Pendekar Perisai Naga 6 - Pemanah Sakti Bertangan Seribu

 
Bulan menggantung seolah-olah berada di an-
tara pohon ketapang. Bulatannya mulai terkikis sebab 
purnama baru saja berlalu. Maka sinarnya pun tak lagi 
benderang. Terlebih awan tipis kadang memintas di 
bawahnya. 
Namun, tidak berarti sinar bulan tak kuasa 
menerangi sosok manusia yang berdiri di bawah pohon 
ketapang kembar di pinggiran Desa Dadapsari itu. Ke-
betulan pula sosok manusia itu mengenakan pakaian 
serba putih. Ada benda berkilat di kepala dan ping-
gangnya. Apabila diraba, barulah bisa diketahui bahwa 
benda berkilat itu terbuat dari kulit ular sanca. 
Mengenakan pakaian serba putih, berikat kepa-
la dan bercambuk kulit ular sanca, menyebabkan lela-
ki di bawah pohon ketapang itu cepat dikenali orang-
orang rimba persilatan. Malahan tidak sedikit pendu-
duk desa yang juga mengenalinya sebagai Pendekar 
Perisai Naga. 
Sudah beberapa malam ini Pendekar Perisai 
Naga, atau yang lebih senang dipanggil Joko Sung-
sang, selalu berada di bawa pohon ketapang kembar di 
pinggiran Desa Dadapsari. Dan, jika terdengar olehnya 
langkah-langkah manusia mendekati mulut Desa Da-
dapsari, Joko Sungsang bergegas melenting dan hing-
gap pada salah sebuah dahan yang berdaun rimbun. 
Kadang ia sendiri, kadang ditemani seorang ga-
dis yang selalu mengenakan pakaian serba jingga dan 
bersenjatakan sebuah seruling bambu wulung. Inilah 
gadis dari Padepokan Bukit Cangak yang sedang men-
cari-cari orang-orang dari golongan sesat. Bukan 
hanya karena ingin membalas dendam jika mereka  
menghendaki kematian gadis ini, melainkan juga kare-
na gadis inilah ahli waris tunggal Eyang Kuranda Geni, 
pemilik sah keris luk tujuh yang dinamai Ki Sumping 
Sedapur (Baca juga: ’’Siluman Kera Sakti”). 
Sejak Eyang Kuranda Geni tewas di padepo-
kannya, sejak itu Gagar Mayang alias Megatruh disa-
troni orang-orang golongan hitam. Namun, karena Ga-
gar Mayang berbekal ilmu silat tinggi, tak mudah bagi 
lawannya untuk merebut Ki Sumping Sedapur dari 
tangan gadis itu. Apalagi gadis itu hampir selalu dite-
mani Pendekar Perisai Naga dalam pengembaraannya. 
Lewat separuh malam, nampak Gagar Mayang 
menghampiri Joko Sungsang di bawah pohon ketapang 
kembar itu. Tahu bahwa gadis berpakaian serba jingga 
itu yang datang, Joko Sungsang turun dari dahan 
tempatnya bersembunyi. 
”Ada pesan dari Paman Wasi untukku?” sam-
but Joko Sungsang. 
”Ya. Kata guru, sebaiknya kita tinggalkan saja 
pinggiran desa ini. Guru merasa bersalah membiarkan 
kita terus-menerus jaga-jaga di sini,” jawab Gagar 
Mayang dengan suara lesu. 
’’Kita harus mengembalikan ketenteraman desa 
ini seperti semula,” kata Joko Sungsang. ’’Sebab, gara-
gara kita tinggal di desa ini maka desa ini menjadi pu-
sat perhatian orang-orang golongan sesat.” 
”Apa tidak lebih baik kita datangi saja orang-
orang sesat yang berniat menyatroni desa ini?” usul 
Gagar Mayang. 
”Itu jelas berlawanan dengan pesan guruku 
maupun gurumu, Megatruh.” 
Berdesir hati Gagar Mayang mendengar Joko 
Sungsang memanggilnya 'Megatruh'. Panggilan itu me-
nyebabkannya merasa lebih dekat lagi dengan anak  
muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu. Seperti 
halnya ia pernah akrab dengan Ki Langendriya bebera-
pa tahun yang lalu. Hanya saja, terhadap Ki Langen-
driya gadis itu bisa menyikapinya sebagai kakak seper-
guruan. Sementara, terhadap Joko Sungsang, gadis itu 
tak mungkin menganggapnya sebagai kakak sepergu-
ruan. 
Kadang kala, dalam kesendiriannya, Gagar 
Mayang suka mengkhayal bagaimana seandainya Joko 
Sungsang mencumbunya. Namun, khayalan itu sele-
kasnya buyar demi ia mengingat Sekar Arum maupun 
Endang Cantikawerdi. 
”Ah, kenapa di dunia ini harus ada Sekar Arum 
dan Endang Cantikawerdi?” keluh Gagar Mayang da-
lam hati. 
”Kau marah karena aku tidak menyetujui 
usulmu?” usik Joko Sungsang setelah lama tidak di-
dengarnya Gagar Mayang berkata-kata. 
”Ah, tidak, tidak!” jawab  gadis itu seraya se-
nyum tersipu. Kalau saja matahari menggantikan ke-
dudukan bulan, tentulah Joko Sungsang akan melihat 
betapa pipi gadis itu memerah dadu. 
’’Jadi, menurutmu apakah kita lebih baik...?” 
’Terserah kau sajalah,” tukas Gagar Mayang. 
’’Kita lihat saja perkembangan suasana dalam 
beberapa hari ini. Kalau memang dalam beberapa hari 
ini tidak seorang pun datang menyatroni desa ini, kita 
ikuti saja petunjuk Paman Wasi. ” 
Gagar Mayang tak lagi menyahut. Bayangan 
Sekar Arum dan Endang Cantikawerdi tak lekang dari 
pelupuk matanya. la mencoba membanding-
bandingkan dirinya dengan kedua gadis itu. 
”Ada seseorang mendatangi kita,” kata Joko 
Sungsang mengejutkan gadis itu. Segera setelah berka- 
ta, Joko Sungsang melenting ke dahan tempatnya bi-
asa bersembunyi. 
Terlambat Gagar Mayang menggenjotkan kaki 
ke tanah. Sosok yang mereka tunggu berbalik langkah 
dan melesat. 
’’Kita ikuti!” bisik Joko Sungsang seraya mele-
sat menyusul langkah orang yang dicurigainya. Dua 
tombak di belakangnya, Gagar Mayang berlari dengan 
puncak ilmu meringankan tubuhnya. 
Tak sulit bagi mereka berdua mendapatkan 
kembali buruan mereka. Di bawah siraman sinar bu-
lan yang meremang, Joko Sungsang masih bisa men-
genali siapa yang berlari tak jauh di depannya. 
’’Menyesal aku tidak membunuhnya,” sesal 
anak muda berpakaian serba putih itu. 
’’Bajang Kerek, maksudmu?” tanya Gagar 
Mayang yang telah berlari di samping anak muda itu. 
’’Agaknya setan itu tak bisa lagi dituntun ke ja-
lan yang lurus!” 
’Tapi, kita belum tahu apa maksudnya mende-
kati Desa Dadapsari,” bantah Gagar Mayang. 
’’Kalau dia berniat baik, tak perlu dia melarikan 
diri.” 
”Dia belum tentu tahu bahwa kitalah yang di-
temuinya di bawah pohon ketapang itu.” 
’’Bajang Kerek tak pernah ketakutan melihat 
orang, kecuali melihatku.” 
”Dia menuju hutan rami!” sahut Gagar Mayang. 
’’Pasti ada orang yang menunggunya di sana.” 
Bajang Kerek memperlambat larinya. Ia tidak 
yakin ada orang yang membuntutinya. Telinganya tak 
mendengar langkah-langkah di belakangnya. Tentu sa-
ja, sebab Joko Sungsang maupun Gagar Mayang ten-
gah menerapkan ilmu meringankan tubuh mereka. Te- 
lapak kaki mereka tak ubahnya telapak kaki harimau 
yang tengah mengintip mangsa. Lagi pula, ilmu silat 
Bajang Kerek belum bisa ditandingkan dengan ilmu si-
lat Joko Sungsang ataupun Gagar Mayang. 
Bajang Kerek menghadap seseorang yang du-
duk di punggung kuda. Tak jelas bagi mata Joko 
Sungsang maupun Gagar Mayang siapa yang sedang 
menanyai Bajang Kerek. Namun begitu, tidak berarti 
telinga mereka tidak mampu menangkap pembicaraan 
orang. orang yang mereka curigai itu. 
Maka darah Joko Sungsang serta-merta mendi-
dih begitu mendengar nama orang yang duduk di 
punggung kuda disebut-sebut oleh Bajang Kerek. 
’’Gagak Paningal!” desis Joko Sungsang. 
’’Siapa Gagak Paningal?” tanya Gagar Mayang. 
’’Orang kepercayaan Adipati Sorengdriya. Di-
alah yang bersama-sama Ki Langendriya hampir saja 
menewaskan Sekar Arum. Kau ingat sewaktu...?” 
”Ya.” Gagar Mayang menukas. Wajahnya seke-
tika murung. Ingat Sekar Arum berarti ia ingat kema-
langannya sendiri. Ah, kenapa di kolong langit ini ada 
gadis yang bernama Sekar Arum? 
”Aku harus membalaskan sakit hati Sekar 
Arum, ” kata Joko Sungsang. Dan, tanpa menunggu 
reaksi dari Gagar Mayang, Panji melompat dari per-
sembunyian. 
 
*** 
 
Gagak Paningal melompat turun dari punggung 
kuda. Tangan kirinya langsung mencengkeram leher 
Bajang Kerek Dan, tangan kanannya diangkat tinggi-
tinggi, siap menghancurkan kepala lelaki malang itu. 
 
’’Katakan sekali lagi, apa yang kau lihat  di 
pinggiran Desa Dadapsari!” hardik Gagak Paningal. 
”Ki Lurah, saya tidak berdusta. Saya benar-
benar melihat Pendekar Perisai Naga di sana, ” jawab 
Bajang Kerek dengan tubuh gemetar. Sesungguhnya, 
murid Klabang Seketi ini bukannya takut menghadapi 
Gagak Paningal, melainkan takut jika Adipati So-
rengdriya nantinya turun tangan. 
’’Jangan coba-coba membohongiku, Bajang Ke-
rek!” sergah Gagak Paningal seraya mengayunkan te-
lapak tangan kanannya ke kepala murid Klabang Se-
keti itu. 
Namun, tiba-tiba tangan itu tertahan di atas 
kepala Bajang Kerek. Sebuah cambuk berhiaskan bola 
berduri membelit pergelangan tangan Gagak Paningal. 
Ketika Gagak Paningal menoleh ke belakang, seolah 
dalam mimpi ia melihat Pendekar Perisai Naga berdiri 
dua tombak di belakangnya. 
’’Bajang Kerek tidak berdusta, Gagak Paningal,” 
kata Joko Sungsang sebelum membebaskan tangan 
Gagak Paningal dari belitan cambuk Perisai Naga. ”Aku 
memang menunggu manusia-manusia sepertimu di 
pinggiran Desa Dadapsari. Untuk apa kau memper-
soalkan aku di sana atau tidak, Gagak Paningal?” ja-
wab Pendekar Perisai Naga tiba-tiba. 
Setelah mendorong tubuh Bajang Kerek, Gagak 
Paningal maju selangkah dan mengelus kumisnya yang 
melintang. Betapapun ia pernah mendengar nama be-
sar Pendekar Perisai Naga, ia merasa perlu menjajaki 
sendiri tingkatan ilmu silat pendekar bercambuk ini. 
”Aku sering mendengar namamu dipuja-puja 
orang banyak, Pendekar Perisai Naga! Tetapi, kau pikir 
aku takut menghadapimu?” kata punggawa Kadipaten 
Banyuasin itu kemudian. 
 
”Aku memang tak ingin menakut-nakuti....” 
’’Tutup mulutmu! Dan, pergilah dari hadapan-
ku sebelum kesabaranku hilang, Anak Muda!” tukas 
Gagak Paningal. 
”Aneh,” kata Joko Sungsang sambil tersenyum. 
’Tadi kau bentak-bentak Bajang Kerek karena ia mela-
porkan bahwa ia melihatku di pinggiran Desa Dadap-
sari. Sekarang, setelah kau melihatku sendiri, kau su-
ruh aku pergi. Bukankah itu berarti kau memang ta-
kut berhadapan denganku?” 
”Bocah sombong! Kupancung lehermu!” sergah 
Gagak Paningal seraya menghunus pedang kembar 
yang menggantung di pinggang kanan-kirinya. 
Sringngng! Sringngng! 
”Kau boleh saja besar kepala karena kau mam-
pu menewaskan Demang Langendriya! Tetapi, aku bu-
kan manusia dungu macam Demang Langendriya!” 
sambung Gagak Paningal sambil menerjang leher dan 
lutut Joko Sungsang. Seperti mata gunting pedang 
kembar itu menyambar tubuh Joko Sungsang. 
Namun, Joko Sungsang bukanlah penduduk 
desa yang akan terbelalak menyaksikan permainan 
pedang Gagak Paningal. ia sudah bisa menebak ke 
mana arah pedang kembar itu. Maka secepat kilat ia 
membuang tubuhnya ke samping dan membabat ku-
da-kuda lawan dengan putaran kakinya. 
Begitu cepat serangan balasan yang dilancar-
kan Joko Sungsang. Tak ada waktu bagi Gagak Panin-
gal melindungi kaki kanannya dari sambaran kaki la-
wan. 
Desss! Tarrr! 
Tubuh Gagak Paningal bergulingan di tanah. 
Namun, secepatnya ia melenting bangkit dan menyi-
langkan kedua bilah pedangnya di depan dada. Rasa  
nyeri menggeremeti tulang keringnya, tetap tak dirasa-
kannya. Ia lebih merasakan telinganya yang berdeng-
ing-denging akibat ledakan cambuk yang hampir saja 
merobek daun telinganya. 
’’Seharusnya aku hilangkan daun telingamu, 
Gagak Paningal. Bukankah yang namanya burung ga-
gak tidak mempunyai daun telinga?” ujar Joko Sung-
sang. 
’’Bedebah keparat! Jangan berangan-angan 
ujung cambuk mu bisa menyentuh kulitku!” 
’’Kita lihat saja nanti,” sahut Joko Sungsang. 
’Tidakkah kau melihat bagaimana ujud mayat Ki Lan-
gendriya?” 
Berdesir hati Gagak Paningal mengingat kema-
tian Ki Langendriya beberapa waktu yang lalu. Muka 
demang yang malang itu habis tercabik-cabik bola ber-
duri yang menghiasi ujung cambuk Perisai Naga (Baca 
juga Pendekar Perisai Naga dalam episode: ’’Pusaka 
Bukit Cangak”). Dan, ia menyadari bahwa baru saja 
cambuk itu berhasil melilit pergelangan tangannya se-
hingga Gagak Paningal luput dari bencana. 
’’Pendekar Perisai Naga, sebenarnya ada urusan 
apa maka kau...?” 
’’Jangan berlagak bodoh, Gagak Paningal,” tu-
kas Joko Sungsang sigap. ’Tetapi, kalau memang kau 
lupa, tidak ada jeleknya aku mengingatkan  mu. Kau 
masih ingat gadis bertombak pendek yang kau siksa 
bersama Ki Langendriya?” 
”Dan, kau merasa lebih hebat dari gadis itu?” 
selak Gagak Paningal. 
”Ya. Setidaknya, aku kakak seperguruan gadis 
itu, Gagak Paningal.” 
’’Kerbau yang paling dungu pun tidak akan 
mempercayai omong kosong  mu! Kau  pikir aku tidak  
tahu dari mana gadis itu datang? Sejak kapan gadis itu 
berguru ke Padepokan Jurang Jero?” 
’’Hidupmu di lingkungan kadipaten, tetapi piki-
ranmu tak lebih dalam dari pikiran babi hutan, Gagak 
Paningal,” sahut Joko Sungsang. 
’’Lalu, bagaimana dengan nama besarmu yang 
tidak cocok omong kosong  mu, Pendekar Perisai Na-
ga?” 
 ”Tak ada faedahnya kita berdebat mulut, Ga-
gak Paningal. Bersiaplah menyusul Demang Langen-
driya!” Berkata begini, Joko Sungsang memutar cam-
buknya. 
Terbelalak mata Gagak Paningal menyaksikan 
sinar hijau kebiru-biruan yang menutup sekujur tu-
buh Pendekar Perisai Naga dari Padepokan Jurang Je-
ro itu. Ia memang sering mendengar kehebatan cam-
buk yang terbuat dari kulit ular sanca itu. Tetapi, 
sungguh baru kali ini ia melihat dengan mata kepala 
sendiri bagaimana cambuk itu seolah berubah menjadi 
perisai berwarna hijau kebiru-biruan. 
Tak ada yang bisa dilakukan Gagak Paningal 
kecuali menunggu serangan lawan. Baginya, tak ada 
lagi peluang untuk menyerang. Putaran cambuk itu 
begitu rapat memagari tubuh Joko Sungsang Kalau-
pun ia nekat menyerang, bukan mustahil justru pe-
dang kembarnya akan terlilit cambuk lawan. 
Dalam pada itu, Bajang Kerek semakin bisa 
berpikir jernih. Ia tahu apa yang harus dilakukannya 
sebelum pertarungan Gagak Paningal dan Pendekar 
Perisai Naga berakhir. Siapa pun yang menang dalam 
pertarungan itu, tak akan memberinya kesempatan 
untuk hidup. Maka bersijingkat Bajang Kerek mening-
galkan tempatnya sendiri. Tak ada kemungkinan lain 
kecuali melarikan diri. 
 
”Mau ke mana, Bajang Kerek?” tanya Gagar 
Mayang mengejutkannya. 
Untuk sejenak Bajang Kerek mengerutkan da-
hinya. la merasakan pernah berhadapan dengan gadis 
berpakaian serba jingga itu. 
”Eh, bukankah kau gadis dari Perguruan Gu-
nung Sumbing?” tanyanya kemudian. 
”Bukalah matamu lebar-lebar, Bajang Kerek! 
Tidakkah kau bisa membedakan senjata yang dibawa-
bawa gadis Gunung Sumbing itu dengan senjataku?” 
kata Gagar Mayang sambil mengeluarkan seruling 
bambu wulungnya dari pinggang. 
”Ah, tetapi apa bedanya? Gadis Gunung Sumb-
ing cantik, kau malahan lebih cantik lagi, Cah Mo-
blong!”  
”Dan, kalau aku cantik lalu bisa membuatmu 
bernyawa rangkap?” 
”He he he, bagaimana kalau kita bersenang-
senang saja... eh, siapa namamu?” 
’’Kalaupun otakmu tumpul buat mengingat-
ingat, setidaknya kau pernah melihat kawanmu men-
jadi bangkai di Hutan Pinus itu, Bajang Kerek!” 
”Hei, jadi... kau yang membunuhnya? Ah, tak 
apalah. Aku masih memaafkanmu asalkan kau mau 
menukar nyawanya dengan tubuhmu yang mulus....” 
Wungngng! 
Seruling di tangan Gagar Mayang berkelebat 
dan menyambar kepala Bajang Kerek. Namun, murid 
Klabang Seketi ini bergeser ke samping dan melindungi 
kepalanya dengan punggung tangan kanannya. 
Desss! 
Benturan kedua punggung tangan tak terelak-
kan ketika Gagar Mayang menyusulkan pukulan 
punggung tangannya ke arah kepala lawan. Kaget bu- 
kan kepalang gadis itu sewaktu dirasakannya pung-
gung tangannya seolah membentur batu karang. 
”Ha ha ha! Agaknya temanmu yang bergelar 
Pendekar Perisai Naga itu belum sempat bercerita ten-
tang siapa Bajang Kerek, Cah Ayu!” ejek Bajang Kerek 
Gagar Mayang tak menimpali. Diam-diam gadis 
itu menyesal telah bertindak gegabah, meremehkan 
lawan. Sama sekali luput dari dugaannya bahwa Ba-
jang Kerek ternyata memiliki ilmu kekebalan. Namun 
begitu, Gagar Mayang tetap bisa mengukur sejauh 
mana ilmu kekebalan yang dikuasai lawan. Kalaupun 
lawan kebal terhadap pukulan tangan kosong, musta-
hil tak bisa ditembus dengan jurus ’Tujuh Bidadari 
Pemetik Nyawa’. Maka gadis itu memutar serulingnya. 
Tujuh sinar putih menyambar tubuh Bajang Kerek. 
”Augh...!” Bajang Kerek melenguh dan tersung-
kur dengan tubuh hampir terbelah. 
’’Jangan kau anggap aku kejam, Bajang Kerek! 
Sudah berapa kali Pendekar Perisai Naga memaafkan-
mu, tetapi kau tetap memang memilih jalan sesat!” ka-
ta Gagar Mayang sendu. Ada rasa sesal menggeremati 
rongga dada gadis itu. Tak seharusnya ia menurunkan 
jurus pamungkas menghadapi Bajang Kerek. 
Sementara Gagar Mayang merenungi mayat Ba-
jang Kerek pertarungan antara Joko Sungsang mela-
wan Gagak Paningal berjalan semakin sengit. Untuk 
menghadapi putaran cambuk Perisai Naga, Gagak Pa-
ningal terpaksa berkali-kali berjumpalitan ke belakang. 
Sama sekali tidak ada kesempatan baginya untuk ba-
las menyerang. Putaran cambuk kulit ular itu semakin 
rapat memagari tubuh Pendekar Perisai Naga. 
’’Memang tepat jika cambuk itu dinamai Perisai 
Naga!” kata hati Gagak Paningal. 
 
”Hm... kenapa kau tak bernafsu menyerangku 
lagi, Gagak Paningal?” kata Joko Sungsang setelah 
menghentikan putaran cambuknya. 
Gagak Paningal tidak menimpali. Peluang yang 
hanya sekejap ini benar-benar dimanfaatkannya. Dua 
buah sinar putih berkelebat ke arah Joko Sungsang. 
Inilah jurus ’Pedang Kembar Pembelah Badai’. Benda 
apa pun yang menjadi sasaran jurus ini akan terpo-
tong-potong menjadi delapan bagian. Jangan dikata 
tubuh manusia, sedangkan pohon besar pelukan gorila 
pun akan terajam. 
Wusss! Wusss! Wusss! Desss! Crasss! 
Joko Sungsang menggenjotkan kakinya ke ta-
nah sebelum ujung pedang kembar itu menyentuh ku-
litnya. 
Lalu, sambil menukik turun, ia melecutkan 
cambuknya untuk menahan ujung pedang kembar 
yang telah siap menyongsongnya. Sewaktu bola berdu-
ri di ujung cambuk bertemu dengan ujung pedang di 
tangan kanan lawan inilah Joko Sungsang mengirim-
kan tumit kaki kanannya ke punggung lawan. 
Tubuh Gagak Paningal terhuyung-huyung, te-
tapi pedang di tangan kirinya masih sempat merobek 
betis Joko Sungsang. 
Darah di sekujur tubuh anak muda dari Desa 
Sanareja ini seakan naik ke kepala. Gusar bukan ke-
palang ia menyadari bahwa pedang lawan berhasil me-
robek betisnya. 
’’Bersiaplah menerima ajalmu, Gagak Paningal!” 
ujar Joko Sungsang dengan geraham beradu. Sekejap 
kemudian, cambuk di tangannya mengurung tubuh 
Gagak Paningal. Bola berduri di ujung cambuk ini me-
raung-raung memekakkan telinga. 
Srettt! Crasss! 
 
Gagak Paningal yang masih berusaha menjaga 
keseimbangan tubuhnya tak sempat lagi menggerak-
kan pedang kembarnya ketika tiba-tiba cambuk Perisai 
Naga membelit lehernya. Dan, sewaktu ia berusaha 
memangkas cambuk kulit ular itu dengan pedang di 
tangan kanannya, bola berduri di ujung cambuk itu 
memangkas urat-urat di lehernya. 
’’Itulah jurus ’Naga Melilit Gunung’, Gagak Pa-
ningal!” ujar Joko Sungsang. 
 
