Mestika Lidah Naga 7


KEDATANGAN Kudawulung di puncak Gunung Li-
magagak, membuat Rangga gembira bercampur 
cemas. Gembira karena kecemasan terhadap kesela-
matan gurunya telah sirna. Cemas karena gurunya pu-
lang tanpa Nilamsari. 
Maka lalu tanya Rangga, “Apakah Rama Guru tidak 
berjumpa dengan Nilamsari di Tegalinten?” 
“Nilamsari?!” Kudawulung terkejut. “Apakah dia ke 
Tegalinten?” 
“Benar,” sahut Rangga. “Kami sangat cemas akan 
keselamatan Rama Guru, karena sudah empat bulan 
Rama Guru meninggalkan tempat ini, sehingga...” 
“Ah, Rangga!” potong Kudawulung. “Kenapa aku ha-
rus dianggap seperti anak kecil? Lantas... Nilamsari tu-
run gunung, hanya untuk mencari-cari aku?” 
“Benar, Rama Guru.” 
“Tolol! Kalian benar-benar tolol!” 
Rangga terdiam. Dan akan semakin terdiam sean-
dainya ia mengerti betapa banyaknya persoalan yang 
sedang dipikirkan oleh Kudawulung saat itu. 
“Seharusnya kalian tetap berlatih. Bahkan dengan 
tidak adanya aku di sini, kalian harus lebih giat lagi 
melatih diri. Dan jangan memikirkan keselamatanku 
segala macam,” kata Kudawulung sambil memijit-mijit 
pangkal hidungnya. 
“Aku memang bersalah, Rama Guru. Tapi... bukan-
kah Nilamsari sudah memiliki ilmu yang boleh dian-
dalkan?” Rangga memberanikan diri mengemukakan 
pendapatnya. 
“Ilmunya memang sudah boleh diandalkan,” sahut 
Kudawulung. “Tapi dia seorang perempuan. Cantik pu-
la. Ah... aku benar-benar kuatir jadinya. Terlebih lagi 
kalau mengingat bahwa di Tegalinten telah muncul 
seorang tokoh yang sakti dan berbahaya... sangat ber- 
bahaya! Kidangkancana pun telah menjadi korban 
manusia setengah siluman itu.” 
“Maksud Rama Guru... Kidangkancana telah dika-
lahkan oleh....” 
“Kidangkancana telah tiada... dibunuh oleh murid-
nya sendiri!” 
“Oh! Bagaimana itu bisa terjadi?” Rangga terperan-
jat. 
“Manusia setengah siluman itu telah memperguna-
kan ilmu jahatnya untuk mempengaruhi kehidupan 
batin murid Kidangkancana. Hmmm... aku tak me-
nyangka Manusagara masih hidup. Dia telah berhasil 
membunuh Kidangkancana dengan cara yang begitu 
keji, begitu licik... ah... dia benar-benar iblis! Dan 
aku... aku tidak mampu menuntut bela atas kematian 
Kidangkancana itu...! Manusagara terlalu tangguh ba-
giku! Bahkan dengan bantuan sukma sang Sekarpad-
ma pun, aku tidak berhasil mengalahkannya!” 
Rangga tercengang-cengang. 
Dan kata Kudawulung lagi, “Pada malam bulan 
purnama yang akan datang, aku berjanji untuk melan-
jutkan pertarungan kami yang belum selesai. Tapi aku 
sangsi... sangsi terhadap kekuatanku sendiri...!” 
“Siapa Manusagara itu, Rama Guru?” 
“Sudah kukatakan tadi, Manusagara adalah manu-
sia setengah siluman. Ayahnya seorang bajak laut yang 
paling ditakuti pada zamannya, sedangkan ibunya... 
siluman wanita yang berkuasa di laut barat. Itulah se-
babnya, Manusagara memiliki ilmu siluman yang san-
gat berbahaya. Ah... aku takut Nilamsari mengalami 
nasib seperti murid Kidangkancana itu...!” 
Kemudian Kudawulung menceritakan peristiwa 
yang telah dialaminya di Tegalinten, sejak melihat Nyi 
Tiwi membenamkan kerisnya di dada Kidangkancana,  
sampai pertarungannya melawan Manusagara yang 
berakhir dengan ‘draw’ itu. 
Selesai menuturkan pengalamannya, Kudawulung 
berkata, “Bayangkanlah... aku sudah meminta ban-
tuan ibu angkatku, untuk mengalahkan Manusagara. 
Tapi aku tidak berhasil! Kalau aku tidak dibantu oleh 
sukma sang Sekarpadma, bahkan pasti aku sudah bi-
nasa di tangan manusia setengah siluman itu!” 
Mendidih darah Rangga mendengar cerita gurunya 
itu. Maka katanya, “Kalau begitu, biarlah aku yang 
menghadapi Manusagara pada bulan purnama menda-
tang itu. Karena pada saat itu latihan ilmu pedangku 
sudah selesai.” 
“Tidak,” Kudawulung menggeleng dengan senyum 
getir. “Mungkin kau sekarang lebih tangguh daripada 
aku, karena engkau sudah memiliki ilmu pedang yang 
tiada duanya, ditambah pula dengan pedang Saptaraga 
yang telah menjadi milikmu. Tapi aku tidak mau men-
gingkari janji. Aku harus menghadapi Manusagara pa-
da malam yang sudah ditentukan itu. Bukan kau, 
Rangga.” 
“Tapi, bagaimana kalau Manusagara memasang je-
bakan yang lebih jahat daripada jebakan untuk Ki-
dangkancana tempo hari?” 
Kudawulung tersenyum getir lagi. “Apa pun yang 
akan dilakukannya nanti, harus kuhadapi dengan ju-
jur dan jantan. Sekalipun aku harus mati dalam perta-
rungan itu, akan kuhadapi semuanya.” 
Lalu suasana menjadi hening. Kudawulung dan 
Rangga tenggelam dalam terawangannya masing-ma-
sing. 
Akhirnya Kudawulung berkata, “Sekarang lan-
jutkanlah latihanmu dengan tekun. Aku harus mencari 
Nilamsari. Aku agak kuatir mengenai keselamatannya,  
sebab... dia perempuan, Rangga.” 
“Tapi...” Belum lagi habis Rangga berkata, Kudawu-
lung sudah lenyap dari pandangannya. 
Tapi Rangga masih mendengar suara gurunya itu: 
“Jangan pikirkan apa-apa sebelum ilmu pedangmu ter-
kuasai, Rangga!” 
Tinggallah Rangga dalam sunyinya puncak Gunung 
Limagagak, bersama si Jambon yang setia. 
Pada mulanya Rangga merasa kecewa, karena Ku-
dawulung meninggalkannya lagi, sementara nasib Ni-
lamsari pun belum ketahuan. Tapi setelah agak lama, 
Rangga seperti dilecut untuk membulatkan tekad dan 
semangatnya: “Aku harus menyelesaikan pelajaran il-
mu pedang Saptaraga secepatnya, supaya aku bisa be-
bas turun gunung lagi!” 
Menurut perhitungan Rangga, ilmu pedang Sapta-
raga akan selesai dipelajarinya selama kurang lebih ti-
ga minggu lagi. Tapi Rangga bermaksud mempercepat-
nya. “Kalau aku rajin dan tak mengenal lelah, mungkin 
dalam tempo sepuluh hari lagi juga aku bisa menyele-
saikan ilmu pedang ini.” 
Demikianlah, pada hari itu juga Rangga mulai 
menggiatkan dirinya, untuk menyelesaikan pelajaran 
ilmu pedangnya. 
Namun, keesokan paginya terjadi suatu peristiwa 
yang tidak diinginkan... 
Pagi itu Rangga sedang giat-giatnya mempelajari ba-
gian ketujuh atau bagian terakhir dari ilmu pedang 
Saptaraga. Sementara enam bagian pendahuluannya 
sudah dipelajari dan dikuasai. Dan bagian ketujuh 
atau terakhir itu, justru merupakan bagian yang paling 
sulit, sehingga Rangga sendiri mulai sangsi. 
“Ah,” pikirnya, “jangan-jangan bagian terakhir ini 
tidak akan terselesaikan dalam tempo yang sudah ku- 
perhitungkan. Karena bagian terakhir ini merupakan 
bagian puncaknya... bagian tersulit dan merupakan 
kunci ilmu pedang Saptaraga. Sedangkan bagian kesa-
tu sampai keenam, hanya merupakan dasar jiwa dan 
pertahanan belaka.” 
Tiba-tiba si Jambon mengeluarkan suara sambil 
berjalan hilir mudik, seperti gelisah sekali: “Kruuuk... 
kk.. krrrr... kruuuk... krr... kruuk....” 
Rangga menutupkan kitab ilmu pedang Saptaraga, 
lalu menoleh ke arah si Jambon. “Ada apa, Jambon?” 
“Kruuuk... krrrr... kruuuuk... krrr... krrrukk... 
krruukkk...” sahut si Jambon sambil melompat-lompat 
ke sekeliling puncak gunung itu. 
Rangga mengernyit. Pikirnya, “Suara seperti itu 
pernah kudengar. Ya, waktu brahmana yang tidak 
mau menyebutkan namanya itu naik ke sini, si Jam-
bon seperti memperingatkanku dengan suara dan 
tingkah lakunya yang lain dari biasanya. Dan sekarang 
ia tampak lebih gelisah lagi. Apakah ada orang yang 
sedang mendaki gunung ini?” 
Rangga bergegas menyimpan kitabnya di bawah 
tumpukan batu besar, kemudian memperhatikan kea-
daan di bawah sana. Dan alangkah terkejutnya Rang-
ga, demi dilihatnya berpuluh-puluh orang sedang 
mendaki gunung itu dari segala arah! 
“Jambon! Siapa mereka?” tanya Rangga sambil me-
meluk leher burung raksasa itu. 
“Kruuk... kruuuk... krrrr... kruuuk... krrr...” sahut 
si Jambon. 
“Apakah mereka bermaksud baik?” tanya Rangga. 
Si Jambon menjawab dengan gelengan kepala. 
Dan Rangga bertanya lagi, “Lantas, apakah mereka 
bermaksud buruk?” 
Si Jambon mengangguk!  
“Hmmm... baiklah... seandainya mereka bermaksud 
buruk, kita akan menghadapi mereka dengan segala 
kemampuan yang ada!” seru Rangga sambil memper-
siapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. 
Ramalan si Jambon sangat tepat. Mereka yang se-
dang mendaki Gunung Limagagak dari segala jurusan 
itu, adalah tokoh-tokoh golongan hitam, yang dipimpin 
oleh si Jalak Ruyuk Prabaseta. Dan di antara mereka, 
terdapat seorang tokoh sakti yang pernah bertarung 
mati-matian dengan Kudawulung. Ya, tokoh yang di-
maksudkan itu, adalah Manusagara! 
Rupanya Prabaseta telah berhasil meminta bantuan 
dari Senapati Prabayani, yang lalu berhasil pula mem-
bujuk Manusagara, untuk berusaha mendapatkan pe-
dang Saptaraga! 
Adipati Prabalaya tidak terdapat dalam rombongan 
itu, karena ayahnya melarang. Demi ‘kewibawaan’ sang 
Adipati, yang tidak pantas ikut-ikutan dalam rombong-
an golongan hitam itu. Dengan alasan yang sama, Se-
napati Prabayani pun tidak turut dalam rombongan 
itu. 
Namun kehadiran Manusagara di antara mereka, 
tentu saja akan merupakan bahaya besar bagi Rangga, 
yang justru belum menyelesaikan pelajaran ilmu pe-
dang Saptaraganya. 
 
*** 
 
ORANG-orang dari golongan hitam itu berlompatan 
ke sekeliling Rangga, dengan bermacam-macam 
sikap. Ada yang menyeringai, ada yang membelalakkan 
matanya, ada yang memilin-milin kumisnya, ada yang 
bertolak pinggang, ada yang tersenyum dingin dan ba-
nyak lagi. Senjata mereka pun bermacam-macam. Ada 
yang membawa keris, ada yang membawa golok, ada 
yang membawa kujang, ada yang membawa tombak, 
ada yang membawa tongkat besi, ada yang membawa 
bambu runcing dan sebagainya. 
Namun Rangga hanya memperhatikan dua orang di 
antara mereka, yakni Prabaseta dan manusia cebol 
yang berdiri di sampingnya, yang tak lain dari Manu-
sagara. 
Pikir Rangga, “Apakah kakek-kakek cebol ini Manu-
sagara? Ya, sangat mungkin. Rama Guru bilang bahwa 
Manusagara berperawakan kate, dan  bibirnya selalu 
menyunggingkan senyum dingin. Ya, mungkin manu-
sia cebol inilah yang pernah merepotkan Rama Guru, 
karena memiliki ilmu yang sangat aneh dan berba-
haya. Hmm... aku harus berhati-hati menghadapinya.” 
Lalu terdengar suara Prabaseta, “Rupanya engkau 
memiliki ilmu dewa, sehingga kelumpuhanmu bisa 
sembuh dalam tempo yang begitu singkat...” 
“Tak usah ngomong bertele-tele, Jalak Ruyuk! Kata-
kan saja apa maksudmu datang ke sini?” potong Rang-
ga yang masih menaruh dendam terhadap Prabaseta 
(karena pernah dilumpuhkan oleh racunnya di Tegalin-
ten). 
“Hahahahahaa...! Engkau tetap galak seperti waktu 
pertama kalinya kulihat dirimu di Tegalinten! Tapi... 
maksud kedatangan kami sekarang, bukan untuk se-
suatu yang buruk. Kami mau bersahabat denganmu, 
asalkan engkau mengerti apa yang kami butuhkan 
saat ini,” ujar Prabaseta dengan pandangan penuh se-
lidik. 
Sedikit pun Rangga tak tertarik oleh ‘ajakan bersa-
habat’ Prabaseta tadi. Karena itu Rangga hanya menja-
wabnya dengan senyum dingin. 
 
Dan kata Prabaseta lagi, “Yang kami butuhkan ha-
nya sebuah benda. Mungkin benda itu tidak begitu 
berharga bagimu, tapi kami sangat membutuhkan-
nya... untuk menyelamatkan umat manusia dari ke-
musnahan.” 
Rangga masih membisu. 
“Yang kami butuhkan,” lanjut Prabaseta, “hanya 
sebuah pedang... yakni pedang Saptaraga.” 
“Apa?!” Rangga terperanjat. Benar-benar terperan-
jat, karena tidak diduganya bahwa Prabaseta bisa 
mengetahui adanya pedang yang sangat dirahasiakan 
itu! 
“Engkau tentu tidak tuli,” sahut Prabaseta. “Yang 
kami butuhkan, adalah pedang Saptaraga... pedang 
yang sekarang berada di puncak Gunung Limagagak 
ini.” 
Gila, pikir Rangga, dari mana Prabaseta tahu bahwa 
aku memiliki pedang Saptaraga? Bukankah benda itu 
sangat dirahasiakan? Mungkinkah ia mengetahuinya 
dari Manusagara? Mungkin saja... karena menurut ce-
rita Rama Guru, manusia bernama Manusagara ini sa-
ngat tangguh, sehingga Rama Guru pun hampir dika-
lahkan olehnya! Kalau begitu, aku harus berhati-hati, 
karena aku sedang menghadapi kemungkinan yang 
sangat berat... bahkan mungkin terberat dalam hidup-
ku. 
Rangga memang sedang berhadapan dengan bahaya 
besar. Saat itu, lebih dari tujuh puluh orang mengeli-
linginya, dengan sikap mengancam. Mereka semua 
bukan semacam jagoan-jagoan kelas teri, melainkan 
tokoh-tokoh besar golongan hitam Tegalinten. Terlebih 
lagi kalau mengingat bahwa di antara mereka terdapat 
Prabaseta dan Manusagara. 
Tapi Rangga tidak gentar. Dengan sikap penuh ke- 
waspadaan, ia tetap berdiri tegak di tempatnya. 
“Hai, bagaimana?!” bentak Prabaseta. “Apakah eng-
kau akan menyerahkan pedang Saptaraga secara baik-
baik, ataukah kami harus mengobrak-abrik tempat ini 
untuk mencarinya sendiri?” 
“Prabaseta,” sahut Rangga, “seharusnya aku menja-
tuhkan hukuman terhadap siapa pun yang berani 
menginjak puncak Gunung Limagagak ini tanpa seizin 
guruku terlebih dahulu. Tapi, mengingat bahwa aku 
sedang melakukan sesuatu yang tidak membolehkan-
ku main hantam sembarangan, kuampuni kelancan-
ganmu hari ini. Sekarang pulanglah ke tempat kalian 
masing-masing, dan jangan ulangi kelancangan seperti 
ini lagi. Lain kali, kalau kalian berani menginjak tem-
pat ini lagi, tanpa minta izin terlebih dahulu, jangan 
salahkan aku kalau kalian terpaksa kuhukum!” 
Tiba-tiba terdengar suara Manusagara, “Hehehe-
heee...! Anak muda seperti ini berani buka mulut besar 
di depanku?! Siapa sebenarnya gurumu, wahai anak 
muda?” 
Biasanya Rangga selalu merahasiakan siapa guru-
nya. Tapi pagi itu tidak. Dengan tegar ia menyahut, 
“Guruku bergelar Kudawulung. Dan kalau tidak salah, 
aku sedang berhadapan dengan Manusagara.” 
Prabaseta dan kawan-kawannya terkejut. Pikir Pra-
baseta, “Pantasan pemuda ini tangguh sekali. Rupanya 
dia murid Kudawulung!” 
Tapi Manusagara bahkan semakin terkekeh-kekeh. 
“Hehehehee! Kusangka orang sakti mana yang menjadi 
gurumu itu, sehingga engkau berani pentang bacot di 
depan mataku! Tak tahunya engkau hanya murid si 
Kudawulung yang beberapa hari yang lalu hampir bi-
nasa di tanganku! Ayo panggil Kudawulung sekarang 
ke mari! Katakan padanya, Manusagara menunggu!  
Atau perlukah aku sendiri yang harus menyeretnya 
supaya gurumu keluar dari tempat persembunyian-
nya?” 
Rangga baru sekali itu berjumpa dengan Manusaga-
ra. Tapi setelah mendengar cerita dari gurunya, ten-
tang manusia siluman itu, hati Rangga panas sekali 
dan ingin menjajal seperti apa tangguhnya Manusaga-
ra itu. Maka kata Rangga, “Guruku sedang turun gu-
nung. Kalau ada urusan dengannya, bisa berhadapan 
denganku. Termasuk dalam persoalan adu jajaten 
yang belum selesai itu!” 
Manusagara memandang rendah kepada Rangga. 
Karena kalau Rangga ‘hanya’ murid Kudawulung, bu-
kanlah sesuatu yang berat bagi Manusagara. Sebalik-
nya dengan Rangga, bersikap hati-hati dan penuh ke-
waspadaan. Bahkan saat itu Rangga berpikir, “Sean-
dainya aku harus bertarung dengan manusia setengah 
siluman ini, aku tidak boleh mempergunakan ilmu pe-
dang Saptaraga! Tapi... mungkinkah ilmu yang belum 
selesai kupelajari itu bisa dipakai untuk menghadapi 
lawan yang sangat tangguh?” 

