Dewi Ular - Misteri Gerhana Bercinta(1)

1
DALAM keheningan malam, segala apapun yang bersuara
dapat tertangkap oleh panca indera pendengaran kita. Derik
jangkrik di kejauhan, suara ngengat dan kutu-kutu malam,
semuanya masih bisa ditangkap oleh pendengaran manusia
normal di malam yang hening dan sunyi. Semakin malam
semakin jelas suara-suara tersebut masuk dalam pendengaran
manusia. Menurut para ahli fisika, hal itu dikarenakan oleh
penghantar suara yang sangat tajam. Semakin malam
kelembaban udara malam semakin menjadi penghantar
gelombang suara yang sangat peka. Hanya suara-suara yang
tergolong ultrasonic saja yang tidak bisa tertangkap oleh
pendengaran kita. Tapi telinga hewan memang mampu
mehangkap suara jenis ultrasonic.
Tak heran jika seekor anjing yang sedang terpuruk diam
menikmati datangnya rasa kantuk, tiba-tiba menegakkan
kepalanya dan memandang ke sana-sini, sebab telinganya
menangkap gelombang suara dari jenis ultrasonic. Bahkan
telinga seekor anjing pun dapat menangkap suara
supranatural yang ada di sekitarnya, seperti: langkah-langkah
kaki roh halus, jeritan hantu malam, percakapan dua sosok
roh orang yang telah meninggal, atau sejenis nyanyian dari
alam kubur, semua itu, bisa tertangkap oleh telinga seekor
anjing. Hewan lainnya pun mampu menangkap suara tersebut,
Hanya saja reaksi yang dilakukan pada hewan-hewan itu
memang berbeda-beda.
Seekor anjing akan melolong tinggi jika ia mendengar suara
rintihan dari alam kematian Lolongan itu tak akan putus-putus
dan selalu sambung menyambung jika jeritan roh tersebut
berada cukup dekat dengannya. Reaksi manusia pada saat
yang sama hanya berupa bulu kuduk yang merinding, atau
perasaan hati yarig tak enak. Lalu, saraf ketakutan pun mulai
bekerja, mendebarkan jantung dten menimbulkan kecemasan
dalam kecurigaannya terhadap alam sekelilingnya yang sunyi
sepi itu.
"Tolooong...! Tolooong...! Siapa pun yang mendengar
seruanku ini, tolonglah akuuu...! Tolonglah kami di sini...!
Toloong...!"
Ada suara jeritan yang merintih penuh penderitaan. Suara
jeritan itu seperti berasal dari tempat yang jauh. Seorang
lelaki yang berseru demikian. Tapi di mana dan siapa
orangnya, sulit diketahui pada saat yang sama .
Ternyata tidak semua orang yang mendengar seruan minta
tolong itu. Agaknya seruan orang Itu mempunyai jenis suara
yang tergolong lain Bukan jenis ultrasonic, juga bukan jenis
suara biasa. Buktinya, seekor anjing tidak tersentak bangun
dari tidurnya, seekor ayam juga tidak terpancing oleh suara
tersebut Tapi seorang pemuda berambut kucai agak panjang
sedikit, justru tergugah dari tidurnya. la mengernyitkan dahi
dan menyimak keheningan malam. Kepalanya dimiringkan
untuk menangkap lebih jelas lagi dari mana suara tersebut.
"Tolooong...! Kami dalam bahaya di siniii...! Tolonglah
kami! Tolooong...! Siapa pun yang mendengar seruanku,
tolonglah kami...!"
Pemuda berambut kucai yang terbangun dari tidurnya itu
adalah jelmaan dari Jin Layon yang menjadi asisten urusan
gaibnya Kumala Dewi, alias si Dewi Ular itu. Siapa lagi yang
dikenal sebagai jin usil itu selain Buron Silobahutang, begitu ia
sering memperkenalkan diri secara konyol. Kali ini Buron tidak
sedang bermain konyol-konyolan la benar-benar merasa heran
dan tertarik untuk mengetahui seruan minta tolong itu. Maka,
ia pun membangunkan Sandhi, sopir pribadinya Kumala Dewi
yang saat itu sedang tidur dengan nyenyak sekali.
"San...! Sandhi..., hey... bangun sebentar, San...!"
Mereka memiliki kamar yang sama, hanya berbeda ranjang.
Maka, bukan hal sulit bagi Buron untuk membangunkan si
mantan sopir taksi yang pernah ditolong Kumala dan sekarang
mengabdi kepada putri tunggal Dewa Permana itu. Hubungan
mereka bertiga sudah seperti keluarga sendiri, sehingga Buron
tidak sungkan-sungkan membangunkan Sandhi, demikian pula
sebaliknya jika terjadi sesuatu yang perlu membangunkan
Buron.
Hanya saja kali ini agaknya Sandhi menjadi sewot oleh
tindakan Buron yang membangunkannya. la menggeram dan
menyentak-nyentak dalam suara desah dan geram tak jelas.
Namun jelmaan Jin Layon itu tetap berusaha membangunkan
Sandhi, sehingga rasa jengkel Sandhi membuatnya bangun
terduduk dan membentak dengan suara agak keras.
"Apaan sih...?!"
"Ada yang minta tolong, San."
"Bilang aja udah habis! Suruh minta orang lain. Ahh...!
Kamu ini sukanya ganggoin orang lagi tidur aja!" gerutu
Sandhi, lalu bermaksud tidur lagi. Tapi tiba-tiba bantal yang
mau ditiduri itu berubah menjadi lempengan batu marmer.
Duuk...! Kepala Sandhi membentur lempengan batu marmer
itu .
"Aduuuh...! Brengsek luh, ya?!" Sandhi memukul kepala
Buron.
Wuut.. ! Tap! ia seperti memukul bayangan. Merasa tak
menyentuh apa-apa. Padahal jelas-jelas tangannya seperti
memotong kepala Buron. Kala itu jelmaan Jin Layon
mengubah fisiknya menjadi hologram.
Hanya sekejap saja Buron mengubah diri menjadi hologram
yang berupa kumpulan cahaya membentuk wujud dirinya.
Tapi setelah itu ia kembali menjadi sosok manusia berfisik
nyata dan sedikit nyengir melihat kegagalan Sandhi
memukulnya.
"Ntar gue bilangin Kumala luh kalau gangguin gue terus,
Ron!"
"Aku cuma mau kasih tahu kamu. ada suara orang teriakteriak
minta tolong tuh!"
"Ngigau kali luh!"
"Dengerin dulu dong. !"
Sandhi ikut mendengarkan suara yang dimaksud Buron
sambil masih tetap cemberut, pertanda kesal sekali oleh
desakan Buron itu.
"Toloooong...! Kami dihempas badaaaii...! Tolooong...!"
Buron menyentak pundak Sandhi. "Tuh, benar kan "
"Apanya yang benar?!"
"Suara orang minta tolong itu?!"
"Yang mana...?! Aku nggak dengar apa-apa kok?!"
"Ah...!" Buron jadi sangsi sendiri. "Coba dengar baik-baik
lagi!"
Hening sejurus. Keduanya sama-sama diam. Lalu, suara
seperti jeritan orang yang membutuhkan pertolongan di
tempat jauh itu terdengar makin jelas.
"Toloooong...! Hoooyy, tolooong. .! Tolonglah kamiii....!"
Buron mengingatkan Sandhi lagi. "Tuh, dengar nggak
kamu?!"
"Ah, ngaco aja luh! Nggak ada suara apa-apa kok masih
tetap ngotot?!" sambil Buron didorongnya, lalu ia kembali
tidur. Tapi karena bantalnya masih berubah sebagai sebuah
lempengan batu marmer, akhirnya Sandhi mengubah posisi
tidur ke arah yang berlawanan dengan posisi yang tadi.
"Dasar budek luh!" kecam Buron agak jengkel.
"Elu yang budek!" balas Sandhi sambil meringkuk setelah
menarik selimut dan menutupnya rapat-rapat sekujur tubuh
yang tak begitu kurus, seperti beberapa waktu yang lalu itu.
Buron sendiri segera bergegas keluar dari kamar untuk
mencari tahu dari mana sumber suara minta tolong tadi. la
hanya mengenakan celana pendek dan kaus oblong.
Tanpa diduga-duga ternyata begitu ia keluar dari
kamarnya, Dewi Ular pun keluar juga dari kamarnya. Wajah si
cantik jeiita itu tampak sedang mencari sesuatu. Rupanya
pada saat itu Kumala Dewi juga mendengar seruan minta
tolong dan menjadi penasaran, sehingga ia bermaksud membangunkan
Buron. Namun ternyata sebelum Buron
dibangunkan, pemuda berambut kucai dengan badan sedikit
kurus itu sudah bangun sendiri. Bahkan segera
menghampirinya. Mereka bertemu di depan sofa ruang
tengah.
"Aku mendengar suara orang minta tolong, Kumala."
"Ya, aku juga mendengarnya."
"Tapi kenapa Sandhi tidak mendengarnya?"
"Suara itu... kurasa bukan berasa dari sekitar sini."
"Lalu, dari mana dong?"
"Dari alam seberang."
"Dari alam gaib, maksudmu? Oh, kalau begitu...."
"Cuma kita yang mendengarnya, Ron. Karena kita memiliki
indera pendengaran keenam."
"Hmmm," Buron manggut-manggut, baru menyadari
keadaan yang sebenarnya la melirik jam dinding, ternyata
jarum jam menunjukkan pukul 01.30 lewat tengah malam.
Dan, suara itu terdengar lagi. Kali ini Buron menyimaknya
bersama si putri tunggalnya bidadari Dewi Nagadini itu.
"Aaaoow...! Tolooong... kami terseret badaiii... tolooong...!"
Kumala Dewi dan Buron saling beradu pandang.
"Terseret badai...?!" gumam Buron dengan suara membisik.
"Mungkin ada roh yang terjebak badai di alam sana "
"Kasihan sekali. Suara itu menunjukkan ketidak
mampuannya untuk berbuat apa-apa. Bagaimana kalau kucari
mereka di sana?"
"Tunggu..,!" sergah Kumala.
Mereka sama-sama diam, sama-sama menyimak suara lagi.
"Awaasss... badai cahaya...!! Tolooong, tolooong,
aaaoow...!"
Lalu suara lain pun menyusul, sepertinya suara perempuan.
"Jangan dihaluan, Devoool Mingggiiir... jangan di haluan!"
Wuuurrrbs...!
Suara gemuruh tak jelas muncul. Entah suara apa. Yang
pasti suara gemuruh itu seperti menelan jeritan-jeritan
ketegangan. Hilang dari pendengaran Dewi Ular dan jelmaan
Jin Layon. Suasana malam menjadi hening kembali. Suara
gemuruh pun lenyap setelah menelan sesuatu.
"Badai cahaya, Kumala?!"
"Ya. Ada yang menyebut nama Devo. juga kata 'haluan'
...."
"Di mana ada badai cahaya di alam sana?"
"Entahlah, mari kita cari bersama, Ron!"
"Biarlah aku sendiri yang mencarinya. Teruskan saja
tidurmu."
"Ini bukan sesuatu yang mudah untuk kau tangani. Bisabisa
kau sendiri yang celaka kalau tidak kudampingi. Ayo,
berangkat, Ron! Gunakan jalur gaib!"
Claap, claap...! Mereka berubah menjadi dua sinar. Buron
menjadi sinar kuning sebesar telur ayam dan berekor mirip
meteor, sedangkan Kumala Dewi berubah menjadi sinar hijau
kecil berbentuk seperti naga, ukurannya tak lebih dari 25 cm.
Mereka melesat menembus dinding atau benda keras apapun.
Tanpa suara, tanpa getaran.
Malam sunyi dan gelap juga meliputi sebuah danau buatan
berair jernih. Danau buatan itu dibangun di kompleks
perkantoran sebuah Pemda, di atas tanah sekitar 10 hektar
lebih. Selain berfungsi sebagai penunjang penghijauan
lingkungan dan sarana rekreasi penduduk setempat, danau
buatan itu juga digunakan sebagai tempat pemancingan
umum. Penduduk di sekitar tempat tersebut sering
meluangkan waktu senggangnya untuk memancing pada
malam hari, maupun siang hari. Taman yang dibangun di
sekitar danau tersebut sangat serasi untuk pacaran para
muda-mudinya, karena nuansa romantis antara danau dan
taman tercipta dengan sendirinya, seolah olah sangat alami.
Namun pada malam yang hening kali ini, kehidupan di
sekitar danau buatan itu seperti dicekam oleh suasana
kematian. Penduduk di sekitamya nyaris tidak ada yang masih
melek lagi. Semua tertidur dengan nyenyak. Mungkin karena
sejak sore hingga menjelang petang tiba hujan masih turun
dengan deras. sehingga masing-masing orang malas untuk
keluar dan bersantai ria di sekitar danau tersebut. Udara
dingin mencekam, membuat mereka merasa lebih enak tidur
meringkuk di baiik selimut atau di sela-sela ketiak suami
mereka. Apalagi malam itu sudah menunjukkan pukul 2
kurang beberapa menit, rasa-rasanya hanya orang kurang
kerjaan saja yang masih betada di sekitar danau tersebut.
Jika hal itu dikategorikan sebagai kurang kerjaan, maka
seorang pemancing yang masih tekun dengan pancingannya
akan protes, bahwa aktivitasnya di situ bukan karena kurang
kerjaan. Ia sibuk dengan pancingnya sampai pukul 2 dini hari
lantaran memang ia mempunyai hobby berat memancing di
mana saja ada air dan ikan yang menggiurkan hatinya.
Pemancing itu sudah berusia sekitar 60 tahun, dan memang
terkenai sebagai biang pemancing di lingkungannya. Pak Jono,
adalah nama si pemancing kawakan yang tak pernah kenal
waktu dan cuaca. Siang atau malam sama saja baginya.
Dingin atau panas, hujan atau kering, bukan halangan baginya
buat melampias kan hasrat memancing nya.
Tadi, sekitar pukul sembilan, masih ada beberapa
pemancing yang nongkrong di sekitar danau tersebut. Dua di
antaranya adalah teman Pak Jono sendiri. Tapi setelah lewat
pukul 12 malam, mereka satu-persatu pulang, sehingga
tinggal Pak Jono sendirian yang duduk di atas sebongkah batu
dengan berjaket hitam kumal. Penerangan yang
membantunya memasang umpan di kali hanya sinar lampu
taman yang membias lemah sampai di tempatnya. Dengan
sebatang rokok di tangan, lelaki berambut pendek itu asyik
menunggu kejutan dari pancingnya yang diharapkan disantap
ikan besar seperti yang diperoleh temannya beberapa jam
yang lalu itu.
"Kenapa kita berhenti di sini, Kumala?"
"Aku merasa getaran aneh ada di sekitar sini."
"Tapi ini bukan alam lain. Ini sebuah danau buatan. Dulu
aku pernah kemari bersama Niko dan Sandhi, Mala. Malahan
beberapa hari yang lalu aku juga mengantarkan Rayo
memancing di danau ini."
"Ini memang bukan alam gaib, Buron. Tapi... entah
mengapa firasat supraku mengatakan di sini akan terjadi
sesuatu yang ada hubungannya dengan seruan minta tolong
tadi."
Kumala Dewi dan asistennya muncul dalam wujud
sebenarnya di salah satu sisi tepian danau buatan itu. Mereka
berada agak jauh dari Pak Jono, sehingga si pemancing

berjaket hitam kumal itu tidak mengetahui kemunculan kedua
orang tersebut Tapi mata bening si bidadari muda itu dapat
mengetahui keberadaan Pak Jono yang kebetulan dalam posisi
berseberangan arah dengan mereka berdua Ternyata mata
tajam jelmaan jin itu pun melihat keberadaan Pak Jono,
sehingga ia pun berbisik kepada Kumala.
"Apakah si pemancing itu yang tadi berseru minta tolong?"
"Bukan Dia manusia biasa. Masa kamu nggak bisa bedakan
sih?"
"Menurutku sih memang manusia biasa. Tapi siapa tahu
dalam hatinya menjerit dan dia kirimkan suaranya hingga
sampai ke telinga kita Bisa saja kan?"
"lya, tapi aku yakin bukan dia. Tunggu saja di sini.,
Sepertinya kita sudah berada di dekat sumber suara tadi,
Ron."
Jarak antara Pak Jono dengan Kumala dan Buron sekitar
100 meter, dibatasi dengan bentangan permukaan air danau
yang tenang dan gelap, karena Kumala dan Buron memang
berada di sisi yang tidak mendapat sisa bias sinar taman
sedikit pun. Tetapi pada saat itu naluri Pak Jono mengatakan
ada sesuatu yang tak beres di sekitar danau tersebut. Naluri
tuanya mencoba mencari-cari sesuatu yang meresahkan
hatinya. Namun ia hanya mencari dengan pandangan mata
saja sambil mengucapkan sebaris doa tolak bala, menjauhkan
gangguan setan dan roh halus lainnya agar tak mengganggu
dirinya. Setelah itu ia asyik menunggu pancingannya bereaksi.
Tenang dan tampak tekun sekali.
Tiba-tiba permukaan air danau itu bergerak-gerak. Seperti
ada yang mengguncangnya dari kedalaman sana. Pak Jono
memperhatikan gerakan air danau itu dengan kecurigaan,
siapa tahu ada ikan besar yang sedang bergerak mendekati
salah satu pancing yang dipasangnya dari tadi. Senar pancing
dari ketiga kail diperhatikan tajam-tajam secara bergantian.