*** 
 
 
’’Ujung pedang itu beracun!” seru Gagar 
Mayang setelah meraba betis kanan Joko Sungsang. 
Suhu betis itu menyengat telapak tangannya. 
’’Warangan ular belang,” sahut Joko Sungsang 
sambil menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk se-
genap jaringan di betis kanannya. 
”Kau tahu obat penangkalnya?” Gagar Mayang 
bertanya cemas. Gadis itu sadar bahwa selama bergu-
ru kepada kakeknya maupun Wasi Ekacakra belum 
pernah diterimanya ilmu penawar racun warangan. 
’’Carilah kodok ijo...,” kata Joko Sungsang ter-
sendat. 
’’Kodok ijo? Di mana bisa aku dapatkan bina-
tang itu?” sahut Gagar Mayang bertambah cemas. 
”Tak jauh dari sini ada aliran sungai. Di sana-
lah kau bisa mendapatkan kodok ijo....” 
Berrr! 
Gagar Mayang melesat ke arah yang ditunjuk 
Joko Sungsang. Betapapun ia belum pernah mengala- 
mi terkena racun warangan ular belang, setidaknya ia 
pernah mendengar cerita betapa ganas racun itu Sebe-
lum pagi, barangkali nyawa Pendekar Perisai Naga tak 
akan tertolong lagi jika tak berhasil ditemukannya obat 
penawar racun itu. 
Gagar Mayang termangu-mangu di pinggiran 
sungai. Tempat itu begitu gelap. Sinar bulan tak mam-
pu menembus kerimbunan daun bambu. Bagaimana 
mungkin bisa melihat kodok? 
Namun begitu, gadis dari Padepokan Bukit 
Cangak itu tak kehabisan akal. Dalam kegelapan, ia 
harus menggunakan telinga, bukan mata. Setelah 
mempertajam pendengarannya, barulah ia mampu 
menangkap suara kodok di kejauhan. Bersijingkat ga-
dis itu mencari arah datangnya suara. 
Kecemasan yang semakin menjadi-jadi dalam 
hati Gagar  Mayang membuatnya kehilangan kesaba-
ran. Dengan seruling bambu wulungnya yang telah di-
lambari dengan jurus ’Tujuh Bidadari Pemetik Nyawa’, 
gadis itu menyerang beberapa ekor kodok yang tengah 
berdendang bersahutan. Seruling berwarna hitam itu 
meraung-raung dan dari ketujuh lubangnya keluar si-
nar putih. Tujuh ekor kodok terbungkam dan me-
nyembul di permukaan air sungai. Namun, Gagar 
Mayang lupa memperhitungkan bagaimana akibat dari 
jurus ’Tujuh Bidadari Pemetik Nyawa’. 
Tujuh ekor kodok yang mengapung di permu-
kaan air itu tak menampakkan lagi bentuk kodok. Ga-
dis itu hanya mendapatkan tujuh keping cacahan dag-
ing yang telah hangus terbakar. 
”Ya, Allah! Oh, betapa tololnya aku?” keluh Ga-
gar Mayang seraya mencampakkan ketujuh keping 
daging kodok di tangannya. 
 
”Ha ha  ha! Ada juga rupanya pendekar yang 
hanya mampu membunuh kodok dengan ajian pa-
mungkasnya!” Suara seseorang di seberang sungai 
mengejutkan Gagar Mayang. 
Gagar Mayang menatap ke arah datangnya sua-
ra. Akan tetapi, yang nampak olehnya hanyalah seso-
sok manusia yang terbalut pakaian serba hitam. Bah-
kan wajahnya pun tertutup kain hitam. 
’’Jahanam! Kenapa kau  campuri urusanku? 
Enyahlah sebelum aku terpaksa mengenyahkan  mu!” 
hardik Gagar Mayang. 
’’Karena kau memiliki jurus ’Tujuh Bidadari 
Pemetik Nyawa’ maka kau merasa pasti bisa menge-
nyahkan  ku? Hm..., untuk itukah kau memperdalam 
ilmu silat? Untuk orang-orang yang tidak bersalah se-
pertiku inilah jurus-jurus maut mu kau gunakan?” 
”Kau bersalah telah mengganggu pekerjaanku, 
Muka Buruk!” 
”Hei, bagaimana kau tahu mukaku buruk, Ga-
dis Cantik?” 
”Kau tidak akan bertopeng jika kau tidak malu 
menampakkan wajahmu!” 
”Ha ha ha! Aku akan membuka kedokku jika 
kau bisa menyentuh seruling  mu ke kulitku, Mega-
truh!”. 
Terbelalak mata Gagar Mayang menatap orang 
berkedok di seberang kali. Dalam hati ia bertanya-
tanya, ’’Siapakah orang berkedok ini? Kenapa ia tahu 
namaku? Bahkan ia tahu julukanku?” 
’’Jangan kaget, ” kata orang berkedok itu mene-
ruskan. ”Aku bukan saja tahu namamu, Megatruh! 
Aku pun tahu apa kepentinganmu di pinggir kali ini! 
Sayang sekali, kau terlambat bertindak! Temanmu 
yang bergelar Pendekar Perisai Naga telah tewas dige- 
rogoti racun warangan itu! Bahkan kau tidak akan bi-
sa menemukan mayatnya! Seekor harimau telah 
menggondol mayat temanmu itu...!” 
”Besar mulut!” tukas Gagar Mayang seraya me-
lompati sungai dan menerjang orang pendek itu. 
’’Huppp!” Dengan mudahnya orang berkedok 
itu menghindari tendangan sekaligus sabetan seruling 
yang mengarah ke dada dan kepalanya. 
’’Jahanam licik! Ternyata kau hanya berani 
menghadapi orang yang sedang terluka! Rasakan bata-
sanku!” Gagar Mayang memutar serulingnya yang 
langsung dilambarinya dengan jurus ’Tujuh Bidadari 
Pemetik Nyawa’. 
Namun, orang berkedok itu benar-benar memi-
liki ilmu silat jauh di atas kemampuan Gagar Mayang. 
Dengan beberapa kali loncatan, loloslah ia dari seran-
gan tujuh sinar putih yang meluncur dari ketujuh lu-
bang seruling bambu wulung. 
’’Sayang, jurus yang begitu dahsyat hanya di-
pergunakan untuk merusak pepohonan dan membu-
nuh kodok!” ejek orang berkedok itu dari arah pung-
gung Gagar Mayang. 
’’Jahanam licik! Sambutlah pukulanku jika kau 
memang lelaki jantan!” tantang Gagar Mayang yang ki-
ni telah bersiap dengan ajian ’Ismu Gunting’. 
”Hei, tunggu! Tidakkah Wasi Ekacakra berpe-
san kepadamu bahwa ajian ’Ismu Gunting’ bukan ajian 
yang bisa dipergunakan kapan saja?” kata orang ber-
kedok itu memperingatkan. 
Gagar Mayang terpaku. Betapapun kemarahan 
telah memenuhi rongga dadanya, ia tetap terpukul oleh 
teguran orang berkedok itu. Serta-merta ia ingat pesan 
Wasi Ekacakra berkenaan dengan ajian ’Ismu Gunting’ 
yang diturunkannya. 
 
’’Bagus! Kau ternyata murid yang baik, Gagar 
Mayang! Kau tak mau melanggar larangan gurumu 
hanya karena menuruti nafsu amarahmu! Ajian ’Ismu 
Gunting’ akan semakin matang bila kau jarang mem-
pergunakannya, Gagar Mayang! Sebaiknya, ajian itu 
akan hambar bila kau terlalu sering membuangnya!” 
”Kau memang pintar, tetapi kau besar kepala!” 
sergah Gagar Mayang sebelum menusukkan seruling-
nya ke dada orang berkedok itu. 
Wusss! Bresss! 
Seolah tertiup angin topan, tubuh Gagar 
Mayang terpental ke belakang dan terperosok ke se-
mak-semak. Sewaktu gadis itu melenting bangkit, ia 
tak melihat lagi sosok yang terbalut kain serba hitam 
itu. 
’’Jahanam licik! Keluarlah dari persembu-
nyianmu! Ayo, kita tentukan siapa yang.,..” Gadis itu 
tidak meneruskan ucapannya. Seketika ia ingat bahwa 
ia harus secepatnya menolong Pendekar Perisai Naga. 
Maka ia melesat meninggalkan pinggiran kali itu. Sebe-
lum meneruskan usahanya menangkap kodok ijo, ia 
ingin lebih dulu menengok benarkah Pendekar Perisai 
Naga telah lenyap dari tempatnya berbaring. Ia tahu, di 
hutan rami ini tidak mungkin ada harimau. Tetapi, ia 
juga tidak berani membantah ucapan orang berkedok 
itu. Mungkin benar Pendekar Perisai Naga telah lenyap 
dari tempat berbaringnya, sekalipun sangat mustahil 
digondol harimau. 
 
*** 
 
Ditumbangkannya semua pohon rami yang 
mungkin menyembunyikan tubuh Pendekar Perisai 
Naga. Akan tetapi, gadis itu tetap tak menemukan so- 
sok yang dicarinya. Kini Gagar Mayang baru percaya 
bahwa Pendekar Perisai Naga telah lenyap dari hutan 
rami. Mungkinkah orang berkedok itu yang memba-
wanya pergi? Dan, siapa sebenarnya orang berkedok 
itu? Mungkinkah ia tokoh sesat yang menginginkan 
kematian Pendekar Perisai Naga? Atau sebaliknya, dia 
orang sakti yang ingin menolong? Tetapi, siapa? Wiku 
Jaladrikah? Ki Sempani, mungkin? 
Kemudian gadis itu ingat Pemanah Sakti Ber-
tangan Seribu yang pernah menyerangnya di Kaki Bu-
kit Cangak (Baca juga: ’’Siluman Kera Sakti”). Namun, 
ia pun tidak yakin akan dugaannya. Orang berkedok 
itu tak segarang Pemanah Sakti Bertangan Seribu. 
Bahkan balas menyerang pun orang berkedok itu tidak 
mau. Orang berkedok itu hanya mau menghindar dan 
secara tidak langsung menasihati. 
Pada akhirnya, Gagar Mayang memutuskan un-
tuk melaporkan hilangnya Pendekar Perisai Naga ke-
pada Wasi Ekacakra. Ia berharap, orang sakti yang 
menyamar menjadi petani itu bisa memberinya petun-
juk ke mana ia harus mencari Pendekar Perisai Naga. 
Menanggapi cerita tentang hilangnya Pendekar 
Perisai Naga, Wasi Ekacakra berpesan kepada Gagar 
Mayang agar kabar ini tidak sampai ke telinga Nyai 
Linggar. 
’’Apakah sekiranya benar Pendekar Perisai Naga 
dalam bahaya, Guru?” tanya Gagar Mayang sambil 
mengingat-ingat ucapan orang berkedok di pinggiran 
kali itu. 
’’Kita serahkan saja kepada Gusti Yang Maha 
Pengasih. Mati dan hidup manusia ada dalam takdir-
Nya, Nini.” 
 
’’Bagaimana dengan orang berkedok itu, Guru? 
Tidakkah Guru bisa menebak siapa kira-kira orang 
sakti yang tak mau menampakkan wajahnya itu?” 
’’Sulit untuk memastikannya, Nini. Banyak 
orang sakti baik yang berilmu sesat maupun yang be-
rilmu lurus. Mereka bisa muncul kapan saja.” 
’’Tetapi, orang berkedok itu mengenal Guru. la 
tahu bahwa ajian ‘Ilmu Gunting’ saya dapatkan dari 
Guru.” 
’’Orang-orang sakti yang setingkat dengan 
orang berkedok itu akan mengetahui ajian-ajian baik 
yang dipunyai lawan maupun kawan, hanya dari meli-
hat tata gerak mereka, Nini. Mungkin orang berkedok 
itu memang mengenalku. Mungkin juga pernah berha-
dapan denganku,” tutur Wasi Ekacakra. 
’’Jadi, menurut Guru, saya harus mencari Pen-
dekar Perisai Naga ke mana?” Gagar Mayang benar-
benar merasa bingung. 
"Kalau benar yang menculik Pendekar Perisai 
Naga orang berkedok itu, rasanya akan percuma Nini 
Gagar Mayang bersusah-payah mencarinya. Bukankah 
Nini Gagar Mayang sendiri sudah melihat bagaimana 
tingkatan ilmu silat orang berkedok itu?” 
’’Paling tidak saya harus mengetahui di mana 
Pendekar Perisai Naga disembunyikan, Guru. Sekali-
gus saya ingin memastikan apakah Pendekar Perisai 
Naga masih hidup, atau sudah mati seperti kata orang 
berkedok itu.” 
’’Semakin banyak tokoh rimba persilatan yang 
memusuhi Pendekar Perisai Naga, Nini. Apalagi, seperti 
yang Nini ceritakan tadi, baru saja Pendekar Perisai 
Naga membunuh punggawa Kadipaten Banyuasin. Ba-
gaimana jika Kanjeng Adipati Sorengdriya mengetahui  
bahwa Gagak Paningal tewas oleh cambuk Perisai Na-
ga?” 
”Tetapi, Pendekar Perisai Naga sendiri pernah 
bercerita bahwa Adipati Sorengdriya tak mungkin 
mendukung gerakan orang-orang sesat, Guru,” bantah 
Gagar Mayang. 
’’Kesabaran manusia ada batasnya, Nini. Aku 
malahan  tidak setuju jika Pendekar Perisai Naga be-
ranggapan begitu. Tidakkah ia juga bercerita bahwa 
Kanjeng Adipati Sorengdriya pernah tunduk kepada 
perintah Hantu Lereng Lawu? Kalaupun dia masih bisa 
bersabar mendengar kematian Ki Demang Langen-
driya, belum tentu ia tetap bisa sabar mendengar beri-
ta tewasnya Gagak Paningal, Nini. ” 
Mendengar penuturan Wasi Ekacakra, gadis itu 
pada akhirnya manggut-manggut menyetujui pendapat 
gurunya. 
”Ah, saya benar-benar tidak tahu harus bagai-
mana, Guru,” kata Gagar Mayang dalam kebingungan-
nya yang memuncak. 
’’Beristirahatlah, Nini. Aku lihat sudah berapa 
malam Nini tak sempat memejamkan mata. Bangun ti-
dur nanti, mungkin Nini akan tahu langkah apa yang 
paling baik untuk Nini jalani.” 
”Guru, bagaimana saya bisa tidur jika pikiran 
saya seperti sekarang ini?”     
’’Baiklah. Kalau memang Nini meminta saran 
dariku, sebaiknya Nini tinggal beberapa hari lagi di De-
sa Dadapsari ini. Syukur-syukur Nini mau memperda-
lam apa yang pernah Nini terima dari Eyang Kuranda 
Geni maupun dariku. Soal hilangnya Pendekar Perisai 
Naga, biarlah aku yang mencari sisik-melik. ” 
Wajah gadis itu tiba-tiba bercahaya. Kebingun-
gan yang membuntu otaknya seketika musnah tak  
berbekas. Maka gadis itu lantas bersujud di depan lu-
tut Wasi Ekacakra sambil berucap, ’Terima  kasih, 
Guru. Saya bisa memastikan bahwa Guru akan berha-
sil menemukan Pendekar Perisai Naga....” 
’’Nini Gagar Mayang,” tukas Wasi Ekacakra, 
’’Jangan sekali-sekali Nini melupakan bahwa mati dan 
hidup manusia bukan manusia itu sendiri yang me-
nentukan. Aku akan berusaha mencari Pendekar Peri-
sai Naga, tetapi janganlah Nini mendahului kehendak-
Nya Berhasil atau tidak usahaku, hanya yang di atas 
sana yang menentukan.” 
’’Maafkan saya, Guru.” 
’’Beristirahatlah, Nini. Sejak dari tadi Nyai Ling-
gar menunggu Nini dan Anakmas Joko Sungsang. Be-
ristirahatlah agar Nini segar-bugar dalam latihan nan-
ti. ” 
 
*** 
 
Berita tentang hilangnya Pendekar Perisai Naga 
ternyata tidak bisa ditutup tutupi oleh Gagar Mayang 
maupun Wasi Ekacakra. Salah seorang penduduk desa 
yang mendengar percakapan antara orang berkedok itu 
dengan Gagar Mayang yang tidak bisa memendam ra-
hasia. Sewaktu ia bercerita kepada salah seorang te-
mannya di kedai, tak disadarinya bahwa dia telah me-
nyebarkan berita. 
’’Bagaimana mungkin kau bisa mendengar 
pembicaraan para pendekar itu?” tanya teman yang 
lain, yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya. 
’’Kamu ini bagaimana? Apa kamu tidak pernah 
tahu kalau aku setiap malam memasang bubu di kali 
itu? Aku sendiri tadinya juga tidak percaya kalau yang 
aku dengar suara orang-orang sakti itu....” 
 
’Terus, setelah kau mengintip mereka? Kau bisa 
melihat wajah orang-orang sakti itu?” sahut teman 
yang lainnya. 
’’Kebetulan keadaan di pinggiran kali itu agak 
gelap. Tapi, aku bisa memastikan mereka laki-laki dan 
perempuan. ” 
”Lha, iya. Dari suaranya juga semua orang bisa 
memastikan kalau mereka laki-laki dan perempuan! 
Maksudku, perempuannya seperti apa, laki-lakinya 
seperti apa? Sudah tua, apa masih muda?” sahut te-
mannya yang pertama diajak bicara. 
”Yang laki-laki hampir tidak kelihatan.  Hanya 
kelihatan gerak geraknya saja. Sepertinya dia pakai ke-
rudung kain hitam. Pakaiannya juga hitam. Celana 
pangsinya juga hitam.” 
”Yang perempuan?” kejar teman yang berdiri di 
belakangnya tak sabar.  
”Yang perempuan sepertinya masih gadis. ” 
”Hei, bagaimana kau tahu dia gadis atau jan-
da?” ejek salah seorang temannya. 
’’Sudah, sudah! Kenapa malah membicarakan 
gadis dan janda? Kita tadi sedang membicarakan hi-
langnya Pendekar Perisai Naga. Kalau memang orang-
orang berilmu tinggi saja....” 
”Oh, aku ingat sekarang!” seru lelaki yang 
membawa berita. 
”Apa?” Hampir serentak mereka yang menge-
rumuni lelaki itu bertanya. 
”Kata orang yang berkerudung kain hitam itu, 
Pendekar Perisai Naga mati dan hilang digondol hari-
mau!” 
Semua yang berada di kedai itu tertawa. Mere-
ka tahu pasti bahwa di hutan rami tak mungkin ada 
harimau. Namun, mereka secepatnya menghentikan  
tawa mereka ketika terdengar derap kaki kuda mende-
kati kedai minum itu. 
’’Utusan dari kadipaten!” bisik salah seorang 
dari mereka. 
’’Siapa?” tanya pemilik kedai itu. 
Tetapi, siapa yang berani menjawab pertanyaan 
pemilik kedai itu? Seolah muncul dari dalam tanah, ti-
ba-tiba saja penunggang kuda itu sudah berdiri di am-
bang pintu kedai. Tak seorang pun berani menatap wa-
jah lelaki yang baru datang ini. Mereka hanya berani 
menatap sepasang kaki yang terbalut celana hitam 
mengkilat dan dihiasi dengan benang emas. 
’’Siapa di antara kalian yang tahu di mana Pen-
dekar Perisai Naga berada?” tanya lelaki pendatang itu. 
Suara itu pelan, tetapi bagi mereka yang men-
dengar tak ubahnya suara petir. Pandang mata mereka 
semakin turun, dan akhirnya menghunjam ke tanah 
yang mengalasi kedai itu. Tak seorang pun dari mereka 
berani membuka mulut. 
’’Kalian dengar aku bertanya?” Agak meninggi 
suara lelaki di ambang pintu itu. 
Masih juga tak ada yang menjawab. 
’’Binatang!” geram lelaki pendatang itu seraya 
meraih leher salah seorang dari mereka. ’’Lihat wajah-
ku baik-baik! Dengarkan aku bertanya! Siapa yang di 
antara kalian yang tahu di mana Pendekar Perisai Na-
ga!” 
’’Saya... saya... saya... tidak tahu, Tuan....” 
Plakkk! 
Lelaki malang itu tersungkur dengan bibir ro-
bek. 
’’Kalau di antara kalian tetap tidak mau me-
nunjukkan di mana persembunyian Pendekar Perisai 
Naga, kupecahkan kepala kalian semua!” 
 
Setiap orang yang mendengarkan ancaman itu 
merasa nyawanya sudah bertengger di ubun-ubun. 
Mereka tak mungkin luput dari bencana itu sebab 
memang tak seorang pun dari mereka tahu di mana 
Pendekar Perisai Naga berada. Malahan baru saja me-
reka membicarakan perihal hilangnya pendekar ber-
cambuk kulit ular sanca itu. 
”Ke sini kamu!” 
Kini semuanya memberanikan diri menatap le-
laki yang datang berkuda itu. Mereka semua ingin ta-
hu siapa yang dipanggil lelaki garang itu. Duh. Gusti 
Allah, mudah-mudahan bukan aku yang dipanggil 
mendekat, pikir mereka bersamaan. 
’’Saya... saya...?” kata lelaki yang merasa ditud-
ing. 
 ”Ke sini!” 
’’Saya... saya....” 
”Terlalu banyak mulut kamu!” 
Dan, lelaki matang itu pun tersungkur seraya 
memuntahkan darah segar. Sebuah tendangan di dada 
mengguncangkan jantungnya. 
Keadaan di kedai itu semakin hening. Bahkan 
tarikan napas pun hampir tak terdengar dari hidung 
mereka. Kalaupun kemudian terdengar suara, tak lain 
suara air mendidih di ceret. Pemilik kedai itu tak bera-
ni beranjak dari tempatnya berdiri meskipun air di da-
lam ceret itu meluap-luap dan menumpahi sebagian 
bara api. 
’’Siapa di antara kalian yang kenal Wasi Ekaca-
kra?” tanya lelaki pendatang itu kembali memecah ke-
heningan. 
”Aku!” jawab seseorang yang tiba-tiba saja su-
dah berdiri di belakang lelaki yang menanyakan Wasi 
Ekacakra itu. 
 
