Trio Detektif - Misteri Merpati Berjari Dua



TRIO DETEKTIF

MISTERI MERPATI BERJARI DUA Alihbahasa: Aryotomo Markam

THE MYSTERY OF THE TWO TOED PIGEON by Alfred Hitchcock Text by: Marc Brandel

Penerbit: PT. Gramedia Cetakan Pertama: Februari 1989

SEPATAH KATA DARI HECTOR SEBASTIAN

HALO, namaku Hector Sebastian.

Aku penulis kisah misteri. Dan beberapa novelku telah diangkat ke layar putih.

Tapi aku di sini bukan untuk bercerita tentang diriku sendiri. Aku cuma merasa perlu menceritakan sedikit tentang

profesiku. Mengapa? Karena profesiku menyebabkan aku selalu tertarik pada petualangan-petualangan penuh misteri yang dialami tiga kawan mudaku.

Mereka terlibat dalam petualangan bukan karena kebetulan belaka. Yah, paling tidak bukan kebetulan seratus

persen. Lihat saja kasus yang kini mereka hadapi. Kasus yang mereka juluki Misteri Merpati Berjari Dua. Kasus ini

bermula dari pertemuan aneh dan tidak disengaja. Tapi... kalau bukan mereka yang mengalami pertemuan itu, pasti tidak akan terjadi apa-apa.

Itulah ciri mereka. Dari peristiwa kecil yang seolah biasa saja, mereka bisa menemukan bahwa di balik itu ada

sesuatu. Sesuatu yang aneh, malah kadang-kadang ajaib. Dan tidak jarang mereka akhirnya terlibat dalam situasi yang berbahaya. Mereka selalu penasaran terhadap suatu masalah yang menimbulkan tanda tanya.

Mereka menjuluki kelompoknya Trio Detektif. Akan kuceritakan sedikit siapa Trio Detektif itu.

Mereka bertiga-trio. Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews. Tinggalnya di Rocky Beach, sebuah kota

kecil di tepi pantai selatan California, beberapa mil dari Santa Monica. Jupiter Jones, biasa dipanggil Jupe, menjadi pimpinan kelompok ini. Tubuhnya pendek dan... ah, tidak gendut

benar. Gemuk? Kurasa lebih tepat menyebutnya gempal. Daya ingatnya luar biasa. Dan ia mempunyai bakat istimewa

dalam menarik kesimpulan. Kemampuannya melakukan pengamatan patut

mendapat acungan jempol. Inilah yang

membuat Jupe dipilih menjadi pimpinan Trio Detektif.

Kukira, ada beberapa orang yang mengira Jupe congkak. Tapi sebenarnya ia tidak begitu. Ia cuma sangat yakin pada dirinya. Dan itu memang wajar. Soalnya, kalau menyimpulkan sesuatu, biasanya dia benar.

Pete Crenshaw, Penyelidik Dua, tinggi dan ramping. Bakatnya luar biasa di bidang olahraga. Tak heran kalau ia

mahir baseball, berenang, dan bersepeda. Kecintaannya pada hewan

sangat besar, dan ia punya rasa humor yang

tinggi. Keyakinan dirinya tidak sekuat Jupe. Demikian pula

kenekatannya. Kalau harus mengambil tindakan yang

berbahaya, ia selalu ragu. Tapi dalam keadaan mendesak, ia dapat

diandalkan.

Bob Andrews bertugas dalam bidang data dan riset. Anaknya cerdas, gemar belajar, dan agak pendiam. Ke mana

saja ia pergi, catatannya tidak pernah ketinggalan. Apa yang dilihat, dialami, dan dipikirkannya tidak akan luput dari catatannya. Kurasa dia akan jadi wartawan ulung kelak.

Nah, kalian sudah tahu siapa Trio Detektif itu. Sekarang aku tidak akan berpanjang lebar lagi. Kupersilakan kalian mengenal mereka sendiri dari pengalaman yang mereka hadapi saat ini, yaitu... oh, aku akan tutup mulut mulai

sekarang. Cuma satu pesanku, bersiaplah menjumpai orang-orang yang ganjil dan aneh. Selamat bermisteri!

HECTOR SEBASTIAN

Bab 1

SI KEDIP MATA

"AKU usul kita mampir dulu untuk mengisi perut," kata Pete Crenshaw pada kedua kawannya.

Hari itu adalah hari pertama liburan musim panas. Trio Detektif,

Jupiter Jones, Bob Andrews, dan Pete,

menghabiskan hari itu dengan berenang di pantai favorit mereka. Sekarang mereka sedang mengayuh sepeda di sepanjang jalan menuju Rocky Beach.

Bob segera menyetujui usul Pete. Ia mengayuh sepedanya lebih kencang, menyusul Pete yang berada di depannya.

Jupiter Jones, Penyelidik Satu, menimbang-nimbang usul Pete dengan caranya yang metodis itu. Memang, ia

kepanasan dan capek. Pekerjaan fisik memang tidak pernah disukainya. Ia lebih suka menggunakan otaknya. Tapi

ajakan untuk mampir di Kedai Kuda Laut di puncak bukit berikutnya cukup menarik baginya.

Namun, di lain pihak Jupe agak... terlalu berat badannya. Bahkan beberapa kawan sekolahnya mengejek dia dengan panggilan si Gendut. Karena itu ia berniat mengurangi berat badannya selama liburan ini. Targetnya turun lima kilo.

Jadi ia bisa pergi ke sekolah dengan tubuh yang lebih langsing pada bulan September nanti.

Sambil mempelajari tinggi bukit yang akan didakinya, ia mempertimbangkan ajakan Pete itu lebih jauh lagi. Saat itu sudah jam tiga. Enam jam telah berlalu sejak perutnya diisi dengan sarapan. Selama itu ia berenang dan bersepeda

sejauh beberapa mil. Ia telah membakar kalori dalam jumlah yang cukup

besar. Pasti berat tubuhku telah berkurang,

pikir Jupe. Di samping itu... perutnya sudah keroncongan.

"Oke," sahutnya pada kedua kawannya di depan. "Aku setuju kita mampir di Kedai Kuda Laut."

Waktu anak-anak masuk tempat itu sudah hampir kosong. Trio Detektif mengambil tempat di pojok dekat jendela

yang menghadap ke jalan raya. Pete segera mengempaskan tubuhnya, duduk dengan santai di kursi. Bob menelusuri daftar menu restoran itu.

Penyelidik Satu mengamat-amati pengunjung lainnya yang cuma sedikit. Ia sedang melaksanakan salah satu

kegemarannya, yaitu mencoba menarik kesimpulan dari apa yang dilihatnya. Dari cara orang berpakaian, dari raut wajahnya, dan dari kelakuannya, Jupe dapat menyimpulkan apa kebiasaan atau pekerjaan orang itu.

Salah seorang pengunjung segera menyita perhatiannya. Laki-laki itu kurus dan agak pendek, sekitar seratus enam puluh sentimeter. Jasnya berwarna gelap, bajunya putih, dan sepatu kulitnya hitam serta runcing. Sepatu itu agak

kebesaran bagi ukuran tubuhnya yang pendek itu. Dari gerakan jari-jari tangannya di dalam kantung celananya, Jupe dapat menyimpulkan bahwa orang itu sering menonton pacuan kuda. Sembari duduk di depan meja tinggi dengan secangkir kopi di hadapannya, laki-laki itu mengetuk-ngetukkan

jarinya pada kursi di sampingnya. Ia memandang ke luar dengan gelisah. Sebentar-sebentar tangannya meraba sebuah

kotak besar di sisinya. Seakan-akan ia ingin meyakinkan dirinya bahwa kotak itu tidak hilang. Kain katun tipis menyelubungi kotak itu dengan rapi.

Jupe mengalihkan pandangannya perlahan-lahan sampai ia dapat melihat lalu lintas di jalan raya. Dengan sudut

matanya, Jupe masih memperhatikan laki-laki berjas gelap itu.

Beberapa sedan melintas dijalan raya. Orang itu acuh tak acuh saja.

Kemudian Jupe mendengar suara yang lebih

keras dari sebuah mobil yang datang mendekat. Orang pendek itu

bangkit. Ia memperhatikan mobil yang datang

dengan penuh perhatian. Sebuah karavan tampak melintas. Orang itu

duduk kembali.

Laki-laki itu tentunya menanti kendaraan besar, sebuah truk atau mobil

boks. Jupe berkesimpulan, pasti bukan

karavan.

Pelayan restoran datang membawa hamburger. Jupe memisahkan irisan roti bagian atasnya. Dengan begitu ia dapat

mengurangi makannya. Ia kembali memperhatikan orang berpakaian jas

gelap itu. Untuk sesaat pandangan mereka

bertemu.

Kemudian suatu keganjilan terjadi. Orang itu mengedipkan matanya pada Jupe. (Kedip.) Jupe secara otomatis membalas dengan senyuman.

Laki-laki itu menganggap senyuman Jupe sebagai suatu undangan. Sambil menjinjing kotaknya, ia mendatangi Trio Detektif. Sembari begitu ia berkedip lagi. (Kedip.)

"Kalian baru berenang?" Pertanyaan itu suatu sapaan yang bersahabat. Tapi cara orang itu berbicara seolah-olah

menunjukkan arti yang khusus. Karena, begitu selesai berbicara, ia mengedip lagi. (Kedip.)

"Ya," sahut Pete, sambil nyengir dengan mulut yang masih penuh hamburger. "Di Wills Beach."

"Wills Beach?" kata orang itu lagi. "Pantas kalian kelaparan."

(Kedip.)

Tidak ada sesuatu yang lucu pada komentar orang itu. Tapi Trio Detektif tidak dapat menahan ketawanya. Apa pun yang dikatakannya, caranya mengedip itu seperti mengakhiri suatu banyolan yang kocak.

Laki-laki itu tersenyum.

"Boleh aku bergabung dengan kalian?" tanyanya.

(Kedip.)

Jupe bergeser merapat ke jendela, memberi tempat. Orang itu duduk di samping Jupe, lalu menaruh kotak terbungkus kain itu di lantai dekat kakinya.

"Namaku Stan," ujarnya. Sambil berkata begitu, mata kanannya mengedip lagi. (Kedip.) Anak-anak

memperkenalkan diri mereka masing-masing: "Jupe", "Pete", "Bob".

"Aku senang melihat anak-anak yang cekatan seperti kalian..." Tiba-tiba Stan melompat bangkit dari samping Jupe.

Ia memandang ke jalan raya dengan penuh harap. Terdengar suara kendaraan berat. Sebuah truk pengangkut minyak melintas. Stan duduk lagi.

"Stan. Kependekan dari Stanley," ia melanjutkan beberapa saat

kemudian. "Tapi aku biasa dipanggil Blinky, karena

aku sering berkedip. Kalian sudah memperhatikan itu, kan?"

(Kedip.)

Kali ini anak-anak tidak tertawa. Mereka kini tahu bahwa Stan tidak bermaksud melucu dengan kedipannya itu.

Berkedip memang sudah menjadi kebiasaannya yang tidak bisa dikendalikan. Mungkin ada gangguan pada saraf pengendali pelupuk matanya.

Bob merasa prihatin melihat kebiasaan Stan. Ia merasa bersalah karena menertawakan Stan tadi. Demikian pula

perasaan kedua kawannya. Mereka sekarang merasa dekat dengan Stan. Apalagi ketika Stan memanggil pelayan restoran dan memberinya uang sepuluh dolar.

"Anak-anak ini aku yang traktir," katanya pada pelayan wanita itu. (Kedip.)

Si pelayan wanita berkacak-pinggang sambil merengut. Mungkin ia

merasa digoda oleh kedipan Stan. Dengan

muka masam diambilnya uang itu lalu berjalan ke kasir.

Trio Detektif berterima kasih pada Blinky atas kebaikannya. Pada menit-menit berikutnya tidak ada truk yang

lewat. Mereka semua duduk dengan rileks. Jupe telah menghabiskan separuh hamburgernya. Yang separuh lagi tidak disentuhnya. Ia puas karena dapat menahan nafsu makannya. Kini ia merasa lebih langsing.

"Anda tinggal di Santa Monica?" tanya Jupe pada Blinky.

Blinky terhenyak. Posisi duduknya jadi lebih tegak. Kakinya tak sengaja menendang kotak di sampingnya. Matanya yang biasanya berkedip kini terbuka lebar.

"Dari mana kau tahu tempat tinggalku?" tanyanya dengan suara serak. Jupiter tidak bermaksud mengagetkan Blinky. Dengan ramah ia melemparkan senyum bersahabat. "Aku cuma menebak saja," katanya. "Kan ada tiga mobil di pelataran parkir. Di mobil yang satu ada boneka beruang di

belakangnya. Jadi kuduga mobil itu milik wanita di sebelah sana, yang bersama gadis kecil berambut pirang itu. Di

atas mobil yang kedua terikat sebuah papan selancar." Penyelidik Satu menunjuk pada seorang laki-laki dengan badan

berisi dan kulit coklat terbakar. Orang itu sedang menikmati minuman

soda. "Dialah satu-satunya orang di restoran ini

yang paling cocok disebut pemain selancar air. Dan mobil yang ketiga

memiliki plat nomor Santa Monica. Karena

itulah aku menduga itu mobil Anda."

Blinky terpana mendengar uraian Jupe yang terinci itu.

"Aku paham sekarang," ujarnya. "Pengamatanmu awas, seperti detektif saja."

"Bukan cuma seperti," kata Jupe cepat-cepat. Ia merasa perlu untuk

menjelaskan pada Blinky siapa sebenarnya

mereka bertiga. "Kami memang detektif. Trio Detektif."

Dikeluarkannya sebuah kartu nama dari kantungnya dan diberikannya pada Blinky. Jupe sendiri yang mencetak

kartu nama itu, menggunakan mesin cetak tua yang dibeli pamannya, Paman Titus. Di kartu itu tertulis:

TRIO DETEKTIF

"Kami Menyelidiki Apa Saja"

? ? ?

Penyelidik Satu - Jupiter Jones Penyelidik Dua - Pete Crenshaw Data dan Riset - Bob Andrews

Di bagian bawah tertulis nomor telepon kantor Trio Detektif di

pangkalan barang bekas yang dikelola keluarga

Jones.

Blinky memperhatikan kartu itu dengan cermat. "Apa artinya tiga tanda tanya ini?" tanyanya.

"Itu menunjukkan misteri yang belum terpecahkan, dan teka-teki yang belum terjawab," jawab Jupe. "Karena itu

kami akan selalu tertantang dalam menangani kasus-kasus yang kami hadapi."

"Yah, itu semacam simbol bagi kami," Bob menambahkan.

Blinky mengangguk. Ia berkedip lagi ketika menyimpan kartu itu dalam kantungnya.

"Kalian punya banyak..." Ia tidak menyelesaikan kalimatnya.

Jupe tidak dapat menebak apa yang sebenarnya ingin diucapkan Blinky. Blinky telah berdiri lagi. Matanya menatap

ke luar melalui jendela. Di kejauhan terdengar suara berderu-deru yang berasal dari kendaraan berat. Kemudian

muncul sebuah mobil boks besar berwarna hijau. Mobil boks itu melintas di depan restoran. Pengemudinya tampak seperti orang Jepang.

Jupiter menoleh pada Blinky. Tapi orang berjas gelap itu sudah tidak ada di tempatnya. Blinky sudah berada di

pintu keluar. Dalam sekejap ia berlari menuju mobilnya di pelataran parkir.

Pete yang pertama kali bereaksi. Sebagai seorang atlet, ia memiliki refleks yang lebih cepat dari kedua kawannya.

Diambilnya kotak dari lantai di samping meja. Dengan bergegas dikejarnya Blinky.

"He, tunggu," panggilnya. "Anda lupa..."

Tapi ia terlambat mengingatkan Blinky. Begitu Pete berlari melintasi

pelataran parkir, sedan milik Blinky sudah

meluncur dengan cepat mengikuti mobil boks hijau tadi.

Pete berjalan kembali ke restoran. Kotak itu diletakkannya di meja.

Trio Detektif duduk sambil termenung memandangi kotak yang tertinggal itu.

Jupe menarik-narik bibir bawahnya. Kebiasaan itu selalu dilakukannya sewaktu sedang berpikir keras. Menurut dia, itu membantunya dalam berkonsentrasi.

Bob yang memecah kesunyian itu. "Lebih baik kita serahkan saja pada pelayan restoran," usulnya. "Blinky pasti akan kembali kemari untuk mencarinya."

"Itu usul yang paling masuk akal bagiku," kata Pete menyetujui usul Bob. Tapi Penyelidik Satu itu tetap menarik-

narik bibir bawahnya dengan ibu jari dan telunjuknya. Blinky dan mobil boks hijau itu membangkitkan kecurigaannya.

Bakat alami yang dimiliki Jupe mengatakan ada sesuatu di balik peristiwa itu. Dan Jupe tidak tahan untuk membiarkan sesuatu itu tidak terungkap. Ia merasa yakin bahwa tidak lama lagi Trio Detektif akan menghadapi misteri baru.

"Usulku sebaliknya," akhirnya ia berkata. "Kita bawa saja kotak ini ke kantor di pangkalan. Blinky kan sudah

punya kartu kita. Itu memudahkannya menghubungi kita lewat telepon atau..."

Ia melihat Pete sudah mau protes. Memang, Penyelidik Dua tidak

seperti Jupe semangatnya dalam mencari

petualangan.

"Alasanku," sambung Jupe lagi, "Blinky tidak menitipkan kotak ini pada pelayan, kan? Dia meninggalkannya pada

kita. Bahkan aku hampir yakin bahwa dia mempercayai kita untuk mengurus kotak ini untuk sementara."

"Tapi dia kan bisa saja lupa," sela Pete. "Lihat saja betapa terburu- burunya dia."

Namun Pete sudah tahu. Kalau dia tidak dapat mengajukan alasan yang

cukup meyakinkan, biasanya usul Jupe

yang akhirnya diterima. Dan itulah yang terjadi kali ini.

Setengah jam kemudian anak-anak telah kembali di kantor mereka di Pangkalan Jones.

Kantor itu berada dalam sebuah karavan tua yang dibeli Paman Titus beberapa lama berselang. Karavan itu tidak

kunjung dibeli orang. Barang-barang rongsokan mulai menimbuninya. Dan anak-anak ikut menimbuninya sampai

tersembunyi seluruhnya. Dari luar hanya tampak rongsokan barang

bekas yang menggunung. Anak-anak membuat

jalan rahasia untuk dapat masuk ke dalam kantor tersembunyi itu.

Di dalam kantor terdapat sebuah meja, tempat penyimpan berkas, laboratorium mini, dan pesawat telepon. Anak-

anak dapat membayar sewa telepon dari uang yang mereka hasilkan dari bekerja di Pangkalan Jones.

Pete, yang tadi membawa kotak dengan sepedanya, meletakkan kotak itu di meja.

"Oke," katanya. "Sebuah kotak misterius yang bukan milik kita. Apa yang ingin kaulakukan sekarang?

Membukanya?"

Jupe duduk di kursi goyang di belakang meja.

Ia menggeleng-geleng perlahan. "Kita tidak punya hak untuk melakukan hal itu," sahutnya. "Kurasa kita cuma bisa..."

Ia menyorongkan badannya ke depan. Telinganya ditempelkan pada kain penutup kotak itu.

Ketiga anak itu dapat mendengar dengan jelas sekarang. Suara lembut, seperti dengkuran. Ada makhluk hidup di dalamnya. Makhluk itu terkurung dalam kotak.

"Kita tidak punya pilihan lain sekarang," ujar Pete. "Kotak ini harus dibuka."

Sejak kecil Pete memiliki rasa sayang luar biasa terhadap binatang. Ia mempunyai kebiasaan memungut dan

membawa pulang kucing atau anjing kecil yang berkeliaran di jalan.

Bahkan pernah membawa pulang seekor kuda

yang ditemuinya berkelana sendirian. Semua itu didorong keinginan

hatinya. Ia tidak tega melihat seekor binatang

tidak terurus. Kali ini nalurinya mengatakan bahwa ia harus menolong

hewan yang terkurung dalam kotak itu.

Dibukanya pita pengikat kotak itu. Lalu diangkatnya kain penutupnya. Sebuah sangkar besi. Dan di dalamnya terdapat seekor merpati.

Burung itu indah. Ramping, berbulu tebal, sehingga ekornya hampir membentuk kipas. Dan bulunya yang berkilau menunjukkan bahwa burung itu sehat.

Tapi Jupiter melihat sesuatu yang lain pada merpati dalam sangkar itu. Salah satu jarinya hilang. Pada kaki

kanannya terdapat tiga jari. Namun pada kaki kirinya cuma ada dua jari. "Kita tidak bisa membiarkannya terkurung dalam sangkar seperti ini," kata Pete dengan tegas. "Harus kita

pindahkan ke sangkar lain yang lebih besar dan lebih nyaman. Burung tempatnya di alam bebas, bukan dalam sangkar.

Apalagi sangkar yang kecil."

Jupiter mengangguk. "Akan kubuatkan sangkar yang lebih besar dan

nyaman," katanya. "Yang kuperlukan

hanyalah paku, palu, dan segulung kawat ayam."

Dalam beberapa menit saja Trio Detektif telah mendapatkan apa yang

mereka butuhkan untuk membuat sangkar

baru. Jupe mulai sibuk bekerja di bengkelnya, kantor. Tangannya

memang cekatan. Sebentar saja sudah terbentuk

sebuah rangka kotak yang lebih besar. Kemudian gulungan kawat ayam

dipaku pada rangka itu. Terciptalah sebuah

sangkar baru yang nyaman untuk ditempati merpati yang ditinggal

pemiliknya itu.

Pete membawa burung itu keluar kantor, sementara Jupe mengambil sebungkus jagung yang biasa diberikan Bibi

Mathilda pada itik-itik di taman kota. Bob menyediakan semangkuk air segar.

"Beristirahatlah kau di sini," kata Pete seraya memasukkan merpati itu ke dalam sangkarnya yang baru.

Burung itu segera menyukai tempatnya yang baru. Dipatuk-patuknya jagung yang terdapat di sangkar. Lalu

beberapa kali dicelupkannya kepalanya ke dalam mangkuk berisi air.

Burung itu mengibas-ngibaskan sayapnya, lalu

pergi ke pojok sangkar. Kepalanya disembunyikan di balik sayapnya.

Dengan begitu seakan-akan merpati itu ingin

menunjukkan rasa gembiranya.

Trio Detektif ikut merasa gembira. Kini mereka bisa pulang dengan lega. Merpati itu ditinggalkan di bengkel

Jupiter, yang terletak di salah satu pojok Pangkalan Jones. Bob dan Pete mengayuh sepedanya ke rumah masing- masing. Jupe berjalan kaki menyeberangi jalan menuju rumahnya, tempat ia tinggal bersama paman dan bibinya.

Merekalah yang merawat Jupe sejak Jupe menjadi yatim-piatu ketika masih kecil.

Esoknya Jupe bangun pagi-pagi sekali. Sambil mengucek-ngucek matanya, ia berlari memasuki Pangkalan Jones.

Sangkar baru itu masih terdapat di bengkelnya. Ketika mendekatinya, Jupe melihat merpati indah berwarna kelabu itu masih ada dalam sangkarnya. Merpati ramping itu berkukur dengan

riang sambil mematuki jagung yang masih

tersisa.

Jupe berlutut. Ia menempelkan mukanya pada kawat sangkar itu.

"Dari mana kau datang?" sapanya pada burung itu. "Apa yang dilakukan Blinky terhadapmu di kotak kecil itu? Dan mengapa Blinky kemarin begitu gugup?"

Kelihatannya kehadiran merpati itu membawa misteri, pikir Jupe. Kemudian Jupe terhenyak. Burung itu lebih misterius dari dugaannya semula.

Merpati dalam sangkar yang sedang diperhatikan Jupe kini memiliki tiga jari pada tiap-tiap kakinya!

Bab 2

PECINTA BURUNG

"ITU merpati pacuan Belgia," kata Bob. "Dua-duanya."

Jupe telah menelepon kedua kawannya dan memberi tahu apa yang

dilihatnya tentang merpati itu. Tapi baru setelah

makan siang mereka dapat berkumpul di kantor Trio Detektif.

Bob Andrews sedang mendapat giliran untuk bekerja di perpustakaan umum di Rocky Beach paginya. Sembari

menjaga perpustakaan, dia menyempatkan membaca buku-buku tentang burung merpati. Sebuah buku yang penuh

dengan gambar-gambar merpati dipinjamnya dari perpustakaan. Ia memperlihatkan isi buku itu pada kedua kawannya.

Jupe mempelajarinya. Ia membanding-bandingkan gambar di buku dengan merpati berjari tiga yang kini terletak di meja di hadapannya, dalam sangkar yang lebih kecil.

"Ya, kau benar, Bob," ujarnya. "Kedua burung itu amat mirip. Hanya jumlah jarinya saja yang berbeda. Merpati

yang pertama berjari dua pada kaki kirinya, sedangkan merpati yang kedua berjari tiga pada kedua kakinya. Namun kedua-duanya merpati pos."

Ia mengembalikan buku itu pada Bob. Pete memasukkan jarinya melalui sela-sela sangkar burung. Dengan lemah-

lembut dibelainya bulu merpati itu. Rupanya merpati ini senang terhadap

perlakuan Pete. Kedua mata merpati yang

bulat itu memandang Pete, seolah hendak mengatakan sesuatu.

"Itu memang sering terjadi," kata Pete. "Kau belum pernah dengar? Cukup banyak merpati liar di pantai sekitar sini memiliki jari yang tidak lengkap."

Penyelidik Satu mengangguk, tapi tidak berkata apa-apa. Sebenarnya ia

tidak banyak tahu tentang merpati. Bahkan

berita tentang burung-burung tidak terlalu menarik perhatiannya,

sampai peristiwa ini terjadi. Tetapi ia merasa gengsi

menyatakan hal ini pada kedua kawannya. "Ya, kaki-kaki mereka

tersangkut di kawat-kawat," katanya seakan-akan

tahu benar apa yang terjadi. "Atau mereka mengalami kecelakaan,

seperti teriris sisi kaleng bekas yang tajam."

Ia menoleh pada Bob, yang sedang asyik menekuni buku tentang merpati itu.

"Apa lagi yang dikatakan tentang merpati pacuan Belgia?" tanyanya. "Mereka burung pembalap kampiun. Dan memang mereka dipelihara untuk itu. Orang yang memelihara dan

melatihnya-seperti pelatih kuda-dapat mengenali merpati miliknya dari ratusan burung yang ada."

Bob kembali membaca buku itu dengan serius.

Lalu ia mengangkat kepalanya, sambil membetulkan letak kaca matanya. "Luar biasa!" katanya. "Orang membawa pergi merpati-merpati itu dalam sangkar-sangkarnya dengan mengendarai

truk. Kadang-kadang sampai sejauh lima atau enam ratus mil. Kemudian merpati itu dibebaskan. Mereka semua

berpacu kembali ke rumah masing-masing. Merpati yang juara dapat mencapai kecepatan enam puluh mil per jam.

Dan tidak satu pun yang tersesat! Seakan-akan mereka semua tahu jalan pulang ke rumahnya, tidak peduli ke mana mereka dibawa, atau dari mana mereka berasal."

Ia meneruskan membaca lagi. "Kejuaraan itu sudah menjadi olahraga nasional di Belgia. Ada seekor merpati

dibawa dengan sebuah kapal ke Indocina. Burung itu dilepaskan di sana. Lalu dalam dua puluh empat hari, merpati itu

sampai kembali di Belgia. Lebih dari tujuh ribu mil dilaluinya. Dan rute itu sama sekali asing baginya."

"Masa?" seru Pete setengah tidak percaya. "Coba aku lihat." Ia mengambil buku itu, lalu membacanya dengan penuh perhatian.

"He, ini ada keajaiban lagi!" katanya. "Merpati ini dapat berperan sebagai pembawa pesan. Dan ini sudah sejak dulu terjadi dalam sejarah. Caesar memakai merpati pos dalam menaklukkan musuhnya, Gaul. Dan angkatan

bersenjata Amerika Serikat bertahun-tahun memanfaatkan merpati pos itu. Demikian juga dalam perang Korea yang

belum lama berselang. Bahkan sekarang pun masih digunakan merpati pos untuk mengirim berita antara Los Angeles dan Catalina Island. Kau tahu semua ini, Jupe?"

Penyelidik Satu tidak menjawab. Sesungguhnya ini berita baru baginya. Tapi ia mencari akal agar ketidaktahuannya tidak terlihat oleh Pete.

