Bintang Bola Basket



Trio Detektif

Bintang Bola Basket

Megan Stine & H. William Stine

Sumber Djvu: syauqy_arr

syauqy_arr@yahoo.co.id

http://hanaoki.wordpress.com

Edit & Convert: inzomnia

 

Jupe otaknya. Pete jagoannya. Dan Bob yang paling tenang. Bertiga mereka dapat membongkar segala tindak kriminal di Rocky Beach, California.

Tapi, bisakah mereka mengungkapkan siapa yang menyuap atlet-atlet

perguruan tinggi- dengan mengandalkan data yang tak lengkap?

 

 

Kasus ini memerlukan penanganan cepat!

Daftar Isi

1. Kemenangan Selalu Menguntungkan

2. Mimpi Menjadi Kenyataan

3. Kesimpulan Awal

4. Kelly Menyusun Siasat

5. Bercucuran Keringat

6. Menunggu Peluang

7. Maskot Berani Mati

8. Bergelimang Uang

9. Kena Getahnya

10. Tuan Kantong Tebal

11. Sebuah Peringatan

12. Perkembangan Negatif

13. Foul Perorangan

14. Berkat Bantuan Pers

15. Permainan Telah Berakhir

16. PPB

 

 

1. Kemenangan Selalu Menguntungkan

BUNYI itu menyerupai gemuruh gempa bumi. Tetapi asalnya bukan dari dalam perut bumi, melainkan dari entakan kaki, entakan ratusan pasang kaki, yang membentur lantai di tribun penonton secara berbarengan. Kemudian seruan-seruan mulai membahana, semakin lama semakin cepat.

"Pertahanan! Pertahanan! Pertahanan!"

Pete Crenshaw berdiri di tengah lapangan. Napasnya tersengal-sengal, dan telinganya pekak karena kebisingan di sekitarnya. Pertandingan basket selalu menegangkan, tapi yang ini berbeda. Kedudukannya imbang, para pemain diliputi ketegangan, dan Pete tahu bahwa pelatihnya

mengandalkan dirinya untuk mencegah regu Santa Monica menambah angka.

NGUUUNG!

"Time-out-Rocky Beach!" si komentator pertandingan berkata lewat pengeras suara. Pete dan para pemain lain mengelilingi Coach Tong, pelatih basket Rocky  Beach High School. Coach Tong menatap mata semua anggota timnya-terutama Pete.

Dengan tinggi 182,5 sentimeter dan berat badan 95 kilogram. Pete termasuk kecil untuk ukuran pemain basket. Ia tahu bahwa Coach Tong telah mengambil risiko dengan menempatkannya sebagai pemain jaga inti.

Tetapi Pete memang berbakat, dan kini ia merupakan salah seorang pemain terbaik dalam timnya.

"Waktu tinggal dua puluh detik," kata si pelatih. Cepat-cepat ia menggambarkan sebuah diagram pertahanan pada papan pencatat seukuran buku catatan, lalu menghapusnya dengan lengan baju

hangatnya.

"Nah, apa yang akan kalian lakukan?"

"Menang!" kelima pemain berseru serentak, saling menepuk tangan, dan kembali ke lapangan.

Sejenak, sebelum regu Santa Monica kembali, Pete memperhatikan rombongan cheerleader Rocky Beach. Mereka melompat-lompat, bersoraksorai, dan mengajak para penonton untuk ikut memberikan semangat pada tim mereka. Cheerleader yang paling cantik menatap lurus ke arah

Pete, sambil menyibakkan rambutnya yang cokelat dan lembut dari wajahnya. Kemudian ia tiba-tiba melemparkan ciuman jarak jauh.

Aduh, pikir Pete. Memalukan sekali! Gadis itu Kelly Madigan. Ia dan Pete sudah berpacaran selama beberapa bulan, dan Pete tidak pernah bisa meramalkan apa yang akan dikatakan atau diperbuat oleh Kelly. Mungkin justru karena itulah Pete begitu menyukainya.

"Hei, seseorang sedang berusaha menarik perhatianmu," ujar Bill Konkey,

pemain jaga kedua dalam tim Pete.

"Yeah. Aku lihat ciuman jarak jauhnya." Pete tersipu-sipu.

"Jupiter Jones memberimu ciuman jarak jauh?" tanya Bill.

"Jupe ada di sini-di pertandingan basket?" Pete berkata sambil terheranheran.

Mata Pete mengikuti jari Bill yang menunjuk ke arah tribun, sampai ia menemukan dua wajah yang amat dikenalnya. Kedua wajah itu milik Jupiter Jones dan Bob Andrews. Pete, Jupe, dan Bob sudah bersahabat sejak entah kapan. Mereka bertiga adalah Trio Detektif, trio penyelidik terkenal dari Rocky Beach.

 Pete tidak mempercayai pandangannya. Jupiter Jones menonton pertandingan baket- dan berpegangan tangan dengan seorang gadis!

Bukan sembarang gadis, tapi Amanda Blythe- salah satu gadis tercantik di sekolah mereka!

Ini merupakan berita besar, sebab Jupiter Jones adalah ahli dalam segala bidang, kecuali dalam dua hal-berdiet dan gadis-gadis cantik. Ia tidak pernah beruntung dengan keduanya. Tetapi sekarang ia duduk sambil menggenggam tangan Amanda Blythe dan tersenyum lebar. Diam-diam ia melambaikan tangannya yang satu lagi ke arah Pete.

Di samping Jupe duduk Bob Andrews, yang mendapat nilai A dalam bidang yang paling tidak dikuasai Jupe. Bob tahu segala sesuatu mengenai cara menangani gadis-gadis cantik. Ketika mengganti kacamatanya dengan lensa kontak beberapa tahun lalu, ia seakan-akan juga mendapat kepribadian baru.

Sejak itu Bob termasuk sepuluh murid paling populer di Rocky Beach High School. Suara mendengung dari pengeras suara di atas papan pencatat nilai membuyarkan lamunan Pete.

 "Waktu tinggal dua puluh detik," si komentator kembali berkata.

"Kedudukan masih imbang, 70-70. Rocky Beach memegang bola."

Bill Konkey segera mengoper bola kepada Harold Dixon, yang bermain sebagai penyerang. Oke, tenang saja, kata Pete pada dirinya sendiri. Tinggal lima belas detik lagi. Tiba-tiba para penonton terdengar mengerang.

Terry Nolan, pemain andalan regu Santa Monica, berhasil mencuri bola. Nolan langsung berlari ke arah basket. Ia akan mencetak angka yang menentukan-dengan pertandingan yang hanya tersisa sepuluh detik lagi!

Pete melompat sepersekian detik sebelum Nolan menembakkan bola.  Perhitungannya tepat. Pete berhasil menepis bola pada saat bolanya mulai terlepas dari tangan Nolan.

Bolanya memantul di lantai, dan kemudian Pete menguasainya. Para penonton berteriak Pete berlari ke ujung lapangan yang berlawanan. Lima detik! Pete tahu bahwa semua pemain Santa Monica sedang mengejarnya, tapi dengan tenang ia melompat tinggi untuk melakukan lay-up. Masuk! Dua angka, dan kemudian bel tanda akhir pertandingan berbunyi.

 "Skor 72 lawan 70!" seru komentator. "Rocky Beach keluar sebagai pemenang!"

Musik mulai mengalun dan rombongan cheerleader berlari memasuki  lapangan. Mereka bersorak-sorai dan menari-nari ketika para pemain berlari masuk ke ruang ganti.

"Tembakan maut!" ujar Bill Konkey, sambil menepuk punggung Pete. Pete mengangguk dan tersenyum. Ia membelitkan handuk pada tengkuknya yang basah kuyup. Kemudian ia membiarkan rekan-rekan yang lain melewatinya. Ia lelah sekali-bahkan terlalu lelah untuk berdiri di bawah pancuran air dingin yang bisa menyegarkan dirinya.

"Pete," seseorang memanggil.

Pete membalik dan melihat seorang pria yang tak dikenalnya berdiri di lorong di luar ruang ganti. Orang itu berusia empat puluhan dan bertubuh tegap. Ia mengenakan jaket ungu, dengan huruf "S" bergaya kuno pada sisi kiri. Matanya yang biru menatap Pete dari bawah topi pet berwarna sama dengan jaketnya.

"Pete, bisa bicara sebentar?" tanya pria itu. 

Dia bukan orang California, pikir Pete. Naluri detektifnya langsung mulai bekerja. Pria itu berbicara dengan logat Boston. Perlahan-lahan Pete menghampirinya.

"Ross Duggan," pria itu memperkenalkan diri sambil berjabatan tangan dengan Pete.

"Saya pelatih basket di Shoremont College. Kau pernah mendengar tentang kami?"

"Tentu," jawab Pete. "Kampus Shoremont kira-kira lima belas menit dari Rocky Beach. Musim kompetisi yang lalu Anda mengalahkan UCLA."

"Betul, itulah kami," balas Coach Duggan. "Begini, seorang kenalan menganjurkan saya untuk menonton permainanmu, dan karena itulah saya ada di sini. Terus terang, saya sangat puas dengan apa yang saya lihat malam ini, dan saya ingin mengusulkan sesuatu padamu. Daftarkan

dirimu sebagai mahasiswa di Shoremont, dan saya akan mengusahakan agar kau memperoleh beasiswa penuh-semuanya akan ditanggung. Kau akan bermain sebagai mahasiswa tingkat pertama. Kami memang bukan sekolah terbesar, tapi setelah empat tahun di bawah bimbingan saya, Pete, saya jamin kau berpeluang untuk main dalam liga NBA-National Basketball Association."

 Pete menarik handuk dan menggosok-gosok rambutnya yang berwarna cokelat kemerah-merahan. Apa ia tidak salah dengar? Pria itu muncul entah dari mana dan menawarkan beasiswa penuh untuk bermain basket dalam tim perguruan tinggi? Pete tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

"Pikirkan saja dulu," ujar Coach Duggan, lalu menyerahkan sehelai kartu nama. "Sekarang saja permainanmu sudah bagus, Pete. Saya bisa membantumu untuk menjadi pemain yang lebih hebat lagi, dan kau bisa membantu saya untuk mengangkat prestasi tim saya. Oke, dalam waktu dekat kita akan berbincang-bincang lagi."

Si pelatih berbalik dan melangkah pergi.

"Orang yang penuh percaya diri," sebuah suara berkata dari belakang Pete.

"Kelihatannya dia orang yang terbiasa mendapatkan segala yang diinginkannya."

Pete langsung mengenali suara itu. Ia menoleh dan melihat Jupiter Jones. Bob Andrews berdiri di samping sahabatnya itu.

Dengan tinggi badan 172 senti, Jupe merupakan anggota Trio Detektif yang paling pendek. Ia mengenakan jeans biru tua yang masih baru-padahal semua murid di sekolah mereka memakai jeans stonewashed yang sudah belel.

Ia juga memakai T-shirt yang terlalu sempit, dengan tulisan I EATTHEREFORE I AM. Perutnya yang buncit membuktikan bahwa ia berpegang teguh pada semboyan itu. Seperti biasa, rambutnya yang hitam dan lurus tampak acak-acakan.

Bob, sebaliknya, berpenampilan trendy, kaus polo berwarna merah, yang cocok sekali dengan kulitnya yang kecokelatan dan rambutnya yang pirang, jeans belel, dan sepatu pantofel tanpa kaus kaki.

"Jupe," kata Pete sambil melihat berkeliling, "mana Amanda Blythe? Aku hampir kena serangan jantung tadi, waktu aku melihatmu di sebelah dia di tribun."

Jupe berdehem. "Aku memutuskan dia bukan tipeku," ia berkata sambil pasang tampang cemberut.

"Hah?" tanya Pete. "Sejak kapan?"

"Sebenarnya Amanda hanya mau membuat Carl Thames cemburu," Bob menjelaskan. "Dan karena Cari murid paling bodoh di sekolah, Amanda pikir cara terbaik adalah dengan mendekati murid paling pandai."

"Oh," ujar Pete, lalu ketawa. "Bagaimana, berhasil?"

 "Melebihi dugaan semula," jawab Jupe. Sambil meringis ia memegangi perutnya.

"Masih untung cuma perutmu yang dihajar Carl," Bob berkomentar.

"Kupikir dia akan mencopot kepalamu dan memakainya untuk bermain boling."

Jupe mendesah dan mengalihkan pembicaraan. "Siapa pria berjaket ungu tadi?"

"Coach Duggan, pelatih basket di Shoremont College."

"Dia pasti ke sini untuk memuji permainanmu yang luar biasa. Kau benarbenar hebat tadi," kata Bob, sambil melepaskan tembakan lompat tanpa bola. "Kau yang memenangkan pertandingan, dan kau sempat mempermalukan Terry Nolan dengan gebrakanmu itu."

Sambil tersenyum Pete mengenang detik-detik terakhir dalam pertandingan yang baru berlalu. "Yeah, lumayan juga, ya! Eh, kalian siap mendengar berita ini? Coach Duggan baru saja menawarkan beasiswa penuh kalau aku mau main untuk Shoremont College. Dia bilang aku bisa main sebagai mahasiswa tingkat pertama."

"Wow!" Bob berseru. "Gila!"

 Jupe menggigit bibir bawahnya sambil berpikir. "Beasiswa penuh hanya untuk main basket?" ia bertanya. "Aku memang bukan ahli dalam bidang olahraga, tapi aku tahu satu hal: jika satu sekolah menganggap permainanmu sedemikian hebat, Pete, sekolah-sekolah lain juga akan

berpendapat begitu. Kusarankan agar kau tidak terburu-buru mengambil keputusan."

"Sekolah-sekolah lain?" Pete mengulangi. "Jupe, otakku tak sanggup mencerna semuanya ini. Aku mau mandi dulu, dan habis itu mau pergi dengan Kelly. Sampai besok, oke?"

Seorang diri di ruang ganti, dengan sekujur tubuh tersiram air dingin, Pete mengingat-ingat pertandingan yang berhasil mereka menangkan. Ia juga memikirkan ucapan Jupe. Tim-tim lain bakal tertarik padanya?

Berapa banyak? Lima? Sepuluh? Bagaimana kalau sampai terjadi perang tawarmenawar untuk memperebutkan Pete Crenshaw, si superstar bola basket?

Setelah kering, segar, dan berpakaian, Pete meninggalkan ruang ganti.

"Pete!" panggil Kelly Madigan. Ia bergegas mendekat dan melingkarkan kedua lengannya pada leher Pete.

"Hei, Sayang," ujar Pete sambil memeluk pacarnya.

"Kau tahu betapa hebatnya kau tadi, Pete?

Pada skala satu sampai sepuluh, kau mendapat nilai dua puluh!"

Pete tersenyum. "Ayo, Kelly. Kita jalan-jalan naik mobil. Ada sesuatu yang perlu kuceritakan padamu."

Pete ingin duduk di belakang kemudi, sebab di situlah ia selalu paling bahagia-di sekitar mobil. Kalau ia tidak sedang memecahkan misterimisteri bersama Jupe dan Bob, Pete sering membeli mobil tua, memperbaikinya, lalu menjualnya kembali, biasanya dengan keuntungan yang lumayan besar.

Dalam perjalanan menuju lapangan parkir, Pete bercerita mengenai pelatih perguruan tinggi yang mendatanginya seusai pertandingan. Ia baru selesai bercerita ketika mereka sampai di mobilnya yang terakhir, sebuah Cadillac Fleetwood berusia dua puluh tahun. Kelly menjulukinya si Perahu. Cadillac tua itu memang memerlukan segala macam perbaikan, tapi Pete belum punya uang.

Ia membeli mobil itu dengan perjanjian "jika bisa menyalakan mesinnya, kau boleh membawanya pergi", dan hanya membayar tujuh ratus dolar.

Pete membukakan pintu untuk Kelly-bukan karena ia ingin bersikap sopan, melainkan karena hanya ia sendiri yang cukup kuat membuka pintu itu. Ketika ia menyelinap ke balik kemudi, Kelly menyerahkan sebuah amplop padanya.

"Hei, apa ini? Ulang tahunku bukan hari ini, Sayang," kata Pete.

Kelly menggelengkan kepala. "Aku menemukannya di atas jok."

Pete menyalakan lampu dalam, dan mengamati amplop itu. Amplop itu belum ada waktu ia datang sebelum pertandingan.

Pada bagian depannya tertulis PETE CRENSHAW dengan huruf-huruf besar. Pete menyobek salah satu ujungnya, lalu mengeluarkan isinya.

"Hah?" Pete dan Kelly sama-sama membelalakkan mata.

Lembaran-lembaran uang seratus dolar berhamburan keluar. Banyak sekali. Sementara Kelly mengumpulkan uang itu dan mulai menghitung,

Pete membaca pesan yang jatuh ke pangkuannya. Pesan itu demikian: Shoremont membutuhkanmu. Kalau mau bermain untuk Shoremont, kau akan mendapat imbalan yang melebihi semua mimpimu. Ini baru permulaan saja.

"Pete," ujar Kelly. Wajahnya tampak bingung dan agak ngeri. "Jumlahnya tiga ribu dolar!"

 

 

2. Mimpi Menjadi Kenyataan

SELAMA beberapa saat Pete dan Kelly duduk membisu di dalam Cadillac tua milik Pete. Mereka menatap uang tiga ribu dolar di tangan Kelly. Semuanya lembaran seratus dolar baru.

"Apa artinya ini?" Kelly akhirnya bertanya.

Sebagai jawaban, Pete menyalakan mesin mobilnya.

"Mau ke mana kita?" tanya Kelly.

"Aku harus memberitahu Jupe dan Bob," jawab Pete. Ia menginjak pedal gas sampai mengenai lantai mobil, dan sesaat kemudian si Perahu tiba-tiba maju dan sambil tersendat-sendat meninggalkan lapangan parkir.

Jupiter Jones tinggal bersama Paman Titus dan Bibi Mathilda di sebuah rumah yang berseberangan dengan tempat penampungan barang bekas milik mereka. Di salah satu sisi pekarangan yang luas ada sebuah karavan tua, yang beberapa tahun lalu diambil alih oleh Jupe dan dijadikan markas Trio Detektif.

Kini, setelah ketiga anggota Trio Detektif duduk di bangku high school, mereka biasanya bertemu di bengkel elektronikJupe, yang bersebelahan dengan karavan itu. Bob menjulukinya

laboratorium Dr. Frankenstein, sebab di tempat itulah Jupe memberi kehidupan baru pada peralatan-peralatan elektronik yang telah mengembuskan napas terakhir.

Pete menggunakan remote-control untuk membuka gerbang besi di bagian depan pekarangan. Mobil tuanya menggelinding masuk dan berhenti tersendat-sendat. Mesinnya mati diiringi serangan batuk mendadak.

Pete dan Kelly membuka pintu bengkel, dan menemukan Bob duduk di kursi sambil mendengarkan musik mengentak-entak dan membaca majalah Billboard edisi terbaru. Jupe sedang sibuk di meja kerjanya.

"Hei! Coba dengarkan ini!" Bob berseru ketika melihat Pete dan Kelly.

"Inilah band baru yang mungkin akan kutangani!" Bob pegawai Rock-Plus, perusahaan pemandu bakat milik Sax Sendler. Ia bekerja part-time, seusai sekolah dan pada akhir pekan.

"Bagaimana pendapat kalian?" tanya Bob, sambil mengangguk ke arah pengeras suara.

Tapi sebelum Pete sempat menjawab, Jupe telanjur mematikan tape recorder.

"Kedatangan mereka bukan untuk mendengarkan musik. Pasti ada sebab lain."

 "Dari mana kau tahu?" tanya Kelly.

"Sebab Pete masuk sambil menggenggam tanganmu, sesuatu yang tidak biasa dilakukannya di sini, di kantor. Dan dari buku jarinya yang kelihatan memutih, aku tahu dia menggenggam tanganmu dengan erat."

"Belakangan ini Jupe mendadak ahli dalam urusan berpegangan tangan."

Bob berkelakar.

Pete tersenyum. Ia sudah merasa lebih lega. Jupe selalu bisa memecahkan setiap masalah.

"Hei, coba lihat ini!" ujar Pete sambil melemparkan amplop, pesan yang ditulis dengan mesin tik, berikut uangnya ke atas meja.

Perhatian Bob dan Jupe segera tertuju pada uang itu.

"Wow!" Bob bersiul perlahan, sementara Jupe menjatuhkan obeng kecil yang sedang digenggamnya. Ia meraih pesan di atas meja itu, dan mengangkatnya sambil menjepit salah satu sudutnya.

"Sayang sekali kalian tidak memastikan apakah ada sidik jari sebelum kalian membuka amplop," ia berkata.

Kelly ketawa. "Jupe, hanya kau yang mungkin mencari sidik jari pada sebuah amplop yang belum dibuka."

 Jupe tidak ketawa. Ia malah mengangkat pesan itu ke hadapan lampu, lalu memeriksa tanda air pada kertasnya.

"Kalian sadar apa saja yang bisa kulakukan dengan uang tiga ribu dolar ini?" tanya Pete. Ia mulai berjalan mondar-mandir. "Aku bisa memperbaiki mobilku dan mengembalikannya ke dalam kondisi seperti baru. Suspensi belakangnya sudah tak keruan, aku perlu meng-gerinda katup-katup..."

"Pete!" Kelly memotong sambil mendorong pacarnya. "Ini uang suap! Kau tidak boleh menerimanya."

"Hei, aku tahu, Sayang," balas Pete. "Tapi tak ada yang bisa menghukumku karena aku memikirkan segala kemungkinan."

"Busyet," kata Bob. "Aku sering membaca berita tentang skandal penyuapan untuk menarik pelajar-pelajar berbakat olahraga ke perguruan tinggi tertentu, tapi aku tak menyangka kita akan mengalaminya di sini, di Rocky Beach, California."

"Menurutmu bagaimana, Jupe?" tanya Pete. "Ini pasti ulah Coach Duggan dari Shoremont, heh? Bayangkan saja, tiba-tiba dia mendatangiku dan berkata, 'Bergabunglah dengan tim saya,' dan dua puluh menit kemudian mobilku telah berubah menjadi mesin uang."

Jupe mengembalikan pesan itu ke atas meja. "Apakah Coach Duggan menyinggung soal memberi atau meninggalkan uang untukmu? Apakah dia kelihatan seperti orang yang ingin menyerahkan sejumlah uang padamu?"

"Tidak, dan tidak."

"Kalau begitu, kita tidak bisa menyimpulkan uang suap ini berasal dari dia," Jupe berkata sambil mengangkat bahu. "Dia hanya menawarkan beasiswa padamu, dan itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku."

"Jadi apa langkah kita selanjutnya? Menghubungi NCAA?" tanya Bob.

"Tidak, Senin besok kita akan melaporkan usaha penyuapan ini kepada pimpinan Shoremont College," jawab Jupe. "Dan setelah itu, kita tawarkan jasa untuk menyelidiki kasus ini. Pemberian uang kepada atlet-atlet memang tidak melanggar hukum, tapi perbuatan itu tidak etis

dan sama sekali tak sesuai dengan peraturan NCAA. Aku jamin pimpinan Shore-mont College pasti ingin membongkar urusan ini sampai tuntas."

"Oke! Sepertinya kita mendapat kasus baru," ujar Pete.

"Yeah," Bob menimpali "Tapi ada satu masalah."

"Jangan bilang dulu," kata Jupe cepat-cepat. "Senin besok kau tidak bisa ikut, betul?"

"Betul. Senin besok adalah awal liburan musim panas," balas Bob. "Tidak ada sekolah selama dua minggu. Karena itu Sax minta agar aku masuk kantor setiap hari. Tapi kalian tahu, kan, aku ikut mendukung?"

"Yeah, dalam bentuk dorongan moril," Jupe mendesah,

***

 

Senin pagi Pete dan Jupe naik mobil ke Shoremont College, yang terletak sekitar dua mil di luar Rocky Beach. Kampusnya kecil, menyenangkan, dikelilingi pepohonan. Pete sengaja mengenakan jaket merah-kuningnya, jaket kebanggaan Rocky Beach High Schol.

 Menurutnya jaket itu membuktikan bahwa ia betul-betul pemain basket high school. Jupe memakai T-shirt Plato, yang menampilkan wajah filsuf terkemuka itu pada dadanya.

Pete memarkir si Perahu di depan gedung administrasi, sebuah bangunan bata merah berlantai tiga. Bersama Jupe ia lalu menggunakan lift untuk mencapai tingkat paling atas.

 "Ada yang bisa saya bantu?" petugas penerima tamu bertanya. Ia seorang wanita berambut kelabu, dengan kacamata bertengger di atas kepala.

"Kami ingin bertemu dengan pimpinan perguruan tinggi ini," Jupe menjelaskan. "Masalahnya sangat mendesak." Kalau mau Jupe bisa tampil dengan gaya yang sangat dewasa.

Si penerima tamu menghubungi atasannya lewat interkom, kemudian mengantarkan Jupe dan Pete ke sebuah ruang kerja, yang kedua sisinya dibatasi oleh jendela-jendela berukuran besar. Seorang pria menduduki pojok meja eksekutif yang mengilap. Usianya sekitar tiga puluh tahun,

termasuk muda untuk pimpinan sebuah perguruan tinggi. Ia memakai kemeja dan dasi, tapi sebagai pengganti jas, ia mengenakan sweter besar yang nyaman.

"Halo," ia menyapa. Sambil tersenyum lebar ia menghampiri Jupe dan Pete untuk berjabatan tangan. "Saya Chuck Harper. Bagaimana saya bisa membantu kalian?"

Jupe meraih ke dalam dompet dan menyerahkan kartu namanya pada Harper.

"Trio Detektif?" Harper membaca. "Saya hanya melihat dua orang di sini. Tapi baiklah, siapa kalian ini-sebuah grup rock? Maaf, saya menangani hampir segala

sesuatu di sini, tapi saya tidak menyewa pemain musik."

Jupe berdehem. "Mr. Harper, nama saya Jupiter Jones. Ini Pete Crenshaw. Bob Andrews, rekan kami, sedang berhalangan. Kami bukan grup rock. Kami detektif."

Mr. Harper tampak kebingungan sampai Jupe menyodorkan pesan dan uang yang ditinggalkan di mobil Pete. Kemudian air muka Harper berubah menjadi sangat serius.

"Saya menemukannya di mobil saya, persis setelah saya didatangi Coach Duggan," Pete menjelaskan.

"Wah, gawat." Mr. -Harper mendesah, lalu menjatuhkan diri ke sofa besar berlapis kulit yang menghadap ke salah satu dinding kaca. Ia memandang ke luar, dan membisu untuk sesaat. "Saya sering duduk di sini sambil memperhatikan kampus saya," ia berkata kemudian, "dan saya pikir saya tahu segala sesuatu yang terjadi di bawah sana. Tapi tanpa diduga muncul

masalah seperti ini."

Ia kembali berdiri. "Sekarang dengar dulu, kalian tidak bisa masuk begitu saja lalu menuduh pelatih saya terlibat penyuapan.

Buktikan dulu -buktikan Duggan mencoba menyuapmu."

"Kami tidak bisa membuktikannya," Jupe berkata dengan tegas, "dan kami tidak menuduh Coach Duggan. Kami bukan detektif amatiran."

"Hmm, saya takkan heran kalau memang Duggan yang melakukannya," ujar Mr. Harper sambil duduk lagi.

Komentar itu sungguh mengejutkan-juga bagi Jupiter. Setelah terdiam beberapa saat, Mr. Harper melanjutkan,

"Sebenarnya-tapi ini tidak boleh keluar dari ruangan ini-memang pernah ada desas-desus bahwa di tempatnya terakhir melatih, Duggan menggunakan cara-cara ilegal untuk menahan pemain-pemain berbakat agar tetap bermain untuk timnya. Kabar burung itu tak pernah terbukti, tapi nama baik perguruan tinggi tersebut sudah sempat tercoreng. Saya sadar ahwa saya telah mengambil risiko dengan mempekerjakan Duggan, tapi semula saya percaya dia tidak bersalah. Sebagai pelatih dia istimewa."

Sekali lagi Mr. Harper memandang ke luar jendela.

"Itu dia," katanya sambil menunjuk sosok dengan jaket dan topi pet ungu. Orang itu sedang

melintasi salah satu jalan setapak yang melintasi kampus.

"Itu Duggan."

Jupe dan Pete menghampiri jendela dan memperhatikan orang itu.

"Duggan memang punya uang untuk men-alankan rencana semacam ini,"

Mr. Harper meneruskan. "Duggan mendapatkan dana dalam jumlah besar, dan dia bebas menggunakannya. Mungkin saja dia membayar para pemain tanpa sepengetahuan saya. Tapi saya takkan membiarkan permainan kotor seperti itu berlangsung di Shoremont!"

Di bawah. Duggan menghilang dari pandangan.

