Mestika Lidah Naga 1

LELAKI muda itu turun dari pedati di batas utara 
Desa Tilugalur. 
“Terima kasih, Mang. Benar-benar tak mau singgah 
dulu di rumahku?” lelaki muda itu membetulkan letak 
gembolannya. 
“Lain kali saja, Rangga. Aku harus tiba di Kawah-
suling besok pagi,” sais pedati itu menarik tali kenda-
linya. Dan pedatinya bergerak lagi ke arah timur. 
Lelaki muda yang dipanggil Rangga itu melambai-
kan tangannya. Lalu melangkah ke selatan, dengan 
senyum di bibirnya. 
“Tineng pasti menyambutku dengan gembira,” pikir 
lelaki muda bernama Rangga itu, “Lima bulan aku me-
ninggalkannya. Tapi sekarang aku pulang dengan oleh-
oleh yang tidak bisa didapatkan di Tilugalur ini. O, 
ya... apakah Tineng sudah melahirkan? Waktu aku 
pergi lima bulan yang lalu, dia sedang mengandung. 
Mungkin sekarang kandungannya sudah tua... atau 
mungkin juga sudah... Eh...? Kenapa kampungnya jadi 
sunyi begini?” 
Rangga menoleh ke kanan kirinya, dan ia mulai me-
nyadari keganjilan itu, bahwa kampung halamannya 
begitu sunyi, sungguh lain dari biasanya. 
Ketika Rangga melangkah terus ke selatan, di mana 
rumah-rumah berderet di kanan-kiri jalan yang tengah 
dilangkahinya, suasana lain dari biasanya itu semakin 
terasa olehnya. 
“Pintu-pintu terbuka... tapi tidak tampak seorang 
manusia pun!” Rangga mempercepat langkahnya, ingin 
segera tiba di rumahnya. 
Mentari hampir terbenam di ufuk barat ketika 
Rangga tiba di depan rumahnya. 
“Pintu rumahku juga terbuka lebar. Tapi ke mana 
Tineng?” Rangga bergegas memasuki pekarangan ru-
mahnya. 
“Tineng! Aku pulang, Tineng!” Rangga berseru di 
ambang pintu. 
Tidak terdengar sahutan. Rangga memanggil-
manggil lagi, “Tineng! Tineng...!” 
Dan... tiba-tiba saja Rangga memekik, karena dili-
hatnya sesosok tubuh perempuan hamil tergeletak di 
lantai, “Tineeeeng...!” 
Rangga memburu tubuh yang tergeletak itu. Tubuh 
istrinya itu. Dan Rangga menemukan satu kenyataan, 
perempuan hamil itu tak bernyawa lagi! 
Rangga memeluk tubuh tak bernyawa itu. “Tineng... 
oh, Tineng! Apa sebenarnya yang telah terjadi? Menga-
pa orang-orang membiarkanmu tergeletak begini? 
Mengapa tiada seorang pun yang mengurusi jenazah-
mu?” 
Rangga mengangkat mayat istrinya, lalu meletak-
kannya di atas dipan bambu. Kemudian ditutupnya 
mayat itu dengan kain. Dan air mata berjatuhan dari 
kelopak mata lelaki muda itu. 
“Oh, Tineng panutanku! Kalau aku tahu akan begini 
jadinya, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian,” 
Rangga mulai menangis, benar-benar menangis. 
Ketika tangisnya mulai reda, Rangga melangkah ke 
luar rumahnya, pada saat udara mulai memburam. 
“Aku harus memberitahu Juragan Lurah, sekalian 
menanyakan kenapa kematian istriku tidak ada yang 
mengetahui,” Rangga berlari menuju rumah lurah Ti-
lugalur. 
Pintu rumah lurah pun terbuka lebar. Tapi Rangga 
tidak berani masuk begitu saja. Ia hanya berdiri di de-
kat pintu yang terbuka itu, sambil berseru perlahan, 
“Sampurasun!” 
Tak terdengar sahutan. 
 Rangga agak memperkeras suaranya.  “Sampura-
suuuun...!” 
Tak juga terdengar sahutan, sehingga Rangga mem-
beranikan diri menengok-nengok ke dalam, lewat pintu 
yang ternganga itu. 
Dan Rangga melihat pemandangan mengerikan di 
dalam rumah itu... Lurah Tilugalur dan keluarganya 
bergeletakan di lantai dalam keadaan tak bernyawa la-
gi! 
“Agan Lurah!” pekik Rangga di ambang pintu rumah 
lurah, tanpa berani masuk ke dalamnya. 
Dalam kepanikannya, Rangga memukul-mukul ken-
tongan yang tergantung di depan rumah lurah. 
Trong... trong... tong.. tong.. tong.. tong.. tong...! 
“Kumpul! Kumpuuul! Gan Lurah dibunuh orang! 
Kumpuuul” Rangga berteriak-teriak sambil terus-
terusan memukuli kentongan itu. 
Lama juga Rangga memukul kentongan di depan 
rumah lurah itu. Tapi... tak seorang manusia pun da-
tang! Padahal biasanya penduduk Tilugalur sangat pa-
tuh, begitu mendengar bunyi kentongan langsung ber-
hamburan menuju rumah lurah, untuk mendengarkan 
apa yang harus mereka lakukan. 
Matahari sudah tenggelam. Rembulan baru mem-
perlihatkan diri sebagian di ufuk timur. 
Rangga lelah sendiri, memukuli kentongan tanpa 
hasil. Kemudian ia meninggalkan pekarangan rumah 
lurah sambil berteriak-teriak, “Rakyat Tilugalur! Ke 
mana kalian semua?” 
Tilugalur tetap sunyi. 
“Hai! Ke mana kalian? Agan Lurah sekeluarga dan 
istriku dibunuh orang! Keluarlah!” Rangga berteriak-te-
riak terus sambil melangkah ke salah satu rumah yang 
terletak paling dekat dengan rumah lurah. 
 Pintu rumah itu pun terbuka. Dan Rangga meng-
hampiri pintu rumah itu. Ketika Rangga berada di am-
bang pintu yang terbuka itu, lagi-lagi ia melihat mayat-
mayat bergelimpangan di lantai! 
“Waaak! Di rumah ini juga banyak mayat! Gustiiii... 
apa sebenarnya yang telah terjadi?” Rangga bergegas 
meninggalkan rumah itu. 
Lalu ia berlari ke rumah lain. Dan lagi-lagi ia me-
nemukan hal yang sama. Hanya mayat dan mayat saja 
yang ditemukan olehnya. 
“Seluruh penduduk Tilugalur mati! Oooh... di sana-
sini mayat!” Rangga berlari-lari dalam kepanikannya. 
Dan lalu ia berteriak-teriak seperti orang gila, 
“Mayaaat! Mayaaaat!” 
Tak peduli dengan mayat istrinya yang belum diku-
burkan, tak peduli dengan mayat-mayat penduduk Ti-
lugalur yang bergeletakan di rumahnya masing-
masing, Rangga berlari sekuat-kuatnya ke arah utara. 
Ketika Rangga tiba di batas utara Desa Tilugalur, di 
tempat ia turun dari pedati tadi, tiba-tiba terdengar 
suara menegurnya, “Ada apa, orang muda?” 
Hampir saja Rangga memekik saking kagetnya, ka-
rena tahu-tahu seorang kakek-kakek berpakaian serba 
putih berdiri di depannya. Sinar rembulan yang jatuh 
di wajah kakek-kakek berjanggut panjang putih itu, 
memperlihatkan seraut wajah  bijaksana dan mampu 
menimbulkan ketentraman bagi siapa pun yang meli-
hatnya. Termasuk Rangga. 
“Ka... kakek si... siapa?” tanya Rangga tergagap. 
Kakek-kakek berpakaian serba putih itu menjawab 
“Siapa diriku, tidak penting bagimu. Yang jelas, tadi 
aku mendengar bunyi kentongan bertalu-talu. Dan 
aku yakin bunyi kentongan itu datang dari kampung 
ini.” 
 
“Benar. Akulah yang memukul kentongan itu. Aku 
baru pulang dari kotaraja. Dan... aku melihat istriku 
sudah tergeletak mati... seluruh penduduk kampung 
ini sudah mati! Aku tidak tahu malapetaka apa sebe-
narnya yang telah terjadi di kampung ini... Oh... aku 
pun tidak tahu apa yang harus kulakukan...” Rangga 
tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, karena ha-
tinya terlarut dalam kesedihan lagi. 
Tapi kakek-kakek berpakaian serba putih itu seperti 
tidak membutuhkan keterangan Rangga lebih lanjut. 
Ia meninggalkan Rangga begitu saja, lalu melangkah 
ke selatan, ke Desa Tilugalur yang sudah dilanda ma-
lapetaka itu. 
“Kakek!” Rangga mengejar kakek-kakek itu, “Mau 
ke mana? Jangan tinggalkan aku, Kek. Aku... aku ta-
kut!” 
Kakek-kakek itu melangkah terus tanpa menoleh ke 
belakang. Tapi terdengar suaranya ditujukan kepada 
Rangga, “Seorang laki-laki tidak boleh menyimpan rasa 
takut di dalam hatinya.” 
Dan Rangga tidak tahu bagaimana caranya, tahu-
tahu si Kakek sudah memegang obor yang menyala! 
Dengan obor itu si Kakek memasuki salah satu ru-
mah yang terletak paling utara. Dan Rangga mengiku-
tinya dari belakang. 
Di dalam rumah itu ada dua sosok mayat. Dua-dua-
nya mayat perempuan. Dan kakek-kakek itu terbela-
lak, lalu berkata, “Peristiwa dahsyat itu telah terjadi. 
Dan aku terlambat datang ke kampung ini.” 
“Mak... maksud Kakek?” Rangga terheran-heran. 
Kakek-kakek itu seperti sangat menyesal. Lalu ka-
tanya, “Bertahun-tahun aku menunggu di puncak Gu-
nung Limagagak, hanya untuk sesuatu yang sia-sia. 
Telur itu keburu menetas sebelum aku sempat me-
 manfaatkan mukjizatnya. Hmm... nasibku memang 
kurang mujur.” 
Rangga semakin tidak mengerti. 
Dan tampaknya kakek-kakek itu memaklumi kehe-
ranan Rangga. Kata kakek-kakek itu lagi, “Lihatlah ti-
tik hijau di dahi perempuan malang ini.” 
Memang benar. Di dahi kedua mayat perempuan itu 
tampak titik hijau sebesar ujung lidi. 
“Nanti semuanya akan kuterangkan,” kata si kakek. 
“Sekarang marilah kita cari korban lainnya, kalau-
kalau ada perempuan hamil tua.” 
“Perempuan hamil?!” 
“Ya. Apakah kau melihat ada perempuan hamil 
yang jadi korban?” 
“Ada. Istriku sendiri!” 
“Hah?! Ayo cepat kita ke sana! Jangan sampai ter-
lambat!” 
Mereka lalu berlari menuju rumah Rangga. 
Tetapi mereka benar-benar sudah terlambat. Jena-
zah Tineng masih berada di bangku bambu itu. Namun 
perut Tineng itu... sudah kempes! 
“Tadi perutnya masih besar! Kenapa sekarang jadi 
kempes?” Rangga mau menyentuh perut mayat itu, ta-
pi si kakek menarik tangan Rangga. 
“Jangan! Jangan sentuh mayat istrimu!” 
Rangga terpana dan semakin tak mengerti. 
“Sekarang semuanya sudah jelas bagiku. Marilah 
kita tinggalkan kampung ini,” kakek-kakek itu meraih 
lengan Rangga. 
“Tapi... mayat istriku itu...” Rangga ragu-ragu men-
gikuti kakek itu. 
“Biarkan saja. Besok pagi mayat-mayat di kampung 
ini akan lenyap semuanya.” 
“Lenyap?!” 
 “Ya. Besok akan kuceritakan semuanya.” 
Bulan purnama tertutup awan tipis. Tapi cahayanya 
masih mampu menyinari bumi. Dan Desa Tilugalur 
tampak remang-remang, sebagai desa yang lengang 
dan menyeramkan. 
Semilir angin malam menggoyangkan daun-daun 
bambu yang tumbuh di sana-sini, menimbulkan bunyi 
gemerisik lembut. 
Rangga dan kakek-kakek berpakaian serba putih 
itu meninggalkan Desa Tilugalur, dengan kepala ter-
tunduk. 
 
*** 
 
 BEGITU tiba di batas utara Tilugalur, Rangga meng-
alami peristiwa yang aneh dan tidak masuk di 
akalnya. Mula-mula ia merasa pergelangan tangannya 
digenggam oleh kakek-kakek berpakaian serba putih 
itu, kemudian ia mendengar si kakek mengucapkan 
sesuatu yang tidak jelas dan... tahu-tahu ia merasa tu-
buhnya seperti melesat demikian cepatnya, sehingga ia 
memejamkan matanya saking ngerinya. Ketika ia 
membuka kembali matanya, ia sudah berada di daerah 
yang gelap dan dingin sekali. 
“Kakek... di mana kita berada sekarang? Aku belum 
pernah menginjak daerah ini!” Rangga menggigil kedi-
nginan. 
“Kita berada di puncak Gunung Limagagak,” sahut 
si kakek. 
“Gunung Limagagak?! Oh... bagaimana mungkin?!” 
Rangga menggosok-gosok matanya dan memperhati-
kan lagi alam sekitarnya. Tidak tampak apa-apa, kare-
na gunung tinggi itu selalu diselimuti kabut. 
 
Sebelum Rangga sempat bertanya lagi, tiba-tiba saja 
si kakek melemparkan sehelai kulit binatang padanya, 
sambil berkata, “Pakailah kulit itu untuk selimut, lalu 
tidurlah. Jangan bertanya apa-apa lagi.” 
Kulit binatang itu sangat lebar. Dan Rangga menye-
limutkannya ke badannya. Tapi bagaimana mungkin ia 
bisa tidur di alam terbuka sedingin itu? 
Rangga lalu duduk di atas batu besar, sambil mere-
nungkan kembali apa yang telah dialaminya. Dan  si 
kakek tidak terdengar lagi suaranya. 
Udara pun semakin dingin saja rasanya. Tapi Rang-
ga yang sedang mengenang masa-masa indahnya ber-
sama Tineng, tidak lagi mempedulikan kedinginan 
puncak gunung berkabut di tengah malam itu. 
Rangga bahkan mencucurkan air matanya lagi. Dan 
ketika kesedihannya sudah mencapai puncaknya, ia 
menangis tersedu-sedu. 
Tidak terdengar suara si kakek. Mungkin ia sengaja 
membiarkan Rangga melampiaskan kesedihannya da-
lam tangis. 
Dan ketika pagi mulai tiba, ketika sinar matahari 
berusaha menembus kepekatan kabut yang menyeli-
muti puncak Gunung Limagagak, Rangga masih belum 
dapat memicingkan matanya. 
“Siapa namamu, orang muda?” tanya si kakek yang 
tiba-tiba saja muncul di depan Rangga. 
“Namaku Rangga. Dan Kakek sendiri... mengapa ti-
dak mau memperkenalkan nama padaku?” 
Si kakek tersenyum lembut dan menjawab, “Aku 
sudah melupakan namaku. Tapi orang-orang menjulu-
ki aku sebagai Kudawulung.” 
“Kudawulung?!” Rangga terperanjat dan terundur 
beberapa langkah. 
“Benar,” sahut Kudawulung. “Kenapa kau terkejut 
 mendengar namaku?” 
“A... aku sering mendengar nama besar itu... seba-
gai nama yang sangat ditakuti orang-orang!” 
“Apakah aku memang menakutkan?” tanya Kuda-
wulung sambil tersenyum. 
“Ti... tidak,” sahut Rangga tergagap. “Ka... kakek ke-
lihatannya ba... baik.” 
Kakek-kakek bergelar Kudawulung itu tertawa ter-
gelak-gelak. Tapi ketika mulutnya masih tertawa-tawa 
itu, air matanya mengalir dengan derasnya. 
Tapi Rangga tidak memperhatikan keanehan itu. 
Rangga juga tidak tahu bahwa tokoh besar bergelar 
Kudawulung itu jauh lebih hebat daripada dugaannya. 
Dan Rangga juga tidak tahu bahwa salah satu keane-
han Kudawulung, adalah bisa tertawa sambil menan-
gis! 
Rangga juga tidak memperhatikan bunyi tawa Ku-
dawulung itu, yang sebenarnya lebih mirip ringkikan 
seekor kuda! 
Setelah tawa anehnya reda, Kudawulung berkata, 
“Sebenarnya aku selalu menyendiri dalam menjalani 
sisa-sisa hidupku ini. Tapi sekarang takdir memperte-
mukan kita, sebagai dua orang yang senasib. Itulah 
sebabnya aku bermaksud untuk mengajakmu bersa-
maku, Rangga.” 
Siapa sebenarnya Kudawulung itu? Mengapa ia 
berkata bahwa ia senasib dengan Rangga? 

