Dewi Ular - Tamu Dari Alam Gaib(1)

TAMU DARI ALAM GAIB
oleh Tara Zagita Serial Dewi Ular Cetakan pertama, 2002

1
MUNGKIN karena malam itu adalah malam Jumat Kliwon,
tepat tanggal 13 bulan 9, maka suasana malam menjadi sepi.
Terkesan ganjil. Tak banyak orang bepergian, atau berada di
luar rumah. Hilir mudik kendaraan di jalan raya pun tak
sepadat biasanya. Padahal rnasih pukul sembilan lewat sedikit,
tapi sudah seperti hampir tengah malam,
"Kenapa sih, dari tadi bulu kudukku meremang merinding
sendiri? Seperti ada yang mendekatiku tanpa rupa. Betul kok."
"Ah, itu biasa saja, Jang. Anginnya agak kencang, tanda
mau turun hujan. Makanya, bulu merinding sendiri karena
hembusan angin penghantar hujan ini, Jang."
"Abang juga merasa merinding kayak aku tadi? "
"Iya. Lha, memangnya yang punya bulu kuduk cuma situ
aja?"
Percakapan seperti itu tidak saja terjadi antara pedagang
rokok yang mangkal di ujung jalan sana dengan pemuda yang
berprofesi sebagai tukang ojek Tapi di beberapa tempat,
terjadi pula percakapan serupa walau redaksionalnya berbeda.
Angin memang berhemhus agak kencang. Tanda-tanda alam
akan turunnya hujan. Tentu saja udara pun dingin, namun tak

membuat orang-orang menggigil. Dan, menurut mereka itu
bukan hal yang wajar.
Ada keganjilan di malam itu. Aroma wangi dupa atau
kemenyan ikut mencekam suasana malam itu. Dupa atau
kemenyam sudah pasti datang dari rumah-rumah yang
penghuninya merasa perlu melakukan ritual magis pada
malam keramat. Mengirim doa untuk sanak keluarga yang
sudah meninggal, misalnya. Atau, memberi sesaji untuk
sebuah pusaka, dan entah untuk keperluan apa lagi. Yang
jelas, malam itu memang terkesan sebagai malam keramat
yang mencekam dan mudah memancing kecurigaan siapa
saja.
Hujan memang belum turun, Hanya saja, tadi petang
sempat gerimis sebentar, lalu terang kembali. Tapi sekarang
hujan sedang berkemas-kemas untuk menjadi deras. Suara
gemuruh angin bagaikan membuat kehidupan malam di kota
metropolitan ini menjadi bisu.
"Kita langsung pulang saja, San."
"Nggak jadi mampir dulu ke rumah tante Molly?"
"Nggak usah. Nanti kutelepon saja. Cuaca malam ini nggak
sehat. Sepertinya ada sesuatu yang akan terjadi malam
ini."Sandhi, sopir muda bertampang lumayan itu, menuruti
perintah majikan mudanya, yaitu gadis cantik jelita keturunan
bidadari asli khayangan. Gadis yang punya kelebihan pandai
membaca gelagat alami dan pintar menterjemahkan makna
sebuah cuaca itu tak lain adalah si Dewi Ular. Lebih dikenal
lagi dengan nama buminya: Kumala Dewi. Tentu saja Sandhi
sangat peucaya bahwa akan terjadi sesuatu di malam itu,
sebab ia tahu kumala Dewi adalah gadis paranormal berilmu
tinggi. Sebagai putri tunggal dari perkawinan Dewa Permana
dan Dewi Nagadini, tentunya Kumala memiliki kesaktian yang
lebih tinggi dari dukun atau paranormal manapun.

Karenanya, hati Sandhi saat itu sempat berdebar lemah,
sebagai responsifitasnya terhadap pernyataan Kumala yang
diucapkan dengan suara mirip orang menggumam tadi. Ia pun
mengemudikan mobil BMW hijau giok dengan sangat hati-hati
dan penuh waspada. Mereka baru saja pulang dari menengok
kelahiran bayi pertamanya Pramuda dan Emafie. Istri kakak
angkatnya Kumala itu hari ini telah melahirkan bayi pertama
mereka. Sebagai saudara angkat yang penuh peihatian
melebihi saudara kandung sendiri, Kumala tak mungkin bisa
sebentar saja dalam kunjungannya. Ada beberapa hal yang
harus ia lakukan menyambut kelahiran bayi pertamanya
Pramudaitu, sehingga pukul sembilan malam baru bisa
meluncur pulang ke rumahnya.
Suara klakson dua kali merupakan isyarat yang sangat
dipahami oleh Buron. Pemuda jelmaan Jin Layon yang
berbadan agak kurus dan berambut kucai itu segera keluar
rumah, membukakan pintu gerbang yang sejak tadi sengaja
dikunci rapat-rapat. Kali ini agaknya si Jelmaan Jin Layon yang
acap kali dijuluki jin usil oleh Mak Bariah itu agak malas
menghampiri ke pintu pagar. Buron hanya berdiri di teras
depan, yang berjarak sekitar 30 meter dari pintu gerbang.
Pandangan matanya tertuju tajam ke arah pintu yang
terbuat dari besi stainless anti karat. Dengan kekuatan
pandangan mata gaibnya pintu itu bisa terbuka sendiri dari
kuncinya, lalu bergerak ke samping lebar-lebar, dan BMW
hijau giok itu pun memasuki halaman rumah. Baron segera
kembali masuk ke dalam. Rupanya ia sedang menyimak acara
kesayangannya di teve layar lebar itu sehingga ia malas untuk
membuka pintu gerbang itu secara manual. Ia tak ingin
kehilangan waktu terlalu banyak untuk acara kesayangannya
itu.
"Jin bego itu sok pamer kesaktian lagi, Mala!" kecam
Sandhi bersifat mengadukan kemalasan Buron kepada
Kumala. Mobil masih bergerak pelan-pelan mendekati garasi.

Nanti akan berhenti di depan serambi samping, dan kumala
akan turun lebih dulu sebelum mobil dimasukkan ke garasi.
Kumala hanya menghembuskan napas panjang mendengar
pengaduan Sandhi. Menurutnya hal itu bukan persoalan yang
perlu ditanggapi terlalu serius. Tapi ia tetap memberi teguran
kepada Buron dengan caranya sendiri. Mungkin tidak malam
ini juga.
Pintu gerbang belum bisa ditutup kembali. Sandhi akan
menegur Buron, karena tugas Buron jika di rumah adalah
membukakan pintu gerbang saat Kumala pulang dari
bepergian, dan menutupnya kembali. Tugas itu dilakukan Mak
Bariah jika pelayan bagian dapur itu punya waktu untuk
melakukannya. Sandhi sering kesal melihat kemalasan Buron
seperti itu. Dan, ia tak ingin dibuat lebih capek lagi oleh tugas
Buron yang ditangguhkan itu. Maka, setelah ia menutup
garasi, ia pun bergegas ke ruang tengah dan bersuara lantang
kepada Buron.
"Hey, pintu depan belum ditutup tuh!"
"Kenapa nggak kau , tutup sekalian sih?"
"Memangnya itu tugasku, apa?!" Sandhi bersungut- sungut.
Buron tak menghiraukan kecaman itu. Ia sibuk memusatkan
perhatiannya kelayar teve.
"Tutup dulu, sana...!"tegur, Sandhi sebelum masuk kamar".
"Cerewet luh!" geram Buron kesal juga. Ia pun bergegas
meninggalkan layar tevenya. Namun langkahnya terhenti
kembali diteras depak Bahkan sebelum kedua kakinya
menginjak teras depan langkah itu sudah berhenti lebih dulu.
Bukan karena ingin mengerahkan kekuatan gaibnya untuk
menutup pintu gerbang dari jarak jauh, tapi karena ada
sesuatu yang membuat Buron agak kaget dan terpaksa
menghentikan langkahnya.
Seseorang telah nekat memasuki halaman rumahKumala
Dewi. Orang tersebut masih berusia remaja, sekitar I7 tahun.

Ia masih mengenakan pakaian seragam sekolah sebuah SMU
swasta Anak itu setengah berlari menghampiri teras dengan
wajah tegang sekali. Buron tak jadi menghardik anak itu
setelah melihat wajahnya sepucat mayat. Tubuhnya menggigil
ketakutan Bibirnya bergetar Napasnya pun tampak berat dan
terputus- putus.
"Hey... mau apa kamu?" tegur Buron dengan dahi berkerut,
sedikit bersikap galak demi menjaga wibawanya.
"Baang.. to... tolong saya, Bang...! Sa... saya takuut...!"
"Takut?! Takut apaan?!"
Anak itu tak berani mengjnjak lantai teras Ia berdiri di
depan tangga teras, merapat ke tanaman pohon palem,
sebentar-sebentar matanya melirik ke arah jalanan. Keringat
dinginnya tampak bercucuran membasahi sekujur wajah
pucatnya.
"Takut apa maksudmu, hah?! Sini... sini...!" ajak Buron
agak menunjukan kepeduliannya. Anak itu pun menghampiri
lebih dekat lagi Anak itu ingin menjawab pertanyaan Buron,
tapi suaranya bagaikan tenggelam dan bergumul bersama
degup jantungnya. Ia hanya bisa menggerak-gerakan
mulutnya, namun sulit melontarkan kata. Buron membawanya
duduk di kursi teras. Hatinya semakin merasa kasihan, sebab
anak itu benar-benar tersiksa oleh rasa takutnya yang begitu
besar. Bukan sedang berpura-pura menjadi orang ketakutan.
Karenanya, Buron mencoba membujuknya untuk tenang.
"Kama tinggal di mana?"
"Di blok B1, Bang. Di jalan Intan Utara..."
"Dekat lapangan tenis dong?"
"Be...betul,Bang."
"Namamu...?"
"An... Andy, Bang."

