TRIO DETEKTIF
MISTERI MERPATI BERJARI DUA Alihbahasa: Aryotomo Markam
THE MYSTERY OF THE TWO TOED
PIGEON by Alfred Hitchcock Text by: Marc Brandel
Penerbit: PT. Gramedia Cetakan Pertama: Februari 1989
SEPATAH KATA DARI HECTOR SEBASTIAN
HALO, namaku Hector Sebastian.
Aku penulis kisah misteri. Dan beberapa novelku telah
diangkat ke layar putih.
Tapi aku di sini bukan untuk bercerita tentang diriku
sendiri. Aku cuma merasa perlu menceritakan sedikit tentang
profesiku. Mengapa? Karena profesiku menyebabkan aku selalu
tertarik pada petualangan-petualangan penuh misteri yang dialami tiga kawan
mudaku.
Mereka terlibat dalam petualangan bukan karena kebetulan
belaka. Yah, paling tidak bukan kebetulan seratus
persen. Lihat saja kasus yang kini mereka hadapi. Kasus yang
mereka juluki Misteri Merpati Berjari Dua. Kasus ini
bermula dari pertemuan aneh dan tidak disengaja. Tapi...
kalau bukan mereka yang mengalami pertemuan itu, pasti tidak akan terjadi
apa-apa.
Itulah ciri mereka. Dari peristiwa kecil yang seolah biasa
saja, mereka bisa menemukan bahwa di balik itu ada
sesuatu. Sesuatu yang aneh, malah kadang-kadang ajaib. Dan
tidak jarang mereka akhirnya terlibat dalam situasi yang berbahaya. Mereka
selalu penasaran terhadap suatu masalah yang menimbulkan tanda tanya.
Mereka menjuluki kelompoknya Trio Detektif. Akan
kuceritakan sedikit siapa Trio Detektif itu.
Mereka bertiga-trio. Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob
Andrews. Tinggalnya di Rocky Beach, sebuah kota
kecil di tepi pantai selatan California, beberapa mil dari
Santa Monica. Jupiter Jones, biasa dipanggil Jupe, menjadi pimpinan kelompok
ini. Tubuhnya pendek dan... ah, tidak gendut
benar. Gemuk? Kurasa lebih tepat menyebutnya gempal. Daya
ingatnya luar biasa. Dan ia mempunyai bakat istimewa
dalam menarik kesimpulan. Kemampuannya melakukan pengamatan
patut
mendapat acungan jempol. Inilah yang
membuat Jupe dipilih menjadi pimpinan Trio Detektif.
Kukira, ada beberapa orang yang mengira Jupe congkak. Tapi
sebenarnya ia tidak begitu. Ia cuma sangat yakin pada dirinya. Dan itu memang
wajar. Soalnya, kalau menyimpulkan sesuatu, biasanya dia benar.
Pete Crenshaw, Penyelidik Dua, tinggi dan ramping. Bakatnya
luar biasa di bidang olahraga. Tak heran kalau ia
mahir baseball, berenang, dan bersepeda. Kecintaannya pada
hewan
sangat besar, dan ia punya rasa humor yang
tinggi. Keyakinan dirinya tidak sekuat Jupe. Demikian pula
kenekatannya. Kalau harus mengambil tindakan yang
berbahaya, ia selalu ragu. Tapi dalam keadaan mendesak, ia
dapat
diandalkan.
Bob Andrews bertugas dalam bidang data dan riset. Anaknya
cerdas, gemar belajar, dan agak pendiam. Ke mana
saja ia pergi, catatannya tidak pernah ketinggalan. Apa
yang dilihat, dialami, dan dipikirkannya tidak akan luput dari catatannya.
Kurasa dia akan jadi wartawan ulung kelak.
Nah, kalian sudah tahu siapa Trio Detektif itu. Sekarang
aku tidak akan berpanjang lebar lagi. Kupersilakan kalian mengenal mereka
sendiri dari pengalaman yang mereka hadapi saat ini, yaitu... oh, aku akan
tutup mulut mulai
sekarang. Cuma satu pesanku, bersiaplah menjumpai
orang-orang yang ganjil dan aneh. Selamat bermisteri!
HECTOR
SEBASTIAN
Bab 1
SI KEDIP MATA
"AKU usul kita mampir dulu untuk mengisi perut,"
kata Pete Crenshaw pada kedua kawannya.
Hari itu adalah hari pertama liburan musim panas. Trio Detektif,
Jupiter Jones, Bob Andrews, dan Pete,
menghabiskan hari itu dengan berenang di pantai favorit
mereka. Sekarang mereka sedang mengayuh sepeda di sepanjang jalan menuju Rocky
Beach.
Bob segera menyetujui usul Pete. Ia mengayuh sepedanya
lebih kencang, menyusul Pete yang berada di depannya.
Jupiter Jones, Penyelidik Satu, menimbang-nimbang usul Pete
dengan caranya yang metodis itu. Memang, ia
kepanasan dan capek. Pekerjaan fisik memang tidak pernah
disukainya. Ia lebih suka menggunakan otaknya. Tapi
ajakan untuk mampir di Kedai Kuda Laut di puncak bukit
berikutnya cukup menarik baginya.
Namun, di lain pihak Jupe agak... terlalu berat badannya.
Bahkan beberapa kawan sekolahnya mengejek dia dengan panggilan si Gendut.
Karena itu ia berniat mengurangi berat badannya selama liburan ini. Targetnya
turun lima kilo.
Jadi ia bisa pergi ke sekolah dengan tubuh yang lebih
langsing pada bulan September nanti.
Sambil mempelajari tinggi bukit yang akan didakinya, ia
mempertimbangkan ajakan Pete itu lebih jauh lagi. Saat itu sudah jam tiga. Enam
jam telah berlalu sejak perutnya diisi dengan sarapan. Selama itu ia berenang
dan bersepeda
sejauh beberapa mil. Ia telah membakar kalori dalam jumlah
yang cukup
besar. Pasti berat tubuhku telah berkurang,
pikir Jupe. Di samping itu... perutnya sudah keroncongan.
"Oke," sahutnya pada kedua kawannya di depan.
"Aku setuju kita mampir di Kedai Kuda Laut."
Waktu anak-anak masuk tempat itu sudah hampir kosong. Trio
Detektif mengambil tempat di pojok dekat jendela
yang menghadap ke jalan raya. Pete segera mengempaskan
tubuhnya, duduk dengan santai di kursi. Bob menelusuri daftar menu restoran
itu.
Penyelidik Satu mengamat-amati pengunjung lainnya yang cuma
sedikit. Ia sedang melaksanakan salah satu
kegemarannya, yaitu mencoba menarik kesimpulan dari apa
yang dilihatnya. Dari cara orang berpakaian, dari raut wajahnya, dan dari
kelakuannya, Jupe dapat menyimpulkan apa kebiasaan atau pekerjaan orang itu.
Salah seorang pengunjung segera menyita perhatiannya.
Laki-laki itu kurus dan agak pendek, sekitar seratus enam puluh sentimeter.
Jasnya berwarna gelap, bajunya putih, dan sepatu kulitnya hitam serta runcing.
Sepatu itu agak
kebesaran bagi ukuran tubuhnya yang pendek itu. Dari
gerakan jari-jari tangannya di dalam kantung celananya, Jupe dapat menyimpulkan
bahwa orang itu sering menonton pacuan kuda. Sembari duduk di depan meja tinggi
dengan secangkir kopi di hadapannya, laki-laki itu mengetuk-ngetukkan
jarinya pada kursi di sampingnya. Ia memandang ke luar
dengan gelisah. Sebentar-sebentar tangannya meraba sebuah
kotak besar di sisinya. Seakan-akan ia ingin meyakinkan
dirinya bahwa kotak itu tidak hilang. Kain katun tipis menyelubungi kotak itu
dengan rapi.
Jupe mengalihkan pandangannya perlahan-lahan sampai ia
dapat melihat lalu lintas di jalan raya. Dengan sudut
matanya, Jupe masih memperhatikan laki-laki berjas gelap
itu.
Beberapa sedan melintas dijalan raya. Orang itu acuh tak
acuh saja.
Kemudian Jupe mendengar suara yang lebih
keras dari sebuah mobil yang datang mendekat. Orang pendek
itu
bangkit. Ia memperhatikan mobil yang datang
dengan penuh perhatian. Sebuah karavan tampak melintas.
Orang itu
duduk kembali.
Laki-laki itu tentunya menanti kendaraan besar, sebuah truk
atau mobil
boks. Jupe berkesimpulan, pasti bukan
karavan.
Pelayan restoran datang membawa hamburger. Jupe memisahkan
irisan roti bagian atasnya. Dengan begitu ia dapat
mengurangi makannya. Ia kembali memperhatikan orang
berpakaian jas
gelap itu. Untuk sesaat pandangan mereka
bertemu.
Kemudian suatu keganjilan terjadi. Orang itu mengedipkan
matanya pada Jupe. (Kedip.) Jupe secara otomatis membalas dengan senyuman.
Laki-laki itu menganggap senyuman Jupe sebagai suatu
undangan. Sambil menjinjing kotaknya, ia mendatangi Trio Detektif. Sembari
begitu ia berkedip lagi. (Kedip.)
"Kalian baru berenang?" Pertanyaan itu suatu
sapaan yang bersahabat. Tapi cara orang itu berbicara seolah-olah
menunjukkan arti yang khusus. Karena, begitu selesai
berbicara, ia mengedip lagi. (Kedip.)
"Ya," sahut Pete, sambil nyengir dengan mulut
yang masih penuh hamburger. "Di Wills Beach."
"Wills Beach?" kata orang itu lagi. "Pantas
kalian kelaparan."
(Kedip.)
Tidak ada sesuatu yang lucu pada komentar orang itu. Tapi
Trio Detektif tidak dapat menahan ketawanya. Apa pun yang dikatakannya, caranya
mengedip itu seperti mengakhiri suatu banyolan yang kocak.
Laki-laki itu tersenyum.
"Boleh aku bergabung dengan kalian?" tanyanya.
(Kedip.)
Jupe bergeser merapat ke jendela, memberi tempat. Orang itu
duduk di samping Jupe, lalu menaruh kotak terbungkus kain itu di lantai dekat
kakinya.
"Namaku Stan," ujarnya. Sambil berkata begitu,
mata kanannya mengedip lagi. (Kedip.) Anak-anak
memperkenalkan diri mereka masing-masing: "Jupe",
"Pete", "Bob".
"Aku senang melihat anak-anak yang cekatan seperti
kalian..." Tiba-tiba Stan melompat bangkit dari samping Jupe.
Ia memandang ke jalan raya dengan penuh harap. Terdengar
suara kendaraan berat. Sebuah truk pengangkut minyak melintas. Stan duduk lagi.
"Stan. Kependekan dari Stanley," ia melanjutkan
beberapa saat
kemudian. "Tapi aku biasa dipanggil Blinky, karena
aku sering berkedip. Kalian sudah memperhatikan itu,
kan?"
(Kedip.)
Kali ini anak-anak tidak tertawa. Mereka kini tahu bahwa
Stan tidak bermaksud melucu dengan kedipannya itu.
Berkedip memang sudah menjadi kebiasaannya yang tidak bisa
dikendalikan. Mungkin ada gangguan pada saraf pengendali pelupuk matanya.
Bob merasa prihatin melihat kebiasaan Stan. Ia merasa
bersalah karena menertawakan Stan tadi. Demikian pula
perasaan kedua kawannya. Mereka sekarang merasa dekat dengan
Stan. Apalagi ketika Stan memanggil pelayan restoran dan memberinya uang
sepuluh dolar.
"Anak-anak ini aku yang traktir," katanya pada
pelayan wanita itu. (Kedip.)
Si pelayan wanita berkacak-pinggang sambil merengut.
Mungkin ia
merasa digoda oleh kedipan Stan. Dengan
muka masam diambilnya uang itu lalu berjalan ke kasir.
Trio Detektif berterima kasih pada Blinky atas kebaikannya.
Pada menit-menit berikutnya tidak ada truk yang
lewat. Mereka semua duduk dengan rileks. Jupe telah
menghabiskan separuh hamburgernya. Yang separuh lagi tidak disentuhnya. Ia puas
karena dapat menahan nafsu makannya. Kini ia merasa lebih langsing.
"Anda tinggal di Santa Monica?" tanya Jupe pada
Blinky.
Blinky terhenyak. Posisi duduknya jadi lebih tegak. Kakinya
tak sengaja menendang kotak di sampingnya. Matanya yang biasanya berkedip kini
terbuka lebar.
"Dari mana kau tahu tempat tinggalku?" tanyanya
dengan suara serak. Jupiter tidak bermaksud mengagetkan Blinky. Dengan ramah ia
melemparkan senyum bersahabat. "Aku cuma menebak saja," katanya.
"Kan ada tiga mobil di pelataran parkir. Di mobil yang satu ada boneka
beruang di
belakangnya. Jadi kuduga mobil itu milik wanita di sebelah
sana, yang bersama gadis kecil berambut pirang itu. Di
atas mobil yang kedua terikat sebuah papan selancar."
Penyelidik Satu menunjuk pada seorang laki-laki dengan badan
berisi dan kulit coklat terbakar. Orang itu sedang
menikmati minuman
soda. "Dialah satu-satunya orang di restoran ini
yang paling cocok disebut pemain selancar air. Dan mobil
yang ketiga
memiliki plat nomor Santa Monica. Karena
itulah aku menduga itu mobil Anda."
Blinky terpana mendengar uraian Jupe yang terinci itu.
"Aku paham sekarang," ujarnya. "Pengamatanmu
awas, seperti detektif saja."
"Bukan cuma seperti," kata Jupe cepat-cepat. Ia
merasa perlu untuk
menjelaskan pada Blinky siapa sebenarnya
mereka bertiga. "Kami memang detektif. Trio
Detektif."
Dikeluarkannya sebuah kartu nama dari kantungnya dan
diberikannya pada Blinky. Jupe sendiri yang mencetak
kartu nama itu, menggunakan
mesin cetak tua yang dibeli pamannya, Paman Titus. Di kartu itu tertulis:
TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa Saja"
? ? ?
Penyelidik
Satu - Jupiter Jones Penyelidik Dua - Pete Crenshaw Data dan Riset - Bob
Andrews
Di bagian bawah tertulis nomor telepon kantor Trio Detektif
di
pangkalan barang bekas yang dikelola keluarga
Jones.
Blinky memperhatikan kartu itu dengan cermat. "Apa
artinya tiga tanda tanya ini?" tanyanya.
"Itu menunjukkan misteri yang belum terpecahkan, dan
teka-teki yang belum terjawab," jawab Jupe. "Karena itu
kami akan selalu tertantang dalam menangani kasus-kasus
yang kami hadapi."
"Yah, itu semacam simbol bagi kami," Bob
menambahkan.
Blinky mengangguk. Ia berkedip lagi ketika menyimpan kartu
itu dalam kantungnya.
"Kalian punya banyak..." Ia tidak menyelesaikan
kalimatnya.
Jupe tidak dapat menebak apa yang sebenarnya ingin
diucapkan Blinky. Blinky telah berdiri lagi. Matanya menatap
ke luar melalui jendela. Di kejauhan terdengar suara
berderu-deru yang berasal dari kendaraan berat. Kemudian
muncul sebuah mobil boks besar berwarna hijau. Mobil boks
itu melintas di depan restoran. Pengemudinya tampak seperti orang Jepang.
Jupiter menoleh pada Blinky. Tapi orang berjas gelap itu
sudah tidak ada di tempatnya. Blinky sudah berada di
pintu keluar. Dalam sekejap ia berlari menuju mobilnya di
pelataran parkir.
Pete yang pertama kali bereaksi. Sebagai seorang atlet, ia
memiliki refleks yang lebih cepat dari kedua kawannya.
Diambilnya kotak dari lantai di samping meja. Dengan
bergegas dikejarnya Blinky.
"He, tunggu," panggilnya. "Anda
lupa..."
Tapi ia terlambat mengingatkan Blinky. Begitu Pete berlari
melintasi
pelataran parkir, sedan milik Blinky sudah
meluncur dengan cepat mengikuti mobil boks hijau tadi.
Pete berjalan kembali ke restoran. Kotak itu diletakkannya
di meja.
Trio Detektif duduk sambil termenung memandangi kotak yang
tertinggal itu.
Jupe menarik-narik bibir bawahnya. Kebiasaan itu selalu
dilakukannya sewaktu sedang berpikir keras. Menurut dia, itu membantunya dalam
berkonsentrasi.
Bob yang memecah kesunyian itu. "Lebih baik kita
serahkan saja pada pelayan restoran," usulnya. "Blinky pasti akan
kembali kemari untuk mencarinya."
"Itu usul yang paling masuk akal bagiku," kata
Pete menyetujui usul Bob. Tapi Penyelidik Satu itu tetap menarik-
narik bibir bawahnya dengan ibu jari dan telunjuknya.
Blinky dan mobil boks hijau itu membangkitkan kecurigaannya.
Bakat alami yang dimiliki Jupe mengatakan ada sesuatu di
balik peristiwa itu. Dan Jupe tidak tahan untuk membiarkan sesuatu itu tidak
terungkap. Ia merasa yakin bahwa tidak lama lagi Trio Detektif akan menghadapi
misteri baru.
"Usulku sebaliknya," akhirnya ia berkata.
"Kita bawa saja kotak ini ke kantor di pangkalan. Blinky kan sudah
punya kartu kita. Itu memudahkannya menghubungi kita lewat
telepon atau..."
Ia melihat Pete sudah mau protes. Memang, Penyelidik Dua
tidak
seperti Jupe semangatnya dalam mencari
petualangan.
"Alasanku," sambung Jupe lagi, "Blinky tidak
menitipkan kotak ini pada pelayan, kan? Dia meninggalkannya pada
kita. Bahkan aku hampir yakin bahwa dia mempercayai kita
untuk mengurus kotak ini untuk sementara."
"Tapi dia kan bisa saja lupa," sela Pete.
"Lihat saja betapa terburu- burunya dia."
Namun Pete sudah tahu. Kalau dia tidak dapat mengajukan
alasan yang
cukup meyakinkan, biasanya usul Jupe
yang akhirnya diterima. Dan itulah yang terjadi kali ini.
Setengah jam kemudian anak-anak telah kembali di kantor
mereka di Pangkalan Jones.
Kantor itu berada dalam sebuah karavan tua yang dibeli
Paman Titus beberapa lama berselang. Karavan itu tidak
kunjung dibeli orang. Barang-barang rongsokan mulai
menimbuninya. Dan anak-anak ikut menimbuninya sampai
tersembunyi seluruhnya. Dari luar hanya tampak rongsokan
barang
bekas yang menggunung. Anak-anak membuat
jalan rahasia untuk dapat masuk ke dalam kantor tersembunyi
itu.
Di dalam kantor terdapat sebuah meja, tempat penyimpan
berkas, laboratorium mini, dan pesawat telepon. Anak-
anak dapat membayar sewa telepon dari uang yang mereka
hasilkan dari bekerja di Pangkalan Jones.
Pete, yang tadi membawa kotak dengan sepedanya, meletakkan
kotak itu di meja.
"Oke," katanya. "Sebuah kotak misterius yang
bukan milik kita. Apa yang ingin kaulakukan sekarang?
Membukanya?"
Jupe duduk di kursi goyang di belakang meja.
Ia menggeleng-geleng perlahan. "Kita tidak punya hak
untuk melakukan hal itu," sahutnya. "Kurasa kita cuma bisa..."
Ia menyorongkan badannya ke depan. Telinganya ditempelkan
pada kain penutup kotak itu.
Ketiga anak itu dapat mendengar dengan jelas sekarang.
Suara lembut, seperti dengkuran. Ada makhluk hidup di dalamnya. Makhluk itu
terkurung dalam kotak.
"Kita tidak punya pilihan lain sekarang," ujar
Pete. "Kotak ini harus dibuka."
Sejak kecil Pete memiliki rasa sayang luar biasa terhadap
binatang. Ia mempunyai kebiasaan memungut dan
membawa pulang kucing atau anjing kecil yang berkeliaran di
jalan.
Bahkan pernah membawa pulang seekor kuda
yang ditemuinya berkelana sendirian. Semua itu didorong
keinginan
hatinya. Ia tidak tega melihat seekor binatang
tidak terurus. Kali ini nalurinya mengatakan bahwa ia harus
menolong
hewan yang terkurung dalam kotak itu.
Dibukanya pita pengikat kotak itu. Lalu diangkatnya kain
penutupnya. Sebuah sangkar besi. Dan di dalamnya terdapat seekor merpati.
Burung itu indah. Ramping, berbulu tebal, sehingga ekornya
hampir membentuk kipas. Dan bulunya yang berkilau menunjukkan bahwa burung itu
sehat.
Tapi Jupiter melihat sesuatu yang lain pada merpati dalam
sangkar itu. Salah satu jarinya hilang. Pada kaki
kanannya terdapat tiga jari. Namun pada kaki kirinya cuma
ada dua jari. "Kita tidak bisa membiarkannya terkurung dalam sangkar
seperti ini," kata Pete dengan tegas. "Harus kita
pindahkan ke sangkar lain yang lebih besar dan lebih
nyaman. Burung tempatnya di alam bebas, bukan dalam sangkar.
Apalagi sangkar yang kecil."
Jupiter mengangguk. "Akan kubuatkan sangkar yang lebih
besar dan
nyaman," katanya. "Yang kuperlukan
hanyalah paku, palu, dan segulung kawat ayam."
Dalam beberapa menit saja Trio Detektif telah mendapatkan
apa yang
mereka butuhkan untuk membuat sangkar
baru. Jupe mulai sibuk bekerja di bengkelnya, kantor.
Tangannya
memang cekatan. Sebentar saja sudah terbentuk
sebuah rangka kotak yang lebih besar. Kemudian gulungan
kawat ayam
dipaku pada rangka itu. Terciptalah sebuah
sangkar baru yang nyaman untuk ditempati merpati yang
ditinggal
pemiliknya itu.
Pete membawa burung itu keluar kantor, sementara Jupe
mengambil sebungkus jagung yang biasa diberikan Bibi
Mathilda pada itik-itik di taman kota. Bob menyediakan
semangkuk air segar.
"Beristirahatlah kau di sini," kata Pete seraya
memasukkan merpati itu ke dalam sangkarnya yang baru.
Burung itu segera menyukai tempatnya yang baru.
Dipatuk-patuknya jagung yang terdapat di sangkar. Lalu
beberapa kali dicelupkannya kepalanya ke dalam mangkuk
berisi air.
Burung itu mengibas-ngibaskan sayapnya, lalu
pergi ke pojok sangkar. Kepalanya disembunyikan di balik
sayapnya.
Dengan begitu seakan-akan merpati itu ingin
menunjukkan rasa gembiranya.
Trio Detektif ikut merasa gembira. Kini mereka bisa pulang
dengan lega. Merpati itu ditinggalkan di bengkel
Jupiter, yang terletak di salah satu pojok Pangkalan Jones.
Bob dan Pete mengayuh sepedanya ke rumah masing- masing. Jupe berjalan kaki
menyeberangi jalan menuju rumahnya, tempat ia tinggal bersama paman dan
bibinya.
Merekalah yang merawat Jupe sejak Jupe menjadi yatim-piatu
ketika masih kecil.
Esoknya Jupe bangun pagi-pagi sekali. Sambil
mengucek-ngucek matanya, ia berlari memasuki Pangkalan Jones.
Sangkar baru itu masih terdapat di bengkelnya. Ketika
mendekatinya, Jupe melihat merpati indah berwarna kelabu itu masih ada dalam
sangkarnya. Merpati ramping itu berkukur dengan
riang sambil mematuki jagung yang masih
tersisa.
Jupe berlutut. Ia menempelkan mukanya pada kawat sangkar
itu.
"Dari mana kau datang?" sapanya pada burung itu.
"Apa yang dilakukan Blinky terhadapmu di kotak kecil itu? Dan mengapa
Blinky kemarin begitu gugup?"
Kelihatannya kehadiran merpati itu membawa misteri, pikir
Jupe. Kemudian Jupe terhenyak. Burung itu lebih misterius dari dugaannya
semula.
Merpati dalam
sangkar yang sedang diperhatikan Jupe kini memiliki tiga jari pada tiap-tiap
kakinya!
Bab 2
PECINTA BURUNG
"ITU merpati pacuan Belgia," kata Bob.
"Dua-duanya."
Jupe telah menelepon kedua kawannya dan memberi tahu apa
yang
dilihatnya tentang merpati itu. Tapi baru setelah
makan siang mereka dapat berkumpul di kantor Trio Detektif.
Bob Andrews sedang mendapat giliran untuk bekerja di
perpustakaan umum di Rocky Beach paginya. Sembari
menjaga perpustakaan, dia menyempatkan membaca buku-buku
tentang burung merpati. Sebuah buku yang penuh
dengan gambar-gambar merpati dipinjamnya dari perpustakaan.
Ia memperlihatkan isi buku itu pada kedua kawannya.
Jupe mempelajarinya. Ia membanding-bandingkan gambar di
buku dengan merpati berjari tiga yang kini terletak di meja di hadapannya, dalam
sangkar yang lebih kecil.
"Ya, kau benar, Bob," ujarnya. "Kedua burung
itu amat mirip. Hanya jumlah jarinya saja yang berbeda. Merpati
yang pertama berjari dua pada kaki kirinya, sedangkan
merpati yang kedua berjari tiga pada kedua kakinya. Namun kedua-duanya merpati
pos."
Ia mengembalikan buku itu pada Bob. Pete memasukkan jarinya
melalui sela-sela sangkar burung. Dengan lemah-
lembut dibelainya bulu merpati itu. Rupanya merpati ini
senang terhadap
perlakuan Pete. Kedua mata merpati yang
bulat itu memandang Pete, seolah hendak mengatakan sesuatu.
"Itu memang sering terjadi," kata Pete. "Kau
belum pernah dengar? Cukup banyak merpati liar di pantai sekitar sini memiliki
jari yang tidak lengkap."
Penyelidik Satu mengangguk, tapi tidak berkata apa-apa.
Sebenarnya ia
tidak banyak tahu tentang merpati. Bahkan
berita tentang burung-burung tidak terlalu menarik
perhatiannya,
sampai peristiwa ini terjadi. Tetapi ia merasa gengsi
menyatakan hal ini pada kedua kawannya. "Ya, kaki-kaki
mereka
tersangkut di kawat-kawat," katanya seakan-akan
tahu benar apa yang terjadi. "Atau mereka mengalami
kecelakaan,
seperti teriris sisi kaleng bekas yang tajam."
Ia menoleh pada Bob, yang sedang asyik menekuni buku
tentang merpati itu.
"Apa lagi yang dikatakan tentang merpati pacuan
Belgia?" tanyanya. "Mereka burung pembalap kampiun. Dan memang mereka
dipelihara untuk itu. Orang yang memelihara dan
melatihnya-seperti pelatih kuda-dapat mengenali merpati
miliknya dari ratusan burung yang ada."
Bob kembali membaca buku itu dengan serius.
Lalu ia mengangkat kepalanya, sambil membetulkan letak kaca
matanya. "Luar biasa!" katanya. "Orang membawa pergi
merpati-merpati itu dalam sangkar-sangkarnya dengan mengendarai
truk. Kadang-kadang sampai sejauh lima atau enam ratus mil.
Kemudian merpati itu dibebaskan. Mereka semua
berpacu kembali ke rumah masing-masing. Merpati yang juara
dapat mencapai kecepatan enam puluh mil per jam.
Dan tidak satu pun yang tersesat! Seakan-akan mereka semua
tahu jalan pulang ke rumahnya, tidak peduli ke mana mereka dibawa, atau dari
mana mereka berasal."
Ia meneruskan membaca lagi. "Kejuaraan itu sudah
menjadi olahraga nasional di Belgia. Ada seekor merpati
dibawa dengan sebuah kapal ke Indocina. Burung itu
dilepaskan di sana. Lalu dalam dua puluh empat hari, merpati itu
sampai kembali di Belgia. Lebih dari tujuh ribu mil
dilaluinya. Dan rute itu sama sekali asing baginya."
"Masa?" seru Pete
setengah tidak percaya. "Coba aku lihat." Ia mengambil buku itu, lalu
membacanya dengan penuh perhatian.
"He, ini ada keajaiban lagi!" katanya.
"Merpati ini dapat berperan sebagai pembawa pesan. Dan ini sudah sejak
dulu terjadi dalam sejarah. Caesar memakai merpati pos dalam menaklukkan
musuhnya, Gaul. Dan angkatan
bersenjata Amerika Serikat bertahun-tahun memanfaatkan
merpati pos itu. Demikian juga dalam perang Korea yang
belum lama berselang. Bahkan sekarang pun masih digunakan
merpati pos untuk mengirim berita antara Los Angeles dan Catalina Island. Kau
tahu semua ini, Jupe?"
Penyelidik Satu tidak menjawab. Sesungguhnya ini berita
baru baginya. Tapi ia mencari akal agar ketidaktahuannya tidak terlihat oleh
Pete.
"Pertanyaannya ialah..." Jupe mencari-cari
kata-kata yang tepat. "Bagaimana bisa? Dan mengapa?"
