Pendekar Perisai Naga 4 - Pusaka Bukit Cangkak

 
Desa Majamulya dalam beberapa hari ini nam-
pak sibuk berdandan. Di mulut desa itu didirikan ga-
pura yang terbuat dari bambu apus. Janur kuning ber-
juntaian menghiasi gapura itu. Gardu-gardu peronda 
pun nampak semarak sebab dikapur putih pada 
keempat dindingnya. Tak ketinggalan regol di kade-
mangan, pagar-pagar dari rumah ke rumah, pohon-
pohon besar yang berjajar di pinggiran jalan, tak luput 
dari jamahan tangan-tangan terampil yang ditugaskan 
menyemarakkan Desa Majamulya beserta isinya. 
Apabila nanti matahari terbenam di ufuk Barat 
maka obor-obor akan menerangi jalan besar yang 
membelah desa itu. Dan, di samping kiri maupun ka-
nan pintu rumah penduduk akan diterangi dengan 
lampu teplok. Tak seorang pun penduduk desa yang 
berani membangkang dalam menerima perintah dari Ki 
Langendriya, demang di desa itu. Mereka tahu siapa Ki 
Langendriya ini. 
Ki Langendriya, selain sebagai demang yang be-
rilmu silat tinggi, juga adik kandung Adipati So-
rengdriya, penguasa Kadipaten Banyuasin. Lelaki be-
rusia empat puluh tahun itu bertubuh gempal dengan 
otot menyembul di tangan maupun betisnya. Wajahnya 
di penuhi dengan rambut. Baik cambang, jenggot, ku-
mis, alis, bahkan rambut dalam lubang hidung tum-
buh subur dan tak pernah dipangkas. Sepasang ma-
tanya yang lebar mengesankan bahwa pemiliknya sela-
lu siap marah kapan saja. Hidungnya pesek, serasi 
dengan bibirnya yang tebal. Jika tertawa, akan nam-
pak giginya yang besar-besar mirip mata kampak. 

Jika wajah Ki Langendriya ini dibandingkan  
dengan wajah Adipati Sorengdriya, sungguh tidak pan-
tas jika mereka berdua disebut kakak-beradik. Ki Lan-
gendriya barangkali lebih pantas sebagai tukang jagal 
daripada sebagai adik kandung seorang priyayi dari 
Kadipaten Banyuasin. Betapa tidak! Perempuan mana 
yang tidak terpesona melihat ketampanan wajah Adi-
pati Sorengdriya? Wajah yang dihiasi dengan sepasang 
mata yang menyorotkan kewibawaan, hidung man-
cung, kumis terpelihara rapi, dan dagu mengkilat ber-
warna kebiru-biruan. Dan, wajah yang tampan itu ma-
sih didukung oleh pakaian yang mewah. Sebagai seo-
rang adipati, tentu saja ia mampu membeli pakaian-
pakaian yang tersulam benang emas Terlebih Kadipa-
ten Banyuasin terbilang makmur. 

Dan, kesibukan di Desa Majamulya ini berhu-
bungan dengan rencana kunjungan Adipati So-
rengdriya ke desa itu. Sebenarnya, kunjungan Adipati 
Sorengdriya kali ini bukan atas kehendak adipati itu 
sendiri, melainkan kehendak Ki Langendriya. Demang 
Desa Majamulya itu ingin memamerkan tingkatan ilmu 
silatnya kepada Adipati Sorengdriya. 
’’Kalau Kakang Adipati tahu bahwa ilmu silatku 
pilih tanding, sudah pasti akulah yang akan menggan-
tikan kedudukannya sebagai adipati. Maksudku, nanti 
jika Kakang Sorengdriya sudah tidak menjadi adipati, ” 
kata Ki Langendriya kepada Jata Gimbal orang keper-
cayaannya 
’’Lalu, siapa saja yang akan Ki Demang undang 
dalam adu kesaktian nanti?” tanya Jata Gimbal. 
’’Siapa saja boleh datang. Tetapi, kau tahu sia-
pa yang bakal bisa menandingi ilmu silatku?” kata Ki 
Langendriya seraya tertawa tergelak-gelak. 
Jata Gimbal manggut-manggut memaklumi, la 
tahu, ilmu silat Ki Langendriya memang pilih tanding. 
 
Tak percuma Ki Demang Majamulya ini berguru kepa-
da Eyang Kuranda Geni dari Bukit Cangak, ia lang-
sung mendapatkan kedudukan sebagai demang di De-
sa Majamulya. Beberapa orang penjahat berusaha me-
nyatroni Desa Majamulya, tetapi tak seorang pun dari 
mereka mampu menandingi ilmu silat Ki Langendriya. 
Namun begitu, Jata Gimbal juga sangsi, bisa-
kah Ki Demang Majamulya ini menandingi pendekar 
macam Pendekar Perisai Naga? Bagaimanapun juga 
harus diakui bahwa Pendekar Perisai Naga bukanlah 
lawan yang bisa diremehkan, la pernah membunuh 
Mahesa Lawung, orang kepercayaan Adipati So-
rengdriya. 
”Ki Demang,” kata Jata Gimbal tak bisa mena-
han kecemasan hatinya. 
”Ada apa? Kau bisa menemukan nama yang se-
kiranya bisa menggetarkan perasaanku?” sahut Ki 
Langendriya sambil menyibakkan kumis yang menu-
tupi bibirnya. 
’’Maafkan saya jika apa yang saya katakan ini 
tidak benar menurut Ki Demang ...” 
’’Katakanlah,” tukas Ki Langendriya. 
”Ki Demang barangkali pernah mendengar ceri-
ta tentang Pendekar Perisai Naga?” 
”Ya. Kenapa?” 
"Apakah sekiranya ia akan datang dalam adu 
kasekten nanti?” 
’’Kenapa kalau dia datang? Kau khawatir aku 
kalah menghadapinya?” 
’’Saya dengar dialah yang membunuh orang ke-
percayaan Kanjeng Adipati. ” 
’’Mahesa Lawung maksud mu?” 
’’Benar, Ki Demang.” 
”Ha ha ha! Tentu saja dia bisa merobohkan  
Mahesa Lawung! Kalaupun Mahesa Lawung masih hi-
dup, sepuluh Mahesa Lawung aku sanggup mengha-
dapi!” Jata Gimbal manggut-manggut sekalipun tidak 
dalam hati ia tidak bisa membenarkan ucapan Ki De-
mang Majamulya ini. Sepuluh Mahesa Lawung? 
”Hei, Gimbal!” 
"Ya, Ki?” 
’’Mahesa Lawung bisa menjadi orang keper-
cayaan Kakang Adipati bukan karena ilmu silatnya 
tinggi! Mengerti?” 
"Jadi, karena apa, Ki?” 
’’Karena Kakang Adipati kasihan melihatnya 
harus menghidupi sembilan orang anak! Kau tahu ti-
dak apa pekerjaan Mahesa Lawung sebelum bertemu 
dengan Kakang Adipati?” 
’Tidak, Ki.” 
’’Pendulang emas di kali-kali! Nah, hanya orang 
tolol yang menganggap Mahesa Lawung berilmu tinggi! 
Buktinya, waktu itu dia tidak mampu mengalahkan 
Kebo Dungkul. Padahal Kebo Dungkul akhirnya mati 
di ujung senjata seorang gadis dari Karang Bolong. 
Nah, bagaimana kau bisa menganggap Pendekar Peri-
sai Naga mampu mengalahkanku?” 
Sebenarnya Jata Gimbal masih ingin memban-
tah, tetapi ditahan-tahan. Ia tetap manggut-manggut 
meski dalam hati bertanya-tanya, ’’Kalau memang Ma-
hesa Lawung dulunya hanya seorang pendulang emas 
di kali, untuk apa ia memiliki ilmu silat? Lagi pula, 
bukankah Mahesa Lawung tidak pernah takut meng-
hadapi Kebo Dungkul? Bukankah ia hanya takut jika 
harus berhadapan dengan Hantu Lereng Lawu?”  
”Jata Gimbal!” sentak Ki Langendriya. 
"Ya, Ki Demang?” 
"Bagaimana persiapan kita untuk menyambut  
kedatangan Kakang Adipati?” 
"Saya rasa sudah tidak ada lagi kekurangan, 
Ki.”  
’’Bagus! Nanti aku mintakan untukmu hadiah 
dari Kakang Adipati!” 
’’Terima kasih, Ki. Tetapi, lebih baik Ki Demang 
periksa semuanya dulu. Saya khawatir ada yang masih 
kurang menurut Ki Demang.” 
”Aku percaya kau tahu bagaimana kehendak-
ku. Nah, tugasmu selanjutnya adalah mempersiapkan 
kebutuhanku. Carilah kembang tujuh rupa bakal me-
mandikan senjataku. Jangan lupa siapkan juga keme-
nyan yang paling baik. Setelah itu, pergilah ke Desa 
Kuwung, katakan kepada calon istriku agar siap aku 
jemput besok sore. Paham?” 
’’Paham, Ki. Kalau begitu, saya permisi menger-
jakan perintah Ki Demang sekarang juga.” 
"Pergilah. Ini, berikan kepada istrimu biar ia 
tahu bahwa kau bekerja padaku tidak sia-sia,” kata Ki 
Langendriya sambil mengangsurkan beberapa keping 
uang. 
Berseri-seri wajah Jata Gimbal ketika melang-
kah meninggalkan kademangan. Dan, Ki Langendriya 
tertawa terbahak-bahak memandangi langkah lelaki 
yang dipercayainya itu. Bukan langkah Jata Gimbal 
yang membuatnya gembira, melainkan karena ia mulai 
membayangkan pertemuannya besok sore dengan 
Sunti, gadis yang akan diperistrinya. Kembang Desa 
Kuwung ini sebenarnya lebih pantas menjadi anak Ki 
Demang Majamulya ketimbang menjadi istri. Usia ga-
dis itu belum lagi mencapai lima belas tahun sementa-
ra usia Ki Langendriya tak kurang dari empat puluh 
tahun. Belum lagi jika dilihat dari wajah mereka. Ba-
nyak penduduk desa yang diam-diam mengumpama- 
kan Ki Langendriya sebagai tapir, dan Sunti sebagai 
burung gelatik. Bagaimana mungkin seekor tapir hen-
dak mengawini seekor gelatik? 

Akan tetapi, di hadapan Ki Demang Majamulya 
ini, mereka tetap saja mengatakan bahwa Sunti me-
mang hanya pantas dipersunting demang kaya-raya 
macam Ki Langendriya ini. Tentu saja mereka takut 
untuk mengatakan hal yang sebenarnya sebab mereka 
masih ingin tinggal di Desa Majamulya. Pernah ada 
yang menertawakan keinginan Ki Langendriya menga-
wini Sunti, seketika itu juga lelaki itu diusir dari Desa 
Majamulya. 

Sunti Memang gadis desa yang lugu, yang tidak 
mengerti di mana letak indahnya sebuah perkawinan. 
Ia percaya saja sewaktu ayahnya mengatakan bahwa 
menjadi istri demang adalah karunia. Apalagi demang 
yang memiliki ilmu silat tinggi dan juga kaya-raya. Tak 
sekelumit pun terpikirkan oleh Sunti bahwa perangai 
Ki Langendriya sangatlah buruk sebagai suami. Tak 
pernah terpikirkan olehnya bahwa selayaknya ia men-
dapatkan jodoh pemuda yang berwajah tampan. Seka-
lipun ia merasa senang jika berdekatan dengan Perda-
pa, salah seorang pemuda di desanya, ia tak pernah 
berpikir bahwa sesungguhnya rasa senang berdekatan 
inilah bibit cinta. 
Akan tetapi, Perdapa bertekad bahwa ia harus 
bisa mengawini Sunti. Maka pemuda desa ini geram 
bukan kepalang sewaktu mendengar kabar bahwa ga-
dis yang dicintainya itu akan dipersunting Ki Demang 
Majamulya. la sudah mencoba membujuk Sunti agar 
menolak pinangan demang tua bangka itu, namun ga-
dis itu menggelengkan kepala. 
”Kau takut jika Ki Demang marah?” kata Per-
dapa.  
’’Bukan hanya Ki Demang yang marah. Orang 
tuaku juga akan mengusirku pergi dari rumah,” jawab 
Sunti. 
”Kau bisa pulang ke rumahku. Orang tuaku 
pasti mau menerimamu.” 
”Apa kata orang-orang di desa ini kalau aku 
tinggal di rumahmu?” 
’’Kalau begitu....” Perdapa tidak berani mene-
ruskan ucapannya. Selama ini ia belum pernah menge-
tahui perasaan Sunti terhadapnya. Mereka berdua 
memang bergaul akrab setiap hari, tetapi mereka be-
lum pernah membicarakan cinta. 
’’Kalau aku kawin dengan Ki Demang, aku tetap 
akan menjadi temanmu, Perdapa,” kata Sunti polos. 
’’Maksudku, aku... aku....” Lagi-lagi suara Per-
dapa terputus di kerongkongan. Hampir saja ia menga-
takan, ”Aku juga ingin mengawinimu. ” 
Pembicaraan mereka pada akhirnya tidak 
menghasilkan jalan keluar yang diharapkan Perdapa. 
Sunti, gadis desa itu, terlalu lugu untuk diajak ber-
tenggang rasa. Terlalu bodoh untuk menangkap isyarat 
cinta. Maka Perdapa memikirkan cara lain untuk 
menggagalkan perkawinan Sunti dengan Ki Langen-
driya la mulai berpikir untuk mengenyahkan demang 
Desa Majamulya itu. Untuk menjalankan rencana ini, 
ia merasa harus berguru kepada seorang yang memili-
ki ilmu silat tinggi. Tetapi, kepada siapa ia harus ber-
guru? Ia memang pernah mendengar cerita tentang 
Pendekar Perisai Naga, tetapi ia tidak tahu bagaimana 
caranya untuk bisa menemui pendekar yang suka ber-
kelana itu. Pernah ia bertanya kepada teman-teman 
seusia-nya, namun hanya cemooh dan ejekan yang di-
dapatkannya. 
Akhirnya Perdapa memutuskan untuk pergi da- 
ri desanya, dan tidak akan kembali sebelum memiliki 
ilmu silat yang bisa menandingi ilmu silat Ki Demang 
Majamulya yang lebih senang dipanggil Ki Langendriya 
itu. Tentu ia lebih senang dipanggil dengan nama as-
linya sebab ia ingin diingat sebagai adik kandung Adi-
pati Sorengdriya. 
 
*** 
 
Setelah mendapatkan kembang tujuh rupa 
yang terdiri atas kembang cempaka kuning, mawar 
merah, mawar putih, melati, kenanga, menur, dan ke-
nikir, Jata Gimbal merendam bunga-bunga itu ke da-
lam air yang diambilnya dari tujuh sumber air pula. Ini 
memang pesan wanti-wanti dari Ki Langendriya. Tak 
pernah ditanyakannya kepada Ki Langendriya kenapa 
air itu harus diambilnya dari tujuh sumber air. Ia me-
mang merasa tak perlu tahu. Dan, tanpa ditanyakan 
pun, kalau memang itu bukan rahasia, sudah pasti Ki 
Langendriya akan bercerita. Seperti halnya kenapa 
senjata yang berupa keris luk tujuh itu harus diman-
dikan air kembang, Ki Langendriya pernah bercerita 
kendatipun Jata Gimbal tidak pernah mengusut. 
’’Keris ini keris warisan tujuh turunan. Sejak 
zaman Kerajaan Majapahit, keris ini selalu dimandikan 
dengan air kembang tujuh rupa. Dengan memandikan 
keris ini berarti aku menghormati Ki Sumping Sedapur 
yang mendiami keris ini. Dari penghormatan tadi, aku 
akan mendapatkan imbalan dari Ki Sumping Sedapur. 
Ia akan membantuku jika aku menghendaki sesuatu,” 
tutur Ki Langendriya menjelaskan. 
Dan, Jata Gimbal pun tahu kenapa keris itu ti-
dak pernah dipakai untuk membunuh. Padahal Ki 
Langendriya menyebut keris itu sebagai senjata. Konon  
bau darah adalah pantangan Ki Sumping Sedapur. 
Alasannya, ia sudah terbiasa mencium bau harum 
bunga tujuh rupa maka ia tidak mau membaui amis 
darah. Terlebih darah manusia. 

Lagi pula, Jata Gimbal juga tahu bahwa Ki 
Langendriya memang tak membutuhkan senjata dalam 
menaklukkan lawan-lawannya. Ki Demang Majamulya 
ini telah memiliki senjata yang disebutnya Jurus Tan-
gan Dewa Menggenggam Buih. Apa pun yang teremas 
tangan Ki Langendriya yang telah dilambari dengan ju-
rus ini akan lumat ibarat buih dalam genggaman! 
Selesai menyiapkan air kembang, Jata Gimbal 
bergegas pergi ke Desa Kuwung untuk menemui Sunti, 
calon istri Ki Demang Majamulya. Menemui Kembang 
Desa  Kuwung ini adalah pekerjaan yang menyenang-
kan bagi Jata Gimbal. Betapa tidak! Kedatangan di 
rumah Sunti selalu disambut dengan hormat oleh 
orang tua Sunti. Tak beda dengan penghormatan yang 
diberikan kepada Ki Demang Majamula. Orang tua 
yang selalu hidup dalam kemelaratan itu memang sela-
lu berharap agar nantinya anak gadisnya mendapat jo-
doh orang kaya. Maka ia seperti mendapatkan durian 
runtuh sewaktu Ki Langendriya menyatakan hendak 
memperistri Sunti. 

’’Mudah-mudahan saja Ki Demang tidak kecewa 
menjadi menantu duda seperti saya,” kata lelaki beru-
sia tiga puluh lima tahun itu. 
Dan, ucapan ini sudah yang keempat kalinya 
didengar oleh Jata Gimbal. Duda beranak satu itu 
agaknya masih saja menyesali kepergian istrinya 
menghadap Gusti Kang Murbeng Dumadi. 
”Ki Demang tidak pernah mempersoalkan mer-
tuanya duda atau bukan, Kang. Yang penting Sunti ti-
dak menolak lamarannya,” kata Jata Gimbal seraya  
menyeruput kopi yang tersedia. 
’’Syukurlah kalau begitu. Sebab, saya pernah 
mendengar ada calon temanten yang....” 
’’Malahan kalau Kang Jiwo kepingin kawin lagi, 
Ki Demang pasti sanggup mengawinkan Kang Jiwo,” 
tukas Jata Gimbal seraya tertawa. 
’’Saya kawin lagi? Walah, walah! Hidup sendi-
rian saja kembang-kempis, malahan suruh menghidu-
pi istri!” 
”Lho, kalau Ki Demang sudah menjadi menantu 
Kang Jiwo, jangan khawatir lagi soal uang, Kang. Ke-
pingin apa saja tinggal pesan ke kademangan. Lha 
wong saya saja yang bukan apa-apanya selalu dicuku-
pi kebutuhan saya dan anak istri saya kok.” 
’’Saya percaya. Tetapi, sampai saat ini, saya be-
lum ada keinginan untuk kawin lagi. Rasanya saya be-
lum melupakan almarhumah istri saya. Dan, saya juga 
masih ingat pesan istri saya sebelum meninggal. Saya 
harus membesarkan Sunti dulu. Saya harus memba-
hagiakan anak gadis kami yang hanya semata wayang. 
Saya tidak boleh mementingkan kebutuhan pribadi 
saya sebelum saya bisa membahagiakan Sunti.” 
"Artinya, kalau Sunti sudah jadi istri Ki De-
mang, Kang Jiwo boleh kawin lagi, bukan?” sahut Jata 
Gimbal sambil tertawa. 
”Ya, tetapi saya masih takut. Saya masih sering 
bermimpi bertemu dengan istri saya.” 
Jata Gimbal tertawa. Akan tetapi, dalam hati ia 
memuji kesetiaan lelaki itu terhadap almarhumah is-
trinya. Lelaki langka, pikirnya. Kalau saja aku yang di-
tinggal mati istriku, tak perlu menunggu tahunan. 
Mungkin sebelum empat puluh hari menjadi duda, aku 
sudah kawin lagi! 
’’Semenjak Ki Demang melamar Sunti saja istri  
saya tidak lagi mengganggu tidur saya. Mungkin di sa-
na ia merasa bahagia,” lanjut ayah Sunti. 
”Oh, tentu. Tentu arwah istrimu ikut senang 
melihat Sunti bakal menjadi istri demang!” Jata Gim-
bal menimpali. 
 
*** 
 
Keluar dari rumah orang tua Sunti, Jata Gim-
bal melangkah ringan sambil tertawa-tawa dalam hati. 
la mulai membayangkan betapa girang hati Ki Langen-
driya mendengar berita yang dibawanya nanti. Dan, ji-
ka Ki Demang Majamulya itu tengah girang hati maka 
hadiah pun akan mengalir. Jata Gimbal tahu bahwa 
puncak kegembiraan Ki Langendriya adalah bila Sunti 
bersedia dibawa pergi Ke Desa Majamulya. Meski gadis 
itu menolak sewaktu dilamar, tidak berarti ia mudah 
diajak pergi keluar dari halaman rumahnya. Ada saja 
alasan gadis itu untuk menolak ajakan Ki Langendriya. 
Namun, alasan yang paling sering didengar Jata Gim-
bal adalah karena gadis itu belum sah menjadi istri Ki 
Demang Majamulya. 
”Nah, sekarang ia bersedia. Tentu saja ini se-
mua berkat bujukanku yang manjur! Entahlah, hadiah 
apa yang bakal aku terima dari Ki Demang,” kata hati 
Jata Gimbal sambil mencemplak kudanya. 
Seperti kesetanan Jata Gimbal memacu kuda 
yang ditungganginya. Namun, begitu keluar dari mulut 
Desa Kuwung, tiba-tiba ia dipaksa harus menarik tali 
kekang kuda dan kuda itu pun berhenti. Merah mata 
Jata Gimbal memandang anak muda yang mengha-
dang langkah kudanya. Berkali-kali ia berkunjung  ke 
Desa Kuwung, baru kali ini ada manusia yang berani 
menghadangnya dengan sikap menantang. 
 
’Turun dari kudamu kalau tidak ingin kupatah-
kan kaki kudamu!” hardik anak muda yang mengha-
dangnya. 
”Hei, kau pikir kau ini sedang menghadapi sia-
pa?” Jata Gimbal tak mau kalah gertak. 
’’Bukankah kau orang suruhan demang mata 
keranjang itu?” 
"Hati-hati kalau bicara, bangsat!” sergah Jata 
Gimbal seraya melompat turun dari punggung ku-
danya. 
’’Haruskah aku memanggil bandot tua itu ’Ki 
Lurah’?” 
”Kau memang sudah bosan hidup!” sahut Jata 
Gimbal sambil melolos pedang dari sarungnya. ’’Lang-
kahi dulu mayatku sebelum kau menghina Ki Demang 
Majamulya!” Jata Gimbal mengayunkan pedangnya ke 
arah leher anak muda yang menghadangnya. 
”Crang!” 
Begitu cepat anak muda itu menghunus golok 
yang terselip di pinggang dan membenturkannya pada 
mata pedang  yang mengancam lehernya. Bunga api 
berpijaran. Jata Gimbal mengayunkan pedangnya lagi. 
Kini pedang itu terarah ke betis lawan. Namun, kemba-
li golok di tangan anak muda itu membenturnya. 
’’Katakan siapa namamu sebelum aku benar-
benar memenggal lehermu, jahanam keparat!” bentak 
Jata Gimbal seraya mengurai rantai yang semula me-
lingkari pinggangnya. Kini pedang itu berpindah ke 
tangan kiri sedangkan rantai yang salah satu ujungnya 
dilengkapi sebuah jangkar itu berputar-putar di tangan 
kanan. 
”Kau kira dengan rantaimu itu kau bisa mere-
but golokku? Kita lihat saja siapa yang lebih dulu bak-
al kehilangan senjata!” 
 
”Aku tanya siapa namamu! Katakan jika kau 
memang tidak takut menghadapi Ki Demang nan-
tinya!” 
’’Semua orang di desa ini tahu siapa aku. Aku-
lah yang seharusnya melamar Sunti! Hanya karena 
aku tidak bisa memeras penduduk desa seperti maji-
kanmu maka aku terpaksa menangguhkan lamaranku. 
Nama-ku Perdapa! Nah, pergilah dan sampaikan kepa-
da Ki bandot tua bahwa aku....” 
’’Wuuut! Wuuut!” 
Rantai berujung jangkar itu tak memberikan 
kesempatan bagi Perdapa untuk meneruskan ucapan-
nya. Terpaksa ia melompat ke samping kanan sambil 
merunduk. Ia tahu, jangkar itu tak mungkin disambut 
dengan goloknya. Jata Gimbal memang berharap golok 
di tangan lawan menyongsong serangannya sehingga 
dengan mudah dikaitnya dengan jangkar di ujung ran-
tainya. 
”Crang!” 
Pedang yang menyusul ayunan rantai berjang-
kar itu kembali bertemu dengan golok di tangan Per-
dapa. Tak ada jalan lain bagi Perdapa kecuali harus 
menangkis sabetan pedang yang hampir saja merobek 
pinggangnya. 

Namun, Jata Gimbal agaknya tak mau lagi 
memberikan kesempatan kepada lawannya. Hampir ge-
lap. Ia harus secepatnya mengakhiri pertarungan itu. 
la yakin, sudah sejak tadi Ki Langendriya menung-
gunya di kademangan. Kalau sampai ia pulang terlam-
bat, tak akan ada lagi hadiah-hadiah yang sudah ada 
dalam benaknya. Maka ia mempergencar serangan-
serangannya. Kombinasi jurus pedang dan ayunan 
rantai berjangkar mengurung tubuh Perdapa. Anak 
muda itu merasa kewalahan menghadapi serangan  
ganda yang tak diduga-duga ini. Sekalipun ia bisa 
mengandalkan kelincahan untuk menghindar, ia tahu 
tak mungkin terus-menerus menghindari serangan la-
wan. Untuk mengurangi serangan-serangan itu, sese-
kali ia menusukkan goloknya. Namun, ini pun tidak 
menolongnya. Golok yang terjulur itu hampir-hampir 
terkait jangkar di ujung rantai yang selalu siap me-
nangkis. 

Perdapa semakin terdesak mundur. Jangan lagi 
berharap bisa merobohkan lawan, sedangkan untuk 
maju selangkah pun ia tak menemukan peluang. Kini 
ia menyadari bahwa orang suruhan demang Desa Ma-
jamulya ini ternyata punya ilmu silat yang lumayan. 
Kombinasi pedang dan rantai berjangkar itu menun-
jukkan bahwa pemiliknya sudah berpengalaman me-
mainkannya. Gerak pedang dan rantai berjangkar itu 
bisa saling mengisi kekosongan  sehingga Perdapa be-
nar-benar tak menemukan peluang untuk masuk me-
nyerang. 

