: 
Beberapa saat sebelum Aria Pamungkas dan Sena-
pati Prabayani tiba di penjara, Rangga melihat sesuatu 
yang mengherankan. Lantai ruang tahanan itu men-
cuat sedikit demi sedikit. Dan tiba-tiba saja menyem-
bullah kepala manusia... kepala wanita muda yang su-
dah dikenal oleh Rangga... 
“Nyi... Tiwi?!” 
“Sttt...!” Wanita muda itu menaruh telunjuk di bi-
birnya. Lalu menghampiri Rangga, sambil berkata sete-
ngah berbisik, “Aku datang untuk menolongmu, Kang. 
Ayolah... lubang buatanku ini tembus sampai ke luar 
kotaraja.” 
Rangga hampir tidak mempercayai penglihatannya 
sendiri.  Bahwa Nyi Tiwi membuatkan lubang rahasia 
dari luar kotaraja sampai lantai ruang tahanan itu. 
Dan Rangga tidak tahu bagaimana cara Nyi Tiwi men-
gerjakan lubang itu. 
“Ayolah, Kang,” desak Nyi Tiwi, “jangan menunggu 
mereka memenggal kepalamu.” 
Rangga menghela  napas. “Ah... percuma kau bua-
tkan lubang untukku, karena aku... aku sudah lum-
puh, Nyi.” 
“Lumpuh?!” Nyi Tiwi terheran-heran. 
“Ya. Aku telah menjadi korban racun Prabaseta...” 
Tiba-tiba saja Nyi Tiwi memeluk Rangga dan me-
mangkunya, membawanya ke dalam lubang rahasia  
itu, dalam gerakan yang sangat cepat. Membuat Rang-
ga terkejut dan segera sadar, bahwa Nyi Tiwi memiliki 
ilmu yang sangat tinggi. Itu bisa Rangga ketahui dari 
gerakan Nyi Tiwi. 
“Kau... kau hebat sekali, Nyi,” desis Rangga ketika 
Nyi Tiwi menutupkan kembali lantai ruang tahanan itu 
(supaya tidak terlihat bahwa di bawahnya ada lubang 
rahasia). 
Nyi Tiwi tidak menyahut, melainkan melorot ke da-
lam lubang yang gelap itu, sambil memeluk Rangga. 
Setelah berada di bawah sekali, Rangga melihat lu-
bang rahasia itu jadi cukup besar, sehingga ia semakin 
tidak percaya pada penglihatannya sendiri: Mungkin-
kah Nyi Tiwi dapat membuat terowongan yang begini 
besarnya dalam waktu singkat? 
“Terowongan ini bukan aku yang membuat,” kata 
Nyi Tiwi sambil menggendong Rangga dan melesat ber-
lari di dalam terowongan yang cukup tinggi itu, tanpa 
harus membungkukkan badan. 
“Lantas siapa yang membuat terowongan ini?” 
“Entahlah. Mungkin pihak kerajaan yang mem-
buatnya. Tapi kalau lubang kecil yang tembus ke 
ruang tahananmu tadi, memang aku sendiri yang 
membuatnya.” 
“Tapi... dari mana kau tahu bahwa aku tertangkap 
oleh kerajaan?” 
“Aku mendengar dari percakapan prajurit-prajurit 
Adipati Prabalaya. Mereka sering menceritakan peristi-
wa pertarunganmu dengan keluarga Prabaseta di alun-
alun Tegalinten. Selama ini aku selalu menyembunyi-
kan kepandaianku. Tapi setelah mendengar kau di-
tangkap oleh pihak kerajaan, aku tidak bisa menahan 
diri lagi, Kang...!” 
“Aku tidak menyangka bahwa kau seorang wanita  
berilmu tinggi.” 
Nyi Tiwi tidak menyahutnya, karena mereka telah 
tiba di mulut terowongan itu. 
Ternyata mulut terowongan itu terletak di dinding 
jurang terjal. Jauh di bawah sana, tampak sungai 
mengalir dari selatan ke utara. Sedangkan di atas sa-
na, tampak bibir jurang itu, sama jauhnya dengan ja-
rak dari mulut terowongan ke dasar jurang. 
Dengan kata lain, mulut terowongan itu berada di 
tengah-tengah dinding jurang. Ke bawah jauh, ke atas 
pun jauh. Mulut terowongan itu sendiri terlindung oleh 
tumbuh-tumbuhan liar, sehingga dari kejauhan tidak 
terlihat bahwa di dinding jurang itu ada mulut terowo-
ngan rahasia. 
Hal itu membuat Rangga heran: Bagaimana caranya 
sehingga Nyi Tiwi bisa tahu bahwa di sini ada mulut 
terowongan? 
Dan yang membuat Rangga lebih heran lagi, Nyi Ti-
wi dapat merayap ke atas, sambil menggendong Rang-
ga, tak ubahnya seekor cecak yang sedang merayap di 
dinding. Memang Rangga tahu bahwa ilmu merayap di 
dinding tegak lurus itu, adalah ilmu Ranganapel. Tapi 
yang membuat Rangga heran, adalah bahwa Nyi Tiwi 
bisa memiliki ilmu yang sulit dipelajari itu! 

*** 

Setibanya di atas, Nyi Tiwi melanjutkan perjalanan 
dengan lari secepat kijang lagi. Dan diam-diam Rangga 
memuji di dalam hatinya: Ilmu lari Nyi Tiwi ini tidak di 
bawah ilmuku waktu belum lumpuh dahulu. 
Setibanya di tempat yang terpencil, Nyi Tiwi menu-
runkan Rangga dari gendongannya. 
“Sekarang ceritakanlah padaku, apa yang menye-
babkanmu bisa lumpuh begini,” kata Nyi Tiwi sambil  
merebahkan tubuh Rangga di atas rumput. 
Rangga menggeleng. “Entahlah... aku sendiri tidak 
tahu racun apa yang telah dilepaskan oleh Prabaseta 
saat itu. Karena... aku tidak mencium bau apa-apa, 
juga tidak melihat sesuatu yang dilepaskan olehnya.” 
Nyi Tiwi menghela napas panjang. Katanya, “Si Ja-
lak Ruyuk memang memiliki seribu-satu macam ra-
cun. Mungkin aku harus membawamu ke tempat gu-
ruku. Mudah-mudahan saja beliau mau menolongmu.” 
“Siapa gurumu, Nyi?” tanya Rangga. 
“Kidangkancana,” sahut Nyi Tiwi tenang. 
“Kidangkancana?!” Rangga terperanjat. 
Tentu saja Rangga terkejut, karena ia masih ingat 
benar kata-kata gurunya dahulu: “Di antara sekian ba-
nyak pendekar yang berdiri di pihak kebenaran, ada 
satu orang yang sangat kuhormati. Dia adalah Kidang-
kancana. Tapi sayang sekali, aku tidak tahu di mana 
dia berada sekarang.” 
Nyi Tiwi, janda muda yang tadinya disangka hanya 
seorang perempuan lemah itu, ternyata murid Kidang-
kancana. 
“Kau pernah mendengar nama guruku, Kang?” 
tanya Nyi Tiwi ketika Rangga masih terlongong-
longong. 
“Ya. Guruku sering menceritakan kehebatan Ki-
dangkancana.” 
“Gurumu Kudawulung, bukan?” 
Lagi-lagi Rangga terkejut: “Bagaimana kau bisa ta-
hu? Padahal aku tidak pernah menyebut-nyebut nama 
guruku.” 
“Mudah saja menebaknya. Di negeri ini hanya ada 
tiga orang sakti yang memiliki ajian Halimunan. Mere-
ka adalah Citralaga, Kudawulung dan guruku sendiri. 
Tentang Citralaga, jelas tidak akan menurunkan ajian  
Halimunan kepada orang lain, karena ia sudah ber-
sumpah untuk tidak mengangkat murid lagi setelah 
Prabaseta tidak dianggap murid lagi olehnya. Maka pi-
kiranku langsung saja pada tokoh sakti yang seorang 
lagi, yakni Kudawulung. Karena hanya...” 
“Tunggu dulu,” potong Rangga. “Dari mana kau ta-
hu bahwa aku punya ajian Halimunan?” 
Nyi Tiwi membelai rambut Rangga, dengan mesra. 
Lalu jawabnya, “Kau pernah menggunakan ajian Hali-
munan di istana Adipati Natajaya, bukan?!” 
“Apa?! Di istana Adipati Natajaya?” 
“Ya,” Nyi Tiwi mengangguk dengan senyum manis. 
“Waktu kau masuk ke dalam istana itu, kau mulai 
menggunakannya. Begitu juga waktu kau mengintip 
pembicaraan Adipati Natajaya dengan Prabaseta di 
ruang rahasia bawah tanah itu, bukan?!” 
Rangga terperanjat. “Ja... jadi... kau menguntitku 
malam itu?” 
Nyi Tiwi mengangguk lagi. Dengan senyum manis 
lagi. Katanya, “Malam itu kau berhasil mendengarkan 
rencana gila Prabaseta dan Adipati Natajaya. Tapi kau 
tidak bisa memecahkan bagaimana caranya Prabaseta 
bisa lenyap dari dalam ruang rahasia itu, bukan?!” 
Rangga yang masih kaget, karena tidak menduga 
bahwa Nyi Tiwi pernah menguntitnya waktu Rangga 
menyelidiki istana Adipati Natajaya, lalu berkata, “Ya, 
aku memang tidak berhasil menemukan Prabaseta ma-
lam itu. Aku bahkan pernah berpikir bahwa saat itu 
Prabaseta menghilang berkat ajian Halimunan.” 
“Bukan,” Nyi Tiwi menggeleng. “Prabaseta bukannya 
menghilang begitu saja. Dia memasuki jalan rahasia 
menuju sarangnya, yang memang tidak ditemukan 
olehmu malam itu, Kang.” 
“Jalan rahasia?!”  
“Ya,” Nyi Tiwi mengangguk. “Salah satu dinding di 
ruang bawah tanah itu, sebenarnya bisa digerakkan. 
Itulah pintu rahasia menuju sarang Prabaseta alias si 
Jalak Ruyuk.” 
Rangga terpanar. Soal pintu rahasia di ruang bawah 
tanah itu, tidak dipikirkannya benar. Yang dipikirkan-
nya, yang diherankannya, adalah bagaimana caranya 
sehingga Nyi Tiwi bisa menguntitnya tanpa diketahui-
nya? Bahkan Nyi Tiwi bisa tahu bahwa pada malam itu 
Rangga menggunakan ajian Halimunan. Ini luar biasa! 
Berarti ilmu Nyi Tiwi tidak berada di bawah ilmu Rang-
ga! Bahkan mungkin ilmu Nyi Tiwi lebih tinggi daripa-
da ilmu Rangga! Itulah yang membuat Rangga terpa-
nar. 
Tapi... tiba-tiba Rangga teringat penuturan Nyi Tiwi 
dahulu. Bahwa suami Nyi Tiwi tewas dibunuh gerom-
bolan Bajing Bodas. Lalu, kalau Nyi Tiwi memang me-
miliki ilmu yang tinggi, kenapa ia tidak bisa membela 
suaminya? 
Maka lalu ujar Rangga, “Bisa dipastikan, sebagai 
murid Kidangkancana, tentu ilmu yang kau miliki 
tinggi sekali. Lalu kenapa kau tidak bisa mencegah ge-
rombolan Bajing Bodas membunuh suamimu?” 
Nyi Tiwi terperangah. Mungkin karena tidak me-
nyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. 
Dan... mata yang indah itu mulai basah. Mulai 
mencucurkan air mata. Betapa tidak. Pertanyaan 
Rangga tadi, mau tidak mau menggugahkannya pada 
kenangan lamanya. 
Lalu, dengan agak tersendat-sendat, Nyi Tiwi men-
jawab pertanyaan Rangga. 
“Pada masa itu, aku belum mempelajari ilmu apa 
pun, kecuali menyenangkan hati suamiku dengan ma-
sakan-masakan lezat, dengan caraku bersolek, dengan  
caraku tersenyum mesra dan sebangsanya. Saat itu 
aku hanya seorang wanita lemah, tidak memiliki ke-
mampuan apa pun dalam ilmu kedigjayan. 
“Suamiku memang seorang lelaki yang baik dan pa-
tut mendapat kasih sayang sebesar-besarnya dariku. 
Selama aku berumah-tangga dengannya, tak pernah 
kudengar kata-kata kasar terlontar dari mulutnya. Ra-
sanya sulit mencari lelaki yang lembut seperti suamiku 
itu. 
“Aku bahagia... bahagia sekali hidup bersama lelaki 
yang lembut dan penuh pengertian itu. Tapi, Kang, ti-
ba-tiba saja awan hitam menyelimuti kehidupanku. 
Gerombolan Bajing Bodas merajalela di daerah Kawah-
suling...! 
“Sasaran utama gerombolan itu, adalah para pengi-
kut Kanjeng Adipati Wiralaga. Setiap orang yang dekat 
dengan Kanjeng Adipati Wiralaga, dibunuh. Hartanya 
dirampok. Keluarganya dianiaya atau diperkosa... bah-
kan ada juga yang dihabiskan! 
“Akhirnya tibalah giliran suamiku, karena suamiku 
juga seorang pengikut setia Kanjeng Adipati Wiralaga. 
“Ah... sampai sekarang masih terlihat-lihat di mata-
ku, betapa mengerikannya melihat suamiku sendiri di-
seret, lalu ditusuki golok gerombolan biadab itu. Dan 
aku hanya bisa bersembunyi di balik rumpun bambu, 
sambil mengintip berkelojotannya suamiku dalam 
saat-saat menjelang ajalnya...!” 
Sampai di situ Nyi Tiwi bercerita, air matanya deras 
membanjir. Tapi lalu dilanjutkannya kisah itu... 
“Dalam keadaan pilu dan putus asa, kutinggalkan 
Kawahsuling pada malam itu juga. Ketika hari mulai 
pagi, aku tiba di pinggir sungai. Dan ketika aku meli-
hat riak air sungai yang deras itu, tiba-tiba saja mun-
cul niat untuk bunuh diri.  
“Aku sudah benar-benar putus asa. Aku lalu men-
ceburkan diri ke dalam sungai itu. Kemudian... aku ti-
dak ingat apa-apa lagi. 
“Tapi rupanya aku belum ditakdirkan mati. Ketika 
aku membuka kelopak mataku, kulihat seraut wajah 
lelaki tua yang lembut. Tadinya aku mengira sudah be-
rada di akhirat. Namun ternyata tidak. Ternyata aku 
berada di atas perahu kecil, perahu yang hanya di-
dayung oleh tangan lelaki tua itu. 
“Lelaki tua itu, adalah Kidangkancana. Beliau  bu-
kan hanya menyelamatkanku dari maut, namun juga 
memberiku petuah-petuah yang sangat berharga. 
Dan... begitulah... akhirnya aku dibawa ke tempat be-
liau. Di situlah aku diangkat sebagai muridnya.” 

