Pendekar Gagak Rimang 1 - Lahirnya Sang Pendekar

 
Ruang pertemuan Keraton Utara 
ramai. Tidak seperti biasanya hal 
seperti ini terjadi. Suara-suara 
bersahutan terdengar silih berganti. Dan 
terdengar agak berebutan. Ruang 
pertemuan  itu biasanya memang selalu 
digunakan untuk membicarakan hal-hal 
yang penting. Dan kali ini tempat itu pun 
menjadi tempat yang teramat penting. 
Karena hanya orang-orang kepercayaan 
Prabu Kraton Utara saja yang hadir, tanpa 
adanya beberapa prajurit yang biasanya 
hadir untuk mewakili pasukannya. 
Suasana pun lebih tegang dari 
biasanya. Wajah-wajah yang hadir pun tak 
kalah tegangnya. 
Memang, hari ini Sang Prabu Keraton 
Utara tengah mengajak para orang 
kepercayaannya  untuk memikirkan dan 
memecahkan suatu masalah yang menurutnya 
amat pelik. Hingga peliknya dia sendiri 
tidak sanggup untuk memecahkan masalah 
ini. 
Hal yang merumitkan itu adalah 
tentang hilangnya pusaka warisan para 
leluhur Raja Keraton Utara. Mendadak 
lenyap begitu saja. Hal ini benar-benar 
membuat si raja muda itu bingung. 
Para bawahannya yang setia, bekas 
pengikut ayahnya sang Prabu Keraton 
Utara yang telah mangkat yang bergelar 
Sri Kertanegara, mendengarkan dan 
memberi pendapat tanpa bermaksud untuk 
mengambil muka pada raja muda itu. 
Prabu yang baru, pengganti ayahnya 
bergelar Sri Jayarasa. Dan mempunyai 
nama asli Panji Lesmana. 
Dia baru berusia 28 tahun. Tubuhnya 
gagah dan wajahnya cakap. Pengetahuannya 
tentang kepemerintahan dan strategi 
perang cukup memadai. Semenjak Sri 
Kertanegara masih hidup, Panji Lesmana 
sudah dididik untuk menjadi seorang ahli 
kepemerintahan dan ahli strategi perang. 
Para bawahannya adalah para abdi 
yang patuh pada prabu mereka. Mereka 
benar-benar memikirkan bagaimana cara 
memecahkan masalah yang telah dibeberkan 
oleh sang prabu muda itu. Benar-benar 
merupakan suatu masalah yang pelik, dan 
semuanya pun merasakannya. 
Prabu muda itu kembali 
berkata-kata, "Jadi Ki Runding Alam 
mengusulkan demikian?" 
Yang dipanggil dengan nama Ki 
Runding Alam menyembah. Dia seorang 
laki-laki tua ynng perkasa. Sejak muda 
dia sudah mengabdikan dirinya pada 
Keraton Utara. Dan sudah beberapa kali 
pula dia memimpin pasukan Keraton Utara 
untuk menyerang ke Keraton Selatan, saat 
kedua kerajaan itu masih dalam keadaan 
bertempur. 
Ki Runding Alam sering pula memimpin 
pasukan untuk membasmi para perampok 
yang banyak menyerang desa-desa dengan 
kejam. Dan dia selalu berhasil dalam 
menjalankan tugasnya. 
Kepandaian Ki Runding Alam dalam hal 
ilmu silat dan ilmu perang, sulit untuk 
dicari tandingannya. Satu-satunya yang 
mungkin dapat menandinginya hanyalah Mpu 
Daga, seorang tua penasehat dan 
kepercayaan Raja Keraton Utara. 
Cuma yang disayangkan, sampai 
sekarang ini  Mpu Daga tidak mau 
memperlihatkan kepandaiannya, jika 
tidak ada masalah yang amat mendesaknya. 
Mpu Daga  seorang yang arif dan 
bijaksana. 
Hingga sulit diketahui, apakah Mpu 
Daga mampu mengalahkan Ki Runding Alam? 
Panji Lesmana alias Sri Jayarasa kuatir 
Ki Runding Alam wafat, siapa yang bisa 
menggantikan kedudukannya. Seharusnya 
Ki Runding Alam sudah menyiapkan seorang 
penerusnya yang tingkat  kepandaiannya 
setaraf atau melebihinya, dan paling 
tidak, tak jauh berbeda dengan dirinya. 
Namun sampai sekarang, Sri Jayarasa 
belum melihat tanda-tanda itu. 
Didengarnya  suara abdinya yang 
perkasa itu. 
"Daulat, Tuanku yang mulia dan 
agung. Kalau memang masalah itu yang 
tuanku cemaskan, hanya itu pula hamba 
bisa memberikan jalan," kata Ki Runding 
Alam dengan suaranya yang berat namun 
terdengar sopan. 
"Apakah tidak ada pendapat yang 
lain, agar aku bisa menerimanya dengan 
baik, Ki?" 
"Untuk saat ini, hamba hanya bisa 
mengusulkan hal seperti itu, Tuanku...." 
"Apakah tidak terlalu sulit, Ki?" 
tanya raja lagi. 
Kembali Ki Runding Alam 
merangkumkan kedua tangannya di dada, 
menyembah. 
"Menurut hamba, karena itu usul yang 
hamba berikan, tak akan ada kesulitan 
sedikit pun." 
"Kau bisa membeberkan rencanamu 
itu?" 
"Dengan segala kerendahan hati, 
Tuanku.  Pertama,  jika memang benar 
pusaka itu hilang dalam istana, menurut 
hamba tak lain dan  tak bukan, adalah 
orang dalam sendirilah yang 
melakukannya." 
"Bagaimana kau bisa menduga 
demikian, Ki?" tanya Raja pula. 
"Karena bagi orang luar untuk 
melakukannya, terlalu sulit, Tuanku. 
Pertama, dia barus melewati banyaknya 
punggawa yang begitu ketat menjaga 
istana. 
Kedua, pencuri itu pun belum tentu 
tahu di mana Pusaka Patung Pualam lambang 
kejayaan Keraton Utara dan warisan para 
leluhur berada. Bukankah pusaka itu 
berada di dalam kamar Tuanku?" 
"Benar, Ki. Aku memang selalu 
menyimpannya di sana. Karena aku begitu 
bangga bisa melihatnya setiap hari dan 
menjelang aku pergi tidur." 
"Nah, dari alasan kedua itu saja 
sudah tidak memungkinkan pencuri dari 
kalangan luar itu bisa melakukannya. 
Tetapi hanya ada satu cara lain...." Ki 
Runding Alam menghentikan kata-katanya. 
Yang hadir memandangnya dengan 
tegang, menunggu kata-kata apa yang 
hendak diucapkan Ki Runding Alam 
kembali. 
Begitu pula halnya dengan Sri 
Jayarasa, 
"Cara apa, Ki?" 
Ki Runding Alam kembali menjura. 
"Maafkan hamba sebelumnya, 
Tuanku...." 
"Katakanlah Ki... apa yang saat ini 
ada di pikiranmu...." kata raja pula. 
"Mungkin saja dugaan orang luar yang 
mengambilnya memang benar, Tuanku...." 
"Tadi kau mengatakan tidak, 
bagaimana caranya?" 
"Ada orang yang memberitahukan ten-
tang seluk beluk istana. Dan tentang 
Pusaka Patung Pualam berada." 
"Jadi dugaanmu...." 
"Benar, Tuanku. Hamba berpikir 
tentang  satu hal lagi kemungkinan, 
adanya orang yang menjadi penunjuk jalan 
untuk mencuri Pusaka Patung Pualam." 
"Dan orang itu adalah orang kita 
sendiri?" 
"Benar, Tuanku...." 
Kata-kata Ki Runding Alam membuat 
beberapa hadirin semakin tegang. Tanpa 
mereka sadari mereka menjadi saling 
pandang. Meskipun sinar mata mereka 
tidak saling mencurigai,  namun hati 
mereka menjadi bertanya-tanya. 
Benarkah dugaan Ki Runding Alam? 
Dan mereka mendengar kembali 
kata-kata Ki Runding Alam. 
"Mungkin pula dugaan saya bisa 
menjadi salah, Tuanku. Tetapi mengingat 
hilangnya Pusaka Tanah Kediri dari kamar 
tuanku, itu sudah menandakan kalau orang 
dalamlah yang melakukannya atau pun 
orang dalamlah yang menjadi mata-mata 
sebagai penunjuk jalan  bagi pencuri 
untuk mengambil pusaka. 
"Aku pun berpikiran demikian, Ki. 
Cuma aku ragu, apa mungkin di dalam 
istana ini ada orang yang tega berkhianat 
kepadaku? Yang tega-teganya mencuri 
pusaka leluhur kita. Pusaka Patung 
Pualam. Lambang kejayaan dan cita-cita 
luhur Tanah Keraton Utara." 
"Daulat, Tuanku. Bukan maksud hamba 
untuk menuduh atau menduga hal itu. 
Tapi... mungkinkah ada seorang mata-mata 
Keraton Selatan yang telah menyusup ke 
dalam, dan mencuri pusaka  itu? 
Kemungkinan itu tidak bisa dipungkiri, 
Tuanku. Dan kemungkinan itu selalu ada. 
Bahkan ada!" 
Raja terdiam. Semua hadirin 
terdiam. Kata-kata Ki Runding Alam telah 
membangkitkan suatu keingintahuan dan 
kegeraman. Rupanya suatu ketika, mereka 
bisa kecurian pula. Justru yang dicuri, 
pusaka yang dibanggakan oleh tanah 
Keraton Utara. Pusaka yang diwarisi dari 
satu raja ke raja lain, warisan turun 
menurun yang tak pernah habis. Dan pusaka 
lambang kejayaan raja-raja Keraton 
Utara. 
Terdengar suara lembut namun 
berisi, "Maafkan hamba, Tuanku. Kalau 
memang demikian dugaan Ki Runding Alam, 
kami semua setuju. Pusaka itu dicuri 
orang saat kita semua lengah. Saat kita 
semua terlelap dan tidak menyadari kalau 
salah seorang anggota kita adalah 
penjahat besar. Musuh yang mungkin 
dikirim dari Keraton Selatan. Lalu, apa 
tindakan yang akan kita ambil, Tuanku?" 
Sri Jayarasa menatap orang yang 
berbicara itu. Seorang laki-laki 
setengah baya yang bertubuh tegap. 
Dengan kukuh dan kekar, menandakan orang 
yang keras. Dia memiliki  kumis yang 
lebat. Jika dia berdiri, mirip seorang 
pendekar dari seberang. Dia bernama 
Singa Ireng alias Macan Seranggi. 
"Hmm... kalau memang hanya itu 
dugaan kita semua, kita harus segera 
mengirim utusan ke Keraton Selatan. 
Untuk merundingkan masalah ini secara 
damai. Jika jalan perundingan itu tidak 
dapat dilaksanakan atau gagal, 
peperangan tak mungkin dihindari lagi," 
kata Sri Jayarasa geram. Dia melangkah 
mondar mandir dengan tangan terkepal ke-
ras. Matanya memancarkan sinar kemarahan 
Terdengar deheman lalu batuk-batuk. 
Seorang  laki-laki tua membuka suara, 
"Maafkan  hamba, Tuanku. Kalau boleh 
hamba mengusulkan sesuatu?" 
"Oh, silahkan, Mpu!" sahut Sri 
Jayarasa sambil duduk di tempatnya 
kembali. Memperhatikan Mpu Daga yang 
bertugas selaku penasehat setia di 
Keraton Utara. Dia seorang laki-laki tua 
berjubah putih dan berjanggut putih 
pula. 
Mpu Daga menghela nafas. Dia tahu 
jiwa muda raja baru ini, jiwa muda yang 
penuh gejolak amarah dan nafsu. Dia tidak 
memikirkan masalah ini lebih panjang. 
Mungkin karena  bernafsu tidak dapat 
menahan gejolak diri, atau juga marah 
karena pusaka kebanggaan Keraton Utara 
dicuri orang, atau juga... malu kepada 
almarhum ayahnya karena tidak bisa 
menjaga amanat yang diberikan. Dan Mpu 
Daga tidak ingin peperangan terjadi 
lagi. 
"Maafkan, Tuanku. Maksud hamba, 
bukan menghalangi keinginan tuanku untuk 
mengirim utusan ke Keraton Selatan. Tapi 
apakah tidak baik, jika masalah ini kita 
selesaikan dulu." 
"Maksud, Mpu?" 
"Kita tutup persoalan ini dulu 
sampai berapa lama. Kita cari pusaka ini 
di sekitar istana, tanpa menimbulkan 
kecurigaan yang lain. Kalau pun memang 
ada mata-mata yang telah mencuri pusaka 
itu, biar dia merasa aman dalam istana 
tanpa merasa sadar kalau kita sudah 
mengetahui pusaka itu hilang." 
"Tapi Mpu, bagaimana kalau orang itu 
sudah kabur ke Keraton Selatan? Bukankah 
ini jelas-jelas kecolongan dan Keraton 
Selatan telah membuat jembatan kayu 
untuk permusuhan." 
"Itu pun kalau benar Keraton Selatan 
yang mengambilnya, lalu bagaimana jika 
bukan?" 
"Alah, sudah tentu mereka, Mpu! Mpu 
masih ingat bukan, ketika kerajaan ini 
direbut oleh Keraton Selatan? Betapa 
sengsaranya kita dan  seluruh rakyat. 
Kita seolah kehilangan kepercayaan 
rakyat untuk memimpin negara, Mpu. Dan 
betapa tertatih-tatihnya kita untuk 
merebut kembali kekuasaan yang kita 
miliki. Berapa ribu pejuang yang mati, 
berapa hektar tanah yang hangus, dan 
berapa juta harta dipakai untuk membantu 
perjuangan. Karena apa, karena mereka 
mencintai bangsa dan negaranya. Dan 
mereka tidak ingin hidup dalam jajahan." 
"Lalu bagaimana maksud, Tuanku?" 
"Sudah jelas toh, Mpu! Mereka ingin 
kembali menjajah dan merebut kekuasaan. 
Kalau pusaka itu sudah jatuh ke tangan 
mereka, secara resmi Keraton Utara 
dipegang oleh mereka. Bukan begitu, 
Mpu?" Suara Sri Jayarasa meninggi. 
Dadanya turun naik. Nafasnya 
terengah-engah. 
Mpu Daga terdiam. Sri Jayarasa 
meneruskan, "Kita tidak ingin mengalami 
penjajahan kembali, bukan? Hari ini juga 
aku akan mengirim utusan ke Keraton 
Selatan biar masalahnya cepat 
terselesaikan. Ki Runding Alam, ajak 
seorang yang kau percaya untuk pergi ke 
Keraton Selatan. Katakan terus terang, 
perbuatan curang Raja Keraton Selatan 
sudah diketahui. Dan katakan pula, aku 
minta pusaka itu dikembalikan secara 
baik-baik. Jika tidak, aku akan merebut 
dengan jalan perang." 
Ki Runding Alam menyembah hormat. 
Dia memilih Ki Manggada untuk 
menemaninya. Sebelum keduanya bangkit 
terdengar suara Mpu Daga. 
"Sekali lagi maafkan hamba, 
Tuanku." 
"Ada apa  lagi, Mpu?" tanya Sri 
Jayarasa tak suka. 
Mpu Daga menghela nafas panjang. 
Lalu katanya, 
"Sebagai penasehat, hamba ingin 
memberi nasehat kembali kepada tuanku. 
Masalah pusaka leluhur kita yang dicuri, 
kita lepas dari soal ini. Tetapi kembali 
tuanku pikirkan, apa jadinya kalau bukan 
mereka yang mencuri pusaka Keraton 
Utara. Mereka pasti ukan terhina dan 
marah oleh tuduhan yang lerlalu keji ini. 
Mereka tentu saja tidak akan menerima. 
Dan perang jelas-jelas tidak akan bisa 
dielakkan lagi." 
"Memang hal itu yang kuinginkan, 
biar mereka membuka mata lebih lebar, 
kalau kita tidak bisa diremehkan," sahut 
Sri Jayarasa membusungkan dada. 
"Benar, Tuanku!" seru Panglima 
Angling  menyela kata-kata Mpu Daga. 
Semua mata tertuju padanya, karena sejak 
tadi dia yang tidak banyak bicara. "Kita 
semua tidak ingin dihina oleh Keraton 
Selatan. Keputusan Tuanku sungguh adil 
dalam hal ini! Kita akan runding dengan 
Keraton Selatan. Jika gagal, kita akan 
menggempur mereka sampai lumat! Pusaka 
Patung Pualam harus kita rebut kembali!" 
Berapi-api panglima yang berwajah garang 
itu berkata. 
Prabu tersenyum mendengar kata-kata 
Panglima Angling. Tetapi Mpu Daga tetap 
berusaha untuk mencegah. 
"Tak ingatkah tuanku akibat perang? 
Penderitaan yang panjang dialami oleh 
rakyat. Kemiskinan mendera batin. Dan 
kejahatan terjadi di mana-mana hanya 
karena memperebutkan seberapa butir 
nasi. Tuanku... kalau bisa, cegahlah 
peperangan, jangan kita mengulangi 
kepahitan yang sama" 
"Hmm, jadi bagaimana maumu, Mpu?" 
"Kita kembali menyelidiki masalah 
ini. Jika memang benar hilang, pasti 
masih berada di sekitar sini. Si pencuri 
tidak akan berani membawanya ke luar, 
karena penjagaan yang ketat." 
"Hhh!" Prabu mendengus jengkel. 
"Kau lupa Mpu, dalam kamarku pencuri itu 
bisa mengambilnya. Dan itu penjagaan 
lebih ketat. Pencuri itu benar-benar 
seorang yang sakti." 
"Tapi... maafkan hamba, Tuanku. 
Apakah tuanku tidak lupa meletakkannya? 
Ini suatu kemungkinan yang baru, 
Tuanku." 
"Tidak, Mpu. Aku ingat benar, pusaka 
itu kuletakkan di lemari kayu warisan 
ayahanda. Pencuri itu memiliki 
keberanian yang luar hiasa, bukan? 
Yah... orang-orang Keraton Selatan 
terkenal memiliki mental yang hebat dan 
kuat." 
Mpu Daga tidak bisa berkata-kata 
lagi. Ia masih ingin Sri Jayarasa mau 
mendengar kata-katanya selaku 
penasehat. Dia berharap, peperangan bisa 
dihindarkan dan tidak pecah lagi seperti 
dulu. 
Masih terbayang lekat dalam benak 
Mpu Duga, betapa memilukan keadaan 
rakyat di mana dua negara berperang. Dia 
sukar membayangkan kembali penderitaan 
rakyat yang begitu memilukan. 
Mpu Daga berkata kembali, 
"Tuanku... mungkin pendapat hamba tidak 
berkenan di hati tuanku. Namun yang perlu 
tuanku pikirkan sekali lagi, bagaimana 
bila bukan mereka yang melakukannya? 
Hamba kuatir, perselisihan dan 
peperangan tak bisa dihindari lagi”. 
"Agaknya peperangan itu memang tak 
bisa dihindari lagi, Mpu...." 
Mpu Daga mendesah. Sadar kalau jiwa 
prabu muda ini masih terbawa oleh 
emosinya. 
"Tidak adakah cara lain, Tuanku?" 
"Yah... seperti yang kukatakan 
tadi, jalan satu-satunya memang hanya 
itu. Mencoba mengajak mereka berunding." 
"Benar, Tuanku," kata Panglima 
Angling yang kembali menyela. "Keputusan 
itu  sudah merupakan sebuah keputusan 
yang baik. Hamba pun berpikir, hanya 
itulah satu-satunya cara untuk mencoba 
dengan jalan halus dan damai." 
"Tetapi biar bagaimana pun caranya 
berunding, mereka tetap bisa 
tersinggung, Panglima," kata Mpu Daga 
yang masih berusaha keras untuk mencegah 
peperangan terjadi. 
"Bukankah kita hanya berunding, 
Mpu? Bagaimana maksudmu yang 
sebenarnya?" kata Panglima Angling. 
Mpu Daga menjura dulu pada raja, 
"Maafkan hamba, Tuanku." Lalu katanya 
pada Panglima Angling, "Panglima... kita 
memang datang untuk berunding, namun 
kedatangan kita tak lain dan tak bukan 
untuk memastikan apakah mereka yang 
mencuri Pusaka Patung Pualam? 
Dan bila kata-kata itu dilontarkan, 
ini bisa menjadi semacam tuduhan. Dan 
saya rasa pihak Keraton Selatan tidak 
akan menerima semua ini, meskipun kita 
datang dengan jalan untuk berunding." 
"Tetapi bagaimana bila benar mereka 
yang mencurinya, Mpu? Apakah kita hanya 
berpangku tangan dan membiarkan Keraton 
Selatan menindas kita?" kata Panglima 
Angling dengan suara  yang terdengar 
tidak enak. 
Mpu Daga terlihat jadi sedikit risih 
mendengar suara itu. Namun sikapnya yang 
arif  dan bijaksana membuatnya bisa 
menghilangkan keadaan itu. 
"Itu kalau benar mereka yang 
mencurinya, panglima. Tetapi kalau bukan 
bagaimana?" 
"Mpu... kemungkinan benar atau 
tidaknya hanya bisa kita ketahui bila 
kita sudah ke Keraton Selatan. Meminta 
semua penjelasan mereka dan berunding 
dengan mereka. Aku heran, kau seorang mpu 
yang dianggap sebagai penasehat dan 
kepercayaan pertama dari prabu tidak 
memikirkan hal itu...." 
Sebagian hadirin memang membenarkan 
kata-kata Panglima Angling. Bagaimana 
bila benar pihak Keraton Selatan yang 
mencuri Pusaka Patung Pualam Itu? 
Dan sebagian hadirin pun 
membenarkan kata-kata Mpu Daga, 
bagaimana bila mereka tidak mencurinya? 
Meskipun dengan jalan berunding, 
bukanlah hal yang mustahil bila pihak 
Keraton Selatan menjadi tersinggung 
dengan kedatangan mereka. 
Hadirin menjadi sulit untuk 
memikirkan yang pasti dan memutuskan 
yang tepat. 
Mereka mendengar suara Prabu Sri 
Jayarasa mendehem. Semuanya berpaling 
padanya. 
"Yah... setelah kupikirkan, 
keputusan tetap sama, kita harus 
mengirim utusan ke Keraton Selatan untuk 
berunding dan meminta penjelasan pada 
mereka tentang hilangnya Pusaka Keraton 
Utara. Dan siapa yang harus bertanggung 
jawab dengan kejadian ini. 
Ki Runding Alam dan Ki Manggada, 
kalian tetap menjalankan tugas yang 
kuberikan. Dan aku minta, pecahkan semua 
persoalan ini secara tuntas...." 
Ki Runding Alam dan Ki Manggada 
menjura. 
"Daulat, Tuanku... semua perintah 
dan titah tuanku, akan kami jalankan 
dengan sebaik-baiknya," kata Ki Runding 
Alam mewakili Ki Manggada. 
Dan mendesahlah Mpu Daga. Pelan. 
Terlihat wajahnya yang berubah 
menjadi lesu. 
Dia kembali membayangkan kemungkin-
an perang terjadi. Ah, tak sanggup dia 
untuk berlama-lama membayangkannya. 
Akibat perang amat mengerikan. Terlalu 
mengerikan. Perang tidak memperdulikan 
miskin kaya, tampan jelek dan 
sebagainya. Perang hanya mengingat 
kemenangan. Membunuh untuk menang. 
Memporakporandakan kehidupan hanya 
untuk kemenangan. Mengerikan. 
Terlalu mengerikan! 
Mpu Daga tidak ingin semuanya 
terjadi lagi. Wajah tuanya semakin lesu 
dan muram. 
Desahannya semakin panjang. 
Tidak bisa mencegah lagi karena raja 
sudah mengambil keputusannya. 
Sore harinya juga Ki Runding Alam 
dan Ki Manggada berangkat menuju ke 
Keraton Selatan dengan kuda 
masing-masing. Perjalanan  menuju ke 
Keraton Selatan memakan waktu selama 
enam hari enam malam. Itu pun bila 
ditempuh dengan jalan menunggang kuda 
yang dilarikan sangat cepat. 
Perjalanan yang melelahkan. 
Namun keduanya terus memacu kuda 
mereka untuk mempercepat perjalanan. 
Tugas itu telah keduanya pikul dengan 
setia. Tidak ada sedikit pun untuk 
membelok, memikirkan akibat peperangan 
yang terjadi nanti. 
Tidak sedikit pun! 
Yang penting, tugas itu harus 
dilaksanakan demi pengabdian mereka pada 
Keraton Utara!! 
 