"Oke," ujar Mr. Harper. "Andaikata Trio Detektif akan menyelidiki kasus ini, bagaimana kalian akan melakukannya tanpa menarik perhatian?"

Jupe tidak perlu berpikir untuk menanggapi pertanyaan itu. "Kami akan menghadapi situasi ini dari dalam dan dari luar. Maksud saya, Pete akan membuka tabungan bank untuk menyimpan uang suapnya. Dan dia akan pura-pura tertarik apakah ia bakal dihubungi lagi."

"Dan dari dalam?" tanya Harper.

"Mudah." Jupe tersenyum gembira sebelum membeberkan rencananya.

"Saya akan mendaftarkan diri di Shoremont, dan mengikuti kuliah bersama para pemain basket. Dengan demikian saya bisa berkenalan dengan mereka, dan mencari tahu siapa saja yang menerima uang.

Mestinya tidak ada masalah. Semester musim dingin Anda baru mulai, dan sekolah saya di Rocky Beach libur dua selama minggu jadi saya tidak perlu membolos. Mungkin saya bahkan bisa memberi les tambahan untuk beberapa pemain."

Mr. Harper menggelengkan kepala. "Terlalu berat, Jupiter. Untuk itu, kau harus menguasai materi perguruan tinggi."

Jupiter mengangkat sebelah alis.

"Mr. Harper," kata Pete, "hanya ada satu hal yang lebih bengkak dibandingkan IQ Jupe yaitu utang negara kita."

Mr. Harper tersenyum ketika menduduki kursi di balik mejanya. "Hmm, siapa tahu memang berhasil," ia bergumam. "Saya akan memberimu daftar mata kuliah yang diikuti para pemain basket, sehingga kau bisa menyesuaikan jadwalmu dengan mereka."

Jupiter mengangguk, dan Mr. Harper mengangkat gagang telepon. Ia berbicara dengan seseorang di bagian pendaftaran.

 "Saya akan mengirim seorang pemuda bernama Jupiter Jones ke tempat Anda," ia berkata. "Ini

yang harus Anda berikan padanya."

Beberapa menit kemudian semuanya sudah beres.

"Tapi tak seorang pun boleh tahu tentang hal ini," Mr. Harper mengingatkan sambil meletakkan gagang telepon. "Dan saya tidak akan mengambil tindakan apa pun, sebelum kalian menemukan bukti kuat bahwa Duggan bersalah."

"Tentu saja," balas Jupe.

Tiba-tiba interkom di meja Mr. Harper mendengung, la mengangkat gagang telepon dan mendengarkan pesan si penerima tamu. "Tolong beritahu dia bahwa saya akan segera menemuinya, Ginny. Terima kasih."

Mr. Harper mengembalikan gagang telepon, dan mengusap-usap dagu sambil merenung. "John Hemingway Powers menunggu di luar," katanya.

"Dia alumnus Shoremont, dan baru saja menyumbangkan uang yang cukup untuk membangun aula dan kompleks olahraga baru. Kalau dia sampai tahu kenapa kalian di sini, kalau dia sampai curiga bahwa terjadi skandal olahraga di Shoremont, kami takkan mendapatkan sepeser pun dari dia."

"Jangan khawatir," kata Pete.

"Saya hanya ingin memastikan kalian memahami situasinya. Semuanya ini bersifat rahasia," ujar Mr. Harper. Ia kembali berjabatan tangan dengan mereka. "Silakan hubungi saya kalau kalian memerlukan sesuatu. Tapi jangan datang ke kantor saya lagi-penyamaran kalian bisa terbongkar. Dan sebaiknya sekarang kalian keluar lewat pintu belakang saja."

Jupe dan Pete menyelinap keluar, menuruni tangga, lalu menuju kantor pendaftaran di lantai pertama.

"Ini seperti mimpi yang jadi kenyataan," kata Jupe dengan wajah berseriseri.

"Yeah, kasus ini memang menarik," Pete berkomentar.

"Bukan kasusnya yang kumaksud," balas Jupe. "Aku akan masuk perguruan tinggi!"

 

 

3. Kesimpulan Awal

KETIKA Jupe sampai di kantor pendaftaran, ia berpaling pada Pete dan

menatapnya dengan pandangan "kenapa kau ada di sini".

"Sebaiknya kita berpencar saja," Jupe mendesis.

"Berpencar?" 

Jupe mengerutkan kening. "Pete," ia berkata sambil berusaha untuk tidak menoleh ke arah sahabatnya itu, "aku akan menyamar sebagai mahasiswa perguruan tinggi. Tapi kau pelajar high school Orang lain tidak boleh tahu kita saling mengenal. Jadi silakan menyingkir, oke?"

"Yeah, oke, tuan besar kepala. Tapi kau tidak berpikir ke depan, Jupe. Kalau aku pergi, bagaimana caranya kau pulang nanti? Kau tidak punya mobil."

"Aku tahu itu," balas Jupe. "Tapi sekarang aku sudah menjadi mahasiswa. Kami sudah terbiasa untuk mandiri dan memecahkan semua persoalan tanpa bantuan orang lain. Nanti malam aku menunggumu di markas untuk melaporkan pekembangan di sini-kecuali kalau aku terlalu banyak

pekerjaan rumah."

"Kau satu-satunya orang yang kukenal, yang membicarakan pekerjaan rumah sambil tersenyum," kata Pete. Ia menggelengkan kepala. "Sampai nanti."

Jupe menunggu sampai Pete tidak kelihatan lagi sebelum memasuki kantor pendaftaran. Beberapa menit kemudian ia telah mendapatkan segala yang diperlukannya untuk menjadi mahasiswa Shoremont, yaitu buku panduan mahasiswa, kartu identitas mahasiswa, serta peta kampus yang dibuat tanpa skala sehingga justru membingungkan.

Tetapi ada satu hal lagi sesuatu yang tidak dimiliki oleh mahasiswa mana pun di Shoremont:

sebuah printout komputer berisi semua mata kuliah yang diikuti para pemain basket.

Jupe keluar dari kantor pendaftaran dan segera membaca printout itu. Ia melingkari semua mata kuliah yang perlu diikutinya. Sebagian besar tidak terlalu berat-Pengenalan Panahan, Psikologi Keluarga, Sejarah Pertelevisian. Kelihatannya para pemain basket tidak suka memeras otak,

Jupe berkata dalam hati. Hmm, sebaiknya aku mulai dari mana?

Jam di puncak menara di tengah-tengah kampus menunjukkan pukul satu. Jupe kembali memeriksa daftarnya. Walt Klinglesmith, seorang pemain jaga dalam tim Shoremont, mengambil kuliah Kimia 101 di Mars Hall, salah satu gedung ilmu alam. Nah, itu mata kuliah yang sesuai dengan minat Jupe. 

Kampus mulai ramai dengan mahasiswa-mahasiswa yang berpindah dari satu gedung ke gedung lain. Ada yang berjalan kaki, ada juga yang naik sepeda. Rupanya saat pergantian mata kuliah. Jupe harus buru-buru.

Ia mencegat mahasiswa pertama yang melewatinya. "Permisi, di mana Mars Hall?" Jupe bertanya. "Aku harus segera ke sana."

"Mars Hall?" pemuda di hadapannya membalas. "Gedung ilmu alam? Tempat orang-orang sinting yang mau membuat lebih banyak bom? Sori, bukan bidangku, man" Dan ia berlalu dengan cepat.

Menyesuaikan diri dengan suasana kampus rupanya lebih sulit dari yang kuduga, pikir Jupe. Ia mengeluarkan peta kampus, dan berharap menemukan gedung yang tepat.

Mars Hall ternyata sebuah bangunan batu yang sudah tua, berbeda dengan gedung administrasi yang serba modern. Jupe menyusuri lorong-lorong gelap yang diterangi dengan sistem penerangan kuno sampai ia tiba di depan Ruang 377. Ruang itu merupakan laboratorium kimia berisi deretan meja lab, semuanya dilengkapi bak cuci, alat pemanas Bunsen, bahanbahan

kimia, dan puluhan tabung reaksi.

Sekitar empat puluh mahasiswa duduk di balik meja masing-masing, sambil menunggu kedatangan profesor mereka.

Dengan waswas Jupe melangkah masuk. Ia membayangkan salah seorang

mahasiswa berdiri dan menudingnya, "Hei! Ada anak high school kesasar!"

Namun tak seorang pun berdiri. Tak ada yang berseru. Bahkan tak ada yang memperhatikannya.

Ia menyusuri tepi ruangan, sambil berlagak mencari tempat kosong. Tapi sebenarnya ia sengaja berkeliling untuk menemukan mahasiswa yang bernama Walt Klinglesmith.

Dia pemain basket, ujar Jupe dalam hati. Berarti dia seharusnya orang paling jangkung di sini.

Tapi teori itu kandas begitu saja. Orang paling jangkung di dalam lab ternyata seorang gadis. Tingginya sekitar 195 senti. Sepatu botnya yang terbuat dari kulit hitam hampir sama tingginya dengan Jupe.

Oke, sekarang bagaimana? Musim kompetisi bola basket sudah hampir berakhir, pikir Jupe. Sebagai pemain jaga, Walt mungkin mengalami cedera kecil.

Sekali lagi Jupe melihat berkeliling, dan bingo! Itu dia. Jupe mengambil tempat di samping seorang pemuda dengan pergelangan tangan terbalut.

Di hadapan pemuda itu ada buku catatan bersampul kulit, dan di sudut sampulnya terlihat inisial W.K. tertulis dengan huruf emas. Walt Klinglesmith. Sebuah bolpoin Mont Blanc yang supermahal tergeletak di atas buku catatan.

 Kesimpulan: Walt banyak uang. Dari mana asalnya? Dari kantong Coach Duggan?

Suasana di dalam laboratorium mendadak hening. Sang profesor telah datang. Seorang pria berambut putih menghampiri papan tulis dan mulai menuliskan beberapa kata: MAKANAN ANJING, DAUN SELADA, CUKA, SABUN...

Jupe mengamati daftar itu. Semua butir yang dicantumkan pasti mengandung satu unsur kimia yang sama, tapi Jupe tidak bisa menebak apa. Belajar di perguruan tinggi ternyata lebih sukar dari yang dibayangkannya.

"Profesor Wevans," salah seorang mahasiswa berkata kebingungan. Profesor tertawa dan membalik untuk menghadapi murid-muridnya.

"Bukan, ini bukan kuis mengenai unsur-unsur kimia. Ini titipan istri saya yang harus saya beli dalam perjalanan pulang nanti malam. Saya terpaksa menuliskan semuanya sebelum lupa."

Seluruh kelas tertawa, dan Profesor menuliskan beberapa persamaan kimia.

Kemudian ia mulai memanggil nama-nama para mahasiswa.

Tenang saja, Jupe berkata dalam hati. Tenang saja, dan jangan tonjolkan diri. Sebenarnya ia bisa menjawab pertanyaan Profesor, tapi ia tidak ingin menarik perhatian. Jika ia tidak mengangkat tangan, kemungkinan besar takkan ada yang memperhatikannya...

"Salah, Mr. Fankel. Salah sama sekali," Profesor Wevans sedang berkata.

"Masa tak seorang pun dari kalian yang bisa menyelesaikan persamaan ini?"

Jupe tak sanggup menahan diri lebih lama. Ia mengacungkan tangan dan menyerukan jawaban yang benar.

"Terima kasih," ujar Profesor. "Itu jawaban paling menggembirakan yang saya dengar dalam waktu lama."

Sesaat ia menatap Jupe sambil membisu, lalu berkata, "Maaf, apakah Saudara tidak salah masuk ruang kelas? Seingat saya, saya belum pernah melihat Saudara di sini."

Aduh, pikir Jupe Belum apa-apa samaranku sudah terbongkar.

"Ehm, begini," ia tergagap-gagap. "Saya sering terlambat bangun sehingga tidak bisa mengikuti kuliah Bapak."

"Terlambat bangun?" si profesor mengulangi. "Kuliah saya mulai jam satu siang. Siapa nama Saudara?"

"Jones. Jupiter Jones."

"Hmm, nama Saudara termasuk nama yang sukar dilupakan, Mr. Jupiter Jones," kata Profesor Wevans. "Saya sarankan agar Saudara membeli beker yang bersuara lebih keras."

"Baik, Pak," ujar Jupe.

"Mr. Klinglesmith, tolong selesaikan soal berikutnya," Profesor melanjutkan.

"Ehm, tentu," jawab Walt. Ia memelototi soal di papan tulis. Dan Jupe mengamati wajah Walt.

Aku tahu ekspresi itu, pikir Jupe. Sudah jutaan kali aku melihatnya. Panik, bingung, putus asa. Dia tidak tahu jawabannya, dan inilah kesempatanku untuk berkenalan dengannya.

Tanpa berkedip Jupe meraih bolpoin Walt yang mahal. Dengan tenang ia menuliskan -2 pada secarik kertas. 

Walt berdehem. "Ehm, minus dua," katanya.

Bagus," Profesor Wevans memuji sebelum beralih ke topik berikutnya.

Seusai kuliah, Jupe keluar laboratorium satu langkah di depan Walt. Di lorong, ia mengeluarkan kertas bertulisan -2 dan menyerahkannya kepada si pemain basket.

"Nih, sebagai kenang-kenangan," Jupe menawarkan.

Walt ketawa. "Yeah, terima kasih," ia berkata sambil tersenyum. "Dan terima kasih atas bantuanmu tadi. Sebenarnya aku bisa menemukan jawabannya, tapi pikiranku selalu mendadak beku kalau seorang profesor memanggilku."

Jupe mengedip-ngedipkan mata. Walt menyodorkan bolpoin Mont Blanc sambil jalan.

"Ambil saja," desaknya.

"Ya, tapi...," Jupe mulai memprotes "Aku masih punya banyak," Walt memotong sambil tersipu-sipu. Menarik, pikir Jupe. Tetapi ia berusaha untuk tidak memperlihatkannya.

"Eh, Walt," Jupe berkata sambil lalu. "Kimia sebenarnya sangat logis. Barangkali aku bisa membimbingmu untuk menguasai dasar-dasarnya."

"Sebagai tutor, maksudmu?" tanya Walt. "Hei, ide bagus! Masalahnya, aku tidak banyak waktu. Tapi barangkali kita bisa menyelipkannya setelah latihan basket."

 "Tapi aku terpaksa menarik bayaran," ujar Jupe. "Dan seorang tutor dengan kualifikasi seperti aku tidak murah."

"Jangan khawatir, kawan. Berapa saja yang kauminta, uang tak jadi masalah bagiku. Oke?"

Walt mengulurkan tangan untuk bersalaman. Pada jari manisnya melingkar sebuah cincin perak berukuran besar, dengan tulisan Walt dari emas murni.

Jupe berjabatan tangan. Bukan uangmu yang kuincar, Walt, pikir Jupe sambil tersenyum. Aku ingin tahu dari mana kau memperolehnya. Dan kau punya waktu dua ming-gu untuk menceritakannya padaku!

 

4. Kelly Menyusun Siasat

GAGANG telepon diangkat pada deringan pertama. "Trio Detektif. Anda bicara dengan Pete Crenshaw."

"Pete," Jupe berkata pelan-pelan.

 "Jupe? Jupe, di mana kau? Sekarang sudah jam enam. Kelly dan aku sudah satu jam menunggu di markas. Kami hampir mati kelaparan."

"Aku di toko buku di kampus Shoremont. Tapi bus ke Rocky Beach baru datang sejam lagi. Kalau menunggu terus, aku perlu dua jam sebelum sampai ke rumah." Jupe berusaha agar suaranya terdengar biasa-biasa saja.

"Oh, jadi kau baru tiba jam delapan," Pete menanggapinya. "Oke. Terima kasih 'atas pemberitahuannya."

"Pete, jangan tutup dulu!" ujar Jupe. "Baiklah, aku berterus terang. Aku perlu dijemput. Kalau tidak, aku terdampar di sini sepanjang malam."

"Tapi, Jupe," balas Pete, "kau kan sudah mahasiswa sekarang. Aku' cuma murid highschool. Kau sendiri yang bilang kita sebaiknya jangan kelihatan bersamasama. Kau bilang akan menangani masalah-masalahmu sendiri, dan menemukan pemecahan gemilang tanpa bantuan orang lain."

Jupe mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai. "Well, itulah pemecahan yang kudapatkan," katanya. "Kau datang ke sini menjemputku. Oke?"

"Jupe, yang kauperlukan adalah mobil sendiri," ujar Pete bersungguh sungguh.  

Ucapan itu membuat Jupe benar-benar uring-uringan. Tak ada yang lebih diinginkannya selain mobil-terutama sejak kedua mobilnya terdahulu hancur berantakan-dan Pete tahu itu.

"Pete," Jupe berkata dengan kesal, "kalau kau tidak segera ke sini menjemputku, aku takkan menceritakan kemajuan yang kuper-oleh!"

"Ada berita baik?"

"Kasus penyuapan ini lebih pelik, jauh lebih pelik daripada yang kita duga. Hanya ini yang akan kukatakan sampai kau muncul di sini."

"Aku berangkat sekarang juga," jawab Pete.

***

 

Tak sampai sejam kemudian Pete dan Jupe sudah kembali ke markas Trio Detektif. Jupe mengenakan kaus Shoremont College, yang dibelinya di toko buku ketika menunggu Pete.

Dalam perjalanan pulang, sekadar untuk membalas dendam, Jupe tidak bercerita apa-apa mengenai kasus mereka. Beberapa menit setelah mereka tiba, Kelly datang naik mobil. Ia membawa dua kotak berisi pizza

"Apakah Pete sudah memberitahumu bagaimana pizza yang kuinginkan?" tanya Jupe.

 "Sudah, Jupe," kata Kelly. "Pizza berukuran mini dalam kotak pizza berukuran besar. Apa sih pengaruhnya?"

"Ini dietnya yang terbaru," Pete menjelaskan sambil meraih satu irisan dari pizza berukuran besar yang dibaginya bersama Kelly.

"Jupe, kau masih ingat berapa banyak diet aneh yang sudah pernah kaucoba?"

"Untuk mendapat jawaban yang pasti, aku perlu berkonsultasi dulu dengan komputerku. Tapi kalau tidak salah, jumlahnya sekitar dua puluh," ujar Jupe.

"Hmm, ini yang paling aneh," Pete berkomentar.

"Diet ini yang paling logis," balas Jupe. "Namanya Diet Setengah Porsi. Kau boleh makan apa saja, tapi hanya setengah porsi." Jupe meraih sepotong pizza, membelahnya menjadi dua, dan meletakkan satu belahan ke atas piringnya. Setelah menghabiskan belahan itu, ia membelah potongan kedua, lalu mulai makan lagi.

"Aku tak kuat melihatnya," kata Kelly.

"Yeah, Jupe. Ini tidak masuk akal," Pete pun sependapat. "Kau sudah menghabiskan dua belahan, kan? Kenapa kau tidak makan satu potong utuh saja?"

"Psikologi," jawab Jupe. "Kau takkan mengerti."

"Oke, Jupe," Pete berkata di antara dua gigitan. "Bagaimana kemajuan di Shoremont hari ini?"

"Aku menjadi pembimbing kimia untuk salah seorang pemain basket Shoremont-Walt Klinglesmith," Jupe bercerita. "Aku mendapat kesan dia bergelimang uang."

Pete dan Kelly mengangguk.

"Setelah kimia, aku mengikuti dua mata kuliah membosankan, dengan harapan bertemu dua pemain lagi. Tapi rupanya keduanya membolos.

Kemudian aku pergi ke gedung olahraga untuk menyaksikan latihan tim Shoremont, tapi ternyata mereka tidak ada di sana. Yang ada hanya rombongan cheerleader."

"Terus, apa kata mereka?" tanya Kelly.

"Tidak banyak," jawab Jupe sambil tersipu-sipu. Ia tampak agak gelisah.

"Maksudnya, Jupe tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada mereka,"

Pete menjelaskan. "Jadi dia pergi lagi."

 "Itu tidak benar," kata Jupe sambil menatap pizza di hadapannya. "Aku hanya menyimpulkan para cheerleader takkan tahu banyak, dan aku harus memfokuskan perhatianku pada para pemain."

"Para cheerleader takkan tahu banyak?" Kelly melompat berdiri. "Hidup Jupiter Jones! Siapa yang tahu lebih banyak tentang sebuah tim olahraga selain para cheerleader? Kaupikir kami hanya bisa melompat-lompat sambil bersoraksorai? Enak saja! Kami mengamati setiap gerakan yang terjadi di lapangan. Kami membuat para penonton tetap tertarik pada pertandingan. Kami

beramah-tamah dengan para pemain. Dan beberapa cheerleader bahkan berkencan dengan para pemain, terutama kalau mereka tampan dan gagah."

Kelly nyengir lebar dan memeluk Pete. Jupe bertanya-tanya apakah wajah Pete menjadi merah karena malu, atau karena peredaran darahnya terhambat akibat dipeluk terlalu keras oleh Kelly. "Baiklah, kalau kau memang ahli dalam hal ini, ehm, barangkali kau bisa memberi beberapa saran bagaimana caranya memulai percakapan dengan para cheerleader" kata Jupe.

"Tentu saja bisa," jawab Kelly. "Pertama-tama, kau harus memikat mereka.

Pada umumnya, para cheerleader suka disanjung. Kau tahu kan apa yang dimaksud dengan sanjungan, Jupe?"

"Aku bukan anak sekolah dasar," ujar Jupe tak sabar.

"Bagus," kata Kelly. Ia duduk sambil menunggu. "Ayo, silakan."

Pete dan Jupe terbengong-bengong. "Silakan apa?" tanya Pete.

"Silakan sanjung aku, Jupe," balas Kelly. "Latihan."

"Oke, ehm.-Jupe menggosokkan kedua tangan pada celana jeans-nya. "Ehm... Eh, Kelly, kau sekarang sudah tidak begitu sok mengatur seperti dulu."

"Benar-benar tanpa harapan!" Kelly mendesah sambil melirik ke arah Pete.

"Sayang sekali aku akan pergi main ski besok."

"Main ski?" Jupe memotong. "Bagaimana kau bisa pergi main ski sementara tim basket Rocky Beach akan bertanding dalam liburan ini? Kau kapten regu cheerleader. Bukankah kau wajib hadir?"

"Untuk apa aku punya wakil?" kata Kelly. "Kau lebih memerlukan aku daripada reguku."

Jupe menatapnya dengan ragu-ragu. "Oke, Kelly, apa cara yang paling ampuh untuk... ehm... memikat cheerleader?"

"Kau harus merayu mereka," Kelly menjelaskan. "Beri pujian untuk lompatan mereka, katakan segala gerak-gerik mereka membuatmu berdebar-debar-hal-hal seperti itulah. Setelah itu mereka akan menceritakan apa saja yang ingin kauketahui. Oh, yang ini juga bagus! Katakan kau merasa seakan-akan mereka hanya menatap ke arahmu."

"Hei!" Pete berseru. "Itu yang kaukatakan padaku! Kau bilang kau merasa aku menoleh ke arahmu setiap kali aku mengambil lemparan bebas."

Kelly tersenyum simpul. "Nah, Jupe. Kaulihat sendiri kan bagaimana hasilnya?"

***

 

Keesokan paginya Jupe mengikuti kuliah, dan pada sore harinya ia pergi ke gedung olahraga. Ia membuka pintu dan segera melihat bahwa tim basket tidak ada lagi. Tapi para cheerleader hadir-lima orang-dengan seragam berupa rok mini dan sweter ungu-putih.

Hmm, kata Jupe dalam hati, mungkin Kelly memang benar. Barangkali ia bisa mengorek keterangan dari mereka. Ia menyelinap masuk, dan mengambil tempat duduk di tepi lapangan. Para cheerleader tengah berlatih, sehingga mereka tidak mengetahui kehadirannya.

"Ayo, Walt! Ayo, Cory! Sikat mereka sampai grogi! Maju Marty, Matt, dan Tim! Lawan kalian sudah pusing! Hore, Shoremont, hore!"

Pengarangnya pasti bukan mahasiswa jurusan sastra, Jupe berkata dalam hati. Kemudian ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghampiri dan menyapa para cheerleader. Tapi dalam sekejap saja ia sudah bermandikan keringat dingin. Untung saja para cheerleader sudah

menghentikan latihan mereka, lalu mulai mengobrol. Jupe tinggal menguping saja.

"Hei, jangan sembarangan!" salah seorang dari mereka berseru. Rambutnya yang panjang dan gelap dibuntut kuda. "Kalian pikir aku kencan dengan Cory Brand hanya karena Corvette dan condo-nya?" 

"Ya!" keempat rekannya menjawab.

"Oke, apakah kalian bisa memikirkan alasan yang lebih baik?" balas gadis pertama sambil ketawa.

Radar Jupe langsung siap siaga. Inilah yang dicarinya-gosip mengenai para pemain basket! Cory Brand adalah salah satu dari mereka, dan rupanya ia memiliki mobil sport dan apartemen mewah.

"Hei, sedang apa kau di sini?" Tiba-tiba seorang cheerleader berambut merah melihat ke arah Jupe. Gadis itu berdiri sambil bertolak pinggang.

Jupe menelan ludah. Jangan panik, ia berusaha menenangkan diri sendiri. Tetap tenang, dan coba mengorek informasi sebanyak mungkin. Kau sudah puluhan kali menanyai orang dalam kasus-kasus sebelum ini, dan mestinya kali ini juga tidak terlalu sulit. Pokoknya, ingat saran-saran Kelly.

Ia berdiri, lalu perlahan-lahan menghampiri para cheerleader. Ketika mendekat, Jupe melihat bahwa nama-nama mereka tersulam pada sweter masing-masing.

"Ehm... Nora," Jupe berkata pada si rambut merah. "Waktu kalian sedang latihan, aku merasa seakan-akan kalian hanya melihat ke arahku."

"Memang," balas Nora. "Soalnya tak ada siapa-siapa di sini selain kau."

Wah, betul juga, pikir Jupe. Bodoh betul! "Ehm, maksudku..." Jupe tergagap-gagap, "tatapan kalian luar biasa. Rasanya quasi-hypnotic." 

"Wow, kalian dengar itu-quasi-hypnotic? Kapan terakhir kali seseorang menyebut kita quasi-hypnotic?" ujar seorang gadis cerewet yang mengenakan sweater bertulisan CATHY.

"Aku tahu siapa kau," kata gadis yang bernama Pat. "Kau Jupiter Jones. Aku melihatmu di kelas Pengenalan Shakespeare tadi pagi. Eh, kalian tahu apa yang dilakukannya? Dia menyitir sajak karangan Shakespeare di luar kepala."

"Sebenarnya itu sebuah soneta," Jupe meralat.

"Apa pun namanya, yang jelas caramu membawakannya indah sekali," kata Pat sambil tersenyum lebar.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau ada di sini?" tanya Nora. Dari sikapnya kelihatan jelas bahwa dialah pemimpin regu cheerleader ini.

"Latihan kami tertutup untuk umum," ujar gadis berbuntut kuda yang berkencan dengan Cory. Pada sweternya tertulis nama JERRI.

"Well," kata Jupe sambil melirik jam tangannya. Ia tidak mungkin berterus terang sedang melakukan penyelidikan. "Aku ada janji untuk bertemu seseorang di sini. Tapi kelihatannya dia tidak datang. Maaf kalau aku mengganggu latihan kalian."

"Tidak apa-apa," jawab anggota regu cheerleader yang paling pendek seorang gadis mungil dengan tinggi 150 senti, bermata biru, dan berambut hitam. Ia tersenyum malu-malu.

Berdasarkan logatnya, Jupe menyimpulkan bahwa ia berasal dari daerah Selatan. Nama yang tercantum pada sweternya adalah SARAH.

Jupe bergegas keluar. Sebenarnya ia berharap bisa tinggal lebih lama, untuk mengorek lebih banyak informasi. Selain itu, ia juga ingin berbincangbincang lebih lama dengan Sarah. Gadis itu persis seperti yang diidamidamkannya selama ini. Tetapi berbicara dengan gadis-gadis cantik

merupakan sesuatu yang berada di luar kemampuan Jupe. Bagi Jupe, menghadapi penjahat-penjahat terasa jauh lebih mudah.

"Oke, kita mulai dari awal lagi," Jupe mendengar salah seorang dari mereka berkata ketika ia menuju ke pintu. "Dan jangan lupa- usahakan agar tatapan kalian terasa quasi-hypnotic."

Semenit kemudian Jupe sedang melintasi kampus untuk sekali lagi memakai telepon umum di dalam toko buku. Sambil berjalan, ia mengingat-ingat apa saja yang baru didengarnya.

