Pendekar Perisai Naga 5 - Siluman Kera Sakti

 
Bukit Cangak yang gersang, yang tidak menun-
jukkan adanya tanda-tanda kehidupan, tiba-tiba men-
jadi pusat perhatian orang-orang dari rimba persilatan. 
Mereka, orang-orang dari rimba persilatan, tahu bahwa 
di bukit itulah sesungguhnya tersimpan Ki Sumping 
Sedapur, keris luk tujuh peninggalan dari Zaman Kera-
jaan Majapahit. 
Maka tidak sedikit orang dari rimba persilatan 
yang  mendatangi bukit itu, khususnya mereka yang 
bernaung di bawah panji-panji golongan hitam. Mereka 
merasa harus mendapatkan Ki Sumping Sedapur se-
bab mereka yakin bahwa dengan memiliki pusaka itu 
mereka akan berhasil merajai dunia persilatan. 
Eyang Kuranda Geni, seorang panembahan 
yang tinggal di bukit itu, adalah satu-satunya orang 
yang harus bertanggung jawab menghadapi mereka 
yang menginginkan Ki Sumping Sedapur. Sebab, me-
mang orang tua itulah yang menyimpan keris luk tu-
juh itu. Berita ini tersebar semenjak Ki Langendriya 
mencuri keris itu, sekalipun pada akhirnya ia tak ber-
hasil memilikinya (Baca juga ’’Pusaka Bukit Cangak”). 
Kegemparan di dunia persilatan ini memang 
sudah diramalkan oleh Eyang Kuranda Geni semenjak 
keris Itu hilang dari padepokannya. Bertahun-tahun 
sudah keris Itu dilupakan orang banyak. Mereka men-
ganggap bahwa keris pusaka itu telah musnah dari 
muka bumi. Akan tetapi, karena ulah Ki Langendriya 
maka Ki Sumping Sedapur kembali dibicarakan orang 
banyak. 
Kembali Eyang Kuranda Geni menyesali ting-
kah muridnya mencuri pusaka itu. la pun menyesal te- 
lah menceritakan perihal keris luk tujuh itu kepada Ki 
Langendriya. Sungguh tak disangkanya jika murid ter-
kasihnya itu akan menaruh perhatian pada Ki Sump-
ing Sedapur, bahkan kemudian berani mencurinya. 
Kini akibatnya Eyang Kuranda Geni lah  yang 
harus menanggung. Dalam beberapa malam ini saja ia 
harus berhadapan dengan sepuluh orang dari golon-
gan hitam yang mendatangi padepokannya. Kembali ia 
harus membunuh seperti yang dilakukannya puluhan 
tahun yang lalu. Padahal ia bersembunyi di Bukit Can-
gak karena ia tak mau lagi berurusan dengan orang-
orang dari rimba persilatan, dan tak mau membunuh. 
Sepuluh orang dari golongan hitam yang terbu-
nuh dalam beberapa malam ini memang bukan tan-
dingan Eyang Kuranda Geni. Mereka adalah anak-
anak muda yang belum bisa mengukur tingkatan ilmu 
silat yang dimiliki Eyang Kuranda Geni. Jangan lagi 
hanya mereka, sedangkan guru mereka pun belum 
tentu bisa menandingi Eyang Kuranda Geni dalam per-
tarungan hidup dan mati. 
Tewasnya sepuluh orang murid dari Perguruan 
Sasra Gumbala ini sudah pasti memancing kemarahan 
orang pertama dalam perguruan itu. Danyang Kum-
bayana, guru dari Perguruan Sasra Gumbala itu, me-
rasa sangat terhina atas kematian sepuluh orang mu-
ridnya. 
Betapapun ia merasa ditantang oleh Eyang Ku-
randa Geni, betapapun kemarahan hampir-hampir 
memecahkan dadanya, ia tetap ingat untuk tidak ber-
tindak gegabah, la menyadari siapa yang harus diha-
dapinya kali ini. Dari cerita yang didengar lewat penu-
turan gurunya, Danyang Kumbayana bisa mengukur 
tingkatan ilmu silat yang dimiliki Eyang Kuranda Geni. 
Terlebih lagi setelah ia melihat kenyataan bahwa sepu- 
luh orang muridnya tak seorang pun bisa meloloskan 
diri dari Bukit Cangak. 
Dendam kesumat tak membuat Danyang Kum-
bayana lupa diri. Sepenuhnya ia sadari bahwa tak 
mungkin baginya mengalahkan Eyang Kuranda Geni 
dalam pertarungan satu lawan satu. Meski ia belum 
pernah menghadapi, ia tetap giris mendengar keheba-
tan Jurus Tambak Segara dari Padepokan Bukit Can-
gak. Apalagi jurus itu kini diterapkan oleh guru pade-
pokan itu sendiri. Dan, sampai kapan pun Danyang 
Kumbayana tak akan melupakan pesan gurunya se-
hubungan dengan jurus maut dari Padepokan Bukit 
Cangak itu. 
Kata gurunya suatu hari,” Jangan lagi hanya 
sepuluh orang muridmu yang bodoh itu, Kumbayana. 
Aku, gurumu, tidak berani memastikan bisa menem-
bus Jurus Tambak Segara yang diterapkan oleh Eyang 
Kuranda Geni!” 
Mengingat kata-kata gurunya inilah maka Da-
nyang Kumbayana semakin kecil hati untuk berhada-
pan dengan Eyang Kuranda Geni seorang diri. Karena 
itu pula, ia memutuskan untuk menghadapi Eyang 
Kuranda Geni bersama gurunya. Bagaimanapun juga 
ia harus bisa membujuk gurunya untuk bersama-
sama meluapkan dendam yang membeludak dalam 
dadanya.  
Ki Buyut Senggana, guru Danyang Kumbayana, 
sudah berusaha mengingatkan muridnya agar melu-
pakan dendamnya kepada Eyang Kuranda Geni. Ber-
bagai dalih dilontarkannya. Akan tetapi, selaras den-
gan niat yang menggumpal dalam dadanya, Danyang 
Kumbayana tak mau mundur. Malahan ia berkata, 
’’Kalau memang Guru menegakan sepuluh orang mu-
rid saya, apakah berarti Guru juga akan menegakan  
saya?” 
’’Maksudmu?” tanya Ki Buyut Senggana sambil 
menaikkan alis matanya yang telah memutih. 
’’Saya tetap akan berangkat ke Bukit Cangak 
meskipun tanpa ditemani Guru,” jawab Danyang 
Kumbayana. 
Ki Buyut Senggana menghirup napas dalam-
dalam. Tak disangkanya jika murid tunggalnya ini 
akan nekad pergi meski tanpa restunya. Padahal, ia 
tahu apa yang bakal terjadi jika muridnya itu berhada-
pan dengan Eyang Kuranda Geni seorang diri. Tak le-
bih daripada bunuh diri! 
’’Kumbayana, sekali lagi aku ingatkan bahwa 
orang sakti dari Bukit Cangak itu bukan tandingan-
mu,” kata Ki Buyut Senggana. ’’Bukankah baru tiga 
hari yang lalu aku ceritakan bagaimana murid Pade-
pokan Bukit Cangak telah berhasil membunuh Ki 
Tunggui Wulung? Memang ia telah mendapatkan ban-
tuan dari seorang gadis yang bernama Endang Canti-
kawerdi. Tetapi, kedua gadis itu tidak mungkin mampu 
melumpuhkan Ki Tunggui Wulung jika bukan karena 
mereka berdua memiliki ilmu silat yang pilih tanding. 
Nah, pikirkanlah sekali lagi. Itu baru muridnya. Ba-
gaimana dengan gurunya?” 
"Saya mengerti, Guru. Tetapi, rasanya saya ti-
dak mungkin membiarkan begitu saja perbuatan orang 
tua itu terhadap murid-murid saya! Bagaimanapun ju-
ga saya harus membalaskan kematian mereka! Terse-
rahlah jika Guru tidak mau ambil peduli terhadap ke-
matian mereka. Tetapi, saya sebagai guru mereka me-
rasa bertanggung jawab!” sahut Danyang Kumbayana. 
Dan, sewaktu dilihatnya Ki Buyut Senggana tetap di-
am, maka katanya meneruskan, "Guru, tidakkah Guru 
akan ikut merasa senang jika saya bisa mendapatkan  
keris luk tujuh yang disebut-sebut sebagai pusaka pe-
ninggalan Zaman Kerajaan Majapahit itu?”  
”Ki Sumping Sedapur?” desah orang tua itu da-
lam dada. Kemudian tergambar kembali dalam benak-
nya peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu. Ia juga 
pernah memburu keris pusaka itu. Namun, ia terpaksa 
berhenti di tengah jalan sebab seseorang telah mem-
buatnya tak berdaya. Karena itulah kemudian ia ber-
tekad memperdalam ilmu silatnya. Dan, ia bersumpah 
harus bisa menuntut balas kekalahannya waktu itu. 
”Dan, inilah kesempatan menuntut balas itu,” desah 
orang tua itu lagi. 
’’Kenapa Guru hanya diam saja? Apakah berarti 
Guru memang tidak mempedulikan saya? Guru tidak 
peduli apakah saya berangkat ke Bukit Cangak atau 
tidak?” desah Danyang Kumbayana. 
’’Tetapi, bisakah aku mengalahkannya? Tidak-
kah ia juga telah berhasil memperdalam ilmu silatnya? 
Mampukah aku menembus Jurus Tambak Segara yang 
tangguh itu?” kata orang tua itu lagi, masih dalam da-
da. 
”Guru, saya tetap berangkat sekalipun Guru ti-
dak ambil peduli,” kata Danyang Kumbayana sambil 
bangkit dari duduknya. 
’’Tunggu!” kata Ki Buyut Senggana. 
’’Saya tetap akan berangkat sekalipun Guru 
meragukan saya bisa menandingi orang tua keparat 
itu!” 
’’Kita berangkat berdua, Kumbayana,” sahut Ki 
Buyut Senggana. 
Wajah Danyang Kumbayana berseri-seri men-
dengar kesanggupan gurunya ini. Maka katanya den-
gan dada membusung, ’’Saya percaya, Guru akan 
mampu mengirim orang tua pongah itu ke neraka!” 
 
”Kau yang pongah, bukan dia!” kata Ki Buyut 
Senggana dengan suara parau. Lalu sambung orang 
tua itu lagi, ”Kau tak usah ikut campur. Biarlah perka-
ra ini menjadi urusan kami, orang-orang tua. Kau ha-
rus tetap menjaga kelanggengan Perguruan Sasra 
Gumbala. ” 
’’Maksud Guru?” sahut Danyang Kumbayana 
tak mengerti. 
”Kau hanya aku izinkan menonton. Dan, ka-
laupun kau lihat aku terdesak, kau aku larang untuk 
membantuku. Mengerti?”     
”Guru...” 
’’Jangan bantah pesanku jika kau tetap ingin 
aku berangkat ke Bukit Cangak!” sergah Ki Buyut 
Senggana. 
 
*** 
 
Dalam siraman  sinar bulan purnama, Bukit 
Cangak nampak angker. Bayangan bukit itu benar-
benar mirip burung cangak yang tengah mengembang-
kan sayap dan mengangakan paruhnya. Itulah kenapa 
bukit itu kemudian dikenal orang sebagai Bukit Can-
gak. Lain daripada itu, burung cangaklah yang paling 
layak hidup di bukit itu. Akan tetapi, toh pada kenya-
taannya tak seekor burung cangak pun nampak berke-
lebat di bukit itu. Kalaupun bukit itu dianggap pantas 
didiami burung cangak, sebab hanya burung cangak 
yang pantas pula dihubungkan dengan kematian. 
Sebelum Eyang Kuranda Geni tinggal di bukit 
itu, memang tak seorang pun berani mendekat. Bukan 
rahasia lagi bahwa di bukit itu berdiam sekawanan pe-
rampok yang keji dan berilmu silat tinggi. Bahkan 
penduduk desa di kaki bukit itu memilih pergi mening- 
galkan rumah mereka ketimbang harus berurusan 
dengan sekawanan perampok berdarah dingin itu. Para 
perampok itu tak segan-segan membunuh dan meng-
gantung mayat-mayat korban kekejian mereka di po-
hon-pohon. 
Ketakutan para penduduk desa terhadap bukit 
ini justru dimanfaatkan oleh Eyang Kuranda Geni. Tak 
seorang pun bisa memberikan keterangan kepada 
orang-orang rimba persilatan bahwa di bukit itu ber-
diam orang sakti dengan seorang cucunya yang ber-
nama Gagar Mayang. 
Apalah artinya para perampok yang hanya bisa 
menakut-nakuti penduduk desa itu bagi Eyang Kuran-
da Geni. Ilmu silat tinggi bagi ukuran penduduk desa 
tadi ternyata tak begitu berarti bagi Eyang Kuranda 
Geni. Dalam beberapa gebrakan, tewaslah sekawanan 
perampok yang telah bertahun-tahun menjadi momok 
bagi penduduk desa di kaki bukit itu. 
Untuk beberapa lama Eyang Kuranda Geni 
memang tenang berdiam di Bukit Cangak. Akan tetapi, 
sejak Ki Langendriya muncul, mulailah orang-orang 
mencium keberadaan Eyang Kuranda Geni di bukit itu. 
Namun demikian, toh mereka tetap tidak tahu bahwa 
Eyang Kuranda Geni membawa serta Ki Sumping Se-
dapur ke bukit itu. Itulah yang membuat Eyang Ku-
randa Geni tetap merasa tenteram tinggal di Bukit 
Cangak. 
Bulan purnama tersaput mendung. Sinarnya 
berubah kusam. Namun, kekusaman sinar bulan itu 
tak berhasil menyembunyikan dua bayangan yang 
mengendap-endap mendekati Padepokan Bukit Can-
gak. Dan, di dalam pondok yang beratapkan daun ko-
lang-kaling itu, Eyang Kuranda Geni mendengar lang-
kah-langkah kaki di sela-sela siur angin serta suara  
ranting bergesekan. 
’’Masih ada lagi orang-orang tolol yang diracuni 
hawa nafsu serakah,” kata hati orang tua itu sambil 
bangkit dari duduknya. Kemudian ia membuka pintu 
pondok lebar lebar. 
”Ia mengetahui kehadiran kita,” bisik bayangan 
yang berdiri di depan. 
’’Apakah membuka pintu berarti mempersila-
kan tamu?” tanya bayangan yang berdiri di belakang. 
’’Kita harus mendatanginya secara terang-
terangan sebelum ia mempermalukan kita.” 
’’Maksud Guru?” 
”Kau tunggu di sini. Biarlah aku yang menda-
tanginya ke pondok....” 
’Tak akan kau temukan benda yang kau cari di 
pondokku, Buyut Senggana,” tukas Eyang Kuranda 
Geni yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang me-
reka. 
”Kau masih mengenaliku, Kuranda Geni?” 
tanya Ki Buyut Senggana dengan dada berdebur-
debur. 
’’Sejak sepuluh orang kaki-tanganmu mengotori 
bukit ini, aku sudah meramalkan bakal kedatangan-
mu, Buyut Senggana.” 
”Percaya atau tidak, kedatanganku ini tidak ada 
hubungannya dengan kesepuluh orang tolol itu, Ku-
randa Geni.” 
”Maksudmu, kau akan meneruskan urusan ki-
ta beberapa tahun yang lalu? Bukankah sama saja tu-
juanmu dengan cecurut-cecurut itu? Hmmm, orang se-
tua kau masih juga terpancing....” 
’Tak ada gunanya kita terlalu banyak bicara, 
Kuranda Geni. Sekarang, aku ingin melihat apa yang 
bisa kau perbuat dengan Jurus Tambak Segaramu.  
Bersiaplah!” 
’’Kalau kedatanganmu kemari hanya karena in-
gin memamerkan ilmu silatmu yang baru saja kau 
perdalam, aku hormati niatmu. Tetapi, kalau kau 
hanya menginginkan keris luk tujuh itu, percumalah 
kau datang jauh-jauh dari Rawa Genjer.” 
”Kau juga tega membohongiku bahwa Ki Sump-
ing Sedapur tidak lagi kau sembunyikan  di sini? Ha-
ha-ha! Aku bukan anak bawang seperti mereka yang 
menjadi korban nafsu serakahmu, Kuranda Geni....” 
’’Memang salahku,” tukas Eyang Kuranda Geni. 
’’Tetapi, sesungguhnyalah orang-orang dari Rawa Gen-
jer itu aku beri kesempatan untuk pulang dan me-
nyampaikan pesanku. Ya, kalau saja ada di antara me-
reka yang bisa kembali ke Rawa Genjer dengan sela-
mat, kau pun akan tahu bahwa keris luk tujuh itu su-
dah lenyap dari bukit ini bersama maling yang mencu-
rinya. ” 
’’Cukup! Hentikan bualanmu, dan bersiaplah 
menerima seranganku, Kuranda Geni!” hardik Ki 
Buyut Senggana seraya mementangkan kedua belah 
lengannya. Inilah gerak pembuka Jurus Siluman Kera 
Sakti. 
Eyang Kuranda Geni secepatnya mawas diri. Ki 
Buyut Senggana yang dihadapinya sekarang jelas bu-
kan lagi Ki Buyut Senggana yang dihadapinya bebera-
pa tahun yang lalu. Dilihat dari gerak pembuka Jurus 
Siluman Kera Sakti itu, jelas bahwa kemajuan pesat 
telah diperoleh Ki Buyut Senggana. Angin yang ditim-
bulkan oleh rentangan tangan itu seolah mampu melu-
ruhkan dedaunan yang masih hijau. 
Menyadari hal ini, Eyang Kuranda Geni sigap 
menajamkan pendengarannya. Ia tahu, tak lama  lagi 
lawan akan bergerak memutar yang akan sulit diikuti  
pandangan mata. Jangan dikata dalam suasana re-
mang-remang seperti sekarang, sedang andaipun me-
reka harus bertempur siang hari pun Jurus Siluman 
Kera Sakti dengan mudah bisa mengelabui mata. 
Wusss! Wusss! Wusss! 
Danyang Kumbayana sendiri terheran-heran 
memandangi apa yang terjadi di depan matanya. Tiba-
tiba saja tubuh gurunya tak nampak lagi. Ia hanya bi-
sa melihat bayangan hitam memutari tubuh Eyang Ku-
randa Geni. Seolah Ki Buyut Senggana berubah men-
jadi seribu. Sulit dibedakan antara bayangan dengan 
tubuh Ki Buyut Senggana yang sebenarnya. 
”Ah, kalau saja aku sudah berhasil mempelajari 
jurus ini,” kata hati Danyang Kumbayana sambil men-
coba menebak-nebak di sebelah mana sesungguhnya 
Ki Buyut Senggana berdiri. 
Namun, Eyang Kuranda Geni bukanlah anak 
ingusan yang terpaku memandangi ilmu sihir. Ia tetap 
bisa membedakan mana yang semu dan mana yang 
nyata. Mata tuanya boleh tertipu, tetapi pendengaran-
nya tetap bisa menangkalnya. 
’’Hiyaaat!” teriak Eyang Kuranda Geni sambil 
menerjang bayangan yang berdiri tepat di samping ka-
nannya. 
Bresss! 
Kedua tubuh orang tua renta itu bertabrakan. 
Akibatnya, tubuh keduanya terpelanting. Tu-
buh Ki Buyut Senggana melayang dan melabrak se-
bongkah cadas sebesar kerbau. Namun, Jurus Silu-
man Kera Sakti membuat tubuhnya lentur mirip tubuh 
kera yang terbanting. Ia sempat bersalto sebelum 
punggungnya menghantam cadas. 
Dalam pada itu, Eyang Kuranda Geni yang ten-
gah menerapkan Jurus Tambak Segara tak sedikit pun  
mengalami cedera ketika tubuhnya membentur pohon 
kolang-kaling. 
’’Semakin mumpuni Jurus Tambak Segaramu, 
Kuranda Geni!” ujar Ki Buyut Senggana setelah kem-
bali berdiri di atas kuda-kudanya. 
’’Jurus Monyet Mabuk-mu pun cukup membua-
tku bingung, Buyut Senggana,” sahut Eyang Kuranda 
Geni. 
’’Tetapi, waspadalah. Kini giliranku menye-
rangmu!” kata Ki Buyut Senggana sebelum kemudian 
menerjang Eyang Kuranda Geni dengan tebakan ke 
arah dada. Pukulan ini jelas tidak akan berarti bagi 
Eyang Kuranda Geni jika saja Ki Buyut Senggana tidak 
menerapkan Ajian Brajamusti. 
Mawas diri Eyang Kuranda Geni. Beberapa ma-
lam yang lalu, ia telah mencicipi Ajian Brajamusti ini 
lewat tangan orang-orang Rawa Genjer. Tak berhasil 
mereka menembus Jurus Tambak Segara. Namun, kali 
ini pukulan itu datang dari tangan maha guru mereka. 
Maka Eyang Kuranda Geni secepatnya berkelit ke 
samping dengan satu loncatan. 
”Ha-ha-ha! Aku kira kau berani menabrakku 
dengan Jurus Tambak Segara mu, Kuranda Geni!” ejek 
Ki Buyut Senggana. 
Dalam pada itu, Danyang Kumbayana pun ter-
tawa bangga. Ia melihat Jurus Tambak Segara ternyata 
tak bisa diandaikan untuk menghadapi Ajian Braja-
musti. Lalu, apa lagi yang akan diandalkan tua bangka 
keparat itu? 
’’Buyut Senggana, jangan kau cepat besar kepa-
la. Usia lata sudah mendekati kubur. Tidak seharus-
nya lata cepat besar kepala. Sikap pongah hanya akan 
mengajak kita untuk melupakan Gusti Yang Maha....” 
’Tak usah berkotbah, Kuranda Geni!” tukas Ki  
Buyut Senggana. ”Aku datang ke Bukit Cangak ini bu-
kan untuk mendengarkan kotbahmu. Dan, aku belum 
memikirkan tanah kuburan. Nah, bersiaplah kembali. 
Ajian Brajamusti yang akan  mengantarmu ke kubu-
ran!” 
Eyang Kuranda Geni merunduk sambil me-
nyongsong tendangan lawan yang mengarah ke betis-
nya, la tahu bahwa Ajian Brajamusti hanya bisa dite-
rapkan lewat telapak tangan kanan. Dan, tangan ka-
nan itu kini telah lewat di atas kepalanya. Hawa panas 
menyengat tengkuk orang tua penghuni Bukit Cangak 
itu. Semakin ia menyadari betapa dahsyat Ajian Bra-
jamusti  di tangan kanan Ki Buyut Senggana. Meski 
berjarak sejengkal, tetap saja hawa panas itu menyen-
gat. 
Melihat lawan merunduk, Ki Buyut Senggana 
secepatnya menarik kembali kaki kirinya sambil 
menghunjamkan sisi telapak tangan kanannya ke ba-
wah. 
Wusss! 
Hampir saja telapak tangan kanan orang sesat 
dari Rawa Genjer itu menghancurlumatkan kepala 
Eyang Kuranda Geni. Pukulan susulan ini memang 
sudah diperhitungkan oleh Eyang Kuranda Geni. Maka 
ia secepat kilat menarik kuda-kudanya ke samping be-
gitu lawan membatalkan tendangan kakinya. 
Danyang Kumbayana mengerjap-ngerjapkan 
matanya. Sungguh, ia tak bisa mengikuti gerakan ke-
dua kakek sakti itu jika mereka  saling menerjang. 
Meski la telah bertahun-tahun berguru kepada Ki 
Buyut Senggana, baru kali inilah ia menyaksikan per-
tarungan hidup dan mati antara Ki Buyut Senggana 
melawan musuh yang sejajar dalam tataran ilmu silat. 
Kembali Ki Buyut Senggana menerjang maju. 
 