"Pertanyaannya ialah..." Jupe mencari-cari kata-kata yang tepat. "Bagaimana bisa? Dan mengapa?"

"Menurut buku ini, tidak seorang pun tahu persis bagaimana burung- burung itu dapat kembali ke rumahnya," sahut Bob. Ia mengambil kembali buku itu dari tangan Pete. "Para ahli sudah mempelajari masalah yang menarik ini di

Cornell University. Mereka sampai pada suatu dugaan yang paling mungkin, yaitu bahwa burung-burung itu mengikuti pola medan magnet bumi. Merpati sangat peka terhadap medan magnet, di samping terhadap suara. Tapi dengarkan. Ini pendapat seorang profesor. ’Satu-satunya cara untuk memahami naluri merpati untuk kembali ke

rumahnya, ialah dengan menjadi merpati itu sendiri, merasa seperti merpati dan berpikir seperti merpati.’"

Bob memperhatikan merpati dalam sangkar di hadapannya. Ia mencoba membayangkan bagaimana rasanya menjadi merpati itu.

Jupiter menggeleng-geleng. "Bukan itu maksudku," katanya sambil menarik bibir bawahnya. "Aku tidak bertanya

bagaimana cara merpati itu kembali ke rumahnya. Yang kumaksud ialah

bagaimana merpati ini bisa masuk ke dalam

sangkar yang kita buat kemarin. Siapa yang menukarnya semalam?

Bagaimana mereka tahu di mana merpati berjari

dua itu? Dan mengapa mereka menukarnya?"

"Hm, ini menarik," komentar Pete seraya mengelus-elus si merpati Belgia. Merpati itu bereaksi dengan

mengeluarkan suara berkukur. "Mari kita beri nama merpati ini," usul Pete. "Bagaimana kalau Caesar?"

"Kemungkinan pertama." Penyelidik Satu sedang berpikir keras, seperti yang biasa dilakukannya kalau ada suatu

teka-teki yang belum terjawab. "Blinky yang menukarnya sendiri. Ia kan punya kartu Trio Detektif..." Jupe merasa

tidak perlu berendah diri... "dan kita kan cukup terkenal di Rocky Beach. Kalau dia tanya pada sembarang orang yang

lewat saja, orang itu pasti akan memberi tahu di mana tempat tinggal Jupiter Jones."

"Hmm, hampir semua orang di sini kenal kita," Pete menyetujui. "Kemungkinan kedua," Jupe melanjutkan. "Orang yang mengendarai mobil boks hijau yang dikejar Blinky. Ia

mungkin saja berputar kembali di suatu tempat, lalu secara kebetulan melihat Pete bersepeda sambil membawa kotak.

Ia dapat membuntuti kita ke sini. Meskipun demikian, aku tidak merasa bahwa kemarin kita diikuti orang."

Jupiter memandangi Caesar dengan raut muka yang seakan menyalahkan mengapa burung itu tidak dapat memberi

laporan padanya. Kemudian muka Jupe perlahan-lahan menjadi cerah. "Blinky dan orang bermobil boks hijau," ujarnya. "Apa yang kita tahu tentang mereka? Kita tidak tahu nama

lengkap Blinky. Yang kita tahu hanya ia tinggal di Santa Monica. Waktu itu ia mengendarai mobilnya begitu cepatnya sehingga aku cuma bisa melihat sebagian dari plat mobilnya: MOK. Sedangkan plat mobil boks hijau itu penuh

dengan debu. Aku tidak bisa membacanya sama sekali. Sepertinya kita berada di ujung jalan buntu-kecuali untuk satu hal."

"Apa itu?" seru Pete dengan tidak sabar. Gaya bicara Jupe memang kadang-kadang membuat orang penasaran ingin tahu lebih lanjut.

"Merpati. Ini bukan sembarang merpati, bukan merpati yang dipelihara

orang kebanyakan. Tapi merpati istimewa,

yang dapat terbang ratusan mil jauhnya, dan dipelihara dengan

perlakuan khusus. Sama dengan perlakuan terhadap

kuda pacuan, seperti apa yang kaukatakan tadi, Bob. Orang yang

memelihara merpati pacuan mestinya tahu siapa

orang lain yang juga memelihara merpati sejenis. Menurut penalaranku, pasti ada suatu klub atau perkumpulan yang

dapat memberi petunjuk pada kita tentang siapa saja yang berurusan dengan burung-burung ini..."

Buku telepon tebal sudah ada di tangan Jupe. Ia mulai membolak-balik halaman buku telepon.

"Kalau kita berhasil menghubungi seorang pelatih atau pemelihara, mungkin ia bisa mengenali merpati ini-"

"Caesar," Pete menyela. "Namanya Caesar."

"-Dan mengatakan pada kita siapa pemiliknya."

Jupe dengan cepat mencari-cari di halaman kuning buku telepon. "M untuk merpati," gumamnya. "P, perkumpulan.

Atau K, klub. A, Audubon. Mm..." Mata Jupe bergerak cepat menelusuri halaman demi halaman.

"Hh..." desahnya lambat-lambat dengan nada kecewa. "Di mana lagi kita harus mencari?"

"Miss Melody!" usul Bob.

"Siapa itu Miss Melody?" alis mata Jupe terangkat mendengar nama itu. Ia menoleh pada Bob.

"Seorang wanita anggota perpustakaan Rocky Beach. Kadang-kadang aku bertemu dengannya di sana. Di

perpustakaan cuma satu macam buku yang dicarinya. Buku tentang burung. Dia memang tergila-gila pada burung.

Aku pernah ngobrol dengannya. Seingatku, dia pernah menjadi pimpinan perkumpulan pecinta burung yang dinamakan Perkumpulan Penyayang Unggas."

Jupe menutup buku telepon.

"Ini suatu kesempatan," katanya. "Kalau ada ahli tentang merpati di

sekitar sini, mungkin ia tahu. Kau tahu di mana

tinggalnya?"

Bob mencopot kaca matanya.

"Tidak," sahutnya sambil membersihkan kaca matanya. "Kecuali memang ia tinggal di Rocky Beach. Kalau tidak,

dia tidak dapat menjadi anggota perpustakaan, kan? Tapi nama lengkapnya aku ingat. Maureen Melody. Aku tahu karena aku pernah melihat kartu perpustakaannya."

Dengan bersemangat Jupe mencari lagi dalam buku telepon. Dalam sekejap ditemukannya telepon Maureen

Melody. Ia tinggal di Alto Drive, sekitar dua mil dari Pangkalan Jones. "Aku usul kita segera bersepeda ke sana," kata Pete. "Tapi bagaimana dengan Caesar? Apakah akan kita tinggal di sini?"

Jupe tidak menganggap itu masalah membiarkan Caesar berada dalam sangkarnya yang kecil, namun Pete

bersikeras untuk memindahkannya ke sangkar yang lebih besar di luar. Jupe menggeleng pertanda tidak setuju. "Terlalu mudah bagi orang untuk mencurinya di luar sana," ujarnya. "Lihat saja apa yang terjadi semalam."

"Ya, mungkin nanti setelah kita kembali, merpati itu berubah menjadi

berjari empat!" Bob menimpali sambil

bercanda.

Akhirnya diputuskan untuk membawa Caesar. Pete membuka jalan keluar utama dari kantor Trio Detektif-tingkap

di dasar karavan yang berada tepat di atas sebuah lorong yang menuju

ke luar. Ia menyelusup memasuki lorong,

sambil mendekap sangkar di dadanya. Bob menyusul sesudahnya.

Jupe baru saja hendak menyelusup masuk ke dalam lorong, ketika ia terhenti. Dahinya berkerut.

Kemudian ia kembali ke mejanya. Dihidupkannya mesin penjawab telepon otomatis. Baru setelah itu ia keluar mengikuti kawan-kawannya.

Alto Drive berada di bagian timur Rocky Beach. Di kawasan itu berdiri rumah-rumah besar dengan halaman dan

kebun yang luas. Pekarangan depan yang luas yang memisahkan rumah dari jalan raya menjadi ciri khas kawasan itu.

Trio Detektif turun dari sepeda mereka di depan sepasang pintu gerbang tinggi terbuat dari besi. SARANG

MELODY, sebuah tulisan terbaca pada pilar penyangga pintu gerbang. "Bukan main orang ini," Pete berdecak kagum. "Sampai-sampai ia menganggap rumahnya sendiri sebagai sarang, seperti tempat tinggal burung saja."

Pada pilar itu pula terdapat interkom, alat untuk berkomunikasi dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Jupe menekan

tombol, lalu berjingkat untuk mendekatkan telinganya ke sebuah kotak penjawab di atas tombol.

Ia bersyukur bahwa Maureen Melody tidak lupa memasang interkom. Pintu gerbang masih berjarak sekitar tiga

ratus meter dari Sarang Melody. Sekalipun mereka berteriak, orang di dalam tidak akan mendengarnya.

Namun tiba-tiba terdengar suara hingar-bingar. Seperti di dalam toko

peralatan stereo, pikir Jupiter, dengan seluruh

radio dan tape dihidupkan keras-keras. Bedanya, kali ini bukan suara

musik atau suara manusia yang keluar. Itu suara

bising campuran dari siulan, kicauan, gaok, dan jeritan.

Jupe menekan tombol kembali. Ia tidak mendengar suara apa-apa dari kotak penjawab. Yang terdengar malah suara jeritan yang seakan membelah udara.

Ia melangkah mundur. Dicobanya untuk melihat ke dalam melalui gerbang yang tinggi. Nampak burung kakaktua merah dan kuning bertengger di ranting. Burung itu bersuara lagi, mengeluarkan bunyi seperti jeritan.

"Burung!" seru Pete. "Tempat ini penuh dengan..."

Kata-katanya yang terakhir tertelan oleh paduan suara kicauan burung yang melengking tinggi.

"Burung," Jupiter menyelesaikan kalimat Pete. Jupe dapat melihat burung-burung itu sekarang. Tidak semuanya,

tetapi paling tidak sebagian dari burung yang luar biasa banyaknya itu. Burung gereja, kenari, gagak, bahkan rajawali

dan elang, nampak bertengger di ranting-ranting pohon. Terkadang ada yang berpindah dari satu pohon ke pohon lain.

Jupe tidak mempedulikan interkom lagi. Ia meneliti pintu gerbang. Meskipun gerbang ditutup, namun ternyata tidak digembok. Ada sebuah lubang yang memang dimaksudkan untuk membuka gerbang dari luar. Jupe menjulurkan

tangannya ke dalam lubang itu, lalu membuka palang gerbang itu. Sambil menuntun sepedanya, ia berjalan memasuki

Sarang Melody. Pete dan Bob mengikuti. Bob berhenti sebentar untuk memalang gerbang kembali.

"Sekarang bagaimana?" tanya Pete sambil mendekatkan diri ke Jupe. Jupe menunjuk ke jalan di hadapan mereka yang menuju hutan kecil yang didiami burung-burung tadi. Mereka

menaiki sepeda masing-masing dan mulai mengayuh menyusuri jalan itu. Pete memegang setang sepedanya dengan

tangan kanan, dan menjinjing sangkar Caesar dengan tangan kirinya. Suara berisik tidak berkurang saat mereka bergerak meninggalkan gerbang, bahkan semakin keras dan bising. Bob menutup telinganya dengan sebelah tangan. Telinganya yang satu lagi sebisanya ditutupnya dengan bahunya.

Jupe, yang berada paling depan, tiba-tiba berhenti. Melalui sela-sela pepohonan ia dapat melihat sebuah rumah

bergaya Spanyol. Rumah itu masih berada dalam jarak seratus meter

dari tempat anak-anak berhenti. Tetapi bukan

rumah itu yang menyebabkan Jupe berhenti secara mendadak.

Di antara siulan dan kicauan serta jeritan burung-burung, Jupiter mendengar sebuah suara lain. Suara seorang wanita. Wanita itu mengeluarkan suara tinggi dan melengking, tapi terdengar menyenangkan. Ia sedang bernyanyi.

Suaranya yang sopran terdengar merdu di tengah-tengah bisingnya suara burung-burung.

"Ada tiga anak dalam pekaranganku, aku ingin tahu apa yang mereka

inginkan, " begitu syair lagu yang

dinyanyikannya.

Bob mengenali melodi lagu itu. Lagu The Battle Hymn of Republic. "Mereka boleh datang mendekat, tapi jangan melukai burung-burungku." Suara yang tadi terdengar lagi beberapa saat kemudian. Suara itu masih melanjutkan lagu tadi.

Anak-anak mengayuh sepedanya perlahan-lahan.

Jupe dapat melihat seorang wanita sekarang. Wanita itu sedang berdiri di sebuah taman yang memisahkan rumah

bergaya Spanyol dengan hutan kecil tadi. Ia sangat tinggi. Melihatnya seperti melihat sebuah patung menjulang. Ia memakai gaun panjang yang cocok untuk musim panas. Topinya terbuat dari jerami dengan tali yang menjuntai ke bawah dagunya yang bulat.

Di satu pundaknya hinggap seekor burung beo. Seekor rajawali kecil berputar-putar tepat di atas kepalanya. Dan seekor kenari hinggap di pinggir topinya.

"Kalau ingin mengutarakan maksud kalian, bernyanyilah dengan suara keras, " sambutnya dengan bernyanyi pada

Trio Detektif yang berhenti beberapa meter di depannya. "Kalau tidak, aku tidak dapat mendengarnya. "

Jupiter Jones berpengalaman dalam bermain sandiwara. Meskipun ia tidak suka orang mengingat-ingatnya, karena peran yang dimainkannya sebagai Baby Fatso. Tetapi ia tidak pernah bergabung dalam kelompok musik atau paduan

suara sekolahnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya ia harus ikut bernyanyi.

Meskipun demikian, Jupe segera menangkap apa yang diinginkan wanita itu. Di tengah hingar-bingarnya suara

burung, satu-satunya suara manusia yang dapat terdengar adalah suara tinggi dalam nyanyian.

"Kami mencari pemilik tempat ini, Miss Maureen Melody" kata Jupe dengan bernyanyi.

"Akulah orang yang kalian cari, aku Maureen Melody, "jawabnya sambil berlagu.

Sekarang kembali giliran Jupe. Ia berdehem.

"Maafkan kalau kami mengganggu, namun demikian kami ingin berbicara dengan Anda. " Cukup sulit bagi Jupe

untuk mencari kata-kata yang cocok dengan nada lagu The Battle Hymn of Republic, tapi Jupe mencoba sebaik mungkin. "Kami mendengar- "

Ia berhenti. Maureen Melody tidak lagi mendengarkannya. Ia tersenyum lebar. Matanya bersinar-sinar. Dengan gerak seperti berdansa, ia mendekati Pete.

Ia mengambil sangkar Caesar dari tangan Pete. Didekapnya sangkar itu. Dan ia terus berdansa sambil bernyanyi

dengan suaranya yang sopran. Jelas sekali kegembiraan terpancar dari wajahnya.

Dengan lebih bersemangat, ia berlagu lagi. "Terima kasih, terima kasih.

Akan kuberikan hadiahnya sekarang

pga!"

Bab 3

MUTIARA DARI BURUNG MURAI

"HADIAH APA-?" Jupe mulai bernyanyi. Ia terdiam. Maureen Melody membuka sangkar Caesar.

"Jangan, " Jupe menyanyikan lagu pendek. "Jangan dibuka "

Dengan sesopan mungkin, ia mengambil sangkar kembali dari tangan Miss Melody.

"Anda lihat, ini bukan merpati kami, " Jupe meneruskan nyanyiannya. Jupe terdiam lagi. Banyak yang ingin ia jelaskan. Namun karena itu harus dinyanyikan dengan suara tinggi Jupe

menjadi bingung. Dalam hatinya ia merasa kesal. Menyanyi seperti itu hanya akan membuat suaranya serak,

sedangkan apa yang ingin dikatakan belum tentu tersampaikan.

"Bisakah kita pindah ke suatu tempat untuk membicarakan hal ini?"

nyanyi Jupe lagi. Ia mendapat kesulitan besar

mengikuti melodi lagu The Battle Hymn of Republic, karena itu ia

menyanyi sekenanya saja dengan nada yang ia

karang-karang sendiri. "Ayolah, kami lebih suka ke tempat lain. "

Miss Melody menegakkan kepalanya. Jari-jemarinya memainkan tiga untai kalung mutiara yang dikenakannya. Ia menatap anak-anak. Sinar matanya seakan-akan menunjukkan kejengkelan, karena Jupe mengambil sangkar Caesar dari tangannya.

Akhirnya Miss Melody mengangguk. Lalu ia berjalan ke arah rumah. Rajawali di atas kepalanya terbang dan

menghilang di balik pepohonan. Burung beo tetap diam di pundak Miss Melody. Demikian pula dengan kenari, berdiri tenang di pinggir topinya.

Trio Detektif mengikuti Miss Melody memasuki pintu bergaya Prancis ke dalam sebuah ruang tamu yang luas dan terang-benderang. Miss Melody menutup pintu setelah anak-anak masuk.

Mulanya kicauan, siulan, dan gaok masih terdengar sama kerasnya seperti di luar. Kemudian Miss Melody

menekan sebuah tombol di dinding. Kaca-kaca tebal turun secara otomatis, seperti tirai di panggung pertunjukan, melapisi ruangan itu.

Luar biasa, pikir Pete. Seperti menyelam di laut yang dalam saja. Sunyi

senyap, tidak terdengar suara apa-apa. Tirai

kaca itu seakan-akan memisahkan mereka dari dunia luar.

"Sekarang bolehkah aku melihat burung yang kalian bawa itu?" Maureen Melody berbicara dengan cara yang

biasa. Ia menatap Jupe dengan sorot mata sedih dan memelas. "Tadinya kukira memang kalian ingin menyerahkan

burung itu kepadaku. Kukira kalian sudah melihat tawaranku pada siapa yang berhasil menemukan burung ini. Sebagai

pendiri dan pimpinan Kawanku yang Dapat Terbang, aku membayar dua puluh dolar pada siapa saja yang dapat

membebaskan seekor burung dari kurungannya. Aku tak tahan melihat seekor burung dikurung. Itu perbuatan yang sangat kejam."

"Kejam," burung beo di pundaknya meniru perkataannya. "Kejam.

Kejam."

Paling tidak ini sudah menjelaskan apa yang dimaksud dengan hadiah itu, pikir Jupe. Sekarang gilirannya untuk menjelaskan. Ia mulai dengan mengatakan bahwa Caesar bukanlah miliknya. Caesar ditinggalkan secara misterius oleh seseorang yang tidak dikenal. Mereka ingin sekali mengembalikan Caesar pada pemiliknya.

Bob mengamati Maureen Melody ketika Jupiter berbicara. Meskipun bertubuh tinggi besar, Maureen Melody

cantik dan menarik. Penampilannya mengingatkan kita pada seorang bintang film.

"Kalau kita dapat menemukan siapa pemilik Caesar," Pete menambahkan, "orang itu akan mengembalikan Caesar

pada kumpulannya. Dan Caesar tentu akan hidup di kandang yang cocok

untuk merpati, tidak di sangkar yang kecil

ini."

"Aku mengerti sekarang." Miss Melody kembali memainkan mutiaranya dengan jari-jemarinya. Di samping tiga

untai mutiara di lehernya, ia juga memakai anting-anting mutiara.

"Inilah sebabnya kami datang menemui Anda," kata Bob. "Aku tahu

bahwa Anda sangat suka burung. Kita pernah

mengobrol soal ini di perpustakaan, ingat? Dan menurut kami Anda

mungkin saja tahu orang di sekitar sini yang

memelihara dan melatih merpati pacuan."

Miss Melody tidak menjawab. Ia memandang ke luar melalui jendela. "Maaf," ujarnya. Ia menekan lagi tombol di dinding. Lembaran kaca terangkat. Sekali lagi riuh-rendah suara burung memenuhi ruangan.

Miss Melody membuka pintu bergaya Prancis. Ada seekor burung berdiri

di depan pintu. Itu burung murai, pikir

Pete.

Maureen Melody berlutut. Ia mengambil sesuatu dari paruh murai itu. "Kawan yang pandai sekali," mulai lagi ia bernyanyi dengan suara sopran yang jernih. Kali ini ia mengarang

nadanya sendiri. "Kusebut dia Edgar Allan Poe. Kuambil dari nama seorang pengarang yang termasyhur yang juga penyayang burung. Aku tahu burung milik Poe adalah burung gagak. Namun aku suka puisinya. Kalian harus baca puisi-puisi karyanya."

Burung murai tadi terbang kembali ke taman. Miss Melody menurunkan tirai kaca lagi.

"Burung murai pandai mencuri," katanya dengan suara normal. "Tetapi kedua muraiku sama sekali bukan pencuri.

Khususnya Edgar Allan Poe. Sebaliknya, Poe selalu mengembalikan barang-barang. Poe selalu membawakan barang- barang untukku. Barang yang indah-indah. Lihat!"

Dibukanya telapak tangannya yang gemuk dan putih, dan ditunjukkannya

apa yang baru saja dibawa Edgar Allan

Poe.

Sebuah mutiara besar berkilau-kilau.

"Ini mutiara ketiga yang dibawakannya untukku dalam bulan ini,"

katanya. "Aku tidak dapat menduga dari mana

Poe mendapatkan mutiara ini, tapi aku tidak peduli. Mutiara adalah

benda yang paling kusukai. Mutiara dan burung,

dua sejoli yang merupakan kawanku sehidup semati."

"Kembali pada merpati pacuan," Jupe mengingatkan Miss Melody. "Anda pernah kenal seseorang..."

Miss Melody menggeleng. "Aku tidak bisa mengingat siapa-siapa saat ini."

"Oh, kalau kebetulan Anda ingat," Jupe mengeluarkan kartu Trio Detektif dari kantungnya dan memberikannya pada Miss Melody, "kami akan sangat berterima kasih kalau Anda menghubungi kami lagi."

Maureen Melody menerima kartu itu. Tapi sebelum ia dapat membaca isinya, burung beo di pundaknya terbang dan mengambil kartu itu dengan paruhnya. Si beo lalu terbang ke tenggerannya.

"Terima kasih," kata Jupe pada Miss Melody. Meskipun ia suka pada wanita itu, ia berpikir bahwa kedatangan mereka ke situ tidak membawa hasil apa-apa. Malah ia sendiri merasa seakan-akan ia menjadi burung yang terkurung dalam ruangan kedap suara tadi.

Sambil tersenyum, Miss Melody membuka tirai kaca. Ia mempersilakan anak-anak keluar melalui pintu-pintu

bergaya Prancis. Ia tidak tersenyum pada kita, Jupe memperhatikan, tapi pada mutiara-mutiara dalam genggamannya.

Trio Detektif mengayuh sepeda mereka kembali ke jalan. Mereka tidak saling berbicara selama mereka masih

berada di Sarang Melody. Dan memang tidak ada gunanya berbicara di tempat seramai itu. Mereka memacu sepeda

masing-masing, melewati hutan kecil tempat burung-burung hinggap dan bersarang.

Mereka belum jauh ketika tiba-tiba terdengar suara melengking

memanggil. Jupe mengira itu cuma lengkingan

suara burung. Tapi ketika menoleh ke arah rumah, ia melihat Miss

Melody berdiri di depan rumah seraya melambai-

lambai ke arah mereka.

"Aku punya kawan, " terdengar suara sopran Miss Melody. "Namanya Parker Frisbee. Ia tinggal di kota ini.

Pernah, dia bercerita tentang merpati pacuan. Aku baru teringat kembali. "

"Parker Frisbee, " Jupe membalas dengan bernyanyi pula. "Terima kasih!"

Bab 4

JERITAN MEMINTA PERTOLONGAN

"PARKER FRISBEE," Jupe mengulangi ketika Trio Detektif telah sampai dijalan yang sepi. "Itu nama sebuah toko perhiasan di Main Street."

Ia mengarahkan sepedanya ke sebuah tempat berumput, lalu turun. Bob dan Pete bergabung dengannya.

"Kalian tahu apa yang ada di kepalaku?" tanya Pete. "Aku rasa Maureen Melody benar. Kita harus segera

melepaskan Caesar dari sangkar ini. Biarkanlah Caesar pergi. Lupakan saja semua ini."

Itulah apa yang dikuatirkan Jupe terhadap Pete. Jupe mengerti bahwa usul Pete adalah yang terbaik bagi Caesar.

Kalau mereka membuka sangkar itu, Caesar akan terbang dan bergabung

dengan kumpulannya di kandang tempat

tinggalnya.

Namun dalam pandangan Penyelidik Satu, membiarkan Caesar terbang pergi adalah hal yang paling buruk yang

dapat mereka lakukan. Bagi Jupe, Caesar lebih dari sekadar merpati. Caesar adalah suatu rahasia. Jupe sudah mencium bahwa mereka akan menghadapi suatu misteri yang menarik dan unik. Sebuah kasus.

Pikirannya melayang ke telepon di kantornya dan mesin penjawab telepon otomatis. Kalau orang berkendaraan

mobil boks hijau itu yang menukar merpati itu tadi malam, maka cepat atau lambat Blinky akan menelepon. Blinky

pasti menginginkan merpati berjari dua itu kembali. Jupe ingin sekali melihat reaksi Blinky ketika ia datang untuk

mengambil merpatinya. Jupe ingin sekali menyaksikan bagaimana air muka Blinky kalau ia menyadari bahwa merpati itu kini berjari tiga.

Jupe menduga-duga apakah Blinky akan mengenali merpati itu. "Bagaimana kalau kita pergi dan mampir di Parker Frisbee?" usul Penyelidik Satu. "Kan tempat itu kita lewati dalam perjalanan pulang ke kantor."

Ia melihat Bob, mengharapkan dukungannya. Bob menoleh ke Pete.

"Oke," Pete menyetujui dengan ogah-ogahan. "Kita mampir di Parker Frisbee."

Frisbee adalah toko perhiasan yang terbaik, dan juga termahal, di Rocky Beach. Kaca etalasenya tidak dipenuhi dengan jam tangan dan cincin-cincin kawin. Sebagai gantinya, dipajang seuntai kalung mutiara, dialasi beludru hitam.

Di kiri kanannya terdapat bros berlian yang berkilau-kilau tertimpa sinar matahari. Pemandangan dari luar itu seakan mengundang orang agar masuk ke dalam, untuk menyaksikan keindahan itu lebih dekat.

Di dalam ada beberapa tempat kotak kaca berisi bermacam-macam perhiasan dan permata. Lebih indah dan juga lebih mahal.

Seorang laki-laki berdiri di belakang salah satu kotak kaca. Tubuhnya pendek dan agak gemuk. Ia mengenakan jas

bulu berwarna hitam dan celana panjang bergaris-garis. Di dalam ia memakai kemeja putih serta dasi sutera. Lehernya hampir-hampir tidak terlihat, tertutup oleh jenggotnya yang hitam dan tebal. Sebagian besar mukanya tertutup oleh

berewok yang lebat pula. Hanya hidung dan matanya yang terlihat. Dagu,

mulut, dan bahkan pipinya tertutup oleh

berewoknya.

"Ya?" sapanya ketika Trio Detektif masuk.

"Mr. Parker Frisbee?" tanya Jupe.

"Betul."

Jupiter menjelaskan bahwa mereka kawan Miss Maureen Melody. Mata Mr. Frisbee melebar ketika nama itu

disebut. Penyelidik Satu mengatakan bahwa Miss Melody yang memberi tahu mereka tentang Mr. Frisbee. Menurut

Miss Melody, Mr. Frisbee ahli tentang merpati pacuan. Jupe ingin tahu

apakah Mr. Frisbee dapat menolong mereka

mencari siapa pemilik merpati pacuan yang mereka temukan.

"Oh, aku tidak terlalu ahli dalam soal ini," Mr. Frisbee menjawab dengan rendah hati. "Memang, aku pernah punya

beberapa ekor merpati. Dan aku melatih mereka secara amatiran. Tapi aku sudah tidak melakukannya lagi sejak beberapa tahun yang lalu."

Ia melirik pada sangkar yang dibawa Pete. "Apakah burung itu berada di situ?"

"Ya." Pete mengangkat sangkar Caesar, sehingga Mr. Frisbee dapat melihat dengan lebih jelas.

Mr. Frisbee meneliti Caesar selama beberapa saat dengan penuh perhatian.

"Di mana kalian menemukannya?" tanyanya. "Bagaimana sampai merpati ini berada di tangan kalian?"

"Seseorang meninggalkannya dalam pangkalan kami," jawab Jupe. Ia

berusaha untuk tidak menyebut-nyebut nama

Blinky.

"Siapa?"