"Menurut buku ini, tidak seorang pun tahu persis
bagaimana burung- burung itu dapat kembali ke rumahnya," sahut Bob. Ia
mengambil kembali buku itu dari tangan Pete. "Para ahli sudah mempelajari
masalah yang menarik ini di
Cornell University. Mereka sampai pada suatu dugaan yang
paling mungkin, yaitu bahwa burung-burung itu mengikuti pola medan magnet bumi.
Merpati sangat peka terhadap medan magnet, di samping terhadap suara. Tapi
dengarkan. Ini pendapat seorang profesor. ’Satu-satunya cara untuk memahami
naluri merpati untuk kembali ke
rumahnya, ialah dengan menjadi merpati itu sendiri, merasa
seperti merpati dan berpikir seperti merpati.’"
Bob memperhatikan merpati dalam sangkar di hadapannya. Ia
mencoba membayangkan bagaimana rasanya menjadi merpati itu.
Jupiter menggeleng-geleng. "Bukan itu maksudku,"
katanya sambil menarik bibir bawahnya. "Aku tidak bertanya
bagaimana cara merpati itu kembali ke rumahnya. Yang
kumaksud ialah
bagaimana merpati ini bisa masuk ke dalam
sangkar yang kita buat kemarin. Siapa yang menukarnya
semalam?
Bagaimana mereka tahu di mana merpati berjari
dua itu? Dan mengapa mereka menukarnya?"
"Hm, ini menarik," komentar Pete seraya
mengelus-elus si merpati Belgia. Merpati itu bereaksi dengan
mengeluarkan suara berkukur. "Mari kita beri nama
merpati ini," usul Pete. "Bagaimana kalau Caesar?"
"Kemungkinan pertama." Penyelidik Satu sedang
berpikir keras, seperti yang biasa dilakukannya kalau ada suatu
teka-teki yang belum terjawab. "Blinky yang menukarnya
sendiri. Ia kan punya kartu Trio Detektif..." Jupe merasa
tidak perlu berendah diri... "dan kita kan cukup
terkenal di Rocky Beach. Kalau dia tanya pada sembarang orang yang
lewat saja, orang itu pasti akan memberi tahu di mana
tempat tinggal Jupiter Jones."
"Hmm, hampir semua orang di sini kenal kita,"
Pete menyetujui. "Kemungkinan kedua," Jupe melanjutkan. "Orang
yang mengendarai mobil boks hijau yang dikejar Blinky. Ia
mungkin saja berputar kembali di suatu tempat, lalu secara
kebetulan melihat Pete bersepeda sambil membawa kotak.
Ia dapat membuntuti kita ke sini. Meskipun demikian, aku
tidak merasa bahwa kemarin kita diikuti orang."
Jupiter memandangi Caesar dengan raut muka yang seakan
menyalahkan mengapa burung itu tidak dapat memberi
laporan padanya. Kemudian
muka Jupe perlahan-lahan menjadi cerah. "Blinky dan orang bermobil boks
hijau," ujarnya. "Apa yang kita tahu tentang mereka? Kita tidak tahu
nama
lengkap Blinky. Yang kita tahu hanya ia tinggal di Santa
Monica. Waktu itu ia mengendarai mobilnya begitu cepatnya sehingga aku cuma
bisa melihat sebagian dari plat mobilnya: MOK. Sedangkan plat mobil boks hijau
itu penuh
dengan debu. Aku tidak bisa membacanya sama sekali.
Sepertinya kita berada di ujung jalan buntu-kecuali untuk satu hal."
"Apa itu?" seru Pete dengan tidak sabar. Gaya
bicara Jupe memang kadang-kadang membuat orang penasaran ingin tahu lebih
lanjut.
"Merpati. Ini bukan sembarang merpati, bukan merpati
yang dipelihara
orang kebanyakan. Tapi merpati istimewa,
yang dapat terbang ratusan mil jauhnya, dan dipelihara
dengan
perlakuan khusus. Sama dengan perlakuan terhadap
kuda pacuan, seperti apa yang kaukatakan tadi, Bob. Orang
yang
memelihara merpati pacuan mestinya tahu siapa
orang lain yang juga memelihara merpati sejenis. Menurut
penalaranku, pasti ada suatu klub atau perkumpulan yang
dapat memberi petunjuk pada kita tentang siapa saja yang
berurusan dengan burung-burung ini..."
Buku telepon tebal sudah ada di tangan Jupe. Ia mulai
membolak-balik halaman buku telepon.
"Kalau kita berhasil menghubungi seorang pelatih atau
pemelihara, mungkin ia bisa mengenali merpati ini-"
"Caesar," Pete menyela. "Namanya
Caesar."
"-Dan mengatakan pada kita siapa pemiliknya."
Jupe dengan cepat mencari-cari di halaman kuning buku
telepon. "M untuk merpati," gumamnya. "P, perkumpulan.
Atau K, klub. A, Audubon. Mm..." Mata Jupe bergerak
cepat menelusuri halaman demi halaman.
"Hh..." desahnya lambat-lambat dengan nada
kecewa. "Di mana lagi kita harus mencari?"
"Miss Melody!" usul Bob.
"Siapa itu Miss Melody?" alis mata Jupe terangkat
mendengar nama itu. Ia menoleh pada Bob.
"Seorang wanita anggota perpustakaan Rocky Beach.
Kadang-kadang aku bertemu dengannya di sana. Di
perpustakaan cuma satu macam buku yang dicarinya. Buku
tentang burung. Dia memang tergila-gila pada burung.
Aku pernah ngobrol dengannya. Seingatku, dia pernah menjadi
pimpinan perkumpulan pecinta burung yang dinamakan Perkumpulan Penyayang
Unggas."
Jupe menutup buku telepon.
"Ini suatu kesempatan," katanya. "Kalau ada
ahli tentang merpati di
sekitar sini, mungkin ia tahu. Kau tahu di mana
tinggalnya?"
Bob mencopot kaca matanya.
"Tidak," sahutnya sambil membersihkan kaca
matanya. "Kecuali memang ia tinggal di Rocky Beach. Kalau tidak,
dia tidak dapat menjadi anggota perpustakaan, kan? Tapi
nama lengkapnya aku ingat. Maureen Melody. Aku tahu karena aku pernah melihat
kartu perpustakaannya."
Dengan bersemangat Jupe mencari lagi dalam buku telepon.
Dalam sekejap ditemukannya telepon Maureen
Melody. Ia tinggal di Alto Drive, sekitar dua mil dari
Pangkalan Jones. "Aku usul kita segera bersepeda ke sana," kata Pete.
"Tapi bagaimana dengan Caesar? Apakah akan kita tinggal di sini?"
Jupe tidak menganggap itu masalah membiarkan Caesar berada
dalam sangkarnya yang kecil, namun Pete
bersikeras untuk memindahkannya ke sangkar yang lebih besar
di luar. Jupe menggeleng pertanda tidak setuju. "Terlalu mudah bagi orang
untuk mencurinya di luar sana," ujarnya. "Lihat saja apa yang terjadi
semalam."
"Ya, mungkin nanti setelah kita kembali, merpati itu
berubah menjadi
berjari empat!" Bob menimpali sambil
bercanda.
Akhirnya diputuskan untuk membawa Caesar. Pete membuka
jalan keluar utama dari kantor Trio Detektif-tingkap
di dasar karavan yang berada tepat di atas sebuah lorong
yang menuju
ke luar. Ia menyelusup memasuki lorong,
sambil mendekap sangkar di dadanya. Bob menyusul
sesudahnya.
Jupe baru saja hendak menyelusup masuk ke dalam lorong,
ketika ia terhenti. Dahinya berkerut.
Kemudian ia kembali ke mejanya. Dihidupkannya mesin
penjawab telepon otomatis. Baru setelah itu ia keluar mengikuti kawan-kawannya.
Alto Drive berada di bagian timur Rocky Beach. Di kawasan
itu berdiri rumah-rumah besar dengan halaman dan
kebun yang luas. Pekarangan depan yang luas yang memisahkan
rumah dari jalan raya menjadi ciri khas kawasan itu.
Trio Detektif turun dari sepeda mereka di depan sepasang
pintu gerbang tinggi terbuat dari besi. SARANG
MELODY, sebuah tulisan terbaca pada pilar penyangga pintu
gerbang. "Bukan main orang ini," Pete berdecak kagum.
"Sampai-sampai ia menganggap rumahnya sendiri sebagai sarang, seperti
tempat tinggal burung saja."
Pada pilar itu pula terdapat interkom, alat untuk
berkomunikasi dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Jupe menekan
tombol, lalu berjingkat untuk mendekatkan telinganya ke
sebuah kotak penjawab di atas tombol.
Ia bersyukur bahwa Maureen Melody tidak lupa memasang
interkom. Pintu gerbang masih berjarak sekitar tiga
ratus meter dari Sarang Melody. Sekalipun mereka berteriak,
orang di dalam tidak akan mendengarnya.
Namun tiba-tiba terdengar suara hingar-bingar. Seperti di
dalam toko
peralatan stereo, pikir Jupiter, dengan seluruh
radio dan tape dihidupkan keras-keras. Bedanya, kali ini
bukan suara
musik atau suara manusia yang keluar. Itu suara
bising campuran dari siulan, kicauan, gaok, dan jeritan.
Jupe menekan tombol kembali. Ia tidak mendengar suara
apa-apa dari kotak penjawab. Yang terdengar malah suara jeritan yang seakan
membelah udara.
Ia melangkah mundur. Dicobanya untuk melihat ke dalam
melalui gerbang yang tinggi. Nampak burung kakaktua merah dan kuning bertengger
di ranting. Burung itu bersuara lagi, mengeluarkan bunyi seperti jeritan.
"Burung!" seru Pete. "Tempat ini penuh
dengan..."
Kata-katanya yang terakhir tertelan oleh paduan suara
kicauan burung yang melengking tinggi.
"Burung," Jupiter menyelesaikan kalimat Pete.
Jupe dapat melihat burung-burung itu sekarang. Tidak semuanya,
tetapi paling tidak sebagian dari burung yang luar biasa
banyaknya itu. Burung gereja, kenari, gagak, bahkan rajawali
dan elang, nampak bertengger di ranting-ranting pohon.
Terkadang ada yang berpindah dari satu pohon ke pohon lain.
Jupe tidak mempedulikan interkom lagi. Ia meneliti pintu
gerbang. Meskipun gerbang ditutup, namun ternyata tidak digembok. Ada sebuah
lubang yang memang dimaksudkan untuk membuka gerbang dari luar. Jupe
menjulurkan
tangannya ke dalam lubang itu, lalu membuka palang gerbang
itu. Sambil menuntun sepedanya, ia berjalan memasuki
Sarang Melody. Pete dan Bob mengikuti. Bob berhenti
sebentar untuk memalang gerbang kembali.
"Sekarang bagaimana?" tanya Pete sambil
mendekatkan diri ke Jupe. Jupe menunjuk ke jalan di hadapan mereka yang menuju
hutan kecil yang didiami burung-burung tadi. Mereka
menaiki sepeda masing-masing dan mulai mengayuh menyusuri
jalan itu. Pete memegang setang sepedanya dengan
tangan kanan, dan menjinjing sangkar Caesar dengan tangan
kirinya. Suara berisik tidak berkurang saat mereka bergerak meninggalkan
gerbang, bahkan semakin keras dan bising. Bob menutup telinganya dengan sebelah
tangan. Telinganya yang satu lagi sebisanya ditutupnya dengan bahunya.
Jupe, yang berada paling depan, tiba-tiba berhenti. Melalui
sela-sela pepohonan ia dapat melihat sebuah rumah
bergaya Spanyol. Rumah itu masih berada dalam jarak seratus
meter
dari tempat anak-anak berhenti. Tetapi bukan
rumah itu yang menyebabkan Jupe berhenti secara mendadak.
Di antara siulan dan kicauan serta jeritan burung-burung,
Jupiter mendengar sebuah suara lain. Suara seorang wanita. Wanita itu
mengeluarkan suara tinggi dan melengking, tapi terdengar menyenangkan. Ia
sedang bernyanyi.
Suaranya yang sopran terdengar merdu di tengah-tengah
bisingnya suara burung-burung.
"Ada tiga anak dalam pekaranganku, aku ingin tahu apa
yang mereka
inginkan, " begitu syair lagu yang
dinyanyikannya.
Bob mengenali melodi lagu itu. Lagu The Battle Hymn of
Republic. "Mereka boleh datang mendekat, tapi jangan melukai burung-burungku."
Suara yang tadi terdengar lagi beberapa saat kemudian. Suara itu masih
melanjutkan lagu tadi.
Anak-anak mengayuh sepedanya perlahan-lahan.
Jupe dapat melihat seorang wanita sekarang. Wanita itu
sedang berdiri di sebuah taman yang memisahkan rumah
bergaya Spanyol dengan hutan kecil tadi. Ia sangat tinggi.
Melihatnya seperti melihat sebuah patung menjulang. Ia memakai gaun panjang
yang cocok untuk musim panas. Topinya terbuat dari jerami dengan tali yang
menjuntai ke bawah dagunya yang bulat.
Di satu pundaknya hinggap seekor burung beo. Seekor
rajawali kecil berputar-putar tepat di atas kepalanya. Dan seekor kenari
hinggap di pinggir topinya.
"Kalau ingin mengutarakan maksud kalian, bernyanyilah
dengan suara keras, " sambutnya dengan bernyanyi pada
Trio Detektif yang berhenti beberapa meter di depannya.
"Kalau tidak, aku tidak dapat mendengarnya. "
Jupiter Jones berpengalaman dalam bermain sandiwara.
Meskipun ia tidak suka orang mengingat-ingatnya, karena peran yang dimainkannya
sebagai Baby Fatso. Tetapi ia tidak pernah bergabung dalam kelompok musik atau
paduan
suara sekolahnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana
seandainya ia harus ikut bernyanyi.
Meskipun demikian, Jupe segera menangkap apa yang
diinginkan wanita itu. Di tengah hingar-bingarnya suara
burung, satu-satunya suara manusia yang dapat terdengar
adalah suara tinggi dalam nyanyian.
"Kami mencari pemilik tempat ini, Miss Maureen
Melody" kata Jupe dengan bernyanyi.
"Akulah orang yang kalian cari, aku Maureen Melody,
"jawabnya sambil berlagu.
Sekarang kembali giliran Jupe. Ia berdehem.
"Maafkan kalau kami mengganggu, namun demikian kami
ingin berbicara dengan Anda. " Cukup sulit bagi Jupe
untuk mencari kata-kata yang cocok dengan nada lagu The
Battle Hymn of Republic, tapi Jupe mencoba sebaik mungkin. "Kami
mendengar- "
Ia berhenti. Maureen Melody tidak lagi mendengarkannya. Ia
tersenyum lebar. Matanya bersinar-sinar. Dengan gerak seperti berdansa, ia
mendekati Pete.
Ia mengambil sangkar Caesar dari tangan Pete. Didekapnya
sangkar itu. Dan ia terus berdansa sambil bernyanyi
dengan suaranya yang sopran. Jelas sekali kegembiraan
terpancar dari wajahnya.
Dengan lebih bersemangat, ia berlagu lagi. "Terima
kasih, terima kasih.
Akan kuberikan hadiahnya sekarang
pga!"
Bab 3
MUTIARA DARI BURUNG MURAI
"HADIAH APA-?" Jupe mulai bernyanyi. Ia terdiam.
Maureen Melody membuka sangkar Caesar.
"Jangan, " Jupe menyanyikan lagu pendek.
"Jangan dibuka "
Dengan sesopan mungkin, ia mengambil sangkar kembali dari
tangan Miss Melody.
"Anda lihat, ini bukan merpati kami, " Jupe
meneruskan nyanyiannya. Jupe terdiam lagi. Banyak yang ingin ia jelaskan. Namun
karena itu harus dinyanyikan dengan suara tinggi Jupe
menjadi bingung. Dalam hatinya ia merasa kesal. Menyanyi
seperti itu hanya akan membuat suaranya serak,
sedangkan apa yang ingin dikatakan belum tentu
tersampaikan.
"Bisakah kita pindah ke suatu tempat untuk
membicarakan hal ini?"
nyanyi Jupe lagi. Ia mendapat kesulitan besar
mengikuti melodi lagu The Battle Hymn of Republic, karena
itu ia
menyanyi sekenanya saja dengan nada yang ia
karang-karang sendiri. "Ayolah, kami lebih suka ke
tempat lain. "
Miss Melody menegakkan kepalanya. Jari-jemarinya memainkan
tiga untai kalung mutiara yang dikenakannya. Ia menatap anak-anak. Sinar
matanya seakan-akan menunjukkan kejengkelan, karena Jupe mengambil sangkar
Caesar dari tangannya.
Akhirnya Miss Melody mengangguk. Lalu ia berjalan ke arah
rumah. Rajawali di atas kepalanya terbang dan
menghilang di balik pepohonan. Burung beo tetap diam di
pundak Miss Melody. Demikian pula dengan kenari, berdiri tenang di pinggir
topinya.
Trio Detektif mengikuti Miss Melody memasuki pintu bergaya
Prancis ke dalam sebuah ruang tamu yang luas dan terang-benderang. Miss Melody
menutup pintu setelah anak-anak masuk.
Mulanya kicauan, siulan, dan gaok masih terdengar sama
kerasnya seperti di luar. Kemudian Miss Melody
menekan sebuah tombol di dinding. Kaca-kaca tebal turun
secara otomatis, seperti tirai di panggung pertunjukan, melapisi ruangan itu.
Luar biasa, pikir Pete. Seperti menyelam di laut yang dalam
saja. Sunyi
senyap, tidak terdengar suara apa-apa. Tirai
kaca itu seakan-akan memisahkan mereka dari dunia luar.
"Sekarang bolehkah aku melihat burung yang kalian bawa
itu?" Maureen Melody berbicara dengan cara yang
biasa. Ia menatap Jupe dengan sorot mata sedih dan memelas.
"Tadinya kukira memang kalian ingin menyerahkan
burung itu kepadaku. Kukira kalian sudah melihat tawaranku
pada siapa yang berhasil menemukan burung ini. Sebagai
pendiri dan pimpinan Kawanku yang Dapat Terbang, aku
membayar dua puluh dolar pada siapa saja yang dapat
membebaskan seekor burung dari kurungannya. Aku tak tahan
melihat seekor burung dikurung. Itu perbuatan yang sangat kejam."
"Kejam," burung beo di pundaknya meniru
perkataannya. "Kejam.
Kejam."
Paling tidak ini sudah menjelaskan apa yang dimaksud dengan
hadiah itu, pikir Jupe. Sekarang gilirannya untuk menjelaskan. Ia mulai dengan
mengatakan bahwa Caesar bukanlah miliknya. Caesar ditinggalkan secara misterius
oleh seseorang yang tidak dikenal. Mereka ingin sekali mengembalikan Caesar
pada pemiliknya.
Bob mengamati Maureen Melody ketika Jupiter berbicara.
Meskipun bertubuh tinggi besar, Maureen Melody
cantik dan menarik. Penampilannya mengingatkan kita pada
seorang bintang film.
"Kalau kita dapat menemukan siapa pemilik
Caesar," Pete menambahkan, "orang itu akan mengembalikan Caesar
pada kumpulannya. Dan Caesar tentu akan hidup di kandang
yang cocok
untuk merpati, tidak di sangkar yang kecil
ini."
"Aku mengerti sekarang." Miss Melody kembali
memainkan mutiaranya dengan jari-jemarinya. Di samping tiga
untai mutiara di lehernya, ia juga memakai anting-anting
mutiara.
"Inilah sebabnya kami datang menemui Anda," kata
Bob. "Aku tahu
bahwa Anda sangat suka burung. Kita pernah
mengobrol soal ini di perpustakaan, ingat? Dan menurut kami
Anda
mungkin saja tahu orang di sekitar sini yang
memelihara dan melatih merpati pacuan."
Miss Melody tidak menjawab. Ia memandang ke luar melalui
jendela. "Maaf," ujarnya. Ia menekan lagi tombol di dinding. Lembaran
kaca terangkat. Sekali lagi riuh-rendah suara burung memenuhi ruangan.
Miss Melody membuka pintu bergaya Prancis. Ada seekor
burung berdiri
di depan pintu. Itu burung murai, pikir
Pete.
Maureen Melody berlutut. Ia
mengambil sesuatu dari paruh murai itu. "Kawan yang pandai sekali,"
mulai lagi ia bernyanyi dengan suara sopran yang jernih. Kali ini ia mengarang
nadanya sendiri. "Kusebut dia Edgar Allan Poe. Kuambil
dari nama seorang pengarang yang termasyhur yang juga penyayang burung. Aku
tahu burung milik Poe adalah burung gagak. Namun aku suka puisinya. Kalian
harus baca puisi-puisi karyanya."
Burung murai tadi terbang kembali ke taman. Miss Melody
menurunkan tirai kaca lagi.
"Burung murai pandai mencuri," katanya dengan
suara normal. "Tetapi kedua muraiku sama sekali bukan pencuri.
Khususnya Edgar Allan Poe. Sebaliknya, Poe selalu
mengembalikan barang-barang. Poe selalu membawakan barang- barang untukku.
Barang yang indah-indah. Lihat!"
Dibukanya telapak tangannya yang gemuk dan putih, dan
ditunjukkannya
apa yang baru saja dibawa Edgar Allan
Poe.
Sebuah mutiara besar berkilau-kilau.
"Ini mutiara ketiga yang dibawakannya untukku dalam
bulan ini,"
katanya. "Aku tidak dapat menduga dari mana
Poe mendapatkan mutiara ini, tapi aku tidak peduli. Mutiara
adalah
benda yang paling kusukai. Mutiara dan burung,
dua sejoli yang merupakan kawanku sehidup semati."
"Kembali pada merpati pacuan," Jupe mengingatkan
Miss Melody. "Anda pernah kenal seseorang..."
Miss Melody menggeleng. "Aku tidak bisa mengingat
siapa-siapa saat ini."
"Oh, kalau kebetulan Anda ingat," Jupe
mengeluarkan kartu Trio Detektif dari kantungnya dan memberikannya pada Miss
Melody, "kami akan sangat berterima kasih kalau Anda menghubungi kami
lagi."
Maureen Melody menerima kartu itu. Tapi sebelum ia dapat
membaca isinya, burung beo di pundaknya terbang dan mengambil kartu itu dengan
paruhnya. Si beo lalu terbang ke tenggerannya.
"Terima kasih," kata Jupe pada Miss Melody.
Meskipun ia suka pada wanita itu, ia berpikir bahwa kedatangan mereka ke situ
tidak membawa hasil apa-apa. Malah ia sendiri merasa seakan-akan ia menjadi
burung yang terkurung dalam ruangan kedap suara tadi.
Sambil tersenyum, Miss Melody membuka tirai kaca. Ia
mempersilakan anak-anak keluar melalui pintu-pintu
bergaya Prancis. Ia tidak tersenyum pada kita, Jupe
memperhatikan, tapi pada mutiara-mutiara dalam genggamannya.
Trio Detektif mengayuh sepeda mereka kembali ke jalan.
Mereka tidak saling berbicara selama mereka masih
berada di Sarang Melody. Dan memang tidak ada gunanya
berbicara di tempat seramai itu. Mereka memacu sepeda
masing-masing, melewati hutan kecil tempat burung-burung
hinggap dan bersarang.
Mereka belum jauh ketika tiba-tiba terdengar suara
melengking
memanggil. Jupe mengira itu cuma lengkingan
suara burung. Tapi ketika menoleh ke arah rumah, ia melihat
Miss
Melody berdiri di depan rumah seraya melambai-
lambai ke arah mereka.
"Aku punya kawan, " terdengar suara sopran Miss
Melody. "Namanya Parker Frisbee. Ia tinggal di kota ini.
Pernah, dia bercerita tentang merpati pacuan. Aku baru
teringat kembali. "
"Parker
Frisbee, " Jupe membalas dengan bernyanyi pula. "Terima kasih!"
Bab 4
JERITAN MEMINTA PERTOLONGAN
"PARKER FRISBEE," Jupe mengulangi ketika Trio
Detektif telah sampai dijalan yang sepi. "Itu nama sebuah toko perhiasan di
Main Street."
Ia mengarahkan sepedanya ke sebuah tempat berumput, lalu
turun. Bob dan Pete bergabung dengannya.
"Kalian tahu apa yang ada di kepalaku?" tanya
Pete. "Aku rasa Maureen Melody benar. Kita harus segera
melepaskan Caesar dari sangkar ini. Biarkanlah Caesar
pergi. Lupakan saja semua ini."
Itulah apa yang dikuatirkan Jupe terhadap Pete. Jupe
mengerti bahwa usul Pete adalah yang terbaik bagi Caesar.
Kalau mereka membuka sangkar itu, Caesar akan terbang dan
bergabung
dengan kumpulannya di kandang tempat
tinggalnya.
Namun dalam pandangan Penyelidik Satu, membiarkan Caesar
terbang pergi adalah hal yang paling buruk yang
dapat mereka lakukan. Bagi Jupe, Caesar lebih dari sekadar
merpati. Caesar adalah suatu rahasia. Jupe sudah mencium bahwa mereka akan
menghadapi suatu misteri yang menarik dan unik. Sebuah kasus.
Pikirannya melayang ke telepon di kantornya dan mesin
penjawab telepon otomatis. Kalau orang berkendaraan
mobil boks hijau itu yang menukar merpati itu tadi malam,
maka cepat atau lambat Blinky akan menelepon. Blinky
pasti menginginkan merpati berjari dua itu kembali. Jupe
ingin sekali melihat reaksi Blinky ketika ia datang untuk
mengambil merpatinya. Jupe ingin sekali menyaksikan
bagaimana air muka Blinky kalau ia menyadari bahwa merpati itu kini berjari
tiga.
Jupe menduga-duga apakah Blinky akan mengenali merpati itu.
"Bagaimana kalau kita pergi dan mampir di Parker Frisbee?" usul
Penyelidik Satu. "Kan tempat itu kita lewati dalam perjalanan pulang ke
kantor."
Ia melihat Bob, mengharapkan dukungannya. Bob menoleh ke
Pete.
"Oke," Pete menyetujui dengan ogah-ogahan.
"Kita mampir di Parker Frisbee."
Frisbee adalah toko perhiasan yang terbaik, dan juga
termahal, di Rocky Beach. Kaca etalasenya tidak dipenuhi dengan jam tangan dan
cincin-cincin kawin. Sebagai gantinya, dipajang seuntai kalung mutiara, dialasi
beludru hitam.
Di kiri kanannya terdapat bros berlian yang berkilau-kilau
tertimpa sinar matahari. Pemandangan dari luar itu seakan mengundang orang agar
masuk ke dalam, untuk menyaksikan keindahan itu lebih dekat.
Di dalam ada beberapa tempat kotak kaca berisi
bermacam-macam perhiasan dan permata. Lebih indah dan juga lebih mahal.
Seorang laki-laki berdiri di belakang salah satu kotak
kaca. Tubuhnya pendek dan agak gemuk. Ia mengenakan jas
bulu berwarna hitam dan celana panjang bergaris-garis. Di
dalam ia memakai kemeja putih serta dasi sutera. Lehernya hampir-hampir tidak
terlihat, tertutup oleh jenggotnya yang hitam dan tebal. Sebagian besar mukanya
tertutup oleh
berewok yang lebat pula. Hanya hidung dan matanya yang
terlihat. Dagu,
mulut, dan bahkan pipinya tertutup oleh
berewoknya.
"Ya?" sapanya ketika Trio Detektif masuk.
"Mr. Parker Frisbee?" tanya Jupe.
"Betul."
Jupiter menjelaskan bahwa mereka kawan Miss Maureen Melody.
Mata Mr. Frisbee melebar ketika nama itu
disebut. Penyelidik Satu mengatakan bahwa Miss Melody yang
memberi tahu mereka tentang Mr. Frisbee. Menurut
Miss Melody, Mr. Frisbee ahli tentang merpati pacuan. Jupe
ingin tahu
apakah Mr. Frisbee dapat menolong mereka
mencari siapa pemilik merpati pacuan yang mereka temukan.
"Oh, aku tidak terlalu ahli dalam soal ini," Mr.
Frisbee menjawab dengan rendah hati. "Memang, aku pernah punya
beberapa ekor merpati. Dan aku melatih mereka secara
amatiran. Tapi aku sudah tidak melakukannya lagi sejak beberapa tahun yang
lalu."
Ia melirik pada sangkar yang dibawa Pete. "Apakah
burung itu berada di situ?"
"Ya." Pete mengangkat sangkar Caesar, sehingga
Mr. Frisbee dapat melihat dengan lebih jelas.
Mr. Frisbee meneliti Caesar selama beberapa saat dengan
penuh perhatian.
"Di mana kalian menemukannya?" tanyanya.
"Bagaimana sampai merpati ini berada di tangan kalian?"
"Seseorang meninggalkannya dalam pangkalan kami,"
jawab Jupe. Ia
berusaha untuk tidak menyebut-nyebut nama
Blinky.
"Siapa?"
"Kami tidak tahu," sahut Pete. "Tahu-tahu
sudah ada di pangkalan.