Tubuh orang sesat dari Rawa Genjer itu berkelebat mi-
rip burung alap alap. Akan tetapi, lawannya kali ini 
bukan seperti kebanyakan lawan yang pernah dijum-
painya. Eyang Kuranda Geni seolah menghilang dari 
pandang matanya. Serangan beruntun itu kembali 
mengenai angin. Malahan tiba-tiba saja serangan bala-
san hampir saja menyambar tengkuk Ki Buyut Seng-
gana. Dan, guru Danyang Kumbayana ini terpaksa 
bergulingan di tanah untuk menghindari pukulan di 
tengkuknya. 
Namun, sebelum Ki Buyut Senggana melenting 
bangkit, sebuah tendangan memburunya. 
Desss! 
Dua tubuh kurus kering itu kembali berbentu-
ran. Eyang Kuranda Geni melompat mundur dengan 
kekagetan yang memacu degup jantungnya. Sama se-
kali tak diduganya bahwa Ki Buyut Senggana akan 
mampu menangkis tendangan susulan tadi. Lebih dari 
itu, akibat dari benturan yang terjadi, Eyang Kuranda 
Geni merasa seolah tulang keringnya patah. 
Di pihak lain, Ki Buyut Senggana terlempar be-
berapa tombak. Tendangan yang begitu deras dari la-
wan membuat tubuhnya seolah segumpal kapas yang 
diterjang badai. Diam-diam ia bersyukur telah mema-
gari tubuhnya dengan kedua belah punggung tangan-
nya. 
”Guru!” teriak Danyang Kumbayana sambil 
memburu tubuh gurunya yang masih bergulingan di 
tanah. 
’’Minggirlah. Aku tidak apa-apa,” kata Ki Buyut 
Senggana setelah kembali berdiri di atas kuda-
kudanya. Lalu, secepatnya orang tua dari Rawa Genjer 
itu menyalurkan hawa murni dalam tubuhnya untuk 
mengatasi kedua tangannya yang serasa tertusuk- 
tusuk jarum beracun. 
’’Izinkan saya membantu Guru,” kata Danyang 
Kumbayana cemas. 
’’Sudah kubilang, jangan kau campuri  urusan 
kami berdua!” sergah Ki Buyut Senggana. ’’Bukankah 
lebih baik kau mencari keris itu di pondok sana?” 
’’Cobalah kau masuk ke pondokku, tetapi jan-
gan salahkan aku jika aku terpaksa mencegahmu den-
gan kekerasan,” ujar Eyang Kuranda Geni. 
’’Jangan pongah, Kuranda Geni! Kau pikir kau 
bisa menghalang-halangi muridku?” sahut Ki Buyut 
Senggana seraya menerjang dengan Ajian Brajamusti 
lagi. 
Bersamaan dengan itu, Danyang Kumbayana 
melesat ke pondok beratapkan daun kolang-kaling itu. 
Namun, sebelum murid Ki Buyut Senggana ini tiba di 
ambang pintu, sebutir kerikil menyambar betis kaki 
kanannya. 
’’Aughhh!” 
Tubuh Danyang Kumbayana terayun ke bela-
kang dan jatuh terduduk. Meski hanya sebutir kerikil, 
dorongannya begitu kuat dan mengagetkan. 
’’Bocah tolol!” geram Ki Buyut Senggana kesal. 
Selain kesal melihat kesembronoan muridnya, ia juga 
kesal sebab serangannya kembali melabrak angin. 
Dan, rasa kesal itu berubah menjadi kegusaran setelah 
ia menyadari bagaimana Eyang Kuranda Geni bisa 
menghindar sambil mengirimkan kerikil ke kaki Da-
nyang Kumbayana. 
’’Bersyukurlah tanganku hanya bisa menggapai 
sebutir kerikil, Buyut Senggana,” kata Eyang Kuranda 
Geni. 
’’Persetan dengan ilmu demitmu!” sergah Ki 
Buyut Senggana. ’’Tetapi, cobalah sekali ini kau meng- 
hindar! Dan, jangan coba-coba kau tetap menyimpan 
Jurus Tambak Segara-mu yang loyo itu!” 
’’Menyimpan? Apa maksudmu, Buyut Sengga-
na?”  
’’Jangan berlagak bodoh! Sejak tadi kau hanya 
berkelit sebab kau takut mengadu Jurus Tambak Se-
gara-mu dengan Ajian Brajamusti-ku! Atau, kau malu 
jika nyatanya jurus andalanmu itu tidak berarti lagi 
untuk membendung seranganku?” 
’’Ha ha ha! Bukankah kau tadi sempat memuji 
Jurus Tambak Segara ku, Buyut Senggana?” 
’’Agaknya semakin tua semakin dungu kau, Ku-
randa Geni! Nah, bersiaplah menyongsong maut yang 
siap menjemputmu!” 
”Maut hanya datang dari-Nya, Buyut Senggana. 
Tak perlulah kau mengeluarkan seluruh ilmumu un-
tuk membunuhku jika yang di atas sana memang 
menghendaki kematianku....” 
’Tutup mulutmu, Kuranda Geni! Buka matamu 
lebar-lebar, dan terjanglah aku jika memang kau me-
rasa bernyawa rangkap!” Berkata begini, Ki Buyut 
Senggana mulai menerapkan Ilmu Siluman Kera Sakti-
nya. 
"Hmmm, kau memaksaku untuk mengadu ke-
saktian, Buyut Senggana? Baiklah. Memang tak 
mungkin bagi kita orang-orang pikun terus-menerus 
mengadu napas. Tetapi, tentu saja aku tidak ingin mati 
konyol oleh Ajian Brajamusti-mu!” 
Gerak memutar Ki Buyut Senggana semakin 
lama semakin cepat, dan akhirnya membentuk tembok 
hitam yang mengurung Eyang Kuranda Geni. Inilah 
puncak Jurus Siluman Kera Sakti. Selain lawan akan 
berkunang-kunang dalam memandang, juga akan bin-
gung ke arah mana harus mengirimkan serangan. Se- 
waktu lawan kebingungan inilah Ki Buyut Senggana 
akan membokong dari arah belakang dengan Ajian 
Brajamusti-nya. 
Namun, kali ini lawan Ki Buyut Senggana bu-
kanlah seperti lawan-lawan yang pernah dijumpainya. 
Eyang Kuranda Geni adalah tokoh sakti dari golongan 
lurus yang sudah bisa disejajarkan dengan Wiku Jala-
dri, Ki Sempani, ataupun Wasi Ekacakra. Puluhan ta-
hun yang silam namanya sempat menjadi momok bagi 
orang-orang dari golongan hitam. Terlebih lagi, selama 
bersembunyi di Bukit Cangak tak ada kegiatan lain ke-
cuali memperdalam ilmu kanuragan maupun ilmu ke-
saktian. Jurus Tambak Segara yang pernah mengge-
gerkan rimba persilatan itu pun sekarang telah men-
capai tahap kesempurnaan. Jangan  lagi tubuh manu-
sia, sedangkan sebongkah batu pun akan luluh-lantak 
jika membentur tubuh yang telah terlapisi Jurus Tam-
bak Segara ini. 
Merasa pasti bahwa Ki Buyut  Senggana akan 
menyerangnya terlebih dulu, Eyang Kuranda Geni se-
gera menerapkan gabungan Jurus Tambak Segara dan 
Ajian Gajah Meta. Sepasang lengannya terjulur me-
lengkung membentuk sepasang gading gajah yang siap 
melabrak.  
’’Hiyaaat!” teriak Ki Buyut Senggana sambil 
menerjang dari arah belakang lawan dengan Ajian Bra-
jamusti. 
Refleks tubuh Eyang Kuranda Geni berbalik 
dan menyongsong serangan lawan dengan juluran ke-
dua lengannya. Akan tetapi, di luar dugaan kedua 
orang sakti ini, pada saat yang bersamaan Danyang 
Kumbayana menerjang dari arah yang berlawanan 
dengan gurunya. 
Bresss! Crottt!  
Tubuh Ki Buyut Senggana seolah membentur 
gading baja. Tubuh orang sesat dari Rawa Genjer itu 
terlempar beberapa tombak. Dalam pada itu, tubuh 
Eyang Kuranda Geni terdorong mundur beberapa 
langkah dengan darah menyembur dari dadanya. Se-
buah tombak menembus dada itu dari arah punggung. 
Itulah tombak yang terjulur dari tangan Danyang 
Kumbayana. 
’’Guruuu!” teriak Danyang Kumbayana seraya 
mendekati tubuh gurunya yang terbujur di tanah. 
Semula Ki Buyut Senggana mencoba bangkit, 
tetap tulang-tulang di tubuhnya tak kuasa menyangga 
berat badannya. Sekujur tulang di tubuh orang tua itu 
seakan lebur oleh gabungan Jurus Tambak Segara dan 
Ajian Gajah Meta. 
”Guru! Guru! Guru!” Danyang Kumbayana me-
meluk tubuh gurunya dengan kecemasan membeludak 
di dada. 
”Aku belum mati, Kumbayana,” bisik Ki Buyut 
Senggana. 
”Oh, syukurlah. Kita telah memenangkan perta-
rungan ini, Guru....” 
”Ya, karena kau telah melanggar perintahku," 
tukas gurunya. ’’Kalau saja bukan karena kau curang, 
orang tua sakti itu tidak akan celaka oleh Ajian Braja-
musti. Ia terlalu kuat Jurus Tambak Segara betul-betul 
tak tertandingi. Dan, Ajian Gajah Meta-lah yang mem-
bantingku sehingga tulang-tulangku serasa hancur.” 
”Guru pasti selamat Saya akan merawat Guru 
sampai Guru sehat kembali. ” 
’’Sudah kau temukan keris luk tujuh itu?” 
’’Seperti yang Guru lihat, saya belum berhasil 
mencapai pintu pondok itu sewaktu ada benda sebesar 
kerikil menghantak betis saya. Untung saya bisa sece- 
patnya menguasai kekejangan kaki saya.” 
”Orang tua itu tidak berdusta, Kumbayana.” 
’’Maksud Guru?” 
’’Memang benar keris itu tidak berada di sekitar 
sini. Kalau memang keris itu ada, pastilah aku bisa 
merasakan getarannya.” 
’’Kenapa Guru nekad menyerangnya?” 
’’Karena aku ingin menebus kekalahanku bebe-
rapa tahun yang lalu. Ah, orang tua sepertiku ternyata 
sulit juga melupakan dendam. ” 
’’Kalau begitu, sebaiknya kita segera mening-
galkan bukit bangkai ini, Guru,” sahut Danyang Kum-
bayana seraya memanggul tubuh gurunya dan me-
nyambar tombak yang mencuat di dada Eyang Kuran-
da Geni. 
 
*** 
 
 
Padepokan Karang Bolong semakin jauh di be-
lakang Joko Sungsang. Lebih dari sepuluh hari ia be-
rada di padepokan itu. Kesempatan berdekatan dengan 
Ki Sempani maupun Sekar Arum ini tak disia-siakan 
oleh Joko Sungsang. Kepada Ki Sempani, ia bisa lebih 
banyak meminta gemblengan lahir dan batin. Adapun 
terhadap Sekar Arum, ia mendapatkan kesempatan 
untuk meluruskan persoalan yang selama ini melahir-
kan jarak bagi mereka berdua. 
Tak ada yang perlu dipikirkan Joko Sungsang 
tentang bagaimana hasil pertemuannya kembali den-
gan Ki Sempani. Anak muda yang bergelar Pendekar 
Perisai Naga ini hanya bisa mengucap syukur atas apa  
yang didapatkannya dari orang sakti di Padepokan Ka-
rang Bolong itu. 
Akan tetapi, berdekatan dengan Sekar Arum se-
lama beberapa hari ternyata membuat Joko Sungsang 
semakin tidak bisa memahami perangai gadis itu. 
Cemburukah gadis itu? Akhirnya Joko Sungsang toh 
tidak berani memastikan, la merasa bahwa dirinya tak 
pantas dicintai gadis secantik Sekar Arum. la merasa 
tak pantas dicemburui! 
Joko Sungsang menghentikan langkahnya. Ia 
memandang hamparan sawah di sebelah kanannya. 
Padi mulai menguning. Tak lama lagi penduduk desa 
akan menyambut musim panen. Mereka akan bersuka 
cita. Boleh jadi mereka akan mengundang kelompok 
tayub untuk pesta mereka. 
”Ah, tetapi sekarang hampir tidak ada lagi sua-
sana desa bersuka cita dalam menyambut musim pa-
nen,” bantah batin anak muda itu sendiri. 
Ya, ia memaklumi bahwa kejahatan selalu 
mengintip-intip di balik penderitaan penduduk desa. 
Hukum rimbalah yang wajib menentukan siapa yang 
harus berpesta pora dalam menyambut panen. 
”Bisa jadi, musim panen berarti penderitaan 
baru bagi mereka,” kata Joko Sungsang lagi, dalam ha-
ti. 
Selintas saja anak muda dari Desa Sanareja ini 
memikirkan nasib penduduk desa. Ketika matanya 
menangkap sosok seorang gadis desa melintas di pe-
matang sawah, maka ia pun kembali ingat Sekar 
Arum. Juga Endang Cantikawerdi. Dan, yang baru saja 
dikenalnya, gadis dari Bukit Cangak yang bernama 
Gagar Mayang. Ya, ketiga gadis inilah yang akhir-akhir 
ini sering melintas di benaknya. Benar-benar ia tak 
pernah mengira bahwa perkenalannya dengan ketiga  
gadis itu menimbulkan beban pikiran baginya. 
Sekar Arum, barangkali memang masih menja-
di tanggung jawabnya. Sebagai saudara seperguruan di 
Padepokan Karang Bolong, Joko Sungsang merasa 
bahwa ia harus ikut menanggung hitam-putihnya ga-
dis itu. Sifat keras kepala gadis itu sudah sering me-
musingkan kepala Joko Sungsang. 
Bagaimana dengan Endang Cantikawerdi? Ga-
dis itu pun menimbulkan masalah tersendiri, pikir Jo-
ko Sungsang sembari melompat ke pematang sawah. 
Kalau saja aku bisa membalas cinta gadis itu, sudah 
barang pasti tidak ada masalah. 
Joko Sungsang kembali menghentikan langkah. 
Telinganya yang tajam menangkap suara jerit seseo-
rang. Jerit seorang wanita! Gadis yang baru saja le-
watkah yang menjerit? 
’’Jahanam kotor!” rutuk Joko Sungsang begitu 
melihat apa yang terjadi di pinggiran desa itu. Seperti 
melayang, tubuh Pendekar Perisai Naga ini melesat ke 
pinggiran desa. Gusar bukan kepalang hati anak muda 
ini melihat dua orang lelaki kasar tengah berusaha 
menelanjangi seorang gadis desa. 
”Ha-ha-ha! Walaupun kulitmu hitam, tetapi 
bersih dan menggairahkan, Cah Denok!” kata lelaki 
yang meringkus kedua tangan gadis itu. 
”Ya. Dan....” Lelaki yang satunya lagi mele-
letkan lidah sambil memandangi bukit kembar di dada 
gadis itu. 
’’Lepaskan gadis itu, babi dungu!” hardik Joko 
Sungsang yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang 
mereka. 
”Apa?” Lelaki yang meringkus tangan gadis itu 
menoleh. ”Ho-ho-ho! Rupanya kau kepingin juga me-
nikmati kembang Desa Kedung Waduk ini, celeng?”  
’’Lepaskan sebelum aku harus memaksa kalian 
melepaskannya! ” 
Kedua lelaki itu tertawa bersama. Bahunya ter-
guncang-guncang. Bahkan salah seorang dari mereka 
terbatuk-batuk saking kerasnya tertawa. 
Ctarrr! 
Sebuah ledakan cambuk menghentikan tawa 
mereka berdua. Lebih dari itu, mata mereka berdua 
terbeliak sebab menyadari ikat kepala yang mereka 
pakai berhamburan di udara dalam ujud serpihan. 
”Tikus keparat!” geram lelaki yang memegangi 
kedua lengan gadis itu sambil mendorong minggir tu-
buh gadis itu. Bersamaan dengan itu, lelaki yang sa-
tunya lagi sudah menghunus pedang dan langsung 
menusukkan ke leher Joko Sungsang. 
Srettt! Wuttt! Cpakkk! 
Pedang itu pun melayang  di udara dan jatuh 
menancap di tengah sawah. 
”Kau memang pandai memainkan cambukmu, 
bangsat! Tetapi, jangan kau kira aku tidak bisa mema-
tahkan batang lehermu!” hardik lelaki yang kehilangan 
pedang. Kini kedua tangannya membentuk cakar dan 
terayun ke kepala Joko Sungsang. 
Begitu cepat ayunan tangan lelaki berangasan 
itu. Tetapi, kali ini yang menghadapi serangan itu Joko 
Sungsang alias Pendekar Perisai Naga. Kecepatan ayu-
nan tangan itu belum bisa dibandingkan dengan kece-
patan belitan Cambuk Perisai Naga. Jangan dikata 
hanya kecepatan gerak tangan, sedangkan kecepatan 
lemparan pisau belati pun akan terburu oleh kilatan 
Cambuk Perisai Naga. 
Srettt! 
Kini giliran Joko Sungsang tertawa-tawa meli-
hat ulah lelaki berangasan itu mencoba melepaskan  
belitan cambuk pada kedua pergelangan tangannya. 
’’Keparat!” Teriak temannya sambil menerjang 
dengan sabetan golok. 
Wuttt! Dukkk! 
Joko Sungsang melenting sambil menghunjam-
kan tumitnya ke pundak lelaki bergolok itu. Lelaki itu 
terhuyung-huyung dengan leher kejang dan mata 
mendelik. 
Melihat temannya tak lagi berdaya, lelaki yang 
tangannya terbelit cambuk itu mulai berpikir. Kini ia 
tidak lagi berusaha berontak. Ia menuruti saja tarikan 
cambuk Joko Sungsang. Semakin lama lelaki itu me-
mandang cambuk yang melilit pergelangan tangannya, 
semakin paham pula ia dengan siapa sedang berhada-
pan. 
’’Pendekar Perisai Naga...?” ujar lelaki itu dalam 
hati. 
”Nah, agaknya kau sudah menyerah. Dan, pan-
tang bagiku menyerang lawan yang sudah tidak ber-
daya,” kata Joko Sungsang seraya melepaskan cam-
buknya dari pergelangan tangan lelaki itu. 
Lelaki itu secepatnya bersujud di depan kaki 
Joko Sungsang sambil berucap, ’’Maafkan kami, Tuan 
Pendekar. Kami memang orang-orang bodoh yang tidak 
tahu diri dengan siapa kami berhadapan. Maafkan 
kami....” 
’’Sudahlah. Berdirilah. Aku bukan orang yang 
pantas kau sembah.” 
’’Terima kasih, Tuan. Tapi, benarkah Tuan yang 
bernama Pendekar Perisai Naga?” Takut-takut lelaki 
yang kini berwajah pias itu bertanya. 
’’Kenapa kau mengira begitu?” balik Joko Sung-
sang bertanya. 
”Anu, Tuan.... Emmm, cambuk Tuan itu bu- 
kankah terbuat dari kulit naga? Eh, maksud saya... 
kulit ular sanca?” 
Joko Sungsang tidak mendengarkan ucapan le-
laki itu. la tengah menoleh ke arah teman lelaki itu 
yang tertotok jalan darah di bahunya. Lalu, dengan sa-
tu rabaan, lelaki itu pun terbebas dari penderitaannya. 
Seperti halnya yang dilakukan temannya, lelaki 
itu pun cepat-cepat bersujud di depan kaki Joko Sung-
sang. 
’’Saya bersedia menerima hukuman apa saja 
asalkan Tuan tidak membunuh saya,” ucap lelaki itu 
dengan suara tersendat isak. 
"Hmmm, tidakkah kau ingat bagaimana tadi 
kau tertawa-tawa mempermainkan gadis itu?” Joko 
Sungsang menuding gadis desa yang masih duduk me-
ringkuk di dekat pagar. 
’’Sungguh, Tuan. Saya baru sekali ini berbuat 
kurang ajar terhadap perempuan. Sumpah, Tuan....” 
’’Bohong!” teriak gadis itu tiba-tiba. Melihat pe-
nolongnya berhasil menaklukkan dua orang lelaki ka-
sar itu, serta-merta muncul keberanian gadis itu un-
tuk angkat suara. Kalaupun ia harus tetap duduk me-
ringkus, sebab ia harus menutupi kedua bukit da-
danya yang tak lagi tertutupi. Kain tua yang tadi mem-
bungkus bukit dada itu tercabik-cabik oleh tangan-
tangan kasar kedua lelaki berangasan itu. 
’’Kenapa kau tidak pulang saja?” tanya Joko 
Sungsang kepada gadis itu. 
’’Saya... saya....” Gadis itu kebingungan harus 
berkata apa. la memandang bahu kanan-kirinya ber-
gantian.     
’’Berikan bajumu kepadanya,” perintah Joko 
Sungsang kepada lelaki yang baru saja berdiri. 
Ragu-ragu lelaki itu mencopot baju yang dike- 
nakannya. Berat hati sebab baju itu baru saja dida-
patnya dari orang kaya yang dibelanya. Tetapi, begitu 
melihat Joko Sungsang memegang bola berduri di 
ujung cambuknya, lelaki itu bergegas mencopot ba-
junya. 
’’Pakailah!” ujar lelaki itu sambil melemparkan 
bajunya ke arah gadis desa itu. 
’’Ambil baju itu, dan berikan dengan sopan. Hei, 
kalian berdua juga harus minta maaf kepadanya. Men-
gerti?” tegur Joko Sungsang. 
’’Mengerti, Tuan,” jawab mereka berdua bersa-
maan. Merunduk-runduk mereka melintas di hadapan 
Pendekar Perisai Naga. 
Joko Sungsang tertawa dalam hati melihat ga-
dis itu memberengut ketika menerima baju dari lelaki 
yang hampir saja mencelakakannya itu. 
’’Kami minta maaf. Kami bersumpah di hada-
pan Tuan Pendekar Perisai Naga, kami tidak akan ber-
buat cabul lagi kepada gadis-gadis desa ini....” 
’’Hanya gadis-gadis di desa ini?” tukas Joko 
Sungsang. 
”Eh, maksud kami... semua perempuan di bumi 
ini, Tuan,” sahut lelaki yang tadi terbelit cambuk per-
gelangan tangannya. 
’Pergilah.” 
’Terima kasih, Tuan....” 
”Hei, bukan kalian yang aku suruh pergi! Gadis 
itu yang aku suruh pergi!” sergah Joko Sungsang. 
’’Dasar otak kerbau!” omel gadis itu sebelum 
beringsut pergi. 
Kedua lelaki itu duduk bersila di depan Joko 
Sungsang. Mata mereka menghunjam ke tanah. Ingin 
sebenarnya mereka melihat lebih jelas wajah pendekar 
yang kesohor ini, tetapi mereka takut jika nanti beradu  
pandang. 
’’Kulihat desa ini seperti milik kalian berdua. 
Sedari tadi belum nampak seorang pun penduduk desa 
lewat di sini selain gadis itu. Kenapa?” tanya Joko 
Sungsang sambil mengedarkan pandang matanya ke 
kejauhan. 
Kedua lelaki itu bersipandang. Lalu, salah seo-
rang dari mereka mengangkat wajahnya dan berkata, 
”Tuan Pendekar....” 
’’Jangan panggil aku ’Tuan Pendekar’!” tukas 
Joko Sungsang. ’’Namaku Joko Sungsang, tanpa ’tuan-
tuan-an’.” 
”Ya, ya, ya... tapi, emmm, ya, ya....” Lelaki itu 
menggamit temannya. 
’’Begini, Tu.... Eh, maksud kami, desa ini me-
mang dalam pengawasan kami. Penduduk desa tidak 
akan berani keluar dari rumah tanpa izin dari kami 
berdua....” 
’’Siapa yang menyuruh kalian berbuat begitu? 
Dan, kenapa penduduk desa harus bersembunyi di  
rumah?” tukas Joko Sungsang. 
’’Kami hanya melaksanakan tugas dari Ki Lurah 
Bajang. ” 
’’Bajang? Bajang Kerek maksudmu?” Alis Joko 
Sungsang terangkat. 
”Betul, Tuan.... Eh, ya, Ki Lurah Bajang Kerek.” 
Joko Sungsang menghela napas. Anak muda ini 
masih ingat siapa Bajang Kerek yang ditakuti kedua le-
laki di depannya itu. 
”Hmmm, Bajang Kerek. Menyesal aku tidak 
membunuhnya waktu itu,” kata Joko Sungsang dalam 
dada. 
’’Memang kami pernah mendengar cerita ten-
tang... dari Ki Lurah Bajang Kerek,” kata lelaki yang  
bergolok. 
’’Cerita tentang apa?” 
’’Tentang....” Lelaki itu menunjuk Joko Sung-
sang dengan ibu jarinya. 
”Ya, aku tahu siapa lurahmu itu. Tetapi, ber-
janjilah bahwa kalian tidak akan melapor kepadanya 
tentang pertemuan kita sekarang ini. Mengerti?” 
’’Mengerti.” Keduanya mengangguk dalam-
dalam. 
’’Sekarang, pergilah ke rumah lurah kalian. In-
gat, suatu ketika nanti aku akan cari kalian di rumah 
lurah kalian. Mengerti?” 
Kembali keduanya mengangguk. Dan, lama ke-
dua lelaki  itu menunduk sambil menunggu pesan-
pesan berikutnya dari Pendekar Perisai Naga. Akan te-
tapi, tak lagi terdengar suara pendekar kesohor itu Se-
waktu mereka berdua memberanikan diri mendongak, 
tempat itu sudah kosong. 
”Kau lihat ke mana dia pergi?” 
”Kau tahu sendiri, aku juga menundukkan ke-
pala.” 
”Wah, betul-betul pendekar itu punya ilmu de-
mit! Kalau tidak, mana mungkin bisa menghilang begi-
tu saja?” 
Di atas mereka, di sebuah dahan pohon trem-
besi, Joko Sungsang tersenyum geli mendengarkan 
pembicaraan kedua lelaki itu. 
 