*** 

Dengan sikap mengejek, Manusagara berkata: “Gu-
rumu saja tidak mampu mengalahkan aku. Apalagi 
engkau... heheheheee...! Kalau tidak mengingat bahwa 
kami membutuhkan pedang Saptaraga, mulutmu yang 
lancang itu sudah kubungkam untuk selama-
lamanya.” 
“Sekarang berikan pedang itu pada kami,” lanjut 
Manusagara. “Atau terpaksa kami akan mengobrak-
abrik tempat ini!” 
Ancaman itu justru membuat Rangga sangat ter-
singgung. Maka sahutnya, “Aku tahu bahwa guruku  
pernah dibuat kewalahan olehmu. Tapi aku tidak gen-
tar! Seratus Manusagara boleh maju. Dan pedang Sap-
taraga hanya mungkin kalian miliki setelah melangka-
hi mayatku terlebih dulu!” 
Tokoh-tokoh golongan  hitam yang jumlahnya lebih 
dari tujuh puluh orang itu, langsung maju dan mengu-
rung Rangga dengan rapatnya. 
“Rangga!” bentak Prabaseta, “Untuk yang terakhir 
kalinya aku memperingatkanmu... berikan pedang 
Saptaraga itu pada kami, atau terpaksa kami melum-
puhkan tubuhmu untuk selama-lamanya!” 
Tadinya Rangga mau menjawab dengan tegas saja, 
bahwa ia tidak mau berkompromi dengan Prabaseta 
dan kawan-kawannya. Tapi secepat itu pula ia berpi-
kir, “Lawan yang begini banyaknya, tidak mungkin di-
hadapi dengan kenekatan belaka. Terlebih lagi kalau 
mengingat bahwa di antara mereka terdapat Prabaseta 
dan Manusagara. Karena itu... mungkin aku harus 
mempergunakan akal untuk menghadapi mereka.” 
Maka Rangga bertanya, “Apa jaminannya kalau pe-
dang itu kuserahkan kepada kalian?” 
Prabaseta tersenyum-senyum dan menyahut, “Hm... 
rupanya engkau mulai gentar kepada kami, bukan?! 
Tapi itu memang lebih baik daripada sok jago dengan 
menyerahkan nyawamu sendiri.” 
“Dengar,” lanjut Prabaseta, “kalau kau menyerah-
kan pedang itu secara baik-baik, kami akan segera 
berlalu dari tempat ini tanpa mengganggumu lebih lan-
jut.” 
“Baik,” Rangga mengangguk, lalu memanggil bu-
rung perkasa dari Nusa Aheng, “Jambooon! Ambilkan 
pedang Saptaraga ke sini!” 
Si Jambon yang sedang bertengger di dahan pohon 
kayu, menggelengkan kepalanya sambil menyahut,  
“Kaaaak... krruuuk... krrrr...!” 
Rangga mengerti bahwa burung itu tidak menyetu-
jui permintaannya. Namun Rangga pun memang tidak 
bermaksud menyerahkan pedang Saptaraga kepada 
Prabaseta. Rangga hanya ingin mengetahui apakah si 
Jambon dalam keadaan ‘siaga’ atau tidak. Dan setelah 
mengetahui bahwa si Jambon tidak sedang tertidur, 
Rangga melangkah ke arah tumpukan batu yang dipa-
kai untuk menyembunyikan pedang pusaka itu. Dan 
pikir Rangga saat itu, “Tidak ada jalan lain, terpaksa 
aku harus mempergunakan pedang Saptaraga, walau-
pun aku belum menyelesaikan pelajaran ilmu pedang-
nya.” 
Mengira bahwa Rangga sungguh-sungguh hendak 
menyerahkan pedang Saptaraga, Prabaseta dan ka-
wan-kawannya membiarkan Rangga berjalan ke balik 
tumpukan batu itu, sementara si Jambon memperha-
tikannya dari tempat bertenggernya. 
Tapi Manusagara tidak mau mempercayai Rangga 
begitu saja. Dengan gerakan yang hampir tak terlihat 
oleh mata, ia melompat ke arah tumpukan batu itu. 
Namun... blaaagh! Tiba-tiba saja manusia setengah 
siluman itu terpental ke belakang, disusul dengan 
munculnya si Jambon di depannya! Rupanya si Jam-
bon sengaja menghadang Manusagara dengan gerakan 
yang juga sangat cepat... lebih cepat daripada lompa-
tan Manusagara! 
“Burung keparat!” bentak Manusagara yang baru 
sekali itu merasakan hantaman demikian kuatnya, 
yang dilakukan oleh seekor burung pula! 
“Kaaak...!” seru si Jambon sambil merentangkan 
kedua belah sayapnya, untuk merintangi gerak maju 
Manusagara. 
“Berani benar kau merintangiku!” bentak Manusa- 
gara sambil menjulurkan tangannya yang bisa meman-
jang sekehendak hatinya itu. 
“Rrrrttttt...!” Tangan yang seperti karet itu terulur 
jauh sekali, tapi tidak berhasil menghantam dada si 
Jambon, melainkan menghantam pohon besar di bela-
kang si Jambon. Batang pohon itu hancur dan pohon 
itu pun lalu tumbang... braaaaassssh... bluuuugh! 
Orang-orang dari golongan hitam itu terperanjat, 
karena baru sekali itu menyaksikan demikian hebat-
nya pukulan Manusagara, sehingga walaupun meleset 
namun sanggup menghancurkan batang pohon yang 
begitu besarnya. 
Namun yang sangat terkejut justru Manusagara 
sendiri. Pukulan kilat dari tangannya yang bisa me-
manjang sesuka hatinya itu, tidak pernah meleset dari 
sasarannya. Tapi kali ini pukulannya terelakkan, cuma 
oleh seekor burung pula! 
Maka dengan geram, Manusagara mengirimkan pu-
kulan-pukulan berikutnya secara beruntun dan cepat 
sekali. Namun dengan mudahnya si Jambon melompat 
ke sana ke mari, tak ubahnya manusia yang sedang 
menari-nari, sehingga pukulan-pukulan Manusagara 
tidak ada yang mengenai sasarannya. 
Dan pukulan-pukulan yang tidak mengenai sasa-
rannya itu, hanya berhasil memporak-porandakan be-
batuan di puncak Gunung Limagagak. 
Prabaseta dan kawan-kawannya terpaksa harus 
mundur, agar jangan terkena pukulan nyasar Manu-
sagara. 
Sementara itu, Rangga sedang termenung di balik 
tumpukan batu yang digunakan untuk melindungi pe-
dang Saptaraga. 
Pertentangan batinnya timbul manakala kotak beri-
si pedang itu sudah dikeluarkan dari bawah batu- 
batuan. Di satu pihak, ia ingin mematuhi pesan sang 
Astrabaya, agar jangan menyentuh pedang pusaka itu 
sebelum menguasai ilmu pedangnya. Namun di pihak 
lain, ia merasa sangat terdesak, untuk melindungi diri 
dan mengusir orang-orang golongan hitam itu dari 
puncak Gunung Limagagak. Terlebih lagi setelah ia 
melihat dengan sudut matanya, bahwa si Jambon se-
dang bertarung dengan Manusagara. 
“Gerakan manusia setengah siluman itu benar-
benar dahsyat,” pikir Rangga. “Mana mungkin aku 
mampu menghadapinya dengan hanya mengandalkan 
ilmu dari Rama Guru?!” 
Dan... dengan tangan bergetar, Rangga membuka 
tutup kotak itu. 
Pedang pusaka itu masih dibungkus oleh kantung 
kain putih. Dan Rangga mulai menyentuh tali pengikat 
kantung itu. Lalu menariknya. Lalu mengeluarkan pe-
dang itu dari kantungnya. 
Rangga menggenggam hulu pedang itu dengan ta-
ngan yang semakin gemetaran. Sesaat diperhatikannya 
hulu dan sarung pedang yang terbuat dari gading itu. 
Lalu ditariknya pedang itu perlahan-lahan dari dalam 
sarungnya... sehingga sedikit demi sedikit pedang itu 
mulai terhunus. 
Pedang yang berkilauan... memancarkan sinar putih 
kemerahan! 
Dan begitu pedang itu terhunus sepenuhnya, Rang-
ga merasa hawa panas mengalir dari hulu pedang itu... 
mengalir ke sekujur tubuh Rangga. 
Rangga mempertahankan diri untuk tetap meme-
gang hulu pedang itu, tanpa menyadari bahwa suatu 
perubahan mulai terjadi pada dirinya. 
Wajah Rangga menjadi merah padam. Mata Rangga 
menjadi beringas. Rambut Rangga menjadi tegang...  
kaku laksana kawat! 
Sungguh Rangga tidak menyadari bahwa pelangga-
ran yang telah dilakukannya, dengan menyentuh pe-
dang pusaka itu sebelum waktunya, akan menimbul-
kan akibat yang mengerikan. 

*** 

Rangga melangkah dengan pedang terhunus, menu-
ju orang-orang dari golongan hitam yang sedang me-
nonton pertarungan Manusagara dan si Jambon itu. 
Dan tiba-tiba Rangga berteriak dengan suara meng-
geledek, “Mundur, Jambooon...!” 
Si Jambon menoleh dan tampak terkejut sekali sete-
lah melihat pedang yang berada di tangan Rangga itu. 
Lalu burung perkasa itu terbang sambil mengeluarkan 
suara aneh... suara yang  melambangkan kecemasan-
nya, karena Rangga telah menghunus pedang Saptara-
ga sebelum menguasai ilmu pedangnya! 
Manusagara, Prabaseta dan lain-lainnya, juga mera-
sa heran melihat wajah dan sikap Rangga yang sangat 
berubah. 
Lalu kata Prabaseta, “Hmm... pedang itu akan kau 
serahkan pada kami, bukan?” 
Dengan pandangan semakin beringas, Rangga men-
jawab lantang, “Kalian telah berani merusak keinda-
han dan kenyamanan tempat ini! Untuk kelancangan 
itu, kalian semua harus membayar dengan nyawa ka-
lian!” 
Ucapan Rangga diikuti dengan gerakan yang sangat 
cepat... terlalu cepat... sehingga orang-orang dari golo-
ngan hitam itu tidak sempat menyelamatkan dirinya 
masing-masing... lalu terjadilah sesuatu yang sangat 
mengerikan.. bahwa kepala orang-orang dari golongan 
hitam itu beterbangan ke udara, setelah terpisah dari  
lehernya masing-masing! 
Prabaseta dan Manusagara terkejut sekali, karena 
baru sekali itu menyaksikan ilmu pedang yang demi-
kian dahsyatnya. Dan setelah Rangga menjatuhkan li-
mapuluh tubuh yang tak berkepala lagi, Manusagara 
cepat-cepat mengerahkan ajian Halimunan. 
Namun sebelum selesai Manusagara memaparkan 
ajiannya... pedang yang bersinar kemerahan itu mele-
sat ke arah lehernya dengan cepat sekali. Manusagara 
terkejut dan berusaha mengelakkan terjangan yang ga-
rang itu secepat mungkin. 
Namun pedang Saptaraga lebih cepat lagi! 
Sebelum sempat Manusagara ‘menciutkan’ kepala-
nya, pedang Saptaraga telah menebas batang lehernya, 
sampai putus! 
Namun Rangga seperti kerasukan hawa pembunu-
han. Tanpa mempedulikan kengerian yang tergambar 
di wajah Prabaseta, pedang itu diayun lagi dengan ge-
rakan yang tidak terlihat... lalu kepala Prabaseta pun 
terpental setelah terpisah dari lehernya! 
Rangga semakin gila membunuh. Pedang itu sendiri 
seperti menariknya ke leher-leher manusia. Dan dalam 
sekejap mata saja, sisa-sisa kawanan Prabaseta diha-
biskan! 
Alangkah mengerikannya peristiwa itu. Kepala-
kepala manusia bergelindingan dari puncak Gunung 
Limagagak, lalu berjatuhan ke daerah lereng, dengan 
darah segar yang masih berpancaran dari bawah dagu-
dagunya. 
Di puncak Gunung Limagagak sendiri tampak pe-
mandangan yang mengerikan. Tubuh-tubuh tanpa ke-
pala bergeletakan di sana-sini, juga dengan darah ber-
pancaran dari bagian leher yang telah kutung itu. 
Si Jambon memperhatikan pemandangan mengeri- 
kan itu dari angkasa, tanpa berani mendekati Rangga. 
Tampaknya ia takut sekali melihat pedang Saptaraga 
dalam keadaan terhunus seperti itu. 
Namun Rangga justru seperti sedang menyaksikan 
pemandangan yang sangat indah. Dengan pedang Sap-
taraga yang masih tergenggam di tangannya, ia berja-
lan hilir-mudik, menghitung badan-badan tanpa kepa-
la itu. 
Lalu terdengar suara Rangga: “Hahahahahaaa...! 
Dalam tempo yang begitu singkat, aku berhasil mem-
binasakan tujuh puluh tujuh manusia-manusia jahat, 
termasuk musuh guruku ini...!” 
Rangga menendang tubuh Manusagara sampai ter-
pental jauh ke kaki gunung. Lalu terdengar lagi suara-
nya: “Hahahahaaa...! Sebenarnya korban pedangku ini 
terlalu sedikit! Seharusnya aku berhasil membinasa-
kan tujuhribu tujuhratus tujuhpuluh tujuh manusia!” 
Dan dengan mata yang tetap beringas, Rangga me-
masukkan kembali pedang Saptaraga ke dalam sa-
rungnya yang terbuat dari gading berukir indah itu. 
Aneh... mata Rangga menjadi ‘jinak’ kembali. Ram-
butnya lemas kembali. Wajahnya pun tidak merah pa-
dam lagi. 
Namun sebenarnya, jiwa Rangga telah berubah. 
Orang-orang yang berilmu tentu akan melihat sema-
cam pancaran ganas dari wajah Rangga. Pancaran dari 
nafsu membunuh! 

*** 

Setelah menyarungkan kembali pedangnya, Rangga 
menengadah ke arah si Jambon yang masih melayang-
layang di udara tanpa berani hinggap di puncak Gu-
nung Limagagak. 
Lalu Rangga berseru, “Turun kau, Jambon!”  
Si Jambon menggeleng-gelengkan kepalanya sambil 
mengeluarkan suara, “Kaaak... krrrr... kkkkrrr...!” 
Rangga tidak mengerti bahwa sebenarnya si Jam-
bon tidak menyetujui perbuatan Rangga tadi. Bahwa si 
Jambon tidak menghendaki Rangga melakukan pe-
langgaran terhadap pesan sang Astrabaya. Bahwa si 
Jambon pun tidak menyetujui pembantaian tujuhpu-
luh tujuh orang dari golongan hitam itu. 
Yang Rangga tahu, si Jambon tidak mau turun. Dan 
Rangga menganggap sikap si Jambon itu sebagai 
‘pemberontakan’. Maka dengan geram Rangga berseru 
lagi, “Turun kataku! Ataukah kau ingin agar aku me-
lemparkan pedang ini ke lehermu?” 
“Kaaak...!” si Jambon menggeleng-gelengkan kepala 
lagi, kemudian turun ke depan Rangga, dengan sikap 
takut-takut. 
“Dengar, Jambon!” kata Rangga tegar, “Aku akan 
mencari Nilamsari sampai ketemu! Dan engkau kutu-
gaskan untuk menjaga kitab yang belum selesai kupe-
lajari itu! Kurasa, dengan pedang ini saja, aku akan 
mampu melindungi diriku sendiri... dan tak usah me-
nyelesaikan ilmu pedang yang terlalu sulit dipelajari 
itu!” 
Si Jambon tampak heran dan cemas. 
Tapi Rangga seakan-akan sudah mengeluarkan ke-
putusan yang tidak dapat diubah-ubah lagi. 
“Kalau Nilamsari datang pada saat aku masih men-
carinya, engkau harus menjaganya,” kata Rangga lagi, 
“Kalau ada orang-orang yang mencurigakan datang ke 
sini, jangan ragu-ragu untuk bertindak. Terjanglah me-
reka. Mengerti?” 
SI Jambon mengangguk-angguk patuh. Namun so-
rot matanya seperti memancarkan perasaan tidak se-
tuju atas keputusan Rangga itu. 
 
Rangga mengikatkan pedang dan sarungnya di 
punggungnya. Kemudian tubuhnya melesat... mening-
galkan puncak Gunung Limagagak. 
 
*** 
 
 
SEORANG lelaki tua renta bersama seorang gadis 
cantik, tampak berjalan dengan tenang menuju ka-
ki Gunung Limagagak. Mereka tak lain dari Kudawu-
lung dan Nilamsari. 
Dan ketika mereka baru mau mendaki lereng gu-
nung itu, Kudawulung menghentikan langkahnya. Me-
nyapukan pandangan ke sekelilingnya. 
“Apakah kau merasakan sesuatu yang lain dari bi-
asanya?” tanya Kudawulung pada muridnya. 
Nilamsari mengangguk dan menyahut, “Banyak je-
jak kaki manusia, dan... bau bangkai yang sangat me-
nusuk.” 
“Betul. Coba kau periksa di sekeliling tempat ini,” 
kata Kudawulung. 
Nilamsari mengikuti perintah gurunya. Dicarinya 
dari mana datangnya bau bangkai itu. 
Baru sebentar Nilamsari menyelidik di antara se-
mak-semak, terdengar seruannya, “Rama Guru! Ba-
nyak kepala manusia berserakan di sini!” 
Pada saat berikutnya, Kudawulung sudah berdiri di 
samping Nilamsari. Memperhatikan kepala-kepala ma-
nusia yang berserakan di antara semak-semak. 
Tokoh tua itu mengernyit dan menggumam, “Jagat 
Dewa Batara...! Siapa yang melakukan semua ini?” 
Lalu Kudawulung mempergunakan tongkatnya, un-
tuk memeriksa kepala-kepala manusia itu satu persa-
tu. 
Dan terdengar lagi Kudawulung menggumam, “Pra-
baseta dan Manusagara ikut jadi korban. Siapa yang 
melakukan pembantaian besar-besaran ini? Ah... ja-
ngan-jangan Rangga...” 
Lalu bergegas Kudawulung mendaki Gunung Lima-
gagak. “Ayo, muridku! Jangan-jangan Rangga telah 
melakukan sesuatu yang tidak diinginkan!” 
Dengan mengerahkan ilmu larinya, Nilamsari men-
gejar gurunya yang telah duluan melesat ke arah pun-
cak Gunung Limagagak. 