Pandangan mata Pak Jono itu akhirnya tertuju ke arah
jauh. la melihat seperti ada bintang berbinar-binar
mengambang di udara, kira-kira 10 meter dari atas
permukaan air danau. Semakin dilebarkan matanya semakin
jelas bentuk sinar itu ternyata bukan bintang, melainkan
cahaya aneh yang berwarna biru kehijau-hijauan. Bening dan
indah sekali. Makin lama semakin lebar bentuknya. Dari
seukuran mangkok menjadi seukuran piring, lalu menjadi
seukuran nampan. Makin lama semakin lebih besar lagi dan
terus bertambah besar, sehingga mata Pak Jono pun semakin
lebar Terperangah dengan jantung berdebar-debar.
"Ya, ampuun...?! Sinar apaan itu kok besar sekali?!"
Dalam penglihatan Pak Jono, sinar itu bergulung-gulung
seperti bercampur kabut putih kebiru-biruan. Makin lama
makin jelas gerakan bergulung-gulungnya yang melebar ke
berbagai arah. Udara di depan Pak Jono itu seperti robek.
Berlubang di bagian tengah sinar itu. Lubang tersebut kian
lebar, kian besar, kian nyata wujud pecahan cahaya beraneka
warna dari bagian tengah lubang. Cahaya wama-warni itu
menyebar ke berbagai arah. Membuat suasana danau buatan
yang semula gelap menjadi terang benderang.
"Astagaaa...?!!" Pak Jono berdiri dari tempatnya dengan
gemetar. Siap-siap untuk melarikan diri. Karena cahaya yang
menyerupai piringan besar itu kian terang dan menyilaukan
sekali. Pak Jono yang masih penasaran hanya bergerak
mundur terhuyung-huyung sambil menyilangkan tangannya ke
depan untuk mengurangi pencahayaan yang amat
menyilaukan mata itu. Namun akhirnya kedua mata Pak Jono
tak bisa melihat apa-apa lagi karena cahaya itu sangat
menyilaukan. Sehingga, ketika tiba-tiba cahaya itu padam
seketika, pandangan mata Pak Jono menjadi buta.
Blaaabbb...!! .
"Ya, Allah,., apa yang terjadi pada diriku ini?!" sebut Pak
Jono dalam hati. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencari
titik pandang seperti semula. Saat itu ia merasakan kakinya
digenangi air. Rupanya air danau sudah meluap naik hingga
menyentuh kaki Pak Jono. Lelaki itu berusaha menghindari
genangan air dengan melangkah menuju ke jalanan beraspal.
Namun belum sampai mencapai ke tepian jalan, pandangan
matanya sudah mulai normal kembali. Pak Jono pun berhenti,
memperhatikan tanah di sekelilingnya. Rupanya hanya sampai
batas tempatnya duduk tadi air danau menggenang dalam
luapannya. Tapi apa yang membuat air danau meluap
membuat Pak Jono akhirnya mengarahkan pandangan
matanya ke tempat cahaya aneh tadi berada. Dan, ketika ia
menatap ke Sana, maka mulutnya pun terperangah lebar
tanpa suara, matanya terbelalak lebar tanpa berkedip kembali.
"Astaghfirullaaharadlim...?!" sebut hati Pak Jono yang
langsung beristighfar tiada henti-hentinya. Karena pada saat
itu apa yang ada di depan matahya sungguh sesuatu yang
luar biasa mengejutkannya, sesuatu yang luar biasa
fantastisnya, dan sulit diterima oleh akal sehatnya.
Sebuah kapal muncul di atas permukaan danau buatan itu.
Kapal itu tampak besar sekali dan bentuknya sangat aneh.
Panjang badan kapal sekitar 70 meter lebih, tingginya dari
permukaan air sekitar 25 meter, mungkin juga mencapai 40
meter untuk di bagian haluannya Bentuk haluan kapal tidak
seperti kapal-kapal yang ada sekarang ini. Bentuk haluan
kapal itu seperti piring besar dengan garis tengahnya kira-kira
8 meter, dan bagian bawahnya melengkung hingga mencapai
kemiringan sekitar 30 derajat .
Semua bahan yang digunakan kapal itu adalah logam metal
berwarna putih abu abu anti karat. pagarnya yang berupa
lonjoran-lonjoran besi juga terbuat dari logam metal dengan
paku pakunya yang besar. Di atas kapal itu ada dua tiang,
yang sebenarnya pantas dikatakan sebagai tiang layar besar
dan tiang layar kedl. Tapi tiang besi setinggi kira-kira 7 meter
lebih itu tidak memiliki kain layar secuil pun. Hanya memiliki
tangga besi yang menuju suatu tempat berpagar bundar
dengan teropong berkaki tiga. Agaknya tempat itu digunakan
sebagai menara pengawas atas, dan belakangnya adalah
menara pengawas cadangan. Tali-tali dari tiang itu berbentuk
besi-besi panjang yang tertentang kesana-sini dan sangat
kokoh. Warnanya juga ptifih metalik.
Di atas kedua tiang itu terdapat lampu sorot yang
mengarah ke bawah, menerangi geladak kapal. Lampu-lampu
di kedua tiang itulah yang membuat Pak Jono bisa melihat
dengan jelas permukaan kapal tersebut. Tak ada seorang pun
berjalan di geladak kapal itu. Ruang kemudi pun tampak sepi.
Ruang kemudi itu menyerupai bangunan beratap elips, mirip
kubah masjid yang juga terbuat dari logam metal. Di atas
kubah itu terdapat dua piringan besar mirip kawat nyamuk
yang menghadap ke arah haluan dan buritan. Kedua piringan
itu tampaknya penampang radar dengan instalasi berfrekuensi
tinggi. Sementara itu di ujung kedua tiangnya, juga ada
penampang lengkung mirip separuh bola yang bagian
tengahnya mempunyai empat bulatan bertangkai. Keempat
bulatan itu selalu bergerak berputar pelan-pelan menyerupai
gerakan lambang atom.
Sebagai bekas awak kapal, Pak Jono dapat menduga
bahwa penampang di ujung tiang itu adalah unit radar khusus,
atau sistem navigasi yang menggunakan satetit. Menurut Pak
Jono, kapal itu adalah kapal canggih yang sangat modern,
karena tidak memiliki layar dan cerobong asap, juga karena
materi bahan-bahannya dari logam metal semua. Dugaan hati
Pak Jono itu ternyata sangat benar. Bukti pembenaran dugaan
itu terlihat dari turunnya kedua tiang secara otomatis, seperti
antena radio yang dibenamkan. Tiang itu kini tingginya hanya
sebatas tinggi kubah ruang kemudi kapal.
Lebih aneh, lagi, pagar yang mengelilingi permukaan kapal
itu ikut tenggelam ke badan kapal, sehingga kapal itu menjadi
tidak memiliki pagar dari haluannya sampai ke buritan. Pak
Jono terkesima melompong melihat keanehan itu. Sementara
batinnya sedang bertanya-tanya, dari mana kapal itu muncul,
ia sudah disibukkan dengan pertanyaan berikut: bagaimana
mungkin pagar dan tiang sebesar itu bisa tenggelam ke badan
kapal ?
"Permukaannya masih kering. Tak mungkin kapal ini
muncul dari kedalaman danau!" ujarnya saling berdebat
dengan batin sendiri. "Tak ada asap atau debu pada semua
besi-besinya. Seperti baru keluar dari galangannya saja. Aku
yakin, kapal ini juga bukan jaluh dari langit. Lantas, dari mana
kapal ini munculnya? Mengapa bisa berada di danau ini?!"
Pak Jono berjalan memutari tepian danau untuk melihat sisi
lain dari kapal itu. Dengan kaki gemetar dan jantung
berdebar-debar ia mencapai dataran yang paling dekat
dengan kapal itu, namun ternyata di sana sudah ada dua
orang yang memandangi kapal tersebut dengan terpesona.
Kedua orang itu adalah Kumala dan Buron. Pak Jono
memberanikan diri mendekati mereka walau hatinya was-was
karena menyangka mereka berdua awak kapal tersebut
Setelah Kumala berpaling menatapnya dengan senyum kecil
penuh keramahan, Pak Jono pun tak lagi curiga, dan yakin
bahwa kedua orang itu adalah manusia biasa yang kebetulan
melihat kemunculan kapal itu juga.
"Saa... saya.. saya melihat juga cahaya... cahaya yang tadi
sangat menyilaukan itu," tiba-tiba Pak Jono menunjukkan
kesaksiannya atas keanehan yang mengawali munculnya kapal
itu.
"Ap... apakah kalian berdua juga... juga melihat cahaya
aneh tadi?" sambung Pak Jono membuat Buron ikut
memandang, dan Kumala Dewi yang menjawab dengan nada
ramahnya.
"Kami juga melihatnya, Pak. Kami melihat Bapak
memancing dengan tenang di seberang Sana, bukan?"
"Be., benar. Saya... saya memang hobby memancing sejak
masih menjadi awak kapal. dulu. Tap ., tapi,.. sumpah mati
saya belum pernah mengalami kejadian sebegini anehnya
Saya belum... belum pemah melihat kapal semegah ini,
Nona...."
"Saya juga belum, Pak. Maksudnya, belum pernah
menemukan kapal yang tanpa energi panas sedikit pun.
Setidaknya bekas deru mesinnya akan menimbulkan energi
panas tersendiri di sekeliling badan kapal ini, atau...."
"Lihat itu, Mala...!" sergah Buron. Pak Jono dan Kumala
Dewi menghentikan percakapannya. Mereka memandang ke
arah yang di- tunjukkan Buron. Ternyata di atas geladak kapal
itu terdapat gugusan cahaya yang menyerupai kristal
berkilauan. Kristal kristal itu memancarkan cahaya kecil,
kerlap-kerlip indah sekali. Makin lama makin menggunung
setinggi 2 meter lebih. Pak Jono terperangah lagi tanpa bisa
bicara apa-apa, karena ketika cahaya kristal itu tiba-tiba
padam, tampaklah sesosok tubuh yang terkulai di atas
semacam kotak metal yang diduga merupakan pintu tangga
menuju ke dalam lambung kapal .
"Ad... ada manusianya tuh...!" Pak Jono baru bisa bicara
setelah cahaya lampu kristal mulai redup sedikit. Tapi tetap
mampu menerangi seluruh permukaan geladak kapal itu.
"Jemput dia, Ron!" perintah Kumala dalam nada bisik.
"Sepertinya dialah yang tadi berteriak-teriak sampai ke telinga
kita."
Seorang lelaki yang terpuruk di sana ingin dijemput Buron.
Tapi sebelum Buron bergerak, ternyata lelaki itu sudah lebih
dulu menggeliat, lalu bangkit berdiri memandangi
sekeiilingnya dengan wajah tegang. lelaki itu terperanjat
ketika mendengar suara Pak Jono yang tanpa sadar memekik
kaget.
"Dia hidup...!!" sambil tangannya menuding jelas-jelas.
Lelaki itu berjalan gontai mendekati tepian geladak, tempat
pagar tadi terlihat. la menatap ketiga orang di bawah sana.
Pakaiannya yang menyerupai wearpack dari bahan putih metal
itu dalam keadaan tercabik-cabik. Rusak berat. Seperti habis
bertarung melawan singa lapar. Sepatu larsnya yang juga
seperti terbuat dari lempengan logam metal putih anti karat
itu pun tampak rusak sebagian. Tapi dari ujung kedua
sepatunya itu tiba-tiba mengeluarkan sinar biru membentuk
seperti tangga cahaya. Lelaki itu pun berjalan terhuyunghuyung
melewati tangga cahaya yang membuat Pak Jono dan
Buron terperangah terkagum-kagum.
Akhirnya lelaki gagah, tinggi dan tegap itu tiba di daratan la
berdiri berhadapan dengan Kumala dan Buron, sementara Pak
Jono bersembunyi di balik Kumala. Lelaki muda berwajah
tampan, berambut agak panjang selewat pundak itu menatap
Kumala lekat-lekat. Kumala memegang pelipisnya sendiri,
langsung menyerap apa saja yang ada dalam otak lelaki itu.
Seluruh pengetahuan dan ilmu yang dimiliki lelaki berkulit
kuning langsat itu terserap ke dalam otak Kumala.
"Jangan menyalin ilmu pengetahuanku, Nona!" ucapnya
dengan suara bergetar. Kumala agak terkejut. karena tak
menduga lelaki itu mengetahui apa yang sedang dilakukannya.
la berusaha untuk mengambil energi pengetahuan dari
otaknya yang telah diserap Kumala. la memegang kedua
pelipisnya dengan kedua tangan dan memejamkan mata.
Tetapi tiba-tiba ia bergetar dan terpuruk, lalu jatuh berlutul di
depan Kumala dengan napas terengah- engah.
"Maaf, kau telah memasuki batas wilayahku. Bung Maka,
aku wajib mengetahui apa misimu datang kemari, dan
seberapa cukup perbekalanmu untuk hidup di bumi ini, Bung!"
tegas Kumala dengan nada ramah, namun cukup berwibawa.
Membuat siapa pun yang mendengarnya merasa segan
membantah kata-kata itu.

