Pendekar Rajawali Sakti 93 - Bidadari Dasar Neraka(1)

SATU
Dua orang pemuda terlihat berlari kencang, seperti dikejar setan. Entah sudah berapa kali mereka menoleh ke belakang, seakan-akan ingin meyakinkan diri kalau tidak ada yang mengejar. Keringat telah mengucur deras membasahi baju, tapi mereka terus saja berlari tanpa mempedulikan keadaan. Tiba di suatu tempat yang agak sepi di pinggir hutan, pemuda yang usianya lebih muda menghentikan larinya dengan napas tersengal memburu. Yang seorang lagi ternyata juga menghentikan larinya. Tampak jelas sekali raut wajahnya mencerminkan kecemasan yang amat sangat.

“Jangan berhenti di sini, Jaran. Kita harus secepatnya tiba di desa yang terdekat. Kalau tidak, perempuan iblis itu tentu akan mengejar kita!”

“Aku sudah tidak kuat lagi, Pingkal! Napas ku akan putus rasanya!” sahut pemuda yang bernama Jaran dengan suara terputus dan tersengal memburu cepat.

“Kau ini bagaimana, Jaran...?! Kita harus secepatnya pergi dari tempat ini. Kalau sampai kita ditemukannya akan celakalah jadinya!” tegas pemuda yang lebih muda, dan bernama Pingkal.

Nada bicaranya ter-dengar setengah memaksa. Jaran menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Dicobanya untuk menguatkan diri, mengikuti temannya yang telah lebih dulu kembali berlari. Tapi baru saja berlari beberapa tombak, Jaran sudah berhenti lagi. Sedangkan Pingkal mulai tidak sabar melihat temannya ini.

“Ayo...! Kuatkan semangatmu, Jaran. Kumpulkan semua tenaga yang kau miliki. Ingat! Kita terancam bahaya!” seru Pingkal memberi semangat.

“Aku tidak kuat lagi, Pingkal....”

“Jangan mengikuti kehendakmu, Jaran! Paksakan terus,” desak Pingkal.

Jaran benar-benar merasa sudah tidak kuat berlari lagi. Tapi mengingat bahaya yang masih terus mengancam, mau tak mau dia harus memaksakan diri kembali berlari. Namun baru saja berlari beberapa langkah, tiba-tiba saja....

“Hi hi hi...!”

“Heh...?!”

“Hah...?!”

Kedua anak muda itu jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang mendirikan bulu kuduk. Seketika, wajah mereka jadi pucat pasi. Dan mereka langsung berhenti berlari, berdiri merapat.

“Kalian pikir bisa menghindar dariku? Jangan harap, Cah Bagus!”

“Heh...?!”

“Celaka...!” desis Pingkal memaki.

Belum lagi hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan begitu cepat. Dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seseorang bertubuh ramping. Wajah cantik bagai bidadari baru turun dari kayangan. Suara tawanya yang nyaring melengking tinggi terus terdengar menyakitkan telinga.

Perempuan itu mengenakan baju yang sangat tipis, hingga tembus pandang. Bibirnya yang berbentuk indah dan berwarna merah merekah, selalu menyunggingkan senyuman genit memikat. Tampak di pinggangnya yang ramping indah, terselip sepasang pedang pendek dari perak. Rambutnya yang hitam panjang dan lebat, dibiarkan terurai hingga ke pinggul. Sesaat kedua pemuda itu menelan ludah.

Sepintas saja setiap laki-laki akan terpesona melihat kecantikannya. Bahkan siapa pun bakal tergoda untuk memiliki. Namun, berbeda dengan mereka. Wajah Jaran dan Pingkal terlihat pucat pasi memancarkan ketakutan. Golok di pinggang mereka langsung dicabut, siap menghadapi perempuan itu. Sepertinya, mereka sedang menghadapi musuh besar yang akan mengancam keselamatan.

“Hi hi hi...! Kenapa mesti main-main dengan benda berbahaya itu, Cah Bagus? Kemarilah.... Tidakkah kalian ingin bersenang-senang denganku?” terdengar lembut dan genit sekali nada suara wanita cantik bagai bidadari itu.

“Perempuan iblis! Enyah kau dariku! Kalau tidak, golok ini yang akan bicara!” ancam Pingkal membentak garang.

Jaran pun ikut-ikutan memperlihatkan wajahnya yang tidak senang sambil mendengus sinis. Tapi perempuan berwajah cantik itu hanya tertawa kecil. Sedikit pun tidak terlihat perasaan takut di wajahnya melihat kedua pemuda itu sudah menggenggam golok masing-masing. Bahkan bibirnya yang merah menyala terus mengukir senyum begitu manis dan menggoda. Dan setiap mata laki-laki yang memandangnya, pasti akan menelan air liur. Tapi, tidak demikian halnya Jaran dan Pingkal. Bagi mereka, senyuman itu terlihat bagaikan sebuah seringai serigala yang hendak mengoyak tubuh mereka sampai lumat.

“Hi hi hi...! Agaknya kalian tidak bisa dibujuk secara halus. Tapi, biarlah. Kali ini, aku harus sedikit memaksa agar kalian tahu kalau Bidadari Dasar Neraka tidak main-main dengan niatnya. Apa yang kuinginkan, jangan harap tidak kudapatkan. Salah seorang dari kalian harus menemaniku. Malah, kedua-keduanya lebih bagus!” perempuan yang menjuluki dirinya Bidadari Dasar Neraka menunjukkan wajah kesal.

Kemudian, tiba-tiba saja tubuh Bidadari Dasar Neraka sudah melesat ringan sekali ke arah kedua pemuda itu. Begitu cepat dan ringan gerakannya, sehingga membuat kedua pemuda itu jadi terperangah sesaat. Namun....

“Hati-hati, Jaran!” teriak Pingkal memperingati.

“Yeaaah...!”

“Hup!”

Kedua pemuda itu cepat-cepat berlompatan, menghindari terjangan wanita cantik yang menjuluki dirinya Bidadari Dasar Neraka. Namun tanpa diduga sama sekali, Bidadari Dasar Neraka merubah gerakannya dengan kecepatan sulit sekali diikuti pandangan mata biasa. Dan belum lagi kedua pemuda itu bisa menyadari, tahu-tahu....

Tap! “Akh...!”

Kecepatan bergerak Bidadari Dasar Neraka sangat sulit diimbangi kedua orang pemuda itu. Dan tiba-tiba saja terasa ada angin menderu dan menghantam tubuh mereka. Saat itu juga, tubuh mereka terasa seperti dihantam sesuatu yang keras sekali.

Des! Plak!

“Akh...!”

“Ugkh!”

Jaran dan Pingkal terjungkal sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri. Golok di tangan juga sudah terlepas entah ke mana. Tapi, mereka cepat melompat bangkit berdiri lagi. Dan pada saat yang bersamaan, perempuan berwajah cantik itu sudah melompat begitu cepat, hingga tahu-tahu sudah berada di depan kedua pemuda itu lagi. Bibirnya yang merah, terus tersenyum manis memikat. Tampak pada kedua tangannya tergenggam dua bilah golok kedua anak muda itu.

“Kau, ikut denganku!” Bidadari Dasar Neraka menudingkan kedua golok itu ke arah Jaran.

“Huh! Lebih baik mati daripada melayani perempuan iblis sepertimu!” dengus Jaran sengit, sambil menyemburkan ludahnya dengan wajah garang.

“Hi hi hi...!” Sambutan Jaran yang begitu ketus, hanya disambut tawa terkikik.

“Hup!” Baru saja Jaran mengatupkan bibirnya, tiba-tiba saja tubuh Bidadari Dasar Neraka sudah bergerak begitu cepat menyambar pemuda ini. Seketika Pingkal bermaksud menghalangi dengan mengayunkan sebelah kakinya, tapi tangan perempuan itu langsung menghantam tulang keringnya.

“Hiyaaa...!”

“Hih!”

Plak!

“Akh...!”

Pingkal menjerit kesakitan. Bekas hantaman Bidadari Dasar Neraka pada kakinya kelihatan berwarna merah kebiruan dan terasa sangat sakit. Mungkin tulangnya ada yang patah. Tapi dalam keadaan begitu, keselamatan temannya masih sempat dipikirkan. Dia berusaha bangkit, walaupun tertatih-tatih.

“Jaran...!” Pingkal jadi celingukan mencari-cari temannya.

Ternyata Jaran sudah tidak ada di tempatnya lagi. Begitu juga Bidadari Dasar Neraka. Mereka lenyap begitu cepat tanpa bekas sedikit pun juga. Seakan-akan, mereka adalah segumpal asap yang tersapu angin. Memang sungguh luar biasa kecepatan gerak Bidadari Dasar Neraka. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga bisa bergerak secepat angin. Dan dalam sekejap mata saja, sudah tidak terlihat lagi hanya dengan sekali lesatan saja. Bahkan sambil menghalau Pingkal tadi, wanita itu cepat sekali menyambar tubuh Jaran. Lalu, Jaran dibawa pergi, sebelum Pingkal bisa menyadari.