"Kami tidak tahu," sahut Pete. "Tahu-tahu sudah ada di pangkalan.

Itulah sebabnya kami datang ke sini. Mungkin Anda tahu siapa..."

Mr. Frisbee menggeleng. Ia tertawa kecil.

"Itu bukan merpati pacuan Belgia," katanya. "Kalian lihat, itu induk merpati, merpati betina. Orang tidak mengikutsertakan merpati betina dalam pacuan."

"Oh, tapi-" Bob hendak mengatakan sesuatu. Namun ia mengurungkan niatnya. Ia buru-buru menutup mulutnya.

"Mungkin Anda punya ide atau petunjuk siapa pemilik merpati ini?" tanya Jupe.

"Sama sekali tidak." Mr. Frisbee mengangkat bahunya. Jupe mengira Mr. Frisbee tersenyum. Sukar sekali untuk

melihat senyumnya di balik jenggotnya yang tebal itu. "Maaf, aku tidak dapat membantu kalian, Anak-anak. Tolong sampaikan salamku pada Miss Melody."

"Baik, Mr. Frisbee," balas Jupe. "Terima kasih."

Trio Detektif kembali ke Main Street bersama Caesar.

Mereka harus menunggu sebelum dapat menjalankan sepeda mereka. Sebuah mobil hitam, yang tadi diparkir di pinggir jalan, kini meluncur dengan cepat. Anak-anak sampai merasakan embusan angin akibat kencangnya mobil hitam itu.

Setelah mobil hitam tadi lewat, Jupe dan Pete hendak mengayuh. Bob menahan mereka. Ia menoleh sesaat ke arah toko perhiasan.

"Ada apa?" tanya Jupe padanya.

"Aku tak yakin." Bob mencopot kaca matanya, lalu mengelapnya. Dahinya berkerut-kerut. "Ada dua kemungkinan.

Parker Frisbee tidak tahu apa-apa tentang merpati pacuan-maksudku

benar-benar tidak tahu-atau ia tidak jujur pada

kita."

"Buat apa dia bohong?" ujar Pete dengan cepat.

"Aku tak tahu." Bob memakai kaca matanya kembali. "Tapi buku yang tadi pagi kupinjam dari perpustakaan

mengatakan bahwa merpati betina juga diperlombakan. Bahkan beberapa juara dunia perlombaan itu adalah merpati- merpati betina."

Jupe menatap Bob dalam-dalam. Kemudian ia melihat jam tangannya. "Sudah hampir waktu makan malam,"

katanya. "Bagaimana kalau kita makan malam dulu di rumah masing- masing? Baru setelah itu kita kumpul lagi di kantor untuk membahas seluruh kejadian ini."

"Oke," kata Pete menyetujui. "Tapi kalau kita tetap mau menahan Caesar, aku tidak mau Caesar dikurung dalam

sangkar kecil ini. Caesar harus mendapat tempat yang layak bagi seekor burung merpati, yaitu sangkar besar yang kemarin kau buat, Jupe."

"Oke, Pete," kata Jupe seraya mengangguk. Ia lalu mengayuh sepedanya. Dan itulah yang mereka lakukan pertama kali mereka berkumpul di kantor Trio Detektif setelah makan malam.

Sangkar buatan Jupe terlalu besar untuk bisa masuk ke dalam lorong menuju kantor. Namun Trio Detektif mempunyai jalan rahasia lain untuk masuk ke dalam kantor. Salah satunya ialah melalui seutas tali dari atap karavan. Dengan jalan ini, mereka akan masuk dari atas kantor. Jalan ini mereka namakan Darurat Satu.

Pete yang mula-mula masuk. Ia memanjat tumpukan barang rongsokan yang menggunung menutupi karavan.

Ketika Pete telah turun melalui tali itu, Jupe dan Bob menurunkan Caesar yang masih berada dalam sangkar kecilnya.

Kemudian sangkar buatan Jupe diturunkan pula melalui atap karavan. Sekarang giliran Bob meluncur.

Jupe mendapat giliran terakhir. Sambil berpegangan pada tali, ia

menutup atap karavan dari dalam. Pete dan Bob

sudah memindahkan Caesar dari sangkar kecilnya ke tempatnya yang

lebih besar. Jupe tidak memperhatikan kedua

kawannya. Matanya dengan cepat melihat pada mesin penjawab yang

telah dihubungkan dengan telepon.

Mata Jupe bersinar-sinar. Lampu mesin itu menyala. Berarti ada orang yang menelepon tadi. Dan orang itu

menyampaikan pesan. Blinky, pikir Jupe. Pasti Blinky yang menelepon. Jadi, pelakunya adalah pengemudi mobil boks

hijau itu... Pikiran Jupe bergerak cepat. Bergegas dihampirinya mesin penjawab otomatis itu.

"Dengarkan ini," katanya sambil menghidupkan mesin penjawab dan pengeras suara.

Bob dan Pete diam mendengarkan. Jupe duduk di kursi goyang agar dapat berkonsentrasi pada isi pesan dalam mesin itu.

"Tolong!" terdengar suara Maureen Melody. "Tolong aku!" Pecinta burung yang nyentrik itu bernyanyi dengan nada yang menyayat hati.

"Ada pembantaian besar-besaran! Aku keluar. Dan... di luar kutemukan tubuh-tubuh burungku yang malang... "

Suaranya menjadi serak. Ia tak kuasa menahan rasa dukanya.

"Edgar Allan Poe. " Ratapannya terdengar amat memilukan. "Poe dipukul hingga mati! Dan aku menemukan

bangkai lainnya. Salah satu rajawaliku... Oh, tolong. Tolonglah aku. Seseorang membunuhi burung-burungku!"

Bab 5

MAUT MENGINTAI DI BALIK PEPOHONAN

"SEWAKTU menemukan kartu kalian, aku baru sadar bahwa kalian adalah detektif," kata Maureen Melody.

"Aneh, aku merasa ini suatu takdir."

Trio Detektif sudah berada kembali di rumah Miss Melody. Mereka kini duduk dalam ruangan kedap suara.

"Kalian lihat sendiri, aku tidak mau memanggil polisi," lanjutnya sambil mengelus-elus burung beo di pundaknya.

"Aku sudah keseringan berurusan dengan mereka. Bolak-balik polisi itu datang ke sini. Biasanya mereka

menyampaikan protes atau keluhan dari tetangga yang terganggu oleh bisingnya suara burungku yang manis-manis.

Apa maunya mereka itu? Justru mereka seharusnya bersyukur mendapat kesempatan untuk mendengar suara semerdu itu."

Mungkin tetangga Anda tidak dapat bertenggang rasa dan hanya suka pada kesunyian, pikir Pete, tapi ia tidak berkata apa-apa.

Penyelidik Satu sibuk meneliti bangkai dua ekor burung yang terbaring pada sehelai kain putih di meja. Kepala

burung murai itu remuk, seperti dipukul dengan benda keras. Tetapi tidak ada tanda-tanda kekerasan pada bangkai si rajawali. Mungkin burung ini diracun, pikir Jupe.

"Makanan apa yang biasa Anda berikan pada rajawali ini?" tanya Jupe. "Kenapa? Daging, tentu saja," jawab Miss Melody. "Rajawali kan termasuk karnivora. Dan rajawali pemburu yang amat lihai. Sering kali burungku ini mencari makanan sendiri. Sekali waktu dapat tikus, lain waktu dapat kelinci

dan..." Ia menghela napas. "Dan apa saja yang berhasil mereka jumpai. Aku sering khawatir. Kadang-kadang burung ini bandel."

"Kejam," burung beo di pundak Miss Melody bersuara. "Kejam. Kejam." Jupe mengangguk. "Di mana Anda temukan bangkai burung ini?" tanyanya.

"Edgar Allan Poe tergeletak di ujung taman. Ketika kupungut, aku..."

Ia mengambil sehelai sapu tangan kecil dari kantungnya. Ditutupnya mulutnya dengan sapu tangan itu, seolah-olah agar ingatannya segar kembali.

"Rajawaliku yang indah terbaring di antara pepohonan," akhirnya ia

melanjutkan, "di tempat biasanya kuletakkan

makanan untuk mereka. Melihatnya, aku menjadi curiga. Biasanya

rajawaliku makan. Tapi kali itu tidak, cuma

terbaring... tidak bergerak."

Jupe turut merasa prihatin.

"Bolehkah kami melihat tempat itu?" tanya Jupe.

"Tentu boleh." Maureen Melody memandang ke luar melalui pintu bergaya Prancis. Di luar hampir gelap. "Akan kuambil senter dulu."

"Tidak usah repot-repot," kata Jupe. "Kami membawa senter yang bisa diikatkan di kepala. Tunjukkan saja tempatnya, nanti akan kami teliti tempat itu."

Riuh suara burung sudah mulai berkurang pada saat matahari mulai terbenam. Ketika Trio Detektif mengikuti Miss Melody menyeberangi taman, mereka hanya sesekali mendengar suara burung hantu dan burung kakaktua dari balik kerimbunan hutan kecil.

"Edgar Allan Poe kutemukan tepat di sini," Maureen Melody tiba-tiba

berhenti. Ia menunjuk ke suatu tempat di

tanah.

Jupe mengarahkan senternya pada titik yang ditunjuk oleh Miss Melody. Ia berjongkok dan memungut sehelai bulu.

Ada percikan darah menempel pada bulu itu. Miss Melody gemetar melihatnya.

"Dan rajawali itu di sebelah sana." Ia menunjuk lagi. "Sekarang, kalau kalian tidak keberatan, kurasa... kurasa aku

lebih baik kembali ke rumah. Aku ingin berbaring untuk beristirahat.

Kalian boleh menyelidiki tempat ini sesuka

kalian."

Ia melipat tangannya seperti menahan dingin. Badannya gemetar.

Dengan bergegas ia berlari masuk ke rumahnya.

Jupe merasa lega dengan situasi itu. Memang, ia merasa prihatin pada nasib yang dialami Maureen Melody. Ia

mengerti bagaimana perasaan orang yang kehilangan sesuatu yang amat

disayanginya. Tetapi Jupe merasa lebih bebas

bila Trio Detektif dapat menyelidiki tempat itu tanpa ditemani orang

lain.

Ia mendekati tempat ditemukannya rajawali piaraan Miss Melody. Tidak ada bulu berserakan di sana. Tidak ada

pula cacahan daging. Kalau rajawali itu diracuni, mungkin sebelum

ajalnya masih sempat menghabiskan makanannya,

pikir Jupe. Atau mungkin pula orang yang meracuni sudah membersihkan

sisa-sisa makanan yang tertinggal, agar

perbuatannya tidak diketahui.

Jupe menyenter sekeliling tempat itu dengan teliti.

"Sayang sekali," katanya sambil menggeleng-geleng.

"Apanya?" Bob tidak bisa membayangkan apa yang sedang dipikirkan Penyelidik Satu.

"Tanah ini keras."

Jupe merasa keterangan itu sudah cukup bagi kawan-kawannya. Ia tidak menjelaskan lebih jauh lagi. Pikirannya

sudah melesat jauh. Harus segera diambil tindakan, Jupe memutuskan.

"Baik," katanya. "Kita berpencar. Bob, kau ke sebelah kiri. Dan Pete, kau ke kanan. Aku akan lurus ke depan.

Oke?"

"Oke," Pete menyetujui. "Tapi sebelumnya jelaskan dulu sesuatu padaku, ya Jupe?"

"Apa?"

"Apa yang kita cari?"

"Jejak." Jupe menyinari lagi tanah dengan senternya. "Tidak ada jejak di sini karena tanahnya terlalu keras. Namun

beberapa hari yang lalu hujan turun dan mestinya ada banyak tanah yang lembut di antara pepohonan. Dari apa yang

dikatakan Miss Melody tentang tetangganya, aku bisa menyimpulkan bahwa tidak banyak tetangganya yang

berkunjung ke sini. Jadi, kalau kita berhasil menemukan bekas-bekas tapak kaki, kemungkinan besar itu adalah jejak pembunuh burung-burung ini."

"Benar sekali," sambut Pete dengan bersemangat. "Jadi sekarang kita mencari jejak si pembunuh. Habis itu apa?

Kita buat cetakan jejak itu untuk mencari siapa orang yang kira-kira

kakinya atau sepatunya cocok dengan cetakan

itu?"

Jupe menghela napas.

"Blinky," ia menjelaskan dengan tidak sabar. "Kau tidak memperhatikan sepatu yang ia pakai waktu itu? Sepatunya besar, dan ujungnya runcing. Mengerti sekarang?"

"Tentu," jawab Bob. "Kalau kita menemukan jejak dengan ujung yang aneh, maka mungkin itu jejak Blinky. Dan

kalau jejak itu ujungnya biasa saja, hmm, itu ada artinya juga bagi kita." "Berarti itu bukan jejak Blinky," kata Pete sambil mengangguk-angguk. "Apa yang harus kuperbuat kalau aku mendapatkan sesuatu?"

"Beri isyarat dengan sentermu," Jupe menginstruksikan. "Tiga kali panjang, tiga kali pendek. Teruskan sampai kau melihat balasan sinar sen ter."

Trio Detektif berpencar di hutan kecil yang cukup lebat itu.

Jupiter membungkukkan badannya sambil bergerak maju, selangkah

demi selangkah. Senternya menyinari setiap

jengkal tanah yang dilaluinya. Ia mendapat tempat yang tidak

menguntungkan. Banyak semak di sana, dan tanahnya

berkerikil tajam. Hampir tidak ada tanah yang lembut. Tidak dijumpai

jejak di daerah yang diselidikinya.

Ia mengira-ngira bagaimana keadaan yang dijumpai kawan-kawannya. Namun tiba-tiba ia terhenyak. Sorot

senternya menangkap suatu benda gelap di antara semak-semak sebelah kanannya.

Ia memperhatikan benda itu beberapa saat. Kemudian berlutut. Didekatinya benda itu. Ia mengarahkan senternya lebih dekat pada benda yang dilihatnya tadi.

Sekonyong-konyong terdengar suara burung hantu dari suatu tempat di dalam kegelapan. Suara yang terdengar

seperti jeritan itu tidak mengagetkan Jupiter. Tetapi ada sesuatu yang lain. Jupiter merasakan ada sesuatu yang bergerak di belakangnya.

Yang pertama kali didengarnya adalah sebuah desingan halus. Secara naluriah, Jupe bergerak mengelak ke

samping. Sebuah tongkat kayu berdesing persis di samping kepalanya. Kepala Jupe terhindar. Namun bahunya terpukul keras.

Jupe merasakan nyeri yang menyengat di bahunya. Dalam kesakitan itu ia berusaha untuk memegang senternya

agar tidak jatuh. Ia berguling di tanah sambil mendekap senter di dadanya.

Ketika berguling, sinar lampu senternya menyorot ke atas. Sekelebatan tampak seseorang berjaket hitam. Dan sorot senter berhenti tepat pada muka orang itu.

Sukar untuk menggambarkan muka itu. Hanya sedikit yang dapat

dikatakan, karena cuma hidung dan kaca mata

yang nampak menonjol pada muka yang penuh bulu itu. Seluruh dagu,

pipi, dan bibir atasnya tertutup oleh jenggot

dan berewok yang tebal.

Untuk sesaat orang itu terkejut karena terkena sorotan senter. Detik

berikutnya ia berbalik lalu menghilang di balik

semak-semak.

Jupe tidak mencoba mengejarnya. Ia bangkit sambil memijat-mijat bahunya yang terpukul. Rasa sakitnya belum

berkurang. Ketika sudah merasa tenang, ia menyorot senternya ke suatu arah, untuk memberi isyarat. Tiga kali

panjang, tiga kali pendek. Terus dilakukannya itu, sampai dilihatnya balasan senter Pete dari sela-sela semak-semak.

"Jupe?"

"Di sini," Jupe menyahuti.

Pete menerabas semak-semak itu, mengikuti arah suara Jupe. Sesaat kemudian Bob bergabung. Jupe kembali

memijiti bahunya. Ia masih kesakitan. Dan itu terlihat jelas oleh kedua kawannya.

"Apa yang terjadi?" tanya Bob khawatir.

"Parker Frisbee," jawab Jupe. "Ia menyerangku dengan sebatang kayu. Untungnya, senterku secara kebetulan

menyorot tepat di mukanya. Ia kelihatan terkejut, lalu lari ke arah sana."

"Kau dengar waktu ia lari tadi, Bob?"

Bob menggeleng. "Banyak sekali semak di sini," ujarnya, "sehingga aku belum beranjak jauh dari tempatku

semula. Kalau orang itu lari ke arah gerbang, pasti ia tidak lewat dekat tempatku."

"Kita akan mengejar dia sekarang?" tanya Pete dengan gelisah.

Mengejar seseorang bersenjata kayu di tengah kegelapan bukan sesuatu yang menyenangkan baginya.

"Tidak." Ide itu tidak terbersit pula dalam benak Jupe.

Pete menarik napas lega.

"Aku menemukan sesuatu," kata Jupe lagi.

Ia berpaling dan menyinari daerah di sekitarnya. Ia menemukan sesuatu yang dilihatnya sebelum diserang tadi.

Kembali ia berlutut. Ditelitinya benda yang dilihatnya tadi. Bob dan Pete berlutut di sampingnya.

"Astaga!" desis Pete tertahan. "Itu seperti se..."

"Ya," Jupe menegaskan. "Tepat sekali. Seekor merpati yang telah mati!" Nasib merpati itu sungguh menyedihkan. Kepala dan badannya remuk sama sekali. Hampir tidak ada yang tersisa.

Cuma bulu-bulu, satu sayapnya, dan kedua kakinya yang tertinggal.

Jupe memegang salah satu kaki merpati malang itu. Di situ terikat sebuah pita aluminium.

Jupe mencopot pita itu. Diperhatikannya pita itu di bawah sorot senter Bob. Pita aluminium itu dilipat sedemikian

rupa untuk menyimpan sesuatu. Dengan hati-hati Jupe membuka lipatan aluminium itu. Di dalamnya terdapat sebuah kertas terlipat.

Kini ia membuka lipatan kertas. Ada pesan tertulis pada kertas itu.

Trio Detektif saling mendekat untuk melihat lebih jelas apa yang tertulis di situ.

"Apa itu?" seru Pete.

Jupe harus mengakui bahwa tulisan itu membingungkannya pula. Ia bahkan tidak dapat menebak huruf apa yang tertulis. Huruf itu sama sekali berbeda dengan huruf latin. Bahkan tidak mirip sedikit pun dengan huruf Yunani.

Nampaknya lebih dekat ke...

"Cina," tebak Bob. "Atau Jepang. Tulisan ini mengingatkanku pada buku- buku dan koran-koran di perpustakaan.

Di kota cukup banyak pembaca tulisan Jepang. Aku sering mengembalikan buku-buku Jepang ke rak."

Jupe mengernyit. Ia menyimpan kertas itu dalam kantung bajunya.

Sekali lagi diamatinya merpati yang telah mati itu.

"Lihat!" serunya. "Lihat kaki kirinya!"

Bob dan Pete melihat.

Kaki merpati itu tidak remuk seperti pada bagian yang lainnya. Namun pada kaki kirinya hanya terdapat dua jari!

Bab 6

PERTOLONGAN VAN DON

"AKU tidak dapat melukiskan betapa gembiranya mendapat kunjungan kalian," kata Hector Sebastian. "Kunjungan

kalian selalu menimbulkan ide-ide baru, yang sangat berguna bagi novel- novelku."

Pagi itu adalah keesokan hari setelah ditemukannya bangkai merpati di kediaman Miss Melody. Hector Sebastian

dan Trio Detektif berkumpul di dapur rumahnya yang terletak di bukit, dekat Malibu.

Rumah itu dulunya dipakai sebagai restoran bernama Charlie’s Place. Sebastian membeli restoran itu, setelah

novelnya yang berjudul Warisan Laknat diangkat ke layar putih. Secara bertahap ia mengubah restoran itu menjadi rumah yang nyaman. Ia sendiri menyebutnya rumah yang megah. Dapurnya tidak perlu diubah lagi. Dapur itu besar, terang benderang, dan dilengkapi dengan peralatan modern.

Tungku dan kompor gas, dua buah lemari es, kipas penyedot asap, serta berbagai macam peralatan memasak tersedia

di sana. Semua itu cukup untuk membuat makanan bagi lima atau enam puluh orang.

Dapur itu boleh dikatakan dapur idaman setiap juru masak. Seorang juru masak yang ahli akan betah memasak di

sana, bahkan akan dengan senang hati memasak lima kali sehari.

Namun pembantu rumah tangga Hector Sebastian, Hoang Van Don, lain dari yang lain. Ia hanya menyukai

masakan yang sehat dan bergizi, kadang-kadang tanpa memperhatikan rasanya. Padahal Hector Sebastian suka juga

pada makanan-makanan yang enak, meskipun kurang bergizi. Dalam hal ini Hoang Van Don akan memprotesnya,

sambil mengingatkan betapa buruknya makanan tidak bergizi bagi kesehatan tubuh kita.

Saat ini Don sedang ke luar rumah. Ia diminta anak-anak untuk membantu mereka mencarikan sesuatu.

"Ini baru makanan," kata Hector Sebastian seraya mengeluarkan empat buah hamburger dan sebungkus besar

french fries. Ia membelinya di sebuah kedai, tanpa sepengetahuan Don. Menitik air liur Pete melihatnya. Ia sendiri tidak keberatan dengan masakan Don. Dan memang hampir semua

makanan bisa dilahapnya, termasuk masakan Don. Tetapi hamburger adalah makanan favorit Pete.

"Apa yang dimasak Don hari ini?" tanya Pete. "Ia masih suka memasak ikan mentah, Mr. Sebastian?"

"Kadang-kadang." Hector Sebastian sibuk melahap french fries yang diolesi saus tomat. "Semalam ia masak ganggang laut."

"Hmm, aku ingin tahu seperti apa rasanya," komentar Pete. Setelah berkata begitu ia melahap hamburgernya.

Mr. Sebastian dulu bekerja sebagai detektif swasta di New York. Ia mulai menulis novel-novel misteri sejak ia dirawat karena kakinya terluka parah. Sampai sekarang ia masih bertelekan tongkat untuk berjalan.

"Untung ya, rumah teman Don itu jauh dari sini," katanya setengah

bersyukur. "Kita bisa makan tanpa diprotes

olehnya."

Don sedang menemui temannya yang berkebangsaan Jepang. Ia kenal dengan temannya itu dari klub karate di

Malibu. Don dengan senang hati membantu anak-anak untuk menanyakan arti pesan berhuruf Jepang yang mereka temukan tadi malam.

"Don paling-paling baru akan kembali satu jam lagi," Mr. Sebastian melanjutkan. "Kita masih punya cukup waktu

untuk membersihkan semua ini sebelum dia pulang." Ia tersenyum pada Penyelidik Satu di seberang mejanya. "Kau tidak menghabiskan hamburgermu, Jupe?"

Jupiter menggeleng dengan sopan. Ia merasa bangga dengan dirinya sendiri karena dapat menahan diri untuk tidak makan terlalu banyak. Setengah hamburger tidak akan membuatnya tambah gemuk.

"Sekarang kalian ceritakan bagaimana kalian mendapatkan pesan berhuruf Jepang itu?" Hector Sebastian bertanya pada Jupe. "Boleh kan, kalau aku tahu sekarang."

Penyelidik Satu bimbang sejenak. Ia mengerti bahwa penulis kisah misteri selalu tertarik pada kejadian yang aneh- aneh. Dan ia juga sering mendapatkan bantuan dari Hector Sebastian sebelumnya. Kini, bukannya ia tidak mau

menceritakan apa yang sedang terjadi, tetapi ia sendiri belum yakin bagaimana duduk persoalan dalam kasus pembunuhan burung-burung ini.

Tapi akhirnya diceritakannya juga apa yang telah mereka alami sehari sebelumnya. Dijelaskannya bagaimana

mereka menemukan pesan yang terbungkus dalam pita aluminium di kaki burung merpati yang telah mati. Dikatakan

pula bahwa Bob menduga itu tulisan Jepang. Dan setelah dicocokkan dengan buku-buku di perpustakaan, ternyata dugaan Bob benar.

"Aku senang kalian berkunjung kemari membawa pesan itu," kata Mr. Sebastian. "Meskipun sebenarnya Don yang

membantu kalian kali ini, bukan aku. Tapi kedatangan kalian memberiku kesempatan untuk menikmati hamburger

Ia meraih tongkat yang tergantung di belakang kursinya. Sambil bertelekan pada tongkat itu, ia berdiri.

"Sekarang kita mesti cepat-cepat melenyapkan sisa-sisa makanan ini sebelum Don kembali," ujarnya. "Aku tidak ingin mendengar omelan Don."

Anak-anak membersihkan piring dan membuang sisa makanan ke dalam tempat sampah di dapur. Sehabis

menyusun piring di rak, mereka mendengar suara mobil Don datang. "Cepat. Pindah ke ruang tamu," Hector Sebastian mengingatkan mereka. Ia berjalan terpincang-pincang masuk ke

ruang tamu yang luas dengan sederetan jendela yang memperlihatkan pemandangan ke laut lepas. Ia duduk di meja

besar di salah satu sisi ruang tamu itu. Trio Detektif mengambil tempat di kursi-kursi di sekeliling meja itu.

Jupe mendengar suara pintu belakang dibuka. Pintu belakang langsung menuju dapur. Ia berdiri dari kursinya.

Tidak sabar ia menanti berita yang dibawa Don dari temannya itu. Sebentar lagi akan ada petunjuk tentang apa isi

pesan yang diperolehnya dari merpati di kediaman Miss Melody kemarin. Ia akan lebih mengerti persoalan yang terjadi. Dan dari situ ia berharap dapat memecahkan misteri pembunuhan burung-burung itu.

Ia menunggu. Lehernya bergerak-gerak karena tidak sabar menunggu berita yang dibawa Don.

Langkah-langkah Don terdengar melintasi dapur. Kemudian sunyi. Don berhenti di dapur. Jupe mendengar suara seperti orang membaui sesuatu.

Baru semenit kemudian Don muncul. Ia menghampiri mereka melewati rak buku yang memisahkan ruang kerja Mr.

Sebastian dengan ruang tamu.

"Bagaimana?" tanya Jupe begitu melihat Don. "Apa bunyi pesan itu?"

Don berhenti beberapa meter dari meja. Ia berdiri tegak sambil berkacak-pi nggang.

"Pertama aku ingin bertanya dulu," katanya. "Pertanyaan tentang apa yang..."

"Ayolah," pinta Jupe padanya. "Ceritakan dulu isi pesan itu. Apa arti tulisan itu?"

Don bimbang. Alisnya berkerut-kerut. Ia menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya.

"Oke," akhirnya ia berkata. "Aku jawab pertanyaanmu dulu. Setelah itu giliran kalian menjawab pertanyaanku."

Ia mengambil sehelai kertas kecil dari kantungnya. Dilihatnya tulisan di sana.

"Pesan itu berarti, Tidak ada mutiara hari ini. "

"Tidak ada mutiara hari ini," Jupe mengulangi sambil tepekur. Pikirannya berpindah-pindah dengan cepat dari satu

peristiwa ke peristiwa lain. Mutiara. Merpati. Rajawali yang mati. Burung murai. Parker Frisbee.

"Dan sekarang jawab pertanyaanku," kata Don dengan tegas. "Apa yang menyebabkan dapur berbau seperti itu?"

Bab 7

BENTROKAN

SETELAH meninggalkan rumah Hector Sebastian, Trio Detektif langsung menuju kantor mereka.

Banyak pertanyaan berkecamuk di kepala Jupe. Ini membuatnya ingin cepat-cepat duduk di kursi goyang di

belakang meja sambil berdiskusi dengan Pete dan Bob. Ia tahu apa yang ia perlukan sekarang. Sediakan waktu untuk

duduk tenang dan berpikir tentang masalah ini, kata Jupe dalam hatinya. Anak-anak mengayuh sepeda mereka memasuki pangkalan barang bekas. Mereka langsung menuju sebuah timbunan barang rongsokan. Di balik timbunan itu terdapat karavan tua yang mereka jadikan kantor Trio Detektif.

"Ah, kalian sudah pulang." Bibi Mathilda muncul di pangkalan. Ia

mendatangi anak-anak yang baru sampai di

sana.

Bibi Mathilda seorang yang baik hati. Ia mengasuh Jupiter seperti mengasuh anaknya sendiri. Ini sudah

dilakukannya sejak orang tua Jupiter meninggal dunia. Bibi Mathilda mempunyai sifat yang khas. Ia senang melihat anak-anak bekerja.

