Dewi Ular - Perempuan Penghisap Darah(2)

4
HUJAN deras di malam itu sampai berlarut-larut. Mogoknya
mesin mobil Kenyon juga ikut berlarut-larut. Lebih dari 20 kali
Kenyon mencoba menstarter mobilnya, tapi tak pernah
berhasil. Sampai-sampai ia merasa malu oleh penghuni kost
lainnya, karena suara mesin distarter berulang-ulang bisa
menimbulkan kejengkelan, yang pada akhirnya akan membangkitkan
kemarahan bagi mereka yang merasa terganggu.

"Ken, biar sampai kunci kontakmu patah kalau belum
kering betul mesin itu nggak bakalan hidup!" kata Winne dari
pintu kamarnya. Gadis cantik itu ternyata sudah mandi dan
sudah ganti pakaian segala. Berarti sudah cukup lama Kenyon
mengakali mesin mobilnya yang tidak pernah bisa hidup lagi
itu.
"Biarkan dulu beberapa saat, Ken. Duduklah di dalam sini!"
Tawaran itu adalah tawaran yang ketiga kalinya. Tak ada
pilihan lain bagi Kenyon kecuali mengikuti ajakan ramah
Winne itu. Ia masuk ke kamar tersebut yang lantainya dilapisi,
karpet hampir separuh bagian. Kamar itu mempunyai meja
rendah tanpa kursi. Tamu dipersilakan duduk di karpet yang
masing-masing tempat disediakan bantal tipis tempat untuk
duduk. Bantal-bantal itu mengelilingi meja bundar dari bahan
kayu jati berukir. Di situ juga tidak ada ranjang. Yang ada
kasur busa tebal, digelar di atas lantai pada salah satu sisi
kamar. Satu set audio sistem merek Aiwa dan pesawat televisi
14 inch diletakkan di atas raknya dalam posisi sedemikian
rupa, sehingga dapat dilihat dari beberapa sisi.
"Kalau mau cuci tangan dan bersih-bersih badan, langsung
aja ke kamar mandi, Ken. Tapi kalau mau istirahat dulu,
silakan. Cuma, mohon dimaklumi keadaannya begini, jadi
duduknya di lantai."
"Justru aku suka suasana interior gaya Jepang begini " kata
Kenyon sambil melepas kaos kaki dan meletakkan sepatu pada
tempatnya yang sudah disediakan di samping pintu.
"Aku numpang mandi bisa, kan? Kotor semua badanku!"
"O, ya... ini handuknya, Ken," Winne menyodorkan handuk
bersih yang diambilnya dari dalam almari. Senyumnya
tersungging manis, seakan sengaja dipamerkan untuk menawan
hati Kenyon.
Pria itu menyimpan debar-ctebar kegembiraan dalam
hatinya. Ia berlagak kurang mem- pedulikan senyuman dan

tatapan indah Winne. Ia langsung masuk ke kamar mandi
tanpa sungkan-sungkan. Sudah telanjur dibuat malu dan kesal
oleh mobilnya, kenapa harus bersikap sungkan-sungkan.
"Cuek sajalah...," begitu pikirnya.
Kamar itu mempunyai pintu tembus ke belakang, tapi juga
mempunyai pintu khusus ke kamar mandi. Untuk masuk ke
kamar mandi, Kenyon tidak perlu harus keluar kamar. Tempat
mandi itu termasuk berada di dalam kamar tersebut. Hanya
saja, jaraknya dengan perabot lainnya agak jauh. Harus
melewati dapur kecil yang dilengkapi dengan kompor gas
berukuran kecil pula.
Selesai mandi, Kenyon dipaksa mengenakan sarung dan
kaos oblong longgar yang masih bersih dan kering. Kenyon
menolak karena merasa kikuk mengenakan sarung alau kaos
milik orang lain. Tapi Winne mendesaknya dengan tatapan
mata lembut yang memancarkan keakraban lebih dalam lagi.
"Ken, celanamu itu basah kuyup begitu, bajumu juga basah
kuyup, kalau kamu nekat memakainya sampai nanti, kamu
bisa masuk angin! Gantilah dengan yang kering ini."
"Nggak usahlah. Aku manusia anti masuk angin kok."
"Jangan bandel deh, Ken. Lagi pula kalau kamu duduk, bisa
bikin karpet basah. Karpet kalau sudah basah, baunya nggak
enak!"
Winne bicara tegas-tegas dengan intonasi kesabarannya. Ia
seperti bicara dengan anak kemarin sore. Kenyon jadi geli
sendiri. Tapi mengingat celana basahnya bisa bikin karpet
yang diduduki nanti ikut basah juga, pikir punya pikir akhirnya
Kenyon memaksakan diri Untuk mengenakan sarung dan kaos
oblong itu.
"Nggak ada celana pendek atau celana panjang, Win?"
sambil ia melangkah ke kamar mandi.
"Ada. Tapi pasti nggak cukup untuk kau pakai. Kekecilan."

Winne sendiri malam itu hanya mengenakan mini set dari
kain katun halus. Bawahan-nya sangat pendek dan longgar,
sedangkan atasannya berpotongan cekak sebatas perut
dengan belahan leher rendah dan tanpa lengan. Praktis
sebagian besar kemulusan kulit tubuhnya yang putih itu dapat
dilihat dari sudut mana saja. Rambutnya diikat ke belakang
tidak terlalu kencang, sehingga sebagian kulit lehernya pun
terlihat jelas kemulusannya.
Kenyon tertawa geli begitu keluar dari kamar mandi, karena
merasa lucu sekali mengenakan sarung dan kaos longgar.
Winne menahan tawanya supaya Kenyon tidak merasa
semakin malu. Ia membantu menjemurkan pakaian Kenyon
pada jemuran handuk yang terbuat dari besi putih anti karat
setinggi satu meter lebih.
"Kamu doyan kopi panas, kan?" katanya. "Cuma minuman
itu yang kupunya. Bir habis. Belum belanja sih."
Hujan masih deras. Angin berhembus dengan kecepatan di
atas normal. Butiran hujan menerpa masuk ke kamar tersebut.
Dari depan pintu Kenyon melihat jalanan di depan rumah kost
itu sudah digengani air. Aspalnya tertutup air setinggi satu
betis. Alamat mogok lagi mobilnya seandainya bisa berjalan
lagi. Kenyon gelisah menahan rasa dongkol terhadap sang
hujan.
"Ken, sorry... tolong dong pintunya ditutup aja. Biar air
hujan nggak masuk dan nggak dingin," kata Winne sambil
mengawali duduk di depan meja berkaki rendah,
punggungnya bersandar dinding. Kenyon terpaksa mengikuti
perintah sopan itu, lalu ia pun duduk di samping Winne,
karena gelas minumanya berada di dekat gelasnya Winne.
Gadis itu mengeluarkan sebungkus rokok halus, dan tanpa
segan-segan ia menyalakan rokok itu.
Blaaak...!

Tiba-tiba pintu terbuka dalam sentakan yang mengejutkan
Kenyon. Angin kencang menerobos masuk Kenyon sempat
deg-degan tegang, sementara Winne tertawa cekikikan sambil
bergegas menutup pintu kembali dan menguncinya. Biar tak
dihempas angin lagi.
"Mukamu jadi pucat begitu, Ken?"
Pemuda itu nyengir malu. "Kaget aku tadi."
"Pasti karnu kira paearku atau suamiku datang. Iya kan?"
Kenyon semakin tertawa geli "Nggak tuh...," jawabnya
bohong. Padahal apa yang dikatakan Winne tadi memang
benar. Kenyon takut ada pria lain yang mengamuk padanya
akibat ia berada dalam satu kamar dengan Winne.
"Nggak usah takut Aku masih single kok. Belum pernah
kawin, eh. . kawin sih sering tapi belum pernah menikah.
Sekarang malah lagi kosong."
"Masih kosong? Wah, kenapa nggak disewa-sewakan aja
kalau memang kosong? Kan lumayan. Bisa dibuat kostkostan."
Kenyon pandai menimpali canda. Winne pandai
memancing tawa. Ada kesan istimewa dalam perkenalan
mereka itu. Kenyon merasa seperti sudah kenal lama dengan
Winne. Keramahan Winne, kesupelannya, candanya sikap
cueknya, semua membuat Kenyon jadi terkesan sekali kepada
gadis itu. Suasana tenang di antara mereka berdua,
percakapan dari hati ke hati, lama-lama membuat Kenyon
menjadi betah dan lupa pada kebrengsekan mobilnya.
Sikap familiar Winne telah membuat Kenyon merasa seperti
hidup sebagai suami-istri dengan gadis itu. Keterbukaan
Winne dan ceplas-ceplosnya telah berhasil menghilangkan
kekakuan Kenyon, sehingga pria ganteng itu pun berani blakblakan
tentang pribadinya. Waktu yang relatif singkat telah
membuat perkenalan pertama menjadi persahabatan yapg
semakin erat. Rasa mhlu cepat berlalu, keromantisan pun
menjelma di sela canda, tawa dan keluh kesah merka.