Itulah sebabnya kami datang ke sini. Mungkin Anda tahu
siapa..."
Mr. Frisbee menggeleng. Ia tertawa kecil.
"Itu bukan merpati pacuan Belgia," katanya.
"Kalian lihat, itu induk merpati, merpati betina. Orang tidak
mengikutsertakan merpati betina dalam pacuan."
"Oh, tapi-" Bob hendak mengatakan sesuatu. Namun
ia mengurungkan niatnya. Ia buru-buru menutup mulutnya.
"Mungkin Anda punya ide atau petunjuk siapa pemilik
merpati ini?" tanya Jupe.
"Sama sekali tidak." Mr. Frisbee mengangkat
bahunya. Jupe mengira Mr. Frisbee tersenyum. Sukar sekali untuk
melihat senyumnya di balik jenggotnya yang tebal itu.
"Maaf, aku tidak dapat membantu kalian, Anak-anak. Tolong sampaikan
salamku pada Miss Melody."
"Baik, Mr. Frisbee," balas Jupe. "Terima
kasih."
Trio Detektif kembali ke Main Street bersama Caesar.
Mereka harus menunggu sebelum dapat menjalankan sepeda
mereka. Sebuah mobil hitam, yang tadi diparkir di pinggir jalan, kini meluncur
dengan cepat. Anak-anak sampai merasakan embusan angin akibat kencangnya mobil
hitam itu.
Setelah mobil hitam tadi lewat, Jupe dan Pete hendak
mengayuh. Bob menahan mereka. Ia menoleh sesaat ke arah toko perhiasan.
"Ada apa?" tanya Jupe padanya.
"Aku tak yakin." Bob mencopot kaca matanya, lalu
mengelapnya. Dahinya berkerut-kerut. "Ada dua kemungkinan.
Parker Frisbee tidak tahu apa-apa tentang merpati
pacuan-maksudku
benar-benar tidak tahu-atau ia tidak jujur pada
kita."
"Buat apa dia bohong?" ujar Pete dengan cepat.
"Aku tak tahu." Bob memakai kaca matanya kembali.
"Tapi buku yang tadi pagi kupinjam dari perpustakaan
mengatakan bahwa merpati betina juga diperlombakan. Bahkan
beberapa juara dunia perlombaan itu adalah merpati- merpati betina."
Jupe menatap Bob dalam-dalam. Kemudian ia melihat jam
tangannya. "Sudah hampir waktu makan malam,"
katanya. "Bagaimana kalau kita makan malam dulu di
rumah masing- masing? Baru setelah itu kita kumpul lagi di kantor untuk
membahas seluruh kejadian ini."
"Oke," kata Pete menyetujui. "Tapi kalau
kita tetap mau menahan Caesar, aku tidak mau Caesar dikurung dalam
sangkar kecil ini. Caesar harus mendapat tempat yang layak
bagi seekor burung merpati, yaitu sangkar besar yang kemarin kau buat,
Jupe."
"Oke, Pete," kata Jupe seraya mengangguk. Ia lalu
mengayuh sepedanya. Dan itulah yang mereka lakukan pertama kali mereka
berkumpul di kantor Trio Detektif setelah makan malam.
Sangkar buatan Jupe terlalu besar untuk bisa masuk ke dalam
lorong menuju kantor. Namun Trio Detektif mempunyai jalan rahasia lain untuk
masuk ke dalam kantor. Salah satunya ialah melalui seutas tali dari atap
karavan. Dengan jalan ini, mereka akan masuk dari atas kantor. Jalan ini mereka
namakan Darurat Satu.
Pete yang mula-mula masuk. Ia memanjat tumpukan barang
rongsokan yang menggunung menutupi karavan.
Ketika Pete telah turun melalui tali itu, Jupe dan Bob
menurunkan Caesar yang masih berada dalam sangkar kecilnya.
Kemudian sangkar buatan Jupe diturunkan pula melalui atap
karavan. Sekarang giliran Bob meluncur.
Jupe mendapat giliran terakhir. Sambil berpegangan pada
tali, ia
menutup atap karavan dari dalam. Pete dan Bob
sudah memindahkan Caesar dari sangkar kecilnya ke tempatnya
yang
lebih besar. Jupe tidak memperhatikan kedua
kawannya. Matanya dengan cepat melihat pada mesin penjawab
yang
telah dihubungkan dengan telepon.
Mata Jupe bersinar-sinar. Lampu mesin itu menyala. Berarti
ada orang yang menelepon tadi. Dan orang itu
menyampaikan pesan. Blinky, pikir Jupe. Pasti Blinky yang
menelepon. Jadi, pelakunya adalah pengemudi mobil boks
hijau itu... Pikiran Jupe bergerak cepat. Bergegas
dihampirinya mesin penjawab otomatis itu.
"Dengarkan ini," katanya sambil menghidupkan
mesin penjawab dan pengeras suara.
Bob dan Pete diam mendengarkan. Jupe duduk di kursi goyang
agar dapat berkonsentrasi pada isi pesan dalam mesin itu.
"Tolong!" terdengar suara Maureen Melody.
"Tolong aku!" Pecinta burung yang nyentrik itu bernyanyi dengan nada
yang menyayat hati.
"Ada pembantaian besar-besaran! Aku keluar. Dan... di
luar kutemukan tubuh-tubuh burungku yang malang... "
Suaranya menjadi serak. Ia tak kuasa menahan rasa dukanya.
"Edgar Allan Poe. " Ratapannya terdengar amat
memilukan. "Poe dipukul hingga mati! Dan aku menemukan
bangkai
lainnya. Salah satu rajawaliku... Oh, tolong. Tolonglah aku. Seseorang membunuhi
burung-burungku!"
Bab 5
MAUT MENGINTAI DI BALIK PEPOHONAN
"SEWAKTU menemukan kartu kalian, aku baru sadar bahwa
kalian adalah detektif," kata Maureen Melody.
"Aneh, aku merasa ini suatu takdir."
Trio Detektif sudah berada kembali di rumah Miss Melody.
Mereka kini duduk dalam ruangan kedap suara.
"Kalian lihat sendiri, aku tidak mau memanggil
polisi," lanjutnya sambil mengelus-elus burung beo di pundaknya.
"Aku sudah keseringan berurusan dengan mereka.
Bolak-balik polisi itu datang ke sini. Biasanya mereka
menyampaikan protes atau keluhan dari tetangga yang
terganggu oleh bisingnya suara burungku yang manis-manis.
Apa maunya mereka itu? Justru mereka seharusnya bersyukur
mendapat kesempatan untuk mendengar suara semerdu itu."
Mungkin tetangga Anda tidak dapat bertenggang rasa dan
hanya suka pada kesunyian, pikir Pete, tapi ia tidak berkata apa-apa.
Penyelidik Satu sibuk meneliti bangkai dua ekor burung yang
terbaring pada sehelai kain putih di meja. Kepala
burung murai itu remuk, seperti dipukul dengan benda keras.
Tetapi tidak ada tanda-tanda kekerasan pada bangkai si rajawali. Mungkin burung
ini diracun, pikir Jupe.
"Makanan apa yang biasa Anda berikan pada rajawali
ini?" tanya Jupe. "Kenapa? Daging, tentu saja," jawab Miss
Melody. "Rajawali kan termasuk karnivora. Dan rajawali pemburu yang amat
lihai. Sering kali burungku ini mencari makanan sendiri. Sekali waktu dapat
tikus, lain waktu dapat kelinci
dan..." Ia menghela napas. "Dan apa saja yang
berhasil mereka jumpai. Aku sering khawatir. Kadang-kadang burung ini
bandel."
"Kejam," burung beo di pundak Miss Melody
bersuara. "Kejam. Kejam." Jupe mengangguk. "Di mana Anda temukan
bangkai burung ini?" tanyanya.
"Edgar Allan Poe tergeletak di ujung taman. Ketika
kupungut, aku..."
Ia mengambil sehelai sapu tangan kecil dari kantungnya.
Ditutupnya mulutnya dengan sapu tangan itu, seolah-olah agar ingatannya segar
kembali.
"Rajawaliku yang indah terbaring di antara
pepohonan," akhirnya ia
melanjutkan, "di tempat biasanya kuletakkan
makanan untuk mereka. Melihatnya, aku menjadi curiga.
Biasanya
rajawaliku makan. Tapi kali itu tidak, cuma
terbaring... tidak bergerak."
Jupe turut merasa prihatin.
"Bolehkah kami melihat tempat itu?" tanya Jupe.
"Tentu boleh." Maureen Melody memandang ke luar
melalui pintu bergaya Prancis. Di luar hampir gelap. "Akan kuambil senter
dulu."
"Tidak usah repot-repot," kata Jupe. "Kami
membawa senter yang bisa diikatkan di kepala. Tunjukkan saja tempatnya, nanti
akan kami teliti tempat itu."
Riuh suara burung sudah mulai berkurang pada saat matahari
mulai terbenam. Ketika Trio Detektif mengikuti Miss Melody menyeberangi taman,
mereka hanya sesekali mendengar suara burung hantu dan burung kakaktua dari
balik kerimbunan hutan kecil.
"Edgar Allan Poe kutemukan tepat di sini,"
Maureen Melody tiba-tiba
berhenti. Ia menunjuk ke suatu tempat di
tanah.
Jupe mengarahkan senternya pada titik yang ditunjuk oleh
Miss Melody. Ia berjongkok dan memungut sehelai bulu.
Ada percikan darah menempel pada bulu itu. Miss Melody
gemetar melihatnya.
"Dan rajawali itu di sebelah sana." Ia menunjuk
lagi. "Sekarang, kalau kalian tidak keberatan, kurasa... kurasa aku
lebih baik kembali ke rumah. Aku ingin berbaring untuk
beristirahat.
Kalian boleh menyelidiki tempat ini sesuka
kalian."
Ia melipat tangannya seperti menahan dingin. Badannya
gemetar.
Dengan bergegas ia berlari masuk ke rumahnya.
Jupe merasa lega dengan situasi itu. Memang, ia merasa
prihatin pada nasib yang dialami Maureen Melody. Ia
mengerti bagaimana perasaan orang yang kehilangan sesuatu
yang amat
disayanginya. Tetapi Jupe merasa lebih bebas
bila Trio Detektif dapat menyelidiki tempat itu tanpa
ditemani orang
lain.
Ia mendekati tempat ditemukannya rajawali piaraan Miss
Melody. Tidak ada bulu berserakan di sana. Tidak ada
pula cacahan daging. Kalau rajawali itu diracuni, mungkin
sebelum
ajalnya masih sempat menghabiskan makanannya,
pikir Jupe. Atau mungkin pula orang yang meracuni sudah
membersihkan
sisa-sisa makanan yang tertinggal, agar
perbuatannya tidak diketahui.
Jupe menyenter sekeliling tempat itu dengan teliti.
"Sayang sekali," katanya sambil
menggeleng-geleng.
"Apanya?" Bob tidak bisa membayangkan apa yang
sedang dipikirkan Penyelidik Satu.
"Tanah ini keras."
Jupe merasa keterangan itu sudah cukup bagi kawan-kawannya.
Ia tidak menjelaskan lebih jauh lagi. Pikirannya
sudah melesat jauh. Harus segera diambil tindakan, Jupe
memutuskan.
"Baik," katanya. "Kita berpencar. Bob, kau
ke sebelah kiri. Dan Pete, kau ke kanan. Aku akan lurus ke depan.
Oke?"
"Oke," Pete menyetujui. "Tapi sebelumnya jelaskan
dulu sesuatu padaku, ya Jupe?"
"Apa?"
"Apa yang kita cari?"
"Jejak." Jupe menyinari lagi tanah dengan
senternya. "Tidak ada jejak di sini karena tanahnya terlalu keras. Namun
beberapa hari yang lalu hujan turun dan mestinya ada banyak
tanah yang lembut di antara pepohonan. Dari apa yang
dikatakan Miss Melody tentang tetangganya, aku bisa
menyimpulkan bahwa tidak banyak tetangganya yang
berkunjung ke sini. Jadi, kalau kita berhasil menemukan
bekas-bekas tapak kaki, kemungkinan besar itu adalah jejak pembunuh
burung-burung ini."
"Benar sekali," sambut Pete dengan bersemangat.
"Jadi sekarang kita mencari jejak si pembunuh. Habis itu apa?
Kita buat cetakan jejak itu untuk mencari siapa orang yang
kira-kira
kakinya atau sepatunya cocok dengan cetakan
itu?"
Jupe menghela napas.
"Blinky," ia menjelaskan dengan tidak sabar.
"Kau tidak memperhatikan sepatu yang ia pakai waktu itu? Sepatunya besar,
dan ujungnya runcing. Mengerti sekarang?"
"Tentu," jawab Bob. "Kalau kita menemukan
jejak dengan ujung yang aneh, maka mungkin itu jejak Blinky. Dan
kalau jejak itu ujungnya biasa saja, hmm, itu ada artinya
juga bagi kita." "Berarti itu bukan jejak Blinky," kata Pete
sambil mengangguk-angguk. "Apa yang harus kuperbuat kalau aku mendapatkan
sesuatu?"
"Beri isyarat dengan sentermu," Jupe
menginstruksikan. "Tiga kali panjang, tiga kali pendek. Teruskan sampai
kau melihat balasan sinar sen ter."
Trio Detektif berpencar di hutan kecil yang cukup lebat
itu.
Jupiter membungkukkan badannya sambil bergerak maju,
selangkah
demi selangkah. Senternya menyinari setiap
jengkal tanah yang dilaluinya. Ia mendapat tempat yang
tidak
menguntungkan. Banyak semak di sana, dan tanahnya
berkerikil tajam. Hampir tidak ada tanah yang lembut. Tidak
dijumpai
jejak di daerah yang diselidikinya.
Ia mengira-ngira bagaimana keadaan yang dijumpai
kawan-kawannya. Namun tiba-tiba ia terhenyak. Sorot
senternya menangkap suatu benda gelap di antara semak-semak
sebelah kanannya.
Ia memperhatikan benda itu beberapa saat. Kemudian
berlutut. Didekatinya benda itu. Ia mengarahkan senternya lebih dekat pada
benda yang dilihatnya tadi.
Sekonyong-konyong terdengar suara burung hantu dari suatu
tempat di dalam kegelapan. Suara yang terdengar
seperti jeritan itu tidak mengagetkan Jupiter. Tetapi ada
sesuatu yang lain. Jupiter merasakan ada sesuatu yang bergerak di belakangnya.
Yang pertama kali didengarnya adalah sebuah desingan halus.
Secara naluriah, Jupe bergerak mengelak ke
samping. Sebuah tongkat kayu berdesing persis di samping
kepalanya. Kepala Jupe terhindar. Namun bahunya terpukul keras.
Jupe merasakan nyeri yang menyengat di bahunya. Dalam
kesakitan itu ia berusaha untuk memegang senternya
agar tidak jatuh. Ia berguling di tanah sambil mendekap
senter di dadanya.
Ketika berguling, sinar lampu senternya menyorot ke atas.
Sekelebatan tampak seseorang berjaket hitam. Dan sorot senter berhenti tepat
pada muka orang itu.
Sukar untuk menggambarkan muka itu. Hanya sedikit yang
dapat
dikatakan, karena cuma hidung dan kaca mata
yang nampak menonjol pada muka yang penuh bulu itu. Seluruh
dagu,
pipi, dan bibir atasnya tertutup oleh jenggot
dan berewok yang tebal.
Untuk sesaat orang itu terkejut karena terkena sorotan
senter. Detik
berikutnya ia berbalik lalu menghilang di balik
semak-semak.
Jupe tidak mencoba mengejarnya. Ia bangkit sambil
memijat-mijat bahunya yang terpukul. Rasa sakitnya belum
berkurang. Ketika sudah merasa tenang, ia menyorot
senternya ke suatu arah, untuk memberi isyarat. Tiga kali
panjang, tiga kali pendek. Terus dilakukannya itu, sampai dilihatnya
balasan senter Pete dari sela-sela semak-semak.
"Jupe?"
"Di sini," Jupe menyahuti.
Pete menerabas semak-semak itu, mengikuti arah suara Jupe.
Sesaat kemudian Bob bergabung. Jupe kembali
memijiti bahunya. Ia masih kesakitan. Dan itu terlihat
jelas oleh kedua kawannya.
"Apa yang terjadi?" tanya Bob khawatir.
"Parker Frisbee," jawab Jupe. "Ia
menyerangku dengan sebatang kayu. Untungnya, senterku secara kebetulan
menyorot tepat di mukanya. Ia kelihatan terkejut, lalu lari
ke arah sana."
"Kau dengar waktu ia lari tadi, Bob?"
Bob menggeleng. "Banyak sekali semak di sini,"
ujarnya, "sehingga aku belum beranjak jauh dari tempatku
semula. Kalau orang itu lari ke arah gerbang, pasti ia
tidak lewat dekat tempatku."
"Kita akan mengejar dia sekarang?" tanya Pete
dengan gelisah.
Mengejar seseorang bersenjata kayu di tengah kegelapan
bukan sesuatu yang menyenangkan baginya.
"Tidak." Ide itu tidak terbersit pula dalam benak
Jupe.
Pete menarik napas lega.
"Aku menemukan sesuatu," kata Jupe lagi.
Ia berpaling dan menyinari daerah di sekitarnya. Ia
menemukan sesuatu yang dilihatnya sebelum diserang tadi.
Kembali ia berlutut. Ditelitinya benda yang dilihatnya
tadi. Bob dan Pete berlutut di sampingnya.
"Astaga!" desis Pete tertahan. "Itu seperti
se..."
"Ya," Jupe menegaskan. "Tepat sekali. Seekor
merpati yang telah mati!" Nasib merpati itu sungguh menyedihkan. Kepala
dan badannya remuk sama sekali. Hampir tidak ada yang tersisa.
Cuma bulu-bulu, satu sayapnya, dan kedua kakinya yang
tertinggal.
Jupe memegang salah satu kaki merpati malang itu. Di situ
terikat sebuah pita aluminium.
Jupe mencopot pita itu. Diperhatikannya pita itu di bawah
sorot senter Bob. Pita aluminium itu dilipat sedemikian
rupa untuk menyimpan sesuatu. Dengan hati-hati Jupe membuka
lipatan aluminium itu. Di dalamnya terdapat sebuah kertas terlipat.
Kini ia membuka lipatan kertas. Ada pesan tertulis pada
kertas itu.
Trio Detektif saling mendekat untuk melihat lebih jelas apa
yang tertulis di situ.
"Apa itu?" seru Pete.
Jupe harus mengakui bahwa tulisan itu membingungkannya
pula. Ia bahkan tidak dapat menebak huruf apa yang tertulis. Huruf itu sama
sekali berbeda dengan huruf latin. Bahkan tidak mirip sedikit pun dengan huruf
Yunani.
Nampaknya lebih dekat ke...
"Cina," tebak Bob. "Atau Jepang. Tulisan ini
mengingatkanku pada buku- buku dan koran-koran di perpustakaan.
Di kota cukup banyak pembaca tulisan Jepang. Aku sering
mengembalikan buku-buku Jepang ke rak."
Jupe mengernyit. Ia menyimpan kertas itu dalam kantung
bajunya.
Sekali lagi diamatinya merpati yang telah mati itu.
"Lihat!" serunya. "Lihat kaki kirinya!"
Bob dan Pete melihat.
Kaki merpati
itu tidak remuk seperti pada bagian yang lainnya. Namun pada kaki kirinya hanya
terdapat dua jari!
Bab 6
PERTOLONGAN VAN DON
"AKU tidak dapat melukiskan betapa gembiranya mendapat
kunjungan kalian," kata Hector Sebastian. "Kunjungan
kalian selalu menimbulkan ide-ide baru, yang sangat berguna
bagi novel- novelku."
Pagi itu adalah keesokan hari setelah ditemukannya bangkai
merpati di kediaman Miss Melody. Hector Sebastian
dan Trio Detektif berkumpul di dapur rumahnya yang terletak
di bukit, dekat Malibu.
Rumah itu dulunya dipakai sebagai restoran bernama
Charlie’s Place. Sebastian membeli restoran itu, setelah
novelnya yang berjudul Warisan Laknat diangkat ke layar
putih. Secara bertahap ia mengubah restoran itu menjadi rumah yang nyaman. Ia
sendiri menyebutnya rumah yang megah. Dapurnya tidak perlu diubah lagi. Dapur
itu besar, terang benderang, dan dilengkapi dengan peralatan modern.
Tungku dan kompor gas, dua buah lemari es, kipas penyedot
asap, serta berbagai macam peralatan memasak tersedia
di sana. Semua itu cukup untuk membuat makanan bagi lima
atau enam puluh orang.
Dapur itu boleh dikatakan dapur idaman setiap juru masak.
Seorang juru masak yang ahli akan betah memasak di
sana, bahkan akan dengan senang hati memasak lima kali
sehari.
Namun pembantu rumah tangga Hector Sebastian, Hoang Van
Don, lain dari yang lain. Ia hanya menyukai
masakan yang sehat dan bergizi, kadang-kadang tanpa
memperhatikan rasanya. Padahal Hector Sebastian suka juga
pada makanan-makanan yang enak, meskipun kurang bergizi.
Dalam hal ini Hoang Van Don akan memprotesnya,
sambil mengingatkan betapa buruknya makanan tidak bergizi
bagi kesehatan tubuh kita.
Saat ini Don sedang ke luar rumah. Ia diminta anak-anak
untuk membantu mereka mencarikan sesuatu.
"Ini baru makanan," kata Hector Sebastian seraya
mengeluarkan empat buah hamburger dan sebungkus besar
french fries. Ia membelinya di sebuah kedai, tanpa
sepengetahuan Don. Menitik air liur Pete melihatnya. Ia sendiri tidak keberatan
dengan masakan Don. Dan memang hampir semua
makanan bisa dilahapnya, termasuk masakan Don. Tetapi
hamburger adalah makanan favorit Pete.
"Apa yang dimasak Don hari ini?" tanya Pete.
"Ia masih suka memasak ikan mentah, Mr. Sebastian?"
"Kadang-kadang." Hector Sebastian sibuk melahap
french fries yang diolesi saus tomat. "Semalam ia masak ganggang
laut."
"Hmm, aku ingin tahu seperti apa rasanya,"
komentar Pete. Setelah berkata begitu ia melahap hamburgernya.
Mr. Sebastian dulu bekerja sebagai detektif swasta di New
York. Ia mulai menulis novel-novel misteri sejak ia dirawat karena kakinya
terluka parah. Sampai sekarang ia masih bertelekan tongkat untuk berjalan.
"Untung ya, rumah teman Don itu jauh dari sini,"
katanya setengah
bersyukur. "Kita bisa makan tanpa diprotes
olehnya."
Don sedang menemui temannya yang berkebangsaan Jepang. Ia
kenal dengan temannya itu dari klub karate di
Malibu. Don dengan senang hati membantu anak-anak untuk
menanyakan arti pesan berhuruf Jepang yang mereka temukan tadi malam.
"Don paling-paling baru akan kembali satu jam
lagi," Mr. Sebastian melanjutkan. "Kita masih punya cukup waktu
untuk membersihkan semua ini sebelum dia pulang." Ia
tersenyum pada Penyelidik Satu di seberang mejanya. "Kau tidak
menghabiskan hamburgermu, Jupe?"
Jupiter menggeleng dengan sopan. Ia merasa bangga dengan
dirinya sendiri karena dapat menahan diri untuk tidak makan terlalu banyak.
Setengah hamburger tidak akan membuatnya tambah gemuk.
"Sekarang kalian ceritakan bagaimana kalian
mendapatkan pesan berhuruf Jepang itu?" Hector Sebastian bertanya pada
Jupe. "Boleh kan, kalau aku tahu sekarang."
Penyelidik Satu bimbang sejenak. Ia mengerti bahwa penulis
kisah misteri selalu tertarik pada kejadian yang aneh- aneh. Dan ia juga sering
mendapatkan bantuan dari Hector Sebastian sebelumnya. Kini, bukannya ia tidak
mau
menceritakan apa yang sedang terjadi, tetapi ia sendiri
belum yakin bagaimana duduk persoalan dalam kasus pembunuhan burung-burung ini.
Tapi akhirnya diceritakannya juga apa yang telah mereka
alami sehari sebelumnya. Dijelaskannya bagaimana
mereka menemukan pesan yang terbungkus dalam pita aluminium
di kaki burung merpati yang telah mati. Dikatakan
pula bahwa Bob menduga itu tulisan Jepang. Dan setelah
dicocokkan dengan buku-buku di perpustakaan, ternyata dugaan Bob benar.
"Aku senang kalian berkunjung kemari membawa pesan
itu," kata Mr. Sebastian. "Meskipun sebenarnya Don yang
membantu kalian kali ini, bukan aku. Tapi kedatangan kalian
memberiku kesempatan untuk menikmati hamburger
Ia meraih tongkat yang tergantung di belakang kursinya.
Sambil bertelekan pada tongkat itu, ia berdiri.
"Sekarang kita mesti cepat-cepat melenyapkan sisa-sisa
makanan ini sebelum Don kembali," ujarnya. "Aku tidak ingin mendengar
omelan Don."
Anak-anak membersihkan piring dan membuang sisa makanan ke
dalam tempat sampah di dapur. Sehabis
menyusun piring di rak, mereka mendengar suara mobil Don
datang. "Cepat. Pindah ke ruang tamu," Hector Sebastian mengingatkan
mereka. Ia berjalan terpincang-pincang masuk ke
ruang tamu yang luas dengan sederetan jendela yang
memperlihatkan pemandangan ke laut lepas. Ia duduk di meja
besar di salah satu sisi ruang tamu itu. Trio Detektif
mengambil tempat di kursi-kursi di sekeliling meja itu.
Jupe mendengar suara pintu belakang dibuka. Pintu belakang
langsung menuju dapur. Ia berdiri dari kursinya.
Tidak sabar ia menanti berita yang dibawa Don dari temannya
itu. Sebentar lagi akan ada petunjuk tentang apa isi
pesan yang diperolehnya dari merpati di kediaman Miss
Melody kemarin. Ia akan lebih mengerti persoalan yang terjadi. Dan dari situ ia
berharap dapat memecahkan misteri pembunuhan burung-burung itu.
Ia menunggu. Lehernya bergerak-gerak karena tidak sabar
menunggu berita yang dibawa Don.
Langkah-langkah Don terdengar melintasi dapur. Kemudian
sunyi. Don berhenti di dapur. Jupe mendengar suara seperti orang membaui
sesuatu.
Baru semenit kemudian Don muncul. Ia menghampiri mereka
melewati rak buku yang memisahkan ruang kerja Mr.
Sebastian dengan ruang tamu.
"Bagaimana?" tanya Jupe begitu melihat Don.
"Apa bunyi pesan itu?"
Don berhenti beberapa meter dari meja. Ia berdiri tegak
sambil berkacak-pi nggang.
"Pertama aku ingin bertanya dulu," katanya.
"Pertanyaan tentang apa yang..."
"Ayolah," pinta Jupe padanya. "Ceritakan
dulu isi pesan itu. Apa arti tulisan itu?"
Don bimbang. Alisnya berkerut-kerut. Ia menimbang-nimbang
apa yang akan dilakukannya.
"Oke," akhirnya ia berkata. "Aku jawab
pertanyaanmu dulu. Setelah itu giliran kalian menjawab pertanyaanku."
Ia mengambil sehelai kertas kecil dari kantungnya.
Dilihatnya tulisan di sana.
"Pesan itu berarti, Tidak ada mutiara hari ini. "
"Tidak ada mutiara hari ini," Jupe mengulangi
sambil tepekur. Pikirannya berpindah-pindah dengan cepat dari satu
peristiwa ke peristiwa lain. Mutiara. Merpati. Rajawali
yang mati. Burung murai. Parker Frisbee.
"Dan
sekarang jawab pertanyaanku," kata Don dengan tegas. "Apa yang
menyebabkan dapur berbau seperti itu?"
Bab 7
BENTROKAN
SETELAH meninggalkan rumah Hector Sebastian, Trio Detektif
langsung menuju kantor mereka.
Banyak pertanyaan berkecamuk di kepala Jupe. Ini membuatnya
ingin cepat-cepat duduk di kursi goyang di
belakang meja sambil berdiskusi dengan Pete dan Bob. Ia
tahu apa yang ia perlukan sekarang. Sediakan waktu untuk
duduk tenang dan berpikir tentang masalah ini, kata Jupe
dalam hatinya. Anak-anak mengayuh sepeda mereka memasuki pangkalan barang
bekas. Mereka langsung menuju sebuah timbunan barang rongsokan. Di balik
timbunan itu terdapat karavan tua yang mereka jadikan kantor Trio Detektif.
"Ah, kalian sudah pulang." Bibi Mathilda muncul
di pangkalan. Ia
mendatangi anak-anak yang baru sampai di
sana.
Bibi Mathilda seorang yang baik hati. Ia mengasuh Jupiter
seperti mengasuh anaknya sendiri. Ini sudah
dilakukannya sejak orang tua Jupiter meninggal dunia. Bibi
Mathilda mempunyai sifat yang khas. Ia senang melihat anak-anak bekerja.
