Dewi Ular - Manusia Meteor(2)

5
RENCY bukan gadis kelahiran asli Jakarta. Hanya saja,
karena dia kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di
Jakarta, maka ia hidup di belantara Jakarta bersama tantenya.
Sudah tiga tahun ia hidup menumpang keluarga tantenya.
Tapi ia sedih mempunyai kakek yang tinggal di pinggiran kota.
Opa Hans, nama panggilannya. Beliau adalah kakak kandung
dari kakeknya Rency yang sebenarnya, paman dari mendiangmamanya
Rency.
Masa libur semester yang panjang itu merupakan masamasa
menyedihkan bagi Rency, sebab ia tak bisa pulang ke
kampung halamannya. Tantenya tidak memberinya uang
untuk ongkos menyeberang ke kampung halamannya,
sekalipun menggunakan kapal taut. Rency mencoba
membuang kesedihannya dengan mengunjungi Opa Hans,
yang sudah tiga tahun silam hidup sendirian di rumahnya yang
berhalaman luas itu. Ketiga anak dan cucu Opa Hans tinggal di
luar pulau semua karena faktor pekerjaan masing-masing.
Praktis hidup Opa Hans di masa tuanya itu hanya seorang
diri. Kalau toh ada yang menemani kedua pelayannya, suamiistri
yang mempunyai 5 orang anak berusia 10 tahun itu.
Sekali waktu memang ada sanak keluarganya yang datang ke
rumah itu, tapi jarang bermalam di sana, sebab rumah itu
jauh dari keramaian kota, sepi dan tidak banyak tetangga
yang saling bertandang. Opa Hans sengaja membeli rumah
dan tanah di tempat yang tenang untuk menghabiskan sisa
hidupnya.
Rumah itu dibeli sejak Opa Hans pensiun dan pekerjaannya
sebagai pegawai negeri berkedudukan tinggi. Hal yang
menarik bagi Opa Hans untuk tinggal di pinggiran kota itu
adalah kondisi tanahnya, selain subur juga berpekarangan
luas. Harga belinya pun murah.

Luas bangunan rumah itu sendiri tidak seberapa besar. Tapi
tanah di sekelilingnya cukup luas dan dapat dimanfaatkan
untuk berkebun. Opa Hans memang menguasai bidang
holtikultura, karena beliau seorang insinyur pertanian yang
punya hobby merawat tanaman apa saja. Tak heran jika lahan
yang ada di sekeliling rumahnya itu dimanfaatkan untuk usaha
perkebunan anggrek Aneka jenis anggrek ada di situ dalam
perawatan dan penanganan yang.cukup profesional.
Gadis berparas cantik dengan bibir mungil itu salah satu
penggemar tanaman anggrek. Tak heran jika ia senang
berkunjung ke rumah kakeknya, kadang sampai bermalam
dua tiga hari lamanya, la sendiri sebenarnya mahasiswi
Fakultas Ekonomi, tapi kekagumannya terhadap keindahan
warna-warni bunga anggrek membuatnya banyak belajar
tentang tanaman itu sendiri dengan kakeknya.
Keindahan bunga-bunga anggrek yang ada di kebun
tersebut ternyata dapat mengobati kekecewaan hatinya yang
tak bisa pulang ke kampung halaman. Sudah dua malam
Rency tinggal di rumah Opa Hans. Dan pada malam yang
ketiga, Rency merasa sulit tidur. Selain udara cukup panas, di
dalam kamar tak ber-AC itu, ia juga mengalami kegelisahan
yang tak diketahui penyebabnya Sampai pukul sebelas malam
Rency belum bisa tidur. Kakeknya justru sudah tertidur di kursi
panjang depan teve.
Rency membangunkan Opa Hans agar pindah ke dalam
kamar. Teve pun dipadamkan, karena memang acaranya tidak
ada yang bagus. Suasana malam cuknp sunyi. Hanya samarsamar
terdengar suara radio dari kamarnya Kang Jajat beserta
istri dan anaknya. Radio itu menyiarkan acara wayang golek
yang menjadi kesukaan Kang Jajat selama ini. Suara itu
menjadi timbul tenggelam karena sepertinya gelombang radio
kurang tepat posisi, frekuensinya.
Ketika malam semakin larut, Rency merasa semakin sulit
memicingkan mata. Udara panas membuatnya terpaksa ganti

pakaian. Kini ia mengenakan kaus tank-top berukuran cekak,
pusarnya tak tertutupi. Bawahannya sebuah celana pendek
ketat dari bahan lentur tipis. Tapi pakaian itu pun di rasakan
masih kurang melegakan karena keringatnya masih mengucur
deras seperti berada dalam sebuah oven pemanggang roti.
"Aneh? Nggak biasanya udara jadi sepanas ini? Apa mau
turun hujan, kok geralmya nggak ketulungan sih?"
Rency keluar ke halaman belakang, mengambil baby dollnya
yang lupa diangkat dari jemuran. Baby doll itu terbuat dari
kain yang lebih tipis, dan pasti enak sekali, dikenakan dalam
cuaca sepanas itu. Ketika ia memandang ke langit, ternyata
langit bercuaca cerah. Ada bintang bertebaran walau tanpa
rembulan.
"Kayaknya nggak mungkin hujan akan turun malam ini.
Cuaca di atas sana cerah sekali. Hmm, malah indah sekali
kelihatannya. Bintang-bintang itu seperti taburan permata
yang mengagumkan " gumam hati Rency sambil masih
memeluk baby doll yang baru diambilnya dari jemuran, la
belum ingin masuk ke kamarnya, karena masih terpikat kagum
dengan keindahan langit di malam itu. Dan udara di luar pun
terasa lebih sejuk ketimbang di dalam kamar.
Tapi tak lama kemudian, hembusan angin sejuk mulai
terasa aneh di kulit tubuh Rency. Ada rasa gatal-gatal halus
yang membuat Rency terpaksa mengusap-usap kedua
lengannya bergantian. Wajah juga ikut diusap untuk
menghilangkan rasa gatal, seperti benang laba-laba yang
melekat di tubuhnya. Rency belum mau pergi dari tempat
jemuran pakaian itu. karena matanya tertarik pada benda
bergerak melintasi bintang-bintang di langit.
"Ada bintang jauh?!"gumam hatinya, menjadi penasaran
karena bintang jatuh itu makin mendekati bumi. Warnanya
kuning kehijauan. Makin dekat semakin tampak kemerahan.

"Wah, kata orang sih.... kalau melihat bintang jatuh, berarti
mau dapat rezeki besar. Mudah-mudahan aja begitu, jadi bisa
buat pulang mudik beberapa hari," pikirnya dengan mata
masih memperhatikan benda yang meluncur cepat itu.
Anehnya. pada waktu itu leher Rency mulai terasa pegal. Ia
ingin segera meninggalkan tempat itu karena tak tahan
dengan hembusan angin yang membawa rasa gatal di kulit.
Tapi ternyata kedua kakinya tak bisa bergerak dengan mudah
Telapak kakinya seperti terhisap oleh tanah yang dipijaknya.
Sulit sekali diangkat sedikit pun. Merinding tubuh Rency
setelah menyadari keanehan itu. Ia pandangi kakinya, ia
satukan niatnya untuk mengangkat kaki kanannya, tapi tetap
sulit dilakukan, hingga hatinya pun menjadi deg-degan,
kecemasan mulai mencekam.
"Kok kakiku nggak bisa ditarik ke atas, sih? Ada apa ini?!"
Lelah dengan kesibukan yang makin menegangkan itu,
Rency pun bermaksud memanggil Jajat. Tapi sebelum ia
berseru, perhatiannya tertarik dengan suara dengung
gemuruh di atasnya. Ia mendongak ke atas dan terbelalak
kaget. Ternyata bintang jatuh yang dilihatnya tadi sudah
sangat dekat dan bentuknya seperti bola api berkobar-kobar.
"Haah ... ?! Meteor...?! Itu pasti meteor jatuh ... ?!" sentak
hatinya, lalu mulutuya tergagap-gagap, lidahnya kelu dan
napasnya makin sesak, la tak dapat berteriak. Kedua kaki
semakin berat untuk diangkat, la dalam kepanikan yang sulit
bergerak.
Gemuruh di atasnya bertambah keras, namun tidak sampai
membuat, gaduh suasana sekelilingnya. Suara gemuruh itu
seperti hembusan angin di kala mendung dan hujan mau
turun. Dedaunan pun bergemuruh rusuh. Benda langit itu
semakin jelas lagi bentuknya. Bundar sebesar bola basket, tapi
memancarkan sinar api yang berkobar-kobar. Semakin dekat
semakin bertambah besar. Udara menjadi panas, rasa takut

masih mencekam kuat. Napas pun tersentak-sentak karena
ingin berteriak namun tak mampu bersuara.
"Celaka... ?! Aku jadi seperti patung?! Ooh... meteor itu
tambah dekat lagi. Aduh... gimana nih?!"
Suasana sekeliling menjadi terang Hembusan angin
semakin kencang dan udara bertambah panas. Rency hanya
bisa memicingkan mata. Silau melihat cahaya terang itu.
Akhirnya ia menunduk, jongkok di tempat. Melindungi kepala
dengan kedua tangannya.
Wuuus...! Benda itu sepertinya melintas tepat di kepala
Rency. Kemudian jatuh ke tanah tanpa ledakan besar, hanya
menimbulkan getaran seperti gempa setempat. Bruuus,
guzrraak ... !
Buubsss ... ! Tubuh Rency terguncang. Sebentar kemudian
berhenti. Tak ada getaran, tak ada suara apa pun. Hembusan
angin pun normal kembali. Udara juga tidak sepanas tadi.
Keringat dingin Rency mengucur, tapi hatinya mulai merasa
lega. Bahkan kedua kakinya sudah tidak terpaku di tempat
lagi. Pelan-pelan kaki itu bisa diangkat, namun badan masih
terasa gemetar.
"Ke mana tadi jatuhnya?" Rency terengah-engah seperti
habis lari marathon. Tulang-tulangnya jadi terasa pegal
sedikit. Mata pun mulai memandang normal, mencari tahu ke
mana jatuhnya benda dari langit itu. Perasaan takut tetap ada,
tapi hati semakin menjadi sangat penasaran.
"Astaga... ?! Dia jatuh di belakang sana?!” sentak hati
Rency.
Kemudian ia memberanikan diri untuk mendekati tempat
yang dimaksud itu. Beberapa tanaman anggrek rusak, menjadi
tanaman kering, hangus, dan berserakan. Tanah di kebun itu
menjadi berlubang besar. Dia meter lubang mencapai lima
meter lebih. Bau sangit tercium jelas. Rency kian mendekati
lubang itu. Kedalaman lubang sekitar dua meter kurang. Makin

ke dalam semakin menyempit. Tapi, di kedalaman sana ada
nyala cahaya pijar berwarna merah, besarnya satu
genggaman tangan manusia.
"Benda apa itu yang menyala merah? Apakah pecahan
meteor yang tadi?" pikir Rency dengan penuh waspada,
langkahnya pelan sekali. Sangat hati-hati.
Tiba-tiba benda bercahaya itu semakin terang. Lubang itu
pun menjadi seperti mengandung bara betasap dan panas.
Sambil mengeluarkan pancaran cahaya merah terang benda
sebesar genggaman itu tampak memuai. Makin lama semaian
membengkak dan tinggi. Rency dicekam rasa takut lagi yang
membuat kedua kakinya sulit diangkat dari tanah yang
dipijaknya. Matanya yang sudah telarjur melebar pun menjadi
sulit dikedipkan. Karena benda itu mengalami perubahan yang
menakjubkan, sekaligus menakutkan.
"Hahh...?!" hati Rency tersentak ketika benda itu makin
tinggi, semakin lebar, semakin redup, dan semakin terlihat
perubahannya. Ia menjadi sesosok manusia tanpa busana,
dan mulai melangkah naik dari kedalaman lubang tersebut.
"Manusia-... ?! Benda itu... ooh, meteor itu sekarang telah
berubah menjadi manusia?! Apa nggak salah lihat nih?'!"
Bias cahaya lampu kebun yang ada di salah satu sudut
membuat sosok manusia jelmaan meteor itu semakin terlihat
jelas, ketampanannya, warna kulitnya, kegagahannya, dan
semuanya. Rency ingin melarikan diri, tapi lagi-lagi kakinya
seperti terpaku dengan bumi. la hanya bisa berdiri dengan
gemetar memandangi Manusia Meteor itu mendekatinya
dengan senyum ramah dan menawan hati. Senyum itulah
yang membuat Rency akhirnya berhasil menenangkan diri.
Rasa takutnya berkurang, kepanikannya pun mulai menipis.
Kini yang ada pada Rency hanya rasa kagum, terpesona, dan
berdebar-debar indah. Ia justru bisa melangkahkan kaki untuk
maju, menyambut kehadiran Manusia Meteor itu.