”Aku ingin melihat apa yang bisa kau lakukan 
jika napasmu terkuras, bocah dungu!” ejek Jata Gim-
bal sambil terus mendesak. 
Perdapa tak sempat lagi menanggapi ucapan 
lawan. Baru saja ia hendak membuka mulut, tiba-tiba 
pedang lawan menyambar lengan bajunya. Kalau saja 
ia terlambat mengegoskan bahu, sudah barang pasti 
kulit lengannya akan tersayat mata pedang itu. Maka 
Perdapa mulai menyesali kegegabahannya mencari 
perkara. Seharusnyalah  ia menunda untuk beberapa 
hari lagi niatnya menantang Ki Langendriya. Seharus-
nya ia mendengarkan pesan-pesan gurunya agar ia le-
bih rajin berlatih. Seharusnyalah ia percaya bahwa di 
muka bumi ini begitu banyak orang yang berilmu silat 
mumpuni. Padahal yang  dihadapinya sekarang baru  
orang suruhan Ki Langendriya. Bagaimana mungkin ia 
mampu menghadapi Ki Langendriya jika menghadapi 
orang suruhannya saja tak bisa berbuat banyak? 
’’Brettt! Crasss!” 
Perdapa bergulingan di tanah untuk menghin-
dari sambaran jangkar yang hampir saja mengait le-
hernya. Pedang di tangan kiri lawan baru saja merobek 
celana dan melukai pahanya ketika mata jangkar itu 
dengan cepat mengarah ke lehernya. Ia merasakan ra-
sa pedih pada paha kanannya. Darah bepercikan ke 
sana-sini menandakan bahwa luka itu cukup dalam 
dan panjang. 
Perdapa terus bergulingan sambil memutar go-
lok-nya. Kini ia tinggal bisa mengandalkan kecepatan 
berguling agar pedang maupun jangkar di ujung rantai 
itu tidak meranjam tubuhnya. 
”Ha ha ha! Baru berapa jurus kau belajar silat, 
bocah dungu? Kenapa dari tadi hanya berguling-
gulingan saja? Tidakkah kepalamu puyeng?” ejek Jata 
Gimbal kegirangan. Sengaja ia mengendorkan seran-
gan. 
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Perdapa. 
Begitu dirasakannya serangan lawan mengendor, ce-
pat-cepat ia bergulingan masuk ke celah-celah  kaki 
lawan. 
Dan, secepat kilat goloknya membabat dua be-
tis yang berada di kanan-kiri telinganya. 
’’Srettt!” 
Rantai di tangan kanan Jata Gimbal ternyata 
lebih cepat membelit pergelangan tangan Perdapa. La-
lu, dengan sekali hentak, lepaslah golok di tangan ka-
nan Perdapa. Dan, sebelum golok itu jatuh ke tanah', 
jangkar di ujung rantai itu mengait mata kaki Perdapa. 
Satu dari tiga buah mata jangkar itu terasa menghun- 
jam di tumit. 
”Nah, kalau nanti kuhentakkan tangan kanan-
ku, tumitmu akan terbelah menjadi dua, bocah ne-
kad!” kata Jata Gimbal sambil memandangi Perdapa 
yang meringis-ringis menahan rasa sakit yang me-
nyengat-nyengat tumit kanannya. 
’’Bunuhlah aku kalau kau memang bisa mela-
kukannya!” kata Perdapa putus asa. Memang, tidak 
mungkin baginya membebaskan tumitnya secara pak-
sa. Terlebih pedang lawan pun kini telah menempel di 
lehernya. 
’’Membunuhmu berarti menghilangkan rezeki 
yang telah nampak di depan mataku, tolol! Kau tahu 
maksudku? Kalau aku bisa bawa kau ke hadapan Ki 
Demang, dan kukatakan bahwa kau berusaha merebut 
Sunti dari sisi Ki Demang, maka aku akan menikmati 
hadiah yang tentu banyak sekali. Menikmati hadiah 
sambil melihat tubuhmu hancur-luluh oleh Jurus 
Tangan Dewa Menggenggam Buih! Paham, bocah gob-
lok?” 
’’Binatang laknat! Katakan saja bahwa kau ti-
dak akan berani membunuhku!’’.sengaja Perdapa me-
mancing kemarahan Jata Gimbal agar penyiksaan itu 
tak akan pernah dialaminya. 
’’Dukkk!” 
Satu tendangan kaki Jata Gimbal bersarang di 
rahang kiri Perdapa. Seketika itu juga Perdapa merasa 
seolah bumi berputar, bintang-bintang berhamburan 
di sekeliling kepalanya, dan kemudian gelap! 
”Baru sehari belajar silat sudah berani menan-
tang Jata Gimbal!” ujar Jata Gimbal sebelum kemu-
dian mengikat tangan Perdapa dan menaikkan tubuh 
lunglai itu ke punggung kuda. Sebelum pemuda desa 
itu sadarkan diri, Jata Gimbal sudah harus tiba di ha- 
dapan Ki Langendriya. 

Baru saja Jata Gimbal hendak melompat ke 
punggung kuda ketika tiba-tiba ada bayangan berkele-
bat dan kemudian nampak seorang gadis berpakaian 
serba putih berdiri menghadang. Jata Gimbal mene-
puk-nepuk leher kudanya sambil berkata,” Tunggu se-
bentar. Ada gadis cantik yang rupanya tertarik dengan 
hadiah yang bakal kudapatkan dari Ki Demang.”  
”Tak akan kau terima hadiah-hadiah itu, Jata 
Gimbal,” sergah gadis itu seraya tertawa mengejek. 
’’Maksudmu, karena kau yang akan mengan-
tarkan bocah dungu itu ke kademangan?” 
’’Karena kau tak mungkin pergi dari desa ini 
tanpa membawa serta nyawamu!” 
”Ha ha ha! Rasanya semakin hari semakin ba-
nyak Anak Muda yang terburu-buru ingin memamer-
kan ilmu silatnya! Bukankah kau juga ingin mema-
merkan ilmu silatmu! Sebab, aku yakin kau tidak 
punya urusan denganku!” 
’’Kalau nyalanya aku tahu namamu yang jelek 
itu, artinya aku tahu siapa kau dan untuk apa kau 
berkunjung ke desa itu! Dan, aku tidak rela jika gadis-
gadis di desa ini menjadi korban nafsu binatang ma-
nusia untuk macam demangmu itu!” 
”Ho ho ho! Rupanya kau iri hati sebab Ki De-
mang memilih Sunti ketimbang kau, bukan? Jangan 
khawatir! Mataku masih bisa melihat mana yang lebih 
cantik antara kau dengan Sunti. Aku tetap memilihmu, 
Bocah Ayu. Eh, siapa namamu?” 
’’Karena kau sebentar lagi masuk kubur, biar-
lah aku menyebutkan namaku. Namaku memang tak 
seburuk namamu, Jata Gimbal! Sekar Arum, itulah 
namaku!” 
’’Biyuh,  biyuh! Namamu enak sekali didengar,  
Cah Denok. Pantas jika kau dipanggil ’Sekar’ atau 
’Arum’. Kau memang cantik seperti kembang. Dan, 
baumu tentu saja harum. He he he!” 
Sekar Arum melesat sambil mengirimkan tam-
paran ke mulut Jata Gimbal. 
’’Haiyaaa!” seru Jata Gimbal sambil mencoba 
menangkap tangan mungil yang menjulur di samping 
telinganya. Namun, dengan cepat Sekar Arum menarik 
tangannya dan menyodokkan sikutnya ke pelipis la-
wan. 
’’Plakkk!” 
Sikut gadis itu bertemu dengan punggung tan-
gan Jata Gimbal. Kaget bukan kepalang Jata Gimbal 
merasakan hunjaman sikut Sekar Arum. Tak disang-
kanya jika sikut yang mungil itu seolah berubah men-
jadi besi tumpul. Ia merasakan punggung tangannya 
ngilu bukan main. 
”Hm, rupanya aku sedang berhadapan dengan 
anak buah Nyai Blorong!” ujar Jata Gimbal seraya 
kembali mempersiapkan diri. 
Namun, sebelum tangan Jata Gimbal berhasil 
menarik pedang dari sarungnya, kembali serangan Se-
kar Arum memaksanya harus melompat ke samping. la 
bahkan harus menjatuhkan tubuhnya ke atas tanah 
sebab tiba-tiba saja sebuah tombak pendek bermata 
dua berputar menerjang dada dan pinggangnya. 
’’Benar-benar berbahaya!” kata hati Jata Gim-
bal setelah kembali berdiri di atas kuda-kudanya. Kini 
kedua tangan orang suruhan Ki Langendriya ini pun 
telah menggenggam senjata. Pedang di tangan kiri dan 
jangkar berantai di tangan kanan. 

Dalam pada itu, Perdapa yang telah siuman 
memandang heran ke arah gadis bertombak pendek 
yang tengah berhadapan dengan Jata Gimbal. Menya- 
dari dirinya tersampir di punggung kuda dengan tan-
gan  terikat, ia pun teringat kejadian yang baru saja 
berlalu. 
”Dan, tentunya gadis itulah yang telah meno-
longku,” kata hati Perdapa. la mencoba melepaskan ta-
li yang mengikat kedua pergelangan tangannya, tetapi 
ikatan itu begitu kuat. Maka dengan hati-hati ia meng-
geser tubuhnya sedikit demi sedikit agar melorot dari 
punggung kuda 
Masih dengan tangan terikat, Perdapa menyak-
sikan pertarungan antara Jata Gimbal melawan Sekar 
Arum. Dengan pedang dan jangkar berantainya, Jata 
Gimbal berusaha mengurung tubuh mungil yang ter-
balut pakaian serba putih itu. Akan tetapi, gadis ber-
tombak pendek itu agaknya bukan lawan enteng bagi 
orang suruhan Ki Demang Majamulya itu. Bak burung 
srikatan, gadis itu menyambar-nyambar. Tombak pen-
dek bermata dua itu mematuk-matuk ganas membuat 
Jata Gimbal sering harus mengurungkan serangannya. 
Dalam beberapa jurus, gadis itu telah berhasil mem-
buat lawannya berkali-kali melompat ke belakang. 
Jangkar yang diandalkan bisa mengait senjata lawan 
itu, kini tak berdaya menghadapi tombak pendek yang 
berputar mirip baling-baling itu. Sementara itu, pe-
dang di tangan kiri Jata Gimbal pun tak menemukan 
peluang untuk menyerang. Pedang itu seutuhnya ha-
rus dijadikan perisai selama Jata Gimbal tak ingin tu-
buhnya terpatuk mata kembar tombak di tangan gadis 
itu. 
’’Tidakkah kau mau mengaku bahwa kedua 
senjatamu tak ada artinya bagiku, Jata Gimbal?” kata 
Sekar Arum sambil mengendorkan serangan. 
’’Betina keparat! Jangan panggil aku Jata Gim-
bal kalau aku tak bisa meringkusmu!” teriak Jata  
Gimbal berang. 
’’Kalau memang kau bisa meringkusku, kenapa 
kau  buang-buang napasmu?” Sekar Arum tersenyum 
mengejek. 
’’Bersiaplah, betina liar!” berkata begitu, Jata 
Gimbal mengayunkan jangkar berantainya sekaligus 
menusukkan pedang di tangan kirinya ke lambung la-
wan. 
Serangan ganda ini memaksa Sekar Ayu harus 
melenting ke udara sambil memutar tombak pendek-
nya. Begitu ia menjejakkan kakinya di tanah, ia lang-
sung melancarkan jurus andalan tombak pendeknya. 
Maka begitu serangan lawan kembali meluruknya, Se-
kar Arum berjumpalitan di udara dan menukik deras 
sambil menghunjamkan tombaknya ke punggung la-
wan. 
’’Crottt!” 
Darah menyembur dari punggung Jata Gimbal. 
Orang suruhan Ki Langendriya ini melengkuh pendek, 
melangkah tertatih-tatih ke belakang, dan kemudian 
roboh dengan mata membeliak. 
Mata Perdapa terbeliak pula memandangi tom-
bak pendek yang terbenam di punggung Jata Gimbal 
dan tembus persis di tengah-tengah dada. Tombak 
yang panjangnya tak lebih tiga jengkal itu seolah-olah 
hilang tertelan ketebalan dada Jata Gimbal. Bagaima-
na mungkin tangan mungil gadis itu mampu membe-
namkan tombak itu? 
Sudah barang pasti Perdapa heran melihat pe-
mandangan yang ada di depan matanya. Seumur hi-
dup, belum pernah ia menyaksikan pertarungan hidup 
dan mati antara dua tokoh rimba persilatan. Selama 
ini ia hanya pernah melihat perkelahian antara dua pe-
tani yang berebut air. Belum pernah juga ia mendengar  
cerita tentang aji pamungkas macam Jurus Memanc-
ing Mangsa Keluar Sarang ini. 
”Kau bisa menolongku membersihkan tombak 
itu?” kata Sekar Arum membuat Perdapa tersadar dari 
keterpakuannya. Dengan sekali hentak, telunjuk gadis 
itu berhasil memutuskan tali yang mengikat tangan 
pemuda desa itu. 
"Saya?” Perdapa menunjuk dadanya sendiri se-
raya memandangi ujung tombak pendek yang mencuat 
di dada Jata Gimbal. Tak ada lagi ujud tombak Yang 
tampak hanyalah benda runcing yang dilumuri warna 
merah tua. 
’’Siapa lagi kalau bukan kau? Atau aku harus 
menyuruh kuda itu?” Sekar Arum menahan senyum 
memandang wajah pemuda desa yang pucat pasi itu. 
”Ya ya ya....” Perdapa melangkah hati-hati 
mendekati mayat Jata Gimbal. 
”Kau belajar ilmu silat, tetapi sepertinya kau 
takut melihat darah. Aneh!” kata Sekar Arum, Lalu, 
dengan sekali lompat, ia telah mendahului langkah 
Perdapa. Tetapi, ketika hendak meraba ujung tombak-
nya yang berlumuran darah itu, ia menjadi ragu. Se-
lama ini berkelana di rimba persilatan, baru kali ini ia 
merasa kebingungan memikirkan cara bagaimana 
mencabut tombak itu tanpa harus terkena darah la-
wan. Tadi ia terpaksa melepaskan tombak itu sebab 
pedang Jata Gimbal hampir saja memenggal pergelan-
gan tangan-nya. Dan, kalau saja Jata Gimbal tidak ja-
tuh telentang, tentulah tombak itu tidak akan terbe-
nam dan tembus dada. 
”Biar saya bersihkan dulu,” kata Perdapa meli-
hat gadis itu memandang ragu. Dengan gesit Perdapa 
merobek baju Jata Gimbal dan membersihkan ujung 
tombak yang mencuat kurang dari sejengkal. Namun,  
ketika ia mencoba mencabut tombak Itu, Sekar Arum 
mencegahnya. 
”Aku bukannya takut melihat darah. Hanya sa-
ja aku tak mau terlumuri darah lawanku,” kata gadis 
itu seraya mencabut tombaknya. Begitu mudahnya 
tombak itu tercabut, seolah hanya melolos sebilah pe-
dang dari sarungnya. 
’’Kalau boleh, biar saya yang membersihkan-
nya,” kata Perdapa. 
Sekar Arum menggeleng. Kemudian dengan se-
kali sentak ia berhasil melucuti baju Jata Gimbal. La-
gi-lagi Perdapa terkagum-kagum melihat ulah gadis 
yang baru saja dikenalnya ini. Betapa besar tenaga 
yang tersimpan dalam tubuh mungil dan mulus itu, 
pikir pemuda desa itu. 
’’Saya akan bangga sekali jika saya boleh tahu 
dari perguruan mana...?” 
”Aku merasa belum pantas menyebutkan nama 
perguruanku,” tukas Sekar Arum. 
’’Selama ini saya sering mendengar nama besar 
Pendekar Perisai Naga. Adakah hubungan Kisanak 
dengan Pendekar Perisai Naga?” tanya Perdapa dengan 
keberanian dilipatgandakan. 
’’Kenapa kau mengira aku ada hubungan den-
gan Pendekar Perisai Naga?” Sekar Arum bertanya 
sambil mengulum senyum. 
"Biasanya, dalam satu perguruan akan menge-
nakan pakaian yang sama. Dan, saya dengar bahwa 
Pendekar Perisai Naga selalu mengenakan pakaian 
serba putih. Hanya saja, ia mengenakan ikat kepala 
yang terbuat dari kulit ular.” 
”Dan, senjatanya pun bukan tombak seperti 
senjata ku, bukan?” 
”Ya. Senjatanya juga terbuat dari kulit ular. Te-
 
tapi, kenapa dia tidak dijuluki Pendekar Perisai Cam-
buk Ular, ya?” 
”Tak ada lagi waktu buat kita bicara panjang-
lebar! Tak lama lagi kabar tewasnya Jata Gimbal akan 
terdengar oleh Ki Demang Majamulya. Dan, kau tahu 
bagaimana akibatnya? Desa Kuwung bisa-bisa dibakar 
habis,” sahut Sekar Arum diiring dengan kecemasan 
hatinya. 
’’Tidak mungkin demang mata keranjang itu 
membakar desa ini. Ia tahu bahwa tidak mungkin 
penduduk desa ini berani membunuh Jata Gimbal. 
Mungkin saja berani, tetapi tidak akan bisa! Kambing 
Bandot itu....” 
 ’’Naikkan mayat Jata Gimbal ke punggung ku-
danya! Biarlah kuda itu membawanya pulang ke Ma-
jamulya,” kata Sekar Arum seolah tidak mempedulikan 
ucapan Perdapa. 
’’Lalu, bagaimana jika demang keparat itu da-
tang ke sini?” tanya Perdapa cemas. 
"Bukankah kau yang punya urusan? Kalaupun 
aku tadi membunuh Jata Gimbal, karena aku ingin 
menolongmu. Untuk apa kau berguru kalau mengha-
dapi Demang Majamulya saja ketakutan?” 
”Ah, kalau saja aku bisa bertemu dengan Pen-
dekar Perisai Naga,” gumam Perdapa dengan rasa pe-
nuh pengharapan. 
”Nah, apa lagi kau sudah punya angan-angan 
menantang Pendekar Perisai Naga!” 
’’Bukan begitu maksud saya. Maksud saya, ka-
lau diizinkan, saya ingin berguru dengannya. Saya 
memang baru saja berguru kepada seseorang. Tapi, 
rupa-rupanya yang saya dapatkan hanyalah ilmu silat 
tingkat dasar. Karena kebodohan saya saja makanya 
saya sudah berani menantang Jata Gimbal. Tapi, ru-
 
panya saya masih bernasib baik. Saya tidak terbunuh 
oleh Jata Gimbal sebab...” Perdapa tidak meneruskan 
ucapannya. Ia menoleh ke sana-sini, tetapi gadis itu 
tak nampak lagi. Jangan-jangan dia itu dedemit, pikir-
nya dengan kuduk merinding. 
 
*** 
 
 
Tidak berarti Sekar Arum tega terhadap pemu-
da desa yang baru saja dikenalnya itu. Ia bergegas me-
ninggalkan Desa Kuwung justru karena ia tidak ingin 
Ki Langendriya menuntut balas dengan penduduk desa 
itu. Ia merasa  harus bertanggung jawab sebab Jata 
Gimbal tewas olehnya. 
Maka Sekar Arum berusaha bisa tiba di Desa 
Majamulya sebelum kuda yang membawa mayat Jata 
Gimbal terlihat oleh Ki Langendriya. Matahari sudah 
jauh terbenam di ufuk Barat ketika gadis itu memasu-
ki mulut Desa Majamulya. Meski langit di ufuk Barat 
masih menyisakan warna jingga, obor obor yang berde-
ret di kanan-kiri jalan utama desa itu telah dinyalakan. 
Sekar Arum menyelinap ke balik pohon mahoni 
ketika dilihatnya dari jauh dua orang lelaki melangkah 
memapasinya. Mereka nampak melangkah tergesa-
gesa. Dan, Sekar Arum pun tahu kenapa dua orang le-
laki ini melangkah tergesa-gesa meninggalkan Desa 
Majamulya. Dari pembicaraan mereka berdua yang 
sempat didengarnya, Sekar Arum tahu bahwa orang-
orang inilah yang ditugaskan menyusul Jata Gimbal ke 
Desa Kuwung. 
’’Seharusnya sebelum sore tadi dia sudah kem-
 
bali,” kata salah seorang dari mereka. 
”Ya. Selamanya belum pernah Ki Demang sam-
pai menunggu-nunggu seperti sekarang,” sahut yang 
lain-nya. 
Sekar Arum menarik napas  lega begitu kedua 
lelaki itu hilang ditelan kelokan jalan. Kembali ia me-
langkah mendekati kademangan. Namun, secepatnya 
Sekar Arum harus menyelinap ke halaman salah satu 
rumah penduduk sebab ia melihat bayangan seseorang 
berkelebat mencurigakan. Ketika ia berhasil mendekati 
sosok yang mencurigakan ini, nampaklah di depan ma-
tanya sosok seorang gadis berpakaian serba jingga. 
Serta-merta rasa benci menggeremeti lekuk hati Sekar 
Arum. Gadis yang berpakaian serba jingga itulah yang 
membuat hubungannya dengan Joko Sungsang me-
renggang. Joko Sungsang akhir-akhir ini lebih mem-
perhatikan gadis murid orang sesat itu ketimbang 
memperhatikan adik seperguruannya! 
Lalu, Sekar Arum ingat ketika Joko Sungsang 
gagal memaksakan diri hendak mengantarnya pulang 
ke desa. Toh akhirnya Joko Sungsang malah memilih 
menguntit Endang Cantikawerdi ketimbang menguntit 
kepergian adik seperguruannya! 
Kalau dia memang mencintaiku, pikir Sekar 
Arum, sudah seharusnya dia diam-diam mengikutiku 
sekali pun aku mengatakan tidak ingin ditemani! Buk-
tinya? Dia malah menyelamatkan perempuan sesat itu 
dari ancaman Klabang Seketi! Padahal, di depanku ia 
mengatakan bahwa ia terlanjur menantang Klabang 
Seketi pada malam purnama di Lereng Gunung Sumb-
ing. Tapi, kenapa ia membunuh Klabang Seketi sebe-
lum malam purnama tiba? Kenapa mereka bukannya 
bertarung di Lereng Gunung Sumbing? Ya, karena dia 
memang lebih mencintai gadis keparat itu ketimbang 
 
aku! (Baca juga Pendekar Perisai Naga dalam episode 
’Penguasa Gua Barong’). 
Akan tetapi, seketika itu juga Sekar Arum ragu. 
Meski ia belum melihat wajah gadis berpakaian serba 
jingga itu, ia toh melihat senjata yang terselip di ping-
gang gadis yang dikuntitnya itu. Gadis itu bukannya 
bersenjata toya berwarna merah kecoklat-coklatan, 
melainkan bersenjata seruling berwarna hitam berga-
dis kuning. Seruling bambu wulung! 
Mungkin gadis sesat itu berganti senjata? Lalu, 
dikemanakan toya yang konon menjadi senjata anda-
lan Perguruan Gunung Sumbing itu? Barangkali toya 
itu patah dan diganti dengan seruling bambu wulung 
itu? Tetapi, mana bisa jurus-jurus toya itu disamakan 
dengan jurus-jurus senjata pendek? 
Sambil bertanya-tanya dalam hati, Sekar Arum 
terus menguntit langkah gadis yang mencurigakan itu. 
Ia sudah bertekad harus mengetahui apa yang akan 
diperbuat gadis berpakaian serba jingga itu di Desa 
Majamulya! 
Oleh Sebab itu, kendatipun gadis yang diiku-
tinya melesat ke arah luar desa, tetap saja Sekar Arum 
menguntitnya. Dan, tekad untuk mengetahui siapa ga-
dis itu semakin membara setelah ia yakin bahwa yang 
sedang diawasinya ini bukanlah Endang Cantikawerdi. 
Baru saja gadis itu melintas di dekat salah sebuah ob-
or, dan Sekar Arum sempat melihat wajahnya. Tak ka-
lah cantik jika dibandingkan dengan Endang Cantika-
werdi. Hanya bedanya, gadis ini berwajah penyabar se-
dang-kan Endang Cantikawerdi berwajah bengis! 
Sekar Arum cepat-cepat menyelinap di balik 
semak-semak begitu dilihatnya gadis berseruling itu 
menghentikan langkah dan langsung membalik badan. 
Rupanya ia tahu apa yang mengikuti langkahnya. Bisa 
 
dipastikan bahwa gadis berpakaian serba jingga itu 
memiliki ilmu silat yang lumayan. Kalau tidak, tak 
akan telinganya bisa menangkap langkah Sekar Arum 
yang telah menerapkan ilmu meringankan tubuh. 
Belum juga Sekar Arum bisa memastikan apa 
yang ada dalam pikiran gadis yang diikutinya ini, tiba-
tiba terdengar suara, 
’’Kisanak yang ada di balik semak-semak, to-
long tunjukkan dirimu sebelum aku terpaksa memak-
samu keluar dari persembunyianmu!” 
Sekar Arum mendengus kesal. Lalu ia melom-
pat keluar dari tempat persembunyiannya. Kini ia bah-
kan yakin bahwa gadis yang tak dikenalnya ini berilmu 
lebih tinggi daripada yang dibayangkannya. 
’’Jangan kau  pikir karena aku takut mengha-
dapi seranganmu kalau toh aku keluar dari persembu-
nyianku!” kata Sekar Arum begitu mendengar suara 
tawa gadis berpakaian serba jingga itu. 
”Maaf, aku sama sekali tak menganggapmu re-
meh. Aku tahu tingkatan ilmu silatmu. Kalau kau ti-
dak berilmu tinggi, tidak akan kau bisa mengikuti 
langkah-ku sampai di sini,” kata gadis itu. 
’’Katakan siapa dirimu dan ada keperluan apa 
mengendap-endap di Desa Majamulya sini!” hardik Se-
kar Arum untuk menutupi rasa malunya. Tentu saja ia 
merasa malu tertangkap basah. 
’’Bukannya kita punya keperluan yang sama? 
Kita sama-sama hadir secara sembunyi-sembunyi, bu-
kan? Dan, aku pun berhak mencurigaimu! Aku juga 
berhak menanyakan keperluanmu di Desa Majamulya 
sini. Aku tahu, kau juga bukan penduduk desa ini,” 
sahut gadis berpakaian serba jingga itu. 
’’Sekali pun aku bukan penduduk desa ini, aku 
berhak menangkapmu dan menuduhmu berniat jahat!” 
 
sergah Sekar Arum. 
’’Kisanak, aku percaya kau bukan orang jahat 
Karena itu pula maka aku memancingmu menjauhi 
desa agar pembicaraan kita tidak diketahui penduduk 
desa ” kala gadis berpakaian serba jingga itu. 
Sekar Arum mengernyitkan dahi. Sama sekali 
tak disangkanya bahwa gadis itu akan bersikap bersa-
habat. Atau mungkin persahabatan itu hanya suatu 
tipu muslihat? 
’’Dari ciri-ciri pakaian maupun senjata yang 
terselip di pinggangmu, aku berani memastikan bahwa 
kau dari Padepokan Karang Bolong!” lanjut gadis itu 
sambil tersenyum. 
Kerutan di dahi Sekar Arum bertambah dalam. 
Siapakah gadis ini sebenarnya? Sudahkah gadis ini 
mengenal Ki Sempani? Tetapi, kenapa Guru tidak per-
nah bercerita? 
”Kau tetap mencurigaiku hendak berbuat jahat 
di Desa Majamulya?” lagi-lagi gadis itu yang membuka 
suara. 
”Orang baik-baik tidak akan menutup-nutupi 
siapa dirinya!” sahut Sekar Arum masih tetap dengan 
sikap memusuhi 
’’Baiklah kalau itu yang kau inginkan! Namaku 
Gagar Mayang. Aku datang dari Bukit Cangak. Kalau 
kau kenal Demang Desa Majamulya, aku seperguruan 
dengannya....” 
"Kalau begitu, kau sama jahatnya dengan de-
mang keparat itu!” tukas Sekar Arum seraya mener-
jang gadis itu. 
"Tahan! Tunggu dulu penjelasanku!” seru Gagar 
Mayang setelah berjumpalitan di udara untuk meng-
hindari tendangan serta tusukan tombak pendek yang 
mengancamnya. 
 
