Bintang Bola Basket
Megan Stine & H. William Stine
Sumber Djvu: syauqy_arr
syauqy_arr@yahoo.co.id
http://hanaoki.wordpress.com
Edit & Convert: inzomnia
Jupe otaknya. Pete jagoannya. Dan Bob
yang paling tenang. Bertiga mereka dapat membongkar segala tindak kriminal di
Rocky Beach, California.
Tapi, bisakah mereka mengungkapkan siapa
yang menyuap atlet-atlet
perguruan tinggi- dengan mengandalkan
data yang tak lengkap?
Kasus ini memerlukan penanganan cepat!
Daftar Isi
1. Kemenangan Selalu Menguntungkan
2. Mimpi Menjadi Kenyataan
3. Kesimpulan Awal
4. Kelly Menyusun Siasat
5. Bercucuran Keringat
6. Menunggu Peluang
7. Maskot Berani Mati
8. Bergelimang Uang
9. Kena Getahnya
10. Tuan Kantong Tebal
11. Sebuah Peringatan
12. Perkembangan Negatif
13. Foul Perorangan
14. Berkat Bantuan Pers
15. Permainan Telah Berakhir
16. PPB
1. Kemenangan Selalu Menguntungkan
BUNYI itu menyerupai gemuruh gempa bumi.
Tetapi asalnya bukan dari dalam perut bumi, melainkan dari entakan kaki,
entakan ratusan pasang kaki, yang membentur lantai di tribun penonton secara
berbarengan. Kemudian seruan-seruan mulai membahana, semakin lama semakin
cepat.
"Pertahanan! Pertahanan!
Pertahanan!"
Pete Crenshaw berdiri di tengah
lapangan. Napasnya tersengal-sengal, dan telinganya pekak karena kebisingan di
sekitarnya. Pertandingan basket selalu menegangkan, tapi yang ini berbeda.
Kedudukannya imbang, para pemain diliputi ketegangan, dan Pete tahu bahwa
pelatihnya
mengandalkan dirinya untuk mencegah regu
Santa Monica menambah angka.
NGUUUNG!
"Time-out-Rocky Beach!" si
komentator pertandingan berkata lewat pengeras suara. Pete dan para pemain lain
mengelilingi Coach Tong, pelatih basket Rocky Beach High School. Coach Tong menatap mata
semua anggota timnya-terutama Pete.
Dengan tinggi 182,5 sentimeter dan berat
badan 95 kilogram. Pete termasuk kecil untuk ukuran pemain basket. Ia tahu
bahwa Coach Tong telah mengambil risiko dengan menempatkannya sebagai pemain
jaga inti.
Tetapi Pete memang berbakat, dan kini ia
merupakan salah seorang pemain terbaik dalam timnya.
"Waktu tinggal dua puluh
detik," kata si pelatih. Cepat-cepat ia menggambarkan sebuah diagram
pertahanan pada papan pencatat seukuran buku catatan, lalu menghapusnya dengan
lengan baju
hangatnya.
"Nah, apa yang akan kalian
lakukan?"
"Menang!" kelima pemain
berseru serentak, saling menepuk tangan, dan kembali ke lapangan.
Sejenak, sebelum regu Santa Monica
kembali, Pete memperhatikan rombongan cheerleader Rocky Beach. Mereka
melompat-lompat, bersoraksorai, dan mengajak para penonton untuk ikut
memberikan semangat pada tim mereka. Cheerleader yang paling cantik menatap
lurus ke arah
Pete, sambil menyibakkan rambutnya yang
cokelat dan lembut dari wajahnya. Kemudian ia tiba-tiba melemparkan ciuman
jarak jauh.
Aduh, pikir Pete. Memalukan sekali!
Gadis itu Kelly Madigan. Ia dan Pete sudah berpacaran selama beberapa bulan,
dan Pete tidak pernah bisa meramalkan apa yang akan dikatakan atau diperbuat
oleh Kelly. Mungkin justru karena itulah Pete begitu menyukainya.
"Hei, seseorang sedang berusaha
menarik perhatianmu," ujar Bill Konkey,
pemain jaga kedua dalam tim Pete.
"Yeah. Aku lihat ciuman jarak
jauhnya." Pete tersipu-sipu.
"Jupiter Jones memberimu ciuman
jarak jauh?" tanya Bill.
"Jupe ada di sini-di pertandingan
basket?" Pete berkata sambil terheranheran.
Mata Pete mengikuti jari Bill yang
menunjuk ke arah tribun, sampai ia menemukan dua wajah yang amat dikenalnya.
Kedua wajah itu milik Jupiter Jones dan Bob Andrews. Pete, Jupe, dan Bob sudah
bersahabat sejak entah kapan. Mereka bertiga adalah Trio Detektif, trio
penyelidik terkenal dari Rocky Beach.
Pete tidak mempercayai pandangannya. Jupiter
Jones menonton pertandingan baket- dan berpegangan tangan dengan seorang gadis!
Bukan sembarang gadis, tapi Amanda
Blythe- salah satu gadis tercantik di sekolah mereka!
Ini merupakan berita besar, sebab
Jupiter Jones adalah ahli dalam segala bidang, kecuali dalam dua hal-berdiet
dan gadis-gadis cantik. Ia tidak pernah beruntung dengan keduanya. Tetapi
sekarang ia duduk sambil menggenggam tangan Amanda Blythe dan tersenyum lebar.
Diam-diam ia melambaikan tangannya yang satu lagi ke arah Pete.
Di samping Jupe duduk Bob Andrews, yang
mendapat nilai A dalam bidang yang paling tidak dikuasai Jupe. Bob tahu segala
sesuatu mengenai cara menangani gadis-gadis cantik. Ketika mengganti
kacamatanya dengan lensa kontak beberapa tahun lalu, ia seakan-akan juga
mendapat kepribadian baru.
Sejak itu Bob termasuk sepuluh murid
paling populer di Rocky Beach High School. Suara mendengung dari pengeras suara
di atas papan pencatat nilai membuyarkan lamunan Pete.
"Waktu tinggal dua puluh detik," si
komentator kembali berkata.
"Kedudukan masih imbang, 70-70.
Rocky Beach memegang bola."
Bill Konkey segera mengoper bola kepada
Harold Dixon, yang bermain sebagai penyerang. Oke, tenang saja, kata Pete pada
dirinya sendiri. Tinggal lima belas detik lagi. Tiba-tiba para penonton
terdengar mengerang.
Terry Nolan, pemain andalan regu Santa
Monica, berhasil mencuri bola. Nolan langsung berlari ke arah basket. Ia akan
mencetak angka yang menentukan-dengan pertandingan yang hanya tersisa sepuluh
detik lagi!
Pete melompat sepersekian detik sebelum
Nolan menembakkan bola. Perhitungannya
tepat. Pete berhasil menepis bola pada saat bolanya mulai terlepas dari tangan
Nolan.
Bolanya memantul di lantai, dan kemudian
Pete menguasainya. Para penonton berteriak Pete berlari ke ujung lapangan yang
berlawanan. Lima detik! Pete tahu bahwa semua pemain Santa Monica sedang
mengejarnya, tapi dengan tenang ia melompat tinggi untuk melakukan lay-up.
Masuk! Dua angka, dan kemudian bel tanda akhir pertandingan berbunyi.
"Skor 72 lawan 70!" seru komentator.
"Rocky Beach keluar sebagai pemenang!"
Musik mulai mengalun dan rombongan
cheerleader berlari memasuki lapangan.
Mereka bersorak-sorai dan menari-nari ketika para pemain berlari masuk ke ruang
ganti.
"Tembakan maut!" ujar Bill
Konkey, sambil menepuk punggung Pete. Pete mengangguk dan tersenyum. Ia
membelitkan handuk pada tengkuknya yang basah kuyup. Kemudian ia membiarkan
rekan-rekan yang lain melewatinya. Ia lelah sekali-bahkan terlalu lelah untuk
berdiri di bawah pancuran air dingin yang bisa menyegarkan dirinya.
"Pete," seseorang memanggil.
Pete membalik dan melihat seorang pria
yang tak dikenalnya berdiri di lorong di luar ruang ganti. Orang itu berusia
empat puluhan dan bertubuh tegap. Ia mengenakan jaket ungu, dengan huruf
"S" bergaya kuno pada sisi kiri. Matanya yang biru menatap Pete dari
bawah topi pet berwarna sama dengan jaketnya.
"Pete, bisa bicara sebentar?"
tanya pria itu.
Dia bukan orang California, pikir Pete.
Naluri detektifnya langsung mulai bekerja. Pria itu berbicara dengan logat
Boston. Perlahan-lahan Pete menghampirinya.
"Ross Duggan," pria itu
memperkenalkan diri sambil berjabatan tangan dengan Pete.
"Saya pelatih basket di Shoremont
College. Kau pernah mendengar tentang kami?"
"Tentu," jawab Pete.
"Kampus Shoremont kira-kira lima belas menit dari Rocky Beach. Musim
kompetisi yang lalu Anda mengalahkan UCLA."
"Betul, itulah kami," balas
Coach Duggan. "Begini, seorang kenalan menganjurkan saya untuk menonton
permainanmu, dan karena itulah saya ada di sini. Terus terang, saya sangat puas
dengan apa yang saya lihat malam ini, dan saya ingin mengusulkan sesuatu padamu.
Daftarkan
dirimu sebagai mahasiswa di Shoremont,
dan saya akan mengusahakan agar kau memperoleh beasiswa penuh-semuanya akan
ditanggung. Kau akan bermain sebagai mahasiswa tingkat pertama. Kami memang
bukan sekolah terbesar, tapi setelah empat tahun di bawah bimbingan saya, Pete,
saya jamin kau berpeluang untuk main dalam liga NBA-National Basketball
Association."
Pete menarik handuk dan menggosok-gosok
rambutnya yang berwarna cokelat kemerah-merahan. Apa ia tidak salah dengar?
Pria itu muncul entah dari mana dan menawarkan beasiswa penuh untuk bermain
basket dalam tim perguruan tinggi? Pete tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Pikirkan saja dulu," ujar
Coach Duggan, lalu menyerahkan sehelai kartu nama. "Sekarang saja
permainanmu sudah bagus, Pete. Saya bisa membantumu untuk menjadi pemain yang lebih
hebat lagi, dan kau bisa membantu saya untuk mengangkat prestasi tim saya. Oke,
dalam waktu dekat kita akan berbincang-bincang lagi."
Si pelatih berbalik dan melangkah pergi.
"Orang yang penuh percaya
diri," sebuah suara berkata dari belakang Pete.
"Kelihatannya dia orang yang
terbiasa mendapatkan segala yang diinginkannya."
Pete langsung mengenali suara itu. Ia
menoleh dan melihat Jupiter Jones. Bob Andrews berdiri di samping sahabatnya
itu.
Dengan tinggi badan 172 senti, Jupe
merupakan anggota Trio Detektif yang paling pendek. Ia mengenakan jeans biru
tua yang masih baru-padahal semua murid di sekolah mereka memakai jeans
stonewashed yang sudah belel.
Ia juga memakai T-shirt yang terlalu
sempit, dengan tulisan I EATTHEREFORE I AM. Perutnya yang buncit membuktikan
bahwa ia berpegang teguh pada semboyan itu. Seperti biasa, rambutnya yang hitam
dan lurus tampak acak-acakan.
Bob, sebaliknya, berpenampilan trendy,
kaus polo berwarna merah, yang cocok sekali dengan kulitnya yang kecokelatan
dan rambutnya yang pirang, jeans belel, dan sepatu pantofel tanpa kaus kaki.
"Jupe," kata Pete sambil
melihat berkeliling, "mana Amanda Blythe? Aku hampir kena serangan jantung
tadi, waktu aku melihatmu di sebelah dia di tribun."
Jupe berdehem. "Aku memutuskan dia
bukan tipeku," ia berkata sambil pasang tampang cemberut.
"Hah?" tanya Pete. "Sejak
kapan?"
"Sebenarnya Amanda hanya mau
membuat Carl Thames cemburu," Bob menjelaskan. "Dan karena Cari murid
paling bodoh di sekolah, Amanda pikir cara terbaik adalah dengan mendekati
murid paling pandai."
"Oh," ujar Pete, lalu ketawa.
"Bagaimana, berhasil?"
"Melebihi
dugaan semula," jawab Jupe. Sambil meringis ia memegangi perutnya.
"Masih untung cuma perutmu yang
dihajar Carl," Bob berkomentar.
"Kupikir dia akan mencopot kepalamu
dan memakainya untuk bermain boling."
Jupe mendesah dan mengalihkan
pembicaraan. "Siapa pria berjaket ungu tadi?"
"Coach Duggan, pelatih basket di
Shoremont College."
"Dia pasti ke sini untuk memuji
permainanmu yang luar biasa. Kau benarbenar hebat tadi," kata Bob, sambil
melepaskan tembakan lompat tanpa bola. "Kau yang memenangkan pertandingan,
dan kau sempat mempermalukan Terry Nolan dengan gebrakanmu itu."
Sambil tersenyum Pete mengenang
detik-detik terakhir dalam pertandingan yang baru berlalu. "Yeah, lumayan
juga, ya! Eh, kalian siap mendengar berita ini? Coach Duggan baru saja
menawarkan beasiswa penuh kalau aku mau main untuk Shoremont College. Dia
bilang aku bisa main sebagai mahasiswa tingkat pertama."
"Wow!" Bob berseru.
"Gila!"
Jupe menggigit bibir bawahnya sambil berpikir.
"Beasiswa penuh hanya untuk main basket?" ia bertanya. "Aku
memang bukan ahli dalam bidang olahraga, tapi aku tahu satu hal: jika satu
sekolah menganggap permainanmu sedemikian hebat, Pete, sekolah-sekolah lain
juga akan
berpendapat begitu. Kusarankan agar kau
tidak terburu-buru mengambil keputusan."
"Sekolah-sekolah lain?" Pete
mengulangi. "Jupe, otakku tak sanggup mencerna semuanya ini. Aku mau mandi
dulu, dan habis itu mau pergi dengan Kelly. Sampai besok, oke?"
Seorang diri di ruang ganti, dengan
sekujur tubuh tersiram air dingin, Pete mengingat-ingat pertandingan yang
berhasil mereka menangkan. Ia juga memikirkan ucapan Jupe. Tim-tim lain bakal
tertarik padanya?
Berapa banyak? Lima? Sepuluh? Bagaimana
kalau sampai terjadi perang tawarmenawar untuk memperebutkan Pete Crenshaw, si
superstar bola basket?
Setelah kering, segar, dan berpakaian,
Pete meninggalkan ruang ganti.
"Pete!" panggil Kelly Madigan.
Ia bergegas mendekat dan melingkarkan kedua lengannya pada leher Pete.
"Hei, Sayang," ujar Pete
sambil memeluk pacarnya.
"Kau tahu betapa hebatnya kau tadi,
Pete?
Pada skala satu sampai sepuluh, kau
mendapat nilai dua puluh!"
Pete tersenyum. "Ayo, Kelly. Kita
jalan-jalan naik mobil. Ada sesuatu yang perlu kuceritakan padamu."
Pete ingin duduk di belakang kemudi,
sebab di situlah ia selalu paling bahagia-di sekitar mobil. Kalau ia tidak
sedang memecahkan misterimisteri bersama Jupe dan Bob, Pete sering membeli
mobil tua, memperbaikinya, lalu menjualnya kembali, biasanya dengan keuntungan
yang lumayan besar.
Dalam perjalanan menuju lapangan parkir,
Pete bercerita mengenai pelatih perguruan tinggi yang mendatanginya seusai
pertandingan. Ia baru selesai bercerita ketika mereka sampai di mobilnya yang
terakhir, sebuah Cadillac Fleetwood berusia dua puluh tahun. Kelly menjulukinya
si Perahu. Cadillac tua itu memang memerlukan segala macam perbaikan, tapi Pete
belum punya uang.
Ia membeli mobil itu dengan perjanjian
"jika bisa menyalakan mesinnya, kau boleh membawanya pergi", dan
hanya membayar tujuh ratus dolar.
Pete membukakan pintu untuk Kelly-bukan
karena ia ingin bersikap sopan, melainkan karena hanya ia sendiri yang cukup
kuat membuka pintu itu. Ketika ia menyelinap ke balik kemudi, Kelly menyerahkan
sebuah amplop padanya.
"Hei, apa ini? Ulang tahunku bukan
hari ini, Sayang," kata Pete.
Kelly menggelengkan kepala. "Aku
menemukannya di atas jok."
Pete menyalakan lampu dalam, dan
mengamati amplop itu. Amplop itu belum ada waktu ia datang sebelum
pertandingan.
Pada bagian depannya tertulis PETE
CRENSHAW dengan huruf-huruf besar. Pete menyobek salah satu ujungnya, lalu
mengeluarkan isinya.
"Hah?" Pete dan Kelly
sama-sama membelalakkan mata.
Lembaran-lembaran uang seratus dolar
berhamburan keluar. Banyak sekali. Sementara Kelly mengumpulkan uang itu dan
mulai menghitung,
Pete membaca pesan yang jatuh ke
pangkuannya. Pesan itu demikian: Shoremont membutuhkanmu. Kalau mau bermain
untuk Shoremont, kau akan mendapat imbalan yang melebihi semua mimpimu. Ini
baru permulaan saja.
"Pete," ujar Kelly. Wajahnya
tampak bingung dan agak ngeri. "Jumlahnya tiga ribu dolar!"
2. Mimpi Menjadi Kenyataan
SELAMA beberapa saat Pete dan Kelly
duduk membisu di dalam Cadillac tua milik Pete. Mereka menatap uang tiga ribu
dolar di tangan Kelly. Semuanya lembaran seratus dolar baru.
"Apa artinya ini?" Kelly
akhirnya bertanya.
Sebagai jawaban, Pete menyalakan mesin
mobilnya.
"Mau ke mana kita?" tanya
Kelly.
"Aku harus memberitahu Jupe dan
Bob," jawab Pete. Ia menginjak pedal gas sampai mengenai lantai mobil, dan
sesaat kemudian si Perahu tiba-tiba maju dan sambil tersendat-sendat
meninggalkan lapangan parkir.
Jupiter Jones tinggal bersama Paman
Titus dan Bibi Mathilda di sebuah rumah yang berseberangan dengan tempat
penampungan barang bekas milik mereka. Di salah satu sisi pekarangan yang luas
ada sebuah karavan tua, yang beberapa tahun lalu diambil alih oleh Jupe dan
dijadikan markas Trio Detektif.
Kini, setelah ketiga anggota Trio
Detektif duduk di bangku high school, mereka biasanya bertemu di bengkel
elektronikJupe, yang bersebelahan dengan karavan itu. Bob menjulukinya
laboratorium Dr. Frankenstein, sebab di
tempat itulah Jupe memberi kehidupan baru pada peralatan-peralatan elektronik
yang telah mengembuskan napas terakhir.
Pete menggunakan remote-control untuk
membuka gerbang besi di bagian depan pekarangan. Mobil tuanya menggelinding
masuk dan berhenti tersendat-sendat. Mesinnya mati diiringi serangan batuk
mendadak.
Pete dan Kelly membuka pintu bengkel,
dan menemukan Bob duduk di kursi sambil mendengarkan musik mengentak-entak dan
membaca majalah Billboard edisi terbaru. Jupe sedang sibuk di meja kerjanya.
"Hei! Coba dengarkan ini!" Bob
berseru ketika melihat Pete dan Kelly.
"Inilah band baru yang mungkin akan
kutangani!" Bob pegawai Rock-Plus, perusahaan pemandu bakat milik Sax
Sendler. Ia bekerja part-time, seusai sekolah dan pada akhir pekan.
"Bagaimana pendapat kalian?"
tanya Bob, sambil mengangguk ke arah pengeras suara.
Tapi sebelum Pete sempat menjawab, Jupe
telanjur mematikan tape recorder.
"Kedatangan mereka bukan untuk
mendengarkan musik. Pasti ada sebab lain."
"Dari mana kau tahu?" tanya Kelly.
"Sebab Pete masuk sambil
menggenggam tanganmu, sesuatu yang tidak biasa dilakukannya di sini, di kantor.
Dan dari buku jarinya yang kelihatan memutih, aku tahu dia menggenggam tanganmu
dengan erat."
"Belakangan ini Jupe mendadak ahli
dalam urusan berpegangan tangan."
Bob berkelakar.
Pete tersenyum. Ia sudah merasa lebih
lega. Jupe selalu bisa memecahkan setiap masalah.
"Hei, coba lihat ini!" ujar
Pete sambil melemparkan amplop, pesan yang ditulis dengan mesin tik, berikut
uangnya ke atas meja.
Perhatian Bob dan Jupe segera tertuju
pada uang itu.
"Wow!" Bob bersiul perlahan,
sementara Jupe menjatuhkan obeng kecil yang sedang digenggamnya. Ia meraih
pesan di atas meja itu, dan mengangkatnya sambil menjepit salah satu sudutnya.
"Sayang sekali kalian tidak
memastikan apakah ada sidik jari sebelum kalian membuka amplop," ia
berkata.
Kelly ketawa. "Jupe, hanya kau yang
mungkin mencari sidik jari pada sebuah amplop yang belum dibuka."
Jupe tidak ketawa. Ia malah mengangkat pesan
itu ke hadapan lampu, lalu memeriksa tanda air pada kertasnya.
"Kalian sadar apa saja yang bisa
kulakukan dengan uang tiga ribu dolar ini?" tanya Pete. Ia mulai berjalan
mondar-mandir. "Aku bisa memperbaiki mobilku dan mengembalikannya ke dalam
kondisi seperti baru. Suspensi belakangnya sudah tak keruan, aku perlu
meng-gerinda katup-katup..."
"Pete!" Kelly memotong sambil
mendorong pacarnya. "Ini uang suap! Kau tidak boleh menerimanya."
"Hei, aku tahu, Sayang," balas
Pete. "Tapi tak ada yang bisa menghukumku karena aku memikirkan segala
kemungkinan."
"Busyet," kata Bob. "Aku
sering membaca berita tentang skandal penyuapan untuk menarik pelajar-pelajar
berbakat olahraga ke perguruan tinggi tertentu, tapi aku tak menyangka kita
akan mengalaminya di sini, di Rocky Beach, California."
"Menurutmu bagaimana, Jupe?"
tanya Pete. "Ini pasti ulah Coach Duggan dari Shoremont, heh? Bayangkan
saja, tiba-tiba dia mendatangiku dan berkata, 'Bergabunglah dengan tim saya,'
dan dua puluh menit kemudian mobilku telah berubah menjadi mesin uang."
Jupe mengembalikan pesan itu ke atas
meja. "Apakah Coach Duggan menyinggung soal memberi atau meninggalkan uang
untukmu? Apakah dia kelihatan seperti orang yang ingin menyerahkan sejumlah
uang padamu?"
"Tidak, dan tidak."
"Kalau begitu, kita tidak bisa
menyimpulkan uang suap ini berasal dari dia," Jupe berkata sambil
mengangkat bahu. "Dia hanya menawarkan beasiswa padamu, dan itu tidak
bertentangan dengan hukum yang berlaku."
"Jadi apa langkah kita selanjutnya?
Menghubungi NCAA?" tanya Bob.
"Tidak, Senin besok kita akan
melaporkan usaha penyuapan ini kepada pimpinan Shoremont College," jawab
Jupe. "Dan setelah itu, kita tawarkan jasa untuk menyelidiki kasus ini.
Pemberian uang kepada atlet-atlet memang tidak melanggar hukum, tapi perbuatan
itu tidak etis
dan sama sekali tak sesuai dengan
peraturan NCAA. Aku jamin pimpinan Shore-mont College pasti ingin membongkar
urusan ini sampai tuntas."
"Oke! Sepertinya kita mendapat
kasus baru," ujar Pete.
"Yeah," Bob menimpali
"Tapi ada satu masalah."
"Jangan bilang dulu," kata
Jupe cepat-cepat. "Senin besok kau tidak bisa ikut, betul?"
"Betul. Senin besok adalah awal
liburan musim panas," balas Bob. "Tidak ada sekolah selama dua
minggu. Karena itu Sax minta agar aku masuk kantor setiap hari. Tapi kalian
tahu, kan, aku ikut mendukung?"
"Yeah, dalam bentuk dorongan moril,"
Jupe mendesah,
***
Senin pagi Pete dan Jupe naik mobil ke
Shoremont College, yang terletak sekitar dua mil di luar Rocky Beach. Kampusnya
kecil, menyenangkan, dikelilingi pepohonan. Pete sengaja mengenakan jaket
merah-kuningnya, jaket kebanggaan Rocky Beach High Schol.
Menurutnya jaket itu membuktikan bahwa ia
betul-betul pemain basket high school. Jupe memakai T-shirt Plato, yang
menampilkan wajah filsuf terkemuka itu pada dadanya.
Pete memarkir si Perahu di depan gedung
administrasi, sebuah bangunan bata merah berlantai tiga. Bersama Jupe ia lalu
menggunakan lift untuk mencapai tingkat paling atas.
"Ada yang bisa saya bantu?" petugas
penerima tamu bertanya. Ia seorang wanita berambut kelabu, dengan kacamata
bertengger di atas kepala.
"Kami ingin bertemu dengan pimpinan
perguruan tinggi ini," Jupe menjelaskan. "Masalahnya sangat
mendesak." Kalau mau Jupe bisa tampil dengan gaya yang sangat dewasa.
Si penerima tamu menghubungi atasannya
lewat interkom, kemudian mengantarkan Jupe dan Pete ke sebuah ruang kerja, yang
kedua sisinya dibatasi oleh jendela-jendela berukuran besar. Seorang pria
menduduki pojok meja eksekutif yang mengilap. Usianya sekitar tiga puluh tahun,
termasuk muda untuk pimpinan sebuah
perguruan tinggi. Ia memakai kemeja dan dasi, tapi sebagai pengganti jas, ia
mengenakan sweter besar yang nyaman.
"Halo," ia menyapa. Sambil
tersenyum lebar ia menghampiri Jupe dan Pete untuk berjabatan tangan.
"Saya Chuck Harper. Bagaimana saya bisa membantu kalian?"
Jupe meraih ke dalam dompet dan
menyerahkan kartu namanya pada Harper.
"Trio Detektif?" Harper
membaca. "Saya hanya melihat dua orang di sini. Tapi baiklah, siapa kalian
ini-sebuah grup rock? Maaf, saya menangani hampir segala
sesuatu di sini, tapi saya tidak menyewa
pemain musik."
Jupe berdehem. "Mr. Harper, nama
saya Jupiter Jones. Ini Pete Crenshaw. Bob Andrews, rekan kami, sedang
berhalangan. Kami bukan grup rock. Kami detektif."
Mr. Harper tampak kebingungan sampai
Jupe menyodorkan pesan dan uang yang ditinggalkan di mobil Pete. Kemudian air
muka Harper berubah menjadi sangat serius.
"Saya menemukannya di mobil saya,
persis setelah saya didatangi Coach Duggan," Pete menjelaskan.
"Wah, gawat." Mr. -Harper
mendesah, lalu menjatuhkan diri ke sofa besar berlapis kulit yang menghadap ke
salah satu dinding kaca. Ia memandang ke luar, dan membisu untuk sesaat.
"Saya sering duduk di sini sambil memperhatikan kampus saya," ia
berkata kemudian, "dan saya pikir saya tahu segala sesuatu yang terjadi di
bawah sana. Tapi tanpa diduga muncul
masalah seperti ini."
Ia kembali berdiri. "Sekarang
dengar dulu, kalian tidak bisa masuk begitu saja lalu menuduh pelatih saya
terlibat penyuapan.
Buktikan dulu -buktikan Duggan mencoba
menyuapmu."
"Kami tidak bisa
membuktikannya," Jupe berkata dengan tegas, "dan kami tidak menuduh
Coach Duggan. Kami bukan detektif amatiran."
"Hmm, saya takkan heran kalau
memang Duggan yang melakukannya," ujar Mr. Harper sambil duduk lagi.
Komentar itu sungguh mengejutkan-juga
bagi Jupiter. Setelah terdiam beberapa saat, Mr. Harper melanjutkan,
"Sebenarnya-tapi ini tidak boleh
keluar dari ruangan ini-memang pernah ada desas-desus bahwa di tempatnya
terakhir melatih, Duggan menggunakan cara-cara ilegal untuk menahan
pemain-pemain berbakat agar tetap bermain untuk timnya. Kabar burung itu tak
pernah terbukti, tapi nama baik perguruan tinggi tersebut sudah sempat
tercoreng. Saya sadar ahwa saya telah mengambil risiko dengan mempekerjakan
Duggan, tapi semula saya percaya dia tidak bersalah. Sebagai pelatih dia
istimewa."
Sekali lagi Mr. Harper memandang ke luar
jendela.
"Itu dia," katanya sambil
menunjuk sosok dengan jaket dan topi pet ungu. Orang itu sedang
melintasi salah satu jalan setapak yang
melintasi kampus.
"Itu Duggan."
Jupe dan Pete menghampiri jendela dan memperhatikan
orang itu.
"Duggan memang punya uang untuk
men-alankan rencana semacam ini,"
Mr. Harper meneruskan. "Duggan
mendapatkan dana dalam jumlah besar, dan dia bebas menggunakannya. Mungkin saja
dia membayar para pemain tanpa sepengetahuan saya. Tapi saya takkan membiarkan
permainan kotor seperti itu berlangsung di Shoremont!"
Di bawah. Duggan menghilang dari
pandangan.
"Oke," ujar Mr. Harper.