Jerri berkencan dengan Cory Brand karena Cory memiliki uang, apartemen mewah, dan mobil sport. Apakah ini berarti bahwa Cory menerima uang suap? Pat sama-sama mengikuti kuliah mengenai

Shakespeare. Mestinya tidak terlalu sulit untuk berbicara lagi dengannya. Sarah... cantik luar

biasa, mungil, rambut gelap, mata biru, senyum menawan... Jupe masih memikirkan Sarah ketika sampai di telepon umum. Ia memasukkan sekeping uang dan memutar nomor telepon kantor Bob.

"Bob, kau bisa dengar aku?" Jupe bertanya sewaktu sahabatnya menyahut.

"Sax sedang mendengarkan rekaman percobaan grup baru-dengan volume penuh!" Bob berseru. "Sudah ada kemajuan dengan kasus kita?"

Suara Bob nyaris tenggelam dalam ingar-bingar musik heavy metal di latar belakang.

"Kelihatannya Duggan sibuk membagi-bagikan uang ke kiri-kanan!" ujar Jupe setengah berteriak. "Beberapa pemain bahkan punya mobil sport dan apartemen mewah."

"Masa? Siapa yang memberitahumu?"

"Para cheerleader"

"Apa?!" Bob harus berteriak untuk mengalahkan kebisingan di sekitarnya. 

"Kubilang," kata Jupe dengan lebih keras, hampir semua cheerleader di sini ramah sekali. Dan kurasa aku bisa mendapat keterangan lebih banyak dari salah seorang dari mereka. Namanya Pat. Dia mengingatku dari kelas Shakespeare yang sama-sama kami ikuti."

"Jupe, aku tidak bisa mendengarmu," kata Bob. "Telepon aku nanti malam."

Dan kemudian ia meletakkan telepon. Brengsek! umpat Jupe dalam hati. Tiba-tiba sepasang tangan berukuran besar mencengkeram bahu Jupe dari belakang.

"Kalau aku sudah selesai denganmu," seseorang mengancam, "kau bakal bisa masuk ke kaleng sarden!"

 

5. Bercucuran Keringat

SEMUA indra Jupe mendadak siap siaga. Jantungnya berdetak kencang, dadanya berdebar-debar. Tiba-tiba kedua tangan besar itu membalikkan tubuh Jupe dengan keras. Ia nyaris terangkat dari lantai. Kemudian kedua tangan itu mulai meremas leher Jupe. 

Jupe hendak melawan. Tapi nalurinya mengatakan bahwa jika melawan ia bakal dicekik. Ia mendongakkan kepala agar bisa melihat wajah penyerangnya.

Wajah yang besar dan garang itu milik Marty Lauffer, si pemain tengah tim basket Shoremont. Rambutnya yang pirang dan berminyak dipotong pendek sekali.

"Ini pasti suatu kekeliruan," Jupe berkata sambil terengah-engah. Ia nyaris tidak bisa bernapas.

"Yeah-kekeliruan di pihakmu," balas Marty. Sejenak ia tersenyum mengejek, dan memperlihatkan sederetan gigi yang berantakan.

Tenaga Marty luar biasa. Cengkeraman tangannya perlahan-lahan mencekik Jupe. Jupe melayangkan pukulan liar, yang mendarat telak di perut Marty. Tapi Marty tak bergeming sama sekali.

"Kudengar pembicaraanmu lewat telepon. Kudengar semua yang kaukatakan!" Marty membentak sambil mengguncang-guncangkan Jupe. 

Celaka, pikir Jupe. Wajahnya menjadi merah padam karena kekurangan oksigen. Ia mulai beringat dingin. Marty akan membunuhku karena aku membongkar skandal uang suap.

Marty ketawa dan kembali menyentak-nyentakkan Jupe. "Kau akan merasa sakit selama setahun," ia berkata sambil mengepalkan tangan, siap memukul. Jupe tak sanggup menahan diri. Ia memejamkan mata dan berteriak.

"Marty, berhenti!" seseorang tiba-tiba memerintah dengan tegas.

Marty segera melepaskan cengkeramannya, lalu mendorong Jupe ke belakang. Jupe merosot ke lantai, dan menarik napas dalam-dalam.

Perintah yang menyelamatkan Jupe berasal dari seorang pria yang berdiri di belakang si pemain basket. Ketika Marty melangkah ke samping, Jupe melihat bahwa orang itu Coach Duggan. Si pelatih segera menyelinap di antara Jupe dan Marty.

"Anak muda, jika kau bersikap agresif di lapangan, saya mendukungmu seribu persen. Tapi kalau ini caramu untuk membuktikan pada dunia bahwa kau seorang jagoan, kau bukan hanya mempermalukan dirimu sendiri, kau juga mempermalukan seluruh tim, dan saya."

Suara Duggan bernada keras, dan Jupe menyadari bahwa kata-kata itu langsung berpengaruh. Marty menundukkan kepala dan menatap lantai toko buku.

"Ada apa sebenarnya?" si pelatih bertanya.

"Saya mendengar dia bicara lewat telepon." Marty menggeram sambil memelototi Jupe. "Dia bicara... ehm... dia bicara tentang pacar saya."

Pacar? pikir Jupe. Pat pacar Marty? Benarkah itu? Atau Marty hanya ingin menutup-nutupi masalah uang suap?

Sebelum Jupe sempat menarik napas untuk menjawab, Marty sudah komatkamit minta maaf, lalu kabur. Ia menghilang di balik kerumunan mahasiswa yang menyaksikan kejadian di telepon umum itu. Jupe dan Coach Duggan bertatapan.

"Dia cepat naik darah," si pelatih berkata.

"Yeah, saya sudah menyadari hal itu. Anda pasti repot sekali menghadapinya," jawab Jupe dengan suara serak. Ia menyelipkan T-shirtnya ke dalam celana.

"Dia bakal sadar sendiri... dengan imbalan yang tepat," ujar Coach Duggan.

"Ngomong-ngomong, sepertinya teleponmu tadi cukup penting. Kau bicara dengan seorang gadis?"

"Sebenarnya sih tidak," jawab Jupe.

"Ah, kau bicara mengenai seorang gadis?"

Jupe mengangguk malu-malu.

"Telepon lagi," kata si pelatih, seakan-akan memberi perintah

Sekarang? Di depan dia? pikir Jupe. No way!

"Saya kehabisan uang receh," ia berbohong.

"Ah." Coach Duggan merogoh kantong celana training ungunya, dan mengeluarkan sekeping uang logam.

"Telepon dia," ia berkata sambil meletakkan keping itu ke tangan Jupe. "Jangan biarkan masalah sepele seperti uang menghalang-halangi keinginanmu."

Jupe memperhatikan Coach Duggan melangkah pergi. Orang itu mudah sekali membagi-bagikan uangnya. Berapa banyak dari pembicaraan Jupe yang sempat didengarnya? Jupe bahkan menyebut nama Duggan tadi. Kini Jupe benar-benar cemas. Ia harus bersikap lebih hati-hati. Kalau tidak, samarannya akan terbongkar sebelum kasus itu diusut sampai tuntas.

 ***

 

Keesokan harinya, Rabu, jadwal kuliah Jupe berat sekali. Mulai pukul delapan pagi sampai pukul satu siang, ia mengikuti lima mata kuliah pendidikan jasmani yang berbeda-beda. Masing-masing juga diikuti oleh paling tidak seorang pemain basket yang hendak diamatinya. Angkat berat, boling, senam prestasi, atletik, gulat-latihannya benar-benar melelahkan.

Bagian yang paling memprihatinkan adalah bahwa peserta mata kuliah bersangkutan hanya terdiri atas pemuda-pemuda tampan-dan semuanya dalam kondisi puncak! Otot dada, perut,

biseps, dan triseps-setiap otot terbentuk dengan sempurna. Dibandingkan dengan para peserta lain, Jupe kelihatan seperti karung beras.

Menjelang akhir mata kuliah kelima, Jupe telah belajar banyak. Pertama, sebaiknya ia tidak mengikuti lebih dari dua mata kuliah pendidikan jasmani per hari-biarpun dalam rangka mencari petunjuk untuk sebuah kasus. Ia juga telah mengetahui bahwa tidak semua pemain basket

bergelimang uang. Beberapa di antara mereka kelihatan kaya raya, tapi ada juga yang biasa-biasa saja. Jupe memutuskan untuk memusatkan perhatian pada pemain-pemain yang paling ramah dan mudah diajak bicara. 

Pukul dua, ia memaksakan diri untuk mengikuti mata kuliah olahraga keenam. Mata kuliah itu berrtama Bicara Bersemangat. Nama itu mengusik rasa ingin tahu Jupe. Tapi yang lebih penting, mata kuliah itu memberinya kesempatan untuk bertemu dua pemain basket lagi-Cory Brand dan Matt Douglass.

Berdasarkan keterangan yang diperoleh Jupe dari para pemain lain, mereka berdualah yang paling patut diamati secara lebih saksama.

Jupe tiba di ruang kelas, lalu menarik napas dalam-dalam-sekaligus menarik perutnya ke dalam agar kelihatan lebih kecil. Kemudian ia memasuki ruangan dengan penuh percaya diri. Ia duduk di salah satu kursi di baris paling belakang.

Pemuda yang duduk di sampingnya bertubuh tegap dan berwajah tampan. Warna rambutnya menyerupai warna pasir. Ia mengenakan jeans belel, serta T-shirt hitam yang menempel ketat pada dadanya. Kacamatanya berbentuk bulat, dengan bingkai gelap. "Beres?" ia bertanya. "Seribu persen," Jupe mengulangi istilah yang semalam digunakan oleh Coach Duggan.

"Kau baru di kelas ini?"

"Yeah. Aku pindah dari sekolah lain," kata Jupe sambil tersenyum simpul.

"Matt Douglass," pemuda di sebelahnya memperkenalkan diri. "Apa olahragamu?"

"Jupiter Jones. Aku pemain curling. Kau main basket?"

"Dan tenis," Matt menambahkan.

Sepertinya dia cukup ramah, pikir Jupe. Coba lihat bagaimana sikapnya di bawah lampu sorot. "Aku dengar para pemain basket di sini gemar berpesta."

"Kami berusaha menikmati hidup," ujar Matt.

"Pesta liar di apartemenmu? Semua orang bilang pesta-pesta di tempatmu paling sip."

"Bukan di tempatku. Aku cuma mengontrak kamar kecil di dekat kampus.

Mungkin Cory yang kaumaksud." Matt mengangguk ke arah Cory Brandseorang pemuda jangkung, tegap, dan tampan yang duduk beberapa kursi dari mereka.

Tampaknya Cory Brand menjalani kehidupan yang menjadi impian setiap remaja Amerika-apartemen mewah, mobil sport, gadis-gadis cantik. Jupe sangat tertarik, tetapi ia belum selesai

dengan Matt. 

"Kau ikut ke Tijuana pada liburan musim semi nanti? Ada yang bilang anak-anak Shoremont biasa berlibur di sana," ujar Jupe.

"Tidak. Pada liburan nanti aku pegang dua pekerjaan. Aku perlu cari uang untuk membayar uang kuliah semester berikut," Matt menjelaskan.

Bagus, pikir Jupe. Paling tidak ia telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Tapi jawaban Matt betul-betul di luar dugaan. Jupe kini telah mengumpulkan keterangan mengenai empat pemain inti dalam tim basket Shoremont. Walt Klinglesmith, Mr. Bolpoin Mont Blanc, rupanya banyak uang.

Cory Brand, menurut para cheerleader dan rekan-rekannya, punya uang dan terkenal sebagai tukang pesta tanpa tandingan. Marty Lauffer merupakan orang yang menyebalkan, titik. Jupe tidak sempat menanyakan tabungan Marty di bank ketika ia dicekik oleh Marty. Dan sekarang ia

bertemu Matt, yang kelihatannya tidak menerima uang suap.

 Ada pemain yang berenang dalam uang, ada juga yang tidak. Bagaimana polanya? Jupe mulai memutar otak untuk mencari jawaban. Matt dan Marty samasama mahasiswa tingkat empat... Tim, pemain inti kelima, mahasiswa tingkat tiga... Cory dan Walt baru memasuki tahun kedua. Dalam hati, Jupe mengingat-ingat semua pemain lain yang sempat ditemuinya. Kelihatannya hanya pemain-pemain muda yang menerima uang suap. Pola itu sepertinya tidak masuk akal, tapi tetap patut diusut lebih jauh. Jupe melirik ke arah Cory Brand. Ya, ia harus berbicara dengan dia-seusai kuliah.

Sesaat kemudian dosen mereka memasuki ruangan dan meletakkan tas kerjanya di meja. Orangnya tampan, dengan rambut lurus gelap, dan kondisi fisiknya prima-mungkin ia juga bekas atlet.

"Selamat sore, para hadirin! Anda kembali bergabung dengan Bicara Bersemangat! Saya instruktur Anda, Al Windsor!" Setiap kata diucapkannya dengan lantang dan sepertinya terlalu dibuat-buat.

Kenapa dia bicara begitu keras? Kenapa dia berusaha agar setiap ucapannya terdengar penting dan penuh semangat? Tiba-tiba Jupe menyadari apa yang diajarkan dalam mata kuliah ini. Semua peserta dilatih untuk menjadi penyiar olahraga, sebagai persiapan menghadapi

masa seusai karier olahraga masing-masing.

"Ruang kelas berada dalam kondisi sempurna," Al Windsor mengumumkan. "Dan para pemain berada pada puncak masa latihan.

Karena itu, saya percaya kuliah hari ini akan berlangsung seru, sesuai harapan Anda setiap kali Anda memasuki ruangan ini." 

Pada saat Al Windsor selesai mengajar, Jupe merasa lelah akibat segala luapan semangat itu. Ia menggoyangkan kepala untuk mengusir rasa pening, kemudian bergegas keluar dan menyusul Cory Brand. "Cory!" panggil Jupe.

Pemuda yang jangkung dan tegap itu menoleh ke belakang. Rambutnya yang pirang dipotong begitu pendek sehingga kulit kepalanya tampak berkilau-kilau terkena cahaya matahari.

"Temanku bilang kau orang yang harus kutemui jika aku ingin bergabung dengan Klub Vette," ujar Jupe.

"Sori, aku tidak tahu apa-apa tentang perkumpulan veteran. Aku pemain basket," balas Cory.

Ia kembali berjalan. Jupe terpaksa mengejarnya.

"Maksudku, Klub Cor-vette," kata Jupe.

"Hei, kau juga punya Corvette?"

"Ehm... model 72, kondisi seperti baru, nol sampai seratus dalam lima detik, dan kau bisa merasakan setiap gelombang pada permukaan jalan," Jupe berkata sambil berusaha mengingat semua cerita tentang Chevrolet Corvette yang pernah didengarnya dari Pete. 

"Yeah," Cory menanggapinya. "Dan kalau kau menginjak pedal gas sampai ke lantai, suaranya benar-benar menggelegar! Mana mobilmu? Di tempat parkir?"

"Ehm... bukan. Aku meninggalkannya di rumah-di Alaska."

"Oh, rupanya kau ikut program pertukaran mahasiswa asing, ya?" tanya Cory. "Ayo, kutunjukkan mobil kebanggaanku."

Sambil berjalan ke lapangan parkir di seberang kampus, Jupe mencoba mengorek keterangan dari Cory, tapi tanpa hasil. Cory memang bicara tanpa henti, tapi tak sekali pun menyinggung sesuatu yang patut didengarkan. Akhirnya Jupe terpaksa nekat dengan mengajukan pertanyaan yang menjurus.

"Cory, apakah Coach Duggan termasuk orang yang dermawan? Maksudku, apakah dia pernah memberimu sesuatu?"

"Hmm, Coach Duggan pernah memberi nasihat gratis padaku. Dia bilang, aku sebaiknya ambil mata kuliah Bicara Bersemangat," ujar Cory sambil membuka pintu Corvette-nya.

Secara kebetulan Jupe melihat jam Rolex di pergelangan tangan Cory. "Oh, sial, aku terlambat nih. Aku punya janji jam tiga."

"Biar kuantar saja," Cory Brand menawarkan. "Hei, aku baru ingat. Ada satu hal lagi yang pernah Coach Duggan berikan padaku."

Jupe langsung berharap-harap. Mungkinkah Cory Brand akan mengaku Coach Duggan yang memberinya Corvette itu?

"Yeah, Coach Duggan pernah memberiku tumpangan, waktu 'Vette-ku masuk bengkel." Jupe hanya bisa menggerutu kecewa.

 

6. Menunggu Peluang

PUKUL empat kurang seperempat Jupe bergegas memasuki gedung olahraga Shoremont untuk mencari Bob. Hari itu keduanya akan berusaha habis-habisan untuk belajar lebih banyak tentang Coach Duggan. Jupe berharap bahwa Bob sudah mulai dengan penyelidikannya, misalnya membongkar arsip di kantor Coach Duggan, atau menanyai salah seorang pemain.

Tetapi ketika Jupe muncul di gedung olahraga, ia menemukan Bob sedang menekuni kegiatan yang paling digemarinya belakangan ini-mengobrol dengan gadis-gadis cantik. Bob duduk di tribun sambil berbincangbincang dengan para cheerleader.

"Hei, Jupe," kata Bob.

"Hei, lihat tuh! Jupiter Jones datang lagi!" salah satu cheerleader memekik.

Yang lainnya segera menoleh ke arah Jupe, lalu ketawa cekikikan.

"Aku terlambat," Jupe berkata pada Bob. "Aku belum bosan kok," balas Bob.

Ia melemparkan senyum kepada gadis-gadis yang mengelilinginya, dan mereka membalas dengan cara yang sama.

Kemudian para cheerleader mulai latihan, sementara Jupe dan Bob naik ke puncak tribun.

"Aku ingin melihat-lihat kantor Duggan," Jupe menjelaskan rencananya.

"Kurasa kau belum sempat pergi ke sana, kan?"

"Siapa bilang," jawab Bob. "Waktu aku mencarimu, aku salah belok dan kesasar ke kantor Duggan. Aku sempat mengobrol dengan sekretarisnyamahasiswi tingkat empat yang pirang dan cantik, dia bekerja part-time. 

 Kantor Duggan cukup sibuk-teleponnya berdering terus, dan selalu ada orang keluar-masuk-jadi aku tidak mendapat banyak. Tapi ada satu hal yang menarik. Setiap minggu Duggan menyusun daftar berisi nama-nama pemain high school yang hendak ia tarik ke Shoremont. Semuanya ada

dalam komputer di ruang kerja pribadinya. Aku sempat melihat daftar itu, dan coba tebak nama siapa yang berada di urutan paling atas?"

"Namaku?" Jupe bertanya dengan sinis.

"Nama Pete. Duggan betul-betul ingin agar Pete bermain untuk Shoremont," ujar Bob.

"Kalau begitu, kenapa dia belum menghubungi Pete lagi sejak Jumat lalu?"

"Entahlah," balas Bob sambil mengangkat bahu.

"Ini penting, Bob. Apakah kau melihat catatan atau tanda atau kode yang menunjukkan pemain mana saja yang menerima uang dari Duggan?"

Bob menggelengkan kepala.

"Aku mulai bisa menyusun teori," kata Jupe. "Aku telah menemukan sebuah pola. Hanya pemain-pemain yang lebih muda yang memperoleh uang suap, yang lebih tua tidak. Aku rasa ini karena Duggan masih baru di Shoremont.

Salah seorang peserta mata kuliah gulat memberitahuku bahwa dia baru dua tahun melatih di sini. Berarti dia belum lama menarik pemain-pemain berbakat. Jadi, hanya pemain-pemain yang lebih mudayang ditarik Duggan-yang menerima bayaran."

"Oke," ujar Bob. "Tapi ini tidak bisa dijadikan bukti bahwa Duggan yang bertanggung jawab, bukan?"

"Yeah," Jupe mengakui. "Buktinya kurang kuat untuk meyakinkan Mr. Harper."

"Jangan khawatir, Jupe. Pasti ada peluang untuk mendapatkan bukti yang kita perlukan. Sampai sekarang selalu begitu, kan?"

"Kita tidak bisa menunggu sampai ada peluang. Kita harus menciptakan peluang," kata Jupe. "Ayo, aku ingin lihat kantor Duggan."

Jupe berdiri dan hendak pergi, tapi pada saat bersamaan sebuah sosok menghambur keluar dari ruang ganti. Sosok itu mengenakan kostum burung nuri berwarna hijau, ungu, dan putih, yang tampak kedodoran.

Penampilannya begitu menggelikan sehingga Jupe langsung duduk lagi.

"Apa itu?" ia bertanya.

"Aku juga tidak tahu," kata Bob. "Kelihatannya sih seperti semacam maskot konyol."

Si burung nuri memeluk para cheerleader satu per satu. Kemudian ia mulai berlari mondar-mandir, sambil melompat-lompat dan berputar-putar.

Ketika para cheerleader sedang membentuk piramida manusia, si maskot melakukan salto ke belakang, tapi pendaratannya tidak sempurna.

"Aduuuh!' ia berteriak kesakitan, sambil berguling-guling dan memegangi kaki. "Kakiku! Kakiku!"

"Ya ampun!" kata Jupe. Ia melompat berdiri, dan berlari menuruni tribun sekencang mungkin.

Para cheerleader segera mengerumuni si burung nuri. Ketika Jupe dan Bob sampai di lapangan, Nora telah melepaskan kepala kostum, dan berusaha membantu pemuda malang itu berdiri.

"Kurasa kakiku patah," pemuda itu mengerang.

"Kelihatannya tidak," Jupe berkata penuh wibawa. "Menurutku, pergelangan kakimu terkilir."

"Ayo, kita bawa Steve ke ruang P3K," Cathy mengusulkan. Bersama Pat ia lalu membantu si burung nuri keluar gedung olahraga. 

"Kasihan si Steve," Sarah berkomentar dengan suaranya yang merdu. Tapi ia melihat tepat ke arah Jupe ketika mengatakannya.

"Kita yang perlu dikasihani," ujar Nora. "Sekarang kita tidak punya maskot untuk mendampingi kita pada waktu pertandingan. Di mana kita bisa menemukan burung nuri lain sampai besok?"

"Hei, jangan cepat putus asa!" kata Bob, sambil melangkah ke tengah kerumunan. "Tenang saja. Aku yakin kawan kita ini, Jupiter Jones, akan bangga sekali kalau dia boleh menggantikan tempat Steve."

Kedua mata Jupe tampak membara ketika ia menatap Bob. "Kau sudah gila? No way!'

Bob tidak memedulikan tatapan sahabatnya yang penuh dendam. "Biar aku bicara dulu dengannya," ia berkata pada para cheerleader. Langsung saja ia menarik Jupe menjauh.

Jupe bergumam dengan kesal, "Apa-apaan kau ini, Bob? Aku tidak mau melompat-lompat dan berputar-putar seperti orang gila. Dan aku lebih baik menghadiri acara wisuda hanya berpakaian dalam daripada harus mengenakan kostum nuri ungu dan hijau, yang penuh rumbai-rumbai!"

"Hei, sabar dulu dong!" balas Bob. "Kau masih berminat memecahkan kasus ini?"

"Apa hubungannya?" tanya Jupe sambil mendongkol.

"Jupe, aku kan sudah bilang kita bakal mendapat peluang. Inilah kesempatan yang kautunggu-tunggu! Penyamaran yang sempurna! Si burung nuri berlatih bersama para cheerleader dan terus mengikuti tim basket. Kurang apa lagi, coba? Mana mungkin kau menolak peluang emas seperti ini?"

Jupe memang tidak menolak. Ia hanya berkata, "Ini pengalaman paling memalukan sepanjang hidupku."

***

 

Dalam perjalanan ke rumah Bob, Jupe dan Bob tidak bicara sepatah kata pun. Begitu Bob menghentikan mobilnya, Jupe melompat keluar dan langsung menuju dapur. Ia sudah mulai mengobrak-abrik lemari es, ketika Bob menyusulnya.

"Di mana kotak es krim lapis karamel?" Jupe bertanya.

"Jupe, kau sendiri yang minta agar aku menyembunyikannya."

"Oke, sekarang aku minta agar kau menunjukkan di mana kau menyembunyikannya," Jupe membalas ketus. "Aha!" Ia meraih ke sudut paling belakang, mengeluarkan kotak berisi es krim yang dicarinya, lalu memasukkan dua porsi ke oven microwave untuk mencairkan lapisan karamelnya.

"Jupe, bagaimana dengan diet setengah porsimu?"

"Tak ada masalah. Aku hanya akan menghabiskan satu porsi," jawab Jupe sambil menyeringai seperti orang kesurupan. Ia menyetel pengatur waktu pada oven dan menekan tombol start.

Bob mengangkat telepon dan memencet nomor dua pada auto-dial "Pete, ini Bob. Kau harus segera ke sini. Ada krisis mendadak!"

Sebelum oven microwave sempat melumerkan lapisan karamel di atas es krim, Pete sudah tiba di rumah Bob.

"Bagaimana caranya kau bisa begitu cepat sampai di sini?" tanya Bob, ketika Pete muncul di dapur.

"Hei, biarpun jelek si Perahu tetap bermesin V-8," jawab Pete.

"Yeah, tapi larinya seperti memakai orange juice, bukan bensin." 

Pete ketawa, lalu melihat kedua porsi es krim di dalam oven. "Wah, terima kasih ba-nyak." Ketika ia sampai di meja dan meng ayunkan kaki melewati sandaran kursi, es krimnya sudah tinggal setengah. "Sebenarnya ada apa sih?"

Bob menjawab, "Aku mengusulkan agar Jupe berperan sebagai maskot Shoremont pada pertandingan basket besok malam. Un tuk itu dia harus memakai kostum buri nuri."

"Bob mengatakan aku bangga. Dia mengata kan aku bangga karena boleh memakai kos-tum itu," Jupe menggerutu.

"Jupe, sebenarnya usulku tidak terlalu buruk, kan?" ujar Bob. "Kaulihat sendiri bagaimana kita diusir waktu kita berkeliaran di sekitar kantor

Duggan setelah Steve mendapat kecelakaan. Tapi kalau menggantikannya sebagai burung nuri, kau punya alasan untuk terus berada di sana. Takkan ada yang menegurmu. Dan pada saat itulah kita bergerak!" 

"Oke," kata Jupe. "Penyamaran itu mungkin akan membantu penyelidikan kita. Tapi apa yang harus kulakukan pada waktu pertandingan berlangsung? Aku tidak bisa bersalto ke depan maupun ke belakang. Aku bukan, pemain sirkus! Apakah kalian punya saran untuk mengatasi

masalah ini?"

"Tentu, Jupe," kata Bob dengan air muka tak berubah. "Kenapa kau tidak meniru tingkah laku burung nuri sungguhan?"

"Yaitu?"

"Memberi komentar-komentar konyol sambil bersolek dan berganti bulu!"

 

7. Maskot Berani Mati

"SELAMAT berjumpa kembali dalam acara Mari Bicara Olahraga. Sekarang pukul 07.20, dan saya Al Windsor," si penyiar radio berkata. "Saya tunggu telepon dari Anda setelah pesan-pesan ini."

Seketika sebuah iklan terdengar pada radio mobil Pete. Bob bernyanyi mengikuti jingle itu, tapi Jupe di bangku belakang mulai menggerutu. "Al Windsor? Dia dosenku di Shoremont. Dia pegang mata kuliah Bicara Bersemangat. Daripada mendengarkan dia, lebih baik pindah ke siaran berita saja." Ia meng-gelepar-geleparkan bulu kostum burung nuri di sebelahnya.

"Jangan mengomel saja, Jupe," kata Pete. "Ini acara radio yang paling kusukai. Lagi pula sebentar lagi kita sudah sampai di Shoremont."

"Oke," ujar Al Windsor ketika suaranya kembali mengudara. "Penelepon  pertama adalah Sam di Hermosa Beach. Apa kabar, Sam? Mari Bicara Olahraga."

"Halo, Al. Saya baik-baik saja," si penelepon menjawab. "Saya ingin bertanya mengenai pertandingan basket antara Shoremont dan Costa Verde malam ini."

"Pertandingan penting, kedua tim sama-sama dalam posisi "harus  menang," Al Windsor memberikan komentar.

"Yeah, saya tahu," kata si penelepon. "Tapi apakah Anda sempat membaca koran tadi pagi? Maksud saya, komentar Bernie Mehl- pelatih Costa Verdemengenai Coach Duggan dari Shoremont."

"Yeah, saya baca artikel itu," Al Windsor menjawab. "Yang Anda maksud adalah ucapan Bernie Mehl, saya mengutip, 'Coach Duggan akan melakukan saja untuk menang-apa saja."

"Betul," kata si penelepon. "Nah, kira-kira apa yang dimaksudnya?"