*** 
 
 
 
Keraton Selatan dipimpin oleh 
seorang raja yang bergelar Sri Jaya 
Wisnuwardana. Wilayah Keraton Selatan 
adalah sebuah wilayah yang subur, makmur 
dan sentosa. 
Sejak peperangan  yang terjadi 
antara Keraton Selatan dan Keraton Utara 
semua bangunan yang porak poranda telah 
dibetulkan. Kini telah menjadi sebuah 
wilayah yang begitu indah. 
Hari ini  sang Prabu Sri Jaya 
Wisnuwardana sedang berada di ruang 
kaputrennya, dia tengah bercanda gembira 
bersama para selirnya. Sambil menikmati 
air mancur yang berada di tengah kaputren 
itu. 
Salah seorang dari sekian banyak 
selirnya yang amat disayanginya adalah 
Sekar Perak. Seorang selir yang 
didapatnya dari Desa Paraden, sebuah 
desa yang terdapat di perbatasan antara 
Keraton Utara dan Keraton Selatan. 
Sekar Perak berperawakan mungil. 
Wajahnya teramat cantik. Raja 
menyukainya, karena Sekar Perak sangat 
lugu dan penurut. Sikapnya apa adanya, 
tidak dibuat-buat seperti para selir 
yang lain, yang selalu bersikap manis 
dibuat-buat dan ingin mendapat perhatian 
lebih dari raja. 
Hal seperti itu tidak pernah 
ditampilkan oleh Sekar Perak. Dia tetap 
seperti apa adanya ketika pertama kali 
diboyong sang raja ke keraton. Juga tidak 
pernah merubah citra dirinya sebagai 
gadis yang lugu, yang tidak pernah 
tersentuh oleh barang-barang mewah 
berupa perhiasan dan kosmetik. 
Semua barang-barang mewah hadiah 
sang raja hanya disimpannya saja. Yang 
selalu dikenakan hanya sebuah cincin dan 
sepasang anting-anting. Tidak lebih. 
Namun meskipun hanya mengenakan 
perhiasan seadanya dan tanpa tersentuh 
kosmetik, wajah  Sekar Perak tetap 
kelihatan berseri dan cantik. Tak satu 
pun dari sekian banyak selir sang raja 
yang kecantikannya bisa melebihi bahkan 
menandingi Sekar Perak.    
Dia tetap lugu dan bersahaja. 
Dia tetap sebagai Sekar Perak 
seorang gadis desa, yang hanya menurut di 
bawah perintah baginda raja. 
"Rasanya... tak ada yang bisa 
menandingi kasih sayangku terhadap Sekar 
Perak," desis raja setiap kali melihat 
selir kesayanganya itu. 
Dan semakin hari rasa kasihnya 
terhadap Sekar Perak semakin bertambah 
saja. 
Semakin besar tumbuh dan semarak. 
Tetapi hari ini baginda raja heran, 
karena  selir kesayangannya mendadak 
selalu diam waja. Memang seperti biasa 
Sekar Perak selalu diam, tapi kali ini 
seperti ada sesuatu yang dipendamnya. 
Dia hanya duduk termenung di tepi kolam 
kaputren yang berhias bunga-bunga. 
Kakinya terjuntai ke air, 
memercik-mercik air yang menerpa 
betisnya vaug sangat mengkilat bersih. 
Wajahnya nampak murung. Keluguannya 
seperti tidak ada yang setiap kali 
ditampilkannya jika baginda raja muncul. 
Sikap  malu-malunya seperti hilang 
berganti dengan kepucatan dan 
kemurungan. Dia seperti memendam 
sesuatu, atau merindui sesuatu. 
Sri Jaya Wisnuwardana segera 
menghampiri  dan bertanya ada apa 
gerangan selir kesayangannya menjadi 
bermuram durja demikian. 
Sekar Perak menunduk tersipu. Kali 
ini keluguannya kembali nampak. Ia tidak 
menyangka kalau perbuatannya itu menarik 
perhatian baginda. Ini membuatnya malu. 
Dia buru-buru menyembah dengan 
sikap berlutut. Baginda raja meraih 
kedua bahunya dan menyuruhnya bangkit. 
Perlahan-lahan Sekar Perak berdiri 
dengan kepala tertunduk. Sikapnya 
membuat baginda raja semakin 
menyayanginya. 
"Duhai, Sekar Perak yang anggun. Ada 
apa gerangan sampai sikapmu menjadi 
murung demikian? Bolehkah saya tahu, apa 
penyebabnya, Sekar Perak?" 
Sekar Perak sekali lagi menyembah. 
Lalu menunduk dengan tersipu. 
"Maafkan hamba, Gusti prabu. Bukan 
maksud hamba mengganggu Gusti prabu, bu-
kan pula untuk menarik perhatian gusti." 
"Jelaskanlah, Sekar Perak. Biar aku 
tahu apa yang menjadikan kau bermuram 
durja demikian?" 
Sekar Perak bukannya menyahut malah 
semakin menundukkan kepalanya. Baginda 
Prabu Sri Jaya Wisnuwardana semakin 
keheranan. Dia menjamah dagu Sekar Perak 
dan  menaikkannya perlahan-lahan agar 
menatapnya. 
Takut dan malu-malu gadis itu 
mengangkat  wajahnya. Matanya 
mengerjap-ngerjap seperti mata kelinci, 
begitu takut-takut dan malu-malu. 
Baginda senang melihat sepasang 
mata yang bening itu. 
"Aku tidak mengerti, Sekar Perak. 
Katakanlah terus terang kepadaku...." 
Sekar Perak berusaha untuk tidak 
menatap prabu, tetapi sang prabu malah 
memaksanya  untuk  menatapnya. Membuat 
dadanya semakin berdebar keras. 
"Tataplah aku, Sekar Perak. Apakah 
kau ini terus menerus membuatku menjadi 
bertanya-tanya?" 
Kepala itu menggeleng. Prabu 
tersenyum. 
"Nah... katakanlah terus terang, 
apa yang membuatmu menjadi risau seperti 
ini... Katakanlah...." 
Sekar Perak menunduk dan 
perlahan-lahan melepaskan diri dari 
tangan sang prabu. Dia melangkah 
perlahan ke taman bunga yang terdapat di 
kaputren. Lalu duduk dengan sikapnya 
yang anggun di salah sebuah kursi. 
Membuat sang prabu mendesah dalam 
hati melihat sikap Sekar Perak yang 
santun. 
Prabu menghampirinya dan membelai 
rambut Sekar Perak dari belakang. Para 
selir yang lain tidak memperdulikan 
mereka. Mereka tidak iri atau pun cemburu 
akan perhatian sang prabu yang terasa 
berlebihan terhadap Sekar Perak. 
Mereka masih asyik tertawa-tawa 
dan, bercanda. 
"Bagaimana, Sekar Perak? Apakah kau 
masih  ingin menyimpan rahasia hatimu 
itu?" tanya sang prabu pelan. 
Sekar Perak menunduk. 
"Gusti prabu... maafkan hamba...." 
"Katakanlah, Sekar wahai kasihku 
yang cantik...." 
"Hamba...." Sekar Perak 
menghentikan kata-katanya. Lalu 
menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah 
ragu dan bingung. "Tidak, tdak ada 
apa-apa, Gusti prabu...." 
Prabu tersenyum. Membelai lagi 
rambut Sekar Perak, seolah memberikan 
kemantapan  dan memperlihatkan kasih 
sayangnya terhadap wanita itu. 
"Mengapa kau ragu? Katakanlah... 
ayo, tidak perlu takut. Ayolah, bungaku 
yang anggun...." 
Prabu tersenyum. 
Hati-hati Sekar Perak menatap 
bagindanya. Kata-kata baginda yang penuh 
kasih sayang dan memperlihatkan cintanya 
membuat kekuatan dan kemantapan di hati 
Sekar Perak untuk mengutarakan apa yang 
menggelitikkan hatinya selama ini. 
Lalu hati-hati pula bibir yang 
mungil itu membuka, mengeluarkan suara 
yang merdu didengar, "Sudah... sudah dua 
tahun... hamba hidup di dalam kaputren 
ini, Gusti...." 
"Lalu apa maksudmu, Kasihku?" 
"Hamba... ah, selama dua tahun itu, belum 
sekali pun hamba pulang untuk 
menyambangi ibu yang sudah tua di desa. 
Maafkan. hamba, Gusti prabu... bila 
hamba lancang berkata begini. Tetapi 
hamba... kangen dengan ibu hamba di desa, 
Gusti... maafkan hamba, Junjungan yang 
mulia...." 
Baginda prabu tertawa pelan. Dia 
membelai pipi Sekar Perak yang kembali 
tertunduk tersipu. Menggeleng-geleng 
geli setelah mengetahui masalah yang 
membuat melatinya ini bersedih. 
"Sekar Perak, Sekar Perak... hanya 
masalah itu rupanya. Ah, kau hampir 
membuatku kalang kabut. Jadi maksudmu... 
kau hendak kembali untuk menjenguk 
ibumu?" 
"Ampun, Gusti...." 
"Bila kau menginginkan hal itu, aku 
tak melarang. Tetapi jangan terlalu lama 
kau meninggalkan aku, Sekar Perak. Aku 
bisa mati karena rindu padamu...." 
"Ampun, Gusti... jadi gusti... 
mengizinkan hamba pergi?" Suara Sekar 
Perak kali ini terdengar antara takut dan 
gembira. 
Baginda prabu mengangguk dengan 
bibir tersenyum. 
"Ya." 
"Terima kasih, Gusti." 
"Kau boleh pergi meninggalkan 
kaputren ini selama dua minggu. Dan kau 
akan  dikawal oleh beberapa punggawa 
pilihanku baik pulang maupun pergi. Kau 
setuju bukan, Sekar Perak?" Bibir 
baginda masih tersenyum. 
Sekar Perak bangkit menyembah. "Am-
pun, Gusti. Semua titah gusti akan hamba 
junjung tinggi...." 
"Kau  memang bungaku yang anggun, 
Sekar Perak...." 
"Hamba, Gusti...." 
"Nah, kapan rencanamu untuk 
berangkat?" 
"Apa yang gusti titahkan 
selanjutnya, akan hamba patuhi...." 
Prabu mendesah panjang. 
"Baiklah, besok kau boleh berangkat 
untuk menyambangi ibumu. Kau memang 
seorang putri yang tahu akan peradaban 
dan sopan santun, Sekar Perak. Aku pun 
akan demikian bila ibuku masih 
hidup...." 
"Terima kasih, Gusti..." sahut 
Sekar Perak gembira. Bibirnya 
menyunggingkan sebuah senyum yang begitu 
menawan, yang uiampu membuat hati siapa 
saja bergetar melihatnya. Senyum itu 
begitu memikat, tanpa dibuat-buat untuk 
memikat seseorang. Dan dalam hal ini 
gusti prabu. 
Gusti prabu pun memang merasa dia 
telah terpikat oleh Sekar Perak..Gusti 
prabu amat menyukai sikapnya yang anggun 
dan apa adanya. Polos. Lugu. Dan jujur. 
Tak pernah sekali pun gusti prabu 
melihat sikap Sekar Perak dibuat-buat 
atau untuk mencari perhatian. Tidak 
pernah hal itu terjadi. 
Ditatapnya kembali Sekar Perak yang 
masih tersenyum. 
"Kau  gembira dengan keputusanku, 
bukan?" 
Sekar  Perak  tergagap. Karena 
gembiranya dia sampai lupa kalau gusti 
prabu masih ada di dekatnya. 
Buru-buru dia menganggukkan 
kepalanya. 
"Iya, iya... gusti... hamba begitu 
gembira mendengar keputusan gusti," 
sahut Sekar Perak terburu-buru. 
Dan perlahan-lahan di benaknya 
segera terbayang wajah ibunya tercinta, 
wajah yang hampir dua tahun lamanya tidak 
pernah dilihatnya. 
Betapa gembiranya dia akan kembali 
melihat wajah itu, wajah yang tentunya 
sudah memendam rindu pula. Rindu yang 
amat sangat pada dirinya. Sekar Perak 
yakin hal itu. 
Ibunya pasti rindu padanya. Sama 
halnya seperti dirinya. 
Sekar Perak baru ingat, kalau 
usianya sudah menjadi 18 tahun sekarang 
ini. Ketika diboyong oleh gusti prabu ke 
Keraton Selatan dia baru berusia 16 
tahun, saat perang masih berlangsung. 
Dia sedih. Marah. Dan kesal. Karena 
merasa berada dalam cengkeraman musuh. 
Meskipun letak desanya di antara 
perbatasan dua negara itu, namun Sekar 
Perak lebih sering merasakan Keraton 
Utara negaranya tercinta. 
Dan dia merasa sedih mengingat 
dirinya dipinang dan diminta oleh Prabu 
Keraton Selatan untuk dijadikan sebagai 
selir. 
Sekar Perak ingin berontak. Namun 
tak kuasa. Apalagi melihat ibunya yang 
menangis melihat sikap diamnya. Mau tak 
mau membuat Sekar Perak akhirnya 
menurut. 
Akhirnya dia pun mau dirinya 
diboyong ke Keraton Selatan untuk 
dijadikan selir. Dan sikap diamnya terus 
berlanjut. Baginya, dia hanyalah seorang 
tawanan belaka. 
Namun perlahan-lahan kediamannya 
pun mencair. Karena baginda prabu sangat 
memperhatikan dirinya, hingga lambat 
lauh dia menjadi suka pada sang prabu. 
Selama satu tahun baginda prabu 
tidak menyentuhnya. Dia diperlakukan 
secara baik, bukan sebagai tawanan. 
Bukan pula sebagai wanita pemuas nafsu 
prabu. Dan bukan sebagai pajangan karena 
cantiknya, untuk menambah 
perbendaharaan para selir di kaputren. 
Tetapi diperlakukan sebagai seorang 
selir atau istri piaraan yang 
diperhatikan. Dan baginda pun mulai 
menyentuhnya di saat dia berusia 17 
tahun, di saat Sekar Perak benar-benar 
mencintai prabu. 
Baginda memang begitu baik 
memperl-kukannya. 
Ketika dia kangen pada ibunya pun 
baginda  mengizinkannya untuk pulang 
menyambangi ibunya. Padahal dia sudah 
amat takut junjungannya tidak 
mengizinkan. Dengah tersipu Sekar Perak 
perlahan-lahan mengecup pipi 
junjungannya yang tersenyum senang. 
Ketika prabu hendak meraih tubuh 
Sekar Perak dalam pelukannya, Sekar 
Perak sudah buru-buru berlari ke 
peraduannya. Dia tidak mau dilihat oleh 
para selir yang lain jika sedang ingin 
bermanja dengan prabu. 
Bukan apa-apa, Sekar Perak amat malu 
bila bermanja diketahui oleh para selir 
yang Inia. 
Karena bagi Sekar Perak, sang prabu 
bukanlah miliknya seorang. Tetapi milik 
banyak selir, juga permaisurinya. 
Baginda pun mengerti akan hal itu. 
Dia  segera berjalan menuju peraduan 
Sekar Perak. Tetapi langkahnya urung 
ketika melihat seorang prajurit yang 
berdiri di luar kaputren. Sikap prajurit 
itu hormat. Nampaknya pula hal yang 
penting yang harus disampaikan pada 
prabu, karena dia berani menginjak 
bangunan kaputren. 
Hal itu terlarang bagi siapapun juga 
kecuali baginda raja, para selir dan para 
dayang-dayang. 
Kening baginda berkerut. Apa-apaan 
ini? 
"Ada apa, prajurit?" tanya baginda 
tidak  senang karena ada yang berani 
memasuki halaman kaputren. 
Prajurit itu menyembah. Memegangi 
tombaknya di tangan kanan. 
"Maafkan hamba, Gusti. Ada dua 
utusan dari Keraton Utara datang 
kemari." 
"Maksud mereka apa?" tanya prabu se 
telah terdiam beberapa saat. 
"Mereka ingin bertemu dengan 
baginda prabu." 
"Maksudku... mereka mau apa?" 
"Mereka tidak mengatakannya, 
Prabu."  
"Hmm... siapakah nama mereka?" 
"Keduanya mengaku bernama Ki 
Runding  Alam dan Ki Manggada," sahut 
prajurit itu  tetap dengan suara hormat. 
Prabu terdiam beberapa saat. 
Keningnya  berkerut seperti memikirkan 
sesuatu. Setelah itu dia mengangkat 
kepalanya dan mengangguk. 
"Baik, bawa keduanya ke ruang 
pertemuan”. 
Prajurit itu menghormat lalu 
berbalik Baginda prabu menghela nafas. 
Ada apa lag dengan Keraton Utara? Dia 
melangkah keperaduan Sekar Perak dulu. 
Sekar Perak vung sudah menunggu sejak 
tadi jadi tersipu karena terlihat tidak 
sabar. Baginda menjadi merasa enak. Dia 
menerangkan hal itu pada Sekar Perak. 
Sekar Perak mengangguk walau agak 
kecewa. 
Baginda  prabu memakai baju 
kebesarannya lalu segera menuju ke ruang 
pertemuan.  Dia  didampingi oleh tiga 
orang pengawal setianya. Yang terdiri 
dari Kyai Rebo Panunggal  Seorang tua 
bersorban putih yang sakti sekali 
kepandaian. Juga terkenal pandai 
menyembuhkan berbagai penyakit. Di 
belakangnya berjalan   Tunggul Dewa, 
yang bergelar Naga  Sakti  dari Laut 
Selatan. Dan di samping kanan baginda 
prabu berjalan seorang laki-laki gagah 
bertampang seram. Dia bernama Dasa 
Samudra. Dia bersenjatakan dua  buah 
trisula dibelakang pinggangnya. Dan amat 
lihai memakai kedua senjata kembarnya 
itu. 
Ketiganya selalu mendampingi 
baginda dimana saja. Baik dalam rapat, 
pertemuan,  berpergian  maupun perang. 
Sekarang pun ketiganya menyertai baginda 
ke ruang pertemuan. Disana Ki Runding 
Alam dan Ki Manggada sudah menunggu. 
Di depan pintu ruangan itu, sudah 
berdiri puluhan prajurit siap dengan 
senjatanya. Mereka harus bersiap siaga, 
akan kedua utusan Keraton Utara ini. Tak 
mungkin jika mereka tidak mempunyai 
maksud tertentu. 
Para prajurit itu menghormat dengan 
sikap menyembah ketika baginda prabu 
datang bersama ketiga pengawal setianya. 
Mereka segera masuk ke ruang pertemuan. 
Begitu mereka masuk, beberapa orang 
prajurit dan para kepala pasukan segera 
menyembah. Baginda berjalan ke tempat 
duduknya. Ketiga pengawalnya berdiri di 
kedua sisi dan belakangnya tempat 
duduknya. 
Kedua orang utusan Keraton Utara 
berdiri ketika baginda prabu duduk. 
Keduanya memberi hormat. 
Baginda prabu mengangguk. 
"Silahkan...." 
"Terima kasih, Baginda," sahut Ki 
Runding Alam. Dan duduk kembali. Ki 
Manggada bersila pula di sampingnya. 
"Hmm... ada salam apa Keraton Utara 
mengirim utusannya ke Keraton Selatan?" 
tanya prabu setelah beberapa saat. 
"Bisakah dijelaskan untuk tidak membuang 
waktu terlalu lama? Mulailah, Ki Runding 
Alam." 
"Daulat, Gusti prabu Keraton 
Selatan yang hamba hormati. Kedatangan 
kami berdua, memang ada suatu masalah 
yang harus diselesaikan. Masalah yang 
bisa membawa nama Keraton Utara pada 
keruntuhan." 
"Apa masalahnya gerangan?" tanya 
Raja Keraton Selatan. 
"Tentang pusaka Keraton Utara yang 
hilang dicuri orang."  
"Hilang?" 
"Kenyataannya demikian, Prabu. 
Pusaka itu adalah lambang kejayaan 
Keraton Utara yang diwariskan secara 
turun temurun." 
Kening Prabu berkerut. 
"Hmm... lalu apa hubungannya dengan 
kedatangan kalian kemari?" tanya prabu 
curiga. 
"Maafkan kami, Prabu. Bukan maksud 
kami dan raja kami menuduh gusti prabu 
yang...." 
"Maksudmu, Keraton Selatan yang 
buat ulah, hah?" geram prabu memotong. 
Sepasang alisnya sudah nampak bertautan. 
Ki Runding Alam seorang pengawal 
yang setia terhadap Kediri. Begitu pula 
dengan Ki Manggada. Sedikit pun keduanya 
tidak takut dengan geraman sang Prabu Sri 
Jaya Wisnuwardana. Bahkan mereka segera 
bersiap melihat ketiga pengawal setia 
prabu sudah mengambil posisi. 
"Demikianlah kenyataannya, Prabu. 
Kami tidak menutup mata jika sang prabu 
berterus terang, bahwa pusaka itu 
orang-orang Keraton Selatanlah yang 
mengambilnya." 
Prabu mencoba bersabar. 
"Atas tuduhan apa kalian menuduh 
kami?" 
"Melihat sejarah yang lalu, bahwa 
prabu sendiri yang mengirim pasukan 
untuk merebut tanah Keraton Utara. Dan 
dengan susah payah kami merebut tanah 
leluhur kami kembali dengan taruhan 
ratusan nyawa manusia. Itu belum 
cukupkah sebagai bukti, bahwa 
orang-orang Keraton Selatan yang 
bergerak dalam masalah ini?!" 
Merah wajah prabu. Dia benar-benar 
merasa terhina. 
"Runding Alam! Kalian jangan buat 
gara-gara di sini! Kami tidak menyukai 
kekerasan!" serunya jengkel. 
"Hmm... baginda lupa, kalau dulu pun 
baginda memakai kekerasan untuk merebut 
tanah moyang kami! Dan sekarang, 
kembalikan pusaka milik negeri kami... 
atau... kami akan membuat huru hara di 
sini!" 
"Kau jangan berucap seenaknya, 
Runding Alam! Dari semula kami 
menerimamu dengan baik-baik, tapi 
nyatanya kalian tidak patut dihormati. 
Sampaikan salam kepada rajamu, katakan, 
bahwa orang-orang Keraton Selatan sangat 
membenci tuduhan ini! Tuduhan picik 
tanpa bukti!" 
"Baginda... kami pun datang dengan 
baik-baik. Kami datang pun hanya ingin 
meminta kembali pusaka milik kami!" 
"Runding Alam! Aku dan semua hambaku 
yang berada di sini, pun menerima 
kedatangan kalian secara baik-baik! 
Tetapi tuduhan dan sikapmu itu yang kami 
tidak bisa terima!" 
"Baginda... maafkan kalau sikap 
saya telah lancang! Tetapi saya telah 
datang ke mari, dan harus kembali ke 
Keraton Utara dengan membawa Pusaka 
Patung Pualam!" 
"Bagaimana bila lambang kejayaan 
Keraton Utara tidak ada pada kami?!" 
"Kami yakin sekali, kalau lambang 
pusaka Keraton Utara ada di Keraton 
Selatan ini!" 
Prabu tidak bisa lagi menahan 
emosinya. 
"Runding Alam! Kau telah lancang 
menuduh yang bukan-bukan! Dan kau pun 
bersikap tidak seperti seorang 
kesatria!" bentaknya marah, membuat 
beberapa pengawal setianya pun menjadi 
bersiap. 
"Baginda... maafkan saya sekali 
lagi. Melihat dari semua yang baginda 
ucapkan, berarti baginda menolak tuduhan 
kami. Cuma yang amat disayangkan, saya 
tetap berkeyakinan kalau orang-orang 
Keraton Selatan yang mencurinya dengan 
jalan mengirim seorang penyelundup ke 
Keraton Utara!" 
Murkalah gusti prabu. 
"Runding Alam! Kau bicara 
sembarangan padaku, hah?!" 
Mendengar suara yang keras itu, 
membuat Kyai Rebo Panunggal maju 
selangkah, masih berada di sisi gusti 
prabu. 
Dia menatap Ki Runding Alam dengan 
gusar. Penuh amarah. Nafasnya 
mendengus-dengus. Yang membuatnya 
jengkel sejak tadi, karena Ki Runding 
Alam dengan seenaknya saja 
membentak-bentak rajanya. 
Kyai Rebo Panunggul tidak terima 
akan perbuatan itu. Maka dia pun menjadi 
marah. 
"Runding Alam, ternyata kau hanya 
seorang bangsat yang tidak tahu tuan!" 
"Rebo Panunggul, aku telah datang ke 
sini bersama Ki Manggada. Dan aku 
bersamanya pula tak akan mundur meskipun 
terjadi sesuatu yang mengancam jiwa 
kami!" 
"Bangsat!" 
"Kalianlah yang bangsat! 
Orang-orang Keraton Selatan yang 
pengecut, yang beraninya hanya dengan 
jalan licik untuk mengalahkan kami! 
Hanya saja... kami orang-orang Keraton 
Utara pantang mundur meskipun hanya 
selangkah!" 
Kyai Rebo Panunggul menggeram. 
"Jangan bicara  seenaknya saja, 
Runding Alam! Mulutmu itu sudah 
mengeluarkan bau busuk yang menyengat!" 
"Bolehlah kau  berkata demikian, 
Rebo Panunggul! Tapi, kalianlah yang 
mengeluarkan bau busuk di hadapan kami!" 
Wajah Kyai Rebo Panunggul memerah. 
Kemarahannya memuncak. 
"Anjing buduk! Lalu apa maumu jika 
kami tetap menolak dengan tuduhan itu?!" 
Ki Runding Alam seketika bangkit 
dari bersilanya. Ini merupakan sebuah 
tantangan. 
Dan dia tak pernah membiarkannya. Ki 
Manggada masih duduk tenang bersila 
dengan kedua tangan terlipat. Tetapi dia 
tetap waspada dengan kemungkinan yang 
akan terjadi. 
"Seperti kataku, tadi! Kami akan 
membuat huru hara di sini, sampai kalian 
mengaku dan mengembalikan Pusaka Patung 
Pualam kepada kami!" seru Ki Runding Alam 
lantang dengan gagah berani. 
Makin memerahlah wajah Kyai Rebo 
Panunggul. 
"Bangsat, kau Runding Alam!!" 
geramnya sambil melesat menyerbu dengan 
pukulan lurus ke arah wajah Ki Runding 
Alam!! 
 
*** 
 
 
 