"Wah, gawat! Udah jam setengah sebelas nih, Win.
Hujannya bukan menjadi reda malah semakin deras?!"
"Memangnya kalau sudah jam segini, kenapa? Takut
dimarahi orang rumah "
"Orang rumahnya siapa? Kan aku tadi sudah bilang kalau
aku belum berkeluarga."
"Berarti nggak akan ada yang marah dong kalau kamu
pulang jam berapa saja ?"
"Memang nggak sih."
"Ya udah. Kenapa gelisah?"
"Bukan gitu. Aku cuma merasa nggak enak kalau sampai
larut malam masih berada di kamarnya."
"Nggak enak sama siapa?" Winne melirik bergaya angkuh.
"Yaah, nggak enak sama penghuni kost lainnya."
"Cuek aja!" Winne bersungut-sungut. "Toh sembilan dari
dua belas kamar diisi oleh pasangan cowok-cewek yang nggak
jelas statusnya. Buktinya mereka tenang-tenang saja. Mereka
enak saja dengan tetangga kanan-kiri. Kenapa kita mesti
merasa nggak enak? Bodoh amat kalau kita berperasaan
begitu."
Kenyon hanya senyum-senyum saja, memandangi raut
wajah cantik yang bersungut-sungut itu. Menurutnya, wajah
cantik Winne semakin menarik dan mendebarkan hati jika
sedang bersungut-sungut seperti tadi. Gemas sekali hati
Kenyon, ingin mencubit pipi atau rnenggigit bibir gadis itu.
"Kamu tidur sini aja deh. Nggak usah pulang. Mau nggak?"
Winne berpaling menatap Kenyon. Tatapan metanya punya
makna menantang, seperti halnya ucapan itu sendiri. Detak
jantung Kenyon semakin cepat karena dihinggapi kegembiraan
yang indah. Tantangan itu merupakan harapan yang

tersimpan di lubuk hati kecilnya sejak tadi. Tapi tentu saja
Kenyon tidak mau asal terima saja. Ia gemar memancing
ungkapan hati lawan jenisnya dengan pertanyaan-pertanyaan
yang kadang terkesan dibuat bego.
"Kalau aku nggak mau tidur di sini, bagaimana?"
"Ya, udah. Aku nggak akan memaksamu," Winne sedikit
cemberut. "Kurasa... kita juga nggak perlu ketemu lagi."
"Deeee... segitu aja marah!" ledek Kenyon sambil
mengusap rambut Winne. "Iya deh, aku tidur sini deh. Tapi...
apa kompensasinya kalau aku tidur sini?"
Winne berbalik menghadap Kenyon total. Jaraknya hanya
satu jengkal lebih sedikit. Matanya menatap nanap,
senyumnya membias samar-samar.
"Kamu maunya kompensasi kayak apa?!" Winne ganti
menantang.
"Kamu dong yang menentukan. Bukan aku."
"Lho, yang minta kompensasi kan kamu? Ya tentunya kamu
yang menentukan jenisnya dong."
"Bener nih? Aku yang menentukan jenis kompensasinya?"
"lya dong. Tentukan saja. Apa yang kamu iriginkan. Kalau
aku merasa nggak sanggup, aku akan bilang nggak sanggup.
Begitu pula sebaliknya."
Kenyon masih ditatap dengan lagak sok angkuh. Bahkan
kedua tangan gadis itu bertolak pinggartg dalam posisi masih
sama-sama duduk berjarak sangat dekat. Hembusan napas
dari hidung saling dirasakan menghangat di wajah masingmasing.
"Kau mau tahu yang kuinginkan? Okey...," kata Kenyon
dengan berlagak tenang, padahal hatinya berdebar-debar.

"Kalau aku harus tidur sini, yang kuinginkan adalah...
kehangatan!"
"Memangnya kopi panasmu tadi kurang hangat?"
"Ada yang lebih hangat dari kopi."
"Sehelai selimut tebal?" suara Winne kian pelan.
"Ada yang lebih hangat lagi dari selimut tebal."
"Coba sebutkan," sambil tatapan mata Winne mulai
berubah sayu.
Kenyon mendekatkan wajah dan berbisik, "Kemesraan...."
Senyum Winne kian lebar, tampak berseri-seri kegirangan.
"Sanggupkah kau memberi kernesraan yang hangat?" bisik
Kenyon.
http//zheraf.mywapblog.com
"Sanggupkah kau mengimbangi asmaraku?" samhil bibirnya
semakin mendekat dan suaranya mulai mendesah.
"Untuk wanita secantik kamu, aku selalu sanggup."
"Buktikan," suara Winne kian mendesah. Napasnya semakin
menghangat di wajah Kenyon. Kehangatan itu telah
membakar gairah Kenyon, mendesak batin, untuk menuntu
kenyataan indahnya. Maka bibir yang sedikit tebal tapi
menggairahkan itu segera dikecup pelan-pelan oleh Kenyon.
Winne menyamutnya dengan statis, seperti tak ingin
melakukan perlawanan. Namun kedua matanya terpejam dan
tangannya meremas lembut di pangkuan Kenyon. Sarung itu
jadi sasaran remasan tangan Winne. Kenyon sengaja
melepaskan kecupan lembut itu untuk melihat reaksi di wajah
cantik yang menawan itu.
Oh, kedua mata indah Winne semakin sayu. Memancarkan
ajakan untuk bercumbu, mengisyaratkan hasratnya untuk
mendapat kecupan lembut lagi.
"Ken...," bisiknya nyaris tak terdengar.

Kenyon paham maksud bisikan itu. Ia. kembali mengecup
bibir sensual yang punya kenikmatan tersendiri itu. Ternyata
kali ini Winne memberikan balasan. Kenyon sempat diterkam
debar-debar keindahan ketika bibirnya dilumat oleh Winne
dengan penuh gairah. Lumatan itu makin lama semakin ganas.
Kedua tangan Winne meremas rambut Kenyon sambil
menyusuri punggung pemuda itu.
Tangan Kenyon sendiri bergerak secara naluri cinta. Salah
satu tangan berhasil menerobos dari bagian bawah blus, lalu
menemukan kehangatan yang menggetarkan jiwa di dada
Winne. Sementara itu, tangan yang satunya bergerilya dengan
nakalnya, menyelusup ke sana kemari.
"Oh, Ken...!" desah Winne semakin sayu.
Gadis cantik itu ternyata punya irama cinta yang energik,
ganas, dan liar. Ia berhasil menguasai Kenyon, berhasil
memaksa pria tampan itu terkulai pasrah menerima
keganasan gairahnya. Kenyon membiarkan tubuhnya dijadikan
ajang cumbuan Winne. Dia bersikap menerima. Hanya sebagai
penerima kehangatan gairah yang makin lama semakin
menggelora itu.
Ketika telah merasa puas mencumbui Kenyon, kini Winne
menuntut pembalasan serupa. Bagi Kenyon, tuntutan itu
bukan sesuatu yang menekan perasaannya, malah justru
membangkitkan semangat cintanya. la tunjukkan bahwa
reaksinya lebih dahsyat daripada Winne. Hujan deras
membuat suara desahan Winne tak terdengar dari kamar
sebelah.
Ibarat tamu, Kenyon dipersilakan masuk. Pintu ruang tamu
telah dibuka lebar-lebar. Tak perlu menunggu lebih lama lagi,
Kenyon pun masuk ke rumah cinta, bahkan nyelonong sampai
ke belakang. Tak ayal lagi, perahu cinta pun mulai berlayar
mengarungi samudera dengan berbagai irama yang
dikehendaki Winne. Kenyon dinilai sebagai lelaki yang pandai
memberikan fantasi cinta luar biasa bagi Winne.

Hujan mulai reda. Tapi peluh mereka bercucuran dengan
deras. Puncak-puncak cinta telah mereka rengkuh bersama
penuh bahagia. Winne kelihatan sekali berlimpah
kebahagiaan. Ia belum mau berpisah. Kedua tangannya masih
memeluk Kenyon agar tetap saling lekat erat.
Di s isi lain, Kenyon seperti telah terbius kenikmatan asmara
Winne. Ia sangat mengagumi Winne, karena gadis itu
dinilainya mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki wanita
mana pun. Cukup lama Kenyon belum keluar dari rumah itu,
selain atas kehendak Winne, juga karena Kenyon merasakan
ada sesuatu yang menaburkan bunga indah di dalam rumah
tersebut.
"Benar-benar menakjubkan sekali kemesraanmu, Winne."
"Kau suka, Ken?"
"Oooh, suka sekali, Winne. Indah sekali kemesraanmu ini."
"Kau mau memiliki selamanya?"
"Oh, yaaahh... aku mau. Pasti mau! Aku ingin memiliki
rumah cinta seindah ini, Winne sayang...."
"Pintu rumah cintaku hanya terbuka untukmu, Ken. Tapi
aku tak ingin ada perempuan lain yang ikut menikmati
kehangatanmu. Aku tak mau kau masuk ke rumah cinta yang
lain, Ken...."
"Tidak, Sayang.... Aku hanya akan masuk ke rumah
cintamu ...."
"Kalau sampai ada perempuan lain yang coba-coba ingin
menikmati keistimewaanmu, dia akan kubunuh saat itu juga!"
"Oh, Win...." Kenyon merinding. "Itu tak mungkin,
Sayang.... Aku tak akan memberikan apa yang kau sukai
kepada wanita lain. Hanya kau yang boleh memilikinya, Win
sayang...."