*** 

Pada masa mudanya, Kudawulung bernama Sude-
sa. Gelar Kudawulung sama sekali belum dikenal saat 
itu. 
Sudesa bekerja sebagai pengurus kuda-kuda milik 
Adipati Nawanggana. Sebagai tukang kuda, tentu saja 
 Sudesa hanya dianggap sebagai manusia jelata. Tetapi 
ia dikaruniai wajah yang tampan dan kulit yang cemer-
lang, laksana seorang putra bangsawan. 
Kecemerlangan Sudesa diperhatikan secara diam-
diam oleh putri Adipati Nawanggana, bernama Rupati. 
Putri yang cantik jelita itu seringkali datang ke dekat 
istal (kandang kuda), hanya untuk memandang ke-
tampanan Sudesa. 
Terlalu seringnya Rupati memperhatikan ketampa-
nan Sudesa, membuat putri Adipati Nawanggana itu 
jatuh hati. Sering Rupati berpikir, “Ah... sebenarnya 
Sudesa tidak kalah tampan oleh putra-putra bangsa-
wan mana pun. Terlebih lagi kalau ia diberi pakaian 
yang pantas, pasti ia akan mirip dewa yang turun dari 
Kahyangan.” 
Sudesa sendiri belum menyadari bahwa dirinya se-
ring diperhatikan oleh putri majikannya. Dan tentu sa-
ja Sudesa tidak berani membalas senyum manis Rupa-
ti yang seringkali dilayangkan padanya. Sudesa hanya 
mengira bahwa putri majikannya itu seorang gadis 
yang baik hati dan selalu memperhatikan hamba-
hamba ayahnya. 
Sampailah pada suatu hari... Rupati meminta Su-
desa mengantarkannya ke Telaga Darana. Sudesa me-
rasa heran juga, karena seharusnya Rupati minta di-
antarkan oleh dayang-dayang kadipaten. Tidaklah wa-
jar seorang tukang kuda mengantarkan putri seorang 
adipati. 
Namun Rupati yang bisa membaca keheranan Su-
desa, berkata, “Aku ingin membicarakan sesuatu pa-
damu. Kebetulan sekarang Rama Adipati sedang pergi 
ke kotaraja bersama ibundaku.” 
Maka tanpa bertanya apa-apa lagi, Sudesa mengi-
kuti kehendak putri majikannya, menuju Telaga Dara-
 na yang letaknya tidak begitu jauh dari istana kadipa-
ten. 
Setibanya di tepi telaga yang berair bening itu, Ru-
pati merebahkan diri di atas rumput hijau, sambil ber-
kata, “Duduklah di dekatku sini, Sudesa. Aku ingin 
berbicara padamu. Tapi seekor semut pun tidak boleh 
ikut mendengarkan apa yang akan kukatakan pada-
mu.” 
Dengan heran dan ragu, Sudesa menghampiri putri 
majikannya. Tapi tidak berani terlalu dekat. 
“Ke sini...” tiba-tiba saja Rupati bangkit dan meng-
genggam pergelangan tangan Sudesa, lalu tangan yang 
halus itu meraihnya. 
“Gu... Gusti Putri...!” Sudesa gelagapan, karena ia 
diraih sedemikian rupa, sehingga ia terduduk merapat 
di samping putri majikannya. 
Sudesa berusaha untuk menjauhkan diri dari putri 
majikannya. Tapi gadis jelita itu mencengkeram lengan 
Sudesa, sehingga akhirnya Sudesa tertunduk dengan 
jantung memukul-mukul kencang. 
“Sudesa,” kata Rupati setengah berbisik, “tahukah 
kau bahwa selama ini aku selalu memperhatikanmu?” 
“Be... betul... Gusti Putri ba... baik sekali kepada 
hamba,” sahut Sudesa tanpa berani memandang wajah 
lawan bicaranya. 
Rupati tersenyum manis. Lalu mendekatkan bibir-
nya ke telinga Sudesa dan berbisik, “Sebenarnya aku 
mencintaimu, Sudesa.” 
“Gusti Putri?!” Sudesa terperanjat dan berusaha un-
tuk menepiskan pelukan Rupati. Namun pelukan itu 
bahkan semakin erat. 
“Tidak ada yang perlu kau herankan,” kata Rupati. 
“Seorang perempuan mencintai seorang laki-laki itu 
merupakan kodrat yang biasa terjadi di mana-mana, 
 bukan?” 
“Be... betul. Tapi Gusti Putri bukanlah tandingan 
hamba,” sahut Sudesa sambil menundukkan kepala-
nya. “Kedudukan hamba jauh di bawah kehinaan, se-
dangkan Gusti Putri di puncak keagungan. Bagaimana 
mungkin hamba berani melangkahi jarak itu?!” 
“Tapi sekarang jarak itu sudah tidak ada lagi, bu-
kan?” Rupati kembali menggenggam pergelangan ta-
ngan Sudesa. Dan kehangatan telapak tangan yang 
halus lembut itu seakan-akan menjalar sampai ke ulu 
hati Sudesa. 
Tapi Sudesa tetap tahu diri. Ia tidak berani memba-
las perlakuan mesra Rupati. Ia hanya membiarkan se-
muanya itu berjalan sesuka hati putri majikannya, 
tanpa berani menggerakkan anggota badannya sedikit 
pun. 
Namun sebagai pemuda yang sedang menanjak re-
maja, Sudesa tidak bisa menipu dirinya sendiri. Jauh 
di dalam hatinya terselip perasaan aneh, yang belum 
pernah dirasakan sebelumnya. 
Dan sepulangnya dari Telaga Darana, Sudesa ter-
menung-menung sendiri di istal Adipati, mengenang 
kembali kejadian indah yang baru dialaminya. Ia tidak 
menyangkal bahwa secercah kebahagiaan menyelusup 
ke dalam sanubarinya. Tapi manakala ia menyadari 
siapa dirinya dan siapa Rupati, kebahagiaan itu pun 
seolah-olah ditikam oleh keperihan. 
Sudesa pun lalu teringat pada bisikan Rupati sebe-
lum meninggalkan Telaga Darana tadi. “Besok pagi kita 
berjumpa lagi di sini. Tapi sebaiknya kita jangan pergi 
bersama-sama dari kadipaten, supaya orang lain tidak 
mencurigai kita.” 
Sudesa tidak tahu apakah bisikan itu perintah seo-
rang putri majikan atau ajakan seorang kekasih. Yang 
 pasti, keesokan paginya Sudesa pergi seorang diri ke 
Telaga Darana, untuk memenuhi keinginan Rupati. 
Telaga yang dikelilingi hutan belukar itu tampak 
sunyi. Dan Sudesa mengira bahwa ia harus lama me-
nunggu di tepi telaga itu. Namun ternyata Rupati telah 
lebih dahulu tiba di tempat sunyi itu. Rupati memang-
gil Sudesa dari balik semak-semak, “Sudesa!” 
Sudesa menengok ke arah datangnya suara itu. La-
lu dilihatnya tangan gadis melambai-lambai. Dengan 
jantung berdegup-degup Sudesa menghampiri pemilik 
tangan indah itu. 
Dan... ah, betapa menggigilnya hasrat Sudesa demi 
dilihatnya senyum Rupati yang sedang berlutut di ba-
lik semak-semak itu. 
“Di sini sangat aman dan tersembunyi,” desis Rupa-
ti sambil meraih tangan Sudesa demikian kuatnya, se-
hingga Sudesa terjerembab dan terhempas ke dada 
Rupati. 
“Gu... Gusti Putri...!” hanya itu yang terlontar dari 
mulut Sudesa ketika pipinya bergeseran dengan pipi 
Rupati. 
Tapi Rupati memang sengaja menggeserkan pipinya 
yang hangat dan lembut itu ke pipi Sudesa. Dan hal 
itu diulanginya... diulanginya terus, sehingga batin 
Sudesa serasa melayang-layang tak menentu, dihem-
bus badai asmara yang tak mengenal kasta! 
Dan ketika badai asmara itu masih menderu-deru, 
Sudesa mendengar suara Rupati, “Bagaimana sepu-
langnya dari sini kemarin? Apakah kau memikirkan di-
riku?” 
Sudesa tidak berani menjawab. 
“Kenapa kau diam? Apakah kau tidak memikirkan 
diriku sedikit pun?” lagi-lagi Rupati merapatkan pi-
pinya ke pipi Sudesa. 
 “Hamba hanya berani memikirkan Gusti Putri seba-
gai putri majikan hamba, yang harus hamba hormati 
sedalam-dalamnya,” kata Sudesa dengan kepala tetap 
tertunduk. 
“Tidak lebih dari itu?” Rupati tampak kecewa. 
“Hamba tidak berani berpikir lebih dari itu, Gusti 
Putri.” 
“Ah... kalau begitu jelaslah, aku ini hanya bertepuk 
sebelah tangan. Mungkin kau telah menyimpan gadis 
lain di dalam hatimu.” 
“Bukan begitu, Gusti Putri. Hamba hanya merasa 
bahwa diri hamba terlalu hina untuk disejajarkan de-
ngan Gusti Putri.” 
“Sekarang kita telah duduk sejajar. Mengapa kau 
masih mempersoalkannya?” 
“Ampun, Gusti Putri. Hamba memang tidak bisa 
menentang kodrat hamba sebagai seorang laki-laki. 
Tapi hamba merasa tidaklah pada tempatnya untuk 
memikirkan Gusti Putri secara kodrat hamba.” 
Begitulah selalu jawaban Sudesa pada mulanya. Na-
mun secara sadar atau tidak, ia selalu memenuhi kei-
nginan Rupati untuk berjumpa di tepi Telaga Darana 
pada hari-hari berikutnya. Dan hal itu membuat Sude-
sa berubah sedikit demi sedikit. Bahkan beberapa 
minggu berikutnya, Sudesa mulai membahasakan 
“Rayi” (Dinda) kepada Rupati, sesuai dengan kehendak 
Rupati sendiri. Rupati pun lalu membahasakan “Ka-
kang” (Kanda) pada Sudesa. 
Dan Telaga Darana jadi saksi bisu tentang pertemu-
an demi pertemuan Rupati dan Sudesa yang telah sa-
ling mencintai. 
Ya, akhirnya Sudesa tidak dapat menyembunyikan 
perasaannya lagi. Bahwa ia sudah sangat mencintai 
Rupati yang rupawan. Sudesa pun tidak lagi mengang-
 gap dirinya sebagai hamba yang harus mengabdi kepa-
da Rupati. Bahkan sebaliknya, Rupatilah yang lalu mem-
perlihatkan tekadnya untuk mengabdi kepada Sudesa. 
Pernah pada suatu hari mereka bercakap-cakap de-
ngan mesranya di tepi Telaga Darana... 
“Rayi Rupati, sekarang kita telah saling mencintai 
begini dalamnya, sehingga aku tak dapat membayang-
kan apa yang akan terjadi pada diriku seandainya Rayi 
dipersunting oleh lelaki pilihan Gusti Adipati kelak.” 
“Jangan takut, Kakang. Walaupun apa yang akan 
terjadi, aku tidak akan menerima lelaki lain sebagai ca-
lon suamiku, kecuali Kakang sendiri.” 
“Tapi sampai kapan kita dapat menyembunyikan 
hubungan kita ini? Rasanya pada suatu saat Gusti 
Adipati akan mencium juga rahasia kita.” 
“Apa pun yang akan terjadi, akan kuhadapi dengan 
tabah. Sekalipun aku diusir dari kadipaten, aku rela, 
asalkan aku tetap berada di sampingmu.” 
Namun ternyata justru pada hari itulah cinta mere-
ka mulai dinaungi awan mendung. Ketika Rupati pu-
lang dari Telaga Darana, Adipati Nawanggana me-
manggilnya. 
“Rupati anakku,” kata Adipati Nawanggana, “Rupa-
nya nasib baik menerangi kehidupanmu. Aku bahagia 
sekali dibuatnya.” 
“Kanjeng Rama, hamba tidak mengerti apa yang di-
maksudkan oleh Kanjeng Rama dengan nasib baik 
yang menerangi kehidupan  hamba itu,” sahut Rupati 
sambil menyimpan kedua tangannya di dahi. 
“Tadi datang utusan dari Pangeran Gandaseta, yang 
maksudnya mau melamarmu.” 
Rupati terkejut sekali mendengar ucapan ayahnya 
itu. Namun ia tidak berani memperlihatkan perasaan 
tidak setujunya, karena tatakrama di dalam lingkun-
 gan para bangsawan pada masa itu sangat keras. Ru-
pati hanya berani bertanya sambil menyembah, “Kalau 
boleh hamba tahu, apakah Kanjeng Rama sudah me-
nerima lamaran itu?” 
“Tentu saja,” jawab Adipati Nawanggana. “Siapa 
yang tidak senang anaknya dilamar oleh seorang pan-
geran yang sangat berpengaruh seperti Pangeran Gan-
daseta?” 
Rupati tertunduk dengan hati bingung. Ia tahu bah-
wa seandainya ia berterus terang kepada ayahnya, 
bahwa ia sudah menjalin hubungan cinta dengan Su-
desa, pastilah Sudesa yang akan menjadi korban ke-
marahan ayahnya. Dan itu tidak dikehendakinya. Ia 
akan memilih dirinya sendiri yang jadi korban daripa-
da membiarkan Sudesa menjadi korban. 
Karena itu Rupati tidak mau menanggapi kata-kata 
ayahnya. Rupati bersikap seakan-akan menyetujui kei-
nginan ayahnya. Namun jauh di dalam hatinya, Rupati 
menyimpan sebuah rencana, “Aku tidak mau dipersan-
dingkan dengan Pangeran Gandaseta. Tapi kalau aku 
menolaknya secara terang-terangan, pasti Kanjeng Ra-
ma akan murka. Maka jalan yang terbaik, adalah me-
larikan diri bersama Kakang Sudesa!” 
Cinta mampu membuat orang menjadi nekad. De-
mikian pula halnya dengan Rupati. Keesokan paginya 
ia memasuki istal, untuk menemui Sudesa. 
Setelah bertemu dengan Sudesa yang tengah mem-
beri makan kuda-kuda sang Adipati, berkatalah Rupa-
ti, “Kakang Sudesa, rupanya sekaranglah saatnya ba-
giku untuk membuktikan cinta kasihku padamu. Kan-
jeng Rama akan menyandingkan aku dengan Pangeran 
Gandaseta. Tapi aku akan memilih pergi selama-
lamanya dari kadipaten ini, asalkan aku tetap bisa 
bersamamu. Karena itu bersiap-siaplah. Nanti malam 
 kita harus meninggalkan tempat ini. Tunggulah aku di 
pintu belakang. Kalau orang-orang sudah tertidur, aku 
akan meninggalkan kamarku, lalu menjumpaimu di 
pintu belakang dan... bersama-sama melarikan diri...!” 
Setelah berkata demikian, Rupati cepat-cepat keluar 
dari istal, meninggalkan Sudesa yang masih terlon-
gong-longong. 
Sudesa tidak tahu apakah rencana yang telah diten-
tukan oleh Rupati itu merupakan jalan keselamatan 
atau jalan menuju malapetaka. Sudesa hanya tahu 
bahwa ia merasa harus memenuhi keinginan Rupati, 
kekasihnya. 
Maka ketika malam tiba, Sudesa mulai bersiap-siap 
di dekat pintu belakang istana kadipaten. 
Lalu... ketika para penghuni istana kadipaten sudah 
nyenyak  tidur sementara para penjaga sedang berca-
kap-cakap di dekat pintu gerbang, tampaklah sesosok 
tubuh perempuan berjalan mengendap-endap menuju 
pintu belakang. Itulah Rupati yang sudah bertekad bu-
lat untuk meninggalkan istana kadipaten, demi cinta-
nya kepada Sudesa. 
Di pintu belakang yang tidak dijaga, Sudesa me-
nyongsong Rupati. Kemudian mereka melarikan diri ke 
arah selatan, di tengah kegelapan malam. 
Esoknya dayang-dayang kadipaten terheran-heran 
melihat kamar Rupati kosong. Padahal biasanya pagi-
pagi sekali Rupati sudah mengajak dayang-dayangnya 
mandi di kolam, lalu berjalan-jalan di taman. Memang 
Rupati sering ‘hilang’, yakni bila sedang menjumpai 
Sudesa di tepi Telaga Darana. Tapi kebiasaan ‘hilang’ 
itu selalu terjadi setelah mandi dan duduk-duduk atau 
berjalan-jalan di dalam taman bersama dayang-
dayangnya. 
Sampai tengah hari dayang-dayang kadipaten sibuk 
 mencari-cari Rupati. Namun mereka tak berhasil me-
nemukan putri majikannya. 
Dan akhirnya salah seorang dayang menghadap ke-
pada sang Adipati yang sedang bercengkerama dengan 
istrinya di beranda timur. 
Dayang itu menyembah di depan majikannya, sam-
bil berkata dengan nada takut, “Ampunkan hamba, 
Kanjeng Gusti...” 
Adipati Nawanggana mengernyitkan dahinya. Lalu 
bertanya, “Ada apa, Emban?” 
“Gusti Dewi Rupati sejak tadi tidak ada di dalam is-
tana ini. Hamba dan kawan-kawan hamba sudah men-
carinya ke sana-sini, namun hamba semua tidak ber-
hasil menemukannya, Kanjeng Gusti.” 
Belum sempat Adipati Nawanggana menanggapi la-
poran dayang itu, datang pula seorang prajurit peme-
riksa lingkungan istana kadipaten. 
Prajurit itu berkata, “Ampunkan hamba, Kanjeng 
Gusti. Sejak tadi pagi kuda-kuda kesayangan Kanjeng 
Gusti tidak diberi makan. Hamba sudah mencari-cari 
Sudesa, namun kemungkinan besar dia melarikan diri, 
Kanjeng Gusti.” 
“Melarikan diri?!” Adipati Nawanggana terperangah. 
“Benar, Kanjeng Gusti. Bahkan kemungkinan besar 
dia melarikan diri bersama... bersama...” 
“Bersama siapa?” 
“Bersama Gusti Dewi Rupati, Kanjeng Gusti.” 
“Apa?! Sudesa melarikan diri bersama putriku?!” 
Adipati Nawanggana terperanjat. 
“Benar, Kanjeng Gusti. Baru saja hamba menerima 
laporan dari seorang tukang kayu, yang mengaku ber-
jumpa dengan Gusti Dewi Rupati dan Sudesa di hutan 
sebelah selatan, Kanjeng Gusti.” 
Wajah Adipati Nawanggana merah padam. Sambil 
 menghentakkan kakinya di lantai, Adipati Nawanggana 
membentak prajuritnya, “Kenapa ini bisa terjadi? Ke-
napa?!” 
“Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba pernah mendengar 
desas-desus bahwa Gusti Dewi Rupati dan Sudesa se-
ring mengadakan pertemuan rahasia di tepi Telaga Da-
rana. Tapi tadinya hamba kurang percaya, karena 
hamba belum pernah membuktikannya sendiri. Baru-
lah sekarang hamba percaya bahwa laporan itu benar, 
Kanjeng Gusti.” 
Adipati Nawanggana yang cepat menghubungkan 
peristiwa itu dengan lamaran Pangeran Gandaseta, se-
gera saja dapat menarik kesimpulan bahwa putrinya 
menjalin hubungan rahasia dengan Sudesa. Kesimpu-
lan itu semakin kuat setelah sang Adipati teringat akan 
ketampanan Sudesa. 
“Mungkin dengan modal ketampanannya, Sudesa 
telah berhasil merayu putriku,” pikir Adipati Nawang-
gana. “Kemudian putriku lupa daratan dan terbujuk 
oleh Sudesa untuk melarikan diri! Oh... malapetaka 
apa pula yang akan terjadi sehingga putriku sudi pergi 
bersama seorang tukang kuda?” 
Pada hari itu juga Adipati Nawanggana mengerah-
kan prajurit-prajurit kadipaten untuk mengejar Rupati 
dan Sudesa ke arah selatan, sesuai dengan laporan 
tukang kayu yang disampaikan kepada pemeriksa 
lingkungan istana kadipaten. 
Tiga hari kemudian, prajurit-prajurit itu sudah pu-
lang dengan hasil yang ‘gemilang’. Mereka berhasil 
memboyong Rupati dan menangkap Sudesa. 
Sudesa diseret dalam keadaan terbelenggu, semen-
tara Rupati mengikutinya sambil menangis meraung-
raung di sepanjang jalan. Rakyat yang tinggal di kota 
kadipaten berkerumun di pinggir jalan dengan pera-
saan heran dan iba. 
Pada umumnya rakyat Kadipaten Nawanggana me-
rasa kasihan kepada Sudesa, yang mereka kenal seba-
gai pemuda yang baik. Mereka pun terheran-heran me-
lihat Rupati menangis di sepanjang jalan. Namun tak 
seorang pun di antara mereka yang berani mengelua-
rkan komentar. 
Disiplin kaku yang diterapkan pada zaman itu, me-
nyebabkan mulut-mulut seperti beku. Memberi ko-
mentar atas ‘kebijaksanaan’ raja dan pembesar-
pembesar lainnya, dianggap sebagai suatu kejahatan! 
Itulah sebabnya, rakyat Kadipaten Nawanggana 
hanya terlongong dalam kebisuan, sekalipun mereka 
menganggap tindakan prajurit-prajurit kadipaten itu 
sudah melewati batas perikemanusiaan. Mereka hanya 
dapat memandang dengan mata berkaca-kaca, betapa 
banyaknya darah yang mengucur dari sekujur tubuh 
Sudesa, karena tukang kuda yang malang itu diseret 
oleh seekor kuda, sedangkan kaki dan tangan Sudesa 
dibelenggu oleh tali kulit yang sangat kuat. 
Memang memilukan, bahwa Sudesa berguling-
guling dan terombang-ambing di sepanjang jalan yang 
‘mengasah’ kulit dan dagingnya, sampai ke depan ista-
na sang Adipati. 
Namun ada sesuatu yang aneh dan kurang diperha-
tikan oleh rakyat Kadipaten Nawanggana, yakni ke-
kuatan lahir-batin Sudesa itu... benar-benar luar bi-
asa. Kalau orang biasa, diseret dalam keadaan terbe-
lenggu dari hutan menuju istana kadipaten, mungkin 
sudah binasa di tengah jalan. Tapi Sudesa benar-benar 
mengherankan. Tubuhnya sudah berlumuran darah, 
namun ia tetap sadar, dan... tak sedikit pun terdengar 
rintihan dari mulutnya! 
Setibanya di depan istana kadipaten, Rupati meme-
luk kaki ayahnya yang sedang berdiri di ambang pintu, 
sambil meratap, “Kanjeng Rama! Hamba mohon am-
pun... hamba mohon Kakang Sudesa jangan dihukum, 
karena hamba sudah terlanjur mencintainya. Semua-
nya ini kesalahan hamba. Kakang Sudesa tidak bersa-
lah sedikit pun, Kanjeng Rama...!” 
Gigi sang Adipati gemeletuk, karena menahan ama-
rah yang seolah-olah hendak memecahkan dadanya. 
Lalu terdengar suara sang Adipati, perlahan tapi tajam, 
“Rupati, apakah kau sadar akan apa yang kau 
ucapkan tadi?!” 
“Hamba sadar, Kanjeng Rama,” sahut Rupati sambil 
menyembah kaki ayahnya. 
“Dan apakah kau sadar di mana letak derajatmu?” 
tanya sang Adipati lagi dengan suara yang agak keras. 
“Hamba sadar bahwa hamba berderajat bangsa-
wan.” 
“Dan engkau tahu derajat Sudesa?” 
“Kakang Sudesa adalah abdi kadipaten. Namun 
hamba merasa bahwa dia memiliki jiwa yang tak kalah 
oleh putra-putra raja. Sebagaimana Kanjeng Rama 
saksikan, Kakang Sudesa diseret-seret dari dalam hu-
tan selama sehari-semalam. Tapi dia masih bertahan 
hidup  dan tidak merintih sedikit pun. Hamba rasa, 
orang biasa tidak mungkin mempunyai ketahanan se-
perti Kakang Sudesa. Dan itu semua membuat hamba 
semakin mencintai Kakang Sudesa...” 
Belum habis Rupati bicara, terdengar perintah sang 
Adipati yang gagal mengendalikan amarah dan keben-
ciannya, “Prajurit! Gantung tukang kuda itu di alun-
alun, sampai mati!” 
“Kanjeng Rama!” pekik Rupati sambil memeluk kaki 
ayahnya. “Jangan hukum Kakang Sudesa! Kalau mau 
menghukum, hukumlah hamba! Hambalah yang ber-
salah dalam kejadian ini!” 
Namun Adipati Nawanggana memanggil prajurit 
yang lain. Dan kata sang Adipati kepada prajurit itu, 
“Bawa putriku ke dalam keputren. Jaga dia baik-baik. 
Hanya dengan izinku dia boleh keluar dari keputren!” 
Sementara itu Sudesa sudah diseret ke tengah 
alun-alun. Di situ ada sebuah tiang gantungan, yang 
hanya dipakai untuk menghukum mati orang-orang 
jahat atau pemberontak saja. Namun hari itu tiang 
gantungan tersebut akan dipergunakan untuk meng-
hukum seorang pemuda yang tidak berdosa. 
Sang Adipati pun memasuki kamarnya, sambil be-
rusaha meredakan amarahnya. 
Lama juga Adipati Nawanggana termenung sendiri 
di dalam kamarnya. Dan akhirnya ia merebahkan diri 
di atas peraduannya. 
Baru saja beberapa saat sang Adipati memejamkan 
matanya, tiba-tiba di luar istana terdengar suara hi-
ruk-pikuk. 
Adipati Nawanggana terbangun, lalu keluar lagi dari 
dalam kamarnya. Seorang dayang dipanggil. “Apakah 
kau tahu apa yang diributkan orang-orang di depan 
pintu gerbang itu?” 
Setelah menyembah, dayang itu menjawab, “Am-
pun, Kanjeng Gusti. Menurut berita yang hamba den-
gar, para prajurit telah salah menggantung orang. Tapi 
hamba sendiri belum berani melihatnya ke alun-alun.” 
Adipati Nawanggana terheran-heran. Lalu katanya 
kepada dayang itu, “Panggil salah seorang prajurit ke 
sini.” 
“Baik, Kanjeng Gusti,” dayang itu mengundurkan 
diri, lalu bergegas menuju pintu gerbang istana. 
Tak lama kemudian seorang prajurit kadipaten da-
tang menghadap. 
“Apa yang telah terjadi?” tanya Adipati Nawanggana. 
“Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba semua sudah me-
laksanakan titah Kanjeng Gusti untuk menghukum 
tukang kuda bernama Sudesa itu. Tapi... terjadi sesua-
tu yang sangat aneh, Kanjeng Gusti.” 
“Ceritakanlah sejelas-jelasnya,” kata Adipati Na-
wanggana. 
Prajurit itu lalu menceritakan peristiwa yang baru 
terjadi... 
Bahwa para prajurit kadipaten sudah menyeret Su-
desa ke tiang gantungan. Kemudian mereka menggan-
tung Sudesa di tiang gantungan itu. Setelah mereka 
yakin bahwa Sudesa sudah mati, mereka menurunkan 
tubuh Sudesa yang dikira sudah menjadi mayat. Tapi 
mereka terkejut sekali setelah melihat mayat yang me-
reka turunkan itu... ternyata mayat Murtiwi, selir Adi-
pati Nawanggana yang paling disayangi! 
Baru saja selesai prajurit itu bertutur, tiba-tiba da-
tanglah serombongan prajurit yang mengusung mayat 
Murtiwi. 
Salah seorang pembawa mayat itu bersimpuh di de-
pan Adipati Nawanggana, sambil berkata, “Ampun, 
Kanjeng Gusti. Hamba semua memasrahkan diri un-
tuk menerima hukuman apa pun yang akan dijatuh-
kan oleh Kanjeng Gusti, karena hamba semua tidak 
kuasa mencegah peristiwa aneh dan menyedihkan ini.” 
Kemudian mayat selir kesayangan sang Adipati itu 
diletakkan di atas altar kadipaten. Adipati Nawanggana 
menciumi mayat wanita cantik itu, dengan air mata 
bercucuran. 
“Murtiwi kekasihku! Mengapa malapetaka ini mesti 
terjadi? Dan mengapa justru kau yang harus jadi kor-
ban?” Adipati Nawanggana meratap-ratap di dekat 
mayat Murtiwi. 
 