"Andaikata Trio Detektif akan menyelidiki kasus ini, bagaimana kalian akan
melakukannya tanpa menarik perhatian?"
Jupe tidak perlu berpikir untuk
menanggapi pertanyaan itu. "Kami akan menghadapi situasi ini dari dalam
dan dari luar. Maksud saya, Pete akan membuka tabungan bank untuk menyimpan
uang suapnya. Dan dia akan pura-pura tertarik apakah ia bakal dihubungi
lagi."
"Dan dari dalam?" tanya
Harper.
"Mudah." Jupe tersenyum
gembira sebelum membeberkan rencananya.
"Saya akan mendaftarkan diri di
Shoremont, dan mengikuti kuliah bersama para pemain basket. Dengan demikian
saya bisa berkenalan dengan mereka, dan mencari tahu siapa saja yang menerima
uang.
Mestinya tidak ada masalah. Semester
musim dingin Anda baru mulai, dan sekolah saya di Rocky Beach libur dua selama
minggu jadi saya tidak perlu membolos. Mungkin saya bahkan bisa memberi les
tambahan untuk beberapa pemain."
Mr. Harper menggelengkan kepala.
"Terlalu berat, Jupiter. Untuk itu, kau harus menguasai materi perguruan
tinggi."
Jupiter mengangkat sebelah alis.
"Mr. Harper," kata Pete,
"hanya ada satu hal yang lebih bengkak dibandingkan IQ Jupe yaitu utang
negara kita."
Mr. Harper tersenyum ketika menduduki
kursi di balik mejanya. "Hmm, siapa tahu memang berhasil," ia
bergumam. "Saya akan memberimu daftar mata kuliah yang diikuti para pemain
basket, sehingga kau bisa menyesuaikan jadwalmu dengan mereka."
Jupiter mengangguk, dan Mr. Harper
mengangkat gagang telepon. Ia berbicara dengan seseorang di bagian pendaftaran.
"Saya akan mengirim seorang pemuda
bernama Jupiter Jones ke tempat Anda," ia berkata. "Ini
yang harus Anda berikan padanya."
Beberapa menit kemudian semuanya sudah
beres.
"Tapi tak seorang pun boleh tahu
tentang hal ini," Mr. Harper mengingatkan sambil meletakkan gagang
telepon. "Dan saya tidak akan mengambil tindakan apa pun, sebelum kalian
menemukan bukti kuat bahwa Duggan bersalah."
"Tentu saja," balas Jupe.
Tiba-tiba interkom di meja Mr. Harper
mendengung, la mengangkat gagang telepon dan mendengarkan pesan si penerima
tamu. "Tolong beritahu dia bahwa saya akan segera menemuinya, Ginny.
Terima kasih."
Mr. Harper mengembalikan gagang telepon,
dan mengusap-usap dagu sambil merenung. "John Hemingway Powers menunggu di
luar," katanya.
"Dia alumnus Shoremont, dan baru
saja menyumbangkan uang yang cukup untuk membangun aula dan kompleks olahraga
baru. Kalau dia sampai tahu kenapa kalian di sini, kalau dia sampai curiga
bahwa terjadi skandal olahraga di Shoremont, kami takkan mendapatkan sepeser
pun dari dia."
"Jangan khawatir," kata Pete.
"Saya hanya ingin memastikan kalian
memahami situasinya. Semuanya ini bersifat rahasia," ujar Mr. Harper. Ia
kembali berjabatan tangan dengan mereka. "Silakan hubungi saya kalau
kalian memerlukan sesuatu. Tapi jangan datang ke kantor saya lagi-penyamaran
kalian bisa terbongkar. Dan sebaiknya sekarang kalian keluar lewat pintu
belakang saja."
Jupe dan Pete menyelinap keluar,
menuruni tangga, lalu menuju kantor pendaftaran di lantai pertama.
"Ini seperti mimpi yang jadi
kenyataan," kata Jupe dengan wajah berseriseri.
"Yeah, kasus ini memang
menarik," Pete berkomentar.
"Bukan kasusnya yang kumaksud,"
balas Jupe. "Aku akan masuk perguruan tinggi!"
3. Kesimpulan Awal
KETIKA Jupe sampai di kantor
pendaftaran, ia berpaling pada Pete dan
menatapnya dengan pandangan "kenapa
kau ada di sini".
"Sebaiknya kita berpencar
saja," Jupe mendesis.
"Berpencar?"
Jupe mengerutkan kening.
"Pete," ia berkata sambil berusaha untuk tidak menoleh ke arah
sahabatnya itu, "aku akan menyamar sebagai mahasiswa perguruan tinggi.
Tapi kau pelajar high school Orang lain tidak boleh tahu kita saling mengenal.
Jadi silakan menyingkir, oke?"
"Yeah, oke, tuan besar kepala. Tapi
kau tidak berpikir ke depan, Jupe. Kalau aku pergi, bagaimana caranya kau
pulang nanti? Kau tidak punya mobil."
"Aku tahu itu," balas Jupe.
"Tapi sekarang aku sudah menjadi mahasiswa. Kami sudah terbiasa untuk
mandiri dan memecahkan semua persoalan tanpa bantuan orang lain. Nanti malam
aku menunggumu di markas untuk melaporkan pekembangan di sini-kecuali kalau aku
terlalu banyak
pekerjaan rumah."
"Kau satu-satunya orang yang
kukenal, yang membicarakan pekerjaan rumah sambil tersenyum," kata Pete.
Ia menggelengkan kepala. "Sampai nanti."
Jupe menunggu sampai Pete tidak
kelihatan lagi sebelum memasuki kantor pendaftaran. Beberapa menit kemudian ia
telah mendapatkan segala yang diperlukannya untuk menjadi mahasiswa Shoremont,
yaitu buku panduan mahasiswa, kartu identitas mahasiswa, serta peta kampus yang
dibuat tanpa skala sehingga justru membingungkan.
Tetapi ada satu hal lagi sesuatu yang
tidak dimiliki oleh mahasiswa mana pun di Shoremont:
sebuah printout komputer berisi semua
mata kuliah yang diikuti para pemain basket.
Jupe keluar dari kantor pendaftaran dan
segera membaca printout itu. Ia melingkari semua mata kuliah yang perlu
diikutinya. Sebagian besar tidak terlalu berat-Pengenalan Panahan, Psikologi
Keluarga, Sejarah Pertelevisian. Kelihatannya para pemain basket tidak suka
memeras otak,
Jupe berkata dalam hati. Hmm, sebaiknya
aku mulai dari mana?
Jam di puncak menara di tengah-tengah
kampus menunjukkan pukul satu. Jupe kembali memeriksa daftarnya. Walt
Klinglesmith, seorang pemain jaga dalam tim Shoremont, mengambil kuliah Kimia
101 di Mars Hall, salah satu gedung ilmu alam. Nah, itu mata kuliah yang sesuai
dengan minat Jupe.
Kampus mulai ramai dengan
mahasiswa-mahasiswa yang berpindah dari satu gedung ke gedung lain. Ada yang
berjalan kaki, ada juga yang naik sepeda. Rupanya saat pergantian mata kuliah.
Jupe harus buru-buru.
Ia mencegat mahasiswa pertama yang
melewatinya. "Permisi, di mana Mars Hall?" Jupe bertanya. "Aku
harus segera ke sana."
"Mars Hall?" pemuda di
hadapannya membalas. "Gedung ilmu alam? Tempat orang-orang sinting yang
mau membuat lebih banyak bom? Sori, bukan bidangku, man" Dan ia berlalu
dengan cepat.
Menyesuaikan diri dengan suasana kampus
rupanya lebih sulit dari yang kuduga, pikir Jupe. Ia mengeluarkan peta kampus,
dan berharap menemukan gedung yang tepat.
Mars Hall ternyata sebuah bangunan batu
yang sudah tua, berbeda dengan gedung administrasi yang serba modern. Jupe
menyusuri lorong-lorong gelap yang diterangi dengan sistem penerangan kuno
sampai ia tiba di depan Ruang 377. Ruang itu merupakan laboratorium kimia
berisi deretan meja lab, semuanya dilengkapi bak cuci, alat pemanas Bunsen,
bahanbahan
kimia, dan puluhan tabung reaksi.
Sekitar empat puluh mahasiswa duduk di
balik meja masing-masing, sambil menunggu kedatangan profesor mereka.
Dengan waswas Jupe melangkah masuk. Ia
membayangkan salah seorang
mahasiswa berdiri dan menudingnya,
"Hei! Ada anak high school kesasar!"
Namun tak seorang pun berdiri. Tak ada
yang berseru. Bahkan tak ada yang memperhatikannya.
Ia menyusuri tepi ruangan, sambil
berlagak mencari tempat kosong. Tapi sebenarnya ia sengaja berkeliling untuk
menemukan mahasiswa yang bernama Walt Klinglesmith.
Dia pemain basket, ujar Jupe dalam hati.
Berarti dia seharusnya orang paling jangkung di sini.
Tapi teori itu kandas begitu saja. Orang
paling jangkung di dalam lab ternyata seorang gadis. Tingginya sekitar 195
senti. Sepatu botnya yang terbuat dari kulit hitam hampir sama tingginya dengan
Jupe.
Oke, sekarang bagaimana? Musim kompetisi
bola basket sudah hampir berakhir, pikir Jupe. Sebagai pemain jaga, Walt
mungkin mengalami cedera kecil.
Sekali lagi Jupe melihat berkeliling,
dan bingo! Itu dia. Jupe mengambil tempat di samping seorang pemuda dengan
pergelangan tangan terbalut.
Di hadapan pemuda itu ada buku catatan
bersampul kulit, dan di sudut sampulnya terlihat inisial W.K. tertulis dengan
huruf emas. Walt Klinglesmith. Sebuah bolpoin Mont Blanc yang supermahal
tergeletak di atas buku catatan.
Kesimpulan: Walt banyak uang. Dari mana
asalnya? Dari kantong Coach Duggan?
Suasana di dalam laboratorium mendadak
hening. Sang profesor telah datang. Seorang pria berambut putih menghampiri
papan tulis dan mulai menuliskan beberapa kata: MAKANAN ANJING, DAUN SELADA,
CUKA, SABUN...
Jupe mengamati daftar itu. Semua butir
yang dicantumkan pasti mengandung satu unsur kimia yang sama, tapi Jupe tidak
bisa menebak apa. Belajar di perguruan tinggi ternyata lebih sukar dari yang
dibayangkannya.
"Profesor Wevans," salah
seorang mahasiswa berkata kebingungan. Profesor tertawa dan membalik untuk
menghadapi murid-muridnya.
"Bukan, ini bukan kuis mengenai
unsur-unsur kimia. Ini titipan istri saya yang harus saya beli dalam perjalanan
pulang nanti malam. Saya terpaksa menuliskan semuanya sebelum lupa."
Seluruh kelas tertawa, dan Profesor
menuliskan beberapa persamaan kimia.
Kemudian ia mulai memanggil nama-nama
para mahasiswa.
Tenang saja, Jupe berkata dalam hati.
Tenang saja, dan jangan tonjolkan diri. Sebenarnya ia bisa menjawab pertanyaan
Profesor, tapi ia tidak ingin menarik perhatian. Jika ia tidak mengangkat
tangan, kemungkinan besar takkan ada yang memperhatikannya...
"Salah, Mr. Fankel. Salah sama
sekali," Profesor Wevans sedang berkata.
"Masa tak seorang pun dari kalian
yang bisa menyelesaikan persamaan ini?"
Jupe tak sanggup menahan diri lebih
lama. Ia mengacungkan tangan dan menyerukan jawaban yang benar.
"Terima kasih," ujar Profesor.
"Itu jawaban paling menggembirakan yang saya dengar dalam waktu
lama."
Sesaat ia menatap Jupe sambil membisu,
lalu berkata, "Maaf, apakah Saudara tidak salah masuk ruang kelas? Seingat
saya, saya belum pernah melihat Saudara di sini."
Aduh, pikir Jupe Belum apa-apa samaranku
sudah terbongkar.
"Ehm, begini," ia
tergagap-gagap. "Saya sering terlambat bangun sehingga tidak bisa
mengikuti kuliah Bapak."
"Terlambat bangun?" si
profesor mengulangi. "Kuliah saya mulai jam satu siang. Siapa nama
Saudara?"
"Jones. Jupiter Jones."
"Hmm, nama Saudara termasuk nama yang
sukar dilupakan, Mr. Jupiter Jones," kata Profesor Wevans. "Saya
sarankan agar Saudara membeli beker yang bersuara lebih keras."
"Baik, Pak," ujar Jupe.
"Mr. Klinglesmith, tolong
selesaikan soal berikutnya," Profesor melanjutkan.
"Ehm, tentu," jawab Walt. Ia
memelototi soal di papan tulis. Dan Jupe mengamati wajah Walt.
Aku tahu ekspresi itu, pikir Jupe. Sudah
jutaan kali aku melihatnya. Panik, bingung, putus asa. Dia tidak tahu
jawabannya, dan inilah kesempatanku untuk berkenalan dengannya.
Tanpa berkedip Jupe meraih bolpoin Walt
yang mahal. Dengan tenang ia menuliskan -2 pada secarik kertas.
Walt berdehem. "Ehm, minus
dua," katanya.
Bagus," Profesor Wevans memuji
sebelum beralih ke topik berikutnya.
Seusai kuliah, Jupe keluar laboratorium
satu langkah di depan Walt. Di lorong, ia mengeluarkan kertas bertulisan -2 dan
menyerahkannya kepada si pemain basket.
"Nih, sebagai
kenang-kenangan," Jupe menawarkan.
Walt ketawa. "Yeah, terima
kasih," ia berkata sambil tersenyum. "Dan terima kasih atas bantuanmu
tadi. Sebenarnya aku bisa menemukan jawabannya, tapi pikiranku selalu mendadak
beku kalau seorang profesor memanggilku."
Jupe mengedip-ngedipkan mata. Walt
menyodorkan bolpoin Mont Blanc sambil jalan.
"Ambil saja," desaknya.
"Ya, tapi...," Jupe mulai
memprotes "Aku masih punya banyak," Walt memotong sambil
tersipu-sipu. Menarik, pikir Jupe. Tetapi ia berusaha untuk tidak
memperlihatkannya.
"Eh, Walt," Jupe berkata
sambil lalu. "Kimia sebenarnya sangat logis. Barangkali aku bisa
membimbingmu untuk menguasai dasar-dasarnya."
"Sebagai tutor, maksudmu?"
tanya Walt. "Hei, ide bagus! Masalahnya, aku tidak banyak waktu. Tapi
barangkali kita bisa menyelipkannya setelah latihan basket."
"Tapi aku terpaksa menarik bayaran,"
ujar Jupe. "Dan seorang tutor dengan kualifikasi seperti aku tidak
murah."
"Jangan khawatir, kawan. Berapa
saja yang kauminta, uang tak jadi masalah bagiku. Oke?"
Walt mengulurkan tangan untuk
bersalaman. Pada jari manisnya melingkar sebuah cincin perak berukuran besar,
dengan tulisan Walt dari emas murni.
Jupe berjabatan tangan. Bukan uangmu
yang kuincar, Walt, pikir Jupe sambil tersenyum. Aku ingin tahu dari mana kau
memperolehnya. Dan kau punya waktu dua ming-gu untuk menceritakannya padaku!
4.
Kelly Menyusun Siasat
GAGANG telepon diangkat pada deringan
pertama. "Trio Detektif. Anda bicara dengan Pete Crenshaw."
"Pete," Jupe berkata
pelan-pelan.
"Jupe? Jupe, di mana kau? Sekarang sudah
jam enam. Kelly dan aku sudah satu jam menunggu di markas. Kami hampir mati
kelaparan."
"Aku di toko buku di kampus
Shoremont. Tapi bus ke Rocky Beach baru datang sejam lagi. Kalau menunggu
terus, aku perlu dua jam sebelum sampai ke rumah." Jupe berusaha agar
suaranya terdengar biasa-biasa saja.
"Oh, jadi kau baru tiba jam
delapan," Pete menanggapinya. "Oke. Terima kasih 'atas
pemberitahuannya."
"Pete, jangan tutup dulu!"
ujar Jupe. "Baiklah, aku berterus terang. Aku perlu dijemput. Kalau tidak,
aku terdampar di sini sepanjang malam."
"Tapi, Jupe," balas Pete,
"kau kan sudah mahasiswa sekarang. Aku' cuma murid highschool. Kau sendiri
yang bilang kita sebaiknya jangan kelihatan bersamasama. Kau bilang akan
menangani masalah-masalahmu sendiri, dan menemukan pemecahan gemilang tanpa
bantuan orang lain."
Jupe mengetuk-ngetukkan kakinya ke
lantai. "Well, itulah pemecahan yang kudapatkan," katanya. "Kau
datang ke sini menjemputku. Oke?"
"Jupe, yang kauperlukan adalah
mobil sendiri," ujar Pete bersungguh sungguh.
Ucapan itu membuat Jupe benar-benar
uring-uringan. Tak ada yang lebih diinginkannya selain mobil-terutama sejak
kedua mobilnya terdahulu hancur berantakan-dan Pete tahu itu.
"Pete," Jupe berkata dengan
kesal, "kalau kau tidak segera ke sini menjemputku, aku takkan
menceritakan kemajuan yang kuper-oleh!"
"Ada berita baik?"
"Kasus penyuapan ini lebih pelik,
jauh lebih pelik daripada yang kita duga. Hanya ini yang akan kukatakan sampai
kau muncul di sini."
"Aku berangkat sekarang juga,"
jawab Pete.
***
Tak sampai sejam kemudian Pete dan Jupe
sudah kembali ke markas Trio Detektif. Jupe mengenakan kaus Shoremont College,
yang dibelinya di toko buku ketika menunggu Pete.
Dalam perjalanan pulang, sekadar untuk
membalas dendam, Jupe tidak bercerita apa-apa mengenai kasus mereka. Beberapa
menit setelah mereka tiba, Kelly datang naik mobil. Ia membawa dua kotak berisi
pizza
"Apakah Pete sudah memberitahumu
bagaimana pizza yang kuinginkan?" tanya Jupe.
"Sudah, Jupe," kata Kelly.
"Pizza berukuran mini dalam kotak pizza berukuran besar. Apa sih
pengaruhnya?"
"Ini dietnya yang terbaru,"
Pete menjelaskan sambil meraih satu irisan dari pizza berukuran besar yang
dibaginya bersama Kelly.
"Jupe, kau masih ingat berapa
banyak diet aneh yang sudah pernah kaucoba?"
"Untuk mendapat jawaban yang pasti,
aku perlu berkonsultasi dulu dengan komputerku. Tapi kalau tidak salah,
jumlahnya sekitar dua puluh," ujar Jupe.
"Hmm, ini yang paling aneh,"
Pete berkomentar.
"Diet ini yang paling logis,"
balas Jupe. "Namanya Diet Setengah Porsi. Kau boleh makan apa saja, tapi
hanya setengah porsi." Jupe meraih sepotong pizza, membelahnya menjadi
dua, dan meletakkan satu belahan ke atas piringnya. Setelah menghabiskan
belahan itu, ia membelah potongan kedua, lalu mulai makan lagi.
"Aku tak kuat melihatnya,"
kata Kelly.
"Yeah, Jupe. Ini tidak masuk
akal," Pete pun sependapat. "Kau sudah menghabiskan dua belahan, kan?
Kenapa kau tidak makan satu potong utuh saja?"
"Psikologi," jawab Jupe.
"Kau takkan mengerti."
"Oke, Jupe," Pete berkata di
antara dua gigitan. "Bagaimana kemajuan di Shoremont hari ini?"
"Aku menjadi pembimbing kimia untuk
salah seorang pemain basket Shoremont-Walt Klinglesmith," Jupe bercerita.
"Aku mendapat kesan dia bergelimang uang."
Pete dan Kelly mengangguk.
"Setelah kimia, aku mengikuti dua
mata kuliah membosankan, dengan harapan bertemu dua pemain lagi. Tapi rupanya
keduanya membolos.
Kemudian aku pergi ke gedung olahraga
untuk menyaksikan latihan tim Shoremont, tapi ternyata mereka tidak ada di
sana. Yang ada hanya rombongan cheerleader."
"Terus, apa kata mereka?"
tanya Kelly.
"Tidak banyak," jawab Jupe
sambil tersipu-sipu. Ia tampak agak gelisah.
"Maksudnya, Jupe tidak tahu apa
yang harus dikatakannya pada mereka,"
Pete menjelaskan. "Jadi dia pergi
lagi."
"Itu tidak benar," kata Jupe sambil
menatap pizza di hadapannya. "Aku hanya menyimpulkan para cheerleader
takkan tahu banyak, dan aku harus memfokuskan perhatianku pada para
pemain."
"Para cheerleader takkan tahu
banyak?" Kelly melompat berdiri. "Hidup Jupiter Jones! Siapa yang
tahu lebih banyak tentang sebuah tim olahraga selain para cheerleader? Kaupikir
kami hanya bisa melompat-lompat sambil bersoraksorai? Enak saja! Kami mengamati
setiap gerakan yang terjadi di lapangan. Kami membuat para penonton tetap
tertarik pada pertandingan. Kami
beramah-tamah dengan para pemain. Dan
beberapa cheerleader bahkan berkencan dengan para pemain, terutama kalau mereka
tampan dan gagah."
Kelly nyengir lebar dan memeluk Pete.
Jupe bertanya-tanya apakah wajah Pete menjadi merah karena malu, atau karena
peredaran darahnya terhambat akibat dipeluk terlalu keras oleh Kelly.
"Baiklah, kalau kau memang ahli dalam hal ini, ehm, barangkali kau bisa
memberi beberapa saran bagaimana caranya memulai percakapan dengan para
cheerleader" kata Jupe.
"Tentu saja bisa," jawab
Kelly. "Pertama-tama, kau harus memikat mereka.
Pada umumnya, para cheerleader suka
disanjung. Kau tahu kan apa yang dimaksud dengan sanjungan, Jupe?"
"Aku bukan anak sekolah
dasar," ujar Jupe tak sabar.
"Bagus," kata Kelly. Ia duduk
sambil menunggu. "Ayo, silakan."
Pete dan Jupe terbengong-bengong.
"Silakan apa?" tanya Pete.
"Silakan sanjung aku, Jupe,"
balas Kelly. "Latihan."
"Oke, ehm.-Jupe menggosokkan kedua
tangan pada celana jeans-nya. "Ehm... Eh, Kelly, kau sekarang sudah tidak
begitu sok mengatur seperti dulu."
"Benar-benar tanpa harapan!"
Kelly mendesah sambil melirik ke arah Pete.
"Sayang sekali aku akan pergi main
ski besok."
"Main ski?" Jupe memotong.
"Bagaimana kau bisa pergi main ski sementara tim basket Rocky Beach akan
bertanding dalam liburan ini? Kau kapten regu cheerleader. Bukankah kau wajib
hadir?"
"Untuk apa aku punya wakil?"
kata Kelly. "Kau lebih memerlukan aku daripada reguku."
Jupe menatapnya dengan ragu-ragu.
"Oke, Kelly, apa cara yang paling ampuh untuk... ehm... memikat
cheerleader?"
"Kau harus merayu mereka,"
Kelly menjelaskan. "Beri pujian untuk lompatan mereka, katakan segala
gerak-gerik mereka membuatmu berdebar-debar-hal-hal seperti itulah. Setelah itu
mereka akan menceritakan apa saja yang ingin kauketahui. Oh, yang ini juga
bagus! Katakan kau merasa seakan-akan mereka hanya menatap ke arahmu."
"Hei!" Pete berseru. "Itu
yang kaukatakan padaku! Kau bilang kau merasa aku menoleh ke arahmu setiap kali
aku mengambil lemparan bebas."
Kelly tersenyum simpul. "Nah, Jupe.
Kaulihat sendiri kan bagaimana hasilnya?"
***
Keesokan paginya Jupe mengikuti kuliah,
dan pada sore harinya ia pergi ke gedung olahraga. Ia membuka pintu dan segera
melihat bahwa tim basket tidak ada lagi. Tapi para cheerleader hadir-lima
orang-dengan seragam berupa rok mini dan sweter ungu-putih.
Hmm, kata Jupe dalam hati, mungkin Kelly
memang benar. Barangkali ia bisa mengorek keterangan dari mereka. Ia menyelinap
masuk, dan mengambil tempat duduk di tepi lapangan. Para cheerleader tengah
berlatih, sehingga mereka tidak mengetahui kehadirannya.
"Ayo, Walt! Ayo, Cory! Sikat mereka
sampai grogi! Maju Marty, Matt, dan Tim! Lawan kalian sudah pusing! Hore,
Shoremont, hore!"
Pengarangnya pasti bukan mahasiswa
jurusan sastra, Jupe berkata dalam hati. Kemudian ia berusaha mengumpulkan
keberanian untuk menghampiri dan menyapa para cheerleader. Tapi dalam sekejap
saja ia sudah bermandikan keringat dingin. Untung saja para cheerleader sudah
menghentikan latihan mereka, lalu mulai
mengobrol. Jupe tinggal menguping saja.
"Hei, jangan sembarangan!" salah
seorang dari mereka berseru. Rambutnya yang panjang dan gelap dibuntut kuda.
"Kalian pikir aku kencan dengan Cory Brand hanya karena Corvette dan
condo-nya?"
"Ya!" keempat rekannya
menjawab.
"Oke,
apakah kalian bisa memikirkan alasan yang lebih baik?" balas gadis pertama sambil ketawa.
Radar Jupe langsung siap siaga. Inilah
yang dicarinya-gosip mengenai para pemain basket! Cory Brand adalah salah satu
dari mereka, dan rupanya ia memiliki mobil sport dan apartemen mewah.
"Hei, sedang apa kau di sini?"
Tiba-tiba seorang cheerleader berambut merah melihat ke arah Jupe. Gadis itu
berdiri sambil bertolak pinggang.
Jupe menelan ludah. Jangan panik, ia
berusaha menenangkan diri sendiri. Tetap tenang, dan coba mengorek informasi
sebanyak mungkin. Kau sudah puluhan kali menanyai orang dalam kasus-kasus
sebelum ini, dan mestinya kali ini juga tidak terlalu sulit. Pokoknya, ingat
saran-saran Kelly.
Ia berdiri, lalu perlahan-lahan
menghampiri para cheerleader. Ketika mendekat, Jupe melihat bahwa nama-nama mereka
tersulam pada sweter masing-masing.
"Ehm... Nora," Jupe berkata
pada si rambut merah. "Waktu kalian sedang latihan, aku merasa seakan-akan
kalian hanya melihat ke arahku."
"Memang," balas Nora.
"Soalnya tak ada siapa-siapa di sini selain kau."
Wah, betul juga, pikir Jupe. Bodoh
betul! "Ehm, maksudku..." Jupe tergagap-gagap, "tatapan kalian
luar biasa. Rasanya quasi-hypnotic."
"Wow, kalian dengar
itu-quasi-hypnotic? Kapan terakhir kali seseorang menyebut kita
quasi-hypnotic?" ujar seorang gadis cerewet yang mengenakan sweater
bertulisan CATHY.
"Aku tahu siapa kau," kata
gadis yang bernama Pat. "Kau Jupiter Jones. Aku melihatmu di kelas
Pengenalan Shakespeare tadi pagi. Eh, kalian tahu apa yang dilakukannya? Dia
menyitir sajak karangan Shakespeare di luar kepala."
"Sebenarnya itu sebuah
soneta," Jupe meralat.
"Apa pun namanya, yang jelas caramu
membawakannya indah sekali," kata Pat sambil tersenyum lebar.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau ada di
sini?" tanya Nora. Dari sikapnya kelihatan jelas bahwa dialah pemimpin
regu cheerleader ini.
"Latihan kami tertutup untuk
umum," ujar gadis berbuntut kuda yang berkencan dengan Cory. Pada
sweternya tertulis nama JERRI.
"Well," kata Jupe sambil
melirik jam tangannya. Ia tidak mungkin berterus terang sedang melakukan
penyelidikan. "Aku ada janji untuk bertemu seseorang di sini. Tapi
kelihatannya dia tidak datang. Maaf kalau aku mengganggu latihan kalian."
"Tidak apa-apa," jawab anggota
regu cheerleader yang paling pendek seorang gadis mungil dengan tinggi 150 senti,
bermata biru, dan berambut hitam. Ia tersenyum malu-malu.
Berdasarkan logatnya, Jupe menyimpulkan
bahwa ia berasal dari daerah Selatan. Nama yang tercantum pada sweternya adalah
SARAH.
Jupe bergegas keluar. Sebenarnya ia
berharap bisa tinggal lebih lama, untuk mengorek lebih banyak informasi. Selain
itu, ia juga ingin berbincangbincang lebih lama dengan Sarah. Gadis itu persis
seperti yang diidamidamkannya selama ini. Tetapi berbicara dengan gadis-gadis
cantik
merupakan sesuatu yang berada di luar kemampuan
Jupe. Bagi Jupe, menghadapi penjahat-penjahat terasa jauh lebih mudah.
"Oke, kita mulai dari awal
lagi," Jupe mendengar salah seorang dari mereka berkata ketika ia menuju
ke pintu. "Dan jangan lupa- usahakan agar tatapan kalian terasa quasi-hypnotic."
Semenit kemudian Jupe sedang melintasi
kampus untuk sekali lagi memakai telepon umum di dalam toko buku. Sambil
berjalan, ia mengingat-ingat apa saja yang baru didengarnya.
