Dewi Ular - Perempuan Penghisap Darah(1)

Seorang pemuda tampan bernama Kenyon terlibat skandal
cinta dengan gadis cantik yang mempunyai daya tarik melebihi
magnit kutub utara: Winne, namanya. Bagi pemuda itu, Winne
adalah ladang kemesraan yang luar biasa indahnya, sehingga
ia pun tergila-gila kepada Winne. Namun di balik pesta cinta
mereka itu, korban kematian misterius mulai berjatuhan satupersatu.
Siapa pelaku pembunuhan itu? Hanya Kenyon yang tahu.
Kenyon yang menceritakan munculnya seorang wanita cantik
yang setiap lima hari sekali butuh sumber energi untuk
kelangsungan hidupnya. Sumber energi itu diperolehnya dari
darah manusia baik dewasa maupun anak-anak.
Dewi Ular kebingungan mengejar kemana perginya
perempuan penghisap darah itu, karena perempuan tersebut
mempunyai kekuatan supranatural tinggi yang dapat
menyembunyikan energi gaibnya, sehingga tak dapat dilacak
oleh kekuatan gaib dari mana pun.
Dapatkah Kumala menyelamatkan umat manusia dari
ancaman maut si perempuan penghisap darah itu?
Ikuti ceritanya sampai ditemukannya telur-telur makhluk
angkasa luar yang sangat misterius itu!      

1
HUJAN deras menyungsong datangnya sang malam. Meski
belum terhitung kelam, tapi sunyi telah menguasai sang
malam tanpa permisi lagi. Kilatan cahaya petir sesekali
terdengar menggelegar di angkasa. Kadang-kadang
dentumannya menyentak keras, seakan ingin membelah bumi
menjadi separuh bagian.
Sebuah mobil terjebak dalam genangan banjir. Jakarta
memang kadangkala memuakkan. Hujan sedikit, banjir
membukit. Para pengguna jalan raya yang sudah hafal
tempat-tempat rawan banjir tidak akan melintasi tempat itu.
Lebih baik ambil arah memutar, agak jauh sedikit tak jadi soal,
asal tidak terjebak banjir.
Agaknya pengemudi sedang Grand Civic keluaran tahun 90
warna biru metalik itu kurang memahami daerah-daerah
rawan banjir. Tak ayal lagi mobil tersebut terjebak banjir yang
meluap melebihi trotoar. Mesinnya tak bisa hidup. Sebagian air
merembas masuk membasahi karpet mobil. Hanya lampunya
yang menyala dan sepasang wippernya yang bergerak-gerak
menyingkirkan air dari kaca.
"Sial! Kalau tahu begini aku nggak usah pulang dulu!
Ngapain pulang cepat-cepat kalau akhirnya akan terjebak
banjir di sini. Uuh, mana tempatnya sepi, nggak ada orang
yang bisa dimintai tolong buat dorong mobil. Jarang
kendaraan lawat Jauh dari rumah dan perkan- toran. Aduh,
celaka deh kalau begini caranya! Tempat -ini bukan hanya
gelap dan sepi saja, tapi juga mengerikan. Seingatku, di
belakang tadi kulihat ada kubwran. Kayaknya tempat ini juga
masih menjadi bagian dari wilayah pema- kaman umum. Iiih...
sekujur tubuhku jadi merinding deh!"
Si pengemudi yang menggerutu sendiri itu adalah seorang
pemuda berusia 30 tahun. la seorang staff programmer dari
perusahaan yang bergerak dalam bidang software

development dan aplikasi kpmputer. Titelnya ada dua: sarjana
SI Komputer dan bujangan. Titel terakhir ini sengaja
dipertahankan karena ia belum menemukan wanita yang
cocok dengan seleranya. Toh ia tak pernah riskan atau malu
dengan titel bujangannya itu.
Kenyon, nama depan pemuda lajang itu, hanya merasa
malu jika ia tidak dapat mengatasi masalah-masalah kecil yang
tergolong problem memuakkan, misalnya terjebak banjir,
seperti saat ini. Biasanya jika dalam keadaan begitu,
temperamen Kenyon mulai tinggi. Mudah tersinggung dan
mudah marah, walau dalam bentuk geratuan panjang.
"Bisa semalaman suntuk aku berada di tempat ini kalau
nggak segera cari bantuan. Ah, brengsek juga cuaca malam
ini! Pakai acara hujan segala. Padahal tadi siang panasnya
sangat menyengat kulit, kok sekarang hujannya sebegini deras
sih?!"
Kenyon mengambil handphonenya. la menghubungi
perusahaan jasa marga, maksudnya mau memanggil mobil
derek. Tapi nomor telepon yang ada dalam catatan agendanya
itu selalu sibuk. Akhirnya ia menghubungi teman dekatnya
yang dipastikan sudah berada di rumah, sebab sang teman
tadi tidak ikut rapat. Kenyon sendiri hanya stor muka di ruang
rapat, lalu buru-buru pulang karena ada janji dengan seorang
gadis yang sudah beberapa waktu menjadi bahan incarannya.
Sayang, niatnya itu tertahan di jalanan sepi berlimpah air
brengsek.
"Hallo, Pieter...?! Oh, bukan. Siapa ini? Donni? Kakakmu
ada, Don? Ya... dari Bang Kenyon!"
Handphone mengalami gangguan signal. Gemerusuk. Tapi
sebentar kemudian terdengar suara Pieter.
"Ada apa, Ken...?"
"Piet, aku terjebak banjir di tempat sepi nih!"

.
"Bagaimana...?!" Pieter mengeraskan suara karena
gelombang suara sangat buruk "Aku nggak dengar, Ken...!"
"Aku terjebak.... Hallo...?! Hallo...!"
Signal hilang. Muncul tulisan 'Low Power' pada display
handphone. Dicobanya lagi menghubungi Pieter dan tempat
lain, ternyata gagal.
"Kenapa jadi Low Power sih? Padahal baru saja di-charge.
Tadi saat bicara dengan Donni pertama kali bening, kok
sekarang jadi rusak parah begini s ih?"
Tek, tek, tek...! Kenyon kaget, ada orang mengetuk kaca
pintu sebelah kiri. Wajah orang itu tidak jelas karena tertutup
butiran air hujan yang melekat pada kaca. Mau tak mau kaca
pun diturunkan setelah Kenyon menenangkan debar-debar
hati serta detak jantung yang berdebur cepat.
"Hai, sorry mengganggu nih. Boleh numpang nggak?"
Makin berdesir hati Kenyon, merinding dulu romanya, mata
pun tak bisa berkedip setelah tahu orang yang mengetuk kaca
mobil tadi ternyata seorang wanita berusia sekitar 25 tahun.
Tak jelas seberapa panjang rambutnya karena diikat ke
belakang pakai saputangan kecil. Yang jelas, jenis rambutnya
sedikit berombak, lebat.
"Anda keberatan, ya? Kalau gitu, ya udah... nggak jadi
numpang deh," kata gadis berpayung merah, dan masih
mengenakan pakaian kerja: jas dan span ketat. Pakaian itu
ba- sah oleh hujan, hamun tidak sampai basah kuyup. Gadis
itu ingin meninggalkan Kenyon, namun buru-buru Kenyon
sadar dari ketertegunannya dan berkata agak keras untuk
mengimbangi deru hujan.
"Anda mau ke arah mana, Nona?!"

"Kelapa Dua. Dari tadi saya berdiri di sana menunggu taksi
lewat, tapi nggak ada taksi atau kendaraan umum yang
lewat."
"Sayang sekali, mobilku nggak bisa jalan. Mogok!"
"Masa sih? Coba saja lagi, siapa tahu hidup."
Kenyon membatin, "Nggak percaya juga nih orang." Lalu
untuk imembuktikan kata-katanya, ia menstarter mobil
tersebut.
Zrrrd... zrrrd...! Mesin mobil masih belum rnau hidup.
"Tuh, mogok kan!"
Tapi tangan Kenyon masih menstarter lagi, dan
zrrrreeeng...!
"Lho, bisa...?!" Kenyon terbelalak girang.
"Tuh, bisa kan?"
"Kalau begitu cepatlah naik selagi mesinnya hidup. Kalau
kelamaan di s ini nanti mati lagi."
Dalam keremangan cahaya lampu dalam, Kenyon dapat
melihat raut wajah gadis itu ternyata cantik. Wajah oval itu
mempunyai bentuk mata yang indah, hidung yang mancung
dan bibir yang sensual menggemaskan. Senyumannya pun
enak dipandang mata dan menciptakan debar-debar lain
dalam hati Kenyon. Aroma parfum semerbak wangi menyebar
seluruh ruangan mobil. Jelas, parfum yang dikenakan adalah
parfum kelas mahal. Pasti berkualitas import.
Tapi sempat terlintas pula dalam benak Kenyon kecurigaan
yang membuatnya bergidik merinding lagi. Dalam keadaan
sepi, hujan deras dan petir menyambar-nyambar, mungkinkah
seorang gadis berani berjalan menyusuri banjir sendirian?
Aroma wangi yang tercium kuat itu, pantaskah milik seorang
wanita biasa? Bukankah menurut cerita yang pernah didengar

Kenyon, rupa cantik dan bau wangi adalah identik dengan ciriciri
kemunculan roh halus yang bernama Kuntilanak?
"Wah, gawat juga nih! Kenapa tadi kusuruh dia masuk ke
mobil, ya? Mestinya nggak perlu berbaik hati dengan
perempuan jelmaan seperti ini," pikir Kenyon dengan degdegan.
"Ahh... tapi kayaknya dia manusia beneran kok. Sikapnya
nggak menunjukkan keanehan apa pun. Wewangian yang
dipakainya itu, dulu pernah juga tercium olehku waktu masuk
lift di sebuah plaza. Kayaknya memang berasal dari
wewangian parfum import. Bukan dari bunga kuburan."
Dag-dig-dug jantung Kenyon tetap saja berirama keras.
Repotnya lagi, mobil tak bisa berjalan cepat. Seperti kapal
selam menyibak gelombang air, seakan ingin muncul dari
kedalaman samudera. Untuk menghibur diri, Kenyon sengaja
mengajak gadis itu bicara apa saja. Sebisa-bisanya. Sambil
bicara ia menganalisa dalam hati, apakah gadis yang mengaku
bernama Winne itu benar-benar manusia biasa, atau roh halus
yang mencari mangsa lawan jenisnya?
"Kau kerja di mana, Win?"
"Kantorku di BBC Building lantai tujuh."
"O, temanku juga ada yang kerja di BBC Building. Apa
nama perusahaanmu?"
"PT Armon Nusa."
Kenyon ingat tentang PT Armon Nusa yang memang
berada di lantai tujuh BBC Building. Tapi apakah Winne tahu,
bergerak di bidang apakah perusahaan tersebut?"
"Jasa pengiriman dokumen dan asuransi jiwa."
"Benar juga," pikir Kenyon.
"Kau di bagian asuransinya?"