*** 
 
Kalau saja tak ada tugas penting dari Ki Sem-
pani, ingin sebenarnya Joko Sungsang mendatangi Ki 
Lurah Bajang Kerek secepatnya. Ingin ia melihat ba-
gaimana wajah Bajang Kerek sewaktu bertatap mata  
dengannya. Masihkah anak buah Klabang Seketi itu 
teringat kejadian beberapa tahun yang lalu di Desa Ka-
rangreja? (Baca juga: "Penguasa Gua Barong”). 
Namun, bagi Joko Sungsang, menjumpai orang 
macam Bajang Kerek hanyalah tugas sampingan. Kini 
ia harus menjalankan tugas utamanya setelah keluar 
dari Padepokan Karang Bolong. 
”Mudah-mudahan Gagar Mayang selamat sam-
pai Bukit Cangak. Tetapi, tidak berarti kita menyepele-
kan ilmu silat gadis itu, ada baiknya Anakmas menyu-
sul gadis itu ke Bukit Cangak. Kita tahu bahwa Ki 
Sumping Sedapur mulai dibicarakan lagi di kalangan 
orang-orang dari golongan sesat,” kata Ki Sempani ma-
lam tadi, sebelum mempersilakan Joko Sungsang be-
ristirahat. 
”Ilmu  silat gadis itu begitu mengagumkan, 
Kiai,” kata Joko Sungsang. 
”Ya. Tetapi, Anakmas jangan lupa bahwa ma-
nusia dikodratkan mudah menjadi pongah. Pengala-
man pun ikut menentukan sifat manusia, Anakmas. 
Maksudku, pengalaman malang-melintang di rimba 
persilatan belum dimiliki oleh Gagar Mayang. Anakmas 
bisa mengerti?” 
’’Saya mengerti, Kiai.” 
”Nah, kalau begitu tidak salah jika aku memin-
ta Anakmas membayangi Gagar Mayang pulang ke Bu-
kit Cangak. ” 
’’Apakah Kiai izinkan juga saya menemui Eyang 
Kuranda Geni, guru Gagar Mayang?” 
’’Kenapa mesti minta pertimbangan? Sudah 
pasti semuanya terserah Anakmas. Apakah Kakang 
Wiku juga melarang Anakmas menemui saya di sini 
waktu itu?” Ki Sempani tertawa terkekeh-kekeh. 
Di sinilah letak perbedaan Ki Sempani dengan  
Guru, pikir Joko Sungsang. Ki Sempani murah tawa, 
sedangkan Guru hampir tak pernah tertawa seumur 
hidupnya. 
 
*** 
 
 
Gagar Mayang menjerit dan menubruk tubuh 
Eyang Kuranda Geni yang telah kaku. Gadis itu meng-
goyang-goyang tubuh kaku itu, seolah tidak percaya 
bahwa bau busuk yang diciumnya datang dari tubuh 
gurunya, yang juga kakeknya. 
’’Eyang, siapa yang melakukan semua ini, 
Eyang? Siapa? Katakanlah, Eyang, biar aku yang 
menghukumnya. Katakan, katakan! Eyang jangan 
hanya diam saja,” rintih Gagar Mayang sambil menci-
umi telapak tangan kakeknya. 
Sewaktu kemudian disadarinya bahwa kakek-
nya sudah menjadi mayat, gadis itu pun menjerit seja-
di-jadinya. Jerit berkepanjangan yang membuat seekor 
burung hantu terbang dari tempatnya berpijak. Lama 
Gagar Mayang tengkurap di atas tubuh kakeknya yang 
kaku dan berbau busuk. Lama gadis itu tak bisa ber-
pikir apa yang harus diperbuatnya di dunia ini tanpa 
Kakek di sampingnya. Sejak kecil ia bersandar pada 
kekuatan kakeknya. Bahkan ia tidak tahu siapa orang 
tuanya. la hanya tahu bahwa kakeknyalah yang meng-
hidupinya hingga ia menjadi gadis yang matang. 
’’Eyang, Guru, bagaimana aku harus hidup 
tanpa Eyang? Tanpa Guru?” rintih gadis itu lagi. 
Namun begitu, betapapun kesedihan menguras 
air mata Gagar Mayang, betapapun ia merasa du- 
nianya kiamat, tetap saja Gagar Mayang adalah gadis 
Padepokan Bukit Cangak yang tegar. Seperti terban-
gun dari mimpi buruk, gadis itu melenting bangkit ke-
tika seekor kelelawar melintas di atas kepalanya. Maka 
pecahlah kepala binatang malam itu terpatuk seruling 
bambu wulung yang tiba-tiba saja sudah tergenggam 
di tangan kanan gadis itu. 
’’Binatang celaka, kau telah menggugah aku da-
ri ketololan!” sesal gadis itu sambil membuang bangkai 
kelelawar itu jauh-jauh. ”Ya, siapa pun yang berbuat 
biadab ini, akulah musuhmu!” 
Segera Gagar Mayang mengubur jenazah Eyang 
Kuranda Geni di dalam pondok beratapkan daun ko-
lang-kaling itu. Setelah cukup lama menekuri kuburan 
tak bernisan itu, Gagar Mayang mengatur jalan perna-
pasan untuk mengusir kesedihan yang membuntu 
otaknya. 
Akan tetapi, setelah selesai bersemadi, gadis itu 
tetap belum bisa menemukan, bahkan mencurigai, 
siapa yang harus menerima dendam murid Padepokan 
Bukit Cangak itu. 
”Ah, tetapi aku masih punya mata, hidung, dan 
telinga,” kata gadis itu. ”Tak ada seorang pun manusia 
di kolong langit ini yang bisa menyembunyikan bau 
busuk. Tak ada orang jahat yang bisa menyembunyi-
kan kejahatannya. Betapapun keparat itu bersembunyi 
di liang semut, aku akan bisa menjumpainya!” 
Ki Sumping Sedapur yang tadi sudah siap di-
pamerkan di depan kakeknya, kembali diselipkannya 
di pinggang. Ia menyadari bahwa hanya keris itulah 
yang bisa membantunya mencari pembunuh kakek-
nya. Apa lagi tujuan pembunuh itu kalau bukan men-
cari Ki Sumping Sedapur, pikir Gagar Mayang sambil 
melangkah meninggalkan Padepokan Bukit Cangak. 
 
Sengaja Gagar Mayang merambahi desa ke desa 
agar secepatnya mendapatkan petunjuk tentang siapa 
pembunuh Eyang Kuranda Geni.  Kabar buruk bi-
asanya akan lebih cepat tersebar. Lalu, gadis itu diam-
diam menyesali kecongkakannya beberapa hari yang 
lalu d Padepokan Karang Bolong. Betapa tidak cong-
kak! Kalau saja ia tidak menolak ditemani Pendekar 
Perisai Naga pulang ke Bukit Cangak,  tentulah pem-
bunuh keparat itu akan segera dikenalinya. 
’’Sudah pasti Pendekar Perisai Naga akan men-
genali jejak pembunuh jahanam itu,” kata hati Gagar 
Mayang. 
Fajar hampir merekah di ufuk timur. Bukit 
Cangak tinggal menyerupai segunduk tanah berwarna 
hitam. Sekali lagi Gagar Mayang memandangi bukit itu 
dari kejauhan. Ia merasa pasti bahwa ia harus sering 
mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Eyang Ku-
randa Geni itu. 
Werrr! 
Gagar Mayang membuang tubuhnya ke tanah 
sambil memutar seruling bambu wulungnya.  Hampir 
saja sebatang anak panah menembus lehernya. 
"Jahanam! Keluarlah dari persembunyianmu 
sebelum aku memaksamu menampakkan diri!” teriak 
gadis itu lantang. 
"Ha-ha-ha! Ternyata aku salah sangka! Aku ki-
ra aku tengah memanah seekor kijang, tetapi nyatanya 
burung walet yang aku temui!” sahut seorang lelaki 
sambil melompat keluar dari balik pohon. 
Lelaki itu bertubuh raksasa. Rambutnya yang 
panjang dibiarkan terburai-burai. Sebuah gendewa 
tergenggam di tangan kirinya sementara tangan ka-
nannya sibuk mengusap-usap kumisnya. 
Namun, kurang jelas bagi pandang mata Gagar  
Mayang bagaimana wajah lelaki itu. la hanya bisa me-
lihat samar-samar di bawah keremangan bulan yang 
tinggal sepotong. 
”Aku tak mengenalmu, tetapi tiba-tiba saja kau 
menghendaki nyawaku! Tetapi, jangan  kau kira  aku 
takut berurusan denganmu!” Gagar Mayang melang-
kah maju menyongsong langkah lelaki asing itu. 
"Lumrah jika kau tidak mengenalku. Dan, itu 
tak perlu buatku. Bagiku, yang pasti aku bisa memba-
laskan dendamku. Bukankah kau ahli waris tunggal 
kakek keparat penghuni Bukit Cangak itu?” 
"Jahanam!  Kau pikir  mulutmu yang kotor itu 
pantas untuk menyebut-nyebut nama guruku?” 
”Ha-ha-ha! Rupanya aku sedang berhadapan 
dengan bidadari bermulut kotor!” 
Singngng! Singngng! Trakkk! 
Dua sabetan seruling beruntun menerjang lela-
ki bergendewa itu. Namun, lelaki itu agaknya sudah 
menebak bakal datangnya serangan. Hanya saja, ia ti-
dak menyangka bahwa cucu Eyang Kuranda Geni ini 
ternyata memiliki kecepatan serangan yang luput dari 
dugaan. Maka lelaki itu terpaksa harus menangkis se-
rangan yang ketiga dengan gendewa panahnya. 
Bergetar hebat seruling di telapak tangan Gagar 
Mayang menerima benturan gendewa itu. Gadis itu 
merasakan telapak tangannya seperti terkelupas. Pa-
nas dan nyeri. Maka disadarinya bahwa lawan yang 
sedang dihadapinya memiliki tenaga dalam yang sem-
purna. 
”Hmmm, kenapa tak kau keluarkan  Jurus 
Tambak Segara-mu, Nini?” ejek lelaki bergendewa itu. 
’’Jurus Tambak Segara bukan untuk melawan 
cecurut seperti kau!” sergah Gagar Mayang. 
Lalu, berputarlah seruling bambu wulung di  
tangan gadis itu, dan terdengarlah suara meraung-
raung. 
’’Bersiaplah untuk menebus kelancangan mu-
lutmu, iblis!” seru Gagar Mayang seraya kembali me-
nerjang. 
Sinar hitam bergulung-gulung mengurung tu-
buh lelaki bergendewa itu. Dan, dari ketujuh lubang 
seruling itu meluncur sinar putih yang menyilaukan 
mata. Inilah Jurus Tujuh Bidadari Pemetik Nyawa! Ju-
rus yang khusus diciptakan oleh Eyang Kuranda Geni 
bagi murid yang sekaligus cucunya. 
”Hup! Hiyaaa!” Lelaki bergendewa itu melenting 
ke udara dan hinggap di sebuah dahan. Namun, Gagar 
Mayang agaknya telah kehabisan kesabarannya. Lagi 
pula, gadis ini semakin mencurigai bahwa lelaki inilah 
manusia yang harus bertanggung jawab atas tewasnya 
Eyang Kuranda Geni. Setidaknya, pastilah dia ini salah 
satu di antara mereka! 
Ketujuh luncuran sinar yang menyilaukan mata 
itu memburu ke udara dan menyantap dahan yang 
semula menjadi tempat bertengger lelaki bergendewa 
itu. 
Kraaak! Bresss! 
Dahan sebesar kaki gajah itu terbelah dan me-
luncur jatuh dengan membawa serta segerobak daun. 
’’Mengerikan!” ujar lelaki bergendewa itu dari 
arah belakang Gagar Mayang. Kini lelaki itu bertengger 
di sulur sebesar ibu jari yang terpentang dari pohon 
satu ke pohon lainnya. 
Gagar Mayang menyadari bahwa usahanya 
memburu lawan dengan Jurus Tujuh Bidadari Pemetik 
Nyawa ternyata akan tetap sia-sia. Perasaan malu, ma-
rah, sakit hati teraduk menjadi satu di rongga dada 
gadis itu. Akan tetapi, ia tetap menyadari bahwa  
menghadapi lawan dengan emosi sama halnya bunuh 
diri. Selain daripada itu, ia pun cepat-cepat mawas di-
ri. Sudah jelas bahwa lelaki itu memang bukan tandin-
gannya. Mustahil lawan akan mampu menghindari Ju-
rus Tujuh Bidadari Pemetik Nyawa jika tidak berilmu 
silat jauh di atas tingkatan ilmu silat yang dimilikinya. 
’’Kisanak,” kata Gagar Mayang kemudian, ”Aku 
belum mengaku kalah. Tetapi, aku merasa percuma 
melawanmu sebab aku merasa tidak pernah berurusan 
denganmu!” 
Lelaki bergendewa itu melayang turun sambil 
tertawa tergelak-gelak. 
”Ya, aku pun belum merasa memenangkan per-
tarungan ini,” katanya seraya menyelempangkan gen-
dewanya di dada. 
’’Sebenarnya, bisa saja aku tidak mempeduli-
kan kedatanganmu. Tetapi, karena aku memerlukan 
petunjuk, apa pun yang terjadi aku harus menghada-
pimu!” 
’’Bagus! Kau tentu mencari petunjuk siapa yang 
telah mengirim gurumu ke neraka, bukan?” 
"Iblis seperti kau inilah yang pantas menjadi 
penghuni neraka!” sahut Gagar Mayang sigap. 
”Kau ini membingungkan, Cah Ayu. Kau bilang 
tak pernah berurusan denganku, tetapi kau ingin 
menghadapiku. Atau, kau kira akulah pembunuh gu-
rumu itu?” 
’Tak ada alasan untuk tidak mencurigaimu! 
Sudah jelas bahwa kau tengah memendam dendam 
terhadap guruku!” 
”Ha-ha-ha! Rupanya kau masih belum bisa 
menggunakan otak jernihmu, Nini. Kalau memang aku 
yang menewaskan gurumu, untuk apa lagi aku men-
ginginkan nyawamu? Kau pikir  aku takut jika kelak  
kau membalas dendam? He-he-he! Tak ada yang perlu 
aku takutkan di kolong langit ini. Dan, aku juga tidak 
takut mati asalkan aku mati tanpa membawa den-
dam....” 
’’Bicaramu semakin sulit dimengerti!” tukas Ga-
gar Mayang. 
"Singkatnya begini saja, ” sahut lelaki bergen-
dewa itu. ’’Kalau kau mau mempercayaiku, bukan aku 
yang membunuh gurumu, yang juga kakekmu itu. Ju-
stru aku datang terlambat. Aku datang dan gurumu 
sudah terkapar di depan pondoknya. Tapi, begitu aku 
melihatmu, aku tidak lagi menyesali keterlambatanku. 
Bagiku, sama saja membunuh guru atau muridnya. Itu 
pun masih bisa aku tawar. Mau tahu seperti apa tawa-
ranku?” 
Gagar Mayang tak menanggapi. Diam-diam ia 
telah mempersiapkan diri untuk kembali bertarung. 
Tak ada jalan lain kecuali menghadapi orang asing ini 
sampai pada batas kemampuan. Maka gadis itu mulai 
mengerahkan Jurus Tambak Segara sebagai benteng 
pertahanannya. 
"Kenapa diam?” sambung lelaki bergendewa itu. 
’’Dengarlah. Aku akan membiarkanmu pergi mencari 
pembunuh kakekmu, jika kau dengan suka rela me-
nyerahkan keris luk tujuh di pinggangmu itu. Menger-
ti? Setuju?” 
’’Ucapanmu enak didengar, tetapi ternyata ke-
luar dari hatimu yang serakah!” sergah Gagar Mayang. 
’’Jangan besar kepala! Kalau memang tujuanmu ingin 
memiliki Ki Sumping Sedapur, kau harus melangkahi 
mayatku!” 
”Eh, ladalah! Setan mana yang membuatmu ti-
ba-tiba berubah pikiran, Nini?” 
’’Sejak semula aku tak pernah berubah pikiran!  
Kalaupun aku tadi bersikap lunak terhadapmu, sebab 
aku hanya ingin keterangan siapa kau sebenarnya! Ki-
ni sudah jelas, dan aku siap memusnahkan khaya-
lanmu untuk bisa memiliki Ki Sumping Sedapur!” 
”Hmmm, pantas jika kau masih ada hubungan 
darah dengan Kuranda Geni!” Lelaki itu manggut-
manggut. ’’Baiklah. Aku tak mau banyak  kehilangan 
waktu. Sekarang, sekehendakmulah kalau memang 
kau menolak tawaranku. Hanya saja, perlu kau tahu 
bahwa aku pantang menyerang perempuan terlebih 
dulu!” 
”Dasar iblis pongah!” hardik Gagar Mayang 
sambil mengirimkan tendangan sekaligus totokan se-
ruling ke leher lawan. 
Namun, lagi-lagi serangan gadis itu hanya 
membentur angin. Hampir tak bisa diikuti mata ke 
arah mana lawan berkelit. Dan, tiba-tiba saja Gagar 
Mayang merasakan sambaran angin dari arah pung-
gungnya. 
Wusss! Singngng! 
Dengan satu putaran seruling, terbebaslah ga-
dis itu dari sambaran gendewa lawan. Akan tetapi, 
gendewa itu seolah ular berkepala dua. Susul-
menyusul ujung gendewa memburu ke mana pun Ga-
gar Mayang membuang tubuhnya. 
”Aku ingin tahu bagaimana jika kau kehabisan 
napas, gadis bengal!” ujar lelaki bergendewa itu sambil 
terus menyerang. Kini sodokan-sodokan gendewa itu 
semakin cepat dan membahayakan. 
Trakkk! Trakkk! Trakkk! 
Tiga kali gendewa itu membentur seruling yang 
memagari tubuh Gagar Mayang. Bersyukurlah gadis 
itu sebab ia telah menerapkan Jurus Tambak Segara 
sehingga telapak tangannya tak lagi bergetar dalam  
mengadu tenaga dalam dengan lawan. 
”He-he-he! Rupanya aku salah sangka! Tak bisa 
lagi kau aku ajak bermain-main, Cah Ayu!” Berkata 
begini, lelaki bergendewa itu meloncat mundur dan 
menyilangkan gendewanya di depan dada. Kemudian 
kedua kakinya menggenjot tanah, dan tubuh raksasa 
itu melenting ke udara. 
Gagar Mayang secepatnya memutar seruling 
bambu wulungnya di atas kepala. Lelaki bergendewa 
itu membatalkan serangannya. Sebagai gantinya, ia 
memanfaatkan tali gendewanya untuk membendung 
putaran seruling lawan. 
Srettt! 
Gagar Mayang merasakan serulingnya terbelit 
tali baja. Padahal ia menyadari bahwa tali yang mem-
belit serulingnya tentulah tali yang membentang pada 
gen-dewa itu. Namun, gadis itu tak mau berpikir pan-
jang. Ia secepatnya menjatuhkan diri sambil menghen-
takkan seruling bambu wulungnya. 
Desss! 
Gagar Mayang berhasil menyapu kaki lawan, 
tetapi kaki itu bagaikan tonggak yang terpancang pu-
luhan meter ke tanah. 
”He-he-he! Kalau saja tidak kau terapkan Jurus 
Tambak Segara-mu, sudah pasti kakimu yang indah 
itu akan patah,” ujar lelaki itu. 
Matahari mulai mengintip di ufuk timur. Kini 
Gagar Mayang bisa melihat wajah lawannya. Di luar 
dugaannya jika nyatanya lelaki bergendewa itu berusia 
tak kurang dari enam puluh tahun. Sebagian rambut 
gondrongnya memutih. Bahkan alis matanya yang 
rimbun telah hampir semuanya memutih. Kakek itu 
berpakaian compang-camping. Tetapi, kain yang mem-
bebat pinggulnya nampak indah dan baru. 
 
”Hmmm, habis sudah waktu yang kurencana-
kan,” kata kakek bergendewa itu sebelum kemudian 
merapatkan kedua belah telapak tangannya ke dada. 
”Nah, sekaranglah saatnya aku meringkusmu dan 
membawamu pulang ke padepokan, Cah Ayu. Bersiap-
lah jika kau masih percaya pada keampuhan Jurus 
Tambak Segara-mu. ” 
Tiba-tiba tubuh kakek itu bergetar hebat. Dan, 
dari getaran itu muncul udara yang menyesakkan na-
pas. Gagar Mayang mencoba melawan pengaruh udara 
itu dengan tenaga murninya. Ia merasakan udara sea-
kan berdebu. Tenggorokan kering dan panas. Tersen-
gal-sengal napas gadis itu. Bukit dadanya nampak 
naik-turun. Ia mencoba menerjang kakek berilmu aneh 
itu, tetapi udara yang keluar dari tubuh kakek itu seo-
lah menahannya. 
Dalam keputusasaannya, Gagar Mayang serta-
merta melihat getaran tubuh kakek itu melambat dan 
kemudian berhenti sama sekali. Bersamaan dengan itu 
pula berhentilah tiupan udara yang menyesakkan da-
da. 
"Hmmm, agaknya tua bangka itu masih hidup,” 
keluh kakek bergendewa itu sambil mempertajam pen-
dengarannya. 
Gagar Mayang kebingungan menatap lawannya. 
Kenapa kakek itu tiba-tiba menghentikan ilmu sihir-
nya? Namun, kemudian Gagar Mayang menemukan 
jawabannya. Samar-samar terdengar olehnya suara 
burung emprit gantil. Suara burung itulah yang agak-
nya mengganggu pendengaran kakek bergendewa itu. 
”Aneh, ” kata hati gadis itu. ’’Kenapa ia harus 
takut mendengar suara burung emprit gantil? Atau, 
karena ia terlalu percaya bahwa burung itu lambang 
kematian?” 
”Kau masih beruntung, Cah Ayu. Tetapi, kebe-
runtungan tak selamanya mengikuti langkahmu!” Ber-
kata begini, kakek bergendewa itu lantas menjejak ta-
nah dan kemudian hilang ditelan kerimbunan pepoho-
nan. 
’Tak kusangka kau berhasil membuatnya lari 
tunggang-langgang,” kata seseorang di belakang gadis 
itu. 
Gagar Mayang menoleh sembari menyilangkan 
seruling bambu wulungnya di dada. 
”Oh, kau, Pendekar Perisai....” 
’’Panggil aku Joko Sungsang,” tukas Joko 
Sungsang cepat. 
’’Tidakkah dia lari karena suara burung emprit 
gantil?” tanya Gagar Mayang masih dengan dahi berke-
rut-kerut. 
”Ya. Dan, dia mengira gurumulah yang meniru-
kan suara burung itu.” 
”Aku tidak mengerti maksudmu.” 
”Kau dengar apa katanya sebelum ia pergi?” 
”Ya. Ia bilang, ’Hmmm, agaknya tua bangka itu 
masih hidup’.” 
’’Sekarang kau tahu siapa yang dimaksudkan 
dengan ’tua bangka’ itu, bukan?” 
Gagar Mayang hanya manggut manggut. 
’’Dialah yang bergelar si Pemanah Sakti Bertan-
gan Seribu, seperti yang diceritakan Ki Sempani bebe-
rapa hari yang lalu. Kau ingat?” 
”Ya, ya. Sekarang aku baru ingat. Sewaktu 
menghadapinya, pikiranku memang buntu dan emosi-
ku tak terkendali lagi. Lumrah jika aku lupa.” 
”Dan, aku memaklumi kenapa kau terbakar 
emosi dalam menghadapinya. Padahal itu memang di-
kehendakinya. ”  
’’Maksudmu?” 
”Dia berhasil membuatmu terbakar kemara-
hanmu sendiri. Dalam keadaan seperti itu, kau tidak 
akan mampu mengatur pernafasanmu untuk melawan 
Ajian Lesus Beracun darinya.” 
”Kau terlalu banyak tahu tentang isi rimba per-
silatan. Aneh. Padahal usiamu tak jauh berbeda dari 
usiaku. Pantas jika kau dijuluki....” 
’Tunggu dulu!” tukas Joko Sungsang. ’’Semua 
cerita aku dapatkan bukan dari pengalaman malang-
melintang di rimba persilatan, Gagar Mayang. Sebe-
narnya kau pun bisa berbuat sepertiku. Aku hanya 
mengumpulkan cerita-cerita dari orang-orang tua ma-
cam Ki Sempani.” 
’’Baiklah. Aku berhutang nyawa kepadamu. Te-
rima kasih. ” Gagar Mayang hendak berlalu, tetapi Jo-
ko Sungsang sigap menghadang. 
’’Gagar Mayang, bagiku tak ada utang-piutang 
nyawa. Kakek itu belum tentu berhasil membunuhmu. 
Aku pun tidak akan menakut-nakutinya dengan suara 
burung emprit gantil jika tidak aku lihat kau kurang 
mawas diri. Maksudku, semula aku yakin kau bisa 
menangkal Ajian Lesus Beracun tadi. Tetapi, kemudian 
aku ingat bahwa kau sedang dilanda kesedihan....” 
 ”Jadi, kau sudah tahu nasib buruk yang me-
nimpa guruku?” sahut Gagar Mayang kaget. 
”Aku terlambat menyusulmu. Tetapi, aku sem-
pat melihat bagaimana kau bertemu dengan jasad gu-
rumu untuk terakhir kalinya.” 
"Padahal aku sangat membutuhkan bantuan-
mu mengenali jejak pembunuh keparat itu. Aku per-
caya, Pendekar Perisai Naga akan mengenali siapa 
pembunuh Eyang Guru dari luka di tubuhnya.” 
”Aku bukan Ki Sempani atau orang-orang sakti  
yang setingkat dengannya, Gagar Mayang. Bagaimana 
mungkin aku bisa menunjuk siapa pemilik tombak 
yang menewaskan gurumu? Gurumu tewas karena tu-
sukan tombak dari arah belakang.” 
’’Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah itu ka-
rena kau memang orang sakti?" 
”Aku sempat memeriksa jenazahnya sewaktu 
kau mengambil air untuk membersihkannya.” 
Gadis itu terdiam, la mulai bertanya-tanya, ke-
napa anak muda ini tega melihatnya dari jarak jauh 
sewaktu ia sibuk mengubur jenazah Eyang Kuranda 
Geni? 
’’Apalagi kau sendiri pernah bercerita bahwa 
Jurus Tambak Segara hanya bisa melindungi bagian 
depan tubuh si pemiliknya. Ya, sesuai dengan nama 
jurus itu sendiri. Tambak memang hanya mampu 
membendung bahaya dari arah depan.” 
”Ya. Kalau saja mereka tidak berbuat licik, 
mustahil mereka bisa menewaskan Eyang Guru!” sa-
hut Gagar Mayang geram. 
”Ini berarti peringatan buatmu, Gagar Mayang. 
Kau sedang berhadapan dengan sekelompok orang-
orang licik. ” 
"Jangan lagi hanya sekelompok manusia licik! 
Iblis yang paling licik pun akan aku hadapi!” 
Joko Sungsang menghela napas panjang. la 
merasa tak perlu membantah ucapan gadis itu. Sepe-
nuhnya ia sadari bahwa gadis itu sedang tidak menen-
tu perasaannya. Siapa pun yang menentangnya akan 
menjadi lawannya, pikir Joko Sungsang. 
"Lalu, kau sekarang juga...?” 
’’Ya. Lebih cepat lebih baik! Sebelum kolong 
langit ini dipenuhi manusia-manusia berjiwa iblis, aku 
harus bertindak!” Gagar Mayang menukas dan kemu- 
dian berkelebat pergi. 
’’Keras hati, juga tinggi hati, ” kata Joko Sung-
sang sambil memandangi gadis berpakaian serba jing-
ga yang semakin jauh meninggalkannya. 
 