Kali ini ia punya suatu pekerjaan buat anak-anak. Paman Titus baru saja membeli segerobak besi siku-siku. Anak-

anak diminta untuk memisahkannya sesuai dengan ukuran besi itu.

Jupe mendesah. Dengan termangu dipandangnya tumpukan besi itu. Sebenarnya ia suka sekali bekerja, apalagi

untuk membantu paman dan bibinya. Tetapi kali ini ia sendiri punya

suatu kepentingan. Namun ia tahu bahwa ia tidak

bisa mengelak kalau Bibi Mathilda sudah mengambil keputusan.

Pekerjaan ini akan memakan waktu satu jam, ia

mengira-ngira.

Ternyata pekerjaan itu memakan waktu lebih dari satu jam. Bibi Mathilda meminta mereka untuk memeriksa sekali lagi setiap kotak yang dipakai untuk memisahkan besi-besi itu. Setelah itu baru ia membebaskan anak-anak.

"Baik," akhirnya ia berkata. "Kalian sudah bekerja dengan baik sekali. Sekarang kalian boleh kembali bermain- main dengan teka-teki kalian."

Jupiter tidak pernah menerangkan pada Bibi Mathilda bahwa mereka adalah detektif sungguhan. Bibi Mathilda

menyangka mereka cuma anggota suatu perkumpulan penggemar teka-

teki yang banyak dijumpai di koran-koran dan

majalah.

Jupe menunggu sampai bibinya masuk ke dalam kantor pangkalan itu.

Kemudian ia menyingkirkan sebuah kisi besi

yang sekilas tampak seperti tidak sengaja terletak di situ.

Di baliknya terdapat pipa rahasia untuk masuk ke dalam kantor. Pipa itu cukup besar untuk dilalui orang, dan

mereka menamakannya Lorong Dua. Ketiga anak itu merayap memasuki

pipa. Pete masuk terakhir, sehingga dialah

yang menutup kisi besi kembali agar menutupi Lorong Dua.

Sewaktu mencapai ujung lorong itu, Jupe mengangkat tingkap di atas kepalanya. Tingkap itu langsung menuju kantor Trio Detektif.

Ia melihat pada alat penjawab telepon otomatis. Lampu tidak menyala. Berarti tidak ada yang menelepon tadi. Ia

duduk di belakang mejanya. Pete duduk santai di sebuah kursi. Kakinya

diistirahatkan di atas sebuah laci tempat

menyimpan berkas. Bob duduk di sebuah bangku tanpa sandaran.

Digesernya bangku itu supaya ia dapat bersandar ke

dinding. Ia mengeluarkan catatannya.

Seperti biasanya, Jupe-lah yang membuka pembicaraan.

"Mutiara," katanya. "Selalu mutiara yang muncul di mana-mana."

"Juga merpati," tambah Pete seraya menengok pada Caesar yang sedang bertengger di sebuah kawat dalam

sangkarnya yang besar. "Berjari tiga. Berjari dua. Yang hidup. Yang mati. Di mana-mana merpati."

"Mutiara," ulang Jupe lagi. "Pesan itu berbunyi, Tidak ada mutiara hari ini. Maureen Melody sangat gemar pada

mutiara. Bahkan ia punya seekor burung murai yang sering membawakan mutiara baginya."

"Edgar Allan Poe." Bob mengangguk, lalu melihat catatannya. "Edgar Allan Poe membawa mutiara waktu kita

berkunjung ke sana. Dan Miss Melody berkata, ’Ini mutiara ketiga yang dibawanya dalam bulan ini.’" "Kemudian seseorang membunuh Edgar Allan Poe," Jupe melanjutkan. "Mungkin Parker Frisbee. Dan Frisbee

adalah seorang pedagang perhiasan. Ia juga menjual dan membeli

mutiara. Jadi jika mutiara adalah kunci dari misteri

ini..." Jupe terdiam sejenak. "Jika mutiara adalah penyebab utamanya,

pertanyaannya sekarang ialah apa peran merpati

di sini? Apa hubungannya merpati dengan mutiara?"

Ia terdiam lagi. Kali ini karena telepon berdering. Jupe memindahkan sakelar sehingga telepon terhubungkan

dengan pengeras suara. Dengan demikian kedua kawannya dapat turut mendengarkan apa yang dipercakapkan.

Kemudian ia mengangkat telepon itu.

"Halo. Trio Detektif di sini," katanya.

"Halo. Bisa bicara dengan Jupiter Jones?" Terdengar suara yang pernah dikenal anak-anak. "Aku ingin bicara dengan Jupiter Jones."

"Aku sendiri Jupiter Jones," kata Jupe meyakinkan orang itu.

"Oh." Sunyi sesaat. "Kuharap kau masih ingat aku. Kita pernah bertemu di Kedai Kuda Laut beberapa hari yang

lalu. Aku meninggalkan sebuah kotak di sana. Maksudku, kotak itu

tertinggal, aku kelupaan. Sewaktu aku kembali,

pelayan kedai itu mengatakan mungkin kotak itu kalian bawa."

Jupe menutup tempat bicara telepon dengan tangannya.

"Blinky," bisiknya dengan penuh kegirangan kepada kedua kawannya. "Halo?" Orang itu menjadi gelisah. "Halo? Halo? Kau dengar aku tidak?" "Ya, aku dengar," sahut Jupe. "Dan tentu saja aku masih ingat pertemuan kita di sana."

Kini sepi kembali, tidak ada yang berbicara.

"Kau membawanya?" akhirnya orang itu bertanya. "Kau masih menyimpan kotakku?"

"Ya, tentu saja," jawab Jupe. "Kotak bertutupkan kain katun tipis.

Benda itu ada di tempatku, tersimpan dengan aman. Kami memang menjaganya baik-baik, takut kalau-kalau kau menelepon untuk menanyakannya."

"Oh." Orang itu nampak lega. "Kalian baik sekali. Maksudku, kalian patut diberi hadiah. Kalau kalian

mengembalikan kotak itu utuh kepadaku, akan kuberi dua puluh dolar.

Hitung-hitung mengganti waktu dan kebaikan

kalian."

"Terima kasih," kata Jupe. "Ke mana kami harus antarkan kotak ini?" "Well, aku tahu tempat tinggalmu... maksudku, aku tahu kau tinggal di Rocky Beach. Bagaimana kalau kita

berjumpa di suatu tempat di sekitar sana? Mmmm, bagaimana kalau di pelataran parkir Bank Amco?"

"Oke," Jupe menyetujui. "Jam berapa?"

"Jam sembilan malam ini?"

Jupe juga setuju dengan usul itu.

"Jam sembilan, ya," orang itu mengulangi. Kekhawatiran tampak dari caranya berbicara.

"Wah," seru Pete ketika Jupe meletakkan gagang telepon. "Dua puluh dolar!"

Penyelidik Satu seperti tidak menghiraukan seruan Pete. Ia menarik- narik bibir bawahnya. Otaknya bekerja keras.

"Aku masih menyimpan kain katun itu." Bob menarik sebuah laci. "Kau mau mengembalikan Caesar ke

sangkarnya yang lebih kecil lalu menutupnya dengan kain seperti semula?"

Jupe tidak menjawab. Baru semenit kemudian ia menjawab dengan gelengan.

"Pertama-tama, kita harus meneliti apa yang dikatakan Blinky." Jupiter berpikir keras kembali. "Ia bilang, Aku

tahu di mana kau tinggal.’ Lalu ia mengoreksi dirinya dan mengatakan, ’Maksudku, aku tahu kau tinggal di Rocky

Beach.’ Itu dapat diketahuinya dari nomor telepon di kartu kita. Tapi kupikir ia mengatakan yang sebenarnya mula- mula. Ia tahu benar di mana aku tinggal."

"Jadi menurutmu Blinky yang menukar merpati berjari dua dengan yang berjari tiga," sela Bob.

"Tepat," sahut Jupe. "Itu firasatku. Jadi Blinky tahu bahwa aku tadi

mencoba menutup-nutupi bahwa kita telah

membuka kotak itu. Ia tahu aku cuma berpura-pura. Tapi ia tidak

menuduh apa-apa terhadapku. Sekarang, kalau kita

kembalikan kotak ini seperti semula, ia akan mengatakan, terima kasih

banyak..."

"Dan memberi kita dua puluh dolar," Pete menyela.

"Ia akan menghilang bersama Caesar, sambil berlagak tidak tahu bahwa merpati ini sudah ditukar. Lalu, kita tidak

akan mendengar berita apa-apa lagi darinya. Hilanglah satu petunjuk yang paling berharga yang kita miliki saat ini."

"Jadi apa yang akan kaulakukan?" tanya Bob.

"Kita bikin bentrokan," ujar Jupe. "Katakan saja terus terang bahwa ini Caesar, bukan merpati berjari dua yang

ditinggalkannya di Kedai Kuda Laut waktu itu. Mungkin kita bisa memaksa Blinky menjawab beberapa pertanyaan.

Bagaimana menurutmu, Pete?"

Pete mengangkat bahunya. "Oke," katanya dengan hati-hati. "Aku tidak ingin kehilangan dua puluh dolar. Tapi

kurasa kau benar. Kalau kita mau menyelesaikan kasus ini, kita harus mendapatkan beberapa keterangan dari Blinky."

Bob dan Pete harus kembali ke rumahnya untuk makan malam. Sebelum berpisah, Trio Detektif berjanji untuk

berkumpul di pelataran parkir Bank Amco sepuluh menit menjelang jam sembilan malam itu.

Jam delapan tiga puluh Jupe menaruh Caesar dalam sangkar yang lebih kecil. Sangkar itu diikatnya pada

boncengan sepedanya. Kemudian ia mulai mengayuh sepedanya menuju kota.

Bank itu terletak di Main Street, tidak jauh dari toko perhiasan

Frisbee. Jupe menjalankan sepedanya ke dalam

pelataran di balik sebuah gedung tinggi berwarna putih. Tinggal

beberapa mobil yang masih diparkir di sana. Bank

telah tutup. Pelataran itu diapit dua buah gedung perkantoran di kanan-

kirinya. Kantor-kantor juga sudah tutup.

Pelataran parkir hampir seluruhnya gelap gulita.

Jupe menyandarkan sepedanya pada dinding gedung bank. Dibukanya ikatan sangkar Caesar.

Ia melihat ke sekelilingnya. Tidak lebih dari lima mobil yang masih diparkir di pelataran yang luas itu. Tidak nampak orang di dalam mobil-mobil itu.

Jupe melirik arlojinya. Jam sembilan kurang seperempat. Lima belas menit sebelum waktu yang disepakati untuk

bertemu dengan Blinky. Dan lima menit sebelum Bob dan Pete datang. Jupe memutuskan untuk menunggu di pintu masuk pelataran parkir. Di sana lebih terang. Ia mulai berjalan. "Berhenti di situ! Jangan bergerak!"

Suara itu datang dari kegelapan di belakangnya.

Jupe melakukan apa yang diperintahkan. Ia berhenti. Sangkar Caesar didekapnya erat-erat.

"Sekarang berputar menghadap ke sini. Pelan-pelan!"

Jupiter berbalik. Perlahan-lahan sebisanya.

Sesosok laki-laki mendatanginya dari balik kegelapan. Tangan laki-laki itu agak terangkat. Ia memegang sesuatu.

Sesuatu yang agak berkilau, meskipun dalam kegelapan.

Bagi Jupe benda itu terlihat sangat menakutkan. Pistol berlapiskan nikel. Matanya tak lepas dari pistol itu.

"Sekarang letakkan sangkar itu di depanmu!"

Jupe membungkuk. Ditaruhnya sangkar itu di depan kakinya. Laki-laki

itu mendekat. Pistol masih diarahkan ke

Jupe. Ia membungkuk dan memeriksa sangkar itu.

"Bagus."

Laki-laki itu berdiri tegak kembali. Sekilas Jupe dapat melihat wajahnya dengan jelas. Ia melihat jas hujan hitam

yang dipakai orang itu. Juga kaca mata gelap, dan jenggot hitam yang

menutupi hampir seluruh wajahnya. Parker

Frisbee!

"Sekarang berbalik dan telungkup di tanah!"

Untuk pertama kalinya Jupe sadar bahwa suara laki-laki itu rendah dan dibuat-buat. Seakan-akan ia berbicara

dengan susah-payah. Ia juga ketakutan, seperti aku, dan dia berusaha menyembunyikannya, pikir Jupe.

Laki-laki itu membuat gerakan mengancam dengan pistol di tangannya. Jupe berbalik. Ia telungkup di tanah.

"Letakkan tanganmu ke belakang!"

Jupe menuruti. Lalu didengarnya suara cabikan. Seperti seseorang merobek sehelai kain, pikirnya. Atau... atau

menarik pita perekat yang tebal. Ia menyadari bahwa dugaannya yang

terakhir yang benar, karena kini pergelangan

tangannya direkatkan dengan keras di belakang punggungnya.

Jupe tidak mencoba melawan. Ia sadar bahwa tidak ada gunanya melawan orang yang bersenjatakan pistol.

Sekarang pergelangan kakinya diikat dengan pita perekat, sama eratnya dengan ikatan pada tangannya.

Ia tertelungkup tidak bergerak-gerak sampai akhirnya terdengar suara langkah laki-laki itu menjauh darinya. Sinar

lampu sebuah mobil menyorot di suatu tempat di belakangnya. Dengan kaki dan tangan terikat, ia sulit mengangkat

kepalanya. Apalagi karena tubuhnya gemuk. Tapi dipaksakannya untuk berguling sedikit. Dengan demikian ia dapat

melihat dengan lebih bebas. Ia mengintip ke arah datangnya sinar itu. Mobil itu sudah bergerak. Gelapnya pelataran itu menyulitkan untuk mengenalinya. Mobil itu meluncur sekitar dua puluh meter dari tempat Jupe terbaring. Dalam sekejap mobil tadi sudah sampai di luar dan menghilang dari pandangan.

Jupe terbaring tak berdaya sambil menyesali diri. Seharusnya ia menunggu Pete dan Bob, pikirnya. Tidak bijaksana untuk berjalan seorang diri di pelataran parkir yang gelap di malam hari. Dan mestinya sepedanya ditinggal di...

Ia mendengar suara sepeda dari pintu pelataran parkir. Lalu ada sorot lampu sepeda.

"Pete," panggilnya. "Bob."

Sesaat kemudian kedua kawannya sudah berlutut di sampingnya, membuka pita perekat yang mengikat pergelangan tangan dan kakinya. Jupe berguling lalu duduk. Kedua tangannya terasa kesemutan karena darah tidak mengalir

dengan lancar akibat ikatan pita perekat itu. Ia memijat-mijat tangannya seraya bercerita pada kedua kawannya tentang apa yang baru dialaminya.

Pete berdesis perlahan, "Ia punya pistol?"

"Sepanjang pengetahuanku, itulah yang tergenggam di tangannya," kata Jupe seraya berdiri. "Tentu saja, aku tidak

meminta dia untuk membuktikan bahwa pistol itu terisi peluru. Jadi aku tidak yakin apakah pistol itu berpeluru atau tidak. Tapi aku tidak mau mengambil risiko sebesar itu." Ia membersihkan debu yang melekat di celana dan bajunya.

"Kalian melihat sesuatu?" tanyanya.

"Sebuah mobil," sahut Bob. "Mobil hitam." Dahinya berkerut. Ia melepas kaca matanya, dan membersihkannya

dengan sapu tangannya. "Lucu, tadinya kukira itu mobil Blinky. Aku sempat melihat nomor mobilnya, yaitu MOK.

Seperti..."

"Seperti mobil hitam yang dikendarai Blinky di Kedai Kuda Laut waktu itu," potong Jupe menyelesaikan kalimat Bob. "Dan seperti..."

Ia tidak menyelesaikan kalimatnya karena tidak yakin benar. Samar- samar ia ingat bahwa ada sebuah mobil hitam yang lewat di depan mereka ketika mereka keluar dari toko perhiasan Parker Frisbee. Waktu itu ia cuma

memperhatikannya sekilas. Nomor polisi mobil itu tidak diperhatikannya benar. Tapi ia yakin bahwa salah satunya ialah M.

"Jadi apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Pete. "Frisbee sudah merampas Caesar dan..."

"Dan kalau Blinky muncul, apa yang harus kita bilang?" tanya Bob dengan perasaan kuatir.

Jupe melirik arlojinya. Dua menit menjelang pukul sembilan. Ia masih merasa sedikit terguncang karena ditodong dengan pistol tadi.

"Kita tidak akan bilang apa-apa padanya," putus Jupe dengan ragu-ragu. "Karena kita tidak menunggunya.

Sekarang sebaiknya kita kembali ke rumah masing-masing. Esok pagi kita berkumpul lagi di kantor."

Anak-anak melompat menaiki sepeda. Mereka menggenjot pedal sepeda, pulang ke rumah masing-masing.

Jupe susah tidur malam itu. Terlalu banyak persoalan memenuhi kepalanya. Seperti yang telah dikatakan Pete,

Caesar telah dirampas dari mereka. Dan rencana untuk mengorek

keterangan dari Blinky gagal. Tidak ada kemajuan

yang dapat dilaporkan pada Maureen Melody. Mereka belum dapat

mengatakan pada Miss Melody bahwa pelaku

perbuatan itu ialah Parker Frisbee. Belum terbukti bahwa memang

Parker Frisbee yang melakukannya. Dan, yang

lebih parah lagi, Jupe tidak menemukan alasan yang masuk akal mengapa Frisbee membunuh Edgar Allan Poe. Kalau memang dia yang membunuhnya.

Kasus ini sepertinya lebih buruk dari yang diperkirakan semula. Harapan satu-satunya hanyalah Blinky akan

menelepon lagi. Ia akan menanyakan mengapa mereka tidak menepati janji malam itu.

Percakapan seperti itu memang akan tidak menyenangkan. Tetapi, paling tidak mereka masih punya kesempatan

untuk berbicara dengan Blinky. Kalau Blinky mendengar bahwa Caesar

telah diculik, mungkin ada sesuatu yang bisa

ia katakan. Dan mudah-mudahan itu bisa dijadikan petunjuk.

Jupe kini menyesali keputusan yang diambilnya tadi. Mungkin lebih baik

mereka menunggu sampai Blinky datang

ke pelataran parkir. Akhirnya Jupe tertidur kelelahan.

Sejak awal liburan musim panas, Jupiter cuma sarapan sedikit saja. Roti kering dan susu. Bibi Mathilda menjadi

risau melihat keadaannya. Tidak biasanya Jupiter seperti ini, tidak punya nafsu makan. Karena itu Bibi Mathilda

menghidangkan seporsi besar daging ham dan telur. Penyelidik Pertama Trio Detektif itu tidak tahan melihat makanan

yang begitu menggiurkan di hadapannya. Kebetulan semalam pikirannya

sedang kusut. Tanpa menghiraukan janjinya

pada diri sendiri, ia menyikat habis hidangan yang disediakan Bibi

Mathilda. Setelah itu ia pergi ke pangkalan untuk

menunggu kawan-kawannya.

Baru saja ia hendak membuka kisi besi penutup Lorong Dua, ia melihat sesuatu. Sesuatu itu juga melihat Jupiter.

Seekor merpati!

Jupiter membungkuk. Merpati itu membiarkan Jupe mengangkatnya. Jupe memperhatikan si merpati baik-baik.

Setiap bulu di badan dan sayapnya diteliti dengan cermat. Ia memperhatikan juga kepalanya yang ramping dan berwarna abu-abu, serta matanya yang jeli.

Tidak salah lagi. Jupe segera mengenali merpati di tangannya itu. Ia tidak mungkin keliru. Merpati itu Caesar!

Bab 8

TAMU DARI TIMUR "INI Caesar, pasti," seru Pete. "Aku berani jamin. Lihat tanda-tanda pada bulu ekornya. Selain itu, hanya Caesar merpati yang mengenali kita. Ya kan, Caesar?"

Trio Detektif telah berkumpul di kantor mereka. Caesar kini sudah berada dalam sangkarnya yang besar. Dengan riang Caesar melompat-lompat dalam sangkar itu, sambil sesekali mematuk jagung.

"Parker Frisbee merampasnya dari tanganku dengan menodongku semalam." Penyelidik Satu menarik-narik bibir bawahnya. "Dan beberapa jam kemudian ia mengembalikan dan melepasnya di pangkalan ini. Mengapa? Mengapa?"

Bagi Jupe, seakan-akan kali ini banyak sekali hal-hal yang tidak

dimengerti. Lebih banyak dari yang pernah

dialaminya.

"Mungkin ia tidak mengembalikannya." Kaca mata Bob turun di hidungnya. Ia mendorong untuk membetulkan letak kaca matanya itu.

"Apa maksudmu?" tanya Pete pada Bob. "Caesar kan ada di sini sekarang?"

"Buku tentang merpati," Bob menjelaskan. "Selama Perang Dunia II mereka memakai merpati untuk membawa

pesan. Kalau tentara berpindah tempat, mereka harus menjaga agar

merpati yang dipergunakan juga mengenal tempat

baru itu. Dan mereka menemukan bahwa merpati yang terlatih dapat

menyesuaikan diri dengan tempat barunya dalam

dua atau tiga hari..."

"Jadi merpati itu akan kembali ke tempatnya yang baru, bukan ke tempatnya yang lama." Jupe menyimpulkan.

"Kupikir kau benar, Bob. Mungkin Caesar bukanlah milik Parker Frisbee. Barangkali Frisbee ingin mengembalikan

Caesar ke pemilik yang sebenarnya." Ia mengernyit. "Jangan tanya sebabnya! Namun kalau itu yang diinginkannya, cara yang paling mudah ialah dengan melepasnya dan berharap agar Caesar pulang sendiri ke tangan pemiliknya."

"Ini bukan rumahmu kan, Caesar?" Pete mengelus-elus merpati itu

dengan jari-jarinya yang dimasukkan melalui

sela-sela kawat. "Tapi kau kembali ke sini. Aku senang sekali." Ia

berbicara dengan Caesar seolah-olah berbicara

dengan manusia.

"Jupiter! Jupiter!"

Suara Bibi Mathilda terdengar melalui pengeras suara. Jupiter sengaja memasang mikrofon di luar agar dapat

mendengar suara orang di luar pada saat mereka berada dalam kantor yang tersembunyi di balik tumpukan barang rongsokan. Khususnya agar dapat mendengar panggilan bibinya. "Jupiter. Bob. Pete. Di mana kalian?"

Jupiter menghela napas. Panggilan Bibi Mathilda cuma berarti satu- bekerja. Ia selalu punya pekerjaan untuk

anak-anak. Jupe berharap kali ini bukan menyeleksi potongan-potongan besi lagi. Mudah-mudahan Bibi Mathilda

hanya minta tolong untuk membantu melayani pengunjung pangkalan pada hari Sabtu.

Trio Detektif keluar dari kantor mereka yang tersembunyi melalui sebuah jalan yang mereka namakan Pintu Empat.

Jalan ini akan membawa mereka ke bagian belakang pangkalan. Sambil

berjingkat-jingkat mengelilingi tumpukan

barang bekas, anak-anak mendekati Bibi Mathilda dari belakang.

Bibi Mathilda terlompat kaget ketika Jupiter menyapanya dari belakang.

"Ke mana saja kau?" katanya. "Aku tak pernah tahu di mana kalian berada kalau sudah dalam pangkalan ini."

Jupe memasang muka siap untuk menerima pekerjaan.

"Apa pekerjaan kami kali ini?" tanyanya.

Namun kali ini Bibi Mathilda tidak memberikan pekerjaan buat anak- anak.

"Ada dua orang pria," katanya memberi tahu. "Mereka menunggu di depan gerbang."

Kedua orang itu berdiri di depan sebuah mobil boks hijau yang diparkir di pinggir jalan. Mereka berumur sekitar

tiga puluhan. Tubuh mereka pendek dan kurus, tetapi kelihatan kuat. Mereka memakai celana jeans lusuh serta T-shirt.

Keduanya orang Jepang.

"Kau Jupe, Pete, dan Bob?" salah seorang dari mereka bertanya seraya maju selangkah.

Jupe mengiakan.

"Kalian kenal Hoang Van Don?"

"Ya, kami kenal dia," jawab Jupe.

Orang itu menoleh pada temannya. Ia mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang. Temannya mengangguk dan menjawab dengan bahasa Jepang pula.

"Temanku ini namanya Kyoto. Ia akan senang kalau boleh bertanya sesuatu padamu," orang yang pertama

menjelaskan. "Tetapi sayangnya Kyoto tidak bisa bahasa Inggris. Jadi aku akan jadi penerjemahnya. Oke?"

Jupe memenuhi permintaan itu.

"Pertanyaan pertama. Kalian memberi Hoang Van Don sebuah pesan yang ditulis dalam bahasa Jepang. Kalian lalu

minta pada Don untuk menanyakan artinya pada teman Don yang berkebangsaan Jepang. Teman Don itu lalu memberi tahu Kyoto karena ia mengenali tulisan tangan Kyoto."

Itu belum merupakan pertanyaan bagi Jupe. Ia diam saja-menunggu.

"Di mana kalian mendapatkan pesan itu?"

Jupe berpikir cepat. Ia tidak harus menjawab pertanyaan itu. Tetapi kalau ia menjawab, mungkin Kyoto mau

memberikan beberapa keterangan yang ia butuhkan. Tidak ada ruginya untuk bertukar keterangan.

"Pada seekor merpati yang telah mati," kata Jupe. "Pesan itu diikatkan pada satu kakinya."

Si penerjemah tersenyum sopan. Ia berpaling pada Kyoto. Digamitnya lengan Kyoto. Lalu mereka berdua berjalan ke depan mobil boks.

Bob mengamati kedua orang Jepang itu berbicara dalam bahasa mereka. Ia terhenyak ketika menyadari bahwa

kedua orang itu mirip sekali. Rambutnya sama-sama lurus dan hitam.

Tulang-tulang pipinya mirip sekali. Begitu pula

kulitnya yang berwarna coklat muda. Kalau berjumpa dengan salah

seorang dari mereka di tengah jalan, pikir Bob,

dapatkah aku mengenali apakah itu Kyoto atau temannya.

Mungkin itu karena mereka sama-sama orang Jepang, pikir Bob lagi. Boleh jadi bagi orang Jepang sendiri mereka

mudah dibedakan. Dan sebaliknya, bagi mereka mungkin saja Pete dan Jupiter tampak mirip sekali-meskipun itu aneh rasanya bagi Bob.

"Mobil boks hijau," tiba-tiba Jupe berbisik pada Bob. "Ingat mobil yang dikejar Blinky dari Kedai Kuda Laut?

Kalau kita bisa membuntutinya..."

Jupe melirik pada kedua orang Jepang itu. Mereka masih sibuk berbincang-bincang.

"Pembangkit sinyal," cepat-cepat Jupe berbisik pada Bob lagi. "Kau dapat mengambilnya?"

"Akan kucoba," sahut Bob dengan berbisik pula. Ia bergeser dari

tempatnya. "Jupe, aku dipanggil Bibi Mathilda,"

katanya dengan suara yang cukup keras agar terdengar oleh kedua

orang Jepang itu. "Sebentar ya, aku lihat dulu ke

dalam."

Ia berbalik dan berjalan ke balik gerbang. Setelah terhalang gerbang, ia bergegas lari ke kantor.

"Pertanyaan kedua." Si penerjemah dan Kyoto telah kembali pada Jupe. "Di mana kautemukan merpati mati itu?"

Penyelidik Satu berpikir sesaat. Meskipun pada dasarnya Jupe anak yang jujur, kadang-kadang perlu juga bagi seorang detektif untuk bersilat lidah. Terutama di saat-saat ia harus melindungi kliennya. Dan dalam kasus

pembunuhan burung ini klien mereka adalah Maureen Melody. Jupe merasa harus melindungi Maureen Melody.

"Kami menemukannya dijalan," jawab Jupe.

"Jalan apa?"

"Di bagian kota sebelah sana." Jupe menganggap ia tidak terlalu berdusta, karena kediaman Miss Melody memang di arah yang ditunjuknya.

Si penerjemah kembali tersenyum sopan. "Pertanyaan ketiga," katanya.

"Menurutmu, kenapa burung merpati itu

mati?"

"Aku tidak tahu." Itu jawaban yang jujur. Jupe sendiri ingin tahu apa yang menyebabkan kematian merpati itu.

"Bagaimana penampilannya? Apakah ada luka tembakan di tubuhnya?" "Tidak." Jupe menggeleng. "Tidak terlihat seperti ditembak." Ia mendengar Bob datang, melintasi pangkalan

barang bekas di belakangnya. "Kukira, mungkin ditabrak mobil," kata Jupe sekenanya.