"Begini, Sam, saya tidak bisa menyusup ke dalam kepala Bernie Mehl," Al Windsor mulai menjelaskan. "Tapi saya pikir dia ingin mengungkit-ungkit gosip lama itu-gosip yang mengatakan bahwa Coach Duggan membayar para pemainnya beberapa tahun lalu. Skandal itu sempat menggemparkan Boston, tapi kebenarannya tak pernah terbukti. Di pihak lain, Duggan

memang pelatih hebat. Dugaan saya, Bernie ingin memancing di air keruh. Kita lihat saja apakah dia bisa menanggung akibatnya malam ini."

Pete menepuk dashboard dengan tangan kanan, dan radionya langsung mati. "Hei, Jupe, kasus ini semakin ramai saja. Apa mungkin tuduhan Bernie Mehl memang beralasan? Barangkali dia tahu

lebih banyak dari yang dikatakannya?"

"Entahlah," kata Jupe. "Tapi tadi siang aku sempat mencari informasi mengenai skandal di Boston itu. Berdasarkan apa yang kubaca di korankoran lama, sepertinya memang ada seseorang yang membayar para pemain waktu itu. Masalahnya, tak ada yang bisa membuktikan bahwa

Duggan orangnya. Pokoknya, kuharap kalian buka mata lebar-lebar malam ini. Siapa tahu kita akan menemukan petunjuk baru."

"Oke," ujar Pete. "Tapi aku sudah beberapa kali menonton pertandingan antara Shoremont dan Costa Verde. Setiap pertandingan merupakan ajang balas dendam, dan para pemain selalu berjuang sampai titik darah penghabisan. Sebaiknya kau berhati-hati nanti."

"Pete benar," Bob sependapat. "Pertandingan ini sebenarnya bukan pertandingan yang tepat untuk pemunculan perdanamu sebagai maskot Shoremont. Kau masih mau meneruskan rencana ini?"

"Oh, sekarang kau mulai memikirkan keselamatanku," jawab Jupe. "Tidak, mereka menginginkan burung nuri. Dan aku sudah siap memberi pertunjukan yang takkan pernah mereka lupakan," ia menambahkan dengan misterius. "Tunggu saja."

Pete membelok ke gedung parkir tiga lantai di belakang gedung olahraga Shoremont. Ia menyusuri jalur landai yang memutar sampai ke lantai teratas, dan Jupe turun dari mobil.

"Sampai nanti setelah pertandingan," kata Jupe. Ia mengepit kostum burung nuri di bawah lengannya, dan menuju lift.

Beberapa menit kemudian, di ruang ganti kecil yang khusus disediakan bagi si burung nuri, Jupe mulai bersiap-siap. Di luar, sebuah marching band sedang bermain, sementara regu cheerleader berusaha mengobarkan semangat para penonton.

"Shoremont!" pendukung-pendukung tim tuan rumah berseru dengan lantang.

"Costa Verde!" suporter-suporter tim lawan membalas tak kalah keras.

Jupe mendengarkan perang mulut yang terjadi sambil menyambungkan beberapa kabel, memasukkan baterai baru, kemudian menempelkan mikrofon mini ke leher T-shirt-nya. Setelah itu ia memakai kostumnya.

"Testing, satu, dua, tiga," Jupe berkata ke dalam mikrofon. Suaranya terdengar jelas dari speaker-speaker kecil yang tersembunyi di bawah sayap.

Akhirnya Jupe memasang kepala burung nuri. Penyamaran itu merupakan salah satu upaya paling ganjil yang pernah ia tempuh selama karier detektifnya. Tapi Jupe tidak peduli. Terlindung di balik kostumnya, ia merasa kebal ketika meninggalkan ruang ganti dan menuju lapangan pertandingan.

Begitu si burung nuri muncul, para pendukung Shoremont langsung bersorak-sorai.

 

Jupe menyadari bahwa mata mereka memandang ke arahnya. Semuanya ingin melihat si burung nuri beraksi.

Keringat mulai membasahi keningnya. Apakah rencananya akan berjalan lancar? Ia berhenti di pinggir lapangan, karena tidak yakin bagaimana harus mulai. Sementara itu, kedua tim sedang melakukan pemanasan.

Akhirnya Jupe menarik napas dalam-dalam dan berlari ke tengah lapangan. Para penonton bertepuk tangan dengan meriah.

"Hei! Hei!" Jupe berseru sambil menirukan suara parau burung nuri.

"Kalian kalah! Kalian kalah!" Ia melompat-lompat sambil menuding para pemain Costa Verde, yang segera menghentikan pemanasan untuk mencari sumber suara itu.

"Hei! Hei!" Jupe si burung nuri berteriak dengan suara melengking. "Pulang sajalah! Kalian pasti kalah!"

Para pendukung Shoremont tertawa dan bersorak-sorai. Kemudian mereka mulai meniru teriakan Jupe.

"Pulang sajalah! Kalian pasti kalah!" Sepertinya, seluruh gedung olahraga ikut berseru.

Tim Costa Verde tampak terbengong-bengong. Kemudian salah seorang pemain mulai mengejar Jupe. Tapi Jupe terus menghindar dengan gesit, sehingga tawa para penonton semakin membahana. Akhirnya Bernie Mehl, si pelatih Costa Verde, masuk ke lapangan untuk menyuruh para pemainnya tenang dan tidak memperhatikan si burung nuri.

Tetapi perhatian para penonton sepenuhnya tercurah pada Jupe. Mereka menikmati tingkahnya yang konyol. Jupe semakin berani. Apa pun yang dikatakan si burung nuri, para penonton segera mengulanginya. Jupe mendapat sambutan lebih hangat daripada regu cheerleader.

Ketika pertandingan dimulai, Jupe terpaksa menyingkir ke tepi lapangan. Tapi itu tidak mencegahnya untuk terus berkomentar.

"Awas, Nomor 32! Lompatanmu mirip kera!"

Para penonton tertawa terbahak-bahak.

"Hei, Nomor 52! Lebih baik kau pulang! Nanti kau kena marah!"

Nora, si kapten regu cheerleader Shoremont, menghampiri Jupe. 

"Hati-hati, Jupe," ia mewanti-wanti. "Anak-anak Costa Verde sudah mulai memelototimu!"

"Biar saja!" balas Jupe. Ia begitu bersemangat sehingga tidak bisa direm lagi. Setiap kali lemparan pemain Costa Verde meleset, Jupe langsung bangkit dan berseru, "Otak udang! Hei! Otak udang!"

Ketika pertandingan berakhir, kedudukannya 64-60 untuk kemenangan Shoremont, tapi Jupe merasa seakan-akan dialah pemenang sesungguhnya.

Semua cheerleader mengerumuninya untuk mengucapkan terima kasih, dan Sarah melemparkan senyumnya yang paling menawan. Jupe seolah-olah melayang di awang-awang. Jupe cepat-cepat berganti pakaian dan bergegas menemui Bob dan Pete di gedung parkir.

Ia keluar dari lift dan melihat kedua sahabatnya berdiri di samping mobil orang lain.

Pete pasti lupa di mana dia memarkir mobilnya tadi, Jupe geli dalam hati.

"Hei,- bagaimana pertunjukanku tadi?" serunya. "Kalian dengar leluconleluconku?"

"Yeah, setiap kata!"

Jupe tersentak kaget. Mereka bukan Pete dan Bob. Mereka dua pemain Costa Verde!

Kedua pemuda itu segera menuju ke arahnya. Tak ada jalan untuk kaburdan tak seorang pun akan mendengar teriakannya.

Salah satu penyerang menangkap Jupe, lalu menjepit kedua lengannya di belakang punggung. Kostum burung nuri jatuh ke lantai beton. Penyerang yang satu lagi memegang kepala Jupe, dan memutarnya sampai wajah Jupe menghadap ke samping. Ketika Jupe berteriak, pemuda itu menyumpal mulut Jupe dengan kaus kaki olahraga yang bekas dipakai.

Bau yang melekat pada kain katun lembap itu benar-benar minta ampun. Dan rasanya lebih buruk lagi! Jupe merasa akan tercekik atau muntah.

"Nah, bagaimana komentarmu sekarang, Betet?"

Di bawah cahaya lampu gedung parkir, Jupe melihat bahwa para penyerangnya adalah Nomor 32 dan Nomor 52-dua pemain Costa Verde yang paling sering dicelanya tadi.

Jupe berusaha melawan, tapi mereka terlalu kuat. Mereka mendorong dan menariknya ke sebuah tembok rendah di tepi gedung parkir.

"Ayo, sekarang kau boleh sok tahu!" si Nomor 52 mengejek Jupe. Kemudian, dengan satu gerakan cepat, mereka mengangkat Jupe dan mendorongnya melewati tembok.

Tiba-tiba saja Jupe tergantung-gantung di udara, dengan kedua kakinya ditahan di atas. Jalanan berada tiga tingkat di bawahnya. Tangan Jupe memukul-mukul, tapi suara yang keluar dari mulutnya hanya berupa seruan tertahan.

Aku akan mati, pikir Jupe. Mereka akan melemparkanku ke bawah Tamatlah riwayatku. Sebentar lagi aku akan mati.

"Ayo! Kenapa kau mendadak bisu? Siapa yang jadi otak udang sekarang?" si Nomor 52 bertanya sambil ketawa.

Beberapa saat kemudian, yang terasa bagai berjam-jam, kedua pemain Costa Verde itu akhirnya menarik Jupe ke atas. Mereka membiarkannya jatuh ke lantai, dan pergi.

"Hiiiyaaaa!' Pete muncul entah dari mana. Dengan sekali gebrak ia berhasil menjatuhkan si Nomor 52. Pemain Costa Verde yang satu lagi tersentak kaget.

Kesempatan ini segera dimanfaatkan oleh Jupe. Ia melompat ke arah si Nomor 32, lalu membabat tengkuknya dengan pukulan judo. 

"Awas, di belakangmu, Pete!" seru Jupe.

Si Nomor 52 sudah berdiri lagi, dan sedang mengendap-endap mendekati Pete. Namun tiba-tiba, di luar dugaan Jupe, Bob terbang dari atap salah satu mobil, dan menerjang pemuda itu dari samping. 

Ketika kedua pemain Costa Verde menyadari bahwa mereka harus melawan tiga orang, mereka segera memutuskan untuk kabur. Mereka berlari menuruni jalur landai, lalu menghilang.

"Kau tidak apa-apa, Jupe?" tanya Bob. Jupe berdiri membungkuk, dengan tangan meng-" genggam lutut. Napasnya tersengal-sengal.

Ia menggeleng, dan menyeka keringat pada keningnya dengan lengan baju.

"Mereka hanya memuji penampilanku sebagai burung nuri."

"Ayo, kita pergi," kata Pete. sambil membantu Jupe masuk ke mobil.

Pete membuka pintu pada sisi pengemudi, dan hendak menyelinap ke balik kemudi. "Hei, lihat ini!"

Sebuah amplop tergeletak di kursinya.

"Jangan disentuh!" ujar Jupe. "Sidik jarinya." 

"Aku harus tahu apa yang ada di dalamnya," jawab Pete, sambil meraih ke dalam laci. Ia mengeluarkan sepasang sarung tangan untuk membuka amplop itu.

"Lagi-lagi uang," Bob berkomentar ketika melihat lembaran-lembaran seratus dolar di tangan Pete.

"Dan sebuah pesan," Pete menambahkan. Ia membuka lipatan kertasnya, dan Jupe mem bacanya keras-keras. Bermainlah untuk Shoremont pada musim gugur mendatang, dan kau akan menikmati imbalan yang mengiringi kemenangan.

 

8. Bergelimang Uang

"AKU suka kasus ini, Jupe," kata Pete keesokan paginya, sambil menaikkan kakinya yang panjang ke meja dapur. Ia mengiris-iris sebuah pisang, dan mencampur irisan-irisan itu dengan corn flakes dalam mangkuk di hadapannya.

Sebelumnya ia sudah menghabiskan dua mangkuk. Jupe menyingkirkan mangkuknya yang masih setengah penuh, lalu mulai menggigit sepotong roti yang dibelah dua. "Menurutku, kasus ini sama sekali tidak menyenangkan," katanya di antara dua gigitan. "Pertama, aku sudah muak mengikuti kuliah. Hasil yang kudapat tidak sebanding dengan tenaga yang harus kukerahkan. Untung saja mahasiswa yang membolos begitu banyak, sehingga tak seorang pun memperhatikan apakah aku hadir atau tidak.

"Tapi yang lebih menyebalkan lagi, sampai sekarang kita belum, mendapat kemajuan. Semalam aku memeriksa pesan dan uang yang kita temukan di mobilmu dengan segala macam peralatan selain mikroskop elektron. Usaha-seratus persen. Hasil-nol besar. Aku tidak menemukan petunjuk sama sekali mengenai pengirimnya.

"Langkah berikutnya adalah memeriksa mesin tik di kantor Duggan, untuk mencari tahu apakah huruf-hurufnya sama dengan huruf-huruf pada kedua pesan yang kauterima. Sampai sekarang kita baru bisa memastikan bahwa seseorang tahu kau menonton pertandingan semalam, dan dia juga tahu mobilmu."

Pete menyandarkan diri ke belakang, dan mengusap mulut. "Dalam waktu yang kau-butuhkan untuk menjawab sebuah pertanyaan, aku bisa menghabiskan semangkuk corn flakes," ia berkata sambil tersenyum. Jupe mengerutkan kening. "Apa yang menyebabkan kau begitu menyukai kasus ini?"

"Aku suka ekspresi petugas bank waktu aku menyetor tiga ribu dolar Senin lalu. Nanti, kalau aku menyetor seribu dolar lagi, dia bakal semakin terbengong-bengong."

"Jangan senang dulu," kata Jupe, sambil membelah sepotong roti keju.

"Kalau kasus ini sudah selesai, seluruh uangnya harus kaukem-balikan lagi."

"Jupe." Perhatian Pete tiba-tiba beralih pada sisa-sisa makanan di depan sahabatnya yang berbadan gempal itu. "Kurasa dietmu takkan berhasil."

"Pasti berhasil-meskipun agak lambat," Jupe berkeras. "Beratku sudah turun satu kilo dalam dua minggu terakhir ini." 

"Ah, beratmu turun karena kau mandi keringat waktu dihajar kedua pemn Costa Verde semalam."

Jupe merinding, dan perutnya mendadak terasa tak keruan. Masih terbayang di kepalanya bagaimana ia melayang-layang di udara.

"Seandainya aku tidak begitu kaget, perlawananku tentu lebih hebat. Kau dan Bob muncul pada saat yang..."

Kalimatnya terpotong oleh deringan telepon.

"Biar aku saja yang terima!" Pete berseru pada ibunya di ruang sebelah. Ia mengangkat gagang telepon tanpa kabel di dapur. "Halo... Yeah, saya sendiri." Pete menjentikkan jari untuk menarik perhatian Jupe. Ia merendahkan suaranya, "Yeah, saya menemukan pesan dan uang itu semalam... Yeah?"

Jupe betul-betul penasaran karena hanya mendengar setengah percakapan.

"Yeah, oke, tentu," kata Pete. "Saya juga ingin bertemu dengan Anda. Kapan dan di mana?"

Pete kembali mendengarkan lawan bicaranya, lalu mengangguk. Jupe menahan napas.

"Yeah, saya tahu tempatnya," ujar Pete. "Sejam lagi?"

Jupe menggelengkan kepala, lalu mengacungkan dua jari ke arah Pete.

"Bagaimana kalau dua jam lagi?" tanya Pete. "Oke, saya akan ke sana."

"Siapa itu? Duggan?" Jupe bertanya begitu Pete meletakkan telepon. 

"Aku tidak tahu," jawab Pete. Wajahnya tampak geram sekaligus waswas. "Kadang-kadang kedengarannya seperti dia, tapi kadang-kadang tidak. Orangnya ramah sekali, Jupe. Bajingan itu

melanggar setiap peraturan yang berlaku dalam dunia olahraga perguruan tinggi, dan dia bersikap seakan-akan dia dan aku sudah bersahabat sejak entah kapan."

"Bagus," Jupe berkomentar. "Berarti dia menyangkamu tertarik. Sekarang ceritakan semua yang dikatakannya padamu."

"Dia tanya apakah aku menerima amplopnya semalam, dan dia bilang masih banyak lagi yang menungguku."

"Terus?"

"Dia bilang -menurutnya sekarang sudah waktunya untuk bertemu dan membahas masa depanku, dan kemudian dia menentukan tempat pertemuannya-di Coast Highway, sepuluh menit ke utara dari sini. Kenapa kau minta waktu dua jam?"

"Karena mikrofon yang kupakai di dalam kostum burung nuri merupakan mikrofon tanpa kabel. Kalau aku menghubungkannya dengan pemancar mini..." 

"Kau bisa mendengar semua yang terjadi!" Pete menyambung. "Sip!"

"Ayo, kita ke bengkel untuk menyiapkan semua peralatan yang kita perlukan," kata Jupe.

***

 

Dua jam setelah itu, Pete berhenti di suatu tempat berpemandangan indah di pinggir Pacific Coast Highway, la terus mengoceh ketika mobilnya memasuki lapangan parkir, menjelaskan semua yang dilihatnya pada Jupe.

Jupe bersembunyi di tempat bagasi mobil Pete. Ia memegang radio yang bekerja pada frekuensi yang sama dengan pemancar yang digunakan Pete.

Tutup bagasi si Perahu diikat dengan sepotong tali, seakan-akan tidak bisa menutup dengan rapat. Padahal, Pete sengaja mengikatnya agar Jupe bisa memperoleh udara segar.

"Jupe, mudah-mudahan kau bisa mendengarku. Gara-gara mikrofon dan alat pemancar yang kautempelkan di dadaku, aku nyaris tidak bisa bernapas. Di lapangan parkir ada beberapa mobil. Salah satunya sebuah Porsche 911 Targa. Warnanya biru. Gila, itu baru mobil! Beberapa orang

mengerumuni mobil itu. Seorang pria berdiri sendiri tanpa kamera. Aku yakin dia orangnya. Tingginya sedang-sedang saja. Umurnya kira-kira tiga puluh tahun, memakai kacamata penerbang. Dia memakai kemeja kantor biru berikut dasi. Lengan bajunya digulung, dan sekarang dia melihat persis ke arahku. Aku akan berusaha agar dia yang lebih banyak bicara.

Mobilku sudah berhenti. Dia menuju ke sini. Oke, siap-siap!"

Pete turun dari mobil, dan melemparkan kacamata hitamnya ke jok.

"Halo, Pete," pria itu menegurnya. Ia melepaskan kacamata hitam dan mengulurkan tangan. Sambil bersalaman, Pete melihat bahwa orang di hadapannya bermata biru.

"Kau ingin mengobrol di dalam mobil atau sambil menikmati pemandangan?" lawan bicara Pete bertanya.

"Ehm, di luar saja," kata Pete.

"Baiklah." Pria itu memasang kacamatanya, dan menghampiri pagar pembatas yang menghadap ke Samudra Pasifik. "Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan padamu. Pertama, kami berpendapat bahwa kau memiliki potensi untuk menjadi pemain basket yang hebat."

"Anda pernah berbicara dengan Coach Duggan?"

Pria itu tersenyum. "Mestinya yang pertama-tama saya katakan padamu adalah bahwa kau jangan menanyakan apa-apa, Pete. Saya akan memberitahumu segala sesuatu yang saya anggap perlu kauketahui."

Kenapa sikapnya begitu tenang? Pete bertanya dalam hati. Hmm, mungkin dia sudah ratusan kali melakukan hal serupa.

"Kalau kita bertemu atau kalau saya meneleponmu-tapi ini takkan sering-sering kau boleh memanggil saya dengan nama Michael Anthony.

" Ia tertawa. "Saya memakai nama itu karena Michael Anthony merupakan tokoh dalam film seri yang dulu pernah diputar di TV. Dia bekerja untuk seorang laki-laki kaya raya, yang suka membagi-bagikan cek senilai sejuta dolar. Anthony berperan sebagai pengantar, dan dia tidak diizinkan untuk menyebut nama orang yang mengirim uang itu."

"Oh, begitu," Pete bergumam.

"Saya juga bekerja untuk seseorang, Pete, dan saya takkan pernah memberitahukan namanya padamu, jadi jangan tanya, oke?"

"Baiklah," kata Pete.

"Bagus." Michael Anthony mengeluarkan sebungkus permen karet. "Saya berhenti merokok," ia menjelaskan. "Kau mau?"

Pete menggelengkan kepala-lalu mengangguk. Siapa tahu ia bisa mendapatkan sidik jari pria itu. Bahkan Jupe pun takkan berpikir sampai ke situ.

Sayangnya usaha Pete tidak berhasil. Michael Anthony menyodorkan bungkusnya agar Pete mengambil permen karet sendiri.

"Bos saya bersedia memberimu uang dalam jumlah besar kalau kau mau bermain basket untuk Shoremont. Pemain-pemain seperti kaulah yang mereka butuhkan. Kami tahu kau tertarik, sebab kau tidak mengembalikan uang yang kami kirim sebelum ini. Asal tahu saja, empat ribu dolar belum apa-apa."

Pete menelan ludah. Permen karetnya hampir ikut tertelan.

"Tapi kau takkan pernah tahu berapa jumlah pembayaran selanjutnya. Itu salah satu aturan bos saya. Pokoknya, semakin bagus permainanmu, semakin banyak uang yang kauterima."

"Cuma itu? Saya hanya perlu bermain basket?" tanya Pete.

"Peraturannya sederhana." Michael Anthony mengacungkan satu jari untuk setiap aturan yang ia sebutkan. "Pertama, kau harus bermain sebaik mungkin-itu yang paling utama. Kedua, nilai-nilaimu harus bagus terus. Kami tidak selalu bisa membantumu dalam bidang ini. Tapi sesekali kami akan memberitahumu mata kuliah mana yang harus kauambil. Ketiga, kau tidak boleh membicarakan persetujuan kita dengan siapa pun juga-baik dengan keluargamu, teman-temanmu, maupun rekan-rekanmu dalam tim basket. Dan keempat, kau tidak boleh mencari tahu siapa saya atau siapa yang mengirim uang padamu. Bagaimana?"

"Ehm, saya belum bisa memutuskannya," ujar Pete. Ia mengikuti petunjuk yang diberikan Jupe padanya. Jupe berpesan agar Pete mengulur-ulur waktu. Tapi Pete menyadari bahwa Michael Anthony mulai tidak sabar.

"Pete, kau sudah cukup diberi waktu untuk memikirkannya," ujar Anthony.

Suaranya bertambah tegas, meski tetap tenang. "Oke, sekarang pikirkan ini: Setiap anak muda yang main basket pada level perguruan tinggi beranganangan untuk masuk NBA. Itulah satu-satunya kesempatan bagi seorang pemain basket untuk mendapatkan uang banyak. Dan kau tahu berapa banyak dari sekian ribu pemain perguruan tinggi yang berhasil masuk NBA setiap tahun?"

"Seratus?" Pete menebak. 

"Lima puluh! Sedikit sekali, bukan? Kalau kau cerdik, kau mengeruk uang pada waktu kau bermain di perguruan tinggi. Dan saya tahu kau termasuk orang yang cerdik, Pete. Nah, saya masih banyak tugas lain. Kau berminat atau tidak?"

"Yeah, saya rasa saya berminat," jawab Pete. "Apakah saya bisa memberi kepastiannya dalam beberapa hari?"

Selama beberapa saat Michael Anthony mengunyah permen karetnya sambil membisu. "Ini memang suatu langkah besar, sebuah ke-putusan penting." Ia merangkul Pete dan menariknya sampai mereka menghadap

ke arah lapangan parkir. "Kaulihat Porsche itu?"

"Maksud Anda, Porsche Targa itu?"

"Ya. Mobilnya sudah tidak baru."

"Saya tahu. Model '86, bukan?"

"Betul. Nah, Pete, ini kuncinya."

Pete melihat ke bawah. Sinar matahari memantul pada kunci perak di tangan Michael Anthony.

"Apa maksud Anda?" tanya Pete. Jantungnya mulai berdebar-debar.

"Kau boleh bawa Porsche itu, untuk sementara sebagai pinjaman. Tapi mobilnya bisa menjadi milikmu, dan saya kira kau tahu apa yang ingin saya dengar agar itu menjadi kenyataan," ujar Michael Anthony sambil bersalaman dengan Pete. "Besok saya akan menelepon untuk mendengar jawabanmu. Selamat bersenang-senang."

"Dia pergi, Jupe," Pete berbisik pelan-pelan. "Santai. Tidak terburu-buru. Seakan-akan tak ada yang perlu dikhawatirkannya. Dia naik T-Bird yang masih baru. Aku tidak bisa melihat pelat nomornya. Sekarang aku menuju ke Porsche itu. Eh, sori, aku lupa. Sebelumnya aku buka bagasi dulu."

Setelah Michael Anthony berangkat, Pete menghampiri si Perahu dan mengeluarkan Jupe dari bagasi.

"Aku mendengar setiap kata," ujar Jupe. Ia menghirup udara laut dalamdalam.

"Ayo, Jupe," desak Pete. Ia sudah tak sabar untuk menghampiri mobil sport berwarna biru itu. "Ayo, cepat sedikit dong! Wow, ini baru mobil! Kau tahu sebutan apa yang pantas untuk Porsche ini?"

"Tentu. Sogokan yang amat mahal."

"Oke, sekarang kau bilang begitu, tapi tunggu saja sampai kau sempat kubawa jalan-jalan," balas Pete sambil membuka pintu sisi sopir. "Oh, Jupe. Oh, Jupe. Ayo, naik. Kita jalan-jalan dulu!"

"Pete, kau sudah sinting?" tanya Jupe. "Dia akan lolos. "Kita harus mengikutinya."

"Mengikuti siapa?" Pete balik bertanya. Ucapan Jupe sama sekali tak  bermakna baginya.

"Michael Anthony," kata Jupe. "Kita harus mencari tahu ke mana dia pergi."

"Oh, yeah, tentu, gampang, beres, oke, ayo naik," jawab Pete. Sekarang benar-benar ada alasan untuk menjalankan mobil impian itu. "Eh, tunggu dulu!"

"Tunggu? Tapi dia sudah jauh!" seru Jupe sambil bergegas ke pintu sisi penumpang.

Pete buru-buru menghampiri si Perahu, lalu meraih kacamata hitam dan sarung tangannya. Oke, sekarang kita bisa berangkat."

Penuh semangat ia menyalakan mesin berkekuatan 247 tenaga kuda itu.

"Bagaimana dengan si Perahu?" tanya Jupe. 

"Biarkan saja berkarat di sini!" Pete bersorak.

 

9. Kena Getahnya

DENGAN wajah berseri-seri Pete menggenggam kemudi. Seumur-umur baru sekali ini ia mendapat kesempatan menggenggam kemudi sebuah Porsche 911 Targa.

"Dia semakin jauh!" teriak Jupe. "Cepat, jalan!"

"Sabar," kata Pete. Ia menatap panil instrumen di hadapannya. "Aku harus mencari letak segala sesuatunya dulu."

Jupe menunjuk dengan tangan kanan. Gayanya seperti guru taman kanakkanak.

"Ini kemudi Itu tongkat persneling, dan yang di bawah itu disebut pedal gas Kusarankan agar kau mulai menggunakan semuanya!"

Pete tidak memperhatikan Jupe. Ia terlalu asyik mencoba setiap tombol dan kenop pada dasbor. "Jupe, kau tahu kenapa begitu banyak orang menabrak pohon dengan Porsche yang baru mereka beli? Mereka pikir mobil ini sama saja dengan mobil-mobil lain."

Jupe menggeleng sedih. "Sekarang aku tahu kenapa polisi tidak pernah membeli Porsche.

Kalau membeli Porsche, mereka takkan pergi ke mana-mana dan takkan pernah berhasil menyelesaikan satu kasus pun-persis seperti nasib kita sekarang ini."

Tiba-tiba mobil itu melesat maju. Tenaganya begitu besar sehingga Jupe merasa seperti terpatri ke jok kulit yang didudukinya. Keempat ban terdengar berdecit-decit, kemudian melontarkan Porsche itu bagaikan roket.

"Wow!" kata Pete. Ia menyetir dan memindahkan gigi dengan gerakan yang cepat dan teliti. "Aku baru menyentuh pedal gas."

Porsche biru itu menyusuri jalan yang berbelok-belok, dan terus menambah kecepatan. Jupe memperhatikan lalu lintas di depan. Mereka mulai mendekati sebuah sedan. Pada detik berikutnya sedan itu sudah tertinggal jauh di belakang.

"Kuminta agar kau mengikuti Michael Anthony-bukan sampai lebih dulu di tempat tujuannya!" ujar Jupe.

"Apa?" tanya Pete. Ia seakan-akan berada di dunia lain.

"Apa warna mobilnya?" tanya Jupe. 

"Oh, dia naik Thunderbird hitam. Masih baru," jawab Pete sambil mengurangi kecepatan sampai batas yang diizinkan.