***
 
“Berapa tahun kau berguru pada Kidangkancana?” 
tanya Rangga setelah Nyi Tiwi menyelesaikan penutur-
annya. 
“Hanya setahun. Tapi aku dibekali sebuah kitab pu-
saka yang harus kupelajari sendiri, kemudian kubakar 
setelah isinya terhapalkan.” 
“Setelah setahun tinggal di tempat Kidangkancana, 
kau pulang ke Kawahsuling lagi?” tanya Rangga. 
“Ya.” 
Dan tanya Rangga lagi, “Lalu kau lampiaskan den-
dammu pada gerombolan Bajing Bodas, karena kau 
sudah menjadi seorang wanita berilmu?” 
“Tidak,” Nyi Tiwi menggeleng. “Kalau mempertu-
rutkan kata hati, tentu saja aku ingin melacak sarang 
Bajing Bodas, lalu menghabisi nyawa mereka semua.” 
“Lalu kenapa tidak kau lampiaskan dendammu?” 
“Guruku melarangku. Aku diberi ilmu oleh beliau, 
hanya untuk membela diri. Bukan untuk membunuh  
dan memperturutkan kata hati. Beliau memberi nasi-
hat panjang lebar mengenai darma dan karma. Menge-
nai tugas hidup manusia di dunia dan mengenai segala 
amal perbuatan yang akan tetap dicatat oleh Yang Ma-
ha Agung, sebagai bekal dalam kehidupan yang abadi 
di alam kekal kelak. Entahlah... setelah meresapi we-
jangan beliau, hatiku terasa sejuk sekali. Dan aku ya-
kin, bahwa orang-orang yang telah membunuh suami-
ku, pada suatu saat kelak, pasti akan memperoleh im-
balannya yang setimpal. Biarlah Hyang Agung sendiri 
yang menghakiminya, bukan aku.” 
“Apakah kau tahu siapa-siapa saja yang menjadi ge-
rombolan Bajing Bodas itu?” tanya Rangga lagi. 
“Tahu,” Nyi Tiwi mengangguk. “Mereka adalah anak 
buah Prabaseta. Aku juga tahu bahwa Natajaya sebe-
lum menjadi adipati, telah menjalin persekutuan raha-
sia dengan Prabaseta. Tujuannya adalah untuk mere-
but kursi Kanjeng Adipati Wiralaga.” 
“Tujuan Natajaya bukan hanya merebut kursi adi-
pati Kawahsuling.” 
“Memang benar,” Nyi Tiwi mengangguk-angguk. 
“Dia juga merencanakan sesuatu yang besar... meren-
canakan perebutan kekuasaan atas Kerajaan Tegalin-
ten. Tapi sebelum cita-citanya tercapai... senjata ma-
kan tuan! Dia dibunuh oleh Prabayani. Begitu, bu-
kan?” 
“Kau tahu semuanya?!” Rangga terbelalak. 
Nyi Tiwi mengangguk lagi. 
“Dan kau diam saja?! Apakah gurumu melarangmu 
ikut menegakkan keadilan di negeri ini?” 
Nyi Tiwi tersenyum datar. Lalu berkata dingin, “Pa-
da saat ini, Kerajaan Tegalinten tidak punya seorang 
tokoh pun yang patut kita bela. Prabu Suriadikusu-
mah sudah terlalu tua dan tidak berhasrat memerintah  
lagi. Banondara dan Banondari, tampaknya lebih asyik 
bersenang-senang di keputren. Aria Pamungkas hanya 
seorang pangeran yang licik dan serakah. Aria Lu-
mayung lebih senang hidup menyendiri dan tidak pe-
duli dengan soal-soal pemerintahan. Lalu siapa yang 
harus kita bela?” 
Mata Rangga semakin terbuka: Bahwa Nyi Tiwi tahu 
semuanya. 
O, pikir Rangga, alangkah bodohnya aku ini... yang 
selama ini menganggap Nyi Tiwi hanya seorang pemilik 
warung nasi! 
Tapi Rangga masih mencoba menggurui Nyi Tiwi. 
“Ada satu hal yang kau lupakan, Nyi.” 
“Maksudmu?” 
“Dalam saat seperti sekarang, sesungguhnya ada 
yang harus kita bela... rakyat Tegalinten. Mereka tidak 
boleh dibiarkan hidup menderita.” 
Nyi Tiwi bahkan tersenyum sinis. Dan katanya, “Ta-
ruh katalah kita ingin membela rakyat banyak. Lantas 
kita culik atau kita bunuh Aria Pamungkas dan pengi-
kut-pengikutnya. Tapi setelah itu... apa yang akan kita 
lakukan? Siapa yang akan kita jagokan untuk memim-
pin negeri ini? Seperti yang kukatakan tadi, sampai 
saat ini aku belum menemukan pribadi yang sesuai 
untuk memimpin Kerajaan Tegalinten. Karena itu, le-
bih baik aku diam saja... sampai muncul orang yang 
benar-benar patut menjadi raja di negeri ini.” 
 