*** 

Setibanya di puncak Gunung Limagagak, Kudawu-
lung dan Nilamsari terkesiap dan terkesima, demi me-
lihat mayat-mayat berserakan... mayat-mayat tanpa 
kepala... yang sudah membusuk! 
“Ranggaaaa!!!” seru Kudawulung sambil mengamati 
keadaan di sekitar puncak gunung itu. 
Namun yang datang malah si Jambon. Terbang dari 
arah utara, lalu mendarat di depan Kudawulung, de-
ngan sikap seperti yang kebingungan. 
Kudawulung sudah tahu bahwa burung perkasa itu 
mengerti bahasa manusia, meskipun tidak bisa berbi-
cara seperti manusia. Maka tanyanya, “Ke mana Rang-
ga?” 
Si Jambon menggeleng-gelengkan kepala sambil 
mengeluarkan suara, “Kruuuuk... kruuuuk... krrrr...!” 
“Maksudmu, Rangga pergi meninggalkan tempat 
ini?” tanya Kudawulung lagi. 
Si Jambon mengangguk-angguk. 
“Lalu siapa yang melakukan pembantaian ini?” 
Si Jambon tampak bingung. 
“Rangga?” desak Kudawulung. 
Si Jambon mengangguk. 
 
Kudawulung tidak terlalu kaget melihat anggukan si 
Jambon itu, karena sebelumnya ia sudah menduga 
bahwa Rangga yang melakukan pembantaian itu. 
“Rasanya sulit dipercaya bahwa Rangga bisa mela-
kukan perbuatan sekejam ini,” keluh Kudawulung. 
Sementara Nilamsari hanya berdiri dengan wajah 
terpucat-pucat. Walaupun ia sudah memperoleh ilmu 
yang cukup tinggi, namun ia tidak dapat mengingkari 
kodratnya sebagai seorang perempuan. Dan naluri ke-
wanitaannya membuat Nilamsari bergidik dan terpu-
cat-pucat ketika melihat mayat-mayat membusuk itu. 
Dan tiba-tiba saja Kudawulung seperti diingatkan 
pada sesuatu. Lalu ia menoleh pada si Jambon, sambil 
bertanya, “Maukah kau menjawab pertanyaanku dari 
sukma ke sukma?” 
Si Jambon mengerti apa yang dimaksudkan oleh 
Kudawulung. Burung perkasa itu langsung mengang-
guk dan mendekam di depan Kudawulung. 
Kemudian Kudawulung pun bersemadi di depan si 
Jambon, sambil mengerahkan ilmu ‘Sukmawakca’, 
yakni ilmu untuk mengadakan percakapan dari sukma 
ke sukma (tanpa melalui mulut). 
Nilamsari segera melangkah ke tempat yang agak 
jauh dari gurunya, supaya percakapan batin itu tidak 
terganggu oleh kehadirannya. 
Dan Nilamsari tidak tahu bahwa pada saat itu gu-
runya sudah mulai bercakap-cakap dengan si Jambon, 
lawat getaran sukmanya masing-masing. 
“Burung Perkasa! Apa sebenarnya yang telah terjadi 
pada muridku? Mengapa dia bisa bertindak begini ke-
jamnya?” 
“Tujuh puluh tujuh orang jahat telah datang ke ma-
ri, sepuluh hari yang lalu. Mereka dipimpin oleh Ma-
nusagara dan Prabaseta.”  
“Lalu?” 
“Dengan ilmu yang telah didapat darimu, Rangga 
memang tidak akan mampu menghadapi Manusagara. 
Tapi sebenarnya aku sudah ikut campur, berusaha 
menghalau Manusagara. Seandainya Rangga mau ber-
sabar, mungkin peristiwa mengerikan itu tidak akan 
terjadi.” 
“Lalu apa yang telah dilakukannya?” 
“Dia menggunakan pedang Saptaraga untuk meng-
halau musuh-musuhnya. Padahal dia belum menyele-
saikan ilmu Saptaraga. Dan justru bagian yang belum 
dipelajarinya itu, merupakan bagian terpenting dari il-
mu pedang Saptaraga.” 
“Maksudmu?” 
“Dalam bagian yang belum dipelajari oleh Rangga 
itu, terdapat ilmu untuk menyirnakan pengaruh-
pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh pedang Sapta-
raga.” 
“Pengaruh-pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh 
pedang Saptaraga?” 
“Ya. Tanpa menguasai bagian terakhir dari ilmu itu, 
pedang Saptaraga akan menyesatkan pemiliknya.” 
“Jadi, Rangga sekarang tersesat?” 
“Ya. Tadinya dia hanya ingin menghalau musuh-
musuhnya. Tapi begitu memegang pedang Saptaraga, 
jiwanya mendadak berubah. Seluruh musuhnya dibi-
nasakan. Dan sekarang... dia sudah menjadi manusia 
yang haus membunuh. Dia akan membunuh siapa sa-
ja yang tidak disukainya!” 
“Oh... celaka! Lalu... kenapa kau biarkan saja se-
muanya itu? Aku tahu kau memiliki kemampuan un-
tuk mencegahnya! Mengapa kau tidak mencegahnya?” 
“Aku ditugaskan oleh majikanku di Nusa Aheng, 
untuk mengabdi kepada Rangga. Bukan untuk meng- 
halang-halanginya. Selain daripada itu, aku tidak 
mungkin mampu merintangi manusia yang sudah 
memegang pedang Saptaraga.” 
“Lalu kau biarkan saja semuanya itu?” 
“Ya. Tugasku hanyalah mematuhi perintah-perintah 
Rangga. Dan sekarang aku ditugaskan untuk menjaga 
kitab pusaka Saptaraga. Selain daripada itu, aku juga 
ditugaskan untuk menjaga keselamatan Nilamsari. Itu-
lah tugas yang harus kupatuhi.” 
“Tapi... aku ingin agar kau mencari Rangga dan 
mengajaknya pulang ke sini. Aku ingin berusaha me-
nyadarkannya.” 
“Menyesal sekali, aku tak dapat mengabulkan per-
mintaanmu. Rangga sudah menugaskanku untuk 
menjaga kitab Saptaraga dan Nilamsari di sini. Kedua 
tugas itu harus kupatuhi, walaupun aku harus mem-
bayarnya dengan nyawaku.” 
“Lalu... apakah kau bisa memberi petunjuk, dimana 
Rangga berada sekarang?” 
“Aku tidak tahu.” 
“Ohh... bagaimana kalau Nilamsari kutugaskan un-
tuk mencarinya?” 
“Aku akan mencegahnya. Nilamsari harus tetap ber-
ada di puncak gunung ini, sampai Rangga pulang.” 
“Lalu... apa yang harus kulakukan?” 
“Aku tidak tahu.” 
“Sedikitnya kau tentu tahu, arah mana yang harus 
kutuju, supaya dapat menemukan Rangga.” 
“Aku tidak tahu.” 
“Ah... malapetaka apa pula yang akan terjadi? Ke-
napa harus ada peristiwa seperti ini?” 
Selesai melakukan percakapan antar sukma itu, 
Kudawulung tertunduk lesu. Pikirnya, “Sia-sialah aku 
mendidik Rangga selama ini. Padahal aku sangat  
mengharapkan agar Rangga meneruskan cita-citaku 
jika aku sudah tiada kelak. Tapi apa yang terjadi seka-
rang... sungguh di luar dugaanku.” 
Lalu dengan lesu Kudawulung berkata kepada Ni-
lamsari, “Muridku, kumpulkan mayat-mayat tanpa ke-
pala itu, lalu bakarlah.” 
Sebenarnya berat sekali Nilamsari melaksanakan 
perintah gurunya itu. Namun diturutinya juga. Di-
kumpulkannya mayat-mayat tanpa kepala yang sudah 
membusuk itu. Kemudian dibakarnya sampai menjadi 
abu. 
Setelah mengerjakan tugas berat itu, Nilamsari 
menghampiri gurunya yang sedang duduk di bawah 
pohon rindang sambil memandang ke daerah lereng 
sana. 
Tanpa menoleh pada muridnya, Kudawulung berka-
ta, “Tampaknya akan terjadi banyak peristiwa yang ti-
dak diinginkan.” 
Kemudian Kudawulung bangkit. Berdiri sambil me-
mandang jauh ke sebelah utara. Dan katanya lagi, “Se-
jak dahulu puncak gunung ini belum pernah diinjak 
oleh orang luar. Itulah sebabnya aku kerasan tinggal di 
sini. Tapi sekarang... begitu banyak manusia yang bisa 
mencapai tempat yang sejuk dan damai ini... ah... en-
tah pertanda apa semuanya ini.” 
Kudawulung berulang-ulang menghela napas pan-
jang. Lalu melanjutkan kata-katanya, “Mungkin mala-
petaka akan terjadi di sekitar tempat ini. Dan aku ti-
dak tahu siapa yang akan menyebarkan malapetaka 
itu. Aku hanya berharap semoga bukan Rangga yang 
menjadi bibit dan penyebar bencana itu. Ah, Rangga... 
Rangga...! Kenapa dia begitu tergesa-gesa mempergu-
nakan pedang Saptaraga?” 
“Pedang Saptaraga?!” Nilamsari terperanjat. “Jadi...  
Kang Rangga sudah mempergunakannya?” 
“Ya,” Kudawulung mengangguk. “Menurut keterang-
an burung itu memang demikian. Padahal Rangga be-
lum selesai mempelajari ilmu pedang yang terlalu dah-
syat itu.” 
“Lalu?” 
“Lalu sekarang dia berkeliaran, sebagai pembunuh 
yang tidak akan mengenal belas kasihan.” 
“Oh...!” Nilamsari memegang kedua pipinya. “Kalau 
begitu, aku harus segera turun gunung... untuk men-
carinya... untuk berusaha menyadarkannya....” 
“Tidak bisa,” potong Kudawulung. “Burung itu tidak 
akan mengizinkanmu turun gunung.” 
“Kenapa begitu?” Nilamsari heran. 
“Rangga menugaskannya untuk menjaga keselama-
tanmu di sini.” 
“Kalau memang ditugaskan menjaga keselamatan-
ku, dia bisa mengawalku dalam perjalanan mencari 
Kang Rangga.” 
“Tugasnya bukan hanya menjaga keselamatanmu, 
melainkan juga menjaga kitab pusaka dari Nusa Aheng 
itu. Sulit baginya untuk melakukan keduanya, kalau 
kau pergi pula dari sini.” 
“Lalu... apakah kita harus berdiam diri saja, semen-
tara Kang Rangga berkeliaran menyebar maut?” 
Kudawulung memegang bahu Nilamsari, sambil 
berkata, “Kau berlatih saja setekun mungkin di sini. 
Biarlah aku yang akan mencari Rangga sampai kete-
mu.” 
“Lalu....” 
“Tak usah takut ditinggal sendirian,” sergah Kuda-
wulung. “Burung perkasa itu akan selalu menjaga ke-
selamatanmu.” 
“Aku tidak mempedulikan keselamatanku sendiri.  
Yang kucemaskan justru Rama Guru sendiri,” Nilam-
sari tampak berat melepaskan kepergian gurunya. 
Kudawulung tertawa terbahak-bahak. “Hahahaaa...! 
Aku ini sudah berpuluh-puluh tahun terbiasa men-
gembara seorang diri! Mengapa pula kau harus men-
cemasi keselamatanku?!” 
“Tapi... Kidangkancana  yang begitu tangguh pun, 
kalau nasibnya sedang apes, ya celaka juga.” 
Kudawulung tersenyum dan menyahut, “Rupanya 
kau sangat menyayangiku, sehingga kau tampak begi-
tu cemas. Tapi sayang sekali, kecemasanmu kali ini ti-
dak beralasan. Pokoknya sekarang kau berlatih sajalah 
setekun mungkin. Aku yang sudah banyak makan 
asam garam ini, tahu benar jalan terbaik bagiku.” 
Setelah berkata demikian, Kudawulung memapar-
kan mantranya. Lalu lenyaplah ia dari pandangan Ni-
lamsari. Tinggallah Nilamsari dalam kecemasannya. 
“Aku tahu bahwa Rama Guru seorang pendekar beril-
mu tinggi. Tapi entah apa sebabnya, kali ini aku san-
gat cemas melepaskan kepergiannya.” 
 
*** 
 
KUNDINA pernah digemparkan oleh munculnya Nyi 
Tiwi yang sempat membinasakan delapan anak 
buah Subali. Namun setelah Nyi Tiwi meninggalkan 
daerah pantai itu, keadaan di Kundina kembali ‘ten-
tram’. 
Tentu saja yang dimaksudkan ‘tentram’ di sini, ada-
lah menurut ukuran Subali dan kaki-tangannya. Kare-
na setelah Nyi Tiwi meninggalkan Kundina, Subali dan 
kaki tangannya leluasa untuk memeras dan menindas 
para nelayan yang membutuhkan Kundina sebagai 
tempat mencari nafkah. 
Kebiadaban Subali dalam ‘melepaskan’ bekas gun-
dik-gundiknya untuk dijadikan penghuni rumah pela-
curan, juga berlangsung terus tanpa rintangan. Demi-
kian pula pemburuan gadis-gadis yang dipandang pa-
tut untuk dijadikan gundik Subali, tak terhitung lagi 
berapa banyak gadis yang terserosok (Editor: tersero-
sok?) ke rumah-rumah pelacuran Kundina, tak terhi-
tung lagi berapa banyak pelacur yang dibeli oleh para 
saudagar yang pernah singgah di daerah pantai itu. 
Walaupun bisa bertindak sesuka hatinya, namun 
Subali tetap merasa jeri pada Nyi Tiwi, yang mungkin 
saja muncul sewaktu-waktu. Itulah sebabnya Subali 
tidak berani mengganggu perahu layar yang sudah di-
beli oleh Nyi Tiwi dahulu. Bahkan kepada anak buah-
nya, Subali memerintahkan untuk merawat perahu 
layar itu, tapi tak boleh dipakai berlayar ke tengah 
laut. 
Subali pun selalu bertanya-tanya di dalam hatinya: 
“Aneh... ke mana orang berilmu tinggi itu? Mengapa 
perahu layar yang sudah dibelinya itu dibiarkan begitu 
saja? Apakah dia akan kembali lagi ke Kundina atau 
tidak?” 
Dan jauh di dalam hati Subali tumbuh harapan, 
“Mudah-mudahan saja dia tidak kembali lagi ke sini. 
Karena aku tidak dapat membayangkan apa yang akan 
terjadi jika ia menentang kekuasaanku di sini.” 
Subali tidak tahu bahwa pada saat itu Nyi Tiwi ju-
stru sudah berada di batas selatan Kundina. Tapi kea-
daan Nyi Tiwi sekarang sungguh lain dengan Nyi Tiwi 
dahulu. Kalau dahulu Nyi Tiwi tampil dalam pakaian 
lelaki, maka sekarang Nyi Tiwi malah tidak berpakaian 
sama sekali! 
Sungguh mengenaskan keadaan Nyi Tiwi saat itu.  
Tubuhnya yang indah dan berkulit kuning langsat, ki-
ni telah menjadi tubuh yang tak terawat, yang dipenu-
hi debu dan lumpur. Wajahnya yang cantik telah men-
jadi memudar. Matanya yang bundar cemerlang telah 
menjadi mata yang beringas dan mengerikan. 
Sikap Nyi Tiwi sendiri berubah-ubah. Terkadang ia 
tampak begitu galak dan berbahaya. Dan di saat lain ia 
seperti menanggung kesedihan yang tiada taranya, 
yang membuatnya menangis sambil mengacak-acak 
rambutnya. 
Dalam kegoncangan jiwa yang membuat Nyi Tiwi 
tak waras lagi, rupanya Nyi Tiwi masih dapat mengin-
gat peristiwa mengerikan itu. Bahwa Nyi Tiwi telah 
membunuh gurunya sendiri, yang sangat disayan-
ginya. 
Manakala teringat peristiwa itu, Nyi Tiwi lalu mena-
ngis sejadi-jadinya. Hatinya ingin meneriakkan “Rama 
Guru, ampunilah muridmu ini!” Tapi syarafnya tidak 
bekerja sebagaimana mestinya lagi, sehingga yang ter-
lontar dari mulutnya hanya “Amaaa... ama... 
amaaa....!” 
Demikian pula kalau Nyi Tiwi hendak mengucapkan 
sesuatu yang lain, apa yang terlontar dari mulutnya 
justru tidak sama dengan keinginannya sendiri. Terle-
bih lagi kalau sedang kumat, ucapannya sulit dimen-
gerti oleh siapa pun, termasuk oleh dirinya sendiri. 
Yang sangat berbahaya, adalah bahwa Nyi Tiwi ma-
sih bisa mempergunakan ilmunya yang diperolehnya 
dari mendiang Kidangkancana. Sehingga sewaktu-wak-
tu ia bisa ‘meledak’ sebagai penyebar maut. 
Dan kini Nyi Tiwi berada di hutan yang dibelah oleh 
Sungai Cigelung, di sebelah selatan Kundina. Di situ-
lah ia tinggal dengan ‘nyaman’, tanpa memperdulikan 
apa-apa lagi. 
 