"Bukan. Aku di bagian pengiriman dokumen."
"Pasti sekretaris," pancing Kenyon.
"Data Analyst."
"Oooo...," Kenyon manggut-manggut, mulai lega hatinya.
"Siapa temanmu yang. kerja di sana?"
"Wijanarko."
Winne berkerut dahi. "Kayaknya nggak ada deh yang
namanya Wijanarko."
"Dia sudah lama keluar dari sana dan pindah ke
perusahaan asing," jawab Kenyon m nutupi kebohongannya.
Dalam hati ia tertawa. geli, hampir saja dirinya sendiri yang
terjebak oleh pancingannya. Rasa curiganya terhadap Winne
semakin berkurang.
Tapi anehnya, semakin lama mobil itu bergerak semakin
lambat. Padahal jalanan sudah tidak digenangi air lagi.
Mestinya mobil itu bisa bergerak lebih cepat, atau bahkan
kalau perlu bisa dipakai untuk ngebut. Kenyataannya laju
mobil semakin berat, sepertinya memuat barang yang
melebihi kapasitas beban mobil.
"Kok jadi begini mobil ini?! Berat amat?!" gumam Kenyon
bernada terheran-heran. Gas ditambah, mesin menderu keras,
tapi kecepatan mobil justru semakin lambat.
"Ada yang nggak beres pada versnalingnya kali," kata
Winne.
"Nggak tahu nih, apanya yang rewel!" Kenyon
menggerakkan tongkat versnalingnya berkali-kali, tapi laju
mobil masih seperti mengangkut beban berat. Padahal hujan
masih deras dan tujuan masih jauh. Jalanan masih sepi dan
bengkel tak ada yang buka. Pertokoan tutup, tanda see-food
di pinggir jalan tak ada yang buka.

"Mau dibongkar dulu? Periksa beberapa bagian yang
sekiranya memperberat tekanan mobil ini?" Winne setengah
mengajukan usul, setengah saran juga.
"Hujan sederas ini mau bongkar mobil? Wah, bisa tambah
parah nanti. Bukan mobilku saja yang kronis, tapi pemiliknya
juga ikut kronis nanti," kata Kenyon berseloroh. Winne tertawa
kecil.
Tapi karena mobil itu makin lama semakin berat, nyaris
seperti kura-kura berjalan, mau tak mau Kenyon menepikan
mobilnya di kolong jalan layang. Di sana ada tiga pengendara
motor yang sedang meneduh. Kenyon semakin merasa
tenang. Kalau toh terjadi apa-apa, ada tiga pengendara motor
yang bisa dimintai bantuannya.Winne ikut sibuk memeriksa
mesin! Kenyon tak tahu apakah gadis itu benar-benar
mengetahui seluk beluk mesin, atau hanya sekedar partisipasi.
Yang jelas, Kenyon tidak menemukan kerusakan apa pun pada
mesin mobilnya. Mereka berdua mencobanya kembali. Mobil
meluncur dengan lancar. Kenyon merasa lega, walau ia tak
tahu apa penyebabnya.
Namun beberapa kilometer kemudian, laju mobil menjadi
lamban kembali. Seperti membawa barang berat, atau seperti
ada yang menahan dari belakang. Kenyon menjadi gusar,
berkali-kali mendesah jengkel.
"Mestinya memang dibakar aja mobil ini!"
"Boleh kasih saran?" kata Winne.
"Saran apaan?"
"Jalan saja terus sampai perempatan sana belok ke kiri.
Satu kilometer dari perempatan jalan itu sudah sampai
rumahku."
"Lho, katanya rumahmu di Kelapa Dua. Ini kan masih jauh
dari daerah Kelapa Dua?"

"Maksudku, aku tinggal di Kelapa Dua pada hari libur,
sebab rumah di sana adalah rumah orangtuaku. Tapi setiap
hari kerja aku kost di Tebet, satu kilometer dari perempatan
jalan itu."
"Ooo.,.."
"Pikirku, besok kan hari Sabtu, kantorku libur. Aku mau
pulang ke Kelapa Dua. Tapi kalau keadaan begini... besok aja
pulangnya. Sekarang pulang ke tempat kost aja. Kau bisa
bongkar mobil ini di sana. Ada garasi nganggur kok. Garasi
cuma pakai atap saja sih, nggak pakai dinding. Mungkin saja
mesinnya tadi basah akibat terendam air, jadi menghambat
sistem mekanisnya."
Sebuah tawaran yang sederhana dan masuk akal sekali.
Tapi apakah di balik tawaran itu tersimpan maksud-maksud
pribadi yang tak mudah diketahui siapa pun? Dapatkah
tawaran itu diartikan lain oleh Kenyon?
Mobil terus menggelinding dengan lambat. Akhimya sampai
juga di tempat kost berbentuk huruf L. Winne menempati
kamar paling pinggir. Di samping kamarnya itu memang ada
garasi kosong, tanpa dinding, selain hanya atap awning. Apa
yang dikatakan gadis itu. memang benar. Bukan sebuah tipu
muslihat. Tapi Kenyon masih menduga-duga dalam hatinya,
"Setulus ikutkah saran dan usul yang dilontarkan Winne tadi?"      
Di hari lain hujan juga turun dengan deras. Buliran air dari
langit itu bagaikan diguyurkan ke atap sebuah rumah indah
berhalaman luas.
Rumah itu merupakan satu dari empat rumah indah yang
ada di kompleks pemukiman para selebritis maupun eksekutif
muda yang frekuensi bisnisnya sedang melambung tinggi.
Rumah yang memiliki pendapa di bagian belakangnya itu

terletak di Jalan Manila Utara nomor 17, Perumahan Pasundan
Permai.
Pedagang rokok yang mangkal di ujung jalan bersebelahan
dengan warung mie rebus itu kenal betul siapa pemilik rumah
nomor 17 itu. Hampir semua orang yang bekerja atau
berdagang di Pasundan Permai, entah itu tukang ojek ataupun
petugas Hansip, tahu persis bahwa rumah bernomor keramat
itu milik seorang gadis cantik yang punya kharisma tinggi,
namun cukup supel, ramah, serta anggun.
"Bang, numpang tanya, Bang.... Kalau rumah nomor tujuh
belas, Jalan Manila Utara itu di sebelah mana, Bang?" tanya
sopir taksi kepada si pedagang rokok.
"Oo, itu tuh... yang ada puranya di setiap sudut halaman.
Pagarnya besi putih mengkilap itu, Kang!"
"Yang punya dua lampu terang di kanan-kiri gerbang itu?"
"Benar. Yang dimaksud, rumahnya Non Kumala Dewi,
kan?"
"Ya, benar!" sahut penumpang taksi.
Tampaknya penumpang taksi itu punya kepentingan yang
sangat mendesak, sehingga hujan-hujan begini ia
memaksakan diri untuk datang ke rumah paranormal cantik
yang dikenal dengan nama Kumala Dewi, alias Dewi Ular.
Nama itu memang cukup kondang di dunia mistik. Sebab si
cantik jelita Dewi Ular sering melakukan tindakan
penyelamatan terhadap manusia secara magis. Kekuatan
supranaturalnya sering membuat beberapa paranormal lainnya
merasa iri, namun mereka tak pernah mampu menandinginya,
karena Kumala Dewi adalah anak dewa asli dari Kahyangan.
Dibuang ke bumi karena kasus ayah-ibunya, yaitu Dewa
Permana dan Dewi Nagadini. Dan ia baru diizinkan kembali ke
Kahyangan setelah menemukan cinta sejati dari seorang anak
manusia yang kelak akan menjadi pendamping hidupnya di

Kahyangan, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "ROH
PEMBURU CINTA").
Tak heran jika seorang perempuan berusia 35 tahun nekat
bertamu ke rumah Dewi Ular di atas.pukul 9 malam, karena
menurutnya hanya anak dewa itulah yang mampu mengatasi
masalah gawatnya. Perempuan itu adalah seorang ibu rumah
tangga, yang saban harinya dipanggil dengan. panggilan:
Nyonya Lieza. Ia istri seorang pilot yang bekerja pada
maskapai penerbangan asing. Mereka dikaruniai. dua orang
putra: Ditto dan Ekey, masing-masing berusia 7 tahun dan 3
tahun.
Kedatangan Nyonya Lieza cukup mengejutkan bagi Sandhi.
Permainan caturnya dengan Buron dihentikan begitu
mendengar suara bel tamu berbunyi. Dari ruang tamu pandangan
Sandhi dapat menembus kaca yang belum tertutup
gordenya, dan ia sangat iba melihat seorang perempuan turun
dari taksi, menggendong bocah berusia 3 tahun, dipayungi
pelayannya yang masih berusia 16 tahun.
"Ron, ada tamu tuh. Kayaknya dia sangat membutuhkan
pertolongan!" Sandhi berkata tanpa memandang Buron.
"Kenapa kamu hanya menonton saja, Bego?!" sentak
pemuda berambut kucai yang sebenarnya adalah titisan dari
Jin Layon.
"Cepat bukakan pintu gerbang, Ron!"
"Kamu aja! Kamu kan sudah berdiri di situ? Kenapa mesti
aku yang jauh dari pintu dan sedang mengamati kudamu:
Kuda jantan apa kuda betina sih yang kamu pakai main dari
tadi ini?!"
Sang sopir pribadi yang sudah dianggap seperti saudara
sendiri oleh Kumala itu tak menghiraukan candaan Buron. Ia
segera berlari keluar dan membukakan pintu gerbang.
"Apa benar di sini rumah, Nona Kumala?"

"Iya, benar!" jawab Sandhi sambil membiarkan tubuhnya
diguyur air hujan. "Masuk... Silakan masuk, Nyonya!"
"Apakah... apakah Kumala ada di rumah?"
"Ada, ada...! Mari , masuk...!"
Nyonya Lieza dan pelayannya agak berlari-lari menuju
teras. Bocah berusia 3 tahun itu dipondongnya. Dari nada
bicaranya perempuan itu sudah menunjukkan ketegangannya.
Raut wajahnya memancarkan duka yang dalam. Caranya
membawa anak dengan dipondong dua tangan telah membuat
Sandhi berfirasat buruk terhadap anak itu, Ternyata sampai di
teras, Nyonya Lieza menangis sambil masih memondong
bocah berwajah pucat pasi itu.
"Tolong... tolong beritahukan kepada Kumala Dewi... anak
saya butuh pertolongan secepatnya. Tolong, Mas... kasihan
anak saya...."
"Silakan masuk ke dalam saja. Mari. Masuk...!" Sandhi jadi
ikut-ikutan panik, masuk ruang tamu tanpa peduli pakaiannya
basah kuyup dan sandalnya masih dipakai.
Sebelum Sandhi menyuruh Buron memanggil Kumala yang
sejak tadi sudah masuk kamar tidurnya, ternyata gadis
berambut panjang yang cantik jelita itu sudah keluar sendiri
dari kamarnya. Sepertinya ia tahu ada seseorang yang
membutuhkan bantuannya dengan segera. Namun ia sendiri
sebenarnya belum kenal dengan Nyonya Lieza, sehingga
dahinya sedikit berkerut menatap Nyonya Lieza yang
menangis semakin keras, semakin terguncang- guncang
badannya.
"Too... tolong... tolong anak saya, Kumala Dewi....
Tolonglah diaaa...," suara itu sampai mengecil, nyaris hilang.
Melihat bocah berwajah pucat dengan bibir membiru, Dewi
Ular cepat-cepat mengambil alih anak tersebut, lalu
dibaringkan di sofa panjang.