"Aku terdampar... awak kapalku tidak ada yang tersisa...
semua terlempar saat kami memasuki badai cahaya.... Hanya
aku yang masih bisa bertahan di... di haluan,.. Ooh, tolonglah
aku...! Tolong, bantu aku kembali ke tempatku...!"
Tangga cahaya yang tadi sudah padam. Buron dan Kumala
memeriksa keadaan di atas kapal itu dengan kekuatan
batinnya. Pemeriksaan ilu adalah yang ketiga kalinya, untuk
lebih meyakinkan lagi bahwa kapal itu memang benar-benar
kosong. Tanpa awak satu pun kecuali pemuda tampan yang
tingginya mencapai dua meter kurang sedikit itu. Pada saat
yang sama, pandangan mata Pak Jono juga mulai bisa
membaca tulisan di buritan kapal yang terbuat dari huruf
timbul: HELIGOLAND di sebelahnya ada huruf: V yang
berkedip kedip menyala warna merah terang. Huruf V tadi
tidak terlihat dan baru sekarang, ketika pemuda itu makin
lemah fisiknya, tampak menyala berkedip-kedip.
"Apa maksud lampu merah kedip-kedip itu, Kumala?" bisik
Buron.
Pak Jono mendengar dan segera menyahut dalam bisikan,
"Menurut bahasa sandi internasional, huruf V merupakan
pertanda minta pertolongari. Biasanya dilakukan oleh kapal
yang dalam keadaan kritis, lalu menaikkan bendera merah
bergaris-garis kuning. Artinya sama saja dengan huruf V "
Kumala Dewi langsung bicara pada pemuda di depannya
yang semakin terbungkuk terengah- engah.
"Apa yang bisa kubantu untukmu?"
"Ban... bantu aku kembali ke... ke Heligoland, ja.. jaga
jangan sampai Heligoland pergi tanpa.. tanpa diriku, Nona.
Ooh.. tolong, aku.. sudah kehabisan energi terlalu banyak,
aku:..."
Zaaaaakk..! Terdengar suara mengejutkan, membuat
keempat orang di darat menatap ke arah kapal Pemuda itu
mengeluarkan suara mengeluh panjang, semakin lemas
fisiknya, seakan ia sangat kecewa dengan keadaan yang
mencengangkan Pak Jono, Buron dan Kumala Dewi Sendiri.
Sebab, pada saat itu haluan kapal bisa bergerak merapat
dengan ruang kemudi kapten kapal Heligoland, sedangkan
bagian buritan kapal itu juga bergerak mengecil, merapat
dengan ruang kapten. Dalam sekejap saja kapal itu sudah
berubah bentuk seperti roket, Dan sebelum Kumala sadar dari
keterpakuannya, kapal tersebut meluncur ke atas dalam
kecepatan tinggi, meninggalkan suara desing cukup kuat.
Wuiiiiizzzng...!!
Air danau tersibak, menerjang keempat orang yang ada di
daratan. Semua pepohonan terhempas, ada yang rubuh
seketika itu juga: Bahkan tiang lampu taman ada yang
tumbang dengan kabelnya memercikkan bunga api ke manamana.
Keempat orang itu terdampar di tepian jalan beraspal.
Mereka hanya bisa memandangi keadaan kapal Heligoland
yang berubah bentuk menjadi seperti roket dan meluncur
lurus ke langit, meninggalkan alam yang menjadi gelap
kembali.
Pemuda itu jatuh pingsan setelah berteriak dengan suara
berat, tangannya terangkat ke atas, seakan ingin menahan
kapalnya agar jangan pergi lebih dulu. Tapi ternyata pemuda
itu ditinggalkan dan rasa kecewanya semakin mengurangi
kekuatan fisik, sehingga ia terkulai tak sadarkan diri.
Seluruh penghuni sekitar danau itu merasa aneh dan
terganggu oleh suara desingan yang amat mengejutkan tadi.
Mereka berhamburan keluar, mencari tahu tentang suara
tersebut Tapi mereka tak menemukan apa-apa, karena pada
saat itu kapal Heligoland sudah mengecil, seperti bintang di
kejauhan sana,di ketinggian langit yang gelap gulita.

2
SEDIH hati Dewi Ular, karena gagal menolong pemuda
yang muncul dari permukaan kapal Heligoland itu. Bahkan
timbul rasa menyesali diri sendiri, merasa lambat bergerak
memberi bantuan yang diperlukan, sehingga pemuda itu
tertinggal oleh kapalnya yang berteknologi tinggi dan sangat
canggih itu. Namun, hati kecil Dewi Ular akhirnya menyadari,
bahwa sebagai bidadari penghuni keturunan Kahyangan yang
menjelma menjadi gadis bumi, sangatlah wajar jika ia
terkesima dan sempat terkejut melihat perubahan sistem
teknologi secanggih itu, sehingga ia telat bertindak.
Sebagai langkah penebusan atas keterlambatan
bertindaknya itu, Kumala Dewi menyelamatkan pemuda
tersebut dari ancaman kehebohan massal yang dapat
menimbulkan salah paham, sehingga pemuda itu bisa-bisa
dimusuhi massa, dianggap mahluk asing yang
membahayakan. Setidaknya dengan membawa pergi satusatunya
awak kapal Heligoland yang tersisa itu dengan
menggunakan jalur gaibnya, Kumala telah menghilangkan
bukti-bukti misterius yang dapat memancing keresahan
penduduk setempat tentang danau buatan itu. Besar
kemungkinan danau itu akan dianggap angker atau keramat
jika soscjk pemuda aneh itu ditemukan di tempat tersebut.
Pemuda yang ternyata bernama Devo itu memang memiliki
beberapa keganjilan. Fisiknya dapat menyusut menyesuaikan
alam dan peradaban setempat, sehingga tinggi tubuhnya kini
hanya sekitar 173 cm. Energi gaib yang dimilikinya juga
berkurang, sehingga ia tak dapat mengeluarkan cahaya dari
kakinya, seperti saat ingin membentuk tangga cahaya dari
atas kapalnya itu. Bahkan Kumala Dewi sudah berhasil
mengurangi gelombang radio aktif yang terkandung dalam
tubuh Devo. Sebelumnya tubuh itu mengandung radio aktif
cukup tinggi dan membahayakan bagi organisme yang terkena
pancaran sinar dari matanya. Untung saja radio aktif itu tidak
digunakan Devo pada waktu menemui Kumala dan Buron
pertama kalinya.
"Energi pada gelombang Theta-nya mampu menyesuaikan
peradaban dan zaman yang berlaku, dan itulah
kehebatannya," kata Kumala kepada Buron, Sandhi, bahkan
Rayo Pasca yang sengaja diundang agar datang ke rumahnya
di pagi itu.
"Gelombang energi Theta itu yang bagaimana sih?" tanya
Sandhi.
"Dalam otak manusia mempunyai empat energi otak yang
bekerja secara bergantian; energi Bheta, Theta, Sigma dan
Alfa. Energi Bheta adalah energi saat kita sadar, Theta saat
kita berpikir secara kritis dan kreatif, Sigma adalah energi
yang menimbulkan frekuensi otak kita saat kita sedang tidur,
dan Alfa adalah energi otak pada saat kita sedang memasuki
hypnogogic, alias alam hipnotis."
Rayo dan Sandhi manggut-manggut, sementara Buron
sibuk merapikan kuku jari tangannya, namun telinganya
menyimak kata-kata Kumala. Pemuda yang bernama Devo itu
masih tidur di kamar tidur tamu, sehingga tidak ikut hadir
dalam acara makan pagi yang sudah hampir rampung itu.
"Gelombang energi Theta itulah yang mampu menyadap
dan menyesuaikan peradaban di sekitarnya, termasuk
kemampuan berbahasa secara otomatis di mana ia berada.
Bahkan ia juga pasti bisa memahami bahasa binatang."
"Wah, hebat juga dong?" sanjung Sandhi. "Menurutmu,
dari mana sebenarnya pemuda itu? Mengapa; sampai bisa
terdampar di danau depan kantor Pemda itu?"
"Kalau melihat kecanggihan kapalnya, sepertinya dia dari
masa depan. Tapi entahlah.. mana yang benar. Yang jelas dia
memiliki kemampuan otak sangat tinggi. Aku telah
mendapatkan salinan dari seluruh kemampuan dan
pengetahuan dalam otaknya, sehingga sekarang pun kalau
ada yang menyuruhku membuat pesawat terbang anti grafitasi
bumi, aku sanggup membuatnya. Mengerti betul metodemetode
yang digunakan untuk membuat pesawat terbang anti
grafitasi bumi."
"Luar biasa kau jadinya?!" sanjung Rayo sambil tersenyum
bangga mendengar kemampuan kekasihnya. Sayang sekali
sebelum Rayo mengajukan pertanyaan untuk mengetahui
rahasia teknologi tingkat tinggi itu, tahu tahu Kumala harus
menerima telepon dari seorang kenalannya yang dinas di
kepolisian, yaitu Sersan Burhan. Kepergian gadis cantik jelita
berlesung pipit indah yang menuju ke ruang tengah itu
membuat Rayo, Sandhi dan Buron saling bicara sendiri.
Mereka membahas berbagai hal tentang kapal misterius itu.
"Kalau benar pemuda itu bisa mengirimkan suara melalui
gelombang supranatural," kata Sandhi kepada Buron. "Berarti
dia juga memiliki saluran gaib yang frekuensinya cukup tinggi
juga, ya Ron?" .
"Katanya sih begitu." jawab Buron santai sekali. "Tapi
sewaktu ia berhadapan dengan Kumala, getaran gelombang
gaibnya kurasakan sangat lemah tuh. Seperti kalian berdua
sajalah. Ada gelombang gaibnya, tapi nggak begitu kuat "
"Mungkinkah energi gaibnya terserap habis saat
pemunculannya di atas kapal itu?" tanya Rayo dengan serius.
"Mungkin saja," jawab Buron tak meyakinkan. Selesai
bicara dengan Sersan Burhan, Kumala Dewi kembali
bergabung di ruang makan. Semua mata menatapnya,
menunggu informasi yang akan disampaikan kepada mereka
tentang pembicaraan Sersan Burhan itu. Kumala bersikap
tenang ketika duduk bersebelahan dengan Rayo Pasca.
Pemuda tampan yang gagah dan selalu tampil sebagai figur
proporsional, saat ini sedang menjabat sebagai kekasih Dewi
Ular. Maka, tak heran jika belakangan ini ia tampak lebih
sering berduaan dengan Kumala. Bahkan gadis itu sudah
sering dibawa ke kantornya. di mana Rayo sebagai staf ahli
bidang riset di Lembaga Pusat Ilmu Pengetahuan dan
Pengembangan Teknologi.
"Kemunculan kapal itu menggemparkan masyarakat
setempat. Banyak wartawan yang meliput di sekitar danau
buatan itu. Kini, mereka sedang mencari Devo. Baik untuk
diliput maupun. untuk penyelidikan atau untuk maksud
maksud tertentu "
"Padahal kita kan iudah buru-buru pergi menyelamatkan
Devo, ya?" ujar Buron.
"Ya, tapi kita lupa... ada Pak Tua yang memancing di situ
dan mengaku sebagai pensiunan awak kapal, alias mantan
pelaut."
"O iya...!" Buron manggut-manggut.
"Pak Tua itulah yang mengumbar berita ke mana mana
dengan keterangan yang mungkin saja dilebih-lebihkan,
sehingga banyak orang berminat untuk mencari Devo.
Repotnya lagi, Pak Tua itu memberikan ciri-ciri kita, sehingga
beberapa wartawan ada yang langsung memprediksi bahwa
kedua orang yang membawa pergi Devo itu pasti Kumala Dewi
dan asistennya. Rambut kucaimu itu yang jadi ciri khas
mereka."
"Sialan!" geram Buron. "Apa perlu aku potong gundul
saja?"
Dering telepon kembali terdengar. Sandhi yang
mengangkat telepon tersebut, kemudian memindahkan ke
telepon paralel yang langsung bisa diangkat oleh Kumala dari
meja makan.
Telepon itu ternyata berasal dari Niko Madawi, pemburu
misteri yang sukses dalam karirnya sebagai pemandu acara di
teve 'Lorong Gaib'. Semua yang ada di ruang makan sudah
dapat menebak apa yang diinginkan Niko, tak lain pasti ingin
melakukan peliputan dan rekaman gambar tentang manusia
yang muncul bersama Kapal Heligoland itu. Misteri
kemunculan kapal modern serba metal itu pasti akan menjadi
misteri tayangan 'Lorong Gaib' yang sangat berarti bagi
reputasinya.
"Jangan terpengaruh issu masyarakat Nik Aku nggak berani
menyimpan cowok seganteng itu. Di sini ada Rayo, mana
mungkin Rayo izinkan aku menyimpan pemuda tampan dari
kapal tersebut?"
"Dewi, kamu ingat Pak Jono, si pemancing itu kan? Dialah
yang memberi kesaksian tentang hal ini, dan dia dengar
namamu disebut Buron ketika kapal itu belum meluncur ke
langit Jangan kelabuhi aku, Dewi: Iz inkan aku menemui
pemuda itu."
"Nanti kutelepon kamu kembali, Nik. Jangan desak aku
untuk memberi keputusah saat ini. Tolong deh, Nik."
"Okey, okey.. aku paham. Tapi perlu ku informasikan
padamu, Dewi: sebagian orang sudah mulai termakan issu
provokator yang beranggapan bahwa pemuda itu adalah
mahluk luar angkasa yang ingin menguasai bumi. Mereka
sebagian berusaha untuk mendapatkan pemuda itu dan ingin
membunuhnya. Tolong jaga dia seketat mungkin deh."
"Thank's atas informasimu, Nik."
Selesai bicara dengan Niko melalui teleponnya, Kumala
Dewi kembali ditunggu komentarnya oleh tiga pemuda yang
sudah sangat dekat dengan pribadinya itu. Kumala
menyampaikan apa yang dikatakan Niko kepada Rayo Pasca,
kemudian pemuda tampan itu tersenyum tipis di awal katakatanya.
"Zamari sekarang emosi masyarakat memang mudah
disulut dengan issu-issu negatif. Yang beruntung adalah pihak
provokator dengan kepentingan golongannya."

Kumala tertegun beberapa saat, seperti tidak menghiraukan
kata-kata Rayo Namun, setelah terjadi kebisuan satu helaan
napas lamanya, tiba-tiba gadis cantik jelita berhidung
mancung indah itu mengangkat wajahnya, menatap Buron
dengan pandangan aneh. Sandhi dan Buron merasa heran
melihat tatapan mata Kumala seperti itu.
"Ada apa?" tanya Sandhi lirih.
"Perasaanku tak enak," jawabnya pelan juga. "Buron,
tolong periksa ke kamar tidur, apakah Devo sudah bangun
atau belum."
Buron bergegas pergi tanpa banyak tanya ini-itu lagi Dewi
Ular segera meraih telepon dan menghubungi kakak
angkatnya; Pramuda, yang juga sebagai boss dalam
perusahaan besar yang mereka kelola itu. Nada suara gadis
itu menjadi ramah kembali, tidak sedatar tadi saat
memerintahkan Buron untuk menengok keadaan Devo.
"Hallo, Emma...?" sapanya kepada istri Pramuda. "Pram
sudah bangun, Em?"
"Sudah kok: Mau bicara dengannya?"
"lya deh. Tapi kalau sedang sibuk. nanggung, ya udah nanti
aja."
"Kebetulan dia tadi suruh aku telepon kamu, tapi kayaknya
baru saja teleponmu lagi dipakai, ya"
"O, iya. Itu si Niko yang menghubungiku. "
"Pasti bicara tentang danau buatan itu, ya kan?"
"Hei, kau sudah dengar tentang misteri di danau buatan
itu?"
"Santos baru saja tiba setengah jam yang lalu, dan dia
ceritakan tentang kabar yang diperolehnya dari nara sumber
tentang kapal misterius yang muncul di danau buatan depan

Pemda itu. Sekarang malah dia sedang berceloteh penuh
semangat di depan Pram tuh...!"
"Gawat! Cepat sekali sih menyebarnya?" gumam Kumala.
Tapi ia tak terlalu heran karena Santos, sepupunya Pramuda
itu, adalah seorang wartawan juga. Wajar jika ia cepat
mendapat berita yang bersifat sensasional seperti itu. Santos
sendiri dulu pernah mengalami peristiwa yang cukup sensasional,
yaitu ketika ia disandera oleh roh gadis yang mati
bunuh diri, di Magelang. Dan, kala itu Kumala belum lama tiba
di bumi menjadi gadis biasa dengan kemampuan kedewaan
yang masih gres, seperti baru keluar dari showroom (Baca
serial Dewi Ular dalam episode: "TUMBAL GAIRAH")
"Pram, aku berangkat ke kantor agak siang. Mungkin malah
'after lunch' baru sampai kantor," kata Kumala kepada
Pramuda setelah suara pria yang pertama kali menolongnya
saat tiba di bumi itu terdengar menyapa dari seberang sana.
"Pukul dua siang nanti aku jadi berangkat ke Hongkong,
Iho!"
"lya, ntar kusiapin berkas yang perlu kau bawa buat
panduan di Sana. Pokoknya, sebelum kamu ke bandara aku
sudah siapkan!"
"Okey. O, ya... Santos bawa kabar yang sangat gila gilaan
tuh. Apa benar kabar itu, Mai?"
"Hmmm, yaa... ada benarnya ada tidaknya justru masalah
itulah yang harus kutangani pagi ini. Makanya aku sampai
kantor siang hari."
"Santos mau bicara denganmu-nih."
"Mana dia?"
Hening sejurus, kemudian terdengar suara si wartawan
yang sudah agak lama tidak berkomunikasi dengan Kumala
itu.