"Bagus. Terima kasih." Kyoto dan penerjemahnya beranjak dari tempatnya menuju pintu depan mobil boks. Bob

muncul di gerbang. Jupe menyusul dan menyentuh lengan si penerjemah. "Maaf," katanya. "Apakah Anda keberatan kalau aku mengajukan beberapa pertanyaan?"

Kini si penerjemah yang berpikir sesaat. "Oke," ia menyetujui.

"Pesan itu berbunyi, Tidak ada mutiara hari ini. Begitulah menurut kawan Don itu."

"Ya."

Bob kini berdiri di samping Jupe. Melirik ke bawah, Jupe dapat melihat sebuah alat logam kecil digenggam Bob.

Alat pembangkit sinyal.

"Apa artinya pesan itu?" tanya Jupe. "Tidak ada mutiara hari ini." Ia dapat menjadi seorang aktor yang jempolan kalau lagi mau. Dulu, salah satu peran favoritnya adalah menjadi anak yang dungu. "Aku sama sekali tidak mengerti

apa yang dimaksud," lanjut Jupe lagi. Mulutnya dibiarkan melompong. Dan matanya dibiarkan sayu. "Mutiara apa?

Lalu mengapa tidak ada mutiara? Setiap hari kan selalu ada mutiara. Paling tidak di toko perhiasan."

Si penerjemah memasang senyumnya yang sopan.

"Sangat sederhana penjelasannya," ujarnya. "Temanku Kyoto seorang tukang kebun. Ia punya kebun tidak jauh dari

kota ini. Dan ia menjual hasil kebunnya pada sebuah toko Jepang. Orang toko ingin tahu tanaman apa yang dimiliki Kyoto..."

Jupe mendengarkan dengan memasang tampang yang dibuatnya dungu.

Namun dengan sudut matanya ia bisa

melihat Bob menyelinap ke belakang mobil boks.

Bob berlutut. Ditempelkannya alat pembangkit sinyal di bagian belakang bawah mobil.

"Jadi Kyoto mengirim pesan pada orang di toko melalui merpatinya," penerjemah itu melanjutkan. "Biasanya

pesan-pesan itu berbunyi, Banyak wortel hari ini. Atau, Banyak daun seledri. Dengan demikian orang di toko tahu apa yang harus dijualnya hari itu."

Bob telah kembali dari belakang mobil. Jupe melihat tangannya tidak lagi menggenggam alat pembangkit sinyal.

"Oh, begitu," kata Penyelidik Satu. Suaranya diusahakan sepolos mungkin. "Jadi Kyoto menanam mutiara juga?"

Si penerjemah terbahak-bahak.

"Mutiara yang dimaksud adalah bawang mutiara. Dinamakan begitu karena bentuknya bulat dan mungil serta putih seperti mutiara," ia menjelaskan. "Tidak ada mutiara hari ini berarti tidak ada bawang mutiara hari ini."

"Oh, begitu. Terima kasih."

Jupe tetap memasang tampang dungunya sampai Kyoto dan penerjemahnya pergi dengan kendaraannya. Ia tetap berdiri di sana sampai mobil boks hijau itu membelok ke sebuah tikungan.

"Cepat, Bob!" serunya. "Alat penjejak!"

Bob telah meletakkannya tepat di balik gerbang. Ia memberikannya pada Jupe. Alat itu berbentuk kotak dengan

sebuah kenop dan antena. Sekilas alat itu serupa dengan radio tua. Dan memang dulunya radio. Jupe mengubahnya menjadi alat penjejak. Dihidupkannya alat itu.

Tut-tut-tut.

Alat penjejak itu bersuara. Sinyal elektronis yang dikeluarkan pembangkit sinyal berhasil ditangkap alat itu.

Dengan alat itu anak-anak dapat menjejaki ke mana mobil boks hijau itu pergi.

Jupe mengarahkan antena ke selatan.

Tut-tut-tut. Suara itu semakin keras.

"Mereka berjalan ke arah pantai," kata Jupe. "Cepat, kejar mereka." Pete sudah menyiapkan tiga sepeda di gerbang pangkalan. Jupe dengan cekatan mengikatkan alat penjejak pada kemudi sepedanya. Mereka segera berangkat.

Jupe mengendarai sepedanya dengan satu tangan. Tangannya yang satu lagi digunakan untuk mengarahkan antena.

Dengan mendengarkan keras lembutnya sinyal yang dihasilkan, ia dapat mengira-ngira ke mana mobil itu pergi.

Sinyal itu dapat ditangkap selama masih berada dalam jarak kurang dari satu mil. Mereka dapat membayang- bayangi mobil boks tanpa risiko ketahuan.

Sambil mendayung pedal sepedanya, Penyelidik Satu itu berharap agar mobil boks tidak pergi terlalu jauh dan tidak terlalu cepat.

Ia tidak keberatan untuk bersepeda. Malahan ia senang, karena itu akan membakar sarapan yang dilahapnya tadi pagi. Namun ia benar-benar berharap supaya mobil boks yang sedang mereka ikuti tidak pergi ke San Francisco atau kota-kota jauh lainnya.

Bawang putih, pikirnya. Kyoto dan si penerjemah tentu mengira ia benar-benar dungu dengan mempercayai

keterangan penerjemah itu tadi. Tetapi, mengapa mereka datang ke Pangkalan Jones? Apa sebenarnya yang diinginkan orang Jepang itu?

Bab 9

MR. FRISBEE YANG MISTERIUS

SETELAH beberapa menit mereka mengayuh sepeda sekuat tenaga, Jupe yakin bahwa mobil boks itu tidak pergi

jauh-jauh. Tidak mungkin mobil itu pergi ke San Francisco, bahkan juga tidak ke Santa Monica yang lebih dekat.

Ia dapat mengatakan dari kerasnya suara alat penjejak dan arah antena bahwa mobil boks itu sedang meluncur di

Main Street di Rocky Beach. Ia memberi isyarat pada Pete dan Bob untuk bersepeda di belakangnya dengan perlahan.

Jupe tidak ingin menyusul mobil boks yang dibuntutinya, kalau mobil boks itu berhenti pada lampu merah, atau berhenti untuk mengisi bensin.

Trio Detektif melewati toko perhiasan milik Frisbee dan Bank Amco.

Tut-tut- Tiba-tiba sinyal itu berhenti. Jupe

mengangkat tangannya. Trio Detektif berhenti. Jupe mengarahkan

antena ke kiri. Tidak ada suara. Digerakkannya

antena ke kanan. Tut-tut-tut. Suara itu terdengar jelas dan keras

sekarang.

Jupe memberi isyarat untuk membelok ke kanan. Jalan itu menuju daerah berbukit yang terletak di luar kota.

Sekarang lebih sulit mengikuti mobil boks itu karena jalan mulai naik- turun. Sering kali sinyal menghilang ketika mereka berbelok, atau ketika jalan menurun. Namun hal itu tidak membuat Jupe khawatir, sekalipun tidak terdengar sinyal sama sekali untuk beberapa saat. Ia sudah memperoleh gambaran ke mana mobil boks hijau itu menuju.

Pada daerah berbukit di sebelah barat laut Rocky Beach terdapat suatu

area yang dihuni rumah-rumah kayu dengan

halaman yang bersih dan rapi. Area itu dikenal dengan nama Little

Tokyo, karena hampir semua rumah di situ dimiliki

atau disewa oleh orang Jepang.

Jupe mengangkat tangannya ketika anak-anak memasuki Little Tokyo. Trio Detektif berhenti. Beberapa ratus meter di hadapan mereka diparkir sebuah mobil di muka sebuah rumah kayu. Mobil boks hijau.

Jupe meminggirkan sepedanya ke trotoar. Bob dan Pete mengikutinya. Mereka berlindung di balik pohon-pohon yang berderet rapi di sepanjang jalan. Dari sana mereka dapat mengamati mobil boks itu tanpa terlihat dari rumah.

"Oke," kata Pete. "Mungkin itu rumah tempat tinggal Kyoto, tapi mungkin juga bukan. Lalu bagaimana sekarang?"

Jupe diam saja. Ia mengawasi mobil boks hijau itu. Seorang laki-laki

berjalan melewati mobil boks. Ia pasti keluar

dari rumah itu, tebak Jupe. Laki-laki tadi menyeberangi jalan. Ada

sebuah mobil kecil merah di sana. Dibukanya mobil

itu. Lalu ia mengendarainya.

"Itu tadi Kyoto?" Bob tidak yakin. Kedua orang Jepang itu tampak sama saja bagi Bob.

"Bukan," sahut Jupe dengan pasti. "Itu penerjemahnya."

Bob memandang dengan heran pada Jupe. Ia tidak dapat menahan diri untuk bertanya, "Bagaimana kau tahu?"

"Bagaimana tidak?" balas Jupe. "Segalanya berbeda. Lihat cara

jalannya, postur tubuhnya. Di samping itu, tidakkah

kau perhatikan ikat pinggang dan sepatu mengkilat yang dipakainya?"

Bob memang tidak memperhatikan sebelumnya. Meski sudah lama kenal baik dengan Jupe, masih sering saja ia kagum dengan kejelian pengamatan Jupe.

"Jadi sekarang kita hampir merasa pasti bahwa itu rumah Kyoto," Jupe melanjutkan. "Tapi kita harus yakin benar.

’Hampir pasti’ saja tidak cukup. Mestinya ada nama tertulis pada kotak pos di muka rumahnya. Seseorang dari kita harus pergi ke sana untuk mengeceknya."

Kalau memang nama itu ada, pasti tertulis pada sisi di balik kotak. Mereka harus melewati rumah itu untuk bisa mengetahui apa yang tertera pada kotak pos.

"Sebaiknya kau yang pergi, Bob," putus Jupe. "Pete terlalu tinggi, dan aku terlalu..." Ia ragu-ragu, berusaha

mencari kata-kata yang cocok baginya. "Aku terlalu gempal. Kalau

kebetulan Kyoto melihat ke luar jendela, mungkin

dia mengenali Pete atau aku. Tapi kalau kau copot kaca matamu dan

jaketmu, kau akan terlihat seperti anak Amerika

biasa. Ia tidak akan ingat bahwa pernah berjumpa dengan kau

sebelumnya."

"Baik kalau begitu." Dalam hatinya Bob merasa kesal karena dianggap anak Amerika biasa. Tapi harus ada orang

yang mengecek tulisan di kotak pos itu. Jadi dilepasnya jaketnya. Kaca

matanya dimasukkan ke kantungnya. Ia mulai

melenggang ke arah rumah dengan mobil boks hijau yang diparkir di

depannya. Ketika sudah melewati rumah itu, ia

berpura-pura menarik kaus kakinya. Sembari berjongkok, diliriknya

kotak pos di belakangnya:

J. KYOTO

Nama itu tertulis dengan cat hitam pada kotak pos putih. Bob hendak kembali bergabung dengan kawan-kawannya.

Tetapi, ia melihat sesuatu yang lain. Tanpa kaca mata, ia tidak begitu

jelas melihatnya. Diambilnya kaca mata dari

kantungnya. Tanpa ragu-ragu ia memakai kembali kaca matanya.

Ternyata ia benar. Ada sebuah nama lain yang tertimpa cat putih. Nama itu sudah tidak bisa terbaca lagi. Bob hanya

mengenali beberapa huruf saja. Sejak kapan nama itu diganti? Dengan gerakan cepat, Bob mendekati kotak pos. Ia

menyentuhnya dengan ujung jarinya. Cat hitam pada nama baru masih basah. Kyoto baru saja pindah ke rumah itu.

Bob merasa bangga pada dirinya sendiri, ia telah menemukan sesuatu. Dan ia dapat menyimpulkannya sendiri.

Belum tentu Jupe dapat menemukan hal ini, pikirnya. Bob sudah tidak sabar ingin melaporkan penemuannya ini pada kedua kawannya.

Baru berjalan dua langkah, tahu-tahu ada seorang laki-laki datang mendekatinya. Bob terdiam kaku. Melihat orang itu, Bob serasa tidak dapat bergerak. Jantungnya berdegup kencang. Tidak mungkin ia salah mengenali orang itu.

Jenggot selebat itu tidak dimiliki orang lain.

"He! He, kau!"

Parker Frisbee mengenalinya. Bob ingin berlari. Tapi ia tidak bisa menggerakkan kakinya. Rasanya seperti

mendapat mimpi buruk. Ia kehilangan kontrol atas segala anggota tubuhnya. Ia berdiri mematung di sana. Parker Frisbee makin dekat.

Tamatlah riwayatku, pikir Bob. Frisbee memang tidak membawa tongkat kayu. Tapi ia mungkin menyimpan senjata di balik jasnya.

"Aku senang ketemu kau secara kebetulan." Frisbee berhenti semeter dari Bob. "Sudah lama aku ingin berbincang- bincang lagi dengan kalian."

Sukar untuk dilukiskan apakah pedagang permata itu tersenyum atau tidak. Jenggotnya yang tebal

menyembunyikan mulutnya sama sekali. Namun saat itu Parker Frisbee

tidak memakai kaca mata hitam. Bob dapat

melihat sinar matanya yang-anehnya-hangat dan ramah.

"Mana kawan-kawanmu yang lain?" tanya Parker Frisbee.

Bob masih sukar untuk berbicara. Ia hanya menunjuk ke arah kedua kawannya. Akhirnya Bob dapat juga

menggerakkan kedua kakinya. Ia mulai berjalan mendatangi kedua kawannya. Parker Frisbee berjalan di sampingnya.

Bob menyadari bahwa Jupe telah meletakkan jaket Bob pada setang sepedanya sehingga menutupi alat penjejak

mereka. Ia berdiri dengan perasaan tidak enak ketika Parker Frisbee berhadapan dengan kedua kawannya.

"Kalian sering ya, main ke Little Tokyo?" tanya Parker Frisbee dengan bersahabat.

"Ada restoran Jepang yang menjadi kesukaan kami," sahut Jupe dengan cepat. "Pete suka sekali makanan Jepang."

"Oh, ya. Sukiyaki. Gurih sekali rasanya. Aku sendiri sering pergi ke restoran itu. Well... " Sekali lagi Bob tidak

dapat memastikan apakah Frisbee tersenyum atau tidak. "Bagaimana kalau kalian kutraktir makan siang di sana?"

Untuk beberapa saat Jupe tidak tahu mau bilang apa.

Terakhir kali ia melihatnya, Frisbee menodongnya dengan sebuah pistol. Kejadian di Bank Amco masih diingatnya

dengan jelas. Dan sebelumnya malah ia dipukul keras dengan tongkat kayu di kediaman Miss Melody. Sekarang orang yang sama menawarkan diri untuk mentraktir makan siang. Tawaran itu hampir tidak bisa dipercayainya.

"Oh... terima kasih sekali," gumam Penyelidik Satu akhirnya. "Terima kasih, Mr. Frisbee."

"Tunggu apa lagi? Mari." Frisbee langsung menyeberangi jalan. Trio Detektif saling bertukar pandang. Lalu mereka mengikutinya dengan menuntun sepeda.

Bob merapat pada Jupe. Ia berbisik-bisik menjelaskan apa yang ditemukannya pada kotak pos Kyoto. Jupe mendengarkan tanpa berkomentar apa-apa.

Anak-anak mengunci sepeda mereka di luar restoran. Parker Frisbee mengajak mereka duduk pada sebuah meja

besar di pojok ruangan. Seorang pelayan restoran menyapanya dalam bahasa Jepang. Frisbee balas menyapa dengan bahasa Jepang pula. Ia lalu memesan makanan.

"Aku pernah tinggal di Jepang selama beberapa tahun," ia menjelaskan

sambil lalu. "Aku juga berdagang perhiasan

di sana. Jadi mau tak mau aku harus belajar bahasa Jepang."

Pelayan restoran membawakan sebuah teko berisi teh. Frisbee

menuangkan buat anak-anak, pada cangkir-cangkir

kecil.

"Nah, sekarang aku baru mengerti," katanya sambil bersandar santai, "bahwa kalian sedang melakukan penyelidikan kecil-kecilan."

Kali ini Bob dapat melihat bahwa pedagang permata itu tersenyum. Trio Detektif tidak berkata apa-apa.

"Untuk Miss Maureen Melody," Frisbee melanjutkan. "Mencari siapa

pelaku pembunuhan terhadap burung-

burungnya."

Jupe mengangguk.

"Dan barusan aku dapat laporan dari Kyoto, pengurus kebunku. Ia bilang kalian menemukan merpati mati yang membawa pesan tertulis dalam bahasa Jepang."

Jupe mengangguk lagi.

"Pesan tentang hasil kebun yang dikirimnya ke sebuah toko Jepang." "Tentang bawang putih," Jupe mengiakan.

Percakapan terhenti sampai di situ. Si pelayan restoran datang membawa selusin piring kecil lalu menyiapkan makanan. Mereka mulai menyantap makan siang itu.

"Apakah kalian menemukan merpati itu di kebun Miss Melody?" akhirnya Frisbee bertanya.

"Tidak." Mulut Jupe masih penuh dengan nasi, ikan salmon, dan bumbu yang sedap. Ia menelannya dulu supaya dapat bicara dengan jelas. "Kami menemukannya dijalan," jelasnya. Ia memutuskan untuk menceritakan hal yang sama dengan yang diceritakannya pada Kyoto.

Frisbee mengambil sumpitnya. Mereka melanjutkan makan tanpa bertukar kata-kata.

"Well. " Pedagang perhiasan itu sudah selesai makan. Ia membersihkan

mulutnya dengan sehelai lap, lalu merogoh

kantungnya.

Pete merasa tegang. Garpu di tangannya bergetar. Apakah Frisbee hendak mengambil pistolnya? pikirnya dengan putus asa.

Frisbee mengeluarkan dompetnya.

"Seperti yang kalian tahu, Miss Melody itu kawan baikku," ujarnya, "dan juga langganan yang penting." Matanya

bersinar-sinar sesaat. "Aku tahu betapa gusarnya ia karena beberapa burungnya mati. Aku ingin berbuat apa saja

sebisaku untuk menolongnya." Ia membuka dompetnya dan mengambil sesuatu dari dalamnya.

Uang lima puluh dolar. Frisbee memberikannya pada Jupe.

"Ini sedikit bekal buat kalian," katanya. "Supaya kalian tetap dapat menyelidik buat menolong Miss Melody. Dan

kalau kalian berhasil menemukan siapa pelaku perbuatan biadab itu" - ia menyelipkan dompetnya ke dalam

kantungnya - "dengan senang hati akan kuberi kalian lima puluh dolar lagi."

"Terima kasih." Jupe menyimpan uang itu dalam kantungnya. "Kami akan

melakukan yang terbaik, Mr. Frisbee,"

janjinya.

"Yang terbaik," ulangnya di luar restoran ketika Trio Detektif membuka kunci sepeda mereka. Ia mengamati Parker Frisbee berjalan dengan gesit meninggalkan mereka.

"Yang paling baik," Pete mengikuti. "Demi lima puluh dolar..." Ia menoleh pada Jupe.

Penyelidik Satu itu seperti orang kehilangan akal.

"Waktu itu kita membawa Caesar ke tokonya," gumamnya. Ia masih terheran-heran pada apa yang baru

dialaminya. "Kalau ia menginginkan burung itu, kan gampang saja ia memperolehnya. Bilang saja ya, dia memang mengenal Caesar, dia tahu siapa pemiliknya, dan dia akan mengembalikannya sendiri."

Ia menggeleng-geleng seakan tidak percaya pada kata-katanya sendiri. "Anehnya, waktu itu ia mengatakan tidak,

dia tidak pernah melihat Caesar sebelumnya. Dan dia membiarkan kita membawa Caesar pergi lagi. Lalu esok

malamnya dia merampas Caesar dengan menodongku." Ia terdiam sejenak. Kepalanya masih menggeleng-geleng.

"Dia memergokiku di kebun Miss Melody. Dia menyerangku dengan sebatang kayu," lanjutnya. "Sekarang... dia mentraktir kita makan siang..."

Dahinya berkerut-kerut sewaktu memikirkan hal ini. Paginya ia menyikat seporsi besar sarapan. Siangnya ia makan

besar lagi di restoran Jepang. Oh, sekarang bukan saatnya memikirkan berat badan. Masa bodoh dengan itu semua.

Masih banyak hal lain yang perlu dipikirkan.

"Ia mentraktir kita makan siang," Jupe mengulangi. "Bahkan ia memberi kita lima puluh dolar, dan berjanji akan

memberi lagi kalau kita bisa menemukan pelaku pembunuhan burung- burung milik Maureen Melody. Semua itu tidak

masuk akal-maksudku tidak mungkin orang yang sama melakukan hal-hal yang bertentangan seperti itu. Tapi... ada sesuatu yang misterius pada Parker Frisbee..."

Suaranya menghilang.

"Apa?" tanya Pete. "Ayo dong, teruskan. Apa yang misterius pada orang itu, Jupe?"

"Ia cuma memakai kaca mata gelap pada malam hari!"

Bab 10

PEMBUNUHAN MERPATI TERSINGKAP "APA?" seru Pete.

Jupe menggeleng kecil. "Tidak apa-apa."

Ia tahu bahwa percuma berbicara saat itu. Suara mereka akan tertelan oleh bisingnya jeritan, kicauan, dan gaok

burung-burung yang memenuhi hutan kecil di kanan-kiri mereka.

Trio Detektif dalam perjalanan menuju rumah Maureen Melody. Mereka mengendarai sepeda melewati jalan yang

diapit pohon-pohon tempat burung-burung Miss Melody bersarang. Sore itu adalah keesokan harinya setelah anak- anak berkunjung ke Little Tokyo.

Sepulang dari Little Tokyo kemarin, Jupe menelepon Miss Melody. Ia mengatakan akan berkunjung ke rumahnya

esok paginya. Tetapi ketika anak-anak mau berangkat dari Pangkalan Jones, Bibi Mathilda memberi pekerjaan.

Semalam turun hujan lebat. Bibi Mathilda ingin agar pangkalan dibersihkan. Kemudian semua lemari es tua dan tungku yang dibeli Paman Titus harus dikeringkan. Pekerjaan itu menunda kepergian mereka ke kediaman Miss

Melody, yang berarti pula tertundanya pemecahan misteri pembunuhan burung milik Miss Melody.

Jupe bergidik ketika memasuki halaman rumah Miss Melody yang luas

itu. Ia teringat pada pengalaman buruk yang

pernah dialaminya di antara pepohonan itu. Masih terekam dalam

pikirannya bagaimana bahunya berdenyut-denyut

sakit karena pukulan tongkat kayu. Ia berharap mereka dapat pulang

lebih awal sebelum hari menjadi gelap.

Miss Melody membukakan pintu segera setelah Jupe membunyikan bel. Ia mengenakan gaun beludru hitam

berlengan panjang. Seraya mempersilakan anak-anak masuk ke dalam ruangan kedap suara, ia sebentar-sebentar menyeka matanya dengan sapu tangan kecil.

"Lihat," katanya sambil menunjuk meja dengan tangan gemetar. Trio Detektif melihat ke meja. Terbaring seekor

burung pada sehelai kain putih di meja. Bangkai seekor rajawali lagi. Pete mendekat ke meja. Burung beo terbang dari tenggerannya. Ia hinggap di bahu Pete.

"Ini kejam sekali." Miss Melody mulai terisak-isak sekarang.

"Kejam," si beo menirukan. "Kejam. Kejam."

Jupe meneliti bangkai rajawali itu. Di tubuhnya tidak ditemukan tanda- tanda kekerasan. Seperti rajawali yang

terdahulu, kemungkinan besar rajawali itu diracuni, pikir Jupe.

"Kapan Anda menemukannya, Miss Melody?" tanya Jupe.

Maureen Melody berusaha menghentikan isak tangisnya. Kembali ia menyeka air matanya.

"Baru saja," desahnya perlahan.

"Di mana?"

"Di tempat..." Ia terceguk sambil memegangi kalung mutiaranya. "Di tempat yang sama seperti dulu."

"Di tempat Anda memberi makan rajawali Anda?"

Miss Melody mengangguk lemah. Nampak sekali ia sangat terpukul akibat terjadinya peristiwa itu.

Jupe memandangnya dengan penuh simpati.

"Aku mengerti perasaan Anda," katanya. "Namun aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Anda tidak keberatan, kan?"

Miss Melody cuma mengangguk saja. Ia masih bermain-main dengan kalung mutiaranya. Dengan memegangi kalungnya ia merasa lebih tenang.

"Teruskan," katanya. Ia mulai dapat menguasai dirinya kembali.

"Waktu kami ke sini sebelumnya," Jupe mengingatkannya. "Edgar Allan Poe, burung murai Anda..."

Jupe menunggu. Ia khawatir kalau-kalau perkataannya membuat Miss Melody terisak lagi. Tetapi ternyata Miss

Melody hanya diam saja. Ia memandang Jupe, mengharapkan Jupe untuk melanjutkan perkataannya.

"Anda bilang murai itu sangat pandai. Edgar Allan Poe selalu membawakan sesuatu untuk Anda."

"Mutiara." Maureen Melody tersenyum tertahan ketika menyebut benda yang sangat disukainya itu. "Poe sudah membawakan tiga mutiara yang indah-indah."

"Anda juga mengatakan bahwa ada dua burung murai."

"Ya. Ralph Waldo Emerson yang satu lagi."

"Ralph Waldo Emerson," Jupe mengulangi. "Yang satu ini juga suka membawakan sesuatu untuk Anda?"

"Kadang-kadang." Ia menyelipkan sapu tangannya dalam kantungnya,

seakan ingin mengatakan bahwa air matanya

tidak akan mengalir lagi. "Tapi Ralph Waldo Emerson tidak secerdik

Edgar Allan Poe. Emerson hanya membawakan

benda-benda yang tidak berharga. Sampah maksudku."

Dahi Jupe berkerut-kerut. Ia memperhatikan bangkai rajawali yang tergeletak di atas kain putih.

"Pernahkah Emerson membawakan suatu pesan untuk Anda?" tanyanya. "Pesan?"

"Secarik kertas yang bertuliskan sesuatu."

"Seingatku tidak. Tidak, tidak. Aku selalu ingat bagaimana kelakuan burungku. Emerson tidak pernah

membawakan pesan seperti itu. Tapi kenapa ya, tadi pagi Emerson

membawa-kau mau lihat apa yang dibawanya

tadi?"

Jupe tentu saja mau. Miss Melody berjalan ke sebuah meja di pinggir ruangan. Ia kembali dengan sebuah asbak gelas. Ditunjukkannya asbak itu pada Jupe.

Di dalam asbak terdapat segulung rambut. Jupe mengambil rambut itu. Ditelitinya baik-baik gulungan rambut itu.

Tebal, hitam, dan agak keriting. Tentu Emerson, si burung murai, yang menggulung dan membawa dengan paruhnya.

Dengan hati-hati dimasukkannya gulungan rambut tadi ke dalam saku bajunya.

"Di mana kira-kira Ralph Waldo Emerson menemukan rambut ini?" tanya Jupe.

"Tidak tahu, ya." Miss Melody mengembalikan asbak tadi. "Aku juga tidak tahu di mana Edgar Allan Poe menemukan mutiara-mutiara itu."

Jupe melihat ke luar jendela. Masih ada beberapa jam sebelum matahari tenggelam.

"Ayo," ajaknya pada Bob dan Pete. "Lebih baik kita menyelidiki hutan kecil sekali lagi, mumpung masih terang."

Ia menoleh pada Miss Melody. "Kalau Anda tidak keberatan tentu." "Tentu tidak. Aku justru sangat berterima kasih pada kalian dan Mr. Frisbee. Tapi jangan kecewa ya, aku tidak bisa

menemani kalian. Tepatnya, aku masih merasa tidak enak untuk melihat kebunku." Maureen Melody mengambil lagi

sapu tangannya. "Aku takut... jangan-jangan kutemukan lagi burung..." Ia tidak meneruskan kalimatnya.

Ia hanya mengawasi saja anak-anak keluar rumah. Si burung beo masih bertengger di bahu Pete. Seakan-akan beo

itu ingin ikut menyelidiki bersama Trio Detektif. Pete tidak keberatan. Malahan ia mulai menyukai si beo, seperti ia menyukai Caesar.

Mereka berhenti pada tempat ditemukannya dua bangkai rajawali. Lagi- lagi tempat itu bersih. Tidak ada sisa-sisa daging. Tidak ada jejak.