Jerri berkencan dengan Cory Brand karena
Cory memiliki uang, apartemen mewah, dan mobil sport. Apakah ini berarti bahwa
Cory menerima uang suap? Pat sama-sama mengikuti kuliah mengenai
Shakespeare. Mestinya tidak terlalu
sulit untuk berbicara lagi dengannya. Sarah... cantik luar
biasa, mungil, rambut gelap, mata biru,
senyum menawan... Jupe masih memikirkan Sarah ketika sampai di telepon umum. Ia
memasukkan sekeping uang dan memutar nomor telepon kantor Bob.
"Bob, kau bisa dengar aku?"
Jupe bertanya sewaktu sahabatnya menyahut.
"Sax sedang mendengarkan rekaman
percobaan grup baru-dengan volume penuh!" Bob berseru. "Sudah ada
kemajuan dengan kasus kita?"
Suara Bob nyaris tenggelam dalam
ingar-bingar musik heavy metal di latar belakang.
"Kelihatannya Duggan sibuk
membagi-bagikan uang ke kiri-kanan!" ujar Jupe setengah berteriak.
"Beberapa pemain bahkan punya mobil sport dan apartemen mewah."
"Masa? Siapa yang
memberitahumu?"
"Para cheerleader"
"Apa?!" Bob harus berteriak
untuk mengalahkan kebisingan di sekitarnya.
"Kubilang," kata Jupe dengan
lebih keras, hampir semua cheerleader di sini ramah sekali. Dan kurasa aku bisa
mendapat keterangan lebih banyak dari salah seorang dari mereka. Namanya Pat.
Dia mengingatku dari kelas Shakespeare yang sama-sama kami ikuti."
"Jupe, aku tidak bisa
mendengarmu," kata Bob. "Telepon aku nanti malam."
Dan kemudian ia meletakkan telepon.
Brengsek! umpat Jupe dalam hati. Tiba-tiba sepasang tangan berukuran besar
mencengkeram bahu Jupe dari belakang.
"Kalau aku sudah selesai
denganmu," seseorang mengancam, "kau bakal bisa masuk ke kaleng sarden!"
5.
Bercucuran Keringat
SEMUA indra Jupe mendadak siap siaga.
Jantungnya berdetak kencang, dadanya berdebar-debar. Tiba-tiba kedua tangan
besar itu membalikkan tubuh Jupe dengan keras. Ia nyaris terangkat dari lantai.
Kemudian kedua tangan itu mulai meremas leher Jupe.
Jupe hendak melawan. Tapi nalurinya
mengatakan bahwa jika melawan ia bakal dicekik. Ia mendongakkan kepala agar
bisa melihat wajah penyerangnya.
Wajah yang besar dan garang itu milik
Marty Lauffer, si pemain tengah tim basket Shoremont. Rambutnya yang pirang dan
berminyak dipotong pendek sekali.
"Ini pasti suatu kekeliruan,"
Jupe berkata sambil terengah-engah. Ia nyaris tidak bisa bernapas.
"Yeah-kekeliruan di pihakmu,"
balas Marty. Sejenak ia tersenyum mengejek, dan memperlihatkan sederetan gigi
yang berantakan.
Tenaga Marty luar biasa. Cengkeraman
tangannya perlahan-lahan mencekik Jupe. Jupe melayangkan pukulan liar, yang
mendarat telak di perut Marty. Tapi Marty tak bergeming sama sekali.
"Kudengar pembicaraanmu lewat
telepon. Kudengar semua yang kaukatakan!" Marty membentak sambil
mengguncang-guncangkan Jupe.
Celaka, pikir Jupe. Wajahnya menjadi
merah padam karena kekurangan oksigen. Ia mulai beringat dingin. Marty akan
membunuhku karena aku membongkar skandal uang suap.
Marty ketawa dan kembali
menyentak-nyentakkan Jupe. "Kau akan merasa sakit selama setahun," ia
berkata sambil mengepalkan tangan, siap memukul. Jupe tak sanggup menahan diri.
Ia memejamkan mata dan berteriak.
"Marty, berhenti!" seseorang
tiba-tiba memerintah dengan tegas.
Marty segera melepaskan cengkeramannya,
lalu mendorong Jupe ke belakang. Jupe merosot ke lantai, dan menarik napas
dalam-dalam.
Perintah yang menyelamatkan Jupe berasal
dari seorang pria yang berdiri di belakang si pemain basket. Ketika Marty
melangkah ke samping, Jupe melihat bahwa orang itu Coach Duggan. Si pelatih
segera menyelinap di antara Jupe dan Marty.
"Anak muda, jika kau bersikap
agresif di lapangan, saya mendukungmu seribu persen. Tapi kalau ini caramu
untuk membuktikan pada dunia bahwa kau seorang jagoan, kau bukan hanya
mempermalukan dirimu sendiri, kau juga mempermalukan seluruh tim, dan
saya."
Suara Duggan bernada keras, dan Jupe
menyadari bahwa kata-kata itu langsung berpengaruh. Marty menundukkan kepala
dan menatap lantai toko buku.
"Ada apa sebenarnya?" si
pelatih bertanya.
"Saya mendengar dia bicara lewat
telepon." Marty menggeram sambil memelototi Jupe. "Dia bicara...
ehm... dia bicara tentang pacar saya."
Pacar? pikir Jupe. Pat pacar Marty?
Benarkah itu? Atau Marty hanya ingin menutup-nutupi masalah uang suap?
Sebelum Jupe sempat menarik napas untuk
menjawab, Marty sudah komatkamit minta maaf, lalu kabur. Ia menghilang di balik
kerumunan mahasiswa yang menyaksikan kejadian di telepon umum itu. Jupe dan
Coach Duggan bertatapan.
"Dia cepat naik darah," si
pelatih berkata.
"Yeah, saya sudah menyadari hal
itu. Anda pasti repot sekali menghadapinya," jawab Jupe dengan suara
serak. Ia menyelipkan T-shirtnya ke dalam celana.
"Dia bakal sadar sendiri... dengan
imbalan yang tepat," ujar Coach Duggan.
"Ngomong-ngomong, sepertinya
teleponmu tadi cukup penting. Kau bicara dengan seorang gadis?"
"Sebenarnya sih tidak," jawab
Jupe.
"Ah, kau bicara mengenai seorang
gadis?"
Jupe mengangguk malu-malu.
"Telepon lagi," kata si pelatih,
seakan-akan memberi perintah
Sekarang? Di depan dia? pikir Jupe. No
way!
"Saya kehabisan uang receh,"
ia berbohong.
"Ah." Coach Duggan merogoh
kantong celana training ungunya, dan mengeluarkan sekeping uang logam.
"Telepon dia," ia berkata sambil
meletakkan keping itu ke tangan Jupe. "Jangan biarkan masalah sepele
seperti uang menghalang-halangi keinginanmu."
Jupe memperhatikan Coach Duggan
melangkah pergi. Orang itu mudah sekali membagi-bagikan uangnya. Berapa banyak
dari pembicaraan Jupe yang sempat didengarnya? Jupe bahkan menyebut nama Duggan
tadi. Kini Jupe benar-benar cemas. Ia harus bersikap lebih hati-hati. Kalau
tidak, samarannya akan terbongkar sebelum kasus itu diusut sampai tuntas.
***
Keesokan harinya, Rabu, jadwal kuliah
Jupe berat sekali. Mulai pukul delapan pagi sampai pukul satu siang, ia
mengikuti lima mata kuliah pendidikan jasmani yang berbeda-beda. Masing-masing
juga diikuti oleh paling tidak seorang pemain basket yang hendak diamatinya.
Angkat berat, boling, senam prestasi, atletik, gulat-latihannya benar-benar
melelahkan.
Bagian yang paling memprihatinkan adalah
bahwa peserta mata kuliah bersangkutan hanya terdiri atas pemuda-pemuda
tampan-dan semuanya dalam kondisi puncak! Otot dada, perut,
biseps, dan triseps-setiap otot
terbentuk dengan sempurna. Dibandingkan dengan para peserta lain, Jupe
kelihatan seperti karung beras.
Menjelang akhir mata kuliah kelima, Jupe
telah belajar banyak. Pertama, sebaiknya ia tidak mengikuti lebih dari dua mata
kuliah pendidikan jasmani per hari-biarpun dalam rangka mencari petunjuk untuk
sebuah kasus. Ia juga telah mengetahui bahwa tidak semua pemain basket
bergelimang uang. Beberapa di antara
mereka kelihatan kaya raya, tapi ada juga yang biasa-biasa saja. Jupe
memutuskan untuk memusatkan perhatian pada pemain-pemain yang paling ramah dan
mudah diajak bicara.
Pukul dua, ia memaksakan diri untuk
mengikuti mata kuliah olahraga keenam. Mata kuliah itu berrtama Bicara
Bersemangat. Nama itu mengusik rasa ingin tahu Jupe. Tapi yang lebih penting,
mata kuliah itu memberinya kesempatan untuk bertemu dua pemain basket lagi-Cory
Brand dan Matt Douglass.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh
Jupe dari para pemain lain, mereka berdualah yang paling patut diamati secara
lebih saksama.
Jupe tiba di ruang kelas, lalu menarik
napas dalam-dalam-sekaligus menarik perutnya ke dalam agar kelihatan lebih
kecil. Kemudian ia memasuki ruangan dengan penuh percaya diri. Ia duduk di
salah satu kursi di baris paling belakang.
Pemuda yang duduk di sampingnya bertubuh
tegap dan berwajah tampan. Warna rambutnya menyerupai warna pasir. Ia
mengenakan jeans belel, serta T-shirt hitam yang menempel ketat pada dadanya.
Kacamatanya berbentuk bulat, dengan bingkai gelap. "Beres?" ia
bertanya. "Seribu persen," Jupe mengulangi istilah yang semalam
digunakan oleh Coach Duggan.
"Kau baru di kelas ini?"
"Yeah. Aku pindah dari sekolah
lain," kata Jupe sambil tersenyum simpul.
"Matt Douglass," pemuda di
sebelahnya memperkenalkan diri. "Apa olahragamu?"
"Jupiter Jones. Aku pemain curling.
Kau main basket?"
"Dan tenis," Matt menambahkan.
Sepertinya dia cukup ramah, pikir Jupe.
Coba lihat bagaimana sikapnya di bawah lampu sorot. "Aku dengar para
pemain basket di sini gemar berpesta."
"Kami berusaha menikmati
hidup," ujar Matt.
"Pesta liar di apartemenmu? Semua
orang bilang pesta-pesta di tempatmu paling sip."
"Bukan di tempatku. Aku cuma
mengontrak kamar kecil di dekat kampus.
Mungkin Cory yang kaumaksud." Matt
mengangguk ke arah Cory Brandseorang pemuda jangkung, tegap, dan tampan yang
duduk beberapa kursi dari mereka.
Tampaknya Cory Brand menjalani kehidupan
yang menjadi impian setiap remaja Amerika-apartemen mewah, mobil sport,
gadis-gadis cantik. Jupe sangat tertarik, tetapi ia belum selesai
dengan Matt.
"Kau ikut ke Tijuana pada liburan
musim semi nanti? Ada yang bilang anak-anak Shoremont biasa berlibur di
sana," ujar Jupe.
"Tidak. Pada liburan nanti aku
pegang dua pekerjaan. Aku perlu cari uang untuk membayar uang kuliah semester
berikut," Matt menjelaskan.
Bagus, pikir Jupe. Paling tidak ia telah
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Tapi jawaban Matt betul-betul di
luar dugaan. Jupe kini telah mengumpulkan keterangan mengenai empat pemain inti
dalam tim basket Shoremont. Walt Klinglesmith, Mr. Bolpoin Mont Blanc, rupanya
banyak uang.
Cory Brand, menurut para cheerleader dan
rekan-rekannya, punya uang dan terkenal sebagai tukang pesta tanpa tandingan.
Marty Lauffer merupakan orang yang menyebalkan, titik. Jupe tidak sempat
menanyakan tabungan Marty di bank ketika ia dicekik oleh Marty. Dan sekarang ia
bertemu Matt, yang kelihatannya tidak
menerima uang suap.
Ada pemain yang berenang dalam uang, ada juga
yang tidak. Bagaimana polanya? Jupe mulai memutar otak untuk mencari jawaban.
Matt dan Marty samasama mahasiswa tingkat empat... Tim, pemain inti kelima,
mahasiswa tingkat tiga... Cory dan Walt baru memasuki tahun kedua. Dalam hati,
Jupe mengingat-ingat semua pemain lain yang sempat ditemuinya. Kelihatannya
hanya pemain-pemain muda yang menerima uang suap. Pola itu sepertinya tidak
masuk akal, tapi tetap patut diusut lebih jauh. Jupe melirik ke arah Cory
Brand. Ya, ia harus berbicara dengan dia-seusai kuliah.
Sesaat kemudian dosen mereka memasuki
ruangan dan meletakkan tas kerjanya di meja. Orangnya tampan, dengan rambut
lurus gelap, dan kondisi fisiknya prima-mungkin ia juga bekas atlet.
"Selamat sore, para hadirin! Anda
kembali bergabung dengan Bicara Bersemangat! Saya instruktur Anda, Al
Windsor!" Setiap kata diucapkannya dengan lantang dan sepertinya terlalu
dibuat-buat.
Kenapa dia bicara begitu keras? Kenapa
dia berusaha agar setiap ucapannya terdengar penting dan penuh semangat?
Tiba-tiba Jupe menyadari apa yang diajarkan dalam mata kuliah ini. Semua
peserta dilatih untuk menjadi penyiar olahraga, sebagai persiapan menghadapi
masa seusai karier olahraga
masing-masing.
"Ruang kelas berada dalam kondisi
sempurna," Al Windsor mengumumkan. "Dan para pemain berada pada
puncak masa latihan.
Karena itu, saya percaya kuliah hari ini
akan berlangsung seru, sesuai harapan Anda setiap kali Anda memasuki ruangan
ini."
Pada saat Al Windsor selesai mengajar,
Jupe merasa lelah akibat segala luapan semangat itu. Ia menggoyangkan kepala
untuk mengusir rasa pening, kemudian bergegas keluar dan menyusul Cory Brand.
"Cory!" panggil Jupe.
Pemuda yang jangkung dan tegap itu
menoleh ke belakang. Rambutnya yang pirang dipotong begitu pendek sehingga
kulit kepalanya tampak berkilau-kilau terkena cahaya matahari.
"Temanku bilang kau orang yang
harus kutemui jika aku ingin bergabung dengan Klub Vette," ujar Jupe.
"Sori, aku tidak tahu apa-apa
tentang perkumpulan veteran. Aku pemain basket," balas Cory.
Ia kembali berjalan. Jupe terpaksa
mengejarnya.
"Maksudku, Klub Cor-vette,"
kata Jupe.
"Hei, kau juga punya
Corvette?"
"Ehm... model 72, kondisi seperti
baru, nol sampai seratus dalam lima detik, dan kau bisa merasakan setiap
gelombang pada permukaan jalan," Jupe berkata sambil berusaha mengingat
semua cerita tentang Chevrolet Corvette yang pernah didengarnya dari Pete.
"Yeah," Cory menanggapinya.
"Dan kalau kau menginjak pedal gas sampai ke lantai, suaranya benar-benar
menggelegar! Mana mobilmu? Di tempat parkir?"
"Ehm... bukan. Aku meninggalkannya
di rumah-di Alaska."
"Oh, rupanya kau ikut program
pertukaran mahasiswa asing, ya?" tanya Cory. "Ayo, kutunjukkan mobil
kebanggaanku."
Sambil berjalan ke lapangan parkir di
seberang kampus, Jupe mencoba mengorek keterangan dari Cory, tapi tanpa hasil.
Cory memang bicara tanpa henti, tapi tak sekali pun menyinggung sesuatu yang
patut didengarkan. Akhirnya Jupe terpaksa nekat dengan mengajukan pertanyaan
yang menjurus.
"Cory, apakah Coach Duggan termasuk
orang yang dermawan? Maksudku, apakah dia pernah memberimu sesuatu?"
"Hmm, Coach Duggan pernah memberi
nasihat gratis padaku. Dia bilang, aku sebaiknya ambil mata kuliah Bicara
Bersemangat," ujar Cory sambil membuka pintu Corvette-nya.
Secara kebetulan Jupe melihat jam Rolex
di pergelangan tangan Cory. "Oh, sial, aku terlambat nih. Aku punya janji
jam tiga."
"Biar kuantar saja," Cory
Brand menawarkan. "Hei, aku baru ingat. Ada satu hal lagi yang pernah
Coach Duggan berikan padaku."
Jupe langsung
berharap-harap. Mungkinkah Cory Brand akan mengaku Coach Duggan yang memberinya
Corvette itu?
"Yeah, Coach Duggan pernah
memberiku tumpangan, waktu 'Vette-ku masuk bengkel." Jupe hanya bisa
menggerutu kecewa.
6.
Menunggu Peluang
PUKUL empat kurang seperempat Jupe
bergegas memasuki gedung olahraga Shoremont untuk mencari Bob. Hari itu
keduanya akan berusaha habis-habisan untuk belajar lebih banyak tentang Coach
Duggan. Jupe berharap bahwa Bob sudah mulai dengan penyelidikannya, misalnya
membongkar arsip di kantor Coach Duggan, atau menanyai salah seorang pemain.
Tetapi ketika Jupe muncul di gedung
olahraga, ia menemukan Bob sedang menekuni kegiatan yang paling digemarinya
belakangan ini-mengobrol dengan gadis-gadis cantik. Bob duduk di tribun sambil
berbincangbincang dengan para cheerleader.
"Hei, Jupe," kata Bob.
"Hei, lihat tuh! Jupiter Jones
datang lagi!" salah satu cheerleader memekik.
Yang lainnya segera menoleh ke arah
Jupe, lalu ketawa cekikikan.
"Aku terlambat," Jupe berkata
pada Bob. "Aku belum bosan kok," balas Bob.
Ia melemparkan senyum kepada gadis-gadis
yang mengelilinginya, dan mereka membalas dengan cara yang sama.
Kemudian para cheerleader mulai latihan,
sementara Jupe dan Bob naik ke puncak tribun.
"Aku ingin melihat-lihat kantor
Duggan," Jupe menjelaskan rencananya.
"Kurasa kau belum sempat pergi ke
sana, kan?"
"Siapa bilang," jawab Bob.
"Waktu aku mencarimu, aku salah belok dan kesasar ke kantor Duggan. Aku
sempat mengobrol dengan sekretarisnyamahasiswi tingkat empat yang pirang dan
cantik, dia bekerja part-time.
Kantor Duggan cukup sibuk-teleponnya berdering
terus, dan selalu ada orang keluar-masuk-jadi aku tidak mendapat banyak. Tapi
ada satu hal yang menarik. Setiap minggu Duggan menyusun daftar berisi
nama-nama pemain high school yang hendak ia tarik ke Shoremont. Semuanya ada
dalam komputer di ruang kerja
pribadinya. Aku sempat melihat daftar itu, dan coba tebak nama siapa yang
berada di urutan paling atas?"
"Namaku?" Jupe bertanya dengan
sinis.
"Nama Pete. Duggan betul-betul
ingin agar Pete bermain untuk Shoremont," ujar Bob.
"Kalau begitu, kenapa dia belum
menghubungi Pete lagi sejak Jumat lalu?"
"Entahlah," balas Bob sambil
mengangkat bahu.
"Ini penting, Bob. Apakah kau
melihat catatan atau tanda atau kode yang menunjukkan pemain mana saja yang
menerima uang dari Duggan?"
Bob menggelengkan kepala.
"Aku mulai bisa menyusun
teori," kata Jupe. "Aku telah menemukan sebuah pola. Hanya
pemain-pemain yang lebih muda yang memperoleh uang suap, yang lebih tua tidak.
Aku rasa ini karena Duggan masih baru di Shoremont.
Salah seorang peserta mata kuliah gulat
memberitahuku bahwa dia baru dua tahun melatih di sini. Berarti dia belum lama
menarik pemain-pemain berbakat. Jadi, hanya pemain-pemain yang lebih mudayang
ditarik Duggan-yang menerima bayaran."
"Oke," ujar Bob. "Tapi
ini tidak bisa dijadikan bukti bahwa Duggan yang bertanggung jawab,
bukan?"
"Yeah," Jupe mengakui.
"Buktinya kurang kuat untuk meyakinkan Mr. Harper."
"Jangan khawatir, Jupe. Pasti ada
peluang untuk mendapatkan bukti yang kita perlukan. Sampai sekarang selalu
begitu, kan?"
"Kita tidak bisa menunggu sampai
ada peluang. Kita harus menciptakan peluang," kata Jupe. "Ayo, aku
ingin lihat kantor Duggan."
Jupe berdiri dan hendak pergi, tapi pada
saat bersamaan sebuah sosok menghambur keluar dari ruang ganti. Sosok itu
mengenakan kostum burung nuri berwarna hijau, ungu, dan putih, yang tampak
kedodoran.
Penampilannya begitu menggelikan
sehingga Jupe langsung duduk lagi.
"Apa itu?" ia bertanya.
"Aku juga tidak tahu," kata
Bob. "Kelihatannya sih seperti semacam maskot konyol."
Si burung nuri memeluk para cheerleader
satu per satu. Kemudian ia mulai berlari mondar-mandir, sambil melompat-lompat
dan berputar-putar.
Ketika para cheerleader sedang membentuk
piramida manusia, si maskot melakukan salto ke belakang, tapi pendaratannya
tidak sempurna.
"Aduuuh!' ia berteriak kesakitan,
sambil berguling-guling dan memegangi kaki. "Kakiku! Kakiku!"
"Ya ampun!" kata Jupe. Ia
melompat berdiri, dan berlari menuruni tribun sekencang mungkin.
Para cheerleader segera mengerumuni si
burung nuri. Ketika Jupe dan Bob sampai di lapangan, Nora telah melepaskan
kepala kostum, dan berusaha membantu pemuda malang itu berdiri.
"Kurasa kakiku patah," pemuda
itu mengerang.
"Kelihatannya tidak," Jupe
berkata penuh wibawa. "Menurutku, pergelangan kakimu terkilir."
"Ayo, kita bawa Steve ke ruang
P3K," Cathy mengusulkan. Bersama Pat ia lalu membantu si burung nuri
keluar gedung olahraga.
"Kasihan si Steve," Sarah
berkomentar dengan suaranya yang merdu. Tapi ia melihat tepat ke arah Jupe
ketika mengatakannya.
"Kita yang perlu dikasihani,"
ujar Nora. "Sekarang kita tidak punya maskot untuk mendampingi kita pada
waktu pertandingan. Di mana kita bisa menemukan burung nuri lain sampai
besok?"
"Hei, jangan cepat putus asa!"
kata Bob, sambil melangkah ke tengah kerumunan. "Tenang saja. Aku yakin
kawan kita ini, Jupiter Jones, akan bangga sekali kalau dia boleh menggantikan
tempat Steve."
Kedua mata Jupe tampak membara ketika ia
menatap Bob. "Kau sudah gila? No way!'
Bob tidak memedulikan tatapan sahabatnya
yang penuh dendam. "Biar aku bicara dulu dengannya," ia berkata pada
para cheerleader. Langsung saja ia menarik Jupe menjauh.
Jupe bergumam dengan kesal,
"Apa-apaan kau ini, Bob? Aku tidak mau melompat-lompat dan berputar-putar
seperti orang gila. Dan aku lebih baik menghadiri acara wisuda hanya berpakaian
dalam daripada harus mengenakan kostum nuri ungu dan hijau, yang penuh
rumbai-rumbai!"
"Hei, sabar dulu dong!" balas
Bob. "Kau masih berminat memecahkan kasus ini?"
"Apa hubungannya?" tanya Jupe
sambil mendongkol.
"Jupe, aku kan sudah bilang kita
bakal mendapat peluang. Inilah kesempatan yang kautunggu-tunggu! Penyamaran
yang sempurna! Si burung nuri berlatih bersama para cheerleader dan terus
mengikuti tim basket. Kurang apa lagi, coba? Mana mungkin kau menolak peluang
emas seperti ini?"
Jupe memang tidak menolak. Ia hanya
berkata, "Ini pengalaman paling memalukan sepanjang hidupku."
***
Dalam perjalanan ke rumah Bob, Jupe dan
Bob tidak bicara sepatah kata pun. Begitu Bob menghentikan mobilnya, Jupe
melompat keluar dan langsung menuju dapur. Ia sudah mulai mengobrak-abrik
lemari es, ketika Bob menyusulnya.
"Di mana kotak es krim lapis
karamel?" Jupe bertanya.
"Jupe, kau sendiri yang minta agar
aku menyembunyikannya."
"Oke, sekarang aku minta agar kau
menunjukkan di mana kau menyembunyikannya," Jupe membalas ketus.
"Aha!" Ia meraih ke sudut paling belakang, mengeluarkan kotak berisi
es krim yang dicarinya, lalu memasukkan dua porsi ke oven microwave untuk
mencairkan lapisan karamelnya.
"Jupe, bagaimana dengan diet
setengah porsimu?"
"Tak ada masalah. Aku hanya akan
menghabiskan satu porsi," jawab Jupe sambil menyeringai seperti orang
kesurupan. Ia menyetel pengatur waktu pada oven dan menekan tombol start.
Bob mengangkat telepon dan memencet
nomor dua pada auto-dial "Pete, ini Bob. Kau harus segera ke sini. Ada
krisis mendadak!"
Sebelum oven microwave sempat melumerkan
lapisan karamel di atas es krim, Pete sudah tiba di rumah Bob.
"Bagaimana caranya kau bisa begitu
cepat sampai di sini?" tanya Bob, ketika Pete muncul di dapur.
"Hei, biarpun jelek si Perahu tetap
bermesin V-8," jawab Pete.
"Yeah, tapi larinya seperti memakai
orange juice, bukan bensin."
Pete ketawa, lalu melihat kedua porsi es
krim di dalam oven. "Wah, terima kasih ba-nyak." Ketika ia sampai di
meja dan meng ayunkan kaki melewati sandaran kursi, es krimnya sudah tinggal
setengah. "Sebenarnya ada apa sih?"
Bob menjawab, "Aku mengusulkan agar
Jupe berperan sebagai maskot Shoremont pada pertandingan basket besok malam. Un
tuk itu dia harus memakai kostum buri nuri."
"Bob mengatakan aku bangga. Dia
mengata kan aku bangga karena boleh memakai kos-tum itu," Jupe menggerutu.
"Jupe, sebenarnya usulku tidak
terlalu buruk, kan?" ujar Bob. "Kaulihat sendiri bagaimana kita
diusir waktu kita berkeliaran di sekitar kantor
Duggan setelah Steve mendapat kecelakaan.
Tapi kalau menggantikannya sebagai burung nuri, kau punya alasan untuk terus
berada di sana. Takkan ada yang menegurmu. Dan pada saat itulah kita
bergerak!"
"Oke," kata Jupe.
"Penyamaran itu mungkin akan membantu penyelidikan kita. Tapi apa yang
harus kulakukan pada waktu pertandingan berlangsung? Aku tidak bisa bersalto ke
depan maupun ke belakang. Aku bukan, pemain sirkus! Apakah kalian punya saran
untuk mengatasi
masalah ini?"
"Tentu, Jupe," kata Bob dengan
air muka tak berubah. "Kenapa kau tidak meniru tingkah laku burung nuri
sungguhan?"
"Yaitu?"
"Memberi komentar-komentar konyol
sambil bersolek dan berganti bulu!"
7.
Maskot Berani Mati
"SELAMAT berjumpa kembali dalam
acara Mari Bicara Olahraga. Sekarang pukul 07.20, dan saya Al Windsor," si
penyiar radio berkata. "Saya tunggu telepon dari Anda setelah pesan-pesan
ini."
Seketika sebuah iklan terdengar pada
radio mobil Pete. Bob bernyanyi mengikuti jingle itu, tapi Jupe di bangku
belakang mulai menggerutu. "Al Windsor? Dia dosenku di Shoremont. Dia
pegang mata kuliah Bicara Bersemangat. Daripada mendengarkan dia, lebih baik
pindah ke siaran berita saja." Ia meng-gelepar-geleparkan bulu kostum
burung nuri di sebelahnya.
"Jangan mengomel saja, Jupe,"
kata Pete. "Ini acara radio yang paling kusukai. Lagi pula sebentar lagi
kita sudah sampai di Shoremont."
"Oke," ujar Al Windsor ketika
suaranya kembali mengudara. "Penelepon pertama adalah Sam di Hermosa Beach. Apa
kabar, Sam? Mari Bicara Olahraga."
"Halo, Al. Saya baik-baik
saja," si penelepon menjawab. "Saya ingin bertanya mengenai
pertandingan basket antara Shoremont dan Costa Verde malam ini."
"Pertandingan penting, kedua tim
sama-sama dalam posisi "harus menang," Al Windsor memberikan komentar.
"Yeah, saya tahu," kata si
penelepon. "Tapi apakah Anda sempat membaca koran tadi pagi? Maksud saya,
komentar Bernie Mehl- pelatih Costa Verdemengenai Coach Duggan dari
Shoremont."
"Yeah, saya baca artikel itu,"
Al Windsor menjawab. "Yang Anda maksud adalah ucapan Bernie Mehl, saya
mengutip, 'Coach Duggan akan melakukan saja untuk menang-apa saja."
"Betul," kata si penelepon.
"Nah, kira-kira apa yang dimaksudnya?"
"Begini, Sam, saya tidak bisa
menyusup ke dalam kepala Bernie Mehl," Al Windsor mulai menjelaskan.
"Tapi saya pikir dia ingin mengungkit-ungkit gosip lama itu-gosip yang
mengatakan bahwa Coach Duggan membayar para pemainnya beberapa tahun lalu.