Ki Runding Alam yang sejak tadi 
sudah bersiap, pun tak mau kalah. Dia 
menerima serangan itu dengan sebuah 
tangkisan. Kelihatannya begitu ringan, 
tapi penuh tenaga dalam yang telah 
dialiri ke tangannya. 
"Des!" 
Terjadi benturan yang cukup kuat. 
Keduanya terpental ke belakang. 
Dapat segera diduga, bahwa tenaga dalam 
keduanya seimbang. 
Kyai Rebo Panunggul bersalto 
kembali pada posisinya semula. Sedangkan 
Ki Runding Alam telah menguasai 
keseimbangannya. 
Keduanya kini bersiap kembali. 
Masing-masing merasakan nyeri di 
tangan kanan mereka. 
Belum lagi keduanya saling 
menyerang, terdengar seruan Gusti Prabu 
Keraton Selatan,  
"Tahan!!" 
Kyai Rebo Panunggul menurunkan 
tangannya. 
Ki Runding Alam menatap gusti prabu 
dengan tatapan setajam rajawali. 
"Hhh! Mengapa harus ditahan lagi, 
Baginda?!" 
Gusti prabu mendengus. 
"Runding Alam... katakan pada 
rajamu, kalau memang ini yang dia maui, 
kami orang-orang Keraton Selatan akan 
menuruti keinginannya!" 
"Bagus, Baginda!" 
"Tetapi ingat, Runding Alam... 
katakan pula padanya, permainan ini kami 
terima dengan senang hati!" 
"Hhh!" Ki Runding Alam mendengus. 
"Apa maksud baginda dengan permainan?!" 
"Jangan berpura-pura bodoh lagi, 
Runding Alam! Aku sudah tahu apa yang 
dimaui oleh raja kalian! Ini sebuah 
permainan belaka! Namun kami telah 
menerimanya dengan senang hati! Bahwa 
tak pernah hilang pusaka Keraton Utara 
dari tempatnya!" 
"Apa maksudmu, Baginda?!" bentak Ki 
Runding Alam marah. 
"Aku sekarang yakin, ini semua hanya 
permainan, hanya sebuah tipuan belaka!" 
"Jelaskan maksud, Baginda!!" 
"Hhh! Rajamu hanya mengirim sebuah 
cerita bohong untuk menyerang kami! 
Untuk menjatuhkan nama kami di mata 
negara-negara lain! Atau... secara 
sengaja untuk mengkambinghitamkan 
Keraton Selatan agar jelek di mata 
dunia!!" geram Prabu Keraton Selatan 
dengan suara berapi-api.' 
Merah pada wajah Ki Runding Alam. 
"Baginda menghina rajaku!" 
bentaknya marah. Kedua tangannya 
terkepal. Seketika keluar asap putih 
perlahan-lahan. 
Ki Runding Alam sudah mengeluarkan 
ajian dahsyatnya. Pukulan yang ditakuti 
setiap orang, karena jika terkena 
pukulan itu, orang yang terkena bisa mati 
seketika dengan tubuh hangus! Atau pun 
pingsan dengan tubuh membiru! 
Ajian itu bernama Garuda Tiwikrama. 
Sebuah pukulan yang amat dahsyat. Ki 
Runding Alam sampai mengeluarkan ajian 
simpanan-ya, mengingat dia hanya berdua 
dengan Ki Manggada di sini. 
Dan dia sudah dapat menduga apa yang 
akan terjadi. 
Melihat gelagat demikian, Kyai Rebo 
Panunggul segera mengeluarkan ajian 
simpanannya pula. Ilmu pukulan Macan 
Setan. Jika ilmu itu sudah berada pada 
puncaknya, maka dia akan bergerak 
seperti seekor macan marah. 
Serangan-serangan yang akan 
dilancarkannya, akan sukar dielakkan, 
bila lawannya tidak memiliki ilmu 
peringan tubuh yang sempurna. 
Begitu pula dengan kedua pengawal 
yang lain, keduanya bersiap untuk 
melindungi baginda prabu. Sementara 
puluhan prajurit yang menjadi di dalam 
ruang pertemuan, sudah hendak bergerak 
dengan senjata di tangan. Mereka sudah 
tidak sabar untuk menghantam dan 
menghabisi keduanya. Mereka pun sudah 
muak melihat sikap yang diperlihatkan 
kedua orang Keraton Utara ini di hadapan 
raja mereka. 
Ki Runding Alam bersikap waspada. 
Sementara Ki Manggada masih tetap pada 
posisinya semula, dengan sikap duduk 
bersila. Namun diam-diam dia telah 
merapal ilmunya yang bernama Bayangan 
Delapan Tangan. 
Jika tangannya digerakkan akan 
seperti banyak dan dapat bergerak sangat 
cepat. Tangan-tangan itu seakan memiliki 
mata yang begitu awas. Dan tahu apa yang 
diinginkan tuannya. 
Ki Runding Alam dan Ki Manggada 
adalah orang-orang Kediri yang amat 
setia. Mereka berani mati untuk membela 
bangsa dan negara. Pantang menyerah 
sebelum melawan. 
Ini jauh di luar kamus keduanya. 
Mereka tak akan pernah mundur menghadapi 
rintangan apapun. Mereka harus maju dan 
maju dengan gagah berani. 
Apalagi ini perintah langsung dari 
raja mereka. Dan mereka tak pernah 
membantah titah raja. Di samping itu juga 
demi pusaka kejayaan tanah Keraton Utara 
mereka pun akan mempertahankannya 
meskipun harus mengorbankan nyawa mereka 
sendiri. Yang harus mereka kembalikan 
kedudukannya pada Negara Kediri. 
Melihat sikap yang diperlihatkan Ki 
Runding Alam begitu keras kepala, Prabu 
Sri Jaya Wisnuwardana, segera berdiri 
dengan marah. 
"Kau sulit untuk diberitahu, 
Runding Alam! Dan  kau sulit untuk 
menerima kenyataan kalau kami tidak 
mencuri Pusaka Tanah Kediri itu!" 
"Baginda... saya tetap berkeyakinan 
hal itu tetap  terjadi dan merupakan 
sebuah kenyataan." 
"Kau memang keras kepala, Runding 
Alam!" 
"Saya  akan tetap mempertahankan 
pendirian dan keyakinan saya itu!" 
"Baiklah bila itu maumu! Jangan 
salahkan kami jika bertindak kasar!" 
Ki Runding Alam mendengus. Dia 
berpaling pada Ki Manggada yang masih 
bersila. 
"Kau sudah mendengar semua itu, 
Gada?" tanyanya. 
"Ya, Runding Alam." 
"Lalu apa yang akan kita perbuat?" 
"Kita ikuti saja apa kemauan 
mereka." 
"Mereka tetap menolak tuduhan itu!" 
"Ya. Padahal merekalah yang telah 
mengambil Pusaka Patung Pualam secara 
pengecut." 
"Lalu bagaimana menurutmu?"  
"Aku tidak mau pulang dengan tangan 
kosong." 
"Berarti kita harus tetap mengambil 
pusaka itu?" 
"Ya, menurutmu sendiri bagaimana, 
Runding?" 
"Aku pun berpikiran sepertimu. Aku 
pun tak mau pulang dengan tangan kosong."   
"Kalau begitu?" 
"Kita terima apa pun yang akan 
terjadi."  
"Bagus. Aku pun setuju."  
"Jadi kau setuju?" 
"Ya... hanya itulah yang kita 
perbuat. Kecuali bila kita mau menyerah, 
mati dengan sia-sia atau pun pulang 
dengan tangan kosong." 
"Tak akan pernah itu terjadi pada 
kita."  
"Bagus!" 
"Berarti, kita menerima resiko 
apapun, bukan?" 
Ki Runding Alam berpaling lagi pada 
gusti prabu yang merah padam mendengar 
percakapan keduanya. Benar-benar 
manusia keras kepala! 
"Baginda... Baginda sudah mendengar 
percakapan kami, bukan?" 
"Ya!" sahut gusti prabu bersamaan 
dengan dengusan nafasnya. 
"Dan baginda sudah tahu akan 
keputusan kami, bukan?" 
"Ya." 
"Itulah keputusan kami! Sebelum 
kalian mengembalikan pusaka milik kami, 
sejengkal pun kami tidak akan beranjak 
dari tempat ini! 
"Kau benar-benar keras kepala, 
Runding Alam!" 
"Prabu... jawab sekali lagi, 
kembalikan pusaka itu. Atau... kami akan 
hancurkan ruangan ini!" 
Prabu menjadi geram. 
"Bedebah kau, Runding Alam! Kau me-
mang sukar untuk dinasehati! Dan 
kesombonganmu itu yang akan memakanmu 
sendiri!" 
"Seperti kataku tadi, apapun yang 
akan terjadi, sejengkal pun kami tidak 
akan mundur!" 
"Sombong! Baik, jangan salahkan aku 
jika kalian mati di Negara Keraton 
Selatan ini!"  
"Kami tidak akan mundur, Baginda!" 
Dengan geram yang teramat sangat, 
prabu mengibaskan tangannya ke atas. Dan 
secara serentak para prajurit yang sudah 
siap dengan senjata mereka berlarian 
maju. Mereka pun geram karena raja mereka 
dihina seenak perut saja. 
Serentak semuanya mengurung Ki Run-
ding Alam dan Ki Manggada. 
Prabu berkata, "Pikirkan sekali 
lagi keputusanmu itu, Runding Alam! Kau 
pulang kembali ke Keraton Utara bersama 
teman-temanmu itu... atau kau akan 
mampus di sini?!" 
Ki Runding Alam dan Ki Manggada yang 
sudah siap dengan segala resiko yang akan 
terjadi, tetap pada keputusan mereka 
semula. 
"Baginda... kami akan tetap di sini! 
Dan kami akan mempertahankan selembar 
nyawa kami!" 
"Berarti kau memang memancing 
perang padaku!" 
"Terserah apa pendapat baginda! 
Yang penting, kami menginginkan Pusaka 
Patung Pualam baginda kembalikan kepada 
kami! Karena baginda dan tanah Keraton 
Selatan ini tidak pantas untuk berlaku 
seperti maling pengecut. Juga tidak 
pantas untuk memiliki pusaka Keraton 
Utara itu!" 
"Bangsat kau, Runding Alam!" bentak 
prabu dengan geram. Lalu dia kembali 
mengibaskan tangannya. 
Serentak para prajurit yang 
mengurung keduanya bergerak dengan 
senjata terhunus. 
Seketika tempat itu berubah menjadi 
ramai. Penuh teriakan dan bent akan. 
Berpuluh senjata berkelebat ke arah 
keduanya. 
Ki Runding Alam bergerak cepat. 
Dia tidak mau dijadikan sasaran 
konyol puluhan senjata yang mengarah 
padanya. Ajian Garuda Tiwikramanya sudah 
dia pergunakan. Dan tidak mengenal belas 
kasihan lagi. 
Ini namanya perang! Perang! 
Dan  dia harus menang. Dia harus 
menang! Di dalam perang hanya ada dua 
kemungkinan, kalah atau menang. Namun Ki 
Runding Alam tidak mau memikirkan kalau 
dia akan kalah! Baginya tak ada alasan 
untuk kalah. 
Dia harus menang! Harus! Maka tanpa 
mengenal belas kasihan lagi, dengan 
gencar Ki Runding Alam menerjang ke sana 
ke mari dengan ajiannya. Sekali gebrak, 
tiga buah nyawa melayang. 
Pekikan, jeritan kematian dan darah 
bersimbah menjadi satu dengan 
mayat-mayat yang jatuh bergeletakkan. 
"Mampuslah kalian semua!!" bentak 
Ki Runding Alam sambil terus melancarkan 
pukulannya. 
Berjatuhanlah para prajurit yang 
hanya mengandalkan senjata dan 
keberanian itu. 
Begitu pula dengan Ki Manggada. 
Dia masih tetap duduk bersila. Namun 
tangannya bergerak dengan lincah dan 
cepat. Dia seperti  memiliki indera 
keenam yang dapat melihat ke segala arah. 
Tangannya bergerak dengan cepat. 
Memukul. Menghantam. Mencakar prajurit 
yang nekad mendekat. 
Dalam posisi demikian, Ki Manggada 
masih menunjukkan ketangguhannya. 
Puluhan hanya telah berjatuhan 
dengan jeritan dan darah bersimbah yang 
menjadi satu. 
Kedua tokoh dari Kediri itu terus 
melancarkan serangan-serangan mereka 
yang amat hebat. Membuat keadaan menjadi 
semrawut. Dan seketika itu pula mendadak 
di tempat itu jadi kacau balau. 
"Gada! Habisi saja semuanya!" seru 
Ki Runding Alam sambil terus melancarkan 
serangannya. 
"Benar, Runding Alam! Untuk apa kita 
menaruh belas kasihan lagi kepada 
orang-orang ini!" 
"Dan sebentar lagi akan kita 
hancurkan semuanya ini, bukan?!" 
"Dengan senang hati!" 
Melihat tangan telengas yang 
diturunkan oleh kedua tokoh dari Kediri 
itu, membuat prabu segera memerintahkan 
Kyai Rebo Panunggul untuk terjun 
membantu. 
Dengan  ajian Macan Setan, ajian 
kebanggaannya, dia mencoba untuk 
menghantam Ki Manggada yang menurutnya 
dalam posisi yang tidak menguntungkan. 
Tetapi Ki Runding Alam yang juga 
melihat posisi Ki Manggada tidak 
menguntungkan, segera memapaki serangan 
Kyai Rebo Panunggul. 
Jelas saja Ki Manggada posisinya 
tidak menguntungkan. Dia masing dalam 
keadaan bersila, masih menangkis dan 
menghantam setiap serangan para prajurit 
yang datang. Dan diharuskan pula untuk 
menerima pukulan dari kyai Rebo 
Panunggul. Ini jelas-jelas tidak 
menguntungkannya. 
Bentrokan yang terjadi antara Ki 
Runding Alam yang memapaki serangan Kyai 
Rebo Panunggul, terjadi dengan keras. 
"Des!" 
Keduanya dengan sigap bersalto dan 
berdiri dalam posisinya masing-masing. 
Beberapa prajurit yang hendak 
menyerang Ki Runding Alam jadi 
mengurungkan niat mereka. Karena melihat 
Kyai Rebo Panunggul memberi isyarat 
untuk menyingkir. 
Dan para prajurit itu mengalihkan 
serangan mereka pada Ki Manggada. 
Kyai Rebo Panunggul mendengus. 
"Maafkan aku, Runding Alam... bila kau 
benar-benar akan mampus di sini!" 
"Hahaha... sepertinya kau sudah 
merasa mampu untuk mengalahkan aku, Rebo 
