Trio Detektif - Misteri Kejaran Teror




TRIO DETEKTIF MISTERI KEJARAN TEROR

Ebook by Syauqy_arr

OCR by Raynold

Kata Pembuka dari Hector Sebastian

-AKU mendapat kehormatan untuk memperkenalkan Trio Detektif pada pembaca yang belum tahu siapa mereka. Tapi jika Anda sudah mengenal ketiga remaja itu, kupersilakan langsung mulai dengan Bab 1.

Kita mulai saja dengan Jupiter Jones, pemimpin mereka. Anak. itu lebih cerdas dari rata-rata remaja, dan dibandingkan dengan kebanyakan orang yang kukenal, ia lebih sering membaca dan ingatannya juga lebih hebat. Ia juga mampu menarik kesimpulan yang mengagumkan dari sejumlah kecil fakta saja.

Dari ketiga anggota Trio Detektif itu, Pete Crenshaw yang paling atletis tubuhnya; ia juga periang, bisa" diandalkan" dan berwatak santai. Menurut pendapatnya, Jupe kadang-kadang seperti suka mencari-cari kesulitan, dan mungkin bukan dia sendiri yang berpendapat begitu.

Bob Andrews berwatak tenang dan agak pendiam. Dalam kelompok detektif remaja itu ia yang menangani tugas riset dan data. Tapi ini tidak berarti ia enak-enakan saja sementara kedua temannya melakukan berbagai tindakan yang menyerempet-nyerempet bahaya. Bob sama beraninya seperti kedua temannya.

Aku sendiri mantan detektif yang kini menjadi penulis novel misteri.

Aku berkenalan dengan Trio Detektif lewat kasus seorang pengemis bermuka rusak. Tapi itu cerita lain-di sini cukuplah jika kukatakan bahwa kalau aku mendengar ada misteri yang mengasyikkan, mereka pasti kuberi tahu. Selain itu aku juga menuliskan kata pendahuluan untuk kasus-kasus mereka yang terbaru.

Kasus sekali ini ditemukan sendiri oleh Trio Detektif. Di dalamnya, ketiga remaja itu meninggalkan Rocky Beach, kota tempat tinggal mereka, untuk mengadakan perjalanan berlibur melintasi benua Amerika ke arah timur. Namun perjalanan yang semula dimaksudkan untuk bersenang-senang itu menjelma menjadi pelarian dari teror yang mengejar-ngejar, yaitu sewaktu mereka dibuntuti terus oleh marabahaya yang tidak mereka ketahui dengan jelas wujudnya.

Kalian ingin tahu bagaimana selanjutnya? Nah, mulai saja. dengan Bab 1, di mana petualangan mereka berawal!

HECTOR SEBASTIAN

Bab 1 GARA-GARA KAKEK

PINTU dapur dibuka dengan cepat, lalu dibanting hingga tertutup lagi. Mrs. Crenshaw masuk ke dapur dengan wajah marah. Mukanya merah padam, sementara mulutnya dikatupkan rapat-rapat.

"Bisa sakit jantung aku karena si Tua itu!" tukasnya sengit. "Ada-ada saja perbuatannya! Kalau aku mati karenanya, baru tahu rasa dia!"

Ia melotot ke arah Pete, lalu pada kedua teman anaknya itu, Jupiter Jones dan Bob Andrews.

"Basah kuyup!" tukas Mrs. Crenshaw lagi. "Para anggota Persatuan Wanita-semuanya basah kuuyup! Mrs. Harrison yang menceritakannya padaku tadi, sewaktu berjumpa di pasar." "Wah, wah," kata Pete, "lagi-lagi Kakek!"

"Siapa lagi kalau bukan dia?" sergah ibunya. "Mau tahu apa yang diperbuatnya sekali ini? Karena kebaikan hatinya, ia menyumbangkan peralatan penyembur air yang baru guna memadamkan api kepada gereja. Tentu saja hasil ciptaannya sendiri, dengan perlengkapan pengaktif yang sangat peka. Begitu ada asap sedikit saja, alat itu langsung bekerja Semuanya Kakek sendiri yang memasangkan, di ruang serambi gereja. Nah, kemarin kaum ibu mengadakan acara peragaan busana di situ. Sedang asyik-asyiknya acara itu berlangsung, Pendeta masuk. Tanpa mengira akan terjadi apa-apa, ia menyalakan rokok - "

Pete berusaha menahan gerak bibirnya agar jangan tersenyum, tapi tidak berhasil.

"Jangan tertawa, karena ini tidak lucu!" tukas Mrs. Crenshaw. Tapi detik berikut ujung-ujung bibirnya bergerak, naik ke atas membentuk senyuman. Pete dan kedua temannya cekikikan; sesaat kemudian semuanya sudah terpingkal-pingkal - termasuk pula Mrs. Crenshaw.

"Di pihak lain, Kakek berjasa juga mengkampanyekan pentingnya udara segar," katanya sambil mengusap mata yang basah karena tertawa lalu duduk dekat meja dapur. Anak-anak tetap berdiri menyandar pada tempat meracik sambil mengunyah kue.

"Ayahku memang lain dari yang lain, juga ketika ia belum pensiun," kata Mrs. Crenshaw lagi. "Pernah ia membangun rumah yang atapnya bisa dilipat ke samping. Benar-benar gagasan edan! Tidak ada yang mau tinggal di situ, karena kalau hujan selalu bocor!"

"Gagasan Mr. Peck, kadang-kadang memang orisinal," kata Jupe mengomentari.

-Di wajah Mrs. Crenshaw nampak seolah-olah ada buah yang sangat kecut dalam mulutnya. "Acara peragaan busana di gereja kemarin pagi itu, keorisinalannya pasti luar biasa."

"Sudahlah, Bu, segala-galanya pasti akan dibereskan oleh Kakek, kan?" kata Pete menenangkan. "Itu selalu dilakukan olehnya."

"Ya, dan itu .sebabnya kami dulu tidak pernah bisa kaya," kata Mrs. Crenshaw. "Lihat saja, suatu kali ia harus masuk penjara karena ide-ide sintingnya. Tidak semuanya bisa dibereskan dengan uang."

Itu memang benar. Beberapa waktu sebelum itu, suatu regu petugas dari Dinas Pertamanan kota Rocky Beach hendak menebang pohon elm yang ada di depan pekarangan rumah Mr. Peck, kakek Pete, karena pohon yang tinggi dan bagus itu terserang penyakit. Tahu-tahu pria yang sudah berumur itu menghambur ke luar dengan membawa pentungan baseball, sehingga ketiga petugas yang sudah siap untuk menebang lari pontang-panting kembali ke truk mereka. Kemudian dua orang bawahan Chief Reynolds datang dan berusaha membujuk Mr. Peck. Tapi kakek Pete tetap berkeras mempertahankan keutuhan pohon miliknya. Akhirnya polisi terpaksa menggiringnya ke penjara, dengan tangan diborgol. Mrs. Crenshaw terpaksa membayar uang jaminan untuk membebaskannya kembali, dan harus berkeras mendesak ayahnya agar ia menyewa pengacara hukum untuk membela perkaranya. Untung saja dakwaan terhadap dirinya yang semula berbunyi tindak penyerangan dengan senjata yang bisa menyebabkan kematian kemudian diperlunak menjadi perbuatan melanggar ketertiban umum; karenanya Mr. Peck hanya harus membayar denda saja, di samping mendapat teguran. Para petugas Dinas Pertamanan tidak berani datang lagi, dan pohon elm yang sakit tetap tegak di depan pekarangan rumahnya, sebagai monumen dari watak kakek Pete yang keras kepala dan lekas marah.

"Dan sekarang ia ingin ke New York," kata Mrs. Crenshaw.

Pete terkejut.

"Tinggal di sana?" katanya dengan nada bertanya. "Kakek mau pindah?"

"Bukan, bukan untuk pindah. Ia menciptakan sesuatu yang menurutnya begitu penting sampai membicarakannya saja ia tidak mau; ia hendak menawarkannya kepada orang-orang yang berwenang mengenainya. Nampaknya orang-orang itu tempatnya di New York. Menurut Kakek urusan itu tidak bisa dibicarakan lewat telepon. Dengan pos juga tidak. Ia harus pergi sendiri ke sana."

"Lalu, apa salahnya jika Kakek ke sana?" tanya Pete.

"Bagaimana jika orang-orang yang hendak ditemuinya itu tidak mau didatangi? Bagaimana jika mereka menyuruh dia pulang dari menyampaikan apa yang hendak dikatakannya lewat surat saja? Kakek pasti akan terus mendesak hendak bertemu, kalau perlu secara paksa!"

"Ah, Ibu suka melebih-lebihkan!"

"Tidak! Aku kan kenal watak ayahku. Mana mau dia ditolak. Dan jika orang-orang yang hendak dijumpainya kemudian ternyata tidak tertarik pada gagasannya, ia pasti marah dan mengatakan bahwa mereka manusia-manusia dungu, berotak udang!" "Ah, Bu - " "Percayalah, aku kan kenal ayahku!" kata Mrs. Crenshaw berkeras. "Ia pasti akan mengancam sambil marah-marah, sampai akhirnya polisi terpaksa dipanggil untuk mengatasi keadaan. Kejadiannya nanti pasti akan seperti ketika ia berhasil begitu baik menyempurnakan cara kerja alat pemanas air dengan sinar matahari sampai-sampai air di dalamnya mendidih. Atau seperti ketika alat barunya untuk melembabkan udara dalam ruangan - "

"Alat itu benar-benar bisa berfungsi," kata Pete mengingatkan.

"Ya, memang -cuma sayangnya sudah ada yang. menciptakannya lebih dulu dari Kakek, lalu Kakek bersumpah sambil marah-marah bahwa penciptanya mencuri gagasannya. Coba tolong jelaskan, bagaimana mungkin seseorang yang bertempat tinggal di Dubuque, Iowa, bisa mencuri ciptaan kakekmu yang tinggal di Rocky Beach, California. Jarak dari sini ke Dubuque kan ribuan kilometer!"

-Pete tidak mengatakan apa-apa lagi.

Jupe dan Bob berpandang-pandangan dengan sikap bingung.

"Kecuali adanya Kakek di New York, yang pasti akan menyebabkan timbulnya keributan di sana, masih ada pula masalah perjalanannya," sambung Mrs. Crenshaw.

"Kakek kan bukan baru sekali ini naik pesawat terbang, Bu. Kita antarkan dia ke bandar udara lalu- "

"Ia hendak naik mobil," kata Mrs. Crenshaw memotong. Melintas benua sampai ke New York. Ia akan mengambil jalan lewat Montana. Katanya, ia belum pernah melihat Montana; ia juga belum pernah ke Oregon atau Washington, dan ia tidak ingin ada yang terlewat. Katanya, kemampuannya berpikir secara kreatif paling baik jika ia sedang mengemudikan mobil. Mungkin itu penjelasannya, kenapa ia begitu sering ditilang karena ngebut."

Pete tertawa nyengir. "Kalau Ibu begitu cemas, kenapa tidak ikut saja dengan Kakek? Jangan Ibu khawatirkan Ayah dan aku di sini, sementara perjalanan itu mungkin akan menyenangkan - "

"Perjalanan itu takkan menyenangkan," kata Mrs. Crenshaw dengan nada yakin. "Bagiku, pasti tidak. Itu tidak mungkin, jika bersama Kakek. Kau tahu kan, kalau kami berdua berkumpul, dalam waktu sepuluh detik saja pasti sudah bertengkar. Jika menurutmu naik mobil melintasi benua bersama dia itu menyenangkan, kau sajalah yang ikut."

-Mata Pete langsung membesar. "Sungguh, Bu? Wah, pasti mengasyikkan."

"O ya?’ kata ibunya menantang. "Kau sanggup menjaga Kakek, agar ia jangan terlibat dalam kesulitan? Tidak ditahan polisi dan tidak melabrak orang lain?"

"Beres, Bu! Maksudku, aku akan berusaha sebaik-baiknya. tapi - "

"Tapi kaurasa kau mungkin takkan mampu, ya?" kata ibunya memotong. "Sudahlah. Kakekmu itu memang selalu - "

Tiba-tiba Mrs. Crenshaw tertegun. Matanya menatap Jupiter. Anak bertubuh gempal itu sedang mengunyah kue coklat dengan penuh minat. Tapi sementara mulutnya bergerak-gerak terus, sinar matanya menampakkan kesan seakan-akan ia sedang melamun. Walau demikian, Mrs. Crenshaw tidak terkecoh karenanya. Jupe, begitu Jupiter dipanggil oleh teman-temannya, adalah pemimpin Trio Detektif. Mrs. Crenshaw tahu bahwa sementara Jupe kelihatan seperti sedang melamun atau mengantuk, ia sebenarnya bisa saja dengan cermat memperhatikan hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Mrs. Crenshaw juga tahu bahwa daya ingat Jupe nyaris sempurna. Jika ditanya, kemungkinannya ia sanggup mengulangi seluruh percakapan yang baru saja terjadi. Kata demi kata.

Kadang-kadang Mrs. Crenshaw merasa kikuk jika menghadapi Jupe. Sikapnya begitu yakin. Rasanya tidak wajar, ada anak semuda dia bersikap demikian. Tapi sekali ini menurut perasaan Mrs. Crenshaw, Jupe merupakan jawaban yang tepat untuk menanggulangi masalah yang dihadapi.

"Aku ingin mengontrak Trio Detektif," katanya dengan tiba-tiba.

Trio Detektif itu nama biro detektif remaja yang didirikan oleh ketiga remaja itu. Para orang tua mereka menyangka bahwa anak-anak hanya iseng saja main detektif-detektifan. Padahal Trio Detektif sebenarnya sudah cukup sering berhasil menyelesaikan kasus misteri yang rumit - rumit.

"Ini ada kasus untuk biro detektif amatir kalian," kata Mrs. Crenshaw lagi. "Antarkan ayahku sampai ke New York dengan selamat, nanti kalian akan kuberi imbalan yang pasti memuaskan."

Jupiter meringis. "Itu bukan kasus yang biasanya kami tangani," katanya. "Kami ini detektif, bukan pengawal."

"Anggap saja ini pengalaman berharga," kata Mrs. Crenshaw. "Kalian kan tidak ingin selalu melakukan hal yang sama terus? Nanti bisa bosan."

Jupe. memandang ke arah Bob. Dilihatnya mata temannya itu bersinar. Sinar yang mengandung harapan.

"Aku mau," kata Bob.

"Yah - kurasa tugas itu cukup menantang," kata Jupe.

"Cukup, katamu? Itu tantangan yang tidak setengah-setengah," kata Pete. "Kalau Kakek sudah mengamuk, wah - benar-benar luar biasa!"

"Dan ia pasti mengamuk nanti," kata Ibu Pete meramalkan. "Ia yakin bahwa orang-orang yang kreatif semacam dia sering diperlakukan secara tidak adil, dan itu sangat tidak disukainya. Jadi aku akan sangat berterima kasih apabila kalian bisa menjaga jangan sampai Kakek mengamuk terhadap entah siapa nanti."

Saat itu telepon berdering. .

"Aduh, aku segan menerimanya saat ini," kata Mrs. Crenshaw, yang mengira bahwa itu pasti salah seorang anggota Persatuan Wanita yang sehari sebelumnya basah kuyup karena perbuatan Kakek.

"Biar aku saja yang menjawab, Bu," kata Pete sambil menghampiri pesawat itu.

"Halo," katanya. Setelah mendengarkan sebentar, ia berkata, "Anda tahu pasti?" Ia mendengarkan lagi, lalu mengatakan, "Sebentar, ya?

Akan saya sampaikan padanya."

Ia menoleh ke arah ibunya. "Ini Mr. Castro, Bu - teman Kakek yang tinggal di seberang jalan. Katanya, ia sudah berjanji dengan Kakek untuk main catur dengan dia hari ini, tapi ketika tadi datang ke rumah Kakek, ternyata tidak ada siapa-siapa di sana. Katanya pintu belakang terbuka dan air mengucur dari keran dapur. Menurut Mr. Castro, mungkin ada baiknya jika kita menelepon polisi. "

"Polisi?" kata Mrs. Crenshaw. "Kurasa itu tidak -perlu. Kakek paling­paling cuma pergi berbelanja. Sebentar lagi juga pulang."

"Bu, mobilnya diparkir di pekarangan, tapi Kakek tidak ada di situ. Lagi pula, mana pernah Kakek pergi tanpa menutup pintu? Dan air dibiarkan mengucur begitu saja?"

"Ya, ampun - tapi baiklah. Aku akan ke sana."

Saat itu Jupiter membuka mulut.

"Biar kami saja," katanya. "Anda tadi mengatakan, ingin mengontrak Trio Detektif. Nah, sekarang ada yang perlu kami selidiki. Anda tunggu saja di sini. Nanti kami menelepon, dari rumah Mr. Peck."

Ketiga remaja itu bergegas keluar. Mereka bertanya-tanya dalam hati, kesulitan apa lagi yang dihadapi kakek Pete kali ini.

-Bab 2 BERJUMPA DENGAN SEORANG MUSUH

-MR. CASTRO nampak mondar-mandir di depan rumah Mr. Peck ketika Trio Detektif tiba di sana dengan naik sepeda. Orangnya kurus dan kelihatanya penggugup, dengan rambut beruban yang hanya tumbuh di pelipis dan di belakang kepala. Kulitnya coklat dan penuh kerut. Ia nampak gugup sekali, padahal hari saat musim semi itu sangat cerah.

"Ini bukan kebiasaan kakekmu," katanya pada Pete. "Kami sudah berjanji akan main catur, dan dalam keadaan normal takkan mungkin ia melepaskan kesempatan ini untuk mengalahkan aku, sebab terakhir kalinya kami main, dia yang kalah. Kakekmu itu paling tidak suka kalau kalah."

"Ya, memang," kata Pete sependapat.

Anak-anak masuk lewat pintu depan, yang tidak dikunci. Mr. Castro ikut masuk. Matanya terkedip-kedip karena gelisah. "Aku tahu, pasti ada

sesuatu yang terjadi dengan kakekmu," katanya pada Pete. "Tidak mungkin ia pergi begitu saja, tanpa mematikan keran dulu dan menutup pintu belakang."

Anak-anak langsung menuju dapur. Sesampainya di sana mereka menatap bak tempat cuci piring, seolah-olah dari situ mereka bisa memperoleh petunjuk.

"Ia tadi bermaksud hendak memasak air," kata Jupiter. "Lihat saja, di tempat racik ada ketel dengan tutup terbuka. Lalu ketika ia hendak mengisi ketel dengan air, ia memandang ke luar lewat jendela itu, dan ia melihat... sesuatu," Jupe memandang ke luar lewat jendela yang terdapat di sebelah atas tempat cuci piring, sambil mereka-reka apa kemungkinannya yang dilihat Mr. Peck tadi. Ia sendiri bisa melihat sebagian dari pekarangan di samping rumah, serta pagar semak rendah dipangkas rapi yang memisahkan pekarangan Mr. Peck dari rumah sebelah. Di batik pagar itu nampak pekarangan yang kelihatannya tidak terurus. Rumah sebelah kelihatannya terbengkalai dengan jendela- jendela yang sudah terkelupas catnya di sana-sini dan beberapa helai atap sirapnya melengkung karena sudah tua dan kering ditimpa sinar matahari.

"Siapa yang tinggal di rumah sebelah?" tanya Jupe pada Mr. Castro.

Pete yang menjawabnya. "Seorang laki-laki bernama Snabel. Tapi tidak mungkin Kakek ada di situ. Kakek dan Snabel saling membenci. Setiap kali bertemu, mereka pasti perang."

"Biar begitu, kelihatannya. baru-baru ini ada orang pergi ke sebelah dengan cara menerobos pagar," kata Jupiter. "Kalian lihat ranting- ranting yang patah itu? Kayu pada bagian yang patah masih kelihatan putih, dan itu berarti patahnya baru saja terjadi."

Setelah itu anak-anak pergi ke luar dan menghampiri pagar.

"Pagar serendah ini bisa dilangkahi dengan mudah oleh Mr. Peck," kata Jupiter. "Ranting-ranting ini patah, mungkin secara tak disengaja tersangkut kakinya."

Mr. Castro mengeluh. "Terakhir kalinya Ben Peck masuk ke pekarangan Ed Snabel, orang itu mengancamnya dengan senjata api. Mrs. Milford yang tinggal di seberang sana melihat kejadian itu lalu menelepon polisi, dan baik Ben maupun Snabel lantas mengajukan pengaduan. Ben mengatakan, Snabel mencuri mesin pemotong rumput miliknya. Sedang Snabel menuduh Ben hendak masuk ke garasinya tanpa minta izin terlebih dulu. Kemudian kedua-duanya mencabut kembali pengaduan mereka, tapi selama beberapa waktu keadaannya benar-benar rawan di antara mereka berdua."

"Kalau begitu kita perlu cepat-cepat menemukan Mr. Peck dan membujuknya untuk pergi dari pekarangan Mr. Snabel," kata Jupe. "Tentunya, itu jika ia memang ada di situ. Tapi kurasa aku tidak mungkin keliru."

Beberapa ranting pagar semak patah lagi ketika Jupe melangkahinya untuk masuk ke pekarangan sebelah. Ia diikuti oleh Pete dan Bob. Mr. Castro ragu-ragu sejenak, tapi akhirnya ia ikut juga. Lalu mereka mulai mencari, mengelilingi rumah yang tak terawat itu.

Mereka tidak perlu jauh-jauh mencari. Di belakang rumah ada garasi, dan di belakang garasi itu ada sebuah bangunan kecil berdinding kaca dan berkerangka kayu. Bangunan seperti itu gunanya sebagai tempat menanam bunga dan sayur-mayur yang gampang rusak jika terjadi perubahan cuaca. Keadaannya tidak dibiarkan terbengkalai seperti rumah tempat tinggal yang di depan. Kerangka kayunya yang bercat putih nampak masih baru, dan kaca dinding dan atapnya kelihatan bersih, meski buram karena berlapis kabut.

Tiba-tiba, dari balik rumah kaca itu terdengar suara orang bernyanyi- nyanyi dengan nada mengejek

"Cobalah lari kalau bisa, kau ketahuan sekarang, Snabel busuk!" "Astaga!" kata Pete setengah berseru. "Kakek?"

"Apa?"

Kepala Mr. Bennington Peck tersembul dari balik bangunan kaca itu. Orangnya bertubuh kurus tapi ulet. Kelihatannya masih gesit, meski sudah berumur lanjut. Matanya yang biru bersinar-sinar, sementara wajahnya semu merah karena senang.

"He, Pete! Dan Jupiter, Bob! Coba kemari lihat apa yang kutemukan ini: Ah, Castro! Aku tidak -melihatmu tadi. Kita sebenarnya ada janji, ya? Maaf, kau mestinya sudah menunggu-nunggu."

"Ya, cukup lama juga,’. kata Mr. Castro. "Aku sudah mau menelepon polisi saja, tapi keluargamu mengatakan jangan buru-buru. Apa yang kaulakukan di situ, Peck?"

"Aku mencoba membuka pintu rumah kaca ini," kata Mr.. Peck. Ditunjukkannya caranya, mengorek-ngorek lubang kunci dengan pisau lipat.

"Awas, nanti diadukan Snabel lagi kepada polisi," kata Mr. Castro memperingatkan.

"Kakek ini membuat kami cemas saja!" kata Pete.

"Itu bukan maksudku," kata Mr. Peck dengan wajah yang menampakkan rasa menyesal. "Tapi kemarilah dan coba kaupandang ke dalam. Lihat saja yang ada di situ!"

"Aduh, Kakek, -anti diadukan Snabel karena masuk ke sini tanpa seizinnya!"

"Omong kosong! Aku kan tidak berbuat apa-apa saja. Aku cuma hendak membuka pintu ini, supaya bisa mengambil barang yang memang milikku. Kau lihat kaleng itu? Isinya Malathion, alat pembasmi serangga. Aku membelinya minggu lalu, di Toko Harper, untuk membasmi hama yang merusak pohon elm-ku. Tapi tahu-tahu kaleng itu lenyap! Dan itu sendok pengaduk tanah milikku yang hilang. Aku tahu pasti, karena gagangnya kuberi takikan sebagai tanda. Jadi Snabel ternyata bukan cuma mencuri mesin pemotong rumput saja, tapi juga menyikat sendok tanah dan obat pembasmi serangga. Dan ia suka mengintip-intip. Aku tidak mengerti untuk apa ia memerlukan mesin pemotong rumput, karena lihat saja keadaan pekarangannya. Mungkin cuma untuk membuat aku sebal saja. Kurasa apabila ia menggotong-gotong anggreknya ke perkumpulan- perkumpulan penggemar anggrek dan di sana menyombongkan kehebatannya di depan orang-orang yang sama keranjingan anggrek seperti dia ia tidak mengatakan bahwa segala keperluan untuk itu tidak dibeli sendiri olehnya, tapi disambar dari rumah tetangga!"

Sambil berkata begitu Mr. Peck menusukkan ujung pisau lipatnya ke dalam lubang kunci pintu rumah kaca.

"Belum tentu barang-barang itu memang milik Kakek yang hilang," kata Pete.

"Aku kenai betul, itu pasti sendok tanahku," kata Mr. Peck berkeras. "Aku mencari-carinya selama ini. Begitu pula halnya dengan obat pembasmi serangga itu. Dan aku melihat pada pagar semakku ada beberapa ranting patah. Aku belum setua itu, sehingga tidak mampu lagi menarik kesimpulan yang benar."

Saat itu terdengar bunyi mobil masuk ke pekarangan rumah Snabel. Tidak lama kemudian seorang pria berambut hitam dan bertubuh gemuk pendek muncul dari dalam garasi. Matanya cekung di bawah alis tebal. Ia memandang dengan wajah marah.

-"Lagi-lagi kau menggeratak di gudang peralatanku, Ed Snabel!" tuduh Mr. Peck. "Ayo, buka pintu rumah kaca ini dan kembalikan obat pembasmi serangga dan sendok tanahku!"

"Sudah tua, konyol, suka campur urusan orang lagi!" tukas Snabel. "Sebaiknya kau dikurung saja! Tinggalkan pekaranganku, cepat! Kalau tidak, kupanggil polisi, dan sekali ini takkan kucabut lagi pengaduanku!"

Mr. Peck menutup pisau lipatnya, lalu mengacung-acungkannya di depan hidung Snabel. "Sekali ini kau takkan kuapa-apakan," katanya, "tapi jika sekali lagi kau ketahuan masuk ke pekaranganku, aku sendiri yang akan bertindak, dan persetan dengan polisi!"

"Sudahlah, Kakek!" kata Pete dengan cemas.

"Jangan ganggu aku!" tukas Mr. Peck. "Aku ini tak suka diganggu -juga tidak oleh darah dagingku sendiri!"’

Mr. Peck meninggalkan rumah kaca dengan maar-h. Anak-anak mengikutinya, begitu pula Mr. Castro yang kelihatan lega sekali.

"Kadang-kadang aku benar-benar tidak suka datang ke sini," keluhnya. "Rasanya seperti memasuki medan perang." "Dasar brengsek!" kata Mr. Peck sambit melangkahi pagar semak lalu menuju rumahnya dengan langkah bergegas. "Kita di sini perlu punya rukun tetangga, seperti yang dibentuk oleh para penghuni gedung apartemen. Dengan begitu kita bisa menentukan siapa yang boleh membeli rumah di sini dan siapa tidak."

"Kurasa itu bertentangan dengan undang-undang dasar," kata Mr.

Castro. "Selain itu, ada kemungkinan para penghuni yang lain berbeda pendapat denganmu, lalu kau kalah dalam pemungutan suara!"

"Jangan suka omong kosong!" sergah Mr Peck. "Dan jangan kausia-siakan waktuku, Castro. Mau main catur atau tidak?"

Mr. Castro mendengus. Tapi diikutinya juga Mr. Peck masuk ke rumah. Kakek Pete mengisi ketel dengan air lalu ditaruhnya di atas api. Setelah itu ia masuk ke ruang duduk bersama Mr. Castro. di situ sudah disiapkan papan catur.

Di dapur ada pesawat telepon. Pete mengangkat gagang pesawat itu lalu menekan nomor sambungan rumahnya. Ia hendak memberi kabar kepada ibunya bahwa semuanya beres di rumah Kakek, setidak-tidaknya untuk saat itu.

"Bagaimana pendapatmu, bisakah kita menghindarkan kakekku dari kesulitan jika kita ikut dengan dia?" tanya Pete pada Jupe dengan suara pelan.

Jupe kelihatan agak sangsi. Tapi kemudian ia meringis. "Kalau gampang, itu sudah pasti tidak," katanya, "tapi juga takkan membosankan."

Jupiter tidak tahu bahwa Trio Detektif akan mengalami salah satu petualangan mereka yang paling ramai.

-Bab 3 PETUALANGAN DIMULAI

DI MINGGU setelah keributan yang terjadi mengenai alat-alat berkebun, Mrs. Crenshaw mengundang ayahnya makan malam di rumahnya. Disajikannya semua hidangan yang disukai Mr. Peck, termasuk kue tart coklat yang banyak sekali menggunakan mentega dan dengan lapisan krim.

Ketika Mr. Peck - begitu pula Pete beserta ayah dan ibunya - sudah selesai makan, sambil menghidangkan kopi Mrs. Crenshaw dengan gaya sambil lalu mengatakan bahwa bagi Pete dan kedua temannya perjalanan melintasi Benua Amerika pasti akan sangat bermanfaat, karena bisa menambah pengetahuan. Mrs. Crenshaw mengatakan pula bahwa ia merasa pasti akan berhasil meminta izin agar ketiga remaja itu diperbolehkan libur sebelum waktunya, apabila Mr. Peck mau mengajak mereka jika ia nanti berangkat ke New York.

Mr. Peck kelihatan kaget mendengarnya.