“Perempuan keparat! Kembalikan temanku...!” teriak Pingkal keras.

Pingkal mencari-cari di sekitar tempat itu. Dia tahu betul, selain ilmu silatnya rendah, Jaran sebenarnya seorang pengecut. Apalagi setelah menyaksikan kesadisan perempuan itu. Kedua pemuda itu adalah murid Perguruan Silat Kembang Putih yang dipimpin Ki Balung. Tadi, mereka sedang dalam perjalanan pulang ke padepokan, setelah tugas mengantar surat undangan kepada Ki Bangkala yang mengetuai Padepokan Pedang Kilat.

Di tengah perjalanan, mereka melihat seorang perempuan cantik sedang membasmi habis suatu rombongan orang berpedati. Tadinya, mereka akan berlalu saja. Tapi kelakuan perempuan itu yang sungguh aneh, membuat mereka seperti terpaku untuk menyaksikannya. Mereka melihat, Bidadari Dasar Neraka menangkap seorang pemuda tanggung berwajah tampan.

Kemudian di balik semak-semak, pemuda itu dipaksa untuk berbuat cabul. Pemuda itu menjerit-jerit seperti orang kesakitan, dan kesudahannya diam tidak bergerak. Lalu, perempuan berwajah cantik itu tertawa puas sambil membenahi bajunya yang tipis tembus pandang. Dan saat itulah dia melihat Jaran dan Pingkal. Merasa tidak unggulan setelah melihat kedahsyatan perempuan itu, keduanya langsung kabur menyelamatkan diri. Hingga akhirnya, terjadi hal seperti tadi.

Pingkal tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Hari semakin senja, dan sebentar lagi malam akan tiba. Disertai rasa putus asa, pemuda itu kembali ke padepokan. Ayunan kakinya tampak jadi terpincang-pincang akibat terkena pukulan Bidadari Dasar Neraka tadi.

“Huh! Apa pun yang akan terjadi, hal ini harus kulaporkan secepatnya...,” dengus Pingkal.

Meskipun tertatih dan terasa nyeri, tapi pemuda itu terus saja berjalan cepat. Dengan sebatang tongkat kayu yang ditemukan di tengah jalan, ayunan kakinya jadi semakin cepat. Dan dia terus berjalan tanpa menghiraukan lagi rasa nyeri di kakinya akibat terkena pukulan Bidadari Dasar Neraka.

***

Malam sudah cukup larut menyelimuti sebagian permukaan bumi ini, Ketika Pingkal sampai di padepokannya. Saat itu, Ki Balung menyambutnya dengan heran. Apalagi, ketika tidak melihat Jaran bersamanya. Setelah meminum secentong air dingin untuk melepaskan dahaganya, Pingkal menceritakan semua yang dialaminya. Semua diceritakan panjang lebar dan jelas.

“Apa?! Bidadari Dasar Neraka katamu?!” Sepasang alis orang tua berusia sekitar enam puluh tahun itu terangkat tinggi menandakan keheranan dan rasa terkejutnya. Pingkal mengangguk cepat Beberapa orang murid yang berada di ruangan itu tidak mengerti melihat keterkejutan guru mereka ketika mendengar julukan yang disebut Pingkal. Apakah tidak terbalik? Bukankah seharusnya Ki Balung mencemaskan nasib Jaran? Kenapa malah perhatian utamanya tertuju pada Bidadari Dasar Neraka...?

“Katakan! Bagaimana ciri-ciri perempuan yang menjuluki diri Bidadari Dasar Neraka itu, Pingkal?” pinta Ki Balung.

Raut wajah orang tua itu seperti memancarkan ketidakpuasan terhadap cerita yang dituturkan Pingkal barusan. Dan sorot matanya terlihat begitu tajam merayapi wajah muridnya yang sedikit tertunduk. Pingkal sendiri seperti tidak sanggup menentang sorot mata gurunya yang begitu tajam. Bahkan sampai membuatnya jadi membisu, seakan lidahnya jadi kelu dan sulit diajak bicara.

“Katakan ciri-cirinya, Pingkal,” desak Ki Balung tidak sabar lagi.

Sebentar Pingkal masih terdiam. Ditariknya napas beberapa kali, mencoba menenangkan diri. Sementara, murid-murid Ki Balung yang lain juga terdiam membisu, menunggu penuturan Pingkal.

“Wajahnya muda dan cantik, seperti gadis berusia tujuh belas tahun. Panjang rambutnya sepinggul. Dia memakai baju tipis, hingga terlihat jelas lekuk-lekuk tubuhnya. Senjatanya berupa sepasang pedang pendek dan terbuat dari perak terselip di pinggangnya. Ilmu silatnya sangat tinggi, Ki. Kami bahkan tidak bisa melihat kapan gerakannya...,” jelas Pingkal lagi.

Suaranya terdengar perlahan-lahan dan agak terputus. Ki Balung terdiam. Keningnya tampak berkerut begitu dalam, pertanda tengah berpikir keras.

“Kenapa, Ki? Apakah kau mengenalnya, Ki...?” tanya Pingkal hati-hati.

“Beberapa puluh tahun yang lalu, ada seorang perempuan berwajah jelita julukannya Bidadari Dasar Neraka. Ciri-cirinya persis dengan yang kau tuturkan barusan, Pingkal. Dan senjatanya pun sama pula. Kepandaiannya memang sangat tinggi dan sulit diukur tingkatannya. Tapi..., ah! Aku tidak yakin dia orangnya. Gadis itu pasti muridnya!”

“Kita harus mencari Jaran, Ki!” selak Pingkal cepat mengingatkan.

“Betul, Ki. Siapa tahu, perempuan itu mempunyai maksud-maksud tertentu padanya. Kasihan, Jaran masih kecil dan tidak memiliki kepandaian cukup untuk membela diri,” timpal seorang muridnya yang lain.

“Tentu! Kita akan mencarinya...,” sahut Ki Balung. Orang tua itu kemudian cepat bangkit, dan mencabut golok pusakanya yang tergantung di dinding. “Kau di sini saja, Pingkal. Aku akan mencari Jaran. Mudah-mudahan saja aku masih sempat menolongnya segera!”

“Baik, Ki,” sahut Pingkal seraya mengangguk.

“Ayo berangkat!” ajak Ki Balung pada empat orang muridnya yang mempunyai kepandaian lumayan.

“Ke mana kita akan mencarinya, Ki?” tanya Mardi, salah seorang murid yang mempunyai ilmu silat paling tinggi di antara yang lain. Ki Balung berpikir sejenak. Selama puluhan tahun, tempat persembunyian Bidadari Dasar Neraka tidak pernah diketahui orang. Banyak kabar burung yang terdengar, namun tidak ada satu pun yang benar. Perempuan itu memang sering berpindah-pindah tempat Dan kini, telah lama sekali kabar Bidadari Dasar Neraka tidak terdengar. Dan dia tidak yakin bisa menemukan persembunyian perempuan iblis itu.

“Kita akan berjalan ke mana saja...,” kata Ki Balung pelan.

Keempat muridnya mengikuti tanpa banyak bicara. Mereka terus saja berjalan meninggalkan padepokan. Sementara, Pingkal yang tetap tinggal segera mengatur murid-murid padepokan untuk berjaga-jaga. Hatinya benar-benar khawatir kalau sampai Bidadari Dasar Neraka datang ke padepokan ini. Sedangkan gurunya sudah pergi bersama empat orang murid yang berkepandaian cukup. 

***

Ki Balung dan empat orang muridnya terus berjalan semakin jauh meninggalkan padepokan. Tidak dipedulikan lagi malam yang semakin larut dan hembusan angin yang menyebarkan udara dingin menusuk tulang. Dan ketika menjelang tengah malam, mereka baru sampai di sebuah padang ilalang di bawah bukit yang banyak ditumbuhi pepohonan.

Walaupun malam terasa semakin dingin, namun Ki Balung dan empat orang muridnya memilih beristirahat di padang ilalang itu. Jejak yang ditunjukkan Pingkal telah dilalui. Namun sedikit pun tidak ditemukan petunjuk, dimana Bidadari Dasar Neraka berada.

Setelah cukup melepaskan lelah, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Dan sekarang, mereka menuju tempat penghadangan rombongan pedati oleh Bidadari Dasar Neraka. Di tempat ini, banyak ditemukan mayat-mayat bergelimpangan. Dengan memperkirakan arah datangnya, Ki Balung mengajak murid-muridnya terus menyelusuri jejak perempuan setan itu.

Namun, itu pun tidak juga membawa hasil. Malah, keempat orang muridnya mulai lelah. Maka diputuskannya untuk istirahat dan melanjutkan pencarian esok harinya. Sementara keempat muridnya tampak tertidur pulas, Ki Balung berjaga-jaga. Tadi, muridnya yang bernama Mardi telah menawarkan diri untuk berjaga, dan menyuruhnya beristirahat.

