Sepatah Kata dari Hector Sebastian
1.
Penyelamatan
2.
Pelatih Ikan Paus
3.
Penelepon Gelap
4.
Penyamar Bermata Aneh
5.
Trio Detektif Unjuk
Gigi
6.
Harta yang Tenggelam
7.
Tikungan Maut!
8.
Orang Ketiga
9.
Pertolongan Mr.
Sebastian
10.
Raksasa Tanpa Muka
11.
Sergapan Mendadak!
12.
Dua Tiang
13.
Bahaya di Kedalaman
14.
Nyanyian Fluke
15.
Peti yang Hilang
16.
Wajah si Raksasa Tak
Bermuka
17.
Di Balik Semua Itu
18.
Laporan pada Hector
Sebastian
SALAM jumpa. Aku ingin bilang—.
Oh, aku tidak sedang berbicara, tetapi
aku sedang mengetik pada komputer portable
milikku. Komputer ini memudahkanku untuk mengetik naskah. Naskah itu lalu
kusimpan dalam sebuah disket. Praktis sekali.
Aku penulis cerita misteri. Dulunya aku
bekerja sebagai detektif swasta. Itu sudah lama sekali terjadi, dan sama sekali
tidak ada hubungannya dengan cerita yang sebentar lagi kalian baca — aku yakin
kalian akan segera membaca cerita ini.
Kali ini kawan-kawan
mudaku, Trio Detektif, mempunyai pengalaman yang aneh. Belum pernah mereka
jumpai sebelumnya. Bahkan membayangkannya pun tidak.
Tetapi.. oh, aku lupa. Mungkin ada yang
belum mengenal mereka. Aku akan perkenalkan mereka dulu.
Trio Detektif adalah tiga anak yang
tinggal di Rocky Beach, kota kecil di pinggir pantai di daerah California
Selatan, tidak jauh dari Hollywood.
Jupiter Jones alias Penyelidik Satu
adalah pemimpin kelompok ini. Anaknya pendek gemuk. Kalau ingin mengejeknya,
kau dapat menyebutnya si Gendut atau si Buntek. Ia paling tidak suka disebut
begitu. Tetapi Ia mempunyai otak yang cemerlang. Dengan memutar otaknya, Ia
dapat memecahkan persoalan yang rumit dan pelik. Ia juga memiliki rasa percaya
diri yang besar sekali, jauh lebih besar dari kawan-kawannya yang sebaya. Orang
mungkin menganggapnya agak sok, tetapi aku sendiri suka pada Jupe — nama
panggilannya. kalau ia mengatakan sesuatu dengan yakin—-well, sering kali ia benar.
Pete Crenshaw alias Penyelidik Dua,
adalah yang paling atletis di antara mereka bertiga. Ia pandai bermain baseball dan jago berenang sehingga badannya
tinggi, langsing, tegap, dan... makannya banyak. Ia senang sekali dapat
bertualang menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi Trio Detektif. Namun Ia
tldak seberani Jupe dalam menghadapi situasi yang berbahaya.
Bob Andrews, penyelidik ketiga dalam
kelompok ini, bertugas menangani data dan riset. Ia cerdas, gemar mempelajari
sesuatu yang baru, dan peka terhadap perasaan orang lain. Menulis sudah
merupakan bakatnya sejak lahir. Ke mana-mana Ia pergi, buku catatannya pasti
tidak ketinggalan. Tidak ada yang luput dari catatannya.
Nah, aku sudah memperkenalkan Trio
Detektif pada kalian. Sekarang kalian dapat mendengar sendiri kisah mereka
dalam kasus penculikan ikan paus. Ikan paus? Aneh. Buat apa ikan paus diculik?
Baru kali ini mereka menjumpai kasus seperti itu. Dan ini membuat rnereka
bertualang di laut.
Selamat membaca. Mudah-mudahan kalian
tidak mengalami kesulitan untuk membaca. Membaca kan lebih mudah dari mengetik,
sekalipun mengetik dengan komputer.
Kalian dapat membaca sambil bersantai.
PENYELAMATAN "ITU DIA!” teriak Bob Andrews. “Di sana!”
Dengan bersemangat Ia menunjuk ke arah
laut. Kira-kira tiga mil dari pantai terlihat seekor ikan paus kelabu menyembul
dari permukaan laut. Dari kepalanya tersembur air, bagaikan air mancur yang
memancar ke segala arah. Sesaat kemudian ikan paus itu menyelam kembali ke
dasar laut.
Trio Detektif — Jupiter Jones, Pete
Crenshaw, dan Bob — mengamati dari karang yang cukup tinggi di pinggir pantai.
Hari itu hari pertama liburan musim semi. Pagi-pagi benar mereka telah bangun
dan segera bersepeda menuju pantai untuk melihat rombongan ikan paus melintas.
Setiap bulan Februari dan Maret, atau di
awal musim semi, ribuan ikan paus bermigrasi dan Alaska ke Meksiko, melintas
dekat pantai Pasifik. Mereka menuju Baja California, sebuah teluk berair hangat
di ujung semenanjung Meksiko. Di sanalah ikan paus betina melahirkan
anak-anaknya.
Mereka beristirahat selama beberapa
minggu untuk mengumpulkan tenaga sebelum kembali lagi ke Alaska, dengan
mengarungi lautan sejauh lima ribu mil. Pada musim panas perairan Antartika
akan penuh dengan udang dan plankton, yang merupakan makanan ikan paus.
“Tidak seorang pun tahu bagaimana
ikan-ikan paus itu kembali ke Alaska,” kata Bob.
Di waktu-waktu senggangnya Bob Andrews
bekerja di perpustakaan Rocky Beach sebagai penjaga perpustakaan. Sehari
sebelumnya ia telah mempelajari buku-buku mengenai kehidupan ikan paus.
“Kenapa?” tanya Pete.
“Tidak ada yang dapat
menelusuri rute perjalanan mereka,” Bob menjelaskan sambil melihat catatannya.
"Pada perjalanan menuju selatan, mereka bergerombol sehingga mudah terlihat. Tetapi waktu kembali ke utara, mereka
tidak terlihat. Ada yang beranggapan bahwa mereka berpencar, dan melakukan
perjalanan ke Alaska sepasang-sepasang.
“Hm, betul juga, ya,” Pete Crenshaw
menyetujul. “Dengan berjalan sepasang- sepasang mereka sukar dibuntuti atau
ditelusuri rute perjalanannya. Menurutmu bagaimana, Jupe?”
Tetapi penyeiidik pertama Trio Detektif
itu, Jupiter Jones, seolah-olah tidak mendengar. Bahkan Ia tidak memandang ke
laut lepas tempat gerombolan ikan paus kelabu melintas. Dengan mata dipicingkan
ia memandang ke bawah, ke sebuah teluk kecil. Minggu lalu terjadi badal yang
hebat. Dan sampal kini bekasnya masih terlihat. Kepingan-kepingan kayu,
plastik, dan gundukan ganggang laut tampak mengotori pantai.
“Ada sesuatu yang
bergerak-gerak di teluk itu," kata Jupe dengan nada khawatir. “Ayo, kita
ke sana.”
Dengan hatI-hati Ia menuruni karang itu.
Begitu sampai di daerah berpasir. Ia berlari menyusur pantai. Pete dan Bob
mengikutinya.
Laut sedang surut. Anak-anak berlari
terus selama beberapa saat. Di suatu tempat Jupiter berhenti. Ia menunjuk ke
suatu tempat, beberapa meter dan pinggir pantai.
"Itu ikan paus!” kata Pete.
Jupiter mengangguk. “Ikan paus yang
terdampar. Kita harus menolongnya, kalau tidak ikan itu akan mati."
Anak-anak segera melepas sepatu dan kaus
kaki mereka. Seraya menggulung celana sampai ke lutut mereka berlari menuju
laut.
Ikan paus itu termasuk kecil, panjangnya
sekitar dua setengah meter. Ikan paus dewasa ada yang bisa mencapai tiga puluh
meter panjangnya. Bayi ikan paus, tebak Bob, yang terpisah dan induknya. Lalu
terdampar ke pantai karena ombak besar.
Pantal itu sangat landai. Di tempat ikan
paus itu terdampar air laut cuma sedikit di atas mata kaki. Ini suatu
keberuntungan bagi mereka, sebab pagi itu air laut sedingin air es. Dangkalnya
air laut di situ membuat ikan paus itu tidak dapat kembali ke laut lepas.
Anak-anak berusaha mendorongnya ke laut.
Mereka mencoba mengangkatnya. Ternyata ikan paus sekecil itu beratnya luar
biasa. Mungkin sampai satu ton, pikir Jupe. Badannya licin selicin es dan tidak
ada yang dapat dijadikan pegangan selain ekor dan siripnya. Anak-anak tidak
berani menarik ekor atau siripnya, takut melukainya.
Ikan paus itu tidak menunjukkan
gejala takut kepada anak-anak. Agaknya dia mengerti bahwa anak-anak sedang
berusaha menolongnya. Dia memandang dengan pandangan yang bersahabat pada
anak-anak yang sedang mencoba mengangkatnya dari perairan dangkal di sana.
Ketika membungkuk, Bob melihat sesuatu
yang lain di kepala ikan paus itu. Lubang napas di kepalanya menarik
perhatiannya. Sambit mengingat-ingat buku yang dibacanya di perpustakaan, Ia
menyadari bahwa ikan paus itu tidak termasuk dalam rombongan ikan paus yang
sedang melintas di laut lepas.
Ia ingin mengatakan hal itu pada Jupe
dan Pete, tetapi saat itu segulung ombak besar menerjang. Anak-anak jatuh
terduduk. Ketika mereka berdiri kembali, air laut semakin surut. Permukaan air
sekarang berada di bawah mata kaki mereka. Dan ikan paus kecil itu tersapu
ombak hingga tergetetak di pasir yang kering.
“Wah, gawat” kata Pete. “Ikan itu makin
jauh dari laut sekarang. Sementara laut makin surut.”
“Bara enam jam lagi laut pasang,” kata
Bob lirih.
“Dapatkah ikan paus bertahan selama itu
di pasir kering?” tanya Pete.
“Kelihatannya tidak. Mereka akan
mengalami dehidrasi —kekeringan— dengan cepat di tempat kering. Kulitnya akan
mengelupas karena kekeringan.” Bob membungkuk seraya mengelus-elus kepala ikan
paus itu dengan rasa kasihan. “Kita harus cepat-cepat mengembalikannya ke
laut."
Seakan-akan mengerti apa yang dikatakan
Bob, ikan paus itu membuka matanya sesaat. Matanya memancarkan kesedihan, pikir
Bob. Lalu mata itu memicing, dan perlahan-lahan menutup.
“Mengembalikan ke laut?” tanya Pete.
“Bagaimana caranya? Tadi saja di tempat yang berair kita tidak dapat
menggerakkannya, apalagi di sini.".
Bob menyadari kesulitan yang dihadapi.
Ia menoleh pada Jupe. Ia baru menyadari bahwa Jupe dari tadi diam saja. Suatu
hal yang jarang terjadi. Biasanya Jupe-lah yang banyak berbicara. Jupe selalu
menjadi orang pertama yang memberikan usul pemecahan atas suatu masalah.
Namun, meskipun mulutnya diam saja,
Jupiter Jones sesungguhnya sedang memutar otaknya mencari akal untuk
menyelamatkan ikan paus itu. Ia menarik- narik bibir bawahnya dengan telunjuk
dan ibu jarinya. Itu mernang sering dilakukannya kalau ia sedang berpikir
keras.
“Kalau kita tidak dapat mendekati
gunung,” katanya berdekiamasi, “gununglah yang harus mendekati kita.”
“Apa artinya itu?” tanya Pete heran.
“Gunung apa?"
Jupe mempunyai
kebiasaan untuk memakai kata-kata yang sulit dan kalimat- kalimat yang panjang.
kadang-kadang ini membuat kedua kawannya tidak mengerti apa yang
dimaksudkannya.
"Yang kumaksud dengan gunung,"
Jupe menjelaskan, “Ialah laut itu. Kalau saja kita punya sekop, kain terpal,
dan — sebuah pompa. Aku ingat, Paman Titus pernah membeli sebuah pompa air
bekas dari sebuah tempat loak itu masih bisa dipaka;. Lalu sebuah pipa—"
“Kita gali sebuah lubang,” potong Bob.
“Lalu kita alasi dengan kain terpal,”
tambah Pete.
“Dan kite pompakan air ke dalamnya,”
Jupe menyelesaikan. “kita buat kotam darurat untuk ikan paus ini. Paling tidak
agar ikan ini dapat bertahan sampai laut pasang.”
Setelah berunding sebentar,
Bob dan Pete ditugaskan mengambil peralatan yang diperlukan dan pagkalan barang
bekas yang dikelola keluarga Jones. Sedangkan Jupe kebagian tugas menjaga ikan
paus itu.
Sementara kedua temannya pergi, Jupiter
mencari barang-barang bekas di pinggir pantai. Ia berhasil menemukan sebuah
kantung plastik. Selama setengah jam berikutnya ia berlari-lari kecil
mondar-mandir, mengisi kantung plastik dengan air laut untuk disiramkan ke
tubuh ikan paus itu.
Jupe memang tidak terlalu suka
berolahraga. Ia lebih suka berpikir ketimbang berolahraga. Karena itu ketika
kedua kawannya datang Ia berseru sambil terengah- engah, “Aduh, tak sabar aku
menunggu kalian."
Padahal kedua kawannya telah
menyelesaikan tugas mereka dengan amat cepat.
Mereka membawa perlengkapan yang
diperlukan—segulung kain terpal, pompa tangan, sekop, dan sebuah pipa.
“Ayo, kita mulai,” seru Jupe. “kolam
harus dibuat sedekat mungkin dengan ikan ml, agar mudah memasukkannya. "
Pete, yang paling kuat dan tegap di
antara mereka bertiga, menggali paling banyak. Untungnya pasir lembab di
bawahnya cukup lunak. Dalam waktu kurang dari sejam mereka telah membuat lubang
berukuran tiga kali satu meter dan sedalam satu meter.
Mereka mengalasinya dengan kain terpal
agar lubang itu dapat menampung air. Kemudian Pete memompa air laut, sementara
Bob dan Jupe memegangi pipa yang panjang. Tidak percuma Pete gemar berolahraga,
dalam sekejap kolam buatan itu penuh dengan air laut.
“Sekarang tinggaL yang paling sulit,”
kata Jupiter pada Pete, seraya menunjuk ke arah ikan paus.
“Mengapa kau melihat
padaku?” ujar Pete sambil nyengir. “Sekarang kan giliran kalian berdua yang
bekerja. "
Jupe diam saja. Seolah-olah beranggapan
bahwa dia tidak perlu lagi bekerja karena dialah pencetus ide pembuatan kolam
itu.
Setelah beristirahat sejenak, anak-anak
mencoba mendorong ikan paus itu ke dalam kolam. Sekuat tenaga mereka
mendorongnya, namun ikan paus itu tidak bergerak sedikit pun. Bob menepuk-nepuk
kepalanya. Ikan paus itu membuka matanya. Aku yakin Ia tersenyum padaku, pikir
Bob. Meskipun sesungguhnya Bob tahu bahwa ikan paus tidak dapat menggerakkan
bibimya.
“Sekarang aku hitung sampai tiga,” kata
pimpinan Trio Detektif. “Slap? Satu, dua...”
Ia belum selesai menghitung. Pada saat
anakanak bersiap-siap mendorong, ikan paus itu seakan-akan mengerti. Dia menggerak-gerakkan
tubuhriya mendekati kolam. Dan dengan suatu gerakan mengejut, ikan itu
melompat. Tepat jatuh di dalam kolam.
“Berhasil!” sera Bob kegirangan. Jupe
dan Pete ikut-ikutan kegirangan.
Di air, ikan paus itu seperti menemukan
dunianya kembali. Dia menyelam sebentar, menikmati segarnya air laut di kolam
darurat itu. Perlahan-lahan dia mengapung di permukaan. Tiba-tiba satu semburan
air keluar dari sebuah lubang napas di kepalanya. Rupanya ikan paus itu ingin
mengucapkan terima kasihnya kepada anak-anak.
“Nanti, kalau laut pasang...’ ujar
Jupiter.
“Itu nanti saja,” potong Pete. “Sekarang
sudah jam sembilan! Kita kan berjanji pada Bibi Mathilda untuk bekerja di
pangkalan pagi ini. Dan perutku sudah keroncongan minta sarapan. "
Jupiter Jones tinggal bersama paman dan
bibinya, Paman Titus Jones dan Bibi Mathilda. Mereka berdualah yang mengelola
pangkalan barang bekas di pinggiran kota Rocky Beach. Anak-anak sering kali
bekerja di sana. Mereka memperbaiki perabot rumah tangga, mengampelas besi-besi
tua, serta membetulkan peralatan aneh-aneh yang selalu dibeli Paman Titus.
Dengan berat hati mereka berpisah dengan
ikan paus itu.
"Kami pergi dulu, ya," ujar
Bob pada ikan paus itu.
“Nanti sore kami kembali. Baik-baik,
ya.” Bob berkata begitu seakan-akan ikan paus itu dapat diajak bicara.
Anak-anak memakai
kembali sepatu mereka serta membawa pulang pompa, sekop, dan pipa. Bergegas
mereka menaiki karang. Ketika hendak menaiki sepeda, Jupe mendengar suara di
belakangnya.
Kira-kira dua mil
dari pantai sebuah kapal pesiar mungil tampak bergerak lambat- lambat sambil
mengeluarkan bunyi letupan-letupan kecil. Ada dua laki-laki di geladaknya. Nama
kapal itu tidak terbaca karena jaraknya terlalu jauh.
Jupe melihat seberkas cahaya dari kapal
itu. Sekali, lalu sekali lagi.
“Sepertinya mereka memberi tanda,” kata
Pete.
Penyelidik Satu menggeleng. “Cahaya itu
tidak mempunyat pola," sahutnya. "Aku berkesimpulan bahwa mereka
sedang meneropong, dan cahaya itu merupakan pantulan sinar matahari pada
teropong mereka.”
Kesimpulan itu cukup masuk akal dan
dapat diterima oleh kedua kawannya. Mereka segera menaiki sepedanya. Tetapi
Jupe masih mengamati kapal itu, yang sekarang bergerak ke arah pantai.
“Ayolah,” kata Pete pada Jupe dengan tak
sabar. “itu kan cuma kapal pesiar biasa. Tidak ada yang aneh. Apalagi sekarang
sedang musim perpindahan ikan-ikan paus. Ratusan kapal pesiar berlayar tiap
hari untuk menikmati pemandangan itu."
“Aku tahu,” tukas Jupe sambil menuntun
sepedanya ke jalan. “Tetapi orang-orang di kapal itu tidak melihat ikan-ikan
paus itu. Teropongnya diarahkan ke tempat lain. ke arah pantai. Menurut
perkiraanku, mereka mengamat-amati kita.”
“Yah, itu mungkin saja,” ujar Bob dengan
acuh tak acuh. “Mereka tertarik karena kita menolong ikan paus itu.”
Jupe melupakan masalah itu.
Bibi Mathilda sudah menanti di gerbang,
ketika anak-anak sampai di Pangkalan Jones. Ia seorang yang sangat memegang
teguh disiplin. Tidak segan-segan ia menegur orang yang melanggar disiplin.
Namun sebenarnya hatinya lembut dan sikapnya ramah pada semua orang. Ia
menikmati hidupnya di pinggir kota kecil Rocky Beach sambil mengelola pangkalan
barang bekas bersama suaminya. Ia juga senang bahwa Jupe mau tinggal bersama
mereka sejak orang tua Jupe meninggal. Tetapi yang paling disukainya ialah
membuat anak-anak bekerja.
“Kalian terlambat!” tegurnya pada
anak-anak. “Apa lagi alasan kalian? Teka-teki apa lagi yang kalian hadapi kali
ini?"
Jupiter tidak pernah bercerita pada Bibi
Mathilda bahwa Ia dan kedua kawannya adalah detektif sungguhan. Detektif yang bekerja
untuk memecahkan kasus-kasus yang dihadapi orang yang memerlukan bantuan
mereka. Bibi Mathilda mengira bahwa anak-anak cuma anggota sebuah kiub
penggemar teka-teki di koran atau majalah.
Anak-anak bekerja
keras selama beberapa jam di Pangkalan Jones. Siangnya Bibi Mathilda menyuguhi
mereka makan siang. Karena puas dengan hasil kerja anak- anak, Ia membebaskan
mereka untuk bermain setelah makan.
Trio Detektif tiba di teluk jam tiga
lewat. Laut sudah mulai pasang. Mereka turun dan sepeda, dan bergegas ke
pantai.
Mereka berlari sewaktu sampai di daerah
berpasir. Sebentar saja Pete sudah meninggalkan kedua kawannya di belakang. Ia
sampai lebih dulu di kolam itu. Di sana ia terhenyak. Dengan cemas
dipandanginya kolam itu.
Jupiter dan Bob menyusulnya. Mereka juga
cemas ketika melihat koLam itu.
Kolam darurat itu masih sda di
tengah-tengah pasir kering. Dan airnya pun masih penuh.
Tetapi ikan paus kecil itu telah hilang!
“BARANGKALI Ia
melompat ke luar,” ujar Pete, “lalu merayap sendiri ke laut” Tetapi Ia sendiri
tidak yakin dengan perkataannya .
“Mudah-mudahan begitu,” kata Bob dengan
nada bimbang. Pantai sangat landai. Ikan paus itu harus menempuh jarak yang
cukup jauh untuk sampai di perairan yang cukup dalam.
Jupe diam membisu. Ia menjauhi kolam
sambil mengamat-amati pasir di sekitar situ.
“Ada sebuah truk berhenti di sini,”
katanya dengan kening berkerut “Truk itu datang dari jalan dan melintasi
pantai, lalu parkir di dekat kolam. kelihatannya cukup lama truk itu diparkir,
sebab bekasnya cukup dalam di sini. Bahkan saking dalamnya, ketika hendak
berjalan kembali ban depannya harus diganjal. Kemudian truk itu kembali ke
jalan.”
Jupe memperlihatkan jejak ban mobil yang
ditemukannya dan sebuah lekukan yang tegak lurus pada jejak itu.
“Mungkin seseorang
melapor tentang adanya ikan paus yang terdampar,” kata Bob. “Dan kemudian
dikirim orang untuk menolong ikan paus itu.”
"Masuk akal," Jupe
menyetujui pendapat Bob. Kalau berkata begitu, biasanya Ia juga telah
memikirkan hal yang sama sebelumnya. "Nah, kalau seseorang melihat seekor
ikan paus di sebuah kolam di pantai, siapa yang akan dihubunginya?”
Tanpa menunggu jawaban dari
kawan-kawannya, Ia berjalan menuju sepedanya. Pete dan Bob menggulung kain
terpal, lalu menyusulnya.
“Ocean World,” Jupiter menjawab
pertanyaannya sendiri setengah jam kemudian. “Itu yang paling mungkin.”
Trio Detektif sedang duduk-duduk dalam
kantor mereka di Pangkalan Jones.
Kantor itu sebenarnya sebuah karavan
yang sudah lama dibeli Paman Titus. kanena karavan itu tidak laku-laku dijual,
barang-barang rongsokan mulai bertimbun di sekitarnya. Kini karavan itu
seluruhnya tersembunyl di bawah timbunan barang- barang rongsokan. Anak-anak
menjadikannya sebuah kantor. Mereka mempunyai jalan rahasia untuk masuk ke kantor
itu.
Di dalamnya, karavan itu dilengkapi
dengan sebuah laboratorium mini, sebuah kamar gelap untuk mencetak foto, sebuah
meja, tempat menyimpan berkas, dan sebuah telepon. Anak-anak membayar biaya
telepon itu dengan uang yang mereka hasilkan dari bekerja di Pangkalan Jones.
“Ocean World,” gumam Jupe sambil
membolak-balik buku telepon. Ia menemukan nomornya dan segera menelepon.
Telepon itu dihubungkan
dengan sebuah pengeras suara sehingga ketiga anak itu dapat mendengar apa yang
diucapkan orang yang ditelepon.
“Di sini Ocean World,” kata suara itu.
“Ocean World berlokasi dekat Pacific Coast Highway, di sebelah utara Lembah
Topanga.” Suara itu berasal dan sebuah rekaman.
Dengan gemas dan tak sabar Jupe
mendengarkan suara itu menerangkan pertunjukan yang ada, jam-jam pertunjukan,
dan harga karcis masuk. Akhirnya suara itu menyampaikan pesan yang
ditunggu-tunggu Jupe.
“Ocean World dibuka dari jam sepuluh
hingga jam enam, Selasa sampai Minggu,” kata suara itu. “Setiap hari kecuali
Senin, Anda—”
Jupe meletakkan telepon.
“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya
Bob. “Apakah kita coba telepon lagi besok?"
“Jaraknya cuma
beberapa mil dari jalan di pinggir pantai itu,” kata Jupe. “Bagaimana kalau
besok pagi kita bersepeda dan berkunjung ke sana?”
Jam sepuluh keesokan paginya Tiio
Detektif mengunci sepeda mereka di pelataran parkir Ocean World. Sesudah
membeli karcis masuk gerbang, mereka mulai dengan melihat-lihat akuarium
raksasa berisi ikan laut berwarna-warni, dihiasi karang dan ganggang laut.
Mereka menonton singa-singa laut dan pinguin-pinguin bermain-main di kolam
kolam besar terbuka yang berair jernih dan segar. Di suatu tempat Bob melihat
sebuah gedung bercat putih. Di luarnya terdapat papan bertuliskan:
ADMINISTRASI.
Jupe mengetuk pintunya.
“Masuk,” terdengar suara bernada sopan
dan dalam. Trio Detektif melangkah masuk.
Seorang wanita muda berdiri di belakang
meja. Ia mengenakan pakaian renang wanita. Kulitnya kecoklatan terbakar sinar
matahari. Rambutnya hitam legam dipotong pendek. Ia lebih tinggi dari
anak-anak, bahkan dari Pete. Bahunya bidang dan tegap, dan pinggangnya ramping.
Pete, yang gemar berolahraga, segera tahu bahwa wanita muda ini seorang
perenang ulung. Si wanita muda sepertinya lebih cocok hidup di air daripada di
darat.
“Hai. Aku Constance Carmel,” sapanya
ramah. “Ada apa?"
“Kami ingin melapor bahwa ada
seekor ikan paus yang terdampar,” kata Jupe. “Kemarin pagi kami menemukannya,
dan sudah kami buatkan kolam sementara untuk menolongnya ”
Semua yang terjadi
kemarin di teluk kecil dekat Rocky Beach diceritakan oleh Jupe dengan lengkap.
Ia juga memberi tahu bahwa ikan paus yang mereka tolong itu telah lenyap ketika
sore harinya mereka kembali.
Constance Carmel
mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Semua ini baru
kemarin terjadinya?” tanyanya.
“Betul," jawab
Jupe sambil mengangguk .
“Kemarin aku tidak di sini” Constance
Carmel berbalik dan mengambil masker selam dari lemari. “Hari Senin tempat ini
tutup untuk umum, dan cuma sebagian saja karyawan yang bekerja." Ia
terdiam sejenak, lalu menatap anak-anak lagi. “Tetapi kalau ada ikan paus yang
diselamatkan dan dibawa ke Ocean World, aku pasti langsung diberi tahu pagi
tadi, karena aku salah seorang pelatih senior ikan paus di sini.”
"Jadi", ujar Bob dengan
kecewa," tidak ada ikan paus yang dibawa ke sini?"
Constance Carmel menggeleng. Seraya
mengencangkan tali maskernya, Ia berkata, “Sayang sekali. Aku tidak bisa
membantu kalian.”
“Tidak apa-apa,” kata
Pete.
“Maaf, ya,” kata Constance Carmel lagi.
“Aku harus mengadakan pertunjukan sekarang.”
“Kalau Anda mendengar sesuatu, tolong
hubungi kami di sini,” ujar Jupe sambil menyodorkan sebuah kartu.
Kartu itu adalah kartu nama Trio
Detektif. Jupe mencetaknya sendiri di alat pencetak tua di Pangkalan Jones.
kartu itu bertuliskan:
TRIO DETEKTIF
“Kami Menyelidiki Apa Saja”
? ? ?
Penyelidik Satu............................ Jupiter
Jones
Penyelidik Dua................................. Pete
Crenshaw
Data dan Riset................... ,......... ,. Bob Andrews
Di bagian bawah tertera nomor telepon
mereka. Biasanya orang segera menanyakan apa arti tiga tanda tanya itu. Jupe
sudah bersiap-siap hendak menjelaskan pada Constance Carmel. Ia selalu
bersemangat untuk menceritakan arti tiga tanda tanya itu, yaitu sebagai lambang
ketidaktahuan manusia sehingga manusia tergugah untuk mencari dan menyelidik.
Tetapi kali ini Jupe keliru. Constance
Carmel diam saja. Malahan tanpa dilihat isinya, kartu itu diletakkan di
mejanya.
Trio Detektif berbalik menuju pintu.
Sewaktu Pete hendak membuka pintu, Constance Carmel mendekati mereka. -
“Aku senang pada anak-anak yang suka
pada hewan. Kalian kelihatannya benar- benar menyayangi ikan paus pilot atau
ikan paus kelabu itu,” kata Carmel.
“Tentu saja,” Bob menyahut. “Ikan paus
itu seakan-akan dapat memahami manusia."
"Ikan paus memang hewan yang
sensitif," kata Constance Carmel. “Tenang sajalah. Aku yakin ikan paus itu
baik-baik saja. Maksudku, pasti ada orang yang telah menyelamatkannya.”