Kenyon terbius, dan agaknya Winne pun ikut terbius. Tentu
saja Kenyon hanyut terlena asmara Winne, karena dalam
keadaan sama-sama diam tak bergerak pun rumah cinta
Winne mampu memberikan keindahan yang nyaris setara
dengan keindahan perahu cintanya tadi. Kenyon terjerat
jiwanya dalam asmara Winne, membuatnya rela melakukan
apa saja demi Winne. Bahkan menjadi budak asmara Winne di
hari-hari berikutnya adalah tindakan yang sangat
menyenangkan bagi Kenyon.
Tanpa berpikir panjang lagi, Kenyon mendesak Winne agar
pindah ke rumahnya yang mungil namun bersuasana tenang
itu. Pada dasarnya Winhe tidak keberatan, selama Kenyon
tidak mendekati wanita lain.
Akibat Kenyon tergila-gila dengan mahkota cinta Winne
yang mempunyai gerakan-gerakan kenikmatan misterius di
dalamnya, dan yang mempunyai mekanisme kerja menyerupai
'vacum cleaner', alat penyedot udara, maka si cantik berdada
montok itu diperlakukan dengan manja. Kenyon selalu
berusaha menuruti apa yang diinginkan Winne. Dan setiap apa
yang dilakukan untuk Winne, selalu dikerjakan dengan tanpa
rasa tertekan maupun terpaksa.
Kemana pun Kenyon pergi selalu didampingi Winne, kecuali
urusan pekerjaan kantor. Pergi mentune up mobil pun Winne
ikut juga: Tanpa disangka-sangka, di bengkel itu Kenyon
bertemu dengan gadis anak tetangga seberang rumahnya.
Ernas namanya. Gadis bermata bundar itu sudah lama berada
di Amerika, kuliah di sana. Saat ia pulang ke rumah, ia belum
sempat bertemu Kenyon. Dulu mereka sering bertegur sapa
dan bercanda, terutama ketika Ernas masih duduk di bangku
SMU.
Pertemuan di bengkel yang tidak disangka-sangka itu telah
membuat Ernas terpekik girang. Spontan saja Ernas berlari
memeluk Kenyon dan mencium pipi pemuda itu sebagai cium
persahabatan.

"Kak Yoon ..! Haaii.!"
"Lho, Ernas?! Kamu... kamu sudah pulang, ya?" Kenyon
dicium sepintas.
"Ya, ampuuun.... Kakak sampai nggak tahu kalau kamu
sudah pulang dari Amerika, Er."
"Habis kulihat rumah Kak Yon tutup terus sih. Mobilnya
nggak pemah ada. Jadi... aku malas mau bertandang ke
rumah Kak Yon!" sambil Ernas masih memegangi tangan
Kenyon dengan manja.
"O, ya. kenalkan, ini calon istri Kak Yon!" sekalipun Wirine
menerima uluran tangan Ernas, tapi ia sangat tak suka dengan
tingkah Ernas yang dianggap ganjen itu. Diam-diam hati
Winne dibakar rasa cemburu kepada Ernas yang telah berani
menciumi pipi Kenyon tanpa izin darinya. Sikap Winne
kelihatan sekali tak suka dengan Ernas. Dingin dan angkuh.
Ketika Ernas sibuk bicara dengan Kenyon, pandangan mata
Winne ditujukan tajam-tajam kepada Ernas. Sekitar satu menit
lamanya Winne menatap Ernas tanpa berkedip. Kenyon
sempat melihat tindakan Winne. Ia memendam rasa curiga
karena melihat bola mata Winne seperti memancarkan cahaya
api yang berkobar-kobar. Maka buru-buru Kenyon
meninggalkan Ernas, sadar akan ketidak sukaan Winne
terhadap sikapnya kepada Ernas.
"Jangan cemburu," bisik Kenyon. "Dia anaknya Oom Yosep
yang tinggal di seberang rumah."
"Dia harus menebus kelancangannya dengan seluruh
darahnya!" kata Winne seperti bergumam. Tapi wajahnya
yang semula tampak sedikit pucat, sekarang sudah menjadi
segar kembalL Hanya saja sangat kentara sekali rona
kecemburuannya terhadap Emas.
Pulang dari bengkel, Kenyon membawa Winne jalan-jalan
ke plaza-nya para eksekutif. Setelah membelikan giwang
sebagai penghibur kecemburuan Winne tadi, mereka pun
pulang. Pada saat itulah Kenyon tahu bahwa Ernas telah
meninggal. Gadis itu meninggal setibanya ia dari bengkel.
Beberapa saksi mata melihat Ernas dan kakaknya turun dari
mobil. Tapi tiba-tiba Ernas jatuh di depan pintu pagar, lalu tak
bernyawa lagi. Jenazahnya tampak kering, seperti kayu mau
keropos, tanpa darah setetes pun.
Kenyon berdebar-debar melihat keadaan jenazah Ernas.
Ada rasa takut dalam hatinya, juga rasa sesal atas
perjumpaannya di bengkel tadi siang. Bulu kuduk Kenyon
meremang merinding ketika ingat kata-kata Winne yang
menyerupai geram penunda dendam itu.
"Dia harus menebus kelancangannya dengan seluruh
darahnya!"
Itulah ucapan Winne yang menjadi buah pertimbangan hati
kecil Kenyon. Kecurigaan hati pemuda itu semakin kuat bahwa
kematian Ernas ada hubungannya dengan kecemburuan
Winne, sebab ia ingat waktu itu kedua bola mata Winne
seperti mengandung kobaran lidah api yang cukup
mengerikan.
"Tapi apakah benar kobaran lidah api itu sebuah kenyataan
gaib, atau hanya bayangan dalam penglihatan khayalanku
saja?" pikir Kenyon dalam kebimbangannya.
Kebimbangan itu tetap saja tersimpan dalam hati Kenyon.
Ia berusaha menganggap semua itu hanya ilusi. Kematian
Ernas adalah sebuah ajal yang datang bertepatan dengan
munculnya rasa cemburu di hati Winne. Tidak ada
hubungannya dengan mistik apa pun.
Dengan beranggapan begitu perasaan Kenyon kepada
Winne menjadi netral kembali. Ia tetap menjadi pengagum
dan pemuja 'mahkota' cintanya Winne yang hampir-hampir
setiap saat, di mana ada kesempatan, selalu ia nikmati
keindahannya.

Namun pada suatu hari, Kenyon menemukan beberapa
kejanggalan yang terjadi pada diri Winne. Wajah cantik
berhidung mancung itu kelihatan pucat pias. Guratan kerutkerut
ketuaan mulai membayang di wajah oval itu, Keceriaan
dan kelincahan Winne pun terasa berkurang. Gerakannya
lamban, sepertinya Winne dihinggapi penyakit malas-malasan.
Senyum pun tampak hambar, tidak seceria biasanya.
Kejanggalan itu diketahui Kenyon setelah seharian penuh
mereka pergi ke Bandung, tanpa bermalam. Karena hari itu
adalah hari Minggu, mereka punya masa libur satu hari, maka
Kenyon rnenyempatkan membawa Winne ke Bandung. Gadis
itu diperkenalkan oleh mamanya Kenyon, adik-adiknya dan
sanak saudaranya yang lain. Kenyon memperkenalkan Winne
sebagai calon istrinya yang dalam waktu dekat nanti akan
dinikahinya secara resmi. Keluarga Kenyon tidak ada yang
menolak kehadiran Winne, justru mereka tampak senang
mendengar Kenyon sudah punya pilihan calon istri.
Karena esoknya hari Senin, maka Kenyon dan Winne tak
sempat bermalam di Bandung. Mereka tiba di rumah
mungilnya Kenyon sekitar pukul sembilan malam. Saat Winne
selesai mandi dan duduk di depan cermin rias, Kenyon
memperhatikan wajah cantik itu dari pantulan cermin. Saat
itulah ia menemukan bayang-bayang kejanggalan di wajah
Winne.
"Kau pucat sekali, Sayang," bisik Kenyon sambil
membungkuk dan memeluk Winne dari belakang. Lembut dan
mesra sekali "s ikap Kenyon saat itu.
"Kamu sakit, ya? Sakit apa kecapekan?" seraya diciumnya
telinga Winne dengan sentuhan kasih sayang.
"Memangnya kenapa sih wajahku? Kelihatan pucat sekali,
ya?"

"He, eh. Pucat dan kelihatan bergurat-gurat seperti keriput
ketuaan yang akan muncul di sekitar bawah mata, kanan-kiri
hidung dan... di dekat alis ini juga kelihatan mulai berkerut."
Winne tampak mulai resah. Ia memperhatikan tempat yang
ditunjukkan Kenyon. Napasnya ditarik dalam-dalam.
"Biasanya kulit wajahmu kencang, halus dan segar. Kok
sekarang begini sih, Sayang?"
"Aku lupa sesuatu," gumamnya pelan.
"Lupa soal apa? Nggak minum vitamin?Nggak rnakan buah
segar?"
"Ah, udah, udah... sana, aku mau sisiran dulu," hardik
Winne dengan semakin tampak cernas. Tapi Kenyon
menanggapinya dengan canda. Bahkan tangannya
menggerayang nakal, meremas binal.
"Nggak usah sisiran tetap aja menggairahkan. Buat apa
sisiran segala. Kalau perlu, buat apa mengenakan gaun tidur
segala. Kan lebih baik nggak usah pakai apa-apa, supaya
kapan saja pesawat mau landing, landasan udah siap. Tul,
nggak? Hee, hee, hee...."
"Iiiih, kamu ini, Ken! Geli, ah!". Winne menghindari ciuman
nakal Kenyon yang sengaja diarahkan ke ketiaknya. Tawa pun
berderai, canda pun santai. Winne lari ke ranjang, Kenyon
mengejar. Mereka berguling-gulingan sesaat, akhirnya bibir
mereka saling melumat. Kencan asmara pun tiba.
Setelah puncak demi puncak mereka lalui penuh
kebahagiaan, terkulai lemas tubuh mereka yang belum mau
berpisah. Pada saat itu Kenyon juga merasakan ada
kejanggalan pada diri Winne. Perbedaan rasa yang sangat
mencolok terjadi di dalam 'rumah cinta'-nya Winne. Malam itu,
'rumah cinta' tersebut bagaikan kosong tanpa penghuni. Tidak
memiliki getaran yang menyerupai jari-jari membelai mesra,
tidak mempunyai daya tarik seperti 'vacum cleaner'

