Pendekar Rajawali Sakti 95 - Pangeran Iblis(2)

Kedatangan Arya Sempana siang tadi, tentu saja membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi semakin penasaran. Mereka ingin tahu, seperti apa Pangeran Iblis yang kini menguasai seluruh wilayah Kadipaten Wurungga ini. Banyak sekali yang diceritakan Arya Sempana tentang Pangeran Iblis. Termasuk, segala tindak perbuatannya yang sangat tercela itu.

Dan kini membuat kedua pendekar dari Karang Setra itu semakin geram. Sampai jauh malam, Arya Sempana berada di kamar penginapan yang disewa Rangga. Dan tepat tengah malam, laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu baru meninggalkan kamar penginapan.

Sementara, Pandan Wangi belum juga beranjak ke kamarnya sendiri. Gadis itu masih saja tetap duduk di kursi yang dipindahkan ke dekat jendela. Sedangkan Rangga hanya berdiri saja memandang ke luar, mengamati sekitar bagian depan bangunan kadipatenan yang dijaga ketat sekali. Bahkan malam ini, penjagaan semakin bertambah ketat saja.

“Kau akan menyelidiki malam ini, Kakang?” tanya Pandan Wangi, seraya berpaling menatap wajah Pandan Wangi.

“Ya! Aku ingin tahu, apa yang dilakukannya di dalam sana,” sahut Rangga, agak mendesah nada suaranya.

“Aku ikut, Kakang,” pinta Pandan Wangi.

Rangga menoleh, menatap tajam bola mata gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Sedangkan yang ditatap, malah membalas dengan sinar mata yang tidak kalah tajam. Jelas sekali dari sorot matanya, kalau Pandan Wangi begitu ingin ikut menyelidiki Pangeran Iblis malam ini.

“Kau tunggu aku saja di sini dulu, Pandan. Kita belum tahu keadaannya. Nanti kalau aku sudah tahu seluk-beluk kadipatenan ini, baru kau ikut,” tolak Rangga secara halus.

“Tapi, Kakang....”

“Dengar, Pandan.... Harus ada orang yang mengawasi dari sini. Kamar ini sangat cocok untuk mengawasi ke sana,” potong Rangga.

“Hhh...!” Pandan Wangi hanya menarik napas dalam-dalam.

Sedikit gadis itu mengangkat bahunya. Dia tahu, kalau Rangga sudah bilang tidak, selamanya tidak. Memang sulit untuk bisa merubah pendirian Pendekar Rajawali Sakti. Maka terpaksa Pandan Wangi harus mengalah.

“Aku pergi dulu, Pandan,” pamit Rangga.

“Paman Arya Sempana sudah menungguku di sana.”

Pandan Wangi menjulurkan kepalanya sedikit Tampak Arya Sempana berlindung di balik sebatang pohon beringin yang sangat besar, tidak jauh dari tembok samping pagar kadipatenan.

“Hati-hati, Kakang...”

“Hup!” Belum lagi hilang suara Pandan Wangi, Rangga sudah melesat begitu cepat keluar melalui jendela kamar penginapan ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga gerakannya bagai angin saja. Dan dalam sekejapan saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tertelan gelapnya malam. Pandan Wangi bergegas menggeser kursinya, semakin dekat ke jendela. Bangunan istana kadipaten itu harus terus diawasi.

Saat itu, Rangga sudah berada di samping Arya Sempana. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti sampai di sana. Bahkan Pandan Wangi sendiri belum juga duduk di kursinya. Entah kenapa, gadis itu jadi tersenyum melihat Rangga sudah bersama Arya Sempana. Entah apa yang mereka percakapkan di sana. Dan rasanya terlalu jauh bagi Pandan Wangi untuk bisa mencuri dengar percakapan kedua laki-laki itu.

“Huh! Kalau saja aku bisa menguasai aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’ seperti Kakang Rangga, akan kusadap pembicaraan mereka. Sayang..., Kakang Rangga tidak mau mengajarkannya padaku,” keluh Pandan Wangi. 

***
LIMA
Saat itu, Rangga dan Arya Sempana sudah berada di bagian belakang tembok istana Kadipaten Wurungga yang tingginya sekitar dua batang tombak. Hanya sebentar saja Rangga mengamati keadaan sekitarnya, kemudian dengan gerakan indah dan ringan sekali sudah melompat naik. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara.

Kemudian tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya menjejak bibir tembok yang tebal itu. Rangga menjulurkan kepalanya sedikit ke bagian dalam. Tidak ada seorang penjaga pun terlihat di bagian belakang ini. Ternyata pada bagian dalam dinding tembok pagar ini adalah sebuah taman yang sangat indah. Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke belakang. Tampak Arya Sempana masih tetap menunggu di bawah sambil mendongak ke atas, memandang padanya.

“Hup!” Arya Sempana langsung saja melompat naik, begitu Rangga memberi tanda dengan tangannya. Ternyata, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu cukup tinggi juga. Hanya sekali lesatan dan beberapa kali putaran tubuh, kakinya berhasil menjejak tepat di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau tidak salah, Paman...? Bukankah ini taman kaputren...,” tanya Rangga.

“Memang. Tapi hanya melalui jalan inilah yang teraman, Rangga. Tidak ada jalan lain lagi. Kau lihat sendiri. Tidak ada seorang penjaga pun di sana. Taman kaputren memang terlarang bagi orang luar. Khusus untuk keluarga adipati saja,” sahut Arya Sempana menjelaskan keadaan dalam lingkungan kadipatenan ini.

Sebentar Rangga mengamati keadaan sekitarnya. Memang, tidak terlihat seorang penjaga pun berkeliaran di dalam taman ini. Dan keadaannya juga cukup gelap. Sehingga, mereka tentu dengan mudah bisa masuk ke sana. Tapi Rangga tidak mau bertindak gegabah. Walaupun keadaan memungkinkan, tetap saja semuanya dipelajari secermat mungkin.

“Ayo, Rangga. Jangan buang-buang waktu,” ajak Arya Sempana.

“Tunggu...!” cegah Rangga cepat, seraya mencekal pergelangan tangan Arya Sempana. Laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu tidak jadi melompat turun. Rangga segera melepaskan cekalan tangannya. Dan pada saat itu, terlihat sesosok tubuh mengendap-endap di antara gerumbul tanaman bunga.

“Rupanya bukan hanya kita berdua yang ada di sini, Paman,” bisik Rangga perlahan. Begitu pelannya, sampai hampir tidak terdengar di telinga Arya Sempana. Dan laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu hanya menganggukkan kepala saja sedikit.

Dia juga melihat sosok tubuh berpakaian serba hitam tengah mengendap-endap di antara gerumbul semak pohon bunga. Tampak jelas kalau sosok tubuh itu sedang mendekati pintu masuk ke dalam taman ini. Dia berhenti sebentar. Lalu, tubuhnya berlindung di balik sebatang pohon beringin yang cukup besar, tidak jauh dari pintu yang tertutup rapat Dari bentuk tubuhnya yang tinggi tegap, jelas sekali kalau sosok tubuh itu seorang laki-laki.

Sebilah pedang berukuran panjang, tersampir di pinggangnya yang cukup ramping. Tampak pandangannya beredar ke sekeliling, seakan-akan tengah mengamati keadaan sekitarnya. Kemudian tatapan matanya tertuju lurus ke arah pintu masuk ke dalam taman yang tetap tertutup rapat. Sementara dari atas tembok benteng, Rangga dan Arya Sempana terus memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun juga. Memang cukup sulit untuk bisa melihat wajah orang itu. Apalagi, malam ini langit tertutup awan hitam cukup tebal. Sehingga, sinar bulan tidak bisa memancarkan cahayanya sampai ke bumi.

“Kau tunggu dulu di sini, Paman. Aku ingin tahu, siapa orang itu. Juga, apa maksudnya berada di taman kaputren ini,” ujar Rangga.

Belum lagi Arya Sempana bisa membuka suaranya, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat cepat bagai kilat. Gerakannya juga sangat ringan, seperti kapas. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah berumput tebal dan terawat rapi ini.

“Hup...!” Kembali Rangga melesat ringan dengan kecepatan luar biasa sekali. Dan tahu-tahu dia sudah berada dekat di belakang orang berpakaian serba hitam yang ketat ini.

“Kisanak....”

“Heh...?!” Orang itu tampak terkejut sekali, begitu mendengar teguran dari belakangnya. Bagaikan kilat, tubuhnya berputar sambil mengibaskan tangan kirinya. Seketika itu juga, dari telapak tangan kirinya yang terbuka melesat deras secercah cahaya kilat keperakan.

“Haiiit!” Untung saja Rangga cepat mengegoskan tubuhnya, menghindari serangan orang berpakaian serba hitam ini. Dan bagaikan kilat, kedua kakinya bergerak ke depan, sambil menghentakkan tangan kanannya ke arah dada orang berpakaian serba hitam ini.

“Hap!” Tapi orang berpakaian serba hitam itu malah menerima serangan balasan Rangga dengan hentakan tangannya pula. Hingga....

Plak!
“Hup!”
“Hap...!”

Mereka sama-sama berlompatan ke belakang, sejauh lima langkah. Untung saja, Rangga tadi tidak mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Sehingga, orang berpakaian serba hitam itu hanya terhuyung sedikit sambil memegangi sebelah tangannya yang beradu dengan tangan Rangga tadi. Tapi orang berpakaian serba hitam itu sudah cepat bersiap hendak melakukan serangan. Tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedang. Bahkan hampir saja tercabut, kalau Rangga tidak segera mencegahnya.

“Tunggu, Kisanak...!”