Orang-orang yang tengah dicekam rasa takut 
itu tak bisa mencegah gerak mata untuk tidak melihat 
ke luar kedai. Maka mereka bersamaan membelalak-
kan mata manakala mereka melihat seorang gadis ber-
pakaian serba jingga, berkacak pinggang, dan menatap 
tajam lelaki pendatang yang telah siap membunuh sia-
pa saja itu. 
”Kau? Siapa kau? Berani kau bertolak pinggang 
di depanku?” Mata lelaki pendatang itu pun melebar. 
Ia heran jika di desa itu ternyata dijumpainya gadis 
cantik dan pemberani. 
’’Kau  pikir dengan pakaianmu itu kau merasa 
menjadi raja?” jawab gadis itu dengan bibir tercibir 
mengejek. 
’Tak apalah. Aku maafkan kelancanganmu. Ya, 
karena kau memang gadis desa yang tidak mungkin 
kenal punggawa kerajaan sepertiku. Tapi, setelah aku 
menyebutkan namaku, segeralah  kau berlutut dan 
memohonlah ampunan ku.” 
’’Katakan namamu biar orang-orang yang tidak 
berdosa itu tahu siapa yang telah mengotori desa ini 
dengan tingkah lakumu yang memuakkan!” 
”Kau, dan cecurut-cecurut itu semua, tentu 
pernah mendengar nama Gagak Paningal.!” 
”Ya! Yang mayatnya membusuk di hutan rami 
itu, bukan?” tukas gadis itu. 
”Dan, sebentar lagi tubuhmu yang molek itu 
pun akan membusuk!” 
”Jadi siapa namamu? Tokek Paningal? Kadal 
Paningal?” 
’’Sayang, mulutmu terlalu indah untuk kuro-
bek-robek! Tapi, sebaiknya kau memang harus tahu 
siapa aku yang sebentar lagi berkenan menikmati tu-
buhmu yang molek, mulutmu yang indah, dan dadamu  
yang subur! Akulah Gagak Lamatan, kakak sepergu-
ruan Gagak Paningal!” 
’’Bersiaplah, Gagak Lamatan! Nikmatilah tu-
buhku asal kau tidak tersentuh toyaku ini!” Gadis itu 
memutar toya dewondaru yang tadi terselip di ping-
gangnya. 
”Ha ha ha! Cobalah kau mainkan jurus tongkat 
pengemis mu itu, Bocah-...” 
Wuttt! Trakkk! 
Sebelum Gagak Lamatan menyelesaikan uca-
pannya, secepat kilat toya dewondaru di tangan gadis 
itu menyambar. Hampir saja kepala punggawa Kadipa-
ten Banyuasin itu remuk kalau saja ia tidak cepat ber-
kelit. Usaha menghindar itu pun sedikit terlambat. 
Toya berwarna merah-kecoklat-coklatan itu masih 
sempat membentur salah satu sarung pedang yang 
tergantung di pinggang Gagak Lamatan. 
"Betina Jahanam!” geram Gagak Lamatan sete-
lah melihat sarung pedangnya hancur. 
”Nah, berhati hatilah agar kepalamu tidak ber-
nasib sama dengan sarung pedangmu, Gagak Lama-
tan!” ujar gadis bertoya itu. 
Sringngng! Sringngng! 
Sepasang pedang kembar tergenggam di tangan 
kanan dan kiri Gagak Lamatan. Berkilat-kilat tertimpa 
matahari sore. Orang-orang yang mengintip dari dalam 
kedai minum itu serentak menggigit bibir. Tak ter-
bayangkan oleh mereka bagaimana nasib gadis berpa-
kaian serba jingga itu nantinya. Sekalipun gadis itu 
bersenjatakan toya, mampukah toya itu menyongsong 
ketajaman pedang kembar milik Gagak Lamatan? 
’’Karena bukan kau yang aku cari di desa ini, 
aku terpaksa harus menghemat waktuku, Betina Liar! 
Tetap, aku pasti memaafkan kelancanganmu asalkan  
kau  tunjukkan di mana Pendekar Perisai Naga ber-
sembunyi!” 
”Eh, sebenarnya siapa yang kau cari, Gagak 
Lamatan? Wasi Ekacakra, Pendekar Perisai Naga, atau 
kau hanya ingin memamerkan mulutmu yang kotor 
itu?” 
’’Tutup mulutmu!” sergah Gagak Lamatan. ”Ce-
pat katakan di mana Pendekar Perisai Naga, dan di 
mana Wasi Ekacakra!” 
Gadis bertoya itu hanya tersenyum-senyum 
sambil menimang-nimang senjata andalannya. 
’’Baiklah,” kata Gagak Lamatan. ”Kau tentu ti-
dak akan mau membuka mulut jika kau belum tahu 
dengan siapa kau berhadapan!” 
”Baru saja kau suruh aku menutup mulut, bu-
kan, Gagak Pikun?” 
Singngng! Singngng! 
Pedang kembar itu berkelebat begitu cepat. Ge-
rakan dua pedang yang berlawanan arah itu memaksa 
gadis bertoya itu harus berjumpalitan ke belakang. Hi-
lang kesempatan untuk melindungi tubuhnya dengan 
toya dewondarunya. Sabetan pedang kembar itu begitu 
kuat dan cepat. 
Trakkk! Trakkk! 
Melihat lawan menghindar, Gagak Lamatan me-
rasa berada di atas angin. Diburunya gadis itu dengan 
tusukan-tusukan yang mematikan. Sungguh di luar 
dugaannya jika gadis itu masih mampu melindungi 
dada dan pinggangnya dengan toya berwarna merah-
kecoklat-coklatan itu. Lebih kaget lagi, Gagak Lamatan 
merasakan sepasang telapak tangannya bergetar he-
bat, sewaktu toya itu menepis pedang kembarnya. 
Orang-orang yang menyaksikan pertarungan 
itu menarik napas lega. Baru saja mereka memejam- 
kan mata sebab mereka yakin gadis itu akan tewas di 
ujung pedang Gagak Lamatan. 
”Oh, Gusti Allah, untung kau selamatkan gadis 
itu!” desah pemilik kedai sambil merangkul anaknya. 
’’Sebaiknya kita melapor,” kata lelaki yang ber-
diri di samping pemilik kedai itu. 
’’Melapor ke mana? Ke kadipaten?” sahut te-
mannya. 
”Tolol! Kau kira kita bebas keluar-masuk kadi-
paten? Tentu saja melapor ke Kiai Wasi!” jawab orang 
yang di sebelah pemilik kedai itu. 
”Bisa apa Kiai Wasi! Dia memang bisa mengo-
bati anak kecil yang sakit sawan. Tapi, di sini tak ada 
yang sakit sawan. Tolol!” 
’Tapi, karena orang dari kadipaten itu mencari 
Kiai Wasi makanya gadis itu harus berhadapan den-
gannya! Kalau orang keji itu sudah bertemu dengan 
Kiai Wasi, tentu gadis itu dibiarkannya pergi...!” 
’’Alaaah, kita lihat saja siapa yang harus pergi 
dari tempat ini!” tukas lelaki yang sejak tadi paling 
cermat memperhatikan pertarungan di depan kedai 
itu. Sekalipun ia tak bernyali menghadapi Gagak La-
matan, sekalipun keringat dingin membasahi sekujur 
tubuhnya sewaktu mendengar bentakan Gagak Lama-
tan, la menyimpulkan bahwa gadis bertoya itu tak 
akan mudah dikalahkan punggawa Kadipaten Banyua-
sin itu. Sedikit ia pernah belajar ilmu silat dari almar-
hum ayahnya. Hanya saja, selama ini tak pernah bera-
ni menghadapi lawan yang sekiranya tak mungkin di-
kalahkan, la memilih lebih baik hidup dan bisa meng-
hidupi anak istri ketimbang mati konyol dalam perta-
rungan! 
Beberapa jurus telah terlampaui. Belum nam-
pak salah satu dari keduanya berhasil mendesak la- 
wan. Gadis bertoya itu sengaja hanya mengimbangi 
lawan. Belum dikeluarkannya jurus-jurus toya atau-
pun jurus-jurus yang dipelajarinya dari Pendekar Peri-
sai Naga, la hanya mengandalkan kecepatan berkelit, 
kecepatan menyerang, dan kekuatan tenaga dalam un-
tuk membentur serangan lawan. 
Di lain pihak, Gagak Lamatan mulai hilang ke-
sabaran. Baginya, tak ada faedahnya melayani lawan 
yang tidak diharapkannya ini. la datang ke Desa Da-
dapsari karena ia ingin membalaskan dendam atas 
kematian Gagak Paningal, adik kandung sekaligus 
adik seperguruannya. Sudah dipastikannya bahwa Ga-
gak Paningal tewas oleh cambuk yang berhiaskan bola 
berduri itu. Dari mulut ke mulut ia sering mendengar 
cerita bagaimana bola berduri di ujung cambuk kulit 
ular itu memutuskan urat urat leher. 
Maka Gagak Lamatan menggeram sambil me-
mutar pedang kembarnya di samping kanan-kiri ping-
gangnya. Inilah gerak pembuka ilmu ’Pedang Mata 
Gunting’! Di tangan Gagak Lamatan, pedang kembar 
itu seolah menjadi seribu gunting yang siap merobek-
robek dari segala arah. 
’’Sayang, tubuhmu yang molek, mulutmu yang 
indah, dan matamu yang menawan itu harus ku ser-
pih-serpih dengan pedang kembar ku, Perempuan 
Bengal!” ujar Gagak Lamatan sebelum kemudian ber-
putar mengelilingi tubuh gadis bertoya itu. 
Gadis bertoya itu, yang tak lain adalah Endang 
Cantikawerdi, secepatnya mawas diri. Tak mungkin la-
gi baginya untuk menyimpan jurus-jurus andalan 
toyanya. Lawan sudah menerapkan jurus andalannya. 
Maka Endang Cantikawerdi memutar toyanya di depan 
dada sambil mengangkat tinggi tinggi lutut kanannya. 
Lalu, sewaktu pedang kembar di tangan lawan mulai  
menerjangnya, gadis itu membungkukkan badan, me-
lipat lutut kirinya sedikit, dan memutar tubuhnya. 
Trangngng! Trangngng! Trangngng! 
Bunga api bepercikan dari kedua pedang yang 
beradu. Tak sempat terdengar benturan antara toya 
dewondaru dengan sepasang pedang itu. Jurus gabun-
gan antara jurus ’Toya Sakti Pengusir Malaikat’ dengan 
jurus ’Naga Melilit Gunung’ itu berhasil membuat pe-
dang kembar di tangan Gagak Lamatan tak berdaya. 
Dua pedang itu mental bersamaan dan beradu satu 
sama lain begitu menyentuh putaran toya dewondaru. 
Menyadari bahwa ilmu ’Pedang Mata Gunting’ 
nya gagal mengurung lawan, Gagak Lamatan berjum-
palitan ke belakang. Kini baru disadarinya bahwa gadis 
bertoya itu memiliki ilmu silat yang begitu mumpuni. 
Lebih layak disebut ilmu dedemit! Kalau ia biarkan ga-
dis itu menyerang, tak tahulah apa yang terjadi. 
’’Karena aku tidak ada urusan denganmu, per-
cumalah aku membuang keringat untuk menandingi-
mu, Perempuan Setan! Tetapi, aku akan membuat 
perhitungan lagi setelah urusanku dengan Pendekar 
Perisai Naga rampung!” kata Gagak Lamatan sebelum 
kemudian mencemplak kudanya. 
Endang Cantikawerdi tertawa geli melihat la-
wan yang bermulut besar tetapi takut mati itu. Sebe-
narnya, bisa saja ia memburu Gagak Lamatan sebelum 
kudanya membawanya pergi Namun, Endang Canti-
kawerdi bukan lagi murid orang sesat yang berdarah 
dingin. Tak akan lagi ia menyerang lawan yang tak lagi 
melawan. Sikap inilah yang dimiliki Endang Cantika-
werdi sekarang ini. Dan, sikap itu yang memang diha-
rapkan oleh Pendekar Perisai Naga yang pernah meng-
gemblengnya. 
 
 
*** 
 
 
Semua orang yang semula berdesakan di dalam 
kedai Itu serentak menghambur ke halaman dan ke-
mudian berlutut di depan Endang Cantikawerdi. Nya-
wa mereka yang semula bertengger di ubun-ubun telah 
kembali pada tempatnya. 
’Terima kasih yang tak terhingga kami hatur-
kan ke hadapan sang Dewi,” kata salah seorang lelaki 
mewakili teman-temannya. 
”Ya, karena sang Dewi maka kami masih sem-
pat hidup,” kata pemilik kedai itu menimpali. 
’’Sang Dewi? Di mana ada sang Dewi?” latah 
Endang Cantikawerdi sambil menoleh ke kanan-kiri. 
’’Padukalah yang kami sebut ’sang Dewi’,” kata 
pemilik kedai mendahului yang lain. 
”Wah, wah, mimpi apa aku? Jangan, jangan! 
Berdirilah Paman-Paman sekalian. Aku bukan sang 
Dewi. Aku datang dari gunung, bukan dari kahyangan. 
Ayo, kita bicara sambil menikmati secangkir teh tu-
bruk!” Endang Cantikawerdi melangkah menuju kedai. 
Lima orang lelaki dan seorang anak berumur 
tujuh tahun itu mengangkat kepala, memandang satu 
sama lain. 
”Dia memang gadis yang tidak gila pujian,” kata 
lelaki yang memimpin acara berlutut itu. 
’’Jadi, kita harus memanggilnya apa?” tanya 
pemilik kedai. 
’’Panggil saja aku ’Cantikawerdi’!” sahut Endang 
Cantikawerdi sambil menoleh. Gadis itu tersenyum se- 
bab tiba-tiba ia ingat kebiasaan Pendekar Perisai Naga 
berkata, 'Panggil saja aku 'Joko Sungsang’  
’’Apakah kami tidak lancang jika kami me-
manggil ’Nini Cantikawerdi’?” tanya pemilik kedai sete-
lah menyusul langkah gadis itu, 
”Aku yang menghendaki, Paman. Dan, aku le-
bih senang jika Paman-Paman sekalian mau mengang-
gapku sebagai anak Paman-Paman sekalian.” Endang 
Cantikawerdi tersenyum lepas. 
Gadis itu meneruskan langkahnya. Akan tetapi, 
betapa terkejut setelah ia memasuki kedai dan melihat 
dua orang penduduk desa tergeletak di lantai.” Jadi, 
Gagak Lamatan tadi sudah telanjur membunuh dua 
orang?” 
’’Betul, Nini. Hanya karena Adi Merta dan Adi 
Garda tak bisa menjawab pertanyaan Gagak Lamatan,” 
tutur pemilik kedai itu. 
’’Apakah di antara Paman-Paman ini memang 
ada yang tahu di mana Pendekar Perisai Naga berada?”  
’’Nini Cantikawerdi,” sahut lelaki yang mengaku 
mendengar percakapan antara orang berkedok dengan 
Gagar Mayang, ’’Kami sama sekali tidak tahu di mana 
Pendekar Perisai Naga berada. Hanya saja, kami per-
nah mendengar kabar tentang pendekar yang katanya 
bersenjatakan cambuk kulit ular itu....” 
"Berarti Paman tahu!” tukas Endang Cantika-
werdi. 
Kemudian lelaki itu menceritakan pengalaman-
nya di pinggir sungai beberapa malam yang lalu, Den-
gan dahi berkerut-kerut Endang Cantikawerdi men-
dengarkan cerita lelaki pemasang bubu itu. 
’’Apakah gadis itu pakaiannya sama dengan 
pakaian yang aku pakai ini, Paman?” tanya Endang 
Cantikawerdi sambil mengingat-ingat Gagar Mayang.  
’’Kurang begitu jelas, Nini. Tapi, jelas pakaian-
nya bukan hitam atau putih.” 
"Mungkin Paman melihat gadis itu membawa 
senjata?” 
”Ya. Senjatanya pendek. Seperti seruling....” 
”Dan, Paman tahu gadis itu sekarang dimana? 
Maksudku, pernahkah gadis itu memasuki desa ini?” 
tukas Endang Cantikawerdi. 
’’Kenapa tidak dari tadi kau katakan  bahwa 
senjata gadis itu seperti seruling?” sela lelaki yang du-
duk di sebelah pemilik kedai. 
"Aku baru Ingat sekarang.” 
’’Paman pernah melihat gadis berseruling itu?” 
Endang Cantikawerdi menoleh kepala lelaki yang du-
duk di sebelah pemilik kedai. 
"Kalau tidak salah lihat mata Paman yang tua 
ini, gadis itu pernah jalan bersama Kiai Wasi. ” 
”Wasi Ekacakra?” 
’’Betul, Nini.” 
"Kalau begitu, aku segera ke rumah Kiai Wasi. 
Tolong Paman urus baik-baik mayat-mayat itu!” kata 
Endang Cantikawerdi seraya melesat pergi. 
’’Seperti burung merpati,” kata pemilik kedai 
itu. 
’’Apanya?” tanya lelaki di sebelahnya. 
’’Tiba-tiba saja beleber! Hilang! Wah, kalau saja 
aku punya ilmu silat seperti Nini Cantikawerdi itu....” 
’’Kamu tutup kedai dan kami semua bingung 
cari makan!” sahut yang lain diiringi tawa mereka ber-
sama. 
Sementara orang-orang di kedai itu sibuk men-
gurus mayat Merta dan Garda. Endang Cantikawerdi 
tengah berbicara dengan Nyai Linggar, ibu Joko Sung- 
sang. Kecewa sekali ia tidak bisa menjumpai Wasi 
Ekacakra maupun Gagar Mayang. 
’’Atau, barangkali Bibi tahu di mana Joko 
Sungsang?” Tiba-tiba Endang Cantikawerdi sadar 
bahwa ia sedang berhadapan dengan perempuan yang 
melahirkan Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Na-
ga. 
’’Sudah beberapa hari ini Joko Sungsang tidak 
menengok Bibi. Kata Kini Gagar Mayang, Joko Sung-
sang mendapat tugas dari Kiai Wasi Ekacakra.” 
Kalau begitu, pikir Endang Cantikawerdi, pe-
rempuan ini memang tidak tahu apa yang sedang ter-
jadi. Hal ini mungkin memang direncanakan oleh Kiai 
Wasi Ekacakra. 
”Apa Nini...?” 
’’Panggil saya ’Cantikawerdi’, Bibi,” sahut En-
dang Cantikawerdi memperkenalkan diri. 
”Ya, ya. Maksud Bibi, apa Nini Cantikawerdi 
masih saudara seperguruan dengan Nini Gagar 
Mayang?” 
’’Hanya kebetulan saja pakaian kami sama-
sama berwarna jingga, Bibi. Kalau begitu, saya minta 
pamit, Bibi. Saya akan cari Gagar Mayang di sekitar 
desa sini.” 
’’Hati-hati, Nini. Akhir-akhir ini banyak orang 
sesat yang datang ke Desa Dadapsari sini. ” 
’’Terima kasih, Bibi. Saya mohon doa restu Bibi 
agar saya selamat selama berada di desa ini. ” 
 
*** 
 
Sebenarnya, sewaktu Endang Cantikawerdi ber-
tarung melawan Gagak Lamatan di depan kedai itu, 
Gagar Mayang menyaksikan dari balik semak-semak  
yang tumbuh di samping kedai. Diam-diam gadis itu 
mengagumi jurus-jurus toya yang dimainkan Endang 
Cantikawerdi. Jauh lebih matang dibandingkan den-
gan kemampuan gadis itu beberapa waktu yang lalu. 
Sampai kapan pun, Gagar Mayang tidak akan melupa-
kan jasa baik Endang Cantikawerdi yang telah mem-
bantunya melenyapkan Ki Tunggui Wulung (Baca juga: 
’’Pusaka Bukit Cangak”). 
Ingin sebenarnya Gagar Mayang bersahabat 
dengan gadis dari Gunung Sumbing itu. Akan tetapi, 
ada perasaan lain yang begitu kuat menolak keinginan 
itu. la pernah mendengar keluhan Endang Cantika-
werdi tentang sikap Pendekar Perisai Naga terhadap-
nya. Sejak itulah Gagar Mayang merasa bahwa gadis 
bertoya ini tak mungkin bisa dianggap sebagai saha-
bat. 
”Hm. .., kalau saja di dunia ini tidak ada Pen-
dekar Perisai Naga,” desah Gagar Mayang seraya me-
ninggalkan tempat persembunyian. 
Setelah jauh dari kedai itu, Gagar Mayang baru 
memikirkan ke mana ia harus meneruskan langkah. 
Kembali ke pondok Wasi Ekacakra? 
”Ah, gadis dari Gunung Sumbing itu tentu se-
bentar lagi pergi ke sana!” kata gadis itu. ’Tetapi, ha-
ruskah aku meninggalkan Desa Dadapsari? Bukankah 
guru berpesan agar aku memperdalam ajian ’Ismu 
Gun-ting’?” 
Mengingat pesan Wasi Ekacakra inilah maka 
Gagar Mayang membatalkan niatnya pergi dari Desa 
Dadapsari. Untuk menghindari pertemuannya dengan 
Endang Cantikawerdi, gadis itu pergi ke tempat yang 
biasa dipergunakan untuk latihan. Di tempat ini ia bi-
sa berlatih dan sekaligus bersembunyi dari pandang 
mata Endang Cantikawerdi.  
Tempat itu berupa tanah lapang yang tak lebih 
luas dari sepetak sawah. Wasi Ekacakra memilih tem-
pat itu sebagai tempat berlatih silat sebab tanah la-
pang itu jarang terjamah penduduk desa. Jauh sebe-
lum Wasi Ekacakra tinggal di Desa Dadapsari, telah 
tersiar kabar bahwa tanah lapang itu angker. Di tem-
pat itu pulalah sering terdengar suara perempuan me-
nangis. Namun, bagi Wasi Ekacakra, semuanya itu tak 
ditakutkannya. la tahu bagaimana cara mengusir 
makhluk halus yang berujud perempuan itu. 
Setelah memindahkan makhluk halus itu ke 
tempat yang lebih jauh, Wasi Ekacakra sering datang 
ke tempat itu pada tengah malam untuk berlatih olah 
kanuragan maupun kesaktian. Itulah sebabnya kena-
pa tak seorang pun penduduk Desa Dadapsari tahu 
bahwa Wasi Ekacakra memiliki ilmu silat yang tinggi. 
Mereka hanya tahu bahwa orang tua yang berikat ke-
pala Jumputan itu punya keahlian mengusir penyakit 
sawan. 
Semula Gagar Mayang juga merasa tidak aman 
berlatih di tempat Itu. Namun, setelah Wasi Ekacakra 
membeberkan cerita perihal tempat itu, gadis itu bisa 
berlatih dengan pikiran kosong. 
Wasi Ekacakra sengaja membiarkan tempat itu 
dikelilingi tumbuh-tumbuhan berduri. Malahan ba-
nyak dedaunan yang gatal luar biasa jika menyentuh 
kulit Untuk melewati pagar hidup ini, dibuatlah lorong 
kecil yang menyerupai jalan babi hutan. Dan, untuk 
melewati lorong itu harus pula meniru babi hutan, me-
rangkak. 
Matahari tinggal separuh bulatan sewaktu Ga-
gar Mayang hampir menyelesaikan latihannya. Kali ini 
ia khusus berlatih gerak-gerak dasar ajian ’Ismu Gunt-
ing’ dan jurus ’Tambak Segala’, la berusaha mengga- 
bung jurus pertahanan dan jurus serangan itu. la me-
rasa pasti bahwa gabungan kedua jurus itu akan lebih 
berbahaya bagi lawan. 
Suara telapak kaki yang menghentak-hentak 
tanah inilah yang menarik perhatian Endang Cantika-
werdi. 
”Ada yang berlatih silat di balik tanaman berdu-
ri ini?” tanya Endang Cantikawerdi kepada dirinya 
sendiri. 
Kemudian ia mencari-cari sela-sela pohon per-
du itu yang mungkin bisa untuk mengintip. Tak nam-
pak sama sekali sebab pohon-pohon perdu itu terlalu 
rimbun. Setelah berjalan mengitari tempat itu, barulah 
ditemukannya lorong yang mirip jalan bagi babi hutan. 
Gadis itu pun merangkak masuk. Bibirnya menyung-
gingkan senyum begitu dilihatnya siapa yang tengah 
tekun berlatih silat. 
Akan tetapi, Endang Cantikawerdi tidak mau 
mengganggu gadis dari Padepokan Bukit Cangak itu. la 
tunggu hingga Gagar Mayang menyelesaikan latihan-
nya. 
’’Jurus-jurus yang luar biasa!” puji Endang 
Cantikawerdi. 
”Oh, kau...?” Ada kekecewaan menggeremati le-
kuk hati Gagar Mayang. Usahanya menghindari gadis 
bertoya itu ternyata gagal. 
”Aku tadi mencarimu ke pondok Kiai Wasi Eka-
cakra.” 
Hampir saja Gagar Mayang menyahut, ”Ya, aku 
tahu.” Syukurlah ia masih mengendalikan lidahnya. 
”Kau tahu aku tinggal di sana?” kata Gagar 
Mayang setelah untuk sejenak bingung menanggapi 
ucapan Endang Cantikawerdi. 
 
’’Kedatanganmu ke Desa Dadapsari tentu saja 
menarik perhatian orang banyak. Hampir semua orang 
di desa itu tahu bahwa Kiai Wasi Ekacakra ketamuan 
gadis cantik yang berilmu silat mumpuni!” 
”Ah, apalah artinya aku jika dibandingkan den-
gan kau,” sahut Gagar Mayang. 
"Jangan merendahkan diri. Baru saja aku meli-
hatmu melatih jurus-jurus yang menurutku aneh dan 
langka. ” 
”Itu tak seberapa jika dibandingkan dengan ju-
rus-jurus toyamu.” 
”Ah, sudahlah. Kita bisa bicarakan soal itu lain 
waktu. Sekarang, aku ingin sekali mendapat keteran-
gan langsung darimu.” Endang Cantikawerdi tak sabar 
lagi menunggu. Ia harus secepatnya mendengar kabar 
tentang Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga. 
”Kau sudah mendengar berita tentang hilang-
nya Pendekar Perisai Naga?” 
”Ya. Tetapi, hanya dari mulut orang-orang yang 
belum bisa aku percaya. Mereka sendiri tidak yakin 
akan kebenaran berita itu. Karena itulah mereka me-
nyebut namamu.” 
’’Kenapa dihubung-hubungkan dengan nama-
ku?” 
 ”Ada di antara mereka yang melihat kau berbi-
cara dengan orang berkedok di pinggiran kali....” 
’Tidak mungkin!” tukas Gagar Mayang. 
’’Kenapa tidak? Orang itu setiap malam berada 
di pinggir kali untuk memasang bubu. Lagi pula, yang 
perlu kita bicarakan bukan itu. Kalau memang benar 
apa yang dikatakan pencari ikan itu, artinya kau tahu 
di mana Pendekar Perisai Naga berada.” 
”Guru... eh, maksudku Kiai Wasi Ekacakra saja 
tidak tahu ke mana Pendekar Perisai Naga menghilang.  
Apa lagi aku?” Gagar Mayang masih mencoba meraha-
siakan siapa Wasi Ekacakra sekarang ini bagi dirinya. 
’’Jadi, benar berita bahwa Pendekar Perisai Na-
ga hilang?” Suara Endang Cantikawerdi berubah sen-
du. 
’’Begitulah. Dan, belum diketahui apakah dia 
masih hidup atau sudah mati,” jawab Gagar Mayang 
dengan ketus. Diam-diam gadis ini kesal sebab Endang 
Cantikawerdi begitu ingin tahu nasib Pendekar Perisai 
Naga. 
"Mudah-mudahan ia selamat,” kata Endang 
Cantikawerdi. 
 ’’Baiklah, aku kira cukup. Terima kasih. ” 
”Kau...? Maksudku, kau tahu kira-kira ia bera-
da di mana?” tanya Gagar Mayang membuat langkah 
Endang Cantikawerdi terhenti. 
”Aku akan mencoba menengoknya ke Jurang 
Jero atau Karang Bolong.” 
’’Tidak mungkin dia di sana.” 
’’Kenapa?" Endang Cantikawerdi membalik ba-
dan. Tiba-tiba ia curiga, jangan-jangan gadis di depan-
nya itu berdusta. 
”la dalam keadaan terluka dan tidak mungkin 
beranjak dari tempatnya berbaring jika tidak ada orang 
yang menggendongnya.” 
"Terluka? Siapa yang bisa melukainya?” 
’’Gagak Paningal la terkena pedang beracun mi-
lik Gagak Paningal.” 
’Tidakkah Kiai Wasi Ekacakra bisa memberinya 
obat penawar?” 
"Justru sewaktu aku pergi mencari obat itulah 
tiba-tiba dia hilang dari tempatnya berbaring.” 
’’Kenapa tak kau paksa agar orang berkedok itu 
berbicara Jujur?” 
 
"Dia bukan tandinganku. Dia orang sakti yang 
setingkat dengan Kiai Wasi Ekacakra, Ki Sempani, 
atau guru Pendekar Perisai Naga.” 
Endang Cantikawerdi manggut-manggut Gadis 
itu mulai menerka-nerka siapa di antara orang-orang 
sakti itu yang mungkin menculik Pendekar Perisai Na-
ga. 
 