*** 
 
 
Berbagai perasaan menyesaki dada Gagar 
Mayang. Bukan saja rasa sedih karena kematian kakek 
yang sekaligus gurunya. Bukan juga hanya rasa den-
dam terhadap musuh gurunya. Melainkan juga rasa 
bingung menghadapi ulah Pendekar Perisai Naga. 
Ya, kenapa ia tega menonton dari kejauhan se-
waktu aku menangisi mayat Eyang Guru? Tidakkah ia 
mempunyai perasaan belas kasihan? Atau, karena ia 
memang menganggapku tak perlu dikasihani? Karena 
aku baru saja dikenalnya? Karena aku bukan Endang 
Cantikawerdi ataupun Sekar Arum? 
Itukah sebenarnya Pendekar Perisai Naga yang 
kesohor itu? Hmmm, ternyata ia tak lebih baik dari 
orang sesat yang paling kejam! Apalah bedanya pem-
bunuh Eyang Guru dengan seorang pendekar dari go-
longan lurus yang tega melihat kekejian berlangsung di 
depan matanya! Apalah artinya nama harum yang di 
sandangnya jika nyatanya ia masih membeda-bedakan 
orang yang layak ditolongnya! Dasar pendekar mata 
buaya! 
Lumrah jika Gagar Mayang tidak mengerti ke-
napa Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga tega 
menontonnya menangisi mayat Eyang Kuranda Geni. 
Lumrah jika gadis itu kemudian menilai buruk tingkah  
laku Pendekar Perisai Naga terhadapnya. Sebab, gadis 
itu memang tidak tahu apa yang tengah dipikirkan Jo-
ko Sungsang sewaktu melihat gadis itu tengkurap di 
atas mayat kakeknya. 
Joko Sungsang memang hampir saja meng-
hampiri gadis itu dan membantu merawat mayat 
Eyang Kuranda Geni. Akan tetapi, serta-merta ia ingat 
pesan maupun nasihat dari orang-orang sakti yang 
pernah menggemblengnya. 
Bahkan sebelum Joko Sungsang meninggalkan 
Padepokan Karang Bolong, Ki Sempani sempat berpe-
san, ’’Dekati jika ia jauh, dan jauhi jika ia terlalu dekat 
dengan Anakmas. Itulah yang paling baik Anakmas la-
kukan untuk menolong gadis-gadis seusia Sekar Arum 
maupun Gagar Mayang ini. Di dunia ini, Gagar Mayang 
hanya memiliki Eyang Kuranda Geni. Kini nyawa orang 
tua itu tengah diincar dari segala penjuru. Kalau me-
mang Gusti Allah menghendaki Eyang Kuranda Geni 
tewas di tangan lawan, kita inilah yang wajib mene-
ruskan usahanya membimbing Gagar Mayang, cucu 
tunggal yang dikasihinya. Membimbing tidak berarti 
kita harus menolongnya setiap ia mendapatkan kesuli-
tan. Kesulitan selalu diperlukan manusia untuk meng-
gembleng diri agar matang. Hanya kesulitan yang akan 
mendatangkan kematianlah yang harus kita tepiskan 
darinya.” 
Joko Sungsang manggut-manggut  mengenang-
kan  kembali pesan-pesan dari orang sakti di Padepo-
kan Karang Bolong itu. Maka ia pun kemudian berjanji 
kepada dirinya sendiri untuk semakin berhati-hati da-
lam melindungi Gagar Mayang. Selama ini ia merasa 
gagal membimbing Sekar Arum sebab ia terlalu cepat 
mencemaskan keselamatan gadis itu. Ia terlalu cepat 
memberikan  pertolongan jika gadis itu dalam kesuli- 
tan. 
Seiring dengan pesan Ki Sempani, Joko Sung-
sang terus mengekor langkah Gagar Mayang, tetapi 
dengan pesan kepada dirinya sendiri, ’’Dekati jika ia 
jauh, jauhi jika ia terlalu dekat.” 
Kini tugas mengawasi Sekar Arum telah selesai. 
Kejadian yang hampir saja menewaskan gadis itu 
agaknya berhasil mengilas kekeras hatian gadis itu 
(Baca juga: ’’Penguasa Bukit Cangak”). Akan tetapi, le-
pasnya Sekar Arum dari tanggung jawabnya, tidak be-
rarti Joko Sungsang bisa seenaknya mengembara. Kini 
tugas baru harus dijalaninya. 
”Aku berani memastikan bahwa kakek gadis itu 
tak mungkin lagi pergi menyusul cucunya ke dunia 
ramai. la sengaja bersembunyi di Bukit Cangak sebab 
ia sudah bosan membunuh. Oleh sebab itu, aku ikut 
merasa senang jika Anakmas bersedia melindungi ga-
dis itu dari ancaman orang-orang serakah yang men-
gincar Ki Sumping Sedapur,” kata Ki Sempani setelah 
Gagar Mayang mohon diri dari hadapannya. 
’’Tetapi, sebenarnyalah saya sendiri masih me-
merlukan perlindungan, Kiai,” kata Joko Sungsang se-
jujurnya. 
’’Itikad baiklah yang akan melindungi Anakmas 
dari segala macam mara-bahaya. ” 
’’Apakah berarti Gagar Mayang tidak memiliki 
itikad baik, Kiai?” Joko Sungsang mencoba mencari 
kejelasan. 
’Tentu saja la memiliki itikad baik, Anakmas. la 
beritikad baik ingin menjauhkan Ki Sumping Sedapur 
dari jangkauan orang-orang yang tidak bertanggung 
jawab. Hanya saja, sikap tinggi hati dan kurang berha-
ti-hatilah yang kadang mengundang bencana.” 
Ya, contohnya sikap yang selama ini ditunjuk- 
kan oleh Sekar Arum, pikir Joko Sungsang seraya me-
lenting dan hinggap di sebuah dahan pohon. Lamunan 
anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga ini se-
ketika buyar demi dilihatnya Gagar Mayang menghen-
tikan langkahnya. 
Dari tempatnya bersembunyi, Joko Sungsang 
bisa  melihat bagaimana gadis dari Bukit Cangak itu 
mengedarkan pandang matanya, mencari-cari seseo-
rang yang dicurigai membuntutinya. 
Legalah hati Joko Sungsang setelah melihat 
Gagar Mayang duduk bersandar di bawah pohon dan 
kemudian meniup serulingnya. 
’Pantas  jika ia mendapat julukan Megatruh,” 
kata hati Joko Sungsang sambil menikmati tembang 
Megatruh yang mengalun dari seruling bambu wulung 
itu. 
 
*** 
 
Tak jauh dari Gagar Mayang dan Joko Sung-
sang berada, dua orang lelaki kasar bersamaan meng-
gemeretakkan gigi mereka. Suara seruling itu mem-
buat mereka merasa terganggu. 
”Bisa gagal rencana kita gara-gara gembala ke-
parat itu, Kakang,” kata lelaki yang lebih muda sambil 
meraba hulu pedangnya. 
”Aku tetap akan mencegat di sini. Pergilah se-
bentar, dan bunuh gembala lancang itu!” perintah le-
laki yang lebih tua. 
’’Secepatnya aku kembali ke sini, Kakang!” kata 
lelaki yang lebih muda sambil melompat pergi. 
Seperti memburu kijang, lelaki itu berjalan ke 
arah datangnya suara seruling. Sudah tergambar da-
lam benaknya bagaimana nasib gembala sial itu nanti. 
 
Namun, sewaktu melihat siapa yang sedang meniup 
seruling, lelaki itu terpaku di tempatnya berdiri. Ma-
tanya yang merah membulat dan mulutnya yang lebar 
menganga. 
”Peri apa bidadari?” kata lelaki itu sambil me-
langkah hati-hati mendekati Gagar Mayang. 
’’Berhenti di tempatmu, Kisanak!” bentak Gagar 
Mayang meski tidak menoleh ke arah lelaki itu. 
”He-he-he! Ternyata manusia biasa yang tengah 
aku hadapi,” katanya seraya memelintir kumis. 
”Apa kau merasa anak dewa? Kau bukan ma-
nusia?” sahut Gagar Mayang. 
Lelaki itu meleletkan lidahnya. Jakunnya nam-
pak turun-naik. Otaknya yang cabul mulai mem-
bayangkan bagaimana jika nanti bisa melumpuhkan 
gadis berseruling di depannya itu. Tentulah bukit 
kembar di dada gadis itu masih kenyal. Tentulah gadis 
itu akan tergial gial kegelian ketika bukit kembar itu 
terseruduk kumis. Lalu, bibir yang merekah indah itu 
akan basah dan hangat untuk dilumat. 
’’Siapa namamu, Anak Betari? Kenapa kau be-
rada di tempat yang sepi seperti ini?” Lelaki itu menya-
rungkan pedangnya kembali. Ia merasa tak perlu 
menggunakan pedang untuk bermain cinta dengan ga-
dis cantik ini. 
”Aku yang perlu namamu sebab kau yang men-
datangiku!” sahut Gagar Mayang ketus. 
’’Apakah sekiranya namaku akan menambah 
cintamu kepadaku? Baiklah. Siapa pun  yang pernah 
melihatku akan mengabarkan bahwa mereka pernah 
bertemu dengan Penguasa Hutan Pinus di Kaki Gu-
nung Wilis alias d Tatsaka Rodra. Jelas, Dewiku yang 
cantik?” 
Gagar Mayang mencibir, lalu kembali menem- 
pelkan serulingnya ke bibir. 
”Eh, rupanya namaku malah membuatmu tidak 
suka?” 
’’Biarpun kau mengaku bernama Penguasa Hu-
tan Emas, aku tetap mual melihat wajahmu! Menger-
ti?” sergah gadis itu seraya kembali mengalunkan tem-
bang Megatruh. 
”Ha-ha-ha! Untunglah aku selalu sabar jika 
berhadapan dengan gadis cantik. Kalau tidak, tubuh-
mu yang molek akan aku rajang dengan pedangku ini. 
Tentu saja setelah aku menikmati tubuhmu lebih dulu, 
cah moblong!” 
Berrr! 
Sebatang ranting, kering hampir saja menyam-
bar mata lelaki itu. 
’’Refleksmu sudah bagus. Tetapi, mulutmu be-
lum pantas bicara seperti tadi!” Gagar Mayang melent-
ing bangkit dan berkacak pinggang. 
’’Benar-benar tak tahu diuntung! Hei, anak 
gendruwo! Sekali lagi aku peringatkan dengan siapa 
kau berhadapan! Berpikirlah sebelum kau menyesal 
seumur hidup!” 
’’Sebelum kau datang pun aku selalu berpikir 
bahwa membunuh manusia kotor sepertimu memang 
kewajibanku!” 
Sringngng! 
Pedang tipis dan panjang itu mengkilap tertim-
pa sinar matahari sore. Kemudian pedang itu berkele-
bat cepat ke arah leher Gagar Mayang. Namun, dengan 
mudah gadis itu menghindari serangan lawan. Dengan 
sedikit mendoyongkan kaki kanannya, lewatlah pedang 
lawan sejengkal di atas kepalanya. 
Dukkk! 
Kepalan tangan Gagar Mayang mendarat telak  
di dada lelaki itu. Terhuyung-huyung tubuh lelaki itu 
diiringi lontaran kata-kata kotor. Menyesal ia telah be-
rani gegabah menghadapi gadis cantik berseruling ini. 
Maka lelaki itu memutar pedangnya dan sambil berte-
riak nyaring, ia menerjang maju. 
Tringngng! 
Pedang tipis itu bertemu dengan seruling bam-
bu wulung di tangan Gagar Mayang. Sebenarnya bisa 
saja gadis itu berkelit menghindar. Dan, Itu lebih mu-
dah dilakukannya. Akan tetap, tiba-tiba saja muncul 
keinginan gadis itu untuk membuat lawannya lebih 
berpikir lagi. 
Seruling setan, pikir lelaki itu sambil melang-
kah mundur. Terheran-heran ia memandangi seruling 
bambu wulung di tangan gadis itu. Tidakkah ia salah 
merasakan bahwa seruling itu tak lebih lunak dari ba-
ja putih? 
”Nah, bersiaplah. Kini giliranku menyerang, 
bukan?” kata Gagar Mayang mengejek. 
Dalam pada itu, dari ketinggian pohon yang 
menjadi pijakan kakinya, Joko Sungsang tak begitu 
mempedulikan pertarungan yang tengah terjadi di ba-
wah. Ia merasa pasti bahwa Gagar Mayang akan den-
gan mudah bisa mengatasi pencuri kayu itu. Akan te-
tapi, begitu dilihatnya seseorang mendatangi  tempat 
pertarungan itu, Joko Sungsang mengurai cambuk di 
pinggangnya. Bukan berarti ia mencemaskan nasib 
Gagar Mayang jika sampai dikeroyok kedua lelaki itu, 
melainkan karena Joko Sungsang mengenali lelaki 
yang hampir saja melintas di bawahnya. 
Srettt! Berrr! 
Tubuh lelaki yang baru datang ini terbelit Cam-
buk Perisai Naga dan terbawa terbang ke dahan tempat 
Joko Sungsang berpijak.  
”Kau boleh meronta kalau kau ingin kakimu 
patah, Bajang Kerek!” bisik Joko Sungsang. 
”Kau... kau...?” 
”Ya. Kita pernah bertemu di Desa Karangreja. 
Lumayan juga ingatanmu, Bajang Kerek.” 
’Tapi... tapi....” 
’’Sebaiknya kita menjauh dari sini,” tukas Joko 
Sungsang sebelum melompat ke pohon lain sambil te-
tap menarik tubuh Bajang Kerek dengan juntaian 
cambuknya. ”Nah, di sini kita lebih aman berbicara.” 
Pucat pasi wajah Bajang Kerek sewaktu Joko 
Sungsang mengencangkan belitan cambuknya. Kulit 
ular itu serasa menyengat-nyengat kulit di pinggang-
nya. Karena itu, ia yakin bisa ular sanca itu masih 
menempel pada kulit ular yang kini telah berubah 
menjadi cambuk itu. 
”Kau masih ingat kapan kita bertemu terakhir 
kali-nya, Bajang Kerek?” tanya Joko Sungsang sambil 
tersenyum. Namun, senyuman itu bagi Bajang Kerek 
tak ubahnya senyuman Dewa Pencabut Nyawa. la ma-
sih Ingat bagaimana anak muda ini dengan mudah bi-
sa mengalahkan Klabang Seketi (Baca juga: ”Penguasa 
Gua Barong”) di Desa Karangreja. 
”Kau masih bisa mendengar suaraku, bukan?” 
lanjut Joko Sungsang. 
”Ya, ya, ya.... Saya... saya bertemu Tuan di De-
sa Karangreja... sewaktu Tuan bertarung melawan... 
melawan Ki Lurah Klabang Seketi....” 
’’Bagus!” 
’Tetapi... saya... saya waktu itu tidak ikut cam-
pur....” 
’’Memang Tetapi, apa bedanya kau dengan lu-
rahmu itu? Kalian sama-sama bikin susah orang le-
mah. Dan, sampai sekarang pun kau masih betah  
menjadi orang sesat. Jangan mungkir! Baru saja aku 
menemukan dua orang anak buahmu sedang menelan-
jangi gadis Desa Kedung Waduk!” 
’Tapi... tapi... saya sudah memperingatkan me-
reka agar... agar tidak berurusan dengan Tuan....” 
’’Selama kalian menjadi orang sesat, maka ka-
lian akan selamanya berurusan denganku! Mengerti?” 
Kini mata Joko Sungsang menyala. 
’’Mengerti, Tuan. Dan... dan mulai detik ini saya 
berjanji tidak akan berbuat....” 
”Aku tidak menyuruhmu berjanji. Kau memang 
harus mati di tanganku, atau di tangan gadis yang se-
karang sedang menghajar temanmu itu. Hanya saja, 
nasib baik mungkin masih mengikutimu. Ini tentu saja 
untung-untungan, Bajang Kerek.” 
’’Saya bersedia melakukan apa saja untuk 
Tuan....” 
’’Bukan itu maksudku. Nasib baik yang aku 
maksudkan adalah jika kau bisa menjawab perta-
nyaanku. Paham?” 
’’Paham, paham, Tuan.” 
”Nah, sekarang katakan apa kerjamu di hutan 
sini?” 
’’Saya sedang mencegat seorang... 
"Seorang....” ’’Seorang apa? Siapa?” sergah Joko 
Sungsang. 
 ’’Seorang gadis dari... dari Padepokan Bukit 
Cangak...” 
”Nah, rupanya kau masih bernasib baik. Tapi, 
tunggu dulu! Jangan dulu kau terhibur. Lalu, kenapa, 
untuk apa kau mencegat gadis itu? Jangan coba-coba 
kau berdusta. Kulit ular ini bisa membedakan uca-
panmu yang benar yang bohong. Mengerti?” 
’’Mengerti, Tuan. Saya ditugaskan menjaga hu- 
tan ini, dan kalau bisa menghalang-halangi gadis itu 
supaya tidak sampai ke Rawa Genjer, Tuan.” 
’’Kenapa? Apa orang yang menugasimu itu ta-
kut jika gadis itu memetik daun genjer di rawanya?” 
gurau Joko Sungsang. 
’’Tentu saja bukan karena itu, Tuan.” Semakin 
lancar Bajang Kerek menjawab. 
’’Jadi? Karena apa? Dan, siapa orang yang me-
nugasimu itu?” 
’’Kabar telah menyebar ke mana-mana bahwa 
guru gadis itu tewas beberapa malam yang lalu, Tuan. 
Ki Danyang Kumbayana dan gurunyalah yang mene-
waskan orang sakti dari Bukit Cangak itu, Tuan.”  
”Oh, rupanya orang-orang sesat itu takut jika 
gadis itu menuntut balas ke Rawa Genjer?” Berseri-seri 
wajah Joko Sungsang mendengar penuturan terakhir 
Bajang Kerek ini. ’’Cukup. Dan, kau ternyata memang 
bernasib baik. Tetapi, nasib baikmu tidak lama mengi-
kuti langkahmu selama kau tidak punya keinginan un-
tuk menjadi orang baik-baik. Akulah yang akan men-
cincangmu jika aku masih melihatmu bergabung den-
gan orang-orang sesat. Ingat itu!” 
 
*** 
 
Kini tak perlu lagi Joko Sungsang bersembunyi-
sembunyi dalam mengawal langkah Gagar Mayang, la 
harus menampakkan diri dan mengabarkan kepada 
gadis itu tentang siapa yang harus menebus kematian 
Eyang Kuranda Geni. Namun, sebelum menjumpai Ga-
gar Mayang untuk menyampaikan kabar yang baru sa-
ja didapatkannya dari Bajang Kerek, Joko Sungsang 
perlu menaksir-naksir kekuatan orang-orang sesat dari 
Rawa Genjer. Sampai detik ini ia baru mendengar ceri- 
ta bahwa di Rawa Genjer inilah bercokol orang sesat 
yang bernama ki Buyut Senggana yang terkenal den-
gan Ajian Brajamusti-nya. 
”Ki Buyut Senggana tergolong orang sesat yang 
mengandalkan tangan kosong sebab ia memiliki Ajian 
Brajamusti pada telapak tangan kanannya,” tutur Wi-
ku Jaladri beberapa tahun yang lalu. ’’Dalam cerita 
pewayangan,  ajian ini hanya dimiliki oleh Raden Ga-
tutkaca. Entahlah kenapa Ki Buyut Senggana mena-
makan ajian yang dimilikinya sama dengan ajian yang 
dimiliki Raden Gatutkaca. Barangkali saja karena ia 
mengagumi tokoh Raden Gatutkaca ini.” 
Tak lupa Wiku Jaladri juga menceritakan pe-
rihal Jurus Siluman Kera Sakti yang dimiliki Ki Buyut 
Senggana. Jurus ini diciptakan oleh Ki Buyut Sengga-
na sewaktu ia terdampar di suatu pulau terpencil dan 
hanya berteman puluhan ekor kera. Dari mempelajari 
gerak-gerik kera jika sedang berkelahi inilah kemudian 
tercipta Jurus Siluman Kera Sakti. 
’’Adapun nama ’Senggana’ itu sendiri juga be-
rarti ’kera’. Sebenarnya ia bernama Badra Kiswara. 
Semenjak ia berhasil menciptakan Jurus Siluman Kera 
Sakti, ia lalu menjuluki dirinya Ki Buyut Senggana,” 
kata Wiku Jaladri menambahkan. 
Hampir semua nama orang-orang sakti di rimba 
persilatan, baik yang tergabung dalam golongan orang-
orang sesat maupun orang-orang lurus, pernah diden-
gar oleh Joko Sungsang lewat penuturan kedua guru-
nya. Kalaupun ada yang lupa  diceritakan oleh Wiku 
Jaladri maka Ki Sempani yang akan melengkapi. 
Untuk sejenak Joko Sungsang dihanyut kebim-
bangan. Benarkah ia harus mengatakannya kepada 
Gagar Mayang? Mampukah gadis itu menghadapi 
orang-orang sesat dari Rawa Genjer? Dan, kalau tidak  
salah ingat, masih ada murid tunggal Ki Buyut Seng-
gana yang bernama Danyang Kumbayana. 
Tentulah Danyang Kumbayana ini yang mem-
bokong Eyang Kuranda Geni dari arah belakang, pikir 
Joko Sungsang. 
Setelah untuk sejenak berbantahan dengan ba-
tinnya sendiri, pada akhirnya  ia memutuskan untuk 
menemui gadis itu dan mengatakan apa yang harus 
dikatakannya. Menurut pertimbangan Joko Sungsang, 
lambat atau cepat pastilah Gagar Mayang bakal men-
getahui siapa-siapa orang yang harus bertanggung ja-
wab atas kematian Eyang Kuranda Geni. 
Masih dengan melompat dari pohon ke pohon, 
Joko Sungsang mendekati tempat Gagar Mayang ber-
tarung dengan kawan Bajang Kerek tadi. Alangkah ka-
getnya anak muda ini sewaktu melihat pertarungan 
yang masih saja berlangsung. Namun, kemudian ia 
memaklumi sebab lawan yang dihadapi Gagar Mayang 
bukan lagi lelaki berpedang yang berilmu silat pas-
pasan tadi. Gadis itu kini tengah menghadapi seran-
gan-serangan seorang perempuan berpakaian kain sa-
tin berwarna ungu tua. 
Joko Sungsang mencoba mengingat-ingat per-
nahkah ia berurusan dengan perempuan liar ini. Ter-
nyata la merasa pasti bahwa baru kali ini ia melihat 
perempuan yang bersenjatakan kipas akar cendana 
itu. Perempuan itu bertubuh kurus kering sehingga 
pakaian yang dikenakannya nampak kebesaran. Ram-
butnya telah memutih, tetapi anehnya wajah perem-
puan itu belum segaris pun menampakkan kerut-
merut. Maka sulit bagi Joko Sungsang untuk menebak 
berapa usia perempuan lawan Gagar Mayang itu. 
Joko Sungsang mengerutkan dahi sewaktu la-
wan Gagar Mayang itu berkata, ’’Serahkan saja keris  
itu, bocah dungu! Kau akan menyesal jika kesabaran-
ku sampai pada batasnya! Akulah yang paling berhak 
menyimpan Ki Sumping Sedapur! Bukan gurumu, bu-
kan pula cecunguk-cecunguk yang membunuh guru-
mu! Semua orang tahu bahwa akulah utusan kerajaan 
untuk mengembalikan keris itu ke gedung pusaka!” 
’’Orang yang paling dungu pun akan menerta-
wakan ecehanmu, nenek genit!” sergah Gagar Mayang 
sambil menerjang dengan seruling bambu wulungnya. 
Joko Sungsang melihat bahwa pertarungan 
masih berjalan seimbang. Meski perempuan cantik be-
rambut putih itu telah melancarkan jurus-jurus anda-
lan kipas-nya, Gagar Mayang nampak masih bisa men-
guasai. 
Sebaliknya, sewaktu Gagar Mayang mengirim-
kan serangan-serangan balasan dengan rangkaian ju-
rus-jurus seruling bambu wulungnya, perempuan be-
rambut putih itu pun tak kerepotan menghindar atau 
menangkis. 
’’Sayang sekali, aku ada janji sebelum senja 
nanti!” kata perempuan berambut putih itu sambil me-
lompat mundur beberapa tombak. ”Nah, sekarang 
saatnya aku harus memaksamu menyerahkan keris 
itu, bocah dungu!” 
’’Keluarkan segala ilmu demitmu! Aku pun in-
gin secepatnya melihatmu mampus, nenek ubanan!" 
Gagar Mayang tak kalah gertak. 
’’Dasar tak bisa dikasih hati!” Berkata begini, 
perempuan cantik berambut putih itu melipat kipas 
akar cendananya, menudingkan kipas itu ke arah Ga-
gar Mayang, dan kemudian berteriak nyaring sambil 
menerjang. 
Menyadari bahwa lawan telah mengeluarkan 
jurus andalannya, Gagar Mayang pun secepat mene- 
rapkan Jurus Tambak Segara untuk menyongsong se-
rangan lawan. 
Bresss! 
Tubuh keduanya bertabrakan. Kedua ajian an-
dalan beradu. Akibatnya, tubuh perempuan cantik be-
rambut putih itu terlontar sejauh tujuh tombak, dan 
tubuh Gagar Mayang pun bernasib sama. 
Tak bisa diikuti pandangan mata ketika tiba-
tiba saja Joko Sungsang turun dari atas dahan dan 
menyambar tubuh Gagar Mayang. Hal ini harus dila-
kukannya sebab ia melihat luncuran tubuh gadis itu 
mengarah ke sumur tua yang menganga tak jauh dari 
tempat pertarungan itu. 
Dalam pada itu, perempuan cantik berambut 
putih itu mencoba bangkit, tetapi tulang-tulang di tu-
buhnya tak kuasa lagi menahan berat badan perem-
puan itu. Sewaktu perempuan itu memaksakan diri 
untuk bergerak, darah segar tertumpah dari mulutnya. 
 