Bila perutnya terasa lapar, ia memburu binatang 
apa saja yang bisa didapatkannya di dalam hutan itu, 
kemudian dimakannya binatang itu mentah-mentah. 
Dengan ilmunya yang tinggi, mudah saja ia memburu 
binatang yang hendak dilahapnya. Dan ia tidak pernah 
memilih-milih binatang yang hendak dijadikan maka-
nannya. Kalau ada banteng, ya banteng itulah yang di-
binasakannya. Kalau ada harimau, ya harimau pula 
yang menjadi mangsanya. Begitu pula kera, rusa, 
ayam hutan, burung dan lain-lainnya, sering menjadi 
santapan lezat bagi Nyi Tiwi. 
Kalau malam tiba, Nyi Tiwi naik ke atas pohon, lalu 
tidur di situ. Terkadang ia juga bisa tidur begitu saja di 
atas rumput, tanpa merasa takut pada bahaya apa 
pun. 
Tampaknya binatang-binatang liar yang hidup di 
dalam hutan itu, sudah mengerti bahwa Nyi Tiwi me-
rupakan ‘makhluk yang berbahaya’. Itulah sebabnya 
mereka tidak berani mengganggu Nyi Tiwi jika sedang 
terlena di ‘peraduannya’. 
Pada suatu pagi, Nyi Tiwi melihat sekawanan ban-
teng yang sedang mandi di Cigelung. Tadinya Nyi Tiwi 
bermaksud memburu salah satu banteng itu, karena 
perutnya terasa lapar. Tapi ketika melihat kelakuan 
banteng-banteng itu, pikiran Nyi Tiwi berubah. Ia jadi 
tertarik untuk ikut-ikutan mandi seperti kawanan ban-
teng itu. 
“Hihihi... mandi... mandiiiii... enak... enaaaak!” seru 
Nyi Tiwi sambil melompat ke dalam sungai. 
Byurrrr...! Nyi Tiwi mencebur ke dalam air, mem-
buat banteng-banteng itu kaget dan lari berhamburan 
ke darat. 
Nyi Tiwi tak mempedulikan lagi banteng-banteng 
itu. Ia hanya ingin mandi sepuas-puasnya seperti yang 
dilakukan oleh banteng-banteng itu tadi. 
Cukup lama Nyi Tiwi berendam dan melompat-lom-
pat di dalam Sungai Cigelung. Sampai pada suatu 
saat, ia melihat bayangan wajahnya di permukaan 
sungai, yang membuatnya berhenti bergerak. 
Lalu terdengar Nyi Tiwi mengoceh, berbicara dengan 
bayangannya sendiri: “Hai, siapa kamu? Oooo... kamu 
Komala ya? Hihihihi... aku Tiwi. Tiwi yang cantik, Tiwi 
yang seperti bidadari... hihihihi!” 
“Eh... salah...! Salah! Kamu yang Tiwi, aku yang 
Komala! Aduuy! Aduuduuuy... namaku memang Koma-
la... yang tercantik di Tegalinten! Enak jadi orang can-
tik ya? Enak, enaaak!” 
“Ah, siapa bilang mukaku kotor? Sekarang kan se-
dang dibersihkan! Awas... jangan mengejek... kalau 
mengejek, kubunuh kamu nanti! Tahu bunyi orang 
yang dibunuh! Begini nih... ngeeek... glekkk... cosss... 
pret!” 
“Oh, tidak... tidak! Bukan aku yang membunuh Ra-
ma Guru! Bukan aku! Hehehehee... Rama Guru hidup 
lagi, adudududuuuh... mati lagi, eeeh, hidup lagi.... 
lho... kok Rama Guru enjot-enjotan? Hehehee... enak, 
Rama Guru... enaaaaak!” 
“Keparat! Bajingan! Kamu bukan Rama Guru! Kamu 
manusia cebol yang senang merusak perempuan! Baji-
ngaaaan....! Sakit hatiku, sakiiit! Sakiiiit! Ah... tidak... 
tidak sakit lagi... malah enak kok... hehehehehehe... 
enaaaaak...!” 
Demikian kerasnya teriakan Nyi Tiwi, sehingga tiga 
orang lelaki yang sedang berjalan di sebelah barat Ci-
gelung mendengarnya. Mereka adalah kaki tangan 
Subali. Mereka sedang ditugaskan mencari gadis-gadis 
cantik untuk dijadikan gundik-gundik Subali (yang ke-
lak akan dijadikan penghuni rumah pelacuran, jika  
Subali sudah merasa bosan). 
“Hai... aku mendengar suara perempuan dari sebe-
lah sana,” kata salah seorang kaki tangan Subali sam-
bil menunjuk ke sebelah timur. 
“Iya... tapi mungkinkah ada perempuan berani me-
masuki hutan ini?” sahut kaki tangan Subali yang 
lainnya. 
“Pokoknya kita selidiki saja dulu. Ayo kita ke sana.” 
Ketiga lelaki itu lalu membelok ke sebelah timur. 
Salah seorang dari mereka berkata, “Dari sana datang-
nya suara itu! Kurasa dari Cigelung.” 
“Iya,” sahut yang lain. “Mungkin dia sedang naik pe-
rahu. Atau... mungkin juga sedang mandi di Cigelung.” 
“Konyol kamu ah! Masa ada perempuan berani 
mandi di tengah hutan begini?” 
“Tak usah berdebat. Kita buktikan saja dulu dari 
mana datangnya suara itu.” 
Kemudian mereka melangkah terus ke arah timur. 
Sampai akhirnya mereka tiba di tepi Cigelung yang cu-
kup terjal. 
“Sttt... lihat.. tak salah dugaanku... lihatlah perem-
puan yang sedang mandi itu,” kata salah seorang di 
antara mereka sambil menunjuk ke bawah, ke arah 
Nyi Tiwi yang sudah berhenti mengoceh. 
“Ah... betul...! Jangan-jangan bidadari yang sedang 
mandi.” 
“Bidadari?! Memangnya pelacur khayangan bisa tu-
run sendirian?” 
“Enak saja kamu nyebut bidadari sebagai pelacur 
khayangan.” 
“Memang betul kok. Bidadari itu kan pelacur 
khayangan?! Buktinya, Arjuna juga waktu naik ke sor-
galoka kan disuguhi bidadari Supraba. Nah... kalau 
perempuan boleh dipakai semaunya tanpa harus ka- 
win, apa namanya kalau bukan pelacur?” 
“Sudahlah... jangan memperdebatkan hal-hal yang 
tiada gunanya. Lebih baik kita turun, untuk menyeli-
diki siapa perempuan itu. Kalau cocok, kita bawa dia 
ke Kundina.” 
“Tentu saja cocok. Cobalah perhatikan... wajahnya 
cukup cantik, bukan? Hihihi... kita pasti akan dikasih 
persenan banyak oleh majikan kita.” 
Kemudian ketiga lelaki itu berusaha menuruni 
pinggiran sungai yang terjal itu. Dan akhirnya mereka 
berhasil mencapai batu-batu besar yang berserakan di 
Cigelung. Memang pada saat itu air Cigelung sedang 
susut, sehingga dengan mudah pula ketiga lelaki itu 
berhasil mendekati Nyi Tiwi. 

*** 

“Mandi sendirian saja, Nyi?” tanya salah seorang 
kaki tangan Subali. 
Nyi Tiwi tidak terkejut mendengar teguran dan me-
lihat munculnya ketiga lelaki secara mendadak itu. 
Tentu saja. Seperti telah diterangkan tadi, walaupun 
jiwanya tidak waras lagi, tapi Nyi Tiwi masih mengua-
sai ilmunya yang diperoleh dari Kidangkancana. Maka 
dengan sendirinya Nyi Tiwi sudah menyadari kehadi-
ran lelaki-lelaki itu, sejak mereka masih berada di atas 
sana. Hanya saja jiwa Nyi Tiwi yang telah berubah, 
membuatnya bersikap acuh tak acuh terhadap kehadi-
ran tiga lelaki itu. Padahal kalau jiwa Nyi Tiwi masih 
waras, pasti akan menjadi terkejut sekali dengan mun-
culnya ketiga lelaki itu, karena Nyi Tiwi sedang dalam 
keadaan telanjang bugil! 
Salah seorang kaki tangan Subali berbisik kepada 
kawannya, “Stt... jangan-jangan dia sengaja tidak men-
jawab pertanyaan kita, supaya kita melakukan sesuatu  
padanya.” 
“Maksudmu?” 
“Heheheee... mungkin saja dia sudah kepengen me-
rasakan hangatnya lelaki... hihihihi....” 
“Tapi... tugas kita kan...” 
“Alaaaa... tugas tinggal tugas. Ada rejeki nomplok 
begini, masa mau dibiarkan saja? Aku sudah nggak 
tahan lagi nih...! Buat majikan kita sih gampang, kita 
cari lagi saja yang lain.” 
“Lantas yang ini buat kita bertiga?” 
“Iya. Tapi aku dulu ya.” 
Kemudian salah seorang kaki tangan Subali me-
lompat ke depan Nyi Tiwi. Berdiri di atas batu besar 
yang terletak di tengah-tengah sungai itu. Lalu ber-
tanya dengan pandangan kurang ajar, “Rumahnya di 
mana, Nyi?” 
Nyi Tiwi menoleh dengan sikap acuh, tanpa mem-
perdulikan betapa bagian terlarang pada tubuhnya di-
lahap oleh pandangan ketiga lelaki itu. 
Lalu sahut Nyi Tiwi, “Rumah?! Hihihihiiii... rumah 
itu apaan sih? Tempat kencing, ya?! Hihihihihihi...!” 
Ketiga lelaki itu saling pandang. Lalu saling bisik. 
“Perempuan gila barangkali ya?” 
“Ah... masa orang sinting bagus begitu?” 
“Iya ya... rasanya mustahil ada orang gila secantik 
ini....” 
“Pokoknya nggak usah banyak basa-basi deh. Seret 
saja dia ke darat, lalu kita antri!” 
“Kalau orang gila bagaimana?” 
“Alaaaaaa... gila juga kalau cantik gitu sih pasti sa-
ma enaknya!” 
“Baiklah... aku yang akan menyeretnya. Tapi aku 
yang duluan, ya.” 
Salah seorang di antara mereka maju. Menyergap  
pergelangan tangan Nyi Tiwi, sambil berkata, “Ayo kita 
ke darat, Nyi. Rejeki kamu lagi baik, nih. Hari ini kamu 
bisa dapat tiga suami sekaligus! Heheheheh....” 
Namun tiba-tiba saja tawa lelaki itu terhenti. Dan 
dengan mata terbeliak, ia memekik, “Adaaaauuuuu....!” 
Lalu lelaki itu terjatuh ke dalam air. 
“He... kenapa dia?” kawannya melompat ke dalam 
air, untuk menolongnya. Sementara kawannya yang 
lain melompat ke depan Nyi Tiwi. 
Tapi tiba-tiba saja Nyi Tiwi lenyap dari pandangan 
mereka! 
Sementara itu, si Lelaki yang memekik kesakitan 
tadi, sudah tertolong oleh kawannya. Namun ia masih 
merintih-rintih sambil memegangi selangkangannya. 
“Aduuuh... aduuuh... gunduku hilang... gunduku di-
cabut oleh siluman... aduuuuuddududuuu....” 
Dan ketika kedua kaki tangan Subali itu menoleh 
ke arah kawan mereka yang masih berdiri terpaku di 
atas batu besar, mereka terheran-heran. “Hey! Mana 
perempuan tadi?” 
“Hilang!” 
“Hilang?! Ah... masa bisa menghilang begitu saja?” 
“Itulah yang kuherankan! Jangan-jangan dia....” 
“Dia apa?” 
“Jangan-jangan dia siluman air... hiiiii...!” 
Sementara itu, lelaki yang kehilangan buah pelir-
nya, sudah tak kuat lagi menahan sakit, sehingga ak-
hirnya tak sadarkan diri. 
Maka dalam kebingungannya, kedua orang yang 
masih sehat segera menggotong tubuh kawan mereka 
yang pingsan itu ke darat. 
“Jangan-jangan dia mati....” 
“Ah... masih bernafas kok. Kita pulang saja dulu ke 
Kundina.” 
“Tapi... kita belum mendapatkan hasil....” 
“Hasil apa lagi? Keberangkatan kita kali ini, tam-
paknya dibayang-bayangi nasib sial! Lebih baik besok 
saja kita berangkat. Sekarang pulang dulu, untuk me-
laporkan kejadian ini kepada majikan kita!” 
Akhirnya pulanglah mereka ke Kundina, sambil 
menggotong kawan mereka yang masih tak sadarkan 
diri itu. 
Setibanya di Kundina, mereka langsung melaporkan 
peristiwa itu kepada Subali. Bahwa mereka telah ber-
temu dengan ‘siluman air’ yang mengakibatkan hilang-
nya buah pelir kawan mereka. 
Tentu saja Subali tidak langsung percaya pada lapo-
ran kaki tangannya. “Apakah kalian yakin bahwa pe-
rempuan itu siluman air?” tanyanya. 
“Yakin benar sih tidak,” sahut kaki tangan Subali. 
“Tapi anehnya, perempuan itu kok bisa menghilang 
begitu saja.” 
“Seperti apa perempuannya?” 
“Cantik, Juragan. Benar-benar cantik. Tapi ngo-
mongnya ngaco.” 
“Ngaco bagaimana?” 
“Pokoknya melantur begitu. Waktu hamba tanya di 
mana rumahnya, dia malah menjawab rumah itu 
apaan sih? Tempat kencing? Begitu ocehannya, Jura-
gan.” 
Terdorong oleh rasa penasaran, Subali lalu berkata, 
“Ayo ikut aku menyelidik ke sana!” 
Dengan hanya ditemani oleh dua orang anak buah-
nya, Subali memasuki daerah hutan di sebelah selatan 
Kundina itu. 
Usrip dan Bana, demikian nama kedua anak buah 
Subali itu, sebenarnya merasa takut memasuki hutan 
itu lagi. Takut mengalami kejadian seperti yang me- 
nimpa diri kawannya itu. Namun tentu saja mereka ti-
dak berani menolak ajakan majikan mereka. Sehingga 
terpaksa mereka mengikuti langkah majikan mereka, 
memasuki hutan di sebelah selatan Kundina itu. 
Begitu memasuki hutan tersebut, Usrip berbisik ke 
telinga Bana, “Pokoknya begitu ketemu sama perem-
puan tadi, kita harus menggenggam barang kita se-
kuat-kuatnya. Jangan sampai copot seperti kawan ki-
ta.” 
Bana mengangguk dan menyahut pelan, “Memang 
aneh sekali. Bagaimana caranya perempuan itu men-
copot gundu kawan kita, ya? Kalau  orang biasa, ra-
sanya mustahil bisa melakukan perbuatan seperti itu.” 
“Ah, tak peduli dia itu siluman atau manusia, po-
koknya kita harus mengamankan tongkat dan gundu 
kita masing-masing. Kalau sudah hilang gundunya, 
kan berabe?! Bisa mandul kita dibikinnya.” 
“Tapi yang lebih celaka lagi kalau tongkatnya yang 
dicolong... hihihihihihiiii... hidup ini bisa terasa ger-
sang, laksana sayur tanpa garam! Melihat perempuan 
cantik juga paling-paling cuman bisa netesin air liur. 
Betul, nggak?” 
Percakapan bisik-bisik itu terhenti, ketika Subali 
bertanya kepada mereka. “Di sebelah mana kalian me-
lihat siluman air itu?” 
“Di sana, Juragan,” Usrip menunjuk ke sebelah ti-
mur. 
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke arah 
yang ditunjukkan oleh Usrip itu. 
Setibanya di pinggir sungai yang berbentuk jurang 
agak terjal itu, Usrip dan Bana terperanjat, karena ter-
nyata ‘siluman air’ itu sudah ada lagi... sedang mandi 
di tempat yang tadi lagi! 
“I... itu dia, Juragan!” seru Bana tertahan, sambil  
menunjuk ke arah Nyi Tiwi. 
Karena melihatnya dari tempat yang agak tinggi dan 
jauh, Subali tidak menduga bahwa perempuan yang 
sedang mandi itu adalah Nyi Tiwi. Maka dengan gera-
kan yang ringan, Subali langsung melayang ke depan 
Nyi Tiwi. 
Dan alangkah terkejutnya penguasa dari Kundina 
itu, demi dilihatnya perempuan yang sedang asyik 
mandi itu, adalah perempuan yang pernah mengamuk 
di rumahnya dahulu! 
“Me... Megamendung...!” Subali terundur selangkah 
di atas batu besar yang sedang dipijaknya. 
Namun Nyi Tiwi bersikap seperti yang belum pernah 
mengenal Subali. Bahkan dengan nakal diraihnya per-
gelangan kaki Subali secepat kilat, sehingga... byuuu-
uuurrr... Subali tercebur ke dalam sungai. 
Disusul oleh suara Nyi Tiwi, “Hihihihihihiii...! Begi-
tulah caranya mandi! Jangan takut-takut sama air! 
Hihihihi.. kamu habis nyolong ayam, ya?” 
Subali agak bingung. Ia sudah tahu kehebatan Nyi 
Tiwi. Karena itu ia tidak berani bertindak dan berbica-
ra sembarangan. Ia juga tidak berani memandang ke 
arah yang ‘terlarang’ di tubuh Nyi Tiwi. Lalu Subali 
menyahut sangsi, “Tentu Andika berkelakar, bukan?! 
Orang seperti aku, mana berani mencuri ayam segala?” 
Plaaaak! Tahu-tahu pipi Subali kena tampar. Dis-
usul dengan terdengarnya suara Nyi Tiwi. “Aku tidak 
ngomong soal ayam! Aku ngomong soal buah nangka! 
Siapa yang menyuruhmu menghabiskan buah nang-
kaku?” 
Subali memegangi pipinya yang pedih, dengan pera-
saan geram bercampur takut. “Nangka? Nangka yang 
mana?” 
Dan Nyi Tiwi menjawab lain lagi, “Coba lihat pung- 
gungmu, ada kutilnya tidak? Kalau ada kutilnya, per-
tanda mau masuk surga! Tapi kalau banyak panunya, 
pasti masuk comberan! Hihihihihiiiii...!” 
Karena sudah menyaksikan betapa hebatnya ilmu 
perempuan itu, Subali terpaksa menurut saja. Dibuka-
nya bajunya, kemudian membalikkan badannya, me-
munggungi Nyi Tiwi. 
Tapi apa yang terjadi? Tiba-tiba saja Nyi Tiwi mene-
kan bahu Subali, sehingga penguasa dari Kundina itu 
terduduk di dasar sungai, sehingga hanya kepalanya 
saja yang tampak di atas permukaan Cigelung. 
“A... apa yang akan Andika lakukan terhadap diri-
ku?” tanya Subali cemas, tanpa berani menoleh ke be-
lakang. 
Sebagai jawabannya, tiba-tiba saja ia merasa kepa-
lanya disiram oleh cairan hangat...! 
Ternyata dengan seenaknya saja Nyi Tiwi mengen-
cingi kepala Subali dari belakang, sambil tertawa-tawa. 
“Hihihihihiiiii... rambutmu jadi bagus! Jadi mengkilap! 
Hihihihihiiiiiii!” 
Setelah menyadari bahwa yang menyiram kepalanya 
itu air kencing, bukan main gusarnya Subali. Seumur 
hidupnya baru sekali itulah ia diperlakukan sehina itu. 
Maka timbullah kenekadannya, untuk menghajar 
perempuan ‘lancang’ itu. Tapi ketika ia bermaksud 
menggerakkan badannya, ia segera menyadari suatu 
kenyataan baru, bahwa sekujur tubuhnya menjadi ka-
ku dan tidak bisa digerakkan sama sekali! 
Semakin sadarlah Subali, bahwa ia benar-benar se-
dang ‘dikerjain’ oleh perempuan itu. 
“Mungkin dia sangat marah, karena aku lancang 
menghampirinya pada waktu dia sedang mandi,” pikir 
Subali. 
Maka dengan maksud ingin meminta maaf atas se- 
gala ‘kelancangannya’ Subali berkata, “Glllek gleele-
leeek..!” 
Hanya itu yang bisa dilontarkan dari mulutnya! Ru-
panya bukan hanya anggota badannya saja yang tidak 
bisa digerakkan, melainkan juga lidahnya! 
“Oh... dia benar-benar menghukumku!” pikir Sub-
ali. 
Namun hari itu rupanya Subali benar-benar sedang 
bernasib sial. Ketika ia masih terduduk dalam keadaan 
kaku, tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu yang lebih 
‘berat’. Nyi Tiwi menjejakkan kakinya di atas kedua 
bahu Subali. Kemudian dengan setengah berjongkok, 
Nyi Tiwi buang air besar... yang berjatuhan di atas ke-
pala Subali! 
Kalau Subali seorang wanita, tentulah ia sudah me-
nangis sejadi-jadinya, karena tak tahan lagi dengan 
‘hukuman’ yang dijatuhkan oleh Nyi Tiwi atas dirinya. 
Terlebih lagi setelah tinja Nyi Tiwi meleleh, ke muka 
Subali, sehingga penguasa dari Kundina itu mencium 
bau yang luar biasa busuknya! 
Usrip dan Bana yang masih berdiri di atas sana, 
menjadi panik tak menentu melihat majikan mereka 
diperlakukan demikian nistanya. 
“Adudududuuuuh... Usrip! Lihat... Juragan Subali 
sedang diberaki!” 
“Iya... kepalanya pula yang diberaki oleh siluman air 
itu! Oh... kenapa Juragan Subali diam saja?” 
“Iya, ya... kenapa beliau diam saja?” 
“Entahlah... yang pasti kita tidak boleh berpangku 
tangan saja.” 
“Lalu apa yang bisa kita perbuat? Apakah kita ha-
rus nekad turun ke bawah? Nggak mau ah...! Aku ta-
kut kehilangan gundu!” 
“Begok kamu! Kalau kita diam saja, pasti Juragan  
Subali akan menghukum kita!” 
Sementara itu, Nyi Tiwi malah tampak senang sekali 
melihat gundukan tinja di atas kepala Subali. 
“Hihihihiiii...! Bagus... kepalamu jadi bagus! Kepa-
lamu jadi ada bumbu satenya! Hihihiiiiii...!” 
Subali hanya dapat menggertakkan giginya dalam 
kegeraman yang tak tertahankan lagi. Seandainya ia 
bisa menggerakkan anggota badannya, mau saja ia 
mengadu nyawa dengan perempuan itu. Namun dalam 
keadaan kaku seperti itu, ia hanya bisa memejamkan 
matanya dan merasa seolah-olah sedang berada di ne-
raka. 
Lalu suara Nyi Tiwi lenyap. Seketika itu juga Subali 
dapat menggerakkan anggota badannya kembali. 
Subali celingukan. Nyi Tiwi telan lenyap dari pan-
dangannya. 
“Ini benar-benar penghinaan yang tak mungkin bisa 
kulupakan seumur hidupku,” pikir Subali sambil 
membenamkan kepalanya ke dalam air. “Untunglah 
perempuan jahanam itu melakukan penghinaan ini di 
sungai, sehingga aku bisa langsung mencuci kepala 
dan rambutku. Kalau penghinaan ini dilakukan di da-
rat... ah....” 
Setelah merasa dirinya bersih dari tinja dan air ken-
cing Nyi Tiwi, bergegas Subali melompat ke atas. 
Geram sekali Subali melihat kedua anak buahnya 
hanya berdiri terpaku. “Kalian benar-benar tak tahu 
diuntung! Kenapa kalian sejak tadi diam saja?!” 
“Dedd... ded... ham... tidddd.. tiddak mengerti apa 
se... sebenarnya yang telah terjadi...” sahut Bana ter-
gagap. 
“Dasar sial! Kalau tahu dia yang menyiksa anak bu-
ahku, aku tidak akan datang ke sini,” pikir Subali da-
lam geramnya. 
 