"Ayolah," kata Mrs. Crenshaw membujuk ayah-nya. "Ingat tidak, perjalanan yang kita lakukan sewaktu aku berumur sepuluh tahun? Kita sekeluarga berwisata mengunjungi Gua Carlsbad. Asyik sekali waktu itu! Sampai sekarang pun aku masih tetap ingat. Dan kenangan seperti itu akan bisa didapat oleh Pete, jika ia ikut dengan Ayah. Dan ia takkan merepotkan, apabila Jupe dan Bob juga ikut. Ayah tidak perlu memikirkan mereka, karena mereka sudah benar-benar mengenal tanggung jawab."

Mr. Peck mengaduk-aduk kopinya sambil memandang anaknya dengan sikap menyelidik. Mrs. Crenshaw tahu sekali makna pandangan ayahnya yang begitu. Itu berarti Mr. Peck memahami apa sebenarnya yang dikehendaki anaknya. Mrs. Crenshaw merasa kikuk. Untuk menutupi kegugupannya, ia melipat-lipat serbetnya.

"Kau menganggap aku ini perlu dijaga," kata Mr. Peck. "Betul, anak-anak itu tahu tanggung jawab. Mereka akan baik sekali jika dijadikan penjaga.

"Bukan begitu soalnya, tapi karena Ayah akan menempuh jarak sejauh itu dengan mobil, dan... dan tidak sering ada kesempatan bagi anak-anak itu untuk." yah, sayang rasanya.................................................... "

"Membuang-buang bensin, jika aku pergi seorang diri?" kata Mr. Peck.

Ia menoleh pada menantunya, yang selama itu sengaja tidak mencampuri pembicaraan. Mr. Crenshaw enggan berdebat dengan mertuanya. Bukan karena selalu kalah, tapi karena nampaknya tidak seorang pun dari mereka pernah bisa menang. Kedua-duanya tidak mau mundur.

Tapi sekali ini ayah Pete tidak bisa mengelak.

"Kau juga berpendapat, aku ini perlu penjaga?" tanya Mr. Peck padanya.

Mr. Crenshaw menarik napas dalam-dalam. Ia memutuskan, lebih baik berterus terang saja terhadap mertuanya itu.

"Umumnya, tidak," katanya. "Tapi jika ada kemungkinan aku nanti secara tiba-tiba harus dengan segera meninggalkan segala kesibukanku di sini dan terbang ke Indiana atau Idaho, yah... "

"Siapa bilang kau harus terbang ke Indiana atau Idaho?" seru Mr. Peck. "Untuk keperluan apa? Untuk mengeluarkan aku dari tahanan, ya! Kalau mendengar kalian berdua bicara, aku ini setiap akhir pekan. bisanya cuma keluar-masuk tahanan saja selama empat puluh tahun belakangan. Mungkin kalian perlu kuingatkan, aku ini ditahan - benar-benar ditahan - baru sekali saja, dan itu pun karena -aku tidak mau membiarkan orang- orang goblok dari Dinas Pertamanan itu membuang pohonku. Sejak itu kalian bersikap seolah-olah aku ini sinting, atau penjahat, atau lebih gawat lagi. Nah, kukatakan saja sekarang bagaimana pendapatku..."

Ia berhenti dan memelototkan matanya ke arah Pete, yang selama itu duduk berdiam diri dengan perasaan kecut.

"Menurut pendapatku, gagasan menyuruh anak-anak ikut itu bagus sekali!" kata Mr. Peck meneruskan. "Perjalanan itu memang jauh, dan aku perlu orang yang bisa diajak mengobrol. Dan itu lebih baik anak-anak daripada kakek-kakek seperti Castro atau Harry Jacobson. Castro, jika bepergian tidak pernah lupa membawa koper khusus untuk segala macam obatnya. Sedang Jacobson minta pensiun karena ingin meninggalkan bisnis asuransi, tapi sekarang omongannya selalu saja tentang asuransi. Huhh, payah! Jadi jika Pete dan kedua temannya bisa memperoleh izin dari orang tua dan sekolah mereka, aku tidak keberatan jika mereka ikut. Liburan sekolah kan beberapa minggu lagi. Akan kuundurkan perjalananku sampai saat itu. Jika berangkatnya awal Juni, daerah gurun gersang akan kami lintasi sebelum hawa di sana panas sekali, lalu pulangnya kami bisa mengambil jalan lewat Kanada. Bagaimana kalau begitu, Pete?"

Pete terlonjak. "Wow!" serunya dengan gembira. "Tentu saja aku mau!"

Ia bergegas menelepon Bob dan Jupe untuk memberi tahu.

Bob tidak mengalami kesukaran dalam meminta izin -ada orang tuanya agar ia diperbolehkan ikut. Mr. dan Mrs. Andrews sangat yakin bahwa ketiga remaja itu takkan berbuat sembrono-terutama Jupiter-dan selain itu mereka juga berpendapat bahwa itu merupakan kesempatan yang sangat baik bagi Bob untuk mengenal Amerika dengan mata sendiri. Setelah itu Bob yang bekerja sebagai tenaga sambilan di Perpustakaan Kota Rocky Beach mengurus izin cuti.

Ayah dan ibu Jupe sudah meninggal dunia. Ia ditampung oleh paman dan bibinya, Paman Titus dan Bibi Mathilda, pemilik Jones Salvage Yard, sebuah pangkalan tempat berjual-beli barang bekas Bibi Mathilda dan Paman Titus hanya sebentar saja kelihatan ragu, sebelum mengizinkan Jupe ikut. Jupiter mengetengahkan bahwa melintasi Benua Amerika Utara, tidak cuma sekali tapi bolak-balik, merupakan pengalaman yang mungkin cuma sekali saja terjadi seumur hidup.

"Pengalaman hebat bisa membentuk watak," kata Jupe dengan gaya orang dewasa, "dan perjalanan itu pasti merupakan pengalaman hebat."

"Sekarang saja pun watakmu sudah cukup aneh," kata Bibi Mathilda. Meski begitu ia langsung pergi ke loteng rumah untuk mengambil kantung tidur yang kemudian dihamparkannya di atas rumput di pekarangan untuk menghilangkan bau apak.

Jupiter terus saja membuntutinya.

"Jadi aku boleh .ikut, Bibi?" katanya.

"Aku ingin tahu bagaimana cuaca bulan Juni di Minnesota," kata Bibi Mathilda.

"Sangat indah!" kata Paman Titus bersemangat.

Wajah Jupe langsung berseri-seri. "Aku berjanji akan membereskan. pencatatan barang-barang yang ada di pangkalan sebelum berangkat nanti," katanya.

-"Kepingin juga rasanya ikut dengan kalian," kata Paman Titus dengan nada menyesali diri.

Semasa mudanya, ia pernah ikut rombongan sirkus sebagai pemain orgel. Kadang-kadang timbul kerinduannya pada kehidupan sirkus, melanglang ke berbagai penjuru.

"Kan harus ada yang tinggal di sini untuk menangani usaha kita," kata Bibi Mathilda sambil tersenyum.

Selama hari-hari selanjutnya, setiap sore Jupiter sibuk bekerja, memanfaatkan hari yang semakin panjang untuk membereskan urusan pencatatan barang-barang yang ada di pangkalan. Bulan Juni tiba dan akhirnya datanglah hari terakhir bersekolah. Pete dan kedua temannya mulai sibuk berkemas-kemas dan berpamitan. Lalu pada suatu pagi berkabut Mr. Crenshaw mengantar mereka beserta barang-barang bawaan ke rumah mertuanya. Anak-anak tidak membawa kantung tidur, karena Mr. Peck dengan tandas menolak gagasan untuk berkemah. "Aku ini sudah terlalu tua, sudah tidak pantas lagi main pramuka-pramukaan," katanya. "Mungkin ini petualangan besarku yang penghabisan dalam umurku yang sudah uzur ini, dan aku berniat melakukannya dengan bergaya. Kita akan bepergian dengan nyaman, dan di tengah jalan menginap di hotel."

Ketika anak-anak beserta bawaan mereka semua sudah masuk ke mobil Buick. Kakek yang sudah tua tapi kokoh, mereka pun berangkat.

-Sebelum mobil membelok di sudut jalan, Pete sempat berpaling ke belakang untuk melambai-lambaikan tangan ke arah ayahnya. Ia, dan juga Jupiter yang ikut berpaling, melihat seseorang bertubuh gemuk pendek muncul dengan diam-diam dari balik rumah Kakek dan berdiri seakan-akan menyembunyikan diri dalam semak, memperhatikan mobil yang pergi.

Orang itu Edgar Snabel.

"Ia tidak membuang-buang waktu, langsung saja mengintip-intip di rumah Kakek," gumam Pete pada Jupe.

"Apa katamu, Pete?" seru kakeknya dari depan.

"Tidak apa-apa, Kakek," jawab Pete dengan cepat. "Aku cuma ingin tahu, bisakah kita nanti mampir sebentar .di Santa Barbara, untuk makan di restoran yang asyik itu. Kakek tahu kan, yang ada meja-mejanya di halaman?"

"Beres," kata Mr. Peck. "Sekarang saja pun aku sudah merasa lapar. Aneh, kalau sarapan terlalu pagi perut cepat sekali terasa kosong kembali. Atau aku tadi tidak sarapan? Entahlah, aku tidak ingat lagi."

Mr. Peck mengarahkan mobilnya ke jalan raya bebas hambatan yang menyusur pesisir. Ia menyetir Buick itu dengan gembira. Jupe nyengir sendiri. Tantangan pertama sudah dilewati dengan mulus. Nampaknya perjalanan itu akan berlangsung dengan tenang dan tenteram.

Tapi dalam hati kecilnya, dugaan itu dibantah sendiri olehnya. Mr. Peck, kakek Pete yang keras kepala dan cepat terangsang emosinya itu dikenal baik olehnya. Apa pun juga bisa saja terjadi, dengan dia di belakang setir.

-Bab 4 KERIBUTAN DALAM KABUT

SARAPAN siang di Santa Barbara sangat mengasyikkan. Anak-anak dan Mr. Peck makan di halaman sebuah bangunan tua yang berasal dari masa California masih merupakan daerah jajahan Spanyol. Matahari sudah muncul dari balik kabut yang menghilang ditiup angin. Langit cerah dan hawa pun segar.

"Hebat," seru Mt. Peck. "Dan lihat sajalah, nanti masih akan bertambah bagus lagi."

Mereka meneruskan perjalanan ke arah utara, kadang-kadang menyusur pantai dan kadang-kadang melaju di atas tebing, sehingga mereka bisa melihat laut yang terbentang di bawah. Beberapa mil setelah Gaviota mobil masuk ke dalam sebuah terowongan. Pemandangan yang nampak sesudah lintasan menembus gunung itu dilewati ternyata lain dari sebelumnya. Yang kelihatan tidak lagi deburan ombak melainkan sapi ternak. Padang rumput yang terbentang masih berwarna hijau setelah diguyur hujan selama musim dingin, dan kembang berwarna kuning dari sejenis tanaman kol nampak seperti ditaburkan di atas hamparan hijau itu. Di sana-sini ada anak-anak sapi yang bermain-main di lereng- lereng, dan anak-anak kuda berlari-larian di atas rumput.

Menjelang sore laut kelihatan lagi.

"Pismo Beach!" kata Mr. Peck. "Sewaktu aku masih muda, Pete, ketika ibumu belum lahir, aku biasa mengajak mendiang nenekmu ke Pismo pada akhir pekan untuk mencari kijing. Sejak itu sudah lama sekali aku tidak pernah melakukannya lagi. Aku sudah tidak berminat lagi makan kijing, tapi kurasa masih mengasyikkan jika mengendarai mobil di pantai."

"Maksud Anda, naik mobil di atas pasir?" tanya Bob. "Bisakah itu?"

"Bisa saja, kalau di Pismo," kata Mr. Peck. "Kita lihat saja, apakah aku masih ingat di mana tempat itu."

Ia membelokkan mobilnya meninggalkan jalan raya, menyusur jalan-jalan kecil dan tersesat masuk ke jalan buntu; akhirnya mereka sampai ke sebuah landasan yang menyambungkan jalan dengan pasir padat yang membatasi laut.

"Apakah kita nanti tidak terperosok dalam pasir?" tanya Pete, yang cenderung tidak percaya pada gagasan-gagasan kakeknya. "Kakek tahu pasti?"

"Tentu saja," kata Mr. Peck yakin. Coba lihat saja itu."

Ia .menunjuk sebuah mobil Volskwagen yang melaju menyusur pantai, sedikit di atas batas air. Sekali-sekali ada ombak memecah di dekatnya. Mobil itu terus saja melaju, meninggalkan jejak berupa dinding air yang menghambur miring ke atas.

"Asyik!" kata Pete. "Tapi Volkswagen kan katanya tahan kena air. Bagaimana jika mesin Buick ini nanti mogok?"

"Kau ini, macam-macam saja yang kaukhawatirkan," tukas kakeknya.

Pete mendesah. Ucapan kakeknya memang benar, tapi bagaimana mungkin ia bisa lain karena kakek seperti kakeknya itu?

Mobil Buick melewati landasan, lalu meluncur dengan mulus di atas pasir pantai. Kabut sudah nampak lagi, sedikit ke tengah laut

"Karena salah satu sebab, di sini sering berkabut," kata Mr. Peck. Ia menghentikan mobilnya, menarik rem tangan, lalu menoleh pada anak- anak. Aku perlu berolahraga sedikit untuk melemaskan otot.otot kaki," katanya. "Ada yang mau ikut jalan-jalan sebentar?"

"Pasti," kata Pete.

Keempat pintu mobil besar itu terbuka serentak. Anak-anak melangkah ke luar, Mr. Peck mengunci mobil, lalu mereka mulai berjalan-jalan. Beberapa menit kemudian mereka sudah melewati kota kecil yang bernama Pismo Beach. Kota itu terdiri dari sejumlah rumah yang dibangun bergerombol saling berdekatan ke arah sebuah tanggul penahan ombak. Di balik tanggul itu terdapat tebing-tebing dengan hotel-hotel dari berbagai ukuran di atasnya.

Sementara itu kabut sudah semakin dekat ke pantai, dengan lambat mulai menyelubungi Mr. Peck dan anak-anak, mengaburkan pandangan ke arah pantai yang terbentang di depan. Suasana langsung berubah. Kabut yang datang membawa kesunyian yang aneh. Anak-anak tahu bahwa jalan raya yang ramai ada di belakang hotel-hotel yang berjejer di atas tebing, tapi mereka tidak bisa mendengar suara kendaraan yang lalu- lalang di situ.

Hampir tidak ada orang di pantai yang terbentang di depan. Hanya satu orang saja yang nampak berjalan dengan langkah cepat menuju ke arah mereka. Tiba-tiba kabut bertambah tebal dan pejalan kaki itu lenyap dari pandangan. Dunia di sekeliling seolah-olah berubah dengan seketika, menjelma menjadi dinding dingin berwarna kelabu.

Saat itu Jupiter merasa mendapat firasat bahwa ada sesuatu yang berbahaya sedang mengintai tengah kabut - sesuatu yang bisa menyergap dan melarikan mereka, yang bisa meredam teriakan minta tolong.

Jupe menggeleng-gelengkan kepala untuk menghilangkan pikiran itu. Ia sadar, tidak ada bahaya mengintai di situ; yang ada hanya kabut yang menelan sinar matahari dan menyebabkan pantai terasa gelap dan tidak ramah.

-"Sudah cukup jauh kan, kita berjalan-jalan ini, Mr. Peck?" kata Bob. Ia berjalan mendului Jupe, tergegas sedikit agar bisa mengikuti Pete yang lebih jangkung dan juga lebih atletis. Bob memandang ke kanan, ke tempat Mr. Peck tadi berjalan. Tapi ia tidak melihatnya di situ. Mr. Peck lenyap!

Pete berhenti berjalan. ’.Kakek?" serunya memanggil. "Kakek di mana?" Tidak terdengar suara Mr. Peck menjawab.

"Mr. Peck!" seru Jupe. .

Anak-anak menunggu sesaat, lalu Jupe mengatakan bahwa mereka jangan cemas. Itu dikatakannya dengan nada yang sangat yakin. Tapi dalam hati dirasakannya timbul kegelisahan. Di manakah Mr. Peck? Tidak mungkin ia menghilang dengan begitu saja dalam kabut! Atau - ?

"He, sebaiknya kita jangan memencar," kata Pete yang hanya. nampak samar-samar, meski berdirinya di samping Bob. Disentuhnya bahu temannya yang lebih kecil itu, seolah-olah hendak mencegah Bob ikut menghilang dalam kegelapan kabut

"Mr. Peck!" seru Bob.

"Kakek di mana?" Suara Pete kini terdengar cemas.

"Diam!" Anak-anak mengenal suara bernada galak itu.

Embusan angin .yang datang dengan tiba-tiba menyebabkan kabut tersibak sesaat. Anak-anak melihat Mr Peck berdiri dengan sikap membungkuk di samping sebuah batu besar di kaki sebuah tebing. Ia kelihatan tegang dan waspada.

"Ada apa, Kakek?" bisik Pete.

Mr. Peck menggerakkan tangannya, menyuruh diam.

"Aha! Benar juga dugaanku!" katanya kemudian dengan marah.

Orang yang tadi nampak berjalan kaki di pantai sudah lebih dekat sekarang - bahkan sangat dekat. Orang itu berjalan dengan berhati-hati di tengah kabut, sambil menggapai-gapaikan tangan. dan tersandung- sandung sedikit.

"Bandit!" teriak Mr. Peck, lalu melompat dan balik batu dan menyergap orang tak dikenal yang hanya nampak samar itu.

Orang yang disergap terhuyung ke belakang. Terdengar suaranya berteriak kaget.

"Berani-beraninya kau!" teriak Mr. Peck. Di cengkeramnya kemeja orang itu. "Berani-beraninya membuntuti aku ke sini!"

"He, jangan seenaknya saja!" teriak orang itu

"Astaga!" kata Pete kaget.

"Lepaskan aku, Peck!" teriak orang itu lagi. "Dasar sinting! Kalau tidak kaulepaskan juga kupuntir nanti lehermu yang ceking itu!"

Anak-anak terkejut, karena mengenal suaranya Orang itu ternyata Ed Snabel tetangga Mr. Peck yang dibencinya.

Mr. Peck tidak melepaskan musuhnya itu, tapi malah mengguncang- guncangnya. "Manusia licik!" serunya dengan marah. "Aku tahu apa maumu. Kau kan tahu tentang penemuanku yang terbaru, karena suka mengintip-intip sewaktu orang yang baik-baik sudah tidur! Mencuri peralatanku rupanya belum cukup bagimu. Kau juga hendak mencuri hasil ciptaanku. Karena otakmu seperti kacang kering - "

Ed Snabel berhasil membebaskan diri dan terhuyung mundur menjauhi Mr. Peck. "Kau gila!" serunya, lalu berteriak keras-keras, "Polisi! Tolong! Pembunuhan!"

"Sudahlah, Mr. Snabel!" Pete mendesak di antara kakeknya dan Snabel, lalu memegang lengan orang itu. "Bukan begitu maksud kakekku. Ia hanya - "

"Jangan minta maaf untukku!" seru Ben Peck. "Aku sungguh-sungguh tadi. Aku tahu apa yang dilakukan si pengecut ini, dan itu takkan kubiarkan. Akan kuserahkan dia kepada polisi!"

Mr. Peck berusaha menyambar kemeja Snabel lagi. Sekali ini orang itu tidak berteriak. Ia menegakkan tubuhnya untuk menghindar, sementara matanya terus menatap wajah Mr. Peck.

"Mata-mata!" seru Mr. Peck sambil mencibir. "Pengecut! Penipu! Ini kan hari Kamis, kenapa tau tidak berada di tempat kerjamu seperti seharusnya, hah? Karena menurutmu lebih menguntungkan berada di tempat lain, ya?"

Snabel berpaling lalu pergi dengan langkah goyah.

"Tidak enak ya, ketahuan?" teriak Mr. Peck.

Tapi Ed Snabel sudah tidak kelihatan lagi, menghilang dalam kabut, terbebas dari laki-laki tua galak yang semakin marah.

"Keterlaluan!" dengus Ben Peck. "Kalau berani berbuat begitu sekali lagi, akan benar-benar kuhajar dia!"

Pete merasa bahwa ia gemetar. Ia merasa seperti sedang bermimpi buruk. Rupanya Kakek sudah gila. Ia berbahaya. Bisa gagal perjalanan itu sebelum mereka sampai di San Francisco. Kakek akan berakhir di penjara salah satu kota di pesisir. Atau mungkin juga Jupiter dan Bob akhirnya memutuskan tidak sanggup memikul tugas, lalu pulang ke Rocky Beach dengan bis.

"Kakek," kata Pete kemudian, "kenapa Kakek beranggapan bahwa Mr. Snabel sengaja membuntuti kemari? Maksudku, itu kan aneh. Ia juga berhak pergi pesiar? Mungkin ia punya teman di Pismo Beach sini, dan ia kemari untuk mengunjungi mereka." .

"Omong kosong!" bentak Mr. Peck. "Snabel itu mana mungkin punya teman. Ia takkan tahu jika ada orang mau berteman dengan dia. Tapi takkan bisa memperoleh apa yang diingininya. Aku akan mempertahankannya mati-matian!"

"Apakah yang diingininya itu, Mr. Peck?" tanya Jupiter. Ia mengatakannya dengan sikap seperti benar-benar ingin tahu. Dan itu menenangkan M Peck. .

"Ia hendak mencuri hasil ciptaanku," kata kakek Pete

"Penemuan itu?" Kata Pete. "Yang hendak kakek perlihatkan pada orang- orang di New York itu?"

"Ya, tentu saja! Dan jangan kau mengatakannya seolah-olah tidak berarti karena penemuanku itu merupakan terobosan penting, yang bisa menyebabkan dirombaknya seluruh..."

Kakek tidak melanjutkan kalimatnya. "Tidak," katanya. Aku tidak mau menjelaskannya lebih lanjut, demi keselamatan kalian sendiri. Mungkin saja bukan hanya Snabel yang ingin merampasnya. Dan sebaiknya kita teruskan saja perjalanan, jika ingin tiba di Monterey sebelum gelap."

Ia berjalan kembali ke arah mobil dengan langkah santai. Sikapnya tenang, seakan-akan tidak terjadi apa-apa beberapa saat sebelumnya. Anak-anak mengikutinya lambat-lambat. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri, memikirkan laki-laki tua itu. Mereka akan mengadakan perjalanan jauh yang paling sedikit akan makan waktu satu bulan, mungkin bahkan lebih lama. Kakek Pete itu, apakah ia cuma manusia eksentrik yang suka berbuat seenaknya sendiri - atau mungkinkah mereka mengadakan perjalanan melintas benua Amerika Utara itu dengan seseorang yang benar-benar sudah gila?

-Bab 5 KEJADIAN MENC(]RIGAKAN

"Dalam perjalanan ini," kata Mr. Peck, "aku tidak ingin tidur sekamar dengan siapa pun juga. anak-anak suka minta yang aneh-aneh di tengah malam, seperti ingin minum atau bahkan makan roti kering dengan keju pukul tiga pagi. Aku ini sudah terlalu tua, tidak suka jika dibangunkan tengah malam untuk omong kosong seperti itu."

Setelah itu Mr. Peck memesan dua kamar di sebuah hotel kecil yang letaknya di daerah pelabuhan nelayan di Monterey, hanya beberapa blok saja dari dermaga terkenal, Fisherman's Whalf. Setelah itu diajaknya anak-anak makan ikan yang enak di salah satu restoran di jalan yang bernama Cannery Row. Sambil makan, ia bercerita dengan riang tentang sejarah kota Monterey dan California masa lampau, ketika kawasan itu masih dijajah Spanyol. Pertengkarannya dengan Sabel di Pismo Beach rasanya sudah lama sekali berlalu, dan juga seperti urusan sepele saja. Rupanya Mr. Peck sudah melupakannya.

Malam itu anak-anak cepat masuk ke tempat tidur. Dan dengan segera mereka menyadari bahwa keputusan Mr. Peck untuk tidak tidur kamar dengan anak-anak memang tepat. Tapi penilaian mereka disebabkan karena alasan lain. Jika Mr. Peck memilih tidur sekamar dengan Anak- anak, mereka pasti takkan bisa tidur sepanjang malam. Kakek Pete begitu keras dengkurannya sehingga dinding pembatas antara kedua kamar sampai bergetar!

"Rupanya ia punya gangguan pada hidung," kata Bob.

"Kata ibuku, tidak," balas Pete. "Kata Ibu, kakek ingin terus diperhatikan, juga pada saat ia sedang tidur."

Tapi akhirnya anak-anak bisa juga terlelap. Mereka baru bangun ketika sinar matahari pagi sudah menyusup masuk ke dalam kamar lewat celah- celah di antara tirai yang tertutup.

Mr. Peck sudah lebih dulu bangun. Anak-anak mendengar bunyi air mengucur dari pancuran mandi. Kakek menyanyi-nyanyi sambil mandi. Setelah selesai mandi dan berpakaian, ia mengguncang-guncang pegangan pintu kamar anak-anak, menyuruh mereka bergegas.

Sarapan pagi terdiri dari sosis dan bapel serta jeruk, di sebuah restoran dekat dermaga. Jupiter tidak banyak bicara. Ia mengunyah hidangan sarapan sambil memandang lewat jendela ke arah teluk. Tiba- tiba dilihatnya seseorang sedang menyeberang jalan di depan restoran. Jupe agak terkejut, tapi lalu mengarahkan pandangannya ke piring dan mengambil sepotong bapel untuk menyerap sirop kental yang masih tersisa.

Pete duduk di sebelah kakeknya, berhadapan dengan Jupe. Ia melihat kekagetan Jupe dan air mukanya yang tiba-tiba berubah, lalu hendak bertanya. Jupe yang melihat gelagat itu mengerutkan kening sambil menggeleng sedikit. Karenanya Pete tidak jadi bertanya.

"Sudah kenyang, Jupiter?" tanya Mr. Peck.

"Ya, terima kasih, Mr. Peck. Enak sekali!" "Betul, sedap!" kata Bob menimpali.

Mr. Peck mendorong kursinya ke belakang lalu pergi ke kasir untuk membayar.

"Ada apa, Jupe?" tanya Pete sambil agak memajukan tubuhnya. "Kau tadi kelihatan aneh."

"Snabel ada di sini," kata Jupe.

Pete menoleh ke arah jendela. "Di mana? Kau yakin?"

"Ia lewat tadi, dan menuju ke Cannery Row," kata Jupe.

Saat itu Mr. Peck kembali, dan meletakkan uang persen untuk pelayan di atas meja.

"Mau berkeliling sebentar, melihat-lihat di dermaga?" tanyanya pada anak-anak. "Sesudah itu kita harus berangkat lagi. Aku ingin sudah melewati San Francisco malam ini - kalau bisa sampai di Santa Rosa. Dengan begitu besok kita bisa pesiar di kawasan cagar alam tempat tumbuh pohon-pohon redwood."

-Anak-anak mengikuti Mr Peck keluar, lalu menyeberang jalan. Bob membawa kamera fotonya. Dan ia ingin membuat beberapa foto teluk di situ. Ia berjalan mendului ke suatu tempat dekat ujung dermaga, dari mana nampak jelas perahu-perahu yang berlabuh terangguk-angguk digerakkan ombak, dan perahu-perahu pesiar meluncur laju melintas teluk dan mengarah ke laut lepas.

Hari masih pagi, tapi suasana di dermaga para nelayan itu sudah ramai. para wisatawan keluar-masuk toko-toko yang menjual cangkang kerang

dan beraneka ragam benda hiasan buatan luar negeri. Pete memperhatikan burung-burung camar yang terbang berputar-putar di atas, sementara Bob asyik memotret. Mr. Peck melihat-lihat barang yang dipajang dalam etalase sebuah toko yang menjual cangkang kerang.

Kemudian ia memandang selintas ke arah jalan di ujung sebelah darat dermaga. Tahu-tahu sikapnya berubah.

"Dasar bandit!" sergahnya.

Tanpa melihat pun Jupiter langsung bisa menebak, Mr. Peck pasti melihat Snabel. Orang itu muncul lagi, dan menyebabkan sikap Mr. Peck yang semula riang berubah menjadi marah.

"Sudahlah, Kakek," kata Pete menyabarkan. "Ini kan negeri yang merdeka. Orang itu berhak ada di sini jika itu kemauannya."

Mr. Peck mendengus dengan marah. "Baiklah. Tapi aku tidak sudi lagi ada di sini"

Ia cepat-cepat masuk ke toko dan bersembunyi di belakang sebuah cangkang tiram besar yang dipajang di etalase. Anak-anak yang tetap berdiri di luar hanya bisa melihat ubun-ubunnya.

Snabel berjalan menyusur dermaga ke arah mereka. Rupanya ia tidak sadar bahwa ada yang mengamat-amati. Ia memegang kamera foto sementara tas kameranya disandang. Kameranya Canon II, serupa dengan milik Bob. Seperti Bob pula, Snabel rupanya mencari-cari obyek yang menarik untuk difoto. Penampilannya pagi itu seperti wisatawan pada umumnya, dengan kemeja yang kancing sebelah atasnya dibiarkan terbuka serta celana jeans yang masih kaku karena baru. Ia memakai sepatu model santai yang juga masih baru, sementara kepalanya ditudungi topi jerami bertepi lebar. Kelihatannya topi itu dibelinya tadi di jalan.

Pete sangsi. Perlukah ia memberi tahu Snabel bahwa kakeknya sudah bersiap-siap di dalam toko untuk menyergapnya? Jika itu dilakukan, Kakek pasti akan menganggapnya pengkhianatan. Pete tidak ingin melihat terjadinya lagi pertengkaran antara Kakek dan Snabel, tapi ia juga tidak kepingin diamuk kakek.