*** 
 
Di sebuah gua yang jauh dari kesibukan orang-
orang desa, bahkan tak pernah terjamah oleh orang-
orang rimba persilatan, Joko Sungsang alias Pendekar 
Perisai Naga tergeletak tak berdaya. Luka di betis ka-
nannya telah sembuh dan bahkan pulih seperti sedia-
kala. Akan tetapi, totokan-totokan pada tubuhnya 
membuat Joko Sungsang tak mampu menggerakkan 
sekujur anggota badannya. Tangan dan kakinya seolah 
beku. Hanya mata dan mulut yang masih mampu dige-
rakkannya. Maka ia tetap bisa melihat orang berkedok 
yang selama ini menawannya, la juga masih bisa me-
nanggapi ucapan-ucapan orang berkedok itu. 
Akan tetapi, yang lebih banyak dilakukan Joko 
Sungsang adalah berpikir. Sudah beberapa hari ia 
memikirkan nasibnya yang begitu konyol. la dibiarkan 
menggeletak tak berdaya oleh orang berkedok yang 
menawannya. Kalau memang orang berkedok itu men-
ginginkannya, kenapa ia tidak dibunuh saja? Lagi pu-
la, kenapa orang berkedok itu mengobati luka di betis 
kanannya? 
”Aku tidak ingin melihatmu mati digerogoti ra-
cun warangan ular belang itu, Pendekar Perisai Naga,” 
jawab orang berkedok itu setiap Joko Sungsang ber-
tanya kenapa ia dibiarkan tetap hidup. 
 
’Tetapi, kenapa tak kau biarkan aku pergi dari 
gua terkutuk ini?” tanya Joko Sungsang pada kesem-
patan lain. 
”Itu  urusanku. Mau kau kubunuh atau kule-
paskan, atau mungkin kubiarkan kau tetap menggele-
tak di situ, itu urusanku.” 
”Ilmu sifatmu tinggi, tetapi tingkah lakumu tak 
lebih dari seorang maling!” kata Joko Sungsang kesal. 
"Kenapa kau peduli dengan tingkah laku ku? 
Kenapa tak kau pedulikan tingkah lakumu sendiri?” 
"Tingkah laku yang mana yang menurutmu sa-
lah?” 
”Ha ha ha! Tanyalah kepada dirimu sendiri, 
Pendekar Perisai Naga. Tetapi, yang jelas aku tidak su-
ka jika kau menyusahkan penduduk desa yang tanpa 
dosa.” 
”Aku menyusahkan penduduk desa?” kata Joko 
Sungsang seraya tertawa. 
"Karena kau dan gadismu itu maka penduduk 
Desa Dadapsari terancam. Tidakkah itu kau sadari, 
Pendekar Perisai Naga?” 
”Lalu, kenapa tak kau tangkap sekalian gadis 
itu? Bukankah dia yang membawa-bawa Ki Sumping 
Sedapur ke Desa Dadapsari?” 
”Kau jangan lupa, Pendekar Perisai Naga. Gadis 
itu datang ke Desa Dadapsari bukan atas kehendak-
nya. Bukankah kau yang membawanya?” 
’’Gadis itu memerlukan pertolongan Kiai Wasi 
Ekacakra! Kalau kau memang sebagai orang sakti, ten-
tu kau kenal siapa Kiai Wasi Ekacakra.” 
’’Hanya anak bau kencur sepertimu yang 
mungkin tidak kenal Wasi Ekacakra. Terbukti, kau be-
lum tahu kenapa orang sakti itu sekarang memilih  
tinggal di Desa Dadapsari ketimbang malang-melintang 
di rimba persilatan...” 
’’Kau anggap aku tidak tahu? Dia menyamar 
menjadi petani di desa karena dia sudah bosan dengan 
dunia persilatan yang kotor! Dia tak mau lagi mena-
nam permusuhan! Dia tidak mau membunuh! Dia in-
gin hidup tenang di Desa Dadapsari! Bukankah itu 
yang kau maksudkan?” 
"Bagus! Ternyata kau memahami niat baik Wasi 
Ekacakra. Tapi, kenapa kau justru merusak maksud 
baiknya itu? Kau telah menyusahkannya, bahkan me-
nyusahkan seluruh isi Desa Dadapsari. Tidakkah kau 
sadari bahwa perbuatanmu itu bukan perbuatan seo-
rang pendekar? Sebagai pendekar yang katanya berali-
ran lurus, kau bukannya menolong mereka, tetapi ma-
lahan menyusahkan mereka....” 
”Tutup mulutmu!” sergah Joko Sungsang. 
’Tunggu dulu. Aku belum selesai bicara, Pende-
kar Perisai Naga. Kalau kau tetap tidak mau mengakui 
sebagai pembawa bencana bagi desa ini, bagaimana 
dengan tindakanmu membunuh Gagak Paningal?” 
 "Oh, kalau begitu, kau lah guru Gagak Panin-
gal!'’ sahut Joko Sungsang. "Nah, kenapa tak kau bu-
nuh saja aku biar arwah muridmu itu...?" 
’’Pendekar Perisai Naga yang tersohor,” tukas 
orang berkedok itu, ’Terlalu cetek pemikiran mu kalau 
nyatanya kau hanya memikirkan balas dendam. Kau 
menganggap aku guru Gagak Paningal dan ingin mem-
balas dendam atas kematian muridnya? Hm..., sayang 
sekali jika seorang Pendekar Perisai Naga masih  juga 
hatinya diracuni dendam-kesumat.”" 
”Aku tak perlu nasihatmu, Orang Sakti!" 
”Aku tidak akan menasihati mu, Pendekar Peri-
sai Naga. Aku tahu, gurumu yang bijak itu sudah ter- 
lalu banyak menasihati mu. Aku hanya ingin mengin-
gatkan mu bahwa tindakanmu membunuh Gagak Pa-
ningal akan berakibat buruk bagi penduduk Desa Da-
dapsari. Tidakkah kau tahu siapa Gagak Paningal? Ti-
dakkah kau berpikir bahwa Kanjeng Adipati So-
rengdriya akan merasa kehilangan orang kepercayaan-
nya?” 
”Itu sudah dalam perhitunganku! Kau kira 
hanya kau yang berpikir seperti Itu?” 
’’Lalu, kau juga siap melawan Kanjeng Adipati 
Sorengdriya beserta punggawanya?” 
”Itu tidak mungkin terjadi! Adipati Sorengdriya 
tak akan membela orang sesat macam Gagak Paningal 
atau Mahesa Lawung!” 
’’Kematian Mahesa Lawung memang masih bisa 
diterima oleh Kanjeng Adipati. Lalu menyusul kema-
tian Ki Langendriya, adik kandung Kanjeng Adipati. Itu 
pun masih membuat Kanjeng Adipati berpikir panjang. 
Tetapi, atas kematian Gagak Paningal, barangkali Kan-
jeng Adipati akan merasa kehilangan wibawanya. Kau 
tentunya tidak tahu bahwa kedatangan Gagak Panin-
gal di hutan rami malam itu atas perintah Kanjeng 
Adipati....’’ 
”Kau hanya menebak-nebak, Orang Sakti!” sa-
hut Joko Sungsang menukas. 
’’Bagaimana jika tebakan ku benar adanya?” 
”Aku akan hadapi apa pun yang terjadi!" 
’'Dengan mengorbankan penduduk Desa Da-
dapsari yang tidak berdosa?" 
’Tutup mulutmu, Orang Sakti!” sergah Joko 
Sungsang. Ingin rasanya ia menyumbat mulut orang 
berkedok itu dengan bola berduri di ujung cambuknya. 
akan tetapi, jangan lagi meringkus orang berkedok itu,  
sedangkan untuk menggerakkan jari-jari tangannya 
pun ia tak mampu. 
"Kau perlu istirahat. Tunggu saja sampai aku 
mengambil keputusan," kata orang berkedok itu sebe-
lum melesat ke luar gua. 
Joko Sungsang hanya bisa menghirup udara 
sepenuh dada, la menyadari, tak ada faedahnya melon-
tarkan kata-kata kotor. Toh itu tidak akan menolong-
nya dari keadaannya sekarang. 
’’Bukankah lebih baik aku berusaha membe-
baskan diri dari totokan keparat ini?” katanya dalam 
hati. ”Ah, itu juga tidak mungkin aku lakukan. Bagai-
mana bisa aku membebaskan totokan-totokan ini 
hanya dengan pandangan mata dan gerak mulutku?” 
Seperti yang bisa dilakukannya selama disekap 
di dalam gua itu, Joko Sungsang kembali menaksir-
naksir siapa sebenarnya orang berkedok itu. Namun, 
ia tetap tak menemukan jawabannya, la hanya bisa 
menyimpulkan bahwa orang berkedok itu adalah orang 
sakti yang ilmunya setingkat dengan Wiku Jaladri, Ki 
Sempani, atau Wasi Ekacakra. 
’’Mungkinkah orang berkedok itu guru? Ah, ti-
dak mungkin! Guru tidak akan berbuat sekonyol ini.” 
Kembali Joko Sungsang berbicara dengan diri sendiri. 
Dan, bagaimana bisa Joko Sungsang menyim-
pulkan bahwa orang berkedok itu Wiku Jaladri, Ki 
Sempani, atau Wasi Ekacakra? Ia belum mengenali ju-
rus-jurus ilmu silat yang dimiliki orang berkedok itu. 
Selain orang itu menyembunyikan wajahnya di balik 
kain hitam, Joko Sungsang juga tidak pernah melihat 
orang berkedok itu di tempat terang. Ia selalu berha-
dapan dengan orang berkedok itu di tempat gelap. 
Bahkan gua tempat mereka sering berbincang-bincang 
pun tak tertembus sinar matahari. Jika malam tiba,  
orang berkedok itu hanya menyalakan sebuah pelita 
kecil dan ditaruh jauh dari pembaringan Joko Sung-
sang berada. 
’’Satu-satunya jalan aku harus menantangnya 
bertarung agar aku mengetahui aliran ilmu silat yang 
ditempuhnya!” kata hati Joko Sungsang memutuskan. 
Oleh karenanya, sewaktu orang berkedok itu 
mengunjunginya untuk yang kesekian kalinya, Joko 
Sungsang berkata, ”Aku tidak menyangka sama sekali 
jika di kolong langit ini ada orang sakti yang takut 
menghadapi marabahaya.” 
’’Maksudmu?” Orang berkedok itu tertawa lirih. 
’’Kalau memang kau ingin menguasaiku, kena-
pa tidak kau berikan kesempatan buatku untuk mela-
wanmu?” 
"He he he! Kau pikir aku ingin sedungu orang-
orang sesat yang pernah kau kirim ke neraka? Kalau 
memang aku ingin memberimu pelajaran, sebelum Ga-
gak Paningal melabrakmu aku akan lebih dulu meng-
hadangmu. Tapi, untuk apa? Kau kira aku senang di-
puji-puji orang banyak karena aku bisa mengalahkan-
mu?” 
’’Jadi, untuk apa kau menawanku di tempat 
terkutuk Ini?” sahut Joko Sungsang dengan geraham 
bergemeretak. 
’’Sudah kukatakan, itu urusanku. Nah, seka-
rang makanlah. Kemarin kau sudah tidak mau makan. 
Selama aku bersedia menyuapimu, jangan kau tolak. 
Kecuali kalau memang kau ingin mati kelaparan. Tapi, 
lucu sekali jika sampai tersiar kabar bahwa Pendekar 
Perisai Naga mati kelaparan. He he he!” 
’’Jahanam pengecut!” rutuk Joko Sungsang. 
’’Lebih baik kaubunuh aku daripada kau permainkan 
aku seperti ini!” 
 
’’Sudah berapa kali aku katakan? Kubunuh 
kau, kubiarkan kau mati kelaparan, atau kulepaskan 
kau, itu urusanku. Tunggu saja keputusanku, Pende-
kar Perisai Naga,” sahut orang berkedok itu seraya 
menyuapkan nasi merah ke mulut Joko Sungsang. 
Kemarahan Joko Sungsang sampailah pada 
puncaknya. Karena hanya dengan mulut ia mampu 
melawan, maka dengan tenaga dalam yang dimilikinya, 
disemburkannya nasi yang menyumpal mulutnya ke 
arah muka berkedok itu. 
’’Hayaaa!” Orang berkedok itu menjatuhkan diri 
ke belakang sambil mengirimkan angin dari telapak 
tangan kirinya ke arah nasi yang beterbangan di uda-
ra. 
Melihat lawan begitu cepat menghindari seran-
gan, Joko Sungsang semakin yakin bahwa orang ber-
kedok itu berilmu yang jauh di atas ilmu silat yang di-
milikinya. Hm..., kalau saja iblis itu tak sempat meng-
hindari, sudah pasti wajah di balik kedok itu hancur, 
pikir Joko Sungsang. 
’’Bersyukurlah aku bukan orang sesat yang 
mudah terbakar nafsu amarah, Pendekar Perisai Na-
ga!” kata orang berkedok itu sambil menaruh nasi me-
rah beralaskan daun jati yang tadi berada di tangan ki-
rinya. 
Terbelalak mata Joko Sungsang melihat nasi di 
daun jati itu tidak berserakan. Ia tidak bisa mem-
bayangkan bagaimana orang berkedok itu secepat kilat 
bisa memindahkan nasi itu ke tangan kanannya dan 
berjumpalitan sambil menyangga nasi dan daun jati 
yang teronggok di telapak tangannya. 
”Aku percaya orang sakti yang pilih tanding! 
Sayang sekali, aku tidak melihat keagungan jiwa se- 
perti layaknya jiwa orang-orang sakti!” kata Joko 
Sungsang. 
’Tidurlah jika kau tidak mau makan. Sebentar 
nanti, aku kirim orang yang mau menyuapimu ma-
kan,” kata orang berkedok itu seraya melesat pergi. 
 ’’Jahanam licik!” 
 
*** 
 
 
Endang Cantikawerdi hampir saja memasuki 
kembali mulut Desa Dadapsari ketika dilihatnya 
bayangan seseorang berkelebat meninggalkan mulut 
desa itu. Begitu cepat bayangan itu berkelebat. Ter-
paksa gadis dari Gunung Sumbing itu mengerahkan 
segenap kemampuannya meringankan tubuh. 
Tetapi, tiba-tiba bayangan yang dikejarnya itu 
berhenti. Secepatnya Endang Cantikawerdi menyelinap 
ke balik pohon trembesi. Namun, tiba-tiba pula bayan-
gan itu kembali melesat. Ia sengaja berlari meniti pe-
matang. Endang Cantikawerdi sadar bahwa bayangan 
itu ingin menjauhi pepohonan. 
”Kau ingin berlomba berlari di pematang den-
ganku?” kata bayangan itu setelah berhenti dan sece-
patnya membalik badan. 
Endang Cantikawerdi tak bisa menahan keka-
getannya. 
”Oh, inikah orang berkedok yang diceritakan 
Gagar Mayang?” desahnya setelah melihat wajah yang 
terbalut kain hitam di depannya. 
”Aku sudah tua, Nini! Jangan bisik-bisik berbi-
cara denganku!” 
 
”Baik! Buka kedokmu jika kau tidak ingin ku-
hancurkan kain penutup wajahmu itu dengan toyaku” 
hardik gadis itu sambil menyilangkan toya dewonda-
runya di depan dada. 
”Hm..., rupanya aku berhadapan dengan murid 
Cekel Janaloka! Bagus, bagus! Aku senang kau bisa 
mewakili gurumu menghadapiku! Tapi, akan lebih baik 
jika aku lebih dulu tahu siapa namamu...!” 
’’Licik! Kenapa aku harus memberitahukan na-
ma ku jika kau sendiri merahasiakan siapa dirimu? 
Bukalah kedokmu, dan aku akan menyebutkan nama-
ku!” 
”Ha ha ha! Kau anak kemarin sore sudah beru-
saha mengecoh  ku? Kalau kau memang merasa bisa 
membuka kedok ku, bukalah!” 
’’Iblis licik! Katakan, di mana kau sembunyikan 
Pendekar Perisai Naga sebelum kuremukkan kepala-
mu!” 
’’Kalau kau memang bisa meremukkan kepala-
ku, lebih baik kau  lakukan itu daripada aku harus 
mengatakan di mana ku sembunyikan Pendekar Peri-
sai Naga, Bocah Sombong!” 
Wuttt! Wuttt! Wuttt! 
Tiga kali toya berwarna merah-kecoklat-
coklatan itu menyambar. Namun, seperti hilang terte-
lan bumi, orang berkedok itu menghilang dari hadapan 
Endang Cantikawerdi. 
"bagus juga permainan toyamu, Perawan Gu-
nung!” kata orang berkedok itu yang tiba-tiba saja su-
dah berada di belakang Endang Cantikawerdi. 
Secepatnya Endang Cantikawerdi membalikkan 
badan. Tak bisa dipungkirinya bahwa lawannya kali ini 
bukan sembarang lawan. Tiba-tiba ia bahkan menya-
dari bahwa yang dihadapinya kali ini bukanlah orang  
sesat seperti dugaannya. Orang berkedok itu terlalu 
sabar untuk ukuran orang sesat. Kalau memang ia in-
gin membalas sabetan toya tadi, kesempatan itu sudah 
didapatkannya. Tetapi, yang dilakukannya justru 
hanya menghindar dan menegur dari arah belakang. 
”Hei, kenapa tak kau  teruskan seranganmu? 
Bukankah kau ingin secepatnya meremukkan kepala-
ku?” ejek orang berkedok itu. 
Kalau saja Endang Cantikawerdi belum pernah 
menerima gemblengan dari Joko Sungsang alias Pen-
dekar Perisai Naga, tentulah ejekan itu akan mem-
buatnya kalap dan kembali menyerang lebih dahsyat 
lagi. Apa yang pernah didapatkannya dari Pendekar 
Perisai Naga membuat gadis  itu secepatnya bisa ma-
was diri. 
’’Kalau begitu, kau tidak akan bisa mencopot 
kedok ini dari kepalaku, ” kata orang berkedok itu me-
neruskan. 
”Aku mengaku kalah,” kata Endang Cantika-
werdi seraya membungkuk hormat. 
”Lho, kenapa? Tidakkah kau malu terhadap 
mendiang gurumu jika kau terlalu cepat menyerah?” 
’’Terserahlah bagaimana anggapanmu. Tetapi, 
aku mengakui bahwa kau bukan tandinganku. Hanya 
saja, aku akan merasa bangga jika aku tahu dengan 
siapa aku berhadapan,” sahut Endang Cantikawerdi 
sambil sekali lagi membungkuk hormat. 
”He he he! Aneh, aneh! Ada juga di kolong langit 
ini anak muda yang begitu rendah hati. Kau belum 
mengeluarkan jurus-jurus maut toyamu, tetapi tiba-
tiba kau mengaku kalah! Lalu, bagaimana bisa kau 
membebaskan Pendekar Perisai Naga jika kau tak be-
rani menghadapiku?” 
 
’’Sekarang aku sadari bahwa jiwa Pendekar Pe-
risai Naga aman dalam perlindungan orang bijak se-
pertimu. Ah, sayang sekali aku tidak bisa mengetahui 
dengan siapa aku berhadapan. Maaf, jika aku ku-
rang....” 
’’Tunggu dulu, Nini,” tukas orang berkedok itu.  
’’Dari mana Nini tahu bahwa Pendekar Perisai 
Naga masih hidup? Tidakkah Nini mendengar bahwa 
anak muda itu terluka oleh pedang beracun milik Ga-
gak Paningal?” 
’’Karena aku merasa pasti bahwa kaulah yang 
telah membawa pergi Pendekar Perisai Naga dari hutan 
rami itu!” 
”Kau juga merasa pasti bahwa aku tidak mem-
bunuhnya?” 
’’Kalau kau memang senang membunuh orang 
yang tidak berdaya, tentu juga sudah kau lakukan ter-
hadapku. ” 
Dahi di balik kedok kain hitam itu berkerut-
kerut. Tak disangkanya bahwa kali ini ia akan berha-
dapan dengan gadis pintar dan rendah hati. Padahal, 
tidak disangkalnya bahwa gadis bertoya itu memiliki 
ilmu silat yang tinggi. Dan, kalau saja gadis itu mau 
menyerangnya dengan jurus-jurus toya dewondarunya, 
belum tentu ia bisa bertahan hanya dengan berkelit 
menghindar. 
Untuk sejenak orang berkedok itu kebingungan 
menghadapi Endang Cantikawerdi. la ingin membuka 
penyamarannya di depan gadis itu, tetapi ia merasa itu 
akan menggagalkan rencananya. Namun, untuk berta-
han pada penyamarannya, ia sadari bahwa gadis itu 
terlalu cerdik. 
 
’’Kenapa diam? Sudahkah kau sadari  bahwa 
sesungguhnya aku bukan lawanmu?” Kini giliran En-
dang Cantikawerdi mendesak orang berkedok itu. 
”Ya, kau memang bukan lawanku. Kau masih 
bisa mengalahkanku jika kau lancarkan  jurus-jurus 
toya maut mu itu....” 
"Bukan itu maksudku,” tukas Endang Canti-
kawerdi cepat ”Aku tahu, kau bukan orang sesat yang 
harus aku musuhi. Kau orang sakti dari golongan lu-
rus yang justru harus melindungi orang lemah seperti-
ku ini. Bahkan  kau masih merasa perlu melindungi 
Pendekar Perisai Naga yang kesohor itu....” 
’’Cukup!” sergah orang berkedok itu. ’’Sayang, 
aku tak ada waktu untuk berbicara banyak denganmu. 
Mudah-mudahan di lain kesempatan kita masih bisa 
bertemu!” 
’’Tunggu!” Endang Cantikawerdi mencoba 
menghadang langkah orang berkedok itu, tetapi se-
buah sambaran angin membuat gadis itu harus mem-
buang tubuhnya ke samping. Dan, sewaktu ia melent-
ing berdiri, tak dilihatnya lagi bayangan orang berke-
dok itu. 
Maka gadis itu hanya bisa menggeleng-
gelengkan kepala sambil membanting napas. Percuma 
ia mengejar bayangan serba hitam itu jika memang 
yang dikejarnya sudah bertekad meninggalkannya. 
”Ya, ilmu meringankan tubuhnya hanya mung-
kin ditandingi oleh orang sakti macam Kiai Wiku Jala-
dri,” kata hati gadis itu sambil mengayun langkah. 
 
*** 
 
Sejak kemunculan Endang Cantikawerdi di De-
sa Dadapsari, hati Gagar Mayang berkepanjangan dira- 
jam kegelisahan. Gelisah sebab memikirkan apa yang 
mungkin terjadi jika Pendekar Perisai Naga bertemu 
kembali dengan gadis dari Gunung Sumbing itu. 
”Ya, bukan tidak mungkin Pendekar Perisai Na-
ga melupakan ku setelah bertemu kembali dengan ga-
dis bertoya itu,” kata hati Gagar Mayang. 
Dan, diakuinya bahwa setelah Eyang Kuranda 
Geni pergi untuk selama-lamanya, tak ada lagi tempat 
bersandar baginya. Kesedihan atas meninggalnya 
Eyang Kuranda Geni berangsur-angsur lenyap dari ha-
tinya sebab ia berada di antara Wasi Ekacakra dan 
Pendekar Perisai Naga. 
”Tetapi, haruskah aku bertahan tinggal di desa 
ini jika Pendekar Perisai Naga telah meninggalkan desa 
ini?” Gadis itu menanyai dirinya sendiri. 
Maka, untuk mencari jawabannya, ia mencoba 
mengenangkan kembali peristiwa yang menyebabkan-
nya harus tinggal di Desa Dadapsari. Akan tetapi, se-
belum gadis itu mendapatkan gambaran yang gam-
blang, sebuah bayangan berkelebat mengejutkannya. 
”Nah, ketemu lagi kita, Bidadari Bukit Cangak!” 
kata bayangan itu setelah menjejakkan sepasang ka-
kinya di tanah. 
”Kau Pemanah Sakti Bertangan Seribu?” sam-
but Gagar Mayang sembari bangkit dari duduknya.  
”Hm..., kau sudah tahu namaku?” 
”Ya. Burung emprit gantil yang kau takuti itu-
lah yang menyebut-nyebut namamu....” 
”Ha ha ha! Kau berusaha membesarkan nyali-
mu dengan menyebut-nyebut tua bangka penghuni 
Jurang Jero itu?” tukas Pemanah Sakti Bertangan Se-
ribu. 
’Tidakkah kau akui bahwa wajahmu pucat begi-
tu aku sebut-sebut...?” 
 
