Trio Detektif - Misteri Penculikan Ikan Paus



Alfred Hitchcock &

Trio Detektif dalam:

MISTERI PENCULIKAN IKAN PAUS

DAFFAR ISI

Sepatah Kata dari Hector Sebastian

1.     Penyelamatan

2.     Pelatih Ikan Paus

3.     Penelepon Gelap

4.     Penyamar Bermata Aneh

5.     Trio Detektif Unjuk Gigi

6.     Harta yang Tenggelam

7.     Tikungan Maut!

8.     Orang Ketiga


9.      Pertolongan Mr. Sebastian

10.    Raksasa Tanpa Muka

11.    Sergapan Mendadak!

12.    Dua Tiang

13.    Bahaya di Kedalaman

14.    Nyanyian Fluke

15.    Peti yang Hilang

16.    Wajah si Raksasa Tak Bermuka

17.    Di Balik Semua Itu

18.    Laporan pada Hector Sebastian

SEPATAH KATA

DARI HECTOR SEBASTIAN

SALAM jumpa. Aku ingin bilang—.

Oh, aku tidak sedang berbicara, tetapi aku sedang mengetik pada komputer portable milikku. Komputer ini memudahkanku untuk mengetik naskah. Naskah itu lalu kusimpan dalam sebuah disket. Praktis sekali.

Aku penulis cerita misteri. Dulunya aku bekerja sebagai detektif swasta. Itu sudah lama sekali terjadi, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan cerita yang sebentar lagi kalian baca — aku yakin kalian akan segera membaca cerita ini.

Kali ini kawan-kawan mudaku, Trio Detektif, mempunyai pengalaman yang aneh. Belum pernah mereka jumpai sebelumnya. Bahkan membayangkannya pun tidak.

Tetapi.. oh, aku lupa. Mungkin ada yang belum mengenal mereka. Aku akan perkenalkan mereka dulu.

Trio Detektif adalah tiga anak yang tinggal di Rocky Beach, kota kecil di pinggir pantai di daerah California Selatan, tidak jauh dari Hollywood.

Jupiter Jones alias Penyelidik Satu adalah pemimpin kelompok ini. Anaknya pendek gemuk. Kalau ingin mengejeknya, kau dapat menyebutnya si Gendut atau si Buntek. Ia paling tidak suka disebut begitu. Tetapi Ia mempunyai otak yang cemerlang. Dengan memutar otaknya, Ia dapat memecahkan persoalan yang rumit dan pelik. Ia juga memiliki rasa percaya diri yang besar sekali, jauh lebih besar dari kawan-kawannya yang sebaya. Orang mungkin menganggapnya agak sok, tetapi aku sendiri suka pada Jupe — nama panggilannya. kalau ia mengatakan sesuatu dengan yakin-well, sering kali ia benar.

Pete Crenshaw alias Penyelidik Dua, adalah yang paling atletis di antara mereka bertiga. Ia pandai bermain baseball dan jago berenang sehingga badannya tinggi, langsing, tegap, dan... makannya banyak. Ia senang sekali dapat bertualang menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi Trio Detektif. Namun Ia tldak seberani Jupe dalam menghadapi situasi yang berbahaya.

Bob Andrews, penyelidik ketiga dalam kelompok ini, bertugas menangani data dan riset. Ia cerdas, gemar mempelajari sesuatu yang baru, dan peka terhadap perasaan orang lain. Menulis sudah merupakan bakatnya sejak lahir. Ke mana-mana Ia pergi, buku catatannya pasti tidak ketinggalan. Tidak ada yang luput dari catatannya.

Nah, aku sudah memperkenalkan Trio Detektif pada kalian. Sekarang kalian dapat mendengar sendiri kisah mereka dalam kasus penculikan ikan paus. Ikan paus? Aneh. Buat apa ikan paus diculik? Baru kali ini mereka menjumpai kasus seperti itu. Dan ini membuat rnereka bertualang di laut.

Selamat membaca. Mudah-mudahan kalian tidak mengalami kesulitan untuk membaca. Membaca kan lebih mudah dari mengetik, sekalipun mengetik dengan komputer.

Kalian dapat membaca sambil bersantai.

HECTOR SEBASTIAN

Bab 1

PENYELAMATAN "ITU DIA!” teriak Bob Andrews. “Di sana!”

Dengan bersemangat Ia menunjuk ke arah laut. Kira-kira tiga mil dari pantai terlihat seekor ikan paus kelabu menyembul dari permukaan laut. Dari kepalanya tersembur air, bagaikan air mancur yang memancar ke segala arah. Sesaat kemudian ikan paus itu menyelam kembali ke dasar laut.

Trio Detektif — Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob — mengamati dari karang yang cukup tinggi di pinggir pantai. Hari itu hari pertama liburan musim semi. Pagi-pagi benar mereka telah bangun dan segera bersepeda menuju pantai untuk melihat rombongan ikan paus melintas.

Setiap bulan Februari dan Maret, atau di awal musim semi, ribuan ikan paus bermigrasi dan Alaska ke Meksiko, melintas dekat pantai Pasifik. Mereka menuju Baja California, sebuah teluk berair hangat di ujung semenanjung Meksiko. Di sanalah ikan paus betina melahirkan anak-anaknya.

Mereka beristirahat selama beberapa minggu untuk mengumpulkan tenaga sebelum kembali lagi ke Alaska, dengan mengarungi lautan sejauh lima ribu mil. Pada musim panas perairan Antartika akan penuh dengan udang dan plankton, yang merupakan makanan ikan paus.

“Tidak seorang pun tahu bagaimana ikan-ikan paus itu kembali ke Alaska,” kata Bob.

Di waktu-waktu senggangnya Bob Andrews bekerja di perpustakaan Rocky Beach sebagai penjaga perpustakaan. Sehari sebelumnya ia telah mempelajari buku-buku mengenai kehidupan ikan paus.

“Kenapa?” tanya Pete.

“Tidak ada yang dapat menelusuri rute perjalanan mereka,” Bob menjelaskan sambil melihat catatannya. "Pada perjalanan menuju selatan, mereka bergerombol sehingga mudah terlihat. Tetapi waktu kembali ke utara, mereka tidak terlihat. Ada yang beranggapan bahwa mereka berpencar, dan melakukan perjalanan ke Alaska sepasang-sepasang.

“Hm, betul juga, ya,” Pete Crenshaw menyetujul. “Dengan berjalan sepasang- sepasang mereka sukar dibuntuti atau ditelusuri rute perjalanannya. Menurutmu bagaimana, Jupe?”

Tetapi penyeiidik pertama Trio Detektif itu, Jupiter Jones, seolah-olah tidak mendengar. Bahkan Ia tidak memandang ke laut lepas tempat gerombolan ikan paus kelabu melintas. Dengan mata dipicingkan ia memandang ke bawah, ke sebuah teluk kecil. Minggu lalu terjadi badal yang hebat. Dan sampal kini bekasnya masih terlihat. Kepingan-kepingan kayu, plastik, dan gundukan ganggang laut tampak mengotori pantai.

“Ada sesuatu yang bergerak-gerak di teluk itu," kata Jupe dengan nada khawatir. “Ayo, kita ke sana.”

Dengan hatI-hati Ia menuruni karang itu. Begitu sampai di daerah berpasir. Ia berlari menyusur pantai. Pete dan Bob mengikutinya.

Laut sedang surut. Anak-anak berlari terus selama beberapa saat. Di suatu tempat Jupiter berhenti. Ia menunjuk ke suatu tempat, beberapa meter dan pinggir pantai.

"Itu ikan paus!” kata Pete.

Jupiter mengangguk. “Ikan paus yang terdampar. Kita harus menolongnya, kalau tidak ikan itu akan mati."

Anak-anak segera melepas sepatu dan kaus kaki mereka. Seraya menggulung celana sampai ke lutut mereka berlari menuju laut.

Ikan paus itu termasuk kecil, panjangnya sekitar dua setengah meter. Ikan paus dewasa ada yang bisa mencapai tiga puluh meter panjangnya. Bayi ikan paus, tebak Bob, yang terpisah dan induknya. Lalu terdampar ke pantai karena ombak besar.

Pantal itu sangat landai. Di tempat ikan paus itu terdampar air laut cuma sedikit di atas mata kaki. Ini suatu keberuntungan bagi mereka, sebab pagi itu air laut sedingin air es. Dangkalnya air laut di situ membuat ikan paus itu tidak dapat kembali ke laut lepas.

Anak-anak berusaha mendorongnya ke laut. Mereka mencoba mengangkatnya. Ternyata ikan paus sekecil itu beratnya luar biasa. Mungkin sampai satu ton, pikir Jupe. Badannya licin selicin es dan tidak ada yang dapat dijadikan pegangan selain ekor dan siripnya. Anak-anak tidak berani menarik ekor atau siripnya, takut melukainya.

Ikan paus itu tidak menunjukkan gejala takut kepada anak-anak. Agaknya dia mengerti bahwa anak-anak sedang berusaha menolongnya. Dia memandang dengan pandangan yang bersahabat pada anak-anak yang sedang mencoba mengangkatnya dari perairan dangkal di sana.

Ketika membungkuk, Bob melihat sesuatu yang lain di kepala ikan paus itu. Lubang napas di kepalanya menarik perhatiannya. Sambit mengingat-ingat buku yang dibacanya di perpustakaan, Ia menyadari bahwa ikan paus itu tidak termasuk dalam rombongan ikan paus yang sedang melintas di laut lepas.

Ia ingin mengatakan hal itu pada Jupe dan Pete, tetapi saat itu segulung ombak besar menerjang. Anak-anak jatuh terduduk. Ketika mereka berdiri kembali, air laut semakin surut. Permukaan air sekarang berada di bawah mata kaki mereka. Dan ikan paus kecil itu tersapu ombak hingga tergetetak di pasir yang kering.

“Wah, gawat” kata Pete. “Ikan itu makin jauh dari laut sekarang. Sementara laut makin surut.”

“Bara enam jam lagi laut pasang,” kata Bob lirih.

“Dapatkah ikan paus bertahan selama itu di pasir kering?” tanya Pete.

“Kelihatannya tidak. Mereka akan mengalami dehidrasi —kekeringan— dengan cepat di tempat kering. Kulitnya akan mengelupas karena kekeringan.” Bob membungkuk seraya mengelus-elus kepala ikan paus itu dengan rasa kasihan. “Kita harus cepat-cepat mengembalikannya ke laut."

Seakan-akan mengerti apa yang dikatakan Bob, ikan paus itu membuka matanya sesaat. Matanya memancarkan kesedihan, pikir Bob. Lalu mata itu memicing, dan perlahan-lahan menutup.

“Mengembalikan ke laut?” tanya Pete. “Bagaimana caranya? Tadi saja di tempat yang berair kita tidak dapat menggerakkannya, apalagi di sini.".

Bob menyadari kesulitan yang dihadapi. Ia menoleh pada Jupe. Ia baru menyadari bahwa Jupe dari tadi diam saja. Suatu hal yang jarang terjadi. Biasanya Jupe-lah yang banyak berbicara. Jupe selalu menjadi orang pertama yang memberikan usul pemecahan atas suatu masalah.

Namun, meskipun mulutnya diam saja, Jupiter Jones sesungguhnya sedang memutar otaknya mencari akal untuk menyelamatkan ikan paus itu. Ia menarik- narik bibir bawahnya dengan telunjuk dan ibu jarinya. Itu mernang sering dilakukannya kalau ia sedang berpikir keras.

“Kalau kita tidak dapat mendekati gunung,” katanya berdekiamasi, “gununglah yang harus mendekati kita.”

“Apa artinya itu?” tanya Pete heran. “Gunung apa?"

Jupe mempunyai kebiasaan untuk memakai kata-kata yang sulit dan kalimat- kalimat yang panjang. kadang-kadang ini membuat kedua kawannya tidak mengerti apa yang dimaksudkannya.

"Yang kumaksud dengan gunung," Jupe menjelaskan, “Ialah laut itu. Kalau saja kita punya sekop, kain terpal, dan — sebuah pompa. Aku ingat, Paman Titus pernah membeli sebuah pompa air bekas dari sebuah tempat loak itu masih bisa dipaka;. Lalu sebuah pipa—"

“Kita gali sebuah lubang,” potong Bob.

“Lalu kita alasi dengan kain terpal,” tambah Pete.

“Dan kite pompakan air ke dalamnya,” Jupe menyelesaikan. “kita buat kotam darurat untuk ikan paus ini. Paling tidak agar ikan ini dapat bertahan sampai laut pasang.”

Setelah berunding sebentar, Bob dan Pete ditugaskan mengambil peralatan yang diperlukan dan pagkalan barang bekas yang dikelola keluarga Jones. Sedangkan Jupe kebagian tugas menjaga ikan paus itu.

Sementara kedua temannya pergi, Jupiter mencari barang-barang bekas di pinggir pantai. Ia berhasil menemukan sebuah kantung plastik. Selama setengah jam berikutnya ia berlari-lari kecil mondar-mandir, mengisi kantung plastik dengan air laut untuk disiramkan ke tubuh ikan paus itu.

Jupe memang tidak terlalu suka berolahraga. Ia lebih suka berpikir ketimbang berolahraga. Karena itu ketika kedua kawannya datang Ia berseru sambil terengah- engah, “Aduh, tak sabar aku menunggu kalian."

Padahal kedua kawannya telah menyelesaikan tugas mereka dengan amat cepat.

Mereka membawa perlengkapan yang diperlukan—segulung kain terpal, pompa tangan, sekop, dan sebuah pipa.

“Ayo, kita mulai,” seru Jupe. “kolam harus dibuat sedekat mungkin dengan ikan ml, agar mudah memasukkannya. "

Pete, yang paling kuat dan tegap di antara mereka bertiga, menggali paling banyak. Untungnya pasir lembab di bawahnya cukup lunak. Dalam waktu kurang dari sejam mereka telah membuat lubang berukuran tiga kali satu meter dan sedalam satu meter.

Mereka mengalasinya dengan kain terpal agar lubang itu dapat menampung air. Kemudian Pete memompa air laut, sementara Bob dan Jupe memegangi pipa yang panjang. Tidak percuma Pete gemar berolahraga, dalam sekejap kolam buatan itu penuh dengan air laut.

“Sekarang tinggaL yang paling sulit,” kata Jupiter pada Pete, seraya menunjuk ke arah ikan paus.

“Mengapa kau melihat padaku?” ujar Pete sambil nyengir. “Sekarang kan giliran kalian berdua yang bekerja. "

Jupe diam saja. Seolah-olah beranggapan bahwa dia tidak perlu lagi bekerja karena dialah pencetus ide pembuatan kolam itu.

Setelah beristirahat sejenak, anak-anak mencoba mendorong ikan paus itu ke dalam kolam. Sekuat tenaga mereka mendorongnya, namun ikan paus itu tidak bergerak sedikit pun. Bob menepuk-nepuk kepalanya. Ikan paus itu membuka matanya. Aku yakin Ia tersenyum padaku, pikir Bob. Meskipun sesungguhnya Bob tahu bahwa ikan paus tidak dapat menggerakkan bibimya.

“Sekarang aku hitung sampai tiga,” kata pimpinan Trio Detektif. “Slap? Satu, dua...”

Ia belum selesai menghitung. Pada saat anakanak bersiap-siap mendorong, ikan paus itu seakan-akan mengerti. Dia menggerak-gerakkan tubuhriya mendekati kolam. Dan dengan suatu gerakan mengejut, ikan itu melompat. Tepat jatuh di dalam kolam.

“Berhasil!” sera Bob kegirangan. Jupe dan Pete ikut-ikutan kegirangan.

Di air, ikan paus itu seperti menemukan dunianya kembali. Dia menyelam sebentar, menikmati segarnya air laut di kolam darurat itu. Perlahan-lahan dia mengapung di permukaan. Tiba-tiba satu semburan air keluar dari sebuah lubang napas di kepalanya. Rupanya ikan paus itu ingin mengucapkan terima kasihnya kepada anak-anak.

“Nanti, kalau laut pasang...’ ujar Jupiter.

“Itu nanti saja,” potong Pete. “Sekarang sudah jam sembilan! Kita kan berjanji pada Bibi Mathilda untuk bekerja di pangkalan pagi ini. Dan perutku sudah keroncongan minta sarapan. "

Jupiter Jones tinggal bersama paman dan bibinya, Paman Titus Jones dan Bibi Mathilda. Mereka berdualah yang mengelola pangkalan barang bekas di pinggiran kota Rocky Beach. Anak-anak sering kali bekerja di sana. Mereka memperbaiki perabot rumah tangga, mengampelas besi-besi tua, serta membetulkan peralatan aneh-aneh yang selalu dibeli Paman Titus.

Dengan berat hati mereka berpisah dengan ikan paus itu.

"Kami pergi dulu, ya," ujar Bob pada ikan paus itu.

“Nanti sore kami kembali. Baik-baik, ya.” Bob berkata begitu seakan-akan ikan paus itu dapat diajak bicara.

Anak-anak memakai kembali sepatu mereka serta membawa pulang pompa, sekop, dan pipa. Bergegas mereka menaiki karang. Ketika hendak menaiki sepeda, Jupe mendengar suara di belakangnya.

Kira-kira dua mil dari pantai sebuah kapal pesiar mungil tampak bergerak lambat- lambat sambil mengeluarkan bunyi letupan-letupan kecil. Ada dua laki-laki di geladaknya. Nama kapal itu tidak terbaca karena jaraknya terlalu jauh.

Jupe melihat seberkas cahaya dari kapal itu. Sekali, lalu sekali lagi.

“Sepertinya mereka memberi tanda,” kata Pete.

Penyelidik Satu menggeleng. “Cahaya itu tidak mempunyat pola," sahutnya. "Aku berkesimpulan bahwa mereka sedang meneropong, dan cahaya itu merupakan pantulan sinar matahari pada teropong mereka.”

Kesimpulan itu cukup masuk akal dan dapat diterima oleh kedua kawannya. Mereka segera menaiki sepedanya. Tetapi Jupe masih mengamati kapal itu, yang sekarang bergerak ke arah pantai.

“Ayolah,” kata Pete pada Jupe dengan tak sabar. “itu kan cuma kapal pesiar biasa. Tidak ada yang aneh. Apalagi sekarang sedang musim perpindahan ikan-ikan paus. Ratusan kapal pesiar berlayar tiap hari untuk menikmati pemandangan itu."

“Aku tahu,” tukas Jupe sambil menuntun sepedanya ke jalan. “Tetapi orang-orang di kapal itu tidak melihat ikan-ikan paus itu. Teropongnya diarahkan ke tempat lain. ke arah pantai. Menurut perkiraanku, mereka mengamat-amati kita.”

“Yah, itu mungkin saja,” ujar Bob dengan acuh tak acuh. “Mereka tertarik karena kita menolong ikan paus itu.”

Jupe melupakan masalah itu.

Bibi Mathilda sudah menanti di gerbang, ketika anak-anak sampai di Pangkalan Jones. Ia seorang yang sangat memegang teguh disiplin. Tidak segan-segan ia menegur orang yang melanggar disiplin. Namun sebenarnya hatinya lembut dan sikapnya ramah pada semua orang. Ia menikmati hidupnya di pinggir kota kecil Rocky Beach sambil mengelola pangkalan barang bekas bersama suaminya. Ia juga senang bahwa Jupe mau tinggal bersama mereka sejak orang tua Jupe meninggal. Tetapi yang paling disukainya ialah membuat anak-anak bekerja.

“Kalian terlambat!” tegurnya pada anak-anak. “Apa lagi alasan kalian? Teka-teki apa lagi yang kalian hadapi kali ini?"

Jupiter tidak pernah bercerita pada Bibi Mathilda bahwa Ia dan kedua kawannya adalah detektif sungguhan. Detektif yang bekerja untuk memecahkan kasus-kasus yang dihadapi orang yang memerlukan bantuan mereka. Bibi Mathilda mengira bahwa anak-anak cuma anggota sebuah kiub penggemar teka-teki di koran atau majalah.

Anak-anak bekerja keras selama beberapa jam di Pangkalan Jones. Siangnya Bibi Mathilda menyuguhi mereka makan siang. Karena puas dengan hasil kerja anak- anak, Ia membebaskan mereka untuk bermain setelah makan.

Trio Detektif tiba di teluk jam tiga lewat. Laut sudah mulai pasang. Mereka turun dan sepeda, dan bergegas ke pantai.

Mereka berlari sewaktu sampai di daerah berpasir. Sebentar saja Pete sudah meninggalkan kedua kawannya di belakang. Ia sampai lebih dulu di kolam itu. Di sana ia terhenyak. Dengan cemas dipandanginya kolam itu.

Jupiter dan Bob menyusulnya. Mereka juga cemas ketika melihat koLam itu.

Kolam darurat itu masih sda di tengah-tengah pasir kering. Dan airnya pun masih penuh.

Tetapi ikan paus kecil itu telah hilang!

Bab 2

PELATIH IKAN PAUS

“BARANGKALI Ia melompat ke luar,” ujar Pete, “lalu merayap sendiri ke laut” Tetapi Ia sendiri tidak yakin dengan perkataannya .

“Mudah-mudahan begitu,” kata Bob dengan nada bimbang. Pantai sangat landai. Ikan paus itu harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk sampai di perairan yang cukup dalam.

Jupe diam membisu. Ia menjauhi kolam sambil mengamat-amati pasir di sekitar situ.

“Ada sebuah truk berhenti di sini,” katanya dengan kening berkerut “Truk itu datang dari jalan dan melintasi pantai, lalu parkir di dekat kolam. kelihatannya cukup lama truk itu diparkir, sebab bekasnya cukup dalam di sini. Bahkan saking dalamnya, ketika hendak berjalan kembali ban depannya harus diganjal. Kemudian truk itu kembali ke jalan.”

Jupe memperlihatkan jejak ban mobil yang ditemukannya dan sebuah lekukan yang tegak lurus pada jejak itu.

“Mungkin seseorang melapor tentang adanya ikan paus yang terdampar,” kata Bob. “Dan kemudian dikirim orang untuk menolong ikan paus itu.”

"Masuk akal," Jupe menyetujui pendapat Bob. Kalau berkata begitu, biasanya Ia juga telah memikirkan hal yang sama sebelumnya. "Nah, kalau seseorang melihat seekor ikan paus di sebuah kolam di pantai, siapa yang akan dihubunginya?”

Tanpa menunggu jawaban dari kawan-kawannya, Ia berjalan menuju sepedanya. Pete dan Bob menggulung kain terpal, lalu menyusulnya.

“Ocean World,” Jupiter menjawab pertanyaannya sendiri setengah jam kemudian. “Itu yang paling mungkin.”

Trio Detektif sedang duduk-duduk dalam kantor mereka di Pangkalan Jones.

Kantor itu sebenarnya sebuah karavan yang sudah lama dibeli Paman Titus. kanena karavan itu tidak laku-laku dijual, barang-barang rongsokan mulai bertimbun di sekitarnya. Kini karavan itu seluruhnya tersembunyl di bawah timbunan barang- barang rongsokan. Anak-anak menjadikannya sebuah kantor. Mereka mempunyai jalan rahasia untuk masuk ke kantor itu.

Di dalamnya, karavan itu dilengkapi dengan sebuah laboratorium mini, sebuah kamar gelap untuk mencetak foto, sebuah meja, tempat menyimpan berkas, dan sebuah telepon. Anak-anak membayar biaya telepon itu dengan uang yang mereka hasilkan dari bekerja di Pangkalan Jones.

“Ocean World,” gumam Jupe sambil membolak-balik buku telepon. Ia menemukan nomornya dan segera menelepon.

Telepon itu dihubungkan dengan sebuah pengeras suara sehingga ketiga anak itu dapat mendengar apa yang diucapkan orang yang ditelepon.

“Di sini Ocean World,” kata suara itu. “Ocean World berlokasi dekat Pacific Coast Highway, di sebelah utara Lembah Topanga.” Suara itu berasal dan sebuah rekaman.

Dengan gemas dan tak sabar Jupe mendengarkan suara itu menerangkan pertunjukan yang ada, jam-jam pertunjukan, dan harga karcis masuk. Akhirnya suara itu menyampaikan pesan yang ditunggu-tunggu Jupe.

“Ocean World dibuka dari jam sepuluh hingga jam enam, Selasa sampai Minggu,” kata suara itu. “Setiap hari kecuali Senin, Anda—”

Jupe meletakkan telepon.

“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Bob. “Apakah kita coba telepon lagi besok?"

“Jaraknya cuma beberapa mil dari jalan di pinggir pantai itu,” kata Jupe. “Bagaimana kalau besok pagi kita bersepeda dan berkunjung ke sana?”

Jam sepuluh keesokan paginya Tiio Detektif mengunci sepeda mereka di pelataran parkir Ocean World. Sesudah membeli karcis masuk gerbang, mereka mulai dengan melihat-lihat akuarium raksasa berisi ikan laut berwarna-warni, dihiasi karang dan ganggang laut. Mereka menonton singa-singa laut dan pinguin-pinguin bermain-main di kolam kolam besar terbuka yang berair jernih dan segar. Di suatu tempat Bob melihat sebuah gedung bercat putih. Di luarnya terdapat papan bertuliskan: ADMINISTRASI.

Jupe mengetuk pintunya.

“Masuk,” terdengar suara bernada sopan dan dalam. Trio Detektif melangkah masuk.

Seorang wanita muda berdiri di belakang meja. Ia mengenakan pakaian renang wanita. Kulitnya kecoklatan terbakar sinar matahari. Rambutnya hitam legam dipotong pendek. Ia lebih tinggi dari anak-anak, bahkan dari Pete. Bahunya bidang dan tegap, dan pinggangnya ramping. Pete, yang gemar berolahraga, segera tahu bahwa wanita muda ini seorang perenang ulung. Si wanita muda sepertinya lebih cocok hidup di air daripada di darat.

“Hai. Aku Constance Carmel,” sapanya ramah. “Ada apa?"

“Kami ingin melapor bahwa ada seekor ikan paus yang terdampar,” kata Jupe. “Kemarin pagi kami menemukannya, dan sudah kami buatkan kolam sementara untuk menolongnya        

Semua yang terjadi kemarin di teluk kecil dekat Rocky Beach diceritakan oleh Jupe dengan lengkap. Ia juga memberi tahu bahwa ikan paus yang mereka tolong itu telah lenyap ketika sore harinya mereka kembali.

Constance Carmel mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Semua ini baru kemarin terjadinya?” tanyanya.

“Betul," jawab Jupe sambil mengangguk .

“Kemarin aku tidak di sini” Constance Carmel berbalik dan mengambil masker selam dari lemari. “Hari Senin tempat ini tutup untuk umum, dan cuma sebagian saja karyawan yang bekerja." Ia terdiam sejenak, lalu menatap anak-anak lagi. “Tetapi kalau ada ikan paus yang diselamatkan dan dibawa ke Ocean World, aku pasti langsung diberi tahu pagi tadi, karena aku salah seorang pelatih senior ikan paus di sini.”

"Jadi", ujar Bob dengan kecewa," tidak ada ikan paus yang dibawa ke sini?"

Constance Carmel menggeleng. Seraya mengencangkan tali maskernya, Ia berkata, “Sayang sekali. Aku tidak bisa membantu kalian.”

“Tidak apa-apa,” kata Pete.

“Maaf, ya,” kata Constance Carmel lagi. “Aku harus mengadakan pertunjukan sekarang.”

“Kalau Anda mendengar sesuatu, tolong hubungi kami di sini,” ujar Jupe sambil menyodorkan sebuah kartu.

Kartu itu adalah kartu nama Trio Detektif. Jupe mencetaknya sendiri di alat pencetak tua di Pangkalan Jones.

kartu itu bertuliskan:

TRIO DETEKTIF

“Kami Menyelidiki Apa Saja”

? ? ?

Penyelidik Satu............................ Jupiter Jones

Penyelidik Dua................................. Pete Crenshaw

Data dan Riset................... ,......... ,. Bob Andrews

Di bagian bawah tertera nomor telepon mereka. Biasanya orang segera menanyakan apa arti tiga tanda tanya itu. Jupe sudah bersiap-siap hendak menjelaskan pada Constance Carmel. Ia selalu bersemangat untuk menceritakan arti tiga tanda tanya itu, yaitu sebagai lambang ketidaktahuan manusia sehingga manusia tergugah untuk mencari dan menyelidik.

Tetapi kali ini Jupe keliru. Constance Carmel diam saja. Malahan tanpa dilihat isinya, kartu itu diletakkan di mejanya.

Trio Detektif berbalik menuju pintu. Sewaktu Pete hendak membuka pintu, Constance Carmel mendekati mereka. -

“Aku senang pada anak-anak yang suka pada hewan. Kalian kelihatannya benar- benar menyayangi ikan paus pilot atau ikan paus kelabu itu,” kata Carmel.

“Tentu saja,” Bob menyahut. “Ikan paus itu seakan-akan dapat memahami manusia."

"Ikan paus memang hewan yang sensitif," kata Constance Carmel. “Tenang sajalah. Aku yakin ikan paus itu baik-baik saja. Maksudku, pasti ada orang yang telah menyelamatkannya.”