sebagaimana biasanya. Hal itu membuat Kenyon menjadi
kecewa dan penasaran.
"Kok gini s ih, Sayang...?" tanyanya masih dengan lembut.
"Apanya yang gini?" Winne menanggapi dengan malasmalasan.
"Mahkotamu kok nggak seindah biasanya sih? Kayaknya...
dingin, bisu dan sepi. Hambar sekali. Ada apa sebenarnya,
Win sayangku?"
Setelah menarik napas dan merenggangkan jarak, Winne
pun bangun dan duduk bersandar dinding dengan satu kaki
ditekuk naik, satunya lagi ditekuk rebah ke samping. ia
menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya tiga kali,
setelah itu baru suaranya terdengar sedikit datar.
"Hari ini aku lupa mengisi energiku. Terlalu sibuk bicara
dengan mama dan adik-adikmu, terlalu hanyut dalam rasa
bahagiaku karena aku benar-benar ingin mengawiniku...."
"Itu pasti. Tak boleh gagal," sahut Kenyon.
"Yaaah... justru karena hanyut oleh kegembiraan, sampaisampai
aku tak ingat bahwa hari ini adalah batas waktuku
untuk mencari sumber energiku. Sumber energi ini akan habis
kalau nggak segera ditambah. Kalau aku kehabisan sumber
energi, maka... maka aku akan mati. Cinta kita pun akan
sampai di sini."
"Oh, Win... jangan bicara seperti itu, aku nggak suka."
Kenyon memeluknya erat-erat. Merangkul dari samping kiri
Winne.
"Aku harus bicara padamu tentang kenyataan ini, Ken.
Percuma saja kututup-tutupi kalau toh akhirnya akan
terbongkar juga, sebab kita akan menjadi pasangan suami-istri
yang ideal. Begitu kan?"

"Tepat sekali. Tapi... aku masih belum mengerti apa
maksud kata-katamu, Sayang?"
"Setiap lima hari sekali, aku butuh sumber energi yang
baru."
"Sumber energi apaan sih? Matahari?!"
Winne menatap dingin sambil gelengkan kepala.
"Bukan matahari yang kubutuhkan."
"Lalu, apa?"
"Darah.".
"Hahh...?!!" Kenyon terbelalak. Kaget sekali. Sekujur
tubuhnya jadi merinding semya. Untuk sesaat ia sulit bicara
karena tatapan mata Winne seperti mengandung kekuatan
gaib yang sangat menakutkan.
"Kamu nggak usah takut. Aku nggak akan menghirup habis
darah kekasihku. Di sekelilingku banyak sumber energi yang
kubutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidupku sebagai
kekasihmu."
"Ja... jadi... kematian Ernas akibat semua darahnya kamu
hisap habis?!"
"Orang-orang seperti Ernas itulah yang patut menjadi
sumber energiku. Perempuan mana yang coba-coba menarik
simpatimu, dia akan mengalami nasib seperti Ernas. Kuhirup
habis darahnya untuk bekal hidupku di hari-hari berikutnya."
Kenyon menyeringai ngeri. Tangannya yang merangkul
punggung Winne pun dilepaskan dengan berlagak mengusap
wajahnya, membuang rasa takutnya.
"Kenapa harus begini?" gumam Kenyon seperti bicara pada
diri sendiri. Wajah ceria dan senyum mesranya berubah
menjadi murung dan tegang.

"Kalau sampai besok siang aku nggak mendapatkan
penambahan sumber energi, maka kau akan kehilangan
kehangatanku, kecantikanku, mahkotaku dan... semua itu
tidak akan kau dapatkan pada perempuan mana pun,
Kenyon."
"Aku sungguh tak menyangka kau punya kelainan jiwa."
"Kau menyesal?" Pertanyaan itu. bernada tegas.
Kenyon jadi semakin takut. Salah-salah dia sendiri akan
bisa menjadi korban jika sikapnya mengecewakan Winne, atau
membuat si cantik itu marah. Oleh sebab itu, Kenyon segera
menggelengkan kepala dalam menjawab pertanyaan tersebut.
"Tidak, Win. Aku tidak menyesal."
"Sungguh? Kau tidak akan lari dariku setelah tahu semua
ini?"
"Nggak akan mungkin aku bisa lari darimu. "
Kenyon menatap, dipaksakan selembut mungkin. "Aku
sangat mencintaimu, Win."
"Ken...," Winne menatap sayu, lembut dan mesra. Kenyon
merasa lega. Karena dengan begitu Winne tidak akan kecewa,
emosinya tidak akan membahayakan jiwa pasangannya.
Kenyon membiarkan dicium pipinya, dikecup bibirnya, walau
sebenarnya Kenyon gemetar dalam hati dan serba salah.
Bagaimana Kenyon tidak serba salah kalau sebenarnya ia
sangat mengagumi dan menyayangi Winne, tapi ternyata
Winne adalah perempuan penghisap darah. Seandainya
Kenyon lari meninggalkan Winne, dia akan menanggung dua
resiko yang cukup berat. Pertama, tak dapat merasakan
nikmatnya 'mahkota' cinta yang tidak dimiliki perempuan lain.
Kedua, Winne akan sakit hati, Kenyon pasti diburu dan
dijadikan korban seperti Ernas. Pertimbangan itulah yang
membuat sikap Kenyon sementara ini masih berada di persimTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pangan jalan. Ia tak tahu harus berbuat apa dalam
menghadapi kenyataan yang cukup me ngerikan itu.
Dia hanya berharap, apa yang dikatakan Winne hanya
sekedar siasat untuk menguji kesetiaan hatinya dengan
Winne. Ia sangat berharap wanita cantik itu sengaja 'ngerjain'
dirinya untuk suatu maksud yang sangat pribadi.
Tapi esok harinya, ketika Kenyon bangun tidur agak
kesiangan, ia melihat Winne sudah berpakaian rapi, siap pergi
ke tempat kerjanya. Wajah Winne kelihatan cerah, segar,
kulitnya kencang kembali. Halus tanpa kerutan sedikit pun.
Sikapnya pun kelihatan energik dan penuh semangat.
Kenyon curiga, "Jangan-jangan dia telah dapatkan korban,
sehingga energinya terisi kembali?"
Untuk menghindari rasa tersinggung, Kenyon sengaja
berpura-pura tidak tahu. Juga, sengaja tidak menanyakan halhal
yang be kaitan dengan jatuhnya korban. Namun ketika ia
bersama Winne berangkat ke kantor, dua ratus meter dari
rumahnya terdapat kerumuman orang berwajah tegang.
Rupanya ada yang menemukan mayat di dalam pos Hansip.
Seorang petugas keamanan yang malamnya habis melakukan
tugas ronda, rupanya karena tak kuat menahan ngantuk orang
tersebut ketiduran di pos. Temannya sengaja ngerjain dengan
tidak membangunkan orang tersebut. Sepuluh menit yang
lalu, ketika seorang warga ingin membangunkannya, ternyata
orang tersebut bukan hanya tidur sesaat, tapi tidur selamalamanya
dan tak akan pernah bangun lagi .
Heboh ditemukannya mayat tak berdarah menyebar di
sepanjang jalanan kompleks perumahan tersebut. Setiap
mulut selalu mengatakan, mayat petugas keamanan itu dalam
keadaan kering, kusam, seperti mau keropos, karena tidak
memiliki cairan darah lagi dalam tubuhnya. Bekas darah yang
membeku pun tidak ada. Kabar tersebut didengar Kenyon
yang sedang mengemudikan mobilnya pelan-pelan. Mata
Kenyon hanya melirik sepintas ke arah Winne. Perempuan itu

diam saja, seolah-olah tidak merasa sedang dilirik Kenyon.
Sampai mereka berpisah ke kantor masing-masing, tak sedikit
pun percakapan mereka yang menyinggung tentang mayat
petugas keamanan itu.
"Gawat kalau begini?!" gumam hati Kenyon setelah Winne
turun di kantornya. "Haruskah aku mempunyai istri seorang
perempuan penghisap darah? Ooh, apa kata keluargaku kalau
sampai tahu, bahwa istriku perempuan penghisap darah? Lalu
bagaimana cara mengatasi kasus separah ini?!"
Kenyon memutar otak berhari-hari untuk mencari jalan
terbaik dalam mengatasi masalah tersebut. Napnun anehnya,
belakangan ini otak Kenyon seperti telah menjadi tumpul.
Terutama sejak Winne menuturkan pengakuannya itu, Kenyon
selalu tak pernah berhasil menemukan sikap yang harus
diambilnya. Setiap ia berpikir tentang kemisteriusan Winne,
tiba-tiba saja otaknya menjadi kusut dan fokus konsentrasinya
terpecah belah kemana-mana.
Akhirnya Kenyon hanya bisa menunda dan menunda lagi
niat memikirkan masalah itu. Kenyon terjerat dan terjebak lagi
dalam lingkaran mesra dari 'mahkota' cinta yang
melambungkan jiwa ke puncak keindahan yang belum pernah
dialami orang lain.
Sampai tiba di suatu sore yang hujan, Kenyon harus
menemui bekas rekanan bisnisnya yang menjadi pilot, yaitu
Oom Hans, suaminya Nyonya Lieza. Ia bermaksud
menawarkan bisnis yang dulu pernah digarapnya bersama
Oom Hans, tapi kandas karena krismon. Kini peluang bisnis itu
terkuak kemblai. Kenyon ingin memanfaatkan peluang itu
bersama Oom Hans lagi.
Saat itu Kenyon terpaksa harus bersama Winne, karena
Winne sempat curiga. Kenyon disangka pergi menemui Arisna.
Winne sudah tahu, bahwa Kenyon sedang naksir Arisna, garagara
Arisna menghubungi HP-nya Kenyon, tapi yang menerima
telepon itu Winne sendiri. Dengan caranya sendiri yang