Jupe mencondongkan badan ke depan, serta memeriksa laci, asbak, dan kantong untuk peta di pintu.

"STNK-nya tidak ada," ia melaporkan. "Tak ada petunjuk bahwa mobil ini mempunyai pemilik. Kita harus mengusut pelat nomornya. Barangkali hasilnya akan mengungkapkan siapa Mr. Anthony sebenarnyan atau untuk siapa dia bekerja. Tapi kurasa nama orang itu takkan bisa kita

lacak."

"Itu dia! Di depan sana!" kata Pete.

"Jaga jarak," Jupe memperingatkan ketika ia melihat mobil hitam itu. "Dia tidak boleh tahu kita mengikutinya."

"Yeah, jangan khawatir," ujar Pete. "Tapi semoga dia terus berputar-putar.

Naik mobil ini rasanya seperti di surga!"

Untuk sesaat Jupe membayangkan wajah teman-temannya di Rocky Beach pada saat ia dan Pete melewati mereka. Semuanya membelalakkan mata karena iri dan tak percaya. 

"Hei... dia membelok," suara Pete membuyarkan lamunan sahabatnya. "Dia masuk ke Oceanside Country Club."

"Hmm, menarik' sekali," kata Jupe. "Klub paling ekslusif di sekitar sini."

"Jupe," ujar Pete, sambil menekan pedal rem di awal jalan panjang yang menuju klub itu, "apa yang akan kita lakukan sekarang? Mereka pasti mengusir kita."

"Biarkan dia jalan dulu. Kemudian kita menyusul, menanyakan siapa yang naik Thunder-bird hitam itu, lalu memutar, dan pergi," Jupe berkata penuh percaya diri.

Pete berhenti di depan sebuah bangunan besar yang terbuat dari batu bata dan dicat putih. Di balik bangunan itu ia melihat hamparan pepohonan dan rumput dengan beberapa lapangan tenis, kolam renang, dan lapangan golf delapan belas lubang.

Pete membuka jendela untuk menanyakan pengemudi Thunderbird hitam tadi pada salah seorang petugas parkir.

Tapi pemuda itu malah membukakan pintu untuk Pete. "Selamat sore, Sir!" ia menyapa dengan sopan.

 Dengan heran Pete menatap Jupe.

"Apakah Anda bisa memberitahu kami siapa yang mengemudikan Thunderbird yang baru saja masuk?" tanya Jupe.

"Maaf," si petugas parkir berkata. "Saya baru mulai bekerja di sini. Siapa belum mengenal siapa-siapa."

"Hmm," kata Jupe, tiba-tiba ia bersikap seakan-akan sudah bertahun-tahun menjadi anggota klub, "tampangnya seperti teman lama ayah saya. Kami akan menemuinya sebentar."

"Silakan," ujar si petugas parkir sambil menyerahkan karcis parkir pada Pete. "Mobilnya bagus sekali."

"Terima kasih," balas Pete. "Mau lihat mesinnya?"

"Jangan macam-macam, Pete," Jupe menegurnya. Langsung saja ia menuju pintu masuk.

Setelah berada di dalam, Jupe dan Pete melangkah ke lobi besar berisi kursi  dan sofa nyaman, bunga-bunga wangi, dan alunan musik lembut.

Perlahan-lahan mereka berjalan melintasi karpet oriental yang empuk ke arah ruang makan, sambil berusaha untuk tidak menarik perhatian. Ruang makan itu berupa teras luas yang dikelilingi kaca, dengan meja dan kursi kayu gelap. Jupe dan Pete berhenti di ambang pintu.

"Kau melihatnya?" tanya Jupe.

"Yeah," kata Pete. Ia segera melangkah mundur, dan mengangguk ke arah meja kecil di dekat salah satu jendela.

Michael Anthony sedang makan siang dengan seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu mengenakan gaun hijau terang, yang membuat kulitnya yang kecokelat-cokelatan karena sinar matahari dan rambutnya yang cokelat kemerah-merahan semakin menonjol.

"Barangkali dia bekerja untuk wanita itu," kata Pete.

Namun pada detik yang sama Michael Anthony meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya. "Kelihatannya hubungan mereka bukan sekadar teman bisnis," ujar Jupe. "Meski begitu, wanita itu mungkin saja terlibat dengan kasus ini."

"Hei," bisik Pete, sambil menyikut Jupe, "ada yang datang, tampangnya seperti manajer."

"Paling-paling kepala pelayan," Jupe meralat. 

"Aku tidak peduli siapa dia. Yang jelas dia tidak gembira melihat kita di sini. Bagaimana sekarang?"

Jupe mendesah. "Sayang kita tidak bisa ikut makan siang. Salad udangnya benar-benar mengundang selera."

Pete dan Jupe kembali ke mobil untuk menunggu Michael Anthony. Jupe terus memandang pintu masuk, sementara Pete menekan tombol-tombol radio dan mengatur equalizer.

"Enam pengeras suara," katanya dengan bangga.

Namun Jupe tidak terkesan. "Coba cari di mana kau harus menancapkan kunci kontak. Michael Anthony baru saja keluar."

Pria itu masih menggenggam tangan wanita muda tadi. Tetapi masingmasing masuk ke mobil sendiri.

"Siapa yang harus kuikuti?" tanya Pete.

"Michael Anthony, tentu saja," jawab Jupe.

Mereke menuju selatan, melewati Rocky Beach, Santa Monica, dan El Porto Beach. Kemudian Anthony membelok dari jalan raya dan menyusuri beberapa jalan yang lebih kecil, sampai akhirnya berhenti di depan pagar batu dengan gerbang besi.

Papan nama pada dinding batu berbunyi COSTA VERDE COLLEGE.

Otak Jupe langsung mulai bekerja. Rasanya seperti ia telah berjalan tanpa air selama beberapa hari, dan tiba-tiba berdiri di tepi samudra.

"Costa Verde-musuh bebuyutan Shoremont!" Jupe bergumam ketika Pete mengikuti mobil hitam di depan mereka.

"Ada kemungkinan menarik: Michael Anthony bekerja untuk Costa Verde College-barangkali untuk Coach Bernie Mehl. Karena tahu reputasi Duggan memang mencurigakan, mereka sengaja membayar pemain-pemain Shoremont untuk membuat skandal."

"Coach Duggan juga berpikiran begitu. Dia mengatakannya secara langsung dalam wawancara TV setelah pertandingan semalam," Pete bercerita.

"Betul?" tanya Jupe. "Aku tidak melihat wawancaranya. Apa yang dikatakannya?"

"Dia bilang, 'Bernie Mehl ingin membuat skandal untuk menghancurkan saya.'"

"Hmm." Jupe terdiam sejenak. "Barangkali usaha penyuapan itu meliputi lebih dari satu perguruan tinggi. Michael Anthony mungkin bertindak sebagai pengantar untuk beberapa perguruan tinggi."

Pete langsung tampak lesu.

"Ini baru kemungkinan saja, Pete."

"Yeah, tapi kalau urusannya begitu besar, kita takkan sanggup mengumpulkan bukti yang cukup," balas Pete.

"Ayo," Jupe membujuk ketika Pete memasuki sebuah pelataran parkir. "Paling tidak kita sudah tahu dari mana kita harus mulai."

Untuk selanjutnya mereka terpaksa mengikuti Michael Anthony dengan berjalan kaki. Pria itu tampak berjalan dengan pasti ketika menyusuri jalan-jalan setapak di kampus kecil itu. Pete dan Jupe berlari kecil, agar tidak kehilangan jejak.

"Hei, kau! Betet gendut berotak udang!"

Nada suara itu begitu marah sehingga Jupe berhenti sambil terheran-heran.

Ia melihat empat pemuda berdiri di bawah pohon. Seketika ia mengenali dua di antara mereka.

"Wah," kata Pete. "Kelihatannya seperti Nomor 32 dan 52, kedua pemain basket yang menghajarmu semalam. Tenang saja. Kita bisa mengatasi mereka sekali lagi."

Keempat mahasiswa Costa Verde itu menjatuhkan buku masing-masing, lalu bergegas mendekati Jupe.

"Hei, rupanya si Betet belum puas semalam!

"Pete," ujar Jupe, "kurasa kita tidak bisa mengatasi keempat-empatnya. Saranku, lari!"

Jupe langsung melesat.

Pete mengikuti contohnya. Dalam sekejap ia sudah melewati Jupe. Keempat pemuda itu terus mengejar-semakin lama semakin mendekat.

"Mereka akan membantaiku!" Jupe berseru sambil tersengal-sengal.

"Kita berpencar saja," balas Pete. "Aku akan berusaha memancing mereka ke arahku."

Jupe berlari dengan sekuat tenaga, tapi ia tidak bisa menemukan mobil Pete maupun pelataran parkir. Karena itu ia menuju sebuah lapangan rumput.

Ia menoleh ke belakang, dan melihat hanya seorang pemain basket yang mengikuti Pete. Berarti masih ada tiga pemuda berotot yang harus dihadapi Jupe.

Ia mencapai sebuah jalan dan menyeberanginya tepat di depan hidung sebuah mobil, lalu menyusuri gang sempit di antara dua gedung kuliah. 

Tetapi ketika ia membelok di ujung gang, ia menabrak sekelompok mahasiswa Costa Verde.

"Kenny! Tangkap bajingan itu!" sebuah suara dari belakang Jupe berseru. Jupe merasakan dua tangan menggenggam lengannya. Kedua tangan itu pasti milik Kenny, salah seorang dari kelompok yang ditabraknya.

Jupe berhasil membebaskan diri, tapi ketiga pemain basket itu sudah hampir menyusulnya. Sedetik kemudian ia kembali merasakan genggaman. Kali ini si Nomor 52, yang memakai T-shirt hijau Costa Verde. Ia tetap menggenggam Jupe dan menariknya ke belakang. Lalu, sebelum Jupe sadar apa yang sedang terjadi, ketiga lawannya mulai mendorong, memukul, dan menghajarnya.

Jupe meronta-ronta dan menggeliat-geliat, tapi sia-sia. Dengan tangan dan kaki dipegang oleh tiga pemuda berbadan raksasa, tendangan judonya hanya menghantam udara. Tiba-tiba Jupe merasa dirinya diangkat dan dibawa pergi.

Ke mana ia akan dibawa? Dalam sekejap ia telah menemukan jawabannya. Para penyerang menurunkannya dengan kasar, lalu memasukkannya ke keranjang sampah di pojok jalan.

"Ini tempat yang pantas untukmu!" kata si Nomor 52, sambil menendang bagian luar keranjang.

"Yeah-lain kali jangan keluar kandang, Betet. Dan jangan kotori koran di dasarnya!"

Ketiga-tiganya tertawa, lalu berbalik dan melangkah pergi.

Jupe betul-betul marah, malu, lecet-lecet, pegal-pegal-dan selain itu ada sesuatu di dasar keranjang sampah yang menempel pada celananya. Tapi sebelum ia sempat memeriksanya, Pete sudah muncul dengan Porsche-nya.

"Ayo, naik!" Pete berseru sambil menurunkan jendela. Perlahan-lahan Jupe memanjat keluar dari keranjang sampah, masuk ke Porsche, dan mengunci pintu. Sesaat ia duduk membisu, terengah-engah, dan bermandikan keringat. Kemudian ia menyadari bahwa bibir Pete pecah dan matanya

bengkak.

"Lawanmu cukup merepotkan, ya?"

Pete mengangguk tanpa berkata apa-apa.

"Tapi paling tidak kita berhasil lolos," ujar Jupe.

"Bukan kita saja," balas Pete sambil mengerutkan kening. "Waktu aku sampai di pelataran parkir, Thunderbird hitam itu sudah lenyap. Michael Anthony berhasil mengelabui kita."

 

10. Tuan Kantong Tebal

"MICHAEL ANTHONY berpesan bahwa dia akan meneleponmu hari ini. Karena itu kita harus menunggu di sini sampai kita mendapat kabar darinya," ujar Jupe. Ia sedang sibuk menghubungkan tape recorder dengan telepon tanpa kabel di dapur Pete.

"Tapi, Jupe, ini Sabtu pagi," Pete membantah. "Aku tidak bisa menunggu di sini sepanjang hari." Ia melihat ke luar jendela. Pandangannya tertuju pada

Porsche biru di depan garasi. "Mobil itu tidak aman di luar sana."

Jupe mengangkat alis. "Apa?"

"Semalam aku terus ditelepon orang-orang yang memohon agar mereka

boleh mengendarai Porsche itu-dan setengah dari mereka bahkan tidak

kukenal." Pete rupanya mulai agak gelisah, sebab ia menyiram corn flakesnya

dengan orange juice, bukannya dengan susu. "Aku memberitahu

 

 

orangtuaku bahwa mobil itu bagian dari kasus yang sedang kita tangani.

Kalian tahu bagaimana tanggapan mereka?"

96

"Bagaimana?" tanya Bob.

"Mereka tanya padaku apakah mereka boleh mengendarainya!" ujar Pete, sambil memasukkan satu sendok corn flakes ke mulut. "Semua orang ingin mengendarai mobil itu."

"Kalau kau tidak keberatan, aku juga mau berputar-putar sebentar sementara kalian tunggu di sini," kata Bob.

Pete memutar-mutar mata. "Kurasa mobil itu satu-satunya alasan kenapa kau di sini dan bukan di kantor."

"Oh, aku baru ingat," ujar Bob. "Sax juga ingin mencobanya."

Pete hampir saja melemparkan sesendok corn flakes ke arah Bob ketika telepon berdering.

"Aku kan sudah bilang dia akan menelepon," kata Jupe. Ia berdiri dan menghidupkan tape recorder. "Usahakan agar dia bicara selama mungkin, Pete. Dia satu-satunya petunjuk yang kita miliki."

Pete menyalakan pengeras suara pada pesawat telepon, agar semua bisa ikut mendengarkan percakapannya. Tapi yang menelepon ternyata Kelly.

"Main ski memang menyenangkan, tapi aku kangen, Pete," kata gadis itu.

"Kau juga kangen?"

"Ehm, tentu," jawab Pete. "Tapi tunggu dulu, Kel. Pengeras suaranya masih hidup."

"Oh. Halo, Bob. Halo, Jupe-maksudku, Tuan Mahasiswa," ia menambahkan sambil cekikikan.

Jupe memelototi pengeras suara. 

"Apa saja kerjamu selama ini, Petey? Memperbaiki si Perahu?"

"Tidak," balas Pete, sambil mengedipkan mata ke arah Jupe dan Bob.

"Sebenarnya, aku malah tidak tahu di mana besi tua itu. Aku sudah punya kendaraan baru."

"Kau sudah menukarkan mobilmu? Hei, ini rekor baru. Apa yang kaudapat kali ini?"

"Sebuah Porsche."

"Petey, mungkin salurannya agak terganggu. Kedengarannya kau mengatakan Porsche."

"Porsche 911 Targa. Model '86. Warna biru."

"Serius dong. Ada apa sebenarnya?"

"Betul kok," ujar Bob. "Pete punya Porsche. Mobil itu merupakan pembayaran tahap ketiga dari orang yang berusaha menyogoknya."

Sesaat Kelly terdiam. "Pete, kalau memang sayang padaku, kau harus berjanji bahwa kalian takkan menyelesaikan kasus ini sampai aku pulang dan sempat mencoba mobil itu."

"Nah, apa kubilang?" Pete mendesah sambil menatap kedua sahabatnya.

"Kalau melihat perkembangan selama ini, Jupe berkomentar dengan murung, "Pete pasti bisa menepati janji itu."

Pukul 10.15 telepon kembali berdering. Bob mengangkatnya. Kali ini peneleponnya seorang gadis bernama Valerie. Ia dan Bob mengobrol selama lima menit, sebelum mereka sadar bahwa mereka tidak saling mengenal. Rupanya Valerie salah memutar nomor. Meski demikian mereka tetap membuat janji untuk pergi ke bioskop bersama-sama.

"Kalau aku terima telepon yang salah sambung, orangnya selalu mencoba membujukku untuk berlangganan majalah," Jupe mendesah.

Pukul 11.00 tepat telepon berdering untuk ketiga kalinya. Jupe berdiri paling dekat, sehingga ia yang menyahut. Suara yang didengarnya sempat membuatnya terkejut. Suara itu milik Mr. Harper, pimpinan Shoremont College. Pesawat di markas mereka telah memindahkan sambungannya secara otomatis ke rumah Pete.

"Jupe, apakah kau dan teman-temanmu bisa datang ke kantor saya pukul empat sore ini?" Mr. Harper bertanya.

"Tentu saja," jawab Jupe. Kemudian ia melihat jam di dinding dapur.

Mereka punya waktu lima jam untuk menduga-duga kenapa suara Mr. Harper terdengar begitu cemas, dan kenapa Michael Anthony tidak menelepon.

Sepanjang siang telepon tidak berdering lagi. Sekitar pukul dua Pete begitu resah sehingga Jupe dan Bob mulai jengkel.

"Sampai kapan kalian mau menunggu kabar dari Michael Anthony?" Tanya Pete. Berulang kali ia melemparkan kunci Porsche ke udara, lalu menangkapnya kembali.

"Aku mulai curiga dia takkan menelepon," Jupe mengakui. "Rupanya dia sempat melihat kita kemarin, ketika kita mengikutinya ke Costa Verde."

"Sayang sekali," ujar Pete. Kemudian ia tersenyum lebar. "Oke, aku mau pergi dulu."

"Tolong antarkan aku ke tempat Sax, ya?" ujar Bob. "Aku tidak bisa ikut nanti sore. Nanti malam dan besok aku harus bekerja. Senin juga."

"Yeah," Jupe dan Pete menggerutu berbarengan.

Ketiga sahabat itu masuk ke Porsche, dan mengantarkan Bob ke tempat Sax. Setelah itu Pete dan Jupe berputar-putar sampai menjelang pukul empat, lalu menuju Shoremont.

Gedung administrasinya lengang dan tenang, seperti biasa pada Sabtu sore. Kali ini Pete dan Jupe menemui Mr. Harper duduk di balik meja, bukan di atasnya. Ia sedang meluruskan jepitan kertas, dan wajahnya kelihatan muram. Mr. Harper ditemani oleh pria lain, yang duduk di kursi kulit hitam.

"Jupiter Jones dan Pete Crenshaw, ini John Hemingway Powers," Mr. Harper memperkenalkan tamunya.

Oh ya, Jupe mengingat-ingat, si tuan kantong tebal yang hendak menyumbangkan uang untuk pembangunan gedung olahraga baru.

Pria itu berdiri. Tingginya sedang-sedang saja. Rambutnya berombak dan gelap. Kumis tipis melintang di atas bibirnya. Penampilannya sama dengan semua eksekutif sukses berjas biru-kecuali matanya. Matanya gelap, dan tatapannya seakan-akan menembus Pete dan Jupe ketika mereka bersalaman dengannya.

"Saya mendapat informasi dari Mr. Harper bahwa kau menerima uang suap untuk mendaftarkan diri di Shoremont," ia berkata pada Pete.

"Dan kau" ia melanjutkan ketika matanya berpaling ke arah Jupe, "menyamar sebagai mahasiswa untuk mengusut siapa yang mengirim uang itu."

Mr. Harper berdehem. "Tadi pagi Mr. Powers dan saya bermain tenis," ia menjelaskan. "Dan ketika kami bermain, dia menyinggung bahwa dia akan ingin memberi sumbangan tambahan- untuk memperbesar dana Coach Duggan. Saya memberitahunya bahwa saya kurang setuju, lalu berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Tetapi..."

Powers memotong dengan tegas, "Kalau seseorang mencegah saya untuk melakukan sesuatu, saya ingin tahu kenapa."

Mr. Harper meneruskan penjelasannya, "Akhirnya saya memutuskan bahwa John berhak mengetahui alasannya. Untung saja John bisa memahami dan menghargai cara kita mengatasi persoalan ini. Dia bahkan menawarkan diri untuk membantu penyelidikan kita. Tapi tentu saja John dan saya sama-sama ingin mencegah terjadinya skandal."

"Jadi bagaimana?" tanya Powers sambil menatap Jupe dan Pete dengan  tajam. Jupe segera mengerti. John Hemingway Powers ingin tahu apa yang sedang terjadi-dan ingin mengetahuinya sekarang juga.

"Saya pikir dalam waktu singkat kita sudah bisa memastikan pemain mana saja yang menerima uang suap, dan siapa yang bertanggung jawab atas semuanya," ujar Jupe, sambil memasang tampang yakin. "Pete didatangi pria bernama Michael Anthony. Dia memberi Pete sebuah mobil..."

"Sebuah Porsche," Pete memotong. "Dan dia juga mengaku bekerja untuk orang lain. Tapi sejauh ini kami belum tahu untuk siapa."

"Dugaan kalian?" tuntut Powers.

"Coach Duggan," jawab Mr. Harper.

"Betul," kata Jupe. "Kemungkinan lain adalah Bernie Mehl berusaha menjebak Coach Duggan."

"Yeah. Kami sempat mengikuti Michael Anthony ke kampus Costa Verde,"

Pete menambahkan.

"Begini, saya tidak peduli siapa orangnya," kata Mr. Harper. "Saya hanya minta kalian mendapatkan bukti yang kita perlukan agar masalah ini bisa dituntaskan secepatnya. Kita harus membereskan urusan ini sebelum pihak pers mencium ada yang tidak beres di Shoremont."

Powers berpaling pada Mr. Harper. "Chuck, saya percaya kau menangani masalah ini dengan cara tepat. Kelihatannya mereka bisa diandalkan."

Kemudian Powers menatap Pete. "Saya harap kau tidak mendapat gambaran yang keliru mengenai Shoremont. Hal-hal yang saya pelajari ketika masih menjadi mahasiswa di sinilah yang membantu saya mencapai posisi yang saya duduki sekarang ini. Dan kalau kau memang atlet yang menonjol, kami akan gembira sekali jika kau mendaftarkan diri di Shoremont-tapi tanpa imbalan uang."

Ketika Jupe dan Pete meninggalkan gedung administrasi, Pete berkata, "Si Powers itu luar biasa. Kurasa gempa bumi pun akan menuruti perintahnya."

"Yang jelas, dia akan berusaha memaksakan kehendaknya," Jupe sependapat. "Sepertinya dia menuntut agar kita menyelesaikan kasus ini dalam satu hari."

"Besok Minggu. Bagaimana peluangnya?"

"Semuanya tergantung pada keterangan yang bisa kukorek dari Walt Klinglesmith. Menurut rencana, sejam lagi aku harus memberi bimbingan kimia padanya. Sampai nanti."

Jupe menunggu Walt di student center, sambil menyusun strategi. Strategi nomor satu adalah memancing Walt untuk buka mulut. Jupe akan mulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Pertanyaan seperti "Siapa yang menarikmu ke tim Shoremont?" dan "Apa yang membuatmu mengambil keputusan menerima tawaran itu?" Jika cara halus itu tidak berhasil, ia mungkin akan menanyakan masalah uang suap secara langsung pada Walt.

Menurut Jupe, kalau di antara para pemain basket ada yang mau berterus terang, Walt-lah orangnya.

Strategi nomor dua adalah memeriksa kantor Coach Duggan dengan saksama. Duggan tetap merupakan tersangka utama, tapi sejauh ini Jupe belum berhasil mendekatinya untuk mengorek keterangan.

Strategi nomor tiga merupakan strategi cadangan. Pete lah yang mengusulkannya-sebuah penyelidikan berskala penuh terhadap Bernie Mehl, pelatih basket Costa Verde. Jupe terpaksa mengakui bahwa usul itu memang masuk akal.

Tapi ia juga sudah memberitahu Pete bahwa ia enggan pergi ke kampus Costa Verde untuk sementara waktu. Ia tidak berminat menjadi korban para pemain Costa Verde yang masih ingin

mencicipi darah si burung nuri. Jupe lalu mengusulkan agar Pete menyelidiki Bernie Mehl seorang diri, yang dibalas oleh Pete, "Selama ini kita lebih sering bekerja sebagai duo detektif, karena Bob selalu sibuk. Itu saja sudah cukup menyebalkan. Tapi solo detektif? Nanti dulu!"

"Halo, Jupiter," suara seorang gadis membawa Jupe kembali ke dunia nyata.

Jupe berbalik dan melihat Cathy, si cheerleader yang selalu berbicara dengan terburu-buru. Ia menghampiri Jupe, yang sedang duduk di lobi student center.

"Halo? Apa kabar, Jupe? Penampilanmu di pertandingan lawan Costa Verde benar-benar luar biasa. Minggu ini kau bakal menjadi burung nuri lagi, kan? Soalnya Steve masih pincang."

"Ehm... ya... mungkin..." Jupe tergagap-gagap.

Cathy duduk di samping Jupe. "Jupiter, kau punya waktu untuk membantuku membuat tugas filsafat? Aku yakin kau pasti banyak ide. Kau mau, kan?"

Aduh, sekarang ini lagi! Jupe mengeluh dalam hati. Pekerjaan rumah dan tugas kuliah sungguhan. Sejauh ini, dengan cara bolos kuliah Jupe berhasil menghindari tugas-tugas yang terlalu menyita waktu.

Dan ia tidak ingin mengubah keadaan itu. Jupe berusaha menjawab tanpa mengatakan apa-apa. Akhirnya Walt Klinglesmith muncul.

"Sori, aku terlambat, Jupe," kata Walt. "Halo, Cathy."

"Halo, Walt," balas Cathy.

"Wah, sori Jupe, aku benar-benar capek. Aku tidak bisa belajar hari ini. Coach Duggan memaksa kami berlatih sampai hampir pingsan. Aku mau pulang istirahat."

Jupe mengerutkan kening. Kesempatannya untuk mengetahui lebih banyak tentang usaha penyuapan telah lenyap. 

"Hei, jangan serius begitu dong," ujar Walt. "Bagaimana kalau kau ikut kami ke pesta di apartemen Cory malam Rabu besok? Pasti ramai sekali. Kalau mau, kau bisa ajak teman."

"Ide bagus, Jupe. Barangkali kita bisa membahas tugas filsafatku di sana," goda Cathy.

"Yeah, tentu," kata Jupe sambil tersenyum.

***

 

Pesta berlangsung di apartemen Cory-kedengarannya seperti tempat yang ideal untuk mencari informasi. Tapi kasus mereka tidak bisa menunggu sampai malam Rabu. Mereka sudah mulai kehabisan waktu, dan tekanannya semakin besar-terutama sejak John Hemingway Powers, si tuan kantong tebal, mulai ikut campur. Jupe memutuskan untuk melewatkan Minggu pagi dengan memfokuskan diri pada tersangka utama: Coach Duggan.

Seharusnya sudah dari dulu ia berkunjung ke kantor Duggan, dan pada jam segitu gedung olahraga mungkin kosong, pikir Jupe ketika ia bergegas

melintasi kampus.

Salah. Bunyi bola basket membentur lantai terdengar menggema begitu Jupe membuka pintu. Ia mengintip ke dalam dan melihat seluruh tim telah berkumpul. Duggan memang pelatih bertangan besi, Jupe menyadari.

Pantas saja para pemain begitu bersemangat untuk mengadakan pesta pada malam Rabu. Mereka tidak berani berpesta pada malam Minggu, karena keesokan paginya mereka harus latihan!

Jupe mengendap-endap ke kantor Duggan. Ia sengaja melewati lorong di belakang lapangan basket, agar tak ada yang melihatnya. Siapa tahu kali ini ia lebih beruntung.

Jantung Jupe berdebar-debar. Kalau Duggan tiba-tiba muncul... kalau Jupe sampai tertangkap basah... penyamarannya akan segera terbongkar.

Ia berhenti di lorong di luar kantor Duggan, melihat ke kiri-kanan, lalu mencoba membuka pintu. Ternyata pintunya tidak dikunci. Jupe segera menyelinap masuk dan berdiri di ruang tunggu. Ia harus bekerja cepat.

Dengan tangan agak berkeringat, Jupe memasukkan selembar kertas ke mesin tik di meja sekretaris dan mengetik beberapa kata. Kemudian ia mengangkat kertas itu ke depan lampu, dengan salah satu pesan yang diterima Pete menempel di baliknya.

Apakah huruf-hurufnya cocok? Jupe membutuhkan beberapa detik untuk memutuskannya-tidak. Karena itu ia pindah ke ruang kerja si pelatih, dan menutup pintu.

Langsung saja ia menyalakan komputer, agar bisa membuat printout dan membandingkannya dengan pesan si penyuap. Tapi bunyi printer membuatnya gelisah. Apakah bunyinya bisa didengar dari luar? Mungkin.

Yang lebih gawat lagi, akibat bunyi itu Jupe tidak bisa mendengar apakah ada orang masuk. Sementara printer bekerja, Jupe memeriksa kertas-kertas di meja Duggan dengan hati-hati, agar letak masing-masing tidak berubah.

