Pendekar Rajawali Sakti 95 - Pangeran Iblis(1)

SATU
PAGI baru saja datang menjelang. Matahari belum lagi penuh menampakkan dirinya. Hanya cahayanya saja yang kuning kemerahan dari balik puncak Gunung Jungkun, di sebelah timur. Kabut tebal pun masih terlihat menyelimuti puncaknya. Saat burung-burung ramai berkicauan, terlihat seorang pemuda berjalan tertatih-tatih.

Semak belukar yang lebat disibaknya. Juga kerapatan pepohonan di kaki lereng Gunung Jungkun ditembusnya. Pakaiannya terlihat koyak, penuh noda darah yang telah kering. Bekas-bekas luka terlihat hampir di sekujur tubuhnya. Sesekali dia jatuh terguling, tersangkut akar. Tapi, pemuda itu cepat bangkit berdiri, dan terus melangkah terseok-seok.

“Oh...?!” Tiba-tiba saja kedua bola mata pemuda itu jadi terbeliak lebar.

Kepalanya terangkat ke atas dengan mulut ternganga. Seakan-akan, di depannya terlihat sesosok hantu. Tapi sebentar kemudian, kepalanya berpaling ke belakang. Saat itu, terdengar derap langkah kaki-kaki kuda yang dipacu cepat dari arah belakangnya. Suara teriakan orang-orang menggebah kuda pun terdengar, menimpali hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.

“Celaka...! Ke mana lagi aku harus pergi...?” desis pemuda itu, dengan wajah pucat pasi.

Jelas sekali terpancar dari raut wajahnya, kalau pemuda itu tengah kebingungan dan ketakutan setengah mati. Beberapa saat pandangannya beredar ke sekeliling, kemudian kembali melangkah tergesa-gesa dengan kaki terseret. Dari gerakan kakinya, jelas sekali kalau luka yang dideritanya cukup parah.

“Ugkh...!” Bruk! “Sial...!"

Sebatang akar pohon yang menyembul dari dalam tanah menghantuk kakinya. Akibatnya, pemuda itu jatuh terguling. Setelah sedikit mengumpat, dia bergegas bangkit berdiri lagi dan terus saja melangkah tertatih-tatih. Sementara suara hentakan kaki-kaki kuda semakin jelas terdengar.

“Heh...?! Jurang...,” pemuda itu mendesis tertahan. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu di depannya terlihat sebuah jurang dalam menganga. Dan ketika wajahnya berpaling ke belakang, tampak debu mengepul tidak jauh di balik lebatnya pepohonan. Kecemasan semakin jelas membayang di wajahnya.

“Apa akalku sekarang...?” desis pemuda itu bertanya pada diri sendiri. Kembali pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kemudian kakinya bergegas melangkah menghampiri sebongkah batu yang sangat besar. Lalu dengan susah payah, bongkahan batu itu dinaikinya. Kemudian tubuhnya bergulir turun ke baliknya. Tapi saat itu juga, bola matanya jadi terbeliak lebar. Ternyata di balik batu ini menganga jurang yang sangat dalam. Sementara tanah yang menjadi pijakan kakinya hanya sedikit saja.

“Dewata Yang Agung... Tolonglah lepaskan aku dari kejaran mereka...,” desah pemuda itu, bernada putus asa.

Sementara, suara orang-orang yang mengejarnya semakin terdengar dekat saja. Dan pemuda itu tidak berani bergerak sedikit pun juga. Sedikit kepalanya mendongak ke atas, menatap bagian atas bongkahan batu ini. Ada sedikit rasa lega di dalam hati, begitu mengetahui dirinya terlindung batu yang sangat besar ini. Jadi, tidak akan mungkin ada orang yang bisa melihat ke balik batu ini dari atas sana.

Saat itu, tidak terdengar lagi derap kaki kuda. Yang terdengar kini hanya suara-suara beberapa orang bernada kasar. Terdengar jelas sekali suara orang-orang berbicara keras itu. Seakan-akan, tepat di balik bongkahan batu ini. Maka, pemuda itu semakin tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan untuk bernapas pun, seakan-akan tidak berani dilakukannya.

Seluruh tubuh pemuda itu sudah bersimbah keringat yang bercampur noda darah kering. Sementara geletar tubuhnya semakin bertambah keras, ketika seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berkumis melintang tebal tampak tengah berdiri tegak di atas bongkahan batu ini. Pandangannya beredar ke sekeliling, lalu kepalanya dijulurkan ke bawah.

“Kau lihat dia, Rakada...?” terdengar teriakan seseorang dari balik batu itu.

“Tidak! Hanya jurang yang terlihat..!” sahut laki-laki berusia separuh baya yang berdiri di atas batu.

Dialah yang bernama Rakada. Beberapa saat, Rakada masih berdiri di atas batu itu. Pandangannya terus beredar ke sekeliling. Tapi memang, pemuda yang bersembunyi di bawahnya sama sekali tidak bisa terlihat lagi, karena terlindung batu yang sedikit menjorok ke dalam jurang.

“Hup...!” Dengan gerakan yang begitu ringan, laki-laki bertubuh tegap dan berotot itu melompat turun dari atas bongkahan batu. Begitu ringan kakinya menjejak tanah berumput cukup tebal ini. Jelas, kepandaiannya tidak bisa dikatakan rendah lagi. Lalu, bergegas dihampirinya teman-temannya yang berjumlah tujuh orang.

Mereka semuanya laki-laki, bertubuh tegap dan berotot. Pakaian yang mereka kenakan warna biru muda, dengan potongan dan bentuk sama persis. Masing-masing di pinggang, tersandang sebilah pedang yang bagian ujung tangkainya berbentuk kepala seekor ular tengah menjulurkan lidahnya. Dan rata-rata, usia mereka sudah berada di atas empat puluh tahun. Hanya satu orang saja yang tampak masih muda. Mungkin baru dua puluh lima tahun. Tapi, pakaiannya lebih bagus dari yang lain.

“Huh! Mustahil kalau bisa menghilang begitu saja...!” dengus pemuda berwajah cukup tampan itu.

“Mungkin sudah jatuh ke dalam jurang, Barada,” kata Rakada menduga-duga.

“Jurangnya dalam sekali. Bahkan aku sendiri sulit untuk melihat dasarnya.”

“Mungkin juga, Den Barada. Jejaknya saja terputus sampai di sini,” sambung laki-laki yang bertubuh kurus.

“Kalaupun dia tidak jatuh ke dalam jurang, mana mungkin bisa bertahan hidup dalam keadaan seperti itu? Dia pasti mati kehabisan darah,” sambung yang lain.

“Aku belum puas, kalau belum bisa membawa kepalanya pada junjungan!” dengus pemuda berwajah cukup tampan yang bernama Barada.

“Lalu...?” tanya Rakada terputus.

“Cari sampai ketemu. Aku tidak akan kembali, sebelum kepalanya berada dalam genggaman tanganku!” tegur Barada sambil mengepalkan tangannya erat-erat.

Mereka semua jadi saling berpandangan satu sama lain. Dan memang, di antara mereka berdelapan, Barada-lah yang paling tinggi tingkat kepandaiannya. Padahal usianya jauh lebih muda dari mereka. Apalagi Barada juga junjungan mereka. Hingga tidak ada seorang pun dari mereka yang bisa membantah kata-katanya. Terlebih lagi, mereka tahu betul watak Barada. Dia tidak akan segan-segan memenggal kepala orang yang membuatnya jadi susah.

Memang, Barada cepat sekali naik darah, sehingga gampang meloloskan pedangnya. Tanpa diperintah dua kali, tujuh orang yang bersama Barada segera berpencar di sekitar jurang yang berada di kaki lereng Gunung Jungkun ini. Sedangkan Barada kembali meneliti tanah di sekitarnya. Jelas sekali terlihat di atas rerumputan, jejak-jejak kaki serta tetesan noda darah yang sudah hampir mengering. Diikutinya jejak-jejak yang tertera jelas, dan berakhir tepat di atas bongkahan batu sebesar kerbau ini. Barada berdiri tegak di atas bongkahan batu itu.

“Hm.... Mungkinkah dia jatuh ke dalam jurang...?” gumam Barada bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Jejak-jejak yang ada memang berakhir di atas batu ini. Tapi, tampaknya Barada tidak mau percaya begitu saja kalau buruannya terjerumus ke dalam jurang. Maka, kepalanya segera dijulurkan, mencoba menembus kabut tebal yang menutupi dasar jurang di depannya. Tapi kabut begitu tebal, sehingga sulit ditembus dengan pandangan mata biasa.

“Hm...,” tiba-tiba saja Barada menggumam kecil. Dan kelopak mata pemuda itu jadi menyipit. Keningnya juga terlihat berkerut. Perlahan tubuhnya direbahkan di atas batu itu. Lalu sedikit demi sedikit, tubuhnya bergeser. Hingga akhirnya, kepalanya menjulur ke jurang. Dan saat itu juga....

“Ha ha ha...!”

“Oh...?!” Pemuda yang masih berada di balik batu itu jadi tersentak kaget setengah mati, begitu melihat kepala Barada menjulur ke bawah sambil tertawa keras terbahak-bahak. Begitu terkejutnya, sampai tangan kanannya tanpa sadar meraih sebuah batu sebesar kepalan tangan. Lalu dengan sisa-sisa kekuatan tenaga yang masih ada, batu itu dilemparkannya ke arah kepala Barada.

“Hih! Pergi kau, Iblis Busuk...!”