Tapi, Ki Balung merasa kalau tubuhnya belum letih. Apalagi, dia memang selalu menyayangi murid-muridnya. Di samping itu, sepi begini sangat baik baginya untuk bersemadi. Dengan duduk bersila sambil bersandar di bawah sebatang pohon, Ki Balung memejamkan matanya. Pendengarannya dibuka lebar-lebar sambil melatih pernapasan.

Namun baru saja sekejap melakukan sikap demikian, sekonyong-konyong orang tua itu bergerak cepat. Api unggun di dekatnya seketika padam dihantam pukulan jarak jauhnya yang menimbulkan desiran angin kencang.

“Siapa itu...?!” agak keras suara Ki Balung terdengar.

“Hi hi hi...! Tua bangka ubanan! Agaknya telingamu cukup tajam juga untuk mengetahui kehadiranku di sini!” Terdengar satu suara nyaring yang disusul berkelebatnya sebuah bayangan, tepat di depan laki-laki tua itu.

“Siapa kau?!” bentak Ki Balung dengan garang.

Pandangan Ki Balung yang tajam, bisa mengetahui kalau sesosok tubuh itu adalah perempuan muda berambut panjang. Pakaiannya tipis, hingga tembus pandang. Walau cahaya bulan amat redup, namun matanya mampu melihat sepasang pedang pendek yang berkilauan di pinggang sosok yang ternyata seorang gadis. Ki Balung cepat menduga, perempuan inilah yang sedang dicarinya.

Mendengar ribut-ribut, keempat muridnya langsung terjaga dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Tangan mereka langsung memegang gagang golok masing-masing.

“Aku gadis malang yang tersasar. Rumahku jauh dari sini, dan tidak tahu jalan pulang. Karena hari telah larut malam, aku berteduh di sebatang pohon. Kemudian, aku melihat kalian di kejauhan. Sudikah kalian menolong mengantarkan ku pulang?” lembut sekali suara gadis itu terdengar.

Suara gadis itu dikeluarkan seperti meleceh. Dan Ki Balung bersama keempat muridnya sama sekali tidak percaya. Apalagi, melihat gerak-gerik genit perempuan itu. Senyumnya selalu terkembang merekah, dengan kerlingan mata yang sanggup menggetarkan jantung siapa saja yang melihatnya.

“Nisanak! Jangan coba mengalihkan perhatian dengan segala omong kosongmu. Bukankah kau yang bernama Bidadari Dasar Neraka?!” tegas Ki Balung langsung, dan agak ketus.

“Hi hi hi...! Agaknya Bidadari Dasar Neraka betul-betul tidak mampu mengelabui Ki Balung. Nah, Orang Tua. Kau telah tahu, siapa aku. Tentu, kau mengerti juga, apa yang kuinginkan. Aku memerlukan bantuan empat orang pemuda yang di belakangmu itu!”

“Bidadari Dasar Neraka! Jangan coba berbaik-baik denganku dan tidak perlu mengancam. Kedatangan kami ke sini sudah jelas kau ketahui. Maka, kembalikan seorang muridku yang tadi kau culik!” Ki Balung agaknya tidak mau berbasa-basi lagi dengan perempuan itu.

“Muridmu kuculik? Sejak kapan aku jadi penculik?”

“Jangan pura-pura! Tadi sore, dua orang pemuda telah memergoki perbuatan cabul mu. Salah seorang kemudian kau bawa kabur, dialah muridku. Kuminta baik-baik, kembalikan muridku. Atau, aku harus memaksamu dengan cara kekerasan!”

“Hi hi hi...! Dasar tua bangka pikun. Bicaramu seenaknya saja. Mana mungkin aku menculik muridmu. Dialah yang mengejar-ngejarku. Dan malah, kini tidak mau pulang!” sahut Bidadari Dasar Neraka seenaknya.

“Dasar perempuan cabul! Rupanya kau memang harus dipaksa!” dengus Ki Balung jadi geram.

“Hi hi hi...!” Bidadari Dasar Neraka hanya tertawa saja mendengar kata-kata yang terasa ketus itu.

Sementara, Ki Balung sudah siap dengan golok tergenggam erat di tangan kiri, walaupun belum juga dicabut dari warangkanya. Tapi, sorot matanya terlihat begitu tajam, ke arah sepasang bola mata yang indah dan memikat, seakan hendak menembus langsung ke jantung.

"Kau memang tidak bisa diajak bicara baik-baik, Perempuan Iblis! Terimalah seranganku. Hiyaaat...!”

Selesai berkata demikian, tubuh Ki Balung bergerak menyerang perempuan itu. Dia ingin menguji, sampai sejauh mana kemampuan Bidadari Dasar Neraka yang satu ini. Satu pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, langsung dilepaskan tepat mengarah ke dada Bidadari Dasar Neraka.

“Haiiit..!” Namun manis sekali Bidadari Dasar Neraka mengegoskan tubuhnya. Dan bagaikan kilat, tangan kirinya dikibaskan untuk menyambut pukulan yang dilepaskan Ki Balung.

Ki Balung jadi tersentak kaget setengah mati. Tangan Bidadari Dasar Neraka yang halus dan gemulai tampak jelas akan menangkis kepalan tangannya yang kasar dan berat Pikirnya, sungguh berani perempuan itu. Pasti dalam sekejap, dia akan terjungkal sambil mengeluh kesakitan.

Plak!

“Heh...?!” Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan. Telapak tangan Bidadari Dasar Neraka ternyata seperti benteng baja cina tidak bergeming sedikit pun. Namun Ki Balung tidak mau membuang waktu. Meskipun belum percaya betul kalau perempuan di depannya ini adalah Bidadari Dasar Neraka, yang jelas kepandaian wanita itu tidak bisa dianggap enteng. Maka cepat dia melompat mundur. Dan saat itu juga kaki kirinya langsung melayang menghantam ke arah kepala.

“Yeaaah...!”

“Hup!” Bidadari Dasar Neraka cepat menundukkan kepala, dan tubuhnya berputar seperti menari. Sesaat, Ki Balung jadi terpana. Kesempatan itu cepat digunakan Bidadari Dasar Neraka untuk bergerak cepat menyambar mukanya dengan ayunan kaki yang menimbulkan angin serangan kencang.

Ki Balung buru-buru membuang diri ke samping, dan bergulingan beberapa kali. Lalu cepat dia melompat bangkit berdiri lagi dengan kedua kaki kembali menjejak mantap di tanah. Sementara Bidadari Dasar Neraka terlihat berdiri tegak dengan wajah kelihatan meregang seperti menahan marah.

“Sial!” dengus Ki Balung, yang hampir saja terkena serangan balik wanita itu.

“Hi hi hi...! Tua bangka keparat! Kau meremehkan Bidadari Dasar Neraka, heh?! Terimalah akibatnya nanti!” dengus Bidadari Dasar Neraka.

“Huh! Kau pikir dengan kepandaian secuil itu akan bisa menakut-nakuti Ki Balung? Meski gurumu sendiri, aku tidak bakal gentar!”

“Jangan bawa-bawa nama guruku! Aku saja sudah cukup untuk menghajar mulut lancang mu!” sentak Bidadari Dasar Neraka berang.

“Gadis sombong! Mulutmulah yang perlu dihajar!”

“Hi hi hi...! Kita akan buktikan sekarang, Tua Bangka!”

“Jangan banyak omong kau! Hiyaaa...!” Ki Balung langsung melipatgandakan tenaga dalamnya. Dia tidak ingin lagi kecolongan seperti tadi. Dengan kecepatan bagai kilat, kembali diterjangnya wanita berwajah cantik bagai bidadari itu.

Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan. Bidadari Dasar Neraka bergerak bagai tiupan angin. Tubuhnya bergerak cepat dan gerakannya betul-betul sulit diikuti mata. Apalagi, untuk menduga arah serangannya. Sambil membentak keras, tubuhnya yang melayang di atas tiba-tiba menukik tajam dengan satu pukulan jarak jauh yang menimbulkan angin panas membakar.

Ki Balung cepat-cepat melompat ke samping sambil membalas dengan pukulan andalan yang mengeluarkan sinar kuning dari telapak tangannya. Seekor kerbau kuat dan besar pun akan tewas seketika dihantam pukulan yang bernama ‘Pukulan Tapak Kuning’ itu.

Glaar...!

Satu ledakan dahsyat terjadi, ketika dua pukulan dahsyat beradu. Dan pada saat itu juga tanpa diduga sama sekali, Bidadari Dasar Neraka memutar tubuhnya dengan kecepatan sangat tinggi di udara. Lalu bagaikan kilat tubuhnya menukik deras. Dan....

“Yeaaah...!”
Wuk! Cres!
“Aaakh...!”

Ki Balung terpekik nyaring. Tubuhnya kontan terpental sejauh dua tombak dengan tangan sebatas siku buntung. Cepat-cepat ditotoknya aliran darah di sekitar siku, agar darah tidak banyak keluar. Dari mulutnya tampak meleleh darah segar. Dan seketika, keempat orang muridnya langsung memburu ke arahnya.