*** 
 
CIGELUNG bukanlah sungai yang luar biasa. Lebar-
nya sama saja dengan sungai-sungai lain. Dan se-
perti sungai-sungai lain, Cigelung pun mampu mengai-
ri persawahan dan kolam-kolam penduduk yang ting-
gal di sekitarnya. 
Yang unik pada sungai ini, adalah letaknya. Sungai 
itu melintang dari barat daya ke arah timur laut. Baik 
hulu maupun muaranya, berada di luar wilayah Tegal-
inten. Dengan kata lain, Tegalinten hanya dilewati saja 
oleh sungai itu. 
Adapun nama Cigelung, kemungkinan besar karena 
bentuk aliran di daerah hulunya, melingkar-lingkar 
berbentuk spiral, sehingga orang membayangkannya 
sebagai gelung (sanggul). 
Dan kini, sebuah perahu kecil meluncur mudik, me-
lawan arus Cigelung ke arah barat daya. Rangga terba-
ring di dalam perahu kecil itu. Nyi Tiwi mendayung pe-
rahu itu dengan tenang, seolah-olah sudah terbiasa 
dengan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh 
kaum pria itu. 
Semakin jauh perahu itu mudik ke hulu, semakin 
lebat pula hutan di sekitar sungai itu. 
“Apa sebenarnya yang mendorongmu sehingga kau 
mati-matian ingin menolongku?” tanya Rangga pada 
suatu saat. 
“Entahlah,” sahut Nyi Tiwi tanpa menghentikan da-
yungannya. “Sejak melihatmu untuk pertama kalinya, 
hatiku berdetak lain, Kang.” 
“Berdetak lain bagaimana?” 
“Mungkin... mungkin aku sudah melupakan mendi-
ang suamiku dan mulai mencintaimu,” jawab Nyi Tiwi 
lugu. 
Rangga tidak terlalu kaget oleh pernyataan blak-
blakan janda muda yang manis itu. “Tapi,” katanya, 
“keadaanku sekarang begini. Apa yang kau harapkan 
dari seorang lelaki yang sudah lumpuh seperti aku?” 
“Guruku pasti bisa menyembuhkanmu,” sahut Nyi  
Tiwi dengan senyum penuh harap, dengan tatapan pe-
nuh arti. 
Rangga agak rikuh melihat tatapan Nyi Tiwi itu. La-
lu mengalihkannya. “Rasa-rasanya kita sudah melam-
paui daerah perbatasan.” 
“Betul. Sekarang kita sudah memasuki wilayah Ke-
rajaan Tanjunganom.” 
“Gurumu tinggal di daerah Tanjunganom?” 
“Ya,” sahut Nyi Tiwi. “Sejak limabelas tahun yang la-
lu, guruku meninggalkan daerah Tegalinten, kemudian 
memencilkan diri di daerah hulu sungai ini.” 
Perahu itu melaju terus di sungai yang makin lama 
makin ‘menanjak’. Dan Nyi Tiwi tetap tenang men-
dayung perahunya 
Dua hari kemudian... tibalah mereka  di depan air 
terjun yang sangat tinggi, dengan bunyi gemuruhnya 
yang bergema ke hutan di sekitarnya. Pantulan air 
yang jatuh ke bawah, tampak seperti kepulan uap di 
sekitar tempat jatuhnya air terjun itu. 
Rangga mengira bahwa Nyi Tiwi akan menggendong-
nya  lagi, untuk melanjutkan perjalanan lewat darat. 
Tapi ternyata tidak. Nyi Tiwi menghentikan perahunya, 
lalu menepuk-nepuk air secara berirama... plak... 
plak... plak, plak, plak, plak... plak... plak... plak, plak, 
plak, plak...! 
Dan tiba-tiba saja terdengar suara: “Masuklah, mu-
ridku!” 
Rangga terkejut, karena mendengar suara yang 
tampaknya datang dari belakang air terjun itu. 
“Itukah gurumu?” tanya Rangga setengah berbisik. 
“Ya,” Nyi Tiwi mengangguk. “Kita sudah sampai.” 
Dan... tiba-tiba saja Nyi Tiwi melajukan perahunya, 
demikian cepatnya ke arah air terjun, seperti hendak 
menabrak bukit di balik air terjun itu. 
 
Perahu itu menembus air terjun. Dan ternyata di 
balik air terjun itu ada sebuah gua. Dengan kata lain, 
gua itu seakan-akan dilindungi oleh curahan  air ter-
jun, sehingga udara di dalamnya tidak pernah terang 
benar. 
Seorang lelaki tua tampak sedang duduk bersila di 
dalam gua itu. Nyi Tiwi menurunkan Rangga dari pera-
hu yang telah ‘tersembunyi’ di belakang curahan air 
terjun itu, kemudian meletakkannya di depan lelaki 
tua itu. Sementara Nyi Tiwi sendiri lalu berlutut di de-
pan lelaki tua yang tak lain dari Kidangkancana itu. 
“Siapa orang muda ini?” tanya Kidangkancana lem-
but. 
“Dia murid Kudawulung, Rama Guru,” sahut Nyi 
Tiwi agak keras, untuk mengatasi gemuruhnya air ter-
jun. 
Kidangkancana tampak terkejut, tapi mulutnya te-
tap terkatup. 
Dan Nyi Tiwi melanjutkan, “Dia telah jadi korban 
racun Prabaseta. Karena itu... tolonglah dia, Rama Gu-
ru. Sembuhkanlah dia seperti sediakala.” 
Kidangkancana memperhatikan wajah Rangga se-
saat, lalu mengalihkan pandangannya pada Nyi Tiwi, 
dan katanya, “Seharusnya aku menghukummu, kare-
na kelancanganmu membawa orang luar ke tempat ini. 
Tapi... mengingat bahwa orang ini murid Kudawulung, 
kuampuni kesalahanmu, Tiwi. Sekarang... cepat bawa 
lagi orang ini ke luar!” 
Berbeda dengan sikap Rangga terhadap Kudawu-
lung yang banyak tatakrama, sikap Nyi Tiwi terhadap 
gurunya manja sekali. Dengan sikap seperti anak kecil 
kepada orang tuanya, Nyi Tiwi memeluk Kidangkanca-
na dari belakang, sambil berbisik, “Aku mencintai mu-
rid Kudawulung ini. Tolonglah dia, Rama Guru yang  
baik.” 
Kidangkancana terbelalak. Tapi wajahnya menda-
dak cerah. “Kau mencintainya?” tanyanya pelan. 
Nyi Tiwi mengangguk tanpa ragu. 
Dan Kidangkancana tergelak, “Hahahaaahaa... tak 
kusangka kau bisa jatuh cinta lagi, Nyi.” 
Kemudian Kidangkancana bangkit. Memperhatikan 
wajah Rangga lagi sesaat. Lalu tanyanya, “Siapa nama-
mu?” 
“Rangga,” sahut murid Kudawulung itu. 
“Hmm... kau memang tampan, Rangga. Tak salah 
kalau muridku bisa jatuh  cinta padamu,” desis Ki-
dangkancana, membuat Rangga rikuh dan bingung. 
Kata Kidangkancana lagi, “Aku akan mengobatimu. 
Tapi kau harus berjanji dulu, bahwa nanti setelah ku-
obati, kau harus tetap tinggal di sini bersama muridku, 
sebagai suami istri!” 
Rangga  terkejut. Tak diduganya bahwa ‘cinta’ Nyi 
Tiwi akan berkepanjangan. Sedangkan Rangga sendiri? 
Apakah Rangga mencintai Nyi Tiwi? Inilah justru yang 
sedang dipersoalkan oleh Rangga dalam hatinya. 
Dan ujar Kidangkancana selanjutnya, “Anak perta-
ma yang terlahir dari perkawinan kalian, harus dis-
erahkan padaku, untuk kubimbing dan kudidik. Ba-
gaimana? Kau bisa menerima syarat-syarat itu?” 
“Tidak,” jawab Rangga di luar dugaan Nyi Tiwi dan 
gurunya. 
“Kang Rangga...!” Nyi Tiwi menangkap bahu lelaki 
yang sedang menelentang lemah itu, lalu menggun-
cangnya. “Kau... kau tidak mau menerimaku sebagai 
istrimu?” 
Rangga menyahut dingin, “Kalau mau menolongku, 
kenapa harus mengajukan syarat begini-begitu? Aku 
toh tidak memaksa minta tolong kepada kalian. Mau  
tolong aku, silakan. Tidak mau menolongku, juga tidak 
apa-apa. Seandainya aku ditakdirkan mati dalam kea-
daan begini, aku tidak akan menyesal.” 
Kidangkancana terbelalak. Tapi lalu tertawa terge-
lak-gelak. “Hahahahahaaaa...! Kau bandel sekali, orang 
muda! Pantaslah Kudawulung mengangkatmu sebagai 
muridnya. Tapi... baiklah, aku akan mengobatimu, 
tanpa syarat apa-apa. Nanti setelah kau sembuh, kau 
boleh menentukan sendiri apakah mau menerima mu-
ridku sebagai istrimu atau tidak.” 
Lelaki tua itu lalu memegang pergelangan tangan 
Rangga. Memeriksanya dengan teliti. Demikian pula lu-
tut dan pinggul Rangga, diperiksanya dengan cermat. 
“Bagaimana, Rama Guru?” tanya Nyi Tiwi tak sabar. 
“Dia masih bisa diobati, bukan?” 
Kidangkancana menghela napas panjang, dan me-
nyahut lirih, “Sulit. Terlalu sulit. Tampaknya sudah 
terlalu lama racun itu menciutkan urat-urat penting 
pada lengan dan kakinya.” 
“Oh...! Jadi... bagaimana nantinya?” Nyi Tiwi tam-
pak cemas sekali. 
Kidangkancana bahkan bertanya kepada Rangga, 
“Sudah berapa lama racun itu berada di tubuhmu?” 
Sahut Rangga, “Peristiwanya terjadi kira-kira dua 
bulan yang lalu.” 
“Dua bulan!” Kidangkancana terkejut, menoleh pa-
da Nyi Tiwi dan berkata, “Kau membawa pohon yang 
sudah mati dan menyuruhku menghidupkannya kem-
bali! Itu sama dengan menganggapku dewa!” 
Wajah Nyi Tiwi terpucat-pucat. “Ma... maksud Rama 
Guru...?” 
Dengan nada keluhan, Kidangkancana menyahut, 
“Seperti yang kubilang tadi, urat-urat penting pada 
anggota badannya telah diciutkan oleh racun itu. Ka- 
lau kejadiannya baru sehari dua hari, urat-urat pent-
ing itu masih mungkin dikembangkan kembali. Tapi 
setelah dua bulan begitu... aku malah khawatir... jan-
gan-jangan sudah banyak urat-urat yang rusak karena 
termakan oleh racun itu.” 
“Lalu... dia tidak bisa diobati lagi?” Nyi Tiwi semakin 
panik, sementara Rangga tenang-tenang saja. 
Kidangkancana termenung. Terpejam, sambil memi-
jat-mijat keningnya yang penuh keriput. 
“Harapan masih ada, tapi tipis sekali,” kata Kidang-
kancana lesu. “Selain daripada itu, membawanya ke 
Nusa Aheng, juga bukan hal yang mudah.” 
“Nusa Aheng?!” 
“Ya, sesuai dengan namanya, Nusa Aheng tidak bisa 
dikunjungi oleh sembarangan manusia. Bahkan bu-
rung-burung laut pun tidak berani terbang ke dekat 
pulau itu.” (Nusa Aheng = Pulau Ajaib) 
“Apakah di pulau itu bisa ditemukan obatnya?” ta-
nya Nyi Tiwi. 
Jawab Kidangkancana, “Di pulau itu hidup seorang 
pertapa sakti yang telah mengasingkan diri dari kehi-
dupan ramai. Beliau bergelar Bagawan Suwandarama.” 
“Bagawan Suwandarama,” gumam Nyi Tiwi seperti 
menghapalkan nama yang baru didengarnya itu. 
Rangga pun baru sekali itu mendengar nama Baga-
wan Suwandarama. 
“Lalu... apakah dia bisa diobati oleh Bagawan Su-
wandarama?” tanya Nyi Tiwi. 
“Itulah yang aku tidak tahu,” sahut Kidangkancana. 
“Karena menurut berita yang pernah kudengar, Baga-
wan Suwandarama sudah tidak mau diganggu oleh 
siapa pun. Perahu-perahu layar yang mencoba mende-
kati Nusa Aheng, selalu dihalau oleh ombak ciptaan 
Bagawan Suwandarama sendiri.” 
 