Panunggul!" 
"Hhh! Sombong!" 
"Baik, kita buktikan, Runding 
Alam!" "Tahan serangan!!" seru Kyai Rebo 
Panunggul menyerbu kembali. Dalam 
sekejap saja dua tokoh sakti dari dua 
negara itu sudah saling menunjukkan 
kepandaiannya. Saling menerjang dengan 
hebat. Masing-masing seakan ingin 
membuktikan dan memamerkan 
kesaktiannya. Dengan ajian Garuda 
Tiwikramanya, Ki Runding Alam bergerak 
dengan hebat. Begitu pula dengan Kyai 
Rebo Panunggul. 
Keduanya bergerak bagai garuda 
melawan macan. Dua hewan perkasa yang 
meraja  rimbanya. Garuda merajai alam 
bebasnya di angkasa dan macan merajai 
hutan belantara di bumi. 
Sementara itu, Sri Jaya 
Wisnuwardana masuk ke dalam istana. 
Pintu ruangan pertemuan ditutup. 
Prajurit-prajurit yang menjaga di luar 
segera datang membantu. Dan langsung 
menyerang Ki Manggada yang lama kelamaan 
merasa kewalahan juga kalau duduk 
bersila. Dia meloncat dan bersalto ke 
belakang, menghindari kepungan 
lawannya. Namun baru saja kakinya 
menginjak lantai, puluhan senjata tajam 
berupa tombak dan parang, sudah bergerak 
memburunya. Kembali Ki Manggada bersalto 
dengan gerakan bolak balik ke arah kiri 
dan langsung melancarkan pukulan 
delapannya dengan dahsyat. 
Beberapa orang terpental dan muntah 
darah menerima hajaran itu. 
"Tahan!" Terdengar bentakan keras 
dan berwibawa. Seketika para prajurit 
menarik senjatanya. Yang berseru Tunggul 
Dewa dan meloncat ke arena pertarungan. 
Dasa Samudra membuat gerakan yang 
mengagumkan pula. Kyai Rebo Panunggul 
segera bersatu dengan kedua temannya. 
Para prajurit menyingkir. Ki 
Runding Alam  bersalto mendekati Ki 
Manggada. Keduanya saling beradu 
punggung dan bersiap dengan segala 
kemungkinan penyerangan. 
"Beri kami jalan ke luar!" bentak Ki 
Runding Alam. 
Terdengar tawa Dasa Samudra yang 
agak pongah. Lalu merandek dengan 
kata-kata tajam, "Tak semudah kalian 
masuk tadi. Kalian telah masuk kalangan, 
telah masuk ke sarang yang penuh bahaya. 
Kalian pun telah mengusik 
harimau-harimau, dan tak mungkin harimau 
itu melepaskan mangsanya sebelum 
menggigit!" 
"Bangsat!" 
"Hhh! Kini kita berada di ruangan 
yang besar. kita anggap sebagai 
kalangan! Kalian berdua, kami bertiga. 
Silahkan pilih lawan!" 
Dasa Samudra  melangkah setindak, 
begitu pula dengan Kyai Rebo Panunggul. 
Kini Tunggul Dewa yang berdiri di tengah, 
dengan sikap menantang. Kedua tangannya 
dilipat  di dada. Matanya memancarkan 
sinar meremehkan. 
Ki Runding Alam saling berpandangan 
dengan temannya. Seperti saling berpikir 
memilih lawan-lawan mereka. Memang tak 
ada jalan lain. Mereka harus menghadapi 
tantangan ini, atau mati dengan jalan 
hormat. Bukan  mati dengan jalan 
pengecut. Mati membela negara adalah 
kehormatan, bukan lari seperti dikejar 
anjing. 
Ki Runding Alam memandang geram. 
Bibirnya tersenyum sinis. Dia menunjuk 
Kyai Rebo Panunggul. Rupanya dia belum 
puas dengan perkelahian tadi. Biar dia 
tahu, siapa sebenarnya yang kuat di 
antara mereka. 
Kyai Rebo Panunggul tertawa 
terbahak dengan sombongnya. Lalu 
mendadak terdiam dan berseru keras, 
"Hhh! Rupanya kita memang ditakdirkan 
untuk berhadapan sampai mati, Runding! 
Kuterima tantanganmu!" 
Dasa Samudra menatap Ki Manggada. 
"Siapa yang kau pilih, Ki. Atau kau takut 
untuk segera menentukan lawanmu?" 
Ki  Manggada tersenyum. Sikapnya 
tenang. Dia memang tidak seberangasan Ki 
Runding Alam yang selalu tidak bisa 
menahan amarah. 
"Kau bersedia melayaniku, Orang 
jelek?" tanyanya dengan ejekan dan 
membuat Dasa Samudra menggeram marah. 
"Bangsat! Baik, kuterima 
tantanganmu!" Dasa Samudra bergerak 
perlahan ke depan. Matanya geram, penuh 
nafsu untuk mengalahkan.  
"Kau akan lihat permaianan si 
Trisula Kembar yang begitu  hebat dan 
dahsyat! Hhh!  Trisula Kembar 
Mempermainkan O-bak! Hhh! Terima 
seranganku, Ki!!" Setelah berkata 
demikian, Dasa Samudra melesat ke depan 
dengan kecepatan yang mengagum-kan. 
Namun kali ini lawannya adalah 
pentolan dari Kediri, yang bukan kosong 
melompong tanpa ilmu yang patut 
dibanggakan. Ki Manggada segera 
menyambut serangan itu dengan 
memapakinya. Kedua tenaga besar itu 
bertemu dan menimbulkan suara yang 
keras. Keduanya terhuyung ke belakang 
beberapa tindak. Dan kembali keduanya 
menampilkan segenap kemampuan dengan 
gerak dan jurus yang mengagumkan. 
Ki Manggada sudah memamerkan kem-
bali pukulan saktinya. Bayangan Delapan 
Tangan. Dan serangan demi serangannya 
sangat mematikan. Membuat Dasa Samudra 
agak kebingungan dan terdesak. Mendadak 
dia bersalto ke belakang dan berdiri 
dengan kedua trisulanya siap di tangan. 
Saat melenting itulah dia mencabut kedua 
senjata kebanggaannya. Trisula Kembar, 
yang amat dahsyat dimainkan oleh Dasa 
Samudra. Kedua trisula itu seperti hidup 
jika sudah di tangan Dasa Samudra. 
Sementara itu, Kyai Rebo Panunggul 
sudah menyerang pula. Dan Ki Runding Alam 
sudah sejak tadi siap melayaninya. Kini 
keduanya pun terlibat dalam perkelahian 
yang benar-benar hebat. Saling 
menunjukkan kelincahan, kecepatan dan 
kesaktian masing-masing. 
Dua pasang manusia yang berkelahi 
telah menimbulkan suara yang keras dan 
menggetarkan. Dinding-dinding ruang 
pertemuan itu seakan bergetar menerima 
gebrakan kedua pasang manusia itu. 
Tiba-tiba Ki Runding Alam bergerak 
menukik setelah melompat tinggi. Tangan 
kanannya bergerak mirip paruh garuda 
yang siap menyambar mangsa. Dia memekik 
keras. Kyai Rebo Panunggul terkejut 
melihat serangan yang mendadak berubah. 
Dia cepat menunduk dan berguling dengan 
lincah. Serangan itu meleset. Tapi di 
luar dugaannya, sebelum dia sempat 
berdiri, Ki Runding Alam meloncat dengan 
gerakan menerkam. Kyai Rebo Panunggul 
yang masih dalam keadaan posisi 
berguling tidak sempat menghindar. 
"Aaaaah" Bahunya tersambar gerakan 
mematuk Ki Runding Alam yang langsung 
bersalto menghindar. 
Lalu berdiri dengan senyum mengejek 
sambil berkacak pinggang. Memperhatikan 
Kyai Rebo Panunggul yang bangkit berdiri 
dengan bersiap pula. 
"Ha-ha-ha... ternyata hanya begitu 
saja kehebatan Macan Setan yang kau 
banggakan, hah?" ejek Ki Runding Alam 
sambil terbahak. 
Kyai Rebo Panunggul menjadi panas. 
Sambil menggeram hebat dia kembali 
menerjang. Kali ini mendadak Tunggul 
Dewa maju membantu temannya. Dikeroyok 
dua jagoan Keraton Selatan ini tidak 
membuat Ki Runding Alam menjadi gentar. 
Dia malah menghadapi keduanya dengan 
sekuat tenaga. 
Namun suatu ketika pukulan Tunggul 
Dewa mengenai tepat di dadanya yang 
membuat Ki Runding Alam terhuyung 
beberapa tindak. Dia mencoba menahan 
langkahnya agar tidak terhuyung, dan 
berhasil dilakukannya.  Namun tidak 
berhasil menahan darah yang menyembur ke 
luar. 
Wajah Ki Runding Alam seketika 
menjadi pucat. Apalagi, dengan buas 
Tunggul Dewa kembali melancarkan 
serangan-serangannya. Dalam keadaan 
terluka, sudah jelas Ki Runding Alam 
tidak mampu untuk menahan serangan itu. 
Kembali  dadanya digedor pukulan yang 
amat keras. Kalau bukan Ki Runding Alam 
yang terkena, tentu orang itu sudah 
mampus! 
Dia mengaduh dan muntah darah 
kembali. 
Ki Manggada yang sedang mendesak 
lawannya menjadi terpecah perhatiannya 
mendengar suara aduhan temannya. Dia 
menoleh dan kesempatan itu dipergunakan 
sebaik-baiknya oleh Dasa Samudra. Sambil 
memekik dia menyabetkan trisulanya. Dan 
menemui hasil yang agak memuaskan. 
Trisula itu berhasil mendesak Ki 
Manggada. Dan dengan satu gerakan cepat 
berhasil mengenai bahu kiri Ki Manggada, 
yang sangat terkejut lalu bersalto 
menghindari serangan selanjutnya. Dia 
menekap luka di bahunya. Darah merembes 
perlahan. 
Dasa Samudra terbahak melihat hasil 
kerjanya. 
"Sudah kubilang, kalian hanya 
membuang-buang tenaga dan nyawa percuma 
datang ke mari! Hmm... sebentar lagi, 
Tanah Singasari akan memendam jasad 
buruk kalian!" 
"Licik kau bangsat! Kau mengambil 
kesempatan selagi aku lengah!" seru Ki 
Manggada. 
"Ha-ha-ha... kita lawan, Ki! Bukan 
teman dalam latihan! Kau seorang 
pejuang, seorang pendekar, namun kau 
lengah, resikomu, Ki! Kini bersiaplah 
untuk mampus!" 
Ki Manggada melihat keadaan 
temannya yang sudah nampak payah namun 
masih mencoba bertahan. Dia melihat Ki 
Runding Alam sedang menahan rasa 
nyerinya. Dapat dibayangkan betapa 
sakitnya. 
Mendadak Ki Manggada bersalto 
mendekati temannya. Dengan secepat kilat 
tangan kanannya menyambar tubuh Ki 
Runding Alam dan tangan kirinya melempar 
sesuatu ke lantai. 
"Duar!" 
Terjadi ledakan kecil yang 
menimbulkan asap seperti kabut yang 
pekat, namun menyakitkan mata. 
Orang-orang menjadi kalang kabut. Dan 
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
seketika tempat itu tertutup oleh asap 
yang sangat sulit ditembus oleh 
pandangan mata. 
"Hei, jaga bangsat itu!" seru Dasa 
Samudra, namun dia sendiri tidak bisa 
melihat apa-apa, terhalang oleh asap 
putih itu. 
Dan hanya terdengar beberapa 
erangan dan aduhan dari beberapa orang 
prajurit. Mereka berusaha menghilangkan 
asap putih yang lama-lama mulai menipis. 
Dan bisa melihat dengan jelas kembali. 
Tetapi kedua orang itu sudah tidak 
ada di hadapan mereka. Seolah lenyap 
begitu saja entah hilang ke mana. Mereka 
hanya terlihat beberapa orang prajurit 
tergeletak tanpa nyawa dan pintu ruangan 
itu terbuka secara paksa. 
Kyai  Rebo Panunggul menggeram 
jengkel. 
Tunggul Dewa mendengus hebat dan 
menumpahkan kemarahannya dengan 
menendang sebuah kursi sampai hahcur. 
Dasa Samudra hampir keluar kedua 
bola matanya karena tak dapat menahan 
marah. 
Tapi kedua utusan Kediri itu sudah 
lenyap dari mata mereka. 
Dengan lesu Kyai Rebo Panunggul 
menyuruh prajurit yang tersisa, untuk 
menyingkirkan mayat-mayat temannya dan 
merapikan kembali ruangan. 
Dia sendiri dan kedua temannya 
segera menghadap Sri Jaya Wisnuwardana, 
yang menerima laporan itu dengan geram. 
Dia menggebrak meja dengan marah. 
"Buat surat pada raja Keraton Utara. 
Katakan, mulai detik ini, Keraton 
Selatan memutuskan hubungan 
persahabatan, dan bermaksud mengadakan 
perang! Lakukan itu cepattt!!!" 
Tak ada yang bisa diperbuat oleh 
mereka  lagi kecuali memematuhi semua 
perintah sang prabu. Saat membuat surat 
kepada Raja Kediri, Kyai Rebo Panunggul 
berkata, 
"Satu saat nanti, akan kuhirup darah 
Runding Alam! Dan sebagaian kubuat untuk 
mandi!" geram suaranya dan dia seperti 
bersumpah.  
Sumpah yang cukup mengerikan. 
Tetapi bagi kedua temannya juga 
dalam keadaan murka, sumpah itu tak 
banyak membuat mereka kuatir. Malah 
mereka pun bersumpah pula dengan nada 
mengerikan pula. 
"Aku  pun bersumpah, akan kutelan 
mentah-mentah jantung Ki Runding Alam!" 
seru Tunggul Dewa. 
"Begitu pula dengan aku!" kata Dasa 
Samudra.  
"Akan kulumat telan mentah-mentah 
jantung dan hati Ki Manggada!!" 
Dan tiba-tiba saja terdengar suara 
petir yang bergemuruh. Dan cuaca berubah 
menjadi gelap. Hujan pun mendadak turun 
dengan deras. 
Bertanda sumpah ketiga anak manusia 
itu didengar oleh Dewata!  
Sumpah yang mengerikan.  
Teramat mengerikan! 
Lalu ketiganya kembali meneruskan 
membuat surat pada Raja Kediri dengan 
hati geram yang bukan main lagi! 
Menimbulkan dendam kesumat pada Ki 
Runding Alam dan Ki Manggada! 
Dan ini merupakan dendam abadi yang 
berkepanjangan sampai kapanpun juga! 
  