Di luar gerbang Ocean World, Trio Detektif membuka kunci sepeda mereka. Mereka mengayuh sepeda masing-masing melewati mobil-mobil yang diparkir. Bob dan Pete nampak kecewa karena tidak berhasil mendapatkan berita yang diinginkan. Sebaliknya dengan Jupe, Ia tersenyum-senyum sambil terus men gayuh sepedanya. Dalam pikirannya sudah terbayang bahwa kali ini Trio Detektif bakal menghadapi kasus yang aneh dan langka. Mata Jupe bersinar-sinar.

Pada saat itu Pete menoleh pada Jupe. “Jupe, apa yang kaupikirkan?” ujarnya dengan pandangan bertanya-tanya. “Ayo dong, beritahu aku.”

Mereka sampai di pintu pelataran parkir. Jupe turun dan menyandarkan sepedanya di sebuah tiang. kedua kawannya segera mengikuti. Mereka mengerti bahwa Penyelidik Satu telah mendapatkan suatu ide yang menarik.

“Mari kita teliti baik-baik,” kata Jupe. “Orang yang bermaksud menyelamatkan ikan paus itu tentunya kemarin juga menelepon Ocean World. Persis dengan apa yang kita lakukan. Dan mereka juga mendapat pesan yang direkam di kaset itu.”

“Kalau begitu mereka tidak dapat menyampaikan pesan apa-apa," ujar Bob.

“Tepat sekali,” kata Jupe menyetujui pendapat Bob. “Kecuali kalau orang itu menelepon ke rumah Constance Carmel.”

“Kenapa kaupikir begitu?” tanya Pete.

“Kau memperhatikan dia sewaktu kita melaporkan hal ini?” tanya Jupe.

Pete memandangnya dengan keheranan. “Tentu saja aku memperhatikan. Aku tahu bahwa Ia seorang perenang ulung.”

“Bukan itu maksudku,” tukas Jupe. “Yang kumaksudkan ialah sikapnya. Sewaktu rnendengarkan laporan kita, Ia sama sekali tidak terkejut atau tertarik. Sikapnya biasa-biasa saja. Terlalu biasa untuk kasus hilangriya ikan paus seperti ini. Dan kauingat apa yang ditanyakannya?”

"Yang mana?" tanya Pete.

"Dia cuma menanyakan kapan ini terjadinya," sahut Jupe. “Pertanyaan basa-basi. Kita kan jelas-jelas sudah mengatakannya.”

"Dan ketika kita berpamitan,” lanjutnya lagi, “Ia dengan yakin mengatakan bahwa ikan paus kelabu itu telah diselamatkan.”

“Bukan itu tepatnya,” tukas Bob. Terbersit dalam pikirannya sesuatu yang menarik di kepala ikan paus itu yang dilihatnya kemarin. “Ia menyebut-nyebut ikan paus pilot atau ikan paus kelabu.”

“Mungkin itu cuma tipuan saja,” ujar Pete. “supaya kita tidak curiga.”

“Bukan, itu bukan tipuan,” seru Bob ngotot. “Malahan secara tidak sengaja Ia membuka rahasianya. Aku ingat sekarang. Yang kita selamatkan itu bukan ikan paus kelabu. Ikan paus kelabu memiliki sepasang lubang napas di kepalanya, seperti lubang hidung saja. Karena itu dapat menyemburkan air seperti air mancur. Tetapi ikan paus yang kita selamatkan hanya memiliki satu lubang napas. Ingatkah kalian? Waktu ikan paus itu masuk ke kolam, disemburkannya air dengan satu semburan saja.”

Jupe den Pete melongo.

“Jadi ikan paus apa yang kita selamatkan kemarin?’ tanya Pete.

“Aku yakin itu ikan paus pilot Pasifik. Secara kebetulan ikan paus itu berenang bersama gerombolan ikan paus kelabu.”

“Dan Constance Carmel tentu tahu hal itu,” kata Jupe sambil mengangguk-angguk. "Masuk akal, Bob. Menarik sekali. Ikan paus diculik. Dan seorang pelatih di Ocean World mengaku tidak tahu apa-apa. Padahal Ia tahu—”

Tahu-tahu ada suara klakson mobil. Jupe kaget. Ketiga anak itu membuang muka ketika sebuah truk pick-up putih keluar dari pelataran parkir.

Begitu sampai di luar, truk itu ngebut. Tetapi anak-anak masih sempat melihat siapa pengemudinya.

Constance Carmel.

Padahal lima menit yang lalu, Ia mengatakan harus mengadakan suatu pertunjukan.

Sesuatu telah memaksanya untuk bergegas-gegas.

Sesuatu apa?

“Mungkin karena kita,” kata Jupiter dengan kening dikerutkan. “Mungkin apa yang kita katakan padanya membuatnya pergi dengan terburu-buru.”

Bab 3

PENELEPON GELAP “JADI mungkin Constance Carmel teiah berbohong pada kita, ujar Pete. Tapi kurasa buktinya belum cukup.

Menjelang sore hari, setelah kunjungan ke Ocean World, Bob melakukan pekerjaannya menjaga perpustakaan, Pete mengerjakan pekerjaan rumahnya, dan Jupiter membantu memperbaiki peralatan di pangkalan. Trio Detektif berkumpul kembali di kantor setelah tugas-tugas mereka selesai.

Pete berkata, “Itu kan biasa. Orang dewasa selalu berusaha untuk tidak menyusahkan anak-anak dan..."

Telepon berdering. Jupe mengangkatnya.

“Halo,” terdengar suara seorang laki-laki di seberang. Melalui pengeras suara Bob dan Pete dapat mendengarkan juga. "Bisa aku bicara dengan Mr. Jupiter Jones?”

“Saya sendiri.”

"Aku tahu kau mengunjungi Ocean World tadi pagi untuk menanyakan tentang ikan paus yang hilang itu.”

Laki-laki itu bicara dengan logat yang aneh. Logat seperti itu banyak dijumpai pada orang-orang yang berasal dari daerah pesisir selatan.

Mungkin dia berasal dan Mississippi, pikir Bob, atau Alabama. Bob sendiri belum pernah menjumpai orang-orang dari pesisir selatan. Ia hanya tahu dari televisi. Orang-orang di TV yang berbicara seperti itu biasanya berasal dari pesisir selatan.

“Memang, kami ke sana tadi pagi,” sahut Jupe. “Kenapa?"

“Aku juga tahu,” kata laki-laki itu, “bahwa kau seorang detektif."

"Benar. Tapi bukan saya saja, kami Trio..." Jupe hendak menjelaskan.

“Apakah kau mau menangani suatu kasus?” potong orang itu. "Kalau kau bisa menemukan ikan paus itu dan membebaskannya ke laut, kau kuberi seratus dolar!”

“Seratus dolar?!” Pete ternganga.

“Apakah kau mau menangani kasus ini?" kata laki-laki itu dengan logat pesisir selatannya.

“Dengan senang hati,” Jupe menyahutinya. Ia mengambil pensil dari sebuah notes. “Siapa nama Anda dan berapa nomor tele...

“Bagus!” potong laki-laki itu. “Mulailah bekerja secepatnya. Beberapa hari lagi akan kutelepon kembali."

“Tapi...” Jupe hendak menanyakan sesuatu. Melalui pengenas suara terdengar bunyi klik disusul dengan nada panjang. Laki-laki itu sudah menutup teleponnya.

“Seratus dolar! Busyet!” seru Pete lagi. Trio Detektif telah menangani bermacam- macam kasus yang aneh-aneh dan menolong banyak klien sebelumnya, namun belum pernah mereka mendapat tawaran uang sebanyak itu.

Perlahan-lahan Jupe meletakkan gagang telepon. Pikirannya disibukkan dengan laki-laki yang barusan menelepon.

"Seseorang tak dikenal menelepon kita," gumamnya. "Ia tidak mau menyebutkan namanya. Aneh. Dan ia tahu nomor telepon kita dan ia juga tahu bahwa kita mengunjungi Ocean World tadi pagi...." Ia terdiam sambil menarik-narik bibirnya dengan telunjuk dan jempolnya.

“Well, kau tidak menolak permintaannya, kan?" sera Pete. “Seratus dolar! Kapan lagi?"

“Tentu saja tidak." sahut Jupe. “Sebagai detektif profesional kita tidak dapat menolak permintaan begitu saja. Bukan uangnya yang menarik. Kasus penculikan ikan paus saja sudah membuatku penasaran, apalagi sekarang ada penelepon gelap yang ingin menyewa tenaga kita. Kita harus segera memulai penyelidikan kita."

“Dan kita akan mulai dari sini,” kata Jupe seraya mengambil buku telepon.

"Constance Carmel," ia menggumam sambil membolak-balik buku telepon. “itu satu -satunya petunjuk yang kita punyai sampai sejauh ini.”

Ia menelusuri daftar pemilik telepon di bagian

C. Hanya ada tiga Carmel yang terdaftar. Carmel, Arturo, Carmel, Benedict dan Carmel, ‘Diego,

Menyewakan Kapal Pemancing Ikan. Tidak ada Constance Carmel.

Jupe memutar nomor telepon Arturo. Operator telepon yang menjawab. Telepon Arturo Carmel telah diputuskan beberapa waktu yang lalu.

Telepon Benedict Carmel lama tidak diangkat-angkat. kemudian seorang pria dengan sopan menyampaikan pada Jupe bahwa Benedict Carmel sudah tiga bulan berada di luar kota, bekerja sebagal pendeta.

Jadi Benedict tidak mungkin terlibat dalam kasus ini.

Diego Carmel, Menyewakan Kapal Pemancing Ikan, tidak menjawab sama sekali.

“Yah, sudahlah,” desah Bob. “Paling tidak kita tahu bahwa Constance Carmel bekerja di Ocean World tiap hari, kecuali hari Senin.”

“Ada satu lagi yang kita tahu,” Jupe menambahkan. “Kita dapat mengenali truknya.”

“Ocean World tutup jam enam,” kata Jupe sambil memejamkan matanya. Ia berusaha mengingat apa yang didengarnya di telepon kemarin. Lalu Ia menoleh pada Pete." Jadi Constance Carmel pulang setelah jam enam. Ini pekerjaan buatmu, Pete. Tapi besok saja, sekarang sudah terlambat.”

Pete menghela napas. Pekerjaan yang membutuhkan kegesitan dan kekuatan selalu ditimpakan Jupe pada Pete Crenshaw, si atlit.

Pete bimbang sejenak. Ia sebenarnya juga tidak terlalu tertarik dengan uang yang ditawarkan. Namun ikan paus itu membuat hatinya iba. Ingin sekali Ia dapat bertemu kembali dengan ikan paus itu, lalu membebaskannya. Pikiran ini membuatnya mantap untuk melaksanakan tugasnya besok.

Jam lima tiga puluh esok sorenya, Hans mengantar anak-anak ke pelataran parkir Ocean World. Hans adalah salah satu dari dua pemuda Jerman yang bekerja membantu Paman Titus di Pangkalan Jones. Jupe dan Bob mengeluarkan sepeda mereka dari belakang karavan.

“Bagaimana kalian dapat pulang?” tanya Hans sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Sepeda cuma dua, sedangkan kalian bertiga.”

"Tidak apa-apa,” ujar Jupe menenangkan. “Pete tidak perlu sepeda. Ia bisa pulang sendiri nanti.”

“Baikiah kalau begitu.” Hans mengangkat bahu lalu duduk kembali di belakang kemudi. “kalau ada perlu, telepon saja.”

Begitu Hans pergi, Trio Detektif segera mencari truk Constance Carmel. Tidak sulit mencarinya. Truk pick-up putih itu tampak sedang diparkir di tempat parkir khusus untuk karyawan. Jupe dan Pete berjalan santai menuju bagian belakang truk, berusaha untuk tidak menarik perhatian. Bob mengawasi gerbang, takut kalau-kalau Constance Carmel keluar.

Anak-anak sedang mujur. Bak belakang truk tidak kosong. Terdapat beberapa potongan karet busa panjang, segulung tali, dan sehelai kain kanvas lebar.

Pete dan Jupe menaiki bak belakang. Pete merebahkan diri tenlentang di lantai bak itu. Jupe menimbunnya dengan karet busa, lalu ditutupi kain kanvas. Dari luar Pete sama sekali tidak terlihat. Demikian pula sebaliknya, di balik kanvas itu gelap, Pete tidak bisa melihat apa-apa. Dan sumpek. Biarlah, pikir Pete, demi ikan paus itu.

“Oke, Pete,” bisik Jupe. “Aku dan Bob akan pergi sekarang. Kami tunggu di kantor. Sukses, ya.

“Oke,” sahut Pete. “Akan kutelepon kalian secepatnya.”

Ia mendengar Jupe turun dari bak. Langkah Jupe terdengar menjauhi truk. Selama beberapa lama kemudian, Ia tidak mendengar apa-apa lagi, selain langkah-langkah orang dan suara mobil yang lewat.

Hampir saja Ia tertidur kalau tidak didengarnya suara langkah mendekat. Tiba-tiba sebuah benda ditaruh di bak, cukup dekat dengannya. Kanvas itu tertumpahi air dan sebagian merembes mengenai wajah Pete. Asin. Pete tidak berani bergerak. Ia menunggu dengan sabar sampai truk itu berjalan. Saat itu Ia baru berani mengintip dari balik kanvas.

Ada sebuah wadah plastik tepat di samping kepalanya. Pete dapat mendengar suara air yang terombang-ambing di dalamnya.

Sewaktu truk itu mendadak direm di sebuah persimpangan, ia dapat mendengar suara lain dari dalam wadah. Seperti ada yang menggelepar-gelepar di dalamnya.

Ikan, pikir Pete, ikan hidup. Ia menarik kanvasnya hingga menutupi kepalanya lagi.

Selama beberapa menit truk berjalan di jalan lurus panjang dan datar, kemudian mulai menanjak perlahan-lahan. Santa Monica? Ia mengira-ngira sambil mengingat-ingat jalan di Santa Monica. Hari mulai gelap, tetapi truk itu belum berhenti juga.

Setelah melalui jalan yang berkelok-kelok, akhirnya truk itu berhenti juga. Pete rnendengar pintu bak dibuka. Seseorang naik ke bak. Lalu orang itu mendekat ke arahnya. Pete menahan napas. Terdengar suara gemericik air ketika wadah plastik itu diangkat Dan orang itu menjauh, lalu turun. Pete menghela napas lega.

Ia menunggu beberapa menit. Perlahan-lahan dibukanya kanvas. kepalanya melongok ke sekelilingnya. Aman, pikirnya.

Truk diparkir di luar sebuah rumah tak bertingkat namun besar dan mewah. Sebuah lampu menyala di pintu depan dan ada tangga yang menuju pintu itu. Di samping tangga terdapat sebuah kotak pos. Pete dapat membaca tulisan di kotak pos itu.

SLATER.

Dengan hati-hati Ia turun pada sisi yang berlawanan dengan rumah. Ia mengendap- endap ke bagian depan truk sehingga dapat mengintip ke rumah dengan jelas.

Tidak ada orang di dalamnya. Pete tidak menyangka bahwa tempat yang dituju akan sesepi itu. Hanya rumah itulah yang terdapat di sana, tidak ada rumah-rumah lain di sekitarnya. Dan rumah itu gelap. Tidak ada seberkas cahaya pun keluar dan dalam numah. Hanya lampu di pintu depan saja yang menyala. Ke mana Constance Carmel? Pete bertanya dalam hatinya.

Well, tidak ada gunanya aku benada di sini sepanjang malam, pikir Pete. Ada dua hal yang dapat Ia lakukan. Pertama, mencatat nama jalan rumah ini kemudian menghubungi Jupe dan Bob di kantor. Kedua, melakukan penyelidikan lebih lanjut, mencari ke mana perginya Constance Carmel dan buat apa ikan dalam wadah itu.

Pete sudah memutuskan untuk memilih kemungkinan pertama. Baru hendak melangkah, tiba-tiba Ia mendengar suara seorang wanita memanggil-manggil dari suatu tempat.

“Fluke,” panggil suara itu. “Fluke. Fluke. fluke.”

T idak ada j awaban.

Pete yakin bahwa suara itu tidak berasal dari dalam rumah. Mungkin dari belakang rumah.

Matanya makin awas mengamati sekelilingnya. Ia baru sadar bahwa di samping rumah terdapat sebuah garasi. Di samping garasi ada sebuah pagar kecil terbuat dari kayu dan diseberang pagar remang-remang terlihat sebuah pohon palma melambai perlahan.

Pete mendekati pagar. Pintu pagar itu digenendel, tetapi tidak dikunci. Dengan hati-hati dibukanya gerendel agar tidak menimbulkan bunyi. Ia melangkah masuk dan menggerendel kembali pintu pagar.

Ia melalui jalan setapak di samping garasi. Dengan mengendap-endap Ia bergerak perlahan dan tak bersuara menuju halaman belakang.

“Fluke. Fluke. Fluke. Bagus sekali, Fluke.”

Suara wanita itu makin dekat seperti hanya beberapa meter dari tempat Pete berdiri.

Pete terhenti. Ia telah sampai di ujung luar garasi. Di kiri dan di depannya terhampar halaman rumput Di tengah-tengahnya terdapat pohon palma yang tadi dllihatnya. Tembok garasi menghalangi pandangannya ke sebelah kanan. Ia mengambil ancang-ancang lalu berlari cepat ke arah pohon palma.

Ia berhasil mencapainya dan segera bersembunyi di baliknya. Ditariknya napas panjang. Lalu Ia mengintip.

Sebuah kolam renang yang besar dan indah terlihat olehnya. Terang dan gemerlap disinari lampu-lampu dari dasar kolam.

“Fluke. Fluke. Fluke. Ya! Bagus sekali, Fluke.” Constance Carmel duduk di tepi kolam mengenakan pakaian renangnya. Kedua kakinya dimasukkan ke air sebatas betisnya. Wadah plastik itu tergeletak di sampingnya. la merogoh ke dalam wadah, mengambil seekor ikan, dan melemparnya tinggi-tinggi ke atas kolam.

Tahu-tahu seekor ikan mencuat dari dasar kolam. Ikan itu melompat tinggi sekali sehingga badannya, sepanjang dua setengah meter, seluruhnya terlihat. Ikan itu berada di atas air untuk beberapa saat, seakan-akan terbang. Mulutnya terbuka. Dengan cepat ikan itu mencaplok ikan yang dilempar oleh Constance Carmel.

“Bagus sekali, Fluke. Hebat”

Constance Carmel mengenakan sepatu katak, dan masker selamnya tergantung di lehernya. Ia memasang masker itu ke matanya, lalu menyelam ke dalam kolam.

Pete sendiri jago berenang — Ia termasuk perenang andalan di sekolahnya. Tetapi belum pernah Ia melihat orang berenang seperti Constance Carmel. Constance Carmel sedikit sekali menggerakkan tangan dan kakinya. Meskipun demikian Ia mengapung dan meluncur dengan ringannya seperti seekor burung melayang di angkasa.

Belum apa-apa ia sudah berada di tengah kolam yang besar itu. Ikan paus kecil itu menyambutnya dengan girang. Mereka berdua seperti dua sahabat karib yang sudah lama tidak bertemu. Si ikan paus mendorong-dorong Constance Carmel dengan kepalanya. Lalu bersama- sama mereka menyelam ke dasar kolam. Constance Carmel berpegangan pada tubuh ikan itu, lalu naik menunggangi punggungnya.

Pete amat terpukau melihat mereka bermain-main di air. Tanpa disadarinya ia berselonjor kaki sambil rileks menonton pertunjukan gratis itu. Ia benar-benar terpesona.

Constance Carmel mengajarkan permainan yang lain. la dan si ikan paus berada di pinggir kolam. La menepuk kepala ikan itu, lalu dengan satu gerakan cepat Ia berenang menjauhinya. Ikan paus itu langsung mengikutinya. Ia menepuk kepala ikan paus itu sambil menggeleng-geleng. Sekali lagi Ia berenang menjauhinya.

Kali ini ikan paus itu diam saja di tempatnya, menunggu dengan tenang.

Ia mencapai seberang kolam, lalu naik dan duduk di tepinya.

Ikan paus kecil itu masih diam menunggu.

“Fluke. Fluke. Fluke,” panggil Constance Carmel.

Si ikan paus seperti mendongak. Sekilas Pete melihat matanya bersinar-sinar. Dengan satu luncuran, ikan paus itu menghampiri Constance Carmel.

“Bagus, Fluke. Bagus.” Ia mengelus-elus mulut ikan itu. Diambilnya seekor ikan dan wadah, lalu dimasukkannya ke dalam mulut ikan paus itu.

“Bagus, Fluke. Pintar sekali!” pujinya seraya menepuk-nepuk kepala ikan paus itu lagi.

Pete melihat Constance Carmel mengambil sesuatu yang tergetetak di rerumputan, tetapi Ia tidak tahu apa itu. Sinar lampu hanya menerangi dasar kolam dan tepi- tepinya, tidak sampai ke rumput.

Ikan paus kecil—yang dinamakan Fluke oleh Constance Carmel—mengangkat kepatanya keluar dan kolam. Fluke seakan berdiri pada ekornya. Tangan Constance Carmel melingkarinya. Saat itu Pete baru menyadari apa yang dilakukan Constance Carmel.

Constance Carmel memasangkan benda seperti pita lebar, sedikit di bawah kepala Fluke. Dikencangkannya pita lebar itu. lkan paus itu kelihatan seperti memakai kerah baju.

Mendadak Pete bertiarap.

Seseorang membuka gerendel pintu pagar. Lalu terdengar suara langkah mendekat. Makin dekat dan makin dekat. Pete merapatkan badannya dengan tanah. Suara langkah itu hilang sesaat. Pete menahan napas. Kemudian terdengar kembali suara langkah menuju kolam.

“Halo, Constance," terdengar suara seorang laki-laki.

“Selamat malam, Mr. Slater.”

Pete tidak berani mengangkat kepalanya. Ia cuma memiringkan kepalanya agar dapat melihat orang itu.

Laki-laki itu berdiri di samping Constance Carmel. Ia sangat pendek, kira-kira lima belas sentimeter lebih pendek dari Constance Carmel. Mukanya tertutup bayangan Constance Carmel sehingga sukar untuk dikenali. Tetapi Pete menduga umurnya sekitar tiga puluhan. Dan kepalanya botak licin. Begitu licinnya sampal-sampai berkilau-kilau ditimpa sinar lampu.

"Bagaimana perkembangannya?” tanya laki-laki itu. "Kapan kau siap?" Ia berbicara dengan logat yang aneh. Ini mengingatkan Pete pada sesuatu.

“Nanti dulu, Mr. Slater.” Constance menatap tajam ke arah laki-laki itu. Suaranya terdengar tegas dan dingin. “Aku mau menolong Anda semata-mata karena ayahku. Tetapi aku akan melaksanakannya dengan caraku sendiri. Dan pada waktu yang kutentukan sendiri. Kalau Anda berani turut campur, Fluke akan kubebaskan ke laut, dan Anda boleh mencari ikan paus lain serta melatihnya sendiri."

Ia diam sejenak, menoleh pada Fluke.

“Anda paham, Mr. Slater?”

Ia berpaling kembali pada laki-laki itu. Sambil berkacak-pinggang Ia berseru, “Jangan turut campur! Paham?"

"Ya, aku paham," jawab Mr. Slater dengan logat pesisir selatan yang kental.

Bab 4

PENYAMAR BERMATA ANEH

“YANG BENAR?" seru Jupiter Jones. “Kau yakin suara itu sama, Pete?"

Selama dua puluh menit Pete berlari sampai menemukan sebuah pompa bensin. Kebetulan di sana terdapat telepon. la meminjamnya untuk menelepon ke kantor.

Di telepon Ia minta dijemput, karena kendaraan umum sulit didapat di daerah itu, apalagi hari sudah malam. Hans berangkat dari Rocky Beach, menempuh perjalanan yang lumayan jauh, untuk menjemput Pete. Trio Detektif kembali berkumpul di bagian belakang pick-up yang dikendarai Hans. Perjalanan pulang ke Rocky Beach mereka manfaatkan untuk berdiskusi.

Pete menceritakan semua yang dialaminya sejak Ia bersembunyl di bak belakang truk Constance Carmel, sambil berbaring rileks dengan kedua tangan dilipat di belakang kepala.

"Tidak salah lagi," ujarnya sembari menguap. “Aku segera mengenali suara itu. Mirip sekali dengan suara si penelepon gelap. Omong-omong, kok Ikan paus makan ikan, ya? Kukira ikan paus hanya makan plankton. "

“Ada dua jenis ikan paus,” Bob menjelaskan dengan bersemangat. Ia senang sekali dapat mempraktekkan pengetahuannya tentang ikan paus yang didapatnya dari perpustakaan. “Yang bergigi dan yang tidak bergigi. Yang bergigi makan ikan, sedangkan yang tidak bergigi makan plankton. Ikan paus kecil itu pasti bergigi.”

Pete manggut-manggut mendengar penjelasan Bob. Namun Penyelidik Satu menarik-narik bibir bawahnya. Pikirannya masih direcoki suara yang berlogat pesisir selatan itu.

“Aneh sekali,” kata Jupe sambil memicingkan matanya. "Mengapa orang itu menelepon dan meminta kita untuk mencari ikan paus itu? Bahkan menawarkan uang seratus dolar! Padahal ikan paus itu berada dalam kolamnya sendiri! Tidak masuk akal!”

Jupe tetap tidak dapat menerangkan hal itu sampai tiba di rumah Pete. Pete turun di sana. Lalu mereka mengantar Bob. Setelah itu Hans mengendarai pick-up ke rumah keluarga Jones, di seberang pangkalan barang bekas. Trio Detektif telah membuat janji untuk bertemu kembali esok paginya di kantor.

Esok paginya Bob paling belakang sampai di kantor. Ibunya meminta dia untuk membantu mencuci piring bekas sarapan.

Bob menyandarkan sepedanya di luar bengkel Jupiter yang terletak di salah satu sudut Pangkalan Jones. Di samping sebuah meja kerja, tersandar selembar papan pada tumpukan barang-barang rongsokan yang menggunung. Sepintas lalu papan itu nampak seperti bagian dari barang-barang rongsokan itu. Bob menggesernya. Di baliknya terdapat sebuah pipa berukuran lumayan besar. Pipa itu diberi nama Lorong Dua oleh anak-anak. Pipa itu menjulur di bawah tumpukan barang

rongsokan menuju kolong sebuah karavan yang tersembunyi di bawah timbunan barang bekas. Karavan inilah yang disulap menjadi kantor Trio Detektif.

Bob yang bertubuh kecil tidak mengalami kesulitan merayap melalui Lorong Dua. Sebentar saja Ia sudah sampai di kolong karavan. Diangkatnya tingkap di atas kepalanya, lalu Ia naik ke dalam kantor. Kedua temannya telah menunggu.

Jupe duduk di belakang rneja. Pete duduk santai di sebuah kursi goyang tua.

“Akhirnya kau datang juga,” kata Pete menyambut Bob.

Bob hendak menceritakan sebab-sebab keterlambatannya, tetapi Jupe langsung memulai pembicaraan.

“Kalau kau berjalan, dan kau dihalangi sebuah tembok besar,” kata Jupe dengan gaya seorang profesor, “ada dua kemungkinan yang dapat kaupilih. Kau bisa mencoba menghancurkan tembok besar itu, atau kau berjalan menyusuri tembok dan mencari jalan lain.”

“Apa lagi ini” tanya Pete. “Ayolah, Jupe, pakai bahasa yahg sehari-hari saja. Tembok apa? Apa maksudmu?"

“Diego Carmel,” sahut Jupe. “Diego Carmel, Menyewakan Kapal Pemancing lkan.

M

“Oke. Kita dapat meneleponnya,” usul Bob. “Aku sendiri tak tahu apa manfaatnya. Tapi kan tidak ada salahnya untuk mencoba.”

“Dan tadi aku berkali-kali meneleponnya." kata Jupe. “Namun teleponnya tidak kunjung diangkat."

"Barangkali Ia sedang memancing,” ujar Pete.

“Mencurigakan,” Jupe melanjutkan tanpa menghiraukan komentar Pete. “Bagaimana orang yang menemukan ikan paus kecil itu...”

“Fluke,” sela Pete. “Sebut saja Fluke.”

Bob tersenyum simpul. “Fluke. Aku ingat sekarang. Itu kan berarti ekor ikan paus. Ekor ikan paus dinamakan ‘fluke’ karena bentuknya gepeng dan posisinya horizontal, berbeda dengan ikan biasa. Ekor ikan biasa posisinya vertikal serta digerakkap ke kin dan ke kanan. Sedangkan ikan paus menggerakkan ekornya ke atas dan ke bawah.”

“Betul juga, ya,” sahut Pete. “Aku baru sadar sekarang.”

