Dewi Ular - Manusia Meteor(1)

Manusia Meteor oleh Tara Zagita
1
BARU kali ini di sebuah seminar tampil seorang pembicara
yang cantik jelita dan menarik perhatian semua pihak.
Pembicara cantik yang masih muda itu duduk dengan tenang
di antara dua pembicara lainnya, yaitu Profesor Dr. Hardjana
dan Profesor Ir. Wiryatama SH. Kedua pembicara itu adalah
dosen ilmu filsafat di beberapa perguruan tinggi terkenal,
serta mahaguru arkheologi yang sangat disegani oleh para
profesor lainnya.
Tapi pembicara muda yang kecantikannya mencengangkan
para peserta seminar itu tidak mempunyai gelar atau titel
apapun di depan namanya. Ia justru seperti seorang cucu
yang duduk di antara kedua kakeknya, yaitu Prof Hardjana
dan Prof. Wiryatama. Karena kedua profesor itu sudah berusia
sekitar 75 tahun, sedangkan gadis cantik beraroma wangi
sensual itu seperti baru berusia 24 tahun Dalam undangan
atau pun dalam spanduk yang terpampang lebar itu nama
gadis cantik tersebut hanya ditulis: KUMALA DEWI (spiritualis
dan metafisis).
Mengapa panitia seminar tidak menyebutkan paranormal
sebagai referensi bagi nama Kumala Dewi? Menurut Alfen,
ketua panitia penyelenggara seminar tersebut, kata-kata
'paranormal' hanya akan menurunkan prestige seminar itu

sendiri, karena diidentikkan dengan istilah "dukun'. Sedangkan
seminar itu diadakan di kampus perguruan tinggi paling
bergengsi di masa sekarang, yaitu Universitas Primanusa.
Satu-satunya universitas swasta yang berkualitas dan
berkuantitas internasional.
Enlah mengapa penyelenggara seminar itu sendiri, memilih
Kumala Dewi sebagai pembicara dan disejajarkan dengan
kedua profesor kondang itu, alasan mereka tidak banyak yang
mengetahui. Hanya saja, gadis jelita yang memiliki kharisma
sendiri itu ternyata mampu menyusun makalah berbobot dan
menjadi pusat perhatian seluruh peserta. Dalam seminar yang
bertema: 'MISTERI ALAM SEMESTA' itu, gadis anak bidadari
asli dari Kahyangan tersebut membacakan makalahnya
dengan jelas, tenang, enak didengar, dan membuat semua
orang diam tanpa suara, penuh antusias mencatatnya
langsung di dalam otak masing-masing.
"... Banyak orang bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa
alam semesta ini lahir dalam kondisi yang serba gaib?
Tentunya kita harus menilik dan mencermati proses awal
terjadinya alam semesta ini. Dalam sebuah teori yang pernah
ditemukan oleh Georges Lemaintre, seorang padri dan
astronom bangsa Belgia, di tahun 1930, agaknya mempunyai
banyak kesamaan dengan apa yang saya temukan melalui
dimensi spiritualis dan disiplin ilmu metafisika, yang barangkali
belum populer untuk dipelajari di negeri ini ... "
Di dekat pintu masuk, ada seorang pemuda, mungkin
mahasiswa setempat, yang tampak sibuk mencatat beberapa
hal dari pembicaraan Kumala Dewi itu. Secara diam-diam
pemuda itu juga sempat memotret Kumala dengan kamera
tanpa blitz. Kumala Dewi bukan tidak mengetahui pencurian
kamera itu. Ia tahu. ia diamkan saja. Perhatiannya tetap
tertuju pada makalah yang sedang dibacakan itu.
"'Alam semesta ini berasal dari sebuah ledakan super
dahsyat,yang melemparkan jasad-jasad ke segala arah. Lama

kelamaan jasad-jasad ini membentuk galaksi.. Kapan hal ini
terjadi? Yaitu sekitar 12 sampai 25 ribu juta tahun yang lalu.
Bumi kita ini adalah debu kecil dari ledakan super dahsyat itu,
yang bekerja mengelilingi matahari, yang sebenarnya
merupakan salah satu dari 100 ribu juta bintang penghuni
galaksi. Sementara itu, di alam semesta ini setidaknya ada
seribu juta galaksi lainnya."
Profesor Hardjana dan Profesor Wiryatama sama-sama
memandangi Kumala Dewi dengan serius sekali. Seolah-olah
mereka juga menyimak pembicaraan gadis itu dengan sudut
pandang yang berbeda, namun merasa akan mendapatkan
sualu pengetahuan baru yang belum pernah mereka dapatkan
dari tempat lain.
"Galaksi kita, yaitu Bimasakti, bukan hanya terdiri dari
bintang-bintang saja melainkan juga berisi awan gas hidrogen
dan kabut besar yang bermuatan debu dan gas, dinamakan
nebula. Setiap muncul bintang baru, ia pasti lahir dari nebula.
Kemunculan itu berpengaruh pada seluruh energi metafisika
yang ada di jagat raya ini. Energi tersebut menimbulkan
kekuatan gaib besar dan oleh bumi kita diterima getarannya
dalam bentuk gejala-gejala gangguan metafisik."
Pemuda berambut agak panjang dan berwajah tampan itu
kembali memotret Kumala dengan lensa tele, tetap tanpa blitz.
"Kemampuan bumi menerima getaran gangguan metafisik
itu karena kondisi alam khususnya di negeri kita sendiri, yaitu
negeri yang menyimpan potensi supranatural terbesar di
dunia. Sekali lagi, terbesar di dunia!"
Mereka manggut-nianggut, tapi tak satu pun yang herani
menggumamkan suaranya. Yang mencatat hal-hal penting,
buru-buru mencatatnya sebelum Kumala kembali berbicara.
""Hebat sekali gadis mi?!" gumam hati seorang dosen muda
yang duduk di bagian tengah peserta. "Dari mana dia bisa

menganalisa sedalam itu? Siapa gurunya? Alumni dari mana
dia itu?'"
Dalam diskusi panel yang diselenggarakan setelah itu,
seorang-peserta mengajukan pertanyaan kepada Kumala.
"Dari mana kita bisa tahu kalau negeri kita ini, menyimpan
potensi supranatural terbesar di dunia? Karena menurut saya
supranatural adalah sesuatu yang absurd, sulit divisualkan tapi
nyata-nyata ada di antara kita."
"Indikasinya bisa dilihat dari keragaman agarna, adat
istiadat, suku, liturgi, dan sebagainya. Semuanya tersebar di
wilayah Indonesia. Selain itu, secara geometris posisi
Indonesia terletak di atas garis khatulistiwa. Ini memiliki arti
penting dari sudut metafisika."
"Bisa lebih dijelaskan lebih detil lagi arti tersebut?"
"Posisi di tengah belahan bumi yang simetris ini
mengandung potensi energi, alam dari bumi. Para ahli
metafisika dan kaum spiritualis manca negara pernah bilang
pada saya, bahwa mereka pernah melihat Indonesia,
khususnya Pulau Jawa, memancarkan sinar kuning Jingga
keemas-emasan. Sinar itu memancar ke angkasa. Dalam
penglihatan mata batin saya pun demikian. Sinar itu muncul
pada saat menjelang berakhirnya abad dua puluh."
"Secara metafisik apakah keajaiban itu ada artinya? " tanya
salah seorang lagi.
"Ada. Artinya, Indonesia nantinya akan menjadi salah satu
negara yang memegang peranan penting pada era millenium
baru. Karenanya, dapat disimpulkan bahwa millenium ketiga
adalah era kebangkitan kesadaran spiritual secara universal .
Pemuda yang sejak tadi berdiri di pintu masuk sambil
sesekali membidikkan kameranya itu, kini berkerut dahi
dengan hati berkata, "Diskusi alam semesta kok menjadi
diskusi-paranormal s ih ? Tapi...yaah, asyik juga diikutinya."

Memang mengasyikkan. Semua orang tertarik untuk
menyimak setiap jawaban yang diberikan oleh Kumala.
Anehnya, moderator sendiri tidak berusaha mengembalikan
topik pembicaraan ke masalah semula. Moderator justru diam,
tertegun, dan tak bergeming menyimak penjelasan-penjelasan
dari Kumala Dewi itu.
Salah seorang melemparkan pertanyaan kepada Profesor
Hardjana yang sejak tadi cenderung diam penuh makna.
"Menurut Profesor apakah teori yang dibicarakan oleh
pembicara Kumala Dewi tadi telah menyimpang jauh dari
misteri alam semesta ini? Apakah ada relefansinya dengan isi
alam semesta?"
" Ada," jawab Profesor Hardjana. "Alam semesta bukan
hanya berisi bintang, bulan, planet, matahari, meteor, komet
dan benda angkasa lainnya, tapi juga berisi tentang kekuatan
gaib yang tidak bisa dilukiskan dengan kata dan bahasa negeri
mana pun, kecuali dengan bahasa batin Anda masing-masing.
Bulan, punya kekuatan gaib yang tidak bisa dicerna oleh
ilmuwan dari Nasa, misalnya. Matahari, Venus, Bumi. meteor,
awan, pelangi, semuanya memiliki muatan supranatural yang
hanya bisa diuraikan secara metafisis, tapi hanya bisa
ditangkap dan dipahami oleh batin. Karena batin kita adalah
energi gaib yang tidak semua manusia bisa memanfaatkan
secara maksimal."
Tiba-tiba pemuda tampan berpenampilan seperti seorang,
jurnalis lengkap dengan kamera tergantung di lehernya itu,
memanfaatkan celah hening yang terjadi pada saat Profesor
Hardjana bicara, ia mengangkat tangannya lebih dulu sambil
berseru supaya sang profesor, atau kedua pembicara lainnya
memperhatikan ke arahnya.
"Menyinggung tentang meteor... menurut profesor, apakah
mungkin sebuah meteor yang jatuh ke bumi dapat berubah
menjadi manusia, "

Geerrr...! Mereka tertawa serempak tanpa dikomando.
Pemuda itu kebingungan, salah tingkah, dan jadi malu-malu
jengkel.
"Pertanyaan Baya ini cukup serius, Prof!" serunya lagi.
Moderator menyuruh peserta diam. Pemuda itu diminta
mengulangi pertanyaannya secara serius lagi.
"Apakah mungkin sebuah meteor yang jatuh dari langit bisa
berubah menjadi manusia seperti kita ini?"
Dengan senyum kalem Profesor Hardjana menjawab,
"Secara logika, itu mustahil."
Profesor Wiryatama menimpali, "Itu penyimpangan kodrati
sejarah manusia. Jelas tidak mungkin meteor bisa menjadi
manusia."
Pemuda itu bertanya lagi, "Kalau menurut Nona Kumala
sendiri, bagaimana? Mungkinkah meteor menjadi manusia?"
"Mungkin saja!" tegas Kumala Dewi dengan sikap tenang
dan mempunyai pengaruh aneh bagi yang mendengarnya.
Mereka tertegun serempak, tak ada yang berani protes itu-itu,
walau dalam hati mereka terheran-heran terhadap jawaban
Kumala. Getaran suara merdu Kumala Dewi seakan-akan
melumpuhkan niat seseorang yang ingin menyangkal
jawabannya itu.
"Apa yang tidak mungkin terjadi, bisa terjadi secara konkrit.
Itulah gaib! Jika sudut pandang Anda dari sisi gaib, maka
jangan pernah berkata tidak masuk akal untuk sesuatu yang
sulit dicerna oleh otak kita, sulit diterima oleh logika yang ada.
Karena, kata-kata 'gaib' sebenarnya istilah untuk pengganti
kata 'tidak masuk akal'. Maka jika ingin menilai sesuatu, Anda
harus sadar lebih dulu, dari sudut mana Anda ingin
memandangnya gaib atau ilmiah? Sebab keduanya sama-sama
ilmu, tapi kontradiklif sekali sifatnya."

Setelah hening sejurus, pemuda itu bertanya lagi, "Jadi,
bagaimana penjabarannya tentang meteor bisa menjadi
manusia itu?"
"Sangat panjang," jawab Kumala, dengan berwibawa. "Jika
Anda berminat, Anda bisa dapatkan alamat tempat tinggal
saya atau kantor saya dari penyelenggara seminar ini. Kita
akan bahas masalah itu secara lebih spesifik lagi. Okey?"
senyumnya tersungging kecil, tapi mendebarkan hati setiap
orang yang memandangnya. Senyum itu mengandung
kekaguman amat besar bagi mereka, dan sulit dilupakan
begitu saja oleh siapa pun. Itulah senyuman bidadari yang
hanya dimiliki oleh para dewa atau bidadari di Kahyangan.
Karena pembicara tanpa titel itu sebenarnya adalah anak
Dewa Permana dan Dewi Nagadini, maka ia mewarisi
senyuman bidadari, seperti tadi.
Dua hari kemudian, pemuda berperawakkan tegap dan
berkulit bersih itu benar-benar datang, menemui Kumala Dewi
di kantornya. Hampir saja Kumala menyuruh sekretarisnya
untuk menolak tamu tersebut, karena ia merasa belum pernah
punya relasi atau pun teman yang bernama Rayo. Tapi ketika
indera keenamnya melihat wajah sang tamu yang bernama
Rayo Pasca, maka Kumala pun mengenalinya, dan
mengizinkan sang tamu masuk ke ruang kerjanya yang
tertutup, dan cukup eksklusif itu.
Dengan senyum manis bidadari, Kumala menyambut
kedatangan Rayo yang saat itu berpakaian lebih rapi dari pada
saa tmenghadiri seminar tempo hari. Rambutnya yang ikal
sepanjang lewat bahu itu tampak rapi. Sepertinya sengaja ia
sisir saat di dalam lift tadi. Sekalipun dibiarkan meriap, tapi
rambut itu tampak indah dan menarik untuk rambut seorang
pria. Posturnya yang tegap, dan agak tinggi itu cocok sekali
dengan keadaan rambutnya, sehingga ia tampak exelent
sekali dalam penampilannya.

Sambutan ramah yang cukup familiar dari Kumala
membuat Rayo sempat terheran-heran, karena sikap gadis itu
berbeda jauh dengan saat menjadi pembicara dalam seminar
tersebut Rayo merasakan suasana aneh yang menyenangkan
hatinya dan membuat hubungan menjadi akrab, komunikasi
menjadi bersahabat sekali, serta tak ada kekikukan sedikit
pun. Aneh, menurut Rayo. Karena biasanya jika ia dapat
kenalan baru, baik masih gadis atau sudah nyonya, suasana
gaul tidak secepat itu timbulnya. Kadang Rayo sendiri yang
kikuk, atau teman barunya yang malu-malu kucing.
"Mungkin tatapan matanya itu memiliki kekuatan metafisik
dan berpengaruh positif dalam hatiku,"' pikirRayo. "Gila !
Perasaanku jadi senang, girang sekali, seperti habis dapat
lotre jutaan rupiah banyaknya. Urat syarafku pun terasa
kendur, rileks sekali. Kenapa aku bisa merasa enjoy banget
begini s ih?"
Kumala Dewi hanya tersenyum-senyum dalam kelembutan
yang membuat penampilannya lebih anggun serta
mempesona. Sebenarnya ia mendengar kecamuk hati
tamunya melalui kekuatan supranaturalnya, dan sebenarnya
dia ingin mengatakan, bahwa perasaan santai, senang, serta
enjoy itu akibat pengaruh mistis dari aroma wangi yang keluar
dari tubuhnya. Aroma itu sebenarnya adalah keringat Kumala,
bukan parfum impor. Aroma itu bisa membuat hati orang yang
menghirupnya menjadi tenang, damai, serta cenderung santai.
Jika ditambah dengan getaran gelombang gaib dari tatapan
matanya, maka orang tersebut akan merasakan letupan
kegembiraan yang tak diketahui penyebab konkritnya. Tapi
karena ia tak ingin menonjolkan diri di depan siapa saja, maka
ia pun tak jadi menjelaskan penyebab datangnya perasaan
enjoy di hati Rayo itu.
"Seperti yang kutanyakan waktu dalam seminar itu, kirakira
penjelasan seperti apa yang bisa kau berikan padaku
untuk memahami jawabanmu tempo hari, bahwa mungkin

saja meteor bisa berubah menjadi manusia? Aku curiga ingin
tahu soal itu," kata Rayo tanpa canggung sedikit pun, seperti
bicara dengan teman yang. sudah lama dikenalnya. Kumala
pun bersikap sama.
"Sebelum kita bahas alasan jawabanku itu, Ray... aku ingin
tahu dulu, apa alasanmu bertanya begitu? Kenapa kamu
sampai nekat melontarkan pertanyaan dalam seminar yang ....
bisa membuat dirimu disangka gila oleh orang lain itu?"
"Hmmmya... memang aku punya alasan-kenapa nekat
bertanya seperti itu. Sebab, ada suatu peristiwa yang terjadi
secara aneh sekali, Kumala. Aku sendiri sampai tak habis pikir
kenapa bisa sampai terjadi begitu?"
"Peristiwa apa itu?" pancing Kumala. ingin menunjukkan
sikap kepeduliannya terhadap kebingungan Rayo. yang lewat
radar gaibnya terasa sangat mengganggu ketenangan pemuda
itu.