Akhirnya Pete berpaling dan mengarahkan tatapan matanya ke seberang teluk. Jupe melaku kan hal yang sama, sementara Bob mendatangi sebuah bangku yang ada di dekat mereka lalu duduk di situ, menghadap teluk. Ia berlagak tidak melihat Snabel.

Orang itu datang dengan menenteng kamera lalu berhenti dekat Pete. Begitu dekat, sehingga bahu mereka nyaris bersentuhan. Tapi Snabel tidak melihat Pete, karena setiap kali ia menoleh ke arah dari mana ia datang, lalu melirik arlojinya, seakan-akan sedang menunggu seseorang.

Setelah beberapa menit, ada orang datang menghampiri.

"Nah, Snabel?" kata orang itu menyapa. Nadanya geli bercampur agak meremehkan. Jupe menoleh dan memandang orang itu sekilas. Ia melihat seorang pria berumur empat puluhan berambut hitam lurus. Wajahnya bersih. Ia memakai celana panjang sutera dan kemeja bagus dari bahan lembut yang nampak mahal. Mukanya tertutup kacamata gelap berukuran besar, tapi tampak oleh Jupe bahwa hidungnya mancung, sementara bibirnya yang tipis tersenyum mengejek.

Telinganya yang kecil rapat letaknya ke kepala. Kesan keseluruhan orang itu ialah bahwa ia tergolong manusia yang berhasil dalam hidupnya. Di samping orang berpenampilan mengesankan itu, Snabel yang gemuk pendek nampak kaku dan kikuk dengan celana jeans-nya yang baru serta sepatu model santainya yang putih mulus.

"Aku membawa barang itu," kata Snabel.

Orang yang baru datang melirik ke arah Jupiter.

Jupiter berlagak tidak tahu apa-apa. Ia mengalihkan pandangannya ke teluk.

"Kita ke sana," kata orang itu kepada Snabel, -lalu berjalan beberapa langkah menyusur dermaga, diikuti oleh Snabel yang bergegas-gegas d sampingnya.

Sekali lagi Jupe mencuri pandang ke arah kedua orang itu. Kini mereka berada dekat sekali dengan bangku tempat Bob duduk. Nampak jelas bahwa Snabel berusaha bersikap santai. Ia meletakkan kakinya di ujung bangku, sementara kameranya dibiarkan tergelantung pada talinya.

Tahu-tahu matanya terpaku pada Bob, yang berusaha bersikap biasa- biasa saja.

"Astaga!" kata Snabel. Ia membungkuk, mengamat-amati wajah Bob dari dekat sekali. Jupe bisa membayangkan bahwa air muka Snabel pasti pucat sekali saat itu.

Kini Snabel tegak kembali lalu memandang berkeliling. Ia melihat Pete dan Jupe. Ia juga melihat ubun-ubun yang ditumbuhi rambut putih tersembul di balik cangkang tiram di dalam toko.

Saat itu Mr. Peck muncul dengan wajah marah Snabel langsung pucat lagi.

"Gawat!" kata Pete, lalu bergerak menghampir Snabel. Maksudnya hendak menghalang-halang serbuan kakeknya. Tapi ia terlambat, karena

Mr Peck .sudah memburu ke luar dengan wajah merah padam. Kedua tangannya terkepal, seakan-akan siap untuk menghajar Snabel.

Snabel buru-buru meletakkan kameranya kebangku lalu mengangkat kedua belah tangannya Mulanya anak-anak menyangka ia akan memukul Tapi ternyata tidak. Ia mundur satu atau dua langkah, sementara kedua tangannya tetap terangkat dengan sikap bertahan.

Pria berpenampilan anggun dengan celana panjang sutera tadi tahu-tahu sudah menghilang.

"Hahh!" sergah Mr. Peck. Ia kembali mencengkeram kemeja Snabel. "Tak kausangka kau melihatku lagi sebegini cepat, ya? Aku tahu apa yang hendak .kaulakukan, Snabel, dan takkan kubiarkan itu terjadi. Pakailah otakmu! Batalkan niatmu itu, selama masih. bisa."

Snabel membasahi bibirnya. Ia berusaha mengatakan sesuatu, tapi yang terdengar cuma bunyi yang tidak jelas. Setelah itu ia terbatuk. Anehnya, ia tidak berusaha mendorong tubuh Mr. Peck. Ia tidak berusaha mundur atau memukul, atau mencoba lari. Ia cuma menatap Mr. Peck dengan mulut ternganga. Air mukanya seperti mayat.

Mr. Peck melepaskan kemeja Snabel yang dicengkeramnya, tapi setelah itu diketuk-ketuknya dada orang itu, seperti mengetuk pintu. "Dengar nasihatku! Mundur saja sekarang, kalau tidak ingin menyesal seumur hidup."

Mr. Peck rupanya merasa puas melihat reaksi Snabel, karena ia lantas berpaling pada anak-anak. "Yuk kita teruskan perjalanan," katanya dengan riang. "Dalam beberapa menit terakhir ini lingkungan di sini menjadi tidak menyenangkan lagi. "

Pete menghembuskan napas keras-keras, karena selama itu ia rupanya menahan napas terus.

-Bob buru-buru mengambil kameranya yang terletak di atas bangku, lalu bersama kedua temannya mengikuti Mr Peck yang sudah menuju pelataran parkir, ke mobilnya. Sambil terkekeh kekeh Mr. Peck membuka pintu mobil lalu duduk di belakang setir. Tertawanya semakin keras sementara Buick itu dikemudikannya meninggalkan pelataran dan diarahkan ke jalan bebas hambatan.

Terdengar suara orang berteriak-teriak di belakang mereka. Orang itu Snabel. Ia berlari-lari mengejar, sambil mengacung-acungkan topi jerami dan kameranya. "Tunggu!" teriaknya. "Peck, tunggu dulu!"

Mobil Buick bertambah laju larinya, karena Mr. Peck menekan pedal gas dengan kakinya.

"Tadi itu kenapa sih, Kek?" tanya Pete.

"Mau tahu kenapa?" jawab kakeknya. "Manusia brengsek itu, yang selama ini dengan diam-diam berusaha masuk ke rumahku, sekarang membuntuti kita karena mengira bahwa aku membawa catatan-catatan tentang penemuanku serta model prototipenya. Ia ingin merampas penemuanku itu untuk kemudian mengatakan bahwa itu hasil ciptaannya. Tapi ia takkan bisa berhasil! Kalau ia masih terus saja mencoba, bisa- bisa ia masuk penjara nanti."

"Bisa-bisa ia masuk rumah sakit karena serangan jantung, jika Kakek berbuat lagi seperti tadi terhadapnya," kata Pete. "Ia setengah mati ketakutan tadi. Kalau Kakek terus bertindak seperti tadi, kurasa malah Kakek yang akhirnya akan masuk penjara. Dan kalau itu terjadi, bisa habis aku diamuk Ibu!" -Bab 6 PETE MERASA CEMAS

"KAKEK kalau sudah baik, benar-benar baik!" kata Pete. "Maksudku, mana ada orang lain mau naik mobil melintas benua bersama segerombolan anak-anak? Dan dia kelihatannya senang kita ikut. Tapi kalau mulai mengamuk... menakutkan!"

Jupiter mengangguk. Ia sudah sejak lama sekali kenal dengan Mr. Peck, tapi baru sekali itu ia sebegitu lama bersama-sama dengan kakek Pete itu. Jupe kaget dan bingung melihat beberapa tingkah lakunya. Jarang sekali Jupe merasa kewalahan menghadapi orang dewasa, tapi Mr. Peck berbeda dengan orang dewasa lainnya. Kini Jupe merasa yakin bahwa masih akan timbul berbagai kesulitan lagi dalam perjalanan itu - kesulitan besar!

Saat itu pukul setengah dua siang. Jupiter dan Pete bersandar pada spatbor mobil Buick sambil memperhatikan Mr. Peck yang bersama Bob mendaki lereng berumput di tepi jalan. Sementara Bob asyik memotret, Mr. Peck memandang

dengan wajah gembira ke arah Teluk San Francisco dan Jembatan Golden Gate yang termasyhur itu. Semoga Kakek terus segembira Saat itu, kata Pete dalam hati.

Kemarahan Mr. Peck hanya sebentar saja hari ini. Ia mengomel hanya selama menuju Highway 101. Begitu sampai di jalan raya bebas hambatan itu ia mulai bersiul-siul dengan gembira. Rupanya keributan dengan Snabel sudah lenyap dari ingatannya. Dikemudikannya mobil besarnya menuju utara, ke arah San Francisco. Di sana mereka berhenti sebentar untuk makan siang dan membeli cenderamata. Sambil makan Mr. Peck bercerita tentang gempa bumi dahsyat yang melanda San Francisco pada tahun 1906.

"San Francisco nyaris punah seluruhnya dimakan api waktu itu, kan?" kata Jupiter.

Mr. Peck mengangguk. "Saluran-saluran air ledeng dan pipa-pipa gas berantakan karena gempa, dan ketika gas yang mengalir ke luar meledak disambar api, tidak ada air untuk memadamkan kobaran api."

Ia memandang arlojinya lalu mengatakan bahwa sudah waktunya perjalanan dilanjutkan.

Jembatan Golden Gate mereka seberangi pukul dua lewat sedikit. Mereka keluar dari Highway 101 di Sausalito, mengambil jalan yang menuju daerah perbukitan Sesampai di sana Mr. Peck menghentikan mobilnya sebentar, untuk memberi kesempatan memotret pada Bob. Pukul setengah tiga mereka masih ada di tempat yang sama ketika Bob menyadari bahwa filmnya habis.

"Aneh," katanya. "Padahal aku rasanya belum begitu banyak memotret." Ia bergegas menuruni bukit dan mengambil tas kameranya yang ditaruh di bagian belakang mobil, lalu mengganti film dengan yang baru. Setelah itu ia naik kembali dan membuat beberapa foto lagi.

Setelah itu mereka kembali lagi ke Highway 101, lalu mengarah ke utara lewat daerah yang menyenangkan pemandangannya. Sementara itu matahari sudah condong ke barat.

Mereka tiba di Santa Rosa menjelang waktu makan malam dan berhenti di kota itu. Mr. Peck memasuki pekarangan sebuah hotel kecil dan minta dua kamar di situ untuk menginap satu malam. Kedua kamar itu bersebelahan letaknya dan dihubungkan dengan sebuah pintu. Itu perlu karena ia bisa mengawasi anak-anak, kata Mr. Peck bercanda.

"Kurasa kita semua perlu saling mengawasi dalam perjalanan ini," kata Pete. Tapi perasaannya yang murung itu hanya sebentar saja menghinggapi dirinya. Ia langsung gembira lagi begitu kakeknya mengajak mereka semua berenang di kolam renang hotel itu. Hidangan makan malam di ruang makan menyebabkan kemurungannya semakin hilang, dan hanya rasa mengantuk yang nikmat saja yang masih dirasakannya sewaktu duduk bersama Bob dan Jupe di kamar mereka sambil menonton televisi sehabis makan.

-Kemudian timbul keinginannya minum limun. Ia teringat, tadi melihat di dekat kolam renang ada mesin otomatis. Dengan segera ia bangun untuk mengambil sebotol limun di situ. Ketika menuju pintu dan lewat dekat jendela, ia menoleh sambil lalu ke luar. Saat berikutnya ia sudah tidak ingat lagi pada niatnya hendak membeli limun.

Kamar yang ditempati Trio Detektif terletak di lantai dua dan menghadap ke pelataran parkir hotel itu. Pete melihat mobil perderet- deret diparkir di situ. Buick kakeknya juga kelihatan, nyaris tepat di bawah balkon di depan kamar mereka. Dan di sebelah Buick itu ada sebuah mobil Lincoln yang kelihatan masih mulus karena barunya.

Dan dari mobil itu muncul Edgar Snabel!

Pete tersentak. Sesaat ia berdiri seperti terpaku dekat jendela. Kemudian ia berpaling dengan cepat dan berkata, "Jupe, Bob, kemarilah sebentar! Coba lihat itu!"

Kedua temannya itu buru-buru menghampirinya. Dari balik jendela mereka bisa melihat Snabel yang dengan langkah menyelinap mengelilingi mobil Mr. Peck sambil membungkuk dan mengintip ke dalam kendaraan itu. Kemudian ia pergi ke bagian belakang dan mencoba membuka tutup tempat bagasi. Tiba-tiba ia memandang ke arah kantor hotel lalu ke jendela kamar-kamar yang ada di atasnya.

Ketiga anak yang. memperhatikan dirinya dari balik jendela kamar di lantai dua buru-buru merunduk.

-Snabel mengerutkan kening, lalu masuk kembali ke mobilnya dan pergi dari situ.

Anak-anak yang ada di atas sama-sama menbisu sesaat.

"Mungkin kecurigaan kakekmu benar, Pete," kata Jupe kemudian. "Mungkin Snabel ingin mencuri hasil ciptaannya."

Pete menggeleng. "Aku... entahlah, aku tidak tahu. Semula kuanggap bahwa yang dikatakannya penemuan itu cuma salah satu gagasan konyolnya lagi. Tapi mungkin ia memang berhasil menciptakan sesuatu yang penting. Atau barang kali kakekku itu tidak waras pikirannya, sementara Snabel sama saja. Tapi... sebaiknya jangan kita ceritakan pada Kakek bahwa kita melihat Snabel di sini, karena ia pasti akan langsung bergegas kantor polisi setempat untuk mendesak agar Snabel ditangkap. Nanti tahu-tahu malah Kakek yang dijebloskan ke dalam tahanan oleh polisi. Siapa tahu, kan?"

"Ya, memang," kata Jupiter sependapat. "Dengan Mr. Peck, kemungkinan itu bisa saja terjadi."

"Ada kemungkinan itu tadi cuma kebetulan saja," kata Bob menimpali. "Bisa saja kan, Snabel juga sedang berlibur, dan secara kebetulan mampir di sini. Lalu ia melihat mobil Mr. Peck, dan memutuskan lebih baik menginap di tempat lain saja."

"He, aku jadinya ingat lagi," kata Pete. "Kenapa tahu-tahu Snabel naik mobil Lincoln yang masih baru sekali? Selama ini kita lihat dia memakai mobil Chevrolet yang. sudah tua." "Mungkin ia menyewanya," kata Jupiter. "Mungkin saja menurut dia mobil tuanya itu takkan tahan jika dipakai menempuh jarak jauh."

Setelah itu mereka kembali ke kesibukan semula, menonton televisi. Mr. Peck masuk dan ikut menonton sebentar bersama mereka. Pukul setengah sebelas pesawat televisi dimatikan, karena semua sudah ingin tidur.

Mr. Peck langsung terlelap. Tidak lama kemudian sudah terdengar dengkurannya yang nyaring di kamar sebelah. Bob mengeluh, sementara Jupe terkekeh geli. Pete berdiri lagi untuk menutup pintu penghubung kedua kamar, lalu kembali ke ranjangnya. Akhirnya ia pun terlelap pula.

Dalam tidurnya ia bermimpi. Mimpinya aneh, tapi dalam perasaannya waktu itu tidak aneh. Ia mengikuti kakeknya yang sedang berjalan di dalam lobi sebuah hotel. Ruang itu besar dan penuh dengan orang-orang berpakaian serba bagus dan bergaya. Mereka memandang ke arah Kakek dan dirinya sambil tertawa dan menuding-nuding. Saat itu barulah Pete menyadari bahwa Kakeknya hanya memakai kaus dalam berwarna merah serta celana dalam putih yang dihiasi dengan sulaman gambar hati berwarna merah. Sedang Pete sendiri, ia tidak memakai apa-apa!

Pete terbangun sambil bergidik. Kamar gelap gulita. Ia tidak mendengar apa-apa. Suasana sunyi senyap. Malam pasti sudah sangat larut, kata Pete dalam hati. Ia turun dengan pelan dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar mandi karena ingin minum. Ia lewat lagi dekat jendela yang menghadap ke pelataran parkir.

Dan kembali dilihatnya seseorang berjalan mengendap-endap di belakang deretan mobil yang diparkir. Pete memperhatikannya dengan kening berkerut. Orang yang hanya nampak seperti bayangan hitam itu berjongkok di samping mobil Buick kakeknya.

Dengan segera Pete lari ke ranjang yang ditempati Jupe dan mengguncang-guncangkannya supaya bangun. "Jupe!" bisik Pete. "Bangun! Snabel muncul lagi. Ia ada di pelataran parkir mengutik-utik mobil kita!"

-Bab 7 TEROR LAWAN TEROR

-TANPA sempat memakai sepatu lagi, Trio Detektif bergegas menuruni tangga di luar yang menuju ke lantai bawah. Jupiter tersaruk-saruk langkahnya, menimbulkan bunyi berdebam-debam di tangga. Ia cepat- cepat berpegangan pada sandaran supaya tidak terjerembab.

Orang yang berjongkok di samping Buick menegakkan tubuhnya, memandang dengan cepat ke arah tangga, lalu lari menyusur deretan mobil menuju ke jalan besar.

Anak-anak mengejar dengan terpincang-pincang karena tidak memakai sepatu. Ketika mereka sampai di jalan, orang tadi sudah tidak kelihatan lagi.

"Sialan! Ia lolos!" seru Bob.

"Dan itu karena larimu tidak bisa pelan tadi, Jupe," kata Pete dengan sebal.

"Kau yakin orang itu Snabel?" tanya Jupe.

"Pasti," kata Pete yakin. "Aku sempat melihat tampangnya sekilas ketika ia lewat di bawah salah satu lampu beranda."-

Anak-anak kembali ke mobil Buick lalu mengitarinya sambil memeriksa pintu-pintu. Semuanya masih terkunci, begitu pula tutup tempat bagasi Jupe mengintip ke kolong mobil, tapi tidak bisa melihat apa-apa.

"Aku perlu sen ter," katanya.

Saat itu terdengar bunyi pintu terbuka di atas mereka. Mr. Peck muncul di balkon kamarnya

"Ada apa?" tanyanya. "Sekarang ini sudah hampir pukul empat pagi!"

Ia mengatakannya dengan suara yang menurut pendapatnya . sudah berbisik-bisik. Tapi bisikannya, orang yang setengah mil dari situ pun masih bisa mendengarnya. Lampu-lampu dinyalakan nampak beberapa tamu memandang ke luar.

"Tadi ada orang berkeliaran di sini," kata Pete.

"Pasti itu Snabel lagi," kata Mr. Peck Pete tidak menanggapinya. Mr. Peck menyuruh anak-anak kembali ke atas, dan ketika mereka sudah berada lagi dalam kamar mereka, kakek Pete mengomel-ngomel tentang Snabel. "Ia ingin mengetahui apa yang kubawa," katanya. "Tapi pokoknya, ia takkan bisa memperolehnya!"

"Kakek membawa apa?" tanya Pete.

"Kau tidak perlu tahu," tukas kakeknya. "Semakin sedikit yang kalian ketahui, semakin baik bagi kalian sendiri. Sekarang masuk lagi ke ranjang masing-masing dan teruskan tidur kalian. Tidur perlu berjaga- jaga karena si Kunyuk itu, selama ia belum berbuat apa-apa. Ia belum melakukan apa-apa, kan?"

"Rasanya belum, Mr. Peck," kata Jupe.

"Dia memang begitu," kata Mr. Peck sambil mengangguk. "Menyelinap dan mengintip-intip, tapi tidak berani berbuat apa-apa!"

Mr. Peck kembali ke kamarnya, dan dalam waktu singkat sudah terdengar lagi dengkurannya.

"Mudah-mudahan saja kata Kakek tadi benar," kata Pete gelisah. "Tapi bagaimana jika Snabel lak cuma mengintip-intip saja? Bagaimana jika berniat merusak mobil kita? Sebaiknya aku tidur saja di dalamnya, untuk berjaga-jaga jika ia datang lagi."

Pete mengambil selimut dari tempat tidurnya, lalu berjingkat-jingkat memasuki kamar kakeknya. Tanpa menyebabkan dengkuran Kakek terganggu diambilnya kunci-kunci mobil yang terletak di meja. Setelah itu ia pergi ke bawah, ditemani oleh Jupe. Sesampai di mobil, mereka mengeluarkan senter dari laci depan. Tapi ketika hendak dinyalakan, ternyata tidak bisa.

"Sialan," kata Pete. "Baterainya sudah habis. Tapi aku tidak mengerti, mau apa sebetulnya Snabel tadi?"

"Apa pun yang hendak dilakukannya," kata Jupe, "yang jelas ia tidak berhasil! Sekarang, jika ia muncul lagi, kau berteriak keras-keras."

"Baik," kata Pete. Setelah itu Jupe pergi lagi ke atas, sementara Pete merebahkan diri di jok belakang. Ia merasa pasti takkan mungkin bisa tidur lagi.

Tapi kenyataannya ia terlelap juga. Hanya tidurnya tidak tenang. Lagi- lagi ia bermimpi aneh. Ketika ia bangun, matahari baru saja terbit. Burung-burung berkicau di pepohonan, dan seorang wanita bertubuh gemuk dan memakai pakaian senam berwarna ungu mengetuk-ngetuk jendela mobil.

"Kau baik-baik saja?" seru wanita itu.

Pete kaget lalu duduk - tapi langsung jatuh ke lantai -mobil.

Wanita itu terkejut melihat ia jatuh. Ia berusaha membuka pintu. Tapi tidak bisa, karena dikunci oleh Pete sebelum ia tidur tadi.

"Saya tidak apa-apa!" seru Pete dari dalam. "Terima kasih, saya tidak apa-apa!"

Ditariknya selimut untuk menyelubungi tubuhnya, lalu ia membuka pintu dan keluar.

"Bagaimana sih, orang tuamu?" kata wanita itu mengomel. "Kan tidak aman, tidur di luar begini!"

"Ya, Ma'am," kata Pete. Ia bergegas kembali - atas lalu mengguncang- guncang gagang pintu agar dibukakan oleh Bob atau Jupe.

"Keterlaluan!" gumam wanita tadi seorang diri di pelataran parkir. "Apa saja yang dilakukan sementara orang supaya tidak perlu menyewa satu kamar lagi!"

Bob membukakan pintu dan Pete bergegas masuk.

"Jangan cerita pada Kakek tentang ini," kata Pete. "Ia pasti marah jika tadi mendengar omelan wanita itu."

"Itu sudah pasti," kata Bob sambil tertawa.

Hari itu mereka melanjutkan perjalanan ke arah Utara, lewat jalan raya Redwood Highway. Mr. Peck menyetir mobilnya dengan riang. Pohon- pohon raksasa yang berjajar di kiri-kanan jalan mengingatkannya pada masa lampau - ketika ia masih suka pesiar ke daerah itu bersama istrinya yang waktu itu masih hidup.

"Kau tentunya tidak begitu ingat pada nenekmu ya, Pete," katanya.

"Ingat sih ingat, tapi cuma samar-samar saja" kata Pete. "Ia suka membuat kue apel yang enak sekali rasanya."

"Ya, memang," kata Mr. Peck. "Kalau makan kue bikinannya, badan rasanya langsung menjadi bertambah sehat."

Diam-diam Jupe memperhatikan pria yang -udah berumur lanjut itu. Mr. Peck seolah-olah berdiri dari dua kepribadian yang sama sekali berlainan, katanya dalam hati. Yang satu adalah kakek yang ceria dan penuh kasih sayang, yang mau mengajak cucunya serta teman-teman cucun-ya mengadakan perjalanan yang mengasyikkan. Sementara kepribadian yang satu lagi berwujud pria tua pemarah yang terlalu curiga terhadap -orang tetangganya. Meski pada awalnya terdapat kesan bahwa .Mr. Peck benar-benar tidak waras pikirannya, tapi kini Jupe harus mengakui bahwa tuduhan-tuduhannya mengandung kebenaran. Edgar Snabel memang menyelinap-nyelinap sambil mengintip- intip dekat mobil Buick. Apakah itu dilakukannya karena berharap akan bisa menguasai salah satu penemuan Mr. Peck Atau mungkinkah ada alasan lain yang menyebabkan ia bertindak begitu?

Mungkin untuk keseratus kalinya Jupe berusaha menebak-nebak, apakah kemungkinannya penemuan Mr. Peck. Tapi ia tidak menanyakannya secara langsung, karena tahu bahwa Mr. Peck takkan mau mengatakan. Tapi kalau tentang Snabel, tanpa perlu ditanya pun ia pasti mau bicara. Jupe memutuskan untuk memancingnya karena siapa tahu - mungkin nanti di antara kata katanya ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.

"Sebetulnya aneh juga, anggrek-anggrek itu," kata Jupe dengan tiba- tiba.

"Anggrek?" Bob menoleh ke arah Jupe dengan heran. "Anggrek yang mana?" -

"Bukankah Mr. Snabel memelihara anggrek," kata Jupe.

"Betul," jawab Mr. Peck singkat.

"Padahal ia kelihatannya bukan orang yang cukup memiliki kesabaran untuk berkebun," kata Jupitar lagi. "Bahkan rumput yang tumbuh di pekarangan saja tidak dipotong olehnya."

"Itu karena memotong rumput tidak menghasilkan uang," kata Mr. Peck. "Hanya tukang kebun saja yang bisa, mendapat penghasilan dengan memotong rumput. Snabel tidak berminat pada tanaman - ia cuma tertarik pada uang. Kalau untuk mengurus anggrek-anggreknya, ia banyak waktu, karena uang yang bisa diperoleh dari penjualannya juga banyak. Toko-toko bunga berlangganan padanya. Snabel anggota sebuah perkumpulan anggrek, dan sekali sebulan orang-orang yang keranjingan anggrek berkumpul untuk memperagakan tanaman anggrek peliharaan mereka. Aku berani bertaruh, Snabel pasti juga mencuri macam-macam perlengkapan dari mereka."

"Lalu siapa yang mengurus anggrek-anggrek Mr. Snabel sekarang?" tanya Jupiter.

"Mungkin salah seorang anggota perkumpulannya," kata Mr. Peck. "Terus terang saja, aku tidak peduli tentang itu. Tahu tidak kalian, waktu ia baru saja pindah ke rumahnya yang sekarang, aku pernah mengalami saluran air ledengku dimatikan selama beberapa waktu. Dinas Air Minum dan Listrik menemukan kebocoran pada pipa yang menghubungkan saluran utama di jalan dengan rumahku. Selama kebocoran itu dibetulkan aku tidak kebagian air. Aku lantas pergi ke rumah Snabel dengan membawa cerek untuk minta air sedikit dari keran yang ada di luar rumah. Kalian mau tahu, apa yang terjadi kemudian?"

"Ia memanggil polisi?" kata Bob menebak.

"Ia mengancam akan memanggil polisi," kata Mr. Peck. "Ia juga menuduh aku menyambungkan selang airku ke kerannya sewaktu ia sedang tidak ada di rumah, untuk menyiram pekaranganku! Seolah-olah watakku selicik itu!"

-Tengkuk Mr. Peck nampak merah --padam sekarang, dan untuk pertama kalinya hari itu ia tidak lagi memperhatikan pohon-pohon redwood yang mengapit jalan yang dilewati."

"Snabel itu rupanya mengidap paranoia," katanya dengan nada pasti.. "Itu sebabnya ia mengira aku mencuri airnya. Kalian tahu apa itu, paranoia. Itu semacam penyakit jiwa, dan orang yang mengidapnya dihantui pikiran bahwa semua orang memusuhinya. Dan begitulah Snabel itu!"

Jupiter agak gentar juga melihat Mr. Peck marah-marah, lalu memutuskan bahwa untuk sementara mereka sudah cukup banyak mendengar tentang Snabel. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi yang bisa memancing komentar Mr. Peck tentang tetangga yang dibencinya itu. Selama beberapa waktu semuanya membisu.

Tapi hari itu terlalu menyenangkan, dan pohon-pohon redwood terlalu mengagumkan. Mr. Peck melupakan kemarahannya dan kembali mulai bercerita tentang masa lampau. Ia terus begitu sepanjang perjalanan, sampai akhirnya mereka tiba di Crescent City.

Matahari sudah rendah di barat ketika mobil mereka memasuki kota kecil di tepi pantai itu. Karenanya mereka lantas masuk ke sebuah hotel Sesudah mandi mereka pergi berjalan-jalan untuk melihat-lihat pelabuhan perahu yang ada di dekat situ.

Dermaga di tempat itu lebih kecil dari Fisherman’s Wharf di Monterey. Tapi mobil bisa parkir di atasnya, dan selain itu ada pula beberapa restoran dan satu atau dua toko di situ. Berseberangan dengan restoran-restoran terdapat tempat-tempat menambatkan perahu layar. Suasana cukup ramai di situ. Nampak sejumlah pemilik perahu sibuk dengan perahu mereka, membetulkan, membersihkan, atau merapikan. Beberapa pasangan nampak berjalan-jalan dengan santai di trotoar, menikmati pemandangan matahari terbenam dan burung-burung -amar yang beterbangan di angkasa.

"Kelihatannya kita sudah bebas dari gangguan Snabel," kata Mr. Peck dengan tiba-tiba.

Perasaan tidak enak timbul lagi dalam hati Pete. Sudah beberapa jam lamanya Kakek tidak menyebut-nyebut manusia menyebalkan penggemar anggrek itu, dan karenanya Pete mengira bahwa Kakek sudah melupakannya. Tapi ternyata dugaannya keliru.

"Aku tadi terus memperhatikan jalan di belakang kita lewat kaca spion," kata Mr. Peck pada anak-anak. "Tapi kelihatannya tidak ada yang membuntuti kita. Rupanya si Kunyuk itu ketakutan kemarin malam, sewaktu kalian memergokinya dekat mobil kita."

"Mudah-mudahan saja," kata Pete.

Kemudian ia berpaling dan memandang ke arah jalan besar, karena terdengar bunyi mesin menderu-deru, bercampur suara berteriak- teriak.

Tujuh sepeda motor datang dengan laju dan masuk ke dermaga. Para pengendaranya pemuda-pemuda bertubuh tegap dan memakai jaket kulit berwarna hitam.

"Hmm!" kata Mr. Peck. "Tampang mereka galak-galak."