"Ambil bantal!" perintahnya kepada Buron. Jin usil itu
segera menyambar bantalan sofa yang ada di ujung dan
menyangga kepala anak itu dengan bantal tersebut.
"Apa yang terjadi, Nyonya?" tanya Sandhi dengan tegang.
"Ekey... anak saya itu... tahu-tahu... tahu-tahu tidak
bernapas. Dia sulit bernapas sampai badannya dingin dan...
dan...."
"Maksudnya, anak ini telah meninggal dunia, begitu?"
"Bukan!" sentak Nyonya Lieza kepada Buron. "Anak saya
tidak mati! Anak saya masih hidup, tapi sulit bernapas! Jangan
katakan anak saya mati. Ooh, tidak.... Ekeyyy... Mama di sini,
Nak. Mama bersamamu. Sembuh, ya Ekey... sembuhlah kamu,
Naak...!"
Ratapan itu sangat memilukan. Mak Bariah, pelayan
Kumala yang setia, ikut keluar dari dapur dan memperhatikan
Ekey di atas sofa. Melihat bocah itu pucat pasi tanpa gerakan
sedikit pun, Mak Bariah juga yakin di dalam hatinya, bahwa
bocah tersebut sebenarnya telah mati beberapa jam yang lalu.
Si pelayan yang tadi membawakan payung, hanya duduk di
sudut ruang tamu sambil menitikkan air mata.
Mak Bariah nyaris ikut menangis, namun ia bertahan agar
bisa membantu menenangkan Nyonya Lieza. Tanpa diperintah
siapa pun, Mak Bariah membujuk Nyonya Lieza agar menjauhi
sofa dan menghentikan tangisnya.
"Biar Non Kumala memeriksanya dulu, Nyonya. Mohon
tenang, jangan menangis, nanti bikin Non Kumala nggak bisa
serius...."
Nyonya Lieza mau dituntun menjauh beberapa langkah,
tapi tak bisa menghentikan tangisnya. Suara tangis saja yang
bisa dikecilkan, namun luapan duka tak bisa disurutkan. Saat
itu Kumala memeriksa Ekey dengan menyentuhkan jari

telunjuk di dada bocah itu. Kemudian ia memandang Buron
dan Sandhi yang adb di depannya.
"Bagaimana?" bisik Sandhi.
"Bocah ini sudah mati?" timpal Buron.
Kumala menganggukkan kepala samar-samar. "Dia
kehabisan darah."
"Apa penyebabnya?" Sandhi semakin membisik hati-hati
sekali.
"Entahlah. Yang jelas, tidak tersisa setetes pun darah pada
tubuh mayat anak ini," jawab Kumala sangat pelan.
"Astagaaaa...?!" gumam Sandhi. la terperangah sedih
sekali.
Mau tak mau kenyataan itu harus disampaikan kepada
Nyonya Lieza. Perempuan itu semakin meratap duka
mendengar keputusan dari Kumala, bahwa anaknya sudah
tidak bernyawa lagi. Rasa duka yang amat dalam itu sempat
membuat Nyonya Lieza menjerit histeris, tapi untung segera
dikendalikan oleh kekuatan supranaturalnya Dewi Ular,
sehingga jeritan itu tak terulang kedua kalinya. Seberkas sinar
hijau transparan yang keluar dari telapak tangan Kumala
menyerupai sorot lampu mobil itu telah menenangkan jiwa
Nyonya Lieza, sehingga tangis pun berangsur-angsur reda.
"Anak Nyonya telah meninggal karena kehabisan darah ..."
"Ooooh, Anakku...," ratapnya pelan, namun tak sehisteris
tadi.
"Lihat kulit tubuhnya yang bukan hanya pucat, tapi juga
kering dan kusam. Ini menandakan tidak ada sisa darah
sedikit pun dalam tubuh Ekey, Nyonya."
"Mengapa dia harus mengalami nasib semalang itu? Ekey
masih kecil, belum tahu dosa apa-apa. Mengapa dia menjadi
korban?"

"Nyonya bisa jelaskan, apa sebenarnya yang terjadi pada
diri Ekey yang manis itu?" tanya Kumala dengan tutur kata
yang ramah, menghibur, dan lembut sekali. Sepertinya ia
berusia lebih tua dari Nyonya Lieza, padahal menurut
perhitungan tahun bumi ia masih ber usia 24 tahun.
"Tadi sore, sebelum hujan turun, anak ini bermain dengan
lincah, sehat, tanpa tanda- tanda penyakit apa pun...."
"Sejak kapan mulai ada tanda-tanda sakit?"
"Sekitar pukul... yaah, pukul tujuh lewat sedikitlah. Saya
temukan dia berbaring di lantai kamarnya bersama kakaknya:
Ditto. Kakaknya sedang belajar menggambar, dan seperti
biasa, Ekey selalu ingin melakukan apa yang dilakukan
kakaknya."
Nyonya Lieza menjelaskan pula, bahwa sebelum ia masuk
ke kamar, Ekey sudah mengeluh kepada kakaknya. Ditto
menceritakan bahwa adiknya yang ikut mewarnai gambar itu
tiba-tiba berkata dengan mengerjap-ngerjapkan mata.
"Kak... lampunya kok elap?"
"Lampu terang begini dibilany gelap!" gerutu kakaknya tak
begitu memperhatikan.
"Mata Ekey kok elap, Kak?"
"Kamu ngantuk tuh. Bobo aja sana!"
"Ekey mau bobo cini, ya?"
"Heh, bobo jangan di sini. Nanti dimarahin Mama lho. Sana
bobo di kasur!"
"Ekey lemas, Kak.... Pucing sekali-kepala Ekey...."
"Bandel nih anak!" Ditto menyentak, tapi Ekey tetap
terkulai miring sambil masih memegangi crayon warna. Ditto
tidak peduli lagi, membiarkan adiknya diam terkulai lemas,
sementara dia sendiri sibuk melanjutkan lukisannya.

Beberapa saat kemudian, mamanya masuk ke kamar
tersebut. Sang mama mencoba membangunkan Ekey agar
pindah ke ranjang, tapi bocah itu tidak mau bangun. Dengan
kesal mamanya mengangkat Ekey untuk dipindahkan ke
ranjang: Namun alangkah terkejutnya sang mama melihat
Ekey berwajah pucat dan bibirnya membiru. Semakin gugup
perempuan itu setelah merasalah sekujur tubuh Ekey dingin
seperti es, napasnya tak ada, denyut nadinya hilang. Berkalikali
ia mengguncang-guncang Ekey, tapi anak itu tak mau
bangun.
"Saya langsung larikan anak itu ke rumah sakit terdekat,"
sambung Nyonya Lieza kepada Kumala. "Tapi... dokter bilang,
anak saya sudah tak ada. Dokter bilang, Ekey sudah meninggal.
Saya tidak percaya! Saya desak dokter memeriksanya
ulang, tapi hasilnya tetap sama: Ekey meninggal. Maka... saya
segera lari kemari. Saya mendapat alamat rumah ini dari
Johan, tetangga saya...."
"Johan...?" gumam Sandhi, lalu ia ingat tentang insinyur
tampan yang pernah terlibat kasus misteri dan diselamatkan
oleh Dewi Ular itu, (Baca serial Dewi Ular dalam episode:
"MAKHLUK SEBERANG ZAMAN").
"Saya... saya berharap, sebagai anak dewa kamu bisa
kembalikan Ekey dalam kehidupan kami, Kumala. Saya
berharap sekali, kamu bisa hidupkan kembali anakku itu. Aku
sangat sayang padanya.... Aku tak rela dia menjadi korban
wabah atau penyakit misterius yang datangnya tak didugaduga."
Buron yang sejak tadi memperhatikan Ekey, menemukan
kejanggalan yang mencurigakan. Dengan kesaktian mata jin
yang dimilikinya, Buron melihat ada lubang kecil di tengah
kening mayat Ekey. Lubang itu tak bisa dilihat oleh mata
manusia biasa. Bahkan mata paranormal pun bisa terkecoh
oleh lubang kecil yang mirip dengan pori-pori kulit itu.

"Kumala, aku melihat ada lubang di kening bocah itu,"
bisiknya antara terdengar dan tidak di telinga Sandhi, Nyonya
Lieza dan Mak Bariah.
"Ya, aku sudah melihatnya sejak tadi," jawab Kumala
dengan kalem. "Justru itu yang ingin kutanyakan kepada
mamanya."
"Maksudnya...?" Nyonya Lieza mulai bersemangat penuh
harap. "Maksudnya kau ingin bertanya tentang apa, Kumala?"
"Apakah waktu dibawa ke rumah sakit, anak ini disuntik
oleh dokter yang memeriksanya?"
"Tidak. Saya tahu persis, dia tidak disuntik. Tidak diobati
apa pun, kecuali diperiksa dengan statiskup."
"Apakah ada hewan berbahaya yang menyengat
keningnya?"
"Rasa-rasanya.... Ekey tidak pernah bermain hewan, dan
rumah kami bersih dari hewan penyengat. Memangnya ada
apa, Kumala?"
"Sebelum Ekey tewas, ada sesuatu yang menghirup habis
seluruh darahnya melalui tengah kening. Lubang kecil di
tengah keningnya itu adalah saluran tempat menghisap habis
darah Ekey, hingga anak itu meninggal secara pelan-pelan."
"Oohh...?! Be... benarkah ada yang menghisap darah
anakku?! Siapa...?! Siapa yang
menghisapnya, Kumala?!"
"Itu yang perlu kita selidiki!" Semua diam, terbungkam
dengan bulu kuduk merinding. Setiap hati bertanya-tanya,
siapa yang menghisap habis darah anak itu?"      

2
KASIHAN sekali. Bocah tanpa dosa menjadi korban
kejahatan mistik. Entah dari mana datangnya kekuatan mistik
itu, yang jelas Dewi Ular sangat terharu dan iba kepada nasib
Ekey. Mengingat kesucian bocah itu yang belum mengenal
kebiadaban makhluk di alam jagat raya ini, Dewi Ular pun
segera lakukan kebijaksanaan yang terlebih dulu melalui
pertimbangan ayah dan ibunya: Dewa Permana dan Dewi
Nagadini.
Komunikasi batin dilakukan pada malam itu juga. Tanpa
menggunakan handphone maupun satelit, Dewi Ular langsung
berseru kepada ayahandanya.
"Ayah, di depanku ada bocah tanpa dosa menjadi korban
kebiadaban makhluk yang belum kukenal!"
Terdengar suara ayahnya menyahut, "Bocah itu sudah tidak
mempunyai darah lagi, Kumala."
"Aku tahu, Ayah. Justru itu aku mohon izinmu untuk
membangkitkan bocah lugu ini, Ayah. Aku akan mengisinya
dengan darahku, supaya dia mempunyai...."
"Jangan!" tegas Dewa Permana. Hanya Kumala yang
mendengarnya. Dan satu orang lagi yang mencuri dengar
percakapan super gaib itu. Orang tersebut adalah Buron! Ia
menggunakan telinga jinnya untuk menyadap percakapan
rahasia itu. Tentu saja kalau sampai bocor, pasti akan
menimbulkan kegemparan yang melebihi bocornya
percakapan via telepon dari orang penting ke orang penting.
"Ayah, aku tidak bisa menangkap si pencuri darah, karena
belum sempat kulacak. Tapi pekerjaan yang paling utama
harus kulakukan adalah menyelamatkan masa depan anak ini
dari kematian tanpa dosa! Garis kematiannya pun kulihat
masih jauh dari saat sekarang. Masa hidupnya telah dirampas
oleh tindakan keji dari si penghisap darah itu, Ayah! Jadi