Malam itu angin berhembus membawa udara dingin.
Namun tak sampai membuat badan menggigil, karena cahaya
bulan purnama yang menebarkan kehangatan tersendiri itu
mampu menyerap sedikit kandungan hawa dingin dalam udara
sekelilingnya. Rayo mengemudikan mobil Taft GT tahun 90-an
milik temannya yang kondisinya sudah kurang nyaman itu.
Tanpa radio, tanpa AC dan baunya agak pengap. Karenanya,
kaca samping kanan diturunkan secara total, supaya angin
malam sedikit menyejukkan suasana di dalam mobil tersebut.
Kalau bukan karena mobilnya sendiri dibawa adiknya ke
Bogor dan sampai pukul tujuh malam tadi belum pulang juga,
ia tak sudi meminjam mobilnya Agam yang tak pernah dirawat
itu.
Sayangnya, pukul delapan tadi ia mendapat telepon dari
mamanya Denna, memberitahu bahwa Denna masuk rumah
sakit. Sekalipun sebenarnya hubungan Rayo dengan Denna

sudah lama putus, sekitar 3 bulan yang lalu mereka sepakat
untuk tidak melanjutkan hubungan pribadi, tapi sikap Rayo
tetap baik kepada Denna. Mamanya Denna juga belmu tahu
bahwa mereka kini hanya bersahabat biasa. Tidak ada jalinan
cinta kasih seorang pacar lagi. Maka, ketika mendengar kabar
bahwa Denna masuk rumah sakit, Rayo langsung meluncur ke
sana dengan meminjain mobil. kumuhnya Agam.
Denna mengalami kecelakaan di jalan tol bersama pacar
barunya Sandro, namanya. Keadaan Denna tidak separah
yang diderita Sandra. Tapi hal itu tetap mencemaskan
mamanya Denna, yang sudah satu tahun kurang ditinggal
suaminya tugas belajar dari kantornya ke Jerman. Karena di
rumah keluarga Denna tidak ada anak lelaki dewasa, selain
David yang baru kelas III SMP, maka mamanya Denna
menghubungi Rayo. Sebab memang dulu Rayo menjalin
hubungan baik dengan keluarga Denna.
Dari peristiwa itulah akhirnya mamanya Denna mengetahui
bahwa putri bungsunya sudah tidak lagi menjadi kekasih Rayo.
Begitu juga dengan Elma, adik Denna yang kuliah di
kedokteran, baru tahu kalau kakaknya punya pacar baru, yaitu
Sandro. Memang hal itu mengecewakan keluarga Denna Tapi
dalam kesempatan itu pula Rayo menjelaskan duduk perkara
yang sebenarnya, dan berharap masih bisa melanjutkan
hubungan dengan persaudaraan.
Akibat memberikan penjelasan panjang lebar itulah,
akhirnya Rayo baru bisa pulang sekitar pukul sebelas lewat.
Entah mengapa malam itu jalanan terasa begitu sepi sekali.
Lengang dan aneh sekali suasananya menurut Rayo. Padahal
belum ada pukul dua belas, belum lewat tengah malam.tapi
suasana di jalanan seperti lorong menuju kota mati. Rayo
sempat merinding sendiri saat menyadari keganjilan malam
itu.
"Wah, terpaksa harus cari POM bensin yang buka 24 jam
nih. Mulut si Agam bisa seperti kaleng rombeng kalau mobil ini
nggak kuisi bensin sekarang juga. Pagi-pagi kalau dia mau
pergi, ternyata bensinnya tiris, pasti mencak-mencak nggak
karuan tuh anak!"
Terpaksa Taft warna abu-abu itu dibawa memutar arah
agak jauh lagi, karena harus mencari POM bensin yang buka
24 jam. Rayo mengisinya hanya 10 liter, padahal pemakaian
sebenarnya tak sampai sebanyak itu. Tapi kalau tidak diisi 10
liter, tidak terlihat tandanya pada jarum penunjuk bahan bakar
itu. Sambil menggerutu dalam hati Rayo meninggalkan POM
bensin yang sepi itu.
Baru saja ia ingin mengarahkan mobil ke tengah jalan
untuk melaju cepat, tiba-tiba dilihatnya seorang gadis
melambaikan tangan. Berdirinya sengaja lebih ke tengah jalan.
Mau tak mau Rayo segera menginjak rem, dan mobil itu pun
berhenti ke tepian. Gadis yang mencegat dengan nekat itu
segera menghampirinya dari kanan.
"Mau apa perek satu ini?! Bikin kesal aja sih?!" gerutu hati
Rayo. Tapi sikapnya sengaja dibuat tenang saat memandangi
gadis berambut pendek menghampirinya dengan wajah
murung. Dilihat dari pakaiannya; jeans ketat dan blus cekak
dirangkapi jaket kulit s intetis warna hitam, sepertinya gadis itu
bukan perek sembarang perek. Mungkin saja dia orang baikbaik
Tapi kenapa dia berada di tempat sepi dan gelap
sendirian?. Mengapa tiba-tiba menghadang mobil Rayo secara
paksa? Pasti ada maunya.
"Hai, sorry mengganggu perjalananmu,'' sapanya dengan
nada lemah, seperti menahan duka dalam hatinya Wajahnya
pun semakin jelas menyimpan kesedihan yang cukup dalam.
Menghiba hati Rayo. Padahal gadis berhidung mancung itu
memiliki nilai kecantikan yang eksklusif bibimva kecil, mungil.
Tapi punya bentuk yang sensual. Menggemaskan jika
dikhayalkan.
"Bisa tolong saya nggak?"
"Tolong ... ? Apa yang perlu ditolong?" Rayo masih bersikap
penuh waspada. Gadis itu seperti ingin menangis, tapi
ditahannya kuat-kuat. Kegelisahan dan kebingungannya
terlihat jelas.
"Kamu mau ke mana? Bisa nggak aku numpang sampai..."
gadis itu memandang ke sana-sini. seperti ada ? sesuatu yang
dicemaskan dan takut diketahui seseorang.
"Masuklah....!" kata Rayo setelah melihat ekspresi
ketakutannya gadis itu bukan sebuah sandiwara. Wajah gadis
itu juga tampak pucat apalagi dalam penerangan cahaya
purnama, semakin seperti kertas putih tanpa garis.
Gadis berambut pendek sepundak, lurus dan punya poni di
depannya itu buru-buru masuk ke mobil. Rayo pun meluncur
dengan ketenangan yangpenuh hati-hati. Sebab, gadis itu
menyilangkan tali tas kecilnya di dada. Tas itu dalam
genggaman tangan kirinya. Siapa tahu tiba-tiba dia mengambil
pisau atau pistol dan menodongkannya ke kepala Rayo, atau
bahkan langsung mencelakai Rayo demi mendapatkan barang
rampokan yang diinginkan? Ooh, Rayo tak mau hal itu terjadi,
sehingga biar pun tampaknya diam dan tenang, tapi ekor
matanya penuh ketajaman.
"Dari mana kamu, malam-malam begini masih di jalanan?"
Gadis itu sulit menjawab. Suaranya menjadi parau. "Ak...
aku... aku dari... itu... dari...."
'Tujuannya mau ke mana sih?" Rayo mencoba pertanyaan
lain yang mungkin tidak membuat gadis itu tidak malu
menjawabnya.
"Tujuanku... hmm, eeeh... ya ke sana... ke...."
"Kenapa gugup? Kan cuma ditanya baik-baik ,begitu?
Memangnya aku menyeramkan bagi dirimu?"
"Hmm, nggak sih... tapi... hmmm."
"Namamu siapa?" sambil Rayo meliriknya penuh curiga.
"Namaku... namaku: Rency."
"Hmm, namamu bagus sekali, ya? Tinggalnya di mana?"
"Di.... di... nggak... nggak tahu," sambil ia geleng-geleng
kepala dalam kebingungan yang makin membuatnya sedih.
Sebelum ditanya lagi, Rency sudah menghamburkan tangisnya
sambil menutup wajah dengan kedua tangan dan sedikit
membungkuk. Rayo jadi grogi menghadapi gadis itu.
Bagaimana ia harus menenangkan dan membujuk tangisnya
agar berhenti, jika suasana mereka masih, kaku. Sama-samatak
berani menyentuh, dan sama-sama diliputi kebingungan.
"Wah, gawat nih?! Mesti bagaimana, ya? Tangisnya makin
keras dan meratap sedih sekali. Aduh, aku jadi nggak tega
mau membentaknya supaya diam. Lalu... lalu aku mesti
bagaimana menghadapi gadis ini?!" gerutu Rayo sambil tetap
menjalankan mobil pelan-pelan. Makin lama makin menepi.
Tapi selalu ragu untuk berhenti, karena sepanjang jalanan itu
tak ada satu pun mobil yang melintas di sana, bahkan
pengendara motor pun tak ada, pejalan kaki juga tak ada.
Mobil meluncur terus tanpa tujuan. Rayo sengaja
membiarkan tangis. Rency berderai terus. Pikirnya, kalau
sudah puas menangis pasti akan berhenti sendiri. Tapi mulut
Rayo tetap mengucapkan kata-kata yang bersifat menghibur
dan mengharap ketenangan gadis itu walau ia tahu bahwa
kata-katanya itu, tidak punya arti apa-apa bagi Rency.
"Sudahlah, jangan menangis terus begitu. Buat apa
menuruti kesedihan. Rugi sendiri. Kalau memang punya
masalah, coba curahkah saja apa adanya. Mungkin dengan
begitu bisa mengurangi beban kesedihanmu. Kalau kamu
nggak ngomong apa-apa, aku nggak bisa bantu kamu. Coba
tenangkan dulu hatimu. Atasi kesedihan itu dengan caramu
sendiri ... "

Dan entah apa saja, yang penting mulut Rayo tidak diam
saja. Setidaknya dia berharap kata-katanya itu sebagai tanda
bahwa ia tidak cuek dan bersikap masa bodo terhadap
kesedihan Rency. Ia juga tidak peduli kata-katanya itu akan
digubris atau tidak, yang penting ia biarkan gadis itu
mencurahkan duka dalam tangis yang sebenarnya sangat
menjengkelkan hati itu.
Tanpa disadari arah mobil mendekati pantai. Rayo merasa
lebih baik membawa gadis itu masuk Ancol, dan mereka bisa
bicara di pantai yang bersuasana tenang itu. Rayo mempunyai
alternatif yang tepat. Karena ketika mereka tiba di kawasan
pantai sunyi, tempat dua insan saling berkasihan dalam mobil,
tangis Rency itu telah mencapai titik kepuasan, walaupun
belum kepuasan yang sempurna. Gadis itu mengambil tissue
dari tas kecilnya mengeringkan air mata, menenangkan isak
yang tersisa. Rayo sengaja diam tanpa komentar apa-apa.
Menunggu saat yang tepat.
Setelah beberapa saat lamanya Rency terkulai dengan
kepala disandarkan pada kaca pintu sebelah kirinya, lamunan
dan renungannya sudah cukup dinikmati, maka Rayo pun
segera memberanikan diri untuk mengawali pembicaraan. Ia
sudah siap untuk tidak kecewa seandainya kata-katanya nanti
tak ditanggapi.
"Sudah puas tangismu?"
Rency bangkit dari sandarannya. Menarik napas panjang,
menyingkapkan rambut yang sempat bergerai ke depan
wajah. Rayo sengaja memandanginya karena ingin melihat
ekspresi gadis itu setelah puas menangis selama hampir satu
jam itu.
"Kenapa kau membawaku kemari?" tanyanya parau.
"Tempat ini tidak layak lagi buatku."
"Jadi, harus ke mana aku membawamu?"
"Kuburan."

Sirrrr...! Desir hati Rayo bersamaan dengan detak jantung
menyentak dan bulu kuduk berdiri merinding. Jawaban datar
tadi seakan mempunyai kekuatan magis membuat deburan
ombak pantai seolah-olah sempat berhenti sesaat. Namun
kecemasan itu berusaha ditekan kuat-kuat oleh Rayo dengan
tarikan napas panjang juga. Ia paksakan dirinya untuk tetap
tenang, bahkan sengaja tersenyum dengan tawa pendek yang
pelan sekali.
"Kenapa aku harus membawamu ke kuburan? Ke diskotik
kan lebih enak, ketimbang ke kuburan?"
"Karena aku memang sebaiknya mati. Sekarang juga aku
ingin mati. Tapi aku tak tahu harus bagaimana menemui
ajalku, sementara diriku disiksa Oleh ketakutan, kesedihan,
kebingungan dan kekecewaan yang amat besar."
"Persoalan apa yang membuatmu sampai begitu? Coba
ceritakan, mungkin aku bisa carikan solusinya, atau mungkin
aku punya saran bagus yang tidak terpikirkan olehmu. Ingat,
kamu sedang kalut..."
"Jangan sentuh aku!" tiba-tiba Rency menyentak tegang
sambil bergeser menjauhi Rayo yang bermaksud bicara lebih
dekat lagi untuk mempertegas kata-kata yang akan diucapkan.
Tapi sentakan itu justru membuat Rayo kaget dan menarik diri
dengan cepat. Ia menatap heran, tapi juga dengan hati kesal.
"Aku bukan cowok nakal Rency. Jangan salah sangka! Kau
sangat keliru kalau menilaiku sebagai cowok bertangan jahil!"
"Sorry, sorry...! " Rency serba salah. Mau menitikkan air
mata lagi, tapi buru-buru menarik napas dalam-dalam.
"Aku hanya tak ingin mencelakakan kamu," lanjut
Rency."Aku tak ingin membuatmu terluka atau-lebih parah
dari itu."
"Memangnya kenapa kamu punya kekhawatiran seperti
itu?"