tergolong mistik, Winne berhasil mengorek isi hati Arisna yang
memang sedang naksir Kenyon juga. Maka tak heran jika
Wirine tahu di mana Arisna bekerja dan di mana rumah gadis
itu.
Pada waktu itu Kenyon tidak tahu kalau Winne dalam masa
krisis energi. Hari itu adalah hari kelima di mana Winne harus
segera mendapatkan darah manusia dari mana saja. Secara
kebetulan sikap Nyonya Lieza kepada Kenyon dari dulu
memang selalu baik, ramah dan tak segan-segan bercanda.
Sikap itu menimbulkan kecemburuan dalam hati Winne. Meski
di luarnya senyum, tapi di dalam hatinya Winne sengit kepada
Nyonya Lieza.
"Kali ini aku hanya akan memberinya pelajaran, agar lain
kali kalau bicara dengan Kenyon nggak perlu pakai genitgenitan
begitu!"
Melihat di ruang tengah ada anak kecil yang sedang
mencari buku mewarnai, maka kebencian Winne dilampiaskan
kepada anak itu. Setidaknya dapat membuat Kenyon tidak
mengetahui apa yang telah dilakukannya nanti, sebab yang
dijadikan korban bukan Nyonya Lieza.
Hanya saja, sewaktu Nyonya Lieza pergi ke belakang dan
Winne mengerahkan kekuatan penghisap darah melalui
pandangan matanya, secara kebetulan Kenyon menatapnya.
Pria itu terkejut melihat kedua bola mata Winne
menampakkan bayangan api yang sedang berkobar-kobar.
Kenyon segera paham apa yang dilakukan Winne dan
sasarannya adalah Ekey. Seketika itu juga Kenyon mendorong
tubuh Winne agar pandangan matanya beralih sasaran.
"Win, gila luh!" sentak Kenyon tegang sekali. Winne sempat
terseritak; namun tak sampai jatuh. Sayangnya, usaha Kenyon
itu terlambat. Winne telah mendapatkan seluruh darah si
bocah kecil itu, terbukti Winne menyunggingkan senyum
kemenangan dan membiarkan anak kecil, itu pergi ke kamar
menemui kakaknya. Kenyon menjadi sangat panik, sebab dia

tahu Ekey pasti akan mati dalam keadaan tanpa darah setetes
pun.
Untuk menutupi kepanikannya, Kenyon segera pamit
pulang. Sejak itu ia sangat malu dan takut bertemu Nyonya
Lieza. Namun pertemuannya dengan Nyonya Lieza di rumah
Kumala Dewi memberikan arti penting bagi ingatan Kenyon.
Pertemuan itulah yang membuat Kenyon dapat menceritakan
kesaksiannya tentang perempuan penghisap darah itu.      
5
BUKAN hanya Kumala, Niko dan Sandhi saja yang geram
terhadap kekejaman Winne. Jelmaan Jin Layon itu juga
menggeram jengkel dan mengecam habis tindakan sadis
perempuan penghisap darah itu. Maklum, jin yang satu ini
sudah ikut aliran putih, jadi nalurinya selalu menentang segala
jenis kekejaman, kejahatan dan kebiadaban.
"Biar kutangani sendiri perempuan itu, Kumala!" ujarnya
dengan nada geregetan.
"Jangan gegabah," kata Dewi Ular dengan kalem.
"Perempuan itu jelas bukan perempuan sembarangan.
Terbukti dari tadi kucoba untuk meneropong pribadinya tapi
yang kutemukan hanya gumpalan kabut hitam tanpa tandatanda
yang jelas."
"Siapa pun dia," sahut Buron penuh semangat. "... kurasa
aku masih sanggup menghancurkannya, Kumala. Kalau nggak
bisa pakai kekerasari, ya pakai kemesraan."
"Apa maksudmu?!" sentak Sandhi agak kesal.

"Lihat saja aksiku nanti!" Buron mencibir. Sok jago. Ia
bertainya kepada Kenyon, "Apakah perempuan itu menetap di
rumahmu?"
"Ya. Di rumahku hanya ada dia dan Mak Yem, pelayanku."
"Kalau begitu dia akan kuseret kemari malam ini juga!"
"Buron...."
Blubbs...! Buron lenyap dalam sekejap sebelum Kumala
berhasil mencegahnya dengan kata-kata. Niko dibayangbayangi
kecemasan, karena malam itu sudah pukul 12 lewat.
Sandhi tampak menggerutu kesal melihat tingkah Buron yang
sok jago itu. Ia kurang setuju dengan lagak seperti itu, sebab
hati kecilnya tak rela jika Buron celaka akibat melawan
perempuan itu.
"Lakukan sesuatu, Kumala!" kata Sandhi. "Buron bisa mati
kalau melawan perempuan itu, sebab bisa menyedot darah
dalam sekejap tanpa kita ketahui di mana posisinya saat itu!"
Sebelum Kumala bicara, tiba-tiba di belakang tempat duduk
Kumala terjadi letupan kecil yang menyemburkan asap.
Bluuubs...! Buron pun muncul kembali dan bertanya kepada
Kumala.
"Rumahmu di sebelah mana sih?"
Sandhi melempar bantal penghias sofa. Buuuk...! Tepat
mengenai kepala Buron.
"Makanya jadi orang itu jangan sok tahu!" sentak Sandhi
kesal.
Dewi Ular punya perhitungan sendiri dalam menghadapi
Winne yang belum diketahui asal usul dan jati dirinya itu. Jika
baru tadi siang Winne menyerap darah Arisna, berarti
kekuatan Winne sedang dalam kondisi prima. Energinya
sedang penuh-penuhnya. Tapi dalam waktu dua-tiga hari lagi,
energi itu akan berkurang dan tingkat kekuatan Winne pun

diperkirakan tidak akan setangguh sebelumnya. Tapi haruskah
seorang gadis anak bidadari dan putri kesayangan Dewa
Permana yang kesohor berilmu tinggi itu menunggu saat
kelemahan lawannya tiba?
Tidak. Dewi Ular tidak mau dianggap licik atau pengecut.
Prima atau tidak kekuatan Winne tetap harus segera
dilumpuhkan. Hanya saja, dibutuhkan suatu perhitungan yang
matang, supaya tidak menimbulkan korban di pihak yang tak
bersalah. Kumala tak ingin ada pihak lain yang jadi korban
kekuatan penghisap darahnya Winne jika nanti ia berhadapan
dengan perempuan itu.
"Kenyon, kuharap kau tetap diam di rumahku ini. Jangan ke
mana-mana, sebab dalam firasatku mengatakan bahwa kau
sedang dicari Winne. Mungkin untuk disedot darahnya,
mungkin juga untuk disedot kemesraannya. Yang jelas, demi
keselamatanmu, jangan keluar dari rumah ini sebelum
keadaan benar- benar aman!"
"Baik, aku ikut saja apa saranmu," kata Kenyon dengan
pasrah.
"Buron, kau tetap di rumah. Jaga sobat kita ini!"
Pemuda berambut kucai dengan tubuh tak terlalu kurus itu
hanya menganggukkan kepala. Agak kesal hatinya, karena
tugas itu menandakan bahwa Kumala tidak mengizinkannya
untuk bertarung melawan kekuatan ilmunya si perempuan
penghisap darah. Dan kalau Dewi Ular sudah memutuskan
begitu, Buron jarang sekali berani menentang keputusan
tersebut, kecuali kalau ia sedang mood bandelnya.
Pagi itu masih ada sisa embun di pucuk dedaunan. Dewi
Ular dan Sandhi meluncur ke rumah Kenyon, Niko tidak bisa
ikut karena harus menghadiri pertemuan di kantornya. Ia
hanya sempat berpesan kepada Kumala dalam bisikan
lembutnya.