"Sudah jelas bagiku manusia macam apa kau! 
Tak ada orang baik-baik seperguruan dengan orang 
sesat!” sergah Sekar Arum sambil kembali melancar-
kan serangan. 
Akan tetapi, kembali Gagar Mayang dengan 
mudah menghindari serangan tombak yang mengarah 
ke dadanya. Gadis itu melipat kaki kanannya dan me-
narik kaki kirinya ke belakang. Begitu tombak pendek 
itu lewat di atas kepalanya, ia menyambar kaki Sekar 
Arum dengan sapuan kakinya. 
Sekar Arum melenting sambil menghunjamkan 
tombak pendeknya ke leher Gagar Mayang. Untuk 
menghemat tenaga, Gagar Mayang terpaksa menangkis 
tombak pendek itu dengan seruling bambu wulung-
nya. 
’’Trakkk!” 
Kaget bukan kepalang Sekar Arum merasakan 
tenaga dalam yang tersalur lewat seruling bambu wu-
lung itu. la memang sudah mengira seruling itu di-
lambari tenaga dalam jika terjadi bentrokan senjata. 
Akan tetapi, ia tidak menyangka bahwa tenaga dalam 
gadis itu begitu sempurna. Dan, kalau saja ia tidak 
mengerahkan tenaga dalam sewaktu menyerang tadi, 
sudah pasti tombak pendeknya akan terlepas dari 
genggaman tangannya. 
’’Kita akan kehilangan waktu banyak untuk 
perkelahian yang tak berarti ini!” kata Gagar Mayang 
setelah melompat mundur beberapa tombak, ’’Kalau 
kau memang masih bersikeras ingin mengalahkanku, 
kita bisa  meneruskan perkelahian ini nanti setelah 
urusan kita di Desa Majamulya selesai! Bagaimana?” 
’’Katakan saja bahwa kau ingin meminta perto-
longan saudara seperguruanmu itu untuk bersama-
sama meringkusku!” dengus Sekar Arum. 
 
’’Untuk apa aku memancingmu menjauhi desa 
kalau memang aku berniat meringkusmu? Bukankah 
lebih mudah jika aku menyerangmu di dekat kade-
mangan tadi?” Gagar Mayang menyimpan kembali sen-
jatanya di pinggang. 
Benar juga kata gadis itu, pikir Sekar Arum Ya, 
kalau memang ia berniat mencelakakanku, pastilah ia 
justru memancingku agar masuk ke halaman kade-
mangan, dan kemudian bersama-sama Ki Langendriya 
maka ia akan dengan mudah meringkusku. 
’’Kisanak, terus terang saja, kedatanganku ke 
Desa Majamulya untuk mencegah perbuatan sewe-
nang-wenang Ki Demang Majamulya Kami memang 
saudara seperguruan. Tetapi, Demang Majamulya telah 
menyalahgunakan ilmu silatnya untuk berbuat sewe-
nang-wenang. Nah, kalau kau percaya dengan penjela-
sanku ini. Sebaiknya kita harus secepatnya kembali ke 
kademangan Tetapi, kalau kau tetap tidak memper-
cayaiku, biarlah aku mendahuluimu!’ 
’’Tunggu!” cegah Sekar Arum. ”Aku menyetujui 
usulmu. Kita tunda perkelahian kita sampai urusan ki-
ta di Desa Majamulya selesai!” 
 
*** 
 
Di Pendopo Kademangan Desa Majamulya, Ki 
Langendriya semakin gelisah menunggu kemunculan 
Jata Gimbal. Meski ia telah menyuruh Kentus dan 
Kampret untuk menyusul Jata Gimbal ke Desa Ku-
wung, tetap saja ia mengkhawatirkan keselamatan 
orang kepercayaannya itu. Jika benar Jata Gimbal ce-
laka di tangan seseorang, apalah arti ilmu silat yang 
dimiliki Kentus dan Kampret bagi lawan yang telah 
mencelakakan Jata Gimbal itu! 
 
Maka Ki Langendriya melompat dari tempat 
duduknya begitu terdengar bunyi kentongan dipukul 
berkepanjangan. Itulah pertanda bahwa telah ditemu-
kan mayat seseorang yang mati terbunuh! Dan, sebe-
lum ia sempat bertanya kepada para peronda yang 
tengah bertugas, terdengar derap kaki kuda semakin 
mendekati kademangan. Dari sinar obor yang mengapit 
jalan menuju kademangan itulah Ki Langendriya men-
genali tubuh Jata Gimbal yang tersampir kaku di 
punggung kuda. 
’’Jahanam!” geram Ki Langendriya sambil men-
gepalkan tangannya. Rahangnya mengencang, dan ter-
dengar suara gigi bergemeretak. 
’’Seseorang telah membunuh Ki Jata Gimbal, Ki 
Demang,” lapor Kampret yang berlari menyusul lang-
kah kaki kuda. 
’’Kenapa  kau biarkan  jahanam itu lolos?” ser-
gah Ki Langendriya. 
’’Kami berdua belum sampai ke Desa Kuwung 
ketika kami lihat kuda Ki Demang membawa tubuh Ki 
Jata Gimbal,” jawab Kentus yang tengah sibuk menga-
tur napas. 
Ki Langendriya memeriksa luka di dada Jata 
Gimbal. Luka yang berawal dari punggung dan tembus 
ke dada. Mata Ki Langendriya terbeliak memandangi 
luka yang mendatangkan maut bagi orang keper-
cayaannya itu. 
’’Sekarang juga kita cari jahanam itu di Desa 
Kuwung!” kata Ki Langendriya seraya memutuskan tali 
yang mengikat mayat Jata Gimbal di punggung kuda. 
Setelah dua orang penduduk desa membawa 
mayat Jata Gimbal ke pendopo kademangan, Ki Lan-
gendriya mencemplak kudanya dan memacunya menu-
ju Desa Kuwung. 
 
Dalam pada itu, di luar mulut desa, Gagar 
Mayang dan Sekar Arum tengah bersitegang untuk 
menentukan siapa yang berhak lebih dulu berhadapan 
dengan demang Desa Majamulya itu. 
”Aku yang membunuh Jata Gimbal! Tentu aku 
pula yang dicari Demang Langendriya!” kata Sekar 
Arum. 
’’Tetapi, aku yang lebih dulu tiba di desa ini! 
Aku yang terlebih dahulu harus berurusan dengan 
demang di desa ini!” bantah Gagar Mayang 
’’Kalau begitu, kita tentukan saja siapa yang ke-
luar sebagai pemenang dl antara kita berdua, maka di-
alah yang lebih dulu boleh berurusan dengan demang 
keparat itu!” 
’’Kita telah sepakat untuk menunda urusan kita 
berdua! Sebaiknya, kita undi saja....” 
’’Tidak! Aku paling benci dengan segala macam 
undian!” tukas Sekar Arum sambil menggeleng. "Kita 
tetap harus berhadapan!” 
Gagar Mayang tidak langsung menyahut. Ia 
mengerutkan dahi sejenak, lalu katanya, ’’Bagaimana 
kalau kita berlomba mengejar kuda yang membawa Ki 
Demang? Siapa yang lebih dulu tiba di depan kuda itu, 
dialah yang berhak berurusan dengan Ki Demang!”  
’’Jangan menyesal jika aku yang lebih dulu 
mendapatkannya!” sahut Sekar Arum yakin. Ia merasa 
pasti bisa mengalahkan kecepatan berlari gadis yang 
baru saja dikenalnya ini. Selama berbulan-bulan ia 
pernah berlatih berlari mengejar ombak di Pesiar Laut 
Selatan. Apalah artinya jika hanya mengejar seekor 
kuda? 
’’Kita tunggu sampai kuda itu melintas! Setelah 
kuda melewati pohon trembesi itu, barulah kita berpa-
cu mengejarnya! Bagaimana?” 
 
Sekar Arum mengangguk seraya menajamkan 
pendengarannya. Samar-samar terdengar derap kaki 
kuda yang dinaiki Ki Langendriya. Tak lama lagi kuda 
itu akan melintas di depan mereka berdua. Dan, Sekar 
Arum merasa pasti bisa mendahului gadis dari Bukit 
Cangak ini. Dalam hal mengadu ilmu meringankan tu-
buh, ia baru mengaku kalah jika harus berlomba me-
lawan Joko Sungsang. Dan, agaknya tidak ada seorang 
pun tokoh rimba persilatan yang mampu menandingi  
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Joko Sungsang. 
Terkecuali, tentu saja, Wiku Jaladri! 
Pada saat yang bersamaan, Gagar Wayang ber-
pikir lain dalam menghadapi adu ilmu meringankan 
tubuh melawan gadis dari Padepokan Karang Bolong 
itu. Gadis yang memang berpembawaan rendah hati ini 
tidak berani gegabah menyepelekan ilmu meringankan 
tubuh gadis murid Ki Sempani itu. Betapa pun gadis 
dari Padepokan Karang Bolong itu kelihatan angkuh, ia 
tidak berani menuduh bahwa keangkuhan gadis itu 
hanya untuk menutupi kekurangannya. Meski baru 
sedikit, tadi telah dijajakinya ilmu silat gadis itu. 
’’Kalau memang gadis ini tidak memiliki ilmu si-
lat yang tinggi, tidak akan ia berhasil menyusul hingga 
luar desa,” kata Gagar Mayang kepada dirinya sendiri. 
Mengingat tingkatan ilmu silat yang dimiliki ga-
dis bertombak pendek itu, Gagar Mayang meragukan 
dirinya bisa mengalahkan gadis itu dalam lomba men-
gejar kuda Ki Langendriya nanti. Namun, untuk bisa 
dikalahkan gadis itu pun, ia tidak yakin. Jadi, ke-
mungkinan yang ada hanyalah satu: mereka bersa-
maan dalam mencapai kuda Ki Langendriya nantinya! 
Ini berarti akan menimbulkan kesulitan lagi bagi ke-
duanya. Mereka harus kembali bersitegang mempere-
butkan hak berurusan dengan Ki Demang Majamulya. 
 
’’Kalau begitu, aku harus mengalah agar tidak 
timbul kesulitan nantinya,” bisik batin Gagar Mayang. 
Lebih lanjut gadis murid Eyang Kuranda Geni 
ini berpikir, dengan mengalah dalam adu lari cepat 
nanti, kemungkinan justru akan menguntungkannya. 
Kalaupun gadis Karang Bolong itu nantinya berhasil 
merobohkan Ki Langendriya, berarti gadis itu telah 
membantunya melenyapkan iblis dalam diri Ki Lan-
gendriya. Sebaliknya, jika gadis bertombak pendek itu 
kalah dalam pertarungannya melawan Ki Langendriya, 
inilah kesempatan baik untuk menyadarkannya dari 
sifat pongahnya. 
Maka Gagar Mayang memberikan kesempatan 
kepada Sekar Arum untuk melesat lebih dulu sewaktu 
kuda yang membawa Ki Langendriya telah melewati 
pohon trembesi. Sudah barang tentu Sekar Arum-lah 
yang lebih dulu menghadang kuda Ki Langendriya. Se-
suai dengan yang direncanakannya, Gagar Mayang ce-
pat-cepat bersembunyi tak jauh dari punggung Ki De-
mang Majamulya. Ia harus rela menjadi penonton dari 
tempat persembunyiannya. 
Ki Langendriya sekuat tenaga menarik tali ke-
kang kudanya begitu dilihatnya seorang gadis meng-
hadang di tengah jalan. Meski kemarahannya sudah 
sampai di ubun-ubun, ia mencoba untuk menahan di-
ri. Ia pernah mendengar cerita tentang gadis cantik 
yang berpakaian serba putih ini. Terlebih sewaktu 
pandangan matanya membentur tombak pendek ber-
mata dua yang terselip di pinggang gadis itu. 
”Hei, bukankah kau yang dijuluki Bidadari dari 
Karang Bolong?” kata Ki Langendriya setelah turun da-
ri punggung kudanya, sambil tertawa. 
”Baru mulutmu yang menyebutku begitu, Ki 
Demang,” sahut Sekar Arum. ’’Tetapi, yang pasti aku 
 
memang dari Padepokan Karang Bolong! Dan, akulah 
yang mengirim Jata Gimbal ke kademangan Maja-
mulya!” 
’’Jahanam keparat! Bosan hidup!” dengus Ki 
Langendriya. ’’Kau pikir kau masih bisa lolos dari tan-
ganku? Dasar bocah pongah!” 
”Ki Demang, aku terpaksa membunuh orang 
suruhanmu itu sebab aku tidak ingin melihat orang-
orangmu mengotori Desa Kuwung! Setidaknya, aku ti-
dak tega melihat gadis macam Sunti menjadi korban 
nafsu hewanmu!” 
”Ha ha ha! Rupanya ada juga badut yang ber-
wajah cantik!” Ki Langendriya justru merasa geli men-
dengar ucapan gadis berpakaian serba putih itu. Ke-
marahannya serta-merta surut. Keinginan untuk 
membunuh gadis itu lenyap digantikan oleh keinginan 
untuk mencumbu gadis itu. Bukankah gadis lancang 
ini nyatanya lebih cantik jika dibandingkan dengan 
Sunti?. 
Sebelum Sekar Arum menyahut ucapan Ki Lan-
gendriya, tiba-tiba saja lima orang anak buah Ki Lan-
gendriya telah muncul di tempat itu. Mereka telah ber-
siap-siap dengan golok telanjang di tangan. 
’’Kalian jangan sembarangan bertindak! Lawan-
ku kali ini bukan cacing kremi yang dengan mudah bi-
sa kalian atasi! Mundur!” seru Ki Langendriya kepada 
lima lelaki yang telah bersiap-siap menerima perintah-
nya. 
’’Kenapa mereka kau suruh mundur, Ki De-
mang? Tidakkah lebih baik mereka membantumu 
mengeroyokku?” ejek Sekar Arum. 
”He he he! Kau memang layak memandang se-
belah mata kepadaku, Cah Ayu. Aku tahu, kau pernah 
merobohkan Kebo Dungkul yang dungu itu. Nah, ba-
 
rangkali kau  kira  aku sedungu Kebo Dungkul? Tak 
apalah! Kalau saja kau tidak secantik bidadari, sudah 
pasti aku marah mendengar ejekan  mu!” Ki Langen-
driya melangkah pelahan mendekati Sekar Arum. Tan-
gan kanannya memilin-milin kumis. 
’’Selangkah lagi kau maju, perutmu yang bu-
sung itu kurobek-robek, demang bandot!” hardik Sekar 
Arum seraya melolos tombak pendeknya dari ping-
gangnya. 
“Ha ha ha! Dan, kalau aku menuruti kehen-
dakmu, apa berarti kau juga mau menuruti kehenda-
ku, Cah Denok? Percayalah, aku rela kehilangan Sunti 
asalkan kau mau menggantikannya....” 
’’Dasar kambing bandot!” tukas Sekar Arum 
sambil menerjang perut Ki Langendriya dengan tusu-
kan tombak pendeknya. 
’’Haladalah!” seru Ki Langendriya. Dengan gesit 
ia berkelit ke samping, Namun, dengan sigap sisi tela-
pak kaki kanan Sekar Arum melabrak pinggangnya. 
’’Desss!” 
Ki Langendriya meringis menahan rasa mual 
yang menjalari perutnya. Mata lelaki itu melebar, Ke-
marahan yang tadi surut, kini meluap lagi. Sama seka-
li tak disangkanya bahwa gadis cantik yang dihada-
pinya ini bisa dengan mudah menyentuh tubuhnya. 
’’Betina keparat! Kau memang tidak pantas di-
bujuk! Bersiaplah menyusul Jata Gimbal ke neraka!” 
geram Ki Langendriya setelah memperbaiki kuda-
kudanya. 
Sekar Arum tak menanggapi. Kembali tombak 
pendeknya menjulur cepat. Kini  perut buncit Ki Lan-
gendriya benar-benar terancam. Namun, tentu saja Ki 
Demang Majamulya ini sudah lebih mawas dibanding-
kan dalam menghadapi serangan lawan sebelumnya. 
 
Tak akan ia membiarkan senjata Sekar Arum nyentuh 
kulitnya. Betapa pun tombak pendek itu bergerak begi-
tu cepatnya, tetap saja Ki Langendriya mampu meng-
hindarinya. Tubuh tinggi besar itu seakan hilang dari 
pandang mata Sekar Arum. Bahkan dengan tiba-tiba 
telapak tangan Ki Langendriya terjulur ke arah perge-
langan kaki Sekar Arum. 
’’Hiyaaa!” seru Ki Langendriya merasa pasti 
berhasil mencengkeram pergelangan kaki lawan. 
Desiran angin yang menyentuh kulit pergelan-
gan kakinya membuat Sekar Arum secepat kilat me-
mutar tombak pendeknya untuk melindungi pergelan-
gan kakinya. Lagi-lagi Ki Langendriya harus melompat 
ke samping setelah menarik telapak tangannya. 
Diam-diam Sekar Arum mengakui kelincahan 
lawannya dalam menghindari setiap serangan. Sung-
guh tak sesuai dengan tubuhnya yang mirip gajah. La-
lu, ia pun menyadari bahwa jika pada gebrakan awal 
tadi Ki Langendriya gagal menghindari tendangan ka-
kinya, bukan sebab ia lengah. Sikap meremehkan la-
wan itulah yang membuat Ki Langendriya sempat ter-
hunjam tendangan! 
”Cah Denok, sebelum aku menurunkan aji pa-
mungkasku, sebaiknyalah kau menyerah!” ujar Ki 
Langendriya. 
’’Tutup mulutmu, demang bandot!” sergah Se-
kar Arum berang. Ucapan itu sungguh-sungguh meru-
pakan penghinaan baginya. la memang pernah men-
dengar kehebatan Jurus Tangan Dewa Menggenggam 
Buih. Namun, tidak berarti ia harus takut menghada-
pinya. 
”Kau tidak sayang kaki atau tanganmu yang 
mulus itu, gadis bengal? Pernahkah kau membayang-
kan bagaimana jika tangan atau kakimu remuk?” kata 
 
Ki Langendriya setelah berhasil membebaskan leher-
nya dari hunjaman tombak lawan. 
’’Kita lihat saja aji pamungkas siapa yang lebih 
unggul!” sahut Sekar Arum seraya mempersiapkan ju-
rus pamungkas tombak pendeknya. 
”Ha ha ha! Sudah kukatakan bahwa aku tidak 
akan sedungu Kebo Dungkul, bukan?” ejek Ki Langen-
driya sambil mengamati gerak kaki dan tombak gadis 
itu. 
’’Majulah, dan kau akan terjerumus ke pintu 
neraka!” pancing Sekar Arum agar lawan menyerang-
nya. 
Ki Demang Majamulya ini tahu pasti tingkatan 
ilmu silat Kebo Dungkul. Dan, ia merasa bahwa ilmu 
silatnya berada beberapa tingkat di atas ilmu silat 
anak buah Hantu Lereng Lawu itu. Namun begitu, ia 
tidak berani gegabah menghadapi Jurus Memancing 
Mangsa Keluar Sarang yang bakal dilancarkan lawan. 
Oleh sebab itu, ia pun sigap menerapkan Jurus Tan-
gan Dewa Menggenggam Buih untuk menyongsong aji 
pamungkas gadis itu. 
Kedua aji pamungkas telah  siap diadu. Lima 
orang anak buah Ki Demang Majamulya menahan na-
pas. Mereka bukan hanya sekali pernah melihat ke-
dahsyatan aji pamungkas yang dilancarkan Ki Langen-
driya. Mereka mulai membayangkan bagaimana tan-
gan atau kaki gadis berpakaian serba putih itu hancur 
lebur oleh genggaman telapak tangan Ki Demang Ma-
jamulya. Betapa mengecewakan jika gadis secantik itu 
harus kehilangan salah satu kaki atau tangannya! 
Tak jauh dari tempat kelima lelaki itu berdiri 
menahan napas, Gagar Mayang pun sibuk menaksir-
naksir  akibat dari bentrokan kedua ajian pamungkas 
itu nantinya. Kemungkinan besar tombak pendek gadis 
 
itu berhasil bersarang di tubuh Ki Langendriya. Akan 
tetapi, bukan tidak mungkin telapak tangan Ki Lan-
gendriya pun berhasil menyambar tangan ataupun ka-
ki gadis  itu. Betapa tidak! Jika gadis itu berhasil 
menghunjamkan tombak pendeknya, berarti telapak 
tangan Ki Langendriya pun akan mampu menggapai 
tangan yang memegang tombak pendek itu. Artinya, 
gadis itu harus kehilangan sebelah tangannya kendati-
pun ia mampu membunuh lawannya. 
”Ini tidak boleh terjadi!” kata hati Gagar 
Mayang. Ia merasa harus menolong Sekar Arum dari 
ancaman Jurus Tangan Dewa Menggenggam Buih. Ia 
tidak ingin melihat gadis murid Ki Sempati itu kehilan-
gan sebelah tangannya. la memaklumi bahwa gadis 
bertombak pendek itu masih terlalu hijau untuk ma-
lang-melintang di rimba persilatan. Yang pasti, ia tahu 
bahwa gadis itu bukan orang sesat yang pantas dicela-
kakan. 
Mengingat semuanya itu, Gagar Mayang sece-
patnya menarik seruling bambu wulungnya, dan di-
tiupnya seruling itu. Maka terdengarlah alunan tem-
bang Megatruh mewarnai ketegangan yang ada. 
”Gagar Mayang...?” desis Ki Langendriya sem-
bari menoleh ke arah datangnya suara seruling. Sepa-
sang telapak tangan yang semula telah siap memben-
tengi tubuhnya, tiba-tiba merosot turun. Getar asmara 
yang tiba-tiba menyelinap di lekuk hati lelaki itu mem-
buyarkan Jurus Dewa Menggenggam Buih. 
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Sekar 
Arum. Begitu melihat lawan lengah, ia menggenjotkan 
kakinya ke tanah, dan melentinglah tubuhnya yang 
mungil itu ke udara. Setelah sekali berjumpalitan di 
udara, tubuh itu pun meluncur deras dengan tombak 
terjulur lurus ke punggung Ki Langendriya. 
 
’’Desss!” 
Tubuh Ki Langendriya terpental maju beberapa 
langkah. Bukan oleh dorongan tombak Sekar Arum, 
melainkan oleh tendangan kaki Gagar Mayang. Gadis 
murid Eyang Kuranda Geni ini tidak tega melihat Ki 
Demang Majamulya harus mati tanpa perlawanan. Ini 
jelas tidak adil! 
’’Perempuan keparat! Sejak tadi aku sudah 
mengira bahwa kau bersekongkol dengan kambing 
bandot itu!” sungut Sekar Arum sambil bersiap-siap 
menghadapi Gagar Mayang. 
’’Terserahlah anggapanmu. Yang jelas, aku ti-
dak ingin melihat pendekar beraliran lurus macam kau 
berlaku kejam, membunuh lawan yang tidak berdaya!” 
sahut Gagar Mayang. 
”Tak perlu banyak alasan! Sekarang, kaulah 
musuhku, iblis betina!” sahut Sekar Arum seraya me-
nerjang Gagar Mayang dengan kombinasi tusukan 
tombak dan tendangan kaki kanannya. 
Gagar Mayang yang sudah menduga bakal 
mendapat serangan, dengan tenang memiringkan tu-
buhnya ke kanan dan secepat kilat menyabetkan se-
ruling bambu wulungnya ke kaki Sekar Arum yang 
mengancam lututnya. 
’’Tasss!” 
Tak sempat lagi Sekar Arum menarik kaki ka-
nannya untuk menghindari sabetan seruling itu. la 
hanya sempat membuang tubuhnya mengikuti arah 
sabetan senjata lawan agar tidak terlampau telak se-
ruling itu membentur betisnya. 
”Tak perlu kau bergulingan di tanah! Aku sen-
gaja tidak melambari serulingku dengan tenaga da-
lam!” kata Gagar Mayang. 
Merah wajah Sekar Arum dibuatnya. Kali ini ia 
 
bukannya marah, melainkan malu atas kebebelannya 
sendiri. Untuk kesekian kalinya gadis berpakaian ser-
ba jingga itu menunjukkan sikap bersahabat. Tak ada 
sama sekali sikap bermusuhan muncul di lekuk hati 
gadis dari Bukit Cangak ini. 
”Ya, kalau saja gadis ini menganggapku sebagai 
musuh, sudah pasti sabetan serulingnya tadi akan 
mematahkan tulang keringku,” kata hati Sekar Arum 
sebelum memutuskan untuk pergi meninggalkan ajang 
pertarungan. 
Melihat gadis itu melesat pergi, Ki Langendriya 
melompat hendak mengejar, tetapi sekali lagi Gagar 
Mayang berhasil membendung niat jahat lelaki ini. 
Dengan sekali lompat, Gagar Mayang telah mengha-
dang langkah Ki Demang Majamulya. 
”Aku juga tidak ingin melihatmu berbuat sewe-
nang-wenang, Ki Demang!” seru Gagar Mayang sebe-
lum telapak kakinya kembali menyentuh tanah. 
 