Rency sulit menjawab, napasnya menyumbat tenggorokan,
isak tangisnya kian mengembang dalam dada. Penuh, dan
ingin meledak lagi. Tapi Rency menahannya kuat-kuat Seolaholah
ia sudah bosan dengan air matanya sendiri. Rayo
menunggu jawaban dengan menatapnya dengan heran lagi.
"Sebaiknya aku turun di sini saja," kata Rency sambil ingin
membuka pintu mobil. Tapi tangan Rayo buru-buru
menahannya.
"Tunggu dulu!"
"Awas ...!" Rency menghindari tangan Rayo dengan cepat.
Buru-buru Rayo tak jadi memegangnya, melainkan justru
menarik tangannya dengan cepat. Refleks sekali.
"Jangan turun di sini kalau di sini bukan tempatmu!" nada
suaranya mulai tinggi, melambangkan kejengkelan hatinya.
"Kau bisa dikira pelacur pantai dan diusir oleh mereka secara
kasar! Bisa-bisa kau diperkosa oleh preman-preman di Sekitar
sini, tahu?!"
Rency tak jadi turun. Ia menenangkan diri sesaat .
"Jujur saja deh, sebenarnya kau tinggal di mana? Aku
sanggup mengantarmu pulang, daripada melihat kamu yang
sedang stress berat begini jadi santapan laki-laki rakus!" Rayo
memang agak kasar, tapi ia tak peduli untuk sementara ini.
"Aku sudah nggak punya tempat tinggal lagi. Aku sudah
diusir oleh tanteku. Nggak ada rumah, nggak punya tempat
berteduh, dan... dan kurasa yang tepat adalah lembah
kematian bagiku,"
Sambil ia mengisak lagi dalam tangisnya. Dengan kesal
Rayo membiarkan, wajahnya cemberut, napasnya
dihempaskan lepas-lepas.
"Udah, kamu tidur di tempat kostku aja deh! Kita pulang!"
kata Rayo memutuskan langkahnya setelah memikirkannya
beberapa saat. Ketika itu tangis Rency sudah berhenti.

"Apakah kau bisa menolongku keluar dari masalah setan
ini?!"
"Nggak janji deh!" jawab Rayo agak ketus.
"Kalau kamu nggak bisa menolongku keluar dari masalah
setan ini, jangan membawaku pulang ke tempat kostmu!
Celaka kau nanti!"
"Memangnya kenapa?! Celaka karena, apa?! Masalah
setanmu itu yang bagaimana?! Jelaskan dong!" sambil mobil
mulai bergerak meninggalkan kawasan pantai.
"Aku sudah tercemar," kata Rency pelan sekali "Kau bisa
terbakar dan mati hangus kalau memegangku."
"Tercemar apaan?!"
"Kebiadaban seseorang!"
"Siapa orang yang biadab itu?"
"Manusia meteor!"
"Siapa ... ?!" Rayo menelengkan telinga, irngin mendengar
sekali lagi agar yakin betul bahwa ia tak salah dengar.
"Manusia meteor itulah yang biadab! Kejam Sekali!"
Rayo tidak terkejut Jawaban itu dianggapnya suatu hal
yang tidak serius. Sekadar ungkapan, kebencian kepada
seseorang, Pemuda itu tetap mengemudikan mobil dengan
tenang.
"Kalau aku nggak boleh pegang kamu, aku nggak akan
menyentuhmu sedikit pun. Lihat saja deh aku bukan cowok
jahil seperti dngaanmu, Rency."
"Aku serius. Bukan aku ingin menyindirmu begitu. Aku
benar-benar sudah terkontaminasi oleh racunnya manusia
Meteor!"
"Lucu sekali pengakuanmu itu. Boleh juga buat bahan
lawakan di panggung Srimulat," Rayo menanggapinya dengan
sinis.
"Tolong, percayalah dengan pengakuanku ini. Siapa pun
yang menyentuhku, kalau sampai aku bergairah atau yang
menyentuhku terangsang ingin bercumbu denganku, maka...
maka dia akan terbakar, atau setidaknya mengalami luka
bakar sangat berbahaya. Ini sudah terjadi dan dialami oleh
tiga orang lelaki. Itulah sebabnya aku diusir dari rumah
tanteku, karena... karena oomku sendiri hampir mati terbakar
karena dia menyentuhku dan terangsang ingin menikmati
tubuhku. Apalagi kalau aku yang terangsang, maka sentuhan
orang itu walau sedikit saja bisa menyebabkan ia menderita
luka bakar cukup serius, atau mati dalam keadaan hangus
tubuhnya!"
"Ah, masa bisa sampai begitu?!"
"Swear! Aku berani bersumpah. Karenanya, aku serba
bingung, tak tahu harus bagaimana dalam keadaan seperti
ini.. Aku takut menimbulkan korban lagi. Jadi, kumohon
jangan coba-coba menyentuhku dengan alasan apapun. Aku
takut kau terangsang atau aku yang terangsang. Kau bisa
menjadi korban luka bakar yang... yang entahlah, yang
keberapa kali sebenarnya. Aku tak ingat lagi!"
"Makanya kalau ngibul diingat-ingat skenarionya," sindir
Rayo.
"Tolong, percayalah...! Percayalah dengan pengakuanku
dan penjelasanku tadi demi keselamatanmu. Tolong,
percayalah.."
"Iya, iya... aku percaya!" sergah Rayo bernada kesal. Tapi
dalam hatinya sangat tak bisa mempercayai pengakuan Rency
tadi. Ia bahkan sempat menduga bahwa Rency adalah gadis
berusia sebaya dengannya tapi dalam, keadaan mengalami
gangguan jiwa alias gila. Hanya saja, Rayo tak tega untuk

membuang Rency di tengah jalan, atau menurunkan gadis
cantik bertubuh sintal itu di sembarang tempat. Pilihan
sementara dalam keadaan serba membingungkan dan
menjengkelkan itu hanyalah tempat kostnya yang tak pernah
mempedulikan tata susila para penghuninya, selama tidak
bikin heboh di tempat tersebut. Mau ganti-ganti pasangan tiap
malam, tak pernah ada yang menggubrisnya. Tak heran jika
beberapa di antara penghuni kost ada yang hidup dengan
pacarnya, tanpa surat nikah secuil pun.
Tempat kost itu adalah tempat kost elite. Selain bersih juga
tenang dan masing-masing, kamar dilengkapi dengan fas ilitas
yang cukup eksklusif. Rayo sengaja memilih tempat kost
mahal itu karena ia butuh kenyamanan dalam kebebasan
hidupnya, daripada harus tinggal bersama papa dan mama
tirinya, seperti kedua adik Rayo yang masih betah tinggal
bersama ibu tiri mereka..
Sayang kamar kost hanya memiliki satu springbed dengan
sofa sudut berukuran kecil, karena memang hanya terdiri dari
satu kamar saja. Ruangan lain yang ada di situ hanya kamar
mandi kecil, dan dapur sederhana yang tak boleh dipakai
untuk memasak. Rayo melapisi lantai kamarnya dengan karpet
tebal berbulu halus.
"Kau tidur di ranjang, biar aku tidur di lantai saja," katanya
sambil melepas kemeja yang dikenakan itu. Tak ada tempat
ganti yang lebih baik selain kamar mandi. Tapi untuk melepas
baju, Rayo merasa tidak perlu harus ke kamar mandi.
Namun mata gadis itu memandangi Rayo dari belakang.
Punggung Rayo yang kekar agak berotot itu diperhatikan sejak
tadi. Rayo mengetahuinya dari pantulan cermin.
"Coba dia kubuat terangsang, apa benar bisa
berbahaya?!"pikir Rayo dengan hati usilnya Kini ia sengaja
melepaskan celana panjangnya di depan almari, tanpa
penutup apapun. Gadis yang tadi sempat menanyakan nama

Rayo itu buru-buru mendesah sambil buang muka ke arah
pintu.
"Jangan melepas pakaianmu di depan mataku, Ray..."
Rayo justru mendekat. "Memangnya kenapa sih?" lagaknya
pilon.
Rency berusaha berpaling menghindari kekonyolan Rayo.
Gadis itu memejam mata, tangannya menggenggam kuat. Tak
peduli tangan itu masih memegangi sebungkus kertas tissue
yang baru mau dibuka penutupnya. Kertas tissue itu ikut
dicematnya kuat-kuat.
"Rency, kenapa kau ... ? Kenapa, Ren ...?!"
"'Jangan menyentuhku Aku.,aku mudah, terangsang,
Rayo!"
"Ah, omong kosong!" Rayo mendekat, sengaja
membisikkan suara supaya napasnya menghangat di sekitar
wajah Rency yang terus mundur menghindari sentuhan Rayo
dengan cemas sekali.
"Ray, jangan nekat kamu, Ray....!"
"Kalau kau tak membuka matamu, aku tak akan mundur,
tapi akan menciummu dengan hangat, nikmat, dan.., ooooh...
indah sekali..."
Rayo sengaja memancing desah dan kata-kata mesra.
Rency makin memejamkan mata kuat-kuat. Tangannya,
meremas tegang, menahan sesuatu yang tak ingin dilepaskan
begitu saja.Dan, tiba-tiba tercium bau hangus. Rayo terkejut.
Kertas tissue di tangan Rency telah terbakar. Ujung jarinya
membara seperti gumpalan lahar. Sekujur tubuh Rayo
merinding total ketika melihat mulut Rency yang mendesah
dengan bibir terperangah itu mengeluarkan asap. Bibir dan
lidahnya mulai kemerah-merahan, sementara giginya telah
berubah seperti besi-besi kecil yang terpanggang api pelebur
logam.

Juga daun telinga Rency ikut merah membara dan berasap
tipis. Tapi rambutnya tidak terbakar, melainkan seperti kabel
listrik yang terpanggang bara api besar. Merah samar-samar,
makin lama semakin besar dan merata.
"Celaka! Ooh, kenapa dia bisa benar-benar jadi begitu?!"
gerak ketakutan Rayo membuatnya panik. Celananya dipakai
lagi, tapi selalu salah masukkan kaki. Rayo jatuh dengan
kepanikan tertahan tanpa suara keras. Sementara itu Rency
mengerang lirih, berusaha menahan hasrat ingin
bercumbunya, hingga sebagian tubuhnya kini telah berubah
merah. Seperti terbuat dari besi yang akan dilebur dalam titik
bakar sangat tinggi. Pakaiannya ikut terbakar, sementara sofa
sudut yang diduduki pun mulai mengepulkan asap tanda akan
ikut terbakar.
"Rrrreeen... Reeenccyy ... ! Oooh, aaap... apa yang harus
kulakukan, Rencyyy ... !" geram suara Rayo yang gemetar dan
terengah-engah dengan menggigil. Sekujur tubuhnya basah
oleh peluh, karena kamar itu menjadi panas sekali. Pada saat
Rayo ingin keluar meninggalkan Rency sendirian, ia sempat
mendengar suara Rency yang masih seperti suara aslinya,
hanya agak serak sedikit.
"Jaauuhh...! Jaauuuhi...!"
"Ja.. jauh?! Apa maksudmu?!" Tapi karena tubuh Rency
semakin membara dan berasap, Rayo semakin dicekam
ketakutan dan kepanikan, maka tanpa menunggu penjelasan
Rency lagi ia pun segera keluar dari kamarnya. Para penghuni
kost eksekutif itu sudah tertidur semua. Atau mungkin ada
yang belum lelap, tapi tak sempat mendengar kegaduhan di
kamar Rayo. Pemuda itu dalam kebingungan melihat
kamarnya membara merah, kini asap putih kehitam-hitaman
membayang dari celah bawah pintu. Ia ingin teriak, tapi malu
dan takut dituding sebagai biang keributan yang menjadi
pantangan bagi para penghuni kost ia berusaha mengatasi
sendiri, tapi tak tahu harus bagaimana.

"Mampus gue kalau gini! Habis deh kamar gue terbakar!
Sebaiknya kubangunkan si Agam saja!"
Tapi sebelum Rayo pergi ke kamar Agam yang ada di ujung
sana, matanya sempat memperhatikan celah di bawah pintu.
Warna merahnya telah redup.
Bara api bagaikan mulai padam. Bau hangus masih
menyebar samar-samar lewat celah di bawah pintu itu. Rayo,
menunggu dengan gelisah. Beberapa saat kemudian nyala
bara merah telah padam. Lalu, bagaimana keadaan Rency di
kamar itu setelah nyala bara tampak padam? Rayo ragu-ragu
mendekati kamarnya. Ia masih menggigil ketakutan dengan
wajah pucat pasi.

2
MOBIL kuning menyala dengan lambang BMW di bagian
depan dan belakang itu meluncur tenang dijalan tol. Sopirnya
seorang pemuda dengan ketampanan pas-pasan, berpakaian
rapi, rambutnya sedikit lebat karena telat cukur. Dilihat dari
penampilannya yang cukup keren itu jarang ada yang
menyangka bahwa dia adalah seorang sopir yang tiap
bulannya terima gaji dari profesinya itu. Banyak orang
menyangka, BMW keren itu miliknya sendiri. Tapi setelah
orang itu tahu bahwa ternyata BMW itu milik si anak bidadari
yang aslinya bernama Dewi Ular, tapi populer di masyarakat
bumi sebagai Kumala Dewi, maka luntur sudah kegagahan
sang sopir keren: Sandhi.
Jabatan resmi sesuai SK (Surat Kekeluargaan) memang
sopirnya Kumala Tapi jabatan tak resminya yang sudah mulai
diketahui orang banyak adalah asistennya Kumala untuk
urusan non-mistik. Sepintas kilas jika melihat caranya bicara
atau bercanda dengan Kumala, orang akan menyangkanya

sebagai kakak atau sepupunya Kumala. Padahal keakraban
dan kedekatan hubungan itu sengaja diciptakan oleh Dewi
Ular, sebab baginya Sandhi bukan lagi sopir upahan,
melainkan sudah dianggap seperti keluarga sendiri.
Karenanya, tak ada rasa keberatan bagi gadis cantik
berlesung pipit itu untuk duduk di samping kiri sang sopir.
Padahal semestinya ia duduk di belakang dengan anggun dan
berwibawa, sebab dia adalah bossnya Sandhi. Kumala tak
pernah merasa begitu, maka duduk di depan atau di belakang
baginya sama saja. Sandhi pun tak pernah memasalahkan.
Bahkan ia sering tampak ngobrol atau berdebat cukup seru
dengan majikan cantiknya itu dalam keadaan tetap
mengemudikan BMW kuning menyala itu.
Sore itu, menjelang petang, Kumala Dewi duduk di depan
dengan sedikit merebah. Ia menerima telepon melalui HP-hya,
sehingga tidak bisa ngobrol dengan sang sopir. Kesempatan
itu digunakan oleh Sandhi, yang memang punya mata genit,
untuk melirik seorang gadis di dalam Corolla silver yang kini
ada di depannya. Kadang mobil itu sejajar dengan BMW-nya
Kumala, dan Sandhi mengerlingkan mata ganjannya, lalu gadis
yang duduk di jok belakang untuk mereposisikan diri sebagai
boss dari sopirnya yang agak tua itu, hanya melengos ke
kanan. Tak mau memandangi Sandhi lagi. Lalu Sandhi
mereposisikan mobilnya di sebelah kanan Corolla itu,
mengerlingkan mata lagi dengan senyum nakal. Gadis
berwajah ayu itu melengos lagi ke arah kiri. Begitu terus sejak
Kumala bicara melalui handphone. Sandhi menggoda gadis
cantik bermata bundar tapi berbibir sexy itu. Ia memang
tampak seperti gadis karir, atau setidaknya putri pengusaha
kaya.
Pada satu kesempatan, ketika Corolla silver itu ada di
samping kanan Sandhi, wajah gadis itu tepat memandang ke
kiri. Matanya beradu dengan tatapan mata Sandhi. Lalu
tangan Sandhi melambai kecil dengan senyum keramahan.