*** 
 
 
”Kau harus segera mendapatkan perawatan, 
Gagar Mayang,” kata Joko Sungsang demi dilihatnya 
gadis itu membuka matanya. 
’’Kenapa aku?” Gadis itu bertanya bingung. 
”Kau baru saja bertarung dengan perempuan 
berkipas akar cendana, Gagar Mayang. ” 
Gagar Mayang mencoba mengingat-ingat sesua-
tu yang lepas dari pikirannya. Sedikit demi sedikit ia 
ingat bagaimana ia merobohkan lelaki berpedang tipis 
itu dan kemudian muncul perempuan berambut putih  
yang mengaku sebagai utusan dari kerajaan. 
’’Benarkah perempuan liar itu utusan dari kera-
jaan?” tanya gadis itu kemudian. 
’’Orang-orang yang tergabung dalam panji-panji 
golongan hitam selalu mengutamakan dusta dalam 
mencapai maksud mereka, Gagar Mayang.” 
”Ya, aku pun berpikiran begitu....” 
’’Sebaiknya kita segera mencari pertolongan,” 
tukas Joko Sungsang. 
’’Kita kembali ke Karang Bolong?” Mata gadis 
itu melebar. Semakin nampak mempesona bagi mata 
Joko Sungsang. Mata yang dinaungi bulu-bulu lentik 
itu bagaikan telaga jernih yang dinaungi pohon-pohon 
perdu. 
’’Kita ke Desa Dadapsari. Di sana ada Paman 
Wasi Ekacakra yang tentu bisa merawat luka dalam-
mu.”  
”Aku harus secepatnya menemukan pembunuh 
jahanam itu!” 
’’Gagar Mayang, biarlah aku yang mencari bi-
ang keladinya sementara kau beristirahat di Desa Da-
dapsari.” Joko Sungsang terpaksa berbohong demi ke-
baikan gadis itu. Terpaksa ia berpura-pura belum tahu 
ke mana sesungguhnya gadis itu harus membalas 
dendam. 
”Aku tidak ingin mereka mati di tangan orang 
lain!” sahut Gagar Mayang tuntas. 
”Ya. Aku menghormati hakmu sebagai pende-
kar, Gagar Mayang. Aku berjanji hanya akan mencari 
biang keladinya. Setelah kutemukan siapa-siapa yang 
menewaskan gurumu, aku akan mengabarimu ke Desa 
Dadapsari.” 
Gagar Mayang tidak lagi menyahut. Bagaima-
napun juga la merasa harus mempercayai ucapan  
anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga ini. 
Lagi pula, anak muda ini telah banyak menolongnya. 
”Lalu, bagaimana nasib perempuan liar tadi?” 
Tiba-tiba Gagar Mayang ingat kejadian yang menye-
babkan ia harus tergeletak tak berdaya. 
”Kau telah menewaskannya. Sekalipun ia bisa 
menembus Jurus Tambak Segara mu, ia tak kuasa 
menerima patukan seruling maut-mu.” 
’’Entah ilmu setan mana yang dimiliki perem-
puan Bar Itu. Rasanya aku terbanting ke alam yang ge-
lap sewaktu ia menabrak pertahananku. Perempuan 
Itu kurus kering, tetapi berat badannya melebihi berat 
badan sepuluh ekor gajah. ” 
’’Nanti bisa kita tanyakan kepada orang sakti di 
Desa Dadapsari itu, Gagar Mayang. Kita berangkai se-
karang,” sahut Joko Sungsang. 
”Aku belum bisa berjalan. Tulang-tulangku se-
perti luluh.” 
’’Bukankah aku bisa mendukungmu? Atau, kau 
keberatan bersentuhan denganku?” 
Sepasang pipi Gagar Mayang tiba-tiba memerah 
dadu. Keberatan? Ah, gadis mana yang tidak senang 
dalam gendongan anak muda yang kesohor ini, pikir 
gadis itu sambil menundukkan wajahnya. 
”Maaf, aku harus menggendongmu, Gagar 
Mayang,” kata Joko Sungsang sebelum kemudian me-
rengkuh tubuh gadis itu dan membopongnya. 
Selama dalam pelukan Joko Sungsang, pikiran 
gadis itu dipenuhi berbagai pertanyaan. Kenapa ia 
mau menolongku? Kenapa ia mau menggendongku? 
Kenapa ia tak sungkan-sungkan memelukku? Kenapa? 
Tidakkah ia takut jika gadis yang bernama Sekar Arum 
itu melihat? Atau, mungkin gadis yang bernama En-
dang Cantikawerdi itu? Atau, sudah terbiasakah ba- 
ginya memeluk-meluk gadis yang bukan sanak-
kadangnya? 
 
*** 
 
Wasi Ekacakra manggut-manggut setelah me-
meriksa luka dalam yang diderita Gagar Mayang. 
Orang sakti yang menyamar menjadi petani ini tahu 
kenapa gadis dari Bukit Cangak ini masih bisa berta-
han hidup. 
’’Kalau saja Nini tidak menerapkan Jurus Tam-
bak Segara, sudah pasti tubuh Nini hancur luluh. Ju-
rus Tambak Segara memang tidak ada tandingannya. 
Ajian kekebalan macam mana pun tidak akan bisa me-
lebihi kekuatan Jurus Tambak Segara. Tetapi, kita ju-
ga jangan mengecilkan kekuatan Ki Sumping Seda-
pur.” 
’’Maksud Paman?” sahut Joko Sungsang. 
’’Keris itu juga memberikan kekebalan bagi si 
pembawa.” 
Joko Sungsang manggut-manggut. Itulah se-
babnya banyak orang rimba persilatan yang mengin-
ginkannya, pikir Pendekar Perisai Naga itu. Dalam pa-
da itu, Gagar Mayang berpikir lain. Ia menyesali tinda-
kan kakeknya pada malam yang naas itu. Kalau saja 
kakeknya menyengkelit keris itu di pinggangnya, ten-
tulah tombak yang membokongnya tidak akan mem-
pan. 
’’Sebaiknya Nini istirahat dulu di kamar. Maaf, 
saya tidak bisa menyediakan tempat yang layak,” kata 
Wasi Ekacakra setelah selesai mengobati gadis itu. 
Dengan dipapah Joko Sungsang, Gagar Mayang 
melangkah menuju kamar yang tersedia. Kembali batin 
Gegar Mayang berkecamuk sewaktu lengan anak muda  
yang perkasa itu merengkuh tubuhnya. Sungguh, ia 
tidak mengira bakal bisa begitu dekat dengan anak 
muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu. 
”Ah, kalau saja di kolong langit ini tidak ada 
gadis yang bernama Sekar Arum dan Endang Cantika-
werdi,” kata batin gadis itu. 
Kembali duduk bersila di depan Wasi Ekacakra, 
Joko Sungsang merasakan pikirannya lebih terbuka. 
Dengan tidak adanya gadis itu di dekatnya, ia akan le-
bih bebas berbincang-bincang dengan Wasi Ekacakra. 
’’Apakah sekiranya Gagar Mayang harus istira-
hat lama, Paman?” tanya Joko Sungsang sebelum Wasi 
Ekacakra membuka pembicaraan. 
’’Beberapa hari saja cukup, Anakmas. Tetapi, ia 
harus lebih dulu berlatih olah kanuragan agar darah 
yang membeku di tubuhnya bisa lancar kembali.”  
’’Paman, jika memungkinkan, saya harap Pa-
man bisa mencegahnya agar tidak buru-buru mening-
galkan pondok Paman ini. ” 
Wasi Ekacakra tertawa lirih. 
’’Kenapa saya harus mencegahnya?” tanya 
orang tua itu. 
’’Paman, hati gadis itu sedang dibakar dendam 
kesumat. Saya khawatir ia belum bisa menghadapi 
musuh besarnya nanti. Paman tentu tahu siapa Pen-
guasa Rawa Genjer.” 
’’Penguasa Rawa Genjer? Tunggu dulu! Jadi, 
Nini Gagar Mayang hendak membalas dendam kepada 
Ki Buyut Senggana yang bergelar Siluman Kera dari 
Rawa Genjer itu?” 
’’Itulah maksud saya kenapa saya mohon Pa-
man sudi mencegahnya,” sahut Joko Sungsang lega. 
”Hmmm, memang berat tugas Nini Gagar 
Mayang. Ia harus menjaga keris luk tujuh itu dari in- 
caran orang-orang sesat. Tapi, mudah-mudahan saja 
Ki Buyut Senggana tidak menginginkan keris pusaka 
itu. ” 
 ’’Kenapa Paman bilang begitu? Sudah tentu la 
membunuh Eyang Kuranda Geni, kakek sekaligus 
guru gadis itu, sebab ia menginginkan Ki Sumping Se-
dapur, Paman. ” 
”Itu belum pasti, Anakmas. Sebab, sebenarnya 
Ki Buyut Senggana pun memendam dendam terhadap 
Eyang Kuranda Geni. Nah, mudah-mudahan saja ia 
melabrak ke Bukit Cangak karena dendam itu. ” 
’’Dendam.... Ah, dendam selalu membuat ma-
nusia tak pernah damai. Guru mendendam guru, mu-
rid mendendam guru, murid mendendam murid, anak 
mendendam pembunuh orang tua....” 
”Dan, itu tak berlaku buat Kakang Wiku Jala-
dri, bukan?” tukas Wasi Ekacakra. 
’’Betul, Paman. Guru selalu berpesan kepada 
saya agar tidak memelihara rasa dendam.” 
’’Baiklah. Kita masih punya waktu untuk berce-
rita-cerita lebih lanjut. Sebaiknya, Anakmas sekarang 
menemui Nyi Demang.” 
’’Tunggu, Paman. Ada satu lagi yang ingin saya 
tanyakan,” sahut Joko Sungsang. ’’Pernahkah Paman 
bertemu dengan si Pemanah Sakti Bertangan Seribu?”  
’’Dalam kaitannya dengan dendam, ia memang 
menyimpan dendam terhadap kakek Nini Gagar 
Mayang. Sewaktu mereka masih sama-sama muda, si 
Pemanah Sakti Bertangan Seribu pernah dikalahkan 
Eyang Kuranda Geni dalam gelanggang adu kesaktian. 
Waktu itu ia memang belum bergelar si Pemanah Sakti 
Bertangan Seribu. Dengan Ajian Naracabala yang dimi-
likinya, sudah barang pasti si Pemanah Sakti Bertan-
gan Seribu merasa akan bisa melumpuhkan Eyang  
Kuranda Geni.” 
Joko Sungsang manggut-manggut paham. 
 
*** 
 
Setelah menumpahkan rasa rindunya kepada 
Nyi Demang, Joko Sungsang kembali bersila di depan 
Wasi Ekacakra, orang sakti yang pernah menyela-
matkannya dari ancaman Empu Wadas Gempal bebe-
rapa  tahun yang lalu (Baca juga: ”Hantu Lereng La-
wu”). 
"Tetapi, si Pemanah Sakti Bertangan Seribu 
pastilah lebih menginginkan keris luk tujuh itu ketim-
bang membalas dendam,” lanjut Wasi Ekacakra menu-
turkan. 
”Paman, benarkah keris itu pusaka peninggalan 
Zaman Kerajaan Majapahit?” tanya Joko Sungsang 
menyela. 
’’Setahu saya, keris itu penemuan Eyang Ku-
randa Geni. Hanya saja, dari mulut ke mulut, lalu ter-
siar kabar bahwa Ki Sumping Sedapur adalah pening-
galan Zaman Kerajaan Majapahit.” 
’’Tetapi, Paman, saya pernah mendengar cerita 
bahwa Ki Sumping Sedapur pernah menjadi senapati 
Kerajaan Majapahit.” 
’’Saya memang pernah mendengarnya. Tetapi, 
untuk memastikan kebenarannya, saya tidak berani. 
Tetapi lepas benar atau tidaknya semua cerita yang 
pernah kita dengar, kita memang wajib ikut menjaga 
keris luk tujuh itu dari incaran orang-orang sesat. Se-
kalipun Nini Gagar Mayang yang harus bertanggung 
jawab sepenuhnya, tidak ada salahnya jika kita ikut 
menjaga.” 
’’Kalau begitu, untuk sementara waktu barang- 
kali lebih aman jika keris itu Paman simpan di pondok 
ini,” usul Joko Sungsang. 
’’Saya tidak keberatan, Anakmas. Hanya saja, 
tidak berarti bahwa Nini Gagar Mayang lepas dari inca-
ran orang-orang sesat itu.” 
’’Kalau Paman setuju, saya akan terus men-
dampingi Gagar Mayang,” kata Joko Sungsang ragu. 
Ragu sebab ia sendiri tidak mungkin menyombongkan 
diri di depan orang sakti yang menyamar menjadi pe-
tani ini. 
’’Saya percaya Nini Gagar Mayang akan selamat 
dalam lindungan Anakmas Joko Sungsang,” kata Wasi 
Ekacakra tegas. 
’’Kalau Paman mengizinkan, ada satu permin-
taan lagi dari saya,” ucap Joko Sungsang seraya mena-
tap tajam mata Wasi Ekacakra. 
”Apa yang bisa saya lakukan untuk Anakmas?” 
Orang tua itu bertanya dengan senyum terkuak. 
’’Bukan untuk saya, Paman. Maksud saya, un-
tuk Gagar Mayang. Menurut pertimbangan saya, Gagar 
Mayang masih memerlukan gemblengan dari orang 
sakti macam Paman.” 
”He-he-he! Anakmas, apa yang bisa saya beri-
kan kepada anak-anak muda macam Anakmas dan 
Nini Gagar Mayang? Saya hanyalah petani bodoh yang 
tinggal menunggu ajal.” 
’’Sifat merendahkan diri Paman memang wajib 
saya tiru,” sahut Joko Sungsang menyusul tertawa. 
’’Baiklah, jika memang Anakmas percaya saya 
bisa menggembleng Nini Gagar Mayang. Tetapi, semu-
anya tadi juga tergantung Nini Gagar Mayang. Kalau 
memang Nini Gagar Mayang setuju, saya pun tidak ke-
beratan.” 
’’Rasanya saya tengah menemukan durian run- 
tuh, Paman.” Joko Sungsang menyahut lega. 
Pagi hampir menjelang. Beberapa kali Joko 
Sungsang nampak menguap. Tetapi, ia mencoba ber-
tahan agar tidak merugi. Bukankah namanya merugi 
jika melewatkan begitu saja pertemuan singkat dengan 
orang sakti macam Wasi Ekacakra ini? 
Namun demikian, Joko Sungsang juga ingat 
bahwa si empunya pondok pun perlu beristirahat. Ma-
ka ditahan-tahannya keinginan untuk lebih banyak 
berbicara dengan orang tua itu. Sewaktu terdengar 
bunyi kentongan dari gardu peronda, Joko Sungsang 
pun mohon diri untuk beristirahat. 
Ketika matahari belum sepenggalan tingginya, 
Joko Sungsang telah bersiap-siap untuk meninggalkan 
Desa Dadapsari. Bimbang hati anak muda itu sewaktu 
harus berpisah dari Gagar Mayang. Entah apa yang 
terjadi pada dirinya, tiba-tiba saja ia merasa berat hati 
meninggalkan gadis dari Bukit Cangak itu. Cintakah? 
Ah, aku sendiri tidak tahu arti cinta sesungguhnya, pi-
kir Joko Sungsang. Dan, secara refleks terbayang di 
benaknya wajah Sekar Arum dan Endang Cantikawer-
di. 
Cintakah namanya jika aku nyatanya tidak be-
rat hati meninggalkan Sekar Arum di Padepokan Ka-
rang Bolong? Cintakah namanya jika aku juga tega 
melupakan Endang Cantikawerdi? Cintakah namanya 
jika nyatanya Sekar Arum selalu berusaha menghinda-
riku? Cintakah namanya jika Endang Cantikawerdi ti-
ba-tiba ingin bergumul denganku? 
’’Dingin sekali air di sini,” kata Gagar Mayang 
yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Joko 
Sungsang. 
”Ya, ya,  memang. Bagaimana, Gagar Mayang? 
Sudah lebih enak badanmu?” Joko Sungsang bertanya  
sambil menghindari tatap mata gadis itu. Tatap mata 
yang membuat jantungnya menggelepar. 
”Kiai Wasi memang orang sakti yang pilih tand-
ing,” kata gadis itu. 
”Dan, tentunya kau setuju jika Paman Wasi 
menjadi pengganti gurumu?” 
Mata Gagar Mayang terbelalak. Bibirnya berge-
tar ketika la bertanya, ’’Maksudmu? Kiai Wasi ingin 
mengangkatku jadi muridnya?” 
’’Begitulah jika kau tidak keberatan.” 
”Oh, Gusti Allah Maha Pemurah. Tentu saja 
aku senang sekali menerimanya. ” Wajah gadis itu kini 
sedikit memerah. Rasa gembira yang meluap-luap di 
rongga dadanya berhasil mengusir warna pias di wajah 
gadis itu. 
’’Karena itu, untuk sementara waktu kau harus 
tetap tinggal di pondok ini. Sayang sekali, aku tidak bi-
sa melihatmu berlatih dengan Paman Wasi.” 
”Kau... kau mau pergi?” Wajah cantik Itu kem-
bali memucat. 
’’Gagar Mayang, seperti yang aku katakan ke-
marin, aku perlu mencari siapa manusia laknat yang 
telah menewaskan gurumu. Secepatnya aku kembali 
ke desa ini, Gagar Mayang.” 
”Aku akan lebih bersemangat berlatih jika kau 
ikut menungguiku,” kata gadis itu dengan keberanian 
dilipatgandakan. 
’’Berdoalah agar aku secepatnya mendapatkan 
petunjuk tentang kepada siapa kau harus membalas 
dendam. Setelah kau sembuh dan siap berlatih, 
mungkin aku sudah kembali berada di pondok ini.” 
”Aku tak akan pergi dari sini sebelum kau da-
tang, Joko Sungsang,” sahut gadis itu dengan suara 
parau.  
”Ada ibuku yang menjadi jaminan bahwa aku 
pasti kembali. ” 
Lalu, kepada Wasi  Ekacakra, sekali lagi Joko 
Sungsang mengucapkan terima kasih atas kesediaan 
orang sakti itu merawat dan menggembleng Gagar 
Mayang. 
’’Kelebihan yang kita miliki akan sia-sia jika ki-
ta tidak mau membagi-bagi kepada orang lain, Anak-
mas,” kata Wasi Ekacakra menanggapi. 
’’Saya percaya Paman bisa merahasiakan tu-
juan saya sekarang ini di hadapan Gagar Mayang,” ka-
ta Joko Sungsang setengah memohon. 
”Yang baik bagi Anakmas, tentu baik pula un-
tuk Nini Gagar Mayang.” 
 