*** 
 
 
Sepuluh tahun yang lalu, ketika untuk pertama 
kalinya Ki Langendriya menginjakkan kakinya di Bukit 
Cangak, Gagar Mayang belum lagi berusia sepuluh ta-
hun. Gadis kecil itu lebih suka berlari-lari mengejar 
belalang ketimbang belajar ilmu silat, Ki Langendriya 
sendiri sangat menyesali sikap Gagar Mayang yang ke-
cil yang seolah-olah tak peduli pada apa yang diajar-
kan Eyang Kuranda Geni kepada murid-muridnya. 
Kalaupun ada kelebihan pada diri Gagar 
Mayang, yakni kepandaiannya meniup seruling. Eyang 
 
Kuranda Geni sendiri heran memikirkan keanehan ga-
dis kecil ini. Bukankah aneh jika ada gadis kecil yang 
lebih menyukai seruling ketimbang boneka kayu? 
Tak ada hari yang dilewatkan Gagar Mayang 
kecil tanpa tiupan serulingnya. Dan, selalu setiap ha-
rinya ia menyenandungkan tembang Megatruh. Ki 
Langendriya yang sebelumnya tak pernah mempeduli-
kan tembang tersebut, akhirnya bisa mendendangkan-
nya. 
Bukan tidak beralasan jika Gagar Mayang te-
ramat menyukai serulingnya. Baginya, seruling itulah 
pengganti teman bermainnya sehari-hari Satu-satunya 
teman bermain telah meninggalkannya untuk selama-
lamanya. Bocah gembala yang bernama Nimpuna, 
yang mati terpatuk ular gadung, menghadiahkan se-
ruling bambu wulung itu kepada Gagar Mayang. Seha-
ri setelah rela kehilangan seruling, bocah gembala itu 
pun harus rela kehilangan nyawanya. 
’’Kalau saja kau tidak mendendangkan tembang 
Megatruh, tidak akan aku mengenalimu lagi, Mayang,” 
kata Ki Langendriya setelah tersadar dari lamunannya. 
”Tak ada yang berubah pada diriku, Ki De-
mang,” kata Gagar Mayang. 
’’Bagaimana tidak? Dulu kau tak pernah peduli 
pada olah kanuragan. Tetapi, sekarang kau pendekar 
pilih tanding! Apa jadinya jika tadi kau tidak menen-
dang  ku sewaktu gadis itu menerjang  ku dengan aji 
pamungkasnya!” 
’’Tanpa suara seruling ku, kau pun tidak akan 
lengah, Ki Demang.” 
’’Mayang, tak perlu kau memanggilku ’Ki De-
mang’. Panggil aku ’Kakang’ sebab aku saudara tuamu 
dalam perguruan,” sahut Ki Langendriya. 
”Kau masih merasa sebagai murid Eyang Ku-
 
randa Geni, Ki Demang?” kata Gagar Mayang sinis. 
’’Kenapa tidak, Mayang? Melihat kecantikanmu 
sekarang ini, malahan aku merasa sedang berada di 
Bukit Cangak! Kau dengan seruling itu membuatku 
terlempar ke masa lalu. Lima tahun lebih aku tak me-
nengok Bukit Cangak. Lima tahun yang lalu, sewaktu 
aku meninggalkan Bukit Cangak, kau memang belum 
secantik sekarang ini, Mayang. Kau juga belum tertarik 
untuk berlatih silat sekalipun hampir setiap hari, se-
lama lima tahun, kau selalu melihatku jungkir-balik 
digembleng Eyang Kuranda Geni. Tetapi, malam ini, 
tanpa sasmita yang aku terima dalam mimpi, aku me-
lihatmu telah menyandang kecantikan serta ketangka-
sanmu memainkan seruling itu. Bukan hanya pandai 
meniup, tapi kau juga pandai menjadikannya senjata. 
Bisa dibayangkan nasib betis gadis liar itu jika tadi 
kau sungguh-sungguh mempergunakan serulingmu 
sebagai senjata andalan...!” 
”Ya!” tukas Gagar Mayang tawar. ’’Sayangnya, 
aku bukan Ki Demang yang selalu punya pikiran men-
celakakan orang yang tidak berdosa!” 
Kaget bukan kepalang Ki Langendriya menden-
gar ucapan adik seperguruannya ini. 
”Tak perlu lagi Ki Demang menutup-nutupi sia-
pa diri Ki Demang yang sebenarnya,” lanjut Gagar 
Mayang. 
’’Mayang, aku benar-benar tidak mengerti apa 
yang kau bicarakan ini.” 
”Dan, kedatanganku di Desa Majamulya  ini, 
bukan atas kehendakku. Bukan karena aku kangen 
bertemu dengan saudara seperguruan. Bukan! Aku da-
tang dengan membawa purba wasesa dari Eyang Ku-
randa Geni, Ki Demang,” sahut Gagar Mayang tanpa 
mempedulikan kekagetan Ki Langendriya. 
 
’’Jangan membuatku bingung, Mayang. Kalau 
memang aku dianggap salah sebab belum pernah me-
nengok Guru selama ini, aku akan tebus kesalahanku 
tadi secepatnya. Tetapi, jangan paksa aku pergi seka-
rang ini. Kau melihat sendiri bagaimana keadaan Desa 
Majamulya dalam beberapa hari ini. Esok malam aku 
harus menerima tamu agung dari Kadipaten Banyua-
sin, Mayang.” 
”Itu bukan urusan Eyang Kuranda Geni. Juga 
bukan urusanku, Ki Demang. Aku datang bukan un-
tuk menjemputmu, apalagi memaksamu pergi ke Bukit 
Cangak. Aku datang untuk mengambil Ki Sumping Se-
dapur yang telah kau curi!" 
Merah-padam wajah Ki Demang Majamulya 
mendengar ucapan Gagar Mayang kali ini. Ia memang 
mengaku telah mencuri keris luk tujuh milik Eyang 
Kuranda Geni itu. Tetapi, semudah itukah Gagar 
Mayang hendak mengambilnya? 
’’Gagar Mayang!” sentak Ki Langendriya sambil 
menggebrak meja. ’’Rupanya kau tak beda dengan ga-
dis liar yang tinggi hati itu! Kau adik seperguruanku, 
tetapi sikapmu terhadapku seperti guru yang hendak 
menghukum murid-muridnya yang durhaka! Aku in-
gatkan kau, Mayang. Semasih aku bisa memaafkan ke-
lancanganmu, hargailah maksud baikku menyenang-
kanmu! Jangan paksa aku harus berbuat kejam terha-
dap saudara seperguruanku!” 
Gagar Mayang tersenyum tipis. Bibirnya yang 
indah itu semakin nampak mempesona. Meski gadis 
ini dibesarkan di sebuah bukit, tak berarti ia merasa 
bodohkan perawatan tubuh dan wajahnya. Dengan 
ramuan dedaunan yang tumbuh di Lereng Bukit Can-
gak, ia selalu melulur kulitnya agar niscaya nampak 
mulus. Kulitnya yang kuning langsat disadarinya se-
 
bagai daya tarik bagi lawan jenisnya. Matanya yang 
bulat dan jernih itu selalu dijaganya agar tak terlalu 
lama terbakar matahari. Dan, keinginan belajar ilmu 
silat putih sesungguhnya berangkat dari keinginan un-
tuk menyempurnakan bentuk tubuhnya yang menggi-
urkan. Bukit dadanya yang menonjol menjadi semakin 
kencang sebab ia selalu berusaha sesering mungkin 
naik-turun bukit. Kebiasaan naik-turun bukit ini pula 
yang semakin memperindah bentuk betisnya. Betis 
bunting padi!. 
”Apa dengan senyummu itu berarti kau mene-
rima tawaran kebaikanku, Mayang?” tanya Ki Langen-
driya melihat senyum manis di bibir gadis itu. Lalu, 
demang mata keranjang ini pun tak bosan-bosannya 
menelan air liur yang dirasakannya semakin encer. 
”Ki Demang....” 
’Tidakkah kau bisa memanggilku ’Kakang’, 
Mega-truh?” tukas Ki Langendriya sengaja mengin-
gatkan nama julukan Gagar Mayang. Tentu saja den-
gan harapan gadis itu akan teringat keakraban mereka 
berdua masih sama-sama menghuni Bukit Cangak. 
”Dulu, aku malah memanggilmu ’Paman’, bu-
kan?” jawab Gagar Mayang. 
”Ya, tetapi waktu itu kau masih pantas menjadi 
kemenakanku!” 
Gagar Mayang mencibirkan bibirnya. Ki Lan-
gendriya semakin tergoda oleh bentuk bibir itu. Lima 
tahun yang lalu, sebelum ia meninggalkan Bukit Can-
gak, ia merasa kasmaran melihat gadis ini. Hampir sa-
ja  ia mengurungkan niatnya pergi dari Bukit Cangak 
kala saja hatinya tidak tergoda melihat keris luk tujuh 
yang dihuni oleh Ki Sumping Sedapur. Melihat keris 
itu, selalu terngiang kembali kata-kata Eyang Kuranda 
Geni,  
 
’’Keris ini sengaja aku sembunyikan di Bukit 
Cangak sini. Tak sedikit orang-orang dari golongan hi-
tam yang menginginkannya. Padahal mereka tidak ta-
hu faedah dari keris ini. Mereka hanya pernah men-
dengar cerita bahwa mendiang Ki Sumping Sedapur 
adalah senopati pilih tanding pada Zaman Majapahit. 
Mereka hanya berharap bahwa dengan memiliki keris 
ini maka mereka akan mewarisi ilmu kasekten yang 
dimiliki Ki Sumping Sedapur pada masa hidupnya. ” 
”Ki Demang,” kata Gagar Mayang memenggal 
lamunan Ki Langendriya. 
’’Katakanlah apa yang bisa kau lakukan untuk 
membahagiakanmu, Mayang,” kata Ki Langendriya 
sambil merasakan debar jantungnya yang semakin 
mengguncang dada. Baru saja, tanpa disengaja mata 
dua demang itu menangkap bukit kembar yang menju-
lang dalam balutan warna jingga itu. Sebelum gadis itu 
berumur  lima belas tahun, bukit itu memang sudah 
mulai nampak subur. Kalau saja ia tak ingat bahwa 
gadis ini cucu angkat Eyang Kuranda Geni, sudah se-
jak lima tahun yang lalu Ki Langendriya ingin menge-
lus bukit dada itu. 
’’Sebelum Ki Demang berniat membahagiakan-
ku, bukankah lebih baik Ki Demang lebih dulu mem-
balas kebaikan hati Eyang Kuranda Geni?” kata Gagar 
Mayang setelah melipat lututnya untuk menutupi ton-
jolan kembar di dadanya. Gadis ini sepenuhnya sadar 
bahwa kebanyakan lelaki selalu terbeliak melihat bukit 
dada yang subur dan kenyal. 
”Itu juga sudah aku pikirkan, Megatruh. Tetapi, 
bukankah yang sedang aku hadapi sekarang adik se 
perguruanku?” 
’’Apakah berarti Ki Demang pernah berpikir un-
tuk mengembalikan Ki Sumping Sedapur?” 
 
”Megatruh, lupakanlah keris yang tak berguna 
itu. Janganlah pertemuan ini kita rusak dengan pem-
bicaraan yang mewakili kepentingan Guru....” 
”Ki Demang, ketahuilah bahwa Ki Demang tak 
lagi berhak menyebut Eyang Kuranda Geni sebagai 
guru semenjak Ki Sumping Sedapur lenyap dari kamar 
semadi Padepokan Bukit Cangak! Dan, aku tidak akan 
berpanjang-lebar membujuk Ki Demang agar mengem-
balikan keris itu. Aku masih menghormati pangkat 
demang di desa ini. Aku masih memberikan kesempa-
tan bagi Ki Demang untuk bertemu dengan Adipati So-
rengdriya. Tetapi, jangan coba-coba Ki Demang me-
mindahkan Ki Sumping Sedapur dari kademangan ini 
sebelum aku datang ke sini lagi!” 
”Gagar Mayang! Sudah aku ingatkan agar kau 
mau melupakan keris itu! Ingatlah bahwa aku saudara 
tuamu, Megatruh! Bagaimanapun juga, kau tidak akan 
bisa berbuat kasar kepadaku!” 
Gagar Mayang tak lagi mempedulikan ucapan 
Ki Langendriya. Ia bangkit dari duduknya, dan dalam 
sekejap mata tubuh gadis itu lenyap dari pandangan 
mata Ki Demang Majamulya. 
”Dasar bocah gunung! Tidak pernah kenal ke-
nikmatan dunia! Diajak mulia malahan memilih seng-
sara! Kita lihat saja siapa yang berhak memiliki keris 
luk tujuh itu!” omel Ki Langendriya sambil menggaruk-
garuk dagunya. 
 
*** 
 
Kematian Jata Gimbal membuat Desa Kuwung 
sunyi senyap baik siang maupun malam. Penduduk 
desa yang biasa berduyun-duyun ke sawah bila mata 
hari terbit, kini mereka memilih tinggal di rumah. Ka-
 
laupun harus mati di tangan Ki Demang Majamulya, 
biarlah mati di dalam rumah. 
Ada juga penduduk desa yang memilih pergi 
meninggalkan desa kelahiran mereka ini. Meski mere-
ka tidak tahu hendak pergi ke mana, setidaknya mere-
ka tahu bahwa umurnya akan bertambah panjang da-
lam pelarian. Malahan ada juga yang memilih mati di-
mangsa binatang buas di tengah hutan ketimbang ma-
ti di tangan Ki Langendriya. 
Ketakutan, keputusasaan, kengerian, dan se-
macamnya menghantui dada setiap orang yang meng-
huni Desa Kuwung. Kalaupun ada penduduk desa itu 
yang tidak disergap rasa takut, hanyalah Perdapa. Pe-
muda desa ini justru dijalari penyesalan yang tak ber-
keputusan. 
’’Kenapa? Kenapa aku terburu nafsu mema-
merkan ilmu silatku yang baru sekuku Ireng? Kenapa 
aku tidak memperdalam lebih dulu ilmu silat yang di-
ajarkan Kiai Sampur Beludru?” kalimat-kalimat ini 
berlompatan dari mulut Perdapa dalam kesendirian-
nya. 
Pengalamannya berhadapan dengan Jata Gim-
bal selalu melekat dalam benak. Maka bayangan gadis 
berpakaian serba putih yang telah menyelamatkannya 
pun muncul di pelupuk mata. 
’’Kalau saja ilmu silatku setingkat dengan gadis 
itu,” kata hati Perdapa. Kemudian ia meneruskan 
langkahnya menjauhi Desa Kuwung. la berharap, da-
lam pengembaraannya nanti bisa bertemu lagi dengan 
gadis bertombak pendek itu. Siapa namanya? Sekar 
Arum! Hm, nama yang indah. Nama yang tidak bisa 
dipisahkan dengan kecantikan si pemilik nama. 
Maka, secara tidak sadar Perdapa memban-
dingkan kecantikan Sekar Arum dengan kecantikan 
 
Sunti, gadis pujaan hatinya. Memang lebih cantik Se-
kar Arum, pikirnya. Tetapi, untuk apa merindukan bu-
lan jika menggapai pun tak mampu? Lagi pula, bukan-
kan aku bisa berkenalan dengan Sekar Arum karena 
aku memikirkan Sunti! 
’’Sunti, percayalah bahwa aku akan bisa mem-
bebaskanmu dari mulut tapir itu,” bisik batin Perdapa. 
Dan, serta-merta pemuda desa itu menghenti-
kan langkahnya. la melihat sebuah kedai minum. Su-
dah hampir setengah hari ia tak membasahi kerong-
kongannya dengan air. Lapar masih bisa ditahan. Te-
tapi, rasa haus begitu menyiksa. 
Perdapa mengambil tempat duduk di luar kedai 
sebab di dalam kedai tengah terjadi adegan yang me-
muakkannya, Tiga orang lelaki kasar sedang berlomba 
merayu anak gadis pemilik kedai itu. Bahkan mata 
Perdapa sempat melihat tangan salah seorang lelaki itu 
menyelusup di balik kain yang membalut pinggul hing-
ga betis gadis itu. 
Ingin sebenarnya Perdapa melompat dari tem-
pat duduknya dan menyeret lelaki itu keluar. Namun, 
kekalahannya menghadapi Jata Gimbal kembali men-
dinginkan panas di hatinya. 
”Maaf, aku kira ini kedai minuman, bukan 
tempat menyalurkan nafsu binatang,” tegur seseorang 
membuat lelaki berbaju hitam komprang itu melotot. 
Perdapa mencari-cari arah datangnya suara. 
Lalu nampak olehnya seorang pemuda berpakaian pu-
tih dan berikat kepala kulit ular. 
’’Pendekar Perisai Naga!” seru Perdapa dalam 
dada. Kemudian lanjutnya tetap dalam hati, ’’Pergilah 
sebelum nyawamu mendahului pergi! Kau tahu siapa 
pemuda yang menegurmu, kambing?” 
Lelaki berbaju hitam komprang itu mendorong 
 
tubuh anak gadis pemilik warung itu. Lalu, pelahan-
lahan ia melangkah mendekati Pendekar Perisai Naga. 
Sebilah golok tiba-tiba saja berkelebat. 
’’Jeppp!” 
Golok itu menancap sedalam setengah jengkal 
di meja, setengah jengkel pula jarak golok itu dari hi-
dung Pendekar Perisai Naga. 
”Ha ha ha! Penggal saja lehernya! Kenapa harus 
dimaafkan?" kata salah seorang teman lelaki kalap itu. 
”Hei, babi hutan! Mintalah maaf sebelum aku 
memindahkan golok ini ke dadamu!” hardik lelaki ber-
baju hitam komprang itu sambil memegangi gagang go-
lok yang masih bergetar. 
Pendekar Perisai Naga berdiri, dan tanpa me-
mandang ke kanan-kiri, ia melangkah keluar. 
”Bangsat!” lelaki kalap itu mencabut goloknya 
dari meja dan memburu pemuda berpakaian serba pu-
tih itu. ’’Berhenti! Atau terpaksa kubelah kepalamu da-
ri belakang, hei!” 
Rasa haus tak lagi dirasakan oleh Perdapa. Ma-
ta pemuda desa itu nyalang memandangi Pendekar Pe-
risai Naga yang dikaguminya. Tunggu, apa yang akan 
diperbuatnya jika golok itu terayun ke kepalanya, pikir 
Perdapa. 
’’Kisanak, aku ingin mengingatkanmu bahwa 
perbuatanmu tadi tak pantas dilakukan oleh manusia. 
Tetapi, kenapa Kisanak malah menyuruhku minta 
maaf? Bukankah seharusnya Kisanak yang minta maaf 
kepada gadis itu?” jawab Pendekar Perisai Naga hanya 
dengan menolehkan kepala. 
’’Hiyaaat!” teriak lelaki itu sambil mengayunkan 
goloknya ke kepala Pendekar Perisai Naga. 
Apa yang terjadi selanjutnya sudah tergambar 
dalam benak Perdapa. Tak bisa diikuti mata ketika ka-
 
ki kanan Pendekar Perisai Naga berputar dan memba-
bat sepasang betis kekar milik lelaki bergolok itu. Tiba-
tiba saja mereka yang berada di kedai itu melihat tu-
buh lelaki malang itu terbanting ke tanah. Lelaki itu 
mencoba bangkit, tetapi golok yang tadi terlepas dari 
genggamannya kini menempel di tengkuknya. 
Dua orang temannya melompat keluar dari da-
lam kedai dengan golok di tangan dan siap menerjang 
pemuda berikat kepala kulit ular itu. Akan tetapi, 
sambil menekan golok di tengkuk lelaki pemilik golok 
itu, Pendekar Perisai Naga menghardik, ’’Bayar dulu 
apa saja yang telah kalian makan! Kalau tidak, kepala 
temanmu yang kujadikan alat pembayar!” 
”He he he! Cecurut mencoba menggertak ma-
can!” ujar lelaki yang berkumis jarang. 
Lagi-lagi Perdapa dan pemilik warung berdecak 
kagum melihat reaksi Pendekar Perisai Naga. Tiba-tiba 
saja cambuk yang tadi melilit di pinggang pemuda itu 
berpindah melingkar di leher lelaki berkumis jarang 
itu. Mata lelaki itu melotot memandangi cambuk kulit 
ular yang mencekik lehernya. 
Dengan tangan kanan menekan golok ke leher 
lawan, dan tangan kiri mengendalikan cambuknya, 
Pendekar Perisai Naga mengulangi perintahnya, ’’Bayar 
dulu apa saja yang telah kalian makan! Atau, golok 
dan cambukku akan menolong kalian bebas dari uru-
san bayar-membayar!” 
Perdapa sempat menahan tawa. Bebas dari 
urusan bayar-membayar? Apalah namanya kalau bu-
kan mati, pikir pemuda Desa Kuwung itu. Sewaktu ia 
menyempatkan diri melirik pemilik kedai itu, ia melihat 
mulut orang tua itu menganga. Anak gadisnya sejak 
tadi meringkuk di pojok kedai dengan tubuh menggigil. 
Lelaki yang tercekik cambuk memberikan isya-
 
rat kepada temannya yang masih merdeka agar segera 
membayar makanan dan minuman yang telah mereka 
makan. Dengan langkah mundur, lelaki yang masih 
bebas bergerak itu kembali ke kedai. Hampir saja tu-
buh lelaki itu membentur tubuh Perdapa kalau tidak 
tangan Perdapa menahan punggungnya. 
’’Sebaiknya kalian segera pergi. Pendekar Peri-
sai Naga bukan tandingan kalian bertiga,” kata Perda-
pa kepada lelaki yang hampir menubruknya itu. 
’’Pendekar Perisai Naga?” ucap lelaki itu sambil 
mengangsurkan beberapa keping uang logam kepada 
pemilik kedai. Kemudian ia menoleh ke arah Pendekar 
Perisai Naga. Barulah ia menyadari ketololannya. Se-
harusnyalah ia dan teman-temannya tadi tahu siapa 
yang sedang mereka hadapi. Toh mereka bertiga sudah 
pernah mendengar cerita tentang pendekar yang be-
rilmu setan ini. Seharusnyalah mereka tadi mengenali 
pendekar itu dari cambuk kulit ular yang melilit ping-
gang pendekar itu. Mereka toh pernah mendengar ceri-
ta tentang cambuk kulit ular itu. Cambuk itulah yang 
telah menewaskan beberapa tokoh hitam yang mereka 
kenal. 
’’Cepatlah kalian minta maaf sebelum Pendekar 
Perisai Naga mengirim kalian ke neraka!” kata Perdapa 
membuyarkan lamunan lelaki itu. 
Lelaki itu tak menyahuti. Bergegas ia melang-
kah mendekati Pendekar Perisai Naga. Dan, dengan 
suara bergetar lelaki itu berkata, ’’Maafkan kami berti-
ga. Benar-benar kami tidak tahu bahwa kami sedang 
berhadapan dengan Pendekar Perisai Naga.” 
’’Panggil aku ’Joko Sungsang’!” sahut Joko 
Sungsang alias Pendekar Perisai Naga seraya membe-
baskan dua orang lelaki yang terancam golok dan 
cambuknya. 
 
Lelaki yang tadi sempat mengayunkan golok ke 
kepala Joko Sungsang secepatnya berlutut di depan 
kaki Pendekar Perisai Naga sambil berucap, ’’Kami 
memang orang-orang bodoh, Tuan. Seharusnya sejak 
pertama melihat Tuan, kami tahu dengan siapa kami 
berhadapan....” 
’’Berdirilah,” kata Joko Sungsang. ”Aku bukan 
orang yang pantas kau agung-agungkan, apa lagi kau 
sembah. Aku hanyalah anak desa yang dibesarkan di 
lereng gunung....” 
’Tetapi, kami telah bersikap kurang ajar di de-
pan, Tuan. Kami memang pantas menerima hukuman 
dari Tuan,” tukas lelaki yang tadi terlilit cambuk, le-
hernya. 
’’Bukan aku yang berhak menghukum kalian. 
Pemilik kedai dan anak gadisnya itulah  yang berhak. 
Tetapi, aku percaya mereka akan memaafkan kalian 
asal kalian berjanji tidak akan berbuat hina lagi,” sa-
hut Joko Sungsang. 
’’Kami berjanji, Tuan pendekar....” 
’’Panggil aku ’Joko Sungsang’!” tukas Joko 
Sungsang. 
”Ya, ya, kami berjanji, Tuan Joko Sungsang,” 
kata pemimpin ketiganya meralat. 
’’Sekarang, katakan kalian dari mana dan apa 
kerja kalian di desa ini.” 
’’Kami dari Lereng Gunung Bromo, Tuan. Kami 
datang ke desa ini hanya karena ingin menyelamatkan 
diri. Kami berlindung di desa ini, Tuan.” 
"Berlindung? Apa tingkah kalian menggoda 
anak gadis pemilik kedai itu yang namanya mencari 
perlindungan?” sergah Joko Sungsang. 
’’Kami memang orang-orang bodoh yang tidak 
tahu sopan santun, Tuan. Kami memang orang-orang  
yang tidak tahu diri....” 
’’Kenapa kalian harus lari dari Lereng Gunung 
Bromo?” sahut Joko Sungsang sebelum lelaki itu me-
neruskan ucapannya yang penuh sesal. 
Lelaki itu memandang kedua orang temannya. 
Setelah kedua orang temannya mengisyaratkan sesua-
tu, lelaki itu menjawab,  
’’Kami bertiga selama ini mencari makan den-
gan jalan yang tidak halal. Kami merampok dan men-
curi. Kami lakukan pekerjaan nista itu sebab kami ter-
paksa harus melakukannya, Tuan.”  
’’Terpaksa?” sahut Joko Sungsang alias Pende-
kar Perisai Naga. 
’’Sungguh, Tuan. Kami pernah mencoba hidup 
sebagai petani, tetapi kami malahan selalu kekuran-
gan. Kami harus memberikan lebih dari separuh peng-
hasilan kami sebagai upeti kepada...” Lelaki itu ragu-
ragu untuk menyebutkan nama orang yang dimaksud-
kannya. Kembali ia memandang kedua orang teman-
nya. 
’’Kepada siapa?” desak Joko Sungsang. 
”Ki tunggui Wulung....” 
’Tunggui Wulung?” Joko Sungsang memeras 
otak. Pernah didengarnya cerita tentang Ki tunggui 
Wulung ini. 
"Semenjak Ki tunggui Wulung tinggal di Lereng 
Gunung Bromo, kami benar-benar kehilangan nafkah. 
Menjadi orang baik-baik, kami sengsara. Tetapi, men-
jadi perampok pun kami tidak mendapatkan tempat. 
Kami bertiga terpaksa lari sebab anak buah Ki tunggui 
Wulung mencari kami untuk dibunuh,” lanjut lelaki 
itu. 
’’Kalian pulanglah ke desa kalian. Jadilah peta-
ni lagi seperti dulu. Aku pun sebenarnya bisa dengan  
mudah membunuh kalian. Tetapi, aku masih memaaf-
kan kalian. Kalian boleh meneruskan pekerjaan kalian 
sebagai perampok asalkan tidak bertemu lagi dengan-
ku,” kata Joko Sungsang. 
”Demi langit, demi bumi, kami berjanji akan 
menjadi orang baik-baik lagi, Tuan. Tetapi, untuk 
kembali ke Lereng Gunung Bromo, kami tidak punya 
keberanian. Mereka tidak mungkin membiarkan kami 
bertiga tetap hidup. Mereka tidak akan peduli apakah 
kami mau jadi orang baik-baik atau tetap jadi peram-
pok. Atas perintah Ki tunggui Wulung, mereka harus 
tetap membunuh kami bertiga kapan saja kami bisa 
mereka temukan.” 
’’Kalau begitu, lebih baik kalian mati di tangan-
ku ketimbang mati di tangan mereka!” sahut Joko 
Sungsang seraya meraba gagang cambuknya. 
’’Ampunkan kami bertiga, Tuan.” Ketiga lelaki 
itu langsung berlutut di depan kaki Joko Sungsang. 
’’Jadi, kalian pilih mati sekarang atau pulang ke 
Lereng Gunung Bromo dan kalian belum tentu mati?” 
tanya Joko Sungsang sambil menahan-nahan tawa. 
Geli juga melihat ketiga lelaki garang itu tiba-tiba ke-
takutan menghadapi kematian. Padahal tingkah mere-
ka di dalam kedai tadi seolah mereka tidak bisa mati! 
’’Kami lebih baik pulang dan menjadi orang 
baik-baik, Tuan....” 
’’Jangan coba-coba membohongiku!” tukas Joko 
Sungsang. ’’Jika nanti aku cari kalian ke sana ternyata 
tak kujumpai kalian, akan aku cari kalian sampai ke 
liang semut sekalipun!” 
’’Sungguh, Tuan. Kami akan mencoba mengha-
dapi anak buah Ki tunggui Wulung demi anak-istri 
kami bertiga, Tuan” 
’’Kembalilah kalian ke Lereng Gunung Bromo,  
dan percayalah bahwa mati atau hidup kalian bukan 
anak buah Ki Tunggal Wulung yang menentukan!” ka-
ta Joko Sungsang sebelum melesat pergi dari hadapan 
ketiga lelaki itu. 
 