Tapi gadis itu justru mencibir, melengos sebentar, dan kembali
melirik Sandhi lagi. Lagak sopir muda itu makin konyol,
memberikan kissby kepada gadis bermata bundar bening itu.
Lalu nyengir seenaknya. Geli sendiri.
Eh, gadis itu menurunkan kaca pintu sebelah kiri, walau tak
seluruh kaca diturunkan. Tapi Sandhi juga buru-buru
menurunkan kaca sisi kanan. Dan saat itu gadis berhidung
mancung ramping itu berseru dengan nada kesal.
"Gila luh! Pikirin binih luh tuh!" Lalu, buru-buru kacanya
dinaikkan kembali. Sandhi sempat membalas seruah tersebut
sebelum kaca di sana tertutup rapat.
"Dia bukan bini gue! Dia boss gue!"
Kumala sadar apa yang dilakukan sopirnya, la menghardik
pelan sambil menjauhkan HP-nya dari mulut.
"Eh, eh...! Kok jadi urakan begitu sih kamu, San?!"
Sandhi nyengir malu. Kaca ditutup rapat kembali. Corolla
silver dibiarkan meluncur menduluinya. Kumala pun kembali
bicara dengan peneleponnya. Sebentar kemudian,
pembicaraan itu pun selesai.Barulah ia melanjutkan
tegurannya tadi tanpa ekspresi marah, melainkan tetap tenang
dan cenderung cuek.
"Memangnya siapa cewek itu tadi? Temanmu, ya San?"
"Ya, teman."
"Kamu kenal sama dia?"
"Nggak tuh," jawabnya polos sambil Menggeleng, lalu
tertawa sendiri. Kumala Dewi menahan rasa kesal, menarik
napas tanpa tawa sedikit pun. Datar-datar saja. Tapi gerutu
kecilnya terdengar famifiar sekali.
"Jadi cowok itu jangan mudah terpikat sama kecantikan
seorang gadis. Sebab yang cantik itu belum tentu emas, dan
yang jelek itu belum tentu perunggu. Jangan setiap ada wajah

cantik langsung kau gandrung. Repot sendiri kau nanti kalau
sudah kena, batunya."
"Ah, itu tadi cuma iseng kok."
"Berawal dari keisengan, akhirnya jadi keseringan, dan
ujung-ujungnya jadi keliyengan tuh!"
Sandhi tertawa geli. Kata-kata itu sepertinya diucapkan
dengan malas-malasan, tapi ternyata punya bobot canda
cukup lumayan. Kumala, tak jadi meneruskan kata-katanya,
karena harus menyambut dering handphonenya lagi. Tanpa
melihat dulu siapa pemilik nomor telepon yang muncul pada
displaynya, Kumala langsung menyapanya dengan nada
ramah dan lembut
"Hallo, selamat sore!"
"Hallo, apa.. benar saya bicara dengan Nona Kumala
Dewi?"
Dewi Ular menatap Saridhi dengan sedikit berkerut dahi. Ia
memberitahukan tentang suara penelepon yang masih asing
baginya. Sandhi pun secara otomatis siap-siap menyimak apa
yang akan dibicarakan oleh majikan cantiknya itu. Sebab,
ekspresi yang ditampilkan Kumala sangat dipahami Sandhi,
bahwa saat itu Kumala mengalami sesuatu yang agak aneh
dan butuh perhatian Sandhi.
"Anda memsng sedang bicara dengan Kumala Dewi."
"O, syukurlah kalau saya tidak salah nomor."
"Agaknya kita baru kali ini bicara melalui telepon, ya?"
"Ya, benar. Memang baru sekarang saya dapatkan nomor
HP Anda."
"Dari s iapa Anda dapatkan nomor HP saya ini?"
"Seorang teman. Tapi maaf, dia berpesan agar saya tak
boleh menyebutkan namanya kepada Anda "

"0, begitu? Apa alasan dia melarang Anda menyebutkan
namanya?"
"Sangat pribadi, hanya itu jawabnya."
"Hmmm, kalau begitu saya boleh tahu dong siapa Anda?"
"Moonru. Lengkapnya... Christian Moonru!"
"Christian Moonru ... ?!" gumam Kumala seperti menyuruh
Sandhi mengingat-ingat nama itu. Dalam harinya, Sandhi pun
menggumamkan nama itu dua kali dengan nada bertanyatanya,
siapa Moonru itu. Seingatnya, Kumala tak punya relasi
atau klien yang bernama Christian Moonru.
Kumala bertanya lagi dengan, memejamkan matanya,
"Jadi, saya. harus memanggil Anda apa? Nyonya, Tante, Zus,
atau n..."
"Moonru saja, "jawab suara .serak-serak basah itu.
" Okey, Moonru... sebagai tanda perkenalan kita, apa yang
bisa saya bantu untukmu, Moonru?"
"Saya dalam kesulitan misterius, Kumala," kata wanita
penelepon itu dengan suara mulai bernada sedih. Dalam
memejamkan matanya, Kumala semakin berkerut dahi.
Sepertinya kekuatan indera keenam sedang meluncur secepat
kilat mencari tahu siapa wanita yang bernama Christian
Moonru itu. Akhirnya ia temukan bayangan gaib si pemilik
nama itu. Lega hati Kumala, namun segera merasa heran
dengan penglihatan supranaturanya itu.
"Bisa kamu jelaskan lebih rinci lagi,. Moonru?"
"Saya... saya ingin mati tanpa bunuh diri. Dapatkah...
dapatkah kamu melenyapkan nyawa saya tanpa terasa sakit,
Kumala?"
"Moonru ... ? Tenang... jangan hanyut dalam kesedihanmu.
Tenang, Moonru.... Tolong sebutkan alamat lengkap tempat

tinggalmu yang sekarang ini. Posisimu ada di mana? Aku akan
datang secepatnya, Moonru...!"
Bujukan itu bernada lebih lembut lagi. Lebih mengena di
hati peneleponnya, karena Dewi Ular bukan hanya sekadar
bersuara saja. Ia mengalirkan getaran supranaturalnya melalui
suara tersebut. Getaran itu berguna untuk menenangkan
kegundahan hati dan guncangan jiwa orang yang
mendengarnya. Nada suara seperti itu sangat dipahami oleh
Sandhi, sehingga ia tahu bahwa orang yang menelepon
Kumala itu pasti sedang sedih dan menangis.
"San, kurangi kecepatan," perintahnya pelan sambil
matanya memandang lurus ke depan. Menerawang jauh.
Handphonenya diletakkan kembali pada tempatnya yang
selalu menempel dashboard. Tanpa perintah dua kali Sandhi
sudah mengurangi kecepatan mobil dengan mengambil jalur
kiri.
"Apa yang kau lihat, Kumala?" tanya Sandhi hati-hati sekali.
Dengan tetap menerawang tanpa berkedip gadis itu
menjelaskan penglihatan mata dewanya tentang seorang
gadis sekitar 27 tahun yang bernama Christian Moonru.
"Dia berambut panjang hitam bergelombang. Bagus sekali.
Dia punya wajah cantik sepertinya keturunan blaster bule
dengan pribumi. Kulitnya putih, mulus, tanpa satu pun tahi
lalat yang ia miliki. Badannya sekal, tapi bukan gemuk. Juga
nggak kurus. Tingginya sama denganku. Punggungnya agak
lebar. Mungkin hobby berenang. Hidungnya mancung,
matanya indah berkilauan dengan warna manik mata kecoklatcoklatan."
"Belum pernah kau kenal?"
"Belum," jawabnya masih dengan mata memandang dalam
terawang. "Dia sedang bersedih, dan jiwanya sangat
terguncang oleh sesuatu yang tak sanggup ia katakan tadi. Ia

punya keinginan kuat untuk mati tanpa melalui rasa sakit
sedikit pun."
"Ada di mana dia sekarang?"
"Dia nggak bisa jelaskan karena tangis dukanya begitu
besar. Agaknya dia sudah berduka sejak sekian hari yang lalu.
Kini, Moonru berada di sebuah kamar... hmm, sepertinya
kamar tidur atau... atau..... Oh, dia keluar ke balkon. Berarti
dia berada di ketinggian yang... woow... ?! Tinggi sekali,"
"Di sebuah hotel, maksudmu?" Nada tegang Kumala makin
bertambah, tapi matanya tetap datar, lurus, seperti orang buta
yang bisa melek tapi tak bisa melihat apa-apa. Kalau saja
Dewi Ular tidak menggunakan mata gaibnya, ia tak dapat
melihat posisi gadis itu sedang di sebuah balkon dalam
ketinggian yang mengerikan.
"'Sepertinya memang dia berada di sebuah hotel, San, Oh,
dia berdiri di balkon kamar yang ada pada... lantai 21. Hmmm,
hotel apa itu yang punya lantai lebih dari dua puluh satu
jumlahnya?"
"Warna dominan hotel itu?"
"Warna hijau muda."
"Hijau muda? Lebih dari 21 lantai?" gumam Sandhi.
"Hmmm, nggak salah lagi, pasti Finance Hotel!" tegas Sandhi
penuh keyakinan.
"Cepat arahkan, ke sana. Gadis itu benar-benar ingin
lakukan bunuh diri, melompat dari ketinggian seperti itu!"
"Agak jauh dari tempat kita ini, Kumala!"
"Lakukan saja yang tercepat. Aku akan menahannya dari
sini!" sambil Kumala memejamkan mata, berkerut-dahi,
duduknya lebih direbahkan, seperti mau tidur. Sementara itu,
Sandhi segera tancap gas setelah posisi arah mobil berbalik
dengan yang tadi.

"Cepat, San ... ! Dia sudah tak mampu bertahan. Harapan
untuk hidup semakin terkikis habis! Ooh, dia mulai memanjat
pagar balkon untuk lakukan lompatan?!" nada suara Kumala
semakin tegang.
"Tahan terus dari sini apa nggak bisa?!"
"Sedang kulakukan!" jawabnya dengan nada rendah sekali.
Langit semakin gelap, karena petang mulai datang. Dewi
Ular tetap setengah berbaring dengan mata terpejam dan dahi
berkerut. Keringatnya mulai membersit di kening, walaupun
hanya sejuk AC mobil menghembus dari depannya. Sandhi
sedang berusaha mencari jalan tercepat untuk mencapai
Finance Hotel. Tapi yang ia dapatkan justru terjebak macet di
ruas jalur cepat.
"Susul aku di sana!" kata Kumala tanpa membuka mata.
Sandhi baru mau menanyakan nomor kamar hotel yang
digunakan Moonru, tapi Dewi Ular sudah berubah menjadi
cahaya hijau. Claaap...! Cahaya hijau berbentuk naga kecil itu
melesat menembus atap mobil tanpa suara tanpa getaran
sedikit pun. Gerakan cahaya itu menyerupai kilatan petir ganas
yang tahu-tahu menerjang perut gadis berkulit putih dan
berambut meriap indah itu. Deebb ...
"Ahhk ... !" Gadis itu merasa seperti diterjang seekor babi
hutan, la terhempas ke belakang, terpental hingga jatuh di
lantai bawah kaki bufet. Buhkk ... ! Ia mengerang sebentar,
menggeliat, kemudian terhempas lemas tanpa bergerak lagi.
Pingsan.
Cahaya hijau berbentuk seekor naga kecil jadi menggumpal
dalam waktu singkat, dan sekejap saja sudah berubah menjadi
sesosok gadis cantik berbusana formil, stelan jas dan span
warna lembut. Gadis itu tak lain adalah sosok Dewi Ular yang
tadi menggunakan kesaktiannya karena sudah sangat terdesak
waktu.

Kumala tidak langsung melakukan tindakan apa-apa. Ia
masih berlutut dengan satu kaki. Badannya sedikit
membungkuk dan matanya terpejam kuat-kuat, seperti
sedang menahan sesuatu yang terasa sakit baginya.
Beberapa waktu kemudian Sandhi baru tiba di lobby hotel,
la menanyakan kamar yang dipakai Christian Moonru.
Resepsionis memberitahukan bahwa baru saja ada pesan
untuk Sandhi dari Christian Moonru agar Sandhi lekas-lekas
menujuke lantai dua puluh satu, room 2122. Maka Sandhi pun
segera meluncur naik menggunakan lift kapsul yang dapat
tembus pandang ke mana-mana itu.
"Tok, tok, tok...!"
Sandhi mengetuk pintu kamar berangka 2122 dengan agak
keras, karena unsur ketegangan masih mendebarkan hatinya.
Handel pintu itu berputar pelan. Klik... ! Sandhi tak sampai
mendorongnya tapi pintu sudah terbuka sendiri.
Padahal waktu itu Kumala ada di atas sofa panjang,
berbaring meluruskan kakinya dengan kepala diletakkan di
atas tangan sofa. Berarti kekuatan energi gaib Dewi Ular itulah
yang tadi membukakan pintu dari jarak jauh dengan melalui
pandangan matanya.
"Kumala...?! Kenapa kamu?!" Sandhi sangat terkejut
melihat Dewi Ular mengalami luka, seperti luka bakar. Pipi
kanannya menjadi merah seperti habis disetrika, tangan
kanannya juga melepuh seperti habis terbakar, dan jasnya
menjadi hangus di bagian pundak dan lengan. Sandhi yakin,
penyebabnya pasti hawa panas yang cukup tinggi.
"Apa yang terjadi, Kumala?!" desak Sandhi dalam
kecemasannya, la memandangi seorang gadis yang masih
terpuruk di lantai, tak sadar diri. Ia yakin, gadis itulah
Christian Moonru, karena ciri-cirinya sama dengan yang
disebutkan Kumala dalam mobil tadi.
"Diakah yang bernama Moonru?"

"Ya, memang dia," jawab Kumala pelan. Sandhi mendekati,
tapi Kumala mencegahnya dengan sentakan kecil dan segera
bangkit.
"Jangan sentuh dia!"
Sandhi kaget, segera mundur dengan tegang kebingungan.
Kumala Dewi masih mengerahkan tenaga saktinya. Cukup
dengan menudingkan jari telunjuknya yang kanan, Moonru
bergerak sendiri. Mengambang di udara dalam keadaan
terkulai lemas, lalu tubuh itu bergerak pelan-pelan mengikuti
gerakan jari tangan Dewi Ular. Keadaan gadis itu masih tetap
pingsan ketika sudah dibaringkan di atas ranjang oleh Dewi
Ular menggunakan kekuatan gaibnya.
"Sekalipun dia pingsan, tapi syaraf kemesraannya tetap
bekerja," kata Kumala pelan dalam keadaan duduk di sofa itu.
"Kenapa tak boleh kusentuh?''
"Syaraf kemesraannya super-tajam. Peka sekali, la dapat
terbakar gairah kemesraannya dengan sentuhan seorang
lelaki, atau hal-hal yang dapat menimbulkan rangsangan
baginya."
"Meskipun dia pingsan?!''
"Meskipun pingsan!" tegas Kumala membenarkan ucapan
Sandhi.
"Aneh... ?!" desis Sandhi sambil memandang gadis itu lagi.
"Apabila dia terangsang, energi panasnya membara dan
cepat menjadi besar, marnpu menghanguskan kulitmu. Seperti
yang kualami ini."
"Jadi, kau...?"
"Kuterjang dia saat mau melompat dari balkon. Aku tak
sempat menahan diri, karena tak kusangka-sangka dia
memiliki energi panas setinggi baja meleleh. Maka, beginilah
akibatnya. Hampir hangus tubuhku akibat menerjangnya tadi."