Ketujuh pemuda itu memang bertampang seram. Selain berjaket kulit hitam, kebanyakan dari mereka berjenggot. Ada yang membiarkan tumbuh gondrong sehingga nyaris menutupi seluruh muka, dan ada lagi yang memotongnya sedemikian rupa sehingga aneh-aneh bentuknya. Mereka juga mengenakan pending dan gelang lengan dari kulit yang dipasangi paku payung, sementara pada sarung tangan mereka nampak berderet paku-paku runcing. .

"He, Kakek!" teriak salah seorang pemuda itu. Diarahkannya sepeda motornya seakan-akan hendak menabrak Mr. Peck, dan pada saat terakhir baru membelokkannya.

Pete dan kedua temannya mengira, Mr. Peck pasti mengamuk. Tapi dugaan mereka keliru. Mr Peck memandang ketujuh pemuda yang lewat dengan sepeda motor menderu-deru itu, lalu tertawa nyengir. "Aku tahu pasti, ada orang baik-baik yang juga suka naik sepeda motor," katanya, "tapi hari ini kita tidak berjumpa dengan mereka."

"Kita pergi saja dari sini, ya?" kata Pete berusaha membujuk kakeknya.

Sementara itu ketujuh pengendara sepeda motor itu sudah sampai di ujung dermaga. Mereka berkerumun di situ mengelilingi pengendara yang tadi mencoba menakut-nakuti Mr Peck. Mereka memandang ke arah Mr. Peck dan anak-anak. dengan sikap mengira-ngira.

"Ayolah!" Pete menarik-narik lengan kakeknya. "Kita pergi saja!" "Iiii-yahuuu!" teriak salah seorang pengendara sepeda motor itu, dan orang yang tadi kembali memacu kendaraannya, lurus menuju ke tempat Mr. Peck dan .anak-anak!

"Jangan lari!" seru Mr. Peck, lalu melangkah maju menyongsong sepeda motor. yang menyerbu ke arahnya.

Jupe merasa perutnya melilit karena ngeri. Sementara itu keenam sepeda motor yang lain sudah dipacu pula menyusul kendaraan yang pertama. Ketujuh pengendaranya menyeringai. Terdengar jelas suara mereka tertawa mengejek. Satu dari mereka mengayun-ayunkan sesuatu. Rupanya pendingnya yang dipasangi paku-paku besar.

Para pelancong dan orang-orang yang sedang makan angin di dekat anak- anak buru-buru lari memencar.

"Panggil polisi!" teriak seorang dari mereka.

Ketujuh sepeda motor tadi lewat dekat Mr. Peck dengan mesin menderu-deru, lalu semuanya berbalik dan kembali menuju ke arahnya. Suara mereka tertawa bertambah keras dan galak.

Mereka berkeliling dengan sepeda motor mereka, mengepung Mr. Peck dan anak-anak. Kepungan mereka makin lama makin menyempit, semakin dekat ke sasaran mereka yang terjepit di -tengah-tengah. Bagi mereka itu merupakan permainan-permainan yang ganas!

"Hajar mereka!" seru salah satu dari para pengendara sepeda motor itu. Ia meninggalkan lingkaran kepungan dan memacu kendaraannya lurus ke arah Mr. Peck. Ketika kelihatannya benturan sudah pasti terjadi, barulah sepeda motornya direm.

Anak-anak melihat sepasang mata kecil berkilat-kilat di atas jenggot kasar, dan gigi-gigi putih di tengah wajah dekil. Mereka mendengar suara tertawanya, mengalahkan deru keenam sepeda motor lainnya.

Saat itu Mr. Peck bergerak. Hanya sedikit saja, sehingga anak-anak nyaris tidak melihatnya. Mr Peck melemparkan sesuatu.

Terdengar bunyi tembakan dan kepulan asap Asap hitam tebal mengepul, menyelubungi kawanan penyerang.

Mata kecil tadi terbelalak. Mulut yang semula menyeringai terbuka lebar. Orang itu berteriak kaget, lalu membelokkan kemudinya dengan keras sehingga sepeda motornya terbalik

Sekali lagi Mr. Peck menggerakkan lengannya dengan cepat, dan sekali lagi terdengar bunyi letusan serta nampak kepulan asap hitam tebal.

Ketujuh pengendara sepeda motor itu celingukan dengan sikap bingung, mencari-cari orang yang terdengar dua kali melepaskan tembakan itu.

Saat itu terdengar bunyi sirene di jalan besar. Dua mobil patroli polisi memasuki dermaga dengan lampu merah menyala berputar-putar di atap.

"Kita makan sekarang, yuk?" kata Mr. Peck, lalu berjalan dengan cepat ke sebuah restoran yang terdapat di dermaga itu. Anak-anak bergegas mengikutinya.

Di ambang pintu rumah makan itu berkerumun orang-orang yang menonton kejadian tadi. Mereka cepat-cepat menepi, memberi jalan pada Mr. Peck

"Anda tidak apa-apa?" kata seseorang sambil menjamah bahu Mr. Peck.

"Jangan main-main dengan orang-orang seperti mereka itu," kata seseorang lagi. "Mereka itu jahat -jahat!"

"Aku tadi tidak main-main, Anak muda," kata Mr. Peck. "Jika polisi tidak datang tadi, berandal-berandal itu akan tahu bagaimana aku jika sudah sungguh-sungguh!"

Bab 8 HARI-HARI YANG BERBAHAYA

-MR. PECK memandang ke luar lewat jendela restoran. Ia melihat petugas-petugas polisi mendatangi para pengendara sepeda motor yang masih tertegun di dermaga. Ketujuh pemuda berandal itu dengan sikap enggan mengambil kartu tanda pengemudi mereka dan menunjukkannya pada polisi.

"Kalau aku tidak ingin buru-buru meneruskan perjalanan, akan kuadukan kunyuk-kunyuk itu," kata Mr. Peck. "Biar mereka mendekam dalam penjara, sehingga selama beberapa waktu tidak bisa menakut-nakuti orang," Setelah itu diambilnya kartu daftar makanan dan ditelitinya

Sementara itu ketujuh berandal tadi sudah menghidupkan mesin sepeda motor mereka kembali. Mereka berputar-putar berkelompok lalu menyusur dermaga lambat-lambat ke arah jalan besar. Para petugas polisi masuk lagi ke mobil-mobil mereka dan mengikuti kelompok pemuda berandal itu dari belakang.

-"Apakah mereka itu digiring ke penjara?" kata Bob.

"Rasanya tidak," kata Mr. Peck. "Kurasa mereka sekarang digiring polisi ke luar kota. Baguslah, daripada mengacau di sini."

"Kakek, apa yang menimbulkan bunyi keras tadi?" tanya Pete.

"Bunyi keras?" kata Mr. Peck. "Bunyi yang mana?" Ia mengatakannya sambil meneliti daftar makanan. Nampaknya keributan dengan para pengendara sepeda motor tadi sudah dilupakannya.

"Kakek melemparkan sesuatu ke arah orang yang hendak menubruk Kakek, dan benda itu meletus. Apa itu? Mercon?"

"Tentu saja bukan!" kata Mr. Peck sengit. "Mercon merupakan barang terlarang di banyak tempat. Itu tadi salah satu hasil ciptaanku sendiri. Aku akan memasarkannya, dan mudah-mudahan saja bisa laris.

Barangnya sederhana saja dan sama sekali tidak berbahaya. Hanya menimbulkan bunyi nyaring disertai kepulan asap tebal. Pemasarannya nanti bisa sebagai alat untuk menakut-nakuti penjambret dan perampok"

Pete tertawa lebar.

"Tapi bagaimana jika nanti sesudah populer, para penjambret dan perampok tahu bahwa barang itu sebenarnya tidak berbahaya?"

"Kalau begitu aku akan menjualnya pada para petugas pos," kata. Mr. Peck dengan santai. "Mereka itu sangat kewalahan menghadapi anjing- anjing galak."

-Setelah itu Mr. Peck kembali mengarahkan perhatiannya pada daftar makanan, lalu memesan tiga ekor ikan merah untuknya sendiri.

*** -Pete melihat papan penunjuk di tepi jalan. Saat itu pukul satu siang keesokan harinya. Mereka sudah memasuki negara bagian Oregon, dan kota Portland sudah dilewati.

"Itu tadi penunjuk jalan ke tempat dari mana Gunung St. Helens bisa dilihat, Kakek. Bisakah kita mampir sebentar di sana?"

"Tentu saja bisa," kata Mr. Peck. "Berapa banyak gunung berapi yang masih aktif yang mungkin bisa kita lihat seumur hidup kita? Jangan sia- siakan kesempatan, begitulah pedomanku."

Dibelokkannya mobil meninggalkan jalan raya Interstate. Buick itu mulai mendaki daerah berbukit -bukit, makin lama makin tinggi melalui jalan berkelok-kelok. Langit yang memang mendung menjadi semakin kelabu kelihatannya, dan tahu-tahu nampak awan tipis seperti menyelimuti permukaan jalan.

Akhirnya mereka sampai di tempat yang dituju. Kini mereka berada pada posisi yang lebih tinggi daripada hamparan awan rendah, dan ketika pandangan dilayangkan ke timur, di mana gunung yang hendak dilihat seharusnya nampak ternyata yang kelihatan hanya tumpukan awan kelabu saja.

-"Sialan!" umpat Pete.

"Apa boleh buat,’. kata Mr. Peck sambil nyengir. "Tapi sudahlah, perjalanan kita masih jauh, dan masih banyak lagi pemandangan lain yang juga mengasyikkan. "

Ia memutar mobilnya, dan kendaraan itu mulai lagi menuruni jalan berkelok-kelok menuju jalan raya Interstate. Sebelum mereka sampai di sana, percikkan air hujan sudah membasahi kaca jendela.

Ketika memasuki Highway 5 nampak beberapa mobil sudah menyalakan lampu besar. Dengan segera Mr. Peck memutuskan bahwa malam itu mereka lebih baik menginap saja di Longview, di negara bagian Washington. Ia begitu sibuk mengatur rencana sehingga tidak melihat mobil Lincoln yang berhenti di pinggir jalan pada arah sama dengan yang sedang mereka tempuh. Lampu mobil itu tidak dinyalakan, tapi penghapus kacanya bergerak-gerak dan asap knalpotnya nampak mengepul.

Jupe terkejut ketika melihat mobil itu. Ia memutar tubuh untuk terus mengamatinya, sementara Buick yang disetir oleh Mr. Peck menyusup di tengah lalu-lintas kendaraan yang menuju ke utara.

Jupe melihat seseorang duduk membungkuk di belakang setir. Snabel- kah itu? Mobil itu kelihatannya seperti yang dipakai orang itu di Santa Rosa. Tapi Jupe tidak tahu pasti apakah itu memang mobil Snabel. Ia tahu, saat itu pasti ada ratusan mobil Lincoln berwarna kelabu yang lalu- -lalang. Hampir secara otomatis dicatatnya nomor kendaraan itu dalam ingatannya: 920-XT J.

"Snabel!" desis Mr. Peck dengan tiba-tiba, lalu langsung menginjak rem. Pengendara mobil yang ada di belakang Buick itu membunyikan tuter.

"Awas, Kakek!" seru Pete.

Mr. Peck memacu mobilnya lagi, sementara kendaraan yang ada di belakang meliuk ke samping karena direm dengan cepat. Untung saja tidak sampai terjadi tabrakan. Tapi anak-anak sangat. terkejut.

"Sori," kata Mr. Peck dengan nada menyesal "Mobil yang baru kita lewati tadi, yang berhenti di pinggir jalan... aku tidak begitu memperhatikan, tapi rasanya pasti bahwa itu Snabel."

Anak-anak menoleh ke belakang. Mobil Lincoln itu masih ada di pinggir jalan. Warnanya yang kelabu menyebabkan wujudnya nyaris tidak nampak di tengah hujan sore itu.

"Ia tetap berhenti," kata Jupe. "Kelihatannya seperti sedang meneliti peta, atau mungkin juga mogok’" .

"Bisa saja Snabel masih terus membuntuti kita," kata Mr. Peck. "Kalau dia bisa sedikit saja menggunakan otaknya, ia pasti bisa menduga bahwa kita akan terus mengambil jalan ini, paling tidak sampai di Seattle. Bisa saja ia sengaja tetap berhenti selama beberapa saat, supaya aku tidak curiga. "

Setelah itu semuanya sama-sama membisu. Jalan raya bebas hambatan cepat mereka tinggalkan hari itu. Mr. Peck mengemudikan Buick-nya menelusuri jalan-jalan di kota Longview sampai akhirnya mereka menemukan sebuah hotel kecil yang terletak di sebuah jalan kecil. Mr. Peck memilihnya karena jaraknya cukup jauh dari jalan raya. Snabel takkan bisa menemukan jejak mereka sampai di situ.

"Ini bukan karena aku takut," kata Mr. Peck, "tapi yang penting sekarang adalah sampai di New York dengan selamat - dan kalau bisa juga bersenang-senang selama dalam perjalanan."

Seperti Mr. Peck, Trio Detektif juga tidak biasanya menghindari persoalan. Tapi sekali ini rasanya tindakan itulah yang sebaiknya diambil. Jika Snabel ternyata memang mengejar-ngejar mereka tidak bisa apa- apa sebelum orang itu berbuat sesuatu. Tapi jika ternyata bahwa Snabel mengejar itu cuma sangkaan Mr. Peck saja, maka itu paling baik ditangani anak-anak dengan cara terus menyertainya.

Malam itu, beberapa waktu setelah tengah malam, Jupe terbangun. Didengarnya dengkuran keras Mr. Peck di kamar sebelah. Tapi bukan bunyi itu yang menyebabkan Jupe terbangun; ia udah terbiasa dengannya. Tidak, ia terbangun karena ada sinar terang dari lampu sebuah mobil yang dengan lambat-lambat memasuki pekarangan hotel lalu berhenti.

Terdengar bunyi pintu mobil terbuka, meskipun mesinnya tidak dimatikan. Seseorang berjalan bergegas-gegas, berhenti, lalu bergegas- gegas lagi. Jupe buru-buru berdiri dan menghampiri jendela kamar, sementara dari arah luar terdengar bunyi pintu mobil ditutup. Ia mengintip ke luar Dilihatnya sebuah mobil besar bergerak meninggalkan pekarangan hotel.

Mobil Lincoln yang tadikah itu? Jupe tidak bisa memastikannya.

Ia masuk lagi ke tempat tidur. Ia mengumpat dirinya sendiri, karena mulai aneh seperti Mr Peck. Bisa-bisa nanti ia merasa melihat Snabel bersembunyi di balik setiap semak atau membuntuti di setiap jalan raya yang dilalui. Itu kan konyol! Dan andaikan Snabel memang membuntuti terus, lalu apa gunanya bagi dia? Selama itu ia tidak pernah mengutik- utik mobil Mr. Peck atau menggeledah kamar-kamar mereka.

Lalu tentang penemuan yang hendak diserah kan oleh Mr. Peck pada entah siapa di New York - di manakah barang itu? Menurut perasaan Jupe tidak mungkin disembunyikan dalam mobil kecuali jika ukurannya memungkinkan disimpan dalam koper.

Akhirnya Jupe tertidur. Ketika bangun lagi dilihatnya Bob dan Pete sudah selesai berpakaian.

Hari itu mereka melintasi negara bagian Washington menuju ke timur, mendaki untuk melewati daerah Pegunungan Cascade Mountain, lalu turun dan sampai di sebuah dataran luas yang agak gersang.

"Gurun!" kata Pete. Kedengarannya ia sangat kecewa. "Kusangka seluruh negara bagian Washington ini merupakan daerah hutan pinus."

Tapi sesudah kota Spokane dilewati mereka kembali memasuki pegunungan. Kadang-kadang mereka melewati jalan raya yang di sisinya ada sungai pegunungan berair deras, sementara hutan lebat merapat di kiri-kanan.

Malam itu juga mereka sudah memasuki negara bagian Idaho. Mereka menginap di Coeur d’Aiene. Mr. Peck kembali berkeras memilih hotel kecil yang lokasinya seperti di Longview. Anak-anak langsung teringat lagi pada Snabel. Tapi Mr. Peck mengatakan dengan riang, "Mungkin kita berhasil meloloskan diri dari Snabel. Selama dalam perjalanan tadi aku terus melirik ke belakang lewat kaca spion, tapi tidak nampak sesuatu yang mencurigakan. Mungkin ia mengira kita bermalam di Spokane, atau terus sampai di Missoula. Walau begitu kita perlu terus waspada."

Selama makan malam Mr. Peck tidak lagi menyebut-nyebut nama Snabel. begitu pula ketika mereka main minigolf sesudah itu.

Malam itu, ketika mereka semua sudah tidur, tiba-tiba terdengar bunyi nyaring yang melengking tinggi.

"Ada apa lagi sekarang?" kata Pete sambil menegakkan tubuh di pembaringannya. Ia mengendus-endus, lalu berteriak,

"Jupe.! Bob! Bangun, cepat!"

Digedor-gedomya dinding kamar untuk membangunkan Mr Peck. "Ada kebakaran!"

-Bab 9 TIRAI ASAP

-LENGKINGAN sirene tanda kebakaran memecah kesunyian malam.

Terdengar bunyi langkah orang ramai berlari-lari dan berteriak-teriak. Pintu-pintu mobil ditutup bergegas-gegas. Udara penuh asap.

Jupiter melompat ke pesawat telepon lalu menghubungi Dinas Pemadam Kebakaran.

Pete lari keluar dengan piamanya lalu menggedor-gedor pintu kamar Mr. Peck. "Kakek! Kakek! Bangun! Ada kebakaran di hotel!" .

Mr. Peck membuka pintu sambil batuk-batuk karena asap.

Sementara itu Bob sudah memakai celana jeansnya dan bergegas keluar. Ia menggedor-gedor pintu kamar-kamar, membangunkan tamu-tamu hotel.

Seorang wanita dengan daster berwarna merah jambu membuka pintu kamarnya, sambil mengusap-usap matanya yang pedih kena asap.

"Ada apa?" gumamnya tak jelas karena belum benar-benar bangun.

-"Ada kebakaran di hotel," kata Bob memberi tahu.

Wanita itu tersentak.

"Norman, bangun!’ - serunya sambil menoleh ke dalam kamar. "Apa kataku, kenapa kita menginap di tempat brengsek begini!"

Sementara itu anak-anak dan juga Mr. Peck terus menggedor-gedor pintu kamar-kamar dari bangunan hotel yang berbentuk U itu. Asap tebal menyelubungi mereka. Nampaknya datang dari ujung salah satu sayap bangunan itu.

Terdengar bunyi keras dan gemerincing kaca pecah. Di pelataran parkir, sebuah mobil dengan nomor negara bagian Indiana yang rupanya hendak mundur, menabrak mobil lain yang berasal dari Oregon. Pengemudi mobil Oregon berteriak sambil menjulurkan kepala keluar dari jendela. "Hati- hati sedikit, Goblok!"

Tamu-tamu hotel keluar dari kamar-kamar mereka, sambil batuk-batuk dan merapatkan mantel kamar untuk menahan dingin. Ada yang lari ke mobil mereka lalu cepat-cepat meninggalkan hotel, sementara yang selebihnya berkerumun di pekarangan untuk menonton apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Dinas Pemadam Kebakaran sudah dihuungi?" tanya seorang wanita.

"Sudah saya telepon tadi," kata Jupe. "Mereka dalam perjalanan kemari."

"Lihat itu, Jupe," kata Pete.

Pada satu ujung bangunan berbentuk U itu ada sebuah pintu dengan tulisan HANY A UNTUK KARYAWAN. Asap mengepul ke luar lewat celah-celah pintu itu.

"Ya, memang dari situ asalnya," kata Jupe dengan cepat. "Semua mundur!"

Pete dan Bob sibuk kian kemari, meminta agar orang-orang menjauhi pintu itu.

Saat itu terdengar bunyi sirene mobil-mobil pemadam kebakaran yang datang.

"Ada apa ini?" kata seorang pria botak bertubuh kecil yang memakai mantel mandi yang sudah usang. "Saya manajer hotel." Tangannya yang satu menenteng alat pemadam api, sedang di tangannya yang lain ada seberkas anak kunci.

"Nampaknya kebakarannya dalam ruangan di balik pintu itu," kata Jupe, lalu berteriak melihat manajer hotel hendak membuka pintu ruangan itu, "Tunggu! Jangan dibuka!"

Terlambat! Sementara itu anak kunci sudah diputar, dan pintu terbuka. Api langsung menyambar ke luar. Manajer hotel itu terhuyung mundur. Alat pemadam api terlepas dari pegangannya. Ia mengangkat kedua lengannya untuk melindungi muka. Anak-anak merasakan pukulan hawa yang panasnya luar biasa.

Pete lari untuk menolong manajer hotel, sementara Bob menyambar alat pemadam api. Alat itu dijungkirkannya, lalu disemprotkannya cairan berbusa ke kobaran api di dalam ruangan sempit itu.

Dua mobil pemadam kebakaran tiba di depan hotel. Para petugas lari menghampiri sambil berseru-seru. Bob didorong ke samping. Seorang petugas pemadam kebakaran mengarahkan selang yang dibawanya dari mobil ke arah api. Semprotan air yang sangat kuat menyembur ke api yang langsung padam. Lengkingan sirene tanda kebakaran berhenti. Yang nampak dalam ruang gudang yang sempit hanya sejumlah sapu dan alat untuk mengepel yang hangus, sebuah ember plastik yang sudah tidak tentu lagi bentuknya, serta setumpuk kain bekas yang hangus dan basah di lantai.

Seorang petugas pemadam kebakaran masuk ke dalam ruang itu. Ia memperhatikan tumpukan yang basah di lantai dengan kening berkerut, lalu menendangnya. Diambilnya selembar kain dari tumpukan itu dan dibauinya.

"Sejenis minyak," katanya. "Baunya seperti terpentin. Anda habis mengecat?"

Pertanyaan itu ditujukannya kepada manajer hotel, yang alisnya terbakar sebelah.

"Tidak!" kata manajer itu sambil mendekapkan kedua tangannya seperti hendak berdoa. "Tidak ada cat di sini sejak berminggu-minggu - bahkan beberapa bulan belakangan!"

Petugas pemadam kebakaran itu mengendus lagi. "Minyak untuk menggosok mebel?"

"Tidak mungkin!" kata manajer hotel. "Maksudku, takkan kubiarkan saja jika ada pegawai membiarkan kain lap berminyak tergeletak sembarangan."

-"Tapi baunya ini," kata petugas pemadam kebakaran Dijatuhkannya lap yang hitam karena hangus itu ke lantai.

Mr. Peck, yang berdiri tidak jauh dari situ mendengus.

"Masalah begini takkan timbul jika Anda memakai Furglow," katanya dengan nada menyalahkan.

"Furglow?" kata Bob tidak mengerti.

"Itu salah satu produk hasil penemuan Kakek," kata Pete menjelaskan. "Lap khusus yang sudah diberi bahan pengilap. Sesudah dipakai sekali langsung dibuang."

"Aku menjual ide itu kepada salah satu perusahaan sabun, tapi mereka menaruhnya dalam salah satu lemari besi mereka lalu melupakannya!" kata Mr. Peck dengan sebal, lalu kembali ke kamarnya. Tapi begitu masuk, langsung terdengar suaranya berteriak seperti ada yang menggigit.

"Maling! Bajingan!" teriaknya. "Pete! Jupiter! Bob! Cepat kemari!"

Ketiga anak itu datang.

"Periksa kamar kalian, cepat!" seru Mr. Peck. Ia berdiri di ambang pintu kamarnya sambil menatap ranjangnya dengan marah. Ranjang itu berantakan. Kasurnya dilipat dengan paksa, dan selimut-selimut dicampakkan ke lantai. Pakaian Mr. Peck berserakan. Sisir, alat cukur, sabun, dan lain-lainnya yang disimpan dalam tas kecil ditumpahkan di atas meja dekat tempat tidur.

-Jupe tertegun sesaat. Ia hanya bisa melongo. Tapi kemudian ia pergi memeriksa ke kamar mandi. Di atas bak mandi, pada dinding belakang bangunan itu, ada jendela yang tinggi letaknya. Jendela itu terbuka. Di pinggir bak nampak jejak sepatu.

Jupe naik ke pinggir bak itu lalu memperhatikan kancing jendela. Kelihatan catnya terkelupas sedikit.

"Ada orang membuka kancing jendela itu lalu masuk lewat sini," katanya kepada Mr. Peck. "Mungkin keluarnya lewat sini pula, atau bisa juga lewat pintu. Gampang baginya untuk meloloskan diri tanpa ketahuan, di tengah-tengah keributan dan kepulan asap kebakaran tadi."

Bob datang berlari-lari dari kamar sebelah. "He, teman-teman, kalian tahu apa yang terjadi?" "Ya," kata Pete. "Ada orang masuk ke kamar kita dan mengobrak-abrik di situ."

Bob mengangguk. "Betul. Tapi kelihatannya tidak ada yang hilang."

"Itu pasti Snabel!" seru Mr. Peck. "Ia berhasil melacak jejak kita sampai ke sini!"

"Mana mungkin, Kakek?" kata Pete. "Katakanlah Lincoln yang kita lihat berhenti di pinggir jalan kemarin itu mobilnya, tapi sejak itu kita kan tidak melihatnya lagi. Bagaimana mungkin ia bisa tahu bahwa kita ada di sini?" "Mungkin saja ia. terus membuntuti, tapi kita saja yang tidak menyadarinya," kata Mr. Peck berkeras. "Bisa saja Lincoln itu mobil sewaan yang sementara itu sudah dikembalikan olehnya, dan ia sekarang memakai mobil lain"

Jupe teringat bahwa malam sebelumnya ia melihat ada mobil besar keluar dari pekarangan hotel tempat mereka menginap di Longview. Tapi ia diam saja, karena dirasakannya bahwa itu hanya menyebabkan Mr. Peck semakin marah saja.

Pete memperhatikan keadaan kamar yang porak-poranda. "Apakah Kakek tidak perlu meriksa apakah ia berhasil mengambil hasil penemuan Kakek?"

"Tidak," kata Mr. Peck. "Ia takkan mungkin bisa mengambilnya."

Mr. Peck keluar lagi dari kamarnya, diikuti oleh anak-anak.

Sejumlah tamu hotel masih berdiri di pekarangan, memperhatikan manajer hotel yang sibuk sendiri. Kedua mobil pemadam kebakaran menunggu di jalan dengan mesin menyala, sementara sebuah mobil patroli polisi diparkir di jalan masuk ke pekarangan. Lampu tandanya yang dipasang di atap menyala berputar-putar, menyebabkan sinar berwarna merah bergerak menyapu bagian depan bangunan hotel.

Mr. Peck melangkah dengan sikap pasti, menghampiri polisi yang berdiri di ambang pintu ruang gudang sambil berembuk dengan salah seorang petugas pemadam kebakaran.

"Anda tidak perlu menduga-duga lebih jauh," kata Mr. Peck pada kedua petugas itu. ’’kebakaran tadi disengaja." •

-Kedua petugas itu memandang Mr Peck dengan sikap heran bercampur curiga.

"Anda tahu sesuatu mengenainya?" tanya petugas pemadam kebakaran. "Itu sudah jelas!" jawab Mr. Peck mantap.

Pete mengeluh. "Nah, mulai lagi kita sekarang," katanya pada Jupe.

"Ini perbuatan Ed Snabel," kata Mr Peck. "Ia melakukannya supaya bisa masuk ke kamarku dia menggeledahnya. Aku baru saja melihat bahwa kamarku itu dan juga kamar yang ditempati anak-anak morat-marit karena digeledah habis-habisan. Orang itu benar-benar nekat. Ia tidak segan-segan membahayakan keselamatan orang banyak, asal tujuannya tercapai. Biar hotel ini terbakar habis, ia takkan bergeming sedikit pun!"

Manajer hotel menatap Mr. Peck dengan wajah berseri-seri, seolah-olah pria tua itu malaikat yang baru turun dari langit dengan menunggang awan putih. "Apa kubilang tadi!" serunya. "Sudah kukatakan, kami di sini tidak membiarkan ada lap berminyak tergeletak sembarangan. Kami punya peraturan ketat yang wajib ditaati para pegawai bagian kebersihan. Jadi kebakaran tadi bukan karena kecerobohan, melainkan disengaja!"

Polisi yang tadi bercakap-cakap dengan petugas pemadam kebakaran masuk ke dalam gudang lalu memandang dengan mata terpicing ke arah jendela yang terdapat di dinding belakang. Jendela itu serupa bentuknya dengan yang ada di -kamar mandi Mr. Peck. Keadaannya terbuka separuh, menggantung ke bawah. Kancingnya rusak, nampaknya karena dibuka secara paksa.

"Sudah berapa lama keadaannya seperti itu?" tanya polisi itu.

"Baru sekarang saya melihat terbuka -seperti itu," kata manajer hotel dengan pasti. "Semua selalu saya tutup rapi, dan apa pun yang rusak langsung saya suruh betulkan. Saya takkan membiarkan ada kancing jendela rusak. Satu sampai dua hari kemudian pasti sudah dibetulkan lagi!"

Polisi tadi berpaling pada Mr. Peck. "Sekarang saya ingin melihat kamar Anda," katanya.

Mr. Peck bergegas mengantarnya ke sana. Setelah itu anak-anak mendapat giliran memperhatikan keadaan kamar mereka.

Polisi itu sibuk mencatat. Rekannya yang selama itu menunggu di mobil patroli mendatangi kamar-kamar yang lain dan menanyai tamu-tamu yang sudah kembali ke kamar masing-masing. Setelah itu ia mendatangi rekannya untuk memberi tahu bahwa ternyata yang dimasuki orang dan digeledah hanya kedua kamar yang ditempati Mr. PecK dan anak-anak.