Wusss! “Upsss...!”

Untung saja Barada cepat menarik kepalanya kembali, sehingga lemparan batu itu tidak sampai mengenainya.

“Setan...!” geram Barada berang. Dia cepat berdiri tegak di atas batu itu. “Rakada! Kalian semua ke sini! Cepat..!” seru Bara-da lantang menggelegar.

Rakada dan enam orang lainnya bergegas datang menghampiri, begitu mendengar teriakan Barada yang begitu keras menggelegar. Sebentar saja, mereka sudah berada di sekitar bongkahan batu sebesar kerbau itu.

“Tikus busuk itu ada di sini. Di balik batu ini,” jelas Barada. Wajah Barada kelihatan berseri-seri.

Tidak memerah seperti tadi, ketika kehilangan buruannya. Dan tujuh orang yang bersamanya juga jadi gembira mendengar buruannya masih ada. Maka mereka bergegas naik ke atas batu, dan menjulurkan kepala ke bawah. Tapi setiap kali menjulurkan kepala, dari balik batu itu terlempar batu-batu sebesar kepalan tangan. Untung saja, mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Sehingga, lemparan batu itu bisa cepat dihindari.

“Setan keparat..! Dia mulai berani pada kita, Den Barada!” geram Rakada gusar.

“Kalian tangkap dia. Ingin sekali kepalanya kupenggal dengan pedangku sendiri!” perintah Barada.

Tanpa menghiraukan yang lain, Barada bergegas melompat turun dari atas batu itu. Sedangkan tujuh orang anak buahnya, jadi saling berpandangan. Tentu saja sulit bagi mereka untuk menangkap pemuda itu. Sedangkan batu ini berada tepat di bibir jurang. Bisa-bisa, malah mereka sendiri yang terjerumus ke dalam jurang ini. Padahal, tidak ada jalan lain lagi, selain melalui bagian atas batu ini

“Huh! Mau enaknya sendiri...!” gerutu salah seorang kesal.

“Sudah... Kalau dia sampai dengar, bisa celaka kau,” seorang lagi memperingatkan.

“Huh...!”

Tujuh orang laki-laki bertubuh tegap dan berotot itu segera memeras otak, memikirkan cara untuk menangkap pemuda yang masih berada di balik batu ini. Memang sulit untuk mencapai ke sana. Terlebih lagi, di tempat itu banyak batu kerikil sebesar kepalan tangan yang bisa digunakan pemuda itu sebagai senjata untuk menghalau.

“Gordan.... Ini aku, Rakada. Kau dengar suaraku, Gordan...?!” teriak Rakada agak dikeraskan suaranya.

“Jangan coba-coba membujukku, Paman Rakada. Pergi kau, bersama iblis-iblis keparat itu!” sahut pemuda yang dipanggil Gordan, dan masih tetap berada di balik batu.

“Dengar, Gordan. Kalau kau mau keluar, aku berjanji akan melindungimu. Percayalah. Kau tidak akan apa-apa,” bujuk Rakada lagi.

“Pergi kau, Setan Keparat..!” jerit Gordan.

Rakada menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sedikit matanya melirik Barada, yang tengah duduk bersandar pada pohon, melindungi dirinya dari sengatan sinar matahari.

“Aku akan turun, Gordan...!” seru Rakada lagi. “Aku turun tidak membawa senjata...!”

“Jangan! Jangan lakukan itu, Paman Rakada. Kau akan jatuh ke dalam jurang. Aku tidak main-main. Kau akan jatuh...!” teriak Gordan sekuat-kuatnya.

Saat itu, terlihat batu-batu kerikil berjatuhan dari atas. Gordan cepat-cepat menjulurkan kepalanya, mendongak ke atas. Hatinya jadi terkesiap juga, begitu melihat Rakada berusaha turun menggunakan seutas tambang kulit. Tidak satu pun terlihat senjata tersandang di tubuhnya.

“Paman, naik cepat..! Kau akan jatuh nanti...!” seru Gordan memperingatkan.

Tapi, Rakada tetap saja bergerak turun. Bahkan semakin dekat saja dengan pemuda itu. Dan begitu sudah dekat, Rakada melompat dengan gerakan sangat ringan, jatuh tepat di depan Gordan. Pemuda itu bergegas melangkah mundur. Namun di tangan kanannya sudah tergenggam sebongkah batu yang cukup besar.

“Jangan mendekat, Paman Radaka,” sentak Gordan agak mendesis.

“Dengar, Gordan. Tidak ada gunanya terus bertahan di sini. Ingat, Barada terus menungguimu. Sebaiknya, keluar saja. Serahkan dirimu padanya,” bujuk Rakada.

“Tidak! Aku tidak akan menyerah pada iblis itu!” sentak Gordan tegas.

“Gordan...”

“Kuperingatkan sekali lagi, Paman Rakada. Cepat tinggalkan tempat ini. Atau, kau akan mati di dasar jurang sana,” desis Gordan memotong cepat.

Tapi, Rakada tampaknya tidak menghiraukan peringatan pemuda itu. Malah, kakinya melangkah mendekati dengan gerakan hati-hati sekali.

Sementara, punggung Gordan sudah begitu merapat ke dinding batu. Tidak ada lagi tempat baginya untuk menghindar. Dan begitu tangan Rakada menjulur hendak meraihnya, mendadak saja... “Hih...!”

“Heh...?!” Rakada jadi kaget setengah mati, begitu tiba- tiba saja Gordan menghentakkan tangan kanannya yang menggenggam batu sebesar kepalan tangan. Begitu cepat dan tidak terduga sama sekali tindakannya, membuat Rakada jadi tersentak kaget.

“Uts...!” Cepat-cepat Rakada meliukkan tubuhnya, menghindari lemparan batu Gordan. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, Gordan sudah membungkuk. Lalu cepat sekali tangannya menyambar sepotong kayu yang kebetulan ada di situ. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, potongan kayu cukup besar itu langsung saja dikibaskannya ke arah kaki Rakada.

“lkh...!”

Tuk! “Aaa...!”

“Paman Rakada...?!” Gordan jadi menjerit, ketika tiba-tiba saja Rakada terhantam kayu pada kakinya. Dia terpeleset. Bahkan tubuhnya langsung meluncur deras ke dalam jurang disertai jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat.

Tampak di atas bongkahan batu ini, menyembul kepala-kepala yang menjulur ke bawah. Jeritan yang begitu keras rupanya sampai menggegerkan juga.

“Ada apa...?!” seru Barada juga terkejut mendengar jeritan melengking tadi.

“Rakada.... Dia jatuh ke dalam jurang,” sahut salah seorang.

“Apa...?!” Barada begitu terkejut mendengar Rakada tercebur ke dalam jurang.

Begitu terkejutnya, sampai-sampai dia terlompat bangkit berdiri. Bergegas dihampirinya bongkahan batu di pinggiran jurang itu. Begitu cepat gerakannya, sehingga tahu-tahu sudah berada di atas batu. Lalu kepalanya langsung dijulurkan ke bawah.

“Setan keparat kau, Gordan! Kubunuh kau...!” teriak Barada berang setengah mati.

Tapi, Gordan hanya diam saja. Kepalanya menengadah ke atas, menatap Barada yang menjulurkan kepalanya ke balik batu ini. Begitu tajam sinar matanya, seakan-akan hendak menelan bulat-bulat. Sementara, Barada kembali berdiri tegak di atas batu. Tampak jelas sekali dari sinar matanya yang tajam, kalau hatinya begitu gusar atas keadaan ini. Salah seorang pembantu kepercayaannya sudah tewas tercebur jurang. Sedangkan Gordan masih tetap berada di balik batu di pinggiran jurang ini.

“Ayo pergi. Biar dia mampus kelaparan di situ!” dengus Barada kesal.

Memang tidak ada lagi yang bisa diperbuat, karena terlalu sulit untuk bisa mencapai ke balik batu itu. Sedangkan bagi Gordan sendiri, juga tidak mudah untuk bisa keluar. Enam orang yang mengikuti Barada segera berlompatan turun dari bongkahan batu sebesar kerbau itu. Sementara, Barada sudah berada di atas punggung kudanya. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah meninggalkan tepi jurang itu. 

***
DUA
Waktu terus berjalan, sesuai bergulirnya mentari ke arah barat. Di balik bongkahan batu besar yang berada tepat di bibir jurang, Gordan masih tetap duduk memeluk lutut. Dia berusaha berlindung dari sengatan matahari yang begitu terik. Pandangannya turus, tanpa berkedip sedikit pun merayapi dalamnya jurang di depannya. Walaupun matahari bersinar begitu terik, tapi kabut yang menyelimuti dasar jurang itu masih saja terlihat tebal. Sehingga, sulit sekali untuk bisa melihat jelas ke dasar jurang yang sangat dalam ini.

“Paman.... Kenapa kau rela mengorbankan nyawa untuk iblis-iblis keparat itu...?” desah Gordan perlahan. Begitu pelan suara pemuda itu, hampir-hampir tidak terdengar.

Sementara, matahari terus bergerak ke arah barat. Dan Gordan sudah merasakan perutnya bergolak minta diisi. Tapi, mana mungkin bisa mendapatkan makanan di tempat seperti ini. Sedangkan untuk bergerak saja, terasa sulit sekali. Begitu kecil tempat ini, sehingga tidak ada lagi ruang baginya untuk bisa keluar dari balik bongkahan batu ini. Gordan jadi mengeluh. Sungguh tidak terpikirkan oleh Gordan tadi. Yang ada dalam pikirannya hanya menyelamatkan diri dari keangkaramurkaan Barada.