*** 
 
 
Selaras dengan namanya, Rawa Genjer memang 
dipenuhi oleh tanaman genjer pada permukaannya. 
Sinar matahari seolah tak mampu menembus kerim-
bunan tanaman air itu. Kalaupun ada tempat yang 
agak luang, di situlah tumbuh daun semanggi. Nasib 
daun semanggi di rawa ini tak ubahnya nasib pendu-
duk desa di antara orang-orang sesat yang menama-
kan diri mereka golongan hitam. 
Memasuki kawasan Rawa Genjer, tidaklah se-
mudah memasuki desa ataupun kota. Banyak sudah 
manusia yang mati konyol sebelum mata mereka bisa 
melihat Rawa Genjer. Berbagai perangkap terpasang di 
Jalan-jalan menuju rawa ini. Selain itu, juga penjagaan 
begitu ketat. Orang-orang yang haus darah sengaja di- 
tugaskan menjaring siapa saja yang ingin mendekati 
Rawa Genjer. 
Akan tetapi, bagi Joko Sungsang yang bergelar 
Pendekar Perisai Naga, hambatan-hambatan baik yang 
berupa perangkap maupun penjagaan bukanlah hal 
yang menyulitkannya. Beberapa buah perangkap yang 
meluncur dari atas pohon terbabat habis oleh Cambuk 
Perisai Naga. 
Bahkan tiga orang lelaki yang mencoba mem-
bokong Joko Sungsang pun tewas dengan leher hampir 
putus. Bola berduri di ujung cambuk kulit ular itu da-
lam sekejap memotong urat-urat leher mereka bertiga. 
Geram bukan kepalang Danyang Kumbayana 
sewaktu menerima pengaduan dari salah seorang mu-
rid nya yang berhasil melarikan diri dari ancaman 
Cambuk Perisai Naga. 
’’Demit keparat! Bosan hidup!” rutuk Danyang 
Kumbayana seraya menyambar tombaknya. 
’’Apakah tidak sebaiknya kita memberitahu Ki 
Buyut Senggana, Ki Lurah?” 
’’Tutup mulutmu! Kau pikir aku tidak mampu 
mengambil nyawa si keparat busuk itu?” sergah Da-
nyang Kumbayana. 
Seperti harimau mengejar kijang, seperti itulah 
Danyang Kumbayana berlari-lari menuju pintu ger-
bang Rawa Genjer. Di sana, ditemuinya seorang anak 
muda yang tengah melilitkan cambuk ke panggangnya. 
”Hei, bocah ingusan! Berani sekali kau masuk 
tlatah Rawa Genjer! Sudah rangkap nyawamu?” hardik 
Danyang Kumbayana. 
Anak muda berpakaian serba putih dan berikat 
kepala kulit ular itu menatap Danyang Kumbayana 
sambil tersenyum. 
’’Bukankah orang-orang Rawa Genjer meng- 
hendaki Ki Sumping Sedapur?” katanya kemudian. 
’’Demit, setan, tetekan! Tak usahlah kau me-
nyebut-nyebut nama keris itu jika kau tak mampu....” 
’’Sabar, sabar. Bukankah lebih baik kita bicara 
dengan hati dan otak yang dingin?” tukas Joko Sung-
sang. 
"Anak Iblis, aku tak butuh ocehanmu! Tenga-
dahlah ke langit, berdoalah agar nyawamu tidak pena-
saran!” sahut Danyang Kumbayana sebelum menu-
sukkan tombaknya ke dada Joko Sungsang. 
Seperti kilat tusukan tombak itu datang Na-
mun, Joko Sungsang sudah terbiasa menghadapi se-
rangan yang datangnya melebihi kilat. Secepatnya ia 
merunduk dan menepiskan tombak yang lewat di atas 
kepalanya. 
’’Modar!” seru Danyang Kumbayana sambil 
mengirimkan tendangan ke pelipis lawan. 
Desss! 
Danyang Kumbayana mundur tiga langkah 
sambil mengaduh. Tak diduga-duganya jika tendangan 
itu akan membentur aku lawan yang kerasnya melebi-
hi batu hitam. 
’’Masih juga kau menolak ocehanku?” kata Joko 
Sungsang. 
’’Katakan siapa namamu sebelum aku benar-
benar melumatkan tubuhmu, setan!” sergah Danyang 
Kumbayana. 
"Namaku Joko Sungsang Orang-orang sesat se-
pertimu sering menyebutku Pendekar Perisai Naga. 
Paham?” 
”Ha-ha-ha! Kau memang pantas menjadi badut, 
iblis! Pendekar Perisai Naga, katamu? Hmmm, mena-
kutkan! Tetapi, tak apalah. Terserahlah kau mau ber-
gelar apa. Tetapi, sebaiknya kau cari  gelar lain, yang  
lebih bisa diterima nalar!” 
"Orang orang malang yang membokongku tadi 
mengatakan bahwa punya pemimpin bernama Da-
nyang Kumbayan. Kaukah itu?” Joko Sungsang mene-
liti lelaki kasar yang berdiri di hadapannya. 
 'Tak ada Danyang Kumbayana kecuali yang 
menguasai Rawa Genjer sini!” 
"Hmmm, namamu juga membuatku pingin ter-
tawa. Kau belum pantas bergelar Danyang Kumbaya-
na, Tuan. Lebih baik kau cari sebutan yang lain.” 
’Tutup mulutmu yang lancang itu! Dan, ber-
siaplah masuk neraka!” 
’Tunggu dulu, Danyang Kumbayana. Aku da-
tang ke sini karena ingin menyerahkan Ki Sumping 
Sedapur. Tidakkah kau tertarik?” 
’’Serahkan secepatnya, dan pergilah sebelum 
aku berubah pikiran!” 
’Tidak semudah itu. Maksudku, aku pasti me-
nyerahkan keris luk tujuh itu dengan satu syarat. Ba-
gai mana?" 
"Kalau kau memang bisa menunjukkan keris 
itu, katakanlah syarat yang kau maksudkan!" sahut 
Danyang Kumbayana. 'Tetapi, jangan harap kau bisa 
pergi dengan selamat jika kau hanya omong kosong1" 
 "Ki Lurah Danyang Kumbayana, melihat Ki 
Sumping Sedapur adalah anugerah dari Nya, tak mu-
dah bagiku menunjukkan keris pusaka itu kepada sia-
pa saja...." 
"Dasar babi dungu!" tukas Danyang Kumbaya-
na sambil menerjang dengan sodokan gagang tombak 
nya. 
Joko Sungsang melenting ke udara, berjumpali-
tan, dan kemudian turun sambil melecutkan cambuk-
nya.  
Srettt! Dukkk! 
Tombak di tangan Danyang Kumbayana terbelit 
cambuk. Sekuat tenaga Danyang Kumbayana berusa-
ha membebaskan belitan cambuk pada tombak-nya. 
Akan tetapi, tiba-tiba sebuah tendangan bersarang di 
rusuk kirinya. 
Tubuh murid Ki Buyut Senggana itu terguling-
guling di tanah. Sewaktu berhasil bangkit dan kembali 
berdiri di atas kuda-kudanya, Danyang Kumbayana 
melihat tombaknya telah berada di tangan kiri anak 
muda berpakaian serba putih itu. Sementara itu, di 
tangan kanan anak muda itu terjurai sebuah cambuk 
yang terbuat dari kulit ular sanca. 
”Kau pernah mendengar cerita tentang cambuk 
kulit ular Ini, Danyang Kumbayana?” kata Joko Sung-
sang sambil mengelus cambuknya dengan ujung tom-
bak milik lawan. 
’’Mundurlah,  Kumbayana. Dia memang bukan 
lawanmu,” kata Ki Buyut Senggana yang tiba-tiba saja 
sudah berdiri di belakang muridnya. 
”Diakah Pendekar Perisai Naga yang pernah 
Guru ceritakan?” tanya Danyang Kumbayana kepada 
Ki Buyut Senggana. 
’’Senjata yang digenggamnya memang senjata 
Pendekar Perisai Naga. Tetapi, ia terlalu muda untuk 
menyandang gelar itu.” 
Joko Sungsang mengulum senyum. Masih juga 
ada orang yang berpikir bahwa gurulah satu-satunya 
Pendekar Perisai Naga, pikirnya sepintas kilas. 
”Anak muda, siapakah kau sebenarnya, dan 
bagaimana bisa kau mencuri cambuk kulit ular Itu?” 
tanya Ki Buyut Senggana. 
’’Rupanya orang-orang Rawa Genjer punya ke-
biasaan mencuri senjata orang lain. Tetapi, sayang tak  
bisa mencuri Ki Sumping Sedapur dari Bukit Cangak!”  
’’Kalau begitu, tentulah kau murid Wiku Jala-
dri!” sahut Ki Buyut Senggana. 
”Kau sudah kenal guruku, Kakek Tua?” 
”Guru, izinkan saya menyumbat mulut lancang 
itu!” dengus Danyang Kumbayana. 
’’Kumbayana, kali ini aku tidak lagi memaaf-
kanmu jika kau tidak menuruti perintahku! Jangan 
sekali-sekali kau mencampuri urusanku dengan murid 
dari Padepokan Jurang Jero ini. Mengerti?” 
Suara itu pelan, tetapi bagi telinga Danyang 
Kumbayana bagaikan guntur di musim kemarau. Se-
raya mundur, Danyang Kumbayana mengangguk hor-
mat. 
”Aku hormati kedatanganmu di Rawa Genjer 
sini, Pendekar Perisai Naga! Tetapi, benarkah dugaan-
ku bahwa kau menjadi wakil gurumu untuk mengadu 
kesaktian denganku?” Kembali Ki Buyut Senggana 
menoleh kepada Joko Sungsang 
”Ki Buyut Senggana, aku pun menaruh hormat 
atas kesediaanmu menyambutku Tetapi, Jangan kau 
sangkut pautkan kedatanganku Ini dengan kepentin-
ganmu terhadap guruku. Aku datang untuk membica-
rakan perihal Ki Sumping Sedapur dan pemiliknya!”  
"Aku peringatkan, jangan coba-coba kau cam-
puri urusanku dengan Kuranda Geni, Anak Muda! Le-
bih baik kita bicara tentang dosa-dosa gurumu terha-
dap ku!” 
’’Urusan orang-orang dari golongan lurus juga 
menjadi tanggung jawabku, Ki Buyut Senggana. Tu-
gasku jugalah menjaga Ki Sumping Sedapur dari tan-
gan kotor kalian orang-orang sesat!” 
’’Seperti langit dan bumi sifatmu dan sifat gu-
rumu! Tak pernah kulihat Wiku Jaladri sepongah kau!”  
kata Ki Buyut Senggana sebelum mengirimkan seran-
gan pembuka. 
Wusss! Wusss! 
Dua pukulan beruntun menyambar dada dan 
leher Joko Sungsang. Namun, dengan merunduk se-
raya memutar tubuhnya, Joko Sungsang luput dari 
jangkauan tangan orang tua sesat itu. Lalu, dengan 
kecepatan yang tak bisa diikuti mata, Joko Sungsang 
membabat kaki lawan dengan sapuan kaki kanannya. 
’’Huppp! Hiyaaa!” seru Ki Buyut Senggana sam-
bil melenting ke udara. Namun, serangan susulan yang 
dilancarkan Joko Sungsang memaksa orang tua itu 
harus menyonsong serangan, mengadu tenaga dalam. 
Desss! 
Tubuh Ki buyut Senggana terhuyung-huyung 
ke belakang. Dan, mata orangtua itu terbelalak melihat 
lawan tak beranjak dari tempatnya berdiri. Seolah 
bongkahan karang yang terbentur perahu tubuh anak 
muda itu tegar berdiri diam-diam orang sesat ini men-
gagumi kesempurnaan tenaga dalam lawan. 
Di lain pihak, Joko Sungsang kaget bukan ke-
palang melihat lawan sama sekali tidak merasakan 
akibat benturan yang terjadi. Orang sesat itu memang 
sempat terhuyung-huyung, tetapi dengan sigapnya 
kembali bersiap diri. 
’’Tenaga dalammu sangat mumpuni, Anak Mu-
da! Tetapi, cobalah kau songsong  Ajian Brajamusti!” 
kata Ki Buyut Senggana seraya mengangkat telapak 
tangan kanannya. 
Karena tidak ingin mati konyol, Joko Sungsang 
segera mempersiapkan diri dengan Ilmu Pukulan Om-
bak Laut Selatan. Tentulah orang tua yang bergelar Si-
luman Kera dari Rawa Genjer ini tidak akan mengira 
bahwa Pendekar Perisai Naga sempat berguru ke Pade- 
pokan Karang Bolong. 
Danyang Kumbayana tertawa-tawa melihat gu-
runya mulai menerapkan aji pamungkasnya, la yakin, 
anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu 
sudah barang pasti bakal luluh-lantak. Jangan lagi 
hanya tubuh anak muda itu, sedangkan sebongkah 
batu pualam pun akan hancur lebur menjadi tepung 
jika terpukul Ajian Brajamusti. 
Yang terjadi selanjutnya ternyata di luar du-
gaan Ki Buyut Senggana maupun Danyang Kumbaya-
na. Tiba-tiba Joko Sungsang mengurungkan niatnya 
menyongsong Ajian Brajamusti dengan Ilmu Pukulan 
Ombak Laut Selatan. Setelah ilmu pukulan yang dida-
patkannya dari Ki Sempani itu siap membentengi tu-
buhnya, serta-merta telinga Joko Sungsang mendengar 
bisikan halus. Hampir-hampir ia tidak percaya pada 
pendengarannya. Suara itu begitu khas menyelusup 
liang telinganya. Suara Wiku Jaladri! 
”Kau memang tidak akan celaka membentur 
Ajian Brajamusti. Tetapi, apalah bedanya jika kau ha-
rus tergeletak untuk beberapa hari, Joko? Lagi pula, 
bukan tugasmu untuk melenyapkan Ki Buyut Sengga-
na! Urungkan niatmu mengadu Ilmu Pukulan Ombak 
Laut Selatan dengan Ajian Brajamusti. Pergunakan 
cambukmu!” bisik gurunya. 
Maka secepatnya Joko Sungsang mengurai 
cambuk yang melilit pinggangnya. Melihat lawan men-
gubah pertahanan, Ki Buyut Senggana pun menyim-
pan kembali Ajian Brajamusti-nya. Sebagai gantinya, 
orang tua penghuni Rawa Genjer ini menerapkan Ju-
rus Siluman Kera Sakti. 
Untuk sejenak Joko Sungsang kehilangan akal 
bagaimana melawan Ki Buyut Senggana yang berputar 
mengitari dirinya. Semakin lama semakin kencang pu- 
taran itu, dan akhirnya sulit untuk menebak di sebe-
lah mana lawan sesungguhnya berada. 
Inilah Jurus Siluman Kera Sakti itu, pikir Joko 
Sungsang sambil mempersiapkan diri. Dan, tiba-tiba 
cambuk di tangannya meledak-ledak. Lecutan-lecutan 
yang dilambari dengan Jurus Mematuk Elang dalam 
Mega. Joko Sungsang tak ingat lagi sudah berapa 
orang tokoh hitam yang tewas oleh dahsyatnya Jurus 
Mematuk Elang dalam Mega ini. 
Akan tetapi, kali ini Pendekar Perisai Naga me-
rasa benar-benar berhadapan dengan siluman. Tak se-
kalipun lecutan cambuk yang telah dilambari dengan 
Jurus Mematuk Elang dalam Mega itu mengenai sasa-
ran. Setiap sosok lawan yang diincarnya ternyata sosok 
semu. Di manakah sesungguhnya Ki Buyut Senggana 
berada? 
”Ha-ha-ha!  Cambuk kambingmu tak ada ar-
tinya bagiku, Pendekar Perisai Naga!” ejek Ki Buyut 
Senggana. 
Suara orang sesat itu menggema dan berjalan 
mengitari tubuh Joko Sungsang. Anak muda yang ber-
gelar Pendekar Perisai Naga ini mencoba memburu su-
ara-suara itu dengan lecutan cambuknya, tetapi lagi-
lagi tempat kosong yang terpatuk bola berduri di ujung 
cambuk itu. 
’’Kerahkan seluruh jurus cambukmu, Bocah 
Gunung! Aku memang ingin melihatmu memamerkan 
jurus-jurus ciptaan gurumu! Aku tahu, kau tidak be-
rani menyongsong Ajian Brajamusti-ku! Kau perguna-
kan  cambukmu sebab kau takut membentur Ajian 
Braja-musti!” 
’Tutup mulutmu, Buyut Senggana!” sergah Jo-
ko Sungsang geram. Kini ia merasakan kepalanya mu-
lai berkunang-kunang melihat bayangan hitam yang 
mengitarinya. Masih ditambah lagi dengan ejekan-
ejekan yang memualkan. 
’Tetapi, aku tidak akan membunuhmu, Anak 
Muda! Aku dengar kau menyebut-nyebut Ki Sumping 
Sedapur, bukan? Nah, bolehlah keris itu kau tukarkan 
dengan nyawamu!” 
’’Jangan berangan-angan, monyet tua!” sahut 
Joko Sungsang.  Lalu, tubuh murid Wiku Jaladri ini 
melenting ke udara, dan kembali Cambuk Perisai Naga 
meledak. 
”Apa bedanya kau menyerangku dari langit dan 
dari bumi? Jangan kau buang-buang tenagamu, bocah 
dungu!” 
Kemarahan Joko Sungsang seolah mampu 
memecahkan dadanya. Selain ia kesal mendengar eje-
kan-ejekan itu, ia juga malu sebab disadarinya bahwa 
Wiku Jaladri berada tak jauh dari tempat itu. 
Desss! 
Sebuah tendangan tiba-tiba saja menghantam 
punggung Joko Sungsang. Tubuh anak muda dari De-
sa Sanareja itu terguling guling di tanah. Tendangan 
itu memang tak membuat cedera pada tubuhnya. Te-
tapi, rasa sakit di lekuk hati semakin membuat murid 
Wiku Jaladri ini kalang-kabut. 
”Itu tadi hanya sekadar peringatan, bocah ben-
gal! Sudah kukatakan bahwa aku tak akan membu-
nuhmu, bukan? Tetapi, kalau memang kau tidak mau 
menukarkan keris luk tujuh itu dengan nyawamu, ter-
paksalah Ajian Brajamusti akan meleburkan tubuh-
mu!” 
”Buyut Senggana! Keluarkan Ajian Brajamusti-
mu! Mari, kita lihat siapa yang akan lebur dalam adu 
kesaktian ini!” teriak Joko Sungsang seraya mene-
rapkan ilmu Pukulan Om bak Laut Selatan.  
’’Katakanlah bahwa kau tidak mau menyerah-
kan keris luk tujuh itu, barulah aku terpaksa tega 
membunuhmu!” 
”Kau tidak akan mendapatkan pusaka itu dan 
tidak akan mampu membunuhku, lutung!” Semakin 
gusar Joko Sungsang dibuatnya. 
’’Bantai saja, Guru! Soal keris luk tujuh itu, 
saya berjanji akan menemukannya!” teriak Danyang 
Kumbayana dari pinggir ajang pertarungan. 
”Diam kau, Kumbayana! Lihat saja apa yang bi-
sa diperbuat murid dari Padepokan Jurang Jero ini!" 
bentak Ki Buyut Senggana. 
”Aku sudah siap mengadu jurus andalan kita, 
buyut lutung!” sahut Joko Sungsang. 
’’Baiklah! Kau memang terlalu bodoh, Pendekar 
Perisai Naga!” kata Ki Buyut Senggana seraya mener-
jang dengan tangan kanannya yang telah dilambari 
Ajian Brajamusti. 
Pada saat yang mendebarkan ini, tiba-tiba te-
linga Joko Sungsang mendengar bisikan Wiku Jaladri, 
’’Gunakan Jurus Naga Melilit Gunung, Joko!” 
Secepat kilat Joko Sungsang memutar Cambuk 
Perisai Naga. Cambuk kulit ular itu meliuk-liuk mema-
gari tubuh Joko Sungsang: Bola berduri yang tergan-
tung di ujung cambuk itu meraung-raung. 
Srettt! 
Tubuh Ki Buyut Senggana yang meluncur dari 
arah belakang Joko Sungsang, tanpa ampun lagi terlilit 
Cambuk Perisai Naga. Namun, orang sesat ini benar-
benar menguasai tata gerak kera. Tak begitu sulit ba-
ginya membebaskan diri dari belitan Cambuk Perisai 
Naga. 
 
*** 
 
”Kau bisa menangkal Ajian Brajamusti, tidak 
berarti kau berani melawan, bukan?” ejek Ki Buyut 
Senggana lagi. 
Joko Sungsang tak mempedulikan ejekan itu. 
Kesempatan yang hanya beberapa detak jantung ini 
dimanfaatkan dengan baik olehnya. Sekali lagi Cam-
buk Perisai Naga itu meledak, dan bola berduri di 
ujung cambuk itu menyambar pelipis Ki Buyut Seng-
gana. 
”Hiyaaa!” W Buyut Senggana membuang tubuh-
nya ke samping sehingga bola yang mirip buah kecu-
bung itu mendesing di samping telinganya. 
Dukkk! 
Tumit Joko Sungsang bersarang dipunggung 
lawan sebelum lawan menyadari posisinya. Hal ini 
memang sudah dalam perhitungan Joko Sungsang. 
”Bedebah! Kuhancurkan tubuhmu sekarang ju-
ga!” seru Ki Buyut Senggana setelah melenting bangkit 
Tendangan anak muda itu memang tak dirasakannya 
sama sekali. Namun, kemarahan tiba-tiba memacu ja-
lan darahnya menuju kepala. 
’’Omong kosong!” sahut Joko Sungsang. "Sejak 
tadi kau ingin menghancurkan tubuhku, tetapi kapan 
itu terjadi, kakek pikun?” 
Hampir saja Danyang Kumbayana bergerak ma-
ju jika tidak diingatnya pesan gurunya. Ejekan Joko 
Sungsang membuat guru dan murid serentak naik pi-
tam. Danyang Kumbayana mengaku bahwa ilmu silat 
Pendekar Perisai Naga sudah sampai pada tataran ter-
tinggi. Akan tetapi, ia juga melihat bagaimana anak 
muda berpakaian serba putih itu kebingungan meng-
hadapi Jurus Siluman Kera Sakti, dan takut menyong-
song Ajian Brajamusti. 
Lagi-lagi tubuh Ki Buyut Senggana mengitari  
Joko Sungsang. Dan, pada puncaknya, tak akan nam-
pak lagi sosok orang tua itu bagi mata lawan. Joko 
Sungsang hanya dapat melihat tembok berwarna hi-
tam mengurung dirinya. 
Sebelum pandangannya mulai berkunang-
kunang, Joko Sungsang secepatnya memutar cam-
buknya yang dilambari dengan Jurus Naga Melilit Gu-
nung. Maka yang nampak di mata Danyang Kumbaya-
na hanyalah sinar hijau-kebiru-biruan yang terkurung 
sinar hitam pekat. 
”Kau masih tetap mengandalkan cambuk gem-
balamu, bocah dungu?” kata Ki Buyut Senggana mulai 
mengejek. 
Dan, sesungguhnyalah ejekan-ejekan ini terma-
suk dalam rangkaian Jurus Siluman Kera Sakti. Tu-
juan ejekan-ejekan ini tidak Iain adalah untuk menga-
caukan pendengar lawan. Hanya sewaktu menghadapi 
Eyang Kuranda Geni lah Jurus Siluman Kera Sakti tak 
banyak bermanfaat. 
Untuk menghindari belitan cambuk lawan, Ki 
Buyut Senggana menggenjot tanah dan tubuhnya me-
lejit ke udara. Hanya lewat atas maka ia yakin bisa 
menabrak lawan dengan Ajian Brajamusti! 
Kalau saja tidak sedang menghadapi Jurus Si-
luman Kera Sakti, sudah pasti Joko Sungsang akan 
melihat bagaimana lawan melenting ke udara. Namun 
kali ini pandang mata Joko Sungsang seolah tertutup 
kabut berwarna hitam. Tak nampak olehnya sama se-
kali bayangan lawan yang berjumpalitan di atas kepa-
lanya.  Bahkan sewaktu Ki Buyut Senggana menukik 
sambil mengayunkan telapak tangan kanannya yang 
telah dilambari Ajian Brajamusti, Joko Sungsang tetap 
belum menyadari maut mengancam jiwanya. 
Singngng! 
 
Sepotong ranting meluncur bagai anak panah 
ke arah Ki Buyut Senggana. Desingan ranting ini bu-
kan saja mengagetkan Ki Buyut Senggana, melainkan 
juga memancing perhatian Joko Sungsang agar me-
nengok ke atas. 
Tarr! Tarrr! Tarrr! 
’’Jahanam keparat!” rutuk Ki Buyut Senggana 
setelah mendaratkan kakinya di tanah. Hampir saja 
bola berduri di ujung Cambuk Perisai Naga memecah-
kan kepalanya. 
’’Keluar dari persembunyianmu, tikus sawah!” 
 Joko Sungsang cepat tanggap. Ia tahu siapa 
yang telah menggagalkan serangan Ki Buyut Senggana 
dari udara tadi. 
”Buyut Senggana! Kita orang-orang tua punya 
cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah! Tak per-
lulah kau pamerkan ilmu silumanmu di depan anak-
anak kemarin sore! Aku tunggu kau di Bukit Cangak 
kapan saja kau bersedia, Buyut Senggana!” 
’’Sekarang juga ku tantang kau, keparat!” sahut 
Ki Buyut Senggana seraya memburu ke arah datang-
nya suara. 
Joko Sungsang melepas begitu saja kepergian 
lawan. Ia tahu, semuanya memang sudah direncana-
kan oleh Wiku Jaladri. Bahkan ia juga tak peduli keti-
ka Danyang Kumbayana menyusui gurunya mengejar 
Wiku Jaladri. 
 
*** 
 
 
Tak ada yang bisa dikerjakan Joko Sungsang  
kecuali kembali ke Desa Dadapsari. Ia tak merasa ke-
cewa sekalipun ia gagal membunuh guru dan murid 
dari Rawa Genjer itu. Malahan ia harus bersyukur te-
lah lolos dari ancaman Jurus Siluman Kera Sakti yang 
belum diketahui cara menangkalnya itu. Setidaknya, 
kalau saja tidak hadir Wiku Jaladri di tempat perta-
rungan itu, Joko Sungsang terpaksa harus mengadu 
Ajian Brajamusti dengan Ilmu Pukulan Ombak Laut 
Selatan. Tetapi, apalah artinya jika ia tidak berhasil 
memenangkan adu kesaktian itu? Bukankah di situ te-
lah bersiap-siap Danyang Kumbayana untuk membela 
gurunya? 
’’Memang benar kata Guru,” kata hati Pendekar 
Perisai Naga. ’’Bahwa di kolong langit ini tidak ada il-
mu yang tak tertandingi. Semua yang ada di kolong 
langit ini memiliki kekurangan dan kelebihan. Yang tak 
tertandingi hanyalah kekuasaan yang datang dari-
Nya.” 
Joko Sungsang memperlambat langkahnya. Ia 
mendengar suara telapak kaki seseorang berusaha 
menyusul langkahnya. Masihkah Ki Buyut Senggana 
penasaran ingin membunuhku? Murid Wiku Jaladri ini 
menaksir-naksir seraya menoleh ke belakang. 
’’Guru...!” Joko Sungsang buru-buru hendak 
berlutut. 
’’Berdirilah,” sahut Wiku Jaladri mencegah Joko 
Sungsang yang hendak berlutut di depan kakinya.  
"Maafkan atas kebodohan saya, Guru.” 
’’Kebodohan yang mana? Kau bukannya bodoh, 
Joko. Kau hanya belum mengerti. Jurus Siluman Kera 
Sakti tidak bisa kau hadapi dengan ketajaman mata-
mu. Semakin kau memperhatikan gerak lawan, sema-
kin kepalamu berkunang kunang. Itulah yang memang 
dikehendaki Jurus Siluman Kera Sakti. ”  
’’Saya benar-benar lupa menggunakan Jurus 
Naga Melilit Gunung, Guru. Saya hanya ingat jurus-
jurus yang pernah menewaskan musuh-musuh....” 
”Itu pun tidak benar,” tukas orang tua yang le-
bih mirip mayat hidup itu. ’’Bukan jurus itu yang bisa 
menangkal Jurus Siluman Kera Sakti. Jurus Naga Me-
lilit Gunung hanya berguna untuk memagarimu dari 
serangan gelap Ajian Brajamusti. Seharusnya kau in-
gat mempergunakan panca inderamu yang lain jika 
kau gagal mempergunakan penglihatanmu, Joko.” 
’’Maksud Guru, saya harus mempergunakan 
pendengaran saya?” tebak Joko Sungsang. 
’’Tepat sekali dugaanmu. Hanya dengan pen-
dengaranmu yang tajam kau bisa tahu ke arah mana 
harus melecutkan cambukmu. ” 
’’Terima kasih atas petunjuk Guru,” sahut Joko 
Sungsang merasa lega. 
”Itu belum cukup, Joko. Kau tidak akan bisa 
mempertajam pendengaranmu jika kau masih mempe-
dulikan ejekan-ejekan yang menyakitkan hatimu. ” ' 
”Ah, saya memang belum seperti yang Guru ha-
rapkan,” sesal Joko Sungsang. 
’’Umurmu jauh lebih muda dariku, Joko. Aku 
memaklumi Jika hatimu akan mudah terbakar. Su-
dahlah, tak perlu kau sesali apa yang pernah kau ala-
mi. Penyesalan hanya akan mengendorkan keinginan-
mu untuk menggapai sesuatu. Berapa kali aku wanti-
wanti kepadamu, Joko?” Agak meninggi suara Wiku 
Jaladri sehingga Joko Sungsang tertunduk. 
Kemudian orang sakti dari Padepokan Jurang 
Jero itu sekali lagi menegaskan bahwa masih banyak 
tugas mulia yang harus dijalankan Joko Sungsang. 
’’Hanya kau yang bisa mewakiliku menunaikan 
tugas itu, Joko. Kau tahu, aku tidak menurunkan il- 
muku kepada orang lain kecuali kau seorang. Ini me-
mang beban beratmu sebagai murid tunggal Padepo-
kan Jurang Jero,” kata orang tua yang lebih mirip 
mayat hidup itu. 
’’Saya bangga menjadi murid tunggal Kiai,” ujar 
Joko Sungsang sengaja mengganti sebutan ’Guru’ 
menjadi ’Kiai’. Beberapa tahun tidak berkumpul den-
gan Wiku Jaladri, ia lupa bahwa orang tua itu lebih 
senang dipanggil ’Kiai’ daripada ’Guru’. 
 