Skandal itu sempat menggemparkan Boston, tapi kebenarannya tak pernah terbukti.
Di pihak lain, Duggan
memang pelatih hebat. Dugaan saya,
Bernie ingin memancing di air keruh. Kita lihat saja apakah dia bisa menanggung
akibatnya malam ini."
Pete menepuk dashboard dengan tangan
kanan, dan radionya langsung mati. "Hei, Jupe, kasus ini semakin ramai
saja. Apa mungkin tuduhan Bernie Mehl memang beralasan? Barangkali dia tahu
lebih banyak dari yang
dikatakannya?"
"Entahlah," kata Jupe.
"Tapi tadi siang aku sempat mencari informasi mengenai skandal di Boston
itu. Berdasarkan apa yang kubaca di korankoran lama, sepertinya memang ada
seseorang yang membayar para pemain waktu itu. Masalahnya, tak ada yang bisa
membuktikan bahwa
Duggan orangnya. Pokoknya, kuharap
kalian buka mata lebar-lebar malam ini. Siapa tahu kita akan menemukan petunjuk
baru."
"Oke," ujar Pete. "Tapi
aku sudah beberapa kali menonton pertandingan antara Shoremont dan Costa Verde.
Setiap pertandingan merupakan ajang balas dendam, dan para pemain selalu
berjuang sampai titik darah penghabisan. Sebaiknya kau berhati-hati
nanti."
"Pete benar," Bob sependapat.
"Pertandingan ini sebenarnya bukan pertandingan yang tepat untuk
pemunculan perdanamu sebagai maskot Shoremont. Kau masih mau meneruskan rencana
ini?"
"Oh, sekarang kau mulai memikirkan
keselamatanku," jawab Jupe. "Tidak, mereka menginginkan burung nuri.
Dan aku sudah siap memberi pertunjukan yang takkan pernah mereka lupakan,"
ia menambahkan dengan misterius. "Tunggu saja."
Pete membelok ke gedung parkir tiga
lantai di belakang gedung olahraga Shoremont. Ia menyusuri jalur landai yang
memutar sampai ke lantai teratas, dan Jupe turun dari mobil.
"Sampai nanti setelah
pertandingan," kata Jupe. Ia mengepit kostum burung nuri di bawah
lengannya, dan menuju lift.
Beberapa menit kemudian, di ruang ganti
kecil yang khusus disediakan bagi si burung nuri, Jupe mulai bersiap-siap. Di luar,
sebuah marching band sedang bermain, sementara regu cheerleader berusaha
mengobarkan semangat para penonton.
"Shoremont!"
pendukung-pendukung tim tuan rumah berseru dengan lantang.
"Costa Verde!"
suporter-suporter tim lawan membalas tak kalah keras.
Jupe mendengarkan perang mulut yang
terjadi sambil menyambungkan beberapa kabel, memasukkan baterai baru, kemudian
menempelkan mikrofon mini ke leher T-shirt-nya. Setelah itu ia memakai
kostumnya.
"Testing, satu, dua, tiga,"
Jupe berkata ke dalam mikrofon. Suaranya terdengar jelas dari speaker-speaker
kecil yang tersembunyi di bawah sayap.
Akhirnya Jupe memasang kepala burung
nuri. Penyamaran itu merupakan salah satu upaya paling ganjil yang pernah ia
tempuh selama karier detektifnya. Tapi Jupe tidak peduli. Terlindung di balik
kostumnya, ia merasa kebal ketika meninggalkan ruang ganti dan menuju lapangan
pertandingan.
Begitu si burung nuri muncul, para
pendukung Shoremont langsung bersorak-sorai.
Jupe menyadari bahwa mata mereka
memandang ke arahnya. Semuanya ingin melihat si burung nuri beraksi.
Keringat mulai membasahi keningnya.
Apakah rencananya akan berjalan lancar? Ia berhenti di pinggir lapangan, karena
tidak yakin bagaimana harus mulai. Sementara itu, kedua tim sedang melakukan
pemanasan.
Akhirnya Jupe menarik napas dalam-dalam
dan berlari ke tengah lapangan. Para penonton bertepuk tangan dengan meriah.
"Hei! Hei!" Jupe berseru
sambil menirukan suara parau burung nuri.
"Kalian kalah! Kalian kalah!"
Ia melompat-lompat sambil menuding para pemain Costa Verde, yang segera
menghentikan pemanasan untuk mencari sumber suara itu.
"Hei! Hei!" Jupe si burung
nuri berteriak dengan suara melengking. "Pulang sajalah! Kalian pasti
kalah!"
Para pendukung Shoremont tertawa dan
bersorak-sorai. Kemudian mereka mulai meniru teriakan Jupe.
"Pulang sajalah! Kalian pasti
kalah!" Sepertinya, seluruh gedung olahraga ikut berseru.
Tim Costa Verde tampak
terbengong-bengong. Kemudian salah seorang pemain mulai mengejar Jupe. Tapi
Jupe terus menghindar dengan gesit, sehingga tawa para penonton semakin
membahana. Akhirnya Bernie Mehl, si pelatih Costa Verde, masuk ke lapangan
untuk menyuruh para pemainnya tenang dan tidak memperhatikan si burung nuri.
Tetapi perhatian para penonton
sepenuhnya tercurah pada Jupe. Mereka menikmati tingkahnya yang konyol. Jupe
semakin berani. Apa pun yang dikatakan si burung nuri, para penonton segera
mengulanginya. Jupe mendapat sambutan lebih hangat daripada regu cheerleader.
Ketika pertandingan dimulai, Jupe
terpaksa menyingkir ke tepi lapangan. Tapi itu tidak mencegahnya untuk terus
berkomentar.
"Awas, Nomor 32! Lompatanmu mirip
kera!"
Para penonton tertawa terbahak-bahak.
"Hei, Nomor 52! Lebih baik kau
pulang! Nanti kau kena marah!"
Nora, si kapten regu cheerleader
Shoremont, menghampiri Jupe.
"Hati-hati, Jupe," ia
mewanti-wanti. "Anak-anak Costa Verde sudah mulai memelototimu!"
"Biar saja!" balas Jupe. Ia
begitu bersemangat sehingga tidak bisa direm lagi. Setiap kali lemparan pemain
Costa Verde meleset, Jupe langsung bangkit dan berseru, "Otak udang! Hei!
Otak udang!"
Ketika pertandingan berakhir,
kedudukannya 64-60 untuk kemenangan Shoremont, tapi Jupe merasa seakan-akan
dialah pemenang sesungguhnya.
Semua cheerleader mengerumuninya untuk
mengucapkan terima kasih, dan Sarah melemparkan senyumnya yang paling menawan.
Jupe seolah-olah melayang di awang-awang. Jupe cepat-cepat berganti pakaian dan
bergegas menemui Bob dan Pete di gedung parkir.
Ia keluar dari lift dan melihat kedua
sahabatnya berdiri di samping mobil orang lain.
Pete pasti lupa di mana dia memarkir
mobilnya tadi, Jupe geli dalam hati.
"Hei,- bagaimana pertunjukanku
tadi?" serunya. "Kalian dengar leluconleluconku?"
"Yeah, setiap kata!"
Jupe tersentak kaget. Mereka bukan Pete
dan Bob. Mereka dua pemain Costa Verde!
Kedua pemuda itu segera menuju ke
arahnya. Tak ada jalan untuk kaburdan tak seorang pun akan mendengar
teriakannya.
Salah satu penyerang menangkap Jupe,
lalu menjepit kedua lengannya di belakang punggung. Kostum burung nuri jatuh ke
lantai beton. Penyerang yang satu lagi memegang kepala Jupe, dan memutarnya
sampai wajah Jupe menghadap ke samping. Ketika Jupe berteriak, pemuda itu
menyumpal mulut Jupe dengan kaus kaki olahraga yang bekas dipakai.
Bau yang melekat pada kain katun lembap
itu benar-benar minta ampun. Dan rasanya lebih buruk lagi! Jupe merasa akan
tercekik atau muntah.
"Nah, bagaimana komentarmu
sekarang, Betet?"
Di bawah cahaya lampu gedung parkir,
Jupe melihat bahwa para penyerangnya adalah Nomor 32 dan Nomor 52-dua pemain
Costa Verde yang paling sering dicelanya tadi.
Jupe berusaha melawan, tapi mereka
terlalu kuat. Mereka mendorong dan menariknya ke sebuah tembok rendah di tepi
gedung parkir.
"Ayo, sekarang kau boleh sok
tahu!" si Nomor 52 mengejek Jupe. Kemudian, dengan satu gerakan cepat,
mereka mengangkat Jupe dan mendorongnya melewati tembok.
Tiba-tiba saja Jupe tergantung-gantung
di udara, dengan kedua kakinya ditahan di atas. Jalanan berada tiga tingkat di
bawahnya. Tangan Jupe memukul-mukul, tapi suara yang keluar dari mulutnya hanya
berupa seruan tertahan.
Aku akan mati, pikir Jupe. Mereka akan
melemparkanku ke bawah Tamatlah riwayatku. Sebentar lagi aku akan mati.
"Ayo! Kenapa kau mendadak bisu?
Siapa yang jadi otak udang sekarang?" si Nomor 52 bertanya sambil ketawa.
Beberapa saat kemudian, yang terasa
bagai berjam-jam, kedua pemain Costa Verde itu akhirnya menarik Jupe ke atas.
Mereka membiarkannya jatuh ke lantai, dan pergi.
"Hiiiyaaaa!' Pete muncul entah dari
mana. Dengan sekali gebrak ia berhasil menjatuhkan si Nomor 52. Pemain Costa
Verde yang satu lagi tersentak kaget.
Kesempatan ini segera dimanfaatkan oleh
Jupe. Ia melompat ke arah si Nomor 32, lalu membabat tengkuknya dengan pukulan
judo.
"Awas, di belakangmu, Pete!"
seru Jupe.
Si Nomor 52 sudah berdiri lagi, dan
sedang mengendap-endap mendekati Pete. Namun tiba-tiba, di luar dugaan Jupe,
Bob terbang dari atap salah satu mobil, dan menerjang pemuda itu dari
samping.
Ketika kedua pemain Costa Verde
menyadari bahwa mereka harus melawan tiga orang, mereka segera memutuskan untuk
kabur. Mereka berlari menuruni jalur landai, lalu menghilang.
"Kau tidak apa-apa, Jupe?"
tanya Bob. Jupe berdiri membungkuk, dengan tangan meng-" genggam lutut.
Napasnya tersengal-sengal.
Ia menggeleng, dan menyeka keringat pada
keningnya dengan lengan baju.
"Mereka hanya memuji penampilanku
sebagai burung nuri."
"Ayo, kita pergi," kata Pete.
sambil membantu Jupe masuk ke mobil.
Pete membuka pintu pada sisi pengemudi,
dan hendak menyelinap ke balik kemudi. "Hei, lihat ini!"
Sebuah amplop tergeletak di kursinya.
"Jangan disentuh!" ujar Jupe.
"Sidik jarinya."
"Aku harus tahu apa yang ada di
dalamnya," jawab Pete, sambil meraih ke dalam laci. Ia mengeluarkan
sepasang sarung tangan untuk membuka amplop itu.
"Lagi-lagi uang," Bob
berkomentar ketika melihat lembaran-lembaran seratus dolar di tangan Pete.
"Dan sebuah pesan," Pete
menambahkan. Ia membuka lipatan kertasnya, dan Jupe mem bacanya keras-keras.
Bermainlah untuk Shoremont pada musim gugur mendatang, dan kau akan menikmati
imbalan yang mengiringi kemenangan.
8.
Bergelimang Uang
"AKU suka kasus ini, Jupe,"
kata Pete keesokan paginya, sambil menaikkan kakinya yang panjang ke meja
dapur. Ia mengiris-iris sebuah pisang, dan mencampur irisan-irisan itu dengan
corn flakes dalam mangkuk di hadapannya.
Sebelumnya ia sudah menghabiskan dua
mangkuk. Jupe menyingkirkan mangkuknya yang masih setengah penuh, lalu mulai
menggigit sepotong roti yang dibelah dua. "Menurutku, kasus ini sama
sekali tidak menyenangkan," katanya di antara dua gigitan. "Pertama,
aku sudah muak mengikuti kuliah. Hasil yang kudapat tidak sebanding dengan
tenaga yang harus kukerahkan. Untung saja mahasiswa yang membolos begitu
banyak, sehingga tak seorang pun memperhatikan apakah aku hadir atau tidak.
"Tapi yang lebih menyebalkan lagi,
sampai sekarang kita belum, mendapat kemajuan. Semalam aku memeriksa pesan dan
uang yang kita temukan di mobilmu dengan segala macam peralatan selain
mikroskop elektron. Usaha-seratus persen. Hasil-nol besar. Aku tidak menemukan petunjuk
sama sekali mengenai pengirimnya.
"Langkah berikutnya adalah
memeriksa mesin tik di kantor Duggan, untuk mencari tahu apakah huruf-hurufnya
sama dengan huruf-huruf pada kedua pesan yang kauterima. Sampai sekarang kita
baru bisa memastikan bahwa seseorang tahu kau menonton pertandingan semalam,
dan dia juga tahu mobilmu."
Pete menyandarkan diri ke belakang, dan
mengusap mulut. "Dalam waktu yang kau-butuhkan untuk menjawab sebuah
pertanyaan, aku bisa menghabiskan semangkuk corn flakes," ia berkata sambil
tersenyum. Jupe mengerutkan kening. "Apa yang menyebabkan kau begitu
menyukai kasus ini?"
"Aku suka ekspresi petugas bank
waktu aku menyetor tiga ribu dolar Senin lalu. Nanti, kalau aku menyetor seribu
dolar lagi, dia bakal semakin terbengong-bengong."
"Jangan senang dulu," kata
Jupe, sambil membelah sepotong roti keju.
"Kalau kasus ini sudah selesai,
seluruh uangnya harus kaukem-balikan lagi."
"Jupe." Perhatian Pete
tiba-tiba beralih pada sisa-sisa makanan di depan sahabatnya yang berbadan
gempal itu. "Kurasa dietmu takkan berhasil."
"Pasti berhasil-meskipun agak
lambat," Jupe berkeras. "Beratku sudah turun satu kilo dalam dua
minggu terakhir ini."
"Ah, beratmu turun karena kau mandi
keringat waktu dihajar kedua pemn Costa Verde semalam."
Jupe merinding, dan perutnya mendadak
terasa tak keruan. Masih terbayang di kepalanya bagaimana ia melayang-layang di
udara.
"Seandainya aku tidak begitu kaget,
perlawananku tentu lebih hebat. Kau dan Bob muncul pada saat yang..."
Kalimatnya terpotong oleh deringan
telepon.
"Biar aku saja yang terima!"
Pete berseru pada ibunya di ruang sebelah. Ia mengangkat gagang telepon tanpa
kabel di dapur. "Halo... Yeah, saya sendiri." Pete menjentikkan jari
untuk menarik perhatian Jupe. Ia merendahkan suaranya, "Yeah, saya
menemukan pesan dan uang itu semalam... Yeah?"
Jupe betul-betul penasaran karena hanya
mendengar setengah percakapan.
"Yeah, oke, tentu," kata Pete.
"Saya juga ingin bertemu dengan Anda. Kapan dan di mana?"
Pete kembali mendengarkan lawan bicaranya,
lalu mengangguk. Jupe menahan napas.
"Yeah, saya tahu tempatnya,"
ujar Pete. "Sejam lagi?"
Jupe menggelengkan kepala, lalu
mengacungkan dua jari ke arah Pete.
"Bagaimana kalau dua jam
lagi?" tanya Pete. "Oke, saya akan ke sana."
"Siapa itu? Duggan?" Jupe
bertanya begitu Pete meletakkan telepon.
"Aku tidak tahu," jawab Pete.
Wajahnya tampak geram sekaligus waswas. "Kadang-kadang kedengarannya
seperti dia, tapi kadang-kadang tidak. Orangnya ramah sekali, Jupe. Bajingan
itu
melanggar setiap peraturan yang berlaku
dalam dunia olahraga perguruan tinggi, dan dia bersikap seakan-akan dia dan aku
sudah bersahabat sejak entah kapan."
"Bagus," Jupe berkomentar.
"Berarti dia menyangkamu tertarik. Sekarang ceritakan semua yang
dikatakannya padamu."
"Dia tanya apakah aku menerima
amplopnya semalam, dan dia bilang masih banyak lagi yang menungguku."
"Terus?"
"Dia bilang -menurutnya sekarang
sudah waktunya untuk bertemu dan membahas masa depanku, dan kemudian dia
menentukan tempat pertemuannya-di Coast Highway, sepuluh menit ke utara dari
sini. Kenapa kau minta waktu dua jam?"
"Karena mikrofon yang kupakai di
dalam kostum burung nuri merupakan mikrofon tanpa kabel. Kalau aku
menghubungkannya dengan pemancar mini..."
"Kau bisa mendengar semua yang
terjadi!" Pete menyambung. "Sip!"
"Ayo, kita ke bengkel untuk
menyiapkan semua peralatan yang kita perlukan," kata Jupe.
***
Dua jam setelah itu, Pete berhenti di
suatu tempat berpemandangan indah di pinggir Pacific Coast Highway, la terus
mengoceh ketika mobilnya memasuki lapangan parkir, menjelaskan semua yang
dilihatnya pada Jupe.
Jupe bersembunyi di tempat bagasi mobil
Pete. Ia memegang radio yang bekerja pada frekuensi yang sama dengan pemancar
yang digunakan Pete.
Tutup bagasi si Perahu diikat dengan
sepotong tali, seakan-akan tidak bisa menutup dengan rapat. Padahal, Pete
sengaja mengikatnya agar Jupe bisa memperoleh udara segar.
"Jupe, mudah-mudahan kau bisa
mendengarku. Gara-gara mikrofon dan alat pemancar yang kautempelkan di dadaku,
aku nyaris tidak bisa bernapas. Di lapangan parkir ada beberapa mobil. Salah
satunya sebuah Porsche 911 Targa. Warnanya biru. Gila, itu baru mobil! Beberapa
orang
mengerumuni mobil itu. Seorang pria
berdiri sendiri tanpa kamera. Aku yakin dia orangnya. Tingginya sedang-sedang
saja. Umurnya kira-kira tiga puluh tahun, memakai kacamata penerbang. Dia
memakai kemeja kantor biru berikut dasi. Lengan bajunya digulung, dan sekarang
dia melihat persis ke arahku. Aku akan berusaha agar dia yang lebih banyak
bicara.
Mobilku sudah berhenti. Dia menuju ke
sini. Oke, siap-siap!"
Pete turun dari mobil, dan melemparkan
kacamata hitamnya ke jok.
"Halo, Pete," pria itu
menegurnya. Ia melepaskan kacamata hitam dan mengulurkan tangan. Sambil
bersalaman, Pete melihat bahwa orang di hadapannya bermata biru.
"Kau ingin mengobrol di dalam mobil
atau sambil menikmati pemandangan?" lawan bicara Pete bertanya.
"Ehm, di luar saja," kata
Pete.
"Baiklah." Pria itu memasang
kacamatanya, dan menghampiri pagar pembatas yang menghadap ke Samudra Pasifik.
"Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan padamu. Pertama, kami
berpendapat bahwa kau memiliki potensi untuk menjadi pemain basket yang
hebat."
"Anda pernah berbicara dengan Coach
Duggan?"
Pria itu tersenyum. "Mestinya yang
pertama-tama saya katakan padamu adalah bahwa kau jangan menanyakan apa-apa,
Pete. Saya akan memberitahumu segala sesuatu yang saya anggap perlu
kauketahui."
Kenapa sikapnya begitu tenang? Pete
bertanya dalam hati. Hmm, mungkin dia sudah ratusan kali melakukan hal serupa.
"Kalau kita bertemu atau kalau saya
meneleponmu-tapi ini takkan sering-sering kau boleh memanggil saya dengan nama
Michael Anthony.
" Ia tertawa. "Saya memakai
nama itu karena Michael Anthony merupakan tokoh dalam film seri yang dulu
pernah diputar di TV. Dia bekerja untuk seorang laki-laki kaya raya, yang suka
membagi-bagikan cek senilai sejuta dolar. Anthony berperan sebagai pengantar,
dan dia tidak diizinkan untuk menyebut nama orang yang mengirim uang itu."
"Oh, begitu," Pete bergumam.
"Saya juga bekerja untuk seseorang,
Pete, dan saya takkan pernah memberitahukan namanya padamu, jadi jangan tanya,
oke?"
"Baiklah," kata Pete.
"Bagus." Michael Anthony
mengeluarkan sebungkus permen karet. "Saya berhenti merokok," ia
menjelaskan. "Kau mau?"
Pete menggelengkan kepala-lalu
mengangguk. Siapa tahu ia bisa mendapatkan sidik jari pria itu. Bahkan Jupe pun
takkan berpikir sampai ke situ.
Sayangnya usaha Pete tidak berhasil.
Michael Anthony menyodorkan bungkusnya agar Pete mengambil permen karet
sendiri.
"Bos saya bersedia memberimu uang
dalam jumlah besar kalau kau mau bermain basket untuk Shoremont. Pemain-pemain
seperti kaulah yang mereka butuhkan. Kami tahu kau tertarik, sebab kau tidak
mengembalikan uang yang kami kirim sebelum ini. Asal tahu saja, empat ribu dolar
belum apa-apa."
Pete menelan ludah. Permen karetnya
hampir ikut tertelan.
"Tapi kau takkan pernah tahu berapa
jumlah pembayaran selanjutnya. Itu salah satu aturan bos saya. Pokoknya,
semakin bagus permainanmu, semakin banyak uang yang kauterima."
"Cuma itu? Saya hanya perlu bermain
basket?" tanya Pete.
"Peraturannya sederhana."
Michael Anthony mengacungkan satu jari untuk setiap aturan yang ia sebutkan.
"Pertama, kau harus bermain sebaik mungkin-itu yang paling utama. Kedua,
nilai-nilaimu harus bagus terus. Kami tidak selalu bisa membantumu dalam bidang
ini. Tapi sesekali kami akan memberitahumu mata kuliah mana yang harus
kauambil. Ketiga, kau tidak boleh membicarakan persetujuan kita dengan siapa
pun juga-baik dengan keluargamu, teman-temanmu, maupun rekan-rekanmu dalam tim
basket. Dan keempat, kau tidak boleh mencari tahu siapa saya atau siapa yang
mengirim uang padamu. Bagaimana?"
"Ehm, saya belum bisa
memutuskannya," ujar Pete. Ia mengikuti petunjuk yang diberikan Jupe
padanya. Jupe berpesan agar Pete mengulur-ulur waktu. Tapi Pete menyadari bahwa
Michael Anthony mulai tidak sabar.
"Pete, kau sudah cukup diberi waktu
untuk memikirkannya," ujar Anthony.
Suaranya bertambah tegas, meski tetap
tenang. "Oke, sekarang pikirkan ini: Setiap anak muda yang main basket
pada level perguruan tinggi beranganangan untuk masuk NBA. Itulah satu-satunya
kesempatan bagi seorang pemain basket untuk mendapatkan uang banyak. Dan kau
tahu berapa banyak dari sekian ribu pemain perguruan tinggi yang berhasil masuk
NBA setiap tahun?"
"Seratus?" Pete menebak.
"Lima puluh! Sedikit sekali, bukan?
Kalau kau cerdik, kau mengeruk uang pada waktu kau bermain di perguruan tinggi.
Dan saya tahu kau termasuk orang yang cerdik, Pete. Nah, saya masih banyak
tugas lain. Kau berminat atau tidak?"
"Yeah, saya rasa saya
berminat," jawab Pete. "Apakah saya bisa memberi kepastiannya dalam
beberapa hari?"
Selama beberapa saat Michael Anthony
mengunyah permen karetnya sambil membisu. "Ini memang suatu langkah besar,
sebuah ke-putusan penting." Ia merangkul Pete dan menariknya sampai mereka
menghadap
ke arah lapangan parkir. "Kaulihat
Porsche itu?"
"Maksud Anda, Porsche Targa
itu?"
"Ya. Mobilnya sudah tidak
baru."
"Saya tahu. Model '86, bukan?"
"Betul. Nah, Pete, ini
kuncinya."
Pete melihat ke bawah. Sinar matahari
memantul pada kunci perak di tangan Michael Anthony.
"Apa maksud Anda?" tanya Pete.
Jantungnya mulai berdebar-debar.
"Kau boleh bawa Porsche itu, untuk
sementara sebagai pinjaman. Tapi mobilnya bisa menjadi milikmu, dan saya kira
kau tahu apa yang ingin saya dengar agar itu menjadi kenyataan," ujar
Michael Anthony sambil bersalaman dengan Pete. "Besok saya akan menelepon
untuk mendengar jawabanmu. Selamat bersenang-senang."
"Dia pergi, Jupe," Pete
berbisik pelan-pelan. "Santai. Tidak terburu-buru. Seakan-akan tak ada
yang perlu dikhawatirkannya. Dia naik T-Bird yang masih baru. Aku tidak bisa melihat
pelat nomornya. Sekarang aku menuju ke Porsche itu. Eh, sori, aku lupa.
Sebelumnya aku buka bagasi dulu."
Setelah Michael Anthony berangkat, Pete
menghampiri si Perahu dan mengeluarkan Jupe dari bagasi.
"Aku mendengar setiap kata,"
ujar Jupe. Ia menghirup udara laut dalamdalam.
"Ayo, Jupe," desak Pete. Ia
sudah tak sabar untuk menghampiri mobil sport berwarna biru itu. "Ayo,
cepat sedikit dong! Wow, ini baru mobil! Kau tahu sebutan apa yang pantas untuk
Porsche ini?"
"Tentu. Sogokan yang amat
mahal."
"Oke, sekarang kau bilang begitu,
tapi tunggu saja sampai kau sempat kubawa jalan-jalan," balas Pete sambil
membuka pintu sisi sopir. "Oh, Jupe. Oh, Jupe. Ayo, naik. Kita jalan-jalan
dulu!"
"Pete, kau sudah sinting?"
tanya Jupe. "Dia akan lolos. "Kita harus mengikutinya."
"Mengikuti siapa?" Pete balik
bertanya. Ucapan Jupe sama sekali tak bermakna baginya.
"Michael Anthony," kata Jupe.
"Kita harus mencari tahu ke mana dia pergi."
"Oh, yeah, tentu, gampang, beres,
oke, ayo naik," jawab Pete. Sekarang benar-benar ada alasan untuk
menjalankan mobil impian itu. "Eh, tunggu dulu!"
"Tunggu? Tapi dia sudah jauh!"
seru Jupe sambil bergegas ke pintu sisi penumpang.
Pete buru-buru menghampiri si Perahu,
lalu meraih kacamata hitam dan sarung tangannya. Oke, sekarang kita bisa
berangkat."
Penuh semangat ia menyalakan mesin
berkekuatan 247 tenaga kuda itu.
"Bagaimana dengan si Perahu?"
tanya Jupe.
"Biarkan saja berkarat di
sini!" Pete bersorak.
9.
Kena Getahnya
DENGAN wajah berseri-seri Pete
menggenggam kemudi. Seumur-umur baru sekali ini ia mendapat kesempatan
menggenggam kemudi sebuah Porsche 911 Targa.
"Dia semakin jauh!" teriak
Jupe. "Cepat, jalan!"
"Sabar," kata Pete. Ia menatap
panil instrumen di hadapannya. "Aku harus mencari letak segala sesuatunya
dulu."
Jupe menunjuk dengan tangan kanan.
Gayanya seperti guru taman kanakkanak.
"Ini kemudi Itu tongkat persneling,
dan yang di bawah itu disebut pedal gas Kusarankan agar kau mulai menggunakan
semuanya!"
Pete tidak memperhatikan Jupe. Ia
terlalu asyik mencoba setiap tombol dan kenop pada dasbor. "Jupe, kau tahu
kenapa begitu banyak orang menabrak pohon dengan Porsche yang baru mereka beli?
Mereka pikir mobil ini sama saja dengan mobil-mobil lain."
Jupe menggeleng sedih. "Sekarang
aku tahu kenapa polisi tidak pernah membeli Porsche.
Kalau membeli Porsche, mereka takkan
pergi ke mana-mana dan takkan pernah berhasil menyelesaikan satu kasus
pun-persis seperti nasib kita sekarang ini."
Tiba-tiba mobil itu melesat maju.
Tenaganya begitu besar sehingga Jupe merasa seperti terpatri ke jok kulit yang
didudukinya. Keempat ban terdengar berdecit-decit, kemudian melontarkan Porsche
itu bagaikan roket.
"Wow!" kata Pete. Ia menyetir
dan memindahkan gigi dengan gerakan yang cepat dan teliti. "Aku baru
menyentuh pedal gas."
Porsche biru itu menyusuri jalan yang
berbelok-belok, dan terus menambah kecepatan. Jupe memperhatikan lalu lintas di
depan. Mereka mulai mendekati sebuah sedan. Pada detik berikutnya sedan itu
sudah tertinggal jauh di belakang.
"Kuminta agar kau mengikuti Michael
Anthony-bukan sampai lebih dulu di tempat tujuannya!" ujar Jupe.
"Apa?" tanya Pete. Ia
seakan-akan berada di dunia lain.
"Apa warna mobilnya?" tanya
Jupe.
"Oh, dia naik Thunderbird hitam.
Masih baru," jawab Pete sambil mengurangi kecepatan sampai batas yang
diizinkan.