Sementara, angin yang bertiup dari dalam jurang sudah mulai terasa dingin menusuk kulit. Gordan semakin merapatkan pelukannya ke lutut, berusaha mengurangi rasa dingin yang mulai menggigilkan. Sedikit kepalanya mendongak ke atas. Tampak matahari sudah condong ke arah barat. Tidak terasa, hampir satu harian penuh dia berada di balik batu di tepi jurang ini.

“Oh! Apa yang harus kuperbuat..?” desah Gordan bertanya pada diri sendiri.

Nada suaranya jelas sekali terdengar seperti putus asa. Dan memang sedikit sekali harapan untuk bisa keluar dari balik bongkahan batu ini. Bahkan Gordan merasakan tidak mungkin punya harapan lagi. Walaupun tadi mendengar Barada dan para pembantunya sudah pergi, tapi dia tidak yakin kalau mereka pergi begitu saja. Dia yakin, mereka pasti masih mengawasi dari tempat yang jauh. Dan kalaupun bisa keluar, pasti Gordan akan mati di ujung pedang Barada.

“Uh..." Gordan mengeluh kecil. Di saat Gordan sedang memikirkan cara yang tepat untuk bisa keluar, terdengar suara langkah kaki kuda mendekati jurang di balik batu sebesar kerbau tempatnya sekarang ini. Gordan jadi tersentak kaget. Cepat-cepat dia berdiri dan merapatkan punggungnya ke dinding batu yang agak cekung ini. Telinganya dipasang tajam-tajam, mencoba mendengarkan suara yang ada di balik batu ini.

“Sudah sore, Kakang. Sebaiknya kita bermalam saja di sini. Kelihatannya, tempat ini cukup baik untuk bermalam....” Terdengar suara yang sangat halus seorang wanita.

Tak lama, suara langkah kaki kuda pun terhenti. Begitu dekat suaranya di balik bongkahan batu ini. Sementara, Gordan tetap diam. Dia seperti tidak berani membuka suaranya sedikit pun juga. Namun pendengarannya tetap dipasang tajam-tajam.

“Berapa jauh lagi Desa Jungkun, Kakang?” Terdengar lagi suara halus seorang wanita, diikuti terdengarnya suara kaki menjejak tanah yang begitu ringan.

Jelas sekali dalam pendengaran Gordan, kalau ada dua orang di balik batu ini. Dan dari suara yang didengarnya, mereka terdiri dari seorang wanita dan seorang laki-laki. Tapi yang jelas, Gordan tidak kenal mereka. Namun demikian, telinganya terus dipasang lebar-lebar, agar bisa lebih jelas lagi mendengar. Dan di dalam hatinya, dia berharap bukan orang jahat seperti Barada yang datang, dan bisa mengeluarkannya dari sini. Bahkan tidak mungkin, perutnya yang sudah sejak tadi kosong bisa diisi.

“Ini sudah berada di kaki lereng Gunung Jungkun. Tidak begitu jauh lagi dari tempat ini. Pandan.” Terdengar suara sahutan seorang laki-laki yang bernada begitu lembut, seperti suara seorang putra mahkota.

“Tapi, sebaiknya kita bermalam saja di sini, Kakang. Biar perjalanan diteruskan besok pagi saja.”

“Begitu juga boleh. Biar kuda-kuda kita istirahat dulu. Kasihan, seharian penuh terus berjalan.”

Sementara Gordan dari balik batu, terus mendengarkan pembicaraan itu. Dia menduga-duga, siapa kedua orang ini...? Dan rasanya, suara itu belum pernah didengar sebelumnya. Gordan jadi ragu-ragu juga untuk meminta pertolongan. Dia khawatir, kalau kedua orang itu sama saja seperti Barada yang ingin memenggal kepalanya. Cukup lama juga Gordan berpikir mempertimbangkan kehadiran dua orang yang tidak dikenalnya. Hatinya jadi semakin gelisah saja. Dia masih terlihat ragu-ragu. Tapi akhirnya....

“Kisanak dan Nisanak....”

“Heh...?!” Terdengar nada suara terkejut dari balik batu.

“Siapakah kalian berdua? Apakah kalian bukan orang jahat..?” tanya Gordan. Suaranya dibuat dalam sekali, seakan tidak ingin bisa diketahui arahnya.

“Siapa itu yang berbicara...?” terdengar pertanyaan seorang wanita dari balik bongkahan batu ini.

“Aku. Dan kalian siapa...?”

“Kami dua orang pengembara yang hendak ke Desa Jungkun,” terdengar lagi suara sahutan dari seorang wanita.

“Apakah kalian ada hubungannya dengan Barada?”

“Siapa itu Barada...? Kami tidak pernah mendengar namanya.”

“Kalian bukan orang jahat?” Kali ini tidak terdengar sahutan. Dan untuk beberapa saat keadaan jadi sunyi.

“Kami hanya pengembara. Dan bukan orang jahat”

“Bagaimana aku bisa percaya kalau kalian bukan orang jahat...?”

“Kalau kau menunjukkan diri, akan tahu sendiri.“

Kini Gordan yang tidak bisa menyahuti. Dia terdiam memikirkan kata-kata wanita di balik batu itu. Dari nada suara dan kata-kata mereka, memang sepertinya bukan orang jahat. Terlebih lagi, mereka tidak mengenal orang yang bernama Barada. Dan juga, mengaku sebagai pengembara. Gordan jadi termenung beberapa saat lamanya. Dalam rimba persilatan, dia tahu kalau seorang pengembara belum tentu orang jahat. Bahkan kebanyakan adalah pendekar tangguh berilmu tinggi yang selalu membasmi keangkaramurkaan. Tapi tidak sedikit juga yang berwatak jahat, selalu membuat keonaran di mana saja berada.

“Kisanak! Di mana kau berada? Keluarlah...!” terdengar suara agak keras seorang laki-laki dari balik bongkahan batu di tepi jurang ini.

Gordan masih belum juga menjawab. Kepalanya didongakkan sedikit ke atas, menatap matahari yang sudah hampir tenggelam di ufuk barat Sinarnya tidak lagi terik seperti tadi. Bahkan terasa begitu lembut menyapu kulit. Cahaya merah jingga menyemburat begitu indah, tapi tidak seindah hati dan pikiran Gordan yang terus gelisah. Cukup lama juga Gordan tidak bersuara sedikit pun.

Sementara, dari balik bongkahan batu ini juga tidak terdengar suara sama sekali. Sedangkan matahari sudah benar-benar tenggelam di peraduannya. Kegelapan menyelimuti seluruh daerah di kaki lereng Gunung Jungkun.

Selagi Barada berpikir, tiba-tiba dikejutkan oleh berkelebatnya sebuah bayangan putih yang begitu cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di depannya sudah berdiri seorang pemuda berusia sebaya dengannya. Wajahnya begitu tampan, bagaikan seorang pangeran. Dan pemuda itu berbaju rompi warna putih bersih, dengan sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung.

Gordan cepat melompat bangkit berdiri, dan mera-patkan punggungnya ke bongkahan batu itu. Tampak jelas dalam keremangan cahaya bulan, wajahnya kelihatan pucat dan tubuhnya menggeletar kedinginan. Memang, angin yang bertiup dari dalam jurang ini begitu kencang menyebarkan udara dingin menggigilkan.

“Sss..., siapa kau...?! Mau apa kau ke sini?” terdengar tergagap suara Gordan.

“Tenang..., jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu,” kata pemuda berbaju rompi putih itu lembut.

Gordan memandangi pemuda berbaju rompi putih yang datang bagaikan angin, dari ujung kepala hingga ujung jari kaki. Seakan sedang dinilainya, apakah pemuda itu bermaksud baik atau buruk. Sedangkan yang dipandangi hanya tersenyum saja, membiarkan dirinya dinilai dengan cermat.

“Namaku Rangga. Kedatanganku ke sini tidak sendiri. Ada adikku yang menunggu di balik batu ini,” jelas pemuda berbaju rompi putih itu memperkenalkan diri, tetap dengan nada lembut.

Pemuda berbaju rompi putih dengan sebilah pedang tersampir di punggung itu memang Rangga. Dan dia lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Gordan tampaknya tidak mengenal sama sekali. Dan memang, dia belum pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti sebelumnya. Tak heran kalau dia masih tetap saja diam, dengan sorot mata begitu tajam bernada menyelidik. Seakan, hatinya masih belum percaya kalau pemuda yang memperkenalkan diri dengan nama Rangga itu berniat baik padanya.

“Kisanak! Kalau boleh aku tahu, siapa namamu...? Kenapa kau berada di sini?” tanya Rangga, masih dengan nada suara lembut sekali.

“Aku.... Namaku Gordan. Aku...,” Gordan tidak bisa meneruskan kata-katanya. Tubuh Gordan jadi bergidik menggigil, saat hembusan angin yang cukup kencang menerpa. Memang sangat dingin angin yang datang dari dalam jurang di depannya.

“Kau terperosok...?” sambung Rangga menduga.

Gordan hanya menganggukkan kepala saja. Memang hanya itu yang bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan untuk menceritakan kejadian yang sesungguhnya, kelihatan sangat sungkan. Apalagi, antara mereka baru sekali ini bertemu. Gordan khawatir, pemuda berbaju rompi putih itu orang suruhan Barada. Tapi rasa kecemasan dalam hatinya jadi terombang-ambing oleh sikap dan tutur kata Rangga yang begitu lembut. Sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau pemuda berbaju rompi putih itu menampakkan kebengisan. Bahkan terasa begitu lembut dan sangat bersahabat.