“Kembali ke pokok permasalahan semula,” Jupe melanjutkan, "ada sesuatu yang mencurigakan. Misalkan orang yang menemukan Fluke di kolam buatan kita lalu menelepon. Constance Carmel. Ke mana orang itu menelepon? Tidak mungkin ke

Ocean World, karena Constance Carmel tidak ada di situ pada han Senin. Orang itu tentu akan mencari di buku telepon, seperti yang kita lakukan. Ia mula-mula menemukan...”

“Arturo Carmel,” potong Bob. “Tetapi teleponnya sudah dicabut.”

“Lalu Benedict Carmel,” ujar Pete. “Tapi kan Ia sudah tiga bulan bertugas di luar kota.”

“Tepat sekali!” kata Jupe. “Tinggal satu kemungkinan. Diego Carmel. Inilah yang membuatku curiga. Berulang kali kita menelepon, tidak ada yang menjawab.

Orang yang menelepon Constance Carmel pasti menelepon ke kediaman Diego Carmel. Keiihatannya ia berhasil menelepon Constance Carmel di sana. Namun kita tidak pernah berhasil. Kenapa? Apa yang terjadi dengan Diego Carmel?”

“Jangan-jangan...” kata Pete seraya bangkit dan kursi goyangnya.

“Kita harus segera ke sana, ke San Pedro,” sera Jupe. “kalau Diego Carmel tidak di tempat, kita dapat menanyakan pada tetangganya atau kenalannya di sana. Diego Carmel merupakan sumber informasi yang penting, mungkin Ia ayahnya Constance. Constance Carmel telah berbohong pada kita. Slater tampaknya sama saja. Satu-satunya harapan kita tinggallah Diego Carmel.”

“Aku sepakat untuk segera berangkat ke sana,” ujar Bob. “Tetapi bagaimana caranya? Hans dan saudaranya kan sedang sibuk bekerja di pangkalan. Dan Worthington sedang berlibur ke luar kota.”

“Pancho,” jawab Jupe dengan tenang. Ia melihat jam tangannya. “Sebentar lagi ia datang.”

Pancho adalah seorang pria muda Meksiko yang pernah ditolong Trio Detektif. Polisi waktu itu mencurigai Pancho mencuri peralatan di bengkel tempat Ia bekerja.

Ia sangat berterima kasih atas pertolongan Trio Detektif. Kalau tidak karena bantuan Trio Detektif, mungkin sekarang ia masih mendekam di penjara .

Pancho tergila-gila pada mobil. Kini Ia menghidupi dirinya dengan mempermak mobil. Ia membell mobil-mobil bekas. Dipretelinya mobil itu, dipasangnya mesin baru dan roda baru. Dan dipermaknya bagian-bagian yang sudah rusak. Semua itu dilakukan sesuka hatinya. Hasilnya? Sebuah mobil nyentrik. Meskipun demikian, banyak juga yang menyukai karyanya, sebab biar nyentrik mobilnya bisa ngebut. Banyak pesanan datang dari luar kota.

Anak-anak menunggunya di depan pangkalan. Tak lama kemudian Pancho datang mengendarai mobil sambil tersenyum lebar.

Anak-anak melongo melihat mobilnya.

“Ini karyaku yang terbaru,” katanya pada anak-anak. “Kunamakan Ford-Chevrolet- VW!”

Mobil itu lebih nyentrik dan mobil-mobil Pancho sebelumnya. Ban belakangnya jauh lebih besar dari ban depan, sehingga menimbulkan kesan seperti seekor banteng sedang menyeruduk.

Dan mobil itu memang sekuat banteng. Ketika mereka melalui jalan besar menuju San Pedro, mobil itu melaju cepat dengan mudahnya.

Pancho segera menemukan Jalan St. Peter, alamat Diego Carmel yang tertera di buku telepon. Anak-anak turun di situ dan Pancho berjanji untuk menjemput mereka jam tiga sore. Ia sendiri memanfaatkan waktunya untuk melihat-lihat, kalau-kalau ada mobil bekas yang bisa dipermaknya di daerah itu.

Jalan St Peter terletak dekat dermaga. Hampir sepanjang jalan penuh dengan toko- toko yang menjual peralatan memancing, menyelam, dan berlayar. Rumah kediaman Diego Carmel yang bertingkat tiga segera nampak. Lantai dasar digunakan untuk kantor.

MENYEWAKAN KAPAL PEMANCING IKAN tertulis di kaca jendelanya. Ariak-anak sedang berjalan menuju pintunya, ketika seorang laki-laki keluar dari pintu lalu menguncinya. Sewaktu membalik, orang itu melihat anak-anak. Dengan ragu-ragu dikantunginya kunci pintu.

“Ada perlu apa, Anak-anak?” tanyanya.

Ia sangat jangkung, kurus, dan agak bungkuk. Dan raut mukanya dapat ditebak bahwa ia orangnya serius. Ia memakai kemeja putih lengan panjang dengan dasi coklat tua.

Jupe telah terbiasa mengamati sesuatu dengan saksama. Matanya awas melihat hal- hal yang kecil sekalipun. Sering kali Ia dapat menduga apa pekerjaan seseorang hanya dengan mengamat-amati penampilan orang itu. Kali ini ia menduga bahwa orang berkemeja putih itu ahli intan.

Ada suatu lekukan di sekeliling mata kanannya. Di bagian bawah, lekukan itu lebih dalam dan berwarna merah kecoklatan. Tetapi bekas seperti itu tidak ada pada mata kirinya. Kelihatannya orang itu sering menggunakan kaca mata satu — kaca pembesar yang dilekatkan pada sebelah mata. Mungkin berjam-jam dikenakan di mata kanannya untuk memeriksa intan.

“Kami ingin bertemu dengan Mr. Diego Carmel,” Penyelidik Satu berkata dengan sopan.

“Aku sendiri.” “Anda Mr. Carmel?" “Ya. Kapten Carmel.”

Laki-laki itu berbalik ke pintu. Jupe mendengar suara dering telepon di dalam kantor. Untuk sesaat Kapten Carmel bimbang. Namun ia berbalik lagi seraya mengangkat bahu.

“Percuma kujawab telepon itu,” desahnya. “Kapalku tenggelam minggu lalu, terhantam badai besar. Orang sering menelepon hendak menyewa kapal. Tapi aku tak punya kapal lagi."

“Oh,” kata Bob dengan nada prihatin.

“Kalian tiga anak ingin memancing?” kapten Carmel berbicara dengan bahasa yang baik. Logatnya sukar dibedakan dengan logat penduduk asli. Tetapi ada sesuatu yang tidak biasa. Ia memakai kata-kata yang tidak umum digunakan.

Mungkin Ia berasal dari Meksiko, pikir Bob, dan lama tinggal di Amerika Serikat.

“Tidak. Tidak, kami cuma ingin bertemu dengan Anda, Mr. Carmel,” jawab Jupe. “Kami membawa pesan dari anak Anda.”

“Anakku?" Ia sedikit terkejut. "Oo, maksudmu Constance.”

“Betul.” Air muka Jupe memancarkan kebanggaan. Dugaannya ternyata benar. Diego Camel memang ayah Constance.

“Apa pesannya?”

“Ah, tidak begitu penting,” kata Jupe sambil memutar otaknya. Ia mencari jawaban yang kira-kira masuk akal. “kami berjumpa dengannya pagi tadi, dan ia bilang mungkin ia pulang terlambat malam ini.”

“Oo, begitu.” Kapten Carmel menatap Jupiter, Bob, dan Pete satu per satu. “Dan kalian? Kalian pasti Trio Detektif.”

Pete tercengang. “Dari mana Anda tahu?”

Kapten Carmel tersenyum simpul. "Constance. Ia bercerita tentang kalian.”

Pete mengangguk-angguk keciL Mungkin Constance Carmel telah memberikan gambaran tentang Trio Detektif padanya. Anak-anak memang mudah dikenali— terutama Jupe yang berwajah bundar dan bertubuh montok itu.

“Aku senang melihat anak-anak yang rasa ingin tahunya besar,” kata Kapten Carmel sambil mengulurkan tangannya. Anak-anak menyalaminya. “Bagaimana kalau sekarang kalian kutraktir hamburger? Di dekat sini ada penjual hamburger."

Pete cepat-cepat menerima tawaran itu. Kalau soal makan, Pete jangan ditanya. Tidak pernah Ia menolak ditraktir makan, apalagi makan hamburger.

Mereka duduk di salah satu pojok dekat jendela di kantin yang menjual hamburger. Anak-anak makan dengan lahapnya. Sementara itu Kapten Carmel bercerita tentang kapalnya yang diterjang badai.

Waktu itu Ia membawa seorang penumpang, Oscar Slater namanya, untuk memancing di Baja California. Dalam perjalanan kembali, mendadak badai datang menyerang. Mereka cuma beberapa mil dari pantai, tetapi badal itu terlalu dahsyat sehingga kapal sukar dikendalikan. Ia berjuang sekuat tenaga untuk merapat ke dermaga. Sia-sia. Kapal terbalik dan tenggelam.

Ia dan Oscar Slater menceburkan diri ke laut. Mereka sempat mengenakan jaket pelampung. Berjam-jam mereka terombang-ambing di tengah amukan badal. Akhirnya seorang penjaga pantai datang menolong ketika badai sudah agak reda.

Pete yang paling dulu menghabiskan hamburgernya. “Hii, ngeri sekali! Untung Anda berdua sempat memakai jaket pelampUng.”

Jupe segera mengalihkan pembicaraan. “Anak Anda seorang perenang yang istimewa, Kapten Carmel," katanya. "Luar biasa cara dia melatih ikan-ikan paus itu.”

“Oh, ya. Di Ocean World.”

“Sejak kapan ia menjadi pelatih ikan paus?” tanya Bob. Ia dapat menangkap maksud Jupe yang ingin mendapat informasi tentang Constance.

"Beberapa tahun.” .

"Jauh sekali, ya," ujar Jupe memancing, perjalanannya dari Ocean World ke sini, tiap hari.”

“Ke sini?"

“Oh, maaf. Kupikir... kukira...” Jupe berlagak bingung. “Bukankah Constance tinggal di sini?”

Sekilas kening Kapten Carmel berkerut. Lalu ia mengangguk tanpa bersuara. Dihirupnya kopi sedikit-sedikit sambil berpikir serius.

“Kebetulan sekali Mr. Slater juga tertarik untuk melatih ikan paus,” Ia berkata lambat-lambat. Tiap perkataan diucapkannya dengan jelas dan diberi tekanan. Seakan-akan ia ingin agar Trio Detektif mengingat setiap kata yang diucapkannya. “Betul-betul tertarik. Ia memiliki rumah di sebuah bukit di Santa Monica." Ia menuliskan alamat Slater pada selembar kertas, lalu menyodorkannya pada Jupe. Jupe pura-pura membacanya, padahal ia sudah tahu dari Pete. "Ia bahkan sampai membuat sebuah kolam besar untuk melatih ikan paus di belakang rumahnya.”

Setelah itu kapten Carmel tidak bercerita apa-apa lagi. Mereka keluar dari kantin. Seraya mengucapkan terima kasih karena sudah ditraktir anak-anak menyalami Kapten Carmel.

Kening Jupe berkerut memandangi Kapten Carmel pergi. Ia menarik-narik bibirnya.

"Orangnya baik, ya," kata Pete." Tapi malang, kapalnya tenggelam.”

“Mmm,” gumam Jupe tanpa menghiraukan perkataan Pete. Ia masih menarik-narik bibirnya ketika Pancho datang menjemput mereka.

“Sudah lama ya, kalian menunggu?" kata Pancho dengan simpatik .

“Tidak, baru sebentar, kok,’ ujar Bob. Ia dan Pete duduk di bangku belakang, sementara Jupe duduk di samping Pancho.

“Pasti kalian tidak berhasil menemui kapten Diego Carmel.”

“Siapa bilang?"” tukas Pete. “Ia malah sempat mentraktir kami hamburger.”

Pancho ternganga. hampir saja Ia menubruk trotoar. “Tidak mungkin. Aku baru saja bertemu dengan seorang Meksiko di tempat penjualan mobil bekas. Ia bilang kapal kapten Carmel tenggelam."

“Memang,” sahut Bob. “Ia sendiri yang bilang kepada...”

“Tapi tidak mungkin yang bilang itu kapten Carmel.”

“Kenapa tidak?” Untuk pertama kalinya Jupe bersuara setelah mereka berpisah dengan kapten Carmel. Ia memandang Pancho dengan pandangan yang penuh harap, sepertinya ia telah mempunyal dugaan tertentu.

"Karena Kapten Carmel sedang di rumah sakit,” kata Pancho. “Ia sakit parah. Radang paru-paru. Ia sedang dirawat dengan intensif.”

Pancho berkata dengan penuh rasa simpati. “Kasihan dia. Bicara pun belum bisa.”

Bab 5

TRIO DETEKTIF UNJUK GIGI "SIAPA DIA." kata Pete. "Kenapa Ia mengaku sebagai kapten Carmel?"

Trio Detektif berkumpul di kantor untuk mendiskusikan masalah hangat itu.

Jupe bersandar di kursi di belakang meja. Wajahnya yang bundar tampak serius.

"Bodoh benar aku ini", serunya seraya bangkit dari kursinya. Mukanya memerah karena kecewa pada dirinya sendiri. "Benar-benar bodoh, dungu dan bebal."

Bob diam saja. Ia tahu, sebentar lagi Jupe akan menjelaskan apa yang sedang dipikirkannya.

"Aku tidak memakai otak," Jupe melanjutkan. "Dan mudah diperdayai. ketika pertama kali aku melihat laki-laki itu, sudah timbul kecurigaanku bahwa orang itu bukanlah Kapten Carmel. Pakaiannya tidak menunjukkan bahwa Ia seorang kapten kapal sewa. Sejak kapan seorang kapten kapal sewa memakai kemeja rapi berdasi? Yang lebih jelas lagi ialah lengan dan postur tubuhnya. Ia sama sekali tidak memiliki potongan seorang pelaut. Kau lihat mata kanannya?"

"Yang berlekuk seperti tertekan itu?" tanya Bob. "Ya, aku ingat, itu seperti orang lnggris yang kita jumpai tahun lalu."

Jupe mengangguk. "Persis. Orang Inggris itu - seorang ahli intan. Aku menduga kapten palsu itu demikian pula. Tetapi... ah, bodoh benar aku ini. Dengan ditraktir hamburger saja sudah terpedaya." Jelas terlihat muka Jupe yang kesal karena terkibuli.

"Bukan kau saja yang terkibuli, aku juga," ujar Pete dengan nada menyesal. Dialah yang paling bersemangat menerima tawaran traktiran itu.

"Kita semua terkibuli," kata Bob. "Untung ada Pancho yang secara kebetulan memberi tahu kita. Kalau tidak mungkin kita terlambat menyadari hal itu.

Sekarang kita harus lebih waspada. Ada satu hal yang penting, yaitu..." Bob berhenti sebentar, mencoba mengingat-ingat.

"Yaitu apa?" kata Pete tak sabar.

"Yaitu apa yang diceritakannya pada kita," kata Bob lagi. "Apa yang diceritakannya pada kita semuanya benar. Ia mengatakan kapal kapten Carmel tenggelam. Itu sesuai dengan keterangan orang Meksiko yang dijumpai Pancho, Lalu ia memberi alamat Oscar Slater. Itu juga benar. Dan terakhir tentang kegemaran Mr. Slater pada ikan paus serta kolam besar di belakang rumahnya. Semuanya benar."

"Betul juga, ya," komentar Pete. "Ia sendiri membohongi kita dengan mengaku sebagai Kapten Carmel. Tapi apa yang diucapkannya semuanya benar. Aneh!"

"Dan Ia berkata dengan jelas dan lambat-lambat," kata Jupe, "seolah-olah sengaja agar kita tidak keliru menangkap informasi itu Namun itu tetap belum dapat menerangkan mengapa Ia menyamar sebagai Kapten Carmel, kecuali jika..."

Jupe terhenti sejenak Matanya dipejamkan. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian itu, tatkala mereka pertama kali melihat kapten palsu itu. Orang itu baru mengunci pintu, Jupe membayangkan . dan Ia tampak terkejut ketika berbalik dan melihat Trio Detektif.

"Kecuali jika Ia baru saja menggeledah kantor Kapten Carmel", sambung Jupe. "Bahkan mungkin seluruh rumah itu."

"Buat apa?" tanya Pete. "Mencuri?"

"Aku tidak yakin Ia seorang pencurI," ujar Bob.

"Ia tidak mencuri barang," kata Jupe, "tetapi mencuri informasi. Mungkin Ia datang ke San Pedro untuk mencari informasi tentang Constance dan kapten Carmel, sama seperti kita. Namun ketika kita memergokinya mengunci pintu dari luar, Ia berusaha menyembunyikan identitasnya. Cara yang paling baik ialah dengan mengaku sebagal kapten Carmel, lalu mengambil hati kita dengan mentraktir hamburger."

Jupe berdiri tegap. "Oke," serunya. "Kita berangkat sekarang."

Pete berdiri tegap juga. Dengan gaya militer, dihentakkannya kakinya. Tetapi kemudian ia merasa konyol.

"Berangkat ke mana, Jupe?" katanya. "Rumah Slater kan cukup jauh. Aku harus bawa bekal dulu. Roti keju campur daging, sebotol limun, dan..."

"Tidak." Jupe sudah mengangkat tingkap yang menuju Lorong Dua. "kita tidak pergi ke kediaman Slater. kita ke Ocean World untuk menemui Constance Carmel."

Ia diam sejenak sebelum memasuki lorong.

"Sudah saatnya kita unjuk gigi!"

Trio Detektif tiba di Ocean World persis sebelum tempat itu ditutup. Truk pick-up milik Constance masih diparkir di pelataran. Mereka sampai di samping truk itu bertepatan dengan munculnya Constance Carmel dari gerbang.

Sore itu udara hampir sedingin es. Constance Carmel tampak membawa jaket tebal, tetapi tidak dipakainya. Bahkan Ia melenggang dengan tenangnya tanpa menghiraukan udara yang dingin.

"Hai!" Ia terhenti tatkala melihat anak-anak. "Kalian mencari aku?"

"Miss Carmel." Jupe melangkah maju. Ia berdiri tepat di hadapan Constance Carmel yang lebih tinggi lima belas senti darinya. Jupe harus agak mendongak untuk menatap wajahnya. "Maaf, kami mengganggu. Kami tahu bahwa Anda lelah sehabis bekerja seharian. Tetapi kami mohon kesediaan Anda sebentar saja."

"Aku sama sekali tidak capek," tukasnya. Matanya membalas tatapan Jupe. "Tapi aku sibuk sekarang. Kalau kalian mau, datang saja lagi besok."

"Sebentar saja, Miss Carmel," desak Jupe. "Ini penting sekali. Ini menyangkut.."

"Besok," tegas Constance Carmel sambil meIangkah menuju pintu mobilnya.

Jupe memandang lurus ke depan ketika wanita itu melaluinya. Ia menarik napas. Dengan keras dan jelas Ia mengucapkan sepatah kata.

"Fluke."

Constance Carmel terhenti. Ia menoleh pada Jupe. Sambil berkacak pinggang, ditatapnya Jupe dengan pandangan yang galak

"Kau mau apa dengan Fluke?" serunya lantang.

"Kami tidak minta apa-apa," kata Jupe dengan tenang, sambil berusaha tersenyum. "kami senang bahwa Fluke tenteram di kolam Mr. Slater. Kami senang bahwa Anda mengurusinya dengan baik. Namun ada beberapa masalah yang harus kami bicarakan dengan Anda."

"Kami ingin menolong Anda, Miss Carmel,"k ata Bob dengan sopan. "Sungguh."

"Menolong apa?" tanya Constance Carmel. "Aku tidak kenapa-kenapa!" Tatapannya masih galak.

"Seseorang memata-matal Anda," ujar Pete. "Kami pergi ke San Pedro tadi. Di sana kami bertemu dengan seseorang yang mengaku sebagai ayah Anda."

"Belakangan kami baru menyadari bahwa orang itu bukan ayah Anda," sambung Jupe, "karena kami mendapat berita bahwa ayah Anda dirawat di rumah sakit."

Constance Carmel bimbang sejenak, mempertimbangkan apa yang akan diperbuatnya.

"Well." Pandangannya yang galak lenyap dalam sekejap, berganti dengan senyuman yang ramah. "Ternyata kalian benar-benar detektif."

"Tentu saja," sahut Pete cepat. "Anda kan sudah lihat di kartu kami."

"Oke," kata Constance Carmel sambil merogoh kunci truk dan kantungnya. "Bagaimana kalau kita bicarakan ini sambil naik trukku?"

"Terima kasih, Miss Carmel," Jupe menerima.

"Ah, panggil saja aku Constance. Dan kau kupanggil siapa? Jupiter?"

"Jupe."

"Oke, Jupe." Constance melihat ke arah Pete. "Kau Bob?"

"Pete."

"Aku yang Bob," kata Bob.

"Jupe, Pete, dan Bob. Mari masuk." Constance tersenyum ramah pada ketiga anak itu.

Cuma ada tempat buat bertiga di depan.

"Biar aku yang di belakang," Pete bersuka rela.

"Ya, ya, kau kan - sudah biasa," ujar Jupe meledek, membayangkan Pete yang pernah bersembunyi di bak truk itu.

"Ssstt!" Muka Pete bersemu merah. Ia segera melompat naik ke bak belakang, duduk bersama-sama sepeda mereka.

Jupe duduk di tengah, diapit oleh Bob dan Constance.

"Orang yang mengaku-ngaku ayahku seperti apa rupanya?" tanyanya sambil mengendarai truk.

Jupe menjelaskan ciri-ciri orang yang kurus tinggi dengan mata kanan yang aneh itu. Segala perkataan yang diucapkan orang itu disampaikannya pula pada Constance.

Dahi Constance berkerut. "Aku tidak pernah kenal orang seperti itu," ujarnya. "Mungkin Ia teman ayahku. Atau..." Ia terdiam. "Atau Ia ingin membuat perkara dengan Ayah. Oke. Apa yang kalian ingin ketahui dariku?"

Bab 6

HARTA YANG TENGGELAM “AKU baru pulang dari rumah sakit, menjenguk Ayah,” kata Constance. “Saat itu telepon berdering. Oscar Slater yang menelepon. Aku mengenali suaranya karena sudah tiga kali Ia menyewa kapal pemancing Ayah. Katanya Ia menelepon dari daerah selatan, sekitar Alabama mungkin. Ia bilang Ia menemukan seekor ikan paus terdampar di pantai."

Ia menjelaskan bagaimana selanjutnya Ia menolong ikan paus yang terdampar itu. Mula-mula Ia menghubungi dua kawannya, orang Meksiko yang memiliki sebuah truk derek. Mereka membawa segulung besar kain kanvas dan karet-karet busa, lalu bergegas memacu truk derek itu ke teluk yang disebutkan Slater. Oscar Slater telah menunggu di sana.

Tanpa mengalami kesulitan yang berarti, mereka dapat memasukkan ikan paus itu ke dalam truk. Constance menempelkan karet-karet busa yang dibasahi air laut ke sekujur tubuh ikan paus itu. Mereka langsung menuju rumah Slater, dan setibanya di sana ikan paus itu dibebaskan di kolam. kedua kawan Meksikonya kembali dengan truk derek, sedangkan Constance berenang bermain-main dengan Fluke— julukan yang diberikannya pada ikan paus itu—untuk membuat Fluke betah dan senang di kolam itu.

Oscar Slater pergi membeli ikan di sebuah toko yang ditunjukkan Constance. Sewaktu Ia kembali, Constance dan Fluke sudah seperti dua sahabat karib. Fluke menyenangi keramahan Constance.

Ikan paus hewan yang cerdas, Constance menjelaskan, ketika jalan mulai mendaki dekat Santa Monica. “Bahkan dalam beberapa hal, mereka lebih cerdas dari manusia. Volume otak mereka lebih besar dan volume otak manusia. Tapi Fluke ini benar-benar luar biasa! Selama bertahun-tahun melatih berbagai ikan paus, belum pernah kujumpai ikan paus yang secerdas Fluke. Padahal umurnya baru sekitar dua tahun. Yah, kira-kira sebanding dengan anak berusia lima tahun. Rata- rata ikan paus menjadi dewasa pada umur enam atau tujuh tahun. Tapi Fluke lebih cemerlang dari anak-anak berusia sepuluh tahun yang pernah kujumpai."

Setelah puas bermain-main dengan Fluke, Constance minta diantar pulang oleh Slater. Slater berdiri di tepi kolam, kepalanya yang botak licin berkilau-kilau ditimpa sinar matahari. Ia memandang Constance dengan pandangan licik.

"Dapatkah Anda mengantarku pulang sekarang?” kata Constance. “Besok akan kukirim orang dan Ocean World untuk mengambil Fluke. Mungkin Fluke akan segera dibebaskan ke laut atau ditaruh dulu di Ocean World satu-dua hari. Pokoknya, Fluke akan selamat.”

Constance bersiap-siap pulang. Tapi Oscar Slater menahannya.

“Sebentar, Gadis muda. Aku punya berita yang perlu kauketahui. Sesuatu tentang ayahmu.”

Constance tidak pernah menyukai Oscar Slater sebelumnya. Melihat gelagatnya, ia makin tidak menyukainya.

“Ada apa dengan ayahku?" tanyanya.

“Ia seorang penyelundup kawakan,” kata Slater dengan ujung bibir ditarik ke bawah. “Bertahun-tahun ia selundupkan tape recorder, radio mini, dan peralatan elektronik lainnya ke Meksiko. Barang-barang itu dijualnya di sana dengan harga berlipat-lipat.”

Constance terdiam. Ia tidak ingin mempercayai omongan Slater, tetapi ayahnya pernah keceplosan menyinggung-nyinggung hal yang berkaitan dengan masalah itu. Constance berusaha melupakannya. Ia sangat mencintai ayahnya yang telah merawatnya sejak kecil, sejak kematian ibunya.

“Ia hendak menyelundupkan barang dalam jumlah besar pada saat kapalnya tenggelam," Slater melanjutkan. “Kebanyakan kalkulator saku, yang hanganya amat mahal di Meksiko. Seluruh barang elektronik itu ikut tenggelam bersama kapalnya."

Constance masih berdiam diri, menunggu Slater mengutarakan maksud yang sebenarnya.

"Kurang dari dua atau tiga puluh ribu dolar nilainya," ujar Slater. "Dan setengahnya berasal dari uang yang dipinjamnya dariku. Aku patner dagangnya yang baik. Kalkulator mini itu disimpan dalam sebuah peti yang kedap air. Aku tidak ingin kehilangan investasiku. Akan kuambil barang-barang itu dari dasar laut. Dan kau harus membantuku."

Logat pesisir selatannya yang kental terdengar penuh ancaman.

“Kau dan ikan paus itu. Kau pasti mau bekerja sama denganku, kan?”

Constance menimbang matang-matang sebelum menjawab.

Ia yakin ayahnya tidak bersalah menurut undang-undang Amerika Serikat. Tidak ada yang melarang menjual barang-barang elektronik seperti kalkulator, radio, dan sebagainya, kalau barang-barang itu diperoleh dengan cara yang halal. Dan ayahnya membeli barang-barang itu, tidak mencurinya. Slater cuma menakut- nakutinya saja dengan mempermasalahkan kegiatan ayahnya. Dan pemerintah Meksiko pun tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali kalau mereka menangkap basah ayahnya menyelundupkan barang. Constance tidak gentar mendengar gertakan Slater.

Yang ia pikirkan hanyalah keadaan ayahnya. Ayahnya tidak mengasuransikan kapalnya. Dan yang lebih memusingkan ialah kesehatan ayahnya. Asuransi kesehatan juga tidak dimiliki ayahnya, padahal biaya perawatan intensif di rumah sakit itu besar sekali. Bisa ratusan dolar per hari. Kalau saja Ia mau membantu Slater menyelamatkan harta yang tenggelam itu, ia dapat meringankan biaya perawatan ayahnya.

Meskipun tidak suka pada Slater, Ia beranggapan tidak ada salahnya untuk bekerja sama dengannya. Demi ayahnya.

"Oke, aku mau bekerja sama," jawab Constance. “Aku akan melatih Fluke untuk mencari peti itu di dasar laut.”

Jupe mendengarkan penjelasan Constance dengan cermat.

“Jadi untuk itulah kaulilitkan pita lebar di kepala Fluke,” katanya. “Kau ingin mengikatkan kamera di kain itu. Seekor ikan paus dapat menyelam lebih dalam dan lebih cepat dari seorang penyelam yang paling mahir sekalipun. Dengan demikian Fluke akan mengambil gambar reruntuhan kapal ayahmu yang tenggelam itu. Tentunya dari sana diharapkan posisi peti itu dapat diketahui.”

Constance tersenyum lebar. “Kau pintar sekali,” ujarnya. “Ikan paus memang pandai menyelam. Orang pernah mendeteksi seekor ikan paus yang menyelam sampal kedalaman seribu meter di bawah permukaan taut. Dan ikan paus dapat menyelam selama setengah sampai satu jam tanpa bernapas."

“Tanpa bernapas?” tanya Pete, alis matanya terangkat.