’Tutup mulutmu, Bocah Lancang!” sergah Pe-
manah Sakti Bertangan Seribu. ”Dan, kau pikir kali ini 
aku akan membiarkanmu hidup? Sekalipun kau se-
rahkan keris luk tujuh itu dengan suka rela, aku tak 
akan mengampuni lagi!” 
”Aku tidak butuh pengampunanmu dan aku ti-
dak akan pernah menyerahkan Ki Sumping Sedapur 
kepadamu, Kakek Serakah!” 
’’Bosan hidup!” hardik Pemanah Sakti Bertan-
gan Seribu seraya menyabetkan gendewanya dengan 
kecepatan yang sulit diikuti mata. 
Trakkk! Trakkk! 
Gagar Mayang kehilangan kesempatan untuk 
berkelit. Maka dibenturnya gendewa itu dengan serul-
ing bambu wulungnya. Bergetar hebat telapak tangan 
gadis itu. Namun, cucu sekaligus murid Eyang Kuran-
da Geni ini sejak berhadapan dengan kakek-kakek 
yang menamakan dirinya Pemanah Sakti Bertangan 
Seribu itu telah merangkai serulingnya dengan jurus 
’Tambak Segara’. Tidak mengherankan jika benturan 
yang terjadi tidak membuatnya cedera. 
Justru sebaliknya, Pemanah Sakti Bertangan 
Seribu kaget bukan kepalang merasakan telapak tan-
gan-nya seolah terkelupas. Tak disangka-sangkanya ji-
ka nyatanya gadis dari Bukit Cangak itu telah mengu-
asai jurus ’Tambak Segara’ hampir pada tingkat ke-
sempurnaan. 
’’Bagus! Bagus!” serunya setelah berhasil men-
guasai rasa nyeri yang menyerang telapak tangannya. 
’Tak percuma aku memburumu, Bocah Ayu! Nyatanya 
kau telah mewarisi semua ilmu yang ada pada kakek-
mu!” 
’’Jangan pongah, Kakek Jompo! Kau kira hanya 
Kiai Wiku Jaladri yang pantas menghadapimu?” 
 
”Ha ha ha! Kau terlalu mendewa-dewakan tua 
bangka itu, Gadis Dungu! Apa yang mesti aku takut-
kan? Andaipun ia datang dengan muridnya yang ber-
gelar Pendekar Perisai Naga, tak setapak pun aku me-
ninggalkan tempat ini!” 
’’Omong kosong!” sergah Gagar Mayang. ”Aku 
tahu apa yang tersimpan di balik rambutmu yang pu-
tih itu! Langkahi dulu mayatku, barulah kau beran-
gan-angan berhadapan dengan Pendekar Perisai Naga!” 
’’Besar mulut! Bersiaplah merangkak ke liang 
kuburmu!” sahut Pemanah Sakti Bertangan Seribu se-
raya menerjang dengan tendangan beruntun. 
Wusss! Wusss! Desss! 
Lagi-lagi Gagar Mayang dipaksa memagari tu-
buh-nya dengan jurus ’Tambak Segara’. Tendangan 
yang beruntun itu memang berhasil dihindarinya. 
Akan tetapi, sabetan gendewa yang mengarah ke ping-
gangnya memaksa gadis itu harus membentur pung-
gung tangan lawan dengan sisi telapak tangan kirinya. 
Gagar Mayang berjumpalitan ke belakang. la 
harus membuat jarak agar mendapatkan kesempatan 
untuk mengatasi rasa ngilu yang menyerang pergelan-
gan tangan kirinya. Namun, ternyata lawan membu-
runya dengan sambitan anak panah. 
Trakkk! 
’’Bagus!” seru Pemanah Sakti Bertangan Seribu 
ketika dilihatnya anak panah itu tertepiskan seruling 
di tangan kanan gadis itu. ’Tetapi, kita lihat saja apa 
yang bisa kau perbuat dengan serulingmu kali ini!” 
”Naracabala!” kata hati Gagar Mayang demi di-
lihatnya lawan menaruh beberapa anak panah pada 
gendewanya. 
’’Walet terbang pun tak akan lolos dari anak 
panahku, Bocah Bengal!” kata Pemanah Sakti Bertan- 
gan Seribu sambil menarik tali busur panahnya. Lima 
batang anak panah siap meluncur. 
Gagar Mayang memutar seruling bambu wu-
lung-nya. Namun, ia tak mengira bahwa dua anak pa-
nah tertuju pada sepasang kakinya, la memang belum 
pernah menghadapi ajian ’Naracabala’. Ia hanya per-
nah mendengar cerita bahwa Pemanah Sakti Bertan-
gan Seribu mampu melepaskan puluhan anak panah 
dalam sekejap mata. 
’’Sungguh sayang, anggota tubuhmu yang 
menggairahkan itu harus tertembus anak panahku, 
Bocah Ayu!” ujar Pemanah Sakti Bertangan Seribu 
dengan keyakinan bisa menembus sepasang betis ga-
dis itu dengan anak panahnya. 
Lima anak panah meluncur bersamaan ke arah 
betis hingga dahi Gagar Mayang. Putaran seruling ga-
dis itu memang berhasil menepiskan tiga anak panah 
yang mengancam dada leher dan dahinya. Akan tetapi, 
dua anak panah lagi luput dari tangkisan seruling. 
Crasss! Crasss! 
Gagar Mayang melenting ke udara begitu dira-
sakannya sepasang anak panah merobek kulit pada 
sepasang betisnya. Pada saat tubuh gadis itu men-
gambang di udara inilah Pemanah Sakti Bertangan Se-
ribu mengirimkan totokan ke punggung gadis itu. 
Gagar Mayang menggeliat. Namun, kemudian 
dirasakannya sekujur tubuhnya kejang. Maka tubuh 
yang kaku itu meluncur deras ke tanah. Sia-sia usaha 
gadis itu untuk mempersiapkan kuda-kuda kakinya. 
Akan tetapi, sebelum tubuh gadis itu terbanting 
ke tanah, sebuah bayangan berkelebat menyambar. 
’’Iblis keji!” ujar orang berkedok Itu sambil ma-
sih membopong tubuh Gagar Mayang yang kejang. 
 
”Ha ha ha! Bersyukurlah kau, Bocah Ayu! Un-
tunglah ada badut yang menyelamatkanmu!” kata Pe-
manah Sakti Bertangan Sakti dengan sikap meman-
dang sebelah mata terhadap orang berkedok yang me-
nolong Gagar Mayang. 
’’Julukanmu memang hanya pantas untuk me-
nakut-nakuti anak-anak kemarin sore, Jahanam!” ser-
gah orang berkedok itu gusar. 
’’Bukan kedokmu itu yang patut untuk mena-
kut-nakuti anak-anak kemarin sore?” balas Pemanah 
Sakti Bertangan Seribu mengejek. 
’’Sayang sekali, aku tidak ada waktu untuk me-
layani panah iblismu! Tetapi, kalau kau memang ingin 
melihatku menandingi ajian ’Naracabala’mu, tunggu-
lah aku di Bukit Cengcorang purnama besok!” kata 
orang berkedok itu sebelum melesat pergi sambil tetap 
membopong tubuh Gagar Mayang. 
’’Mampuslah kau purnama besok, Badut Pen-
gecut!” teriak Pemanah Sakti Bertangan Sakti memba-
hana. 
 
*** 
 
Gagar Mayang membuka matanya setelah ke-
sadarannya pulih kembali. Entah berapa lama ia ping-
san dalam gendongan orang berkedok itu. Satu pijitan 
di leher membuat gadis itu kehilangan kesadarannya. 
Dan, Gagar Mayang tidak bisa menebak tujuan orang 
berkedok itu membuatnya pingsan. Toh sebenarnya 
tanpa dibuat pingsan pun ia tak mungkin lagi mela-
wan. 
Namun, kemudian gadis itu menemukan jawa-
bannya setelah ia merasa bisa menggerakkan kaki dan  
tangannya. Orang berkedok itu telah membebaskannya 
dari totokan Pemanah Sakti Bertangan Seribu. 
’’Pastilah ini dilakukannya sewaktu aku masih 
pingsan,” kata hati gadis itu. ’’Tetapi, di manakah aku 
sekarang ini. Begitu gelap tempat ini.” 
Gagar Mayang tak mampu melihat apa pun 
yang ada di sekelilingnya. Namun, hidungnya yang ta-
jam mampu mencium bau uap pelita yang agaknya ba-
ru saja dimatikan. 
’’Gagar Mayang, kau dengar suaraku?” 
Secara refleks Gagar Mayang melompat men-
jauhi suara yang memanggilnya. 
’’Siapa kau?” hardiknya. 
”Kau jangan terlalu banyak bergerak, Megatruh. 
Kedua betismu terluka.” 
’’Siapa kau? Jangan coba-coba menakut-nakuti 
ku!” 
"Tidakkah kau mengenali suaraku?” Agak ber-
teriak Joko Sungsang. 
’’Pendekar Perisai Naga?” kata gadis itu setelah 
mengingat-ingat milik siapa suara itu. Maka dadanya 
pun berdebar hebat. 
’’Panggil aku ’Joko Sungsang’, Megatruh,” sahut 
Joko Sungsang dari tempatnya terbaring tak berdaya. 
”Gua ini terlalu gelap. Maaf jika aku hampir-
hampir tak mengenalimu. Di manakah kau? Dan, ke-
napa kau tidak mau mendekatiku?” 
’’Sudah lebih dari lima hari orang berkedok itu 
membiarkanku terbaring tak berdaya, Megatruh. Ke-
marilah. Tolong bebaskan totokan di punggungku....” 
’’Keparat!” tukas Gagar Mayang seraya melang-
kah setapak demi setapak menuju arah suara Joko 
Sungsang. 
 
”Dia bukan orang jahat seperti yang kita duga, 
Gagar Mayang. Tadi pun dia telah mengobati luka di 
betismu. Kau bisa menyalakan pelita di ujung kakiku?” 
”Dari mana aku mendapatkan api? Nantilah ki-
ta pikirkan. Sekarang, aku harus lebih dulu membe-
baskan mu dari totokan keparat itu. Maaf,” kata Gagar 
Mayang seraya membalik tubuh Joko Sungsang dan 
membebaskan totokan di punggung anak muda itu. 
’Terima kasih, Gagar Mayang. Sekarang, carilah 
pelita itu, biar aku menyiapkan api. ” 
’’Dari mana kau  dapatkan api?” Gadis itu me-
raba-raba ujung pembaringan Joko Sungsang. 
’’Guruku pernah mengajari ku bagaimana cara 
membuat api,”  jawab Joko Sungsang. Kemudian ia 
mengumpulkan ranting-ranting kering yang ada di da-
lam gua itu, dan ditumpuknya di sebuah batu. Ketika 
kemudian terdengar ledakan cambuk Perisai Naga, ke-
tika itulah api bepercik dan membakar ranting kering 
yang menimbuni batu. 
”Aku lupa kalau kau masih menyimpan cam-
buk Perisai Naga,” kata Gagar Mayang sambil menyu-
lut pelita dengan sebatang ranting yang ujungnya me-
nyala. 
’’Itulah kenapa aku katakan bahwa orang ber-
kedok itu bukanlah orang jahat seperti yang kita kira. 
Ia membiarkan cambukku tetap melilit di pinggang. Ia 
juga mengobati lukaku dan juga luka di betismu. Bah-
kan ia setia menyuapku selama aku menjadi tawanan 
di gua ini.” 
”Kau bisa menebak siapa kira- kira orang ber-
kedok itu?”  
Joko Sungsang hanya menjawab dengan gelen-
gan kepala. 
 
’’Setidaknya, orang berkedok itu memiliki ilmu 
setingkat dengan guru kita,” kata Gagar Mayang. 
”Dan, bukan tidak mungkin ia salah seorang 
dari orang-orang sakti yang kita kenal.” 
”Ya. Tapi, siapa? Kiai Wiku Jaladari? Ki Sempa-
ni? Kiai Wasi Ekacakra? Atau mungkin masih ada 
orang sakti yang belum aku kenal?” 
”Aku bisa memastikan bahwa dia bukan guru-
ku.” 
’’Juga tidak mungkin Kiai Wasi Ekacakra!” sa-
hut gadis itu menimpali. 
’Tanpa menjajaki ilmu silatnya, kita tidak akan 
mungkin mendapatkan Jawaban yang pasti. Baiklah. 
Secepatnya kita harus meninggalkan gua terkutuk ini. 
Bosan rasanya aku berhari-hari tinggal di tempat ke-
parat ini!” 
Mereka berdua berlompatan ke luar gua. Sinar 
matahari menyergap. Joko Sungsang mengerjap-
ngerjapkan matanya. Entah sudah berapa hari ia tidak 
melihat matahari. 
’’Hampir semalam suntuk aku pingsan, ” kata 
Gagar Mayang. 
”Ya. Agaknya darah terlalu banyak mengucur 
dari luka di betismu sehingga kau pingsan.” 
”Orang berkedok itu yang membuatku pingsan. 
Ah, syukurlah dia bukan tokoh sesat. Tetapi, tunggu!” 
Gagar Mayang tiba-tiba ingat sesuatu. 
"Kenapa, Megatruh?” Joko Sungsang meman-
dang gadis itu dengan dahi berlipat lipat. 
”Aku ingat! Ya, kita akan tahu siapa orang ber-
kedok itu purnama besok!” 
’’Kenapa purnama besok?” 
”Ya. Ia menantang Pemanah Sakti Bertangan 
Seribu purnama besok di Bukit Cengcorang. Nah, den- 
gan melihat tata gerak ilmu silatnya, bukankah kita 
akan bisa menebak siapa dia sesungguhnya?” Wajah 
Gagar Mayang berseri-seri. 
”Itu memang yang aku tunggu-tunggu,” sahut 
Joko Sungsang. ’’Bahkan seandainya sekarang dia ada 
di antara kita, aku ingin menantangnya untuk menge-
tahui tata gerak ilmu silatnya. ” 
’’Jadi, selama ini dia tak memberimu kesempa-
tan untuk melawannya?” 
’’Itulah yang membuatku tidak mengerti. Ia me-
nawanku, mengobati lukaku, membiarkanku tetap hi-
dup, tetap tidak memberiku kesempatan untuk pergi 
dari gua keparat itu. Aku tidak mengerti kenapa ia 
berbuat aneh seperti itu.” 
’Tidakkah kau pernah memancing-mancingnya 
dengan...?” 
”Ya,” sahut Joko Sungsang menukas. ’Tetapi, la 
hanya mengatakan bahwa ia tidak senang kita meli-
batkan penduduk Desa Dadapsari ke dalam urusan ki-
ta.la juga menyebut-nyebut Adipati Sorengdriya.  ” 
”Mungkinkah orang berkedok itu salah seorang 
punggawa Kadipaten Banyuasin?” 
’’Tidak mungkin. Aku tahu persis orang-orang, 
yang berdiri di belakang Adipati Sorengdriya. ” 
"Bagaimana dengan guru Adipati Sorengdriya 
sendiri?" 
”Aku belum pernah  mendengar cerita tentang 
orang yang kau maksudkan. Pernahkah kau menden-
gar Adipati Sorengdriya berguru kepada seseorang?” 
 ”Ya. Eyang guru pernah bercerita kepadaku. 
Kau pernah mendengar nama Ki Sadak Kinang?” 
 
*** 
 
 
 
Ki Sadak Kinang mengelus-elus jenggotnya 
sambil mendengarkan penuturan Gagak Lamatan. 
Orang tua yang hanya memiliki rambut pada dagunya 
itu menahan-nahan kemarahan. Terlihat dari gera-
hamnya yang terkatup rapat-rapat. Cerita tentang Ki 
Sumping Sedapur memang menggembirakannya. Akan 
tetapi, cerita tentang tewasnya Gagak Paningal mem-
buatnya berkali-kali menggemeretakkan giginya yang 
tinggal delapan biji. 
’’Sayang sekali, Anakmas Adipati Sorendriya 
bukanlah orang yang bisa kita ajak bicarakan masalah 
ini,” kata orang tua itu kemudian. "Tetapi, tidak berarti 
kita harus berpangku tangan, Gagak Lamatan. Kita 
harus bergerak meskipun tanpa dukungan Anakmas 
Adipati Sorengdriya!” 
’’Betul, Kiai. Saya dan beberapa punggawa Ka-
dipaten Banyuasin selalu siap menerima perintah dari 
Kiai,” sahut Gagak Lamatan. 
”Kau tahu pasti siapa yang membunuh Gagak 
Paningal? Maksudku, benarkah keparat itu si Pende-
kar Perisai Naga?” 
”Benar,  Kiai. Dari luka di leher Adi Gagak Pa-
ningal, jelas bahwa bola berduri di ujung cambuk Peri-
sai Naga itulah yang menewaskannya.” 
Orang tua berwajah bayi itu manggut-manggut. 
Kalau saja ia tidak berjenggot, tentulah orang akan 
menganggapnya bayi raksasa. Bentuk yang ada di se-
kujur tubuhnya serba bulat. Pipinya bulat. Hidung bu-
lat. Dagu bulat. Perut bulat. Juga betis dan lengan 
tangannya. Dan, orang yang melihatnya pun tidak 
akan percaya bahwa Ki Sadak Kinang sering bertapa. 
 
Meski tubuh dan wajahnya menyerupai bayi, Ki 
Sadak Kinang bukanlah tokoh sesat yang boleh dire-
mehkan. Sepanjang Pesisir Utara pernah dijelajahinya. 
Para perampok dan orang rimba persilatan yang ting-
gal di Pesisir Utara tak mungkin tak mengenalnya. Se-
lain dikenal sebagai Dewa Laut Utara, ia juga dikenal 
sebagai Penguasa Pulau Karang. Senjatanya yang ber-
bentuk gada dan terbuat dari batu karang itulah yang 
membuatnya dijuluki Penguasa Pulau Karang. 
”Jadi, apa yang harus kami persiapkan, Kiai?” 
tanya Gagak Lamatan sewaktu lama tak didengarnya 
Ki Sadak Kinang berucap. 
’’Siapkan orang-orangmu. Tapi, ingat! Jangan 
sampai  kau ambil orang-orang kepercayaan Anakmas 
Adipati Sorengdriya. Mengerti?” 
’’Mengerti, Kiai. ” 
’’Setelah kita berhasil membunuh Pendekar Pe-
risai Naga, barulah kita buka mata Anakmas Adipati 
Sorengdriya, biar dia tahu bahwa Pendekar Perisai Na-
ga bukan manusia yang pantas disegani. Nah, berang-
katlah. Kepung Desa Dadapsari. Bunuh semua orang 
yang mencoba melawan! Paham?” 
’’Paham, Kiai. Tetapi, bagaimana dengan Wasi 
Ekacakra, Kiai?” tanya Gagak Lamatan ragu-ragu. 
”Tolol! Kau pikir aku melepaskan kalian begitu 
saja? Sudah pasti tua bangka itu jadi santapanku!” 
sergah Ki Sadak Kinang. 
”Dan, kalau tidak salah, memang orang tua itu-
lah yang sekarang menyimpan Ki Sumping Sedapur, 
Kiai.” 
’’Siapa pun yang menyimpan, dialah orang per-
tama yang harus kita musnahkan! Ingat itu! Dan, ingat 
juga, jangan sampai kau lukai gadis yang menggebuk-
mu tempo hari. Aku tidak ingin melihat tubuh halus  
gadis itu tergores sedikit pun. Seleraku bisa hilang. 
Tangkap hidup-hidup gadis itu!” 
Gagak Lamatan mengangguk dalam-dalam 
kendati pun dalam hatinya mengumpat-ngumpat tak 
karuan. Betapapun ia takut menghadapi Ki Sadak Ki-
nang, tetap saja ia tak rela jika gadis cantik berpakaian 
serba jingga itu menjadi santapan setan yang bersa-
rang di lekuk hati orang tua berwajah bayi itu. 
Tak terhitung lagi jumlah gadis desa yang men-
jadi korban nafsu hewani Ki Sadak Kinang. Dan, tak 
terhitung pula istri orang-orang yang dijadikan gundik. 
Bahkan istri Adipati Sorengdriya pun diincar-incarnya. 
Kalau saja tidak diingatnya bahwa Adipati Sorengdriya 
murid kesayangannya, sudah barang pasti akan di-
paksa menyerahkan istrinya. 
Gagak Lamatan pernah mendengar cerita bah-
wa kesukaannya menikmati daun muda itulah yang 
membuat Ki Sadak Kinang pun awet muda. 
Setelah Gagak Lamatan menghilang dari hada-
pannya, Ki Sadak Kinang bergegas menghampiri gadis 
desa yang baru saja diserahkan oleh orang-orang su-
ruhannya. Sambil tertawa-tawa ia mendekati gadis 
yang meringkuk ketakutan di pojok kamar itu. 
”Kau jangan membuang-buang waktuku. Aku 
harus segera pergi. Sebentar lagi kau akan melihat ke-
pala Pendekar Perisai Naga, Cah Moblong,” ujar Ki Sa-
dak Kinang seraya merangkak di ambin bambu itu. 
Gadis itu menggigil ketakutan. Namun, ia tidak 
punya keberanian untuk melawan orang tua yang be-
rilmu setan itu. Melawan berarti menyerahkan nyawa 
sendiri maupun nyawa kedua orang tuanya. Maka ga-
dis itu hanya bisa mengucurkan air mata ketika Ki Sa-
dak Kinang mulai melucuti pakaiannya. 
 
”He he he! Kau kurus, tetapi inimu besar sekali, 
Nduk,” kata orang berkepala gundul itu sembari mem-
belai bukit dada gadis itu. 
Gadis itu menggelinjang kegelian, la ingin men-
jerit minta tolong, tetapi ditahan-tahannya. Ia takut ji-
ka tangan orang sesat itu tiba-tiba menimpa kepa-
lanya. Pernah ia melihat tangan itu bisa memecahkan 
batu hitam yang menjadi landasan mencuci pakaian di 
kali. 
Gadis itu menggigit bibirnya kuat-kuat sewaktu 
tubuh gemuk itu mulai menindih tubuhnya yang ku-
rus. la mencoba mengalihkan rasa sakit yang menye-
rang bagian tubuhnya yang paling rahasia. Ia mem-
bentur-bentur kepalanya ke dinding kamar. Ternyata 
dinding itu hanya terbuat dari anyaman bambu. 
Maka gadis itu tak kuasa lagi menahan jeritnya 
sewaktu Ki Sadak Kinang menggigit puncak bukit da-
danya kuat-kuat. 
”Ha ha ha? Rupanya kau pun menikmati ya?” 
kata Ki Sadak Kinang setelah melepaskan gigitannya. 
Tak lama kemudian, ia meninggalkan kamar itu den-
gan tubuh bermandikan keringat. 
’’Saya telah mengumpulkan orang-orang yang 
bisa kita percaya, Kiai,” sambut Gagak Lamatan di ha-
laman rumah. 
”Dungu! Kenapa tak langsung berangkat? Kau 
tunggu pendekar ingusan itu minggat dari Desa Da-
dapsari?” hardik Ki Sadak Kinang. 
’’Maafkan saya, Kiai. Saya hanya ingin me-
nyampaikan pesan Kakang Adipati untuk Kiai.” 
’’Pesan apa lagi? Kenapa tidak kau katakan ke-
padanya bahwa aku lagi banyak urusan? Goblok!”  
’’Kakang Adipati hendak menyampaikan berita 
penting malam nanti, Kiai.” 
 
"Malam nanti urusan malam nanti! Mengerti?” 
sahut Ki Sadak Kinang sambil melompat ke punggung 
kuda yang telah tersedia. 
Berlari-lari Gagak Lamatan menghampiri orang-
orang kepercayaannya yang menunggu di pintu ger-
bang kadipaten. Mereka terpaksa harus jalan kaki se-
bab mereka harus menempuh Jalan pintas agar tidak 
kedahuluan Ki Sadak Kinang. Jalan pintas menuju 
Desa Dadapsari itu memang hanya bisa ditempuh den-
gan jalan kaki. Ini pun hanya bisa dilakukan oleh 
orang orang yang berilmu silat cukup tinggi. Itulah ke-
napa Gagak Lamatan hanya membawa orang-orang 
kepercayaannya yang memiliki ilmu meringankan tu-
buh mendekati taraf sempurna. Untuk mendaki serta 
menuruni bukit yang terjal itu, ilmu meringankan tu-
buh sangatlah diperlukan. 
Matahari baru saja tenggelam ketika rombon-
gan yang dipimpin Gagak Lamatan tiba di mulut Desa 
Dadapsari. Melihat rombongan orang-orang berpakaian 
keprajuritan ini, penduduk Desa Dadapsari yang kebe-
tulan berada di jalan secepatnya minggir dan berdiri 
dengan kepala tertunduk. 
’’Bagus! Kalian ternyata masih mengenali kami, 
punggawa Kadipaten Bayuasin!” kata Gagak Lamatan 
dengan dada membusung. 
Tak seorang pun penduduk desa yang berjajar 
di pinggir jalan itu membuka suara. Mereka memang 
tidak diizinkan menjawab jika tidak dikehendaki oleh 
ketua rombongan punggawa Kadipaten Banyuasin itu. 
Mereka tidak ingin dianggap lancang dan kemudian di-
ganjar dengan injakan kaki kuda. Dan, karena kali ini 
rombongan itu datang tanpa berkuda, tentulah pedang 
yang akan langsung berbicara. 
 
’’Siapa Jagabaya di desa ini?” tanya Gagak La-
matan. 
”Ki Jagabaya sedang pergi ke hutan, Gusti,” ja-
wab salah seorang lelaki yang berdiri di pinggir jalan 
itu. 
’’Kalau begitu, panggil Wasi Ekacakra! Suruh ia 
menghadap aku sekarang juga!” 
Lelaki yang tadi menjawab menoleh ke kiri, me-
natap temannya yang berdiri dengan tubuh menggigil. 
”Hei, kau dengar perintahku?” Tiba-tiba saja 
pedang yang tadi tergantung di pinggang kanan Gagak 
Lamatan telah menempel di pundak lelaki malang itu. 
”Sendiko dhawuh, Gusti,” jawab lelaki itu se-
raya berlari-lari menuju rumah kediaman Wasi Ekaca-
kra. 
 