"Hmmm... kamu pulang sekolah, ya?"
"Se... sebetulnya sudah sejak tadi sore, Bang. Tapi saya...
saya mampir dulu ke rumah teman, jadi baru sekarang bisa
sampai sini, Bang. Hmm,eeh... hmmm..."
Percakapan itu mengalihkan perhaiian Andy sesaat. Dengan
begitu ketegangannya pun menjadi sedikit berkurang. Di
dalam sana, Sandhi sempat curiga mendengar suara Buron
bicara dengan seseorang. Ia menyempatkan melongok
keteras. Lalu, ikut berkerut dahi karena merasa asing dengan
anak yang diajak bicara Buron itu.
"Ada apa, Ron?"
Buron hanya melirik Sandhi sekejap, lalu bicara lagi kepada
Andy. Tak mempedulikan pertanyaan Sandhi.
"Nah, sekarang coba jelaskan, kenapa kamu sampai
ketakutan seperti ini? Apa yang membuatmu ketakutan tadi ! "
"Saya... saya melihat... terbang dan turun ketanah, Bang..."
"Apanya yang terbang?! Siapa yang terbang?!"
"Itu.. anu... manusia... manusia bersayap, Bang. Hiiiihh. !"
"Manusia bersayap?!" Sandhi menyahut dengan nada
terheran-heran. Ia ikut mendekati Andy. Tatapan matanya
bersikap menuntut kejujuran jawaban Andy tadi.
"Be... benar, Bang," anak itu menganggukkan kepala
kepada Sandhi. "Sayata.. takut sekali melihat... melihat
manusia bersayap tadi, Bang, Wajahnya nggak seperti
manusia biasa dan..."
"Di mana kau melihat manusia bersayap?!" desak Buron.
"Di sana, Bang... Di... di... samping gereja yang baru
terbakar tiga hari yang lalu itu, Bang. Di jalan sampingnya
itulah manusia bersayap turun dan mendaratkan kedua
kakinya yang... yang... iiihhh... saya ngeri sekali

membayangkannya, Bang!" Andy bergidik menggigil seperti
kedinginan. Gigi-gjginya saling gemerutuk. Sandhi dan Buron
saling beradu pandangan mata. Tegang dan cemas.
"Panggil Kumala...!" perintah Buron Dalam keadaan serius
seperti itu, Sandhi tak berani membantah perintah jelmaan Jin
Layon. Ia bergegas masuk untuk memberitahu kedatangan
Andy kepada Kumala. Tak lama kemudian Kumala Dewi pun
daiang ke teras. Ikut menanyai remaja berwajah imut-imut
penuh ciri-ciri penakut.
"Saya melihatnya setelah menyeberang jalan besar, Kak,"
kata Andy set elah mendapat usapan tangan di punggungnya
dari Kumala. Usapan tangan itu mengandung hawa gaib yang
dapat menenangkan kegundahan hati siapa pun, dan malam
itu terbukti mampu membuat Andy menjadi tidak gemetaran
lagi.
"Waktu saya mau menuju jalan samping gereja terbakar
itu, saya masih sangsi dengan pengjihatan saya sendiri, Kak.
Tapi setelah saya pertegas lagi, barulah saya yakin betul
bahwa saat itu saya meiihat ada orang terbang melintasi
reruntuhan gereja, lalu hinggap atau mendarat di jalanan
samping gereja. Orang itu tinggi, dan besar, matanya
memancarkan cahaya merah mengerikan. Sayapnya hitam dan
berhelai-helai seperti bendera umbul-umbul. Saya terpaku di
tempat. Mata saya tak bisa dipejamkan. Orang itu
menghampiri saya sampai berjarak lima meter. Lalu... lalu
sebelum saya jatuh pingsan, orang itu menggeram dengan
suara seperti kera. Ia menyeringai. Saya melihat giginya
runcing-runcing dan bertaring. Persis drakula di film-film
horor, Kak. Kemudian... entah kemana makhluk itu, sebab
saya terkulai lemas dan tak sadarkan diri. Pingsan di tempat
Entah berapa lama saya pingsan sampai akhimya saya siuman
sendiri, dan segeraberlari ketakutan menuju kemari..."

"Bagaimana bentuk daun telinganya? Apakah kau sempat
memperhatikan dan mengingat ya?" tanya Kumala setelah
tertegun sesaat.
"Daun telinganya... agak lebar dan meruncing ke atas
Tinggi."
Buron dan Sandhi sama-sama menatap Dewi Ular, seakan
mereka ingin mendengar kesimpulan dan reaksi gadis cantik
berbibir ranum itu. Tetapi pada waktu itu Kumala sedikit
menundukkan wajah. Matanya yang indah bak berlian itu
menatap lantai di depannya. Menerawang kosong. Sebentar
kemudian baru mengangkat wajah kembali. la langsung
memandang Buron, sebagai asistennya untuk urusan yang
berbau mistik. Lalu dengan suara tenang, berkharisma dan
enak didengar, Kumala memberi perintah tegas tepada
asistennya itu.
"Cari dia...!"
Buron hanya menganggukkan kepala dengan sikap patuh.
Badannya ditegakkan Kumala tahu apa yang akan dilakukan
Buron saat itu. Ia tak ingin Andy mengetahuinya, karena dapat
membangkitkan rasa takutnya Andy yang sudah dijinakkan itu.
Maka, dengan gerakan kepala tipis, Buron sudah paham
maksud isyarat Kumala itu. Ia pun menjadi sinar kuning
berekor mirip meteor kecil.
Bluug..:! Lenyap.
Malam semakin misterius. Suasana sepi terasa kian
mencekam. Seolah-olah ada kekuatan aneh yang mampu
menghbungkam seluruh kehidupan di muka bumi, membuat
malam benar-benar membisu kaku. Hanya suara lolongan
anjing saja yang sesekali terdengar mengalun meliuk-liuk di
kejauhan sana. Lolongan anjing itu sempat membuat bulu
kuduk orang yang mende ngarnya menjadi merinding. Alunan
lolongannya menyerupai jeritan roh yang tersiksa di alam
kuburnya.

Sayup-sayup terdengar percakapan Kumala Dewi dengan
seorang perempuan yang meneleponnya.
"Kenapa mesti pakai begituan segala sih, Tante? Penglaris
atau sejenisnya hanya dibutuhkan oleh pengusaha yang
kurang percaya diri dan kurahg matang dalam perhitungan
bisnisnya. Menurut saya sih.. Tante cukup matang dalam
perhitungan bisnisnya kok. Jadi, rasa-rasanya nggak perlu
minta penglaris pada saya deh."
"Terus terang, Kumala... di Bandung sainganku banyak.
Dan, mereka rata-rata juga pakai penglaris. Jadi, kalau aku
nggak pakai penglaris juga, bisa-bisa belum genap seminggu
restoranku sudah harus gulung tikar, alias bangkrut!"
"Ah, masak sih....?" Kumala tertawa kecil dan pendek.
"lya, Sumpah deh! Jadi, bagaimana... Mau nggak nolongin
aku dengan memberikan penglaris buat restoranku yang
besok kuresmikan? Keberatan kasih penglaris padaku, ya Mal
? "
"O, nggak. Keberatan sih nggak, Tante. Cuma... hmm,
baiklah. Kalau memang Tante lebih percaya diri dengan bekal
penglaris macam gituan, akan saya berikan. Tapi dalam
bentuk air, ya? Beli aja sebotol mineral, nanti air itu bisa Tante
bawa ke Bandung dan sebelum segalanya dimulai air
disiramkan dengan rata sekeliling tempat usaha Tante itu."
"Ya, ya... aku mengerti!" jawabnya berapi-api. Girang
sekali. "Aku akan meluncur ke rumahmu sekarang juga, ya?"
"Boleh. Tapi... sekarang sudah malam, Tante. Maksud
saya... memang masih pukul sepuluh lewat sedikit sih, tapi
cuacanya sedang kurang baik, Tante, Apakah..."
"Soalnya besok pagi-pagi sekali aku sudah harus berangkat
ke Bandung bersama-sama beberapa stafku dari sini. Kapan
lagi aku dapatkan penglaris itu kalau nggak malam ini juga?"