* * * 
 
 
 
Setelah kejadian yang amat 
menyesakkan dada itu, Prabu Keraton 
Selatan menjadi amat berat untuk 
melepaskan Sekar Perak yang akan 
mengunjungi ibunya. 
Prabu kuatir kedua orang Keraton 
Utara itu masih berada di sekitar 
lingkungan Keraton Selatan. Meskipun 
telah dikerahkan orang-orangnya ke 
penjuru Keraton Selatan dan keduanya 
tidak ditemukan, prabu masih yakin kalau 
keduanya masih berada di sekitar sana. 
Ketika hal itu diberitahukan kepada 
Sekar Perak, membuat Sekar Perak menjadi 
murung. 
"Bukan maksudku untuk melarangmu, 
duhai bungaku yang anggun...." kata 
prabu. "Tetapi yang kukuatirkan, nasibmu 
nanti. Aku tidak mau kau terjatuh di 
tangan orang-orang Kediri...." 
"Tetapi, Gusti...." kata-kata Sekar 
Perak terhenti dan dia  kembali 
menundukkan kepa-lanya. 
Sekilas prabu dapat melihat 
sepasang mata Sekar Perak yang menjadi 
berkaca-kaca. 
Dan ini membuat prabu menjadi iba 
namun cemas, seminggu dia pun tidak 
tenang untuk melepaskan Sekar Perak. 
"Aku mengerti, Diajeng. Aku 
mengerti akan perasaan rindumu pada 
ibumu. Tetapi keadaan yang membuatku 
memaksamu untuk mengurungkan 
niatmu...." 
"Tapi hamba sudah rindu pada ibu, 
Gusti...." 
"Aku mengerti, Bungaku. Tetapi kau 
harus mengerti pula keadaan ini. Aku tak 
mau terjadi apa-apa padamu. Aku tak mau 
itu terjadi. Tidak tahukah kau... benar 
besarnya rasa kasihku padamu?" 
Sekar Perak hanya mengangguk-angguk 
dengan mata berlinang. 
"Gusti... tidak bisakah dan tidak 
dapatkah saya untuk pergi?" 
"Diajeng... mengertilah keadaan 
yang membuatku memaksa seperti ini...." 
Dan keputusan baginda prabu membuat 
Sekar Perak menjadi sedih dan murung. 
Perasaan gembira ingin bertemu dengan 
ibu yang telah lama ditinggalnya dan 
membangkitkan rasa rindu yang amat 
mendalam, kandas begitu saja. 
Kerjanya hanya melamun saja dalam 
kamar. Bahkan terkadang terlihat Sekar 
Perak berbicara sendiri. Dan selalu 
menangis jika sang prabu menemuinya 
untuk mengajak bercumbu dan bercanda. 
Gairahnya seakan telah lenyap, 
padam dan sirna untuk melayani sang 
prabu. Kalau pun mau, jelas sekali nampak 
dia benar-benar dan seperti terpaksa. 
Itu pun dilakukan hanya karena 
hormatnya yang begitu besar pada prabu. 
Dan dia tidak mau mengecewakannya. Namun 
larangan sang prabu membuatnya tidak 
bergairah untuk berbuat apa-apa. 
Dalam seminggu saja, tubuhnya yang 
padat menjadi kelihatan kurus. Wajahnya 
yang selalu berseri, segar dan jernih, 
kelihatan selalu pucat. Dan Sekar Perak 
menjadi malas untuk mengurus dirinya. 
Keadaan ini pun membuat para dayang 
yang melayani dan mengurusnya menjadi 
tidak bisa berbuat apa-apa. Karena bila 
ada dayang yang bermaksud untuk 
merapikan rambutnya saja, dia selalu 
menolak dan menyuruh sang dayang untuk 
meninggalkan kamarnya. 
Dan para dayang itu hanya bisa 
melaporkan pada prabu dengan tidak 
berbuat apa-apa lagi. 
"Maafkan kami, Junjungan yang 
mulia... kami tidak bisa berbuat apa-apa 
lagi. Dan kami merasa tidak mampu untuk 
mengurus junjungan Sekar Perak..." kata 
salah seorang dayang sambil berlutut. 
"Benar,  Gusti... kami pun sudah 
kewalahan. Karena  kami tidak ingin 
membuatnya marah...." kata yang lain. 
"Dan kami tidak ingin melihatnya 
semakin murung saja, Gusti...." kata 
yang pertama.  
"Kami amat menyayangi dan mencintai 
Sekar Perak. Kami tidak ingin melihat 
keadaannya  yang semakin hari semakin 
memedihkan hati kami...." 
Dan laporan-laporan dari para 
dayangnya itu membuat sang prabu menjadi 
tidak enak. Apalagi Sekar Perak adalah 
selir kesayangannya. 
Namun membiarkan Sekar Perak dalam 
keadaan yang memprihatinkan ini membuat 
hati sang prabu pun menjadi tidak 
tentram. Apalagi dia pun jelas melihat 
keadaan Sekar Perak yang memprihatinkan. 
Dia didera oleh satu kerinduan pada 
ibunya. 
Sang prabu menjadi harus berpikir 
lagi masak-masak untuk memutuskan 
keingingan Sekar Perak. 
Lalu suatu malam dia pun mendatangi 
peraduan Sekar Perak. Dan prabu dapat 
melihat kalau sepasang mata yang 
biasanya indah berkilau itu kini tidak 
ada cahayanya lagi. 
Dan dia pun melihat kalau Sekar 
Perak seakan segan untuk menerima 
kedatangannya. 
Namun Prabu masih mencoba untuk 
tersenyum. 
"Kau sudah makan, Bungaku?" sapanya 
dengan suaranya yang terdengar bernada 
kasih sayang yang tulus. 
Sekar Perak cuma melengos, mendesah 
dan membalikkan tubuhnya membelakangi 
sang prabu. Sikapnya itu nampaklah bukan 
suatu penghormatan, malah seharusnya 
baginda bisa marah karena merasa 
dilecehkan. 
Tetapi baginda cuma mendesah. Dan 
masih tersenyum dia membelai rambut 
Sekar Perak. 
Lalu perlahan dia berucap, "Kau 
tidak menjawab pertanyaanku, manisku?" 
Lalu dengan suara yang terdengar 
dipaksakan, terdengar jawaban dari Sekar 
Perak,  "Apa yang harus hamba jawab, 
Gusti... apa yang harus hamba jawab?" 
Hati gusti prabu menjadi tercekat. 
Apa yang harus dia jawab? Oh, bukankah 
dia sudah mendengar pertanyaanku tadi? 
Ataukah... ah, tidak, tidak... pasti dia 
tidak jelas mendengar pertanyaaku itu. 
Baginda mengulangi lagi 
pertanyaannya. 
Dan dilihatnya Sekar Perak mendesah 
panjang. Gadis itu masih dalam keadaan 
membelakangi Baginda. 
"Sudah, Gusti...." 
"Sudah? Sudah katamu, Diajeng?"  
"Ya, Gusti...." 
"Lalu bagaimana dengan hidangan di 
meja itu yang nampaknya belum kau sentuh? 
Apakah kau masih bisa mengatakan bahwa 
kau sudah makan?" 
Baginda tetap bersuara dengan 
lembut. Penuh kasih dan sayang. Namun 
karena kata-kata yang diucapkan dengan 
nada penuh kasih itu membuat Sekar Perak 
menjadi terharu. 
Dan dia terisak. 
Lalu didengarnya lagi suara gusti 
prabu yang lembut,  
"Sekar Perak... bungaku yang 
anggun... makanlah dulu... Ayo, 
makanlah... Kau bisa sakit bila tidak 
makan. Dan ibaratnya bunga diajeng akan 
cepat layu...." 
Mendengar nada suara yang lembut dan 
itu dan penuh perhatian, membuat Sekar 
Perak perlahan-lahan membalikkan 
tubuhnya. 
Prabu Singasari tersenyum. Dia 
dapat melihat kilatan rindu pada 
sepasang mata yang menjadi sembab itu 
karena seminggu lamanya menangis. 
Hati prabu menjadi pilu. 
"Makanlah, Bungaku... kau tidak mau 
sakit, bukan?" katanya dengan tatapan 
yang penuh kasih.  
"Apakah kau mau membuatku pun jadi 
murung karena ikut-ikutan memikirkanmu, 
Diajeng?" 
Kembali Sekar Perak terdiam. 
Sepasang matanya mengeluarkan air. 
Lalu dengan hati-hati dia menyantap 
hidangan yang ada. Baginda tersenyum 
melihatnya. 
Namun senyuman segera menghilang 
karena setelah selesai menyantap 
hidangannya, Sekar Perak kembali menjadi 
murung. Dia melakukan itu hanya untuk 
menyenangkan hati baginda saja. 
Lalu dengan hati-hati baginda 
membelai rambutnya. 
"Sekar Perak bungaku... Kau 
tentunya marah dan kecewa karena aku 
telah melarangmu untuk pergi menyambangi 
ibumu. Aku tahu kau telah amat rindu 
padanya. Dan kau pun kecewa karena aku 
menarik kembali pernyataan yang telah 
kuucapkan dulu. Namun Sekar Perak, hari 
ini... aku kembali mengabulkan 
permintaanmu. Aku tak mau membuatmu 
semakin hari bertambah murung saja. Aku 
pun tak mau melihatmu menjadi sakit, 
Bungaku. 
Lalu dengan berat  hati akhirnya 
kuputuskan, untuk mengizinkanmu 
menyambangi ibumu...." 
Bagai ada angin sejuk yang berhembus 
begitu lembut dan membelai wajahnya, 
wajah Sekar Perak terlihat berubah. 
Sepasang matanya yang tak bercahaya 
tadi, kini kembali cemerlang. 
Menampakkan sinar kehidupan lagi. 
Wajahnya berseri. 
Mulutnya sampai terbuka seakan 
tidak percaya dengan apa yang telah 
diucapkan gusti prabu. 
"Benarkah, Gusti?" 
Prabu tersenyum melihat wajah yang 
bersinar itu. 
"Apakah aku pernah bicara bohong, 
Diajeng? Aku tak pernah berbohong selama 
ini. Aku melarangmu pergi, karena aku tak 
ingin kau terlibat satu persoalan pelik 
yang sedang terjadi antara Keraton 
Selatan dan Keraton Utara...." 
Sekar  Perak yang sudah terlanjur 
gembira seakan tidak mendengar kata-kata 
junjungannya. 
Wajahnya berseri. 
Berkali-kali dia menyembah  dan 
mengucapkan terima kasih pada sang 
prabu. 
Keesokan harinya, setelah sepuluh 
hari terjadi keributan di istana, Sekar 
Perak akan segera berangkat. Dari 
tatapannya terlihat jelas kalau prabu 
amat berat untuk melepaskan Sekar Perak. 
Tetapi dia tidak ingin selir 
kesayangannya itu semakin hari semakin 
menjadi layu. 
"Hati-hati, Diajeng...." kata prabu 
pada Sekar Perak yang akan menaiki kereta 
kuda. 
Dengan anggunnya Sekar  Perak 
menyembah dan dengan hati-hati menaiki 
kereta kudanya. 
Prabu menghela nafas panjang. 
Berat, berat melepaskan Sekar Perak 
walau hanya dua minggu. Apalagi kalau 
teringat kejadian sepuluh hari yang 
lalu, yang telah menelan puluhan nyawa 
prajurit akibat serangan dua utusan 
Keraton Utara. Prabu kuatir, mereka akan 
mencegat rombongan ini. Maka itulah dia 
menyuruh Dasa Samudra untuk ikut 
mengawal bersama sepuluh orang prajurit 
pilihan dan terlatih serta dua orang 
komandan pasukan yang tangguh dan gagah 
pula. 
Tirai yang terdapat di kereta kuda 
itu tersingkap. Seraut wajah manis Sekar 
Perak muncul. Dia melambai. 
Prabu pun membalas melambaikan 
tangannya. 
Dan perlahan-lahan iring-iringan 
itu pun bergerak. 
 