*** 
 
Di rumah Wasi Ekacakra, lelaki itu hanya men-
jumpai Nyai Linggar. Tak dilihatnya Wasi Ekacakra. 
Juga tak nampak gadis berseruling yang sering terlihat 
berjalan bersama Wasi Ekacakra. 
”Apa ada bayi yang terkena sawan?” tanya Nyai 
Linggar seperti biasanya. Ya, biasanya Wasi Ekacakra 
memang dibutuhkan penduduk desa untuk mengobati 
anak-anak yang terkena penyakit sawan. 
’’Tidak, Nyai. Ada punggawa kadipaten yang 
mencarinya. ” 
’’Punggawa kadipaten? Kadipaten Banyuasin?” 
Mata Nyai Linggar terbelalak. Ketakutan tiba-tiba men-
guak ketenangannya. Beberapa hari yang lalu ia men-
dengar kabar bahwa Joko Sungsang membunuh salah 
seorang punggawa Kadipaten Banyuasin. Sekarang 
mereka mencari Wasi Ekacakra? Duh, Gusti Allah! 
 
’’Sebaiknya Nyai segera lari dari rumah ini. Se-
bentar lagi mereka pasti mendatangi rumah ini kalau 
saya katakan apa adanya, Nyai,” pesan lelaki itu sebe-
lum meninggalkan Nyai Linggar. 
Keringat dingin membasahi sekujur badan istri 
bekas demang itu. Ia tahu, tak akan ada orang yang 
melindunginya jika orang-orang dari Kadipaten Ba-
nyuasin itu mencelakainya. Joko Sungsang sudah la-
ma tidak muncul. Wasi Ekacakra hanya muncul nanti 
bersamaan terbitnya matahari di ufuk timur. Dan, Ga-
gar Mayang tidak diketahui pula ke mana perginya. 
Perempuan tua itu benar-benar tidak tahu apa 
yang harus dikerjakannya. Lari seperti yang dipesan-
kan lelaki tadi? Atau tetap tinggal di rumah itu sambil 
menunggu bencana yang mengincarnya? Pergi mencari 
Gagar Mayang di tempat biasa berlatih silat? Tapi, di 
mana gadis itu berlatih? 
Nyai Linggar hanya berjalan mondar-mandir di 
dalam rumah itu sambil menekan-nekan dadanya yang 
tipis. Detak jantungnya semakin lama semakin ken-
cang. Dadanya yang tinggal tulang iga dan kulit itu 
seolah hendak pecah. Mata perempuan tua itu mulai 
berkaca-kaca. Ingatannya melayang kembali pada pe-
ristiwa  puluhan tahun yang lalu. Mayat Ki Demang 
Linggar yang tergeletak dengan pelipis terbelah ter-
bayang lagi di pelupuk matanya. Wajah Kebo Dungkul 
yang menakutkan itu membuat tubuh perempuan tua 
itu menggigil. Namun, sewaktu ia ingat orang tua yang 
berpakaian serba putih, yang mampu terbang seperti 
burung bangau itu, hatinya sedikit terhibur (Baca juga: 
’’Hantu Lereng Lawu”). 
’’Tapi, tahukah orang tua itu kalau sekarang 
aku sedang membutuhkan pertolongannya?” bantah 
batin Nyai Linggar. 
 
Namun, bencana yang ditunggu-tunggu perem-
puan istri bekas demang itu ternyata tak pernah mun-
cul. Gagak Lamatan dan orang-orang kepercayaannya 
tak kunjung menghampirinya. Tentu saja sebab mere-
ka sedang sibuk menghadapi orang berkedok di mulut 
desa. Dua orang kepercayaan Gagak Lamatan bahkan 
sudah terkapar dengan kepala retak. Baru saja orang 
berkedok itu membenturkan kepala mereka ke pohon 
ketapang. 
’’Iblis keparat!” seru Gagak Lamatan seraya 
memburu orang berkedok itu dengan pedang kembar-
nya. 
Akan tetapi, kembali Gagak Lamatan harus 
mengumpat-umpat. Ujung pedang kembarnya tak se-
dikit pun bisa menyentuh sasaran. Orang berkedok itu 
bagaikan seekor walet yang tak mungkin tertembus 
pedang. 
’’Jahanam! Berani kau mencampuri urusanku? 
Tidakkah kau tahu siapa yang sedang kau hadapi?” te-
riak Gagak Lamatan setelah memerintahkan orang-
orangnya agar menghentikan serangan. 
”Kau pun tidak tahu dengan siapa kau berha-
dapan, Gagak Lamatan!” ejek orang berkedok itu sam-
bil membuang sebilah pedang yang berhasil dirampas-
nya dari tangan salah seorang kaki-tangan Gagak La-
matan. 
’’Siapa pun kau di balik kedokmu, aku tidak 
akan peduli!” jawab Gagak Lamatan. 
’’Jadi, untuk apa kau berusaha tahu siapa aku? 
Bukankah lebih baik kita teruskan pertarungan kita? 
Atau, kau takut kaki-tanganmu habis termakan pohon 
ketapang?” 
 
’’Babi busuk! Tutup mulutmu! Sekali lagi kupe-
ringatkan bahwa di antara kita tidak ada urusan! Un-
tuk itu, enyahlah!” 
”Ha ha ha! Siapa bilang kalian tidak punya 
urusan denganku? Setidaknya, mengamankan desa ini 
adalah urusanku. Gagak Lamatan!” 
’’Kalau begitu, serahkan Wasi Ekacakra dan 
Pendekar Perisai Naga kepadaku, dan kau aku maaf-
kan!”  
”Aku tidak kenal mereka! Aku hanya tahu bah-
wa penduduk desa ini memerlukan ketenteraman! Un-
tuk itu, aku tidak ingin melihat kau dan orang-
orangmu mengusik mereka, Gagak Lamatan!” 
”Kau memang memilih mati!” sergah Gagak 
Lamatan seraya memberikan isyarat kepada orang-
orangnya agar kembali mengurung orang berkedok. 
Perkelahian satu lawan tujuh kembali berlang-
sung. Gagak Lamatan dan orang-orangnya mengelua-
rkan seluruh kemampuan yang ada. Mereka harus 
menghemat waktu sebab mereka masih harus meng-
hadapi Pendekar Perisai Naga, Wasi Ekacakra, dan 
kemungkinan gadis bertoya itu. 
Akan tetapi, orang berkedok itu memang memi-
liki ilmu silat jauh di atas kemampuan mereka. Kedua 
orang yang berusaha membokong dari belakang ini ti-
dak mengira bahwa orang berkedok itu dengan mudah 
menghindari dua bilah pedang yang mengarah ke le-
hernya. Bahkan dengan mudah pula ia mengirimkan 
serangan balasan. Dua orang itu menjerit bersamaan 
ketika orang berkedok itu menghantamkan kedua be-
lah sisi telapak tangannya ke leher belakang mereka. 
’’Bedebah! Rasakan ilmu ’Pedang Mata Gunting 
ku, Iblis!” seru Gagak Lamatan seraya menerjang den-
gan jurus pamungkas ilmu pedangnya. 
 
Melihat lawan telah sampai pada puncak ilmu 
pedangnya, orang berkedok itu melenting ke sebuah 
dahan. Sewaktu turun lagi, ia telah menggenggam se-
batang ranting yang tak lebih besar dari hulu pedang 
Gagak Lamatan. 
Trakkk! Trakkk! Trakkk! 
Tiga bilah pedang terlepas dari tangan anak 
buah Gagak Lamatan. Kini orang berkedok itu tinggal 
menghadapi Gagak Lamatan dan seorang lagi kaki-
tangan-nya. Ketiga orang yang baru saja kehilangan 
pedang itu berloncatan mundur. Namun, sebelum me-
reka bertiga berhasil mengatasi rasa nyeri yang menye-
rang pergelangan tangan mereka, tiga bilah pedang 
yang tadi menggeletak di tanah tiba-tiba terbang satu 
persatu dan bersarang di dada mereka. 
Orang-orang desa yang menyaksikan pertarun-
gan itu bersamaan membelalakkan mata. Bermimpi 
pun mereka tak pernah mendengar cerita tentang 
orang-orang sakti dari rimba persilatan yang mampu 
merobohkan lawan dalam beberapa gebrakan. Namun, 
selama ini mereka menganggap bahwa cerita itu ha-
nyalah cerita yang dibesar-besarkan. Baru sekarang 
mereka mempercayai kebenaran cerita itu setelah me-
reka melihat bagaimana orang berkedok itu melontar-
kan pedang-pedang itu kepada pemiliknya. Hanya 
dengan sabetan sebuah ranting maka pedang-pedang 
itu meluncur dan menancap persis di ulu hati para 
pemiliknya. 
Maka para petani yang tak mengenal asam-
garam-nya rimba persilatan itu merasa pasti bahwa 
tak lama lagi Gagak Lamatan akan bernasib sama den-
gan lima orang anak buahnya yang konon orang-orang 
pilihan itu. Tinggal menunggu kapan orang berkedok 
itu kehabisan kesabarannya. 
 
Namun, di sela-sela ketegangan dalam kancah 
pertarungan itu tiba-tiba terdengar tawa membahana. 
Kemudian menyusul suara yang sangat dikenal deh 
Gagak Lamatan. Suara inilah yang membuat wajah 
Gagak Lamatan seketika berbinar-binar. 
”Ha ha ha! Ada juga tikus-tikus yang mencoba 
melawan harimau lapar! Dasar orang-orang dungu! Ti-
dakkah kalian sadari bahwa yang kalian hadapi bukan 
lawan kalian? Dasar Gagak berotak kerbau!” kata Ki 
Sadak Kinang sebelum meloncat keluar dari semak-
semak. 
”Kau, Sadak Kinang,” sahut orang berkedok itu 
seraya mencampakkan ranting di tangan kanannya. 
”Kau mengenaliku? Ya, sebab aku tidak berke-
dok! Dan, jangan sakit hati jika aku tidak mengenal-
mu! Tetapi, dari tata gerakmu setidaknya aku bisa me-
raba siapa kau di balik kedokmu-itu!” 
”Ki Sadak Kinang, bukan maksudku membin-
gungkan mu. Aku hanya tidak ingin para punggawa 
Kadipaten Banyuasin ini tahu wajahku. Kalau saja aku 
tahu kau bakal datang, tentulah aku tak memerlukan 
kedok ini lagi. ” 
’Tak apalah! Biarkan kedok itu tetap menutup 
wajahmu! Beri aku kesempatan untuk menanggalkan 
dari wajahmu!” 
”Ki Sadak Kinang, bukan maksudku tidak mau 
menjamu kedatanganmu di desa ini. Hanya saja, aku 
telah melihat orang yang paling pantas menjamumu. 
Semoga di lain waktu kita bisa bertemu lagi!” kata 
orang berkedok itu sebelum melompat pergi. 
’Tunggu, Keparat!” teriak Gagak Lamatan sam-
bil melompat  ke arah menghilangnya orang berkedok 
itu. 
 
’’Gagak Lamatan! Lagi-lagi kau berbuat bodoh 
di depanku! Karena ada aku kau berani mengejarnya, 
bukan?” rutuk Ki Sadak Kinang. 
’Tetapi, Kiai...?” 
’’Tidak kau  lihat nyawa orang orangmu ter-
buang sia-sia?” Ki Sadak Kinang menuding mayat 
mayat yang bergeletakkan di kanan-kirinya. 
”Ya, Kiai.” 
”Nah, sekarang cobalah kau hadapi tamu-tamu 
kita yang masih betah bersembunyi itu!” 
Kecuali Ki Sadak Kinang sendiri, semua mata 
memandang berkeliling. Mereka mencari-cari siapa ki-
ranya dan di mana orang-orang yang disebut tamu itu 
bersembunyi. Kemudian mereka pun ingat ucapan 
orang berkedok itu sebelum meninggalkan ajang perta-
rungan. Orang berkedok itu pergi lantaran ia merasa 
bakal ada orang yang hendak menggantikannya meng-
hadapi Ki Sadak Kinang maupun Gagak Lamatan. 
Dan, begitu orang berkedok itu melompat pergi, 
Joko Sungsang dan Gagar Mayang memang sudah 
bersiap-siap muncul dari tempat persembunyiannya. 
Mereka sama sekali tidak mengira jika ternyata orang 
berkedok itu melihat kehadiran mereka berdua. Hal ini 
semakin meyakinkan mereka berdua bahwa orang 
berkedok itu memang orang sakti yang pilih tanding. 
Tentang siapakah sebenarnya orang sakti berkedok ini, 
Joko Sungsang dan Gagar Mayang belum bisa memas-
tikan. Mereka berdua menyesal datang terlambat Ka-
lau saja mereka tadi datang lebih awal, mereka akan 
bisa melihat bagaimana orang berkedok itu menjatuh-
kan lima orang kaki-tangan Gagak Lamatan. Dengan 
melihat jurus-jurus yang dilancarkan orang berkedok 
itu sewaktu merobohkan lawan-lawannya, mereka  
akan bisa mengira-ngira siapakah sebenarnya orang 
sakti berkedok itu. 
Joko Sungsang melompat mendahului Gagar 
Mayang. 
”Kau rupanya, Pendekar Perisai Naga?” sambut 
Gagak Lamatan seraya melompat maju. 
”Hm..., inikah Pendekar Perisai Naga yang ke-
sohor itu?” kata Ki Sadak Kinang menimpali. ’’Kenapa 
tak kau ajak sekalian temanmu itu untuk menghadapi 
kami? Apa kau  pikir kami masih layak mengeroyok 
mu?” 
’’Akulah yang bertanggung jawab mengaman-
kan desa ini, Ki Sadak Kinang,” jawab Joko Sungsang 
tanpa mempedulikan Gagar Mayang muncul atau ti-
dak.  
’’Akulah yang paling bertanggung jawab, Pen-
dekar Perisai Naga!” sahut Gagar Mayang sambil me-
lompat keluar dari tempatnya bersembunyi. 
’’Biarkan kami menghadapi cecurut-cecurut ini, 
Kiai,” kata Gagak Lamatan seraya memberikan isyarat 
kepada satu-satunya orang kepercayaannya yang ma-
sih tersisa.     
’’Bagus!” ujar Ki Sadak Kinang.- ”Aku juga ingin 
melihat sampai berapa jurus kalian berdua mampu 
menghadapi Pendekar Perisai Naga! Hei, Gadis Kecil! 
Tidakkah lebih baik kita menonton pertarungan yang 
pasti mendebarkan ini?” Ki Sadak Kinang memandang 
ke arah Gagar Mayang. 
’’Jangan berlagak bijaksana, Ki Sadak Kinang! 
Akulah lawanmu jika kau memang datang untuk 
membela punggawa-punggawa kadipaten yang keblin-
ger ini!” sergah Gagar Mayang. 
’’Jaga mulutmu, Perempuan Liar!” hardik Ga-
gak Lamatan berang. 
 
"Bukankah kalian yang liar? Tunjukkan bukti 
bahwa kalian datang atas perintah Adipati So-
rengdriya!”  
’’Cukup!” Ki Sadak Kinang maju dua langkah. 
’Tak perlu kalian adu mulut! Kalian datang ke sini bu-
kan untuk adu mulut, bukan? Nah, Gagak Lamatan, 
mulailah! Kalau kau takut menghadapi Pendekar Peri-
sai Naga, lawanlah Gadis Cantik itu!” 
”Ki Sadak Kinang!” sahut Gagar Mayang. ”Kau 
datang ke sini karena kau menginginkan Ki Sumping 
Sedapur! Karena itu, kaulah lawanku! Tak ada pilihan 
lain!” 
’’Dasar mulut kotor!” sergah Gagak Lamatan 
sambil mengayunkan pedang kembarnya. 
Singngng! Singngng! Trakkk! 
Dua sabetan pedang kembar itu dengan mudah 
bisa dihindari Gagar Mayang. Malahan dengan cepat ia 
mengirimkan serangan balasan. Namun, Gagak Lama-
tan ternyata sudah memperhitungkan serangan bala-
san dari lawan. Begitu pedang kembarnya menyambar 
angin, ia segera memutar pedang di tangan kanannya 
untuk menutupi pinggang yang pasti terancam serul-
ing bambu wulung itu. 
Gagar Mayang melompat surut. Benturan pe-
dang pada serulingnya dirasakannya mampu mencopot 
pergelangan tangannya. la segera sadar bahwa Gagak 
Lamatan telah mengerahkan seluruh tenaga dalam 
yang dimilikinya. Maka secepatnya gadis itu menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk melambari gerakan se-
rulingnya. 
Dalam pada itu, Joko Sungsang masih me-
nunggu apa yang bakal diperbuat guru Adipati So-
rengdriya itu. Sekalipun sisa kaki-tangan Gagak Lama-
tan membantu mengeroyok Gagar Mayang, ia tak perlu  
merasa cemas. Mereka berdua tidak akan mampu 
mengungguli gadis dari Bukit Cangak itu. Setelah 
mendapat gemblengan dari Wasi Ekacakra, gadis itu 
bukan lagi tandingan orang-orang yang berilmu se-
tingkat dengan Gagak Lamatan. Joko Sungsang per-
nah dengan mudah merobohkan Gagak Paningal maka 
ia bisa mengukur kemampuan Gagak Lamatan. Kalau-
pun Gagak Lamatan lebih matang daripada Gagak Pa-
ningal, paling hanya beberapa tingkat di atasnya. 
’Tidakkah kau perlu membantu teman gadismu 
itu, Pendekar Perisai Naga?” usul Ki Sadak Kinang ti-
ba-tiba. 
’’Seharusnya kau lebih bisa melihat siapa yang 
bakal unggul, Ki Sadak Kinang,” jawab Joko Sungsang 
datar.     
”He he he, tentu saja! Lalu, apa yang bakal kita 
perbuat kalau memang kita sudah tahu salah satu di 
antara mereka tidak memerlukan bantuan?” 
’’Tidakkah kau ingin segera membawa Ki Sump-
ing Sedapur ke hadapan Adipati Sorengdriya, Ki Sadak 
Kinang?” 
’’Jangan kau hubung-hubungkan kedatangan-
ku ke sini dengan Anakmas Adipati, Pendekar Perisai 
Naga!”  
’’Kenapa tidak? Bukankah kau guru Adipati So-
rengdriya? Bukankah Gagak Lamatan orang keper-
cayaan Adipati Sorengdriya?” 
’’Cukup! Kalau memang kau yang menyimpan 
keris luk tujuh itu, serahkan kepadaku dan aku jamin 
desa ini akan aman!” 
’’Kalau begitu, kita perlu buktikan siapa yang 
pantas mengamankan desa ini, Ki Sadak Kinang,” sa-
hut Joko Sungsang. 
 
”Itu lebih bagus! Daripada kita menonton perta-
rungan yang ternyata tidak menarik itu! Nah, bersiap-
lah, Pendekar Perisai Naga!” 
Wusss! Wusss! 
Dua tendangan Ki Sadak Kinang memaksa Jo-
ko Sungsang harus melenting ke udara. Dan, sewaktu 
kakinya kembali menjejak tanah, sebuah gada yang 
terbuat dari batu karang mengancam kepalanya. Hal 
ini sudah ada dalam perhitungan Joko Sungsang. 
Hampir saja gada itu meremukkan batok kepalanya 
kalau ia tidak sigap melompat ke samping. 
Pertarungan kedua tokoh berilmu tinggi ini ten-
tu saja sulit diikuti oleh penduduk desa. Mereka hanya 
bisa melihat bayangan berwarna putih yang berkele-
bat-kelebat menghindari desakan bayangan berwarna 
coklat-kehitam-hitaman. Oleh karenanya, mereka lebih 
memilih menyaksikan pertarungan antara Gagar 
Mayang melawan Gagak Lamatan yang dibantu seo-
rang kaki tangannya. Gadis yang bersenjatakan serul-
ing bambu wulung itu bagaikan burung elang yang 
menyambar-nyambar dua ekor ular sanca. Serulingnya 
yang berwarna hitam  bergulung gulung mengurung 
dua orang lelaki punggawa Kadipaten Banyuasin itu. 
Dalam pada itu, Joko Sungsang telah mengurai 
cambuk Perisai Naga yang semula melilit di pinggang-
nya. Serangan lawan semakin dahsyat mengurungnya. 
Agaknya Ki Sadak Kinang ingin secepatnya menyele-
saikan pertarungan. Dengan gada batu karang-nya, 
guru Adipati Sorengdriya ini sama sekali tak memberi-
kan kesempatan kepada Joko Sungsang untuk mem-
balas serangan-serangannya. 
Akan tetapi, orang tua yang bergelar Penguasa 
Pulau Karang itu secepatnya berjumpalitan ke bela- 
kang begitu dilihatnya sebuah bola berduri berwarna 
biru kehijau-hijauan berdesing ke arah lehernya. 
Tarrr! Tringngng! 
Bunga api bepercikan ketika bola berduri di 
ujung cambuk itu berbenturan dengan gada di tangan 
Ki Sadak Kinang. Orang tua yang telah lama malang-
melintang di rimba persilatan itu mengangakan mu-
lutnya. Diam-diam ia merasa kagum merasakan tenaga 
dalam yang tersalurkan lewat cambuk kulit ular itu. 
Bola berduri di ujung cambuk yang besarnya tak lebih 
dari buah kecubung itu mampu mendorong gada batu 
karang sebesar betis orang dewasa. Padahal golok pun 
tak akan sanggup berbenturan dengan gada itu. 
”Hm..., rupanya kau benar-benar telah mewari-
si seluruh ilmu yang dimiliki Wiku Jaladri, Pendekar 
Perisai Naga!” kata Ki Sadak Kinang setelah menghen-
tikan serangan. 
’’Itulah kenapa orang-orang rimba persilatan 
menamakan gelar Pendekar Perisai Naga kepadaku, Ki 
Sadak Kinang,” sahut Joko Sungsang. 
”Ya. Hanya sayangnya, gurumu tidak menyak-
sikan bagaimana aku bakal melumpuhkan jurus-jurus 
Perisai Naga yang kesohor itu!” 
’Tak perlu kau  sangkut-pautkan urusanku 
dengan guruku. Kau kira kau pantas berhadapan den-
gan guruku?” 
’’Bocah lancang!” sergah Ki Sadak Kinang ge-
ram. ’Tidakkah kau tahu alasan gurumu bersembunyi 
di Jurang Jero? Karena dia takut berhadapan dengan-
ku! Kau tahu itu?” 
’’Sudah kukatakan, jangan sangkut-pautkan 
urusanku dengan guruku. Selama aku masih berna-
pas, pantang bagiku mendengar mulut orang memfit-
nah guruku. Mulailah dengan gadamu lagi. Bukankah  
kau ingin secepatnya mendapatkan keris luk tujuh 
itu? Lihatlah! Gagak Lamatan dan jongosnya itu mulai 
terdesak. Sebentar lagi mereka akan menyusul teman-
temannya....” 
’’Kaulah yang akan menyusul mereka ke nera-
ka, Bocah Pongah!” tukas Ki Sadak Kinang sambil 
kembali menerjang dengan gadanya. 
Wungngng! 
Kini gada itu meraung raung dan semakin ka-
bur diikuti mata penduduk desa yang berdiri di pinggir 
arena pertarungan itu. Malahan lambat-laun raungan 
gada itu menyerang telinga mereka. Mereka tidak men-
gerti kenapa raungan gada itu membuat gendang telin-
ga mereka seolah pecah. Maka mereka serentak mene-
kap telinga dengan kedua belah telapak tangan. 
’’Ajian ’Senggara Macan’,” kata hati Joko Sung-
sang sambil memandang cemas orang-orang desa yang 
tak berdosa itu. Ia tahu, jika nanti sampai pada pun-
caknya, raungan gada itu akan benar-benar memecah-
kan gendang telinga mereka. 
Tak sulit bagi Joko Sungsang maupun Gagar 
Mayang mengatasi raungan gada yang telah dilambari 
dengan ajian ’Senggara Macan’ itu. Namun, tidak de-
mikian bagi Gagak Lamatan dan seorang kaki-tangan-
nya. Dua orang punggawa Kadipaten Banyuasin ini 
merasa sangat terganggu mendengar raungan gada mi-
lik Ki Sadak Kinang. 
”Ki Sadak Kinang!” teriak Joko Sungsang di se-
la-sela raungan yang memekakkan itu. ’’Tidakkah kau 
sadari bahwa Gagak Lamatan dan temannya itu bisa 
tewas oleh raungan gadamu?” 
’’Peduli apa kau? Tanpa ini pun mereka akan 
tewas di ujung seruling gadis liar ini! Yang penting ba-
giku menewaskan orang-orang bodoh yang seharusnya  
kau lindungi itu!” jawab Ki Sadak Kinang seraya mem-
percepat putaran gadanya. 
Tiga orang penduduk desa telah jatuh sambil 
tetap menekap telinga. Joko Sungsang belum mene-
mukan cara untuk melindungi orang-orang yang tidak 
berdosa itu dari kebiadaban Ki Sadak Kinang. Ia me-
mang bisa meledakkan cambuknya untuk menutupi 
suara raungan gada itu. Tetapi, ia tak mungkin terus-
menerus meledak-ledakkan cambuknya. Suara leda-
kan cambuk itu tak akan bisa berkesinambungan se-
perti suara raungan itu. 
’’Biadab!” seru Joko Sungsang sambil mele-
cutkan cambuknya yang telah dilambari jurus ’Mema-
tuk Elang dalam Mega’. Jurus inilah yang barangkali 
mampu memaksa Ki Sadak Kinang menghentikan pu-
taran gadanya. 
Namun, Ki Sadak Kinang bukankah lawan 
tanding yang mudah dikecoh. Orang tua dari Pesisir 
Utara itu tetap tak menghentikan putaran gadanya se-
kalipun ia harus menghindari patukan bola berduri ke 
arah ubun-ubunnya. Dengan dorongan angin yang be-
rasal dari telapak tangan kirinya, ia mampu menga-
caukan luncuran bola berduri itu. 
 