Kumala Dewi tak bisa mencegah kemauan Tante Munna.
Perempuan berusia sekitar 40 tahun itu memang mempunyai
sifat keras hati. Cenderung egois. Kumala sudah mengenalnya
lebih dari tiga bulan. Ia tahu, janda cantik berperawakan
tinggi, sekal, montok dan gesit itu memang mempunyai nilai
keberanian agak tinggi dibanding perempuan sebayanya.
Bukan hanya penampilannya yang cenderung tomboy saja
yang membuatnya kurang feminim, tapi jiwanya pun memang
berjiwa lelaki, sehingga tak merasa takut jika harus pergi
tengah malam.
Kumala mengenal Tante Munna ketika janda berkulit coklat
dan gemar berpetualang di dunia cinta asmara itu menghadapi
kasus misteri, yaitu kehilangan teman kencannya yang kala itu
masih dibangga-banggakan, (Baca serial Dewi Ular dalam
episode "MISTERI PENCULIK ASMARA"). Sejak mengetahui
kehebatan supranaturalnya Kumala Dewi, ia sering
mengbubungi Kumala walau melalui telepon. Hal itu tentunya
bertujuan menjalin persahabatan lebih akrab lagi, sehingga
jika ia membutuhkan pertolongan yang bersifat mistis, maka ia
tak akan sungkan-sungkan memohon kepada Kumala. Dan,
permohonannyayang bersifat familiar itu selalu sulit ditolak
oleh Kumala, seperti halnya pada malam yang bernuansa
misterius ini.
"Kok banyak kabut sih? Tumben?!" gumam Tante Munna
sambil mengendarai Espass merahnya sendirian Matany ayang
sedikit lebar bertepian hitam itu menatap lurus ke depan
dengan tajam. Dahinya berkerut kuat, pertanda sedang
berusaha memperjelas pandangannya yang sedikit kabur
sambil hatinya merasa heran melihat jakarta berkabut,seperti
suasana di Puncak atau di dataran tinggi lainnya. Meski
demikian ia masih tetap tenang dann tak berlarut-larut
membahas kabut malam yang sebenarnya sangat ganjil itu.
"Eh, kok makin lama makin tebal sih? Kabul apaan ini?
Jangan-jangan asap dari rumah kebakaran nih?!"

Kecepatan mobil berkurang. Tante Munna semakin berhatihati
mengendarai mobilnya dalam keadaan pandangan mata
berkabut.
Permukaan aspal jalanan tak terlihat lagi. Kendaraan yang
melintas di jalan itu sangat sedikit. Hanya satu-dua saja yang
tampak melintas berpapasan dengan menyalakan lampu
kabutnya. Hati Tante Munna mulai serius menanggapi situasi
ganjil itu. Menurutnya, jalan tersebut biasanya belum sesepi
ini walau sudah pukul sepuluh lewat. Mestinya, paling tidak
beberapa taksi akan dijumpainya sepanjang perjalanan
tersebut. Tapi kenyataannya sejak tadi baru sekitar 3 buah
}aksi yang sempat dilihatnya tadi.
"Lho, kok jadi nyasar ke sini sih?!"
Tante Munna terheran-heran sekali. Kabut memang sudah
tidak setebal tadi. Tidak terlalu mengganggu penglihatan Tapi
menurutnya jalan itu bukan jalan menuju ke rumah Kumala
Dewi. Padahal sudah lebih dari seratus kali Tante Munna
menggunakan jalur jalan itu untuk menuju ke beberapa
tempat rekanan bisnisnya, termasuk menuju ke rumah
Kumala, dan selama ini ia tak pernah salah jalan. Sekarang
justru jalan yang dilaluinya itu adalah jalan menuju ke tempat
lain, bertolak belakang dengan arah yang dituju.
"Gila! Kenapa aku bisa sampai sebodoh ini sih?! Cuma
karena terhalang kabut sebentar masa mobil ini bisa
nyelonong sampai kesini sih? Ini kan jalan Ring Rood menuju
pinggiran kota?!"
Sambil menggerutu kesal sendiri Tante Munna cepat-cepat
banting stir ke kanan begitu tiba di jalur putar balik.
Kecepatan mobilnya ditinggikan. Ngebut. Ia tak ingin buangbuang
waktu terlalu banyak, mengingat sebentar lagi sudah
pukul sebelas malam. Tak ada rasa takut atau was-was dalam
hatinya, karena suasana jalanan tak sesepi tadi. Ada biskota
yang masih beroperasi, ada taksi dan kendaraan pribadi yang
berjalan normal seperti malam-malam biasanya. Hati

perempuan berambut cepak itu hanya menyimpan rasa heran
dan penasaran atas peristiwa aneh itu, hingga akhirnya ia
semakin bingung dan jengjcel sendiri .
"Sial ! Benar-benar sial nasibku malam ini! Kumala pasti
sudah menunggu-nunggu kedatanganku. Ah, nggak enak juga
jadinya kalau begini. Mengganggu dia yang mungkin sudah
mau naik ke pembaringan. Tapi... peduli amatlah! Yang
penting malam ini juga aku bisa dapatkan penglaris hebat dari
dia, biar besok bisa kubawa ke Bandung. Mungkin memang
harus bersusah-susah dulu seperti ini kalau mau mendapatkan
penglaris hebat dari orang seperti Kumala itu..."
Belum puas Tante Munna berkecamuk dalam hatinya , tibatiba
deru mesin mobilnya berhenti secara mendadak. Hilang
begitu saja, tanpa ada tanda-tanda apapun. Buru-buru tangan
Tante Munna meraih kunci kontak dan menstaternya kembali.
Tapi mesin tetap mati. Tak ada getaran kontak listrik sedikit
pun. Kunci itu sepertinya telah dol hingga tak berfungsi sama
sekali. Tante Munna gagal menghidupkan kembali mesin
mobilnya. Tak ada pilihan lain kecuali membawa mobilnya ke
tepian dan berhenti dalam keremangan cahaya mercury.
"Benar-benar brengsek mobil ini! Belum ada enam bulan
keluar dari showroom sudah ngadat begini! Huhh... kalau tahu
kualitasnya menyebalkan begini mendingan beli yang sedan
sekalian deh!"
Tempat yang sepi, jauh dari bengkel, membuat Tante
Munna hanya punya satu pilihan, yaitu menghubungi mobil
derek menggunakan fasilitas handphonenya. Ia sudah
mencobanya berkali-kali sampai hatinya benar-benar jengkel,
toh mobil itu tetap saja tak bisa distarter lagi. Ia mencoba
memeriksa mesin mobil, tak ditemukan kerusakan apapun
pada mesin tersebut, atau memang ia tak mampu menemukan
kerusakannya? Yang jelas, sebelum berhasil menghubungi
pihak jasa mobil derek, hati Tante Munna sedikit berharap
lega. Dilihatnya seorang lelaki berjalan menuju ke mobilnya .

Lelaki itu tampaknya masih muda. Usianya masih sekitar 27
tahun. Mengenakan T-shirt ketat dan celana jeans rapi. Ia
tampak sedang mencari taksi kosong untuk ditumpanginya,
terlihat dari jalannya yang sebentar-sebentar menengok ke
belakang. T ante Munna yang, saat itu berdiri di samping pintu
mobilnya berlagak: tak memperhatikan pemuda tersebut.
Namun begitu pemuda tersebut hendak melewatinya segera
saja Tante Munna menegur dengan keramahan agak
canggung.
"Maaf, Bung.,, apakah Anda bisa bantu saya sebentar,
Bung?"
Dalam keremangan cahaya lampu mercury berjarak 50
meter itu Tante Munna melihat senyum di wajah ganteng
pemuda tersebut cukup menimbulkan kesan bersahabat.
Keramahan senyum tersebut menimbulkan kesan simpati yang
menyenangkan hati. Ditambah lagi dengan penampilannya
yang dandy,berbadan tegap, sedikit berotot, dan berkulit putih
bersih untuk jenis kulit lelaki, maka Tante Munna merasa
sedikit beruntung bisa bertemu dengan pemuda itu. Agaknya
pemuda itu pun menanggapi kesulitan TanteMunna
dengankesan sangat peduli, sehingga kejengkelan hati Tante
Munna pun scmakin terkikis habis.
"Kenapa bisa mogok begini, Tante?"
"Mana saya tahu? Anda bisa periksa sendiri mesinnya.
Dan..."
"Boleh saya coba menstaternya?"
"Hmm, ya... silakan!" sambil Tante Munna sedikit mundur,
memberikan tempat untuk pemuda itu. Dengan tanpa naik ke
mobil dan tanpa menginjak gas, pemuda itu memutar kunci
kontak pelan-pelan. Dan, gruuuung. .! Ternyata ia berhasil.
Mesin menderum dengan normal, seperti sediakala. Tante
Munna terperangah girang dan heran. Pemuda itu menarik diri
dan mempersilakan Tante Munna duduk di jok sopir.