kurasa, bocah ini masih punya hak untuk hidup. Masih punya
hak pula untuk dialiri darah dalam raganya, Ayah!"
"Benar, tapi jangan pakai darahmu! Kalau darahmu yang
mengalir dalam raganya, berarti dia adalah anak dewa, dan
punya hak untuk hidup di Kahyangan. Padahal dia anak pilot,
bukan?"
Suara sang ibu terdengar pula, "Jangan, samakan status
ayahmu dengan pilot, Sayang. Nanti merosot harga diri
ayahmu kalau disamakan dengan pilot!"
"Baik, Ibu. Ayah memang bukan pilot. Tapi persoalan ini
bukan terletak pilot atau bukan pilot. Persoalan ini terletak
pada roh manusiawiku yang tak bisa melihat bocah tanpa dosa
jadi korban kekejaman gaib begini, Ibu!"
"Kamu ini kok malah mirip Bidadari Gugat!" gerutu sang ibu
yang memang selalu tampil jenaka. "Tapi baiklah, Sayangku...
Ibu dan Ayahandamu mengerti perasaanmu, paham dengan
naluri kemanusiaanmu."
"Jadi menurut Ibu bagaimana?"
"Ibu sih... okey-okey saja. Keputusannya tergantung
ayahandamu, Sayang."
"Ayah, aku minta keputusan sekarang juga; boleh atau
tidak aku menghidupkan bocah ini?!"
"Kalau tidak boleh, bagaimana?" pancing sang ayah.
"Kalau tidak boleh, rohku akan kutransfer ke raganya.
Biarlah bocah ini hidup dan aku yang mati."
"Husy?! Jangan senekat itu, Anakku!" sergah suara Dewi
Nagadini. "Kalau kamu mati, Ibu juga ikut mati. Pasti ayahmu
juga ikut mati demi cintanya pada Ibu. Kalau semua mati,
terus yang mau ngubur jenazah kita siapa?!"
"Kumala," ujar sang ayah dengan wibawa, kalem, dan
penuh kasih sayang. "Seandainya kau nekat begitu,
==============================
Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
percayalah... usahamu tak akan berhasil, Manisku. Kau adalah
manusia berdarah dewa. Setiap dewa mempunyai
immortal...."
"Immortal itu apa sih, Kanda?" tanya Dewi Nagadini.
"Immortal itu keabadian hidup. T idak bisa mati. Contohnya,
seperti Hercules!"
"Nah, itu film seri teve yang paling Ibu sukai, Kumala,"
sahut sang ibu, tapi buru-buru teputus oleh suara Dewa
Permana.
"Jangan bicara soal teve! Kita belum bayar iurannya!"
Kumala jengkel dan berseru, "Terus bagaimana dengan
bocah ini, Ayah?! Kenapa jadi melantur sih?!"
"Kanda, segeralah kasih jawaban. Anak kita mulai sewot
tuh!"
"Kumala Dewi, putriku yang cantik jelita.... Baiklah,
gunakan kekuatan mahasaktimu untuk menghidupkan bocah
tak berdosa itu. Tapi ambillah darah dari sanak saudaranya;
ayahnya, ibunya, kakaknya, pamannya, bibinya, atau siapa
saja yang masih satu darah dengannya. Ambil sedikit-sedikit
dan jadikan satu daah dalam raganya. Maka bocah itu akan
hidup dengan darah yang sejenis darahnya semula."
"Terima kasih, Ayah!" suara Kumala terdengar ceria
sekali."Ingat, habis ini jangan desak lagi Ayah dengan
persoalan yang sulit Ayah tolak, ya?"
"Satu lagi pertanyaanku, Ayah. Siapa penghisap darah itu
sebenarnya?!"
"Itu tugasmu sebagai manusia di bumi. Ayah tak boleh
bocorkan jawabannya, sebelum kau berusaha sekuat tenaga
untuk menemukan pencuri darah itu. Usahamu nanti akan
menambah kedewasaanmu dan membuat dirimu menjadi lebih

dikasihi manusia maupun para dewa di sini. Nah, selamat
bekerja, Putriku yang manja!"
"Ayah...! Ayaaaah...!"
Yang muncul suara ibunya, "Ayahmu sudah jauh. Beliau
tidak mendengar suaramu, Sayang."
"Tapi Ibu mendengar suaraku, bukan?"
"Tidak. Ibu juga tidak mendengar," jawab sang ibu dengan
nada konyol, membuat hati Kumala tertawa geli dan semakin
berseri-seri.      
Pemuda berambut cepak rapi dan selalu trendy itu
manggut-manggut mendengar cerita dari Kumala. Pemuda
mantan peragawan yang sedang menikmati santap siangnya
bersama Dewi Ular itu tak lain adalah Niko Madawi, yang kini
berprofesi sebagai reporter dan pembawa acara sebuah
tayarigan berbau mistik di station teve swasta, yaitu 'Lorong
Gaib'.
"Sayang sekali, lima hari yang lalu aku masih di Toraja,
sehingga nggak bisa meliput kesaktianmu dalam
menghidupkan bocah itu. Padahal peristiwa ajaibmu itu
merupakan materi yang sangat bagus dalam acaraku, dan
pasti akan membuat serial Lorong Gaib lebih dikagumi
pemirsa. Setidaknya akan membuat acaraku itu mendapatkan
'rating' lebih tinggi lagi."
"Masih banyak bahan yang bisa kau liput untuk acaramu.
Jangan kecewa," kata Kumala sambil memotong steak dengan
pisau.
"Maksudmu, masih banyak korban seperti Ekey yang akan
datang?"

"Keajaiban itu, maksudku. Bukan korbannya!" tegas
Kumala. "Kuharap sih jangan ada korban lagi seperti Ekey.
Kasihan."
"Tapi bukankah setengah bulan yang lalu korban seperti itu
sudah ada?"
Kumala menghentikan makannya. Menatap Niko dengan
dahi berkerut heran.
"Setengah bulan yang lalu?!"
"Iya. Masa' kamu belum tahu sih? Kayaknya aku udah
telepon kamu dan memberitahukan kematian misterius itu
deh."
"Ah, cewek lain kali yang kamu telepon. Bukan aku."
Kumala berlagak sinis, memancing reaksi dengan
kecemburuan. Ternyata Niko jadi ketakutan dan ngotot keras
bahwa ia memberitahukan kasus itu kepada Kumala, bukan
kepada cewek lain. Sikap Niko yang takut dicurigai selingkuh
dengan cewek lain membuat hati Kumala berdesir girang. Itu
tandanya belum ada gadis lain yang menyelinap di relung hati
Niko, selain dirinya sendiri.
"Iya deh, aku yang kamu telepon. Cuma karena aku
kelewat sibuk, jadi kurang memperhatikan kabar darimu itu.
Sorry, ya...? Jangan marah, ya?" Kumala sengaja menggoda
dengan lagak mirip gadis murahan. Ia hanya ingin memancing
tawanya Niko, agar kecemburuan hilang dari ketampanan
yang diam-diam dikagumi itu.
Niko benar-benar tertawa walau ditahan kuat-kuat. Tidak
mau tampak terang-terangan merasa geli oleh lagak Kumala.
Tapi hal itu membuat Kumala pun merasa lega. Bagaimanapun
juga Kumala tidak ingin membuat Niko kecewa secara serius,
karena pemuda itu sering dijadikan buah khayalan dalam
lamunannya. Terutama sejak Niko berhasil menyelamatkan
kehancuran Dewi Ular dari pertarungan melawan Nini

Cupangayu, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "TERORIS
DARI NERAKA").
"Sekitar dua minggu yang lalu, seorang moderator dalam
sebuah seminar, tiba-tiba tewas dalam keadaan kering, biru
legam seperti habis dicekik setan. Moderator itu tewas di
tempat, ketika ia sedang bicara di depan peserta seminar.
Penyebab kematian masih belum diketahui sampai sekarang."
"0, ya... aku baru ingat. Korban adalah seorang dokter
spesialis penyakit dalam, bukan? Aku lupa namanya."
"Ya, benar. Padahal dia dalam keadaan sehat. Boleh
dibilang tidak punya penyakit apa pun. Tapi toh dia tewas
begitu saja seperti kehilangan seluruh darahnya?!"
Kumala menatap sambil manggut-manggut, namun juga
sambil mengunyah makanannya. Sikapnya itu menandakan
bahwa ia sangat antusias terhadap apa yang sedang
dibicarakan Niko.
"Kurang dari seminggu kemudian," sambung Niko.
"Peristiwa seperti itu terjadi lagi secara mengejutkan massa.
Bahkan terjadinya dalam ruang sidang, ketika hakim wanita itu
membacakan keputusan pengadilari... belum habis, tahu-tahu
ia jatuh terpuruk. Orang menyangka hakim wanita itu pingsan,
tapi ternyata justru pingsan selama-lamanya alias mati."
"Ya, ya... aku ingat juga. Pramuda yang menceritakan hal
itu padaku. Tapi waktu itu aku sedang mau berangkat ke
Batam, jadi nggak sempat menangani kasus tersebut."
"Ya, aku tahu waktu itu kau sibuk dengan urusan bisnismu
di Batam. Tapi yang menjadi catatan dalam ingatanku adalah,
hakim wanita itu tewas dalam keadaan sama seperti korban
sebelumnya; kulitnya kering, banyak bagian yang membiru,
kesannya seperti raga yang sudah keropos atau usang. Tanpa
darah yang tersisa dalam tubuhnya."

Kumala manggut-manggut menghabiskan makanan yang
dikunyahnya. Niko menyuap makanannya lagi ke mulutnya.
"Kalau begitu," kata Kumala setelah mulutnya kosong. "...
kematian itu bukan kematian yang wajar. Bukan karena
penyakit. Tapi kematian yang sama seperti yang dialami Ekey.
Mungkin juga di kening kedua korban terdapat lubang kecil
yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia biasa."
Niko mengakhiri makannya.
"Nggak nambah?"
Niko menggeleng. "Takut gemuk."
Kumala tersenyum kecil. "Gemuk malah cakep."
"Cakep apanya? Kayak tong sampah, iya!"
"Tong sampah yang cakep kan ada, Nik."
"Alaaa... biar cakep kalau namanya tong sampah jelas
nggak menarik sama sekali."
"Kalau buatku ternyata menarik, bagaimana?"
"Memangnya kamu suka cowok yang gemuk? Kalau suka,
ya udah... aku mau gemukkan badan."
"Biar aku suka padamu? Uuh, nggak janji deh...!" cibir
Kumala yang membuat Kumala dongkol tapi juga tersipu malu.
Belum sampai mereka menurunkan nasi yang ditelannya
agar menetap di perut, tiba-tiba dering handphone berbunyi.
Kumala segera menyambarnya dari dekat minuman air
putihnya. Ia melirik display HP sebentar untuk mengenali
nomor telepon yang datang dari si penelepon.
"Sersan Burhan," gumamnya sambil menatap Niko. "Ada
apa, ya?"
"Udah buruan dijawab tuh. Malah bengong aja?!" gerutu
Niko.