Kali ini ia punya suatu pekerjaan buat anak-anak. Paman
Titus baru saja membeli segerobak besi siku-siku. Anak-
anak diminta untuk memisahkannya sesuai dengan ukuran besi
itu.
Jupe mendesah. Dengan termangu dipandangnya tumpukan besi
itu. Sebenarnya ia suka sekali bekerja, apalagi
untuk membantu paman dan bibinya. Tetapi kali ini ia
sendiri punya
suatu kepentingan. Namun ia tahu bahwa ia tidak
bisa mengelak kalau Bibi Mathilda sudah mengambil
keputusan.
Pekerjaan ini akan memakan waktu satu jam, ia
mengira-ngira.
Ternyata pekerjaan itu memakan waktu lebih dari satu jam.
Bibi Mathilda meminta mereka untuk memeriksa sekali lagi setiap kotak yang dipakai
untuk memisahkan besi-besi itu. Setelah itu baru ia membebaskan anak-anak.
"Baik," akhirnya ia berkata. "Kalian sudah
bekerja dengan baik sekali. Sekarang kalian boleh kembali bermain- main dengan
teka-teki kalian."
Jupiter tidak pernah menerangkan pada Bibi Mathilda bahwa
mereka adalah detektif sungguhan. Bibi Mathilda
menyangka mereka cuma anggota suatu perkumpulan penggemar
teka-
teki yang banyak dijumpai di koran-koran dan
majalah.
Jupe menunggu sampai bibinya masuk ke dalam kantor
pangkalan itu.
Kemudian ia menyingkirkan sebuah kisi besi
yang sekilas tampak seperti tidak sengaja terletak di situ.
Di baliknya terdapat pipa rahasia untuk masuk ke dalam
kantor. Pipa itu cukup besar untuk dilalui orang, dan
mereka menamakannya Lorong Dua. Ketiga anak itu merayap
memasuki
pipa. Pete masuk terakhir, sehingga dialah
yang menutup kisi besi kembali agar menutupi Lorong Dua.
Sewaktu mencapai ujung lorong itu, Jupe mengangkat tingkap
di atas kepalanya. Tingkap itu langsung menuju kantor Trio Detektif.
Ia melihat pada alat penjawab telepon otomatis. Lampu tidak
menyala. Berarti tidak ada yang menelepon tadi. Ia
duduk di belakang mejanya. Pete duduk santai di sebuah
kursi. Kakinya
diistirahatkan di atas sebuah laci tempat
menyimpan berkas. Bob duduk di sebuah bangku tanpa
sandaran.
Digesernya bangku itu supaya ia dapat bersandar ke
dinding. Ia mengeluarkan catatannya.
Seperti biasanya, Jupe-lah yang membuka pembicaraan.
"Mutiara," katanya. "Selalu mutiara yang
muncul di mana-mana."
"Juga merpati," tambah Pete seraya menengok pada
Caesar yang sedang bertengger di sebuah kawat dalam
sangkarnya yang besar. "Berjari tiga. Berjari dua.
Yang hidup. Yang mati. Di mana-mana merpati."
"Mutiara," ulang Jupe lagi. "Pesan itu
berbunyi, Tidak ada mutiara hari ini. Maureen Melody sangat gemar pada
mutiara. Bahkan ia punya seekor burung murai yang sering
membawakan mutiara baginya."
"Edgar Allan Poe." Bob mengangguk, lalu melihat
catatannya. "Edgar Allan Poe membawa mutiara waktu kita
berkunjung ke sana. Dan Miss Melody berkata, ’Ini mutiara
ketiga yang dibawanya dalam bulan ini.’" "Kemudian seseorang membunuh
Edgar Allan Poe," Jupe melanjutkan. "Mungkin Parker Frisbee. Dan
Frisbee
adalah seorang pedagang perhiasan. Ia juga menjual dan
membeli
mutiara. Jadi jika mutiara adalah kunci dari misteri
ini..." Jupe terdiam sejenak. "Jika mutiara
adalah penyebab utamanya,
pertanyaannya sekarang ialah apa peran merpati
di sini? Apa hubungannya merpati dengan mutiara?"
Ia terdiam lagi. Kali ini karena telepon berdering. Jupe
memindahkan sakelar sehingga telepon terhubungkan
dengan pengeras suara. Dengan demikian kedua kawannya dapat
turut mendengarkan apa yang dipercakapkan.
Kemudian ia mengangkat telepon itu.
"Halo. Trio Detektif di sini," katanya.
"Halo. Bisa bicara dengan Jupiter Jones?"
Terdengar suara yang pernah dikenal anak-anak. "Aku ingin bicara dengan
Jupiter Jones."
"Aku sendiri Jupiter Jones," kata Jupe meyakinkan
orang itu.
"Oh." Sunyi sesaat. "Kuharap kau masih ingat
aku. Kita pernah bertemu di Kedai Kuda Laut beberapa hari yang
lalu. Aku meninggalkan sebuah kotak di sana. Maksudku,
kotak itu
tertinggal, aku kelupaan. Sewaktu aku kembali,
pelayan kedai itu mengatakan mungkin kotak itu kalian
bawa."
Jupe menutup tempat bicara telepon dengan tangannya.
"Blinky," bisiknya dengan penuh kegirangan kepada
kedua kawannya. "Halo?" Orang itu menjadi gelisah. "Halo? Halo?
Kau dengar aku tidak?" "Ya, aku dengar," sahut Jupe. "Dan
tentu saja aku masih ingat pertemuan kita di sana."
Kini sepi kembali, tidak ada yang berbicara.
"Kau membawanya?" akhirnya orang itu bertanya.
"Kau masih menyimpan kotakku?"
"Ya, tentu saja," jawab Jupe. "Kotak
bertutupkan kain katun tipis.
Benda itu ada di tempatku, tersimpan dengan aman. Kami
memang menjaganya baik-baik, takut kalau-kalau kau menelepon untuk menanyakannya."
"Oh." Orang itu nampak lega. "Kalian baik
sekali. Maksudku, kalian patut diberi hadiah. Kalau kalian
mengembalikan kotak itu utuh kepadaku, akan kuberi dua
puluh dolar.
Hitung-hitung mengganti waktu dan kebaikan
kalian."
"Terima kasih,"
kata Jupe. "Ke mana kami harus antarkan kotak ini?" "Well, aku
tahu tempat tinggalmu... maksudku, aku tahu kau tinggal di Rocky Beach.
Bagaimana kalau kita
berjumpa di suatu tempat di sekitar sana? Mmmm, bagaimana
kalau di pelataran parkir Bank Amco?"
"Oke," Jupe menyetujui. "Jam berapa?"
"Jam sembilan malam ini?"
Jupe juga setuju dengan usul itu.
"Jam sembilan, ya," orang itu mengulangi.
Kekhawatiran tampak dari caranya berbicara.
"Wah," seru Pete ketika Jupe meletakkan gagang
telepon. "Dua puluh dolar!"
Penyelidik Satu seperti tidak menghiraukan seruan Pete. Ia
menarik- narik bibir bawahnya. Otaknya bekerja keras.
"Aku masih menyimpan kain katun itu." Bob menarik
sebuah laci. "Kau mau mengembalikan Caesar ke
sangkarnya yang lebih kecil lalu menutupnya dengan kain
seperti semula?"
Jupe tidak menjawab. Baru semenit kemudian ia menjawab
dengan gelengan.
"Pertama-tama, kita harus meneliti apa yang dikatakan
Blinky." Jupiter berpikir keras kembali. "Ia bilang, Aku
tahu di mana kau tinggal.’ Lalu ia mengoreksi dirinya dan
mengatakan, ’Maksudku, aku tahu kau tinggal di Rocky
Beach.’ Itu dapat diketahuinya dari nomor telepon di kartu
kita. Tapi kupikir ia mengatakan yang sebenarnya mula- mula. Ia tahu benar di
mana aku tinggal."
"Jadi menurutmu Blinky yang menukar merpati berjari
dua dengan yang berjari tiga," sela Bob.
"Tepat," sahut Jupe. "Itu firasatku. Jadi
Blinky tahu bahwa aku tadi
mencoba menutup-nutupi bahwa kita telah
membuka kotak itu. Ia tahu aku cuma berpura-pura. Tapi ia
tidak
menuduh apa-apa terhadapku. Sekarang, kalau kita
kembalikan kotak ini seperti semula, ia akan mengatakan,
terima kasih
banyak..."
"Dan memberi kita dua puluh dolar," Pete menyela.
"Ia akan menghilang bersama Caesar, sambil berlagak
tidak tahu bahwa merpati ini sudah ditukar. Lalu, kita tidak
akan mendengar berita apa-apa lagi darinya. Hilanglah satu
petunjuk yang paling berharga yang kita miliki saat ini."
"Jadi apa yang akan kaulakukan?" tanya Bob.
"Kita bikin bentrokan," ujar Jupe. "Katakan
saja terus terang bahwa ini Caesar, bukan merpati berjari dua yang
ditinggalkannya di Kedai Kuda Laut waktu itu. Mungkin kita
bisa memaksa Blinky menjawab beberapa pertanyaan.
Bagaimana menurutmu, Pete?"
Pete mengangkat bahunya. "Oke," katanya dengan
hati-hati. "Aku tidak ingin kehilangan dua puluh dolar. Tapi
kurasa kau benar. Kalau kita mau menyelesaikan kasus ini,
kita harus mendapatkan beberapa keterangan dari Blinky."
Bob dan Pete harus kembali ke rumahnya untuk makan malam.
Sebelum berpisah, Trio Detektif berjanji untuk
berkumpul di pelataran parkir Bank Amco sepuluh menit
menjelang jam sembilan malam itu.
Jam delapan tiga puluh Jupe menaruh Caesar dalam sangkar
yang lebih kecil. Sangkar itu diikatnya pada
boncengan sepedanya. Kemudian ia mulai mengayuh sepedanya
menuju kota.
Bank itu terletak di Main Street, tidak jauh dari toko
perhiasan
Frisbee. Jupe menjalankan sepedanya ke dalam
pelataran di balik sebuah gedung tinggi berwarna putih.
Tinggal
beberapa mobil yang masih diparkir di sana. Bank
telah tutup. Pelataran itu diapit dua buah gedung
perkantoran di kanan-
kirinya. Kantor-kantor juga sudah tutup.
Pelataran parkir hampir seluruhnya gelap gulita.
Jupe menyandarkan sepedanya pada dinding gedung bank.
Dibukanya ikatan sangkar Caesar.
Ia melihat ke sekelilingnya. Tidak lebih dari lima mobil
yang masih diparkir di pelataran yang luas itu. Tidak nampak orang di dalam
mobil-mobil itu.
Jupe melirik arlojinya. Jam sembilan kurang seperempat.
Lima belas menit sebelum waktu yang disepakati untuk
bertemu dengan Blinky. Dan lima menit sebelum Bob dan Pete
datang. Jupe memutuskan untuk menunggu di pintu masuk pelataran parkir. Di sana
lebih terang. Ia mulai berjalan. "Berhenti di situ! Jangan bergerak!"
Suara itu datang dari kegelapan di belakangnya.
Jupe melakukan apa yang diperintahkan. Ia berhenti. Sangkar
Caesar didekapnya erat-erat.
"Sekarang berputar menghadap ke sini.
Pelan-pelan!"
Jupiter berbalik. Perlahan-lahan sebisanya.
Sesosok laki-laki mendatanginya dari balik kegelapan.
Tangan laki-laki itu agak terangkat. Ia memegang sesuatu.
Sesuatu yang agak berkilau, meskipun dalam kegelapan.
Bagi Jupe benda itu terlihat sangat menakutkan. Pistol
berlapiskan nikel. Matanya tak lepas dari pistol itu.
"Sekarang letakkan sangkar itu di depanmu!"
Jupe membungkuk. Ditaruhnya sangkar itu di depan kakinya.
Laki-laki
itu mendekat. Pistol masih diarahkan ke
Jupe. Ia membungkuk dan memeriksa sangkar itu.
"Bagus."
Laki-laki itu berdiri tegak kembali. Sekilas Jupe dapat
melihat wajahnya dengan jelas. Ia melihat jas hujan hitam
yang dipakai orang itu. Juga kaca mata gelap, dan jenggot
hitam yang
menutupi hampir seluruh wajahnya. Parker
Frisbee!
"Sekarang berbalik dan telungkup di tanah!"
Untuk pertama kalinya Jupe sadar bahwa suara laki-laki itu
rendah dan dibuat-buat. Seakan-akan ia berbicara
dengan susah-payah. Ia juga ketakutan, seperti aku, dan dia
berusaha menyembunyikannya, pikir Jupe.
Laki-laki itu membuat gerakan mengancam dengan pistol di
tangannya. Jupe berbalik. Ia telungkup di tanah.
"Letakkan tanganmu ke belakang!"
Jupe menuruti. Lalu didengarnya suara cabikan. Seperti
seseorang merobek sehelai kain, pikirnya. Atau... atau
menarik pita perekat yang tebal. Ia menyadari bahwa
dugaannya yang
terakhir yang benar, karena kini pergelangan
tangannya direkatkan dengan keras di belakang punggungnya.
Jupe tidak mencoba melawan. Ia sadar bahwa tidak ada
gunanya melawan orang yang bersenjatakan pistol.
Sekarang pergelangan kakinya diikat dengan pita perekat,
sama eratnya dengan ikatan pada tangannya.
Ia tertelungkup tidak bergerak-gerak sampai akhirnya terdengar
suara langkah laki-laki itu menjauh darinya. Sinar
lampu sebuah mobil menyorot di suatu tempat di belakangnya.
Dengan kaki dan tangan terikat, ia sulit mengangkat
kepalanya. Apalagi karena tubuhnya gemuk. Tapi
dipaksakannya untuk berguling sedikit. Dengan demikian ia dapat
melihat dengan lebih bebas. Ia mengintip ke arah datangnya
sinar itu. Mobil itu sudah bergerak. Gelapnya pelataran itu menyulitkan untuk
mengenalinya. Mobil itu meluncur sekitar dua puluh meter dari tempat Jupe
terbaring. Dalam sekejap mobil tadi sudah sampai di luar dan menghilang dari
pandangan.
Jupe terbaring tak berdaya sambil menyesali diri.
Seharusnya ia menunggu Pete dan Bob, pikirnya. Tidak bijaksana untuk berjalan
seorang diri di pelataran parkir yang gelap di malam hari. Dan mestinya
sepedanya ditinggal di...
Ia mendengar suara sepeda dari pintu pelataran parkir. Lalu
ada sorot lampu sepeda.
"Pete," panggilnya. "Bob."
Sesaat kemudian kedua kawannya sudah berlutut di
sampingnya, membuka pita perekat yang mengikat pergelangan tangan dan kakinya.
Jupe berguling lalu duduk. Kedua tangannya terasa kesemutan karena darah tidak
mengalir
dengan lancar akibat ikatan pita perekat itu. Ia
memijat-mijat tangannya seraya bercerita pada kedua kawannya tentang apa yang
baru dialaminya.
Pete berdesis perlahan, "Ia punya pistol?"
"Sepanjang pengetahuanku, itulah yang tergenggam di
tangannya," kata Jupe seraya berdiri. "Tentu saja, aku tidak
meminta dia untuk membuktikan bahwa pistol itu terisi
peluru. Jadi aku tidak yakin apakah pistol itu berpeluru atau tidak. Tapi aku
tidak mau mengambil risiko sebesar itu." Ia membersihkan debu yang melekat
di celana dan bajunya.
"Kalian melihat sesuatu?" tanyanya.
"Sebuah mobil," sahut Bob. "Mobil
hitam." Dahinya berkerut. Ia melepas kaca matanya, dan membersihkannya
dengan sapu tangannya. "Lucu, tadinya kukira itu mobil
Blinky. Aku sempat melihat nomor mobilnya, yaitu MOK.
Seperti..."
"Seperti mobil hitam yang dikendarai Blinky di Kedai
Kuda Laut waktu itu," potong Jupe menyelesaikan kalimat Bob. "Dan seperti..."
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya karena tidak yakin benar.
Samar- samar ia ingat bahwa ada sebuah mobil hitam yang lewat di depan mereka
ketika mereka keluar dari toko perhiasan Parker Frisbee. Waktu itu ia cuma
memperhatikannya sekilas. Nomor polisi mobil itu tidak
diperhatikannya benar. Tapi ia yakin bahwa salah satunya ialah M.
"Jadi apa yang kita lakukan sekarang?" tanya
Pete. "Frisbee sudah merampas Caesar dan..."
"Dan kalau Blinky muncul, apa yang harus kita
bilang?" tanya Bob dengan perasaan kuatir.
Jupe melirik arlojinya. Dua menit menjelang pukul sembilan.
Ia masih merasa sedikit terguncang karena ditodong dengan pistol tadi.
"Kita tidak akan bilang apa-apa padanya," putus
Jupe dengan ragu-ragu. "Karena kita tidak menunggunya.
Sekarang sebaiknya kita kembali ke rumah masing-masing.
Esok pagi kita berkumpul lagi di kantor."
Anak-anak melompat menaiki sepeda. Mereka menggenjot pedal
sepeda, pulang ke rumah masing-masing.
Jupe susah tidur malam itu. Terlalu banyak persoalan
memenuhi kepalanya. Seperti yang telah dikatakan Pete,
Caesar telah dirampas dari mereka. Dan rencana untuk
mengorek
keterangan dari Blinky gagal. Tidak ada kemajuan
yang dapat dilaporkan pada Maureen Melody. Mereka belum
dapat
mengatakan pada Miss Melody bahwa pelaku
perbuatan itu ialah Parker Frisbee. Belum terbukti bahwa
memang
Parker Frisbee yang melakukannya. Dan, yang
lebih parah lagi, Jupe tidak menemukan alasan yang masuk
akal mengapa Frisbee membunuh Edgar Allan Poe. Kalau memang dia yang
membunuhnya.
Kasus ini sepertinya lebih buruk dari yang diperkirakan
semula. Harapan satu-satunya hanyalah Blinky akan
menelepon lagi. Ia akan menanyakan mengapa mereka tidak
menepati janji malam itu.
Percakapan seperti itu memang akan tidak menyenangkan.
Tetapi, paling tidak mereka masih punya kesempatan
untuk berbicara dengan Blinky. Kalau Blinky mendengar bahwa
Caesar
telah diculik, mungkin ada sesuatu yang bisa
ia katakan. Dan mudah-mudahan itu bisa dijadikan petunjuk.
Jupe kini menyesali keputusan yang diambilnya tadi. Mungkin
lebih baik
mereka menunggu sampai Blinky datang
ke pelataran parkir. Akhirnya Jupe tertidur kelelahan.
Sejak awal liburan musim panas, Jupiter cuma sarapan
sedikit saja. Roti kering dan susu. Bibi Mathilda menjadi
risau melihat keadaannya. Tidak biasanya Jupiter seperti
ini, tidak punya nafsu makan. Karena itu Bibi Mathilda
menghidangkan seporsi besar daging ham dan telur.
Penyelidik Pertama Trio Detektif itu tidak tahan melihat makanan
yang begitu menggiurkan di hadapannya. Kebetulan semalam
pikirannya
sedang kusut. Tanpa menghiraukan janjinya
pada diri sendiri, ia menyikat habis hidangan yang
disediakan Bibi
Mathilda. Setelah itu ia pergi ke pangkalan untuk
menunggu kawan-kawannya.
Baru saja ia hendak membuka kisi besi penutup Lorong Dua,
ia melihat sesuatu. Sesuatu itu juga melihat Jupiter.
Seekor merpati!
Jupiter membungkuk. Merpati itu membiarkan Jupe
mengangkatnya. Jupe memperhatikan si merpati baik-baik.
Setiap bulu di badan dan sayapnya diteliti dengan cermat.
Ia memperhatikan juga kepalanya yang ramping dan berwarna abu-abu, serta
matanya yang jeli.
Tidak salah
lagi. Jupe segera mengenali merpati di tangannya itu. Ia tidak mungkin keliru.
Merpati itu Caesar!
Bab 8
TAMU DARI TIMUR
"INI Caesar, pasti," seru Pete. "Aku berani jamin. Lihat
tanda-tanda pada bulu ekornya. Selain itu, hanya Caesar merpati yang mengenali
kita. Ya kan, Caesar?"
Trio Detektif telah berkumpul di kantor mereka. Caesar kini
sudah berada dalam sangkarnya yang besar. Dengan riang Caesar melompat-lompat
dalam sangkar itu, sambil sesekali mematuk jagung.
"Parker Frisbee merampasnya dari tanganku dengan
menodongku semalam." Penyelidik Satu menarik-narik bibir bawahnya.
"Dan beberapa jam kemudian ia mengembalikan dan melepasnya di pangkalan
ini. Mengapa? Mengapa?"
Bagi Jupe, seakan-akan kali ini banyak sekali hal-hal yang
tidak
dimengerti. Lebih banyak dari yang pernah
dialaminya.
"Mungkin ia tidak mengembalikannya." Kaca mata
Bob turun di hidungnya. Ia mendorong untuk membetulkan letak kaca matanya itu.
"Apa maksudmu?" tanya Pete pada Bob. "Caesar
kan ada di sini sekarang?"
"Buku tentang merpati," Bob menjelaskan.
"Selama Perang Dunia II mereka memakai merpati untuk membawa
pesan. Kalau tentara berpindah tempat, mereka harus menjaga
agar
merpati yang dipergunakan juga mengenal tempat
baru itu. Dan mereka menemukan bahwa merpati yang terlatih
dapat
menyesuaikan diri dengan tempat barunya dalam
dua atau tiga hari..."
"Jadi merpati itu akan kembali ke tempatnya yang baru,
bukan ke tempatnya yang lama." Jupe menyimpulkan.
"Kupikir kau benar, Bob. Mungkin Caesar bukanlah milik
Parker Frisbee. Barangkali Frisbee ingin mengembalikan
Caesar ke pemilik yang sebenarnya." Ia mengernyit.
"Jangan tanya sebabnya! Namun kalau itu yang diinginkannya, cara yang
paling mudah ialah dengan melepasnya dan berharap agar Caesar pulang sendiri ke tangan pemiliknya."
"Ini bukan rumahmu kan, Caesar?" Pete
mengelus-elus merpati itu
dengan jari-jarinya yang dimasukkan melalui
sela-sela kawat. "Tapi kau kembali ke sini. Aku senang
sekali." Ia
berbicara dengan Caesar seolah-olah berbicara
dengan manusia.
"Jupiter! Jupiter!"
Suara Bibi Mathilda terdengar melalui pengeras suara.
Jupiter sengaja memasang mikrofon di luar agar dapat
mendengar suara orang di luar pada saat mereka berada dalam
kantor yang tersembunyi di balik tumpukan barang rongsokan. Khususnya agar
dapat mendengar panggilan bibinya. "Jupiter. Bob. Pete. Di mana
kalian?"
Jupiter menghela napas. Panggilan Bibi Mathilda cuma
berarti satu- bekerja. Ia selalu punya pekerjaan untuk
anak-anak. Jupe berharap kali ini bukan menyeleksi
potongan-potongan besi lagi. Mudah-mudahan Bibi Mathilda
hanya minta tolong untuk membantu melayani pengunjung
pangkalan pada hari Sabtu.
Trio Detektif keluar dari kantor mereka yang tersembunyi
melalui sebuah jalan yang mereka namakan Pintu Empat.
Jalan ini akan membawa mereka ke bagian belakang pangkalan.
Sambil
berjingkat-jingkat mengelilingi tumpukan
barang bekas, anak-anak mendekati Bibi Mathilda dari
belakang.
Bibi Mathilda terlompat kaget ketika Jupiter menyapanya
dari belakang.
"Ke mana saja kau?" katanya. "Aku tak pernah
tahu di mana kalian berada kalau sudah dalam pangkalan ini."
Jupe memasang muka siap untuk menerima pekerjaan.
"Apa pekerjaan kami kali ini?" tanyanya.
Namun kali ini Bibi Mathilda tidak memberikan pekerjaan
buat anak- anak.
"Ada dua orang pria," katanya memberi tahu.
"Mereka menunggu di depan gerbang."
Kedua orang itu berdiri di depan sebuah mobil boks hijau
yang diparkir di pinggir jalan. Mereka berumur sekitar
tiga puluhan. Tubuh mereka pendek dan kurus, tetapi
kelihatan kuat. Mereka memakai celana jeans lusuh serta T-shirt.
Keduanya orang Jepang.
"Kau Jupe, Pete, dan Bob?" salah seorang dari
mereka bertanya seraya maju selangkah.
Jupe mengiakan.
"Kalian kenal Hoang Van Don?"
"Ya, kami kenal dia," jawab Jupe.
Orang itu menoleh pada temannya. Ia mengatakan sesuatu
dalam bahasa Jepang. Temannya mengangguk dan menjawab dengan bahasa Jepang
pula.
"Temanku ini namanya Kyoto. Ia akan senang kalau boleh
bertanya sesuatu padamu," orang yang pertama
menjelaskan. "Tetapi sayangnya Kyoto tidak bisa bahasa
Inggris. Jadi aku akan jadi penerjemahnya. Oke?"
Jupe memenuhi permintaan itu.
"Pertanyaan pertama. Kalian memberi Hoang Van Don
sebuah pesan yang ditulis dalam bahasa Jepang. Kalian lalu
minta pada Don untuk menanyakan artinya pada teman Don yang
berkebangsaan Jepang. Teman Don itu lalu memberi tahu Kyoto karena ia mengenali
tulisan tangan Kyoto."
Itu belum merupakan pertanyaan bagi Jupe. Ia diam
saja-menunggu.
"Di mana kalian mendapatkan pesan itu?"
Jupe berpikir cepat. Ia tidak harus menjawab pertanyaan
itu. Tetapi kalau ia menjawab, mungkin Kyoto mau
memberikan beberapa keterangan yang ia butuhkan. Tidak ada
ruginya untuk bertukar keterangan.
"Pada seekor merpati yang telah mati," kata Jupe.
"Pesan itu diikatkan pada satu kakinya."
Si penerjemah tersenyum sopan. Ia berpaling pada Kyoto.
Digamitnya lengan Kyoto. Lalu mereka berdua berjalan ke depan mobil boks.
Bob mengamati kedua orang Jepang itu berbicara dalam bahasa
mereka. Ia terhenyak ketika menyadari bahwa
kedua orang itu mirip sekali. Rambutnya sama-sama lurus dan
hitam.
Tulang-tulang pipinya mirip sekali. Begitu pula
kulitnya yang berwarna coklat muda. Kalau berjumpa dengan
salah
seorang dari mereka di tengah jalan, pikir Bob,
dapatkah aku mengenali apakah itu Kyoto atau temannya.
Mungkin itu karena mereka sama-sama orang Jepang, pikir Bob
lagi. Boleh jadi bagi orang Jepang sendiri mereka
mudah dibedakan. Dan sebaliknya, bagi mereka mungkin saja
Pete dan Jupiter tampak mirip sekali-meskipun itu aneh rasanya bagi Bob.
"Mobil boks hijau," tiba-tiba Jupe berbisik pada
Bob. "Ingat mobil yang dikejar Blinky dari Kedai Kuda Laut?
Kalau kita bisa membuntutinya..."
Jupe melirik pada kedua orang Jepang itu. Mereka masih
sibuk berbincang-bincang.
"Pembangkit sinyal," cepat-cepat Jupe berbisik
pada Bob lagi. "Kau dapat mengambilnya?"
"Akan kucoba," sahut Bob dengan berbisik pula. Ia
bergeser dari
tempatnya. "Jupe, aku dipanggil Bibi Mathilda,"
katanya dengan suara yang cukup keras agar terdengar oleh
kedua
orang Jepang itu. "Sebentar ya, aku lihat dulu ke
dalam."
Ia berbalik dan berjalan ke balik gerbang. Setelah
terhalang gerbang, ia bergegas lari ke kantor.
"Pertanyaan kedua." Si penerjemah dan Kyoto telah
kembali pada Jupe. "Di mana kautemukan merpati mati itu?"
Penyelidik Satu berpikir sesaat. Meskipun pada dasarnya
Jupe anak yang jujur, kadang-kadang perlu juga bagi seorang detektif untuk
bersilat lidah. Terutama di saat-saat ia harus melindungi kliennya. Dan dalam
kasus
pembunuhan burung ini klien mereka adalah Maureen Melody.
Jupe merasa harus melindungi Maureen Melody.
"Kami menemukannya dijalan," jawab Jupe.
"Jalan apa?"
"Di bagian kota sebelah sana." Jupe menganggap ia
tidak terlalu berdusta, karena kediaman Miss Melody memang di arah yang
ditunjuknya.
Si penerjemah kembali tersenyum sopan. "Pertanyaan
ketiga," katanya.
"Menurutmu, kenapa burung merpati itu
mati?"
"Aku tidak tahu." Itu jawaban yang jujur. Jupe
sendiri ingin tahu apa yang menyebabkan kematian merpati itu.
"Bagaimana penampilannya? Apakah ada luka tembakan di
tubuhnya?" "Tidak." Jupe menggeleng. "Tidak terlihat
seperti ditembak." Ia mendengar Bob datang, melintasi pangkalan
barang bekas di belakangnya. "Kukira, mungkin ditabrak
mobil," kata Jupe sekenanya.