"Silakan Mobil ini tak bermasalah kok, Tante."
"Aneh Padahal tadi... tadi ..."
"Maaf, saya harus buru-buru pulang, mumpung ada taksi
kosong lewat tuh !" sambil bergegas melambaikan tangan,
menghentikan taksi. Tapi dengan cepat niatnya dapat ditahan
oleh suara Tante Munna.
"Ehmm, sebentar... Apa nggak sebaiknya Anda ikut di mobil
saya saja, Bung?!"
"Ah, terlalu merepotkan Tante nanti."
"Tapi saya perlu berterima kasih pada Anda, bukan? Anda
telah bantu saya dan saya pun harus bantu Anda. Naiklah Di
mana Anda tinggal? Biar saya antar sampai rumah Anda,
Bung. Ayolah. "
Setelah saling pandang beberapa saat, saling menukar
senyum persahabatan beberapa desiran, akhirnya pemuda itu
pun menerima tawaran Tante Munna. Ruang ber-AC dalam
mobil itu segera dipenuhi aroma wangi parfum lelaki yang
mengisyaratkan sebentuk kejantanan pria sejati. Tante Munna
sangat menyukai parfum beraroma seperti itu. Tak heran jika
hatinya semakin berdebar-debar indah setelah melanjutkan
perjalanannya ditemani pemuda berhidung mancung yang
punya wajah mirip Tom Cruise itu. Kebetulan sekali setelah
Tante Munna lebih dulu memperkenalkan namanya, ternyata
pria muda mirip Tom Cruise itu juga punya nama Tom, yaitu
Tomhans.
"Jadi bagaimana aku harus memanggilmu: Tom atau
Hans?"
"Apa sajalah. Terserah apa enaknya buat Tante Mun,"
jawabnya bernada lebih akrab lagi, membuat debar-debar hati
Tante Munna mulai berubah menjadi desiran-desiran memicu
gairah asmara. Desiran ersebut mulai memabokkan jiwa, mulai
melenakan harapan, dan tak menutup kemungkinan Tante

Munna akan berubah pikiran, sekaligus berubah arah tujuan
semula janda yang memang doyan lalapan daun muda
memang mudah tergoda pendiriannya jika menemukan lawan
bicara seperti Tomhans itu.
"Sangat terkutuk kalau aku nggak memanfaatkan
kesempatan emas seperti ini, dan semakin terkutuk lagi kalau
kubiarkan cowok seperti Tom turun dari mobilku tanpa
meninggalkan bekas kehangatan asmara jantannya itu," pikir
Tante Munna sepanjang perjalanan menuju ke rumah Tom.
Sesuai dengan janjinya, Tante Munna akan mengantarkan
Tom sampai depan rumah. Namun setelah mereka terlibat
percakapan lebih familiar lagi, dalam benak Tante Munna
segera muncul gagasan untuk mencoba-coba merubah
rencana menggeser janji semula.
Ia ingin tahu apakah Tom menanggapi perubahan janjinya,
atau sama sekali tak memberi sinyal yang berarti Tante Munna
harus kembali menepati janjinya tadi ?
"Apakah kau harus cepat-cepat sampai rumah, Tom?
Istrimu sudah menunggu, barangkali?"
"Nggak Saya belum punya istri kok."
"Tapi ada seseorang yang sedang menunggumu di rumah,
begitu?"
"Nggak juga. Saya cuma merasa nggak punya acara. lagi
jadi harus pulang dan beristirahat. Soalnya. besok saya harus
berangkat ke Bandung. Menjemput mama yang kepingin
tinggal di Jakarta lagi!"
" Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Besok aku juga ! mau
ke Bandung, Tom."
"0,ya...?!"
”Kita bisa barengan deh. Kamu bawa mobil sendiri?"

"Berangkat dari sini sih... nggak, tapi pulangnya bersama
mama nanti memang bawa mobil sendiri."
"Kalau begitu kamu bisa berangkat bareng aku. Mau?"
"Boleh saja," Tom tampak berseri-seri.
"Jadi, malam ini kamu nggak harus cepat-cepat pulang,
kan?"
"Maksud Tante...?!"
"Kita mampir dulu ke rumahku, karena ada barang yang
harus segera kuberikan pada keponakanku di rumah. Setelah
itu, baru kuantar kau pulang kerumahmu. Bagaimana? Atau...
mau nggak usah pulang sekalan?'" pancing Tante Munna
berlagak canda, padahal sangat berharap ditanggapi secara
serius oleh Tomhans.
Tomhans tidak berkomentar apa-apa. Tak jelas jawabannya
atas tawaran Tante Munna itu. Ketampanannya yang sesekali
tampak tersiram cahaya mobil dari depan hanya menampilkan
senyum maskulinnya yang membingungkan Tante Munna.
Apakah pria muda itu tak keberatan jika harus mampir ke
rumah Tante Munna, atau ia mempunyai rasa keberatan hati
yang tak berani diungkapkan? Semua ketidak pastian tersebut
akhirnya dilupakan oleh Tante Munna. Dianggap tak pernah
ada. Dan, yang jelas-jelas ada dalam diri Tante Munna adalah
keberanian. Nekad membawa Tom pulang ke rumahnya.
Ternyata pemuda itu tak berkomentar apa-apa juga.
Sikapnya masih baik. Masih menunjukan rasa bersahabat.
Tak menolak sewaktu dipersilakan masuk ke rumah Tante
Munna. Tak keberatan ketika dlbawa naik ke lantai atas,
tempat di mana kamar tidur dan ruang santai pribadi Tante
Munna herada. Pada waktu diimintai pendapatnya tentang
suasana rumah janda sekal itu, Tom hanya manggut-manggut
seraya menjawab secara diplomatis .

"Bagus. Rumah ini terkesan nyaman dan bikin betah tamu
yang datang kemari. Cuma sayang... terlalu dingin untuk
seorang wanita karir seperti Tante Munna ini."
"Dingin yang bagaimana maksudmu ? " Tante Munna
segera menangkap makna diplomasi tersebut dengan senyum
penuh arti. Bahkan sempat berlagak bodoh di depan sang
tamu.
"Dingin. . karena terlalu besar AC nya, begitu?"
"Bisa saja begitu. Tapi... bisa saja dingin dalam pengertian
lain. Dan, saya yakin cuma Tante yang bisa merasakannya."
Tawa geli lepas dari mulut Tante Munna yang masih
berbibir sexy dan menantang setiap lelaki itu.
"Wajar saja kalau dingin," katanya. "Habis, sudah
bertahun-tahun tak ada lelaki yang menghaagatkan rumah ini
sih."
"Ooo... begitu?" gumam Tomhans sambil berlagak melihatlihat
suasana kamar tidur yang pintunya sengaja dibuka lebarlebar
oleh Tahte Munna. Ia hanya berani berdiri di pintu,
sementara pemilik kamar sudah berada di dalam, sedang
menghampiri sebuah jaket digantungan baju, seolah-olah la
akan mengenakari jaket itu jika mengantar pulang Tom nanti.
"Masuklah, Tom. Jangan berdiri di pintu saja. O, ya... mau
minuman penghangat badan? Aku masih menyimpan
champagne sisa pesta ultahku tempo hari. Mau...?"
"Boleh juga," seraya melangkah masuk, mendekati sebuah
sofa sudut yang memiliki lampu tidur bertiang tinggi. Setelah
duduk di sana Tom menyambung kata-katanya tadi.
"Tapi menurut saya yang layak dijadikan penghangat badan
bukan minuman champagne. Itu masih kurang hangat."
"Ada yang lebih hangat lagi begitu?"
"Ya. Ada yang lebih hangat lagi dari minuman tersebut."

" Apa yang lebih hangat dari champagne?"
"Api...," jawab Tom sambil melebarkan senyum dan
tawanya mirip orang menggumam. Canda itu ditanggapi oleh
Tante Munna dengan tawa lepas, pertanda hatinya semakin
girang menerima tamu yang memiliki selera humor cukup
elite. Bukan humor kampungan. Oleh karenanya, ketika
menghampiri Tom sambil membawa dua gelas minuman
penghangat badan, Tante Munna sengaja memancing arti
kelakar tadi ke arah yang lebih sensitif lagi.
"Memang benar, api lebih hangat dari seteguk champagne.
Tapi... api apa dulu dong ? Jelaskan, api apa yang kamu
maksud tadi, Tom?"
"Api apa saja... termasuk api asmara, tentunya."
"Wow...! Itu api yang aku sukai, haah, haaah, haaah...!"
Tante Munna tak sungkan-sungkan melepaskan tawa
lebarnya dengan suara yang khas; sedikit besar dan agak
serak-serak parau. Bahkan sambil merasa geli dalam tawanya
ia berani memukul lengan Tomhans, seolah-olah memukul dan
mencubit sudah merupakan bagian dari keakraban hubungan
mereka. Lambang kebebasan mereka. lsyarat keterbukaan
Tante Munna terhadap apapun yang ingin disentuh Tom dari
dirinya. Dan, ternyata malam pun benar-benar menjadi lebih
hangat lagi dari sekedar minuman maupun kepulan asap rokok
kesukaan Tante Munna itu.
Janda berkulit coklat ini agak binal. Beberapa orang yang
dekat dengannya menilainya begitu. Tak heran jika kali ini
tangannya sudah berhasil melakukan keisengan nakal di
pangkuan Tomhans, dan bicaranya sudah menjurus pada halhal
yang bersifat membangkitkan gairah seseorang lelaki.
"Menurutmu apakah sulit membuat malam ini menjadi
malam yang penuh kehangatan, Tom?"