*** 
 
Di Desa Dadapsari yang jauh dari jamahan 
orang-orang rimba persilatan, Gagar Mayang dengan 
tekun menjalani latihan-latihan yang dicanangkan Wa-
si Eka-cakra. Kini gadis itu merasakan perbedaan an-
tara berguru kepada kakeknya dengan berguru kepada 
orang yang bukan sanak-kandang-nya. Di hadapan 
Eyang Kuranda Geni, masih bisa la menolak latihan-
latihan yang dirasanya terlalu  berat. Akan tetapi, di 
depan Wasi Ekacakra? Apalagi sekarang ia sudah di-
pandang memiliki dasar-dasar ilmu silat, yang ten-
tunya dipandang pula sebagai gadis yang sudah ter-
biasa menjalani latihan-latihan berat. Tak ada lagi ala-
san bagi Gagar Mayang untuk mengeluh. 
’’Berguru kepada kakek sendiri memang ada is-
timewanya, tetapi juga ada keburukannya, Nini,” kata 
Wasi Ekacakra yang seolah bisa membaca jalan piki-
ran Gagar Mayang. 
’’Benar apa yang Kiai katakan,” kata Gagar 
Mayang. 
’’Syukurlah jika Nini menyadari akan hal itu. 
Namun begitu, saya pun tidak akan menyamakan Nini 
dengan lelaki. Kodrat Nini sebagai perempuan, ten- 
tunya memiliki batas-batas tertentu. Keuletan dan ke-
gesitan adalah dasar utama bagi perempuan untuk 
bertahan. Oleh sebab itu, menurut saya, tidaklah tepat 
jika Nini terlalu mengandalkan Jurus Tambak Segara 
dalam bertahan. Ada yang tidak Nini mengerti maksud 
saya?” 
’’Saya mengerti, Kiai. Dan, saya memang mera-
sa bersalah bahwa saya telah memaksakan Eyang 
Guru agar menurunkan Jurus Tambak Segara kepada 
saya. Tetapi, saya juga tidak melihat jurus andalan 
yang tepat bagi saya. Selama ini saya hanya melihat 
dan mendengar kehebatan Jurus Tambak Segara di 
Padepokan bukit Cangak,” kata Gagar Mayang. 
”Ada ajian yang lebih tepat bagi Nini Gagar 
Mayang. ” 
’’Saya berterima kasih sekali jika Kiai mau me-
nurunkannya kepada saya,” sahut Gagar Mayang ber-
semangat 
”Oh, maksud saya bukan ajian ciptaan saya, 
Nini. Ajian yang saya maksudkan juga ciptaan kakek 
guru Nini sendiri. Tidakkah Nini Gagar Mayang pernah 
mendengar kehebatan Ajian Gajah Meta ciptaan E 
yang Kuranda Geni?” 
Gagar Mayang menggeleng dengan pandang 
mata kaget Bertahun-tahun ia tinggal bersama Eyang 
Kuranda Geni, belum sekalipun mendengar perihal 
Ajian Gajah Meta ini. 
’’Gajah Meta, yang juga berarti gajah menga-
muk, adalah ilmu pukulan yang sulit dicari tandin-
gannya. Nah, sebagai seorang perempuan yang memi-
liki kodrat ringkih dan lemah lembut, sangat tepat jika 
Nini memiliki Ajian Gajah Meta. Tetapi, kalau memang 
Nini Gagar Mayang belum pernah menerima dari kakek 
guru Nini, tak perlulah terlalu disesali. Mungkin saya  
bisa menurunkan satu ajian yang bisa menebus keke-
cewaan Nini Gagar Mayang....” 
’Terima kasih saya tak terhingga jika Kiai mau 
menurunkan ajian itu kepada saya,”  tukas Gagar 
Mayang seraya bersujud di depan kaki Wasi Ekacakra. 
’’Berdirilah, Nini. Dan, saya pesankan agar Nini 
tidak berterima kasih kepada saya. Saya hanyalah se-
bagai perantara untuk menyampaikannya kepada Nini. 
Gusti Yang Maha Agung-lah yang menganugerahkan. ” 
Lalu, mulailah Gagar Mayang melatih satu ajian 
pukulan yang diajarkan oleh Wasi Ekacakra. Ajian 
yang menjadi benteng terakhir selama Wasi Ekacakra 
malang-melintang di rimba persilatan ini sempat 
menggegerkan rimba persilatan. Banyak sudah korban 
berjatuhan dengan dada terbelah oleh ajian ciptaan 
Wasi Ekacakra ini. 
’’Saya menamakan ajian ini semata-mata hanya 
didasari rasa kagum saya kepada salah seorang ksatria 
dalam dunia pewayangan, Nini. Entahlah kenapa saya 
memilih sebutan Ajian Ismu Gunting. Padahal saya ti-
dak tahu persis bagaimana Ajian Ismu Gunting yang 
ada dalam cerita pewayangan,” tutur Wasi Ekacakra 
menjelaskan. 
”Nama yang sangat cocok, Kiai,” puji Gagar 
Mayang tulus. 
’’Mudah-mudahan Nini Gagar Mayang berhasil 
mempelajarinya,” ucap Wasi Ekacakra. 
Pada hari kelima Gagar Mayang menjalani lati-
han di pondok Wasi Ekacakra, muncullah Joko Sung-
sang di tempat gadis itu berlatih. Terkagum-kagum 
Pendekar Perisai Naga ini melihat kegigihan Gagar 
Mayang dalam berlatih. Meski gadis itu baru saja sem-
buh  dari luka dalam, tetap saja memiliki kekuatan 
jasmani yang luar biasa untuk ukuran seorang gadis. 
 
Seperti burung alap-alap, gadis itu menyambar ke sa-
na-sini. Seperti belalang gadis itu melenting. Dan, ma-
ta Joko Sungsang terbelalak sewaktu telapak tangan 
Gagar Mayang menyambar sebatang pohon. Kulit po-
hon itu robek seolah terletak sebilah pedang. 
”Hmmm, Ajian Ismu Gunting itu telah diturun-
kan kepadanya oleh Paman Wasi Ekacakra,” pikir Pen-
dekar Perisai Naga. 
”Pukulan yang luar biasa!” puji Joko Sungsang 
sambil mendekati gadis itu. 
’’Joko...?” Gagar Mayang menoleh dan matanya 
berbinar-binar. 
”Aku ikut senang kau telah berhasil melatih 
Ajian Ismu Gunting, Gagar Mayang. ” 
”Belum sepenuhnya berhasil. Pohon itu hanya 
robek kulitnya,” bantah gadis itu. 
”Ya. Tetapi, kulit pohon itu lebih keras dan le-
bih tebal dibandingkan dengan kulit manusia, Gagar 
Mayang. Bayangkan jika kulit manusia yang tersambar 
sisi telapak tanganmu.” 
’Tapi, kata Kiai, pohon itu harus terbelah men-
jadi dua....” 
”Itu puncak kehebatan Ajian Ismu Gunting, 
bukan? Dan, sekarang kau sedang mendaki dari ba-
wah. Tidak akan kau tiba-tiba berada di puncak tanpa 
mendaki dari bawah,” tukas Joko Sungsang. 
’’Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan 
semakin bersemangat latihan jika kau menungguiku, 
Pendekar Perisai Naga?” Gadis itu tersenyum malu-
malu. 
Bergetar batin Joko Sungsang mendengarkan 
kepolosan gadis dari Bukit Cangak ini. 
”Aku berjanji akan menungguimu selama berla-
tih, Gagar Mayang,” katanya dengan pandang mata  
menghunjam ke bola mata gadis itu. 
Gagar Mayang menyibakkan rambutnya yang 
terjurai ke dahi. Ia menatap mata Pendekar Perisai Na-
ga, tetapi buru-buru ia berpaling. Sorot mata anak 
muda itu seolah mampu merontokkan jantung ha-
tinya. 
’’Sudah kau  temukan biang keladi itu?” tanya 
Gagar Mayang mengalihkan arah pembicaraan. 
Joko Sungsang menelan ludah sewaktu melihat 
gadis itu mengikat rambut yang semula menutupi le-
hernya. Kini leher yang jenjang itu nampak jelas. Dan, 
sewaktu mata Joko Sungsang bergeser turun, nampak 
olehnya sepasang bukit dada yang terjal. 
”Kau tidak mendengar aku bertanya, Pendekar 
Perisai Naga?” usik Gagar Mayang. 
”Oh, ya. Aku sudah mendapatkannya! Ada pe-
tunjuk bahwa orang-orang Rawa Genjerlah yang harus 
bertanggung jawab atas terbunuhnya Eyang Kuranda 
Geni, kakekmu, ” jawab Joko Sungsang setelah mam-
pu menguasai debur jantungnya. 
’’Rawa Genjer?” Gagar Mayang memicingkan 
mata. ”Aku pernah mendengar nama tempat itu. Teta-
pi... ah, kenapa aku sekarang tidak ingat lagi? Siapa 
orang laknat yang tinggal di situ?” 
”Ki Buyut Senggana dan seorang muridnya. 
Kau pernah mendengar nama Ki Buyut Senggana yang 
bergelar Siluman Kera dari Rawa Genjer?” 
Gadis itu mengangguk kecil-kecil dengan ra-
hang mengatup erat. 
”Aku bahkan sudah sempat terlibat bentrokan 
dengan siluman kera itu,” sambung Joko Sungsang. 
’’Jadi, dia sudah tewas di ujung cambukmu?” 
Nada kecewa terdengar dalam ucapan gadis itu. 
’’Tidak semudah itu, Gagar Mayang. Sebalik- 
nya, hampir saja aku dipecundangi Jurus Siluman Ke-
ra Sakti....” 
”Aku tidak percaya!” tukas gadis itu seraya 
menggeleng-geleng. 
’’Apakah kau juga tidak percaya jika aku kata-
kan pengakuan ku ini nanti di hadapan Paman Wasi, 
guru mu?” 
Gagar Mayang terdiam. Pandang mata gadis itu 
terpaku pada awan yang tengah berarak. Kalau Pende-
kar Perisai Naga saja bisa dipecundangi, bagaimana 
dengan aku? Berkali-kali gadis itu menanyai dirinya 
sendiri. 
”Lalu, bagaimana kau bisa meloloskan diri dari 
Rawa Genjer?” tanyanya kemudian semakin penasa-
ran. 
”Kali ini bukan suara emprit gantil yang mem-
buat....” 
’’Gurumu datang menyelamatkanmu?” tebak 
Gagar Mayang cepat. 
 ”Dari Guru pula aku tahu bahwa aku telah me-
lakukan kesalahan sehingga aku hampir saja celaka, 
Gagar Mayang.” 
”Kau bisa membentengi dirimu dengan Ilmu 
Pukulan Ombak Laut Selatan, bukan?” 
’’Kalaupun itu aku lakukan, belum jaminan aku 
bisa memenangkan pertarungan. Bukan tidak mung-
kin aku dan lawanku sama-sama tewas. Padahal bu-
kan itu yang aku inginkan, dan juga kau inginkan, bu-
kan?” 
 ”Aku berterima kasih kau telah membiarkan 
musuh besarku tetap hidup, Joko.” 
”Guru yang mengingatkanku agar membiarkan 
Ki Buyut Senggana tetap hidup. Kalau tidak, tentu 
Guru sudah melayaninya bertarung hidup dan mati.  
Waktu itu Guru hanya memancingnya agar mening-
galkan aku. Begitulah kenapa aku bisa selamat sampai 
di sini lagi.” 
”Aku memang pernah mendengar cerita tentang 
keanehan Kiai Wiku Jaladri, gurumu itu. Tak pernah 
gurumu mau membunuh lawan yang tidak punya uru-
san pribadi dengannya.” 
Joko Sungsang tidak lagi menyahut. Pembica-
raan mereka berdua terhenti sebab Wasi Ekacakra ti-
ba-tiba saja menegur, 
’’Selamat datang, Anakmas Joko Sungsang.” 
’’Maafkan saya, Paman. Saya langsung melihat 
Gagar Mayang berlatih di sini. Seharusnya saya lebih 
dulu menemui Paman," kata Joko Sungsang sigap. 
’’Adakah keharusan yang seperti Anakmas ka-
takan tadi?” Wasi Ekacakra tertawa terkekeh-kekeh. 
Namun, orang tua itu segera menghentikan tawanya 
begitu matanya yang tajam melihat sebuah pohon 
mengucurkan getahnya. 
’’Ajian Ismu Gunting yang merobek kulit pohon 
itu, Paman,” tutur Joko Sungsang setelah melihat arah 
pandang mata Wasi Ekacakra. 
’’Saya sudah pastikan bahwa Nini Gagar 
Mayang akan berhasil mempelajari Ajian Ismu Gunt-
ing. ” Wasi Ekacakra menatap bangga ke arah Gagar 
Mayang. 
’Tetapi, Gagar Mayang belum puas karena be-
lum mampu membelah pohon itu, Paman,” goda Joko 
Sungsang sambil melirik gadis itu. 
Ingin sebenarnya Gagar Mayang menendang be-
tis anak muda itu sekuat-kuatnya. Namun, dalam hati 
saja ia mengancam, ”Awas jika kita hanya berdua!”  
’’Sedikit demi sedikit datangnya kekuatan itu, 
Nini. Dengan hasil yang sekarang pun, saya merasa  
bangga sekali. Bayangkan jika kulit manusia yang ter-
kena telapak tangan Nini Gagar Mayang.” 
’Tadi sudah saya katakan, Paman. Tapi, mung-
kin Gagar Mayang tidak mau percaya jika bukan Pa-
man yang mengatakannya.” 
’’Saya tidak mengira jika Tuan Pendekar Perisai 
Naga ternyata tukang menggoda perempuan!” sembur 
Gagar Mayang kesal. 
Mereka bertiga tertawa. 
 
*** 
 
 
Hutan Pinus itu serasa bergetar oleh tawa nyar-
ing seorang perempuan tua yang tengah mencengke-
ram leher Bajang Kerek. Untuk kesekian kalinya pe-
rempuan tua berpakaian serba ungu bertanya, ”Ayo, 
katakan siapa yang telah membunuh murid kesayan-
ganku itu, celeng busuk? Kau  pikir aku tidak bisa 
memaksamu agar mengaku?” 
’’Kaubunuh pun aku tidak akan bisa menjawab, 
Nyai....” 
”Apa? Kau panggil aku ’Nyai’? Kurang ajar!” Pe-
rempuan tua yang bersenjatakan tongkat berkepala 
tengkorak monyet itu mendorong tubuh Bajang Kerek. 
Satu dorongan yang begitu kuat membuat tubuh lelaki 
malang itu terbentur batu cadas dan menggeliat-geliat. 
Diam-diam Bajang Kerek bersyukur pernah 
mempelajari ilmu kekebalan dari Klabang Seketi. Kalau 
tidak, tentulah batu cadas itu akan menghancurkan 
kulit di sekujur badannya. 
”Ayo, katakan sekali lagi kau tidak tahu! Ku- 
hancurkan batok kepalamu dengan batok kepala mo-
nyet ini!” Perempuan tua itu menaruh kepala tongkat-
nya di dahi Bajang Kerek. 
’’Saya memang melihat seorang gadis berkelia-
ran di hutan ini beberapa hari yang lalu. Tetapi, saya 
tidak tahu siapa gadis itu. Bahkan seorang teman saya 
juga tak berdaya menghadapi gadis berpakaian serba 
jingga itu....” 
’’Bagus! Bagus! Kau mulai mau jujur, celeng! 
Kau sempat melihat pakaian gadis itu, bukan? Tentu 
kau juga sempat melihat senjata gadis itu!” tukas pe-
rempuan tua yang kehilangan murid tunggalnya itu. 
”Saya... saya tidak melihat gadis itu membawa-
bawa senjata....” 
’’Bohong!” sergah perempuan tua itu sambil 
menekankan ujung tongkatnya ke leher Bajang Kerek. 
”Kau boleh berbohong di depan manusia mana pun! 
Tetapi, jangan coba-coba membohongi Bidadari Kawah 
Singidan! Mengerti?” 
’’Demi setan yang menghuni hutan ini, saya be-
nar-benar tidak melihat senjata macam apa yang di-
pergunakan gadis itu, Sang Bidadari. Tapi, saya tahu 
gadis itu begitu akrab dengan Pendekar Perisai Naga. ” 
Tiba-tiba Bajang Kerek ingat Pendekar Perisai Naga 
yang waktu itu berkenan mengampuninya. 
’’Pendekar Perisai Naga?” Perempuan tua yang 
mengaku dirinya Bidadari Kawah Singidan itu memo-
nyongkan mulutnya yang keriput. ”Nah, tahulah aku 
sekarang. Pastilah pendekar dari Jurang Jero itu yang 
membunuh muridku. Hi-hi-hi! Kalau begitu, kaulah 
yang harus menggantikan muridku melayaniku sehari-
hari, Bocah Bagus!” 
’’Sang Bidadari bisa memaksa Pendekar Perisai 
Naga agar menunjukkan siapa gadis yang berpakaian  
serba jingga itu,” usul Bajang Kerek dengan harapan 
mendapatkan pengampunan dari nenek keriput yang 
merasa dirinya secantik bidadari itu. 
”Hei, berani kau mengajari aku? Tutup mulut-
mu!” Bidadari Kawah Singidan menghentakkan kaki 
kanannya ke tanah. Bajang Kerek merasakan getaran 
tanah yang didudukinya. 
Tenaga dalam nenek keriput itu memang mum-
puni sekali, pikir Bajang Kerek. Maka ia bersyukur 
bahwa nenek yang tak mampu dilawannya itu tadi 
hanya menotok jalan darahnya, tidak membunuhnya. 
”Hei, jangan melamun, tokek hutan! Sekarang, 
kubebaskan totokan jalan darahmu. Kubur baik-baik 
mayat busuk muridku ini. Setelah itu, baru kau bebas 
mencuri kayu lagi. Mengerti?” 
’’Mengerti, Sang Bidadari,” ucap Bajang Kerek 
dengan hati sejuk bukan kepalang. Tidak disangkanya 
Bidadari Kawah Singidan akan membiarkannya tetap 
hidup. 
”Kau tahu di mana Pendekar Perisai Naga bera-
da  sekarang ini?” tanya perempuan tua itu setelah 
membebaskan totokan jalan darah di bahu Bajang Ke-
rek. 
’’Kalau tidak salah dengar, Pendekar Perisai 
Naga membawa gadis itu ke Desa Dadapsari, Sang Bi-
dadari.” 
”Aku tak perlu menungguimu menggali kubur 
untuk muridku. Tetapi, jika sepulangku dari Desa Da-
dapsari nanti kulihat tulang-belulang muridku masih 
tergeletak di sini, kuhancurkan kepalamu dengan 
tongkatku ini. Ingat itu!” 
Wuttt! 
Tubuh Bidadari Kawah Singidan berkelebat, 
dan dalam sekejap mata tak nampak lagi  oleh mata  
Bajang Kerek. Hanya bau wewangian kembang kenan-
ga yang masih tertinggal dan tersedot hidung murid 
Klabang Seketi itu. 
’’Mudah-mudahan kau modar dicekik Cambuk 
Perisai Naga, nenek peyot!” ujar Bajang Kerek. Dalam 
hati saja sebab ia takut jangan-jangan perempuan tua 
itu bertelinga seribu. 
 