Peristiwa itu sangat menggemparkan rakyat Kadipa-
ten Nawanggana. Mereka tetap tidak mengerti apa se-
babnya tubuh Sudesa bisa berganti menjadi tubuh se-
lir kesayangan Adipati Nawanggana. 
Walaupun Murtiwi hanya seorang selir, bukan istri 
utama sang Adipati, namun sang Adipati menetapkan 
hari berkabung selama tujuh hari tujuh malam bagi 
seluruh wilayah Kadipaten Nawanggana. 
Peristiwa aneh itu tetap merupakan misteri tak ter-
pecahkan bagi rakyat Kadipaten Nawanggana. Semen-
tara sang Adipati sendiri menilai peristiwa itu sebagai 
peringatan dewata terhadap dirinya. Karena ia telah 
memutuskan untuk melenyapkan nyawa seseorang 
yang dicintai oleh putrinya. Lalu terjadi yang sebalik-
nya, yakni bahwa selir yang paling disayanginyalah 
yang menjadi korban. 
Walaupun begitu, semuanya hanya menebak-
nebak, tanpa memiliki kepastian. 
Sementara itu, Rupati hanya mampu menangis dan 
menangis terus di dalam keputren yang senantiasa di-
jaga dengan ketatnya. Ia sudah mendengar berita ten-
tang peristiwa aneh itu. Namun ia pun tidak tahu apa 
sebenarnya yang telah terjadi pada diri Sudesa, keka-
sihnya. 
Pada suatu hari, datanglah Pangeran Gandaseta ke 
Kadipaten Nawanggana, dikawal oleh sepasukan bala-
tentara kerajaan, diiringi oleh beberapa ksatria dan 
penasihat. 
Tentu saja Adipati Nawanggana sibuk menyambut 
kedatangan tamu-tamu agung dari kotaraja itu. Pa-
ngeran Gandaseta dan rombongannya diterima di pa-
seban kadipaten, dengan upacara kehormatan. 
Setelah upacara resmi selesai, Adipati Nawanggana 
berkata, “Sungguh besar hati hamba, karena Gusti Pa-
ngeran berkenan mengunjungi kadipaten yang serba 
sederhana ini. Hamba mohon agar Gusti Pangeran sudi 
memaafkan atas segala kekurangan dalam penyambu-
tan ini.” 
Pangeran Gandaseta yang memiliki perawakan ting-
gi besar itu, lalu berkata, “Paman Dipati, sebenarnya 
kedatangan kami yang mendadak ini disebabkan oleh 
berita yang sampai ke telinga kami.” 
Dengan sikap yang angkuh, Pangeran Gandaseta 
melirik ke arah para pengikutnya, kemudian melan-
jutkan kata-katanya, “Kami mendengar bahwa di kota 
kadipaten ini pernah terjadi peristiwa menghebohkan. 
Sedangkan sumber kehebohan itu berasal dari putri 
Paman Dipati yang sudah dicanangkan sebagai calon 
istriku. Maka dalam kesempatan ini, kami ingin men-
dengar penjelasan dari Paman Dipati, supaya kami 
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya.” 
Pada mulanya agak ragu Adipati Nawanggana men-
ceritakan peristiwa yang telah terjadi sebulan yang lalu 
itu, namun akhirnya diceritakannya  juga kejadian 
yang sangat menggemparkan itu. 
Di akhir penuturannya, Adipati Nawanggana berka-
ta, “Demikianlah besarnya kesetiaan hamba kepada 
Gusti Pangeran, sehingga dengan tegas hamba menja-
tuhkan hukuman mati kepada pemuda yang berani 
menggoda anak hamba  yang akan dipersunting oleh 
Gusti Pangeran itu. Namun entah apa yang terjadi, ka-
rena tahu-tahu mayat pemuda itu lenyap dan berganti 
menjadi mayat selir hamba sendiri.” 
Pangeran Gandaseta terheran-heran mendengarkan 
penuturan itu. Dan salah seorang anggota rombongan 
sang Pangeran, tampak terkejut sekali mendengar pe-
nuturan Adipati Nawanggana tadi. Orang itu adalah 
Resi Badrapati. 
 
Sebenarnya Resi Badrapati seorang pertapa berilmu 
tinggi. Dan seharusnya, seorang pertapa yang telah 
bergelar resi seperti Badrapati, sudah mampu membe-
baskan diri dari segala pengaruh keduniawian. Namun 
tidak demikian halnya dengan Resi Badrapati. Setelah 
memiliki ilmu yang cukup tinggi, ia tergoda untuk 
memperoleh kesenangan di dunia. Maka ketika datang 
tawaran dari Pangeran Gandaseta, untuk menjadi pe-
nasihat dan pelindung sang Pangeran (tentu dengan 
imbalan yang sangat tinggi), tergiurlah Resi Badrapati 
dibuatnya. Kemudian ia meninggalkan pertapaannya, 
untuk menikmati hidup mewah di lingkungan istana 
kerajaan. 
Setelah tinggal di dalam lingkungan istana kera-
jaan, watak asli Resi Badrapati tidak dapat disembu-
nyikan lagi. Ternyata ia bukan hanya seorang manusia 
yang haus harta-benda dan kemewahan, melainkan 
juga seorang lelaki yang gemar melampiaskan nafsu 
birahinya. 
Pangeran Gandaseta sangat membutuhkan tenaga, 
pikiran dan ilmu Resi Badrapati. Karena itu Pangeran 
Gandaseta sangat memanjakan sang Resi. Apa pun 
yang diinginkan oleh sang Resi, selalu dikabulkan oleh 
Pangeran Gandaseta, termasuk kebutuhan sang Resi 
dalam soal perempuan! 
“Bagaimana pendapat Paman Resi mengenai peris-
tiwa itu?” tanya Pangeran Gandaseta setelah menden-
gar uraian Adipati Nawanggana. 
Resi Badrapati yang biasanya selalu yakin pada ke-
ampuhan ilmunya, kali ini memperlihatkan sikap agak 
kecut. Dan hatinya jauh lebih kecut lagi. Namun ia se-
gera mengubah sikapnya, karena merasa pamornya 
jangan sampai jatuh di mata Pangeran Gandaseta. 
Lalu kata sang Resi, “Rasanya sulit dipercaya bah-
wa Sekarpadma masih hidup dan masih mau men-
campuri urusan di dunia ini.” 
“Sekarpadma?!” Pangeran Gandaseta semakin he-
ran. “Siapa Sekarpadma itu, Paman Resi?” 
Resi Badrapati menjawab, “Tidak ada yang tahu as-
al-usulnya secara pasti. Yang jelas, dia seorang wanita 
aneh dan sudah berhasil menyatukan dirinya dengan 
alam gaib, sehingga dia dapat mengubah-ubah wujud 
sekehendak hatinya. Hal ini hanya diketahui oleh 
orang-orang tertentu saja, termasuk diri hamba.” 
Orang-orang yang hadir di paseban kadipaten itu 
tercengang. 
Lalu kata Badrapati lagi, “Setelah mendengar uraian 
Kanjeng Adipati tadi, hamba yakin bahwa seandainya 
tukang kuda bernama Sudesa itu diselamatkan secara 
gaib oleh seseorang... hanya Sekarpadma yang mampu 
melakukan pertolongan semacam itu. Tapi hamba sen-
diri heran, karena Sekarpadma sudah duapuluh tahun 
tidak muncul di dunia ramai. Dan tokoh-tokoh yang 
pernah mengenal dia, semuanya sependapat bahwa dia 
sudah tiada lagi di dunia ini.” 
“Lalu?” kata Pangeran Gandaseta. “Seandainya dia 
masih hidup, alasan apa yang membuatnya ingin me-
nyelamatkan tukang kuda itu?” 
Resi Badrapati menghela napas panjang-panjang, 
lalu katanya, “Itulah yang membingungkan hamba. 
Tapi sudahlah... untuk apa kita mempersoalkan peris-
tiwa yang sudah berlalu? Lagipula yang terpenting, pu-
tri Kanjeng Adipati masih ada dan bisa diboyong ke ko-
taraja pada hari ini juga.” 
Pangeran Gandaseta tersenyum, lalu menoleh ke 
arah Adipati Nawanggana sambil berkata, “Memang 
benar. Yang terpenting bagiku, putri Paman Dipati da-
pat kami bawa ke kotaraja pada hari ini juga. Untuk 
itulah kami membawa usungan kosong dan pasukan 
pengawal selengkapnya. Apakah Paman Dipati tidak 
berkeberatan?” 
“Oh, te... tentu saja hamba tidak berkeberatan, 
Gusti Pangeran,” sahut Adipati Nawanggana yang ter-
kejut juga mendengar rencana di luar dugaannya itu. 
“Hahahahaa... Paman Dipati memang sangat baik 
dan setia kepada kerajaan! Kalau aku berhasil menjadi 
putra mahkota nanti, aku tidak akan melupakan ke-
baikan Paman Dipati ini!” 
Begitulah, pada hari itu juga Rupati dikeluarkan 
dari keputren, didandani secantik-cantiknya, dinasiha-
ti oleh ayah dan ibunya, dinaikkan ke dalam joli ken-
cana, lalu diusung ke luar istana kadipaten. 
Adipati Nawanggana tidak merasa berat melepaskan 
kepergian putrinya. Bahkan sebaliknya, ia merasa se-
nang sekali, karena putrinya akan dipersunting oleh 
seorang pangeran yang sangat berpengaruh di kotara-
ja. 
Pangeran Gandaseta lebih senang lagi, karena ia 
sudah membayangkan betapa menyenangkannya gadis 
cantik yang berada di dalam joli kencana itu. Gadis 
yang akan dijadikan selir ke 40 itu. 
Ya, di samping istri resminya, Pangeran Gandaseta 
telah mempunyai 39 orang selir. Dan bila ia berhasil 
memperselir Rupati, genaplah himpunan selirnya men-
jadi 40 orang! 
Dalam perjalanan pulang ke kotaraja itu, berulang-
ulang Pangeran Gandaseta menyingkapkan kain tirai 
joli, untuk memandang wajah Rupati yang jelita. Dan 
perbuatan yang dilakukannya itu, menimbulkan ke-
nikmatan tersendiri baginya. Karena dengan meman-
dang kecantikan Rupati, sang Pangeran semakin jauh 
membayangkan apa yang akan ia lakukan setibanya di 
kotaraja nanti. 
Bagaimana dengan Rupati sendiri? 
Setiap kali tirai joli dibuka dan mata sang Pangeran 
berkeliaran memandangnya, Rupati hanya dapat me-
nundukkan kepalanya dengan hati pilu sedalam lau-
tan. Seandainya ia memiliki kekuatan dan kekuasaan, 
mau saja rasanya ia memberontak dari dalam joli itu, 
kemudian melarikan diri sejauh-jauhnya. Namun ia 
menyadari bahwa dirinya hanya seorang perempuan 
lemah. Dan ia tahu bahwa prajurit-prajurit kerajaan 
yang mengawal di kanan-kirinya, dengan mudah akan 
menangkapnya kembali jika ia bertindak nekad dalam 
perjalanan itu. 
Itulah sebabnya, Rupati seolah-olah sudah pasrah 
untuk dijadikan selir Pangeran Gandaseta yang ke 40. 
Padahal di dalam hatinya, Rupati sudah menyimpan 
tekad, “Setibanya di kotaraja nanti, aku akan bunuh 
diri, sebelum pangeran mata keranjang  itu sempat 
menjamah tubuhku!” 
Namun setibanya rombongan itu di kotaraja, terja-
dilah peristiwa yang di luar dugaan dan sangat meng-
hebohkan. Ketika joli diturunkan di depan pintu puri 
para selir, Pangeran Gandaseta sudah tidak kuat lagi 
mengekang nafsunya yang ditahan-tahan di sepanjang 
perjalanan. Tapi apa yang dilihatnya? Rupati sudah le-
nyap dari dalam joli itu. Dan sebagai gantinya, seorang 
nenek-nenek berada di dalam joli itu, dalam keadaan 
terikat dengan mulut tersumpal! 
“Keparaaat!” Pangeran Gandaseta  berteriak kaget 
dan kesal sekali. “Kenapa putri yang cantik itu bisa 
menjadi nenek-nenek ini?” 
Para anggota rombongan sang Pangeran terperanjat 
menyaksikan kejadian itu. Demikian pula Resi Badra-
pati, bergegas melepaskan belenggu nenek-nenek itu, 
sekaligus  melepaskan penyumpal mulutnya, lalu ber-
tanya, “Perempuan tua renta! Siapakah kau sebe-
narnya? Kenapa pula kau bisa berada di dalam joli 
kencana ini?” 
Pertanyaan Resi Badrapati itu sebenarnya bermak-
sud menyelidiki siapa yang menjadi dalang peristiwa 
aneh tersebut. 
Nenek-nenek itu gelagapan menjawab pertanyaan 
Resi Badrapati, “Ha... hamba sedang mencari kayu ba-
kar di hutan... ti... tiba-tiba hamba merasa seperti di-
terbangkan oleh angin yang sangat kencang... lalu 
hamba seperti dibisiki oleh seseorang... yang mengata-
kan bahwa hamba akan dijadikan selir Gusti Pangeran 
Gandaseta... lalu hamba tidak ingat apa-apa lagi... dan 
tahu-tahu sudah berada di sini.” 
Pangeran Gandaseta menghentak-hentakkan kaki-
nya saking geram dan jengkelnya. Beberapa pengikut-
nya terpaksa menahan tawanya ketika mendengar si 
nenek akan dijadikan selir sang Pangeran. 
Tapi Resi Badrapati tidak melihat hal yang mengge-
likan dalam peristiwa itu. Bahkan sebaliknya, ia meng-
anggap peristiwa itu sebagai ancaman yang lebih me-
ngerikan daripada ujung keris. 
Lalu Resi Badrapati bertanya lagi kepada si nenek, 
“Apakah kau masih ingat, suara yang membisikimu itu 
suara laki-laki atau suara perempuan?” 
“Su... suara perempuan! Suaranya begitu merdu... 
laksana suara buluh perindu!” sahut si nenek sambil 
memejamkan matanya. 
Wajah Resi Badrapati mendadak pucat pasi. Dengan 
suara yang hampir tak terdengar, ia bergumam, “Pe-
rempuan bersuara merdu seperti buluh perindu... tak 
salah lagi... Dia telah muncul kembali di dunia ramai 
ini.” 
“Apa yang kau ucapkan, Paman Resi?” tanya Pange-
ran Gandaseta dengan kemarahan yang masih me-
luap-luap. 
“Ti... tidak ada apa-apa. Gusti. Tapi... sebaiknya 
mulai hari ini kita harus waspada, untuk menghadapi 
segala kemungkinan,” sahut sang Resi dengan suara 
bergetar. 
“Lalu bagaimana dengan putri Adipati Nawanggana 
itu? Apakah persoalan ini harus dianggap selesai sam-
pai di sini saja? Oh... tidak!” Pangeran Gandaseta 
menghentakkan kakinya lagi di lantai. “Siapa pun yang 
berani mempermainkanku, berarti telah menjadi mu-
suh kerajaan! Dan aku tidak akan puas sebelum bisa 
memenggal leher manusia keparat itu!” 
Para pengikut Pangeran Gandaseta menyatakan 
dukungan mereka atas tekad sang Pangeran itu. 
Hanya Resi Badrapati yang berdiam diri. Bahkan jauh 
di dalam hatinya, sang Resi berkata, “Berbicara me-
mang mudah. Tapi melaksanakannya?! Aku saja tidak 
sanggup memenggal leher Sekarpadma, apalagi orang-
orang yang belum pernah mengenal wanita sakti dan 
aneh itu!” 
Namun sejak saat itu tidak terdengar lagi berita ten-
tang Rupati. Demikian pula nasib Sudesa yang se-
sungguhnya, tidak ada orang yang tahu. Barulah bebe-
rapa tahun kemudian, muncul seorang tokoh yang ti-
dak mau menyebutkan nama aslinya. Orang-orang lalu 
menggelari tokoh tersebut sebagai Kudawulung, kare-
na tawanya mirip ringkikan kuda dan seringkali me-
megang tongkat yang terbuat dari batu wulung. 
Munculnya Kudawulung sangat menggemparkan, 
karena ia sering muncul secara tiba-tiba, untuk mem-
bela yang lemah dan menegakkan kebenaran. 
Tiada orang yang tahu bahwa sebenarnya tokoh 
muda bergelar Kudawulung itu, adalah Sudesa. 
Demikianlah sebagian riwayat masa muda Kudawu-
lung. Dan riwayat masa lalu Kudawulung itu dicerita-
kan juga kepada Rangga di puncak Gunung Limagagak 
yang selalu diselimuti kabut. 
“Tapi, siapa sebenarnya yang telah menolong Kakek 
dahulu? Mengapa pula Kakek mengatakan bahwa na-
sib Kakek sama dengan nasibku?” tanya Rangga sete-
lah Kudawulung berhenti bicara. 
Kudawulung memandang langit yang mulai tampak 
cerah. Lalu katanya, “Memang benar, aku ditolong oleh 
sang Sekarpadma yang sakti, lalu dijadikan muridnya. 
Besok saja kulanjutkan ceritanya. Sekarang perutmu 
tentu lapar bukan?” 
“Be... betul, Kek. Tapi di mana kita bisa menda-
patkan makanan?” 
“Tentu saja kita harus turun gunung dulu. Di lereng 
sana ada rumah seorang petani yang baik hati yang se-
lalu bersedia membagi makanannya untukku. Ayo kita 
ke sana sekarang.” 
Rangga mengangguk, lalu mengikuti langkah Kuda-
wulung menuruni gunung yang selalu diselimuti kabut 
itu. 
Pada waktu mengikuti langkah Kudawulung itu, ba-
rulah Rangga sadar bahwa permukaan Gunung Lima-
gagak itu sebagian besar terdiri dari batu-batuan tajam 
yang ditutupi oleh lumut tebal. Maka baru saja bebe-
rapa langkah menuruni gunung itu, Rangga sudah ter-
gelincir dan terjerembab, sehingga dahinya membentur 
batu tajam dan mengeluarkan darah. 
Rangga merintih perlahan, sambil menyeka darah 
yang mengucur dari dahinya. Tapi ketika melihat Ku-
dawulung yang tampak enak saja melompat-lompat di 
atas batu-batu tajam, Rangga seakan-akan dilecut. 
 