"Nggak. Nggak sulit. Saya sanggup membuat malam ini
menjadi malam yang penuh kehangatan, karena saya memiliki
energi panas yang dibutuhkan oleh setiap wanita."
"O, ya... ?!" bisiknya parau. Matanya sudah mulai sayu.
"mungkin Tante belum tahu, bahwa saya adalah penguasa
kehangatan dan cinta, penguasa kemesraan dan kepuasan
bercinta."
"Oooh, benarkah. .?!" Tante Munna seperti merengek.
Tangannya meremas sesuatu dengan geram. Hatinya semakin
bergemuruh karena yang diremas saat itu adalah sesuatu
yang diharapkan hingga berdebar-debar sangat kuat.
"Tante Munna nggak percaya kalau saya penguasa
kehangatan dan cinta?"
"Akan percaya kalau kau membuktikannya, Tom. Buktikan
dulu padaku seberapa indah kehangatan dan cinta yang kau
miliki itu. Bagaimana?"
Tantangan itu pantang dihindari oleh Tomhans. la
menyambut tantangan Tante Munna dengan-sentuhan tangan
yang lembut, tapi membuat api gairah berkobar-kobar dalam
diri Tante Munna.
Bahkan ketika Tante Munna sengaja menatapnya dengan
pandangan mata semakin sayu, Tomhans segera membalas
dengan pandangan sayu pula yang semakin mendekati wajah
cantik Tante Munna. Dengus napas Tomhans membakar
wajah Tante Munna, membuat ia terpaksa makin
memejamkan mata dan sedikit mengangkat dagunya.
Bibir sensual yang sengaja merekah basah itu sempat
menunggu sentuhan beberapa detik. Tak lama kemudian
Tante Munna merasakan bibibirnya disapu lembut oleh ujung
lidah Tomhans. Sapuan itu bertambah ganas, sehingga cepatcepat
disambut oleh Tante Munna dengan kecupan dan
pagutan liar. Ia melumat bibir Tomhans, sementara tangan

Tomhans terbenam di balik blus berleher lebar itu. Tangan
Tante Munna pun tak mau kalah nakal, bergerak menyusuri
bagian-bagian sensitif di tubuh Tomhans.
"Ooouh, Tooom... Tooom, teruskan cumbuanmu. Nikmat
sckali... indah sekali, Toom. Ooohh, aku menyukainya,
Sayang...!"
Entah apa lag coleteh yang berhamburan dari mulut Tante
Munna, Tomhans menyusuri sekujur tubuhnya dengan ciuman
dan jamahan tangan semakin liar. Sampai akhirnya mata
Tante Munna terpejam, ketika menerima sapaan cinta
Tomhans yang paling istimewa, karena Tom memiliki sapaan
cinta melebihi yang dimiliki pria lain. Tante Munna sangat
kegirangan. Ungkapan hati senangnya itu diwujudkan dalam
bentuk pergumulan mesra penuh amukan emosi jiwa. Meski
sekujur tubuhya bermandi peluh, namun ia tetap memacu
Tomhans agar melaju tanpa henti, bagaikan seorang kesatria
yang menunggangi kuda dengan ganas dan beringas.
Ketika ledakan puncak asmara Tomhans terjadi, Tante
Munna memekik keras dengan suara berat dan panjang.
Suaranya itu tak begitu terdengar jelas karena pada saat
puncak asmara Tom tiba, langit seperti ikut merasakan
guncangan kenikmatannya. Guntur menggelegar di angkasa.
Bergemuruh saling bersahutan, hingga menyerupai rangkaian
suara gaib dari alam seberang.
Seandainya Tante Munna tidak menggeliat dalam amukan
emosi kenikmatannya yang paling indah dari sebelumnya,
mungkin ia pun akan merasakan bahwa ranjang tempatnya
bercumbu dahsyat itu ikut bergetar. Begitu pula benda-benda
kecil lainnya, dan derak kaca jendela juga terdengar akibat
bergetar.
Getaran itu adalah getaran jiwa Tomhans saat mencapai
puncak kemesraannya. Adakah lelaki lain yang memiliki
keistimewaan seperti itu; membuat bumi bergetar saat

mencapai puncak kemesraannya? Jika hanya Tomhans
orangnya, lalu siapa sebenarnya Tomhans itu?
(Oo-dwkz-234-novo-oO)
2
SEMALAM suntuk Buron menjalankan tugasnya. Saat
sarapan pagi tiba Buron baru pulang dari penjelajahannya,
memburu manusia bersayap. Pagi itu Kumala Dewi menikmati
nasi goreng masakannya Mak Bariah bersama tamu mudanya.
Jika biasanya ia ditemani buron dan Sandhi, tapi kali ini ada
seorang lagi yang menemaninya menikmati makan pagi, yaitu
Andy.
Remaja bertampang imut-imut itu memang disarankan oleh
Kumala untuk tidak pulang kerumahnya. Bermalam di rumah
Kumala merupakan salah satu alternatif terbaik bagi andy.
Sebab, dikhawatirkan akan terjadi sesuatu yang berbahaya
bagi keselamatan Andy jika tadi malam ia harus pulang ke
rumahnya.
"Mamamu tadi menelepon waktu kau mandi," kata Kumala
kepada Andy."Setelah mendengar keadaanmu baik-baik saja,
beliau tampaknya sudah tidak mengkhawatirkan lagi."
"Mama memang begitu. Nggak mudah percaya pada orang
Iain. Maafkan saja sikap mama itu, Kak, Walau pun semalam
Kak Mala sudah meneleponnya sampai dua kali, tapi mama
pasti masih kurang percaya dengan pernyataan Kakak yang
akan menjamin keselamatan saya. Sorry aja, ya Kak."
"Nggak apa-apa. Itu wajar Seorang ibu yang mencintai
anaknya memang pantas untuk selalu mengkhawatirkan diri
anaknya. Kita nggak boleh mengecam sikap mamamu itu,
Andy."

"Benar," timpal Sandhi. "Apalagi mamamu belum kenal
betul siapa Kak Kumala Dewi ini, wajar saja kalau dia tak
sepenuhnya mempercayai kesanggupan kami dalam menjamin
keselamatanmu."
Pada saat itu percakapan mereka terhenti, dan perhatian
mereka tertuju ke arah lain. Buron muncul, seperti baru saja
keluar dari kamar tidurnya. Padahal Buron baru saja tiba
dalam bentuk cahaya kuning yang segera menjelma diri
menjadi sosok pemuda berambut kucai di dalam kamarnya.
Hal itu ia lakukan untuk inenghindari ketakutan Andy jika ia
tahu-tahu muncul secara gaib di ruang makan.
"Eh, Abang...? Sarapan yuk, Bang?" sapa Andy dengan
ramah dan bersikap hormat, pertanda ia anak yang punya
etika dan tahu sopan santun. Ia menyangka Buron baru
bangun tidur.Setelah menjawab sapaan Andy secara basabasi,
Buron langsung duduk di kursi samping Sandhi.
Bersebrangan dengan tempat duduknya Kumala Dewi. Ia
tampak letih dan kurang ceria. Kumala dapat menduga pasti
tak ada hasil yang menggembirakan dari tugas Buron. Maka,
sengaja Kumala hanya memandangi asistennya untuk urusan
gaib itu tanpa bertanya apa-apa. Justru Sandhi yang lebih dulu
mengajukan pertanyaan karena ingin segera mengetahui apa
saja yang didapatkan oleh Buron setelah semalam suntuk
berkelana menjelajahi alam sekeliling mereka.
"Bagaimana? Kau temukan si manusia bersayap itu?!"
Jawaban pertama dari Buron adalah menggelengkan
kepala.
"Aku ngak ketemu manusia bersayap."
"Maksudmu, apa yang dikatakan Andy semalam itu
bohong?!"
Andy menyahut agak ngotot, "Nggak kok, Bang. Saya
nggak bohong. Berani sumpah deh!" Anak itu ketakutan kalau
dituduh pembohong, Tapi Buron segera menyambung

laporannya yang membuat Andy sedikit lega, walau
sebenarnya ia masih kurang paham maksud kata-kata Buron
itu.
"Tapi aku sempat menangkap gelombang energi asing
sebelum tengah malam tiba. Gelombang energi itu jelas bukan
dari alam ini. Aku sempat terpental sewaktu mendekati
radiusnya. Sayang sekali ketika kukejar kembali, gelombang
energi as ing itu lenyap tanpa bisa, kudeteksi lagi. Sampai pagi
ini aku masih melacaknya, tapi gelombang energi asing itu
nggak ada di sekeliling Jakarta, bahkan sekeliling Jawa Barat
nggak ketemu juga energi itu. Maka, aku pulang saja sebelum
tulang-tulangku remuk semua."
"Remuk...?!" Dewi Ular berkerut dahi penuh perhatian pada
Buron. Sandhi juga curiga dengan kata-kata Buron yang
terakhir, sedangkan Andy hanya bengong saja tak mengerti
maksud seluruh laporan Buron. Andy memang tidak
mengetahui bahwa Buron adalah jelmaan Jin Layon yang
mempunyai kesaktian sendiri dalam melacak energi gaib dari
alam lain. Tapi Andy sempat terperanjat juga sewaktu Buron
berdiri dan menyingkapkan kausnya ke atas. Kumala dan Sandhi
pun terkejut melihat sekitar tulang rusuk Buron sampai ke
batas pusarnya mengalami luka memar. Biru kehitam-hitaman.
"Kenapa sampai memar begini, Ron?!" tanya Sandhi.
"Energi asing itu yang membuatnya begini. Waktu kudekati,
dan aku masuk dalam radiusnya, tiba-tiba ia menyentak
sangat kuat hingga aku terlempar jauh. Sentakan itu
mengandung racun yang kurasakan bakal meremukan tulang
rusukku, bahkan lama-lama akan meremukan seluruh tulangtulang
ini. Makanya aku tak berani tetap memburunya. Aku
harus segera pulang dan kau harus cepat-cepat cegah racun
ini pembusuk tulang ini, Kumala. Aku nggak mampu
mencegahnya!"
"Racun penghancur tulang?!" Kumala menggumam bernada
curiga, Sepertinya ia memiliki kesimpulan sendiri atas luka