*** 
 
 
Seorang lelaki berpakaian keprajuritan memacu 
kuda memasuki Desa Majamulya. Dari pakaian yang 
dikenakannya, basa ditebak bahwa lelaki itu salah seo-
rang Punggawa Kadipaten Banyuasin. Karena itulah 
maka tak seorang pun kaki tangan Ki Langendriya be-
rani menghadang laju kuda yang ditunggangi lelaki itu. 
Mereka bahkan membiarkan lelaki itu memasuki ha-
laman kademangan tanpa lebih dulu turun dari pung-
gung kudanya. 
Mendengar derap kaki kuda memasuki hala-
man kademangan, Ki Demang Majamulya bergegas ke-
luar dari pendopo. Ia langsung bisa menebak siapa 
yang datang dengan berkuda itu. Pastilah dia orang 
suruhan Ki Adipati Sorengdriya. 
”Adi Gagak Paningal?” sapa Ki Langendriya se-
telah melihat sosok tubuh yang memunggungi obor di 
regol kademangan itu 
”Ya, aku, Kakang Demang,” sahut Gagak Pa-
ningal. 
’’Ayolah, kita bicara di pendopo. Aku memang 
sedang menunggu-nunggu kabar dari kadipaten. Tidak 
biasanya Kakang Adipati membatalkan kunjungannya 
tanpa lebih dulu mengirimkan kabar, ” kata Ki Lan-
gendriya sambil menarik lengan tamunya. 
 
’Karena sesuatu hal Ki Ageng terpaksa memba-
talkan kunjungannya kemari, Kakang,” sahut Gagak 
Paningal. 
”Apakah Kakang Adipati mendadak harus 
menghadap Kanjeng Sinuhun?” 
’’Kalau itu penyebabnya, aku sendiri bisa me-
maklumi, Kakang.” 
’’Lalu, sebab apa?” kejar Ki Langendriya. 
Gagak  Paningal menarik napas panjang. Ter-
bayang lagi di pelupuk matanya kejadian siang tadi di 
alun-alun Kadipaten Banyuasin. Hampir saja ia terbu-
nuh oleh gadis berbaju serba putih dan bersenjata 
tombak pendek itu jika saja Adipati Sorengdriya tidak 
segera muncul. 
’’Apakah ada sesuatu yang menimpa Kakang 
Adipati, Adi Gagak Paningal?” usik Ki Langendriya 
membuyarkan lamunan Gagak Paningal. 
”Oh, tidak, Kakang. Hanya saja, aku heran ke-
napa kehadiran gadis itu membuat Ki Ageng tega 
membatalkan kunjungannya ke desa ini.” 
’’Gadis itu? Siapa gadis yang kau maksudkan, 
Adi Gagak Paningal?” Ki Langendriya menggeser du-
duknya agar lebih dekat kepada Gagak Paningal. 
”Ilmu silat gadis itu memang tinggi. Tetapi, ra-
sanya tidak sepantasnya jika Ki Ageng langsung me-
nyerah....” 
"Menyerah? Maksudmu?” tukas Ki Demang Ma-
jamulya kaget. 
”Aku tidak tahu apa saja yang dibicarakan Ki 
Ageng dengan gadis itu. Tetapi, setelah gadis itu pergi, 
tiba-tiba saja Ki Ageng menyuruhku ke sini untuk me-
nyampaikan kabar buruk ini.” 
”Kau belum menyebutkan siapa gadis itu. Seti-
daknya, kau pasti bisa menyebutkan ciri-ciri gadis itu,  
Adi Gagak Paningal. Apakah gadis yang kau maksud-
kan itu berpakaian serba jingga dan bersenjata serul-
ing bambu wulung?” Ingatan Ki Langendriya langsung 
kepada Gagar Mayang. 
’’Berpakaian serba jingga? Siapa yang kau mak-
sudkan, Kakang?” Gagak Paningal gantian dilanda ke-
kagetan. 
”Aku sendiri tidak tahu siapa gadis itu. Tetapi, 
aku pernah mendengar cerita tentang gadis berpakaian 
serba jingga ini. Jadi, bukan gadis yang kau lihat  di 
kadipaten?” 
Sudah barang pasti Ki Langendriya tidak mau 
menjelaskan siapa sesungguhnya gadis yang berpa-
kaian serba jingga dan bersenjata seruling bambu wu-
lung itu. Tentu karena ia tidak ingin Gagak Paningal, 
atau siapa pun, tahu bahwa ia telah mencuri Pusaka 
Bukit Cangak yang bernama Ki Sumping Sedapur itu. 
Terlebih ia tidak ingin Adipati Sorengdriya tahu ten-
tang keris luk tujuh yang selalu dirahasiakannya itu. 
Satu-satunya orang yang tahu hanyalah Jata Gimbal. 
Kini orang kepercayaannya itu sudah tewas. Rahasia 
itu dibawa Jata Gimbal ke alam kubur. 
”Aku memang pernah mendengar cerita bahwa 
gadis itulah yang membunuh Kebo Dungkul. Tetapi, 
apakah berarti gadis itu tak terkalahkan oleh Ki Ageng 
Sorengdriya?” kata Gagak Paningal. 
’’Maksudmu, gadis itu berpakaian serba putih 
dan bersenjata tombak pendek?” 
’’Benar, Kakang. Apa Kakang Demang sudah 
pernah bertemu dengannya?” 
Lagi-lagi Ki Langendriya merasa perlu berbo-
hong. Sebab, menceritakan Sekar Arum berarti harus 
juga menceritakan Gagar Mayang. Dan, ia pun tidak 
mungkin menceritakan pertarungannya melawan gadis  
bertombak pendek itu. Kalau saja tidak muncul Gagar 
Mayang menyelamatkannya, sudah pasti sekarang ia 
tak akan mungkin lagi berbicara empat mata dengan 
Gagak Paningal. 
”Aku kebetulan sedang mencari-cari gadis liar 
itu,” kata Ki Langendriya dengan perasaan geram. ’’Di-
alah yang telah membunuh orang kepercayaanku. ” 
’’Maksud Kakang Demang.... Jata Gimbal telah 
tewas?” 
”Ya. Aku memang bermaksud merahasiakan 
kematian Jata Gimbal agar Kakang Adipati merasa te-
nang tinggal di kademangan sini.” 
’’Kalau begitu, sebaiknya kita cari gadis itu! Aku 
pun merasa belum puas bertarung dengannya....” ”Adi 
Gagak Paningal pernah bertarung dengan gadis binal 
itu?” 
”Ya. Tetapi, sebelum aku berhasil membunuh-
nya, Ki Ageng muncul dan melerai kami,” jawab Gagak 
Paningal untuk menutupi kekalahannya melawan Se-
kar Arum. 
’’Kita berangkat sekarang juga! Kita tanyakan 
kepada Kakang Adipati, di mana sekiranya kita bisa 
menemukan gadis keparat itu!” geram Ki Demang Ma-
jamulya. 
”Ki Agung tidak mungkin memberi tahu di ma-
na gadis itu berada, Kakang. Malahan bukan tidak 
mungkin Ki Ageng akan melindungi gadis itu. Aku me-
lihat sendiri bagaimana Ki Ageng begitu menaruh hor-
mat kepada gadis itu.” 
’’Benar juga katamu, Adi Gagak Paningal,” sa-
hut Ki Langendriya. la pun menyadari bahwa gadis da-
ri Karang Bolong itu telah dianggap sebagai Dewi Pe-
nyelamat oleh Adipati Sorengdriya. Meski hanya kare-
na gadis itu bisa membunuh seorang Kebo Dungkul!  
Ah, tapi mungkin juga karena Kakang Adipati jatuh 
hati melihat kecantikan gadis itu, pikir Ki Demang Ma-
jamulya selintas-kilas. 
”Lalu, bagaimana dengan rencana Kakang De-
mang mengadakan adu kasekten itu?” tanya Gagak 
Paningal mengingatkan. 
’’Untuk apa? Adu kasekten yang aku rencana-
kan, semata-mata untuk memberikan hiburan bagi 
Kakang Adipati. Kalau nyatanya Kakang Adipati tidak 
datang, apalah artinya adu kasekten segala macam?” 
jawab Ki Langendriya dengan kekecewaan menggerogo-
ti ulu hati. Betapa tidak! Gara-gara gadis keparat itu 
maka ia gagal menunjukkan ilmu silatnya di depan 
Adipati Sorengdriya. Dan, berarti gagal pula rencana 
untuk memancing kekaguman Adipati Sorengdriya. 
Maka gugurlah harapan untuk bisa menggantikan ke-
dudukan Adipati Sorengdriya di Kadipaten Bayuasin! 
Setelah mengambil Ki Sumping Sedapur dari 
tempat persembunyiannya, Ki Langendriya mengiring-
kan langkah Gagak Paningal keluar dari pendopo ka-
demangan. Tiba di halaman, ia berpesan kepada petu-
gas penjaga malam agar lebih memperketat penjagaan. 
’’Katakan kepada mereka yang hendak mengi-
kuti adu kasekten, bahwa adu kasekten diundurkan 
untuk beberapa hari,” tambah Ki Langendriya. 
”Sendika dhawuh, Ki Demang,” kata salah seo-
rang penjaga malam sambil mengangguk dalam-dalam. 
Tak lama kemudian nampak dua ekor kuda di-
pacu meninggalkan Kademangan Majamulya. Derap 
kaki kuda itu mengundang tanda tanya di benak para 
penduduk desa. Mereka bisa menebak bahwa ketegan-
gan sedang terjadi di desa itu. Inilah pertama akan ter-
jadinya pertumpahan darah. 
Apa yang dipikirkan para penduduk ini tidak  
berbeda dengan apa yang sedang dipikirkan Ki  Lan-
gendriya di punggung kuda. Demang Desa Majamulya 
ini masih ingat ancaman Gagar Mayang tempo hari. 
Gadis dari Bukit Cangak itu tidak ingin melihat Ki 
Langendriya membawa Ki Sumping Sedapur keluar de-
sa. 
Tidak berarti Ki Demang Majamulya ini takut 
menghadapi adik seperguruan itu. Kalaupun ia gelisah 
memikirkan ancaman dari gadis itu, tidak lain karena 
ia sedang bersama Gagak Paningal. Bagaimana jika 
gadis itu tiba-tiba menghadangnya dan meminta keris 
luk tujuh itu? Bukankah ini berati Gagak Paningal ter-
paksa tahu perihal Ki Sumping Sedapur? Dan, jika Ga-
gak Paningal tahu, berarti pula Adipati Sorengdriya 
akan tahu. Sebagai adipati yang selalu ingin menjaga 
nama baiknya, sudah barang tentu Adipati Sorengdriya 
merasa ikut tercoreng mukanya. Bukan tidak mungkin 
Adipati Sorengdriya pun menuntut agar Pusaka Bukit 
Cangak itu dikembalikan kepada yang berhak. 
Belum juga Ki Langendriya menemukan jalan 
keluar untuk mengatasi kegelisahannya, tiba-tiba se-
buah bayangan berkelebat. Lalu nampak sosok seo-
rang gadis menghadang laju kuda mereka. Maka Ki 
Langendriya langsung mengenali siapa yang mencegat 
mereka dengan seruling menyelinga di depan bibir itu. 
’’Inikah gadis yang Kakang maksudkan?” tanya 
Gagak Paningal setelah mengamati warna pakaian ga-
dis itu. Dari tebaran sinar bulan yang hampir purna-
ma, warna jingga itu cukup menyala. 
”Ya. Tetapi, sebaiknya Adi Gagak Paningal tetap 
saja meneruskan perjalanan. Biar aku sendiri yang 
menghadapi gadis ingusan ini,” kata Ki Langendriya 
agak berbisik. 
’’Kakang, kita perlu waktu banyak untuk men- 
cari gadis bertombak pendek itu. Bukankah sebaiknya 
aku membantumu membereskan gadis ini?” 
’’Tidak. Cukup aku sendiri yang menghada-
pinya!” 
 "Ya, sebaiknya Kisanak meninggalkan kami 
berdua. Ini urusan pribadi kami berdua. Tentunya Ki 
Demang merasa malu jika Kisanak tahu urusan kami!” 
sahut Gagar Mayang. 
’Tidak! Urusan Kakang Demang juga urusan-
ku!” sergah Gagak Paningal. 
”Lho, apa Kisanak mau aku tuduh pula sebagai 
pencuri keris itu?” 
’’Jangan dengarkan ocehannya, Adi Gagak Pa-
ningal!” sahut Ki Langendriya, seraya memajukan ku-
danya. Lalu hardiknya, ’’Gagar Mayang! Bukankah su-
dah kuperingatkan agar kau tidak mencampuri  uru-
sanku?” 
’’Mencampuri? Bukankah ini memang urusan 
kita berdua, Ki Demang?” 
’’Kisanak, aku tidak mau tahu dengan urusan 
kalian! Tetapi, sekarang ini kami sedang terburu-buru! 
Minggirlah sebelum aku terpaksa memaksamu minggat 
dari tempatmu berdiri!” hardik Gagak Paningal. 
”Adi Gagak Paningal, teruslah berjalan! Biarlah 
aku sendiri yang mengurusnya!” kata Ki Langendriya. 
”Benar kata Ki Demang. Tentu dia akan bisa 
dengan mudah membunuhku sebab aku hanyalah 
adik seperguruannya!” sahut Gagar Mayang. 
Gagak Paningal semakin tidak mengerti. Na-
mun, ia memutuskan untuk berlalu. Bagaimanapun 
juga ia percaya bahwa Ki Demang Majamulya akan 
sanggup menghadapi gadis itu seorang diri. la juga 
berpikir, barangkali mereka berdua memang harus bi-
cara empat mata. Sebagai sahabat, ia harus menghar- 
gai hak seorang sahabat untuk merahasiakan sesuatu. 
’’Baiklah, Kakang. Aku berangkat lebih dulu. 
Hati-hatilah, Kakang,” kata Gagak Paningal sebelum 
kembali memacu kudanya. 
Begitu derap kaki kuda Gagak Paningal lenyap 
dari pendengaran, Ki Langendriya melompat turun dari 
punggung kudanya. Tak ada jalan lain baginya kecuali 
harus menghadap Gagar Mayang dengan kekerasan. 
”Gagar Mayang, sekali lagi aku peringatkan 
agar kau tidak....” 
”Cukup!” tukas Gagar Mayang. ’’Seribu kali kau 
peringatkan aku, tak akan aku mengubah niatku men-
gambil kembali Ki Sumping Sedapur, Ki Demang!” 
 ’’Kalau begitu, terpaksa kita harus buktikan 
siapa yang lebih pantas memiliki Ki Sumping Sedapur!” 
kata 
Ki Langendriya seraya memasang kuda-kuda. 
’’Bersiaplah, Ki Demang!” sahut Gagar Mayang 
sambil menyilangkan seruling bambu wulungnya di 
dada. Kemudian tubuh gadis itu secepat kilat mener-
jang sambil menotokkan serulingnya ke leher Ki Lan-
gendriya. 
Kaget juga Ki Langendriya menerima serangan 
yang begitu cepat dan mematikan itu. Namun begitu, 
dengan sigap ia memiringkan tubuhnya ke kiri dan 
tangan kanannya meraih seruling yang menjulur di 
depan matanya. 
’Tasss!” 
Di luar dugaan Ki Langendriya jika seruling itu 
berbalik arah dan membentur tulang lengannya. Ka-
ruan saja demang Desa Majamulya itu meringis mena-
han sakit. Dalam hati ia bersyukur bahwa tadi ia su-
dah mengerahkan tenaga dalam sewaktu seruling ga-
dis itu mematuk punggung lengannya. Dalam pada itu, 
 
Gagar Mayang menyadari bahwa sabetan serulingnya 
tidak berarti bagi tangan Ki Langendriya. Ini Memang 
disengaja. Ia sengaja tak melambari seruling bambu 
wulungnya dengan tenaga dalam ketika membentur-
kan ke tangan kakak seperguruannya itu. la hanya in-
gin memperingatkan agar Ki Langendriya lebih berhati-
hati dalam menghadapinya. Bagaimanapun juga Gagar 
Mayang bukan perempuan sesat yang senang melihat 
lawannya cepat roboh. la masih tetap berharap bisa 
mendapatkan Ki Sumping Sedapur dengan jalan da-
mai. 
’’Lumayan juga agaknya ilmu silatmu, Mega-
truh!” kata Ki Langendriya untuk menutupi kecema-
sannya. 
”Ki Demang bisa bayangkan bagaimana sean-
dainya pukulan seruling tadi aku lambari dengan ajian 
Seruling Dewa Pencabut Nyawa!” sahut Gagar Mayang. 
’’Seruling Dewa Pencabut Nyawa?” tanya Ki 
Langendriya kepada dirinya sendiri. la masih ingat ce-
rita tentang kedahsyatan ajian ini. Jangan lagi tangan 
manusia yang tersentuh ajian itu, sedangkan pohon 
pun bisa tumbang. 
”Apa Ki Demang tetap bersikeras ingin memiliki 
keris itu?” tanya Gagar Mayang begitu melihat Ki Lan-
gendriya termangu-mangu. 
’’Gagar Mayang, jangan cepat tinggi hati. Aku 
tahu bagaimana dahsyatnya ajian Seruling Dewa Pen-
cabut Nyawa. Tetapi, lupakah kau bahwa aku pun 
memiliki Jurus Tangan Dewa Menggenggam Buih?” ka-
ta Ki Langendriya. 
”Ya. Dan, gadis bertombak pendek itu hampir 
saja menjadi korban keganasan jurus andalanmu, Ki 
Demang. Tetapi, syukurlah aku masih....” Gagar 
Mayang tidak meneruskan ucapannya sebab tiba-tiba  
terdengar tawa seorang di belakang punggungnya. 
"Kelinci manis berhadapan dengan tikus sawah 
untuk memperebutkan keris pusaka! Lucu, lucu! Ha 
ha ha!” kala seorang kakek berusia tak kurang dari tu-
juh puluh tahun. 
”Ki tunggui Wulung...?” desis Ki Langendriya 
spontan. 
”Ha ha ha! Syukurlah kau sudah kenal nama-
ku, Demang Goblok! Kalau begitu, serahkan saja keris 
pusaka itu kepadaku, dan kau boleh mengambil gadis 
cantik itu!” 
’’Lancang mulut!” sergah Gagar Mayang. ”Apa 
kau yakin namamu bisa menakut-nakutiku? Pernah 
aku mendengar namamu, tetapi hanya karena kau ta-
mak di Kaki Gunung Bromo sana!” 
”He he he! Maki-makilah aku sepuasmu, Cah 
Ayu. Setelah itu, kau juga tahu akibat dari mulut ko-
tormu!” lalu, kata Ki Tunggui Wulung kepada Ki Lan-
gendriya, "demang bandot, bunuhlah gadis bengal itu 
supaya aku tidak harus tega mencekik perempuan 
yang tidak berdaya!” 
’’Kakek jompo! Kalau memang kau merasa bisa 
membunuhku, kenapa harus minta tolong Ki Demang? 
Ayo, buktikan bahwa nama tunggui Wulung bukan 
hanya pantas untuk menakut-nakuti para petani di 
Lereng Gunung Bromo!” sahut Gagar Mayang berang. 
”Ho hooo! Ini baru namanya timun musuh du-
ren!” ujar Ki Tunggui Wulung seraya menerkam tubuh 
mungil yang berdiri tiga tombak di depannya. 
Akan tetap, seruling di tangan Gagar Mayang 
tiba-tiba  berputar dan mengeluarkan suara desingan. 
Seketika itu pula tubuh gadis itu lenyap dari pandan-
gan mata Ki tunggui Wulung sebab tertutup gulungan 
warna hitam. 
 
’’Haiyaaa!” seru Ki tunggui Wulung sambil 
membuang tubuhnya ke belakang untuk menghindari 
tusukan seruling yang mengarah ke dadanya. Namun, 
begitu tubuh kurus kering itu berdiri di atas kuda-
kuda kembali, sambaran angin paras membuat Gagar 
Mayang harus menjatuhkan tubuhnya dan bergulin-
gan ke samping kanan Dan, sebelum ia melenting 
bangkit, sebuah tendangan mendatar mengancam ke-
palanya 
’’Singngng! Singngng!” 
Kembali seruling bambu wulung di tangan Ga-
gar Mayang berputar untuk menghadang serangan la-
wan. 
”Desss!” 
Di luar dugaan gadis itu tubuh Ki tunggui Wu-
lung tiba-tiba berjumpalitan di udara dan dengan de-
ras kedua tumitnya meluncur ke arah perut. Maka Ga-
gar Mayang terpaksa menyongsong hunjaman tumit 
lawan dengan kedua tumitnya pula. Pertemuan kedua 
pasang tumit ini membuat tubuh Ki Tunggui Wulung 
terlempar beberapa tombak. Meski begitu, orang tua 
dari Lereng Gunung Bromo ini bisa mendarat dengan 
luwes. Ia hanya merasakan sepasang tumitnya sedikit 
kesemutan. 
Sebaliknya, setelah berdiri kembali di atas ku-
da-kuda kakinya, Gagar Mayang merasakan seolah ke-
dua tumitnya pecah. Lebih dari itu, tulang punggung-
nya pun terasa ngilu Seolah-olah ia baru saja mena-
han hempasan sekarung pasir besi. 
”Hm, rupanya kau lebih keras dari ketimun, 
Bocah Manis!” kata Ki Tunggui Wulung. 
”Dan, mana duri duren yang kau andalkan, ka-
kek jompo?” sahut Gagar Mayang sekalipun diam-diam 
ia  mengakui bahwa lawannya kali ini bukan semba- 
rang orang jahat. Meski ia tadi telah melambari kedua 
tumitnya dengan Jurus Tambak Segara, toh kedua 
tumit lawan mampu menembus pertahanannya. Tak 
bisa dibayangkan bagaimana nasib sepasang tumit 
mungil-nya andai saja ia tak mawas dalam menyong-
song serangan tadi. Luncuran tubuh kurus kering itu 
ternyata memiliki daya hempas yang luar biasa. 
Mendengar ucapan Gagar yang sungguh mere-
mehkan itu, Ki Tunggui Wulung berang bukan kepa-
lang. Terlebih ia melihat gadis itu mampu menahan 
hunjaman sepasang tumitnya. Dan, ia pun menyadari 
betapa berbahayanya seruling bambu wulung di tan-
gan gadis itu. Oleh sebab itu, orang sesat dari Lereng 
Gunung Bromo ini tak ingin lagi bermain-main dengan 
gadis dari Bukit Cangak itu. la bertekad harus sece-
patnya menyelesaikan pertarungan. Ia ingat bahwa ia 
pun masih harus menghadapi demang dari Desa Ma-
jamulya untuk mendapatkan Ki Sumping Sedapur. 
Maka sewaktu untuk kesekian kalinya orang 
tua itu menyerang Gagar Mayang, tiba-tiba saja di tan-
gannya telah tergenggam sebuah trisula. Tombak pen-
dek bermata tiga itu menghunjam cepat ke arah leher 
Gagar Mayang. Pada saat yang sama, dari telapak tan-
gan kiri Ki Tunggui Wulung berhembus angin panas 
dan menerpa lutut gadis dari Bukit Cangak itu. 
’’Wusss! Trakkk!” 
Karena tidak mungkin menghindar ke bawah, 
Gagar Mayang melambung ke udara sembari menang-
kis trisula lawan dengan serulingnya. Benturan trisula 
dengan seruling ini bukan saja menimbulkan suara 
yang memekakkan telinga, melainkan juga membuat 
tubuh Gagar Mayang terlontar hampir tujuh tombak. 
Lagi-lagi Jurus Tambak Segara yang disalurkan lewat 
seruling bambu wulung itu tertembus tenaga dalam Ki  
Tunggui Wulung. 
’’Bungkamlah mulutmu untuk selamanya, bo-
cah lancang!” ujar Ki Tunggui Wulung sambil membu-
ru Lawan dengan julukan angin telapak tangan ki-
rinya. 
Melihat maut mengancam Gagar Mayang, Ki 
Langendriya secepatnya tanggap apa yang bakal terjadi 
berikutnya. Setelah gadis itu roboh, tentu saja Ki 
Tunggui Wulung akan membalik badan untuk membe-
reskanku, pikir demang Desa Majamulya itu. Maka Ki 
Langendriya melompat ke punggung kudanya, dan 
berniat meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Ia 
begitu yakin bahwa perhatian Ki Tunggui Wulung ma-
sih terpaku pada tubuh Gagar Mayang. 
’’Jangan minggat, demang goblok!” seru Ki 
Tunggui Wulung seraya melontarkan pukulan jarak 
jauh ke kaki kuda Ki Langendriya. 
Tak pelik lagi, kuda itu tersungkur dan tubuh 
Ki Langendriya terpelanting dari punggung kuda. Dan, 
sewaktu Ki Langendriya mendaratkan kakinya di ta-
nah, di luar dugaannya trisula Ki Tunggui Wulung be-
gitu cepat menempel di punggungnya. 
’’Sedikit saja kau bergerak, tubuhmu akan ter-
belah menjadi dua, demang maling!” ancam Ki Tunggui 
Wulung sebelum kemudian menotok jalan darah di 
punggung Ki Demang Majamulya. 
Seketika tubuh Ki Langendriya kejang. Dan, 
begitu trisula yang menempel di punggungnya ditarik 
oleh pemiliknya, tubuh itu pun terjengkang dan mem-
bujur lurus di tanah. 
Merasa telah mampu menguasai Ki Demang 
Majamulya, orang sesat dari Lereng Gunung Bromo itu 
pun kembali menoleh ke arah Gagar Mayang. Namun, 
mata sipit orang tua itu serta-merta melebar. Tak dili- 
hatnya lagi tubuh gadis itu di tempatnya tadi berbar-
ing. Padahal ia yakin gadis itu sudah tidak berdaya lagi 
untuk bangkit, terlebih melarikan diri. 
"Iblis laknat! Setan mana pun yang telah mere-
but mangsaku, tolong tampakkan dirimu!” teriak Ki 
Tunggui Wulung lantang. 
 