Semakin dekat semakin terpikat hati Rency. Bahkan ia
mulai bisa ikut-ikutan membiaskan senyum manis, seakan
sengaja mengundang pria berambut cepak dan bertubuh
atletis itu. Pria itu menghentikan langkahnya setelah dalam
jarak satu meter dari Rency. Mereka saling pandang, membuat
wajah cantik Rency kian berseri-seri.
"Hai,"sapa-lelaki itu.
"Hai juga," balas Rency dengan nada girang.
"Kau bisa membantuku, Nona? Aku masih asing padamu,
jadi aku nggak tahu apa yang harus kulakukan untuk
membantumu."
"Aku makhluk dari luar angkasa, Nona."
Rency kian berseri-seri, gembira hatinya, Maka ketika, lelaki
itu lebih mendekat lagi, Rency diam saja. la mencium aroma
wangi yang maskulin. Lembut, tapi membangkitkah selera
bercinta. Tubuh lelaki itu tampak berkilauan seperti
mengandung minyak yang mempunyai keharuman khas dari
langit.
"Aku butuh pakaian bumi untuk menutupi tubuhku ini."
"Hmmm, eeehhh, yaa... aku... aku bisa membantumu
mencarikan pakaian. Tapi... tapi apakah benar kau makhluk
dari luar angkasa?"
"Benar. Kalau kau perlu bukti, aku membawa tanda-tanda
keindahan, dan kau bisa menikmati keindahan yang ada
padaku ini. Kau mau menikmatinya sekarang?"
"Hmm, ya..." Rency mengangguk. "Aku ... aku mau. Tapi
bagaimana caranya?"
"Tempelkan bibirmu ke bibirku ..." Ketika ia menempelkan
bibirnya, bibir itu. langsung dilumat dengan lembut oleh
lawannya. Begitu lembut permainan lidah lelaki itu, sehingga

Rency merasa semakin mengambang di udara. Gairah
cintanya berkobar-kobar.
"Ooh, jangan... jangan di sini.... Kita ke kamarku saja..."
bisik Rency dalam desah napas kasmaran. Pria itu setuju, lalu
Rency membawanya ke kamar tanpa diketahui oleh siapa pun.
Dan di kamar itu ia tak ingat lagi akan dirinya. Ia lepaskan
segala yang membungkus tubuhnya, dan ia pasrahkan
semuanya itu menjadi jarahan bibir si Manusia Meteor tadi. Ia
dapatkan kenikmatan yang luar biasa indahnya, sehingga
merasa ingin mengulang dan mengulangnya terus hingga pagi
tiba.
Rency pingsan ketika pria tampan itu memberikan puncakkemesraannya
dengan dahsyat sekali. Ketika ia siuman, pria
itu sudah tak ada di sampingnya. Tapi sejak itu syaraf
kewanitaan Rency menjadi sangat sensitif, mudah terpancing
oleh aroma lelaki yang menimbulkan, gairah untuk bercinta.
Ketika ia pulang ke Jakarta, di perjalanan ia terangsang oleh
kehangatan tukang ojek yang membawanya dari rumah Opa
Hans ke jalan besar.
Rency tak keberatan ketika tukang ojek itu menawarkan
tempat untuk bercumbu. Tukang ojek itu akhirnya tewas
dalam keadaan terbakar hangus. Begitu pula pria lain yang
ingin bercumbu dengan Rency di lain tempat, juga mengalami
nasib yang sama dengan si tukang ojek itu. Ada pula yang
selamat, tapi terluka bakar bagian tangan, pinggang dan yang
lainnya Keadaan Rency yang sangat berbahaya itu diketahui
oleh tantenya, sebab seorang sopir yang bekerja di rumah
tantenya juga hampir mati hangus dalam pelukan Rency.
Maka,gadis itu pun diusirnya malam itu juga. Ia- dipaksa
untuk meninggalkan rumah tantenya, sampai akhirnya ia
bertemu dengan Rayo.
Dari kedua cerita Moonru dan Rency itu, Dewi Ular dapat
menyimpulkan bahwa kepekaan daya rangsang mereka
semakin tinggi apabila sudah menelan korban. Makin banyak

korban yang mati: terbakar dalam percumbuannya, semakin
tinggi kepekaan daya rangsang Moonru dan Rency. Hanya
dengan memandangi seorang lelaki saja mereka sudah bisa
terpancing selera bercintanya. Karenanya, Kumala melarang
keras Sandhi, Buron atau siapa pan yang berstatus sebagai
lelaki agar tidak mendekati lamarnya Moonru dan Rency.
Kedua gadis itu sendiri juga dianjurkan untuk tidak keluar dari
kamar.
"Tugasmu menjaga mereka agar jangan keluar dari kamar!"
kata Kumala kepada Buron. Jelmaan dari Jin Layon, itu
menganggukkan kepala dengan sikap patuh.
"Hanya Mak Bariah yang boleh keluar masuk kamar itu."
"Okey, Boss...," jawab Buron dengan konyol.
Kemudian ia melemparkan sesuatu dari tangannya.
Ternyata seberkas cahaya kuning menyerupai cakram kecil.
Cahaya kuning itu menghantam pintu kamar tempat Moonru
dan Rency dikarantinakan. Byaaak...! Cahaya kuning itu pecah
menyebar, lalu padam tanpa suara apa pun.
Hal itu ia lakukan ketika Kumala Dewi telah masuk ke
kamarnya sendiri dan Sandhi masih memandanginya penuh
keheranan. Lalu, Sandhi berbisik kepada jin usil itu.
"Apa yang kau lakukan tadi?"
"Membuat kedua gadis itu kebingungan."
"Kebingmigan bagaimana?"
"Mereka tidak akan bisa menemukan pintu keluar. Sebab
pintu itu tidak akan kelihatan dari dalam, tapi dari luar sini
bisa terlihat jelas letaknya."
"Ooo...," Sandhi manggut-manggut. Dalam hatinya
mengagumi kesaktian Buron yang kadang-kadang memang
menakjubkan, tapi kadangkala memuakkan bagi Sandhi itu.

Dering telepon berbunyi sebelum Dewi Ular berangkat ke
kantornya. Hari itu ia harus memimpin rapat marketing di
kantor tersebut, sehingga ia tak punya kesempatan untuk
libur. Setelah rapat para marketing nanti selesai, barulah ia
mempunyai waktu luang. Waktu tersebut akan ia gunakan
http//zheraf.mywapblog.com
untuk mencari jejak keberadaan si Manusia Meteor yang
mengaku, bernama Maztro itu.
Tapi pagi-pagi ternyata sudah ada telepon yang datang dari
seorang kenalan Kumala Dewi. yang bertugas di kepolisian.
Mbak Mer alias Peltu Merina Swastika, mengharap kedatangan
Kumala Dewi secepatnya ke suatu tempat kejadian perkara
yang sedang ditanganinya.
"Ada korban lagi,Kumala. Mati hangus, seperti habis
tersambar petir," kata Polwan cantik berambut cepak itu!"
"Kalau begitu bukan hanya Moonru dan Rency yang
tercemar racun meteor itu, seperti yang saya laporkan
kemarin malam, Mbak."
"Kelihatannya memang bukan hanya mereka berdua.
Sebaiknya, segeralah meluncur kemari, Kumala. Ada sesuatu
yang aneh dan perlu kau kenali kemisteriusannya. Mungkin
dari situ kau bisa melacak ke mana perginya pria bernama
Maztro, seperti yang kau. ceritakan padaku kemarin malam
itu."
"Okey, saya akan meluncur ke sana sebelum pergi ke
kantor. Tapi... siapa korban yang kali ini. Mbak? Sudah
dikenali identitasnya apa belum?"
"Sudah. Namanya... Irlaini, bekerja sebagai..."
"Lho, cewek, ya Mbak?" potong Kumala agak heran.
"Ya, memang cewek."
"Maksud saya, yang mati hangus itu cewek?"

"Iya.Dia seorang kasir sebuah bar yang buka sampai pukul
4 pagi. Dan kelihatannya kondisi korban ini memang agak
aneh dibandingkan yang sudah-sudah Selain dia seorang
wanita, tanpa busana, di dalam kamar sebuah hotel, tapi dia
juga menggenggam alat vital lelaki yang ikut hangus di
tangannya."
"Wah, kok jadi makin kusut begini, ya? Coba kalau bisa.
saya minta keadaan korban jangan disentuh sedikit pun,
Mbak. Biarkan pada posisi semula. Saya akan segera ke sana
bersama Sandhi."
"Okey, aku tunggu ya, Mal?"
Kumala Dewi menggumam pelan, "Aneh.,..?.!
Menggenggam begituan? Tapi kok jadi dia yang mati
kepanasan dan menjadi hangus? Bukankah biasanya yang
lelaki yang mati terbakar?! Lalu, yang digenggam itu milik
siapa, ya?"
Agak geli juga hati Kumala membayangkannya. Tapi ia
hanya tersenyum dan tak mau menjelaskan ketika Sandhi
menanyakan senyumnya itu. Ia hanya memerintahkan kepada
sang sopir pribadi agar lebih cepat lagi mengemudikan mobil
BMW kuning tersebut, supaya pertanyaan Sandhi itu bisa
terjawab sendiri setelah melihat keadaan korban di TKP nanti.

6
IRLANI, janda berusia 28 tahun, tewas dalam kamar
sebuah hotel kelas rendah. Kondisi' mayatnya sangat
menyedihkan. Hangus bersama kasur tempatnya meringkuk.
Petugas hotel mengetahui hal itu setelah mencium asap
kebakaran. Mereka mendobrak pintu kamar tersebut, lalu

berusaha memadamkan kasur yang nyaris berkobar
membakar atapnya.
Menurut pengakuan pihak hotel yang bertugas saat itu,
Irlani check-in sendirian. Diantar oleh sebuah taksi Taksi itu
pergi dan Irlani masuk ke kamar yang dibookingnya. Menurut
keterangan saksi, Irlani check-in sekitar pukul 2 dini hari.
Kasus kebakaran ranjang diketahui pukul 4 lebih, menjelang
pukul 5 pagi. Ia tetap sendirian, tanpa ada tanda-tanda
masuknya seorang pria di dalam kamar hotel tersebut.
"Lalu, alat vital pria mana yang ada dalam genggamannya
itu?" bisik Sandhi kepada Dewi Ular.
Setelah dilakukan pemeriksaan lebih detil lagi, Kumala
menemukan kesimpulan yang cukup menggelikan,
membuatnya malu dalam senyum kecil, ia berbisik kepada
Polwan cantik sahabatnya itu.
"Yang digenggamnya bukan benda asli. Itu sebuah vibrator
yang bisa dibeli di toko-toko sex shop. Bukankah sekarang
toko semacam itu sudah menjamur dengan dalih menjual
viagra?"
"Maksudmu... benda itu tiruan perabotnya kaum lelaki?"
"Benar."
"Gila!" gumam Polwan Merina Swastika sambil tersenyum
malu juga, "Tapi kenapa dia bisa terbakar begitu?"
"Pasti sebelumnya ia pernah kencan dengan Maztro. Ia
juga pernah membuat seorang lelaki tewas terbakar dalam
pelukannya, atau mengalami luka bakar. Dia mengetahui
bahaya yang ada dalam gairahnya. Mungkin dia tak
bermaksud mengorbankan pria lain lagi: Sehingga, ketika
gairahnya timbul, ia berusaha memenuhinya sendiri dengan
menggunakan alat bantu vibrator itu."
"Self service, maksudmu?"

"Begitulah kira-kira, Mbak. Dan emosi cintanya itu telah
membakar diri sendiri tanpa bermaksud bunuh diri."
"Tragis sekali nasibnya!" gumam Mbak Mer sambil gelenggeleng
kepala. Sedih juga raut wajah cantik Polwan sexy itu.
Dewi Ular segera menghubungi Buron di rumah
menggunakan ilmu telepatinya. Ia menyuruh Buron sesekali
memeriksa Moonru dan Rency secara gaib, sebab
dikhawatirkan kedua gadis itu akan mengalami tingkat
kebutuhan sexual yang dapat mengakibatkan nasib mereka
seperti Irlani.
Rupanya dari rumah Kumala sudah mempersiapkan
beberapa program kerja pribadi. Selesai memimpin rapat
marketing, Kumala segera meluncur ke rumah kakeknya
Rency dengan tetap didampingi sopir setianya: Sandhi. Di luar
dugaan rencana itu ternyata juga dimiliki oleh Rayo. Maka
ketika Rayo menelepon ke HP-nya Kumala, gadis cantik itu
terkejut mendengar Rayo sudah mendekati rumah Opa Hans.
Bahkan pada saat itu mobil Rayo berada di depan mobil
Kumala dalam jarak satu kilometer. Tentu saja ketidak
sengajaan itu menimbulkan tawa geli di antara mereka.
"Kamu ngapain datang ke rumah Opa Hans?" tanya
Kumala.
"Mau buktikan, apa benar waktu itu Rency melihat ada
meteor jatuh di kebun anggrek tersebut. Kalau memang
benar, berarti Rency bukan sedang terbius oleh suatu
kekuatan gaib yang dapat membuaurya berkhayal yang
bukan-bukan."
"Ternyata tujuan kita sama, hanya beda misi saja, Ray."
"Jadi, misimu sendiri bagaimana?"
"Mengambil contoh tanah tempat jatuhnya meteor itu."
"Kalau begitu kamu sudah mutlak yakin bahwa ada meteor
yang jatuh di belakang rumah Opa Hans?"

"Entah meteor atau apa, yang jelas aku harus melihat dulu
kandungan energi gaib pada tanah tempat jatuhnya benda itu.
Dari kandungan energi gaibnya nanti bisa ditentukan, apakah
yang jatuh di situ adalah sebuah meteor, atau komet, atau
benda langit lainnya "
"Hmmm, begitu ya?"
"Yang jelas, jangan masuk dulu ke rumah Opa Hans.
Tunggu aku. Kita masuk bersama, supaya Opa Hans tidak
timbul curiga atas kedatangan tamunya yang beruntun."
"Okey, Dewi cantik...," goda Rayo dengan berani. Ia yakin
Kumala tak akan marah dengan godaan seperti itu. Justra
akan diterima sebagai keakraban yang kian dalam Dan
ternyata memang Dewi Ular hanya tertawa kecil sambil
berkata sedikit ketus tapi bermaksud canda.
"Jelek kamu!" lalu HP-nyapun ditutupnya. Pada saat itu
Sandhi melihat mobil Rayo sudah ada di depan, dalam jarak
pandang yang cukup dekat. Agaknya pemuda itu mematuhi
anjuran Kumala untuk tidak masuk ke rumah Opa Haus lebih
dulu. Walaupun ia sama-sama mendapat alamat rumah itu
dari Rency, seperti halnya Kumala Dewi.
Mereka merasa heran sewaktu ingin memarkirkan mobilnya
di depan rumah Opa Hans. Ternyata di sana sudah banyak
mobil yang parkir hingga berderet-deret memanjang. Ratarata
mobil mewah yang parkir di situ. Sandhi yang ikut turun
dan mobil setelah parkir di belakang mobilnya Rayo menjadi
terheran-herati dan punya kecurigaan yang dibicarakan
kepada Dewi Ular.
"Jangan-jangan ada yang meninggal dunia di rumah itu
Mal?"
"Mudah-mudahan saja nggak begitu," kata Kumala.
Langkah mereka mulai sejajar dengan Rayo. Pemuda
berambut panjang itu juga menampakkan kecurigaannya
kepada Kumala.