"Oh, kau... kau ... ?" Sandhi cemas sekali. Tapi tak tahu
apa yang harus dilakukan. "Lalu, bagaimana dengan lukamu
ini, Mala?"
"Bisa kuatasi sesaat lagi, setelah kekuatanku terkumpul
kembali. Energi panas itu bukan hanya membakar fisikku, tapi
juga menghisap tenagaku. Hampir saja tadi aku tak bisa
mengangkat telepon untuk memberitahukan kepada
resepsionis agar kamu segera kemari."
Kumala Dewi menarik napas dalam-dalam. Ia memang
seperti kehabisan tenaga yang amat melelahkan sekali. Sandhi
hanya bisa menarik napas juga, prihatin melihat majikan
cantiknya mengalami luka bakar seperti itu.
"Perlu kuhubungi si Buron?" tanya Sandhi.
"Nggak usah," jawabnya lirih. "Akan kuperintahkan dia dari
sini agar pergi menemui Rayo, menggantikan posisiku dulu."
"Apakah dia mampu menangani gadis yang ditemukan
Rayo itu."
"Setidaknya menjaga agar Reney tidak keluar dari
tempatnya."
Maka jalur gaibnya segera digunakan. Dewi Ular
mengirimkan suara gaib kepada pemuda berambut kucai yang
menjadi as istennya untuk urusan hal-hal berbau mistik. Buron
memang mampu menangani tugas-tugas yang berkaitan
dengan kekuatan gaib, karena ia adalah jelmaan dari Jin
Layon. Keahlian sosok wujudnya sebagai jin hanya akan
digunakan jika ia harus bertarung dengan lawan yang punya
kesaktian sama, atau jika keadaan memang sangat memaksa.
Tapi jelmaan Jin Layon yang sering dijuluki sebagai "jin usil'
itu, kadang-kadang memang kambuh kekonyolannya.
Terutama jika tidak di depan Kumala. la senang menggoda
tamu yang baru pertama kali datang ke rumah Dewi Ular,
menakut-nakuti dan bikin sensasi yang membuat pucat wajah

sang tarnu. Kadang ia sengaja menampakkan wujud jin
aslinya yang tinggi, besar dan hitam itu, sehingga sangat
menakutkan manusia biasa. Bahkan ada yang pernah
terkencing-kencing di tempat menahan rasa takut begitu
besarnya. Jika sudah demikian Buron menjelma sebagai
pemuda berambut kucai lagi sambil cekikikan, geli dan puas
bisa ngerjain tamu dengan keusilannya.
Tapi pada saat Kumala mengirimkan suara gaibnya, tamu
yang datang ke rumah tersebut tidak bisa dikerjain Buron
tamu itu adalah seorang wanita cantik, janda kaya berkulit
kuning langsat. Perempuan pewaris kekayaan ayahnya itu tak
lain adalah kekasih Buron sendiri; Shayu Handayani.
Perempuan berusia 28 tahun yang tubuhnya sangat sexy dan
menggairahkan sekali itu pernah diselamatkan oleh Buron dari
gangguan gaib tingkat tinggi, sehingga mereka pun akhirnya
saling jatuh cinta. Tapi untuk menentukan apakah Buron boleh
mengawini Shayu, ia harus menunggu keputusan dari ibunya:
jin perempuan yang bernama Nini Ganjarlangu, (Baca serial
Dewi Ular dalam episode: KORBAN KUTUKAN).
Kedatangan Shayu petang itu bukan untuk melepas rindu
kepada Buron, juga bukan untuk mendesak perkawinannya
dengan pemuda berambut kucai itu, melainkan karena ada
satu keperluan yang sangat urgen, di mana seharusnya yang
ingin ia temui adalah si Dewi Ular. Bukan si jin usil itu.
"Apakah nggak bisa dibicarakan denganku, kok sampai
harus menunggu Kumala pulang?"
"Pada akhirnya nanti akan kubicarakan juga padamu. Tapi
sebagai langkah awal, harus kubicarakan empat mata dulu
dengan Kumala Dewi."
"Begitukah?"
Shayu mengangguk. Tangannya mengusap-usap lengan
Buron.

"Kamu jangan tersinggung," Shayu bicara pelan. Romantis
sekali kesannya. Apalagi mereka duduk di bangku bawah
pohon yang tumbuh di depan serambi samping, rasa-rasanya
dunia menjadi milik mereka berdua. Yang lain anggap saja
indekost.
"Percayalah, Buron... apa yang ingin kubicarakan dengan
Kumala itu nanti adalah urusan wanita. Setelah itu baru lelaki
boleh ikut campur dalam urusan tersebut. Jadi bukan karena
aku menyepelekan kesaktianmu. Bukan. Bagiku kamu sangat
sakti. Lebih sakti dari siapa pun."
"Pasti kamu menyukai pusakaku, kan?"
Shayu tertawa kecil. Ia biarkan pipinya jadi sasaran ciuman
Buron. Tapi dalam hatinya Buron ingin tahu sekali, apa
persoalan yang akan dibicarakan Shayu kepada Kumala nanti.
Sepertinya harus dirahasiakan dulu, dan hal itu mencurigakan
bagi Buron. Memancing rasa ingin tahunya lebih besar lagi.
Maka diam-diam dengan kesaktiannya yang tak kentara,
Buron memasuki relung hati Shayu.
Hawa gaib jin meresap lewat pori-pori kulit yang saling
bersentuhan itu. Sekalipun sikap Buron tenang, murah
senyum, sering menatap romantis, tapi sesungguhnya, ia
sedang menyusuri relung hati Shayu dan bertanya pada jati
diri perempuan itu. Maka terjadilah percakapan batin yang tak
disadari oleh Shayu, tapi sangat terkontrol betul oleh batin
Buron. Percakapan jati diri itu biasanya tidak akan pemah-bjsa
berbohong.
"Mengapa persoalanmu harus kamu bicarakan dulu dengan
Kumala? Mengapa tidak langsung pada diriku, hei jabang
bayinya Shayu?"
Sangjati diri pun menjawab, "Aku butuh pertimbangan dari
Kumala, apakah masalah ini perlu kubicarakan padamu atau
tidak. Dan kalau toh perlu kubicarakan sejujurnya padamu,

bagaimana caraku mengawalinya? Aku berharap Kumala Dewi
bisa memberiku petunjuk untuk masalah ini."
"Apa masalah sebenarnya? Bicaralah padaku, Shayu
pribadi!"
"Apakah nantinya kamu tidak akan lari dariku, Layon?"
"Tidak, Shayu. Apapun masalahnya aku tidak akan pergi
darimu. Apakah kau masih sangsi dengan kesungguhan hatiku
padamu?"
"Ya, aku masih sangsi. Karena kalau kamu pergi dariku dan
masuk ke duniamu, yaitu dunia kehidupan bangsa jin, maka
aku tak akan bisa mengejarmu. Kamu bisa berlaku curang
begitu, Layon."
"Percayalah, sampai kapan pun aku tetap ingin berdekatan
denganmu, sekalipun kita sebenarnya berbeda zat kehidupan."
Jati diri Shayu tampak tersenyum anggun di mata gaib
Buron.
"Nah, sekarang katakan persoalanmu itu sebenarnya,
Shayu."
"Layon; sebenarnya saat ini aku... aku sedang hamil tiga
bulan!"
"Hahh ...?!"jati diri Layon terkejut, mulai kebingungan.
"Sudah lama ingin kukatakan padamu, tapi aku takut kamu
tak bisa menerima kenyataan ini. Sampai akhirnya usia
kandunganku sudah tiga bulan. Aku tak tahu apakah kamu
mau bertanggung jawab atas kehamilanku ini atau tidak.
Seandainya kau tidak menginginkannya, lalu harus bagaimana
cara menggugurkan kandungan ini, sebab sudah berkali-kali
kucoba, tapi tak pernah berhasil. Aku juga tak tahu,
bagaimana jadinya bayiku nanti jika ia telah lahir. Sebagai
bangsa jin atau sebagai manusia seperti diriku. Aku bingung
sekali menghadapi masalah ini, Layon."

"Hamil...?!" gumam jati diri Jin Layon sambil masih
terperangah tegang. Ketegangan itu timbul karena jati diri Jin
Layon sangat takut jika kasus itu didengar oleh ibunya: Nini
Ganjalangu. Sebab, sang ibu belum tentu menyetujui anaknya
menikah dengan bangsa manusia. Dan jika larangan itu tetap
nekat dilanggar oleh Layon, bisa-bisa jin perempuan yang
ganas itu akan memakan habis bayi dalam kandungan Shayu.
Kini Buron tak tahu apa yang harus ia lakukan menghadapi
kenyataan itu. Belum sempat ia kendurkan ketegangan
batinnya, tahu-tahu Kumala Dewi mengirimkan suara dari
jarak jauh, memberi perintah yang harus segera dikerjakan
Buron. Makin bingung lagi pemuda jelmaan Jin Layon itu.

3
DUGAAN Kumala Dewi memang benar. Moonru memang
berdarah indo; mamanya asli kelahiran Arizona, negara bagian
Amerika. Moonru sendiri dilahirkan di Phoenix, ibukotanya
Arizona. Tapi pada usia 5 tahun papa dan mamanya bercerai.
Papanya yang asli orang Denpasar itu pulang ke Bali
membawa seorang anak, yaitu Moonru. Sementara kakaknya
Moonru, Clief, tetap tinggal bersama mamanya di Arizona
Sejak itu mereka tak pernah saling jumpa lagi.
Setelah papanya meninggal, Moonru tak mau ikut ibu
tirinya. Ia hidup bersama oomnya yang menjadi dokter di
Jakarta. Merasa mulai bisa mandiri, Moonru pun memisahkan
diri dari keluarga oomnya. Kost bersama teman dekatnya;
Jenita. Mereka berdua bekerja di sebuah perusahaan yang
bergerak di bidang penerbangan dan pelayaran internasional
maupun domestik.
"Dewi Ular mengetahui identitas dan kehidupan Moonru
setelah ia pulihkan kembali kesadaran gadis itu. Tentu saja

sebelumnya luka bakar yang dideritanya harus ia sembuhkan
dulu dengan mengerahkan hawa sakti kedewaannya. Hawa
sakti kedewaan itu dapat membuat luka tersebut seperti
bensin menghirup udara. Kering dan hilang tanpa bekas.
Wajah cantiknya menjadi mulus kembali.
Moonru terkejut ketika siuman dari pingsannya. Ia tidak
merasakan sakit apapun pada tubuhnya. Yang ia rasakan
hanya ketenangan batin dan kesegaran fisik. Tapi ia sempat
ingat bahwa sebelum kesadarannya terputus tadi, ia merasa
seperti ditendang sesuatu yang sangat besar dan berat.
Membuatnya sulit bernapas. Kumala menjelaskan bahwa itu
tadi adalah tindakannya demi menyelamatkan nyawa Moonru.
Tentu saja Moonru bukan merasa benci atau sakit hati,
melainkan justru merasa bersyukur karena ternyata malam itu
ia bisa bertemu muka dengan Kumala Dewi.
"Sudah sejak dua malam yang lalu aku ingin
menghubungimu, Kumala. Tapi ide itu tak pernah terlaksana,
karena aku tidak memiliki alamat dan nomor teleponmu. Baru
tadi s iang aku mendapatkan nomor HP~mu, sehingga aku bisa
menghubungimu. Namun ... menurutku itu sudah terlambat,
jadi keputusanku untuk ambil jalan pintas pun sulit ditolak
lagi..."
"Dari siapa kau mengetahui nomor HP-ku, Moonru?" tanya
Kumala sambil matanya menatap Moonru tanpa berkedip. Saat
itu pandangan mata Dewi Ular mengandung getaran
gelombang gaib yang berfungsi memaksa hati kecil Moonru
untuk bicara apa adanya. Dan ternyata mulut Moonru pun
tiba-tiba bergerak sendiri di luar keinginan otaknya.
"Kudapatkan nomor HP-mu dari... Richo."
"Richo ... ?!" Sandhi yang menyahut dengan nada heran.
Kumala Dewi diam saja, menarik napas dalam-dalam. Tetap
tenang, tanpa rasa heran atau ekspresi kaget seperti yang
dilakukan Sandhi. Padahal hati Kumala, saat itu berdesir
mendengar nama bakas pacarnya disebutkan Moonru. Padahal

selama ini ia nyaris lupa dengan kekasih pertamanya itu; Richo
Renalwan, (Baba serial Dewi Ular dalam episode: "BANGKIT
DARI KUBUR").
"Di mana kau ketemu Richo?" tanya Sandhi ingin mendekati
Moonru yang duduk di tepian ranjang, tapi tangan Kumala
segera menahan pundak Sandhi, sehingga Sandhi ingat bahwa
gadis itu belum boleh disentuh oleh pria mana pun, karena
pengaruh mistik yang membangkitkan daya rangsangnya
secara tajam itu belum hilang dari dirinya.
"Aku bertemu Richo tadi siang. Kami memang pernah
dekat, sekitar empat bulan yang lalu. Tapi hanya dua bulan
kami saling mengisi kesepian pribadi, setelah itu pisah secara
baik-baik. Karena dulu dia pernah bilang, bahwa dia pernah
punya pacar paranormal cantik, yaitu Kumala Dewi, dan aku
pernah dengar kehebatan Kumala Dewi .... " pandangan
Moonru pindah dari Sandhi ke Kumala Dewi. la pun
melanjutkan ucapannya itu. " maka kucoba meminta nomor
teleponmu dengan sedikit memaksa. Dia memberiku dua
nomor telepon genggam, yang satu nomor HP-mu yang lama,
satu lagi yang baru. Ia dapatkan nomor HP-mu yang baru dari
seorang teman wartawannya. Ternyata waktu kucoba yang
baru, langsung nyambung seperti tadi."
Desir hati Kumala ditenggelamkan dalam napasnya. Ada
sekilas keharuan ketika tahu bahwa ternyata Richo masih
berusaha mempunyai nomor teleponnya. Itu menandakan
bahwa Richo sebenarnya tak bisa lupa sama sekali tentang
kenangan manis yang pernah dilewati bersamanya. Renungan
itu makin mengiris hati rasanya, Kumala pun buru-buru
melupakan dan tak ingin membahasnya lagi.
Tapi Sandhi masih ingin bertanya kepada Moonru tentang
pria ganteng itu. "Jadi, kamu dan Richo pernah..."
"Cukup, San!" potong Kumala dengan kalem, tapi bernada
tegas. Sandhi tak berani melanjutkannya Ia justru menyingkir
agak jauh, karena khawatir dirinya dapat membangkitkan

gairah Moonru jika gadis itu terlalu lama memandanginya,
atau bahkan berkhayal tentang cumbuan dan kehangatan
bersamanya. Hal itu sangat membahayakan bagi Moonru.
Sebab,sebelum itu Moonru tadi sempat memberikan
penjelasan dan pengakuan mengenai kelainan sistem kerja
libidonya. Sama yang terteropong oleh getaran gaib kedewaan
Kumala Dewi, bahwa Moonru memiliki daya rangsang yang
luar biasa sensitifnya. Jika ia bergairah, merasakan debardebar
keinginan untuk bercumbu, maka dari dalam dirinya
akan keluar energi panas yang berlebihan dan berbahaya bagi
pihak lain. Itulah sebabnya Kumala melarang Sandhi berada
dekat dengan Moonru.
"Kenapa tak kau lumpuhkan saja pengaruh gaib itu?'' bisik
Sandhi kepada Kumala. Gadis itu pun tadi menjawab' dengan
bisikan.
"Aku baru memulihkan kesehatannya atas terjanganku tadi.
Tapi pengaruh gaib yang menguasai dirinya masih belum
berhasil kulumpuhkan. Agaknya sangat kuat gaib itu, dan
perlu kupelajari di mana titik kelemahannya dan dari mana
asal kekuatan gaib itu."
Maka, pada kesempatan yang sudah semakin tampak akrab
itu, Kumala pun menanyakan sekali lagi, dari mana asalnya
kekuatan gaib yang bereaksi itu dalam jiwa raga Moonru itu.
Jawabannya tetap sama seperti yang tadi sudah dikatakan
Moonru.
"Aku sendiri nggak tahu dari mana asalnya dan mengapa
aku jadi seperti ini."
Namun pandangan mata Dewi Ular kembali mengirimkan
gelombang energi gaib untuk membuat hati kecil Moonru
bicara apa adanya. Maka. sekali lagi Moonru merasa terheranheran
menyadari mulutnya seperti bergerak dan bersuara
sendiri, tanpa tunduk dengan perintah syaraf otaknya. Ketika
otaknya memerintahkan untuk berhenti dan cukup sebagian