“Sejak kapan kau berada di sini?” tanya Rangga lagi.

“Pagi tadi,” sahut Gordan pelan.

“Kalau kau mau, aku bersedia membantumu keluar dari sini,” kata Rangga menawarkan jasa.

“Kau..., kau akan mengeluarkan aku dari sini...? Untuk apa?

“Sejak pagi, kau terperosok ke sini. Untung saja tidak masuk ke dalam jurang. Kau tentu sangat lapar. Dan kebetulan, aku ada makanan sedikit. Dan lagi, kau kelihatannya terluka. Kau tentu tidak mau mati di sini, bukan...?”

Gordan hanya diam saja.

“Marilah. Aku akan menolongmu keluar dari sini.”

Gordan masih saja diam, meskipun Rangga sudah melangkah mendekati. Entah kenapa, Gordan jadi lunak. Dibiarkannya saja Pendekar Rajawali Sakti memeluk pinggangnya. Lalu, tiba-tiba saja....

“Hup!”
“Eh...?!"
Wusss...!

Bagaikan seekor burung, Pendekar Rajawali Sakti melesat begitu cepat ke atas. Dan Gordan jadi tersentak kaget setengah mati. Maka cepat matanya dipejamkan. Tapi tidak berapa lama kemudian, Gordan sudah merasakan kakinya menjejak tanah kembali. Dan pelukan tangan Rangga di pinggangnya juga sudah terlepas. Perlahan kelopak matanya dibuka.

Sungguh dia jadi terlongong bengong, menyadari dirinya kini sudah berada di tempat yang cukup lapang, tidak jauh dari tepi jurang. Dan di depannya kini bukan hanya Rangga yang ada, tapi ada pula seorang gadis berwajah cantik jelita. Bajunya warna biru yang cukup ketat, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya begitu nyata terlihat.

“Kau sudah aman sekarang, Kisanak,” ujar Rangga, tetap lembut sekali.

“Oh...,” desah Gordan panjang.

“Mari, duduklah dekat api. Agar tubuhmu terasa lebih hangat,” ajak Rangga ramah.

Tanpa menoleh sedikit pun juga, Gordan mengikuti Pendekar Rajawali Sakti mendekati api. Kemudian dia duduk bersila, tidak jauh dari api yang menyala cukup besar. Sementara gadis cantik berbaju biru muda itu, sudah sibuk memutar-mutar panggangan daging. Kelihatannya, seperti daging kelinci. Bau harum daging kelinci panggang, membuat perut Gordan jadi berontak minta segera diisi. Tapi dia tetap saja diam, walaupun rasa lapar yang menghantam perutnya sudah hampir tidak tertahankan lagi. Dia tidak ingat lagi, kapan terakhir kali perutnya terisi makanan.

“Ini....” Gadis cantik yang memang Pandan Wangi menyodorkan satu panggangan kelinci yang sudah matang. Gordan kelihatan ragu-ragu sejenak. Matanya melirik sedikit pada Rangga. Baru kelinci panggang itu diambil setelah melihat kepala Rangga terangguk, sambil memberi senyum manis sekali. Pendekar Rajawali Sakti juga mengambil kelinci panggang ini, kemudian me-reka makan tanpa berbicara lagi.

Gordan diam saja ketika Rangga memperhatikan dan memeriksa seluruh tubuhnya dengan cermat sekali. Tampak jelas, dalam siraman cahaya api kalau kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut. Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu sudah merebahkan diri, tidak jauh di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

“Maaf. Kelihatannya kau seperti baru saja habis mendapat siksaan. Luka-luka di tubuhmu jelas bekas cambukan,” kata Rangga bernada ragu-ragu.

Gordan masih saja tetap membisu. Di dalam hatinya, dikaguminya pengamatan Rangga yang begitu cermat, sehingga bisa mengetahui jenis luka. Dan memang, luka-luka yang dideritanya bekas deraan cambuk. Bahkan luka-luka memar di tubuhnya akibat mendapat pukulan serta tendangan.

“Siapa yang menyiksamu sampai seperti ini, Gordan?” tanya Rangga.

“Hhh...!” Gordan hanya menghembuskan napas saja. Seakan, Gordan begitu berat untuk mengatakan yang sebenarnya. Baru beberapa saat mereka saling mengenal, tapi sikap Rangga terlihat begitu memperhatikan. Dan hal ini membuat hati Gordan jadi tidak tenteram. Entah apa yang menyebabkannya. Dia sendiri tidak tahu. Sikap Rangga yang begitu lembut dan penuh perhatian, membuatnya jadi sulit membuka suara. Lidahnya seakan-akan jadi kelu, sulit digerakkan.

“Ceritakan saja, Gordan. Kalau kau punya persoalan yang bisa membahayakan nyawamu, kami berdua tidak segan-segan membantu. Asalkan, kau berada di pihak yang benar,” selak Pandan Wangi.

Gordan menatap gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu, kemudian beralih pada wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Kembali ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan, dia sedang mencari kekuatan untuk membuka suara. Tapi itu masih saja terasa sulit dilakukan. Dan lidahnya terasa begitu kelu.

“Siapa yang menyiksamu, Gordan...?” tanya Pandan Wangi lagi, terus mendesak.

Gadis itu bangun, dan duduk di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Tatapan matanya terlihat begitu tajam, langsung menembus sepasang mata Gordan yang redup. Tapi pemuda itu malah mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan tidak sanggup membalas tatapan mata Pandan Wangi yang menyorot sangat tajam.

“Sudahlah.... Mungkin kau tidak ingin kami berdua ikut campur dalam persoalanmu,” elak Rangga menengahi.

“Sebaiknya kau tidur saja, Gordan. Mudah-mudahan saja besok pagi tubuhmu sudah segar kembali.”

Gordan hanya menganggukkan kepala saja, kemudian menggeser duduknya. Lalu, tubuhnya direbahkan tidak jauh dari api unggun. Sementara, Rangga bangkit berdiri. Kakinya kemudian melangkah menjauhi pemuda itu. Pandan Wangi bergegas mengikuti. Mereka kemudian duduk di atas sebatang akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Namun, perhatian mereka masih terus tertuju pada Gordan yang tampaknya sudah jatuh tertidur. Begitu cepat pemuda itu jatuh tertidur. Mungkin karena memang sudah begitu lelah.

Sementara, Rangga masih tetap duduk diam sambil memeluk sebelah lutut kanannya. Sedangkan Pandan Wangi sudah kembali merebahkan diri, dengan punggung bersandar pada akar yang menyembul dari dalam tanah ini. Dan malam pun terus merayap semakin bertambah larut Udara di sekitar tepian jurang kaki lereng Gunung Jungkun ini semakin terasa dingin menggigilkan tulang. Api yang menyala cukup besar, seakan tidak mampu mengusir udara dingin ini.

“Kakang....”

“Hm....” “Aku yakin kalau Gordan punya persoalan, Kakang. Jadi mana mungkin bisa terperosok ke dalam jurang itu, kalau tidak ada sebabnya. Dan lagi, di tubuhnya penuh luka bekas penyiksaan,” kata Pandan Wangi pelan setengah berbisik.

“Kalau memang benar, lalu...?”

“Apa salahnya kalau kita mencoba menolong, Kakang.”

“Tapi, Gordan sendiri seperti enggan ditolong orang lain. Sedangkan kita..., tidak mungkin bisa berbuat sesuatu kalau orangnya sendiri tidak menginginkannya.“

“Barangkali dia masih sulit mengungkapkannya, Kakang. Tunggu saja sampai besok pagi,” kata Pandan Wangi bersabar.

Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Kemudian tubuhnya direbahkan tidak jauh dari api unggun yang tetap menyala besar. Sedangkan Pandan Wangi masih tetap duduk sambil memeluk lutut memperhatikan Gordan yang sejak tadi sudah mendengkur. Matanya melirik sedikit pada Rangga yang sudah memejamkan matanya. Terlihat gerakan di dadanya begitu halus dan teratur.

“Hhh...!” Pandan Wangi menghembuskan nafasnya yang berat sekali.

Entah kenapa, perasaannya mengatakan kalau pemuda yang ditemuinya berada di balik batu harus ditolong. Tapi dia sama sekali tidak tahu, persoalan apa yang sedang dihadapi pemuda itu sehingga hampir saja tercebur ke dalam jurang sangat dalam. Sedangkan untuk menanyakannya, sudah tidak mungkin lagi. Gordan memang tidak menginginkan bantuan siapa pun juga, seperti yang dikatakan Rangga tadi. Dan tampaknya, pemuda itu merahasiakan persoalannya.

Pandan Wangi melihat kalau tidur pemuda itu gelisah sekali. Entah, sudah berapa kali Gor-dan menggelimpangkan tubuhnya. Dan, beberapa kali pula terdengar hembusan nafasnya yang begitu berat dan keras.

“Akh...!”

“Oh...?!” Pandan Wangi jadi terkejut. Dan gadis itu langsung terlompat bangkit berdiri, begitu tiba-tiba saja Gordan memekik seraya terbangun duduk dari tidurnya. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di depan pemuda itu. Tampak seluruh wajah dan tubuh Gordan bersimbah keringat dengan napas tersengal-sengal tak beraturan.

“Ada apa, Gordan...?” tanya Pandan Wangi, dengan kelopak mata agak menyipit memperhatikan wajah pemuda yang bersimbah keringat itu.