Di luar gerbang Ocean World, Trio
Detektif membuka kunci sepeda mereka. Mereka mengayuh sepeda masing-masing
melewati mobil-mobil yang diparkir. Bob dan Pete nampak kecewa karena tidak
berhasil mendapatkan berita yang diinginkan. Sebaliknya dengan Jupe, Ia
tersenyum-senyum sambil terus men gayuh sepedanya. Dalam pikirannya sudah
terbayang bahwa kali ini Trio Detektif bakal menghadapi kasus yang aneh dan
langka. Mata Jupe bersinar-sinar.
Pada saat itu Pete menoleh pada Jupe.
“Jupe, apa yang kaupikirkan?” ujarnya dengan pandangan bertanya-tanya. “Ayo
dong, beritahu aku.”
Mereka sampai di pintu pelataran parkir.
Jupe turun dan menyandarkan sepedanya di sebuah tiang. kedua kawannya segera mengikuti.
Mereka mengerti bahwa Penyelidik Satu telah mendapatkan suatu ide yang menarik.
“Mari kita teliti baik-baik,”
kata Jupe. “Orang yang bermaksud menyelamatkan ikan paus itu tentunya kemarin
juga menelepon Ocean World. Persis dengan apa yang kita lakukan. Dan mereka
juga mendapat pesan yang direkam di kaset itu.”
“Kalau begitu mereka tidak dapat
menyampaikan pesan apa-apa," ujar Bob.
“Tepat sekali,” kata Jupe menyetujui
pendapat Bob. “Kecuali kalau orang itu menelepon ke rumah Constance Carmel.”
“Kenapa kaupikir begitu?” tanya Pete.
“Kau memperhatikan dia sewaktu kita
melaporkan hal ini?” tanya Jupe.
Pete memandangnya dengan keheranan.
“Tentu saja aku memperhatikan. Aku tahu bahwa Ia seorang perenang ulung.”
“Bukan itu maksudku,” tukas Jupe. “Yang
kumaksudkan ialah sikapnya. Sewaktu rnendengarkan laporan kita, Ia sama sekali
tidak terkejut atau tertarik. Sikapnya biasa-biasa saja. Terlalu biasa untuk
kasus hilangriya ikan paus seperti ini. Dan kauingat apa yang ditanyakannya?”
"Yang mana?" tanya Pete.
"Dia cuma menanyakan kapan ini
terjadinya," sahut Jupe. “Pertanyaan basa-basi. Kita kan jelas-jelas sudah
mengatakannya.”
"Dan ketika kita berpamitan,”
lanjutnya lagi, “Ia dengan yakin mengatakan bahwa ikan paus kelabu itu telah
diselamatkan.”
“Bukan itu tepatnya,” tukas Bob.
Terbersit dalam pikirannya sesuatu yang menarik di kepala ikan paus itu yang
dilihatnya kemarin. “Ia menyebut-nyebut ikan paus pilot atau ikan paus kelabu.”
“Mungkin itu cuma tipuan saja,” ujar
Pete. “supaya kita tidak curiga.”
“Bukan, itu bukan tipuan,” seru Bob
ngotot. “Malahan secara tidak sengaja Ia membuka rahasianya. Aku ingat
sekarang. Yang kita selamatkan itu bukan ikan paus kelabu. Ikan paus kelabu
memiliki sepasang lubang napas di kepalanya, seperti lubang hidung saja. Karena
itu dapat menyemburkan air seperti air mancur. Tetapi ikan paus yang kita
selamatkan hanya memiliki satu lubang napas. Ingatkah kalian? Waktu ikan paus
itu masuk ke kolam, disemburkannya air dengan satu semburan saja.”
Jupe den Pete melongo.
“Jadi ikan paus apa yang kita selamatkan
kemarin?’ tanya Pete.
“Aku yakin itu ikan paus pilot Pasifik.
Secara kebetulan ikan paus itu berenang bersama gerombolan ikan paus kelabu.”
“Dan Constance Carmel tentu tahu hal
itu,” kata Jupe sambil mengangguk-angguk. "Masuk akal, Bob. Menarik
sekali. Ikan paus diculik. Dan seorang pelatih di Ocean World mengaku tidak
tahu apa-apa. Padahal Ia tahu—”
Tahu-tahu ada suara klakson mobil. Jupe
kaget. Ketiga anak itu membuang muka ketika sebuah truk pick-up putih keluar dari pelataran parkir.
Begitu sampai di
luar, truk itu ngebut. Tetapi anak-anak masih sempat melihat siapa
pengemudinya.
Constance Carmel.
Padahal lima menit
yang lalu, Ia mengatakan harus mengadakan suatu pertunjukan.
Sesuatu telah
memaksanya untuk bergegas-gegas.
Sesuatu apa?
“Mungkin karena kita,” kata Jupiter
dengan kening dikerutkan. “Mungkin apa yang kita katakan padanya membuatnya
pergi dengan terburu-buru.”
PENELEPON
GELAP “JADI mungkin Constance Carmel teiah berbohong pada
kita, ujar Pete. Tapi kurasa buktinya belum cukup.
Menjelang sore hari,
setelah kunjungan ke Ocean World, Bob melakukan pekerjaannya menjaga
perpustakaan, Pete mengerjakan pekerjaan rumahnya, dan Jupiter membantu
memperbaiki peralatan di pangkalan. Trio Detektif berkumpul kembali di kantor
setelah tugas-tugas mereka selesai.
Pete berkata, “Itu kan biasa. Orang
dewasa selalu berusaha untuk tidak menyusahkan anak-anak dan..."
Telepon berdering. Jupe mengangkatnya.
“Halo,” terdengar suara seorang
laki-laki di seberang. Melalui pengeras suara Bob dan Pete dapat mendengarkan
juga. "Bisa aku bicara dengan Mr. Jupiter Jones?”
“Saya sendiri.”
"Aku tahu kau mengunjungi Ocean
World tadi pagi untuk menanyakan tentang ikan paus yang hilang itu.”
Laki-laki itu bicara dengan logat yang
aneh. Logat seperti itu banyak dijumpai pada orang-orang yang berasal dari
daerah pesisir selatan.
Mungkin dia berasal
dan Mississippi, pikir Bob, atau Alabama. Bob sendiri belum pernah menjumpai
orang-orang dari pesisir selatan. Ia hanya tahu dari televisi. Orang-orang di
TV yang berbicara seperti itu biasanya berasal dari pesisir selatan.
“Memang, kami ke sana
tadi pagi,” sahut Jupe. “Kenapa?"
“Aku juga tahu,” kata
laki-laki itu, “bahwa kau seorang detektif."
"Benar. Tapi
bukan saya saja, kami Trio..." Jupe hendak menjelaskan.
“Apakah kau mau menangani suatu kasus?”
potong orang itu. "Kalau kau bisa menemukan ikan paus itu dan
membebaskannya ke laut, kau kuberi seratus dolar!”
“Seratus dolar?!” Pete ternganga.
“Apakah kau mau menangani kasus
ini?" kata laki-laki itu dengan logat pesisir selatannya.
“Dengan senang hati,” Jupe menyahutinya.
Ia mengambil pensil dari sebuah notes. “Siapa nama Anda dan berapa nomor
tele...
“Bagus!” potong laki-laki itu. “Mulailah
bekerja secepatnya. Beberapa hari lagi akan kutelepon kembali."
“Tapi...” Jupe hendak menanyakan
sesuatu. Melalui pengenas suara terdengar bunyi klik disusul dengan nada
panjang. Laki-laki itu sudah menutup teleponnya.
“Seratus dolar! Busyet!” seru Pete lagi.
Trio Detektif telah menangani bermacam- macam kasus yang aneh-aneh dan menolong
banyak klien sebelumnya, namun belum pernah mereka mendapat tawaran uang
sebanyak itu.
Perlahan-lahan Jupe meletakkan gagang
telepon. Pikirannya disibukkan dengan laki-laki yang barusan menelepon.
"Seseorang tak dikenal menelepon
kita," gumamnya. "Ia tidak mau menyebutkan namanya. Aneh. Dan ia tahu
nomor telepon kita dan ia juga tahu bahwa kita mengunjungi Ocean World tadi
pagi...." Ia terdiam sambil menarik-narik bibirnya dengan telunjuk dan
jempolnya.
“Well,
kau tidak menolak permintaannya, kan?" sera Pete. “Seratus dolar! Kapan
lagi?"
“Tentu saja tidak." sahut Jupe.
“Sebagai detektif profesional kita tidak dapat menolak permintaan begitu saja.
Bukan uangnya yang menarik. Kasus penculikan ikan paus saja sudah membuatku
penasaran, apalagi sekarang ada penelepon gelap yang ingin menyewa tenaga kita.
Kita harus segera memulai penyelidikan kita."
“Dan kita akan mulai dari sini,” kata
Jupe seraya mengambil buku telepon.
"Constance Carmel," ia
menggumam sambil membolak-balik buku telepon. “itu satu -satunya petunjuk yang
kita punyai sampai sejauh ini.”
Ia menelusuri daftar pemilik telepon di
bagian
C. Hanya ada tiga Carmel yang terdaftar.
Carmel, Arturo, Carmel, Benedict dan Carmel, ‘Diego,
Menyewakan Kapal Pemancing Ikan. Tidak
ada Constance Carmel.
Jupe memutar nomor telepon Arturo.
Operator telepon yang menjawab. Telepon Arturo Carmel telah diputuskan beberapa
waktu yang lalu.
Telepon Benedict Carmel lama tidak
diangkat-angkat. kemudian seorang pria dengan sopan menyampaikan pada Jupe
bahwa Benedict Carmel sudah tiga bulan berada di luar kota, bekerja sebagal
pendeta.
Jadi Benedict tidak mungkin terlibat
dalam kasus ini.
Diego Carmel, Menyewakan Kapal Pemancing
Ikan, tidak menjawab sama sekali.
“Yah, sudahlah,” desah Bob. “Paling
tidak kita tahu bahwa Constance Carmel bekerja di Ocean World tiap hari,
kecuali hari Senin.”
“Ada satu lagi yang kita tahu,” Jupe
menambahkan. “Kita dapat mengenali truknya.”
“Ocean World tutup jam enam,” kata Jupe
sambil memejamkan matanya. Ia berusaha mengingat apa yang didengarnya di
telepon kemarin. Lalu Ia menoleh pada Pete." Jadi Constance Carmel pulang
setelah jam enam. Ini pekerjaan buatmu, Pete. Tapi besok saja, sekarang sudah
terlambat.”
Pete menghela napas. Pekerjaan yang
membutuhkan kegesitan dan kekuatan selalu ditimpakan Jupe pada Pete Crenshaw,
si atlit.
Pete bimbang sejenak. Ia sebenarnya juga
tidak terlalu tertarik dengan uang yang ditawarkan. Namun ikan paus itu membuat
hatinya iba. Ingin sekali Ia dapat bertemu kembali dengan ikan paus itu, lalu
membebaskannya. Pikiran ini membuatnya mantap untuk melaksanakan tugasnya
besok.
Jam lima tiga puluh esok sorenya, Hans
mengantar anak-anak ke pelataran parkir Ocean World. Hans adalah salah satu
dari dua pemuda Jerman yang bekerja membantu Paman Titus di Pangkalan Jones.
Jupe dan Bob mengeluarkan sepeda mereka dari belakang karavan.
“Bagaimana kalian dapat pulang?” tanya
Hans sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Sepeda cuma dua, sedangkan kalian
bertiga.”
"Tidak apa-apa,” ujar Jupe
menenangkan. “Pete tidak perlu sepeda. Ia bisa pulang sendiri nanti.”
“Baikiah kalau begitu.” Hans mengangkat
bahu lalu duduk kembali di belakang kemudi. “kalau ada perlu, telepon saja.”
Begitu Hans pergi, Trio Detektif segera
mencari truk Constance Carmel. Tidak sulit mencarinya. Truk pick-up putih itu
tampak sedang diparkir di tempat parkir khusus untuk karyawan. Jupe dan Pete
berjalan santai menuju bagian belakang truk, berusaha untuk tidak menarik
perhatian. Bob mengawasi gerbang, takut kalau-kalau Constance Carmel keluar.
Anak-anak sedang mujur. Bak belakang
truk tidak kosong. Terdapat beberapa potongan karet busa panjang, segulung
tali, dan sehelai kain kanvas lebar.
Pete dan Jupe menaiki bak belakang. Pete
merebahkan diri tenlentang di lantai bak itu. Jupe menimbunnya dengan karet
busa, lalu ditutupi kain kanvas. Dari luar Pete sama sekali tidak terlihat.
Demikian pula sebaliknya, di balik kanvas itu gelap, Pete tidak bisa melihat
apa-apa. Dan sumpek. Biarlah, pikir Pete, demi ikan paus itu.
“Oke, Pete,” bisik Jupe. “Aku dan Bob
akan pergi sekarang. Kami tunggu di kantor. Sukses, ya.
“Oke,” sahut Pete. “Akan kutelepon
kalian secepatnya.”
Ia mendengar Jupe turun dari bak.
Langkah Jupe terdengar menjauhi truk. Selama beberapa lama kemudian, Ia tidak
mendengar apa-apa lagi, selain langkah-langkah orang dan suara mobil yang
lewat.
Hampir saja Ia tertidur kalau tidak
didengarnya suara langkah mendekat. Tiba-tiba sebuah benda ditaruh di bak,
cukup dekat dengannya. Kanvas itu tertumpahi air dan sebagian merembes mengenai
wajah Pete. Asin. Pete tidak berani bergerak. Ia menunggu dengan sabar sampai
truk itu berjalan. Saat itu Ia baru berani mengintip dari balik kanvas.
Ada sebuah wadah
plastik tepat di samping kepalanya. Pete dapat mendengar suara air yang
terombang-ambing di dalamnya.
Sewaktu truk itu mendadak direm di
sebuah persimpangan, ia dapat mendengar suara lain dari dalam wadah. Seperti
ada yang menggelepar-gelepar di dalamnya.
Ikan, pikir Pete, ikan hidup. Ia menarik
kanvasnya hingga menutupi kepalanya lagi.
Selama beberapa menit truk berjalan di
jalan lurus panjang dan datar, kemudian mulai menanjak perlahan-lahan. Santa
Monica? Ia mengira-ngira sambil mengingat-ingat jalan di Santa Monica. Hari
mulai gelap, tetapi truk itu belum berhenti juga.
Setelah melalui jalan yang
berkelok-kelok, akhirnya truk itu berhenti juga. Pete rnendengar pintu bak
dibuka. Seseorang naik ke bak. Lalu orang itu mendekat ke arahnya. Pete menahan
napas. Terdengar suara gemericik air ketika wadah plastik itu diangkat Dan
orang itu menjauh, lalu turun. Pete menghela napas lega.
Ia menunggu beberapa menit.
Perlahan-lahan dibukanya kanvas. kepalanya melongok ke sekelilingnya. Aman,
pikirnya.
Truk diparkir di luar sebuah rumah tak
bertingkat namun besar dan mewah. Sebuah lampu menyala di pintu depan dan ada
tangga yang menuju pintu itu. Di samping tangga terdapat sebuah kotak pos. Pete
dapat membaca tulisan di kotak pos itu.
SLATER.
Dengan hati-hati Ia turun pada sisi yang
berlawanan dengan rumah. Ia mengendap- endap ke bagian depan truk sehingga
dapat mengintip ke rumah dengan jelas.
Tidak ada orang di dalamnya. Pete tidak
menyangka bahwa tempat yang dituju akan sesepi itu. Hanya rumah itulah yang
terdapat di sana, tidak ada rumah-rumah lain di sekitarnya. Dan rumah itu
gelap. Tidak ada seberkas cahaya pun keluar dan dalam numah. Hanya lampu di
pintu depan saja yang menyala. Ke mana Constance Carmel? Pete bertanya dalam
hatinya.
Well,
tidak ada gunanya aku benada di sini sepanjang malam, pikir Pete. Ada dua hal
yang dapat Ia lakukan. Pertama, mencatat nama jalan rumah ini kemudian
menghubungi Jupe dan Bob di kantor. Kedua, melakukan penyelidikan lebih lanjut,
mencari ke mana perginya Constance Carmel dan buat apa ikan dalam wadah itu.
Pete sudah memutuskan untuk memilih kemungkinan
pertama. Baru hendak melangkah, tiba-tiba Ia mendengar suara seorang wanita
memanggil-manggil dari suatu tempat.
“Fluke,” panggil suara itu. “Fluke.
Fluke. fluke.”
T idak ada j awaban.
Pete yakin bahwa suara itu tidak berasal
dari dalam rumah. Mungkin dari belakang rumah.
Matanya makin awas mengamati
sekelilingnya. Ia baru sadar bahwa di samping rumah terdapat sebuah garasi. Di
samping garasi ada sebuah pagar kecil terbuat dari kayu dan diseberang pagar
remang-remang terlihat sebuah pohon palma melambai perlahan.
Pete mendekati pagar. Pintu pagar itu
digenendel, tetapi tidak dikunci. Dengan hati-hati dibukanya gerendel agar
tidak menimbulkan bunyi. Ia melangkah masuk dan menggerendel kembali pintu
pagar.
Ia melalui jalan setapak di samping
garasi. Dengan mengendap-endap Ia bergerak perlahan dan tak bersuara menuju
halaman belakang.
“Fluke. Fluke. Fluke. Bagus sekali,
Fluke.”
Suara wanita itu makin dekat seperti
hanya beberapa meter dari tempat Pete berdiri.
Pete terhenti. Ia telah sampai di ujung luar
garasi. Di kiri dan di depannya terhampar halaman rumput Di tengah-tengahnya
terdapat pohon palma yang tadi dllihatnya. Tembok garasi menghalangi
pandangannya ke sebelah kanan. Ia mengambil ancang-ancang lalu berlari cepat ke
arah pohon palma.
Ia berhasil mencapainya dan segera
bersembunyi di baliknya. Ditariknya napas panjang. Lalu Ia mengintip.
Sebuah kolam renang yang besar dan indah
terlihat olehnya. Terang dan gemerlap disinari lampu-lampu dari dasar kolam.
“Fluke. Fluke. Fluke. Ya! Bagus sekali, Fluke.”
Constance Carmel duduk di tepi kolam mengenakan pakaian renangnya. Kedua
kakinya dimasukkan ke air sebatas betisnya. Wadah plastik itu tergeletak di
sampingnya. la merogoh ke dalam wadah, mengambil seekor ikan, dan melemparnya
tinggi-tinggi ke atas kolam.
Tahu-tahu seekor ikan mencuat dari dasar
kolam. Ikan itu melompat tinggi sekali sehingga badannya, sepanjang dua
setengah meter, seluruhnya terlihat. Ikan itu berada di atas air untuk beberapa
saat, seakan-akan terbang. Mulutnya terbuka. Dengan cepat ikan itu mencaplok
ikan yang dilempar oleh Constance Carmel.
“Bagus sekali, Fluke. Hebat”
Constance Carmel mengenakan sepatu
katak, dan masker selamnya tergantung di lehernya. Ia memasang masker itu ke
matanya, lalu menyelam ke dalam kolam.
Pete sendiri jago berenang — Ia termasuk
perenang andalan di sekolahnya. Tetapi belum pernah Ia melihat orang berenang
seperti Constance Carmel. Constance Carmel sedikit sekali menggerakkan tangan
dan kakinya. Meskipun demikian Ia mengapung dan meluncur dengan ringannya
seperti seekor burung melayang di angkasa.
Belum apa-apa ia sudah berada di tengah
kolam yang besar itu. Ikan paus kecil itu menyambutnya dengan girang. Mereka
berdua seperti dua sahabat karib yang sudah lama tidak bertemu. Si ikan paus
mendorong-dorong Constance Carmel dengan kepalanya. Lalu bersama- sama mereka
menyelam ke dasar kolam. Constance Carmel berpegangan pada tubuh ikan itu, lalu
naik menunggangi punggungnya.
Pete amat terpukau melihat mereka
bermain-main di air. Tanpa disadarinya ia berselonjor kaki sambil rileks
menonton pertunjukan gratis itu. Ia benar-benar terpesona.
Constance Carmel
mengajarkan permainan yang lain. la dan si ikan paus berada di pinggir kolam.
La menepuk kepala ikan itu, lalu dengan satu gerakan cepat Ia berenang menjauhinya.
Ikan paus itu langsung mengikutinya. Ia menepuk kepala ikan paus itu sambil
menggeleng-geleng. Sekali lagi Ia berenang menjauhinya.
Kali ini ikan paus
itu diam saja di tempatnya, menunggu dengan tenang.
Ia mencapai seberang
kolam, lalu naik dan duduk di tepinya.
Ikan paus kecil itu
masih diam menunggu.
“Fluke. Fluke.
Fluke,” panggil Constance Carmel.
Si ikan paus seperti mendongak. Sekilas
Pete melihat matanya bersinar-sinar. Dengan satu luncuran, ikan paus itu
menghampiri Constance Carmel.
“Bagus, Fluke. Bagus.” Ia mengelus-elus
mulut ikan itu. Diambilnya seekor ikan dan wadah, lalu dimasukkannya ke dalam
mulut ikan paus itu.
“Bagus, Fluke. Pintar sekali!” pujinya
seraya menepuk-nepuk kepala ikan paus itu lagi.
Pete melihat Constance Carmel mengambil
sesuatu yang tergetetak di rerumputan, tetapi Ia tidak tahu apa itu. Sinar
lampu hanya menerangi dasar kolam dan tepi- tepinya, tidak sampai ke rumput.
Ikan paus kecil—yang dinamakan Fluke
oleh Constance Carmel—mengangkat kepatanya keluar dan kolam. Fluke seakan
berdiri pada ekornya. Tangan Constance Carmel melingkarinya. Saat itu Pete baru
menyadari apa yang dilakukan Constance Carmel.
Constance Carmel memasangkan benda
seperti pita lebar, sedikit di bawah kepala Fluke. Dikencangkannya pita lebar
itu. lkan paus itu kelihatan seperti memakai kerah baju.
Mendadak Pete
bertiarap.
Seseorang membuka gerendel pintu pagar.
Lalu terdengar suara langkah mendekat. Makin dekat dan makin dekat. Pete
merapatkan badannya dengan tanah. Suara langkah itu hilang sesaat. Pete menahan
napas. Kemudian terdengar kembali suara langkah menuju kolam.
“Halo, Constance," terdengar suara
seorang laki-laki.
“Selamat malam, Mr. Slater.”
Pete tidak berani mengangkat kepalanya.
Ia cuma memiringkan kepalanya agar dapat melihat orang itu.
Laki-laki itu berdiri di samping
Constance Carmel. Ia sangat pendek, kira-kira lima belas sentimeter lebih
pendek dari Constance Carmel. Mukanya tertutup bayangan Constance Carmel
sehingga sukar untuk dikenali. Tetapi Pete menduga umurnya sekitar tiga puluhan.
Dan kepalanya botak licin. Begitu licinnya sampal-sampai berkilau-kilau ditimpa
sinar lampu.
"Bagaimana perkembangannya?” tanya
laki-laki itu. "Kapan kau siap?" Ia berbicara dengan logat yang aneh.
Ini mengingatkan Pete pada sesuatu.
“Nanti dulu, Mr. Slater.” Constance
menatap tajam ke arah laki-laki itu. Suaranya terdengar tegas dan dingin. “Aku
mau menolong Anda semata-mata karena ayahku. Tetapi aku akan melaksanakannya
dengan caraku sendiri. Dan pada waktu yang kutentukan sendiri. Kalau Anda
berani turut campur, Fluke akan kubebaskan ke laut, dan Anda boleh mencari ikan
paus lain serta melatihnya sendiri."
Ia diam sejenak, menoleh pada Fluke.
“Anda paham, Mr. Slater?”
Ia berpaling kembali pada laki-laki itu.
Sambil berkacak-pinggang Ia berseru, “Jangan turut campur! Paham?"
"Ya, aku paham," jawab Mr.
Slater dengan logat pesisir selatan yang kental.
“YANG BENAR?"
seru Jupiter Jones. “Kau yakin suara itu sama, Pete?"
Selama dua puluh
menit Pete berlari sampai menemukan sebuah pompa bensin. Kebetulan di sana
terdapat telepon. la meminjamnya untuk menelepon ke kantor.
Di telepon Ia minta dijemput, karena
kendaraan umum sulit didapat di daerah itu, apalagi hari sudah malam. Hans
berangkat dari Rocky Beach, menempuh perjalanan yang lumayan jauh, untuk
menjemput Pete. Trio Detektif kembali berkumpul di bagian belakang pick-up yang
dikendarai Hans. Perjalanan pulang ke Rocky Beach mereka manfaatkan untuk
berdiskusi.
Pete menceritakan semua yang dialaminya
sejak Ia bersembunyl di bak belakang truk Constance Carmel, sambil berbaring
rileks dengan kedua tangan dilipat di belakang kepala.
"Tidak salah lagi," ujarnya
sembari menguap. “Aku segera mengenali suara itu. Mirip sekali dengan suara si
penelepon gelap. Omong-omong, kok Ikan paus makan ikan, ya? Kukira ikan paus
hanya makan plankton. "
“Ada dua jenis ikan paus,” Bob
menjelaskan dengan bersemangat. Ia senang sekali dapat mempraktekkan
pengetahuannya tentang ikan paus yang didapatnya dari perpustakaan. “Yang
bergigi dan yang tidak bergigi. Yang bergigi makan ikan, sedangkan yang tidak
bergigi makan plankton. Ikan paus kecil itu pasti bergigi.”
Pete manggut-manggut mendengar
penjelasan Bob. Namun Penyelidik Satu menarik-narik bibir bawahnya. Pikirannya
masih direcoki suara yang berlogat pesisir selatan itu.
“Aneh sekali,” kata Jupe sambil
memicingkan matanya. "Mengapa orang itu menelepon dan meminta kita untuk
mencari ikan paus itu? Bahkan menawarkan uang seratus dolar! Padahal ikan paus
itu berada dalam kolamnya sendiri! Tidak masuk akal!”
Jupe tetap tidak dapat menerangkan hal
itu sampai tiba di rumah Pete. Pete turun di sana. Lalu mereka mengantar Bob.
Setelah itu Hans mengendarai pick-up ke rumah keluarga Jones, di seberang
pangkalan barang bekas. Trio Detektif telah membuat janji untuk bertemu kembali
esok paginya di kantor.
Esok paginya Bob paling belakang sampai
di kantor. Ibunya meminta dia untuk membantu mencuci piring bekas sarapan.
Bob menyandarkan
sepedanya di luar bengkel Jupiter yang terletak di salah satu sudut Pangkalan Jones.
Di samping sebuah meja kerja, tersandar selembar papan pada tumpukan
barang-barang rongsokan yang menggunung. Sepintas lalu papan itu nampak seperti
bagian dari barang-barang rongsokan itu. Bob menggesernya. Di baliknya terdapat
sebuah pipa berukuran lumayan besar. Pipa itu diberi nama Lorong Dua oleh
anak-anak. Pipa itu menjulur di bawah tumpukan barang
rongsokan menuju kolong sebuah karavan
yang tersembunyi di bawah timbunan barang bekas. Karavan inilah yang disulap
menjadi kantor Trio Detektif.
Bob yang bertubuh kecil tidak mengalami
kesulitan merayap melalui Lorong Dua. Sebentar saja Ia sudah sampai di kolong
karavan. Diangkatnya tingkap di atas kepalanya, lalu Ia naik ke dalam kantor.
Kedua temannya telah menunggu.
Jupe duduk di belakang rneja. Pete duduk
santai di sebuah kursi goyang tua.
“Akhirnya kau datang juga,” kata Pete
menyambut Bob.
Bob hendak menceritakan sebab-sebab
keterlambatannya, tetapi Jupe langsung memulai pembicaraan.
“Kalau kau berjalan, dan kau dihalangi
sebuah tembok besar,” kata Jupe dengan gaya seorang profesor, “ada dua
kemungkinan yang dapat kaupilih. Kau bisa mencoba menghancurkan tembok besar
itu, atau kau berjalan menyusuri tembok dan mencari jalan lain.”
“Apa lagi ini” tanya Pete. “Ayolah,
Jupe, pakai bahasa yahg sehari-hari saja. Tembok apa? Apa maksudmu?"
“Diego Carmel,” sahut Jupe. “Diego
Carmel, Menyewakan Kapal Pemancing lkan.
M
“Oke. Kita dapat meneleponnya,” usul
Bob. “Aku sendiri tak tahu apa manfaatnya. Tapi kan tidak ada salahnya untuk
mencoba.”
“Dan tadi aku berkali-kali
meneleponnya." kata Jupe. “Namun teleponnya tidak kunjung diangkat."
"Barangkali Ia sedang memancing,”
ujar Pete.
“Mencurigakan,” Jupe melanjutkan tanpa
menghiraukan komentar Pete. “Bagaimana orang yang menemukan ikan paus kecil
itu...”
“Fluke,” sela Pete. “Sebut saja Fluke.”
Bob tersenyum simpul. “Fluke. Aku ingat
sekarang. Itu kan berarti ekor ikan paus. Ekor ikan paus dinamakan ‘fluke’
karena bentuknya gepeng dan posisinya horizontal, berbeda dengan ikan biasa.
Ekor ikan biasa posisinya vertikal serta digerakkap ke kin dan ke kanan.
Sedangkan ikan paus menggerakkan ekornya ke atas dan ke bawah.”
“Betul juga, ya,” sahut Pete. “Aku baru
sadar sekarang.”
“Kembali ke pokok
permasalahan semula,” Jupe melanjutkan, "ada sesuatu yang mencurigakan.
Misalkan orang yang menemukan Fluke di kolam buatan kita lalu menelepon.
Constance Carmel. Ke mana orang itu menelepon? Tidak mungkin ke
Ocean World, karena Constance Carmel
tidak ada di situ pada han Senin. Orang itu tentu akan mencari di buku telepon,
seperti yang kita lakukan. Ia mula-mula menemukan...”