saja keterangan yang diberikan kepada Kumala, tapi toh bibir
dan lidah bergerak terus menceritakan suatu peristiwa yang
terjadi sekitar seminggu yang lalu.
(Oo-dwkz-234-oO)
Jenita mempunyai kakak sepupu, Tom, yang bekerja di
sebuah hotel berbintang lima, yaitu Finance Hotel. Tom punya
jabatan penting di hotel tersebut. Sementara itu hotel tersebut
memiliki fasilitas bertaraf internasional, termasuk sebuah
kolam renang luas di halaman tengah hotel tersebut. Setiap
hari Jumat, Jenita dan Moonru bisa bebas berenang di sana
tanpa batas waktu. Sebenarnya hanya tamu hotel yang
diizinkan berenang di kolam berair hangat itu. Tapi karena
Tom manager untuk fasilitas rekreasi santai di situ, maka
Jenita dan Moonru bisa menikmati kenyamanan fasilitas
tersebut.
Sesekali Moonru datang sendirian untuk menikmati suasana
santai di kolam renang, terutama jika Jenita sedang
berhalangan. Para karyawan hotel menyangka Moonru juga
sepupunya Tom, sehingga tanpa kehadiran Tom pun Moonru
bisa bebas berenang sepuas-puasnya.
Hari itu Jumat sore, Moonru tetap, terangkat ke Finance
Hotel. Jenita tak bisa ikut, lantaran cowoknya datang: Dicky.
Sebenarnya Moonru juga punya cowok sendiri: Yonnes,-
namanya. Tapi belum cowok resmi. Masih dalam taraf
pendekatan dan saling menjajagi kepribadian masing-masing.
Karenanya, Moonru tak terlalu berharap di kunjungi Yonnes,
seperti halnya Jenita.
Lelah berenang hilir mudik, Moonru naik ke darat, duduk di
bawah payung pantai, dengan segelas orang juice di mejanya.
Setiap mata lelaki selalu menyempatkan meliriknya, karena
keelokan tubuh Moonru dalam berpakaian renang sangat
menarik perhatian lawan jenisnya. Terutama bentuk dadanya
yang indah berukuran 36-B itu terkesan menantang sekali bagi
setiap lelaki yang memandangnya. Kulitnya yang putih mulus

dengan paha indah dan betis belakang tanpa cacat seujung
jarum pun merupakan pemandangan yang sulit ditinggalkan
begitu saja.
Kenakalan mata lelaki sudah bukan hal aneh lagi bagi
Moonru. ia tak pedulikan siapa pun yang memperliatikan
dirinya, selama ketenangannya tidak terusik. Tapi sore itu.
agaknya ada sepasang mata yang sempat menjadi buah
pikiran bagi Moonru. Sepasang mata itu milik seorang lelaki
muda, usianya sekitar 28 tahun. Ia duduk di cafetaria
sendirian, dengan pakaian rapi tapi santai. Celana casual
bermerek dipadu dengan T-shirt eksklusif, membuat lelaki itu
tampil dengan gagahnya. Postur tubuhnya yang tegap, tinggi,
berdada bidang, membuatnya tampak menggairahkan bagi
kaum wanita.
Pria berwajah ganteng dengan rambut cepak serasi itu
memang diperhatikan juga oleh beberapa wanita yang ada di
sekitar kolam renang. Tapi sejak tadi Moonru mencuri
pandang dan ternyata yang menjadi pusat perhatian pria
berkulit sawo matang itu adalah dirinya. Moonru sempat salah
tingkah dan berdebar-debar sewaktu pandangan matanya
beradu dengan tatapan mata lelaki itu, lalu tampak seulas
senyum kalem tersungging di sana. Sekalipun secara refleks
bibir sexy Moonru pun membalas senyuman itu, namun ia
buru-buru buang muka dan berlagak tak memperliatikan pria
tersebut.. Balikan Moonru terpaksa harus terjun ke kolam lagi
untuk mengalihkan perhatian dan menutupi salah tingkahnya
tadi.
Sewaktu Moonru kembali ke mejanya, ternyata pria tampan
yang penuh simbol kejantanan itu sudah duduk di bawa
payung pantai tersebut. Tanpa ragu-ragu sedikit pun dia
memamerkan senyum ketampanannya kepada Moonru,
sehingga mau tak Mau Moonru membalas seraya duduk
berhadapan dengannya. Dari aroma parfumnya yang maskulin

sekali itu, Moonru semakin yakin bahwa pria itu adalah pria
berselera tinggi dan punya keromantisan istimewa.
"Boleh aku duduk di sini, bukan?" sapanya yang pertama
kali.
"Silakan aja," jawab Moonru sok cuek. Mengambil minuman
juga berlagak cuek, ia berhasil mengatasi kecanggungannya,
sehingga kelihatan tenang-tenang saja. Tak ada yang tahu
bahwa kala itu di dalam dada Moonru seperti ada gunung
yang mau meletus. Bergemuruh sekali Darahnya mengalir
dengan deras menimbulkan perasaan indah yarig sulit
dilukiskan dengan kata Tatapan mata dan suara lelaki itu tadi
telah membakar asmara Moonru, membuat batinnya menuntut
sebentuk kemesraan yang sempat membuat bulu-bulu halus di
sekujur tubuhnya meremang merinding.
"Masih ingin berenang lagi?" tanyanya pelan.
Suara itu terkesan penuh kejantanan. Mantap dan
meyakinkan sekali. Menimbulkan rasa kagum yang luar biasa
di dalam hati Moonru..
"Kira-kira begitu," Moonru menjawab dengan lirikan sekilas,
lalu beralih ke arah lain.
"Kalau begitu aku harus pergi dulu. Ada yang harus
kutunggu kedatangannya di kamarku."
"Please...!" Moonru sentakkan pundak satu kali dengan
senyum manis dipamerkan kepada pria berpenampilan hand
someitu. Ternyata pria itu justru meletakkan kunci kamarnya
di meja tanpa ragu-ragu sedikit pun,
"Kalau kau membutuhkan aku, tak perlu menanyakan
kepada resepsionis di mana kamar Maztro. Langsung saja
datang ke kamarku. ini kuncinya. Okey?"
Moonru tercengang kikuk. "Apa-apaan nih?" pikirnya. Tapi
ia tak bisa berkata sepatah pun. Ia biarkan lelaki yang
memperkenalkan namanya Maztro itu meninggalkan kunci

kamar tersebut. Sebelum jauh Maztro sempat berhenti dan
berbalik menatap Moonru.
"O, ya... aku harus memanggilmu apa?"
Moonru menggeragap kaget. "Hmm,ehh... panggil saja:
Moonru!"
"Thank's Moonru ... " lalu senyum mendebarkan itu
membias lebar. Maztro pun pergi tanpa menengok ke
belakang lagi. Ia menuju lift kapsul yang dapat terlihat jelas
dari kolam renang Moonru masih terbengong-bengong ketika
memandangi lift bergerak naik. Di dalam lift berdinding kaca
tembus pandang itu Maztro tampak berdiri sendirian, meluncur
ke atas dalam posisi memunggungi kolam renang. Tapi
sebelum sampai atas sekali, Maztro berpaling ke belakang,
menatap ke arah kolam renang. Matanya jelas-jelas menatap
Moonru, sebab tangannya melambai kecil dan senyumnya pun
mekar kembali. Seperti tak sadar Moonru membalas lambaian
tangan itu secara sembunyi-sembunyi. Malu jika dilihat orang.
"Kenapa aku jadi begini s ih?!" tanya Moonru dalam hatinya.
Siapa pun orangnya pasti akan terheran-heran seperti
Moonru. Bahkan mungkin akan duduk diam dengan mulut
melompong bengong, Baru saja bertemu belum sampai 5
menit sudah dianggap dan diperlakukan sebagai teman lama.
Tapi yang membuat hati Moonru terheran-heran lagi adalah
perasaannya sendiri. Perasaan yang timbul saat itu adalah
kegembiraan yang luar biasa menyenangkannya. Detak
jantungnya seperti menghadirkan kehangatan yang mengalir
deras dan indah di sekujur tubuhnya. Bahkan ketika Moonru
buru-buru pergi ke kamar bilas, bayangan wajah Maztro
semakin menjelma kuat dalam ingatannya. Bayangan itu
seakan menatapnya dengan mata indah seorang lelaki yang
sedang sayu karena ingin bercumbu.
"Auuh, apa ini?" Moonru terkejut, menengok ke belakang.
Ternyata di kamar bilas itu tak ada siapa-siapa selain dirinya.

Tapi mengapa ia merasa diremas pantatuya oleh jari-jari
tangan yang kekar tapi lembut sentuhannya.
Air kran shower yang mengguyur tubuh Moonru terasa
hangat, sementara kehangatan yang membasahi sekujur
tubuhnya itu terasa seperti sentuhan nikmat dari tangan
Maztro. Moonru sengaja memejam mata, meresapi tiap
sentuhan yang mengalir di sekujur tubuhnya itu. Makin lama
semakin terbakar gairahnya, karena ia merasa seperti sedang
dicumbu oleh Maztro. Cumbuan itu bukan saja menyusuri
lehernya, punggungnya, dadanya, dan pinggulnya saja,
melainkan sampai terasa jelas menyelinap di antara kedua
pahanya.
"Oohhhh...." Moonru sampai mengeluh tanpa sadar,
merasakan kenikmatan yang semakin dalam, ia seperti sedang
diperlakukan dengan mesra dan hangat oleh Maztro, seakan
kecupan bibir Maztro makin mengganas di bagian bawahnya.
Tanpa sadar Moonru menggeliat sendiri dalam guyuran air
kran shower itu. Debar-debar hatinya menghadirkan sejuta
keindahan dan kebahagiaan yang menghanyutkan jiwa.
Zeeeb...! Tiba-tiba air kran shower mati mendadak. Tak
mengalir lagi. Moonru terperanjat kecewa sekali. Ia seperti
kehilangan sesuatu yang indah dan sedang dinikmati dengan
penuh gairah. Kran shower diputar-putarnya, tapi air tak mau
menyembur keluar dari lubang-lubang penyemburnya.
"Iiih ... ! Apa-apaah sih ini?! Kok jadi mati begini?!"
geramnya dengan kesal. Ia belum puas menikmati keindahan
khayalannya tadi. Ia masih ingin mendapatkannya kembali
sampai nanti tiba di puncaknya. Tapi pancuran air seperti
tersumbat sesuatu yang membuat air tak dapat mengalir lagi
seperti tadi. Kesal sekali hati Moonru dibuatnya..
"Brengsek! Ihh ... ! Sebel aku jadinya!" geramnya Sambil
memukul-mukul putaran kran air tesebut.

Dalam kegusaran itu, tiba-tiba hatinya berkeinginan sekail
untuk menemui Maztro. Seakan ia yakin betul bahwa
kemesraan yang terputus itu dapat ia lanjutkan di kamarnya
Maztro. Maka, Moonru pun buru-buru berkemas dan segera
meninggalkan kamar bilas dengan langkah terburu-buru. Ada
perasaan khawatir kalau kamar Maztro sudah lebih dulu
dimasuki perempuan lain, sehingga ketika lift kapsul
membawanya naik ke kamar yang nomornya ada di kunci
pemberian Maztro tadi, hati Moonru menjadi sangat tak sabar.
Ingin lekas sampai ke lantai 21 dari hotel tingkat 27 itu.
Kakinya sempat menghentak-hentak supaya lift bergerak lebih
cepat lagi.
Sekalipun sudah memegang kunci kamar tersebut, namun
Moonru masih saja mengetuk pintunya beberapa kali. Karena
tak mendapat jawaban dan hati sudah tak sabar lagi kunci itu
pun digunakan untuk membuka pintu tersebut. Klik...!
Pintu didorong pelan-pelan "Hallooo ... ?!" sapanya agak
keras. Tapi sapaan itu tak mendapat balasan. Kamar ternyata
kosong. Hanya saja Moonru melihat pakaian Maztro yang tadi
dikenakan sekarang berserakan di tepian ranjang. Pada saat
matanya melirik ke kamar mandi, ternyata pintu kamar mandi
tidak tertutup rapat. Gemuruh air terdengar di sana. Maka,
Moonru pun tahu bahwa saat itu Maztro sedang mandi
sehingga tak mendengar ketukan dan sapaannya tadi.
"Maztrooo ... ?!" serunya.
" Hai, Moonru..,. aku di s ini!" balas suara Maztro dari dalam
kamar mandi. Curah air kranshower masih bergemuruh.
Moonru tersenyum sendiri sewaktu meletakkan tas salinnya.
Tiba-tiba hatinya tertarik sekali untuk mendekati kamar mandi
itu. Ia sudah berusaha untuk tidak melakukan kenakalan
seperti itu, tapi daya tarik kuat dirasakan betul sampai
tubuhnya jadi limbung mau jatuh karena mempertahankan
daya tarik tersebut. Akhirnya Moonru puri mendekati kamar
mandi itu pelan-pelan, kemudian ia mengintai dari depan pintu

dengan senyum nakal. Tampak Maztro sedang menikmati
guyuran air dalam posisi memunggungi pintu kamar mandi. Ia
tak tahu kalau keadaannya yang seperti bayi baru lahir itu
sedang diperhatikan oleh sepasang mata indah.
"Menggairahkan sekali postur tubuhnya," pikir Moonru.
"Seakan. Seluruh bagian tubuhnya melambangkan kehangatan
cinta dalam kenikmatan bercumbu yang luar biasa. Ah, tapi
apa benar dia mampu memberikan keindahan bercinta seperti
yang terbayang dalam benakku ini? Aduh... aku jadi ingin
sekali memeluknya dari belakang. Ooohh... makin tergoda aku
Oleh gerakan tangannya yang menyusuri tubuh sendiri itu.
Ouult... kenapa aku jadi berhasrat sekali?! Tak kuat aku
menahan hasratku ini..."
Moonru tak mau merenungi keganjilan itu. Sekalipun ia
tahu, biasanya ia tak pernah mempunyai keinginan bercumbu
sebesar dan segila itu, tapi agaknya kesadaran atas
munculnya emosi cinta secara ganjil itu tak dihiraukan sama
sekali. Yang ada dalam dirinya cuma satu: mendapatkan
Kemesraan yang diharapkan.
Gadis itu akhirnya nekat masuk ke kamar mandi. Ia
melangkah pelan-pelan agar tak membuat Maztro mengetahui
kehadirannya. Percikan air kranshower mulai membasahi dada
Moonru. Makin dekat makin berdebar-debar jantung Moonru.
Dan, akhirnya tangan gadis itu menyentuh punggung Maztro.
Pria itu diam saja, Hanya memalingkan wajah ke samping
sebagai tanda bahwa ia lelah mengetahui kehadiran Moonru.
Tawa kecil Moonru sengaja diperdengarkan. Maztro masih
tak mengubah posisi berdirinya, tetap rnemunggungi Moonru
dan sengaja membiarkan apapun yang ingin dilakukan
Moonru. Gadis itu merasa diberi peluang setangga ia pun
menempelkan dadanya yang montok ke punggung Maztro.
Ciuman lembut diberikan Moonru tanpa sungkan-sungkan lagi.
Ciuman itu jatuh di tengkuk Maztro. Lama-lama merayap ke
leher, karena Maztro menggeliatkan kepalanya. Pelan-pelan

sekali tubuh Maztro pun memutar, sampai akhirnya
berhadapan dengan Moonru.
"Aku... ooh, sorry... aku tak tahan lagi melihatmu dari luar
kamar mandi tadi..." bisik Moonru saat mereka beradu
pandang.
"Aku tak keberatan menerima kehangatanmu, Moonru. Aku
pun akan memberikan yang terindah bagi dirimu."
"Ooh, aku semakin membara, Maztrooo „.," desah Moonru
yang kemudian menyambar bibir lelaki itu.
Maztro segera membalas menciumi wajah Moonru dengan
keromantisan yang benar-benar istimewa. Karena setiap
sentuhan bibir dan lidahnya di sekujur tubuh Moonru, yang
hadir adalah keindahan fantastis sekali. Keindahan itu
membuat hati Moonru seperti melayang-layang dan jiwanya
berayun-ayun melenakan sekali.
Moonru pun mengerang dengan nada keluh kenikmatan
yang berhamburan bersama napas terputus-putus. Ia tak bisa
menghentikan kenakalan mulut Maztro. Ia tak mampu
menahan perbuatan lelaki itu, karena semuanya
mendatangkan keindahan yang super fantastis.
"Ooh gila orang ini!" keluhnya dalam hati dengan
terkagum-kagum dan kegirangan. "Semuanya ia jelajahi
dengan romantis. Seakan ia tahu titik-titik keindahan di setiap
bagian tubuhku. Oooh, luar biasa kehebatan
asmaranya.Sampai ujung jari tanganku pun diketahui titik
kenikmatannya jika mendapat sentuhan lidah sekecil apapun.
Gila betul orang ini! Gila sekali dia!"
Setelah tidak satu pun bagian tubuh Moonru yang luput
dari sentuhan hangat Maztro. akhirnya gadis itu tak sanggup
lagi menahan hasrat utamanya terlalu lama . ''Aku tak
sanggup bertahan lagi, Sayang...!"' Rengekan bercampur
desah napas memburu itu akhirnya dipenuhi oleh Maztro.