yang diderita Buron itu. Tapi ia tak katakan kepada siapa pun,
siapa pihak yang dicurigai sebagai pemilik energi gaib yang
mengandung racun penghancur tulang itu. Atau barangkali ia
masih meragukan kesimpulannya, sehingga belum berani
memberi pernyataan di depan mereka. Yang jelas, ia harus
segera tangani luka berbahaya yang dapat. menghaneurkan
seluruh jaringan tubuh dalam seketika, seandainya bukan
Buron yang mengalaminya.
Setidaknya luka yang didenta Buron itu telah menjadi bukti
bahwa cerita Andy bukan cerita bohong. Meski pun orang tua
Andy tetap menganggap kesaksian putranya adalah sebuah
halusinasi dari anak yang memang berjiwa pengecut itu,
namun Kumala Dewi tetap beranggapan lain. Hanya saja,
ketika ia mengantarkan pulang Andy dan menjelaskan kepada
orang tua Andy mengenai kasus tersebut, ia tidak memberi
pernyataan apa-apa terhadap anggapan orang tua Andy.
Menurutnya sangat sulit bagi orang awam untuk mempercayai
kesaksian Andy itu.
"Sebaiknya kurangi saja aktivitas keluar malam mulai
sekarang." Hanya itu saran Kumala yang ditujukan kepada
Andy dan keluarganya. Tetapi kepada sopir kesayangannya
Kumala memberi pernyataan yang lebih tegas lagi.
"Aku yakin kita telah kedatangan tamu dari alam sana. Aku
akan melacaknya sendiri kalau urusan kantor hari ini sudah
selesai!"
"Apa kira-kira tujuan tamu itu datang kernari?"
"Sebentar lagi kita akan mendengar informasi yang lebih
penting dari kesaksian Andy. Entah siapa yang membawa
informasi tersebut. Tapi firasatku mengatakan, akan ada
seseorang yang menemuiku untuk meminta bantuan atas
kasusnya. Kasus itulah yang kumaksud sebagai informasi
penting. Dari informasi itu barangkali bisa diketahui maksud
dan tujuan tamu gaib tersebut!"

Tak sedikit pun Sandhi meragukan kata-kata majikan
cantiknya. Sebab, ia tahu persis bahwa majikan cantiknya itu
selalu berkata benar. Jauh lebih tepat dari ramalan para ahli
nujum mana pun. Sandhi hanya menunggu dan bertanyatanya,
siapa orang yang akan datang untuk meminta bantuan
Kumala atas kasus yang dihadapinya? Kapankah orang itu
akan datang menemui Kumala Dewi ? Siang atau malam ? Di
kantor atau setelah mereka berada di rumah ?.
Seperti biasa, selama Kumala dalam jam kerja, Sandhi
tetap menunggu di ruang khusus untuk para sopir, ruangan
bagi para driver itu berada di lantai bawah dekat temppat
parkir mobil para manager. Di sana mereka menunggu
perintah dari atasann.ya sewaktu-waktu Ada yang mengisi
kekosongan dengan bermain atau baca koran, ada pula yang
ngobrol di kantin yang letaknya tak jauh dari tempat parkir. Di
ruang itu juga dilengkapi dengan dua pesawat telepon antar
ruangan, sehingga Kumala Dewi bisa bicara dengan sopirnya
meski dia berada di ruang kerjanya, di lantai delapan.
"San, aku mau rapat dengan para pemegang saham sampai
pukul tiga nanti. Tolong kalau ada yang mencariku
sehubungan dengan informasi yang kubicarakan tadi, kau
handle dulu deh, ya? Tahan tamu itu jangan sampai pulang
sebelum ketemu aku. Jelas?"
"Jelas. Tapi... apakah kau tahu siapa tamu kita nanti?"
"Entahlah. Aku sengaja nggak mau meneropongnya, karena
siapa pun dia itu nggak penting. Yang penting adalah
keluhannya."
Sandhi berani bertanya begitu karena ia tahu bahwa
sebenarnya Dewi Ular bisa mengetahui siapa tamu yang akan
menemuinya melalui teropong supranaturalnya. Tapi ia pun
memaklumi maksud Kumala yang enggan meneropong calon
tamunya itu, karena tidak semua tamu yang akan datang
harus diteropong lebih dulu. Hanya dalam keadaan yang
benar-benar genting saja hal itu dilakukan. Atau manakala

konsentrasi gadis yang menjabat sebagai konsultan
perusahaan itu tidak sedang sibuk oleh urusan kantor, maka
teropong gaibnya sering digunakan sebelum sang tamu
datang.
Hanya Sandhilah satu-satunya sopir y ang diperlakukan
secara istimewa oleh majikannya. Sebab, hubungan Kumala
dengan Sandhi selama ini memang sudah seperti keluarga
sendiri. Kumala tidak menganggap Sandhi sebagai sopirnya
yang kedudukannya lebih rendah, melainkan sebagai anggota
keluarganya yang punya kedudukan sejajar dengannya. Buron
pun diperlakukan demikian oleh si anak dewa itu. Maka, ketika
usai makan siang itu seorang tamu benar-benar datang dan
sangat membutuhkan Kumala, sekretarisnya Kumala segera
menghubungi Sandhi. Hanya Sandhilah satu-satunya sopir
yang boleh menggunakan ruang kerjanya majikan manakala
sang majikan tidak berada di tempat. Wewenang Sandhi jauh
lebih tinggi daripada sekretarisnya Kumala.
"Mana tamunya?"
"Sudah ada di dalam. Habis, tadi Zus Mala pesan begitu sih.
Temui saja dia. Mungkin kau sudah mengenalnya, San," kata
sekretaris berwajah mungil itu. Sandhi segera masuk ke ruang
kerjanya Kumala yang terpisah dengan meja kerja karyawan
lainnya itu, tertutup rapat dan sangat eksklusif.
"Hey...?"
"Sandhi ...?! Oh, syukurlah kau Segera datang. Aku harus
bertemu dengan Kumala secepatnya, San. Bisakah kau
membantuku mempertemukan dengan Kumala?! Tolong deh,
San... ini penting sekali!"
"Hmmm, tenanglah dulu...! Jangan panik begitu dong
Duduklah."
Sandhi terpaksa menenangkan tamunya yang tampak panik
dan sangat tegang itu. la berhasil membujuk tamu berwajah
cantik yang sudah dikenalnya cukup akrab sejak lima bulan

yang lalu. Gadis itu memang seorang model yang kebetulan
memiliki wajah dan nama hampir mirip dengan penyanyi
barat: Jessica Simpson Rambutnya yang panjang disemir
pirang, postur tubuhnyayang tergolong tinggi itu selalu
dirawat dan dijaga. agar tak menjadi korban kebanyakan
kolestrol, sehingga penampilannya itu sering membuat orang
lain menyangkanya sebagai gadis bule Padahal dia made in
dalam negeri.
Jessica menjalin hubungan akrab dengan Kumala dan
orang-orangnya. Buronlah yang menemukan Jessica pertama
kalinya, yaitu ketika Jessica ingin melakukan tindakan nekat:
bunuh diri, akibat kematian pacarnya yang sangat dicintai,
(Baca serial Dewi Ular dalam episode: "GADIS PENUNGGU
JENAZAH"). Sejak ia diselamatkan Buron dari keputus
asaannya dan bergabung dengan Kumala, ia sering
bertandang ke rumah Kumala, sesekali menyempatkan
bermalam di sana. Maka, ketika siang itu ia bertemu dengan
Sandhi, gadis berusia 27 tahun itu tak segan-segan
mengungkapkan keluh kesah dan ketegangannya yang sempat
membuatnya agak panik tadi.
"Sungguh San! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri
dalam jarak beberapa meter. Jelas dan sangat jelas sekali !
Dia adalah Tommy. Sumpah mampus deh, San! Dia memang
Tommy, pacarku yang dulu."
"Lalu, kenapa kamu jadi tegang sekali kalau benar dia
adalah Tommy pacarmu? Apakah... dia kau lihat sedang
berduaan dengan perempuan lain, begitu?!"
"Bukan itu yang membuatku takut sekaligus senang da
nsedih!"
"Jadi...?"
"Tommy itu kan udah mati sekitar delapan bulan yang lalu,
San!"
"Sudah meninggal dunia , maksudmu?!"