“Arturo Carmel,” potong Bob. “Tetapi
teleponnya sudah dicabut.”
“Lalu Benedict Carmel,” ujar Pete. “Tapi
kan Ia sudah tiga bulan bertugas di luar kota.”
“Tepat sekali!” kata
Jupe. “Tinggal satu kemungkinan. Diego Carmel. Inilah yang membuatku curiga.
Berulang kali kita menelepon, tidak ada yang menjawab.
Orang yang menelepon Constance Carmel
pasti menelepon ke kediaman Diego Carmel. Keiihatannya ia berhasil menelepon
Constance Carmel di sana. Namun kita tidak pernah berhasil. Kenapa? Apa yang
terjadi dengan Diego Carmel?”
“Jangan-jangan...” kata Pete seraya
bangkit dan kursi goyangnya.
“Kita harus segera ke sana, ke San
Pedro,” sera Jupe. “kalau Diego Carmel tidak di tempat, kita dapat menanyakan
pada tetangganya atau kenalannya di sana. Diego Carmel merupakan sumber
informasi yang penting, mungkin Ia ayahnya Constance. Constance Carmel telah
berbohong pada kita. Slater tampaknya sama saja. Satu-satunya harapan kita
tinggallah Diego Carmel.”
“Aku sepakat untuk segera berangkat ke
sana,” ujar Bob. “Tetapi bagaimana caranya? Hans dan saudaranya kan sedang
sibuk bekerja di pangkalan. Dan Worthington sedang berlibur ke luar kota.”
“Pancho,” jawab Jupe dengan tenang. Ia
melihat jam tangannya. “Sebentar lagi ia datang.”
Pancho adalah seorang pria muda Meksiko
yang pernah ditolong Trio Detektif. Polisi waktu itu mencurigai Pancho mencuri
peralatan di bengkel tempat Ia bekerja.
Ia sangat berterima
kasih atas pertolongan Trio Detektif. Kalau tidak karena bantuan Trio Detektif,
mungkin sekarang ia masih mendekam di penjara .
Pancho tergila-gila pada
mobil. Kini Ia menghidupi dirinya dengan mempermak mobil. Ia membell
mobil-mobil bekas. Dipretelinya mobil itu, dipasangnya mesin baru dan roda
baru. Dan dipermaknya bagian-bagian yang sudah rusak. Semua itu dilakukan
sesuka hatinya. Hasilnya? Sebuah mobil nyentrik. Meskipun demikian, banyak juga
yang menyukai karyanya, sebab biar nyentrik mobilnya bisa ngebut. Banyak
pesanan datang dari luar kota.
Anak-anak menunggunya di depan
pangkalan. Tak lama kemudian Pancho datang mengendarai mobil sambil tersenyum
lebar.
Anak-anak melongo
melihat mobilnya.
“Ini karyaku yang terbaru,” katanya pada
anak-anak. “Kunamakan Ford-Chevrolet- VW!”
Mobil itu lebih nyentrik dan mobil-mobil
Pancho sebelumnya. Ban belakangnya jauh lebih besar dari ban depan, sehingga
menimbulkan kesan seperti seekor banteng sedang menyeruduk.
Dan mobil itu memang sekuat banteng.
Ketika mereka melalui jalan besar menuju San Pedro, mobil itu melaju cepat
dengan mudahnya.
Pancho segera menemukan Jalan St. Peter,
alamat Diego Carmel yang tertera di buku telepon. Anak-anak turun di situ dan
Pancho berjanji untuk menjemput mereka jam tiga sore. Ia sendiri memanfaatkan
waktunya untuk melihat-lihat, kalau-kalau ada mobil bekas yang bisa dipermaknya
di daerah itu.
Jalan St Peter terletak dekat dermaga.
Hampir sepanjang jalan penuh dengan toko- toko yang menjual peralatan
memancing, menyelam, dan berlayar. Rumah kediaman Diego Carmel yang bertingkat
tiga segera nampak. Lantai dasar digunakan untuk kantor.
MENYEWAKAN KAPAL PEMANCING IKAN tertulis
di kaca jendelanya. Ariak-anak sedang berjalan menuju pintunya, ketika seorang
laki-laki keluar dari pintu lalu menguncinya. Sewaktu membalik, orang itu
melihat anak-anak. Dengan ragu-ragu dikantunginya kunci pintu.
“Ada perlu apa, Anak-anak?” tanyanya.
Ia sangat jangkung, kurus, dan agak
bungkuk. Dan raut mukanya dapat ditebak bahwa ia orangnya serius. Ia memakai
kemeja putih lengan panjang dengan dasi coklat tua.
Jupe telah terbiasa mengamati sesuatu
dengan saksama. Matanya awas melihat hal- hal yang kecil sekalipun. Sering kali
Ia dapat menduga apa pekerjaan seseorang hanya dengan mengamat-amati penampilan
orang itu. Kali ini ia menduga bahwa orang berkemeja putih itu ahli intan.
Ada suatu lekukan di sekeliling mata
kanannya. Di bagian bawah, lekukan itu lebih dalam dan berwarna merah
kecoklatan. Tetapi bekas seperti itu tidak ada pada mata kirinya. Kelihatannya
orang itu sering menggunakan kaca mata satu — kaca pembesar yang dilekatkan
pada sebelah mata. Mungkin berjam-jam dikenakan di mata kanannya untuk
memeriksa intan.
“Kami ingin bertemu dengan Mr. Diego
Carmel,” Penyelidik Satu berkata dengan sopan.
“Aku sendiri.” “Anda Mr. Carmel?"
“Ya. Kapten Carmel.”
Laki-laki itu berbalik ke pintu. Jupe
mendengar suara dering telepon di dalam kantor. Untuk sesaat Kapten Carmel
bimbang. Namun ia berbalik lagi seraya mengangkat bahu.
“Percuma kujawab telepon itu,” desahnya.
“Kapalku tenggelam minggu lalu, terhantam badai besar. Orang sering menelepon
hendak menyewa kapal. Tapi aku tak punya kapal lagi."
“Oh,” kata Bob dengan nada prihatin.
“Kalian tiga anak ingin memancing?”
kapten Carmel berbicara dengan bahasa yang baik. Logatnya sukar dibedakan
dengan logat penduduk asli. Tetapi ada sesuatu yang tidak biasa. Ia memakai
kata-kata yang tidak umum digunakan.
Mungkin Ia berasal dari Meksiko, pikir
Bob, dan lama tinggal di Amerika Serikat.
“Tidak. Tidak, kami cuma ingin bertemu
dengan Anda, Mr. Carmel,” jawab Jupe. “Kami membawa pesan dari anak Anda.”
“Anakku?" Ia sedikit terkejut.
"Oo, maksudmu Constance.”
“Betul.” Air muka Jupe memancarkan
kebanggaan. Dugaannya ternyata benar. Diego Camel memang ayah Constance.
“Apa pesannya?”
“Ah, tidak begitu penting,” kata Jupe
sambil memutar otaknya. Ia mencari jawaban yang kira-kira masuk akal. “kami
berjumpa dengannya pagi tadi, dan ia bilang mungkin ia pulang terlambat malam
ini.”
“Oo, begitu.” Kapten Carmel menatap
Jupiter, Bob, dan Pete satu per satu. “Dan kalian? Kalian pasti Trio Detektif.”
Pete tercengang. “Dari mana Anda tahu?”
Kapten Carmel tersenyum simpul.
"Constance. Ia bercerita tentang kalian.”
Pete mengangguk-angguk keciL
Mungkin Constance Carmel telah memberikan gambaran tentang Trio Detektif
padanya. Anak-anak memang mudah dikenali— terutama Jupe yang berwajah bundar
dan bertubuh montok itu.
“Aku senang melihat anak-anak yang rasa
ingin tahunya besar,” kata Kapten Carmel sambil mengulurkan tangannya.
Anak-anak menyalaminya. “Bagaimana kalau sekarang kalian kutraktir hamburger? Di dekat sini ada penjual
hamburger."
Pete cepat-cepat
menerima tawaran itu. Kalau soal makan, Pete jangan ditanya. Tidak pernah Ia
menolak ditraktir makan, apalagi makan hamburger.
Mereka duduk di salah
satu pojok dekat jendela di kantin yang menjual hamburger. Anak-anak makan
dengan lahapnya. Sementara itu Kapten Carmel bercerita tentang kapalnya yang
diterjang badai.
Waktu itu Ia membawa seorang penumpang,
Oscar Slater namanya, untuk memancing di Baja California. Dalam perjalanan
kembali, mendadak badai datang menyerang. Mereka cuma beberapa mil dari pantai,
tetapi badal itu terlalu dahsyat sehingga kapal sukar dikendalikan. Ia berjuang
sekuat tenaga untuk merapat ke dermaga. Sia-sia. Kapal terbalik dan tenggelam.
Ia dan Oscar Slater menceburkan diri ke
laut. Mereka sempat mengenakan jaket pelampung. Berjam-jam mereka
terombang-ambing di tengah amukan badal. Akhirnya seorang penjaga pantai datang
menolong ketika badai sudah agak reda.
Pete yang paling dulu menghabiskan
hamburgernya. “Hii, ngeri sekali! Untung Anda berdua sempat memakai jaket
pelampUng.”
Jupe segera mengalihkan pembicaraan.
“Anak Anda seorang perenang yang istimewa, Kapten Carmel," katanya.
"Luar biasa cara dia melatih ikan-ikan paus itu.”
“Oh, ya. Di Ocean World.”
“Sejak kapan ia menjadi pelatih ikan
paus?” tanya Bob. Ia dapat menangkap maksud Jupe yang ingin mendapat informasi
tentang Constance.
"Beberapa tahun.” .
"Jauh sekali, ya," ujar Jupe
memancing, perjalanannya dari Ocean World ke sini, tiap hari.”
“Ke sini?"
“Oh, maaf. Kupikir... kukira...” Jupe
berlagak bingung. “Bukankah Constance tinggal di sini?”
Sekilas kening Kapten Carmel berkerut.
Lalu ia mengangguk tanpa bersuara. Dihirupnya kopi sedikit-sedikit sambil
berpikir serius.
“Kebetulan sekali Mr.
Slater juga tertarik untuk melatih ikan paus,” Ia berkata lambat-lambat. Tiap
perkataan diucapkannya dengan jelas dan diberi tekanan. Seakan-akan ia ingin
agar Trio Detektif mengingat setiap kata yang diucapkannya. “Betul-betul
tertarik. Ia memiliki rumah di sebuah bukit di Santa Monica." Ia
menuliskan alamat Slater pada selembar kertas, lalu menyodorkannya pada Jupe.
Jupe pura-pura membacanya, padahal ia sudah tahu dari Pete. "Ia bahkan
sampai membuat sebuah kolam besar untuk melatih ikan paus di belakang
rumahnya.”
Setelah itu kapten Carmel tidak
bercerita apa-apa lagi. Mereka keluar dari kantin. Seraya mengucapkan terima
kasih karena sudah ditraktir anak-anak menyalami Kapten Carmel.
Kening Jupe berkerut memandangi Kapten
Carmel pergi. Ia menarik-narik bibirnya.
"Orangnya baik, ya," kata
Pete." Tapi malang, kapalnya tenggelam.”
“Mmm,” gumam Jupe tanpa menghiraukan
perkataan Pete. Ia masih menarik-narik bibirnya ketika Pancho datang menjemput
mereka.
“Sudah lama ya, kalian menunggu?"
kata Pancho dengan simpatik .
“Tidak, baru sebentar, kok,’ ujar Bob.
Ia dan Pete duduk di bangku belakang, sementara Jupe duduk di samping Pancho.
“Pasti kalian tidak berhasil menemui
kapten Diego Carmel.”
“Siapa bilang?"” tukas Pete. “Ia
malah sempat mentraktir kami hamburger.”
Pancho ternganga. hampir saja Ia
menubruk trotoar. “Tidak mungkin. Aku baru saja bertemu dengan seorang Meksiko
di tempat penjualan mobil bekas. Ia bilang kapal kapten Carmel tenggelam."
“Memang,” sahut Bob. “Ia sendiri yang
bilang kepada...”
“Tapi tidak mungkin
yang bilang itu kapten Carmel.”
“Kenapa tidak?” Untuk pertama kalinya
Jupe bersuara setelah mereka berpisah dengan kapten Carmel. Ia memandang Pancho
dengan pandangan yang penuh harap, sepertinya ia telah mempunyal dugaan
tertentu.
"Karena Kapten Carmel sedang di
rumah sakit,” kata Pancho. “Ia sakit parah. Radang paru-paru. Ia sedang dirawat
dengan intensif.”
Pancho berkata dengan penuh rasa
simpati. “Kasihan dia. Bicara pun belum bisa.”
TRIO
DETEKTIF UNJUK GIGI "SIAPA DIA." kata
Pete. "Kenapa Ia mengaku sebagai kapten Carmel?"
Trio Detektif berkumpul di kantor untuk
mendiskusikan masalah hangat itu.
Jupe bersandar di kursi di belakang
meja. Wajahnya yang bundar tampak serius.
"Bodoh benar aku ini", serunya
seraya bangkit dari kursinya. Mukanya memerah karena kecewa pada dirinya
sendiri. "Benar-benar bodoh, dungu dan bebal."
Bob diam saja. Ia tahu, sebentar lagi
Jupe akan menjelaskan apa yang sedang dipikirkannya.
"Aku tidak memakai otak," Jupe
melanjutkan. "Dan mudah diperdayai. ketika pertama kali aku melihat
laki-laki itu, sudah timbul kecurigaanku bahwa orang itu bukanlah Kapten
Carmel. Pakaiannya tidak menunjukkan bahwa Ia seorang kapten kapal sewa. Sejak
kapan seorang kapten kapal sewa memakai kemeja rapi berdasi? Yang lebih jelas
lagi ialah lengan dan postur tubuhnya. Ia sama sekali tidak memiliki potongan
seorang pelaut. Kau lihat mata kanannya?"
"Yang berlekuk seperti tertekan
itu?" tanya Bob. "Ya, aku ingat, itu seperti orang lnggris yang kita
jumpai tahun lalu."
Jupe mengangguk. "Persis. Orang
Inggris itu - seorang ahli intan. Aku menduga kapten palsu itu demikian pula.
Tetapi... ah, bodoh benar aku ini. Dengan ditraktir hamburger saja sudah
terpedaya." Jelas terlihat muka Jupe yang kesal karena terkibuli.
"Bukan kau saja yang terkibuli, aku
juga," ujar Pete dengan nada menyesal. Dialah yang paling bersemangat
menerima tawaran traktiran itu.
"Kita semua
terkibuli," kata Bob. "Untung ada Pancho yang secara kebetulan
memberi tahu kita. Kalau tidak mungkin kita terlambat menyadari hal itu.
Sekarang kita harus lebih waspada. Ada
satu hal yang penting, yaitu..." Bob berhenti sebentar, mencoba
mengingat-ingat.
"Yaitu apa?" kata Pete tak
sabar.
"Yaitu apa yang diceritakannya pada
kita," kata Bob lagi. "Apa yang diceritakannya pada kita semuanya
benar. Ia mengatakan kapal kapten Carmel tenggelam. Itu sesuai dengan
keterangan orang Meksiko yang dijumpai Pancho, Lalu ia memberi alamat Oscar
Slater. Itu juga benar. Dan terakhir tentang kegemaran Mr. Slater pada ikan
paus serta kolam besar di belakang rumahnya. Semuanya benar."
"Betul juga, ya," komentar
Pete. "Ia sendiri membohongi kita dengan mengaku sebagai Kapten Carmel.
Tapi apa yang diucapkannya semuanya benar. Aneh!"
"Dan Ia berkata
dengan jelas dan lambat-lambat," kata Jupe, "seolah-olah sengaja agar
kita tidak keliru menangkap informasi itu Namun itu tetap belum dapat
menerangkan mengapa Ia menyamar sebagai Kapten Carmel, kecuali jika..."
Jupe terhenti sejenak Matanya
dipejamkan. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian itu, tatkala mereka pertama
kali melihat kapten palsu itu. Orang itu baru mengunci pintu, Jupe membayangkan
. dan Ia tampak terkejut ketika berbalik dan melihat Trio Detektif.
"Kecuali jika Ia baru saja
menggeledah kantor Kapten Carmel", sambung Jupe. "Bahkan mungkin
seluruh rumah itu."
"Buat apa?" tanya Pete.
"Mencuri?"
"Aku tidak yakin Ia seorang
pencurI," ujar Bob.
"Ia tidak mencuri barang,"
kata Jupe, "tetapi mencuri informasi. Mungkin Ia datang ke San Pedro untuk
mencari informasi tentang Constance dan kapten Carmel, sama seperti kita. Namun
ketika kita memergokinya mengunci pintu dari luar, Ia berusaha menyembunyikan
identitasnya. Cara yang paling baik ialah dengan mengaku sebagal kapten Carmel,
lalu mengambil hati kita dengan mentraktir hamburger."
Jupe berdiri tegap. "Oke,"
serunya. "Kita berangkat sekarang."
Pete berdiri tegap juga. Dengan gaya
militer, dihentakkannya kakinya. Tetapi kemudian ia merasa konyol.
"Berangkat ke mana, Jupe?"
katanya. "Rumah Slater kan cukup jauh. Aku harus bawa bekal dulu. Roti
keju campur daging, sebotol limun, dan..."
"Tidak." Jupe sudah mengangkat
tingkap yang menuju Lorong Dua. "kita tidak pergi ke kediaman Slater. kita
ke Ocean World untuk menemui Constance Carmel."
Ia diam sejenak sebelum memasuki lorong.
"Sudah saatnya kita unjuk
gigi!"
Trio Detektif tiba di Ocean World persis
sebelum tempat itu ditutup. Truk pick-up milik Constance masih diparkir di
pelataran. Mereka sampai di samping truk itu bertepatan dengan munculnya
Constance Carmel dari gerbang.
Sore itu udara hampir sedingin es.
Constance Carmel tampak membawa jaket tebal, tetapi tidak dipakainya. Bahkan Ia
melenggang dengan tenangnya tanpa menghiraukan udara yang dingin.
"Hai!" Ia terhenti tatkala
melihat anak-anak. "Kalian mencari aku?"
"Miss Carmel." Jupe melangkah
maju. Ia berdiri tepat di hadapan Constance Carmel yang lebih tinggi lima belas
senti darinya. Jupe harus agak mendongak untuk menatap wajahnya. "Maaf,
kami mengganggu. Kami tahu bahwa Anda lelah sehabis bekerja seharian. Tetapi
kami mohon kesediaan Anda sebentar saja."
"Aku sama sekali tidak capek,"
tukasnya. Matanya membalas tatapan Jupe. "Tapi aku sibuk sekarang. Kalau
kalian mau, datang saja lagi besok."
"Sebentar saja, Miss Carmel,"
desak Jupe. "Ini penting sekali. Ini menyangkut.."
"Besok," tegas Constance
Carmel sambil meIangkah menuju pintu mobilnya.
Jupe memandang lurus ke depan ketika
wanita itu melaluinya. Ia menarik napas. Dengan keras dan jelas Ia mengucapkan
sepatah kata.
"Fluke."
Constance Carmel terhenti. Ia menoleh
pada Jupe. Sambil berkacak pinggang, ditatapnya Jupe dengan pandangan yang
galak
"Kau mau apa dengan Fluke?"
serunya lantang.
"Kami tidak minta apa-apa,"
kata Jupe dengan tenang, sambil berusaha tersenyum. "kami senang bahwa
Fluke tenteram di kolam Mr. Slater. Kami senang bahwa Anda mengurusinya dengan
baik. Namun ada beberapa masalah yang harus kami bicarakan dengan Anda."
"Kami ingin menolong Anda, Miss
Carmel,"k ata Bob dengan sopan. "Sungguh."
"Menolong apa?" tanya
Constance Carmel. "Aku tidak kenapa-kenapa!" Tatapannya masih galak.
"Seseorang memata-matal Anda,"
ujar Pete. "Kami pergi ke San Pedro tadi. Di sana kami bertemu dengan
seseorang yang mengaku sebagai ayah Anda."
"Belakangan kami baru menyadari
bahwa orang itu bukan ayah Anda," sambung Jupe, "karena kami mendapat
berita bahwa ayah Anda dirawat di rumah sakit."
Constance Carmel bimbang sejenak,
mempertimbangkan apa yang akan diperbuatnya.
"Well." Pandangannya yang galak lenyap dalam sekejap, berganti
dengan senyuman yang ramah. "Ternyata kalian benar-benar detektif."
"Tentu saja," sahut Pete
cepat. "Anda kan sudah lihat di kartu kami."
"Oke," kata
Constance Carmel sambil merogoh kunci truk dan kantungnya. "Bagaimana
kalau kita bicarakan ini sambil naik trukku?"
"Terima kasih,
Miss Carmel," Jupe menerima.
"Ah, panggil
saja aku Constance. Dan kau kupanggil siapa? Jupiter?"
"Jupe."
"Oke,
Jupe." Constance melihat ke arah Pete. "Kau Bob?"
"Pete."
"Aku yang Bob," kata Bob.
"Jupe, Pete, dan Bob. Mari
masuk." Constance tersenyum ramah pada ketiga anak itu.
Cuma ada tempat buat bertiga di depan.
"Biar aku yang di belakang," Pete
bersuka rela.
"Ya, ya, kau kan - sudah
biasa," ujar Jupe meledek, membayangkan Pete yang pernah bersembunyi di
bak truk itu.
"Ssstt!" Muka Pete bersemu
merah. Ia segera melompat naik ke bak belakang, duduk bersama-sama sepeda
mereka.
Jupe duduk di tengah, diapit oleh Bob
dan Constance.
"Orang yang mengaku-ngaku ayahku
seperti apa rupanya?" tanyanya sambil mengendarai truk.
Jupe menjelaskan ciri-ciri orang yang
kurus tinggi dengan mata kanan yang aneh itu. Segala perkataan yang diucapkan
orang itu disampaikannya pula pada Constance.
Dahi Constance berkerut. "Aku tidak
pernah kenal orang seperti itu," ujarnya. "Mungkin Ia teman ayahku.
Atau..." Ia terdiam. "Atau Ia ingin membuat perkara dengan Ayah. Oke.
Apa yang kalian ingin ketahui dariku?"
HARTA
YANG TENGGELAM “AKU baru pulang dari rumah
sakit, menjenguk Ayah,” kata Constance. “Saat itu telepon berdering. Oscar
Slater yang menelepon. Aku mengenali suaranya karena sudah tiga kali Ia menyewa
kapal pemancing Ayah. Katanya Ia menelepon dari daerah selatan, sekitar Alabama
mungkin. Ia bilang Ia menemukan seekor ikan paus terdampar di pantai."
Ia menjelaskan bagaimana selanjutnya Ia
menolong ikan paus yang terdampar itu. Mula-mula Ia menghubungi dua kawannya,
orang Meksiko yang memiliki sebuah truk derek. Mereka membawa segulung besar
kain kanvas dan karet-karet busa, lalu bergegas memacu truk derek itu ke teluk
yang disebutkan Slater. Oscar Slater telah menunggu di sana.
Tanpa mengalami kesulitan yang berarti,
mereka dapat memasukkan ikan paus itu ke dalam truk. Constance menempelkan
karet-karet busa yang dibasahi air laut ke sekujur tubuh ikan paus itu. Mereka
langsung menuju rumah Slater, dan setibanya di sana ikan paus itu dibebaskan di
kolam. kedua kawan Meksikonya kembali dengan truk derek, sedangkan Constance
berenang bermain-main dengan Fluke— julukan yang diberikannya pada ikan paus
itu—untuk membuat Fluke betah dan senang di kolam itu.
Oscar Slater pergi membeli ikan di
sebuah toko yang ditunjukkan Constance. Sewaktu Ia kembali, Constance dan Fluke
sudah seperti dua sahabat karib. Fluke menyenangi keramahan Constance.
Ikan paus hewan yang cerdas, Constance
menjelaskan, ketika jalan mulai mendaki dekat Santa Monica. “Bahkan dalam
beberapa hal, mereka lebih cerdas dari manusia. Volume otak mereka lebih besar
dan volume otak manusia. Tapi Fluke ini benar-benar luar biasa! Selama
bertahun-tahun melatih berbagai ikan paus, belum pernah kujumpai ikan paus yang
secerdas Fluke. Padahal umurnya baru sekitar dua tahun. Yah, kira-kira
sebanding dengan anak berusia lima tahun. Rata- rata ikan paus menjadi dewasa
pada umur enam atau tujuh tahun. Tapi Fluke lebih cemerlang dari anak-anak
berusia sepuluh tahun yang pernah kujumpai."
Setelah puas bermain-main dengan Fluke,
Constance minta diantar pulang oleh Slater. Slater berdiri di tepi kolam,
kepalanya yang botak licin berkilau-kilau ditimpa sinar matahari. Ia memandang
Constance dengan pandangan licik.
"Dapatkah Anda mengantarku pulang
sekarang?” kata Constance. “Besok akan kukirim orang dan Ocean World untuk
mengambil Fluke. Mungkin Fluke akan segera dibebaskan ke laut atau ditaruh dulu
di Ocean World satu-dua hari. Pokoknya, Fluke akan selamat.”
Constance bersiap-siap pulang. Tapi
Oscar Slater menahannya.
“Sebentar, Gadis muda. Aku punya berita
yang perlu kauketahui. Sesuatu tentang ayahmu.”
Constance tidak pernah menyukai Oscar
Slater sebelumnya. Melihat gelagatnya, ia makin tidak menyukainya.
“Ada apa dengan ayahku?" tanyanya.
“Ia seorang penyelundup kawakan,” kata
Slater dengan ujung bibir ditarik ke bawah. “Bertahun-tahun ia selundupkan tape recorder, radio mini, dan peralatan
elektronik lainnya ke Meksiko. Barang-barang itu dijualnya di sana dengan harga
berlipat-lipat.”
Constance terdiam. Ia tidak ingin
mempercayai omongan Slater, tetapi ayahnya pernah
keceplosan menyinggung-nyinggung hal yang berkaitan dengan masalah itu.
Constance berusaha melupakannya. Ia sangat mencintai ayahnya yang telah
merawatnya sejak kecil, sejak kematian ibunya.
“Ia hendak menyelundupkan barang dalam
jumlah besar pada saat kapalnya tenggelam," Slater melanjutkan.
“Kebanyakan kalkulator saku, yang hanganya amat mahal di Meksiko. Seluruh
barang elektronik itu ikut tenggelam bersama kapalnya."
Constance masih berdiam diri, menunggu
Slater mengutarakan maksud yang sebenarnya.
"Kurang dari dua
atau tiga puluh ribu dolar nilainya," ujar Slater. "Dan setengahnya
berasal dari uang yang dipinjamnya dariku. Aku patner dagangnya yang baik.
Kalkulator mini itu disimpan dalam sebuah peti yang kedap air. Aku tidak ingin
kehilangan investasiku. Akan kuambil barang-barang itu dari dasar laut. Dan kau
harus membantuku."
Logat pesisir
selatannya yang kental terdengar penuh ancaman.
“Kau dan ikan paus
itu. Kau pasti mau bekerja sama denganku,
kan?”
Constance menimbang
matang-matang sebelum menjawab.
Ia yakin ayahnya tidak bersalah menurut
undang-undang Amerika Serikat. Tidak ada yang melarang menjual barang-barang
elektronik seperti kalkulator, radio, dan sebagainya, kalau barang-barang itu
diperoleh dengan cara yang halal. Dan ayahnya membeli
barang-barang itu, tidak mencurinya. Slater cuma menakut- nakutinya saja dengan
mempermasalahkan kegiatan ayahnya. Dan pemerintah Meksiko pun tidak bisa
berbuat apa-apa, kecuali kalau mereka menangkap basah ayahnya menyelundupkan
barang. Constance tidak gentar mendengar gertakan Slater.
Yang ia pikirkan
hanyalah keadaan ayahnya. Ayahnya tidak mengasuransikan kapalnya. Dan yang
lebih memusingkan ialah kesehatan ayahnya. Asuransi kesehatan juga tidak
dimiliki ayahnya, padahal biaya perawatan intensif di rumah sakit itu besar
sekali. Bisa ratusan dolar per hari. Kalau saja Ia mau membantu Slater
menyelamatkan harta yang tenggelam itu, ia dapat meringankan biaya perawatan
ayahnya.
Meskipun tidak suka
pada Slater, Ia beranggapan tidak ada salahnya untuk bekerja sama dengannya.
Demi ayahnya.
"Oke, aku mau bekerja sama,"
jawab Constance. “Aku akan melatih Fluke untuk mencari peti itu di dasar laut.”
Jupe mendengarkan penjelasan Constance
dengan cermat.
“Jadi untuk itulah kaulilitkan pita
lebar di kepala Fluke,” katanya. “Kau ingin mengikatkan kamera di kain itu.
Seekor ikan paus dapat menyelam lebih dalam dan lebih cepat dari seorang
penyelam yang paling mahir sekalipun. Dengan demikian Fluke akan mengambil
gambar reruntuhan kapal ayahmu yang tenggelam itu. Tentunya dari sana
diharapkan posisi peti itu dapat diketahui.”
Constance tersenyum lebar. “Kau pintar
sekali,” ujarnya. “Ikan paus memang pandai menyelam. Orang pernah mendeteksi
seekor ikan paus yang menyelam sampal kedalaman seribu meter di bawah permukaan
taut. Dan ikan paus dapat menyelam selama setengah sampai satu jam tanpa
bernapas."
“Tanpa bernapas?” tanya Pete, alis
matanya terangkat.