“Ki...!”

Ki Balung kini memuntahkan darah segar. Nafasnya tampak megap-megap. Dengan susah payah, dia berusaha bangkit. Pandangannya yang tajam menusuk, diarahkan ke Bidadari Dasar Neraka yang tersenyum-senyum sinis sambil menimang-nimang pedang pendek yang telah berada di kedua belah tangannya.

Memang sungguh cepat gerakan yang dilakukan Bidadari Dasar Neraka tadi. Sehingga, sangat sulit diikuti pandangan mata biasa. Ki Balung sendiri tidak tahu, kapan wanita itu mencabut pedangnya, dan kapan pula membabatkannya. Sampai-sampai, tangannya tidak bisa lagi dipertahankan. Sekali tebas saja, tangannya sudah buntung.

“Nisanak! Ku tahu, jurus yang kau gunakan itu adalah jurus ‘Kupu-kupu Menari di Atas Bunga’. Tapi pengerahan tenaga dalam yang hebat begitu hanya bisa dilakukan oleh si Bidadari Dasar Neraka. Mustahil kalau kau adalah Bidadari Dasar Neraka yang pernah kukenal puluhan tahun yang lalu. Tapi, wajahmu mirip sekali dengannya. Dan mustahil pula kalau kau putrinya. Setahuku, Bidadari Dasar Neraka tidak pernah memiliki keturunan. Bahkan kau juga lebih pintar jika mengaku sebagai muridnya. Siapa kau sebenarnya?! Dan apa maksudmu menculik muridku?”

Suara Ki Balung terdengar tenang. Namun di balik itu, tersirat ancaman halus yang lahir dari rasa penasarannya. Sesekali mulutnya meringis menahan perih pada tangannya yang buntung dan terus mengucurkan darah segar.

“Hi hi hi...!” Namun Bidadari Dasar Neraka hanya tertawa mengikik saja. Begitu mengerikan suara tawanya, sehingga membuat bulu kuduk jadi meremang. 

***
DUA
Bidadari Dasar Neraka tertawa nyaring, tapi kemudian melotot garang tanpa mempedulikan ocehan Ki Balung. Kedua bola matanya terbeliak lebar, dan bibirnya terkatup rapat Raut wajahnya begitu kaku, memancarkan kebengisan. Bahkan lebih mirip seekor serigala yang melihat domba sangat gemuk, sehingga membuat air liur menetes karena membayangkan kenikmatan.

“Tua bangka...! Aku tidak peduli segala yang kau katakan! Kau bersedia serahkan empat anak muda itu atau tidak?!” bentak Bidadari Dasar Neraka garang. Suaranya terdengar begitu keras dan lantang.

“Ki...! Biar kurobek saja mulut perempuan lancang itu!” Mardi yang sejak tadi sudah geram, minta izin pada gurunya untuk menghajar perempuan itu. Dan belum lagi Ki Balung berkata apa-apa, Mardi sudah mencelat dengan golok di tangan menerjang Bidadari Dasar Neraka. Begitu cepat lesatannya, sehingga membuat Bidadari Dasar Neraka jadi terperangah tidak menyangka.

“Perempuan cabul! Hadapi aku! Hiyaaa...!”

“Heh...?! Upts!”

Cepat sekali Bidadari Dasar Neraka menghindari tebasan golok Mardi. Maka, hanya sedikit saja golok yang berkilatan tajam itu lewat di depan tenggorokannya. Lalu dia cepat melompat mundur, menjaga jarak sekitar setengah batang tombak.

“Hi hi hi...! Bocah bagus! Kau pikir bisa berbuat apa padaku? Sepuluh orang seperti gurumu pun, belum tentu mampu mengalahkanku. Dan lebih baik, ikutlah baik-baik denganku. Atau, harus ku paksa lebih dulu,” kata Bidadari Dasar Neraka agak dingin nada suaranya.

“Phuih...!” Mardi hanya menyemburkan ludahnya dengan sengit

“Mardi, hati-hati!” Ki Balung memperingatkan.

Belum lagi suara peringatan Ki Balung hilang, Mardi sudah kembali melompat menyerang wanita cantik yang bernama Bidadari Dasar Neraka.

“Hup! Hiyaaat..!”
“Haiiit!"

“Mampus kau!”
Bet!

Kembali Mardi cepat menyerang. Goloknya dikebutkan beberapa kali secara beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi dengan liukan-liukkan tubuh yang sangat indah, Bidadari Dasar Neraka bisa menghindarinya.

“Hm.... Agaknya guru dan murid sama saja. Cepat panas dan naik darah. Untung saja wajahmu tampan, hingga aku tidak sampai hati melukaimu. Tapi kalau caramu terus begini, terpaksa aku harus melumpuhkanmu terlebih dahulu,” gumam Bidadari Dasar Neraka pelan, seperti bicara pada diri sendiri.

“Jangan banyak mulut kau, Perempuan Cabul! Kau pikir, aku keledai yang seenaknya bisa dilumpuhkan! Hiyaaat..!” sentak Mardi semakin geram.

“Haiiit..!”

Kembali Mardi menyerang dengan tebasan-tebasan golok yang sangat cepat luar biasa. Tapi, tetap saja Bidadari Dasar Neraka hanya melayani dengan senyuman tersungging di bibir. Sikapnya terlihat jelas kalau meremehkan pemuda ini. Namun sebagai murid utama Ki Balung, kepandaian Mardi memang hampir menyamai gurunya. Apalagi, ketika memainkan jurus ‘Berputar Mengelilingi Bumi’.

Jurus itu sangat hebat dan dahsyat bila dimainkan dengan golok. Ditambah lagi oleh pengerahan tenaga dalamnya yang sudah tinggi. Agaknya, Mardi betul-betul ingin membuktikan kalau tidak semudah itu dapat ditaklukkan Bidadari Dasar Neraka. Tapi yang dihadapinya kali ini bukanlah tokoh sembarangan.

Nama Bidadari Dasar Neraka sudah puluhan tahun sangat disegani oleh semua golongan. Tidak sembarangan orang berani mencari perkara dengannya. Ki Balung sendiri meyakini hal itu. Dan diyakini pula kalau perempuan ini sesungguhnya adalah Bidadari Dasar Neraka yang dikenalnya dahulu. Hanya saja yang sulit dimengerti, kenapa perempuan itu masih awet muda?

“Yeaaah...!”

Pertarungan antara Mardi melawan Bidadari Dasar Neraka terus berlangsung sengit. Jurus demi jurus berlalu cepat. Entah sudah berapa jurus Mardi menyerang, tapi tetap saja dilayani Bidadari Dasar Neraka hanya dengan liuk-liukkan tubuh saja. Namun begitu, masih terlalu sulit bagi Mardi untuk menyarangkan serangan-serangan ke tubuh yang indah menggiurkan ini. Dan hingga pada satu kesempatan....

“Hih!”
Plak!
“Awas, Mardi!”

Ki Balung berteriak memperingatkan, ketika telapak tangan Bidadari Dasar Neraka menangkis pergelangan tangan Mardi yang sedang mengayunkan goloknya ke arah kepala. Tapi pemuda itu tidak cepat mengerti. Sebab kemudian, seperti ular saja tangan perempuan itu sudah menangkap pergelangan tangannya. Langsung ditariknya tubuh Mardi ke arahnya dengan pengerahan tenaga dalam penuh.

“Ikh...!” Mardi berusaha bertahan sambil mengayunkan kakinya ke perut lawan.

Namun, tubuh Bidadari Dasar Neraka cepat mencelat ke atas sambil berteriak nyaring. Entah bagaimana perempuan cantik itu melakukannya, tahu-tahu golok di tangan Mardi terlepas. Bahkan tubuh Mardi tahu-tahu lemas seperti tidak bertenaga, hingga langsung ambruk ke tanah.

“Hi hi hi...! Dalam keadaan begini, tentu kau akan lebih jinak padaku!”

“Perempuan cabul, lepaskan muridku!” bentak Ki Balung geram.

Ketiga orang murid Ki Balung yang lain segera melompat menghadang Bidadari Dasar Neraka. Dan tanpa diperintah lagi, mereka langsung saja menyerang cepat dari tiga jurusan.

“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”

Namun, serangan mereka hanya dilayani dengan gerakan-gerakan sangat indah dan ringan. Sementara bibir wanita cantik itu terus menyunggingkan senyuman. Kenyataannya, satu pun dari serangan mereka yang berhasil menyentuh kulit tubuhnya. Dan memang, mereka bukanlah tandingan Bidadari Dasar Neraka.

“Hi hi hi...! Sungguh garang murid-muridmu, Tua Bangka! Tapi sayang, aku tidak berselera pada mereka. Ku tarik kembali ucapanku. Aku hanya memerlukan seorang muridmu yang ini saja!” ujar Bidadari Dasar Neraka sambil memanggul Mardi yang tidak berdaya di pundaknya.