*** 
 
PERISTIWA itu benar-benar tak dapat Subali lupa-
kan. Sejak terjadinya peristiwa di Cigelung itu, Su-
bali sering tampak gelisah tak menentu. Terkadang ia 
menggebrak meja sampai pecah berantakan, terkadang 
juga ia menendang apa saja yang ada di depannya. 
Sering pula Subali menggumam sendiri: “Sean-
dainya aku memiliki ilmu yang bisa menandingi pe-
rempuan jahanam itu, akan kubunuh dia! Akan kucin-
cang dia sampai lumat! Tapi... oh... bagaimana caranya 
untuk melampiaskan dendamku ini? Rasanya aku tak 
pernah membuat kesalahan padanya. Tapi seenaknya 
saja dia menamparku, mengencingi dan memberaki 
kepalaku! Oh, penghinaan ini benar-benar di luar ba-
tas! Benar-benar tak dapat kulupakan seumur hi-
dupku!” 
Demikianlah, dari hari ke hari Subali hanya meng-
gerutu, menggebrak dan menendang-nendang, sehing-
ga seisi rumahnya selalu dicengkeram ketakutan. 
Soalnya belum pernah mereka melihat Subali semarah 
itu. 
Sampailah pada suatu hari.... 
Ketika Subali sedang duduk merenung di depan ru-
mahnya, tiba-tiba pandangannya tertumbuk ke seo-
rang lelaki tua yang sedang berjalan memasuki pintu 
gerbang. 
Subali terlonjak. Memburu lelaki tua itu. Dan ber-
simpuh di depannya. “Rama Guru! Selamat datang di 
rumah muridmu! Oh... gembira sekali hatiku menda-
pat kunjungan Rama Guru hari ini!” 
Lelaki tua yang dipanggil ‘Rama Guru’ itu, seorang 
lelaki enampuluh tahunan, perperawakan tinggi besar, 
berkepala botak dan bermata besar. 
Siapa dia sebenarnya? 
Dia adalah seorang dari golongan hitam yang sangat 
ditakuti oleh rakyat Tanjunganom. Tidak banyak yang 
mengetahui nama aslinya. Orang-orang menyebutnya 
Tapakwesi karena kedua telapak tangannya bisa di-
buat lebih keras daripada besi. 
Setelah dibawa masuk ke dalam ruangan tamu pri-
badi, Tapakwesi berkata, “Senang sekali aku melihat-
mu masih hidup, Subali. Aku mendengar bahwa di Te-
galinten telah terjadi pembantaian besar-besaran ter-
hadap orang-orang yang sealiran dengan kita. Itulah 
sebabnya aku sengaja datang ke sini, hanya untuk me-
lihat selamat atau tidaknya dirimu.” 
“Pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang 
yang sealiran dengan kita?!” Subali terheran-heran. 
“Iya. Apakah kau belum mendengarnya?” 
“Belum, Rama Guru.” 
“Lucu! Aku saja yang tinggal di Tanjunganom, su-
dah mendengarnya. Dan engkau yang tinggal di wi-
layah Tegalinten, malah belum mendengarnya.” 
“Kundina  bukan bagian dari Tegalinten,” bantah 
Subali. “Aku tidak akan membiarkan kerajaan mana 
pun menguasai daerah ini, Rama Guru.” 
“Hahahahaaaa...! Jadi engkau ingin menjadi raja 
kecil, begitu?” 
“Apa salahnya? Raja-raja di daratan ini, tidak se-
muanya keturunan raja yang sebenarnya. Bahkan ada 
di antara mereka yang berasal dari keturunan pencuri, 
perampok dan sebagainya.” 
“Ya, ya, ya! Memang tidak ada salahnya,” Tapakwesi 
mengangguk-angguk. “Tapi dengarlah dulu ceritaku 
tentang orang-orang yang dibantai di Gunung Limaga-
gak itu.”  
“Gunung Limagagak?!” 
“Ya. Seorang pendekar yang masih muda belia, te-
lah membinasakan tujuh puluh tujuh tokoh hitam ke-
las tinggi! Dan kabarnya pemuda itu sudah berjanji 
untuk menghabisi semua tokoh hitam, baik yang ting-
gal di Tegalinten maupun yang tinggal di Tanjunga-
nom.” 
“Gila! Punya apa pemuda itu sehingga berani se-
sumbar demikian besarnya?” 
“Entahlah. Yang jelas, engkau harus berhati-hati se-
kali, karena mungkin saja engkau pun sudah dicalon-
kan untuk menjadi korbannya.” 
“Akan kuperlihatkan pada masyarakat Kundina, 
bahwa aku tidak percuma menjadi murid Tapakwesi 
yang sangat ditakuti di Tanjunganom.” 
“Jangan takabur dulu! Pemuda yang telah menjagal 
tokoh-tokoh hitam itu, benar-benar berbahaya. Kude-
ngar Jalak Ruyuk pun telah binasa di tangan pemuda 
itu.” 
“Jalak Ruyuk?!” Subali terperanjat. Walaupun ia ti-
dak termasuk golongan hitam yang berkeliaran dari 
hutan ke hutan, namun ia sudah sering mendengar 
bahwa Jalak Ruyuk itu pemimpin golongan hitam di 
seluruh Tegalinten. 
“Ya, engkau tentu sering mendengar nama Jalak 
Ruyuk, bukan?!” 
“Sering, Rama Guru. Bahkan belakangan ini tersiar 
kabar bahwa anak-anak Jalak Ruyuk telah mendapat 
kedudukan tinggi di kerajaan.” 
“Betul. Anak laki-lakinya telah diangkat menjadi 
adipati di Kawahsuling. Sedangkan anak  perempuan-
nya telah diangkat sebagai senapati kerajaan. Hhh... 
entah bagaimana caranya Jalak Ruyuk mempengaruhi 
raja Tegalinten, sehingga dengan mudah saja anak- 
anaknya bisa dijadikan pembesar-pembesar begitu.” 
Setelah berpanjang lebar membicarakan soal penja-
galan tokoh-tokoh golongan hitam itu, Subali lalu 
menceritakan peristiwa yang sangat menggelisahkan-
nya itu. Peristiwa ‘siluman air’ itu. 
“Demikianlah,” kata Subali setelah mengakhiri pe-
nuturannya, “perempuan jahanam itu benar-benar te-
lah menghinaku, sementara aku tak berdaya untuk 
membalasnya.” 
“Siapa perempuan itu? Hmm... kalau mendengar ce-
ritamu, aku yakin perempuan itu murid salah seorang 
di antara tokoh-tokoh terkuat di Tegalinten. Karena 
hanya merekalah yang bisa muncul atau menghilang 
secara mendadak begitu.” 
“Siapa pun dia, aku tak peduli. Yang jelas, aku ingin 
agar Rama Guru melenyapkan dia.” 
“Hahahahaaaa...! Jadi kau masih tetap seperti anak 
kecil juga? Apakah kau tidak dapat berpikir sedikit 
luas, demi kepentinganmu sendiri? Lupakah kau pada 
nasihatku dulu?” 
“Nasihat yang mana, Rama Guru?” 
“Aku pernah memberimu petunjuk... kalau kita ti-
dak kuat melawan suatu kekuatan, bersekutulah den-
gan kekuatan itu!” 
“Tapi... bagaimana mungkin aku bisa bersekutu de-
ngan dia.” 
“Kenapa tidak mungkin?” 
“Besok pagi Rama Guru akan kuajak ke hutan itu. 
Dan Rama Guru akan melihatnya sendiri bahwa pe-
rempuan keparat itu bukan sebangsa manusia yang 
bisa diajak bersekutu.” 
Hari memang sudah mulai senja. Subali lalu meme-
rintahkan para pelayannya untuk menyiapkan hidang-
an bagi Tapakwesi. 
 
“Engkau benar-benar seperti raja kecil,” kata Ta-
pakwesi waktu menyantap hidangan malam itu. “Tidak 
banyak orang yang setingkat dengan kepandaianmu 
dapat menikmati kehidupan mewah seperti ini. Maka-
nan serba lezat, pelayan begitu banyak, rumah seperti 
istana... ah... kau memang pandai, Subali.” 
“Semuanya ini berkat nasihat Rama Guru sendiri. 
Bahwa hidup ini harus dinikmati sebaik-baiknya. Ha-
hahahahahahaaa...!” 
Mereka yang sedang makan itu duduk bersila di 
atas permadani, di dalam ruangan terluas di rumah 
Subali. Untuk mencapai ruangan itu, baik datang dari 
pintu depan maupun pintu lainnya, harus melewati 
ruangan-ruangan lainnya, karena ruangan yang dipa-
kai tempat makan itu berada di tengah-tengah. 
Maka alangkah terkejutnya Subali, ketika didengar-
nya suara, “Minta makan, Kang”. Dan ketika Subali 
menoleh ke arah datangnya suara itu, ternyata seorang 
perempuan tanpa busana sedang bersila di belakang-
nya. Perempuan itu tak lain dari Nyi Tiwi! 
“Ra... Rama Guru... ini... inilah perempuan yang ku-
ceritakan tadi,” Subali melapor tergagap. 
Tapakwesi merasa terkejut juga karena Nyi Tiwi ta-
hu-tahu muncul di dalam ruangan itu. Namun di-
atasinya perasaan heran dan kagetnya, sambil mene-
gur Nyi Tiwi dengan lemah-lembut, “Seorang perem-
puan bergentayangan di tengah malam, tanpa berpa-
kaian pula... apakah tidak takut masuk angin?” 
Nyi Tiwi seperti tidak mendengar teguran Tapakwesi 
itu. Nyi Tiwi bahkan mengambil makanan yang sedang 
dihidangkan untuk Tapakwesi, lalu makan selahap-
lahapnya sambil berkata, “Baunya  enak sekali. Pasti 
rasanya pun enak... nyem... nyemmmm...” 
Sebagai tokoh tua yang sudah berpengalaman, Ta- 
pakwesi segera dapat menduga bahwa Nyi Tiwi mende-
rita gangguan jiwa. Maka sikapnya pun lalu berubah. 
Dengan suara tegas ia berkata, “Perempuan tak diun-
dang! Apa sebenarnya tujuanmu datang ke sini?” 
Tapi Nyi Tiwi malah balik membentak, “Kalau ratu 
sedang makan, jangan ada yang ngomong!” 
Kalau saja Nyi Tiwi hanya membentak biasa, mung-
kin Tapakwesi tak akan begitu terkejut. Namun pada 
waktu membentak tadi, Nyi Tiwi melontarkan sesuatu 
dari mulutnya... melontarkan ikan yang sedang diku-
nyahnya... yang langsung melesat ke dalam mulut Ta-
pakwesi... happph! 
Yang mengejutkan Tapakwesi bukan mulutnya yang 
tiba-tiba tersumpal oleh gumpalan ikan itu, melainkan 
pengaruhnya.... ya... begitu mulutnya tersumpal oleh 
gumpalan ikan itu, ia merasa sekujur tubuhnya men-
jadi kesemutan! Hal itu sudah merupakan peringatan 
bagi Tapakwesi, bahwa Nyi Tiwi seorang perempuan 
berilmu tinggi! 
Namun sebagai tokoh golongan hitam yang biasa 
berkelana di alam kekerasan dan kejahatan, tentu saja 
Tapakwesi tidak mau menyerah begitu saja sebelum 
membuktikan sejelas mungkin setinggi apa ilmu pe-
rempuan tak berbusana itu. 
Maka setelah berhasil memulihkan kesemutan itu, 
secara diam-diam Tapakwesi menyiapkan golok tipis-
nya yang tersembunyi di balik pakaiannya. Rupanya 
Tapakwesi tidak berani main-main menjajal lawannya. 
Biasanya ia hanya menggunakan telapak tangannya 
yang sekeras besi itu untuk menghadapi lawan-
lawannya, hal mana membuatnya dijuluki Tapakwesi. 
Tapi untuk menjajal Nyi Tiwi itu, Tapakwesi langsung 
mau mempergunakan golok tipisnya. 
Ketika Nyi Tiwi masih asyik makan, tiba-tiba saja  
Tapakwesi melompat ke depannya, dengan golok di ta-
ngan! 
Namun tanpa terduga-duga tubuh Nyi Tiwi melesat 
secepat kilat... dan sebelum Subali menyadari apa 
yang sedang terjadi, tahu-tahu Tapakwesi berdiri ge-
metaran, dengan golok yang tinggal hulunya saja! 
Sementara Nyi Tiwi sudah duduk kembali dengan 
tenang, sambil menyantap makanan yang disediakan 
untuk Tapakwesi itu! 
“Rama Guru! Kenapa?” Subali bergegas bangkit 
menghampiri gurunya. 
Tapakwesi tidak menyahut. Dan sebelum Subali 
bertanya lebih lanjut, tahu-tahu tokoh golongan hitam 
dari Tanjunganom itu ambruk ke atas permadani... da-
lam keadaan tak bernyawa lagi! 
“Rama Guru...!!!” Subali memburu dan memeluk tu-
buh gurunya yang tak bernyawa lagi. 
Lalu terdengar suara Nyi Tiwi: “Hihihihiii... biarkan 
dia kenyang sendiri... makan goloknya sendiri!” 
Subali terkejut mendengar ‘pernyataan’ itu. Dan ke-
tika diperhatikannya secara seksama, ternyata leher 
Tapakwesi lebih besar daripada biasanya! 
Apa sebenarnya yang telah terjadi? 
Rupanya tadi Nyi Tiwi melakukan gerakan kilat... 
mematahkan golok Tapakwesi, lalu memasukkan pa-
tahan golok itu ke dalam mulut Tapakwesi! Semuanya 
itu dilakukannya dengan gerakan yang tak terlihat 
oleh Subali. Dan ternyata tindakan Nyi Tiwi itu men-
gakibatkan matinya Tapakwesi. 
Dengan wajah putus asa, Subali menoleh kepada 
Nyi Tiwi. Namun sebelum sempat ia bicara, Nyi Tiwi 
sudah mendahuluinya berkata. 
“Kalau ingin makan golok seperti si gundul itu, ber-
dirilah!” 
Ucapan Nyi Tiwi yang mendadak serius itu terasa 
sebagai ancaman. Dan Subali memang bukan orang 
bodoh. Meskipun jiwanya meronta, ingin membalas 
dendam atas kematian gurunya, namun ia cukup ber-
perhitungan. Pikirnya, “Jelas perempuan iblis ini tidak 
bisa dilawan dengan kekerasan. Tapi apa yang harus 
kulakukan?” 
Maka dengan sikap bermuka-muka, Subali berkata, 
“Orang ini adalah guruku. Sekarang dia sudah mati di 
tanganmu. Lalu apa lagi yang kau inginkan dariku?” 
Sahut Nyi Tiwi, “Aku minta baju yang bagus. Minta 
kamar yang bagus. Minta segala-galanya yang bagus. 
Aku sudah bosan tinggal di hutan. Sudah bosan telan-
jang-telanjangan. Ayo cepat siapkan semuanya!” 
“Ba... baik...!” 
 