“Dia bisa menciptakan ombak?!” Nyi Tiwi seperti ku-
rang mempercayai keterangan gurunya. 
“Orang yang sudah menyatukan dirinya dengan ke-
sucian seperti Bagawan Suwandarama, mampu mela-
kukan apa saja. Mungkin hanya menghidupkan orang 
mati saja yang tidak bisa dilakukannya.” 
Tiba-tiba Nyi Tiwi bangkit dengan penuh semangat. 
“Kalau begitu, aku akan mencoba  membawa Kang 
Rangga ke Nusa Aheng!” 
“Tiwi! Kau tidak mungkin berhasil mencapai pulau 
suci itu. Rintangannya terlalu banyak!” cegah Kidang-
kancana. 
Nyi Tiwi bahkan menyahut, “Bukankah Rama Guru 
telah mengajarkanku tentang keberanian sebagai da-
sar utama untuk menjadi murid Kidangkancana? Men-
gapa sekarang aku bahkan ditakut-takuti?” 
“Dengarlah, muridku. Sudah beratus-ratus, bahkan 
mungkin ribuan pendekar yang mencoba mencapai pu-
lau itu. Tapi tidak pernah ada seorang pun yang ber-
hasil. Semuanya gagal. Ada yang pulang kembali da-
lam keadaan gila, banyak pula yang binasa ditelan sa-
mudra!” 
“Aku tidak peduli,” sahut Nyi Tiwi. “Kalau Rama Gu-
ru benar-benar menyayangiku, berilah aku peta untuk 
mencapai pulau itu.” 
“Justru karena aku sangat menyayangimu, aku ti-
dak mengizinkanmu berlayar ke pulau yang aneh dan 
penuh bahaya itu,” bantah Kidangkancana. 
“Sejak kapan Rama Guru mengajariku takut meng-
hadapi bahaya?” tanya Nyi Tiwi dingin. 
Rupanya Kidangkancana biasa berbicara secara 
‘demokratis’ dengan muridnya. Mendengar bantahan 
Nyi Tiwi yang bertubi-tubi itu, Kidangkancana tidak 
marah, bahkan sebaliknya...ia lalu tertawa tergelak- 
gelak. 
“Hahahahaaa...! Lagi-lagi kau memerasku! Baik, 
baiklah, akan memberimu peta tentang pulau itu. Tapi, 
apakah kau sudah memikirnya matang-matang?” 
Nyi Tiwi menyahut, “Rama Guru sendiri pernah 
berkata, bahwa kadang-kadang terlalu banyak mem-
pertimbangkan sesuatu itu bisa membuat seorang ter-
lambat mengambil tindakan penting!” 
Lagi-lagi Kidangkancana tertawa tergelak-gelak. 
“Dengarlah,” kata Kidangkancana mendadak sung-
guh-sungguh lagi, “sebenarnya untuk mencapai Nusa 
Aheng, tidak perlu memakai peta. Cukup dengan men-
gikuti aliran sungai Cigelung, pada suatu saat kalian 
akan tiba di muaranya. Muara sungai Cigelung berada 
di sebuah kota kecil, Kundina namanya.” 
“Kundina?” 
“Ya. Kundina sebuah kota pantai yang tidak menen-
tu kedudukannya. Sebenarnya Kundina termasuk ke 
dalam wilayah Kerajaan Tanjunganom. Tapi setelah 
daerah nelayan itu menjadi kota kecil, kerajaan tidak 
mampu menguasainya.” 
“Lalu, setelah tiba di Kundina, arah mana yang ha-
rus kami tempuh untuk mencapai Nusa Aheng itu?” 
tanya Nyi Tiwi. 
“Dari muara Cigelung, ambillah arah lurus ke utara. 
Kalau angin bertiup baik, kalian akan tiba di pantai 
Nusa Aheng, setelah berlayar selama delapan hari de-
lapan malam. Tapi aku tidak menjamin kalian bisa 
mencapai pulau itu.” 
“Kalau begitu, kami harus mengganti sampan de-
ngan perahu layar di Kundina, bukan?” 
“Ya, tentu saja. Sampan itu tidak akan mengarungi 
lautan yang begitu ganasnya. Tunggu....” 
Kidangkancana masuk ke bagian dalam guanya. 
 
Kemudian kembali lagi dengan sekantung uang emas. 
Dan diserahkannya kantung itu pada Nyi Tiwi. “Ambil-
lah uang emas ini, yang mungkin kau butuhkan untuk 
membeli perahu layar di Kundina nanti. Aku tidak mau 
muridku main rampas perahu layar milik orang lain.” 
“Terima kasih,” Nyi Tiwi mencium pipi gurunya, tak 
ubahnya ciuman seorang anak manja kepada ayahnya. 
“Rama Guru memang baik sekali.” 
Kidangkancana hanya tersenyum datar. Namun dari 
celah-celah kelopak matanya, merembeslah air mata-
nya... air mata seorang guru yang sangat menyayangi 
muridnya. 
Suara Kidangkancana selanjutnya, juga menjadi pa-
rau, “Aku hanya bisa berpesan... hati-hatilah di perja-
lanan, Nyi. Dan... untuk ketentramanmu sendiri, se-
baiknya kau mengganti pakaianmu dengan pakaian 
laki-laki.” 
“Jadi aku harus menyamar sebagai laki-laki?” 
“Ya,” Kidangkancana mengangguk. “Dengan me-
nyamar sebagai lelaki, kau akan lebih leluasa berge-
rak. Wajahmu terlalu menarik lawan jenismu... sehing-
ga bisa mengundang hal-hal yang tidak diinginkan.” 
 
*** 
 
 
PANTAI Kundina yang indah, seringkali disebut sur-
ga bagi para nelayan (walaupun julukan ‘surga’ ti-
dak sepenuhnya benar). Hal itu bukan saja disebabkan 
hasil tangkapan para nelayan Kundina selalu berlim-
pah-limpah, melainkan juga karena mereka bisa me-
masarkan ikan mereka dengan mudah. Di kota pantai 
itu ada pasar pelelangan ikan yang selalu ramai dikun-
jungi pembeli. 
 