"Oke, " Jupe berkata dengan suara tinggi, seperti bernyanyi. "Kali ini kita tetap berkumpul. "

"Nah, begitu dong, " sahut Pete, juga dengan suara tinggi. Ia merasa canggung bernyanyi seperti itu. "Begini kan

aman. Kalau Frisbee tiba-tiba muncul dan ngadat lagi, kita bisa bersatu melawannya. "

Namun mereka tidak menjumpai siapa-siapa. Sejam lamanya Trio Detektif mengaduk-aduk semak belukar. Tidak dijumpai sesuatu yang menarik.

Mereka sampai di suatu tempat terbuka yang ditumbuhi rumput di

tengah-tengah hutan kecil itu. Anehnya, tempat

itu sepi. Seolah-olah setiap burung menghindar dari situ. Jupe duduk di

sebuah tempat yang kering. Ia capek. Dan

kakinya penuh lumpur.

Pete berbaring di sebelahnya. Bob bersandar pada sebuah pohon. Mereka beristirahat di sana kira-kira lima menit. Pete melamun sambil memandang seekor burung robin yang

mematuk-matuk tanah, mencari cacing. Jupe mulai merasa jenuh duduk tanpa berbuat apa-apa di sana.

Tahu-tahu tiga peristiwa terjadi. Ketiganya terjadi begitu cepat,

sehingga seakan-akan terjadi pada saat yang

bersamaan.

Si burung beo terbang dari bahu Pete sambil menjerit-jerit. Beo itu menghilang di balik pohon-pohon.

Si burung robin melihat ke atas. Burung itu mulai mengepakkan sayapnya hendak terbang.

Terlambat. Sesosok hitam muncul dari atas, menukik tajam, lalu mendarat di punggung burung robin tadi.

Setelah itu, semuanya selesai secepat kilat. Si burung robin menjadi korban keterlambatannya. Seekor rajawali

hitam mencengkeramnya dengan cakarnya yang kuat, dan mencabik-

cabik si burung robin dengan paruhnya yang

tajam.

Dalam beberapa detik saja rajawali itu telah selesai menyantap daging si burung robin. Detik berikutnya, rajawali

itu melesat seperti roket mengangkasa. Serpihan-serpihan daging masih menempel pada cakarnya. Yang tersisa dari

burung robin yang malang hanyalah kepala, kaki, dan beberapa helai bulu yang penuh darah.

Tidak satu pun dari Trio Detektif itu mengeluarkan suara selama beberapa saat. Si beo muncul lagi dari kerimbunan pohon, lalu hinggap di bahu Pete.

"Kejam," kata burung beo dengan nada tinggi. "Kejam. Kejam."

"Benar," kata Jupe menyetujui. "Tapi paling tidak kita tahu, siapa, atau

apa, yang membunuh si merpati berjari

dua."

"Dan apa yang menyebabkan seseorang meracuni rajawali," tambah Bob. "Maksudku, mungkin agar rajawali itu

tidak memangsa burung-burung lainnya, terutama merpati pos."

"Benar." Jupe mengambil gulungan rambut dari saku bajunya. Diamat- amatinya gulungan rambut itu. "Tapi kita

masih belum dapat menemukan siapa yang meracuni si rajawali. Atau siapa yang memukul Edgar Allan Poe dengan sebuah tongkat." Ia bangkit dari duduknya.

"Jejak kaki," katanya dengan penuh keseriusan. "Tadi malam hujan lebat. Mesti ada jejak kaki di suatu tempat. Kita saja yang belum berhasil menemukannya."

Ia melihat ke langit. "Cepat," serunya. "Masih ada sejam lagi sebelum gelap. Sekarang kita berpisah lagi. Cari di setiap jengkal tanah yang lunak."

"Kalau kita menemukan sesuatu," tanya Bob, "bagaimana kita memberikan kode pada yang lain?"

"Nyanyikan lagu God Bless America sekeras-kerasnya," Jupe memberi tahu.

Pete berlatih menyanyikan sebagian lagu itu supaya tidak lupa. Setelah puas mendengar suaranya sendiri, ia

menyeringai lebar. Kemudian Trio Detektif berpencar ke dalam hutan kecil, sekali lagi, untuk mencari jejak.

Pete yang berhasil menemukan jejak yang dicari-cari seperempat jam kemudian. Dua jejak kaki yang masih jelas tercetak pada jalan setapak yang lunak.

Ia berhenti. Diamat-amatinya kedua jejak itu.

Hari mulai gelap. Kicauan burung semakin sepi. Pete gelisah. Ia baru sadar bahwa kini ia cuma seorang diri di tengah-tengah hutan kecil.

Dicobanya untuk bernyanyi.

Ia tidak dapat mengingat nada-nada lagu itu. Tadi ia sudah melatih bagian depannya di depan kawan-kawannya.

Tapi sekarang, dalam kesendirian, mendadak ia lupa.

"Godbless... " ia mencoba. Tidak, bukan begitu seharusnya. "God bless...

II

"God bless America," burung beo di bahunya tahu-tahu bernyanyi. Beo itu menyanyikannya dengan tepat.

"Trims." Pete mengelus-elus si burung beo.

"God bless America, " Pete menyanyi dengan sekuat-kuatnya dan dengan nada setinggi-tingginya.

Rupanya Jupe dan Bob berada tidak jauh darinya. Kurang dari semenit mereka sudah berkumpul di tempat Pete.

Jupe memperhatikan jejak kaki yang panjang dengan ujung runcing.

Diambilnya lagi gulungan rambut dari saku

bajunya.

"Bagus, Pete," katanya. "Jelas itu bukan jejak Frisbee. Tadi pagi aku perhatikan benar bagaimana bentuk sepatu

yang dipakainya. Kakinya kecil, dan sepatunya berujung agak lebar. Jadi..." Diangkatnya gulungan rambut itu.

"Mungkin bukan Frisbee yang rambutnya tersangkut semak, lalu ditemukan Ralph Waldo Emerson, si burung murai."

Ia berjalan di muka, ke luar hutan kecil, menuju tempat mereka

memarkir sepeda. Anak-anak berhenti di dekat

sepeda mereka. Lampu masih menyala di kamar atas rumah Maureen

Melody. Jupe menebak Miss Melody sedang

beristirahat di kamarnya dan tidak ingin diganggu.

"Kita langsung pulang saja," putusnya. "Saat ini kita kan belum punya berita yang jelas. Kita masih mengira-ngira saja sampai sejauh ini." "Kau pikir itu jejak Blinky?" tanya Bob. Ia ingat Jupe pernah menyebut- nyebut tentang sepatu lancip yang dikenakan Blinky di Kedai Kuda Laut.

"Itu yang pertama kali muncul di pikiranku," Jupe menyetujui.

"Kecurigaanku yang kedua ialah bahwa seluruh

kasus ini berkaitan erat dengan misteri dalam diri Kyoto."

"Kenapa?" tanya Pete.

"Karena Kyoto-lah yang menulis pesan, Tidak ada mutiara hari ini." Jupe mengangkat telunjuknya yang gemuk,

lalu mengangkat jari tengahnya. "Juga Kyoto-lah yang dikunjungi Parker Frisbee di Little Tokyo kemarin." Ia

mengangkat jari manisnya, menunjukkan jumlah tiga. "Dan lagi Kyoto-lah yang ditunggu-tunggu Blinky di Kedai Kuda Laut."

"Hmm, masuk akal," kata Pete sambil manggut-manggut.

"Dan terima kasih pada Bob," Jupe melanjutkan, "karena kita bisa tahu mengapa Blinky menunggu Kyoto.

Mengapa Blinky mengikutinya."

"Terima kasih kenapa?" Bob tidak mengerti apa yang dimaksud Jupe. "Karena pengamatanmu yang cermat pada kotak pos Kyoto. Kau menyimpulkan bahwa Kyoto baru saja pindah ke

situ karena cat kotak posnya masih baru. Jadi Blinky ingin tahu ke mana

ia pindah, dan di mana sekarang Kyoto

tinggal."

"Kenapa?" tanya Bob.

"Itulah yang akan kita temukan," kata Jupe. "Apa kaitan antara Blinky dan Kyoto? Dan apa hubungan Kyoto dengan mutiara?"

Ia termenung sejenak. "Kita harus membuntuti mobil boks hijau itu lagi," putusnya. "Cuma itu petunjuk yang bermanfaat yang kita punyai saat ini."

"Hidupkan saja alat penjejak kita," usul Pete.

Jupe menggeleng. "Baterenya pasti sudah habis sekarang. Kita bisa menggantinya dengan baterai baru, tapi

risikonya terlalu besar, karena kita harus pergi ke rumah Kyoto lagi."

Ia menatap Penyelidik Dua.

"Kurasa ini tugasmu, Pete," kata Jupe.

Pete menghela napas. Setiap kali ada tugas yang berisiko tinggi, pasti dialah yang kebagian.

"Oke," katanya dengan perasaan ogah. "Katakan saja apa yang kautugaskan padaku, Jupe."

Bab 11

RAHASIA KYOTO

PETE bangun sebelum matahari terbit keesokan harinya. Dikenakannya

celana jeans, kaus hangat, dan sepatu

karetnya. Lalu ia langsung ke dapur untuk sarapan.

Ada kaca mata gelap di meja dapur. Ayahnya tentu kelupaan menaruh benda itu di situ. Timbul ide dalam benak

Pete. Barangkali kaca mata ini akan ada gunanya nanti, dalam hati ia berkata. Ia menimbang-nimbang untuk

menggunakan kaca mata itu sambil makan beberapa kue donat dan minum segelas susu.

Akankah ia lebih sukar dikenali dengan memakai kaca mata itu? Kalau Kyoto kebetulan melihatnya, akankah dia ingat serta mengenalinya?

Akhirnya Pete memutuskan untuk membawa kaca mata gelap itu. Dengan begitu ia dapat memakainya pada saat

dibutuhkan untuk mengubah penampilannya. Ia memasukkan kaca mata ke dalam tempatnya, lalu menaruhnya dalam kantung baju hangatnya. Kemudian ia bergegas ke gudang tempat menyimpan sepeda istimewanya.

Sepedanya sepeda balap buatan Inggris dengan sepuluh persneling. Ayahnya membelikan sebagai hadiah ulang tahunnya yang terakhir. Pete merawatnya dengan sangat teliti. Untuk keperluan sehari-hari yang tidak begitu

mendesak, ia menggunakan sepeda lamanya. Sepeda istimewanya hanya digunakan sekali-sekali saja, terutama untuk

keperluan penting. Dengan sepeda itu ia dapat mencapai kecepatan rata- rata tiga puluh mil per jam, dan maksimal empat puluh mil per jam.

Ditepuk-tepuknya sepeda itu dengan mesra, seperti orang menepuk- nepuk seekor kuda pacuan.

Sepuluh menit kemudian ia sudah tiba di pinggiran Little Tokyo. Diparkirnya sepeda balapnya di pinggir jalan di antara pohon-pohon. Lalu ia mengawasi rumah Kyoto dari kejauhan. Segalanya berjalan lancar. Ia tiba tepat pada waktunya. Mobil boks hijau masih nampak diparkir. Lampu taman rumah Kyoto masih menyala.

Matahari mulai terbit. Sebuah sedan biru meluncur dijalan dan berhenti tepat di muka rumah Kyoto. Seorang laki-

laki keluar dari sedan. Ia berjalan ke arah mobil boks. Pete memicingkan matanya untuk melihat laki-laki itu lebih

jelas. Baju bergaris-garis, jas gelap, jenggot, dan kumis tebal. Parker Frisbee! Pete yakin sekali. Bahkan dalam cahaya yang remang-remang ia yakin tidak salah lihat.

Frisbee saat itu tidak memakai kaca mata gelap. Ia membawa sebuah paket besar berbentuk kotak. Paket itu terlihat keabu-abuan dalam keremangan cahaya, seperti terbungkus kertas koran. Frisbee membuka pintu belakang mobil boks, lalu menaruh paket itu di dalamnya.

Lampu taman rumah Kyoto padam.

Frisbee menutup pintu belakang mobil boks. Ia lalu masuk kembali ke sedannya, dan mengendarainya pergi.

Pete bersandar pada sebatang pohon, menunggu. Sepuluh menit kemudian seorang Jepang keluar rumah. Ia mendatangi mobil boks. Pete sukar untuk memastikan. Itu Kyoto atau penerjemahnya?

Kemudian ia baru ingat pada apa yang dikatakan Jupe tentang ciri-ciri si penerjemah. Orang yang dilihatnya kini

tidak memiliki ciri-ciri itu. Jadi itu Kyoto. Ia membawa sebuah tempat makan dari logam. Pakaiannya terbuat dari semacam kain drill.

Pete menyiapkan sepedanya. Ia duduk pada sadelnya, siap untuk berangkat sewaktu-waktu.

Kyoto tidak membuka pintu belakang mobil boks. Bahkan ia tidak melihat ke dalamnya lewat jendela belakang. Ia

langsung masuk ke depan dengan membawa tempat makanannya. Dikendarainya mobil boks hijau itu.

Di ujung jalan, mobil boks itu berputar, lalu melaju ke arah Pete. Cepat- cepat Pete bersembunyi di balik sebuah pohon bersama sepedanya.

Mobil boks itu melewatinya. Pete menghitung sampai sepuluh. Baru setelah itu ia mulai mengayuh sepedanya.

Ia tidak menjumpai masalah dalam mengikuti mobil boks hijau, karena jalan menurun menuju kota. Sesampainya di

Main Street ia menjaga jarak sampai mobil boks berbelok masuk ke jalan menuju pantai.

Mobil boks mempercepat lajunya. Dengan bersemangat Pete mengayuh pedal lebih kuat. Sepedanya meluncur

makin cepat. Tiga puluh, tiga puluh lima, empat puluh mil per jam. Persneling sudah terpasang paling tinggi. Angin

menerpa mukanya dengan kencang, sehingga seluruh rambutnya tersibak ke belakang. Ia memindahkan persneling

ketika menanjak menuju Kedai Kuda Laut. Setelah itu jalan turun lagi. Tanpa mengayuh Pete sudah mencapai kecepatan maksimal.

Beberapa menit kemudian ia melewati Wills Beach. Berkemah diizinkan di sana, asalkan tidak membuat api unggun. Ada beberapa tenda di pantai. Seorang gadis keluar dari tenda. Gadis itu melambai pada Pete ketika Pete

ngebut melintasi jalan di pinggir pantai. Pete balas melambai. Ia makin bersemangat memacu sepedanya.

Dua mil dari Wills Beach jalan berbelok menjauhi pantai. Pete melihat

ke arah laut. Pagi itu cerah, dan ombak laut

terlihat sangat menggiurkan baginya. Ah, kalau saja tidak harus

membayangi mobil boks hijau, Pete berangan-angan,

aku akan langsung terjun ke laut.

Tiba-tiba lampu rem mobil boks menyala.

Pete mengerem sepedanya. Ia duduk di sadelnya sambil memperhatikan mobil boks yang berhenti.

Ia ingat betapa liatnya tubuh Kyoto. Kelihatannya ia jago karate. Pete merasa ciut ketika memikirkan hal ini. Ingin

rasanya ia membiarkan mobil boks itu pergi, daripada kepergok oleh orang Jepang yang bertubuh liat itu.

Mobil boks hijau jalan lagi. Mobil itu membelok ke kiri pada suatu pertigaan.

Pete tidak mengira di situ ada jalan sempit menuju laut lagi. Dengan hati-hati dikayuhnya sepeda mendekati

pertigaan. Jalan sempit itu berakhir pada sebuah pelataran parkir, tiga puluh meter dari pertigaan. Di belakangnya

terpancang pagar berjeruji besi yang tinggi dan sebuah gerbang yang kokoh. Sekelompok pondok kayu berdiri di balik pagar besi itu.

Mobil boks hijau berhenti di pelataran parkir. Pete bersembunyi di balik tetumbuhan di pinggir jalan. Dari situ ia

mengawasi gerak-gerik Kyoto. Kyoto keluar membawa kotak makannya. Ia berjalan ke belakang mobil boks.

Orang Jepang itu membuka pintu belakang, masuk ke dalam, lalu menutup kembali pintu itu dari dalam.

Beberapa menit lamanya ia tidak keluar-keluar lagi. Pete heran. Apa yang dilakukannya di dalam mobil boks itu?

Berganti pakaian?

Tidak. Sewaktu keluar lagi Kyoto masih mengenakan pakaian yang sama. Kyoto membawa kotak makanannya. Ia berjalan ke arah gerbang.

Seseorang berpakaian seragam muncul dari salah satu pondok kayu. Orang itu menyimpan senjata di pinggangnya.

Tapi ia bukan polisi. Mungkin petugas keamanan, pikir Pete. Orang itu membuka gerbang. Kyoto melangkah masuk.

Si penjaga gerbang menutup dan mengunci gerbang kembali.

Pete bertiarap ketika ia mendengar suara dari belakangnya. Sebuah truk datang dan membelok pada pertigaan itu,

memasuki jalan sempit. Ada dua orang Jepang di depan. Dua orang lagi turun dari bak belakang ketika truk itu

berhenti di tempat parkir. Mereka semua membawa kotak makanan. Keempat orang Jepang itu berjalan ke gerbang.

Mereka diperbolehkan masuk oleh penjaga gerbang.

Tempat apa ini? Pete tidak dapat membayangkan. Selain pondok-pondok kayu itu, tidak ada lagi yang terlihat di

dalam. Di balik pagar hanya terlihat tanah datar yang membentang sampai ke laut. Dan tanah itu kosong, tidak ditumbuhi tanaman apa pun.

Baru kemudian Pete melihat sesuatu yang lain. Bukan hanya tanah yang terdapat di sana, tetapi juga air. Ada

semacam danau buatan yang terpisah dari laut. Danau itu dipetak-petaki dengan papan-papan kayu yang berada beberapa sentimeter dari permukaan air.

Pete melihat orang-orang Jepang itu berpencar pada papan-papan kayu. Mereka berjongkok di sana, lalu mulai

menarik sesuatu seperti kandang dari kawat. Pete tidak dapat melihat

jelas apa isi kandang itu. Yang terlihat cuma

orang-orang Jepang yang memeriksa isi kandang dengan teliti.

Pete sudah tidak tahu lagi yang mana Kyoto. Namun ia menghitung ada lima orang Jepang. Jadi Kyoto mestinya salah satu dari kelima orang itu.

Ia tetap bersembunyi di balik tetumbuhan selama setengah jam. Tidak ada apa-apa yang terjadi. Tidak ada yang

berubah. Penjaga-penjaga gerbang mondar-mandir memeriksa pagar. Paling sedikit ada tiga orang penjaga, Pete dapat melihat mereka sekarang.

Sementara itu para pekerja masih melakukan tugas mereka, sibuk dengan kandang kawat. Yang mereka kerjakan

hanyalah menarik kandang kawat dari danau buatan, memeriksa isinya, mengembalikannya ke danau, lalu mengambil kandang kawat lainnya. Begitu seterusnya.

Burung camar dan merpati beterbangan di atas daerah itu. Tapi tidak ada yang luar biasa. Memang banyak burung camar dan merpati di sepanjang pantai itu.

Sudah cukup sekarang, Pete akhirnya memutuskan. Tadi dalam

perjalanan, tak jauh dari situ ia melihat sebuah

pompa bensin. Ia menegakkan sepedanya, lalu mengayuh sekencang-

kencangnya.

Jupe segera mengangkat telepon di kantor Trio Detektif. Pete menjelaskan di mana ia berada sekarang, yaitu sekitar satu mil dari Wills Beach. Ia mengajak kedua kawannya untuk bergabung di situ.

Mereka akan sampai di sini satu jam lagi, pikir Pete ketika meletakkan

gagang telepon. Ia membeli minuman dan

sebatang coklat, lalu duduk santai menunggu kedua kawannya.

"Sepedamu bagus sekali." Penjaga pompa bensin mendatanginya, ia mengagumi sepeda balap Pete.

Pete cuma nyengir saja. Orang itu hanya beberapa tahun lebih tua dari Pete. Rupanya ia pecinta sepeda. Ia dan Pete

berbincang-bincang panjang lebar tentang macam-macam sepeda dengan

perlengkapannya. Tiba-tiba terlintas dalam

benak Pete bahwa mungkin orang itu bisa memberi informasi yang

berguna.

"Aku tadi berjalan-jalan ke sana," kata Pete sambil menunjuk. "Di sana

kulihat ada sebuah tempat yang dipagari

dan dijaga oleh orang-orang bersenjata. Tempat apa itu, ya?"

"Oh, aku malah belum pernah ke sana," orang itu menjawab. "Tapi kudengar tempat itu dijadikan tempat

peternakan tiram. Seorang Jepang yang kaya membangunnya beberapa tahun yang lalu. Ia menggali tanah di situ dan

mengisinya dengan air laut. Kudengar mereka beternak tiram di sana." Saat itu Jupe dan Bob sampai di pompa bensin.

Jupe terengah-engah. Tubuhnya bersimbah peluh. Ia langsung memesan minuman. "Air jeruk dingin," katanya.

Kemudian Pete mulai menceritakan semua yang dilihatnya. Sejak ia mengawasi rumah Kyoto di Little Tokyo sampai ia mengintai tempat yang dibatasi pagar tinggi berjeruji besi. "Peternakan tiram," Jupe mengulangi sambil berpikir keras setelah Pete selesai melapor. "Petugas keamanan.

Parker Frisbee. Paket kotak besar. Bagus kerjamu, Pete."

"Oh, ya?" Hidung Pete kembang kempis mendapat pujian dari pimpinan

Trio Detektif. "Tapi apa artinya semua

ini?"

Penyelidik Satu tidak menjawab. "Kita kembali ke sana untuk mengamati apa yang terjadi kemudian," usul Jupe.

Trio Detektif bersepeda ke tempat peternakan tiram. Pete memimpin di depan sebagai penunjuk jalan. Di balik

tetumbuhan di pertigaan itu mereka menyembunyikan sepeda. Mereka

sendiri mencari tempat yang strategis sehingga

dapat mengamati apa yang terjadi di balik pagar dengan jelas.

Jupe telah membawa teropongnya. Difokuskannya teropong itu pada pekerja Jepang yang sedang sibuk memeriksa kandang-kandang kawat.

"Benar, itu tiram," katanya. "Dalam kandang-kandang. Sulit untuk melihat apa yang mereka lakukan terhadap

tiram-tiram itu. Tapi kelihatannya mereka membuka beberapa tiram."

Matahari sudah tinggi saat itu. Teriknya menyengat anak-anak yang sedang bertiarap di rerumputan. Dalam hatinya Pete menyesal, mengapa ia tidak membawa minuman dingin untuk cadangan dari kantin di pompa bensin tadi. Ia

memakai kaca mata hitam yang dibawanya. Lalu ia bertelentang dengan kedua tangannya dilipat di belakang kepalanya. Kedua matanya dipejamkan.

Tidak lama kemudian salah seorang dari penjaga meniup peluit. Para pekerja Jepang berhenti untuk beristirahat

makan siang. Mereka duduk di papan-papan di atas danau. Dalam terik matahari mereka membuka bekal dalam kotak makanan mereka.

Burung camar dan merpati berkerumun mencari sisa-sisa makanan. Para pekerja mengusirnya dengan mengibas-

ngibaskan tangan mereka. Sebagian burung ada yang pergi. Tetapi sisanya tidak putus asa. Dengan sabar mereka menanti para pekerja itu selesai makan. Burung camar dan merpati tetap berkerumun dekat para pekerja Jepang itu.

Jupe menurunkan teropongnya. Menonton orang makan membuat

perutnya sendiri berkeriuk-keriuk. Ia baru sadar

bahwa saat itu sudah waktunya makan. Perutnya sudah protes minta

diisi. Tapi dipaksanya untuk memusatkan pikiran

pada kasus yang sedang dihadapinya. Misteri merpati berjari dua dan

pembunuhan burung-burung. Tanpa sadar, ia

menarik-narik bibir bawahnya.

Paket abu-abu yang ditaruh Parker Frisbee di bagian belakang mobil boks hijau. Apa isinya? Menurut laporan Pete,

Kyoto tidak membawa paket itu ketika memasuki gerbang yang dijaga

petugas keamanan. Ia cuma membawa kotak

makanannya.

Jupe menyentuh bahu Pete. Pete diam tak bereaksi.

Jupe mengguncang-guncangnya.

Pete gelagapan terbangun.

"Kyoto tadi mengunci pintu belakang mobil boksnya?" tanyanya ketika Pete mengangkat kepalanya. Jupe tidak

dapat melihat apakah mata Pete terbuka atau tertutup karena terhalang oleh kaca mata gelap yang dipakainya. Tapi kelihatannya ia sudah agak sadar sekarang.

"Tidak," gumam Pete. "Aku yakin tidak dikunci." Ia merebahkan kepalanya kembali. Sekejap ia sudah tertidur lagi.

Jupe memikirkan langkah yang akan diambilnya. Dapatkah dia merayap ke belakang mobil boks, lalu masuk dan

meneliti isi paket abu-abu itu? Namun dengan terpaksa ia mengakui

bahwa ia tidak dapat melakukan hal itu. Penjaga

yang bersenjata belum ikut makan. Mereka mengawasi daerah sekitar

situ dengan waspada. Secara teratur mereka

berpatroli memeriksa pagar dan gerbang.

Beberapa menit kemudian terdengar lagi suara peluit. Para pekerja Jepang membereskan kotak makan mereka, lalu

kembali bekerja, memeriksa tiram-tiram yang dipelihara dalam kandang- kandang kawat.

Jupe berupaya menjaga matanya agar tetap terbuka. Padahal tidak ada sesuatu yang baru yang dapat dilihatnya

dengan teropongnya. Semua sama saja seperti yang dilihat sebelumnya. Panas semakin menyengat. Pemandangan

tidak lagi menarik. Perutnya keroncongan. Jupe merasa kelopak matanya menjadi berat. Tak terasa kepalanya terkulai.

Ia bermimpi makan pizza dengan salad segar. Kemudian datang seporsi besar es krim. Jupe baru mulai menyendok santapan lezat di hadapannya...

Nyaringnya suara peluit membangunkannya. Hampir jam tiga, ia melihat jam tangannya. Orang-orang Jepang

menurunkan kandang-kandang kawat ke dalam danau. Mereka berdiri dan mulai berjalan ke arah pintu gerbang.

Pikiran Jupe tiba-tiba menjadi jernih setelah tidur singkat tadi. Kaca mata gelap, pikirnya, dan itu sebuah penemuan besar! Parker Frisbee memakai kaca mata gelap di hutan kecil Miss Melody dan di pelataran parkir dekat Bank Amco.

Keduanya pada malam hari. Tapi kaca mata gelap bukan hanya untuk melindungi mata dari teriknya sinar matahari.

Kaca mata gelap dapat menutupi mata orang yang memakainya. Seperti yang tadi dialami Pete. Ia tidak dapat

memastikan apakah mata Pete terbuka atau tertutup ketika memakai kaca mata gelap.

Jupe memandang ke balik pagar besi. Orang-orang Jepang itu belum keluar dari gerbang. Mereka menghilang di

dalam salah satu pondok kayu. Dan para penjaga juga tidak tampak lagi. Ia berjongkok dan mengambil ancang-ancang. Lalu berlarilah ia sekencang-kencangnya ke jalan sempit menuju pelataran parkir.

Bob membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa di sampingnya. Di mana Jupe? Ke mana ia menghilang? Bob

melihat ke pelataran parkir. Dilihatnya Penyelidik Satu membuka pintu belakang mobil boks Kyoto. Jupe masuk ke dalamnya! Pintu belakang tertutup lagi.

"Oh, cari gara-gara dia!" Pete mengangkat kepalanya.

"Menurutmu apa yang diinginkannya?" Bob bertanya pada Pete. "Maksudku, Jupe berharap kita melakukan apa?

Mungkinkah ia mau bersembunyi di belakang mobil boks Kyoto lalu ikut pergi bersamanya? Atau apa?"

"Tak tahu, ya." Pete sama bingungnya dengan Bob. "Harusnya kalau mau

berbuat sesuatu, bilang-bilang dulu,

dong."

"Ya. Mestinya begitu. Tapi mungkin ia cuma menyelidiki mobil boks itu. Kita tunggu saja. Kuharap ia bisa keluar

sebelum Kyoto..." Ia akan mengatakan, "Sebelum Kyoto memergokinya." Tapi tidak nampak siapa pun. Ke mana orang Jepang itu? Ke mana para penjaga?

Bob memungut teropong. Diteropongnya daerah di balik pagar besi itu. Ia berhenti pada sebuah jendela di salah satu pondok kayu.