"Bisa- saja pelakunya hendak mencuri," kata polisi yang pertama, "tapi maling hotel, biasanya bukan begini cara kerjanya, dan - " "Ed Snabel yang melakukannya, kataku!"’ tukas Mr. Peck. "Ia membuntuti kami sejak dari Rocky Beach - "

"Rocky Beach?" kata polisi tadi.

-"Itu di California. Snabel itu sudah menunggu kami di Pismo Beach, dan setelah itu di Monterey. Besar kemungkinannya dia pula yang mengerahkan berandal-berandal bersepeda motor yang menyerang kami. Aku minta agar dia ditangkap. Orang itu berbahaya!"

"Yes, Sir," kata polisi itu untuk menenangkan Mr. Peck. Kemudian ia menyambung, "Tapi apa sebabnya ia membuntuti Anda? Kenapa kamar anda diobrak-abriknya? Apa yang dicarinya?"

"Hasil penemuanku," kata Mr. Peck.

"Oh?" kata polisi itu. "Penemuan apa?"

Air muka Mr. Peck langsung berubah, menjadi lega. "Itu - itu tidak bisa kukatakan pada Anda," katanya. "Sekarang ini belum bisa kuceritakan pada siapa pun juga."

"Begitu," kata polisi itu. ’’Yah, kalau begitu jika anda bisa mengatakan bagaimana rupa orang itu serta mobilnya, kami akan bisa - "

"Ia selama ini memakai mobil Lincoln, tapi besar kemungkinannya kini sudah berganti kendaraan," kata Mr. Peck. "Kenapa Anda masih mengoceh terus di sini? Nanti ia lolos!"

Polisi itu mengangguk sambil tersenyum menenangkan. Dicatatnya nama dan alamat rumah Mr. Peck serta anak-anak. Ia juga mencatat nomor mobil Lincoln yang diberikan Jupe padanya. Setelah itu ia dan rekannya kembali ke mobil patroli mereka.

"Dasar goblok!" tukas Mr. Peck dengan geram, sambil memandang mobil polisi yang meninggalkan pekarangan hotel. "Aku berani bertaruh, ia takkan berbuat apa-apa."

"Ia mengira kita ini gila," kata Pete. "Apa boleh buat, jika Snabel memang benar membuntuti, kita terpaksa menghadapinya sendiri!"

-Bab 10 PANIK DI TAMAN

-DUA hari kemudian. Mr. Peck dan anak-anak sudah melintasi negara bagian Idaho menuju Livingston di Montana, lalu dari situ ke Yellow­stone National Park, cagar alam di negara bagian Wyoming. Saat itu baru awal musim pariwisata, jadi lalu-lintas di jalan masih jarang. Di Yellow-Stone mereka melihat uap mengepul keluar dari retak-retak di tanah, dan mereka menonton air mendidih menyembur ke atas sampai berpuluh meter tingginya. Itulah yang dinamakan geiser. Mereka tercengang melihat kolam-kolam berisi lumpur menggelegak. Entah berapa banyak telaga dan air terjun yang indah-indah mereka lihat di itu. Begitu kagum mereka menyaksikan pesona alam di kawasan yang dulunya vulkanis itu, sampai lupa pada rongrongan yang mengganggu dalam perjalanan sebelumnya.

Tapi itu hanya untuk sementara. Ketika Pete berpaling ke belakang untuk memperhatikan jalan dalam taman itu, Bob mendesah karena tahu -bahwa Pete sudah siaga lagi, melihat-lihat tanda adanya musuh yang membuntuti.

"Sejak di Highway 5 setelah gagal melihat Gunung St. Helens kita tidak melihat apa-apa lagi yang mencurigakan," kata Bob.

Saat itulah Jupe memutuskan untuk berterus terang. Diceritakannya tentang mobil besar yang dilihatnya keluar dari pekarangan hotel di Longview.

"Tapi tentu saja aku sama sekali tidak bisa memastikan bahwa pengendaranya Mr. Snabel," katanya. .

"Mungkin saat ini dia sudah kembali berada di Rocky Beach, asyik menyirami bunga-bunga anggreknya," kata Bob. "Mungkin kebakaran di hotel itu perbuatan orang lain. Kita saja yang kebetulan menginap di situ saat seorang pencuri mendapat akal untuk sengaja menimbulkan kebakaran supaya ia bisa dengan leluasa merampok kamar-kamar dan -"

"Omong kosong!" tukas Mr. Peck. "Orang yang menggeledah kamarku dan kamar kalian bukan pencuri biasa. Tidak ada sesuatu yang diambil olehnya. Dompetku tetap ada di atas meja sebelan tempat tidur. Orang yang masuk itu tidak menyentuhnya. Kameramu juga tidak diambil olehnya."

"Itu memang tidak mungkin," kata Bob, "karena tertinggal dalam mobil. Saya lupa membawanya ke kamar malam itu." "

"Tapi uangku?" kata kakek Pete berkeras. Aku sudah sering membaca tentang para pencuri yang biasa beraksi di hotel-hotel. Mereka cepat sekali bisa mengetahui di mana uang disimpan. Dan mereka tidak biasa sengaja menyebabkan kebakaran untuk menimbulkan kekacauan. Bukan begitu cara kerja mereka."

Anak-anak kembali dirundung perasaan suram. Kegembiraan mereka setelah menyaksikan geiser menyembur langsung lenyap.

"Kita teruskan saja perjalanan kita," kata Mr. Peck. Ia sudah tegang lagi. "T empat ini terlalu sepi. Aku jadi gelisah karenanya."

Biasanya Pete akan mengomentari, "Ah, sudahlah, Kakek!" Tapi hari itu ia tidak begitu pasti jangan-jangan kakeknya benar.

Sorenya mereka singgah di sebuah kota kecil yang terletak di perbatasan antara Montana dan Wyoming. Setelah memasukkan koper- koper ke dua kamar di hotel yang didatangi, Mr. Peck pergi memarkir Buick-nya ke salah satu jalan samping di dekat situ. Setelah itu ia sebentar-sebentar pergi dari hotel ke tempat itu untuk melihat apakah mobilnya tidak diutik-utik orang.

"Dengan begitu tidak ada gunanya mobil kita di parkir di tempat lain, Kakek," kata Pete setelah kakeknya untuk kelima kalinya pergi melihat. "Jika Snabel benar-benar membuntuti kita, ada kemungkinan ia melihat Kakek mondar-mandir di sana. Lalu ia tinggal mengikuti Kakek kemari dan-brakk-kamar-kamar kita akan diobrak-abrik lagi."

-Komentar cucunya itu menyebabkan Mr. Peck dengan segera masuk ke kamarnya, dan tidak lama kemudian sudah terdengar dengkurannya di dalam. Sementara itu anak-anak masih bercakap-cakap sambil berbaring. Mereka membicarakan kebakaran yang terjadi Coeur d’Alene.

"Tidak mungkin Snabel yang melakukannya," kata Pete berkeras,

"kecuali jika ia punya indra keenam. Kalau ada mobil membuntuti kita, tidak peduli mobil macam apa, kita pasti tahu!" .

"Mungkin ia membuntuti lewat udara, naik helikopter," kata Bob.

"Dari mana ia bisa mendapat helikopter?" kata Pete sambil mendengus. "Lagi pula, helikopter kan berisik bunyinya! Masa kita tidak mendengar!"

Tiba-tiba Jupe menegakkan tubuhnya di tempat tidur. "Kita telepon dia!" katanya. "Kenapa selama ini tidak terpikir olehku ide ini? Kita menelepon ke rumahnya di Rocky Beach, dan jika ia menjawab kita akan tahu bahwa segala kejadian selama ini ternyata kebetulan saja, dan kita tidak perlu khawatir lagi tentang apa pun."

"Kau tahu nomor teleponnya?" tanya Bob.

"Tentu saja tidak, tapi kan bisa kutanyakan kepada bagian informasi - kecuali jika nomornya dirahasiakan. "

Jupe meraih pesawat telepon yang terletak di atas meja di sebelah ranjangnya. Semenit kemudian sudah terdengar dering pesawat telepon di rumah Edgar Snabel.

-"Ia pasti marah karena dibangunkan malam-malam begini," kata Bob.

"Waktu di Rocky Beach satu jam lebih lambat," kata Jupe mengingatkan. "Kita sekarang berada di wilayah waktu Rocky Mountain." Bob dan Pete mengangguk, karena baru ingat bahwa Amerika Serikat terbagi dalam lima wilayah waktu, di luar Alaska dan Hawaii.

Setelah pesawat itu berdering tiga kali terdengar bunyi seperti gagang diangkat. Jupe tidak mendengar apa-apa sesaat, lalu terdengar .lagi bunyi ketikan pelan.

"Di sini Ed Snabel," terdengar suara yang kentara merupakan rekaman. "Maaf, saya tidak bisa menjawab sekarang. Jika Anda menyebutkan nama Anda serta nomor telepon di mana Anda bisa dihubungi, begitu sempat saya akan segera menelepon Anda. Tunggu bunyi isyarat dulu, lalu sampaikan pesan Anda." Setelah itu terdengar bunyi "bip" yang sangat keras.

"Sialan," kata Jupe sambil meletakkan gagang telepon ke tempatnya. "Yang menjawab alat penjawab otomatis."

"Jadi kita sama saja tidak tahu pasti seperti sebelumnya," kata Pete.

"Kita bisa mencoba meneleponnya lagi besok pagi," kata Jupe. "Mungkin saat itu ia sendiri yang kan menjawab."

Tapi ketika dicobanya menelepon Snabel pukul delapan keesokan paginya, alat penjawab otomatis lagi yang terdengar. Karenanya anak- anak tidak mencoba lagi.

Ketika perjalanan dilanjutkan, mereka merasa capek dan lesu. Cuaca hari itu sangat cerah. Langit biru mulus, dengan gumpalan awan putih di sana-sini. Mereka melintasi negara bagian Wyoming, lewat daerah peternakan yang luas di mana nampak sapi-sapi yang sedang merumput.

Ketika sudah hampir sampai di kota Rapid City yang terletak di negara bagian North Dakota, tiba-tiba Mr. Peck mengatakan bahwa ia tidak mau suasana perjalanan pesiar itu dirusak oleh Sabel.

"Masa bodoh si Brengsek gendut itu, kita akan tetap bersenang- senang," katanya. "Kita datangi semua yang ingin kita lihat."

Anak-anak bersemangat kembali mendengarnya dan ketika sedang makan siang di Rapid City mereka sudah asyik tertawa-tawa lagi.

Setelah itu, dalam perjalanan ke selatan menuju obyek pariwisata Mount Rushmore, tidak sekali pun mereka menoleh ke belakang. Tapi Jupe melihat bahwa Mr. Peck masih saja melakukannya, lebih sering dari yang memang perlu demi keamanan lalu-lintas.

Jalan menuju tempat pengamatan pemandangan. di Mount Rushmore menanjak berkelok-kelok sejauh beberapa mil, lalu mendatar di tempat parkir di mana mobil mereka tinggalkan Mr. Peck dan anak-anak selanjutnya berjalan kaki jalan khusus yang lebar, di mana bendera- bendera dari kelima puluh negara bagian Amerika Serikat berkibar kena angin. Jalan khusus itu -landai, mendaki kira-kira seperempat mil dari tempat parkir sampai ke pelataran dari mana pandangan bisa dilayangkan ke seberang, ke arah wajah empat presiden Amerika Serikat yang ternama yang dipahatkan pada tebing gunung.

"Luar biasa!" kata Pete.

Jupe membaca dari buku panduan yang dibawanya. .

"Patung-patung kepala dari Washington. Jefferson, Lincoln, dan Theodore Roosevelt dibuat dengan pengarahan oleh mendiang Gutzon Borglum," katanya. "Masing-masing patung kepala itu tingginya enam puluh kaki, jadi hampir dua puluh meter."

Tiba-tiba Pete tertawa sendiri. "Mungkin sewaktu masih kecil ibunya mengatakan padanya agar cepat besar dan melakukan sesuatu yang benar-benar hebat supaya ibunya bisa merasa bangga terhadapnya."

"Aduh, pintarnya," kata seseorang di belakang anak-anak. Pete dan juga Mr. Peck menoleh ke arah suara itu.

"Cucu-cucu Anda?" tanya seorang wanita gemuk bercelana jeans yang terlalu ketat untuknya. Ia memandang Mr. Peck dengan wajah berseri- seri.

’’Ya, satu dari mereka," jawab Mr. Peck.

"Anak-anak memang sangat menyenangkan," kata wanita itu lagi dengan suara manis. "Ada-ada saja pikiran mereka yang orisinal dan segar!"

Mr. Peck memandang anak-anak, seakan mencari-cari tanda keorisinalan dan kesegaran pada mereka. Pete langsung merengut, sementara air muka Bob menjadi merah.

Jupiter yang paling tidak suka disebut anak-anak, menatap wanita gemuk itu dengan tajam. Menurut taksirannya, wanita itu umurnya pasti hampir enam puluh tahun. Ia memakai kemeja dengan bunga-bunga mawar berwarna merah jambu disulamkan pada bagian bahu. Ia juga memakai anting-anting merah jambu. Bahkan bibirnya pun dipoles dengan lipstik yang sewarna dengan bunga-bunga mawar sulaman itu. Sambil memamerkan senyuman yang olehnya sendiri pasti dianggap menawan, wanita itu mendekati Mr. Peck.

"Satu-satunya yang saya sesali," katanya dengan nada kecewa, "adalah bahwa saya tidak punya anak. Semua orang mengatakan, saya harus punya anak. 'Bessie,' kata mereka, ’kau itu pantas sekali menjadi Ibu.' Tapi biar begitu saya sudah cukup senang melihat anak-anak orang lain."

Mr. Peck berusaha mundur, karena melihat bahwa jarak antara dirinya dengan wanita itu baginya sudah terlalu dekat. Saat itu baru disadarinya bahwa lengannya dipegang oleh wanita itu. Ia - wanita itu, bukan Mr. Peck - memoles kuku-kukunya dengan warna merah jambu, serupa dengan lipstik yang dipoleskan ke bibirnya.

Pete melihat ke arlojinya lalu mendeham mengatakan, "Kita harus berangkat lagi, Kakek. Nenek menunggu kita di hotel."

Kebohongan itu ternyata manjur. Keriangan wanita itu langsung pupus. Dilepaskannya lengan Mr. Peck, sementara ia sendiri agak menjauh.

"Wah, saya tidak boleh menahan Anda," katanya. "Senang juga rasanya mengobrol sebentar." "Ya, memang," kata Mr. Peck sambil tersenyum sopan, lalu beranjak ke arah tempat parkir. Anak-anak berjalan mengelilingi seperti pasukan pengawal.

Sesampai di tempat parkir mereka buru-buru masuk ke mobil, Mr. Peck menghidupkan mesin. Kendaraan itu menuruni lereng, lalu membelok di jalan yang menuju ke sebuah taman nasional lain yang tidak jauh dari situ letaknya, yaitu Custer State Park

"Bison-bison yang hidup di situ termasuk salah satu kumpulan yang paling besar di dunia," kata Jupe. "Aku sudah pernah melihat banteng- banteng Amerika itu, tapi di kebun binatang. Kalau di alam liar, belum pernah."

"Kalian akan bisa melihat mereka dalam lingkungan hidup yang asli," kata Mr. Peck. "He, Jupe, kau ini menelan buku panduan, ya, sebelum berangkat? Atau malam-malam menghafal isi halaman-halaman tertentu?"

"Jupe ini, otaknya seperti perangkap," kata Bob. "Kalau pernah mendengar atau membaca sesuatu, pasti takkan dilupakannya lagi."

"Aku kepingin bisa begitu juga," kata Mr. Peck. "Ada hari-hari saat mana namaku sendiri saja tak kuingat, apabila tidak tertera dalam SIM- ku."

"Itu mungkin karena Kakek selalu bergaul dengan kami, dan sibuk menyerap pikiran kami yang orisinal dan segar," kata Pete, "seperti dikatakan wanita tadi."

"Betul," kata Mr. Peck. "Dan jika kau masih mengoceh terus, nanti kuturunkan di pinggir jalan dan silakan berjalan kaki ke Custer."

Sementara mereka asyik berkelakar, mobil menuruni sebuah bukit lalu diperlambat jalannya ketika memasuki gerbang Custer State Park.

"Astaga," kata Mr. Peck, "apa lagi itu?" Ia menghentikan mobilnya.

Sekawanan keledai liar nampak menggerombol di pinggir jalan. Terdengar bunyi kuku mereka berketik-ketik di aspal ketika mereka menghampiri jendela-jendela Buick itu.

"Kurasa mereka ingin diberi makanan," kata Pete.

"Hebat!" kata Mr. Peck. "Kemungkinannya mereka sudah kecanduan makan jajanan yang tidak bergizi. Mudah-mudahan saja kawanan bison nanti juga tidak mengemis-ngemis."

Kekhawatirannya tidak menjadi kenyataan. Binatang-binatang bertubuh dan berkepala besar serta berbulu lebat itu merumput di tempat yang agak jauh dalam taman. Mereka tidak mengarahkan mobil yang dihentikan Mr. Peck di jalan.

"Dulu binatang ini begitu banyak jumlahnya sehingga dataran-dataran kelihatan hitam karenanya," kata Jupiter. "Perjalanan kereta api kadang-kadang terhambat sampai berjam-jam apabila ada kawanan yang menyeberangi rel."

"Dan kini kawanan itu boleh dibilang tinggal satu-satunya yang masih ada," kata Mr. Peck. "Itu bukti apa yang bisa terjadi jika manusia melampiaskan nafsu berburunya. "

Bob sibuk memotret. "Kalau bisa, aku ingin lebih dekat," katanya. "Dari jarak sejauh ini mereka kelihatannya seperti bongkah-bongkah batu besar di tengah rumput tinggi." "Jangan macam-macam," kata Pete. "Mereka terlalu berbahaya!"

"Betul," kata Mr. Peck. "Setiap tahun ada saja orang yang cedera kena tanduk, karena mencoba berpose dekat seekor bison. Mereka itu satwa liar, dan satwa liar selalu berbahaya jika didekati."

Mr. Peck menjalankan mobilnya lagi, lalu memarkir mobilnya di suatu tempat di pinggir jalan.

"Sudah cukup lama aku duduk terus di belakang setir," katanya. "Jadi perlu berjalan-jalan sedikit untuk melemaskan otot." Ia menuding ke arah jalan setapak yang mengarah ke lereng bukit yang ditumbuhi pohon pinus. "Ada yang merasa sanggup ikut untuk melihat ada apa di ujung jalan kecil itu?"

"Asal ujungnya tidak terlalu jauh," kata Bob.

Mr. Peck mengambil kunci starter. "Kau ikut?" tanyanya pada Jupiter.

"Tidak," jawab Jupiter. "Saya di sini saja, karena ada yang perlu saya. pikirkan:’

"Terserah," kata Mr. Peck sambil mengangkat bahu.

-Diikuti oleh Pete dan Bob, pria yang sudah berumur lanjut itu mulai menelusuri jalan setapak dan dalam beberapa menit sudah lenyap ke dalam hutan pinus yang lebat. Jupe turun dari mobil, lalu memasang telinga.

Didengarnya bunyi mobil datang. Jupe menunggu. Ia takkan terlalu heran jika yang datang itu mobil Lincoln berwarna kelabu. Tapi dugaannya ternyata keliru, karena yang muncul mobil kemping yang dikemudikan pria yang sudah agak berumur. Ketika lewat, orang itu melambai ke arah Jupe.

Jupe tersenyum, karena sadar bahwa ia terlalu dibayangi pikirannya sendiri. Tidak ada yang membuntuti. Jika Snabel membuntuti, mestinya ia harus menjaga jarak agar bisa melihat mereka walau tidak harus terus-menerus. Dan selama perjalanan mereka cukup waspada, namun selama beratus-ratus mil tidak melihat barang sesuatu yang mencurigakan.

Seekor burung berkicau sambil bertengger di pohon di atas Jupe, lalu terbang menjauh. Jupe mulai merasa bosan menunggu di tepi jalan. Tapi ia merasa perlu tinggal di situ untuk menjaga mobil, tapi kini disadarinya bahwa itu gagasan yang konyol. Ia harus bergegas, apabila masih hendak menyusul yang lain-lain.

Ia mulai melangkah di jalan setapak.

Tidak lama kemudian ia sudah sampai di tepi hutan pinus. Ketika ia menoleh ke belakan sewaktu sampai di belokan pertama dalam hutan itu, ternyata jalan tidak. kelihatan lagi. Tapi ia mendengar bunyi mesin mobil. Mobil itu berhenti lalu menyusul bunyi pintu dibuka dan ditutup lagi. Rupanya ada. orang memarkir mobilnya di pinggir jalan, dekat Buick mereka.

Jupe merasa bahwa napasnya bertambah cepat. Bulu tengkuknya meremang. Ia melangkah ke samping lalu memandang berkeliling. Didengarnya langkah orang yang menghentikan mobilnya dekat Buick itu memasuki jalan setapak. Rasa panik melanda Jupiter. Ia harus menyembunyikan diri!

Lereng bukit itu cukup gelap, karena rapatnya pohon-pohon pinus yang tumbuh di situ. Tapi tanah di situ lega, hanya sedikit belukarnya. Namun beberapa meter di samping kanan jalan setapak ada semak lebat yang tumbuh rendah. Jupe bergegas menghampiri semak itu lalu bersembunyi di dalamnya. Ia mengintip ke arah jalan setapak. .

Ia tidak bisa melihat muka orang yang datang itu, karena penglihatannya ke arah atas terhalang dedaunan. Tapi masih nampak sepasang kaki yang berjalan dengan langkah lamban. Didengarnya bunyi napas berat terengah-engah. Orang itu berhenti sambil menghadap ke arah depan. Jupe melihat bahwa ia memakai celana jeans dan sepatu santai berwarna coklat. Jupe menduga bahwa orang itu tidak biasa bergerak di alam terbuka. Sepatunya nampak baru, dan celana jeans-nya kelihatan masih kaku. Agak lama juga orang itu berhenti.

-Kenapa ia menunggu begitu lama di situ? Mungkin karena melihat sesuatu? Timbul kecemasan dalam hati Jupe, jangan-jangan ia tadi meninggalkan jejak ketika meninggalkan jalan setapak.

Jupe merasa pasti akan ketahuan. Jika orang itu berpaling ke kanan, pasti akan melihat Jupe dalam tempat persembunyiannya.

Tiba-tiba terdengar suara gemerisik ketika ada sesuatu lari dari suatu tempat di sebelah kiri jalan setapak. Orang itu berpaling ke arah itu, rupanya untuk melihat apa yang menimbulkan bunyi itu.

Saat itu juga Jupe yang semula menelungkup cepat -cepat mengangkat badannya lalu memandang lewat sisi atas semak.

Napasnya tersentak, melihat bahwa orang yang berdiri itu menggenggam pistol.

Terdengar suara orang berseru memanggil.

"Yuhuuu!"’

Orang yang berdiri di jalan setapak Itu memandang ke arah jalan tempat kedua mobil diparkir. Kini Jupe bisa melihat mukanya, yang ditudungi topi jerami bertepi lebar. Ternyata orang itu Snabel.

Jupe buru-buru merebahkan diri lagi. Keringat dinginnya mengucur. Ia menimbang-nimbang, bagaimana jika ia mencoba lari? Lebih baik jangan, katanya memutuskan dalam hati, karena Snabel pasti akan melihatnya jika ia meninggalkan tempatnya.

"Masih ingat saya? kata orang yang datang -dari arah jalan. Jupe meringis, karena mengenal suara itu. Itu Bessie, wanita yang mengajak Mr. Peck mengobrol ketika mereka sedang melihat-lihat pemandangan di pelataran yang menghadap ke Mount Rushmore.

"Saya sangka saya takkan bertemu lagi dengan Anda," kata wanita itu. "Sehabis makan tadi Anda tahu-tahu menghilang!"’

Tanpa melihat pun, Jupe merasa yakin bahwa Snabel tentu sudah buru- buru memasukkan pistolnya ke dalam kantung. Didengarnya Snabel mengatakan dengan suara bergumam bahwa ia tadi harus membeli bensin. Wanita itu menyatakan kegembiraannya bisa berjumpa lagi dengan Snabel, lalu menawarkan diri untuk menemaninya berjalan-jalan jika itu yang hendak dilakukan olehnya. Snabel menolak dengan ketus. Dikatakannya untuk hari itu ia sudah cukup banyak menghirup udara segar. Setelah itu ia berjalan kembali ke mobilnya, diikuti oleh wanita itu yang terus saja mengoceh.

Jupe mengangkat kepalanya dan memandang ke arah kedua orang yang pergi itu.

Wanita itu memegang lengan Snabel yang berjalan dengan sikap kaku seperti robot. Jupe menebak bahwa dalam hati Snabel pasti marah sekali karena tersusul wanita itu, yang kini kelihatannya akan terus membuntutinya.

Kedua orang itu lenyap dari penglihatan Jupe. Satu atau dua menit kemudian didengarnya bunyi mesin sebuah mobil dihidupkan, disusul oleh satu mobil lagi. Kedua kendaraan itu berangkat, meninggalkan tempat parkir.

Jupe duduk di atas sebuah batu, karena merasa lututnya lemas sekali. Tidak sabar rasanya menunggu Mr. Peck dan kedua temannya kembali karena ingin cepat-cepat memberi tahu apa yang baru saja dialaminya.

-Bab 11 GERAKAN YANG BERANI

-MR. PECK dan kedua anak yang menemaninya menemukan Jupe yang masih tetap duduk di tepi jalan setapak ketika mereka kembali setengah jam kemudian.

"Kau rugi, tidak ikut jalan-jalan tadi," kata Pete.

Kening Bob berkerut. "Tampangmu... aneh," katanya pada Jupe. "Pasti ada apa-apa tadi."

"Sama sekali tak kusangka ia akan mengejar kita dengan pistol," kata Jupe. Ia menggeleng-geleng. "Aku kaget sekali karenanya. Dan Mr. Peck, kami bertiga harus minta maaf pada Anda."

"O ya?" kata Mr. Peck dengan heran. "Untuk apa?"

"Snabel muncul di sini tadi," kata Jupiter, "dan ia membawa pistol. Selama ini, terus-terang saja saya tidak yakin tentang kecurigaan Anda. Tapi ternyata Anda benar. Ia memang membuntuti kita, dan jika bisa ia pasti tidak akan segan-segan mencelakakan kita."-

Ia lantas menceritakan pengalamannya melihat Snabel muncul di jalan setapak itu.

-Ketika ia selesai menuturkannya, Ben Peck terkekeh geli.

"Wah, rupanya wanita itu memang suka bergaul dengan orang-orang yang tak dikenalnya. Snabel pasti selama beberapa waktu disibukkan olehnya."

Pete menatap kakeknya, yang nampak sangat bergembira.

"Kejadian itu tidak lucu, Kek," katanya. "Bisa saja kita tadi ditembak oleh Snabel. Sekarang setelah kita mengetahuinya, mungkin kita sebaiknya memberi tahu polisi, atau sheriff, atau siapa saja yang harus dihubungi di sini."

Mr. Peck menggeleng. "Kalian ingat polisi pada waktu kebakaran di hotel itu, ketika kulaporkan padanya tentang Snabel? Ia menyangka aku ini sinting. Waktu itu kau sudah mengatakannya Pete, dan pendapatmu itu benar: apa pun yang terjadi, kita harus menghadapinya sendiri. Tapi sudahlah, janganlah urusan itu terlalu dipikirkan Kita teruskan saja perjalanan wisata kita!"

Ia menarik napas dalam-dalam, seperti baru untuk pertama kalinya menghirup hawa hutan. "Kurasa aku malah merasa lega karena kini sudah bisa tahu secara pasti," katanya. "Terus terang saja, aku sendiri sudah mulai bertanya-tanya dalam hati, jangan-jangan aku ini mulai pikun."

Pete dan Jupe saling berpandangan dengan sikap kaget, sementara Mr. Peck sudah berjalan lagi menuju mobilnya. Anak-anak mengikutinya.

Mereka kembali ke Rapid City di tengah ketemaraman senja, dan mendatangi sebuah hotel kecil untuk menginap di situ. Sesudah makan hamburger di rumah makan terdekat, mereka pulang ke hotel. Mr. Peck langsung tidur.

Jupe berbaring di ranjangnya. Ia menatap langit-langit. Dari kamar sebelah terdengar dengkuran keras kakek Pete.

"Bisa-bisanya dia itu," kata Jupe, setengah pada diri sendiri.

"Siapa maksudmu?" tal1¥a Pete. "Kakek, atau Snabel?"

"Snabel," kata Jupe. "Ia seolah-olah selalu saja bisa langsung menemukan kita, ke mana saja kita pergi. "

Pete dan Bob tidak menjawab, karena itu memang tidak mungkin bisa dijawab. Akhirnya ketiga anak itu tertidur.

Ketika berangkat lagi keesokan paginya. semua berada dalam keadaan tegang. Mereka mengawasi jalan di depan, dan berulang kali menoleh ke belakang. Setiap kali mampir di berbagai tempat untuk melihat-lihat pemandangan selama perjalanan menelusuri Badlands di negara bagian South Dakota, suatu kawasan gersang berbukit-bukit yang bentuknya mempesona, mereka tidak pernah pergi jauh-jauh meninggalkan mobil.

Cadas yang menjulang di mana-mana dengan bentuk seperti menara langsing, membuat perasaan Pete menjadi semakin tidak tenang. Ia merasa seperti berada di suatu kawasan asing, di mana mungkin saja Snabel tahu-tahu tersembul dari balik semak atau batu besar dan melepaskan tembakan.

"Apakah sebenarnya hasil penemuan Kakek yang diincar terus oleh Snabel?" tanya Pete. Mungkin sudah untuk keseratus kalinya ia menanyakannya sejak mereka berangkat.

"Pokoknya itu sangat penting," kata kakeknya dengan serius, "dan bagi kalian benar-benar lebih aman jika kalian tidak tahu."