"Hallo, selamat siang, Pak Sersan," sapa Kumala kepada
sersan muda yang masih membujang itu.
"Kumala Dewi, apa kamu ada waktu saat ini?"
"Saya sedang makan bersama Niko, Pak Sersan."
"Oh, sorry. Tapi kuharap selesai acaramu meluncurlah ke
sini secepatnya."
"Anda berada di kantor, Pak Sersan?"
"Tidak. Aku ada di TKP, Jalan Bonilla, belakang Gedung
Summo."
"Oh, dekat dong. Cuma sepuluh menit dari tempat makan
saya. Memangnya ada apa, Boss?"
"Kematian misterius. Korban dalam keadaan kering seperti
kayu bakar. Tanpa darah setetes pun dalam tubuhnya."
"Ooh...?!" Dewi Ular terperanjat dan mulai bersemangat.
"Saya dan Niko akan ke sana secepatnya! Kurang dari lima
belas menit!"
Mendengar penjelasan dari Dewi Ular, Niko pun jadi
bersemangat. Ia menelepon salah satu teamnya, agar
meluncur secepatnya ke TKP sambil membawa handycam,
sementara team lengkapnya diminta menyusul ke Jalan Bonilla
secepatnya pula."
Dengan menggunakan mobilnya Niko; Escudo merah tua,
Dewi Ular tiba di terripat kejadian perkara, yaitu sebuah
perkantoran empat lantai yang banyak dikunjungi orang.
Kantor itu adalah sebuah biro perjalanan yang menempati
lantai pertama. Di dalam kantor itu, seorang karyawati
berparas cantik menawan telah terkulai di atas meja kerjanya
dalam keadaan tidak bernyawa.
"Namanya.... Arisna. usia 26 tahun, masa kerja sudah 2
tahun lebih," kata Sersan Burhan memberikan keterangan
kepada Kumala Dewi yang tetap didampingi Niko.

Menurut keterangan rekan sekerjanya, Arisna yang setiap
harinya selalu lincah, ceria dan senang bercanda itu, sekitar
pukul sebelas tadi dijemput oleh seorang pemuda tampan
yang sedang ditaksirnya. Pemuda itu mengajaknya makan
siang, walau belum waktunya. Arisna tak menolak, karena
memang suasana kantor sedang sepi tamu. Kabarnya, mereka
berdua pergi tak begitu lama. Sekitar pukul satu kurang
sepuluh menit, Arisna sudah kembali. Ia diantar oleh cowok
ganteng itu.
"Malahan dia sempat melayani seorang tamu wanita yang
ingin memesan ticket pesawat ke Bali," kata sang teman
sambil menangis sedih. "Setelah tamu itu pergi, dia sempat...
sempat bilang pada saya kalau pandangan matanya
berkunang-kunang dan kepalanya pusing sekali. Saya... saya
justiru menggoda dia dengan mengatakan terlalu banyak
makan, mentang-mentang makannya ditemani cowok
gariteng. Tapi... tapi dia tidak menanggapi kelakar saya itu.
Dia justru meletakkan kepalanya di meja dengan berbantalan
kedua tangannya. Saya kira dia bohong, kami
rnenertawakannya. Tapi ketika kami melihatnya terlalu lama
dalam posisi menelungkupkan wajah, kami curiga. Teman
saya yang satu berusaha membangunkan, eeh... dia .justru
tergeletak dengan mulut sedikit terbuka dan... dan tidak
bernapas lagi...."
"Dugaan kami sementara ini," kata Sersan Burhan, "... ada
kemungkinan korban diberi racun oleh pemuda yang
mengajaknya makan bersama tadi. Racun itu bekerja agak
lambat, sehingga kematiannya tiba setelah cowok itu jauh
darinya."
Kumala Dewi menggelengkan kepala sambil menutup kain
putih yang menyelubungi jenazah korban. Jenazah itu segera
dibawa masuk ke mobil ambulance.
"Bukan racun, menurutku," kata Kumala. "Kondisi mayat
korban sama dengan mayat hakim wanita dan dokter spesialis

yang tewas di depan para peserta seminar, beberapa hari
yang lalu. Bukankah begitu, Nik?"
"Ya, aku yakln memang begitulah kenyataannya."
"Yang paling jelas bagiku, keadaan mayat korban sama
seperti kematian Ekey, lima hari yang lalu."
"Ekey siapa maksudmu, Kumala?"
Kumala Dewi belum sempat menjawab, percakapan di luar
kantor dan di bawah pohon yang ada di tempat parkir itu pun
terhenti. Kehadiran seorang lelaki bersedan biru metalik itu
memancing perhatian Niko, membuat Niko menyapa dengan
lambaian tangan.
"Hei, Ken...!"
Rupanya pemuda itu adalah Kenyon yang sudah cukup
lama kenal dengan Niko Madawi. Karena sudah beberapa
waktu tidak saling jumpa, maka Kenyon pun segera
menyodorkan tangannya dan berjabatan dengan Niko. Ia
memaksakan diri untuk ramah, walau sebenarnya hati Kenyon
menyimpan kegelisahan yang dapat dirasakan oleh kekuatan
batin Dewi Ular.
"Bagaimana kabarnya, Nik?! Makin gemuk aja kamu ini."
"Ah, bisa aja luh. O, ya... kenalin dong, ini Kumala Dewi,
dan ini Sersan Burhan."
Saat tangan Kumala bersalaman dengan Kenyon, ia
merasakan ada getaran yang mengalir dari hatinya. Getaran
itu adalah getaran kecemasan yang meresahkan jiwa.
Sepertinya pria ganteng itu sedang menghadapi masalah yang
menjengkelkan, sekaligus mencemaskan dan menegangkan.
"Nik, ada apa ini kok banyak orang di sini?!"
"Kematian misterius terjadi di kantor biro peijalanan itu."

"Hah.,.?!" Kenyon semakin tegang. Ekspresi dan sikapnya
diperhatikan betul oleh Sersan Burhan dan Dewi Ular
"Kamu sendiri ngapain kemari? Ada bisnis sampingan
atau...."
"Aku mencari temanku: Winne, namanya. Tadi aku ke
kantornya. Kata teman kantornya, dia kemari. Mau pesan
ticket. Maka kukejar kemari karena...."
Belum habis Kenyon menjelaskan, tahu-tahu seorang
karyawan dari biro perjalanan itu berseru dari depan kantor
yang sudah dilingkari pita kuning kepolisian itu.
"Pak Polisi...! Itu dia orang yang meracuni Arisna dari
rumah makan tadi! Pemuda itulah yang tadi pergi dengan
Arisna, Pak!"
"Arisna...?! Ada apa dengan Arisna?!"
"Dia tewas setelah Anda pergi, Bung!" jawab Sersan
Burhan.
Ketegangan Kenyon semakin memuncak, mulai tampak
gusar dan panik. Akhirnya pihak kepolisian membawanya ke
kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lengkap lagi.
Teman- teman Arisna saling berseru mengutuk Kenyon,
karena menurut anggapan yang mereka yakini, Arisna
meriinggal akibat racun, dan Kenyon itulah orang yang
meracuninya.
"Dewi," bisik Niko. "Aku nggak percaya kalau Kenyon tega
berbuat sekejam itu. Aku yakin kematian korban bukan karena
diracuni. Tolong jelaskan kepada pihak yang berwajib, Dewi!"
"Setahuku dia menyimpan sesuatu yang mencemaskan
dirinya sendiri. Ada rahasia yang mengandung resiko, dan ia
ingin menanggung resiko itu sendiri."
"Rahasia apa?!"

"Kurang jelas. Karena saat ini pikirannya sangat kacau dan
jiwanya langsung menjadi error, sehingga kecamuk batinnya
sulit dilacak."
"Ah, setahuku.... Kenyon selalu blak-blakan padaku kalau
dia punya masalah apa saja, sekalipun masalah pribadi. Aku
dan dia pernah satu lifting saat kami sama-sama mengikuti
pendidikan peragawan dan foto model. Hanya saja, ia lebih
cinta dengan komputernya, sedangkan aku mencoba
menekuni bidang itu, walau akhirnya alih profesi ke reporter.
Tapi... pada dasarnya aku berkawan dekat dengannya. Kami
saling terbuka, dan...."
"Kalau begitu desaklah dia supaya mengaku!" potong
kumala, membuat Niko diam ternganga tanpa suara.      
Seringnya gadis cantik bermata bundar indah itu membantu
polisi dalam menangani beberapa kasus yang sulit diatasi
secara wajar dan ilmiah, maka hubungannya dengan pihak
kepolisian menjadi sangat akrab. Bahkan belakangan ini
Kumala Dewi mendapat tawaran menjadi konsultan kriminal
untuk kepolisian, tapi gadis itu belum bisa memberi jawaban
secepatnya. Menurutnya untuk menjadi konsultan kriminil
membutuhkan konsentrasi khusus dan waktu tersendiri.
Padahal belakangan ini Kumala sering kehabisan waktu,
karena banyaknya pekerjaan atau pihak yang perlu dibantu
dalam menyelesaikan kasus-kasus mistik.
Dewi Ular memang secara tidak resmi mempunyai prioritas
untuk urusan di lingkungan kepolisian, tapi ia tak mau
menggunakan prioritas itu semena-mena. Membebaskan
seorang tersangka dengan jaminan nama besarnya bukan hal
sulit bagi Kumala. Toh kali ini ia tak mau menuruti desakan
Niko agar membebaskan Kenyon dari kecurigaan dan azaz
praduga tak bersalah atas kematian Arisna.

"Polisi berhak memeriksa siapa saja. Toh memeriksa bukan
berarti menuduh, juga bukan berarti memvonis?!" katanya di
depan Niko dengan sikap tegasnya.
"Tapi kamu kan udah tahu kalau kematian Arisna itu
disebabkan oleh suatu kekuatan iblis yang menyedot darah
korban melalui lubang kecil di tengah dahi?! Kau kan bisa
memakai alasan itu untuk...."
'Itu pandangan dari sudut mistik, Niko. Bukan dari sudut
ilmiah dan akuratis."
"Yaah, terserah kamulah..!" keluh Niko dengan hempasan
napas kesalnya.
"Bukan aku nggak mau lakukan pembelaan terhadap
temanmu itu, tapi biarlah pihak yang berwajib memproses
Kenyon sesuai jalurnya. Ada saatnya aku turut campur, ada
saatnya tidak. Ngerti?"
"Ngerti!"
"Tapi bibirmu jangan monyong dua meter begitu dong.
Ntar disangka orang pipa paralon bekas!" ledek Kumala
mengalihkan kendongkolan hati Niko agar tidak berlarut-larut.
Kenyon sedang diperiksa di ruang kerjanya Sersan Burhan.
Niko sibuk menelepon team peliputannya agar mengarahkan
aktifitasnya ke kamar mayat dan mengambil gambar jenazah
Arisna secara lebih sempurna lagi dengan camera khusus.
Kumala Dewi sedang bicara dengan seorang Polwan
berpangkat Peltu, pembantu letnan satu. Polwan itu masih
muda dan sudah lama kenal Kumala. Ia sering dipanggil
Kumala dengan sebutan Mbak Mer, karena nama lengkapnya
adalah Peltu Merina Swastika.
"Salah satu kesamaan yang berhasil kami temukan paling
ganjil dari ketiga kasus kematian tersebut," kata Mbak Mer.
"adalah kematian yang terjadi di depan umum dengan
melibatkan banyak saksi mata. Dengan begitu, sulit bagi