Jupe
mencondongkan badan ke depan, serta memeriksa laci, asbak, dan kantong untuk peta
di pintu.
"STNK-nya tidak ada," ia
melaporkan. "Tak ada petunjuk bahwa mobil ini mempunyai pemilik. Kita
harus mengusut pelat nomornya. Barangkali hasilnya akan mengungkapkan siapa Mr.
Anthony sebenarnyan atau untuk siapa dia bekerja. Tapi kurasa nama orang itu
takkan bisa kita
lacak."
"Itu dia! Di depan sana!" kata
Pete.
"Jaga jarak," Jupe
memperingatkan ketika ia melihat mobil hitam itu. "Dia tidak boleh tahu
kita mengikutinya."
"Yeah, jangan khawatir," ujar
Pete. "Tapi semoga dia terus berputar-putar.
Naik mobil ini rasanya seperti di
surga!"
Untuk sesaat Jupe membayangkan wajah
teman-temannya di Rocky Beach pada saat ia dan Pete melewati mereka. Semuanya
membelalakkan mata karena iri dan tak percaya.
"Hei... dia membelok," suara
Pete membuyarkan lamunan sahabatnya. "Dia masuk ke Oceanside Country
Club."
"Hmm, menarik' sekali," kata
Jupe. "Klub paling ekslusif di sekitar sini."
"Jupe," ujar Pete, sambil
menekan pedal rem di awal jalan panjang yang menuju klub itu, "apa yang
akan kita lakukan sekarang? Mereka pasti mengusir kita."
"Biarkan dia jalan dulu. Kemudian
kita menyusul, menanyakan siapa yang naik Thunder-bird hitam itu, lalu memutar,
dan pergi," Jupe berkata penuh percaya diri.
Pete berhenti di depan sebuah bangunan
besar yang terbuat dari batu bata dan dicat putih. Di balik bangunan itu ia
melihat hamparan pepohonan dan rumput dengan beberapa lapangan tenis, kolam
renang, dan lapangan golf delapan belas lubang.
Pete membuka jendela untuk menanyakan
pengemudi Thunderbird hitam tadi pada salah seorang petugas parkir.
Tapi pemuda itu malah membukakan pintu
untuk Pete. "Selamat sore, Sir!" ia menyapa dengan sopan.
Dengan heran Pete menatap Jupe.
"Apakah Anda bisa memberitahu kami
siapa yang mengemudikan Thunderbird yang baru saja masuk?" tanya Jupe.
"Maaf," si petugas parkir
berkata. "Saya baru mulai bekerja di sini. Siapa belum mengenal
siapa-siapa."
"Hmm," kata Jupe, tiba-tiba ia
bersikap seakan-akan sudah bertahun-tahun menjadi anggota klub,
"tampangnya seperti teman lama ayah saya. Kami akan menemuinya
sebentar."
"Silakan," ujar si petugas
parkir sambil menyerahkan karcis parkir pada Pete. "Mobilnya bagus
sekali."
"Terima kasih," balas Pete.
"Mau lihat mesinnya?"
"Jangan macam-macam, Pete,"
Jupe menegurnya. Langsung saja ia menuju pintu masuk.
Setelah berada di dalam, Jupe dan Pete
melangkah ke lobi besar berisi kursi dan
sofa nyaman, bunga-bunga wangi, dan alunan musik lembut.
Perlahan-lahan mereka berjalan melintasi
karpet oriental yang empuk ke arah ruang makan, sambil berusaha untuk tidak
menarik perhatian. Ruang makan itu berupa teras luas yang dikelilingi kaca,
dengan meja dan kursi kayu gelap. Jupe dan Pete berhenti di ambang pintu.
"Kau melihatnya?" tanya Jupe.
"Yeah," kata Pete. Ia segera
melangkah mundur, dan mengangguk ke arah meja kecil di dekat salah satu
jendela.
Michael Anthony sedang makan siang
dengan seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu mengenakan gaun hijau
terang, yang membuat kulitnya yang kecokelat-cokelatan karena sinar matahari
dan rambutnya yang cokelat kemerah-merahan semakin menonjol.
"Barangkali dia bekerja untuk
wanita itu," kata Pete.
Namun pada detik yang sama Michael
Anthony meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya. "Kelihatannya
hubungan mereka bukan sekadar teman bisnis," ujar Jupe. "Meski
begitu, wanita itu mungkin saja terlibat dengan kasus ini."
"Hei," bisik Pete, sambil
menyikut Jupe, "ada yang datang, tampangnya seperti manajer."
"Paling-paling kepala
pelayan," Jupe meralat.
"Aku tidak peduli siapa dia. Yang
jelas dia tidak gembira melihat kita di sini. Bagaimana sekarang?"
Jupe mendesah. "Sayang kita tidak
bisa ikut makan siang. Salad udangnya benar-benar mengundang selera."
Pete dan Jupe kembali ke mobil untuk
menunggu Michael Anthony. Jupe terus memandang pintu masuk, sementara Pete
menekan tombol-tombol radio dan mengatur equalizer.
"Enam pengeras suara," katanya
dengan bangga.
Namun Jupe tidak terkesan. "Coba
cari di mana kau harus menancapkan kunci kontak. Michael Anthony baru saja
keluar."
Pria itu masih menggenggam tangan wanita
muda tadi. Tetapi masingmasing masuk ke mobil sendiri.
"Siapa yang harus kuikuti?"
tanya Pete.
"Michael Anthony, tentu saja,"
jawab Jupe.
Mereke menuju selatan, melewati Rocky
Beach, Santa Monica, dan El Porto Beach. Kemudian Anthony membelok dari jalan
raya dan menyusuri beberapa jalan yang lebih kecil, sampai akhirnya berhenti di
depan pagar batu dengan gerbang besi.
Papan nama pada dinding batu berbunyi
COSTA VERDE COLLEGE.
Otak Jupe langsung mulai bekerja.
Rasanya seperti ia telah berjalan tanpa air selama beberapa hari, dan tiba-tiba
berdiri di tepi samudra.
"Costa Verde-musuh bebuyutan
Shoremont!" Jupe bergumam ketika Pete mengikuti mobil hitam di depan
mereka.
"Ada kemungkinan menarik: Michael
Anthony bekerja untuk Costa Verde College-barangkali untuk Coach Bernie Mehl.
Karena tahu reputasi Duggan memang mencurigakan, mereka sengaja membayar
pemain-pemain Shoremont untuk membuat skandal."
"Coach Duggan juga berpikiran
begitu. Dia mengatakannya secara langsung dalam wawancara TV setelah
pertandingan semalam," Pete bercerita.
"Betul?" tanya Jupe. "Aku
tidak melihat wawancaranya. Apa yang dikatakannya?"
"Dia bilang, 'Bernie Mehl ingin
membuat skandal untuk menghancurkan saya.'"
"Hmm." Jupe terdiam sejenak.
"Barangkali usaha penyuapan itu meliputi lebih dari satu perguruan tinggi.
Michael Anthony mungkin bertindak sebagai pengantar untuk beberapa perguruan
tinggi."
Pete langsung tampak lesu.
"Ini baru kemungkinan saja,
Pete."
"Yeah, tapi kalau urusannya begitu
besar, kita takkan sanggup mengumpulkan bukti yang cukup," balas Pete.
"Ayo," Jupe membujuk ketika
Pete memasuki sebuah pelataran parkir. "Paling tidak kita sudah tahu dari
mana kita harus mulai."
Untuk selanjutnya mereka terpaksa
mengikuti Michael Anthony dengan berjalan kaki. Pria itu tampak berjalan dengan
pasti ketika menyusuri jalan-jalan setapak di kampus kecil itu. Pete dan Jupe
berlari kecil, agar tidak kehilangan jejak.
"Hei, kau! Betet gendut berotak
udang!"
Nada suara itu begitu marah sehingga
Jupe berhenti sambil terheran-heran.
Ia melihat empat pemuda berdiri di bawah
pohon. Seketika ia mengenali dua di antara mereka.
"Wah," kata Pete.
"Kelihatannya seperti Nomor 32 dan 52, kedua pemain basket yang
menghajarmu semalam. Tenang saja. Kita bisa mengatasi mereka sekali lagi."
Keempat mahasiswa Costa Verde itu
menjatuhkan buku masing-masing, lalu bergegas mendekati Jupe.
"Hei, rupanya si Betet belum puas
semalam!
"Pete," ujar Jupe,
"kurasa kita tidak bisa mengatasi keempat-empatnya. Saranku, lari!"
Jupe langsung melesat.
Pete mengikuti contohnya. Dalam sekejap
ia sudah melewati Jupe. Keempat pemuda itu terus mengejar-semakin lama semakin
mendekat.
"Mereka akan membantaiku!"
Jupe berseru sambil tersengal-sengal.
"Kita berpencar saja," balas
Pete. "Aku akan berusaha memancing mereka ke arahku."
Jupe berlari dengan sekuat tenaga, tapi
ia tidak bisa menemukan mobil Pete maupun pelataran parkir. Karena itu ia
menuju sebuah lapangan rumput.
Ia menoleh ke belakang, dan melihat
hanya seorang pemain basket yang mengikuti Pete. Berarti masih ada tiga pemuda
berotot yang harus dihadapi Jupe.
Ia mencapai sebuah jalan dan
menyeberanginya tepat di depan hidung sebuah mobil, lalu menyusuri gang sempit
di antara dua gedung kuliah.
Tetapi ketika ia membelok di ujung gang,
ia menabrak sekelompok mahasiswa Costa Verde.
"Kenny! Tangkap bajingan itu!"
sebuah suara dari belakang Jupe berseru. Jupe merasakan dua tangan menggenggam
lengannya. Kedua tangan itu pasti milik Kenny, salah seorang dari kelompok yang
ditabraknya.
Jupe berhasil membebaskan diri, tapi
ketiga pemain basket itu sudah hampir menyusulnya. Sedetik kemudian ia kembali
merasakan genggaman. Kali ini si Nomor 52, yang memakai T-shirt hijau Costa
Verde. Ia tetap menggenggam Jupe dan menariknya ke belakang. Lalu, sebelum Jupe
sadar apa yang sedang terjadi, ketiga lawannya mulai mendorong, memukul, dan
menghajarnya.
Jupe meronta-ronta dan
menggeliat-geliat, tapi sia-sia. Dengan tangan dan kaki dipegang oleh tiga
pemuda berbadan raksasa, tendangan judonya hanya menghantam udara. Tiba-tiba
Jupe merasa dirinya diangkat dan dibawa pergi.
Ke mana ia akan dibawa? Dalam sekejap ia
telah menemukan jawabannya. Para penyerang menurunkannya dengan kasar, lalu
memasukkannya ke keranjang sampah di pojok jalan.
"Ini tempat yang pantas
untukmu!" kata si Nomor 52, sambil menendang bagian luar keranjang.
"Yeah-lain kali jangan keluar
kandang, Betet. Dan jangan kotori koran di dasarnya!"
Ketiga-tiganya tertawa, lalu berbalik
dan melangkah pergi.
Jupe betul-betul marah, malu, lecet-lecet,
pegal-pegal-dan selain itu ada sesuatu di dasar keranjang sampah yang menempel
pada celananya. Tapi sebelum ia sempat memeriksanya, Pete sudah muncul dengan
Porsche-nya.
"Ayo, naik!" Pete berseru
sambil menurunkan jendela. Perlahan-lahan Jupe memanjat keluar dari keranjang
sampah, masuk ke Porsche, dan mengunci pintu. Sesaat ia duduk membisu,
terengah-engah, dan bermandikan keringat. Kemudian ia menyadari bahwa bibir
Pete pecah dan matanya
bengkak.
"Lawanmu cukup merepotkan,
ya?"
Pete mengangguk tanpa berkata apa-apa.
"Tapi paling tidak kita berhasil
lolos," ujar Jupe.
"Bukan kita saja," balas Pete
sambil mengerutkan kening. "Waktu aku sampai di pelataran parkir,
Thunderbird hitam itu sudah lenyap. Michael Anthony berhasil mengelabui kita."
10.
Tuan Kantong Tebal
"MICHAEL ANTHONY berpesan bahwa dia
akan meneleponmu hari ini. Karena itu kita harus menunggu di sini sampai kita
mendapat kabar darinya," ujar Jupe. Ia sedang sibuk menghubungkan tape
recorder dengan telepon tanpa kabel di dapur Pete.
"Tapi, Jupe, ini Sabtu pagi,"
Pete membantah. "Aku tidak bisa menunggu di sini sepanjang hari." Ia
melihat ke luar jendela. Pandangannya tertuju pada
Porsche biru di depan garasi.
"Mobil itu tidak aman di luar sana."
Jupe mengangkat alis. "Apa?"
"Semalam aku terus ditelepon
orang-orang yang memohon agar mereka
boleh mengendarai Porsche itu-dan
setengah dari mereka bahkan tidak
kukenal." Pete rupanya mulai agak
gelisah, sebab ia menyiram corn flakesnya
dengan orange juice, bukannya dengan
susu. "Aku memberitahu
orangtuaku bahwa mobil itu bagian dari
kasus yang sedang kita tangani.
Kalian tahu bagaimana tanggapan
mereka?"
96
"Bagaimana?" tanya Bob.
"Mereka tanya padaku apakah mereka
boleh mengendarainya!" ujar Pete, sambil memasukkan satu sendok corn
flakes ke mulut. "Semua orang ingin mengendarai mobil itu."
"Kalau kau tidak keberatan, aku
juga mau berputar-putar sebentar sementara kalian tunggu di sini," kata
Bob.
Pete memutar-mutar mata. "Kurasa
mobil itu satu-satunya alasan kenapa kau di sini dan bukan di kantor."
"Oh, aku baru ingat," ujar
Bob. "Sax juga ingin mencobanya."
Pete hampir saja melemparkan sesendok
corn flakes ke arah Bob ketika telepon berdering.
"Aku kan sudah bilang dia akan
menelepon," kata Jupe. Ia berdiri dan menghidupkan tape recorder.
"Usahakan agar dia bicara selama mungkin, Pete. Dia satu-satunya petunjuk
yang kita miliki."
Pete menyalakan pengeras suara pada
pesawat telepon, agar semua bisa ikut mendengarkan percakapannya. Tapi yang
menelepon ternyata Kelly.
"Main ski memang menyenangkan, tapi
aku kangen, Pete," kata gadis itu.
"Kau juga kangen?"
"Ehm, tentu," jawab Pete.
"Tapi tunggu dulu, Kel. Pengeras suaranya masih hidup."
"Oh. Halo, Bob. Halo,
Jupe-maksudku, Tuan Mahasiswa," ia menambahkan sambil cekikikan.
Jupe memelototi pengeras suara.
"Apa saja kerjamu selama ini,
Petey? Memperbaiki si Perahu?"
"Tidak," balas Pete, sambil
mengedipkan mata ke arah Jupe dan Bob.
"Sebenarnya, aku malah tidak tahu
di mana besi tua itu. Aku sudah punya kendaraan baru."
"Kau sudah menukarkan mobilmu? Hei,
ini rekor baru. Apa yang kaudapat kali ini?"
"Sebuah Porsche."
"Petey, mungkin salurannya agak
terganggu. Kedengarannya kau mengatakan Porsche."
"Porsche 911 Targa. Model '86.
Warna biru."
"Serius dong. Ada apa
sebenarnya?"
"Betul kok," ujar Bob.
"Pete punya Porsche. Mobil itu merupakan pembayaran tahap ketiga dari
orang yang berusaha menyogoknya."
Sesaat Kelly terdiam. "Pete, kalau
memang sayang padaku, kau harus berjanji bahwa kalian takkan menyelesaikan kasus
ini sampai aku pulang dan sempat mencoba mobil itu."
"Nah, apa kubilang?" Pete
mendesah sambil menatap kedua sahabatnya.
"Kalau melihat perkembangan selama
ini, Jupe berkomentar dengan murung, "Pete pasti bisa menepati janji
itu."
Pukul 10.15 telepon kembali berdering.
Bob mengangkatnya. Kali ini peneleponnya seorang gadis bernama Valerie. Ia dan
Bob mengobrol selama lima menit, sebelum mereka sadar bahwa mereka tidak saling
mengenal. Rupanya Valerie salah memutar nomor. Meski demikian mereka tetap
membuat janji untuk pergi ke bioskop bersama-sama.
"Kalau aku terima telepon yang
salah sambung, orangnya selalu mencoba membujukku untuk berlangganan
majalah," Jupe mendesah.
Pukul 11.00 tepat telepon berdering
untuk ketiga kalinya. Jupe berdiri paling dekat, sehingga ia yang menyahut.
Suara yang didengarnya sempat membuatnya terkejut. Suara itu milik Mr. Harper,
pimpinan Shoremont College. Pesawat di markas mereka telah memindahkan
sambungannya secara otomatis ke rumah Pete.
"Jupe, apakah kau dan teman-temanmu
bisa datang ke kantor saya pukul empat sore ini?" Mr. Harper bertanya.
"Tentu saja," jawab Jupe.
Kemudian ia melihat jam di dinding dapur.
Mereka punya waktu lima jam untuk
menduga-duga kenapa suara Mr. Harper terdengar begitu cemas, dan kenapa Michael
Anthony tidak menelepon.
Sepanjang siang telepon tidak berdering
lagi. Sekitar pukul dua Pete begitu resah sehingga Jupe dan Bob mulai jengkel.
"Sampai kapan kalian mau menunggu
kabar dari Michael Anthony?" Tanya Pete. Berulang kali ia melemparkan
kunci Porsche ke udara, lalu menangkapnya kembali.
"Aku mulai curiga dia takkan
menelepon," Jupe mengakui. "Rupanya dia sempat melihat kita kemarin,
ketika kita mengikutinya ke Costa Verde."
"Sayang sekali," ujar Pete.
Kemudian ia tersenyum lebar. "Oke, aku mau pergi dulu."
"Tolong antarkan aku ke tempat Sax,
ya?" ujar Bob. "Aku tidak bisa ikut nanti sore. Nanti malam dan besok
aku harus bekerja. Senin juga."
"Yeah," Jupe dan Pete
menggerutu berbarengan.
Ketiga sahabat itu masuk ke Porsche, dan
mengantarkan Bob ke tempat Sax. Setelah itu Pete dan Jupe berputar-putar sampai
menjelang pukul empat, lalu menuju Shoremont.
Gedung administrasinya lengang dan
tenang, seperti biasa pada Sabtu sore. Kali ini Pete dan Jupe menemui Mr.
Harper duduk di balik meja, bukan di atasnya. Ia sedang meluruskan jepitan
kertas, dan wajahnya kelihatan muram. Mr. Harper ditemani oleh pria lain, yang
duduk di kursi kulit hitam.
"Jupiter Jones dan Pete Crenshaw,
ini John Hemingway Powers," Mr. Harper memperkenalkan tamunya.
Oh ya, Jupe mengingat-ingat, si tuan
kantong tebal yang hendak menyumbangkan uang untuk pembangunan gedung olahraga
baru.
Pria itu berdiri. Tingginya
sedang-sedang saja. Rambutnya berombak dan gelap. Kumis tipis melintang di atas
bibirnya. Penampilannya sama dengan semua eksekutif sukses berjas biru-kecuali
matanya. Matanya gelap, dan tatapannya seakan-akan menembus Pete dan Jupe
ketika mereka bersalaman dengannya.
"Saya mendapat informasi dari Mr.
Harper bahwa kau menerima uang suap untuk mendaftarkan diri di Shoremont,"
ia berkata pada Pete.
"Dan kau" ia melanjutkan
ketika matanya berpaling ke arah Jupe, "menyamar sebagai mahasiswa untuk
mengusut siapa yang mengirim uang itu."
Mr. Harper berdehem. "Tadi pagi Mr.
Powers dan saya bermain tenis," ia menjelaskan. "Dan ketika kami
bermain, dia menyinggung bahwa dia akan ingin memberi sumbangan tambahan- untuk
memperbesar dana Coach Duggan. Saya memberitahunya bahwa saya kurang setuju,
lalu berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Tetapi..."
Powers memotong dengan tegas,
"Kalau seseorang mencegah saya untuk melakukan sesuatu, saya ingin tahu
kenapa."
Mr. Harper meneruskan penjelasannya,
"Akhirnya saya memutuskan bahwa John berhak mengetahui alasannya. Untung
saja John bisa memahami dan menghargai cara kita mengatasi persoalan ini. Dia
bahkan menawarkan diri untuk membantu penyelidikan kita. Tapi tentu saja John
dan saya sama-sama ingin mencegah terjadinya skandal."
"Jadi bagaimana?" tanya Powers
sambil menatap Jupe dan Pete dengan tajam. Jupe segera mengerti. John Hemingway
Powers ingin tahu apa yang sedang terjadi-dan ingin mengetahuinya sekarang
juga.
"Saya pikir dalam waktu singkat
kita sudah bisa memastikan pemain mana saja yang menerima uang suap, dan siapa
yang bertanggung jawab atas semuanya," ujar Jupe, sambil memasang tampang
yakin. "Pete didatangi pria bernama Michael Anthony. Dia memberi Pete
sebuah mobil..."
"Sebuah Porsche," Pete
memotong. "Dan dia juga mengaku bekerja untuk orang lain. Tapi sejauh ini
kami belum tahu untuk siapa."
"Dugaan kalian?" tuntut
Powers.
"Coach Duggan," jawab Mr.
Harper.
"Betul," kata Jupe.
"Kemungkinan lain adalah Bernie Mehl berusaha menjebak Coach Duggan."
"Yeah. Kami sempat mengikuti
Michael Anthony ke kampus Costa Verde,"
Pete menambahkan.
"Begini, saya tidak peduli siapa
orangnya," kata Mr. Harper. "Saya hanya minta kalian mendapatkan
bukti yang kita perlukan agar masalah ini bisa dituntaskan secepatnya. Kita
harus membereskan urusan ini sebelum pihak pers mencium ada yang tidak beres di
Shoremont."
Powers berpaling pada Mr. Harper.
"Chuck, saya percaya kau menangani masalah ini dengan cara tepat.
Kelihatannya mereka bisa diandalkan."
Kemudian Powers menatap Pete. "Saya
harap kau tidak mendapat gambaran yang keliru mengenai Shoremont. Hal-hal yang
saya pelajari ketika masih menjadi mahasiswa di sinilah yang membantu saya
mencapai posisi yang saya duduki sekarang ini. Dan kalau kau memang atlet yang menonjol,
kami akan gembira sekali jika kau mendaftarkan diri di Shoremont-tapi tanpa
imbalan uang."
Ketika Jupe dan Pete meninggalkan gedung
administrasi, Pete berkata, "Si Powers itu luar biasa. Kurasa gempa bumi
pun akan menuruti perintahnya."
"Yang jelas, dia akan berusaha
memaksakan kehendaknya," Jupe sependapat. "Sepertinya dia menuntut
agar kita menyelesaikan kasus ini dalam satu hari."
"Besok Minggu. Bagaimana
peluangnya?"
"Semuanya tergantung pada
keterangan yang bisa kukorek dari Walt Klinglesmith. Menurut rencana, sejam
lagi aku harus memberi bimbingan kimia padanya. Sampai nanti."
Jupe menunggu Walt di student center,
sambil menyusun strategi. Strategi nomor satu adalah memancing Walt untuk buka
mulut. Jupe akan mulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Pertanyaan
seperti "Siapa yang menarikmu ke tim Shoremont?" dan "Apa yang
membuatmu mengambil keputusan menerima tawaran itu?" Jika cara halus itu
tidak berhasil, ia mungkin akan menanyakan masalah uang suap secara langsung
pada Walt.
Menurut Jupe, kalau di antara para
pemain basket ada yang mau berterus terang, Walt-lah orangnya.
Strategi nomor dua adalah memeriksa
kantor Coach Duggan dengan saksama. Duggan tetap merupakan tersangka utama,
tapi sejauh ini Jupe belum berhasil mendekatinya untuk mengorek keterangan.
Strategi nomor tiga merupakan strategi
cadangan. Pete lah yang mengusulkannya-sebuah penyelidikan berskala penuh
terhadap Bernie Mehl, pelatih basket Costa Verde. Jupe terpaksa mengakui bahwa
usul itu memang masuk akal.
Tapi ia juga sudah memberitahu Pete
bahwa ia enggan pergi ke kampus Costa Verde untuk sementara waktu. Ia tidak
berminat menjadi korban para pemain Costa Verde yang masih ingin
mencicipi darah si burung nuri. Jupe
lalu mengusulkan agar Pete menyelidiki Bernie Mehl seorang diri, yang dibalas
oleh Pete, "Selama ini kita lebih sering bekerja sebagai duo detektif,
karena Bob selalu sibuk. Itu saja sudah cukup menyebalkan. Tapi solo detektif?
Nanti dulu!"
"Halo, Jupiter," suara seorang
gadis membawa Jupe kembali ke dunia nyata.
Jupe berbalik dan melihat Cathy, si
cheerleader yang selalu berbicara dengan terburu-buru. Ia menghampiri Jupe,
yang sedang duduk di lobi student center.
"Halo? Apa kabar, Jupe?
Penampilanmu di pertandingan lawan Costa Verde benar-benar luar biasa. Minggu
ini kau bakal menjadi burung nuri lagi, kan? Soalnya Steve masih pincang."
"Ehm... ya... mungkin..." Jupe
tergagap-gagap.
Cathy duduk di samping Jupe.
"Jupiter, kau punya waktu untuk membantuku membuat tugas filsafat? Aku
yakin kau pasti banyak ide. Kau mau, kan?"
Aduh, sekarang ini lagi! Jupe mengeluh
dalam hati. Pekerjaan rumah dan tugas kuliah sungguhan. Sejauh ini, dengan cara
bolos kuliah Jupe berhasil menghindari tugas-tugas yang terlalu menyita waktu.
Dan ia tidak ingin mengubah keadaan itu.
Jupe berusaha menjawab tanpa mengatakan apa-apa. Akhirnya Walt Klinglesmith
muncul.
"Sori, aku terlambat, Jupe,"
kata Walt. "Halo, Cathy."
"Halo, Walt," balas Cathy.
"Wah, sori Jupe, aku benar-benar
capek. Aku tidak bisa belajar hari ini. Coach Duggan memaksa kami berlatih
sampai hampir pingsan. Aku mau pulang istirahat."
Jupe mengerutkan kening. Kesempatannya
untuk mengetahui lebih banyak tentang usaha penyuapan telah lenyap.
"Hei, jangan serius begitu
dong," ujar Walt. "Bagaimana kalau kau ikut kami ke pesta di
apartemen Cory malam Rabu besok? Pasti ramai sekali. Kalau mau, kau bisa ajak
teman."
"Ide bagus, Jupe. Barangkali kita
bisa membahas tugas filsafatku di sana," goda Cathy.
"Yeah, tentu," kata Jupe
sambil tersenyum.
***
Pesta berlangsung di apartemen
Cory-kedengarannya seperti tempat yang ideal untuk mencari informasi. Tapi
kasus mereka tidak bisa menunggu sampai malam Rabu. Mereka sudah mulai
kehabisan waktu, dan tekanannya semakin besar-terutama sejak John Hemingway
Powers, si tuan kantong tebal, mulai ikut campur. Jupe memutuskan untuk
melewatkan Minggu pagi dengan memfokuskan diri pada tersangka utama: Coach
Duggan.
Seharusnya sudah dari dulu ia berkunjung
ke kantor Duggan, dan pada jam segitu gedung olahraga mungkin kosong, pikir
Jupe ketika ia bergegas
melintasi kampus.
Salah. Bunyi bola basket membentur
lantai terdengar menggema begitu Jupe membuka pintu. Ia mengintip ke dalam dan
melihat seluruh tim telah berkumpul. Duggan memang pelatih bertangan besi, Jupe
menyadari.
Pantas saja para pemain begitu
bersemangat untuk mengadakan pesta pada malam Rabu. Mereka tidak berani
berpesta pada malam Minggu, karena keesokan paginya mereka harus latihan!
Jupe mengendap-endap ke kantor Duggan.
Ia sengaja melewati lorong di belakang lapangan basket, agar tak ada yang
melihatnya. Siapa tahu kali ini ia lebih beruntung.
Jantung Jupe berdebar-debar. Kalau
Duggan tiba-tiba muncul... kalau Jupe sampai tertangkap basah... penyamarannya
akan segera terbongkar.
Ia berhenti di lorong di luar kantor
Duggan, melihat ke kiri-kanan, lalu mencoba membuka pintu. Ternyata pintunya
tidak dikunci. Jupe segera menyelinap masuk dan berdiri di ruang tunggu. Ia
harus bekerja cepat.
Dengan tangan agak berkeringat, Jupe memasukkan
selembar kertas ke mesin tik di meja sekretaris dan mengetik beberapa kata.
Kemudian ia mengangkat kertas itu ke depan lampu, dengan salah satu pesan yang
diterima Pete menempel di baliknya.
Apakah huruf-hurufnya cocok? Jupe
membutuhkan beberapa detik untuk memutuskannya-tidak. Karena itu ia pindah ke
ruang kerja si pelatih, dan menutup pintu.
Langsung saja ia menyalakan komputer,
agar bisa membuat printout dan membandingkannya dengan pesan si penyuap. Tapi
bunyi printer membuatnya gelisah. Apakah bunyinya bisa didengar dari luar?
Mungkin.
Yang lebih gawat lagi, akibat bunyi itu
Jupe tidak bisa mendengar apakah ada orang masuk. Sementara printer bekerja,
Jupe memeriksa kertas-kertas di meja Duggan dengan hati-hati, agar letak
masing-masing tidak berubah.