*** 
 
ANGIN pantai berhembus dengan kencangnya. Bebe-
rapa nelayan sedang membetulkan jaringnya di de-
kat muara Cigelung. Usrip dan Bana sedang melaksa-
nakan tugasnya, menarik ‘pajak’ dari para nelayan. 
“Aku tak habis pikir, kenapa majikan kita bisa 
membiarkan perempuan gila itu diam di rumahnya,” 
kata Usrip. 
Sahut Bana, “Memang, aku juga heran. Bukankah 
perempuan itu telah menghina Juragan Subali demi-
kian hebatnya? Selain daripada itu... guru majikan kita 
juga dibunuh oleh perempuan sinting itu, bukan?” 
“Iya. Tapi... mungkin Juragan Subali punya rencana 
tersendiri.” 
“Rencana apa? Perempuan itu jelas gila dan berba-
haya. Malah dibiarkan gentayangan di rumah Juragan 
Subali.” 
“Hihihi... kalau melihat kelakuan perempuan itu, 
geli juga ya.” 
“Iya. Lagaknya seperti seorang ratu... tapi kalau 
mau kencing... coooorrr... di mana saja maunya! Ka-
dang-kadang di atas permadani mahal itu... hihihiiiii... 
dasar orang gila.” 
“Tapi kudengar ilmu perempuan itu tinggi sekali. 
Buktinya guru majikan kita bisa dibunuh begitu saja 
olehnya.” 
“Iya, ya....” 
“Aku malah punya penilaian lain tentang sikap ma-
jikan kita.” 
“Maksudmu?” 
“Kurasa majikan kita sudah menjadi taklukan pe-
rempuan sinting itu. Mangkanya perempuan itu di-
biarkan berkeliaran semaunya di dalam rumah maji-
kan kita.” 
“Ah, kalau ngomong jangan sembarangan. Kalau ke-
dengaran sama Juragan Subali, bisa kena damprat 
kamu!” 
“Aku berani ngomong begini kan sama kamu. Coba 
deh perhatikan sendiri, bagaimana sikap majikan kita 
pada perempuan gila itu. Kelihatannya seperti takut 
sekali, kan?!” 
Bana tercenung sesaat. Dan akhirnya mengangguk. 
“Memang betul. Juragan Subali kelihatannya seperti 
takut sekali pada orang gila itu. Tapi itu kan tidak be-
rarti bahwa majikan kita sudah menjadi taklukan pe-
rempuan sinting itu.” 
“Lantas apa namanya kalau bukan taklukan?  Pe-
rempuan itu jelas harus dianggap sebagai musuh be-
sar, tapi majikan kita malah memperlakukannya se-
perti raja.”  
“Yang aku tahu, Juragan Subali sangat licin dan 
pandai mengatur siasat. Kurasa secara diam-diam ma-
jikan kita sedang merencanakan sesuatu.” 
“Nah, itulah yang kubilang tadi. Majikan kita tam-
paknya sedang merencanakan sesuatu. Tapi apa ren-
cananya, kita tidak tahu.” 

*** 

Apa yang dikatakan oleh Usrip dan Bana itu me-
mang benar. 
Setelah mengetahui bahwa Nyi Tiwi seorang perem-
puan gila, Subali mulai dapat memaafkan setiap per-
buatan Nyi Tiwi. Dan setelah menyelidiki sikap Nyi Tiwi 
selama beberapa hari, akhirnya Subali dapat menye-
lami apa yang diinginkan oleh Nyi Tiwi. Bahwa Nyi Tiwi 
selalu ingin dipuji dan setiap keinginannya harus di-
penuhi. 
Bila keinginan-keinginannya terpenuhi, ternyata Nyi 
Tiwi bisa menjadi baik, bahkan bisa diajak berbicara 
secara baik-baik (walaupun sesekali terdengar ocehan 
tak menentunya). 
Maka pikiran Subali pun menjadi lain: “Apa yang di-
katakan oleh mendiang guruku memang benar. Jika 
aku tidak mampu melawan suatu kekuatan, sebaiknya 
aku bersekutu saja dengan kekuatan itu! Tampaknya 
perempuan itu bisa kumanfaatkan sebaik-baiknya, un-
tuk menghadapi kemungkinan seperti yang dice-
maskan oleh guruku itu. Ya... bukankah mendiang gu-
ruku pernah berkata bahwa sekarang muncul seorang 
pemuda perkasa yang siap membantai seluruh golon-
gan hitam? Lalu mengapa aku tidak membuat perem-
puan sinting itu sebagai perisaiku?” 
Di saat lain, Subali berpikir: “Perempuan itu jelas 
yang pernah membunuh delapan anak buahku dahu- 
lu. Tapi anehnya, dia tidak pernah menanyakan pera-
hu layar yang sudah dibelinya itu. Dasar orang gila...!” 
Sejak tinggal di rumah Subali, Nyi Tiwi diberi pakai-
an yang bagus-bagus. Dimandikan oleh pelayan-
pelayan Subali. Bahkan terkadang para pelayan itu ha-
rus menyuapi Nyi Tiwi bila sifat ‘kolokan’ Nyi Tiwi mu-
lai kambuh. 
Memang mengurusi orang yang kurang waras seper-
ti Nyi Tiwi, bukan hal yang mudah. Karena terkadang 
muncul sifat ‘eksentrik’ Nyi Tiwi, yang cukup membi-
ngungkan dan menjengkelkan orang-orang di rumah 
Subali. Misalnya saja, Nyi Tiwi sering seenaknya ken-
cing di atas permadani, atau tidur-tiduran di atas atap 
rumah Subali, atau mengejar-ngejar ayam peliharaan 
Subali (yang lalu dimakannya mentah-mentah), dan 
banyak lagi. Namun Subali selalu memerintahkan pe-
layan-pelayannya, untuk tetap melayani Nyi Tiwi de-
ngan sebaik-baiknya. 
Ternyata usaha Subali itu tidak sia-sia. Nyi Tiwi 
mulai agak jinak setelah berhari-hari tinggal di rumah 
Subali. Namun Subali tetap tidak tahu nama asli Nyi 
Tiwi. Karena seringkali Nyi Tiwi mengubah-ubah pen-
gakuannya. Terkadang mengaku bernama Komala, 
terkadang mengaku bernama Srintil, terkadang men-
gaku bernama Ruciteung dan sebagainya. 
Tapi itu semua tak penting bagi Subali. Yang pent-
ing baginya, perempuan gila itu harus bisa diman-
faatkan. Itu saja. 
Bahkan pada suatu hari Subali berpikir: “Aku tidak 
tahu siapa guru perempuan sinting itu. Tapi jelas il-
munya tinggi sekali. Dan bila aku bisa memiliki il-
munya itu... alangkah menyenangkannya. Dengan il-
mu setinggi itu, kekuasaanku di sini akan semakin 
mantap. Dan... ah... mengapa aku tak berusaha mem- 
bujuknya?” 
Setelah memikirkannya masak-masak, Subali men-
cari-cari Nyi Tiwi, yang ternyata sedang duduk di kursi 
yang dibawanya ke halaman belakang... dengan sikap 
seperti seorang raja sedang duduk di atas singgasana-
nya! 
Begitu melihat Subali datang, Nyi Tiwi langsung me-
nyambutnya dengan ocehan sintingnya: “Heheheeee... 
paman patih, e, paman patiiih! Bagaimana keadaan 
kerajaan kita sekarang ini? E, apa sudah banyak ra-
kyat yang mampus? E, kalau belum banyak yang 
mampus, bikin mampus sebanyak-banyaknya, ya pa-
man patiiih!” 
Sambil tersenyum geli, Subali duduk di depan Nyi 
Tiwi, bersila, seperti seorang patih menghadap rajanya. 
“Daulat, Gusti Ratu! Jangan kuatir! Balatentara kita 
sudah bisa bikin mampus rakyat tiap hari!” 
“Hihihihiiii.... bagus! Baguuus! Sekarang katakan-
lah, apa tujuanmu datang menghadap padaku? Apa 
kamu kehabisan tembakau, ataukah kehabisan ga-
ram?” 
“Semuanya beres, Gusti Ratu! Tembakau hamba 
masih banyak. Garam juga tinggal nyidukin dari laut. 
Heheheee... hamba datang menghadap ini karena ada 
keperluan besar, Gusti.” 
Demikian pandainya Subali menyenangkan hati Nyi 
Tiwi, sehingga apa pun yang diinginkan oleh Nyi Tiwi, 
pasti dikabulkannya. Dan tampaknya sore itu Nyi Tiwi 
ingin diperlakukan seperti raja. Maka Subali pun mela-
deninya saja, memperlakukan Nyi Tiwi sebagai maha-
rani. 
“Apa keperluanmu, paman patih? Apa kamu ke-
pengen tai kerbo yang segede niru, ataukah kepengen 
bangkai anjing?” 
“Begini Gusti,” sahut  Subali, “berhubung saat ini 
kerajaan sedang diancam bahaya, hamba ingin men-
dapatkan ilmu untuk melindungi rakyat dari segala 
marabahaya.” 
“Goblok! Rakyat itu tidak perlu dilindungi! Biarkan 
mereka mampus! Lebih banyak yang mampus, lebih 
bagus! Terlalu banyak rakyat, malah bikin pusing 
mengurusnya!” 
“Ta... tapi... hamba membutuhkan ilmu untuk me-
lindungi diri hamba sendiri... dan terutama sekali un-
tuk melindungi Gusti Ratu.” 
“Hihihihihiiiiii... aku ini tidak perlu dilindungi oleh 
orang lain. Aku bisa melindungi diriku sendiri, paman 
patiiiiih!” 
Subali mulai bingung. Walaupun percakapan itu 
bernada ngawur, namun tujuan Subali yang sebenar-
nya, adalah ingin mendapatkan ilmu dari Nyi Tiwi. 
Dan akhirnya Subali menemukan akal: “Begini Gus-
ti.. menurut pendapat hamba, sudah waktunya kita 
mempersiapkan diri untuk meluaskan daerah jajahan 
kerajaan kita.” 
“O, bagus! Bagus! Kita memang harus menguasai 
seluruh dunia!” 
“Betul, Gusti. Tapi bagaimana mungkin hamba bisa 
menaklukkan kerajaan-kerajaan lain kalau hamba ti-
dak dibekali ilmu yang cukup tinggi?” 
Nyi Tiwi tercenung. Seperti sungguh-sungguh memi-
kirkan ucapan Subali. Lalu katanya, “Ilmu apa yang 
kau inginkan dariku? Ilmu nyolong ayam? Ilmu nginjek 
taik kebo? Ilmu kencing sambil berlari? Ayo katakan... 
jangan ragu-ragu!” 
“Hamba membutuhkan seluruh ilmu yang dimiliki 
oleh Gusti Ratu.” 
“Seluruh ilmuku?! Hihihihihiii... serakah benar ka- 
mu ini, paman patih! Tapi baiklah... akan kuturunkan 
ilmuku padamu mulai besok pagi. Tapi sekarang pa-
man patih harus jadi kuda dulu... ayo merangkak... 
aku akan menunggangimu! Ayo cepat!” 
Subali terkejut, jengkel bercampur girang. Jengkel 
karena harus merangkak seperti kuda segala. Tapi gi-
rangnya, Nyi Tiwi sudah berjanji untuk menurunkan 
ilmunya. Maka dengan menekan segala perasaan tidak 
enaknya, Subali merangkak ke depan Nyi Tiwi. 
“Horeeeee... aku punya kuda bagus!” Nyi Tiwi me-
mekik girang, sambil melompat ke atas punggung 
Subali. “Ayo bawa aku ke peraduanku! Hesss... 
hesssssh... hsssss... hesssss!” 
Seperti orang tua yang sedang mengasuh anaknya, 
Subali merangkak ke arah kamar Nyi Tiwi, sementara 
Nyi Tiwi enak-enakan duduk di atas punggung Subali. 
Girang sekali tampaknya Nyi Tiwi saat itu. Sambil 
menepuk-nepuk pinggul Subali, Nyi Tiwi berceloteh te-
rus: “Kudaku lari kencang, dikejar angin kencang, da-
tang yang kencang-kencang... kencaaaaaang...!” 
Dan dengan menyabar-nyabarkan diri, Subali me-
rangkak terus, sampai di dalam kamar Nyi Tiwi. 
Namun setibanya di kamar itu, Nyi Tiwi berubah la-
gi kelakuannya. Ia mendadak seperti seorang perem-
puan yang sangat merindukan kekasihnya. 
“Oh, kakang... kakang! Mengapa kakang baru da-
tang sekarang?” desis Nyi Tiwi sambil memeluk Subali 
erat-erat. 
Terpaksa Subali diam... membiarkan Nyi Tiwi me-
meluk dan menciuminya, walaupun perasaan jijiknya 
mulai timbul. Nyi Tiwi memang tidak kotor lagi. Tiap 
hari Nyi Tiwi selalu dimandikan sebersih-bersihnya. 
Tapi bagaimanapun Subali jijik ketika leher dan pi-
pinya diciumi dengan ganasnya oleh Nyi Tiwi. Namun  
tentu saja Subali tidak berani meronta. Karena ia tahu 
apa akibatnya kalau keinginan Nyi Tiwi ditolak. 
Dan rupanya saat itu Nyi Tiwi sedang teringat pada 
Rangga (dalam pikiran kacaunya). Karena setelah 
menciumi Subali, tiba-tiba saja ia berdesis, “Ayo, Kang 
Rangga... ayolah... kita lepaskan kerinduan kita di atas 
tempat tidur itu... ayolah Kang... ayolaahhh 
Dan Subali berusaha menyadarkan Nyi Tiwi, bahwa 
dirinya bukan orang yang dimaksudkan oleh Nyi Tiwi. 
“Aku ini Subali. Bukan Rangga. Apakah kau tidak me-
nyadarinya?” 
Namun Nyi Tiwi menjawab, “Masabodo! Pokoknya 
kau harus menjadi Kang Rangga sekarang! Kalau kau 
membutuhkan ilmuku, kau harus mematuhi setiap pe-
rintahku. Mengerti?” 
“Me... mengerti, Nyi.” 
“Aduu... enaknya dipanggil Nyi olehmu, Kang. Hm... 
rasanya seperti di sorga ya.... adudududuuh... ini dia 
yang kucari-cari.” 
“Oh... ja... jangan megang yang ini, Nyi....” 
“Kenapa jangan? Ini kan kepunyaanku?” 
“Ta... tapi... oh... jangan dibegituin megangnya, 
Nyi... jangan... lalalalaaaaaa...” 
“Ayolah, ayoooo....” 
“Tapi kau harus berjanji bahwa besok ilmumu akan 
mulai diturunkan padaku, Nyi.” 
“Iya, iya... cepatlah... aku sudah nggak tahan lagi, 
Kang Rangga.” 
“Ba... baiik... dududududuuuuh....” 
Dan beberapa saat berikutnya terdengarlah pekikan 
Nyi Tiwi dari dalam kamar itu. Begitu nyaring kedenga-
rannya, “Enak, Kang! Enaaaaaak!” 
Ternyata Nyi Tiwi tidak mengingkari janjinya. Besok 
paginya ia mulai menurunkan ilmunya kepada Subali.  
Anehnya, Nyi Tiwi masih ingat betul seluruh ilmu 
yang pernah dipelajarinya dari Kidangkancana, dari 
dasar sampai puncaknya. 
Tentu saja Subali girang sekali mendapatkan ilmu 
yang sangat diinginkannya itu. Dengan rajin ia berlatih 
tiap hari di dalam ruangan tertutup. Dan dengan rajin 
pula Nyi Tiwi menurunkan ilmunya kepada bajingan li-
cin itu. 
Tentu saja semuanya itu membutuhkan ‘pengorba-
nan’. Manakala Nyi Tiwi sedang membutuhkan Subali 
sebagai ‘Penjelmaan Rangga’, Subali harus mengabul-
kannya... Subali juga harus terus-terusan memanja-
kan Nyi Tiwi, yang terkadang seperti anak kecil, terka-
dang pula seperti seorang ratu. 
Namun ‘pengorbanan’ Subali itu tidak sia-sia. Sub-
ali telah memiliki dasar-dasar ilmu Kidangkancana. 
Ilmu kelas tinggi yang sulit dicari tandingannya. 
Sementara itu, Subali pun selalu memutar otaknya. 
“Aku tidak membutuhkan perempuan gila itu. Aku ha-
nya membutuhkan ilmunya yang dahsyat. Nanti... ka-
lau seluruh ilmunya sudah diturunkan padaku, pe-
rempuan gila itu akan kubinasakan dengan caraku 
sendiri! Terlalu lama memelihara dia, hanya akan me-
nimbulkan masalah-masalah saja bagiku. Tapi seka-
rang aku harus bersabar dulu, karena dia belum me-
nurunkan seluruh ilmunya.” 
Dengan keyakinan bahwa kalau ilmunya sudah se-
banding dengan Nyi Tiwi, ia akan mampu membunuh 
perempuan itu, Subali semakin tekun melatih diri, di 
bawah gemblengan Nyi Tiwi. 
Namun suatu perkembangan baru membuat Subali 
berubah pikiran beberapa  bulan berikutnya. Bahwa 
perut Nyi Tiwi mulai besar... makin lama makin besar. 
Dan pada suatu hari, Nyi Tiwi berkata kepada Su- 
bali. “Lihatlah... perutku ini bergerak-gerak sendiri! Se-
perti ada kodok di dalamnya!” 
Subali terkejut. Baru kali itulah ia memperhatikan 
keadaan perut Nyi Tiwi. 
“Kau... kau hamil...!” desis Subali dengan perasaan 
tak menentu. 
“Hamil?!” Nyi Tiwi terlongong. “Hamil itu apa, 
Kang?” 
“Perutmu berisi bayi!” 
“Bayi?! Bayi monyet apa bayi kuda apa bayi gajah?” 
“Bayi orang!” 
Nyi Tiwi terperangah. “Ooooh! Kenapa bayi orang bi-
sa masuk ke dalam perutku? Kenapaaaa?” 
Subali membisikkan sesuatu ke telinga Nyi Tiwi. 
Membuat Nyi Tiwi tercengang-cengang. Membuat Nyi 
Tiwi berdesis lirih, “Kenapa bisa jadi bayi? Masa yang 
begituan bisa jadi bayi?” 
“Ah,  sulit menerangkannya!” Subali menggerutu. 
“Pokoknya perutmu sudah berisi bayi! Berisi anakmu 
dan anakku!” 
“Bayinya ada dua?” 
“Tidak tahu! Pokoknya bayi itu anak kita!” 
“Kok aneh ya... aneh sekali!” Nyi Tiwi seperti tak ha-
bis-habisnya heran. 
“Ah, tidak ada yang aneh,” kata Subali yang sudah 
mulai berani berbicara tanpa sandiwara-sandiwaraan. 
“Memang biasanya begitu... laki-laki kalau sudah ber-
gaul dengan perempuan, akan menghasilkan anak!” 
“Lalu... bagaimana dengan anak ini? Kasihan dia, 
Kang. Dia bisa mati kalau dibiarkan tersekap dalam 
perutku!” 
Sebenarnya jengkel sekali Subali saat itu, karena 
demikian sulitnya menerangkan soal kehamilan pe-
rempuan kepada Nyi Tiwi. Namun ditahannya kejeng- 
kelan itu. Dan katanya, “Nanti juga keluar sendiri.” 
“Keluar? Keluar dari mana?” Nyi Tiwi tetap tampak 
blo’on. 
“Dari kuping!” sahut Subali seenaknya. 
Namun Nyi Tiwi justru sungguh-sungguh menang-
gapinya. “Dari kuping? Memangnya bayi itu sebesar 
apa?” 
“Sebesar cengkerik!” 
“Hihihihihiiii..!” Nyi Tiwi memegangi kedua kuping-
nya. “Nanti kalau bayi itu keluar, Kupingku pasti geli... 
pasti seperti dikilik-kiiik. Hihihihihiiiii...!” 
Subali hanya tersenyum datar. Sementara pikiran-
nya mulai tak menentu. “Sudah berapa puluh perem-
puan yang kugauli... tak seorang pun yang bisa hamil! 
Tapi perempuan gila ini justru bisa hamil! Oh... ini be-
nar-benar aneh!” 
Memang benar. Dari istri dan gundik-gundiknya, 
Subali tidak berhasil memperoleh keturunan. Namun 
justru Nyi Tiwi bisa hamil. Inilah yang membuat Subali 
heran dan resah. 
Pada saat lain Subali berpikir. “Tadinya aku mengi-
ra bahwa aku ini seorang lelaki mandul. Tapi ternyata 
tidak. Perempuan gila itu mulai membuktikan bahwa 
aku seorang lelaki subur. Tapi kenapa justru harus 
dari dia aku punya keturunan?” 
Bagaimanapun juga kehamilan Nyi Tiwi itu membu-
atkan harapan baru di hati Subali. Niatnya untuk 
membunuh Nyi Tiwi, mulai memudar. Subali bahkan 
mulai memanjakan Nyi Tiwi dengan sungguh-sungguh. 
Ya, kini Subali tidak menganggap Nyi Tiwi sebagai 
manusia yang mengganggu ketentramannya. Bahkan 
sebaliknya, Subali menganggap Nyi Tiwi sebagai pe-
rempuan yang harus dimanjakan, karena dalam perut 
Nyi Tiwi tersimpan seorang bayi... tetesan darah Subali  
sendiri. 
Dan hari demi hari merayap terus. Kehamilan Nyi 
Tiwi pun semakin matang. Sampai waktunya tiba... 
untuk melahirkan anak pertama Subali. 