pihakku untuk mencurigai seseorang sebagai pelakunya.
Apalagi dalam data-data yang kami himpun, ketiga korban
ternyata bukan orang yang saling kenal dan tidak ada
kaitannya antara pribadi yang satu dengan pribadi yang
lainnya."
"Mudah-mudahan Sersan Burhan dan yang lainnya berhasil
mengorek keterangan dari Kenyon."
"Apakah menurutmu Kenyon terlibat dalam kasus ini?"
"Untuk saat ini, tidak. Tapi saya yakin, bahwa Kenyon bisa
menjadi jalan setapak untuk menuju ke istananya si pelaku
sebenarnya. Karena saat dia mendengar kematian Arisna,
getaran jiwanya begitu kuat, namun kenapa ia berusaha
menyembunyikan getaran dukanya itu agar tidak tercurah
semuanya di depan umum?"
Niko selesai bicara melalui handphone. Ia duduk di bangku
kosong samping Kumala, mendengarkan apa yang sedang
dibicarakan Mbak Mer tentang beberapa prediksi terhadap
munculnya kasus kematian tanpa darah itu. Namun kata-kata
Mbak Mer pun segera terhenti karena Sersan Burhan
membuka pintu ruang kerjanya dan memanggil Kumala
dengan wajah sedikit tegang.
"Tolong kemari sebentar, Kumala!"
Tanpa sungkan-sungkan Kumala pun masuk ke ruang kerja
bagian kriminil untuk seksi pembunuhan. Mbak Mer jadi ingin
tahu, walau ia tidak ikut dalam penanganan kasus Kenyon.
Karena Mbak Mer mendekati pintu ruang kerja yang terbuka
itu, maka Niko pun bergegas ikut-ikutan berada di samping
Mbak Mer.
"Ada apa, Mbak?" bisik Niko.
Tanpa dijawab Mbak Mer, Niko akhirnya tahu sendiri bahwa
Kenyon bersikap aneh dan membingungkan petugas. Pemuda
itu tiba-tiba saja berubah tabiatnya, sering garuk-garuk

kepala, garuk-garuk badan, dan sering meringkik dengan gigi
merapat. Duduknya pun sudah mulai tak sopan. Dari
mengangkat satu kaki, kini menjadi dua kaki yang diangkat. Ia
jongkok di kursi dan memandang kepada mereka dengan
tatapan asing. Seolah-olah Kenyon tidak mengenali mereka.
Bahkan ketika ditanya, apakah ia kenal dengan pemuda
berambut cepak rapi itu, Kenyon tidak menjawab selain hanya
menggeram terputus-putus. Padahal semestinya ia kenal
bahwa pemuda berambut cepak rapi itu adalah Niko,
temannya sendiri.
"Kenapa bisa jadi begini, Pak Sersan?" tanya Niko dengan
sedih dan terheran-heran.
"Waktu kami tanyakan tentang acara makan siangnya
dengan Arisna, dia dapat menceritakan dengan lancar. Dia
mengaku makan dengan mesra, bahkan Arisna sempat
menyuapkan nasinya ke mulut Kenyon."
Mbak Mer rnenyimak pula penjelasan itu sambil
memperhatikan gerak-gerik Kenyon yang serba cuek dan
sering menggaruk-garuk kepala. Kumala justru memusatkan
perhatiannya kepada Kenyon. Kekuatan batinnya menembus
jiwa pemuda itu sambil menahan napas beberapa kali.
"Dia sempat bersumpah berkali-kali bahwa dia tidak
menaruh racun dalam makanan Arisna. Tapi ketika
kutanyakan mengapa ia kembali ke kantor biro perjalanan itu,
dia mulai panik. Kata-katanya serba salah. Lalu kusuruh dia
untuk tenang beberapa saat, merenungi sebentar apa yang ia
cari di kantor biro perjalanan itu...."
"Bukankah tadi di sana dia sudah bilang kalau mencari
temannya untuk suatu keperluan? Sedangkan menurut
informasi, temannya itu pergi ke kantor biro perjalanan untuk
memesan ticket," kata Niko bernada melakukan pembelaan
terhadap temannya itu.

"Memang. Aku hanya ingin menguji apakah jawabannya
masih sama dengan yang kita dengar tadi atau berubah.
Ternyata... ia justru diam sampai lama. Karena aku tak sabar,
dia sedikit kubentak untuk menyadarkan lamunannya. Tapi
justru dia jadi blingsatan dan garuk- garuk kepala, sampai
akhirnya jadi seperti ini. Nggak bisa diajak bicara lagi! Apa
maksudnya dengan berpura-pura bego begitu sih?"
"Dia bukan berpura-pura!" tegas Kumala dengan suara
berwibawa. "Sesuatu telah terjadi pada dirinya, dan tak
mungkin bisa diajak bicara lagi."
"Sesuatu apa maksudmu?!" sergah Niko.
"Jiwanya diganti dengan jiwa monyet."
"Hahh...?!" semua terperangah kaget. Seketika itu Kenyon
menjerit aneh dan melompat, langsung hinggap di atas almari
data. Jongkok disana sambil menjerit-jerit seperti monyet
ketakutan.      
3
KASIHAN sekali. Pemuda tampan itu tingkah lakunya jadi
seperti seekor beruk, alias monyet besar. Bahkan ia sempat
mengamuk di kantor polisi sambil melompat-lompat dan
menjerit liar. Untung saja Kumala segera melepaskan
kekuatan gaib pembius yang melalui sinar hijau kecil sebesar
lidi yang keluar dari jari tengah tangannya. Begitu pinggang
Kenyon terkena sinar hijau menyerupai laser itu, ia langsung
lumpuh, mengerang sebentar dengan suara seperti monyet
merintih, kemudian terkulai lemas tak sadarkan diri.
"Biar kutangani dial" kata Kumala kepada Sersan Burhan.
"Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak dapat ditangani oleh

manusia biasa. Perubahan jiwanya ini di luar jangkauan otak
manusia. Jadi harus kutangani sendiri. Mohon izin."
"Silakan!"
Dewi Ular dan Niko membawa pulang Kenyon. Sampai
rumah senja mulai menampakkan keremangannya. Suara
adzan magrib berkumandang mendayu-dayu tertiup angin
utara. Kumala tidak bisa menunda pekerjaan itu, sebab ia tahu
sebentar lagi pintu gaib dalam diri Kenyon akan tertutup. Jika
pintu gaib tertutup, maka akan lebih sulit lagi mengeluarkan
jiwa monyet dan menggantikan dengan jiwa aslinya Kenyon.
"Buron, bawa orang ini ke pendopo belakang!" perintahnya
seraya bergegas meninggalkan mobil. Buron sempat bingung
melihat seorang eksekutif terpuruk di jok belakang mobilnya
Niko.
"Ada apa, Nik?" tanyanya dengan dahi berkerut.
"Dia temanku. Dia kena musibah aneh. Tolong bantu
angkat dia ke pendopo belakang."
"Dia temanmu?!" buron semakin terheran- heran. "Apakah
kamu bercanda? Sejak kapan kamu berteman dengan seekor
orang utan?!"
"Orang utan?!"
"Iya. Ini kan seekor monyet besar, sejenis orang utan atau
beruk! Lihat saja mukanya dan badannya yang berbulu abuabu
itu?!"
Tentu saja Niko kebingungan, sebab dalam penglihatannya
Kenyon adalah manusia biasa, berpakaian dan punya anggota
tubuh lengkap. Lengan dan wajahnya-tidak berbulu. Tapi mata
jin yang digunakan Buron telah membuat Kenyon berupa
seekor kera besar yang berbulu abu-abu. Niko. menjadi
merinding setelah menyadarinya.

"Terserah apa katamu deh, yang penting... bantu aku
mengangkat dia ke pendopo belakang!"'
"Biar kutangani sendiri. Minggir...!"
Jelmaan dari Jin Layon yang sering pula dijuluki jin usil
karena dulu suka usil kepada tamu-tamu yang baru pertama
kali datang ke rumah Kumala, kali ini melakukan keusilan yang
bermanfaat. la menghadapkan telapak tangannya ke mobil.
Sejumlah getaran gelombang gaib terpancar dari telapak
tangan itu tanpa rupa dan tanpa suara. Getaran gelombang
gaib membuat tubuh Kenyon bergerak sendiri dengan pelanpelan,
lalu turun dari mobil dalam keadaan mata tetap
terpejam, dan melangkah agak bungkuk seperti seekor gorila
sedang berjalan.
Kekuatan gaib Buron membuat Kenyon berjalan sendiri
menuju pendopo dengan tubuh sesekali limbung ke sana-sini.
Buron menertawakannya. Tapi Niko segera membentak marah
karena merasa temannya dipermainkan Buron. Sesampainya
di pendopo yang menyerupai rumah panggung tanpa dinding
itu, Kenyon berbaring sendiri dan telentang bebas di lantai
kayu yang mengkilap itu.
Dewi Ular segera muncul. Gadis itu sudah berganti pakaian.
Bukan lagi pakaian kantor yang dikenakan, tapi celana pendek
ketat yang menampakkan kemulusan pahanya, dan kaos 'tank
top' yang persis kaos kutang lelaki. Kaos warna hijau
bertepian putih itu sangat ketat dengan tubuh, sehingga
bentuk payudaranya yang membusung sekal dan padat
terlihat jelas bentuk keindahannya. Aroma wangi cendana dari
keringat bidadarinya semakin menyebar ke mana-mana,
membuat Niko diam-diam punya debar-debar indah tersendiri
di sela-sela ketegangan hatinya.
"Kumala Dewi tampak cantik sekali kalau mengenakan
pakaian kayak gitu, rambutnya digulung asal-asalan. Wow...!
Menantang gairah betul gadis pujaanku itu," pikir Niko."T api...
persetan dengan gairahku! Keadaan Kenyon lebih penting

diperhatikan secara serius ketimbang mengkhayalkan
kecantikan anak dewa itu!"
"Perlu diikat, Dewi?" tanya Niko mengalihkan kecamuk
batinnya.
"Nggak usah."
"Nanti kalau dia bangun dan mengamuk kayak tadi,
bagaimana?"
"Energi pembiusku masih cukup banyak Buat membius
dirimu selama lima tahun juga masih mampu," sambil Kumala
Dewi menatap beberapa batang lilin agar mengelilingi tubuh
Kenyon. Buron ikut membantunya sambil menyempatkan
bertanya kepada Kumala.
"Apa sebenarnya yang terjadi pada monyet satu ini?!"
"Dia seorang pemuda, teman Niko. Ada pihak yang tiba-tiba
menukar jiwanya dengan jiwa monyet, seperti yang kau lihat
dengan mata jin-mu."
"Siapa yang menukarnya?"
"Entahlah. Yang jelas, dilakukan dari jarak jauh dengan
maksud yang belum jelas juga;"
"Kasihan," gumam Buron.
"Pasang pagar sekeliling rumah, Ron!"
Pemuda berambut kucai itu langsung mengeluarkan
letupan kecil, menjadi asap tipis dan cahaya kuning. Cahaya
kuning itu segera terbang dengan cepat dalam gerakan
mengelilingi halaman rumah. Beberapa kejap kemudian, ia
kembali lagi ke pendopo. Bluuub...! Sudah berubah menjadi
pemuda berambut kucai lagi.
Telepon berdering. Sandhi yang ditinggal Kumala di kantor
sejak jam rnakan siang tadi, kini ngomel-ngomel minta
kepastian harus bagaimana. Sopir pribadi itu berani ngomel