"Bagus. Terima kasih." Kyoto dan penerjemahnya
beranjak dari tempatnya menuju pintu depan mobil boks. Bob
muncul di gerbang. Jupe menyusul dan menyentuh lengan si
penerjemah. "Maaf," katanya. "Apakah Anda keberatan kalau aku
mengajukan beberapa pertanyaan?"
Kini si penerjemah yang berpikir sesaat. "Oke,"
ia menyetujui.
"Pesan itu berbunyi, Tidak ada mutiara hari ini.
Begitulah menurut kawan Don itu."
"Ya."
Bob kini berdiri di samping Jupe. Melirik ke bawah, Jupe
dapat melihat sebuah alat logam kecil digenggam Bob.
Alat pembangkit sinyal.
"Apa artinya pesan itu?" tanya Jupe. "Tidak
ada mutiara hari ini." Ia dapat menjadi seorang aktor yang jempolan kalau
lagi mau. Dulu, salah satu peran favoritnya adalah menjadi anak yang dungu.
"Aku sama sekali tidak mengerti
apa yang dimaksud," lanjut Jupe lagi. Mulutnya
dibiarkan melompong. Dan matanya dibiarkan sayu. "Mutiara apa?
Lalu mengapa tidak ada mutiara? Setiap hari kan selalu ada
mutiara. Paling tidak di toko perhiasan."
Si penerjemah memasang senyumnya yang sopan.
"Sangat sederhana penjelasannya," ujarnya.
"Temanku Kyoto seorang tukang kebun. Ia punya kebun tidak jauh dari
kota ini. Dan ia menjual hasil kebunnya pada sebuah toko
Jepang. Orang toko ingin tahu tanaman apa yang dimiliki Kyoto..."
Jupe mendengarkan dengan memasang tampang yang dibuatnya
dungu.
Namun dengan sudut matanya ia bisa
melihat Bob menyelinap ke belakang mobil boks.
Bob berlutut. Ditempelkannya alat pembangkit sinyal di
bagian belakang bawah mobil.
"Jadi Kyoto mengirim pesan pada orang di toko melalui
merpatinya," penerjemah itu melanjutkan. "Biasanya
pesan-pesan itu berbunyi, Banyak wortel hari ini. Atau,
Banyak daun seledri. Dengan demikian orang di toko tahu apa yang harus
dijualnya hari itu."
Bob telah kembali dari belakang mobil. Jupe melihat
tangannya tidak lagi menggenggam alat pembangkit sinyal.
"Oh, begitu," kata Penyelidik Satu. Suaranya
diusahakan sepolos mungkin. "Jadi Kyoto menanam mutiara juga?"
Si penerjemah terbahak-bahak.
"Mutiara yang dimaksud adalah bawang mutiara.
Dinamakan begitu karena bentuknya bulat dan mungil serta putih seperti
mutiara," ia menjelaskan. "Tidak ada mutiara hari ini berarti tidak
ada bawang mutiara hari ini."
"Oh, begitu. Terima kasih."
Jupe tetap memasang tampang dungunya sampai Kyoto dan
penerjemahnya pergi dengan kendaraannya. Ia tetap berdiri di sana sampai mobil
boks hijau itu membelok ke sebuah tikungan.
"Cepat, Bob!" serunya. "Alat penjejak!"
Bob telah meletakkannya tepat di balik gerbang. Ia
memberikannya pada Jupe. Alat itu berbentuk kotak dengan
sebuah kenop dan antena. Sekilas alat itu serupa dengan
radio tua. Dan memang dulunya radio. Jupe mengubahnya menjadi alat penjejak.
Dihidupkannya alat itu.
Tut-tut-tut.
Alat penjejak itu bersuara. Sinyal elektronis yang
dikeluarkan pembangkit sinyal berhasil ditangkap alat itu.
Dengan alat itu anak-anak dapat menjejaki ke mana mobil
boks hijau itu pergi.
Jupe mengarahkan antena ke selatan.
Tut-tut-tut. Suara itu semakin keras.
"Mereka berjalan ke arah pantai," kata Jupe.
"Cepat, kejar mereka." Pete sudah menyiapkan tiga sepeda di gerbang
pangkalan. Jupe dengan cekatan mengikatkan alat penjejak pada kemudi sepedanya.
Mereka segera berangkat.
Jupe mengendarai sepedanya dengan satu tangan. Tangannya
yang satu lagi digunakan untuk mengarahkan antena.
Dengan mendengarkan keras lembutnya sinyal yang dihasilkan,
ia dapat mengira-ngira ke mana mobil itu pergi.
Sinyal itu dapat ditangkap selama masih berada dalam jarak
kurang dari satu mil. Mereka dapat membayang- bayangi mobil boks tanpa risiko
ketahuan.
Sambil mendayung pedal sepedanya, Penyelidik Satu itu berharap
agar mobil boks tidak pergi terlalu jauh dan tidak terlalu cepat.
Ia tidak keberatan untuk bersepeda. Malahan ia senang,
karena itu akan membakar sarapan yang dilahapnya tadi pagi. Namun ia
benar-benar berharap supaya mobil boks yang sedang mereka ikuti tidak pergi ke
San Francisco atau kota-kota jauh lainnya.
Bawang putih, pikirnya. Kyoto dan si penerjemah tentu
mengira ia benar-benar dungu dengan mempercayai
keterangan
penerjemah itu tadi. Tetapi, mengapa mereka datang ke Pangkalan Jones? Apa sebenarnya
yang diinginkan orang Jepang itu?
Bab 9
MR. FRISBEE YANG MISTERIUS
SETELAH beberapa menit mereka mengayuh sepeda sekuat
tenaga, Jupe yakin bahwa mobil boks itu tidak pergi
jauh-jauh. Tidak mungkin mobil itu pergi ke San Francisco,
bahkan juga tidak ke Santa Monica yang lebih dekat.
Ia dapat mengatakan dari kerasnya suara alat penjejak dan
arah antena bahwa mobil boks itu sedang meluncur di
Main Street di Rocky Beach. Ia memberi isyarat pada Pete
dan Bob untuk bersepeda di belakangnya dengan perlahan.
Jupe tidak ingin menyusul mobil boks yang dibuntutinya,
kalau mobil boks itu berhenti pada lampu merah, atau berhenti untuk mengisi
bensin.
Trio Detektif melewati toko perhiasan milik Frisbee dan
Bank Amco.
Tut-tut- Tiba-tiba sinyal itu berhenti. Jupe
mengangkat tangannya. Trio Detektif berhenti. Jupe
mengarahkan
antena ke kiri. Tidak ada suara. Digerakkannya
antena ke kanan. Tut-tut-tut. Suara itu terdengar jelas dan
keras
sekarang.
Jupe memberi isyarat untuk membelok ke kanan. Jalan itu
menuju daerah berbukit yang terletak di luar kota.
Sekarang lebih sulit mengikuti mobil boks itu karena jalan
mulai naik- turun. Sering kali sinyal menghilang ketika mereka berbelok, atau
ketika jalan menurun. Namun hal itu tidak membuat Jupe khawatir, sekalipun
tidak terdengar sinyal sama sekali untuk beberapa saat. Ia sudah memperoleh
gambaran ke mana mobil boks hijau itu menuju.
Pada daerah berbukit di sebelah barat laut Rocky Beach
terdapat suatu
area yang dihuni rumah-rumah kayu dengan
halaman yang bersih dan rapi. Area itu dikenal dengan nama
Little
Tokyo, karena hampir semua rumah di situ dimiliki
atau disewa oleh orang Jepang.
Jupe mengangkat tangannya ketika anak-anak memasuki Little
Tokyo. Trio Detektif berhenti. Beberapa ratus meter di hadapan mereka diparkir sebuah
mobil di muka sebuah rumah kayu. Mobil boks hijau.
Jupe meminggirkan sepedanya ke trotoar. Bob dan Pete
mengikutinya. Mereka berlindung di balik pohon-pohon yang berderet rapi di
sepanjang jalan. Dari sana mereka dapat mengamati mobil boks itu tanpa terlihat
dari rumah.
"Oke," kata Pete. "Mungkin itu rumah tempat
tinggal Kyoto, tapi mungkin juga bukan. Lalu bagaimana sekarang?"
Jupe diam saja. Ia mengawasi mobil boks hijau itu. Seorang
laki-laki
berjalan melewati mobil boks. Ia pasti keluar
dari rumah itu, tebak Jupe. Laki-laki tadi menyeberangi
jalan. Ada
sebuah mobil kecil merah di sana. Dibukanya mobil
itu. Lalu ia mengendarainya.
"Itu tadi Kyoto?" Bob tidak yakin. Kedua orang
Jepang itu tampak sama saja bagi Bob.
"Bukan," sahut Jupe dengan pasti. "Itu
penerjemahnya."
Bob memandang dengan heran pada Jupe. Ia tidak dapat
menahan diri untuk bertanya, "Bagaimana kau tahu?"
"Bagaimana tidak?" balas Jupe. "Segalanya
berbeda. Lihat cara
jalannya, postur tubuhnya. Di samping itu, tidakkah
kau perhatikan ikat pinggang dan sepatu mengkilat yang
dipakainya?"
Bob memang tidak memperhatikan sebelumnya. Meski sudah lama
kenal baik dengan Jupe, masih sering saja ia kagum dengan kejelian pengamatan
Jupe.
"Jadi sekarang kita hampir merasa pasti bahwa itu
rumah Kyoto," Jupe melanjutkan. "Tapi kita harus yakin benar.
’Hampir pasti’ saja tidak cukup. Mestinya ada nama tertulis
pada kotak pos di muka rumahnya. Seseorang dari kita harus pergi ke sana untuk
mengeceknya."
Kalau memang nama itu ada, pasti tertulis pada sisi di
balik kotak. Mereka harus melewati rumah itu untuk bisa mengetahui apa yang
tertera pada kotak pos.
"Sebaiknya kau yang pergi, Bob," putus Jupe.
"Pete terlalu tinggi, dan aku terlalu..." Ia ragu-ragu, berusaha
mencari kata-kata yang cocok baginya. "Aku terlalu
gempal. Kalau
kebetulan Kyoto melihat ke luar jendela, mungkin
dia mengenali Pete atau aku. Tapi kalau kau copot kaca
matamu dan
jaketmu, kau akan terlihat seperti anak Amerika
biasa. Ia tidak akan ingat bahwa pernah berjumpa dengan kau
sebelumnya."
"Baik kalau begitu." Dalam hatinya Bob merasa
kesal karena dianggap anak Amerika biasa. Tapi harus ada orang
yang mengecek tulisan di kotak pos itu. Jadi dilepasnya
jaketnya. Kaca
matanya dimasukkan ke kantungnya. Ia mulai
melenggang ke arah rumah dengan mobil boks hijau yang
diparkir di
depannya. Ketika sudah melewati rumah itu, ia
berpura-pura menarik kaus kakinya. Sembari berjongkok,
diliriknya
kotak pos di belakangnya:
J. KYOTO
Nama itu tertulis dengan cat hitam pada kotak pos putih.
Bob hendak kembali bergabung dengan kawan-kawannya.
Tetapi, ia melihat sesuatu yang lain. Tanpa kaca mata, ia
tidak begitu
jelas melihatnya. Diambilnya kaca mata dari
kantungnya. Tanpa ragu-ragu ia memakai kembali kaca
matanya.
Ternyata ia benar. Ada sebuah nama lain yang tertimpa cat
putih. Nama itu sudah tidak bisa terbaca lagi. Bob hanya
mengenali beberapa huruf saja. Sejak kapan nama itu
diganti? Dengan gerakan cepat, Bob mendekati kotak pos. Ia
menyentuhnya dengan ujung jarinya. Cat hitam pada nama baru
masih basah. Kyoto baru saja pindah ke rumah itu.
Bob merasa bangga pada dirinya sendiri, ia telah menemukan
sesuatu. Dan ia dapat menyimpulkannya sendiri.
Belum tentu Jupe dapat menemukan hal ini, pikirnya. Bob
sudah tidak sabar ingin melaporkan penemuannya ini pada kedua kawannya.
Baru berjalan dua langkah, tahu-tahu ada seorang laki-laki
datang mendekatinya. Bob terdiam kaku. Melihat orang itu, Bob serasa tidak
dapat bergerak. Jantungnya berdegup kencang. Tidak mungkin ia salah mengenali
orang itu.
Jenggot selebat itu tidak dimiliki orang lain.
"He! He, kau!"
Parker Frisbee mengenalinya. Bob ingin berlari. Tapi ia
tidak bisa menggerakkan kakinya. Rasanya seperti
mendapat mimpi buruk. Ia kehilangan kontrol atas segala
anggota tubuhnya. Ia berdiri mematung di sana. Parker Frisbee makin dekat.
Tamatlah riwayatku, pikir Bob. Frisbee memang tidak membawa
tongkat kayu. Tapi ia mungkin menyimpan senjata di balik jasnya.
"Aku senang ketemu kau secara kebetulan." Frisbee
berhenti semeter dari Bob. "Sudah lama aku ingin berbincang- bincang lagi
dengan kalian."
Sukar untuk dilukiskan apakah pedagang permata itu
tersenyum atau tidak. Jenggotnya yang tebal
menyembunyikan mulutnya sama sekali. Namun saat itu Parker
Frisbee
tidak memakai kaca mata hitam. Bob dapat
melihat sinar matanya yang-anehnya-hangat dan ramah.
"Mana kawan-kawanmu yang lain?" tanya Parker
Frisbee.
Bob masih sukar untuk berbicara. Ia hanya menunjuk ke arah
kedua kawannya. Akhirnya Bob dapat juga
menggerakkan kedua kakinya. Ia mulai berjalan mendatangi
kedua kawannya. Parker Frisbee berjalan di sampingnya.
Bob menyadari bahwa Jupe telah meletakkan jaket Bob pada
setang sepedanya sehingga menutupi alat penjejak
mereka. Ia berdiri dengan perasaan tidak enak ketika Parker
Frisbee berhadapan dengan kedua kawannya.
"Kalian sering ya, main ke Little Tokyo?" tanya
Parker Frisbee dengan bersahabat.
"Ada restoran Jepang yang menjadi kesukaan kami,"
sahut Jupe dengan cepat. "Pete suka sekali makanan Jepang."
"Oh, ya. Sukiyaki. Gurih sekali rasanya. Aku sendiri
sering pergi ke restoran itu. Well... " Sekali lagi Bob tidak
dapat memastikan apakah Frisbee tersenyum atau tidak.
"Bagaimana kalau kalian kutraktir makan siang di sana?"
Untuk beberapa saat Jupe tidak tahu mau bilang apa.
Terakhir kali ia melihatnya, Frisbee menodongnya dengan
sebuah pistol. Kejadian di Bank Amco masih diingatnya
dengan jelas. Dan sebelumnya malah ia dipukul keras dengan
tongkat kayu di kediaman Miss Melody. Sekarang orang yang sama menawarkan diri
untuk mentraktir makan siang. Tawaran itu hampir tidak bisa dipercayainya.
"Oh... terima kasih sekali," gumam Penyelidik
Satu akhirnya. "Terima kasih, Mr. Frisbee."
"Tunggu apa lagi? Mari." Frisbee langsung
menyeberangi jalan. Trio Detektif saling bertukar pandang. Lalu mereka
mengikutinya dengan menuntun sepeda.
Bob merapat pada Jupe. Ia berbisik-bisik menjelaskan apa
yang ditemukannya pada kotak pos Kyoto. Jupe mendengarkan tanpa berkomentar
apa-apa.
Anak-anak mengunci sepeda mereka di luar restoran. Parker
Frisbee mengajak mereka duduk pada sebuah meja
besar di pojok ruangan. Seorang pelayan restoran menyapanya
dalam bahasa Jepang. Frisbee balas menyapa dengan bahasa Jepang pula. Ia lalu
memesan makanan.
"Aku pernah tinggal di Jepang selama beberapa
tahun," ia menjelaskan
sambil lalu. "Aku juga berdagang perhiasan
di sana. Jadi mau tak mau aku harus belajar bahasa
Jepang."
Pelayan restoran membawakan sebuah teko berisi teh. Frisbee
menuangkan buat anak-anak, pada cangkir-cangkir
kecil.
"Nah, sekarang aku baru mengerti," katanya sambil
bersandar santai, "bahwa kalian sedang melakukan penyelidikan
kecil-kecilan."
Kali ini Bob dapat melihat bahwa pedagang permata itu
tersenyum. Trio Detektif tidak berkata apa-apa.
"Untuk Miss Maureen Melody," Frisbee melanjutkan.
"Mencari siapa
pelaku pembunuhan terhadap burung-
burungnya."
Jupe mengangguk.
"Dan barusan aku dapat laporan dari Kyoto, pengurus
kebunku. Ia bilang kalian menemukan merpati mati yang membawa pesan tertulis
dalam bahasa Jepang."
Jupe mengangguk lagi.
"Pesan tentang hasil kebun yang dikirimnya ke sebuah
toko Jepang." "Tentang bawang putih," Jupe mengiakan.
Percakapan terhenti sampai di situ. Si pelayan restoran
datang membawa selusin piring kecil lalu menyiapkan makanan. Mereka mulai
menyantap makan siang itu.
"Apakah kalian menemukan merpati itu di kebun Miss
Melody?" akhirnya Frisbee bertanya.
"Tidak." Mulut Jupe masih penuh dengan nasi, ikan
salmon, dan bumbu yang sedap. Ia menelannya dulu supaya dapat bicara dengan
jelas. "Kami menemukannya dijalan," jelasnya. Ia memutuskan untuk
menceritakan hal yang sama dengan yang diceritakannya pada Kyoto.
Frisbee mengambil sumpitnya. Mereka melanjutkan makan tanpa
bertukar kata-kata.
"Well. " Pedagang perhiasan itu sudah selesai
makan. Ia membersihkan
mulutnya dengan sehelai lap, lalu merogoh
kantungnya.
Pete merasa tegang. Garpu di tangannya bergetar. Apakah
Frisbee hendak mengambil pistolnya? pikirnya dengan putus asa.
Frisbee mengeluarkan dompetnya.
"Seperti yang kalian tahu, Miss Melody itu kawan
baikku," ujarnya, "dan juga langganan yang penting." Matanya
bersinar-sinar sesaat. "Aku tahu betapa gusarnya ia
karena beberapa burungnya mati. Aku ingin berbuat apa saja
sebisaku untuk menolongnya." Ia membuka dompetnya dan
mengambil sesuatu dari dalamnya.
Uang lima puluh dolar. Frisbee memberikannya pada Jupe.
"Ini sedikit bekal buat kalian," katanya.
"Supaya kalian tetap dapat menyelidik buat menolong Miss Melody. Dan
kalau kalian berhasil menemukan siapa pelaku perbuatan
biadab itu" - ia menyelipkan dompetnya ke dalam
kantungnya - "dengan senang hati akan kuberi kalian
lima puluh dolar lagi."
"Terima kasih." Jupe menyimpan uang itu dalam
kantungnya. "Kami akan
melakukan yang terbaik, Mr. Frisbee,"
janjinya.
"Yang terbaik," ulangnya di luar restoran ketika
Trio Detektif membuka kunci sepeda mereka. Ia mengamati Parker Frisbee berjalan
dengan gesit meninggalkan mereka.
"Yang paling baik," Pete mengikuti. "Demi
lima puluh dolar..." Ia menoleh pada Jupe.
Penyelidik Satu itu seperti orang kehilangan akal.
"Waktu itu kita membawa Caesar ke tokonya,"
gumamnya. Ia masih terheran-heran pada apa yang baru
dialaminya. "Kalau ia menginginkan burung itu, kan
gampang saja ia memperolehnya. Bilang saja ya, dia memang mengenal Caesar, dia
tahu siapa pemiliknya, dan dia akan mengembalikannya sendiri."
Ia menggeleng-geleng seakan tidak percaya pada kata-katanya
sendiri. "Anehnya, waktu itu ia mengatakan tidak,
dia tidak pernah melihat Caesar sebelumnya. Dan dia
membiarkan kita membawa Caesar pergi lagi. Lalu esok
malamnya dia merampas Caesar dengan menodongku." Ia
terdiam sejenak. Kepalanya masih menggeleng-geleng.
"Dia memergokiku di kebun Miss Melody. Dia menyerangku
dengan sebatang kayu," lanjutnya. "Sekarang... dia mentraktir kita
makan siang..."
Dahinya berkerut-kerut sewaktu memikirkan hal ini. Paginya
ia menyikat seporsi besar sarapan. Siangnya ia makan
besar lagi di restoran Jepang. Oh, sekarang bukan saatnya
memikirkan berat badan. Masa bodoh dengan itu semua.
Masih banyak hal lain yang perlu dipikirkan.
"Ia mentraktir kita makan siang," Jupe
mengulangi. "Bahkan ia memberi kita lima puluh dolar, dan berjanji akan
memberi lagi kalau kita bisa menemukan pelaku pembunuhan
burung- burung milik Maureen Melody. Semua itu tidak
masuk akal-maksudku tidak mungkin orang yang sama melakukan
hal-hal yang bertentangan seperti itu. Tapi... ada sesuatu yang misterius pada
Parker Frisbee..."
Suaranya menghilang.
"Apa?" tanya Pete. "Ayo dong, teruskan. Apa
yang misterius pada orang itu, Jupe?"
"Ia cuma memakai kaca mata gelap pada malam
hari!"
Bab 10
PEMBUNUHAN MERPATI
TERSINGKAP "APA?" seru Pete.
Jupe menggeleng kecil. "Tidak apa-apa."
Ia tahu bahwa percuma berbicara saat itu. Suara mereka akan
tertelan oleh bisingnya jeritan, kicauan, dan gaok
burung-burung yang memenuhi hutan kecil di kanan-kiri
mereka.
Trio Detektif dalam perjalanan menuju rumah Maureen Melody.
Mereka mengendarai sepeda melewati jalan yang
diapit pohon-pohon tempat burung-burung Miss Melody
bersarang. Sore itu adalah keesokan harinya setelah anak- anak berkunjung ke
Little Tokyo.
Sepulang dari Little Tokyo kemarin, Jupe menelepon Miss
Melody. Ia mengatakan akan berkunjung ke rumahnya
esok paginya. Tetapi ketika anak-anak mau berangkat dari
Pangkalan Jones, Bibi Mathilda memberi pekerjaan.
Semalam turun hujan lebat. Bibi Mathilda ingin agar
pangkalan dibersihkan. Kemudian semua lemari es tua dan tungku yang dibeli
Paman Titus harus dikeringkan. Pekerjaan itu menunda kepergian mereka ke
kediaman Miss
Melody, yang berarti pula tertundanya pemecahan misteri
pembunuhan burung milik Miss Melody.
Jupe bergidik ketika memasuki halaman rumah Miss Melody
yang luas
itu. Ia teringat pada pengalaman buruk yang
pernah dialaminya di antara pepohonan itu. Masih terekam
dalam
pikirannya bagaimana bahunya berdenyut-denyut
sakit karena pukulan tongkat kayu. Ia berharap mereka dapat
pulang
lebih awal sebelum hari menjadi gelap.
Miss Melody membukakan pintu segera setelah Jupe
membunyikan bel. Ia mengenakan gaun beludru hitam
berlengan panjang. Seraya mempersilakan anak-anak masuk ke
dalam ruangan kedap suara, ia sebentar-sebentar menyeka matanya dengan sapu
tangan kecil.
"Lihat," katanya sambil menunjuk meja dengan
tangan gemetar. Trio Detektif melihat ke meja. Terbaring seekor
burung pada sehelai kain putih di meja. Bangkai seekor
rajawali lagi. Pete mendekat ke meja. Burung beo terbang dari tenggerannya. Ia
hinggap di bahu Pete.
"Ini kejam sekali." Miss Melody mulai
terisak-isak sekarang.
"Kejam," si beo menirukan. "Kejam.
Kejam."
Jupe meneliti bangkai rajawali itu. Di tubuhnya tidak
ditemukan tanda- tanda kekerasan. Seperti rajawali yang
terdahulu, kemungkinan besar rajawali itu diracuni, pikir
Jupe.
"Kapan Anda menemukannya, Miss Melody?" tanya
Jupe.
Maureen Melody berusaha menghentikan isak tangisnya.
Kembali ia menyeka air matanya.
"Baru saja," desahnya perlahan.
"Di mana?"
"Di tempat..." Ia terceguk sambil memegangi
kalung mutiaranya. "Di tempat yang sama seperti dulu."
"Di tempat Anda memberi makan rajawali Anda?"
Miss Melody mengangguk lemah. Nampak sekali ia sangat
terpukul akibat terjadinya peristiwa itu.
Jupe memandangnya dengan penuh simpati.
"Aku mengerti perasaan Anda," katanya.
"Namun aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Anda tidak keberatan,
kan?"
Miss Melody cuma mengangguk saja. Ia masih bermain-main
dengan kalung mutiaranya. Dengan memegangi kalungnya ia merasa lebih tenang.
"Teruskan," katanya. Ia mulai dapat menguasai
dirinya kembali.
"Waktu kami ke sini sebelumnya," Jupe
mengingatkannya. "Edgar Allan Poe, burung murai Anda..."
Jupe menunggu. Ia khawatir kalau-kalau perkataannya membuat
Miss Melody terisak lagi. Tetapi ternyata Miss
Melody hanya diam saja. Ia memandang Jupe, mengharapkan
Jupe untuk melanjutkan perkataannya.
"Anda bilang murai itu sangat pandai. Edgar Allan Poe
selalu membawakan sesuatu untuk Anda."
"Mutiara." Maureen Melody tersenyum tertahan
ketika menyebut benda yang sangat disukainya itu. "Poe sudah membawakan
tiga mutiara yang indah-indah."
"Anda juga mengatakan bahwa ada dua burung
murai."
"Ya. Ralph Waldo Emerson yang satu lagi."
"Ralph Waldo Emerson," Jupe mengulangi.
"Yang satu ini juga suka membawakan sesuatu untuk Anda?"
"Kadang-kadang." Ia menyelipkan sapu tangannya
dalam kantungnya,
seakan ingin mengatakan bahwa air matanya
tidak akan mengalir lagi. "Tapi Ralph Waldo Emerson
tidak secerdik
Edgar Allan Poe. Emerson hanya membawakan
benda-benda yang tidak berharga. Sampah maksudku."
Dahi Jupe berkerut-kerut. Ia memperhatikan bangkai rajawali
yang tergeletak di atas kain putih.
"Pernahkah Emerson membawakan suatu pesan untuk
Anda?" tanyanya. "Pesan?"
"Secarik kertas yang bertuliskan sesuatu."
"Seingatku tidak. Tidak, tidak. Aku selalu ingat
bagaimana kelakuan burungku. Emerson tidak pernah
membawakan pesan seperti itu. Tapi kenapa ya, tadi pagi
Emerson
membawa-kau mau lihat apa yang dibawanya
tadi?"
Jupe tentu saja mau. Miss Melody berjalan ke sebuah meja di
pinggir ruangan. Ia kembali dengan sebuah asbak gelas. Ditunjukkannya asbak itu
pada Jupe.
Di dalam asbak terdapat segulung rambut. Jupe mengambil
rambut itu. Ditelitinya baik-baik gulungan rambut itu.
Tebal, hitam, dan agak keriting. Tentu Emerson, si burung
murai, yang menggulung dan membawa dengan paruhnya.
Dengan hati-hati dimasukkannya gulungan rambut tadi ke
dalam saku bajunya.
"Di mana kira-kira Ralph Waldo Emerson menemukan
rambut ini?" tanya Jupe.
"Tidak tahu, ya." Miss Melody mengembalikan asbak
tadi. "Aku juga tidak tahu di mana Edgar Allan Poe menemukan
mutiara-mutiara itu."
Jupe melihat ke luar jendela. Masih ada beberapa jam
sebelum matahari tenggelam.
"Ayo," ajaknya pada Bob dan Pete. "Lebih
baik kita menyelidiki hutan kecil sekali lagi, mumpung masih terang."
Ia menoleh pada Miss Melody. "Kalau Anda tidak
keberatan tentu." "Tentu tidak. Aku justru sangat berterima kasih
pada kalian dan Mr. Frisbee. Tapi jangan kecewa ya, aku tidak bisa
menemani kalian. Tepatnya, aku masih merasa tidak enak
untuk melihat kebunku." Maureen Melody mengambil lagi
sapu tangannya. "Aku takut... jangan-jangan kutemukan
lagi burung..." Ia tidak meneruskan kalimatnya.
Ia hanya mengawasi saja anak-anak keluar rumah. Si burung
beo masih bertengger di bahu Pete. Seakan-akan beo
itu ingin ikut menyelidiki bersama Trio Detektif. Pete
tidak keberatan. Malahan ia mulai menyukai si beo, seperti ia menyukai Caesar.
Mereka berhenti pada tempat ditemukannya dua bangkai
rajawali. Lagi- lagi tempat itu bersih. Tidak ada sisa-sisa daging. Tidak ada
jejak.