*** 

Lahirlah seorang bayi laki-laki dari rahim Nyi Tiwi. 
Tapi bayinya tidak seperti bayi-bayi biasa. Bayi yang 
Nyi Tiwi lahirkan itu memiliki lengan empat! 
Sebenarnya tidak terlalu aneh. Di dunia ini sering 
terjadi kelahiran bayi yang lain dari biasanya. Ada bayi 
yang tidak bertangan, ada bayi yang tidak berkaki, ada 
bayi yang kembar siam, ada bayi berkepala dua dan 
sebagainya. Dan bayi yang Nyi Tiwi lahirkan itu, memi-
liki tangan empat. 
Subali menyambut kelahiran bayi aneh itu dengan 
perasaan senang bercampur heran. Senang karena ia 
telah memiliki seorang anak, laki-laki pula. Heran ka-
rena ia melihat lengan bayi itu terlalu banyak. “Seperti 
lengan Dewa Siwa saja”, pikirnya. 
Perasaan senang dan heran itu hanya bermukim 
semalam di hati Subali. Karena keesokan harinya ia 
menemukan suatu kenyataan mengejutkan: Bayi itu 
lenyap tanpa bekas! 
Subali sibuk mencari ke segenap pelosok rumah-
nya. Anak buahnya pun sibuk mencari bayi bertangan 
empat itu ke seluruh penjuru Kundina. Namun bayi itu 
tidak ditemukan. 
Sedih sekali hati Subali saat itu. “Oh... kenapa 
anakku bisa hilang begitu saja? Adakah seseorang 
yang sengaja menculiknya? Tapi untuk apa bayi merah 
begitu diculik?” 
Satu hal yang Subali lupakan. Bahwa anaknya itu 
termasuk bayi yang istimewa. Bayi yang luar biasa!  
Berhari-hari Subali dilanda keresahan. Kehilangan 
bayi bertahan empat itu benar-benar mengganggu piki-
rannya. 
Namun Nyi Tiwi tampak senang-senang saja. Tak 
sedikit pun terlihat kehilangan. Bahkan ketika Subali 
mengatakan padanya bahwa bayi itu belum ditemukan 
juga, Nyi Tiwi menyahut seenaknya, “Biar saja, tak 
usah dicari-cari. Mungkin dia sedang bermain-main 
dengan kera di dalam hutan!” 
Dasar sinting, umpat Subali dalam hatinya, mana 
mungkin bayi baru berumur satu hari bisa bermain-
main di dalam hutan segala?! 
Kemudian Subali mengumpulkan seluruh anak bu-
ahnya. Kepada mereka, Subali berkata, bahwa barang-
siapa yang berhasil menemukan bayi itu dalam kea-
daan hidup, Subali akan memberikan hadiah besar. 
Tentu saja anak buah Subali tergiur mendengar ha-
diah yang dijanjikan itu. Mereka lalu berusaha sendiri-
sendiri, untuk menemukan kembali bayi yang hilang 
itu. Pikir mereka, “Bayi itu lain dari yang lain. Maka ti-
daklah terlalu sulit membedakannya dari bayi-bayi bi-
asa.” 
Setiap rumah di Kundina digeledah. Anak buah Su-
bali bahkan mencari sampai ke luar Kundina. 
Tapi mereka selalu kembali dengan tangan hampa. 
Bayi bertangan empat itu tetap lenyap tanpa bekas. 
 
*** 
 
KITA tinggalkan dulu Kundina dan segala kisahnya, 
untuk menengok Kawahsuling yang sudah cukup 
lama tidak diceritakan. 
Keadaan di Kawahsuling sudah benar-benar ber- 
ubah. Rumput liar tumbuh di mana-mana. Rumah-
rumah pun pada kosong. Tiada lagi penghuni yang 
mau tinggal di Kawahsuling. Bahkan istana adipati 
pun tampak kosong-melompong. 
Kawahsuling telah menjadi kota kosong. Dan tam-
paknya sedang mengalami semacam proses untuk 
menjadi hutan! 
Konon pada zaman dahulu, peristiwa seperti itu se-
ringkali terjadi. Yakni ditinggalkannya sebuah kota 
oleh penduduk yang merasa tidak nyaman lagi tinggal 
di situ, kemudian penduduk membuka hutan atau 
membangun pemukiman di daerah kosong, yang lalu 
berubah menjadi kota. 
Pada jilid terdahulu, telah dikisahkan bagaimana 
penduduk Kawahsuling meninggalkan kota kadipaten 
itu, kemudian mengungsi ke daerah lain. Lalu ke mana 
perginya Adipati Prabalaya? Mengapa istananya diting-
galkan begitu saja? 
Rupanya salah seorang kaki tangan Adipati Praba-
laya yang disuruh menyelidik ke sekitar Gunung Lima-
gagak (karena Prabaseta dan kawan-kawannya begitu 
lama tidak kembali ke Kawahsuling), memberikan la-
poran, bahwa ia menemukan kepala-kepala berserakan 
di daerah kaki Gunung Limagagak. Lalu secara diam-
diam Adipati Prabalaya pergi sendiri, untuk membuk-
tikan laporan itu. Dan ternyata benar. Adipati Praba-
laya menemukan kepala-kepala manusia yang sudah 
terlepas dari lehernya itu. Dan yang paling menge-
jutkan, adalah bahwa Adipati Prabalaya pun menemu-
kan kepala ayahnya dan kepala Manusagara (yang 
sangat diandalkannya itu). 
Sadarlah Adipati Prabalaya, bahwa ketujuhpuluh 
tujuh tokoh golongan hitam itu telah menemui ajalnya 
di puncak Gunung Limagagak. Maka dengan perasaan 
 
sedih bercampur ngeri, Adipati Prabalaya segera me-
ninggalkan istananya, menuju kotaraja Tegalinten. 
Setibanya di Tegalinten, Adipati Prabalaya segera 
melaporkan apa yang telah terjadi pada Senapati Pra-
bayani. 
Tentu saja Senapati Prabayani terkejut sekali men-
dengar laporan adiknya itu. 
“Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?!” seru Se-
napati Prabayani dengan air mata berlinang-linang. 
“Sedangkan aku tahu, Kudawulung sendiri kepayahan 
waktu berhadapan dengan Manusagara. Lalu... murid 
Kudawulung mampu membantai ketujuhpuluh tujuh 
tokoh itu, termasuk Manusagara di dalamnya?!” 
“Bagaimanapun juga, demikianlah kenyataannya,” 
kata Adipati Prabalaya. 
Dengan perasaan yang masih berduka, karena men-
dengar berita kematian ayahnya, Senapati Prabayani 
mengepalkan tangannya sambil bergumam, “Rangga... 
Rangga! Pada satu saat aku akan mengadu jiwa de-
nganmu! Kematian ayahku tak boleh dibiarkan berlalu 
begitu saja! Aku harus menuntut balas! Harus!” 
“Memang betul, kita harus menuntut balas atas 
kematian ayah kita. Tapi kita pun harus mengukur 
kekuatan kita sendiri. Tampaknya ada sesuatu yang 
tidak beres di puncak Gunung Limagagak. Mungkin 
ada seorang tokoh yang berdiri di belakang pemuda 
bernama Rangga itu. Dan semuanya itu harus kita 
perhitungkan sebaik-baiknya.” 
“Kalau begitu,” kata Senapati Prabayani, “aku harus 
mencari seorang guru yang benar-benar sakti... untuk 
membinasakan Rangga dan siapa pun yang berdiri di 
belakangnya.” 
Setelah berunding beberapa saat, Senapati Pra-
bayani dan adiknya datang menghadap sang Putra  
Mahkota. 
“Ada berita buruk, Gusti Aria,” ujar Senapati Pra-
bayani. 
“Berita buruk apa lagi?” tanya Aria Pamungkas. 
“Manusagara dan ayah hamba telah tewas di Gu-
nung Limagagak.” 
“Apa?!” Aria Pamungkas terperanjat. 
Senapati Prabayani melanjutkan, “Dan hamba tidak 
dapat membiarkan kejadian ini berlalu begitu saja. 
Hamba berdua harus mampu membalas dendam pada 
si Rangga itu.” 
“Rangga?! Jadi pemuda bernama Rangga itu yang 
membunuh mereka?” 
“Benar, Gusti Aria. Selain daripada itu, di Kawah-
suling pun terjadi suatu peristiwa yang tidak diingin-
kan.” 
Mula-mulanya, kejadian-kejadian di Kawahsuling 
belakangan ini, dirahasiakan pada Aria Pamungkas. 
Tapi pada hari itu Adipati Prabalaya tak mau meraha-
siakannya lagi. Diceritakannya setiap peristiwa yang 
terjadi di Kawahsuling, sampai akhirnya ditinggalkan 
oleh Adipati Prabalaya sendiri. 
Aria Pamungkas bangkit dari singgasananya. Berja-
lan hilir mudik. Dan berkata, “Orang bilang, tidak mu-
dah menjadi pemimpin. Dan orang bijaksana bilang, 
memimpin suatu daerah tanpa jiwa kepemimpinan, 
hanya akan menimbulkan masalah-masalah baru yang 
sebelumnya tak pernah muncul.” 
“Kenyataannya lebih parah lagi,” lanjut Aria Pa-
mungkas. “Pada waktu Adipati Natajaya masih diserahi 
tugas memimpin Kawahsuling, tidak pernah terjadi hal 
yang serupa ini.” 
“Hamba sudah mengakuinya, bahwa hamba tak be-
cus memimpin,” sahut Adipati Prabalaya dengan nada  
kesal, karena merasa terpukul oleh kata-kata Aria Pa-
mungkas tadi. “Kedatangan hamba ke sini pun, justru 
karena ingin meletakkan jabatan hamba sebagai adipa-
ti Kawahsuling.” 
Aria Pamungkas malah menjadi berang. “Bagus! Se-
telah Kawahsuling menjadi daerah kosong, lalu engkau 
mau menghindari tanggung jawab, begitu?” 
Senapati Prabayani cepat-cepat menengahi. “Begini 
Gusti... sebenarnya kami baru saja merundingkan se-
suatu, yang mudah-mudahan ada gunanya bagi ke-
pentingan Gusti Aria.” 
“Apa yang telah kalian rundingkan?” 
“Hamba akan berangkat ke laut barat, untuk men-
cari ibu Manusagara. Mudah-mudahan siluman wanita 
itu bukan hanya akan berdiri di belakang kita, melain-
kan juga mau mengangkat hamba sebagai muridnya.” 
“Lalu?” 
“Kepergian hamba, mungkin akan memakan waktu 
yang cukup lama. Karena itu, kalau Gusti Aria setuju, 
hamba akan memasrahkan kedudukan hamba kepada 
adik hamba.” 
Aria Pamungkas mengernyit. Lalu katanya, “Hal ini 
harus kupikirkan dulu semasak-masaknya. Untuk se-
mentara, Adipati Prabalaya beristirahat sajalah dulu. 
Dan soal kepergian Senapati, nanti kita rundingkan la-
gi.” 
*** 
Sebenarnya Aria Pamungkas merasa kecewa sekali 
mendengar semuanya itu. Setelah ditinggalkan sendi-
rian, Aria Pamungkas berkata di dalam hatinya, “Kalau 
dipikir-pikir... setelah aku dibantu oleh dua orang ber-
saudara itu, persoalan demi persoalan malah berda-
tangan terus. Tadinya aku ingin mendapat dukungan  
orang-orang kuat seperti mereka. Tapi yang terjadi ma-
lah sebaliknya. Aku malah dibikin pusing oleh malape-
taka-malapetaka yang beruntun terjadi di negeri ini! 
Lalu... apakah aku masih harus mempertahankan ker-
jasama dengan mereka? Apakah tidak sebaiknya aku 
mulai memikirkan jalan lain?” 
Namun pada saat itu Aria Pamungkas seperti kata 
peribahasa ‘Tak ada rotan, akar pun jadi’. Bahwa un-
tuk sementara itu Aria Pamungkas belum bisa melihat 
orang lain yang dipandang tepat untuk membantunya. 
Itulah sebabnya, Aria Pamungkas akhirnya menyetujui 
keinginan Senapati Prabayani. Bahwa Senapati Pra-
bayani diizinkan meninggalkan Tegalinten, sedangkan 
kedudukan senapati diserahkan kepada Prabalaya se-
bagai pejabat sementara. 
Lalu apakah semuanya itu akan mendatangkan ke-
sejukan bagi Kerajaan Tegalinten? 
Tidak. 
Pada suatu hari, ketika Senapati Prabayani sudah 
meninggalkan Tegalinten, datanglah seorang pemuda 
ke kotaraja itu, khusus untuk mencari  Senapati Pra-
bayani. 
Pemuda itu adalah Rangga! 
Bisa ditebak, apa tujuan Rangga datang ke kotaraja 
saat itu. Ya, dia memang sudah bertekad untuk meng-
habisi orang-orang dari golongan hitam di seluruh wi-
layah Tegalinten. 
Tentu saja kehadiran Rangga di alun-alun Tegalin-
ten cukup menggemparkan. Karena dengan seenaknya 
ia berteriak-teriak lantang: “Senapati Prabayani! Eng-
kau tidak tepat diangkat menjadi senapati! Aku tahu 
masa lalumu sebagai perempuan iblis! Keluarlah!” 
Prabalaya yang pada saat itu menjabat kedudukan 
panglima sementara, segera diberi laporan oleh salah  
seorang prajurit Tegalinten. 
“Gusti... di alun-alun ada seorang pemuda yang ber-
teriak-teriak menantang Gusti Senapati Prabayani.” 
Prabalaya terperanjat. “Seorang pemuda mencari-
cari kakakku? Apakah dia bukan Rangga?” 
“Be... benar, Gusti. Pemuda itu pernah ditahan di 
sini beberapa bulan yang lalu,” sahut si prajurit. 
“Lalu, sudah kau katakan bahwa kakakku sedang 
tidak ada di sini?” 
“Be... belum, Gusti.” 
“Katakan saja padanya bahwa kakakku sedang ti-
dak ada di kotaraja.” 
“Lalu... apakah hamba harus mengatakan bahwa 
kedudukan senapati sekarang dipegang oleh Gusti?” 
Watak pengecut Prabalaya mulai tampak. Dengan 
tegas ia melarang. “Jangan! Jangan katakan apa-apa 
tentang diriku! Katakan saja bahwa kakakku tidak ada 
di Tegalinten! Itu saja!” 
“Baik, Gusti.” 
Namun sebelum prajurit itu beranjak, tiba-tiba 
Rangga muncul di depan Prabalaya, di dalam gelang-
gang ksatriaan itu! 
Sikap Rangga memang sangat berbeda dengan da-
hulu. Kali ini Rangga muncul dengan pandangan beri-
ngas dan sikap garang. “Hahahahaaa! Tak ada Pra-
bayani, ada adiknya! Ayo maju, hadapi aku secara jan-
tan, Prabalaya!” 
Sebenarnya Prabalaya gentar sekali melihat keha-
diran Rangga itu. Terlebih lagi setelah dilihatnya sikap 
Rangga yang sangat berbeda  kalau dibandingkan de-
ngan dahulu. 
Namun, karena takut kehilangan muka, Prabalaya 
segera melompat ke depan Rangga. Dan Rangga me-
nyahutnya dengan gelak tawa. “Hahahahaaaaa! Sete- 
lah menjadi Adipati Kawahsuling, engkau tidak pernah 
membawa-bawa srigala lagi, ya?” 
“Rangga,” sahut Prabalaya, “sebenarnya sampai 
saat ini aku masih belum mengerti, apa dasarnya se-
hingga engkau begitu memusuhiku? Rasanya di antara 
kita belum pernah terjadi perselisihan yang cukup un-
tuk dijadikan alasan...” 
“Kentut!” sergah Rangga, “Tak usah berpanjang-
panjang bicara! Keluarkan senjatamu dan hadapi ke-
matianmu di tanganku!” 
Tepat pada saat itu pula Aria Pamungkas muncul di 
pinggir gelanggang ksatrian. Dan begitu melihat keha-
diran Rangga di tengah gelanggang itu, Aria Pamung-
kas segera naik ke atas panggung kehormatan, sambil 
berseru, “Prabalaya! Sekaranglah saatnya bagimu, un-
tuk membuktikan apakah kau patut menjabat pangli-
ma sementara atau tidak!” 
Seperti cengkerik dikilik-kilik, Prabalaya kontan 
naik darah dan mencabut tongkat beracun yang dis-
embunyikan di punggungnya. 
Melihat tongkat yang terbuat dari baja hitam dan 
berbentuk seperti ular itu, kontan saja Rangga teringat 
bahwa tongkat itu pernah mencelakakannya dalam pe-
ristiwa beberapa bulan yang lalu. 
“Hahahaa... rupanya tongkat jahanam itu sudah 
diwariskan padamu, Prabalaya!” seru Rangga sambil 
mencabut pedang Saptaraga dari sarungnya... 
sriiiing...!” 
Lalu tampaklah sebilah pedang yang memancarkan 
sinar putih kemerahan... pedang Saptaraga yang dah-
syat! 
Prabalaya pun terundur beberapa langkah. Sinar 
pedang itu menimbulkan kesan tersendiri. Kesan ten-
tang maut yang akan disebarkannya. Kesan yang men- 
dirikan bulu roma Prabalaya. 
Maka dengan cepat pula Prabalaya menggerakkan 
tongkat beracunnya. Menghantamkan bagian kepa-
lanya ke arah leher Rangga. Pada saat yang bersa-
maan, dari mulut ular-ularan itu menyerbu ratusan 
butir-butir racun yang menyerbu ke arah muka Rang-
ga. 
Namun pada saat yang sama Rangga pun sudah 
bergerak sambil menjatuhkan diri ke depan. Dan... 
sreeet... sreeet.... sreeeet... dalam tempo yang begitu 
cepat, terjadi sesuatu yang sangat mengerikan. Tubuh 
Prabalaya bercerai-berai menjadi potongan-potongan 
daging dan tulang berlumuran darah! 
Pada saat berikutnya, Rangga sudah memasukkan 
kembali pedang pusakanya ke dalam sarungnya. 
Suasana di tengah gelanggang ksatrian itu menda-
dak hening. Dan Aria Pamungkas terbelalak di atas 
panggung kehormatannya. Apa yang disaksikannya 
barusan, benar-benar membuatnya serasa bermimpi. 
Benar-benar sulit dipercaya bahwa dalam tempo seke-
jap mata  saja tubuh Prabalaya telah menjadi poton-
gan-potongan daging dan tulang yang berlumuran da-
rah segar! 
Dan cepat pula otak Aria Pamungkas berputar. “A-
langkah hebatnya pemuda bernama Rangga ini! Me-
ngapa aku tidak berpikir untuk memanfaatkannya?” 