“Ohhh...,” Gordan hanya menghembuskan napas panjang-panjang saja. Sebentar Gordan seperti baru terjaga dari tidur dan mimpi buruknya, kemudian pandangannya ditujukan lurus ke wajah cantik Pandan Wangi. Beberapa kali nafasnya ditarik dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan rongga dadanya yang menda-dak saja jadi terasa sesak ingin dilonggarkan.

Sementara Pandan Wangi masih bersabar menunggu, seraya memperhatikan wajah yang berkeringat itu.

“Ada apa, Gordan? Kau bermimpi...?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Hhh...!”

***
TIGA
Semalaman penuh Pandan Wangi tidak bisa memejamkan matanya. Sedangkan Gordan tidak juga ingin menceritakan mimpi buruk yang dialaminya semalam, hingga matanya juga tidak bisa dipejamkan lagi. Gordan hanya mengatakan kalau habis bermimpi. Hanya itu saja yang dikatakannya.

Dan pada pagi harinya, Pandan Wangi menceritakan tentang mimpi Gordan semalam pada Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu ditanyakan tentang mimpinya, Pandan Wangi tidak bisa menjawab. Dan memang, dia tidak tahu apa mimpi yang dialami Gordan semalam.

Pendekar Rajawali Sakti jadi penasaran juga. Dihampirinya Gordan yang duduk terpisah dari mereka. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti menemaninya duduk di sebelah kanan.

“Kau bermimpi buruk semalam, Gordan?” tanya Rangga langsung.

Gordan hanya menganggukkan kepala sedikit.

“Kau mau menceritakannya padaku...?” pinta Rangga lembut.

Gordan masih tetap diam. Perlahan wajahnya berpaling, menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian pandangannya beralih lurus ke depan. Sekali ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat.

Sementara Rangga masih sabar menunggu. Saat itu, Pandan Wangi datang menghampiri, setelah menyiapkan kuda-kuda. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu kemudian duduk di sebelah Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku tahu, kau sedang mengalami kesulitan, Gordan. Kau bisa mengurangi beban yang menghimpitmu kalau mau menceritakan sedikit persoalanmu padaku,” kata Rangga lagi mendesak.

“Terima kasih atas perhatian kalian berdua. Aku memang punya persoalan. Tapi sungguh..., aku tidak ingin kalian terlibat dalam persoalanku ini,” kata Gordan setelah cukup lama berdiam diri membisu.

“Kalau kau tidak ingin kami terlibat kami juga tidak ingin melibatkan diri. Kami hanya ingin mengurangi beban yang kau derita,” kata Rangga terus membujuk.

“Hhh...!” Lagi-lagi Gordan menghembuskan napas panjang.

“Katakan saja, Gordan,” desak Pandan Wangi.

“Kalau kukatakan, sudah pasti kalian tidak akan bisa menghindari. Kalian pasti akan terlibat walaupun berusaha menghindar. Sungguh! Aku tidak ingin ada korban lagi. Biarlah aku saja yang menderita, asalkan jangan orang lain yang ikut merasakannya,” kata Gordan masih dengan suara pelan.

“Kalaupun terlibat, kami akan mengatasinya sendiri. Percayalah...,” ujar Rangga meyakinkan.

“Kalian tidak akan melibatkan aku lagi...?”

“Tidak,” sahut Rangga mantap.

“Sungguh...?” Rangga mengangguk mantap.

“Terus terang, aku tidak sudi lagi melihat mereka. Apalagi berurusan dengan mereka. Aku akan pergi sejauh mungkin, ke tempat yang tidak bisa dijangkau mereka...,” kata Gordan, terdengar terputus nada suaranya.

“Siapa mereka, Gordan?” tanya Rangga.

“Mereka yang menyiksamu?” sambung Pandan Wangi, bertanya.

Gordan hanya menganggukkan kepala saja. Kemudian... “Pangeran Iblis....”

“Pangeran Iblis...?!” desis Pandan Wangi dengan kening berkerut.

“Ya! Dia kejam sekali. Dia bukan lagi manusia, tapi iblis dari neraka.”

“Hm, siapa dia itu...?” gumam Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.

“Aku tidak tahu, siapa dia sesungguhnya. Tahu-tahu, dia sudah ada dan langsung menguasai seluruh wilayah Kadipaten Wurungga. Dia datang seorang diri, tapi sudah bisa menguasai semua orang di kota kadipaten itu. Bahkan kini, sudah banyak desa yang dikuasainya. Aku sendiri tidak mengerti, sampai orang-orang begitu memuja. Sepertinya, dia dewa saja,” Gordan mulai menceritakannya.

Sementara, Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Sedangkan Gordan terdiam, mengumpulkan kata-kata yang akan diutarakannya pada kedua pendekar muda yang diketahuinya hanya dua orang pengembara saja, yang kebetulan lewat di tempat ini. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu tahu, Gunung Jangkun ini juga masih termasuk Kadipaten Wurungga. Dan kota kadipaten itu tidak jauh lagi dari Desa Jungkun yang berada di kaki lereng gunung ini. Jaraknya pun tidak seberapa jauh Lagi dari sini. Tapi, kedua pendekar itu sama sekali tidak tahu keadaan sekarang di sana. Dan tampaknya, mereka terkejut mendengar Kadipaten Wurungga sudah dikuasai manusia iblis yang disebut Pangeran Iblis.

“Sudah banyak pendekar sakti dan digdaya yang berusaha untuk mengenyahkan Pangeran Iblis itu. Tapi, justru yang terjadi malah sulit diterima akal...,” sambung Gordan terputus nada suaranya.

“Apa maksudmu, Gordan?” Pandan Wangi meminta penjelasan.

“Seperti pamanku..., Paman Rakada. Semula, Paman Rakada mengajakku untuk mengusir Pangeran Iblis dari Kadipaten Wurungga. Tapi entah kenapa, justru paman jadi berbalik. Bahkan kini begitu patuh pada perintah Pangeran Iblis. Hingga, dia begitu tega hendak membunuhku,” sahut Gordan menjelaskan keadaan yang sebenarnya.

“Hm.... Jadi, itu sebabnya sampai kau berada di balik batu itu kemarin...?” gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.

“Benar. Bahkan Paman Rakada terjerumus masuk ke dalam jurang karena berusaha mengeluarkan aku dari sana.”

“Kenapa kau tidak keluar?”

“Tidak mungkin, Nini. Saat itu, Paman Rakada masih dipengaruhi pikirannya. Dia bukannya ingin mengeluarkan, tapi justru ingin menyerahkan aku pada orang kepercayaan Pangeran Iblis. Kalian tahu, kalau aku keluar kemarin, sudah pasti kalian hanya akan menemukan tubuhku saja. Sedangkan kepalaku akan dibawa pada Pangeran Iblis,” sahut Gordan.

“Untuk apa...?” tanya Pandan Wangi agak mendesis terkejut.

“Sebagai peringatan bagi siapa saja yang berani menentang kehendak Pangeran Iblis,” sahut Gordan.

“Edan..!” desis Rangga.

“Kejam sekali...!” dengus Pandan Wangi jadi geram.

“Aku sebenarnya sudah menjadi tawanan mereka. Tapi, aku bisa meloloskan diri dan terus kabur dari kadipatenan. Hingga aku sampai ke tempat ini, mereka terus mengejarku sampai di sini. Tapi setelah Paman Rakada tewas tercebur ke dalam jurang, mereka meninggalkanku begitu saja. Mereka berharap, aku mati kedinginan dan kelaparan di bibir jurang itu,” kata Gordan lagi.

“Hm...,” Rangga menggumam kecil.

“Mereka pasti tidak akan melepaskanku begitu saja. Mereka pasti akan kembali lagi ke sini untuk mengambil mayatku. Kalau tahu aku masih hidup, pasti mereka akan terus mengejar walaupun sampai ke ujung langit“ sambung Gordan.

Mereka kemudian terdiam membisu. Cukup lama juga tidak ada yang membuka suara lagi. Entah apa yang ada di dalam pikiran masing-masing. Sementara, Rangga sudah bangkit berdiri tegak. Matanya terus menatap lurus ke arah Desa Jungkun yang sudah terlihat dari tempat ini. Desa itu kelihatan sunyi, seperti tidak berpenghuni lagi. Dan tidak jauh di sebelah selatan desa, terletak Kota Kadipaten Wurungga. Memang, tidak bisa terlihat dari lereng gunung ini, karena terhalang hutan kecil yang membatasi antara Kota Kadipaten Wurungga dengan Desa Jungkun. Tapi, ada jalan membelah hutan kecil itu yang menghubungkan ke kota kadipaten.

“Rasanya kita tidak mungkin bisa tinggal diam begitu saja, Kakang,” ujar Pandan Wangi, setelah berdiri dan berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.

“Eh...?!” Gordan jadi tersentak kaget mendengar kata-kata gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu.

Bukan hanya Rangga yang berpaling, tapi juga Pandan Wangi. Sementara, Gordan bergegas bangkit berdiri dari duduknya. Dan kakinya melangkah beberapa tindak, lalu berdiri tepat di depan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Gordan memang tidak tahu, siapa sebenarnya kedua anak muda yang telah menyelamatkan nyawanya dari mati kelaparan dan kedinginan di balik batu yang berada di bibir jurang.