Kelopak mata Rangga jadi menyipit, melihat seluruh kepala dan wajah orang itu terbungkus kain hitam. Hanya bagian kedua bola matanya saja yang terlihat. Dan tampak jelas sekali dari sinar bola matanya, kalau orang berpakaian serba hitam itu terkejut melihat Pendekar Rajawali Sakti yang ada di depannya.

“Hup...!”

Tiba-tiba saja orang berpakaian serba hitam itu melesat cepat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.

“Eh, tung....”

Tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk mencegah. Begitu cepat orang berpakaian serba hitam itu melesat. Sehingga dalam sekejapan mata saja dia sudah lenyap, setelah melewati tembok pagar yang cukup tinggi di bagian belakang istana kadipatenan ini.

“Hm.... Siapa dia? Lalu kenapa mesti lari...?” gumam Rangga bertanya pada diri sendiri. Saat itu terlihat Arya Sempana melompat turun dari atas tembok pagar. Dan langsung dihampirinya Rangga yang berdiri mematung di bawah pohon beringin, menatap lurus ke arah kepergian orang berpakaian serba hitam tadi.

“Kau kenali siapa dia, Rangga?” tanya Arya Sempana langsung.

“Tidak,” sahut Rangga pelan.

“Hm....”

“Dia memakai topeng kain,” Rangga menjelaskan, mendengar gumaman yang bernada tidak puas. Beberapa saat mereka terdiam.

“Ayo, Rangga. Kita terus saja,” ajak Arya Sempana.

“Ayolah....” 

***

Arya Sempana memang hafal betul seluk-beluk bangunan istana kadipatenan ini. Mereka melewati tempat-tempat yang tidak ada penjaganya, sehingga dengan mudah bisa sampai di bagian samping sebuah kamar yang kelihatannya cukup terang di dalam. Jendela kamar itu terlihat sedikit terbuka. Mereka mengendap-endap, merapatkan punggungnya mendekati jendela kamar itu.

“Itu kamar Gusti Adipati, Rangga. Tapi sekarang ditempati Pangeran Iblis,” jelas Arya Sempana. Rangga hanya diam saja.

Kini mereka berhenti setelah dekat dengan jendela kamar yang sedikit terbuka. Cahaya pelita dari dalam menerobos ke luar. Namun sesaat kemudian, kening kedua laki-laki itu jadi berkerut seraya saling melemparkan pandang.

“Iblis...!” desis Arya Sempana dengan wajah memerah seketika. Jelas sekali terdengar kalau di dalam kamar itu seseorang tengah memaksa melampiaskan nafsu binatangnya pada seorang wanita. Erangan dan rintihan lirih terdengar jelas menggiris hati, disertai dengusan napas berat dan memburu.

Tampak wajah Rangga jadi memerah. Dan nafasnya pun terdengar memburu. Kedua tangannya juga sudah terkepal erat. Sementara, di dalam kamar terdengar suara rintihan dan tangisan terisak dari seorang wanita. Dan tak berapa lama kemudian, terdengar tawa seorang laki-laki terkekeh.

“Pengawal...!” Terdengar suara keras dari dalam kamar.

“Seret perempuan ini keluar. Aku tidak sudi lagi melihat wajahnya. Kau mengerti maksudku...?”

“Mengerti, Gusti Pangeran.”

“Buang dia ke dalam jurang sekarang juga.”

“Baik, Gusti Pangeran.”

Sesaat, tidak lagi terdengar suara dari dalam kamar itu. Dan terlihat sepasang tangan menjulur ke luar meraih daun jendela, lalu menutupnya rapat-rapat. Sementara, Rangga dan Arya Sempana lebih merapatkan tubuh ke dinding.

“Iblis...!” desis Arya Sempana berang. Rangga melirik sedikit pada laki-laki berusia lebih dari separuh baya ini.

“Apakah dia Pangeran Iblis, Paman?” tanya Rangga. Suaranya terdengar sangat pelan, dan hampir saja tidak terdengar.

“Tidak ada lagi iblis cabul keparat selain dia, Rangga. Huh! Aku belum puas kalau belum bisa memenggal kepalanya,” sahut Arya Sempana mendengus berang.

“Nanti bisa dilakukan, Paman. Yang penting sekarang, kita harus selamatkan dulu Gusti Adipati Utayasena dari kurungan,” kata Rangga berusaha meredakan amarah laki-laki itu. “Kau tahu, di mana tempatnya kan, Paman...?”

“Ikuti aku,” ajak Arya Sempana.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera bergerak menyusuri bagian belakang dinding tembok bangunan istana kadipatenan ini. Rangga sengaja berjalan di belakang, mengikuti Arya Sempana. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, menjaga kalau-kalau ada prajurit penjaga lewat. Beberapa jendela kamar dilewati. Hingga akhirnya, mereka sampai di sebuah pintu yang terbuat dari jeruji besi berwarna hitam pekat. Sebentar Arya Sempana mengamati keadaan di balik pintu berjeruji itu.

“Hanya ada dua orang penjaga, Rangga. Tepat di depan pintu masuk ke dalam kamar tahanan,” jelas Arya Sempana.

“Kau bisa bereskan mereka, Paman?”

“Anak kecil pun bisa, Rangga.”

Rangga hanya tersenyum saja. Memang jelas kalau tingkat kepandaian yang dimiliki Arya Sempana tentu jauh lebih tinggi daripada para prajurit di Kadipaten Wurungga ini.

“Kau tunggu saja dulu di sini, Rangga. Aku masih bisa bebas keluar masuk di dalam istana kadipaten ini. Selama ini, aku berpura-pura mematuhi perintah Pangeran Iblis,” kata Arya Sempana.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Sementara, Arya Sempana mendekati pintu berjeruji besi itu. Dia berdiri tegak di depan pintu dengan sikap dibuat angkuh sekali, begitu melihat dua orang prajurit penjaga bergegas menghampiri.

“Gusti..., ada perlu apa malam-malam datang ke sini?” tanya salah seorang prajurit.

“Bukakan pintu!” perintah Arya Sempana tegas.

“Tapi....”

“Buka kataku, cepat..!”

Kedua prajurit itu tampak bimbang. Mereka saling berpandangan sejenak, kemudian salah seorang membuka pintu berjeruji besi itu. Arya Sempana melangkah masuk dengan ayunan kaki begitu tenang. Dan ketika berada di antara dua orang prajurit yang masih berusia muda, mendadak saja....

“Hih! Yeaaah...!”
Bet! Wuk!
“Akh!” “Hegkh...!”

Tidak ada lagi suara yang terdengar. Begitu cepat Arya Sempana mengibaskan goloknya. Akibatnya, dua orang prajurit penjaga itu langsung terkapar tewas dengan darah berhamburan dari dadanya yang terbelah. Arya Sempana segera memanggil Rangga. Kemu-dian, disingkirkannya tubuh dua orang penjaga itu, dan disembunyikan di balik lekukan dinding batu.

“Ayo, Rangga. Cepat kita bebaskan Gusti Adipati,” ajak Arya Sempana.

Tanpa berbicara lagi, mereka bergegas menyusuri lorong yang tidak begitu panjang, tapi sangat gelap. Hanya ada beberapa buah obor terpancang di dinding, sehingga tidak memberikan cahaya yang cukup untuk menerangi lorong ini. Mereka lalu berhenti tepat di de-pan sebuah pintu yang terbuat dari besi baja. Dan tampaknya hanya ada sedikit lubang kotak pada ba-gian tengah atas pintu itu.

“Oh...?!”

“Ada apa, Paman...?”

Arya Sempana tidak bisa menjawab. Wajahnya kelihatan pucat sekali. Malah keringat juga sudah mengucur deras membasahi wajahnya yang jadi seperti mayat itu. Rangga jadi heran tidak mengerti. Bergegas disingkirkannya laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti mengintip ke dalam dari lubang di pintu.

“Oh, tidak...,” desis Rangga hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya di balik pintu besi. Pendekar Rajawali Sakti melangkah mundur beberapa tindak. Sementara, Arya Sempana berdiri menyandarkan punggungnya di dinding samping pintu. Wajahnya masih kelihatan pucat pasi. Saat itu, Rangga sudah mengepalkan kedua tangannya di samping pinggang. Dan....

“Hup...! Yeaaah...!”
Bet!

Sambil menghembuskan napas panjang, Rangga menghentakkan kedua tangannya. Dan kedua telapak tangannya yang terbuka begitu menghentak ke depan tadi, langsung menyentuh daun pintu besi ini. Maka seketika itu juga, pintu yang terbuat dari besi baja tebal itu jebol.

Brak!
“Hup!”

Rangga cepat-cepat menerobos masuk ke dalam, di antara debu-debu yang menghalangi pandangannya sesaat. Kemudian kakinya bergegas melangkah menghampiri sesosok tubuh gemuk yang tergantung di tengah-tengah ruangan berukuran tidak begitu besar ini. Seluruh dinding ruangan terbuat dari batu, dan tidak ada jendela satu pun.

“Paman, bantu aku. Cepat..!” seru Rangga.

Arya Sempana bergegas masuk. Tanpa diminta dua kali, dibantunya Rangga menurunkan sosok tubuh laki-laki tua bertubuh gemuk yang tergantung dengan rantai besi. Tidak terlalu sulit untuk menurunkannya. Tapi tubuh yang gemuk itu memang berat. Bahkan, Arya Sempana sendiri hampir-hampir terjatuh saat menahannya. Dan mereka lalu membaringkan tubuh yang sudah tidak bernyawa itu di lantai batu yang dingin dan kotor berdebu ini.

“Gusti..., kenapa kau lakukan ini...?” keluh Arya Sempana tidak bisa menahan kesedihan, melihat adipatinya sudah tidak bernyawa lagi dalam keadaan gantung diri.