“Ya, ikan paus bernapas dengan paru-paru seperti manusia,” Constance menjelaskan. “tidak dengan insang seperti pada ikan umumnya. Ikan paus dapat menyimpan oksigen pada jaringan ototnya. Oksigen simpanan itulah yang dipakainya selama menyelam."

“Oke. Sekarang giliran aku yang bertanya,” katanya dengan ramah. “Kenapa kalian begitu tertarik pada Fluke? Apa yang sedang kalian selidik?”

Pikiran Jupe teringat pada penelepon gelap yang menawarkan uang seratus dolar.

Ia ingin bersikap terbuka pada Constance sebagaimana gadis itu bersikap terbuka pada mereka.

"Kami punya seorang klien," Jupe memulai. “Kami tidak dapat menyebutkan namanya pada Anda, karena kami sendiri tidak tahu. Orang itu menyewa kami, dan sanggup membayar tinggi kalau kami berhasil menemukan dan membebaskan Fluke ke laut.”

“Membebaskan ke laut?" tanya Constance. “Kenapa? Buat apa?"

“Aku tidak tahu,” kata Jupe sambil mengangkat bahu. “Tepatnya, aku belum tahu”

“Well, kalian sudah setengah berhasil, kan? Kalian sudah menemukan Fluke.” Constance memarkir truknya di muka rumah mewah Slater. “Tinggal tugas kedua. Kalian dapat membebaskannya nanti bersama-sama denganku. "

“Oke,” sahut Bob. “Bagaimana caranya?"

“Kalian bisa menyelam?"

Jupe menerangkan bahwa Pete yang paling pandai menyelam. Namun ia dan Bob juga bisa menyelam. Mereka telah lulus dari sebuah kursus menyelam dan diberi sertifikat tanda lulus.

“Bagus,” kata Constance. “Kalau begitu kita bekerja sama. Secepatnya aku akan membebaskan Fluke ke laut. Tapi sebelumnya akan kulatih dulu supaya Fluke tidak kabur di laut nanti. Setelah itu aku minta bantuan kalian untuk menemukan bangkai kapal ayahku. Oke?”

“Oke,” Jupe dan Bob menyahut berbarengan. Mereka makin bersemangat. Bukan hanya karena mereka akan dapat menyelesaikan kasus itu, tetapi juga karena mereka memperoleh kesempatan untuk menyelam di laut untuk mencari bangkai kapal yang tenggelam.

“Bagus,” kata Constance seraya turun dari truknya. “Sekarang kita tengok Fluke dulu.”

Ikan paus kecil itu sedang tidur, mengambang dengan mata tertutup, lubang napasnya tersembur di atas permukaan air. Ikan paus itu terbangun ketika Constance menyalakan lampu dasar kolam. Dihampirinya Constance seraya mengepakngepakkan siripnya.

Fluke seolah juga mengenali Trio Detektif. Sewaktu anak-anak berlutut di tepi kolam, Fluke menghampiri mereka. Disundulnya kaki anak-anak itu dengan kepalanya.

“Wah,” senu Pete. “Bukan main! Seperti—apakah Fluke mengenali kita?”

“Tentu saja,” sahut Constance. “Mana mungkin Fluke lupa pada kalian yang telah menyelamatkan hidupnya.”

“Tetapi, Fluke kan cuma seekor..."

Belum selesai Pete berbicara, Fluke dengan cepat menyundulkan kepalanya ke arah Pete. Seakan-akan Fluke hendak meyakinkan Pete bahwa Ia tidak lupa pada Trio Detektif meskipun Ia cuma seekor ikan paus.

Constance memberi ikan pada Fluke, lalu muiai memakai sepatu kataknya. Baru sebelah sepatu terpasang, Ia tiba-tiba menoleh. Rasa geram tersirat di wajahnya.

Dua orang laki-laki keluar dan rumah mewah itu dari mendatanginya. Dari keterangan Pete, Jupe dapat mengenali salah seorang dari mereka. Oscar Slater, Jupe merasa yakin.

Dan yang seorang lagi?

Trio Detektif segera mengenalinya. Jantung mereka berdebar-debar. Orang—yang amat jangkung, kurus, dan agak bungkuk itu—memiliki bekas tertekan di sekeliling mata kanannya. hampir seperti bekas luka.

“Kenapa Anda melihat-lihat ke sini lagi!” seru Constance dengan galak pada Slater. “Kan sudah kubilang, Anda tidak usah ikut campur dalam mengurusi ikan paus ini. Biarkan aku yang melatih dan mengurusnya sampai ikan paus ini sanggup mencari peti di bangkai kapal itu."

Slater tidak menanggapi. Ia memandangi Trio Detektif satu per satu.

“Siapa anak-anak ini?” Ia bertanya dengan logat pesisir selatan yang kental.

“Mereka kawan-kawanku,” jawab Constance dingin. “Penyelam. Aku perlu bantuan, dan aku minta bantuan mereka.”

Slater mengangguk. Jupe dapat menyimpulkan bahwa Slater tidak menyukai kehadiran anak-anak di situ. Tetapi Ia tidak dapat menolak kehendak Constance.

“Dan siapa kawanmu itu?” Constance melihat ke arah orang jangkung dan kurus yang berdiri di samping Slater.

“Aku Donner,” orang itu memperkenalkan dirinya. “Paul Donner. Aku kawan lama Mr. Slater. Dan juga kawan baik ayahmu, Miss Carmel.” Ia berhenti, tersenyum. “kawan dari Meksiko.”

Jupe—yang sangat berbakat dalam menarik kesimpulan—segera menyadari situasi yang dihadapi. Orang itu belum pernah dijumpal Constance sebelumnya. Namun dari caranya berbicara, Donner kelihatannya tahu mengenal bisnis gelap peralatan elektronik yang dilakukan ayah Constance di Meksiko. Dengan senyumnya, seakan Ia mengatakan pada Constance untuk tidak usah khawatir, Ia berada di pihak ayah Constance.

Paul Donner masih tersenyum ketika menatap Trio Detektif. “Jadi kalian dapat menyelam,” ujarnya. Kalian bekerja di Ocean World juga dengan Constance?”

“Kadang-kadang,” sela Constance. “Kalau aku butuh bantuan, biasanya aku panggil mereka. Oh, aku belum memperkenalkan mereka. Jupe, Pete, dan Bob,” katanya sarnbil menunjuk pada masing-masing anggota Trio Detektif.

"Paul Donner," ujarnya sambil menyalami anak-anak satu per satu. Tidak nampak di wajahnya bahwa sebenarnya mereka telah berjumpa tadi pagi.

Mungkinkah Ia lupa, pikir Jupe. Atau ia sengaja berpura-pura tidak kenal, karena tidak ingin diketahui Slater bahwa ia dan anak-anak pernah bertemu.

Mengapa? Jupe penasaran. Apa yang disembunyikan Paul Donner?


 

 


Bab7

TIKUNGAN MAUT!

“PAUL DONNER,” kata Jupe. “Apa kaitannya Paul Donner dengan misteri ini?"

Ini terjadi pada keesokan harinya di depan gerbang Pangkalan Jones. Trio Detektif sudah tak sabar menunggu. Constance berjanji untuk menjemput anak-anak setelah makan siang. Ia sudah minta izin dari Ocean World siang itu.

“Aku pikir Ia terlibat dalam kasus ini,” Jupe melanjutkan. “Constance belum pernah mendengar tentang dia sebelumnya, namun Donner tahu banyak tentang ayah Constance, termasuk kunjungannya ke Meksiko.”

"Dan Ia menggeledah rumah Kapten Carmel", Bob menambahkan.

“Persis,” Jupe menyetujui. “Dan Ia kawan lama Slater, jadi kemungkinan besar dialah orang yang bersama Slater di kapal pada saat kita menolong Fluke.”

“Orangnya tidak terbuka,” kata Bob. “Ia tidak memberi tahu Slater bahwa Ia telah bertemu kita di San Pedro.”

“Ada satu lagi yang penting,” Pete nimbrung. “Dia tahu kita lebih banyak daripada kita tahu dia. ingat, kan? Dia mengenali kita sebagai Trio Detektif waktu kita di San Pedro.’

“Menurut hematku,” ujar Jupe, “kupikir Ia tahu segala-galanya. Tentang penyelundupan, badai, kapal yang tenggelam, kalkulator saku dan rencana Slater untuk memanfaatkan Fluke. Semuanya Ia tahu. Namun... di mana letak keterlibatannya?"

Saat itu truk pick-up putih berhenti di depan gerbang. Trio Detektif bergegas naik. Jupe membawa kotak kecil logam. Diserahkannya kotak itu pada Constance.

"Ini yang kaupesan," katanya.

"Sudah jadi?" Constance nampak senang.

Jupe mengangguk. Ia spesial bangun pagi-pagi sekali untuk mengerjakan alat itu, seperti yang diminta oleh Constance malam sebelumnya. Ia memperagakan cara kerja alat itu pada Constance.

Di dalam kotak terdapat sebuah tape recorder yang memakal baterai, mikrofon, dan pengeras suara mini. Jupe telah memasangkan dua buah lempengan plastik tipis di sisi dalam kotak, sehingga tape tetap dapat merekam dan suara kaset tetap terdengar meskipun kotak tertutup.

Ia telah menguji alat itu di bak mandinya tadi pagi. Alat itu bekerja dengan baik. Meskipun direndam air, tidak setetes air pun masuk ke dalam kotak.

"Kau benar-benar jenius elektronika!" sera Constance dengan kagum.

“Ah, ini cuma hobi,” sahut Jupe. Ia memang gemar mengutak-atik benda-benda elektronik sambil membayangkan dirinya sebagai Thomas Alfa Edison, kalau berhasil menciptakan suatu alat unik. Tapi Ia tidak ingin menggembar-gemborkan penemuannya. Harapannya hanyalah alat itu dapat bermanfaat bagi orang lain.

Trio Detektif membawa masker selam dan sepatu katak mereka. Begitu sampai di rumah Siater, mereka berpakaian renang dan berkumpul di pinggir kolam.

Slater dan kawannya, Donner, tidak terlihat.

“Aku ancam mereka,” ujar Constance. “Kalau mereka ikut campur lagi, akan ku...” Ia tidak menyelesaikan kalimatnya.

“Kau akan maju terus, kan?” Bob memberi semangat.

Constance mengangkat bahu. “Aku tak dapat mundur lagi. Ayah sangat butuh uang untuk perawatannya. Kita harus menemukan peti itu.”

"Bagaimana keadaan ayahmu?” tanya Pete.

"Masih gawat. Tapi Ayah orangnya keras. Laki-laki Meksiko tulen,” katanya bangga. “Dokter bilang Ia akan sembuh. Aku belum boleh menjenguknya lama- lama, Ayah masih sukar berbicara. Kalau bicara seperti mengigau, mengulang- ulang suatu kalimat.” Ia berhenti sejenak, mengencangkan sepatu kataknya.

“kalian kan detektif,” sambungnya. “Mungkin kalian dapat menangkap maksudnya. Ia selalu mengatakan, ‘Awas terhadap Dua Tiang. Jaga agar tetap segaris. ' ”

Ia mencebur ke dalam kolam, disambut Fluke dengan girang.

"Dua Tiang?" gumam Jupe sembari menarik-narik bibir bawahnya. “Jaga agar tetap segaris.” Ia berpaling pada Bob dan Pete. “Ada ide?”

“Tiang,” kata Bob. “Mungkin yang dimaksud Paul Donner, yang jangkung dan kurus seperti tiang itu. Ia orang apa, ya? Aku yakin Ia bukan asli dari sini, meskipun logatnya persis seperti orang sini. Ada yang lain dalam caranya berbicara."

"Pengamatan yang baik," puji Jupe. "Ia berbicara dengan kata-kata yang tidak umum dipakai. kalau dia salah satu tiang itu, siapa tiang kedua?”

“Wah, lihat!” tiba-tiba Pete berseru sambil menunjuk ke kolam.

Fluke mengitari kolam dengan cepat dan lincah sembari membawa Constance di punggungnya.

Tanpa terasa setengah jam berlalu. Anak-anak asyik menonton Fluke dan Constance beratraksi. Mereka seperti bermain-main saja, tapi Bob tahu bahwa itu bukan hanya permainan. Sambil bermain, Constance melatih Fluke untuk mentaati instruksi yang dikeluarkannya.

Mereka seperti bersahabat karib, pikir Pete. Begitu akrabnya sampai seolah mereka dapat saling membaca pikiran yang lain. Dan begitu menyatu dalam berpikir dan bergerak, seakan-akan mereka itu satu orang saja.

Setelah Constance memberi makan Fluke, Ia mengajak anak-anak ikut mencebur ke kolam agar Fluke terbiasa berenang dengan anak-anak.

Dengan agak takut-takut, Pete berenang di samping Fluke dan merasakan kepala Fluke menyundul-nyundulnya. Sebagai ikan paus, Fluke tergolong kecil. Tetapi dibandingkan manusia, Fluke besar sekali. Dan kuat. Meskipun demikian Fluke pada dasarnya lemah lembut. Sundulannya pada Pete tidak keras dan tidak menyakitkan. Tidak lama kemudian anak-anak sudah akrab dengannya.

"Bagus sekali," ujar Constance pada anak-anak, ketika mereka naik dan kolam. “Sekarang kita coba tapeku.”

Fluke menanti di seberang kolam. Constance telah melatihnya untuk menunggu seperti itu, dan Fluke baru bergerak kalau dipanggilnya.

Ia menghidupkan tape dalam kotak itu. Lalu menyelam ke dasar kolam.

Sesaat kemudian Fluke menyusul menyelam, dan diam di dasar kolam.

Trio Detektif mengamati Constance di dasar kolam. Terpana. Mengagumkan sekali kekuatan paru-parunya, pikir Jupe. Constance bersantai di dasar kolam dengan nyaman, seperti Bibi Mathilda duduk-duduk di ruang tamunya. Melalui air kolam yang jernih, Pete dapat melihat Constance menjulurkan tape itu ke arah Fluke, lalu tangannya yang satu lagi memetik jari.

Constance berhenti. Kepalanya dimiringkan ke kiri seraya tersenyum.

Hampir dua menit kemudian Ia baru muncul di permukaan, mengambil napas panjang, tapi tidak terengah-engah.

“Aku berhasil,” serunya. “Coba kita dengarkan hasilnya."

Jupe memutar ulang tape itu, lalu menekan tombol PLAY.

Mula-mula cuma terdengar suara air tersibak. Itu Constance ketika baru menyelam. Lalu ada suara klik yang teredam. Itu masih Constance, memetik jari di dalam air.

Suara klik hilang, disusul suara yang jelas melaiui pengeras suara mini. Suara seperti cicit burung. Suara itu bernada tinggi-rendah, diselingi suara berkeletak- keletak seperti suara kastanet.

Tidak persis benar dengan suara burung, pikir Jupe. Lebih bergetar, dan lebih berat. Suara itu seperti... seperti... ah, belum pernah Ia dengar suara seperti itu sebelumnya.

Semenit kemudian suara itu berhenti. Constance mematikan tape.

“Itu suara Fluke?” tanya Bob setengah berbisik. “Fluke bernyanyi untuk Anda?”

“Bernyanyi. Berbicara. Apa saja kau boleh sebutkan,” kata Constance. “Ikan paus berkomunikasi dengan suaranya. Para ahli telah berhasil membedakan lebih dari seribu macam suara yang dihasilkan ikan paus. Di dalam air suara itu merambat dengan cepat dan dalam jarak yang jauh. Seekor ikan paus dapat menangkap suara yang dikeluarkan ikan paus lainnya dalam jarak bermil-mil."

Ia mencopot sepatu kataknya.

“Seperti manusia, ikan-ikan paus mempunyai bahasa sendiri. Bedanya—sepanjang pengetahuanku—sesama ikan paus tidak pernah berkelahi. Mereka sangat tahu aturan. Dan aku yakin mereka tidak pernah berbohong pada ikan paus lainnya. Tidak seperti kita manusia. Manusia sering kali menggunakan bahasanya untuk berbohong, bukan untuk mengatakan yang sebenarnya.”

“Aku boleh mendengarnya lagi, kan?" pinta Pete.

"Boleh. Tapi aku ingin memperdengarkannya pada Fluke dulu.”

Jupe memutar ulang tape itu lagi, lalu menekan tombol PLAY. kemudian Constance mencelupkannya ke dalam air. Trio Detektif memperhatikan Fluke.

Fluke masih diam di dasar kolam dengan tenangnya. Tiba-tiba badannya bergetar. Kedua siripnya melebar ke samping. Dengan satu gerakan bertenaga, Fluke meluncur ke arah mereka.

Mata anak-anak tak berkedip.

Fluke memperlambat gerakannya ketika mencapai kotak logam itu. Bimbang sejenak. Kemudian Fluke menjilati kotak itu.

“Bagus,” ujar Constance seraya mengangkat kotak itu keluar air. “Bagus, Fluke. Pandai sekali.”

Senyumnya masih lebar sewaktu Ia melempar seekor ikan untuk Fluke.

“Itulah yang kuinginkan,” katanya pada anak-anak. "Rencanaku berjalan mulus. Kalau ia dilepas di laut, kita dapat memanggilnya dengan memutar tape ini di dalam air laut."

“Aku dapat merekamnya beberapa kali,” ujar Jupe. "Bisa diulang-ulang sampai kita peroleh rekaman suara Fluke sepanjang setengah jam dalam satu sisi kaset.”

“Ide yang bagus,” sahut Constance. Diserahkannya kembali tape itu pada Jupe.

“Aku ingin menjenguk Ayah,” katanya lagi. “Kalian akan kuantar sampai ke gerbang. Oke?”

Constance tadi memarkir truknya di pinggir jalan di depan rumah Slater. Pete naik ke bak belakang, sementara kedua kawannya duduk di depan bersama Constance.

Sampai belokan pertama, jalan masih lurus dan datar. Sesudah itu mereka menempuh jalan berliku-liku menuruni bukit. Cepat sekali Constance mengendarai mobilnya, pikir Jupe dengan heran. Di sebuah tikungan Constance tidak mengurangi kecepatan. Bob dan Jupe berpegangan erat-erat pada dashboard. Ban truk mendecit-decit, berputar dekat sekali ke tepi jurang.

“Remnya! Remnya blong!” Constance mulai panik. Berkali-kali diinjaknya pedal rem dalam-dalam. Truk tidak melambat. Bahkan makin cepat

Di hadapan mereka ada sebuah tikungan tajam ke kanan.

Truk masih melaju dengan kecepatan tinggi. Constance menarik rem tangan. Percuma, turunan terlalu tajam. Kecepatan makin tinggi. Empat puluh. Lima puluh. Enam puluh mil per jam.

“Pindahkan gigi!” Dalam kepanikan Jupe masih sempat berpikir.

Constance mengoper ke gigi yang lebih rendah. Mesin truk meraung-raung.

Seluruh bodi truk bergetar. Tapi jarum speedometer masih menunjuk angka enam puluh.

Tikungan tajam makin dekat. Di ujung jalan berdiri sebuah rumah besar dikelilingi tembok batu yang kokoh.

Tidak mungkin menikung dengan kecepatan enam puluh mil per jam.

Jupe dan Bob menahan napas.

Truk akan menghantam tembok batu.

Bab8

ORANG KETIGA

CONSTANCE menyetir truk ke tengah jalan. Lalu mepet ke kiri—di sana mobil seharusnya berjalan di jalur kanan. Andaikan ada sebuah mobil datang dari balik tikungan, tabrakan tak dapat dihindarkan lagi.

Tapi tak muncul mobil dan depan. Hanya tampak tembok batu yang berdiri kokoh bagai gunung karang.

Bob dan Jupe menekankan kakinya kuat-kuat pada lantai mobil. Tangan mereka berpegangan makin erat pada dashboard. Bob memejamkan matanya. Jupe mengejangkan seluruh badannya.

Constance mengoper ke gigi satu. Sepersekian detik berikutnya ia membanting setir ke kanan.

Keempat ban seakan berhenti serempak. Bunyi decit ban makin keras. Getaran bodi truk makin hebat.

Jupe masih melihat tembok batu makin dekat. Tapi —secepat cahaya lampu kilat— tahu-tahu tembok batu kini berada di sebelah kirinya. Lalu hilang.

Kini pandangan melalui kaca depan tampak berkelebatan. Bob dan Jupe terbanting-banting. Constance masih menahan setir ke kanan kuat-kuat. Truk berputar-putar melintir.

Raungan mesin, jeritan ban, guncangan bodi truk, Semuanya bercampur-aduk. Diakhiri dengan dentaman yang keras dan suara kaca pecah.

Tembok batu kini berada di samping. Diam tak bergerak. Menutupi pandangan melalul jendela samping di sisi Constance.

Truk telah menghantam tembok batu dengan sisinya. Mesin terbatuk-batuk, lalu mati.

Tidak seorang pun berkata-kata selama beberapa menit. Constance bersimbah peluh, menelungkup sambil memegangi setir. Tangannya gemetaran. Diambilnya napas panjang berulang kali - dalam-dalam. Ia beruntung tidak terkena pecahan kaca. Jendela di sisinya dalam keadaan terbuka lebar sehingga kaca remuk di dalam pintu, tidak melukainya.

“Oke,” akhirnya Ia berkata. Suaranya masih bergetar. "Kalian ada yang luka?" Sambil menghela napas Jupe menggeleng perlahan. Matanya terpejam.

“Bob?” tanya Constance.

Bob baru berani membuka matanya sekarang. Ia juga menggeleng. Tangannya masih mencengkeram dashboard.

Mereka baru ingat Pete.

“Pete!” sera Jupe dengan suara tertahan. Bob mendorong pintu di sampingnya kuat-kuat. Lututnya masih terasa lemah. Tapi dipaksakannya untuk keluar. Sambil berpegangan pada daun pintu, Ia berdiri di kursi depan, setengah badannya menjulur ke luar. Ia melongok ke bak belakang.

Pete tertelungkup di dasar bak. Tangan dan kakinya terentang. Ia tak bergerak “He, Jupe!” teriak Bob. "Cepat!”

Bob memanjat masuk ke bak belakang. Jupe menyusulnya. Mereka berlutut di samping Pete. Dengan hati-hati Bob memegang pergelangan Pete, merasakan denyut nadinya.

Pete mengerang, merasakan sentuhan Bob. Perlahan-lahan matanya terbuka. “Uuh,” desahnya. “Ini dunia atau akhirat?”

“Hhh,” desah Bob sambil bernapas lega. Ia merasa geli melihat kelakuan kawannya yang satu itu. “Kau tidak apa-apa? Masih sempat-sempatnya kau bercanda.”

“Uuh, tulang-tulangku serasa remuk” Pete berbalik dan duduk, lalu meraba-raba sekujur badannya. Tidak satu pun tulangnya patah. “Apa-apaan ini? Tidak tahu ya, aku ada di belakang?! Kalau bukan aku, pasti sudah terpental keluar!”

Jupe menepuk-nepuk bahu Pete. “Ini tidak disengaja, Pete. Siapa sih, yang berani nekat seperti itu? Tindakan Constance menyelamatkan kita. Dan untung kau atlit sejati, kalau tidak.” Ia berusaha membesarkan hati Pete.

Ia termenung sejenak."Dugaanku, seseorang menyabot rem mobil ini.”

“Menyabot? Buat apa?” seru Pete seraya bangkit.

“Itu yang perlu kita selidiki.” sahut Bob.

Sebentar saja sudah ketahuan mengapa rem itu blong. Jupe benar, ada sabotase. Constance memandangi kabel rem kaki dan rem tangan yang terputus di kolong mobil.

“Kabel terpotong dengan rapi, pasti ada yang sengaja memotongnya," ujar Jupe. "Seseorang telah melakukannya sewaktu kita bermain-main dengan Fluke.”

"Seseorang?” tanya Constance. “Siapa?"

Jupe tidak dapat menjawabnya. Tapi Ia berniat untuk mencari siapa pelaku sabotase yang hampir mencelakakan mereka itu.

Constance menghubungi kawan-kawannya pemilik truk derek, dan anak-anak diantar sampai pangkalan barang bekas. Selama itu, Jupe mengerahkan segala kemampuan otaknya untuk mencari sebab sabotase dan siapa pelakunya.

Baru pada saat duduk bersandar di bangku dalam kantor Trio Detektif, Jupe menemukan jawabannya. “Seseorang tidak ingin kita berhasil menemukan bangkai kapal Kapten Carmel. Ia menghalang-halangi dengan mencoba mencelakakan kita dan Constance agar kita berhenti mencari bangkai kapal itu, agar Constance berhenti melatih Fluke.”

Ia berhenti sejenak, menarik-narik bibir bawahnya.

"Sekarang," lanjutnya, "ada tiga orang yang patut dicurigai. Sampai sejauh ini, hanya tiga.”

“Pertama.” Jupe mengangkat telunjuknya yang gemuk lurus-lurus. “Oscar Slater. Namun Slater tidak punya alasan yang cukup kuat untuk menghalangi pencarian bangkai kapal itu. Jelas-jelas dialah yang menemukan Fluke dan meminta Constance melatih Fluke. Semua itu ditujukan untuk mencari bangkai kapal Kapten Carmel.”

Jupe berhenti lagi.

"Kedua." Jari tengahnya yang juga gemuk diangkatnya. “Paul Donner. Apa yang kita ketahui tentang dia? Sewaktu kita berjumpa dengannya di San Pedro, dia telah tahu nama kita. Dia tahu bahwa kita Trio Detektif. Dari mana dia tahu?”

Pete dan Bob mendengarkan.

“Paul Donner berbohong pada kita, mengaku sebagai ayah Constance,” lanjut Jupe. “Tetapi Ia juga mengatakan hal-hal yang benar. Ia bilang Kapten Carmel sedang bersama Oscar Slater pada saat kapalnya diserang badai. Tidak bukan begitu tepatnya.” Jupe memejamkan mata, mengingat-ingat pertemuan di San Pedro itu. “Tepatnya, Ia mengatakan kapten Carmel membawa Oscar Slater pulang dari memancing di Baja California ketika mendadak badai menyerang.”

Bob dan Pete membenarkan. Jupe jarang sekali salah mengingat perkataan orang lain.

Jupe mengangkat telepon dan memutar sebuah nomor.

“Halo.” Suara Constance terdengar melalui pengeras suara.

“Halo. Di sini Jupe.”

“Halo, Jupe. Ada apa? Suaramu seperti cemas.”

“Aku tidak cemas,” kata Jupe. “Aku cuma penasaran.”

“Penasaran soal apa?”

“Ada beberapa persoalan?’ sahut Jupe. “Kau mungkin dapat membantu memecahkannya.”

“Mudah-mudahan.” “Begini, sewaktu kami memberikan kartu Trio Detektif di kantormu, apakah kau menunjukkannya atau mengatakannya pada orang lain?”

"Tidak."

“Kauletakkan di mana kartu itu?”

“Di atas mejaku, kenapa?”

“Mungkinkah terlihat orang lain?”

“Mungkin sekali. kantorku dipakai oleh beberapa orang pelatih lainnya, jadi hampir tidak pernah terkunci.”

“Jadi seseorang bisa saja masuk ke dalam kantormu, lalu melihat kartu di atas mejamu itu?”

“Ya, Aku sendiri tidak begitu memperhatikan kartu kalian sampai kalian pergi. Lalu...”

“Lalu kau menjadi khawatir akan nasib Fluke. Kau bergegas pergi ke rumah Oscar Slater untuk melihat keadaan yang sebenarnya.”

“Betul. Dari mana kau tahu?”

“Kami masih di pelataran parkir ketika kau lewat mengendarai truk putih dengan tengesa-gesa.”

"Oo, itu kalian toh," kata Constance. "Aku memang hampir menabrak tiga orang anak waktu itu. Aku ingat sekarang. Ada persoalan lain, Jupe?”

“Ada. Tentang ayahmu. Ketika ayahmu bersama Slater berlayar ke Baja California untuk menjual kalkulator saku itu...”

"Ya. "

“Berapa lama kapal itu telah berlayar sebelum diserang badai hingga tenggelam?"

Untuk beberapa saat Constance terdiam. Ia mencoba mengingat-ingat.

“Aku tak tahu,” ujarnya. “kantorku cukup jauh dari San Pedro, jadi aku tinggal bersama seorang kawan wanitaku di Santa Monica. Biasanya aku pulang menengok Ayah setiap Senin. Tapi Senin itu aku harus ke San Diego. Dua minggu aku tidak menengok Ayah, sampai ada telepon dari rumah sakit...”

Suaranya menjadi serak. Ia teringat bagaimana kagetnya sewaktu mendengar berita itu.

Dengan sabar Jupe menanti.

"Maaf, aku tidak bisa memberimu jawaban yang memuaskan,” kata Constance dengan suara yang biasa kembali. “Aku benar-benar tak tahu persis. Tetapi sekitar dua minggu itulah, atau kurang.

Tapi mungkin juga persis dua minggu, kan?

Mungkin saja. Apakah ini penting?"

Jupe mengiyakan. Setelah telepon ditutup, Jupe duduk terpekur beberapa saat lamanya. Apakah Kapten Carmel dan Oscar Slater sudah berlabuh di Baja?