*** 
 
 
Tak ada sahutan yang menjawab teriakan Ki 
Tunggui Wulung. Orang tua penguasa Lereng Gunung 
Bromo itu hanya mendengar gaung teriakannya sendi-
ri. Ia menajamkan pandang matanya, tetapi tak sedikit 
pun nampak gerak mencurigakan di sekelilingnya. 
Bahkan gerak daun tersapu angin pun tak ada. Begitu 
juga sewaktu ia menajamkan pendengarannya, tak se-
kelumit pun suara langkah atau pun desah napas se-
seorang tertangkap oleh telinganya, kecuali desah na-
pas Ki Langendriya. 
"Bedebah! Terkutuk! Pengecut!” sumpah-
serapah berloncatan dari mulut orang tua itu. Meski 
begitu, dalam hati ia pun dilanda rasa cemas. Ia berpi-
kir, jangan-jangan ada seorang sedang mengintipnya. 
Dan, siapa pun orang itu, tentulah orang yang berilmu 
tinggi. Kalau tidak, mustahil dalam sekejap bisa men-
gambil dan menyembunyikan tubuh gadis berseruling 
itu. Andaipun orang itu langsung pergi, setidaknya 
akan terlihat kelebatnya. Tetapi, ini tidak terjadi. Jan-
gan di-kata kelebat sosok tubuh seorang, sedangkan 
suara telapak kaki pun tak selintas pun terdengar. Pa-
dahal orang itu harus membopong tubuh gadis berna-
 
ma Gagar Mayang itu. 
Mata Ki Langendriya berputar-putar, ikut men-
cari-cari di mana kira-kira penolong Gagar Mayang itu 
berada. Diam-diam ia pun berharap bakal menda-
patkan pertolongan dari entah siapa itu. la berani me-
mastikan bahwa orang yang telah menolong Gagar 
Mayang ini tentulah berilmu silat di atas tingkatan il-
mu silat Ki Tunggui Wulung. 
"Sekali pun kau bisa ambles bumi, suatu ketika 
aku akan bisa mencincangmu, iblis!” teriak Ki Tunggui 
Wulung lagi membuyarkan angan-angan Ki Demang 
Majamulya. 
Merasa pasti bahwa orang yang dicarinya tak 
lagi berada di sekitar tempat itu, penguasa Lereng Gu-
nung Bromo itu kembali menghampiri tubuh Ki Lan-
gendriya yang terbujur tak berdaya di tanah. Lalu, 
dengan sekali berkelebat, tangan kanan orang sesat 
dari Gunung Bromo itu telah menggenggam keris luk 
tujuh yang diingininya. 
”Ha ha ha! Akhirnya kau jatuh ke tanganku, Ki 
Sumping Sedapur!” kata Ki Tunggui Wulung sambil 
menimang-nimang keris pusaka Bukit Cangak itu. 
Ki Demang Majamulya menyumpah-nyumpah 
da-lam hati. Tak disangkanya bahwa keris luk tujuh 
itu akan jatuh ke tangan orang sesat macam Ki Tung-
gui Wulung. Maka kembali ia ingat kata-kata Eyang 
Kuranda Geni, la menyesal telah mencuri keris pusaka 
itu dari Bukit Cangak. Kalau saja keris itu tidak dicu-
rinya dari ruang semadi Eyang Kuranda Geni, mustahil 
Ki Tunggui Wulung bisa mendapatkannya! 
”Hei, demang goblok! Kau kuampuni sebab kau 
telah mengambilkan keris ini untukku. Tetapi, jangan 
coba-coba melawanku jika kau telah kubebaskan nan-
ti. Ingat, hanya sekali aku memaafkanmu!” kata Ki  
Tunggu Wulung sebelum membebaskan totokkan jalan 
darah di punggung Ki Langendriya. 
Bekas murid Eyang Kuranda Geni ini bersyu-
kur dalam hati. Memang lebih baik kehilangan Ki 
Sumping Sedapur daripada kehilangan nyawa. la bah-
kan tidak menyangka akan dibiarkan tetap hidup oleh 
iblis yang haus darah itu. Ia merasa tidak mungkin 
mampu mengalahkan tokoh hitam dari Gunung Bromo 
ini. Tadi ia sudah melihat bagaimana Ki Tunggui Wu-
lung dengan mudah bisa menguasai Gagar Mayang. 
Dan, andai saja tidak muncul orang sakti, entah siapa 
tadi, sudah barang tentu Gagar Mayang tinggal nama. 
Siapakah orang sakti itu sebenarnya? Kenapa 
ia tidak berusaha menyelamatkan Ki Sumping Seda-
pur? Tidakkah ia tahu bahwa Ki Tunggui Wulung akan 
bisa dengan mudah mendapatkan keris pusaka itu da-
ri pinggangku? 
Sambil merapihkan pakaiannya, Ki Langendriya 
bertanya-tanya dalam hati. Ketika kemudian matanya 
mencoba mencuri pandang ke arah Ki Tunggui Wu-
lung, ternyata iblis dari Gunung Bromo itu telah le-
nyap entah ke mana. Maka ia semakin yakin bahwa Ki 
Tunggui Wulung benar-benar membiarkannya tetap 
hidup. 
Bergegas Ki Langendriya menghampiri ku-
danya. Meski kini tak ada lagi Ki Sumping Sedapur 
pada dirinya, tetap saja ia bertekad meneruskan perja-
lanannya menyusul Gagak Paningal. Dendamnya ter-
hadap Sekar Arum semakin menjadi-jadi. Gara-gara 
ulah gadis berpakaian serba putih itulah semua ren-
cananya berantakan. Diam-diam Ki Langendriya he-
ran, kenapa kehadiran gadis itu di Kadipaten Banyua-
sin sangatlah berarti bagi Adipati Sorengdriya. Hanya 
karena gadis itu telah membunuh Kebo Dungkulkah? 
 
Tidakkah Kakang Adipati tahu bahwa membu-
nuh Kebo Dungkul sama mudahnya dengan membu-
nuh cacing tanah? Tidakkah Kakang Adipati tahu 
bahwa seandainya sekarang ada lima orang macam 
Kebo Dungkul maka aku akan bisa membinasakan 
mereka? Jangan lagi seorang Kebo Dungkul, sedang-
kan untuk membunuh Hantu Lereng Gunung Lawu 
pun aku tidak menemui kesulitan! 
Sambil memacu kudanya, Ki Demang Maja-
mulya terus berbicara kepada dirinya sendiri. Benar 
benar ia tidak mengerti kepada Adipati Sorengdriya be-
gitu menaruh hormat kepada Sekar Arum. Padahal 
sudah jelas bagaimana tingkatan ilmu silat gadis dari 
Padepokan Karang Bolong itu. 
”Huh! Kalau saja malam itu tidak muncul Ga-
gar Mayang, sudah pasti gadis keparat itu mati di tan-
gan-ku!” geram Ki Langendriya seraya melarikan ku-
danya lebih kencang lagi. 
Jauh sebelum kuda yang membawa Ki Langen-
driya memasuki gerbang Kadipaten Banyuasin, Gagak 
Paningal telah menyongsongnya. 
’’Hampir saja aku kembali ke sana. Aku kira, 
Kakang Demang menemui kesulitan dalam menghada-
pi gadis itu,” kata Gagak Paningal. 
Meski dengan suara yang janggal, Ki Langen-
driya mencoba untuk tertawa, untuk menutupi keke-
cewaan yang menggerogoti hatinya. Lalu, cepat-cepat 
ia menanyakan berita tentang Sekar Arum agar Gagak 
Paningal tidak terus bertanya perihal Gagar Mayang. 
”Aku sudah mendapatkan laporan dari orang 
kepercayaanku, Kakang. ” 
’’Jadi, di mana gadis keparat itu berada seka-
rang?” sahut Ki Demang Majamulya tak sabar. 
”Dia telah pergi dari wilayah Banyuasin sini.  
Malahan ada salah seorang perempuan yang melihat 
sudah berada di Desa Kuwung.” 
”Apa? Di Desa Kuwung? Untuk apa setan beti-
na itu di sana?” serta-merta Ki Langendriya ingat Sun-
ti, kembang desa itu. 
’’Kita akan tahu apa yang diperbuat gadis itu di 
sana jika secepatnya kita menyusul ke sana, Kakang." 
”Apa kita tidak sebaiknya kita bertemu Kakang 
Adipati lebih dulu?” 
"Kakang Demang hanya akan menerima kema-
rahan Ki Ageng. Percayalah. ” 
’’Kalau begitu, kita langsung ke Kuwung saja!” 
sahut Ki Demang Majamulya seraya menyemplak perut 
kudanya. 
 
*** 
 
’’Terima kasih atas pertolongan Kisanak. Aku 
tidak tahu bagaimana nasibku jika Kisanak tidak da-
tang menyelamatkanku,” ucap Gagar Mayang setelah 
dari tempat persembunyian itu tak lagi terdengar suara 
teriakan Ki Tunggui Wulung. 
”Aku hanya perantara. Yang di atas sanalah 
yang telah menyelamatkanmu,” jawab Joko Sungsang. 
”Dan, kalau memang aku tidak harus membantu lagi, 
izinkan aku meneruskan perjalananku.” 
Kecewa bukan kepalang ,hati Gagar Mayang 
mendengar perkataan anak muda yang baru saja me-
nyelamatkannya ini. Padahal ia berharap anak muda 
itu sudi menemani perjalanannya memburu Ki Tung-
gui Wulung ke Lereng Gunung Bromo. Entah kenapa 
ia ingin sekali mengenal lebih dekat anak muda yang 
dicurigainya sebagai Pendekar Perisai Naga itu. 
”Maaf, barangkali Kisanak menganggapku ku- 
rang sopan. Tetapi, aku akan menyesal sekali jika aku 
tidak bisa bercerita kepada Guru tentang Kisanak yang 
telah menyelamatkanku,” kata Gagar Mayang dengan 
pipi memerah dadu. 
’’Sudah aku katakan bahwa aku hanya sebagai 
perantara. Dan, sama sekali aku tidak menganggapmu 
lancang. Malahan kurang adil jika aku sudah menden-
gar namamu, sedangkan aku tidak mau memperkenal-
kan diri.” 
’’Dari mana Kisanak mendengar namaku?” 
tanya Gagar Mayang kaget. 
’’Sebelum Ki Tunggui Wulung datang, aku su-
dah lebih dulu berada di tempat ini. Jadi, aku men-
dengar semua pembicaraanmu dengan orang berkuda 
yang agaknya seorang demang itu.” 
’’Maksud Kisanak, namaku toh sudah disebut-
sebut oleh Ki Demang Majamulya?” 
’’Tepat sekali. Dan, kalau tidak salah, kau ber-
nama Gagar Mayang.” 
Gagar Mayang mengulum senyum. Rasa malu 
dan gembira bercampur menjadi satu di relung ha-
tinya. 
’’Orang di desaku mengenalku sebagai anak 
demang. Mereka yang sudi menyapaku akan memang-
gilku Joko Sungsang....” 
’’Alias Pendekar Perisai Naga, bukan?” tukas 
Gagar Mayang merasa lega. Lega bahwa du-
gaannya ternyata benar. Ah, rupanya di dunia persila-
tan ini hanya ada satu orang lelaki yang berpakaian 
serba pulih dan mengenakan ikat kepala kulit ular 
sanca, pikir Gagar Mayang. 
Tetapi, sesungguhnya kecurigaan Gagar 
Mayang bukan berangkat dari pakaian maupun ikat 
kepala yang dikenakan Joko Sungsang. Kecurigaan itu  
muncul begitu melihat gerakan anak muda ini dalam 
menyelamatkannya dari ancaman Ki Tunggui Wulung. 
Begitu cepat dan tidak bersuara gerakan itu. Tak 
mungkin bisa dilakukan oleh siapa pun yang tidak be-
rilmu silat tinggi. Tidak berarti bahwa di dunia ini 
hanya Pendekar Perisai Naga yang berilmu silat mum-
puni. Tetapi, dunia peralatan telah mengakui bahwa 
hanya Pendekar Perisai Naga-lah  satu-satunya anak 
muda yang telah menerima warisan yang sulit dicari 
tandingannya! 
"Mungkin, lain kali kita masih bisa bertemu la-
gi,” kata Joko Sungsang seraya melesat pergi. 
Terpana Gagar Mayang menyaksikan gerakan 
anak muda yang menakjubkan itu. Untuk sejenak Ga-
gar Mayang terpaku di tempatnya berdiri. Tak disang-
kanya akan secepat itu ia bertemu dengan pendekar 
yang telah menggegerkan rimba persilatan itu. Namun, 
ia juga tidak mengira bakal secepat itu berpisah dari 
pendekar muda yang dikaguminya itu. 
Lalu, sambil melangkah, gadis itu mengingat-
ingat kembali apa yang telah dikerjakan Pendekar Peri-
sai Naga untuknya, Kini gadis itu tak lagi merasakan 
rasa nyeri pada kedua tumitnya sebab usapan telapak 
tangan Pendekar Perisai Naga. Gagar Mayang merasa-
kan hawa dingin menyusup ke tumitnya ketika anak 
muda itu mengusapkan telapak tangannya. Racun 
yang ditularkan oleh tumit Ki Tunggui Wulung sedikit 
demi sedikit tersedot oleh telapak tangan anak muda 
yang berpakaian serba putih dan berikat kepala kulit 
ular sanca itu. 
Dan, Gagar Mayang menyesal tidak sempat 
mengamati cambuk yang melingkari pinggang anak 
muda itu. Konon cambuk yang terbuat dari kulit ular 
sanca itulah yang menyebabkan pemiliknya dijuluki  
Pendekar Perisai Naga. Jika cambuk itu berputar men-
gelilingi badan pemiliknya maka tak akan ada seran-
gan lawan yang bisa menembus badan Pendekar Peri-
sai Naga! 
Tak jauh dari tempat gadis itu merenung-
renung, Joko Sungsang pun tengah memikirkan keja-
dian yang baru saja dialaminya. Sejak melihat warna 
pakaian yang dikenakan Gagar Mayang, hati Joko 
Sungsang mulai resah. Warna pakaian itu sama-sama 
berpakaian serba jingga. Bahkan kain yang membebat 
pinggul mereka pun hampir sama. Agaknya hanya sen-
jata mereka yang membedakan mana Endang Canti-
kawerdi dan mana Gagar Mayang. Tentu saja jika dili-
hat di bawah keremangan bulan. Sebab, Joko Sung-
sang yakin wajah mereka berdua tidak mungkin sama. 
Kalaupun ada persamaan, yakin sama-sama cantik. 
Kembali Joko Sungsang menelan ludah seperti 
yang dilakukannya ketika harus memegangi pergelan-
gan kaki Gagar Mayang yang mulus itu. la harus men-
cengkeram pergelangan kaki gadis itu sebab ia harus 
mengerahkan tenaga dalam untuk menyedot racun 
yang teronggok dalam tumit gadis itu. Cengkeraman 
pada pergelangan kaki inilah yang bisa mencegah agar 
darah dalam tubuh gadis itu tidak ikut tersedot. 
Sewaktu ia menolong membebaskan gadis itu 
dari serangan racun inilah bayangan Endang Cantika-
werdi semakin nyata di pelupuk matanya. Joko Sung-
sang sendiri tidak menyangka bakal terlena dalam 
menghadapi sikap Endang Cantikawerdi yang manja 
itu. Beberapa hari dalam gemblengan Joko Sungsang, 
gadis itu sudah kehilangan rasa canggungnya. Tak ada 
lagi rasa rendah diri yang semula membatasi keakra-
ban antara gadis itu dengan Joko Sungsang. Hingga 
kemudian tak sungkan-sungkan lagi gadis itu me- 
nyandarkan tubuhnya ke dada Joko Sungsang yang 
bidang itu. 
Dan, darah Joko  Sungsang pun bergolak se-
waktu hidungnya mencium bau harum rambut En-
dang Cantikawerdi. Terlebih sewaktu tanpa sengaja 
lengan Joko Sungsang menyenggol bukit dada gadis 
itu. Maka ketika gadis itu menengadahkan mukanya 
dengan bibir setengah terbuka, tak ada keinginan lain 
dalam diri Joko Sungsang kecuali mencium gadis yang 
telah pasrah dalam dekapannya itu. 
Dari semula Joko Sungsang sudah mengira 
bahwa Endang Cantikawerdi bukanlah Sekar Arum 
yang jinak-jinak merpati. Endang Cantikawerdi adalah 
bara yang tersekap dalam rumput kering. Bertahun-
tahun Joko Sungsang menyertai Sekar Arum, tetapi 
belum sekali pun ia bisa merengkuh tubuh mungil ga-
dis itu. Padahal ia tahu gadis itu mencintainya dan ia 
pun mencintai gadis itu. Namun, bersama Endang 
Cantikawerdi meski hanya beberapa kali bertemu, tiba-
tiba saja terjadi keakraban yang tidak semestinya me-
reka lakukan. 
Membanding-bandingkan Endang Cantikawerdi 
dengan Sekar Arum membuat Joko Sungsang sadar 
dari keterlenaannya. Maka segera ia melepaskan pelu-
kannya seraya berkata, ”Oh, maaf, maaf!” 
Terbelalak mata Endang Cantikawerdi. Sama 
sekali tak diduganya bahwa Joko Sungsang menghen-
tikan begitu saja cumbuannya. Bahkan anak muda itu 
menjauh dari tempatnya semula duduk. 
’’Kenapa harus minta maaf?” tanya gadis itu 
sambil merapikan pakaiannya yang hampir saja melo-
rot dari bahunya yang langsat. 
’Tidak, tidak. Kita tidak boleh melakukannya, 
Cantika. Tidak. Maaf, maaf,” jawab Joko Sungsang  
tanpa berani menatap wajah gadis di sampingnya. 
’’Tetapi...?” Gadis itu tidak meneruskan uca-
pannya sebab seketika itu juga ia sadari siapa dirinya 
bagi Pendekar Perisai Naga. Dan, ia pun ingat bahwa 
masih ada Sekar Arum di antara mereka berdua. 
Ya, tentu saja gadis itu yang membuatnya me-
nolakku, pikir gadis itu sambil menggigit bibirnya 
kuat-kuat.  Kemarahan seketika membeludak dalam 
dadanya. la marah sebab merasa dikalahkan oleh ga-
dis bertombak pendek itu! Hanya karena kau murid 
orang sesat, pikir Endang Cantikawerdi lagi. 
’’Kita teruskan latihan kita? Jurus-jurusmu su-
dah hampir sempurna. Beberapa kali lagi latihan, ku-
kira kau akan menguasai seluruhnya jurus-jurus dari 
Padepokan Jurang Jero, Cantika,” kata Joko Sungsang 
mengalihkan pembicaraan. 
Akan tetapi, Endang Cantikawerdi seolah tidak 
mendengar ucapan anak muda itu. Gadis itu menun-
dukkan kepala dalam-dalam. Bahkan samar-samar 
terdengar isak tangis gadis itu. 
”Bukankah aku sudah minta maaf, Cantika?” 
kata Joko Sungsang dalam kebingungannya mengha-
dapi gadis itu. Betapa tidak bingung! Ia tidak mungkin 
meneruskan cumbuannya terhadap gadis itu jika pada 
akhirnya ia harus mengecewakannya. Ia sadar sepe-
nuhnya bahwa ia tidak mencintai gadis itu. Baginya, 
cinta hanyalah tersedia bagi gadis yang kelak diha-
rapkan menjadi ibu dari anak-anaknya. Kalaupun ia 
tadi mencumbu gadis itu, semata-mata karena ia lelaki 
normal. Ia terangsang menerima sentuhan kulit gadis 
itu, mencium bau harum rambut gadis itu, melihat bi-
bir setengah terbuka yang berwarna merah, dan meli-
hat lereng bukit kembar di dada gadis itu. 
”Aku yang seharusnya minta maaf. Aku yang  
tidak tahu diri,”  kata Endang Cantikawerdi sebelum 
melesat pergi. 
’Tunggu, Cantika!” teriak Joko Sungsang. Na-
mun, dalam sekejap bayangan gadis itu lenyap dari 
pandang matanya. Sebenarnya, bukan tidak mungkin 
baginya untuk mengejar gadis itu. Namun, Joko Sung-
sang pun ingat bahwa mengejar gadis itu sama halnya 
menambah pukulan batin bagi gadis itu sendiri. 
Berhari-hari Joko Sungsang mencoba menghi-
langkan bayangan Endang Cantikawerdi dari benak-
nya. Ia berusaha menggantikan bayangan gadis berpa-
kaian serba jingga itu dengan bayangan gadis yang 
berpakaian serba putih. Akan, tetapi, ketika usahanya 
itu hampir berhasil, tiba-tiba saja ia harus bertemu 
dengan Gagar Mayang yang juga berpakaian serba 
jingga. 
Bukan saja ingatan terhadap Endang Cantika-
werdi yang mengajak Joko Sungsang agar segera me-
ninggalkan Gagar Mayang. Melainkan juga karena ia 
sudah berjanji dalam hati untuk tidak akrab dengan 
gadis mana pun kecuali dengan Sekar Arum. 
’Tetapi, di manakah sekarang ini Sekar Arum 
berada?” tanya Joko Sungsang kepada dirinya sendiri. 
 
*** 
 
Matahari telah mengintip di ufuk Timur. Em-
bun di dedaunan mulai mencair oleh kehangatan uda-
ra pagi. Para petani mulai berjalan beriringan di pema-
tang sawah untuk kemudian turun dan bergulat den-
gan lumpur. Sesekali saja mereka mendongakkan ke-
pala dan tanpa sengaja mata mereka menangkap Pun-
cak Gunung Bromo yang masih berselimutkan kabut 
tebal. Dan, melihat puncak gunung itu, mereka lantas  
saja ingat kemalangan yang siap menerkam nasib me-
reka. 
Semenjak Ki Tunggui Wulung dan anak buah-
nya menghuni Lereng Gunung Bromo, penduduk di 
sekitar lereng gunung itu merasakan kesengsaraan 
yang melebihi kesengsaraan sebelumnya. Para petani 
miskin yang sering tertimpa musibah bencana alam itu 
harus menyerahkan sebagian hasil panen mereka ke-
pada Ki Tunggui Wulung Maka kelaparan semakin 
mengancam penghuni lereng gunung itu. 
Cerita ini langsung didengar oleh Gagar Mayang 
begitu gadis itu tiba di salah satu desa di lereng gu-
nung itu. Semangat gadis itu untuk mendapatkan, 
kembali Ki Sumping Sedapur semakin menyala-nyala, 
la yakin, dengan Ki Sumping Sedapur di tangan maka 
Ki Tunggui Wulung akan semakin pongah dan sewe-
nang-wenang. Hanya Gagar Mayang yang mendengar 
cerita dari Eyang Kuranda Geni tentang pengaruh keris 
pusaka itu terhadap orang yang menyimpannya. 
’’Memang sulit dipercaya. Tetapi, ini nyata-
nyata terjadi, Megatruh. Barangsiapa menguasai keris 
itu akan semakin mendapatkan kemajuan dalam usa-
hanya sehari-hari. Kemajuan dalam segala hal, me-
nyangkut kemajuan perilaku orang itu sendiri. Jika 
orang itu pada dasarnya jahat, maka ia akan semakin 
jahat. Sebaliknya, jika orang itu berjalan di jalan yang 
lurus, maka ia akan semakin mulia. Contoh yang seka-
rang ini bisa kau lihat  adalah yang terjadi pada diri 
Langendriya. Karena ia mendapatkan keris itu dengan 
jalan mencuri, karena itu pula keinginannya untuk 
mencuri semakin menjadi-jadi. Ia sudah mulai berpikir 
untuk mencuri kedudukan adipati di Kadipaten Ba-
nyuasin. ” 
Gagar Mayang manggut manggut kecil mengin- 
gat penjelasan Eyang Kuranda Geni perihal pengaruh 
Ki Sumping Sedapur terhadap orang yang menyimpan. 
Sekarang keris pusaka itu berada di tangan Ki Tunggui 
Wulung yang lebih jahat jika dibandingkan dengan Ki 
Langendriya. 
’’Langendriya sendiri tidak pernah membayang-
kan bahwa keluarnya Ki Sumping Sedapur dari Bukit 
Cangak berarti akan menggegerkan rimba persilatan. 
Orang-orang baik dari golongan lurus maupun golon-
gan sesat akan bertemu untuk memperebutkan keris 
pusaka itu. Orang-orang yang tidak berdosalah yang 
akan menjadi korban dari perebutan keris pusaka itu. 
Karena itu, sebelum keris itu lolos dari tangan Langen-
driya, kau harus bisa membawa kembali ke Bukit Can-
gak sini. Kalau sampai keris itu jatuh ke tangan orang 
lain lagi, sudah pasti musuh yang kau hadapi  akan 
semakin banyak. Dan, kau harus tahu bahwa masih 
banyak orang sesat yang berilmu demit yang tentunya 
tidak mudah untuk kau taklukkan. Hati-hatilah. Kalau 
memang keris Itu telanjur jatuh ke tangan orang sakti, 
sebaiknya kau kembali ke Bukit Cangak. Biarlah keris 
itu musnah asalkan kau selamat,” pesan Eyang Ku-
randa Geni kembali terngiang di telinga Gagar Mayang. 
'Tidak. Aku harus mendapatkan keris pusaka 
itu walau apa pun yang terjadi!” kata hati Gagar 
Mayang sembari meneruskan langkah. 
Gadis itu memang tidak merasa getar mengha-
dapi Ki Tunggui Wulung. Kalaupun ia pernah hampir 
celaka berhadapan dengan orang sesat itu, la merasa 
karena ia kurang waspada. la masih beranggapan 
bahwa ilmu silat Ki Tunggui Wulung sejajar dengan il-
mu silat Ki Langendriya. Sikap meremehkan inilah 
yang membuatnya hampir celaka. 
Langkah Gagar Mayang terhenti. Ia menajam- 
kan pendengarannya. Samar-samar tertangkap oleh te-
linga suara senjata beradu. Sepagi ini sudah ada per-
kelahian di lereng gunung ini? Maka gadis itu secepat-
nya menyelinap ke rerimbunan semak-semak. Dengan 
langkah mengendap-endap ia mendekati arah datang-
nya suara. Dan, sewaktu ia menemukan sumber suara 
itu, matanya terbelalak memandangi apa yang nampak 
di depan matanya. 
Gagar Mayang mengusap usap pelupuk ma-
tanya. Sulit dipercaya jika nyatanya ada seorang gadis 
berpakaian serba jingga, persis  pakaian yang sedang 
dikenakannya.  Bahkan kain lereng yang membebat 
pinggul gadis itu pun hampir sama dengan kain lereng 
yang membebat pinggulku, pikir Gagar Mayang. 
Gadis berpakaian serba jingga dan bersenjata 
toya itu tengah sibuk menghadapi keroyokan tiga 
orang lelaki anak buah Ki Tunggui Wulung. Dua orang 
lelaki yang lain nampak tidak lagi berdaya. Mereka 
berdua tertatih-tatih berusaha bangkit. Tangan kanan 
mereka menekap dada sebab baru saja toya di tangan 
gadis itu menyodok dada mereka berdua. 
Melihat dua orang temannya roboh, tiga orang 
lelaki itu semakin berang. Sementara ketiganya men-
gurai cambuk berduri yang terbuat dari pohon gadung 
Lalu, secara serempak pula ketiga cabuk itu mengu-
rung tubuh gadis berpakaian serba jingga itu. 
’’Terimalah ajalmu, betina liar!” seru salah seo-
rang dari ketiga lelaki itu. 
Gadis itu tersenyum. Menghadap ketika cam-
buk yang meledak-ledak membisingkan telinga itu, ga-
dis berpakaian serba jingga itu memutar toya dewon-
darunya di atas kepala. 
’’Sekali lagi kuperingatkan bahwa  aku tidak 
pernah berurusan dengan guru kalian yang bernama  
Ki Tunggui Wulung! Aku datang ke sini tanpa ku sen-
gaja! Aku tidak tahu-menahu tentang keris pusaka 
yang kalian maksudkan! Bukankan lebih baik kalian 
memanggil guru kalian mumpung kalian masih berna-
pas?” kata gadis itu. 
’Gagar Mayang, lupakan keinginanmu untuk 
mendapatkan kembali keris pusaka itu! Lebih baik kau 
berdoa agar nyawamu tidak terdampar di neraka!” sa-
hut lelaki yang agaknya menjadi pimpinan mereka ber-
lima. 
Tahulah kini Gagar Mayang apa yang tengah 
terjadi di depan matanya. Rupanya anak buah Ki 
Tunggui Wulung mengira gadis itulah yang bernama 
Gagar Mayang. Hanya karena gadis itu berpakaian 
serba jingga. 
”Sudah kukatakan bahwa namaku bukan Ga-
gar Mayang!” kata gadis bertoya itu sambil menyong-
song lilitan ketiga cambuk itu dengan juluran toya de-
won-darunya. 
’’Srettt! Srettt! Srettt!” 
Susul-menyusul cambuk berduri itu melilit toya 
berwarna merah kecoklat-coklatan itu. Ketiga pemilik 
cambuk itu tertawa. Mereka menganggap bahwa lawan 
telah mereka kuasai. Mereka yakin bahwa toya itu 
bakal terenggut dari tangan gadis itu. 
Namun, yang terjadi sungguh di luar dugaan 
ketiga lelaki itu. Tentu saja ketiga orang lelaki yang be-
lum berpengalaman di rimba persilatan itu tidak men-
gira maksud gadis itu menjulurkan toyanya. Tak terpi-
kirkan oleh mereka bertiga bahwa gadis itu sengaja 
mengumpankan toyanya agar dibelit oleh ketiga cam-
buk berduri Itu. Mereka bertiga tidak akan menyangka 
bahwa lilitan cambuk-cambuk itu akan menguntung-
kan lawan. 
 