Dia memang tidak mungkin lagi bisa keluar dari sana dalam keadaan hidup, kalau tidak ditolong pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini. Terlebih lagi, tenaganya memang sudah tidak ada lagi. Bahkan dirinya dalam keadaan terluka akibat mendapat penyiksaan yang cukup berat dari para pengikut Pangeran Iblis.

“Tidak...! Kalian tidak boleh ke sana. Kalian, akan sia-sia, dan hanya menyerahkan nyawa saja kalau sampai ke sana,” cegah Gordan.

Sejenak Rangga menatap Pandan Wangi yang juga tengah menatapnya. Kemudian, bibir Pendekar Rajawali Sakti bergerak membentuk sebuah senyuman yang sangat manis. Ditepuknya pundak Gordan, masih dengan bibir tersenyum.

“Kau tidak perlu mencemaskan kami berdua, Gordan...,” kata Rangga, terputus suaranya.

“Kau tahu, siapa kami berdua, Gordan...?” ujar Pandan Wangi bernada bertanya.

Gordan hanya diam saja memandangi kedua pendekar muda itu. Sejak kemarin, mereka berdua ini memang belum dikenalnya betul. Walaupun sudah memperkenalkan nama masing-masing, tapi yang sesungguhnya Gordan memang tidak tahu. Dan tanpa disadari kepalanya bergerak menggeleng.

“Kami pendekar-pendekar muda dari Karang Setra. Dan kalau ada persoalan seperti ini, sudah barang tentu tidak bisa tinggal diam begitu saja. Memang, sudah menjadi tugas para pendekar untuk membasmi keangkaramurkaan,” kata Pandan Wangi.

“Pendekar dari Karang Setra...?” desis Gordan seperti tidak percaya nada suaranya.

“Benar! Kami memang berasal dari sana,” kata Pandan Wangi lagi.

“Apakah..., apakah kalian yang dijuluki Sepasang Pendekar Karang Setra...?”

Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja, tapi disertai senyum lembut. Memang, julukan itu sudah pernah didengarnya dari orang-orang kalangan rimba persilatan. Kedua pendekar itu memang selalu mengatakan berasal dari Karang Setra. Sedangkan mereka selalu pergi mengembara berdua, menunaikan tugas kependekaran. Hingga, orang-orang dari kalangan rimba persilatan selalu menjuluki mereka Sepasang Pendekar Karang Setra.

“Dan kau..., kau pasti Pendekar Rajawali Sakti,” tebak Gordan lagi, seraya menatap Rangga dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja. “Kau..., si Kipas Maut..?” ujar Gordan lagi, berpindah menatap Pandan Wangi.

“Tidak salah lagi, Gordan,” sahut Pandan Wangi, tanpa sedikit pun ada nada menyombongkan diri. Sengaja gadis itu mengatakan hal yang sebenarnya, agar Gordan tidak lagi mencegah dan merasa cemas kalau mereka ingin ke Kadipaten Wurungga.

“Oh...,” Gordan mendesah panjang, seraya menghembuskan nafasnya.

Tiba-tiba saja, pemuda itu jatuh berlutut. Lalu dipeluknya kedua kaki Rangga erat-erat. Dan hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak kaget. Demikian pula Pandan Wangi yang terkejut melihat sikap Gordan seperti itu.

“Bangunlah, Gordan. Tidak pantas kalau sikapmu begitu padaku,” kata Rangga seraya menarik tubuh pemuda itu hingga kembali berdiri.

“Maafkan aku.... Maafkan aku yang buta dan tidak mengenal kalian berdua para pendekar digdaya...,” ujar Gordan, agak terbata suaranya.

“Ah, sudahlah.... Kami juga manusia biasa sepertimu,” kata Rangga merendah.

“Sungguh, aku tidak tahu kau adalah Pendekar Rajawali Sakti. Oh..., sungguh bodoh aku yang tidak mengenali pendekar digdaya seperti kalian berdua.” Gordan membungkukkan tubuhnya, menjura memberi hormat pada kedua pendekar muda dari Karang Setra yang sudah dikenal sebagai Sepasang Pendekar Karang Setra.

Sikap hormat yang diberikan Gordan, membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi merasa rikuh juga. Tapi, mereka sudah tidak bisa lagi menghilangkan rasa hormat pemuda itu. Maka kini terlihat rasa penyesalan di dalam sinar mata Pandan Wangi, karena mengatakan diri mereka berdua yang sesungguhnya. Tapi, apa boleh buat? Semua sudah telanjur, dan kata-kata yang sudah terucapkan tidak mungkin bisa ditarik kembali. Ibarat ludah yang sudah keluar, tidak mungkin dijilat lagi.

“Kalian sungguh-sungguh ingin pergi ke kota?” tanya Gordan, seakan ingin menegaskan.

“Benar, Gordan. Kami tidak mungkin bisa diam diri begitu saja setelah mendengar penuturanmu,” Pandan Wangi yang menyahuti, sebelum Rangga bisa membuka suara.

“Oh! Kalau kalian yang datang, aku yakin Pangeran iblis pasti bisa ditumpas,” kata Gordan mantap.

“Semua tergantung dari Hyang Widhi, Gordan. Jika sang Hyang Widhi menghendaki, kami tentu bisa menghentikannya,” kata Rangga merendah lagi.

“Nama kalian berdua sudah seringkali kudengar. Dan...,” Gordan tidak melanjutkan.

“Dan apa, Gordan?” Pandan Wangi meminta meneruskan.

“Terus terang, sebenarnya aku berusaha kabur dari mereka juga, untuk pergi ke Karang Setra. Dan aku ingin meminta bantuan para pendekar Karang Setra. Kudengar, Karang Setra memiliki pendekar-pendekar tangguh dan digdaya. Bahkan rajanya juga seorang yang sangat digdaya,” kata Gordan melanjutkan.

Rangga hanya tersenyum saja. Sudah barang tentu Gordan tidak tahu kalau sekarang ini sedang berhadapan dengan Raja Karang Setra. Dan Pandan Wangi juga hanya tersenyum saja. Matanya langsung melirik Pendekar Rajawali Sakti. Memang, tidak banyak orang yang tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah juga Raja Karang Setra. Dan kebanyakan orang hanya men-genal kalau pemuda itu hanya seorang pendekar yang berasal dari Karang Setra, yang terkenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

“Pendekar tangguh bisa didapatkan di mana saja, Gordan. Tidak harus di Karang Setra,” kata Rangga masih merendahkan diri.

“Tapi yang kudengar, Karang Setra memiliki begitu banyak pendekar tangguh dan digdaya. Seperti kalian ini. Begitu banyak orang yang membicarakan ketangguhan kalian berdua. Bahkan begitu banyak orang dari kalangan persilatan yang harus berpikir seribu kali jika ingin menantang kalian bertarung. Terutama sekali kau, Pendekar Rajawali Sakti. Kesaktian yang kau miliki memang tidak ada duanya di jagat raya ini,” lagi-lagi Gordan memuji.

“Ah, sudahlah. Tidak akan ada habisnya kalau terus membicarakan hal itu,” kata Rangga tidak ingin melanjutkan.

“Sudah terlalu siang, Kakang. Apa sebaiknya kita berangkat saja sekarang...? Dan sebelum malam tiba kurasa kita sudah bisa sampai di kota kadipaten,” kata Pandan Wangi mengusulkan.

“Baiklah,” sahut Rangga menyetujui.

"Tapi...”

Pendekar Rajawali Sakti menatap Gordan. Di sini hanya ada dua ekor kuda. Sedangkan mereka semua ada tiga orang. Rasanya, tidak mungkin kalau kedua pendekar muda itu meninggalkan Gordan seorang diri saja.

“Kau bersamaku, Gordan. Di Desa Jungkun nanti, aku akan membelikanmu kuda,” kata Rangga

“Oh, terima kasih.... Aku senang sekali bisa berkuda bersamamu, Pendekar Rajawali Sakti,” sambung Gordan, gembira.

“Ayolah. Jangan membuang-buang waktu lagi,” ajak Rangga.

Tak berapa lama kemudian, mereka sudah berkuda meninggalkan kaki lereng Gunung Jungkun itu. Dan jelas sekali kalau tujuan mereka ke Desa Jungkun yang terletak tidak jauh lagi dari tepian jurang itu. Rangga menunggang kudanya yang dikenal berna-ma Kuda Dewa Bayu. Di belakangnya duduk Gordan. Dipeluknya erat-erat pinggang Rangga. Hatinya agak ngeri juga dengan kecepatan lari kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

Sedangkan Pandan Wangi menunggang kuda putih miliknya. Begitu cepatnya kuda itu berlari, hingga seakan-akan keempat kakinya tidak lagi menepak tanah. Debu begitu tebal mengepul tinggi ke angkasa, diterjang kaki-kaki kuda. Sedangkan Pandan Wangi sudah mulai tertinggal sekitar lima batang tombak jauhnya di belakang. Gadis itu memang sulit untuk bisa menyamai kecepatan lari Kuda Dewa Bayu dengan kuda putihnya yang hanya seekor kuda biasa. Jelas saja, karena kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti adalah kuda pemberian dewa yang langsung diturunkan ke bumi dari kahyangan.

“Kakang, tunggu...!” teriak Pandan Wangi, begitu merasakan semakin jauh saja tertinggal.