“Sudahlah, Paman. Tidak perlu disesali. Mungkin Gusti Adipati tidak kuat lagi menahan penderitaan. Sebaiknya, kita bawa jasadnya dan dikebumikan sebagaimana layaknya,” hibur Rangga, mencoba menenangkan perasaan Arya Sempana.

“Oh....” Rangga ingin mengangkat tubuh adipati itu, tapi Arya Sempana sudah lebih dulu mencegahnya. Dan laki-laki tua itu sendiri yang memondongnya, walaupun tubuhnya lebih kecil. Tapi dengan pengerahan tenaga dalam, tubuh yang gemuk itu bagaikan segumpal kapas saja berada di dalam pondongannya. Mereka segera keluar dari dalam kamar tahanan ini, tanpa membuang-buang waktu lagi.

Rangga sengaja berjalan paling depan, sambil mengawasi kalau-kalau ada penjaga yang lewat. Mereka langsung saja menuju bagian belakang istana kadipaten ini, dan terus menuju taman kaputren yang berada di bagian halaman belakang. Tidak ada seorang penjaga pun dijumpai. Rupanya, Pangeran Iblis mengkhususkan para penjaganya di depan, sehingga mengabaikan bagian belakang bangunan besar yang dikelilingi pagar tembok bagal benteng ini. Tanpa mendapatkan halangan apa-apa, mereka tiba di taman kaputren, dan langsung keluar dengan melompati pagar tembok yang tingginya sekitar dua batang tombak.

“Biar kugantikan, Paman,” pinta Rangga, setelah berada di luar.

Arya Sempana memandangi Pendekar Rajawali Sakti sejenak, kemudian menyerahkan tubuh Adipati Utayasena yang sudah tidak bernyawa. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, Pendekar Rajawali Sakti langsung berlari cepat menuju rumah penginapan.

Sementara, Arya Sempana mengikuti dari arah belakang. Dia juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh, tapi tetap saja tidak bisa menyamai kecepatan lari Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja, mereka sudah tiba di depan jendela kamar rumah penginapan. Pandan Wangi yang sejak tadi menunggu, jadi terkejut melihat kedatangan Rangga dan Arya Sempana. Bahkan, Pendekar Rajawali Sakti tengah membawa seorang laki-laki bertubuh gemuk dalam pondongannya. Segera dibukanya jendela kamar penginapan itu lebar-lebar. Lalu dibiarkannya Rangga melompat masuk ke dalam. Sedangkan Arya Sempana mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.

“Siapa dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi setelah Rangga membaringkan tubuh adipati itu di atas pembaringan.

“Adipati Utayasena,” sahut Rangga.

“Adipati..? Kenapa dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.

Rangga tidak bisa menjawab. Malah tubuhnya dihenyakkan di kursi sambil menghembuskan napas panjang. Terasa begitu berat hembusan nafasnya. Sementara, Arya Sempana berdiri saja membelakangi jendela sambil memandangi tubuh Adipati Utayasena yang terbujur kaku tak bernyawa lagi. Terlihat jelas sekali pada lehernya, guratan merah bekas rantai yang menggantungnya di dalam kamar tahanan.

“Terlalu berat penderitaan yang harus ditanggungnya. Mungkin Gusti Adipati sudah tidak kuat lagi. Gusti Adipati bunuh diri di dalam kamar tahanannya, “ jelas Arya Sempana dengan nada suara sendu.

“Oh...,” Pandan Wangi hanya bisa mendesah saja.

Mereka semua jadi terdiam, tidak bicara lagi. Entah apa yang ada dalam pikiran masing-masing. Sementara, Arya Sempana sudah duduk di tepi pembaringan. Pandangan matanya tidak beralih sedikit pun dari wa-jah Adipati Wurungga. Kelihatan sekali kalau hatinya begitu sedih atas kematian penguasa kadipaten yang begitu mengenaskan ini. Gantung diri di saat seluruh rakyatnya membutuhkan seorang pemimpin yang bisa mengusir pengaruh jahat yang disebarkan Pangeran Iblis.

“Aku tidak tahu lagi, bagaimana nasib kadipaten ini tanpa pemimpin. Semua rakyat belum tahu kalau adipatinya...,” Arya Sempana tidak melanjutkan kata-katanya.

Memang sulit sekali bagi laki-laki tua itu untuk mengungkapkan perasaan hatinya dengan kata-kata. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja. Mereka juga tidak bisa lagi membuka suara. Mereka tahu, apa yang bakal terjadi bila seluruh rakyat tahu kalau adipatinya tewas gantung diri dalam kamar tahanan. Maka sudah barang tentu, tidak ada seorang pun yang sudi mempunyai pemimpin yang tidak dapat menanggung penderitaan.

Mereka semua membutuhkan seorang pemimpin yang kuat dan mampu menghadapi segala macam rintangan dan tantangan. Bahkan harus mampu mengusir pengacau seperti Pangeran Iblis. Kematian adipati yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sangat memalukan ini, sudah barang tentu tidak mungkin disebarluaskan di seluruh wilayah Kadipaten Wurungga. Karena akibatnya, martabat keluarga adipati akan hancur.

“Paman, apa masih ada keluarga adipati yang berada di luar kadipatenan?” tanya Rangga membuka suara, setelah cukup lama membisu.

“Hanya Gordan yang ada. Sedangkan seluruh keluarganya sudah tewas di tangan Pangeran Iblis. Tapi aku tidak tahu lagi, di mana Gordan sekarang berada,” sahut Arya Sempana.

“Apa sebaiknya kita kebumikan saja dulu, Kakang...,” usul Pandan Wangi.

“Bagaimana, Paman?” Rangga malah melontarkan pertanyaan pada Arya Sempana.

“Aku akan menyimpannya dulu di kuil. Aku tahu, kuil yang belum terjamah Pangeran Iblis,” sahut Arya Sempana.

“Setelah itu, aku akan membuat perhitungan terhadap Pangeran Iblis.”

“Kami berdua pasti bersamamu, Paman,” ujar Pandan Wangi.

“Terima kasih,” ucap Arya Sempana, terharu.

***
ENAM
Rangga terpaksa membiarkan Arya Sempana membawa jasad Adipati Utayasena malam ini juga. Sedangkan laki-laki tua itu tidak mau ditemani. Padahal, Rangga sudah menyediakan diri untuk mengawalnya. Maka dengan perasaan berat, Pendekar Rajawali Sakti mengantarkan, walaupun hanya sampai di perbatasan kota. Sedangkan Pandan Wangi tetap menunggu di dalam kamar penginapan.

Setelah mengantarkan Arya Sempana sampai di perbatasan kota, Rangga tidak langsung ke rumah penginapannya. Sengaja diambilnya jalan memutar melalui tanah perkebunan rakyat kadipaten ini. Tidak ada seorang pun yang dijumpainya, hingga tiba di bagian belakang istana kadipatenan. Keadaan di sekitar istana itu masih tetap kelihatan sunyi. Tak ada seorang pun yang terlihat.

Sinar mata Pendekar Rajawali Sakti begitu tajam, mengamati keadaan sekitarnya. Sebentar kepalanya menengadah ke atas, menatap langit yang kelihatan begitu hitam, tertutup awan tebal. Angin pun bertiup cukup kencang, menebarkan udara dingin yang menggigilkan tubuh. Tapi, udara yang begitu dingin sama sekali tidak dirasakan Pendekar Rajawali Sakti.

Perlahan kakinya terayun mendekati dinding pagar belakang yang terbuat dari batu setinggi dua batang tombak lebih itu. Namun begitu berada dekat dengan dinding tembok batu ini, tiba-tiba saja....

Srak!

“Heh...?!” Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba di sekelilingnya bermunculan orang-orang berpakaian seragam prajurit. Mereka muncul dari balik pepohonan dan semak belukar yang banyak tubuh di sekitar bagian belakang bangunan istana kadipatenan ini. Dan sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah terkepung. Tidak ada lagi celah baginya untuk bisa meloloskan diri, ketika sudah terkepung oleh tidak kurang dari lima puluh orang berseragam prajurit kadipaten bersenjatakan tombak dan pedang terhunus.

“Ha ha ha...!”

“Hm....” Rangga hanya menggumam kecil saja, ketika tiba-tiba saja terdengar tawa yang begitu keras menggelegar.

Kepalanya mendongak sedikit, maka, tampaklah di bibir atas tembok pagar batu ini sudah berdiri seorang pemuda berwajah dingin, dan kelihatan pucat seperti mayat. Pakaiannya putih bersih dan agak ketat, dengan ikat pinggang dari kain berwarna kuning keemasan. Sebilah pedang tampak tergantung di pinggangnya yang cukup ramping. Rambutnya yang hitam lebat, terikat agak tergelung ke atas. Sementara bagian sampingnya dibiarkan meriap dipermainkan angin. Dia berdiri congkak sekali sambil berkacak pinggang.

Sedikit Rangga menggeser kakinya, merenggangkan jarak dengan dinding tembok pagar batu ini. Matanya terus menatap tajam pada pemuda berbaju putih yang wajahnya pucat seperti mayat. Dan pemuda itu juga membalasnya tidak kalah tajam. Matanya memancarkan cahaya kebengisan, seperti harimau yang tengah kelaparan melihat seekor domba gemuk. Rangga menaksir kalau usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, sebaya dengan dirinya.

“Tikus busuk..! Apa yang kau lakukan di sini, heh?!” lantang sekali nada suara pemuda berwajah pucat seperti mayat itu.

“Aku sedang jalan-jalan mencari udara segar,” sahut Rangga kalem. Namun, nada suaranya terdengar agak ditekan.

“Kau bawa pedang. Aku tidak percaya kalau kau hanya berjalan-jalan saja mencari angin,” dengus pemuda itu ketus. “Katakan yang benar, apa yang kau lakukan di tengah malam begini...?”

“Sudah kukatakan, aku....”
“Keparat..! Hih!”
Wusss!
“Heh...?! Hup!”