"Ada apa ini? Apakah ada peristiwa serupa dengan yang
dialami Rency atau Moonru?"
"Kita lihat saja deh, daripada cuma bertanya-tanya saja,"
jawab Kumala dengan tetap tenang, menampakkan kharisma
kecantikannya yang anggun itu.
Dua orang petugas terseragam Kamra menjaga pintu
masuk rumah Opa Hans. Di pintu gerbang itu memang banyak
orang berkumpul, sepertinya sedang antri untuk masuk ke
dalam. Tiap orang yang ingin masuk melalui pintu gerbang itu
harus mengisi buku daftar tamu dan memasukkan uang ala
kadarnya ke dalam kotak kaca yang disediakan di atas meja
tepat di tengah jalan masuk gerbang tersebut. Keadaan itu
semakin menimbulkan perasaan heran dalam diri Sandhi dan
Rayo. Tapi dalam hati Kmnala Dewi ternyata tidak menyimpan
rasa heran yang seperti dimiliki Sandhi dan Rayo.
"Apa-apaan ini sebenarnya?" bisik Sandhi kepada Kumala
yang didengar pula oleh Rayo, sebab gadis cantik itu ada di
antara mereka berdua.
"Sepertinya telah terjadi sesuatu yang menarik perhatian
umum . Opa Hans memanfaatkannya dengan memungut
sumbangan sukarela kepada mereka.yang ingin melihat
terjadinya suatu keanehan di sini. Entah untuk apa uang
sumbangan itu nantinya. Kita bicara saja dengan yang
bersangkutan.''
"Tapi kita pasti harus menunggu giliran masuk, Kumala
Tidak bisa langsung masuk begitu saja. Nanti yang lain jadi
marah pada kita, sebab mereka sudah menunggu giliran sejak
tadi, tentunya," bisik Rayo dengan serius. Kumala Dewi hanya
menyunggingkan senyum.
"Kalian gandeng tanganku. Pegang erat-erat, jangan
lepaskan sebelum kusuruh melepaskan."
"Maksudmu...?" tanya Rayo.

Sandhi menyahut, "Udah, lakukan aja apa-katanya, Ray!"
Kemudian pemuda tampan berambut ikal itu
menggenggam tangan kiri Kmnala, sementara Sandhi
menggandeng tangan kanan majikannya. Mereka bertiga
berjalan bersama melewati celah-celah antrian. Anehnya, tidak
seorang pun, yang mempedulikan langkah mereka. Bahkan
kedua Kamra yang berjaga-jaga di gerbang masuk itu juga
tidak memberi teguran apa-apa kepada Kumala dan kedua
orang yang menggandeng tangannya itu. Melirik pun tidak.
Seakan petugas Kamra dan yang lainnya tidak melihat
kehadiran Kumala cs di tempat itu.
"Gila! Mereka nggak melihat kita masuk lewat sini, San?!"
bisik Rayo yang kemudian segera dihardik Sandhi agar tidak
bicara dulu sebelum Kumala menyuruhnya melepaskan
tangannya. Sebab, baru saja Sandhi juga menyadari bahwa
Kumala telah menggunakan kesaktiannya, yaitu menghilang
dari pandangan masyarakat sekitarnya. Karena Rayo dan
Sandhi memegangi tangan Kumala, maka mereka dua juga
ikut raib dari penglihatan siapa saja.
Setelah mereka tiba di serambi samping, tempat di mana
lelaki tua bertubuh kurus memberi penjelasan kepada
beberapa tamunya, Kumala pun menyuruh Sandhi dan Rayo
melepaskan genggaman tangannya Pada saat itulah Kumala
telah membuat dirinya tampak kembali di depan umum, dapat
dilihat oleh siapa saja. Hanya sayangnya waktu itu Rayo
seperti sengaja tak mau melepaskan genggaman tangaimya.
Jari-jari tangannya tetap menyelusup di antara tangan Kumala
dan tetap menggenggam lembut. Kumala jadi risi menerima
genggaman itu, karena merasakan getaran dari tangan Rayo.
Getaran lembut itu menyentuh hati Kumala. Itu berarti Rayo
memiliki keindahan dalam hatinya saat menggenggam tangan
Kumala. Pemuda itu menaruh hati kepada Kumala, tapi tak
mau berterus terang kepada siapa pun. Kumala hanya

tersenyum kecil tapi segera melirik Rayo yang lama-lama
terasa sendiri atas lirikan itu.
"Ada apa?" tanya Rayo berlagak bego.
"Apakah kau ingin menggenggam tanganku selamanya?"
" Apakah.... apakah kau izinkan untuk selamanya??” bisik
Rayo pelan, tak terdengar oleh Sandhi.
"Kamu nakal, Ray," jawab Kumala pelan sekali sambil
melengos ke arah lain. Tapi jari-jari tangan Kumala yang tadi
sudah mengendur, kini menjadi merapat dan menggenggam
lagi. Seakan ia mengimbangi genggaman hangat yang
diberikan Rayo. Getaran terasa betul di setiap denyut jantung
gadis anak bidadari itu. Namun beberapa saat sebelum
mereka makin mendekati Opa Hans genggaman tersebut
saling melepaskan dengan sendiri karena keduanya menyadari
bahwa saat itu bukan waktunya untuk bicara tentang harapan
pribadi.
"Sekali lagi saya mohon kepada anda semua jangan
bertanya kepada saya tentang riwayatnya. Sungguh saya tidak
mengetahui bagaimana pula pertamanya. Yang saya tahu,
sudah dalam keadaan seperti, yang Anda lihat sekarang
ini....," ujar Opa Hans kepada para tamunya. Kata-katanya
membuat Sandhi dan Rayo makin penasaran lalu mereka
bersama Kumala pergi ke kebun belakang.
Sungguh di luar dugaan dan sangat fantatis
kedengarannya. Kubangan tempat jatuhnya meteor, seperti
yang dikisahkan Rency itu, ternyata sekarang sudah menjadi
kolam berair hijau bening. Kolam itu memiliki air seperti kaca,
bisa tembus pandang, bisa melihat keadaan dasarnya, dan jika
kejatuhan daun atau sampah apapun akan tetap bening.
Ranting pohon yang jatuh ke dalam air kolam tersebut akan
lenyap tanpa bekas sedikit pun Begitu pula benda sampah
lainnya jika masuk ke dalam kolam tersebut akan lenyap tanpa
merusak kejernihan, air tersebut.

Yang lebih mengagumkan lagi adalah manfaat air itu.
Orang-orang yang berdatangan ke tempat tersebut
mengatakan air terbening itu adalah air sakti, atau air
keramat. Karena siapapun yang meminum air tersebut akan
menjadi sehat dan segar. Penyakit apapun akan sembuh,
hilang tanpa kambuh lagi, apabila orang yang menderita
penyakit itu meminum 2-3 teguk air keramat Kumala dan yang
lain menyaksikan sendiri keampuhan air itu.
Seorang ibu menggendong anaknya yang sudah berumur
12 tahun. Anak itu tidak bisa jalan sejak lahir, karena kedua
kakinya cacat; keduanya kecil seperti bambu seruling. Sang
ibu meletakkan anaknya di tepi kolam kemudian mengambil
air kolam dengan mangkok bersih, lalu diminumkan kepada
anak itu. Dalam waktu kurang dari dua menit kedua kaki anak
itu tumbuh menjadi besar dan akhirnya berukuran normal.
Anak tersebut bisa berdiri dan mampu melangkah sendiri
bahkan berlari ke sana-sini sambil diikuti ibunya yang tertawa
penuh kebahagiaan. Menangis dalam keharuan.
"Ajaib sekali air ini?!" gumam Rayo terbengong-bengong
heran. Sandhi juga mengalami reaksi seperti Rayo. Tapi
Kumala hanya diam tanpa ekspresi, memandangi air itu dari
tempatnya berdiri. Ia biarkan Sandhi dan Rayo memperhatikan
orang-orang yang mengambil air tersebut dalam botol
minuman mineral atau tempat apapun untuk dibawa pulang.
Bahkan Sandhi dan Rayo ikut tersenyum gembira ketika
melihat seorang gadis cantik berlutut di tepi kolam. Gadis itu
di dampingi kakaknya. Ia meminum air tersebut. Beberapa
saat kemudian gadis itu berseru dengan girang.
"Kakak...! Aku bicara...! Aku bicara, Kakak...!"
"Anisa...?! Kau...kau sudah bisa bicara, Adikku?! Ohhh...!"
sang kakak memeluk Anisa, adiknya. Ternyata gadis cantik itu
sejak lahir menjadi gadis bisu. Tak bisa bicara sepatah kata
pun. Tapi begitu ia meminum air kolam keramat, ia langsung

bisa bicara dan sangat menakjubkan bagi yang lain, sangat
mengharukan bagi saudara saudaranya.
Bahkan di sisi lain ada seorang lelaki separuh baya yang
berjingkrak-jingkrak sambil berseru tanpa malu. "Sekarang
aku sudah tidak impoten lagi!" tawanya pun berkepanjangan.
Dewi Ular mencoba mencelupkan tangannya ke dalam air
tersebut. Banyaknya air memang hampir memenuhi kubangan
besar itu, sehingga siapapun dapat menyentuh air itu dengan
berjongkok di tepian kolam. Ketika tangan Dewi Ular masuk ke
dalam air bening itu, tiba-tiba permukaan air menjadi
bergerak-gerak. Kumala buru-buru menarikt angannya. Tapi
orang-orang yang sibuk mengambil air dengan peralatannya
tidak menghiraukan gerakan air yang makin lama makin
bergolak.
"Airnya memutar...!" teriak salah seorang. Barulah mereka
memperhatikan permukaan air yang bergerak memutar
dengan cepat. Perputaran tersebut kian lama kian menjadi
cepat. Seperti pusaran arus air di tengah samudera. suara
gemuruh pun timbul dari dalam kolam. Kini orang-orang justru
berlarian mendekati kolam itu, memandang penuh keheranan
dan terkesima melihat air kolam bergolak cukup hebat.
"Ada apa dengan kolam ini?!" ujar opa Hans dengan
tegang. Ia sendiri tak berani mendekat ke tepian kolam.
Waktu itu angin mulai bertiup kencang. Daun-daun
beterbangan. Bunga-bunga anggrek saling berguguran.
Padahal.masih segar daft bagus-bagus. Belum ada yang layu.
"Lihat, langitnya jadi mendung!"
"Waaow,.,?! Mendung apaan tuh kok warnanya merah
sih?!"
Orang-orang menyingkir dari kolam. Mereka dicekam
ketakutan. Cahaya siang berubah menjadi sore, Jarum jam
pada arloji atau jam dinding bergerak lebih cepat dan menjadi
sangat cepat lagi! Kepanikan mulai terjadi. Masing-masing

orang menyelamatkan diri dengan cara meninggalkan tempat
itu. Yang penasaran memang tidak meninggalkan tempat, tapi
berada di serambi samping rumah Opa Hans, ada yang
merapat ke koridor dapur. Mereka memperhatikan pergolakan
air yang telah membuat tanah bergetar kecil.
Permukaan air yang tak beraturan gerakannya itu
menimbulkan busa-busa kecil. Seperti buih pantai. Warna air
itu sendiri menjadi keruh. Warna mendung di langit menjadi
ungu tua. Suasana sekeliling tempat itu redup. Matahari ingin
tenggelam secepatnya. Wajah-wajah mereka yang penasaran
dicekam ketegangan. Termasuk wajah Sandhi dan Rayo. Tapi
wajah cantik Dewi Ular tetap tenang. Matanya memandangi
langit dan kolam secara bergantian.
"Kumala, apa yang terjadi di sini sebenarnya?!" bisik
Sandhi. Rayo pun bertanya dalam nada berbisik tegang.
"Kenapa keadaan menjadi seperti ini, Kumala?!"
"Gelombang energi gaibku sedang bertarung dengan energi
gaib dari alam lain. Ia mengerahkan kekuatan untuk
mengalahkan gelombang gaibku. Lihat, pasukan hitam mulai
turun dari langit untuk menyelamatkan air itu!"
"Siapa pasukan hitam itu?!" bisik Sandhi.
"Pengikutnya si Manusia Meteor "
"Jadi... manusia jelmaan itu memang ada? Berasal darr s ini
juga, seperti ceritanya Rency?!" tanya Rayo.
"Ya. Dia meninggalkan gelombang energi gaib,di s ini dalam
bentuk kolam dan air keramatnya . Air itu mengandung energi
gaib cukup tinggi. Entah siapa pemilik kesaktian itu
sebenarnya, yang jelas... air keramat itu digunakan sebagai
tanda tempat mendaratnya kekuatan gaibnya. Air itu akan
menjadi station metafisik terbesar di dunia. Seluruh kekuatan
gaib yang tersebar di alam jagat raya ini akan terhisap