*** 
 
 
 
Angin berhembus semilir. Udara pagi 
yang cerah. Burung-burung pun bernyanyi 
riang. Sama seperti riangnya hati Sekar 
Perak. Dia bagaikan burung yang baru saja 
lepas dari sangkarnya. Memang selama ini 
Sekar Perak tidak pernah keluar dari 
kaputren hingga baginya keluar ini 
adalah untuk pertama kalinya. Apalagi 
saat ini dia hendak menyembangi ibunya. 
Oh, betapa gembira hatinya. 
Rombongan itu terus bergerak. Di 
kereta kuda duduk seorang prajurit di 
samping sais. Di belakang mereka lima 
orang prajurit berkuda dan di depan enam 
ekor kuda dengan masing-masing 
penunggangnya. Dan salah seorang 
penunggang kuda itu adalah Dasa Samudra 
yang memakai baju kebesaran seorang 
panglima. Dia pun memakai ikat kepala 
hitam yang menandakan kebesaran dan 
keangkuhan jiwanya. Trisula Kembarnya 
menyilang di balik angkin belakang. 
Tugas mengawal Sekar Perak bukanlah 
hal yang mudah, dan dirasakan oleh Dasa 
Samudra suatu tugas yang berat. Di 
samping Sekar Perak sebagai selir 
kesayangan Baginda Singasari, juga masih 
terbayang huru-hara yang dibuat oleh dua 
orang Kediri, yang sewaktu-waktu mereka 
bisa muncul kembali. 
Dan itu yang dicemaskan oleh Dasa 
Samudra! 
Desa yang sedang dituju oleh 
rombongan itu, di mana dulu Sekar Perak 
dilahirkan dan kini tinggal ibunya 
seorang, adalah desa yang terletak di 
perbatasan kekuasaan Kediri dan 
Singasari. Dulu Desa Pareden terkenal 
sebagai desa yang makmur. Entah 
bagaimana keadaan desa itu sekarang. 
Tepat tengah hari rombongan itu 
beristirahat di sebuah hutan kecil. 
Sekar Perak menghirup udara hutan yang 
telah  lama dirindukannya dalam-dalam. 
Dia seakan kembali pada masa kecilnya 
dulu. 
Betapa bahagianya! Dan Sekar Perak 
kerap kali membayangkan betapa 
terkejutnya wajah ibunya nanti. 
Ketika senja hari barulah mereka 
melanjutkan perjalanan lagi. Mereka 
harus segera tiba di Desa Glagah Wangi 
untuk bermalam. Mereka pun harus 
bergerak cepat. 
Sampai sejauh itu, Dasa Samudra tak 
pernah jauh dari sisi Sekar Perak. Dan 
dia sungguh-sungguh merasakan ini tugas 
yang amat sulit karena keselamatan Sekar 
Perak sepenuhnya berada di tangannya. 
Meskipun dia ditemani oleh dua komandan 
pasukan dan sepuluh prajurit pilihan. 
Rombongan itu terus bergerak dengan 
cepat, agar tidak sampai kemalaman di 
jalan. 
Tepat matahari tenggelam, rombongan 
itu tiba di Desa Glagah Wangi. Dasa 
Samudra segera menyuruh salah seorang 
prajurit untuk mencari sebuah penginapan 
yang mampu menampung mereka dan 
keamanannya terjamin. 
Prajurit itu segera bergerak 
kembali dengan laporan yang memuaskan. 
Mereka semua segera  mendatangi 
penginapan yang dicari prajurit tadi. 
Dan Dasa Samudra segera mengatur 
penjagaan khusus untuk Sekar Perak. Dia 
sendiri akan mengontrol tempat Sekar 
Perak tidur malam ini. 
Dan tanpa rombongan itu sadari, di 
kamar nomor 2 yang berada tepat di 
belakang kamar Sekar Perak, menginap Ki 
Runding Alam dan Ki Manggada! Luka di 
bahu Ki Manggada sudah agak sembuh. 
Begitu pula dengan luka dalam Ki Runding 
Alam. Dia sudah menelan pil penyembuh dan 
pemunah penyakit dalam. Pil yang 
diberikan Mpu Daga sebelum mereka 
berangkat. 
Mendengar ribut-ribut itu, 
diam-diam Ki Manggada mengintip ke luar 
dari kamarnya. Dan dia terkejut melihat 
siapa rombongan yang baru datang. 
Rombongan dari Keraton Selatan. Dia 
melihat lambang Kerajaan Negara 
Singasari dari pakaian para prajurit. 
Juga melihat musuhnya, Dasa Samudra! 
Yang telah berbuat curang dengan 
memanfaatkan kelengahannya. 
Dan dengan hati-hati dia mengintip, 
dia melihat seorang gadis yang cantiknya 
luar biasa turun dari kereta kuda. Dan 
melangkah dengan diiringi Dasa Samudra. 
Suatu pikiran cepat dianalisa dalam 
benak Ki Manggada. Orang-orang itu 
menginap di tempat ini dan si gadis 
adalah orang yang amat dihormati dan 
harus dijaga. Terlihat oleh penampilan 
Dasa Samudra yang sangat menghormat. 
Hmm, saat ini dia harus membalas 
penghinaan yang dilakukan orang-orang 
Singasari kemarin. Dia akan menculik si 
gadis dan akan membuat perhitungan 
kembali dengan Dasa Samudra. Dia harus 
membalas kekalahannya kemarin. Harus! 
Malam ini pula dia harus melakukannya. 
Bergegas Ki Manggada kembali ke 
kamarnya dan memberitahu akan hal itu 
kepada Ki Runding Alam dan membeberkan 
rencananya.Ki Runding Alam setuju dengan 
rencana itu. 
Malam semakin lama semakin 
merambat. Udara mencengkram kulit, 
betapa dinginnya. Binatang-binatang 
malam bernyanyi gembira, seolah merasa 
tentram tidak adanya manusia-manusia 
yang buas dan perusak. Yang hanya 
menginginkan kejahatan dan pertumpahan 
darah. 
Di kamarnya, Sekar Perak tertidur 
dengan pulas. Dia sangat letih akibat 
perjalanan seharian itu. 
Di luar, penjagaan masih dilakukan 
dengan ketat. Dasa Samudra sedikit pun 
tidak memejamkan matanya. Dia berjaga 
dengan sikap waspada dan sekali-sekali 
bangkit me-meriksa sekitar mereka. 
Sampai saat ini masih aman. Tidak 
ada tanda-tanda yang mencurigakan. 
Lagipula, apa sih yang dikuatirkan? Toh 
penjagaan sudah kuat. Dan dia cukup 
percaya dengan kemampuannya. 
Namun tepat dinihari,  dua sosok 
tubuh dibungkus pakaian hitam-hitam dan 
berkedok hitam, mengendap-endap dan 
mengintip dari gerumbulan rumpun bunga. 
Mereka tak lain dari Ki Runding Alam dan 
Ki Manggada. Mengintai untuk menghitung 
jumlah prajurit yang menjaga. 
Hmm... di dekat pintu kamar dan dua 
orang penjaga. Di jalan yang menuju ke 
sana, ada tiga orang. Dekat kuda-kuda 
mereka ada dua orang. Dan Dasa Samudra 
sendiri berada agak jauh dari mereka, 
dekat sebuah pohon sambil bersandar. 
Namun panca inderanya selalu berfungsi 
dengan sempurna. Sedangkan yang lain 
tidur, sudah mendapat giliran menjaga. 
"Kau bereskan dulu yang menjaga kuda 
itu, Gada," bisik Ki Runding Alam tepat 
di telinga temannya. "Setelah itu aku 
akan menyergap yang sedang tidur dan 
menghalau para penjaga itu. Kau hadapi 
Dasa Samudra. Dan aku sendiri akan 
menyergap gadis yang di dalam kamar. 
Setelah berhasil, kau harus menyusulku 
ke arah Timur. Mengerti?" 
"Ya." Ki Manggada mengangguk. Dia 
selalu menuruti Ki Runding Alam yang 
lebih tua dan dihormatinya. Dia sendiri 
merelakan Ki Runding Alam yang menyusun 
rencana untuk menculik gadis itu. 
Lalu dengan gerakan ringan dan 
lincah, dia bergerak melalui halaman 
depan kamarnya dan memutar ke kanan. 
Dengan hati-hati pula dia mengambil dua 
buah batu kerikil kecil dan  dengan 
gerakan mantap disambitkan ke arah 
penjaga di dekat kuda itu. 
"Tuk! Tuk!" 
Serentak kedua prajurit itu terdiam 
kaku. Dan dengan berguling tanpa 
menimbulkan suara, Ki Manggada mendekati 
kuda-kuda itu. Melihat reaksi Ki Runding 
Alam. 
Ternyata dia pun telah berhasil 
melumpuhkan para penjaga yang sedang 
tidur. Dan dengan isyarat kibasan 
tangan, dia memberi tanda akan segera 
menyerang tiga penjaga di halaman kamar 
itu. Tiba-tiba saja dia bersalto. 
Ketiga penjaga itu terkejut. 
"Hei, siapa kau?" bentak salah 
seorang. Dan teriakannya itu menarik 
perhatian Dasa Samudra yang terkejut dan 
segera berlari. 
Ki Runding Alam segera bergerak 
cepat. Dengan sekali pukul pengawal tadi 
jatuh pingsan. Teman-temannya segera 
membantu, seketika di tempat itu terjadi 
pergulatan ramai. Namun bagi Ki Runding 
Alam menghadapi prajurit cere begini, 
sangat mudah. Dia langsung menurunkan 
tangan telengas dengan ajian Garuda 
Tiwikrama, yang membuat kelima penjaga 
itu mampus. 
Tiba-tiba Ki Runding Alam merasakan 
ada dorongan angin deras di belakangnya. 
Namun tiba-tiba angin itu berbelok. 
"Des!" 
Dua buah pukulan beradu. Dasa 
Samudra terkejut dia cepat bangkit dan 
memperbaiki posisinya. Seorang 
laki-laki bertopeng memberi isyarat pada 
temannya untuk masuk ke kamar Sekar 
Perak, sedangkan dia sendiri menghadapi 
Dasa Samudra. Marah Dasa Samudra. 
"Hei, mau apa kau ke sana?" serunya 
sambil menerjang, namun dihalangi oleh 
laki-laki bertopeng yang menghalau 
serangannya tadi. 
Kembali dua buah pukulan bertemu. 
Kemarahan Dasa Samudra tidak bisa 
dibendung lagi. Dia langsung mencabut 
Trisula Kembarnya dan menghadapi 
laki-laki bertopeng itu dengan buas. 
Seketika di tengah malam buta di tempat 
itu menjadi ramai oleh bentakan, 
terjangan, pukulan keduanya. 
Beberapa orang yang menginap di sana 
menjadi terbangun. Namun tidak berani 
men-dekat. Mereka hanya mengintip dan 
ada yang merasa lebih baik di dalam 
kamarnya saja. 
Sementara itu, Ki Runding Alam sudah 
masuk ke kamar Sekar Perak dengan jalan 
mendobrak kamar. Dobrakan itu 
membangunkan Sekar Perak yang langsung 
ketakutan melihat sosok tubuh berpakaian 
hitam dan berkedok masuk ke kamarnya. Dia 
menjerit ketakutan. Namun si kedok hitam 
sudah melesat menotok hingga kaku. Dan 
dengan mudahnya dia membopong tubuh 
gadis itu dan melesat ke luar. 
Dia memberi isyarat kepada Ki 
Manggada yang sedang menahan 
serangan-serangan Dasa Samudra. Melihat 
kawannya berhasil, Ki Manggada mendadak 
melenting ke atas dan turun dengan kedua 
kaki ke arah Dasa Samudra. Gerakannya 
cepat dan deras. Secara reflek Dasa 
Samudra mengibaskan kedua trisulanya dan 
membuat Ki Manggada bersalto ke samping. 
Dan dengan sangat cepat kakinya bergerak 
menyambar kaki Dasa Samudra. Tubuh Dasa 
Samudra limbung dan kesempatan itu 
dipergunakan oleh Ki Manggada untuk 
menyusul Ki Runding Alam. 
Dasa Samudra menggeram dan melesat 
mengerjar. Namun tiba-tiba dia bersalto 
ke belakang. Tiga buah kerikil kecil 
menyambar dengan kecepatan kencang. 
Dan  dua bayangan tadi menghilang 
dengan cepat. Namun Dasa Samudra tetap 
mengejar. Dia teringat bagaimana hukuman 
yang akan diterimanya dari sang prabu. 
Tentu sang prabu akan menghukumnya 
seberat-beratnya. Dia harus menemukan 
Sekar Perak 
walaupun akan mengorbankan nyawanya 
sendiri, begitu tekad Dasa Samudra. 
Dia hanya mengira-ngira ke mana 
kedua orang itu pergi. Ke arah Timur. Dan 
dia harus mencarinya. Harus menemukan 
Sekar Perak. 
Namun... siapakah kedua orang 
bertopeng itu? Kenapa keduanya memusuhi 
dan menculik Sekar Perak? 
Dasa Samudra terus berlari. 
 
*** 
 
 
 