kepada majikan cantiknya walau tidak secara langsung,
karena memang emosi seperti itu dianggap sah-sah saja oleh
Kumala. Toh selama ini Sandhi maupun Buron tetap tahu diri,
tahu batas omelannya.
Niko yang menerima telepon Sandhi. Ia menjelaskan
persoalan yang mereka hadapi. Sandhi diperiritahkan kembali
ke rumah. Ketika Niko bergegas ke pendopo lagi, Kumala Dewi
sudah duduk bersila dalam lingkaran nyala api lilin. Jaraknya
hanya dua jengkal dari Kenyon. Niko tak berani bersuara
karena Buron memberi isyarat agar Niko diam. Hening dan
sunyi tercipta panjang.
Langit senja yang merah tembaga itu kini mulai bergulunggulung
awannya. Awan itu tetap berwarna merah seperti
lautan lahar di langit. Angin berhembus lebih cepat, dan cepat
lagi, sehingga daun-daun terhempas menimbulkan suara
gemuruh. Niko tahu, hembusan angin kencang dan langit yang
mengalami keganjilan adalah tanda-tanda mulai bekerjanya
kekuatan supranatural si Dewi Ular. Seperti biasa, ia degdegan
diliputi ketegangan. Ia bahkan tak berani naik ke
pendopo. Hanya memandang dari tempat jemuran pakaian,
karena tak jauh darinya ada Mak Bariah. Jika terjadi apa-apa
ia bisa bergabung dengan Mak Bariah sebagai kelompok yang
sama-sama ketakutan.
Tanah mulai terasa bergetar. Mula-mula getarannya nyaris
tak terasa, tapi makin lama seperti getaran resonansi dari
kereta api yang lewat tak jauh dari tempat itu. Bahkan belum
sampai setengah menit getaran tanah semakin bertambah
kuat. Daun-daun pohon semakin bergemuruh. Tiang-tiang besi
penyangga lam- pu taman tampak gemetar. Kolam ikan yang
lewat di bawah lantai pendopo terlihat guncang airnya.
Ikannya berlari ke sana-sini ketakutan.
Cuaca semakin gelap. Kian mendebarkan hati manusia
awam seperti Niko dan Mak Bariah. Tapi pandangan kedua

orang itu masih tertuju pada Kumala Dewi, Kenyon dan Buron
yang berjaga-jaga di luar batas lingkaran nyala api lilin.
"Lihat, Tuan Niko... apa itu yang keluar dari tubuh si
pemuda?!" bisik Mak Bariah dengan tegang.
Niko semakin tak berkedip. Ia melihat bayangan sinar
merah terputus-putus keluar dari tubuh Kenyon. Ada yang dari
kaki, ada yang dari perut, dari dada, dan dari mana saja. Sinar
merah terputus-putus itu akhirnya bergerak membentuk
putaran arus. Kedua tangan Kumala yang Semula merapat di
dada, kini mulai bergerak pelan-pelan merenggangkan jarak.
Getaran bumi semakin kuat. Suara gaduh datang dari dapur.
Rak piring bagaikan sedang diguncang-guncang kekuatan
setan sehingga barang pecah belah di atasnya saling
berdenting. Suara itu dibarengi oleh deru angin dan ledakan
guntur di langit. Menyeramkan sekali. bahkan membuat
keringat dingin Niko mulai mengucur. Tapi rasa penasarannya
masih ada, bahkan semakin kuat, sehingga matanya tetap tak
berkedip memandangi pusaran cahaya arah yang kini
membentuk seperti gerakan angin topan. Topan kecil.
Rentangan kedua tangan Kumala pun semakin lebar. Setiap
jari-jari tangannya memancarkan cahaya hijau fosfor yang
berpijar-pijar cahaya itu semakin terang ketika pusaran cahaya
merah dari Kenyon membentuk bayangan seekor kera besar
tanpa ekor. Kera yang terbuat dari cahaya merah itu
menyambar ke arah Dewi Ular dengan liar dan ganas, tapi tak
pernah mengenai sasaran. Padahal jaraknya hanya sekitar
dua-tiga jengkal.
"Grrrrraaawwww. ..!!"
Cahaya merah berbentuk kera besar itu dapat
mengeluarkan suara yang membaur dengan suara gemuruh
alam sekelilingnya. Pada aat itu tiba-tiba tubuh Dewi Ular
berubah menjadi cahaya hijau yang berbentuk bayangan
seekor ular naga. Niko dan Mak Bariah semakin menggigil
melihat ular naga itu bagaikan dicengkeram kera besar dan

siap digigit kepalanya. Tapi dengan gerakan melilit cepat ular
naga dari cahaya hijau itu berhasil meloloskan diri, melayang
berputar lalu menyabetkan ekornya.
Buuuummm...!
Dentuman itu cukup dahsyat. Mak Bariah dan Niko sempat
oleng mau jatuh karena tanah terasa menyentak separuh
bagian, namun segera rata kembali. Dentuman itu juga
membuat daun-daun berguguran, khususnya yang sudah tua
dan layu. Pertarungan ular naga dalam cahaya hijau dan
seekor kera besar dalam cahaya merah berlangsung cukup
seru. Memakan waktu sekitar satu menit lebih.
Pada akhirnya kera besar itu mengeluarkan suara pekikan
yang meraung setelah disabet ekor naga beberapa kali.
Cahaya merah itu pun buyar menjadi percikan bunga api yang
menyebar ke mana-mana. Sekejap kemudian semua bunga
api padam, tinggal asap tipis tak begitu kentara. Cahaya hijau
yang berbentuk seekor ular naga itu menyatu kembali dalam
tubuh Dewi Ular, kemudian meresap lenyap di sekujur tubuh
berkulit putih mulus itu.
"Non Mala menang...! Non Mala unggul, Tuan Niko...! Lihat,
kera besar itu lenyap setelah pecah berhamburan!" ujar Mak
Bariah. Pelayan agak gemuk berusia 40 tahun itu tampak
girang sekali. Niko pun tersenyum sambil menghempaskan
napas lega.
Alam kembali normal. Tapi gelap semakin iekat dengan
bumi. Buron melepaskan sikap berjaga-jaganya yang tadi
tampak serius sekali.
Namun agaknya pekerjaan Dewi Ular belum selesai. Ia
masih duduk bersila dengan badan tegak dan kedua tangan
merapat di depan dada. Keringatnya tampak membasahi
sekujur tubuh, membuat aroma wangi cendana bercampur
pandan semakin menyebar dan terhirup kuat oleh siapa saja,

terutama bagi mereka yang berada dalam radius 1 kilometer
dari pendopo.
"Mak, ada cahaya yang datang dari arah barat tuh!" bisik
Niko kepada Mak Bariah. Perempuan berkebaya itu
memandang ke arah barat. Ia memang melihat cahaya putih
kebiru-biruan melayang dalam gerakan berputar-putar.
Besarnya seukuran mangkok bakso. Cahaya itu bagus sekali,
enak dipandang. Menakjubkan siapa saja.
Makin lama cahaya itu semakin masuk ke pendopo,
berputar-putar sesaat seperti gerakan pesawat mau landing.
Tak lama kemudian merendah dan terbenam di tubuh Kenyon.
Zuuuuubbs...!
Sekujur tubuh Kenyon menjadi bersinar putih kebiru-biruan.
Namun tak lebih dari tiga hitungan. Setelah itu sinar tersebut
padam tanpa meninggalkan asap atau bunyi aneh apa pun.
"Kenapa pemuda itu belum bangun juga, ya Tuan Nik?"
"Mungkin pengaruh biusnya belum dilepaskan Kumala, atau
karena ada sesualu hal yang menghalangi kesadarannya ?
Entahlah Kita lihat saja apa yang dilakukan Kumala Dewi
setelah ini."
Mak Bariah manggut-manggut dengan sikap menunggu
akhir dari pemulihan jiwa manusia yang tadi sempat ditukar
dengan jiwa monyet.      
Kenyon masih kikuk dan malu bicara dengan Dewi Ular.
Terutama yang menyangkut cerita kehidupan pribadinya. Tapi
kepada Niko, ia tak pernah merasa malu, sehingga
menurutnya hanya Niko-lah yang pantas mendengar
pengalaman pribadinya akhir-akhir ini.

Ingatan Kenyon terpancing oleh datangnya seorang tamu
yang bermaksud menemui Kumala Dewi. Sebelumnya, Kenyon
memang mengalami amnesia insidentil, yaitu lupa ingatan
dalam beberapa hal yang semestinya selalu diingatnya.
Misalnya, ia sempat bingung ketika harus menyebutkan nama
jalan dalam alamat rumahnya. Ia juga tak bisa menjawab saat
ditanya tujuannya datang kembali ke biro perjalanan itu. Ia
terpaksa berpikir keras sewaktu Niko menanyakan Warna
mobilnya, Walau akhirnya terjawab juga.
"Wajar," kata Kumala. "Itu karena dia mengalami shock
psikis. Tapi sebentar saja sudah bisa pulih kembali. Gangguan
ingatannya itu tidak akan menjadi parah."
"Jadi sampai sekarang kamu belurn ingat siapa orang yang
kamu khawatirkan akan membunuh Arisna?" tanya Niko
memancing kembali ingatan Kenyon.
"Sulit sekali mengingatnya. Yang dapat kuingat adalah, aku
memang bicara pada Arisna saat makan siang di restoran,
bahwa kuingatkan dia agar hati-hati. Sebab, firasatku
merasakan bahwa Arisna dalam ancaman bahaya. la dapat
dibunuh orang kapan saja. Dan jika hal itu terjadi, maka tidak
seorang pun bisa menyelamatkan dirinya."
"Kenapa kau bisa punya keyakinan begitu?" tanya Dewi
Ular.
"Hmmm, aku punya alasan kuat. Tapi aku lupa... aduuh,
aku benar-benar lupa alasan kuat apa yang membuatku yakin
betul bahwa Arisna tidak akan tertolong kalau ancaman maut
itu sudah diarahkan padanya."
Kenyon tampak jengkel sendiri karena tidak menemukan
alasan kuat yang dimaksud dalam ingatannya. la masih
bertisaha berpikir keras untuk mengingat hal tersebut.
Sandhi yang waktu itu sudah tiba di rumah dan ikut
nimbrung dalam percakapan di ruang tamu itu, segera bicara
pelan kepada majikan cantiknya.

"Mungkinkah orang yang dikhawatirkan akan membunuh
Arisna itu sama dengan pihak yang menukar jiwa Kenyon
dengan jiwa kera?!"
"Sangat mungkin. Dan memang itulah kemungkinan besar
yang ada dalam benakku."
"Kalau begitu kamu tahu siapa orangnya dong? Bukankah
kamu berhasil merampas kembali jiwa Kenyon dari tangan
orang itu?"
"Aku nggak merampas dari jarak dekat, San. Aku hanya
menarik jiwa asli Kenyon dengan kekuatanku dari jarak jauh.
Entah di mana jiwa itu sebenarnya dan siapa penjaganya, aku
nggak ngerti. Yang penting, begitu jiwa itu kupanggil
menyahut, aku tahu arahnya dan langsung kubetot sekuat
tenaga. Memang agak berat sih. Dan itu bisa diartikan pula
bahwa pihak yang menukar jiwa Kenyon itu pasti punya
kekuatan yang nggak boleh disepelekan."
"Mungkinkah semua ini perbuatan dari si Damasscus?" sela
Buron yang dari tadi menjadi pendengar percakapan tersebut
dengan serius.
"Belum tentu Damasscus, si Raja Iblis itu," kata Kumala.
"Mungkin juga pihak lain yang ciri-cirinya belum pernah kita
kenal."
Buron manggut-manggut, Kenyon ganti menyimak
percakapan tadi. Tapi sesaat kemudian ia menjadi sasaran
pertanyaan Niko yang kelihatannya paling penasaran terhadap
rahasia misteri tersebut.
"Ken, menurutmu apakah Arisna punya musuh berbahaya
yang nggak diketahui atau nggak disadarinya."
"Ya. Punya. Musuhnya itulah yang sedang kuingat-ingat
dari tadi."
"Ada memory yang sengaja dihapus dari ingatanmu," sahut
Kumala. "Kuanggap hebat orang yang mampu menghapus