Ia membaca berbagai catatan, laporan mengenai pemain-pemain berbakat, buku tentang strategi bertanding, dan daftar peralatan. Ia bahkan meneliti buku tabungan pribadi Coach Duggan, yang tergeletak begitu saja di meja.

Tiga perempat jam kemudian Jupe terpaksa menyerah. Ia tidak berhasil menemukan apa pun yang dapat memberatkan Duggan. Dan printout komputer pun tidak sama dengan tulisan pada pesan untuk Pete.

Bagaimana sekarang? Jupe bertanya dalam hati. Apakah ini berarti Duggan bersih? Ataukah Duggan terlalu cerdik untuk mereka?

Ataukah ada orang lain yang patut dicurigai seseorang yang sejauh ini luput dari perhatian mereka?

Ada satu kemungkinan lagi, pikir Jupe, ketika pulang naik bus. Barangkali Michael Anthony yang misterius itu tidak bekerja untuk orang lain. Barangkali dia bekerja untuk dirinya sendiri!

 

11. Sebuah Peringatan

PADA hari Senin penyelidikan mereka terhenti total. Hari itu hari libur, sehingga baik di Shoremont maupun di Costa Verde tidak ada kuliah.

Dengan setengah hati Jupe menelepon Coach Bernie Mehl di rumahnya, karena berharap bisa mengajukan beberapa pertanyaan. Tapi rupanya Mehl tidak ada di rumah.

Karena itu Jupe dan Pete menghabiskan sepanjang hari di markas, bermain video game dan mengutak-atik peralatan elektronik. Hari itu hari paling santai sejak liburan mereka dimulai.

Hari Selasa berbeda sama sekali. Jupe mempunyai firasat mereka akan mengalami sesuatu yang sangat membantu penyelidikan mereka. Mungkin           mereka akan menemukan petunjuk di pesta Cory Brand malam itu. Jupe melewatkan sore itu di bengkelnya, bersiap-siap pergi ke pesta.

Ketika Jupe mendengar pintu bengkel di belakangnya membuka, ia segera mematikan video recorder.

 

"Jupe, aku punya berita untukmu," kata Pete sambil bergegas masuk. "Hei, kau lagi nonton apa? Film tua?"

"Tidak, aku tidak menonton apa-apa," jawab Jupe. Cepat-cepat ia berusaha mengalihkan pembicaraan. "Ada berita apa?"

Pete menatap wajah Jupe. Sepertinya sahabatnya itu sedang menutupnutupi sesuatu. "Kau lagi nonton apa?"

"Aku tidak menonton apa-apa," balas Jupe lebih tegas.

"Kalau begitu kenapa monitornya hidup, dan kenapa kau menggenggam remote-controP Kau lupa, ya, aku juga anggota Trio Detektif?"

Jupe berdehem. "Oke, aku memang nonton sesuatu."

"Coba kulihat."

Jupe berusaha mencegah Pete mendekati video recorder. Tapi Pete menghindar dan menekan tombol play. 

Seketika gambar Jupe muncul di monitor. Ia tampak berdiri di tengah bengkel elektronik sambil mengenakan blue jeans dan T-shirt kuning dengan tulisan AKU MINTA KESEMPATAN KEDUA.

Jupe terlihat berputar, dan merapikan pakaiannya di depan kamera. Tampak samping... tampak belakang... Kemudian gambarnya menjadi kabur.

Adegan berikutnya menampilkan Jupe dengan celana pendek cerah dan T-shirt bertulisan KALAU HIDUP MEMANG SEPERTI PESTA, KENAPA AKU DIET? Setelah itu gambarnya berubah lagi. Kali ini Jupe memakai celana training dengan T-shirt bertulisan OLAHRAGAWAN SEJATI: AKU LARI DARI KENYATAAN

"Apa ini The Jupiter Jones Show?" tanya Pete.

"Ehm, bukan. Ehm, salah satu kamera kita perlu diperbaiki, jadi aku membetulkannya," jawab Jupe.

"Jangan bohong! Kau sedang memilih baju yang akan kaupakai ke pesta Cory Brand nanti malam," balas Pete.

"Yang benar saja!" ujar Jupe sambil mematikan video recorder.

"Menurutku, semuanya oke," Pete berkomentar. "Tapi mungkin kita takkan pergi ke pesta itu."

"Kenapa tidak?" Jupe ingin tahu.

"Aku kan sudah bilang aku punya berita untukmu, Jupe. Berita bagus, lagi," kata Pete. "Aku akhirnya berhasil menghubungi kenalan kita di kantor polisi. Komputer mereka ternyata mati sepanjang akhir pekan, dan baru tadi pagi berhasil diperbaiki. Jadi, dia membantuku melacak pelat nomor Porsche-ku."

"Siapa pemiliknya?"

"Barry Norman, Lyle Street 45, Manhattan Beach, California," jawab Pete, lalu menarik printout komputer dari kantong belakang, dan menyerahkannya pada Jupe.

Jupe membaca printout itu beberapa kali, sebelum berkata, "Mari kita temui dia."

Kedua sahabat itu. naik ke Porsche, dan sekitar satu jam kemudian Pete berhenti di depan Lyle Street 45, sebuah bangunan kantor berlantai empat yang terbuat dari beton dan kaca.

"Sebaiknya kau parkir agak jauh dari sini," Jupe menyarankan. "Jangan sampai Mr. Barry Norman melihat Porsche-nya, lalu memutuskan untuk kabur. Aku akan menunggumu di lobi."

Satu menit kemudian Pete membuka pintu lobi, dan menemukan Jupe sedang mengamati papan petunjuk berwarna hitam yang menempel di dinding. Nama semua penyewa gedung tercantum dengan huruf putih kecil-kecil.

"Barry Norman... Ruang 421. Ini terlalu mudah," kata Jupe, sambil berjalan ke lift. Ruang 421 ternyata dikunci. Pada daun pintu terdapat papan nama emas.

"Barry Norman, advokat," Jupe membaca. "Dia pengacara."

"Dia akan memerlukan pengacara pada saat kita sudah selesai dengannya,"

Pete berkomentar sambil mengetuk pintu. Mula-mula pelan, lalu lebih keras, ketiga kalinya begitu keras sampai daun pintu nyaris copot dari engselnya. "Tidak ada siapa-siapa."

"Aku menarik kesimpulan itu pada waktu kau mengetuk untuk kedua kalinya," kata Jupe. Ia sudah hampir sampai di depan lift.

Setelah sampai di jalan, mereka masuk- ke Porsche. Namun dari tempat mereka parkir, gedung kantor Barry Norman tidak kelihatan. Karena itu Pete berputar ke Lyle Street, dan menyelip ke tempat parkir kosong di dekat sebuah telepon umum.

Mereka menunggu.

Setiap kali seorang pria memasuki bangunan itu, mereka memberinya beberapa menit untuk mencapai kantornya. Kemudian Pete bergegas ke telepon umum dan memutar nomor telepon Barry Norman. Tak sekali pun ia mendapatkan jawaban.

"Sudah jam tujuh, Jupe. Aku sudah muak menunggu di sini," kata Pete akhirnya. "Dia takkan kembali ke kantornya hari ini."

"Penjelasan logis mengapa dia tidak kembali adalah karena dia sedang mengikuti sidang pengadilan, atau sedang menemui klien," ujar Jupe. "Tapi entah kenapa aku merasa ada alasan lain. Sayangnya aku tidak tahu apa alasannya. Hmm, rasanya kita takkan mendapatkan apa-apa lagi hari ini."

"Hore! Waktunya berpesta!" Pete berseru sambil menghidupkan mesin.

"Mari kita berangkat ke apartemen Cory Brand."

"Tunggu! Aku harus pulang dan berganti pakaian dulu."

Pesta sudah berjalan dengan semarak ketika Pete dan Jupe tiba. Jupe memakai sweter Shoremont College ungu-putih-sweter yang minggu lalu dibelinya di toko buku kampus. Entakan musik mengguncang-guncang dinding apartemen Cory yang modern dan luas.

Di mana-mana mahasiswa-mahasiswa terlihat asyik mengobrol atau berdansa-di ruang tamu, di dapur, di atas sofa. Jupe mengenali beberapa pemain basket dan cheerleader.

"Tempat ini boleh juga," Pete memuji sambil melihat berkeliling. "Aku juga ingin punya apartemen seperti ini kalau sudah jadi mahasiswa."

"Bisa saja, asal kau mendaftar di Shoremont," kata Jupe dengan tajam.

"Pasang telinga lebar-lebar. Ini kesempatan emas untuk mencari tahu pemain mana saja yang menerima uang suap. Dan jangan lupa, kau berkenalan denganku tahun lalu di Rocky Beach High School... tadi kita kebetulan bertemu, dan aku mengajakmu ke sini. Kauingat semuanya?"

Tentu.

"Hei, Jupiter!" Cory Brand memanggil. Ia menembus kerumunan orang untuk menemui Jupe di pintu.

"Halo, Cory! Kenalkan, ini temanku, Pete," kata Jupe.

"Halo, Pete!' Cory terpaksa berteriak agar suaranya kedengaran. "Hei, jangan bengong saja. Ambil minuman dan bersenang-senanglah sebelum polisi membubarkan pesta ini."

Cory tertawa dan melangkah pergi. Jupe dan Pete mengelilingi ruangan. Pete sesekali berhenti untuk mencomot makanan kecil yang disediakan, tapi Jupe terus berputar.

"Halo, Jupiter."

Jupe langsung mengenali suara merdu itu. Ia berbalik sambil memikirkan apa yang harus ia katakan. "Ehm, halo, Sarah," katanya. Seseorang menabraknya, sehingga ia terdorong mendekati cheerleader cantik itu.

Untuk sesaat keduanya membisu.

"Kau suka mata kuliah yang kauambil?" tanya Sarah. Ia memalingkan muka. "Wow, itu pertanyaan yang benarbenar konyol."

"Aku pernah mendengar pertanyaan yang lebih konyol dari itu," Jupe menanggapinya sambil tersenyum.

"Maksudku... maksudku... aku lebih suka mendengarkan orang daripada bercerita."

"Ehm, aku juga," ujar Jupe cepat-cepat.

Sarah tertawa. "Kurasa kau bukan tipe orang yang suka mendengarkan orang lain. Aku mendengar celotehmu di pertandingan basket. Kau lucu sekali sebagai burung nuri."

"Ehm," kata Jupe. Entah bagaimana orang dengan kosakata paling lengkap di seluruh kampus bisa melupakan semua kata selain "ehm"?

Tiba-tiba Jupe merasakan bahunya digenggam dan didorong maju mundur dengan lembut oleh sebuah tangan besar. Ia melihat bahu Sarah mengalami perlakuan yang sama.

"Apa kabar, kalian berdua?" tanya seorang pemuda berambut hitam yang menutupi kerah bajunya. Ia berlogat Texas, dan sedang berteriak ke telinga Jupe. Napasnya berbau bir.

Aduh, kenapa aku selalu sial? Jupe bertanya-tanya. Raksasa ini mau mendekati Sarah. Mana mungkin aku bisa bersaing dengan dia?

"Tim," kata Sarah, "kau terlalu banyak minum."

"Hei," jawab pemuda itu. "Aku yang membayar persediaan bir untuk pesta ini. Dan tak ada undang-undang yang melarangku menenggak semuanya sampai habis! Jadi, siapa pacarmu ini?"

Sarah dan Jupe sama-sama tersipu-sipu.

"Tim Frisch, ini Jupiter Jones."

"Halo. Kau punya saudara bernama Mars atau Venus? Hahahaha!"

Jupiter memaksakan diri untuk tersenyum. Akhirnya ia bertemu dengan pemain inti kelima. Sepanjang minggu lalu Tim membolos terus, sehingga Jupe tidak berhasil melacaknya. Sekarang Jupe mengamatinya dengan saksama. Tim mengenakan pakaian yang kelihatan mahal. Dia juga

mengaku bahwa dialah yang membayar seluruh persediaan bir. Barangkali dia termasuk pemain yang dibayar oleh Michael Anthony.

"Maksudnya, kau sendiri yang membayar seluruh persediaan bir di pesta ini?" Jupe mencari kepastian.

"Tepat sekali, Bung. Kalau kau ingin punya teman banyak, kau perlu mengeluarkan uang untuk mereka-betul atau betul?" Tim nyaris tak sanggup lagi berdiri tegak.

"Oh, betul sekali," balas Jupe. "Kalau kau punya uangnya." Ia tersenyum pada Sarah seakan-akan hanya berbasa-basi.

"Aku punya semua yang kuperlukan," Tim berkata sambil nyengir. "Jadi, Jupe, sobat, apa keahlianmu?"

"Bidangku adalah..." Hampir saja Jupe menyambung dengan "mengadu untung", sebab ia tahu bahwa ia akan segera menguji keberuntungannya. Tapi dengan otak Tim dalam keadaan mengambang, Jupe tidak dapat menampik kesempatan itu.

"Bidangku adalah sejarah perkomunikasian," katanya. "Aku menekuni sejarah televisi, khususnya film-film kuno. Salah satu serial yang paling kusukai adalah The Millionaire."

"Belum pernah kudengar," ujar Tim.

"Dalam film seri itu ada tokoh bernama Michael Anthony." Jupe mengamati wajah Tim dengan teliti-dan ia tidak dikecewakan.

"Film seri dengan Michael Anthony? Sungguh?" Tim berseru sambil ketawa.

"Hei, acara itu pasti penuh dengan iklan Gravy Train." Tawa Tim semakin keras, sampai ia hampir kehilangan keseimbangan.

"Sori, aku tidak mengerti di mana lucunya," kata Jupe. Ia sudah hampir berhasil. Jupe bisa merasakannya. Sedikit dorongan lagi, dan Tim Frisch akan membuka mulut.

Tepat pada saat itu Cory Brand kembali bergabung.

"Hei, Cory, ini ada lelucon baru. Kau pasti suka," ujar Tim. "Ada film TV dengan pemain bernama Michael Anthony. Dan aku bilang selingannya pasti berupa iklan Gravy Train. Kau mengerti, kan? Jupiter tidak mengerti. Dia tidak mengerti sama sekali."

Cory tidak ketawa. Air mukanya justru menjadi serius. "Ayo, Tim," ia berkata sambil menarik pemuda tegap itu menjauhi Jupe. "Kau terlalu banyak, minum. Kau perlu udara segar."

"Aku juga tidak mengerti," kata Sarah.

"Mungkin lelucon untuk kalangan terbatas," Jupe menanggapinya, sambil memperhatikan bukti yang sudah hampir di genggamannya terlepas lagi.

"Telepon untuk Pete Crenshaw!" seseorang berseru. "Yo! Pete! Mana orangnya?"

Jupe melihat Pete menembus kerumunan, menghampiri pemuda yang memegang gagang telepon.

"Nah, Jupe, apakah kau akan mengajakku berdansa?" tanya Sarah.

"Hmm?" ujar Jupe. Tiba-tiba pikirannya terbelah dua. Setengahnya bersedia berbuat apa saja asal bisa berdansa dengan Sarah-bahkan menjalankan diet seperempat porsi. Tetapi setengahnya lagi sedang mengamati Pete yang menuju ke telepon. Siapa yang meneleponnya  di sini?

Sarah melihat mata Jupe menerawang jauh, dan berkata, "Hmm, sepertinya kau tidak berminat." Sebelum Jupe sempat mengatakan sesuatu, gadis itu sudah berlalu.

Sejenak kemudian Pete kembali ke ruang tamu. Ia memberi isyarat tangan untuk memanggil Jupe.

"Aku baru saja dapat telepon," Pete melaporkan. "Seseorang memberi peringatan padaku. Dia bilang, 'Sebaiknya kau jangan ikut campur dalam urusan orang lain. Tidak aman.'"

"Kau mengenali suaranya?"

"Tidak. Dia juga bilang, jika ingin tahu apa yang dimaksudnya, aku tinggal melihat ke luar jendela."

Jupe dan Pete bergegas ke balkon. Begitu mereka berdiri di pagar pembatas, terjadi ledakan yang keras sekali, disusul oleh bola api membubung tinggi.

"Aduh! Porsche-ku!' teriak Pete.

 

12. Perkembangan Negatif

PETE menyaksikan bola api berubah menjadi gumpalan asap hitam.

Potongan-potongan logam berwarna biru berjatuhan dari udara. Orang-orang di jalan berlari mencari perlindungan.

Untung saja tidak ada yang cedera. Tapi jantung Jupe berpacu seakan-akan ia sendiri nyaris terbunuh.

"Panggil polisi," Jupe mengucapkannya seperti perintah, baik untuk * menenangkan sarafnya sendiri maupun untuk membawa Pete kembali ke dunia nyata. "Panggil polisi, Pete!"

Tapi Pete tidak bergerak. Dan orang-orang di apartemen Cory malah keluar ke balkon untuk mencari sumber bunyi keras tadi.

Jupe berjuang melawan arus untuk menghubungi polisi. Apartemen Cory terletak di Rocky Beach, jadi Jupe hafal nomor kantor polisi di luar kepala.

Sudah berapa kali menelepon polisi untuk minta bantuan dalam salah satu kasus? Ratusan, mungkin ribuan kali. Tapi ia belum pernah melaporkan ledakan bom mobil-apalagi yang melibatkan mobil Pete. Begitu meletakkan gagang telepon kembali, ia segera menemui sahabatnya itu.

Pete masih berdiri di tempat semula. Kedua tangannya menggenggam pagar balkon. Mobil-mobil pemadam kebakaran telah tiba. Para petugas bergegas mondar-mandir, menyambung slang air dan menyemprotkan busa.

Perut Jupe serasa diaduk-aduk ketika ia melihat betapa hebatnya kebakaran itu-dan betapa sulitnya memadamkan api.

Bel berdering, dan Jupe melihat seorang petugas polisi Rocky Beach berdiri di ambang pintu.

"Hei... kami sama sekali tidak ribut," Cory Brand berkata ketika petugas itu melangkah masuk.

Si petugas mengamati para tamu. "Seseorang di sini melaporkan ledakan bom mobil."

"Saya yang menelepon," ujar Jupe sambil kembali dari balkon. Ia terpaksa berbicara dengan keras, untuk mengalahkan hiruk-piruk di sekitarnya.

"Saya perlu berbicara denganmu," kata si petugas. Ia menunjuk ke arah pintu masuk.

Jupe menepuk bahu Pete, yang masih terbengong-bengong, dan mengajaknya untuk ikut ke luar apartemen. 

"Saya Jupiter Jones dan ini teman saya Pete Crenshaw. Mobil Pete yang diledakkan," Jupe menjelaskan. Suaranya agak bergetar ketika mengucapkan kalimat terakhir.

"Kau bisa memperlihatkan STNK?" si petugas bertanya pada Pete.

"Ehm, tidak..." Pete menatap Jupe seakan-akan hendak minta bantuan.

Tapi sebelum Jupe sempat membuka mulut, si petugas polisi sudah mengambil dua pasang borgol dari sebuah kantong yang terpasang di ikat pinggangnya.

"Ulurkan tangan kalian," ia berkata dengan tegas.

"Kenapa? Hei, tunggu dulu. Jupe bisa menjelaskan semuanya!" ujar Pete.

Si petugas meraih pergelangan tangan Jupe dan memasang borgol.

"Tunggu se... Hei! Apa-apaan ini? Ini keterlaluan!" Jupe berseru. "Saudara tahu dengan siapa Saudara berurusan?"

"Yeah-kau salah satu anggota Trio Detektif, kan?" si petugas membalas sambil tersenyum mengejek.

Jupe langsung berdiri setegak mungkin.

"Saya kenal baik sekali dengan Chief Reynolds," katanya, sambil berusaha untuk tetap tenang. "Beginikah perlakuan polisi terhadap warga yang melaporkan sebuah insiden?"

"Beginilah perlakuan kami terhadap tersangka pelaku kejahatan," si petugas menjawab sambil menarik tangan Pete dengan kasar, lalu memborgolnya.

Tersangka? pikir Jupe. Tersangka? "Ini tidak masuk akal! Bukan kami yang meledakkan mobil itu! Mana buktinya?" tantang Jupe.

122

"Saya menahan kalian sebagai tersangka dalam kasus pencurian mobil," kata si petugas. "Selebihnya akan dibicarakan di kantor polisi."

Baru setelah mereka tiba di kantor polisi, borgol di tangan Jupe dan Pete akhirnya dilepaskan. Kedua sahabat itu duduk bersebelahan di bangku kayu yang keras di luar ruang kerja Chief Reynolds.

Pete menatap lantai dan bergeser ke kiri-kanan dengan gelisah. Ia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk. "Kita bisa tewas tadi," gumamnya.

"Aku tahu," kata Jupe. Sekali lagi perutnya serasa diaduk-aduk. "Sepertinya ledakan itu tidak bertujuan untuk melenyapkan nyawa kita. Tapi kita bisa terbunuh secara tak sengaja. Sekarang sudah jelas kita kurang berhati-hati. Seseorang tahu kita menghadiri pesta itu."

"Tapi kalau mereka tidak bermaksud membunuh kita, untuk apa mobil itu diledakkan?"

"Untuk menakut-nakuti kita," ujar Jupe. "Rupanya..."

Jupe terdiam karena melihat pintu ruang kerja Chief Reynolds membuka.

Sersan Klimt, petugas yang menahan Jupe dan Pete, memberi isyarat agar mereka masuk.

"Halo, Chief," kata Jupe.

"Jupiter, Pete," balas pria tegap dan setengah botak yang duduk di balik meja. Ia setengah tersembunyi di balik tumpukan map, laporan, dan buku catatan.

"Chief," kata Jupe, seakan-akan berbicara dengan kawan lama, yang memang demikian kenyataannya. Kepala polisi Rocky Beach itu sudah acap kali membantu Trio Detektif. Begitu juga sebaliknya. Bob suka berkata bahwa mereka "bahu-membahu dalam pemberantasan kejahatan".

Karena itulah Jupe begitu terkejut karena mereka diperlakukan seperti pencuri biasa. "Kenapa petugas tadi merasa perlu memborgol tangan kami?" tanya Jupe.

"Jupe," Kepala Polisi berkata dengan nada tidak bersahabat. "Kali ini sayalah yang akan mengajukan pertanyaan." Tiba-tiba ia tersenyum dengan ramah. "Wah, Pete, mobilmu bagus sekali."

Kelihatannya Chief Reynolds berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi Jupe sudah terlalu lama mengenal kepala polisi itu. Ia sudah hafal dengan teknik-teknik interogasinya. Usahakan agar tersangka merasa nyaman.

Bicarakan sesuatu yang ringan, coba untuk memperoleh kepercayaannya, setelah itu hantam dengan pertanyaan sesungguhnya. Tapi kenapa Chief Reynolds menerapkan teknik-teknik itu pada Pete dan Jupe?

"Yeah, memang. Sayang tak ada yang tersisa," kata Pete. "Dan sebaiknya Anda mulai mencari badut yang meledakkannya."

"Pete," Chief Reynolds membalas dengan ketus, "jangan kurang ajar. Aku tahu tugasku. Ada beberapa hal yang ingin kuketahui. Sudah berapa lama mobil itu kaumiliki?"

"Sejak Jumat lalu," jawab Jupe, sebab Pete sedang menggigit kuku.

"Dan dari mana kalian memperolehnya?"

"Seseorang memberikannya pada saya."

Chief Reynolds menyilangkan tangan dan mendengus. "Aku tidak suka jawaban itu," katanya. Kemudian ia mencondongkan badan ke depan, sambil meletakkan sikut di meja. "Coba jawab sekali lagi."

"Apa yang ingin Anda dengar?" tanya Pete. "Mobil itu mengikuti saya pulang? Saya mengatakan yang sebenarnya."

"Baiklah, Pete. Aku sudah cukup lama mengenal Trio Detektif, dan aku cenderung mempercayai kalian. Tapi dalam kasus ini, kebenaran mempunyai lebih dari satu sisi. Dan sisi yang satu lagi adalah bahwa mobil itu dilaporkan hilang dicuri tadi sore."

"Dicuri?" Pete mengulangi.

"Siapa yang melaporkannya?" tanya Jupe.

"Pemiliknya. Barry Norman," jawab Chief Reynolds.

"Barry Norman, itu kan si...," Pete mulai berkata. Tapi Jupe cepat-cepat memotong.

"Pete, kurasa sudah waktunya kita memberitahu Chief Reynolds bahwa kita sedang menangani sebuah kasus, mobil itu merupakan bagian dari kasus tersebut, dan kita tidak bisa membeberkan nama klien kita, betul?"

"Apa? Oh, yeah, betul," ujar Pete.

"Kasus apa?" Chief Reynolds ingin tahu.

Jupe menggelengkan kepala. "Maaf, saya tidak bisa memberi. keterangan lebih jauh," katanya. "Kami sudah berjanji pada klien kami, bahwa kami akan melindungi kepentingannya dengan tidak menyebarluaskan masalah yang dihadapinya."

Chief Reynolds melemparkan tangannya.

"Kalau kalian tidak mau bekerja sama, aku terpaksa bertindak sesuai peraturan," ujar Chief Reynolds.

"Kami juga," balas Jupe.

Selama semenit mereka bertatapan. Chief Reynolds kelihatan gusar.

"Panggil Norman ke sini," katanya akhirnya pada Sersan Klimt.

Ketika pintu membuka lagi, Barry Norman melangkah masuk. Begitu mereka melihatnya, Pete dan Jupe langsung megap-megap. Barry Norman ternyata Michael Anthony.

Ia mengenakan jas, kemeja dengan kancing teratas dibuka, serta dasi yang telah dikendurkan. Dan kacamata hitamnya tergantung melingkar di leher, ditahan oleh tali merah.

Barry Norman-alias Michael Anthony-tampak tenang dan santai. Tapi tatapan yang dilemparkannya pada Jupe dan Pete begitu tajam, sehingga nyaris menembus mata keduanya. Kemudian ia mengedipkan mata, dan memandang mereka seakan-akan belum pernah melihat mereka sebelumnya.

"Mr. Norman," kata Chief Reynolds, "inilah kedua pemuda yang melaporkan bahwa mobil Anda diledakkan. Saya bisa menjamin bahwa mereka bukan anak berandal. Saya mengenal mereka sejak mereka masih kecil. Mereka mengaku mengendarai Porsche Anda sejak Jumat lalu, ketika seseorang memberikannya pada mereka."

"Saya kira itu mungkin saja," Barry Norman menanggapinya dengan santai. "Barangkali mobil saya sudah hilang lebih lama dari yang saya duga. Saya baru kembali dari perjalanan bisnis ke luar kota. Bisa jadi si pencuri memutuskan untuk memberikan mobil saya pada orang lain meskipun saya tidak bisa membayangkan kenapa."

"Apakah Anda sudah pernah melihat Pete dan Jupiter sebelum ini?"

Barry Norman menggelengkan kepala.

"Dan Jupiter, kau tetap menolak untuk menyebutkan klienmu?"

Jupe segera mempertimbangkan segala kemungkinan. Ia menyadari bahwa Barry Norman melakukan hal yang sama. 

Akhirnya Jupe memutuskan bahwa Barry Norman hanya sebuah pion dalam permainan catur ini. Norman sendiri mengaku bahwa dia bekerja untuk seseorang yang ingin tetap anonim. Tapi siapa orangnya? Jika Jupe menceritakan kasus mereka pada Chief Reynolds, kemungkinan besar

orang di belakang layar itu akan menghilang diam-diam.

"Untuk sementara kami tidak bisa memberikan informasi lebih lanjut," jawab Jupe.

"Klien? Apakah pemuda-pemuda ini detektif atau semacamnya?" tanya Barry. Ia berusaha keras agar wajahnya tidak kelihatan cemas.

"Ya, dan mereka sangat berbakat," Chief Reynolds menjelaskan.

"Nah, ini baru kejutan!" Pete berkomentar.

Norman mengangkat bahu. "Hidup memang penuh kejutan," katanya.

"Kadang-kadang kau meraih sukses, kadang-kadang mobilmu meledak."

"Apakah Anda ingin menuntut mereka, Mr. Norman?" tanya Kepala Polisi.

"Tidak," Barry Norman memutuskan. "Saya rasa Anda benar, Chief

Reynolds. Bukan mereka yang meledakkan mobil saya. Tapi sekarang saya harus mencari jalan untuk menjelaskan kejadian ini pada pihak asuransi."

"Anda bisa menghubungi saya untuk mendapatkan salinan laporan petugas kami," ujar Chief Reynolds.

Norman meninggalkan ruangan. Setelah ia pergi, Kepala Polisi menyandarkan badan ke belakang. "Seharusnya aku memaksa kalian untuk menceritakan semuanya padaku," katanya.