Mereka melanjutkan perjalanan, lewat berbagai cadas yang macam- macam bentuknya. Akhirnya mereka sampai di suatu dataran yang penuh dengan lubang. Lubang-lubang itu dibuat oleh sejenis satwa liar yang wujudnya mirip tikus, tapi namanya prairie dog,.- anjing prairi. Lubang- lubang itu jalan masuk ke liang-liang tempat kediaman anjing-anjing gadungan itu. Anak-anak asyik mengamati binatang-binatang kecil itu yang berjemur di ambang liang atau sibuk lari kian kemari, dari lubang yang satu ke lubang lainnya.

Sesudah puas melihat-lihat di Badlands, belum sampai pukul sebelas siang, Mr. Peck mengarahkan Buick-nya kembali ke Interstate Highway dan menyusur jalan raya lintas-negara bagian itu menuju ke timur. Daerah yang dilalui kini benar-benar datar. Jalan nampak terbentang lurus di depan, bermil-mil jauhnya tanpa ada lekuk atau belokan yang berarti. Mereka melihat mobil-mobil di depan dan di belakang mereka, tapi tidak ada Lincoln di antaranya. Mr. Pec- memacu Buick-nya, menyusul mobil-mobil lain dan memperhatikan pengemudi setiap kendaraan yang dilewati.

Beberapa waktu kemudian Mr. PecK memperlambat mobilnya dan membiarkan kendaraan-kendaraan lain melewati. Tapi tidak satu pun dari pengemudi mobil-mobil itu Edgar Snabel.

"Aku tidak mengerti," kata Mr. Peck "Ia tidak ada di depan kita di jalan ini, dan di belakang pun tidak. Selama ini ia tidak menyusul kita dan kita Juga tidak melewati dia, tapi aku berani mempertaruhkan seluruh isi

dompetku bahwa ia nanti pasti tahu-tahu muncul lagi. Bagaimana mungkin hal itu terjadi?"

Pete yang selama itu memperhatikan jalan di belakang mereka, tiba-tiba berseru kaget. "Rombongan sepeda motor! Gila juga, jika itu gerombolan yang mengganggu kita di Crescent City!"

Mr. Peck memandang ke belakang lewat kaca spion. "Saat ini kita sudah jauh sekali dari Crescent City. Jadi tidak mungkin itu mereka, kecuali jika mereka hendak menghadiri rapat bajingan di salah satu tempat di Timur. Aku pernah mendengar, mereka itu pun biasa mengadakan rapat"

Rombongan sepeda motor itu berjalan membentuk barisan dua-dua. Mereka melaju dengan sikap duduk sangat tegak dan pandangan lurus ke depan. Penampilan mereka sama seramnya seperti kawanan yang di Crescent City, terbungkus pakaian kulit serba hitam yang dipasangi paku-paku. Dan mereka semakin menghampiri mobil Buick

-"Tidak bisakah kita lebih cepat lagi, Kakek?" kata Pete cemas

"Kita tidak lari dari siapa pun juga," kata Mr. Peck.

Bob nyengir sendiri. Kakek Pete banyak kekurangannya, tapi harus diakui bahwa ia berani dan bertekad.

"Tidak ada alasan untuk beranggapan bahwa para pengendara sepeda motor itu ada sangkut-pautnya dengan kita," kata Mr. Peck lagi. "Andaikan mereka memang yang kita lihat waktu itu di Crescent City, mereka pasti sudah lupa pada kita sekarang."

Anak-anak bisa mendengar derum mesin rombongan sepeda motor itu, dan mereka melihat pengendara-pengendara paling depan meliukkan kendaraan mereka ke kiri untuk menyusul Buick dan melewatinya.

"Aduh," kata Pete. "Itu tadi orang berbadan besar yang hendak menabrak Kakek di dermaga waktu itu."

Mr. Peck mendengus. "Mana mungkin kau bisa tahu dengan pasti? Jenggotnya begitu gondrong, sampai nyaris tidak seperti manusia tampangnya." -

Pengendara sepeda motor yang dibicarakan itu memalingkan muka untuk memandang ke arah Buick ketika melewatinya, dan malangnya Mr. Peck saat itu juga memandang ke arahnya.

Pandangan mereka beradu. Nampak mata pengendara sepeda motor itu membesar, dan ia berteriak karena kaget. Anak-anak melihat ia nyengir, lalu berseru pada teman-temannya sambil menuding ke arah Mr. Peck dan anak-anak.

"Nah, sekarang gawat," kata Bob.

Mr. Peck menekan pedal gas. Buick-nya meleset maju. Para pengendara yang ada di depan tidak menepi. Mereka terus saja berada di posisi semula sambil menatap lurus ke depan, seakan-akan menantang Mr. Peck untuk menubruk dari belakang.

"Mereka pasti yakin bahwa aku takkan menubruk, dan mereka benar," kata Mr. Peck getir. Ia menginjak rem untuk memperlambat mobilnya.

Ia memandang ke kiri, lalu menggerakkan Buick sedikit ke arah itu. Pengendara sepeda motor yang ada pada posisi sejajar beringsut ke tengah. Mr. Peck menggerakkan mobilnya sedikit ke kiri lagi, dan pengendara itu kembali mengalah dan menggeser posisi sepeda motornya. Terdengar teriakan-teriakan marah di sekeliling, tapi reaksi mereka terlambat. Buick yang dikemudikan oleh Mr. Peck sudah berada di jalur cepat, meninggalkan pengendara sepeda motor yang tidak berani merintangi gerakan pindah jalur tadi.

"Kalian lihat di depan itu?" Mr. Peck mengatakannya sambil menunjuk dengan anggukan kepala ke arah asap tebal yang mengepul dari sebuah padang rumput di pinggir jalan. Rupanya ada yang membakar rumput kering di situ, dan karena saat itu boleh dibilang tidak ada angin, asap rumput yang terbakar tetap mengambang dekat ke tanah, menyebabkan terhalangnya penglihatan di jalan. Beberapa detik lagi mereka akan masuk ke tengah asap tebal itu - begitu pula gerombolan pengendara sepeda motor yang berteriak-teriak marah di sekeliling mereka.

"Nanti kalau kita sudah masuk ke tengah asap itu, kalian berpegang kuat-kuat," kata Mr. Peck pada anak-anak. Tidak ada waktu lagi untuk memberi penjelasan lebih lanjut, karena detik berikutnya mobil diselubungi asap tebal sehingga jalan tidak kelihatan lagi. Gerombolan sepeda motor juga tidak nampak. Yang ada hanya keremangan asap kelabu yang bergerak-gerak.

Mr. Peck membanting setir ke kiri. Buick itu meleset keluar dari jalan raya. Sesaat terasa bahwa kendaraan besar itu melayang, lalu membentur tanah dan masuk ke selokan yang menjulur di tengah-tengah garis pemisah jalan Pete terpekik, karena menyangka mobil pasti terbalik. Tapi kendaraan itu berhasil dihentikan dengan selamat, dengan arah kembali menghadap ke barat.

Mr. Peck bernapas dalam-dalam. Persneling dipindahkan ke gigi satu, pedal gas ditekan dalam-dalam. Terasa bahwa ban berputar kencang, lalu kendaraan itu meloncat maju, tergelincir dan terlambung-lambung keluar dari selokan, melaju sepanjang jalur tengah menuju ke barat.

Mr. Peck menoleh ke belakang sewaktu mobilnya muncul dari asap yang menyelubungi. tidak ada mobil di jalur jalan yang menuju ke barat.

-"Nah, sekarang kita sikat!" seru Mr. Peck bersemangat sambil membanting setir ke kanan. Mobil terlambung sedikit ketika melewati pinggiran pembatas jalur, lalu bertambah laju meluncur di jalur kiri jalan yang mengarah ke barat.

"Hebat, Kakek!" seru Pete.

"Jangan terlalu cepat gembira," kata kakeknya. "Kunyuk-kunyuk itu pasti akan segera mengetahui apa yang kulakukan."

Di depan nampak mulut jalan keluar, dan Mr. Peck membelokkan Buick- nya memasuki jalan itu. Sesampai di ujung jalan keluar itu ia membelokkan kendaraannya dan menuju sebuah hutan kecil yang letaknya sekitar setengah mil dari situ.

"Kita lihat saja sekarang," katanya sambil membelokkan mobilnya keluar dari jalan dan masuk ke dalam hutan itu lalu berhenti di situ. Buick-nya kini tidak bisa dilihat lagi dari jalan raya.

"Mereka takkan mungkin bisa melihat kita di sini," katanya. "Mereka pasti memperhatikan jalan di depan mereka."

Bunyi napasnya terdengar lebih cepat dari biasanya. Tapi pria berumur lanjut itu tersenyum lebar sambil memperhatikan jalan raya.

Tidak sampai semenit kemudian gerombolan sepeda motor yang tadi nampak lagi. Mereka kembali melaju dalam barisan rapi, dan nampaknya sambil memacu kendaraan ke barat terus memperhatikan jalan di depan mereka.

"Orang-orang brengsek," kata Mr. Peck. "Kurasa kita masih akan berurusan lagi dengan mereka."

Gerombolan pengendara sepeda motor itu terus melaju dan berapa saat kemudian menghilang di kejauhan.

Tiba-tiba Jupe berseru sambil menuding. "Lihatlah - itu, di sana!"

Sebuah mobil Lincoln kelabu nampak melaju di jalan raya, menuju ke timur. Sedetik setelah Jupe berbicara, kendaraan itu nampak diperlambat jalannya.

"Benar-benar luar biasa," kata Mr. Peck.

"Bisa saja itu bukan Snabel," kata Bob. "Mungkin saja orang lain."

"Dan jika itu Snabel, kita bisa saja membiarkan dia di depan kita," kata Pete.

Tapi Lincoln itu minggir ke tepi jalan lalu berhenti, persis berseberangan dengan tempat Mr. Peck dan anak-anak bersembunyi sambil mengintai!

-Bab 12 NY ARIS SAJA!

LINCOLN itu menunggu di tepi jalan dengan lampu parkir berkelip-kelip.

"Lagi-lagi ia berhasil menemukan jejak kita!" tukas Mr. Peck. "Sialan!

Itu pasti Snabel, dan ia tahu kita ada di sini Tapi bagaimana caranya?"

Dari balik daun-daun pepohonan yang menutupi, anak-anak dan Mr. Peck melihat ada mobil patroli polisi muncul di jalan raya. Mobil itu berhenti di belakang Lincoln tadi dan seseorang berseragam polisi keluar dari dalamnya. Pintu Lincoln dibuka oleh pengendaranya yang ternyata memang Snabel. Dan ia kelihatan berbicara sebentar dengan polisi itu.

Kemudian mereka bersama-sama menghampiri bagian depan mobil Lincoln. Snabel membuka tutup kap dan membungkuk, seperti memperhatikan mesin.

"Ia berpura-pura," kata Jupe mengomentari, "seolah-olah mobilnya mogok."

Jupe turun dari Buick. "Oke," katanya. "Sementara Snabel sedang sibuk dengan polisi, kita periksa saja bagaimana ia bisa selalu menemukan jejak kita."

"Bagaimana caranya?"

"Di mobil ini mestinya ada salah satu alat yang mengirimkan isyarat," kata Jupe menjelaskan "Snabel menerima isyarat itu dan dengan demikian tahu di mana kita berada. Begitulah caranya ia bisa membuntuti kita tanpa pernah kelihatan oleh kita. Itu satu-satunya cara yang mungkin."

Mendengar penjelasan Jupe, dengan segera teman-temannya bergegas keluar dari mobil sementara Mr. Peck lari ke belakang dan membuka tutup tempat bagasi. Koper-koper dikeluarkan dan ditaruh di tanah. Jok belakang ditarik ke luar. Jupe merogoh-rogoh di bawah jok depan dan dasbor.

Akhirnya Bob yang menemukan benda yang dicari itu. Ia merangkak ke kolong mobil. Dan dilihatnya sebuah kotak plastik yang ukurannya sebesar sabun mandi, ditempelkan dengan pita perekat ke tangki bensin.

"Kurang ajar!" sergah Mr. Peck. Diambilnya batu untuk meremukkan alat pemberi isyarat itu.

"Jangan! Tunggu!" Jupe mengambil benda itu lalu berjingkat untuk menaruhnya di pangkal dahan sebatang pohon yang ada di dekatnya.

"Biar dia menunggu-nunggu terus sambil bertanya-tanya dalam hati selama beberapa waktu sementara kita lekas-lekas pergi dari sini."

Anak-anak bergegas memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Mr. Peck menghidupkan mesin, lalu Buick itu bergerak lagi. Tapi bukan kembali ke jalan raya, melainkan melintasi padang rumput ke arah utara.

Sementara mobil terus melaju, Bob menoleh ke belakang. Sampai lenyap dari penglihatan, nampak olehnya Snabel masih terus berbicara dengan polisi. Polisi itu menatap mobil Lincoln yang terbuka kap mesinnya sambil menggaruk-garuk kepala dengan sikap bingung.

Setelah beberapa lama, Mr. Peck membelokkan mobilnya masuk ke sebuah jalan -tanah yang dilapisi minyak. Di situ ia menuju kembali ke timur, melewati sejumlah desa pedalaman. Antara desa yang satu dan desa berikutnya terbentang padang rumput, di mana kadang-kadang nampak kawanan sapi dan kuda sedang merumput. Di Pierre, South Dakota, mereka menyeberangi Sungai Missouri. Setelah itu melalui lagi kota-kota kecil yang diselang-seling oleh padang rumput.

Malamnya mereka menginap di sebuah penginapan kecil di sebuah kota yang letaknya tidak sampai lima puluh mil dari perbatasan negara bagian Minnesota. Di penginapan itu ada garasi berkunci di mana Mr. Peck bisa menaruh mobilnya. Pemilik penginapan itu Mrs. Leonard. Wanita itu berpenampilan santai dan suka tersenyum. Ia berbicara terus tanpa henti, dan tanpa mengharapkan dijawab.

Mrs. Leonard menyajikan hidangan makan malam yang sangat enak rasanya. Keesokan paginya ia membuatkan sarapan petani yang asli bagi mereka. Selesai sarapan perjalanan dilanjutkan, di tengah suasana pedalaman berhawa nyaman.

Waktu melintasi negara bagian Minnesota, sebagian besar dari perjalanan dilakukan dengan menghindari jalan raya lintas-negara bagian. Interstate Highway baru dimasuki kembali ketika mereka sampai di Rochester, dan lewat jalan raya itu mereka melaju ke La Crosse, Wisconsin. Mr. Peck senang sekali kelihatannya.

"Masa bodoh Snabel, pokoknya kita ke La Crosse," katanya. "Mendiang nenek Pete dibesarkan di situ. Kota itu sangat menyenangkan."

"Karena alat pelacak- yang dipasangkan Snabel ke mobil sudah kita singkirkan, kita tidak perlu merasa khawatir lagi," kata Pete mengetengahkan.

"Snabel itu benar-benar licik," kata Mr. Peck. "Ia rupanya sudah siap untuk melakukan pekerjaan mata-mata secara profesional. Mungkin sudah sejak lama ia memasang alat-alat penyadap di sekitar rumahku. Pantas tahu begitu banyak tentang hal-hal yang bukan urusannya."

Kalau kata-kata itu diucapkan Mr. Peck beberapa waktu yang lalu, mungkin Jupe akan menanggapinya dengan perasaan sangsi. Tapi kini ia yakin bahwa pendapat kakek Pete itu pasti benar. Snabel memang jelas membuntuti terus - dan nampaknya ingin menguasai hasil penemuan Mr. Peck, apa pun juga wujud penemuan itu.

Dan di mana benda itu ditaruh? Jupe merasa heran. Mobil sudah sempat diperiksa dengan cermat, tapi tidak nampak adanya sesuatu yang luar biasa. Mungkinkah Mr. Peck mengantunginya? Atau bukan merupakan benda nyata, melainkan baru ada dalam otaknya? Mana mungkin Snabel bisa mencurinya jika begitu?

Dan untuk apa Snabel menemui orang berpenampilan anggun di dermaga nelayan di Monterey itu? Orang itu langsung menghilang, begitu timbul keributan di situ? Tapi ia kelihatannya sama sekali tidak menunjukkan minat pada Mr. Peck. Untuk apa ia datang menjumpai Snabel?

"Nah, itu dia!" seru Mr. Peck dengan tiba-tiba.

Saat itu Buick sedang melintasi jembatan yang terbentang di atas sungai yang lebar. Mr. Peck memberi tahu bahwa itulah Sungai Mississippi. Nampak tebing-tebing hijau menjulang di tepi air serta pulau-pulau kecil yang ditumbuhi pepohonan rimbun. Di seberang sungai nampak sebuah kota.

"Itu La Crosse," kata Mr. Peck. "Kita menginap di sana nanti."

Malamnya mereka makan di sebuah restoran yang terletak di tepi sungai. Anak-anak asyik memperhatikan burung layang-layang yang terbang menyambar-nyambar di atas air serta seekor bangau yang mengarungi tempat dangkal dekat salah satu pulau.

"Mestinya beginilah wajah Mississippi semasa kehidupan Mark Twain," kata Mr. Peck. "Kalian ingat ketika Tom Sawyer bersembunyi di sebuah -pulau bersama Huck? Mestinya pulaunya semacam yang nampak itu."

"Bisakah kita pesiar naik kapal roda buritan?’ tanya Bob bersemangat. "Di hotel ada poster dengan pengumuman bahwa ada acara pesiar dengan kapal model kuno itu, yang berangkat beberapa jam sekali dari tengah kota."

"Ayolah," kata Mr. Peck memutuskan.

Keesokan harinya pukul sebelas kurang seperempat mereka sudah siap di dermaga, menunggu saat naik ke La Crosse Queen. Kapal kecil yang digerakkan putaran roda berkisi-kisi yang terpasang pada bagian buritan itu berlayar bolak-balik dari ujung State Street ke pintu air yang letaknya sedikit ke sebelah hulu dari kota. Mr. Peck agak kecewa ketika mengetahui bahwa kapal itu digerakkan mesin disel, dan bukan mesin uap seperti zaman dulu. Tapi Pete langsung menjelaskan bahwa mesin disel tidak mungkin meledak hingga menyebabkan kapal tenggelam, sedangkan hal itu bisa terjadi pada mesin uap.

"Yah, pokoknya selama kapalnya masih benar-benar digerakkan roda besar yang di belakang," kata Mr. Peck.

Ia dan anak-anak bergegas naik ke kapal begitu mereka diizinkan. Mereka duduk di geladak atas. Dari situ mereka memandang kesibukan para pelancong lainnya yang meniti tangga dari dermaga. Mereka juga melihat orang-orang yang berolahraga lari berkeliling taman di pinggir sungai serta anak-anak yang bermain-main di rumput. Tapi Mr. Peck juga melihat sesuatu yang menyebabkan dia marah-marah lagi.

"Lihat!" serunya. "Lihat!"

Anak-anak memandang ke arah yang ditudingnya. Mr. Peck memarkir Buick-nya dekat dermaga, dan kini anak-anak melihat seorang laki-laki berdiri di belakang mobil itu sambil memperhatikannya dengan sikap menyelidik.

Jupe tersentak. Laki-laki itu orang berpenampilan anggun yang dijumpai Snabel di dermaga ketika di Monterey!

"Itu dia, kan?" kata Mr. Peck. "Dia itu yang dijumpai Snabel di Monterey. Akan kuhajar dia!"

Mr. Peck lari ke tangga yang menuju ke geladak bawah. Tapi dari arah itu berdatangan para pelancong yang ingin duduk di geladak atas.

Sementara itu mesin kapal sudah mulai berdegum-degum. Ketika Mr. Peck akhirnya sampai di geladak bawah, jarak antara kapal dan tepi dermaga sudah terlalu jauh. Kapal sudah berangkat.

*** -Baru lebih dari sejam kemudian La Crosse Qu-een kembali merapat ke dermaga. Mr. Peck dan anak-anak termasuk yang paling dulu turun. Mereka cepat-cepat lari ke Buick mereka.

Mobil itu tidak menampakkan tanda diutik-utik orang. Pete merangkak ke bawah kolong untuk memeriksa sebelah bawahnya. Bob dan Jupe -meneliti tempat bagasi setelah mengeluarkan koper-koper dari situ.

Mr. Peck meraba-raba di bawah dasbor dan mencari-cari di tempat mesin.

"Tidak ada apa-apa!" kata Mr. Peck kemudian. "Lalu apa yang dilakukan orang itu di sini tadi? Dan bagaimana cara mereka bisa menemukan jejak kita lagi? Padahal alat pelacak itu kan sudah kita singkirkan!"

"Mungkin mereka memang sudah menunggu di sini," kata Bob. Melihat yang lain-lainnya nampak tidak mengerti, ia menyambung, "Maksudku, jika aku berniat menemukan orang yang sedang mengadakan perjalanan lintas-benua, akan kudatangi tempat-tempat yang biasa dikunjungi para wisatawan, lalu menunggu di situ. Di La Crosse sini akan kuamat-amati dermaga kapal roda buritan, karena mungkin saja orang yang kucari itu hendak pesiar dengannya."

Mr. Peck mengangguk. "Ya, mungkin begitu cara mereka. Kau ini cerdas, Bob. Kalian semua cerdas-cerdas. " "Mungkin sebaiknya kita lekas-lekas saja pergi dari sini," kata Bob, "dan mulai sekarang jangan mendatangi tempat-tempat pariwisata. Jika kita jauhi jalan raya, kita takkan mengalami kesulitan lagi."

"Baiklah," kata Mr. Peck. "Mulai sekarang kita jangan mampir-mampir lagi kecuali untuk menginap. Jika nanti sudah tiba di New York, akan berakhirlah segala urusan ini. Di sana Snabel takkan bisa apa-apa lagi.".

-Dalam waktu lima belas menit mereka sudah meninggalkan La Crosse dan meluncur ke arah tenggara lewat jalan-jalan daerah. Malam itu mereka menginap di pinggiran kota Rockford, Illinois.

Keesokan paginya mereka memasuki kota Chicago, di mana Mr. Peck membawa anak-anak lewat Lake Shore Drive sebentar, menyusuri rumah-rumah dan bangunan-bangunan apartemen mewah yang berjajar di sepanjang jalan besar di tepi Danau Michigan itu. "Kini kalian bisa mengatakan sudah pernah kemari," kata Mr. Peck.

Siangnya mereka makan di restoran yang terdapat di puncak salah satu gedung tinggi di kota itu, dan setelah itu perjalanan diteruskan melintasi negara bagian Indiana.

Malamnya mereka menginap di Sturgis, Michigan, sedikit di sebelah utara jalan raya lintas-negara yang melewati Indiana. Di situ Bob meninggalkan teman-temannya sebentar, karena hendak membeli film baru. Bekal film yang dibawa sudah terpakai semua. Toko alat-alat foto yang ada di jalan besar sudah tutup. Jadi ia terpaksa masuk ke pusat perbelanjaan yang terdekat. .

Ia pergi ke suatu tempat pada salah satu sisi pusat perbelanjaan itu, di mana dijual film. Ia membeli dua rol, lalu melangkah ke arah pintu keluar. Tapi tahu-tahu ia dihadang seseorang.

Bob terkejut, karena ternyata orang itu pria berpenampilan anggun yang dilihatnya bersama Snabel di Monterey. Sesaat ia merasa seperti lumpuh, tidak bisa bicara maupun bergerak.

"Kau tidak membawanya," kata orang itu. Nada suaranya datar. Air mukanya pun kaku. "Baiklah, kalau begitu kita ambil saja."

Dicengkeramnya lengan Bob. "Ayo ikut." Ia tersenyum sekilas.

Bob berusaha membebaskan diri, tapi tidak bisa. Cengkeraman orang itu keras sekali. Kini pria asing itu melangkah menuju pintu keluar, sambil menarik Bob. Pintu terbuka secara otomatis ketika mereka menghampirinya. Di luar pintu itu terdapat pelataran parkir, dan setelah itu...

Berbagai pikiran melintas dengan cepat dalam benak Bob. Orang asing berpakaian rapi itu pasti kawan Mr. Snabel. Mereka akan menahannya sampai mereka memperoleh apa yang diinginkan selama itu, yaitu penemuan Mr. Peck. Bagaimana jika kakek Pete yang keras kepala itu menolak, tidak mau menyerahkannya? Bagaimana jika...?

Bob berteriak sambil berusaha bertahan. Dekat pintu ada alat otomatis penyedia air minum. Bob menyentakkan tubuhnya ke arah alat itu lalu berpegang kuat-kuat ke situ. Tangannya memegang tombol yang harus ditekan agar air keluar. Air yang sejuk menyembur ke mukanya dan membasahi leher serta kemeja, tapi ia terus berpegang erat-erat sambil berteriak-teriak.

"Ayolah, Nak," kata pria tak dikenal itu, "jangan suka macam-macam."

Orang itu berbicara dengan suara mantap, -seperti seorang ayah yang memarahi anaknya yang bandel. .

Tahu-tahu pegawai toko yang melayani Bob tadi sudah berdiri dekat mereka berdua.

"Ada kesulitan?" katanya.

"Ah, tidak," kata pria asing itu. Sambil terus mencengkeram lengan Bob, ia berusaha melepaskan tangan anak itu yang berpegang pada alat penyedia air minum. "Anak saya ini... yah... dia..."

"Penculik!" teriak Bob dengan suara serak. Ia menggeser sedikit, sehingga mukanya tidak lagi kena semburan air. "Penjahat! Panggil polisi! Orang ini bukan ayahku. Aku belum pernah melihatnya seumur hidup!"

Orang-orang yang sedang berbelanja di situ mulai datang mengerumuni. Lalu datang seorang pegawai toko lagi, yang memakai jaket merah.

"Charlie," kata pegawai yang pertama pada rekannya yang baru datang, "tolong teleponkan Henry Parsons di kantor sheriff, ya? Kita memerlukan bantuannya untuk menangani urusan ini."

"Untuk apa?!" tukas pria asing berpakaian rapi itu. "Maksud saya, saya tidak ingin... polisi tidak perlu dibawa-bawa. Anak saya ini belum pernah melanggar undang-undang, dan saya perlu bertindak tegas agar itu tidak sampai terjadi." Ia memelankan suaranya. "Anak saya ini mencoba-coba mengisap ganja dan... mungkin juga mencoba yang lebih berat, dan saya perlu bertindak tegas sebelum - "

"Orang ini bukan ayah saya!" kata Bob memotong. "Bahkan nama saya saja dia tidak tahu!"

-Pegawai yang tadi melayani Bob sewaktu membeli film memandang pria berpakaian rapi itu sambil mengangkat alis, bertanya tanpa mengatakan apa-apa.

"Tanya saja padanya!"’ desak Bob. "Suruh dia mengatakan siapa nama saya. Pasti dia tidak tahu." ..

Orang asing itu hanya tersenyum saja. "Anak saya Ralph ini memang sangat keras kepala. Kami semuanya memang berwatak begitu."

Bob melepaskan tombol yang selama itu dipegang, lalu mengambil dompet dari kantungnya dan menyodorkannya pada pegawai pusat perbelanjaan. "Di dalam ada kartu pelajar saya katanya. "Di kartu itu ada foto saya."

Sementara pegawai yang disodori dompet itu membukanya, pria berpenampilan anggun itu cepat-cepat pergi lewat pintu keluar.

-Bab 13 PETE NGEBUT

-BOB duduk di sebuah ruangan kecil yang pengap di belakang bagian penjualan produk susu di pusat perbelanjaan itu. Ia sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pembantu sheriff padanya. Agak repot juga meyakinkan petugas itu.

"Tapi untuk apa kalian dibuntuti terus sejak dari California?" tanya pembantu sheriff.

"Kata Mr. Peck, karena kawanan orang ini ingin merampas hasil penemuannya," kata Bob. "Saya rasa katanya itu benar."

Bob menjelaskan bahwa Mr. Peck itu kakek temannya, Pete. Lalu ia diminta mengatakan apa saja hasil penemuan Mr. Peck yang diketahuinya begitu pula apa sebabnya kakek Pete itu tidak mau mengatakan apa-apa pada anak-anak tentang penemuan pentingnya yang hendak dijualnya di New York.

"Menurut Mr. Peck: ia khawatir nanti keselamatan kami terancam jika terlalu banyak tahu mengenainya," kata Bob.

-"Dan itu-nyaris saja terjadi tadi," kata petugas kepolisian daerah itu.

Bob mengangguk. Setelah itu ia diantar oleh pembantu sheriff kembali ke hotel.

Mr. Peck marah-marah ketika mendengar apa yang hampir saja terjadi dengan Bob. Walau ia dengan tandas menolak untuk menceritakan perihal hasil penemuannya kepada pembantu sheriff, ia dengan senang hati menuturkan peristiwa pengejaran yang terjadi sejak dari Rocky Beach. Tidak ada yang tidak diceritakannya kebakaran di hotel tempat mereka menginap di Coeur d’Alene, tentang alat pelacak yang dipasangkan pada tangki bensin, begitu pula kenyataan bahwa pria berpenampilan rapi yang pertama kali dilihat di Monterey kemudian nampak berkeliaran dekat Buick sewaktu di La Crosse.

Ketika Mr. Peck mulai dengan penuturannya pembantu sheriff bersikap sopan dan penuh minat. Tapi ketika ia akhirnya selesai, nampak jelas bahwa petugas kepolisian daerah itu tidak mempercayainya.

"Ya, ya," kata petugas itu. "Jadi cuma itu saja!"

"Apakah itu belum cukup?" tukas Mr. Peck

"Baik! ini lebih dari cukup," kata pembantu sheriff.

Jupiter teringat lagi pada nomor mobil yang dilihatnya dekat Gunung St. Helens, lalu diberikannya pada petugas kepolisian itu yang mencatatnya. Setelah Mr. Peck dan Bob menandatangani catatan laporan mereka, petugas kepolisian itu pergi.