"lya! Kematiannya itulah yang membuatku dulu hampir
bunuh diri, untung segera diselamatkan oleh Buron. Lalu,
tadi... sekitar pukul sepuluh, aku melihat Tommy memasuki
sebuah Mall. Aku sengaja berhenti di Mall itu dan
memburunya. Aku meiihat dia naik ke lantai atas menggunkan
eskalator..."
"Mungkin orang yang mirip Tommy?"
"Nggak! Dia memang Tommy-ku, Sandhi! Aku sempat
berseru memanggilnya: Tom...! Toom...! Dan, ilu berpaling
memandangiku yang ada di bawah eskalator. Tapi dia hanya
tersenyum tipis padaku, tanpa bermaksud menghampiriku.
Maka, aku memburunya ke lantai atas. Dan setelah itu... aku
tak berhasil menemukan dia lagi. Aku mencarinya ke setiap
jengkal lantai Mall itu, tapi tetap tak kutemukan dia di sana,"
Jessica membendung tangis dukanya. Menggigit bibir sendiri
sambil buru-buru menundukkan kepala.
Sandhi sempat bingung menanggapinya. Jika benar apa
yang dilihat Jessica tadi, maka peristiwa itu adalah peristiwa
aneh yang akan menggemparkan masyarakat sekitar tempat
tinggal Tommy. Tapi jika penglihatan itu tidak benar, maka
Jessica perlu memeriksakan diri kepada seorang psikiater dan
harus segera mendapat kepastian atas kekeliruan
pandangannya itu.
"Aku ingin Kumala membantuku mencarikan dia saat ini!
Sebab, aku yakin sekali bahwa Tommy telah bangkit dari
kuburnya dalam keadaan sehat, segar, dan tak terlihat seperti
mayat hidup. Dia tampil sebagaimana manusia biasa kok!"
"Kenapa tidak mau cari ke rumah saja? Mungkin dia pulang
ke rumahnya dan...."
"Aku sudah menghubungi keluarganya. Hampir setengah
jam aku bicara di telepon dengan mamanya dan kakak
perempuannya. Tapi pada akhirnya mereka justru marah
padaku. Mereka tersinggung dan menganggapku gila. Sebab,

sampai pukul sebelas tadi, pihak keluarga Tommy belum
menerima kedatangan Tommy. Sebelum sampai ke sini tadi,
aku kembali menelepon mamanya. Tapi mamanya justru
membentakku untuk tidak bicara tentang kesaksianku yang
dianggap tak waras, mabuk, mengigau dan sebagainya. Sulit
sekali membuat mereka percaya bahwa Tommy telah bangkit
dari kematiannya! Oleh sebab itulah, San.. Aku ingin Kumala
membanluku mencarikan di manaTommy saat ini berada. Aku
ingin buktikan kepada keluarganya Tommy bahwa..,"
Ketukan pintu dari luar membuat Jessica berhenti curhat,
sementara Sandhi sudah sempat bertanya dalam hatinya,
"Benarkah siang hari bolong begini ada mayat bangkit dari
kubumya?"
Karena suara ketukan pintu pula kecamuk di hati Sandhi
terputus. Sekretaris memberitahukan, ada scorang tamu lagi
yang mcndesak ingin bertemu dengan Kumala Dewi. Sandhi
menyuruh sekretaris agar mempersilakan tamu tersebut naik
keruangan itu juga. Dan, tamu itu ternyata juga bukan orang
asing lagi bagi Sandhi. Tapi buat Jessica dia adalah orang
yang belum dikenalnya, sehingga ia buru-buru menyambut
uluran tangan sang tamu saat Sandhi memperkenalkannya.
Tamu itu tak lain adalah Tante Munna. Raut wajahnya |uga
kelihatan menampung segumpal kecemasan yang meresahkan
hati. Senyumnya sangat kaku, pertanda hatinya sulit diajak
untuk tersenyum kepada siapa pun.
"Kemarin malam saya dan Kumala menunggu kedatangan
Tante Munna sampai pukul dua belas lewat, tapi Tante nggak
muncul-muncul juga. Akhirnya kami tinggal tidur deh. Lain kali
kalau nggak jadi datang kasih kabar kami dong, Tante."
"Sorry aku... aku memang bersalah dalam hal ini. Tapi
semua itu ada alasannya dan cukup kuat untuk...."
"Kenapa sih kok nggak jadi datang?" potong Sandhi yang
semakin curiga dengan kemurungan wajah Tante Munna.

Sebab, kemurungan itu disertai kegundahan yang cukup
besar, sampai-sampai nada bicaranya pun terkesan gugup dan
sangat datar.
"Justru aku segera kemari, karena aku ingin Kumala segera
menangani kasus aneh yang kuhadapi sejak kemarin malam,"
suaranya mulai parau. Sepertinya perempuan itu
menyembunyikan perasaan takutnya yang sulit diungkapkan di
depan orang yang baru dikenal, yaitu Jessica. Namun karena
tatapan mata Sandhi terkesan menuntutnya untuk bicara apa
adanya, maka ia paksakan mulutnya melontarkan apa saja
yang terpendam dalam hatinya siang itu.
"Jadi... pada waktu aku sedang menuju ke rumah kalian,
aku sempat bertemu dengan seorang pemuda seusiamu.
Terus terang saja, aku tergiur oleh ketampanan pemuda itu.
Akhirnya dia kubawa pulang. Sebelumnya aku sempat nyasar
sampai ke jalan menuju luar kota. Mobilku mogok, dan
berhasil dibetulkan oleh pemuda itu. Lalu. .. ketika dia kubawa
pulang, kami saling mengakrabkan diri, sampai akhirnya
saling.... saling... sama-sama-tidur seranjang. Tapi..."
"Siapa nama pemuda itu? Tante mengenalnya?"
"Ya Sangat kukenal namanya, bahkan dia berikan alamat
rumahnya segala. Lengkap dengan nomor telepon rumah itu.
Hmmm, oh, ya... pemuda itu bernama Tomhans, dan.."
"Siapa?!" sahut Jessica hampir memekik kaget. Ia beradu
pandangan dengan Tante Munna yang menyebut ulang nama
Tomhans. Lalu, terdengar lagi suara Jessica yang membuat
Sandhi berkerut dahi dan Tante Munna mengeriyitkan
keningnya.
"Tomhans itu nama panggilan mantan kekasihku, Sandhi!
Dialah yang kuceritakan tadi. Dialah Tommy... Tommy
Rehansha, yang sering disingkat Tomhans!"
"O, ya...? Nggak salah tuh, Jess?"

"Tante, pemuda itu berbadan tegap, gagah, berhidung
mancung dan mempunyai tahi lalat kecil di leher kirinya,
bukan?"
"Be... benar...!"
Tante Munna semakin gemetar. Ia selalu mengangguk dan
membenarkan ciri-ciri yang disebutkan Jessica. Akhirnya ia
yakin bahwa Jessica memang sangat mengenal Tomhans.
Begitu pula halnya dengan Jessica, yakin betul bahwa Tante
Munna memang bertemu dengan Tommy yang dikatakan baru
pulang meninggalkan rumah Tante Munna sekitar pukul
delapan pagi lewat. Hampir pukul sembilan.
"Dia bilang padaku, mau kembali lagi sekitar pukul sepuluh
tadi. Tapi sampai pukul sebelas, bahkan hampir ia tengah hari,
dia belum kembali kerumahku," kata Tante Muna dengan nada
sedih.
Sambungnya lagi, "Sementara itu aku terpaksa menunda
kepergianku ke Bandung hanya karena menunggu kembalinya
Tomhans. Akhirnya, baru saja tadi aku menelepon ke rumah
Tomhans, dan kudapatkan jawaban dari kakak perempuannya
Tom, bahwa Tom sebenarnya sudah lama meninggal dunia,
bahkan..."
"Memang! Itu memang benar; Tom sudah setengah tahun
lebih dimakamkan di TPU Tanah Kusir!" sahut Jessica semakin
seru. "Dan... tadi saya juga melihat Tom masuk ke sebuah
Mall. Dia mengenakan T-shirt ketat warna hitam bergaris putih
di pundaknya, bukan?"
"Ya, benar! Celananya jeans yang belum menjadi belel!"
"Tepat sekali kalau begitu. Oooh... Aku semakin yakin, Tom
pasti sudah bangkit dari kuburnya karena ia merindukan
diriku, San! Dia pasti ada di antara masyarakat Jakarta ini!"
Jessica semakin berapi api, hingga Sandhi terpaksa harus
mengingatkan serta menenangkan tangisnya yang tak kuasa

dipendam lagi itu. Sandhi sendiri menjadi semakin bingung
menyikapi kedua tamunya. Kini ada dua orang yang telah
menjadi saksi hidup, melihat Tommy atau Tomhans
berkeliaran di alam kehidupan nyata.
Haruskah kesaksian itu tetap dianggap sebagai illusi,
halusinasi, fatamorgana, mimpi dan sejenisnya? Bahkan Tante
Munna sudah berani terangan terangan menyatakan tegastegas
bahwa dia semalam tidur seranjang dengan Tommy dan
bercinta penuh keindahan asmara Meski sempat disangkal
Jessica yang menjadi cemburu atas pengakuan itu, tapi Sandhi
tetap berkesimpulan bahwa apa yang dialami mereka bukan
sekedar mimpi siang hari, dan apa yang dilihat mereka
bukanlah illusi dari gangguan jiwa yang tertekan rindu sekian
lama.
Celakanya lagi, ternyata persoalan yang dihadapi Tante
Munna tidak hanya sampai di situ saja Menurut Sandhi,
barangkali Tante Munna itulah tamu yang dimaksud Kumala
sebagai pembawa informasi penting, di mana informasinya itu
dapat dipakai untuk memprediksi apa maksud dan tujuan dari
'tamu dunia lain' datang ke alam kehidupan manusia ini.
Sebab, ketika Jessica telah kembali tenang dari tangisnya dan
ia harus pergi ke toilet untuk keperluan pribadinya, Sandhi
sempat memancing kemurungan duka di wajah Tante Munna
yang sangat mencurigakan itu.
"Jadi, saat ini Tante sangat sedih karena yakin bahwa Tom
pergi nggak akan kembali lagi? Tante kepingin ketemu Tom
agar bisa saling bermesraan lagi, begitukah?"
Janda tomboy yang kehilangan separoh dari ketegarannya
itu tarik napas panjang-panjang setelah menggelengkan
kepalanya.
"Bukan bermesraan kembali yang kubutuhkan darinya. Saat
ini aku butuh keterangan darinya atas perubahan yang terjadi
pada diriku ini, San: Perubahan ini sangat aneh membuatku
ketakutan sendiri. Dari menit ke menit keteganganku