Orang yang sudah tua saja begitu mudah menuruni 
gunung ini, kenapa aku yang masih muda tidak sang-
gup? 
Rangga melangkah lagi. Tapi baru tiga langkah, ia 
tergelincir lagi. Dan ketika melihat Kudawulung masih 
tenang-tenang saja melangkah, semangat Rangga ber-
kobar lagi. Kemudian melangkah lagi, dan... tergelincir 
lagi! 
Demikianlah seterusnya, Rangga terjatuh dan terja-
tuh lagi. Sehingga akhirnya Rangga berseru, “Kakek! 
Bagaimana mungkin aku bisa menuruni gunung yang 
licin sekali ini?” 
Kudawulung menjawab sambil tertawa kecil, “Aku 
saja yang sudah tua begini bisa berjalan dengan mu-
dah. Kenapa kau yang masih muda tidak sanggup?” 
Rangga terkejut dan berpikir, “Gila! Dia bukan 
hanya pandai melompat-lompat di atas bebatuan tajam 
dan licin, tapi juga pandai menebak isi hati orang! Ilmu 
apa sebenarnya yang telah dimilikinya itu?” 
Rangga pun lalu teringat pada pengalamannya tadi 
malam. Ya, ia ingat benar bahwa tadi malam ia berja-
lan sampai di batas utara Tilugalur. Di situ pergelan-
gan tangannya digenggam oleh Kudawulung. Lalu ia 
merasa tubuhnya seperti melesat dengan cepat sekali, 
sehingga ia memejamkan matanya saking ngerinya. 
Dan ketika ia membuka matanya kembali, tahu-tahu 
ia sudah berada di puncak Gunung Limagagak. 
Ingatan Rangga tentang peristiwa tadi malam mulai 
menyadarkannya, bahwa Kudawulung bukan orang 
sembarangan. Rangga memang belum pernah belajar 
ilmu kedigjayaan. Tapi dari cerita orang-orang, ia ser-
ing mendengar tentang tokoh-tokoh sakti dan du-
nianya yang penuh dengan teka-teki. 
Ketika Rangga masih memikirkan hal itu, tiba-tiba 
 Kudawulung menghentikan langkahnya, lalu berkata, 
“Di alam raya ini memang banyak hal yang tidak terpi-
kirkan oleh akal dangkal. Karena itu, makin tinggi ilmu 
seseorang, akan semakin menyadarkannya bahwa ia 
tak ubahnya sebutir pasir di tengah samudera yang 
mahaluas. Kenyataannya bahkan lebih dari itu, karena 
alam raya ini tiada batasnya. Dan samudera yang luas 
itu pun tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan 
alam ciptaan Hyang Widhi ini.” 
Rangga tertunduk dan bergumam perlahan, “Be-
nar... dibandingkan dengan gunung yang tinggi ini 
pun, rasanya diriku bukan apa-apa. Rasanya diriku 
kecil sekali.” 
“Ya,” sahut Kudawulung. “Kau baru mengakui ke-
besaran gunung ini setelah kau memasuki wilayahnya, 
bukan?! Demikian juga dengan ilmu, Rangga. Setelah 
kau mempelajari suatu ilmu, kalau kau bijaksana, kau 
akan sadar bahwa dirimu bukan apa-apa. Itulah se-
babnya orang-orang pandai sering berkata ‘makin ba-
nyak aku tahu, aku semakin tahu bahwa banyak yang 
belum kuketahui’. Kau boleh mencamkan kata-kata bi-
jaksana itu, sebagai pelajaran pertamamu, kalau kau 
bermaksud menjadi muridku.” 
Rangga terperanjat dan kontan menjatuhkan di-
rinya di depan Kudawulung, lalu mencium kaki lelaki 
tua renta itu sambil berkata, “Rama Guru, mulai saat 
ini hamba akan mematuhi segala petunjuk Rama 
Guru.” 
Kudawulung tersenyum dan mengelus-elus rambut 
Rangga dengan penuh kasih sayang. 
 
*** 
 
SEBENARNYA kau kurang berbakat untuk menjadi 
muridku,” kata Kudawulung keesokan harinya di 
puncak Gunung Limagagak, “Tubuhmu kurang kuat, 
semangatmu pun lemah. Aku menerimamu sebagai 
muridku, semata-mata karena merasa bahwa kau se-
nasib denganku.” 
“Lagi-lagi Rama Guru mengatakan bahwa hamba 
senasib dengan Rama Guru. Tapi Rama Guru belum 
juga menceritakan apa yang menyebabkan Rama Guru 
merasa senasib dengan hamba.” 
Kudawulung mengelus-elus janggutnya yang  putih 
laksana kapas, lalu berkata, “Pada waktu aku masih 
sering mengadakan pertemuan dengan putri Adipati 
Nawanggana di Telaga Darana, sedikit pun aku tak 
menduga bahwa setiap gerak-gerikku diperhatikan 
oleh sang Sekarpadma yang bersemayam di telaga itu.” 
“Bersemayam di telaga?” Rangga tampak heran. 
“Ya, beliau memang bersemayam di dasar Telaga 
Darana. Dan hal itu tidak diketahui oleh orang banyak. 
Aku pun baru mengetahuinya setelah ditolong oleh be-
liau.” 
Kemudian Kudawulung menceritakan kejadian demi 
kejadian yang pernah dialami pada masa mudanya. 
Seperti yang telah dikatakan oleh Kudawulung tadi, 
pada waktu ia masih sering mengadakan pertemuan 
dengan Rupati di tepi Telaga Darana (pada waktu ia 
masih bernama Sudesa), ia tidak tahu bahwa gerak-
geriknya selalu diperhatikan oleh seorang wanita sakti 
yang telah berhasil menyatukan diri dengan alam gaib. 
Sebenarnya sang Sekarpadma telah mengundurkan 
diri dari segala urusan dunia nyata, lalu semata-mata 
ingin menyucikan dirinya dalam alam yang tidak keli-
hatan oleh mata biasa. Namun setelah berkali-kali me-
lihat gerak-gerik Sudesa, terbetiklah perasaan sayang 
sang Sekarpadma terhadap tukang kuda yang masih 
muda belia itu. 
Sang Sekarpadma pun tahu bahwa Sudesa dan Ru-
pati telah saling mencintai, namun derajat mereka 
berbeda, sehingga mereka hanya dapat mencurahkan 
perasaannya masing-masing di tepi Telaga Darana. 
Diam-diam sang Sekarpadma pun merasa kasihan 
kepada Sudesa, yang dianggapnya kurang beruntung. 
Derajat Sudesa yang rendah, menjadi penghalang cin-
tanya terhadap Rupati. Dan sang Sekarpadma ingin 
melenyapkan penghalang itu. Ia ingin melihat Sudesa 
dan Rupati hidup bahagia dan tetap saling mencintai. 
Tapi sang Sekarpadma telah bertekad mengundur-
kan diri dari segala urusan dunia nyata. Hal itu lalu 
menjadi penghalang baginya untuk menolong Sudesa 
dan Rupati. 
Kalau sang Sekarpadma turun tangan untuk me-
nyingkirkan Sudesa dan Rupati dari pandangan orang 
banyak, berarti sang Sekarpadma ikut campur lagi de-
ngan urusan dunia nyata. Dan itu berarti bahwa sang 
Sekarpadma mengingkari janjinya sendiri. Itu pun be-
rarti bahwa kesucian yang didambakannya tidak akan 
tercapai secara sempurna. 
Itulah sebabnya sang Sekarpadma tetap berpangku 
tangan pada mulanya, ia hanya duduk menonton dari 
alam gaibnya, dengan perasaan iba terhadap nasib Su-
desa. 
Tapi ketika penglihatan gaib sang Sekarpadma me-
nyaksikan kekejaman balatentara kadipaten, waktu 
menyeret Sudesa dari dalam hutan menuju kota kadi-
paten, sang Sekarpadma tidak dapat menahan diri lagi. 
Ia segera memaparkan mantra keselamatan yang ditu-
jukan untuk menolong Sudesa. 
Itulah sebabnya Sudesa tampak tidak mengalami 
kesakitan pada waktu tubuhnya diseret-seret oleh see-
kor kuda dari hutan ke kota kadipaten. Padahal seku-
jur tubuhnya sudah berlumuran darah. 
Itu baru campur tangan ‘kecil-kecilan’ dari sang Se-
karpadma. Karena pada saat itu sang Sekarpadma 
masih membatasi diri, untuk tidak terlalu jauh men-
gingkari janjinya. 
Ketika mengetahui Sudesa akan dihukum gantung, 
sang Sekarpadma tak dapat membatasi diri lagi. De-
ngan cara yang tidak kelihatan oleh manusia biasa, 
sang Sekarpadma ‘mencomot’ tubuh Sudesa, lalu 
menggantikannya dengar selir kesayangan Adipati Na-
wanggana yang telah dipukau terlebih dahulu. 
Antara sadar dan tidak, Sudesa merasa dirinya di-
bawa melayang ke alam yang serba asing. Lalu kesada-
rannya pulih setelah ia berada di dasar Telaga Darana. 
“Di mana aku berada sekarang ini?” gumam Sudesa 
sambil menggosok-gosok matanya. 
Lalu terdengar suara wanita yang begitu merdu, 
“Kau berada di dasar Telaga Darana, Sudesa.” 
Sudesa terperangah, lalu memperhatikan wanita 
itu, sang Sekarpadma itu. Sungguh silau mata Sudesa 
ketika memandang wajah wanita itu. 
“A... apakah aku sudah mati dan berada di alam 
kekal?” 
“Tidak, Sudesa. Kau masih berada di alam fana. Ta-
pi dirimu sudah diselimuti oleh kekuatan dwiguna, se-
hingga kau bisa bernapas di dalam air.” 
Sudesa terperanjat. Ia baru sadar bahwa ia berada 
di dalam air, tapi ia tetap dapat bernapas secara wajar. 
Sudesa pun lalu sadar bahwa luka-luka di tubuh-
nya telah lenyap tanpa bekas. Tapi ia tidak berani ber-
tanya lebih jauh lagi. Dan ia mulai menyadari bahwa 
dirinya sudah diselamatkan oleh wanita yang meman-
carkan cahaya menyilaukan dari wajahnya itu. 
Setelah menyadari semuanya itu, Sudesa langsung 
bersujud di depan sang Sekarpadma sambil berkata, 
“Hamba menghaturkan terima kasih atas pertolongan 
Gusti Dewi.” 
“Sudesa,” ujar sang Sekarpadma, “aku bukan bida-
dari, bukan pula putri raja. Karena itu kau tak usah 
memanggilku dengan sebutan dewi. Aku lebih senang 
kalau kau memanggilku ibu, karena aku memang telah 
lama menyayangimu seperti seorang ibu kepada anak-
nya.” Kemudian sang Sekarpadma berkata lagi, “Sejak 
pertama kali kau datang bersama Rupati ke tepi Telaga 
Darana, aku sudah mulai menyayangimu. Karena aku 
melihat sikapmu yang tetap merendahkan diri di depan 
gadis yang menggilaimu itu. Aku pun melihat betapa 
kau mampu mengendalikan nafsumu dalam pertemu-
an-pertemuanmu dengan Rupati di tepi Telaga Darana 
ini. Karena itu aku menganggap bahwa kau patut men-
jadi anak angkatku. Maka sejak saat ini,  kau boleh 
tinggal bersamaku selama tiga tahun. Kau pun akan 
memperoleh sebagian besar dari ilmu-ilmu yang kumi-
liki, supaya kau dapat menjaga dirimu sendiri kelak.” 
Kemudian sang Sekarpadma bertepuk tangan tiga 
kali, dan muncullah makhluk-makhluk aneh di depan-
nya. 
Makhluk-makhluk aneh itu berwujud gadis-gadis 
cantik dari kepala sampai pusat perutnya. Tapi dari 
pusat perut ke bawah, berbentuk badan dan ekor 
ular... dengan sisik-sisik yang gemerlapan laksana ta-
buran permata intan! 
Makhluk-makhluk aneh itu tampak begitu patuh 
dan takut kepada sang Sekarpadma. Kemudian sang 
Sekarpadma berkata kepada mereka, “Wahai para da-
yangipri! Ketahuilah bahwa sejak saat ini aku mempu-
nyai anak angkat, bernama Sudesa, yang kini berada 
di sampingku.” 
Makhluk-makhluk yang disebut ‘para dayangipri’ 
itu kontan bersujud di depan Sudesa. 
Tentu saja Sudesa kebingungan dibuatnya. Karena 
selain masih heran melihat bentuk para dayangipri itu, 
ia pun belum terbiasa diperlakukan seperti putra raja 
begitu. 
“Sudesa,” ujar sang Sekarpadma, “tentu kau merasa 
heran melihat para dayangipri ini, bukan?! Memang 
Telaga Darana yang berair bening ini mengandung ba-
nyak teka-teki yang takkan terpecahkan oleh akal 
dangkal. Orang-orang yang berdiri di tepi Telaga Dara-
na tidak akan melihat bentuk para dayangipri ini. Me-
reka hanya akan melihat ikan-ikan besar yang tidak 
bisa dipancing maupun dijaring. Padahal makhluk-
makhluk yang tampak seperti ikan di mata manusia 
biasa itu, adalah para dayangipri ini.” 
Sudesa tercengang mendengar keterangan sang Se-
karpadma yang sudah menjadi ibu angkatnya itu. 
Namun apa yang Sudesa saksikan selanjutnya, le-
bih menakjubkan lagi. Sudesa melihat sang Sekar-
padma menyingkirkan sebongkah batu besar hanya 
dengan menggunakan ujung telunjuknya. Ternyata ba-
tu besar itu dipakai sebagai penutup mulut terowon-
gan di dasar telaga. Dan setelah batu besarnya dige-
serkan, tampaklah mulut terowongan itu. 
Lewat terowongan itu Sudesa dibawa ke alam ba-
wah tanah yang lebih menakjubkan. Di sini pun Sude-
sa terheran-heran setelah menyadari bahwa di dalam 
tempat yang jauh di bawah tanah itu, udaranya terang 
benderang. Padahal jelas, cahaya matahari tidak bisa 
masuk ke situ. 
Dengan agak ragu, Sudesa pun bertanya kepada 
sang Sekarpadma, “Dapatkah Kanjeng Ibu menje-
laskan, apa sebabnya tempat ini terang benderang?” 
Sang Sekarpadma menjawab dengan senyum, “Se-
benarnya tempat ini gelap gulita. Tapi aku telah mem-
buatmu dapat melihat di kegelapan.” 
“Oh!” Sudesa terperangah dan mengusap-usap ma-
tanya. 
“Banyak lagi hal lain yang belum kau ketahui,” ujar 
sang Sekarpadma sambil tersenyum. “Dan semuanya 
itu akan kau dapatkan sedikit demi sedikit.” 
Demikianlah, Sudesa lalu tinggal di dasar Telaga 
Darana dengan segala keanehan yang terdapat di da-
lamnya. Dan sang Sekarpadma membimbingnya den-
gan penuh kasih sayang, tak ubahnya seorang ibu 
membimbing anak kandungnya. 
Sang Sekarpadma juga maklum bahwa Sudesa su-
dah sangat mencintai Rupati. Dan pada suatu hari 
sang Sekarpadma bertindak sendiri, menculik Rupati 
yang sedang diboyong ke kotaraja, lalu menyimpannya 
di tengah hutan terpencil. 
Di situlah sang Sekarpadma mempertemukan Su-
desa dengan Rupati. 
“Apakah putri Adipati Nawanggana itu juga dibawa 
ke dasar Telaga Darana?” tanya Rangga ketika Kuda-
wulung menghentikan penuturannya di tengah jalan. 
“Tidak,” Kudawulung menggeleng. “Sang Sekarpad-
ma tidak mengijinkanku membawa Rupati ke dasar Te-
laga Darana.” 
Kemudian Kudawulung alias Sudesa menceritakan 
bagaimana kisah yang ia alami selanjutnya. 
Sudesa merasa bahagia sekali setelah dipertemukan 
dengan Rupati di tengah hutan itu. Kemudian sang Se-
karpadma membawa sepasang muda-mudi itu ke pun-
cak gunung Limagagak yang sangat sunyi dan selalu 
diselimuti kabut tebal. Di situlah sang Sekarpadma 
menempatkan Sudesa dan Rupati. 
Tidak hanya kebetulan sang Sekarpadma memilih 
puncak gunung Limagagak untuk menempatkan Sude-
sa dan Rupati. Selain dianggap aman, dari gunung itu 
terdapat semacam terowongan rahasia menuju ke da-
sar Telaga Darana. 
Tapi tidak selamanya Sudesa dapat bersama-sama 
Rupati (yang lalu diperistrikannya) di puncak Gunung 
Limagagak. Sudesa hanya dapat sebulan sekali menje-
nguk istrinya, yakni di setiap bulan purnama, semen-
tara waktu sisanya harus dihabiskan di dasar Telaga 
Darana. Hal itu adalah untuk memenuhi janji sang Se-
karpadma, bahwa Sudesa boleh tinggal di dasar Telaga 
Darana selama tiga tahun. Tentu bukan cuma tidur-
tiduran di situ, melainkan untuk menimba ilmu dari 
sang Sekarpadma yang telah menjadi ibu angkatnya. 
Selama tiga tahun itu, sang Sekarpadma seolah-
olah berkejaran dengan waktu, untuk menurunkan se-
luruh ilmu yang pernah dimilikinya kepada Sudesa. 
Sampailah pada suatu hari, sang Sekarpadma me-
manggil Sudesa dan berkata dengan nada yang lain 
dari biasanya, “Sudesa... hari ini genaplah tiga tahun 
kau berada di bawah gemblenganku. Hari ini juga me-
rupakan hari terakhir bagi setiap benda dan makhluk 
bernyawa yang berada di dalam Telaga Darana... ter-
masuk diriku.” 
Sudesa terperanjat, “Kanjeng Ibu! Hamba kurang 
mengerti, apa yang Kanjeng Ibu maksudkan dengan 
hari terakhir bagi diri Kanjeng Ibu?” 
Sang Sekarpadma tersenyum lirih. Lalu katanya, 
“Setiap makhluk bernyawa, pada akhirnya akan me-
nemui kematian. Tiada suatu kekuatan pun yang da-
pat menentang kehendak Hyang Widhi ini. Bahkan 
bumi yang kita pijak ini pun pada akhirnya akan men-
galami kehancuran juga. Demikian pula dengan diri-
ku... pada akhirnya harus rela meninggalkan alam 
yang fana ini, untuk menuju alam yang kekal.” 
Kemudian sang Sekarpadma membuka rahasia 
yang selama itu tidak pernah diungkapkan pada Sude-
sa, “Sebenarnya campur tanganku pada urusanmu, 
merupakan pelanggaran atas sumpahku sendiri. Kare-
na aku pernah bersumpah untuk tidak ikut campur 
lagi pada urusan duniawi, demi kesucian yang kudam-
bakan. Dan jika aku melanggar sumpah ini, berarti 
aku hanya bisa hidup selama tiga tahun lagi sejak pe-
langgaran itu kulakukan. Memang sumpah yang kui-
krarkan sangat berat, karena ilmu yang kuperoleh pun 
bukan ilmu yang ringan. Dan aku berusaha untuk 
memegang teguh-teguh sumpahku pada mulanya. Tapi 
begitu melihat kau dan Rupati, aku tak kuasa lagi 
mempertahankan keteguhanku.  Aku merasa kasihan 
kepadamu yang ditakdirkan jadi manusia terhina. Aku 
juga merasa kasihan kepada Rupati yang begitu dalam 
mencintaimu. Karena itu aku melanggar sumpahku 
sendiri. Dan ini berarti bahwa aku harus memusnah-
kan diriku sendiri, tiga tahun setelah aku melanggar 
sumpahku. Walaupun begitu, aku tidak menyesal, ka-
rena manusia yang kutolong tidak pernah mengecewa-
kan hatiku.” 
Sudesa yang sudah digembleng untuk menjadi ma-
nusia tabah dalam menghadapi segala hal, saat itu tak 
dapat mengekang keharuannya lagi. Dengan suara 
sendu ia berkata, “Kalau begitu, Kanjeng Ibu rela men-
gorbankan hidup Kanjeng Ibu sendiri, hanya untuk 
membela hamba. Oh... ini benar-benar tidak dapat 
hamba terima. Biarlah hamba saja yang mengorban-
kan diri, asalkan Kanjeng Ibu tetap hidup dan...” 
 