"Oke, " Jupe berkata dengan suara tinggi, seperti
bernyanyi. "Kali ini kita tetap berkumpul. "
"Nah, begitu dong, " sahut Pete, juga dengan
suara tinggi. Ia merasa canggung bernyanyi seperti itu. "Begini kan
aman. Kalau Frisbee tiba-tiba muncul dan ngadat lagi, kita
bisa bersatu melawannya. "
Namun mereka tidak menjumpai siapa-siapa. Sejam lamanya
Trio Detektif mengaduk-aduk semak belukar. Tidak dijumpai sesuatu yang menarik.
Mereka sampai di suatu tempat terbuka yang ditumbuhi rumput
di
tengah-tengah hutan kecil itu. Anehnya, tempat
itu sepi. Seolah-olah setiap burung menghindar dari situ.
Jupe duduk di
sebuah tempat yang kering. Ia capek. Dan
kakinya penuh lumpur.
Pete berbaring di sebelahnya. Bob bersandar pada sebuah
pohon. Mereka beristirahat di sana kira-kira lima menit. Pete melamun sambil
memandang seekor burung robin yang
mematuk-matuk tanah, mencari cacing. Jupe mulai merasa
jenuh duduk tanpa berbuat apa-apa di sana.
Tahu-tahu tiga peristiwa terjadi. Ketiganya terjadi begitu
cepat,
sehingga seakan-akan terjadi pada saat yang
bersamaan.
Si burung beo terbang dari bahu Pete sambil menjerit-jerit.
Beo itu menghilang di balik pohon-pohon.
Si burung robin melihat ke atas. Burung itu mulai
mengepakkan sayapnya hendak terbang.
Terlambat. Sesosok hitam muncul dari atas, menukik tajam,
lalu mendarat di punggung burung robin tadi.
Setelah itu, semuanya selesai secepat kilat. Si burung
robin menjadi korban keterlambatannya. Seekor rajawali
hitam mencengkeramnya dengan cakarnya yang kuat, dan
mencabik-
cabik si burung robin dengan paruhnya yang
tajam.
Dalam beberapa detik saja rajawali itu telah selesai
menyantap daging si burung robin. Detik berikutnya, rajawali
itu melesat seperti roket mengangkasa. Serpihan-serpihan
daging masih menempel pada cakarnya. Yang tersisa dari
burung robin yang malang hanyalah kepala, kaki, dan
beberapa helai bulu yang penuh darah.
Tidak satu pun dari Trio Detektif itu mengeluarkan suara
selama beberapa saat. Si beo muncul lagi dari kerimbunan pohon, lalu hinggap di
bahu Pete.
"Kejam," kata burung beo dengan nada tinggi.
"Kejam. Kejam."
"Benar," kata Jupe menyetujui. "Tapi paling
tidak kita tahu, siapa, atau
apa, yang membunuh si merpati berjari
dua."
"Dan apa yang menyebabkan seseorang meracuni
rajawali," tambah Bob. "Maksudku, mungkin agar rajawali itu
tidak memangsa burung-burung lainnya, terutama merpati
pos."
"Benar." Jupe mengambil gulungan rambut dari saku
bajunya. Diamat- amatinya gulungan rambut itu. "Tapi kita
masih belum dapat menemukan siapa yang meracuni si
rajawali. Atau siapa yang memukul Edgar Allan Poe dengan sebuah tongkat."
Ia bangkit dari duduknya.
"Jejak kaki," katanya dengan penuh keseriusan.
"Tadi malam hujan lebat. Mesti ada jejak kaki di suatu tempat. Kita saja
yang belum berhasil menemukannya."
Ia melihat ke langit. "Cepat," serunya.
"Masih ada sejam lagi sebelum gelap. Sekarang kita berpisah lagi. Cari di
setiap jengkal tanah yang lunak."
"Kalau kita menemukan sesuatu," tanya Bob,
"bagaimana kita memberikan kode pada yang lain?"
"Nyanyikan lagu God Bless America
sekeras-kerasnya," Jupe memberi tahu.
Pete berlatih menyanyikan sebagian lagu itu supaya tidak
lupa. Setelah puas mendengar suaranya sendiri, ia
menyeringai lebar. Kemudian Trio Detektif berpencar ke
dalam hutan kecil, sekali lagi, untuk mencari jejak.
Pete yang berhasil menemukan jejak yang dicari-cari
seperempat jam kemudian. Dua jejak kaki yang masih jelas tercetak pada jalan
setapak yang lunak.
Ia berhenti. Diamat-amatinya kedua jejak itu.
Hari mulai gelap. Kicauan burung semakin sepi. Pete
gelisah. Ia baru sadar bahwa kini ia cuma seorang diri di tengah-tengah hutan
kecil.
Dicobanya untuk bernyanyi.
Ia tidak dapat mengingat nada-nada lagu itu. Tadi ia sudah
melatih bagian depannya di depan kawan-kawannya.
Tapi sekarang, dalam kesendirian, mendadak ia lupa.
"Godbless... " ia mencoba. Tidak, bukan begitu
seharusnya. "God bless...
II
"God bless America," burung beo di bahunya
tahu-tahu bernyanyi. Beo itu menyanyikannya dengan tepat.
"Trims." Pete mengelus-elus si burung beo.
"God bless America, " Pete menyanyi dengan
sekuat-kuatnya dan dengan nada setinggi-tingginya.
Rupanya Jupe dan Bob berada tidak jauh darinya. Kurang dari
semenit mereka sudah berkumpul di tempat Pete.
Jupe memperhatikan jejak kaki yang panjang dengan ujung runcing.
Diambilnya lagi gulungan rambut dari saku
bajunya.
"Bagus, Pete," katanya. "Jelas itu bukan
jejak Frisbee. Tadi pagi aku perhatikan benar bagaimana bentuk sepatu
yang dipakainya. Kakinya kecil, dan sepatunya berujung agak
lebar. Jadi..." Diangkatnya gulungan rambut itu.
"Mungkin bukan Frisbee yang rambutnya tersangkut
semak, lalu ditemukan Ralph Waldo Emerson, si burung murai."
Ia berjalan di muka, ke luar hutan kecil, menuju tempat
mereka
memarkir sepeda. Anak-anak berhenti di dekat
sepeda mereka. Lampu masih menyala di kamar atas rumah
Maureen
Melody. Jupe menebak Miss Melody sedang
beristirahat di kamarnya dan tidak ingin diganggu.
"Kita langsung pulang saja," putusnya. "Saat
ini kita kan belum punya berita yang jelas. Kita masih mengira-ngira saja
sampai sejauh ini." "Kau pikir itu jejak Blinky?" tanya Bob. Ia
ingat Jupe pernah menyebut- nyebut tentang sepatu lancip yang dikenakan Blinky
di Kedai Kuda Laut.
"Itu yang pertama kali muncul di pikiranku," Jupe
menyetujui.
"Kecurigaanku yang kedua ialah bahwa seluruh
kasus ini berkaitan erat dengan misteri dalam diri
Kyoto."
"Kenapa?" tanya Pete.
"Karena Kyoto-lah yang menulis pesan, Tidak ada
mutiara hari ini." Jupe mengangkat telunjuknya yang gemuk,
lalu mengangkat jari tengahnya. "Juga Kyoto-lah yang
dikunjungi Parker Frisbee di Little Tokyo kemarin." Ia
mengangkat jari manisnya, menunjukkan jumlah tiga.
"Dan lagi Kyoto-lah yang ditunggu-tunggu Blinky di Kedai Kuda Laut."
"Hmm, masuk akal," kata Pete sambil
manggut-manggut.
"Dan terima kasih pada Bob," Jupe melanjutkan,
"karena kita bisa tahu mengapa Blinky menunggu Kyoto.
Mengapa Blinky mengikutinya."
"Terima kasih kenapa?" Bob tidak mengerti apa
yang dimaksud Jupe. "Karena pengamatanmu yang cermat pada kotak pos Kyoto.
Kau menyimpulkan bahwa Kyoto baru saja pindah ke
situ karena cat kotak posnya masih baru. Jadi Blinky ingin
tahu ke mana
ia pindah, dan di mana sekarang Kyoto
tinggal."
"Kenapa?" tanya Bob.
"Itulah yang akan kita temukan," kata Jupe.
"Apa kaitan antara Blinky dan Kyoto? Dan apa hubungan Kyoto dengan
mutiara?"
Ia termenung sejenak. "Kita harus membuntuti mobil
boks hijau itu lagi," putusnya. "Cuma itu petunjuk yang bermanfaat
yang kita punyai saat ini."
"Hidupkan saja alat penjejak kita," usul Pete.
Jupe menggeleng. "Baterenya pasti sudah habis
sekarang. Kita bisa menggantinya dengan baterai baru, tapi
risikonya terlalu besar, karena kita harus pergi ke rumah
Kyoto lagi."
Ia menatap Penyelidik Dua.
"Kurasa ini tugasmu, Pete," kata Jupe.
Pete menghela napas. Setiap kali ada tugas yang berisiko
tinggi, pasti dialah yang kebagian.
"Oke,"
katanya dengan perasaan ogah. "Katakan saja apa yang kautugaskan padaku,
Jupe."
Bab 11
RAHASIA KYOTO
PETE bangun sebelum matahari terbit keesokan harinya.
Dikenakannya
celana jeans, kaus hangat, dan sepatu
karetnya. Lalu ia langsung ke dapur untuk sarapan.
Ada kaca mata gelap di meja dapur. Ayahnya tentu kelupaan
menaruh benda itu di situ. Timbul ide dalam benak
Pete. Barangkali kaca mata ini akan ada gunanya nanti,
dalam hati ia berkata. Ia menimbang-nimbang untuk
menggunakan kaca mata itu sambil makan beberapa kue donat
dan minum segelas susu.
Akankah ia lebih sukar dikenali dengan memakai kaca mata
itu? Kalau Kyoto kebetulan melihatnya, akankah dia ingat serta mengenalinya?
Akhirnya Pete memutuskan untuk membawa kaca mata gelap itu.
Dengan begitu ia dapat memakainya pada saat
dibutuhkan untuk mengubah penampilannya. Ia memasukkan kaca
mata ke dalam tempatnya, lalu menaruhnya dalam kantung baju hangatnya. Kemudian
ia bergegas ke gudang tempat menyimpan sepeda istimewanya.
Sepedanya sepeda balap buatan Inggris dengan sepuluh
persneling. Ayahnya membelikan sebagai hadiah ulang tahunnya yang terakhir.
Pete merawatnya dengan sangat teliti. Untuk keperluan sehari-hari yang tidak
begitu
mendesak, ia menggunakan sepeda lamanya. Sepeda istimewanya
hanya digunakan sekali-sekali saja, terutama untuk
keperluan penting. Dengan sepeda itu ia dapat mencapai
kecepatan rata- rata tiga puluh mil per jam, dan maksimal empat puluh mil per
jam.
Ditepuk-tepuknya sepeda itu dengan mesra, seperti orang
menepuk- nepuk seekor kuda pacuan.
Sepuluh menit kemudian ia sudah tiba di pinggiran Little
Tokyo. Diparkirnya sepeda balapnya di pinggir jalan di antara pohon-pohon. Lalu
ia mengawasi rumah Kyoto dari kejauhan. Segalanya berjalan lancar. Ia tiba
tepat pada waktunya. Mobil boks hijau masih nampak diparkir. Lampu taman rumah
Kyoto masih menyala.
Matahari mulai terbit. Sebuah sedan biru meluncur dijalan
dan berhenti tepat di muka rumah Kyoto. Seorang laki-
laki keluar dari sedan. Ia berjalan ke arah mobil boks.
Pete memicingkan matanya untuk melihat laki-laki itu lebih
jelas. Baju bergaris-garis, jas gelap, jenggot, dan kumis
tebal. Parker Frisbee! Pete yakin sekali. Bahkan dalam cahaya yang
remang-remang ia yakin tidak salah lihat.
Frisbee saat itu tidak memakai kaca mata gelap. Ia membawa
sebuah paket besar berbentuk kotak. Paket itu terlihat keabu-abuan dalam
keremangan cahaya, seperti terbungkus kertas koran. Frisbee membuka pintu
belakang mobil boks, lalu menaruh paket itu di dalamnya.
Lampu taman rumah Kyoto padam.
Frisbee menutup pintu belakang mobil boks. Ia lalu masuk
kembali ke sedannya, dan mengendarainya pergi.
Pete bersandar pada sebatang pohon, menunggu. Sepuluh menit
kemudian seorang Jepang keluar rumah. Ia mendatangi mobil boks. Pete sukar
untuk memastikan. Itu Kyoto atau penerjemahnya?
Kemudian ia baru ingat pada apa yang dikatakan Jupe tentang
ciri-ciri si penerjemah. Orang yang dilihatnya kini
tidak memiliki ciri-ciri itu. Jadi itu Kyoto. Ia membawa
sebuah tempat makan dari logam. Pakaiannya terbuat dari semacam kain drill.
Pete menyiapkan sepedanya. Ia duduk pada sadelnya, siap
untuk berangkat sewaktu-waktu.
Kyoto tidak membuka pintu belakang mobil boks. Bahkan ia
tidak melihat ke dalamnya lewat jendela belakang. Ia
langsung masuk ke depan dengan membawa tempat makanannya.
Dikendarainya mobil boks hijau itu.
Di ujung jalan, mobil boks itu berputar, lalu melaju ke
arah Pete. Cepat- cepat Pete bersembunyi di balik sebuah pohon bersama
sepedanya.
Mobil boks itu melewatinya. Pete menghitung sampai sepuluh.
Baru setelah itu ia mulai mengayuh sepedanya.
Ia tidak menjumpai masalah dalam mengikuti mobil boks
hijau, karena jalan menurun menuju kota. Sesampainya di
Main Street ia menjaga jarak sampai mobil boks berbelok masuk
ke jalan menuju pantai.
Mobil boks mempercepat lajunya. Dengan bersemangat Pete
mengayuh pedal lebih kuat. Sepedanya meluncur
makin cepat. Tiga puluh, tiga puluh lima, empat puluh mil
per jam. Persneling sudah terpasang paling tinggi. Angin
menerpa mukanya dengan kencang, sehingga seluruh rambutnya
tersibak ke belakang. Ia memindahkan persneling
ketika menanjak menuju Kedai Kuda Laut. Setelah itu jalan
turun lagi. Tanpa mengayuh Pete sudah mencapai kecepatan maksimal.
Beberapa menit kemudian ia melewati Wills Beach. Berkemah
diizinkan di sana, asalkan tidak membuat api unggun. Ada beberapa tenda di
pantai. Seorang gadis keluar dari tenda. Gadis itu melambai pada Pete ketika
Pete
ngebut melintasi jalan di pinggir pantai. Pete balas
melambai. Ia makin bersemangat memacu sepedanya.
Dua mil dari Wills Beach jalan berbelok menjauhi pantai.
Pete melihat
ke arah laut. Pagi itu cerah, dan ombak laut
terlihat sangat menggiurkan baginya. Ah, kalau saja tidak
harus
membayangi mobil boks hijau, Pete berangan-angan,
aku akan langsung terjun ke laut.
Tiba-tiba lampu rem mobil boks menyala.
Pete mengerem sepedanya. Ia duduk di sadelnya sambil
memperhatikan mobil boks yang berhenti.
Ia ingat betapa liatnya tubuh Kyoto. Kelihatannya ia jago
karate. Pete merasa ciut ketika memikirkan hal ini. Ingin
rasanya ia membiarkan mobil boks itu pergi, daripada
kepergok oleh orang Jepang yang bertubuh liat itu.
Mobil boks hijau jalan lagi. Mobil itu membelok ke kiri
pada suatu pertigaan.
Pete tidak mengira di situ ada jalan sempit menuju laut
lagi. Dengan hati-hati dikayuhnya sepeda mendekati
pertigaan. Jalan sempit itu berakhir pada sebuah pelataran
parkir, tiga puluh meter dari pertigaan. Di belakangnya
terpancang pagar berjeruji besi yang tinggi dan sebuah
gerbang yang kokoh. Sekelompok pondok kayu berdiri di balik pagar besi itu.
Mobil boks hijau berhenti di pelataran parkir. Pete
bersembunyi di balik tetumbuhan di pinggir jalan. Dari situ ia
mengawasi gerak-gerik Kyoto. Kyoto keluar membawa kotak
makannya. Ia berjalan ke belakang mobil boks.
Orang Jepang itu membuka pintu belakang, masuk ke dalam,
lalu menutup kembali pintu itu dari dalam.
Beberapa menit lamanya ia tidak keluar-keluar lagi. Pete
heran. Apa yang dilakukannya di dalam mobil boks itu?
Berganti pakaian?
Tidak. Sewaktu keluar lagi Kyoto masih mengenakan pakaian
yang sama. Kyoto membawa kotak makanannya. Ia berjalan ke arah gerbang.
Seseorang berpakaian seragam muncul dari salah satu pondok
kayu. Orang itu menyimpan senjata di pinggangnya.
Tapi ia bukan polisi. Mungkin petugas keamanan, pikir Pete.
Orang itu membuka gerbang. Kyoto melangkah masuk.
Si penjaga gerbang menutup dan mengunci gerbang kembali.
Pete bertiarap ketika ia mendengar suara dari belakangnya.
Sebuah truk datang dan membelok pada pertigaan itu,
memasuki jalan sempit. Ada dua orang Jepang di depan. Dua
orang lagi turun dari bak belakang ketika truk itu
berhenti di tempat parkir. Mereka semua membawa kotak
makanan. Keempat orang Jepang itu berjalan ke gerbang.
Mereka diperbolehkan masuk oleh penjaga gerbang.
Tempat apa ini? Pete tidak dapat membayangkan. Selain
pondok-pondok kayu itu, tidak ada lagi yang terlihat di
dalam. Di balik pagar hanya terlihat tanah datar yang
membentang sampai ke laut. Dan tanah itu kosong, tidak ditumbuhi tanaman apa
pun.
Baru kemudian Pete melihat sesuatu yang lain. Bukan hanya
tanah yang terdapat di sana, tetapi juga air. Ada
semacam danau buatan yang terpisah dari laut. Danau itu
dipetak-petaki dengan papan-papan kayu yang berada beberapa sentimeter dari
permukaan air.
Pete melihat orang-orang Jepang itu berpencar pada
papan-papan kayu. Mereka berjongkok di sana, lalu mulai
menarik sesuatu seperti kandang dari kawat. Pete tidak
dapat melihat
jelas apa isi kandang itu. Yang terlihat cuma
orang-orang Jepang yang memeriksa isi kandang dengan
teliti.
Pete sudah tidak tahu lagi yang mana Kyoto. Namun ia
menghitung ada lima orang Jepang. Jadi Kyoto mestinya salah satu dari kelima
orang itu.
Ia tetap bersembunyi di balik tetumbuhan selama setengah
jam. Tidak ada apa-apa yang terjadi. Tidak ada yang
berubah. Penjaga-penjaga gerbang mondar-mandir memeriksa
pagar. Paling sedikit ada tiga orang penjaga, Pete dapat melihat mereka
sekarang.
Sementara itu para pekerja masih melakukan tugas mereka,
sibuk dengan kandang kawat. Yang mereka kerjakan
hanyalah menarik kandang kawat dari danau buatan, memeriksa
isinya, mengembalikannya ke danau, lalu mengambil kandang kawat lainnya. Begitu
seterusnya.
Burung camar dan merpati beterbangan di atas daerah itu.
Tapi tidak ada yang luar biasa. Memang banyak burung camar dan merpati di
sepanjang pantai itu.
Sudah cukup sekarang, Pete akhirnya memutuskan. Tadi dalam
perjalanan, tak jauh dari situ ia melihat sebuah
pompa bensin. Ia menegakkan sepedanya, lalu mengayuh
sekencang-
kencangnya.
Jupe segera mengangkat telepon di kantor Trio Detektif.
Pete menjelaskan di mana ia berada sekarang, yaitu sekitar satu mil dari Wills
Beach. Ia mengajak kedua kawannya untuk bergabung di situ.
Mereka akan sampai di sini satu jam lagi, pikir Pete ketika
meletakkan
gagang telepon. Ia membeli minuman dan
sebatang coklat, lalu duduk santai menunggu kedua kawannya.
"Sepedamu bagus sekali." Penjaga pompa bensin
mendatanginya, ia mengagumi sepeda balap Pete.
Pete cuma nyengir saja. Orang itu hanya beberapa tahun
lebih tua dari Pete. Rupanya ia pecinta sepeda. Ia dan Pete
berbincang-bincang panjang lebar tentang macam-macam sepeda
dengan
perlengkapannya. Tiba-tiba terlintas dalam
benak Pete bahwa mungkin orang itu bisa memberi informasi
yang
berguna.
"Aku tadi berjalan-jalan ke sana," kata Pete
sambil menunjuk. "Di sana
kulihat ada sebuah tempat yang dipagari
dan dijaga oleh orang-orang bersenjata. Tempat apa itu,
ya?"
"Oh, aku malah belum pernah ke sana," orang itu
menjawab. "Tapi kudengar tempat itu dijadikan tempat
peternakan tiram. Seorang Jepang yang kaya membangunnya
beberapa tahun yang lalu. Ia menggali tanah di situ dan
mengisinya dengan air laut. Kudengar mereka beternak tiram
di sana." Saat itu Jupe dan Bob sampai di pompa bensin.
Jupe terengah-engah. Tubuhnya bersimbah peluh. Ia langsung
memesan minuman. "Air jeruk dingin," katanya.
Kemudian Pete mulai menceritakan semua yang dilihatnya.
Sejak ia mengawasi rumah Kyoto di Little Tokyo sampai ia mengintai tempat yang
dibatasi pagar tinggi berjeruji besi. "Peternakan tiram," Jupe
mengulangi sambil berpikir keras setelah Pete selesai melapor. "Petugas
keamanan.
Parker Frisbee. Paket kotak besar. Bagus kerjamu,
Pete."
"Oh, ya?" Hidung Pete kembang kempis mendapat
pujian dari pimpinan
Trio Detektif. "Tapi apa artinya semua
ini?"
Penyelidik Satu tidak menjawab. "Kita kembali ke sana
untuk mengamati apa yang terjadi kemudian," usul Jupe.
Trio Detektif bersepeda ke tempat peternakan tiram. Pete
memimpin di depan sebagai penunjuk jalan. Di balik
tetumbuhan di pertigaan itu mereka menyembunyikan sepeda.
Mereka
sendiri mencari tempat yang strategis sehingga
dapat mengamati apa yang terjadi di balik pagar dengan
jelas.
Jupe telah membawa teropongnya. Difokuskannya teropong itu
pada pekerja Jepang yang sedang sibuk memeriksa kandang-kandang kawat.
"Benar, itu tiram," katanya. "Dalam
kandang-kandang. Sulit untuk melihat apa yang mereka lakukan terhadap
tiram-tiram itu. Tapi kelihatannya mereka membuka beberapa
tiram."
Matahari sudah tinggi saat itu. Teriknya menyengat
anak-anak yang sedang bertiarap di rerumputan. Dalam hatinya Pete menyesal,
mengapa ia tidak membawa minuman dingin untuk cadangan dari kantin di pompa
bensin tadi. Ia
memakai kaca mata hitam yang dibawanya. Lalu ia
bertelentang dengan kedua tangannya dilipat di belakang kepalanya. Kedua
matanya dipejamkan.
Tidak lama kemudian salah seorang dari penjaga meniup
peluit. Para pekerja Jepang berhenti untuk beristirahat
makan siang. Mereka duduk di papan-papan di atas danau.
Dalam terik matahari mereka membuka bekal dalam kotak makanan mereka.
Burung camar dan merpati berkerumun mencari sisa-sisa
makanan. Para pekerja mengusirnya dengan mengibas-
ngibaskan tangan mereka. Sebagian burung ada yang pergi.
Tetapi sisanya tidak putus asa. Dengan sabar mereka menanti para pekerja itu
selesai makan. Burung camar dan merpati tetap berkerumun dekat para pekerja
Jepang itu.
Jupe menurunkan teropongnya. Menonton orang makan membuat
perutnya sendiri berkeriuk-keriuk. Ia baru sadar
bahwa saat itu sudah waktunya makan. Perutnya sudah protes
minta
diisi. Tapi dipaksanya untuk memusatkan pikiran
pada kasus yang sedang dihadapinya. Misteri merpati berjari
dua dan
pembunuhan burung-burung. Tanpa sadar, ia
menarik-narik bibir bawahnya.
Paket abu-abu yang ditaruh Parker Frisbee di bagian
belakang mobil boks hijau. Apa isinya? Menurut laporan Pete,
Kyoto tidak membawa paket itu ketika memasuki gerbang yang
dijaga
petugas keamanan. Ia cuma membawa kotak
makanannya.
Jupe menyentuh bahu Pete. Pete diam tak bereaksi.
Jupe mengguncang-guncangnya.
Pete gelagapan terbangun.
"Kyoto tadi mengunci pintu belakang mobil
boksnya?" tanyanya ketika Pete mengangkat kepalanya. Jupe tidak
dapat melihat apakah mata Pete terbuka atau tertutup karena
terhalang oleh kaca mata gelap yang dipakainya. Tapi kelihatannya ia sudah agak
sadar sekarang.
"Tidak," gumam Pete. "Aku yakin tidak
dikunci." Ia merebahkan kepalanya kembali. Sekejap ia sudah tertidur lagi.
Jupe memikirkan langkah yang akan diambilnya. Dapatkah dia
merayap ke belakang mobil boks, lalu masuk dan
meneliti isi paket abu-abu itu? Namun dengan terpaksa ia
mengakui
bahwa ia tidak dapat melakukan hal itu. Penjaga
yang bersenjata belum ikut makan. Mereka mengawasi daerah
sekitar
situ dengan waspada. Secara teratur mereka
berpatroli memeriksa pagar dan gerbang.
Beberapa menit kemudian terdengar lagi suara peluit. Para
pekerja Jepang membereskan kotak makan mereka, lalu
kembali bekerja, memeriksa tiram-tiram yang dipelihara
dalam kandang- kandang kawat.
Jupe berupaya menjaga matanya agar tetap terbuka. Padahal
tidak ada sesuatu yang baru yang dapat dilihatnya
dengan teropongnya. Semua sama saja seperti yang dilihat
sebelumnya. Panas semakin menyengat. Pemandangan
tidak lagi menarik. Perutnya keroncongan. Jupe merasa
kelopak matanya menjadi berat. Tak terasa kepalanya terkulai.
Ia bermimpi makan pizza dengan salad segar. Kemudian datang
seporsi besar es krim. Jupe baru mulai menyendok santapan lezat di
hadapannya...
Nyaringnya suara peluit membangunkannya. Hampir jam tiga,
ia melihat jam tangannya. Orang-orang Jepang
menurunkan kandang-kandang kawat ke dalam danau. Mereka
berdiri dan mulai berjalan ke arah pintu gerbang.
Pikiran Jupe tiba-tiba menjadi jernih setelah tidur singkat
tadi. Kaca mata gelap, pikirnya, dan itu sebuah penemuan besar! Parker Frisbee
memakai kaca mata gelap di hutan kecil Miss Melody dan di pelataran parkir
dekat Bank Amco.
Keduanya pada malam hari. Tapi kaca mata gelap bukan hanya
untuk melindungi mata dari teriknya sinar matahari.
Kaca mata gelap dapat menutupi mata orang yang memakainya.
Seperti yang tadi dialami Pete. Ia tidak dapat
memastikan apakah mata Pete terbuka atau tertutup ketika
memakai kaca mata gelap.
Jupe memandang ke balik pagar besi. Orang-orang Jepang itu
belum keluar dari gerbang. Mereka menghilang di
dalam salah satu pondok kayu. Dan para penjaga juga tidak
tampak lagi. Ia berjongkok dan mengambil ancang-ancang. Lalu berlarilah ia
sekencang-kencangnya ke jalan sempit menuju pelataran parkir.
Bob membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa di sampingnya.
Di mana Jupe? Ke mana ia menghilang? Bob
melihat ke pelataran parkir. Dilihatnya Penyelidik Satu
membuka pintu belakang mobil boks Kyoto. Jupe masuk ke dalamnya! Pintu belakang
tertutup lagi.
"Oh, cari gara-gara dia!" Pete mengangkat
kepalanya.
"Menurutmu apa yang diinginkannya?" Bob bertanya pada
Pete. "Maksudku, Jupe berharap kita melakukan apa?
Mungkinkah ia mau bersembunyi di belakang mobil boks Kyoto
lalu ikut pergi bersamanya? Atau apa?"
"Tak tahu, ya." Pete sama bingungnya dengan Bob.
"Harusnya kalau mau
berbuat sesuatu, bilang-bilang dulu,
dong."
"Ya. Mestinya begitu. Tapi mungkin ia cuma menyelidiki
mobil boks itu. Kita tunggu saja. Kuharap ia bisa keluar
sebelum Kyoto..." Ia akan mengatakan, "Sebelum
Kyoto memergokinya." Tapi tidak nampak siapa pun. Ke mana orang Jepang
itu? Ke mana para penjaga?
Bob memungut teropong. Diteropongnya daerah di balik pagar
besi itu. Ia berhenti pada sebuah jendela di salah satu pondok kayu.