Bidadari Dasar Neraka berusaha kabur, tapi ketiga murid Ki Balung tentu saja tidak membiarkan begitu saja. Serentak mereka membentuk barisan, dan kembali menyerang dari tiga jurusan. Kelebatan pedang mereka terdengar mendesing, mengancam keselamatan perempuan itu.

Namun Bidadari Dasar Neraka hanya tertawa, seperti menganggap remeh serangan itu. Tubuhnya lalu melayang tinggi ke atas cabang pohon dengan ringan, tapi ketiga murid Ki Balung terus saja mengejarnya. Bidadari Dasar Neraka kemudian mencelat sambil berputar dua kali di udara. Dan disertai teriakan keras, kedua kakinya melayang menghajar dua orang lawan yang terdekat.

“Hih!”
Duk!
“Aaakh...!”
“Menyingkir, Raga!”

Ki Balung langsung membentak. Kedua murid Perguruan Kembang Putih itu langsung menjerit kesakitan. Golok mereka terpental, dengan pergelangan tangan patah dihantam tendangan Bidadari Dasar Neraka yang sangat kuat. Perempuan itu terus bergerak cepat mengayunkan tangan kirinya, menghantam kepala lawannya yang tersisa. Saat itu juga dengan sisa tenaganya, Ki Balung melompat menyerang Bidadari Dasar Neraka, setelah terlebih dahulu memperingatkan muridnya.

“Hiyaaat..!”

“Tua bangka keparat...! Mampuslah kalau memang itu yang kau inginkan! Hiyaaat...!” Bidadari Dasar Neraka membentak sambil menghantamkan satu pukulan yang mengeluarkan sinar kuning kemerahan bagai nyala api.

“Pukulan Api Kematian’?!” Ki Balung mendesis terkejut.

Cepat-cepat Ki Balung bergerak mengegoskan tubuhnya, sambil membalas dengan pukulan andalan ‘Rase Kuning'. Tapi ternyata Bidadari Dasar Neraka sudah bergerak cepat. Dan ketika kakinya baru saja menjejak tanah, seorang murid Ki Balung langsung membabatkan goloknya ke arah pinggang perempuan itu.

Meski masih membopong tubuh Mardi di pundak, tapi Bidadari Dasar Neraka masih mampu bergerak gesit bagai burung walet. Tubuhnya tampak berputaran bagai gasing dan bergerak cepat membalas serangan lawan. Akibatnya, tiba-tiba saja orang itu terpekik. Tubuhnya kontan terlempar sejauh lima tombak, dan langsung memuntahkan darah kental kehitaman-hitaman.

Ternyata, tadi Bidadari Dasar Neraka menghantamnya dengan tendangan geledek. Bahkan bukan saja membuat tulang dadanya remuk, tapi nyawanya pun langsung melayang saat itu juga.

“Aaa...!”

“Keparat! Mampuslah kau, Perempuan Laknat!” Secarik sinar kuning dari pukulan maut Ki Balung langsung menderu kencang, menyambar Bidadari Dasar Neraka.

“Mampuslah kau, Tua Bangka Busuk! Hih...!”

Bidadari Dasar Neraka dengan geram, membalasnya. Cepat dilepaskannya ‘Pukulan Api Kematian’ disertai penggunaan tenaga dalam penuh. Kedua pukulan itu bertemu dan menimbulkan suara ledakan keras menggelegar yang sangat dahsyat sekali, disusul percikan bunga api dan asap tebal membubung.

Glaaar!

“Aaakh...!” Ki Balung memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terlempar membentur sebatang pohon. Dari mulutnya tampak meleleh darah kental kehitam-hitaman. Orang tua itu cuma menggelepar sesaat, kemudian tidak bergerak lagi. Nyawanya putus saat itu juga.

“Ki...!” Kedua orang murid Ki Balung langsung memburu dan memeriksa keadaan orang tua itu. Tapi, nyawa Ki Balung sudah tidak tertolong lagi. Tenaganya kalah jauh dalam adu kekuatan tadi. Bukan saja pukulan mautnya yang buyar, tapi pukulan lawan terus menderu menghantam tubuhnya tanpa dapat ditahan. Tubuh Ki Balung tampak seperti terbakar kepanasan, hangus menghitam.

“Perempuan keparat! Kami akan mengadu jiwa denganmu!” bentak salah seorang murid Ki Balung geram.

“Hiyaaat..!” “Yeaaah...!”

Dengan wajah garang, mereka langsung melesat hendak menyerang. Tapi belum juga sampai, mendadak saja Bidadari Dasar Neraka sudah raib dari tempat itu. Keduanya cepat menajamkan pendengaran, namun jejak dan suara perempuan itu betul-betul tidak terdengar lagi. Dengan hati kesal bercampur dendam, dua murid Ki Balung itu kembali pulang membawa jenazah gurunya dan seorang murid lain.

Sementara itu, Bidadari Dasar Neraka tengah tertawa-tawa nyaring di kejauhan sambil mengerahkan ilmu lari cepat. Tubuhnya seperti dibungkus angin, terus bergerak ke arah utara. Sesudah beberapa saat berlari, gadis berwajah cantik bagai bidadari itu sampai di depan sebuah kuburan tua yang terletak persis di kaki sebuah bukit curam.

Bidadari Dasar Neraka terus melangkah pelan, dan berhenti di depan sebuah kuburan yang sudah rata dengan tanah. Di depannya, tampak dua buah tiang setinggi setengah tombak, terbuat dari bata. Dindingnya sudah rusak dan ditumbuhi lumut Ditekannya bagian atas tiang yang berada di sebelah kanan. Perlahan-lahan, dinding bukit sejauh dua tombak di depan makam itu terlihat terbuka lebar.

Kelihatannya, cukup dimasuki dua orang dewasa. Bidadari Dasar Neraka cepat-cepat masuk ke dalam, maka pintu itu tertutup kembali. Di dalamnya, tampak sebuah ruangan yang cukup luas, diterangi beberapa buah obor yang tergantung di dinding. Di ujung kiri dan kanannya terdapat dua buah kamar.

“Gondo Keling, dan kau Raja Manik! Ke mana kalian?!” teriak Bidadari Dasar Neraka.

Dari pintu kiri tampak keluar dua sosok tubuh yang sangat berlawanan. Yang satu bertubuh pendek gemuk dengan rambut pendek berdiri ke atas. Di pinggangnya melingkar sebuah cambuk berduri. Di sebelahnya lagi, berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus. Tangan kanannya memegang sebuah gada berduri yang cukup besar. Mereka berdua memberi hormat pada perempuan cantik ini.

Bidadari Dasar Neraka memperhatikan seksama ke arah mereka. Di mulut laki-laki pendek gemuk itu masih terlihat bekas-bekas makanan. Sedang baju laki-laki tinggi kurus terkesan kurang rapi, seperti buru-buru dibereskan. Perempuan itu menggeleng kecil sambil tersenyum.

“Sedang apa kalian?” tanya Bidadari Dasar Neraka pura-pura tidak tahu.

Kedua orang itu saling berpandangan satu sama lain.

“Goblok! Apakah telinga kalian tuli?!”

“Eh, ng.... Biasa, Nyai Nilawati...,” jawab laki-laki tinggi kurus sambil senyum malu.

“Hmmm. Kau tadi keluar, Raja Manik? Dan kini perempuan itu kau peram di dalam?!”

“Dia tidak tahu tempat ini, Nyai. Hamba membawanya dalam keadaan tidak sadar. Dan sesudah itu...,” kata Raja Manik sambil memberi isyarat dengan tangannya menyilang di atas tangan yang satunya.

“Bagus! Kau harus pastikan, kalau dia sudah mampus sebelum meninggalkannya!” Raja Manik mengangguk cepat. “Dan kau, Gondo Keling! Apa saja kerjamu selain mengenyangkan perutmu?! Kalau sampai jadi kerbau besar yang dungu, kupecahkan perutmu!”

Si pendek gemuk tersenyum sambil terkekeh. Kedua bola matanya berputaran memandangi wajah cantik di depannya. Sedangkan Bidadari Dasar Neraka masih tetap memasang wajah angker.

“Percayalah, Nyai. Hamba tetap mampu bergerak gesit walau makan sebakul sekalipun....”

“Hmmm, sudahlah. Kalian urus pemuda ini. Hati-hati. Kepandaiannya cukup lumayan, antarkan padaku nanti malam. Sekarang, aku ingin istirahat dulu!” ujar Bidadari Dasar Neraka yang dipanggil Nilawati oleh kedua orang itu.

Tubuh Mardi yang berada dalam bopongan melayang ke arah Gondo Keling dan Raja Manik. Mereka cepat menangkap dan membawanya ke sudut ruangan. Lalu, diikatnya pemuda itu dengan tali yang kuat dalam keadaan berdiri.