Belum habis Sudesa bicara, sang Sekarpadma me-
motongnya, “Itu tidak benar, anakku. Kalau dikaji se-
cara mendalam, sebenarnya setiap amal perbuatanku 
adalah untuk bekalku sendiri di alam kekal kelak. De-
mikian pula dengan pertolongan yang telah kuberikan 
padamu, mudah-mudahan diterima oleh Hyang Widhi, 
sebagai salah satu perbuatan baik yang pernah kula-
kukan di dunia ini. Karena itu, janganlah merasa bah-
wa aku telah mengorbankan diriku untukmu.” 
Ketika Sudesa masih termangu-mangu, sang Sekar-
padma  seperti terburu-buru berkata, “Sekarang den-
garlah sebuah rahasia yang mungkin ada gunanya ba-
gi dirimu. Menurut bisikan gaib yang pernah kuterima 
dalam salah satu semadiku... tujuhpuluh tahun lagi... 
hanya ada satu benda yang paling ampuh di daratan 
ini, yakni Mestika Lidah Naga.” 
“Mestika Lidah Naga?!” Sudesa terheran-heran. 
Sang Sekarpadma mengangguk. Lalu katanya, 
“Mestika itu berada di lidah naga yang baru menetas 
pada malam bulan purnama. Dan tempat menetasnya 
naga keturunan Sang Anantaboga itu, adalah di bekas 
Telaga Darana ini. Tapi, untuk menyempurnakan kete-
rangan ini, harus kau cari sendiri lewat semadi.” 
Sudesa mau bertanya lagi. Tapi sang Sekarpadma 
cepat-cepat menyerahkan tongkat yang terbuat dari 
batu wulung, sambil berkata, “Sekarang cepatlah pergi 
dari sini, karena tempat ini akan menjadi kancah yang 
mengerikan. Cepatlah pergi, Sudesa. Dan... jangan 
kembali ke sini!” 
Sudesa tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya 
kecuali mengikuti perintah sang Sekarpadma itu. Ma-
ka setelah menyembah kaki sang Sekarpadma, Sudesa 
memaparkan mantra ‘Bayusuta’ yang telah diturunkan 
dari sang Sekarpadma. 
 
Kemudian... tubuh Sudesa melesat dari dasar Tela-
ga Darana, laksana anak panah terlepas dari busur-
nya, lalu hinggap di puncak bukit yang tidak begitu 
jauh letaknya dari Telaga Darana. 
Itulah Sudesa yang telah memiliki ilmu-ilmu sang 
Sekarpadma. Sudesa bukan lagi seorang tukang kuda 
yang bodoh dan lemah, melainkan telah menjadi seo-
rang pemuda yang sulit dicari tandingannya di zaman 
itu. 
Begitu kaki Sudesa menginjak puncak bukit itu, ti-
ba-tiba saja air Telaga Darana bergolak. 
Sudesa terpana, dibuatnya. 
Telaga Darana menjadi pemandangan yang sangat 
menakjubkan. Namun bagi Sudesa, telaga itu tampak 
demikian mengerikan dan menyedihkan, karena Sude-
sa tahu apa yang sedang terjadi di dalam telaga itu. 
Air bening yang sedang bergolak itu mulai tampak 
berwarna-warni. Kemudian terdengar suara bergemu-
ruh, disusul oleh menyemburnya air dari dalam telaga 
itu... jauh tinggi ke angkasa, tak ubahnya lahar yang 
muncrat dari puncak gunung berapi! 
Sesaat kemudian... Telaga Darana telah berubah 
menjadi lembah yang kering. Dan orang yang belum 
pernah melihat Telaga Darana, tidak akan menduga 
bahwa ‘lembah’ kering itu dahulunya sebuah telaga 
yang indah dan penuh dengan misteri. 
Sudesa menyaksikan semuanya itu dengan hati pi-
lu. 
“Beliau benar-benar telah memusnahkan dirinya 
sendiri,” pikir Sudesa dengan air mata berlinang-
linang. “Mudah-mudahan saja Hyang Widhi menem-
patkan Kanjeng Ibu Sekarpadma di Suargaloka.” 
Sambil memejamkan matanya yang basah, Sudesa 
memaparkan mantra ‘Bayusuta’ lagi. Dan begitu ia se-
lesai memaparkan mantra tersebut, tubuhnya menda-
dak lenyap dari puncak bukit itu. 
Pada saat berikutnya, Sudesa muncul di puncak 
Gunung Limagagak, di depan Rupati, istri tercintanya. 
Rupati yang sudah tahu bahwa suaminya bisa le-
nyap atau muncul secara tiba-tiba di depan matanya, 
tidak lagi merasa heran dengan kehadiran Sudesa saat 
itu. Yang membuat Rupati heran, adalah linangan air 
mata di kelopak mata Sudesa itu. 
Maka ujar Rupati, “Tak seperti biasanya, Kakang 
datang dengan wajah murung dan mata berkaca-kaca. 
Mungkin ada sesuatu yang membuat hati Kakang ber-
sedih.” 
Sudesa mengangguk dan menyahut, “Kanjeng Ibu 
Sekarpadma telah tiada.” 
“Oh!” Rupati memegang kedua belah pipinya yang 
lembut kemerahan. 
“Aku merasa sangat kehilangan,” ujar Sudesa. “Ka-
lau tidak ada beliau, mungkin aku sudah tewas di 
tiang gantungan.” 
“Tapi... bagaimana kejadian yang sebenarnya, Ka-
kang?” 
Sudesa menghela napas panjang. Kemudian mence-
ritakan apa yang telah terjadi di Telaga Darana. 
Kematian sang Sekarpadma yang musnah tanpa be-
kas, berikut lenyapnya Telaga Darana yang lalu men-
jadi lembah, memang merupakan kehilangan yang 
sangat memilukan bagi Sudesa. Hanya dengan jalan 
bersemadilah Sudesa dapat menekan kesedihan yang 
amat mencekam itu. Dan memang di hari-hari beri-
kutnya Sudesa lebih banyak menghabiskan waktunya 
dalam persemadian. 
Sampai pada suatu hari, Sudesa bukan hanya ber-
hasil mengumpulkan kembali semangatnya, melainkan 
juga menerima bisikan gaib yang ditunggu-tunggunya 
sejak mendapat keterangan dari sang Sekarpadma... 
mengenai Mestika Lidah Naga! 
“Aku telah berhasil memiliki ilmu-ilmu sang Sekar-
padma. Aku juga telah berhasil mendapatkan keteran-
gan yang lebih jelas tentang mestika itu,” ujar Kuda-
wulung pada Rangga. “Tapi aku tidak berhasil menda-
patkan kebahagiaan bagi diriku sendiri.” 
“Maksud Rama Guru?” tanya Rangga. 
“Ketika istriku mengidam, aku merasa senang seka-
li. Maka waktu ia menyatakan ingin makan buah deli-
ma, aku sangat bernafsu untuk mencarikannya,” sa-
hut Kudawulung. “Namun... ternyata itulah awal ben-
cana bagi kebahagiaanku.” 
“Awal bencana bagi kebahagiaan Rama Guru?!” 
“Ya. Memang aneh, saat itu pohon-pohon delima 
tiada yang berbuah. Aku sudah mencarinya ke mana-
mana, tapi tak sebuah delima pun kudapatkan. Tiga 
bulan lebih aku berkelana, hanya untuk buah delima 
yang diidamkan oleh istriku. Dan akhirnya aku pulang 
ke puncak Gunung Limagagak ini, dengan tangan 
hampa.” 
“Istri Rama Guru tentu kecewa sekali,” kata Rangga. 
Kudawulung menggeleng dengan senyum getir. Ke-
luhnya, “Dia tidak bisa lagi merasakan sedih ataupun 
kecewa. Ketika aku pulang ke puncak Gunung Lima-
gagak ini, dia sudah tidak ada lagi di sini. Aku menca-
ri-carinya dengan segenap kemampuanku. Ternyata 
dia sudah binasa di kotaraja.” 
“Binasa di kotaraja?” 
“Ya,” Kudawulung mengangguk. “Rupanya istriku 
mulai resah setelah tiga bulan aku tak pulang-pulang. 
Kemudian dia turun dari puncak gunung ini... dan... di 
daerah lereng sana, pasukan Pangeran Gandaseta 
memergoki istriku. Mereka menyeret istriku ke kotara-
ja dan menyerahkannya kepada pangeran mata keran-
jang itu. Dan setelah Pangeran Gandaseta tahu bahwa 
Rupati sedang dalam keadaan hamil, Rupati dibu-
nuh... sebagai pelampiasan dendam sang Pangeran 
atas cintanya yang tak terbalas.” 
Darah muda Rangga mendidih  mendengar cerita 
gurunya itu. Lalu tanyanya, “Apakah Rama Guru 
membiarkan saja kenyataan pahit itu?” 
Kudawulung seperti berat menjawab pertanyaan itu. 
Tapi lalu dijawabnya juga, “Pada saat itu aku masih 
muda seperti kau sekarang. Darah mudaku jelas tak 
dapat menerima kenyataan pahit itu. Dan aku lalu 
menganggap bahwa kekejaman harus dibalas dengan 
kekejaman. Karena kalau kekejaman dibalas dengan 
kelemahan, akan membuat kekejaman itu semakin 
merajalela.” 
Lalu Kudawulung menceritakan apa yang dilaku-
kannya  setelah mengetahui bahwa Rupati binasa di 
tangan Pangeran Gandaseta. 
Kotaraja dibuat gempar dengan munculnya seorang 
tokoh yang mengenakan topeng hitam dan membawa-
bawa tongkat batu wulung di tangannya. Tokoh miste-
rius itu menjagal istri-istri dan seluruh keturunan Pa-
ngeran Gandaseta! Tak cukup dengan itu saja, pasu-
kan Pangeran Gandaseta pun dibuat menderita. Nyawa 
keluarga mereka dihabisi! Dan tak seorang pun yang 
mampu mencegah tindakan tokoh misterius itu. 
Namun tokoh bertopeng hitam itu masih belum 
puas juga. Dengan cara yang aneh, ia mengebiri Pan-
geran Gandaseta. Sehingga pangeran mata keranjang 
itu tak dapat lagi melampiaskan nafsu birahinya. 
Sebelum meninggalkan kotaraja, tokoh misterius 
yang tak lain dari Sudesa itu masih sempat mengu-
mandangkan suaranya yang bergemuruh dan terden-
gar ke setiap pelosok kotaraja, “Sekarang kalian mera-
sakan sendiri bagaimana sedihnya berpisah dengan 
keluarga yang kalian cintai. Dan setiap kali kalian ber-
buat kekejaman, aku akan membalas dengan cara 
yang lebih ganas lagi!” 
Suara itu lenyap. Lalu terdengar suara tawa yang 
mirip ringkik kuda. Suara tawa itu pun lalu lenyap. 
Dan gemparlah seluruh penghuni kotaraja setelah 
mereka menyadari apa yang telah dilakukan oleh to-
koh misterius bertopeng hitam itu. 
Pangeran Gandaseta meratapi istri dan selir-
selirnya yang telah dibunuh oleh tokoh tak dikenal itu. 
Ia juga meratapi anak-anaknya yang tak disisakan seo-
rang pun. Semuanya dibunuh dengan cara yang aneh 
dan mengerikan. Dan yang paling menyedihkan hati 
sang Pangeran, adalah kejantanannya yang juga telah 
dilenyapkan oleh tokoh misterius itu. 
Pasukan Pangeran Gandaseta pun tak kurang se-
dihnya, karena istri dan anak-anak mereka juga telah 
menjadi korban pembalasan dendam Sudesa. 
Banyak yang menganggap kejadian itu sebagai pe-
ristiwa yang amat mengerikan. Namun rakyat yang 
pernah merasakan kekejaman Pangeran Gandaseta 
dan balatentaranya, diam-diam mensyukuri kejadian 
itu. Walaupun mulut mereka terkatup rapat-rapat, 
namun hati mereka seolah-olah berkata, “Pembalasan 
telah datang. Memang demikianlah seharusnya. Keke-
jaman mesti dibalas dengan kekejaman lagi!” 
Apakah pembalasan dendam seperti itu menda-
tangkan kepuasan bagi Sudesa? Sama sekali tidak. 
Bagaimanapun juga Rupati yang telah tewas, tak dapat 
dihidupkan kembali. Dan tindakan ganas Sudesa ju-
stru hanya mendatangkan penyesalan di hari-hari be-
rikutnya. 
“Aku telah membunuhi perempuan-perempuan dan 
anak-anak tak berdosa. Ah... betapa menumpuknya 
dosa yang telah kulakukan.” 
Demikianlah selalu yang terpikir di benak Sudesa 
pada hari-hari berikutnya. 
Kudawulung mengakhiri ceritanya dengan, “Se-
karang, setelah aku tua begini, penyesalanku semakin 
bertumpuk. Kalau teringat tindakanku yang pernah 
kulakukan di kotaraja dahulu, rasanya aku telah men-
jadi orang yang paling berdosa di muka bumi ini.” 
“Tapi nama Rama Guru terkenal sebagai tokoh 
pembela kebenaran,” kata Rangga. 
Kudawulung tersenyum getir. Desahnya, “Memang... 
sekarang diriku hanya dikenal sebagai tokoh pembela 
keadilan dan kebenaran. Sedikit sekali yang tahu bah-
wa aku pernah melakukan kekejaman yang sangat 
mengerikan. Kekejaman yang hanya terdorong oleh bu-
jukan iblis.” 
Dan tiba-tiba Kudawulung menatap wajah Rangga 
tajam-tajam. “Kau tidak boleh mengulang kesalahan 
yang pernah kulakukan! Bersumpahlah dulu, bahwa 
kau hanya akan membunuh orang manakala nyawamu 
sendiri sedang sangat terancam! Bersumpahlah! Aku 
tidak ingin ilmu yang kuturunkan padamu akan men-
jadi ilmu membunuh! Bersumpahlah, Rangga!” 
Rangga mengangguk, lalu tertunduk. 
“Bersumpahlah!” bentak Kudawulung. 
“Ya... hamba bersumpah tidak akan membunuh, 
kecuali dalam keadaan yang sangat memaksa!” 
Kudawulung tertawa terkikik-kikik. Dan lagi-lagi 
tampak keanehan pada dirinya. Ketika ia tertawa, air 
matanya bercucuran. Dan suara tawanya itu... benar-
benar mirip ringkik kuda! 
 
Tapi, tiba-tiba saja tawa Kudawulung terhenti. Dan 
dengan suara sungguh-sungguh, ia berkata, “Kau ja-
ngan lagi membahasakan dirimu dengan sebutan ham-
ba! Aku bukan berasal dari keturunan ningrat. Aku ti-
dak patut dipertuan oleh siapa pun! Kau kujadikan 
muridku. Bukan kujadikan hambaku. Mengerti?” 
“Mengerti, Rama Guru.” 
“Hahahahaaaa... lucu! Lucu!” 
“Apanya yang lucu?” Rangga terheran-heran. 
“Kau telah berkali-kali memanggilku Rama Guru. 
Padahal aku belum menurunkan ilmu apa-apa pada-
mu, kecuali cerita masa laluku saja.” 
“Tapi aku senang sekali mendengar kisah masa lalu 
Rama Guru. Sayangnya Rama Guru tidak mencerita-
kannya secara lengkap.” 
“Apanya yang kurang lengkap?” 
“Rama Guru tidak menceritakan tentang Pangeran 
Gandaseta, Adipati Nawanggana dan lain-lainnya sam-
pai tuntas.” 
“Mereka memang sudah tiada,” desis Kudawulung. 
“Kota Kadipaten Nawanggana pun sekarang tidak dii-
ngat orang lagi. Orang-orang hanya tahu nama sebuah 
kota kecil, bernama Kawahsuling.” 
“Kawahsuling?!” Rangga terperanjat. “Jadi Kawah-
suling itu tadinya sebuah kota kadipaten?” 
Kudawulung mengangguk. 
“Lalu... bekas Telaga Darana yang kata Rama Guru 
telah menjadi lembah itu, di mana letaknya?” 
Dengan tawa kecil Kudawulung menjawab, “Kam-
pungmu sendiri, tolol!” 
“Kampungku?!” 
“Ya,” Kudawulung mengangguk. “Telaga Darana 
yang telah berubah menjadi lembah itu, bertahun-
tahun kemudian menjadi kampung, yang lalu dinamai 
Tilugalur!” 
Rangga tercengang. 
 