Itulah sebabnya, Kundina yang tadinya sunyi itu, 
berubah menjadi kota kecil. Kota pantai. Kota surga 
bagi para nelayan. 
Tentu saja sifat-sifat kota pantai tidak dapat dihin-
dari oleh Kundina. Suara-suara keras, sikap-sikap ka-
sar, perkelahian dan sebagainya, hampir tiap hari ter-
jadi di situ. Terkadang cuma soal kecil saja, bisa mem-
buat orang Kundina saling terkam, saling hantam dan 
saling tusuk. Dan pemenang dari setiap pertarungan, 
selalu dianggap sebagai munculnya seorang jagoan ba-
ru! 
Di Kundina berlaku semacam hukum tak tertulis, 
bahwa barangsiapa membunuh orang lain dalam suatu 
pertarungan yang jujur dan adil, orang itu tidak boleh 
dituntut oleh siapa pun. 
Perjudian dan minuman keras pun seolah-olah su-
dah mendarah-daging bagi penduduk Kundina. Dari 
kedua sumber kejahatan itulah, seringkali timbul per-
kelahian, perampokan dan pembunuhan. 
Pada zaman itu, pelacuran masih merupakan hal 
yang tabu bagi rakyat pada umumnya. Namun di Kun-
dina sudah bermunculan tempat-tempat maksiat, yang 
menyediakan pelacur-pelacur muda dari bermacam-
macam daerah. Rumah-rumah mesum itu merupakan 
tempat persembunyian yang aman bagi para penen-
tang hukum. Pencuri, perampok, pembunuh dan bah-
kan bajak laut, sering bersembunyi dengan nyaman di 
Kundina, yakni di rumah-rumah maksiat itu. 
Yang agak unik di Kundina, adalah bahwa kota ke-
cil itu laksana daerah tak bertuan. Tidak ada bangsa-
wan yang diangkat oleh kerajaan untuk memimpin ko-
ta kecil itu. Dan para penduduk Kundina lalu menga-
tur dirinya masing-masing saja. 
Satu-satunya orang yang dianggap paling berkuasa  
di Kundina, adalah seorang bajingan kelas kakap, ber-
nama Subali. Meskipun ia tidak pernah diresmikan se-
bagai penguasa Kundina, namun kekuasaannya di ko-
ta nelayan itu tak ubahnya kekuasaan seorang adipati. 
Orang-orang kepercayaan Subali, yang pada 
umumnya terdiri dari bajingan-bajingan tengik, tidak 
pernah menemui kesulitan dalam memungut ‘pajak’ 
dari para nelayan dan pedagang ikan di balai pelelan-
gan. 
Para nelayan dan pedagang ikan maklum, bahwa 
tanpa ‘perlindungan’ dari Subali, keselamatan mereka 
akan selalu terancam. Itulah sebabnya mereka selalu 
‘rela’ menyisihkan sebagian dari keuntungan mereka, 
untuk biaya ‘keamanan’. 
Yang agak unik lagi, Kundina seperti dibelah dua 
oleh sungai Cigelung yang bermuara di sana. Itulah 
sebabnya muncul istilah Kundina Kulon (barat) dan 
Kundina Wetan (timur). 
Bermuaranya sungai Cigelung di pantai Kundina, 
juga membawa keuntungan tersendiri bagi penduduk 
di situ. Karena orang-orang dari daerah hulu sering 
datang dengan perahu mereka, untuk menukarkan 
hasil bumi dengan ikan segar ataupun ikan asin. Den-
gan demikian, penduduk Kundina tidak pernah keku-
rangan makanan, sekalipun mereka harus membayar 
‘pajak’ kepada Subali. 
Karena itu, sekalipun di Kundina sering terjadi pe-
merasan dan kekerasan, para nelayan tetap menjuluki 
Kundina sebagai ‘surga nelayan’. 
Sebenarnya Kundina termasuk ke dalam wilayah 
Kerajaan Tanjunganom. Tapi pihak kerajaan belum be-
gitu tertib menjalankan pemerintahannya, sehingga 
tindakan Subali dan kawan-kawannya yang seolah 
membentuk negara dalam negara, masih dibiarkan 
saja. 
Sebenarnya keadaan itu sudah lama diperhatikan 
oleh Aria Pamungkas. Itulah sebabnya, secara diam-
diam Aria Pamungkas menyelundupkan prajurit-pra-
jurit Tegalinten ke dalam wilayah Tanjunganom. Demi-
kian pula Kundina, tidak luput dari sasaran Aria Pa-
mungkas. 
Aria Pamungkas memang punya alasan khusus, se-
hingga secara diam-diam ia sedang merencanakan pe-
nyerangan ke wilayah Kerajaan Tanjunganom. Alasan 
khusus itu (di samping nafsu ekspansinya), adalah me-
ngenai Sungai Cigelung. Adalah suatu kenyataan yang 
boleh dipandang aneh, bahwa sungai yang sangat di-
butuhkan oleh para petani itu berhulu dan bermuara 
di wilayah Tanjunganom. Sedangkan sungai itu cukup 
panjang melintasi daerah Tegalinten. Maka, kalau Su-
ngai Cigelung diibaratkan seekor ular, kepala dan 
ekornya berada di wilayah Tanjunganom, sedangkan 
bagian perutnya berada di wilayah Tegalinten. 

*** 

Sebuah perahu meluncur tenang, menyeruak di 
permukaan serba hitam, seorang pemuda mendayung 
perahu itu. Sebenarnya ‘pemuda’ itu tak lain dari Nyi 
Tiwi yang mengenakan pakaian lelaki, atas anjuran gu-
runya, supaya tidak menemui kesulitan di perjalanan. 
Rambut lebatnya pun dibungkus oleh kain hitam, se-
hingga ia tampak seperti pemuda yang tampan. 
Rangga pun berada dalam perahu itu. Tapi ia hanya 
terbaring lemah, karena duduk pun ia tak bisa. 
Tampaknya Nyi Tiwi sudah bertekad bulat untuk 
menolong Rangga. Sehingga ia tidak lagi mempeduli-
kan peringatan dari gurunya, tentang berbahayanya 
langkah yang akan ditempuhnya. 
 
Di daerah muara Cigelung, banyak perahu ditam-
batkan, baik perahu yang datang dari daerah hulu 
maupun perahu nelayan yang kebetulan tidak melaut. 
Maka kedatangan sampan Nyi Tiwi di muara Cigelung, 
tidaklah menarik perhatian. Dan memang Nyi Tiwi in-
gin agar kehadirannya di muara Cigelung tidak mena-
rik perhatian para nelayan Kundina. 
Tak lama kemudian, Nyi Tiwi merapatkan sampan-
nya ke tepi sungai. Kemudian menambatkan sampan 
itu dan berkata kepada Rangga, “Tunggu sebentar. Aku 
akan mencari perahu layar dulu. Mudah-mudahan sa-
ja ada orang yang bersedia menjualnya.” 
Sambil menjinjing buntalan kecil, Nyi Tiwi meng-
hampiri seorang nelayan yang sedang membetulkan ja-
ringnya di pantai sebelah barat muara Cigelung. 
Nelayan yang sedang membetulkan jaringnya itu, 
seorang lelaki setengah tua, berperawakan kurus, ber-
kulit hitam dan tampak sudah terbiasa membiarkan 
kulitnya disengat terik matahari. Ketika Nyi Tiwi meng-
hampirinya, nelayan itu tetap asyik dengan pekerja-
annya, tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya. 
Nyi Tiwi menegur perlahan, dengan suara dibesar-
besarkan supaya mirip suara lelaki. “Mang, apakah di 
sini ada nelayan yang mau menjual perahu layarnya?” 
Nelayan itu menoleh, sedikit tercengang melihat 
‘pemuda tampan’ yang sedang berdiri di sampingnya, 
karena pada umumnya pemuda-pemuda di pantai itu 
berkulit hitam, sedangkan ‘pemuda’ yang satu ini ber-
kulit kuning langsat. 
“Kamu ngelindur barangkali, Jang,” sahut nelayan 
itu. “Mana mungkin seorang nelayan mau menjual pe-
rahunya. Kamu tahu, perahu bagi seorang nelayan, tak 
ubahnya tombak bagi seorang prajurit, tak ubahnya 
kitab-kitab suci bagi seorang resi.” 
 
“Tapi aku berani membayarnya dengan harga yang 
cukup tinggi,” kata Nyi Tiwi lagi. 
Sebelum nelayan itu menyahut, datanglah dua 
orang lelaki ke dekatnya. Salah seorang dari mereka, 
berperawakan tinggi besar, berselipkan golok di ping-
gangnya, membentak, “Hai, Penjol! Sudah dua hari 
kamu tidak bayar upeti. Kenapa?” 
Nelayan yang dipanggil ‘Penjol’ itu tampak ketaku-
tan sekali, lalu menjawab dengan lutut gemetaran, 
“Seperti yang... yang kalian lihat... jaringku rusak. Su-
dah tiga hari dengan sekarang aku tidak bisa ke laut. 
Aku mohon ampun, mohon keringanan...” 
“Peraturan di Kundina, tidak pernah mengatur soal 
jaring yang rusak,” tukas lelaki tinggi besar itu. “Setiap 
nelayan yang tinggal di sini, melaut ataupun tidak, te-
tap diwajibkan membayar lima keping uang tembaga 
tiap hari. Jadi, sekarang juga kau harus membayar li-
mabelas keping uang tembaga, dihitung dengan upeti 
hari ini!” 
“Ba... baiklah... akan kubayar... tapi jangan seka-
rang. Bagaimana kalau besok saja kubayar sekalian 
dua puluh keping uang tembaga?” nelayan itu meman-
dang si lelaki tinggi besar dengan tatapan penuh ha-
rap. 
Lelaki tinggi besar itu menggelengkan kepala. “Tidak 
Bisa! Sekarang juga kamu harus setor limabelas kep-
ing uang tembaga. Urusan besok, kita urus besok lagi.” 
Tiba-tiba saja Nyi Tiwi ikut bicara. “Biarlah kewaji-
ban dia akan kuselesaikan. Tapi, aku minta kalian me-
nunjukkan sebuah perahu layar yang bisa kubeli.” 
Kedua lelaki itu mengalihkan pandangan mereka 
kepada Nyi Tiwi. 
Lelaki yang satu lagi, berperawakan pendek tapi da-
da dan lengannya berotot kekar, bertanya, “Siapa kau?  
Tampaknya kau bukan penduduk Kundina.” 
“Betul,” Nyi Tiwi mengangguk. “Aku datang dari 
daerah hulu. Aku membutuhkan sebuah perahu layar 
untuk... untuk berlayar ke pulau seberang. Kalau ka-
lian bisa menunjukkan sebuah perahu yang mau di-
jual, aku bersedia membayarkan upeti yang harus dis-
elesaikan oleh nelayan ini.” 
Kedua lelaki itu adalah anak buah Subali yang ber-
tugas menarik ‘pajak’ dari para nelayan. Mereka tidak 
menyangka sedikit pun, bahwa ‘pemuda’ yang sedang 
berbicara dengan mereka, sebenarnya seorang wanita 
yang sedang menyamar. 
Dan memang penyamaran Nyi Tiwi cukup meyakin-
kan. Payudaranya yang montok telah dibebat erat-erat, 
supaya tidak tampak menonjol. Rambutnya yang lebat 
telah dibungkus oleh kain hitam. Pakaian yang dike-
nakannya adalah pakaian laki-laki. Suaranya dibesar-
besarkan. Sikapnya pun benar-benar mirip seorang le-
laki. 
Kedua anak buah Subali itu memperhatikan Nyi Ti-
wi dengan pandangan curiga. Tapi lalu yang tinggi be-
sar berkata, “Kalau kau sanggup membayar dengan 
lima keping uang emas, kami bisa menunjukkan pera-
hu yang kau butuhkan itu.” 
“Enam keping uang emas pun akan kubayar, asal-
kan perahunya cocok dengan keinginanku,” kata Nyi 
Tiwi tenang. 
Lelaki yang pendek menimpali, “Kamu jangan main-
main dengan kami, anak muda. Perlihatkan dulu ua-
ngmu,  supaya kami yakin bahwa kamu bersungguh-
sungguh.” 
Nyi Tiwi merogoh buntalan kecilnya. Lalu memper-
lihatkan beberapa keping uang emas di telapak tan-
gannya. 
 