*** 
 
 
Joko Sungsang semakin menyadari bahwa la-
wannya kali ini memiliki tingkatan ilmu jauh lebih 
tinggi dari yang diperkirakannya. Baru kali inilah ia 
menjumpai lawan yang mampu menghindari jurus 
’Mematuk Elang dalam Mega'. Satu bukti bahwa Ki Sa-
 
dak Kinang tak bisa lagi disejajarkan dengan Empu 
Wadas Gem-pal, Klabang Seketi, ataupun Ki Danyang 
Bagaspati. 
Menyadari bahwa jurus yang dilancarkan gagal, 
Joko Sungsang semakin kebingungan memikirkan cara 
mengatasi raungan senjata lawan. Jika raungan gada 
itu tidak segera dihentikan, sudahlah pasti orang-
orang desa yang tidak berdosa Itu akan menemui ajal-
nya. 
”Bagaimana, Pendekar Perisai Naga? Kenapa 
kau  biarkan saja orang-orang desa itu sekarat? Bu-
kankah kau yang wajib melindungi mereka?” ejek Ki 
Sadak Kinang. 
Joko Sungsang tidak menanggapi, la tengah 
berpikir keras bagaimana cara menghentikan raungan 
gada itu. la melihat dua orang penduduk desa mulai 
sempoyongan sembari menekap telinga. Tak ada jalan 
lain baginya kecuali mengerahkan segala kemampuan 
yang dimilikinya. Ia tak yakin bahwa lawan akan 
mampu menangkal semua jurus cambuk Perisai Naga. 
Maka segera dipersiapkannya jurus ’Membendung Ba-
dai Menjala Ikan’. 
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar alunan serul-
ing. Joko Sungsang menoleh ke arah Gagar Mayang. 
Baru dilihatnya bahwa gadis itu telah kehilangan ke-
dua orang lawannya. Dan, kini barulah ia ingat bahwa 
suara seruling bambu wulung itu akan mampu menga-
tasi raungan gada di tangan Ki Sadak Kinang. 
’’Iblis laknat!” geram Ki Sadak Kinang begitu 
menyadari bahwa gadis itu mampu menaklukkan 
raungan gadanya dengan tiupan serulingnya. Dan, ke-
geraman itu semakin menjadi-jadi sewaktu dilihatnya 
dua orang punggawa Kadipaten Bayuasin yang tadi 
mengeroyok gadis itu telah terbujur kaku di tanah. 
 
’’Masihkah kau ingin meneruskan niatmu men-
cari Ki Sumping Sedapur, Ki Sadak Kinang?” kata Joko 
Sungsang. 
’’Setan!  Kau pikir  kau dengan gadis itu akan 
mampu merobohkanku? Hei, Gadis Setan! Bantulah 
Pendekar Perisai Naga yang mulai ketakutan mengha-
dapiku!” 
Gagar Mayang tak menyahut. Ia tahu bahwa 
orang sakti dari Pesisir Utara itu hanya ingin meng-
hentikan tiupan serulingnya. Ia harus tetap menga-
lunkan tembang megatruh itu sampai kemudian Ki 
Sadak Kinang menghentikan raungan gadanya. 
’Teruskan tiupan serulingmu, Megatruh!” kata 
Joko Sungsang sebelum melenting ke udara, menghin-
dari sambaran gada ke arah lututnya. 
Wungngng! Srettt! 
Cambuk Perisai Naga berhasil melilit gada batu 
karang itu. Namun, guru Adipati Sorengdriya ini me-
mang bukan lawan yang mudah ditaklukkan. Begitu 
dirasakannya sesuatu membelit gadanya, secepat kilat 
ia menghentakkan gada di tangan kanannya. Bersa-
maan dengan itu, ia juga mengirimkan tendangan ke 
dada Joko Sungsang. 
Desss! 
Dua tenaga yang sama-sama telah dilambari 
dengan ajian bertemu. Di luar dugaan Ki Sadak Ki-
nang, ternyata Pendekar Perisai Naga menguasai ilmu 
’Pukulan Ombak Laut Selatan’. Selama ini ia hanya 
mendengar cerita tentang kehebatan jurus-jurus cam-
buk yang terbuat dari kulit ular sanca itu. Oleh kare-
nanya, ia sama sekali tidak mengira bahwa tendan-
gannya akan disongsong dengan sisi telapak tangan ki-
ri anak muda dari Desa Sanareja itu. 
 
Di lain pihak, Joko Sungsang pun tak kalah 
kaget sewaktu membentur tumit lawan yang mengarah 
ke dadanya. Begitu dahsyat sehingga ia terpental bebe-
rapa tombak ke belakang. Tak terbayangkan oleh Joko 
Sungsang apa yang akan terjadi seandainya ia tak me-
lamban tubuhnya dengan ilmu ’Pukulan Ombak Laut 
Selatan’. 
Tertatih-tatih Ki Sadak Kinang bangkit. Kesem-
patan ini tak disia-siakan oleh Joko Sungsang. Sebe-
lum guru Adipati Sorengdriya itu berdiri tegak di atas 
kuda-kudanya, sekali lagi cambuk Perisai  Naga dile-
cutkannya dan membelit kaki kiri lawan. Dan, sebelum 
sempat memutar gadanya, sebuah sentakan membuat 
Ki Sadak Kinang terpelanting. Tubuh gemuk itu 
pun terbanting di tanah. 
Gagar Mayang menghentikan tiupan seruling-
nya. Gada batu karang itu tak mungkin lagi meraung-
raung mencari korban. Baru saja Ki Sadak Kinang 
dengan sisa tenaga yang dimilikinya menyambit gada 
itu ke arah kepala Joko Sungsang. Namun, Joko 
Sungsang alias Pendekar Perisai Naga telah memperhi-
tungkan serangan terakhir orang tua Penguasa Pulau 
Karang ini. Murid Wiku Jaladri sekaligus murid Ki 
Sempani itu berjumpalitan ke udara. 
”Kau telah kehilangan senjata dan kedua tela-
pak kakimu, Ki Sadak Kinang,” kata Joko Sungsang 
setelah berdiri kembali di hadapan Ki Sadak Kinang. 
Orang tua berwajah bayi itu mendengus, ”Kau 
akan menyesal jika nanti Adipati Sorengdriya tahu apa 
yang telah kau  perbuat terhadapku, Pendekar Perisai 
Naga!” 
’’Kalau memang muridmu itu mendukung ren-
canamu merampok Ki Sumping Sedapur, kenapa tak 
kau ajak menyertaimu? Kenapa kau bawa orang dungu  
macam Gagak Lamatan? Bukankah Adipati So-
rengdriya membawahi pasukan segelar sepapan?” ejek 
Gagar Mayang. 
’’Kalian memang orang-orang muda yang terlalu 
cepat besar kepala! Sekalipun kedua telapak kakiku 
tak kuat lagi menyangga badanku,  lihatlah apa yang 
bisa kalian lakukan terhadapku!” Berkata begini, Ki 
Sadak Kinang bangkit dan bertelekan pada kedua lu-
tutnya. 
”Ki Sadak Kinang, kami tak pernah merasa 
memusuhimu. Kami hanya tidak ingin melihat desa ini 
menjadi korban orang-orang serakah yang mengingin-
kan Ki Sumping Sedapur. Kami tetap memberimu ke-
sempatan untuk meninggalkan desa ini. Bukankah se-
jak dulu kami selalu menaruh hormat kepada Adipati 
Sorengdriya?” kata Joko Sungsang. 
’’Kalian benar-benar akan menyesal tidak 
membunuhku sekarang juga!” sahut Ki Sadak Kinang 
seraya mengerahkan segenap kemampuan yang masih 
tersisa untuk bisa meninggalkan desa itu. 
Sambil memandangi kepergian orang tua ber-
wajah bayi itu, Gagar Mayang menggeleng-gelengkan 
kepalanya. 
"Dia memang orang sakti yang pilih tanding,” 
kata Joko Sungsang. "Bayangkan, hanya dengan men-
gandalkan lutut ia mampu melesat pergi secepat itu. ” 
’’Kalau dia pilih tanding, bagaimana dengan 
kau? Tidakkah kau sadari bahwa kau telah mengalah-
kannya?” 
’Tidak.” Joko Sungsang menggeleng. 
”Hm..., kau bukan saja pilih tanding dalam il-
mu kanuragan, melainkan juga dalam merendahkan 
hati!” Gagar Mayang menahan-nahan senyum. 
 
"Bagaimana dengan tiupan serulingmu yang te-
lah membantuku tadi?” 
”Aku bukannya ingin membantumu. Aku hanya 
ingin menyelamatkan orang-orang desa yang tidak 
berdosa itu. Aku tahu, kau tidak akan bisa sepenuh-
nya menghadapi Ki Sadak Kinang jika perhatianmu 
terpecah menjadi dua. Itulah yang sesungguhnya ber-
langsung. Bagaimana bisa kau merasa aku telah mem-
bantumu?” 
’’Sudahlah. Lebih baik kita membantu mereka 
mengurus teman-teman mereka yang....” 
’’Tidak!” tukas Gagar Mayang. ”Kau harus men-
gakui bahwa kau telah menaklukkan Ki Sadak Ki-
nang!”  
”Ya. Tetapi, hanya Ki Sadak Kinang yang bisa 
menghindari jurus ’Mematuk Elang dalam Mega’, Ga-
gar Mayang. ” 
’’Sudah kukatakan tadi, kau tidak akan bisa 
menghadapinya dengan sempurna jika pikiranmu ter-
pecah menjadi dua. Jadi, bukan Ki Sadak Kinang yang 
mumpuni, melainkan jurus-jurus Perisai Nagamu ku-
rang sempurna!” 
’’Hamba mengaku kalah, Nini Pendekar,” kata 
Joko Sungsang sambil membungkuk hormat. 
Hampir saja Gagar Mayang mencubit lengan 
anak muda yang dikaguminya itu kalau tidak disada-
rinya beberapa pasang mata orang desa tengah men-
gawasi mereka berdua. 
’’Urusan kita belum selesai!” Gagar Mayang me-
lompat mendahului Joko Sungsang, mendekati orang-
orang desa yang tengah sibuk mengurusi teman-teman 
mereka yang telanjur menjadi korban keganasan ajian 
’Senggara Macan’. 
 
Sambil tertawa-tawa, Joko Sungsang menyusul 
langkah gadis dari Bukit Cangak itu. Diakuinya, jika 
dibandingkan dengan Sekar Arum maupun Endang 
Cantikawerdi, Gagar Mayang memang memiliki banyak 
kelebihan. 
Namun, lamunan Joko Sungsang tentang keti-
ga gadis yang dikenalnya itu segera terputus oleh ke-
hadiran Wasi Ekacakra di tempat itu. Dengan mimik 
muka  ketakutan, petani tua yang selalu mengenakan 
ikat kepala kain jumputan itu menanyakan peristiwa 
apa yang baru saja terjadi di mulut desa itu. Hanya 
Joko Sungsang dan Gagar Mayang yang mengetahui 
bahwa orang sakti yang menyamar menjadi petani itu 
tengah bersandiwara, berpura-pura. 
’’Maafkan saya, Guru....” 
’’Jangan panggil aku seperti itu, Nini,” tukas 
Wasi Ekacakra sambil mengedarkan pandang matanya 
ke sekeliling. 
”Ki Sadak Kinang, Paman, ” kata Joko Sung-
sang untuk mengalihkan perhatian orang-orang desa 
terhadap sikap Gagar Mayang yang mencurigakan me-
reka. Lalu katanya sambil menoleh ke arah Gagar 
Mayang, ’Tidakkah kau lihat  bahwa yang datang Pa-
man Wasi Ekacakra?” 
’’Rembulan agak tertutup mendung,” alasan 
Gagar Mayang sambil berpura-pura melihat ke langit. 
Dan, melihat rembulan yang hampir bulat pe-
nuh, gadis itu lantas ingat apa yang harus dikerjakan-
nya dalam waktu dekat ini. Ia ingat pertarungan yang 
akan terjadi di Bukit Cengcorang purnama nanti. Ia 
dan Joko Sungsang telah sepakat untuk mengintip 
pertarungan hidup dan mati antara orang berkedok 
melawan Pemanah Sakti Bertangan Seribu. 
 
”Kau ingat rencana kita purnama nanti?” bisik 
Gagar Mayang tak sabar. 
”Ya. Sebaiknya segera kita selesaikan pekerjaan 
ini, dan kita bisa segera membicarakan rencana kita 
dengan  Paman Wasi,” jawab Joko Sungsang berbisik 
pula. 
Kemudian mereka berdua dengan cekatan 
membantu Wasi Ekacakra menyadarkan lima orang 
penduduk desa yang masih pingsan itu. Mereka ber-
syukur sewaktu mereka tidak melihat darah mengalir 
dari telinga orang-orang yang menjadi korban kebiada-
ban Ki Sadak Kinang itu. 
’’Syukurlah kau cepat meniup serulingmu, Ga-
gar Mayang,” kata Joko Sungsang tak bisa ditahan-
tahan. 
Malam hampir larut. Joko Sungsang dan Gagar 
Mayang duduk bersila menghadapi Wasi Ekacakra. 
Mereka berdua baru saja menyampaikan maksud me-
reka mengintip pertarungan hidup dan mati antara 
orang berkedok dan Pemanah Sakti Bertangan seribu. 
’’Pertarungan itu pasti akan berjalan seru,” kata 
Wasi Ekacakra. 
’’Tidak bisakah Guru menemani kami menyak-
sikan pertarungan itu?” tanya Gagar Mayang. 
”Ya, kami tentu akan lebih mudah menerka-
nerka siapa orang berkedok itu jika Paman menyertai 
kami,” kata Joko Sungsang menimpali. 
’’Lebih baik kalian saja yang berangkat. Seperti 
yang sudah sering kalian dengar dari ceritaku, aku 
akan tetap bersembunyi dari pandang mata orang-
orang rimba persilatan.” 
’’Kita hanya akan mengintip dari kejauhan, 
Guru,” sahut Gagar Mayang. 
 
”Ya, saya yakin orang berkedok atau Pemanah 
Sakti Bertangan Seribu tidak akan mengetahui kehadi-
ran kita, Paman....” 
’’Anakmas,” tukas Wasi Ekacakra, ’’Kadang 
yang terjadi justru di luar dugaan kita. Aku khawatir, 
jangan-jangan orang berkedok itu hanya ingin me-
mancing kehadiran kita di tempat itu.” 
"Kalaupun benar, bukankah kita bertiga siap 
menghadapi mereka berdua, Guru?” sahut Gagar 
Mayang cepat. 
’’Justru itu yang tidak aku kehendaki, Nini. Ah, 
sudahlah. Aku rasa cukup kalian berdua yang menda-
tangi Bukit Cengcorang. Dalam beberapa hari ini aku 
masih harus menenteramkan suasana desa ini. Pen-
duduk desa ini akan banyak bertanya tentang kalian. 
Apalagi mereka merasa telah kalian lindungi dari ben-
cana sore tadi.” 
Gagar Mayang melirik Joko Sungsang. Gadis 
itu merasa tak mungkin memaksa gurunya ikut ke 
Bukit Cengcorang. Namun, ia tetap berharap Joko 
Sungsang bisa membujuk orang sakti yang menyamar 
menjadi petani itu. 
’’Paman, maafkan kami jika kedatangan kami di 
desa ini hanya mendatangkan persoalan bagi Paman 
dan segenap penduduk desa ini,” kata Joko Sungsang. 
’’Semua yang terjadi di kolong langit ini sudah 
ada yang mengatur, Anakmas. Sudahlah. Sebaiknya 
kalian berdua segera istirahat. Bulan purnama tak la-
ma lagi akan datang. Kalian harus mempersiapkan se-
gala sesuatunya untuk menghadapi kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi di luar dugaan kalian.” Wasi 
Eka-cakra mendahului bangkit dari duduknya. 
 
’’lstirahatlah. Aku merasa kepanasan. Biar aku 
mencari angin di luar lebih dulu,” kata Joko Sungsang 
kepada Gagar Mayang. 
”Aku juga kepanasan,” kata Gagar Mayang se-
raya menyusul langkah Joko Sungsang keluar. 
Mereka berdua duduk di bawah pohon sawo. 
Sinar bulan tak mampu menembus kerimbunan pohon 
sawo Itu. Maka Joko Sungsang tak bisa melihat keke-
cewaan yang mewarnai wajah gadis dari Bukti Cangak 
itu. 
”Aku merasa guru agak aneh,” kata Gagar 
Mayang memecah kebisuan sesaat. 
”Aneh? Apa maksudmu?” 
”la tak seramah hari-hari sebelumnya. Bahkan 
menurutku, Eyang Wasi Ekacakra tak lagi suka berbi-
cara dengan kita.” 
”Itu hanya dugaanmu, Gagar Mayang.” 
’’Dugaan? Tidakkah kau merasakan bagaimana 
sikap guru sebelum desa ini diserbu orang-orang se-
sat?” 
’’Mungkin memang ada yang sedang dipikir-
kannya. Setidaknya, Paman Wasi merasa ikut bertang-
gung jawab dengan adanya Ki Sumping Sedapur di 
rumahnya. Tak usah terlalu kau risaukan. Yakinlah 
bahwa bukan karena kita maka Paman Wasi berubah 
sikap.” 
Gagar Mayang tak lagi menyahut. Ia menenga-
dahkan kepalanya. Seekor kelelawar menabrak kerim-
bunan daun sawo. 
’’Kita lihat saja apa yang terjadi di Bukit Ceng-
corang purnama nanti,” kata Joko Sungsang mene-
ruskan. 
”Aku yakin orang berkedok itu bisa mengatasi 
Pemanah Sakti Bertangan Seribu,” kata Gagar Mayang. 
 
’’Mudah-mudahan saja pertarungan itu berjalan 
seperti yang kita harapkan. Kalau tidak, kita akan gag-
al mengetahui siapa orang berkedok itu.” 
Sebelum Gagar Mayang menimpali, tiba-tiba 
mereka berdua dikejutkan oleh suara kentongan di ke-
jauhan.  Suara kentongan yang menandakan adanya 
kerusuhan. 
’’Dari arah Desa Magersari,” kata Joko Sung-
sang. 
 ”Jauh dari sini?” 
’’Melewati satu desa lagi.” 
’’Kita lihat apa yang terjadi di sana?” 
”Kau perlu istirahat, Gagar Mayang.” 
”Dan, kau?” 
”Aku bisa istirahat di mana saja. Di atas pohon 
pun jadilah. Nah, beristirahatlah. Biar aku yang me-
nengok ke sana.” 
Sebenarnya gadis itu masih ingin membantah, 
tetapi kemudian ia ingat sikap Wasi Ekacakra. Orang 
tua itu baru saja juga menyuruhnya beristirahat. 
”Desa ini pun masih perlu dilindungi. Aku ke 
sana, dan kau tetap beristirahat sambil berjaga-jaga di 
sini. Bagaimana?” 
’’Pergilah. Aku yang akan menjelaskan kepada 
guru jika nanti guru menanyakanmu. ” 
’’Secepatnya aku kembali,” kata Joko Sungsang 
sebelum melesat pergi. 
Sepeninggal Joko Sungsang, Gagar Mayang 
masih tetap terpaku di bawah pohon sawo itu. Ia me-
mang merasa letih, tetapi ia memilih berjaga-jaga ba-
rangkali kerusuhan itu merembet ke Desa Dadapsari. 
Dan, siapa tahu kerusuhan di Desa Magersari itu 
hanya untuk mengalihkan perhatian para petugas 
ronda di desa lain. 
 
Sementara itu, setelah jauh dari Gagar Mayang, 
Joko Sungsang mulai memikirkan kecurigaan gadis itu 
terhadap sikap Wasi Ekacakra akhir-akhir ini. Sejauh 
yang diketahuinya, Wasi Ekacakra memang tak pernah 
bersikap aneh seperti akhir-akhir ini. Dan, Joko Sung-
sang tidak yakin bahwa orang tua bijak itu tengah 
mencemaskan nasib desanya yang terancam. 
Maka sambil melangkah, benak Pendekar Peri-
sai Naga ini dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Namun, 
seribu pertanyaan, bahkan sejuta pertanyaan, tak satu 
pun bisa terjawab. 
Suara kentongan yang semakin jelas menya-
darkan Joko Sungsang dari lamunannya. Ia memper-
cepat langkah. Ia kemudian mendengar jerit dan tangis 
para perempuan Desa Magersari. Dan, sewaktu ia mu-
lai memasuki desa, dilihatnya kerumunan penduduk 
desa di depan banjar desa. 
Joko Sungsang secepatnya tahu apa yang ha-
rus dilakukannya, la tak mungkin menyeruak keru-
munan orang-orang desa itu. Ia orang asing di desa 
itu. Bukan tidak mungkin ia malahan akan dituduh 
sebagai salah seorang perusuh. Mengingat ini semua, 
Joko Sungsang bergegas menyelinap di balik pepoho-
nan. Lalu, dengan langkah bersijingkat, ia mendekati 
kerumunan orang-orang desa itu. 
”Kau tahu siapa gadis itu, Kang?” kata salah 
seorang penduduk desa sambil menyeret temannya ke-
luar dari kerumunan. 
”Tak ada yang tahu siapa dia. Dia datang seper-
ti setan, dan pergi seperti kuntilanak.” Temannya men-
jawab dengan bahu terangkat. 
”Untung gadis itu segera datang. Kalau tidak, 
entahlah nasib anak-anak kita.” 
 
”Aku heran, kenapa iblis itu menculik anak-
anak kecil? Untuk apa?” 
’’Mungkin benar kata Ki Jagabaya. Mungkin 
memang ada ilmu hitam yang cara mempelajarinya 
dengan mengorbankan anak-anak yang tidak berdoa. 
Bagaimanapun juga Ki Jagabaya sedikit-banyak tahu 
asam garamnya rimba persilatan ...” 
”Ah, tapi dia pingsan begitu terpukul iblis ber-
topeng itu!” tukas temannya. 
”Itu bukan pukulan. Itu namanya totokan jalan 
darah. Kau lihat waktu gadis berpakaian serba jingga 
itu meraba tengkuk Ki Jagabaya?” 
”Ya. Setelah itulah Ki Jagabaya bisa bangun.” 
”Gadis itu telah membuka jalan darah di teng-
kuk Ki Jagabaya yang tertotok iblis itu.” 
”Gadis berpakaian serba jingga?” tanya Joko 
Sungsang dalam hati. ”Hm..., rupanya gadis itu mene-
mukan jejakku. Ah, dia memang gadis yang....” Pembi-
caraan batin Joko Sungsang terputus. Ia melompat da-
ri tempatnya bersembunyi begitu terlihat olehnya se-
buah bayangan berkelebat di antara pohon kluwih. 
Seolah terbang, Joko Sungsang mengejar bayangan 
yang mencurigakan itu. 
 
*** 
 
 
Dalam jarak beberapa tombak, tahulah Joko 
Sungsang bahwa bayangan yang dikuntitnya ternyata 
seorang perempuan. Dan, sewaktu bayangan itu ter-
timpa sinar rembulan, Joko Sungsang bahkan berani 
memastikan siapa yang tengah dikuntitnya. 
 
’’Cantikawerdi, tunggu!” seru Joko Sungsang. 
Gadis berpakaian serba jingga itu, yang tak lain 
adalah Endang Cantikawerdi, membalik badan dengan 
dada berdesir. Ia sangsi, benarkah ia mendengar suara 
Pendekar Perisai Naga? 
’’Joko Sungsang?” kata gadis itu setelah melihat 
pakaian serba putih yang dikenakan laki-laki yang 
menegurnya. 
’’Kebetulan jika kau masih berada di desa ini. 
Aku baru saja merencanakan hendak mencarimu, 
Cantikawerdi,” kata Joko Sungsang sembari melang-
kah maju. 
’’Syukurlah kau selamat tak kurang suatu apa. 
Aku memang merasa bahwa berita yang aku dengar itu 
hanya isapan jempol,” kata gadis itu lega. 
”Kau sudah mendengar bahwa aku diculik 
orang berkedok?” 
”Ya. Dan, itu tentu tidak benar!” 
”Itu bisa kita bicarakan nanti setelah urusan 
kita di desa ini selesai.” 
’’Bagaimana kau bisa sampai ke sini?” 
’’Suara kentongan itu yang mengundangku. Te-
tapi, aku merasa lega setelah mendengar pembicaraan 
penduduk desa ini bahwa kau ada di desa sini. Sebe-
narnya apa yang terjadi, Cantikawerdi?” 
’’Kita harus memberantas para penculik bayi 
itu!”  
’’Penculik bayi?” 
”Ya. Beberapa orang bertopeng telah berhasil 
menculik beberapa bayi dari desa ini.” 
’’Orang bertopeng?” Seketika Joko Sungsang in-
gat orang berkedok yang menawannya beberapa hari 
yang lalu. Adakah hubungannya dengan para penculik 
bayi itu? 
 