Udara pagi berhembus dingin sekali. 
Kabut cukup tebal menutupi Bukit 
Paringin yang kelihatan amat 
menyeramkan. Bahkan boleh dikatakan ini 
masih malam, karena kira-kira baru pukul 
empat pagi. 
Bukit Paringin adalah sebuah bukit 
yang jarang sekali didatangi orang. 
Karena bukit itu amat menyeramkan. 
Namun pagi itu, di lereng bukit itu 
mendadak saja terdengar bentakan dan 
seruan yang amat keras. Bentakan itu 
menggema ke seluruh lereng bukit itu. 
Mengalahkan pula kabut yang cukup tebal 
yang membuat mata cukup sulit untuk bisa 
menembus pemandangan apa yang ada di 
balik kabut itu. 
Bila diperhatikan dari dekat, 
nampak seorang pemuda tengah bergerak 
dengan cepat. Pemuda itu seakan-akan 
tidak menghiraukan udara yang amat 
dingin. Dia terus bergerak dengan 
lincah. Ke depan, ke belakang, ke 
samping. Kadang menerjang, bersalto, 
menghindar, memukul, menyodok, 
menendang. 
Semua itu dilakukan dengan gerakan 
yang tangkas, cepat dan penuh tenaga. 
Dan pemuda yang  membentak-bentak 
tadi terus bergerak dengan lincahnya. 
Rupanya pemuda itu tengah berlatih ilmu 
silat yang hebat dan tangguh. 
Jurus-jurus yang dilatihnya nampak 
khusus diciptakan  seseorang yang 
memiliki dan mewarisinya kepada si 
pemuda, karena jurus-jurus itu nampak 
aneh dan lucu. Seperti pendekar bloon 
yang sedang mabuk. Jarang dijumpai jurus 
seperti tadi. 
Dari gerakan yang dilakukan itu, 
tiba-tiba gerakannya berubah. Kini 
gerakan tangan, kaki, dan lenggok 
tubuhnya mirip seekor burung gagak yang 
cepat. Namun kadang gerakannya terlihat 
keras. Kibasan tangan pemuda itu mirip 
kibasan sayap burung yang sedang marah. 
Ilmu silat yang dilatih pemuda itu 
kemudian memang berdasarkan gerak gerik 
burung gagak, yang dinamakan, jurus 
Pukulan Patuk Gagak. Jurus yang anggun, 
manis namun berisi dan kadang terlihat 
begitu meng-getarkan. Sungguh hebat 
orang yang telah menciptakannya. Dan 
sungguh beruntung pemuda itu yang telah 
mewarisinya. 
Angin berhembus, semakin dingin 
terasa. Namun pemuda yang bertelanjang 
dada itu seolah tak acuh saja dengan rasa 
dingin yang menyengat. Rupanya 
gerakan-gerakan yang dilakukannya tadi 
menimbulkan hawa panas dalam tubuhnya 
hingga bisa mengalahkan hawa dingin. 
Benar saja, pemuda itu pun nampak 
berkeringat. 
Dia sudah melakukan gerakan lebih 
dari 1000 jurus. Gerakan yang 
dilakukannya benar-benar luar biasa 
cepatnya. Terutama gerakan Patuk-Patuk 
Gagaknya, yang dilakukannya 
berulangkali hingga dia merasakan sudah 
mantap benar. 
Bahkan tidak hanya sampai di sana. 
Kini dia pun bergerak seperti sedang 
menghindari satu serangan. Dalam 
berlatih, pemuda itu memang seakan-akan 
mempunyai lawan di hadapannya. 
Gerakan penghindar itu dinamakan 
Gagak Terbang. Lalu gerakan tubuhnya pun 
cepat dan lincah. Kadang melompat, 
bersalto dan bergulingan. 
Tiba-tiba pemuda itu bersalto dua 
kali ke belakang. Dan begitu hinggap di 
tanah sudah dalam keadaan duduk bersila. 
Tak satu debu pun yang beterbangan saat 
tubuhnya hinggap di tanah. Menandakan 
betapa tingginya ilmu meringankan tubuh 
yang dimiliki pemuda itu. 
Dia mengatur nafasnya. Dan 
perlahan-lahan sepasang matanya 
terpejam. Lalu kedua tangannya menyatu 
saling tekan di dada. Sikapnya begitu 
khusus. Nampaknya dia tengah 
berkonsentrasi akan satu ilmu yang masih 
dimilikinya. 
Setelah agak lama, mendadak pemuda 
itu mengibaskan tangan kanannya ke 
depan. 
Sreeett!! 
Selarik sinar putih pun tiba-tiba 
melesat dari telapak tangannya, 
menghantam sebuah pohon besar di 
hadapannya, langsung hancur berantakan 
dan tumbang. 
Mendengar suara yang keras seperti 
ledakan itu, si pemuda membuka matanya. 
Dan sepasang matanya terbelalak melihat 
hasil yang dilakukannya. Begitu hebat. 
Sungguh diluar dugaannya. 
Oh, benarkah aku bisa melakukannya 
sekarang? Desisnya dalam hati seolah 
tidak percaya. 
Dan kenyataan serta hasil pukulan 
sinar putih yang melesat dari tangannya 
memang benar-benar terjadi. Tiba-tiba 
saja pemuda itu berseru-seru gembira, 
"Hore! Eyang! Aku berhasil! 
Hahaha... aku berhasil, Eyang! Aku 
berhasil!!" 
Dan pemuda itu terdiam kembali. 
Nampaknya dia ingin mengulangi lagi apa 
yang telah dilakukannya tadi. Karena dia 
masih sangsi apakah benar-benar dia 
telah melakukannya? 
Kali ini dia menggerakkan tangan 
kirinya ke samping, mengganti 
sasarannya. Kembali selarik sinar putih 
berkelebat dari tangan kirinya dan 
menghantam sebuah batu karang sebesar 
kambing. 
Kali ini hasilnya sungguh luar 
biasa. Kembali terdengar suara seperti 
ledakan. Seperti yang dialami oleh pohon 
tadi, batu karang itu pun hancur 
berantakan. Bahkan berkeping-keping. 
Pecahan batu karang itu berpentalan ke 
sana kemari. 
Kembali pemuda itu berseru seru, 
"Hahaha... aku berhasil, Eyang! Aku 
berhasil!!" 
Dan dia pun melakukan hal yang sama 
berulang-ulang kembali. Hingga dia yakin 
bahwa dia memang telah  berhasil 
melakukannya. Kembali pula terdengar 
seruan yang gembira. 
"Demi Tuhan! Ini bukan khayalan atau 
angan semata lagi!! Aku memang berhasil, 
aku memang berhasil!" seru pemuda itu 
gembira. Lalu dia melonjak-lonjak mirip 
anak kecil yang mendapatkan permen. 
Sebenarnya siapakah pemuda yang 
gagah perkasa itu? Dia bernama Pandu. 
Pemuda yatim piatu yang sejak kecil 
ditinggal mati kedua orang tuanya. 
Usianya baru 19 tahun. Wajahnya 
tampan dan bertubuh tegap. Nampak begitu 
kokoh dengan bertelanjang dada sekarang. 
Menampilkan otot-otot yang kekar dan 
kuat. Rambutnya tergerai hingga bahu. 
Diikat dengan ikat kepala warna putih. 
Dia adalah murid tunggal seorang 
pertapa sakti yang telah lama bertapa di 
Bukit Paringin sebuah bukit yang 
terdapat di Gunung Kidul. 
Sepuluh tahun yang lalu, pertapa 
sakti yang bernama Eyang Ringkih Ireng 
itu secara tidak sengaja bertemu dengan 
seorang bocah yang sedang menangis 
karena lapar di hutan. Lalu bocah itu pun 
dipungutnya. Sejak pertama kali melihat 
bocah itu, Eyang Ringkih Ireng  sudah 
jatuh hati padanya. Bahkan yang 
membuatnya makin tertarik, bocah itu 
seakan kuat menahan hawa dingin Gunung 
Kidul. Dan tak pernah sekali pun mencoba 
meninggalkan Bukit Paringin di mana 
Eyang Ringkih Ireng bertapa. Bahkan 
bocah itu menurut saja apa katanya. 
Karena melihat otot dan tulang 
belulang pada bocah itu, Eyang Ringkih 
Ireng pun secara perlahan-lahan mulai 
mengajarkan dan menurunkan ilmu yang 
dimilikinya. Hampir sepuluh  tahun 
lamanya pertapa itu menggembleng Pandu 
di Bukit Paringin. 
Yang membuatnya  amat gembira, 
ternyata bocah itu daya tangkapnya cepat 
sekali. Dia mampu menirukan 
gerakan-gerakan yang dilalukan Eyang 
Ringkih Ireng secara tepat dan pasti. 
Dan pertambahan usia pada bocah itu, 
semakin bertambah pula apa yang 
diturunkan oleh Eyang Ringkih Ireng 
padanya. Di samping itu  daya tahan 
tubuhnya pun seringkali dipaksakan Eyang 
Ringkih Ireng. 
Pelajaran pertama daya ketahanan 
tubuh yang dialami  Pandu, dijemur di 
terik matahari dari pagi hingga sore. 
Begitu sampai semiggu lamanya. Setelah 
itu  pada malam hari pun berbuat yang 
sama. Mendaki puncak Gunung Kidul dan 
duduk bersila melawan hawa dingin. 
Semuanya dilakukan dengan 
bertelanjang dada. 
Sampai seminggu pula lamanya. 
Dan selama dua minggu, dia harus 
bertapa di air terjun yang ada di sana. 
Eyang Ringkih Ireng amat bangga melihat 
hasil yang dicapai Pandu. 
Daya tahan tubuhnya luar biasa. 
Ini amat mengagumkannya. 
Eyang Ringkih Ireng sendiri 
sebenarnya sejak tadi sudah berada di 
atas pohon sambil memperhatikan muridnya 
berlatih. Dia mendesah kagum. 
Diusap-usapnya jenggotnya yang putih. 
Dia merasa tidak sia-sia telah 
menggembleng Pandu sekian lama jika 
hasilnya menggembirakan begini. Pukulan 
Sinar Putih telah dikuasai Pandu dengan 
sempurna. 
Pukulan Sinar Putih adalah salah 
satu jenis pukulan yang amat langkah. Dan 
kini telah berhasil dikuasai oleh 
muridnya. Berarti sekarang di dunia ini 
ada dua anak manusia yang berhasil 
memiliki Pukulan Sinar Putih. 
Karena Eyang Ringkih Ireng yakin 
sekali, kalau tak seorang pun manusia 
yang memiliki ilmu itu selain mereka 
berdua. Ini benar-benar membuatnya 
merasa beruntung karena memiliki seorang 
murid seperti Pandu. 
Dia  membiarkan saja muridnya itu 
menikmati kegembiraannya. Dan sekarang 
tengah melancarkan kembali Pukulan Sinar 
Putihnya  ke sasarannya yang langsung 
hancur berantakan terhamtan pukulan itu. 
"Aku berhasil, Eyang! Aku 
berhasil!!" Seruan itu amat gembira 
sekali. 
Eyang Ringkih Ireng tersenyum. 
Tiba-tiba saja dia mengenjot tubuhnya 
dan indenting hinggap tak jauh dari 
muridnya! 
"Awaaasss!!" serunya mendadak pada 
muridnya sebelum muridnya sadar dengan 
apa yang terjadi. Pandu merasakan ada 
dorongan angin keras menuju ke arahnya. 
Dengan reflek dia bergulingan dan 
kakinya bergerak menyambar ke depan. 
Gerakan yang dilakukannya  menandakan 
instingnya sudah berfungsi sempurna. 
Eyang Ringkih Ireng menarik 
tubuhnya untuk menghindari sambaran kaki 
itu. Lalu dia pun menangkis dengan kaki 
kanannya. Posisinya lebih mengenakan 
dia, hingga Pandu terguling kembali. 
Kali ini karena dorongan tenaga kaki 
Eyang Ringkih Ireng. Dan Eyang Ringkih 
Ireng sudah menyerang lagi. Setelah 
menangkis dia menjejakkan kakinya ke 
dada muridnya. Tak ada kesempatan untuk 
mengelak, Pandu menangkis dengan kedua 
tangannya. 
Des! 
Kali ini pemuda itu bisa mengimbangi 
tenaga gurunya. Eyang Ringkih Ireng 
mundur setindak. Dan Pandu melenting ke 
atas. Sambil bersalto dia mengirimkan 
sebuah pukulan  Eyang Ringkih Ireng 
menangkis dan menyambar dengan tendangan 
lurus ke depan. 
Namun tiba-tiba secara mengagumkan, 
Pandu meloncat dengan tumpuan kaki 
gurunya! 
"Hebat! Tahan terus seranganku!" 
Eyang Ringkih Ireng semakin 
mempergencar serangannya. Pandu sekuat 
tenaga menahan dengan sekali-sekali 
membalas. Sudah lebih dari 30 jurus 
mereka bertanding, namun pemuda itu 
masih sanggup mengimbangi gurunya. Dan 
membuat Eyang Ringkih Ireng gembira. 
"Pakai Jurus Kijang Kumala, Pandu!" 
serunya terus menyerang. "Aku akan 
menyerangmu dengan Pukulan Sinar Putih! 
Kau kena, rasakan sendiri akibatnya!" 
"Tapi, Eyang...." seru Pandu sambil 
mengelak sambaran kaki gurunya. 
"Tidak ada tapi! Mulai!" 
Setelah membentak begitu, Eyang 
Ringkih Ireng  mengibaskan tangan 
kirinya. Selarik sinar putih berkelebat 
ke arah dada Pandu. Panduluh yang masih 
ragu-ragu mau tak mau bersalto 
menghindari sinar yang mematikan itu. 
"Pergunakan jurus Kijang Kumala, 
Pandu!" sambil membentak Eyang Ringkih 
Ireng melontarkan kembali pukulannya. 
Kali ini secara beruntun dan terus 
menerus. Membuat Pandulah  segera 
mengeluarkan jurus menghindarnya yang 
amat tangguh dan lincah, yang disebut 
Jurus Kijang Kumala. Tubuhnya seperti 
bayangan yang berkelebatan yang sukar 
diikuti oleh mata telanjangnya. Eyang 
Ringkih Ireng terus membayangi dengan 
Pukulan Sinar Putih itu. 
Semakin cepat Eyang Ringkih Ireng 
mengibaskan tangannya, semakin cepat 
Pandu bergerak. Lincah dan tangkas. Kini 
keduanya benar-benar seperti bayangan 
yang bergerak ke sana ke mari. Pandu 
sendiri sudah meningkatkan kemampuan 
berkelitnya kalau tidak ingin hangus 
dimakan pukulan panas itu. Dan sampai 
sekian jurus, sekali pun dia tidak sempat 
mengirimkan balasan. 
"Awas!" Pertapa sakti itu tiba-tiba 
membentak sambil bergerak dengan cepat 
ke depan. Dia mengirimkan sebuah Pukulan 
Sinar Putihnya.  
Sreeet! 
Pandu menghindar dengan jalan 
bersalto. Namun saat tubuhnya melenting 
di udara, Eyang Ringkih Ireng kembali 
melancarkan pukulannya dengan cepat! 
Kakinya memutar dan melompat ke 
udara.  
"Dess!" 
Dalam keadaan masih di udara, Pandu 
tetap menunjukkan ketangkasannya. Dia 
berhasil menahan serangan itu dengan 
tangannya. Dan kembali dia bersalto dua 
kali ke belakang. Suatu gerakan yang 
menakjubkan telah diperlihatkan oleh 
Pandu. 
Namun Eyang Ringkih Ireng 
benar-benar tidak memberi kesempatan. 
Dalam hal menguji dia tidak 
tanggung-tanggung lagi. Pandu 
dianggapnya seorang musuh besar yang 
harus ditaklukkan dan dimusnahkan. 
Hal ini membuat Pandu kerepotan. 
Karena berulang kali dia menghindar, 
bersalto, berguling, melompat juga 
menangkis serangan gurunya. 
Dan pada suatu kesempatan mendadak 
Pandu melontarkan Pukulan Sinar Putihnya 
karena merasa sudah tidak tahan untuk 
menghindar terus menerus. 
Eyang Ringkih  Ireng yang sedang 
mengejar dengan pukulannya, menjadi 
terhalang dan berguling dengan cepat. 
Sambil berguling dia juga melontarkan 
Pukulan Sinar Putihnya. 
"Awas, Pandu!"  
Siiing! 
Pandu cepat berkelit ke samping. 
Sinar itu melayang beberapa senti dari 
tubuhnya dan menghantam sebuah pohon 
hingga hangus berantakan. Pandu mendesah 
dalam hati, gurunya benar-benar hendak 
menguji dengan kekerasan. 
Dia pun kembali bersiap. 
Tiba-tiba Eyang Ringkih Ireng 
menghentikan serangannya. Dia melompat 
ke atas dan ketika turun kembali ke 
tanah, di tangannya sudah tergenggam dua 
buah batang pohon yang lumayan besar dan 
keras. 
Dia melemparkannya sebuah pada 
Pandu. 
"Keluarkan ilmu golokmu! Jaga 
setiap seranganku! Kalau tidak, kau akan 
kugebuk habis-habisan! Yang perlu kau 
ingat, batang kayu yang ada di tanganku 
ini, lebih keras dari sebilah golok mana 
pun! Ingat, pertahanan... Kibasan Golok 
Membelah Bumi! Jaga serangan, Pandu!!" 
Eyang Ringkih Ireng memutar batang 
kayu yang dipegangnya. Pandu pun bersiap 
menjaga serangan itu. Sedikitnya dia 
merasakan tegang juga. 
Tiba-tiba Eyang Ringkih Ireng 
melesat dengan gebukan kayu yang siap 
menghantam kepala Pandu. Itu jurus semau 
Eyang Ringkih Ireng saja. Tidak bernama, 
namun sungguh mantap dan maut dimainkan 
olehnya. 
"Tahan serangan!!" 
 