Ia membaca berbagai catatan, laporan
mengenai pemain-pemain berbakat, buku tentang strategi bertanding, dan daftar
peralatan. Ia bahkan meneliti buku tabungan pribadi Coach Duggan, yang
tergeletak begitu saja di meja.
Tiga perempat jam kemudian Jupe terpaksa
menyerah. Ia tidak berhasil menemukan apa pun yang dapat memberatkan Duggan.
Dan printout komputer pun tidak sama dengan tulisan pada pesan untuk Pete.
Bagaimana sekarang? Jupe bertanya dalam
hati. Apakah ini berarti Duggan bersih? Ataukah Duggan terlalu cerdik untuk
mereka?
Ataukah ada orang lain yang patut
dicurigai seseorang yang sejauh ini luput dari perhatian mereka?
Ada satu kemungkinan lagi, pikir Jupe,
ketika pulang naik bus. Barangkali Michael Anthony yang misterius itu tidak
bekerja untuk orang lain. Barangkali dia bekerja untuk dirinya sendiri!
11.
Sebuah Peringatan
PADA hari Senin penyelidikan mereka
terhenti total. Hari itu hari libur, sehingga baik di Shoremont maupun di Costa
Verde tidak ada kuliah.
Dengan setengah hati Jupe menelepon
Coach Bernie Mehl di rumahnya, karena berharap bisa mengajukan beberapa
pertanyaan. Tapi rupanya Mehl tidak ada di rumah.
Karena itu Jupe dan Pete menghabiskan
sepanjang hari di markas, bermain video game dan mengutak-atik peralatan
elektronik. Hari itu hari paling santai sejak liburan mereka dimulai.
Hari Selasa berbeda sama sekali. Jupe
mempunyai firasat mereka akan mengalami sesuatu yang sangat membantu
penyelidikan mereka. Mungkin mereka
akan menemukan petunjuk di pesta Cory Brand malam itu. Jupe melewatkan sore itu
di bengkelnya, bersiap-siap pergi ke pesta.
Ketika Jupe mendengar pintu bengkel di
belakangnya membuka, ia segera mematikan video recorder.
"Jupe, aku punya berita
untukmu," kata Pete sambil bergegas masuk. "Hei, kau lagi nonton apa?
Film tua?"
"Tidak, aku tidak menonton
apa-apa," jawab Jupe. Cepat-cepat ia berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Ada berita apa?"
Pete menatap wajah Jupe. Sepertinya
sahabatnya itu sedang menutupnutupi sesuatu. "Kau lagi nonton apa?"
"Aku tidak menonton apa-apa,"
balas Jupe lebih tegas.
"Kalau begitu kenapa monitornya
hidup, dan kenapa kau menggenggam remote-controP Kau lupa, ya, aku juga anggota
Trio Detektif?"
Jupe berdehem. "Oke, aku memang
nonton sesuatu."
"Coba kulihat."
Jupe berusaha mencegah Pete mendekati
video recorder. Tapi Pete menghindar dan menekan tombol play.
Seketika gambar Jupe muncul di monitor.
Ia tampak berdiri di tengah bengkel elektronik sambil mengenakan blue jeans dan
T-shirt kuning dengan tulisan AKU MINTA KESEMPATAN KEDUA.
Jupe terlihat berputar, dan merapikan
pakaiannya di depan kamera. Tampak samping... tampak belakang... Kemudian
gambarnya menjadi kabur.
Adegan berikutnya menampilkan Jupe
dengan celana pendek cerah dan T-shirt bertulisan KALAU HIDUP MEMANG SEPERTI
PESTA, KENAPA AKU DIET? Setelah itu gambarnya berubah lagi. Kali ini Jupe
memakai celana training dengan T-shirt bertulisan OLAHRAGAWAN SEJATI: AKU LARI
DARI KENYATAAN
"Apa ini The Jupiter Jones
Show?" tanya Pete.
"Ehm, bukan. Ehm, salah satu kamera
kita perlu diperbaiki, jadi aku membetulkannya," jawab Jupe.
"Jangan bohong! Kau sedang memilih
baju yang akan kaupakai ke pesta Cory Brand nanti malam," balas Pete.
"Yang benar saja!" ujar Jupe
sambil mematikan video recorder.
"Menurutku, semuanya oke,"
Pete berkomentar. "Tapi mungkin kita takkan pergi ke pesta itu."
"Kenapa tidak?" Jupe ingin
tahu.
"Aku kan sudah bilang aku punya
berita untukmu, Jupe. Berita bagus, lagi," kata Pete. "Aku akhirnya
berhasil menghubungi kenalan kita di kantor polisi. Komputer mereka ternyata
mati sepanjang akhir pekan, dan baru tadi pagi berhasil diperbaiki. Jadi, dia
membantuku melacak pelat nomor Porsche-ku."
"Siapa pemiliknya?"
"Barry Norman, Lyle Street 45,
Manhattan Beach, California," jawab Pete, lalu menarik printout komputer
dari kantong belakang, dan menyerahkannya pada Jupe.
Jupe membaca printout itu beberapa kali,
sebelum berkata, "Mari kita temui dia."
Kedua sahabat itu. naik ke Porsche, dan
sekitar satu jam kemudian Pete berhenti di depan Lyle Street 45, sebuah
bangunan kantor berlantai empat yang terbuat dari beton dan kaca.
"Sebaiknya kau parkir agak jauh
dari sini," Jupe menyarankan. "Jangan sampai Mr. Barry Norman melihat
Porsche-nya, lalu memutuskan untuk kabur. Aku akan menunggumu di lobi."
Satu menit kemudian Pete membuka pintu
lobi, dan menemukan Jupe sedang mengamati papan petunjuk berwarna hitam yang
menempel di dinding. Nama semua penyewa gedung tercantum dengan huruf putih
kecil-kecil.
"Barry Norman... Ruang 421. Ini
terlalu mudah," kata Jupe, sambil berjalan ke lift. Ruang 421 ternyata
dikunci. Pada daun pintu terdapat papan nama emas.
"Barry Norman, advokat," Jupe
membaca. "Dia pengacara."
"Dia akan memerlukan pengacara pada
saat kita sudah selesai dengannya,"
Pete berkomentar sambil mengetuk pintu.
Mula-mula pelan, lalu lebih keras, ketiga kalinya begitu keras sampai daun
pintu nyaris copot dari engselnya. "Tidak ada siapa-siapa."
"Aku menarik kesimpulan itu pada
waktu kau mengetuk untuk kedua kalinya," kata Jupe. Ia sudah hampir sampai
di depan lift.
Setelah sampai di jalan, mereka masuk-
ke Porsche. Namun dari tempat mereka parkir, gedung kantor Barry Norman tidak
kelihatan. Karena itu Pete berputar ke Lyle Street, dan menyelip ke tempat
parkir kosong di dekat sebuah telepon umum.
Mereka menunggu.
Setiap kali seorang pria memasuki
bangunan itu, mereka memberinya beberapa menit untuk mencapai kantornya.
Kemudian Pete bergegas ke telepon umum dan memutar nomor telepon Barry Norman.
Tak sekali pun ia mendapatkan jawaban.
"Sudah jam tujuh, Jupe. Aku sudah
muak menunggu di sini," kata Pete akhirnya. "Dia takkan kembali ke
kantornya hari ini."
"Penjelasan logis mengapa dia tidak
kembali adalah karena dia sedang mengikuti sidang pengadilan, atau sedang
menemui klien," ujar Jupe. "Tapi entah kenapa aku merasa ada alasan
lain. Sayangnya aku tidak tahu apa alasannya. Hmm, rasanya kita takkan
mendapatkan apa-apa lagi hari ini."
"Hore! Waktunya berpesta!"
Pete berseru sambil menghidupkan mesin.
"Mari kita berangkat ke apartemen
Cory Brand."
"Tunggu! Aku harus pulang dan
berganti pakaian dulu."
Pesta sudah berjalan dengan semarak
ketika Pete dan Jupe tiba. Jupe memakai sweter Shoremont College
ungu-putih-sweter yang minggu lalu dibelinya di toko buku kampus. Entakan musik
mengguncang-guncang dinding apartemen Cory yang modern dan luas.
Di mana-mana mahasiswa-mahasiswa
terlihat asyik mengobrol atau berdansa-di ruang tamu, di dapur, di atas sofa.
Jupe mengenali beberapa pemain basket dan cheerleader.
"Tempat ini boleh juga," Pete
memuji sambil melihat berkeliling. "Aku juga ingin punya apartemen seperti
ini kalau sudah jadi mahasiswa."
"Bisa saja, asal kau mendaftar di
Shoremont," kata Jupe dengan tajam.
"Pasang telinga lebar-lebar. Ini
kesempatan emas untuk mencari tahu pemain mana saja yang menerima uang suap.
Dan jangan lupa, kau berkenalan denganku tahun lalu di Rocky Beach High
School... tadi kita kebetulan bertemu, dan aku mengajakmu ke sini. Kauingat
semuanya?"
Tentu.
"Hei, Jupiter!" Cory Brand
memanggil. Ia menembus kerumunan orang untuk menemui Jupe di pintu.
"Halo, Cory! Kenalkan, ini temanku,
Pete," kata Jupe.
"Halo, Pete!' Cory terpaksa
berteriak agar suaranya kedengaran. "Hei, jangan bengong saja. Ambil
minuman dan bersenang-senanglah sebelum polisi membubarkan pesta ini."
Cory tertawa dan melangkah pergi. Jupe
dan Pete mengelilingi ruangan. Pete sesekali berhenti untuk mencomot makanan
kecil yang disediakan, tapi Jupe terus berputar.
"Halo, Jupiter."
Jupe langsung mengenali suara merdu itu.
Ia berbalik sambil memikirkan apa yang harus ia katakan. "Ehm, halo,
Sarah," katanya. Seseorang menabraknya, sehingga ia terdorong mendekati
cheerleader cantik itu.
Untuk sesaat keduanya membisu.
"Kau suka mata kuliah yang
kauambil?" tanya Sarah. Ia memalingkan muka. "Wow, itu pertanyaan
yang benarbenar konyol."
"Aku pernah mendengar pertanyaan
yang lebih konyol dari itu," Jupe menanggapinya sambil tersenyum.
"Maksudku... maksudku... aku lebih
suka mendengarkan orang daripada bercerita."
"Ehm, aku juga," ujar Jupe
cepat-cepat.
Sarah tertawa. "Kurasa kau bukan
tipe orang yang suka mendengarkan orang lain. Aku mendengar celotehmu di
pertandingan basket. Kau lucu sekali sebagai burung nuri."
"Ehm," kata Jupe. Entah
bagaimana orang dengan kosakata paling lengkap di seluruh kampus bisa melupakan
semua kata selain "ehm"?
Tiba-tiba Jupe merasakan bahunya
digenggam dan didorong maju mundur dengan lembut oleh sebuah tangan besar. Ia
melihat bahu Sarah mengalami perlakuan yang sama.
"Apa kabar, kalian berdua?"
tanya seorang pemuda berambut hitam yang menutupi kerah bajunya. Ia berlogat
Texas, dan sedang berteriak ke telinga Jupe. Napasnya berbau bir.
Aduh, kenapa aku selalu sial? Jupe bertanya-tanya.
Raksasa ini mau mendekati Sarah. Mana mungkin aku bisa bersaing dengan dia?
"Tim," kata Sarah, "kau
terlalu banyak minum."
"Hei," jawab pemuda itu.
"Aku yang membayar persediaan bir untuk pesta ini. Dan tak ada undang-undang
yang melarangku menenggak semuanya sampai habis! Jadi, siapa pacarmu ini?"
Sarah dan Jupe sama-sama tersipu-sipu.
"Tim Frisch, ini Jupiter
Jones."
"Halo. Kau punya saudara bernama
Mars atau Venus? Hahahaha!"
Jupiter memaksakan diri untuk tersenyum.
Akhirnya ia bertemu dengan pemain inti kelima. Sepanjang minggu lalu Tim
membolos terus, sehingga Jupe tidak berhasil melacaknya. Sekarang Jupe
mengamatinya dengan saksama. Tim mengenakan pakaian yang kelihatan mahal. Dia
juga
mengaku bahwa dialah yang membayar
seluruh persediaan bir. Barangkali dia termasuk pemain yang dibayar oleh
Michael Anthony.
"Maksudnya, kau sendiri yang
membayar seluruh persediaan bir di pesta ini?" Jupe mencari kepastian.
"Tepat sekali, Bung. Kalau kau
ingin punya teman banyak, kau perlu mengeluarkan uang untuk mereka-betul atau
betul?" Tim nyaris tak sanggup lagi berdiri tegak.
"Oh, betul sekali," balas
Jupe. "Kalau kau punya uangnya." Ia tersenyum pada Sarah seakan-akan
hanya berbasa-basi.
"Aku punya semua yang
kuperlukan," Tim berkata sambil nyengir. "Jadi, Jupe, sobat, apa
keahlianmu?"
"Bidangku adalah..." Hampir
saja Jupe menyambung dengan "mengadu untung", sebab ia tahu bahwa ia
akan segera menguji keberuntungannya. Tapi dengan otak Tim dalam keadaan
mengambang, Jupe tidak dapat menampik kesempatan itu.
"Bidangku adalah sejarah
perkomunikasian," katanya. "Aku menekuni sejarah televisi, khususnya
film-film kuno. Salah satu serial yang paling kusukai adalah The
Millionaire."
"Belum pernah kudengar," ujar
Tim.
"Dalam film seri itu ada tokoh
bernama Michael Anthony." Jupe mengamati wajah Tim dengan teliti-dan ia
tidak dikecewakan.
"Film seri dengan Michael Anthony?
Sungguh?" Tim berseru sambil ketawa.
"Hei, acara itu pasti penuh dengan
iklan Gravy Train." Tawa Tim semakin keras, sampai ia hampir kehilangan
keseimbangan.
"Sori, aku tidak mengerti di mana
lucunya," kata Jupe. Ia sudah hampir berhasil. Jupe bisa merasakannya.
Sedikit dorongan lagi, dan Tim Frisch akan membuka mulut.
Tepat pada saat itu Cory Brand kembali
bergabung.
"Hei, Cory, ini ada lelucon baru.
Kau pasti suka," ujar Tim. "Ada film TV dengan pemain bernama Michael
Anthony. Dan aku bilang selingannya pasti berupa iklan Gravy Train. Kau
mengerti, kan? Jupiter tidak mengerti. Dia tidak mengerti sama sekali."
Cory tidak ketawa. Air mukanya justru
menjadi serius. "Ayo, Tim," ia berkata sambil menarik pemuda tegap
itu menjauhi Jupe. "Kau terlalu banyak, minum. Kau perlu udara
segar."
"Aku juga tidak mengerti,"
kata Sarah.
"Mungkin lelucon untuk kalangan
terbatas," Jupe menanggapinya, sambil memperhatikan bukti yang sudah
hampir di genggamannya terlepas lagi.
"Telepon untuk Pete Crenshaw!"
seseorang berseru. "Yo! Pete! Mana orangnya?"
Jupe melihat Pete menembus kerumunan,
menghampiri pemuda yang memegang gagang telepon.
"Nah, Jupe, apakah kau akan
mengajakku berdansa?" tanya Sarah.
"Hmm?" ujar Jupe. Tiba-tiba
pikirannya terbelah dua. Setengahnya bersedia berbuat apa saja asal bisa
berdansa dengan Sarah-bahkan menjalankan diet seperempat porsi. Tetapi
setengahnya lagi sedang mengamati Pete yang menuju ke telepon. Siapa yang meneleponnya
di sini?
Sarah melihat mata Jupe menerawang jauh,
dan berkata, "Hmm, sepertinya kau tidak berminat." Sebelum Jupe
sempat mengatakan sesuatu, gadis itu sudah berlalu.
Sejenak kemudian Pete kembali ke ruang
tamu. Ia memberi isyarat tangan untuk memanggil Jupe.
"Aku baru saja dapat telepon,"
Pete melaporkan. "Seseorang memberi peringatan padaku. Dia bilang,
'Sebaiknya kau jangan ikut campur dalam urusan orang lain. Tidak aman.'"
"Kau mengenali suaranya?"
"Tidak. Dia juga bilang, jika ingin
tahu apa yang dimaksudnya, aku tinggal melihat ke luar jendela."
Jupe dan Pete bergegas ke balkon. Begitu
mereka berdiri di pagar pembatas, terjadi ledakan yang keras sekali, disusul
oleh bola api membubung tinggi.
"Aduh! Porsche-ku!' teriak Pete.
12.
Perkembangan Negatif
PETE menyaksikan bola api berubah
menjadi gumpalan asap hitam.
Potongan-potongan logam berwarna biru
berjatuhan dari udara. Orang-orang di jalan berlari mencari perlindungan.
Untung saja tidak ada yang cedera. Tapi
jantung Jupe berpacu seakan-akan ia sendiri nyaris terbunuh.
"Panggil polisi," Jupe
mengucapkannya seperti perintah, baik untuk * menenangkan sarafnya sendiri
maupun untuk membawa Pete kembali ke dunia nyata. "Panggil polisi,
Pete!"
Tapi Pete tidak bergerak. Dan
orang-orang di apartemen Cory malah keluar ke balkon untuk mencari sumber bunyi
keras tadi.
Jupe berjuang melawan arus untuk
menghubungi polisi. Apartemen Cory terletak di Rocky Beach, jadi Jupe hafal
nomor kantor polisi di luar kepala.
Sudah berapa kali menelepon polisi untuk
minta bantuan dalam salah satu kasus? Ratusan, mungkin ribuan kali. Tapi ia
belum pernah melaporkan ledakan bom mobil-apalagi yang melibatkan mobil Pete.
Begitu meletakkan gagang telepon kembali, ia segera menemui sahabatnya itu.
Pete masih berdiri di tempat semula.
Kedua tangannya menggenggam pagar balkon. Mobil-mobil pemadam kebakaran telah
tiba. Para petugas bergegas mondar-mandir, menyambung slang air dan
menyemprotkan busa.
Perut Jupe serasa diaduk-aduk ketika ia
melihat betapa hebatnya kebakaran itu-dan betapa sulitnya memadamkan api.
Bel berdering, dan Jupe melihat seorang
petugas polisi Rocky Beach berdiri di ambang pintu.
"Hei... kami sama sekali tidak
ribut," Cory Brand berkata ketika petugas itu melangkah masuk.
Si petugas mengamati para tamu.
"Seseorang di sini melaporkan ledakan bom mobil."
"Saya yang menelepon," ujar
Jupe sambil kembali dari balkon. Ia terpaksa berbicara dengan keras, untuk
mengalahkan hiruk-piruk di sekitarnya.
"Saya perlu berbicara
denganmu," kata si petugas. Ia menunjuk ke arah pintu masuk.
Jupe menepuk bahu Pete, yang masih
terbengong-bengong, dan mengajaknya untuk ikut ke luar apartemen.
"Saya Jupiter Jones dan ini teman
saya Pete Crenshaw. Mobil Pete yang diledakkan," Jupe menjelaskan.
Suaranya agak bergetar ketika mengucapkan kalimat terakhir.
"Kau bisa memperlihatkan
STNK?" si petugas bertanya pada Pete.
"Ehm, tidak..." Pete menatap
Jupe seakan-akan hendak minta bantuan.
Tapi sebelum Jupe sempat membuka mulut,
si petugas polisi sudah mengambil dua pasang borgol dari sebuah kantong yang
terpasang di ikat pinggangnya.
"Ulurkan tangan kalian," ia
berkata dengan tegas.
"Kenapa? Hei, tunggu dulu. Jupe
bisa menjelaskan semuanya!" ujar Pete.
Si petugas meraih pergelangan tangan
Jupe dan memasang borgol.
"Tunggu se... Hei! Apa-apaan ini?
Ini keterlaluan!" Jupe berseru. "Saudara tahu dengan siapa Saudara
berurusan?"
"Yeah-kau salah satu anggota Trio
Detektif, kan?" si petugas membalas sambil tersenyum mengejek.
Jupe langsung berdiri setegak mungkin.
"Saya kenal baik sekali dengan
Chief Reynolds," katanya, sambil berusaha untuk tetap tenang.
"Beginikah perlakuan polisi terhadap warga yang melaporkan sebuah
insiden?"
"Beginilah perlakuan kami terhadap tersangka
pelaku kejahatan," si petugas menjawab sambil menarik tangan Pete dengan
kasar, lalu memborgolnya.
Tersangka? pikir Jupe. Tersangka?
"Ini tidak masuk akal! Bukan kami yang meledakkan mobil itu! Mana
buktinya?" tantang Jupe.
122
"Saya menahan kalian sebagai
tersangka dalam kasus pencurian mobil," kata si petugas. "Selebihnya
akan dibicarakan di kantor polisi."
Baru setelah mereka tiba di kantor
polisi, borgol di tangan Jupe dan Pete akhirnya dilepaskan. Kedua sahabat itu
duduk bersebelahan di bangku kayu yang keras di luar ruang kerja Chief
Reynolds.
Pete menatap lantai dan bergeser ke
kiri-kanan dengan gelisah. Ia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk.
"Kita bisa tewas tadi," gumamnya.
"Aku tahu," kata Jupe. Sekali
lagi perutnya serasa diaduk-aduk. "Sepertinya ledakan itu tidak bertujuan
untuk melenyapkan nyawa kita. Tapi kita bisa terbunuh secara tak sengaja.
Sekarang sudah jelas kita kurang berhati-hati. Seseorang tahu kita menghadiri
pesta itu."
"Tapi kalau mereka tidak bermaksud
membunuh kita, untuk apa mobil itu diledakkan?"
"Untuk menakut-nakuti kita,"
ujar Jupe. "Rupanya..."
Jupe terdiam karena melihat pintu ruang
kerja Chief Reynolds membuka.
Sersan Klimt, petugas yang menahan Jupe
dan Pete, memberi isyarat agar mereka masuk.
"Halo, Chief," kata Jupe.
"Jupiter, Pete," balas pria
tegap dan setengah botak yang duduk di balik meja. Ia setengah tersembunyi di
balik tumpukan map, laporan, dan buku catatan.
"Chief," kata Jupe,
seakan-akan berbicara dengan kawan lama, yang memang demikian kenyataannya.
Kepala polisi Rocky Beach itu sudah acap kali membantu Trio Detektif. Begitu
juga sebaliknya. Bob suka berkata bahwa mereka "bahu-membahu dalam
pemberantasan kejahatan".
Karena itulah Jupe begitu terkejut
karena mereka diperlakukan seperti pencuri biasa. "Kenapa petugas tadi
merasa perlu memborgol tangan kami?" tanya Jupe.
"Jupe," Kepala Polisi berkata
dengan nada tidak bersahabat. "Kali ini sayalah yang akan mengajukan
pertanyaan." Tiba-tiba ia tersenyum dengan ramah. "Wah, Pete, mobilmu
bagus sekali."
Kelihatannya Chief Reynolds berusaha
mengalihkan pembicaraan, tapi Jupe sudah terlalu lama mengenal kepala polisi
itu. Ia sudah hafal dengan teknik-teknik interogasinya. Usahakan agar tersangka
merasa nyaman.
Bicarakan sesuatu yang ringan, coba
untuk memperoleh kepercayaannya, setelah itu hantam dengan pertanyaan
sesungguhnya. Tapi kenapa Chief Reynolds menerapkan teknik-teknik itu pada Pete
dan Jupe?
"Yeah, memang. Sayang tak ada yang
tersisa," kata Pete. "Dan sebaiknya Anda mulai mencari badut yang
meledakkannya."
"Pete," Chief Reynolds
membalas dengan ketus, "jangan kurang ajar. Aku tahu tugasku. Ada beberapa
hal yang ingin kuketahui. Sudah berapa lama mobil itu kaumiliki?"
"Sejak Jumat lalu," jawab
Jupe, sebab Pete sedang menggigit kuku.
"Dan dari mana kalian
memperolehnya?"
"Seseorang memberikannya pada
saya."
Chief Reynolds menyilangkan tangan dan
mendengus. "Aku tidak suka jawaban itu," katanya. Kemudian ia
mencondongkan badan ke depan, sambil meletakkan sikut di meja. "Coba jawab
sekali lagi."
"Apa yang ingin Anda dengar?"
tanya Pete. "Mobil itu mengikuti saya pulang? Saya mengatakan yang
sebenarnya."
"Baiklah, Pete. Aku sudah cukup
lama mengenal Trio Detektif, dan aku cenderung mempercayai kalian. Tapi dalam
kasus ini, kebenaran mempunyai lebih dari satu sisi. Dan sisi yang satu lagi
adalah bahwa mobil itu dilaporkan hilang dicuri tadi sore."
"Dicuri?" Pete mengulangi.
"Siapa yang melaporkannya?"
tanya Jupe.
"Pemiliknya. Barry Norman,"
jawab Chief Reynolds.
"Barry Norman, itu kan si...,"
Pete mulai berkata. Tapi Jupe cepat-cepat memotong.
"Pete, kurasa sudah waktunya kita
memberitahu Chief Reynolds bahwa kita sedang menangani sebuah kasus, mobil itu
merupakan bagian dari kasus tersebut, dan kita tidak bisa membeberkan nama
klien kita, betul?"
"Apa? Oh, yeah, betul," ujar
Pete.
"Kasus apa?" Chief Reynolds
ingin tahu.
Jupe menggelengkan kepala. "Maaf,
saya tidak bisa memberi. keterangan lebih jauh," katanya. "Kami sudah
berjanji pada klien kami, bahwa kami akan melindungi kepentingannya dengan
tidak menyebarluaskan masalah yang dihadapinya."
Chief Reynolds melemparkan tangannya.
"Kalau kalian tidak mau bekerja
sama, aku terpaksa bertindak sesuai peraturan," ujar Chief Reynolds.
"Kami juga," balas Jupe.
Selama semenit mereka bertatapan. Chief
Reynolds kelihatan gusar.
"Panggil Norman ke sini,"
katanya akhirnya pada Sersan Klimt.
Ketika pintu membuka lagi, Barry Norman
melangkah masuk. Begitu mereka melihatnya, Pete dan Jupe langsung megap-megap.
Barry Norman ternyata Michael Anthony.
Ia mengenakan jas, kemeja dengan kancing
teratas dibuka, serta dasi yang telah dikendurkan. Dan kacamata hitamnya
tergantung melingkar di leher, ditahan oleh tali merah.
Barry Norman-alias Michael
Anthony-tampak tenang dan santai. Tapi tatapan yang dilemparkannya pada Jupe
dan Pete begitu tajam, sehingga nyaris menembus mata keduanya. Kemudian ia
mengedipkan mata, dan memandang mereka seakan-akan belum pernah melihat mereka
sebelumnya.
"Mr. Norman," kata Chief
Reynolds, "inilah kedua pemuda yang melaporkan bahwa mobil Anda
diledakkan. Saya bisa menjamin bahwa mereka bukan anak berandal. Saya mengenal
mereka sejak mereka masih kecil. Mereka mengaku mengendarai Porsche Anda sejak Jumat
lalu, ketika seseorang memberikannya pada mereka."
"Saya kira itu mungkin saja,"
Barry Norman menanggapinya dengan santai. "Barangkali mobil saya sudah
hilang lebih lama dari yang saya duga. Saya baru kembali dari perjalanan bisnis
ke luar kota. Bisa jadi si pencuri memutuskan untuk memberikan mobil saya pada
orang lain meskipun saya tidak bisa membayangkan kenapa."
"Apakah Anda sudah pernah melihat
Pete dan Jupiter sebelum ini?"
Barry Norman menggelengkan kepala.
"Dan Jupiter, kau tetap menolak
untuk menyebutkan klienmu?"
Jupe segera mempertimbangkan segala
kemungkinan. Ia menyadari bahwa Barry Norman melakukan hal yang sama.
Akhirnya Jupe memutuskan bahwa Barry
Norman hanya sebuah pion dalam permainan catur ini. Norman sendiri mengaku
bahwa dia bekerja untuk seseorang yang ingin tetap anonim. Tapi siapa orangnya?
Jika Jupe menceritakan kasus mereka pada Chief Reynolds, kemungkinan besar
orang di belakang layar itu akan
menghilang diam-diam.
"Untuk sementara kami tidak bisa
memberikan informasi lebih lanjut," jawab Jupe.
"Klien? Apakah pemuda-pemuda ini
detektif atau semacamnya?" tanya Barry. Ia berusaha keras agar wajahnya
tidak kelihatan cemas.
"Ya, dan mereka sangat
berbakat," Chief Reynolds menjelaskan.
"Nah, ini baru kejutan!" Pete
berkomentar.
Norman mengangkat bahu. "Hidup
memang penuh kejutan," katanya.
"Kadang-kadang kau meraih sukses,
kadang-kadang mobilmu meledak."
"Apakah Anda ingin menuntut mereka,
Mr. Norman?" tanya Kepala Polisi.
"Tidak," Barry Norman
memutuskan. "Saya rasa Anda benar, Chief
Reynolds. Bukan mereka yang meledakkan mobil
saya. Tapi sekarang saya harus mencari jalan untuk menjelaskan kejadian ini
pada pihak asuransi."
"Anda bisa menghubungi saya untuk
mendapatkan salinan laporan petugas kami," ujar Chief Reynolds.
Norman meninggalkan ruangan. Setelah ia
pergi, Kepala Polisi menyandarkan badan ke belakang. "Seharusnya aku
memaksa kalian untuk menceritakan semuanya padaku," katanya.
"Kalau begitu, Anda hanya akan
memperoleh setengah cerita," balas Jupe.
"Kami masih sibuk merumuskan
kesimpulannya."