*** 
 
TILUGALUR sunyi senyap. Rumah-rumah penduduk 
masih berdiri tegak. Tapi tak tampak seorang ma-
nusia pun di desa yang berbentuk lembah itu. Bahkan 
seekor binatang pun tidak kelihatan di situ. 
Matahari sepenggalah ketika debu mengepul di se-
belah barat Tilugalur, di jalan berbatu-batu yang 
menghubungkan kotaraja dengan Kawahsuling. Debu 
itu dikepulkan oleh kaki dua ekor kuda yang ditung-
gangi dua orang lelaki bertombak. Dua orang prajurit 
kerajaan! 
Yang seorang berperawakan tinggi besar dan meme-
lihara kumis tebal, yang seorang lagi berperawakan 
tinggi kurus dengan kepala gundul mengkilap. 
Mereka menghentikan kuda mereka di batas utara 
Tilugalur yang merupakan simpang tiga. 
“Mau menengok janda yang dulu itu?” tanya si ku-
rus gundul. 
Prajurit yang tinggi besar mengangguk dengan se-
nyum. “Ya. Mudah-mudahan saja dia belum kawin la-
gi. Hihihihi...!” 
Kedua prajurit berkuda itu membelokkan kuda me-
reka ke selatan. 
“Kenapa Tilugalur jadi sepi begini, heh?” 
“Mungkin orang-orangnya sedang berada di sawah.” 
“Ke rumah lurah saja dulu. Dia pasti terkejut men-
dapat kunjungan kita. Mudah-mudahan saja dia me-
nyuguhi makanan yang enak-enak. Perutku lapar se-
kali, nih.” 
“Ah, perut saja yang kau pikir. Aku malah mem-
bayangkan betapa enaknya kalau di pagi yang cerah 
ini ketemu perempuan cantik seperti janda yang dulu 
itu.” 
“Huh! Kamu sendiri hanya memikirkan perempuan 
saja! Apa belum kenyang dengan suguhan Lurah Gin-
ding kemarin?” 
Prajurit yang tinggi besar menggelengkan kepala, la-
lu ketawa kecil. 
“Kamu memang rakus. Seperti kudamu saja,” cetus 
si kurus gundul. 
“Mumpung masih muda! Hahahahaaaa... eh... rasa-
nya Tilugalur ini lain dari biasanya. Anak-anak pun ti-
dak kelihatan...!” 
“Iya,” sahut si kurus gundul. “Desa ini seperti desa 
mati...!” 
Di depan rumah lurah, mereka menghentikan kuda 
mereka. Lalu mereka melompat turun dari kudanya 
masing-masing. 
Dengan langkah tegap, prajurit berkumis itu berja-
lan duluan, menuju pintu rumah lurah yang terbuka 
lebar. “Luraaah!” serunya sambil bertolak pinggang 
dan mendadak pasang wajah angker. 
Tak terdengar sahutan. Ia menengok-nengok di pin-
tu. Dan si kurus gundul merebahkan diri di atas balai-
balai dekat kentongan, sambil bersiul-siul. 
“Gundul...!” 
“Heh?” 
“Kenapa rumah lurah ini seperti tidak ada orang-
nya?” 
“Mungkin orangnya sedang pada pergi ke sawah.” 
“Ah, tidak! Kelihatannya seperti ada sesuatu yang 
tidak beres.” 
“Tidak beres bagaimana?” si kurus gundul turun 
dari balai-balai bambu itu, lalu mengikuti si kumis ke 
dalam rumah lurah. 
“Kosong melompong dan... bau kembang kenanga 
ini... kau menciumnya?” 
Si kurus gundul mengangguk-angguk. “Yayaya... 
aku menciumnya! Ah, jangan-jangan....” 
“Jangan-jangan apa?”  si kumis menoleh pada ka-
wannya. 
Belum lagi si kurus gundul menjawab, tiba-tiba ter-
dengar ringkik kesakitan kuda-kuda yang ditambatkan 
di pekarangan rumah lurah itu. 
Si kumis menoleh ke luar. “Hai! Kuda kita itu...!” 
Si gundul pun menoleh ke luar. Dan dilihatnya ke-
dua ekor kuda itu sedang menggelepar-gelepar di ta-
nah, lalu terkapar, tak bergerak lagi. 
Kedua prajurit kerajaan itu berlari ke luar, meng-
hampiri kuda mereka, yang ternyata sudah mati dua-
duanya! 
“Hai... kenapa kuda-kuda kita ini?” 
“Mati! Dua-duanya mati!” 
“Aneh...!” 
“Mungkin ada daun tuba yang termakan...” 
“Daun tuba gundulmu! Rumput pun tak ada di si-
ni!” 
“Hai! Aku serasa diingatkan! Dulu di pekarangan 
rumah lurah ini banyak tumbuh bunga-bungaan. Tapi 
sekarang... gundul begini?!” 
“Ya, gundul! Gundul seperti kepalamu!” 
“Jangan melawak, Baplang! Dalam keadaan seperti 
ini, mulutmu kelihatan jelek sekali!” 
“Kau juga jangan melucu! Kita terpaksa harus ber-
jalan kaki sampai Kawahsuling. Hai?! Apa yang mau 
kau lakukan dengan kentongan itu?” 
Si kurus gundul menyahut, “Aku akan mengumpul-
kan rakyat desa ini. Aku harus meminta keterangan 
pada mereka, apa sebenarnya yang telah terjadi di Ti-
lugalur ini.” 
“Ya, pukullah kentongan itu, Bolenang!” 
Prajurit berkepala botak itu mulai memukul ken-
tongan, Trong... trong... trooong... trong... tong... tong-
tongtong... troooong... tong...! 
Dan Tilugalur tetap sunyi. Hanya dua prajurit kera-
jaan itu yang sibuk sendiri, menengok-nengok dan 
menengok-nengok terus. 
Si kurus gundul yang dipanggil Bolenang itu letih 
sendiri. Diserahkannya pemukul kentongan itu kepada 
kawannya. “Kau saja yang memukul kentongannya, 
Baplang. Aku letih sekali.” 
“Huh, prajurit apaan kamu ini? Mukul kentongan 
saja bisa letih. Apalagi disuruh bertempur...!” si kumis 
yang dipanggil Baplang menyambut pemukul kentong-
an. 
Lalu..., trong... trong... tongtongtong... tongtong-
tong...! 
Dan Tilugalur tetap sepi. Sehingga prajurit bernama 
Baplang itu membantingkan pemukul kentongan ke ta-
nah, sambil menggerutu, “Huh! Tampaknya penduduk 
di sini sudah tuli semua!” 
Lalu Baplang menoleh ke arah Bolenang yang se-
dang terduduk di tanah. Bibir Bolenang seperti terse-
nyum. Tapi senyum itu tampak aneh di mata Baplang! 
“Apa yang lucu? Kamu... senyum-senyum sendiri...” 
Baplang menepuk bahu kawannya. 
Tapi, begitu tangan Baplang menyentuh bahu Bole-
nang, memekiklah Baplang, “Bolenaaang!” 
Bolenang tersungkur. Dan ketika Baplang memerik-
sanya, ternyata lelaki kurus gundul itu sudah menjadi 
mayat! 
 
Sadarlah Baplang kini, bahwa Tilugalur sudah me-
nyimpan sesuatu yang mengerikan. Namun kesadaran 
Baplang hanya sekejap mata. Karena pada saat beri-
kutnya, ia melihat sesosok tubuh kecil berkelebat di 
depan matanya. Dan sebelum sempat Baplang mem-
perhatikan bentuk yang berkelebat itu, tenggorokan-
nya terasa seperti dicabut ke luar... lalu Baplang ter-
sungkur di samping mayat Bolenang, dalam keadaan 
tak bernyawa lagi! 
Tilugalur hening kembali. Tiada bunyi apa-apa. A-
ngin pun tak berhembus. Segalanya diam. Daun-daun 
bambu pun diam, terpaku, seolah-olah sedang meng-
heningkan cipta. Seakan-akan ngeri menyaksikan ke-
jadian demi kejadian yang berlangsung di Tilugalur, se-
jak tiga tahun yang lalu. 
*** 
Sebenarnya peristiwa kematian Bolenang dan Ba-
plang itu bukan merupakan peristiwa bagi prajurit-
prajurit kerajaan. Namun ‘hilangnya’ Bolenang dan Ba-
plang, mulai menyadarkan Pangeran Aria Pamungkas 
beberapa hari berikutnya, di kotaraja. 
“Sudah tiga kali kita mengirim prajurit ke Kawah-
suling untuk memungut pajak tahunan, tapi semua-
nya tidak kembali. Itulah yang ingin kubicarakan de-
ngan Paman Senapati,” ujar Pangeran Aria Pamung-
kas. 
Senapati Jugala menatap wajah Pangeran Aria Pa-
mungkas sesaat. Lalu katanya, “Sebenarnya hamba 
juga sedang berpikir untuk menanyakannya kepada 
Gusti. Karena keenam prajurit yang diutus ke Kawah-
suling itu merupakan tanggung jawab hamba.” 
Aria Pamungkas berdiri. “Sebaiknya kita berbicara 
di taman, supaya udaranya lebih segar,” katanya. 
 
“Baik, Gusti.” Senapati Jugala bangkit dan mengi-
kuti langkah sang Putra Mahkota, menuju taman. 
Aria Pamungkas duduk di batu berbentuk kubus. 
Senapati Jugala pun duduk di batu lain. Lalu, “Menu-
rut dugaan Paman, apakah tidak terjadi sesuatu di 
Kawahsuling?” 
“Maksud Gusti?” 
“Aku agak curiga. Jangan-jangan adipati yang baru 
diangkat itu mempersiapkan suatu pemberontakan, 
Paman.” 
“Dalam laut bisa diukur, hati orang siapa tahu. Ta-
pi, menurut pendapat hamba, adipati yang baru itu 
sangat setia terhadap kerajaan.” 
“Lalu kenapa prajurit-prajurit yang dikirim ke sana 
hilang semuanya? Apakah Paman tidak pernah berpi-
kir bahwa mereka disergap oleh prajurit kadipaten un-
tuk maksud-maksud tertentu? Sebagai seorang sena-
pati, seharusnya Paman sudah memperhitungkan ke-
mungkinan buruk itu,” suara Aria Pamungkas terden-
gar tajam. 
Senapati Jugala tertunduk. 
“Paman tentu masih ingat cerita-cerita lama tentang 
malapetaka yang pernah melanda kerajaan ini. Seo-
rang pemberontak yang mengatasnamakan keadilan 
dan kebenaran, telah menjagal keluarga pamanku.” 
“Ya, hamba masih ingat, Gusti.” 
“Dan pemberontak itu berasal dari Kawahsuling, 
yang dulu lebih dikenal dengan nama Kadipaten Na-
wanggana.” 
“Betul, Gusti.” 
“Pemberontak itu bernama Kudawulung. Dan sam-
pai saat ini, kita tidak tahu apakah dia masih hidup 
atau sudah mati...” 
“Kalau Gusti menghendaki, hari ini juga hamba 
akan berangkat ke Kawahsuling, untuk menyelidiki 
persoalan yang sebenarnya.” 
“Jangan potong dulu kata-kataku, Paman.” 
“Maafkan, Gusti...!” 
“Aku memang menghendaki Paman segera berang-
kat ke Kawahsuling, dengan balatentara secukupnya. 
Dan kalau Adipati Kawahsuling berani bertindak ma-
cam-macam terhadap prajurit yang enam orang itu, se-
ret adipati itu ke sini. Rama Prabu pasti berkenan 
menjatuhkan hukuman mati bagi setiap pengkhianat.” 
“Tentu, Gusti, tentu!” 
Aria Pamungkas bangkit. Memegang bau Senapati 
Jugala. Dan berkata, “Hari masih pagi. Tiada salahnya 
Paman berangkat hari ini juga.” 
“Baik, Gusti. Hamba mohon diri.” 
Senapati Jugala bergegas meninggalkan taman. 
Dan Pangeran Aria Pamungkas termenung sesaat. 
Lalu melangkah ke dalam istana. 
“Kalau Paman Jugala tak berhasil menyelesaikan 
persoalan ini, aku harus mengusulkan kepada Rama 
Prabu, untuk memecat Paman Jugala dan mengganti-
kannya dengan senapati baru,” pikir Aria Pamungkas. 
Beberapa saat kemudian, tampaklah sebarisan pra-
jurit kerajaan meninggalkan kotaraja, dipimpin lang-
sung oleh Senapati Jugala. Pangeran Aria Pamungkas 
memperhatikan gerakan pasukan kerajaan itu dari me-
nara istana. 
“Gusti Aria memberangkatkan balatentara di bawah 
pimpinan Senapati Jugala?” tiba-tiba saja sang Mang-
kubumi muncul di belakang Aria Pamungkas. 
Aria Pamungkas terkejut dan menyahut dengan na-
da kurang  enak, “Kurasa itu urusanku sebagai putra 
mahkota.” 
“O, memang betul, Gusti Aria,” Mangkubumi sedikit 
membungkukkan badannya. “Tapi kalau boleh hamba 
memberikan pendapat, tampaknya....” 
“Paman Mangkubumi...!” potong Aria Pamungkas. 
“Undang-undang di kerajaan kita telah menentukan, 
bahwa kedudukan seorang mangkubumi hanya ber-
tanggungjawab dalam soal-soal harta kerajaan. Dan 
Paman sama sekali tidak berhak ikut campur dalam 
urusan angkatan perang.” 
“Benar sekali, Gusti Aria. Hamba mohon ampun, 
karena telah lancang mencampuri urusan yang bukan 
hak hamba,” sang Mangkubumi membungkuk lagi, 
kemudian melangkah mundur, untuk meninggalkan 
menara istana itu. 
Tapi tiba-tiba Aria Pamungkas memanggilnya, 
“Tunggu, Paman!” 
Sang Mangkubumi menghentikan langkahnya. 
“Gusti Aria hendak memerintahkan sesuatu kepada 
hamba?” 
Suara Mangkubumi itu terdengar dingin. Tapi Aria 
Pamungkas masih terlalu muda untuk menilai hal itu. 
“Apa yang ingin Paman kemukakan tadi?” tanya 
sang Putra Mahkota. 
Sang Mangkubumi menghela napas panjang. Lalu 
katanya, “Kalau hamba tidak salah dengar, Senapati 
Jugala diperintahkan untuk berangkat ke Kawahsul-
ing, untuk menanyakan masalah enam prajurit yang 
tidak kembali ke kotaraja.” 
“Betul,” Aria Pamungkas mengangguk, sambil berto-
lak pinggang. 
“Dan kalau hamba tidak salah duga, keenam praju-
rit itu ditugaskan untuk menagih pajak tahunan ke 
Kawahsuling.” 
“Juga betul.” 
“Kalau tidak salah, pajak itu merupakan salah satu 
urusan hamba.” 
Wajah Aria Pamungkas memucat. “Apa maksud Pa-
man?” 
“Hamba tidak ingin mengatakan bahwa keberangka-
tan balatentara Senapati Jugala itu merupakan salah 
satu urusan hamba, karena hamba hanya seorang 
bendahara. Tapi, barangkali seorang rakyat kecil pun 
berhak berbicara, manakala keselamatan negaranya 
mulai terancam.” 
“Paman Mangkubumi tidak usah menyindirku. Ka-
takan saja terus terang, apa yang ingin Paman kemu-
kakan?” 
“Ampun, Gusti Aria. Menurut pendapat hamba, kee-
nam prajurit yang hilang itu tidak pernah sampai di 
Kawahsuling.” 
“Kenapa Paman berpendapat begitu?” 
“Seorang pedagang yang baru pulang dari Kawah-
suling, bercerita kepada hamba bahwa desa lembah Ti-
lugalur telah banyak memakan korban secara aneh. 
Sedangkan yang hamba tahu, setiap orang yang ada di 
dalam perjalanan menuju Kawahsuling, akan tergoda 
untuk singgah dulu di Tilugalur.” 
“Paman tahu siapa aku, bukan?! Sejak kecil aku 
sudah digembleng untuk tidak merasa gentar mengha-
dapi bahaya sehebat apa pun!” 
Sang Mangkubumi tertunduk. Desahnya, “Hamba 
bahkan ingin mengusulkan supaya Senapati Jugala 
disusul dan membatalkan kepergian mereka.” 
Aria Pamungkas terbelalak. “Paman Mangkubumi 
ini bicara soal apa?” 
“Soal keselamatan bagi kita semua, Gusti Aria.” 
“Lantas, kalau Senapati Jugala disuruh pulang lagi, 
apa yang harus kita lakukan?” 
“Mencari seseorang yang berilmu, untuk menyelidiki 
keadaan di Tilugalur.” 
“Lagi-lagi Paman bicara soal Tilugalur. Sebenarnya 
ada apa di desa kecil itu?” 
“Seperti yang hamba katakan tadi, Tilugalur telah 
banyak memakan korban. Dan hamba yakin, keenam 
prajurit yang ditugaskan oleh Gusti Aria itu, binasa di 
Tilugalur.” 
“Baiklah. Kita tunggu sampai Senapati Jugala pu-
lang atau binasa di Tilugalur.” 
Sang Mangkubumi terbelalak. “Ja... jadi... Gusti 
Aria akan membiarkan Senapati Jugala jadi korban?” 
Aria Pamungkas menyeringai. “Seorang senapati ha-
rus memperlihatkan kelebihannya, bahwa ia patut 
memegang kedudukan penting itu.” 
 
*** 
 
 
SEORANG lelaki muda berjalan dengan kepala ter-
tunduk, memasuki tapal batas Kawahsuling. Tiada 
yang memperhatikannya ketika ia menghentikan lang-
kahnya di depan warung nasi yang terletak tidak begi-
tu jauh dari batas sebelah barat Kawahsuling itu. 
Bahkan setelah ia duduk di warung nasi itu pun, ke-
hadirannya tidak menarik perhatian orang. 
Lelaki muda itu, adalah Rangga. 
Sikap Rangga yang begitu sederhana membuat 
orang-orang yang sedang makan di warung nasi itu ti-
dak memperhatikannya. Sikap sederhana itu memang 
merupakan salah satu hasil ajaran Kudawulung, yang 
selama tiga tahun menggembleng Rangga. 
Kehadiran Rangga di Kawahsuling pun bukan tidak 
ada sebabnya. Rangga masih ingat benar apa yang di-
katakan oleh gurunya, ketika ia akan meninggalkan 
puncak Gunung Limagagak. 
“Sekarang kau telah mengerti apa yang menyebab-
kan kematian seluruh penduduk Tilugalur tiga tahun 
yang lalu. Mereka telah menjadi tumbal penetasan te-
lur naga perkasa itu.
“Dan sekarang kau telah mengerti, apa sebabnya 
aku melarangmu menyentuh mayat istrimu dahulu. 
Kalau kau menyentuhnya, saat itu juga ajalmu akan 
tiba. 
“Memang waktu kau baru tiba di Tilugalur, kau 
sempat memeluk mayat istrimu, tanpa sesuatu yang 
terjadi pada dirimu, karena pada saat itu tubuh istri-
mu masih mengandung anakmu. Sedangkan anakmu 
dibutuhkan oleh naga yang baru menetas itu, sehingga 
tubuh istrimu belum mengandung hawa maut yang 
dahsyat itu. Tapi setelah bayi itu diambil oleh yang 
berkepentingan, mayat istrimu tidak dilindungi lagi 
olehnya.
“Satu hal yang harus kau ketahui, anakmu itu 
mungkin masih hidup sampai sekarang. Ia akan men-
jadi saudara angkat naga yang baru menetas itu. Tapi 
kau harus berhati-hati, karena mungkin sekali anak-
mu sudah tidak mirip dengan manusia biasa. Kau juga 
harus merelakannya, seandainya ia tidak mengenalmu 
sebagai ayahnya.
“Sekarang, untuk sementara lupakanlah mestika li-
dah naga itu. Jalan yang harus ditempuh untuk men-
dapatkannya sudah sangat sulit, karena aku terlambat 
bertindak dahulu. 
“Kau juga jangan mencoba-coba memasuki Tiluga-
lur, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. 
Sebaiknya kau pergi ke Kawahsuling, lalu diamlah di 
kota kadipaten itu selama tiga atau empat hari. Mung-
kin ada sesuatu yang cukup menarik untuk kau kerja-
kan di situ.
“Tapi ingat, Rangga, jangan sekali-kali mengaku se-
bagai muridku. Bersikaplah seperti orang biasa. Dan 
jangan mengeluarkan ilmu-ilmu yang telah kuturun-
kan padamu, kecuali dalam keadaan terpaksa saja.” 
Begitulah sebagian pesan dan nasihat Kudawulung, 
yang disampaikan menjelang keberangkatan Rangga 
menuju Kawahsuling. 
Dan kini, ketika Rangga berada di dalam warung 
nasi itu, setiap pesan gurunya terngiang-ngiang lagi di 
telinganya. Itulah sebabnya ia bersikap masa bodoh 
ketika seorang lelaki setengah tua bertindak kurang 
ajar kepada pemilik warung nasi itu, seorang janda 
muda yang oleh penduduk Kawahsuling biasa dipang-
gil Nyi Tiwi. 
“Aku minta tuak keras, kenapa tuak manis begini 
yang kau hidangkan?!” desis lelaki bercambang tebal 
itu, sambil menggenggam pergelangan tangan Nyi Tiwi. 
“Me... memang hanya itu adanya, Mang. Ja... jan-
gan begini, ah,” sahut Nyi Tiwi sambil menepiskan 
genggaman lelaki itu. 
Dan Rangga tetap tenang menyantap nasi dengan 
pepes ikan terinya. 
“Mang Ucen,” kata seorang lelaki muda yang duduk 
di samping Rangga, “Nyi Tiwi memang biasa begitu.” 
“Begitu bagaimana?” lelaki bercambang dan dipang-
gil Mang Ucen itu menoleh kepada si lelaki muda yang 
duduk di samping Rangga. 
“Tuak manis itu sebagai isyarat bahwa Mang Ucen 
boleh nginap di sini nanti malam, tapi jangan terlalu 
ganas. Hihihihi.” 
Lelaki bernama Ucen itu terbahak-bahak. “Hahaha-
haha! Kamu betul, Sakri! Nyi Tiwi takut kalau aku ma-
bok, lantas bermain galak...!” 
 