"Hallo, Nona cantik. Apa kabar?"
"Baik, San. Tolong bantu aku untuk meredam berita yang
kau dengar pagi ini, San. Jangan sampai timbul salah persepsi
di antara mereka yang belum mendapat data secara konkrit
itu."
"Tapi masalahnya si pensiunan pelaut tua itu menyebarkan
kabar itu tiada hentinya, Non."
"Pak Jono, maksudmu?"
"Ya. Dan... menurut sebagian orang, Pak Jono mengalami
gangguan jiwa. Kurasa dia memang sudah gila, berteriakteriak
dan berceloteh terus tentang kapal misterius itu, baik
kepada orang yang dikenalnya maupun yang tidak dikenalnya.
Bahkan, terakhir kali kulihat dia ngoceh sendiri tanpa ada yang
diajak bicara."
"Nanti akan segera kuatasi."
"Tapi aku butuh pernyataanmu, Non cantik Benar atau
tidak apa yang dicelotehkan Pak Jono itu "
"Nanti siang baru aku bisa memberi pemyataan padamu
Simpan dulu beritamu itu, jangan menyebar di masyarakat.
Okey?!" tegas Kumala yang seolah-olah membuat mulut
Santos terbungkam, tak bisa membantah atau pun ngotot
sedikit saja.
Bukan salah Pak Jono kalau sampai mulut lelaki tua itu tak
bisa terjaga, karena kondisi ke- jiwaannya pada saat itu
memang memungkinkan sekali untuk mengalami shock berat
yang mengguncangkan ketenangan jiwanya. Kumala dan
Buron pada waktu itu tidak memperhitungkan kelemahan jiwa
Pak Jono. Diakui oleh Kumala sendiri bahwa saat itu ia justru
mengabaikan keadaan Pak Jono yang mestinya diberi
ketenangan magis atas peristiwa misterius yang mereka
saksikan bertiga itu.

"Kasihan, Pak Tua itu," gumam Kumala setelah meletakkan
gagang telepon. la baru ingin menyampaikan alasannya
mengapa harus merasa prihatin terhadap nasib Pak Jono,
namun Buron sudah lebih dulu muncul di antara mereka
dengan wajah tegangny.a.
"Dia tidak ada!"
"Maksudmu?!" Sandhi yang menyahut dengan dahi
berkerut.
"Devo...! Pemuda itu nggak ada di kamar."
"Lho...?!" Rayo ikut berkerut dahi, seakan tak percayci
dengan laporan Buron itu. "Tadi waktu kutengok bersama
kalian, dia masih tidur dengan nyenyak kan?"
"lya, tapi sekarang sudah nggak ada! Cuma pakaiannya
yang tertinggal di ranjang."
"Pakaiannya sendiri, maksudmu?"
"Bukan Pakaian. pakaian oh, iya. pakaiannya sendiri!"
Buron gugup karena merasa sangat bertanggung jawab atas
hilangnya pemuda itu. Kumala Dewi menugaskan dirinya
untuk menjaga seketat mungkin agar Devo nantinya tidak
keluar rumah. Tapi sebelum pemuda itu sadar dari bius
penidur yang dipancarkan Kumala tadi dini hari ternyata justru
sudah lenyap tanpa diketahui ke mana kepergiannya.
Semua bergegas. ke kamar tidur tamu. Apa yang dikatakan
Buron memang benar. Di atas ranjang hanya ada pakaian
warna putih metal yang compang-camping bagaikan habis
diserang binatang buas itu. Sementara sosok raga yang
semula terbungkus pakaian itu sudah tidak ada di tempat.
Dilihat dari posisi pakaiannya,kelihatannya Devo pergi
meninggalkan pakaian tersebut tanpa harus bangkit dan
melepaskannya terlebih dulu. Sepertinya tubuh Devo bisa
mengkerut menjadi sebesar kucing dan lolos keluar dari

pakaian tersebut. Terbukti beberapa retsleuting dan kancing
pengait masih tetap terpasang rapi dan rapat.
Kumala Dewi dan yang lainnya memeriksa jendela atau
tempat-tempat lainnya, ternyata dalam keadaan tidak
mencurigakan. Pintu kamar memang tidak terkunci. Tapi mana
mungkin Devo keluar dari pintu kamar, sementara dari tempat
mereka duduk tadi, mereka dapat melihat jelas jika Devo
keluar lewat pintu. Kesimpulan mengatakan, bahwa pemuda
itu melarikan diri bukan dari pintu atau jendela. Lalu dari
mana? Atap...? Tidak mungkin juga! Atap tetap rapi.
"Raib...?!" gumam Rayo masih bernada tegang.
"Mungkinkah dia memiliki ilmu atau kesaktian untuk
melenyapkan diri secara gaib?"
Sandhi yang menimpali, "Jika tidak begitu. lalu dengan cara
apa dia bisa lenyap?"
"Teliko!" sahut Kumala datar, entah ditujukan kepada
siapa, yang jelas semuanya memandangi gadis itu dengan
rasa ingin tahu.
"Apa itu teliko?" tanya Rayo.
"Roh udara!" tegas Kumala lagi sambil memeriksa instalasi
listrik. atau tempat-tempat yang tak memiliki kemungkinan
untuk bersembunyinya seseorang.
"Ada semacam ilmu gaib yang menurut beberapa suku di
sekitar Mexico dinamakan 'teliko', yaitu roh gaib yang dimiliki
seseorang, di mana orang tersebut bisa mengubah raganya
menjadi kecil seperti gumpalan asap, dan lolos dari tempat
mana saja. Bisa masuk dalam pipa peralon atau apa saja yang
tidak mungkin bisa dimasuki manusia biasa Namanya; roh
udara."
"Maksudmu, melenyapkan raga seperti yang dimiliki Buron
serta ..... "

"Bukan melenyapkan raga. Raganya masih ada," kata
Kumala memotong komentar Sandhi. "Raga itu berubah
partikelnya menjadi udara Terlihat dari posisi pakaiannya yang
masih seperti saat ia terbaring tidur tadi Jika ia bisa lenyap
dan berubah menjadi cahaya seperti yang dilakukan Buron,
maka pakaiannya pun ikut lenyap. Tapi yang kita hadapi ini
bukan begitu. Pakainnya masih ada, tapi raganya sudah tak
ada. Itulah salah satu ciri-ciri roh udara, atau kekuatan gaib
yang disebut 'teliko' itu."
"Hebat juga dia?!" gumam Rayo sambil ikut-ikutan
memeriksa lorong-lorong kecil, tempat-tempat sempit yang
sebenarnya sangat lucu jika dihubungkan dengan hilangnya
seseorang dari atas ranjang. Seganjil apapun kenyataan itu.
mereka masih mencoba melakukan pencarian di tempat
tersebut, bahkan sampai keluar kamar. Pencarian itu berhenti
setelah Kumala Dewi menggunakan radar gaibnya untuk
mendeteksi sekitar kamar tersebut. Ternyata ia tidak
menemukan tanda-tanda kehidupan seseorang yang sedang
dicarinya, sehingga ia pun menyuruh yang lain
menghentikannya.
"Sudah jauh!" hanya itu kata-kata sebagai ganti perintah
menghentikan pencarian mereka.
"Tidak bisakah kau lacak ke mana, perginya, Lala?" tanya
Rayo
"Firasatku yang melacaknya Mungkin dia berada di sekitar
danau buatan itu. Ingin mencari kembali kapalnya, atau entah
melakukan apa di sana!"
"Kalau begitu, kita ke sana sekarang juga, ya?!" desak Rayo
yang penasaran sekali dan merasa sayang jika sampai
kehilangan Devo. Karena pemuda asing itu bisa dijadikan
bahan risetnya dan menjadi suatu penemuan ilmiah yang
sangat berharga.

Buron berangkat lebih dulu tanpa menggunakan mobil.
Jalur gaib ditempuhnya atas perintah Dewi Ular. Tapi gadis
cantik jelita tetap berada dalam mobilnya; BMW kuning
menyala, yang dikemudikan oleh Sandhi, sementara Rayo ikut
juga dalam mobil itu. Mobilnya sendiri ditinggalkan di rumah
Kumala.
Sampai di sana mereka tidak menemukan Devo, melainkan
justru berhadapan dengan masalah baru yang mengherankan
sekali bagi orang awam seperti Sandhi. Sesuatu yang
menghebohkan telah terjadi di sekitar danau buatan itu.
Beberapa orang yang terkena air danau, atau bahkan yang
sengaja turun ke danau tersebut untuk menyelam beberapa
saat, mencari sesuatu yang diduga masih menjadi peninggalan
kapal misterius itu, mengalami perubahan pada bagian tubuh
mereka.
Kulit tubuh mereka menjadi berbintik-bintik seperti terkena
noda putih susu. Bercak-bercak putih itu makin lama makin
menumbuhkan sesuatu yang diyakini sebagai bulu halus. Bagi
mereka yang sudah telanjur mandi atau menyelam di air
danau tersebut, maka sekujur tubuhnya mengalami bercakbercak
putih menyerupai panu, namun berbulu halus. Yang
hanya mencelupkan kakinya di air danau. hanya kakinya saja
yang mengalami kelainan seperti itu. Menurut mereka, bercak
putih itu menimbulkan rasa gatal, seperti ada yang bergerak
gerak di balik kulit tubuh mereka.
"Gawat!" gumam Rayo setelah memperhatikan keadaan
tersebut.
"Mereka terkena kutukan," kata Buron yang sudah
bergabung kembali tak jauh dari mobilnya Kumala Dewi.
"Bukan kutukan," jawab Kumala tenang, tapi penuh
keseriusan.
Rayo menimpali, "Air danau ini telah tercemar oleh virus
yang timbul akibat radiasi."

"Kapal itu memancarkan radiasi sebelum meninggalkan air
danau ini," sambung Kumala.
"Tingkat radio aktif yang ditinggalkan mulai bereaksi
setelah terkena sinar matahari."
"Selama belum terkena sinar matahari, ia belum bereaksi,
begitu?"
"Ya Dan, sepertinya ...." kata-kata Kumala berhenti karena
teriakan seorang penduduk yang sedang dikerumuni orang
banyak itu.
"Hahh ..?! Kakiku... ya, ampuun...! Kakiku keluar tanaman?!
Ada tanaman keluar dari kulit kakiku, oooh... di tanganku juga
tumbuh rumput, ya Tuhan... bagaimana ini?! Tolooong tolong
aku!" teriak orang tersebut. Membuat suasana menjadi
semakin heboh. Semua yang mendengar menjadi tegang.
Semua yang melihat kenyataan itu menjadi merinding bulu
kuduknya. Ada tanaman tumbuh dari dalam kulit tubuh orang
tersebut. Makin lama pertumbuhannya semakin pesat, sehingga
tubuh orang itu menjadi banyak ditumbuhi tanaman
sejenis rumput.
(Oo-dwkz-234-oO)
3
PITA kuning mengelilingi areal danau buatan itu Artinya,
tempat tersebut telah ditutup oleh pihak yang berwatib Tidak
seorang pun yang boleh berada di sekitar danau itu selain
petugas Pemukiman penduduk di sekitar danau tersebut juga
mengalami penutupan wilayah. Dikarantina. Penduduknya tak
boleh keluar dari lokasi perkampungan, dan pihak lain pun tak
diizinkan memasuki perkampungan tersebut Hal itu dilakukan

karena tingkat radiasi yang terdapat di perairan danau makin
lama semakin meningkat, semakin membahayakan jiwa.
Sejumlah aparat keamanan berhasil mengurung wilayah
tersebut. Mereka berjaga-jaga dengan ketat dan penuh
waspada. Penjagaan itu pun atas saran dari konsultan kriminil
pihak kepolisian, yaitu gadis cantik yang bemama Kumala
Dewi. Di samping itu pihak departemen kesehatan dan
instansi- instansi yang terkait juga berpendapat sama,
mengingat sudah tiga orang penduduk pemukiman setempat
yang sekujur tubuhnya ditumbuhi rumput makin lama semakin
merimbun.
"Setelah matahari terbenam saya baru bisa melakukan
pengobatan," kata Kumala kepada komandan polisi setempat,
yang bertanggung jawab atas keamanan distriknya. "Sebelum
matahari tengelam, sia-sia saja dilakukan pengobatan dengan
cara apapun, karena tumbuhnya jamur dalam radiasi tersebut
akibat mendapat sinar ultra violet dari matahari. Jadi, setelah
alam ini bebas dari sinar matahari, barulah bisa dilakukan
netralisasi udara setempat."
Niko Madawi hadir pula di antara mereka yang berunding.
Niko sempat mengajukan pertanyaan secara formil kepada
Kumala yang tetap didampingi oleh staf ahli bidang riset yang
ganteng itu: Rayo.
"Menurutmu tingkat radiasi ini apakah akan semakin
meningkat pada saat menjelang matahari terbenam nanti?
Mungkinkah dapat menimbulkan korban nyawa secara
massal?"
"Mungkin saja. Pencemaran ini sepertinya sengaja
dilakukan dan dirancang khusus oleh para awak kapal metal
itu untuk membunuh pihak lawan secara berlipat ganda,
apabila para awak kapal itu tertangkap atau sengaja dihabisi
oleh pihak musuh."

"Antisipasi apa yang akan Anda lakukan apabila keadaan
menjadi semakin gawat menjelang matahari terbenam nanti?"
tanya seorang letnan yang sudah lama mendengar nama dan
kehebatan Kumala Dewi, namun baru kali ini bisa bertatap
muka langsung dengan gadis paranormal tersebut.
"Banyak cara yang bisa saya lakukan demi menyelamatkan
manusia tak berdosa ini. Mudah-mudahan cara saya itu nanti
bermanfaat sekali bagi kita semua."
"Boleh tahu salah satunya?"
"Saya akan datangkan mendung tebal supaya menutupi
cahaya matahari senja, atau menurunkan hujan selebat
mungkin untuk menetralisir kondisi darurat ini."
"Mengapa tidak sekarang saja dilakukan hal itu, Dewi?"
tanya Niko.
"Matahari masih memancar dengan kuat. Mendung dan
hujan akan mampu ditembus oleh sinarnya. Percuma saja.
Justru akan membuat tanaman yang tumbuh dalam tubuh
ketiga korban itu akan semakin subur dan menyesakkan
pernapasan mereka."
Sebagai anak dewa, Kumala harus bisa mewujudkan antara
ucapan dan kenyataan tidak berbeda sedikit pun. Maka ketika
senja mulai temaram, Kumala Dewi segera melepaskan sinar
hijau dari ujung jari tangannya. Tindakan itu dilakukan secara
diam-diam, hanya Rayo dan Sandhi yang melihatnya. Sinar
hijau itu meluncur deras ke angkasa, lalu di angkasa sinar itu
menyebar berubah wujud menjadi gumpalan kabut seperti
mendung. tapi berwarna hijau. Kilatan cahaya petir
menyambar dari gumpalan-gumpalan tersebut.
Jegaaar...! Maka turunlah hujan dari rintik-rintik menjadi
deras. Makin gelap semakin deras. Dan, orang-orang yang
terkontaminasi radiasi air danau disuruhnya keluar rumah.
Membiarkan dirinya tertimpa air hujan hingga basah kuyup.