Apakah mereka dalam perjalanan pulang ketika diserang badai? Ia harus menemukan jawabnya.

Bagaimana?

Ia menoleh pada Pete. “Bagaimana kalau kita berkunjung ke Malibu sebentar?" usulnya.

"Usul yang bagus," seru Pete dengan bersemangat. “Kenapa tidak dari kemarin kau usul begini.... "

"Kau mau, Bob?”

"Oke."

Bob dapat menangkap tujuan Jupe ke Malibu, dan Ia menyetujui usul itu. Tetapi pikiran Bob masih disibukkan dengan apa yang dikatakan Penyelidik Satu sebelumnya.

Ada tiga orang yang patut dicurigai, begitu Jupe tadi berujar.

Baru dua yang disebutkannya.

Oscar Slater.

Dan Paul Donner.

“Tunggu dulu, Jupe,” kata Bob. “Siapa orang yang ketiga?"

Tetapi Penyelidik Satu telah membuka tingkap menuju Lorong Dua.

Tanpa menanggapi pertanyaan Bob, ia menyusup ke dalam lorong.

Bab 9

PERTOLONGAN MR. SEBASTIAN "NASI MERAH," kata Hoang Van Don dengan bangga seraya meletakkan sebuah mangkuk besar di meja. Hoang Van Don, yang berasal dari Vietnam itu, bekerja sebagai pembantu rumah tangga Hector Sebastian. Ia gemar sekali memasak, hampir segala macam resep dicobanya.

"Makanan yang menyehatkan," kata Don, "mengandung banyak vitamin."

Seperti apa rasanya, pikir Pete, belum pernah kulihat nasi seperti ini. Ia membungkuk mencium bau nasi merah itu.

Jangan heran, Amerika Serikat nasi memang makanan yang langka. Hanya sekali- sekali saja orang Amerika makan nasi, dan hampir tidak pernah makan nasi merah.

"Silakan," kata Hector Sebastian. "Sikat saja." Mr. Sebastian tahu bahwa anak- anak suka makan, terutama Pete.

Mereka bersantap di ruang tamu Mr. Sebastian yang luar biasa besarnya. Di salah satu sisinya berderet kaca-kaca, memperlihatkan pemandangan yang indah ke Samudra Pasifik. Rumah di Malibu itu dulunya merupakan Charlie's Place. Hector Sebastian membelinya setelah kisah-kisah misteri yang dikarangnya mulal laris, bahkan sampai difilmkan. Sejak saat itulah Ia sedikit-sedikit memperbarui bekas restoran itu menjadi rumah yang nyaman dan artistik.

Pete mencicipi sesendok nasi merah dengan ragu-ragu. Hmm, enak juga, ya, ujarnya. Segera Ia makan dengan lahap.

"Kalian melihat perubahan di rumah ini?" tanya Mr. Sebastian pada anak-anak. "Sudah banyak kulakukan perubahan di sini semenjak kunjungan kalian yang terakhir."

Jupe melihat berkeliling. Ruangan itu dahulu berfungsi sebagai ruang makan utama Restoran Charlie's Place.

"Anda mengganti seluruh ubinnya, Mr. Sebastian." kata Jupe. "Dan Anda membeli kursi goyang."

Hector Sebastian tersenyum bangga. "Aku tidak membelinya. Aku diberi oleh sebuah perusahaan film. Kursi goyang itulah yang dipakai dalam filmku yang terbaru, Chill Factors. Kau ingat salah satu adegan di film itu, ketika si wanita tua dicekik dengan gantungan baju kawat?"

Jupe masih ingat samar-samar. Si wanita tua sedang duduk di kursi goyang itu sewaktu seseorang bersarung tangan hitam mendatanginya dan belakang.

Jupe heran, buat apa Mr. Sebastian menyimpan k kursi itu. Padahal kursi itu mengingatkan pada peristiwa yang menyeramkan. Sesaat kemudian Jupe ingat bahwa Mr. Sebastian memang kadang-kadang nyentrik.

Sifat nyentriknya membuat Mr. Sebastian selalu mau menerima anak-anak, sekalipun Ia sedang sibuk bekerja. Ia siap setiap saat mendengarkan kisah petualangan Trio Detektif, dan juga siap mengulurkan tangan untuk membantu.

Bertahun-tahun lamanya Mr. Sebastian bekerja sebagai detektif, sampai suatu saat Ia mengalami kecelakaan. Kakinya terluka cukup parah. Sejak itu Ia mulai beralih profesi menjadi penulis kisah misteri. Dan karena buku-buku karangannya laris, Ia merasa tidak perlu lagi bekerja sebagai detektif. Ia cukup puas dengan bekerja sebagai penulis buku dan naskah film misteri.

Latar belakang kehidupannya sebagai detektif membuat Mr. Sebastian senang mendengar kisah petualangan Trio Detektif. Kisah-kisah misteri anak-anak membuatnya teringat akan masa lalunya. Seakan-akan dirinya sendiri yang melakukan penyelidikan dan memecahkan misteri yang dihadapi anak-anak.

Karena itu, tanpa diminta, Mr. Sebastian lang-sung menelepon ke beberapa tempat untuk mencari informasi. Mr. Sebastian masih berhubungan baik dengan beberapa pihak yang bersedia memberinya keterangan yang Ia perlukan.

Dengan harap-harap cemas, Trio Detektif menanti keterangan yang diperoleh Mr. Sebastian. Tanpa bantuannya, mereka akan setengah mati mencari keterangan yang amat diperlukan itu.

Pete sudah menyikat habis sepiring nasi merah. Ia mulai menyendok lagi, mengisi piring kedua.

"Kau doyan, Pete?" kata Don sembari tersenyum puas.

"Ya, rasanya gurih juga," sahut Pete dengan suara tak jelas. Mulutnya masih penuh nasi.

"Iya, tapi habiskan dulu nasi di mulutmu!" Bob memandang Pete dengan geli.

"Sudah sampai di mana buku yang sedang Anda karang, Mr. Sebastian?" tanya Jupe ketika Mr. Sebastian kembali. Selain bercerita tentang petualangan misteri yang dialaminya, Jupe juga tertarik sekali pada kisah-kisah karangan Mr.

Sebastian.

"Sebentar lagi selesai," jawab Mr. Sebastian seraya duduk. "Komputerku sangat membantu mempercepat penulisan buku itu. Enak sekali, rasanya seperti... "

Ia terhenti. Telepon berdering

Mr. Sebastian mengambil sebuah tongkat dari samping kursinya. Sambil bertelekan tongkat, Ia berjalan dengan sedikit pincang. Akibat kece!akaan itu masih dirasakannya sampai sekarang. Dering telepon terdengar lagi dari balik rak buku. Meja besar di balik rak buku itu dijadikan tempat kerja Mr. Sebastian. Komputer, printer, dan sebuah pesawat tetepon terdapat di meja itu.

Trio Detektif mendengar Mr. Sebastian menjawab telepon. Mereka memasang telinga, penasaran karena tidak dapat mendengar suara Mr. Sebastian dengan jelas.

Ruangan itu terlalu besar, dan meja kerja Mr. Sebastian terletak di salah satu sudut ruangan di seberang meja makan.

Pete mencoba mendengarkan dengan begitu seriusnya, sampai-sampai Ia tidak sadar bahwa sudah dua piring nasi merah dilahapnya. Bob memandang dengan heran pada kawannya yang satu itu. Pete seakan dapat menelan makanan apa saja yang disajikan di depannya. Bagi Bob sendiri nasi merah itu terasa aneh. Maklumlah, lidahnya memang tidak terbiasa dengan nasi.

"Tambah lagi, Pete?" tanya Don. Ia mengangkat piring Pete, hendak menambahkan nasi merah lagi.

"Cukup, cukup!" seru Pete sambil menahan piringnya. "Bisa meledak perutku nanti!"

Saat itu Mr. Sebastian berjalan kembali dari sudut di seberang ruangan, terpincang- pincang, sambil membawa sehelai kertas.

"Well," katanya seraya memperlihatkan kertas itu pada Trio Detektif. "Aku dapat berita. Mudah-mudahan berguna bagi kalian."

"Apa beritanya?" tanya Jupe dengan bersemangat.

"Dari Badan Imigrasi Meksiko di La Paz, Baja California. kapal kapten Diego Carmel, Lucky Constance, berlabuh di La Paz pada tanggal 10 Februari. Kapten Carmel membawa seorang penumpang bernama Oscar Slater. Setelah dua hari singgah di sana, mereka berlayar kembali pada tanggal 12 Februari."

Jupe mengernyit.

"Terima kasih, Mr. Sebastian." katanya. "Kapal Kapten Carmel tenggelam tanggal 17 Februari. Itu berarti mereka diserang badai dalam perjalanan kembali ke San Pedro."

Ia menoleh pada Bob, lalu pada Pete. "Dan itu berarti pula," lanjutnya, "kalau mereka memang membawa peti berisi kalkulator saku untuk diselundupkan ke Meksiko..."

Ia berpaling pada Hector Sebastian.

"Well, mungkin mereka gagal menyelundupkan barang itu, sehingga mereka bawa pulang kembali. Atau mereka telah berhasil menyelundupkan barang itu. Dalam hal ini Oscar Slater berbohong pada Constance dengan mengatakan bahwa peti berisi kalkulator itu ikut tenggelam. Bagaimana menurut Anda, Mr. Sebastian?"

"Menurutku jalan pikiranmu benar, Jupe." Hector Sebastian tersenyum. "Kelihatannya perjumpaan kalian dengan Fluke yang tak disengaja akan membawa kalian ke dalam suatu petualangan baru. Suatu misteri yang makin lama makin menarik.. dan aneh."

Bab 10

RAKSASA TANPA MUKA “KAU bisa memperbaikinya, Jupiter?” tanya Bibi Mathilda.

Jupiter mengamat-amati mesin cuci tua di hadapannya.

Paman Titus membelinya semalam. Catnya sebagian besar sudah mengelupas, dan di sana sini bahkan sudah timbul karat.

“Akan kucoba, Bibi Mathilda,” janji Jupe. “Akan kukerjakan seharian ini.”

Bibi Mathilda tersenyum. Ia selalu senang melihat anak yang mau bekerja. Dan sekarang, keponakannya, Jupiter, mempunyai sesuatu unik dikerjakan. Prinsipnya, seorang anak boleh bermain, tetapi anak itu juga harus diajari untuk bekerja, harus diberi tanggung jawab.

“Kautekuni pekerjaanmu, ya Jupiter,” katanya dengan perasaan puas. “Nanti kubuatkan makan siang yang nikmat, khusus untukmu.”

Jupe tidak berkeberatan menghabiskan waktu seharian di pangkalan barang bekas. Sebelumnya, Ia sudah sering melakukannya. Dan yang jelas, setelah bekerja seharian, besok Ia akan bebas seharian penuh juga.

Besok pagi anak-anak telah berjanji menemui Constance di teluk tempat mereka menemukan Fluke. kawan-kawan Meksikonya akan membawa Fluke dengan truk derek. Penyelaman untuk mencari bangkai kapal yang tenggelam akan dimulai.

Dalam waktu sejam, Jupe sudah mencopot motor mesin cuci dan membongkarnya. Motor itu temyata tidak seburuk penampilan luarnya. Model tua, mungkin dibuat sebelum zaman perang, pikir Jupe, paling tidak sudah tiga puluh tahun umumya.

Motor itu memerlukan ban pemutar baru. Jupe harus membuatnya, karena ban seperti itu sudah tidak dijual lagi sekarang. Mulailah Ia mengorek-ngorek tumpukan barang rongsokan di Pangkalan Jones, mencari ban karet yang cukup kuat.

Tiba-tiba Jupe terhenyak. Begitu sibuknya ia bekerja memperbaiki mesin cuci tua itu, sehingga untuk beberapa saat tidak tahu apa yang mengagetkannya. Sebuah lampu merah berkedip-kedip di meja kerjanya. Itu berarti seseorang menelepon ke kantor Trio Detektif.

Jupe memang tidak gesit sekali, tapi dalam waktu kurang dari setengah menit Ia dapat menyingkirkan papan, merayap di Lorong Dua, mengangkat tingkap, naik ke kantor, lalu mengangkat telepon di meja kantor.

“Halo,” katanya dengan napas tersengal-sengal. “Jupiter Jones di sini.”

“Halo, Mr. Jones,” terdengar suara yang sudab dlikenalnya. “Aku menelepon untuk mengetahui sampai di mana kemajuan pekerjaanmu dengan ikan paus itu."

Logat pesisir selatan masih terdengar jelas di telinga Jupe.

“Aku sudah rnenunggu-nunggu telepon dari Anda," kata Jupiter." Telah banyak yang kami kerjakan. Anda akan senang mendengarnya. Besok jam tujuh pagi, Fluke, maksudku ikan paus itu, akan bebas kembali di lautan. Tugas kami selesai, kan?”

T idak ada j awaban.

"Halo?" kata Jupe. "Halo?"

“Well, itu baru berita, Mr. Jones,” orang itu baru menyahut. "kau pantas diberi ucapan selamat."

"Terima kasih."

“Dan diberi imbalan juga. Seratus dolar menurut perjanjian kita.”

“Ya. kalau Anda memberi alamat Anda, akan kami kirimkan foto pelepasan ikan paus itu di laut. Setelah itu Anda dapat mengirimkan wesel pada kami."

“Tidak perlu repot-repot seperti itu. Aku percaya pada kalian. Tetapi, aku harus keluar kota selama beberapa minggu. Jadi kalau kau ada waktu, Mr. Jones, bisakah kau menemuiku malam ini? Akan kuberi uang seratus dolar kontan.”

“Bisa... dan terima kasih atas kepercayaan Anda,” Jupiter menyetujui, walaupun dalam benaknya ia heran. Mengapa orang itu masih belum memberikan nama dan alamatnya? Mengapa ia tidak merasa perlu dikirimi foto sebagai bukti pelepasan Fluke ke laut? Mengapa ia begitu percaya pada perkataan Jupe?

“Di mana kita bisa bertemu, dan kapan, Sir?” tanya Jupe.

“Kau tahu Burbank Park?”

Jupe tahu. Bertahun-tahun yang lalu, Burbank Park merupakan taman rekreasi yang ramai dikunjungi orang. Di tengah-tengahnya berdiri sebuah panggung pertunjukan. Setiap hari Minggu orang berduyun-duyun pergi ke sana untuk menyaksikan pertunjukan dari grup-grup band ternama.

Nanun perkembangan kota Rocky Beach menggeser kepopuleran Burbank Park. Perumahan di Burbank mulai ditinggalkan orang. Lambat laun Burbank Park menjadi sepi. Taman itu masih ada, tapi sangat tidak terawat. Alang-alang yang tinggi dan semak-semak belukar tumbuh di sana sini. Sejak bertahun-tahun yang lalu tidak ada lagi grup band yang manggung di sana.

Sejak itu pula tidak ada orang yang berani mengunjungi Burbank Park.

Jam delapan malam ini, si penelepon memberi instruksi pada Jupe. “Tidak perlu mengajak kawan-kawanmu, Mr. Jones. Datang saja sendiri. Kutunggu di panggung pertunjukan?"

Sir... ” Jupe mau mengusulkan tempat lain saja. Tapi terlambat. Telepon sudah ditutup.

Jupe berdiri termangu memandangi mejanya, berpikir. Orang itu memintanya datang seorang diri. Permintaan itu mengundang kecurigaannya.

Ia mengangkat teleponnya lagi, lalu menelepon Bob dan Pete. Ia memberi tahu tentang si penelepon misterius serta tempat dan waktu pertemuan di Burbank Park. Setelah itu Ia kembali sibuk memperbaiki mesin cuci tua.

Jam lima sore Jupe baru selesai memperbaiki alat pencuci kuno itu. Dipanggilnya Bibi Mathilda untuk menyaksikan mesin itu bekerja.

Mesin itu berdengung keras ketika motor berputar, makin lama makin cepat. Seluruh badan mesin itu bergetar, bahkan berguncang seperti diguncang gempa bumi. Meskipun demikian, mesin cuci itu sudah dapat digunakan. Bibi Mathilda mengangguk-angguk puas.

“Kau anak cekatan, Jupiter,” katanya. “Lebih baik kau bekerja seperti ini daripada bermain teka-teki bersama kawan-kawanmu. Kau akan dapat es krim sehabis makan malam."

Setelah makan malam, Jupe menyikat habis semangkuk es krim. Segera setelah itu Ia bergegas mengayuh sepedanya ke luar pangkalan, menuju pinggiran kota.

Burbank Park nampak menyeramkan, seperti sebuah hutan belantara yang belum pernah dijamah. Sebelum masuk ke taman, Jupe turun dari sepedanya. Dirogohnya sepotong kapur dan kantungnya, lalu digambarnya tanda '?' di pinggir jalan.

Tanda itu suatu kode yang sering digunakan Trio Detektif. Masing-.masing mempunyai kapur dengan warna berbeda. Jupe putih. Bob hijau. Dan Pete biru. Mereka sengaja memilih tanda '?' karena selain tanda itu dipakai sebagai simbol di kartu mereka, tanda seperti itu juga tidak akan mengundang kecurigaan orang lain. Orang yang kebetulan melihat tanda '?' di jalan, atau di sebuah tiang, tidak akan menaruh curiga apa-apa. Paling-paling mereka mengira itu perbuatan anak iseng saja.

Jupe menemukan sebuah jalan setapak ke arah taman. Di kiri kanannya alang- alang tumbuh dengan lebat. Dikayuhnya sepeda perlahan-lahan. Setiap beberapa meter Ia berhenti untuk menggambar tanda '?' di batu, di pohon, atau apa saja yang bisa ditulisi.

Jupiter Jones bukanlah anak yang suka berkhayal. Ia boleh dikatakan seorang pemikir yang berbakat dalam menarik kesimpulan. Baginya semak adalah semak, rumput adalah rumput, dan pohon adalah pohon. Tidak lebih, tidak kurang. Paling­paling semak dapat dijadikan tempat bersembunyi dalam permainan petak umpet.

Tapi toh tatkala berjalan mendekati taman, Jupe merasa sekelilingnya seperti bangkit. Mengancam, mengerikan. Cabang-cabang pohon yang terjuntai seakan seperti tangan yang terjulur. Rantingnya seolah seperti jari-jemari yang hendak mencengkeram. Semuanya bagaikan hendak menangkapnya. Lalu menyeretnya ke dalam kegelapan malam.

Jantungnya berdebar-debar.

Ia dapat melihat panggung pertunjukan di depannya sekarang. Atapnya telah runtuh, lantainya ditumbuhi rumput liar di sana sini. Perlahan disandarkannya sepeda di samping panggung. Digambarnya tanda '?' pada sebuah kayu lapuk.

“Mr. Jones."

Jupe tersentak. Jantungnya seakan mau copot. Hampir saja Ia menjatuhkan sepedanya saking kagetnya. la memandang berkeliling.

Tidak ada siapa-siapa. Tidak nampak seorang pun.

“Ya?” Jupe mencoba menjawab. Tenggorokannya serasa tersumbat.

Terdengar suara gemerisik. Seseorang berjalan menerabas alang-alang, pikir Jupe. Gemerisik itu makin jelas dan makin jelas. Akhirnya Jupe dapat melihat sesosok bayangan dalam jarak dua meter di hadapannya.

Orang itu amat tinggi. Topinya ditekan dalam-dalam dan tepi topi itu dimiringkan sampal menutupi telinganya. Bahkan matanya pun sukar dilihat. Jupe melihat sebuah muka yang... lebih tepat dikatakan orang itu tidak mempunyal muka! Hampir-hampir rata wajah orang itu! Seperti sebuah foto yang kabur gambarnya, tidak terfokus..

Satu hal yang tidak dapat dilupakan Jupe adalah ukuran tubuh orang itu. Luar biasa besarnya. Di balik jaketnya tentu bertimbun-timbun otot yang kekar, pikir Jupe. Bahunya sangat lebar. Dan tangannya luar biasa kekarnya. Kalau bukan gorila, pasti Ia seorang raksasa.

“Mendekatlah, Mr. Jones,” kata orang itu. “Akan kuberi apa yang kaucari.”

Ragu-ragu Jupe melangkah. Baru dua langkah diayunkan, tahu-tahu tangan orang itu mencengkeram bahu Jupe. Dengan kasar diputarnya Jupe. Satu tangannya mencengkeram tengkuk Jupe. Jupe meronta-ronta mencoba melepaskan cengkeraman itu. Untuk sesaat Jupe berhasil memegang tangan kekar itu. Aneh. Rasanya lembek, seperti roti.

Tapi dengan gerakan cepat, satu tangan Jupe ditelikung di belakang punggungnya. Orang itu mengunci tangan Jupe. Dan tangannya yang satu lagi menjambak rambut Penyelidik Satu.

Jupe tak berkutik lagi. Bergerak sedikit saja membuat orang itu menekan tangannya yang tertelikung, membuatnya mengerang kesakitan.

“Sekarang patuhi perintahku, Mr. Jones!”

Jupe dapat merasakan napas orang itu di telinganya.

“Mengerti, Mr. Jones?”

Jupe mencoba mengangguk. Tapi kepalanya tak dapat digerakkan.

“Kalau tidak, Mr. Jones,” suara itu makin dekat ke telinganya - logat pesisir selatan yang kental terdengar jelas sekali, “akan kupatahkan batang lehermu. "

Bab 11

SERGAPAN MENDADAK!

JUPE menuruti kata orang itu.

Ia berjalan melalui jalan setapak menjauhi panggung. Jalan setapak itu bukan jalan yang dilaluinya tadi. Ia berharap bisa menggambar tanda '?' di pohon yang dilaluinya. Tapi jangankan menggambar tanda, merogoh kapur di kantungnya saja Ia tak dapat. Orang itu masih menelikung tangan kanannya dan menjambak rambutnya. Dengan kasar ia mendorong-dorong Jupe seraya menunjukkan jalan yang dikehendakinya.

Mereka sampai di jalan di pinggir taman. Sambil tetap menelikung tangan Jupe, dibukanya bagasi sebuah mobil limousin tua yang terdapat di sana.

“Masuk!” perintahnya.

Jupe sempat melihat ke sepanjang jalan. Tidak terlihat orang lain. Tidak ada yang bisa menolongnya.

Jupe meronta mencoba membebaskan diri. Percuma. Tangannya terkunci erat di belakang punggungnya. Makin kuat Ia meronta, makin sakit tangannya terasa. Orang itu menghimpitkan badannya yang lunak pada punggung Jupe. Jupe meronta lagi. Malahan Ia jadi kehilangan keseimbangan. Dengan kasar orang itu mendorong Jupe ke dalam bagasi.

"Ahhh,” Jupe mengerang ketika kepalanya terbentur benda di dalam bagasi itu. Separuh badannya masih di luar. Kedua tangannya bebas kini. Tapi benturan itu membuatnya pusing. Dengan kepalanya yang puyeng cuma satu yang dipikirkannya. Memberi tanda. Ia merogoh kantungnya , lalu menjatuhkan kapur putih ke jalan.

Orang itu sibuk mengangkat kaki Jupe, memasukkannya ke dalam bagasi. Ia tidak melihat kapur putih yang dijatuhkan Jupe. Ketika seluruh badan Jupe masuk, dibantingnya pintu bagasi.

Jupe mendengar suara mobil dihidupkan. Ia merasa mobil berjalan perlahan.

Jupe hanya bisa meringkuk dalam bagasi yang sempit dan gelap itu. Udara terasa sumpek, dan berbau oil. Jupe meraba-raba sekeiilingnya. Dan baunya Jupe dapat menyimpulkan bahwa mobil limousin itu boros oli. Orang yang memiliki mobil seperti itu biasanya membawa cadangan oli yang cukup banyak.

Tangannya menyentuh benda yang ia cari-cari. Kaleng oli. Sambil meraba-raba dikeluarkannya pisau Swiss, alat serbaguna yang ke mana-mana dikantunginya. Pada alat itu terlipat sebilah pisau kecil, sebuah sendok, sebuah gergaji mini, dan sebuah alat pembuka botol. Dilubanginya kaleng oil dengan pisau kecil.

Dasar bagasi penuh dengan karat mungkin karena mobil limousine itu sudab sangat tua. Dengan gergaji mini dilubanginya dasar bagasi.

Ia menumpahkan oli sedikit demi sedikit melalui lubang tadi, sambil berharap agar kedua kawannya akan memperhatikan tanda itu.

Mobil limousin berjalan sangat lambat. Jupe beruntung karena jarak yang ditempuhnya tidak jauh. Masih ada setengah kaleng oli lagi ketika limousin berhenti.

Pintu bagasi terbuka. Manusia raksasa itu menjambak rambut Jupe.

“Keluar!" bentaknya.

Jupe terpaksa rnenurutinya. Ia paling tidak suka rambutnya ditarik-tarik orang, apalagi dijambak.

Ketika berdiri, dilihatnya sebuah rumah kayu yang bobrok. Mobil limousin diparkir di depannya. Sambil menjambak, orang itu mendorong Jupe ke arah rumah bobrok itu. Papan teras berkeriat-keriut sewaktu Jupe menginjaknya. Orang itu mengambil kunci dari kantungnya, Ialu membuka pintu.

“Masuk!” Jupe merasa rambutnya dijambak sangat keras, lalu Ia dihempaskan ke dalam rumah.

Tersungkur Jupe, masuk ke rumah bobrok itu. Pintu dikunci. Lampu dinyalakan.

Jupe baru dapat melihat mengapa manusia raksasa itu seperti tidak mempunyai muka. Ia memakai sebuah kaus nilon di kepalanya, sampai ke batas lehernya. kaus yang berfungsi sebagai topeng itu membuat hidung, mulut, dan matanya hampir rata.

Kalau Ia pernah berjumpa orang itu sebelumnya, Jupe tak akan mengetahuinya. Dan sebaliknya, seandainya Ia bertemu lagi dengan orang itu, pasti Jupe tidak akan dapat mengenalinya.

Diterangi cahaya lampu, orang itu tampak lebih besar dan tegap. Mungkin lemak, bukan otot, yang bertimbun di balik jaket yang dipakainya. Tapi bahu dan lengannya benar-benar besar dan kekar.

Jupe melirik ke sekeliling ruangan. Ada bangku kayu, meja reyot dengan telepon di atasnya, dan kain gorden lusuh menutupi jendela. Hanya itu. Tidak ada apa-apa lagi. Tidak ada koran atau majalah, dan pada dinding tidak tergantung apa-apa. Jupe berkesimpulan orang itu belum lama tinggal di situ.

“Masuk ke sana!” bentak manusia raksasa itu dengan logat pesisir selatan.

Didorongnya Jupe ke arah sebuah pintu di sudut ruangan. Dihempaskannya Jupe melalui pintu itu. Lalu pintu dibanting, dan dikuncinya.

Kamar itu gelap. Dengan meraba-raba Jupe segera menyadari bahwa ia disekap dalam sebuah kakus.

“Halo.”

Jupe mendengar suara orang itu di ruangan sebelah. Pasti ia sedang menelepon. Jupe menempelkan telinganya pada lubang kunci pintu kamar.

“Halo,” ia mendengar orang itu berkata lagi. “Aku ingin bicara dengan Miss Constance Carmel.”

Hening sesaat. Lalu orang itu melanjutkan lagi. “Aku ingin memberi tahu, Miss Carmel, bahwa kawanmu, Jupiter Jones, kusandera,” kata orang itu.

Sunyi sejenak

"Ya. Aku menculiknya."

Sunyi kembali.

“Tidak. Aku tidak minta uang tebusan. Aku cuma ingin memberi tahu bahwa kalau kau tidak segera membebaskan ikan paus kecil itu ke lautan, dan membatalkan rencana pencarian bangkai kapal ayahmu... "

Sunyi sejenak. Sunyi yang penuh ancaman.

“Kau tidak akan pernah bertemu dengan Mr. Jones lagi untuk selamanya!” Logat pesisir selatan terdengar kental, penuh ancaman.

Jupe mendengar telepon ditaruh.

Trio Detektif sudah sering menghadapi situasi yang sulit —bahkan berbahaya— dalam petualangan-petualangan mereka. Mereka pernah berurusan dengan ikan hiu. Mereka juga pernah tersekap dengan tangan dan kaki terikat di sebuah rumah berhantu. Tapi bagi Jupe, situasi sekarang inni yang paling buruk. Manusia raksasa itu tidak main-main dengan ancamannya.

Jupe telah memberi tahu Bob dan Pete bahwa ada tiga orang yang patut dicurigai, berkaitan dengan penyabotan rem truk Constance. Oscar Slater. Lalu Paul Donner. Orang ketiga yang belum disebutkan Jupe waktu itu ialah si penelepon gelap, yang menawarkan seratus dolar kalau mereka bisa membebaskan Fluke.

Ternyata si penelepon menginginkan agar Trio Detektif menghalangi Oscar Slater dan Constance mencari reruntuhan kapal Kapten Carmel. Si penelepon tidak ingin kapal itu ditemukan. Ia tidak ingin apa pun yang ada di kapal itu diselamatkan.