"Kalau begitu, Anda hanya akan memperoleh setengah cerita," balas Jupe.

"Kami masih sibuk merumuskan kesimpulannya."

"Jupiter," kata Chief Reynolds, "kalian harus berhati-hati. Sangat berhati-hati. Seseorang yang meledakkan mobil seharga 45.000 dolar pasti tidak peduli apakah ceritanya berakhir gembira atau tidak."

 

13. Foul Perorangan

MICHAEL ANTHONY dan Barry Norman ternyata satu orang! Pete masih belum bisa mempercayainya. Sampai sekarang pun, malam Kamis, hampir 24 jam kemudian, kasus itu tetap merupakan tanda tanya besar baginya.

Satu-satunya hal yang diketahuinya dengan pasti adalah ia dan Jupe sependapat mengenai satu hal: Barry Norman merupakan lawan yang berbahaya-seseorang yang perlu mereka hindari selama beberapa hari, agar ia menyangka mereka telah menghentikan pengusutan. Dengan demikian ia mungkin lengah dan tanpa sadar memberikan petunjuk.

Pete duduk seorang diri di bangku belakang bus Rocky Beach High School. Ia membiarkan pikirannya berkelana. Sesekali ia berusaha menggabunggabungkan beberapa fakta dari kasus mereka. Kemudian ia memusatkan perhatian pada pertandingan basket yang sedang mereka hadapi.

Kakinya diluruskan di atas bangku. Bagian belakang kepalanya memben-tur-bentur jendela akibat guncangan bus. 

Sisa tim basket Rocky Beach duduk di depan. Mereka mengobrol dan tertawa serta berusaha menghilangkan ketegangan sebelum pertandingan malam itu dimulai. Tapi mereka tidak mengusik Pete, sebab Pete sendiri yang minta agar tidak diganggu.

Semua orang di dalam bus telah mendengar cerita mengenai Porsche Pete yang hancur berantakan karena meledak. Sebenarnya mereka punya sejuta pertanyaan, tapi tak ada yang mengatakan apa-apa.

Pete menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menyiapkan mental untuk menghadapi pertandingan. Bertanding basket di tengah liburan musim dingin terasa agak aneh. Tapi jadwalnya memang begitu, dan Pete tidak terlalu ambil pusing. Ia malah senang karena mendapat kesempatan untuk beristirahat dari tugas detektif-jauh dari mahasiswa sadis, telepon aneh, dan mobil yang meledak.

Semua orang menyangka aku kesal karena kehilangan Porsche itu, pikir Pete. Tapi sebenarnya bukan itu yang membuatnya resah. Ia jauh lebih gelisah karena ditegur oleh Chief Reynolds. Peringatan dari kepala polisi Rocky Beach itu membuat pikirannya tidak tenang. Soalnya Chief Reynolds memang benar. Kasus mereka tiba-tiba menjadi berbahaya. Betul-betul berbahaya.

Karena itulah Pete duduk seorang diri di bangku belakang, sambil melatih pernapasan. Ia berusaha mengusir rasa takut yang menghantui dirinya. 

Bus yang ditumpanginya membelok ke pelataran parkir Wolfford High School. Ketika para anggota tim basket memasuki ruang ganti, Coach Tong memanggil Pete. "Kau baik-baik saja, Pete? Kau sanggup bertanding malam ini?" ia bertanya. "Dan jangan menjawab asal-asalan. Ada empat orang, rekan-rekanmu, yang perlu mendapatkan jawaban sejujurnya."

"Coach, saya benar-benar siap," balas Pete.

Coach Tong tersenyum sejenak. "Itulah yang ingin kudengar," katanya.

"Cepat, ganti pakaian."

Kondisi ruang ganti mereka khas ruang ganti yang selalu disediakan untuk tim tamu- kecil, gelap, dan terlalu panas atau terlalu dingin, tergantung mana yang lebih tidak menyenangkan untuk para pemain. Pete menduduki bangku kayu yang perlu diampelas, lalu membuka pintu locker.

Tiba-tiba jantungnya mulai berdebar-debar. Sesuatu tampak tergeletak di dasar locker-nya-lagi-lagi sebuah amplop!

Sejenak Pete hendak membanting pintu locker. Tapi ia menahan diri. Ia memungut amplop itu, membukanya, dan membaca pesan yang ada di dalam. Pesannya berbunyi demikian.

Lupakan kasus Shoremont. Itu bukan urusanmu. Kalau tidak, kau bakal CELAKA-seperti malam ini. Dan kau takkan pernah bermain basket lagi.

Jantung Pete berpacu seiring tarikan napasnya. Ia menendang pintu locker sampai menutup. "Siapa yang memasukkan amplop ini ke locker-ku?" serunya. Seketika semua rekannya menoleh. "Ayo, siapa yang memasukkan amplop ini?"

 "Hei, Pete, ada apa sih?" tanya Bill Konkey. "Aku yang memasukkannya."

Pete segera menghampiri Bill. "Untuk apa?" desaknya.

"Di luar tadi ada orang yang memberikannya padaku. Dia bilang dari Kelly. Aku tahu kau selalu memilih locker yang sesuai dengan nomor dadamu, karena itu aku langsung menyelipkan amplop itu. Kenapa sih kau uring-uringan begini?"

Pete langsung bergidik. Sekali lagi ia menatap pesan di tangannya. Apakah huruf-hurufnya sama dengan huruf-huruf pada pesan-pesan sebelumnya? Apakah pesan itu dikirim oleh Michael Anthony? Apakah dia mengetahui hubungan antara Pete dan Kelly?

Coach Tong menyembulkan kepala ke ruang ganti. "Hei, cepat sedikit. Tunggu apa lagi? Ayo, para penonton sudah mulai tidak sabar!"

Pete melemparkan pesan itu ke dalam locker, lalu buru-buru berganti baju. Beberapa menit kemudian tim Rocky Beach memasuki lapangan. Gedung olahraga dipenuhi aneka macam suara: tepuk tangan meriah untuk tim Wolfford, lagu perang Wolfford yang dimainkan dengan kecepatan tiga kali lipat, sorak-sorai yang mengejek tim Rocky Beach, dan suara si komentator

yang sedang melakukan pemanasan.

Di samping semuanya itu, sekelompok anggota marching band Rocky Beach berusaha keras agar

mereka pun terdengar.

Hiruk-piruk seperti itulah yang biasanya semakin memompa semangat Pete. Tapi malam ini ia malah bertambah ngeri. Ia berusaha melupakan kasus mereka, agar bisa bermain dengan konsentrasi penuh.

Tapi mana mungkin? Seseorang sedang menunggu untuk membuatnya celaka. Siapa? Pete menatap para penonton, sebuah lautan manusia yang tak dikenalnya.

Kebisingan di gedung olahraga seakan-akan bertambah keras dari detik ke detik, tapi hanya ada satu hal yang terngiang-ngiang di telinga Pete. "Kau bakal CELAKA-seperti malam ini."

Oke, Pete menggeram dalam hati. Mereka boleh mengancam, tapi aku takkan menyerah tanpa perlawanan.

Detik berikutnya tim Wolfford muncul, dan pertandingan pun dimulai. Para pemain Wolfford rata-rata bertubuh jangkung. Semuanya lebih tinggi dari Pete. Mereka segera menguasai bola dan menuju ke basket Rocky Beach. Tapi tangan mereka masih kaku. Lemparan pertama meleset. Begitu juga lemparan yang menyusul rebound

Bola jatuh ke tangan Rocky Beach. Sebuah operan jarak jauh dari Valdez kepada Bill Konkey merupakan awal serangan mereka. 

Konkey berusaha mengoper bola kepada Pete, tetapi Pete dijaga ketat oleh pemain Wolfford bernama Traut. Pemain Wolfford itu terus menempelkan tangannya ke dada Pete, dan mendorongnya ke samping.

Pete melakukan gerak tipu, kemudian ber-balik ke arah berlawanan, sehingga berhasil melewati Traut. Konkey melihat Pete berdiri bebas, dan melemparkan bola. Tapi tiba-tiba Pete terjatuh. Sikutnya membentur lantai, dan tangannya yang satu lagi menopang badannya. Bola melayang ke luar lapangan permainan.

Pete marah sekali. Traut telah menjegalnya, tapi tak seorang pun sempat melihat perbuatan curang itu. "Awas, kau!" Pete membentak Traut "Aku memang sedang mengawasimu," balas pemain lawan bertubuh kurus itu.

Ketika pertandingan berlanjut, insiden kecil itu disusul oleh kejadian-kejadian serupa. Pete akhirnya sadar, bahwa Traut-lah yang ingin membuatnya celaka. Ia berusaha menghindari Traut, tapi situasi permainan tidak selalu memungkinkannya, sedangkan Traut memang terus mengejar Pete.

Mula-mula mata Pete terkena sikut, dan ia terpaksa duduk di tepi lapangan selama beberapa menit sambil mengompres sisi wajahnya dengan es. Setelah turun lagi, ia ditabrak ketika melakukan lay-up sehingga terdorong ke luar lapangan. Pete mendarat di pangkuan salah seorang penonton.

Kepalanya berdarah karena membentur sandaran kursi. Sembilan pemain bertarung untuk memenangkan pertandingan. Tapi Traut mempunyai tujuan lain: mencelakakan Pete.

Pete begitu marah sehingga ia bermain lebih ngotot dari biasanya. Ia terus berlari, berputar, melakukan gerak tipu, dan melemparkan bola dari posisi sulit sambil melayang di udara. Rocky Beach sedang menuju kemenangan, tapi selisih angkanya tipis sekali.

Suatu ketika Traut sedang mendribel bola di tengah lapangan. Pete segera menghadang. Ia mengikuti setiap langkah Traut, dan mencegahnya mendekati basket.

"Nekat juga kau. Pakai otak dong!" ujar Traut. "Sebentar lagi kau bakal kapok!"

 Oke, kalau begitu aku pakai otak, pikir Pete. "Hiiiyaaa!' serunya sekuat tenaga. Teriakan itu membuyarkan konsentrasi Traut, dan Pete berhasil merebut bola. Ia langsung mengoperkan bola ke Konkey, dan Konkey segera mencetak angka. Tetapi begitu wasit mengalihkan pandangan, sikut Traut menghajar punggung Pete, tepat di daerah ginjal.

Rasa nyeri bagaikan sengatan listrik menjalar ke seluruh tubuh Pete. Tapi Pete tidak mau memperlihatkannya-biarpun untuk sedetik saja. "Cium aku sekali lagi, Sayang," katanya pada Traut sambil memelototinya.

Beberapa saat kemudian sebuah bola yang memantul dari ring. jatuh ke tangan Traut. Tanpa berpikir panjang pemain Wolfford itu menerjang maju dan melompat tinggi.

Masuk! "Inilah ciuman untukmu, Sayang," Traut menggeram ketika berlari melewati Pete.

Pertandingan terus berlangsung dengan seru. Menjelang lima menit terakhir, kedudukan 48-48. Traut memberi operan yang ternyata membentur bagian belakang kepala Pete. Semua orang menyangka Traut salah melempar bola. Tapi Pete tahu persis bahwa memang kepalanya yang diincar; sebuah peringatan dari Michael Anthony-atau orang lain-untuk menghentikan penyelidikan.

Ketika sisa waktu tinggal kurang dari semenit, Coach Tong minta time out pada wasit, time out terakhir untuk timnya. "Jangan emosi, Pete," pesannya.

"Bagaimana saya tidak emosi?" balas Pete. "Dari awal Traut terus mengejarngejar saya. Dia berusaha mencelakakan saya. Masa saya harus diam saja?!"

"Yang kulihat hanya pemain basket yang agresif, bukan pembunuh bayaran," ujar si pelatih. "Jangan terbawa perasaan, atau aku terpaksa menarikmu dari lapangan."

Pete mengangguk dan duduk.

"Oke, kita masih menang dua angka," kata Coach Tong. "Nah, kuminta kalian bertahan dengan baik, jangan lakukan pelanggaran yang tidak perlu, dan jangan biarkan mereka menambah angka dengan mudah."

Para pemain saling menepukkan tangan, lalu kembali ke lapangan. Tapi begitu pertandingan dilanjutkan, Pete segera menyadari bahwa tim Wolfford belum mau menyerah. Wolfford melemparkan bola ke depan, dan berhasil mencetak angka lewat lay-up seorang pemainnya. Kemudian mereka berhasil merebut bola dari Rocky Beach, dan terus menahannya. Mereka hendak menghabiskan waktu, dan melakukan lemparan terakhir.

"Tenang! Tenang!" seru Coach Tong pada timnya.

Akhirnya, dengan sisa waktu beberapa detik saja, pemain Wolfford menembakkan bola, dan meleset. Konkey menangkap bola yang terpental, lalu mengoperkannya kepada Pete.

Para penonton bersorak-sorai, menghitung detik-detik yang masih tersisa.

Waktu sudah hampir habis. "Tiga... dua..." Pete mendribel bola, tapi tidak ada kesempatan lagi untuk mengoper. Karena itu ia mengambil tindakan nekat. Ia melompat ke udara dan melempar bola dengan sekuat tenaga.

Kemudian, sambil terheran-heran, ia menyaksikan bola membentur papan pantul, membentur bagian depan ring, dan-entah bagaimana-jatuh melewati jaring! Bel tanda akhir pertandingan berbunyi sebelum para penonton sempat mengedipkan mata. Lemparan Pete dari tengah lapangan berhasil memenangkan pertandingan.

Pete langsung dikerumuni rekan-rekannya. Beramai-ramai mereka mengangkatnya, lalu menggotongnya ke ruang ganti. Para pendukung Wolfford duduk membisu. Pete sebenarnya hendak mencari Traut, tapi ia telanjur dibawa pergi.

Pesta kemenangan akan berlangsung sepanjang malam, tapi Pete tidak berminat menjadi bagian darinya. Ia hanya ingin cepat-cepat mandi, kemudian mendatangi Traut. Ia menunggu pemain lawan itu di pelataran parkir di depan gedung olahraga.

"Hei!" seru Pete ketika Traut keluar dari pintu.

Sesaat Traut tampak terkejut.

"Apa sih maksudmu?" tanya Pete. "Siapa yang menyuruhmu untuk terus menggangguku?"

Traut tidak mengatakan apa-apa, dan memelototi Pete.

"Ayo! Sekarang tidak ada wasit, tidak ada time out" kata Pete. "Ceritakan semuanya, aku akan mengajarimu arti foul perorangan yang sesungguhnya!"

"Jangan cari perkara," balas Traut. Ia mendorong Pete ke samping, dan mencoba melewatinya.

Pete segera maju lagi, dan mendorong Traut. Pemain Wolfford itu berusaha menjaga keseimbangan, lalu melayangkan pukulan yang mendarat telak di perut Pete.

Sesaat Pete nyaris tidak bisa bernapas. Tapi keadaan itu hanya bertahan tiga detik. Setelah itu ia mulai menunjukkan kehebatannya.

"Hi-yaaa!' Pete melabrak Traut dengan tendangan karate, yang membuat lawannya itu terpental dan jatuh ke kap mobil terdekat. Traut tetap terbaring. Kakinya menendang-nendang seperti anak kecil. Pete menangkap pergelangan kaki pemuda itu, menariknya ke depan, lalu melemparkannya melewati bahu kiri dengan gerakan memutar.

Tak percuma aku berlatih karate, pikir Pete ketika ia menatap Traut yang tergeletak di aspal. Segala kelicikan Traut tak dapat menandingi jurus-jurus karate yang telah bertahun-tahun dipelajari Pete. Traut pun menyadarinya, sebab ia tidak berusaha bangun lagi, padahal ia hanya mengalami luka lecet. Sebenarnya ia masih sanggup berdiri, tapi ia memang tidak mau bangkit.

"Oke," kata Pete. "Sekarang ceritakan. Siapa yang menyuruhmu bermain kasar? Ayo, bangsat! Katakan yang sebenarnya!"

"Aku tidak tahu," Traut menjawab dengan lesu.

Pete membungkuk dan menggenggam kerah baju Traut. "Jangan pura-pura!"

"Aku tidak tahu, sumpah. Orang itu tidak mau menyebutkan namanya.

Nama sesungguhnya, maksudku," ujar Traut. "Dia memberiku dua ratus dolar dan berpesan agar kau perlu diberi pelajaran. Dan dia juga memberiku sepucuk surat, yang katanya harus kuserahkan padamu."

"Apa maksudmu 'dia tidak mau menyebutkan nama sesungguhnya'?" Pete terus mendesak, sambil menarik Traut sampai berdiri.

"Dia menyebutkan nama samaran. Dia sendiri yang bilang begitu," kata Traut.

"Siapa namanya?" tanya Pete. "Michael Anthony."

 

14. Berkat Bantuan Pers  

BEBERAPA jam kemudian, menjelang subuh, Jupe, Bob, dan Pete duduk di bawah pancaran lampu neon di Hank's 24-Hour One-Stop, salah satu tempat nongkrong di Rocky Beach yang lain daripada yang lain.

Pete duduk menghadapi segelas soda dan sebuah hidangan khusus-Hank's sandwich of the night. Setelah tengah malam, sandwich diberikan gratis kepada para pengunjung yang memesan soda berukuran ekstrabesar, tapi isinya berupa sisa-sisa dari siang hari. Malam itu Pete kebagian kombinasi antara daging gulung dan salad ikan tuna.

Sambil makan, Pete bercerita mengenai jalannya pertandingan melawan Wolfford, serangan-serangan licik Traut, dan perkelahian di pelataran parkir. Kemudian ia menghabiskan sodanya dengan sekali teguk.

"Badanku terasa kering kerontang," Pete berkata pada Jupe.

"Kau mengalami dehidrasi," sahabatnya itu meralat. "Kau banyak kehilangan cairan tubuh

akibat perspirasi pada waktu bertanding. Aku tahu bagaimana rasanya."

"Oh, yeah, betul juga," ujar Pete sambil ketawa. "Kau jadi burung nuri dalam pertandingan Shoremont tadi malam. Ada perkembangan baru?"

Dengan lesu Jupe menggelengkan kepala. 

"Lupakan kasus kita untuk sementara, oke?" kata Bob. "Kita ke sini untuk merayakan kemenangan Pete!"

"Tempat ini benar-benar ajaib," ujar Pete sambil melihat berkeliling. "Kenapa hampir semua orang berpakaian serba hitam?"

"Soalnya sekarang malam Kamis, Pete," Bob menjelaskan. "Ini salah satu akal-akalan Hank, pemilik restoran ini. Kalau pakai baju serba hitam pada malam Kamis, kau mendapatkan potongan sepuluh persen."

"Dari mana kau tahu begitu banyak tentang tempat ini?" tanya Pete.

"Aku beberapa kali ke sini seusai rekaman larut malam," jawab Bob. "Pada waktu itulah aku mengetahui ini tempat terbaik untuk menunggu edisi pertama koran pagi. Korannya diantar sebelum pukul dua. Hank menjamin itu."

"Kau yakin bakal ada berita mengenai aku di koran?" Pete kembali bertanya.

"Jangan terlalu berharap," ujar Jupe sambil menguap. "Kemungkinannya kecil sekali."

"Jangan dengarkan dia," Bob berkomentar. "Percaya deh, Pete, kalaupun jarak lemparan-mu hanya setengah dari yang kauceritakan, beritanya tetap akan masuk koran."

"Menurutku, hal yang paling patut dicatat adalah pesan yang ditemukan Pete di locker-nya," kata Jupe.

Bob dan Pete langsung mengerang.

Jupe tidak peduli. Dengan tenang ia melanjutkan, "Pesan itu menunjukkan Barry Norman masih berusaha menggertak kita, agar kita menghentikan penyelidikan. Dia tahu segala gerak-geriknya sudah tercium oleh kita."

"Sudah waktunya kita bertindak," kata Pete, yang kembali dari meja layan sambil membawa segelas soda lagi. "Bajingan itu harus ditarik dari peredaran."

"Itu tidak sulit dengan segala sesuatu yang kita ketahui tentang dia," ujar Jupe. "Tapi Mr. Harper minta agar kita mencari tahu untuk siapa Barry Norman bekerja. Dan sampai sekarang kita tidak berhasil melaksanakan tugas itu."

"Hei, apa yang terjadi dengan Jupiter Jones yang pantang menyerah sampai detik terakhir?" tanya Bob.

Jupe meletakkan kepalanya di meja. "Sepanjang pertandingan tadi aku terus melompat-lompat dengan kostum burung nuri. Aku betul-betul lelah!  

Aku tidak bisa berpikir jernih kalau kurang tidur," desahnya. "Seharusnya kita pulang saja, bukannya menunggu koran di sini."

"Kita tidak perlu menunggu lagi," kata Bob.  

Ia menunjuk ke pintu. "Tukang korannya sudah datang."

Bob berdiri dan bergabung dengan antrean orang yang ingin membeli koran. Bob pergi dengan sukarela karena tahu bahwa Hank kadang-kadang minta para pengunjung untuk mengantre berdasarkan abjad. Di antara ketiga anggota Trio Detektif, nama Andrews-lah yang paling menguntungkan.

"Eh, Jupe, kau masih mau menghabiskan belahan kedua dari sandwichmu?" tanya Pete.

Jupe segera menggeser piringnya ke hadapan Pete. "Kadang-kadang aku mendapat kesan kau akan mati kelaparan seandainya aku tidak berdiet."

"Hei, Pete, ternyata mereka bukan cuma menulis berita singkat mengenaimu," kata Bob, sambil melemparkan koran ke meja. "Kau jadi berita utama. 'Lemparan Jarak Jauh Memenangkan Pertandingan.'"

"Wow! Lihat nih!" seru Pete. Ia segera menyambar koran. "Fotoku juga dimuat!"

Di bagian atas halaman memang ada foto Pete, yang dibuat oleh fotografer yang rupanya berdiri di puncak tribun penonton. Foto itu memperlihatkan seluruh lapangan pertandingan, dengan Pete berdiri di lingkaran tengah di daerah tim Rocky Beach. Semua orang terlihat menatap bola, yang seakanakan membeku di udara.

"Untuk kedua kalinya secara berturut-turut" Pete membaca artikel di bawah foto, "pemain bahwa pemain berbadan kecil pun dapat berperan besar di lapangan. Kali ini, Pete berhasil mencetak kemenangan dari jarak 12 meter, tanpa waktu tersisa." Pete membalik koran, dan memamerkan fotonya. "Boleh juga, ya? Hei, itu bukan fotoku, Jupe!"

Jupe merebut koran dari tangan Pete, dan menatap foto pada bagian bawah. "Perhatikan ini," katanya akhirnya. "Coba lihat apakah kau mengenali seseorang."

Pete melipat koran, lalu mengamati foto yang lebih kecil di kaki halaman.

"Ini artikel mengenai tim Shoremont," katanya. "Dan fotonya memperlihatkan beberapa anggota tim duduk di bangku cadangan, pada waktu pertandingan sedang berlangsung."

"Di latar belakang," ujar Jupe tak sabar.

Bob bergeser agar bisa mengintip lewat bahu Pete. Tapi Pete cepat-cepat menarik koran. "Jangan bantu aku," katanya pada Bob. "Biar aku sendiri saja."

Pete membungkuk dan mengamati foto itu dari dekat. Akhirnya ia mengangkat alis karena mengenali seseorang. "Itu wanita muda yang makan siang di country club bersama Barry Norman. Tapi di sini dia duduk di samping John Hemingway Powers."

"Betul," ujar Jupe, "jadi sekarang kita tahu bahwa dia mengenal baik Barry Norman maupun John Hemingway Powers. Nah, ini skenario menarik.

Kalau wanita itu mengenal kedua-duanya, bukankah ada kemungkinan mereka pun saling mengenal? Itu berarti kita telah menemukan tersangka baru, petunjuk baru, jejak baru."

Pete mengerutkan kening. "Powers?"

"Oke, oke," kata Jupe. "Terus terang kemungkinannya memang tipis. Tapi mungkin inilah sebabnya kita tidak berhasil menemukan apa pun yang menghubungkan Barry Norman dengan Coach Duggan. Mungkin memang tidak ada apa-apa. Tapi sekarang kita sudah mendapatkan mata rantai antara Norman dan Powers."

Bob berdehem. "Hei, jangan asyik berdua saja! Coba kulihat dong." Pete menyerahkan koran pada Bob, yang kemudian mengamati foto itu dengan saksama. "Siapa nama pria yang kalian sebut-sebut tadi?"

"John Hemingway Powers," jawab Jupe. "Dialah alumnus Shoremont yang kaya raya, yang kuceritakan padamu beberapa hari lalu."

"Dan dia juga yang mendesak kalian agar segera meringkus Duggan?" tanya Bob.

"Huh, mestinya kau lihat sendiri bagaimana sikapnya," kata Pete.

"Aku pernah melihat orang itu," ujar Bob sambil tersenyum.

"Betulkah? Kapan? Di mana?" Jupe segera ingin tahu.

"Kau ingat waktu aku menemuimu di gedung olahraga Shoremont minggu lalu? Aku sempat kesasar ke kantor Coach Duggan dan mengobrol dengan sekretarisnya. Aku sudah cerita, kan, bahwa banyak orang keluar-masuk.

Nah, dia salah satu di antara mereka."  

"Lalu apa yang terjadi?" tanya Jupe.

"Dia masuk, dan langsung menuju ruang kerja Coach Duggan. Aku menanyakannya pada sekretaris Duggan, dan dia bilang Powers datang setiap minggu-biasanya hari Kamis, waktu Duggan tidak ada. Menurut dia,

Powers menggunakan komputer Duggan untuk membuat printout berisi statistik terakhir. Sepertinya pria itu tergila-gila pada tim Shoremont."

"Powers sering datang dan menggunakan komputer Coach Duggan?" Pete bertanya.

"Kalau Duggan sedang keluar. Tepat sekali," balas Bob. "Apa kau berpikiran sama deganku?"

Jupe mengangguk. "Jika Powers masuk ke kantor Duggan untuk memperoleh statistik terakhir, apa yang mencegahnya untuk sekaligus membuat printout laporan pemain-pemain berbakat yang disusun Coach Duggan? Powers mempelajari laporan-laporan itu, untuk mengetahui pemain mana yang diincar Coach Duggan untuk tim Shoremont..."

"Dan kemudian," Pete meneruskan, "Powers mengutus Michael Anthony alias Barry Norman untuk mengantarkan uang suap."

"Sekarang sudah jelas bagaimana Powers bisa menghubungi Pete begitu cepat," Jupe menambahkan. "Dia tahu Pete berada di urutan teratas pada daftar Duggan. Karena itu dia menugaskan Anthony untuk mengantarkan amplop pertama. Tapi kita menyimpulkan amplop itu ditinggalkan oleh Coach Duggan, yang kebetulan sempat mendatangi Pete pada malam yang sama."

"Ternyata kita keliru," kata Pete.

"Kita tidak keliru," Jupe membantah sambil menepuk-nepuk koran. "Kita terlalu terburu-buru. Apa mungkin Hank mau membuatkan milk shake setengah porsi untukku?"

"Lho, kupikir kau betul-betul lelah," Pete berkomentar.

"Memang. Tapi aku membutuhkan milk shake itu agar segar kembali. Aku ingin menjelaskan rencanaku untuk menangkap John Hemingway Powers, dan itu akan menghabiskan banyak waktu!"

***

 

Rencana Jupe sederhana saja. Mereka akan memasang jebakan bagi John Hemingway Powers dengan menyelipkan umpan ke dalam laporan Coach Duggan yang terbaru-dan berharap agar umpan itu termakan oleh Powers.

Untung saja hari berikutnya Kamis, hari yang biasa dimanfaatkan Powers untuk memperoleh data statistik tim Shoremont.

Pagi-pagi sekali Trio Detektif sudah berangkat ke Shoremont College. Setelah sampai, ketiga sahabat itu langsung menuju kantor Coach Duggan. Jupe dan Pete bersembunyi di gudang di seberang lorong. Sementara mereka mengintip lewat celah pintu, Bob menyembulkan kepala ke kantor. "Halo, masih ingat aku?" ia mulai merayu sekretaris Duggan.

"Astaga, kau masih kesasar juga?"

"Bukan-aku kesasar lagi," balas Bob.

Gadis berambut pirang itu kembali menunjukkan arah untuk Bob, tapi kali ini Bob berhasil membujuknya untuk menemaninya, sehingga kantor Duggan ditinggal dalam keadaan kosong. Begitu mereka pergi, Pete dan Jupe menyelinap ke ruang kerja si pelatih basket.

Dalam sekejap Jupe telah menyalakan komputer.

"Aku sudah membuka file berisi laporan Coach Duggan mengenai pemainpemain berbakat," kata Jupe, sementara jari-jemarinya menari-nari di atas keyboard Ia memasukkan berbagai informasi sambil tersenyum lebar.