Bidadari Dasar Neraka sendiri menuju kamarnya yang terletak di sudut kanan ruangan itu. Di dalam kamarnya, terdapat sebuah ranjang empuk berukir indah dengan kelambu cerah warna merah jambu, juga terdapat seperangkat alat-alat makan, dan rak-rak kecil yang menempel di dinding berisi buku-buku yang sudah lusuh. Sebuah obor kecil menerangi ruangan ini.

Di atas meja dekat tempat tidur, tersedia sepiring besar buah-buahan ranum yang menimbulkan selera. Di sisi yang agak kosong di samping ranjang, juga terlihat seutas tali yang diikatkan dari dinding yang satu ke dinding di depannya.

“Hari ini tenagaku banyak terkuras. Aku harus memulihkannya kembali sebelum...,” gumam Bidadari Dasar Neraka sambil tersenyum-senyum sendiri.

Mungkin perempuan itu tengah membayangkan suasana indah nanti. Entah, apa yang ada dalam benaknya saat ini. Matanya terus menerawang, bercahaya indah bergemerlapan bagai bintang di langit.

“Pemuda itu cukup tampan dan gagah. Tapi sayang, sedikit tua. Mungkin sudah tidak perjaka lagi. Tapi tidak apalah untuk pemuas dahagaku...,” lanjut Bidadari Dasar Neraka sambil merebahkan diri.

Apa yang dilakukan perempuan itu sangat aneh. Tidurnya tidak di atas ranjang, melainkan di atas seutas tali yang menggantung di samping ranjang. Padahal, tali itu lebih kecil daripada jari telunjuknya. Dan yang pasti, tidak akan kuat menahan berat tubuhnya. Tapi kenyataannya, tali itu tidak putus. Dan ini menandakan kalau ilmu meringankan tubuhnya sudah demikian tinggi.

Tapi bagi Bidadari Dasar Neraka, hal ini merupakan suatu latihan ilmu meringankan tubuh yang tiada taranya. Dan dilakukan terus-menerus oleh Bidadari Dasar Neraka. Kalau saja tali itu sampai tidak melengkung ke bawah, maka boleh dikatakan ilmu meringankan tubuhnya sulit ditandingi siapa pun.

Namun tali yang tadi terentang kaku, kini hanya melengkung ke bawah kira-kira setengah jengkal. Itu pun sudah sangat hebat! Bahkan mampu tidur seenaknya di atas tali itu saja, sudah terbilang langka. Mengingat, tali itu kelihatan lapuk dan diikat seadanya pada dinding ruangan. 

***

Desa Jambu Pasir tampak sangat ramai siang hari ini. Seperti hari-hari biasanya, terlihat banyak kesibukan para pedagang yang lalu lalang. Tempat ini sebenarnya tidak layak lagi disebut desa. Tetapi lebih tepat bila disebut sebuah kota yang cukup ramai dengan bangunannya yang indah dan megah. Bahkan tempat hiburan banyak terdapat di setiap pelosok.

Kehidupan para penduduk lebih banyak sebagai pedagang. Dan mereka yang bertani hanya terdapat jauh di luar desa. Hanya saja, penduduknya lebih suka menyebut tempat tinggal mereka sebagai desa. Tempat ini memang bersejarah.

Pada zaman dahulu, desa ini adalah daerah taklukan sebuah kerajaan besar. Mereka mendirikan benteng-benteng pertahanan, yang sampai sekarang masih dapat terlihat. Dan ketika kerajaan itu dapat dikalahkan oleh kerajaan lain, daerah ini seperti tenggelam begitu saja. Tapi, tempat ini tidak langsung dilupakan orang begitu saja. Raja yang sekarang sudah menetapkannya sebagai daerah perdagangan, yang kemudian banyak dikunjungi pendatang dari berbagai tempat.

Di daerah ini juga terdapat sebuah padepokan, tempat penggemblengan prajurit-prajurit kerajaan yang bernama Tirtaloka. Padepokan ini dipimpin seorang panglima perang, bernama Ki Wisnu Perkasa. Beliau memang sudah lama mengundurkan diri dari jabatan panglima perang kerajaan, tetapi raja tetap membutuhkan tenaganya untuk melatih para prajurit. Usianya sudah lanjut, sekitar tujuh puluh tahun. Namun ilmu silatnya cukup tinggi, sehingga sangat disegani semua golongan.

Di siang yang cukup terik itu, Ki Wisnu Perkasa kedatangan tamu yang bernama Panglima Sudra Wulung, yang saat ini memimpin seluruh pasukan kerajaan. Dalam kunjungan itu, dia menyampaikan amanat kalau Gusti Prabu tengah membutuhkan lebih dari dua puluh orang prajurit pilihan untuk menambah jumlah pasukan yang sudah ada.

“Ada apa sebenarnya, sehingga Gusti Prabu begitu terburu-buru meminta prajurit pilihan, Tuan Panglima?” tanya Ki Wisnu Perkasa.

“Perlu Kisanak ketahui, baru-baru ini Gusti Prabu mendapat kabar kalau pasukan asing sudah mendarat di Pantai Timur wilayah kerajaan kita. Beberapa orang telik sandi menyaksikan, kekuatan mereka cukup banyak dan bersenjata lengkap. Gusti Prabu hanya ingin berjaga-jaga, sebab kedatangan mereka sama sekali tidak diketahui kerajaan,” jelas Panglima Sudra Wulung.

Ki Wisnu Perkasa menganggukkan kepala. “Hmmm..., begitu kiranya. Baiklah. Hari ini juga, Kisanak akan ditemani dua puluh lima tamtama pilihan,” kata Ki Wisnu Perkasa sambil menoleh pada sa-ah seorang pemuda yang berada di sebelahnya.

“Sadewo! Hari ini kau ku pilih untuk berangkat ke istana bersama Panglima Sudra Wulung. Bawalah dua puluh empat orang tamtama terbaik bersamamu!” lanjut Ki Wisnu Perkasa.

Pemuda yang dipanggil Sadewo cepat memberi hormat pada Ki Wisnu Perkasa. Memang, dia adalah orang kepercayaannya. Usianya masih amat muda, sekitar delapan belas tahun. Parasnya tampan dan penampilannya gagah. Dadanya lebar dan bidang menandakan tubuhnya yang sehat dan kuat.

“Ini suatu kehormatan bagiku bisa mengabdi pada kerajaan. Mohon doa restunya, Ki!”

Ki Wisnu Perkasa mengangguk ramah. Sesudah memberi hormat, pemuda itu bangkit keluar. Sedangkan orang tua itu mengikuti dari belakang bersama Panglima Sudra Wulung. Di halaman depan, terlihat murid-murid padepokan yang tengah berlatih ilmu silat, perang-perangan di atas kuda, dan ilmu olah kanuragan lainnya. Sadewo tampak berdiri tegak, kemudian berteriak keras memanggil satu persatu di antara murid-murid yang tengah berlatih. Dalam sekejap saja, sudah berkumpul dua puluh empat orang kawannya yang langsung berbaris rapi.

“Kisanak semua! Hari ini, aku mendapat perintah dari Ki Wisnu Perkasa untuk memanggil kalian. Saat ini kerajaan membutuhkan tenaga kita. Dan bila di antara kalian ada yang tidak terpilih, bukan berarti aku pilih kasih atau membeda-bedakan. Hal ini semata-mata, hanya yang ulet, trampil, serta memiliki kepandaian lebihlah yang berhak menjalankan tugas ini. Tak ada seorang pun yang boleh iri hati atas terpilihnya beberapa orang di antara kalian,” kata Sadewo keras.

Kedua puluh empat orang pemuda itu tampak mengangguk. Dan yang lain pun ikut mengangguk ketika mendengarkan kata-katanya. Mereka agaknya patuh dan penuh pengabdian diri. Dan semua itu tidak lepas dari pengaruh Ki Wisnu Perkasa yang mendidik selama ini. Buktinya tak seorang pun yang menunjukkan wajah cemburu atau iri.

Semua murid-murid yang berada di padepokan, rata-rata berusia muda dan memiliki tubuh sehat dan kuat. Dan kalau pun ada yang berbeda, itu adalah lima orang pelatih yang berusia di atas empat puluh tahun. Sesudah memberi wejangan sebagaimana mestinya, Ki Wisnu Perkasa melepaskan mereka.

Kini kedua puluh lima orang pemuda itu langsung naik ke punggung kuda masing-masing. Dan bersama Panglima Sudra Wulung serta empat orang pengiringnya, mereka kini siap berangkat. Tapi pada saat yang bersamaan, terdengar suara tawa nyaring yang memekakkan telinga. Seketika semua orang yang berada di situ langsung bersiaga, melihat sesosok tubuh ramping sudah berdiri di halaman depan padepokan.

***
TIGA
Seorang gadis berwajah cantik jelita tersenyum genit sambil menggerak-gerakkan tubuhnya seperti perempuan penghibur. Rambutnya panjang terurai sampai pinggul. Bajunya sangat tipis, hingga lekuk-lekuk tubuh bagian dalamnya terlihat jelas. Dan ini membuat semua pemuda yang berada di situ menarik napas, menyaksikan kemolekan tubuhnya.