Jantung .Moonru seperti pecah menyebar ke langit-langit
cinta dan di sana ia menemukan berjuta-juta keindahan yang
sangat fantastis. Jiwanya seperti melayang-layang menembus
angkasa luar, melintasi planet-planet beraneka warna,
berpapasan dengan bintang-bintang yang memancarkan
cahaya pelangi sangat indah.
Begitu terlenanya Moonru dalam pelukan hangat asmara
Maztro, sampai-sampai ia tak sadar kalau dirinya sudah
dibawa pindah ke ranjang. Kehangatan yang dipancarkan oleh
Maztro menguasai seluruh jiwanya, makin lama makin
memenuhi seluruh ruang dalam raganya, bahkan terasa betul
mengubah aliran darahnya menjadi sangat cepat.
Luar biasa cepatuya aliran darah itu. sehingga tubuh
Moonru mencucurkan keringat dengan deras sekali.
Kehangatan yang nikmatnya luar biasa itu makin terasa panas,
padat, menyesakkan dada. memenuhi rongga-rongga di
sekujur tubuhnya. Akhirnya membuat Moonru merasa rohnya
telah melesat keluar dari mulutnya yang ternganga dalam
erangan itu. Ia merasa seperti bisa melihat raganya sedang
bercumbu dahsyat dengan Maztro Tontonan itu justru
membuat Moonru jadi bergairah lagi tiada pernah ada
putusnya. Dan ternyata Maztro tetap mampu melayaninya,
tetap mampu menunjukkan kehebatannya, tetap tangguh dan
kokoh bagaikan sebongkah batu granit yang memiliki
kelembutan tersendiri dalam rasa.
"Kenikmatan apa ini namanya?! pikir Moonru. "Kenapa bisa
sebegini indahnya? Jauh lebih indah dari Kamasutranya
Yonnes. Ooh... excelent sekali?! Dengan siapa aku bercumbu
sebenarnya, sampai rohku merasa keluar dari ragaku dan
tetap merasakan keindahan dalam cumbuan Maztro? Apakah
ini sebuah kenyataan? Atau hanya impian jalang yang timbul
akibat sebulan lebih tak mendapatkan kemesraan dari
Yonnes?!"

Sulit sekali bagi Moonru untuk mengidentifikasi kemesraan
yang ia rasakan kala itu. Yang jelas, hujan kenikmatan tiada
henti-hentinya itu sempat membuat Moonru pingsan, dalam
arti tak sadar apa yang terjadi setelah itu. Kesadarannya
timbul kembali ketika malam telah melintasi pertengahannya,
sunyi telah mencapai puncaknya dan kamar itu pun menjadi
lengang. Tak ada Maztro atau siapa pun selain dirinya.
"Maztro ... ?!" panggilnya dengan debar-debar kekecewaan.
Sebab ia tak ingin kehilangan Maztro dan takut tak dapat
menikmati kemesraan super dahsyat lagi.
Ternyata pria itu benar-benar sudah meninggalkan kamar
tersebut. Pakaian dan barang-barangnya tak tertinggal satu
pun di sana. Moonru menjadi sangat sedih. Ke mana ia harus
mencari pria super jantan itu. Padahal dengan membayangkan
kemesraan yang pernah didapatkan itu gairah Moonju bisa
terbakar dengan sendirinya. Tubuhnya menjadi panas, seakan
api gairah benar-benar berkobar dan membakarnya dari
dalam.
"Ooh...??!" Moonru terkejut melihat telapak tangannya
menjadi merah, berpijar-pijar seperti besi membara. Rasa
takutnya melihat telapak tangan berubah seperti besi
membara telah melenyapkan gairah dan keinginan
bercintanya. Namun begitu hasrat tersebut hilang, telapak
tangannya berubah menjadi seperti semula Moonru diliputi
keheranan dan ketegangan yang menggetarkan jiwa.

4
CERITA itu terhenti, karena Moonru segera menitikkan air
matanya di depan Kumala Dewi. Air mata tersebut bukan saja
air mata duka atas kepergian Maztro yang tak pernah ia
jumpai lagi sejak saat itu, tapi juga air mata penyesalan yang

amat dalam. Dari tempat duduknya yang agak jauh, Sandhi
juga melihat bayarg-bayang penyesalan di sela tangis Moonru.
Sandhi yakin kasus yang dihadapi Moonru bukan hanya
kehilangan Maztro saja. Ia juga yakin, gadis itu pasti akan
menjelaskannya kepada Kumala Dewi yang duduk di atas
bangku rias, sekitar dua meter dari tempat duduknya gadis
berdada kencang itu.
"Aku merasa lebih baik mati daripada menjadi sumber
bencana orang lain," kata Moonru di sela isak tangisnya.
"Mungkin kau tak percaya, sekarang ini aku sudah menjadi
mesin pembunuh, terutama bagi lelaki yang menyentuh
tubuhku."
"Aku percaya," kata Kumala dengan kalem. "Aku
merasakan getaran panas dalam rubuhmu. Energi panas itu
berasal dari cairan darahmu. Moonru. Darah itu akan berubah
menjadi semacam lahar mendidih apabila hasrat cintamu
tumbuh membara. Darah itu telah tercemari oleh zat gaib.
Dalam penglihatan ini...," seraya Kumala menatap dada
Moonru tanpa berkedip dan tetap bersikap tenang.
".... Dari sini aku bisa melihat zat gaib yang mencemari
darahmu, berupa gumpalan kabut merah yang mempertajam
syaraf kewanitaanmu. Apabila kulitmu disentuh oleh lawan
jenis atau benakmu terbayang kemesraan lawan jenis maka
kabut merah itu dengan cepatnya membakar gairah
asmaramu. Syaraf kewanitaanmu akan langsung merespon
dengan sangat cepat tanpa sensor pengendali nafsu lagi.
Pencemaran darahmu itu membuatmu kehilangan filter
penyaring hasrat sehingga batinmu akan selalu menuntut
kemesraan pada saat tubuhmu tersentuh getaran nadi lawan
jenismu."
"Tapi kenapa kau tak berani menyentuhku, Kumala? "
"Bagi perempuan lain, tak akan menimbulkan masalah jika
ia menyentuhmu. Tapi bagiku, sangat bermasalah. Karena
kabut merah yang membungkus dan meracuni darahmu itu

akan memberikan reaksi ganas apabila auraku mendekatimu
Ia menyerangku, karena gelombang energi gaibku berbeda
dengan gelombang energi gaibnya. Berlawanan sekali, dan
sangat dimusuhi."
"Jadi, apakah aku harus begini selamanya, Kumala? Tak
dapatkah kau menetralkan kembali darahku ini?!"
"Akan kucoba " kata Dewi tllar pelan sekali.
Matanya yang berbulu lentik itu terpejam pelan-pelan
Kedua jarinya ditempelkan di tengah kening; lalu tiba-tiba
disabetkan ke depan, mengarah ke dada Moonru. Wuut...
Moonru tersentak seperti didorong orang dari depan. Tapi tak
sampai jatuh. Hanya saja, Kumala Dewi justru terpental dari
tempat duduknya dan jatuh ke lantai dalam posisi
terjengkang. Dengan gerakan ringan ia berkelebat dan dalam
waktu singkat telah kembali tegak menggunakan kedua
lututnya. Ia terengah-engah ketika Sandhi menghampiri
dengan cemas.
"Bagaimana, Kumala... ?! Kau tak apa-apa?!"
"Tidak," jawab Kumala sambil menghembuskan napas ...
panjang. Menenangkan dirinya, lalu segera bangkit berdiri. Ia
duduk kembali di bangku rias, menatap dada Moonru dengan
tajam.
Lagi-lagi napasnya ditarik panjang dan dilepas pelan-pelan.
Sandhi semakin cemas, karena ia tahu jika Kumala begitu
berarti Kumala menahan luka di dalam dadanya.
"Tegakkan badanmu, Moonru," perintahnya tetap tenang.
Setelah Moonru menegakkan badannya, Dewi Ular semakin
memandang dengan tajam sekali, dahinya sampai berkerut
karena sangat berkonsentrasi pada satu sasaran. Sesaat
kemudian dari kedua mata Dewi Ular tampak dua berkas sinar
kecil melesat dengan cepat Sinar kecil itu menghantam dada
Moonru, tapi belum sempat menyentuh dada sudah padam

lebih dulu. Moonru tetap tegak dan Kumala menghembuskan
napas lagi. Wajahnya tampak kecewa, karena ketika diulangi
lagi hal yang sama, kedua sinar kecil itu padam kembali
sebelum menyentuh dada Moonru.
"Coba kau berbalik, Moonru. Aku akan lewat punggungmu!"
kata Kumala yang saat itu mulai tampak cemas karena berkalikali
gagal melakukan penyerangannya. Bahkan ketika ia
mencoba menembus tubuh Moonru lewat punggung, sinar
hijau kecil yang biasanya bisa untuk melumpuhkan nafsu
birahi orang itu tetap tak bisa tembns ke tubuh Moonru. Hawa
sakti lainnya yang bisa untuk menghancurkan kekuatan gaib
jahat dalam tubuh pasien pun digunakan melalui telapak
tangannya. Tapi yang terjadi justru serangan balik dari hawa
sakti itu sendiri, sehingga Kumala pun terpelanting ke
belakang, nyaris menabrak pesawat teve.
"Gunakan yang lebih dahsyat, Mal!" cetus Sandhi ikut
penasaran dan jadi gregetan sendiri. Namun saat itu Kumala
menggeleng.
"Bisa-bisa yang kuhancurkan adalah raganya Moonru kalau
kugunakan gelombang pelebur jiwa yang biasanya itu."
Moonru tampak sedih, kecemasannya kembali diperlihatkan
secara tak sadar. "Berarti aku akan menjadi bencana lagi dong
... ?!" ucapnya lirih. Lalu, terbayang dalam benaknya saat
bencana itu terjadi di depan matanya dan sangat tidak
dikehendaki hati kecilnya.
Setelah yakin betul bahwa saat itu ia telah ditinggal pergi
oleh Maztro, Moonru menanyakan kepada pihak resepsionis,
apakah ada pesan yang ditinggalkan untuknya dari Maztro.
Resepsionis justru bingung, karena menurut buku tamu yang
ada, ternyata nama Maztro tidak tercatat. Anehnya lagi,
resepsionis merasa heran ketika Moonru mengatakan bahwa
ia menelepon dari kamar 2122, sebab menurut resepsionis
kamar tersebut kosong. Tidak ada yang membooking kamar
tersebut. Makin heran Moonru mendengar penjelasan itu, tapi

ia segera beranggapan sedang dikerjain oleh resepsionis yang
memang kenal baik dengan Tom, sepupunya Jenita itu.
Moonru pun tak memperpanjang persoalan tersebut, la segera
meninggalkan hotel dengan menggunakan taksi.
Sudah pukul satu lewat tengah malam, waktu Moonru
meninggalkan hotel tersebut. Di perjalanan menuju tempat
kostnya ia selalu mendesah karena jengkel atas kepergian
Maztro. Desah dan decak mulutnya itu membuat sopir taksi
jadi tertarik untuk menggodanya dengan canda, supaya rasa
kantuknya hilang. Sopir taksi yang masih muda, berusia
sekitar 26 tahun itu, melirik kaca spion untuk memperhatikan
penumpangnya yang duduk di belakang.
"Dari tadi mendesah terus, kenapa sih, Non?"
"Hmm, hmm... nggak, apa-apa kok," jawab Moonru setelah
menyadari suara desahannya itu ternyata memancing
perhatian si sopir taksi. Moonru segera menjaga mulutnya
untuk tidak berdecak dan mendesah walau hatinya merasa
jengkel.
"Nona sedang jengkel, ya?"
"Hmm, iyy... iya. Jengkel sekali hati saya, Bang."
"Jengkel, sama pacar atau sama teman sendiri?"
"Jengkel sama pacar dong!" Moonru agak ketus, karena
kurang suka ditegur sopir taksi terus-terusan. Rupanya si sopir
taksi itu tertarik melihat kecantikan Moonru apabila ada sorot
lampu mobil dari arah depan. Kecantikan itu tampak jelas,
tapi hanya sekilas. Selama berpapasan dengan mobil lain saja.
"Kalau jengkel sama pacar, obatnya gampang aja, Non."
"0, ya?"
"Ganti pacar lagi dong. Cari yang lebih ganteng, lebih kaya,
dan yang penting cari yang lebih hot."

"Ah, Abang...!" Moonru mendesah. Berusaha tak mau
menghiraukan ucapan sopir taksi itu.
"Soalnya kalau dapat pacar yang lebih hot, bisa
memuaskan Nona, maka kejengkelan yang sekarang Nona
rasakan itu akan hilang sendiri, Non. Apalagi kalau pacar
barunya nanti sangat romantis bisa menuruti keinginan Nona,
bisa melayani selera Nona waaah... itu akan lebih sip lagi,
Non." Sopir taksi tertawa pelan.
Kata-kata itu mulai mendapat perhatian di hati Moonru.
Bayangan kencan mulai tampak samar-samar. Resah dan
gelisah, begitulah perasaan Moonru pada saat tak
berkomentar sedikit pun.
"Apalagi malam-malam begini, Non. Sepi sunyi, dingin...
uh, paling asyik deh buat bercumbu di mana saja, ya nggak
Non?"
"Jangan ngomong begitu, Bang."
"Memangnya kenapa?"
"Saya bisa nggak tahan."
"Maksudnya, nggak tahan bagaimana?"
Moonru diam sebentar, debar-debar di dalam dadanya
berusaha untuk diredakan, tapi sulit. Matanya memandang ke
arah spion, .tepat waktu itu mata si sopir taksi juga
memandang kesana. Moonru makin gelisah.
"Kalau Abang ngomong begituan teras, nanti saya jadi
kepingin mendapatkannya lho, Bang."
"Yaah. kalau memang Nona kepingin, saya sih... sanggup
memberikannya. Pokoknya pasti indah dan memuaskan sekali
deh, Non!"
"Ahh...!"
"Betul, Non! Buktikan deh kalau nggak percaya."