Rangga jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba saja tangan pemuda bermuka pucat itu menghentak ke arahnya. Dan dari telapak tangan kanannya yang terbuka, melesat deras secercah cahaya kemerahan bagai api ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga cepat melenting ke udara menghindari serangan lawan, cahaya merah bagai api itu lewat tanpa menyentuh tubuhnya sedikit pun juga. Dan cahaya itu langsung menghantam tanah tepat di belakangnya. Maka seketika satu ledakan keras pun terdengar menggelegar, begitu cahaya merah menghantam tanah.

“Bagus...! Sudah kuduga, kau pasti punya maksud tertentu berada tengah malam di sini,” dengus pemuda bermuka pucat itu dingin.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam perlahan saja.

“Heh...! Kau tahu siapa aku, hah...?! Aku Gagak Gumilang yang menguasai seluruh wilayah Kadipaten Wurungga ini. Dan kau berada di wilayah kekuasaanku tanpa izin. Jadi, harus mendapat hukuman yang setimpal!”

“O.... Rupanya kau yang bernama Pangeran Iblis itu...,” desis Rangga, terdengar sinis sekali nada suaranya.

“Nah, sekarang kau sudah tahu siapa aku. Cepat berlutut, dan sembah aku...!” perintah Gagak Gumilang lantang menggelegar.

“Hanya satu yang kusembah. Dan yang pasti, bukan manusia iblis sepertimu, Pangeran,” tegas Rangga.

“Keparat..! Kau harus mampus...!” geram Gagak Gumilang berang, melihat sikap Rangga yang jelas-jelas menantangnya. Wajahnya yang sudah pucat seperti mayat, semakin terlihat pucat. Dan sorot matanya begitu tajam memerah, bagai sepasang bola api yang hendak membakar habis seluruh tubuh Rangga. Terdengar suara gerahamnya bergemeletuk menahan geram. Perlahan tangan kanannya bergerak, dengan jari telunjuk menuding lurus ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Bunuh tikus keparat itu...!”
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”
“Hup!”

Belum lagi hilang teriakan perintah Pangeran Iblis, pemuda-pemuda berpakaian seragam prajurit kadipaten yang memang sudah mengepung, langsung saja berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan kecepatan bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat tinggi ke udara. Dan belum juga tubuhnya bisa diputar, mendadak saja....

Wusss...!
“Ikh! Hap...!”

Cepat-cepat Rangga melenting dan berjumpalitan di udara, begitu tiba-tiba saja Pangeran Iblis menyerangnya dengan pukulan jarak jauh yang memancarkan cahaya merah bagai api itu. Kilatan cahaya merah itu lewat sedikit saja di dalam putaran tubuh Rangga. Lalu dengan cepat sekali tubuhnya meluruk turun. Dan sebelum terdengar ledakan keras menggelegar dari sebatang pohon yang hancur terhantam cahaya merah itu, kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti sudah menjejak tanah.

“Hiyaaat..!”

Langsung saja Rangga berlompatan sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun yang sangat cepat dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Walaupun jurusnya dikerahkan hanya tingkat pertama, tapi mengandung pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Dan gerakannya begitu cepat, sehingga sulit untuk diikuti pandangan mata biasa.

“Menyingkir kalian, kalau tidak mau mati sia-sia...!” seru Rangga lantang menggelegar.

“Yeaaah...!”

Namun, tak ada yang menggubris peringatan Rangga. Maka....

Buk! “Akh...!”

Salah seorang prajurit yang berada paling dekat, seketika terpental begitu terkena pukulan yang dilepaskan Rangga. Begitu kerasnya, sehingga prajurit berusia muda itu langsung tewas, setelah tubuhnya menghantam tanah. Tapi, prajurit-prajurit lain sudah cepat merangseknya tanpa kenal ampun.

Terpaksa Rangga harus berjumpalitan menghindari setiap serangan. Dan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti selalu dapat membalas dengan melepaskan pukulan-pukulan dahsyat bertenaga dalam sempurna. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi sudah sejak tadi terdengar saling susul, disusul tubuh-tubuh tak bernyawa yang ambruk bergelimpangan. Satu persatu para prajurit itu terpental, dan jatuh keras di tanah tanpa nyawa.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa…!”

Agaknya Rangga tidak mau lagi memperlambat pertarungan yang tidak diinginkannya. Dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti berlompatan sambil melepaskan beberapa kali pukulan keras dan beruntun. Maka jeritan-jeritan panjang melengking tinggi pun semakin sering terdengar, disusul ambruknya tubuh-tubuh yang tidak bernyawa lagi. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah lebih dari separuh jumlah prajurit yang bergelimpangan.

“Munduuur...!”

Prajurit-prajurit berusia muda itu langsung berlompatan mundur, begitu terdengar teriakan keras menggelegar bernada memerintah. Dan belum lagi suara yang keras menggelegar itu menghilang dari pendengaran, dari atas dinding tembok pagar batu ini melesat sebuah bayangan putih. Dan tahu-tahu, di depan Rangga sudah berdiri Pangeran Iblis. Begitu cepat dan sangat ringan gerakannya, sehingga Rangga sendiri hampir tidak mendengar kedatangannya.

“Kau jelas bukan orang sembarangan, Kisanak. Katakan, siapa namamu?! Dan, apa tujuanmu datang ke sini malam-malam?” terdengar dalam sekali nada suara Pangeran Iblis.

"Namaku Rangga. Kedatanganku ke sini memang sengaja untuk bertemu denganmu, Pangeran Iblis. Kau tentu sudah tahu, apa maksud kedatanganku malam-malam begini,” sahut Rangga kalem, namun bernada tegas sekali.

“Ha ha ha...!” Gagak Gumilang tertawa terbahak-bahak. Suara tawa laki-laki berjuluk Pangeran Iblis itu begitu menggelegar terdengar. Jelas sekali kalau suara itu disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah tinggi tingkatannya. Bahkan daun-daun pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar bagian luar tembok benteng istana kadipatenan, langsung berguguran. Demikian pula prajurit-prajurit yang ada di sekitar tempat itu, yang juga langsung menutup telinga.

“Kau akan mampus di sini, Kutu busuk!” bentak Gagak Gumilang geram mendengar tantangan Rangga yang terbuka tadi.

“Lihat saja nanti. Kau atau aku yang akan mengisi lubang kubur,” dengus Rangga, menanggapi dengan sikap dingin.

“Phuih! Bersiaplah...!”

Pangeran Iblis langsung saja menyilangkan kedua tangannya di depan dada, bersiap-siap membuka serangan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih kelihatan berdiri tegak dengan tenang. Tubuhnya belum bergerak sedikit pun. Bahkan kedua kakinya bagaikan tertanam kuat di atas permukaan tanah yang sedikit berumput ini.

Beberapa saat lamanya mereka saling berpandangan dengan sinar mata yang sangat tajam, seakan-akan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Saat itu, Pangeran Iblis sudah menggeser kakinya ke kanan perlahan-lahan menyusuri tanah. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya bergerak. Namun belum juga ada yang bergerak melakukan serangan, tiba-tiba saja....

“Hiyaaat..!”
“Heh...?!”
“Hah! Hup...!”

Bukan hanya Gagak Gumilang yang tersentak, begitu tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan hitam melesat begitu cepat bagai kilat menuju ke arahnya. Bahkan Rangga juga jadi kaget setengah mati. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur sejauh tiga langkah. Dan pada saat yang bersamaan, Pangeran Iblis membanting tubuhnya ke tanah. Lalu tubuhnya bergulingan beberapa kali, tepat di saat terlihat sebuah kilatan cahaya keperakan yang begitu cepat menyambar ke arah kepalanya tadi.

“Hup!”

Dengan gerakan yang sangat manis dan ringan, Pangeran Iblis melenting. Tubuhnya berputaran sejenak, lalu kembali berdiri dengan kedua kakinya yang kokoh di atas permukaan tanah. Namun belum juga bisa menarik napas, kembali terlihat sosok bayangan hitam berkelebat begitu cepat menerjang ke arahnya. Bahkan gerakannya disertai kilatan cahaya keperakan yang berkelebat begitu cepat, hingga arahnya sulit di-ikuti pandangan mata biasa.

“Hiyaaat..!”
“Hup! Yeaaah...!”

Sedikit sekali Pangeran Iblis mengegoskan kepala, hingga kilatan cahaya keperakan yang ternyata dari sebilah pedang itu lewat di depan wajahnya. Dan pada saat yang bersamaan, tangan kirinya menghentak ke depan, melepaskan satu pukulan lurus yang begitu cepat dan disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.

“Haiiit..!”

Namun sosok tubuh berpakaian serba hitam itu lebih cepat lagi melenting ke atas. Dan tahu-tahu, tubuhnya sudah meluruk deras, sambil mengebutkan pedang beberapa kali ke arah kepala Pangeran Iblis.

“Setan! Phuih...!”

Gagak Gumilang jadi geram setengah mati. Terpaksa tubuhnya harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang begitu gencar bagaikan air hujan yang ditumpahkan dari langit. Beberapa kali ujung pedang bercahaya keperakan itu hampir menebas kepalanya, namun masih bisa dihindari. Walaupun, dengan hati geram dan terus menyumpah serapah.

“Hiyaaat..!”

Begitu mendapatkan satu kesempatan yang sangat sedikit Pangeran Iblis tidak menyia-nyiakannya. Secepat kilat tubuhnya melenting ke belakang, dan langsung melesat tinggi ke atas. Dan pada saat itu juga, tangan kanannya berkelebat dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Sret! Wuk!