Di pinggangnya tampak terselip sepasang pedang pendek dari perak. Matanya jalang menatap beberapa orang pemuda berwajah tampan dan gagah. Bibirnya lalu tersenyum manis pada mereka, tanpa mempedulikan yang lain.

Sekilas saja, Ki Wisnu Perkasa dapat menduga kalau perempuan itu bukan gadis sembarangan. Tapi melihat parasnya, pasti usianya masih belia. Meski memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, namun kelakuannya sangat buruk. Terutama, bila dipandang dari segi kesopanan. Pakaiannya terlihat tak senonoh.

Dan lebih dari itu, di tempat ini sebenarnya seorang gadis dilarang berkeliaran. Buktinya tak terlihat seorang perempuan pun sejak tadi. Tapi sebagai tuan rumah, tentu saja Ki Wisnu Perkasa ingin memperlihatkan keramahannya.

“Nisanak, siapakah dirimu. Dan apa keperluanmu singgah di tempatku?” tanya Ki Wisnu Perkasa ramah.

Gadis itu tak menjawab. Malah terlihat begitu asyik memperhatikan Sadewo. Dan pemuda itu pun kelihatannya terpesona melihat kecantikan gadis itu.

“Nisanak..!”

“Eh! Apakah kau bicara padaku?” gadis itu pura-pura terkejut Ki Wisnu Perkasa tersenyum kecil.

“Apa keperluanmu datang ke sini. Dan, siapa kau sebenarnya?”

“Aku..., ng.... Hanya seorang gadis desa dan ingin melihat-lihat sekaligus ingin menemuinya!” tunjuk gadis itu ke arah Sadewo.

Ki Wisnu Perkasa curiga. Apakah gadis itu kekasih Sadewo? Diliriknya pemuda itu seperti ingin minta penjelasan. Tapi, Sadewo sendiri terlihat bingung.

“Kakang! Apakah kau malu mengakui ku sebagai kekasihmu?” kata gadis itu, sudah langsung memojokkannya sambil tersenyum genit.

“Eh, aku.... Aku...”

“Sadewo! Siapa gadis ini sebenarnya? Apakah dia kekasihmu?” desak Ki Wisnu Perkasa tegas.

“Ki Wisnu! Aku..., aku....”

“Sudahlah, Kakang Sadewo. Kalau kau memang malu mengakui ku sebagai kekasihmu, aku tak menyalahkan. Aku tahu kau kini telah mendapat kedudukan yang baik. Dan tak heran kalau kau tak mengenalku lagi...,” sahut gadis itu terdengar sedih.

Ki Wisnu Perkasa kembali mendakwa pemuda lugu itu dengan tatapan tajamnya.

“Orang tua! Biarlah aku pergi membawa duka dan anak dalam kandungan ku ini. Kakang Sadewo sudah tak mengenaliku lagi kiranya...,” sahut gadis itu sambil menunjukkan wajah duka.

“Dusta!” sentak Sadewo ketika semua mata tertuju ke arahnya.

Dalam padepokan itu, ada peraturan yang melarang murid-murid untuk menikah lebih dulu. Sebab selepas dari sini mereka akan menjadi tamtama yang kemudian akan mengabdi pada kerajaan. Siapa yang melanggar peraturan ini, akan dikeluarkan dari padepokan saat itu juga. Apalagi sampai menghamili gadis diluar nikah. Jelas itu adalah perbuatan yang memalukan nama baik perguruan. Sangsinya, bukan saja akan dikeluarkan dari perguruan, tapi juga mendapat hukuman berat!

Memang, selama ini Ki Wisnu Perkasa selalu mengajarkan tata susila pada murid-muridnya. Sebenarnya, hari ini nasib baik Sadewo mulai berjalan. Bila kerajaan memanggil, maka selanjutnya kedudukan serta derajatnya akan naik. Tapi mendengar kata-kata gadis yang sama sekali tak dikenalnya, tentu saja tegas-tegas dibantahnya. Siapa sudi jerih payahnya selama ini musnah begitu saja dalam sekejap. Walaupun, tak dipungkiri Sadewo memang terpesona melihat kecantikan gadis itu.

“Ki Wisnu Perkasa! Aku tak kenal gadis ini. Dia berdusta, dan mulutnya berbisa!”

“Hi hi hi...! Begitukah sikapmu, Kakang Sadewo? Setelah mengecap manisnya, lalu akan membuangku seenaknya? Bahkan tak mengakui perbuatanmu?! Bagaimana orang sepertimu bisa dipilih kerajaan?”

“Perempuan keparat! Apa maksudmu?! Jangan mengada-ada. Kenal denganmu saja, baru hari ini! Bahkan aku tak tahu, siapa dirimu dan dari mana asalmu!”

Gadis itu tak mempedulikan kemarahan Sadewo. Sambil tersenyum manis, kembali kepalanya menoleh ke arah Ki Wisnu Perkasa.

“Orang tua, bagaimana pendapatmu?”

Ki Wisnu Perkasa menghela napas panjang. Ditatapnya Sadewo sekilas. Dia tahu, bagaimana tabiat pemuda itu. Selama ini, Sadewo sangat dipercaya. Bahkan merupakan murid kesayangannya. Jadi, rasanya mustahil bila apa yang dituduhkan gadis itu dilakukannya. Tapi tak mungkin juga membelanya, tanpa bukti kuat.

“Nisanak! Dia akan mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya, tapi setelah terbukti bersalah. Dapatkah kini kau buktikan perbuatannya yang tak senonoh padamu?”

“Hi hi hi...! Seorang guru tentu saja akan melindungi muridnya, sekalipun tindakannya tak terpuji. Aku pun memakluminya. Dan untuk meyakinimu, akan kubuktikan perbuatannya. Biar semua mata yang berada di sini menyaksikan, bagaimana buruknya kelakuan muridmu itu,” kata gadis itu, tenang.

“Ki Wisnu! Jangan percaya ucapannya! Dia berdusta! Aku sama sekali tidak mengenalnya!”

“Diamlah, Sadewo! Aku tak bisa memutuskan benar atau salah, jika bukti-bukti tidak ada!” bentak Ki Wisnu Perkasa, tegas.

Sadewo terdiam dengan hati geram. Dan ketika Ki Wisnu Perkasa mempersilakan gadis itu untuk membuktikannya, semua mata menatap ke arah gadis berwajah jelita itu. Dan tampaknya gadis itu seperti ingin mempermainkan mereka. Diam beberapa saat seperti sedang berpikir.

“Kebakaran...! Kebakaran...!” teriak seseorang tiba-tiba, sambil berlari ke depan.

Semua mata berpaling. Dan di barak belakang, terlihat asap hitam membubung tinggi. Sedangkan murid-murid lain terlihat sibuk, berlari serabutan ke arah barak yang terbakar dan membantu memadamkan api secepatnya. Ki Wisnu Perkasa bukanlah orang lalai dan cepat melupakan urusan. Ketika matanya cepat kembali berpaling, kiranya perempuan itu telah lenyap. Begitu juga Sadewo.

Apa yang terjadi sebenarnya tak ada yang tahu, kecuali gadis itu. Dia memang tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Begitu semua mata berpaling ke arah sumber api, maka secepat itu pula tubuhnya bergerak menyambar Sadewo seraya menotok urat geraknya. Kemudian gadis itu kabur dengan kecepatan sulit diikuti mata.

Kini tahulah orang tua itu, kalau telah kena diakali. Kemarahannya langsung memuncak. Bahkan kepercayaannya terhadap Sadewo lenyap seketika. Dalam pikirannya, cepat menduga kalau Sadewo ada di balik semua ini. Maka hari itu juga, semua muridnya diperintahkan mencari Sadewo untuk dihadapkan pada Ki Wisnu Perkasa. Orang tua itu telah menetapkan hukuman berat padanya.

Sedangkan sebagai pengganti Sadewo, telah diangkat wakilnya. Ki Wisnu Perkasa kini hanya bisa menggelengkan kepala dengan hati tak percaya. Salahkan penilaiannya selama ini terhadap Sadewo? Kalau dia melarikan diri dari hukuman, berarti memang betul melakukan kesalahan. Tindakannya begitu pengecut. Padahal, hal itu tak pernah diajarkan pada murid-muridnya. Kalau saja nanti, murid-muridnya yang lain menemukan Sadewo, dia hanya bisa berharap agar tak terjadi pertumpahan darah di antara mereka.

Sebenarnya, Sadewo adalah murid berbakat. Dia cerdas, kuat, dan tangkas. Tak sembarangan orang mampu mengalahkannya. Bahkan tak seorang pun dari murid-muridnya yang lain mampu menandingi ilmu silat yang dimiliki. Termasuk, para pelatih sekalipun. Memang, Sadewo langsung berada di bawah didikan Ki Wisnu Perkasa.