Agak sukar untuk melihat semuanya dengan jelas. Tapi Bob dapat

melihat bahwa pondok itu penuh dengan orang

Jepang dan penjaga. Para penjaga memeriksa pekerja Jepang dengan

teliti, dari kepala sampai kaki. Baju dan celana

mereka digeledah. Bahkan kotak makanan dan sepatu tidak luput dari

perhatian penjaga.

Bob menurunkan teropongnya. Jupe nampak berlari ke arahnya. Penyelidik Satu menyelusup ke sampingnya di

balik tetumbuhan yang cukup rimbun. Wajah Jupe kemerahan dan agak lesu, tapi matanya bersinar-sinar.

"Para penjaga sedang menggeledah mereka, kan?" tanya Jupe begitu napasnya mulai teratur.

Bob mengangguk. "Sepertinya begitu. Apa yang mereka cari pada pekerja-pekerja itu, Jupe?"

Jupe tidak langsung menjawab. "Aku baru saja melakukan suatu penyelidikan," katanya beberapa saat kemudian.

"Aku menemukan apa yang berada dalam paket di mobil boks Kyoto. Ternyata bukan koran pembungkusnya, Pete.

Kurasa dari jauh dalam cahaya yang remang-remang memang terlihat seperti koran. Padahal itu kain katun tipis."

"Katun tipis?" kata Pete. "Maksudmu seperti penutup kotak yang dibawa Blinky?"

"Persis," jawab Jupiter. "Kain itu telah terbuka. Dan paket itu adalah sebuah sangkar. Sangkar itu kosong. Tapi aku

yakin tadi pagi pasti ada isinya sewaktu Frisbee menaruhnya di belakang mobil boks. Karena aku menemukan ini."

Ia membuka genggaman tangannya. Kedua temannya melihatnya. Segenggam jagung.

"Merpati," desis Pete. "Kyoto membawa merpati dalam sangkar itu..." "Dan ia menyelundupkannya dalam kotak makanannya," Jupe

melanjutkan. "Itu mudah sekali. Penjaga kan tidak

mengecek para pekerja ketika mereka masuk. Hanya ketika mereka

keluar."

Bob mengernyit. "Tapi, apa yang mereka geledah?" ia bertanya lagi. "Mutiara," Jupe menerangkan dengan sabar. "Itulah yang mereka harapkan dari tiram-tiram itu. Di tempat ini diproduksi mutiara buatan!"

Bab 12

RENCANAJUPE

"MUTIARA," kata Jupe lagi. "Mutiara dan merpati pos."

Trio Detektif telah berkumpul kembali di kantor mereka setelah meninggalkan tempat peternakan tiram. Mereka sedang menikmati roti keju buatan Bibi Mathilda. Jupe membagi dua rotinya. Ia berniat untuk makan separuhnya saja.

Sebelum ke kantor, Bob menyempatkan diri untuk mampir di perpustakaan. Ia meminjam dua buku yang dipesan Jupe.

"Apa kata buku itu tentang mutiara buatan?" tanya Jupe padanya.

Bob membuka salah satu buku, berjudul Keindahan Mutiara. Dikeluarkannya sehelai kertas tempat ia menulis beberapa catatan tentang buku itu.

"Mutiara buatan." Ia membetulkan posisi kaca matanya. "Caranya, ambil bayi tiram dan kumpulkan dalam kandang

di bawah air. Setelah tiram berumur tiga tahun, buka tiram itu lalu taruh sebutir pecahan kulit tiram di dalamnya.

Taruh benda itu pada tempat yang dinamakan mantel tiram. Lalu turunkan kembali kandang ke dalam air. Biarkan tiram itu selama tiga sampai enam tahun. Sejak saat itu tiram mesti dicek secara rutin. Tiram yang dimasuki sebutir pecahan kulit tiram tadi akan terluka. Tiram akan membalut luka tadi sehingga terbentuklah mutiara."

"Oo, seperti perban, ya," kata Pete.

"Ya, semacam sistem pertahanan tubuh." Bob membaca catatannya

kembali. "Setelah enam tahun, mutiara sudah

terbentuk secara sempurna. Mutiara itu sudah dapat diambil untuk

dijual. Peternakan mutiara menjadi industri besar di

Jepang. Beberapa mutiara buatan harganya mencapai ratusan dolar."

"Mengapa disebut buatan?" tanya Pete. "Kan mutiara itu sendiri yang

membuatnya?"

"Ya, tapi kan dengan campur tangan manusia," sahut Bob. "Manusia yang memulainya dengan memasukkan

sebutir pecahan kulit tiram. Kalau menunggu sampai sebutir pasir atau

sembarang benda keras masuk sendiri, wah

lama sekali baru terbentuk mutiara. Dan itu jadi untung-untungan

sifatnya."

"Jadi itulah sebabnya penjaga menggeledah para pekerja sebelum mereka pulang," kata Pete sambil mengelus bulu Caesar dalam kandangnya yang besar. "Supaya mereka tidak mencuri mutiara. Begitu kan, Jupe?"

"Ya." Penyelidik Satu itu duduk santai di kursi goyangnya. "Tapi ingat, pekerja tidak diperiksa ketika masuk. Itu

memunculkan ide di kepala Parker Frisbee dan Kyoto. Ide yang sangat sederhana. Di situlah letak persoalannya.

Parker Frisbee menaruh seekor merpati pos di belakang mobil boks Kyoto. Ketika sampai di peternakan tiram, Kyoto menyelundupkan merpati itu dalam kotak makanannya."

Jupe membisu sejenak. Ia memandangi rotinya yang separuh lagi. Didorongnya roti itu menjauh darinya.

"Kalau Kyoto menemukan mutiara yang indah dalam salah satu tiram hari itu, ia menunggu sampai waktu makan

siang. Ketika waktu makan siang tiba, ia mengeluarkan merpati dari kotak makanannya, lalu mengikatkan mutiara itu di kaki si merpati. Ada banyak merpati beterbangan di sekitar tempat itu. Tambahan satu merpati tidak akan ketahuan oleh penjaga. Merpati pos itu akan terbang kembali ke tempat Parker Frisbee, sambil membawa mutiara baginya."

"Dan kalau Kyoto kebetulan tidak menemukan mutiara hari itu," kata Bob, "ia mengirim pesan pada Parker Frisbee

dalam bahasa Jepang bertuliskan, ’Tidak ada mutiara hari ini.’ Seperti

pesan yang kita temukan pada merpati berjari

dua yang telah mati diserang rajawali Miss Melody. Tapi..."

Ia terdiam. Bob mencoba membayangkan apa yang terjadi. "Tapi..." ia

mengulangi dengan nada yang mengandung

keragu-raguan.

"Tapi merpati berjari dua itu bukan milik Parker Frisbee," Jupe menyelesaikan kalimat Bob, "melainkan milik

Blinky. Paling tidak Blinky-lah yang membawa-bawanya di Kedai Kuda

Laut waktu itu. Dalam sebuah sangkar yang

mirip, dan juga dengan bungkus kain katun yang sejenis."

Tanpa sadar, Jupe mencoel secomot rotinya yang tinggal separuh. "Coba

lihat dalam buku yang satunya lagi, Bob,"

ujarnya.

Buku kedua yang dipinjam Bob dari perpustakaan adalah sebuah atlas California bagian selatan. Jupe memasukkan comotan roti ke dalam mulutnya, lalu membuka atlas yang menggambarkan peta Rocky Beach dan Santa Monica.

Kedua kawannya melongok dari belakang Jupe.

"Di sini Wills Beach." Jupe meletakkan telunjuknya yang gemuk pada sebuah titik pada garis pantai yang

membujur dari timur ke barat. "Jadi peternakan tiram berada di sini.

Dan Parker Frisbee tinggal..." Ia menggerakkan

jarinya ke bawah mendekati Rocky Beach. "Di sini. Di sisi barat kota.

Aku tahu karena aku melihat alamatnya di buku

telepon."

Ia mengambil sebuah penggaris dari laci mejanya. Diletakkannya penggaris itu di antara dua titik tadi. "Nah, apa artinya ini bagi kita?" tanyanya.

"Artinya jelas, dong," kata Pete. "Merpati harus terbang melintasi laut menuju rumah Frisbee, kalau ia memelihara

merpati itu di rumahnya. Merpati itu menempuh jarak sekitar enam mil." "Jadi akan memakan waktu sekitar enam menit," tambah Bob. "Jadi yang harus dilakukan Frisbee hanyalah

menunggu di rumah pada siang hari. Ia cuma sebentar menunggu, lalu

datang merpati membawa mutiara. Enak

benar!"

"Kalau begitu bagaimana mungkin merpati berjari dua terbunuh di hutan kecil Miss Melody?" Pete keberatan.

"Maureen Melody tinggal di bagian timur kota." Ia menunjuk pada

sebuah tempat di peta. "Itu jauh dari tempat

Frisbee. Kenapa merpati berjari dua itu melenceng begitu jauh dari

rutenya?"

"Memang, tempat itu memang di luar jalur penerbangan si merpati, dari peternakan ke rumah Frisbee." Jupe

menggeser penggaris, sehingga membentuk garis antara peternakan tiram dengan rumah Miss Melody. "Tapi kalau merpati itu tidak menuju rumah Frisbee..." Ia menunjuk ke suatu tempat beberapa mil dari Rocky Beach.

"Santa Monica," kata Bob.

"Blinky?" ujar Pete bertanya-tanya.

"Blinky tinggal di Santa Monica," Bob mengingatkan. "Ia mengatakannya sendiri waktu itu..."

"Jadi kalau merpati berjari dua itu milik Blinky," Jupe melanjutkan, "dan terbang kembali ke rumah Blinky di

Santa Monica, jelas si merpati akan melalui hutan kecil Maureen Melody. Begitulah kejadiannya sampai merpati itu terbunuh oleh salah satu rajawali Miss Melody."

Ia tidak berkata-kata beberapa saat. Jari-jarinya meremas-remas sisa rotinya yang tinggal sedikit.

"Dan jelas itu bukan pertama kalinya merpati Blinky terbunuh dengan cara seperti itu," ia melanjutkan. "Miss

Melody bilang bahwa Edgar Allan Poe sudah tiga kali membawakan mutiara baginya. Jadi mungkin Edgar Allan Poe-

lah yang menemukan mutiara itu terikat pada kaki merpati yang mati di hutan kecil Miss Melody."

"Nah, itu baru cocok," kata Pete menyetujui.

Jupe mengernyit. Ia menutup atlas.

"Mungkin cocok," ujarnya, "kalau Frisbee dan Blinky berkawan. Yaitu, kalau mereka memakai merpati bergantian

dari hari ke hari. Hari ini merpati Frisbee, besoknya merpati Blinky, begitu seterusnya. Ini lah satu-satunya penjelasan terhadap kelakuan Frisbee. Ia khawatir burung Blinky terbunuh. Jadi ia menyelinap ke dalam hutan kecil Miss Melody

pada malam hari. Ia tak sengaja bertemu aku di sana. Mungkin dia pikir akulah pembunuhnya, sehingga dia menyerangku dengan tongkat kayu."

Jupe mencoel lagi secomot roti.

"Kemudian ia mendengar dari Maureen Melody bahwa kita mencoba menolongnya. Maka ia lalu bersikap ramah.

Diberinya kita hadiah dan dijanjikannya hadiah lagi kalau kita bisa menemukan pembunuh merpati Blinky."

Ia menggeleng. Matanya memandangi roti dan keju yang dipegangnya dengan telunjuk dan jempolnya. Ditelannya potongan roti itu.

"Tapi mereka tidak mungkin berkawan," katanya.

"Kenapa tidak?" tanya Bob. "Apa yang membuat kau berpikiran begitu?" Jupe menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.

"Kalau mereka berkawan," ujarnya kemudian, "maka Blinky dan Kyoto juga berkawan." Kini Jupe memainkan potongan roti yang terakhir. "Dan Blinky pasti sudah tahu di mana Kyoto

tinggal. Tidak perlu ia menunggu di Kedai

Kuda Laut untuk menguntit Kyoto dalam mobil boks hijaunya."

Jupe berdiri. Ditelannya potongan roti terakhir, ia memandang Bob dan Pete berganti-ganti. "Usulku, kita semua

minta izin pada orang tua untuk berkemah semalam di Wills Beach."

Ia tahu mereka tidak akan sulit mendapatkan izin itu. Trio Detektif sudah sering berkemah di musim panas. Mereka berjanji untuk berkumpul di pangkalan dua jam lagi. Jupe akan meminta Hans, salah seorang pekerja yang membantu

Paman Titus, untuk mengantar mereka ke Wills Beach dengan truknya. Sepeda dan kantung tidur mereka akan diangkut di bak belakang truk.

"Besok pagi-pagi benar," kata Jupiter, "waktu Kyoto pergi ke peternakan tiram dengan mobil boks hijaunya, kita sudah siap."

"Siap apa?" tanya Pete. "Siap membuntutinya lagi?"

"Tidak, tidak," sahut Jupe cepat. "Sekali ini kita akan memecahkan kasus ini, membuka misteri yang

menyelubunginya dengan cara yang sederhana dan praktis... tapi jitu!" Matanya menjelajahi seluruh permukaan meja itu. Ia mencari separuh roti yang disisakannya tadi. Tidak ada lagi

roti yang tersisa. Piringnya bersih licin. Ia tersentak ketika menyadari

bahwa sisa roti telah dihabiskannya tanpa

sengaja.

"Akan kita gunakan Caesar untuk menjebak Blinky!" serunya.

Bab 13

PENUKARAN BERBAHAYA

AKU tidak cocok untuk tidur di alam terbuka, Jupe menilai dirinya sendiri ketika ia terbangun dalam kantung tidurnya esok paginya. Tubuhnya pegal-pegal. Lidah dan mulutnya terasa asin.

Ia melihat jam tangannya. Jam enam. Sudah waktunya untuk bersiap- siap. Ia membuka ritsleting kantung tidurnya.

Sambil menggeliat ia bangun.

Kedua kawannya sudah bangun. Pete berlutut di dekat sangkar kecil Caesar. Ia memberi jagung pada Caesar. Bob menawarkan kue donat dan sekotak susu.

Jupe bimbang sejenak. Mengapa tidak, pikirnya. Sebuah donat tidak akan membuatnya gemuk. Dan saat itu ia

membutuhkan tenaga. Diminumnya susu perlahan-lahan. Minuman itu

membantu menghilangkan rasa asin dari

mulutnya.

Sepuluh menit kemudian anak-anak sudah membereskan perlengkapan mereka. Jupe membantu Pete membungkus sangkar Caesar dengan kain katun tipis. Kemudian mereka mengikatkannya pada boncengan sepeda Jupe. Pete menggantungkan tas wisata pada setang sepedanya.

Dengan membawa perlengkapan mereka di setang dan boncengan sepeda, anak-anak bersepeda sambil menjaga

keseimbangan. Perlahan-lahan mereka menyusuri jalan menanjak menuju pompa bensin. Di tempat itu mereka

menitipkan kantung tidur agar memudahkan perjalanan selanjutnya. Setelah mengurangi muatan di pompa bensin, anak-anak dapat lebih cepat mengayuh sepeda mereka ke arah

peternakan tiram. Jupe ingat ada suatu tempat yang cocok untuk melaksanakan rencananya. Di pinggir jalan,

sepanjang sisi yang berlawanan dengan pantai, terdapat tumbuhan semak yang lebat. Tumbuhan semak itu masih lebat sampai pada sebuah tikungan yang menuju peternakan tiram. Sedangkan pada sisi yang satu lagi terdapat sebuah

selokan lebar. Dengan demikian mobil tidak dapat berjalan menepi.

Anak-anak meminggirkan sepeda mereka, dan menyembunyikannya di balik semak belukar. Jupe membuka ikatan

sangkar Caesar. Bob mengambil tas wisatanya dari setang sepedanya sendiri. Mereka bertiga masing-masing

membawa pompa sepeda ke pinggir jalan. Segala peralatan itu ditaruh di pinggir jalan.

Bob membuka tasnya. Ia mengeluarkan sebungkus balon besar

berwarna-warni dan dengan berbagai bentuk. Balon-

balon itu dibagi tiga sama rata, masing-masing mendapat dua puluh.

Mereka mulai bekerja. Dengan pompa sepeda,

mereka mengisi balon dengan udara. Dalam sekejap terkumpul enam

puluh balon besar yang satu sama lain diikatkan

sehingga membentuk sebuah menara di pinggir jalan itu.

Untungnya tidak ada mobil yang lewat pagi itu. Dan juga angin hanya

bertiup perlahan saja. Jupe bersyukur dengan

kondisi yang memudahkan mereka menyelesaikan pekerjaan itu.

Bob mengeluarkan lagi segulung kain putih yang disiapkannya tadi malam atas petunjuk Jupe. Anak-anak

membuka dan memasang gulungan itu di pinggir jalan. Dalam huruf-huruf merah tertulis pada kain itu:

SUMBANGKAN DANA ANDA

UNTUK PERKUMPULAN PENYAYANG UNGGAS.

BELILAH BALON KAMI.

Jupe melihat ke kiri kanan jalan. Tidak tampak satu kendaraan pun lewat.

"Kau sembunyi di sini, Bob," katanya. "Kau bisa melihat Pete dan aku.

Kau bawa sapu tangan?"

"Ya." Bob mengambilnya dari kantung celana jeansnya. "Akan kulambaikan seperti ini, Pete," kata Bob. "Ke

depan dan ke belakang. Ini artinya kau boleh membiarkan dia pergi."

Pete mengangguk ragu-ragu. Ia merasa canggung dengan tugas yang dipikulnya. Ia cuma berharap agar Kyoto tidak

menjadi gusar. Ingatan bahwa Kyoto seorang jagoan karate membuat hatinya ciut kembali. Kalau sampai Kyoto

mengenalinya sebagai anak yang dijumpainya di pangkalan barang bekas... Kalau sampai Kyoto tahu bahwa Pete mencoba mengelabuinya... Pete tidak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi.

Ia memakai kaca mata gelapnya. Dengan memakai itu ia merasa lebih

aman. "Bagaimana aku tahu kalau dia

datang?" tanyanya dengan suara agak bergetar.

"Tiga suitan berarti mobil itu terlihat," kata Jupe memberi tahu. "Dua suitan lagi berarti mobil boks hijau sudah melewatiku. Oke?"

"Oke."

Jupe menangkap ada keraguan dalam suara Pete. Ia tahu bahwa Pete memainkan peran yang paling berat. Jupe

sebenarnya ingin agar peran itu dipegangnya sendiri. Namun ia sudah dikenal oleh Kyoto. Waktu itu Jupiter-lah yang berbicara dengan Kyoto melalui penerjemah. Kecil sekali kemungkinannya bahwa Kyoto akan melupakan Jupe, karena baru beberapa hari yang lalu mereka bertemu.

"Jangan lupa pasang senyum, Pete," katanya, mencoba membesarkan hati kawannya. "Pasang senyum semanis mungkin, dan banyak berbicara."

"Bicara apa?"

"Apa saja," sahut Jupe. "Tidak ada pengaruhnya. Ia tidak bisa bahasa Inggris. Kalau kau ngomong ngaco sekalipun ia tak akan tahu."

"Oke," ujar Pete. Tapi ia masih merasa canggung.

Jupe melirik jam tangannya. Waktunya hampir tiba. "Siap siaga sekarang!" katanya memberi aba-aba.

Bob memanjat bukit kecil. Ia bertiarap di balik semak-semak sambil memegang sapu tangannya.

Jupe kembali ke tempat mereka menyembunyikan sepeda. Ia berlindung di balik semak-semak dekat tikungan.

Sambil membawa sangkar, ia dapat merasakan Caesar bergerak-gerak di dalamnya.

Pete berdiri di pinggir jalan sembari memegangi menara balon. "Sumbangkanlah dana Anda," gumamnya sambil melihat spanduk bertuliskan huruf merah. "Dengan membeli balon ini berarti Anda telah menolong binatang-

binatang." Ia mencari kata-kata yang enak didengar. Lalu ia mendesah. "Hhh... justru sekarang aku yang butuh

pertolongan. Sebentar lagi aku berhadapan dengan jagoan karate bersabuk hitam..."

Meskipun pagi itu cukup dingin, keringat dingin Jupe keluar membasahi pipi dan hidungnya. Ia khawatir

memikirkan keselamatan Pete. Dalam hati ia berdoa agar Pete tidak grogi sewaktu menjalankan tugasnya. Jupe lalu

memusatkan pandangannya ke jalan. Ia menunggu munculnya mobil boks hijau.

Lima menit. Sepuluh menit. Ia mulai cemas. Jangan-jangan Kyoto tidak bekerja hari ini. Jangan-jangan ada suatu

halangan yang membuatnya tidak pergi ke tempat peternakan tiram. Kalau ingat pada Pete, Jupe berharap mobil boks hijau itu tidak muncul.

Tiba-tiba yang ditunggu-tunggu muncul. Jupe memasukkan jari telunjuk

dan jempolnya ke mulut. Ia bersuit tiga

kali.

Mobil boks melewatinya. Jupe bersuit lagi, dua kali.

Begitu mobil boks membelok di tikungan, Jupe berlari kencang sambil membawa sangkar Caesar.

Pete mendengar tiga suitan. Ia membawa menara balon itu ke tengah jalan. Setelah mendengar lagi suitan dua kali, direbahkannya menara balon itu melintang menutupi jalan. Dengan susah-payah ditahannya balon-balon itu supaya tetap berada dalam posisi rebah.

Kini ia mendengar suara mobil mendekat. Mobil boks itu memperlambat

kecepatannya. Lima meter dari tempat

Pete merebahkan menara balon itu, mobil boks berhenti.

Kyoto melongok ke luar jendela. Ia berteriak pada Pete dalam bahasa Jepang. Pete acuh tak acuh saja. Ia berlagak

ingin menyingkirkan balon-balon itu dari jalan. Padahal sebenarnya ia

malah mau menjaga agar tidak ada celah yang

dapat dilewati mobil tanpa menabrak kumpulan balon itu.

Kyoto turun dari mobil boksnya. Ia mendatangi Pete. Di muka Pete, ia

berhenti. Ditatapnya Pete dengan pandangan

bertanya-tanya. Ia lalu menendang balon yang terdekat dengannya.

Balon itu berwarna hijau dan berbentuk panjang

seperti sosis. Balon itu mental kembali mengenai hidung Kyoto. Kyoto

mengomel dengan kata-kata yang tidak

dimengerti Pete.

Pete membuka kedua tangannya. Ia mencoba tersenyum, tapi yang

muncul adalah cengiran. "Sumbangkanlah dana

Anda," katanya. "Dengan membeli balon ini berarti Anda menolong

binatang."

Kyoto menggumamkan sesuatu dalam bahasa Jepang.

Pete seolah tidak menghiraukannya. Ia tetap saja nyengir. Banyak- banyak berbicara, pesan Jupe padanya.

Masalahnya sekarang ia tidak tahu mau bicara apa. Bicara apa saja, ia teringat pesan Jupe lagi. Tiba-tiba terlintas sesuatu di benaknya. Syair lagu yang sering dinyanyikan ayahnya di rumah, pikirnya.

"Kokoh, bagai batu karang," kata Pete pada Kyoto. "Kokoh bagai batu karang." Ia berdehem. "Tidak goyah

diterjang ombak. Tidak lapuk dibakar terik mentari. Kokoh bagai batu karang."

Pete tetap mempertahankan cengirannya. Ia terus nyerocos meski kata- katanya ngaco dan tidak ada hubungannya dengan situasi saat itu. Toh Kyoto tidak mengerti, pikirnya.

Kyoto menendang lagi sebuah balon, kali ini balon bulat kuning. Balon itu mengambang, lalu mendarat di atas balon-balon lainnya.

"Kita akan terus bertahan," kata Pete sambil menunjuk pada spanduk putih bertuliskan huruf merah. "Kita akan

berjuang bersama. Bahu-membahu selamanya. Sekokoh batu karang... " Jupe tinggal sepuluh meter lagi dari belakang mobil boks. Ia terus berlari kencang sambil membungkuk agar tidak

terlihat. Sepatu karetnya membuat suara langkahnya tidak terdengar.

Bagian yang paling sulit adalah membuka pintu

belakang mobil boks tanpa terdengar. Dalam hati Jupe merasa

beruntung karena Kyoto membiarkan mesin mobilnya

hidup.

"... Bertempur bersama. Setegar batu karang. " Pete setengah berlagu

dengan suara tinggi. Tidak apa-apalah sedikit

sumbang, dalam hati ia berkata. Yang penting bisa menyita perhatian

Kyoto. Sehingga Jupe punya cukup waktu untuk

melakukan tugasnya.

Kyoto merogoh kantungnya. Mau mengambil dompet? Ia mau membeli

balon atau apa? Jantung Pete berdegup

kencang.

Jupe perlahan-lahan memutar gagang pintu belakang mobil boks. Timbul suara berderak. Derakan itu tidak keras,

tapi seakan terdengar sekeras jeritan di telinga Jupe. Ia membuka pintu itu.

Dari tempat persembunyiannya di bukit, Bob melihat Jupe melongok ke dalam mobil boks. Bob menggenggam sapu tangannya makin erat.

Kini Jupe duduk di belakang mobil boks. Ada kotak terbungkus kain katun tipis di dalam. Jupe meletakkan sangkar

Caesar di sebelah kotak itu. Diletakkan berdampingan, kedua kotak itu sukar dibedakan. Bahkan kain katun tipisnya pun sama persis. Perlahan-lahan Jupe mengangkat kotak Kyoto. Sambil mendekap kotak Kyoto di dadanya, Jupe

menggeser sangkar Caesar ke tempat kotak Kyoto semula berada. "Kokoh bagai batu karang..." Pete terdiam. Tenggorokannya serasa tersumbat.

Kyoto tidak mengeluarkan dompetnya. Ia mengeluarkan sebilah pisau lipat! Terkena sinar matahari pagi, pisau itu nampak berkilat-kilat dan mengancam.

Pete meneguk ludah.

Jupe meraih pintu belakang mobil boks. Tiba-tiba terdengar suara letusan. Jupe terlompat. Seolah-olah ada sebuah bom meledak di kakinya. Merpati dalam kotak yang didekapnya bersuara. Jupe berdiri mematung, menunggu.

Terdengar suara letusan lagi.

"Kokoh bagai balonku..." Pete mulai ngawur. Ia betul-betul kebingungan. Kyoto menusukkan pisaunya pada setiap balon di dekatnya. Setelah balon di sekitarnya meletus semua, ia menarik

tali pengikat seluruh balon itu. Balon-balon yang lain tertarik mendekat ke arahnya. Lagi-lagi dipecahkannya balon demi balon yang dekat dengannya.

Pete cuma bisa melongo melihat tindakan Kyoto.

Jupe menutup pintu belakang. Ia menekan pintu itu, untuk meyakinkan dirinya bahwa pintu sudah tertutup rapat.

Sambil mendekap kotak Kyoto, ia mundur menjauhi mobil boks.

Pete melihat ke tempat Bob bersembunyi. Tidak sabar ia menanti isyarat yang diberikan Bob. Makin lama menunggu makin gemetar dia.

Kyoto masih menusuki balon-balon Pete. Sudah hampir setengahnya pecah sekarang.

Bob melihat Jupe mundur menjauhi mobil boks. Ia melihat pula Jupe berputar, lalu berlari kencang. Sesaat

kemudian Jupe sudah lenyap di balik semak-semak di tepi jalan.

Bob berdiri, ia melambai-lambaikan sapu tangannya ke depan dan ke belakang.

"Kita akan terus bertahan," kata Pete dengan suara serak. Ia hampir putus asa. Kyoto sudah memecahkan balonnya

yang terakhir. Kemudian ia melihat isyarat Bob. Bergegas Pete kabur. Ia menyelusup ke balik semak-semak terdekat.

Tidak dipedulikannya lagi Kyoto.

Kyoto dengan gusar kembali ke mobil boksnya. Ia masuk sambil mengumpat-umpat dalam bahasa Jepang.

Pete terduduk di balik semak-semak. Ia tidak menggubris lagi suara mobil boks Kyoto yang berlalu dari situ. Yang

penting tugasnya sudah beres. Beberapa kali ia menarik napas panjang.

Kepalanya ditelungkupkan di antara kedua

lututnya.

Jupe keluar dari tumbuhan semak tempatnya bersembunyi. Ia mencari- cari Pete.

"Pete, Pete. Di mana kau?"

Bob berlari-lari menuruni bukit kecil ke arah Jupe. Ia menunjuk-nunjuk ke suatu tempat di tepi jalan.