seluruhnya ke dalam kolam itu, sehingga tak akan ada lagi
energi gaib di tempat lain. kecuali di dalam air kolam itu."
"Apa dampaknya bila sampai begitu, Kumala?" tanya Rayo
lagi.
"Kehidupan alam jagat raya ini akan dikuasai oleh pemilik
kekuatan super gaib yang ada di sini."
"Maksudmu... kekuatan gaib si Manusia Meteor akan
berkuasa di permukaan bumi kita?"
"Benar. Dan tidak ada pihak mana pun yang dapat
mengalahkannya, sehingga ia dapat mengendalikan kehidupan
manusia, bahkan dapat menghentikan bola dunia ini berhenti
dari rotasi perputarannya. Dapat kau bayangkan seandainya
bumi kita berhenti dari perputarannya, apa yang akan
terjadi?!"
"Tentu saja semua benda akan terpental ke mana-mana
karena kehilangan gravitasi bumi."
"Kacau balau," tambah Sandhi.
"Itulah yang dikehendaki si Manusia Meteor!" tegas
Kumala. "Maka sebelum hal itu terjadi, kukacaukan dulu
energi gaib di sini supaya kekuatan-kekuatan metafisik di
seluruh dunia bersiap-siap untuk mempertahankan diri dari
ancaman gaib yang akan datang. Aku yakin, di seluruh dunia,
siapa pun yang memiliki kekuatan supranatural kekuatan
mistik, kekuatan gaib, kekuatan sihir dan sebagainya mulai
merasakan gangguan pada saluran gaibnya. Mereka akan
mengontrol keadaan diri mereka masing-masing, untuk tidak
terpengaruh oleh kekuatan dari pihak lain."
"Mengerikan sekali?!" gumam Rayo sambil menatap langit
di mana mega mendung berwarna ungu semakin tebal
menggantung, seperti membentuk kerucut yang ujungnya
menukik ke atas kolam tersebut. Sementara itu, deru angin
berhembus makin membuat air kolam bergolak kian hebat,

memercik ke mana-mana dalam keadaan coklat kehitamhitaman.
Keruh sekali. Semua orang yang memandanginya
menjadi merinding dan berdebar-debar ketakutan.
Tiba-tiba seseorang yang ada di belakang mereka bertiga
memperdengarkan suaranya. Jelas sekali suara tua itu
ditujukan kepada Dewi Ular dengan nada tenang dan
berwibawa.
"Seyogyanya dihentikan saja, Nyai Dewi. Dapat
membahayakan pihak lain yang tak tahu menahu masalah ini."
Kontan mereka bertiga memandang ke belakang. Mereka
menemukan seraut wajah tua berusia sekitar 80 tahun, tapi
rambut dan jenggotnya berwarna hitam. Tubuhnya kurus,
agak jangkung, penampilannya tenang. Sandhi dan Rayo
berkerut dahi memandangi orang tersebut, tapi Kumala justru
menyunggingkan senyum lembut.
"Terima kasih atas saranmu, Ki Sedah Wingit."
Sandhi segera menghembuskan napas lega. Kini ia tahu,
lelaki tua yang bermata sejuk itu ternyata adalah Ki Sedah
Wingit, tokoh mistik aliran putih yang menjadi ketua
paranormal Nusantara. Tentu saja ia dan Kumala saling kenal
karena pernah bahkan sering bertemu dalam sebuah
simposium atau seminar dunia gaib. (Baca serial Dewi Ular
dalam episode: "TITISAN DEWI RANJANG").
"Mohon maaf kalau aku termasuk lancang mencampuri
urusanmu,. Nyai Dewi. Ini semata-mata karena rasa
khawatirku kalau sampai tindakanmu membawa korban di
pihak rakyat awam yang tak mengerti-apa-apa. Kurasa aksimu
untuk mengingatkan, kami semua ini sudah mulai bisa kami
rasakan dan kami pahami!"
"Begitukah menurutmu, Ki Sedari?"
"Benar. Dan, sebagai bukti... aku segera datang
menemuimu kemari, Kumala."

"Baik, terima kasih sekali lagi, Ki Sedali Wingit,"
Kumala mengangguk memberi hormat kecil, supaya tak
memancing perhatian orang jika ia memberi hormat
berlebihan. Lagi pula hormat kecil baginya adalah sesuatu
yang menakutkan bagi Ki Sedah Wingit. Sebab ketua
paranormal itu tahu persis siapa gadis yang ada di depannya
itu. Ki Sedah Wingit sadar betul bahwa kekuatan
supranaturalnya dapat dihancurkan dalam sekejap oleh gadis
putrinya Dewa Permana itu jika ia dianggap kurang ajar
melalui teguran atau sarannya Maka hormat kecil itu pun
membuat Ki Sedah Wingit menjadi resah, padahal Kumala
bermaksud menghormat Ki Sedah sebagai orang yang lebih
tua darinya.
"Lihat, Mala ... ! Sebuah daun terhisap oleh air itu!" sentak
Sandhi sambil menuding, tegas-tegas. Rayo sempat mundur
dengan tegang. Ia melihat jelas daun-daun dan tanaman
rambat terhisap ke dalam kolam. Bahkan dahan pohon ada
yang patah karena kekuatan daya hisap dari pergolakan air
kolam yang mengerikan itu. Menurutnya, seseorang bisa ikut
tersedot apabila berada dalam jarak kurang dari sepuluh
meter dari tepian kolam Untung tak ada yang berdiri dalam
jarak kurang dari sepuluh meter.
Diam-diam Kumala Dewi memungut sebutir kerikil. Batu
kerikil itu dibuat mainan sesaat di tangannya. Rayo
memperhatikan tangan Kumala dengan curiga. Ia melihat batu
kerikil itu disentilkan dengan sembunyi-sembunyi, seperti
bermain kelereng. Tess...! Batu kecil itu pun melesat jatuh ke
kolam berair keruh. Plung! Lalu terdengar suara aneh seperti
api berhenti mendadak.
Zuuurrbbbss...!!!! Zuuurrbbbss, zzzuuurrrbbbsss ...!!
Pandangan mata orang-orang menjadi lebar kembali. Air
kolam itu berhenti dari pergolakannya. Sangat mendadak
sekali berhentinya. Bahkan menjadi surut dengan cepat seperti

terhisap ke dasar bumi dengan kuat Akhirnya kering kerontang
tanpa setetes air pun.
"Oohh??!" gumam semua orang terkagum-kagum. Tapi
mata mereka terbelalak kembali, dan langkah ingin mendekati
kolam jadi terhenti seketika. Dari dasar kolam yang kering itu
melesat sinar hijau lurus seperti sinar laser yang menuju ke
langit. Sinar hijau tanpa putus itu mengantar kabut ungu yang
tebal. Maka, terjadilah dentuman besar di langit di mana
mendung tebal warna ungu itu pecah menyebar sambil
memercikkan bunga api, memenuhi permukaan langit yang
sebegitu luasnya itu.
Bleggaaaarrrr ... !!! Bluuuooornram.:..!!!!
Bumi terguncang oleh daya dentum super besar itu. Semua
orang limbung dalam sikap berdirinya. Mereka saling
ketakutan, panik, berusaha mencari tempat untuk
berpegangan. Untung hanya sesaat, tak sampai membuat
orang saling berjatuhan. Suasana menjadi tenang kembali.
Langit menjadi jernih. Angin berhembus dengan tenang.
Tapi putaran jarum jam sempat berbalik arah putarnya
dengan cepat. Lalu, alam menjadi terang seperti semula, Jam
normal kembali, jarumnya menunjukkan pukul tiga sore lewat
sedikit, bukan pukul enam seperti tadi.
"Kita telah kembali ke waktu sebenarnya," kata Rayo. ia
memamerkan jam tangannya kepada Sandhi. Setelah itu,
mereka berdua bergegas mendekati kubangan tempat kolam
tadi, karena banyak dari mereka yang segera mendekati
kolam, ingin melihat isinya. Hanya Kumala dan Ki Sedah
Wingit yang justru menjauhi kerumunan massa, tapi tetap di
wilayah tanahnya Opa Hans.
Kolam itu kering tanpa air setetes pun. Sampah-banyak
terdapat di kedalamannya Tanah sekeliling kolam mengalami
keretakan. Kering sekali. Warnanya hitam hangus. Sampah
yang ada juga berwarna hitam hangus. Pemandangan itu

mengerikan, menimbulkan rasa cemas yang membuat bulu
kuduk merinding. Keadaan dalam kubangan seperti lembah
yang tandus dari kering, yaitu lembah kematian dari suatu
alam yang tak ada di jagat raya ini.
"Apakah kita perlu mengambil contoh tanahnya?" tanya
Rayo kepada Sandhi.
"Coba kutanyakan dulu pada Kumala," lalu Sandhi bergegas
tapi Rayo mengikutinya. Ia ingin mendengar sendiri
keterangan dari gadis cantik yang membuat hatinya berdesirdesir
jika membayangkan kecantikannya itu.
Kumala sedang terlibat pembicaraan serius dengan Ki
Sedah Wingit. Bahkan di sana sudah ada Opa Hans, yang
ternyata adalah kenalan dekatnya Ki Sedah Wingit..
"Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang sudah sembuh
dari penyakitnya itu, Kang?" tanva Opa Hans kepada Ki Sedah
Wingit.
Kumala Dewi yang menjawab karena Ki Sedah Wingit
menjulurkan tangannya, seakan menyuruh Opa Hans
menanyakannya kepada Kumala.
"Yang sembuh akan tetap sembuh. Air keramat itu memang
digunakan sebagai daya tarik massa, supaya kelak massa akan
berkiblat dan menyembah kepada kekuatan gaib yang ada
pada air kolam tadi. Jika sudah begitu maka Manusia Meteor
dapat dengan mudah mengendalikan kehidupan mereka
sesuai keinginannya."
"Siapa manusia meteor itu, Nona?"
"Apakah kau belum tahu riwayat lahirnya kolam itu?" tanya
Ki Sedah Wingit kepada Opa Hans.
"Demi Tuhan, waktu aku bangun pagi, cucuku sudah tidak
ada. Tapi aku menemukan kolam aneh itu lengkap dengan
airnya."

"Saya tahu alamat rumah ini dari Rency, Opa."
"Oh, dari Rency ... ?! Lalu di mana dia sekarang? ?
Mengapa dia diusir oleh tantenya, dan tantenya sempat
telepon kemari menyuruh saya menolak Rency jika anak itu
datang kemari."
Kumala menceritakan secara singkat keadaan Rency dan
bahaya yang sedang dihadapinya. Opa Hans sangat cemas,
sedih dan menjadi pucat. Ia berharap sekali agar Kumala
melakukan sesuatu yang dapat menolong jiwa cucunya itu.
"Kumala," tegur Sandhi. "Apakah kita harus membawa
contoh tanah kolam itu?"
"Ya. Ambil sebagian saja. Jangan banyak-banyak. Mintai
izin dulu kepada Opa Hans, jangan asal ambil. Nanti
disangkanya kamu tukang serobot tanah orang."
Mereka tertawa mendengar canda Kumala. Namun ketika
canda dan tawa itu berhenti, Ki Sedah Wingit segera berkata
kepada Kumala.
"Akan kubantu dalam menemukan si Manusia Meteor itu.
Mari kita cari bersama, Nyai Dewi... !"
"Terima kasih sebelumnya, Ki Sedah," sambil Kumala
tersenyum manis sekali. Rayo terperangah lagi memandangi
senyuman itu.

7
BANYAK orang menyangka Rayo seorang jurnalis.
Seringnya membawa tustel membuat dirinya disangka seorang
wartawan atau seorang fotografer. Padahal Rayo bekerja di
sebuah lembaga pusat ilmu pengetahuan dan pengembangan
teknologi. Kebiasaannya membawa tustel itu lantaran dirinya

hobby memotret wanita cantik. Kadang tak dikenalinya siapa
wanita tersebut, selama wajahnya memiliki kecantikan
fotogenic, camera face, ia akan mengabadikannya dalam
bidikan kamera. Kepada Kumala ia mengaku berterus terang,
bahwa dirinya termasuk salah seorang pengagum wanita
cantik.
"Sekadar pengagum saja," ujarnya menambahkan kata.
"Aku hanya merasa heran, mengapa Tuhan menciptakan
wanita secantik orang-orang yang kuabadikan itu? Untuk apa
sebenarnya ? Untuk dinikmati oleh lawan jenisnya atau untuk
dimiliki kaum lelaki yang mencintainya? Jadi, kalau suatu saat
kau datang ke tempat kostku dan melihat banyak foto wanita
cantik kupajang di kamarku jangan punya praduga yang
macam-macam dulu. Itu lantaran aku mengagumi karya
ciptaan Tuhan yang terindah dari sudut penglihatanku. Bukan
karena aku ingin pacaran sama mereka!"
"Kenapa nggak pacaran saja sama mereka? Kan enak?"
"Cantik wajah bukan berarti cantik hatinya toh?"
"Memang begitu. Tapi biasanya kaum lelaki kalau sudah
lihat wanita cantik nggak akan peduli lagi bagaimana hatinya."
"Itu kan mayoritas lelaki. Kebetulan aku ada di kelompok
minoritas. Jadi lebih selektif lagi kalau memang mau pacaran."
"O, begitu?" Kumala tersenyum manis sambil menikmati
makan siangnya. "Lalu, kenapa kamu sampai sekarang bilang
nggak punya pacar? Apa karena belum ada yang masuk dalam
nominasimu?"
"Pernah juga pacaran, tapi yaah... begitu. Selalu saja nggak
bisa kekal. Bukan karena kesalahan di pihak sana saja, tapi
mungkin juga karena kesalahan di pihakku. Yang jelas, semua
kegagalan itu hanya bisa kujadikan pelajaran berharga bagi
hidupku selanjutnya."