“Ya, ikan paus bernapas dengan paru-paru
seperti manusia,” Constance menjelaskan. “tidak dengan insang seperti pada ikan
umumnya. Ikan paus dapat menyimpan oksigen pada jaringan ototnya. Oksigen
simpanan itulah yang dipakainya selama menyelam."
“Oke. Sekarang giliran aku yang
bertanya,” katanya dengan ramah. “Kenapa kalian begitu tertarik pada Fluke? Apa
yang sedang kalian selidik?”
Pikiran Jupe teringat
pada penelepon gelap yang menawarkan uang seratus dolar.
Ia ingin bersikap terbuka pada Constance
sebagaimana gadis itu bersikap terbuka pada mereka.
"Kami punya seorang klien,"
Jupe memulai. “Kami tidak dapat menyebutkan namanya pada Anda, karena kami
sendiri tidak tahu. Orang itu menyewa kami, dan sanggup membayar tinggi kalau
kami berhasil menemukan dan membebaskan Fluke ke laut.”
“Membebaskan ke laut?" tanya
Constance. “Kenapa? Buat apa?"
“Aku tidak tahu,” kata Jupe sambil
mengangkat bahu. “Tepatnya, aku belum tahu”
“Well, kalian sudah setengah berhasil,
kan? Kalian sudah menemukan Fluke.” Constance memarkir truknya di muka rumah
mewah Slater. “Tinggal tugas kedua. Kalian dapat membebaskannya nanti
bersama-sama denganku. "
“Oke,” sahut Bob. “Bagaimana
caranya?"
“Kalian bisa
menyelam?"
Jupe menerangkan bahwa Pete
yang paling pandai menyelam. Namun ia dan Bob juga bisa menyelam. Mereka telah
lulus dari sebuah kursus menyelam dan diberi sertifikat tanda lulus.
“Bagus,” kata Constance. “Kalau begitu
kita bekerja sama. Secepatnya aku akan membebaskan Fluke ke laut. Tapi
sebelumnya akan kulatih dulu supaya Fluke tidak kabur di laut nanti. Setelah
itu aku minta bantuan kalian untuk menemukan bangkai kapal ayahku. Oke?”
“Oke,” Jupe dan Bob menyahut
berbarengan. Mereka makin bersemangat. Bukan hanya karena mereka akan dapat
menyelesaikan kasus itu, tetapi juga karena mereka memperoleh kesempatan untuk
menyelam di laut untuk mencari bangkai kapal yang tenggelam.
“Bagus,” kata Constance
seraya turun dari truknya. “Sekarang kita tengok Fluke dulu.”
Ikan paus kecil itu sedang tidur,
mengambang dengan mata tertutup, lubang napasnya tersembur di atas permukaan
air. Ikan paus itu terbangun ketika Constance menyalakan lampu dasar kolam.
Dihampirinya Constance seraya mengepakngepakkan siripnya.
Fluke seolah juga mengenali Trio
Detektif. Sewaktu anak-anak berlutut di tepi kolam, Fluke menghampiri mereka.
Disundulnya kaki anak-anak itu dengan kepalanya.
“Wah,” senu Pete. “Bukan main!
Seperti—apakah Fluke mengenali kita?”
“Tentu saja,” sahut Constance. “Mana
mungkin Fluke lupa pada kalian yang telah menyelamatkan hidupnya.”
“Tetapi, Fluke kan cuma seekor..."
Belum selesai Pete berbicara, Fluke
dengan cepat menyundulkan kepalanya ke arah Pete. Seakan-akan Fluke hendak
meyakinkan Pete bahwa Ia tidak lupa pada Trio Detektif meskipun Ia cuma seekor
ikan paus.
Constance memberi ikan pada
Fluke, lalu muiai memakai sepatu kataknya. Baru sebelah sepatu terpasang, Ia
tiba-tiba menoleh. Rasa geram tersirat di wajahnya.
Dua orang laki-laki keluar dan rumah
mewah itu dari mendatanginya. Dari keterangan Pete, Jupe dapat mengenali salah
seorang dari mereka. Oscar Slater, Jupe merasa yakin.
Dan yang seorang lagi?
Trio Detektif segera
mengenalinya. Jantung mereka berdebar-debar. Orang—yang amat jangkung, kurus,
dan agak bungkuk itu—memiliki bekas tertekan di sekeliling mata kanannya.
hampir seperti bekas luka.
“Kenapa Anda melihat-lihat ke sini
lagi!” seru Constance dengan galak pada Slater. “Kan sudah kubilang, Anda tidak
usah ikut campur dalam mengurusi ikan paus ini. Biarkan aku yang melatih dan
mengurusnya sampai ikan paus ini sanggup mencari peti di bangkai kapal
itu."
Slater tidak menanggapi. Ia memandangi
Trio Detektif satu per satu.
“Siapa anak-anak ini?” Ia bertanya
dengan logat pesisir selatan yang kental.
“Mereka kawan-kawanku,” jawab Constance
dingin. “Penyelam. Aku perlu bantuan, dan aku minta bantuan mereka.”
Slater mengangguk. Jupe dapat
menyimpulkan bahwa Slater tidak menyukai kehadiran anak-anak di situ. Tetapi Ia
tidak dapat menolak kehendak Constance.
“Dan siapa kawanmu itu?” Constance
melihat ke arah orang jangkung dan kurus yang berdiri di samping Slater.
“Aku Donner,” orang itu memperkenalkan
dirinya. “Paul Donner. Aku kawan lama Mr. Slater. Dan juga kawan baik ayahmu,
Miss Carmel.” Ia berhenti, tersenyum. “kawan dari Meksiko.”
Jupe—yang sangat berbakat dalam menarik
kesimpulan—segera menyadari situasi yang dihadapi. Orang itu belum pernah
dijumpal Constance sebelumnya. Namun dari caranya berbicara, Donner
kelihatannya tahu mengenal bisnis gelap peralatan elektronik yang dilakukan
ayah Constance di Meksiko. Dengan senyumnya, seakan Ia mengatakan pada
Constance untuk tidak usah khawatir, Ia berada di pihak ayah Constance.
Paul Donner masih tersenyum ketika
menatap Trio Detektif. “Jadi kalian dapat menyelam,” ujarnya. Kalian bekerja di
Ocean World juga dengan Constance?”
“Kadang-kadang,” sela Constance. “Kalau
aku butuh bantuan, biasanya aku panggil mereka. Oh, aku belum memperkenalkan
mereka. Jupe, Pete, dan Bob,” katanya sarnbil menunjuk pada masing-masing
anggota Trio Detektif.
"Paul Donner," ujarnya sambil
menyalami anak-anak satu per satu. Tidak nampak di wajahnya bahwa sebenarnya
mereka telah berjumpa tadi pagi.
Mungkinkah Ia lupa, pikir Jupe. Atau ia
sengaja berpura-pura tidak kenal, karena tidak ingin diketahui Slater bahwa ia
dan anak-anak pernah bertemu.
Mengapa? Jupe
penasaran. Apa yang disembunyikan Paul Donner?
“PAUL DONNER,” kata Jupe. “Apa kaitannya
Paul Donner dengan misteri ini?"
Ini terjadi pada keesokan harinya di
depan gerbang Pangkalan Jones. Trio Detektif sudah tak sabar menunggu.
Constance berjanji untuk menjemput anak-anak setelah makan siang. Ia sudah
minta izin dari Ocean World siang itu.
“Aku pikir Ia terlibat dalam kasus ini,”
Jupe melanjutkan. “Constance belum pernah mendengar tentang dia sebelumnya,
namun Donner tahu banyak tentang ayah Constance, termasuk kunjungannya ke
Meksiko.”
"Dan Ia menggeledah rumah Kapten
Carmel", Bob menambahkan.
“Persis,” Jupe menyetujui. “Dan Ia kawan
lama Slater, jadi kemungkinan besar dialah orang yang bersama Slater di kapal
pada saat kita menolong Fluke.”
“Orangnya tidak terbuka,” kata Bob. “Ia
tidak memberi tahu Slater bahwa Ia telah bertemu kita di San Pedro.”
“Ada satu lagi yang penting,” Pete
nimbrung. “Dia tahu kita lebih banyak daripada kita tahu dia. ingat, kan? Dia
mengenali kita sebagai Trio Detektif waktu kita di San Pedro.’
“Menurut hematku,” ujar Jupe, “kupikir
Ia tahu segala-galanya. Tentang penyelundupan, badai, kapal yang tenggelam,
kalkulator saku dan rencana Slater untuk memanfaatkan Fluke. Semuanya Ia tahu.
Namun... di mana letak keterlibatannya?"
Saat itu truk pick-up putih berhenti di
depan gerbang. Trio Detektif bergegas naik. Jupe membawa kotak kecil logam.
Diserahkannya kotak itu pada Constance.
"Ini yang kaupesan," katanya.
"Sudah jadi?" Constance nampak
senang.
Jupe mengangguk. Ia spesial bangun
pagi-pagi sekali untuk mengerjakan alat itu, seperti yang diminta oleh Constance
malam sebelumnya. Ia memperagakan cara kerja alat itu pada Constance.
Di dalam kotak
terdapat sebuah tape recorder yang memakal baterai, mikrofon, dan pengeras
suara mini. Jupe telah memasangkan dua buah lempengan plastik tipis di sisi
dalam kotak, sehingga tape tetap dapat merekam dan suara kaset tetap terdengar
meskipun kotak tertutup.
Ia telah menguji alat itu di bak
mandinya tadi pagi. Alat itu bekerja dengan baik. Meskipun direndam air, tidak
setetes air pun masuk ke dalam kotak.
"Kau benar-benar jenius
elektronika!" sera Constance dengan kagum.
“Ah, ini cuma hobi,” sahut Jupe. Ia
memang gemar mengutak-atik benda-benda elektronik sambil membayangkan dirinya
sebagai Thomas Alfa Edison, kalau berhasil menciptakan suatu alat unik. Tapi Ia
tidak ingin menggembar-gemborkan penemuannya. Harapannya hanyalah alat itu
dapat bermanfaat bagi orang lain.
Trio Detektif membawa
masker selam dan sepatu katak mereka. Begitu sampai di rumah Siater, mereka
berpakaian renang dan berkumpul di pinggir kolam.
Slater dan kawannya, Donner, tidak
terlihat.
“Aku ancam mereka,” ujar Constance.
“Kalau mereka ikut campur lagi, akan ku...” Ia tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Kau akan maju terus, kan?” Bob memberi
semangat.
Constance mengangkat bahu. “Aku tak
dapat mundur lagi. Ayah sangat butuh uang untuk perawatannya. Kita harus
menemukan peti itu.”
"Bagaimana keadaan ayahmu?” tanya
Pete.
"Masih gawat.
Tapi Ayah orangnya keras. Laki-laki Meksiko tulen,” katanya bangga. “Dokter
bilang Ia akan sembuh. Aku belum boleh menjenguknya lama- lama, Ayah masih
sukar berbicara. Kalau bicara seperti mengigau, mengulang- ulang suatu
kalimat.” Ia berhenti sejenak, mengencangkan sepatu kataknya.
“kalian kan detektif,” sambungnya.
“Mungkin kalian dapat menangkap maksudnya. Ia selalu mengatakan, ‘Awas terhadap Dua Tiang. Jaga agar tetap segaris. ' ”
Ia mencebur ke dalam kolam, disambut
Fluke dengan girang.
"Dua Tiang?" gumam Jupe
sembari menarik-narik bibir bawahnya. “Jaga agar tetap segaris.” Ia berpaling
pada Bob dan Pete. “Ada ide?”
“Tiang,” kata Bob. “Mungkin yang
dimaksud Paul Donner, yang jangkung dan kurus seperti tiang itu. Ia orang apa,
ya? Aku yakin Ia bukan asli dari sini, meskipun logatnya persis seperti orang
sini. Ada yang lain dalam caranya berbicara."
"Pengamatan yang baik," puji
Jupe. "Ia berbicara dengan kata-kata yang tidak umum dipakai. kalau dia
salah satu tiang itu, siapa tiang kedua?”
“Wah, lihat!” tiba-tiba Pete berseru
sambil menunjuk ke kolam.
Fluke mengitari kolam
dengan cepat dan lincah sembari membawa Constance di punggungnya.
Tanpa terasa setengah jam berlalu.
Anak-anak asyik menonton Fluke dan Constance beratraksi. Mereka seperti
bermain-main saja, tapi Bob tahu bahwa itu bukan hanya permainan. Sambil
bermain, Constance melatih Fluke untuk mentaati instruksi yang dikeluarkannya.
Mereka seperti bersahabat karib, pikir
Pete. Begitu akrabnya sampai seolah mereka dapat saling membaca pikiran yang
lain. Dan begitu menyatu dalam berpikir dan bergerak, seakan-akan mereka itu
satu orang saja.
Setelah Constance memberi makan Fluke,
Ia mengajak anak-anak ikut mencebur ke kolam agar Fluke terbiasa berenang
dengan anak-anak.
Dengan agak takut-takut, Pete berenang
di samping Fluke dan merasakan kepala Fluke menyundul-nyundulnya. Sebagai ikan
paus, Fluke tergolong kecil. Tetapi dibandingkan manusia, Fluke besar sekali.
Dan kuat. Meskipun demikian Fluke pada dasarnya lemah lembut. Sundulannya pada
Pete tidak keras dan tidak menyakitkan. Tidak lama kemudian anak-anak sudah
akrab dengannya.
"Bagus sekali," ujar Constance
pada anak-anak, ketika mereka naik dan kolam. “Sekarang kita coba tapeku.”
Fluke menanti di seberang kolam.
Constance telah melatihnya untuk menunggu seperti itu, dan Fluke baru bergerak
kalau dipanggilnya.
Ia menghidupkan tape dalam kotak itu.
Lalu menyelam ke dasar kolam.
Sesaat kemudian Fluke menyusul menyelam,
dan diam di dasar kolam.
Trio Detektif mengamati Constance di
dasar kolam. Terpana. Mengagumkan sekali kekuatan paru-parunya, pikir Jupe.
Constance bersantai di dasar kolam dengan nyaman, seperti Bibi Mathilda
duduk-duduk di ruang tamunya. Melalui air kolam yang jernih, Pete dapat melihat
Constance menjulurkan tape itu ke arah Fluke, lalu tangannya yang satu lagi
memetik jari.
Constance berhenti. Kepalanya
dimiringkan ke kiri seraya tersenyum.
Hampir dua menit kemudian Ia baru muncul
di permukaan, mengambil napas panjang, tapi tidak terengah-engah.
“Aku berhasil,” serunya. “Coba kita
dengarkan hasilnya."
Jupe memutar ulang tape itu, lalu
menekan tombol PLAY.
Mula-mula cuma terdengar suara air
tersibak. Itu Constance ketika baru menyelam. Lalu ada suara klik yang teredam.
Itu masih Constance, memetik jari di dalam air.
Suara klik hilang,
disusul suara yang jelas melaiui pengeras suara mini. Suara seperti cicit
burung. Suara itu bernada tinggi-rendah, diselingi suara berkeletak- keletak
seperti suara kastanet.
Tidak persis benar dengan suara burung,
pikir Jupe. Lebih bergetar, dan lebih berat. Suara itu seperti... seperti...
ah, belum pernah Ia dengar suara seperti itu sebelumnya.
Semenit kemudian suara itu berhenti.
Constance mematikan tape.
“Itu suara Fluke?” tanya Bob setengah
berbisik. “Fluke bernyanyi untuk Anda?”
“Bernyanyi. Berbicara. Apa saja kau
boleh sebutkan,” kata Constance. “Ikan paus berkomunikasi dengan suaranya. Para
ahli telah berhasil membedakan lebih dari seribu macam suara yang dihasilkan
ikan paus. Di dalam air suara itu merambat dengan cepat dan dalam jarak yang
jauh. Seekor ikan paus dapat menangkap suara yang dikeluarkan ikan paus lainnya
dalam jarak bermil-mil."
Ia mencopot sepatu kataknya.
“Seperti manusia, ikan-ikan paus
mempunyai bahasa sendiri. Bedanya—sepanjang pengetahuanku—sesama ikan paus
tidak pernah berkelahi. Mereka sangat tahu aturan. Dan aku yakin mereka tidak
pernah berbohong pada ikan paus lainnya. Tidak seperti kita manusia. Manusia
sering kali menggunakan bahasanya untuk berbohong, bukan untuk mengatakan yang
sebenarnya.”
“Aku boleh mendengarnya lagi, kan?"
pinta Pete.
"Boleh. Tapi aku ingin
memperdengarkannya pada Fluke dulu.”
Jupe memutar ulang tape itu lagi, lalu
menekan tombol PLAY. kemudian Constance
mencelupkannya ke dalam air. Trio Detektif memperhatikan Fluke.
Fluke masih diam di dasar kolam dengan
tenangnya. Tiba-tiba badannya bergetar. Kedua siripnya melebar ke samping.
Dengan satu gerakan bertenaga, Fluke meluncur ke arah mereka.
Mata anak-anak tak berkedip.
Fluke memperlambat gerakannya ketika
mencapai kotak logam itu. Bimbang sejenak. Kemudian Fluke menjilati kotak itu.
“Bagus,” ujar Constance seraya
mengangkat kotak itu keluar air. “Bagus, Fluke. Pandai sekali.”
Senyumnya masih lebar sewaktu Ia
melempar seekor ikan untuk Fluke.
“Itulah yang kuinginkan,” katanya pada
anak-anak. "Rencanaku berjalan mulus. Kalau ia dilepas di laut, kita dapat
memanggilnya dengan memutar tape ini di dalam air laut."
“Aku dapat merekamnya beberapa kali,”
ujar Jupe. "Bisa diulang-ulang sampai kita peroleh rekaman suara Fluke
sepanjang setengah jam dalam satu sisi kaset.”
“Ide yang bagus,”
sahut Constance. Diserahkannya kembali tape itu pada Jupe.
“Aku ingin menjenguk Ayah,” katanya
lagi. “Kalian akan kuantar sampai ke gerbang. Oke?”
Constance tadi memarkir truknya di
pinggir jalan di depan rumah Slater. Pete naik ke bak belakang, sementara kedua
kawannya duduk di depan bersama Constance.
Sampai belokan pertama, jalan masih
lurus dan datar. Sesudah itu mereka menempuh jalan berliku-liku menuruni bukit.
Cepat sekali Constance mengendarai mobilnya, pikir Jupe dengan heran. Di sebuah
tikungan Constance tidak mengurangi kecepatan. Bob dan Jupe berpegangan
erat-erat pada dashboard. Ban truk
mendecit-decit, berputar dekat sekali ke tepi jurang.
“Remnya! Remnya blong!” Constance mulai
panik. Berkali-kali diinjaknya pedal rem dalam-dalam. Truk tidak melambat.
Bahkan makin cepat
Di hadapan mereka ada sebuah tikungan
tajam ke kanan.
Truk masih melaju dengan kecepatan
tinggi. Constance menarik rem tangan. Percuma, turunan terlalu tajam. Kecepatan
makin tinggi. Empat puluh. Lima puluh. Enam puluh mil per jam.
“Pindahkan gigi!”
Dalam kepanikan Jupe masih sempat berpikir.
Constance mengoper ke
gigi yang lebih rendah. Mesin truk meraung-raung.
Seluruh bodi truk bergetar. Tapi jarum speedometer masih menunjuk angka enam puluh.
Tikungan tajam makin
dekat. Di ujung jalan berdiri sebuah rumah besar dikelilingi tembok batu yang
kokoh.
Tidak mungkin
menikung dengan kecepatan enam puluh mil per jam.
Jupe dan Bob menahan
napas.
Truk akan menghantam tembok batu.
CONSTANCE menyetir
truk ke tengah jalan. Lalu mepet ke kiri—di sana mobil seharusnya berjalan di
jalur kanan. Andaikan ada sebuah mobil datang dari balik tikungan, tabrakan tak
dapat dihindarkan lagi.
Tapi tak muncul mobil dan depan. Hanya
tampak tembok batu yang berdiri kokoh bagai gunung karang.
Bob dan Jupe menekankan kakinya
kuat-kuat pada lantai mobil. Tangan mereka berpegangan makin erat pada
dashboard. Bob memejamkan matanya. Jupe mengejangkan seluruh badannya.
Constance mengoper ke gigi satu.
Sepersekian detik berikutnya ia membanting setir ke kanan.
Keempat ban seakan berhenti serempak.
Bunyi decit ban makin keras. Getaran bodi truk makin hebat.
Jupe masih melihat
tembok batu makin dekat. Tapi —secepat cahaya lampu kilat— tahu-tahu tembok
batu kini berada di sebelah kirinya. Lalu hilang.
Kini pandangan melalui kaca depan tampak
berkelebatan. Bob dan Jupe terbanting-banting. Constance masih menahan setir ke
kanan kuat-kuat. Truk berputar-putar melintir.
Raungan mesin, jeritan ban, guncangan
bodi truk, Semuanya bercampur-aduk. Diakhiri dengan dentaman yang keras dan
suara kaca pecah.
Tembok batu kini berada di samping. Diam
tak bergerak. Menutupi pandangan melalul jendela samping di sisi Constance.
Truk telah menghantam tembok batu dengan
sisinya. Mesin terbatuk-batuk, lalu mati.
Tidak seorang pun
berkata-kata selama beberapa menit. Constance bersimbah peluh, menelungkup
sambil memegangi setir. Tangannya gemetaran. Diambilnya napas panjang berulang
kali - dalam-dalam. Ia beruntung tidak terkena pecahan kaca. Jendela di sisinya
dalam keadaan terbuka lebar sehingga kaca remuk di dalam pintu, tidak
melukainya.
“Oke,” akhirnya Ia
berkata. Suaranya masih bergetar. "Kalian ada yang luka?" Sambil
menghela napas Jupe menggeleng perlahan. Matanya terpejam.
“Bob?” tanya
Constance.
Bob baru berani membuka matanya
sekarang. Ia juga menggeleng. Tangannya masih mencengkeram dashboard.
Mereka baru ingat Pete.
“Pete!” sera Jupe
dengan suara tertahan. Bob mendorong pintu di sampingnya kuat-kuat. Lututnya
masih terasa lemah. Tapi dipaksakannya untuk keluar. Sambil berpegangan pada
daun pintu, Ia berdiri di kursi depan, setengah badannya menjulur ke luar. Ia
melongok ke bak belakang.
Pete tertelungkup di
dasar bak. Tangan dan kakinya terentang. Ia tak bergerak “He, Jupe!” teriak
Bob. "Cepat!”
Bob memanjat masuk ke
bak belakang. Jupe menyusulnya. Mereka berlutut di samping Pete. Dengan
hati-hati Bob memegang pergelangan Pete, merasakan denyut nadinya.
Pete mengerang,
merasakan sentuhan Bob. Perlahan-lahan matanya terbuka. “Uuh,” desahnya. “Ini
dunia atau akhirat?”
“Hhh,” desah Bob sambil bernapas lega.
Ia merasa geli melihat kelakuan kawannya yang satu itu. “Kau tidak apa-apa?
Masih sempat-sempatnya kau bercanda.”
“Uuh, tulang-tulangku serasa remuk” Pete
berbalik dan duduk, lalu meraba-raba sekujur badannya. Tidak satu pun tulangnya
patah. “Apa-apaan ini? Tidak tahu ya, aku ada di belakang?! Kalau bukan aku,
pasti sudah terpental keluar!”
Jupe menepuk-nepuk
bahu Pete. “Ini tidak disengaja, Pete. Siapa sih, yang berani nekat seperti
itu? Tindakan Constance menyelamatkan kita. Dan untung kau atlit sejati, kalau
tidak.” Ia berusaha membesarkan hati Pete.
Ia termenung
sejenak."Dugaanku, seseorang menyabot rem mobil ini.”
“Menyabot? Buat apa?”
seru Pete seraya bangkit.
“Itu yang perlu kita
selidiki.” sahut Bob.
Sebentar saja sudah ketahuan
mengapa rem itu blong. Jupe benar, ada sabotase. Constance memandangi kabel rem
kaki dan rem tangan yang terputus di kolong mobil.
“Kabel terpotong dengan rapi, pasti ada
yang sengaja memotongnya," ujar Jupe. "Seseorang telah melakukannya
sewaktu kita bermain-main dengan Fluke.”
"Seseorang?” tanya Constance.
“Siapa?"
Jupe tidak dapat menjawabnya. Tapi Ia
berniat untuk mencari siapa pelaku sabotase yang hampir mencelakakan mereka
itu.
Constance menghubungi kawan-kawannya
pemilik truk derek, dan anak-anak diantar sampai pangkalan barang bekas. Selama
itu, Jupe mengerahkan segala kemampuan otaknya untuk mencari sebab sabotase dan
siapa pelakunya.
Baru pada saat duduk bersandar di bangku
dalam kantor Trio Detektif, Jupe menemukan jawabannya. “Seseorang tidak ingin
kita berhasil menemukan bangkai kapal Kapten Carmel. Ia menghalang-halangi
dengan mencoba mencelakakan kita dan Constance agar kita berhenti mencari
bangkai kapal itu, agar Constance berhenti melatih Fluke.”
Ia berhenti sejenak, menarik-narik bibir
bawahnya.
"Sekarang," lanjutnya,
"ada tiga orang yang patut dicurigai. Sampai sejauh ini, hanya tiga.”
“Pertama.” Jupe mengangkat telunjuknya
yang gemuk lurus-lurus. “Oscar Slater. Namun Slater tidak punya alasan yang
cukup kuat untuk menghalangi pencarian bangkai kapal itu. Jelas-jelas dialah
yang menemukan Fluke dan meminta Constance melatih Fluke. Semua itu ditujukan
untuk mencari bangkai kapal Kapten Carmel.”
Jupe berhenti lagi.
"Kedua." Jari tengahnya yang
juga gemuk diangkatnya. “Paul Donner. Apa yang kita ketahui tentang dia? Sewaktu
kita berjumpa dengannya di San Pedro, dia telah tahu nama kita. Dia tahu bahwa
kita Trio Detektif. Dari mana dia tahu?”
Pete dan Bob mendengarkan.
“Paul Donner berbohong pada kita,
mengaku sebagai ayah Constance,” lanjut Jupe. “Tetapi Ia juga mengatakan
hal-hal yang benar. Ia bilang Kapten Carmel sedang bersama Oscar Slater pada
saat kapalnya diserang badai. Tidak bukan begitu tepatnya.” Jupe memejamkan
mata, mengingat-ingat pertemuan di San Pedro itu. “Tepatnya, Ia mengatakan
kapten Carmel membawa Oscar Slater pulang
dari memancing di Baja California ketika mendadak badai menyerang.”
Bob dan Pete
membenarkan. Jupe jarang sekali salah mengingat perkataan orang lain.
Jupe mengangkat
telepon dan memutar sebuah nomor.
“Halo.” Suara
Constance terdengar melalui pengeras suara.
“Halo. Di sini Jupe.”
“Halo, Jupe. Ada apa?
Suaramu seperti cemas.”
“Aku tidak cemas,”
kata Jupe. “Aku cuma penasaran.”
“Penasaran soal apa?”
“Ada beberapa persoalan?’ sahut Jupe.
“Kau mungkin dapat membantu memecahkannya.”
“Mudah-mudahan.”
“Begini, sewaktu kami memberikan kartu Trio Detektif di kantormu, apakah kau
menunjukkannya atau mengatakannya pada orang lain?”
"Tidak."
“Kauletakkan di mana
kartu itu?”
“Di atas mejaku,
kenapa?”
“Mungkinkah terlihat
orang lain?”
“Mungkin sekali. kantorku dipakai oleh
beberapa orang pelatih lainnya, jadi hampir tidak pernah terkunci.”
“Jadi seseorang bisa saja masuk ke dalam
kantormu, lalu melihat kartu di atas mejamu itu?”
“Ya, Aku sendiri tidak begitu
memperhatikan kartu kalian sampai kalian pergi. Lalu...”
“Lalu kau menjadi khawatir akan nasib
Fluke. Kau bergegas pergi ke rumah Oscar Slater untuk melihat keadaan yang
sebenarnya.”
“Betul. Dari mana kau tahu?”
“Kami masih di pelataran parkir ketika
kau lewat mengendarai truk putih dengan tengesa-gesa.”
"Oo, itu kalian toh," kata
Constance. "Aku memang hampir menabrak tiga orang anak waktu itu. Aku
ingat sekarang. Ada persoalan lain, Jupe?”
“Ada. Tentang ayahmu.
Ketika ayahmu bersama Slater berlayar ke Baja California untuk menjual
kalkulator saku itu...”
"Ya. "
“Berapa lama kapal
itu telah berlayar sebelum diserang badai hingga tenggelam?"
Untuk beberapa saat
Constance terdiam. Ia mencoba mengingat-ingat.
“Aku tak tahu,” ujarnya. “kantorku cukup
jauh dari San Pedro, jadi aku tinggal bersama seorang kawan wanitaku di Santa
Monica. Biasanya aku pulang menengok Ayah setiap Senin. Tapi Senin itu aku
harus ke San Diego. Dua minggu aku tidak menengok Ayah, sampai ada telepon dari
rumah sakit...”
Suaranya menjadi serak. Ia teringat
bagaimana kagetnya sewaktu mendengar berita itu.
Dengan sabar Jupe menanti.
"Maaf, aku tidak
bisa memberimu jawaban yang memuaskan,” kata Constance dengan suara yang biasa
kembali. “Aku benar-benar tak tahu persis. Tetapi sekitar dua minggu itulah,
atau kurang.
Tapi mungkin juga
persis dua minggu, kan?
Mungkin saja. Apakah ini penting?"
Jupe mengiyakan.
Setelah telepon ditutup, Jupe duduk terpekur beberapa saat lamanya. Apakah
Kapten Carmel dan Oscar Slater sudah berlabuh di Baja?
Apakah mereka dalam perjalanan pulang
ketika diserang badai? Ia harus menemukan jawabnya.