"Bagaimana caranya?" tanya Moonru pelan sekali.
"Yaah, caranya.... kita kencan dong."
"Di mana...?"
"Nona benar-benar membutuhkan? Kapan Nona maunya?"
"Sekarang...," jawabnya lirih sekail, seperti sebuah jawaban
yang meluncur dengan sendirinya dari mulut yang sudah
menggigit bibir sendiri itu.Sopir taksi pun segera mengarankan
taksinya ke tempat sepi. Taksi itu berhenti di semak-semak
tepi jalan alteri yang jauh dari rumah penduduk dan
bertanaman rimbun.
"Kita coba di sini saja, ya Non?" Sopir taksi pindah ke jok
belakang. Moonru tak tahu telapak kakinya sudah menjadi
merah membara. Tapi ketika sopir taksi yang sudah tak sabar
itu mengawali kencannya, tiba-tiba dia merasa kepanasan.
"Aouh, oouh.... Panas, Non... aduuh... tunggu dulu, panas
sekali nih...!"
Sopir taksi itu menjerit karena tak bisa lepas dari pelukan
Moonru yang kencang sekali itu. Pelukan tersebut seperti besi
terbakar yang menggencetnya. Bahkan Moonru belum
menyadari bahwa mulutnya yang ternganga itu
menghembuskan hawa panas, karena sebagian wajahnya
telah berubah menjadi bara api berpijar-pijar.
Kedua tangan Moonru lengket dengan kulit tubuh si sopir
taksi karena kedua tangan itu juga berubah menjadi seperti
sepasang besi baja yang sedang terpanggang api. Bahkan
dada Moonru pun sulit digeser dari dada sopir taksi karena
dada itu seperti lempengan baja yang sedang terpanggang
api.
Ketika sopir taksi itu tidak memberikan gerakan apa pun,
barulah Moonru menyadari bahwa sopir taksi itu sudah tak
bernyawa. Dadanya hangus, seperti arang, demikian pula

jantung dan organ tubuh lainnya. Bahkan sekujur tubuh si
sopir taksi itu pun ikut membara seperti tubuh Moonru.
Moonru menjerit histeris, panik dan tak kontrol emosi
ketakutannya. Ia segera keluar dari taksi itu sambil berlari,
tanpa mengenakan alas kaki. Bahkan pakaian dalamnya
tertinggal di jok depan. Ia berlari dan berlari terus
meninggalkan tempat tersebut dalam keadaan sudah tidak
membara lagi, lantaran dicekam ketakutan yang melenyapkan
hasratnya.
Kebetulan waktu itu ada dua orang wanita separuh baya,
baru pulang dari tempat hiburan malam. Mereka berhenti dan
menolong Moonru yang disangka menjadi korban
pemerkosaan. Moonru diantar sampai ke tempat kostnya oleh
perempuan itu menggunakan mobil mewahnya, Dan di dalam
kamar kostnya, Moonru menangis ketakutan menyadari
kenyataan yang baru saja dialami itu. Hingga pagi ia masih
menangis dalam kebingungan yang mengguncangkan jiwanya
Bahkan sewaktu Jenita mengetuk pintu kamarnya dan
mendapat kesempatan untuk masuk, Moonru belum bisa
menceritakan seluruh peristiwa aneh itu kepada Jenita.
Yang jelas, hari itu sebuah surat kabar terbit sore memuat
berita kematian seorang sopir taksi Sopir taksi itu ditemukan
telah tewas, mayatnya meringkuk keras, menjadi arang hitam.
Tapi pakaian dalam dan celana panjangnya yang juga
ditemukan di jok depan itu tidak ikut terbakar. Celana seorang
wanita juga ditemukan oleh petugas kepolisian, sehingga
mereka dapat menduga bahwa sopir taksi itu mungkin habis
bercinta dengan hantu betina yang membakar habis si sopir
taksi. Di tilik dari hangusnya jok belakang, tapi atap mobil
tidak ikut hangus, mereka menduga bahwa api yang
membakar sopir taksi itu bukan api sembarang api. Semacam
lahar yang mengalir ke dalam tubuh korban dan membakar
habis tubuh itu.
Bahkan, cowoknya Jenita juga hampir jadi korban. Sore itu
Dicky datang mau menjemput Jenita untuk pergi ke sebuah
butik, karena Jenita ingin membeli mantel bulu yang dilihatnya
tempo hari. Tapi sore itu Jenita belum datang. Dicky masuk ke
kamar Moonru dengan cuek, sebab biasanya memang begitu.
Tak ada kecemburuan bagi Jenita kalau melihat Dicky berada
di kamar Moonru selama pintu kamar itu tidak tertutup rapat,
tentunya.
Melihat wajah cantik Moonru murung, Dicky menggodanya
dengan canda. Biar gadis itu tidak berwajah murung. Godaan
Dicky menimbulkan rangsangan tersendiri bagi Moonru. Ia
menahan rangsangan itu agar tak mengobarkan api gairah
kencannya, sebab ia harus tetap ingat bahwa Dicky kekasih
Jenita. Namun agaknya godaan cowok berkulit gelap itu
semakin berani untuk ukuran Moonru. Tangan Dicky mencekal
lengan Moonru ketika Moonru ingin mengambil kertas tissue di
meja depan Dicky.
Sentuhan tangan Dicky menyambar kepekaan gairah
Moonru. Langsung saja Moonru meronta dengan memaksakan
diri, tapi ia justru terpelanting dan jatuh dalam pelukan Dicky.
"Aaaaow ... !"' Dicky menjerit sambil melepaskan
pegangannya dan melompat-lompat kepanasan. Ternyata
telapak tangan Dicky terbakar, dan lengan Moonru tampak
membara seperti besi terpanggang api. Dicky lari keluar,
sangat ketakutan melihat Moonru mengalami perubahan aneh
itu. Lengan kanan sampai ke leher Moonru menjadi merah
membara. Moonru menangis, menutup pintu dengan kasar
dan menguncinya, la takut dijadikan tontonan penghuni kost
lainnya yang tertarik untuk membuktikan celoteh Dicky di
depan sana. Sebab waktu itu mereka melihat tangan Dicky
terbakar dan pahanya yang tadi dipakai untuk menahan tubuh
Moonru jnga mengalami luka bakar kecil. Celananya hangus,
tapi tak sampai robek.

Moonru tak mau menemui Jenita. Siapa pun tak ingm
ditemuinya. Ia mengurung diri di kamar dengan tekanan batin
yang menyiksa jiwanya Ia juga tak mau pergi bekerja pada
hari berikutnya. Sampai akhirnya Yonnes datang, dan Moonru
kebingungan menerima kedatanganYonnes. Tapi toh pintu
kamar itu dibukanya juga setelah sadar bahwa siang itu
suasana tempal kost cukup sepi, kurena penghuninya sibuk ke
tempat kerja masing-masing.
"Aku mendapat telepon dari Jenita tadi pagi. Ada apa
sebenarnya, Moon?" tegur Yonnes.
Moonru tak bisa menjelaskan selain menangis, menutup
wajah dengan kedua tangannya. Yonnes memeluknya dari
samping, menghibur dengan mesra. Bahkan sempat mencium
kening Moonru. Ciuman dan pelukan itu menghadirkan
rangsangan gairah bagi Moonru. Maka, delik kemudian Yonnes
menjerit sambil melompat menjauhi Moonru, karena tubuh
Moonru sebagian berubah menjadi bara api berpijar-pijar.
Tangan Yonnes mengalami luka bakar cukup parah juga
pinggang kanannya.
"Moon ... ?! Apa, yang terjadi. Moon?! Kenapa kau jadi
seperti itu, hah?!" sambil Yonnes terengah-engah dicekam
ketakutan.
"Pergi! Jangan sentuh aku lagi!" sentak Moonru dengan
sedih. Yonnes terpaksa mundur sampai keluar kamar karena ia
mau didorong Moonru, sedangkan jari-jari tangan Moonru
masih seperti bara. Pintu kamar pun ditutup dan dikunci
kembali oleh Moonru.
Kasus itu mengheboh di lingkungan tempat kost tersebut.
Moonru tak berani keluar kamar, selain pergi ke kamar mandi.
Itu pun dengan menundukkan kepala dan terburu-buru jika
ada orang di sekitarnya. Tengah malam, ketika semua
penghuni kost telah tertidur, diam-diam Moonru pergi
meninggalkan tempat kost, meninggalkan barang-barangnya
pula. Ia mencari Maztro yang dianggap sebagai biang bencana

dalam dirinya itu. Sasaran utama Moonru adalah Finance Hotel
room 2122, sebab ia berharap Maztro akan muncul kembali di
kamar itu.
Ternyata sampai hari berikutnya, Moonru hanya sendirian
di situ, hingga ia mengalami kerapuhan mental, kelumpuhan
semangat hidup. Ia mencoba mencari-seseorang yang bisa
diharapkan menjadi penolong dan penyelamat jiwanya. Ia pun
menelepon Richo, lalu mendapatkan HP-nya Kumala Dewi.
Sebab dalam pembicaraannya dengan Richo, pria itu
mengatakan bahwa jika Moonru sedang dalam kesulitan yang
tak mampu dipecahkan oleh logikanya, lebih baik segera
menghubungi Kumala Dewi. Richo mengunggulkan kesaktian
Kumala dalam masalah yang tak bisa ditembus oleh logika
manusia. Moonru sendiri tidak menceritakan kasusnya kepada
Richo secara jelas, la hanya mengatakan, dirinya sedang
dalam masalah besar yang ajaib sekali.
"Tapi jangan bilang kalau nomor telepon itu kau dapatkan
dariku, nanti dia nggak mau bantu kamu lho.Soalnya dia udah
nggak suka sama aku!" kata Richo waktu itu, dan ditirukan
kembali oleh Moonru di depan Kumala Dewi dan Sandhi.
Kumala segera mendekati Sandhi, bicara dengan suara
pelan.
"Dia harus dikarantina untuk sementara waktu,"
"Maksudmu, diasingkan dari pergaulannya?"
"Benar. Sementara aku belum menemukan titik kelemahan
gelombang gaib yang meracuni darahnya, dia jangan sampai
bertemu dengan lelaki. Pokoknya jangan sampai terangsang
oleh lawan jenis sehingga tidak timbul korban lagi."
Sandhi manggut-manggut sebentar, lalu bertanya, "Di
mana dia harus dikarantina? Menurutmu di hotel ini apakah
aman untuk mengkarantina dia?"

Kumala Dewi menggeleng. "Kita bawa ke-rumah saja. Asal
kamu jangan memancing-mancing gairahnya."
Senyum geli Sandhi tersungging. "Itu nggak mungkin
kulakukan. Memangnya aku kepingin jadi ayam panggang,
apa?"
"Mobil biar aku yang bawa," kata Kumala.
"Kenapa harus kamu? Aku kan sopirmu!"
"Kau duduk di belakang, biar dia duduk di sampingku. Jadi,
pandangan matanya tidak tertuju padamu. Itu bisa
membangkitkan gairahnya yang peka terhadap lawan jenis."
Sandhi angkat pundak, "Terserah kamu kalau begitu,"
ujarnya pasrah. Kemudian dengan memberi pengertian sedikit
panjang, akhirnya Christian Moonru bersedia dibawa pulang
oleh Dewi Ular. T api sebelum itu Sandhi sangat mengingatkan
planning awal mereka.
"Lalu, bagaimana dengan Rency?"
"Dia juga harus dikarantina. Jadikan satu saja dengan
Moonru."
Agaknya langkah itu merupakan langkah darurat yang
terbaik untuk sementara ini. Dewi Ular akan melakukan
penelitian gaib untuk mengetahui bagaimana menetralkan
racun mistik yang mencemari seluruh darah Moonru dan
Rency. Gagasan itu sebenarnya diilhami oleh inisiatif yang
diambil Rayo terhadap Rency. Gadis yang juga terkontaminasi
oleh racun mistik serupa itu sempat diungsikan oleh Rayo ke
sebuah villa. Letaknya di sebuah perkebunan teh, di daerah
dingin dan sepi. Menurut Rayo, hal itu ia lakukan untuk
menghindari terjadinya kontak rangsangan pada diri Rency,
karena di villa itu Rency tinggal sendirian. Hanya ditemani oleh
Mak Teten, pelayan yang selama ini ditugaskan merawat villa
milik keluarga Rayo itu. Kalau toh ada lelaki yang mendekati
villa itu hanyalah Mang Teten yang sudah berusia 60 tahun,

bertugas sebagai penjaga dan perawat taman. Rayo yakin,
kondisi fisik Mang Teten yang kurus dan kempot itu tidak akan
menimbulkan rangsangan bagi Rency.
"Kulemparkan dia di sana untuk sementara hari saja," kata
Rayo kepada Kumala waktu pemuda itu datang ke kantor.
"Soalnya, terus terang saja, kalau keluargaku tahu keberadaan
Rency di sana, aku bisa dianggap menyimpan wanita liar dan
dicurigai yang bukan-bukan. Bisa-bisa Rency diusir oleh
keluargaku. Makanya, secepatnya aku harus mencarikan jalan
keluar untuknya. Kasihan anak itu, benar-benar tersiksa
hidupnya. Terkucil dari lingkungan, dan terancam pengadilan
massa kalau sampai banyak yang mengetahui penyakitnya
itu,"
"Bagus sekali idemu, itu," sanjung Kumala setelah
merenungi beberapa saat sambil manggut-manggut tenang.
Diam-diam Kumala juga iba terhadap Rayo yang ikut terkena
imbas dari kasus tersebut, la harus mengeluarkan uang untuk
ganti rugi beberapa perabot milik tempat kost yang rusak
akibat terbakar tubuh Rency, saat gadis itu mengeluarkan
bara api karena terangsang Rayo.
Untuk membawa Rency dari villa tersebut ke rumah,
Kumala tidak mau ambil risiko dengan menugaskan Sandhi
atau Rayo sendiri. Buron pun dipercaya untuk mengawal
Rency dari jarak dekat. Karena jelmaan Jin Layon itu suka usil
dan senang menggoda hati wanita cantik dengan caranya
yang aneh itu. Mau tak mau Kumala Dewi sendiri yang
menjemput Rency untuk dibawa pulang ke rumahnya,
dijadikan satu kamar dengan Moonru.
"Jadi, siapa di antara mereka berdua yang terkontaminasi
racun itu pertama kalinya?" tanya Rayo kepada Dewi Ular
ketika pemuda itu masih berada di ranah Kumala, pukul4
subuh. Ia habis ikut mengawal mobil Kmnala dari belakang,
menggunakan mobilnya sendiri, ketika Kumala berada dalam
satu mobil dengan Rency.

"Kalau menurut pengakuan mereka, jelas Rency yang lebih
dulu terkontaminasi. Dia yang pertama menjadi korban
kemesraan Maztro sebab dialah yang melihat dengan mata
kepala sendiri peristiwa aneh tersebut, yaitu jatuhnya meteor
di kebun belakang rumahnya."
"Tapi apakah keterangannya itu kau percayai sepenuhnya?
Kau yakin kalau meteor itu jatuh ke bumi lalu berubah menjadi
sesosok pemuda tampan yang menurut Moonru bernama
Maztro?!"
"Aku mempunyai deteksi kejujuran Indera keenamku dapat
membedakan pengakuan jujur dengan pengakuan palsu. Pada
diri Rency kutemukan pengakuan jujur, bahwa ia melihat
perubahan bentuk tersebut. Persoalannya adalah... apa benar
yang jatuh ke bumi dan berbentuk gumpalan batu berapi itu
adalah meteor, seperti yang dikatakan Rency? Itu yang perlu
diselidiki!"
"Ya. itu yang perlu dipastikan," gumam Rayo dengan
anggukan kecilnya, "Kalau memang benar gumpalan itu
adalah meteor, berarti pria yang bernama Maztro itu adalah
manusia meteor!"
"Untuk mengetahui benar dan tidaknya, aku harus bertemu
langsung dengan Maztro. Tidak bisa kulacak dari jauh. Dalam
jalur gaibku tidak menemukan sosok pemuda dengan ciri-ciri
yang disebutkan Moonru dan bernama Maztro. Maka yang jadi
masalah bagiku sekarang ini adalah mengetahui di mana
Maztro berada."
Sikap Rayo yang serius dan sangat peduli dengan kasus
tersebut telah membuatnya termenung memikirkan hal yang
sama dengan yang dipikirkan Dewi Ular Ia juga ingin
mengetahui di maua Maztro berada ? Dengan cara bagaimana
bisa menemukan si Manusia Meteor itu?.