"Jupiter," kata Chief
Reynolds, "kalian harus berhati-hati. Sangat berhati-hati. Seseorang yang
meledakkan mobil seharga 45.000 dolar pasti tidak peduli apakah ceritanya
berakhir gembira atau tidak."
13.
Foul Perorangan
MICHAEL ANTHONY dan Barry Norman
ternyata satu orang! Pete masih belum bisa mempercayainya. Sampai sekarang pun,
malam Kamis, hampir 24 jam kemudian, kasus itu tetap merupakan tanda tanya
besar baginya.
Satu-satunya hal yang diketahuinya
dengan pasti adalah ia dan Jupe sependapat mengenai satu hal: Barry Norman
merupakan lawan yang berbahaya-seseorang yang perlu mereka hindari selama
beberapa hari, agar ia menyangka mereka telah menghentikan pengusutan. Dengan
demikian ia mungkin lengah dan tanpa sadar memberikan petunjuk.
Pete duduk seorang diri di bangku
belakang bus Rocky Beach High School. Ia membiarkan pikirannya berkelana.
Sesekali ia berusaha menggabunggabungkan beberapa fakta dari kasus mereka.
Kemudian ia memusatkan perhatian pada pertandingan basket yang sedang mereka
hadapi.
Kakinya diluruskan di atas bangku.
Bagian belakang kepalanya memben-tur-bentur jendela akibat guncangan bus.
Sisa tim basket Rocky Beach duduk di
depan. Mereka mengobrol dan tertawa serta berusaha menghilangkan ketegangan
sebelum pertandingan malam itu dimulai. Tapi mereka tidak mengusik Pete, sebab
Pete sendiri yang minta agar tidak diganggu.
Semua orang di dalam bus telah mendengar
cerita mengenai Porsche Pete yang hancur berantakan karena meledak. Sebenarnya
mereka punya sejuta pertanyaan, tapi tak ada yang mengatakan apa-apa.
Pete menarik napas dalam-dalam. Ia
berusaha menyiapkan mental untuk menghadapi pertandingan. Bertanding basket di
tengah liburan musim dingin terasa agak aneh. Tapi jadwalnya memang begitu, dan
Pete tidak terlalu ambil pusing. Ia malah senang karena mendapat kesempatan
untuk beristirahat dari tugas detektif-jauh dari mahasiswa sadis, telepon aneh,
dan mobil yang meledak.
Semua orang menyangka aku kesal karena
kehilangan Porsche itu, pikir Pete. Tapi sebenarnya bukan itu yang membuatnya
resah. Ia jauh lebih gelisah karena ditegur oleh Chief Reynolds. Peringatan
dari kepala polisi Rocky Beach itu membuat pikirannya tidak tenang. Soalnya
Chief Reynolds memang benar. Kasus mereka tiba-tiba menjadi berbahaya.
Betul-betul berbahaya.
Karena itulah Pete duduk seorang diri di
bangku belakang, sambil melatih pernapasan. Ia berusaha mengusir rasa takut
yang menghantui dirinya.
Bus yang ditumpanginya membelok ke
pelataran parkir Wolfford High School. Ketika para anggota tim basket memasuki
ruang ganti, Coach Tong memanggil Pete. "Kau baik-baik saja, Pete? Kau
sanggup bertanding malam ini?" ia bertanya. "Dan jangan menjawab
asal-asalan. Ada empat orang, rekan-rekanmu, yang perlu mendapatkan jawaban
sejujurnya."
"Coach, saya benar-benar
siap," balas Pete.
Coach Tong tersenyum sejenak.
"Itulah yang ingin kudengar," katanya.
"Cepat, ganti pakaian."
Kondisi ruang ganti mereka khas ruang
ganti yang selalu disediakan untuk tim tamu- kecil, gelap, dan terlalu panas
atau terlalu dingin, tergantung mana yang lebih tidak menyenangkan untuk para
pemain. Pete menduduki bangku kayu yang perlu diampelas, lalu membuka pintu
locker.
Tiba-tiba jantungnya mulai
berdebar-debar. Sesuatu tampak tergeletak di dasar locker-nya-lagi-lagi sebuah
amplop!
Sejenak Pete hendak membanting pintu
locker. Tapi ia menahan diri. Ia memungut amplop itu, membukanya, dan membaca
pesan yang ada di dalam. Pesannya berbunyi demikian.
Lupakan kasus Shoremont. Itu bukan
urusanmu. Kalau tidak, kau bakal CELAKA-seperti malam ini. Dan kau takkan
pernah bermain basket lagi.
Jantung Pete berpacu seiring tarikan
napasnya. Ia menendang pintu locker sampai menutup. "Siapa yang memasukkan
amplop ini ke locker-ku?" serunya. Seketika semua rekannya menoleh.
"Ayo, siapa yang memasukkan amplop ini?"
"Hei, Pete, ada apa sih?" tanya Bill
Konkey. "Aku yang memasukkannya."
Pete segera menghampiri Bill.
"Untuk apa?" desaknya.
"Di luar tadi ada orang yang
memberikannya padaku. Dia bilang dari Kelly. Aku tahu kau selalu memilih locker
yang sesuai dengan nomor dadamu, karena itu aku langsung menyelipkan amplop
itu. Kenapa sih kau uring-uringan begini?"
Pete langsung bergidik. Sekali lagi ia
menatap pesan di tangannya. Apakah huruf-hurufnya sama dengan huruf-huruf pada
pesan-pesan sebelumnya? Apakah pesan itu dikirim oleh Michael Anthony? Apakah
dia mengetahui hubungan antara Pete dan Kelly?
Coach Tong menyembulkan kepala ke ruang
ganti. "Hei, cepat sedikit. Tunggu apa lagi? Ayo, para penonton sudah
mulai tidak sabar!"
Pete melemparkan pesan itu ke dalam
locker, lalu buru-buru berganti baju. Beberapa menit kemudian tim Rocky Beach
memasuki lapangan. Gedung olahraga dipenuhi aneka macam suara: tepuk tangan
meriah untuk tim Wolfford, lagu perang Wolfford yang dimainkan dengan kecepatan
tiga kali lipat, sorak-sorai yang mengejek tim Rocky Beach, dan suara si
komentator
yang sedang melakukan pemanasan.
Di samping semuanya itu, sekelompok
anggota marching band Rocky Beach berusaha keras agar
mereka pun terdengar.
Hiruk-piruk seperti itulah yang biasanya
semakin memompa semangat Pete. Tapi malam ini ia malah bertambah ngeri. Ia
berusaha melupakan kasus mereka, agar bisa bermain dengan konsentrasi penuh.
Tapi mana mungkin? Seseorang sedang
menunggu untuk membuatnya celaka. Siapa? Pete menatap para penonton, sebuah
lautan manusia yang tak dikenalnya.
Kebisingan di gedung olahraga
seakan-akan bertambah keras dari detik ke detik, tapi hanya ada satu hal yang
terngiang-ngiang di telinga Pete. "Kau bakal CELAKA-seperti malam
ini."
Oke, Pete menggeram dalam hati. Mereka
boleh mengancam, tapi aku takkan menyerah tanpa perlawanan.
Detik berikutnya tim Wolfford muncul,
dan pertandingan pun dimulai. Para pemain Wolfford rata-rata bertubuh jangkung.
Semuanya lebih tinggi dari Pete. Mereka segera menguasai bola dan menuju ke
basket Rocky Beach. Tapi tangan mereka masih kaku. Lemparan pertama meleset.
Begitu juga lemparan yang menyusul rebound
Bola jatuh ke tangan Rocky Beach. Sebuah
operan jarak jauh dari Valdez kepada Bill Konkey merupakan awal serangan
mereka.
Konkey berusaha mengoper bola kepada
Pete, tetapi Pete dijaga ketat oleh pemain Wolfford bernama Traut. Pemain
Wolfford itu terus menempelkan tangannya ke dada Pete, dan mendorongnya ke
samping.
Pete melakukan gerak tipu, kemudian
ber-balik ke arah berlawanan, sehingga berhasil melewati Traut. Konkey melihat
Pete berdiri bebas, dan melemparkan bola. Tapi tiba-tiba Pete terjatuh.
Sikutnya membentur lantai, dan tangannya yang satu lagi menopang badannya. Bola
melayang ke luar lapangan permainan.
Pete marah sekali. Traut telah
menjegalnya, tapi tak seorang pun sempat melihat perbuatan curang itu.
"Awas, kau!" Pete membentak Traut "Aku memang sedang
mengawasimu," balas pemain lawan bertubuh kurus itu.
Ketika pertandingan berlanjut, insiden
kecil itu disusul oleh kejadian-kejadian serupa. Pete akhirnya sadar, bahwa
Traut-lah yang ingin membuatnya celaka. Ia berusaha menghindari Traut, tapi
situasi permainan tidak selalu memungkinkannya, sedangkan Traut memang terus
mengejar Pete.
Mula-mula mata Pete terkena sikut, dan
ia terpaksa duduk di tepi lapangan selama beberapa menit sambil mengompres sisi
wajahnya dengan es. Setelah turun lagi, ia ditabrak ketika melakukan lay-up
sehingga terdorong ke luar lapangan. Pete mendarat di pangkuan salah seorang
penonton.
Kepalanya berdarah karena membentur
sandaran kursi. Sembilan pemain bertarung untuk memenangkan pertandingan. Tapi
Traut mempunyai tujuan lain: mencelakakan Pete.
Pete begitu marah sehingga ia bermain
lebih ngotot dari biasanya. Ia terus berlari, berputar, melakukan gerak tipu,
dan melemparkan bola dari posisi sulit sambil melayang di udara. Rocky Beach
sedang menuju kemenangan, tapi selisih angkanya tipis sekali.
Suatu ketika Traut sedang mendribel bola
di tengah lapangan. Pete segera menghadang. Ia mengikuti setiap langkah Traut,
dan mencegahnya mendekati basket.
"Nekat juga kau. Pakai otak
dong!" ujar Traut. "Sebentar lagi kau bakal kapok!"
Oke, kalau begitu aku pakai otak, pikir Pete.
"Hiiiyaaa!' serunya sekuat tenaga. Teriakan itu membuyarkan konsentrasi
Traut, dan Pete berhasil merebut bola. Ia langsung mengoperkan bola ke Konkey,
dan Konkey segera mencetak angka. Tetapi begitu wasit mengalihkan pandangan,
sikut Traut menghajar punggung Pete, tepat di daerah ginjal.
Rasa nyeri bagaikan sengatan listrik
menjalar ke seluruh tubuh Pete. Tapi Pete tidak mau memperlihatkannya-biarpun
untuk sedetik saja. "Cium aku sekali lagi, Sayang," katanya pada
Traut sambil memelototinya.
Beberapa saat kemudian sebuah bola yang
memantul dari ring. jatuh ke tangan Traut. Tanpa berpikir panjang pemain
Wolfford itu menerjang maju dan melompat tinggi.
Masuk! "Inilah ciuman untukmu,
Sayang," Traut menggeram ketika berlari melewati Pete.
Pertandingan terus berlangsung dengan
seru. Menjelang lima menit terakhir, kedudukan 48-48. Traut memberi operan yang
ternyata membentur bagian belakang kepala Pete. Semua orang menyangka Traut
salah melempar bola. Tapi Pete tahu persis bahwa memang kepalanya yang diincar;
sebuah peringatan dari Michael Anthony-atau orang lain-untuk menghentikan
penyelidikan.
Ketika sisa waktu tinggal kurang dari
semenit, Coach Tong minta time out pada wasit, time out terakhir untuk timnya.
"Jangan emosi, Pete," pesannya.
"Bagaimana saya tidak emosi?"
balas Pete. "Dari awal Traut terus mengejarngejar saya. Dia berusaha mencelakakan
saya. Masa saya harus diam saja?!"
"Yang kulihat hanya pemain basket
yang agresif, bukan pembunuh bayaran," ujar si pelatih. "Jangan
terbawa perasaan, atau aku terpaksa menarikmu dari lapangan."
Pete mengangguk dan duduk.
"Oke, kita masih menang dua
angka," kata Coach Tong. "Nah, kuminta kalian bertahan dengan baik,
jangan lakukan pelanggaran yang tidak perlu, dan jangan biarkan mereka menambah
angka dengan mudah."
Para pemain saling menepukkan tangan,
lalu kembali ke lapangan. Tapi begitu pertandingan dilanjutkan, Pete segera
menyadari bahwa tim Wolfford belum mau menyerah. Wolfford melemparkan bola ke
depan, dan berhasil mencetak angka lewat lay-up seorang pemainnya. Kemudian
mereka berhasil merebut bola dari Rocky Beach, dan terus menahannya. Mereka
hendak menghabiskan waktu, dan melakukan lemparan terakhir.
"Tenang! Tenang!" seru Coach
Tong pada timnya.
Akhirnya, dengan sisa waktu beberapa
detik saja, pemain Wolfford menembakkan bola, dan meleset. Konkey menangkap
bola yang terpental, lalu mengoperkannya kepada Pete.
Para penonton bersorak-sorai, menghitung
detik-detik yang masih tersisa.
Waktu sudah hampir habis. "Tiga...
dua..." Pete mendribel bola, tapi tidak ada kesempatan lagi untuk
mengoper. Karena itu ia mengambil tindakan nekat. Ia melompat ke udara dan
melempar bola dengan sekuat tenaga.
Kemudian, sambil terheran-heran, ia
menyaksikan bola membentur papan pantul, membentur bagian depan ring, dan-entah
bagaimana-jatuh melewati jaring! Bel tanda akhir pertandingan berbunyi sebelum
para penonton sempat mengedipkan mata. Lemparan Pete dari tengah lapangan
berhasil memenangkan pertandingan.
Pete langsung dikerumuni rekan-rekannya.
Beramai-ramai mereka mengangkatnya, lalu menggotongnya ke ruang ganti. Para
pendukung Wolfford duduk membisu. Pete sebenarnya hendak mencari Traut, tapi ia
telanjur dibawa pergi.
Pesta kemenangan akan berlangsung
sepanjang malam, tapi Pete tidak berminat menjadi bagian darinya. Ia hanya
ingin cepat-cepat mandi, kemudian mendatangi Traut. Ia menunggu pemain lawan
itu di pelataran parkir di depan gedung olahraga.
"Hei!" seru Pete ketika Traut
keluar dari pintu.
Sesaat Traut tampak terkejut.
"Apa sih maksudmu?" tanya
Pete. "Siapa yang menyuruhmu untuk terus menggangguku?"
Traut tidak mengatakan apa-apa, dan memelototi
Pete.
"Ayo! Sekarang tidak ada wasit,
tidak ada time out" kata Pete. "Ceritakan semuanya, aku akan
mengajarimu arti foul perorangan yang sesungguhnya!"
"Jangan cari perkara," balas
Traut. Ia mendorong Pete ke samping, dan mencoba melewatinya.
Pete segera maju lagi, dan mendorong
Traut. Pemain Wolfford itu berusaha menjaga keseimbangan, lalu melayangkan
pukulan yang mendarat telak di perut Pete.
Sesaat Pete nyaris tidak bisa bernapas.
Tapi keadaan itu hanya bertahan tiga detik. Setelah itu ia mulai menunjukkan
kehebatannya.
"Hi-yaaa!' Pete melabrak Traut
dengan tendangan karate, yang membuat lawannya itu terpental dan jatuh ke kap
mobil terdekat. Traut tetap terbaring. Kakinya menendang-nendang seperti anak
kecil. Pete menangkap pergelangan kaki pemuda itu, menariknya ke depan, lalu
melemparkannya melewati bahu kiri dengan gerakan memutar.
Tak percuma aku berlatih karate, pikir
Pete ketika ia menatap Traut yang tergeletak di aspal. Segala kelicikan Traut
tak dapat menandingi jurus-jurus karate yang telah bertahun-tahun dipelajari
Pete. Traut pun menyadarinya, sebab ia tidak berusaha bangun lagi, padahal ia
hanya mengalami luka lecet. Sebenarnya ia masih sanggup berdiri, tapi ia memang
tidak mau bangkit.
"Oke," kata Pete.
"Sekarang ceritakan. Siapa yang menyuruhmu bermain kasar? Ayo, bangsat!
Katakan yang sebenarnya!"
"Aku tidak tahu," Traut
menjawab dengan lesu.
Pete membungkuk dan menggenggam kerah
baju Traut. "Jangan pura-pura!"
"Aku tidak tahu, sumpah. Orang itu
tidak mau menyebutkan namanya.
Nama sesungguhnya, maksudku," ujar
Traut. "Dia memberiku dua ratus dolar dan berpesan agar kau perlu diberi
pelajaran. Dan dia juga memberiku sepucuk surat, yang katanya harus kuserahkan
padamu."
"Apa maksudmu 'dia tidak mau
menyebutkan nama sesungguhnya'?" Pete terus mendesak, sambil menarik Traut
sampai berdiri.
"Dia menyebutkan nama samaran. Dia
sendiri yang bilang begitu," kata Traut.
"Siapa namanya?" tanya Pete.
"Michael Anthony."
14.
Berkat Bantuan Pers
BEBERAPA jam kemudian, menjelang subuh,
Jupe, Bob, dan Pete duduk di bawah pancaran lampu neon di Hank's 24-Hour
One-Stop, salah satu tempat nongkrong di Rocky Beach yang lain daripada yang
lain.
Pete duduk menghadapi segelas soda dan
sebuah hidangan khusus-Hank's sandwich of the night. Setelah tengah malam,
sandwich diberikan gratis kepada para pengunjung yang memesan soda berukuran
ekstrabesar, tapi isinya berupa sisa-sisa dari siang hari. Malam itu Pete
kebagian kombinasi antara daging gulung dan salad ikan tuna.
Sambil makan, Pete bercerita mengenai
jalannya pertandingan melawan Wolfford, serangan-serangan licik Traut, dan
perkelahian di pelataran parkir. Kemudian ia menghabiskan sodanya dengan sekali
teguk.
"Badanku terasa kering
kerontang," Pete berkata pada Jupe.
"Kau mengalami dehidrasi,"
sahabatnya itu meralat. "Kau banyak kehilangan cairan tubuh
akibat perspirasi pada waktu bertanding.
Aku tahu bagaimana rasanya."
"Oh, yeah, betul juga," ujar
Pete sambil ketawa. "Kau jadi burung nuri dalam pertandingan Shoremont
tadi malam. Ada perkembangan baru?"
Dengan lesu Jupe menggelengkan
kepala.
"Lupakan kasus kita untuk
sementara, oke?" kata Bob. "Kita ke sini untuk merayakan kemenangan
Pete!"
"Tempat ini benar-benar
ajaib," ujar Pete sambil melihat berkeliling. "Kenapa hampir semua orang
berpakaian serba hitam?"
"Soalnya sekarang malam Kamis,
Pete," Bob menjelaskan. "Ini salah satu akal-akalan Hank, pemilik
restoran ini. Kalau pakai baju serba hitam pada malam Kamis, kau mendapatkan
potongan sepuluh persen."
"Dari mana kau tahu begitu banyak
tentang tempat ini?" tanya Pete.
"Aku beberapa kali ke sini seusai
rekaman larut malam," jawab Bob. "Pada waktu itulah aku mengetahui
ini tempat terbaik untuk menunggu edisi pertama koran pagi. Korannya diantar
sebelum pukul dua. Hank menjamin itu."
"Kau yakin bakal ada berita
mengenai aku di koran?" Pete kembali bertanya.
"Jangan terlalu berharap,"
ujar Jupe sambil menguap. "Kemungkinannya kecil sekali."
"Jangan dengarkan dia," Bob
berkomentar. "Percaya deh, Pete, kalaupun jarak lemparan-mu hanya setengah
dari yang kauceritakan, beritanya tetap akan masuk koran."
"Menurutku, hal yang paling patut
dicatat adalah pesan yang ditemukan Pete di locker-nya," kata Jupe.
Bob dan Pete langsung mengerang.
Jupe tidak peduli. Dengan tenang ia
melanjutkan, "Pesan itu menunjukkan Barry Norman masih berusaha menggertak
kita, agar kita menghentikan penyelidikan. Dia tahu segala gerak-geriknya sudah
tercium oleh kita."
"Sudah waktunya kita
bertindak," kata Pete, yang kembali dari meja layan sambil membawa segelas
soda lagi. "Bajingan itu harus ditarik dari peredaran."
"Itu tidak sulit dengan segala
sesuatu yang kita ketahui tentang dia," ujar Jupe. "Tapi Mr. Harper
minta agar kita mencari tahu untuk siapa Barry Norman bekerja. Dan sampai
sekarang kita tidak berhasil melaksanakan tugas itu."
"Hei, apa yang terjadi dengan
Jupiter Jones yang pantang menyerah sampai detik terakhir?" tanya Bob.
Jupe meletakkan kepalanya di meja.
"Sepanjang pertandingan tadi aku terus melompat-lompat dengan kostum
burung nuri. Aku betul-betul lelah!
Aku tidak bisa berpikir jernih kalau
kurang tidur," desahnya. "Seharusnya kita pulang saja, bukannya
menunggu koran di sini."
"Kita tidak perlu menunggu
lagi," kata Bob.
Ia menunjuk ke pintu. "Tukang
korannya sudah datang."
Bob berdiri dan bergabung dengan antrean
orang yang ingin membeli koran. Bob pergi dengan sukarela karena tahu bahwa
Hank kadang-kadang minta para pengunjung untuk mengantre berdasarkan abjad. Di antara
ketiga anggota Trio Detektif, nama Andrews-lah yang paling menguntungkan.
"Eh, Jupe, kau masih mau
menghabiskan belahan kedua dari sandwichmu?" tanya Pete.
Jupe segera menggeser piringnya ke
hadapan Pete. "Kadang-kadang aku mendapat kesan kau akan mati kelaparan
seandainya aku tidak berdiet."
"Hei, Pete, ternyata mereka bukan
cuma menulis berita singkat mengenaimu," kata Bob, sambil melemparkan
koran ke meja. "Kau jadi berita utama. 'Lemparan Jarak Jauh Memenangkan
Pertandingan.'"
"Wow! Lihat nih!" seru Pete.
Ia segera menyambar koran. "Fotoku juga dimuat!"
Di bagian atas halaman memang ada foto
Pete, yang dibuat oleh fotografer yang rupanya berdiri di puncak tribun
penonton. Foto itu memperlihatkan seluruh lapangan pertandingan, dengan Pete
berdiri di lingkaran tengah di daerah tim Rocky Beach. Semua orang terlihat
menatap bola, yang seakanakan membeku di udara.
"Untuk kedua kalinya secara
berturut-turut" Pete membaca artikel di bawah foto, "pemain bahwa
pemain berbadan kecil pun dapat berperan besar di lapangan. Kali ini, Pete berhasil
mencetak kemenangan dari jarak 12 meter, tanpa waktu tersisa." Pete
membalik koran, dan memamerkan fotonya. "Boleh juga, ya? Hei, itu bukan
fotoku, Jupe!"
Jupe merebut koran dari tangan Pete, dan
menatap foto pada bagian bawah. "Perhatikan ini," katanya akhirnya.
"Coba lihat apakah kau mengenali seseorang."
Pete melipat koran, lalu mengamati foto
yang lebih kecil di kaki halaman.
"Ini artikel mengenai tim
Shoremont," katanya. "Dan fotonya memperlihatkan beberapa anggota tim
duduk di bangku cadangan, pada waktu pertandingan sedang berlangsung."
"Di latar belakang," ujar Jupe
tak sabar.
Bob bergeser agar bisa mengintip lewat
bahu Pete. Tapi Pete cepat-cepat menarik koran. "Jangan bantu aku,"
katanya pada Bob. "Biar aku sendiri saja."
Pete membungkuk dan mengamati foto itu
dari dekat. Akhirnya ia mengangkat alis karena mengenali seseorang. "Itu
wanita muda yang makan siang di country club bersama Barry Norman. Tapi di sini
dia duduk di samping John Hemingway Powers."
"Betul," ujar Jupe, "jadi
sekarang kita tahu bahwa dia mengenal baik Barry Norman maupun John Hemingway
Powers. Nah, ini skenario menarik.
Kalau wanita itu mengenal kedua-duanya,
bukankah ada kemungkinan mereka pun saling mengenal? Itu berarti kita telah
menemukan tersangka baru, petunjuk baru, jejak baru."
Pete mengerutkan kening.
"Powers?"
"Oke, oke," kata Jupe.
"Terus terang kemungkinannya memang tipis. Tapi mungkin inilah sebabnya
kita tidak berhasil menemukan apa pun yang menghubungkan Barry Norman dengan
Coach Duggan. Mungkin memang tidak ada apa-apa. Tapi sekarang kita sudah
mendapatkan mata rantai antara Norman dan Powers."
Bob berdehem. "Hei, jangan asyik
berdua saja! Coba kulihat dong." Pete menyerahkan koran pada Bob, yang
kemudian mengamati foto itu dengan saksama. "Siapa nama pria yang kalian
sebut-sebut tadi?"
"John Hemingway Powers," jawab
Jupe. "Dialah alumnus Shoremont yang kaya raya, yang kuceritakan padamu
beberapa hari lalu."
"Dan dia juga yang mendesak kalian
agar segera meringkus Duggan?" tanya Bob.
"Huh, mestinya kau lihat sendiri
bagaimana sikapnya," kata Pete.
"Aku pernah melihat orang
itu," ujar Bob sambil tersenyum.
"Betulkah? Kapan? Di mana?"
Jupe segera ingin tahu.
"Kau ingat waktu aku menemuimu di
gedung olahraga Shoremont minggu lalu? Aku sempat kesasar ke kantor Coach
Duggan dan mengobrol dengan sekretarisnya. Aku sudah cerita, kan, bahwa banyak
orang keluar-masuk.
Nah, dia salah satu di antara
mereka."
"Lalu apa yang terjadi?" tanya
Jupe.
"Dia masuk, dan langsung menuju
ruang kerja Coach Duggan. Aku menanyakannya pada sekretaris Duggan, dan dia
bilang Powers datang setiap minggu-biasanya hari Kamis, waktu Duggan tidak ada.
Menurut dia,
Powers menggunakan komputer Duggan untuk
membuat printout berisi statistik terakhir. Sepertinya pria itu tergila-gila
pada tim Shoremont."
"Powers sering datang dan
menggunakan komputer Coach Duggan?" Pete bertanya.
"Kalau Duggan sedang keluar. Tepat
sekali," balas Bob. "Apa kau berpikiran sama deganku?"
Jupe mengangguk. "Jika Powers masuk
ke kantor Duggan untuk memperoleh statistik terakhir, apa yang mencegahnya
untuk sekaligus membuat printout laporan pemain-pemain berbakat yang disusun
Coach Duggan? Powers mempelajari laporan-laporan itu, untuk mengetahui pemain
mana yang diincar Coach Duggan untuk tim Shoremont..."
"Dan kemudian," Pete
meneruskan, "Powers mengutus Michael Anthony alias Barry Norman untuk
mengantarkan uang suap."
"Sekarang sudah jelas bagaimana
Powers bisa menghubungi Pete begitu cepat," Jupe menambahkan. "Dia
tahu Pete berada di urutan teratas pada daftar Duggan. Karena itu dia
menugaskan Anthony untuk mengantarkan amplop pertama. Tapi kita menyimpulkan
amplop itu ditinggalkan oleh Coach Duggan, yang kebetulan sempat mendatangi
Pete pada malam yang sama."
"Ternyata kita keliru," kata
Pete.
"Kita tidak keliru," Jupe
membantah sambil menepuk-nepuk koran. "Kita terlalu terburu-buru. Apa
mungkin Hank mau membuatkan milk shake setengah porsi untukku?"
"Lho, kupikir kau betul-betul
lelah," Pete berkomentar.
"Memang. Tapi aku membutuhkan milk
shake itu agar segar kembali. Aku ingin menjelaskan rencanaku untuk menangkap
John Hemingway Powers, dan itu akan menghabiskan banyak waktu!"
***
Rencana Jupe sederhana saja. Mereka akan
memasang jebakan bagi John Hemingway Powers dengan menyelipkan umpan ke dalam
laporan Coach Duggan yang terbaru-dan berharap agar umpan itu termakan oleh
Powers.
Untung saja hari berikutnya Kamis, hari
yang biasa dimanfaatkan Powers untuk memperoleh data statistik tim Shoremont.
Pagi-pagi sekali Trio Detektif sudah
berangkat ke Shoremont College. Setelah sampai, ketiga sahabat itu langsung
menuju kantor Coach Duggan. Jupe dan Pete bersembunyi di gudang di seberang
lorong. Sementara mereka mengintip lewat celah pintu, Bob menyembulkan kepala ke
kantor. "Halo, masih ingat aku?" ia mulai merayu sekretaris Duggan.
"Astaga, kau masih kesasar
juga?"
"Bukan-aku kesasar lagi,"
balas Bob.
Gadis berambut pirang itu kembali
menunjukkan arah untuk Bob, tapi kali ini Bob berhasil membujuknya untuk
menemaninya, sehingga kantor Duggan ditinggal dalam keadaan kosong. Begitu
mereka pergi, Pete dan Jupe menyelinap ke ruang kerja si pelatih basket.
Dalam sekejap Jupe telah menyalakan
komputer.
"Aku sudah membuka file berisi
laporan Coach Duggan mengenai pemainpemain berbakat," kata Jupe, sementara
jari-jemarinya menari-nari di atas keyboard Ia memasukkan berbagai informasi
sambil tersenyum lebar.
"Apa yang lucu?" tanya Pete.
Sejenak ia mengalihkan pandangannya dari pintu.