"Cukup obyektif juga cara berpikirmu itu," sanjung Kumala
dengan sikap tenang, seakan sanjungan itu asal ucap saja,
padahal memang tulus keluar dari hati sanubari Kumala Dewi.
"Kamu sendiri kenapa juga belum punya pacar? Padahal
menurutku, hampir semua lelaki baik tua maupun muda pasti
terpikat pada kecantikanmu. Sebab kecantikanmu bukan
kecantikan yang pasaran. Kecantikanmu adalah kecantikan
yang eksklusif, bak kecantikan bidadari yang turun dari
Kahyangan."
Senyum tipis Kumala tanpa mengarahkan pandangan
matanya kepada Rayo. Tentu saja hati Kumala merasa geli,
karena Rayo memang belum tahu bahwa ia sedang
berhadapan dengan bidadari dari Kahyangan. Selama ini
belum ada yang menginformasikan kepada Rayo bahwa,
Kumala adalah putri tunggal Dewa Permana dan Dewi
Nagadini yang sedang mencari cinta sejati di alam kehidupan
manusia. Seandainya Rayo mengetahui hal itu, tentu saja ia
tak akan menyanjung Kumala sedemikian rupa. Dan,
sanjungan itu dibiarkan oleh Kumala. Ia tetap tidak membuka
rahasia pribadinya tantang siapa dirinya yang sebenarnya.
Tapi gadis itu pun tidak menampakkan rasa bangga atau
gembira mendengar sanjungan itu. Kumala tetap tenang, tidak
merasa tersanjung sedikitpun.
"Mestinya sekarang ini kamu sudah punya pasangan hidup,
Kumala. Setidaknya kamu sudah punya tunangan yang akan
... "
"Ssst tunggu!" potong Kumala dengan serius.
Matanya menatap Rayo, tapi konsentrasinya tidak tertuju
pada pemuda itu. Rayo merasa tidak sedang dipandang oleh
gadis cantik jelita itu. Rayo tahu, ada sesuatu yang menarik
perhatian Kumala sehingga makan siangnya pun sempat
dihentikan sesaat.

"Ada apa?" bisik Rayo yang duduknya berhadapan dengan
Kumala. Ia sedikit membungkuk maju supaya pertanyaan
pelan itu didengar oleh gadis di depannya.
"Ada gelombang energi gaib yang menyebar di sekitar kita
sekarang ini. Entah milik siapa energi gaib ini!" bisik Kumala
dengan melirik ke sana-sini. Rayo sedikit berdebar-debar
karena keseriusan Kumala mengisyaratkan adanya bahaya.
"Mungkin kau salah duga, Kumala."
"Nggak. Aku merasakan energi gaib itu cukup panas."
"Dari dapur, barangkali?"
"Bukan panas kompor gas. Tapi panas yang mengandung
getaran gaib cukup kuat. Sebentar, kucari pusat energi itu dari
sini."
Dewi Ular segera melemparkan pandangannya yang tenang
dan teduh itu ke segala arah. Setiap tamu yang menikmati
makan siang di restoran tersebut diperhatikan satu persatu.
Radar gaibnya digunakan setajam mungkin untuk mengenali
dari mana sumber energi gaib yang dimaksud itu. Rayo ikut
membantu memandangi setiap orang dengan ketegangan
samar-samar. Ia mencoba menggunakan nalurinya yang
belum tentu tepat sasaran.
"Mungkin wanita bergaun hitam yang agak gemuk itu,
Mala?"
Mata teduh itu menatap wanita yang dimaksud Rayo.
"Bukan!" bisik Kumala. Tubuh gadis itu sampai meliuk
setengah memutar saat mencari dengan tatapan matanya.
Rayo sendiri jadi menghentikan makan siangnya, karena hati
yang mulai tegang terasa berkurang selera makannya.
"Semakin dekat dan jelas getarannya, Ray!" bisik Kumala
lagi.
"Jangan-jangan getaran hatiku yang kau rasakan itu."

"Ngaco aja kau ini!"
"Swear! Hatiku bergetar sejak tadi gara-gara terlalu lama
memandangi wajahmu, Kumala."
"Ah, diam dulu kau!" Kumala menepiskan tangannya, tak
mau diajak bercanda dulu. Rayo menyadari hal itu dan buruburu
serius kembali.
Seorang pelayan lelaki datang membawakan segelas juice
durian.
"Tuan tadi yang memesan juice durian?" tanyanya kepada
Rayo.
"Hmm, ya... benar! Taruh aja di situ," jawab Rayo sambil
matanya masih memperhatikan wajah-wajah tamu restoran
tersebut.
"Hei. Bung... sebentar, Bung!" sergah Kumala kepada
pelayan yang ingin meninggalkan mejanya setelah meletakkan
juice durian pesanan Rayo itu. Pelayan berperawakan pendek
dan berambut keriting agak lebat dengah kumisnya yang tipis
itu segera kembali lagi mendekati mejaKumala.
"Ada apa, Nona?"
"Apa yang kau bawa kemari itu?"
"Juice durian, kan?"
"Ah, masa..?!" Kumala menatap gelas juice durian yang
berukuran tinggi dengan pipet plastik melengkung 90 derajat.
Rayo pun ikut memperhatikan gelas tersebut tanpa mengerti
maksud Kumala Dewi. Pelayan berkumis tipis dan berkulit
coklat itu berkerut dahi menatap juice tersebut.
"Maksud Nona bagaimana?"
"Masa juice durian banyak belatungnya begitu?"
"Hahh ... ?!" kedua mata Rayo terbelalak lebar, la melihat
minuman itu berubah warna, menjadi kehitam-hitaman. Di

permukaan air minumnya yang kental itu tampak tumpukan
belatung kecil yang bergerak-gerak menjijikkan. Berbeda
sekali dengan kondisinya saat disuguhkan tadi.
"Yang benar aja, Bung. Masa juice durian kau campur
dengan belatung-belatung montok kayak gitu sih?" kata
Kumala mengecamnya dengan suara agak keras, membuat
orang lain pun memperhatikan ke meja Kumala.
Pelayan itu jadi salah tingkah dan serba malu. Rayo mulai
naik pitam mencekal lengan baju pelayan itu dengan kasar
dan berkata pun dengan nada kasar pula.
"Kau mau meracuniku, ya?! Kau pikir aku apa, hah?!"
"Mmaa... maaf, Tuan... maaf....saya nggak sengaja...."
"Ray, lepaskan dia!" geram Kumala pelan. Rayo menuruti
perintah yang penuh arti itu.
"Maaf, akan... akan saya tukar dengan yang baru, Tuan!"
lalu pelayan itu segera mengambil gelas tadi dan pergi.
"Hei, tunggu...!" cegah Kumala. Tapi pelayan itu tetap
melangkah cepat meninggalkan mereka berdua. Sementara
pelayan yang lain memperhatikan dengan dahi berkerut
sepertinya mereka merasa asing. Bahkan salah seorang dari
pelayan yang lain berseru kepada temannya yang ada di jalan
masuk ke dapur.
"Man, siapa orang itu, Man?! Kayaknya bukan orang kita
tuh!"
"Tangkap dia! Jangan boleh masuk ke dapur!" seru yang
lain.
Suasana jadi tegang, mulai gaduh. Para pelayan
menyergap orang tadi, mengejarnya sampai ke dalam dapur.
Tapi beberapa saat kemudian mereka keluar kembali dari
dapur. Mata mereka nanar memandang ke sana-sini dengan
napas terengah-engah.

"Ke mana dia tadi?! Udah keluar lewat sini, ya?!" seru salah
seorang dari mereka.
"Belum! Belum ada yang keluar! Mungkin masih sembunyi
di dapur tuh! Cari aja!"
"Udah nggak ada! Dia hilang kalau begitu!"
'"Hilang bagaimana?!"
"Lenyap kayak setan!"
"Ah, masa siang-siang begini ada setan sih?!"
"Tahu tuh ...Coba cari lagi, cari..."
Rayo sibuk memperhatikan keributan para pelayan. Tapi
Kumala justru berkemas dengan tenang, la sengaja tak
habiskan makan siangnya itu. Rayo jadi bingung melihat
Kumala berkemas.
"Apa yang terjadi, Mala?"
"Pelayan itulah yang memiliki energi gaib yang kucari-cari!"
"Ja... jadi dia memang setan?!"
Kumala menggelengkan kepala. "Dia si manusia meteor!"
"Oh ...?!"Rayo makin terkejut.
"Aku akan mencarinya di sekitar sini!"
"La....Ialu bagaimana dengan diriku?"
"Tunggu aku di mobil!" tegas Kumala, lalu ia menghampiri
meja kasir, menyerahkan sejumlah uang. Setelah itu bergegas
masuk ke Pajero merah milik Rayo. Di dalam mobil itu Rayo
sempat ingin menanyakan apa yang harus dilakukannya. Tapi
sebelum ia bertanya, ketika ia baru saja masuk ke mobilnya,
ternyata Dewi Ular sudah tidak ada di tempat duduknya.
"Haahh...?! Dia... dia hilang juga?!" Rayo semakin tegang
jantungnya berdetak-detak cepat, la kebingungan mencari
Kumala. Tapi ia segera ingat pesan Kumala tadi, bahwa ia

harus menunggu di mobil. Mau tak mau ia hanya duduk di
mobil sambil clingak-clinguk kebingungan seorang diri.
Rayo tidak tahu bahwa Kumala tadi sudah berubah menjadi
sinar hijau berbentuk seekor naga kecil. Sinar hijau itu melesat
menembus kaca mobil depan dan masuk ke alam gaib. Di
sana ia memburu kekuatan gaibnya si Manusia Meteor yang
tadi bermaksud mencelakai Rayo untuk menguji kepekaan
tingkat kesaktian Kumala. Rupanya si Manusia Meteor merasa
terganggu penyamarannya di restoran itu dengan datangnya
gelombang gaib dari Kumala. Ia ingin tahu, setinggi apakah
kesaktian gadis itu bersama ketajaman indera keenamnya.
Sebab,, rencana Manusia Meteor mencari wanita cantik untuk
dijadikan korbannya di restoran itu akan sia-sia jika ia tidak
menyingkirkan gadis cantik berkemampuan supranatural tinggi
itu. Agaknya, si Manusia Meteor juga mulai dapat mengenali
siapa gadis cantik bersama Rayo tadi.
Hal tersebut,dapat dilihat dari caranya melarikan diri secara
raib. Tatapan mata Kumala Dewi sempat tertuju pada pintu
dapur restoran. Ia melihat percikan sinar merah seperti korek
api yang kehabisan gas atau bensin. Tapi para pelayan tidak
Sempat melihat percikan sinar merah itu. Bagi Kumala
percikan sinar merah merupakan unjuk kebolehan dari si
Manusia Meteor yang sengaja dipamerkan kepada Kumala dan
bertujuan memancing kesaktian juga. Maka, ketika Kumala
berubah menjadi sinar hijau berbentuk naga kecil menembus
alam dimensi lain, ia sempat dihadang oleh segumpal batu
besar yang berkobar-kobar terbungkus lidah api.
"Gila! Dia hampir saja menjebakku?!” sentak hati Dewi Ular
saat harus melesat ke arah lain untuk menghindari gumpalan
batu bermandikan lidah api itu itu. Kecepatan gerak sinar hijau
itu ternyata diburu oleh gumpalan batu berapi. Naga kecil
tersebut meliuk ke atas dari berbalik ke arah semula dengan
cepat, kemudian dengan gerakan menyerupai anak panah ia
menghantam gumpalan batu berkobar api. Blaaarr...

Dentaman dahsyat terjadi di alam gaib. Dentuman itu
mengakibatkan alam gaib terguncang cukup hebat. Batu besar
terbungkus api itu memang pecah menjadi beberapa bagian
dan saling menyebar, sedangkan sinar hijau berbentuk naga
kecil itu terpental dalam gerakan berputar cepat seperti
tergulung badai. Tapi ketika naga kecil itu berhasil
menstabilkan gerakannya, ternyata pecahan baru berapi itu
kembali berkumpul ke satu titik.
Zuuuurrrbb ... !' Bluuubb ... !
Terbentuk lagi sosok gumpalan batu api yang ukurannya
tiga kali lebih besar dari ukuran semula. Naga kecil mundur
dalam gerakan melayang naik. Ketika gerakannya berhenti, ia
sudah berubah menjadi lebih besar juga Tiga kali dari ukuran
semula. Kini cahaya hijau itu sangat jelas bentuknya sebagai
seekor naga berekor kipas. Gerakannya semakin gesit ketika
harus menghindari benturan dengan batu berapi. Wuubb...!
Naga Hijau melambung ke atas, batu berapi melesat di
bawahnya. Ekor naga pun segera menghantam dengan
kecepatan tinggi.
Blaaammm ...... !
Dentuman dahsyat kembali mengguncangkan alam gaib.
Semua penghuni alam gaib menjadi tegang dan sebagian
merasa panik. Sementara itu, batu berapi yang terkena
hantaman ekor naga hijau itu pecah menjadi delapan bagian.
Kini setiap bagian berputar cepat dalam gerakan melayang
seperti bumi mengitari matahari. Dalam sekejap saja setiap
gumpalan sudah berubah menjadi bola api yang besarnya tiga
kali lipat dari ukuran aslinya.
Delapan gumpalan api itu sekarang menyerang naga hijau
dari delapan penjuru. Kekuatannya sangat tak seimbang. Naga
hijau segera mendenguskan hawa kabut dari kedua hidung
dan mulutnya. Wooss! Kabut bergumpal-gumpal mengurung
rapat naga hijau.