-"Mereka takkan berhasil menangkap kedua bandit itu," kata Mr. Peck mengomentari kepergian pembantu sheriff. "Mereka pasti sudah jauh sekarang."

Anak-anak tidak membantahnya.

Kemudian, ketika anak-anak sudah masuk ke tempat tidur, Jupe mengatakan, "Ada sesuatu yang tidak logis dalam persoalan ini."

Pete mengeluh, karena sebenarnya sudah ingin lekas-lekas tidur.

"Apa maksudmu, Jupe?" tanya Bob.

"Untuk apa kawan Snabel itu hendak menculikmu, Bob?"

"Agar dengan begitu bisa memperoleh hasil penemuan Mr. Peck," jawab Bob.

"Bukan begitu maksudku," kata Jupe menjelaskan. "Kenapa justru kau yang hendak diculiknya, dan bukan Mr. Peck atau salah seorang dari kami."

"Wah, tidak tahu ya," kata Bob. "Barangkali karena aku tadi sedang seorang diri."

"Mungkin karena Bob memiliki daya pesona," sela Pete.

Jawaban iseng itu tidak diacuhkan oleh Jupe. Ia melanjutkan sambil merenung, "Dan orang itu mengatakan, ’Kau tidak membawanya'. Selama ini kita beranggapan bahwa yang dimaksudkannya itu hasil penemuan Mr. Peck, karena itulah yang ada dalam pikiran kita. Tapi pada hakikatnya, yang dimaksudkan olehnya itu bisa apa saja." -"He, Jupe," kata Bob memelas, "bagaimana jika urusan ini besok saja kita teruskan? Aku sudah capek sekali."

"Aku juga," kata Pete. "Kita ini katanya kan sedang berlibur." . .

Tampang Jupe langsung masam, tapi ia mengatakan, "Baiklah."

Tidak lama kemudian hanya dengkuran keras di kamar sebelah saja yang masih terdengar.

*** -Keesokan paginya, sebelum matahari terbit mereka sudah berangkat lagi. Perjalanan kini berubah sifatnya, menjadi pelarian. Mereka tidak lagi memilih lewat jalan-jalan daerah, karena tidak peduli jalan mana yang ditempuh, musuh kelihatannya selalu saja berhasil menemukan jejak mereka. Karenanya mereka mengambil jalan raya lintas-negara, di mana setidak-tidaknya banyak kendaraan lalu-lalang. Jika Snabel dan kawannya mencoba melakukan sesuatu dengan kekerasan - misalnya saja mendesak mobil Mr. Peck sehingga keluar dari jalan - bisa dipastikan bahwa dengan segera akan ada yang datang menolong.

Buick yang disetir oleh Mr. Peck melaju terus melintasi wilayah Indiana dan kemudian Ohio. Menjelang petang, Mr. Peck sudah capek sekali. Seluruh tubuhnya terasa kaku dan pegal. Ia marah-marah pada dirinya sendiri, karena dianggapnya panik dikejar-kejar oleh Snabel. Kejengkelannya tidak bisa ditahan lagi olehnya sewaktu mereka sudah memasuki negara bagian Pennsylvania. Dibelokkannya Buick meninggalkan jalan raya, lalu singgah untuk menginap di sebuah hotel kecil yang tidak sampai dua ratus meter letaknya dari jalan yang baru saja ditinggalkan.

"Sana, pergilah berenang, atau nonton televisi, atau apa saja," katanya pada anak-anak. "Aku hendak membeli bensin sebentar."

"Kami ikut, Kakek," kata Pete dengan cepat.

"Aku belum memerlukan. penjaga!".bentak Mr. Peck. "Tidak jauh di jalan ini ada pompa bensin. Sebentar lagi aku kembali."

Setelah itu ia langsung berangkat. Anak-anak masuk ke kamar mereka lalu menghidupkan pesawat televisi. Tapi perasaan mereka terlalu gelisah saat itu, sehingga tidak bisa mengikuti acara yang sedang ditayangkan. Mereka menunggu Mr. Peck kembali.

Dua puluh menit sudah berlalu, dan kemudian setengah jam.

"Kakek pasti mengalami sesuatu," kata Pete.

Jupe mondar-mandir dalam kamar, sementara Bob memandang ke luar jendela. Hotel tempat mereka menginap itu terletak di daerah pinggiran sebuah kota kecil. Bob bisa melihat cahaya lampu-lampu di kota itu di balik pepohonan.

"Mungkin ketika sedang mengisi bensin teringat olehnya bahwa ia memerlukan sesuatu, lalu pergi ke kota untuk membelinya," kata Bob.

"Atau bisa juga harga bensin di pompa yang didatanginya dianggapnya terlalu mahal, dan karenanya ia mencari pompa bensin lain," kata Jupe.

Lima bel as menit kemudian anak-anak tidak sanggup lagi menunggu lebih lama. Mereka mengenakan jaket mereka lalu pergi menyusul.

Mr. Peck tidak ada di pompa bensin yang terdekat. Pegawai di situ mengatakan bahwa Mr Peck tidak mampir. "Kalau ada mobil dari

California, pasti aku melihatnya," kata orang itu. "Meski tempat ini dekat dengan jalan raya lintas-negara kami jarang disinggahi kendaraan yang datang dari sebegitu jauh."

Anak-anak meneruskan pencarian, sementara hari semakin gelap. Mr. Peck juga tidak ada di pompa bensin berikut yang didatangi. Pompa bensin ketiga letaknya di sudut jalan. Pegawai yang bekerja di situ hanya beberapa tahun saja lebih tua daripada Jupe dan kedua kawannya. Ia ingat ada seorang laki-laki tua naik mobil Buick mampir untuk membeli bensin di situ.

"Setengah jam yang lalu, paling sedikit," kata remaja itu. "Orang tua itu mengisi bensin sementara aku memeriksa minyak dan air pendingin untuknya serta ban-ban."

"Kau ingat ke arah mana ia pergi setelah itu," tanya Pete cepat-cepat.

"Kembali ke arah sana," kata remaja pegawai pompa bensin itu sambil menggerakkan tangannya ke arah hotel. "Aku tidak tahu apakah ia terus saja atau tidak, karena saat itu ada dua orang datang naik sepeda motor dan aku lantas sibuk melayani mereka."

"Sepeda motor?" kata Pete dengan- cepat.

Jupe merasa kecut, karena mendapat firasat buruk. "Mereka berberapa, katamu tadi?" tanyanya.

"Berdua. Kenapa?’ tanya pegawai pompa bensin.

"Kami... kami mengalami keributan dengan serombongan pengendara sepeda motor di barat, beberapa waktu yang lalu," kata Jupiter. "Mungkin saja kedua orang yang datang kemari tadi bukan dari rombongan yang sama, tapi kaulihat ke arah mana mereka kemudian pergi?"

"Juga ke sana," kata pegawai pompa bensin sambil menuding ke arah hotel. "Mereka bertanya, di mana tempat yang enak untuk berkemah, kujawab, di tempat piknik dekat hutan, dekat Parson’s Woods. He, jika menurut kalian ada sesuatu yang terjadi dengan orang tua itu dan kejadian itu ada hubungannya dengan kedua pengendara sepeda motor tadi, aku bisa... aku bisa memanggilkan polisi."

Tawaran itu ditanggapi anak-anak dengan sikap dingin. Pete membayangkan sifat kakeknya yang gampang sekali marah. Dan malam itu Mr. Peck sudah nyaris meledak karena jengkel. Jika ia merasa bahwa anak-anak khawatir tanpa alasan, bisa-bisa ia mengamuk nanti.

"Terima kasih," kata Pete. "Tapi itu nanti sajalah, kalau ternyata memang perlu."

"Di mana tempat piknik yang kaukatakan itu?" tanya Bob

-Remaja yang bekerja di pompa bensin itu mengatakan bahwa letaknya tidak sampai setengah mil dari situ. Diambilnya buku kuitansi dari kantor lalu dibuatkannya peta sebagai petunjuk di bagian belakang salah satu halaman buku itu. Anak-anak mengucapkan terima kasih lalu berjalan kembali ke arah hotel. Bob memegang peta yang dibuatkan remaja pegawai pompa bensin tadi.

Mereka menempuh jalan yang dilewati sewaktu datang tadi. Sebelum sampai di hotel ada jalan lain di sebelah kiri. Mereka mengambil jalan itu menuruti petunjuk dalam peta. Kemudian mereka, sampai di jalan lain yang tidak ada rumah atau toko-toko di pinggirnya. Lampu jalan jarang- jarang letaknya. Akhirnya itu pun tidak ada lagi.

Langkah anak-anak diterangi sinar temaram bulan yang baru terbit. Tapi setelah beberapa lama berjalan, nampak cahaya terang lagi. Ada api unggun di sebuah tempat terbuka di sebelah kiri jalan. Anak-anak melihat dua orang laki-laki bergerak mondar-mandir diterangi nyala api unggun yang bergerak-gerak. Jupe mengajak Bob dan Pete terus berjalan, dan sesaat kemudian mereka melihat Buick yang diparkir tidak jauh dari api di belakang mobil dan api kelihatan Mr. Peck yang duduk membungkuk di bangku piknik, membelakangi meja yang terbuat dari kayu. Ia menatap kedua lelaki yang mondar-mandir antara tempat dia duduk dan mobil Buick. Air muka. Mr. Peck nampak kaku. .

-"Mereka pengendara sepeda motor yang waktu itu juga," bisik Pete. "Mereka berhasil meringkus Kakek!"

"Ssst!" desis Jupiter menyuruhnya diam.

Dari jalan tempat anak-anak berada ke tempat piknik ada jalan tanah. Anak-anak menyelinap lewat jalan itu, sampai Bob nyaris saja terjungkal karena menubruk kedua sepeda motor yang ditinggalkan di jalan itu. Anak-anak berhenti dan berjongkok di sisi kedua kendaraan itu, sambil memasang telinga.

Kedua orang yang mondar-mandir dekat api berbicara dengan suara keras.

"Ini belum apa-apa, Pak Tua!" tukas seorang dari mereka sambil mencibir. "Kau akan kami bawa pesiar dengan sepeda motor kami, biar kapok!"

Orang itu menenggak dari sebuah kaleng bir yang kemudian direnyukkannya dengan satu tangan saja lalu dicampakkannya ke belakang. Ia merogoh ke dalam sebuah kantung kertas yang terletak di tangan, mengambil sebuah kaleng lagi. Ia minum dengan rakus, bersendawa, dan mengusapkan lengan ke mulut.

Mr. Peck membuang muka sambil mendengus jijik.

"He, pandang aku jika aku bicara denganmu!" teriak pengendara sepeda motor yang tidak tahu adat itu.

Pete terlonjak kaget mendengar bentakan itu. Jupe cepat-cepat memegang lengannya.

-"Kau pernah ngebut naik-turun bukit, Pak Tua? Lewat tempat-tempat yang tidak pernah dilalui siapa pun juga?" kata pengendara sepeda motor yang tadi. .

Temannya tertawa. "Wah, itu benar-benar asyik! Kau pasti menyukainya. Pak T ua - jika kau tidak mati karenanya!"

Kedua orang itu tertawa.

Jupe hendak melepaskan lengan Pete yang dipegangnya sejak tadi. Saat itu barulah disadarinya bahwa temannya itu sudah tidak ada lagi di sebelahnya. Denyut jantung Jupe serasa berhenti sejenak karena kaget

Tapi sementara itu Pete sudah muncul lagi. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Jupe sambil memberi isyarat pada Bob agar ikut mendengar kan. "Orang-orang itu meninggalkan kunci sepeda motor di kendaraan mereka, dan kunci mobil Kakek juga dibiarkan di tempatnya," bisik Pete. Ia mengacungkan tiga pasang kunci.

"Mereka takkan bisa membawa Kakek ke manapun juga!" bisiknya dengan sengit. "Bawa kunci-kunci ini dan lekas pergi ke pompa bensin yang tadi untuk menelepon polisi dari sana. Aku tetap di sini, dan jika mereka nanti hendak menyakiti Kakek, aku akan... aku..."

Ia tertegun, karena tidak tahu apa yang akan dilakukannya jika kedua pengendara sepeda motor itu melakukan sesuatu terhadap Mr. Peck.

Jupe menyeringai, karena saat itu ada akal yang bagus melintas dalam benaknya.

-Selama beberapa saat ia membisu, memikirkan gagasannya. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa dengannya mereka akan bisa membebaskan Mr. Peck dalam keadaan selamat.

"Begini," bisik Jupe pada Pete. "Kau kan pernah beberapa kali mencoba sepeda motor Charlie Fisher?"

Charlie Fisher itu kenalan anak-anak. Orangnya sudah agak tua, dan ia membiayai hidupnya dengan melakukan pekerjaan apa saja,di rumah- rumah orang. Ia memiliki sebuah sepeda motor bobrok, dan ia suka pada anak-anak muda. Kadang-kadang, jika ada anak yang sangat disukainya - seperti Pete misalnya - diizinkannya anak itu sekali-sekali mencoba naik sepeda motornya.

Tapi sepeda motor Charlie yang sudah tua tidak bisa disamakan dengan kedua sepeda motor ukuran besar kepunyaan berandal-berandal itu.

Pete memandang Jupe dengan kening berkerut. "Maksudmu, aku harus naik salah satu sepeda rnotor mereka?" bisiknya. "Kau sudah sinting, ya?"

"Mungkin," kata Jupe. "Tapi mungkin juga tidak."

Lalu dibisikkannya seluruh rencananya.

Ternyata gagasan Jupe memang bagus, dan Pete mengaguminya. Sayangnya, ada satu cacatnya! Jika gagasan itu .meleset-jika Pete ternyata tidak mampu menguasai sepeda motor yang ditungganginya - kemungkinannya ia kemudian akan dihajar habis-habisan oleh kedua berandal -itu, kecuali jika Jupe dan Bob mampu menghadapi mereka.

Tapi itulah yang sangat disangsikan oleh Pete.

Di pihak lain, jika Pete dan kedua temannya, tidak lekas-lekas bertindak, Mr. Peck akan tersiksa karena perlakuan kasar para berandal. Pete tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

"Oke;" kata Pete, "kita coba saja!"

Ketiga anak itu menyelinap, menghampiri mobil Buick. Dengan berhati- hati mereka membuka tempat bagasi dan mengeluarkan beberapa perkakas, lalu mulai bekerja.

Sementara itu sudah banyak kaleng bir yang ditenggak isinya oleh kedua pengendara sepeda motor. Gerak-gerik mereka sudah kurang terkendali. Menurut Pete mereka itu takkan mendengar bunyi kesibukan anak-anak yang sibuk melakukan sesuatu. Tapi walau begitu Trio Detektif tidak mau mengambil risiko yang tidak perlu. Mereka bekerja dengan berhati- hati, sambil meraba-raba. Tidak begitu lama waktu yang diperlukan, setelah mereka terbiasa dengan perkakas yang dipakai.

"Untung mereka cuma berdua," kata Jupe dengan suara pelan. "Coba seluruh gerombolan ada di sini, kita takkan mungkin bisa menerapkan siasat ini."

Dengan pelan sekali, Jupe memasukkan kunci starter ke tempatnya di setang sepeda motor yang pertama. Kunci starter yang satu lagi disodorkannya kepada Pete, yang berdiri merunduk di sisi sepeda motor kedua.

-Sepeda motor itu sangat besar. Pete, yang paling tinggi dari ketiga Trio Detektif, ujung kedua kakinya nyaris tidak sampai ke tanah ketika ia sudah duduk di sadel Walau begitu ia berhasil juga menurunkan kendaraan roda dua itu dari standarnya. Kunci starter dimasukkan ke tempatnya, lalu ia menarik napas dalam-dalam. Setelah itu diletakkannya kaki kanan ke pedal starter.

Kunci starter diputar, dan pedal starter dienyakkan ke bawah.

Sepeda motor itu meraung. Bunyinya seperti binatang besar yang marah. Tapi setelah itu mati lagi.

Pete merasa tubuhnya lemas karena ngeri.

Kedua berandal yang duduk dekat api unggun berteriak dan cepat-cepat berdiri.

Sekali lagi Pete mengenyakkan pedal starter ke bawah. . Sekali lagi sepeda motor meraung, dan kini tidak mati lagi. Pete mencondongkan tubuhnya ke depan, dan mengikuti gerak liar sepeda motor yang meliuk dan melambung-lambung, seperti kuda liar. Kendaraan itu melambung masuk ke dalam sebuah parit lalu terpental keluar lagi ke jalan. Pete berteriak-teriak ketakutan, tapi ia terus bertahan di atas sepeda motor itu.

Kedua berandal yang marah cepat-cepat naik ke sepeda motor yang satu lagi. Orang yang duduk di depan mengenyakkan starter cepat-cepat, dan mereka langsung mengejar. Lain dari Pete, mereka mampu menguasai kendaraan mereka untuk sesaat. Tahu-tahu terdengar teriakan dan makian. Kedua berandal itu jatuh terguling ke dalam parit, karena roda depan kendaraan mereka terlepas. .

Kedua orang itu cepat-cepat melompat, menghindar dari gerakan liar sepeda motor yang tinggal roda belakangnya saja.

Jupe dan Bob lari menghampiri Mr. Peck lalu menggiringnya sambil berlari-lari ke mobil Buick,

Sesaat kakek Pete bingung, tapi kemudian ia mengerti. Cepat-cepat dibukanya pintu Buick. Jupe dan Bob masuk ke sebelah belakang mobil itu, sementara kunci starter dilempar ke jok depan di mana Mr. Peck sudah duduk. Sebelum pintu pintu tertutup semua, kendaraan itu sudah bergerak. Mr. Peck membanting setir. Buick-nya menikung, menyambar sejumlah semak rendah. Kendaraan itu nyaris saja menubruk sebatang pohon dan kemudian melaju lewat kedua pengendara sepeda motor yang masih tercengang.

Seperempat mil kemudian barulah Mr. Peck, memperlambat kendaraan itu. Anak-anak menoleh ke belakang. Mereka melihat kedua berandal tadi berdiri di tengah jalan, berteriak-teriak marah sambil mengayun- ayunkan tangan.

Jupe dan Bob tertawa.

-Bab 14 RAHASIA YANG SANGAT BERBAHAYA

-SETENGAH jam kemudian barulah Pete muncul di hotel. Ia berjalan terpincang-pincang. Pakaiannya basah dan kotor, tapi ia sendiri sangat senang.

"Sepeda motor itu kucemplungkan ke dalam sebuah kolam," katanya. "Kunci starternya kumasukkan ke dalam sebuah kotak surat. Berandal- berandal itu untuk sementara waktu tidak bisa berbuat apa-apa lagi."

"Apa sebetulnya yang terjadi tadi, Kakek?" tanyanya setelah itu pada Mr. Peck. "Kenapa sampai bisa jatuh ke tangan mereka?"

Mr. Peck agak malu kelihatannya. "Yah, Pete, aku disergap kunyuk- kunyuk itu. Aku memang membeli bensin tadi, seperti kukatakan pada kalian. Kemudian aku masuk ke jalan samping itu untuk memeriksa apakah Snabel atau kawannya memasang alat pelacak lagi ke tangki bensin.

Sementara aku sedang melongo k ke kolong, tahu-tahu kedua bajingan itu muncul! Mereka mengancam akan menghajarku sampai remuk jika melawan. Satu dari mereka masuk ke mobil dan memaksaku pergi ke tempat piknik itu."

"Anda tadi dalam bahaya besar," kata Jupiter dengan wajah serius. "Untung bisa lolos dengan selamat. "

"Ah, kau tidak perlu khawatir tentang diriku, Jupe," kata Mr. Peck dengan nada lebih riang.

"Aku tadi menunggu sampai orang-orang itu sudah benar-benar mabuk. Aku masih punya beberapa siasat lagi."

Pete tidak begitu tahu apa yang dimaksudkan oleh kakeknya, tapi ia merasa lebih baik itu tidak ditanyakan.

"Kakek sudah menghubungi polisi?" tanyanya.

"Aku tidak mau lagi menghubungi mereka," kata Mr. Peck. "Aku tidak ingin kehilangan lebih banyak waktu karena harus memberi keterangan pada petugas-petugas hukum yang goblok. Kita tinggalkan kota ini, dan menuju ke barat."

"Ke barat?" kata Pete dengan heran.

"Ya, ke barat. Berandal-berandal bersepeda motor itu takkan menduga bahwa kita mengarah ke sana. Begitu pula Snabel dan kawannya - jika mereka mengintai kita - mereka pun takkan menduganya. Nanti kita datangi sebuah kota kecil di sebelah barat lalu kita cari pedagang mobil di sana. Buick-ku kita tukar dengan mobil lain, dan setelah itu kita teruskan perjalanan, dengan aman. Buick itulah yang selalu saja menyebabkan jejak kita ketahuan. Snabel mengenalnya. Kawannya mengenalnya. Kawanan bersepeda motor juga mengenalnya. Karena itu harus cepat-cepat kujual."

Pete memandang kakeknya dengan kagum. "Wah, itu gagasan yang sangat cerdik!"

"Kalian juga cerdik!" kata Mr. Peck. "Baiklah, sekarang kemaskan barang-barang kalian, Anak-anak. Tolong bereskan pula koperku, sementara aku mengurus .pembayaran sewa kamar."

Wajah pria tua. itu sudah berseri-seri kembali, dan matanya berkilat- kilat. "Akan kuambil mobil," katanya, "dan kubawa ke pintu samping - yang dekat kolam renang. Kalian tunggu aku di situ, dengan barang- barang kita. Dan kau, Pete, cepat ganti pakaianmu yang basah itu."

Pete sebenarnya tidak perlu disuruh lagi, karena ia sudah membuka kemejanya yang basah, sementara Bob dan Jupe buru-buru menjejalkan barang-barang mereka ke dalam koper. Mr. Peck tertawa puas. Kini ia tidak lagi melarikan diri, melainkan akan adu pintar dengan musuhnya.

Tidak lama kemudian Mr. Peck dan anak-anak sudah kembali berada di jalan raya lintas-negara, menuju ke barat. Menjelang tengah malam mereka memasuki sebuah kota yang terletak di perbatasan antara Ohio dan Pennsylvania. Jalan-jalan di situ sudah lengang dan gedung-gedung kebanyakan sudah gelap. Tapi di Hotel Holiday Inn yang letaknya dekat. jalan raya masih nampak lampu-lampu menyala. Mereka memutuskan untuk menginap di situ. Keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka sudah bangun lagi. Mereka langsung mendatangi toko mobil yang paling dekat dengan hotel. Mereka menunggu sampai toko yang merupakan agen perusahaan Ford itu dibuka.

Tanpa banyak bicara lagi, Mr. Peck menerima penawaran harga yang diajukan oleh pramuniaga untuk Buick-nya. Kemudian dipilihnya sebuah sedan Ford berumur dua tahun yang dipajang di bagian mobil bekas. Ia membayarnya dengan cek, lalu menunggu bersama anak-anak di kantor sementara manajer toko itu mengadakan pembicaraan telepon jarak jauh ke California untuk memastikan kesahan tanda pembayaran itu.

Lewat tengah hari Mr. Peck dan anak-anak meninggalkan tempat jual- beli mobil, dengan mengendarai Ford yang baru saja dibeli.

"Kurasa kita berhasil meloloskan diri dari kejaran mereka semua," kata Mr. Peck, yang selama itu terus berjaga-jaga terhadap kemungkinan munculnya Snabel atau kawannya. Ia menguap lebar-lebar dan menggosok-gosok matanya. "Aku selalu saja lupa bahwa aku ini sudah tidak muda lagi," katanya. "Bagaimana jika kita beristirahat sehari di kota ini? Snabel takkan mungkin bisa menemukan jejak kita lagi, setelah Buick kita ganti dengan Ford ini."

Anak-anak mau saja diajak beristirahat. Mereka kembali ke Holiday Inn, dan tidak lama kemudian sudah terdengar lagi bunyi dengkuran Mr. Peck. -Anak-anak pergi berenang di kolam renang hotel dan kemudian main minigolf, tapi mereka tidak pergi jauh-jauh dari tempat penginapan.

Menjelang sore mereka kembali ke kamar mereka. Bob dan Pete nonton televisi sementara Jupe duduk dekat jendela sambil memandang ke luar. Keningnya berkerut dan tangannya menarik-narik bibir bawahnya: Itu tanda yang jelas bahwa ia sedang sibuk berpikir. Tiba-tiba ia mengangguk dan berkata, "Ya, tentu saja!"

Kedua temannya menoleh ke arahnya. "Tentu saja apa?" tanya Bob.

"Snabel bukan berminat terhadap hasil penemuan kakekmu, Pete," kata Jupe. "Sejak semula bukan itu yang dikejar-kejarnya."

Pete tercengang. "Mana mungkin-pasti itu yang hendak dirampasnya. Di Custer, ia hendak menyergap kita dengan pistol. Atau kausangka ia waktu itu hendak berburu bison, ya?"

"Dan bagaimana dengan kawannya yang mencoba menculik aku di pusat perbelanjaan itu?" kata Bob.

"Justru tentang dia itulah aku berpikir sejak tadi," kata Jupiter. Ia mendeham-deham meminta perhatian, sambil meluruskan duduknya Begitulah kebiasaannya jika hendak menguraikan suatu teori. "Apa tepatnya yang dikatakan orang itu ketika hendak menculikmu di pusat perbelanjaan, Bob?"

"Ia mengatakan aku anaknya, dan aku hendak dibawanya pergi karena ketagihan obat bius. Alasannya sudah jelas, kemungkinannya aku hendak ditawannya untuk minta tebusan dan tebusan itu mestinya hasil penemuan Mr. Peck. Mungkinkah itu ada hubungannya dengan pertahanan nasional? Karena kurasa bukan cuma bom asap saja." "Yang kutanyakan bukan penjelasannya pada pegawai di sana. Apa yang dikatakannya padamu sebelum pegawai itu datang?"

"O, itu maksudmu! Kalau tidak salah, ia mengatakan, ’Kau tidak membawanya. Kalau begitu kita ambil saja!’ Atau mungkin juga, ’Kau tidak membawanya, kan?’ Kurang-lebih begitulah!"

"Dan apa-apa yang tidak kaubawa saat itu?" tanya Jupiter.

"Yah... ya, mestinya hasil penemuan Mr. Peck. Apa lagi kalau bukan itu?’.

"Apakah tidak mungkin barang lain?" kata Jupiter. "Apakah tidak mungkin sesuatu yang biasanya selalu kaubawa, tapi waktu itu tidak ada padamu ?"

Kening Bob berkerut, berusaha mengingat-ingat.

"Aku tidak tahu barang apa itu, kecuali-ah ya, benar juga! Kameraku dan kotaknya. Tapi kenapa... apa alasannya orang itu tertarik pada kameraku?"

"Betul." Jupiter nyengir. "Kamera dan kotak yang berisi film-filmmu yang sudah diekspos. Waktu itu kau meninggalkannya di hotel, dan itulah yang diincar mereka berdua. Aku berani bertaruh!"

Jupe bersandar ke punggung kursi dan mendekapkan kedua tangannya di depan dada sehingga kelihatan seperti menyembah. Ia tersenyum. "Kurasa Snabel bukan membuntuti kita ketika kita pertama-tama menjumpainya dalam perjalanan," katanya. "Kalian ingat reaksinya sewaktu di pantai Pismo Beach, ketika Mr. Peck tahu-tahu menyergapnya? Ia kaget dan -ketakutan. Kurasa ia datang ke Pismo itu untuk alasan lain.

"Kita anggap saja perjumpaan kita dengan dia waktu itu terjadi karena kebetulan semata-mata. Dan Snabel bukan bermaksud hendak mengintai Mr. Peck ketika kita melihatnya menyelinap-nyelinap memperhatikan sewaktu kita berangkat dari Rocky Beach. Ia melakukannya, hanya karena orangnya memang terlalu ingin tahu urusan orang lain. Beberapa saat setelah kita berangkat ia juga pergi, dengan maksud hendak ke Monterey untuk menjumpai seseorang di situ. Kita sempat mampir dulu di Santa Barbara untuk makan siang, sehingga perjalanan kita memakan waktu sekitar satu jam lebih lama. Sedangkan Snabel langsung menuju ke Pismo Beach, di mana ia mampir untuk melemaskan otot -otot sebentar. Ia berjalan-jalan di pantai, seperti kita juga, dan ketika kakek Pete melihatnya dan langsung naik darah, Snabel paling sedikit sama kagetnya seperti Mr. Peck. Kalian ingat bagaimana tampangnya saat itu?

-"Ia berhasil membebaskan diri lalu pergi ke Monterey, dan mulai di situ situasi berubah. Kalian ingat, apa yang terjadi di sana?"

"Kita berjumpa lagi dengan dia di dermaga," kata Pete, "dan kita juga melihat orang yang satu lagi - yang hendak menculik Bob."

"Betul! Dan ketika Snabel tiba di derma-ga kapal-kapal nelayan di Monterey itu, ia jelas bukan membuntuti kita. Ia sama sekali tidak berusaha tidak ketahuan oleh kita. Ia berjalan dengan santai ke dermaga, seperti wisatawan biasa."

Jupe menutup matanya dengan tangan. Bob dan Pete tahu bahwa teman mereka itu berusaha membayangkan kembali kejadian saat itu, seperti orang yang memutar kembali kaset video. Hal-hal yang rasanya tidak penting sewaktu anak-anak tiba-tiba berhadapan dengan Snabel di dermaga kini mungkin akan nampak mencolok.

"Waktu itu Snabel menenteng kamera, yang modelnya sama dengan milik Bob, tapi ia sama sekali tidak memotret. Ia hanya berdiri saja, menunggu dengan kamera di tangan. Kemudian orang yang satu lagi muncul dan Snabel berkata padanya, ’Aku membawa barang itu'.