Rangga berpaling ke belakang sebentar, kemudian memperlambat lari kudanya. Sehingga, dengan cepat Pandan Wangi bisa menyamai kuda hitam itu lagi. Dan kudanya terus dipacu cepat di samping Kuda Dewa Bayu. Kali ini, Rangga mengendalikan lari kudanya, agar Pandan Wangi tidak tertinggal lagi. Kini mereka tiba di Desa Jungkun, namun hanya singgah sebentar. Di desa ini, mereka mendapatkan seekor kuda yang bagus dan tegap untuk Gordan. Demikian pula pakaian yang bersih untuk mengganti baju Gordan yang sudah koyak bernoda darah. Memang masih ada luka-luka di tubuhnya, tapi sudah tidak lagi mengeluarkan darah. Dan hanya luka-luka kering saja yang tinggal menunggu kesembuhan.

Mereka terus melanjutkan perjalanan di atas kuda masing-masing, membelah hutan kecil yang menjadi pembatas antara Desa Jungkun dengan Kota Kadipaten Wurungga. Dan ternyata Gordan pandai sekali menunggang kuda. Hingga, dia tidak perlu takut tertinggal. Dan hanya Rangga saja yang bisa mengendalikan kecepatan lari kudanya, agar tidak meninggalkan yang lainnya.

Sementara matahari terus merayap ke arah barat, sesuai perjalanan waktu. Ketiga anak muda itu terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan tanah di dalam hutan kecil ini. Debu terus mengepul membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Gerbang perbatasan Kota Kadipaten Wurungga sudah terlihat Rangga memperlambat lari kudanya, diikuti Pandan Wangi dan Gordan. Tampak gerbang perbatasan yang terbuat dari batu itu dijaga enam orang berpakaian seragam prajurit kadipaten. Mereka masing-masing menggenggam sebatang tombak yang panjangnya dua kali dari tubuh mereka.

“Berhenti...!”
“Hooop...!”

Ketiga anak muda itu langsung menghentikan langkah kaki kudanya, begitu salah seorang prajurit kadi-paten penjaga gerbang memintanya berhenti. Lalu prajurit yang berteriak keras tadi menghampiri Rangga segera melompat turun dari punggung kudanya, diikuti Pandan Wangi. Sementara, Gordan masih tetap duduk di atas punggung kudanya. Sebuah caping bambu yang cukup besar, memang cukup untuk melindungi wajahnya agar tidak dikenali di Kota Kadipaten Wurungga ini.

“Siapa kalian?! Dan, mau apa datang ke Kota Kadipaten Wurungga ini?” tanya prajurit yang masih berusia sekitar dua puluh lima tahun itu.

Sikapnya begitu angkuh. Bahkan sedikit membusungkan dadanya. Tapi sorot matanya justru tidak berpindah dari wajah cantik Pandan Wangi yang berdiri tidak jauh di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, lima orang prajurit lain mulai melangkah menghampiri. Mereka menyeringai begitu melihat wajah Pandan Wangi yang begitu cantik.

“Kami bertiga datang dari jauh. Dan hanya ingin lewat saja di kota kadipaten ini,” sahut Rangga memberi tahu

“Boleh kami lewat..?”

“Hm...,’ prajurit itu menggumam. Kakinya lalu melangkah menghampiri Pandan Wangi. Diperhatikannya gadis itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, seperti sedang menilai suatu barang yang sangat indah. Dan perlahan tangannya menjulur hendak menyentuh wajah si Kipas Maut itu. Tapi begitu jari tangannya hampir menyentuh pipi yang putih dan halus itu, mendadak saja....

“Hih!”
Plak!
“Aduhhh...!”

Prajurit itu kontan terpekik kaget, dan langsung menarik tangannya yang tiba-tiba saja terasa panas bagai terbakar. Cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah. Wajahnya langsung memerah, menatap tajam Pandan Wangi.

“Kurang ajar...! Hih
Bet!

Cepat sekali prajurit itu mengebutkan tombaknya, menyodok langsung ke arah lambung Pandan Wangi. Tapi hanya sedikit saja gadis ini mengegoskan tubuhnya, tombak yang cukup panjang itu lewat di samping tubuhnya. Dan tanpa dapat dilihat dengan mata biasa, si Kipas Maut itu sudah cepat menghentakkan kaki kirinya.

“Yeaaah...!”
Diegkh!
“Akh...!”

Kembali prajurit muda itu terpekik, dan langsung terpental sejauh tiga batang tombak ke belakang. Tendangan Pandan Wangi yang begitu keras, tepat mendarat di dadanya. Akibatnya, prajurit itu hanya bisa menggelepar sedikit begitu jatuh di tanah, lalu mengejang kaku. Dia tewas seketika itu juga dengan tulang-tulang dada remuk, terkena tendangan yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tadi.

Sementara itu lima orang prajurit lain jadi terkejut setengah mati, melihat temannya tewas seketika, hanya sekali mendapat tendangan saja. Dan seperti ada yang memberi perintah, mereka langsung saja berlompatan cepat menerjang ke arah Pandan Wangi. Tapi belum juga melakukan serangan, mendadak saja....

“Hup! Hiyaaa...!”

Gordan yang sejak tadi duduk saja di punggung kudanya, langsung cepat melompat. Dan seketika pukulannya terlontar begitu cepat menghajar kelima prajurit itu. Begitu cepat gerakan-gerakannya, hingga membuat lima orang prajurit itu tidak dapat lagi mengetahuinya.

Dan tahu-tahu, mereka sudah berpentalan sambil menjerit keras melengking tinggi. Hanya dalam waktu sekejapan mata saja, Gordan sudah membuat lima orang prajurit itu terkapar tanpa dapat bangun-bangun lagi. Mereka seketika tewas dengan dada remuk, akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Gordan tadi.

“Seharusnya kalian tidak perlu membunuh mereka...,” desah Rangga menyesalkan.

“Maaf, Kakang. Mereka yang memulai,” Pandan Wangi membela diri.

“Gordan! Kenapa kau begitu tega membunuh mereka?” Rangga menatap Gordan yang sudah membuka caping bambunya.

“Mereka bukan para prajurit, Kakang,” sahut Gordan, yang kini sudah menyebut kakang pada Rangga, mengikuti Pandan Wangi. Dan memang, Rangga sendiri yang menghendakinya.

“Hm, lalu siapa mereka?”

“Iblis pengikut Pangeran Iblis,” sahut Gordan lagi.

“Hhh..., sudahlah. Ayo kita teruskan, sebelum ada orang lain yang melihat,” ajak Rangga tidak ingin memperpanjang lagi.

Mereka kembali berlompatan naik ke atas punggung kuda masing-masing, dan terus memacu cepat meninggalkan gerbang perbatasan itu. Kini mereka lang-sung menuju Kota Kadipaten Wurungga. Dan saat itu, matahari sudah hampir tenggelam di balik belahan bumi bagian barat.

***
EMPAT
Kota Kadipaten Wurungga memang sangat indah di waktu malam. Hampir di setiap sudut kota itu bermandikan cahaya lampu pelita yang berwarna-warni. Tapi, suasananya memang terasa tidak nyaman. Di mana-mana selalu terlihat prajurit bersenjata tombak dan pedang tengah berjaga-jaga. Seakan-akan, kota itu sedang menghadapi perang saja.

Rangga memilih sebuah rumah penginapan yang cukup besar dan apik di kota itu, tidak jauh dari bangunan kadipatenan yang dijaga puluhan prajurit berusia muda. Dari jendela kamar penginapannya, bisa terlihat langsung pintu gerbang masuk bagian depan kadipatenan. Ada sekitar sepuluh orang berpakaian prajurit tengah berjaga-jaga di sana yang menyandang senjata lengkap.

“Kelihatannya penjagaan sangat ketat, Kakang. Seperti sedang menghadapi perang saja....”

Rangga berpaling, lalu tersenyum melihat Pandan Wangi sudah berada di sampingnya. Gadis itu juga rupanya memperhatikan penjagaan di sekitar bangunan tempat tinggal Adipati Wurungga ini. Dan di dalam hati, Rangga memang membenarkan ucapan Pandan Wangi. Rasanya, cukup sulit juga untuk bisa menembusnya.

“Kalau kalian ingin masuk ke dalam, aku tahu jalan rahasia yang teraman.”

Kedua pendekar dari Karang Setra itu agak terkejut juga, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari belakang. Mereka cepat berbalik. Dan kening mereka langsung berkerut begitu melihat seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun, tahu-tahu sudah berada di dalam kamar penginapan ini. Laki-laki itu mengenakan baju warna biru muda yang sangat halus. Dan pasti terbuat dari bahan sutera yang sangat mahal harganya.

Pada bagian dadanya terdapat sulaman benang emas bergambar bunga-bunga. Walaupun sudah berusia lebih dari separuh baya, tapi wajahnya yang bersih masih terlihat tampan. Rambutnya yang masih hitam pun tertata rapi, tergelung ke atas. Dari penampilannya, Rangga bisa menebak kalau laki-laki yang tahu-tahu sudah ada di dalam kamar penginapan ini pasti seorang pembesar kadipaten.

“Maaf kalau kedatanganku mengejutkan kalian,” ucap laki-laki separuh baya itu seraya membungkukkan tubuhnya sedikit, memberi penghormatan.

Rangga segera membalas salam penghormatan itu. dengan membungkukkan tubuhnya juga. Pandan Wangi juga mengikuti sikap Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian Rangga mempersilakan tamunya ini duduk dengan sikap ramah, walaupun dari sorot matanya masih memancarkan rasa curiga.

“Maaf, siapakah Paman ini...? Rasanya kami belum pernah mengenal,” ucap Rangga, lembut dan penuh rasa hormat.