Dari gumpalan kabut itu tampak seberkas sinar hijau kecil
seperti sinar laser yang melesat ke bawah. Zlaaap ... !
Sementara itu delapan gumpalan, api itu menghantam
gulungan kabut tersebut secara bersama-sama.
Blegaaaarrr ... !!
Semakin gaduh suasana di alam gaib. Ledakan dahsyat
terjadi lagi akibat delapan gumpalan api itu saling berbenturan
satu dengan yang lain. Mereka kecele, karena merasa
lawannya masih berada dalam gumpalan kabut. Padahal, sang
lawan sudah melarikan diri dalam bentuk kilatan cahaya hijau
tadi. Lolos lewat bawah gumpalan kabut, dan menembus alam
dimensi manusia.
Zaaab ... ! Sedangkan delapan gumpalan api besar itu
saling berhamburan, masing-masing pecah menjadi seratus
keping lidah api yang menyebar di seluruh alam gaib.
Para penghuni alam gaib pun menjadi kelabakan. Saling
berusaha memadamkan api yang melayang di sekeliling
mereka. Apabila tidak begitu, maka alam gaib akan terbakar
ratusan lidah api yang berhamburan tak tentu arah itu.
Sedangkan inti api masih ada di sisi lain, berbentuk batu kecil
berwarna merah ukuran tempurung kelapa. Inti api itu
melesat meninggalkan kegaduhan alam gaib, seakan tak
peduli dengan caci maki atau kutukan yang terlontar dari para
penghuni alam itu.
"Keparat busuk! Iblis jahanam dari mana yang berani
menyebarkan api petaka di sini, hahl!" seru sebuah suara tua
bernada murka. Suara tua itu segera mengibaskan
tongkatnya, lalu datanglah angin kencang yang dinamakan
Maha Badai salju. Wuuursss....!! Dalam sekejap saja semua
lidah api padam, dan alam gaib diliputi awan putih, yaitu awan
salju yang dinginnya melebihi salju dari utara maupun kutub
selatan.

Si pemilik tongkat hitam itu berperawakan bungkuk,
berjenggot putih yang panjang menyentuh tanah. Ia memiliki
mata cekung dan angker. Ia tak lain adalah Damung Suralaya
alias Sang Juru Gaib. Gurunya para gandruwo.
Dia kenal betul dengan getaran saktinya Dewi Ular tapi dia
tak mengenali getaran gaibnya siapa tadi. Maka dikejarnya si
penyebar api di alam gaib dengan kemarahannya yang tanpa
ampun lagi. Ia memang tidak mengejar Dewi Ular karena ia
tahu betul s iapa Dewi Ular dan di pihak benar atau salah. Juru
Gaib yakin. Dewi Ular bukan di pihak yang salah, sebab
selama ini ia menjalin hubungan baik dengan gadis anak dewa
itu, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "CINTA DARI AKHIR
ZAMAN").
Di alam kehidupan manusia ternyata langit sudah mulai
memerah. Matahari hampir tiba di peraduannya. Jam di
tangan Rayo sudah menunjukkan pukul lima lebih hampir
pukul enam. Pemuda itu masih setia menunggu kehadiran
Kumala, sebab perintah Kumala tadi tidak disertai catatan
penting yang memungkinkan Rayo boleh mengambil inisiatif
sendiri. Karena tadi Kumala hanya berkata, "Tunggu aku di
mobil " maka biar sampai sesore itu Rayo masih tetap duduk
di mobil, menunggu dengan gelisah dan cemas. la tak berani
ambil inisiatif untuk pulang atau pindah ke tempat lain. la
takut inisiatifnya itu akan mengecewakan si cantik yang
sedang dikagumi dalam hatinya.
Mobil Pajero merah itu tiba-tiba bergetar sesaat. Getaran
itu membuat Rayo terkejut dan berdebar-debar tegang. Ia
menyangka ada mobil lain membentur bagian belakang
mobilnya, atau ada orang usil mengguncang mobil dari
belakang la sempat melongok lewat kaca yang diturunkan.
Ternyata di belakang mobil tidak ada siapa pun. Namun
sebelum habis rasa herannya, ia segera mendengar suara
seorang gadis berkata kepadanya dari samping kiri.
"Bawa aku pulang secepatnya, Ray!"

"Hahh... ?!" Rayo terkejut saat memasukkan kepalanya lagi
dan menatap ke jok kiri, ternyata Kumala sudah duduk di
sana. Tapi pada saat itu keadaan Kumala sangat mengerikan,
sekaligus membuat jantung Rayo nyaris terhenti seketika.
Gadis cantik itu punya wajah sudah tidak cantik lagi.
Separuh wajahnya menjadi bengkak, melepuh bergelembunggelembung.
Rambutnya juga acak-acakan dan berasap tipis.
Gelembung-gelembung itu bukan saja di wajah Kumala, tapi
juga di bagian leher, lengan kiri, paha kiri dan seluruh kaki.
Sementara kaki yang kanan serta bagian rubuh yang kanan
lainnya hanya tampak memerah berkilauan. Rupanya gadis itu
terluka.
"Kau,., kau... ooh, apa yang terjadi, Kumala?! Kenapa kau
mengalami luka seperti ini?! Kita langsung ke rumah sakit
saja, ya?!"
"Bawa aku pulang...," pintanya dengan suara makin pelan.
Kepalanya terkulai lemas ke samping, tubuhnya juga seperti
tidak bertenaga. Rayo sangat mengkhawatirkan keadaan
tersebut.
Tapi ia tak berani membantah perintah itu. Sebab pikirnya,
barangkali gadis itu punya rencana sendiri yang tak mudah
dipahami orang lain, sehingga memaksa lebih baik pulang ke
rumahnya ketimbang dibawa ke rumah sakit. Dengan
kecepatan tinggi Rayo pun mengemudikan mobilnya menuju
rumah Dewi Ular.
"Dia sangat kritis! Dia butuh oksigen! Napasnya mulai
tersendat-sendat. Ooh, jangan-jangan dia dalam keadaan
sekarat?! Tapi... tapi aku harus membawanya pulang?! Aku
tak tega! Sungguh tak tega melihatnya dalam keadaan koma
begini?!" ratap Rayo dalam hatinya yang diliputi kebimbangan
membingungkan.
Pemuda berambut kucai yang menjadi asisten gaibnya
Dewi Ular sempat berang melihat Dewi Ular menderita luka

seperti itu. Meskipun tubuh Buron tak seberapa kekar, bahkan
tergolong agak kurus, tapi ketika kakinya menghentak di lantai
membuang kemarahannya, seluruh isi rumah bergetar. Pohonpohon
yang tumbuh di halaman ikut bergetar juga, sehingga
beberapa daunnya jatuh berguguran dan ranting-ranting
kering saling, patah serta berjatuhan.
"Keparat si Manusia Meteor itu! Biar aku yang
menghadapinya!" geram Buron, dengan suaranya yang tibatiba
berubah besar dan menggema. Suara itu adalah suara asli
Jin Layon, yang membuat bulu kuduk Rayo merinding, juga
Sandh; dan Mak Bariah ikut merinding. Jika pemuda itu sudah
mulai marah sedemikian geramnya, maka Sandhi dan Mak
Bariah tak akan berani mengusiknya sedikit pun.
Hanya Dewi Ular yang dapat meredakan kemarahan Buron
dengan kata-katanya yang tenang, lembut, tapi berwibawa
sekali.
"Tahan amarahmu. Manusia Meteor bukan tandinganmu,
Buron!"
"Tapi kau dibuat hancur begitu, Kumala! Aku tidak rela dan
tidak bisa menerima kenyataan ini "
"Harus bisa!" sahut Kumala dengan nada tegas walaupun
lirih. "Kita harus bisa menerima kenyataan ini. Buron. Dalam
sebuah pertarungan hanya ada dua pilihan: menang atau
kalah. Terluka atau sehat. Hidup atau mati. Ini semua harus
bisa kau terima dan kau sadari."
"Gghmmm ... 1!" Buron yang kecil, yang tidak lebih tinggi
dari Rayo, bisa menggeram dengan suara besar dan
menggetarkan kaca-kaca yang ada di sekelilingnya. Mungkin
seandainya ia tidak menahan diri, seketika itu juga ia sudah
berubah menjadi sosok Jin Layon yang besar, hitam, tingginya
sekitar 6 meter. Tapi karena ia masih menahan emosinya,
maka yang keluar hanya suara asli dari Jin Layon sebenarnya.

"Tidak perlu tegang. Kalian tenang-tenang saja. Kalian
jangan ada yang bersedih. Aku memang terluka dalam
pertarungan di alam sana, tapi aku tahu bagaimana cara
menyembuhkan lukaku dan memulihkan keadaanku seperti
semula."
Sandhi yang sejak tadi menunduk penuh duka itu segera
menyahut dengan bersemangat sekali.
"Apa yang harus kami lakukan untuk membantumu.
Kumala?! Perintahkan padaku saja, apa yang harus kuperbuat
untuk memenuhi cara yang kau maksud tadi!"
"Jika badanku nanti mulai berasap, siramlah dengan air
bunga yang selalu ada di kolong ranjangku."
Tanpa diperintah lagi Sandhi segera mengambil air bunga
Air itu berada dalam baskom kecil terbuat dari logam stainless
anti karat. Kumala Dewi selalu menyediakan air yang dipakai
merendam bunga tujuh warna setiap malam Jumat. Kebetulan
kemarin malam Kumala menyediakan air bunga untuk
menghirup sari bunga tersebut yang dapat mempercantik
wajahnya, mengawetkan kecantikannya, menyegarkan
tatapan matanya, dan sebagainya. Karena hari itu adalah hari
Jumat, maka air tersebut kemarin malam sudah disiapkan di
bawah kolong ranjang.
Dewi Ular melakukan semedi petang itu juga di pendapa
belakang rumah. Ketika tubuhnya mulai berasap, Sandhi
segera menyiramkan air bunga itu. Asap semakin mengepul
banyak. Membungkus rapat tubuh Kumala yang sejak tadi
hanya bisa dipandangi oleh Rayo dengan kecemasan
mendebarkan jantungnya. Ketika asap mulai menyebar tertiup
angin, Rayo mulai melebarkan pandangan matanya. Ia
terkesima kagum melihat wajah Kumala menjadi cantik
berseri-seri seperti sediakala.
Tak ada luka dan cacat sedikit pun pada wajah gadis itu.
Dan sepertinya tenaga Kumala pun secara fisik telah pulih

kembali, la bisa tersenyum dalam keadaan basah kuyup dari
rambut sampai kakinya.
"Syukurlah..!" Rayo menghembuskan napas panjang sambil
mengucap syukur tanpa disadari.
Ia jadi malu ketika Buron, Sandhi dan Kumala
memperhatikannya, termasuk Mak Bariah yang tersenyumsenyum
memandanginya. Sebab, ucapan syukur bernada lega
itu mempunyai arti yang cukup dalam. Nada ucapan itu
kentara sekali terlontar dari mulut seorang lelaki yang
menaruh hati kepada Kumala, sebab ucapan itu merupakan
ekspresi dari hati yang amat gembira karena bisa berdebardebar
indah lagi menyimpan segenggam rasa. Yaitu, rasa
suka, rasa kasih, dan rasa sayang.
Namun agaknya Kumala tak ingin membahas dulu
persoalan rasa yang disembunyikan Rayo itu. Perhatiannya
tertuju pada kejahatan si Manusia Meteor. Karena baru saja ia
selesai mengeringkan badan, seseorang telah meneleponnya
dengan nada tegang. Orang itu adalah klien tetapnya Kumala,
dan sangat kenal akrab dengan Buron, karena pernah
bercumbu dengan Buron. Orang itu adalah Tante Molly, yang
pernah mendapat energi awet muda dari Buron melalui
kencannya di hotelnya Tante Molly sendiri, (Baca serial Dewi
Ular dalam episode: "TUMBAL CEMBURU BUTA").
"Kumala, tolong datang ke hotelku. Ada seorang tamu yang
mengalami keanehan. Kekasihnya mati dalam pelukan
terbakar hangus. Sementara ia sendiri tak bisa dipegang oleh
siapa pun, karena setiap ada yang memegangnya, maka orang
itu akan menderita luka bakar. Seperti memegang besi
panas!"
"Siapa nama orang itu, Tante?"
"Menurut keterangan pegawaiku, dia bernama Evinna."
"Baik. Tolong untuk sementara, jaga dia jangan sampai
keluar dari kamar. Jangan ada yang mendekatinya. Jauhkan

setiap lelaki darinya. Sebab, syaraf kewanitaannya berada
dalam kepekaan yang maksimal. Setiap dia terangsang,
tubuhnya akan mengeluarkan panas. Maka, hindarkan seorang
lelaki s iapa pun dia dari hadapannya!"
Malam itu juga Kumala menjemput Evinna dari hotelnya
tante Molly. Ia didampingi Sandhi sebagai sopir, sementara
Rayo diminta menunggu di rumahnya. Sandhi terkejut melihat
gadis yang bernama Evinna itu. Ternyata ia pernah melihat
wajah gadis itu ketika sedang berada dalam mobil Corolla.
Gadis itu adalah gadis cantik yang tempo hari diganggu
dengan ledekan konyol oleh Sandhi, ketika mereka sama-sama
meluncur di jalan tol.
Kumala Dewi menjinakkannya dengan kekuatan baru yang
diperoleh dari guyuran air bunga. Kekuatan itu mampu
memperkokoh perisai gaibnya, sehingga saat menyentuh
Evinna atau berada sangat dekat dengan gadis itu tidak ada
energi saktinya yang bisa tersedot oleh racun gaib di dalam
darah gadis tersebut. Untuk membuat emosi kemesraan
Evinna tak meletup-letup dalam keadaan satu mobil bersama
Sandhi, Kumala mengunci imajinasi gadis itu dengan
mengalihkan perhatian otaknya melalui percakapan yang
menyimpang jauh dari masalah cinta dan kemesraan. Ketika
tiba di rumah Kumala, Evinnapun segera dimasukkan dalam
kamar khusus, dijadikan satu dengan Moonru dan Rency.
"Fuiihh...!"Dewi Ular meniupkan napas saktinya secara
diam-diam di dalam kamar itu. Napas sakti tersebut
mengandung hawa gaib yang dapat menentramkan hati,
menenangkan pikiran, dan membuat siapa pun merasa betah
tinggal di kamar tersebut. Itulah sebabnya Moonru dan Rency
merasa tenang-tenang saja walau berada di kamar itu dari
hari-hari kemarin. Mereka justru sibuk memperbincangkan
masalah lain yang tidak ada hubungannya dengan kemesraan
dan cinta. Selama kebutuhan sehari-hari mereka terpenuhi,
jiwa mereka tak akan berontak dari kondisi karantina itu.