Bagaimana?
Ia menoleh pada Pete. “Bagaimana kalau
kita berkunjung ke Malibu sebentar?" usulnya.
"Usul yang bagus," seru Pete
dengan bersemangat. “Kenapa tidak dari kemarin kau usul begini.... "
"Kau mau, Bob?”
"Oke."
Bob dapat menangkap
tujuan Jupe ke Malibu, dan Ia menyetujui usul itu. Tetapi pikiran Bob masih
disibukkan dengan apa yang dikatakan Penyelidik Satu sebelumnya.
Ada tiga orang yang
patut dicurigai, begitu Jupe tadi berujar.
Baru dua yang
disebutkannya.
Oscar Slater.
Dan Paul Donner.
“Tunggu dulu, Jupe,”
kata Bob. “Siapa orang yang ketiga?"
Tetapi Penyelidik
Satu telah membuka tingkap menuju Lorong Dua.
Tanpa menanggapi pertanyaan Bob, ia
menyusup ke dalam lorong.
PERTOLONGAN
MR. SEBASTIAN "NASI MERAH," kata
Hoang Van Don dengan bangga seraya meletakkan sebuah mangkuk besar di meja.
Hoang Van Don, yang berasal dari Vietnam itu, bekerja sebagai pembantu rumah
tangga Hector Sebastian. Ia gemar sekali memasak, hampir segala macam resep
dicobanya.
"Makanan yang menyehatkan,"
kata Don, "mengandung banyak vitamin."
Seperti apa rasanya, pikir Pete, belum
pernah kulihat nasi seperti ini. Ia membungkuk mencium bau nasi merah itu.
Jangan heran, Amerika Serikat nasi
memang makanan yang langka. Hanya sekali- sekali saja orang Amerika makan nasi,
dan hampir tidak pernah makan nasi merah.
"Silakan," kata Hector
Sebastian. "Sikat saja." Mr. Sebastian tahu bahwa anak- anak suka
makan, terutama Pete.
Mereka bersantap di ruang tamu Mr.
Sebastian yang luar biasa besarnya. Di salah satu sisinya berderet kaca-kaca,
memperlihatkan pemandangan yang indah ke Samudra Pasifik. Rumah di Malibu itu
dulunya merupakan Charlie's Place. Hector Sebastian membelinya setelah
kisah-kisah misteri yang dikarangnya mulal laris, bahkan sampai difilmkan.
Sejak saat itulah Ia sedikit-sedikit memperbarui bekas restoran itu menjadi
rumah yang nyaman dan artistik.
Pete mencicipi sesendok nasi merah
dengan ragu-ragu. Hmm, enak juga, ya, ujarnya. Segera Ia makan dengan lahap.
"Kalian melihat perubahan di rumah
ini?" tanya Mr. Sebastian pada anak-anak. "Sudah banyak kulakukan
perubahan di sini semenjak kunjungan kalian yang terakhir."
Jupe melihat berkeliling. Ruangan itu
dahulu berfungsi sebagai ruang makan utama Restoran Charlie's Place.
"Anda mengganti seluruh ubinnya,
Mr. Sebastian." kata Jupe. "Dan Anda membeli kursi goyang."
Hector Sebastian tersenyum bangga.
"Aku tidak membelinya. Aku diberi oleh sebuah perusahaan film. Kursi
goyang itulah yang dipakai dalam filmku yang terbaru, Chill Factors. Kau ingat
salah satu adegan di film itu, ketika si wanita tua dicekik dengan gantungan
baju kawat?"
Jupe masih ingat samar-samar. Si wanita
tua sedang duduk di kursi goyang itu sewaktu seseorang bersarung tangan hitam
mendatanginya dan belakang.
Jupe heran, buat apa Mr. Sebastian
menyimpan k kursi itu. Padahal kursi itu mengingatkan pada peristiwa yang
menyeramkan. Sesaat kemudian Jupe ingat bahwa Mr. Sebastian memang
kadang-kadang nyentrik.
Sifat nyentriknya
membuat Mr. Sebastian selalu mau menerima anak-anak, sekalipun Ia sedang sibuk
bekerja. Ia siap setiap saat mendengarkan kisah petualangan Trio Detektif, dan
juga siap mengulurkan tangan untuk membantu.
Bertahun-tahun lamanya Mr. Sebastian
bekerja sebagai detektif, sampai suatu saat Ia mengalami kecelakaan. Kakinya
terluka cukup parah. Sejak itu Ia mulai beralih profesi menjadi penulis kisah
misteri. Dan karena buku-buku karangannya laris, Ia merasa tidak perlu lagi
bekerja sebagai detektif. Ia cukup puas dengan bekerja sebagai penulis buku dan
naskah film misteri.
Latar belakang kehidupannya sebagai
detektif membuat Mr. Sebastian senang mendengar kisah petualangan Trio
Detektif. Kisah-kisah misteri anak-anak membuatnya teringat akan masa lalunya.
Seakan-akan dirinya sendiri yang melakukan penyelidikan dan memecahkan misteri
yang dihadapi anak-anak.
Karena itu, tanpa diminta,
Mr. Sebastian lang-sung menelepon ke beberapa tempat untuk mencari informasi.
Mr. Sebastian masih berhubungan baik dengan beberapa pihak yang bersedia
memberinya keterangan yang Ia perlukan.
Dengan harap-harap cemas, Trio Detektif
menanti keterangan yang diperoleh Mr. Sebastian. Tanpa bantuannya, mereka akan
setengah mati mencari keterangan yang amat diperlukan itu.
Pete sudah menyikat habis sepiring nasi
merah. Ia mulai menyendok lagi, mengisi piring kedua.
"Kau doyan, Pete?" kata Don
sembari tersenyum puas.
"Ya, rasanya gurih juga,"
sahut Pete dengan suara tak jelas. Mulutnya masih penuh nasi.
"Iya, tapi habiskan dulu nasi di
mulutmu!" Bob memandang Pete dengan geli.
"Sudah sampai di
mana buku yang sedang Anda karang, Mr. Sebastian?" tanya Jupe ketika Mr.
Sebastian kembali. Selain bercerita tentang petualangan misteri yang
dialaminya, Jupe juga tertarik sekali pada kisah-kisah karangan Mr.
Sebastian.
"Sebentar lagi selesai," jawab
Mr. Sebastian seraya duduk. "Komputerku sangat membantu mempercepat
penulisan buku itu. Enak sekali, rasanya seperti... "
Ia terhenti. Telepon berdering
Mr. Sebastian mengambil sebuah tongkat
dari samping kursinya. Sambil bertelekan tongkat, Ia berjalan dengan sedikit
pincang. Akibat kece!akaan itu masih dirasakannya sampai sekarang. Dering
telepon terdengar lagi dari balik rak buku. Meja besar di balik rak buku itu
dijadikan tempat kerja Mr. Sebastian. Komputer, printer, dan sebuah pesawat
tetepon terdapat di meja itu.
Trio Detektif
mendengar Mr. Sebastian menjawab telepon. Mereka memasang telinga, penasaran
karena tidak dapat mendengar suara Mr. Sebastian dengan jelas.
Ruangan itu terlalu besar, dan meja
kerja Mr. Sebastian terletak di salah satu sudut ruangan di seberang meja
makan.
Pete mencoba mendengarkan dengan begitu
seriusnya, sampai-sampai Ia tidak sadar bahwa sudah dua piring nasi merah
dilahapnya. Bob memandang dengan heran pada kawannya yang satu itu. Pete seakan
dapat menelan makanan apa saja yang disajikan di depannya. Bagi Bob sendiri
nasi merah itu terasa aneh. Maklumlah, lidahnya memang tidak terbiasa dengan
nasi.
"Tambah lagi, Pete?" tanya
Don. Ia mengangkat piring Pete, hendak menambahkan nasi merah lagi.
"Cukup, cukup!" seru Pete
sambil menahan piringnya. "Bisa meledak perutku nanti!"
Saat itu Mr. Sebastian berjalan kembali
dari sudut di seberang ruangan, terpincang- pincang, sambil membawa sehelai
kertas.
"Well," katanya seraya memperlihatkan kertas itu pada Trio
Detektif. "Aku dapat berita. Mudah-mudahan berguna bagi kalian."
"Apa beritanya?" tanya Jupe
dengan bersemangat.
"Dari Badan Imigrasi Meksiko di La
Paz, Baja California. kapal kapten Diego Carmel, Lucky Constance, berlabuh di
La Paz pada tanggal 10 Februari. Kapten Carmel membawa seorang penumpang
bernama Oscar Slater. Setelah dua hari singgah di sana, mereka berlayar kembali
pada tanggal 12 Februari."
Jupe mengernyit.
"Terima kasih, Mr. Sebastian."
katanya. "Kapal Kapten Carmel tenggelam tanggal 17 Februari. Itu berarti
mereka diserang badai dalam perjalanan kembali ke San Pedro."
Ia menoleh pada Bob, lalu pada Pete.
"Dan itu berarti pula," lanjutnya, "kalau mereka memang membawa
peti berisi kalkulator saku untuk diselundupkan ke Meksiko..."
Ia berpaling pada Hector Sebastian.
"Well, mungkin mereka gagal
menyelundupkan barang itu, sehingga mereka bawa pulang kembali. Atau mereka
telah berhasil menyelundupkan barang itu. Dalam hal ini Oscar Slater berbohong
pada Constance dengan mengatakan bahwa peti berisi kalkulator itu ikut tenggelam.
Bagaimana menurut Anda, Mr. Sebastian?"
"Menurutku jalan
pikiranmu benar, Jupe." Hector Sebastian tersenyum. "Kelihatannya
perjumpaan kalian dengan Fluke yang tak disengaja akan membawa kalian ke dalam
suatu petualangan baru. Suatu misteri yang makin lama makin menarik.. dan
aneh."
RAKSASA TANPA MUKA “KAU bisa memperbaikinya, Jupiter?” tanya Bibi Mathilda.
Jupiter mengamat-amati mesin cuci tua di
hadapannya.
Paman Titus membelinya semalam. Catnya
sebagian besar sudah mengelupas, dan di sana sini bahkan sudah timbul karat.
“Akan kucoba, Bibi Mathilda,” janji
Jupe. “Akan kukerjakan seharian ini.”
Bibi Mathilda tersenyum. Ia selalu
senang melihat anak yang mau bekerja. Dan sekarang, keponakannya, Jupiter,
mempunyai sesuatu unik dikerjakan. Prinsipnya, seorang anak boleh bermain,
tetapi anak itu juga harus diajari untuk bekerja, harus diberi tanggung jawab.
“Kautekuni pekerjaanmu, ya Jupiter,”
katanya dengan perasaan puas. “Nanti kubuatkan makan siang yang nikmat, khusus
untukmu.”
Jupe tidak berkeberatan menghabiskan
waktu seharian di pangkalan barang bekas. Sebelumnya, Ia sudah sering
melakukannya. Dan yang jelas, setelah bekerja seharian, besok Ia akan bebas
seharian penuh juga.
Besok pagi anak-anak telah berjanji
menemui Constance di teluk tempat mereka menemukan Fluke. kawan-kawan
Meksikonya akan membawa Fluke dengan truk derek. Penyelaman untuk mencari
bangkai kapal yang tenggelam akan dimulai.
Dalam waktu sejam, Jupe sudah mencopot
motor mesin cuci dan membongkarnya. Motor itu temyata tidak seburuk penampilan
luarnya. Model tua, mungkin dibuat sebelum zaman perang, pikir Jupe, paling
tidak sudah tiga puluh tahun umumya.
Motor itu memerlukan ban pemutar baru.
Jupe harus membuatnya, karena ban seperti itu sudah tidak dijual lagi sekarang.
Mulailah Ia mengorek-ngorek tumpukan barang rongsokan di Pangkalan Jones,
mencari ban karet yang cukup kuat.
Tiba-tiba Jupe terhenyak. Begitu
sibuknya ia bekerja memperbaiki mesin cuci tua itu, sehingga untuk beberapa
saat tidak tahu apa yang mengagetkannya. Sebuah lampu merah berkedip-kedip di
meja kerjanya. Itu berarti seseorang menelepon ke kantor Trio Detektif.
Jupe memang tidak gesit sekali, tapi
dalam waktu kurang dari setengah menit Ia dapat menyingkirkan papan, merayap di
Lorong Dua, mengangkat tingkap, naik ke kantor, lalu mengangkat telepon di meja
kantor.
“Halo,” katanya dengan napas
tersengal-sengal. “Jupiter Jones di sini.”
“Halo, Mr. Jones,” terdengar suara yang
sudab dlikenalnya. “Aku menelepon untuk mengetahui sampai di mana kemajuan pekerjaanmu
dengan ikan paus itu."
Logat pesisir selatan masih terdengar
jelas di telinga Jupe.
“Aku sudah rnenunggu-nunggu telepon dari
Anda," kata Jupiter." Telah banyak yang kami kerjakan. Anda akan
senang mendengarnya. Besok jam tujuh pagi, Fluke, maksudku ikan paus itu, akan
bebas kembali di lautan. Tugas kami selesai, kan?”
T idak ada j awaban.
"Halo?" kata Jupe.
"Halo?"
“Well,
itu baru berita, Mr. Jones,” orang itu baru menyahut. "kau pantas diberi
ucapan selamat."
"Terima kasih."
“Dan diberi imbalan juga. Seratus dolar
menurut perjanjian kita.”
“Ya. kalau Anda memberi alamat Anda,
akan kami kirimkan foto pelepasan ikan paus itu di laut. Setelah itu Anda dapat
mengirimkan wesel pada kami."
“Tidak perlu repot-repot seperti itu.
Aku percaya pada kalian. Tetapi, aku harus keluar kota selama beberapa minggu.
Jadi kalau kau ada waktu, Mr. Jones, bisakah kau menemuiku malam ini? Akan
kuberi uang seratus dolar kontan.”
“Bisa... dan terima kasih atas
kepercayaan Anda,” Jupiter menyetujui, walaupun dalam benaknya ia heran.
Mengapa orang itu masih belum memberikan nama dan alamatnya? Mengapa ia tidak
merasa perlu dikirimi foto sebagai bukti pelepasan Fluke ke laut? Mengapa ia
begitu percaya pada perkataan Jupe?
“Di mana kita bisa bertemu, dan kapan, Sir?” tanya Jupe.
“Kau tahu Burbank Park?”
Jupe tahu.
Bertahun-tahun yang lalu, Burbank Park merupakan taman rekreasi yang ramai
dikunjungi orang. Di tengah-tengahnya berdiri sebuah panggung pertunjukan.
Setiap hari Minggu orang berduyun-duyun pergi ke sana untuk menyaksikan
pertunjukan dari grup-grup band ternama.
Nanun perkembangan kota Rocky Beach
menggeser kepopuleran Burbank Park. Perumahan di Burbank mulai ditinggalkan
orang. Lambat laun Burbank Park menjadi sepi. Taman itu masih ada, tapi sangat
tidak terawat. Alang-alang yang tinggi dan semak-semak belukar tumbuh di sana
sini. Sejak bertahun-tahun yang lalu tidak ada lagi grup band yang manggung di
sana.
Sejak itu pula tidak ada orang yang
berani mengunjungi Burbank Park.
Jam delapan malam ini, si penelepon
memberi instruksi pada Jupe. “Tidak perlu mengajak kawan-kawanmu, Mr. Jones.
Datang saja sendiri. Kutunggu di panggung pertunjukan?"
“Sir... ”
Jupe mau mengusulkan tempat lain saja. Tapi terlambat. Telepon sudah ditutup.
Jupe berdiri termangu memandangi
mejanya, berpikir. Orang itu memintanya datang seorang diri. Permintaan itu
mengundang kecurigaannya.
Ia mengangkat teleponnya lagi, lalu
menelepon Bob dan Pete. Ia memberi tahu tentang si penelepon misterius serta
tempat dan waktu pertemuan di Burbank Park. Setelah itu Ia kembali sibuk memperbaiki
mesin cuci tua.
Jam lima sore Jupe baru selesai
memperbaiki alat pencuci kuno itu. Dipanggilnya Bibi Mathilda untuk menyaksikan
mesin itu bekerja.
Mesin itu berdengung keras ketika motor
berputar, makin lama makin cepat. Seluruh badan mesin itu bergetar, bahkan
berguncang seperti diguncang gempa bumi. Meskipun demikian, mesin cuci itu
sudah dapat digunakan. Bibi Mathilda mengangguk-angguk puas.
“Kau anak cekatan, Jupiter,” katanya.
“Lebih baik kau bekerja seperti ini daripada bermain teka-teki bersama
kawan-kawanmu. Kau akan dapat es krim sehabis makan malam."
Setelah makan malam, Jupe menyikat habis
semangkuk es krim. Segera setelah itu Ia bergegas mengayuh sepedanya ke luar
pangkalan, menuju pinggiran kota.
Burbank Park nampak menyeramkan, seperti
sebuah hutan belantara yang belum pernah dijamah. Sebelum masuk ke taman, Jupe
turun dari sepedanya. Dirogohnya sepotong kapur dan kantungnya, lalu
digambarnya tanda '?' di pinggir jalan.
Tanda itu suatu kode yang sering
digunakan Trio Detektif. Masing-.masing mempunyai kapur dengan warna berbeda.
Jupe putih. Bob hijau. Dan Pete biru. Mereka sengaja memilih tanda '?' karena
selain tanda itu dipakai sebagai simbol di kartu mereka, tanda seperti itu juga
tidak akan mengundang kecurigaan orang lain. Orang yang kebetulan melihat tanda
'?' di jalan, atau di sebuah tiang, tidak akan menaruh curiga apa-apa.
Paling-paling mereka mengira itu perbuatan anak iseng saja.
Jupe menemukan sebuah jalan setapak ke
arah taman. Di kiri kanannya alang- alang tumbuh dengan lebat. Dikayuhnya
sepeda perlahan-lahan. Setiap beberapa meter Ia berhenti untuk menggambar tanda
'?' di batu, di pohon, atau apa saja yang bisa ditulisi.
Jupiter Jones bukanlah anak yang suka
berkhayal. Ia boleh dikatakan seorang pemikir yang berbakat dalam menarik
kesimpulan. Baginya semak adalah semak, rumput adalah rumput, dan pohon adalah
pohon. Tidak lebih, tidak kurang. Palingpaling semak dapat dijadikan tempat
bersembunyi dalam permainan petak umpet.
Tapi toh tatkala berjalan mendekati
taman, Jupe merasa sekelilingnya seperti bangkit. Mengancam, mengerikan.
Cabang-cabang pohon yang terjuntai seakan seperti tangan yang terjulur.
Rantingnya seolah seperti jari-jemari yang hendak mencengkeram. Semuanya
bagaikan hendak menangkapnya. Lalu menyeretnya ke dalam kegelapan malam.
Jantungnya berdebar-debar.
Ia dapat melihat panggung pertunjukan di
depannya sekarang. Atapnya telah runtuh, lantainya ditumbuhi rumput liar di
sana sini. Perlahan disandarkannya sepeda di samping panggung. Digambarnya
tanda '?' pada sebuah kayu lapuk.
“Mr. Jones."
Jupe tersentak. Jantungnya seakan mau
copot. Hampir saja Ia menjatuhkan sepedanya saking kagetnya. la memandang
berkeliling.
Tidak ada siapa-siapa. Tidak nampak
seorang pun.
“Ya?” Jupe mencoba menjawab.
Tenggorokannya serasa tersumbat.
Terdengar suara gemerisik. Seseorang
berjalan menerabas alang-alang, pikir Jupe. Gemerisik itu makin jelas dan makin
jelas. Akhirnya Jupe dapat melihat sesosok bayangan dalam jarak dua meter di
hadapannya.
Orang itu amat tinggi. Topinya ditekan dalam-dalam
dan tepi topi itu dimiringkan sampal menutupi telinganya. Bahkan matanya pun
sukar dilihat. Jupe melihat sebuah muka yang... lebih tepat dikatakan orang itu
tidak mempunyal muka! Hampir-hampir rata wajah orang itu! Seperti sebuah foto
yang kabur gambarnya, tidak terfokus..
Satu hal yang tidak
dapat dilupakan Jupe adalah ukuran tubuh orang itu. Luar biasa besarnya. Di
balik jaketnya tentu bertimbun-timbun otot yang kekar, pikir Jupe. Bahunya
sangat lebar. Dan tangannya luar biasa kekarnya. Kalau bukan gorila, pasti Ia
seorang raksasa.
“Mendekatlah, Mr. Jones,” kata orang
itu. “Akan kuberi apa yang kaucari.”
Ragu-ragu Jupe
melangkah. Baru dua langkah diayunkan, tahu-tahu tangan orang itu mencengkeram
bahu Jupe. Dengan kasar diputarnya Jupe. Satu tangannya mencengkeram tengkuk
Jupe. Jupe meronta-ronta mencoba melepaskan cengkeraman itu. Untuk sesaat Jupe
berhasil memegang tangan kekar itu. Aneh. Rasanya lembek, seperti roti.
Tapi dengan gerakan cepat, satu tangan
Jupe ditelikung di belakang punggungnya. Orang itu mengunci tangan Jupe. Dan
tangannya yang satu lagi menjambak rambut Penyelidik Satu.
Jupe tak berkutik
lagi. Bergerak sedikit saja membuat orang itu menekan tangannya yang
tertelikung, membuatnya mengerang kesakitan.
“Sekarang patuhi perintahku,
Mr. Jones!”
Jupe dapat merasakan
napas orang itu di telinganya.
“Mengerti, Mr.
Jones?”
Jupe mencoba
mengangguk. Tapi kepalanya tak dapat digerakkan.
“Kalau tidak, Mr. Jones,” suara itu
makin dekat ke telinganya - logat pesisir selatan yang kental terdengar jelas
sekali, “akan kupatahkan batang lehermu. "
JUPE menuruti kata orang itu.
Ia berjalan melalui jalan setapak
menjauhi panggung. Jalan setapak itu bukan jalan yang dilaluinya tadi. Ia
berharap bisa menggambar tanda '?' di pohon yang dilaluinya. Tapi jangankan
menggambar tanda, merogoh kapur di kantungnya saja Ia tak dapat. Orang itu
masih menelikung tangan kanannya dan menjambak rambutnya. Dengan kasar ia
mendorong-dorong Jupe seraya menunjukkan jalan yang dikehendakinya.
Mereka sampai di
jalan di pinggir taman. Sambil tetap menelikung tangan Jupe, dibukanya bagasi
sebuah mobil limousin tua yang terdapat di sana.
“Masuk!” perintahnya.
Jupe sempat melihat ke sepanjang jalan.
Tidak terlihat orang lain. Tidak ada yang bisa menolongnya.
Jupe meronta mencoba membebaskan diri.
Percuma. Tangannya terkunci erat di belakang punggungnya. Makin kuat Ia
meronta, makin sakit tangannya terasa. Orang itu menghimpitkan badannya yang
lunak pada punggung Jupe. Jupe meronta lagi. Malahan Ia jadi kehilangan
keseimbangan. Dengan kasar orang itu mendorong Jupe ke dalam bagasi.
"Ahhh,” Jupe mengerang ketika
kepalanya terbentur benda di dalam bagasi itu. Separuh badannya masih di luar.
Kedua tangannya bebas kini. Tapi benturan itu membuatnya pusing. Dengan
kepalanya yang puyeng cuma satu yang dipikirkannya. Memberi tanda. Ia merogoh
kantungnya , lalu menjatuhkan kapur putih ke jalan.
Orang itu sibuk mengangkat kaki Jupe,
memasukkannya ke dalam bagasi. Ia tidak melihat kapur putih yang dijatuhkan
Jupe. Ketika seluruh badan Jupe masuk, dibantingnya pintu bagasi.
Jupe mendengar suara mobil dihidupkan.
Ia merasa mobil berjalan perlahan.
Jupe hanya bisa meringkuk
dalam bagasi yang sempit dan gelap itu. Udara terasa sumpek, dan berbau oil.
Jupe meraba-raba sekeiilingnya. Dan baunya Jupe dapat menyimpulkan bahwa mobil
limousin itu boros oli. Orang yang memiliki mobil seperti itu biasanya membawa
cadangan oli yang cukup banyak.
Tangannya menyentuh benda yang ia
cari-cari. Kaleng oli. Sambil meraba-raba dikeluarkannya pisau Swiss, alat
serbaguna yang ke mana-mana dikantunginya. Pada alat itu terlipat sebilah pisau
kecil, sebuah sendok, sebuah gergaji mini, dan sebuah alat pembuka botol.
Dilubanginya kaleng oil dengan pisau kecil.
Dasar bagasi penuh dengan karat mungkin
karena mobil limousine itu sudab sangat tua. Dengan gergaji mini dilubanginya
dasar bagasi.
Ia menumpahkan oli sedikit demi sedikit
melalui lubang tadi, sambil berharap agar kedua kawannya akan memperhatikan
tanda itu.
Mobil limousin berjalan sangat lambat.
Jupe beruntung karena jarak yang ditempuhnya tidak jauh. Masih ada setengah
kaleng oli lagi ketika limousin berhenti.
Pintu bagasi terbuka. Manusia raksasa
itu menjambak rambut Jupe.
“Keluar!" bentaknya.
Jupe terpaksa
rnenurutinya. Ia paling tidak suka rambutnya ditarik-tarik orang, apalagi
dijambak.
Ketika berdiri, dilihatnya sebuah rumah
kayu yang bobrok. Mobil limousin diparkir di depannya. Sambil menjambak, orang
itu mendorong Jupe ke arah rumah bobrok itu. Papan teras berkeriat-keriut
sewaktu Jupe menginjaknya. Orang itu mengambil kunci dari kantungnya, Ialu
membuka pintu.
“Masuk!” Jupe merasa rambutnya dijambak
sangat keras, lalu Ia dihempaskan ke dalam rumah.
Tersungkur Jupe, masuk ke rumah bobrok
itu. Pintu dikunci. Lampu dinyalakan.
Jupe baru dapat melihat mengapa manusia
raksasa itu seperti tidak mempunyai muka. Ia memakai sebuah kaus nilon di
kepalanya, sampai ke batas lehernya. kaus yang berfungsi sebagai topeng itu
membuat hidung, mulut, dan matanya hampir rata.
Kalau Ia pernah berjumpa orang itu
sebelumnya, Jupe tak akan mengetahuinya. Dan sebaliknya, seandainya Ia bertemu
lagi dengan orang itu, pasti Jupe tidak akan dapat mengenalinya.
Diterangi cahaya lampu, orang itu tampak
lebih besar dan tegap. Mungkin lemak, bukan otot, yang bertimbun di balik jaket
yang dipakainya. Tapi bahu dan lengannya benar-benar besar dan kekar.
Jupe melirik ke sekeliling ruangan. Ada
bangku kayu, meja reyot dengan telepon di atasnya, dan kain gorden lusuh
menutupi jendela. Hanya itu. Tidak ada apa-apa lagi. Tidak ada koran atau
majalah, dan pada dinding tidak tergantung apa-apa. Jupe berkesimpulan orang
itu belum lama tinggal di situ.
“Masuk ke sana!” bentak manusia raksasa
itu dengan logat pesisir selatan.
Didorongnya Jupe ke arah sebuah pintu di
sudut ruangan. Dihempaskannya Jupe melalui pintu itu. Lalu pintu dibanting, dan
dikuncinya.
Kamar itu gelap.
Dengan meraba-raba Jupe segera menyadari bahwa ia disekap dalam sebuah kakus.
“Halo.”
Jupe mendengar suara orang itu di
ruangan sebelah. Pasti ia sedang menelepon. Jupe menempelkan telinganya pada
lubang kunci pintu kamar.
“Halo,” ia mendengar orang itu berkata
lagi. “Aku ingin bicara dengan Miss Constance Carmel.”
Hening sesaat. Lalu orang itu
melanjutkan lagi. “Aku ingin memberi tahu, Miss Carmel, bahwa kawanmu, Jupiter
Jones, kusandera,” kata orang itu.
Sunyi sejenak
"Ya. Aku
menculiknya."
Sunyi kembali.
“Tidak. Aku tidak minta uang tebusan.
Aku cuma ingin memberi tahu bahwa kalau kau tidak segera membebaskan ikan paus
kecil itu ke lautan, dan membatalkan rencana pencarian bangkai kapal ayahmu...
"
Sunyi sejenak. Sunyi yang penuh ancaman.
“Kau tidak akan pernah bertemu dengan
Mr. Jones lagi untuk selamanya!” Logat pesisir selatan terdengar kental, penuh
ancaman.
Jupe mendengar telepon ditaruh.
Trio Detektif sudah sering menghadapi
situasi yang sulit —bahkan berbahaya— dalam petualangan-petualangan mereka.
Mereka pernah berurusan dengan ikan hiu. Mereka juga pernah tersekap dengan
tangan dan kaki terikat di sebuah rumah berhantu. Tapi bagi Jupe, situasi
sekarang inni yang paling buruk. Manusia raksasa itu tidak main-main dengan
ancamannya.
Jupe telah memberi tahu Bob dan Pete
bahwa ada tiga orang yang patut dicurigai, berkaitan dengan penyabotan rem truk
Constance. Oscar Slater. Lalu Paul Donner. Orang ketiga yang belum disebutkan
Jupe waktu itu ialah si penelepon gelap, yang menawarkan seratus dolar kalau
mereka bisa membebaskan Fluke.
Ternyata si penelepon menginginkan agar
Trio Detektif menghalangi Oscar Slater dan Constance mencari reruntuhan kapal
Kapten Carmel. Si penelepon tidak ingin kapal itu ditemukan. Ia tidak ingin apa
pun yang ada di kapal itu diselamatkan.