”Ya. Tetapi, aku sudah berhasil memaksa salah 
satu dari mereka untuk mengaku. Mereka mengaku 
dari Lembah Pare Anom. ” 
’’Untuk apa mereka harus menculik bayi-bayi 
itu?”  
’’Seperti dugaan hampir setiap orang, mereka 
se-dang memperdalam ilmu sesat yang syarat uta-
manya harus memakan jantung bocah di bawah umur 
lima tahun. ” 
”Binatang!” rutuk Joko Sungsang. ”Dan, kau-
lepaskan begitu saja binatang keparat itu?” 
’’Sengaja aku lepaskan supaya tantanganku bi-
sa sampai kepada guru mereka. Kau pernah dengar 
nama Pemanah Sakti Bertangan Seribu?” 
”Oh, diakah yang menyebarkan ilmu demit itu? 
Kalau begitu, kau tak perlu  menunggu-nunggunya. 
Purnama besok, ia akan datang ke Bukit Cengcorang. 
Kita bisa menemuinya di sana.” 
”Kau juga pernah menantangnya?” 
’’Orang berkedok yang menawanku itulah yang 
menantangnya bertarung hidup dan mati purnama be-
sok.” 
’’Berarti, aku kehilangan kesempatan untuk 
menghadapi keparat itu!” 
’’Kenapa begitu? Sepertinya kau yakin bahwa 
orang berkedok itu akan berhasil melumpuhkannya.” 
 ”Aku pernah berhadapan dengan orang berke-
dok itu. Dia orang sakti yang pilih tanding. Hanya 
orang-orang macam Kiai Wiku Jaladri yang bisa me-
nandinginya. ” 
Joko Sungsang menahan kekagetannya. En-
dang Cantikawerdi pernah bertarung dengan orang 
berkedok itu? Kapan? Di mana? 
 
’’Sebaiknya kita dahului saja rencana orang 
berkedok itu menantangnya. Rasanya aku belum puas 
kalau belum meringkus iblis berhati singa itu dengan 
tanganku sendiri!” lanjut Endang Cantikawerdi. 
Joko Sungsang memahami kegusaran gadis itu. 
Namun, ia merasa kecewa bahwa kegusaran itu mem-
buatnya tinggi hati. Bagaimanapun juga Pemanah Sak-
ti Bertangan Seribu bukan lawan yang bisa dipandang 
dengan sebelah mata. Gagar Mayang bahkan hampir 
hampir celaka kalau tidak datang orang berkedok itu 
menolongnya. 
’’Cantikawerdi,” kata Joko Sungsang setelah 
untuk sejenak mereka terdiam, ’’Bukan berarti aku 
meremehkan ilmu silatmu. Kalaupun aku menolak 
usulmu, semata-mata karena aku sendiri yang punya 
rencana. Dan, rencanaku hanya akan berhasil jika 
orang berkedok itu sudah bertarung melawan Pema-
nah Sakti Bertangan Seribu.” 
”Kau masih mendendam orang berkedok itu?” 
tanya Endang Cantikawerdi ragu. 
”Sama sekali tidak. ” Joko Sungsang mengge-
leng kuat-kuat. ’’Tidakkah kau ingin tahu siapa sebe-
narnya orang berkedok itu?” 
’’Kalau  benar apa yang pernah kau ceritakan 
kepadaku, dia salah seorang dari orang-orang sakti 
yang pernah kau ceritakan itu.” 
”Aku juga berpikir begitu. Begitu pula Gagar 
Mayang. Tetapi, bagaimana kita bisa memastikan siapa 
salah satu dari mereka itu kalau kita tidak melihat se-
pak terjang orang berkedok itu dalam sebuah perta-
rungan hidup dan mati?” 
Berdesir hati Endang Cantikawerdi begitu men-
dengar nama gadis dari Bukit Cangak itu disebut-
sebut oleh Joko Sungsang. Kini baru diingatnya bahwa  
akhir-akhir ini Joko Sungsang tinggal berdua dengan 
gadis itu di Desa Dadapsari. 
”Kau tahu maksudku, Cantikawerdi?” tanya 
Joko Sungsang setelah sejenak tidak melihat reaksi 
dari gadis itu. 
”Ya,” jawab Endang Cantikawerdi hambar. 
”Dan, kau mendukung rencanaku?” 
”Ya.” Semakin pelan suara gadis itu. 
’’Kalau begitu, sebaiknya kita sama-sama ke 
pondok Paman Wasi Ekacakra. Kita tunggu purnama 
naik....” 
”Maaf. Aku sendiri ada rencana yang harus aku 
kerjakan malam ini,” sahut Endang Cantikawerdi me-
nukas. Kini nada suara itu berubah ketus. 
’’Boleh aku tahu rencana apa?” 
Endang Cantikawerdi tidak segera menjawab, la 
merasa kebingungan mencari jawaban. Dan, sesung-
guhnya ia memang tidak memiliki rencana apa pun. la 
hanya ingin menolak secara halus ajakan Joko Sung-
sang pergi ke Desa Dadapsari. Ia tidak ingin bertemu 
dengan Gagar Mayang. Sebab, ia yakin Gagar Mayang 
pun tidak ingin bertemu dengannya. Buktinya, Gagar 
Mayang tidak pernah bercerita kepada Joko Sungsang 
bahwa mereka berdua pernah bertemu. 
’’Baiklah kalau memang aku tidak boleh tahu. 
Tetapi, setidaknya kau masih punya waktu menemui-
ku di Desa Dadapsari,” kata Joko Sungsang. 
’’Mudah-mudahan aku masih bisa menemui ka-
lian,” kata Endang Cantikawerdi dengan menekankan 
kata ’kalian’. 
Joko Sungsang bukan tidak merasakan keke-
cewaan gadis itu. Ia bisa merasakan bahwa gadis itu 
tidak menyukai Gagar Mayang maupun Sekar Arum. 
 
"Dan, akulah yang membuatnya jadi begitu,” 
kata hati anak muda yang bergelar Pendekar Perisai 
Naga itu. Maka rasa sesal kembali menyesaki rongga 
dadanya. la menyesal kenapa pernah memberikan ha-
rapan kepada gadis bekas murid Cekel Janaloka ini. 
”Maaf, aku harus segera pergi,” kata Endang 
Cantikawerdi sambil memandang bulan yang mulai 
condong ke barat. 
”Benar-benar kau tidak memerlukan bantua-
nku, Cantikawerdi?” kata Joko Sungsang dalam kebin-
gungannya. 
’’Terima kasih. Aku yakin, aku bisa mengata-
sinya sendiri.” Gadis itu beranjak pergi tanpa menung-
gu re-aksi Joko Sungsang. 
Dan, sewaktu ia tidak mendengar Joko Sung-
sang berusaha mencegah kepergiannya, la semakin 
yakin bahwa kehadirannya di antara anak muda dan 
gadis dari Bukit Cangak memang tak mungkin terjadi. 
Boleh jadi, Joko Sungsang memang sudah menjalin 
hubungan khusus dengan Gagar Mayang! 
Setelah bayangan Endang Cantikawerdi hilang 
dari pandang matanya, Joko Sungsang membanting 
napas yang sejak tadi ditahan-tahannya. Tiba-tiba ia 
merasa dirinya sedungu kerbau. 
Ya, kenapa aku tidak bisa menemukan jalan 
terbaik untuk menghadapi gadis-gadis itu? Kenapa 
aku tidak berani memilih satu di antara ketiganya? Le-
bih celaka lagi, kenapa aku tidak bisa berbuat adil ter-
hadap ketiganya? Tentu saja Cantikawerdi gusar se-
waktu aku menyebut-nyebut nama Gagar Mayang atau 
Sekar Arum. Aku telah berbuat lebih terhadapnya di-
bandingkan terhadap Gagar Mayang maupun Sekar 
Arum. Seharusnyalah aku tidak menyebut-nyebut na-
ma gadis lain selama aku berbicara dengannya. 
 
Joko Sungsang mencoba menepiskan pikiran-
nya yang kacau. Ia berlari sekencang kijang. Ia berha-
rap, dengan berlari maka pikirannya yang kacau akan 
tercampak. Tetapi, itu tidak pernah terjadi. Sewaktu 
tiba kembali di pondok Wasi Ekacakra, dan ia harus 
melihat Gagar Mayang, ingatan tentang ketiga gadis 
yang membingungkannya itu terbesit lagi. 
’’Beristirahatlah, Anakmas. Purnama nanti te-
naga dan pikiran Anakmas sangat dibutuhkan,” tegur 
Wasi Ekacakra yang tiba-tiba telah berdiri di bela-
kangnya. 
”Baik, Paman. Maaf, saya tadi pergi tanpa izin 
dari Paman.” 
”Nini Gagar Mayang telah menceritakannya ke-
padaku.” 
 
*** 
 
Bukit Cengcorang tak seperti yang dibayangkan 
baik oleh Joko Sungsang maupun Gagar Mayang. Bu-
kit itu hampir gundul sama sekali. Sebagian besar dari 
bukit itu terdiri dari batu cadas. Sudah barang pasti 
tanaman tak subur. Hanya ada satu-dua kelompok se-
mak-semak meranggas. 
Bulan begitu bernafsu menerangi bukit itu. Jo-
ko Sungsang dan Gagar Mayang akan dengan mudah 
mengawasi kehadiran siapa pun di atas hamparan ca-
das yang terang benderang itu. Mereka berdua sengaja 
datang lebih awal agar bisa melihat siapa yang lebih 
dahulu mendatangi tempat itu. 
’’Sudah seperempat malam kita menunggu,” ke-
luh Gagar Mayang. 
 
’’Sebelum bulan menghilang, orang masih me-
nyebutnya malam purnama naik, ” sahut Joko Sung-
sang.  
’’Jadi, kita menunggu sampai matahari terbit?”  
"Tidak. Sebelum matahari terbit, mereka pasti 
da-tang.” 
’’Kita terlalu cepat datang. ” 
’’Harus. Kau ingat bagaimana orang berkedok 
itu mengetahui kedatangan kita kemarin malam? Itu 
karena kita datang setelah orang berkedok itu datang.”  
”Dan, kau pikir dia tidak akan mengetahui ke-
hadiran kita di sini malam ini?” 
”Aku tidak berani memastikan. Nah, lihat siapa 
yang  datang, ” bisik Joko Sungsang menggamit pun-
dak gadis itu. 
’’Pemanah Sakti Bertangan Seribu!” jawab Ga-
gar Mayang. 
’’Mudah-mudahan dia benar-benar datang seo-
rang diri.” 
”Kau khawatir orang berkedok itu dikeroyok?”  
’’Jika itu memang terjadi, kita terpaksa harus 
melibatkan diri. Tetapi, seperti yang terjadi di mulut 
desa kemarin malam, orang berkedok itu pastilah me-
ninggalkan tempat ini.” 
’’Kalau begitu, kita biarkan saja dia menghada-
pi keroyokan. ” 
Joko Sungsang tak lagi menyahut. Tiba-tiba 
suasana di bukit itu dipecahkan oleh tawa seseorang. 
’’Keluarlah kau dari persembunyianmu, Setan!” 
sergah Pemanah Sakti Bertangan Seribu. 
”Ha ha ha! Bagaimana kalau kita undurkan sa-
ja pertemuan ini, Pemanah Sakti Bertangan Seribu?” 
 ’’Orang berkedok itu pun sudah datang,” bisik 
Gagar Mayang tak bisa ditahan-tahan. 
 
”Ya. ” 
’’Kalau kau memang takut menghadapiku, 
akui-lah! Tentu aku memaafkanmu, Pengecut Busuk!” 
jawab Pemanah Sakti Bertangan Seribu. 
”Bukan soal takut! Hanya saja, aku tidak ingin 
pertarungan kita ini dijadikan tontonan!” 
’’Kau kira aku membawa orang-orangku untuk 
menonton? Jaga mulutmu, Setan!” 
”Aku tahu kau datang seorang diri! Tetapi, aku 
tahu ada yang datang lebih dahulu sebelum kita da-
tang!” 
”Dia melihat kita!” kata Gagar Mayang. 
’’Belum tentu. Mungkin memang ada orang lain 
selain kita berdua.” 
’’Peduli Setan Belang!” kata Pemanah Sakti Ber-
tangan Seribu. ’’Kalau memang ada cecunguk yang in-
gin membelamu, aku pantang mundur!” 
’’Jangan gegabah, Pemanah Sakti Bertangan 
Seribu! Mereka bukan cecunguk seperti katamu! Mere-
ka pendekar-pendekar muda yang pilih tanding! Kau 
pernah dengar nama Pendekar Perisai Naga?” 
’’Keparat! Dia betul-betul melihat kehadiran ki  
rutuk Joko Sungsang. 
’’Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Ga-
gar Mayang. 
”Hei, Pendekar Perisai Naga! Keluarlah dari per-
sembunyianmu!” seru orang berkedok itu. 
”Kau tunggu di sini. Biar aku layani apa 
maunya!" kata Joko Sungsang seraya melompat keluar 
dari tempat persembunyiannya. 
”Nah, kau lihat siapa yang berdiri di samping-
mu, Pemanah Sakti Bertangan Seribu?” kata orang 
berkedok itu lagi. 
 
’’Jahanam! Berani kau mencampuri  urusan 
orang-orang tua, Pendekar Ingusan?” hardik Pemanah 
Sakti Bertangan Seribu. 
Kepalang basah, pikir Joko Sungsang. Maka 
kata-nya menjawab, "Kau yang menanam urusan den-
ganku, Pemanah Sakti Bertangan Seribu.” 
”Nah, bertarunglah kalian! Siapa pemenangnya, 
dialah yang layak berhadapan denganku!” sela orang 
berkedok itu. 
’’Keluarlah kau, Iblis! Bantulah anak ingusan 
ini menghadapiku!” 
Tetapi, orang berkedok itu tidak lagi menyahut. 
"Aku kira adil,” kata Joko Sungsang. "Tak ada 
cara lain memancingnya keluar dari persembunyian 
kecuali kita harus lebih dahulu berhadapan.” 
’’Bocah pongah!” sergah Pemanah Sakti Bertan-
gan Seribu seraya menerjang Joko Sungsang. 
Tak sulit bagi Joko Sungsang menghindari ten-
dangan beruntun yang melabraknya. Namun, agaknya 
Pemanah Sakti Bertangan Seribu tidak hanya ingin 
menggertak, la benar benar ingin merobohkan Pende-
kar Perisai Naga secepat mungkin. Oleh karenanya, 
begitu dirasakannya tendangan tendangannya me-
nembus angin, diputarnya gendewa di tangan kanan-
nya untuk memburu ke arah lawan berkelit. 
Wungngng! Wungngng! Tringngng! 
Dua sabetan gendewa berhasil dihindari Joko 
Sungsang. Akan tetapi, sabetan yang ketiga kalinya tak 
mungkin dihindarinya lagi. Tak ada jalan lain kecuali 
menepis senjata lawan dengan gagang cambuk Perisai 
Naga. 
’’Pakailah cambukmu sebelum kau menyesal, 
Pendekar Perisai Naga!” ujar Pemanah Sakti Bertangan 
Seribu setelah melompat mundur dua tombak. 
 
’’Akulah yang tahu perlu atau tidak aku meng-
gunakan cambukku!” jawab Joko Sungsang. 
’’Bocah pongah! Kau kira  aku tidak bisa me-
maksamu mengeluarkan senjatamu?” Pemanah Sakti 
Bertangan Seribu memasang sebatang anak panah pa-
da gendewanya. 
Sadar bahwa lawan telah mengeluarkan senjata 
andalannya, Joko Sungsang tidak boleh tidak harus 
mengurai cambuk di pinggangnya. Luncuran panah itu 
mungkin hanya dihindarinya. 
Sebatang anak panah meluncur secepat kilat 
menyambar. Joko Sungsang memutar cambuknya. 
Trangngng! 
Anak panah itu tepat berbenturan dengan bola 
berduri di ujung cambuk Perisai Naga. Patah menjadi 
dua. 
”Tak percuma kau menjuluki senjatamu Perisai 
Naga!” kata Pemanah Sakti Bertangan Seribu. "Tapi, li-
hatlah apakah cambukmu bisa menjadi perisai meng-
hadapi ajian ’Naracabala’!” 
"Betul-betul gila!” dengus Gagar Mayang di 
tempat persembunyiannya. Ia tidak mengerti kenapa 
Pemanah Sakti Bertangan Seribu begitu bernafsu 
membunuh Pendekar Perisai Naga. 
”Ada baiknya aku katakan sesuatu sebelum 
kau tewas di ujung anak panahku, Pendekar Perisai 
Naga!” kata Pemanah Sakti Bertangan Seribu. 
”Aku tahu apa yang kau pendam dalam hatimu. 
Bukankah kau mendendam guruku yang berkali-kali 
mengalahkanmu?” 
’’Itulah kenapa ingin aku buktikan bahwa aku 
bisa membunuhmu hanya dalam beberapa gebrakan!” 
sahut Pemanah Sakti Bertangan Seribu seraya mele-
paskan lima batang anak panah sekaligus. 
 
Hampir saja Gagar Mayang berteriak mengin-
gat-kan. Namun, gadis itu melihat Joko Sungsang me-
lenting sambil memutar cambuk kulit ularnya. Tak se-
batang anak panah pun lolos dari libatan cambuk Pe-
risai Naga. 
Diam-diam Pemanah Sakti Bertangan Seribu 
kaget melihat kenyataan bahwa lima batang anak pa-
nahnya tak berhasil menembus pertahanan lawan. 
Bahkan sebatang anak panah yang menyusul sewaktu 
Joko Sungsang berjumpalitan di udara pun berhasil 
ditangkap deh tangan kiri anak muda dari Desa Sana-
reja itu. 
’’Sekarang giliranku menyerangmu, Pemanah 
Sakti Bertangan Seribu!” kata Joko Sungsang sembari 
menyiapkan jurus ’Naga Melilit Gunung’. 
’’Jurus-jurusmu tidak akan lebih baik dari cip-
taan gurumu, Bocah Pongah!” sahut orang sesat dari 
Lembah Pare Anom itu seraya tertawa. 
Bola berduri di jung cambuk kulit ular itu me-
raung-raung. Namun, bersamaan dengan itu, gendewa 
di tangan orang sesat bertubuh raksasa itu pun berpu-
tar melindungi badan. 
Srettt! 
Cambuk Perisai Naga mulai membelit. Tetapi, 
bukan tubuh Pemanah Sakti Bertangan Seribu yang 
terbelit, melainkan tali gendewanya. 
”Di sinilah ajalmu, Bocah!” teriak Pemanah 
Sakti Bertangan Seribu sambil menerjang dengan ten-
dangan kaki kanannya ke arah kepala lawan. 
Desss! 
Joko Sungsang  melipat siku tangannya untuk 
menjemput telapak kaki lawan yang mengancam kepa-
lanya. Tubuh Pemanah Sakti Bertangan Seribu terpen-
tal beberapa tombak. Dan, tubuh Joko Sungsang pun  
terhuyung-  huyung ke belakang meski tidak sampai 
terjatuh. 
Merasa bahwa lawan lebih senang membentur 
serangan, orang sesat dari Lembah Pare Anom itu ter-
tawa girang. Ia sudah bisa mengukur kekuatan tenaga 
dalam lawan dalam  benturan yang baru saja terjadi. 
Oleh karenanya, ia segera menyalurkan seluruh tenaga 
dalam yang dimilikinya pada kedua telapak tangannya. 
Ia begitu yakin bahwa benturan yang terjadi nanti 
akan melumatkan tubuh anak muda murid Padepokan 
Jurang Jero itu. 
’’Asalmu dari tanah, dan kau juga harus kem-
bali ke tanah, Pendekar Perisai Naga!” kata orang tua 
bertubuh raksasa itu. 
Melihat lawan tak lagi menggunakan senja-
tanya, Joko Sungsang pun segera menyimpan cam-
buknya. Ia tahu keinginan lawan mengadu tenaga da-
lam. Namun begitu, ia tidak ingin tubuhnya luluh-
lantak oleh tenaga pukulan yang tersalur pada kedua 
telapak tangan lawan. 
’’Orang tolol itu belum pernah merasakan ilmu 
'Pukulan Ombak Laut Selatan’!” dengus Gagar Mayang 
di tempat persembunyiannya. 
Apa yang dipikirkan gadis itu memang tengah 
dipersiapkan Joko Sungsang. Disalurkannya ilmu ’Pu-
kulan Ombak Laut Selatan’ hanya pada kedua telapak 
tangannya. Ia ingin menguji sejauh mana ilmu andalan 
dari Padepokan Karang Bolong itu mampu menahan 
pukulan dahsyat dari Pemanah Sakti Bertangan Seri-
bu. 
Dendam kesumat bercampur kemarahan mem-
buat Pemanah Sakti Bertangan Seribu kehilangan 
usaha mawas dirinya. Dengan tubuh raksasa yang di-
rangkap! segenap tenaga dalam yang ada, ia merasa  
pasti bisa meluluh lantakkan tubuh lawan. Maka sam-
bil berteriak setinggi langit, ia menerjang Joko Sung-
sang dengan kedua telapak tangannya. 
Desss! Bresss! 
Akibat benturan kedua pukulan itu sungguh 
mengerikan. Tubuh Raksasa Pemanah Sakti bertangan 
Seribu seolah membentur tembok beton yang berlapis 
baja. Akibatnya, tubuh itu terpental dan terbanting ke 
bongkahan cadas. Sebentar saja tubuh raksasa itu 
nampak menggeliat, dan kemungkinan diam untuk se-
lamanya. 
Dalam pada itu, Gagar Mayang tak ingin meli-
hat tubuh Joko Sungsang membentur bongkahan ca-
das yang menghadang di belakangnya. Gadis itu me-
lompat dari tempat persembunyiannya bersamaan 
dengan tubuh Joko Sungsang yang terpelanting ke be-
lakang. 
Akan tetapi, dugaan gadis itu ternyata meleset. 
Joko Sungsang menjejak bongkahan cadas yang 
menghadangnya sebelum Gagar Mayang mendarat di 
tempat yang ditujunya. 
”Maaf, aku terlalu mencemaskan mu,” ujar ga-
dis itu setelah melihat Joko Sungsang berdiri di atas 
kuda-kudanya. 
’Terima kasih. Aku tetap menghargai usahamu 
menyelamatkanku, Gagar Mayang. Terima kasih,” sa-
hut Joko Sungsang. 
”Kau tidak apa-apa?” 
’’Kepalaku sedikit berkunang-kunang. Tenaga 
raksasa itu memang luar biasa. Rasanya aku memben-
tur tubuh tiga ekor gajah. 
"Tetapi, gajah itu kini tidak berkutik lagi. Tak 
ada gajah yang bisa bangkit tanpa tulang penyangga di 
tubuhnya. Hm..., Gajah Dungu! Tidakkah ia tahu  
bahwa ia sedang berhadapan dengan murid Ki Sempa-
ni?” 
Joko Sungsang tertawa mendengarkan ucapan 
sekaligus sanjungan gadis itu. 
’’Biarlah aku yang menghadapi orang berkedok 
itu kalau dia masih berani muncul!” lanjut Gagar 
Mayang. 
”Kau ingin dijuluki ’murid durhaka’?” Joko 
Sungsang menahan tawa. 
’’Maksudmu?” Gadis itu benar-benar tidak me-
nangkap maksud ucapan Joko Sungsang. 
’’Sekarang aku berani memastikan siapa orang 
berkedok itu.  
”Kau ingat bagaimana Pemanah Sakti Bertan-
gan Seribu takut mendengar suara emprit gantil?” 
”Ya. Lalu?” 
’’Artinya, tidak mungkin ia berani menghadapi 
guruku dalam pertarungan hidup dan mati. Nah, su-
dah jelas bahwa orang berkedok itu bukan Kiai Wiku 
Jaladri, bukan?” 
’’Bagaimana dengan Ki Sempani?” 
”Ki Sempani tak akan tahu bahwa kita akan be-
rada di tempat ini dan datang lebih awal.” 
’’Maksudmu,  Guru... eh, Kiai Wasi Ekaca-
kra...?”  
’’Hanya Patrian Wasi Ekacakra yang tahu ren-
cana kita mendatangi bukit ini, Gagar Mayang Dan, 
itulah  jawabannya  kenapa kau melihat sikap Paman 
Wasi Ekacakra akhir-akhir ini berubah ” 
’’Gusti Allah! Betapa tololnya aku?”  Gadis itu 
menekap wajahnya dengan dua telapak tangannya. 
Akan tetapi, Joko Sungsang bisa melihat ba-
gaimana bibir gadis itu menahan senyuman. 
 
 
SELESAI