***

Perempuan itu tertawa-tawa kecil sambil sesekali melirik nakal pemuda yang sedang dibopongnya. Sementara, berlari di sebelahnya adalah dua orang bertubuh aneh. Yang seorang pendek gemuk berambut berdiri kaku. Di pinggangnya tampak melingkar sebuah cambuk berduri. Sementara, seorang lagi bertubuh tinggi kurus membawa gada berduri di tangannya.

“Bagus sekali pekerjaan kalian!” kata wanita itu memuji kedua orang anak buahnya.

“He he he...! Membakar beberapa buah barak bukanlah pekerjaan sulit,” sahut laki-laki tinggi kurus sambil tersenyum simpul.

“Sayang, di sana makanannya tak ada yang enak!” gerutu laki-laki pendek gemuk itu.

“He, Gondo Keling! Apakah kau tak membantu Raja Manik?!” perempuan itu tampak marah.

Si pendek gemuk yang dipanggil Gondo Keling mengerjap-ngerjapkan mata dengan wajah takut.

“Eh..., hamba turut membantu juga, Tuan Putri. Tapi setelah itu, hamba memang ke bagian dapur dan mencari makanan....”

“Sial! Untung mereka tak menangkapmu!”

“Huh! Mana mungkin kroco-kroco itu bisa menangkapku!” Gondo Keling membusungkan dada.

“Jangan menganggap rendah. Mereka bukan calon prajurit biasa, tapi tamtama pilihan.... Hei, kenapa kau diam saja dari tadi, Sayang? Tidakkah kau ingin bermesraan denganku?” kata gadis itu, seraya membuka urat suara pemuda yang dibopongnya dengan totokan.

“Perempuan iblis! turunkan aku. Orang sepertimu mestinya dihajar sampai mampus!”

“Kakang Sadewo? Kenapa kau jadi galak sekali padaku...?”

“Perempuan rendah! Kau pikir aku suka padamu?! Phuih! Kau telah menghancurkan jerih payah ku selama ini dalam sekejap. Mereka tentu kini sedang mencariku, karena dianggap bersalah telah melarikan diri dari tanggung jawab. Aku bersumpah! Bila ada kesempatan, kau akan kubunuh!”

“Hi hi hi...! O, begitu? Jadi, saat ini mereka mencari-cari mu? Hi hi hi...! Jangan terlalu galak, Kakang Sadewo. Kau tak akan memiliki sedikit pun kesempatan untuk melakukan hal itu padaku....”

Perempuan yang sudah pasti berjuluk Bidadari Dasar Neraka itu menghentikan tawanya. Dengan isyarat, diperintahkannya dua orang anak buahnya untuk berhenti melangkah. Dan memang, dari kejauhan terlihat suatu rombongan melewati jalan utama. Jumlah mereka sekitar sepuluh orang, dan dipimpin seorang penunggang kuda di depan. Perempuan itu menajamkan pandangannya, kemudian tersenyum sendiri.

“Gondo Keling, Raja Manik! Bawa dulu pemuda ini ke sarang. Aku akan menyusul!” ujar Bidadari Dasar Neraka sambil melemparkan tubuh Sadewo pada kedua orang itu.

“Tapi, Tuanku...”

“Jangan suka membantah! Kerjakan saja apa yang kuperintahkan!”

Mereka mengangguk. Ketika perempuan itu telah melesat ke arah rombongan, kedua anak buahnya langsung melangkah sambil mengerahkan ilmu lari cepat. Melihat caranya berlari, agaknya mereka bukanlah orang sembarangan. Lebih-lebih laki-laki yang bertubuh pendek gemuk. Meski tubuhnya berat, tapi gerakannya enteng dan gesit.

“Keledai-keledai dungu! Turunkan aku cepat! Kalian akan kuhajar karena berani memperlakukan aku begini!”

Gondo Keling dan Raja Manik saling berpandangan, kemudian menghentikan langkah dan memandang ke arah pemuda yang sedang dipanggul Raja Manik. Laki-laki tinggi kurus itu tampaknya kesal. Masih dalam keadaan tertotok, pemuda itu lalu dihempaskannya ke tanah.

“Keparat! Kalau bebas, akan kuhajar kalian berdua sampai babak belur!” maki Sadewo.

“Eh, Bocah Sombong! Jangan banyak bicara! Kalau sampai kesabaranku habis, kau akan mampus seketika!” desis Raja Manik menahan geram.

“Phuih! Apa yang ku takutkan dari keledai-keledai dungu seperti kalian?!”

“Bangsat!”
Begkh!
“Akh...!”

Kaki Raja Manik langsung menghajar perut pemuda itu. Maka, Sadewo langsung mengeluh menahan rasa sakit. Matanya terbelalak garang dengan urat-urat kaku penuh kegeraman.

“Keledai dungu! Ternyata aku salah kira. Kalian bukan saja dungu, tapi juga pengecut Kegarangan kalian hanya ditunjukkan pada lawan yang tak berdaya...."

“Hup!”
Tek!
“Raja Manik...?” seru Gondo Keling kaget.

Apa yang diperbuat kawannya, sungguh mengejutkan Gondo Keling. Ternyata totokan pemuda itu dibebaskannya. Kalau sampai perempuan tadi tahu perbuatannya, Raja Manik pasti tak akan selamat dari hukuman.

“Diamlah, Gondo Keling! Ingin kulihat, sampai di mana kesombongan bocah ini. Agaknya, dia terlalu yakin dengan kepandaian yang dimiliki. Nah, Bocah! Kini kau bebas. Maka, tahanlah seranganku!”

Begitu terbebas dari totokan, Sadewo langsung bangkit dan bersiap menghadapi lawan. Sementara, Raja Manik tak mau menyia-nyiakan waktu. Langsung dia berteriak nyaring sambil menyerang pemuda itu.

“Yeaaa...!”
“Hup!”

Dengan mantap, Sadewo memasang kuda-kuda dan menangkis serangan lawan.

Plak!
“Hih!”

Wajah pemuda itu tampak berkerut ketika tangan mereka beradu. Tak disangka kalau laki-laki tinggi kurus itu memiliki lengan sekeras baja. Tapi saat itu juga, kaki kanannya menendang ke perut lawan. Tubuh Raja Manik langsung terangkat tinggi. Dan sambil berputaran, sebelah tangannya melesat cepat ke dada Sadewo.

“Hiyaaat..!”
“Uts!”
Plak!

Sadewo berkelit ke samping. Namun tak urung, tangan lawan mesti di tangkis, karena nyaris menghantam dada. Serangan itu sulit dielakkan, karena saking cepatnya. Dan, saat itulah kepalan kiri Raja Manik menyodok lambung pemuda itu. Sadewo kontan terpekik Tubuhnya terjengkang ke belakang sejauh dua tombak dengan napas megap- megap.

“Hanya sedemikiankah kepandaian yang kau banggakan?” ejek Raja Manik sambil bertolak pinggang.

“Keparat! Aku belum kalah!” Sadewo cepat bangkit Dan dengan penuh nafsu, kembali diserangnya Raja Manik.

Sedangkan laki-laki tinggi kurus itu tampak kesal. Wajahnya mulai beringas, dan tangannya diangkat tinggi. Melihat itu, Gondo Keling tahu apa yang akan diperbuat kawannya.

“Raja Manik! Tahan amarah mu! Kalau sampai pemuda ini mampus di tanganmu, kau akan celaka sendiri!”

“Yeaaa...!”

Tapi Raja Manik agaknya tak mempedulikan peringatan kawannya. Sambil berteriak nyaring, kepalan tangannya yang mulai menghitam melayang ke arah lawan. Melihat hal ini, Sadewo terkejut. Hawa panas menyengat berasal dari angin serangan lawan terasa menyengat kulitnya. Bahkan kini, gerakan lawan tampak lebih gesit.

Terpaksa Sadewo menghindar untuk melepaskan diri dari kejaran serangan lawan. Nafasnya mulai memburu dan sesak, serta keringat mulai bercucuran. Tapi, lawannya seperti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Dengan kemampuan yang dimiliki, Sadewo terus berusaha menyelamatkan selembar nyawanya.

Tapi pada jurus berikut, pemuda itu mulai kehilangan kepercayaan diri. Bahkan kepalan tangan Raja Manik nyaris menyerempet tubuhnya setiap kali tubuhnya bergerak. Bisa dipastikan, tiga kali lagi serangan beruntun dilancarkan, dia akan tewas dihajar pukulan lawan yang ganas.

Plak!
Begkh!
“Akh!”
“Mampusss...!”

Ketika Sadewo bergerak ke samping, kaki lawan mengait keras. Akibatnya, tubuhnya limbung. Sementara itu sebelah kaki Raja Manik cepat menghantam dadanya. Sadewo menjerit kesakitan dan pertahanannya terbuka lebar. Dan saat itulah lawan mengejar sambil menyodokkan pukulan maut ke arah dadanya.

Tap! Plak! “Heh!” 

***