Dulu Ia pernah mencoba mencelakakan
Constance dan Trio Detektif —bahkan hampir membunuh mereka— dengan memotong
kabel rem truk. Sekarang Jupiter disandera. Jupe memikirkan bagaimana caranya
ia bisa meloloskan diri. Ia harus lari dari situ. Ancaman orang itu akan segera
dilaksanakan, kalau permintaannya tidak dituruti.
Jupe berlutut, lalu mengeluarkan pisau
Swissnya. Kalau saja Ia dapat mencongkel kunci pintu...
Orang itu luar biasa
besar, seperti gorila. Namun Ia juga gemuk. Jupe masih ingat ketika Ia sempat
memegang lengan orang itu. Lunak seperti roti.
Kalau saja Jupe dapat mengelabuinya...
Jupe menyelipkan
pisau kecil ke dalam lubang kunci.
Ia bekerja dengan
hati-hati sekali, berusaha tidak menimbulkan bunyi. Orang itu terdengar
mondar-mandir di ruangan sebelah. Setiap kali Ia menginjak lantai kayu,
terdengar suara berkeriat-keriut. Jupe memanfaatkan kesempatan itu untuk
mencongkel-congkel lubang kunci.
Tiba-tiba terdengar suara berderak
kenas. Seperti kayu patah. Apakah orang itu jatuh ke lantai?
Pada saat itu Jupe telah berhasil
membuka kunci pintu. Dibukanya pintu dengan mendadak. Bersamaan dengan itu Ia
menghambur keluar.
Pada detik yang bersamaan, pintu depan
didobrak dan tersibak terbuka.
Dalam sekejap Jupe melihat ada orang
lain menyerbu ke dalam ruangan itu. Pete melayang di udara, menerjang orang
itu. Manusia raksasa itu jatuh terduduk, tidak siap mendapat serbuan mendadak.
Bob berlari masuk dari pintu depan.
Detik berikutnya Trio Detektif bergerak
cepat dan kompak seperti pasukan komando yang terlatih. Sebelum manusia raksasa
berjaket itu bangkit, Jupe dan Pete sudah keluar melalui pintu depan. Bob
berlari di dekatnya.
“Sepedamu di sini!” teriak Bob pada Jupe
seraya melompat ke sepedanya. Pete sudah Iebih dahulu mengayuh sepedanya.
Jupe memberi isyarat untuk menyebar.
Pete dan Bob menangkap isyarat itu.
Mereka berpencar ke arah yang berlainan.
Ketika orang yang menyandera Jupe muncul
di teras, ketiga anak itu telah hilang dalam kegelapan. Lenyap ditelan kelamnya
malam.
Bab 12 DUA TIANG “MULA-MULANYA kami bingung,” Bob mengakui, “tapi waktu kami jumpai
sepedamu di samping panggung, kami langsung tahu. Pasti ada apa-apa. Apalagi
dari situ tidak ada tanda kode lagi.”
Jupe menarik napas lega. "Untung
kalian kutelepon sebelum aku pergi ke sana.”
Pagi itu anak-anak berkumpul di sebuah
teluk kecli. Mereka sudah slap dalam pakaian renang, menunggu Constance yang
berjanji akan bertemu di tempat itu.
Jupe sudah menelepon Constance begitu Ia
sampai di rumahnya semalam. Ia menyampaikan kabar bahwa Ia berhasil melarikan
diri dengan selamat dari sekapan orang tak dikenal itu. Jadi rencana pencarian
kapal ayah Constance dapat dilanjutkan.
"Bob yang akhirnya mendapat
ilham," kata Pete. “Waktu kami menemukan tumpahan oli, Bob menduga sebuah
mobil tua pernah diparkir di situ dan kau dilarikan dengan mobil itu.”
“Tapi Pete—lah yang menemukan tumpahan
oli lagi kira-kira lima puluh meter dari situ,” Bob menambahkan. “Sesudah itu,
tidak ada masalah. Kami mengikuti tumpahan-tumpahan oli itu sampai melihat
sebuah mobil limousin tua diparkir di depan rumah kayu."
Ia sedikit mendongak.
Truk derek milik kawan Constance berjalan perlahan memasuki pantai berpasir.
Fluke nampak tenang, di belakang truk itu. Seluruh tubuhnya ditutupi dengan
karet busa basah.
Truk berputar sampai
bak belakangnya menghadap ke lautan, lalu mundur sampai setengah ban
belakangnya terendam air laut. Constance sengaja memilih tempat ini karena
pantai di sini curam. Beberapa meter dari pinggir saja sudah memungkinkan Fluke
berenang.
Constance dan kawan Meksikonya turun
dari truk.
Constance memakai pakaian selam, dan
kaca mata selamnya tergantung di lehernya. Ia berjalan ke belakang truk, lalu
menepuk-nepuk Fluke.
Pete dapat melihat
sekarang bahwa di bawah badan Fluke tergelar kain kanvas. Dibantunya orang
Meksiko itu membungkus Fluke dengan kanvas dan mengaitkan kedua ujung kain
kanvas pada cantolan derek.
Sementara itu, Constance membelai-belai
kepala Fluke untuk menenangkannya.
Ikan paus itu terlihat tenang saja.
Fluke membuka matanya, ketika derek mulai mengangkatnya dari truk.
Bersama-sama, ketiga anak itu mengarahkannya keluar dari bak truk ke atas laut.
Si orang Meksiko, yang rnengendalikan
tuas derek, perlahan-lahan menurunkan dereknya. Fluke masih diam saja dalam
gendongan kanvas itu, tidak bergerak- gerak. Ikan paus itu tetap diam sampai
Pete membuka kanvas penggendongnya. Begitu kanvas terbuka, Fluke meluncur
beberapa meter ke laut.
Fluke bebas kembali di lautan terbuka.
“Ke sini, Fluke. ke sini,” perintah
Constance.
Fluke mentaatinya. Ikan paus
kecil itu berbalik dan berenang menuju Constance yang berendam sebatas
pinggangnya. Dengan manja Fluke menyundul-nyundul Constance.
“Oke,” kata Constance
pada kawan Meksikonya. Muchas gracias.
Orang Meksiko itu memperlihatkan sebaris
giginya yang putih. “Buena surte. ” Ia
mengacungkan jempolnya lewat jendela, lalu pergi mengendarai truk dereknya.
“Siap untuk beroperasi?” tanya Constance
pada anak-anak. Ia menoleh ke laut lepas. Seratus meter dari pantai, Oscar
Slater telah menunggu di kapalnya.
“Kau yang membawa tape recorder itu ya,
Jupe,” kata Constance. “Mungkin tidak perlu benar. Aku yakin Fluke tidak akan
berenang meninggalkanku. Ya kan, Fluke?” Sambil berkata begitu, Ia
mengelus-elus kepala Fluke. “Tapi tape itu dibawa saja, untuk berjaga-jaga.”
"Constance. "
Jupe masuk ke air mendekati Constance.
Kedua kawannya mengikuti. Jupe, yang tidak setinggi Constance, terendam air
sampai dadanya.
“Ada apa, Jupe?"
“Aku tadi berpikir,” kata Jupe.
“Sebaiknya Bob tinggal di sini dengan tape recorder itu.”
"Kenapa? "
Jupe menjelaskan rencananya. Ia
menerangkan bahwa mungkin saja Oscar Slater sudah menyelundupkan peti berisi
kalkulator itu ke Meksiko. “Dan kalau benar begitu,” Ia meneruskan, “berarti Ia
telah berbohong padamu. Mungkin saja kali ini pun Ia bermaksud mengelabuimu. Ia
mungkin mencoba menculik Fluke sesudah Fluke mengambil barang yang
diinginkannya dari bangkai kapal. Itulah gunanya Bob berjaga-jaga di sini. Bob
dapat mencegah usaha Mr. Slater menculik Fluke.”
Constance mendengarkan dengan saksama.
“kau yakin Ia sudah berlabuh di Meksiko waktu."
“Positif,” Jupe meyakinkannya. “Seorang
kawan kami telah mengeceknya pada Badan Imigrasi Meksiko. Kapal itu sempat
berlabuh di La Paz.”
Constance menimbang-nimbang beberapa
saat.
“Oke,” ujarnya seraya memasang kaca mata
selamnya. “Tidak apa-apa. Fluke, Pete, dan aku saja yang menyelam. Ayo, Fluke!”
Ia berpaling dan berenang dengan cepat
ke laut lepas. Fluke berenang di sampingnya. Jupe menyusul di belakang. Pete
kembali ke pantai, mengambil sebuah ransel plastik yang dipersiapkan Jupe di
bengkelnya. Bob membantu mengencangkan tali ransel itu di punggung Pete. Di
dalam ransel itu terdapat sebuah walkie-talkie.
“Kau dapat berenang sambil memanggul
ransel ini?” tanya Bob.
“Tentu, dong. Di
darat memang terasa berat. Tapi di air akan lebih ringan.”
Bob memperhatikan kawannya itu masuk ke
laut. Pete benar. Begitu air laut mencapai pinggangnya , ransel plastik itu
agak terangkat mengambang. Pete meluncur, lalu berenang gaya bebas dengan
cepat. Sebentar saja Jupe sudah terkejar.
Bob memungut kotak tape recorder kedap
air. Lalu, dibukanya gulungan jaket yang tadi diikatkannya ke sepedanya.
Akhirnya dia mengeluarkan sebuah walkie- talkie lain.
Ia menarik antenanya, lalu menghidupkan
pesawat penerimanya.
Bob menemukan bongkah karang datar yang
kering, menggelar jaketnya, lalu duduk sambil memangku walkie-talkie itu. Tape
recorder kedap air tergeletak di sampingnya. Di kejauhan Ia melihat Constance
dan Fluke telah sampai ke kapal Slater.
“Selamat datang di kapal,” sambut Slater
seraya mengulurkan tangannya untuk menolong Constance naik ke kapal.
Constance tidak menghiraukan uluran
tangan itu. “Diam di tempat, Fluke,” katanya. “Bagus, Fluke. Diam, ya.” Ia
meraih seutas tali yang terjuntai dari kapal. Dengan satu gerakan yang ringan
Ia naik ke kapal.
Dengan susah-payah, Jupe naik ke kapal
menyusulnya. Pete masih tenang-tenang saja mengapung tertelentang di air.
“Peralatan sudah diperiksa, Mr.
Slater?" tanya Jupe.
“Mari sekarang kita cek.” Slater masuk
ke dalam kokpit, mengambil seperangkat peralatan kamera televisi. Jupe
membolak-baliknya, memperhatikan tutup penyekat alat itu.
“Anda yakin kamera ini dapat bekerja
baik dalam air?” tanyanya.
“Tentu saja. Constance yang membelinya
di Ocean World. Alat ini sudah sering dipakai di sana,” kata Staten dengan
logat pesisir selatan. “Pertanyaan dungu apa lagi yang ingin kautanyakan,
Gendut?”
Kali ini Jupe tidak
sebal mendengar ejekan itu. Ia justru senang, karena rencananya akan berjalan
lebih mudah. Ia berencana untuk berlagak sebagai anak dungu.
Masih banyak lagi pertanyaan dungu yang
akan diajukannya agar Slater tidak memperhatikan Pete.
Pada saat itu Pete naik ke kapal,
menyandang ransel berisi walkie-talkle di punggungnya. Ia harus segera
menyembunyikan walkie-talkie itu di suatu tempat
“Aku heran,” kata
Jupe berusaha menyita perhatian Slater. “Kok, bisa ya, mengambil gambar dalam
air? Apa tidak rusak alat itu. Bagaimana nanti kalau Fluke berenang jauh-jauh?”
Dengan sudut matanya Jupe dapat melihat
Pete menyembunyikan ransel berisi walkie-talkie di dalam sebuah lemari.
“Sampai kedalaman lima puluh meter masih
tidak apa-apa,” sahut Slater dengan tidak sabar. “Apakah Constance belum bilang
soal ini?”
“Mungkin sudah. Tapi aku tidak mengerti.
Lalu senter yang ditempelkan di kepala Fluke...”
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya. Pete
telah menjalankan tugasnya dengan balk. Ia mengusap-usap rambutnya yang basah
dengan kedua tangannya. Itu adalah kode yang telah disepakati sebelumnya.
Ransel plastik telah disembunyikan di tempat yang aman.
“Oh, iya. Senter itu sangat terang
sinarnya,” Jupe melanjutkan.
“Oke. kita bisa mulai bekerja,” kata
Slater seraya mendekati Constance. Constance berjongkok di pinggir kapal,
berbicara dengan lemah lembut pada Fluke.
“Mana anak yang satunya lagi?” tanya
Slater. "Baru dua yang kelihatan."
“Bob terserang demam,” Pete menjelaskan.
“Dia kami tinggal di pantai saja. Kelihatannya...”
“Oke.” Slater masuk ke kokpit dan
menghidupkan mesin kapal. Sambil memegang kemudi, ia melongok ke luar. “Berapa
cepat ikan itu dapat berenang?” tanyanya pada Constance.
“Fluke bukan ikan,” kata Constance
dingin. “Fluke seekor mamalia yang cerdas dan beradab. Kalau mau, Fluke dapat
berenang dengan kecepatan lima belas mil per jam. Tapi kuminta kau menjalankan
kapal ini pada kecepatan delapan knot saja. Aku tak ingin membuat Fluke
kelelahan."
“Apa katamulah.” Slater mengemudikan
kapal ke laut lepas. Constance tidak beranjak dan tempatnya, berlutut sambil
bercakap-cakap dengan Fluke yang berenang dengan riang di samping kapal.
Sebentar Fluke menyelam, sebentar meluncur dan terkadang melompat dengan
jenaka.
“Menurut penjaga pantai yang
menyelamatkan kami, kami terapung lima mil dari pantai ketika itu,” ujar
Slater.
Jupe memandang Pete. Ada beberapa
pertanyaan penting yang ingin diajukannya. Tapi dalam perannya sebagai anak
yang tidak begitu pandai, Ia ingin agar Pete yang bertanya pada Slater.
"Berapa lama?" tanya Jupe.
Mulutnya melompong.
Pete heran melihat
sikap Jupe seperti itu, seperti orang dungu yang tidak berpendidikan sama
sekali. Pete memandangi Jupe dengan perasaan aneh.
Jupe mengernyitkan ails matanya pada
Pete. Mulutnya sedikit berkomat-kamit. Ia merasa gemas terhadap Pete.
Pete baru menangkap
maksud Jupe. “Berapa lama Anda terapung di laut?” Ia meneruskan pertanyaan Jupe
pada Slater.
"Paling sedikit
dua jam."
"Pasang?"
kata Jupe. Mulutnya masih melompong.
“Apakah laut sedang
pasang atau surut?" tanya Pete.
“Hari mulai gelap waktu itu,” Slater
mengingat-ingat. “Ombak sangat besar sehingga sulit untuk melihat sekelilingku.
Tapi sekilas aku sempat melihat garis pantai. Kelihatannya pantai makin lama
makin jauh. Padahal aku sudah berenang sekuat tenaga mendekatinya. kukira waktu
itu laut sedang surut”
Dua jam, Jupe menghitung dalam
kepalanya. Ia mengingat-ingat kejadian pada malam itu. Badai datang dari arah
barat laut. Angin dapat menghembus mereka sejajar dengan garis pantai. Ini
harus diperhitungkan juga, untuk menentukan lokasi tenggelamnya kapal Kapten
Carmel. Dengan jaket pelampung yang dipakainya, Kapten Carmel dan Oscar Slater
hanya terpengaruh sedikit oleh surutnya air laut. Jupe menaksir bahwa mereka
terhanyut sekitar dua mil menjauhi pantai dalam dua jam itu.
Ia bergeser mendekati Pete, lalu
membisikkan sesuatu.
“Kukira kapal harus dijalankan sampai
sekitar tiga mil dari pantai,” Pete memberi tahu Slater.
“Dari mana kau tahu?"
“Angin... dan... dan sebagainyalah,”
Pete tergagap menjelaskannya.
“Hmm, boleh jadi. Perkiraanmu sama
denganku.” Slater melihat jamnya, menghitung-hitung lagi. Ia melambatkan laju
kapal.
“Kita kira-kira sudah tiga mil dari
pantai sekarang,” katanya semenit kemudian. Ia berpaling pada Constance.
“Pasang kamera pada mamalia itu. Kita mulai penyelaman di sekitar sini.”
Ia menghentikan kapalnya, lalu
memutarnya sampai sejajar dengan garis pantai.
"Fluke," panggil Constance.
Kemari, Fluke. Sini.” Ia memungut pita kanvas di sisinya. Kamera televisi dan
sebuah lampu sorot telah diikatkan pada kanvas itu. Ia mencebur ke laut, lalu
memakaikan pita kanvas itu pada kepala Fluke.
Jupe menarik-narik
bibir bawahnya. Tiga mil ke laut, pikirnya. Tapi tiga mil ke arah mana? Dari
keterangan Slater yang samar-samar itu, kapal harus dicari dalam daerah sepanjang
sepuluh mil. Ini bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Haras ada informasi tambahan untuk dapat
menentukan lokasi tenggelamnya kapal itu dengan lebih tepat.
Constance sudah selesai memasangkan
kamera televisi dan lampu sorot di kepala Fluke. Ia naik kembali ke kapal. Jupe
beringsut mendekatinya.
“Pernahkah ayahmu mengatakan sesuatu
padamu tentang kejadian pada malam itu?” tanya Jupe berbisik.
Constance menggeleng. “Tidak ada yang
kumengerti jawabnya. “Cuma itu saja, seperti yang telah kukatakan padamu.”
Jupe ingat. Dua tiang itu. Tapi apa
artinya? Mungkin Kapten Carmel cuma mengigau saja.
Jupe mengamati pantai di kejauhan.
Tak banyak yang dapat dilihatnya.
Karang-karang di pantai tidak lagi nampak. Hanya barisan gunung yang terlihat.
Rumah-rumah besar di salah satu bukit masih dapat dibedakan dan sekelilingnya.
Ada sebuah menara televisi pada bukit sebelahnya. Dan sebuah tiang seperti
cerobong asap pabrik menjulang di sebelah kanannya.
"Kau bisa memakai pakaian selammu,
Pete," kata Constance. “Kita akan cek dulu tabung udara. Setelah itu kita
menyelam bersama Fluke."
Pete mengangguk, lalu mengambil
peralatan selamnya dan kokpit.
Jupe masih mengamati garis pantai.
Matanya terpicing, dan dahinya berkerut- kerut.
Diego Carmel adalah kapten kapal yang
berpengalaman. Ketika ia merasa kapalnya akan tenggelam, mestinya Ia akan
mengingat-ingat lokasinya. Kalau saja Ia bisa diajak berbicara...
Tiba-tiba mata Jupe
bersinar-sinar. Ia melihat ke arah menara televisi dan cerobong asap
bergantian. Ia membayangkan kejadian malam berbadai itu.
“Dua tiang!”
Ia memegang tangan Slater erat-erat.
Tidak ada waktu lagi untuk berpura-pura dungu.
“Jaga agar dua tiang itu tetap segaris!”
soraknya kegirangan.
“Apa? Apa yang kausoraki, Anak dungu?”
“Kapten Carmel,” sahut Jupe. “Sewaktu
kapal mulai tengge!am, Ia mencoba menentukan posisi kapalnya dengan melihat ke
pantai. Yang segera terlihat adalah menara televisi dan cerobong asap
itu." “Yang mana?" “Masa Anda tidak melihatnya?” kata Jupe. Kini
seolah-olah Slater-lah yang menjadi orang dungu. “Kita harus bergeser dari
tempat ini, mengambil posisi sejauh tiga mil dari pantai membentuk arah segaris
dengan dua tiang itu.”
JUPE berdiri di sisi kapal sambil
meneropong ke pantai.
Ia memfokuskan teropongnya ke bukit
tempat menara televisi dan cerobong asap pabrik itu berada. Bergesernya kapal
Slater membuat dua tiang itu makin mendekat. Beberapa ratus meter lagi,
pikirnya.
Slater memegang kemudi.
"Perlambat kecepatan," seru
Jupe.
Makin dekat dan dekat. Akhirnya dua
tiang itu terlihat berimpit. Menara televisi persis di hadapan cerobong asap.
Dua tiang itu telah segaris.
"Stop!" seru Jupe. "Tepat
di sini." Ia menurunkan teropongnya.
Di situ laut terlalu dalam untuk melepas
jangkar. Slater harus tetap menghidupkan mesin agar kapal tidak terseret arus
surutnya laut
Jupe mengamatinya ketika ia memutar
haluan kapal sampai menghadap ke pantai. Ia tidak mengira bahwa Slater sangat
ahli mengendalikan kapal.
"Oke, Pete?"
Constance sudah selesai mengencangkan tabung udara di punggung Pete. Pete
mengenakan masker selamnya sementara Constance mengecek selang udara dan alat
pengukur tekanan udara.
Jarum pengukur menunjukkan bahwa udara
di tabung Pete penuh.
Dengan sepatu katak yang terpasang di
kakinya, Pete mengikuti Constance ke pinggir kapal. Constance duduk di pagar
kapal membelakangi laut, lalu dengan gerakan mulus Ia menjatuhkan diri ke laut.
Pete ikut mencebur.
Sambil menelungkup mengapung di
permukaan laut, Ia mencoba mengingat-ingat segala pelajaran menyelam yang pernah
didapatnya.
Bernapaslah dengan mulut, sehingga
masker selam tidak buram terkena uap dan hidung. Perhatikan posisi selang
udara, jaga jangan sampai terpuntir. Jangan tergesa-gesa menyelam, beri
kesempatan agar kelembaban dalam pakaian selam sesuai dengan kondisi badan
Anda. Semakin dalam menyeiam, semakin dingin suhu air, dan semakin besar
tekanan. Begitu ada gejala pusing segera naik ke permukaan, tapi jangan terlalu
cepat.
Untuk beberapa menit Pete
berenang-renang semeter di bawah permukaan. Dengan santai dan rileks Ia
mengepak-ngepakkan sepatu kataknya untuk menyesuaikan diri dengan air laut.
Pete sangat gemar menyelam. Dengan sabuk
pemberat di pinggangnya, Ia merasa
seperti melayang. Melayang bagaikan burung. Ini membuatnya merasa bebas dan leluasa.
Constance dan Fluke mengapung beberapa
meter dan Pete. Pete mengangkat tangannya. Jempol dan telunjuknya membentuk
lingkaran. Ia siap menyelam.
Constance menepuk punggung Fluke. Dengan
membawa lampu sorot yang kuat sinarnya, Fluke menyelam. Dalam, dalam, dan makin
dalam. Lebih dalam dari kemampuan Pete, bahkan Constance.
Jupe mengawasi layar televisi di kokpit
kapal. Slater, sambil memegang kemudi, memperhatikan dengan cermat pula.
Luar biasa, pikir Jupe. Seperti.
perjalanan ke ruang angkasa. Lingkaran sinar yang tampak di layar kecil itu
bagaikan menjelajahi langit yang luas. Gerombolan ikan, yang lewat secepat anak
panah terlontar dari busurnya, bagai hujan meteor di ruang angkasa.
Setiap kali Fluke berenang terlalu jauh
dari kapal, lingkaran sinar itu meredup. Dengan cekatan Slater mengemudikan
kapalnya, mendekati posisi Fluke, sambil menjaga agar menara dan cerobong asap
itu tetap segaris.
Ketika lingkaran sinar terang kembali,
Ia menghentikan kapalnya dan menjaganya agar tetap stabil di tempat itu.
Tumpukan pasir dan kerikil, serumpun
ganggang laut, muncul di layar. Fluke telah sampai di dasar laut. Kamera
televisi di kepala Fluke menyoroti setiap jengkal dasar laut itu.
Pete mengamati dari kejauhan. Ia tidak
berani menyelam lebih dalam lagi. Ia ingat pelajaran menyelamnya. Kalau seorang
penyelam menyelam terlalu dalam, ia akan mabuk. Dalam keadaan setengah sadar,
ia dapat saja melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri.
Jauh di bawah sana Ia melihat cahaya
lampu sorot di kepala Fluke. Ingin benar aku bisa seperti Fluke, pikirnya.
Beberapa ikan paus, Constance pernah berkata padanya, dapat menyelam sampai
kedalaman seribu meter dan bertahan di bawah air selama satu jam.
Pete meraba-raba alat pemapasan di
mulutnya. Ia menelusuri selang udara sampai pada tabung udara di punggungnya.
Aneh, pikirnya. Tidak ada yang
terpuntir, namun...
Dengan panik diperiksanya lagi selang
udaranya. Mesti ada yang terpuntir di suatu tempat. Mesti ada... karena udara
tidak mengalir.
Ia tidak bisa bernapas!
Ia merenggut sabuk pemberatnya. Tahan
napas, katanya pada diri sendiri. Cepat lepaskan sabuk pemberat itu. Tahan
napas dan segera naik ke permukaan. Jangan panik.
Tapi jari-jarinya seolah-olah mati rasa.
Dan matanya mulai berkunang-kunang. Air di sekelilingnya seakan berubah-ubah
warnanya. Mula-mula merah muda, lalu merah tua, dan makin tua. Sampai menjadi
hitam gelap.
Ia megap-megap. Kakinya
menendang-nendang, mencoba keluar dari kegelapan itu. Paru-parunya seperti akan
meledak.
Tahu-tahu Ia merasa perutnya didorong
dari bawah. Sesuatu, sesuatu yang kuat seperti buldozer mendorongnya. Dan
mengangkatnya ke permukaan.
Pete tidak berdaya melawannya. Bahkan Ia
tidak sadar apa yang sedang terjadi. Ia pasrah.
Tiba-tiba Ia merasa kepalanya berada di
luar air. Ada tangan yang menjulur dari belakangnya, dan membuka masker
selamnya. Pete membuka mulutnya. Dengan gelagapan dihirupnya udara segar di
permukaan laut sambil terbatuk-batuk
Kegelapan mulai hilang dari matanya.
Lambat laun ia melihat cahaya di sekelilingnya. Tapi semua masih tampak kabur.
Ada kain kanvas. Lampu sorot. Sebuah
kamera.
Pete sadar Ia tertelungkup di punggung
Fluke.
Constance mengapung di sisinya. Dialah
yang membuka masker dari muka Pete tadi.
"Jangan bicara
dulu," kata Constance. "Ambil napas dalam-dalam. Yang teratur."
Pete melakukan apa yang diperintahkan.
Pipinya ditempelkan erat pada punggung Fluke. Perlahan-lahan napasnya mulal
teratur. Kesadarannya pulih. Pandangannya tidak lagi kabur.
Ia sudah bisa bicara sekarang. Banyak
yang ingin dikatakannya. Tapi Ia tahu apa yang pertama kali akan diucapkannya.
"Terima kasih, Fluke. Kau
menyelamatkan hidupku."
"Well, kau pernah menyelamatkannya juga, kan?" Constance
membelai-belai kepala Fluke. "Fluke tak akan lupa...."
Ia berpaling ketika kapal mendekat. Kali
ini Jupe yang memegang kemudi. Oscar Slater mengulurkan tangan dari pagar di
pinggir kapal.
"Aku melihatnya," teriak
Slater. Matanya melebar dan kepalanya yang botak licin seperti bersinar-sinar.
"Cuma sekilas di layar. Tapi aku melihatnya Itu kapal ayahmu,
Constance."
"Ia menoleh pada Jupe. "Tahan
di sini. Bangkai kapal itu pasti tidak jauh dari sini. Sekelebatan itu terlihat
sewaktu Fluke berbalik dan menyambar Pete..."
"Itu belakangan saja!" potong
Constance dengan tajam. "Pertama-tama kita harus mengangkat Pete ke kapal
dan menyelidiki apa yang terjadi. Ada sesuatu yang tidak beres."
"Tapi itu kapal ayahmu..."
ujar Slater tak sabar.
"Nanti saja, kataku!" bentak
Constance. "Anda kembali saja ke kokpit. Biar Jupe yang menolong
kami."
Slater merasa tersinggung. Tapi Ia tidak
dapat membantah Constance. Paling tidak sampai saat itu ia masih butuh bantuan
Constance. Tanpa pertolongannya, ia tidak mungkin mendapatkan barang itu dari
kapal yang tenggelam. Dengan enggan Ia mengangguk lalu menggantikan Jupe
memegang kemudi.
Jupe dan Constance mengangkat Pete ke
kapal. Dengan lunglai Pete bersandar di dek kapal. Constance membawakannya
secangkir kopi hangat, sementara Jupe melepaskan tabung udara Pete.
"Oke. Apa yang terjadi?" tanya
Constance. "Apa yang kaurasakan? Pasti bukan tekanan air yang besar. Kau
kan tidak menyelam terlalu dalam."
"Aku tidak dapat
bernapas." Pete menghirup kopinya sedikit-sedikit. "Tidak ada udara
yang mengalir. Selang udara seperti ada yang terpuntir. Tapi ternyata tidak
ada."
Ia menjelaskan
pandangannya yang mengabur, lalu air di sekelilingnya yang menjadi merah, lalu
terlihat jadi hitam.
"Karbon dioksida," kata
Constance. "Kau menghirup karbon dioksida, bukan oksigen."
Ia meraih tabung udara Pete, lalu
membukanya. Tidak terdengar desis ketika tabung dibuka.
"Paritas kau tak dapat
bernapas," ujar Constance. "Tabung ini kosong."
"Tapi tadi kan sudah dicek."
Jupe memeriksa alat pengukur tekanan.
Jarum masih menujuk pada Full. Ia memperlihatkannya pada Constance.
"Rupanya ada yang sengaja merusak
alat pengukur ini," kata Jupe. "Dan orang itu mengosongkan
tabung."
Constance mengangguk tanda setuju. Cuma
itu yang mungkin.
"Dari mana kauperoleb peralatan
selam ini?" tanya Jupe.
"Ocean World. Aku yang mengambilnya
sendiri tadi malam. Waktu itu keadaannya masih baik."