"Buron, pasang pagar sekokoh mungkin. Kita dalam siaga
satu !" kata Kumala kepada jelmaan Jin Layon. Pemuda
berambut kucai itu mengangguk dengan patuh. Paham betul
apa yang diinginkan Kumala. Tapi Rayo berkerut dahi karena
bingung mengartikan kata-kata tersebut, sehingga akhirnya ia
berbisik kepada Sandhi.
"Apa yang dimaksud dengan perintah Kumala kepada
Buron tadi?"
"Siaga satu, artinya siap tempur. Buron disuruh memasang
pagar gaib yang paling kuat. Biasanya, kalau Kumala
memerintahkan begitu, ia sudah merasa akan kedatangan
tamu gawat. Artinya, akan ada serangan dari pihak lawan
malam ini juga"
"Dari Manusia Meteor itu maksudmu?"
"Dari mana saja. Tidak terbatas untuk si Manusia Meteor
saja."
"Oooo” Rayo rnanggut-manggut. "Hebat betul ilmunya
Kumala itu, ya? Nggak sangka kalau gadis secantik dia bisa
sehebat itu. Apakah orang tuanya juga punya ilmu hebat?
Maksudku, ayahnya atau ibunya juga 'orang pintar' kayak
dia?"
Sandhi tersenyum. "Payah kamu, Ray. Ketinggalan zaman!"
"Payah bagaimana?"
"Ayahnya atau ibunya Kumala tentu saja lebih sakti, sebab
mereka adalah dewa asli dari Kahyangan."
"Hahh...?! Ja.. jadi... Kumala itu anak dewa?!"
"Iya! Dia itu sebenarnya bidadari. Asli bidadari dari
Kahyangan, sebab ayahnya adalah Dewa Permana dan ibunya
adalah Dewi Nagadini!"
"Astaga ... ??!" Rayo terperangah dengan mulut ternganga
lebar. Wajahnya jadi pucat, tangannya tampak gemetar. Ia

takut terkena kutukan karena selama ini memperlakukan
Kumala sebagai manusia biasa. Lalu, Sandhi menjelaskan asalusul
Kumala secara singkat, (Baca serial Dewi Ular dalam
episode I : "ROH PEMBURU CINTA").
Kisah itu membuat Rayo jadi minder dan semakin tak
bernyali, la pun segera pamit untuk pulang sebelum apa yang
dikhawatirkan menjadi kenyataan. Tapi pada saat itu Kumala
yang telah mengetahui isi hati Rayo dan telah membaca jalan
pikiran Rayo pada malam itu hanya tersenyum sambil berkata
dalam kelembutan.
"Kau tidak ingin menemaniku begadang malam ini? Nggak
menyesal di kemudian hari?"
"Ak... aku,., aku...."
"Sudah tahu siapa aku sebenarnya, begitu? Lalu, kenapa
kau takut, padaku?" sahut Kumala. "Apakah aku jahat
padamu?"
"Hmm, memang nggak sih. Tapi...tapi kenapa kau, tak
bilang dari kemarin-kemarin kalau kau adalah anak dewa ? "
"Kalau aku bilang dari kemarin-kemarin, belum tentu kau
mau membantuku malam ini, Rayo. Mungkin kau sudah kabur
dari saat kau datang ke kantorku yang pertama kalinya itu."
"Hmm, eeh... ja... jadi aku harus bagaimana sih?!" Rayo
jadi jengkel sendiri. Kejengkelan itu menggelikan bagi
Kumala,sehingga ia tertawa renyah, menampakkan lesung
pipitnya yang semakin membuat Rayo terkesima terkagumkagum
itu.
"Malam ini aku harus siaga. Manusia Meteor itu pasti akan
mengejarku. Akan merasa lebih bersemangat rasanya jika kau
menemaniku berjaga-jaga. Seolah aku merasa dalam
penjagaanmu juga, Ray."'
Setelah diam beberapa saat, Rayo pun merasa tak mampu
menolak keinginan Kumala Dewi. Hatinya sempat melambung

bangga ketika dirinya dianggap ikut menjaga keselamatan
gadis cantik itu. Dalam hatinya sendiri Rayo berharap, semoga
malam itu tidak terjadi bahaya yang dikhawatirkan Kumala
sebab secara pribadi Rayo akan merasa malu jika dirinya tak
bisa menjaga Kumala, dari ancaman penyerangan si Manusia
Meteor itu.
Kekhawatiran hati Rayo belum selesai, tahu-tahu terdengar
suara dentuman memecah kesunyian malam. Rumah indah itu
bergetar, vas bunga di atas bufet itu sempat jatuh dan pecah.
Mereka terperanjat kaget dan saling pandang.
"Ada yang menjebol pagarmu, Ron!" kata Kumala,
"Sambut dia dan giring ke pendapa!"
Buron pergi dengan sekali melompat lenyap tanpa bekas.
Ia berubah menjadi sinar kuning. Kumala bergegas ke
pendapa untuk menyambut kedatangan sang tamu,
sementara Rayo yang gemetar ikut-ikutan Sandhi menyusul
Kumala, dari jarak tertentu, la berhenti hanya sampai teras
depan dapur. Di sana ada Mak Bariah yang ikut memandang
ke arah pendapa. Lampu taman dan neon pendapa menyala
terang, memudahkan bagi mereka untuk melihat siapa tamu
yang telah berhasil menjebol pagar gaibnya Buron itu.
Weess ... ! Sekelebat bayangan melesat dikejar sinar
kuning kecil. Bayangan itu menghampiri Kumala yang berdiri
di tengah pendapa dengan mengenakan celana capri sebatas
lutut yang lentur dan blus ketat tanpa lengan berleher tegas.
Sinar kuningnya Buron seperti membentur karet yang membal
ketika bayangan itu menampakkan sosoknya sebagai kakek
bungkuk berjenggot putih panjang sampai menyentuh tanah.
"Ooh... dia?!" gumam Sandhi yang merasa pernah melihat
wajah dan potongannya si kakek itu, tak lain adalah Sang Juru
Gaib alias Damung Suralaya. Pantas jika Buron terpental
waktu ingin menerjangnya, karena Sang Juru Gaib memiliki
kesaktian yang mampu menundukkan kekuatan bangsa jin.

Buron pun menjelma diri sebagai pemuda berambut kucai
yang cengar-cengir mengusap-usap tulang ekornya karena
tadi ia terpental dan jatuh membentur batu taman. Sang Juru
Gaib segera memberi hormat kepada Dewi Ular dengan
berlutut satu kaki dan menundukkan kepala.
"Mohon maaf mengganggu sebentar, Nyai Dewi."
"Lho, kamu toh tamunya? Silakan duduk, Juru Gaib!"
Kumala menyambut dengan keramahan yang berwibawa.
Ia mendului duduk dengan bersimpuh di atas kedua lututnya.
Badannya tegap, seperti seorang ninja menghadapi tamu
kehormatannya.
"Nyai Dewi... rasa-rasanya sulit bagi saya untuk duduk
tenang selama masih dalam pengejaran musuh Nyai Dewi
sendiri!"
"Musuhku?! Kamu dikejar-kejar musuhku?!"
"Pertarungan Nyai Dewi di alam kami tadi telah membuat
seluruh penghuni alam gaib menjadi gusar. Sebagai juru
pandu alam gaib, saya amat marah dan segera mengejar
musuh Nyai Dewi. Ternyata... saya kalah sakti, hampir saja
hancur olehnya, Nyai Dewi. Dia mengejar saya, karena
dianggap terlalu berani melawannya. Mohon perlindungan,
Nyai Dewi!"
"Kamu kalah sakti?! Sama si Manusia Meteor itu kamu tidak
bisa unggul, Damung Suralaya?!"
"Oh, hebat sekali kalau begitu si Manusia Meteor. Kupikir
.... "
"Maaf.Nyai Dewi.... Maaf seribu kali maaf ..."potong Juru
Gaib dengari penuh hormat.
"Sesungguhnya yang Nyai Dewi lawan itu bukan Manusia
Meteor."
"Lho, jadi... siapa dia?!"

"Dalam pelarian saya tadi, saya sempat bertemu dengan
manusia' linuwih' yang baru saja menghadap Paduka Azora "
"Dewa separuh iblis yang menjadi Penguasa Pusaran Arus
Gaib itu?!" sahut Kumala.
"Benar, Nyai Dewi."
"Manusia 'linuwih' yang menghadap Azora itu siapa, Juru
Gaib?"
"Dia adalah sahabat Nyai Dewi sendiri, yaitu Sedah Wingit."
"Ooo... Ki Sedah Wingit? Hmm, ya, ya, ya., lalu apa yang
kau dapat dari Ki Sedah Wingit?"
"Dia memberitahukan kepada saya, bahwa Paduka Azora
mengingatkan kepadanya agar jangan mencampuri urusan
Nyai Dewi Ular, karena yang dihadapi Nyai Dewi bukan
Manusia Meteor seperti dugaannya semula, melainkan
sepotong kesaktian Kakek Nyai Dewi sendiri yang dibuang
karena ingin berkhianat demi kepentingan si Damaskus. raja
iblis!"
"Tunggu, tunggu... ! Aku agak bingung nih," sergah
Kumala. "Sepotong, kesaktian kakekku, maksudnya kesaktian
yang mana?"
"Senjata pusaka Sang Hyang Dewa Murkajagat, Nyai."
"Pusakanya eyang Murkajagat... ?!" gumam Kumala.
"Maksudmu... Pusaka Panah Lahar Semesta?!"
"Tepat sekali Nyai. Salah satu anak panah itu ada yang
mulai ingin berkhianat kepada Sang Hyang Dewa Murkajagat,
tapi keburu ketahuan. Maka anak panah itu dipatahkan
ujungnya, lalu dibuang dari Kahyangan, dan jatuh ke bumi!"
"Ooo...." Kumala manggut-manggut pertanda memahami
betul persoalan yang sebenarnya.

Dewa Murkajagat, kakeknya Dewi Ular, memiliki pusaka
andalan yang bernama Panah Lahar Semesta. Pusaka tersebut
terdiri dari beberapa anak panah. Masing-masing anak panah
mempunyai kekuatan maha sakti sendiri-sendiri. Panah Lahar
Semesta hanya akan digunakan oleh Dewa Murkajagat apabila
terjadi perang dirgandanu, (Baca serial Dewi Ular dalam
episode: "PERANG GAIB").
Kesaktian dari panah pusaka itu apabila dilepaskan dari
busurnya, anak panah tersebut mampu menembus segala
lapisan dimensi sambil menyebarkan lahar panas ke manamana.
Jika ia jatuh ke bumi, maka bumi dapat, tenggelam ke
dalam kubangan lahar panas yang memiliki daya bakar super
tinggi. Rupanya salah satu roh sakti pada anak panah itu ada
yang bermaksud berkhianat sehingga Dewa Murkajagat
marah, ujung anak panah yang menjadi inti kekuatan roh sakti
itu dipatahkan, lalu dibuang begitu saja, keluar dari
Kahyangan dan jatuh ke bumi seperti meteor.
Kejadian itulah yang dilihat Rency kala itu. Roh sakti panas
tersebut ternyata memang sudah ditumpangi hawa iblis. Maka
ketika ia jatuh ke bumi, ia pun bermaksud mengacaukan
kehidupan manusia, dan bermaksud menguasai bumi
sepenuhnya. Sifat keiblisannya dapat terlihat dari racun gaib
yang mencemari darah wanita yang bercumbu dengannya,
serta kekuatan lahar pelebur baja yang mengalir dalam birahi
wanita itu sendiri.
Kini sang cucu Dewa Murkajagat harus berhadapan dengan
kesaktian kakeknya sendiri.
"Pantas aku tak mampu mengalahkannya?!" gumamnya
saat termenung.
Pada saat itu Rayo dan yang lainnya mulai berkeringat,
bukan karena takut, tapi karena udara terasa panas.
Hembusan angin terasa membawa uap panas yang sesekali
menyengat kulit. Tanda-tanda itu membuat Sang Juru Gaib
tampak cemas. Kumala Dewi sendiri sudah segera bangkit dan

memandang sekeliling halaman belakang rumahnya yang
cukup luas itu. Buron pun tampak gelisah, bergerak mondarmandir
dengan wajah merah penuh murka.
"Nyai Dewi, rasa-rasanya dia sudah mulai mendekati
tempat ini, Nyai ... !" kata Sang Juru Gaib,sambil
memperhatikan dedaunan di sekeliling tempat itu mulai
tampak layu. Kumala Dewi melompat dengan lincah, melewati
pagar pendapa, lalu berdiri di rerumputan taman yang juga
mulai tampak layu. Hawa panas makin terasa panas setelah
terdengar suara gemuruh seperti gunung runtuh. Dewi Ular
masih berdiri diam dengan kaki sedikit merenggang dan kedua
tangan saling menggenggam di samping kanan-kiri.
"Juru Gaib...!" panggilnya tegas dan berwibawa.
"Ada apa, Nyai...," Juru Gaib mendekat. Kumala tak
memandanginya, karena arah pandangannya tertuju ke
tempat lain. Tajam sekali.
"Kudengar kau memiliki kesaktian yang bernama Maha
Badai Salju. Apa benar begitu?"
"Benar, Nyai Dewi. Tapi kesaktianku tadi tak bisa ?
digunakan untuk melumpuhkan dia Apakah ..... "
"Gunakan lagi sekarang, padukan dengan kesaktian Jin
Layon. " Lalu, Buron pun dipanggilnya. "Ron. gunakan
kesaktianmu: Kabut Himalaya itu,"
"Kapan? Sekarang?!"
"Tunggu perintahku. Kita jebak dia di sini. Begitu
kukatakan: 'sergap', kalian serempak gunakan kesaktian
masing-masing, dan aku akan menghantamnya dengan
'Jantung Naga Beku'. Tapi lebih dulu aku harus memancingnya
untuk hadir di hadapanku!"
"Baik, lakukanlah sekarang juga!" tegas Buron tampak tak
sabar memendam amukannya sejak tadi.