Sebelum ketiga lelaki itu menyentakkan cam-
buk mereka, gadis itu menggenjotkan kakinya ke ta-
nah, dan tubuhnya melenting ke udara dengan gera-
kan salto. Inilah salah satu jurus yang baru saja dipe-
lajarinya dari Joko Sungsang. 
’’Desss! Desss!” 
Dua orang lelaki terhuyung-huyung sebab baru 
saja sisi kedua telapak kaki gadis itu menyambar peli-
pis mereka. Begitu mereka melepaskan pegangan pada 
gagang cambuk, mereka pun tersungkur seraya me-
muntahkan darah segar. 
’’Masih kuberi kau waktu untuk enyah dari ha-
dapanku. Pergilah sebelum toyaku ini meremukkan 
kepalamu!” kata gadis itu kepada satu-satunya lawan 
yang masih tersisa. 
Lelaki itu tak mempedulikan ancaman lawan. Ia 
bahkan nekad menyentakkan cambuknya yang masih 
melilit toya merah kecoklat-coklatan itu. Akan tetap, 
bersamaan dengan sentakan itu, gadis berpakaian ser-
ba jingga itu membuang tubuhnya ke bawah dengan 
kedua tumit mengarah ke lutut lelaki itu. Sejengkal la-
gi kedua tumit gadis itu menghancurkan kedua lutut 
lelaki itu, tiba-tiba ada angin yang menyambar tubuh 
keduanya. Tubuh lelaki itu terbang terbawa angin se-
mentara tubuh gadis itu terhempas ke tanah. Namun, 
dengan bersitelekan toyanya, gadis itu berhasil mem-
bebaskan diri dari hempasan angin itu. 
’’Dasar orang sesat! Tak berani berlaku jantan!” 
teriak Gagar Mayang sambil melompat keluar dari 
tempat persembunyiannya. 
Gadis bertoya itu, yang tak lain adalah Endang 
Cantikawerdi, terbelalak memandangi gadis yang ber-
pakaian serba jingga, yang tak beda sedikit pun den-
gan pakaian yang dikenakannya. Dan, sebelum ia lebih  
cermat mengamati gadis itu, tiba-tiba saja seorang ka-
kek-kakek melompat turun dari sebuah pohon sambil 
tertawa terkekeh-kekeh. 
”Aku sudah menyangka, engkaulah yang pan-
tas menjadi pembokong, Ki Tunggui Wulung!” sergah 
Gagar Mayang. Lalu, kata gadis itu kepada Endang 
Cantikawerdi, ”Maaf, kau terpaksa menjadi korban 
pengeroyokan sebab pakaian kita serupa. Akulah se-
benarnya yang mereka kehendaki.” 
Kini barulah Endah Cantikawerdi mengerti ke-
napa kelima lelaki itu tiba-tiba saja mengurungnya dan 
ingin membunuhnya. 
’’Jadi, engkaulah yang bernama Gagar 
Mayang?” tanya Endang Cantikawerdi. 
”He he he! Agaknya kerbau-kerbau dungu itu 
salah seruduk!” kata Ki Tunggul  Wulung sambil me-
mandangi Gagar Mayang dan Endang Cantikawerdi 
bergantian. ’’Tetapi, tidak berarti kau boleh lolos dari 
tanganku, Bocah Denok! Kau telah merobohkan mu-
rid-muridku. Kau harus menebus dengan kecantikan-
mu!” Mata Ki Tunggui Wulung memandang rakus ke 
arah dada Endang Cantikawerdi. 
’Tunggui Wulung!” sergah Gagar Mayang men-
dahului Endang Cantikawerdi. ’’Urusanmu bukan den-
gan siapa-siapa! Perkara keris pusaka itu...!” 
’’Biarlah jika kakek jompo ini ingin mering-
kusku,” tukas Endang Cantikawerdi. 
’’Kisanak, maafkan aku jika aku telah menda-
tangkan kesulitan bagimu. Tetapi, izinkan aku menye-
lesaikan masalahku dengan tua bangka ini,” kata Ga-
gar Mayang sambil membungkuk hormat ke arah En-
dang Cantikawerdi. 
Melihat sikap Gagar Mayang yang penuh rasa 
hormat, Endang Cantikawerdi terpaksa harus mela- 
pangkan dada, la sadar bahwa ia memang tidak punya 
urusan dengan Ki Tunggui Wulung. Kalau saja ia tidak 
pernah berguru kepada Pendekar Perisai Naga, sudah 
barang pasti ia akan gusar melihat kemunculan Gagar 
Mayang, la akan beranggapan bahwa gadis itu telah 
lancang, berani mengambil alih musuhnya. Akan teta-
pi, Endang Cantikawerdi yang sekarang ini bukanlah 
Endang Cantikawerdi yang baru saja turun dari Pade-
pokan Gunung Sumbing. Endang Cantikawerdi yang 
sekarang ini adalah seorang gadis yang telah mewarisi 
ilmu silat dari Padepokan Jurang Jero. Ia adalah seo-
rang pendekar yang mulai tahu membedakan mana 
yang benar dan mana yang salah, mana yang lurus 
dan mana yang sesat, serta bisa membedakan mana 
urusan pribadi dan mana yang disebut campur tan-
gan. 
’’Baiklah. Sebaiknya aku memang jadi penon-
ton,” kata Endang Cantikawerdi pada akhirnya. 
”Ho ho ho! Kenapa tidak kau bantu temanmu? 
Tidakkah lebih baik kalian berdua membujukku agar 
aku memaafkan kalian?” sahut Ki Tunggui Wulung. 
’’Tunggui Wulung, kau memang pernah hampir 
mencelakakanku. Tetapi, jangan kau kira  itu terjadi 
karena ilmu silatmu tak tertandingi olehku. Nah, seka-
ranglah saatnya menentukan siapa yang paling pantas 
mendapatkan Ki Sumbing Sedapur. Bersiaplah, Tung-
gui Wulung!” secepat kilat seruling bambu wulung 
yang tadi terselip di pinggang gadis itu pindah ke tan-
gan kanan gadis itu. 
’’Sejak tadi aku sudah siap untuk mendengar-
kan alunan serulingmu, bocah bengal!” kata Ki Tung-
gui Wulung seraya menyingsingkan lengan jubahnya. 
Sambil berteriak melengking, Gagar Mayang 
menerjang lawan dengan sodokan seruling bambu wu- 
lungnya ke arah dada. 
’’Wusss!” 
Sebelum seruling bambu wulung itu menyen-
tuh dada W Tunggui Wulung, sambaran angin panas 
membuat Gagar Mayang harus membatalkan seran-
gannya dan menggantikannya dengan putaran untuk 
menepis angin yang menyambar perutnya. 
Seperti membentur baling-baling baja, angin 
yang berasal dari telapak tangan Ki Tunggui Wulung 
berbalik arah. 
’’Bagus!” seru Ki Tunggui Wulung. ’’Tetapi, co-
balah ini kau tangkis dengan putaran serulingmu!” 
’’Wusss! Wusss! Wusss!” 
Susul-menyusul angin menyambar dari telapak 
tangan kanan dan kiri  Ki Tunggui Wulung. Dan, se-
rangan ini ternyata memang bukan hanya gerakan 
sambal. Tubuh Gagar Mayang terdorong mundur bebe-
rapa langkah. Angin yang datang dari telapak tangan 
lawan ternyata tak mampu dibendungnya. Angin pa-
nas itu menyambar kedua kaki Gagar Mayang sehing-
ga itu merasa sepasang kakinya terbakar. 
Secepatnya Gagar Mayang mengerahkan tenaga 
mumi untuk mengatasi rasa sakit yang menyerang ku-
lit sepasang kakinya. Setelah itu, kembali ia memutar 
serulingnya. Kali ini suara bersuitan keluar dari ketu-
juh lubang seruling itu. 
Ki Tunggui Wulung mengernyitkan dahi, la per-
nah mendengar suara bersuitan yang sama. Dan sa-
ma-sama menyakitkan telinga. 
”Aji Guntur Warayang,” desis orang tua itu. La-
lu, ia melihat sisa anak buahnya yang masih hidup 
berkelojotan sambil menekap telinga. 
Endang Cantikawerdi segera mengerahkan te-
naga dalam untuk melindungi telinganya dari serangan  
suara yang menyakitkan itu. Bersyukurlah ia telah 
berlatih jurus penangkal suara ini bersama Joko 
Sungsang. Dari Joko Sungsang, ia belajar banyak dari 
apa yang belum pernah diajarkan oleh Cekel Janaloka. 
Maka kini ia tidak harus terlongo-longo mengikuti ja-
lannya pertarungan Ki Tunggui Wulung melawan Ga-
gar Mayang. Bahkan setelah pertarungan melewati pu-
luhan jurus, Endang Cantikawerdi bisa melihat bahwa 
Gagar Mayang mulai kuwalahan menghadapi serangan 
lawan. Terlebih sewaktu Ki Tunggui Wulung mulai me-
nyerang dengan trisulanya. 
’’Sekarang tak ada lagi setan yang bisa meno-
longmu dari kematian, gadis bengal!” seru Ki Tunggui 
Wulung seraya mengkombinasikan serangan trisula 
dengan angin panas dari telapak tangan kirinya. 
Melihat trisula itu mengarah ke lehernya, Gagar 
Mayang merunduk sambil memutar serulingnya untuk 
menangkis angin panas yang menerpa dadanya. Na-
mun, tiba-tiba trisula itu menukik ke arah bahunya. 
’’Trakkk! Wusss!” 
Gagar Mayang berhasil menahan trisula itu 
dengan serulingnya. Akan tetapi, sekali lagi angin pa-
nas itu menerpa kakinya. Tak pelak lagi, kuda-kuda 
gadis itu goyah. Dan, dorongan trisula yang begitu 
kuat membuat tubuh gadis itu terhempas ke tanah. 
Pada saat itulah tumit kanan Ki Tunggui Wulung me-
luncur deras ke arah dada gadis itu. 
’’Wuttt! Wuttt! Wuttt!” 
Putaran toya dewondaru Endang Cantikawerdi 
memaksa Ki Tunggui Wulung harus membuang tubuh-
nya ke belakang. 
’’Bedebah! Berani kau mencampuri urusan ka-
mi!” Kini trisula di tangan Ki Tunggui Wulung melun-
cur deras ke dada Endang Cantikawerdi. Dan, pada  
saat yang sama kaki orang tua itu menyapu kaki ka-
nan gadis itu. 
"Trakkk! Trakkk! Dukkk!” 
Di luar dugaan Ki Tunggui Wulung toya lawan 
masih mampu menjangkau kaki kanannya. Terlebih 
lagi gadis itu mampu menahan tenaga dalam yang dis-
alurkannya lewat trisula. Tidak seharusnya tangan ga-
dis itu mampu menukikkan toyanya ke bawah setelah 
menangkis tusukan trisula. 
’’Keparat! Benar-benar tidak bisa  kuampuni 
kau, sundel bolong!” geram Ki Tunggui Wulung setelah 
mampu mengatasi rasa nyeri yang menusuk-nusuk tu-
lang keringnya. 
”Aku memang tidak butuh pengampunanmu, 
kakek bento!” jawab Endang Cantikawerdi. 
’’Singngng!” 
Sebatang paku beracun menyambar ke arah 
leher Endang Cantikawerdi. Namun, sebagai bekas 
murid tokoh sesat, gadis itu sudah menduga akan 
munculnya senjata rahasia dalam pertarungan itu. 
Maka dengan tenang gadis itu menjejakkan kakinya ke 
tanah dan tubuhnya berjumpalitan di udara. 
"Tibalah ajalmu, Perempuan Laknat!” Berkata 
begini, Ki Tunggui Wulung menyusul ke udara sambil 
menusukkan trisulanya. 
”Trakkk! Trakkk! Bukkk!” 
Serangan trisula itu memang berhasil ditepis 
oleh Endang Cantikawerdi di depan toyanya, tetapi sa-
tu tendangan lawan berhasil masuk ke pinggangnya. 
Tubuh gadis itu terpental. 
Gagar Mayang memekik kecil seraya melompat 
memburu Ki Tunggui Wulung yang telah siap mengi-
rimkan serangan susulan kepada Endang Cantikawer-
di. 
 
’’Hancurlah kepalamu, kakek sesat!” teriak Ga-
gar Mayang untuk mancing lawan agar membalik 
langkah. 
Ki Tunggui Wulung bukanlah anak kemarin 
sore yang mudah terpancing oleh segala jenis tipuan. 
Lagi pula, sejak semula ia sudah mengira bahwa kedua 
gadis belia itu akan saling membantu satu sama lain. 
Oleh sebab itu, tanpa mengalihkan perhatian, Ki Tung-
gui Wulung mengibaskan jubahnya untuk menangkis 
serangan seruling bambu wulung yang mengarah ke 
kepalanya.. 
Maut mengancam Endang Cantikawerdi. Begitu 
tubuhnya terbanting ke tanah, satu hunjaman trisula 
mengancam dadanya. Tak ada lagi kesempatan bagi-
nya untuk menangkis trisula itu dengan toyanya. Akan 
tetapi, pada saat yang kritis ini ia ingat sesuatu yang 
sudah lama tidak dipergunakannya. Maka dengan sisa 
tenaga yang dimilikinya, Endang Cantikawerdi bergu-
lingan ke samping kiri sambil menaburkan pasir bera-
cun yang masih tersisa di balik kain lerengnya. 
’’Demit tetekan!” lenguh Ki Tunggui Wulung se-
raya melompat mundur. Ia merasakan sejuta jarum 
beracun menancap di matanya. 
Dan, pada saat orang sesat dari Gunung Bromo 
ini melangkah mundur, Gagar Mayang telah siap men-
jemput dengan totokan serulingnya ke arah punggung. 
’’Aaakhggg!” Sekali lagi Ki Tunggui Wulung me-
lenguh, dan kemudian tubuhnya melorot dan terbaring 
lemas. 
 
*** 
 
 
 
Endang Cantikawerdi mengerang sambil mene-
kap pinggang kanannya. Tendangan tumit Ki Tunggui 
Wulung seolah menghancurkan seluruh isi perutnya. 
Dan, rasa sakit ini semakin menjadi-jadi sewaktu ra-
cun yang berasal dari tumit lawan mulai menyerang. 
”Aku akan berusaha menyedot racun itu,” kata 
Gagar Mayang seraya memeriksa warna biru di ping-
gang gadis yang baru saja dikenalnya ini. 
’’Racun? Maksudmu, tendangan itu mengan-
dung racun?” tanya Endang Cantikawerdi kaget. 
”Ya. Aku pun pernah berbenturan tumit dengan 
kakek edan itu. Syukurlah muncul Pendekar Perisai 
Naga menolongku. Darinyalah aku tahu bagaimana ca-
ra mengatasi racun itu....” 
’’Pendekar Perisai Naga?” tukas Endang Canti-
kawerdi dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. 
”Kau sudah pernah bertemu dengannya?” 
Endang Cantikawerdi tak menjawab. Ingatan 
atas pertemuan terakhir kalinya dengan Pendekar Pe-
risai Naga membuat gadis itu tak mendengar perta-
nyaan Gagar Mayang. 
”Kau mengenalnya?” kejar Gagar Mayang. 
’'Ya. Tapi, sudah lama sekali aku tidak men-
dengar beritanya.” 
”Aku sudah menyangka bahwa aku telah lebih 
dulu mengenalnya. Mungkin juga kalian bersahabat.”  
’’Dari mana kau bisa menduga begitu?” 
’’Tahan napasmu. Aku akan mulai menyedot 
racun itu,” sahut Gagar Mayang sebelum kemudian 
menempelkan telapak tangannya ke pinggang Endang 
Cantikawerdi yang membiru. 
Sementara Gagar Mayang mengatasi racun 
yang mengeram di pinggang Endang Cantikawerdi, Ki  
Tunggui Wulung berusaha sekuat tenaga membe-
baskan diri dari totokan seruling bambu wulung yang 
membuatnya lemas tak bertenaga. Namun, karena ia 
pun harus menahan rasa nyeri di matanya, usaha un-
tuk membebaskan diri dari totokan itu tak menda-
tangkan hasil. Malahan ia merasa serangan pasir bera-
cun di matanya semakin menjadi-jadi, la mencoba 
mengerahkan tenaga murni untuk mengatasi racun di 
matanya. Namun, usaha itu justru memperburuk kea-
daan. 
”Kau akan segera mampus jika kau berusaha 
melawan racun pasir itu dengan tenaga murni, Tung-
gui Wulung,” kata Endang Cantikawerdi setelah terbe-
bas dari maut yang mengancam pinggangnya. 
”Dan, kau akan semakin kehilangan tenaga un-
tuk usahamu membebaskan totokan serulingku, kakek 
sesat!” timpal Gagar Mayang. 
’’Kenapa tidak kaubunuh sekalian aku?” kata 
Ki Tunggui Wulung. 
’’Bunuh? Kau pikir aku tidak menghendaki ke-
ris itu lagi? Kau akan kusiksa sampai kau mengaku di 
mana  kau sembunyikan  keris itu, Kek!” sahut Gagar 
Mayang. 
”He he he.... Sampai kau pancung leherku pun 
aku tidak akan pernah menyebutkan di mana keris itu 
kusimpan, bocah tolol!” 
Gagar Mayang menghela napas. Memang, se-
sungguhnya tak ada pikiran untuk menyiksa lawan 
yang sudah tidak berdaya. Tanpa disiksa pun Ki Tung-
gui Wulung akan mati oleh jalaran racun di matanya. 
Dari keterangan Endang Cantikawerdi, ia tahu betapa 
ganas racun pasir kepundan Gunung Sumbing. 
Gagar Mayang menoleh kepada Endang Canti-
kawerdi. Akan tetapi, ia tak menemukan sosok gadis  
yang terbungkus pakaian serba jingga itu. 
’’Kenapa dia harus pergi diam-diam?” tanya hati 
gadis itu sambil tetap mengedarkan pandang matanya. 
Sudah pasti gadis itu tidak mengerti kenapa 
Endang Cantikawerdi harus secepatnya pergi mening-
galkan tempat itu. Gagar Mayang tidak bisa merasakan 
betapa hancur hati Endang Cantikawerdi sewaktu 
mendengar nama Pendekar Perisai Naga disebut-sebut 
deh gadis yang baru saja dikenalnya itu. 
Rasa cemburu memang begitu mudah meracuni 
hati seorang gadis macam Endang Cantikawerdi. Ke-
cemburuannya terhadap Sekar Arum semakin hari 
semakin menggunung. Kini masih ditambah lagi ke-
cemburuan baru. Ya, lelaki mana yang tidak tergiur 
melihat kecantikan Gagar Mayang! Selain cantik, gadis 
itu juga memiliki ilmu silat yang mumpuni. Masih di-
tambah lagi kecantikan yang terpancar dari hati Bukit 
Cangak itu. la bahkan lebih cantik jika dibandingkan 
dengan Sekar Arum, pikir Endang Cantikawerdi sambil 
mengayun langkah. 
Tidak boleh tidak bekas. murid Cekel Janaloka 
itu lantas membandingkan dirinya dengan Gagar 
Mayang maupun Sekar Arum. Pikirnya, aku hanyalah 
bekas murid orang sesat. Tak seperti Sekar Arum 
maupun Gagar Mayang. Aku bahkan tidak memiliki 
ilmu silat yang layak untuk dibandingkan dengan me-
reka berdua. Kalau akhirnya aku menjadi murid Pen-
dekar Perisai Naga, itu kudapatkan atas dasar belas 
kasihan. Bukan atas dasar cinta! 
Sementara Endang Cantikawerdi berjalan men-
jauhi tempat itu, Gagar Mayang masih saja kebingun-
gan menghadapi Ki Tunggui Wulung. Orang tua itu te-
tap tak mau mengaku di mana ia menyembunyikan Ki 
Sumping Sedapur sekalipun sejuta ancaman dilontar- 
kan oleh gadis yang menawannya. 
’’Baiklah. Kalau begitu, bukan saja kau yang 
mengalami siksaan, melainkan juga seluruh penghuni 
Perguruan Gunung Bromo akan ku basmi! Selamat 
tinggal, kakek bebal. Semoga tubuhmu habis dicabik-
cabik binatang malam!” setelah sekali lagi menotok ja-
lan darah di tubuh Ki Tunggui Wulung, gadis itu pun 
melesat pergi menuju Perguruan Gunung Bromo. 
Totokan jalan darah susulan ini membuat Ki 
Tunggui Wulung benar-benar tak berkutik. Tubuhnya 
kejang dan jalaran racun yang berasal dari kedua ma-
tanya semakin merajalela. 
 