Constance menghampiri Slater.
"Tabung udara Pete dirusak dengan
sengaja," katanya tajam. "Aku ingin tahu..."
"Kau menuduhku?" balas Slater
dengan marah. "Buat apa aku melakukan itu. Aku cuma ingin secepatnya
mengambil barang dan kapal ayahmu. Titik. Malah aku tidak ingin pencarian ini
tertunda-tunda."
Jupe sadar bahwa Slater mengatakan yang
sebenarnya. Tidak ada alasan baginya untuk merusak alat pengulcur tekanan pada
tabung itu. Orang lain yang melakukannya. Siapa?
"Adakah orang yang masuk ke kapal
Anda tadi malam atau tadi pagi, Mr. Slater?" tanya Jupe.
"Tidak." Slater menggeleng.
"kapalku ditambatkan di pelabuhan semalam. Dan aku tidur di kapalku. Tidak
sedetik pun kutinggalkan kapalku setelah Constance pergi."
"Adakah tamu yang datang?"
"Tidak. Cuma kawan lama, Paul
Donner. Ia mampir sebentar. Tapi aku tidak percaya Paul..."
"Berapa lama Anda telah mengenal
Paul Donner?" sela Jupe. "Siapa dia sebenarnya? Apa yang Anda ketahui
tentang dia?" "Jangan kauberondong aku dengan pertanyaan-pertanyaan
dungu itu." Slater mengusap-usap kepalanya yang botak. "Sudahlah,
lupakan saja. Sekarang kita bekerja kembali, kapal itu..."
"Jawab pertanyaan Jupe!"
Constance berkacak pinggang di depan Slater. "Kau harus jawab dulu semua
pertanyaan Jupe. Sekarang! Kalau tidak, jangan harap kau dapat pertolonganku
lagi."
"Oke."
Slater menjawab dengan ogah-ogahan. "Aku bertemu dengan Paul Donner di
Eropa beberapa tahun yang lalu. Urusan bisnis. Lalu aku berjumpa lagi dengannya
di Meksiko."
"Kapan?"
tanya Jupe.
"Beberapa
kali."
"Kapan yang
terakhir kalinya?" desak Jupe.
"Sewaktu aku
terakhir kali ke sana. Ia mempunyai percetakan kecil di La Paz. Karena dia
sahabatku, aku selalu mengunjunginya kalau aku ke sana. Memangnya kenapa?"
Jupe diam sejenak,
berpikir.
"Ada lagi,
Jupe?" tanya Constance.
"Cukup, cukup.
Hanya itu yang ingin kuketahui," kata Jupe.
"Bagus." Slater menoleh pada
Constance. "Jadi sekarang kita bisa kembali bekerja, kan?"
"Sebentar. Aku cek dulu tabung
udaraku."
Constance berjalan di geladak kapal.
Jupe memperhatikan Constance membuka tutup tabung udaranya. Terdengar suara
berdesis. Constance cepat-cepat menutupnya lagi.
Rupanya hanya satu tabung
yang sempat dirusak. Mungkin orang itu tidak punya cukup waktu untuk merusak
kedua tabung. Atau sengaja hanya satu tabung yang dirusak, sekadar untuk
menakut-nakuti.
Jupe menghampiri Constance.
"Aku pikir
sebaiknya kita lihat dulu apa isi peti besi di kapal ayahmu itu, sebelum kita
serahkan pada Slater," bisikriya.
Constance
menimbang-nimbang saran Jupe.
"Oke,"
ujarnya perlahan. "Kurasa usulmu ada baiknya, Jupe."
"Trims."
Jupe merasa berterima kasih pada
Constance yang telah mempercayainya. Jupe merasa yakin bahwa dirinya hampir
mendapatkan semua jawaban misteri itu.
Alat pengukur tekanan udara yang rusak.
Kawan lama Slater, Paul Donner.
kunjungan ke La Paz. Bekas di sekeliling mata kanan Paul Donner.
Fakta-fakta itu mulai menjadi satu
rangkaian yang jelas dalam benak Penyelidik Satu.
"AKU tidak dapat menyelam sedalam
itu," kata Constance dengan lantang pada Slater.
"Jadi bagaimana.. "
"Jangan menyela
dulu, Mr. Slater. Sekarang giliranku yang bertanya pada Anda.
Ini demi keberhasilan penyelaman kita.
Dan Anda harus menjawab seluruh pertanyaanku sejujur-jujurnya. Oke?"
Slater menatapnya tajam-tajam. Jupe
dapat melihat sinar kebencian pada mata Slater.
"Pertanyaan apa lagi?" katanya
dengan kesal. Lalu Ia mengangkat bahu. "Baik, baik Aku mengalah lagi. Apa
yang ingin kautanyakan?"
"Di mana tepatnya peti itu berada?
Peti besi yang berisi... berisi kalkulator saku itu."
"Well, barang-barang berharga itu..." Tatapan SEater tak
beranjak dari Constance, "di bawah tempat tidur di kabin."
"Terikat?"
"Tidak." Slater menghela
napas. "Ayahmu waktu itu berusaha menurunkan sekoci. Kami berusaha membawa
peti itu dalam sekoci. Tapi... tapi tidak ada waktu. Kapal terbalik..."
Kedua tangannya menengadah. "Kami meninggalkannya di sana.
"Kabinnya
terkuncI?"
"Tidak. kau tahu..."
Constance mengangguk. Ia mengenal kapal
ayahnya dengan baik sekali. Sejak berumur sepuluh tahun Ia sudah sering
bepergian memancing dengan ayahnya.
"Aku tahu," katanya.
"Ayah biasa mengaitkan pintu pada dinding kapal supaya tetap terbuka dan
tidak terbanting-banting."
"Seperti apa peti itu?"
"Kecil. Ukurannya sekitar tujuh
puluh kali empat puluh senti. Tingginya mungkin sekitar dua puluh senti.
Warnanya hijau."
"Ada pegangannya."
"Ya. Seperti, seperti peti uang. Di
tutupnya ada pegangan besi."
"Aku perlu tali," ujar
Constance. "Tali yang panjang dan kuat. Dan sebuah gantungan baju
kawat."
"Baik."
Jupe memegang kemudi
kapal sementara Slater mencari apa yang diperlukan Constance. Constance menarik
sisi-sisi gantungan kawat itu sampai berbentuk bingkai segi empat. Cantolannya
dipuntir hingga tegak lurus pada bingkai segi empat itu. Ia menggulung tali
nilon. Salah satu ujungnya diikatkan pada gantungan kawat.
"Oke,"
katanya. "Aku sudah siap sekarang"
Pete melangkah
tertatih-tatih.
"Kalau kau
senang..." Pete menelan ludah.
Sesungguhnya Pete enggan untuk menemani
Constance. Pengalamannya tadi membuatnya kapok menyelam. Tapi Ia sadar bahwa Ia
harus bersikap jantan dan menawarkan diri untuk ikut bersama Constance. Dalam
keadaan bagaimanapun, menurut pelajaran menyelam yang didapatnya, tidak boleh
hanya seorang saja yang menyelam di tengah-tengah lautan tanpa ditemani.
"Aku akan ikut kalau
kauperlukan," katanya.
Constance tersenyum.
"Tidak, kau istirahat saja di sini,
Pete. Aku kan ditemani Fluke. Tapi kalau ada apa-apa, kau cepat tolong aku,
ya."
Pete menarik napas lega. Constance
mengerti perasaannya. Dan Constance tidak membuatnya malu di hadapan Jupe dan
Slater.
Pete memperhatikan
Constance menggantungkan gulungan tali nilon di bahunya, lalu memakai
maskernya. Dengan mulus Ia mencebur ke laut.
Fluke mengambang di permukaan tak jauh
dari kapal. Matanya terbuka ketika melihat Constance berenang mendekat.
Constance membelai-belai Fluke dengan penuh kasih sayang, dan menempelkan
pipinya ke kepala Fluke.
Pete dapat melihat Constance sedang
bercakap-cakap dengan Fluke. Tapi Ia tak tahu apa yang sedang dibicarakannya.
Ia heran. Bagaimana Constance dapat
berkomunikasi dengan Fluke. Mungkin tidak dengan kata-kata. Mungkin mereka
sudah sedemikian akrabnya sehingga saling mengerti apa yang diinginkan kedua
belah pihak.
Ia melihat mereka menyelam. Constance
berpegangan melingkari Fluke. Mereka seolah-olah menyatu dalam satu badan.
Jupe mengamati layar televisi dengan
awas.
Lingkaran cahaya muncul di layar.
Constance telah menghidupkan kamera di kepala Fluke di kedalaman laut. Lingkaran
cahaya itu bergerak makin lama makin dalam, menuju dasar laut. Sinar lampu
sorot menembus kelamnya laut di kedalaman. Segerombol ikan kecil berwarnawarni
nampak melintas di layar.
Dan sekarang terlihat dasar laut
kembali. Gundukan pasir, kerikil, serta karang- karang yang diselimuti tumbuhan
laut nampak jelas di layar televisi.
Slater mengawasi layar sambil memegang
kernudi. Melihat dasar laut, mata Slater berbinar-binar.
Kamera pada Fluke menangkap buritan
kapal.
"Itu kapalnya!" seru Pete
sambil berdiri di samping Jupe.
Buritan kapal makin besar,
memenuhi layar. Sesaat kemudian cahaya berkelebat pindah ke geladak. Jupe
melihat ruji-ruji kemudi. Layar menjadi buram beberapa saat, lalu terang lagi,
lebih terang dari sebelumnya. Jupe dapat mengenali sebuah bangku dan tingkap.
Fluke berenang memasuki kabin.
Detik-detik berikutnya gambar di layar
berpindah-pindah demikian cepatnya sehingga sulit untuk dilihat dengan jelas.
Slater menahan napas.
Lambat-laun gambar menjadi stabil
kembali. Kamera menyorot pada sebuah benda. Makin lama makin dekat dan makin
tajam.
Peti besi.
"Itu dia!" teriak Siater
seraya menunjuk pada layar. Telunjuknya sampai menempel pada layar televisi
mini itu.
Peti besi makin lama
makin besar sewaktu Fluke mendekat. Mendadak gambar berubah. Warna abu-abu
memenuhi layar. Kosong.
Jupe mula-mula bingung. Apa yang terjadi
dengan kamera yang dibawa Fluke? Kemudian Ia sadar. Fluke melongok ke bawah
tempat tidur kabin. Tentunya kamera menyorot pada dinding berwarna abu-abu di
bawah tempat tidur.
Untuk beberapa waktu kamera tetap
menyorot ke sana, tidak bergerak-gerak. Lantas gambar di layar bergerak lagi.
Fluke berenang dengan cepat mengakibatkan gambar di layar sukar dibedakan.
Namun sekilas Jupe masih dapat mengenali pagar di tepi kapal.
Bangkai kapal tak nampak lagi, berganti
dengan air laut yang suram di kedalaman. Fluke naik ke permukaan.
"Binatang bodoh," desis
Slater. Tangannya mencengkeram kemudi erat-erat.
"Masa peti itu tidak diambilnya.
"Dengan marah Ia membuang muka, melihat ke arah pantai.
Jupe tidak menggubrisnya. Ia melihat
sesuatu di layar yang luput dan perhatian Slater—kilasan Constance berenang
mendekat ke arah lensa. Sekarang tangannya menjulur meraih lensa. Gambar di
layar bergoyang-goyang. Dan tiba-tiba gelap. Constance telah mematikan kamera.
"Ke sini kau. Pegang kemudi."
Slater mencengkeram lengan Pete, menariknya ke arahnya. "Pegang yang kuat,
jangan bergerak-gerak."
Slater bergegas keluar dan kokpit.
Perlahan-lahan Jupe mengikutinya, tapi Ia tidak mendekati Slater yang sedang
berdiri di pagar tepi kapal. Tanpa bersuara Jupe berjingkat-jingkat ke arah
lemari di buritan. Matanya tak lepas memandangi permukaan laut Menunggu.
Jupe tidak lama menunggu. Dua puluh
meter dari kapal, Constance muncul di permukaan. Ia tidak lagi membawa tali
nilon di bahunya.
Fluke mengapung di sisinya. ketika Fluke
mengangkat kepalanya, Jupe melihat sesuatu yang lain. Kamera dan lampu sorot di
kepala Fluke telah hilang. Sekarang diikatkan sebuah peti kecil terbuat dari
besi berwarna hijau.
Jupe membuka lemari dan merobek ransel
plastik Pete yang disembunyikan di sana. Diambilnya walkie-talkie dan dalam
ransel. Antenanya ditarik panjang- panjang, lalu dihidupkannya walkie-talkie
itu.
"Bob," katanya dengan mulut
ditempelkan pada walkie-talkie. "Bob. Pasang, Bob. Sekarang."
Jupe melirik pada Slater. Laki-laki
botak itu berdiri miring ke laut, berpegangan pada pagar.
"Bawa ke sini!" teriak Slater.
"Cepat! Kemarikan peti itu!"
"Cepat pasang,
Bob!" ulang Jupe bertubi-tubi. "Pasang kaset nyanyian Fluke!"
PETI YANG HILANG “ROGER, Jupe. Over and out. ”
Bob mematikan walkie-talkie dan
meletakkannya di atas jaket yang digelarnya.
Tidak terlihat kapal Slater dari pantai.
Bob tidak dapat mengira-ngira berapa jauh kapal itu berada. Tapi Ia tahu bahwa
ikan paus memiliki pendengaran yang amat tajam, sekalipun tidak memiliki daun
telinga seperti manusia. Hanya ada sepasang lubang kecil, persis di belakang
matanya.
Tetapi dua lubang kecil itu kemampuannya
jauh lebih tajam dari telinga manusia. Ikan paus dapat menangkap suaranya
sendiri yang dipantulkan benda-benda di dasar laut pada jarak beratus-ratus
meter. Setelah itu ukuran dan bentuk benda- benda itu dapat diperkirakannya
dengan tepat. Dengan begitu ikan paus tidak akan membentur benda-benda di
kedalaman laut, meskipun sekelilingnya gelap gulita.
Ikan paus juga dapat mendengar suara
ikan paus lain dalam jarak bermil-mil di bawah laut.
Bob melepaskan baju hangat dan sepatu
karetnya. Diambilnya tape recorder yang diwadahi dalam sebuah kotak kedap air
lalu bergegas berlari ke laut. Tape dipasang, lalu direndam dalam air laut.
Nyanyian Fluke yang direkam waktu itu di kolam renang Slater, dipasang
sekeras-kerasnya.
Tidak seorang pun dapat mendengar suara
itu di air. Tetapi Fluke bisa.
Di kapal Slater, Jupe masih berdiri di
buritan. Dengan cepat diselipkannya lagi walkie-talkie itu ke dalam lemari.
Fluke dan Constance masih mengapung
berdampingan. Slater berteriak tak henti- henti, menyuruh mereka membawa kotak
itu.
Jupe mengangkat tangannya, memberi kode
yang telah disepakati sebelumnya. Itu berarti Bob telah siap di pantai.
Constance balas
melambai. Ia menangkap maksud Jupe. Ditepuk-tepuknya kepala Fluke, lalu mereka
berdua menyelam kembali.
Slater berdiri kaku di tepi
kapal. “Apa-apaan ini?!” teriaknya. Ia bergegas masuk kokpit. Dengan
kasar.didorongnya Pete dari kemudi. Ia mengambil alih kemudi, mengarahkan kapal
tepat pada lokasi Constance dan Fluke menghilang.
Kapal hampir tiba di sana ketika
tahu-tahu Constance muncul lagi. Slater menghentikan kapal, dan menarik Pete untuk
memegang kemudi lagi.
"Tahan kemudinya," perintahnya
seraya berlari ke pagar kapal.
“Mana petinya?” teriaknya pada
Constance.
Constance tidak menggubrisnya. Ia
memegang kamera dan lampu sorot dengan satu tangannya. Dengan tangannya yang
bebas Ia meraih tangga tall di sisi kapal, lalu naik.
“Mana ikan paus itu?"
Constance masih tidak menanggapi. Ia
membuka maskernya dan melepaskan tabung udara dan punggungnya.
“Di mana?" desak Slater. “Pergi ke
mana ikan paus itu?”
Constance mengangkat bahu.
“Pertanyaan Anda sama dengan pertanyaanku, Mr. Slater.”
“Apa maksudmu?" Siater berpaling
pada Jupe. "Kemarikan teropong itu."
Jupe menyerahkannya. Slater
meneropong ke segala arah, mencari-cari ke mana Fluke pergi.
Tidak ada tanda-tanda ke mana Fluke
menghilang. Fluke tidak muncul-muncul di permukaan.
“Ikan paus memang suka berlaku aneh
seperti itu,” Constance menjelaskan. Slater waktu itu sedang memunggunginya.
Constance mengedipkan sebelah matanya pada Jupe. “Satu saat Ia sangat patuh dan
bersahabat. Lalu tanpa dapat diduga, tiba-tiba saja Ia lari meninggalkan kita.
Lari begitu saja, tanpa permisi."
Slater menurunkan teropongnya. “Ikan
sialan itu mencuri petiku!” umpatnya. “Kau mengikatkannya pada kepala ikan
itu.” Ia memandang Constance dengan curiga. "Kenapa kaulakukan itu?”
Constance mengangkat bahu lagi. “Aku
terpaksa,” ujarnya. “Cuma itu satu-satunya cara agar aku bisa naik ke
permukaan. Kau sebenarnya harus berterima kasih pada Fluke yang telah melakukan
tugasnya dengan baik. Berenang ke dalam kabin, menyusup ke bawah tempat tidur,
dan mencantolkan gantungan pakaian pada pegangan peti itu. Fluke juga yang
menariknya keluar dari kabin. Aku menerimanya, lalu aku menggulung tali kembali
agar tidak tersangkut-sangkut....”
“Kenapa tidak kaubawa
peti itu ke kapal?"
“Jangan menyela dulu, Mr. Slater! Aku
berada di kedalaman laut. Kalau tidak kuikatkan di kepala Fluke, mana bisa aku
naik ke permukaan membawa peti besi yang berat dan...”
“Peti itu tidak berat. Sebaliknya...”
“Sudah kubilang jangan menyela dulu!”
tukas Constance dengan lantang seraya berkacak pinggang. “Satu-satunya jalan
agar aku bisa naik ke permukaan ialah dengan rnelepas kamera dan lampu sorot
dari kepala Fluke dan menukarnya dengan peti itu. Aku sendiri yang membawa
kamera dan lampu sorot ke permukaan. "
Ia menyambar sebuah handuk yang
digantung di pagar kapal dan mengeringkan rambutnya yang hitam.
“Aku minta maaf, Mr. Slater,” lanjutnya.
“Aku sendiri sangat sedih. Separuh isi peti itu milik ayahku. Aku pun menasa
kehilangan sewaktu Fluke berenang pergi."
"Berenang pergi,” gumam Slater
mengulangi. Suaranya terderigar pahit. Dengan lemas Ia mulai meneropong lagi.
“Ke mana ikan sialan itu pergi?”
tanyanya.
Constance memandang Penyelidik Satu.
“Menurutmu ke mana, Jupe?” tanyanya.
“Menurut dugaanku...” Jupe memutar
otaknya dengan cepat. "Fluke telah menghilang lima belas menit yang lalu.
Dengan kecepatan penuh sekalipun kapal Slater tidak akan dapat mengejarnya. Dan
Bob seorang diri di pantai. Mungkin dia butuh bantuan."
“Ini cuma dugaan,” ulang Jupe. “Tapi
kupikir mungkin sekali Fluke kembali ke pantai. Pantai tempat kami
membebaskannya ke laut tadi pagi.”
“Buat apa ikan itu kembali ke sana?”
Slater sekarang menatap Jupe dengan pandangan curiga.
“Naluri untuk kembali ke tempat
asalnya,” jawab Jupe seadanya. "Sudah kukatakan ini cuma dugaanku, Mr.
Slater."
“Mmm...” Slater
menerawang ke pantai. “Oke,” katanya. “Kau pegang kemudi. Arahkan ke
pantai."
Ia berjalan ke haluan kapal. Jupe
mengambil alih kemudi dari Pete.
“Kecepatan penuh!" teriak Slater.
Ia lalu meneropong lagi.
“Yes,
Sir,” jawab Penyelidik Satu sambil tersenyum simpul.
Kebetulan Jupe juga sangat ingin tahu
apa yang sedang terjadi di pantai. Ia tak sabar ingin melihat apakab Bob
berhasil memanggil Fluke dengan rekaman nyanyian Fluke sendiri, dan apakah
Fluke berhasil membawa peti itu selamat sampai ke pantai.
Dan kalau berhasil, Jupe ingin sekali
membuka peti itu untuk melihat apa isinya!
DUAPULUH LIMA menit telah berlalu, Bob
melihat jam tangannya yang kedap air.
Ia telah memutar kaset
rekaman suara Fluke selama dua puluh lima menit.. Lima menit lagi kaset itu
habis. Setelah itu ia harus memutar ulang dan menyalakannya dari awal lagi.
Sambil membungkuk, mencelupkan kotak
tape recorder, Bob menggerak-gerakkan kaki dan jari-jari kakinya. Air laut
begitu dinginnya sehingga Bob khawatir jari- jarinya membeku kalau tidak
digerak-gerakkan.
Perlahan-lahan ia berdiri tegak. Mungkin
itu cuma khayalannya, tapi seakan-akan ada sesuatu yang bergerak di sebelah
sana. Seratus meter dari pantai terlihat air bergolak halus.
Golakan air makin dekat. Kali ini Bob
tahu bahwa itu bukan sekadar khayalan. Saking bersemangatnya Bob sampal lupa
pada dinginnya air laut.
Mula-mula peti besi yang muncul. Peti
itu naik menyembul perlahan-lahan dalam jarak sepuluh meter dan Bob. Detik
berikutnya Fluke sudah berada di sampingnya. Fluke berenang mengelilingi Bob,
kepalanya digosok-gosokkannya pada lutut Bob.
"Fluke. Fluke."
Bob tidak lagi merasakan dinginnya air
laut. Ia membenamkan seluruh badannya ke dalam air sambil memeluk dan
mengelus-elus Fluke.
"Fluke. Kau pandai sekali."
Fluke tampak senang
bertemu dengan Bob. Fluke mengangkat badan tegak-tegak, seakan berdiri berpijak
pada ekornya. Dengan penuh harapan Fluke memandang pada Bob.
"Maaf ya, Fluke." Bob
mematikan tape recorder. "Ini cuma rekaman."
Bob membayangkan apa yang mungkin
dirasakan oleh Fluke ketika mendengar rekaman suara itu. Apakah Fluke mengenali
suaranya sendiri? Atau Fluke mengira itu suara ikan paus lain? Atau mungkin
aneh, seperti kalau kita mendengar rekaman suara kita sendiri.
"Jangan marah, ya Fluke," kata
Bob. "Akan kulepas pita kanvas dan peti dari kepalamu. Dan aku punya
hadiah untukmu."
Constance telah menyiapkan sekantung
ikan segar tadi pagi. Bob melepas pita kanvas dan mengangkat peti dari kepala
Fluke.
Peti besi itu terasa sangat ringan.
"Diam, Fluke," kata Bob.
"Diam dan tunggu di sini. Sebentar kuambilkan makananmu."
Ia berbalik menuju pantai, sambil
mendekap peti besi hijau di dadanya.
Ketika hampir sampai di pasir kering
seseorang telah menunggunya. Orang itu berdiri tegak, tinggi menjulang bagai
tiang, menatap Bob lekat-lekat.
Orang itu memakai jaket dan topinya
ditarik dalam-dalam di kepalanya. Pinggir topinya dimiringkan hingga menutup
matanya. Yang segera dilihat Bob ialah lebarnya dada serta kekarnya tengan
orang itu. Ditambah lagi dengan tingginya, orang itu tampak seperti raksasa.
Raksasa itu melangkah menghampiri Bob
yang berdiri terpaku. Bob kini melihat wajahnya. Raksasa itu tidak mempunyai
muka. Mukanya hampir datar, tersembunyi di balik kaus nilon yang disarungkan di
mukanya.
"Berikan peti itu padaku,"
kata raksasa itu.
Meskipun baru mendengar sekali di kantor
Trio Detektif, Bob langsung mengenali suara itu. Logat pesisir selatan itu
tidak dapat dilupakannya.
Dan masih jelas terbayang di benaknya,
ketika ia dan Pete menyerbunya untuk membebaskan Jupe yang disandera. Si
raksasa jatuh diterjang Pete waktu itu.
"Berikan padaku."
Raksasa itu melangkah makin cepat. Ia
tinggal beberapa meter lagi dari Bob.
Lidah Bob terasa kelu. Ia tidak bisa
berkata apa-apa. Tetapi dipaksakannya untuk bertindak. Sambil mendekap peti
besi itu erat-erat ia berlari kembali ke laut.
"Jangan lari! Kemarikan barang
itu."
Si raksasa mengejar.
Bob terus berlari sekuat tenaga sampai air sebatas lututnya.
Air laut menghambat laju lari Bob.
Semakin dalam laut semakin lambat larinya. Sedangkan bagi si raksasa, air belum
begitu dalam. Dengan kaki yang panjang dan langkah yang lebar ia segera
menyusul Bob.
Bob merasa bahunya dicengkeram. Lalu
tubuhnya diputar sehingga menghadap si raksasa tak bermuka. Si raksasa mencoba
merampas peti dari dekapan Bob.
Bob tidak bisa melawan. Ia hanya bisa
mendekap peti itu semakin erat. Percuma untuk melawan. Belum pernah Bob melihat
orang sebesar dan sekekar itu sebelumnya.
Tapi Bob juga tidak mau menyerah begitu
saja. Ia membungkukkan badannya agar peti tidak terlepas dari badannya. Sambil
begitu Ia mundur ke taut. Air laut kini sudah sampai pinggangnya.
Si raksasa menjambak rambut Bob hingga
Bob tertengadah. Ditariknya rambut Bob ke belakang hingga kepala Bob hampir
menyentuh air. Tangan kekarnya yang satu lagi menggenggam pegangan pet! Bob
mulai putus harapan. Ia tahu bahwa si raksasa dengan mudah bisa membenamkannya
di laut.
Ketika rambut Bob menyentuh air,
tahu-tahu raksasa itu melepaskan jambakannya. Ia terangkat ke atas. Dan terns
terangkat seakan dicantolkan pada derek.
Terus, terus terangkat. Akhirnya si
raksasa terlempar keluar dari permukaan dan jatuh tertelentang di air. Ia
tercebur dengan keras dan mengakibatkan air tersibak menciprat ke mana-mana. Ia
terkejut dan gelagapan.
Fluke tidak memberinya kesempatan.
Dengan satu dorongan kuat orang itu terlempar lagi. Dan sekali lagi. Lalu
berkali-kali. Fluke melempar-lemparkannya, seolah orang itu hanyalah sebuah
bola plastik. Orang itu terlempar makin jauh ke laut.
Ia menjerit-jerit minta tolong. Sambil
tertelentang ia timbul-tenggelam di permukaan air.
Fluke menyelam di bawah orang itu, siap
untuk melontarkannya lagi. Mendengar jeritan orang itu, Fluke berhenti.
Diangkatnya kepalanya memandang orang itu. Lalu dengan lemah-lembut didorongnya
orang itu perlahan-lahan ke arah pantai.
Tapi orang itu sukar untuk mengapung.
Meskipun menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya sekuat tenaga, Ia seperti
terdorong ke bawah oleh sesuatu yang berat di dadanya. Ia meronta-ronta.
Sedetik yang lalu Bob
melihat orang itu sebagai musuh besarnya. Namun sekarang Bob tidak tahan
melihat nasibnya. Ia merasa kasihan, tidak tega membiarkan orang itu tenggelam.
Dengan bergegas ia kembali ke pantai,
menyembunyikan peti besi di balik sebongkah karang, lalu berlari sekuat tenaga
balik ke laut kembali.
Ketika Bob tiba di tempat itu, si
raksasa sudah hampir tenggelam. Wajahnya yang tertutup kaus nilon telah sejajar
dengan permukaan air. Fluke mengapung di sampingnya. Mata Fluke nampak
bertanya-tanya.
"Ke bawah dia, Fluke," kata
Bob. "Jangan sodok dia lagi. Angkat dari bawah pelan-pelan. Jangan sampai
dia tenggelam."
Meskipun belum tentu mengerti perkataan
Bob, tapi Fluke menangkap maksudnya. Fluke meluncur ke bawah si raksasa,
mendorongnya perlahan-lahan dan bawah, mengangkat si raksasa. Sesaat kemudian
kepala dan badan si raksasa tersembul di permukaan air.
Si raksasa masih meronta-ronta.
Tangannya memegangi jaketnya. Ia mencoba membuka dan melepas jaketriya.
Bob membantu menarik ritsleting
jaketnya. Jaket itu terbuka. Bob melepasnya dan orang itu.
Bob menatap badan orang itu dengan
heran. Lalu Ia menatap jaket yang dipegangnya.
Sekarang Ia mengerti mengapa orang itu
seperti terdorong ke bawah oleh sesuatu yang berat di dadanya. Seluruh bagian
dalam jaket dipadati dengan karet busa tebal! Karet busa itu menyerap banyak
air sehingga memberatkan dan menyulitkan gerakannya.
Tanpa jaket berisi karet busa, orang itu
tidak lagi seperti raksasa. Kini ia terlihat kurus, lemah, dan agak pucat. Bob
dan Fluke menyeretnya ke pantai. Sewaktu sampai di perairan yang terlalu
dangkal bagi Fluke, Bob menyeretnya sendiri.
Dengan susah-payah diseretnya orang itu
ke pasir yang kering.