"Air hujan ini aneh!" teriak salah seorang penduduk.
"lya. Airnya wangi sekali, seperti air bunga, ya !"
Sementara itu permukaan danau buatan mengeluarkan
asap samar-samar. Agaknya radiasi yang masih tersisa dalam
air danau itu mengalami penguapan setelah tertimpa air
hujannya Dewi Ular. Penguapan itu menyebarkan aroma aneh,
seperti rempah-rempah yang harum. Semakin lama semakin
banyak uap yang menyebar dari permukaan danau tersebut.
Sementara itu, orang-orang yang mengalami perubahan pada
kulitnya, yang ditumbuhi rumput aneh itu, mulai berubah.
Rumput maupun jamur yang tumbuh di tubuh mereka
rontok dengan sendirinya tertimpa air hujan wangi itu.
Agaknya, memang begitulah cara Dewi Ular melakukan
pengobatan massal dan mengatasi kondisi darurat dalam
sebuah wilayah yang luasnya sekitar satu kelurahan itu.
Penetralisir udara dan alam sekitarnya dilakukan Kumala
dengan menurunkan hujan aneh tersebut. Ternyata hasilnya
sangat memuaskan.
Kini giliran Pak Jono yang ditangani Kumala Pensiunan
awak kapal yang pernah keliling dunia di usia 35 tahun itu
sempat hilang dari rumahnya. la menyebarkan kabar misteri
itu ke mana-mana. sehingga ucapannya justru membuatnya
dianggap oleh masyarakat sebagai ucapan orang gila.
Sersan Burhan dan anak buahnya mencari pelaut tua itu
guna mencegah terjadinya keresahan masyarakat di wilayah
lain. Pencarian itu berhasil setelah pukul delapan malam
Sersan Burhan sendiri yang membawa Pak Jono menemui
Kumala Dewi di rumah gadis itu, dengan didampingi seorang
anak buahnya yang berpangkat kopral dan masih muda
Berpenampilan rapi, penuh simpati. Kopral Yossa Marna.
namanya.
Sewaktu Pak Jono dibawa ke rumah Kumala, ia masih
berceloteh tentang kedahsyatan dan kemisterian kapal metal

dan pemuda bernama Devo itu. Sersan Burhan dan Kopral
Yossa menanggapinya seakan-akan dengan serius sekali,
sehingga Pak Jono tidak punya keinginan untuk pergi dari
mereka berdua. Sepanjang perjalanan ke rumah Kumala itulah
Pak Jono sempat mengungkapkan pendapatnya sebagai
seorang pelaut tua tentang kapal tersebut.
"Kapal sekarang tidak ada yang secanggih itu. Sistem
instalasinya bukan lagi menggunakan arus listrik. Pasti
menggunakan tenaga surya. Terbukti dari penampang
radarnya, saya tahu persis... menggunakan logam khusus
untuk menampung tenaga surya. Dan, kalian tahu... kapal itu
memiliki daya elastis tinggi. Dirancang oleh tenaga ahli yang
berotak brilian la dapat mengkerut dan tinggal berbentuk
seperti roket kecil. Dari mana sistem kerja itu bisa mereka
dapatkan kalau bukan menggunakan partikel surya. Partikel
itu dapat berubah menjadi benda padat yang bersifat baja
ketika berkembang dan membentuk haluan serta buritan
kapal. Waah, pokoknya kalian kalau melihat kapal seperti itu
tidak ingin pulang ke rumah deh. Hebat sekali! Bukti adanya
peradaban yang sudah maju dan lebih maju dari peradaban
serta teknologi zaman sekarang... "
Sesekali Sersan Burhan sengaja menanggapi untuk
menghibur hati Pak Jono yang mengalami guncangan jiwa
cukup hebat itu.
"Bapak mau menjadi awak kapal seperti itu, Pak ? "
"O. iya! Mau sekali. Saya mau sekali menjadi wak kapal
secanggih itu!" jawabnya penuh semangat "Biar saya sudah
menarik diri dari pelayaran. biar sudah setua ini, tapi kalau
saya berada di kapal masa lalu itu, saya merasa seperti muda
kembali Dik!"
Kopral Yossa menyahut, "Bukankah itu kapal masa depan,
Pak?"

"O, bukan!" jawabnya tegas dalam sanggahannya yang
seolah-olah sangat meyakinkan. "Itu kapal masa lalu; Dik!
Kalian atau kita-kita ini belum ada, kapal itu sudah ada!"
Sersan Burhan yang duduk di paling pinggir kiri dalam
mobil Kijang tersebut sempat beradu pandang dengan lirikan
mata Kopral Yossa yang mengemudikan mobil itu dengan
tenang. Semen tara Pak Jono yang duduk di antara mereka
berdua bersungut-sungut meyakinkan bahwa anggapannya
sangat benar; kapal itu bukan kapal dari masa depan,
melainkan dari masa lalu.
Mereka berdua agak terpengaruh oleh celoteh orang stress
itu. Namun buru-buru menyadari bahwa apa saja yang
dikatakan orang stress seperti Pak Jono adalah sah-sah saja,
dan harus dianggap benar dari pada ditentang, bisa
membuatnya sewot, lalu ngotot ingin turun dari mobil
tersebut.
"Jadi, bukan berasal dari masa depan, melainkan dari masa
lalu?" tanggap Sersan Burhan setelah tertawa kecil dan
pendek.
"lya. Sebab, Bapak melihat sendiri tandanya, Nak."
"Tanda apa maksudnya, Pak?" tanggap Kopral Yossa
gantian.
"Nama kapal itu: Heligoland."
"Mungkin nama dari negeri Belanda, begitu ya Pak?."
"O, bukan Kapal itu ada pada masa negeri Belanda belum
ada."
"Lho, kok bisa? " Sersan Burhan menanggapi lagi secara
sambil lalu.
"Kalian tahu... Heligoland itu nama apa?" la menengok
kepada kedua anggota polisi berpakaian preman yang belum
diketahui siapa sebenarnya mereka berdua itu. Kepalanya

berpaling ke kanan- kiri beberapa saat dan setelah tak ada
yang menjawab, ia pun melanjutkan kata katanya
"Heligoland itu nama kuno. Sangat kuno. Sebelum sejarah
peradaban kita ada, Heligoland sudah ada. Kemudian nama itu
berubah menjadi negeri Atlanfik. Benua...! Benua Atlantik. Ya,
benua Atlantik...!"
Sebutnya berulang-ulang seperti orang menerawang
hampa. Sersan Burhan dan Kopral Yossa lianya diam saja.
Melirik sesekali, merasa heran dan in nganggap aneh terhadap
sikap Pak Jono yang udah tidak berapi-api lagi itu. Pak Jono
kini diam melamun, matanya menatap hambar tanpa
berkedip. Mulutnya berbibir manyun sampai beberapa helaan
napas lamanya. Sersan Burhan dan Kopral Yossa sama-sama
membiarkannya. Mungkin juga mereka bosan mendengar
celoteh yang tiada berujung pangkal itu atau sengaja memberi
terapi ketenangan untuk jiwa yang mengalami goncangan
sensasional itu.
"Hallo Kumala...?" sapa Sersan Burhan menghubungi Dewi
Ular melalui HP-nya. "Kami sedang dalam perjalanan ke
rumahmu membawa Pak Jono jangan ke mana-mana, ya?"
"Okey, Bang Sersan," jawab Kumala secara kekeluargaan
"Kami tunggu di sini. Kebetulan Niko masih ada di sini juga
bersama Rayo dan Weldy, pimpronya acara'Lorong Gaib' itu
Masih ingat kan?"
"Ya, ya... aku masih ingat Weldy yang sekarang sudah
menjadi suaminya si wanita penjinak hantu itu, kan?"
Sambil benak Sersan Burhan mengenang sosok pria
tampan berkumis tipis yang pernah terlibat dua peristiwa gaib
cukup menghebohkan itu, (Baca serial Dewi Ular dalam
episode: "PEMBURU TUMBAL ASMARA"). Bayangan wajah
Weldy itu buyar setelah terdengar lagi suara Kumala bicara
pada sersan muda yang juga berwajah ganteng itu.

"Bang Sersan, tolong kendalikan terus emosi Pak Jono
supaya dia tidak curiga kalau akan dibawa kemaru. Ajak dia
bicara, jangan sampai bengong terlalu lama. Sebab, kalau dia
sempat bengong terlalu lama, aku khawatir emosi bawah
sadarnya meletup dan akhirnya memberontak tak mau tunduk
pada perintah dan saran Bang Sersan."
"Okey, okey. . aku paham maksudmu!" Sersan Burhan
segera menutup pembicaraan lewat HP itu, kemudian dengan
menggunakan bahasa kode dengan Kopral Yossa tentang
saran Kumala itu, mereka mulai mengajak bicara lagi Pak Jono
yang waktu itu justru kelihatan sangat tenang.
Duduknya pun sudah bersandar seperti taripa ada beban ke
tegangan sedikit pun. la tampak berwibawa dari pada saat
ditemukarinya tadi.
"Pak, tadi Pak Jono bilang Heligoland itu nama kuno dari
benua Atlantik, bukan? Padahal benua Atlantik itu kan sudah
tenggelam ke dasar lautan, Pak?"
"Siapa bilang?!" sahut Pak Jono, tapi kali ini dengan nada
tegas, berwibawa dan sangat refleks reaksinya. Matanya
menatap Sersan Burhan sangat tajam. Yang ditatap jadi salah
tingkah. Merasa betul ada keanehan dalam diri Pak Jono yang
jauh berbeda sikapnya dengan tadi.
"Siapa bilang Atlantik tenggelam ke dasar lautan?!" ulang
Pak Jono seakan memprotes keras kata-kata tersebut.
"Kalau begitu saya salah dengar, Pak," ujar Sersan Burhan
sambil tersenyum menahan rasa geli akibat dipersalahkan oleh
'orang gila'. Kopral Yossa juga tersenyum-senyum menahan
geli sendiri.
"Atlantis masih kokoh!" geram Pak Jono. Semakin lain nada
suaranya. "Meskipun mereka berusaha menghancurkan
dengan kekuatan skuadron halilintar, tapi kami masih kokoh!
Sepuluh kerajaan di Atlantik masih bersatu melawan mereka
yang ingin menenggelamkan bumi ke samudera debu

angkasa! Kami tak pernah mundur dan merasa mampu
mengalahkan mereka!"
"Kami itu siapa, Pak?" tanya Kopral Yossa.
Pak Jono hanya menatap cepat, tajam dan mengandung
getaran aneh dalam hati Kopral Yossa Sersan Burhan memberi
isyarat agar Kopral Yossa diam, walaupun merasakan
keganjilan dalam diri Pak Jono semakin nyata, Jelas sekali.
Sersan Burhan mencoba menarik perhatian Pak Jono agar
kembali bicara padanya, bukan memprotes sikap orang
kepercayaannya itu.
"Berapa skuadron halilintar yang Pak Jono hadapi saat ini?"
"Mestinya kalian yang tahu Bukankah kalian dari seberang
galaxy kami?"
Makin bingung dan sulit dipahami kata-kata Pak Jono. Tapi
begitu Sersan Burhan menyadari nada suara Pak Jono berubah
lebih tegas dan lebih jernih dari pada suara tuanya tadi,
sersan muda itu pun segera tanggap dengan keanehan pada
saat itu Pak Jono sudah bukan lagi Pak Jono yang tadi Kali ini
yang bicara pasti bukan pribadi Pak Jono yang sebenamya.
Merinding juga bulu kuduk Sersan Burhan walaupun itu tetap
bersikap tenang dan menampakkan keramahannya yang
bersahabat.
"Kami bukan musuh Anda. Kami adalah penghuni bumi.
sama dengan Anda. Tapi kami belum tahu dan masih bingung
menterjemahkan jati diri Anda sebenamya "
Pak Jono berkata dengan tegas sekali, "Admiral Devo
Cardeas, Panglima Destroyer 223ZG Armada Heligoland
Pompeii. Death Mission, 13 person lacak skuadron Blackskys!"
Berdebar-debar jantung Sersan Burhan saat itu. Pak Jono
seperti memperkenalkan dirinya sebagai Admiral Devo Cardeas
dengan jabatan panglima kapal pemusnah yang berjenis
destroyer 223ZG Heligoland Pompeii. Suara yang keluar dari

mulut Pak Jono jelas suara asing, yang memberi laporan rinci
tentang 13 awak kapalnya dengan missi memburu skuadron
Blackskys sampai mati. Naluri kopral muda itu pun memiliki
kesimpulan yang sama, bahwa saat itu raga Pak Jono
digunakan oleh roh Admiral Devo Cardeas unluk berbicara
kepada mereka. Tak heran jika Kopral Yossa pun ikut
merinding bulu kuduknya walaupun masih kelihatan tenang
dan membisu.
"Bukankah Pompeii adalah nama kota di benua Atlantik
yang sudah hancur dan tenggelam ke dasar lautan Atlantika
beberapa ratus tahun atau bahkan beberapa ribu tahun yang
lalu?" pikir Sersan Burhan saat itu. "Kalau begitu... pria yang
bernama Devo ini berasal dari kota yang telah hancur ribuan
tahun yang lalu itu?!"
Napas ditarik dalam-dalam. Serean Burhan menenangkan
diri sesaat, setelah itu tetap menampakkan senyum
keramahan dan persahabatannya.
"Seperlinya ada sedikit kesalahpahaman di antara kita,
Admiral Devo Kapal Anda memasuki wilayah kekuasaan kami.
Anda berada di zaman kami, Admiral. Indonesia 2000 Masehi."
"Apa itu Masehi?"
"Tahun Masehi, tahun di mana memiliki perbedaan masa
yang sangat jauh dari masa di mana Anda berjaya dengan
Destroyer 233 ZG Heligoland Pompeii, yang bagi kami sangat
menakjubkan. Luar biasa!"
Ketegasan Pak Jono tampak sedikit mengendur dan
kepalanya manggut-manggut, menandakan bahwa apa yang
dikatakan Sersan Burhan itu sangat dipahami olehnya.
Mulailah ekspresi persahabatan muncul perlahan-lahan di
wajah tua Pak Jono yang sering terkena sinar lampu dari mobil
yang berpapasan.
Tiba-tiba jari tangan Pak Jono menuding ke depan. Ada
sinar biru semacam laser yang keluar dari jari tangan itu. Sinar

tersebut menempel di kaca mobil. Hanya satu titik, kemudian
menyebar hampir memenuhi seluruh permukaan kaca. Hanya
kaca yang ada di depan Kopral Yossa yang tidak terjamah
sinar biru, sehingga pandangan matanya tidak terganggu.
Kopral muda itu tetap mengemudikan mobil Kijang tersebut
dengan sesekali menghindari kemacetan jalan raya.
Temyata sinar biru yang aneh itu membentuk garis-garis
peta dengan kotak-kotak garis lintang dan garis bujurnya.
Sersan Burhan memperhatikan peta tersebut dengan menerka
nerka posisi yang dimaksud Pak Jono. Tapi terkaannya
ternyata salah setelah Pak Jono yang digunakan oleh suara
Devo itu menjelaskan maksudnya.
"Lautan Atlantik. ini benua Antartika, ini pantai Gueen
Maund dan ini pulau Boavista."
"Hmmm, ya, ya, ya...," Sersan Burhan manggut-manggut,
padahal dalam hatinya menyimpan segudang keheranan.
Menurut wawasan yang di milikinya, benua Antartika baru
dipetakan abad 19. sedangkan Antartika sendiri sekarang ini
sudah ditutupi salju tebal. Tapi dalam peta itu tampak titik titik
tertentu sebagai kota kota yang ada di Antartika. Apakah
mungkin hal itu dialami Devo? pikirnya. Sebab dalam peta ini
pantai Gueen Maund Land tampak jelas ada, dan ternyata
sudah dipetakan dengan cara aneh tersebut Mungkinkah Devo
hidup di masa sebelum terjadinya zaman es? Sedangkan.
zaman es terakhir sekitar 10 ribu tahun yang lalu.
"lni Laut Utara, dan ini Pulau Heligoland," lanjut mulut Pak
jono. Sementara hati kecil Kopral Yossa dan Sersan Burhan
sependapat bahwa yang ditunjukkan Pak Jono itu wilayah
sekitar Eropa Utara.
"Kami ada di perairan ini beberapa saat yang lalu, sebelum
mengalami badai cahaya," kata Pak Jono.
"Di mana letak Kutub Utara?" sela Sersan Burhan
memberanikan diri.