ingatanmu untuk beberapa bagian saja. Biasanya
penghapusan memory dalam ingatan manusia bisa dihapus
jika penghapusan itu dilakukan secara menyeluruh. Bukan
hanya bagian-bagian tertentu saja."
"Okey," sela Niko kepada Kenyon. "Lalu... masih ingat
nggak, permusuhan Arisna dengan seseorang itu disebabkan
karena persoalan apa? Harta? Jabatan? Gengsi? Asmara?
Salah paham? Atau apa?"
"Hmmmmm...," Kenyon mengingat-ingat, tapi akhirnya ia
mendesah lagi dengan kecewa. "Sial! Itu pun aku nggak ingat
lagi, Nik!"
Niko menarik napas, yang lain ikut-ikutan. Kumala akhirnya
melarang siapa pun mengajukan pertanyaan yang
memusingkan kepada Kenyon. Menurutnya, pertanyaan yang
sukar dijawab jika dicari terus jawabannya justru akan
mernbuat Kenyon semakin jauh dari ingatannya yang terhapus
itu. Yang jelas, malam itu Kumala sarankan agar Kenyon tidak
pulang ke rumah. Ia inginkan Kenyon bermalam di situ
bersama Niko.
"Firasatku mengatakan, kau sedang dicari seseorang, dan
orang itu membawa bencana untukmu."
"Siapa orang itu?" tanya Kenyon.
"Nggak jelas. Tapi biasanya firasatku selalu benar, Ken.
Karena itu, kau sebaiknya bermalam di sini, anggap saja
sedang bersembunyi dari incaran maut. Sebab...."
Bel tamu berbunyi. Kata-kata Dewi Ular terhenti. Sandhi
segera membukakan pintu pagar. Ia kembali menemui
majikan cantiknya bersama seorang perempuan yang belum
lama dikenal Kumala dan Sandhi, juga Buron. Perempuan
datang bersama seorang wanita yang lebih tua lagi, yaitu
ibunya sendiri. Di samping itu juga membawa dua orang anak
lelaki, serta didampingi pemuda berusia 23 tahun yang
mengemudikan mobil mereka. Pemuda itu belakang diketahui
sebagai adik bungsu perempuan tersebut.
"Eeeeeh, Ekey sama Kak Ditto.... Aduh, kenapa nggak
telepon Tante Kumala dulu kalau kalian mau datang, hmm?
Coba kalau telepon dulu, Tante bisa beli es cream buat kalian
berdua...."
==============================
Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
Dewi Ular disukai anak-anak karena pengaruh kekuatan
gaib dewatanya, juga karena keramahannya yang bisa
menyentuh hati anak-anak, seperti Ekey dan Ditto, kakaknya.
Rupanya malam itu keluarga Nyonya Lieza menyempatkan
mampir ke rumaK Kumala sepulangnya dari belanja di Mall.
Nyonya Lieza yang mengusulkan acara itu, karena rupanya
wanita berusia 65 tahun itu ingin memberikan hadiah kenangkenangan
kepada Dewi Ular yang telah menyelamatkan
cucunya dari kematian gaib.
Namun ketika mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu,
Nyonya Lieza terperanjat girang mengetahui Kenyon ada di
situ.
"Lho, Ken...?! Kamu ada di sini juga, ya?"
"Hmm, eeh... iya, Tante. Hmm, eeh...."
"Wah, nggak kusangka kalau kamu kenal juga dengan
Kumala Dewi ini? Sudah lama kenal dia, Kumala?"
"Cukup lama, Nyonya Liez," jawab Kumala menutupi rasa
malu Kenyon. Pemuda itu dilihatnya menjadi malu dan gugup,
sehingga gerak-geriknya menjadi kikuk Entah apa
penyebabnya, yang jelas Kumala berusaha membuat Kenyon
sedikit terhindar dari rasa malu atau gugup atau entah apa
lagi itu.
"Hei, bagaimana dengan Winne? Jadi semakin akrab
dengan gadis cantik itu, atau semakin berjauhan?!"
"Semakin... semakin...." Kenyon jadi tersipu-sipu seperti
gadis dusun ditantang kawin. Diam-diam Niko merasa aneh

melihat sikap Kenyon begitu, sebab setahunya Kenyon tak
pernah bersikap seperti banci begitu.
"Kumala, dulu aku lupa menceritakan padamu, waktu
sebelum Ekey kutemukan dalam keadaan tak bernyawa, waktu
itu aku sedang menerima tamu. Ya, ini.... Kenyon dan calon
pacarnya: Winne. Ih, anaknya cantik sekali, Kumala. Cocok
deh kalau berpasangan dengan Kenyon. Dengar-dengar sih
bulan depan mau dikawinin tuh cewek. Iya, Ken?"
"Ah, Tante bisa aja...," Kenyon semakin salah tingkah. Lalu
ia buru-buru menutupi sendiri sikapnya itu dengan bertanya
kepada Nyonya Lieza.
"Oom Hans belum landing, Tante?"
"Uuh, papanya Ekey sih kalau landing secepat kilat. Kayak
nggak tahu aja kesibukan oom-mu itu, Ken. Baru dua hari
yang lalu pulang, eeh... besoknya sudah harus take-off lagi.
Biasa, kerja di maskapai penerbangan asing kalau nggak
disiplin bisa dipecat, Ken."
Melihat keakraban itu, Kumala bertanya, "Nyonya Lieza.
sudah lama kenal Kenyon rupanya?"
"Papanya Ekey yang bawa-bawa dia ke rumah. Dulu
sempat jadi rekanan dalam bisnis spektakuler selama hampirhampir
satu tahun kalau nggak salah, ya Ken?"
"Ya," jawabnya pendek. Beban moral, tekanan batin dan
rasa malu semakin tampak jelas dalam sikap Kenyon. Hati
Niko pun menjadi semakin curiga. Namun kesempatan untuk
bertanya tidak ada, sebab Nyonya Lieza mengambil tempat
duduk berdekatan dengan Kenyon.
Untung saja kunjungan keluarga yang ingin menyampaikan
rasa terima kasihnya kepada Kumala itu tidak terlalu lama.
Hanya setengah jam kurang, mereka langsung pamit setelah
menyerahkan bingkisan mahal kepada Dewi Ular. Kebetulan
malam juga sudah menunjukkan pukul 9 lewat beberapa

menit. Ditto dan Ekey sudah mengantuk. Ekspresi wajah
Kenyon berubah merah, tidak sepucat tadi. Seolah-olah
darahnya mengalir kembali ke wajah. la pun tampak lega.
Namun debar-debar ketegangan hatinya masih belum berhenti
tuntas dan tak dapat disembunyikan dari mata mereka.
Kenyon pun sehabis mengantar kepulangan Nyonya Lieza
sekeluarga segera masuk ke ruang tengah lebih dulu, duduk
tertegun sambil berlagak memandangi layar teve yang sedang
ditonton Mak Bariah. Maka Niko dan yang lainnya segera
menyerbunya dengan masing-masing memamerkan ekspresi
ingin tahunya.
"Ken." kata Niko: "... kayaknya kamu ada persoalan dengan
Nyonya Lieza tadi, ya? Jujur aja luh. Ada apa sebenarriya?"
"Sikapmu sangat berbeda, Ken," timpal Kumala. "Terus
terang, kami curiga dan ingin tahu apa sebenarnya yang kamu
sembunyikan dari pertemuan tadi?'
Sorot pandangan mata Dewi Ular mengandung getaran
gaib yang membuat hati Kenyon tak dapat berdusta Lagi.
Sebenarnya ia bermaksud merahasiakannya, tapi gemuruh
dalam dadanya semakin kuat, mendesak nuraninya untuk
berkata apa adanya di depan Dewi Ular.
"Yaah, kuakui... aku memang agak takut dengan Tante
Lieza, terutama kepada anaknya yang kecil tadi: Ekey."
"Kenapa?" desak Niko sambil duduk di samping Kenyon.
"Anak itu...," Kenyon diam karena ragu sesaat. Tapi
akhirnya dilanjutkan kembali kata-katanya.
"Kusangka anak itu sudah mati kehabisan darah. Ternyata
masih hidup dengan segar begitu. Benar-benar nggak nyangka
anak itu kuat dan nasibnya bagus sekali."
Mereka membiarkan Kenyon menerawang sesaat, lalu Niko
bertanya lagi, "Kenapa kau menyangka Ekey sudah
meninggal?"

"Darahnya...," Kenyon ambil napas, sepertinya sulit sekali
mengatakan hal yang sebenarnya karena diliputi perasaan
takut yang mencekam hatinya.
"Darah anak itu... kutahu persis sudah disedot oleh Winne."
"Winne?!" gumam mereka hampir serempak.
"Yah, sekarang aku ingat! Aku ingat betul bahwa orang
yang kuanggap membahayakan jiwa Arisna adalah Winne."
"Kenapa Winne?" tanya Niko.
"Winne yang mana?" desak Kumala.
Wajah ganteng itu dicekam kesedihan sekaligus kengerian
yang terbungkus penyesalan cukup dalam. Hampir saja ia
menangis mengenang kematian Arisna, karena ia kini tahu
persis siapa pelakunya.
"Aku nggak tahu persis, siapa sebenarnya Winne. Aku kenal
dia pada malam hujan deras dan mobilku terperangkap banjir.
Kusangka dia bukan gadis jahat. Tapi setelah kutahu dia selalu
membutuhkan darah setiap lima hari sekali, aku jadi ngeri
berteman dengannya. Tapi anehnya aku tak bisa
meninggalkan Winne begitu saja."
Kumala manggut-manggut. Ingatannya membenarkan
pengakuan Kenyon tentang Winne. Sebab ketika Kenyon
bertemu dengannya di tempat parkir kantornya Arisna, saat
itu Kenyon sempat menyebutkan nama Winne sebagai orang
yang dicarinya. Sersan Burhan juga mendengar kata-kata
Kenyon itu. Tapi , agaknya nama Winne kurang diperhatikan
oleh mereka, termasuk oleh Niko.
"Sewaktu aku pulang makan siang dengan Arisna, aku pergi
ke kantornya Winne di BBC Building. Aku bermaksud
mengantar pesanan Winne yang dipesannya pagi hari dan
baru bisa kubelikan pada siang itu...."
"Pesanan apa?"

"Pizza. Aku memang terlambat mengantar pesanannya itu
karena waktuku tersita buat makan siang bersama Arisna.
Namun ketika aku tiba di sana, kudapatkan informasi dari temannya
bahwa Winne pergi ke kantornya Arisna. Sebelumnya
ia sempat ngomel-ngomel dan bilang pada temannya, bahwa
ia yakin siang itu aku menemui Arisna. Maka ia pun pergi ke
kantornya Arisna dengan marah. Aku buru-buru lari ke kantor
Arisna, maksudnya mencegah kemarahannya. Tapi...
terlambat. Winne sudah lebih dulu meluapkan kemarahannya
kepada Arisna dengan caranya yang sadis, yaitu menghirup
darah Arisna hingga kering kerontang."
"Kok dia marah sama Arisna, alasannya apa?" sela Niko.
"Dia sangat cemburu," jawab Kenyon pelan.
"Cemburu...?!" gumam Niko dan Kumala bersamaan.
"Jadi...," sela Buron tegas. "Sebenarnya yang jadi pacarmu
itu Arisna atau Winne?!"
"Ceritanya begini...," Kenyon tarik napas dalam-dalam.
Agaknya ia harus ceritakan juga peristiwa sebenarnya di
depan mereka, karena tatapan mata mereka menuntut
penjelasan lebih lengkap lagi.