Wajah Nyi Tiwi kemerahan. Tampaknya ia seperti 
ingin membantah omongan lelaki bernama Sakri dan 
Ucen itu. Tapi sebagai seorang pedagang, mungkin ia 
ingin bersikap seluwes mungkin, sekalipun ia merasa 
dikurangajari. 
Tapi semuanya itu tidak menarik perhatian Rangga. 
Rangga lebih banyak memperhatikan, secara diam-
diam, kepada seorang lelaki kurus setengah tua, yang 
duduk di sudut. Lelaki itu bertelanjang dada, sementa-
ra sudut matanya kerap mengerling ke jalan, seakan-
akan ada sesuatu yang dinantikannya. Atau, mungkin 
juga ada sesuatu yang ditakutinya. 
Yang menarik perhatian Rangga adalah bahwa lela-
ki kurus itu seperti tidak kenal dengan lelaki-lelaki 
yang bernama Sakri dan Ucen itu. “Mungkin dia juga 
seorang pendatang seperti aku,” pikir Rangga. 
Belum lagi selesai Rangga makan, tiba-tiba seorang 
anak muda datang dengan tergopoh-gopoh. “Mang 
Ucen... Kang Sakri... ada prajurit kadipaten...!” seru 
anak muda itu tertahan. 
“Hah?!” lelaki bernama Ucen dan Sakri itu terperan-
jat, lalu bergegas meninggalkan warung nasi setelah 
berkata kepada Nyi Tiwi, “Nanti saja uangnya, Nyi!” 
Nyi Tiwi menghela napas dan menggerutu perlahan, 
“Lagi-lagi ngutang....” 
“Kenapa mereka seperti ketakutan?” tanya si lelaki 
kurus yang sejak tadi berdiam diri. 
Nyi Tiwi menyahut, “Mereka sedang dicari-cari oleh 
prajurit kadipaten. Entah apa kesalahan yang pernah 
mereka lakukan.” 
Lelaki kurus itu mengernyit, lalu melirik ke arah 
Rangga yang masih asyik makan. Memang tinggal 
Rangga dan lelaki kurus itu yang masih berada di da-
lam warung makan. 
 
“Dunia ini sudah mulai lucu. Orang baik-baik ma-
lah takut sama pencuri, perampok dan pemerkosa,” 
gumam lelaki kurus itu sambil menyeka mulutnya 
dengan telapak tangan. 
“Maksudmu?” Rangga mulai bersuara. 
Lelaki kurus itu menoleh kepada Rangga, lalu me-
nyahut, “Lelaki muda bernama Sakri itu pasti orang 
baik-baik, sekalipun omongannya kedengaran melan-
tur.” 
“Betul,” sahut Nyi Tiwi ikut berbicara. “Kang Sakri 
memang orang baik. Tapi Mang Ucen itu genit sekali.” 
“Hahahahaaa... soal genit kepada perempuan, itu 
kan biasa. Laki-laki sebaik apa pun, kalau sudah ber-
hadapan dengan perempuan cantik seperti kamu, pasti 
jadi lain,” kata lelaki kurus itu. 
“Saya baru sekali ini melihat A... Akang,” desis Nyi 
Tiwi. “Tapi kelihatannya Akang sudah banyak tahu 
tentang penduduk di sini.” 
Lelaki kurus itu mengangguk-angguk sambil terse-
nyum. “Memang benar,” katanya. “Aku bukan pendu-
duk Kawahsuling. Tapi aku sudah banyak tahu ten-
tang Sakri dan Ucen. Aku masih ingat kepada mereka, 
ketika mereka datang ke kampungku beberapa tahun 
yang lalu. Tapi tampaknya mereka sudah lupa pada-
ku.” 
“Kampungnya di mana. Kang?” tanya Rangga. 
“Di Cisumpit.” 
“Cisumpit?! Wah, kalau begitu kampung kita berde-
katan, Kang.” 
“Kampungmu di mana, Jang?” lelaki kurus itu balik 
bertanya. 
“Tilugalur.” 
Lelaki kurus itu menatap wajah Rangga tajam-
tajam. Lalu, “Tilugalur?!” 
 
Rangga mengangguk. “Memangnya kenapa, Kang?” 
“Mudah-mudahan saja kau tidak membohongiku, 
Jang. Karena setahuku, Tilugalur sudah tidak dihuni 
manusia lagi. Mungkin semut pun sudah tidak bisa 
hidup lagi di sana.” 
“Aku sudah tiga tahun tidak pulang-pulang ke sana. 
Tapi, apa sebenarnya yang telah terjadi di sana, Kang?” 
“Hhhh... hhh... lucu! Orang Tilugalur malah ber-
tanya tentang kampungnya sendiri. Selama tiga tahun 
ini, kamu ada di mana, Jang?” 
“Mengembara tanpa tujuan, Kang.” 
“Dan sekarang Ujang mau pulang ke Tilugalur, begi-
tu?” 
Rangga mengangguk, sekalipun ia tidak punya niat 
pulang ke Tilugalur, karena dilarang oleh gurunya. 
Lelaki kurus itu pindah duduknya ke samping 
Rangga. Lalu ditepuknya bahu Rangga, sambil berkata 
setengah berbisik, “Sebaiknya jangan coba-coba pu-
lang ke Tilugalur, Jang.” 
“Memangnya kenapa, Kang?” Rangga pura-pura ti-
dak mengerti. 
“Tilugalur telah menjadi neraka aneh. Setiap orang 
yang memasuki kampung itu, selalu tidak kembali la-
gi,” sahut si lelaki kurus. 
“Benar,” timbrung Nyi Tiwi. “Orang-orang yang ma-
sih waras, akan berpikir seribu kali sebelum mengor-
bankan diri ke lembah neraka itu.” 
Rangga mengalihkan pandangannya pada Nyi Tiwi. 
Tapi sebelum sempat ia bertanya lebih jauh, tiba-tiba 
terdengar derap kaki kuda di jalan. Dan lelaki kurus 
itu  berbisik ke telinga Rangga, “Itulah para pencuri, 
perampok dan pemerkosa yang kubilang tadi.” 
Rangga menoleh ke jalan. Tiga prajurit kadipaten 
turun dari kuda mereka, lalu melangkah ke warung 
nasi Nyi Tiwi. 
Dan Nyi Tiwi tampak gemetaran. 
Ketiga prajurit itu melangkah masuk ke dalam wa-
rung nasi Nyi Tiwi, dengan sikap garang dan pongah. 
Salah seorang di antara mereka langsung meng-
hampiri Nyi Tiwi yang sedang gemetaran. “Tiwi!” ben-
taknya, “Kami dengar si Ucen dan si Sakri makan di 
sini tadi, ya?” 
“Be... benar,” sahut Tiwi tergagap. 
Prajurit yang dua orang lagi langsung duduk di de-
pan Rangga. Salah seorang di antara mereka bertanya, 
“Ke mana mereka sekarang?” 
“Su... sudah pergi,” lagi-lagi Nyi Tiwi menjawab ter-
gagap. 
“Ke sebelah mana perginya?” 
Nyi Tiwi tampak sangsi. 
“Ke mana perginya?!” bentak prajurit yang masih 
berdiri. 
“Ke... ke sana...” Nyi Tiwi menunjuk ke sebelah uta-
ra. 
“Kamu tidak bohong?” 
“Ti... tidak.” 
“Kamu tahu apa akibatnya kalau membohong?” 
“Ta... tahu.” 
“Baik. Kami akan membuktikannya!” kata prajurit 
yang masih berdiri itu sambil menoleh kepada kawan-
kawannya. “Ayo kita kejar mereka!” 
Tapi salah seorang prajurit yang duduk di depan 
Rangga itu mengedipkan sebelah matanya, sambil me-
ngerling ke arah lelaki yang duduk di samping Rangga. 
Prajurit yang mau melangkah ke luar itu lalu meng-
hampiri si lelaki yang duduk di samping Rangga. “Ka-
mu orang mana?!” bentaknya. 
“Dari Cisumpit,” sahut lelaki itu tenang. 
“Apa tujuanmu datang ke sini?” 
“Dagang.” 
“Mana barang daganganmu?” 
“Sudah habis.” 
“Barang apa yang kamu dagangkan di sini?” 
Lelaki kurus itu menunduk. 
Prajurit itu mengulangi pertanyaannya, dengan sua-
ra lebih keras, “Barang apa yang kamu dagangkan di 
sini?” 
“Golok.” 
“Golok?!” 
“Iya.” 
“Sekarang barang daganganmu sudah habis semu-
anya?” 
“Iya.” 
“Kamu tidak bohong?” 
“Tidak. 
“Itu apa?” tanya si prajurit sambil menunjuk ke se-
buah buntalan yang diletakkan di bawah meja. 
Si lelaki kurus tidak menjawab. Suasana menjadi 
tegang. Rangga tetap diam di tempatnya, tanpa menge-
luarkan suara sepatah pun. 
“Itu apa?!” bentak si prajurit sambil menusukkan 
tombaknya ke buntalan di bawah meja itu. 
Lelaki kurus itu pura-pura tidak melihat apa yang 
dilakukan terhadap buntalannya, lalu dengan tenang 
meletakkan sekeping uang tembaga di atas meja, sam-
bil berseru kepada Nyi Tiwi, “Ini uangnya, Nyi!” 
Ia bangkit dari bangkunya, lalu melangkah ke arah 
pintu keluar. Tapi dua prajurit yang sejak tadi duduk 
di depan Rangga, melompat dan menghadangnya. 
“Tunggu! Persoalan belum selesai! Kamu tidak boleh 
meninggalkan warung ini!” bentak salah seorang praju-
rit yang menghadang lelaki kurus itu. 
“Apa lagi yang belum selesai?” lelaki kurus itu 
menghentikan langkahnya. “Buntalan itu sudah kalian 
sita, bukan?!” 
Prajurit yang menusuk-nusukkan tombaknya ke 
buntalan itu menyahut, “Setelah kami tahu isi bunta-
lan ini, baru kamu boleh menganggap urusanmu sele-
sai!” 
Prajurit itu lalu membuka buntalan tersebut. Tapi 
tiba-tiba ia memekik, “Jagat Dewa Batara!” 
Ternyata buntalan itu berisi kepala manusia. Kepala 
pemimpin pasukan pengawal adipati! 
Prajurit yang duluan melihat isi buntalan itu sece-
patnya berseru kepada kawan-kawannya, “Tangkap 
dia!” 
Kedua prajurit yang menghadang si lelaki kurus 
langsung menodongkan tombak mereka ke arah lelaki 
kurus itu. 
Namun, tiba-tiba saja lelaki kurus itu menggerak-
kan kakinya, demikian cepatnya, sehingga tahu-tahu 
kedua tombak yang diacukan ke dadanya berpentalan 
ke langit-langit warung nasi... dan bertancapan di situ! 
Rangga yang memperhatikan semuanya itu secara 
diam-diam memuji di dalam hatinya, “Rupanya orang 
itu berilmu tinggi. Tapi siapa dia sebenarnya? Benar-
kah dia berasal dari Cisumpit?” 
Pada saat berikutnya, Rangga melihat lelaki kurus 
itu melesat ke luar, dan ketiga prajurit kadipaten me-
ngejarnya. 
Di depan warung nasi itu, si lelaki kurus tidak be-
rusaha melarikan diri, sekalipun ketiga prajurit kadi-
paten mulai mengepungnya dengan sikap garang. Di 
antara ketiga prajurit itu, hanya seorang yang masih 
memegang tombak. Sedangkan yang dua orang lagi 
sama-sama memegang golok, karena tombak mereka 
masih menancap di langit-langit warung nasi Nyi Tiwi. 
“Siapa kau sebenarnya, bedebah?!” bentak prajurit 
yang masih memegang tombak. 
Lelaki kurus itu menyahut tenang, “Sebenarnya aku 
tidak punya urusan dengan kalian. Aku hanya punya 
urusan dengan bayangkara adipati yang bernama Ja-
rot itu. Dan sekarang aku telah membunuhnya. Segala 
dendamku atas kematian adikku, sudah selesai. Ada-
lah bodoh kalau kalian mau membuka persoalan baru 
denganku.” 
“Aku tanya siapa kau sebenarnya?!” bentak prajurit 
bertombak itu lagi. 
Tapi lelaki kurus itu menyahut dengan kemauannya 
sendiri, “Kalian tentu masih ingat peristiwa dua tahun 
yang lalu. Si Jarot yang baru diangkat sebagai pemim-
pin pasukan pengawal adipati itu telah seenaknya 
membunuh Braja. Dan Braja itu adalah adikku! Wajar-
lah kalau aku selalu mencari jalan untuk membalas 
dendam, bukan?” 
Ketiga prajurit itu tercengang. Mereka memang ma-
sih ingat peristiwa dua tahun yang lalu itu. Peristiwa 
kematian Braja, yang dibunuh oleh Jarot, tanpa alasan 
yang kuat. Tapi mereka tidak tahu bahwa Braja mem-
punyai seorang kakak, lelaki kurus itu. 
“Aku memang tidak suka mencari keributan dengan 
prajurit kadipaten,” kata lelaki kurus itu lagi. “Tapi ba-
gaimana mungkin aku bisa membiarkan tindakan se-
wenang-wenang terhadap adik kandungku yang cuma 
satu-satunya itu?” 
“Braja dihukum, karena terlalu sering melakukan 
pencurian dan perampokan!” sahut salah seorang pra-
jurit yang memegang golok. 
Lelaki kurus itu tertawa dingin. “Hahahaaaa... ka-
lian ini tak ubahnya maling teriak maling! Yang pencu-
ri dan perampok itu sebenarnya kalian sendiri! Seha-
rusnya rakyat Kawahsuling yang bertindak membunu-
hi seluruh prajurit kadipaten, karena sudah menjadi 
rahasia umum bahwa pajak rakyat disalahgunakan 
untuk kesenangan pribadi kalian! Kenapa kalian justru 
menimpakan kesalahan kepada adikku?” 
Prajurit yang memegang tombak, tidak mau berde-
bat lebih jauh lagi. Dengan garang ia menusukkan 
tombaknya ke arah si lelaki kurus, sambil berseru, 
“Kamu sengaja cari mati di Kawahsuling!” 
Namun... sttt... tubuh lelaki kurus itu mencelat ke 
udara. Dan ketika kakinya menginjak tanah kembali, 
tangannya telah menggenggam sebilah kujang yang 
terbuat dari gading gajah! 
“Kujang Gading?!” ketiga prajurit itu terundur se-
rempak. 
Lelaki kurus itu menyeringai. “Sebenarnya aku ti-
dak suka membunuh manusia tanpa sebab. Tapi ku-
jangku pantang masuk ke dalam sarungnya, sebelum 
menjilat darah manusia! Ini adalah kesalahan kalian 
sendiri!” 
Begitu habis bicara, lelaki kurus itu bergerak den-
gan cepat sekali. Dan sebelum sempat mengetahui apa 
yang akan dilakukan oleh lelaki kurus itu, dua prajurit 
yang memegang golok terkulai roboh... dengan dada 
bermandikan darah! 
Prajurit yang masih memegang tombak itu gemeta-
ran. Ia mau melarikan diri. Tapi tiba-tiba dari arah ti-
mur tampak debu mengepul. Derap pasukan berkuda 
makin lama makin mendekat. Pasukan terdepan, tam-
pak membawa umbul-umbul kerajaan. 
Ini adalah suatu kejutan menggembirakan bagi si 
prajurit bertombak. Dan lebih gembira lagi hatinya, 
demi dilihatnya Senapati Jugala sendiri yang memim-
pin pasukan kerajaan itu. 
Rangga yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu 
dari dalam warung nasi Nyi Tiwi, lalu bergumam, 
“Wah... pasti ramai nih.” 
Nyi Tiwi yang berdiri setengah menyembunyikan diri 
di belakang Rangga, menyahut, “Iya. Tapi... jangan ke 
luar, Kang. Aku takut.” 
Sedikit pun Nyi Tiwi tidak tahu bahwa sebenarnya 
tadi telah terjadi sesuatu yang aneh, bahwa ketika pra-
jurit-prajurit kadipaten itu berada di dalam warung 
nasi Nyi Tiwi, hanya lelaki kurus itu yang diperhatikan 
oleh mereka. Sedangkan Rangga sama sekali tidak di-
perhatikan. 
Sebenarnya ketiga prajurit kadipaten itu bukannya 
tidak memperhatikan Rangga, melainkan tidak meli-
hatnya! Tadi, ketika prajurit-prajurit kadipaten itu 
memasuki warung nasi Nyi Tiwi, secara diam-diam 
Rangga mengerahkan ilmu ‘Halimunan’ yang mem-
buatnya tidak dapat dilihat oleh orang-orang yang ti-
dak diinginkannya. Itulah sebabnya prajurit-prajurit 
kadipaten itu hanya menanyai si lelaki kurus, tanpa 
sedikit pun menanyai Rangga, 
“Apa sebenarnya yang telah terjadi?” tanya Senapati 
Jugala dari atas kudanya. 
“Orang ini telah membunuh bayangkara Kanjeng 
Adipati. Dia juga telah membunuh dua kawan hamba, 
Gusti Senapati,” sahut prajurit kadipaten yang masih 
memegang tombak itu. 
Senapati Jugala turun dari kudanya, lalu meng-
hampiri lelaki kurus yang masih menggenggam kujang 
gading itu. Tanya sang Senapati, “Aku pernah men-
dengar cerita tentang seorang pendekar bergelar Ku-
jang Gading, apakah kau orangnya?” 
Lelaki kurus itu mengangguk, “Benar, orang-orang 
menjulukiku sebagai Kujang Gading.” 
“Dan sekarang kujang gadingmu telah menelan kor-
ban yang ada sangkut-pautnya dengan kerajaan,” de-
sis Senapati Jugala. “Apakah kau memang telah mem-
persiapkan diri untuk melawan kerajaan?” 
Lelaki bergelar Kujang Gading itu memandang sen-
jatanya yang masih bersimbah darah. Lalu katanya, 
“Sejak lama aku selalu membantu kerajaan dalam 
memadamkan pemberontakan demi pemberontakan. 
Tapi, setelah melihat tindakan sewenang-wenang para 
prajurit Kawahsuling, aku menjadi muak sekali! Dari 
hari ke hari, mereka tidak lagi berwujud sebagai pelin-
dung rakyat, melainkan sebaliknya. Dan dua tahun 
yang lalu, adik kandungku telah dibunuh secara ke-
jam! Aku tidak dapat membiarkan keadaan ini berla-
rut-larut. Aku harus memanfaatkan sisa-sisa hidupku, 
untuk melakukan sesuatu!” 
Senapati Jugala mengernyitkan keningnya. Sebagai 
orang kerajaan, Senapati Jugala tidak bisa membenar-
kan tindakan Kujang Gading dengan membunuh pra-
jurit-prajurit Kawahsuling. Tapi Senapati Jugala sendi-
ri baru tiba di kota kadipaten itu, sementara sikap 
Adipati Natajaya (adipati yang berkuasa di Kawahsul-
ing) belum diketahui secara pasti. Sedangkan tujuan 
Senapati Jugala datang ke Kawahsuling bersama bala-
tentaranya, adalah untuk menyelidiki sebab-sebab ti-
dak kembalinya prajurit-prajurit kerajaan yang ditu-
gaskan menagih pajak tahunan ke Kawahsuling. Dan 
salah satu sebabnya, mungkin saja karena Adipati Na-
tajaya tidak setia lagi terhadap kerajaan. 
Maka setelah termenung sesaat Senapati Jugala 
berkata, “Aku belum mendengar dengan jelas persoa-
lan yang sedang kau hadapi. Mungkin saja kau justru 
berada di pihak yang salah. Tapi, mengingat jasa-jasa 
yang pernah kau lakukan terhadap kerajaan, aku 
membebaskanmu dengan syarat, tinggalkan Kawahsul-
ing sekarang juga!” 
Prajurit yang masih memegang tombak itu terce-
ngang. Keputusan Senapati Jugala sungguh di luar 
dugaannya. Namun tentu saja ia tidak berani bicara 
apa-apa di hadapan panglima perang kerajaan itu. 
*** 
Adipati Natajaya hampir panik menerima laporan 
yang beruntun itu. Berita tentang terbunuhnya 
Bayangkara Jarot, dengan kepala yang sudah lenyap. 
Berita tentang ditemukannya seorang lelaki di warung 
nasi Nyi Tiwi, dengan buntalan yang berisi kepala Ja-
rot. Berita tentang tibanya Senapati Jugala bersama 
balatentaranya, dan kini sedang menuju istana kadipa-
ten. Dan yang sangat mengejutkan, adalah berita ten-
tang  dibebaskannya kembali lelaki bergelar Kujang 
Gading itu. 
“Aku tidak tahu jasa-jasa apa yang pernah diberi-
kan oleh Kujang Gading terhadap kerajaan,” pikir Adi-
pati Natajaya. “Yang jelas, tindakan Senapati Jugala 
itu bukanlah tindakan yang patut. Tidak seharusnya 
dia melakukan sesuatu di daerahku sebelum berund-
ing dulu denganku!” 
Tetapi sang Adipati menyembunyikan perasaan ke-
salnya itu manakala ia menyongsong kedatangan Se-
napati Jugala di pintu gerbang istana kadipaten. “Se-
lamat datang di Kawahsuling, Kanjeng Senapati. Ham-
ba tidak mendengar berita sebelumnya, tentang akan 
datangnya Kanjeng Senapati, sehingga hamba tidak 
dapat menyediakan penyambutan yang layak bagi 
Kanjeng Senapati. 
Senapati Jugala dipersilakan memasuki ruangan 
yang khusus disediakan untuk para tamu agung. Di si-
tulah sang Senapati berkata, “Sebenarnya keberangka-
tan kami ke sini, atas perintah sang Putra Mahkota.” 
Adipati Natajaya terkejut, “A... apakah ada sesuatu 
yang harus hamba laksanakan untuk kerajaan?” 
Senapati Jugala menyahut tegar, “Sudah tiga kali 
Gusti Pangeran Aria Pamungkas mengutus prajurit ke-
rajaan ke sini, untuk menagih pajak tahunan. Tapi 
semuanya tidak kembali ke kotaraja. Apa sebenarnya 
yang telah terjadi?” 
Adipati Natajaya tercengang. Lalu katanya, “Se-
sungguhnya hamba pun sedang menunggu-nunggu 
kedatangan utusan dari kotaraja.” 
“Jadi mereka tidak pernah datang ke sini?” tanya 
Senapati Jugala. 
“Tidak pernah, Kanjeng Senapati.” 
“Kalau begitu... pasti ada sesuatu yang tidak beres,” 
desis Senapati Jugala sambil berdiri dan memandang 
ke luar jendela. 
“Jangan-jangan mereka jadi korban Tilugalur,” ujar 
Adipati Natajaya mengambang. 
“Tilugalur?!” Senapati Jugala membalikkan badan-
nya dan menatap wajah Adipati Natajaya tajam-tajam. 
“Ada apa di Tilugalur?” 
“Sesuatu yang aneh dan belum terpecahkan,” sahut 
Adipati. “Setiap orang yang mencoba memasuki Tilu-
galur, tidak pernah ada yang selamat. Semuanya hi-
lang di sana. Prajurit-prajurit Kawahsuling pun sudah 
lima orang yang hilang di Tilugalur. Mereka ditugaskan 
untuk menyelidiki apa sebenarnya yang menyebabkan 
orang-orang hilang di desa lembah itu. Tapi justru me-
reka pun tidak kembali.” 
“Lalu sampai sekarang belum juga diketahui apa 
yang menyebabkan orang-orang itu hilang di Tiluga-
lur?” tanya sang Senapati. 
“Belum,” sahut Adipati Natajaya. “Sekarang bahkan 
tiada yang berani ditugaskan kesana, karena takut 
mengalami nasib seperti orang-orang yang hilang itu.” 
“Hmm... aneh,” gumam Senapati Jugala. “Jangan-
jangan di Tilugalur ada semacam perkumpulan raha-
sia, yang tujuan utamanya hendak merongrong kewi-
bawaan kerajaan. Lalu mereka menculiki orang-orang 
yang ada sangkut-pautnya dengan kerajaan. Apakah 
Dinda Adipati berpendapat begitu juga?” 
“Hamba belum berani mengemukakan pendapat, se-
belum menyelidikinya sampai tuntas. Maka hamba pi-
kir, sekaranglah saatnya bagi kita untuk menyelidiki 
sendiri ke sana.” 
“Baik,” Senapati Jugala mengangguk. “Kebetulan 
sekarang kami datang dengan balatentara yang cukup, 
sehingga kalau kita menemukan hal-hal yang tidak di-
inginkan di sana, dengan mudah kita bisa mengatasi-
nya.” 
 