Orang itu berbaring terlentang. Ia
terengah-engah, kecapekan, dan setengah sadar. Topinya hanyut ke laut. Kaus
nilon masih menyarungi kepalanya, membuatnya makin sulit bernapas.
Bob membukanya.
Ia melihat wajah yang kurus dengan
hidung panjang dan pipi yang agak kempot. Ada bekas, seperti bekas luka, di
bawah mata kanannya.
Bob terhenyak melihat
Paul Donner.
DI BALIK SEMUA ITU “ITU DIA!” teriak Slater bersemangat. “Di situ ikan paus itu!”
Diturunkannya teropong. “Kau benar, Nak.
ikan paus itu berada di pantai,” katanya dengan logat pesisir selatan. Ia
bergegas masuk ke kokpit, mengambil alih kemudi dari Jupe.
Constance juga telah melihat Fluke.
Ketika kapal Slater mendekati pantai, ia menjulurkan badannya dari pagar kapal.
“Fluke," panggilnya. “Fluke.”
Fluke segera mendengarnya. Dengan riang
Fluke berenang menempel di pinggir kapal tempat Constance berada.
“Peti itu.” Slater melupakan kemudi dan
melepasnya. Ia memandangi kepala Fluke. "Peti itu telah hilang!”
teriaknya.
Jupe melihat ke pantai. Seseorang terbaring
di pantai, dan Bob berdiri melambai- lambai di sampingnya. Kemudian Bob
membentuk lingkaran dengan telunjuk dan jempolnya pertanda segalanya beres.
“Kurasa makin cepat kita ke pantai makin
baik,Pete,” ujar Jupe. “Sebelum Slater mengetahui apa yang terjadi.”
"Ide bagus,” sahut Pete. Ia masih
mengenakan pakalan selamnya. Dengan cekatan ia turun dari sisi kapal yang satu
lagi, lalu cepat-cepat berenang ke pantai. Jupe melepas baju kaus yang
dipinjamnya dari lemari kapal, dan segera berenang sekuat tenaga mengikuti
Pete.
“Paul Donner.” Jupe dan Pete berdiri
memandangi orang yang terbaring talc berdaya di pasir.
“Apa yang dilakukannya di sini? Apa yang
terjadi, Bob?” tanya Jupe.
Dengan ringkas Bob
menjelaskan apa yang terjadi sesudah Fluke berenang menghampirinya. Mulai dari
seorang raksasa tak bermuka yang sekonyong- konyong muncul di pantai,
pertarungan memperebutkan peti, lalu pertolongan Fluke, dan akhirnya sampai
pada jaket berisi karet busa itu.
Ia sukar bernapas,
Bob mengakhiri. "Untung aku tahu cara memberi pernapasan buatan. Sekarang
kelihatannya sudah jauh lebih baik.”
Jupe menoleh ke laut.
Slater telah merapatkan kapalnya sedekat mungkin ke pantai dan membuang sauh di
sana. Ia berlari mengarungi laut menuju mereka. Kepalanya yang botak licin
berkilat-kilat. Ia tampak marah sekali.
“Peti besi?” bisik
Jupe pada Bob. “Kaukemanakan peti itu?”
"Kusembunyikan
di..."
Bob terhenti. Slater
telah mencapai pasir kering. Ia berdiri di hadapan Bob.
“Di mana peti itu!” kata Slater dingin
dengan nada penuh ancaman. Tak sedikit pun ia melihat pada Paul Donner. Slater
seperti tidak heran melihat Paul Donner terbaring di situ. Bahkan ia seperti
tidak mau tahu. Ia hanya melihat dengan pandangan mengancam pada Bob.
“Serahkan peti itu padaku!" ulang
Slater.
“Peti apa?" Bob pura-pura heran
sambil mengerdip pada Pete. Ia berharap Penyelidik Dua dapat menyerang Slater
dengan tiba-tiba, supaya mereka bisa mengambil peti yang disembunyikan dan
melarikan diri.
“Jangan coba-coba!” Slater seakan-akan
dapat membaca pikirannya. “Kalian tidak dapat menipuku, Anak-anak ingusan!”
Celana Slater basah seluruhnya, tetapi
jaket kulit yang dipakainya kering. Ia mengambil sesuatu dan balik jaketnya.
Pistol berlaras pendek.
Ia mengarahkan laras pistolnya pada Bob.
“Peti besi,” katanya lagi. “Yang dibawa
ikan paus itu. Berikan peti itu padaku.” Logat pesisir selatannya terdengar
penuh ancaman.
Bob memandang Jupe dengan lemas. Jupe
mengamati pistol yang digenggam Slater. Walaupun belum pernah menembak,
Penyelidik Satu tahu banyak tentang pistol. Menurut teori, pistol Slater dengan
laras yang sangat pendek itu jangkauan tembaknya tidak terlalu jauh. Tapi
Slater menodongkannya cuma setengah meter dari dada Bob. Tidak ada harapan
untuk luput dari tembakan Slater kalau Ia nekat menembak
“Oke, Bob,” kata Jupe. “Serahkan saja
padanya.”
Bob mengangguk. Ia merasa lega dengan
keputusan Jupe. Ia berjalan ke onggokan karang tempat Ia menaruh peti. Slater
mengikuti dari belakang, tangannya masih menggenggam pistol. Bob mengambil peti
itu. Slater merampasnya.
“Tidaaaak!”
Untuk beberapa detik
Bob tidak tahu dari mana asal suara itu. Detik berikutnya Ia melihat Paul
Donner bangkit dan tiba-tiba menyerbu ke arah mereka dari belakang.
Slater memutar badannya. Jeritan itu
membuatnya terkejut. Ketika berbalik, Slater memunggungi Bob. Jupe hanya
beberapa meter dari situ. Penyelidik Satu mengangguk, membuka kedua tangannya.
Bob melempar peti itu. Jupe dengan sigap menangkapnya.
“Kau penipu!” Paul Donner tiba di tempat
Slater berdiri. “Kau pengkhianat!” teriaknya. "Pembohong! Pemeras!”
Ia menyerang Slater, mencoba
mencekiknya. Slater menurunkan pistolnya. Ia mendorong Donner. Donner terjatuh.
Slater menindihnya. Mereka bergumul, berguling-guling di pasir.
Pete berdiri dekat air laut. Di laut
tampak Constance bersama Fluke. Ia juga mendengar teriakan Donner. Dengan gesit
Ia berenang ke pantai, diiringi Fluke di sampingnya.
Jupe mengoper peti pada Pete.
Slater bangkit,
meninggalkan Donner yang tergeletak tanpa daya di pasir. Slater terlalu kuat
bagi Donner yang kurus itu, yang belum pulih tenaganya sehabis
dilontar-lontarkan Fluke. Pete menangkap peti itu.
Ia melihat Constance berenang mendekat.
Ia melihat Slater memandang Bob, lalu Jupe, mencari-cari peti itu. Tanpa
membuang-buang waktu, Pete berlari ke laut sambil mendekap peti itu.
Slater mengejarnya.
Pete sampai di pinggir pantai. Ia
berlari terus sampai air setinggi pinggangnya. Slater menguntit tidak jauh di
belakangnya.
“Stop!” teriak Slater.
Pete tidak
melihatnya. Tapi ia dapat merasakan pistol Slater diarahkan padanya. Hatinya
berdebar-debar.
Ia berhenti.
“Pete!” Constance membuka tangannya
sambil mengapung di laut. “Pete, lempar ke sini!"
Pete bimbang. Rasanya pistol Slater
begitu dekat pada dirinya. Rasanya peti besi itu begitu dingin. Dan di depannya
Constance siap menangkap peti itu.
Pete terkenal jago
basket. Kini Ia membayangkan dirinya bertanding basket pada saat-saat kritis
menjelang pertandingan usai dengan skor berselisih tipis. Ia melupakan Slater.
Ia tidak ingat pada pistol Slater. Ia membayangkan sedang memegang bola basket.
Dan Constance berteriak meminta operan bola darinya.
Ia menekuk lututnya, menekuk kedua
sikunya. Peti besi diletakkan pada kedua telapak tangan di atas kepalanya.
Dengan satu gerakan cepat dan bertenaga dilemparnya peti seperti melempar bola
basket, membuat lintasan parabola.
Constance menangkapnya.
Pete menyelam dan menjauh dari
tempatnya. Ia berusaha tetap di bawah air selama mungkin, sembari menahan
napas. Saat napasnya habis, perlahan-lahan Ia menyembulkan kepalanya. Ia
mengintip ke pantai. Slater berdiri di pinggir pantal. Tangannya terkulai namun
masih menggenggam pistol. Kepala botaknya tertunduk.
Jupe dan Bob berdiri di depannya. Pete
menggabungkan diri dengan mereka.
“Kami tidak ingin merampas milik Anda,
Mr. Slater,” kata Jupe. “Kami setuju untuk memberikan separuh isi peti itu pada
Anda. Yang kami perbuat hanyalah mengamankan milik Constance dan ayahnya. Isi
peti harus dibagi dengan adil.”
Slater diam membisu beberapa lama, lalu
menghela napas.
“Apa maumu?” tanyanya.
“Aku mau supaya peti itu dibawa ke kota.
kita harus membukanya di hadapan Chief Reynolds, kepala polisi Rocky Beach. Ia
seorang yang terbuka dan adil. Anda dapat menceritakan asal usul peti itu,
begitu pula Constance, menurut versi ayahnya. Biar nanti Chief Reynolds yang
memutuskan bagaimana pembagian isi peti itu.”
Lama Slater tidak menjawab. Ia menoleh
ke laut. Constance dan Fluke berenang berdampingan di tengah laut. Ia tidak
dapat mengambil peti itu dari Fluke tanpa bantuan Constance.
“Oke,” desah Slate. “Kita naik ke kapal,
lalu berlayar ke dermaga di Rocky Beach. Setelah itu kita bisa menemui Chief
Reynolds. Setuju?"
Jupe menggeleng. Slater telah menyimpan
pistolnya. Tapi sewaktu-waktu Ia dapat memakainya Lagi. Naik ke kapalnya
berarti masuk ke dalam mulut harimau. “Tidak perlu susah-susah berlayar ke
sana," sahut Jupe dengan sopan. “Kita kan bisa menelepon Chief Reynotds.
Biar polisi yang menjemput kita di sini.”
“Menelepon? Dari mana?" Slater
berusaha mempengaruhi Jupe. “Mana ada telepon dekat-dekat sini? Yang paling
dekat saja...”
“Yang paling dekat kira-kira satu mil
dari sini,” potong Jupe. “Di Kantin Clifftop. Bob dapat bersepeda ke sana dalam
beberapa menit.”
“Dua menit paling
lama,” tukas Bob.
“Nah, sekarang kalau Anda tidak
keberatan, kupersilakan meletakkan pistol Anda di kapal, Mr. Slater,” kata Jupe
dengan manisnya. “Constance dan Fluke akan membawa peti itu ke sini, sementara
kita menunggu jemputan polisi. Ide yang baik, kan?”
Slater tentu saja tidak menganggap ide
itu baik, baginya sebenarnya justru ide yang buruk. Ia tidak bisa berkelit lagi
kalau sudah berhadapan dengan polisi. Tapi ia mengangguk menyetujui. Hanya itu
yang bisa dilakukannya.
Bob berangkat untuk menelepon Chief
Reynolds. Constance memberi makan Fluke, sementara Jupe dan Pete mengawasi
Slater menaruh pistolnya di kapal. Kemudian Constance mengucapkan selamat
berpisah pada Fluke. Ia berjanji akan kembali lagi ke pantai secepat mungkin.
Fluke memandang Constance dengan sedih. Fluke berenang dekat sekali ke pantai
untuk mengantar kepergian Constance.
Pada saat mereka berempat naik menuju
jalan raya, Jupe baru teringat akan Paul Donner.
Paul Donner telah menghilang.
Tak lama kemudian Bob muncul dan mereka
dijemput dengan sedan polisi. Lima belas menit setelah itu mereka semua sudah
berada dalam kantor Chief Reynolds.
Chief Reynolds memandang mereka dengan
heran. Tidak satu pun dari mereka yang kering. Semua basah kuyup. Dan bau air
laut yang asin memenuhi ruangan kantor itu.
“Apa lagi yang terjadi kali ini, Jupe?”
tanya Chief Reynolds ketika mereka semua sudah duduk.
Chief Reynolds sudah bertahun-tahun
mengenal Trio Detektif. Ia sendiri tidak setuju dengan tindakan anak-anak yang
kadang-kadang kelewat berani dan berbahaya. Tapi seolah-olah selalu ada saja
misteri yang mendatangi anak-anak, bukan anak-anak yang mencari misteri. Dan Ia
mengagumi kejelian Jupe dalam menangani sebuah kasus. Sering kali Penyelidik
Satu menolong polisi memecahkan kasus-kasus yang rumit dan pelik.
Jupe menoleh pada Slater. “Ini Mr. Oscar
Slater,” Ia memperkenalkan. “kukira Ia bisa menceritakan kisahnya sendiri.”
“Silakan Mr. Slater."
Slater berdiri. Ia
mengeluarkan dompetnya yang basah dan menyerahkan tanda pengenal dirinya.
Sesudah Chief Reynolds memerintahkan seseorang urituk mengecek tanda pengenal
itu, Slater mulai bercerita.
Dengan jujur dikisahkannya penyelundupan
ke Meksiko bersama Diego Carmel. Ia menceritakan tentang badai, kapal yang
tenggelam, sampai bagaimana mereka menyelamatkan peti itu dengan bantuan
Constance dan Fluke.
“Kawan mudaku,
Jupiter Jones,” Slater melanjutkan, “mengusulkan supaya peti itu dibuka di
sini. Dengan demikian tidak akan timbul perselisihan di kemudian hari. Aku kira
itu usul yang baik, Chief.”
Ia merogoh sebuah
kunci dari kantungnya, lalu menyerahkan pada Chief Reynolds. Constance
meletakkan peti itu di meja.
Jupe mau tak mau harus mengakui
kejujuran dan keterbukaan Slater. Slater bersikap sebagai seorang warga negara
yang baik dan taat pada aturan. Dan caranya berbicara, tidak nampak kesan bahwa
Ia pernah melakukan suatu tindakan kriminal.
Ia mengamati Chief Reynolds mernbuka
peti besi hijau itu.
Constance terkejut. Bahkan Chief
Reynolds terpana melihat isi peti itu. Jupe berdiri mendekati meja. Pete dan
Bob menyusulnya.
Bob dan Pete melongo. Namun Penyelidik
Satu bersikap biasa-biasa saja.
Peti itu penuh dengan
lembaran sepuluh dolar baru.
Lembaran-lembaran uang itu tersusun rapi
dan dibundel dengan pengikat dan kertas. Kalau lima ratus dolar tebalnya satu
inci, Jupe mengira-ngira, uang di dalam peti itu kira-kira bernilai satu juta
dolar.
“Inilah hasilnya, Chief,” Slater
menjelaskan. “Hasil kunjunganku ke La Paz. Separuh dari uang -"
Ia terhenti ketika telepon di meja Chief
Reynolds berdering. Chief Reynolds mengangkatnya dan mendengarkan beberapa
saat.
"Teruskan, Mr. Slater," kata
Chief Reynolds seraya meletakkan gagang telepon. "Anda bersih. Belum
pernah terlibat dalam perbuatan kriminal. Apa tadi katamu..”
“Sebagian adalah hasil penjualan
kalkulator saku di La Paz. Itu milik bersama antara aku dan kapten Carmel.
Sisanya adalah milikku. Kudapat dari penjualan tanah—beberapa hektar tanah dari
sebuah hotel kecil milikku di sana. Sekarang terserah Miss Carmel berapa banyak
yang ia minta dalam hubungannya dengan bisnis ayahnya. Kukira setelah itu semua
akan beres.”
Chief Reynolds
mengernyit. “Itu akan beres kalau Anda sudah membayar pajak, Mr. Slater,”
katanya. “Kukira tidak ada yang salah dalam keterangan Anda.” Ia berpaling pada
Constance. “Berapa banyak milik ayahmu, Miss Carmel?”
Constance tersenyum.
“Aku tak tahu persisnya.
Aku cuma ingin membayar ongkos perawatan
Ayah di rumah sakit,” ujarnya. Ia menengok pada Slater. “Sepuiuh ribu dolar
kurasa cukup.”
"Sepuluh ribu dolar cukup?"
Slater menjulurkan badannya meraih peti itu. “Besok kau bisa menemaniku ke
bank. Akan kuberi kau cek sebesar sepuluh ribu dolar.”
Dipangkunya dan ditutupnya peti itu.
lalu Ia berdiri hendak keluar dari kantor.
Jupe berdiri menghalangi Slater.
“Chief
Reynolds," kata Penyelidik Satu sambil menarik-narik bibir bawahnya. “Aku
tidak mau ikut campur. Tapi boleh kan kalau aku usul sesuatu?
"Usul apa,
Jupe?” tanya Chief Reynolds dengan ails mata terangkat.
"Sebaiknya nomor
seri uang itu diperiksa dulu."
"Nomor seri?
Kenapa?"
Jupe mengambil peti dari pegangan Slater
dan membukanya. Diambilnya dua tumpuk uang sepuluh dolar baru.
“Kalau Anda memeriksa uang ini,
Chief," Dia melanjutkan, Anda akan menemukan bahwa seluruh uang ini
palsu!”
LAPORAN
PADA HECTOR SEBASTIAN "Polisi akhirnya berhasil
menangkap Paul Donner," kata Jupe. "Ia berusaha melarikan diri ke
Meksiko dengan mobil limousin tuanya. Sial nasibnya, mobilnya mogok di tengah
jalan. ketika ditangkap, Ia mengakui seluruh kejahatannya. "
Trio Detektif duduk mengelilingi sebuah
meja dalam ruang tamu di rumah Hector Sebastian. Mereka memberikan laporan lengkap
mengenal 'Kasus Penculikan Ikan Paus', judul yang ditulis Bob pada catatannya.
Mr. Sebastian duduk
bersandar di kursi goyangnya sembari mendengarkan kisah mereka dengan penuh
perhatian. Kalau dianggap perlu ia menanyakan hal-hal yang belum jelas baginya.
"Paul Donner mengakui bahwa Ia
memalsukan uang?" tanyanya.
Bob mengangguk. "Bukan itu saja,
Donner-lah yang merusak rem truk Constance. Ia berusaha dengan segala cara
untuk menggagalkan pencarian peti besi itu dan bangkai kapal ayah
Constance."
"Oscar Slater memaksanya untuk
mencetak uang palsu itu," Lanjut Bob menjelaskan. "Ia memeras Donner.
"
"Memeras? Memeras bagaimana?"
Hector Sebastian menengok ke dapur.
Hoang Van Don sedang menyiapkan makan siang untuk mereka.
"Apakah Don membuat nasi merah
Lagi, Mr. Sebastian?" tanya Pete. Ia sudah tidak sabar ingin menyantap
makanan buatan Don.
"Tidak," jawab Mr. Sebastian.
"Ia punya resep baru sekarang. Lihat saja nanti. Mmm... sampai di mana
tadi kau, Bob?"
"Slater memeras Donner dan
memaksanya mencetak uang palsu itu," ujar Bob. "Mulanya mereka
bertemu di Eropa. Paul Donner ahli pembuat klise, dan pandai memalsu serta
mencetak. Slater menangani distribusi uang palsu itu. Ia punya jaringan yang
cukup luas di Eropa."
"Polisi di sana
mengetahuinya?" tanya Hector Sebastian.
"Ya," Jupe menyahuti.
"Tetapi polisi tidak mencurigai Oscar Slater. Ia sangat licin hingga
kejahatannya tidak pernah tercium oleh polisi. Namun polisi Prancis memburu
Paul Donner. Mereka punya surat perintah penangkapan Donner. Tetapi Donner
berhasil lolos dan melarikan diri ke Meksiko."
"Ia sudah jera memalsukan
uang," Bob menambahkan. "Dan Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk
tidak lagi memalsukan uang. Janji itu dipegangnya teguh. Ia membuka usaha
pencetakan yang legal di La Paz sampai..." Bob mengangkat bahu. "Well, sampai Oscar Slater menemuinya di
sana."
"Ooo, pantas. Oscar Slater tahu
bahwa Donner menjadi buronan polisi," kata Hector Sebastian. "Ia tahu
bahwa pihak Prancis akan mengekstradisi Donner kalau mereka dapat
menemukannya."
"Slater berada di atas angin. Ia
punya senjata ampuh untuk memaksa Donner mengulangi pemalsuan uang. Kalau
Donner menolak, Ia akan melaporkannya pada pihak Prancis."
Ia termenung sejenak.
"Dari mana kau
tahu bahwa uang itu palsu, Jupe?" tanyanya kemudian.
"Terutama dari bekas seperti bekas
luka di bawah mata kanan Paul Donner," jawab Jupe. "Mulanya kukira Ia
ahli intan atau ahli reparasi jam tangan. Baru belakangan aku sadar bahwa Ia
dapat juga seorang ahli pembuat klise."
"Cerdik sekali kau, Jupe." Mr.
Sebastian tersenyum. "Tenggelamnya kapal kapten Carmel beserta peti itu
melegakan hati Donner. Bagaimana menurutmu, Jupe?"
"Ya, kurang-lebih begitu,"
Penyelidik Satu menyetujui. "Aku merasa aneh. Mengapa Slater begitu
bersemangat untuk memperoleh peti itu? Dan mengapa ada seseorang yang
mati-matian berusaha menghalanginya? Kemudian aku baru menyadari. Seorang
pemalsu yang paling ahli sekalipun tidak dapat menghilangkan ciri-ciri khasnya.
Itu seperti melukis saja. Ciri-ciri khas itu selalu muncul dalam karya-karyanya.
Kalau uang palsu itu sampai beredar, polisi akan segera tahu bahwa pelakunya
adalah Donner. Dan polisi Amerika akan memburunya juga, seperti polisi Prancis.
Tempat tinggalnya di La Paz dengan mudah dapat dilacak polisi."
Dari dapur terdengar suara seperti orang
sedang mencincang daging.
"Dan dari situ kau menarik
kesimpulan, Jupe," ujar Mr. Sebastian, "bahwa Donner- lah yang tidak
menginginkan uang palsu itu ditemukan."
"Lama sekali aku baru menyadari hal
itu," Jupe mengakui. "Mulanya aku mencurigai tiga orang. Oscar
Slater, Paul Donner, dan si penelepon gelap yang menawarkan seratus
dolar."
Ia memandang Bob.
"Baru ketika Bob membuka topeng
kaus nilonnya aku sadar bahwa orang kedua dan orang ketiga adalah orang yang
sama."
"Sewaktu Paul Donner menelepon
kalian," kata Mr. Sebastian, "ia berkata dengan logat aneh, seperti
logat pesisir selatan. Apakah Ia ingin agar kalian mengira itu Slater?"
Jupe menggeleng. "Kukira tidak, Mr.
Sebastian. Ia cuma berusaha menyembunyikan suara aslinya. Itu seperti aktor...."
Jupe tahu banyak soal bersandiwara. Di
masa kecilnya Ia sendiri suka bermain sandiwara. Masa-masa itu menjadi kenangan
manis yang tak akan dilupakannya. Peran yang sering dimainkannya ialah Baby
Fatso.
"Cara termudah
bagi seorang aktor untuk mengubah suaranya," lanjutnya lagi, "ialah
dengan meniru suara orang lain. Dengan menggunakan logat orang lain.
Paul Donner, yang
lama tinggal di Eropa, mempunyai logat yang khas Eropa. Cara terbaik baginya
untuk menyembunyikan logatnya ialah dengan memakai logat lain. Dan kebetulan ia
memilih logat pesisir selatan, seperti Slater."
Hector Sebastian menengok kembali ke
dapur. "Bagaimana Donner tahu bahwa kalian Trio Detektif sewaktu berjumpa
di San Pedro?" tanyanya.
"Paul Donner
adalah salah satu dari dua orang yang berada di kapal ketika kami menyelamatkan
Fluke," Jupe menjelaskan. "Ia melihat kami menyelamatkan Fluke. Saat
itu Ia masih berpura-pura bekerja untuk Slater. ketika Slater membeberkan
rencananya untuk memanfaatkan Constance dan Fluke untuk mengambil peti itu dan
kapal yang tenggelam, Donner memutuskan untuk pergi ke Ocean World esoknya.
kuduga Ia hanya mencari jalan untuk dapat menghalangi Slater.
Kemudian Ia melihat kami keluar dari
kantor Constance. Ia ingat kami yang menolong ikan paus itu. Lalu rupanya Ia
melihat kartu kami di meja Constance sehingga Ia menelepon kami dan menawarkan
seratus dolar kalau kami dapat membebaskan Fluke ke laut."
Mr. Sebastian memejamkan matanya.
Lalu Ia bertanya lagi. "Buat apa
Donner pergi ke kantor Kapten Carmel di San Pedro? Aku tahu, dengan keahliannya
memalsu, Ia gampang saja membuat kunci palsu pintu kantor Kapten Carmel. Tapi,
buat apa Ia ke sana?"
"Kupikir Ia ke sana untuk merusak
peralatan selam milik Constance," sahut Jupe. "Ia pikir itu salah
satu cara untuk menghentikan usaha Slater. Belakangan. sewaktu Constance
memutuskan untuk memakai peralatan selam milik Ocean World, Donner mampir ke
kapal Slater dan merusak salah satu tabung udara di situ."
"Baru setelah kau menyadari."
Mr. Sebastian menoleh pada Bob, "Kausebut apa di catatanmu,"
"Raksasa bertopeng," kata Bob.
"Sebenarnya Ia bukan raksasa. Ia cuma terlihat seperti raksasa karena
jaketnya dipadati karet busa tebal."
"Jadi baru setelah kau menyadari
bahwa raksasa bertopeng dan Paul Donner adalah orang yang sama, semuanya
menjadi jelas...."
Mr. Sebastian berhenti ketika Don masuk.
Pembantu rumah tangga dan Vietnam itu membawa mangkuk kayu besar. Ditatanya di
meja, di depan Mr. Sebastian dan Trio Detektif.
"Makanan sehat," kata Don
dengan bangga. "Alamiah. Tanpa campuran bahan sintetis."
Pete melongok melihat isi mangkuk.
Semacam salad. Ada daun slada dan ketimun. Namun sebagian besar berisi
irisan-irisan tipis berwarna ungu yang sukar dikenali bentuknya.
"Apa ini?" tanya Pete.
"Yang berwarna ungu ini apa?"
"Ikan," sahut Don. "Ikan
mentah." "Men... mentah?" Pete tergagap. "Maksudmu..
maksudmu ini tidak dimasak?"
"Ya, tidak dimasak," ujar Don.
"Makanan yang telah .dimasak tidak segar lagi. Sebagian vitaminnya
hilang."
"Tapi waktu itu kau memasak nasi
merah," protes Pete.
"Ya, itu memang sehat," sahut
Don. "Tapi yang ini lebih sehat lagi. Aku baru dapat resepnya di sebuah
majalah. Lihat saja orang Jepang. Mereka sering makan ikan mentah. Hasilnya?
Dunia dibanjiri mobil dan barang-barang elektronik buatan Jepang."
"Ya, memang sehat.!" ujar Bob.
"Tapi rasanya kayak apa ini?"
"Well, coba saja dulu", kata Mr. Sebastian. "Siapa tahu
kalau dicampur dengan bumbu dan salad akan terasa nikmat."
"Tanpa sendok, garpu, atau
pisau?" tanya Pete lagi.
"Dengan tangan saja, itu kebiasaan
orang Jepang kalau makan ikan," Mr. Sebastian menjelaskan.
Dengan takut-takut anak-anak mencomot
makanan dari dalam mangkuk itu. Jupe dan Bob hanya berani mengambil saladnya.
"Bagaimana keadaan ayah
Constance?" tanya Hector Sebastian.
"Kapten Carmel makin membaik
kondisinya" ujar Bob. "Minggu depan ia sudah boleh meninggalkan rumah
sakit."
"Dan ia tidak usah pusing soal
ongkos rumah sakit." tambah Jupe. "Orang dari Departemen Keuangan
berterima kasih sekali pada Constance. Mereka menghadiahi Constance sejumlah
uang yang cukup untuk membayar biaya perawatan ayahnya."
"Dan sebenarnya ayah Constance
memang telah menjual kalkulator saku di La Paz," kata Bob. "Ada
kemungkinan Constance dapat memperoleh bagian ayahnya dari Slater."
"Bagaimana dengan Fluke?"
tanya Hector Sebastian.
"Balk," jawab Jupe.
"Fluke sangat sedih ditinggal Constance. Fluke tidak mau pergi dari pantai
itu. Ditunggunya terus sampai Constance kembali. Constance khawatir Fluke tidak
dapat menyesuaikan din dengan kehidupan laut lagi."
"Jadi bagaimana dia sekarang?"
tanya Mr. Sebastian.
"Constance sadar bahwa masalahnya
Fluke tidak ingin berpisah dengannya," kata Bob. "Fluke sudah
sedemikian akrabnya dengan Constance sehingga ingin terus bersamanya."
"Jadi Constance membawanya ke Ocean World," kata Jupe. "Di sana
Fluke terlihat riang. Dan Constance memberi kami free-pass. Kami boleh datang,
kapan saja, dengan gratis...."
Ia terdiam, melongo melihat Pete.
"Kautelan ikan mentah itu?"
serunya.
"Masa bodoh, aku lapar," Pete
membela diri. "Rasanya juga lumayan. Kalau kau sudah biasa, pasti kau juga
suka."
Dengan tenang ditelannya lagi seiris
ikan mentah.
"Selain itu," ia melanjutkan.
"makanan ini baik bagi kesehatan. Baik buat otak Lihat saja Fluke.
Makanannya kan cuma ikan mentah. Tapi kalian tahu sendiri— betapa pandainya
Fluke!"
Emoticon