"Kutub Utara...?! Hmmm, itu tidak ada!" tegas suara Devo.
"Yang ada adalah lubang besar yang membuat air laut
bersuhu panas terserap masuk ke lubang itu. Lubang besar
tersebut adalah lorong rahasia, jalan masuk ke perut bumi.
Kami sedang merencanakan suatu exodus besar-besaran
untuk masuk ke sana, jika kekuatan kami lemah."
Sekalipun masih tak jelas karena dihinggapi rasa heran,
Sersan Burhan tetap manggut-manggut seolah-olah
memahami maksud Devo.
"Lalu, tentang badai cahaya tadi?" Sersan Burhan
mengembalikan kata-kata Devo yang terpotong oleh
pertanyaannya tadi. Pak Jono menggerakkan langannya
seperti menangkap nyamuk di depan kaca Wuuut...! Sinar biru
membentuk garis peta itu lenyap seketika. Tubuh tua Pak
Jono duduk bersandar, mengendurkan keseriusannya.
"Kalian bisa tolong kami?"
"Apa yang harus kami lakukan, Admiral Devo "
"Mengembalikan saya ke tempat asal."
Ketiganya sama-sama diam: Masing-masing mencoha
berpikir tentang keadaan yang saling kurang bisa dipahami,
namun menjadi suatu kenyataan yang misterius.
"Badai cahaya itu membuat kapal kami terperangkap Ini
kesalahan Agryfa, perwira bidik kami yang cantik tapi mudah
terpancing oleh emosi pertempuran. la melepaskan senjata
triton pada koordinat yang salah."
"Triton...'?" Sersan Burhan menatap penuh tanda tanya.
"Senjata suprasonic berfrekuensi tinggi yang mampu
menembus lapisan masa untuk mencapai titik lawan dalam
jarak 100 tahun cahaya. Agryfa melepaskan suprasonic dalam
koordinat 'zone zero', yaitu zona yang memiliki
elektromagnetik ganjil. Keganjilan geomagnetis digempur oleh
ke- kuatan senjata triton kami, akibatnya, meskipun dalam

jarak signal satelit kami melihat kedatangan lawan dari batas
galaxy bumi, namun frekuensi dari triton sendiri tidak bisa
terarah ke sana, melainkan justru merusak jaringan
elektromagnit yang ada di sekitar 'zone zero' itu. Maka,
terjadilah badai cahaya yang menyedot kapal kami, berputarputar
tak tentu arah Satu-persatu awak kapal kami terlempar
dari posisi masing-masing, masuk dalam pusaran giavitasi
ganjil."
Pak Jono seperti orang yang sedang mengenang peristiwa
menyedihkan. Napasnya ditarik da- lam-dalam, wajahnya
murung, matanya sendu.
"Kapal kami menerobos masuk dalam suatu bias waktu
yang tak terkendali oleh instrumen kapal. Saya berusaha
mempertahankan kapal agar tidak hancur dalam kumparan
bias waktu yang dahsyat itu. Dan akhirnya... kapal kami
terlempar masuk ke zaman ini."
"Luar biasa...?!" desis Sersan Burhan, sementara Kopral
Yossa hanya menghembuskan napas panjang, seakan ikut
merasa bebas dari keadaan kritis yang sangat menegangkan
itu. Namun di sisi lain Kopral Yossa merasa lega juga karena
sebentar lagi ia akan memasuki gerbang perumahan elite
Pasundan Permai, tempat di mana rumah Kumala Dewi
berada.
"Kini aku sudah kehilangan kapal, yang berarti sudah
kehilangan nyawaku sendiri, nyawa seorang panglima
destroyer," kata Pak Jono seperti bicara pada diri sendiri.
"Mengapa kapal Anda pergi menembus langit, Admiral?"
"Destroyer 233 ZG dirancang sedemikian rupa. Apabila
tidak ada satu pun spesies yang hidup di atasnya, maka
dengan sendirinya ia akan berubah struktur dan melarikan diri
sebelum pihak lawan menyita dan mempelajari elemen dan
partikel yang kami gunakan di dalamnya. Destroyer 233 ZG

lenyap setelah aku turun dari atasnya untuk menemui seorang
gadis bernama Kumala Dewi."
"Gadis itu teman kita, Admiral."
"Katakan padanya, aku tak bisa berada dekat dengannya,
karena dia memiliki sumber energi niton yang besar sekali.
Energiku tak sanggup menahan gelombang getaran
suprasonic-nya yang memiliki partikel-partikel elektromagnetis
sembilan level ...."
"Maksudnya elektromagnetis sembilan level itu
bagaimana?"
Pak Jono menghembuskan napas panjang, kali ini
duduknya semakin bersandar, melemaskan seluruh uraturatnya
dengan santai. Tahu tahu suaranya sudah berubah
lagi, berceloteh tak karuan tentang kapal tersebut. Sersan
Burhan terperanjat kaget dan agak kecewa, karena roh Devo
sudah tidak ada lagi dari raga Pak Jono. Padahal ia bermaksud
mempertemukan Pak Jono dalam keadaan trance, kemasukan
roh Admiral Devo Cardeas dengan si paranormal cantik itu.
"Sial! Dia pergi lebih dulu setelah kita mau sampai di depan
rumah Kumala, Pral...!"
"Mungkin dia telah menangkap gelombang getarannya
Kumala Dewi, sehingga ia lari ketakutan karena tak sanggup
menahannya, seperti yang dikatakannya tadi, Sersan!"
"Uhhh...!" Sersan Burhan menghembuskan napas kesal.
Pak Jono berkata dengan suara tuanya yang agak serak dan
sumbang itu.
"Tenang, Nak... Bapak tidak pergi ke mana- mana, selama
kalian mau mendengarkan cerita Bapak tentang kapal super
canggih itu. Jadi, ceritanya begini, Nak.. "

4
SEDERHANA sekali menetralisir gangguan otak dan
kejiwaan Pak Jono. Dengan sistem penyinaran yang keluar
dari telapak tangan Dewi Ular, alam bawah sadar Pak Jono
tertutup kembali. Guncangan jiwanya reda, dan kondisi
kesadaran Pak Jono pulih seperti sediakala. Ada keseriusan
dalam bicara dan ia merasa sangat malu ketika mendengar
cerita tentang dirinya yang berkoar-koar ke mana-mana itu.
Rasa penyesalannya membuat pelaut tua itu meminta maaf
berkali-kali kepada Kumala Dewi, juga kepada Sersan Burhan
selaku wakil dari aparat keamanan. la bahkan terkagumkagum
sambil merinding kulit tubuhnya sewaktu diberitahu
bahwa ia telah kemasukan roh Devo yang berbicara tentang
asal-usul kapal aneh itu.
"Pemuda itu bukan merasuki raga Pak Jono," kata Kumala
meluruskan anggapan Sersan Burhan yang salah itu. "Karena
dalam aura Pak Jono tidak kulihat bekas terobosan roh lain,
seperti yang terjadi pada sebagian besar orang kerasukan roh
Iain itu."
"Lalu, siapa yang bicara padaku di mobil tadi, sampai bisa
mengeluarkan sinar aneh dari jarinya dan sinar itu ternyata
adalah semacam gulungan peta yang dibentangkan di kaca
mobilku?"
"Yang merasuk dalam raga Pak Jono bukan rohnya Devo,
tapi gelombang elektromagnetis- nya "
Semua yang ada di situ menatap Kumala dengan dahi
berkerut, pertanda bingung memahami kata-kata tersebut
Termasuk Pak Jono sendiri yang tampak serius sekali ingin
mengetahui apa yang sebenamya dilakukan pemuda asing itu
terhadap dirinya tadi.
"lngatan manusia adalah pembiak gelombang- gelombang
elektromagnetis yang luar biasa besarnya. Sedangkan, tubuh

kita ini adalah alat-alat elektromagnetis yang jarang kita
sadari. Salah satu bukti, tubuh kita ini mengandung kekuatan
listrik, bukan? Nah, melalui gelombang elektro yang ada pada
tubuh Pak Jono itulah Devo mengirimkan kekuatannya dalam
bentuk holografik, yaitu energi supranatural yang bekerja
melalui daya ingat pemuda itu. Maka, tak heran kalau tangan
Pak Jono pun bisa mengeluarkan sinar peta, sebab energi
supranaturalnya Devo tersalurkan sepenuhnya ke tubuh Pak
Jono."
"Lalu, rohnya sendiri ada di mana?" tanya Niko Madawi saat
suasana menjadi sepi sesaat
"Itulah yang jadi masalah kita. Sebab, radar gaibku
menangkap gelombang supranatural as ing yang tak beraturan
letak posisinya. Kadang di utara, kadang di selatan, sebentar
kemudian pindah di sebelah barat, dan begitu seterusnya.
Gerakannya sangat cepat, tidak mengikuti alur pusaran gaib
yang ada Sulit bagiku untuk melacak di mana tepatnya dia
berada Yang bisa kutangkap melalui indera ketujuhku adalah
kemampuan supranaturalnya makin lama semakin bertambah
besar. Tapi dia tidak berani berada di sekitar sini. Dia memang
takut mendekatiku, karena dia tak mampu menerima getaran
gelombang kesembilan tingkat elek tromagnetisku."
"Apa maksud dari sembilan Inderaku."
"Bukankah... indera paling tinggi hanya pada tingkat
keenam?" sahut Weldy.
"Indera keenam itu pangkal dari berkembangnya indera
yang lain. Paling tinggi dalam tingkatan supranatural adalah
indera kesembilan. Para resi, begawan, atau tukang sihir
zaman dulu, hanya mampu mencapai pada tingkat indera
kedelapan, selain para sufi, para wali dan orang-orang suci
dari golongan religius."
Tiba-tiba pemuda berambut kucai yang juga dijuluki
sebagai jin usil itu berkata kepada Kumala.

"Bagaimana kalau kucoba mengejar tiap gerakan
gelombang supranya itu? Mungkin pada detik-detik tertentu
bisa kupergoki di mana dia. Dan kalau sudah begitu, apa yang
harus kulakukan terhadap nya?"
"Bujuk dia supaya mau menemuiku, dan katakan... aku
akan membantunya pulang ke zamannya. Asalkan, dia jangan
bikin ulah macam-macam dengan ketajaman energi supranya
itu."
Setelah mendapat keterangan dari Dewi Ular, jelmaan Jin
Layon itu pun pergi meninggalkan mereka dengan
menggunakan kekuatan gaibnya. Bagi mereka, lenyapnya
Buron bukan hal yang aneh lagi. Mereka sudah sering
menyaksikan kehebatan pemuda berambut kucai itu .Tapi bagi
Pak Jono dan Kopral Yossa, lenyapnya Buron merupakan
sesuatu yang mengejutkan dan membuat mereka terkagumkagum.
"Nggak sangka bocah yang kayaknya bego tadi ternyata
punya kesaktian serupa dengan jin?" gumam Pak Jono. "Dapat
ilmu dari mana bocah itu, ya? Jangan-jangan berguru dengan
bangsa jin?"
Beberapa dari mereka hanya tertawa kecil, namun tak ada
yang menjelaskan bahwa Buron memang bangsa jin yang
mengabdi kepada Kumala Dewi. Bahkan sampai saat itu Pak
Jono belum tahu bahwa Kumala bukan gadis ABG zaman
sekarang. melainkan putri tunggalnya Dewa Permana yang
dibuang ke bumi untuk mencari cinta sejati, (baca serial Dewi
Ular dalam episode: "ROH PEMBURU CINTA").
Kesaktian Jin Layon cukup tinggi untuk ukuran bangsa jin.
Apalagi selama mengabdi menjadi asistennya Dewi Ular ia
sering menyerap hawa harum yang keluar dari tubuh gadis
itu. Keharuman tersebut mengandung hawa sakti yang kecil
sekali kadarnya, namun mampu menentramkan perasaan
orang yang gundah gulana.

Kemampuan itu terolah secara otomatis dalam kesaktian
Jin Layon, sehingga frekuensi ketajaman hawa gaib Jin Layon
itu makin lama semakin meningkat dan hampir menyamai
frekuensi gaib ibunya, yaitu Nini Ganjarlangu, yang
bersemayam di alam kasat mata sana.
Jin wanita yang bernama Nini Ganjarlangu memiliki rupa
yang sangat menyeramkan bagi manusia awam. Tingginya
sekitar 10 meter, badannya besar, berkulit hitam busik, seperti
bersisik putih. la hanya mengenakan pakaian penutup bagian
bawah yang berupa rumbai-rumbai dari kulit pohon. Tapi
bagian atasnya tak mengenakan penutup apa-apa. Jin
ortodoks itu masih memiliki rambut putih yang panjang meriap
riap, lebat dan acak-acakan. Mungkin tak pernah ke salon atau
jarang sisiran.
Jin Layon, anaknya, sudah mengenal peradaban karena
bergaul dengan manusia. Tapi ibunya belum mengenal
peradaban bangsa manusia, sehingga ia biarkan tubuh bagian
atasnya terbuka bebas, membuat dua payudaranya yang
panjang dan besar itu bergelantungan melambai-lambai.
Menjijikkan, sekaligus menyeramkan.
Terutama jika melihat wajahnya, siapa pun orangnya yang
awam dengan dunia roh halus akan pingsan mendadak Sebab,
Nini Ganjarlangu memiliki mata besar yang merah mencorong.
Mulutnya lebar bergigi besar dan memiliki taring mengerikan.
Kuku tangannya berwarna putih panjang, tajam seperti
bayonet. Jin yang berkalung untaian tulang hewan dan
berliontin tengkorak macan itu menyebarkan bau apek, seperti
bau tikus jenis cecurut.
Dalam kelananya mengejar energi asing Devo, Buron
sempat terhenti melayang-layang di udara bebas. Bentuk sinar
kuningnya yang menyerupai meteor itu tak bergerak beberapa
saat, karena telinga gaibnya mendengar suara dentuman yang
menarik perhatiannya.
Jegaaarrr, bluummm. ! Jegaarrr, bluuummm...!