Begitu cepat gerakan tangan Pangeran Iblis, sehingga sulit sekali diikuti pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu, di dalam genggaman tangannya sudah tergenggam sebilah pedang yang memancarkan cahaya merah bagai kobaran api. Pemuda berwajah pucat seperti mayat itu langsung mengebutkan pedangnya kearah sosok berpakaian serba hitam yang tiba-tiba menyerangnya.

“Yeaaah...!”
Bet!
“Hih!”
Wuk!
Trang...!

Kilatan bunga api seketika terlihat memijar ke segala arah, begitu dua pedang berada di udara. Tampak mereka sama-sama melompat ke belakang sambil berputaran di udara beberapa kali. Dan hampir bersamaan, mereka menjejak di tanah. Namun....

“Ha ha ha...!”

Suara tawa Gagak Gumilang yang selama ini disebut Pangeran Iblis seketika terdengar meledak keras, begitu melihat pedang di tangan orang berpakaian serba hitam sudah terpenggal, tinggal gagangnya saja. Entah ke mana mata pedang orang berbaju serba hitam itu.

“Tikus-tikus busuk...! Kalian datang ke sini hanya mencari mampus saja! Huh...!” dengus Gagak Gumilang dingin.

Bet!

Indah sekali gerakan tangan Pangeran Iblis saat mengebutkan pedangnya hingga tersilang di depan dada. Dan perlahan-lahan kakinya bergegas ke depan. Sorot matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata orang berpakaian serba hitam yang menutupi seluruh wajah dan kepalanya dengan kain hitam pula. Hanya bagian matanya saja yang terlihat.

Dan pada saat itu, terlihat puluhan orang berlari-lari menghampiri tempat ini. Pangeran Iblis tersenyum setelah tahu kalau yang datang adalah prajurit-prajurit yang berpihak kepadanya. Tampak berlari paling depan seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun, sebaya dengan pemuda berwajah pucat seperti mayat itu.

“Gusti! Biarkan mereka aku yang bereskan,” pinta pemuda itu setelah dekat dengan Pangeran Ibis.

“Hm..., Barada. Kau habisi saja orang tidak tahu diri itu!” dengus Gagak Gumilang sambil menunjuk ke arah orang berpakaian serba hitam yang seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain hitam pula.

“Baik, Gusti Pangeran,” sahut pemuda yang ternyata memang Barada.

“Hup...!”

Setelah membungkuk memberi hormat, Barada langsung saja melompat mendekati orang berpakaian serba hitam yang kini sudah tidak memiliki senjata lagi. Begitu indah dan ringan gerakannya, sehingga hampir tidak terdengar suara saat kakinya mendarat tepat lima langkah lagi di depan orang berpakaian serba hitam yang belum diketahui siapa sebenarnya.

“Kau lawanku, Orang Hitam!” dengus Barada dibuat dingin nada suaranya.

Srat!

Langsung saja pemuda itu mencabut pedangnya yang berukuran cukup panjang, dan menyilangkannya di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menembus langsung ke bola mata orang berpakaian serba hitam di depannya. Dan perlahan-lahan, kedua kakinya bergerak menyilang ke samping, sambil tetap menyilangkan pedangnya. Tapi, kini pedangnya sudah berada tepat di depan ujung hidungnya.

“Yeaaat..!”
“Yeaaah...!” 

***
TUJUH
Pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi Barada langsung memberikan serangan-serangan yang begitu cepat dengan permainan pedang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Sementara orang berpakaian serba hitam itu terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap serangan yang datang beruntun itu. Dan memang, kelihatannya Barada tidak sudi memberi kesempatan lawannya untuk membalas serangan.

Dia terus saja mencecar menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang gerakannya sangat cepat dan berbahaya sekali. Sedikit saja kelengahan, bisa mengakibatkan kematian bagi lawannya. Tapi gerakan-gerakan tubuh orang berpakaian serba hitam itu memang tidak bisa dikatakan ringan lagi. Begitu cepat, hingga sangat sulit bagi Barada untuk bisa mendesaknya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, pertarungan sudah berjalan sepuluh jurus.

Tapi sedikit, pun belum ada tanda-tanda kalau Barada bisa mengalahkan lawan. Bahkan untuk mendesak saja, masih mengalami kesulitan. Dan ini tentu saja membuat pemuda itu jadi bertambah berang setengah mati.

“Setan keparat! Kubunuh kau. Hiyaaat..!”

Barada benar-benar geram setengah mati, melihat lawannya begitu tangguh. Padahal, lawannya tidak menggunakan senjata apa-apa. Sedangkan dia sendiri memegang pedang. Tapi sudah lebih dari sepuluh jurus, belum juga bisa dirobohkannya. Mendesak saja, terasa sulit sekali. Gerakan-gerakan orang berpakaian serba hitam itu memang cepat luar biasa, sehingga sulit bagi Barada untuk bisa memasukkan serangan.

“Cukup untuk bermain-main, Barada! Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, orang berpakaian serba hitam itu melesat tinggi ke udara, tepat di saat Barada menusukkan pedangnya ke depan dada lagi. Dan lesatannya ternyata membuat Barada jadi kebingungan. Namun belum juga bisa berbuat sesuatu, mendadak....

“Yeaaah...!”

“Oh...?!” Barada hanya bisa terlongong. Dan saat itu juga....

Prak! “Aaa...!”

Satu hantaman yang sangat keras mendarat tepat di atas kepala Barada. Akibatnya, pemuda itu menjerit melengking tinggi. Tampak kepalanya pecah dengan darah mengucur deras. Hanya sebentar saja Barada masih mampu berdiri, kemudian tubuhnya limbung dan ambruk ke tanah tak bernyawa lagi. Sedikit pun tidak ada gerakan pada tubuhnya. Pemuda itu telah tewas sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Sementara orang berpakaian serba hitam yang belum bisa dikenali wajahnya, sudah menjejak kembali di tanah. Perlahan tubuhnya berputar dan kembali berhadapan dengan Gagak Gumilang yang selama ini dijuluki Pangeran Iblis.

Phuih!”

Sambil menyemburkan ludahnya, Gagak Gumilang melangkah perlahan-lahan menghampiri orang berpakaian serba hitam yang seluruh wajah dan kepalanya masih ditutupi kain hitam. Sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus langsung ke bola mata orang berpakaian serba hitam itu.

Sementara, Rangga yang tidak mendapat kesempatan bertarung, hanya diam saja memperhatikan. Tapi sesekali pandangannya beredar ke sekeliling, menjaga kalau-kalau para pemuda yang berpakaian seragam prajurit kadipaten berbuat curang. Dan tampaknya para prajurit tidak ada yang bertindak, tanpa menunggu perintah dari Pangeran Iblis. Mereka hanya diam saja, tapi tetap membentuk lingkaran mengepung rapat tempat ini.

Cukup banyak juga jumlahnya. Dan kalau mereka dikerahkan untuk menyerang, sudah barang tentu akan sulit dihadapi. Tapi bagi Pendekar Rajawali Sakti, jumlah seperti itu tidaklah menjadi persoalan. Dengan hanya mengerahkan aji ‘Bayu Bajra’, mereka bisa dihalau dengan mudah. Hanya saja, Rangga tidak akan ingin menggunakannya. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin bangunan istana kadipaten yang megah itu hancur terkena ajian yang sangat dahsyat. Sebuah aji kesaktian yang bisa menimbulkan bencana angin topan sangat dahsyat.

Sementara, Gagak Gumilang sudah berada sekitar lima langkah lagi di depan orang berpakaian serba hitam ini. Pedangnya yang memancarkan cahaya merah membara bagai api, masih tergenggam menjulur lurus di samping tubuhnya. Dan perlahan-lahan pedangnya diangkat lurus-lurus ke depan, hingga ujungnya tertuju langsung ke dada orang berpakaian serba hitam di depannya.

“Kau harus mampus, Keparat! Sudah terlalu banyak kerugian yang kuderita...!” desis Gagak Gumilang dingin menggetarkan.

Tapi orang berpakaian serba hitam itu hanya menggumam kecil saja. Sedikit kakinya bergeser ke kiri. Tapi Gagak Gumilang kembali mengarahkan ujung pedang tepat ke dada.

“Bersiaplah, Setan Keparat!” desis Gagak Gumilang masih tetap terdengar dingin sekali nada suaranya.

“Hm....”
“Hiyaaa...!”
“Hup! Yeaaah...!”

Kembali pertarungan berlangsung. Dan kali ini, Gagak Gumilang yang dikenal berjuluk Pangeran Iblis melakukan serangan-serangan dengan jurus tingkat tinggi yang sangat dahsyat. Pedangnya berkelebatan begitu cepat, hingga bentuknya lenyap tak terlihat lagi. Dan yang terlihat hanya kilatan cahaya merah saja yang berkelebatan di sekitar tubuh orang berpakaian serba hitam itu.

Pada saat pertarungan sudah berjalan beberapa jurus, Rangga memalingkan mukanya sedikit ke kanan. Dan saat itu, Pandan Wangi tampak tengah berdiri di atas tembok pagar batu berupa benteng yang mengelilingi bangunan istana kadipaten. Gadis itu berdiri tegak mengawasi jalannya pertarungan. Entah sudah berapa lama gadis yang berjuluk si Kipas maut itu berada di sana. Sementara di sebelah kanannya, berdiri Arya Sempana.

Di lain tempat pertarungan antara Pangeran Iblis melawan orang berpakaian serba hitam yang belum diketahui siapa sebenarnya terus berjalan semakin sengit saja. Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar bagaikan hendak meruntuhkan langit. Dan malam pun terus berjalan terasa lambat. Udara dingin yang bertiup agak kencang sama sekali tidak dirasakan lagi, tertimpa suasana yang begitu panas membakar dada.

“Hiyaaat..!”