"Apa yang lucu?" tanya Pete. Sejenak ia mengalihkan pandangannya dari pintu.

"Nanti saja kuberitahu. Aku sudah hampir selesai." Jupe berhenti mengetik, lalu keluar dari program. "Beres. Tahap pertama sudah rampung. Ayo, kita menyingkir dulu."

Mereka bergegas kembali ke gudang, lalu menunggu sambil berharap agar Powers segera muncul.

 

 

Powers baru muncul dua jam kemudian. Seperti yang dikatakan Bob, dia segera masuk ke ruang kerja Duggan. Beberapa menit kemudian dia keluar lagi sambil membawa printout komputer.

"Umpan kita sudah termakan," kata Jupe.  

"Powers telah menggunakan komputer. Dan Duggan sepanjang pagi belum masuk ke kantornya. Tahap kedua sudah selesai. Sekarang giliran tahap ketiga. Semoga berhasil, Pete. Sori, aku tidak bisa menemanimu. Risikonya terlalu besar. Aku mungkin dikenali sebagai si burung nuri. Jangan buangbuang waktu, dan pastikan kau masuk sendirian."

Pete keluar dari gedung sambil membawa papan pencatat. Sebatang pensil terselip di belakang telinganya. Ia melintasi lorong.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya sekretaris Duggan.

"Pemeliharaan komputer," balas Pete, sambil mengetuk-ngetuk papan pencatat dengan pensil. "Pemeriksaan rutin."

"Coach Duggan punya komputer di ruang kerjanya," ujar gadis pirang di balik meja. "Biar saya tunjukkan tempatnya."

"Jangan. Maksud saya, tidak perlu. Saya... ehm... bisa menemukannya sendiri."

"Oke."

Pete masuk ke ruang kerja, dan duduk menghadapi komputer. Seketika butir-butir keringat muncul pada keningnya. Ia bisa membongkar mobil, lalu memasangnya kembali dengan mata tertutup. Tapi komputer merupakan soal lain. Kedua tangan Pete gemetar ketika ia mulai mengetik. Hapus... hapus... Berulang kali ia membaca petunjuk-petunjuk yang ditulis Jupe pada papan pencatat.

Setelah tugasnya selesai, Pete keluar dari ruang kerja, mengucapkan terima kasih pada si sekretaris, dan menyusuri lorong. Sebuah ketukan pelan pada pintu gudang membuat Jupe keluar.

"Berhasil?" tanya Jupe.

Pete mengangguk. "Aku menghapus semua yang kaumasukkan tadi."

"Bagus. Tahap ketiga selesai. Sekarang kita tinggal menunggu sampai seseorang menghubungi Luke Braun-si jago basket yang sebenarnya tidak ada!"

 

15. Permainan Telah Berakhir

"OKE, sekarang tolong ceritakan semuanya tentang Luke Braun," kata Bob, ketika mereka dalam perjalanan pulang ke Rocky Beach.

"Maksudmu, segala sesuatu yang kukarang untuk laporan pemain berbakat?" tanya Jupe. Ia tersenyum puas. "Pertama-tama, Luke Braun murid yang selalu memperoleh nilai A."

"Yeah, ini memang pertimbangan utama bagi para pelatih basket," Bob berkomentar sambil geleng-geleng.

"Bagiku itu penting, dan aku yang mencip-takannya," balas Jupe ketus.

"Tingginya 195 senti."

"Nah, ini baru pemain basket," kata Pete.

"Dia memiliki persentase tembakan yang menonjol, dia bisa menembak sama baiknya dengan tangan kanan maupun kiri-kurasa itu sentuhan yang menarik-dan kutulis bahwa dia gesit, langsing, dan tangkas. Aku juga menambahkan bahwa Coach Duggan menganggapnya sebagai calon pengganti Magic Johnson di masa mendatang."

"Wow!" Pete berseru. "Andai kata aku pelatih basket, aku pasti akan menempuh segala cara untuk menarik Luke agar bermain dalam timku."

 

"Memang itu tujuannya. Membuat Powers penasaran untuk membawa Luke ke Shoremont. Aku juga menambahkan bahwa Luke hari ini akan memutuskan perguruan tinggi mana yang diminatinya. Karena Luke sebenarnya tidak ada, aku mencantumkan alamat dan nomor teleponmu, Bob. Sekarang kita tinggal menunggu di rumahmu sampai telepon berdering."

Menjelang sore, saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Bob menyahut dan langsung memberi isyarat pada Jupe dan Pete.

"Ya, ini Luke Braun," kata Bob. Ia memindahkan pesawat telepon dan duduk di kursi empuk di ruang tamu.

Melihat wajah Bob, Jupe langsung tahu bahwa percakapan itu berlangsung sesuai rencana. Mula-mula Bob berlagak tertarik berbicara dengan Michael Anthony, tetapi kemudian ia mulai mempersiapkan perangkap.

"Tentu, saya sangat berminat untuk berbicara dengan Anda. Tapi rasanya kurang enak kalau saya harus menemui Anda di tempat lain. Orangtua saya dan saya telah memutuskan bahwa saya hanya akan melakukan pembicaraan di rumah, dengan ditemani orangtua saya. Ayah saya baru

saja kehilangan pekerjaan, dan kami tidak banyak uang. Mereka ingin agar saya menemukan perguruan tinggi yang memahami kesulitan kami."

Bob kembali mendengarkan lawan bicaranya, dan akhirnya mengacungkan jempol ke arah Pete dan Jupe. "Sip!" ia berkata sambil meletakkan gagang. "Dia datang sekitar sejam lagi."

Ketika bel berdering satu jam kemudian, Bob segera membuka pintu.

"Halo, Anda pasti Michael Anthony," ujar Bob. "Saya Luke."

Barry Norman melangkah masuk dan duduk di salah satu kursi. Ia menatap Bob dengan bingung. "Di laporan pemain berbakat tertulis tinggimu 195 senti."

"Gerakan peregangan yang biasa saya lakukan sebelum pertandingan benar-benar membantu," balas Bob.

Jawaban itu rupanya terasa tidak mengenakkan bagi Barry Norman. Ia mulai gelisah. "Betulkah kau Luke Braun?"

"Tentu. Beberapa orang menganggap saya sebagai calon pengganti Magic Johnson," jawab Bob. "Apakah kita bisa membicarakan bayaran saya sekarang, Mr. Anthony, sebab saya masih menunggu tiga utusan perguruan tinggi lain yang juga ingin menyogok saya."

Wajah Barry Norman tetap tenang ketika ia melihat berkeliling. "Saya rasa saya permisi dulu, Luke."

Bob berdiri sebelum Norman sempat bergerak. "Tunggu dulu!" katanya.

"Saya belum memperkenalkan Anda kepada orangtua saya.  

Mereka ingin sekali bertemu dengan Anda. Hei, kalian boleh masuk sekarang!"

Begitu mendengar aba-aba Bob, Pete dan Jupe muncul di ambang pintu. Mereka gembira melihat wajah Barry Norman-yang sejak tadi sudah bingung-menjadi pucat.

"Selamat sore, Mr. Norman," kata Jupe. "Waktu kita bertemu di kantor Chief Reynolds, saya lupa memberitahu Anda bahwa kami dikenal sebagai Trio Detektif. Ini Bob Andrews, anggota ketiga."

Jupe tidak bisa menyembunyikan senyum kemenangannya. "Saya juga ingin mengucapkan terima kasih atas kunjungan Anda, Mr. Norman, sebab dengan demikian Anda telah membuktikan siapa yang berada di balik skandal penyuapan di Shoremont College."

"Saya tidak membuktikan apa-apa. Dan kalau kalian pikir saya akan menuding seseorang, kalian betul-betul kekanak-kanakan."

"Sebenarnya," ujar Bob, "pada waktu Anda menelepon saya, Anda sudah menuding seseorang."

"Begini, Mr. Norman," Jupe menjelaskan, "hanya ada satu cara bagaimana Anda bisa mengetahui nama dan nomor telepon Luke Braun, yaitu jika John Hemingway Powers yang memberitahu Anda. Soalnya pemuda bernama Luke Braun tak pernah ada."

Jupe menduduki sofa yang berada setengah meter dari kursi Barry Norman. Keduanya bertatapan untuk waktu yang lama.

"Asal tahu saja, saya tidak mengakui kesalahan apa pun," kata Norman akhirnya. "Tapi seandainya saya memang bekerja untuk John Hemingway Powers, lalu kenapa? Saya tidak melanggar hukum, sama halnya dengan John Hemingway Powers."

"Mungkin memang begitu," balas Jupe. "Tapi saya rasa reputasi Anda sebagai pengacara takkan bertambah baik jika urusan ini sampai diketahui pers. Di pihak lain, kalau Anda mau bekerja sama, Mr. Harper dari Shoremont College mungkin bersedia untuk tidak melibatkan nama Anda."  

Wajah Norman tampak sekeras batu. "Saya tidak melihat alasan mengapa saya tidak bisa bertemu dengan Mr. Harper, kalau itu yang kalian inginkan."

***

 

Jupe tampak berseri-seri ketika naik ke VW kodok merah milik Bob. Sepanjang perjalanan ke Shoremont College air mukanya tidak berubah. Barry Norman mengikuti mereka dengan mobil sendiri. Sebelumnya, Jupe sudah menelepon Mr. Harper untuk memberitahunya bahwa mereka

berhasil memecahkan kasus penyuapan itu. Ia juga minta agar Mr. Harper memanggil Coach Duggan ke kantornya, dan sekaligus mengundang John Hemingway Powers. Ketika mereka tiba di kantor Mr. Harper, Duggan dan Powers sudah menunggu.

Mr. Harper menyalami ketiga anggota Trio Detektif, tapi Jupe nyaris tidak memperhatikannya. Ia terlalu sibuk mengamati reaksi John Hemingway Powers pada waktu Barry Norman melangkah masuk. Ekspresi terkejut, marah, cemas, bingung, dan siap bertempur melintas di wajah pria itu. Kemudian ia memelototi Jupe dan kedua sahabatnya.

"Jupiter," kata Mr. Harper, "kami semua sudah tak sabar menunggu penjelasanmu. Rupanya kalian bertiga memang detektif berbakat, sebab kalian berhasil memecahkan kasus ini dalam waktu kurang dari dua minggu. Saya sangat berterima kasih pada kalian. Sekarang tolong ceritakan apa yang kalian temukan."

"Detektif?" Coach Duggan bergumam dari kursinya di dekat jendela. "Saya tidak melihat detektif di sini. Saya hanya melihat maskot kita dan"-ia menunjuk Pete-"seorang pelajar high school"

Jupe melangkah ke tengah-tengah ruangan. "Sebenarnya, kami bertiga pelajar high school dan detektif, Coach Duggan," ia menjelaskan. "Saya hanya pura-pura sebagai mahasiswa Shoremont."

"Coach," kata Mr. Harper, "sebentar lagi Anda akan mengerti semuanya. Silakan, Jupiter. Teruskan ceritamu."

Jupe tidak terburu-buru. Ia mengibaratkan John Hemingway Powers sebagai buah kas-tanye-sejenis kacang-kacangan dengan kulit keras yang sukar dikupas-kecuali bila dipanggang terlebih dahulu. Kalau Powers sudah matang, sudah cukup cemas, Jupe berharap kedoknya akan retak dengan sendirinya.  

"Kasus ini memang pelik," ujar Jupe. "Tapi beberapa bukti terkumpul dengan mudah. Sebagai contoh, orang ini, Barry Norman, memberikan sejumlah uang dan sebuah Porsche pada Pete, agar Pete bermain basket untuk Shoremont College."

"Apa?" seru Coach Duggan.

"Tenang dulu, Duggan," tegur Mr. Harper dengan keras. "Anda akan mendapat kesempatan untuk menjelaskan semuanya."

Semua orang di ruangan itu segera menyadari bahwa Mr. Harper menganggap Coach Duggan sebagai biang keladi. Powers tersenyum secara sembunyi-sembunyi.

"Kelihatannya Anda telah menarik kesimpulan yang keliru," Jupe memberitahu Mr. Harper. "Kami telah memastikan bahwa Coach Duggan sama sekali tidak bersalah dalam urusan ini."

"Hmm, kalau begitu, siapa?" Kesabaran Mr. Harper mulai menipis.

"Saya akan segera menjawab pertanyaan Anda. Tapi sebelumnya, izinkan saya untuk menanyakan sesuatu pada Mr. Powers," ujar Jupe. "Mr. Powers, siapa Luke Braun?"

Powers menatap Jupe dengan hati-hati. "Siapa Luke Brown?" ulang Powers.

"Ya," kata Jupe. "Anda mengenalnya, bukan?"

Powers terdiam sejenak. Ia berusaha mencari perangkap yang mungkin telah disiapkan oleh Jupe. Namun rupanya ia tidak berhasil menemukannya.

"Setahu saya, Luke Braun pemain basket high school" jawab Powers. "Saya melihat namanya tercantum dalam laporan pemain berbakat yang disusun Coach Duggan. Menurut Coach Duggan, dia berbakat sekali."

Semua orang menoleh ke arah Coach Duggan. "Luke Braun? Saya belum pernah mendengar nama itu," pelatih itu berkomentar.

Powers tampak kebingungan. "Tapi saya melihat namanya pada laporan Anda," ia ber-keras. "Anda mengatakan dia calon pengganti Magic Johnson!"

"Bukan," potong Jupe. "Saya yang mengatakannya. Begini, Mr. Powers, pemuda bernama Luke Braun tidak ada. Dia tokoh rekaan saya. Saya memasukkan nama Luke ke komputer Coach Duggan, karena saya tahu Anda akan membaca laporannya. Saya juga tahu Anda akan mengutus

Michael Anthony-Mr. Barry Norman ini-untuk menemui Luke. Kami menghapus file itu beberapa menit setelah Anda meninggalkan kantor Coach Duggan, Mr. Powers, sehingga Anda satu-satunya orang yang sempat membacanya. Saya kira bukti yang kami ajukan cukup meyakinkan."

John Hemingway Powers tiba-tiba tampak lelah dan sepuluh tahun lebih tua.

"Apakah ini benar, Mr. Norman?" tanya Mr. Harper.

"Saya ingin membantu Anda," Barry Norman berkata, "tapi sebelumnya saya ingin mendapatkan kepastian bahwa peran saya dalam masalah ini akan tetap dirahasiakan. Begini tawaran saya: Saya akan mengatakan segala sesuatu yang ingin Anda ketahui, dan sebagai gantinya Anda berjanji untuk tidak menyebutkan nama saya kepada pihak pers."

"Baiklah," Mr. Harper menyetujui. "Kalau itu harga informasi Anda, saya bersedia membayarnya. Sekarang katakanlah, apakah keterangan Trio Detektif benar?"

Norman menatap Powers, lalu mengangguk. "Ya. John Hemingway Powers adalah klien saya. Dialah yang berada di balik usaha penyuapan ini."

"Oke, semuanya benar! Terus kenapa?" Powers berkata dengan nada menjurus bangga. "Saya merasa tak ada salahnya memberikan sesuatu pada anak-anak muda agar mereka mendaftarkan diri ke Shoremont College dan bergabung dengan tim basket."

Mr. Harper mengerutkan kening ketika menghardik, "John, pendapatmu bertentangan dengan setiap peraturan yang menyangkut etika penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi."

"Yeah, memang mudah bagimu untuk duduk di sini dan membicarakan masalah etika," balas Powers. "Kau baru tiga tahun menduduki kursi pimpinan Shoremont. Kau bukan lulusan kampus ini. Kau tidak tahu tradisi dan sejarahnya. Kau tidak ikut mengalami masa kejayaannya. Kau

tidak perlu menyaksikan prestasi para olahragawannya terus menurun.

Kau tidak tahu bagaimana perasaanku melihat para atlet berbakat tahun demi tahun memilih perguruan tinggi terkenal, tempat setiap pertandingan olahraga diliput TV secara besar-besaran. Nama besar Shoremont College harus dipulihkan-dan aku tahu bukan kau yang akan melakukannya."

"Sudah berapa lama ini berlangsung?" Mr. Harper bertanya.

"Baru sejak kau mengontrak Duggan sebagai pelatih," jawab Powers. "Aku mendapatkan ide ini ketika mendengar kabar burung bahwa Duggan membayar para pemainnya di Boston. Apakah aku percaya berita itu benar? Hah, aku tidak peduli! Hanya satu hal yang kuketahui: Uang berbicara dan orang-orang menurut. Aku yakin kalau masalah bayaran ini sampai terbongkar, Duggan yang akan terkena getahnya."

"Jadi itulah sebabnya kau menawarkan dana tambahan untuk Coach Duggan," kata Mr. Harper. "Sekadar agar semua kecurigaan akan terarah padanya?"

"Aku tidak punya pilihan lain, Chuck. Ketika anak-anak ini mulai membuntuti Barry dan mengusik pemain-pemainku dengan pertanyaanpertanyaan mereka, aku mulai mencium masalah."

Ia mengalihkan pandangan dan memelototi Pete. "Siapa yang menyangka kami ternyata berurusan dengan detektif amatiran?" Pete tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

"Powers, Anda telah mencoreng olahraga basket dengan segala kesombongan Anda!"

"Bangun, Duggan!" balas Powers. Ia menjentikkan jari seperti ahli hipnotis.

"Tim juara dibeli dengan uang, bukan dilatih! Tim kita berhasil mencapai final untuk pertama kali dalam sepuluh tahun terakhir. Dan kita berpeluang menang. Untuk itu kalian semua mestinya berterima kasih padaku."

Mr. Harper tampak begitu kecewa, sehingga untuk sesaat Jupe nyaris merasa bersalah karena mereka berhasil memecahkan kasus itu.

"Powers," Mr. Harper berkata dengan sedih, "permainanmu telah berakhir."

"Betul sekali," Coach Duggan angkat bicara. "Saya akan mengeluarkan semua pemain bayaran Anda dari tim saya, Powers."

"Jangan mengada-ada," kata Powers. "Pertandingan final akan berlangsung besok malam. Tak ada yang perlu mengetahui urusan ini."

"Tim Shoremont mungkin memang tim terbaik yang bisa dibeli dengan uangmu, John," ujar Mr. Harper, sambil meluruskan jepitan kertas, "tapi aku tidak ingin program olahraga kami dijalankan dengan cara itu. Dan kau tidak perlu repot-repot mengancam bahwa kau akan membatalkan sumbanganmu untuk membangun gedung olahraga baru, sebab aku tidak sudi lagi menerima sepeser pun darimu. Shoremont College sudah tidak membutuhkan bantuanmu."

Powers berdiri. Untuk terakhir kalinya ia memelototi semua orang yang hadir, lalu meninggalkan ruangan.

"Terima kasih banyak," kata Mr. Harper. Ia memaksakan diri untuk tersenyum, tapi kemudian menjabat erat-erat tangan ketiga anggota Trio Detektif. "Shoremont College akan melewati masa yang berat dan memalukan. Tapi paling tidak kami masih bisa bangga karena kami membuka dan menangani masalah-masalah kami, bukan malah menutupnutupi semuanya."

 

16. PPB

"WELL, kelihatannya kalian cukup sibuk selama aku pergi main ski," kata Kelly. "Tapi sekarang terus teranglah. Sebenarnya Pete tidak pernah mendapat hadiah Porsche, kan?"

Pete menggenggam kemudi si Perahu. Setelah ia meninggalkan mobilnya di lapangan parkir minggu lalu, Cadillac tua itu ditarik polisi ke tempat penahanan sementara. Tadi pagi Pete terpaksa membayar delapan puluh  dolar untuk menebusnya-dari kantongnya sendiri, sebab uang sogok sejumlah empat ribu dolar telah ia kembalikan pada Powers. Sekarang si Perahu sedang membawa mereka ke pertandingan final Shoremont.

"Jangan singgung Porsche itu lagi, oke?" kata Pete.

"Oke," jawab Kelly, lalu menunggu sejenak. "Tapi paling tidak, tolong jelaskan kenapa Michael Anthony meledakkannya."

Pete mengerang.

"Kurasa John Powers menyuruh dia membayar seseorang untuk melakukannya," Jupe meralat dari bangku belakang. "Sebenarnya Porsche itu memang milik Powers."

"Tapi kenapa harus diledakkan?"

"Sebab Norman menyadari bahwa gerak-geriknya sudah mulai terbaca,"

Jupe menjelaskan. "Karena kami melakukan kesalahan yang sebenarnya bisa dihindari. Ketika kami membuntuti dia, kami menyangka sudah cukup menjaga jarak. Tapi jika kau mengendarai mobil sport seharga 45.000 dolar dan membuntuti pemiliknya, kau harus dua kali lebih berhatihati. Kami terlalu sembrono.

Setelah pertemuan kemarin, Norman mengakui melihat mobilnya diparkir di country club ketika kami mengikutinya ke sana. Karena itu dia lalu mengajak kami berkelilingkeliling."

"Masa?" tanya Pete. "Wah, pantas dia pergi ke Costa Verde College-agar kita menyangka dia bekerja untuk Bernie Mehl. Kurasa itu pula sebabnya dia tidak meneleponku pada hari Sabtu-ketika kau memaksaku menunggu di rumah sepanjang hari, Jupe!"

"Kalau begitu, dia pasti juga melihat Porsche itu ketika kalian menunggu di dekat kantornya," kata Bob.

"Ya," Jupe mendesah. "Kesalahan serupa, hasil serupa. Karena itulah Norman tidak muncul pada sore harinya. Malahan, ketika Pete dan aku sedang menunggunya, justru dia yang mengawasi kami! Kemungkinan sambil menelepon seorang ahli ledak. Norman takkan mengakui bahwa dialah dalang peledakan mobil itu. Tapi aku cukup yakin dia mengikuti kita ke pesta Cory Brand. Kemudian ahli ledak yang disewanya memasang bom, menelepon Pete, lalu menekan tombol pada remote control"

"Aku suka sisi romantis kasus ini," kata Kelly.

"Sisi romantis yang mana?" Pete bertanya dengan heran.  

"Maksudku, wanita muda dan cantik yang makan siang dengan Barry Norman. Ternyata dia putri John Hemingway Powers! Seperti... seperti dalam film saja!"

"Yeah, ehm, berdasarkan apa yang diceritakan Norman padaku kemarin," ujar Jupe, "pasti akan ada pertumpahan darah kalau Powers mengetahui Norman berkencan dengan putrinya. Terutama karena itulah yang menyebabkan keberuntungan akhirnya bergeser ke pihak kita."

Pete menemukan tempat kosong di gedung parkir di Shoremont College. Ia segera memutar ke pintu Kelly dan berhasil membukanya pada tarikan kedua.

"Barangkali engsel pintunya cuma perlu diketok sedikit," Bob menghibur sahabatnya

"Yeah, dengan palu godam," Pete menggerutu.

"Hei, sudahlah! Kasusnya sudah selesai. Dan pertandingan ini bakal seru,"

Kelly berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia menggiring ketiga anggota Trio Detektif ke pintu gedung olahraga.

Tetapi ketika mereka menerobos kerumunan orang untuk mencari tempat duduk mereka di tribun penonton, Jupe dan Bob masih terus membahas detail-detail kasus mereka.

"Bagian yang paling memalukan," Jupe mengakui, "terjadi menjelang akhir pertemuan di kantor Mr. Harper kemarin, ketika aku memberitahu Coach  Duggan bahwa Walt Klinglesmith termasuk pemain yang menerima bayaran. Ternyata dugaanku keliru. Walt memang gemar membagibagikan uang juga bolpoin-bolpoin mahal karena alasan yang kuat. Ayahnya pemilik serangkaian toko alat tulis."

Bob tertawa penuh pengertian.

"Pertandingan malam ini pasti berat sebelah," ujar Pete. "Tanpa Cory Brand, Tim Frisch, dan empat pemain andalan lainnya, Shoremont tidak punya harapan menang."

"Yeah, dan tanpa Jupe sebagai burung nuri, para pendukungnya pasti kurang bergairah," Bob menimpali.

"Jupiter Jones, kau mengundurkan diri karena tim Shoremont pasti kalah?" Kelly bertanya dengan nada menuduh. "Itu melanggar kode etik para cheerleader?"

"Jupe bukannya mengundurkan diri. Ia diberhentikan dengan hormat waktu mereka tahu dia hanya pura-pura jadi mahasiswa," Bob menjelaskan.

Akhirnya keempat anak muda itu menemukan tempat duduk masing-masing di tengah tribun, berhadapan dengan lingkaran tengah. Tempat duduk ideal, berkat jasa Coach Duggan.

"Nah," Pete berkata begitu Jupe duduk, "siapa yang akan membeli hot dog, minuman, dan popcorn?"

"Siapa yang mau berbagi hot dog denganku?" tanya Jupe.

"Aduh, lebih baik kaucari diet baru saja," Bob menanggapinya sambil ketawa.

Tiba-tiba Jupe melihat regu cheerleader Shoremont melakukan pemanasan di tepi lapangan. "Biar aku saja yang membeli semuanya," ia menawarkan diri. Jupe segera bangkit, menuruni tribun, berlawanan dengan arus penonton yang lain. Ketika ia sampai di bawah, ia berdiri sambil menatap Sarah. Dalam hati ia mengulangi kata-kata yang telah dihafal-kannya di bawah bimbingan Bob. "Apakah kau mau pergi ke bioskop bersamaku?"

Hanya tujuh kata. Pasti takkan ada kesulitan.

Ia melambaikan tangan ke arah Sarah, dan gadis itu menghampirinya.

"Halo, Jupe," Sarah menyapa. Ia tampak heran melihat Jupe.

"Ehm, halo. Bagaimana pendapatmu mengenai bioskop?" Sarah kelihatan bingung.

Jupe berdehem. "Maksudku, kau pernah ke bioskop, kan? Ehm..." Ya Tuhan, hanya tujuh kata! Tapi kenapa kata-kata itu begitu sukar diucapkan?

"Jupiter, aku sangat berterima kasih karena kau telah membantu sekolah kami, dan juga telah bersedia menggantikan Steve sebagai burung nuri. Eh, waktu aku mendengar bahwa kau anak high school sekaligus detektif, kupikir, wow, ini baru kejutan. Tapi kemudian aku memikirkannya lagi, dan dalam hati kukatakan bahwa bagimu tak ada istilah 'tak masuk akal'."

Jupe menarik napas panjang. "Kalau begitu, apakah kau... ehm..."

Sarah memecahkan keheningan. "Barangkali kita bakal ketemu lagi kalau kau sudah masuk perguruan tinggi." Ia tersenyum, menyentuh lengan Jupe, dan pergi.

Sekian dan terima kasih, pikir Jupe ketika memesan hot dog, minuman, dan popcorn. Kesempatannya untuk berkencan dengan gadis yang memesona itu telah lenyap. Tak ada imbalan bagi siapa pun dalam kasus itu.

Shoremont akan kalah. Pete terpaksa naik Perahu lagi. Jupe harus kembali ke Rocky Beach High School...

Prooot! Jupe mendengar minumannya tumpah, tapi ia hanya melihat warna ungu. Perlahan-lahan ia menyadari kenapa-rupanya ia telah menabrak Coach Duggan, yang mengenakan jaket kebanggaan Shoremont.

Jaket itu kini berlepotan Coca-Cola.

"Oh, maaf, Coach Duggan," Jupe minta maaf.

Pelatih itu tidak berkedip. "Tidak apa, Jupe," katanya. "Coca-Cola justru membantu menenangkan saraf. Mestinya kubeli beberapa gelas untuk anak-anak di ruang ganti. Maklum saja, beberapa di antara mereka baru bermain kurang dari enam puluh detik dalam musim kompetisi ini. Tapi mereka pasti akan berusaha sekuat tenaga."

"Semoga sukses, Coach," ujar Jupe.

Pelatih itu mengangguk. "Aku ingin mengucapkan terima kasih secara pribadi, atas semua yang kaulakukan untukku. Kami harus bertanding di final tanpa pemain-pemain terbaik kami. Kami tidak punya peluang sama sekali untuk menang. Tapi kau tahu, tidak? Aku justru bersyukur. Dalam kasus di Boston aku tidak bersalah, dan aku berharap semua orang sudah tahu bahwa kali ini pun begitu. Sekali lagi terima kasih, Jupe. Berkat kau reputasiku berhasil diselamatkan."

"Sama-sama, Coach," balas Jupe.

Coach Duggan hendak kembali ke ruang ganti, namun tiba-tiba berbalik dan bertanya,

"Kau tahu apa yang lebih sulit daripada mengganti pemain-pemain itu, Jupiter?"

Jupe menggelengkan kepala.

"Menemukan PPB seperti kau!"

Jupe tampak kebingungan. "Pemain Paling Berbakat?"

"Pelawak paling berbakat. Penampilanmu sebagai burung nuri benar-benar tanpa tandingan!"

  

-TAMAT