*** 
 
Gagar Mayang mendongakkan mukanya. Tanpa 
terasa matahari telah condong ke bumi belahan Barat 
Cukup lama juga pertarungan mereka bertiga tadi ber-
langsung. Sewaktu ia melihat gadis berpakaian serba 
jingga itu berkelahi melawan anak buah Ki Tunggui 
Wulung, matahari baru sepenggalah tingginya. 
Maka gadis itu mengerahkan ilmu meringankan 
tubuhnya untuk segera bisa mencapai Perguruan Gu-
nung Bromo. Seperti anak panah, tubuh gadis itu ber-
kelebat di antara kerimbunan hutan pinus. Tak lagi 
nampak sosok seorang gadis cantik-belia. Yang nam-
pak hanyalah bayangan berwarna jingga yang melesat 
di sela-sela pepohonan. 
Mendekati gua tempat Ki Tunggui Wulung dan 
anak buahnya tinggal, Gagar Mayang mengendap-
endap, menyelinap dari balik pohon yang satu ke balik 
pohon yang lain. Sewaktu ia mencoba menajamkan 
pendengarannya, tak sepatah kata pun suara manusia 
ia tangkap. Gua itu sepi. Tak ada tanda-tanda kehidu- 
pan. 
’’Mungkin memang sudah tidak tersisa lagi 
anak buah Ki Tunggui Wulung,” kata gadis itu kepada 
dirinya sendiri. Lalu, dengan sekali lompat, ia telah 
berdiri di mulut gua. Sejenak ia berdiri di situ, tetap 
saja tak ada reaksi dari dalam gua. Akan tetapi, tiba-
tiba terdengar erangan halus dari dalam gua itu. 
Bergegas Gagar Mayang menyelinap masuk. Ki-
ni nampaklah pemandangan yang tak diduga-duganya. 
Sembilan orang anak buah Ki Tunggui Wulung berge-
limpangan tak bernyawa. Hanya seorang yang masih 
kuat bertahan. Gagar Mayang menghampiri lelaki yang 
tengah sekarat itu. 
’’Siapa yang membunuh teman-temanmu?” 
tanya gadis itu. 
’’Air... air...,” rintih lelaki itu. 
’’Katakan dulu, siapa yang melakukan ini se-
mua?” tukas Gagar Mayang. 
Lelaki itu menggeleng. Rupanya inilah gerak te-
rakhir leher lelaki itu sebelum nyawanya melayang. Le-
laki itu tewas sebelum menjawab pertanyaan Gagar 
Mayang. 
Gadis itu tahu apa yang harus dilakukan jika 
nyatanya tak seorang pun bisa dimintai keterangan. Ia 
memeriksa satu per satu mayat-mayat yang bergelim-
pangan di dalam gua itu. Ia pastikan, dengan menge-
tahui jenis senjata yang digunakan untuk menyudahi 
orang-orang ini maka akan diketahui pula siapa pemi-
lik senjata itu. 
Akan tetapi, tak segores pun luka bisa ditemu-
kan pada sepuluh mayat itu. Ilmu demit, pikir Gagar 
Mayang sambil menarik napas panjang. Manusia ma-
cam apa yang bisa membunuh tanpa menimbulkan lu-
ka sedikit pun? Kalaupun mereka ini mati karena pu- 
kulan dalam, toh mereka akan mengeluarkan darah 
dari mulut, hidung, atau pun telinga. 
Gagar Mayang memeras ingatannya. Barangkali 
saja ada cerita dari Eyang Kuranda Geni yang terlupa-
kannya. Beberapa orang tokoh sakti dari rimba persila-
tan pernah disebut-sebut oleh Eyang Kuranda Geni. 
Namun, tak seorang pun dari mereka yang bisa mem-
bunuh lawan tanpa meninggalkan jejak. 
Mungkinkah Pendekar Perisai Naga yang mela-
kukan ini semua? Yah, hanya Pendekar Perisai Naga 
yang belum disebutkan oleh Eyang Kuranda Geni. Te-
tapi, bukankah anak muda itu memiliki senjata cam-
buk kulit ulat yang kesohor? Dan, mustahil cambuk 
itu bisa membunuh tanpa meninggalkan bekas! 
Akhirnya, Gagar Mayang pun tidak percaya 
bahwa yang membunuh sepuluh anak buah Ki Tung-
gui Wulung adalah Pendekar Perisai Naga. Apalagi ia 
pernah mendengar cerita tentang akibat dari belitan 
cambuk yang terkenal dengan sebutan Perisai Naga 
itu. Cambuk itu akan menyayat kulit korban dan me-
ninggalkan bekas membiru di sekitar sayatan. Itulah 
ciri khas jejak cambuk kulit ular yang dihiasi bola ber-
duri pada ujungnya! 
’’Sudah jelas bahwa Ki Sumping Sedapur telah 
jatuh ke tangan orang sakti yang berilmu demit!” bisik 
hati Gagar Mayang sebelum memutuskan pergi me-
ninggalkan Perguruan Gunung Bromo. Meski sesung-
guhnya ia merasa malu kembali ke Bukit Cangak, te-
tap saja ia memaksakan diri harus kembali ke hada-
pan Eyang Kuranda Geni. 
Gagar Mayang terus melangkah memunggungi 
matahari yang hampir melesak ke cakrawala. Sebentar 
lagi gelap akan menyungkup lereng gunung itu. Tak 
nampak lagi para petani yang pagi tadi bertebaran di  
sawah-sawah. Padahal gadis itu ingin menanyai para 
petani itu, barangkali saja salah seorang dari mereka 
melihat orang asing yang melintasi persawahan itu. 
Gagar Mayang akhirnya memutuskan untuk 
mencari keterangan dari penduduk desa terdekat. Se-
tidaknya, ia menghadap Eyang Kuranda Geni sudah 
dengan membawa sedikit keterangan tentang siapa 
yang terakhir kali mencuri Ki Sumping Sedapur. 
Di desa pertama yang ditemuinya, Gagar 
Mayang gagal pula mendapatkan keterangan yang di-
perlukan. Lima orang penduduk  desa yang ditanyai 
semuanya menggelengkan kepala dengan wajah me-
mucat Dan, gadis itu pun tahu apa yang sesungguh-
nya sedang terjadi di desa itu setelah itu bertemu den-
gan Jagabaya di desa itu. 
’’Semenjak Ki Tunggui Wulung berdiam di Gu-
nung Bromo, penduduk desa ini memilih diam daripa-
da memberikan keterangan kepada orang asing yang 
mereka jumpai,” kata Ki Jagabaya. 
’’Tetapi, tahukah Ki Jagabaya bahwa Ki Tung-
gui Wulung telah tewas?” 
”Ah, mimpi pun saya tak pernah,” bantah Ki 
Jagabaya. ’’Kecuali jika datang pendekar macam Pen-
dekar Perisai Naga yang kesohor itu.” 
’’Baiklah kalau memang Ki Jagabaya tetap tidak 
mempercayai saya. Saya pikir, lebih baik secepatnya 
saya meninggalkan desa ini agar penduduk desa ini ti-
dak tersiksa batin mereka,” kata Gagar Mayang. 
Pendekar Perisai Naga? Hm, penduduk desa ini 
pun sudah mengenal nama besar Joko Sungsang. Ar-
tinya, jelas bukan Pendekar Perisai Naga yang mencuri 
Ki Sumping Sedapur dari perguruan Gunung Bromo, 
pikir Gagar Mayang sambil meneruskan langkah. 
Dugaan Gagar Mayang memang tak melesat se- 
dikit pun. Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga 
memang belum pernah menginjakkan kakinya di Le-
reng Gunung Bromo, apalagi mencuri Ki Sumping Se-
dapur dari gua tempat tinggal Ki Tunggui Wulung. Se-
waktu Joko Sungsang menempuh perjalanan menuju 
Lereng Gunung Bromo, langkahnya terhenti, di Desa 
Kuwung. Darah anak muda itu mendidih begitu men-
dengar kabar bahwa seorang gadis bertombak pendek 
dan berpakaian serba putih roboh dalam pertarungan 
melawan dua orang pengeroyoknya. 
’’Kisanak, aku akan berterima kasih sekali jika 
Kisanak mau menunjukkan  di mana gadis itu seka-
rang berada,” kata Joko Sungsang kepada salah seo-
rang penduduk desa itu. 
’’Sebaiknya Kisanak tak usah ikut campur,” ka-
ta lelaki yang berwajah culas itu. 
”Aku tak akan ikut campur. Aku hanya ingin 
tahu bagaimana nasib gadis itu selanjutnya,” sahut 
Joko Sungsang menahan marah. 
’’Nasib gadis itu? Tentu saja mampus...!” 
’’Srettt!” 
Tak bisa diikuti mata ketika seutas cambuk ti-
ba-tiba melilit leher lelaki berwajah culas itu. Mata le-
laki itu terbeliak sebab cambuk kulit ular itu seolah 
membuntu jalan napasnya. 
’’Kalau sampai gadis itu mati, kaupun akan ma-
ti! Tahu?” hardik Joko Sungsang. ’’Katakan, di mana 
aku bisa menjumpai gadis itu, kalau kau memang ma-
sih sayang lehermu!” 
"Di... di... di rumah Ki Jiwo....” 
’’Siapa itu Ki Jiwo?” 
’Tuan.... Tuan terus saja berjalan, dan sebelum 
tiba di luar desa, Tuan akan melihat kerumunan orang 
banyak Di situlah gadis itu dan dua orang pengeroyok  
itu berada....” 
Seperti terbang, tubuh Joko Sungsang melesat 
ke mulut Desa Kuwung. Dilewatinya kerumunan pen-
duduk  desa yang memadati halaman rumah Ki Jiwo 
dengan satu loncatan. Dan, darah anak muda itu se-
makin membeludak memenuhi batok kepala sewaktu 
dilihatnya tubuh Sekar Arum yang berlumuran darah 
beku. Gadis itu terikat pada salah satu tiang pendopo 
rumah itu. 
Satu  ledakan cambuk membuat tali pengikat 
pada tubuh Sekar Arum hancur berkeping-keping. Me-
lihat apa yang terjadi di depan mata mereka, pendu-
duk desa yang berkerumun di halaman itu pun buyar. 
”Setan belang! Kadal buntung! Berani kau 
membebaskan gadis ingusan yang ingin jadi pahlawan 
itu?” hardik Ki Langendriya yang tiba-tiba saja sudah 
berdiri di belakang Joko Sungsang. 
Joko Sungsang tak segera menoleh, la me-
manggul tubuh Sekar Arum setelah memeriksa denyut 
nadi di pergelangan tangan gadis itu. 
”Hei, kunyuk budeg! Tidakkah kau mendengar 
suaraku?” bentak Ki Langendriya bertambah berang. 
’’Kaukah yang menyiksa gadis ini?” tanya Joko 
Sungsang setelah membalik langkah. 
”Ha ha ha! Kalau iya, kau mau apa? Kau juga 
mau berlagak jadi pahlawan? Tahukah kenapa gadis 
malang itu kujadikan tontonan di desa ini? Karena dia 
mencoba-coba melindungi calon istriku! Bukan itu sa-
ja. Bahkan ia mencoba menjilati Adipati So-
rengdriya....” 
’’Cukup!” sergah Joko Sungsang. ’’Sekarang, 
katakan siapa temanmu yang kau ajak  mengeroyok 
gadis ini!” 
”Hei, sejak kapan kau menjadi majikanku? Tak  
seorang pun boleh memerintahku menjawab perta-
nyaan selama aku masih bernapas! Ha ha ha!” 
’’Baiklah. Bernapaslah sekarang!” secepat kilat 
cambuk kulit ular itu melilit leher Ki Langendriya. 
Akan tetapi, Ki Langendriya bukanlah pendu-
duk desa pada umumnya, yang tidak mampu membe-
baskan diri dari ancaman musuh. Maka dengan sigap 
Demang Desa Majamulya itu menghunus pedang dan 
membabatkannya ke cambuk yang melilit lehernya. 
’’Tringngng!” 
Terbeliak mata Ki Langendriya begitu melihat 
kenyataan bahwa cambuk itu tak mempan dibabat 
dengan pedangnya. Tentu saja Ki Langendriya tidak 
akan menduga bahwa Joko Sungsang telah mengerah-
kan Jurus Naga Melilit Gunung untuk menguasai leher 
demang mata keranjang itu. 
’’Wungngng! Wungngng! Wungngng!” 
Tiba-tiba saja Ki Langendriya memutar tangan 
kanannya yang telah dilambari dengan jurus Tangan 
Dewa Menggenggam Buih. Ya, hanya dengan jurus itu 
Ki Langendriya merasa bisa menghancur-leburkan 
cambuk yang melilit lehernya! 
Melihat asap tipis  mengepul dari sekujur tan-
gan lawan, Joko Sungsang sigap menarik pulang cam-
buk-nya. Kendatipun keinginan untuk membunuh 
orang tua itu meletup-letup di dada, masih juga mun-
cul keinginan untuk tahu sejauh mana kemampuan 
manusia yang telah merobohkan Sekar Arum ini. 
Bukan karena ia meremehkan lawan jika Joko 
Sungsang menghadapi Ki Langendriya masih tetap 
dengan memanggul tubuh Sekar Arum. la tak tega lagi 
melihat gadis yang dicintainya itu dengan keadaan 
yang menyedihkan. Sampai kapan pun ia tak akan 
menurunkan tubuh Sekar Arum dari bahunya sebelum  
tiba di hadapan Ki Sempani di Padepokan Karang Bo-
long. 
’’Bocah Pongah, aku memang pernah menden-
gar nama besarmu! Tetapi, jangan kau kira aku akan 
menyerah dalam genggaman sebelah tanganmu!” ujar 
Ki Langendriya demi melihat  lawan  tetap menghada-
pinya sambil memanggul tubuh gadis yang tak berdaya 
itu. 
’’Lebih baik aku mati bersama gadis ini daripa-
da aku harus menurunkan gadis ini, iblis! ” sahut Joko 
Sungsang. 
’’Benar-benar gede kepala!” sungut Ki Langen-
driya. Kini ia bahkan melihat anak muda itu menyim-
pan kembali cambuk kulit ularnya di pinggang. Maka 
murid murtad dari Bukit Cangak ini pun menerjang 
Joko Sungsang dengan Jurus Tangan Dewa Meng-
genggam Buih-nya. Sekalipun ia benci mendengar ceri-
ta tentang Pendekar Perisai Naga ini, tetap saja hatinya 
merasa tak gentar menghadapinya. Itulah kenapa ia 
langsung melancarkan ajian pamungkas yang diandal-
kannya Apalagi, menurut perkiraannya, dengan me-
manggul tubuh gadis itu, lawan tak akan bebas meng-
hindar. Padahal, untuk menangkis Jurus Tangan De-
wa Menggenggam Buih sama halnya menyerahkan 
anggota badannya agar hancur-luluh. 
’’Desss!” 
Dua punggung tangan yang sama-sama dilam-
bari aji pamungkas bertemu Tubuh Ki Langendriya ter-
lempar deras, dan baru berhenti setelah tubuh itu 
membentur sebuah pohon. Seolah terguncang gempa, 
pohon itu pun tumbang. 
Dalam pada itu, Joko Sungsang undur bebera-
pa langkah. Rasa nyeri menyerang punggung tangan 
kanannya. Ia tidak bisa membayangkan akibatnya an- 
dai saja tangan itu tidak dilambarinya dengan Ilmu 
Pukulan Ombak Laut Selatan! Secepatnya murid Wiku 
Jaladri dan juga Murid Ki Sempati mengerahkan tena-
ga murni untuk mengatasi rasa nyeri yang menyerang 
punggung tangan kanannya. 
Akan halnya Ki Langendriya? Demang Desa Ma-
jamulya ini tertatih-tatih bangkit dari  keterjeremba-
bannya sambil mengurut-ngurut punggung tangan-
nya. Kaget bukan kepalang bekas murid Eyang Kuran-
da Geni ini menghadapi kenyataan  yang ada. Dalam 
angan pun ia tak pernah bertemu dengan lawan yang 
berani menyongsong Jurus Tangan Dewa Menggeng-
gam Buih yang diandalkannya. Bukan saja berani me-
nyongsong, malahan anak muda itu seakan tak mera-
sakan akibat dari benturan yang terjadi. Lebih dari itu, 
Ki Langendriya merasa seolah baru saja membentur-
kan punggung tangannya ke gunung batu. 
’’Keluarkan seluruh jurus yang kau punyai, ib-
lis kejam!” kata Joko Sungsang sambil maju beberapa 
langkah. 
Lagi-lagi Ki Langendriya menerjang maju. Kini 
bukan saja tangannya yang dilambari Jurus Tangan 
Dewa Menggenggam Buih, melainkan  juga sepasang 
kakinya. Serangan kombinasi ini memaksa Joko Sung-
sang harus menghindar. Anak muda yang bergelar 
Pendekar Perisai Naga ini menggenjotkan kakinya ke 
tanah dan tubuhnya melambung ke udara. Ketika se-
pasang kakinya kembali menjejak tanah, cambuk ular 
yang berhiaskan bola berduri pada ujungnya itu telah 
tergenggam di tangan kirinya. 
”Ya, memang sebaiknya kau gunakan  senjata 
andalanmu itu, gembala pongah!” ujar Ki Langendriya 
seraya tertawa. Semangat tempur orang tua ini kian 
membara sebab ia mengira lawan mulai bimbang  
menghadapinya dengan tangan kosong. Artinya, lawan 
merasa tak mungkin lagi menangkis serangannya den-
gan tangan kosongnya! 
Benarkah Joko Sungsang merasa cemas meng-
hadapi Jurus Tangan Dewa Menggenggam Buih maka 
ia mengurai cambuk kulit ularnya? Tidak! Sekali pun 
ia telah berguru kepada Ki Sempani, ia masih ingin 
menjunjung tinggi ilmu silat yang didapatkannya dari 
Wiku Jaladri. Hanya dengan permainan cambuk kulit 
ular itulah maka ia bisa menunjukkan kepada lawan 
betapa dahsyat jurus-jurus yang melambari cambuk 
yang diberi nama Perisai Naga itu. Lain daripada itu, 
Joko Sungsang juga tak lepas dari bakaran dendam, la 
dendam sebab gadis yang dicintainya telah menjadi 
bulan-bulanan iblis yang telah mengalahkannya. Ia ti-
dak puas jika bisa membalaskan rasa sakit yang dide-
rita Sekar Arum. Betapa tidak adil jika Ki Langendriya 
langsung roboh tanpa harus mengeluarkan darah se-
percik pun! 
”Kau perlu merasakan betapa sakitnya jika se-
paruh dari darah yang mengalir di tubuhmu meleleh 
membasahi sekujur badanmu, iblis keparat!” geram 
Joko Sungsang sambil melecutkan cambuknya ke arah 
betis Ki Langendriya. 
”Hup, hiyaaa!” seru Ki Langendriya sambil ber-
salto ke udara untuk menghindari bola berduri yang 
mematuk betisnya. Joko Sungsang memburu tubuh 
yang berjumpalitan di udara itu dengan lecutan beri-
kutnya, tetapi lawannya kali ini ternyata benar-benar 
gesit dalam menghindar. Untuk itu, terpaksalah Joko 
Sungsang kembali menerapkan Jurus Naga Melilit Gu-
nung. Kali ini lecutan cambuknya terarah pada ping-
gang lawan. 
"Srettt!” 
 
Sebelum kaki Ki Langendriya berhasil menjejak 
tanah, cambuk kulit ular itu lebih dulu melilit ping-
gangnya. Dan, sebelum demang dari Desa Majamulya 
itu mencoba menepiskannya lilitan, sigap Joko Sung-
sang menyentakkan cambuknya. 
"Carasss!” 
Bola berduri di ujung cambuk itu merobek 
pinggang Ki Langendriya. Darah merembes membasahi 
baju adik Adipati Sorengdriya itu. 
"Bedebah! Rasakan pembalasanku!” teriak Ki 
Langendriya seraya menerjang maju. Kembali kaki dan 
tangan orang tua itu menyerang bersama. 
Namun, kali ini Joko Sungsang tak perlu beran-
jak dari tanah yang dipijaknya. Disambutnya serangan 
itu dengan Jurus Mematuk Elang dalam Mega. Akibat-
nya, begitu tubuh Ki Langendriya melayang di udara 
maka bola berduri di ujung cambuk itu pun melabrak 
pipi  kanannya. 
"Crottt!” 
Ki Langendriya menarik serangannya. Ia mem-
buang tubuhnya ke belakang sambil memegangi pipi 
kanannya yang robek hingga mulut. Dan, sebelum 
Demang Desa Majamulya itu mencoba membalas, 
kembali bola berduri di ujung cambuk kulit ular itu 
melabrak bahu kirinya. 
Untuk kedua kalinya Ki Langendriya mem-
buang tubuhnya ke belakang, menjauhi lecutan-
lecutan cambuk yang mengurungnya. Namun, kema-
rahan Joko Sungsang sudah sampai pada puncaknya. 
Tubuh anak muda itu bagaikan elang yang kelaparan. 
Dan, jadilah Ki Langendriya seekor ayam yang tak lagi 
berbulu. 
’’Cukup, Joko!” teriakan seseorang membuat 
Joko Sungsang harus menghentikan dendam kesu- 
matnya. 
Tanpa menoleh pun, Joko Sungsang tahu siapa 
yang telah mengingatkannya agar tidak menuruti ko-
baran api di lekuk hatinya. Maka Joko Sungsang 
membalik badan seraya berjongkok. 
’’Maafkan saya, Kiai,” ucap anak muda itu tan-
pa berani menatap Wiku Jaladri yang berdiri di hada-
pannya. 
’Tak perlu kau membuang-buang waktu hanya 
untuk menuruti nafsu amarahmu. Pergilah sekarang 
juga ke Karang Bolong. Gadis itu harus secepatnya 
mendapat perawatan dari gurunya. Berikanlah kesem-
patan kepada Ki Langendriya untuk kembali menjadi 
orang baik-baik,” kata Wiku Jaladri. 
”Baik, Kiai,” ucap Joko Sungsang sambil men-
gangguk dalam-dalam. 
 
*** 
 
Matahari tinggal sepertiga lagi. Langit  belahan 
Barat berwarna jingga keemasan. Burung bangau ter-
bang berbaris menghiasi cakrawala. Dan, kelelawar 
malang-melintang di atas persawahan. 
Gagar Mayang menghentikan langkahnya yang 
semula bergegas. Ada gerak mencurigakan melintas 
tak jauh di depannya. Gerakan yang begitu gesit mesti 
bayangan itu nampak memanggul sesuatu. 
’’Perampok!” seru Gagar Mayang dalam hati. 
Kemudian ia mengerahkan ilmu meringankan tubuh-
nya untuk mengejar bayangan di depannya. Dan, be-
tapa kaget gadis itu begitu melihat apa yang dipanggul 
lelaki itu. Seorang gadis terkulai lemas di bahu lelaki 
yang memanggulnya. 
Joko Sungsang memperlambat langkahnya. la  
mendengar langkah seseorang mengikutinya dari bela-
kang. Langkah yang ringan. Langkah seseorang yang 
memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Kalau tidak, ti-
dak akan ia bisa menjaga jarak selama membuntuti. 
Rasa penasaran membuat Joko Sungsang mendadak 
membalik badan. 
”Pendekar Perisai Naga?” ucap Gagar Mayang 
begitu berhadapan dengan orang yang dibuntutinya. 
Sejak pertama melihat bayangan serba putih itu, ia 
memang sudah mencurigai bahwa yang dibuntutinya 
adalah anak muda dari Padepokan Jurang Jero itu. 
’’Gagar Mayang?” sapa Joko Sungsang ragu. 
Hatinya  terkesiap sebab dalam keremangan senja itu 
agak sulit membedakan antara Endang Cantikawerdi 
dengan Gagar Mayang. 
”Apa yang telah terjadi?” Gagar Mayang melom-
pat maju dan meneliti gadis berpakaian serba putih 
yang tersampir di bahu Joko Sungsang. 
’’Korban kebiadapan Demang Langendriya.” 
’’Bukankah dia gadis yang bertombak pendek 
itu?” 
”Ya. Sekar Arum. Kalian pernah bertemu?” 
”Ya. Aku melihatnya tengah bertarung melawan 
Ki Langendriya di mulut Desa Majamulya. Bahkan aku 
pernah berbicara banyak dengannya.” 
”Jadi, Sekar Arum memang pernah bentrok 
dengan Ki Langendriya?” 
’’Kalau tidak, tak mungkin ia mengalami musi-
bah seperti sekarang.” 
”Dan, kau tahu ada masalah apa di antara me-
reka berdua?” semakin bersemangat Joko Sungsang 
bertanya. 
’’Itulah yang diceritakannya kepadaku sewaktu 
kami bertemu di Desa Majamulya. Ia telah membunuh  
orang kepercayaan Ki Langendriya.” 
Joko Sungsang menarik napas berat. Dari dulu 
Sekar Arum memang terlalu gegabah, pikir anak muda 
itu. 
’’Baiklah. Maaf, aku harus secepatnya memba-
wa Sekar Arum ke Padepokan Karang Bolong,” kata 
Joko Sungsang kemudian. 
’Tunggu!” Gagar Mayang melompat dan meng-
hadang langkah Joko Sungsang. 
’’Masih ada yang harus kita bicarakan?” tanya 
Joko Sungsang. 
Sungguh, Gagar Mayang tidak mengerti kenapa 
Pendekar Perisai Naga seolah selalu ingin menghindari 
dirinya. 
”Sama sekali aku tidak menduga bahwa Sekar 
Arum adalah sahabatmu....” 
”Dia adik seperguruanku,” tukas Joko Sung-
sang. 
’’Adik seperguruan? Bukankah Pendekar Perisai 
Naga murid Wiku Jaladri dari Padepokan Jurang Je-
ro?” mata gadis itu melebar. 
”Joko Sungsang-lah yang seperguruan dengan 
Sekar Arum.” 
Gagar Mayang tertawa lirih. 
’’Hanya itu yang ingin kau ketahui?” tanya Joko 
Sungsang sambil kembali siap melangkah. 
”Bukan! Maaf, aku terpaksa sedikit mengham-
bat perjalananmu. Tetapi, ini penting sekali buatku. 
Aku harus tahu siapa yang telah mencuri Ki Sumping 
Sedapur dari Perguruan Gunung Bromo.” 
’’Bukankah keris itu ada di tangan Ki Tunggui 
Wulung?” 
”Ki Tunggui Wulung sudah tewas. Seorang ga-
dis bersenjatakan toya kayu dewondaru telah mem- 
bantuku menewaskannya.” 
’’Endang Cantikawerdi, maksudmu?” darah Jo-
ko Sungsang berdesir. 
”Aku tidak tahu siapa nama gadis itu. Tetapi, ia 
mengaku mengenal Pendekar Perisai Naga. Gadis itu 
berpakaian persis pakaian yang aku kenakan. Yang 
pasti, karena pasir beracun yang dimiliki gadis itulah 
kami berdua bisa melumpuhkan Ki Tunggui Wulung. ” 
Tertarik sekali sebenarnya Joko Sungsang mendengar-
kan cerita ini. Namun, ia sadar bahwa harus secepat-
nya membawa Sekar Arum ke hadapan Ki Sempani. 
"Bagaimana jika kita lebih dulu mengantarkan 
Sekar Arum ke Padepokan Karang Bolong, barulah 
nanti kita memburu keris pusaka itu,” kata Joko 
Sungsang setelah menemukan jalan tengahnya. 
”Maaf, aku pun harus secepatnya kembali ke 
Bukit Cangak. Hanya saja; aku memerlukan sedikit pe-
tunjuk. Aku kehilangan jejak sebab pencuri keris pu-
saka itu sama sekali tidak meninggalkan jejak.”  
 ’’Lalu, kenapa harus kau tanyakan kepadaku?” 
 ’’Sebagai pendekar besar yang telah lama ma-
lang-melintang di rimba persilatan, aku yakin kau bisa 
memberi ku  petunjuk. Maksudku, pernahkah kau 
mendengar cerita tentang tokoh sakti yang bisa mem-
bunuh tanpa meninggalkan jejak? Sebab, aku tidak 
tahu dengan apa orang sakti tersebut membunuh anak 
buah Ki Tunggui Wulung. Tak sepercik darah pun ter-
cecer di tempat itu. Sepuluh orang anak buah Ki 
Tunggui Wulung tewas tanpa luka segores pun di tu-
buh mereka.” 
’’Sudah pasti mereka terkena pukulan dalam 
sahut Joko Sungsang. 
”Ya. Itu sudah pasti. Tetapi, adakah pukulan 
yang tidak membekas pada kulit yang terkena puku- 
lan? Adakah 'orang terkena pukulan dalam yang tidak 
memuntahkan darah?” 
Joko Sungsang manggut-manggut. Kemudian 
katanya, ’’Sebaiknya kita antarkan dulu Sekar Arum 
ke Karang Bolong. Aku khawatir dia tidak bisa berta-
han lebih lama. Terlalu banyak darah yang terkuras 
dari tubuhnya.” 
’’Apakah berarti kau tahu siapa orang sakti 
yang aku maksudkan?” 
”Ya. Di kolong langit ini hanya ada satu orang 
sakti yang bisa membunuh lawan tanpa lawan harus 
mengeluarkan darah.”    
 ’’Siapa?” kejar Gagar Mayang tak sabar. 
”Ki Sempani.” 
"Ki Sempani? Aku pernah mendengar nama itu, 
tetapi aku tidak ingat di mana aku bisa menjum-
painya.” 
”Ikuti langkahku dan kau akan bertemu dengan 
Ki Sempani. Dialah orang sakti yang sekarang sedang 
aku tuju.” 
”Oh!” pekik Gagar Mayang dengan mata berbi-
nar. ’’Jadi, dia guru Sekar Arum?” 
”Ya. Juga guruku,” jawab Joko Sungsang bang-
ga.  
"Mungkinkah Ki Sempani ingin memiliki keris 
itu. pula?” tanya gadis itu sambil membayangkan ba-
gaimana nanti jika harus bertarung melawan orang 
sakti dari Padepokan Karang Bolong itu. 
"Orang-orang dari golongan lurus selalu hidup 
bahu-membahu. Aku yakin, Ki Sempani hanya ingin 
membantu gurumu mendapatkan keris pusaka itu.” 
Gagar Mayang sangat gembira mendengar keterangan 
Joko. Dia merasa sangat berterima kasih pada Ki Sem-
pani, yang diam-diam telah membantunya merebut ke-
 
ris pusaka itu. 
Kini, dengan langkah riang dan gesit, Gagar 
Mayang terus mengekor di belakang Pendekar Perisai 
Naga. 
 
SELESAI