“Memang kita belum saling mengenal. Tapi terus terang saja, aku sudah mengenalmu, Rangga,” sahut laki-laki tua itu kalem.

“Oh...?!” Rangga kembali terkejut.

“Namaku Arya Sempana,” laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu memperkenalkan diri.

Rangga mengangguk sedikit, menerima perkenalan itu. Sementara, Pandan Wangi tetap berdiri saja membelakangi jendela. Dan di dalam kamar penginapan ini memang hanya ada dua buah kursi yang mengapit sebuah meja kayu, di samping sebuah ranjang berukuran besar. Namun, tidak ada perabotan lainnya di dalam kamar itu.

“Jangan heran, kenapa aku bisa tahu namamu, Rangga. Juga kedatangan kalian berdua di kadipaten ini,” lanjut Arya Sempana.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam sedikit saja.

“Gordan yang memberitahukan tentang kalian padaku.”

“Gordan...?!” Kembali Rangga terkejut. Sungguh tidak di sangka kalau Gordan sudah menceritakan kedatangannya pada orang lain, tanpa diketahui sama sekali. Tapi tidak ada waktu lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bertanya-tanya. Dia hanya diam saja dengan kepala dipenuhi segudang pertanyaan yang sulit dijawab saat ini.

“Gordan bukan saja keponakanku. Tapi, juga putra Gusti Adipati Utayasena,” jelas Arya Sempana.

“Ohhh...,” Rangga hanya bisa mendesah panjang saja.

“Dia sudah bercerita banyak tentang kalian berdua. Terus terang, ku ucapkan terima kasih karena kalian telah menyelamatkan nyawanya. Kalau tidak ada kalian berdua, entah apa yang terjadi terhadap Gordan. Mungkin saja, sekarang ini aku hanya bisa menerima kabar tentang nasibnya, tanpa dapat lagi bertemu orangnya,” lanjut Arya Sempana.

Kini Pendekar Rajawali Sakti baru tahu, ternyata Gordan putra adipati. Pantas saja dia tidak mau berjalan bersama-sama, setelah memasuki kota kadipaten ini. Pemuda itu lalu meminta untuk berpisah. Dan sekarang pun Rangga tidak tahu, di mana Gordan berada.

“Maaf, Paman. Boleh aku bertanya sedikit..,” pinta Rangga menyelak.

“Silakan,” sahut Arya Sempana ramah.

“Di mana Gordan sekarang berada?” tanya Rangga langsung.

“Keselamatannya sangat terancam kalau keberadaannya di Kadipaten Wurungga ini diketahui, Rangga. Dia langsung pergi setelah menceritakan semua peristiwa yang dialaminya. Juga tentang kalian berdua,” sahut Arya Sempana.

“Paman tahu, ke mana perginya?” selak Pandan Wangi bertanya.

“Dia tidak mau mengatakannya, walaupun sudah kudesak. Tapi memang, itu lebih baik untuk menjaga keselamatan dirinya,” sahut Arya Sempana lagi.

Rangga dan Pandan Wangi terdiam seraya saling melemparkan pandangan satu sama lain. Sementara, Arya Sempana juga terdiam. Hanya dipandanginya saja kedua pendekar muda itu bergantian. Sikapnya masih terlihat sopan.

“Kalau boleh kutahu, apa sebenarnya yang sedang terjadi di Kadipaten Wurungga ini, Paman?” tanya Rangga setelah cukup lama membisu.

“Sulit untuk menjelaskannya, Rangga. Kadipaten Wurungga ini benar-benar telah menjadi neraka. Di sini, sudah tidak ada lagi saling percaya. Masing-masing saling curiga. Bahkan pembunuhan terjadi di mana-mana. Sulit sekali untuk mengendalikan keadaan kacau ini. Bahkan dalam satu keluarga pun sulit menemui orang yang bisa dipercaya. Tidak ada lagi tempat aman dan damai di kadipaten ini.”

“Kenapa bisa begitu, Paman?” tanya Pandan Wangi, jadi ingin tahu lebih banyak lagi.

“Semua ini terjadi karena ulah Pangeran Iblis,” sahut Arya Sempana, agak gusar nadanya.

Sementara, Rangga hanya diam saja sambil mendengarkan semua penuturan laki-laki tua berbaju sutera halus yang sangat indah itu. Dicobanya untuk membandingkan antara cerita yang didengarnya dari Gordan, dengan cerita yang dituturkan Arya Sempana. Di saat mereka semua tengah terdiam, tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang wanita, disertai makian dan sumpah serapah.

Pendekar Rajawali Sakti bergegas bangkit berdiri, dan melangkah ke jendela. Sementara, Pandan Wangi juga cepat memutar tubuhnya. Sedangkan Arya Sempana segera menghampiri jendela kamar penginapan yang sejak tadi terbuka lebar itu.

Tampak di luar sana terlihat seorang gadis muda tengah meronta-ronta diseret empat orang berpakaian prajurit. Kedua tangan gadis itu terikat tambang yang dipegangi empat orang prajurit berusia muda. Banyak orang di jalan itu, tapi tak seorang pun yang berusaha menolongnya. Dan baru saja Rangga hendak bergerak melompat keluar dari jendela, Arya Sempana sudah lebih cepat mencekal pergelangan tangannya.

“Jangan...!” cegah Arya Sempana.

“Tapi, Paman....”

“Biarkan saja. Jangan ikut campur dulu urusan mereka. Biarkan gadis itu dibawa. Kau akan celaka nantinya bila menolongnya,” kata Arya Sempana memperingatkan.

Rangga jadi terdiam dengan kening berkerut, dan kelopak mata agak menyipit. Sungguh sulit dimengerti sikap Arya yang mencegahnya menolong gadis muda itu dari tangan-tangan kasar para prajurit. Gadis itu diseret dengan tambang yang mengikat kedua tangannya. Dia jatuh bangun sambil menjerit-jerit dan memaki-maki.

Namun tidak ada seorang pun yang mau menolongnya. Bahkan Arya Sempana sendiri mencegah Rangga yang hendak menolong. Dan inilah yang membuat Rangga jadi semakin tidak mengerti tentang keadaan di Kadipaten Wurungga ini. Apa yang terjadi benar-benar membuat Pendekar Rajawali Sakti bingung tidak mengerti.

Sementara, gadis itu sudah dibawa masuk ke dalam lingkungan kadipaten yang dijaga ketat puluhan prajurit bersenjata lengkap. Dan suara teriakannya pun lenyap, setelah melewati pintu gerbang masuk ke kadipatenan itu. Perlahan Rangga berbalik, dan pandangan matanya langsung menembus bola mata Arya Sempana. Sedangkan laki-laki separuh baya itu hanya menghembuskan napas panjang yang terasa berat sekali.

“Kelak kau akan mengerti sikapku tadi, Rangga,” ujar Arya Sempana perlahan.

Laki-laki tua itu membalikkan tubuhnya, dan melangkah mendekati kursi dari rotan. Sambil menghembuskan napas panjang, tubuhnya dihempaskan di kursi. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih tetap berdiri membelakangi jendela, memandang ke wajah Arya Sempana yang tampak terselimut kabut tebal.

“Akan diapakan gadis itu, Paman?” tanya Pandan Wangi. Terdengar agak dalam nada suara si Kipas Maut Sorot matanya terlihat begitu dalam, tidak berkedip menatap mata Arya Sempana.

“Untuk pemuas nafsu pangeran,” sahut Arya Sempana pelan.

“Maksudmu...?” Pandan Wangi jadi bergidik juga mendengar penjelasan Arya Sempana barusan.

Sungguh tidak disangka kalau prajurit-prajurit Kadipaten Wurungga bisa berbuat seperti itu. Mereka mengambil paksa gadis-gadis untuk dipersembahkan pada Pangeran Iblis sebagai pemuas nafsu. Maka seketika darah si Kipas Maut itu jadi bergolak mendidih.

“Apa lagi yang dilakukan iblis itu selain memperkosa gadis-gadis?” tanya Pandan Wangi lagi.

Jelas sekali, kali ini nada suara Pandan Wangi terdengar begitu geram. Seakan-akan, dirinya sendirilah yang terkoyak saat itu. Sementara, Rangga hanya memandangi saja gadis yang berjuluk si Kipas Maut ini. Dia tahu betul watak Pandan Wangi. Bila mendengar ada orang yang menginjak-injak martabat kaumnya, darahnya langsung bergolak mendidih. Tapi, inilah yang dikhawatirkan Pendekar Rajawali Sakti.

Pandan Wangi akan bertindak lebih beringas lagi, jika memang benar Pangeran Iblis menumpahkan nafsunya pada gadis-gadis secara paksa. Maka tidak ada seorang pun yang bisa membendung amarah si Kipas Maut itu, kalau sampai ada martabat kaumnya yang terinjak-injak. Bahkan Rangga sendiri agak kewalahan juga bila menahan luapan amarah gadis itu.

“Sudah terlalu banyak keangkaramurkaan yang ditimbulkannya di kadipaten ini. Entah ilmu apa yang dipakai, sehingga banyak orang berhasil dipengaruhi untuk menjadi pengikutnya. Termasuk, adikku sendiri yang juga pamannya Gordan. Dia juga terpengaruh Pangeran Iblis, hingga tega hendak memenggal leher keponakannya sendiri,” kembali Arya Sempana menjelaskan keadaan di Kadipaten Wurungga ini.

“Hhh! Aku jadi penasaran. Seperti apa sih, tampang Pangeran Iblis itu...?” desis Pandan Wangi agak mendengus. 

***