Dulu Ia pernah mencoba mencelakakan Constance dan Trio Detektif —bahkan hampir membunuh mereka— dengan memotong kabel rem truk. Sekarang Jupiter disandera. Jupe memikirkan bagaimana caranya ia bisa meloloskan diri. Ia harus lari dari situ. Ancaman orang itu akan segera dilaksanakan, kalau permintaannya tidak dituruti.

Jupe berlutut, lalu mengeluarkan pisau Swissnya. Kalau saja Ia dapat mencongkel kunci pintu...

Orang itu luar biasa besar, seperti gorila. Namun Ia juga gemuk. Jupe masih ingat ketika Ia sempat memegang lengan orang itu. Lunak seperti roti.

Kalau saja Jupe dapat mengelabuinya...

Jupe menyelipkan pisau kecil ke dalam lubang kunci.

Ia bekerja dengan hati-hati sekali, berusaha tidak menimbulkan bunyi. Orang itu terdengar mondar-mandir di ruangan sebelah. Setiap kali Ia menginjak lantai kayu, terdengar suara berkeriat-keriut. Jupe memanfaatkan kesempatan itu untuk mencongkel-congkel lubang kunci.

Tiba-tiba terdengar suara berderak kenas. Seperti kayu patah. Apakah orang itu jatuh ke lantai?

Pada saat itu Jupe telah berhasil membuka kunci pintu. Dibukanya pintu dengan mendadak. Bersamaan dengan itu Ia menghambur keluar.

Pada detik yang bersamaan, pintu depan didobrak dan tersibak terbuka.

Dalam sekejap Jupe melihat ada orang lain menyerbu ke dalam ruangan itu. Pete melayang di udara, menerjang orang itu. Manusia raksasa itu jatuh terduduk, tidak siap mendapat serbuan mendadak. Bob berlari masuk dari pintu depan.

Detik berikutnya Trio Detektif bergerak cepat dan kompak seperti pasukan komando yang terlatih. Sebelum manusia raksasa berjaket itu bangkit, Jupe dan Pete sudah keluar melalui pintu depan. Bob berlari di dekatnya.

“Sepedamu di sini!” teriak Bob pada Jupe seraya melompat ke sepedanya. Pete sudah Iebih dahulu mengayuh sepedanya.

Jupe memberi isyarat untuk menyebar.

Pete dan Bob menangkap isyarat itu. Mereka berpencar ke arah yang berlainan.

Ketika orang yang menyandera Jupe muncul di teras, ketiga anak itu telah hilang dalam kegelapan. Lenyap ditelan kelamnya malam.

Bab 12 DUA TIANG “MULA-MULANYA kami bingung,” Bob mengakui, “tapi waktu kami jumpai sepedamu di samping panggung, kami langsung tahu. Pasti ada apa-apa. Apalagi dari situ tidak ada tanda kode lagi.”

Jupe menarik napas lega. "Untung kalian kutelepon sebelum aku pergi ke sana.”

Pagi itu anak-anak berkumpul di sebuah teluk kecli. Mereka sudah slap dalam pakaian renang, menunggu Constance yang berjanji akan bertemu di tempat itu.

Jupe sudah menelepon Constance begitu Ia sampai di rumahnya semalam. Ia menyampaikan kabar bahwa Ia berhasil melarikan diri dengan selamat dari sekapan orang tak dikenal itu. Jadi rencana pencarian kapal ayah Constance dapat dilanjutkan.

"Bob yang akhirnya mendapat ilham," kata Pete. “Waktu kami menemukan tumpahan oli, Bob menduga sebuah mobil tua pernah diparkir di situ dan kau dilarikan dengan mobil itu.”

“Tapi Pete—lah yang menemukan tumpahan oli lagi kira-kira lima puluh meter dari situ,” Bob menambahkan. “Sesudah itu, tidak ada masalah. Kami mengikuti tumpahan-tumpahan oli itu sampai melihat sebuah mobil limousin tua diparkir di depan rumah kayu."

Ia sedikit mendongak. Truk derek milik kawan Constance berjalan perlahan memasuki pantai berpasir. Fluke nampak tenang, di belakang truk itu. Seluruh tubuhnya ditutupi dengan karet busa basah.

Truk berputar sampai bak belakangnya menghadap ke lautan, lalu mundur sampai setengah ban belakangnya terendam air laut. Constance sengaja memilih tempat ini karena pantai di sini curam. Beberapa meter dari pinggir saja sudah memungkinkan Fluke berenang.

Constance dan kawan Meksikonya turun dari truk.

Constance memakai pakaian selam, dan kaca mata selamnya tergantung di lehernya. Ia berjalan ke belakang truk, lalu menepuk-nepuk Fluke.

Pete dapat melihat sekarang bahwa di bawah badan Fluke tergelar kain kanvas. Dibantunya orang Meksiko itu membungkus Fluke dengan kanvas dan mengaitkan kedua ujung kain kanvas pada cantolan derek.

Sementara itu, Constance membelai-belai kepala Fluke untuk menenangkannya.

Ikan paus itu terlihat tenang saja. Fluke membuka matanya, ketika derek mulai mengangkatnya dari truk. Bersama-sama, ketiga anak itu mengarahkannya keluar dari bak truk ke atas laut.

Si orang Meksiko, yang rnengendalikan tuas derek, perlahan-lahan menurunkan dereknya. Fluke masih diam saja dalam gendongan kanvas itu, tidak bergerak- gerak. Ikan paus itu tetap diam sampai Pete membuka kanvas penggendongnya. Begitu kanvas terbuka, Fluke meluncur beberapa meter ke laut.

Fluke bebas kembali di lautan terbuka.

“Ke sini, Fluke. ke sini,” perintah Constance.

Fluke mentaatinya. Ikan paus kecil itu berbalik dan berenang menuju Constance yang berendam sebatas pinggangnya. Dengan manja Fluke menyundul-nyundul Constance.

“Oke,” kata Constance pada kawan Meksikonya. Muchas gracias.

Orang Meksiko itu memperlihatkan sebaris giginya yang putih. “Buena surte. ” Ia mengacungkan jempolnya lewat jendela, lalu pergi mengendarai truk dereknya.

“Siap untuk beroperasi?” tanya Constance pada anak-anak. Ia menoleh ke laut lepas. Seratus meter dari pantai, Oscar Slater telah menunggu di kapalnya.

“Kau yang membawa tape recorder itu ya, Jupe,” kata Constance. “Mungkin tidak perlu benar. Aku yakin Fluke tidak akan berenang meninggalkanku. Ya kan, Fluke?” Sambil berkata begitu, Ia mengelus-elus kepala Fluke. “Tapi tape itu dibawa saja, untuk berjaga-jaga.”

"Constance. "

Jupe masuk ke air mendekati Constance. Kedua kawannya mengikuti. Jupe, yang tidak setinggi Constance, terendam air sampai dadanya.

“Ada apa, Jupe?"

“Aku tadi berpikir,” kata Jupe. “Sebaiknya Bob tinggal di sini dengan tape recorder itu.”

"Kenapa? "

Jupe menjelaskan rencananya. Ia menerangkan bahwa mungkin saja Oscar Slater sudah menyelundupkan peti berisi kalkulator itu ke Meksiko. “Dan kalau benar begitu,” Ia meneruskan, “berarti Ia telah berbohong padamu. Mungkin saja kali ini pun Ia bermaksud mengelabuimu. Ia mungkin mencoba menculik Fluke sesudah Fluke mengambil barang yang diinginkannya dari bangkai kapal. Itulah gunanya Bob berjaga-jaga di sini. Bob dapat mencegah usaha Mr. Slater menculik Fluke.”

Constance mendengarkan dengan saksama. “kau yakin Ia sudah berlabuh di Meksiko waktu."

“Positif,” Jupe meyakinkannya. “Seorang kawan kami telah mengeceknya pada Badan Imigrasi Meksiko. Kapal itu sempat berlabuh di La Paz.”

Constance menimbang-nimbang beberapa saat.

“Oke,” ujarnya seraya memasang kaca mata selamnya. “Tidak apa-apa. Fluke, Pete, dan aku saja yang menyelam. Ayo, Fluke!”

Ia berpaling dan berenang dengan cepat ke laut lepas. Fluke berenang di sampingnya. Jupe menyusul di belakang. Pete kembali ke pantai, mengambil sebuah ransel plastik yang dipersiapkan Jupe di bengkelnya. Bob membantu mengencangkan tali ransel itu di punggung Pete. Di dalam ransel itu terdapat sebuah walkie-talkie.

“Kau dapat berenang sambil memanggul ransel ini?” tanya Bob.

“Tentu, dong. Di darat memang terasa berat. Tapi di air akan lebih ringan.”

Bob memperhatikan kawannya itu masuk ke laut. Pete benar. Begitu air laut mencapai pinggangnya , ransel plastik itu agak terangkat mengambang. Pete meluncur, lalu berenang gaya bebas dengan cepat. Sebentar saja Jupe sudah terkejar.

Bob memungut kotak tape recorder kedap air. Lalu, dibukanya gulungan jaket yang tadi diikatkannya ke sepedanya. Akhirnya dia mengeluarkan sebuah walkie- talkie lain.

Ia menarik antenanya, lalu menghidupkan pesawat penerimanya.

Bob menemukan bongkah karang datar yang kering, menggelar jaketnya, lalu duduk sambil memangku walkie-talkie itu. Tape recorder kedap air tergeletak di sampingnya. Di kejauhan Ia melihat Constance dan Fluke telah sampai ke kapal Slater.

“Selamat datang di kapal,” sambut Slater seraya mengulurkan tangannya untuk menolong Constance naik ke kapal.

Constance tidak menghiraukan uluran tangan itu. “Diam di tempat, Fluke,” katanya. “Bagus, Fluke. Diam, ya.” Ia meraih seutas tali yang terjuntai dari kapal. Dengan satu gerakan yang ringan Ia naik ke kapal.

Dengan susah-payah, Jupe naik ke kapal menyusulnya. Pete masih tenang-tenang saja mengapung tertelentang di air.

“Peralatan sudah diperiksa, Mr. Slater?" tanya Jupe.

“Mari sekarang kita cek.” Slater masuk ke dalam kokpit, mengambil seperangkat peralatan kamera televisi. Jupe membolak-baliknya, memperhatikan tutup penyekat alat itu.

“Anda yakin kamera ini dapat bekerja baik dalam air?” tanyanya.

“Tentu saja. Constance yang membelinya di Ocean World. Alat ini sudah sering dipakai di sana,” kata Staten dengan logat pesisir selatan. “Pertanyaan dungu apa lagi yang ingin kautanyakan, Gendut?”

Kali ini Jupe tidak sebal mendengar ejekan itu. Ia justru senang, karena rencananya akan berjalan lebih mudah. Ia berencana untuk berlagak sebagai anak dungu.

Masih banyak lagi pertanyaan dungu yang akan diajukannya agar Slater tidak memperhatikan Pete.

Pada saat itu Pete naik ke kapal, menyandang ransel berisi walkie-talkle di punggungnya. Ia harus segera menyembunyikan walkie-talkie itu di suatu tempat

“Aku heran,” kata Jupe berusaha menyita perhatian Slater. “Kok, bisa ya, mengambil gambar dalam air? Apa tidak rusak alat itu. Bagaimana nanti kalau Fluke berenang jauh-jauh?”

Dengan sudut matanya Jupe dapat melihat Pete menyembunyikan ransel berisi walkie-talkie di dalam sebuah lemari.

“Sampai kedalaman lima puluh meter masih tidak apa-apa,” sahut Slater dengan tidak sabar. “Apakah Constance belum bilang soal ini?”

“Mungkin sudah. Tapi aku tidak mengerti. Lalu senter yang ditempelkan di kepala Fluke...”

Ia tidak menyelesaikan kalimatnya. Pete telah menjalankan tugasnya dengan balk. Ia mengusap-usap rambutnya yang basah dengan kedua tangannya. Itu adalah kode yang telah disepakati sebelumnya. Ransel plastik telah disembunyikan di tempat yang aman.

“Oh, iya. Senter itu sangat terang sinarnya,” Jupe melanjutkan.

“Oke. kita bisa mulai bekerja,” kata Slater seraya mendekati Constance. Constance berjongkok di pinggir kapal, berbicara dengan lemah lembut pada Fluke.

“Mana anak yang satunya lagi?” tanya Slater. "Baru dua yang kelihatan."

“Bob terserang demam,” Pete menjelaskan. “Dia kami tinggal di pantai saja. Kelihatannya...”

“Oke.” Slater masuk ke kokpit dan menghidupkan mesin kapal. Sambil memegang kemudi, ia melongok ke luar. “Berapa cepat ikan itu dapat berenang?” tanyanya pada Constance.

“Fluke bukan ikan,” kata Constance dingin. “Fluke seekor mamalia yang cerdas dan beradab. Kalau mau, Fluke dapat berenang dengan kecepatan lima belas mil per jam. Tapi kuminta kau menjalankan kapal ini pada kecepatan delapan knot saja. Aku tak ingin membuat Fluke kelelahan."

“Apa katamulah.” Slater mengemudikan kapal ke laut lepas. Constance tidak beranjak dan tempatnya, berlutut sambil bercakap-cakap dengan Fluke yang berenang dengan riang di samping kapal. Sebentar Fluke menyelam, sebentar meluncur dan terkadang melompat dengan jenaka.

“Menurut penjaga pantai yang menyelamatkan kami, kami terapung lima mil dari pantai ketika itu,” ujar Slater.

Jupe memandang Pete. Ada beberapa pertanyaan penting yang ingin diajukannya. Tapi dalam perannya sebagai anak yang tidak begitu pandai, Ia ingin agar Pete yang bertanya pada Slater.

"Berapa lama?" tanya Jupe. Mulutnya melompong.

Pete heran melihat sikap Jupe seperti itu, seperti orang dungu yang tidak berpendidikan sama sekali. Pete memandangi Jupe dengan perasaan aneh.

Jupe mengernyitkan ails matanya pada Pete. Mulutnya sedikit berkomat-kamit. Ia merasa gemas terhadap Pete.

Pete baru menangkap maksud Jupe. “Berapa lama Anda terapung di laut?” Ia meneruskan pertanyaan Jupe pada Slater.

"Paling sedikit dua jam."

"Pasang?" kata Jupe. Mulutnya masih melompong.

“Apakah laut sedang pasang atau surut?" tanya Pete.

“Hari mulai gelap waktu itu,” Slater mengingat-ingat. “Ombak sangat besar sehingga sulit untuk melihat sekelilingku. Tapi sekilas aku sempat melihat garis pantai. Kelihatannya pantai makin lama makin jauh. Padahal aku sudah berenang sekuat tenaga mendekatinya. kukira waktu itu laut sedang surut”

Dua jam, Jupe menghitung dalam kepalanya. Ia mengingat-ingat kejadian pada malam itu. Badai datang dari arah barat laut. Angin dapat menghembus mereka sejajar dengan garis pantai. Ini harus diperhitungkan juga, untuk menentukan lokasi tenggelamnya kapal Kapten Carmel. Dengan jaket pelampung yang dipakainya, Kapten Carmel dan Oscar Slater hanya terpengaruh sedikit oleh surutnya air laut. Jupe menaksir bahwa mereka terhanyut sekitar dua mil menjauhi pantai dalam dua jam itu.

Ia bergeser mendekati Pete, lalu membisikkan sesuatu.

“Kukira kapal harus dijalankan sampai sekitar tiga mil dari pantai,” Pete memberi tahu Slater.

“Dari mana kau tahu?"

“Angin... dan... dan sebagainyalah,” Pete tergagap menjelaskannya.

“Hmm, boleh jadi. Perkiraanmu sama denganku.” Slater melihat jamnya, menghitung-hitung lagi. Ia melambatkan laju kapal.

“Kita kira-kira sudah tiga mil dari pantai sekarang,” katanya semenit kemudian. Ia berpaling pada Constance. “Pasang kamera pada mamalia itu. Kita mulai penyelaman di sekitar sini.”

Ia menghentikan kapalnya, lalu memutarnya sampai sejajar dengan garis pantai.

"Fluke," panggil Constance. Kemari, Fluke. Sini.” Ia memungut pita kanvas di sisinya. Kamera televisi dan sebuah lampu sorot telah diikatkan pada kanvas itu. Ia mencebur ke laut, lalu memakaikan pita kanvas itu pada kepala Fluke.

Jupe menarik-narik bibir bawahnya. Tiga mil ke laut, pikirnya. Tapi tiga mil ke arah mana? Dari keterangan Slater yang samar-samar itu, kapal harus dicari dalam daerah sepanjang sepuluh mil. Ini bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Haras ada informasi tambahan untuk dapat menentukan lokasi tenggelamnya kapal itu dengan lebih tepat.

Constance sudah selesai memasangkan kamera televisi dan lampu sorot di kepala Fluke. Ia naik kembali ke kapal. Jupe beringsut mendekatinya.

“Pernahkah ayahmu mengatakan sesuatu padamu tentang kejadian pada malam itu?” tanya Jupe berbisik.

Constance menggeleng. “Tidak ada yang kumengerti jawabnya. “Cuma itu saja, seperti yang telah kukatakan padamu.”

Jupe ingat. Dua tiang itu. Tapi apa artinya? Mungkin Kapten Carmel cuma mengigau saja.

Jupe mengamati pantai di kejauhan.

Tak banyak yang dapat dilihatnya. Karang-karang di pantai tidak lagi nampak. Hanya barisan gunung yang terlihat. Rumah-rumah besar di salah satu bukit masih dapat dibedakan dan sekelilingnya. Ada sebuah menara televisi pada bukit sebelahnya. Dan sebuah tiang seperti cerobong asap pabrik menjulang di sebelah kanannya.

"Kau bisa memakai pakaian selammu, Pete," kata Constance. “Kita akan cek dulu tabung udara. Setelah itu kita menyelam bersama Fluke."

Pete mengangguk, lalu mengambil peralatan selamnya dan kokpit.

Jupe masih mengamati garis pantai. Matanya terpicing, dan dahinya berkerut- kerut.

Diego Carmel adalah kapten kapal yang berpengalaman. Ketika ia merasa kapalnya akan tenggelam, mestinya Ia akan mengingat-ingat lokasinya. Kalau saja Ia bisa diajak berbicara...

Tiba-tiba mata Jupe bersinar-sinar. Ia melihat ke arah menara televisi dan cerobong asap bergantian. Ia membayangkan kejadian malam berbadai itu.

“Dua tiang!”

Ia memegang tangan Slater erat-erat. Tidak ada waktu lagi untuk berpura-pura dungu.

“Jaga agar dua tiang itu tetap segaris!” soraknya kegirangan.

“Apa? Apa yang kausoraki, Anak dungu?”

“Kapten Carmel,” sahut Jupe. “Sewaktu kapal mulai tengge!am, Ia mencoba menentukan posisi kapalnya dengan melihat ke pantai. Yang segera terlihat adalah menara televisi dan cerobong asap itu." “Yang mana?" “Masa Anda tidak melihatnya?” kata Jupe. Kini seolah-olah Slater-lah yang menjadi orang dungu. “Kita harus bergeser dari tempat ini, mengambil posisi sejauh tiga mil dari pantai membentuk arah segaris dengan dua tiang itu.”

Bab 13

BAHAYA DI KEDALAMAN

JUPE berdiri di sisi kapal sambil meneropong ke pantai.

Ia memfokuskan teropongnya ke bukit tempat menara televisi dan cerobong asap pabrik itu berada. Bergesernya kapal Slater membuat dua tiang itu makin mendekat. Beberapa ratus meter lagi, pikirnya.

Slater memegang kemudi.

"Perlambat kecepatan," seru Jupe.

Makin dekat dan dekat. Akhirnya dua tiang itu terlihat berimpit. Menara televisi persis di hadapan cerobong asap.

Dua tiang itu telah segaris.

"Stop!" seru Jupe. "Tepat di sini." Ia menurunkan teropongnya.

Di situ laut terlalu dalam untuk melepas jangkar. Slater harus tetap menghidupkan mesin agar kapal tidak terseret arus surutnya laut

Jupe mengamatinya ketika ia memutar haluan kapal sampai menghadap ke pantai. Ia tidak mengira bahwa Slater sangat ahli mengendalikan kapal.

"Oke, Pete?" Constance sudah selesai mengencangkan tabung udara di punggung Pete. Pete mengenakan masker selamnya sementara Constance mengecek selang udara dan alat pengukur tekanan udara.

Jarum pengukur menunjukkan bahwa udara di tabung Pete penuh.

Dengan sepatu katak yang terpasang di kakinya, Pete mengikuti Constance ke pinggir kapal. Constance duduk di pagar kapal membelakangi laut, lalu dengan gerakan mulus Ia menjatuhkan diri ke laut.

Pete ikut mencebur.

Sambil menelungkup mengapung di permukaan laut, Ia mencoba mengingat-ingat segala pelajaran menyelam yang pernah didapatnya.

Bernapaslah dengan mulut, sehingga masker selam tidak buram terkena uap dan hidung. Perhatikan posisi selang udara, jaga jangan sampai terpuntir. Jangan tergesa-gesa menyelam, beri kesempatan agar kelembaban dalam pakaian selam sesuai dengan kondisi badan Anda. Semakin dalam menyeiam, semakin dingin suhu air, dan semakin besar tekanan. Begitu ada gejala pusing segera naik ke permukaan, tapi jangan terlalu cepat.

Untuk beberapa menit Pete berenang-renang semeter di bawah permukaan. Dengan santai dan rileks Ia mengepak-ngepakkan sepatu kataknya untuk menyesuaikan diri dengan air laut.

Pete sangat gemar menyelam. Dengan sabuk

pemberat di pinggangnya, Ia merasa seperti melayang. Melayang bagaikan burung. Ini membuatnya merasa bebas dan leluasa.

Constance dan Fluke mengapung beberapa meter dan Pete. Pete mengangkat tangannya. Jempol dan telunjuknya membentuk lingkaran. Ia siap menyelam.

Constance menepuk punggung Fluke. Dengan membawa lampu sorot yang kuat sinarnya, Fluke menyelam. Dalam, dalam, dan makin dalam. Lebih dalam dari kemampuan Pete, bahkan Constance.

Jupe mengawasi layar televisi di kokpit kapal. Slater, sambil memegang kemudi, memperhatikan dengan cermat pula.

Luar biasa, pikir Jupe. Seperti. perjalanan ke ruang angkasa. Lingkaran sinar yang tampak di layar kecil itu bagaikan menjelajahi langit yang luas. Gerombolan ikan, yang lewat secepat anak panah terlontar dari busurnya, bagai hujan meteor di ruang angkasa.

Setiap kali Fluke berenang terlalu jauh dari kapal, lingkaran sinar itu meredup. Dengan cekatan Slater mengemudikan kapalnya, mendekati posisi Fluke, sambil menjaga agar menara dan cerobong asap itu tetap segaris.

Ketika lingkaran sinar terang kembali, Ia menghentikan kapalnya dan menjaganya agar tetap stabil di tempat itu.

Tumpukan pasir dan kerikil, serumpun ganggang laut, muncul di layar. Fluke telah sampai di dasar laut. Kamera televisi di kepala Fluke menyoroti setiap jengkal dasar laut itu.

Pete mengamati dari kejauhan. Ia tidak berani menyelam lebih dalam lagi. Ia ingat pelajaran menyelamnya. Kalau seorang penyelam menyelam terlalu dalam, ia akan mabuk. Dalam keadaan setengah sadar, ia dapat saja melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri.

Jauh di bawah sana Ia melihat cahaya lampu sorot di kepala Fluke. Ingin benar aku bisa seperti Fluke, pikirnya. Beberapa ikan paus, Constance pernah berkata padanya, dapat menyelam sampai kedalaman seribu meter dan bertahan di bawah air selama satu jam.

Pete meraba-raba alat pemapasan di mulutnya. Ia menelusuri selang udara sampai pada tabung udara di punggungnya.

Aneh, pikirnya. Tidak ada yang terpuntir, namun...

Dengan panik diperiksanya lagi selang udaranya. Mesti ada yang terpuntir di suatu tempat. Mesti ada... karena udara tidak mengalir.

Ia tidak bisa bernapas!

Ia merenggut sabuk pemberatnya. Tahan napas, katanya pada diri sendiri. Cepat lepaskan sabuk pemberat itu. Tahan napas dan segera naik ke permukaan. Jangan panik.

Tapi jari-jarinya seolah-olah mati rasa. Dan matanya mulai berkunang-kunang. Air di sekelilingnya seakan berubah-ubah warnanya. Mula-mula merah muda, lalu merah tua, dan makin tua. Sampai menjadi hitam gelap.

Ia megap-megap. Kakinya menendang-nendang, mencoba keluar dari kegelapan itu. Paru-parunya seperti akan meledak.

Tahu-tahu Ia merasa perutnya didorong dari bawah. Sesuatu, sesuatu yang kuat seperti buldozer mendorongnya. Dan mengangkatnya ke permukaan.

Pete tidak berdaya melawannya. Bahkan Ia tidak sadar apa yang sedang terjadi. Ia pasrah.

Tiba-tiba Ia merasa kepalanya berada di luar air. Ada tangan yang menjulur dari belakangnya, dan membuka masker selamnya. Pete membuka mulutnya. Dengan gelagapan dihirupnya udara segar di permukaan laut sambil terbatuk-batuk

Kegelapan mulai hilang dari matanya. Lambat laun ia melihat cahaya di sekelilingnya. Tapi semua masih tampak kabur.

Ada kain kanvas. Lampu sorot. Sebuah kamera.

Pete sadar Ia tertelungkup di punggung Fluke.

Constance mengapung di sisinya. Dialah yang membuka masker dari muka Pete tadi.

"Jangan bicara dulu," kata Constance. "Ambil napas dalam-dalam. Yang teratur."

Pete melakukan apa yang diperintahkan. Pipinya ditempelkan erat pada punggung Fluke. Perlahan-lahan napasnya mulal teratur. Kesadarannya pulih. Pandangannya tidak lagi kabur.

Ia sudah bisa bicara sekarang. Banyak yang ingin dikatakannya. Tapi Ia tahu apa yang pertama kali akan diucapkannya.

"Terima kasih, Fluke. Kau menyelamatkan hidupku."

"Well, kau pernah menyelamatkannya juga, kan?" Constance membelai-belai kepala Fluke. "Fluke tak akan lupa...."

Ia berpaling ketika kapal mendekat. Kali ini Jupe yang memegang kemudi. Oscar Slater mengulurkan tangan dari pagar di pinggir kapal.

"Aku melihatnya," teriak Slater. Matanya melebar dan kepalanya yang botak licin seperti bersinar-sinar. "Cuma sekilas di layar. Tapi aku melihatnya Itu kapal ayahmu, Constance."

"Ia menoleh pada Jupe. "Tahan di sini. Bangkai kapal itu pasti tidak jauh dari sini. Sekelebatan itu terlihat sewaktu Fluke berbalik dan menyambar Pete..."

"Itu belakangan saja!" potong Constance dengan tajam. "Pertama-tama kita harus mengangkat Pete ke kapal dan menyelidiki apa yang terjadi. Ada sesuatu yang tidak beres."

"Tapi itu kapal ayahmu..." ujar Slater tak sabar.

"Nanti saja, kataku!" bentak Constance. "Anda kembali saja ke kokpit. Biar Jupe yang menolong kami."

Slater merasa tersinggung. Tapi Ia tidak dapat membantah Constance. Paling tidak sampai saat itu ia masih butuh bantuan Constance. Tanpa pertolongannya, ia tidak mungkin mendapatkan barang itu dari kapal yang tenggelam. Dengan enggan Ia mengangguk lalu menggantikan Jupe memegang kemudi.

Jupe dan Constance mengangkat Pete ke kapal. Dengan lunglai Pete bersandar di dek kapal. Constance membawakannya secangkir kopi hangat, sementara Jupe melepaskan tabung udara Pete.

"Oke. Apa yang terjadi?" tanya Constance. "Apa yang kaurasakan? Pasti bukan tekanan air yang besar. Kau kan tidak menyelam terlalu dalam."

"Aku tidak dapat bernapas." Pete menghirup kopinya sedikit-sedikit. "Tidak ada udara yang mengalir. Selang udara seperti ada yang terpuntir. Tapi ternyata tidak ada."

Ia menjelaskan pandangannya yang mengabur, lalu air di sekelilingnya yang menjadi merah, lalu terlihat jadi hitam.

"Karbon dioksida," kata Constance. "Kau menghirup karbon dioksida, bukan oksigen."

Ia meraih tabung udara Pete, lalu membukanya. Tidak terdengar desis ketika tabung dibuka.

"Paritas kau tak dapat bernapas," ujar Constance. "Tabung ini kosong."

"Tapi tadi kan sudah dicek."

Jupe memeriksa alat pengukur tekanan. Jarum masih menujuk pada Full. Ia memperlihatkannya pada Constance.

"Rupanya ada yang sengaja merusak alat pengukur ini," kata Jupe. "Dan orang itu mengosongkan tabung."

Constance mengangguk tanda setuju. Cuma itu yang mungkin.

"Dari mana kauperoleb peralatan selam ini?" tanya Jupe.