Tiba-tiba saja Gagak Gumilang memutar tubuhnya ke bawah, begitu berada di udara. Dan bagaikan kilat, pedangnya disabetkan tepat mengarah ke kaki lawan. Tapi dengan kecepatan yang sangat mengagumkan, orang berpakaian serba hitam itu melesat ke atas. Maka sabetan pedang yang memancarkan cahaya merah bagai api itu masih bisa dihindarinya. Dan pada saat yang bersamaan, mendadak saja Pangeran Iblis cepat memutar tubuhnya kembali. Lalu bagaikan kilat dilepaskannya satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri. Begitu cepat serangan susulannya sehingga orang berbaju serba hitam ini jadi tersentak kaget setengah mati.

“Hap!”

Tidak ada lagi kesempatan bagi orang berbaju serba hitam itu untuk menghindar. Maka cepat-cepat kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sehingga, pukulan tangan kiri Gagak Gumilang hanya menghantam keras pergelangan tangannya.

Prak! “Akh...!”

Tampak orang berpakaian serba hitam itu terpental sejauh enam langkah ke belakang, sambil mengeluarkan pekikan agak tertahan. Meskipun kakinya masih bisa menjejak manis, tapi tak urung tubuhnya terhuyung-huyung juga ke belakang beberapa langkah.

“Ukh...!”

Terdengar keluhan yang pendek. Tampak orang berpakaian serba hitam itu memegangi pergelangan tangan kirinya. Jelas sekali kalau tulang pergelangan tangan kirinya remuk akibat menahan pukulan Pangeran Iblis tadi.

“Mampus kau sekarang! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Gagak Gumilang melesat cepat sambil membabatkan pedang ke arah kepala lawannya. Tapi begitu mata pedang yang memancarkan cahaya merah hampir membelah kepala orang berpakaian serba hitam, mendadak saja terlihat satu bayangan putih berkelebat begitu cepat. Langsung disambarnya tubuh orang berpakaian serba hitam itu sambil melontarkan sebuah benda seperti batu kerikil ke arah Pangeran Iblis.

“Aih...!” Gagak Gumilang jadi terperanjat setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya melenting dan berputaran dua kali ke belakang. Kedua bola matanya jadi terbelalak, begitu melihat benda yang berhasil ditangkapnya tadi hanya sebuah kerikil kecil.

“Setan...!”

Sementara itu, orang berpakaian serba hitam yang diselamatkan dari ancaman ke matian, tahu-tahu sudah berada di atas tembok benteng bersama Pandan Wangi dan Arya Sempana. Tampak Rangga berdiri di samping orang berpakaian serba hitam itu. Rupanya Pendekar Rajawali Sakti yang menyelamatkan kepala orang berpakaian serba hitam itu dari tebasan pedang Pangeran Iblis.

“Setan keparat..! Turun kalian semua...!” teriak Gagak Gumilang lantang menggelegar.

Pangeran Iblis kelihatan geram sekali atas tindakan Rangga yang menyelamatkan lawannya. Sambil mengacungkan pedang ke arah para pendekar itu, dia berteriak keras menggelegar. Dan....

“Yaaah...!”
Wuk!
“Awaaas...!”

Begitu Gagak Gumilang menghentakkan pedangnya, seketika itu juga dari ujungnya memancar dua bola api yang langsung meluncur deras ke arah mereka yang berada di atas bibir tembok tebing. Namun dengan gerakan yang sangat indah dan cepat mereka berlompatan turun menghindar. Dan seketika itu juga, terdengar satu ledakan dahsyat menggelegar. Tampak pagar tembok yang tebal itu hancur berkeping-keping terlanda bola api yang memancar keluar dari ujung pedang Pangeran Iblis.

“Hiyaaa...!” Gagak Gumilang rupanya sudah benar-benar marah tak tertahankan lagi. Begitu kaki Rangga menjejak tanah, kembali tangan kanan Pangeran Iblis menghen-tak ke depan, setelah memindahkan pedang ke tangan kiri. Dan dari telapak tangannya yang terkembang lebar, meluncur secercah cahaya merah ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup! Hiyaaa...!”

Hanya dengan satu lesatan yang ringan sekali, Rangga berhasil menghindari serangan Gagak Gumilang. Lalu kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar, ketika dinding pagar tembok batu terkena hajaran cahaya merah dari telapak tangan Pangeran Iblis.

“Serang mereka...!” seru Gagak Gumilang lantang menggelegar.

“Hiyaaa...!” “Yeaaa...!”

Seketika itu juga, para prajurit yang memang sejak tadi sudah siap menunggu perintah, langsung berlompatan menyerang. Pandan Wangi, Arya Sempana, dan orang berpakaian serba hitam segera berlompatan dengan senjata masing-masing. Sementara, senjata pedang orang berpakaian serba hitam itu dipungutnya dari seorang prajurit yang tergeletak tewas tidak jauh dari kakinya.

Dengan pedang itu, dia kembali mengamuk menghajar para prajurit yang menyerangnya. Malam yang seharusnya hening, kembali dipecahkan oleh teriakan-teriakan keras menggelegar, disertai raungan dan jerit melengking mengiringi kematian. Saat itu juga, angin yang bertiup cukup kencang malam ini menyebarkan aroma anyir darah yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa.

Sebentar saja, sudah tidak terhitung lagi prajurit kadipaten itu yang ambruk tanpa nyawa. Sementara, Rangga masih tetap menghadapi Gagak Gumilang yang selama ini dikenal sebagai Pangeran Iblis yang ditakuti seluruh rakyat Kadipaten Wurungga. Mereka masih berdiri berhadapan, dan belum melakukan pertarungan.

“Setan...!”

Gagak Gumilang jadi berang setengah mati, ketika melihat para prajuritnya tidak ada yang bisa mendesak lawan-lawannya. Padahal, lawan hanya tiga orang saja. Tapi setiap gerakan tangan dan tubuh mereka selalu menimbulkan jatuh korban di pihak prajurit.

“Kau harus mengganti semua nyawa para prajuritku, Setan Keparat..!” geram Gagak Gumilang, sambil menudingkan ujung pedang ke arah dada Rangga.

“Nyawa orang sepertimu tidak ada harganya sama sekali. Bahkan kau tidak lagi pantas hidup di dunia ini, Pangeran Iblis,” desis Rangga dingin menggetarkan.

“Phuih! Kau harus mampus di tanganku, Rangga! “Lihat saja....” “Phuih! Hiyaaat..!”

Sambil menyemburkan ludah dan berteriak keras menggelegar, Pangeran Iblis melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya yang memancarkan cahaya merah bagai api, berkelebat begitu cepat di sekitar tubuh pemuda berbaju rompi putih ini.

Tapi hanya menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindarinya. Bahkan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti mematahkan serangan Pangeran Iblis, sebelum sampai di tujuannya. Dan ini tentu saja membuat Pangeran Iblis jadi semakin geram. Maka jurus- jurusnya semakin diperhebat ke tingkatan yang sangat tinggi.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Bet! Wuk!

“Haiiit..!”

Beberapa kali Rangga terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan Pangeran Ib-lis yang begitu gencar dan tidak ada hentinya. Dan semakin lama, serangan-serangan yang dilancarkan semakin bertambah dahsyat. Rangga cepat menyadari kalau tidak akan mungkin bisa terus bertahan bila hanya menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'

“Hup! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras, Rangga melenting ke atas, tepat di saat Gagak Gumilang membabatkan pedang ke arah kaki. Dan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara. Lalu dengan kecepatan yang sangat mengagumkan, tubuhnya meluruk deras. Dan pada saat yang sama, kedua kakinya berputaran cepat sekali. Dari gerakannya itu, bisa diketahui kalau Rangga mengerahkan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’.

Jurus itu sangat cepat dan dahsyat, sehingga Pangeran Iblis jadi terhenyak kaget sesaat. Namun cepat-cepat pedangnya diputar ke atas kepala, hingga Rangga harus segera pula menarik serangannya kembali. Dan sebelum Pangeran Iblis bisa menurunkan pedangnya lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah cepat memutar tubuhnya. Lalu bagaikan kilat, dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat pertama, disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

“Hiyaaa...!” Wuk! “Heh...?!”

Pangeran Iblis jadi tersentak kaget setengah mati, melihat serangan yang begitu cepat dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan....

“Uts...!” Sambil mengegoskan tubuh sedikit ke kanan, cepat-cepat Pangeran Iblis membabatkan pedang dengan gerakan melintang ke arah depan tubuhnya. Dia memang berusaha melindungi diri dari incaran pukulan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.

Wuk! “Hap!”

Cepat-cepat Rangga menarik pulang pukulannya, lalu melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sementara, Gagak Gumilang juga melompat tiga langkah ke belakang. Kini, mereka berdiri berhadapan sambil mengatur pernapasan. Sementara, pertarungan di tempat lain masih terus berlangsung. Hanya saja sudah jelas bisa dipastikan, kalau prajurit-prajurit kadipaten tidak mampu lagi menghadapi tiga orang yang berkepandaian sangat tinggi. Namun, ternyata mereka tidak juga merasa gentar. Bahkan terus saja merangsek maju, walaupun su-dah lebih dari separuhnya yang tewas.

“Hhh...!” Pangeran Iblis mendengus sambil menghembuskan napas panjang, begitu mengetahui kekuatan prajuritnya semakin berkurang saja. Sedangkan dia sendiri, begitu sulit menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Dan sudah beberapa jurus pertarungan berlangsung, pemuda berbaju rompi putih itu belum juga bisa didesaknya.

“Huh! Biarkan mereka semua mampus! Sebaiknya, aku pergi saja dari sini. Aku harus mencari kekuatan baru. Huh...! Kau tidak akan bisa lolos dariku, Rangga...!” dengus Gagak Gumilang dalam hati. Pangeran Iblis itu memang sudah merasa tidak akan mungkin bisa bertahan lebih lama lagi. Apalagi menghadapi Pendekar Rajawali Sakti seorang diri. Sedangkan kekuatan yang ada sekarang, sudah cukup terkuras menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.