"Jangan sampai terluka sedikit pun gadis yang kucintai
selama ini. Kalau sampai ia terluka, aku complain ke HAM."
Kumala Dewi hanya tersenyum dingin, setengah mencibir.
Tapi dalam hatinya ada desiran lembut yang membangkitkan
semangatnya untuk segera melumpuhkan Winne. Seolah-olah
hari itu juga Kumala ingin menunjukkan pada Niko bahwa
gadis yang dicintai Niko berhasil melumpuhkan lawan tanpa
luka sedikit pun. Padahal ia sadar bahwa gadis yang dicintai
Niko adalah dirinya sendiri.
"Romantis juga anak itu," gumam Kumala dalam hatinya.
BMW kuning menyala tiba di rumah mungil dalam sebuah
kompleks pemukiman elite. Wajah Sandhi agak tegang saat
memberitahukan bahwa dugaannya tidak salah, rumah mungil
itulah rumahnya Kenyon.
"hati-hati, Mala," bisik Sandhi sebelum kumala turun dari
mobilnya. Kumala menatap sopir pribadinya itu.
"Hei, nggak usah tegang begitu, San!" senyum Kumala
sengaja diparnerkan untuk menenangkan Sandhi. "Anggap
saja ini kunjungan biasa. Bukan sesuatu yang berbahaya."
"Aku menganggap begitu juga kok."
"Kenapa keringat dinginmu keluar?"
Sandhi mengusap keningnya. Tersenyum kaku. "Nggak
tahu nih. Mungkin gejala masuk angin," ujarnya menutupi rasa
malu atas sindiran itu. Tawa kecil Kumala akhirnya
mengurangi beban ketegangan hati Sandhi. Dalam keadaan
menghadapi bahaya seperti saat ini, Sandhi selalu tidak mau
tinggal diam, menunggu di dalam mobil. Ia selalu ikut turun
dan mendampingi Kumala dari belakang, sekalipun
sebenarnya ia tidak mempunyai ilmu apa pun untuk
menghadapi bahaya gaib, tapi sebagai sopir yang sudah
dianggap seperti saudara sendiri itu Sandhi merasa perlu
membayangi Kumala. Ia tak rela jika majikan cantiknya
sampai terluka atau cedera lebih berat lagi.
"Suasananya sepi sekali," bisik Sandhi saat Kumala
mendorong pintu gerbang, ternyata pintu besi itu tidak
terkunci.
"Kayaknya kita akan gagal nih, San. Aku nggak menangkan
getaran energi gaib apa pun tuh."
"Mungkin dia sudah berangkat ke kantor. Kita susul ke
kantornya saja, bagaimana?"
"Tunggu dulu dong. Belum diperiksa lebih cermat, sudah
mau pergi aja!" Kumala bersungut-sungut kecil.
Bel tamu ditekan. Tak berapa lama muncul seorang
perempuan berusia sebaya dengan Mak Bariah, tapi badannya
kurus dan berkulit hitam. Kumala langsung mengerti,
perempuan berkebaya itu pasti Mak Yem, pelayannya Kenyon.
"Tuan ada, Mak?"
"Tuan, hmmmm.... Tuan belum pulang dari kemarin,
Nona."
"Kalau.... Winne, ada?"
"Non Winne juga belum pulang dari kemarin tuh."
"Mak Yem tahu di mana mereka berada?" pancing Sandhi.
"Wah, saya nggak pernah tahu kalau beliau berdua pergi ke
mana tujuannya. Tapi... kayaknya Tuan Ken nggak pergi
bersama Non Winne, Mas. Soalnya dari semalam Non Winne
telepon kemari terus, menanyakan Tuan Ken. Malahan baru
saja lima menit yang lalu Non Winne habis telepon juga."
"Apa dia meninggalkan pesan buat Tuan Ken?" tanya
Kumala.

"Ya. Non Winne cuma bilang, kalau Tuan Ken datang
diminta segera menghubungi Nona Winne di telepon biasanya.
Gitu aja tuh."
Dewi Ular dan sopirnya meninggalkan rumah Kenyon saat
jarum jam menunjukkan pukul 10 tepat. Dari dalam mobilnya
Kumala menelepon Kenyon, menanyakan nomor telepon
'biasanya' itu. Sudah pasti hanya Kenyon yang tahu. Dan
ternyata telepon yang dimaksud adalah telepon kantornya
Winne.
"Hubungi saja ke kantornya, tanyakan dulu kepada Allen,
apakah dia sudah datang atau belum," saran Kenyon.
"Siapa Allen itu?"
"Teman dekatnya di kantor itu. Mejanya berseberangan
dengan meja kerja Winne."
"Kalau sampai dia nggak ada, atau nggak masuk kerja,
kira-kira ada di mana dia?"
"Tempat kostnya. Sebab dia belum resmi pindah dari
tempat kost itu, dan masih ada beberapa barangnya yang
belum dibawa ke rumahku."
Setelah mencatat dalam ingatartnya tentang alamat tempat
kost tersebut, Kumala segera menghubungi Allen melalui HPnya.
Pada saat itu ternyata Winne belum datang.
"Tapi dia akan datang, tadi sudah telepon kemari. Dia
sedang ada urusan di bank. Sekitar pukul sebelas baru tiba di
kantor," kata Allen polos-polos saja, karena Allen tidak
mengetahui persoalan yang sedang dihadapi Winne
sebenarnya. Allen justru menyarankan agar Kumala menunggu
kedatangan Winne di kantor itu. Tapi menurut pertimbangan
Kumala, ia lebih baik memeriksa tempat kost yang ada di
daerah Tebet itu.
"Apa nggak bisa dilacak dengan kekuatan batinmu?" tanya
Sandhi.

"Kalau bisa, nggak perlu kutanyakan ke sana-sini tentang
keberadaannya."
"Jadi, dia itu sebenarnya iblis dari mana kok nggak bisa
dilacak dengan teropong gaibmu sih?"
"Kita akan tahu dari mana asalnya setelah bertatap muka
dengan perempuan itu."
Sampai di tempat kost, Kumala dan Sandhi justru sibuk
menghindari kerumunan massa. Ternyata di situ telah terjadi
peristiwa yang memancing perhatian massa setempat.
Seorang pemuda, pacar salah satu penghuni kost di situ,
ditemukan tewas di dalam mobil yang masih dalam keadaan
belum diparkir dengan rapi. Pemuda itu tewas dalam keadaan
kehabisan darah. Orang-orang menyangka kematian tersebut
dikarenakan adanya racun ganas monoksida yang ada dalam
mobil. Tapi Kumala dan Sandhi tahu persis, bahwa kematian
itu adalah karena ulah si perempuan penghisap darah.
"Kita terlambat," bisik Kumala setelah ia memeriksa
keadaan mayat pemuda itu. "Satu jam yang lalu dia dari sini.
Mungkin sekarang sedang menuju ke kantor."
"Memangnya ada yang melihatnya pergi dari sini?"
"Mayat itu yang memberitahukannya," jawab Kumala datar
dan berkesan dingin. Biasanya jika begitu Dewi Ular sedang
menahan rasa kecewa atau kemarahan yang ditekan kuat-kuat
dalam hati.
"Belum ada lima hari, masa dia sudah menghisap darah
korban lagi s ih?” Kata Kenyon,
”Setiap lima hari sekali?! Pasti dia tahu kalau sedang
kuburu, sehingga perlu stock energi untuk melawanku nanti."
"Hebat sekali dia kalau begitu. Mungkinkah dia termasuk
makhluk dari Kahyangan, seperti dirimu juga?"

"Mungkin saja. Tapi dewa mana yang bertindak sebegitu
bodoh dan keji di muka bumi ini? Bisa dihancur leburkan oleh
kakekku dewa yang sadis kayak gitu!"
Sandhi paham yang dimaksud kakeknya Dewi Ular, yaitu
Dewa Murkajagat. Dewa senior itu sangat berbahaya kalau
sedang marah. Bisa-bisa bumi ini dibelah dijadikan delapan
keping lalu disambung lagi dalam bentuk trapesium atau kota
kubus.
Sampai di kantornya Winne, ternyata perempuan itu belum
datang juga. Kumala menunggu dengan hati jengkel, karena
ia tak bisa melacak getaran gaib perempuan penghisap darah
itu. Lebih jengkel lagi setelah Sampai pukul 1 lewat, ternyata
Winne belum muncul di kantor tersebut.
"Kalau benar dia tahu sedang diburu olehmu, kenapa ia
harus menghindar, sementara menurutmu dia punya kekuatan
gaib cukup tinggi? Jangan-jangan kau salah persepsi, Mala?"
"Bisa juga aku salah menilainya. Tapi yang jelas, dia pasti
punya sinyal khusus yang dapat mengetahui bahwa dirinya
sedang diburu seseorang."
Baru saja Kumala ingin meninggalkan kantor tersebut, tibatiba
Allen memberitahukan bahwa Winne baru saja menelepon
dan mengatakan kalau dia tidak bisa datang karena ada
urusan penting.
"Apakah dia memberi tahu di mana posisinya saat itu?"
"Di bandara, sedang menunggu kedatangan tamunya dari
Jerman."
Langsung saja Kumala menyuruh Sandhi meluncurkan BMW
kuningnya ke arah bandara. Tetapi sampai pukul 4 sore,
Kumala tidak berhasil menemukan wanita cantik dengan ciriciri
seperti yang pernah diceritakan Keoyon padanya itu.
Setiap orang yang ada di bandara diperhatikan, diteropong

getaran gaibnya, tapi tidak ada yang pantas dicurigai sebagai
perempuan penghisap darah.
"Kita pulang aja deh. Atur strategi di rumah," katanya
kepada Sandhi. Si sopir pribadi itu ikut-ikutan kesal dan
semakin jengkel terhadap Winne. Justru dia yang merasa
seperti dipermainkan oleh Winne, dibuat lari ke sana-sini
tanpa hasil.
"Kurasa keadaan ini adalah salah satu permainannya juga.
Kita sengaja dibuat pontang panting begini! Brengsek!" geram
Sandhi.
"Jangan ikuti arus emosi kalau mengerjakan sesuatu," kata
Kumala. "Tenang dan santai saja. Anggap perjalanan ini
sebuah tamasya penangkal stress. Kalau kamu hanyut dalam
emosi, sasaran akan semakin jauh darimu."
Kenyon menghubungi Kumala dan menanyakan Hasilnya.
Kumala menceritakan perjalanannya sambil tertawa pelan,
berkesan santai.
"Dia pasti mencariku, Kumala. Bagaimana kalau aku keluar
dari rumah bersama Buron?"
"Jangan!" tegas Kumala. "Aku tahu dia kelabakan
mencarimu dan tidak berhasil menemukan dirimu karena kau
diselubungi lapisan gaibnya Buron yang sukar diteropong dari
jarak jauh. Sebaiknya kau hubungi saja melalui telepon
tempat-tempat di mana dia sering berada. Atau mungkin di
rumah orangtuanya yang katamu ada di daerah Kelapa Dua
itu."
"Aku belum pernah ke sana. Aku punya nomor teleponnya,
tapi ketika tadi kutelepon ke sana, di sana tidak ada yang
kenal dengan gadis bernama Winne. Aku yakin alamat dan
nomor telepon itu palsu. Dan aku baru menyadari sekarang."
"Itulah kelemahanmu."