Kedua lelaki itu terbelalak. Dan lalu menjadi sopan 
sekali, “Baik... baiklah, Gan Anom. Kami mohon Jura-
gan Anom sudi menunggu dulu di sini sebentar. Kami 
akan mencari perahu yang dibutuhkan oleh Juragan 
Anom itu. Kalau sudah ada, kami akan segera kembali 
ke sini.” 
“Baiklah,” sahut Nyi Tiwi. “Aku akan menunggu ka-
lian di sini.” 
Kedua anak buah Subali itu bergegas pergi ke arah 
barat. Dan Nyi Tiwi menunggu di dekat nelayan yang 
sedang membetulkan jaringnya itu. 
Nelayan yang tadi dipanggil Penjol itu tampak heran 
juga melihat sikap Nyi Tiwi yang begitu tenang. Lalu 
katanya, “Kelihatannya kau baru sekali ini datang ke 
sini.” 
“Memang betul,” sahut Nyi Tiwi. “Kenapa rupanya?” 
“Kau terlalu gegabah, anak muda. Terang-terangan 
memperlihatkan uang emas di tempat ini, sama den-
gan melepaskan kambing di sarang harimau,” ujar 
Penjol dengan nada khawatir. 
“Maksudmu... daerah ini tidak aman?” tanya Nyi 
Tiwi. 
Penjol melirik ke kanan-kirinya, lalu menyahut sete-
ngah berbisik, “Ya... di sini terlalu banyak orang jahat, 
Jang. Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, sebelum 
mereka datang untuk merampokmu.” 
Nyi Tiwi hanya tersenyum. Dan tetap menunggu di 
dekat Penjol. 
Kekhawatiran Penjol cukup beralasan. Kedua anak 
buah Subali itu setelah agak jauh dari Nyi Tiwi, mulai 
saling bisik. 
“Pemuda tadi tampaknya kaya sekali. Ini makanan 
bagi kita.” 
“Tapi tampangnya seperti bangsawan. Jangan- 
jangan dia orang kerajaan.” 
“Ah, persetan dengan kerajaan. Kundina tidak per-
nah diperintah oleh kerajaan mana pun. Di sini kita 
hanya mengakui kekuasaan Juragan Subali. Lain ti-
dak.” 
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” 
“Sebaiknya kita pergi melapor dulu kepada Juragan 
Subali, supaya tindakan kita bisa dipertanggungja-
wabkan.” 
Kedua lelaki itu lalu setengah berlari menuju se-
buah rumah besar di sebelah barat sana. 

*** 

Rumah Subali, adalah rumah yang termegah di 
Kundina. Adalah tidak berlebihan kalau rumah Subali 
disebut laksana rumah seorang adipati. Karena selain 
rumahnya sangat megah, pekarangannya sangat luas, 
orang-orang pun tidak bisa sembarangan memasuki 
pintu gerbang yang selalu dijaga oleh lelaki-lelaki ber-
senjata golok itu. 
Di dalam rumahnya, Subali diperlakukan seperti ra-
ja. Para pelayan selalu siap menunggu perintahnya. 
Para jagoan selalu siap mengawalnya. Dan yang pasti... 
uang selalu mengalir tiap hari ke kantongnya. 
Seperti yang telah diceritakan terdahulu, Kundina 
adalah kota pantai yang penuh dengan kekerasan (se-
kalipun banyak nelayan yang tetap menjulukinya se-
bagai ‘surga’). Di sini hanya berlaku satu hukum: Sia-
pa yang kuat, akan menjadi pemimpin. 
Maka tentu saja diangkatnya Subali sebagai ‘pengu-
asa Kundina’, bukan tidak ada sebabnya. Dengan meng-
andalkan ilmunya yang tinggi, ia telah menaklukkan 
atau membinasakan jagoan-jagoan di Kundina. Namun 
ia tidak puas sampai di situ saja. Ia tidak mau menjadi  
jagoan ‘amatir’, ia ingin menjadi jagoan ‘profesional’, ia 
juga tahu bahwa nasib para jagoan hampir selalu sa-
ma: menang, menang, membunuh, membunuh... dan 
akhirnya kalah atau dibunuh! 
Subali cukup ‘jeli’ mempertimbangkan kemungki-
nan itu. Kemungkinan yang bisa saja terjadi pada di-
rinya. Ia tidak mau hidup seperti para jagoan picisan, 
yang mengandalkan kepandaiannya hanya untuk ber-
hura-hura di depan para pengagum atau mendekam di 
atas perut pelacur secara gratis, lalu menghadapi masa 
tuanya dalam kemelaratan. Ia juga tidak mau menjadi 
jagoan yang harus menghadapi akhir hayatnya secara 
tragis—mati dibunuh jagoan baru. 
Tidak. Subali tidak sebodoh itu. 
Subali cukup ‘pandai’ memperhitungkan masa de-
pannya. Ia ingin memanfaatkan kepandaiannya untuk 
kekayaan, kekuasaan dan keamanan dirinya sendiri. 
Karena itu, setelah ia menjadi jagoan tak terkalahkan 
di Kundina, ia menghimpun tenaga-tenaga muda (yang 
pada umumnya bajingan), kemudian menggembleng 
mereka dengan ilmu yang dimilikinya. Dalam tempo 
singkat saja ia berhasil membentuk semacam pasu-
kan, yang lalu bertugas sebagai para pemungut ‘pajak’ 
dari para nelayan. 
Demikian licinnya Subali mengatur ‘pasukan pemu-
ngut pajak’ itu, sehingga tanpa perlawanan yang berar-
ti, ia berhasil mengangkat dirinya sebagai penguasa ti-
dak resmi di Kundina. 
Tentu saja setiap anggota ‘pasukan’ itu sudah dila-
tih sedemikian rupa, sehingga mereka bukan hanya 
mampu memunguti uang dari para nelayan, melainkan 
juga sanggup menciptakan teror yang mengerikan. Be-
berapa nelayan yang membandel dijadikan contoh... 
dibunuh dan mayatnya digantungkan di tiang layar pe- 
rahunya! 
Hasilnya sangat memuaskan bagi Subali. Para nela-
yan tidak mau membandel lagi. Secara ‘sukarela’ me-
reka membayar ‘pajak penghasilan’, yang dihitung me-
nurut besarnya perahu dan banyaknya awak perahu. 
Anehnya, para nelayan yang tiap hari diperas oleh 
Subali dan anak buahnya, tidak pernah berusaha pin-
dah ke pantai lain. Sebenarnya ada satu hal yang sa-
ngat dibutuhkan oleh para nelayan, yakni pasar pele-
langan ikan. Karena meskipun mereka berhasil me-
nangkap ikan sebanyak-banyaknya, kalau ikan-ikan 
itu tidak bisa dipasarkan, tentu saja mereka akan 
menderita dibuatnya. Dan justru pasar yang mereka 
butuhkan itu terdapat di Kundina. Dan pasar pelelan-
gan ikan di Kundina itu selalu ramai dengan pembeli 
atau pembarter dengan hasil bumi. Maka meskipun 
mereka harus membayar pajak liar tiap hari, mereka 
tetap menganggap Kundina sebagai tempat yang men-
guntungkan. 
Subali tidak hanya memeras para nelayan. Para 
tengkulak dan pedagang yang berdatangan dari daerah 
hulu Cigelung pun, dikenakan pungutan tertentu, 
yang besarnya tergantung dari ‘omzet’ perdagangan 
mereka. Dan toh mereka pun tetap menganggap Kun-
dina sebagai tempat yang menguntungkan. 
Dengan sendirinya kehidupan Subali makin lama 
makin menanjak. Uang pungutan liar yang mengalir 
tiap hari ke kantongnya, sebagian kecil digunakan un-
tuk menggaji anak buahnya, dan sebagian besar digu-
nakan untuk kepentingan pribadinya. 
Apakah hal itu membuat Subali puas? Tidak. Ma-
nusia pada umumnya memang tidak pernah puas den-
gan apa yang telah dimilikinya. Apalagi manusia ma-
cam Subali. 
 
Setelah pemungutan ‘pajak’ itu berjalan dengan 
lancar, Subali mencari jalan baru, untuk menciptakan 
sumber keuangan baru. 
Berminggu-minggu Subali memikirkan bagaimana 
caranya mendapatkan jalan lain untuk mendatangkan 
uang. Dan akhirnya ia menemukan jalan baru itu. Ia 
membangun rumah-rumah kecil di pantai. Kemudian 
gundik-gundik yang telah membosankannya, dipindah-
kan ke rumah-rumah kecil itu, untuk melayani lelaki-
lelaki iseng yang membutuhkan ‘hiburan’. Dengan kata 
lain, gundik-gundik Subali yang tidak ‘terpakai’ lagi, 
lalu dijadikan pelacur. Dan uangnya... harus masuk ke 
kantong Subali! 
Tentu saja di setiap rumah maksiat itu diawasi oleh 
anak buah Subali. Dan tampaknya ‘usaha sampingan’ 
Subali itu mendatangkan hasil yang cukup besar. Le-
laki-lelaki iseng berdatangan ke Kundina, untuk me-
nikmati hangatnya tubuh bekas gundik-gundik Subali. 
Mereka tidak segan-segan menghamburkan uang me-
reka di Kundina, karena pelacuran pada zaman itu 
masih merupakan hal yang langka. 
Keberhasilan Subali dalam bidang ‘pergermoan’ itu, 
membuatnya semakin bernafsu untuk menambah per-
sediaan wanita yang akan dijadikan penghuni rumah-
rumah mesumnya. Lalu terjadilah semacam perburuan 
wanita. Subali mengerahkan anak buahnya, untuk 
memburu gadis-gadis cantik dari segala penjuru, yang 
kelak akan dijadikan penghuni rumah-rumah maksiat 
itu. Kalau ada yang dipandang istimewa, Subali me-
nyekapnya dulu dalam rumah haremnya, kemudian 
membuangnya ke salah satu rumah maksiat itu kalau 
ia sudah merasa bosan. 
Dan ‘bisnis perempuan’ itu berkembang dengan pe-
satnya. Terkadang ada pula saudagar yang kebetulan  
singgah di Kundina, lalu memboyong salah satu ‘kolek-
si’ Subali, dengan imbalan yang cukup tinggi. 
Tapi Subali belum puas juga dengan hasil yang te-
lah dicapainya. Ia berpikir lagi. Dan menemukan jalan 
baru lain lagi: Membangun rumah-rumah judi! 
Maka bertambah lagi jenis kemaksiatan di Kundina, 
dengan berdirinya rumah-rumah perjudian yang diba-
ngun oleh Subali. Setiap orang bebas berjudi di salah 
satu tempat yang telah disediakan. Tentu saja pemu-
ngut uang ‘tong’ selalu siap di rumah-rumah perjudian 
itu. 
Dan... lagi-lagi Subali mendapatkan sumber baru 
untuk memperkaya dirinya. Maka tidaklah mengheran-
kan kalau Subali lalu menjadi orang yang tak kalah 
kaya oleh para adipati di zaman itu. 
Dan kini dua orang anak buah Subali datang meng-
hadap. Melaporkan apa yang telah mereka lihat di mu-
ara Cigelung, bahwa ada seorang pemuda hendak 
membeli sebuah perahu layar dan memperlihatkan be-
berapa keping uang emas. Bahwa pemuda itu memba-
wa buntalan kecil, yang diduga berisi uang  emas ba-
nyak sekali. 
Mendengar ‘uang emas’, kontan saja wajah Subali 
menjadi lain. Lalu tanyanya, “Apakah pemuda itu sen-
dirian?” 
“Benar,” sahut anak buah Subali. “Dia hanya sendi-
rian.” 
“Apakah dia kelihatan seperti bangsawan?” tanya 
Subali lagi. 
“Inilah  yang hamba bingungkan. Kalau melihat 
tampangnya, mungkin sekali dia keturunan bangsa-
wan.” 
Subali berpikir beberapa saat lamanya. Dan akhir-
nya ia berkata, “Bawalah dia ke mari. Katakan saja  
aku punya sebuah perahu yang hendak kujual.” 
“Baik, orang itu akan segera dibawa ke sini.” Kemu-
dian kedua lelaki itu bergegas meninggalkan rumah 
pemimpinnya, menuju daerah muara Cigelung kemba-
li. 
 