“Awas...!” tiba-tiba saja Gagak Gumilang berseru lantang. Dan seketika itu juga, tangan kanannya dikebutkan cepat beberapa kali. Saat itu, terlihat beberapa bola api meluncur deras ke arah Rangga.

“Hup! Hiyaaa...!” Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti harus melenting ke atas, dan berjumpalitan beberapa kali menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Pangeran Iblis. Dan pada saat Rangga sibuk menghadapi lontaran bola-bola api itu, cepat sekali Gagak Gumilang melesat meninggalkan tempat ini.

“Hei...! Jangan lari kau...!” seru Rangga terkejut.

Tapi Gagak Gumilang sudah begitu cepat melesat pergi. Hingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tertelan gelapnya malam.

“Hup! Hiyaaat..!” Rangga tidak sudi membuang-buang waktu lagi. Dengan cepat tubuhnya melesat mengejar, begitu bisa menghindari bola api yang terakhir menyerangnya. Dan pada saat yang bersamaan, orang berpakaian serba hitam itu melihat Pendekar Rajawali Sakti tengah melesat pergi mengejar Pangeran Iblis.

“Hup! Hiyaaat..!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera melenting ke udara sambil cepat membabatkan pedang beberapa kali. Maka lima orang lawannya seketika menjerit melengking terbabat pedang. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, orang berbaju serba hitam itu terus melesat berlari cepat mengejar Pendekar Rajawali Sakti.

“Pangeran Iblis itu pergi, Paman...!” Rupanya Pandan Wangi juga melihat kepergian Pangeran Iblis yang dikejar Rangga dan orang berpakaian serba hitam tadi.

“Apa...?!” seni Arya Sempana kurang jelas mendengar.

“Pangeran Iblis kabur...!” Pandan Wangi mengulangi dengan suara dikeraskan.

“Keparat..! Ayo kita kejar!” balas Arya Sempana.

“Hiyaaat..!”

Tanpa menghiraukan para prajurit yang menjadi lawannya, Arya Sempana langsung saja melesat pergi, begitu Pandan Wangi juga melesat cepat meninggalkan lawan-lawannya. Sementara prajurit-prajurit yang jumlahnya tinggal sedikit itu jadi terlongong bengong. Mereka tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan, begitu melihat lawan-lawannya lari dengan kecepatan bagai kilat. Hingga dalam waktu sekejap mata saja, mereka sudah lenyap dari pandangan.

Sementara itu, Rangga yang mengejar Pangeran Iblis terus berlari dengan kecepatan penuh, menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat kesempurnaan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dikuasainya, sehingga kedua kakinya bagaikan tidak menjejak tanah lagi. Dan di dalam kegelapan malam itu, hanya bayangan tubuhnya saja yang terlihat berkelebatan begitu cepat menuju utara.

“Hup! Hiyaaat..!”

Rangga mengempos seluruh kekuatan ilmu meringankan tubuhnya. Dan saat itu juga, tubuhnya melesat tinggi ke angkasa. Lalu dengan ringan sekali, ujung jari kakinya menjejak puncak pohon yang tertinggi.

“Hup!”

Sambil terus mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti berlompatan dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon lain. Memang hanya dengan jalan inilah gerakannya bisa lebih cepat lagi, tanpa khawatir menabrak pohon yang semakin rapat saja tumbuh, setelah berada di luar perbatasan kota.

“Hup! Yeaaah...!” 

***
DELAPAN
Begitu melihat bayangan putih berkelebat di antara pepohonan, bagaikan seekor burung rajawali Rangga melesat turun ke bawah dengan kecepatan luar biasa sekali. Gerakannya begitu indah dan ringan, sehingga langsung saja berlari cepat begitu kakinya menyentuh tanah.

“Hiyaaa...!”

Sambil mengempos tenaganya, Pendekar Rajawali Sakti melesat begitu cepat, meluncur bagaikan sebatang anak panah lepas dari busur. Begitu cepatnya, hingga pemuda berbaju rompi putih itu melesat melewati kepala Pangeran Iblis yang masih saja berlari dengan kecepatan tinggi.

“Heh...?!”

Gagak Gumilang yang lebih dikenal berjuluk Pangeran Iblis jadi tersentak setengah mati, begitu merasakan adanya hembusan angin panas melewati bagian atas kepalanya. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, kembali dikejutkan oleh munculnya Pendekar Rajawali Sakti. Dan tahu-tahu, pemuda berbaju rompi putih itu sudah berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.

“Jangan harap bisa lari dariku, Pangeran Iblis! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!” terasa dingin sekali nada suara Rangga.

“Phuih...!”

Pangeran Iblis hanya menyemburkan ludahnya saja, menanggapi kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan kakinya bergeser ke kanan, dan segera mencabut kembali pedangnya yang tadi sudah tersimpan dalam warangka yang tergantung di pinggang. Pedang bercahaya merah bagai memancarkan api itu bergerak-gerak perlahan, melintang di depan dada.

Sementara Rangga tetap berdiri tegak, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Namun sorot matanya terlihat begitu tajam, tanpa berkedip sedikit pun memperhatikan setiap gerak yang dilakukan Pangeran Iblis.

“Kau hanya bermimpi bisa mengalahkan aku, Rangga,” desis Gagak Gumilang dingin.

Rangga hanya diam saja, tanpa bergeming sedikit pun juga. Sorot matanya masih tetap memancar dendam, memperhatikan setiap gerak yang dilakukan Pangeran Iblis. Perlahan-lahan namun pasti, Gagak Gumilang sudah semakin dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan pedangnya sudah terulur lurus ke depan. Mulutnya sedikit menyeringai, bagai hendak meruntuhkan nyali pemuda berbaju rompi putih ini.

“Mampus kau sekarang, Tikus Keparat! Yeaaah...!”

Bet!

Cepat sekali Gagak Gumilang mengebutkan pedang ke arah dada. Namun hanya sedikit mengegoskan tubuhnya, Rangga berhasil menghindari tebasan pedang yang memancarkan cahaya merah dan berhawa panas itu.

“Yeaaah...!”

Gagak Gumilang terus menyerang dengan kebutan pedang yang begitu cepat dan sangat dahsyat! Mau tak mau, Rangga terpaksa menarik diri ke belakang sambil meliuk, menghindari setiap serangan yang sangat cepat luar biasa itu.

“Hap...!”

Sambil melenting berputar, Pendekar Rajawali Sakti melesat ke belakang sejauh satu batang tombak. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedangnya.

“Hap!”
Sret!
Cring...!
“Heh...?!”

Gagak Gumilang jadi terbeliak, begitu melihat Pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut dari warangka. Sungguh dahsyat pamor pedang itu. Seluruh mata pedangnya bersinar biru terang, sangat menyilaukan mata. Sehingga, keadaan dalam hutan di pinggiran Kota Kadipaten Wurungga itu jadi terang benderang, seperti siang hari.

Wuk! Wuk...!

Rangga mengayun-ayunkan pedangnya di depan dada, sehingga menimbulkan suara bagaikan angin topan yang menderu sangat dahsyat. Dan lagi, siapa saja yang mendengar, akan membuat jantung bergetar. Bahkan Gagak Gumilang sendiri jadi melangkah mundur beberapa tindak. Cahaya biru yang memancar dari pedang itu membuat pandangannya jadi terhalang. Bahkan matanya pun mulai terasa pedih.

“Phuih...!”

“Majulah, Pangeran Iblis. Kau akan merasakan kehebatan pedangku ini,” tantang Rangga, langsung.

Begitu datar dan dingin nada suara Pendekar Rajawali Sakti, membuat hati Pangeran Iblis jadi agak bergetar juga mendengarnya. Namun pemuda berwajah pucat seperti mayat itu memang bukan orang semba-rangan. Walaupun disadari akan menghadapi sebuah senjata pusaka yang berpamor sangat dahsyat dengan cepat kegentarannya bisa diusir. Bahkan sorot matanya semakin terlihat tajam. Wajahnya yang pucat pasi seperti tak pernah teralirkan darah, jadi kelihatan semakin meregang kaku.

“Phuih!”

Gagak Gumilang kembali menyemburkan ludahnya. Kemudian....

“Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Pangeran Iblis melompat seraya mengangkat pedang tinggi- tinggi ke atas kepala. Dan begitu cepat sekali pedang kebanggaannya dibabatkan ke atas kepala Rangga.

“Hiyaaa...!”

Aneh, Pendekar Rajawali Sakti tidak menggeser kakinya sedikit pun juga. Padahal, pedang Pangeran Iblis sudah hampir membelah kepalanya! Untung pada saat yang tepat, pedangnya cepat sekali dikebutkan secara menyilang di atas kepalanya sendiri. Betapa terkejutnya Gagak Gumilang melihat tindakan Rangga. Apalagi, pedangnya tidak sempat lagi ditarik pulang. Sehingga....

Trang! “Ikh...!”

Gagak Gumilang terpekik kecil agak tertahan, begitu pedangnya beradu dengan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Saat itu juga, tubuhnya terpental balik ke belakang dan berputaran beberapa kali di udara. Tapi Pangeran Iblis cepat bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, seraya menjejakkan kakinya kembali di tanah.

“Eh...?!”

Namun sesaat kemudian, kedua kelopak mata Pangeran Iblis jadi terbeliak lebar. Sulit dipercayai, kalau pedang yang selalu dibanggakan kini tinggi sepotong! Jelas pedang itu terpenggal buntung saat berbenturan dengan pedang milik Pendekar Rajawali Sakti tadi.

“Keparat! Hiyaaat..!”