"Ocean World. Aku yang mengambilnya sendiri tadi malam. Waktu itu keadaannya masih baik."

Constance menghampiri Slater.

"Tabung udara Pete dirusak dengan sengaja," katanya tajam. "Aku ingin tahu..."

"Kau menuduhku?" balas Slater dengan marah. "Buat apa aku melakukan itu. Aku cuma ingin secepatnya mengambil barang dan kapal ayahmu. Titik. Malah aku tidak ingin pencarian ini tertunda-tunda."

Jupe sadar bahwa Slater mengatakan yang sebenarnya. Tidak ada alasan baginya untuk merusak alat pengulcur tekanan pada tabung itu. Orang lain yang melakukannya. Siapa?

"Adakah orang yang masuk ke kapal Anda tadi malam atau tadi pagi, Mr. Slater?" tanya Jupe.

"Tidak." Slater menggeleng. "kapalku ditambatkan di pelabuhan semalam. Dan aku tidur di kapalku. Tidak sedetik pun kutinggalkan kapalku setelah Constance pergi."

"Adakah tamu yang datang?"

"Tidak. Cuma kawan lama, Paul Donner. Ia mampir sebentar. Tapi aku tidak percaya Paul..."

"Berapa lama Anda telah mengenal Paul Donner?" sela Jupe. "Siapa dia sebenarnya? Apa yang Anda ketahui tentang dia?" "Jangan kauberondong aku dengan pertanyaan-pertanyaan dungu itu." Slater mengusap-usap kepalanya yang botak. "Sudahlah, lupakan saja. Sekarang kita bekerja kembali, kapal itu..."

"Jawab pertanyaan Jupe!" Constance berkacak pinggang di depan Slater. "Kau harus jawab dulu semua pertanyaan Jupe. Sekarang! Kalau tidak, jangan harap kau dapat pertolonganku lagi."

"Oke." Slater menjawab dengan ogah-ogahan. "Aku bertemu dengan Paul Donner di Eropa beberapa tahun yang lalu. Urusan bisnis. Lalu aku berjumpa lagi dengannya di Meksiko."

"Kapan?" tanya Jupe.

"Beberapa kali."

"Kapan yang terakhir kalinya?" desak Jupe.

"Sewaktu aku terakhir kali ke sana. Ia mempunyai percetakan kecil di La Paz. Karena dia sahabatku, aku selalu mengunjunginya kalau aku ke sana. Memangnya kenapa?"

Jupe diam sejenak, berpikir.

"Ada lagi, Jupe?" tanya Constance.

"Cukup, cukup. Hanya itu yang ingin kuketahui," kata Jupe.

"Bagus." Slater menoleh pada Constance. "Jadi sekarang kita bisa kembali bekerja, kan?"

"Sebentar. Aku cek dulu tabung udaraku."

Constance berjalan di geladak kapal. Jupe memperhatikan Constance membuka tutup tabung udaranya. Terdengar suara berdesis. Constance cepat-cepat menutupnya lagi.

Rupanya hanya satu tabung yang sempat dirusak. Mungkin orang itu tidak punya cukup waktu untuk merusak kedua tabung. Atau sengaja hanya satu tabung yang dirusak, sekadar untuk menakut-nakuti.

Jupe menghampiri Constance.

"Aku pikir sebaiknya kita lihat dulu apa isi peti besi di kapal ayahmu itu, sebelum kita serahkan pada Slater," bisikriya.

Constance menimbang-nimbang saran Jupe.

"Oke," ujarnya perlahan. "Kurasa usulmu ada baiknya, Jupe."

"Trims."

Jupe merasa berterima kasih pada Constance yang telah mempercayainya. Jupe merasa yakin bahwa dirinya hampir mendapatkan semua jawaban misteri itu.

Alat pengukur tekanan udara yang rusak.

Kawan lama Slater, Paul Donner. kunjungan ke La Paz. Bekas di sekeliling mata kanan Paul Donner.

Fakta-fakta itu mulai menjadi satu rangkaian yang jelas dalam benak Penyelidik Satu.

Bab 14

NYANYIAN FLUKE

"AKU tidak dapat menyelam sedalam itu," kata Constance dengan lantang pada Slater.

"Jadi bagaimana.. "

"Jangan menyela dulu, Mr. Slater. Sekarang giliranku yang bertanya pada Anda.

Ini demi keberhasilan penyelaman kita. Dan Anda harus menjawab seluruh pertanyaanku sejujur-jujurnya. Oke?"

Slater menatapnya tajam-tajam. Jupe dapat melihat sinar kebencian pada mata Slater.

"Pertanyaan apa lagi?" katanya dengan kesal. Lalu Ia mengangkat bahu. "Baik, baik Aku mengalah lagi. Apa yang ingin kautanyakan?"

"Di mana tepatnya peti itu berada? Peti besi yang berisi... berisi kalkulator saku itu."

"Well, barang-barang berharga itu..." Tatapan SEater tak beranjak dari Constance, "di bawah tempat tidur di kabin."

"Terikat?"

"Tidak." Slater menghela napas. "Ayahmu waktu itu berusaha menurunkan sekoci. Kami berusaha membawa peti itu dalam sekoci. Tapi... tapi tidak ada waktu. Kapal terbalik..." Kedua tangannya menengadah. "Kami meninggalkannya di sana.

"Kabinnya terkuncI?"

"Tidak. kau tahu..."

Constance mengangguk. Ia mengenal kapal ayahnya dengan baik sekali. Sejak berumur sepuluh tahun Ia sudah sering bepergian memancing dengan ayahnya.

"Aku tahu," katanya. "Ayah biasa mengaitkan pintu pada dinding kapal supaya tetap terbuka dan tidak terbanting-banting."

"Seperti apa peti itu?"

"Kecil. Ukurannya sekitar tujuh puluh kali empat puluh senti. Tingginya mungkin sekitar dua puluh senti. Warnanya hijau."

"Ada pegangannya."

"Ya. Seperti, seperti peti uang. Di tutupnya ada pegangan besi."

"Aku perlu tali," ujar Constance. "Tali yang panjang dan kuat. Dan sebuah gantungan baju kawat."

"Baik."

Jupe memegang kemudi kapal sementara Slater mencari apa yang diperlukan Constance. Constance menarik sisi-sisi gantungan kawat itu sampai berbentuk bingkai segi empat. Cantolannya dipuntir hingga tegak lurus pada bingkai segi empat itu. Ia menggulung tali nilon. Salah satu ujungnya diikatkan pada gantungan kawat.

"Oke," katanya. "Aku sudah siap sekarang"

Pete melangkah tertatih-tatih.

"Kalau kau senang..." Pete menelan ludah.

Sesungguhnya Pete enggan untuk menemani Constance. Pengalamannya tadi membuatnya kapok menyelam. Tapi Ia sadar bahwa Ia harus bersikap jantan dan menawarkan diri untuk ikut bersama Constance. Dalam keadaan bagaimanapun, menurut pelajaran menyelam yang didapatnya, tidak boleh hanya seorang saja yang menyelam di tengah-tengah lautan tanpa ditemani.

"Aku akan ikut kalau kauperlukan," katanya.

Constance tersenyum.

"Tidak, kau istirahat saja di sini, Pete. Aku kan ditemani Fluke. Tapi kalau ada apa-apa, kau cepat tolong aku, ya."

Pete menarik napas lega. Constance mengerti perasaannya. Dan Constance tidak membuatnya malu di hadapan Jupe dan Slater.

Pete memperhatikan Constance menggantungkan gulungan tali nilon di bahunya, lalu memakai maskernya. Dengan mulus Ia mencebur ke laut.

Fluke mengambang di permukaan tak jauh dari kapal. Matanya terbuka ketika melihat Constance berenang mendekat. Constance membelai-belai Fluke dengan penuh kasih sayang, dan menempelkan pipinya ke kepala Fluke.

Pete dapat melihat Constance sedang bercakap-cakap dengan Fluke. Tapi Ia tak tahu apa yang sedang dibicarakannya.

Ia heran. Bagaimana Constance dapat berkomunikasi dengan Fluke. Mungkin tidak dengan kata-kata. Mungkin mereka sudah sedemikian akrabnya sehingga saling mengerti apa yang diinginkan kedua belah pihak.

Ia melihat mereka menyelam. Constance berpegangan melingkari Fluke. Mereka seolah-olah menyatu dalam satu badan.

Jupe mengamati layar televisi dengan awas.

Lingkaran cahaya muncul di layar. Constance telah menghidupkan kamera di kepala Fluke di kedalaman laut. Lingkaran cahaya itu bergerak makin lama makin dalam, menuju dasar laut. Sinar lampu sorot menembus kelamnya laut di kedalaman. Segerombol ikan kecil berwarnawarni nampak melintas di layar.

Dan sekarang terlihat dasar laut kembali. Gundukan pasir, kerikil, serta karang- karang yang diselimuti tumbuhan laut nampak jelas di layar televisi.

Slater mengawasi layar sambil memegang kernudi. Melihat dasar laut, mata Slater berbinar-binar.

Kamera pada Fluke menangkap buritan kapal.

"Itu kapalnya!" seru Pete sambil berdiri di samping Jupe.

Buritan kapal makin besar, memenuhi layar. Sesaat kemudian cahaya berkelebat pindah ke geladak. Jupe melihat ruji-ruji kemudi. Layar menjadi buram beberapa saat, lalu terang lagi, lebih terang dari sebelumnya. Jupe dapat mengenali sebuah bangku dan tingkap.

Fluke berenang memasuki kabin.

Detik-detik berikutnya gambar di layar berpindah-pindah demikian cepatnya sehingga sulit untuk dilihat dengan jelas. Slater menahan napas.

Lambat-laun gambar menjadi stabil kembali. Kamera menyorot pada sebuah benda. Makin lama makin dekat dan makin tajam.

Peti besi.

"Itu dia!" teriak Siater seraya menunjuk pada layar. Telunjuknya sampai menempel pada layar televisi mini itu.

Peti besi makin lama makin besar sewaktu Fluke mendekat. Mendadak gambar berubah. Warna abu-abu memenuhi layar. Kosong.

Jupe mula-mula bingung. Apa yang terjadi dengan kamera yang dibawa Fluke? Kemudian Ia sadar. Fluke melongok ke bawah tempat tidur kabin. Tentunya kamera menyorot pada dinding berwarna abu-abu di bawah tempat tidur.

Untuk beberapa waktu kamera tetap menyorot ke sana, tidak bergerak-gerak. Lantas gambar di layar bergerak lagi. Fluke berenang dengan cepat mengakibatkan gambar di layar sukar dibedakan. Namun sekilas Jupe masih dapat mengenali pagar di tepi kapal.

Bangkai kapal tak nampak lagi, berganti dengan air laut yang suram di kedalaman. Fluke naik ke permukaan.

"Binatang bodoh," desis Slater. Tangannya mencengkeram kemudi erat-erat.

"Masa peti itu tidak diambilnya. "Dengan marah Ia membuang muka, melihat ke arah pantai.

Jupe tidak menggubrisnya. Ia melihat sesuatu di layar yang luput dan perhatian Slater—kilasan Constance berenang mendekat ke arah lensa. Sekarang tangannya menjulur meraih lensa. Gambar di layar bergoyang-goyang. Dan tiba-tiba gelap. Constance telah mematikan kamera.

"Ke sini kau. Pegang kemudi." Slater mencengkeram lengan Pete, menariknya ke arahnya. "Pegang yang kuat, jangan bergerak-gerak."

Slater bergegas keluar dan kokpit. Perlahan-lahan Jupe mengikutinya, tapi Ia tidak mendekati Slater yang sedang berdiri di pagar tepi kapal. Tanpa bersuara Jupe berjingkat-jingkat ke arah lemari di buritan. Matanya tak lepas memandangi permukaan laut Menunggu.

Jupe tidak lama menunggu. Dua puluh meter dari kapal, Constance muncul di permukaan. Ia tidak lagi membawa tali nilon di bahunya.

Fluke mengapung di sisinya. ketika Fluke mengangkat kepalanya, Jupe melihat sesuatu yang lain. Kamera dan lampu sorot di kepala Fluke telah hilang. Sekarang diikatkan sebuah peti kecil terbuat dari besi berwarna hijau.

Jupe membuka lemari dan merobek ransel plastik Pete yang disembunyikan di sana. Diambilnya walkie-talkie dan dalam ransel. Antenanya ditarik panjang- panjang, lalu dihidupkannya walkie-talkie itu.

"Bob," katanya dengan mulut ditempelkan pada walkie-talkie. "Bob. Pasang, Bob. Sekarang."

Jupe melirik pada Slater. Laki-laki botak itu berdiri miring ke laut, berpegangan pada pagar.

"Bawa ke sini!" teriak Slater. "Cepat! Kemarikan peti itu!"

"Cepat pasang, Bob!" ulang Jupe bertubi-tubi. "Pasang kaset nyanyian Fluke!"

Bab 15

PETI YANG HILANG “ROGER, Jupe. Over and out. ”

Bob mematikan walkie-talkie dan meletakkannya di atas jaket yang digelarnya.

Tidak terlihat kapal Slater dari pantai. Bob tidak dapat mengira-ngira berapa jauh kapal itu berada. Tapi Ia tahu bahwa ikan paus memiliki pendengaran yang amat tajam, sekalipun tidak memiliki daun telinga seperti manusia. Hanya ada sepasang lubang kecil, persis di belakang matanya.

Tetapi dua lubang kecil itu kemampuannya jauh lebih tajam dari telinga manusia. Ikan paus dapat menangkap suaranya sendiri yang dipantulkan benda-benda di dasar laut pada jarak beratus-ratus meter. Setelah itu ukuran dan bentuk benda- benda itu dapat diperkirakannya dengan tepat. Dengan begitu ikan paus tidak akan membentur benda-benda di kedalaman laut, meskipun sekelilingnya gelap gulita.

Ikan paus juga dapat mendengar suara ikan paus lain dalam jarak bermil-mil di bawah laut.

Bob melepaskan baju hangat dan sepatu karetnya. Diambilnya tape recorder yang diwadahi dalam sebuah kotak kedap air lalu bergegas berlari ke laut. Tape dipasang, lalu direndam dalam air laut. Nyanyian Fluke yang direkam waktu itu di kolam renang Slater, dipasang sekeras-kerasnya.

Tidak seorang pun dapat mendengar suara itu di air. Tetapi Fluke bisa.

Di kapal Slater, Jupe masih berdiri di buritan. Dengan cepat diselipkannya lagi walkie-talkie itu ke dalam lemari.

Fluke dan Constance masih mengapung berdampingan. Slater berteriak tak henti- henti, menyuruh mereka membawa kotak itu.

Jupe mengangkat tangannya, memberi kode yang telah disepakati sebelumnya. Itu berarti Bob telah siap di pantai.

Constance balas melambai. Ia menangkap maksud Jupe. Ditepuk-tepuknya kepala Fluke, lalu mereka berdua menyelam kembali.

Slater berdiri kaku di tepi kapal. “Apa-apaan ini?!” teriaknya. Ia bergegas masuk kokpit. Dengan kasar.didorongnya Pete dari kemudi. Ia mengambil alih kemudi, mengarahkan kapal tepat pada lokasi Constance dan Fluke menghilang.

Kapal hampir tiba di sana ketika tahu-tahu Constance muncul lagi. Slater menghentikan kapal, dan menarik Pete untuk memegang kemudi lagi.

"Tahan kemudinya," perintahnya seraya berlari ke pagar kapal.

“Mana petinya?” teriaknya pada Constance.

Constance tidak menggubrisnya. Ia memegang kamera dan lampu sorot dengan satu tangannya. Dengan tangannya yang bebas Ia meraih tangga tall di sisi kapal, lalu naik.

“Mana ikan paus itu?"

Constance masih tidak menanggapi. Ia membuka maskernya dan melepaskan tabung udara dan punggungnya.

“Di mana?" desak Slater. “Pergi ke mana ikan paus itu?”

Constance mengangkat bahu. “Pertanyaan Anda sama dengan pertanyaanku, Mr. Slater.”

“Apa maksudmu?" Siater berpaling pada Jupe. "Kemarikan teropong itu."

Jupe menyerahkannya. Slater meneropong ke segala arah, mencari-cari ke mana Fluke pergi.

Tidak ada tanda-tanda ke mana Fluke menghilang. Fluke tidak muncul-muncul di permukaan.

“Ikan paus memang suka berlaku aneh seperti itu,” Constance menjelaskan. Slater waktu itu sedang memunggunginya. Constance mengedipkan sebelah matanya pada Jupe. “Satu saat Ia sangat patuh dan bersahabat. Lalu tanpa dapat diduga, tiba-tiba saja Ia lari meninggalkan kita. Lari begitu saja, tanpa permisi."

Slater menurunkan teropongnya. “Ikan sialan itu mencuri petiku!” umpatnya. “Kau mengikatkannya pada kepala ikan itu.” Ia memandang Constance dengan curiga. "Kenapa kaulakukan itu?”

Constance mengangkat bahu lagi. “Aku terpaksa,” ujarnya. “Cuma itu satu-satunya cara agar aku bisa naik ke permukaan. Kau sebenarnya harus berterima kasih pada Fluke yang telah melakukan tugasnya dengan baik. Berenang ke dalam kabin, menyusup ke bawah tempat tidur, dan mencantolkan gantungan pakaian pada pegangan peti itu. Fluke juga yang menariknya keluar dari kabin. Aku menerimanya, lalu aku menggulung tali kembali agar tidak tersangkut-sangkut....”

“Kenapa tidak kaubawa peti itu ke kapal?"

“Jangan menyela dulu, Mr. Slater! Aku berada di kedalaman laut. Kalau tidak kuikatkan di kepala Fluke, mana bisa aku naik ke permukaan membawa peti besi yang berat dan...”

“Peti itu tidak berat. Sebaliknya...”

“Sudah kubilang jangan menyela dulu!” tukas Constance dengan lantang seraya berkacak pinggang. “Satu-satunya jalan agar aku bisa naik ke permukaan ialah dengan rnelepas kamera dan lampu sorot dari kepala Fluke dan menukarnya dengan peti itu. Aku sendiri yang membawa kamera dan lampu sorot ke permukaan. "

Ia menyambar sebuah handuk yang digantung di pagar kapal dan mengeringkan rambutnya yang hitam.

“Aku minta maaf, Mr. Slater,” lanjutnya. “Aku sendiri sangat sedih. Separuh isi peti itu milik ayahku. Aku pun menasa kehilangan sewaktu Fluke berenang pergi."

"Berenang pergi,” gumam Slater mengulangi. Suaranya terderigar pahit. Dengan lemas Ia mulai meneropong lagi.

“Ke mana ikan sialan itu pergi?” tanyanya.

Constance memandang Penyelidik Satu. “Menurutmu ke mana, Jupe?” tanyanya.

“Menurut dugaanku...” Jupe memutar otaknya dengan cepat. "Fluke telah menghilang lima belas menit yang lalu. Dengan kecepatan penuh sekalipun kapal Slater tidak akan dapat mengejarnya. Dan Bob seorang diri di pantai. Mungkin dia butuh bantuan."

“Ini cuma dugaan,” ulang Jupe. “Tapi kupikir mungkin sekali Fluke kembali ke pantai. Pantai tempat kami membebaskannya ke laut tadi pagi.”

“Buat apa ikan itu kembali ke sana?” Slater sekarang menatap Jupe dengan pandangan curiga.

“Naluri untuk kembali ke tempat asalnya,” jawab Jupe seadanya. "Sudah kukatakan ini cuma dugaanku, Mr. Slater."

“Mmm...” Slater menerawang ke pantai. “Oke,” katanya. “Kau pegang kemudi. Arahkan ke pantai."

Ia berjalan ke haluan kapal. Jupe mengambil alih kemudi dari Pete.

“Kecepatan penuh!" teriak Slater. Ia lalu meneropong lagi.

“Yes, Sir,” jawab Penyelidik Satu sambil tersenyum simpul.

Kebetulan Jupe juga sangat ingin tahu apa yang sedang terjadi di pantai. Ia tak sabar ingin melihat apakab Bob berhasil memanggil Fluke dengan rekaman nyanyian Fluke sendiri, dan apakah Fluke berhasil membawa peti itu selamat sampai ke pantai.

Dan kalau berhasil, Jupe ingin sekali membuka peti itu untuk melihat apa isinya!

Bab 16

WAJAH SI RAKSASA TAK BERMUKA

DUAPULUH LIMA menit telah berlalu, Bob melihat jam tangannya yang kedap air.

Ia telah memutar kaset rekaman suara Fluke selama dua puluh lima menit.. Lima menit lagi kaset itu habis. Setelah itu ia harus memutar ulang dan menyalakannya dari awal lagi.

Sambil membungkuk, mencelupkan kotak tape recorder, Bob menggerak-gerakkan kaki dan jari-jari kakinya. Air laut begitu dinginnya sehingga Bob khawatir jari- jarinya membeku kalau tidak digerak-gerakkan.

Perlahan-lahan ia berdiri tegak. Mungkin itu cuma khayalannya, tapi seakan-akan ada sesuatu yang bergerak di sebelah sana. Seratus meter dari pantai terlihat air bergolak halus.

Golakan air makin dekat. Kali ini Bob tahu bahwa itu bukan sekadar khayalan. Saking bersemangatnya Bob sampal lupa pada dinginnya air laut.

Mula-mula peti besi yang muncul. Peti itu naik menyembul perlahan-lahan dalam jarak sepuluh meter dan Bob. Detik berikutnya Fluke sudah berada di sampingnya. Fluke berenang mengelilingi Bob, kepalanya digosok-gosokkannya pada lutut Bob.

"Fluke. Fluke."

Bob tidak lagi merasakan dinginnya air laut. Ia membenamkan seluruh badannya ke dalam air sambil memeluk dan mengelus-elus Fluke.

"Fluke. Kau pandai sekali."

Fluke tampak senang bertemu dengan Bob. Fluke mengangkat badan tegak-tegak, seakan berdiri berpijak pada ekornya. Dengan penuh harapan Fluke memandang pada Bob.

"Maaf ya, Fluke." Bob mematikan tape recorder. "Ini cuma rekaman."

Bob membayangkan apa yang mungkin dirasakan oleh Fluke ketika mendengar rekaman suara itu. Apakah Fluke mengenali suaranya sendiri? Atau Fluke mengira itu suara ikan paus lain? Atau mungkin aneh, seperti kalau kita mendengar rekaman suara kita sendiri.

"Jangan marah, ya Fluke," kata Bob. "Akan kulepas pita kanvas dan peti dari kepalamu. Dan aku punya hadiah untukmu."

Constance telah menyiapkan sekantung ikan segar tadi pagi. Bob melepas pita kanvas dan mengangkat peti dari kepala Fluke.

Peti besi itu terasa sangat ringan.

"Diam, Fluke," kata Bob. "Diam dan tunggu di sini. Sebentar kuambilkan makananmu."

Ia berbalik menuju pantai, sambil mendekap peti besi hijau di dadanya.

Ketika hampir sampai di pasir kering seseorang telah menunggunya. Orang itu berdiri tegak, tinggi menjulang bagai tiang, menatap Bob lekat-lekat.

Orang itu memakai jaket dan topinya ditarik dalam-dalam di kepalanya. Pinggir topinya dimiringkan hingga menutup matanya. Yang segera dilihat Bob ialah lebarnya dada serta kekarnya tengan orang itu. Ditambah lagi dengan tingginya, orang itu tampak seperti raksasa.

Raksasa itu melangkah menghampiri Bob yang berdiri terpaku. Bob kini melihat wajahnya. Raksasa itu tidak mempunyai muka. Mukanya hampir datar, tersembunyi di balik kaus nilon yang disarungkan di mukanya.

"Berikan peti itu padaku," kata raksasa itu.

Meskipun baru mendengar sekali di kantor Trio Detektif, Bob langsung mengenali suara itu. Logat pesisir selatan itu tidak dapat dilupakannya.

Dan masih jelas terbayang di benaknya, ketika ia dan Pete menyerbunya untuk membebaskan Jupe yang disandera. Si raksasa jatuh diterjang Pete waktu itu.

"Berikan padaku."

Raksasa itu melangkah makin cepat. Ia tinggal beberapa meter lagi dari Bob.

Lidah Bob terasa kelu. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Tetapi dipaksakannya untuk bertindak. Sambil mendekap peti besi itu erat-erat ia berlari kembali ke laut.

"Jangan lari! Kemarikan barang itu."

Si raksasa mengejar. Bob terus berlari sekuat tenaga sampai air sebatas lututnya.

Air laut menghambat laju lari Bob. Semakin dalam laut semakin lambat larinya. Sedangkan bagi si raksasa, air belum begitu dalam. Dengan kaki yang panjang dan langkah yang lebar ia segera menyusul Bob.

Bob merasa bahunya dicengkeram. Lalu tubuhnya diputar sehingga menghadap si raksasa tak bermuka. Si raksasa mencoba merampas peti dari dekapan Bob.

Bob tidak bisa melawan. Ia hanya bisa mendekap peti itu semakin erat. Percuma untuk melawan. Belum pernah Bob melihat orang sebesar dan sekekar itu sebelumnya.

Tapi Bob juga tidak mau menyerah begitu saja. Ia membungkukkan badannya agar peti tidak terlepas dari badannya. Sambil begitu Ia mundur ke taut. Air laut kini sudah sampai pinggangnya.

Si raksasa menjambak rambut Bob hingga Bob tertengadah. Ditariknya rambut Bob ke belakang hingga kepala Bob hampir menyentuh air. Tangan kekarnya yang satu lagi menggenggam pegangan pet! Bob mulai putus harapan. Ia tahu bahwa si raksasa dengan mudah bisa membenamkannya di laut.

Ketika rambut Bob menyentuh air, tahu-tahu raksasa itu melepaskan jambakannya. Ia terangkat ke atas. Dan terns terangkat seakan dicantolkan pada derek.

Terus, terus terangkat. Akhirnya si raksasa terlempar keluar dari permukaan dan jatuh tertelentang di air. Ia tercebur dengan keras dan mengakibatkan air tersibak menciprat ke mana-mana. Ia terkejut dan gelagapan.

Fluke tidak memberinya kesempatan. Dengan satu dorongan kuat orang itu terlempar lagi. Dan sekali lagi. Lalu berkali-kali. Fluke melempar-lemparkannya, seolah orang itu hanyalah sebuah bola plastik. Orang itu terlempar makin jauh ke laut.

Ia menjerit-jerit minta tolong. Sambil tertelentang ia timbul-tenggelam di permukaan air.

Fluke menyelam di bawah orang itu, siap untuk melontarkannya lagi. Mendengar jeritan orang itu, Fluke berhenti. Diangkatnya kepalanya memandang orang itu. Lalu dengan lemah-lembut didorongnya orang itu perlahan-lahan ke arah pantai.

Tapi orang itu sukar untuk mengapung. Meskipun menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya sekuat tenaga, Ia seperti terdorong ke bawah oleh sesuatu yang berat di dadanya. Ia meronta-ronta.

Sedetik yang lalu Bob melihat orang itu sebagai musuh besarnya. Namun sekarang Bob tidak tahan melihat nasibnya. Ia merasa kasihan, tidak tega membiarkan orang itu tenggelam.

Dengan bergegas ia kembali ke pantai, menyembunyikan peti besi di balik sebongkah karang, lalu berlari sekuat tenaga balik ke laut kembali.

Ketika Bob tiba di tempat itu, si raksasa sudah hampir tenggelam. Wajahnya yang tertutup kaus nilon telah sejajar dengan permukaan air. Fluke mengapung di sampingnya. Mata Fluke nampak bertanya-tanya.

"Ke bawah dia, Fluke," kata Bob. "Jangan sodok dia lagi. Angkat dari bawah pelan-pelan. Jangan sampai dia tenggelam."

Meskipun belum tentu mengerti perkataan Bob, tapi Fluke menangkap maksudnya. Fluke meluncur ke bawah si raksasa, mendorongnya perlahan-lahan dan bawah, mengangkat si raksasa. Sesaat kemudian kepala dan badan si raksasa tersembul di permukaan air.

Si raksasa masih meronta-ronta. Tangannya memegangi jaketnya. Ia mencoba membuka dan melepas jaketriya.

Bob membantu menarik ritsleting jaketnya. Jaket itu terbuka. Bob melepasnya dan orang itu.

Bob menatap badan orang itu dengan heran. Lalu Ia menatap jaket yang dipegangnya.

Sekarang Ia mengerti mengapa orang itu seperti terdorong ke bawah oleh sesuatu yang berat di dadanya. Seluruh bagian dalam jaket dipadati dengan karet busa tebal! Karet busa itu menyerap banyak air sehingga memberatkan dan menyulitkan gerakannya.

Tanpa jaket berisi karet busa, orang itu tidak lagi seperti raksasa. Kini ia terlihat kurus, lemah, dan agak pucat. Bob dan Fluke menyeretnya ke pantai. Sewaktu sampai di perairan yang terlalu dangkal bagi Fluke, Bob menyeretnya sendiri.

Dengan susah-payah diseretnya orang itu ke pasir yang kering.