*** 

“Rangga! Aku senang sekali melihat kehebatanmu, 
meskipun untuk kesenangan itu aku harus kehilangan 
seorang adipati yang setia,” seru Aria Pamungkas dari 
panggung kehormatan. “Untuk perasaan senangku itu-
lah, aku mengundangmu untuk makan bersamaku di 
ruang cengkerama!”  
Kemudian Aria Pamungkas bertepuk tangan lima 
kali. Dan berdatanganlah dayang-dayang istana yang 
cantik-cantik. Kepada mereka, Aria Pamungkas mem-
beri perintah, “Bawa pemuda itu ke ruang cengkerama, 
untuk menikmati hidangan istana siang ini!” 
Rangga hanya terlongong-longong. Sedikit pun ia ti-
dak mengira bahwa Aria Pamungkas akan mendadak 
‘baik’ padanya. Maka ketika dayang-dayang itu mem-
persilakannya untuk ikut ke ruang cengkerama, akhir-
nya ia menurut juga. 
Di ruang cengkerama, Aria Pamungkas telah me-
nunggu, dengan sikap yang ramah sekali. “Ayo... du-
duklah bersamaku, Rangga! Aku senang melihat pe-
muda perkasa seperti kau! Duduklah... duduklah...!” 
Dengan canggung Rangga duduk di atas hamparan 
permadani indah. Berhadapan dengan Aria Pamung-
kas. 
“Seharusnya aku menghukummu,” kata Aria Pa-
mungkas, “karena engkau telah memasuki istana tan-
pa seizinku. Engkau juga telah membunuh seorang 
adipati yang setia kepada kerajaan.” 
“Tapi,” lanjut Aria Pamungkas, “aku melihat pribadi 
yang teguh dan jujur pada dirimu. Pribadi yang seperti 
itu sangat dibutuhkan oleh kerajaan. Itulah sebabnya 
aku memaafkanmu dan mengundangmu ke mari.” 
Rangga tidak mau menanggapinya. Peristiwa di da-
lam hutan, waktu Prabalaya diperintahkan untuk 
membunuh Aria Lumayung, segera terbayang lagi di 
mata Rangga. Dan Rangga segera pula bisa menilai, 
bahwa berhadapan dengan orang macam Aria Pa-
mungkas itu harus berhati-hati. 
Dayang-dayang istana mulai mempersembahkan 
beraneka macam hidangan lezat. Tapi Rangga tak ter-
giur sedikit pun. Ketika Aria Pamungkas mempersila- 
kannya makan, Rangga bahkan berkata, “Kedatangan 
hamba kemari, untuk mencari Senapati Prabayani. 
Bukan untuk makan.” 
Aria Pamungkas terbelalak. Tentu saja ia tersing-
gung sekali. Karena menurut adat kebiasaan, pantang 
sekali menolak ajakan seorang putra raja. Tapi Rangga 
tenang saja menolak ajakan makan itu. 
Walaupun begitu, Aria Pamungkas berusaha mena-
han diri. Lalu katanya, “Orang berilmu tinggi seperti 
kau, tentu tidak akan dapat dibohongi. Senapati Pra-
bayani tidak ada. Tiga hari yang lalu dia meninggalkan 
Tegalinten ini.” 
Rangga mengernyit. Mengerahkan nalurinya yang 
tajam. Apakah Aria Pamungkas berbohong atau tidak. 
Dan naluri Rangga lalu mengatakan bahwa sang Putra 
Mahkota Tegalinten itu tidak berbohong. 
Lalu kata Rangga, “Gusti Aria tentu dapat memberi 
keterangan kemana perginya perempuan iblis itu.” 
Aria Pamungkas terhenyak. Istilah ‘perempuan iblis’ 
yang Rangga lontarkan tadi, menyinggung perasaan 
sang Putra Mahkota. Karena bagaimanapun juga Pra-
bayani itu seorang senapati kerajaan. Namun di dalam 
hati kecilnya Aria Pamungkas mengakui, bahwa Sena-
pati Prabayani itu patut diberi julukan ‘perempuan ib-
lis’. 
“Apakah engkau sadar bahwa yang kau sebut pe-
rempuan iblis itu seorang senapati kerajaan?” tanya 
Aria Pamungkas sambil menyeringai. 
Bagaimanapun juga Rangga masih menjaga tata-
krama dan menghormati Aria Pamungkas putra mah-
kota. 
“Baiknya,” ujar Aria Pamungkas tegar, “kujelaskan 
saja padamu, bahwa Senapati Prabayani meninggalkan 
istana, tanpa diketahui ke mana tujuannya.”  
“Kalau begitu, hamba harus mencarinya! Ke ujung 
dunia pun akan hamba cari!” Rangga mengundurkan 
diri. “Ampunkan hamba, Gusti Aria, Hamba harus be-
rangkat sekarang juga.” 
Wajah Aria Pamungkas mendadak merah padam. 
“Rangga!” bentak sang Putra Mahkota. “Rupanya 
kedatanganmu ke sini, semata-mata untuk menghina 
kerajaan!” 
“Hamba tidak mengerti, apa yang Gusti maksudkan 
dengan menghina kerajaan? Hamba punya urusan 
sendiri, untuk mencari Prabayani sampai dapat. Sama 
sekali tidak ada hubungannya dengan kerajaan!” 
“Kalau kau tidak bermaksud menghina kerajaan, 
duduklah dulu. Dengarkanlah dulu kata-kataku dan 
jangan pergi sebelum aku memintanya!” 
“Hahahaaaa...! Lain kali saja, Gusti!” sahut Rangga. 
Dan sebelum sempat Aria Pamungkas berkata lagi, 
Rangga sudah lenyap dari pandangannya! 
Dan Aria Pamungkas hanya dapat menghentak-hen-
takkan kakinya dalam perasaan geram sekali. “Kepa-
rat! Benar-benar keparat! Hanya oleh satu orang ber-
nama Rangga, kerajaan dibikin tak berkutik! Tak seo-
rang pun mampu menangkapnya. Apalagi membinasa-
kannya! Oooooh... lantas bagaimana pula aku bisa 
menjadi raja yang berkuasa? Apakah pada zaman ini 
raja-raja pun harus memiliki ilmu kedigjayaan yang ti-
dak kalah dari para pendekar?” 
Dalam perasaan kesalnya, Aria Pamungkas masuk 
ke dalam purinya. Lalu menghempaskan diri ke atas 
peraduannya. 
Pikirannya jauh menerawang. Cita-citanya yang 
tinggi dan cemerlang itu, kini seakan-akan telah diha-
langi awan pekat. 
Dan kini bahkan muncul tanda tanya besar di ha- 
tinya: Tampaknya sekarang ini banyak sekali orang-
orang sakti yang berkeliaran! Seandainya aku sudah 
dinobatkan menjadi raja di negeri ini, mampukah aku 
memegang kekuasaanku tanpa gangguan dari orang-
orang macam si Rangga itu? Oooh... kejadian tadi seo-
lah-olah merupakan peringatan bagiku. Seandainya 
Rangga mau membunuhku tadi, dengan mudah ia bisa 
melakukannya! 
Lalu Aria Pamungkas berkata sendiri: “Oh... sean-
dainya aku mempunyai seorang guru yang jauh lebih 
sakti daripada si Rangga... tentu aku tak usah men-
gandalkan tenaga-tenaga yang kurang bertanggungja-
wab!” 
Dan tiba-tiba... ya... tiba-tiba saja Aria Pamungkas 
mendengar suara: “Kalau yang dicari hanya seorang 
guru, hari ini pun engkau akan mendapatkannya, wa-
hai Putra Mahkota Tegalinten!” 
Aria Pamungkas terperanjat. Menoleh ke sekeliling 
purinya. Tapi ia tidak melihat siapa pun. Lalu ia berge-
gas lari ke luar purinya. Hanya ada dua orang prajurit 
yang sedang menjaga pintu puri. 
“Apakah kalian melihat orang masuk ke sini tadi?” 
tanya Aria Pamungkas. 
“Tidak, Gusti,” sahut kedua prajurit itu serempak. 
“Ah... apakah aku tidak salah dengar tadi?” gumam 
Aria Pamungkas sambil menggaruk-garuk kepalanya. 
“Tadi jelas sekali, aku mendengar suara manusia...” 
Tiba-tiba terdengar lagi suara: “Tentu saja prajurit-
prajurit itu tidak akan melihatku, karena aku masih 
berada di luar benteng istana, wahai Putra Mahkota 
Tegalinten!” 
Aria Pamungkas terperanjat lagi. Celingukan lagi ke 
sekelilingnya. Dan bertanya lagi kepada kedua prajurit 
itu: “Kalian mendengar suara itu tadi, bukan?”  
“Su... suara apa, Gusti?” salah seorang prajurit ba-
lik bertanya. 
“Suara manusia! Apakah kalian tidak mendengar-
nya?” 
“Tidak, Gusti.” 
“Oh... apakah kalian sudah tuli, ataukah aku su-
dah... sudah....” Aria Pamungkas tidak melanjutkan 
kata-katanya, karena ia bermaksud mengatakan “apa-
kah pendengaranku sudah tidak beres, apakah aku 
sudah gila?” 
Dan tiba-tiba terdengar lagi suara misterius itu: 
“Tentu saja kedua prajurit itu tidak akan mendengar 
suaraku, karena suaraku khusus kukirimkan untuk 
Putra Mahkota Tegalinten!” 
Aria Pamungkas memegangi kedua pipinya. Dan se-
runya: “Siapa sebenarnya engkau itu? Apakah engkau 
roh yang gentayangan dan tidak bisa dilihat oleh ma-
nusia biasa?” 
Kedua prajurit itu tercengang dan tidak mengerti 
siapa yang diajak berbicara oleh Aria Pamungkas itu. 
Namun Aria Pamungkas mendengar lagi suara itu: 
“Kalau sudah diizinkan, aku akan muncul di hadapan-
mu, wahai Putra Mahkota Tegalinten!” 
“I... iya... muncullah... asalkan maksudmu baik!” 
sahut Aria Pamungkas dengan jantung berdebar-
debar. 
Dan tiba-tiba saja dari langit muncul setitik cahaya 
merah yang makin lama main membesar... makin je-
las... seorang manusia! Seorang lelaki bersayap burung 
di punggungnya! 
Kedua prajurit itu terperanjat. Demikian pula Aria 
Pamungkas. “Kau... kau... siapa kau?” 
Manusia bersayap burung itu menjawab, “Nanti 
akan kuterangkan siapa diriku! Sekarang jawablah du- 
lu pertanyaanku... apakah engkau benar-benar mem-
butuhkan seorang guru?” 
“Iya... aku sangat membutuhkan seorang guru... 
oh.... silakan masuk ke puriku...” sahut Aria Pamung-
kas tergagap. 
Tapi sebelum mengikuti langkah Aria Pamungkas, 
lelaki bersayap itu menoleh ke arah dua prajurit yang 
sedang ternganga heran. Dan lelaki bersayap itu ber-
kata, “Kalian tidak boleh memberitahu kehadiranku 
pada siapa pun! Sebagai jaminan bahwa kalian akan 
memegang rahasia, mulai saat ini juga kalian berdua 
akan menjadi dua orang manusia bisu!” 
Tanpa menggerakkan anggota badannya sedikitpun, 
lelaki bersayap itu membuktikan ucapannya.... Kedua 
prajurit itu mendadak bisu. 
“Glek... glekkk... gekkk....” kedua prajurit itu tam-
pak kebingungan, karena mereka mendadak tak dapat 
mengeluarkan suara apa-apa dari mulutnya. 
Aria Pamungkas gemetaran juga dibuatnya. Namun 
sebagaimana biasa, Aria Pamungkas tak peduli dengan 
nasib siapa pun, asalkan dirinya sendiri selamat dan 
berhasil mencapai keinginannya. 
Kemudian dengan sikap yang sangat ramah, Aria 
Pamungkas berkata, “Marilah ikut aku ke puriku!” 
Manusia bersayap itu tergelak. “Hahahahaaaaa... 
rupanya engkau bisa berbuat ramah juga, wahai Putra 
Mahkota Tegalinten!” 
Aria Pamungkas yang masih merasa seperti ber-
mimpi, lalu menyahut, “Tentu saja! Selamanya aku bi-
sa membedakan mana yang patut kuhormati dan ma-
na yang tidak patut kuhormati! Dan sekarang aku ber-
hadapan dengan tokoh yang benar-benar perkasa! Ba-
gaimana mungkin aku berani bertindak gegabah?” 
Manusia bersayap itu tergelak-gelak lagi.  
Sementara kedua prajurit itu masih kebingungan, 
karena mereka tak dapat berbicara apa-apa lagi. 
 
*** 
  
KITA tinggalkan dulu istana Tegalinten yang sedang 
mendapat kunjungan manusia aneh itu. Selanjut-
nya, marilah kita ikuti perjalanan Rangga kembali. 
Berkat ilmu tinggi yang dimilikinya, Rangga hanya 
memerlukan waktu setengah hari saja untuk mencapai 
persimpangan jalan menuju Tilugalur. Tadinya Rangga 
bermaksud menuju Kawahsuling. Namun ketika meli-
hat persimpangan tiga itu, Rangga merandek. Lalu me-
langkah ke selatan. 
Ke arah Tilugalur yang sudah menjadi kampung 
mati itu! 
Ingatannya tentang peristiwa mengerikan beberapa 
tahun yang lalu itu, membuat batinnya tergetar. Tapi 
Rangga yang sedang dirasuki hawa panas dari pedang 
Saptaraga, segera dapat menindas segala perasaan ha-
runya. Kemudian ia melangkah... melangkah terus ke 
selatan. 
“Kampungku sudah hampir jadi hutan,” pikir Rang-
ga sambil memandang ke arah rumahnya yang sudah 
tampak seperti rumah hantu. 
Semua rumah di Tilugalur memang sudah mirip ru-
mah hantu. Semuanya kosong. Semuanya menimbul-
kan kesan menyeramkan. Dan Rangga sedikit pun ti-
dak takut. 
Di depan rumahnya, Rangga bahkan berteriak: 
“Hoooi....! Mana anakku? Keluarlah segera! Ini ayahmu 
datang!” 
Suara Rangga bergema ke segenap penjuru Tiluga-
lur, karena kampung kosong itu berada pada daerah 
lembah. Kudawulung pernah menceritakan asal-usul 
Tilugalur itu, yang konon bekas Telaga Darana yang te-
lah mengering dan menjadi perkampungan. 
Rangga mengulangi seruannya: “Anakku yang terla-
hir dari Tineng, kuharap keluar! Jumpailah ayahmu 
ini! Aku ingin berkenalan denganmu!” 
Tiba-tiba tanah di depan Rangga retak-retak. Dan... 
muncullah sebentuk kepala yang aneh... kepala anak 
kecil, tapi dipenuhi oleh sisik, tak ubahnya kepala 
ular! 
Rangga terundur selangkah. “Engkau anakku?” 
Glagaaaaar... tanah di depan Rangga muncrat ke 
atas, seperti gunung meletus. Dan muncullah sosok 
aneh itu di depan Rangga. Sesosok anak kecil yang se-
kujur tubuhnya dipenuhi dengan sisik. 
“Ssssssss...!” hanya itu yang terdengar dari mulut 
anak bersisik ular tersebut. 
“Engkau anakku?” Rangga mengulangi pertanyaan-
nya. 
“Sssssss...!” anak bersisik ular itu mengangguk, de-
ngan pandangan seperti minta dikasihani. 
Rangga menubruk dan memeluk anak bersisik ular 
itu. “Oh, anakku! Kenapa engkau tidak dapat berbicara 
seperti ayahmu ini?” 
Anak bersisik ular itu hanya mengeluarkan bunyi 
desis seperti suara ular. Dan ketika lidahnya terjulur, 
barulah Rangga tahu bahwa lidah anak itu pun sangat 
mirip lidah ular. 
“Aku sengaja datang ke sini, hanya untuk menjem-
putmu, anakku. Aku percaya, engkau mau mengikuti-
ku, bukan?” 
Anak bersisik ular itu seperti mau menyahut. Tapi 
tiba-tiba saja terdengar suara bergemuruh dahsyat di  
sebelah timur sana. 
Dan ketika Rangga menoleh ke sebelah timur... 
tampaklah pohon-pohon bertumbangan. Tanah yang 
Rangga pijak pun terasa bergetar dahsyat. 
Dan tiba-tiba saja muncul sesosok tubuh yang 
membuat Rangga tercengang! 
 
 
TAMAT 
 

Catatan Editor: 
Sayang sekali, buku cerita yang menarik ini ‘ditamatkan’ 
oleh  penerbit cuma sampai buku ketujuh ini. Padahal 
masih banyak hal yang belum terselesaikan: tentang na-
sib Prabayani, tentang nasib anak Nyi Tiwi, tentang Mes-
tika Lidah Naga-nya sendiri, tentang kelanjutan hubung-
an Rangga dan Nilamsari, dll., dll.