Agak sukar untuk melihat semuanya dengan jelas. Tapi Bob
dapat
melihat bahwa pondok itu penuh dengan orang
Jepang dan penjaga. Para penjaga memeriksa pekerja Jepang
dengan
teliti, dari kepala sampai kaki. Baju dan celana
mereka digeledah. Bahkan kotak makanan dan sepatu tidak
luput dari
perhatian penjaga.
Bob menurunkan teropongnya. Jupe nampak berlari ke arahnya.
Penyelidik Satu menyelusup ke sampingnya di
balik tetumbuhan yang cukup rimbun. Wajah Jupe kemerahan
dan agak lesu, tapi matanya bersinar-sinar.
"Para penjaga sedang menggeledah mereka, kan?"
tanya Jupe begitu napasnya mulai teratur.
Bob mengangguk. "Sepertinya begitu. Apa yang mereka
cari pada pekerja-pekerja itu, Jupe?"
Jupe tidak langsung menjawab. "Aku baru saja melakukan
suatu penyelidikan," katanya beberapa saat kemudian.
"Aku menemukan apa yang berada dalam paket di mobil
boks Kyoto. Ternyata bukan koran pembungkusnya, Pete.
Kurasa dari jauh dalam cahaya yang remang-remang memang
terlihat seperti koran. Padahal itu kain katun tipis."
"Katun tipis?" kata Pete. "Maksudmu seperti
penutup kotak yang dibawa Blinky?"
"Persis," jawab Jupiter. "Kain itu telah
terbuka. Dan paket itu adalah sebuah sangkar. Sangkar itu kosong. Tapi aku
yakin tadi pagi pasti ada isinya sewaktu Frisbee menaruhnya
di belakang mobil boks. Karena aku menemukan ini."
Ia membuka genggaman tangannya. Kedua temannya melihatnya.
Segenggam jagung.
"Merpati," desis Pete. "Kyoto membawa
merpati dalam sangkar itu..." "Dan ia menyelundupkannya dalam kotak
makanannya," Jupe
melanjutkan. "Itu mudah sekali. Penjaga kan tidak
mengecek para pekerja ketika mereka masuk. Hanya ketika
mereka
keluar."
Bob mengernyit.
"Tapi, apa yang mereka geledah?" ia bertanya lagi.
"Mutiara," Jupe menerangkan dengan sabar. "Itulah yang mereka
harapkan dari tiram-tiram itu. Di tempat ini diproduksi mutiara buatan!"
Bab 12
RENCANAJUPE
"MUTIARA," kata Jupe lagi. "Mutiara dan
merpati pos."
Trio Detektif telah berkumpul kembali di kantor mereka
setelah meninggalkan tempat peternakan tiram. Mereka sedang menikmati roti keju
buatan Bibi Mathilda. Jupe membagi dua rotinya. Ia berniat untuk makan
separuhnya saja.
Sebelum ke kantor, Bob menyempatkan diri untuk mampir di
perpustakaan. Ia meminjam dua buku yang dipesan Jupe.
"Apa kata buku itu tentang mutiara buatan?" tanya
Jupe padanya.
Bob membuka salah satu buku, berjudul Keindahan Mutiara.
Dikeluarkannya sehelai kertas tempat ia menulis beberapa catatan tentang buku
itu.
"Mutiara buatan." Ia membetulkan posisi kaca
matanya. "Caranya, ambil bayi tiram dan kumpulkan dalam kandang
di bawah air. Setelah tiram berumur tiga tahun, buka tiram
itu lalu taruh sebutir pecahan kulit tiram di dalamnya.
Taruh benda itu pada tempat yang dinamakan mantel tiram.
Lalu turunkan kembali kandang ke dalam air. Biarkan tiram itu selama tiga
sampai enam tahun. Sejak saat itu tiram mesti dicek secara rutin. Tiram yang
dimasuki sebutir pecahan kulit tiram tadi akan terluka. Tiram akan membalut
luka tadi sehingga terbentuklah mutiara."
"Oo, seperti perban, ya," kata Pete.
"Ya, semacam sistem pertahanan tubuh." Bob
membaca catatannya
kembali. "Setelah enam tahun, mutiara sudah
terbentuk secara sempurna. Mutiara itu sudah dapat diambil
untuk
dijual. Peternakan mutiara menjadi industri besar di
Jepang. Beberapa mutiara buatan harganya mencapai ratusan
dolar."
"Mengapa disebut buatan?" tanya Pete. "Kan
mutiara itu sendiri yang
membuatnya?"
"Ya, tapi kan dengan campur tangan manusia,"
sahut Bob. "Manusia yang memulainya dengan memasukkan
sebutir pecahan kulit tiram. Kalau menunggu sampai sebutir
pasir atau
sembarang benda keras masuk sendiri, wah
lama sekali baru terbentuk mutiara. Dan itu jadi
untung-untungan
sifatnya."
"Jadi itulah sebabnya penjaga menggeledah para pekerja
sebelum mereka pulang," kata Pete sambil mengelus bulu Caesar dalam
kandangnya yang besar. "Supaya mereka tidak mencuri mutiara. Begitu kan,
Jupe?"
"Ya." Penyelidik Satu itu duduk santai di kursi
goyangnya. "Tapi ingat, pekerja tidak diperiksa ketika masuk. Itu
memunculkan ide di kepala Parker Frisbee dan Kyoto. Ide
yang sangat sederhana. Di situlah letak persoalannya.
Parker Frisbee menaruh seekor merpati pos di belakang mobil
boks Kyoto. Ketika sampai di peternakan tiram, Kyoto menyelundupkan merpati itu
dalam kotak makanannya."
Jupe membisu sejenak. Ia memandangi rotinya yang separuh
lagi. Didorongnya roti itu menjauh darinya.
"Kalau Kyoto menemukan mutiara yang indah dalam salah
satu tiram hari itu, ia menunggu sampai waktu makan
siang. Ketika waktu makan siang tiba, ia mengeluarkan
merpati dari kotak makanannya, lalu mengikatkan mutiara itu di kaki si merpati.
Ada banyak merpati beterbangan di sekitar tempat itu. Tambahan satu merpati
tidak akan ketahuan oleh penjaga. Merpati pos itu akan terbang kembali ke
tempat Parker Frisbee, sambil membawa mutiara baginya."
"Dan kalau Kyoto kebetulan tidak menemukan mutiara
hari itu," kata Bob, "ia mengirim pesan pada Parker Frisbee
dalam bahasa Jepang bertuliskan, ’Tidak ada mutiara hari
ini.’ Seperti
pesan yang kita temukan pada merpati berjari
dua yang telah mati diserang rajawali Miss Melody.
Tapi..."
Ia terdiam. Bob mencoba membayangkan apa yang terjadi.
"Tapi..." ia
mengulangi dengan nada yang mengandung
keragu-raguan.
"Tapi merpati berjari dua itu bukan milik Parker
Frisbee," Jupe menyelesaikan kalimat Bob, "melainkan milik
Blinky. Paling tidak Blinky-lah yang membawa-bawanya di
Kedai Kuda
Laut waktu itu. Dalam sebuah sangkar yang
mirip, dan juga dengan bungkus kain katun yang
sejenis."
Tanpa sadar, Jupe mencoel secomot rotinya yang tinggal
separuh. "Coba
lihat dalam buku yang satunya lagi, Bob,"
ujarnya.
Buku kedua yang dipinjam Bob dari perpustakaan adalah
sebuah atlas California bagian selatan. Jupe memasukkan comotan roti ke dalam
mulutnya, lalu membuka atlas yang menggambarkan peta Rocky Beach dan Santa
Monica.
Kedua kawannya melongok dari belakang Jupe.
"Di sini Wills Beach." Jupe meletakkan
telunjuknya yang gemuk pada sebuah titik pada garis pantai yang
membujur dari timur ke barat. "Jadi peternakan tiram
berada di sini.
Dan Parker Frisbee tinggal..." Ia menggerakkan
jarinya ke bawah mendekati Rocky Beach. "Di sini. Di
sisi barat kota.
Aku tahu karena aku melihat alamatnya di buku
telepon."
Ia mengambil sebuah penggaris dari laci mejanya.
Diletakkannya penggaris itu di antara dua titik tadi. "Nah, apa artinya
ini bagi kita?" tanyanya.
"Artinya jelas, dong," kata Pete. "Merpati
harus terbang melintasi laut menuju rumah Frisbee, kalau ia memelihara
merpati itu di rumahnya. Merpati itu menempuh jarak sekitar
enam mil." "Jadi akan memakan waktu sekitar enam menit," tambah
Bob. "Jadi yang harus dilakukan Frisbee hanyalah
menunggu di rumah pada siang hari. Ia cuma sebentar
menunggu, lalu
datang merpati membawa mutiara. Enak
benar!"
"Kalau begitu bagaimana mungkin merpati berjari dua
terbunuh di hutan kecil Miss Melody?" Pete keberatan.
"Maureen Melody tinggal di bagian timur kota." Ia
menunjuk pada
sebuah tempat di peta. "Itu jauh dari tempat
Frisbee. Kenapa merpati berjari dua itu melenceng begitu
jauh dari
rutenya?"
"Memang, tempat itu memang di luar jalur penerbangan
si merpati, dari peternakan ke rumah Frisbee." Jupe
menggeser penggaris, sehingga membentuk garis antara
peternakan tiram dengan rumah Miss Melody. "Tapi kalau merpati itu tidak
menuju rumah Frisbee..." Ia menunjuk ke suatu tempat beberapa mil dari
Rocky Beach.
"Santa Monica," kata Bob.
"Blinky?" ujar Pete bertanya-tanya.
"Blinky tinggal di Santa Monica," Bob
mengingatkan. "Ia mengatakannya sendiri waktu itu..."
"Jadi kalau merpati berjari dua itu milik
Blinky," Jupe melanjutkan, "dan terbang kembali ke rumah Blinky di
Santa Monica, jelas si merpati akan melalui hutan kecil
Maureen Melody. Begitulah kejadiannya sampai merpati itu terbunuh oleh salah
satu rajawali Miss Melody."
Ia tidak berkata-kata beberapa saat. Jari-jarinya
meremas-remas sisa rotinya yang tinggal sedikit.
"Dan jelas itu bukan pertama kalinya merpati Blinky
terbunuh dengan cara seperti itu," ia melanjutkan. "Miss
Melody bilang bahwa Edgar Allan Poe sudah tiga kali
membawakan mutiara baginya. Jadi mungkin Edgar Allan Poe-
lah yang menemukan mutiara itu terikat pada kaki merpati
yang mati di hutan kecil Miss Melody."
"Nah, itu baru cocok," kata Pete menyetujui.
Jupe mengernyit. Ia menutup atlas.
"Mungkin cocok," ujarnya, "kalau Frisbee dan
Blinky berkawan. Yaitu, kalau mereka memakai merpati bergantian
dari hari ke hari. Hari ini merpati Frisbee, besoknya
merpati Blinky, begitu seterusnya. Ini lah satu-satunya penjelasan terhadap
kelakuan Frisbee. Ia khawatir burung Blinky terbunuh. Jadi ia menyelinap ke
dalam hutan kecil Miss Melody
pada malam hari. Ia tak sengaja bertemu aku di sana.
Mungkin dia pikir akulah pembunuhnya, sehingga dia menyerangku dengan tongkat
kayu."
Jupe mencoel lagi secomot roti.
"Kemudian ia mendengar dari Maureen Melody bahwa kita
mencoba menolongnya. Maka ia lalu bersikap ramah.
Diberinya kita hadiah dan dijanjikannya hadiah lagi kalau
kita bisa menemukan pembunuh merpati Blinky."
Ia menggeleng. Matanya memandangi roti dan keju yang
dipegangnya dengan telunjuk dan jempolnya. Ditelannya potongan roti itu.
"Tapi mereka tidak mungkin berkawan," katanya.
"Kenapa tidak?" tanya Bob. "Apa yang membuat
kau berpikiran begitu?" Jupe menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
"Kalau mereka berkawan," ujarnya kemudian,
"maka Blinky dan Kyoto juga berkawan." Kini Jupe memainkan potongan
roti yang terakhir. "Dan Blinky pasti sudah tahu di mana Kyoto
tinggal. Tidak perlu ia menunggu di Kedai
Kuda Laut untuk menguntit Kyoto dalam mobil boks
hijaunya."
Jupe berdiri. Ditelannya potongan roti terakhir, ia
memandang Bob dan Pete berganti-ganti. "Usulku, kita semua
minta izin pada orang tua untuk berkemah semalam di Wills
Beach."
Ia tahu mereka tidak akan sulit mendapatkan izin itu. Trio
Detektif sudah sering berkemah di musim panas. Mereka berjanji untuk berkumpul
di pangkalan dua jam lagi. Jupe akan meminta Hans, salah seorang pekerja yang
membantu
Paman Titus, untuk mengantar mereka ke Wills Beach dengan
truknya. Sepeda dan kantung tidur mereka akan diangkut di bak belakang truk.
"Besok pagi-pagi benar," kata Jupiter,
"waktu Kyoto pergi ke peternakan tiram dengan mobil boks hijaunya, kita
sudah siap."
"Siap apa?" tanya Pete. "Siap membuntutinya
lagi?"
"Tidak, tidak," sahut Jupe cepat. "Sekali
ini kita akan memecahkan kasus ini, membuka misteri yang
menyelubunginya dengan cara
yang sederhana dan praktis... tapi jitu!" Matanya menjelajahi seluruh
permukaan meja itu. Ia mencari separuh roti yang disisakannya tadi. Tidak ada
lagi
roti yang tersisa. Piringnya bersih licin. Ia tersentak
ketika menyadari
bahwa sisa roti telah dihabiskannya tanpa
sengaja.
"Akan
kita gunakan Caesar untuk menjebak Blinky!" serunya.
Bab 13
PENUKARAN BERBAHAYA
AKU tidak cocok untuk tidur di alam terbuka, Jupe menilai
dirinya sendiri ketika ia terbangun dalam kantung tidurnya esok paginya.
Tubuhnya pegal-pegal. Lidah dan mulutnya terasa asin.
Ia melihat jam tangannya. Jam enam. Sudah waktunya untuk
bersiap- siap. Ia membuka ritsleting kantung tidurnya.
Sambil menggeliat ia bangun.
Kedua kawannya sudah bangun. Pete berlutut di dekat sangkar
kecil Caesar. Ia memberi jagung pada Caesar. Bob menawarkan kue donat dan
sekotak susu.
Jupe bimbang sejenak. Mengapa tidak, pikirnya. Sebuah donat
tidak akan membuatnya gemuk. Dan saat itu ia
membutuhkan tenaga. Diminumnya susu perlahan-lahan. Minuman
itu
membantu menghilangkan rasa asin dari
mulutnya.
Sepuluh menit kemudian anak-anak sudah membereskan
perlengkapan mereka. Jupe membantu Pete membungkus sangkar Caesar dengan kain
katun tipis. Kemudian mereka mengikatkannya pada boncengan sepeda Jupe. Pete
menggantungkan tas wisata pada setang sepedanya.
Dengan membawa perlengkapan mereka di setang dan boncengan
sepeda, anak-anak bersepeda sambil menjaga
keseimbangan. Perlahan-lahan mereka menyusuri jalan
menanjak menuju pompa bensin. Di tempat itu mereka
menitipkan kantung tidur agar memudahkan perjalanan
selanjutnya. Setelah mengurangi muatan di pompa bensin, anak-anak dapat lebih
cepat mengayuh sepeda mereka ke arah
peternakan tiram. Jupe ingat ada suatu tempat yang cocok
untuk melaksanakan rencananya. Di pinggir jalan,
sepanjang sisi yang berlawanan dengan pantai, terdapat
tumbuhan semak yang lebat. Tumbuhan semak itu masih lebat sampai pada sebuah
tikungan yang menuju peternakan tiram. Sedangkan pada sisi yang satu lagi
terdapat sebuah
selokan lebar. Dengan demikian mobil tidak dapat berjalan
menepi.
Anak-anak meminggirkan sepeda mereka, dan menyembunyikannya
di balik semak belukar. Jupe membuka ikatan
sangkar Caesar. Bob mengambil tas wisatanya dari setang
sepedanya sendiri. Mereka bertiga masing-masing
membawa pompa sepeda ke pinggir jalan. Segala peralatan itu
ditaruh di pinggir jalan.
Bob membuka tasnya. Ia mengeluarkan sebungkus balon besar
berwarna-warni dan dengan berbagai bentuk. Balon-
balon itu dibagi tiga sama rata, masing-masing mendapat dua
puluh.
Mereka mulai bekerja. Dengan pompa sepeda,
mereka mengisi balon dengan udara. Dalam sekejap terkumpul
enam
puluh balon besar yang satu sama lain diikatkan
sehingga membentuk sebuah menara di pinggir jalan itu.
Untungnya tidak ada mobil yang lewat pagi itu. Dan juga
angin hanya
bertiup perlahan saja. Jupe bersyukur dengan
kondisi yang memudahkan mereka menyelesaikan pekerjaan itu.
Bob mengeluarkan lagi segulung kain putih yang disiapkannya
tadi malam atas petunjuk Jupe. Anak-anak
membuka dan memasang gulungan itu di pinggir jalan. Dalam
huruf-huruf merah tertulis pada kain itu:
SUMBANGKAN DANA ANDA
UNTUK PERKUMPULAN PENYAYANG UNGGAS.
BELILAH BALON KAMI.
Jupe melihat ke kiri kanan jalan. Tidak tampak satu
kendaraan pun lewat.
"Kau sembunyi di sini, Bob," katanya. "Kau
bisa melihat Pete dan aku.
Kau bawa sapu tangan?"
"Ya." Bob mengambilnya dari kantung celana
jeansnya. "Akan kulambaikan seperti ini, Pete," kata Bob. "Ke
depan dan ke belakang. Ini artinya kau boleh membiarkan dia
pergi."
Pete mengangguk ragu-ragu. Ia merasa canggung dengan tugas
yang dipikulnya. Ia cuma berharap agar Kyoto tidak
menjadi gusar. Ingatan bahwa Kyoto seorang jagoan karate
membuat hatinya ciut kembali. Kalau sampai Kyoto
mengenalinya sebagai anak yang dijumpainya di pangkalan
barang bekas... Kalau sampai Kyoto tahu bahwa Pete mencoba mengelabuinya...
Pete tidak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi.
Ia memakai kaca mata gelapnya. Dengan memakai itu ia merasa
lebih
aman. "Bagaimana aku tahu kalau dia
datang?" tanyanya dengan suara agak bergetar.
"Tiga suitan berarti mobil itu terlihat," kata
Jupe memberi tahu. "Dua suitan lagi berarti mobil boks hijau sudah
melewatiku. Oke?"
"Oke."
Jupe menangkap ada keraguan dalam suara Pete. Ia tahu bahwa
Pete memainkan peran yang paling berat. Jupe
sebenarnya ingin agar peran itu dipegangnya sendiri. Namun
ia sudah dikenal oleh Kyoto. Waktu itu Jupiter-lah yang berbicara dengan Kyoto
melalui penerjemah. Kecil sekali kemungkinannya bahwa Kyoto akan melupakan
Jupe, karena baru beberapa hari yang lalu mereka bertemu.
"Jangan lupa pasang senyum, Pete," katanya,
mencoba membesarkan hati kawannya. "Pasang senyum semanis mungkin, dan
banyak berbicara."
"Bicara apa?"
"Apa saja," sahut Jupe. "Tidak ada
pengaruhnya. Ia tidak bisa bahasa Inggris. Kalau kau ngomong ngaco sekalipun ia
tak akan tahu."
"Oke," ujar Pete. Tapi ia masih merasa canggung.
Jupe melirik jam tangannya. Waktunya hampir tiba.
"Siap siaga sekarang!" katanya memberi aba-aba.
Bob memanjat bukit kecil. Ia bertiarap di balik semak-semak
sambil memegang sapu tangannya.
Jupe kembali ke tempat mereka menyembunyikan sepeda. Ia
berlindung di balik semak-semak dekat tikungan.
Sambil membawa sangkar, ia dapat merasakan Caesar
bergerak-gerak di dalamnya.
Pete berdiri di pinggir jalan sembari memegangi menara
balon. "Sumbangkanlah dana Anda," gumamnya sambil melihat spanduk
bertuliskan huruf merah. "Dengan membeli balon ini berarti Anda telah
menolong binatang-
binatang." Ia mencari kata-kata yang enak didengar.
Lalu ia mendesah. "Hhh... justru sekarang aku yang butuh
pertolongan. Sebentar lagi aku berhadapan dengan jagoan
karate bersabuk hitam..."
Meskipun pagi itu cukup dingin, keringat dingin Jupe keluar
membasahi pipi dan hidungnya. Ia khawatir
memikirkan keselamatan Pete. Dalam hati ia berdoa agar Pete
tidak grogi sewaktu menjalankan tugasnya. Jupe lalu
memusatkan pandangannya ke jalan. Ia menunggu munculnya
mobil boks hijau.
Lima menit. Sepuluh menit. Ia mulai cemas. Jangan-jangan
Kyoto tidak bekerja hari ini. Jangan-jangan ada suatu
halangan yang membuatnya tidak pergi ke tempat peternakan
tiram. Kalau ingat pada Pete, Jupe berharap mobil boks hijau itu tidak muncul.
Tiba-tiba yang ditunggu-tunggu muncul. Jupe memasukkan jari
telunjuk
dan jempolnya ke mulut. Ia bersuit tiga
kali.
Mobil boks melewatinya. Jupe bersuit lagi, dua kali.
Begitu mobil boks membelok di tikungan, Jupe berlari
kencang sambil membawa sangkar Caesar.
Pete mendengar tiga suitan. Ia membawa menara balon itu ke
tengah jalan. Setelah mendengar lagi suitan dua kali, direbahkannya menara
balon itu melintang menutupi jalan. Dengan susah-payah ditahannya balon-balon
itu supaya tetap berada dalam posisi rebah.
Kini ia mendengar suara mobil mendekat. Mobil boks itu
memperlambat
kecepatannya. Lima meter dari tempat
Pete merebahkan menara balon itu, mobil boks berhenti.
Kyoto melongok ke luar jendela. Ia berteriak pada Pete
dalam bahasa Jepang. Pete acuh tak acuh saja. Ia berlagak
ingin menyingkirkan balon-balon itu dari jalan. Padahal
sebenarnya ia
malah mau menjaga agar tidak ada celah yang
dapat dilewati mobil tanpa menabrak kumpulan balon itu.
Kyoto turun dari mobil boksnya. Ia mendatangi Pete. Di muka
Pete, ia
berhenti. Ditatapnya Pete dengan pandangan
bertanya-tanya. Ia lalu menendang balon yang terdekat
dengannya.
Balon itu berwarna hijau dan berbentuk panjang
seperti sosis. Balon itu mental kembali mengenai hidung
Kyoto. Kyoto
mengomel dengan kata-kata yang tidak
dimengerti Pete.
Pete membuka kedua tangannya. Ia mencoba tersenyum, tapi
yang
muncul adalah cengiran. "Sumbangkanlah dana
Anda," katanya. "Dengan membeli balon ini berarti
Anda menolong
binatang."
Kyoto menggumamkan sesuatu dalam bahasa Jepang.
Pete seolah tidak menghiraukannya. Ia tetap saja nyengir.
Banyak- banyak berbicara, pesan Jupe padanya.
Masalahnya sekarang ia tidak tahu mau bicara apa. Bicara
apa saja, ia teringat pesan Jupe lagi. Tiba-tiba terlintas sesuatu di benaknya.
Syair lagu yang sering dinyanyikan ayahnya di rumah, pikirnya.
"Kokoh, bagai batu karang," kata Pete pada Kyoto.
"Kokoh bagai batu karang." Ia berdehem. "Tidak goyah
diterjang ombak. Tidak lapuk dibakar terik mentari. Kokoh
bagai batu karang."
Pete tetap mempertahankan cengirannya. Ia terus nyerocos
meski kata- katanya ngaco dan tidak ada hubungannya dengan situasi saat itu.
Toh Kyoto tidak mengerti, pikirnya.
Kyoto menendang lagi sebuah balon, kali ini balon bulat
kuning. Balon itu mengambang, lalu mendarat di atas balon-balon lainnya.
"Kita akan terus bertahan," kata Pete sambil
menunjuk pada spanduk putih bertuliskan huruf merah. "Kita akan
berjuang bersama. Bahu-membahu selamanya. Sekokoh batu
karang... " Jupe tinggal sepuluh meter lagi dari belakang mobil boks. Ia
terus berlari kencang sambil membungkuk agar tidak
terlihat. Sepatu karetnya membuat suara langkahnya tidak
terdengar.
Bagian yang paling sulit adalah membuka pintu
belakang mobil boks tanpa terdengar. Dalam hati Jupe merasa
beruntung karena Kyoto membiarkan mesin mobilnya
hidup.
"... Bertempur bersama. Setegar batu karang. "
Pete setengah berlagu
dengan suara tinggi. Tidak apa-apalah sedikit
sumbang, dalam hati ia berkata. Yang penting bisa menyita
perhatian
Kyoto. Sehingga Jupe punya cukup waktu untuk
melakukan tugasnya.
Kyoto merogoh kantungnya. Mau mengambil dompet? Ia mau
membeli
balon atau apa? Jantung Pete berdegup
kencang.
Jupe perlahan-lahan memutar gagang pintu belakang mobil
boks. Timbul suara berderak. Derakan itu tidak keras,
tapi seakan terdengar sekeras jeritan di telinga Jupe. Ia
membuka pintu itu.
Dari tempat persembunyiannya di bukit, Bob melihat Jupe
melongok ke dalam mobil boks. Bob menggenggam sapu tangannya makin erat.
Kini Jupe duduk di belakang mobil boks. Ada kotak
terbungkus kain katun tipis di dalam. Jupe meletakkan sangkar
Caesar di sebelah kotak itu. Diletakkan berdampingan, kedua
kotak itu sukar dibedakan. Bahkan kain katun tipisnya pun sama persis.
Perlahan-lahan Jupe mengangkat kotak Kyoto. Sambil mendekap kotak Kyoto di
dadanya, Jupe
menggeser sangkar Caesar ke tempat kotak Kyoto semula
berada. "Kokoh bagai batu karang..." Pete terdiam. Tenggorokannya
serasa tersumbat.
Kyoto tidak mengeluarkan dompetnya. Ia mengeluarkan sebilah
pisau lipat! Terkena sinar matahari pagi, pisau itu nampak berkilat-kilat dan
mengancam.
Pete meneguk ludah.
Jupe meraih pintu belakang mobil boks. Tiba-tiba terdengar
suara letusan. Jupe terlompat. Seolah-olah ada sebuah bom meledak di kakinya.
Merpati dalam kotak yang didekapnya bersuara. Jupe berdiri mematung, menunggu.
Terdengar suara letusan lagi.
"Kokoh bagai balonku..." Pete mulai ngawur. Ia
betul-betul kebingungan. Kyoto menusukkan pisaunya pada setiap balon di
dekatnya. Setelah balon di sekitarnya meletus semua, ia menarik
tali pengikat seluruh balon itu. Balon-balon yang lain
tertarik mendekat ke arahnya. Lagi-lagi dipecahkannya balon demi balon yang
dekat dengannya.
Pete cuma bisa melongo melihat tindakan Kyoto.
Jupe menutup pintu belakang. Ia menekan pintu itu, untuk
meyakinkan dirinya bahwa pintu sudah tertutup rapat.
Sambil mendekap kotak Kyoto, ia mundur menjauhi mobil boks.
Pete melihat ke tempat Bob bersembunyi. Tidak sabar ia
menanti isyarat yang diberikan Bob. Makin lama menunggu makin gemetar dia.
Kyoto masih menusuki balon-balon Pete. Sudah hampir
setengahnya pecah sekarang.
Bob melihat Jupe mundur menjauhi mobil boks. Ia melihat
pula Jupe berputar, lalu berlari kencang. Sesaat
kemudian Jupe sudah lenyap di balik semak-semak di tepi
jalan.
Bob berdiri, ia melambai-lambaikan sapu tangannya ke depan
dan ke belakang.
"Kita akan terus bertahan," kata Pete dengan
suara serak. Ia hampir putus asa. Kyoto sudah memecahkan balonnya
yang terakhir. Kemudian ia melihat isyarat Bob. Bergegas
Pete kabur. Ia menyelusup ke balik semak-semak terdekat.
Tidak dipedulikannya lagi Kyoto.
Kyoto dengan gusar kembali ke mobil boksnya. Ia masuk
sambil mengumpat-umpat dalam bahasa Jepang.
Pete terduduk di balik semak-semak. Ia tidak menggubris
lagi suara mobil boks Kyoto yang berlalu dari situ. Yang
penting tugasnya sudah beres. Beberapa kali ia menarik
napas panjang.
Kepalanya ditelungkupkan di antara kedua
lututnya.
Jupe keluar dari tumbuhan semak tempatnya bersembunyi. Ia
mencari- cari Pete.
"Pete, Pete. Di mana kau?"
Bob berlari-lari menuruni bukit kecil ke arah Jupe. Ia
menunjuk-nunjuk ke suatu tempat di tepi jalan.