Dewi Ular segera melepaskan sinar hijau lurus ke langit
yang keluar dari telapak tangannya. Daaap...! Byaaak...! Sinar
hijau itu bak kembang api yang indah, pecah di langit
menyebar membentuk ratusan bintang tanpa letupan.
Bintang-bmtang itu padam setelah saling berbenturan.
Rupanya cahaya itu merupakan tantangan bagi sang lawan
yang tetap dianggapnya sebagai Manusia Meteor.
Tantangan itu segera dijawab oleh lawan dengan ditandai
hembusan angin sepoi-sepoi tapi membawa udara panas yang
kian menyengat. Sandhi dan Mak Bariah mengungsi ke
serambi depan dapur. Mereka tak tahan menerima hembusan
angin panas itu. sehingga masing-masing berusaha mencari
pelindung, tapi yang bisa tetap melihat adegan tegang di
samping pendapa itu.
Daun-daun mulai mengkerut, keriting dan mengering.
Rerumputan hijau berubah menjadi coklat. Air kolam ikan kian
menyusut bagaikan terserap hawa panas matahari. Padahal
yang ada pada saat itu melebihi panas matahari di waktu
tengah bolong. Toh si cantik Kumala Dewi masih tetap berdiri
tegak menunggu lawannya dengan rambut terurai lepas,
penuh keberanian. Sang Juru Gaib berdiri di dekat tangga
pendapa. Buron berdiri di bawah pohon mangga. Suara
gemuruh besar pun datang. Dentuman menggelegar
terdengar, pertanda pagar gaibnya Buron dihancurkan oleh
kekuatan gaib yang lebih besar lagi. Tanah bergetar seperti
dilanda gempa, namun segera berhenti setelah Dewi Ular
menghentakkan kakinya ke bumi satu kali.
Duuggh...!
Tahu-tahu dari dalam tanah depan Dewi Ular berdiri
muncul sesosok tubuh bagaikan mayat menjebol makamnya
sendiri.
Bruull ... !

Dan tampaklah seraut wajah tampan berambut cepak,
bertubuh tegap, gagah, kekar, berkulit coklat dan hanya
mengenakan cawat dari kulit ular yang masih basah oleh
darah. Sungguh suaru penghinaan bagi Dewi Ular untukmelihat
seekor ular telah dibunuh dan kulitnya dibuat cawat
oleh pria tampan itu.
Namun Kumala tetap tenang, mampu menahan
kemarahannya. Matanya menatap semakin tajam, melebihi
ketajamannya ujung tombak panglima perang mana pun.
Sementara itu, si pria tampan yang punya ciri-ciri sebagai
Maztro, seperti yang dituturkan Moonru dan Evinna itu,
sengaja tertawa sinis melecehkan Dewi Ular.
"Kau tak akan unggul melawanku, Dewi Ular. Sekalipun kau
dibantu oleh dua cecungukmu, tapi aku adalah kesaktiannya
kakekmu, maka kau tak akan bisa mengalahkan diriku!"
"Tinggalkan alam ini, dan jangan ganggu lagi kehidupan
manusia yang sedang membutuhkan kedamaian ini, Maztro!"
"Ha. ha, ha, ha ...! Itu tak mudah, Dewi Ular."
Maztro tersenyum tipis. Senyumannya itu mengandung
getaran gaib pemikat yang amat tinggi. Dewi Ular mulai
berdebar-debar, kekerasan hatinya mulai melunak ia
mengakui bahwa senyuman itu sangat memukau,
mengagumkan dan mengusik gairah kemesraannya.
"Aku dibuang oleh kakekmu, sangat kebetulan jatuhku ke
bumi. Dan aku bertemu dengan cucunya. Maka cucunya akan
menjadi budakku. Jatuh dan luluh kau dalam pelukanku, Dewi
Ular!"
Kata-kata terakhir diiringi dengan sentakan dan tangannya
menuding lurus kepada Dewi Ular. Seketika itu hati Dewi Ular
berdesir indah, jiwanya bagaikan melayang dalam
kebahagiaan, dan kehormatannya seperti sedang dibelai
lembut oleh kehangatan. Dewi Ular melawannya hingga
gemetar sekujur tubuh. Tapi Maztro menjulurkan lidahnya

yang Bergerak meliuk-liuk bagai sedang menari sekitar dada
lawan jenisnya. Dewi Ular pun buru-buru mendekap dadanya
sendiri.
"Oouh...!" ia bertahan dengan mendesis dan tertunduk.
"Kau akan kubakar dengan keindahan cumbuanku, Dewi
Ular! Hmmh!"
"Oouhhhk... I" Dewi Ular merapatkan kedua kakinya,
meliuk turun dan akhirnya berlutut, seperti sedang menahan
sesuatu yang mendesak kehormatannya. Hawa birahi dahsyat
diterimanya tanpa ampun lagi. Napas menjadi terengahengah.
Kumala tak bisa menyerang karena sibuk menahan
ledakan hasrat bercumbunya. Sementara itu, Maztro meliukliukkan
tubuh.
Menggerayangi badannya sendiri dan menjulurkan lidahnya
dengan lincah. Kumala merasa dirinya yang sedang
diperlakukan demikian.
Buron dan Sang Juru Gaib kebingungan. Mereka ingin
bergerak, tapi tak berani menyalahi aturan. Harus menunggu
perintah dari Kumala. Sementara itu, Kumala sepertinya sulit
mengeluarkan seruan perintah untuk menyerang. Tapi mereka
tak tega melihat gadis itu diperlakukan sebegitu
memalukannya di depan orang-orang yang menghormatinya.
Buron sudah menggeram dengan tangan gemetar. Hatinya
hanya bisa berkata,
"Perintahkan aku! Cepat perintahkan aku .... Kumala!"
Udara semakin panas, kap lampu taman nyaris meleleh.
Maztro menari-nari dengan gerakan erotis, membuat Kumala
berlutut menahan diri kuat-kuat. Melihat keadaan begitu, Rayo
terbakar hatinya. Ia sangat tak rela melihat Kumala
dipermainkan dengan sangat tak senonoh. Maka tanpa
diduga-duga oleh Sandhi. Rayo melompat dari tempatnya.
Menyambar sebongkah batu, dan melemparkannya setelah
berlari beberapa langkah.

"Bangsaaat... Lepaskan diaaa...!!" teriak Rayo seraya
melemparkan batu itu. Wuuut...! Batu itu mengenai kepala
Maztro. Buubbs... Seperti menghantam segumpal kapas. Tapi
Maztro segera menghentikan tarian erotisnya, memandang
Rayo dengan berang. Lalu, hanya dengan pandangan mata,
Rayo terdorong mundur. Ia tak bisa berteriak, karena lehernya
seperti dicekik kuat-kuat oleh sepasang tangan kekar.
Pada saat itulah Dewi Ular punya kesempatan untuk
memulihkan kesadarannya, la berseru dalam keadaan masih
berlutut terengah-engah memandangi Rayo yang dicekik
dengan kekuatan gaib itu.
"Sergaaap..!!"
Wuuurssss ...! Juru Gaib mengibaskan tongkatnya. Awan
putih menyebar cepat bagaikan menyergap Maztro: Maha
Badai Salju itu bercampur dengan kabut putih kekuningkuningan.
Kabut itu berasal dari mulut Buron yang terbuka lebar. Dari
mulut itulah tersembur uap salju yang segera membungkus
Maztro beisama awan putihnya Damung Suralaya.
"Heeeaarrrkkk....!!" Maztro melepaskan Rayo, mengerahkan
hawa panasnya berupa pancaran sinar merah yang menyebar
ke mana-mana dari tubuhnya. Tapi karena tubuhnya yang
terbungkus Kabut Himalaya dan Maha Badai Salju, maka
pancaran apinya tak bisa membakar alam sekeliling.
Dewi Ular bangkit, berdiri, kedua tangannya merentang,
napasnya menyentak satu kali.
"Haaak....!!"
Claaap ... !
Sinar putih berbentuk naga keluar dengan cepat dari
tengah dadanya. Sinar putih itu adalah kesaktiannya yang
jarang digunakan, kecuali harus berhadapan dengan kekuatan
api. Kesaktian yang dinamakan 'Jantung Naga Beku' itu

menghantam gumpalan kabut dan awan putih, lalu terjadilah
dentuman dahsyat yang membuat Juru Gaib dan Buron
terlempar tak tentu arah.
Bleegaaammm ... ! Blaaarrr... !
Kumala Dewi sendiri terpental. Rayo juga terhempas karena
gelombang ledakan tadi. Barang-barang lainnya banyak yang
berjatuhan. Tiang lampu taman terdekat sempat melengkung
ingin meleleh. Sandhi dan Mak Bariah terjungkir balik di
tempatnya. Pendapa berguncang hebat, atapnya sempat
miring sebelah.
Para tetangga yang tinggal di sekitar rumah Kumala
terbangun semua dan saling berianya-tanya, apa yang terjadi?
Ada yang menyangka telah terjadi gempa bumi berbahaya,
ada yang mengira kiamat telah datang. Yang jelas, suara
menggelegar tadi membuat malam menjadi gaduh.
Tapi di halaman belakang rumah Kumala justru sebaliknya.
Sepi. Sunyi. Lengang selama sekitar dua menit yang terdengar
hanya suara rintihan Mak Bariah dan Rayo, suara geram
kemarahan Buron, serta suara teriakan samar-samar dari tiga
gadis yang dikarantina di kamar depan. Mereka panik, karena
menyangka diri mereka terkurung dalam bencana.
Tiga kekuatan salju tadi ternyata berhasil meluluhkan
kesaktian Maztro. Sosok ketampanan Maztro hilang yang
tertinggal hanyalah sebongkah batu menyerupai besi berkarat.
Batu itu berbentuk segitiga, seperti anak panah. Besarnya
seukuran tabung gas oksiger, untuk para pasien di rumah
sakit. Itulah ujung anak panah pusaka Dewa Murkajagat yang
memiliki roh sakti namun berkhianat kepada tuannya.
Berubahnya Maztro menjadi batu seperti besi berkarat itu
telah melenyapkan pula kekuatan gaib atau racun
pembungkus darah ketiga gadis itu. Kini, darah mereka sudah
tidak tercemari kabut merah, dan mereka tidak lagi sensitif
oleh sentuhan lelaki. Rayo yang mengalami patah leher segera

ditolong oleh Dewi Ular dalam waktu kurang dari dua menit,
sudah normal kembali. Yang lainnya pun demikian. Dan,
Kumala segera menyebarkan hawa penentram dan penenang
jiwa, lewat hembusan napasnya ke udara bebas. Hembusan
napas itu mengandung aroma wangi yang lembut, cukup
sentimentil. Para tetangga yang mencium wewangian itu
menjadi tenang dan dapat melanjutkan tidur mereka masingmasing.
"Terima kasih atas bantuanmu, Sang Juru Gaib. Tanpa
bantuanmu dan bantuan kesaktian si Layon, mungkin aku tak
bisa mengalahkan secuil kesaktian eyangku, itu."
"Justru sayalah yang seharusnya berterima kasih kepada
Nyai Dewi, karena secara tak langsung sudah diselamatkan
dari pengejaran si Manusia Meteor."
"Ya, kita tetap akan menyebutnya Manusia Meteor, karena
tak ada julukan yang tepat untuknya," sambil Kumala tertawa
pelan.
Tak lupa si jin usil juga dapat ucapan terima kasih sambil
ditepuk-tepuk punggungnya oleh Dewi Ular,
"Sebagai upahmu, besok kalau aku gajian, kubelikan kau
sepatu baru ya?" kata Kumala dalam candanya.
"Asyik! Tapi jangan lupa, belikan sepatu sepasang, ya?
Jangan hanya yang kiri saja yang kau beli!"
Mereka tertawa ceria. Kumala menatap Rayo
menyunggingkan senyum, dan Rayo salah tingkah
menyembunyikan ekspresi wajahnya.
Esoknya, mereka membuang ujung panah yang berukuran
raksasa itu ke laut. Kumala melakukannya tanpa harus
menggunakan mobil derek untuk mengangkat batu berat
seperti besi berkarat itu. Cukup dengan kekuatan matanya
benda sudah bisa terangkat sendiri, dimasukkan ke dalam
mobilnya Rayo yang cukup untuk memuat panjangnya benda

itu. Lalu, dengan lemparan pandangan mata, benda itu
dikeluarkan dari mobil dan dibuang ke lautan lepas.
"Beres sudah!" kata Rayo dengan lega.
"Masih ada yang tak beres, Ray," bisik Kumala.
"Apa yang tak beres?"
"Urusan kita."
"Urusan yang mana?"
"Perasaanmu terhadapku."
"Ah, lupakan saja. Itu cuma kenakalanku saja."
"Tidak bisa kulupakan, Ray. Karena kaulah kunci
penyelamat segalanya. Tanpa muncul keberanianmu
melemparkan batu kepada si Manusia Meteor, mungkin
kesucianku akan hilang di depan kalian."
"0, kalau untuk soal itu... nyawa pun akan kupertaruhkan
demi menjaga kesucianmu, Dewi," bisik Rayo dalam beradu
pandang di dalam mobil Pajero merahnya. Kumala tersenyum.
Kemudian, dengan pandangan mata di arahkan ke depan;
tangan Kumala sempat menggenggam tangan Rayo. Desir hati
Rayo seperti terbang ke alam surgawi. Indah dan
mengesankan sekali. Itulah sentuhan damai sang bidadari.
Akankah berubah menjadi sentuhan cinta di masa mendatang?
Ikuti saja kisah Dewi Ular dalam petualangan berikutnya!

SELESAI