Dentuman besar yang menggema di seluruh alam gaib itu
sangat dikenali oleh Buron. Hati kecilnya sebagai jin mulai
curiga.
"Seperti suara amarah ibu dentuman itu?! seingatku, hanya
kekuatan Aji Cambuk Samudera milik ibu yang mengeluarkan
dentuman beruntun seperti itu. Hmmm, tapi kenapa arahnya
ada di sebelah sana, ya? Apakah ibu sedang murka? Kepada
siapa? Coba kutengok ke sana, ah!"
Weesss...! Sinar kuning berekor mirip meteor itu melesat
cepat menembus kegelapan malam.
"Oh. benar itu ibuku!" sentak Buron "Mengapa ia ada di
atas permukaan danau buatan itu?! Lho.. siapa yang sedang
bertarung melawan ibuku itu?!"
Malam itu, alam di sekitar danau buatan depan perkantoran
Pemda terjadi angin ribut cukup kencang. Arah angin berubahubah,
membuat pepohonan yang ada di sana meliuk ke sanasini,
bahkan sebatang pohon kelapa nyaris tumbang karena
dihempas angin dengan kencangnya. Penduduk sekitar
pemukiman dekat danau buatan tak ada yang berani keluar
rumah. Mereka diam di dalam rumah masing-masing, berdoa
dan membaca mantera apa saja yang menurutnya dapat
menyelamatkan jiwa mereka dan ancaman maut apapun.
Mereka tak tahu bahwa di atas udara sekitar danau buatan itu
telah. terjadi pertarungan sengit yang tidak bisa dilihat oleh
mata awam.
Terjadinya angin ribut yang mengerikan itu sudah sejak
setengah jam yang lalu. Berarti pertarungan sengit itu sudah
berjalan cukup lama, antara Nini Ganjarlangu dengan sosok
mahluk aneh yang tinggi serta besarnya sama dengan Nini
Ganjarlangu.
Tetapi mahluk itu memiliki empat tanduk di kepalanya,
wajahnya hitam seperti pantat panci, matanya merah besar,
badannya merah matang seperti buah apel impor dari USA.
Mahluk ganas itu juga memiliki taring panjang menyerupai
gading gajah purba, meliuk tajam. Gerakannya sangat gesit la
mampu berkelit dalam kecepatan yang sulit diikuti oleh mata
sesama mahluk halus, sehingga rambut Nini Ganjarlangu yang
menyabet-nyabet menyerupai cambuk raksasa itu selalu
meleset dan meletupkan percikan merah di udara lepas.
Bukan hanya mahluk berkulit matang saja yang menyerang
Nini Ganjarlangu, tapi juga dua mahluk berkepala menyerupai
badak dan berkulit tebal seperti karang putih ikut menyerang
Nini Ganjarlangu. Mereka ukurannya sedikit lebih kecil dari
Nini Ganjarlangu, tapi memiliki gerakan yang lincah dan lebih
gesit dari mahluk bertubuh merah matang itu. Kedua mahluk
berwajah seperti badak dengan cula besarnya melengkung
besar di ujung hidung, berganti-gantian menyerang Nini
Ganjarlangu dengan melepaskan semacam jarum-jarum besar
berjumlah puluhan jarum dari kedua tangan mereka. Namun
jarum-jarum itu selalu pecah berantakan setiap kali kepala
Nini Ganjarlangu menggeliat dalam putaran cepat, dan
rambutnya menyabet secara beruntun ke sana-sini.
"Keparat!" geram Buron yang segera menjelma diri sebagai
Jin Layon yang berkepala gundul, berkulit hitam, dan hanya
mengenakan cawat saja itu. "Rupanya si Marambang yang
menyerang ibuku dengan kedua muridnya itu?!
Jahanaaammm...!!" teriak Jin Layon, kemudian melesat ke
arena pertarungan tersebut.
Blegaaarrr . ! Kedua tangan besar Jin Layon dihadapkan
lurus ke depan, lalu tubuhnya yang melayang itu dibenturkan
ke punggung mahluk yang disebut Marambang itu. Kedua
tangan Jin Layon memancarkan sinar kuning besar ketika
menghantam tubuh Marambang, sehingga timbul dentuman
keras yang membuat Marambang terpental menerjang kedua
muridnya yang berkepala seperti badak itu.
"Grrrrrhhh ..!!" Jin Layon berdiri di udara bebas dengan
kedua kaki merenggang kokoh, kedua tangannya siap

dihantamkan lawannya jika lawan masih bergerak maju la
berdiri sengaja di depan Nini Ganjarlangu, seolah-olah
melindungi ibunya dari ancaman bahaya. Suara geram
kemarahannya membuat Marambang dan kedua anak
buahnya itu menjadi terguncang-guncang bagaikan dilanda
gempa gaib di sekitarnya.
"Beraninya kau melawan ibuku, Marambang! Mau
kuhancurkan dengan kugencet seribu gunung seperti waktu
itu,. hah?!"
"Celaka!" desis Marambang dengan wajah ketakutan. "Ayo,
kita kabur dari sini! Lekas...! Jin yang satu itu gila! Aku tak
sanggup menghadapi lawan yang gila macam dia!"
Zuuub, wuuus, wuuus...!
Marambang dan ke dua anak buahnya berubah menjadi
asap merah, lalu gumpalan asap merah itu terbang dengan
cepat. Kembali ke alamnya, yaitu alam iblis. Sebab,
Marambang adalah prajuritnya iblis Woga, si penjaga gerbang
perbatasan tanah iblis. Dia sangat takut kepada Buron, karena
pernah dikalahkan oleh Buron atau Jin Layon, dan hampir saja
hancur karena digencet memakai Gunung Krakatau, (Baca
serial Dewi Ular dalam episode: "PETAKA SURGAHITAM"). Iblis
Marambang sangat trauma melihat Jin Layon, sehingga tak
berminat untuk menjajal kekuatannya dalam pertarungannya
dengan Nini Ganjarlangu itu. Kalau saja iblis Marambang tahu
bahwa Nini Ganjarlangu adalah ibu dari Jin Layon, maka ia tak
akan berani goba-coba melumpuhkan jin betina yang
payudaranya bisa untuk memecahkan bukit karang dengan
sekali sabet itu.
Jin Layon yang berdiri gagah dengan kedua tangan masih
menggenggam itu menggeram terus sambil rtiemandangi
kepergian lawannya. Tapi tiba-tiba dari belakang kepalanya
seperti ditampar memakai dayung kapal cukup keras.
Praaak..!

"Aduh. !" ia segera berbalik sambil nyengir kesakitan.
Kepalanya diusap-usap sendiri seraya memandang sang ibu
yang tadi menyentilnya dengan jari tangan yang besar itu.
"Kenapa Ibu justru mau memecahkan kepalaku?!"
gerutunya sok manja.
"Anak tak tahu sopan! Ada orang tua di belakangnya,
malah berdiri seenaknya di depan orang tua?!" geram Nini
Ganjarlangu. Buron alias Jin Layon akhimya nyengir geli
mendengar alasan sang ibu.
"Ibu ini aneh. Kalau aku mau melindungi Ibu, tentu saja
aku harus berdiri di depan Ibu, biar serangan dari si
Marambang bisa kuhadapi sebelum mengenai Ibu. Kok
dianggap nggak sopan?!"
Begitu kira kira dialog kedua jin yang mempunyai
hubungan ibu dan anak itu. Dialog sebenarnya sulit ditulis
karena menggunakan bahasa jin vang kedengarannya aneh
dan sukar dieja manusia. Untuk mengetahui percakapan
kedua jin itu, kita simak terjemahannya saja.
"Lain kali kalau mau melindungi orang tua, bilang dulu!
Jangan asal nyelonong saja!"
"Baik, Bu Lain kali aku akan bilang dulu kalau mau
melindungi Ibu, walaupun saat itu mungkin Ibu sudah
terkapar karena terhantam serangan lawan."
"Hampir saja rambutku tadi menghantam gundulmu kalau
tidak segera kusadari bahwa kau ternyata anakku sendiri!
Lihat, kusut semua rambutku gara gara tak jadi kuhantamkan
tadi!"
"Makanya, sering-seringlah creambath, Bu. Biar rambut
nggak mudah kusut. Atau keramas pakai shampoo..."
"Cukup, Layon! Aku tidak butuh nasihatmu!"

"Hmmm. egois!" gerutu Jin Layon pelan. "Kenapa Ibu
sampai terlibat pertarungan dengan iblis Marambang tadi?!"
"Dia mau memasang pagar neraka di wilayah danau ini
Waktu aku sedang lewat di sekitar sini, tahu-tahu kedua anak
buahnya itu menyerangku. Marambang ikut-ikutan
menyerangku, dia sangka aku akan menguasai danau ini."
"Mengapa dia memasang pagar neraka di sini?!"
"Mau menguasai wilayah. danau ini, Goblok!"
"lya, aku tahu. Tapi kenapa dia mau menguasai wilayah ini,
Bu?"
"Gggn-rmmh...! Bocah bodoh!" maki ibunya. Angker sekali.
Tapi Jin Layon tidak takut, sebab sama-sama jin.
"Apakah kau tak tahu, Layon.... Air danau ini memiliki
kesaktian yang tidak dimiliki oleh perairan mana pun juga."
"Kesaktian apa, Bu?"
"Buka matamu lebar-lebar! Lihat...!" lalu tangan Nini
Ganjarlangu dicelupkan ke dalam air danau buatan. Seketika
itu di mata Jin Layon tampak air danau berubah menjadi
cairan emas yang berkilauan. Sangat mengagumkan.
"Wow...?! Genangan emas cair?!"
"Ini namanya Tirta Candrawulan, tahu?!" lalu, tangan Nini
Ganjarlangu ditarik kembali, dan air danau kelihatan biasa lagi.
"Dari mana si Marambang tahu kalau danau ini memiliki air
Tirta Candrawulan, Bu?"
"'Bukan matanya sendiri yang mengetahuinya, pasti mata
atasannya yang melihat dari persemayamannya. Lalu, dia
disuruh untuk memasang pagar neraka, yang apabila diterjang
oleh mahluk apa pun akan menghancurleburkan jasad mahluk
itu, termasuk kau dan aku!"
"Maksudnya.. Marambang diutus oleh iblis Woga, begitu?!"

"Bisa juga si iblis Woga yang diperintahkan oleh
Damasscus, sebagai rajanya. Lalu, la sendiri memerintahkan
Marambang untuk memasang pagar neraka di s ini. Tempat ini
akan dikuasai oleh mereka, dan satu-persatu dari mereka akan
menjelma sebagai manusia biasa, namun dengan kesaktian
dan kebusukan hati iblis mereka!"
"Mereka akan menjelma menjadi manusia biasa?!" Layon
terheran-heran mendengarnya."Sepanjang sejarah kehidupan
alam jagat raya ini, baru sekarang terjadi penyimpangan
kodrat besar-besaran di tempat ini. Siapa pun yang menyelam
seluruh jasadnya ke dalam Tirta Candrawulan ini, maka ia
akan muncul kembali sebagai sosok manusia, dan membaur
dalam kehidupan manusia lainnya. Tentu saja para iblis itu
akan membentuk kelompok masyarakat tersendiri setelah
mereka menjadi manusia, untuk mengerahkan kekuatannya
guna menguasai seluruh permukaan bumi!"
"Oooo...," Jin Layon yang tingginya hanya 6 meter lebih itu
manggut-manggut dengan gumam suara besarnya.
"Sangat kebetulan aku lewat daerah ini dan mengetahui
rencana mereka. Aku tidak setuju dengan terjadinya
penyimpangan kodrat ini. Maka, aku bermaksud menjaga
tempat ini dari jarahan tangan iblis mana pun. Ingat, Layon...
jika manusia dikuasai oleh iblis. maka itu sama saja negeri
bapakmu akan dihancur leburkan dan bapakmu sendiri akan
hancur sebelum kau berhasil menemuinya!"
"Bapak...?" gumam Jin Layon dengan wajah mulai murung.
la ingat tentang misinya muncul di alam kehidupan inanusia,
yaitu mencari ayah kandungnya sendiri. Sebagaimana
diketahui, ayah kandung Buron sebenamya adalah manusia
berilmu tinggi yang dulu dikenal sebagai Empu Canggah.
hidup di masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja Majapahit,
Jin Ganjarlangu sebenamya bersemayam dalam keris pusaka
sang empu yang bernama Keris Sisik Naga. Sementara sosok
sang empu sendiri memang sudah tidak ada. Tapi ia akan

menitis pada diri seseorang. Dan siapa yang memiliki keris
Sisik Naga itulah titisan dari ayah kandung Jin Layon. Namun,
sampai saat sekarang Jin Layon belum berhasil menemukan
titsan dari Empu Canggah, sementara sang ibu tidak berani
menjelaskan siapa pemilik keris Sisik Naga, karena merupakan
pantangan yang jika diterjang akan membuat Buron atau Jin
Layon selamanya tak akan bertemu dengan ayah kandungnya,
(Baca serial Dewi Ular dalam episode: "BANGKIT DARI
KUBUR").
"Ibu...," kata Jin Layon setelah mampu mengendalikan
perasaannya, sehingga tak terlalu hanyut dalam kesedihan
pribadinya itu.
"... aku setuju dengan rencana Ibu Aku akan ikut
menjaganya Tapi, aku sendiri sedang ada tugas dari Nyai Dewi
Ular."
"Kerjakan dulu tugasmu. Jangan menyimpang dari
pengabdianmu kepada Nyai Dewi Ular, karena dialah kelak
yang akan menunjukkan padamu, siapa 'pemilik Sisik Naga
sebenamya. Aku bisa atasi sendiri keadaan di sini!"
"Baik, Bu. Tapi... bolehkah aku tahu, mengapa danau ini
memiliki atau berubah menjadi Tirta Candrawulan? Padahal
sekitar awal petang tadi, tidak ada gejala-gejala seperti itu
pada air danau ini."
"Anakku, Bocah ganteng...," Nini Ganjarlangu mengusapusap
kepala Jin Layon yang plontos dan licin itu. "Air ini telah
mengandung lapisan prana berusia puluhan ribu tahun
lamanya. Aku sendiri heran, mengapa air ini bisa mengandung
lapisan prana berusia setua itu, dan telah berubah menjadi
gumpalan hawa gaib maha tinggi, padahal kemarin belum
begini. Tapi yang jelas, lihat di langit sana... rembulan muncul
separuh bagian, bukan? Nah, pancaran bias rembulan itulah
yang mengubah kandungan gaib maha tinggi itu menjadi Tirta
Candrawulan yang mampu melakukan penyimpangan kodrat,
yang hidup jadi mati jika masuk ke air ini, dan yang mati jadi

hidup seperti layaknya manusia biasa. Tanpa mendapat bias
cahaya rembulan di sana, Anakku bocah imut... maka air ini
tidak akan menjadi Tirta Candrawulan, melainkan menjadi
Tirta Kematian. Siapa masuk ke danau ini, dia akan mati tanpa
jasad lagi!"
"Kalau begitu. hal ini perlu kulaporkan kepada Dewi Ular,
Ibu!"
"Aku baru mau kasih saran seperti itu padamu, Layon. Tapi
ternyata ketajaman nalurimu dapat menembus rencana batin
ibumu. Hebat!"
Jin Ganjanglangu menepuk-nepuk pundak anaknya dengan
bangga. Tapi si anak cengar-cengir menahan sakit, karena
tepukan itu memercikkan bunga api, pertanda dialiri hawa
panas yang muncul dengan sendirinya dari rasa bangganya
seorang ibu dari bangsa jin.
"Katakan kepada Nyai Dewi Ular, urusan ini harus segera
ditangani. Hanya dia yang mampu membuat air danau ini
menjadi tawar kembali. Jika tidak segera dilakukan, maka
kuperkirakan dalam waktu dekat akan datang pasukan iblis
dari istana kegelapan sana untuk menguasai tempat ini. Mungkin
ibumu ini akan hancur dalam penyerangan itu, Nak!"
"tak boleh hancur!" geram Jin Layon dalam kecemasan
yang membuatnya tegang. "Aku akan segera menemui Dewi
Ular dan menyampaikan pesanmu, Bu. Jika tanda-tanda
kedatangan pasukan iblis telah kelihatan, cepat panggil aku,
Bu! Jangan sok jago menghadapi mereka sendirian, okey?" Jin
Layon bicara penuh emosi, karena ia tak ingin ibunya hancur
dan musnah selama-lamanya.
Namun baru saja Jin Layon pergi, tiba-tiba Nini Ganjarlangu
mendengar sebuah suara yang menggema jelas di telinganya.
Suara itu adalah suara seorang lelaki yang cukup dikenalnya.
"Dzat sukma jalwaning tumasik naga, batari mukti gandhaning