meningkat terus Rasa takutkupun semakin tinggi terhadap
perubahan yang kualami."
"Perubahan apa maksudnya?"
"Lihat perutku..." seraya mengusap perutnya sendiri.
Sandhi yang duduk berhadapan dengan Tante Munna
langsung mengarahkan pandangan matanya ke perut Tante
Munna, Sandhi baru menyadari, bahwa s iang itu Tante Munna
memang tampak sedikit lebih gemuk dari hari-hari
sebelumnya. Tapi ia belum mengerti apa maksud perintah
tadi, sehingga kini ia kembali menatap Tante Munna yang
masih menyeringai tipis. Menahan perasaan ngeri dan waswas
terhadap sesuatu yang menurutnya sangat mustahil itu.
"Kau lihat perutku ini menjadi lebih besar dari sebelumnya,
kan?"
"Ya. Memang kelihatan lebih gemuk."
"Ini bukan gemuk karena kebanyakan lemak, San. Perutku
menjadi bengkak begini karena aku merasakan tanda-tanda
kehamilan pada diriku."
"Hamil...?!"
"SejakTom pergi, aku sering merasa mual malahan sempat
muntah-muntah dua kali di kamar mandi. Makin siang makin
tak enak sekali rasanya. Selain mual, aku juga merasa pegalpegal
dan nyeri di bagian pinggang. Lalu, kuperhatikan
perutku ini makin membengkak dan urat-uratnya
mengencang. Sepertinya... hmmm... sepertinya aku telah
menjadi hamil akibat kencan dengan Tom kemarin malam itu,
San! Proses kehamilan ini pernah kurasakan sewaktu aku
bersuami dulu dan melahirkan dua orang anak yang sekarang
dibawa pergi oleh mantan suamiku itu!"
"Tapi, bukankah... bukankah tadi Tante katakan bahwa
Tante baru kemarin malam kenal dengan Tomhans dan tidur
seranjang pun baru malam itu juga? Bukankah..."

"Itu memang benar! Dan, tanda-tanda kehamilan ini pun
juga kenyataan yang benar, San!" suaranya berbisik tapi
bernada tegas.
"Pemuda misterius itu telah menghamiliku secara tak
normal," tambahnya. "Aku merasa sedangmengalami proses
kehamilan yang sangat cepat, yang tak bisa diterima oleh akal
sehat mana pun. Dan, oleh sebab itu... aku ingin Kumala
memeriksa kondisiku, apakah benar aku sedang mengalami
kehamilan gaib, atau ada sesuatu yang berkembang dan
merusak sistem kerja lambungku? Inilah yang kutakuti dan
membuatku sangat cemas, Sandhi!"
"Gawat..?!" gumam Sandhi yang mulai berekspresi tegang
itu. Ia tetap tak dapat berbuat banyak terhadap kedua
tamunya, selain menenangkan hati mereka agar bersabar
menunggu Kumala selesai dengan acara rapatnya nanti. Meski
ia tahu nomor telepon di ruang rapat itu, namun ia tetap tak
berani menghubungi Kumala dan memberitahukan kondisi
Tante Munga saat itu. Kumala akan marah padanya jika
Sandhi melakukan kebodohan tersebut.
Celakanya lagi, sampai pukul tiga sore ternyata Kumala
belum turun dari lantai sembilan, tempat diadakannya rapat
para pemegang saham. Dan, pada saat itu Jessica sendiri
akhirnya mengetahui kasus ganjil yang dialami Tante Munna,
karena perut Tante Miuina tampak lebih membengkak. Lebih
besar dari saat datang tadi. Janda itu hanya bisa mendesah
dan mengeluh sambil mendesak Sandhi agar segera
memanggil Kumala, sebab ia sendiri mengakui saat itu
perutnya semakin menonjol. Seperti orang hamil lima bulan.
Meski pun Sandhi sendiri juga bertambah tegang, tapi ia
tetap tak mau menghubungi majikan cantiknya di ruang rapat
lantai sembilan. Sandhi berusaha sebisa- bisanya
menenangkan kondisi kejiwaan kedua tamunya itu, sampai
akhirnya telepon di meja kerjanya Kumala berdering. Kumala
sendiri yang menelepon dari ruang rapat. Ia memberitahu

bahwa rapat sudah selesai, sebentar lagi akan kembali ke
ruang keijanya.
"Sebaiknya lekaslah turun dan lihat sendiri keadaan salah
satu tamu kita ini, Mala! Tante Muna benar-benar
membutuhkan pertolonganmu secepatnya!"
"Ya, aku sudah dengar jerit hati kalian bertiga sejak tadi!
Aku akan segera turun."
Kemunculan gadis anak bidadari kahyangan itu membuat
Jessica dan Tante Munna saling berebut kesempatan lebih
dulu untuk mengungkapkan isi hatinya.
Suara mereka sangat crowded, karena Sandhi yang
membantu menenangkan mereka justru menambah tumpang
tindihnya percakapan tersebut. Menghadapi keadaan seperti
itu, Dewi Ular yang tampil tenang dan berkharisma itu cukup
mengangkat jari tangannya dan menempelkan di mulutnya
sendiri. Tanpa suara apapun, ia telah berhasil membuat ketiga
orang di depannya berhenti bicara secara serentak. Sunyi
sesaat menguasai ruang kerjanya.
"Kita selesaikan satu persatu masalahnya, okey?" ujarnya
seraya tersenyum penuh keramahan dan keakraban. Jessica
dan Tante Munna manggut-manggut seraya mengendurkan
ketegangan masing-masing. Mereka tak sadar telah terkena
pengaruh kekuatan batin Kumala yang terpancar lewat
pandangan mata dan air mukanya. Kekuatan batin itulah yang
membuat mereka segera menghentikan perkataan dan
memiliki rasa patuh serta rasa hormat kepada si gadis anak
dewa itu.
Perhatian Dewi Ular tertuju pada perut Tante Munna.
Dahinya sedikit berkerut pertanda sangat curiga terhadap
ukuran perut yang tak normal itu. Tante Munna dim saja,
menatap sedih disiksa kengerian. Sikapnya tampak jelas
menunggu pengertian dari Kumala agar segera bertindak
menangani keganjilan perutnya itu. Melihat perhatian Kumala

tertuju kuat pada perut Tante Munna tanpa diminta Sandhi
buru-buru menjelaskan secara singkat apa yang dialami Tante
Munna dan Jessica sebelum datang tadi. Yang bersangkutan
hanya menggumam dan mengangguk, membenarkan
penjelasan singkat itu.
"Memang sih... tadi sewaktu Tante Munna datang perutnya
nggak sebesar itu, Mala. Aku melihat sendiri perut itu tak
terlalu menonjol begitu. Jadi, rupanya akibat pertemuannya
dengan pemuda yang mengaku bemama Tomhans itu Tante
Munna sekarang mengalami proses kehamilan tak normal,
sehingga..."
"Ambilkan tissue di mejaku... !" perintahnya kepada Sandhi
tanpa berpaling dari penglihatannya. Hanya tangannya yang
terulur ke samping menunjuk tempat tissue di meja kerjanya.
Sandhi mengambilkan dua lembar kertas tissue tersebut,
lalu diserahkan kepada Kumala yang tetap berdiri di tempat,
tak berusaha menghampiri kedua tamunya yang duduk di sofa
berseberangan. Hanya Sandhi yang mengenali betul sikap
Kumala saat itu. Menurutnya, Kumala memang tampil tenang
dan kalem. Namun sebenarnya gadis cantik jelita itu
mengalami suatu ketegangan yang dipendam rapat-rapat dan
ditahan kuat-kuat agar tak mempengaruhi kedua tamunya.
Ketegangan yang tersembunyi itulah yang kini membuat
Sandhi menjadi berdebar-debar. Jika gadis cantik jelita itu
bersikap demikian, maka dapat dipastikan pada saat itu di
sekeliling mereka ada suatu kekuatan gaib yang cukup
membahayakan.
Kertas tissue itu digenggamnya dalam satu gumpalan
setelah diremas-remas dengan dua tangan. Lalu, mereka
menjadi heran melihat Kumala Dewi meniup kertas tissue
dalam genggamannya. Seolah-olah putri tunggalnya Dewi
Nagadini itu menitipkan napasnya ke dalam gumpalan kertas
tissue tersebut. Kakinya melangkah pelan-pelan, Hanya dua
langkah sudah berhenti. Kertas tissue dalam genggamannya

dilemparkan dengan hati-hati sekali ke perut Tante Munna.
Wuuut...!
Weeesss. !
Kertas tissue itu seperti batu yang dilemparkan ke arah
wajah Dewi Ular. Memantul balik begitu menyentuh perut
Tante Munna. Kekuatan pantulannya disertai gelombang hawa
padat yang menerjang Kumala, sehingga gadis itu terhempas
ke belakang. Jatuh terkapar setelah membentur dinding dan
membuat lukisan yang digantungkan di dinding itu jatuh dari
tempatnya.
Braak...!
"Malaaaa..?!! " sentak Sandhi kaget sekali.