Jupe melihat ke arah yang ditunjuk Bob. Ia menguak
semak-semak di
situ. Tampaklah olehnya Pete sedang duduk,
lemas. Jupe tahu betapa berbahayanya tugas yang dipikul
Pete.
Menghentikan mobil boks Kyoto serta menahannya
cukup lama, agar Jupe bisa menukar sangkar burung merpati
itu,
bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.
"Kau tidak kenapa-kenapa, kan?" tanyanya. Ia
menepuk pundak Pete.
"Kau menyelesaikan tugasmu dengan sempurna, Pete. Kau
baik-baik saja, kan?"
Pete menggeleng lambat-lambat. "Hhh," desahnya.
"Waktu dia
mengeluarkan pisaunya... jantungku serasa mau
copot!"
Ia menatap
Jupe ketika Bob sampai dan bergabung dengan mereka. "Cukup sekali saja ini
terjadi. Tidak berani lagi aku begini. Amit-amit!"
Bab 14
NALURICAESAR
JUPITER membimbing Pete keluar dari semak. Ia merasa tidak
enak karena telah memberikan pekerjaan yang
menegangkan pada Pete. Demikian pula perasaan Bob. Tetapi
pada saat itu pula ia merasa bahwa mereka menang.
"Paling tidak langkah pertama kita berhasil,"
katanya kemudian. "Kyoto meneruskan perjalanannya ke peternakan
tiram tanpa sadar bahwa merpati yang dibawanya adalah
Caesar."
"Oke," desah Pete. "Langkah pertama
berhasil. Lalu apa berikutnya?" Jupe sudah membuka kain katun tipis dari
kotak milik Kyoto. Di baliknya terdapat sangkar berisi seekor merpati, sesuai
dugaan mereka.
"Tolong bantu aku, Bob," pintanya.
Bersama-sama mereka membuka pintu sangkar. Dengan hati-hati
mereka mengeluarkan merpati pos dari sangkar
itu. Bob memegang merpati itu dengan kedua tangannya.
Sementara
Jupe mengeluarkan sepotong pita aluminium dan
kartu Trio Detektif dari kantungnya. Ia melipat kartu dan
membungkusnya dengan pita aluminium. Kemudian
diikatkannya pita aluminium itu pada kaki si merpati.
"Kau mau melepaskannya, Pete?" tanya Jupe.
Sengaja ia minta Pete
untuk melakukannya. Ia berharap, dengan
begitu Pete dapat pulih dari perasaan terguncang tadi.
Penyelidik Dua mengiakan. Bob menyerahkan merpati itu
padanya. Pete memegang si merpati dengan tangan
kirinya. Tangan kanannya mengelus-elus merpati itu.
"Sudah waktunya kau kembali," katanya pada si merpati. Ia
mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Dibebaskannya
merpati itu. Merpati itu langsung terbang tinggi.
"He, lihat," seru Pete. "Merpati itu
langsung tahu jalan pulang ke tempatnya."
Pete benar. Bagaikan roket, merpati itu melesat ke arah
selatan.
Hampir dua jam kemudian Trio Detektif tiba di pangkalan
barang bekas. Mereka sempat mampir di pompa bensin
untuk mengambil kantung tidur mereka. Dengan membawa muatan
kantung tidur, perjalanan mereka bersepeda menjadi lambat.
"Aduuh, dari mana saja kalian?" Begitu Bibi
Mathilda menyambut mereka. "Aku khawatir kalian seharian main di pantai.
Ini, Paman Titus beli sesuatu tadi..."
Paman Titus membeli sekotak besar sekrup bekas dalam
berbagai ukuran. Sekrup-sekrup itu harus dipilih dan dipisahkan sesuai dengan
ukurannya.
Jupe menghela napas. Tapi ia tidak kesal karena harus
bekerja. Malah ini suatu keuntungan baginya. Masih dua jam sebelum tengah hari.
Sambil memisahkan sekrup, mereka dapat menghabiskan waktu tanpa terasa.
Anak-anak mulai bekerja dengan tidak sabar. Bukan tidak
sabar bekerja, tapi tidak sabar menunggu. Bolak-balik mereka melihat ke langit.
Kuping mereka terpasang, kalau-kalau ada suara kepakan sayap burung.
Jam sebelas tiga puluh Paman Titus dan Bibi Mathilda pergi
belanja. Jupe tahu, biasanya mereka baru kembali
setelah jam dua. Anak-anak bebas berbuat apa saja di
pangkalan itu. Mereka mulai bekerja dengan santai, sesekali diselingi dengan
bercanda. Makin siang mereka makin santai bekerja.
Lewat tengah hari mereka duduk-duduk saja di meja kerja
Jupe yang terletak di bengkelnya. Kepala mereka tertengadah.Menunggu.
Jupe sebentar-sebentar melihat jam tangannya.
Pete terlompat ketika mendengar suara kepakan sayap burung.
Seekor burung gereja lewat. Sambil tersipu-sipu Pete duduk
kembali.
"Tentu saja, kita tidak tahu kapan tepatnya Kyoto
melepas Caesar." Jupe berbicara pada dirinya sendiri. "Mungkin dia
makan siang dulu, baru..."
Ia terhenti. Pete sudah berdiri lagi. Begitu pula Bob.
Terlihat kini. Seekor burung yang ramping dengan bulu abu- abu mengkilat
terbang di atas pangkalan.
"Caesar!" seru Pete sambil melambai pada merpati
itu. "Caesar," panggilnya. "Caesar."
Caesar melihatnya. Burung itu menukik ke arah Pete. Sambil
mengepak- ngepak Caesar mendarat di tengah-tengah meja kerja Jupe.
Pete yang pertama kali meraihnya. Ia mengangkat Caesar
dengan kedua
tangannya. Ditempelkan merpati itu ke
pipinya.
"Caesar," bisiknya. "Kau pintar sekali,
Caesar. Kau bisa pulang sendiri ke sini."
Jupe meneliti kaki Caesar. "Wah," serunya
kegirangan. "Lihat! Lihat!" Dengan hati-hati ia melepas pita
aluminium
dari kaki Caesar. Dibukanya lipatan pita aluminium itu. Ia
mengambil isinya. Ditunjukkannya apa yang diperolehnya dari lipatan pita logam
itu.
Sebutir mutiara besar berkilau-kilau.
"Ini dia buktinya!" seru Jupe lagi. Ia memegang
mutiara itu dengan jempol dan telunjuknya. "Teori kita tentang
Kyoto, Parker Frisbee dan merpati berjari dua ternyata
benar dan..." "Serahkan itu padaku!"
Suara itu datang dari suatu tempat di dalam pangkalan.
Trio Detektif menengok ke arah datangnya suara. Wajah
mereka pucat pasi.
Seorang laki-laki berdiri di antara tumpukan barang
rongsokan. Ia memakai kaca mata gelap serta jaket kulit hitam.
Sulit melihat wajahnya karena tertutup brewok serta kumis
yang lebat.
Orang itu mendatangi anak-anak perlahan-lahan. Tangan
kanannya terangkat setinggi pinggangnya. Di tangan itu tergenggam sebuah pistol
berlapiskan nikel.
Pete merasa pistol itu dibidikkan ke arahnya. Untuk kedua
kalinya ia merasa jantungnya mau copot hari itu. Tanpa disadarinya, ia
melangkah mundur.
Orang itu terus melangkah. Ia mendekati Jupe.
"Serahkan itu padaku!" bentaknya. "Mutiara itu!"
Kali ini Jupe dapat mengendalikan dirinya. Ia tidak melihat
ke arah pistol. Tapi ia memperhatikan kaki orang itu.
Tanpa ragu-ragu ia memasukkan mutiara ke mulutnya. Dengan
lidahnya, mutiara itu diletakkannya di pinggir mulutnya, seperti orang mengulum
permen.
"Kalau kau berani mendekat, akan kutelan mutiara ini,"
kata Penyelidik Satu. Suaranya terdengar seperti agak menggumam. Tapi kali itu
Jupe luar biasa tenangnya.
Tangan orang itu bergetar. Mendadak diterjangnya Jupe. Ia
mencengkeram leher Jupe. Seakan-akan ia ingin mencegah agar Jupe tidak menelan
mutiara itu.
Bob bergerak cepat. Ditariknya bahu orang itu. Ia berusaha
melepaskan cengkeraman orang itu dari leher Jupe.
Pete belum sadar apa yang terjadi. Ia masih mundur
selangkah. Hampir
saja ia terjerembap karena tersandung
ember.
Sambil mencengkeram leher Jupe dengan satu tangan, orang
itu memukul Bob dengan tangannya yang satu lagi.
Dada Bob terasa sesak karena terpukul gagang pistol itu.
Bob surut ke belakang, kesakitan. Tapi ia maju lagi.
Ditariknya kerah jaket orang itu.
Jupe memberontak mencoba melepaskan cengkeraman di
lehernya. Ia menutup mulutnya rapat-rapat. Mutiara masih tersimpan aman dalam
mulutnya.
"Menunduk, Bob!" teriak Pete.
Penyelidik Dua baru sadar dari rasa terkejutnya. Bob
menunduk mengikuti petunjuknya. Pete melemparkan ember sekuat tenaganya. Ember
itu melesat dan mendarat tepat di tengkuk orang itu.
Pistol terlepas dari tangan orang itu. Ia menggeloyor lemas
hingga berlutut. Kaca matanya terlepas.
"Hhh, sial nasibku," katanya pada diri sendiri.
Setelah berkata begitu ia berkedip. (Kedip.) Dan ia terus berkedip- kedip
sampai Jupe memungut pistolnya.
"Pistol ini ada pelurunya?" tanya Penyelidik
Satu.
"Tidak. Tidak. Pistol itu kosong. Aku sendiri takut
memegang senjata berpeluru."
Mata kanan orang itu sebentar-sebentar berkedip. (Kedip.
Kedip.)
Nyata sekarang bahwa ia tidak bisa
mengendalikan mata kanannya. Kedipan-kedipan itu terjadi
karena gangguan saraf mata kanannya. Dengan lemas ia bangkit. Didatanginya
Jupe. Pete sudah siaga melempar embernya lagi. "Tidak perlu begitu,"
katanya melihat gelagat Pete. "Aku mengaku salah. Aku sedang butuh sekali
uang. Ini gara-
gara aku ikut judi di pacuan kuda. Aku jadi berutang
banyak. Karena itu aku harus bisa menghasilkan uang dalam waktu singkat."
"Ternyata rajawali piaraan Maureen Melody menghalangi rencanamu,"
kata Jupe menambahkan. "Kami sedang
beruntung. Merpati yang kami lepas dari mobil boks Kyoto
tadi sampai dengan selamat ke tempatmu. Berarti kau memperoleh kartu yang kami
ikatkan di kakinya."
Penyelidik Satu itu mengeluarkan mutiara dari mulutnya. Ia
menyimpannya dengan hati-hati dalam kantungnya.
Sebenarnya ia merasa kasihan pada orang itu, yang terlihat
sangat gugup. Brewoknya yang lebat basah oleh keringat.
"Kenapa tidak kau lepas saja itu?" tanya Jupe
padanya. "Maksudku brewok palsu itu." "Baiklah," Blinky
menyetujui.
Ia terlihat lugu dan polos tanpa memakai brewok palsu itu.
Sekarang ia tidak lagi mirip Parker Frisbee. Apalagi
setelah Jupe membantunya melepas jaket hitamnya. Tubuhnya
jauh lebih kurus dari tubuh Parker Frisbee.
Blinky berdiri dengan pasrah sambil berkedip-kedip. Bob dan
Pete
mengawasinya. Sementara Jupe masuk ke
kantor untuk
menelepon Chief Reynolds di kantor polisi.
Bab 15
LAPORAN PADA MR. SEBASTIAN
"BLINKY mengakui segala perbuatannya, dan Chief
Reynolds menahan ketiga orang itu," ujar Jupe. "Chief
Reynolds menahan Parker Frisbee, Kyoto, dan Blinky. Frisbee
dan Kyoto sudah keluar dengan uang jaminan. Tapi
Blinky lebih suka tinggal dalam penjara untuk sementara
ini. Katanya, dengan mendekam di penjara, ia tidak tergoda
lagi untuk berjudi. Kuduga ia juga takut pada balasan
Frisbee dan Kyoto
karena ia ikut nimbrung tanpa diundang
dalam pencurian mutiara dari peternakan tiram itu."
Trio Detektif sedang duduk mengelilingi meja bundar besar
di ruang tamu Hector Sebastian. Mereka menceritakan
kisah tentang mutiara dan merpati. Mr. Sebastian
mendengarkan sambil mengisap pipanya. Sesekali ia mengajukan pertanyaan yang
dianggapnya perlu.
"Bagaimana Blinky bisa tahu kegiatan yang dilakukan
Frisbee dan Kyoto?" tanya Mr. Sebastian.
"Dulunya ia bekerja untuk Parker Frisbee," Bob
menjelaskan. "Blinky-lah yang mengurusi merpati-merpati Frisbee
serta membantu-bantu di tokonya. Ia dipecat karena ketahuan
tidak jujur dalam mengatur uang. Saat itu Blinky sudah mencium kecurangan
Frisbee. Ia tahu bahwa Frisbee memperoleh mutiara itu dengan cara yang tidak
halal."
"Jadi sesudah Frisbee memecatnya," Pete
menambahkan, "Blinky membayang-bayanginya terus sampai ia paham betul
bagaimana Frisbee melakukan pencurian itu."
"Ya, dengan menaruh merpati pos di belakang mobil boks
Kyoto." Hector Sebastian mengeluarkan pipa dari
mulutnya. Ia batuk-batuk kecil. "Dan Blinky punya ide,
yaitu dia sendiri
bisa memanfaatkan cara itu. Untuk itu ia
perlu memiliki beberapa ekor merpati. Begitu kan,
Jupe?"
Penyelidik Satu mengiakan. "Ada dua hal yang
menguntungkan Blinky. Pertama, Parker Frisbee seorang pedagang
yang cekatan dan tidak terlalu serakah. Tidak setiap hari
ia menitipkan merpatinya di belakang mobil boks Kyoto.
Hanya pada hari-hari tertentu saja ia menaruh merpatinya di
mobil boks itu. Kadang-kadang di pagi hari. Kadang-
kadang di malam hari. Blinky memanfaatkan kesempatan itu
dengan menyamar sebagai Frisbee dan meletakkan merpatinya sendiri di mobil boks
Kyoto.
"Dan setiap hari Kyoto mengecek mobil boksnya untuk
meyakinkan dirinya. Frisbee sangat berhati-hati. Ia
berusaha agar sesedikit mungkin bertemu muka dengan Kyoto.
Ia
membayarnya sebulan sekali dengan meletakkan
amplop berisi uang di bawah kain katun tipis pembungkus
sangkar
merpati. Dengan begitu ia tidak harus bertemu
langsung dengan Kyoto..."
"Kecuali jika ada masalah," sela Bob.
"Seperti yang terjadi ketika kami datang membawa Caesar ke toko
perhiasannya. Frisbee harus bicara langsung dengan Kyoto
tentang masalah itu. Itulah sebabnya kami berjumpa
dengan Parker Frisbee yang baru keluar dari rumah Kyoto
waktu itu." "Dan ia mentraktir kalian makan masakan Jepang."
Penulis kisah misteri itu memasukkan lagi pipa ke mulutnya. Ia mengepulkan asap
sambil memandang langit-langit. "Lalu apa hal kedua yang menguntungkannya,
Jupe?"
"Kyoto berkebangsaan Jepang," sahut Jupe.
"Bagi Kyoto, semua orang Amerika bertubuh pendek, gemuk, dengan
brewok lebat nampak sama saja. Apalagi kalau ia cuma
melihat dari jauh di bawah sinar lampu tamannya yang redup.
Dengan memakai brewok palsu, Blinky dapat mengelabui Kyoto.
Blinky menaruh merpatinya di mobil boks Kyoto.
Dan Kyoto akan mengira dia Frisbee."
"Tetapi Blinky harus tahu persis jadwal Frisbee
menaruh merpatinya di
mobil boks Kyoto, kan?" Mr. Sebastian
batuk lagi. Ia meletakkan pipanya di pinggir asbak.
"Tepat," Jupe menyetujui. "Untuk beberapa
lama semuanya berjalan lancar. Blinky tidak menjumpai masalah apa
pun. Merpati-merpatinya membawakan mutiara untuknya. Itu
terus berlangsung sampai rajawali Maureen Melody mulai membunuhi
merpati-merpati Blinky."
"Hmm, kurasa Blinky kenal dengan Miss Melody, atau
yah, tahu tentang dia." Mr. Sebastian mengambil lagi
pipanya. "Blinky kan pernah bekerja pada Frisbee. Dari
situ Blinky
menemukan merpatinya terbang melalui hutan
kecil Miss Melody dalam perjalanan kembali ke Santa Monica.
Akibatnya, Blinky meracuni rajawali Miss Melody."
"Kemudian ada persoalan bagi Blinky." Jupe
menoleh pada Bob. "Kau saja yang menceritakan ini, Bob. Kau kan
yang menemukan cat baru di kotak pos Kyoto di Little
Tokyo."
"Blinky mendapat kesulitan besar waktu kami bertemu
dengannya di Kedai Kuda Laut." Bob mengambil alih
pembicaraan, "Ia berutang pada bandar judi. Ia mulai
putus asa. Dalam kepanikan ia pergi ke rumah Kyoto untuk
menaruh merpatinya di mobil boks orang Jepang itu. Ternyata
mobil boks Kyoto tidak dijumpainya. Rumah itu kosong. Kyoto sudah pindah.
Blinky makin panik. Satu-satunya jalan ialah dengan membuntuti Kyoto sewaktu ia
pulang dari bekerja. Waktu itu Blinky membawa merpati
berjari dua.
Tapi ia begitu gugupnya sehingga merpati itu tertinggal
sewaktu ia membuntuti mobil boks hijau Kyoto."
"Itulah yang membuatku heran." Mr. Sebastian
menyulut lagi pipanya.
Hidungnya berkerut ketika mencium bau
asap tembakau yang tidak sedap itu. "Apa yang dilakukan
Blinky
kemudian? Buat apa ia menukar merpati berjari dua
dengan Caesar di pangkalan barang bekas?"
"Kami pun bingung," kata Jupe berterus terang.
"Jawabannya baru kami peroleh setelah Blinky
mengungkapkannya pada Chief Reynolds. Blinky mengikuti
Kyoto ke rumah barunya. Untuk lebih meyakinkan
dirinya, ia mengamat-amati rumah itu sampai malam. Tak lama
kemudian ia melihat Frisbee datang dan meletakkan
sangkar merpatinya di mobil boks Kyoto. Itu sama sekali di
luar dugaan Blinky. Tidak biasanya Frisbee menaruh
merpatinya pada hari itu. Dan itu memang suatu kebetulan,
karena sehari sebelumnya Kyoto mengambil cuti kerja.
"Padahal Blinky saat itu benar-benar panik. Ia butuh
uang. Dan waktunya mendesak. Karena itu ia nekat. Ia
menunggu sampai lampu rumah Kyoto padam. Lalu dicurinya
merpati Frisbee dari mobil boks. Sebelumnya ia sudah
menelepon pelayan Kedai Kuda Laut. Pelayan itu memberi tahu
bahwa kami membawa kotak yang ditinggalkannya.
Jadi Blinky pergi ke pangkalan barang bekas untuk
mengambilnya."
"Dan ia tahu tempat tinggalmu dengan bertanya pada
seseorang di sekitar sini. Itu mudah sekali," kata Hector Sebastian sambil
mengepulkan asap dari mulutnya.
"Waktu itu Blinky kebingungan lagi," ujar Pete.
"Dalam sangkar besar di
pangkalan ditemuinya merpati berjari
dua. Tapi, Caesar, merpati Frisbee, harus diapakan?"
"Ia tidak dapat membebaskannya," kata Jupe. "Sebab kalau
dibebaskan, Caesar akan kembali ke rumah Frisbee malam itu. Tentu Frisbee
akan curiga."
"Jadi karena itu ia tinggalkan Caesar dalam sangkar
buatanmu, Jupe," ujar penulis kisah misteri itu. "Dan
membawa merpati berjari dua dalam sangkar milik Frisbee.
Baru kemudian ia kembali lagi ke Little Tokyo untuk
menaruh sangkar berisi merpati berjari dua di dalam mobil
boks Kyoto. Hmm, rumit juga."
"Oh, tidak terlalu rumit kukira, Mr. Sebastian,"
sanggah Jupe dengan penuh percaya diri. "Sebaliknya, itu
sederhana sekali kalau kita sudah paham persoalannya.
Mula-mula Blinky membuntuti Kyoto sampai di rumah Kyoto.
Ia melihat Frisbee menaruh merpati milik pedagang permata
itu, yaitu Caesar, di mobil boks Kyoto. Blinky mencuri
Caesar, lalu menukarnya dengan merpati berjari dua di
pangkalan. Dan kemudian ia kembali ke Little Tokyo untuk
menaruh merpati berjari dua di mobil boks Kyoto. Sederhana,
kan? "Esoknya Blinky menunggu merpati berjari dua kembali ke rumahnya.
Tapi yang ditunggu-tunggu tidak muncul.
Merpatinya telah dibunuh oleh rajawali Miss Melody."
"Sial nasibnya," komentar Pete.
"Saking kesalnya, Blinky meracuni rajawali Maureen
Melody," Bob melanjutkan. "Ia melakukannya sewaktu
pertama kali kami mengunjungi rumah Miss Melody. Ia melihat
kami membawa Caesar. Pasti waktu itu juga
dilihatnya Edgar Allan Poe membawa sebutir mutiara di
paruhnya." "Tentu darahnya naik ke kepala melihat itu semua."
Hector Sebastian tertawa serak. Tawanya berubah menjadi
batuk. Ditaruhnya lagi pipa di pinggir asbak. "Kasihan
Blinky. Ia begitu sebalnya pada burung murai itu sehingga dipukulnya sampai
mati." "Blinky masih di dalam hutan kecil itu ketika kami
pergi," kata Jupe. "Ia melihat kami masih membawa Caesar.
Dan ketika mengikuti kami, ia menjadi ketakutan sekali.
Karena kami
langsung menuju toko perhiasan Parker
Frisbee."
"Aku ingat, mobil hitam Blinky diparkir di tepi jalan
waktu kami keluar dari toko," kata Pete. "Waktu itu kami masih tetap
membawa Caesar."
"Blinky yang malang," komentar Mr. Sebastian.
"Ia pasti kebingungan sekali. Caesar adalah merpati milik Frisbee.
Tetapi kenapa kalian masih membawa-bawanya, pasti ia
berpikir begitu." "Frisbee tidak mengatakan apa-apa pada kami,"
kata Jupe. "Ia terlalu cerdik untuk memberi tahu bahwa Caesar
adalah miliknya. Ia berpura-pura tidak tahu siapa pemilik
Caesar. Dan bahkan ia mencoba mengelabui kami dengan
mengatakan bahwa Caesar merpati betina dan merpati betina
tidak diikutsertakan dalam perlombaan."
"Ah, kalau saja Blinky secerdik itu," kata Mr.
Sebastian, "ia akan mampu
bersandiwara dengan kepala dingin. Dan
itu akan membuat kasus ini lebih sulit untuk
dipecahkan."
"Ia tidak dapat bersandiwara dengan baik. Terlalu
gugup orangnya,"
kata Bob. "Ia ingin membuat kita curiga pada
Frisbee. Tapi di lain pihak ia ingin menenangkan Frisbee.
Jadi ia
menyamar sebagai Frisbee lalu menodong Jupe di
Bank Amco. Caesar diambilnya dari Jupe dengan paksa. Blinky
lalu
membebaskan Caesar dengan harapan Caesar
kembali sendiri ke tempat Frisbee. Jadi Frisbee tidak
khawatir karena kehilangan merpatinya."
"Ya. Blinky waktu itu mengelabuiku," Jupe
mengakui. "Tapi itu wajar saja. Bayangkan, pada jam sembilan malam di
tempat parkir Bank Amco yang gelap. Dan aku seorang diri. Aku benar-benar
mengira ia adalah Frisbee.
Brewoknya yang lebat membuatku tidak ragu lagi. Cuma
Frisbee yang punya brewok selebat itu. Begitu pula waktu aku diserang di hutan
kecil Miss Melody."
"Namun ternyata Blinky salah perhitungan," Bob
mengingatkan. "Caesar adalah burung merpati yang terlatih.
Caesar cepat menyesuaikan diri. Jadi setelah dilepas
Blinky, Caesar bukan kembali ke tempat Frisbee. Tetapi kembali ke pangkalan
barang bekas."
"Ya, aku sendiri tidak menduga bahwa Caesar secepat
itu menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru," komentar Mr.
Sebastian.
"Lalu, kapan kau sadar bahwa itu bukan Frisbee,
Jupe?" tanya penulis kisah misteri itu. "Apa yang
menyebabkanmu berpikiran bahwa itu mungkin Blinky yang
sedang menyamar?"
"Waktu kami menemukan jejak yang mirip dengan kaki
Blinky di kediaman Miss Melody kami sudah mulai
curiga," ujar Jupe. "Tapi aku harus berterima
kasih pada Pete yang memberikan ilham padaku. Ketika kami
mengamat-amati peternakan tiram siang itu, Pete memakai
kaca mata gelap. Tiba-tiba aku sadar. Aku tidak dapat
melihat mata Pete di balik kaca mata gelap itu. Itulah
satu-satunya yang tidak dapat disembunyikan Blinky. Matanya
yang selalu berkedip. Karena itu ia harus memakai kaca mata
gelap untuk menyembunyikannya. Sekalipun pada malam hari."
Hector Sebastian mengambil pipanya. Hidungnya
mengendus-endus.
"Dan bagaimana kabar Maureen Melody sekarang?"
tanyanya. "Ceria seperti murai, kuharap."
Pete tersenyum. "Ya. Sekarang tidak ada lagi yang
meracuni rajawalinya. Tapi ia benar-benar kehilangan Edgar
Allan Poe. Kini tidak ada lagi yang membawakan oleh-oleh
mutiara baginya. Miss Melody tidak mau tahu bahwa itu cuma suatu kebetulan.
Tampaknya kasus pencurian mutiara ini sama sekali tidak menarik perhatiannya.
Ia masih saja mengomel karena Ralph Waldo Emerson tidak membawakan mutiara
baginya."
Hector Sebastian mengepulkan asap dari hidungnya. Langsung
ia terbatuk-batuk. "Aku benci pipa ini," katanya.
"Tapi mau tak mau aku harus mengisapnya."
"Kenapa?" Jupe terheran-heran.
"Karena tadi pagi aku makan petai masakan Don,"
kata Mr. Sebastian. "Kali ini Don sedang bereksperimen dengan
masakan Melayu dari daerah Asia sana. Aku sendiri tidak
tahu dari mana
Don memperoleh bahan-bahannya. Rasanya
lumayan. Tapi baunya minta ampun. Sampai sekarang aku masih
merasakan baunya. Karena itu aku terus mengisap
pipa yang tidak enak ini."
Pete menghirup udara dalam-dalam. Tercium aroma masakan
yang sedap dari dapur. "Bau yang mana?" tanya Pete.
"Oh, bukan yang ini," sahut Hector Sebastian.
"Sudah kularang Don
memasak petai lagi. Katanya dia akan
membuat masakan Melayu yang lain lagi. Bukan petai."
Hoang Van Don muncul beberapa menit kemudian. Ia membawa
sebuah nampan dengan tangan kanannya. Asap mengepul-ngepul dari piring besar
berisi makanan.
"Jagung rebus," kata Van Don dengan bangga.
"Dipreteli dari bonggolnya, lalu dicampur dengan kelapa dan gula.
Sederhana tapi sehat dan nikmat."
"Apa ini juga membuat mulut menjadi bau?" tanya
Mr. Sebastian. "Kujamin tidak!" sahut Van Don cepat. "Seratus
persen tidak."
"Oke, silakan Anak-anak," Mr. Sebastian
menawarkan.
Pete yang nomor satu mencicipi. "He, rasanya tidak
kalah dengan popcorn, " serunya. Ia mengambil dua sendok besar jagung dan
segera makan dengan lahap.
Bob mengikuti jejak Pete. Disendoknya jagung ke dalam
piringnya.
Melihat kedua kawannya, air liur Jupe mengalir juga. Tapi
ia ingat berat badannya.
"Apa jagung ini membuat gemuk?" ia bertanya pada
Van Don.
Hoang Van Don tertawa. "Sama sekali tidak, sekalipun
kau makan
banyak. Tidak mengandung lemak. Pokoknya
sangat menyehatkan. Makanan asli selalu menyehatkan."
"Menyehatkan bagaimana?" tanya Jupe lagi.
"Tampaknya makanan ini sederhana sekali."
"Tidak percaya?" Van Don balas bertanya pada
Jupe. "Lihat saja burung-burung merpati itu. Mereka makan
jagung. Tidak ada yang kegemukan. Malah mereka kuat sekali
terbang jauh."
Jupe langsung
mengisi piringnya penuh-penuh.
TAMAT
Edit & Convert: inzomnia http://i nzomnia.wapka.mobi
Emoticon