*** 
 
LELAKI bergelar Kujang Gading itu melangkah de-
ngan tenang ke arah timur. Beberapa penduduk 
Kawahsuling, yang tadi melihat peristiwa bentrokan 
Kujang Gading dengan prajurit dari kadipaten, mem-
perhatikan gerak-gerik Kujang Gading dengan pandan-
gan cemas 
Salah seorang rakyat berbisik kepada kawannya, 
“Gila juga orang itu. Tadi dia sudah diampuni oleh 
Gusti Senapati, dengan syarat bahwa dia harus segera 
meninggalkan Kawahsuling. Tapi, sekarang dia malah 
seperti mau menuju istana kadipaten!” 
Orang yang dibisiki itu menyahut, “Mungkin ada se-
suatu yang belum memuaskan hatinya. Tapi... ah... ja-
ngan-jangan kebandelannya itu akan membangkitkan 
kemarahan Gusti Senapati.” 
Saat itu hari mulai sore. Dan Kujang Gading me-
langkah terus ke arah timur. 
Salah seorang prajurit kerajaan yang sedang beristi-
rahat di depan istana Adipati Natajaya, memandang ke 
arah barat, lalu menepuk bahu kawannya, “Lihat! Le-
laki itu sedang menuju kemari!” 
“Wah... dia benar-benar cari mati rupanya!” sahut 
prajurit yang lain. “Ayo laporkan cepat pada Gusti Se-
napati.” 
Salah seorang prajurit kerajaan bergegas memasuki 
istana Adipati Natajaya, lalu menghadap sang Senapa-
ti. 
“Ada apa?” tanya Senapati Jugala kepada prajurit-
nya itu. 
“Lelaki yang dibebaskan oleh Gusti tadi, sekarang 
sedang menuju kemari,” sahut si prajurit. 
Adipati Natajaya yang ikut mendengarkan laporan 
itu, langsung mendahului berkata, “Kebetulan! Sebaik-
nya Kanjeng Senapati memerintahkan prajurit-prajurit 
kerajaan untuk menangkap pembunuh itu!” 
Senapati Jugala menoleh pada sang Adipati, lalu 
katanya, “Sebenarnya Kujang Gading sudah sering 
membantu kerajaan dalam menumpas pemberonta-
kan-pemberontakan di daerah timur. Tapi sekarang, 
tampaknya dia sengaja ingin mencari gara-gara. Dan 
itu tidak akan kubiarkan.” 
Kemudian Senapati Jugala berkata kepada prajurit-
nya, “Tangkap dia dan seret kemari!” 
“Baik, Gusti,” sahut prajurit itu, yang lalu bergegas 
meninggalkan ruangan tamu agung. 
Setibanya di depan istana, prajurit itu membisiki 
kawan-kawannya. Kemudian prajurit-prajurit kerajaan 
itu bergerak, untuk ‘menjemput’ Kujang Gading yang 
sudah semakin mendekati istana Adipati Natajaya. 
Kujang Gading menghentikan langkahnya, demi di-
sadarinya bahwa lebih dari sepuluh prajurit kerajaan 
telah mengepungnya. 
Lalu terdengar suara salah  seorang prajurit, “Ku-
jang Gading! Atas perintah Gusti Senapati, kau harus 
kami tangkap!” 
Kujang Gading menyapukan pandangan ke sekeli-
lingnya. Lalu sahutnya, “Katakan kepada Senapati ka-
lian, aku ingin berbicara secara baik-baik dengannya!” 
“Nanti kau bisa bicara dengan beliau. Tapi seka-
rang, serahkan tanganmu untuk kami ikat!” seru salah 
seorang prajurit kerajaan. 
Prajurit-prajurit kerajaan yang masih tertinggal di 
sekitar istana Adipati Natajaya, mulai berhamburan ke 
arah Kujang Gading. 
“Kalian memang hanya anjing-anjing dungu yang 
tidak tahu aturan! Gusti Prabu saja tidak berani ber-
tindak sewenang-wenang padaku,” bentak Kujang 
Gading sambil memasang kuda-kuda, di tengah-
tengah kepungan prajurit-prajurit kerajaan yang jum-
lahnya lebih dari empatpuluh orang! 
Namun prajurit-prajurit kerajaan itu tidak mau 
mendengar kata-kata Kujang Gading. Mereka langsung 
maju dan memperkecil lingkaran, sehingga Kujang 
Gading seperti mau dijepit oleh kepungan ketat itu. 
Tapi... tiba-tiba saja tubuh Kujang Gading melesat 
ke udara... ke arah timur... dan ‘hinggap’ di depan pin-
tu gerbang istana Adipati Natajaya! 
“Kejar!” seru salah seorang prajurit sambil berlari 
paling dulu, memburu Kujang Gading yang sudah ber-
 
hadapan dengan dua orang prajurit penjaga istana 
Adipati. 
Kedua prajurit kadipaten itu menyergap Kujang Ga-
ding dengan tombak mereka. Tapi dengan gerakan 
yang hampir tak terlihat, Kujang Gading melompat-
lompat ke sana-ke mari, dan tahu-tahu kedua prajurit 
kadipaten itu sudah roboh sambil memuntahkan da-
rah segar dari mulut mereka! 
Pada saat berikutnya, Kujang Gading sudah men-
ginjak pelataran depan istana, Di situ ia harus berha-
dapan dengan tiga orang prajurit lagi. Tapi sebelum ke-
tiga prajurit itu bertindak, tiba-tiba terdengar bunyi le-
tusan... taaaar..., dan tahu-tahu Senapati Jugala su-
dah berdiri di depan Kujang Gading, sambi! memegang 
tali kulit yang panjangnya lebih dari sepuluh depa. 
“Kau telah menghabiskan kesabaranku, Kujang Ga-
ding!” bentak Senapati Jugala dengan sikap siap tem-
pur. 
“Justru prajurit-prajuritmu yang membuat kesaba-
ranku hampir hilang!” sahut Kujang Gading dengan si-
kap siap tempur pula. “Aku ingin berbicara secara 
baik-baik denganmu, tapi mereka malah mau coba-
coba menangkapku!” 
Tiba-tiba muncullah Adipati Natajaya di belakang 
Senapati Jugala. “Kanjeng Senapati, hamba mohon 
jangan biarkan dia lolos lagi,” bisik sang Adipati perla-
han. 
Tapi bisikan Adipati Natajaya itu tampaknya terde-
ngar oleh Kujang Gading, karena Kujang Gading lalu 
tertawa, “Hahahahahaaaaaaaa... sang Adipati tentu ke-
takutan sekali, karena sudah menduga bahwa aku 
akan menelanjanginya di depan sang Senapati!” Ke-
mudian Kujang Gading menatap Senapati Jugala, dan 
katanya, “Rakyat Kawahsuling sudah terlalu lama di-
peras oleh Adipati biadab ini. Seharusnya dialah yang 
ditangkap dan diseret ke kotaraja!” 
Senapati Jugala menyahut tegar, “Kujang Gading! 
Kau sedang berhadapan dengan panglima perang kera-
jaan! Apakah kau memang tidak pernah belajar tata 
krama sama sekali?” 
“Hahahahahahaaaaaa... maafkan aku, Senapati! 
Aku memang tidak bisa bicara sambil berlutut-lutut 
seperti kuda kehabisan tenaga di tengah perjalanan. 
Aku pun tidak bisa membahasakan diri dengan ham-
ba-hambaan, karena aku seorang manusia yang bebas, 
tidak pernah menghamba kepada siapa pun, kecuali 
kebenaran! Dan sekarang, demi kebenaran pula aku 
memaksakan diri menginjak istana yang menjijikkan 
ini, untuk melaporkan kebiadaban dan kejalangan 
Adipati Natajaya!” 
Sebelum sempat Senapati Jugala menyahut, Kujang 
Gading telah melanjutkan kata-katanya, “Kematian 
Adipati Wiralaga dua tahun yang lalu, didalangi oleh 
manusia yang kini berada di belakangmu! Dialah yang 
menciptakan perkumpulan Bajing Bodas! Lalu, dia pu-
la yang bertindak seolah-olah memberantas perkum-
pulan itu, setelah Adipati Wiralaga gugur! Semuanya 
itu dilakukannya demi tiga hal, yakni tahta, harta dan 
wanita. Dan ketiga-tiganya telah dimilikinya sekarang. 
Kedudukan Adipati telah dimilikinya. Harta terkutuk 
telah ditumpuknya di gudang tersembunyi. Dan... iste-
ri Adipati Wiralaga yang sudah lama digilainya itu, juga 
sudah dipaksa untuk menjadi gundiknya, yang seka-
rang disembunyikan di Leuwisapi! Tapi biadabnya ma-
nusia yang kini berada di belakangmu itu tidak terba-
tas sampai di situ saja. Sekarang dia sedang berusaha 
mencari-cari Nilamsari, putri sulung Adipati Wirala-
ga..., untuk dijadikan gundik barunya!” 
“Bohong!” teriak Adipati Natajaya dengan wajah pu-
cat pasi. 
Kujang Gading menyeringai dan berkata dingin, 
“Bagi seorang manusia gila, kebenaran itu adalah ke-
bohongan dan kebohongan itu adalah kebenaran! Aku 
punya bukti-bukti kuat untuk mem...” 
“Kanjeng Senapati!” Adipati Natajaya cepat-cepat 
memotong, “Demi kesetiaan hamba terhadap kerajaan, 
hamba mohon agar penjahat ini jangan dibawa berbi-
cara lagi. Tangkap atau bunuh saja dia.” 
Senapati Jugala tampak sangsi. 

*** 

Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Kujang Gading 
bukan fitnah. Lebih dari dua tahun yang lalu, ketika 
Kadipaten Kawahsuling masih dipimpin oleh Adipati 
Wiralaga, daerah yang subur dan tenang itu mendadak 
dicengkeram kekacauan dan ketakutan. Setiap pengi-
kut setia Adipati Wiralaga diteror. Keluarga mereka di-
aniaya, diperkosa, dirampok dan bahkan banyak yang 
dibunuh. 
Pengacau itu menamakan kelompok mereka sebagai 
Bajing Bodas (tupai putih). Dan mereka berhasil men-
ciptakan suasana sedemikian rupa, sehingga rakyat 
Kawahsuling mulai menyangsikan kepemimpinan Adi-
pati Wiralaga, di samping perasaan cemas dan takut 
yang telah tersebar di daerah kadipaten yang subur 
dan makmur itu. 
Adipati Wiralaga hampir putus asa, karena tidak 
berhasil menemukan sarang pengacau dan penjahat 
itu. Ia telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada 
di Kawahsuling, untuk memberantas perkumpulan ge-
lap itu. Tetapi ia selalu menubruk angin, karena setiap 
kali prajurit kadipaten hampir berhasil melacak per-
kumpulan rahasia itu, para anggota Bajing Bodas su-
dah lenyap dari markas mereka... tanpa meninggalkan 
bekas sedikit pun. 
Banyak pengikut setia Adipati Wiralaga menyaran-
kan, agar segera meminta bantuan ke kotaraja, untuk 
memberantas para pengacau itu. Tapi sang Adipati me-
rasa malu melaporkan ketidak-tentraman itu kepada 
Baginda. Dan sang Adipati berusaha untuk mema-
damkannya dengan kekuatan yang ada di Kawahsuling 
saja. 
Tapi Adipati Wiralaga tidak berhasil memberantas 
perkumpulan rahasia Bajing Bodas itu. Bahkan seba-
liknya, pada suatu malam, pasukan Bajing Bodas me-
nyerbu ke dalam istana Adipati Wiralaga! 
Para pengawal istana Adipati Wiralaga tidak mampu 
membendung serangan kilat di malam hari itu. Mereka 
roboh seorang demi seorang. Dan akhirnya sang Adipa-
ti sendiri tewas dalam peristiwa menyedihkan itu. 
Rakyat Kawahsuling sangat berduka-cita oleh peris-
tiwa kematian pemimpin mereka itu. Dari kotaraja pun 
datang utusan untuk menyampaikan belasungkawa, 
sekaligus mencari masukan siapa kiranya yang tepat 
untuk diangkat menjadi adipati baru di Kawahsuling. 
Pada saat itu pula muncul Natajaya, saudara sepu-
pu Adipati Wiralaga almarhum, yang bersikap seolah-
olah ingin memulihkan keamanan dan ketertiban di 
Kawahsuling. Dengan lagak seorang pahlawan, Nata-
jaya berseru kepada seluruh rakyat Kawahsuling, un-
tuk bersatu-padu dalam satu barisan... untuk membe-
rantas perkumpulan rahasia Bajing Bodas, padahal 
sebenarnya Natajaya sendiri yang memimpin perkum-
pulan Bajing Bodas itu! 
Demikian pandainya Natajaya mempengaruhi ra-
kyat Kawahsuling dan orang-orang kerajaan, sehingga 
akhirnya ia diangkat menjadi adipati baru. 
Memang setelah Natajaya menjadi adipati, keama-
nan dan ketertiban di Kawahsuling pulih kembali. Per-
kumpulan rahasia Bajing Bodas seolah-olah lenyap 
tanpa bekas. Dan rakyat Kawahsuling merasa lega, ka-
rena sejak mereka mempunyai adipati baru, mereka ti-
dak lagi diganggu oleh para pengacau yang selalu me-
makai topeng itu. 
Natajaya sendiri merasa lega, karena sebagian dari 
tujuannya telah tercapai, yakni cita-cita menduduki 
jabatan adipati dan hasrat untuk menumpuk ke-
kayaan sebanyak-banyaknya. 
Tetapi ada satu hasrat yang belum menjadi kenya-
taan, yakni hasrat Natajaya untuk memiliki Purwanin-
grum, bekas istri Adipati Wiralaga almarhum. Bahkan 
sesungguhnya wanita cantik itulah yang membuat Na-
tajaya tega melaksanakan kekejian terhadap saudara 
sepupunya sendiri. 
Memang Purwaningrum sangat cantik, sehingga wa-
laupun ia sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun, 
pancaran wajahnya masih mampu membetikkan birahi 
lelaki. Waktu suaminya masih hidup, ia tidak tahu 
bahwa sesungguhnya ia  sedang digilai oleh saudara 
sepupu suaminya sendiri. Ia juga tidak tahu, bahwa 
sesungguhnya saudara sepupu suaminya itu sedang 
merencanakan sesuatu yang keji dan biadab. 
Namun Natajaya sangat pandai menyembunyikan 
kebusukannya. Bahkan dengan sikap yang meyakin-
kan, ia berhasil membujuk Purwaningrum untuk men-
gungsi ke Leuwisapi, daerah sunyi di sebelah selatan 
Kawahsuling. 
Dengan alasan menyayangi Purwaningrum sebagai 
bekas istri saudaranya, Natajaya pun berhasil merayu 
wanita cantik itu sedikit demi sedikit... sampai akhir-
nya berhasil mempergundiknya! 
Namun Natajaya belum puas juga dengan segala 
yang telah dicapainya. Nilamsari (putri Adipati Wirala-
ga dengan Purwaningrum), yang telah menanjak rema-
ja, mulai membangkitkan birahinya, dan akhirnya Adi-
pati Natajaya tak kuat lagi menyekap nafsu binatang-
nya. 
Adipati Natajaya berhasil mencari kesempatan baik 
itu. Ia berhasil membawa Nilamsari ke sebuah tempat 
terpencil, di mana sang Adipati memiliki sebuah ru-
mah yang cukup tenang untuk melaksanakan kebina-
tangannya. 
Nilamsari sendiri tidak mengira kalau ayah tirinya 
akan melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap di-
rinya, maka ia patuh saja ketika sang Adipati menga-
jaknya masuk ke dalam rumah terpencil itu. Ia baru 
sadar bahwa Adipati Natajaya berjiwa iblis, ketika den-
gan paksa sang Adipati hendak memperkosanya di 
rumah terpencil itu. 
Hampir saja Nilamsari kehilangan kesuciannya di 
rumah terpencil itu. Namun tiba-tiba... ya... tiba-tiba 
saja pintu kamar terkutuk itu pecah berantakan... dan 
tahu-tahu seorang lelaki bertopeng telah berdiri di da-
lam kamar itu. 
Sebelum sempat Adipati Natajaya bertindak, tahu-
tahu lelaki bertopeng itu berkelebat secepat kilat... lalu 
lenyap sambil memboyong Nilamsari! 

*** 

Begitulah riwayat singkat Adipati Natajaya, yang ki-
ni sedang berdiri di belakang Senapati Jugala. 
Ketika Senapati Jugala masih tampak sangsi juga, 
Adipati Natajaya mengulangi desakannya, “Orang ini 
sangat berbahaya. Sekali lagi, demi kesetiaan hamba 
terhadap kerajaan, tangkap atau bunuhlah dia, Kan-
jeng Senapati!” 
Akhirnya Senapati Jugala menguraikan senja-
tanya... seutas tali yang terbuat dari kulit kerbau itu, 
sambil berseru, “Menyerahlah, Kujang Gading! Aku 
terpaksa harus menangkapmu!”  
 
(Bersambung)