Jupe melihat ke arah yang ditunjuk Bob. Ia menguak semak-semak di

situ. Tampaklah olehnya Pete sedang duduk,

lemas. Jupe tahu betapa berbahayanya tugas yang dipikul Pete.

Menghentikan mobil boks Kyoto serta menahannya

cukup lama, agar Jupe bisa menukar sangkar burung merpati itu,

bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.

"Kau tidak kenapa-kenapa, kan?" tanyanya. Ia menepuk pundak Pete.

"Kau menyelesaikan tugasmu dengan sempurna, Pete. Kau baik-baik saja, kan?"

Pete menggeleng lambat-lambat. "Hhh," desahnya. "Waktu dia

mengeluarkan pisaunya... jantungku serasa mau

copot!"

Ia menatap Jupe ketika Bob sampai dan bergabung dengan mereka. "Cukup sekali saja ini terjadi. Tidak berani lagi aku begini. Amit-amit!"

Bab 14

NALURICAESAR

JUPITER membimbing Pete keluar dari semak. Ia merasa tidak enak karena telah memberikan pekerjaan yang

menegangkan pada Pete. Demikian pula perasaan Bob. Tetapi pada saat itu pula ia merasa bahwa mereka menang.

"Paling tidak langkah pertama kita berhasil," katanya kemudian. "Kyoto meneruskan perjalanannya ke peternakan

tiram tanpa sadar bahwa merpati yang dibawanya adalah Caesar."

"Oke," desah Pete. "Langkah pertama berhasil. Lalu apa berikutnya?" Jupe sudah membuka kain katun tipis dari kotak milik Kyoto. Di baliknya terdapat sangkar berisi seekor merpati, sesuai dugaan mereka.

"Tolong bantu aku, Bob," pintanya.

Bersama-sama mereka membuka pintu sangkar. Dengan hati-hati

mereka mengeluarkan merpati pos dari sangkar

itu. Bob memegang merpati itu dengan kedua tangannya. Sementara

Jupe mengeluarkan sepotong pita aluminium dan

kartu Trio Detektif dari kantungnya. Ia melipat kartu dan

membungkusnya dengan pita aluminium. Kemudian

diikatkannya pita aluminium itu pada kaki si merpati.

"Kau mau melepaskannya, Pete?" tanya Jupe. Sengaja ia minta Pete

untuk melakukannya. Ia berharap, dengan

begitu Pete dapat pulih dari perasaan terguncang tadi.

Penyelidik Dua mengiakan. Bob menyerahkan merpati itu padanya. Pete memegang si merpati dengan tangan

kirinya. Tangan kanannya mengelus-elus merpati itu. "Sudah waktunya kau kembali," katanya pada si merpati. Ia

mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Dibebaskannya merpati itu. Merpati itu langsung terbang tinggi.

"He, lihat," seru Pete. "Merpati itu langsung tahu jalan pulang ke tempatnya."

Pete benar. Bagaikan roket, merpati itu melesat ke arah selatan.

Hampir dua jam kemudian Trio Detektif tiba di pangkalan barang bekas. Mereka sempat mampir di pompa bensin

untuk mengambil kantung tidur mereka. Dengan membawa muatan kantung tidur, perjalanan mereka bersepeda menjadi lambat.

"Aduuh, dari mana saja kalian?" Begitu Bibi Mathilda menyambut mereka. "Aku khawatir kalian seharian main di pantai. Ini, Paman Titus beli sesuatu tadi..."

Paman Titus membeli sekotak besar sekrup bekas dalam berbagai ukuran. Sekrup-sekrup itu harus dipilih dan dipisahkan sesuai dengan ukurannya.

Jupe menghela napas. Tapi ia tidak kesal karena harus bekerja. Malah ini suatu keuntungan baginya. Masih dua jam sebelum tengah hari. Sambil memisahkan sekrup, mereka dapat menghabiskan waktu tanpa terasa.

Anak-anak mulai bekerja dengan tidak sabar. Bukan tidak sabar bekerja, tapi tidak sabar menunggu. Bolak-balik mereka melihat ke langit. Kuping mereka terpasang, kalau-kalau ada suara kepakan sayap burung.

Jam sebelas tiga puluh Paman Titus dan Bibi Mathilda pergi belanja. Jupe tahu, biasanya mereka baru kembali

setelah jam dua. Anak-anak bebas berbuat apa saja di pangkalan itu. Mereka mulai bekerja dengan santai, sesekali diselingi dengan bercanda. Makin siang mereka makin santai bekerja.

Lewat tengah hari mereka duduk-duduk saja di meja kerja Jupe yang terletak di bengkelnya. Kepala mereka tertengadah.Menunggu.

Jupe sebentar-sebentar melihat jam tangannya.

Pete terlompat ketika mendengar suara kepakan sayap burung.

Seekor burung gereja lewat. Sambil tersipu-sipu Pete duduk kembali.

"Tentu saja, kita tidak tahu kapan tepatnya Kyoto melepas Caesar." Jupe berbicara pada dirinya sendiri. "Mungkin dia makan siang dulu, baru..."

Ia terhenti. Pete sudah berdiri lagi. Begitu pula Bob. Terlihat kini. Seekor burung yang ramping dengan bulu abu- abu mengkilat terbang di atas pangkalan.

"Caesar!" seru Pete sambil melambai pada merpati itu. "Caesar," panggilnya. "Caesar."

Caesar melihatnya. Burung itu menukik ke arah Pete. Sambil mengepak- ngepak Caesar mendarat di tengah-tengah meja kerja Jupe.

Pete yang pertama kali meraihnya. Ia mengangkat Caesar dengan kedua

tangannya. Ditempelkan merpati itu ke

pipinya.

"Caesar," bisiknya. "Kau pintar sekali, Caesar. Kau bisa pulang sendiri ke sini."

Jupe meneliti kaki Caesar. "Wah," serunya kegirangan. "Lihat! Lihat!" Dengan hati-hati ia melepas pita aluminium

dari kaki Caesar. Dibukanya lipatan pita aluminium itu. Ia mengambil isinya. Ditunjukkannya apa yang diperolehnya dari lipatan pita logam itu.

Sebutir mutiara besar berkilau-kilau.

"Ini dia buktinya!" seru Jupe lagi. Ia memegang mutiara itu dengan jempol dan telunjuknya. "Teori kita tentang

Kyoto, Parker Frisbee dan merpati berjari dua ternyata benar dan..." "Serahkan itu padaku!"

Suara itu datang dari suatu tempat di dalam pangkalan.

Trio Detektif menengok ke arah datangnya suara. Wajah mereka pucat pasi.

Seorang laki-laki berdiri di antara tumpukan barang rongsokan. Ia memakai kaca mata gelap serta jaket kulit hitam.

Sulit melihat wajahnya karena tertutup brewok serta kumis yang lebat.

Orang itu mendatangi anak-anak perlahan-lahan. Tangan kanannya terangkat setinggi pinggangnya. Di tangan itu tergenggam sebuah pistol berlapiskan nikel.

Pete merasa pistol itu dibidikkan ke arahnya. Untuk kedua kalinya ia merasa jantungnya mau copot hari itu. Tanpa disadarinya, ia melangkah mundur.

Orang itu terus melangkah. Ia mendekati Jupe. "Serahkan itu padaku!" bentaknya. "Mutiara itu!"

Kali ini Jupe dapat mengendalikan dirinya. Ia tidak melihat ke arah pistol. Tapi ia memperhatikan kaki orang itu.

Tanpa ragu-ragu ia memasukkan mutiara ke mulutnya. Dengan lidahnya, mutiara itu diletakkannya di pinggir mulutnya, seperti orang mengulum permen.

"Kalau kau berani mendekat, akan kutelan mutiara ini," kata Penyelidik Satu. Suaranya terdengar seperti agak menggumam. Tapi kali itu Jupe luar biasa tenangnya.

Tangan orang itu bergetar. Mendadak diterjangnya Jupe. Ia mencengkeram leher Jupe. Seakan-akan ia ingin mencegah agar Jupe tidak menelan mutiara itu.

Bob bergerak cepat. Ditariknya bahu orang itu. Ia berusaha melepaskan cengkeraman orang itu dari leher Jupe.

Pete belum sadar apa yang terjadi. Ia masih mundur selangkah. Hampir

saja ia terjerembap karena tersandung

ember.

Sambil mencengkeram leher Jupe dengan satu tangan, orang itu memukul Bob dengan tangannya yang satu lagi.

Dada Bob terasa sesak karena terpukul gagang pistol itu. Bob surut ke belakang, kesakitan. Tapi ia maju lagi.

Ditariknya kerah jaket orang itu.

Jupe memberontak mencoba melepaskan cengkeraman di lehernya. Ia menutup mulutnya rapat-rapat. Mutiara masih tersimpan aman dalam mulutnya.

"Menunduk, Bob!" teriak Pete.

Penyelidik Dua baru sadar dari rasa terkejutnya. Bob menunduk mengikuti petunjuknya. Pete melemparkan ember sekuat tenaganya. Ember itu melesat dan mendarat tepat di tengkuk orang itu.

Pistol terlepas dari tangan orang itu. Ia menggeloyor lemas hingga berlutut. Kaca matanya terlepas.

"Hhh, sial nasibku," katanya pada diri sendiri. Setelah berkata begitu ia berkedip. (Kedip.) Dan ia terus berkedip- kedip sampai Jupe memungut pistolnya.

"Pistol ini ada pelurunya?" tanya Penyelidik Satu.

"Tidak. Tidak. Pistol itu kosong. Aku sendiri takut memegang senjata berpeluru."

Mata kanan orang itu sebentar-sebentar berkedip. (Kedip. Kedip.)

Nyata sekarang bahwa ia tidak bisa

mengendalikan mata kanannya. Kedipan-kedipan itu terjadi karena gangguan saraf mata kanannya. Dengan lemas ia bangkit. Didatanginya Jupe. Pete sudah siaga melempar embernya lagi. "Tidak perlu begitu," katanya melihat gelagat Pete. "Aku mengaku salah. Aku sedang butuh sekali uang. Ini gara-

gara aku ikut judi di pacuan kuda. Aku jadi berutang banyak. Karena itu aku harus bisa menghasilkan uang dalam waktu singkat."

"Ternyata rajawali piaraan Maureen Melody menghalangi rencanamu," kata Jupe menambahkan. "Kami sedang

beruntung. Merpati yang kami lepas dari mobil boks Kyoto tadi sampai dengan selamat ke tempatmu. Berarti kau memperoleh kartu yang kami ikatkan di kakinya."

Penyelidik Satu itu mengeluarkan mutiara dari mulutnya. Ia menyimpannya dengan hati-hati dalam kantungnya.

Sebenarnya ia merasa kasihan pada orang itu, yang terlihat sangat gugup. Brewoknya yang lebat basah oleh keringat.

"Kenapa tidak kau lepas saja itu?" tanya Jupe padanya. "Maksudku brewok palsu itu." "Baiklah," Blinky menyetujui.

Ia terlihat lugu dan polos tanpa memakai brewok palsu itu. Sekarang ia tidak lagi mirip Parker Frisbee. Apalagi

setelah Jupe membantunya melepas jaket hitamnya. Tubuhnya jauh lebih kurus dari tubuh Parker Frisbee.

Blinky berdiri dengan pasrah sambil berkedip-kedip. Bob dan Pete

mengawasinya. Sementara Jupe masuk ke

kantor untuk menelepon Chief Reynolds di kantor polisi.

Bab 15

LAPORAN PADA MR. SEBASTIAN

"BLINKY mengakui segala perbuatannya, dan Chief Reynolds menahan ketiga orang itu," ujar Jupe. "Chief

Reynolds menahan Parker Frisbee, Kyoto, dan Blinky. Frisbee dan Kyoto sudah keluar dengan uang jaminan. Tapi

Blinky lebih suka tinggal dalam penjara untuk sementara ini. Katanya, dengan mendekam di penjara, ia tidak tergoda

lagi untuk berjudi. Kuduga ia juga takut pada balasan Frisbee dan Kyoto

karena ia ikut nimbrung tanpa diundang

dalam pencurian mutiara dari peternakan tiram itu."

Trio Detektif sedang duduk mengelilingi meja bundar besar di ruang tamu Hector Sebastian. Mereka menceritakan

kisah tentang mutiara dan merpati. Mr. Sebastian mendengarkan sambil mengisap pipanya. Sesekali ia mengajukan pertanyaan yang dianggapnya perlu.

"Bagaimana Blinky bisa tahu kegiatan yang dilakukan Frisbee dan Kyoto?" tanya Mr. Sebastian.

"Dulunya ia bekerja untuk Parker Frisbee," Bob menjelaskan. "Blinky-lah yang mengurusi merpati-merpati Frisbee

serta membantu-bantu di tokonya. Ia dipecat karena ketahuan tidak jujur dalam mengatur uang. Saat itu Blinky sudah mencium kecurangan Frisbee. Ia tahu bahwa Frisbee memperoleh mutiara itu dengan cara yang tidak halal."

"Jadi sesudah Frisbee memecatnya," Pete menambahkan, "Blinky membayang-bayanginya terus sampai ia paham betul bagaimana Frisbee melakukan pencurian itu."

"Ya, dengan menaruh merpati pos di belakang mobil boks Kyoto." Hector Sebastian mengeluarkan pipa dari

mulutnya. Ia batuk-batuk kecil. "Dan Blinky punya ide, yaitu dia sendiri

bisa memanfaatkan cara itu. Untuk itu ia

perlu memiliki beberapa ekor merpati. Begitu kan, Jupe?"

Penyelidik Satu mengiakan. "Ada dua hal yang menguntungkan Blinky. Pertama, Parker Frisbee seorang pedagang

yang cekatan dan tidak terlalu serakah. Tidak setiap hari ia menitipkan merpatinya di belakang mobil boks Kyoto.

Hanya pada hari-hari tertentu saja ia menaruh merpatinya di mobil boks itu. Kadang-kadang di pagi hari. Kadang-

kadang di malam hari. Blinky memanfaatkan kesempatan itu dengan menyamar sebagai Frisbee dan meletakkan merpatinya sendiri di mobil boks Kyoto.

"Dan setiap hari Kyoto mengecek mobil boksnya untuk meyakinkan dirinya. Frisbee sangat berhati-hati. Ia

berusaha agar sesedikit mungkin bertemu muka dengan Kyoto. Ia

membayarnya sebulan sekali dengan meletakkan

amplop berisi uang di bawah kain katun tipis pembungkus sangkar

merpati. Dengan begitu ia tidak harus bertemu

langsung dengan Kyoto..."

"Kecuali jika ada masalah," sela Bob. "Seperti yang terjadi ketika kami datang membawa Caesar ke toko

perhiasannya. Frisbee harus bicara langsung dengan Kyoto tentang masalah itu. Itulah sebabnya kami berjumpa

dengan Parker Frisbee yang baru keluar dari rumah Kyoto waktu itu." "Dan ia mentraktir kalian makan masakan Jepang." Penulis kisah misteri itu memasukkan lagi pipa ke mulutnya. Ia mengepulkan asap sambil memandang langit-langit. "Lalu apa hal kedua yang menguntungkannya, Jupe?"

"Kyoto berkebangsaan Jepang," sahut Jupe. "Bagi Kyoto, semua orang Amerika bertubuh pendek, gemuk, dengan

brewok lebat nampak sama saja. Apalagi kalau ia cuma melihat dari jauh di bawah sinar lampu tamannya yang redup.

Dengan memakai brewok palsu, Blinky dapat mengelabui Kyoto. Blinky menaruh merpatinya di mobil boks Kyoto.

Dan Kyoto akan mengira dia Frisbee."

"Tetapi Blinky harus tahu persis jadwal Frisbee menaruh merpatinya di

mobil boks Kyoto, kan?" Mr. Sebastian

batuk lagi. Ia meletakkan pipanya di pinggir asbak.

"Tepat," Jupe menyetujui. "Untuk beberapa lama semuanya berjalan lancar. Blinky tidak menjumpai masalah apa

pun. Merpati-merpatinya membawakan mutiara untuknya. Itu terus berlangsung sampai rajawali Maureen Melody mulai membunuhi merpati-merpati Blinky."

"Hmm, kurasa Blinky kenal dengan Miss Melody, atau yah, tahu tentang dia." Mr. Sebastian mengambil lagi

pipanya. "Blinky kan pernah bekerja pada Frisbee. Dari situ Blinky

menemukan merpatinya terbang melalui hutan

kecil Miss Melody dalam perjalanan kembali ke Santa Monica.

Akibatnya, Blinky meracuni rajawali Miss Melody."

"Kemudian ada persoalan bagi Blinky." Jupe menoleh pada Bob. "Kau saja yang menceritakan ini, Bob. Kau kan

yang menemukan cat baru di kotak pos Kyoto di Little Tokyo."

"Blinky mendapat kesulitan besar waktu kami bertemu dengannya di Kedai Kuda Laut." Bob mengambil alih

pembicaraan, "Ia berutang pada bandar judi. Ia mulai putus asa. Dalam kepanikan ia pergi ke rumah Kyoto untuk

menaruh merpatinya di mobil boks orang Jepang itu. Ternyata mobil boks Kyoto tidak dijumpainya. Rumah itu kosong. Kyoto sudah pindah. Blinky makin panik. Satu-satunya jalan ialah dengan membuntuti Kyoto sewaktu ia

pulang dari bekerja. Waktu itu Blinky membawa merpati berjari dua.

Tapi ia begitu gugupnya sehingga merpati itu tertinggal sewaktu ia membuntuti mobil boks hijau Kyoto."

"Itulah yang membuatku heran." Mr. Sebastian menyulut lagi pipanya.

Hidungnya berkerut ketika mencium bau

asap tembakau yang tidak sedap itu. "Apa yang dilakukan Blinky

kemudian? Buat apa ia menukar merpati berjari dua

dengan Caesar di pangkalan barang bekas?"

"Kami pun bingung," kata Jupe berterus terang. "Jawabannya baru kami peroleh setelah Blinky

mengungkapkannya pada Chief Reynolds. Blinky mengikuti Kyoto ke rumah barunya. Untuk lebih meyakinkan

dirinya, ia mengamat-amati rumah itu sampai malam. Tak lama kemudian ia melihat Frisbee datang dan meletakkan

sangkar merpatinya di mobil boks Kyoto. Itu sama sekali di luar dugaan Blinky. Tidak biasanya Frisbee menaruh

merpatinya pada hari itu. Dan itu memang suatu kebetulan, karena sehari sebelumnya Kyoto mengambil cuti kerja.

"Padahal Blinky saat itu benar-benar panik. Ia butuh uang. Dan waktunya mendesak. Karena itu ia nekat. Ia

menunggu sampai lampu rumah Kyoto padam. Lalu dicurinya merpati Frisbee dari mobil boks. Sebelumnya ia sudah

menelepon pelayan Kedai Kuda Laut. Pelayan itu memberi tahu bahwa kami membawa kotak yang ditinggalkannya.

Jadi Blinky pergi ke pangkalan barang bekas untuk mengambilnya."

"Dan ia tahu tempat tinggalmu dengan bertanya pada seseorang di sekitar sini. Itu mudah sekali," kata Hector Sebastian sambil mengepulkan asap dari mulutnya.

"Waktu itu Blinky kebingungan lagi," ujar Pete. "Dalam sangkar besar di

pangkalan ditemuinya merpati berjari

dua. Tapi, Caesar, merpati Frisbee, harus diapakan?" "Ia tidak dapat membebaskannya," kata Jupe. "Sebab kalau dibebaskan, Caesar akan kembali ke rumah Frisbee malam itu. Tentu Frisbee akan curiga."

"Jadi karena itu ia tinggalkan Caesar dalam sangkar buatanmu, Jupe," ujar penulis kisah misteri itu. "Dan

membawa merpati berjari dua dalam sangkar milik Frisbee. Baru kemudian ia kembali lagi ke Little Tokyo untuk

menaruh sangkar berisi merpati berjari dua di dalam mobil boks Kyoto. Hmm, rumit juga."

"Oh, tidak terlalu rumit kukira, Mr. Sebastian," sanggah Jupe dengan penuh percaya diri. "Sebaliknya, itu

sederhana sekali kalau kita sudah paham persoalannya. Mula-mula Blinky membuntuti Kyoto sampai di rumah Kyoto.

Ia melihat Frisbee menaruh merpati milik pedagang permata itu, yaitu Caesar, di mobil boks Kyoto. Blinky mencuri

Caesar, lalu menukarnya dengan merpati berjari dua di pangkalan. Dan kemudian ia kembali ke Little Tokyo untuk

menaruh merpati berjari dua di mobil boks Kyoto. Sederhana, kan? "Esoknya Blinky menunggu merpati berjari dua kembali ke rumahnya. Tapi yang ditunggu-tunggu tidak muncul.

Merpatinya telah dibunuh oleh rajawali Miss Melody."

"Sial nasibnya," komentar Pete.

"Saking kesalnya, Blinky meracuni rajawali Maureen Melody," Bob melanjutkan. "Ia melakukannya sewaktu

pertama kali kami mengunjungi rumah Miss Melody. Ia melihat kami membawa Caesar. Pasti waktu itu juga

dilihatnya Edgar Allan Poe membawa sebutir mutiara di paruhnya." "Tentu darahnya naik ke kepala melihat itu semua." Hector Sebastian tertawa serak. Tawanya berubah menjadi

batuk. Ditaruhnya lagi pipa di pinggir asbak. "Kasihan Blinky. Ia begitu sebalnya pada burung murai itu sehingga dipukulnya sampai mati." "Blinky masih di dalam hutan kecil itu ketika kami pergi," kata Jupe. "Ia melihat kami masih membawa Caesar.

Dan ketika mengikuti kami, ia menjadi ketakutan sekali. Karena kami

langsung menuju toko perhiasan Parker

Frisbee."

"Aku ingat, mobil hitam Blinky diparkir di tepi jalan waktu kami keluar dari toko," kata Pete. "Waktu itu kami masih tetap membawa Caesar."

"Blinky yang malang," komentar Mr. Sebastian. "Ia pasti kebingungan sekali. Caesar adalah merpati milik Frisbee.

Tetapi kenapa kalian masih membawa-bawanya, pasti ia berpikir begitu." "Frisbee tidak mengatakan apa-apa pada kami," kata Jupe. "Ia terlalu cerdik untuk memberi tahu bahwa Caesar

adalah miliknya. Ia berpura-pura tidak tahu siapa pemilik Caesar. Dan bahkan ia mencoba mengelabui kami dengan

mengatakan bahwa Caesar merpati betina dan merpati betina tidak diikutsertakan dalam perlombaan."

"Ah, kalau saja Blinky secerdik itu," kata Mr. Sebastian, "ia akan mampu

bersandiwara dengan kepala dingin. Dan

itu akan membuat kasus ini lebih sulit untuk dipecahkan."

"Ia tidak dapat bersandiwara dengan baik. Terlalu gugup orangnya,"

kata Bob. "Ia ingin membuat kita curiga pada

Frisbee. Tapi di lain pihak ia ingin menenangkan Frisbee. Jadi ia

menyamar sebagai Frisbee lalu menodong Jupe di

Bank Amco. Caesar diambilnya dari Jupe dengan paksa. Blinky lalu

membebaskan Caesar dengan harapan Caesar

kembali sendiri ke tempat Frisbee. Jadi Frisbee tidak khawatir karena kehilangan merpatinya."

"Ya. Blinky waktu itu mengelabuiku," Jupe mengakui. "Tapi itu wajar saja. Bayangkan, pada jam sembilan malam di tempat parkir Bank Amco yang gelap. Dan aku seorang diri. Aku benar-benar mengira ia adalah Frisbee.

Brewoknya yang lebat membuatku tidak ragu lagi. Cuma Frisbee yang punya brewok selebat itu. Begitu pula waktu aku diserang di hutan kecil Miss Melody."

"Namun ternyata Blinky salah perhitungan," Bob mengingatkan. "Caesar adalah burung merpati yang terlatih.

Caesar cepat menyesuaikan diri. Jadi setelah dilepas Blinky, Caesar bukan kembali ke tempat Frisbee. Tetapi kembali ke pangkalan barang bekas."

"Ya, aku sendiri tidak menduga bahwa Caesar secepat itu menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru," komentar Mr. Sebastian.

"Lalu, kapan kau sadar bahwa itu bukan Frisbee, Jupe?" tanya penulis kisah misteri itu. "Apa yang

menyebabkanmu berpikiran bahwa itu mungkin Blinky yang sedang menyamar?"

"Waktu kami menemukan jejak yang mirip dengan kaki Blinky di kediaman Miss Melody kami sudah mulai

curiga," ujar Jupe. "Tapi aku harus berterima kasih pada Pete yang memberikan ilham padaku. Ketika kami

mengamat-amati peternakan tiram siang itu, Pete memakai kaca mata gelap. Tiba-tiba aku sadar. Aku tidak dapat

melihat mata Pete di balik kaca mata gelap itu. Itulah satu-satunya yang tidak dapat disembunyikan Blinky. Matanya

yang selalu berkedip. Karena itu ia harus memakai kaca mata gelap untuk menyembunyikannya. Sekalipun pada malam hari."

Hector Sebastian mengambil pipanya. Hidungnya mengendus-endus.

"Dan bagaimana kabar Maureen Melody sekarang?" tanyanya. "Ceria seperti murai, kuharap."

Pete tersenyum. "Ya. Sekarang tidak ada lagi yang meracuni rajawalinya. Tapi ia benar-benar kehilangan Edgar

Allan Poe. Kini tidak ada lagi yang membawakan oleh-oleh mutiara baginya. Miss Melody tidak mau tahu bahwa itu cuma suatu kebetulan. Tampaknya kasus pencurian mutiara ini sama sekali tidak menarik perhatiannya. Ia masih saja mengomel karena Ralph Waldo Emerson tidak membawakan mutiara baginya."

Hector Sebastian mengepulkan asap dari hidungnya. Langsung ia terbatuk-batuk. "Aku benci pipa ini," katanya.

"Tapi mau tak mau aku harus mengisapnya."

"Kenapa?" Jupe terheran-heran.

"Karena tadi pagi aku makan petai masakan Don," kata Mr. Sebastian. "Kali ini Don sedang bereksperimen dengan

masakan Melayu dari daerah Asia sana. Aku sendiri tidak tahu dari mana

Don memperoleh bahan-bahannya. Rasanya

lumayan. Tapi baunya minta ampun. Sampai sekarang aku masih

merasakan baunya. Karena itu aku terus mengisap

pipa yang tidak enak ini."

Pete menghirup udara dalam-dalam. Tercium aroma masakan yang sedap dari dapur. "Bau yang mana?" tanya Pete.

"Oh, bukan yang ini," sahut Hector Sebastian. "Sudah kularang Don

memasak petai lagi. Katanya dia akan

membuat masakan Melayu yang lain lagi. Bukan petai."

Hoang Van Don muncul beberapa menit kemudian. Ia membawa sebuah nampan dengan tangan kanannya. Asap mengepul-ngepul dari piring besar berisi makanan.

"Jagung rebus," kata Van Don dengan bangga. "Dipreteli dari bonggolnya, lalu dicampur dengan kelapa dan gula.

Sederhana tapi sehat dan nikmat."

"Apa ini juga membuat mulut menjadi bau?" tanya Mr. Sebastian. "Kujamin tidak!" sahut Van Don cepat. "Seratus persen tidak."

"Oke, silakan Anak-anak," Mr. Sebastian menawarkan.

Pete yang nomor satu mencicipi. "He, rasanya tidak kalah dengan popcorn, " serunya. Ia mengambil dua sendok besar jagung dan segera makan dengan lahap.

Bob mengikuti jejak Pete. Disendoknya jagung ke dalam piringnya.

Melihat kedua kawannya, air liur Jupe mengalir juga. Tapi ia ingat berat badannya.

"Apa jagung ini membuat gemuk?" ia bertanya pada Van Don.

Hoang Van Don tertawa. "Sama sekali tidak, sekalipun kau makan

banyak. Tidak mengandung lemak. Pokoknya

sangat menyehatkan. Makanan asli selalu menyehatkan."

"Menyehatkan bagaimana?" tanya Jupe lagi. "Tampaknya makanan ini sederhana sekali."

"Tidak percaya?" Van Don balas bertanya pada Jupe. "Lihat saja burung-burung merpati itu. Mereka makan

jagung. Tidak ada yang kegemukan. Malah mereka kuat sekali terbang jauh."

Jupe langsung mengisi piringnya penuh-penuh.

TAMAT

Edit & Convert: inzomnia http://i nzomnia.wapka.mobi