Amarah Gagak Gumilang sudah tidak tertahankan lagi. Walaupun pedangnya tinggal sepotong lagi, laki-laki berjuluk Pangeran Iblis itu langsung saja melompat menyerang. Dan pada saat itu, Rangga cepat mengerahkan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu indah, seakan-akan sedang menari. Pedangnya meliuk-liuk bagaikan seekor naga, mengimbangi gerakan-gerakan pedang Pangeran Iblis yang tinggal sepotong.

“Ukh...!”

Namun baru saja pertarungan itu berlangsung beberapa jurus, Pangeran Iblis sudah mengeluh. Entah kenapa, kepalanya jadi terasa pening sekali. Dan pandangan matanya juga jadi berkunang-kunang. Perhatiannya langsung terpecah, hingga sulit sekali untuk mengerahkan jurus-jurusnya dengan sempurna. Akibatnya, serangan-serangannya jadi berantakan tidak teratur.

Sementara, Rangga hanya berlompatan saja sambil meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang dilancarkan Pangeran Iblis. Tapi dari gerakannya, justru sebenarnya bukan menghindar, melainkan mengikuti arah serangan pemuda berwajah pucat itu.

“Setan keparat! Phuih...!”

Beberapa kali Gagak Gumilang memaki dan menyemburkan ludahnya. Tapi semakin berusaha keras mengerahkan jurus-jurusnya, semakin sulit saja dirinya dikendalikan. Bahkan perhatiannya pun semakin terasa terpecah.

“Setan...! Hiyaaat..!”

Gagak Gumilang melenting tinggi-tinggi ke udara, lalu cepat sekali menukik turun sambil memutar pedangnya yang tinggal sepenggal.

“Hap!”

Namun, lagi-lagi Rangga tidak berpindah sedikit pun juga. Pendekar Rajawali Sakti hanya menarik pedangnya ke atas kepala, sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat terakhir.

“Yeaaah...!” Trang! “Akh...!”

Kembali dua pedang beradu keras di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat itu juga, terdengar pekikan keras agak tertahan. Tampak Pangeran Iblis terpental cukup jauh ke belakang. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung sedikit, begitu kakinya menjejak tanah.

“Setan keparat! Phuih...!”

Semakin bertambah geram saja Pangeran Iblis melihat pedangnya terpenggal sampai ke pangkal batang pegangan. Kini, tidak mungkin lagi senjata kebanggaannya bisa digunakan. Sambil mendengus menyemburkan ludah, Pangeran Iblis membuang senjata yang tinggal gagangnya.

“Hap...!”

Pangeran Iblis cepat bersiap kembali melakukan pertarungan, walaupun kini hanya tinggal mengandalkan tangan kosong saja. Namun melihat lawannya tidak lagi memegang senjata, Rangga pun segera memasukkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Sehingga, keadaan di tempat pertarungan itu kembali terselimut kegelapan. Memang, pantang bagi Pendekar Rajawali Sakti menggunakan senjata, setelah melihat lawannya tidak menggunakan senjata lagi.

“Hm.... Rupanya dia akan mengerahkan ilmu kesak-tian. Baik..., aku akan melayaninya dengan aji ‘Cakra Buana Sukma’,” gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti segera merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Dan perlahan-lahan, tubuhnya ditarik hingga miring ke kanan. Kemudian tubuhnya bergerak ke kiri, lalu berputar ke depan hingga tegak kembali. Perlahan kemudian, kakinya direntangkan lebar-lebar, hingga kedua lututnya tertekuk membentuk sudut runcing. Sementara, Pangeran Iblis juga sudah bersiap hendak menyerang dengan pengerahan ilmu kesaktian andalan.

“Tahan serangan aji pamungkasku, Rangga...!” desis Gagak Gumilang, dingin menggetarkan.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja sedikit. Saat itu, pada kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang masih merapat di depan dada sudah terlihat secercah cahaya biru yang menggumpal, seakan-akan hendak meledak ke luar. Sementara, Gagak Gumilang sudah mulai menggeser kakinya ke depan beberapa langkah. Gerakannya tampak begitu halus dan ringan. Dan pada saat jaraknya tinggal sekitar tujuh langkah lagi dari Pencakar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja kedua tangannya dihentakkan ke depan sambil berteriak keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa.

“Hiyaaa...!” Dan pada saat yang bersamaan.... “Aji ‘Cakra Buana Sukma’! Yeaaa....!”

Rangga juga menghentakkan kedua tangannya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar. Seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya memancar ca-haya biru terang berkilau yang meluruk deras ke arah Pangeran Iblis. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Padahal, dari kedua telapak tangan Gagak Gumilang yang sudah berwarna merah belum memancarkan cahaya merahnya! Cahaya biru yang keluar dari telapak tangan Rangga, cepat sekali menggulung seluruh tubuh Gagak Gumilang. Akibatnya, Pangeran Iblis itu jadi tersentak kaget setengah mati.

“Hih! Yeaaah...!”

Gagak Gumilang cepat-cepat menghentakkan kedua tangannya ke samping, tapi kembali tersentak kaget setengah mati. Ternyata aji pamungkas yang dibang-gakannya seakan tidak berarti sama sekali. Laki-laki berwajah pucat itu benar-benar tidak dapat lagi mengerahkan satu aji kesaktian pun, dengan tubuh terselubung cahaya biru berkilauan menyilaukan mata ini.

“Ukh! Apa ini...?!” Pangeran Iblis semakin terperanjat, begitu merasakan adanya satu tarikan yang begitu kuat menguras tenaganya. Pangeran Iblis berusaha menahan menggunakan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Tapi sungguh di luar dugaan, semakin kuat berusaha melawan, semakin besar pula kekuatannya terbuang keluar. Hingga akhirnya, kekuatan yang terus tersedot keluar tidak bisa dikendalikan lagi. Pada saat pertarungan aji kesaktian itu berlangsung, terlihat orang berpakaian serba hitam muncul. Kemudian disusul Pandan Wangi, lalu Arya Sempana yang mengikuti dari belakang.

“Jangan didekati...!” seru Pandan Wangi langsung mencegah, begitu melihat orang berpakaian serba hitam melangkah hendak menghampiri Gagak Gumilang.

Orang berpakaian serba hitam itu menghentikan ayunan langkahnya. Dan kepalanya cepat berpaling, menatap Pandan Wangi yang berdiri tidak jauh di belakangnya, didampingi Arya Sempana.

“Kenapa kau mencegahku, Pandan?” tanya orang berpakaian serba hitam itu.

“Heh...?! Kau mengenal namaku...?” Pandan Wangi jadi terkejut, mendengar orang berpakaian serba hitam yang belum diketahui wajahnya sudah mengenal namanya.

“Kenapa aku tidak boleh mendekatinya, Pandan?” orang berpakaian serba hitam itu tidak mempedulikan keterkejutan Pandan Wangi.

“Kau akan celaka sendiri. Kakang Rangga tengah mengerahkan aji ‘Cakra Buana Sukma’ yang sangat dahsyat dan belum ada tandingannya,” jelas Pandan Wangi singkat.

Walaupun hatinya masih merasa heran pada orang berpakaian serba hitam itu. Saat itu, tampak Rangga sudah mulai menggerak-kan kakinya. Perlahan-lahan, dihampirinya Pangeran Iblis. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar dua langkah lagi....

“Hap...!

Cepat sekali kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti terangkat ke atas kepala. Dan begitu cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Raja-wali Sakti lenyap, seketika tubuh Gagak Gumilang jatuh telentang di atas tanah berumput tebal ini.

“Ah...! Bunuh aku, Keparat..! Bunuh aku...!” bentak Gagak Gumilang putus asa.

Memang Pangeran Iblis merasa tidak ada lagi gunanya hidup dalam keadaan seluruh tubuh lumpuh, akibat terkena aji ‘Cakra Buana Sukma’ tadi. Sedikit pun tubuhnya tidak bisa lagi digerakkan. Tak terkecuali jari-jari tangannya!

Saat itu, Pandan Wangi, Arya Sempana, dan orang berpakaian serba hitam sudah datang menghampiri. Pandan Wangi langsung saja memeluk lengan kanan Rangga dengan sikap manja dan penuh kasih.

“Dia sudah tidak lagi berbahaya, Paman. Kau bisa mengadili dan memberinya hukuman yang setimpal atas segala perbuatannya,” kata Rangga, sebelum ada yang sempat membuka suara.

“Terima kasih, Rangga. Tapi hukuman yang pantas untuknya nanti, tergantung keputusan rakyat,” sahut Arya Sempana gembira.

Dan pada saat itu, orang berpakaian serba hitam yang berdiri tepat di sebelah kanan Arya Sempana, membuka selubung kain hitam yang menyelubungi kepalanya sendiri.

“Gordan...!” Bukan hanya Pandan Wangi saja yang terpekik kaget, tapi juga Rangga dan Arya Sempana. Ternyata orang berpakaian serba hitam ini Gordan, pemuda yang hampir mati kedinginan dan kelaparan kalau saja tidak ditolong Rangga keluar dari perangkap batu yang ada di tepi jurang.

“Sebaiknya kita segera bawa saja iblis keparat ini ke kota, Paman. Biar rakyat yang menentukan hukumannya,” kata Gordan tegas.

“Baiklah. Tapi aku akan mengambil kuda dulu,” sahut Arya Sempana. Tanpa meminta persetujuan lagi, laki-laki tua itu bergegas pergi meninggalkan tempat ini. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sudah duduk berdampingan di atas sebatang pohon yang tumbang. Sedangkan Gordan menjaga Pangeran Iblis yang sudah tidak ber-daya sama sekali. Seluruh tubuhnya lumpuh, akibat terkena serangan aji kesaktian Pendekar Rajawali Sakti tadi...!

TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA: 
-