Orang itu berbaring terlentang. Ia terengah-engah, kecapekan, dan setengah sadar. Topinya hanyut ke laut. Kaus nilon masih menyarungi kepalanya, membuatnya makin sulit bernapas.

Bob membukanya.

Ia melihat wajah yang kurus dengan hidung panjang dan pipi yang agak kempot. Ada bekas, seperti bekas luka, di bawah mata kanannya.

Bob terhenyak melihat Paul Donner.

Bab 17

DI BALIK SEMUA ITU “ITU DIA!” teriak Slater bersemangat. “Di situ ikan paus itu!”

Diturunkannya teropong. “Kau benar, Nak. ikan paus itu berada di pantai,” katanya dengan logat pesisir selatan. Ia bergegas masuk ke kokpit, mengambil alih kemudi dari Jupe.

Constance juga telah melihat Fluke. Ketika kapal Slater mendekati pantai, ia menjulurkan badannya dari pagar kapal.

“Fluke," panggilnya. “Fluke.”

Fluke segera mendengarnya. Dengan riang Fluke berenang menempel di pinggir kapal tempat Constance berada.

“Peti itu.” Slater melupakan kemudi dan melepasnya. Ia memandangi kepala Fluke. "Peti itu telah hilang!” teriaknya.

Jupe melihat ke pantai. Seseorang terbaring di pantai, dan Bob berdiri melambai- lambai di sampingnya. Kemudian Bob membentuk lingkaran dengan telunjuk dan jempolnya pertanda segalanya beres.

“Kurasa makin cepat kita ke pantai makin baik,Pete,” ujar Jupe. “Sebelum Slater mengetahui apa yang terjadi.”

"Ide bagus,” sahut Pete. Ia masih mengenakan pakalan selamnya. Dengan cekatan ia turun dari sisi kapal yang satu lagi, lalu cepat-cepat berenang ke pantai. Jupe melepas baju kaus yang dipinjamnya dari lemari kapal, dan segera berenang sekuat tenaga mengikuti Pete.

“Paul Donner.” Jupe dan Pete berdiri memandangi orang yang terbaring talc berdaya di pasir.

“Apa yang dilakukannya di sini? Apa yang terjadi, Bob?” tanya Jupe.

Dengan ringkas Bob menjelaskan apa yang terjadi sesudah Fluke berenang menghampirinya. Mulai dari seorang raksasa tak bermuka yang sekonyong- konyong muncul di pantai, pertarungan memperebutkan peti, lalu pertolongan Fluke, dan akhirnya sampai pada jaket berisi karet busa itu.

Ia sukar bernapas, Bob mengakhiri. "Untung aku tahu cara memberi pernapasan buatan. Sekarang kelihatannya sudah jauh lebih baik.”

Jupe menoleh ke laut. Slater telah merapatkan kapalnya sedekat mungkin ke pantai dan membuang sauh di sana. Ia berlari mengarungi laut menuju mereka. Kepalanya yang botak licin berkilat-kilat. Ia tampak marah sekali.

“Peti besi?” bisik Jupe pada Bob. “Kaukemanakan peti itu?”

"Kusembunyikan di..."

Bob terhenti. Slater telah mencapai pasir kering. Ia berdiri di hadapan Bob.

“Di mana peti itu!” kata Slater dingin dengan nada penuh ancaman. Tak sedikit pun ia melihat pada Paul Donner. Slater seperti tidak heran melihat Paul Donner terbaring di situ. Bahkan ia seperti tidak mau tahu. Ia hanya melihat dengan pandangan mengancam pada Bob.

“Serahkan peti itu padaku!" ulang Slater.

“Peti apa?" Bob pura-pura heran sambil mengerdip pada Pete. Ia berharap Penyelidik Dua dapat menyerang Slater dengan tiba-tiba, supaya mereka bisa mengambil peti yang disembunyikan dan melarikan diri.

“Jangan coba-coba!” Slater seakan-akan dapat membaca pikirannya. “Kalian tidak dapat menipuku, Anak-anak ingusan!”

Celana Slater basah seluruhnya, tetapi jaket kulit yang dipakainya kering. Ia mengambil sesuatu dan balik jaketnya. Pistol berlaras pendek.

Ia mengarahkan laras pistolnya pada Bob.

“Peti besi,” katanya lagi. “Yang dibawa ikan paus itu. Berikan peti itu padaku.” Logat pesisir selatannya terdengar penuh ancaman.

Bob memandang Jupe dengan lemas. Jupe mengamati pistol yang digenggam Slater. Walaupun belum pernah menembak, Penyelidik Satu tahu banyak tentang pistol. Menurut teori, pistol Slater dengan laras yang sangat pendek itu jangkauan tembaknya tidak terlalu jauh. Tapi Slater menodongkannya cuma setengah meter dari dada Bob. Tidak ada harapan untuk luput dari tembakan Slater kalau Ia nekat menembak

“Oke, Bob,” kata Jupe. “Serahkan saja padanya.”

Bob mengangguk. Ia merasa lega dengan keputusan Jupe. Ia berjalan ke onggokan karang tempat Ia menaruh peti. Slater mengikuti dari belakang, tangannya masih menggenggam pistol. Bob mengambil peti itu. Slater merampasnya.

“Tidaaaak!”

Untuk beberapa detik Bob tidak tahu dari mana asal suara itu. Detik berikutnya Ia melihat Paul Donner bangkit dan tiba-tiba menyerbu ke arah mereka dari belakang.

Slater memutar badannya. Jeritan itu membuatnya terkejut. Ketika berbalik, Slater memunggungi Bob. Jupe hanya beberapa meter dari situ. Penyelidik Satu mengangguk, membuka kedua tangannya. Bob melempar peti itu. Jupe dengan sigap menangkapnya.

“Kau penipu!” Paul Donner tiba di tempat Slater berdiri. “Kau pengkhianat!” teriaknya. "Pembohong! Pemeras!”

Ia menyerang Slater, mencoba mencekiknya. Slater menurunkan pistolnya. Ia mendorong Donner. Donner terjatuh. Slater menindihnya. Mereka bergumul, berguling-guling di pasir.

Pete berdiri dekat air laut. Di laut tampak Constance bersama Fluke. Ia juga mendengar teriakan Donner. Dengan gesit Ia berenang ke pantai, diiringi Fluke di sampingnya.

Jupe mengoper peti pada Pete.

Slater bangkit, meninggalkan Donner yang tergeletak tanpa daya di pasir. Slater terlalu kuat bagi Donner yang kurus itu, yang belum pulih tenaganya sehabis dilontar-lontarkan Fluke. Pete menangkap peti itu.

Ia melihat Constance berenang mendekat. Ia melihat Slater memandang Bob, lalu Jupe, mencari-cari peti itu. Tanpa membuang-buang waktu, Pete berlari ke laut sambil mendekap peti itu.

Slater mengejarnya.

Pete sampai di pinggir pantai. Ia berlari terus sampai air setinggi pinggangnya. Slater menguntit tidak jauh di belakangnya.

“Stop!” teriak Slater.

Pete tidak melihatnya. Tapi ia dapat merasakan pistol Slater diarahkan padanya. Hatinya berdebar-debar.

Ia berhenti.

“Pete!” Constance membuka tangannya sambil mengapung di laut. “Pete, lempar ke sini!"

Pete bimbang. Rasanya pistol Slater begitu dekat pada dirinya. Rasanya peti besi itu begitu dingin. Dan di depannya Constance siap menangkap peti itu.

Pete terkenal jago basket. Kini Ia membayangkan dirinya bertanding basket pada saat-saat kritis menjelang pertandingan usai dengan skor berselisih tipis. Ia melupakan Slater. Ia tidak ingat pada pistol Slater. Ia membayangkan sedang memegang bola basket. Dan Constance berteriak meminta operan bola darinya.

Ia menekuk lututnya, menekuk kedua sikunya. Peti besi diletakkan pada kedua telapak tangan di atas kepalanya. Dengan satu gerakan cepat dan bertenaga dilemparnya peti seperti melempar bola basket, membuat lintasan parabola.

Constance menangkapnya.

Pete menyelam dan menjauh dari tempatnya. Ia berusaha tetap di bawah air selama mungkin, sembari menahan napas. Saat napasnya habis, perlahan-lahan Ia menyembulkan kepalanya. Ia mengintip ke pantai. Slater berdiri di pinggir pantal. Tangannya terkulai namun masih menggenggam pistol. Kepala botaknya tertunduk.

Jupe dan Bob berdiri di depannya. Pete menggabungkan diri dengan mereka.

“Kami tidak ingin merampas milik Anda, Mr. Slater,” kata Jupe. “Kami setuju untuk memberikan separuh isi peti itu pada Anda. Yang kami perbuat hanyalah mengamankan milik Constance dan ayahnya. Isi peti harus dibagi dengan adil.”

Slater diam membisu beberapa lama, lalu menghela napas.

“Apa maumu?” tanyanya.

“Aku mau supaya peti itu dibawa ke kota. kita harus membukanya di hadapan Chief Reynolds, kepala polisi Rocky Beach. Ia seorang yang terbuka dan adil. Anda dapat menceritakan asal usul peti itu, begitu pula Constance, menurut versi ayahnya. Biar nanti Chief Reynolds yang memutuskan bagaimana pembagian isi peti itu.”

Lama Slater tidak menjawab. Ia menoleh ke laut. Constance dan Fluke berenang berdampingan di tengah laut. Ia tidak dapat mengambil peti itu dari Fluke tanpa bantuan Constance.

“Oke,” desah Slate. “Kita naik ke kapal, lalu berlayar ke dermaga di Rocky Beach. Setelah itu kita bisa menemui Chief Reynolds. Setuju?"

Jupe menggeleng. Slater telah menyimpan pistolnya. Tapi sewaktu-waktu Ia dapat memakainya Lagi. Naik ke kapalnya berarti masuk ke dalam mulut harimau. “Tidak perlu susah-susah berlayar ke sana," sahut Jupe dengan sopan. “Kita kan bisa menelepon Chief Reynotds. Biar polisi yang menjemput kita di sini.”

“Menelepon? Dari mana?" Slater berusaha mempengaruhi Jupe. “Mana ada telepon dekat-dekat sini? Yang paling dekat saja...”

“Yang paling dekat kira-kira satu mil dari sini,” potong Jupe. “Di Kantin Clifftop. Bob dapat bersepeda ke sana dalam beberapa menit.”

“Dua menit paling lama,” tukas Bob.

“Nah, sekarang kalau Anda tidak keberatan, kupersilakan meletakkan pistol Anda di kapal, Mr. Slater,” kata Jupe dengan manisnya. “Constance dan Fluke akan membawa peti itu ke sini, sementara kita menunggu jemputan polisi. Ide yang baik, kan?”

Slater tentu saja tidak menganggap ide itu baik, baginya sebenarnya justru ide yang buruk. Ia tidak bisa berkelit lagi kalau sudah berhadapan dengan polisi. Tapi ia mengangguk menyetujui. Hanya itu yang bisa dilakukannya.

Bob berangkat untuk menelepon Chief Reynolds. Constance memberi makan Fluke, sementara Jupe dan Pete mengawasi Slater menaruh pistolnya di kapal. Kemudian Constance mengucapkan selamat berpisah pada Fluke. Ia berjanji akan kembali lagi ke pantai secepat mungkin. Fluke memandang Constance dengan sedih. Fluke berenang dekat sekali ke pantai untuk mengantar kepergian Constance.

Pada saat mereka berempat naik menuju jalan raya, Jupe baru teringat akan Paul Donner.

Paul Donner telah menghilang.

Tak lama kemudian Bob muncul dan mereka dijemput dengan sedan polisi. Lima belas menit setelah itu mereka semua sudah berada dalam kantor Chief Reynolds.

Chief Reynolds memandang mereka dengan heran. Tidak satu pun dari mereka yang kering. Semua basah kuyup. Dan bau air laut yang asin memenuhi ruangan kantor itu.

“Apa lagi yang terjadi kali ini, Jupe?” tanya Chief Reynolds ketika mereka semua sudah duduk.

Chief Reynolds sudah bertahun-tahun mengenal Trio Detektif. Ia sendiri tidak setuju dengan tindakan anak-anak yang kadang-kadang kelewat berani dan berbahaya. Tapi seolah-olah selalu ada saja misteri yang mendatangi anak-anak, bukan anak-anak yang mencari misteri. Dan Ia mengagumi kejelian Jupe dalam menangani sebuah kasus. Sering kali Penyelidik Satu menolong polisi memecahkan kasus-kasus yang rumit dan pelik.

Jupe menoleh pada Slater. “Ini Mr. Oscar Slater,” Ia memperkenalkan. “kukira Ia bisa menceritakan kisahnya sendiri.”

“Silakan Mr. Slater."

Slater berdiri. Ia mengeluarkan dompetnya yang basah dan menyerahkan tanda pengenal dirinya. Sesudah Chief Reynolds memerintahkan seseorang urituk mengecek tanda pengenal itu, Slater mulai bercerita.

Dengan jujur dikisahkannya penyelundupan ke Meksiko bersama Diego Carmel. Ia menceritakan tentang badai, kapal yang tenggelam, sampai bagaimana mereka menyelamatkan peti itu dengan bantuan Constance dan Fluke.

“Kawan mudaku, Jupiter Jones,” Slater melanjutkan, “mengusulkan supaya peti itu dibuka di sini. Dengan demikian tidak akan timbul perselisihan di kemudian hari. Aku kira itu usul yang baik, Chief.”

Ia merogoh sebuah kunci dari kantungnya, lalu menyerahkan pada Chief Reynolds. Constance meletakkan peti itu di meja.

Jupe mau tak mau harus mengakui kejujuran dan keterbukaan Slater. Slater bersikap sebagai seorang warga negara yang baik dan taat pada aturan. Dan caranya berbicara, tidak nampak kesan bahwa Ia pernah melakukan suatu tindakan kriminal.

Ia mengamati Chief Reynolds mernbuka peti besi hijau itu.

Constance terkejut. Bahkan Chief Reynolds terpana melihat isi peti itu. Jupe berdiri mendekati meja. Pete dan Bob menyusulnya.

Bob dan Pete melongo. Namun Penyelidik Satu bersikap biasa-biasa saja.

Peti itu penuh dengan lembaran sepuluh dolar baru.

Lembaran-lembaran uang itu tersusun rapi dan dibundel dengan pengikat dan kertas. Kalau lima ratus dolar tebalnya satu inci, Jupe mengira-ngira, uang di dalam peti itu kira-kira bernilai satu juta dolar.

“Inilah hasilnya, Chief,” Slater menjelaskan. “Hasil kunjunganku ke La Paz. Separuh dari uang -"

Ia terhenti ketika telepon di meja Chief Reynolds berdering. Chief Reynolds mengangkatnya dan mendengarkan beberapa saat.

"Teruskan, Mr. Slater," kata Chief Reynolds seraya meletakkan gagang telepon. "Anda bersih. Belum pernah terlibat dalam perbuatan kriminal. Apa tadi katamu..”

“Sebagian adalah hasil penjualan kalkulator saku di La Paz. Itu milik bersama antara aku dan kapten Carmel. Sisanya adalah milikku. Kudapat dari penjualan tanah—beberapa hektar tanah dari sebuah hotel kecil milikku di sana. Sekarang terserah Miss Carmel berapa banyak yang ia minta dalam hubungannya dengan bisnis ayahnya. Kukira setelah itu semua akan beres.”

Chief Reynolds mengernyit. “Itu akan beres kalau Anda sudah membayar pajak, Mr. Slater,” katanya. “Kukira tidak ada yang salah dalam keterangan Anda.” Ia berpaling pada Constance. “Berapa banyak milik ayahmu, Miss Carmel?”

Constance tersenyum. “Aku tak tahu persisnya.

Aku cuma ingin membayar ongkos perawatan Ayah di rumah sakit,” ujarnya. Ia menengok pada Slater. “Sepuiuh ribu dolar kurasa cukup.”

"Sepuluh ribu dolar cukup?" Slater menjulurkan badannya meraih peti itu. “Besok kau bisa menemaniku ke bank. Akan kuberi kau cek sebesar sepuluh ribu dolar.”

Dipangkunya dan ditutupnya peti itu. lalu Ia berdiri hendak keluar dari kantor.

Jupe berdiri menghalangi Slater.

“Chief Reynolds," kata Penyelidik Satu sambil menarik-narik bibir bawahnya. “Aku tidak mau ikut campur. Tapi boleh kan kalau aku usul sesuatu?

"Usul apa, Jupe?” tanya Chief Reynolds dengan ails mata terangkat.

"Sebaiknya nomor seri uang itu diperiksa dulu."

"Nomor seri? Kenapa?"

Jupe mengambil peti dari pegangan Slater dan membukanya. Diambilnya dua tumpuk uang sepuluh dolar baru.

“Kalau Anda memeriksa uang ini, Chief," Dia melanjutkan, Anda akan menemukan bahwa seluruh uang ini palsu!”

Bab 18

LAPORAN PADA HECTOR SEBASTIAN "Polisi akhirnya berhasil menangkap Paul Donner," kata Jupe. "Ia berusaha melarikan diri ke Meksiko dengan mobil limousin tuanya. Sial nasibnya, mobilnya mogok di tengah jalan. ketika ditangkap, Ia mengakui seluruh kejahatannya. "

Trio Detektif duduk mengelilingi sebuah meja dalam ruang tamu di rumah Hector Sebastian. Mereka memberikan laporan lengkap mengenal 'Kasus Penculikan Ikan Paus', judul yang ditulis Bob pada catatannya.

Mr. Sebastian duduk bersandar di kursi goyangnya sembari mendengarkan kisah mereka dengan penuh perhatian. Kalau dianggap perlu ia menanyakan hal-hal yang belum jelas baginya.

"Paul Donner mengakui bahwa Ia memalsukan uang?" tanyanya.

Bob mengangguk. "Bukan itu saja, Donner-lah yang merusak rem truk Constance. Ia berusaha dengan segala cara untuk menggagalkan pencarian peti besi itu dan bangkai kapal ayah Constance."

"Oscar Slater memaksanya untuk mencetak uang palsu itu," Lanjut Bob menjelaskan. "Ia memeras Donner. "

"Memeras? Memeras bagaimana?"

Hector Sebastian menengok ke dapur. Hoang Van Don sedang menyiapkan makan siang untuk mereka.

"Apakah Don membuat nasi merah Lagi, Mr. Sebastian?" tanya Pete. Ia sudah tidak sabar ingin menyantap makanan buatan Don.

"Tidak," jawab Mr. Sebastian. "Ia punya resep baru sekarang. Lihat saja nanti. Mmm... sampai di mana tadi kau, Bob?"

"Slater memeras Donner dan memaksanya mencetak uang palsu itu," ujar Bob. "Mulanya mereka bertemu di Eropa. Paul Donner ahli pembuat klise, dan pandai memalsu serta mencetak. Slater menangani distribusi uang palsu itu. Ia punya jaringan yang cukup luas di Eropa."

"Polisi di sana mengetahuinya?" tanya Hector Sebastian.

"Ya," Jupe menyahuti. "Tetapi polisi tidak mencurigai Oscar Slater. Ia sangat licin hingga kejahatannya tidak pernah tercium oleh polisi. Namun polisi Prancis memburu Paul Donner. Mereka punya surat perintah penangkapan Donner. Tetapi Donner berhasil lolos dan melarikan diri ke Meksiko."

"Ia sudah jera memalsukan uang," Bob menambahkan. "Dan Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi memalsukan uang. Janji itu dipegangnya teguh. Ia membuka usaha pencetakan yang legal di La Paz sampai..." Bob mengangkat bahu. "Well, sampai Oscar Slater menemuinya di sana."

"Ooo, pantas. Oscar Slater tahu bahwa Donner menjadi buronan polisi," kata Hector Sebastian. "Ia tahu bahwa pihak Prancis akan mengekstradisi Donner kalau mereka dapat menemukannya."

"Slater berada di atas angin. Ia punya senjata ampuh untuk memaksa Donner mengulangi pemalsuan uang. Kalau Donner menolak, Ia akan melaporkannya pada pihak Prancis."

Ia termenung sejenak.

"Dari mana kau tahu bahwa uang itu palsu, Jupe?" tanyanya kemudian.

"Terutama dari bekas seperti bekas luka di bawah mata kanan Paul Donner," jawab Jupe. "Mulanya kukira Ia ahli intan atau ahli reparasi jam tangan. Baru belakangan aku sadar bahwa Ia dapat juga seorang ahli pembuat klise."

"Cerdik sekali kau, Jupe." Mr. Sebastian tersenyum. "Tenggelamnya kapal kapten Carmel beserta peti itu melegakan hati Donner. Bagaimana menurutmu, Jupe?"

"Ya, kurang-lebih begitu," Penyelidik Satu menyetujui. "Aku merasa aneh. Mengapa Slater begitu bersemangat untuk memperoleh peti itu? Dan mengapa ada seseorang yang mati-matian berusaha menghalanginya? Kemudian aku baru menyadari. Seorang pemalsu yang paling ahli sekalipun tidak dapat menghilangkan ciri-ciri khasnya. Itu seperti melukis saja. Ciri-ciri khas itu selalu muncul dalam karya-karyanya. Kalau uang palsu itu sampai beredar, polisi akan segera tahu bahwa pelakunya adalah Donner. Dan polisi Amerika akan memburunya juga, seperti polisi Prancis. Tempat tinggalnya di La Paz dengan mudah dapat dilacak polisi."

Dari dapur terdengar suara seperti orang sedang mencincang daging.

"Dan dari situ kau menarik kesimpulan, Jupe," ujar Mr. Sebastian, "bahwa Donner- lah yang tidak menginginkan uang palsu itu ditemukan."

"Lama sekali aku baru menyadari hal itu," Jupe mengakui. "Mulanya aku mencurigai tiga orang. Oscar Slater, Paul Donner, dan si penelepon gelap yang menawarkan seratus dolar."

Ia memandang Bob.

"Baru ketika Bob membuka topeng kaus nilonnya aku sadar bahwa orang kedua dan orang ketiga adalah orang yang sama."

"Sewaktu Paul Donner menelepon kalian," kata Mr. Sebastian, "ia berkata dengan logat aneh, seperti logat pesisir selatan. Apakah Ia ingin agar kalian mengira itu Slater?"

Jupe menggeleng. "Kukira tidak, Mr. Sebastian. Ia cuma berusaha menyembunyikan suara aslinya. Itu seperti aktor...."

Jupe tahu banyak soal bersandiwara. Di masa kecilnya Ia sendiri suka bermain sandiwara. Masa-masa itu menjadi kenangan manis yang tak akan dilupakannya. Peran yang sering dimainkannya ialah Baby Fatso.

"Cara termudah bagi seorang aktor untuk mengubah suaranya," lanjutnya lagi, "ialah dengan meniru suara orang lain. Dengan menggunakan logat orang lain.

Paul Donner, yang lama tinggal di Eropa, mempunyai logat yang khas Eropa. Cara terbaik baginya untuk menyembunyikan logatnya ialah dengan memakai logat lain. Dan kebetulan ia memilih logat pesisir selatan, seperti Slater."

Hector Sebastian menengok kembali ke dapur. "Bagaimana Donner tahu bahwa kalian Trio Detektif sewaktu berjumpa di San Pedro?" tanyanya.

"Paul Donner adalah salah satu dari dua orang yang berada di kapal ketika kami menyelamatkan Fluke," Jupe menjelaskan. "Ia melihat kami menyelamatkan Fluke. Saat itu Ia masih berpura-pura bekerja untuk Slater. ketika Slater membeberkan rencananya untuk memanfaatkan Constance dan Fluke untuk mengambil peti itu dan kapal yang tenggelam, Donner memutuskan untuk pergi ke Ocean World esoknya. kuduga Ia hanya mencari jalan untuk dapat menghalangi Slater.

Kemudian Ia melihat kami keluar dari kantor Constance. Ia ingat kami yang menolong ikan paus itu. Lalu rupanya Ia melihat kartu kami di meja Constance sehingga Ia menelepon kami dan menawarkan seratus dolar kalau kami dapat membebaskan Fluke ke laut."

Mr. Sebastian memejamkan matanya.

Lalu Ia bertanya lagi. "Buat apa Donner pergi ke kantor Kapten Carmel di San Pedro? Aku tahu, dengan keahliannya memalsu, Ia gampang saja membuat kunci palsu pintu kantor Kapten Carmel. Tapi, buat apa Ia ke sana?"

"Kupikir Ia ke sana untuk merusak peralatan selam milik Constance," sahut Jupe. "Ia pikir itu salah satu cara untuk menghentikan usaha Slater. Belakangan. sewaktu Constance memutuskan untuk memakai peralatan selam milik Ocean World, Donner mampir ke kapal Slater dan merusak salah satu tabung udara di situ."

"Baru setelah kau menyadari." Mr. Sebastian menoleh pada Bob, "Kausebut apa di catatanmu,"

"Raksasa bertopeng," kata Bob. "Sebenarnya Ia bukan raksasa. Ia cuma terlihat seperti raksasa karena jaketnya dipadati karet busa tebal."

"Jadi baru setelah kau menyadari bahwa raksasa bertopeng dan Paul Donner adalah orang yang sama, semuanya menjadi jelas...."

Mr. Sebastian berhenti ketika Don masuk. Pembantu rumah tangga dan Vietnam itu membawa mangkuk kayu besar. Ditatanya di meja, di depan Mr. Sebastian dan Trio Detektif.

"Makanan sehat," kata Don dengan bangga. "Alamiah. Tanpa campuran bahan sintetis."

Pete melongok melihat isi mangkuk. Semacam salad. Ada daun slada dan ketimun. Namun sebagian besar berisi irisan-irisan tipis berwarna ungu yang sukar dikenali bentuknya.

"Apa ini?" tanya Pete. "Yang berwarna ungu ini apa?"

"Ikan," sahut Don. "Ikan mentah." "Men... mentah?" Pete tergagap. "Maksudmu.. maksudmu ini tidak dimasak?"

"Ya, tidak dimasak," ujar Don. "Makanan yang telah .dimasak tidak segar lagi. Sebagian vitaminnya hilang."

"Tapi waktu itu kau memasak nasi merah," protes Pete.

"Ya, itu memang sehat," sahut Don. "Tapi yang ini lebih sehat lagi. Aku baru dapat resepnya di sebuah majalah. Lihat saja orang Jepang. Mereka sering makan ikan mentah. Hasilnya? Dunia dibanjiri mobil dan barang-barang elektronik buatan Jepang."

"Ya, memang sehat.!" ujar Bob. "Tapi rasanya kayak apa ini?"

"Well, coba saja dulu", kata Mr. Sebastian. "Siapa tahu kalau dicampur dengan bumbu dan salad akan terasa nikmat."

"Tanpa sendok, garpu, atau pisau?" tanya Pete lagi.

"Dengan tangan saja, itu kebiasaan orang Jepang kalau makan ikan," Mr. Sebastian menjelaskan.

Dengan takut-takut anak-anak mencomot makanan dari dalam mangkuk itu. Jupe dan Bob hanya berani mengambil saladnya.

"Bagaimana keadaan ayah Constance?" tanya Hector Sebastian.

"Kapten Carmel makin membaik kondisinya" ujar Bob. "Minggu depan ia sudah boleh meninggalkan rumah sakit."

"Dan ia tidak usah pusing soal ongkos rumah sakit." tambah Jupe. "Orang dari Departemen Keuangan berterima kasih sekali pada Constance. Mereka menghadiahi Constance sejumlah uang yang cukup untuk membayar biaya perawatan ayahnya."

"Dan sebenarnya ayah Constance memang telah menjual kalkulator saku di La Paz," kata Bob. "Ada kemungkinan Constance dapat memperoleh bagian ayahnya dari Slater."

"Bagaimana dengan Fluke?" tanya Hector Sebastian.

"Balk," jawab Jupe. "Fluke sangat sedih ditinggal Constance. Fluke tidak mau pergi dari pantai itu. Ditunggunya terus sampai Constance kembali. Constance khawatir Fluke tidak dapat menyesuaikan din dengan kehidupan laut lagi."

"Jadi bagaimana dia sekarang?" tanya Mr. Sebastian.

"Constance sadar bahwa masalahnya Fluke tidak ingin berpisah dengannya," kata Bob. "Fluke sudah sedemikian akrabnya dengan Constance sehingga ingin terus bersamanya." "Jadi Constance membawanya ke Ocean World," kata Jupe. "Di sana Fluke terlihat riang. Dan Constance memberi kami free-pass. Kami boleh datang, kapan saja, dengan gratis...."

Ia terdiam, melongo melihat Pete.

"Kautelan ikan mentah itu?" serunya.

"Masa bodoh, aku lapar," Pete membela diri. "Rasanya juga lumayan. Kalau kau sudah biasa, pasti kau juga suka."

Dengan tenang ditelannya lagi seiris ikan mentah.

"Selain itu," ia melanjutkan. "makanan ini baik bagi kesehatan. Baik buat otak Lihat saja Fluke. Makanannya kan cuma ikan mentah. Tapi kalian tahu sendiri— betapa pandainya Fluke!"

End