*** 
 
Tak sampai separuh malam Bidadari Kawah 
Singidan sudah tiba di mulut Desa Dadapsari. Desa 
yang selama bertahun-tahun aman dan tenteram itu 
tiba-tiba digemparkan oleh teriakan melengking pe-
rempuan tua berilmu  sesat ini. Penduduk desa yang 
berumah tak jauh dari mulut desa itu berlarian ke luar 
rumah dan mencari arah datangnya lengkingan. Na-
mun, yang mereka temui membuat mereka bergegas 
kembali masuk rumah dan mengunci pintu rapat-
rapat. 
”Para peronda itu tewas dengan kepala remuk!” 
kata seorang lelaki kepada istrinya sambil menyorong 
meja ke pintu. 
"Perampok, Kang?” tanya istrinya. 
’’Sudah, jangan banyak omong! Masuklah ke 
kamar, temani anakmu!” sergah lelaki itu. 
Kemudian lelaki itu menempelkan telinganya 
pada  lubang di pintu. Terdengar samar-samar suara 
perempuan iblis itu tertawa-tawa dan berkata, ”Ayo, 
siapa yang paling sakti di desa ini, keluarlah! Aku ta-
hu, di desa ini ada pendekar yang berilmu setan! Ayo, 
keluarlah kau, Pendekar Perisai Naga!” 
’’Suara perempuan, Kang? Dia cari Pendekar 
Perisai Naga, Kang! Siapa itu Pendekar Perisai Naga?”  
 ”Hei, belum masuk ke kamar juga kau?” ben-
tak suaminya semakin kesal. 
”Ayo, keluarlah, Pendekar Perisai Naga! Atau, 
kau memilih aku musnahkan desa ini?” teriak Bidadari 
Kawah Singidan membuat lelaki yang sedang memara-
hi istrinya itu hampir pingsan. Suara itu begitu dekat 
dengan pintu rumahnya. 
Namun, kemudian lelaki itu mengelus dada se-
bab didengarnya suara seseorang menjawab, ’’Akulah 
orang yang kau cari, nenek biadab! Jangan kau usik 
orang-orang yang tidak berdosa!” 
”Hi-hi-hik! Bagus, bagus! Ternyata nama be-
sarmu cocok dengan tanggung jawabmu, Pendekar Pe-
risai Naga! Hi-hi-hik! Ayo, majulah bersama-sama den-
gan gadismu yang lancang itu!” 
”Aku tidak mengerti kenapa kau mencariku, 
Nenek....” 
’’Kurang ajar!” tukas Bidadari Kawah Singidan 
sambil menyabetkan tongkatnya ke kepala Joko Sung-
sang. ’’Berani kau memanggilku ’Nenek’, hei?” 
Tongkat berkepala tengkorak monyet itu mem-
buru Joko Sungsang yang berjumpalitan ke belakang. 
’’Bagaimana aku bisa memanggil namamu jika 
kau tidak pernah memperkenalkan diri?” jawab Joko 
Sungsang sambil terus berjumpalitan ke belakang. 
Sengaja ia menghindar menjauh agar perempuan ja-
hanam itu mengejarnya, dan mereka akhirnya men-
jauhi rumah-rumah penduduk desa. 
’’Bedebah busuk! Keluarkan cambukmu yang 
kesohor itu! Jangan hanya menghindar, bocah sab-
leng!” Bidadari Kawah Singidan menghentikan seran-
gannya, la merasa bahwa lawan hanya ingin memper-
mainkannya. Boleh jadi, meremehkannya. 
”Aku belum mengenalmu, Bibi! Tentu saja aku  
belum pernah menanam permusuhan denganmu!” 
 ”Apa? Kau panggil aku ’Bibi’? Sejak kapan aku 
jadi gundik pamanmu, bocah edan?” 
’’Katakan namamu agar aku bisa memanggil-
mu...!” 
’’Dasar pendekar gadungan! Jangan berlagak 
kau tidak mengenal Bidadari Kawah Singidan kalau 
kau memang bukan pendekar gadungan!” sahut Bida-
dari Kawah Singidan menukas. 
”Oh, kaukah yang bernama Bidadari Kawah 
Singidan yang kesohor itu?” kata Joko Sungsang un-
tuk melegakan perempuan tua renta itu. 
”Nah, mana gadismu yang berani berurusan 
dengan muridku itu? Ayo, kalian majulah bersama-
sama! Jangan pikir aku hanya berani bertarung den-
gan Pendekar Perisai Naga satu lawan satu!” 
Kini Joko Sungsang tahu kenapa perempuan 
tua ini mencarinya. Tentulah perempuan ini guru pe-
rempuan berkipas akar cendana yang tewas di Hutan 
Pinus itu, pikir Joko Sungsang. Dan, gadis yang dica-
rinya? Sudah pasti Gagar Mayang. 
”Kau budeg, he?” sentak Bidadari Kawah Singi-
dan. 
”Kau salah alamat jika mencari gadis itu ke de-
sa sini, Bidadari Kawah Singidan! Gadis itu memang 
pernah mampir ke desa ini, tetapi sekarang sudah 
kembali ke padepokannya!” 
’’Kau pikir aku tidak bisa memaksamu menun-
jukkan di mana gadis itu bersembunyi?” Bidadari Ka-
wah Singidan memutar tongkatnya. Tengkorak monyet 
di ujung tongkat itu menjerit-jerit. 
Wungngng! Wungngng! 
Dua buah sabetan tongkat menerjang kepala 
dan dada Joko Sungsang. Murid Wiku Jaladri itu  
membuang tubuhnya ke belakang, tetapi sebuah tusu-
kan ujung tongkat yang lain memburunya. 
Trakkk! 
Bunga api bepercikan ketika ujung tongkat itu 
tertepis gagang Cambuk Perisai Naga. Baru disadari 
oleh Joko Sungsang bahwa di ujung tongkat yang ber-
lawanan dengan tengkorak monyet itu terdapat sebuah 
pisau bergerigi. 
Beberapa kali serangannya mengenai angin, Bi-
dadari Kawah Singidan semakin geram. Kini bukan 
tongkatnya saja yang mengurung Joko Sungsang, me-
lainkan juga jari-jari tangan kirinya yang dilengkapi 
dengan kuku-kuku beracun. 
Sedikit kewalahan Joko Sungsang menghadapi 
serangan lawan yang dahsyat dan bertubi-tubi, la ta-
hu, Bidadari Kawah Singidan ingin secepatnya men-
gakhiri pertarungan. Namun, ia juga harus terus me-
nuntun perempuan sesat ini lebih jauh lagi dari mulut 
desa. Ada tempat bertarung yang lebih cocok dan jauh 
dari penglihatan penduduk desa. Ke sanalah Joko 
Sungsang menuntun lawannya pergi menjauhi Desa 
Dadapsari. 
”Hi-hi-hik! Ada juga pendekar yang hanya be-
rani bertarung di tanah lapang!” ejek Bidadari Kawah 
Singidan. 
”Di sinilah tempat kita, orang-orang rimba per-
silatan, Nek....” 
’’Bedebah! Masih juga kau memanggilku ’Ne-
nek’!” Bidadari Kawah Singidan menggerakkan tangan 
kirinya. 
Tringng! Tringngng! 
Secepat kilat Joko Sungsang melecutkan cam-
buk-nya untuk menangkis paku-paku beracun yang 
ditebarkan lawan. Lambat-laun ia merasa tak mungkin  
lagi menghadapi perempuan sesat ini hanya dengan 
tangan kosong. Tiga senjata sekaligus telah diperguna-
kan lawan, yakni tongkat, kuku beracun, dan baru sa-
ja paku beracun. 
”Nah, terus terang aku lebih senang melawan 
cambukmu daripada harus melihatmu terus-menerus 
menghindar, Pendekar Perisai Naga!” ujar Bidadari 
Kawah Singidan seraya kembali menyerang Joko 
Sungsang dengan tongkat dan kuku-kuku jari tangan 
kirinya. 
Semakin sengit pertarungan antara mereka 
berdua. Jurus-jurus Cambuk Perisai Naga bertemu 
dengan jurus-jurus tongkat yang begitu matang dan 
membahayakan. Sesekali Joko Sungsang merasa ter-
desak sebab lawan telah sampai pada puncak tataran 
ilmu hitamnya. Paku-paku beracun itu semakin sering 
berhamburan, dan kuku-kuku beracun itu pun selalu 
siap merangkapi serangan tongkat bermata pisau ber-
gerigi itu. 
Tringngng! Tringngng! Trakkk! 
Dua batang paku beracun berhasil ditepis oleh 
bola berduri di ujung Cambuk Perisai Naga. Akan teta-
pi, sabetan tongkat berkepala tengkorak monyet itu 
hampir saja meremukkan pelipis Joko Sungsang. Syu-
kurlah anak muda dari  Padepokan Jurang Jero itu 
masih bisa menahan sabetan tongkat itu dengan ga-
gang cambuk-nya. 
Benturan gagang cambuk dan tongkat ini 
membuat Bidadari Kawah Singidan melompat mundur. 
Tak disangkanya jika benturan itu menyebabkan per-
gelangan tangannya nyeri. 
’’Pantas kau bergelar Pendekar Perisai Naga, 
Anak Muda! Pertahananmu memang mirip pertahanan 
seekor naga!” ujar perempuan dari Kawah Singidan itu. 
 
Joko Sungsang tak menanggapi ocehan perem-
puan sesat itu. la pun sebenarnya kaget merasakan 
akibat dari benturan senjata lawan. Tenaga dalam pe-
rempuan sesat itu begitu sempurna. Rasanya tak 
mungkin lagi membiarkan perempuan itu memamer-
kan seluruh ilmu setannya. 
”Aku harus menyudahi pertarungan ini sebe-
lum Paman Wasi Ekacakra terpaksa menyusul ke sini,” 
kata hati Joko Sungsang. 
Maka anak muda yang bergelar Pendekar Peri-
sai Naga itu tidak membuang-buang kesempatan yang 
hanya sepersekian kerjap mata itu. Sewaktu lawan me-
lompat mundur, Joko Sungsang langsung membu-
runya dengan tendangan yang telah dilambari dengan 
Ilmu Pukulan Ombak Laut Selatan. Begitu cepat ten-
dangan itu menghunjam ke arah pinggang lawan. Akan 
tetapi, Bidadari Kawah Singidan bukanlah gadis ingu-
san yang baru saja turun gunung. la adalah salah seo-
rang tokoh hitam yang telah kenyang makan asam ga-
ramnya rimba persilatan. Melihat bayangan serba pu-
tih itu melenting, secepat kilat ia pun menggenjot ta-
nah dan berjumpalitan di atas kepala Joko Sungsang. 
Srettt! Crasss! 
Di  luar  dugaan Bidadari Kawah Singidan, ter-
nyata Cambuk Perisai Naga sigap mengubernya ke 
udara. Seperti ular kelaparan, cambuk itu melilit leher 
dan langsung mematuk. Tubuh perempuan sesat itu 
terbanting dan menggelosor di tanah dengan leher 
hampir putus. 
’’Cepat tinggalkan tempat ini dan susul Nini 
Gagar Mayang ke Rawa Genjer, Anakmas Joko Sung-
sang!” kata Wasi Ekacakra mengejutkan Joko Sung-
sang. 
’’Bagaimana itu bisa terjadi, Paman?” tanya Jo- 
ko Sungsang hampir tak percaya pada pendengaran-
nya. 
”Tak ada waktu lagi untuk bercerita, Anakmas. 
Maaf, saya tidak bisa menyusul Nini Gagar Mayang se-
bab saya harus menenangkan perasaan seluruh peng-
huni desa ini. Yang pasti, seseorang telah menyebar-
kan berita bahwa Ki Sumping Sedapur berada di desa 
ini. Setidaknya ada yang melihat Nini Gagar Mayang 
memasuki desa ini.” 
’’Maafkan kami, Paman. Benar-benar kami ti-
dak  menghendaki desa ini diinjak-injak orang-orang 
sesat.”  
’’Belum terlambat, Anakmas. Saya masih bisa 
menenangkan hati mereka.” 
’’Kalau begitu, saya berangkat sekarang juga, 
Paman.” 
’’Kebenaran akan selalu menjaga langkah 
Anakmas dan Nini Gagar Mayang,” kata Wasi Ekacakra 
sambil menepuk-nepuk pundak Joko Sungsang. 
Dengan mencurahkan seluruh kemampuan me-
ringankan tubuh yang dimilikinya, Joko Sungsang ber-
lari menyusul Gagar Mayang ke Rawa Genjer. Sama 
sekali tak dipahaminya kenapa gadis itu tiba-tiba ne-
kad melesat ke Rawa Genjer. Tidakkah ia sadar bahwa 
ilmu silatnya belum memadai untuk berhadapan den-
gan Ki Buyut Senggana? Memang, baru saja ia menda-
patkan tambahan Ajian Ismu Gunting dari Wasi Eka-
cakra. Tetapi, itu tidak berarti ia bisa melepaskan diri 
dari kelicikan Siluman Kera dari Rawa Genjer alias Ki 
Buyut Senggana ataupun muridnya. 
Sementara Joko Sungsang merambahi hutan-
hutan serta desa-desa, Gagar Mayang memang tengah 
bertarung mati-matian melawan Danyang Kumbayana. 
Diam-diam gadis itu bersyukur bahwa guru  
dan murid itu tidak maju bersamaan mengeroyoknya. 
Ah, tetapi apalah bedanya jika sang guru dengan mu-
lut kotornya selalu melontarkan kata-kata yang me-
nyakitkan telinga. Entah sudah yang keberapa kalinya 
orang tua jahanam itu berkata, ’’Ingat, Kumbayana! 
Jangan lukai gadis cantik itu! Ingatlah bahwa di Rawa 
Genjer sini tak ada seorang pun makhluk yang berna-
ma perempuan! Apalagi perempuan secantik dan se-
mulus gadis itu!” 
’’Percayalah, Guru! Saya akan berhasil mering-
kusnya dan sekaligus menjadikannya teman tidur!” 
sahut Danyang Kumbayana. 
’’Kalian memang binatang-binatang kotor!” ser-
gah Gagar Mayang sambil kembali memutar seruling 
bambu wulungnya. 
Berkali-kali seruling itu menyambar tubuh Da-
nyang Kumbayana. Namun, sebanyak itu pula seruling 
itu membabat angin. Seperti siluman kera, Danyang 
Kumbayana selalu berhasil menghindari serangan 
yang bertubi-tubi menerjangnya. 
”Kau akan mendapatkan istri yang cantik dan 
mulus, dan aku akan mendapatkan keris luk tujuh itu, 
Kumbayana!” seru Ki Buyut Senggana lagi. 
’’Kalian  majulah bersamaan! Untuk apa kalian 
ngoceh yang bukan-bukan kalau nyatanya kalian tidak 
bisa meringkusku?” sahut Gagar Mayang. 
’’Meringkusmu? Itu pekerjaan sepele, Cah Ayu! 
Kami memang sengaja ingin melihatmu kehabisan te-
naga sehingga kau tidak akan berontak lagi sewaktu 
muridku menikmati tubuhmu!” jawab Ki Buyut Seng-
gana. 
’Tutup mulutmu yang kotor dan majulah, silu-
man lutung!” sergah Gagar Mayang semakin terbakar 
hatinya.  
’’Mulutmu yang indah itu tidak pantas buat 
memaki, Bidadariku!” kata Danyang Kumbayana sete-
lah berhasil menghindari totokan seruling ke arah ba-
hu-nya. 
Gagar Mayang benar-benar merasa dipermain-
kan oleh guru dan murid itu. Tetapi, apa yang bisa di-
perbuatnya kecuali menyerang dan menyerang? Jurus 
Tambak Segara tidak mungkin diterapkannya sebab 
lawan tak pernah mau menyerang. Ajian Ismu Gunting 
hanya akan merobek angin sebab lawan terlalu gesit 
menghindar. Rangkaian jurus-jurus seruling bambu 
wulung itu hampir tidak berarti sebab lawan selalu 
waspada untuk menghindar. Dan, Gagar Mayang me-
rasakan setiap serangannya tidak mapan sebab pera-
saannya terganggu oleh ocehan-ocehan kotor guru dan 
murid itu. 
Tak ada jalan lagi bagi gadis itu kecuali mem-
balas membakar hati lawannya. Maka kata gadis itu 
kemudian, 
 ’’Danyang Kumbayana yang perkasa! Kau tentu 
akan berhasil meniduriku jika kau mampu sekali saja 
menyentuh kulitku!” 
”Apa?” Danyang Kumbayana melompat mundur 
mendekati gurunya. ’’Guru dengar apa yang dikatakan 
calon istri saya tadi?” 
”Ya. Dia memang terlalu pongah! Dia kira, kau 
tidak akan bisa membalas serangan-serangannya!” 
’Tapi, bagaimana kalau dia cedera, Guru?” 
”He-he-he! Kenapa tiba-tiba kau jadi dungu, 
Kumbayana? Bukankah aku tahu bagaimana cara 
memulihkan tubuh mulus itu dari cederanya?” 
”Terima kasih, Guru. Saya akan bikin gadis itu 
merengek-rengek mohon ampunan!” kata Danyang 
Kumbayana seraya mempersiapkan sebuah serangan. 
 
Berbunga-bunga hati Gagar Mayang melihat 
pancingannya berhasil. Inilah kesempatan yang di-
tunggu-tunggunya. Maka Gagar Mayang pun secepat-
nya menerapkan Ajian Ismu Gunting yang baru saja 
didapatkannya dari Wasi Ekacakra. Kini ia bisa mem-
praktekkan ajian itu tanpa harus mengorbankan seba-
tang pohon pun. 
’’Pegang janjimu, Cah Ayu!” seru Danyang 
Kumbayana sebelum berkelebat menerjang dengan 
pukulan beruntun. Sengaja ia tidak melambari puku-
lan itu dengan Ajian Brajamusti agar gadis yang digan-
drunginya itu tetap bisa tertolong. 
Wuttt! Wuttt! Crasss! 
Dua buah pukulan berhasil dihindari dan lewat 
di atas tengkuk Gagar Mayang. Dan, sewaktu Danyang 
Kumbayana belum menyadari ke mana arah gadis itu 
menghindar, tiba-tiba sebuah ayunan telapak tangan 
membelah dadanya. 
’’Aughhh!” Danyang Kumbayana melenguh 
sambil terhuyung-huyung melangkah ke belakang. 
Lalu, satu tendangan memutar mengenai betis 
murid Ki Buyut Senggana itu. Tubuh Danyang Kum-
bayana terjengkang dan menggelosor di tanah dengan 
dada terbelah. 
’’Ajian Ismu Gunting...?” ujar Ki Buyut Sengga-
na setelah meneliti luka di dada muridnya. 
’’Kau  kira hanya Ajian Brajamusti yang bisa 
mengirim nyawa muridmu ke neraka, Buyut Sengga-
na?” ejek Gagar Mayang. 
’’Sundel bolong  busuk!  Ku potong-potong tu-
buhmu yang mulus itu sebagai tebusan atas kelancan-
ganmu, gadis setan!” sergah Ki Buyut Senggana seraya 
menerjang Gagar Mayang dengan totokan ke arah se-
pasang lengan gadis itu. 
 
Namun, orang sesat berilmu siluman itu sema-
kin menyadari bahwa gadis yang dihadapinya tak seji-
nak yang dibayangkannya. Dengan lincahnya, gadis itu 
berkelit sambil memutar seruling bambu wulungnya 
untuk memagari sekujur tubuhnya dari serangan balik 
lawan. 
Singngng! 
Hampir saja kaki Ki Buyut Senggana terpatuk 
seruling di tangan Gagar Mayang kalau saja ia tak siap 
menarik kembali kakinya yang hendak menyerimpung 
kaki gadis itu. 
’’Iblis laknat! Sejak semula aku sudah mengira 
bahwa kau sewaktu-waktu bisa berubah menjadi de-
mit! Tetapi, ingatlah bahwa Rawa Genjer tempat bersa-
rangnya para siluman!” Berkata begini, Ki Buyut Seng-
gana mulai mengeluarkan Jurus Siluman Kera Sakti-
nya. 
’’Menyingkirlah, Gagar Mayang!” Tiba-tiba se-
buah bayangan putih memaksa gadis itu keluar dari 
arena pertarungan. 
’’Pendekar Perisai  Naga, biarkanlah aku meng-
hadapi siluman keparat itu!” seru Gagar Mayang sete-
lah menyadari kehadiran Joko Sungsang. 
”Kau telah menebus kematian gurumu, Gagar 
Mayang.  Ingatlah bahwa gurumu tewas oleh tusukan 
tombak dari arah belakang.” 
’’Apakah tidak sebaiknya kalian maju bersama-
sama mengeroyokku?” sahut Ki Buyut Seriggana se-
raya berlarian kencang mengitari Joko Sungsang. 
’’Berkata-katalah sepuasmu, Buyut Senggana! 
Sampai mulutmu berbusa sekalipun aku tidak akan 
terkecoh!” jawab Joko Sungsang. Setelah itu, sambil 
mengingat-ingat pesan gurunya, Joko Sungsang mulai 
memasang telinganya, mendengarkan setiap jengkal  
langkah kaki lawan. 
Gagar Mayang yang semula masih ingin mem-
bantah ucapan Pendekar Perisai Naga kini terbungkam 
diam. Kini disadarinya bahwa Ki Buyut Senggana me-
mang bukan tandingannya. Di mata gadis itu, tak 
nampak lagi sosok orang tua renta yang tadi menge-
jeknya dengan kata-kata menjijikkan. Yang nampak 
hanyalah benda hitam yang membentuk lingkaran dan 
mengurung sosok putih Joko Sungsang. 
’’Benar-benar ilmu siluman,” kata gadis itu 
dengan hati berdebar-debar. 
Dalam pada itu, melihat lawan sudah sampai 
pada puncak Jurus Siluman Kera Sakti-nya, Joko 
Sungsang secepat kilat mengurai Cambuk Perisai Naga 
dari pinggangnya, dan melecutkan ke  arah suara te-
rakhir yang didengarnya. 
Srettt! Wusss! 
Kaget bukan kepalang Ki Buyut Senggana me-
rasakan belitan cambuk di panggangnya. Akan tetapi, 
kekagetan itu justru mendatangkan tenaga berontak 
yang luar biasa buatnya. Dengan sekali putaran yang 
berlawanan arah dengan lilitan cambuk, Ki Buyut 
Senggana terbebas dari lilitan Cambuk Perisai Naga. 
”Aku ingin tahu apakah lecutan cambukmu 
hanya kebetulan berhasil menyentuhku, Pendekar Pe-
risai Naga!” ujar Ki Buyut Senggana sebelum kembali 
berputar mengitari tubuh lawannya. 
”Kau berhasil menangkal Jurus Naga Melilit 
Gunung, Ki Buyut Monyet!” puji Joko Sungsang tulus. 
’’Jangan sembrono hanya karena kau punya 
sedikit keahlian memainkan cambuk, Pendekar Ingu-
san! Tahukah kau bahwa sebenarnyalah aku hanya 
ingin berhadapan dengan gurumu yang pikun itu?” 
Tertawa dalam hati Joko Sungsang mendengar  
ejekan lawan. Kini sepenuhnya disadari bahwa ejekan-
ejekan itu merupakan rangkaian Jurus Siluman Kera 
Sakti. Mempedulikan ejekan-ejekan itu berarti menuli-
kan telinga sendiri. Menulikan telinga berarti merela-
kan nyawa untuk dijadikan korban kedahsyatan Ajian 
Brajamusti. 
Kini Joko Sungsang tak lagi menyiapkan Jurus 
Naga Melilit Gunung, melainkan menggantikannya 
dengan Jurus Mematuk Elang dalam Mega. Dan, me-
rasa pasti lawan telah melambari tangan kanannya 
dengan Ajian Brajamusti, maka Joko Sungsang pun 
menyiapkan ilmu Pukulan Ombak Laut Selatan dan 
dipusatkannya pada kedua tumitnya. 
Tarrr! Srettt! Desss! 
Ki Buyut Senggana menguningkan pukulan 
yang siap diayunkan ke punggung lawan sebab tiba-
tiba matanya yang tajam menangkap kilatan biru-
kehijau-hijauan mematuk kepalanya. Sulit diikuti ma-
ta Gagar Mayang ketika tiba-tiba saja tangan kanan Ki 
Buyut Senggana berhasil menangkap bola berduri yang 
hendak mematuk kepalanya. 
Reaksi Ki Buyut Senggana ini memang sudah 
ada dalam benak Joko Sungsang. Ia pastikan bahwa 
dengan lambaran Ajian Brajamusti maka orang sesat 
Itu akan berani menangkap bola berduri di ujung 
cambuknya. Sewaktu dirasakannya ada tarikan pada 
cambuknya, Joko Sungsang sigap menggenjot tanah 
dan berjumpalitan di udara. Sewaktu meluncur turun, 
tumit Pendekar Perisai Naga ini dengan telak bersarang 
di punggung Ki Buyut Senggana. 
Tubuh orang sesat penghuni Rawa Genjer Itu 
terpelanting dan jatuh menimpa mayat Danyang Kum-
bayana. Ia berusaha melenting bangkit, tetapi tulang 
punggungnya tak lagi menopang gerak tubuh Itu. Sa- 
ma sekali tak dimengerti oleh Ki Buyut Senggana bah-
wa tulang punggungnya luluh-lantak oleh Ilmu Puku-
lan Ombak Laut Selatan yang tersalur pada sepasang 
tumit Pendekar Perisai Naga. 
’’Kutunggu jika kau memang masih bisa me-
mamerkan ilmu siluman kera-mu, Buyut Senggana!” 
Kini giliran Joko Sungsang melontarkan ejekan. 
Ki Buyut Senggana hanya bisa melenguh dan 
kemudian terkapar dengan kepala terkulai. 
 
*** 
 
’’Terima kasih atas pertolonganmu, Joko Sung-
sang,” ucap Gagar Mayang sambil melangkah menjaja-
ri langkah Joko Sungsang. 
’’Akulah yang seharusnya berterima kasih ke-
padamu, Gagar Mayang,” jawab anak muda yang ber-
gelar Pendekar Perisai Naga itu. 
’’Terima kasih untuk apa?” Gagar Mayang ber-
tanya bingung. 
”Kau beri aku kesempatan untuk menebus ke-
kalahanku.” 
”Ah, maksudmu, kau pernah dikalahkan Ki 
Buyut Senggana?” 
”Ada rahasia yang belum aku ketahui waktu 
itu. Kau sendiri pasti tidak mengira bahwa ejekan-
ejekan yang dilontarkan Ki Buyut Senggana tadi meru-
pakan rangkaian dari Jurus Siluman Kera Sakti.” 
”Ah!” 
’’Waktu itu aku belum selesai bercerita sewaktu 
tiba-tiba Paman Wasi Ekacakra mendatangi kita di 
tempat latihan, bukan?” 
”Ya. Jadi, rahasia apa yang kau maksudkan ta-
di?”  
’’Menghadapi Jurus Siluman Kera Sakti bukan 
harus dengan mata, melainkan dengan telinga.  Tanpa 
pendengaran yang baik, kita tidak akan tahu dimana 
sebenarnya sosok lawan yang asli berada. ” 
’’Syukurlah kau datang memperingatkan  ku” 
kata gadis itu sambil membayangkan apa yang terjadi 
seandainya ia nekad melawan Ki Buyut Senggana. 
’’Sekarang giliranmu bercerita, kenapa kau bisa 
secepat ini berada di Rawa Genjer,” sahut Joko Sung-
sang mengusut. 
"Sepulangku dari tempat latihan, aku bertemu 
dengan seseorang yang menyampaikan pesan Ki Buyut 
Senggana. Di situlah kegagalanku menghadapinya. 
Aku terlalu cepat naik darah sewaktu membaca tulisan 
yang terkirim untukku. Karena itu pula aku tidak pe-
dulikan lagi kau bahkan Kiai Wasi, guruku. Aku begitu 
yakin akan bisa mengalahkan Ki Buyut Senggana den-
gan ajian tambahan yang dahsyat, Ismu Gunting. ” 
’’Sekarang aku baru ingat, siapa yang menyebar 
kabar bahwa kita berdua berada di Desa Dadapsari. 
Hmmm, menyesal aku membiarkan Bajang Kerek tetap 
hidup!” geram Joko Sungsang. 
’’Untuk apa menyesal? Semuanya sudah berha-
sil kita atasi,” kata Gagar Mayang tanpa sedikit pun 
kecurigaan. 
’’Tidak seharusnya kita mengusik ketenangan 
Paman Wasi Ekacakra yang telah bertahun-tahun ber-
sembunyi di Desa Dadapsari, Gagar Mayang. Bukan-
kah dengan adanya kejadian ini, Desa Dadapsari akan 
menjadi pusat perhatian. orang-orang rimba persila-
tan". 
”Oh, betapa dungunya aku....” Gadis itu mene-
pak dahinya sendiri. 
"Mudah-mudahan saja Paman Wasi betul betul  
bisa menghilangkan jejak Bidadari Kawah Singidan di 
desa itu.” 
”Siapa itu Bidadari Kawah Singidan?” 
”Guru perempuan liar berkipas akar cendana 
yang tewas terpatuk seruling maut-mu di Hutan Pinus. 
Dia mencarimu ke Desa Dadapsari bersamaan keper-
gian mu ke Rawa Genjer.” 
”Ah, kalau begitu, akulah yang berdosa terha-
dap Kiai Wasi dan penduduk Desa Dadapsari,” sesal 
gadis itu.    
    
SELESAI