"Kalau dia kita pancing dengan kemunculanku,
bagaimana?"
"Itu berbahaya. Dia dapat mencelakaimu karena tahu kalau
sedang dipancing!"
Ternyata memang tidak mudah menangkap perempuan
penghisap darah itu. Untuk bisa bertemu dengannya secara
sengaja, sulitnya bukan main, apalagi untuk menangkapnya.
Kumala punya rencana untuk mengerahkan kekuatannya;
ekstra gaib, jika nanti berhasil bertemu dengan perempuan
itu. Sebab jika tidak langsung diserang dengan kekuatan
ekstra, Winne bisa lolos lagi. Dan kalau sudah lolos akan sulit
dilacaknya.
Menjelang magrib BMW kuning itu sudah bisa keluar dari
jalur tol yang macet. Tapi tiba-tiba dering handphone
berbunyi. Suara perempuan terdengar jelas melalui
handphone itu.
"Siapa itu?" bisik Sandhi. Kumala menjawab dengan
gerakan bibir.
"Mbak Mer."
"Ooo...," Sandhi manggut-manggut. Ia tahu, yang
dimaksud Mbak Mer pasti polwan yang berpangkat Peltu itu,
yakni Merina Swastika. Belakangan ini Mbak Mer juga sering
datang ke rumah Kumala, baik sekedar bertandang maupun
membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan dunia
supranatural.
"Mala, kamu bisa menemuiku sekarang juga di sirkuit
Ancol?"
"Bisa saja sih. Tapi ... ada apa sih, Mbak?"
"Ada barang temuan yang perlu kau lihat. Kayaknya
mengandung sesuatu yang sangat misterius. Mungkin kau bisa
mengenalinya."

"Apakah barang temuan. itu berbahaya?"
"Sudah ada empat orang yang tewas di s ini dalam keadaan
nggak punya sisa darah sedikit pun."
Mendengar penjelasan itu, semangat Kumala jadi timbul
kembali.
"Kalau begitu saya akan meluncur ke sana deh, Mbak!"
Sandhi menggumam tegang. "Empat orang jadi korban
lagi?! Gila! Rupariya dia benar-benar sedang mengumpulkan
peluru untuk menghadapi lawan yang dianggapnya sangat
tangguh. Berarti kekuatanmu sudah bisa dijajaki olehnya,
Mala. Hebat juga iblis satu itu!"
Kumala Dewi hanya tersenyum tipis. Tetap kalem. Justru
Sandhi yang tampak gusar dan semakin tak sabar. Laju mobil
sedan itu pun menjadi ngebut dan zig-zag, sehingga dalam
tempo relatif singkat Kumala dan Sandhi sudah tiba di pantai,
sekitar sirkuit Ancol. Mereka bukan saja melihat kerumunan
massa, tapi juga beberapa mobil polisi Unit Reaksi Cepat,
ambulance, dan terutama seorang polwan berpakaian dinas
yang dikenalnya sebagai Mbak Mer.
"Keempat mayat korban ditemukan di tempat yang agak
berjauhan," kata Mbak Mer menjelaskan. "Coba periksa salah
satu dari mayat itu, apakah ada kesamaan magisnya dengan
korban yang sudah-sudah?"
Salah satu mayat yang belum sempat dibawa oleh
ambulance diperiksa Dewi Ular. Satu-satunya kesamaan magis
yang ditemukan pada mayat tersebut adalah lubang kecil di
tengah dahi yang tidak bisa dilihat mata manusia biasa.
Lubang sekecil pori-pori itu juga ditemukan di mayat pemuda
yang tewas di depan rumah kost Winne. Lewat lubang itulah
Winne menghisap darah korbannya dengan kekuatan gaib
yang sulit dijelaskan secara ilmiah.

"Ya, memang mayat ini mempunyai kesamaan magis
dengan korban yang lain, Mbak. Dan pelakunya adalah
seorang perempuan muda yang bernama Winne...," lalu
Kumala menceritakan secara singkat tentang penga- kuan
Kenyon itu.
"Sekarang coba kau lihat barang temuan team kami itu.
Ada di semak-semak sebelah sana tuh!"
Untuk mencapai tempat tersebut, mereka terpaksa
menggunakan mobilnya kumala. Jaraknya cukup jauh kalau
ditempuh dengan jalan kaki, tapi ditempuh dengan mobil
menjadi sangat dekat. Beberapa petugas berjaga-jaga di
tempat barang temuan tersebut. Pita kuning memagari
sekeliling tempat tersebut yang membuat tempat tersebut
menjadi daerah ter- larang bagi umum. Tetapi Sandhi tak
dilarang ikut mendekati barang temuan itu, karena beberapa
petugas yang sudah kernal Kumala mengetahui bahwa Sandhi
adalah orang dekatnya, Kumala Dewi yang perlu mendapatkan
prioritas juga.
"Nah, coba lihat itu...," sambil Mbak Mer menunjuk ke arah
semak-semak ilalang di bawah pohon rindang.
"Wow...?! Benda apa itu?!" gumam Sandhi dengan
terperangah.
Benda temuan yang dimaksud berbentuk seperti rumah
kura-kura. Besarnya seukuran piring untuk makan. Jumlahnya
ada tujuh buah. Benda-benda aneh itu bagaikan terbuat dan
kristal biru yang memancarkan cahaya biru uranium. Tidak
menyilaukan, namun justru berkesan menyejukkan mata.
Cahaya uraniumnya berpendar-pendar menerangi
sekelilingnya. Sesuatu hal yang terasa aneh adalah ilalang di
sekitar itu ternyata habis terbakar, tinggal sisanya yang
hangus menghitam dan membuat benda-benda aneh itu
tampak mencolok sekali letaknya.

"Kami belum berani mengangkat atau memindahkan
benda-benda itu, Kumala. Karena salah seorang petugas yang
tadi berusaha mengangkat benda itu terpaksa segera dilarikan
ke rumah sakit."
"Kenapa, Mbak?" tanya Sandhi spontan.
"Tangannya terbakar sebelum menyentuh benda itu."
"Gila!" Sandhi menggumam tegang.
"Bagaimana, Kumala? Kau bisa mengenali benda-benda
itu?"
"Ya," jawab Kumala seperti orang menerawang. "Itu adalah
telur."
"Telur...?!" Mbak Mer berkerut dahi dengan heran. "Kamu
nggak salah Iihat, Kumala?"
"Tidak, Mbak. Itu memang delapan butir telur, karena
kurasakan ada getaran energi panas dari dalamnya. Energi
panas itu adalah energi pembangkit kehidupan yang sedang
berproses. Kekuatan panasnya dapat melelehkan besi. Sangat
berbahaya."
"Telur apaan itu?!" gumam Mbak Mer sambil menyeringai
antara ngeri dan heran
"Entahlah. Tapi yang jelas sangat membahayakan
keselamatan umum. Organik yang ada di dalam telur itu akan
tumbuh pesat dan jika menetas nanti akan menjadi ancaman
maut bagi manusia."
"Kalau begitu perlu dihancurkan?"
"Perlu!" jawab Kumala dengan tegas. "Tapi perlu diketahui,
sebutir geranat tak akan cukup untuk menghancurkan tujuh
telur aneh itu, Mbak."
"Wow...?! Sebegitu hebatnyakah kekuatan telur itu?"

"Energi panas yang ada di dalamnya itulah yang
membentuk kekuatan baja, karena ia sedang berproses. Jika
ia sedang tidak berproses, maka tak akan timbul reaksi baja,
dan mudah dihancurkan dengan benda apa pun yang bersifat
keras."
"Gawat! Jadi, bagaimana menghancurkan-nya?!"
"Kalau diizinkan akan saya hancurkan sendiri, Mbak."
Mbak Mer segera berunding dengan team-nya, termasuk
beberapa Meminta persetujuan dengan pihak markas..
Akhirnya izin itu diberikan. Mbak Mer mempersilakan Dewi
Ular melakukan penghancuran terhadap tujuh telur aneh itu.
Para petugas dan massa terpaksa harus mundur menjauhi
tempat itu sekitar 200 meter.
Cahaya senja semakin redup. Kumala berada dalam jarak
25 meter dari tujuh butir telur aneh itu. Dengan kekuatan
kedewaannya tangan gadis cantik itu memancarkan sinar hijau
berbentuk seperti spiral. Sinar hijau itu menghantam tujuh
butir telur aneh.
Blegaaarrrr...!!
Ledakan dahsyat terjadi cukup mengerikan. Kumala Dewi
sendiri terpental melambung di udara. Untung ia sigap dan
saat mendaratkan kaki ke tanah dalam posisi setengah
jongkok. Sedangkan, tujuh butir telur itu pecah menjadi
berkeping-keping dan menyebar ke berbagai arah dengan
memercikkan cairan kental berwarna biru tua, seperti tinta.
Rupanya ledakan itu mengundang perhatian orang banyak.
Namun ada salah satu orang yang mampu bergerak lebih
cepat dari mereka yang berlari-lari dari tempat ditemukannya
keempat mayat tadi. Orang yang mampu bergerak cepat itu
menerjang beberapa orang hingga mereka saling memekik
kesakitan sambil terpental ke mana-mana„ Orang tersebut
tahu-tahu sudah ada di depan Kumala Dewi yang sedang
melangkah ingin menemui Mbak Mer dan Sandhi.