*** 
 
LELAKI yang tinggi besar menghampiri Nyi Tiwi dan 
berkata, “Perahu layar yang diinginkan sudah ada, 
kepunyaan Juragan Subali. Mari kita ke sana seka-
rang.” 
Nelayan bernama Penjol itu terkejut mendengar na-
ma Juragan Subali disebut-sebut. Pikirnya, pastilah 
celaka anak muda ini, tapi salahnya sendiri... disuruh 
cepat-cepat pergi tidak mau. 
Tapi nelayan bernama Penjol itu tidak berani bicara 
apa-apa. Walaupun begitu, Nyi Tiwi melihat memucat-
nya wajah nelayan bernama Penjol itu. 
“Di mana perahunya?” tanya Nyi Tiwi. 
“Di... di sana,” lelaki tinggi besar itu menunjuk ke 
sebelah barat, sekalipun jelas di pantai sebelah barat 
tidak terlihat sebuah perahu layar pun. 
Nyi Tiwi mulai curiga. Tapi dengan tenang bertanya 
lagi, “Rumah Juragan Subali itu di mana?” 
Kali ini anak buah Subali menunjuk ke arah yang 
benar. “Itulah rumahnya... yang seperti istana itu tuh.” 
Dan hati mereka berkata: Benar-benar makanan 
empuk! Masa tidak tahu rumah Juragan Subali?! Pas-
tilah baru sekali ini dia menginjak Kundina! 
Dengan gaya lugu, Nyi Tiwi berkata, “Baiklah, ayo 
kita temui pemilik perahu itu.” 
Kemudian berangkatlah Nyi Tiwi bersama kedua  
anak buah Subali, sementara Penjol hanya mengantar 
kepergian Nyi Tiwi dengan pandangan cemas. 

*** 

Ketika memasuki pintu gerbang yang dijaga oleh 
beberapa lelaki bersenjatakan golok itu, Nyi Tiwi ber-
tanya-tanya di dalam hatinya, “Tampaknya orang ber-
nama Subali itu sangat kaya. Rumahnya pun dijaga 
segala.” 
Kedatangan Nyi Tiwi diterima langsung oleh seorang 
lelaki berbadan kekar, bermata agak juling, bercam-
bang tebal, berdada penuh bulu dan berkulit hitam le-
gam. Itulah Subali... sang penguasa Kundina! 
“Kudengar kau membutuhkan sebuah perahu layar 
untuk berlayar ke negeri seberang,” kata Subali sambil 
mengamat-amati Nyi Tiwi dengan pandangan penuh 
selidik. 
“Benar,” sahut Nyi Tiwi. “Mana sekarang pera-
hunya? Aku tidak punya waktu banyak. Sore nanti 
aku harus sudah berlayar.” 
Subali tampak tersinggung dengan ketergesa-
gesaan Nyi Tiwi. Maklumlah, biasanya Subali selalu 
diperlakukan seperti raja. Tapi Subali menahan diri, 
dan berkata, “Aku ingin menguji uangmu dulu, apakah 
benar-benar emas asli atau bukan.” 
“Mana ada acara begitu?!” Nyi Tiwi keheranan. 
“Jual-beli di mana-mana juga sama. Lihat dulu ba-
rangnya, baru bicara soal pembayaran.” 
Subali menyeringai. “Perahu layarku berpuluh-
puluh banyaknya. Kau tinggal memilihnya nanti, pera-
hu mana yang kau inginkan.” 
“Nah, kalau begitu kenapa tidak segera mengajakku 
ke tempat perahu-perahumu ditambatkan?!” Nyi Tiwi 
bersikeras. 
 
“Anak muda, aku tidak mau membuang-buang 
waktuku untuk main-main. Karena itu, aku ingin me-
lihat dulu, uang emas apa yang akan kau pakai untuk 
membayarnya. Kalau uangmu terbuat dari emas palsu, 
tentu aku tidak usah mengajakmu ke dermagaku, bu-
kan?” 
Kali ini Nyi Tiwi yang tersinggung. Buntalan kecil-
nya dibuka. Isinya dituangkan ke meja pualam di de-
pan Subali... trrring... tring... ting...! Kepingan-
kepingan uang emas bertumpuk di depan Subali. 
Subali terbelalak. Meskipun ia orang kaya, namun 
jarang sekali ia melihat uang emas yang begitu banyak. 
Dan, sebagai seorang bajingan kelas kakap, tentu saja 
ia tergiur oleh uang emas sebanyak itu. 
Tentu saja timbul niat jahat Subali, ingin mengam-
bil ‘jalan pintas’ untuk memiliki uang emas yang ber-
tumpuk di meja pualam itu. Tapi Subali belum tahu 
siapa sebenarnya ‘pemuda’ yang berpakaian serba hi-
tam itu. 
Lalu, Subali mengambil sekeping uang emas dari 
tumpukannya, dengan sikap seakan-akan hendak meng-
uji keaslian uang emas itu, sekalipun maksud sesung-
guhnya justru hendak menguji ‘pemuda’ itu. 
Waktu memegang uang emas itu, secara diam-diam 
Subali mengerahkan tenaga dalamnya, sambil berkata, 
“Aku ingin tahu apakah uang emas ini murni atau ti-
dak.” 
Tiba-tiba ibu jari Subali melesak ke dalam uang 
emas itu... sehingga uang itu menjadi bolong tengah-
nya. Itulah demonstrasi tenaga dalam penguasa Kun-
dina! 
“Wah... kenapa emasnya empuk begini?” desis Sub-
ali sambil memperhatikan Nyi Tiwi dengan sudut ma-
tanya. 
 