"Nanti saja kuberitahu. Aku sudah
hampir selesai." Jupe berhenti mengetik, lalu keluar dari program.
"Beres. Tahap pertama sudah rampung. Ayo, kita menyingkir dulu."
Mereka bergegas kembali ke gudang, lalu
menunggu sambil berharap agar Powers segera muncul.
Powers baru muncul dua jam kemudian.
Seperti yang dikatakan Bob, dia segera masuk ke ruang kerja Duggan. Beberapa
menit kemudian dia keluar lagi sambil membawa printout komputer.
"Umpan kita sudah termakan,"
kata Jupe.
"Powers telah menggunakan komputer.
Dan Duggan sepanjang pagi belum masuk ke kantornya. Tahap kedua sudah selesai.
Sekarang giliran tahap ketiga. Semoga berhasil, Pete. Sori, aku tidak bisa
menemanimu. Risikonya terlalu besar. Aku mungkin dikenali sebagai si burung
nuri. Jangan buangbuang waktu, dan pastikan kau masuk sendirian."
Pete keluar dari gedung sambil membawa
papan pencatat. Sebatang pensil terselip di belakang telinganya. Ia melintasi
lorong.
"Ada yang bisa saya bantu?"
tanya sekretaris Duggan.
"Pemeliharaan komputer," balas
Pete, sambil mengetuk-ngetuk papan pencatat dengan pensil. "Pemeriksaan
rutin."
"Coach Duggan punya komputer di
ruang kerjanya," ujar gadis pirang di balik meja. "Biar saya
tunjukkan tempatnya."
"Jangan. Maksud saya, tidak perlu.
Saya... ehm... bisa menemukannya sendiri."
"Oke."
Pete masuk ke ruang kerja, dan duduk
menghadapi komputer. Seketika butir-butir keringat muncul pada keningnya. Ia
bisa membongkar mobil, lalu memasangnya kembali dengan mata tertutup. Tapi
komputer merupakan soal lain. Kedua tangan Pete gemetar ketika ia mulai
mengetik. Hapus... hapus... Berulang kali ia membaca petunjuk-petunjuk yang
ditulis Jupe pada papan pencatat.
Setelah tugasnya selesai, Pete keluar
dari ruang kerja, mengucapkan terima kasih pada si sekretaris, dan menyusuri
lorong. Sebuah ketukan pelan pada pintu gudang membuat Jupe keluar.
"Berhasil?" tanya Jupe.
Pete mengangguk. "Aku menghapus
semua yang kaumasukkan tadi."
"Bagus. Tahap ketiga selesai.
Sekarang kita tinggal menunggu sampai seseorang menghubungi Luke Braun-si jago
basket yang sebenarnya tidak ada!"
15.
Permainan Telah Berakhir
"OKE, sekarang tolong ceritakan
semuanya tentang Luke Braun," kata Bob, ketika mereka dalam perjalanan
pulang ke Rocky Beach.
"Maksudmu, segala sesuatu yang
kukarang untuk laporan pemain berbakat?" tanya Jupe. Ia tersenyum puas.
"Pertama-tama, Luke Braun murid yang selalu memperoleh nilai A."
"Yeah, ini memang pertimbangan
utama bagi para pelatih basket," Bob berkomentar sambil geleng-geleng.
"Bagiku itu penting, dan aku yang
mencip-takannya," balas Jupe ketus.
"Tingginya 195 senti."
"Nah, ini baru pemain basket,"
kata Pete.
"Dia memiliki persentase tembakan
yang menonjol, dia bisa menembak sama baiknya dengan tangan kanan maupun
kiri-kurasa itu sentuhan yang menarik-dan kutulis bahwa dia gesit, langsing,
dan tangkas. Aku juga menambahkan bahwa Coach Duggan menganggapnya sebagai
calon pengganti Magic Johnson di masa mendatang."
"Wow!" Pete berseru.
"Andai kata aku pelatih basket, aku pasti akan menempuh segala cara untuk
menarik Luke agar bermain dalam timku."
"Memang itu tujuannya. Membuat
Powers penasaran untuk membawa Luke ke Shoremont. Aku juga menambahkan bahwa
Luke hari ini akan memutuskan perguruan tinggi mana yang diminatinya. Karena
Luke sebenarnya tidak ada, aku mencantumkan alamat dan nomor teleponmu, Bob.
Sekarang kita tinggal menunggu di rumahmu sampai telepon berdering."
Menjelang sore, saat yang
ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Bob menyahut dan langsung memberi isyarat pada
Jupe dan Pete.
"Ya, ini Luke Braun," kata
Bob. Ia memindahkan pesawat telepon dan duduk di kursi empuk di ruang tamu.
Melihat wajah Bob, Jupe langsung tahu
bahwa percakapan itu berlangsung sesuai rencana. Mula-mula Bob berlagak
tertarik berbicara dengan Michael Anthony, tetapi kemudian ia mulai
mempersiapkan perangkap.
"Tentu, saya sangat berminat untuk
berbicara dengan Anda. Tapi rasanya kurang enak kalau saya harus menemui Anda
di tempat lain. Orangtua saya dan saya telah memutuskan bahwa saya hanya akan
melakukan pembicaraan di rumah, dengan ditemani orangtua saya. Ayah saya baru
saja kehilangan pekerjaan, dan kami
tidak banyak uang. Mereka ingin agar saya menemukan perguruan tinggi yang
memahami kesulitan kami."
Bob kembali mendengarkan lawan
bicaranya, dan akhirnya mengacungkan jempol ke arah Pete dan Jupe.
"Sip!" ia berkata sambil meletakkan gagang. "Dia datang sekitar
sejam lagi."
Ketika bel berdering satu jam kemudian,
Bob segera membuka pintu.
"Halo, Anda pasti Michael
Anthony," ujar Bob. "Saya Luke."
Barry Norman melangkah masuk dan duduk
di salah satu kursi. Ia menatap Bob dengan bingung. "Di laporan pemain
berbakat tertulis tinggimu 195 senti."
"Gerakan peregangan yang biasa saya
lakukan sebelum pertandingan benar-benar membantu," balas Bob.
Jawaban itu rupanya terasa tidak
mengenakkan bagi Barry Norman. Ia mulai gelisah. "Betulkah kau Luke
Braun?"
"Tentu. Beberapa orang menganggap
saya sebagai calon pengganti Magic Johnson," jawab Bob. "Apakah kita
bisa membicarakan bayaran saya sekarang, Mr. Anthony, sebab saya masih menunggu
tiga utusan perguruan tinggi lain yang juga ingin menyogok saya."
Wajah Barry Norman tetap tenang ketika
ia melihat berkeliling. "Saya rasa saya permisi dulu, Luke."
Bob berdiri sebelum Norman sempat
bergerak. "Tunggu dulu!" katanya.
"Saya belum memperkenalkan Anda
kepada orangtua saya.
Mereka ingin sekali bertemu dengan Anda.
Hei, kalian boleh masuk sekarang!"
Begitu mendengar aba-aba Bob, Pete dan
Jupe muncul di ambang pintu. Mereka gembira melihat wajah Barry Norman-yang
sejak tadi sudah bingung-menjadi pucat.
"Selamat sore, Mr. Norman,"
kata Jupe. "Waktu kita bertemu di kantor Chief Reynolds, saya lupa memberitahu
Anda bahwa kami dikenal sebagai Trio Detektif. Ini Bob Andrews, anggota
ketiga."
Jupe tidak bisa menyembunyikan senyum
kemenangannya. "Saya juga ingin mengucapkan terima kasih atas kunjungan
Anda, Mr. Norman, sebab dengan demikian Anda telah membuktikan siapa yang
berada di balik skandal penyuapan di Shoremont College."
"Saya tidak membuktikan apa-apa.
Dan kalau kalian pikir saya akan menuding seseorang, kalian betul-betul
kekanak-kanakan."
"Sebenarnya," ujar Bob,
"pada waktu Anda menelepon saya, Anda sudah menuding seseorang."
"Begini, Mr. Norman," Jupe
menjelaskan, "hanya ada satu cara bagaimana Anda bisa mengetahui nama dan
nomor telepon Luke Braun, yaitu jika John Hemingway Powers yang memberitahu
Anda. Soalnya pemuda bernama Luke Braun tak pernah ada."
Jupe menduduki sofa yang berada setengah
meter dari kursi Barry Norman. Keduanya bertatapan untuk waktu yang lama.
"Asal tahu saja, saya tidak
mengakui kesalahan apa pun," kata Norman akhirnya. "Tapi seandainya
saya memang bekerja untuk John Hemingway Powers, lalu kenapa? Saya tidak
melanggar hukum, sama halnya dengan John Hemingway Powers."
"Mungkin memang begitu," balas
Jupe. "Tapi saya rasa reputasi Anda sebagai pengacara takkan bertambah
baik jika urusan ini sampai diketahui pers. Di pihak lain, kalau Anda mau
bekerja sama, Mr. Harper dari Shoremont College mungkin bersedia untuk tidak
melibatkan nama Anda."
Wajah Norman tampak sekeras batu.
"Saya tidak melihat alasan mengapa saya tidak bisa bertemu dengan Mr.
Harper, kalau itu yang kalian inginkan."
***
Jupe tampak berseri-seri ketika naik ke
VW kodok merah milik Bob. Sepanjang perjalanan ke Shoremont College air mukanya
tidak berubah. Barry Norman mengikuti mereka dengan mobil sendiri. Sebelumnya,
Jupe sudah menelepon Mr. Harper untuk memberitahunya bahwa mereka
berhasil memecahkan kasus penyuapan itu.
Ia juga minta agar Mr. Harper memanggil Coach Duggan ke kantornya, dan
sekaligus mengundang John Hemingway Powers. Ketika mereka tiba di kantor Mr. Harper,
Duggan dan Powers sudah menunggu.
Mr. Harper menyalami ketiga anggota Trio
Detektif, tapi Jupe nyaris tidak memperhatikannya. Ia terlalu sibuk mengamati
reaksi John Hemingway Powers pada waktu Barry Norman melangkah masuk. Ekspresi
terkejut, marah, cemas, bingung, dan siap bertempur melintas di wajah pria itu.
Kemudian ia memelototi Jupe dan kedua sahabatnya.
"Jupiter," kata Mr. Harper,
"kami semua sudah tak sabar menunggu penjelasanmu. Rupanya kalian bertiga
memang detektif berbakat, sebab kalian berhasil memecahkan kasus ini dalam
waktu kurang dari dua minggu. Saya sangat berterima kasih pada kalian. Sekarang
tolong ceritakan apa yang kalian temukan."
"Detektif?" Coach Duggan
bergumam dari kursinya di dekat jendela. "Saya tidak melihat detektif di
sini. Saya hanya melihat maskot kita dan"-ia menunjuk Pete-"seorang
pelajar high school"
Jupe melangkah ke tengah-tengah ruangan.
"Sebenarnya, kami bertiga pelajar high school dan detektif, Coach
Duggan," ia menjelaskan. "Saya hanya pura-pura sebagai mahasiswa
Shoremont."
"Coach," kata Mr. Harper,
"sebentar lagi Anda akan mengerti semuanya. Silakan, Jupiter. Teruskan
ceritamu."
Jupe tidak terburu-buru. Ia
mengibaratkan John Hemingway Powers sebagai buah kas-tanye-sejenis kacang-kacangan
dengan kulit keras yang sukar dikupas-kecuali bila dipanggang terlebih dahulu.
Kalau Powers sudah matang, sudah cukup cemas, Jupe berharap kedoknya akan retak
dengan sendirinya.
"Kasus ini memang pelik," ujar
Jupe. "Tapi beberapa bukti terkumpul dengan mudah. Sebagai contoh, orang
ini, Barry Norman, memberikan sejumlah uang dan sebuah Porsche pada Pete, agar
Pete bermain basket untuk Shoremont College."
"Apa?" seru Coach Duggan.
"Tenang dulu, Duggan," tegur
Mr. Harper dengan keras. "Anda akan mendapat kesempatan untuk menjelaskan
semuanya."
Semua orang di ruangan itu segera
menyadari bahwa Mr. Harper menganggap Coach Duggan sebagai biang keladi. Powers
tersenyum secara sembunyi-sembunyi.
"Kelihatannya Anda telah menarik
kesimpulan yang keliru," Jupe memberitahu Mr. Harper. "Kami telah
memastikan bahwa Coach Duggan sama sekali tidak bersalah dalam urusan
ini."
"Hmm, kalau begitu, siapa?"
Kesabaran Mr. Harper mulai menipis.
"Saya akan segera menjawab
pertanyaan Anda. Tapi sebelumnya, izinkan saya untuk menanyakan sesuatu pada
Mr. Powers," ujar Jupe. "Mr. Powers, siapa Luke Braun?"
Powers menatap Jupe dengan hati-hati. "Siapa
Luke Brown?" ulang Powers.
"Ya," kata Jupe. "Anda
mengenalnya, bukan?"
Powers terdiam sejenak. Ia berusaha mencari
perangkap yang mungkin telah disiapkan oleh Jupe. Namun rupanya ia tidak
berhasil menemukannya.
"Setahu saya, Luke Braun pemain
basket high school" jawab Powers. "Saya melihat namanya tercantum
dalam laporan pemain berbakat yang disusun Coach Duggan. Menurut Coach Duggan,
dia berbakat sekali."
Semua orang menoleh ke arah Coach
Duggan. "Luke Braun? Saya belum pernah mendengar nama itu," pelatih
itu berkomentar.
Powers tampak kebingungan. "Tapi
saya melihat namanya pada laporan Anda," ia ber-keras. "Anda
mengatakan dia calon pengganti Magic Johnson!"
"Bukan," potong Jupe.
"Saya yang mengatakannya. Begini, Mr. Powers, pemuda bernama Luke Braun
tidak ada. Dia tokoh rekaan saya. Saya memasukkan nama Luke ke komputer Coach Duggan,
karena saya tahu Anda akan membaca laporannya. Saya juga tahu Anda akan
mengutus
Michael Anthony-Mr. Barry Norman
ini-untuk menemui Luke. Kami menghapus file itu beberapa menit setelah Anda
meninggalkan kantor Coach Duggan, Mr. Powers, sehingga Anda satu-satunya orang
yang sempat membacanya. Saya kira bukti yang kami ajukan cukup meyakinkan."
John Hemingway Powers tiba-tiba tampak
lelah dan sepuluh tahun lebih tua.
"Apakah ini benar, Mr.
Norman?" tanya Mr. Harper.
"Saya ingin membantu Anda,"
Barry Norman berkata, "tapi sebelumnya saya ingin mendapatkan kepastian bahwa
peran saya dalam masalah ini akan tetap dirahasiakan. Begini tawaran saya: Saya
akan mengatakan segala sesuatu yang ingin Anda ketahui, dan sebagai gantinya
Anda berjanji untuk tidak menyebutkan nama saya kepada pihak pers."
"Baiklah," Mr. Harper
menyetujui. "Kalau itu harga informasi Anda, saya bersedia membayarnya.
Sekarang katakanlah, apakah keterangan Trio Detektif benar?"
Norman menatap Powers, lalu mengangguk.
"Ya. John Hemingway Powers adalah klien saya. Dialah yang berada di balik
usaha penyuapan ini."
"Oke, semuanya benar! Terus
kenapa?" Powers berkata dengan nada menjurus bangga. "Saya merasa tak
ada salahnya memberikan sesuatu pada anak-anak muda agar mereka mendaftarkan
diri ke Shoremont College dan bergabung dengan tim basket."
Mr. Harper mengerutkan kening ketika
menghardik, "John, pendapatmu bertentangan dengan setiap peraturan yang
menyangkut etika penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi."
"Yeah, memang mudah bagimu untuk
duduk di sini dan membicarakan masalah etika," balas Powers. "Kau
baru tiga tahun menduduki kursi pimpinan Shoremont. Kau bukan lulusan kampus
ini. Kau tidak tahu tradisi dan sejarahnya. Kau tidak ikut mengalami masa
kejayaannya. Kau
tidak perlu menyaksikan prestasi para
olahragawannya terus menurun.
Kau tidak tahu bagaimana perasaanku
melihat para atlet berbakat tahun demi tahun memilih perguruan tinggi terkenal,
tempat setiap pertandingan olahraga diliput TV secara besar-besaran. Nama besar
Shoremont College harus dipulihkan-dan aku tahu bukan kau yang akan
melakukannya."
"Sudah berapa lama ini
berlangsung?" Mr. Harper bertanya.
"Baru sejak kau mengontrak Duggan
sebagai pelatih," jawab Powers. "Aku mendapatkan ide ini ketika
mendengar kabar burung bahwa Duggan membayar para pemainnya di Boston. Apakah
aku percaya berita itu benar? Hah, aku tidak peduli! Hanya satu hal yang
kuketahui: Uang berbicara dan orang-orang menurut. Aku yakin kalau masalah
bayaran ini sampai terbongkar, Duggan yang akan terkena getahnya."
"Jadi itulah sebabnya kau
menawarkan dana tambahan untuk Coach Duggan," kata Mr. Harper.
"Sekadar agar semua kecurigaan akan terarah padanya?"
"Aku tidak punya pilihan lain,
Chuck. Ketika anak-anak ini mulai membuntuti Barry dan mengusik pemain-pemainku
dengan pertanyaanpertanyaan mereka, aku mulai mencium masalah."
Ia mengalihkan pandangan dan memelototi
Pete. "Siapa yang menyangka kami ternyata berurusan dengan detektif amatiran?"
Pete tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Powers, Anda telah mencoreng
olahraga basket dengan segala kesombongan Anda!"
"Bangun, Duggan!" balas
Powers. Ia menjentikkan jari seperti ahli hipnotis.
"Tim juara dibeli dengan uang,
bukan dilatih! Tim kita berhasil mencapai final untuk pertama kali dalam
sepuluh tahun terakhir. Dan kita berpeluang menang. Untuk itu kalian semua
mestinya berterima kasih padaku."
Mr. Harper tampak begitu kecewa,
sehingga untuk sesaat Jupe nyaris merasa bersalah karena mereka berhasil
memecahkan kasus itu.
"Powers," Mr. Harper berkata
dengan sedih, "permainanmu telah berakhir."
"Betul sekali," Coach Duggan
angkat bicara. "Saya akan mengeluarkan semua pemain bayaran Anda dari tim
saya, Powers."
"Jangan mengada-ada," kata
Powers. "Pertandingan final akan berlangsung besok malam. Tak ada yang
perlu mengetahui urusan ini."
"Tim Shoremont mungkin memang tim
terbaik yang bisa dibeli dengan uangmu, John," ujar Mr. Harper, sambil
meluruskan jepitan kertas, "tapi aku tidak ingin program olahraga kami
dijalankan dengan cara itu. Dan kau tidak perlu repot-repot mengancam bahwa kau
akan membatalkan sumbanganmu untuk membangun gedung olahraga baru, sebab aku
tidak sudi lagi menerima sepeser pun darimu. Shoremont College sudah tidak membutuhkan
bantuanmu."
Powers berdiri. Untuk terakhir kalinya
ia memelototi semua orang yang hadir, lalu meninggalkan ruangan.
"Terima kasih banyak," kata
Mr. Harper. Ia memaksakan diri untuk tersenyum, tapi kemudian menjabat
erat-erat tangan ketiga anggota Trio Detektif. "Shoremont College akan
melewati masa yang berat dan memalukan. Tapi paling tidak kami masih bisa
bangga karena kami membuka dan menangani masalah-masalah kami, bukan malah
menutupnutupi semuanya."
16. PPB
"WELL, kelihatannya kalian cukup
sibuk selama aku pergi main ski," kata Kelly. "Tapi sekarang terus
teranglah. Sebenarnya Pete tidak pernah mendapat hadiah Porsche, kan?"
Pete menggenggam kemudi si Perahu.
Setelah ia meninggalkan mobilnya di lapangan parkir minggu lalu, Cadillac tua
itu ditarik polisi ke tempat penahanan sementara. Tadi pagi Pete terpaksa
membayar delapan puluh dolar untuk
menebusnya-dari kantongnya sendiri, sebab uang sogok sejumlah empat ribu dolar
telah ia kembalikan pada Powers. Sekarang si Perahu sedang membawa mereka ke
pertandingan final Shoremont.
"Jangan singgung Porsche itu lagi,
oke?" kata Pete.
"Oke," jawab Kelly, lalu
menunggu sejenak. "Tapi paling tidak, tolong jelaskan kenapa Michael
Anthony meledakkannya."
Pete mengerang.
"Kurasa John Powers menyuruh dia
membayar seseorang untuk melakukannya," Jupe meralat dari bangku belakang.
"Sebenarnya Porsche itu memang milik Powers."
"Tapi kenapa harus
diledakkan?"
"Sebab Norman menyadari bahwa gerak-geriknya
sudah mulai terbaca,"
Jupe menjelaskan. "Karena kami
melakukan kesalahan yang sebenarnya bisa dihindari. Ketika kami membuntuti dia,
kami menyangka sudah cukup menjaga jarak. Tapi jika kau mengendarai mobil sport
seharga 45.000 dolar dan membuntuti pemiliknya, kau harus dua kali lebih
berhatihati. Kami terlalu sembrono.
Setelah pertemuan kemarin, Norman mengakui
melihat mobilnya diparkir di country club ketika kami mengikutinya ke sana.
Karena itu dia lalu mengajak kami berkelilingkeliling."
"Masa?" tanya Pete. "Wah,
pantas dia pergi ke Costa Verde College-agar kita menyangka dia bekerja untuk
Bernie Mehl. Kurasa itu pula sebabnya dia tidak meneleponku pada hari
Sabtu-ketika kau memaksaku menunggu di rumah sepanjang hari, Jupe!"
"Kalau begitu, dia pasti juga
melihat Porsche itu ketika kalian menunggu di dekat kantornya," kata Bob.
"Ya," Jupe mendesah.
"Kesalahan serupa, hasil serupa. Karena itulah Norman tidak muncul pada
sore harinya. Malahan, ketika Pete dan aku sedang menunggunya, justru dia yang
mengawasi kami! Kemungkinan sambil menelepon seorang ahli ledak. Norman takkan
mengakui bahwa dialah dalang peledakan mobil itu. Tapi aku cukup yakin dia
mengikuti kita ke pesta Cory Brand. Kemudian ahli ledak yang disewanya memasang
bom, menelepon Pete, lalu menekan tombol pada remote control"
"Aku suka sisi romantis kasus
ini," kata Kelly.
"Sisi romantis yang mana?"
Pete bertanya dengan heran.
"Maksudku, wanita muda dan cantik
yang makan siang dengan Barry Norman. Ternyata dia putri John Hemingway Powers!
Seperti... seperti dalam film saja!"
"Yeah, ehm, berdasarkan apa yang
diceritakan Norman padaku kemarin," ujar Jupe, "pasti akan ada
pertumpahan darah kalau Powers mengetahui Norman berkencan dengan putrinya.
Terutama karena itulah yang menyebabkan keberuntungan akhirnya bergeser ke
pihak kita."
Pete menemukan tempat kosong di gedung
parkir di Shoremont College. Ia segera memutar ke pintu Kelly dan berhasil
membukanya pada tarikan kedua.
"Barangkali engsel pintunya cuma
perlu diketok sedikit," Bob menghibur sahabatnya
"Yeah, dengan palu godam,"
Pete menggerutu.
"Hei, sudahlah! Kasusnya sudah
selesai. Dan pertandingan ini bakal seru,"
Kelly berusaha mengalihkan pembicaraan.
Ia menggiring ketiga anggota Trio Detektif ke pintu gedung olahraga.
Tetapi ketika mereka menerobos kerumunan
orang untuk mencari tempat duduk mereka di tribun penonton, Jupe dan Bob masih
terus membahas detail-detail kasus mereka.
"Bagian yang paling
memalukan," Jupe mengakui, "terjadi menjelang akhir pertemuan di
kantor Mr. Harper kemarin, ketika aku memberitahu Coach Duggan bahwa Walt Klinglesmith termasuk pemain
yang menerima bayaran. Ternyata dugaanku keliru. Walt memang gemar
membagibagikan uang juga bolpoin-bolpoin mahal karena alasan yang kuat. Ayahnya
pemilik serangkaian toko alat tulis."
Bob tertawa penuh pengertian.
"Pertandingan malam ini pasti berat
sebelah," ujar Pete. "Tanpa Cory Brand, Tim Frisch, dan empat pemain
andalan lainnya, Shoremont tidak punya harapan menang."
"Yeah, dan tanpa Jupe sebagai
burung nuri, para pendukungnya pasti kurang bergairah," Bob menimpali.
"Jupiter Jones, kau mengundurkan
diri karena tim Shoremont pasti kalah?" Kelly bertanya dengan nada
menuduh. "Itu melanggar kode etik para cheerleader?"
"Jupe bukannya mengundurkan diri.
Ia diberhentikan dengan hormat waktu mereka tahu dia hanya pura-pura jadi
mahasiswa," Bob menjelaskan.
Akhirnya keempat anak muda itu menemukan
tempat duduk masing-masing di tengah tribun, berhadapan dengan lingkaran
tengah. Tempat duduk ideal, berkat jasa Coach Duggan.
"Nah," Pete berkata begitu
Jupe duduk, "siapa yang akan membeli hot dog, minuman, dan popcorn?"
"Siapa yang mau berbagi hot dog
denganku?" tanya Jupe.
"Aduh, lebih baik kaucari diet baru
saja," Bob menanggapinya sambil ketawa.
Tiba-tiba Jupe melihat regu cheerleader
Shoremont melakukan pemanasan di tepi lapangan. "Biar aku saja yang
membeli semuanya," ia menawarkan diri. Jupe segera bangkit, menuruni
tribun, berlawanan dengan arus penonton yang lain. Ketika ia sampai di bawah,
ia berdiri sambil menatap Sarah. Dalam hati ia mengulangi kata-kata yang telah
dihafal-kannya di bawah bimbingan Bob. "Apakah kau mau pergi ke bioskop
bersamaku?"
Hanya tujuh kata. Pasti takkan ada
kesulitan.
Ia melambaikan tangan ke arah Sarah, dan
gadis itu menghampirinya.
"Halo, Jupe," Sarah menyapa.
Ia tampak heran melihat Jupe.
"Ehm, halo. Bagaimana pendapatmu
mengenai bioskop?" Sarah kelihatan bingung.
Jupe berdehem. "Maksudku, kau
pernah ke bioskop, kan? Ehm..." Ya Tuhan, hanya tujuh kata! Tapi kenapa
kata-kata itu begitu sukar diucapkan?
"Jupiter, aku sangat berterima
kasih karena kau telah membantu sekolah kami, dan juga telah bersedia
menggantikan Steve sebagai burung nuri. Eh, waktu aku mendengar bahwa kau anak
high school sekaligus detektif, kupikir, wow, ini baru kejutan. Tapi kemudian
aku memikirkannya lagi, dan dalam hati kukatakan bahwa bagimu tak ada istilah
'tak masuk akal'."
Jupe menarik napas panjang. "Kalau
begitu, apakah kau... ehm..."
Sarah memecahkan keheningan.
"Barangkali kita bakal ketemu lagi kalau kau sudah masuk perguruan
tinggi." Ia tersenyum, menyentuh lengan Jupe, dan pergi.
Sekian dan terima kasih, pikir Jupe
ketika memesan hot dog, minuman, dan popcorn. Kesempatannya untuk berkencan
dengan gadis yang memesona itu telah lenyap. Tak ada imbalan bagi siapa pun
dalam kasus itu.
Shoremont akan kalah. Pete terpaksa naik
Perahu lagi. Jupe harus kembali ke Rocky Beach High School...
Prooot! Jupe mendengar minumannya
tumpah, tapi ia hanya melihat warna ungu. Perlahan-lahan ia menyadari
kenapa-rupanya ia telah menabrak Coach Duggan, yang mengenakan jaket kebanggaan
Shoremont.
Jaket itu kini berlepotan Coca-Cola.
"Oh, maaf, Coach Duggan," Jupe
minta maaf.
Pelatih itu tidak berkedip. "Tidak
apa, Jupe," katanya. "Coca-Cola justru membantu menenangkan saraf.
Mestinya kubeli beberapa gelas untuk anak-anak di ruang ganti. Maklum saja,
beberapa di antara mereka baru bermain kurang dari enam puluh detik dalam musim
kompetisi ini. Tapi mereka pasti akan berusaha sekuat tenaga."
"Semoga sukses, Coach," ujar
Jupe.
Pelatih itu mengangguk. "Aku ingin
mengucapkan terima kasih secara pribadi, atas semua yang kaulakukan untukku.
Kami harus bertanding di final tanpa pemain-pemain terbaik kami. Kami tidak
punya peluang sama sekali untuk menang. Tapi kau tahu, tidak? Aku justru
bersyukur. Dalam kasus di Boston aku tidak bersalah, dan aku berharap semua
orang sudah tahu bahwa kali ini pun begitu. Sekali lagi terima kasih, Jupe.
Berkat kau reputasiku berhasil diselamatkan."
"Sama-sama, Coach," balas
Jupe.
Coach Duggan hendak kembali ke ruang
ganti, namun tiba-tiba berbalik dan bertanya,
"Kau tahu apa yang lebih sulit
daripada mengganti pemain-pemain itu, Jupiter?"
Jupe menggelengkan kepala.
"Menemukan PPB seperti kau!"
Jupe tampak kebingungan. "Pemain
Paling Berbakat?"
"Pelawak paling berbakat.
Penampilanmu sebagai burung nuri benar-benar tanpa tandingan!"
-TAMAT
Emoticon