Zeeeb.!
Sosok tinggi berwajah cantik menghadang langkah Kumala
dengan ekspresi marah besar. Kumala masih tenang, justru
memberi isyarat kepada Mbak Mer agar tidak mengerahkan
pasukan untuk menangkap perempuan berambut lebat dan
bertubuh sexy itu.
"Keparat! Iblis busuk kau!" tudingnya kepada Kumala.
"Ciri-cirimu seperti wanita penghisap darah yang
diceritakan Kenyon padaku," pancing Kumala, dan kedua mata
si cantik ganas itu terbelalak kaget mendengar nama Kenyon
disebutkan.
"Apa benar kamu yang bernama Winne?" tanya Kumala
tetap tenang.
"Ooo, jadi kaulah orang yang menyembunyikan kekasihku
itu, hah?!"
Ternyata perempuan cantik itu memang Winne. Ia berjalan
pelan memutari Kumala. Napasnya tampak terengah-engah
karena didera luapan amarahnya.
"Ya, Kenyon ada di kamar tidurku saat ini."
"Kurang ajar!" geramnya makin kuat. "Kau telah
menghancurkan telur-telurku, sekarang justru menyekap
kekasihku. Gadis busuk kau! Sepantasnya kau hidup tanpa
darah setetes pun!"
Zlaaap...! Kumala Dewi melihat seberkas sinar putih bening
sebesar lidi keluar dari mulut Winne. Sinar yang menyerupai
pipet beling itu jelas tak akan dapat dilihat oleh manusia biasa.
Tapi mata dewa Kumala melihat jelas gerakan sinar lurus itu
ke arah dahinya. Seketika itu juga ia menadahkan telapak
tangannya dan memancarkan kesaktiannya yang berwarna
hijau bening itu.

Teeess...! la berhasil menahan sinar putih agar tak
menembus keningnya.
Namun sentakan kuat tiba-tiba datang dari sinar putih
tersebut. Sentakan itu membuat Kumala Dewi terlempar ke
belakang. Lalu dengan separuh berdiri ia menahan kembali
datangnya sinar putih yang menyerupai pipet gaib penyedot
darah lawan.
Teess...! Namun sekali lagi sentakan lebih besar datang
membuat Kumala terjungkal ke belakang hingga sebagian
spannya tersingkap. Paha putih mulus tak ada yang
menghiraukan karena orang-orang di sekitar tempat itu
cenderung memperhatikan Winne yang kali ini melompat mirip
seekor kelelawair terbang.
Wees...!
Dewi Ular cepat bangkit dan melompat tegak lurus. Telapak
tangannya dihantamkan ke depan dan sinar hijau spiral
meluncur deras ke arah kepala Winne.
Zlaaap...!
Blegaaarrr...!
"Akkkkkrrrrrr...!!" Winne mengerang histeris. Keras sekali.
Suara jeritannya tidak seperti manusia. Namun beberapa saat
semua orang melihat dengan menyeringai ngeri, karena pada
saat itu seluruh kulit tubuh Winne terkelupas bagaikan
kelopak-kelopak borok. Dalam sekejap kemudian sosok
penampilan wajah cantik bertubuh sexy itu berubah total
menjadi makhluk menjijikkan.
Makhluk itu berbentuk seperti gorila tapi berkulit mirip
kadal. Kepalanya bundar elips dengan mata lebar dan telinga
menyerupai sayap kelelawar. Ketika ia mengerang ganas,
tampaklah giginya yang runcing-runcing mirip ujung tombak.

"Astagaaaa...?! Binatang aneh dari mana ini?!" gumam
salah seorang penonton dengan tubuh gemetar dan celana
basah sendiri.
"Krrroooooaaaakkrr...!!" binatang atau makhluk aneh itu
menyerang Dewi Ular lagi dengan lompatan mirip terbang dan
mata mengeluarkan sinar merah besar. Dewi Ular tahu-tahu
lenyap dari tempatnya. Sinar merah menghantam karang di
tepi pantai.
Jegaaaarrr...! Hancur seketika karang besar itu. Makhluk
aneh tersebut clingak-clinguk mencari lawannya dengan
gerakan ganas. Ketika ia berpaling ke belakang, ternyata
Kumala sudah ada di sana. Gerakan berpaling ke belakang itu
disambut dengan hantaman cahaya hijau yang menyerupai
spiral tadi.
Blegaaarr.!.
"Aaaaakhhhrr...!!" makhluk itu pun tumbang dalam
keadaan sekarat. Sekujur tubuhnya tercabik-cabik menjijikkan
dan mengerikan. Suaranya seperti suara orang tertutup kaleng
kosong. Kering dan bergema rendah.
"Siapa kau sebenarnya?!" tanya Kumala setelah meredakan
emosinya.
"Zakranuga...!" makhluk itu menjawab dengan lemah.
"Zakranuga...?! Dari mana asalmu?"
"Pontranus...," selesai menyebutkan tempat asalnya, ia
terkulai lemah, tak bernapas lagi.
Wuuuuss...!
Tubuhnya terbakar dengan sendirinya dan dalam waktu
singkat telah menjadi arang tanpa bentuk. Sandhi buru-buru
menyalakan lampu mobil agar menerangi alam yang sudah
semakin gelap itu. Beberapa mobil polisi juga digunakan
sebagai alat penerang.

Mereka sudah mulai berani mendekati sisa arang tersebut,
karena Kumala memberikan isyarat aman kepada Mbak Mer.
Tapi suasana mengerikan tadi masih mencekam jiwa mereka,
sehingga sangat sedikit yang mulai bicara dengan rekannya.
Mbak Mer sendiri hanya terbengong bisu memandangi arang
sisa kebakaran tubuh makhluk yang bernama Zakranuga itu.
Sandhi mendekati Kumala dan berbisik, "Kudengar dia
berasal dari Pontranus. Tempat apa Pontranus itu?"
"Nama planet di luar tata surya kita."
"Astaga...?! Jadi... jadi dia makhluk planet luar angkasa?!"
"Benar. Kurasa dia sedang melakukan ekspansi ke bumi
atau jatuh tanpa sengaja ke sini, dan segera melakukan
transformasi bentuk rupa, sehingga menjadi perempuan cantik
bernama Winne."
"Gila! Kalau begitu dia makhluk planet yang berjenis betina
dong?"
"Tentu saja, sebab dia punya selera dengan makhluk bumi
yang berjenis jantan dan bernama Kenyon."
"Ck, ck, ck, ck...," Sandhi geleng-geleng kepala. "Kalau saja
Kenyon tahu wajah asli Winne seburuk itu, pasti dia lebih baik
bunuh diri daripada melayani gairah Winne, ya?!"
Kumala tertawa kecil, tetap kalem. la melangkah ke mobil
didampingi Sandhi, sementara Mbak Mer segera menyusulnya.
"Bagaimana keadaanmu, Mala?".
"Nggak apa-apa, Mbak. Bisa kuatasi sendiri rasa nyeriku.
tadi.".
"Makhluk jelek itu tadi nyaris membunuhmu, Kumala," kata
Sandhi.
"Ya, memang begitu. Dia punya kekuatan sangat besar.
Biar jelek rupanya, tapi dia makhluk yang punya intelegensi

tinggi. Super cerdas dan kekuatan supranaturalnya juga cukup
tinggi. Tentu saja gaibnya sukar kulacak karena ia rnempunyai
cara menyembunyikan getaran gaibnya agar tak terpantau
oleh radar batinnya siapa saja. Dan mungkin para penghuni
planet Pontranus itu memang berkemampuan genius semua,
pandai menyembunyikan sensor gaibnya."
"Ja... jadi makhluk itu tadi bukan iblis, Mala? Dia... dia
makhluk dari planet lain?!" tanya Mbak Mer dengan heran
sekali.
"Benar, Mbak. Daya hidupnya di bumi bisa bertahan kalau
ia menghisap darah manusia bumi. Darah itu rupanya bukan
saja untuk dirinya, tapi juga sebagai suplemen energi tujuh
telurnya itu."
Mbak Mer berdecak sambil geleng-geleng kepala. Suasana
damai segera menyebar di sepanjang permukaan bumi
Jakarta. Esoknya setiap koran memuat berita tentang
pertarungan Dewi Ular dengan makhluk luar angkasa,
sebagian koran lagi ada yang menuturkan kisah cinta Kenyon
dengan. perempuan penghisap darah. Kumala hanya
tersenyum setelah membaca nama Niko Madawi yang
digosipkan sedang menjalin hubungan cinta dengan Kumala Dewi.

SELESAI