puspa rini, tumeko lungguh garwaning sun yayi Ganjarlangu,
hong wilah hong wilah hong wilah... "
Blasss...!
Nini Ganjarlangu berkelebat melebihi kilat sambil
menaburkan serbuk dari kedua tangannya. Serbuk itu
berwarna merah menyerupai bara api yang bertaburan di atas
permukaan danau buatan. Serbuk itu adalah penangkal
kekuatan iblis agar tak bisa masuk ke dalam air danau.
Rupanya pada saat itu Nini Ganjarlangu tidak bisa diam di
tempat, karena suara yang didengarnya adalah mantera
pemanggil dirinya, Si pemilik keris Sisik Naga punya
kepentingan yang belum jelas pokok persoalannya. Tapi
karena sumpah setia Nini Ganjarlangu sejak dulu, maka
sebagai penunggu keris Sisik Naga ia harus segera hadir jika
pemiliknya memanggil melalui mantera tersebut. Tidak bisa
tidak. Sebab, pemilik keris itu adalah titisan ayah kandung Jin
Layon, yang berarti juga suami tercinta dari Nini Ganjalangu
sendiri. Cinta kasih nya itulah yang membuat Nini Ganjariangu
sangat patuh terhadap panggilan dan perintah suaminya.
Siapa pemilik keris tersebut? Nini Ganjarlangu tak dapat
menjelaskan kepada siapa pun, karena rnerupakan sumpah
setianya juga terhadap sang suami: Empu Canggah. Apa
keperluan si pemilik keris itu memanggil Nini Ganjarlangu,
juga tak perlu dijelaskan oleh siapa pun Karena memang tidak
ada kaitannya dengan misteri danau keramat itu. Hanya saja,
suara tersebut sempat didengar Jin Layon samar-samar:
menggunakan pendengaran gaibnya. la tahu nama ibunya
disebutkan oleh suara yang menggema di seantero alam jin,
sehingga ia dapat menyimpulkan bahwa saat itu ibunya
dipanggil oleh si pemilik keris Sisik Naga. Maka, Jin Layon
yang sudah jauh itu terpaksa ngebut kembali ke danau itu
untuk menguntit ibunya. Karena dengan menguntit ibunya,
maka ia akan bisa bertemu dengan si pemilik keris, dan ia
akan mengetahui siapa titisan ayah kandungnya itu.

Sayang sekafi kecepatan gerak Jin Layon tidak bisa
mengungguli ibunya, karena tingkat kesaktiannya memang
lebih rendah. Jin Layon tidak menemukan ibunya di sekitar
danau buatan itu. la menggeram dengan hati kecewa,
matanya memandang ke sana-sini, mencari tahu ke mana
arah kepergian ibunya tadi. Ternyata sang ibu pergi tanpa
meninggalkan jejak yang bisa dilacak. Makin menggeram Jin
Layon menahan rasa jengkel akibat keterlambatannya.
Tapi pada saat itu ia mendengar suara tangis samar-samar.
Ketika diperhatikan, suara tangis itu berasal dari jalan beraspal
yang ada tak jauh dari danau tersebut. Mata gaibnya
menembus alam dimensi nyata, dan ia melihat seorang gadis
berjalan sendirian dalam siraman cahaya rembulan. Gadis itu
tampaknya kebingungan dar, menangis tanpa tahu arah
tujuan.
Zlaab, bluub...!
Sinar kuning Jin Layon menghantam tanah. Maka,
tampaklah penjelmaannya sebagai pemuda berambut kucai
dengan ketampanan pas-pasan dan badan agak kurus. Buron
saat itu tampil sebagai sosok manusia yang mengenakan Tshirt
dan celana corduroy coklat tua. Cukup rapi, seperti
pemuda pulang dari rumah pacarnya.
Tentu saja penjelmaan itu dilakukan Buron tidak di depan si
gadis yang menangis. Jaraknya agak jauh dan tertutupi
kerimbunan pohon akasia di ujung sana. Dengan langkah
tenang dan siulan santai Buron seolah-olah melangkah dari
arah yang berlawanan dengan gadis itu. Maka ketika
berpapasan dengan si gadis bergaun putih pas badan, seperti
gaun terusan yang dipakai Si Manis Jembatan Ancol dalam
sinetronnya itu, gadis tersebut buru-buru mengecilkan suara
tangisnya. Menundukkan wajah dan tetap melangkah tanpa
kepastian. Rambutnya yang panjang selewat bahu itu
dibiarkan meriap sebagian, menutupi sisi kanan wajahnya. la
berusaha menahan tangis, supaya tak diketahui orang lain.

Namun tingkah jin usil itu justru membuat si gadis menjadi
malu dan menekan rasa sedihnya lebih kuat lagi. Tanpa
disangka-sangka olehnya, pemuda yang berpapasan
dengannya justru menghentikan langkah dan menegurnya
secara baik-baik. Buron sendiri berusaha menegur dengan
suara merdu merayu, seolah-olah menunjukkan s ikapnya yang
layak dijadikan pelindung sekaligus penolong orang yang
sedang kesusahan.
"Lho, kenapa menangis, Neng? Ada yang mengganggumu,
ya?"
Gadis itu menghentikan langkahnya karena terhadang
Buron. la masih berusaha menyembunyikan wajah dengan
menunduk dan membiarkan helai rambutnya makin meriap
menutupi wajah. Tapi ia menggelengkan kepala satu kali
untuk menjawab teguran Buron itu.
"Apakah kamu ditinggalkan pacarmu di tempat ini?"
Gadis itu menggeleng lagi.
"Lalu, kenapa kamu menangis dan berjalan sendirian di
tempat angker ini?"
"Jangan bilang begitu, Bang. Saya takuuut...!" gadis itu
mulai menampakkan reaksinya.
Rupanya salah satu penyebab tangisnya adalah rasa takut
melintasi jalanan sepi bak jalur menuju makam hanya
sendirian. Rasa takut itu makin nyata begitu ia mendengar
kata 'angker' dalam kata-kata Buron tadi.
Gadis itu ternyata memiliki rupa yang cantik, berkulit
kuning bersih, berhidung bangir dan berbibir mungil
menggemaskan. Usianya sekitar 23 tahun, namun
pertumbuhan fisiknya sudah seperti gadis lebih dewasa lagi.
Sintal dan sexy, walaupun tak nampak bahenol. Buron tak
menemukan getaran gaib tinggi, sehingga ia yakin gadis itu
bukan kuntilanak atau peri, melainkan manusia biasa.

"Di mana rumahmu, Neng?"
"Di Jalan Kober Dalam, Bang. Tapi saya bingung, di mana
jalan menuju rumah saya itu, Bang. Saya takut berada
sendirian di s ini."
"Kalau begitu... maukah kuantarkan sampai rumahmu?"
Gadis itu mengangguk sambil menghabiskan isak
tangisnya.
"Abang tahu Jalan Kober Dalam, Kampung Rawa Kembar?"
"Kampung Rawa Kembar sih... saya tahu, tapi Jalan Kobernya
yang saya nggak tahu."
"Kalau begitu, anterin saya sampai Kampung Rawa Kembar
aja deh, ntar biar ke Jalan Kobernya saya sendiri yang cari.
Tolong, ya Bang. Jangan jahatin saya ya?"
Buron tertawa gagah. "Tenang, kamu aman selama
bersama Bang Buron." sambil menepuk dada sendiri.
"Terima kasih sebelumnya," ucapnya lirih sambil melangkah
diiringi Buron.
"Namamu siapa?"
"Hannifah, Bang."
"Panggilannya Ifah, ya?"
"Hanni, Bang."
"Bagus sekali nama panggilanmu. Tapi, kenapa malammalam
begini kamu berada di sekitar sini, Hanni?"
"Saya sendiri nggak ngerti nih, Bang. Saya sedang ingatingat,
kenapa saya bisa berada di sini dan sangat ketakutan.
Rasa-rasanya saya belum pernah ke sini," tutur Hanni sambil
sesekali mengusap pipinya, mengeringkah air mata. "Saya
seperti habis kena bius, entah dari mana dan siapa yang
membius saya, yang jelas... saya bingung sekali dengan diri
saya, Bang."
Buron menggumam dalam hati, "Wah,. jangan-jangan aku
dapat gadis yang lagi nggak waras nih?!"
Mereka berjalan sampai pertigaan. Di sana ada pangkalan
ojek. Buron menyewa satu ojek untuk mengantarkan mereka
berdua sampai di jalan raya. Sebelumnya tangan Buron
sempat menyambar dedaunan yang tumbuh di pinggir jalan
secara iseng.
Tanpa setahu Hanni, beberapa lembar daun kecil itu sudah
berubah menjadi lembaran uang nominal sepuluh ribu. Masih
baru. Menggunakan uang itulah Buron membayar ojek
setibanya di tepi jalan raya. karena di sakunya memang tak
ada uang.
"Kembalinya, Bang!" kata si tukang ojek. "Udah, buat elu
aja deh. Mudah-mudahan habis ini elu dapat penumpang
terus-terusan sampai pagi!" seraya Buron menepuk punggung
si tukang ojek yang berusia sekitar 25 tahun, sebaya
dengannya.
Pengaruh gaib disalurkan Buron melalui tepukan itu,
membuat si tukang ojek benar-benar dapat penumpang terusmenerus
sampai pukul lima pagi itulah upah dari Buron
sebagai pengganti uangnya yang berubah menjadi daun
kembali setelah beberapa saat kemudian.
Malam itu jarum jam masih menunjukkan pukul sepuluh
lewat, kendaraan angkutan kota masih ada Dengan
menggunakan angkot Buron membawa Hanni ke Kampung
Rawa Kembar yang jaraknya tak sampai lima kilometer dari
tempatnya naik tadi. Ketika turun, Buron menyerahkan
selembar uang sepuluh ribu lagi.

"Waah, kembaliannya nggak ada, Dik," kata sopir angkot
yang tua.
"Lho, jadi bagaimana dong, Pak? Saya cuma punya uang ini
nih."
"Ya. sudah.. bawa aja. Situ kan naik dari jarak dekat."
"Terima kasih, Pak ! Habis ini Bapak pasti di-carter orang
ke tempat jauh yang menguntungkan!"
"Bisa aja luh...," si sopir angkot tertawa, lalu pergi dengan
wajah iklas. Tapi tanpa setahu siapa pun, ternyata mobil itu
benar benar di-carter orang ke tempat yang menguntungkan
sopir tua tersebut. Buron sendiri sudah tidak menghiraukan
lagi, karena sibuk dengan kebimbangan Hanni ketika ingin
memasuki wilayah Kampung Rawa Kembar.
"Kok tempatnya begini, Bang? Setahu saya jalanannya
belum dilebarkan dan belum diaspal sehalus ini kok "
"Kampung Rawa Kembar ya di sini, Hanni. Memangnya
Rawa Kembar yang di mana? Coba lah, cari dulu Jalan Kober
Dalam.,. kita tanyakan sama pedagang rokok di seberang sana
deh, yuk...?"
Dengan ragu-ragu Hanni mengikuti saran Buron. Dengan
ragu-ragu pula Hanni melangkah menuju tempat yang
ditunjukkan si pedagang rokok itu. la tampak bingung dan
seperti merasa asing ketika memasuki Jalan Kober Dalam.
"Benar nggak tempatnya ini, Hanni?"
"'Bener sih, Bang. Tap kok... rumahnya jadi bagus-bagus,
ya?"
Buron hanya membatin, "Wah, benar-benar nganterin gadis
nggak waras nih Amit-amit deh. Kok jadi sial begini nasibku,
ya?"

"Nah, itu dia rumah saya, Bang. Tapi... pagar nya kok udah
diganti pakai besi, ya? Terasnya juga udah lebar? Ah, janganjangan
kita salah alamat, ya Bang."
"Nah, luh sendiri gimana?!"
"Coba deh, Bang Buron aja yang masuk duluan. Tanyakan,
apa betul itu rumah Pak Ahmat Soleh, pegawai Pertamina. Itu
nama Bapak saya."
"Yeee. .. elu sendiri yang punya rumah kok jadi elu juga
yang ragu-ragu sih?!" gerutu Buron walaupun nekat masuk ke
halamannya.
Hannifah tak memperhatikan bahwa kunci pagar itu
terbuka sendiri hanya dengan satu sentuhan jari Buron.
Kekuatan gaib Buron sejak tadi sengaja tidak diperlihatkan
kepada Hannifah, supaya gadis itu tidak tahu bahwa dirinya
sedang berjalan dengan jelmaan Jin Layon. Buron tak ingin
kehilangan simpati dari gadis cantik mungil itu jika
kesaktiannya sampai diketahui mata si gadis .
Bel tamu ditekan Buron. Hanya dua kali tekan bel, pintu
tamu pun dibuka. Lampu di ruang tamu lebih dulu dinyalakan
oleh si pemiiik rumah. Ternyata yang membukakan pintu
seorang wanita berusia sekitar 45 tahun, diikuti oleh gadis
remaja berusia sekitar 18 tahun yang menyangka ada tamu
untuknya.
"Selamat malam, Bu. Maaf mengganggu...," Buron bersikap
sopan.
"Ya, ada apa?"
"Apa benar ini rumah Pak Ahmat Soleh, pej gawai
Pertamina?"
"Benar. Saya istrinya. Ada apa, Dik?"
"Hmmm, ini... anu... saya mengantarkan anak Ibu..”
"Siapa?"

Buron clingak-clinguk, lalu melambaikan tangan kepada
Hanni yang berdiri di kegelapan ba- yangan pohon rambat.
"Sini...!" panggil Buron dalam bisikan jelas. Lalu, ia berkata
kepada perempuan agak gemuk yang masih didampingi
putrinya itu.
"Ini... saya mengantarkan Hanni, Bu. Nah, itu dia
anaknya...!"
"Hahhh...?!!" ibu itu terbetalak dan terpekik keras-keras.
"Hannniiii..??!!"
Bruuuk...! Ibu itu pingsan seketika. Putrinya menjerit juga
setelah tersentak napasnya karena sangat kaget memandang
Hanni mendekati pintu.
"Haaann.. hantuuuu...! Aaaaaa...!" ia lari masuk tunggang
langgang, menimbulkan kegaduhan yang luar biasa. Semua
penghuni rumah bangun dan berlari ke ruang tamu. Mereka
menjerit dan lari ketakutan begitu melihat Hannifah masuk ke
ruangan tersebut.
"Bapak... ini aku, Paaak...! Aku Hanni...!"
"Ha, Haan.. Haaan... !" Pak Ahmat Soleh terpaku gemetar
di tempat. Mata tuanya mendelik tanpa berkedip. Di sisi lain,
kakak lelaki Hanni yang sudah berusia sekitar 27 tahun itu
menggigil dengan mulut ternganga tanpa bisa bersuara.
Wajahnya pucat pasi seperti mayat ketakutan. Tentu saja hal
itu membuat Buron jadi sangat terheran-heran dan
menggerutu dalam batinnya.
"Sekarang malah aku berhadapan dengan keluarga gila?!"
Namun, setelah para tetangga berdatangan, dan Buron
mendapat penjelasan, justru dia sendiri yang tercengang
tanpa bersuara lagi. Menurut penjelasan mereka, Hannifah
sudah meninggal tiga tahun yang lalu akibat guna-guna salah
sasaran. Mendengar hal itu, bulu kuduk Buron pun meremang
merinding. Padahal ia sendiri sebenarnya lebih mengerikan
dari pada Hanni yang bangkit dari kematiannya itu.