* * * 
Pandu terkejut melihat serangan 
yang dilakukan gurunya begitu cepat. 
Namun dia pun segera menyambutnya dengan 
jurus golok, Kibasan Golok Membelah 
Bumi! 
Jurus yang diajarkan gurunya cukup 
lama. Hanya jurus itu saja memerlukan 
waktu hampir satu tahun untuk sampai pada 
taraf sempurna. Karena jurus itu 
benar-benar ampuh! 
Jurus ciptaan Eyang Ringkih Ireng 
sendiri! 
"Trak!"  
"Trak!" 
Kedua batang pohon itu bertemu dan 
terlihat tangan Pandu bergetar. Rupanya 
tenaga dalamnya masih kalah kuat oleh 
gurunya. 
Biar setua itu, Eyang Ringkih Ireng 
masih tangguh dan memiliki tenaga yang 
luar biasa. 
Keduanya kembali memperlihatkan 
kelincahan, ketangkasan dan kemampuan 
mereka dalam menggunakan ilmu golok.  
"Jangan bertindak tanggung, Pandu!"  
"Kau begitu hebat, Eyang!" seru 
Pandu membalas mengimbangi serangan 
gurunya. 
"Jangan fikirkan soal itu! Jangan 
fikirkan pula kalau saat ini kau sedang 
berhadapan dengan gurumu! Anggap aku 
lawanmu yang harus kau kalahkan!" seru 
Eyang Ringkih Ireng terus menyerang.  
"Tapi, Eyang...." 
"Tidak ada tapi-tapian! Rangkaikan 
jurus itu dengan jurus Menyapu Batu 
Karang! Dan ingat, jangan 
sungkan-sungkan untuk membalas dan 
menyerangku!!" 
Sejak tadi pun bila ada kesempatan 
Pandu bermaksud hendak membalas. Namun 
kesempatan itu sulit ditemui. Karena 
serangan-serangan yang dilakukan 
gurunya begitu gencar dan cepat. 
Dan gurunya pun tidak lagi 
menganggap dia sebagai muridnya saat 
ini. Tetapi sebagai lawan yang hendak 
dikalahkannya. 
"Pandu!!" seru Eyang Ringkih Ireng 
yang melihat muridnya hanya bertahan 
saja.  
"Aku musuhmu! Bila kau lengah, kau 
akan mampus termakan batang kayu ini!!" 
Mendengar kata-kata itu, Pandu pun 
kini berbalik mencoba menerobos 
serangan-serangan gurunya. Dan dalam 
satu kesempatan, batang kayu yang 
dipegangnya menggetarkan batang kayu 
yang dipegang gurunya. Lalu dia pun 
menerobos menyerang dengan Jurus Menyapu 
Batu Karang. Jurus yang tangguh karena 
diciptakan Eyang Ringkih Ireng khusus 
untuk menyerang. Sedangkan yang pertama 
tadi jurus untuk bertahan. 
Mau tak mau Eyang Ringkih Ireng 
sendiri menggunakan jurus Kibasan Golok 
Membelah Bumi untuk menghalau serangan 
muridnya. Karena kedua jurus itu 
diciptakan untuk disatu padukan untuk 
menyerang dan bertahan, hingga nampak 
keduanya seimbang. 
Kecepatan  Pandu dalam memainkan 
ilmu golok itu juga sudah tangkas. Hampir 
menyamai kecepatan gurunya. 
Namun Eyang Ringkih Ireng yang sudah 
tua itu, lama kelamaan nampak hampir 
kehabisan nafas. Tiba-tiba dia bergerak 
ke belakang dan melontarkan Pukulan 
Sinar Putihnya. 
"Heiet!" 
Pandu  terkejut dan secara reflek 
menggenjot tubuhnya ke atas dan hinggap 
di sebuah ranting kecil. Mengagumkan 
ilmu peringan tubuhnya. Sudah dalam 
taraf yang sempurna. Ranting sekecil itu 
mampu menahan berat tubuhnya tanpa 
bergoyang sedikit pun! 
Luar biasa! 
Di bawah, Eyang Ringkih Ireng 
tersenyum sendiri. Hatinya bangga 
melihat kemajuan anak didiknya. Tidak 
sia-sia dia mendidik Pandu sejak kecil. 
Dan benar-benar merupakan hasil yang 
mengagumkan. 
Dia melempar batang kayu itu dan 
bertepuk tangan tiga kali. 
"Turunlah, Pandu... kau benar-benar 
mengagumkan...." puji Eyang Ringkih 
Ireng dengan suara bergetar saking 
gembiranya. 
Pandu meloncat ke bawah tanpa suara. 
Dia langsung menjatuhkan tubuhnya di 
hadapan kaki eyang. 
"Maafkan saya, Eyang... bukan 
maksud saya untuk...." 
"Ah, kau... apa-apaan? Sikapmu 
masih tetap santun, Pandu. Aku bangga. 
Aku bangga... ayolah berdiri...." 
Perlahan Pandu berdiri. Eyang itu 
tersenyum sambil menepuk bahu muridnya 
ini. 
"Kau telah menunjukkan suatu 
prestasi yang baik sekali, Pandu. Aku 
tidak menyesal menurunkan semua ilmuku 
kepadamu... kau telah membuatku gembira. 
Membuatku merasa lebih bahagia dari 
sebelumnya. Mari, Pandu... kita kembali 
ke gubuk. Hari sudah semakin siang...." 
Keduanya berjalan perlahan. 
Menembus sinar matahari yang sudah agak 
menyengat. Menyinari seluruh tempat di 
lereng Bukit Paringin ini. Keduanya 
melangkah ke Timur, ke tempat yang agak 
banyak pepohonan besar dan mirip sebuah 
hutan yang tidak begitu besar. 
Di sana ada sungai yang airnya 
mengalir dengan deras dan jernih. Bila 
malam gemuruh air sungai itu seperti 
irama musik yang mengalun merdu menerpa 
telinga. 
Keduanya mencuci muka di sana. 
Setelah merasakan wajah yang cukup 
segar, keduanya meneruskan  melangkah 
sampai ke hilir. Pemandangan di sini tak 
kalah indahnya. Panorama alam telah 
menyatu dengan keduanya. 
Begitu mempesona. 
Tak jauh dari hilir, terdapat sebuah 
gubuk kecil yang dari jauh terhalang oleh 
rimbunnya pepohonan. Di tempat itulah 
Eyang Ringkih Ireng mendidik Pandu sejak 
pemuda itu ditemukannya di sebuah hutan 
saat masih kecil. 
Keduanya lalu masuk ke gubuk kecil 
itu. Sambil menikmati kopi pahit dan ubi 
rebus keduanya bercakap-cakap. 
"Pandu..." terdengar suara Eyang 
Ringkih Ireng. 
"Iya, Eyang...." 
"Cukup  lama sudah kau tinggal 
bersamaku di Bukit Paringin yang 
terdapat di Gunung Kidul ini. Dan hampir 
semua ilmu yang kumiliki telah 
kuturunkan padamu. Dan aku tidak ingin 
kau hidup terus menerus di alam gunung 
seperti ini. Tanpa punya pengalaman 
apa-apa di dunia luas sana...." 
"Apa maksud, Eyang?" 
"Maksudku... kau harus segera turun 
gunung Pandu. Kau harus mencari 
pengalaman hidupmu. Kau masih muda... 
jangan kau sia-siakan hidupmu di tempat 
seperti ini, Pandu.  Tempat ini cukup 
sunyi...." 
"Tetapi saya sudah bahagia di sini 
bersama eyang." 
"Aku tahu, Pandu... kau memang 
seorang anak yang baik. Tetapi sekali 
lagi, bukan maksudku untuk mengusirmu 
atau tidak mau menerimamu di sini, 
tetapi... kau harus mencari 
pengalamanmu, Pandu. Hidup yang akan kau 
arungi tidak seperti yang biasa kau alami 
di sini. Pasti hidup yang akan datang 
lebih keras lagi, Pandu...." 
"Jadi maksud eyang...." 
"Ya... kau harus tinggalkan Gunung 
Kidul ini. Kau harus pergi berkelana. 
Gunakanlah ilmu yang kuberikan itu untuk 
jalan kebaikan. Kau mengerti?" 
Sebenarnya hati Pandu sedih bukan 
main. Karena dengan begitu dia harus 
berpisah dengan laki-laki tua yang amat 
dihormati dan dikaguminya. Tetapi mau 
apa lagi? 
"Eyang... semua perintah eyang akan 
saya patuhi, Eyang...." 
"Bagus! Aku suka dengan kata-katamu 
itu, Pandu!!" 
"Karena eyanglah yang membentuk 
saya seperti ini!" 
"Bagus... bagus... Sebelum kau 
turun gunung, masih ada satu ilmu yang 
hendak kuajarkan padamu, Pandu. Ilmu ini 
amat dahsyat, sukar dicari tandingannya. 
Sejak aku memiliki ilmu ini, sekali pun 
aku tak pernah menggunakannya," kata 
Eyang Ringkih Ireng sambil menatap 
muridnya. 
"Ilmu apakah itu, Eyang?" tanya 
Pandu dan entah mengapa hatinya 
berdebar. 
"Ilmu yang teramat hebat sekali. 
Ilmu yang amat langka, Pandu. Dan 
kunamakan Cakar Gagak Rimang. 
"Cakar Gagak Rimang?" 
"Benar, Pandu. Ilmu ini amat hebat 
dan dahsyat sekali. Kau bisa membuat 
manusia sekebal apapun dan sesakti 
apapun hancur binasa oleh pukulan ini. 
Dalam jangka waktu yang cukup lama, aku 
yakin... kau akan sukar sekali dicari 
tandingannya, Pandu...." 
"Terima kasih, Eyang...." 
"Tetapi ilmu ini dikenal sebagai 
ilmu yang ganas dan kejam. Ilmu ini dulu 
milik seorang kyai yang teramat sakti, 
dan dalam satu kesempatan... di kala aku 
berusia 18 tahun, dia mengajarkannya 
padaku. Satu cara pengajaran yang 
menurutku aneh sekali." 
"Aneh bagaimana, Eyang?" 
"Kau akan mengetahuinya nanti. 
Tetapi sampai saat ini, sejak ilmu Tangan 
Malaikat ini kumiliki, sekali pun aku tak 
pernah menggunakannya. Mungkin kau 
bertanya mengapa aku tidak 
menggunakannya, bukan?" 
"Ya, mengapa, Eyang?" 
"Karena ilmu ini begitu 
kejam.Pandu. Amat telengas. Bahkan aku 
sendiri ngeri memilikinya. Namun ilmu 
ini kujadikan sebagai ilmu 
pamungkasku... yang mana bila ada 
kejadian yang mendesak baru kugunakan." 
"Tetapi eyang... bila ilmu itu amat 
kejam dan ganas... mengapa eyang hendak 
mengajarkannya padaku? Bukankah dengan 
demikian eyang mengajarkan aku hendak 
berbuat kejam?" tanya Pandu heran. 
Ditatapnya wajah Eyang Ringkih Ireng 
yang langsung tersenyum. 
Yang juga sedang menatapnya. 
Dan pertanyaannya itu membuat hati 
Eyang Ringkih Ireng bangga dan 
bergembira. Dia benar-benar semakin jadi 
bertambah kagum pada  muridnya ini. 
Bukankah itu menandakan kalau Pandu 
benar-benar seorang pemuda kesatria? 
"Bagus sekali pertanyaanmu itu, 
Pandu. Memang benar, mengapa aku harus 
menurunkannya padamu? Karena tugasmu 
yang sesungguhnya adalah untuk membela 
kebenaran dan keadilan. Dan aku yakin 
pula kau akan bertemu dengan orang-orang 
jahat yang sakti. Aku mengajarkan ilmu 
padamu ini, dengan maksud, agar kau bisa 
menjaga diri. Tentunya kau tidak boleh 
sembarangan untuk menggunakannya. Bila 
kau benar-benar terdesak dan tidak mampu 
lagi untuk melawan, kau boleh 
mengeluarkan ilmu ini. Di samping itu 
yang perlu kau ingat, perlukah kau 
membunuh dengan ilmu ini? Bagaimana, 
Pandu? Kau mengerti maksudku? 
"Ya, Eyang...." 
"Bagus! Kini siapkah kau menerima 
ilmu Tangan Malaikat dariku?" 
"Semua yang guru berikan, akan saya 
terima." 
"Bagus! Dengarlah baik-baik, Pandu. 
Ilmu Cakar Gagak Rimang hanya  bisa 
dipelajari oleh seseorang yang berhati 
bersih. Ilmu itu hanya terdiri dari tiga 
gerakan yang nampak ringan.  Pertama, 
kedua tangan terbuka dan bergerak 
seperti menyapu ombak. Kedua dengan satu 
dorongan. Dan bila kau masih belum dapat 
mengalahkan lawanmu dengan kedua jurus 
itu, kau bisa menggunakan jurus yang 
ketiga.  Dengan cara memukulkan kedua 
telapak tanganmu pada lawan. Bahkan bila 
kau sudah mengeluarkan ilmu itu, apapun 
yang kau pegang dapat hancur lebur 
binasa!" 
"Bukan main!" desis Pandu. "Satu 
ilmu yang sungguh amat langka!" 
"Benar, Pandu. Ilmu ini hanya bisa 
dipelajari dalam waktu lima menit. Bila 
kau gagal dalam waktu itu, maka kau akan 
gagal mendapatkannya!" 
"Lima menit, Eyang?" 
"Ya! Dan selama lima menit itu pula 
kau harus mengosongkan diri. Sanggupkah 
kau, Pandu?" 
"Akan saya coba, Eyang." 
"Bagus! Nah, sekarang kosongkan 
dirimu!" 
Lalu Pandu pun terdiam. Semua 
pikiran yang mengganggunya dikosongkan. 
Kini pikirannya seakan hampa belaka. Dan 
perlahan-lahan Eyang Ringkih Ireng 
mendekatinya. 
Terlihat kalau laki-laki berumur 
itu terdiam. Dia berdiri di depan Pandu 
yang duduk bersila dengan mengosongkan 
diri. 
Nampak pula kalau Eyang Ringkih 
Ireng tengah merapal sesuatu. Dan 
tiba-tiba dia menggerakkan kedua 
tangannya. Lalu terlihatlah, warna merah 
di kedua telapak tangannya. 
Dan dengan hati-hati dia 
menempelkan kedua telapak tangan yang 
memerah itu ke kepala Pandu. 
Pandu  yang tengah mengosongkan 
pikirannya, tidak bisa merasakan apa 
yang terjadi pada dirinya. Rupanya 
tingkatan konsentrasi miliknya 
benar-benar sudah dalam tahap yang 
sempurna. 
Padahal bila dia tidak mengosongkan 
diri, atau gagal dalam tahap itu. 
Mustahillah harapannya untuk memiliki 
ilmu Cakar Gagak Rimang. Karena kunci 
dari ilmu itu sebenarnya mengosongkan 
diri yang sempurna. 
Dan terlihatlah dari rambut Pandu 
keluar asap putih yang cukup tebal. Dan 
terlihat pula kalau sekujur tubuh pemuda 
itu nampak berkeringat dan menggigil. 
Rupanya ada satu desakan hawa panas 
yang mengalir ke tubuhnya dari kepala 
berkat tangan yang ditempelkan oleh 
Eyang Ringkih Ireng ke kepalanya. 
Setelah lima menit berlalu, Eyang 
Ringkih Ireng tiba-tiba bersalto ke 
belakang dan kala dia hinggap di tanah 
sudah dalam keadaan bersila. Tiba-tiba 
dia menggerakkan tangan kanannya ke 
depan. Serangkum angin keras menerpa 
tubuh Pandu. 
Tubuh Pandu pun goyang seperti orang 
di dalam perahu. 
Dan tak berapa lama kemudian, 
terlihat Eyang Ringkih Ireng tengah 
mengatur nafasnya. Dan terlihat pula 
kalau Pandu perlahan-lahan membuka 
matanya. 
"Eyang!" serunya begitu melihat 
Eyang Ringkih Ireng tengah 
berkonsentrasi. Keringat mengalir di 
sekujur tubuh laki-laki tua itu. 
Dan tak lama kemudian sepasang mata 
yang terpejam itu pun terbuka. 
Eyang Ringkih Ireng tersenyum. 
"Kau sungguh hebat, Pandu," 
desisnya. 
"Apa maksud, Eyang?" 
"Bila saja kau gagal mengosongkan 
dirimu, maka hawa panas yang mengalir di 
tubuhnya akan  mengingatmu dan bisa 
membuat sebagian tubuhmu hangus! Itulah 
sebenarnya resiko yang akan kau hadapi 
bila kau gagal mengosongkan diri!" 
Wajah Pandu terlihat sedikit pucat. 
Ah, kalau saja dia gagal. 
"Lalu sekarang bagaimana, Eyang?" 
"Sekarang kau sudah memiliki ilmu 
Cakar Gagak Rimang, Pandu!" 
"Oh, benarkah, Eyang?" 
"Kau  bisa membuktikannya! Nah, 
lakukanlah gerakan-gerakan yang seperti 
kukatakan tadi!!" 
Lalu Pandu pun berdiri. Dan entah 
bagaimana caranya, tiba-tiba dia 
merasakan hawa panas mengalir di 
tubuhnya dan mengalir ke kedua 
tangannya. 
Seketika kedua telapak tangan itu 
berubah warna menjadi merah. 
"Jangan terkejut, Pandu! Ilmu itu 
akan keluar bila kau niat untuk 
mengeluarkannya! 
"Oh!" 
"Lakukan gerakan yang seperti 
kukatakan, Pandu!" 
Lalu  Pandu pun mengarahkan kedua 
tangannya ke beberapa batu besar seperti 
seekor kerbau. Dan dia pun mengayunkan 
kedua telapak tangannya dari bawah ke 
atas. Dan mendadak saja batu yang 
dijadikan sasarannya itu melayang ke 
atas seperti tengah menyapu ombak. Lalu 
jatuh lagi ke bawah dengan suara 
berdebam. 
"Bummm!!" 
Debu-debu pun berterbangan. 
"Hebat sekali, Eyang. Bukan main!" 
"Lakukan yang kedua, Pandu!" 
Lalu Pandu pun kali ini menggerakkan 
kedua tangannya seperti tengan 
mendorong. Dan seketika batu tadi 
terdorong beberapa meter dengan kuatnya. 
"Hebat, Eyang! Hebat!!" 
"Lakukan yang ketiga, Pandu! 
Terserah apa yang kau hendak lakukan, 
memegangnya atau memukulnya!" 
"Aku akan memegangnya, Eyang!" 
"Lakukanlah!!" 
Lalu Pandu berjalan ke batu sebesar 
kerbau tadi. Dan dia pun memegang batu 
besar itu. 
Sungguh luar biasa, batu itu 
mendadak terbelah dan menimbulkan 
kerikil-kerikil kecil. 
"Eyang!" pekik Pandu gembira. 
"Sekarang kau pukulkan kedua 
telapak tanganmu pada batu itu, Pandu!!" 
Pandu pun melakukan hal yang sama. 
Dan kali ini sungguh luar biasa, amat 
luar biasa. Batu itu hancur menjadi 
kerikil seketika. Kontan Pandu 
berlonjak-lonjak kegirangan.  
Setelah itu dia menjatuhkan dirinya 
di kaki Eyang Ringkih Ireng.  
"Terima kasih, Eyang... Eyang telah 
mengajarkan padaku satu ilmu yang amat 
hebat. 
"Bangunlah, Pandu...." kata Eyang 
sakti itu. "Sekarang kau telah memiliki 
satu jenis ilmu yang langka dan 
berbahaya. Pergunakanlah sebaik-baiknya 
dalam petualanganmu nanti. Semua ilmu 
yang kuberikan, harus kau manfaatkan 
untuk membela kebenaran dan menentang 
kezaliman. Dan pesanku, bila kau tidak 
merasa perlu menggunakan ilmu ini, 
janganlah kau menggunakannya. 
Tetapi  bila keadaan mendesak, 
gunakanlah! Ingat Pandu... semua harus 
di jalan kebenaran!" 
"Baik, Eyang...." 
"Dan kini sebutanmu menjadi... 
Pendekar Tangan Malaikat!" seru Eyang 
Ringkih Ireng. 
Entah bagaimana mulanya, mendadak 
saja terasa angin besar bertiup kencang. 
Menerpa dedaunan hingga berguguran dan 
bebatuan hingga bergulingan. 
Rambut panjang Pandu tergerai oleh 
angin itu. 
Dia menjura, "Terima kasih, 
Eyang...." 
"Besok kala matahari sepenggalah... 
kau sudah harus meninggalkan Bukit 
Paringin dan seluruh wilayah Gunung 
Kidul ini....". 
 
*** 
 
 
 
Kala matahari sepenggalah, nampak 
satu sosok tubuh dengan mengenakan 
caping beranjak menuruni Gunung Kidul 
atau tepatnya, bagian Bukit Paringin 
yang ada di sana. Di punggungnya terdapat 
sebuah golok tipis yang indah dan 
panjang. Sarungnya kelihatan terbuat 
dari batang kayu namun kelihatan pula 
berlapis timah kuning. 
Golok itu bernama golok 
Cindarbuana. Sebuah golok yang teramat 
tajam dan ampuh, apalagi bila dimainkan 
oleh seseorang yang memiliki ilmu golok 
yang tangguh. 
Golok pemberian Eyang Ringkih Ireng 
sebelum Pandu meninggalkan atau menuruni 
Bukit Paringin adalah sebuah golok sakti 
yang hebat, dan memang pantas bagi Pandu 
untuk memilikinya. Dan karena golok itu 
nanti, Pandu akan berkali-kali 
mendapatkan kesulitan dari orang-orang 
yang hendak merebut goloknya. 
Sosok  bercaping dengan golok di 
punggung itu sejenak membalikkan tubuh 
ke atas. Meskipun tak ada bayangan Eyang 
Ringkih Ireng, namun pemuda itu seakan 
melihatnya dan yakin kalau Eyang Ringkih 
Ireng pun sedang melihatnya pula. 
Setelah itu, lalu Pandu pun mulai 
berlari dengan menggunakan ilmu larinya 
menuruni Bukit Paringin yang terjal dan 
di sana sini banyak terdapat lembah. 
Gerakan tubuhnya amat ringan sekali. Dan 
kala siang hari dia pun beristirahat. Dan 
terus dia melangkah memulai 
petualangannya. Memulai satu pengalaman 
yang selama ini tak pernah ditemuinya. 
Dia amat mengagumi segala ciptaan 
Yang Maha Kuasa. Sangat bangga dengan 
alamnya yang indah dan permai ini. Kadang 
Pandu menyesali pula mengapa eyangnya 
tidak saja pergi bersama-sama menikmati 
segala yang ada ini. 
Setelah itu dia pun melanjutkan 
perjalanannya lagi. Tak terasa sudah 
hampir sebulan dia melangkahkan kakinya 
meninggalkan Gunung Kidul. Dan dalam 
perjalanannya selama sebulan itu, banyak 
dijumpainya perampok dan pencoleng. 
Namun tak pernah Pandu menurunkan tangan 
telengas. Dia hanya sekedar memberi 
mereka pelajaran. 
"Janganlah kalian berbuat keji dan 
kotor seperti ini lagi!" pesannya lalu 
meninggalkan orang-orang yang menjadi 
kebingungan itu. 
Siapa pendekar bercaping dan 
bergolok di punggung itu? Siapa dia? 
Kelak rimba persilatan akan tahu, 
kalau sekarang telah muncul seorang 
pendekar yang maha sakti yang bergelar 
Gagak Rimang yang akan membuat geger 
rimba persilatan. Yang akan membuat 
orang-orang golongan hitam akan keder 
hatinya. 
Sungguh tak terasa, kalau kakinya 
kini telah menginjak perbatasan Tanah 
Keraton Utara. Pandu yang tidak 
mengetahui apa yang tengah terjadi di 
sana dengan senaknya meneruskan 
langkahnya. 
Dan dia sungguh terkejut ketika 
melihat betapa banyaknya prajurit yang 
nampak berada di depan Keraton Utara. 
Belum lagi dia mengerti apa yang 
terjadi, tiga orang tiba-tiba telah 
mengurungnya. 
"Siapa kau?!!" bentak salah 
seorang. 
 
 
Nah, bagaimana dengan Pandu? 
Bagaimana dengan Keraton Utara dan 
Keraton Selatan? Siapa sesungguhnya 
pencuri Pusaka Patung Pualam itu?  Apa 
tindakan Pandu? Temukan Jawabannya pada 
episode :  
 
“ Genta Perebut Kekuasaan” 
 
SEKIAN