Nyi Tiwi segera tahu bahwa tuan rumah sedang me-
mamerkan tenaga dalamnya. Namun sambil tersenyum 
Nyi Tiwi menyahut, “Mungkin hanya satu itu yang em-
puk. Yang lainnya pasti keras.” 
Sambil berkata begitu, Nyi Tiwi memegang kaki me-
ja pualam itu, sambil menyalurkan tenaga dalamnya 
secara diam-diam. Dan Subali tak tahu bahwa ta-
munya sedang siap-siap untuk ‘mengerjainya’ juga. 
“Coba, akan kuuji uangmu yang lain,” kata Subali 
sambil mengulurkan tangannya untuk memungut sa-
lah satu uang logam di atas meja batu pualam itu. Ta-
pi... begitu tangannya menyentuh salah satu uang 
emas itu, tiba-tiba ia memekik, “Aaaau...!”, lalu merin-
gis dan memijat-mijat tangan yang menyentuh uang 
emas tadi. 
Apa sebenarnya yang telah terjadi? 
Tadi, waktu Subali menyentuh salah satu uang 
emas itu, tiba-tiba saja ia merasa ada ‘sesuatu’ yang 
menolak tangannya demikian kuatnya, sehingga ia me-
rasa kesemutan. 
Dan kini, Subali lihat tangan tamunya sedang me-
megang kaki meja masih kurang percaya: Mungkinkah 
pemuda ini memiliki tenaga dalam yang demikian he-
batnya? 
Nyi Tiwi sudah dapat membaca lewat mata Subali, 
bahwa gembong Kundina itu sedang mempertimbang-
kannya. Dan Nyi Tiwi tidak mau membuang-buang 
waktunya lagi. Lalu dengan pengerahan tenaga dalam 
yang luar biasa, Nyi Tiwi berkata, “Kurasa engkau su-
dah cukup maklum bahwa uang emasku asli semua. 
Sekarang tunjukkanlah perahu layar yang akan kau 
jual itu. Dan uangku yang kau rusak itu, akan kuhi-
tung sebagai panjarnya!” 
Ucapan Nyi Tiwi diikuti dengan sesuatu yang men- 
cengangkan Subali. Uang-uang emas itu tiba-tiba saja 
beterbangan secara teratur, lalu masuk ke dalam bun-
talan Nyi Tiwi. Dan Subali semakin sadar bahwa tena-
ga dalam tamunya tinggi sekali! 
Tapi Subali benar-benar tak tahu diri. Sekalipun ia 
sudah tahu bahwa tamunya berilmu tinggi, ia mengira 
bahwa ‘jalan pintas’ untuk mendapatkan buntalan be-
risi uang emas itu masih tetap ada. 
Lalu... tiba-tiba saja Subali bertepuk tangan tiga 
kali. Dan pada saat berikutnya, delapan orang lelaki 
bersenjata golok panjang berlompatan ke sekeliling Nyi 
Tiwi. 
“Bereskan dia!” seru Subali dengan sikap yang 
mendadak garang. 
Kedelapan lelaki itu langsung melaksanakan perin-
tah majikannya. Mereka mengepung Nyi Tiwi dengan 
golok berputar-putar, sehingga menimbulkan angin di-
ngin di sana-sini... wuuur... wuuur... wuuur... 
wuuur...! 
Nyi Tiwi yang sadar bahwa dirinya akan dijadikan 
calon korban kecurangan, keserakahan dan kekejaman 
Subali, jadi jengkel dibuatnya. Dan jengkelnya murid 
Kidangkancana, tentu lain dengan jengkelnya orang 
biasa. 
Tapi Nyi Tiwi masih  berusaha menahan kejengke-
lannya. Begitu golok-golok anak buah Subali hendak 
menusuk dada dan menyabet lehernya dari delapan 
penjuru, dengan gerakan yang sangat cepat ia men-
gambil delapan keping uang emas dari buntalannya. 
Dan... wreeeet... kedelapan keping uang emas itu ber-
hamburan ke sekelilingnya. Dengan telak menghantam 
urat-urat nadi anak buah Subali yang delapan orang 
itu! 
Lalu... trang... trang... trang... trang...! Golok-golok  
pajang itu berjatuhan ke lantai. Kedelapan anak buah 
Subali berdiri kaku, tak ubahnya patung yang sama 
sekali tidak bisa bergerak. 
Lalu, dengan tenang Nyi Tiwi mengambili kedelapan 
keping uang emas yang ‘bertempelan’ di pergelangan 
tangan kedelapan anak buah Subali itu. Kemudian di-
masukkannya uang-uang emas itu ke dalam buntalan-
nya, tanpa mempedulikan Subali yang berdiri terpucat-
pucat di sudut pendapa sebelah selatan. 
Namun di saat lain, ketika Nyi Tiwi melangkah de-
ngan tenang keluar dari kepungan ‘patung-patung ka-
ku’ itu, tiba-tiba saja Subali menghamburkan delapan 
bilah pisau kecil ke arah Nyi Tiwi! 
Rupanya Subali masih belum tahu diri juga, dan 
mengira dengan cara membokong seperti itu ia bisa 
membinasakan tamunya. 
Tapi apa yang terjadi? 
Sebelum pisau-pisau itu menyentuh kulit Nyi Tiwi, 
tiba-tiba saja janda muda yang sedang menyamar jadi 
lelaki itu mencelat ke atas, sambil memutar-mutarkan 
kakinya di udara... sehingga menimbulkan angin yang 
meniup kedelapan pisau kecil itu... dan... pisau-pisau 
itu bertancapan di dada kedelapan anak buah Subali 
yang masih berdiri kaku! 
Zeb... zeb... zeb... zeb... zeb... zeb... zeb... zeb! 
Disusul dengan berjatuhannya kedelapan anak 
buah Subali, dengan dada berlumuran darah! 
“Pisau-pisaumu telah membunuhi anak buahmu 
sendiri, bukan?” tegur Nyi Tiwi dingin, membuat Subali 
gemetaran. 
Ya, baru kali itulah Subali sadar dengan siapa ia 
berhadapan. 
Lalu, seperti kata-kata mutiara Shelley... ia penge-
cut terhadap orang kuat, ia tiran bagi orang lemah...  
demikian pula halnya dengan Subali. 
Ya, setelah sadar bahwa ia tidak mungkin bisa me-
ngalahkan ‘pemuda’ itu cepat-cepat ia menjatuhkan di-
ri... berlutut di depan Nyi Tiwi sambil berkata, “Ampu-
nilah hamba...! Sungguh hamba tidak tahu bahwa hari 
ini rumah hamba kedatangan Dewa Yang Perkasa.” 
Mendengar sebutan ‘Dewa Yang Perkasa’ itu, kontan 
tergerai tawa geli Nyi Tiwi, sehingga tanpa disadari su-
ara perempuannya terdengar dalam tawanya itu. “Hi-
hihihihihihi...! Siapa yang dewa? Aku hanya seorang 
manusia biasa, yang sedang membutuhkan sebuah pe-
rahu layar. Mengerti?” 
“Me... mengerti,” sahut Subali. “Hamba akan segera 
menunjukkan perahu layar yang Gusti butuhkan itu.” 
“Kau pun tak perlu memanggilku gusti, karena aku 
bukan keturunan raja!” 
“La... lalu hamba harus memanggil apa?” 
“Persetan dengan panggilanmu. Sekarang cepat tun-
jukkan padaku, mana perahu layar yang kubutuhkan 
itu?” 
“Ba... baik! Sekarang ikutilah hamba...” 

*** 

Nyi Tiwi mengikuti langkah Subali ke dermaga di 
daerah Kundina Wetan. Untuk mencapai daerah di se-
belah timur itu, mereka harus memakai sebuah rakit, 
untuk menyeberangi Cigelung yang membelah Kundi-
na menjadi dua bagian itu. 
Di atas rakit itulah Subali bertanya kepada Nyi Tiwi, 
“Kalau boleh hamba tahu, siapa sebenarnya Andika 
ini?” 
Nyi Tiwi (yang sebenarnya bernama Pertiwi), tentu 
saja tidak mau menyebutkan nama aslinya. Karena ka-
lau nama aslinya disebutkan, Subali akan segera tahu  
bahwa Nyi Tiwi seorang wanita. Maka dengan seenak-
nya Nyi Tiwi menjawab, “Seperti yang kau lihat, pa-
kaianku serba hitam. Anggap sajalah aku sebagai 
mega hitam... mega mendung begitu.” 
Nyi Tiwi tidak sadar bahwa jawaban seenaknya itu 
akan selalu diingat oleh Subali—Pemuda ini bergelar 
Megamendung! 
Ketika Subali dan Nyi Tiwi tiba di dermaga, bebera-
pa pasang mata memperhatikannya dari kejauhan, 
dengan pandangan seolah bertanya-tanya: Siapa pe-
muda tampan yang sedang bersama-sama Juragan 
Subali itu? 

*** 

Mengenai perahu layar yang dijanjikan, ternyata 
Subali tidak berdusta. Di dermaga itu berderet pulu-
han perahu layar, yang memang semuanya milik Sub-
ali. 
“Andika boleh memilih salah sebuah perahu milik 
hamba, yang mana saja. Dan... pembayarannya, biar-
lah cukup dengan uang yang hamba rusak tadi,” kata 
Subali. 
Nyi Tiwi tersenyum dingin. “Aku ingin membeli de-
ngan harga yang wajar, bukan hendak merampokmu. 
Nah... aku pilih perahu yang itu. Berapa harus ku-
bayar?” 
“Ambil sajalah perahu itu, hitung-hitung tanda per-
sahabatan hamba dengan Andika.” 
“Persahabatan?! O, tidak. Aku bukannya tidak mau 
bersahabat denganmu. Tapi aku tidak mau berhutang 
budi pada siapa pun. Katakanlah harga perahu itu!” 
“Hamba... hamba tidak berani memberi harga. Ter-
serah Andika saja.” 
Nyi Tiwi merogoh buntalannya dan mengeluarkan  
empat keping uang emas, lalu menyerahkannya pada 
Subali. “Ditambah dengan uang yang kau rusak tadi, 
jadi lima keping uang emas. Cukup?” 
“Cukup... cukup. Lebih dari cukup,” sahut  Subali 
sambil membungkuk-bungkuk hormat. 
“Baiklah. Perahu itu sudah menjadi milikku, bu-
kan?! Nah... sekarang aku akan menjemput kawanku 
dulu,” kata Nyi Tiwi. Dan... wuuuuut... tiba-tiba saja 
tubuh janda muda itu berkelebat... laksana anak pa-
nah dilepaskan dari busurnya... menuju tempat sam-
pannya ditambatkan. 
Dan Subali hanya terlongong-longong, sambil me-
remas-remas keempat keping uang emasnya. 
“Megamendung,” pikir Subali. “Rasanya baru sekali 
ini aku mendengar gelar itu. Tapi ilmu orang itu, be-
nar-benar hebat! Kalau aku bisa bekerjasama dengan-
nya, mungkin aku mampu mendirikan kerajaan baru 
di Kundina ini...!” 
Sementara itu, Nyi Tiwi sudah tiba di tempat sam-
pannya ditambatkan. Sampan itu masih ada. Tapi... 
Rangga sudah tidak ada di atas sampan itu! 
“Kang Rangga...?!” Nyi Tiwi memegangi kedua belah 
pipinya yang mendadak pucat pasi. “Oooh... ke mana 
dia? Ke mana dia?” 
Nyi Tiwi mencari-cari ke sekitar tempat penambatan 
sampannya. Namun ia tidak menemukan Rangga di 
sekitar tempat itu. 
Lalu pandangannya tertumbuk  ke arah nelayan 
yang bernama Penjol itu, yang tampak masih asyik 
membetulkan jaringnya di pantai. Cepat Nyi Tiwi berla-
ri ke arah nelayan itu. 
“Mang... Mang...! Apakah tadi melihat... mm... meli-
hat seseorang membawa temanku dari dalam sampan-
ku?” tanya Nyi Tiwi. 
 
Nelayan bernama Penjol itu agak kaget melihat ha-
dirnya kembali ‘pemuda’ yang disangkanya sudah jadi 
korban keganasan Subali itu. 
“Teman?! Teman yang mana?” nelayan itu balik ber-
tanya. 
“Tadi aku meninggalkan kawanku yang lumpuh di 
dalam sampan itu. Sekarang dia jadi tidak ada. Apa-
kah kau melihatnya, Mang?” 
Nelayan itu terlongong bingung. Lalu menggeleng-
kan kepalanya. 
Dan angin pantai berhembus dengan kencangnya. 
Meniup pengikat kepala Nyi Tiwi, sampai terlepas, se-
hingga rambut yang lebat indah itu tergerai dan berki-
bar-kibar. 
Setitik air mata terjatuh dari kelopak mata Nyi Tiwi. 
Namun, tiba-tiba saja mata yang indah itu menjadi 
beringas. 
Dan tiba-tiba saja Nyi Tiwi menggumam, “Kalau hi-
langnya Kang Rangga disebabkan oleh anak buah Su-
bali... akan kuobrak-abrik rumah jahanam itu! Akan 
kucincang lelaki bernama Subali itu!” 
Kemudian... murid Kidangkancana berlari secepat 
kilat ke arah rumah Subali! 
 

(Bersambung) 


MESTIKA LIDAH NAGA