"Bukankah itu berarti Snabel hendak menyerahkan sesuatu kepada orang yang baru muncul itu? Dan orang itu mengajaknya ke tempat lain. Lalu mereka berdua berjalan menjauhi tempat kita dan berdiri dekat bangku di mana Bob duduk Saat itu Snabel mengenali kita. Kalian ingat, mukanya menjadi pucat? Lalu .Mr. Peck muncul dari toko, di mana ia selama itu mengintai. Orang yang baru datang untuk menjumpai Snabel buru-buru menghilang. Tahu-tahu ia sudah tidak ada lagi. Mr. Peck mencengkeram Snabel dan mengancamnya jika ia meneruskan perbuatannya.

"Lagi-lagi Snabel kelihatan ketakutan. Ia tidak menyangka akan berjumpa dengan Mr. Peck di situ. Kemudian Mr. Peck mengajak kita pergi, Bob mengambil kameranya yang selama itu terletak di atas bangku, lalu kita pergi dari situ.

"Dan mulai saat itulah Snabel mengejar-ngejar kita. Kalian ingat ia berlari-lari mengejar sambil berteriak-teriak ketika kita berangkat?"

Pete mengangguk, sementara Bob menatap Jupe.

"Betul," kata Bob. "Tapi kenapa ia begitu?"

"Karena yang kauambil bukan kameramu, Bob," kata Jupiter. "Kau mengambil kamera yang dibawa Snabel yang diletakkannya di atas bangku ketika Mr. Peck menyerangnya."

"Maksudmu, kamera itu yang diincarnya selama ini?" kata Pete. "Tapi itu kan aneh! Jika memang benar, kenapa ia tidak mendatangi kita saja di hotel di Santa Rosa dan mengatakan, ’He, kamera kalian tertukar dengan kameraku, dan ini dia kamera kalian’. Untuk apa segala kerepotan membuntuti, menculik, dan macam-macam lagi?"

"Karena jika urusannya cuma menyangkut kamera, penyelesaiannya memang bisa segampang itu! Takkan ada yang mau repot menyusul dari Monterey sampai ke Santa Rosa, jika hanya untuk kamera yang tertukar. Jadi yang diincar sebenarnya film yang ada dalam kamera itu. Itulah yang penting bagi Snabel dan orang yang satu lagi itu, dan mereka tidak ingin kita tahu tentang film itu."

"Ya," kata Bob, "mungkin juga." Ia berdiri, lalu menumpahkan isi tas kameranya ke tempat tidur. Dari sembilan rol film, hanya satu yang belum dipakai. Sisanya sudah diekspos, tinggal dicuci saja lagi.

"Pasti ada toko foto yang cepat layanannya di kota ini," kata Bob. "Yuk, kita cari."

Mereka menjumpai toko yang dicari itu di sebuah pusat pertokoan yang kecil, tiga blok dari hotel tempat mereka menginap. Anak-anak menyerahkan rol-rol film kepada wanita yang melayani. Setelah itu mereka keluyuran di pusat pertokoan itu sambil menunggu film-film selesai dicuci.

Tangan Bob gemetar ketika membawa sampul-sampul kuning berisi kedelapan rol film di toko foto ke pelataran parkir. Di situ ia meneliti foto fotonya, sementara Pete dan Jupe ikut melihat dari belakang. Mereka melihat foto Mr. Peck di Mount Rushmore, foto-foto kawanan bison di Custer, serta batu-batu cadas yang langsing menjulang di kawasan Badlands. Di antara foto-foto wisata itu ada satu yang lain, yaitu foto sebuah pesawat terbang yang sedang tinggal landas.

"Ini bukan aku yang mengambil," kata Bob.

-Pete meraih foto itu lalu mengamat-amatinya. Pesawat itu berbadan langsing. Bentuknya runcing seperti jarum, dan kedua sayapnya condong ke belakang. "Kelihatannya ini pesawat terbang militer," kata Pete.

Bob memperhatikan foto-foto yang lain. Ada beberapa yang menampakkan suatu instalasi yang wujudnya seperti perpaduan antara kilang minyak dan lumbung gandum yang tinggi. Ada pula foto-foto dari jarak dekat yang menampakkan bermacam-macam gambar yang ditempelkan di atas sebuah meja dengan paku payung. Lalu ada foto- foto buku catatan yang terbuka, dan halaman-halamannya berisi berbagai perhitungan dan catatan yang tidak dimengerti maknanya oleh Jupe maupun kedua temannya.

Akhirnya semua foto sudah dilihat. Bob berkeringat.

"Jadi foto-foto yang bukan kuambil ini yang hendak diserahkan Snabel kepada orang yang ditemuinya itu," katanya. "Mungkin yang nampak tadi itu instalasi-instalasi militer, ya? Jangan-jangan Snabel itu mata-mata, yang hendak menjual informasi rahasia kepada musuh!"

-Bab 15 MEMANCING MATA-MATA

-"FBI!" kata Mr. Peck bersemangat. "Betul, itu yang harus kita lakukan! Kita hubungi FBI, biar menangkap orang jahat itu!"

Pete sudah mengambil buku telepon dan mencari-cari. "Tidak ada," katanya. "Tidak ada kantor FBI di kota ini."

"Kausangka ada?" kata Mr. Peck. "Kita akan mendatangi FBI di New York, dan sekarang ini juga kita berangkat!"

Mereka segera berkemas, lalu berangkat malam itu juga. Mr. Peck terus memacu mobilnya dan pagi-pagi sekali akhirnya mereka memasuk sebuah tembusan yang nampak kemilau karena berdinding tegel putih. Lalu- lintas kendaraan ramai di dalamnya. Setelah melewati tembusan itu, mereka sampai di kota dunia yang dituju. Kota dengan gedung-gedung menjulang tinggi, lalu-lintas bersimpang-siur. Taksi-taksi berderet panjang di luar sebuah bangunan besar, yang ternyata stasiun kereta api, Pennsylvania Station.

-Mr. Peck menghentikan mobil di seberang jalan berhadapan stasiun itu sementara Jupe masuk untuk mencari alamat kantor FBI dalam buku telepon. Anak-anak sangat bersemangat. Mereka sudah berulang kali bekerja sama dengan pihak kepolisian di Rocky Beach. Tapi belum pernah dengan FBI dalam urusan spionase.

Pukul setengah sepuluh Mr. Peck dan anak-anak sudah berada dalam sebuah ruangan bersama seseorang yang menurut mereka mestinya agen FBI. Namanya Anderson. Penampilannya rapi, dan tindak-tanduknya tenang. Untung saja ia tenang, karena ketika Mr. Peck sudah mulai berbicara tentang Snabel yang hendak menjual rahasia militer kepada musuh, kemarahan kakek Pete timbul lagi sehingga selama beberapa saat hanya bisa tergagap-gagap. Petugas FBI itu menunggu dengan sopan sampai Mr. Peck sudah bisa mengendalikan dirinya lagi.

"Sudahlah, Kakek," kata Pete dengan nada memohon. "Kita kan tidak tahu pasti tentang berbagai hal itu. Kenapa tidak diperlihatkan saja foto-foto itu?"

"Kita tahu pasti!" tukas Mr. Peck. Tapi dibantingnya sampul berisi foto- foto ke atas meja. "Ini ada dalam kamera yang dibawa Bob - tapi itu bukan kameranya, karena tertukar," katanya. "Snabel pengkhianat itu hendak menjual foto-foto ini kepada seorang mata-mata asing!"

Mr. Anderson meneliti foto-foto itu. Air mukanya sedikit pun tidak berubah.

-Jupiter memanfaatkan kesempatan itu untuk ikut bicara

"Mr. Anderson, saya ingin memperkenalkan diri saya dan kedua teman saya." Dikeluarkannya selembar kartu nama dari kantungnya dan diserahkannya pada Mr. Anderson. Petugas FBI itu membacanya:

-TRIO DETEKTIF

"Kami Menyelidiki Apa Saja"

? ? ?

-Penyelidik Satu Jupiter Jone Penyelidik Dua Peter Crenshaw Data dan Riset Bob Andrew

-Jupe cepat-cepat berbicara lagi, ketika melihat Mr. Anderson nampaknya hendak menanyakan sesuatu.

"Saya Jupiter Jones, pemimpin biro detektif kami, yang berkantor -di Rocky Beach, California. Selama ini sudah beraneka jenis misteri yang kami teliti, jadi kami bukan orang awam tentang teknik-teknik penyelidikan."

Bob merasa seperti melihat mata Mr. Anderson memancarkan kegelian sekilas, saat petugas FBI berwajah dingin itu dengan tenang meletakkan kartu nama ketiga detektif remaja itu di atas meja kerjanya

Jupe masih terus berbicara. "Tentu saja," katanya sambil menundukkan mata dengan sikap agak malu-malu, "kami belum pernah menjumpai kasus sepenting ini. Dan bagi kami benar-benar merupakan kehormatan, bisa bekerja sama dengan FBI-"

"Cepatlah sedikit," sela Pete tidak sabaran.

Jupe menoleh ke arahnya sambil melotot, lalu berpaling pada Mr. Anderson lagi dan menyambung, "...menangani kasus yang mungkin menyangkut keamanan nasional kita."

Ia melanjutkan dengan .penjelasan tentang kejadian tertukarnya kamera Bob dan kamera Snabel di Monterey.

"Itu awal dari serangkaian kejadian berbahaya," katanya.

"Penjahat itu terus mengincar kami sejak itu!" tukas Mr. Peck. Hanya itu saja dikatakannya, sementara Jupiter melaporkan tentang kebakaran di hotel tempat mereka menginap di Coeur d’AIene, Idaho, lalu melihat Snabel membuntuti dengan membawa pistol di taman suaka bison di Custer, South Dakota, dan akhirnya percobaan penculikan Bob di Michigan.

"Sudah pasti ada catatan di kantor polisi kota Sturgis, Michigan, mengenai percobaan penculikan yang terjadi di sana beberapa hari yang lalu. Manajer pusat perbelanjaan di sana memanggil sheriff. "

Mr. Anderson diam saja, seperti menunggu apakah masih ada lagi yang hendak dikatakan oleh Jupiter. Sesaat kemudian ia mengangguk, tanda memahami penjelasan Jupe..

Jupiter merasa puas. Ia telah menyampaikan laporan dengan logis, teratur, cermat, dan pasti juga meyakinkan.

"Snabel busuk itu berwatak mata-mata rupanya," sergah Mr. Peck tiba- tiba, "dan orang yang bersama dia itu mestinya mata-mata musuh.

Mr. Anderson tersenyum. "Tapi musuh yang mana?" kata petugas FBI itu.

"Pentingkah itu?" tukas Mr. Peck.

"Mungkin juga tidak," kata Mr. Anderson. Ia meminta Mr. Peck dan anak-anak agar menunggu sebentar, lalu ia pergi dengan membawa foto- foto itu. Beberapa saat kemudian ia kembali dan hanya mengatakan bahwa ia sudah meminta rekan-rekannya untuk melakukan penyidikan.

"Di mana kalian menginap selama berada di New York?" tanyanya.

"Riverview Plaza," kata Mr. Peck menyebutkan nama sebuah hotel kecil di kawasan East Side. Mr Anderson mencatatnya.

"Itu kalau di sana tidak penuh," sambung Mr. Peck, yang tiba-tiba merasa sangsi.

"Saya rasa itu bisa kita tanyakan, apabila Anda tidak keberatan menunggu selama beberapa menit," kata Anderson.

Petugas FBI itu keluar lagi, dan beberapa menit kemudian kembali dengan berita bahwa di Riverview Plaza sudah dipesankan dua kamar untuk Mr. Peck dan anak-anak.

"Jika nanti ternyata ada lagi yang rasanya perlu dilaporkan, atau jika kalian kebetulan melihat Snabel lagi, harap hubungi saya," katanya, sambit memberikan kartu namanya.

Saat itu barulah anak-anak merasa pasti bahwa laporan mereka ditanggapi dengan serius- setidak-tidaknya untuk diselidiki. Mereka meninggalkan kamar kerja Mr. Anderson dengan perasaan puas lalu turun dengan lift.

Hotel Riverview Plaza yang mereka datangi kemudian ternyata merupakan bangunan yang udah agak tua. Nama "Riverview" menyebabkan te-rbayang pemandangan ke arah sungai. Dulu itu mungkin benar, tapi kini pemandangan itu terhalang bangunan-bangunan kantor yang tinggi-tinggi. Seorang pelayan hotel pergi memarkirkan mobil Ford Mr. Peck. Seorang pelayan lain mengangkatkan koper-koper mereka ke atas, ke sebuah suite yang terdiri dari dua buah kamar dan sebuah kamar mandi. Dari balik jendela-jendela yang tidak begitu bersih bisa dilihat sebuah bangunan kantor berdinding kaca. Dan di balik dinding kaca itu nampak pria dan wanita duduk berderet-deret menghadap pesawat-pesawat komputer, diterangi lampu bersinar kebiru-biruan.

Bagi Jupe, pemandangan itu menyuramkan perasaan. Karenanya dengan perasaan lega ditariknya kerai ke bawah, lalu ia masuk ke tempat tidur. Dipejamkannya matanya, sambil bertanya-tanya dalam hati berapa lama waktu yang diperlukan FBI untuk mengecek kebenaran laporan mereka tadi. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh para petugas rahasia mengenai Snabel.

Tahu-tahu ia sudah terlelap.

Ia bermimpi berada di rumah, di pangkalan barang bekas. Dalam mimpi itu ia sedang merangkak-rangkak di bawah tumpukan barang bekas yang ditimbun menutupi karavan yang dijadikan kantor oleh Trio Detektif. Ia bergegas-gegas, karena terdengar bunyi pesawat telepon berdering- dering di dalam karavan.

Jupe terbangun. Tubuhnya basah karena keringat. Telepon dalam kamar ternyata memang berdering-dering. Bob turun dari tempat tidur lalu mengangkat gagang pesawat itu. Sementara Jupe memperhatikan dalam keadaan masih mengantuk, Bob mengatakan, "Ya." Lalu, "Ya, tentu saja, Bob mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. "Itu Mr. Anderson, dari lobi di bawah katanya. "Ia kemari."

Pete, yang sementara itu juga sudah bangun cepat-cepat lari ke kamar sebelah untuk membangunkan Mr. Peck. Kakeknya itu muncul dalam kamarnya dengan rambut kusut ketika terdengar bunyi pintu diketuk. .

Mr. Anderson ternyata tidak datang seorang diri. Ia ditemani orang yang lebih jangkung dan agak lebih tua daripada dia. Diperkenalkannya orang itu sebagai rekannya yang bernama Friedlander.

Setelah itu ia duduk di kursi bersandaran lurus yang ada di sudut kamar, membiarkan Friedlander yang berbicara.

Mr. Peck harus menjawab berbagai pertanyaan mengenai Ed Snabel. Ia berhasil melakukannya tanpa terlalu sering melantur atau tergagap- gagap karena marah. Ternyata hanya sedikit saja yang diketahuinya tentang Ed Snabel, jika diingat bahwa mereka tinggal bersebelahan sejak sekian tahun. Mr. Peck hanya bisa mengatakan, kalau tidak salah Snabel bekerja di salah satu industri pertahanan, dan nampaknya tidak punya keluarga ataupun teman, dan ia mempunyai hobi memelihara anggrek. Ketika ditanya Mr. Friedlander tentang orang yang pernah dilihat bersama-sama dengan Snabel dan mencoba menculik Bob, Mr. Peck mengatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang orang itu. Tapi Bob menunjuk foto -seorang, ketika Friedlander menyodorkan selusin foto kepada mereka.

"Siapa dia?" kata Bob setelah itu. "Apakah ia pernah tercatat karena melakukan pelanggaran hukum?"

Foto yang dikantungi kembali oleh Friedlande- bukan seperti foto-foto penjahat yang ada di kantor polisi. Foto itu menampakkan orang tak dikenal dan berpenampilan anggun itu sedang berjalan keluar dari bandar udara, atau bisa juga stasiun kereta api.

"Kami pernah berurusan dengan dia, sekian waktu yang lewat," kata Mr. Friedlander. "Sebut saja namanya Bartlett. Itu salah satu dari sekian banyak nama samarannya."

Mr. Anderson datang menghampiri lalu membuka tas yang dibawanya. Ia mengeluarkan beberapa rol film. Rol-rol itu dilem ujungnya. Nampaknya film-film itu sudah diekspos, tinggal dicuci saja.

"Bob," kata Mr. Anderson, "kami akan sangat tertolong jika kau mau membawa rol-rol film ini dalam tas kameramu. Dan jangan kaget kalau nanti ada yang mencurinya, karena foto-foto ini tidak ada gunanya."

Mr. Peck bergegas mencampuri. "Tidak!" teriaknya. "Anak ini hendak Anda jadikan sasaran! Saya yang bertanggung jawab atas keselamatannya dalam perjalanan ini, dan saya tidak setuju!"

Mr. Anderson tersenyum. "Tidak, Mr. Peck," katanya, "kami tidak menjadikannya sasaran. Sekarang pun kedudukannya sudah begitu. Masih ada kemungkinan Snabel dan temannya menemukan kalian. Sudah cukup banyak upaya mereka sejauh ini untuk memperoleh film yang itu. Jika Bob akhirnya jatuh juga ke tangan mereka dan ia tidak bisa menyerahkan apa yang mereka inginkan, menurut pendapat Anda apakah yang akan mereka lakukan?"

Wajah Mr. Peck langsung pucat. Ia cepat-cepat duduk.

"Anda hendak memasang jebakan rupanya, ya?" katanya. "Seperti dalam seri-seri detektif yang sering muncul di televisi. Anda akan membuntuti Bob secara diam-diam, lalu nanti jika Snabel dan orang yang Anda katakan bernama Bartlett itu beraksi, Anda langsung menyergap mereka."

-Baik Anderson maupun Friedlander tidak memberi komentar. Mereka hanya meminta Mr. Peck agar memberi tahu apabila hendak pergi lagi dari New York atau pindah hotel. Setelah itu kedua petugas FBI itu pergi.

Begitu pintu kamar tertutup, Bob bersorak gembira. "Aku akan jadi agen untuk FBI!" katanya. "Selama ini kita yang diburu-buru, tapi sekarang kitalah yang memburu."

"Kau dijadikan umpan!" kata Mr. Peck membetulkan. Tapi walau begitu ia pun ikut merasa bersemangat. Tidak pernah terbayang olehnya bahwa ia akhirnya akan bekerja sama dengan FBI- untuk menjebak tetangganya yang begitu menyebalkan!

-Bab 16 KAKEK MASUK DALAM PEMBERITAAN

-"EMPAT hari!" keluh Bob. "Sudah empat hari, tapi mereka belum muncul-muncul juga!"

"Mereka rupanya kehilangan jejak kita," kata Pete.

Jupe diam saja. Ia duduk di sebuah bangku dari batu di depan Museum Sejarah Alam Amerika, sambil memperhatikan burung-burung merpati yang berkeliaran mencari makan di trotoar. Ia juga memperhatikan Mr. Peck.

Pria yang sudah berumur lanjut itu memandang lalu-lintas kendaraan yang lewat dengan wajah masam. Selama empat hari yang sudah berlalu tidak satu kali pun ia menyebut-nyebut hasil penemuannya, untuk urusan mana mereka semua berangkat ke New York. Tidak satu kali pun ia mengatakan akan menghubungi seseorang guna menyampaikan gagasannya itu. Seluruh perhatiannya tercurah pada rencana memancing Snabel dan kawannya agar muncul. Ia selalu bersikap waspada setiap kali pergi meninggalkan -hotel bersama anak-anak. Ia tidak pernah mau jauh dari Bob. .

Menurut dugaan mereka, Snabel dan Bartlett kemungkinannya menunggu mereka muncul di salah satu obyek wisata terkenal- seperti yang terjadi di La Crosse, Minnesota. Karenanya Mr. Peck dan anak-anak memutuskan untuk malah sengaja menampakkan diri di mana-mana, dan mendatangi semua tempat yang menarik untuk dilihat di New York City. Bob akan terus menenteng tas kameranya dan sering berlagak seperti mencari-cari sesuatu dan mengeluarkan rol-rol film, supaya orang yang ada di dekatnya pasti akan melihat bahwa dalam tas itu ada sejumlah film yang sudah diekspos dan tinggal dicuci saja.

Rencana itu logis, dan mereka melaksanakannya dengan tekun. Pada hari pertama pelaksanaan rencana itu mereka, pesiar naik kapal mengelilingi Pulau Manhattan, dan siangnya mengunjungi gedung Perserikatan Bangsa-bangsa. Kakek rupanya sekali-sekali ingin royal. Ditraktirnya anak-anak makan malam di sebuah restoran terbuka yang letaknya di atap sebuah hotel yang dekat dengan tempat penginapan mereka. Seorang pemain piano menghibur para pesantap dengan musik yang enak di telinga. Anak-anak memandang ke arah lautan cahaya lampu yang gemerlapan di bawah. Terasa sekali kehidupan semarak kota dunia itu.

Pagi sekali keesokan harinya mereka sudah berangkat lagi. Sekali ini ke Brooklyn dengan kereta bawah tanah, untuk mencoba naik roller coaster di taman hiburan Coney Island. Setelah mengadakan kunjungan singkat

ke Akuarium yang tidak jauh letaknya dari situ, mereka melanjutkan acara pesiar ke Patung Kemerdekaan. Malamnya mereka makan di tingkat paling atas dari gedung World Trade Center. Restoran tempat mereka berada begitu tinggi letaknya, sehingga nampak pesawat- pesawat terbang melintas di bawah mereka. Pete sampai bingung, tidak tahu mana yang lebih mengasyikkan untuk dipandang. Mungkin saja mereka saat itu merupakan umpan, tapi tidak pernah ia melihat pemandangan yang begitu mengasyikkan di Rocky Beach.

Hari ketiga, Mr. Peck dan anak-anak meneruskan pelaksanaan rencana mereka, tanpa merasa kecewa karena dua hari berturut-turut upaya memancing musuh agar muncul ternyata tidak membawa hasil. Mereka berjalan-jalan di kawasan Greenwich Village yang bersejarah, lalu makan siang di Chinatown, daerah pemukiman warga keturunan Cina. Sehabis makan mereka nonton pertunjukan "The Rockettes" di Radio. City Music Hall. Setelah itu makan malam di Restoran Lindy’s yang sangat terkenal, lalu nonton pertunjukan lagi. Mereka begitu capek ketika akhirnya kembali di hotel,. sehingga semuanya langsung tidur. -

Hari keempat, pagi hari diisi dengan acara mengunjungi Museum Seni Rupa Metrop-litan setelah itu berjalan-jalan di Central Park. Di situ mereka duduk-duduk di sebuah bangku untuk menikmati kehangatan sinar matahari, sambil makan roti sandwich berisi daging anak domba yang dibeli dari pedagang yang menjajakannya dengan kereta dorong.

Setelah itu mereka mendatangi Museum Sejarah Alam yang letaknya di seberang taman.

Selama melancong kian kemari itu beberapa kali mereka melihat seorang pria muda bersweater coklat dan bercelana panjang kelabu ada di dekat mereka. Jika orang itu tidak kelihatan, yang nampak adalah seseorang lagi yang berbadan tegap, berwajah kemerah-merahan dan mengenakan jas model sport berwarna biru tua.

"Orang-orang FBI," kata Bob dengan gaya pasti. "Aku merasa lebih aman dengan adanya mereka di dekat kita."

"Jangan suka mengkhayal," kata Mr. Peck. Tapi ia langsung menyambung, "Mudah-mudahan saja orang-orang FBI itu tidak lengah."

Paginya, ketika bangun tidur, Mr. Peck kelihatan capek sekali, sehingga Pete mengatakan, "Kenapa Kakek tidak tinggal saja di sini hari ini, lalu kita pesankan sarapan agar diantar kemari? Kita lupakan saja Snabel. Kelihatannya ia benar-benar udah kehilangan jejak."

"Mungkin saja ia menunggu kita di salah satu tempat," balas kakeknya, "dan aku tidak mau kemungkinan itu lewat karena kita tidak muncul."

Jupe tersenyum lebar, mengagumi kegigihan pria yang sudah berumur lanjut itu.

-"Hari ini akan terjadi sesuatu," kata Mr. Peck. "Aku bisa merasakannya."

Dan sebab itulah mereka kini ada di depan museum, dan saat itu sudah menjelang sore. Tapi sejauh itu belum juga terjadi apa-apa. Pria yang bersweater coklat tidak kelihatan. Tapi pria yang lebih tegap, yang memakai jas biru tua, ia berdiri di trotoar sambil menikmati es krim yang dibelinya dari penjual di tepi jalan. Ia kelihatannya sudah bosan.

"Kita rupanya kurang mencolok mata," kata Pete. "Kota ini kan besar sekali, dan Snabel tidak tahu di mana harus mencari kita. Kita perlu melakukan sesuatu yang pasti sangat mencolok seperti mendaki sisi luar gedung Empire State atau berenang menyeberangi Sungai Hudson. Dengan itu perhatian pasti akan terarah pada kita. Jika kita muncul di televisi, Snabel pasti akan melihat kita." "Bisa habis aku nanti, diamuk ibumu," kata Mr. Peck.

"Memang," balas Pete dengan santai, "tapi segala sesuatu kan ada risikonya."

Senyuman gembira mekar dengan perlahan wajah Jupe.

"Televisi," katanya dengan suara lirih.

"Ha?" kata Bob.

"Wah, wah," keluh Pete. "Kau pasti mendapat gagasan hebat lagi. Tapi jangan yang membuat capek, ya, Jupe? Aku tadi cuma bercanda ketika menyebut gagasan mendaki sisi luar Empire State Building."

-"Perbuatan kita tidak terlalu kentara hendak menarik perhatian," kata Jupiter. "Misalnya kalau saja kita bisa muncul dalam acara kuis di televisi. Atau berita tentang suatu peristiwa penting."

"Bagaimana dengan upacara peresmian sebuah hotel?" kata Bob. "Aku membaca dalam surat kabar bahwa akan ada peresmian hotel baru di New York. Namanya The New Windsor. Peresmian itu menarik perhatian besar karena gedungnya dibangun di lokasi sebuah hotel tua yang terbakar habis beberapa tahun yang lalu. Ketika hotel tua itu masih ada, orang-orang dari kalangan kesusastraan banyak yang tinggal di situ apabila datang ke New York. Menurut berita yang kubaca dalam surat kabar itu, untuk peresmian hotel yang baru akan diadakan pesta besar, dan kemungkinannya Gubernur New York juga akan hadir."

"Kapan peresmiannya?" kata Jupe.

"Besok malam," jawab Bob. "Jika Gubernur jadi datang, televisi pasti akan meliputnya."

Jupiter mengangguk. "Dan FBI mestinya bisa mengatur agar kita mendapat undangan," katanya. "Lebih bagus lagi jika kita bisa pindah ke Hotel itu, dan tidak cuma hadir dalam pesta peresmiannya. Karena dengan begitu Sabel dan Bartlett akan tahu di mana kita bisa ditemukan."

Ia berdiri lalu menghampiri pria tegap yang berjas biru tua. .

"Adakah kemungkinan bahwa FBI bisa mengusahakan agar kami menghadiri pesta peresmian -Hotel The New Windsor besok malam?" katanya pada orang itu. Yang diajak bicara begitu kaget karena tahu- tahu disapa, sehingga es krimnya terlepas dari pegangan.

"Peristiwa itu pasti akan diliput televisi dan ditayangkan dalam warta berita," kata Jupiter lalu pura-pura tidak melihat bahwa es krim yang jatuh tadi mengotori sepatu orang itu. "Jika kami diwawancarai oleh reporter televisi, mungkin nanti salah seorang dari kami bisa mengatakan bahwa kami menginap di hotel itu. Dengan demikian Edgar Snabel akan bisa mengetahui di mana ia bisa menemukan kami. Jadi Anda tidak perlu repot lagi terus membuntuti kami berkeliling New York."

Agen FBI itu nampaknya sudah pulih dari kekagetannya tadi. Ia menarik napas, dan hendak mengatakan sesuatu. Tapi tidak jadi. Ia mengangguk.

"Kalian akan kami beri kabar," katanya, lalu pergi.

Jupe kembali ke teman-temannya. "Mereka akan memberi kabar," katanya melaporkan.

"Sementara itu kita dibiarkan sendiri di sini tanpa perlindungan," kata Mr. Peck.

"Aduh, Kakek, janganlah berlagak tidak berdaya," kaia Pete mengomel. "Kalau bicara soal perlindungan, Kakek ini bisa disamakan dengan tank Sherman. Si Snabel itu akan setengah mati kerepotan, jika sampai berhadapan lagi dengan Kakek!"

Kata-kata cucunya itu menyebabkan. Mr. Peck gembira lagi.

-Malam itu telepon di hotel berdering. Mr. Peck yang menerimanya. Ternyata yang menelepon Mr. Anderson, dan ia menyarankan agar. mereka berkemas-kemas, karena ada kemungkinan keesokan harinya pindah ke The New Windsor

"Dan Anda serta anak-anak membawa setelan atau jas model sport berwarna gelap?" tanya Mr. Anderson. "Jika rencana kalian hendak tampil di televisi, mestinya penampilan kalian seolah-olah datang ke New York ini dengan maksud menghadiri pesta hebat!"

"Wah," kata Mr. Peck agak kaget.

"Anda tidak usah cemas tentang itu, karena akan kami sediakan," kata Anderson lagi.

*** -H-otel baru itu belum seluruhnya selesai. Ruang lobi yang luas masih berbau cat. Bob sewaktu naik lift berjumpa dengan seorang pelayan kamar yang memegang gambar denah ruangan. Rupanya ia belum hafal. lika-liku hotel tempatnya bekerja. Suite yang disediakan bagi Mr. Peck dan anak-anak lebih kecil ukuran daripada kamar-kamar mereka di Hotel

Riverview. Tapi letaknya di lantai tiga puluh dua, dan dari kamar tidur Mr. Peck, mereka bisa melihat kapal-kapal di East River.

Ketika Mr. Peck dan anak-anak masuk ke hotel itu sekitar pukul lima sore, para awak TV nampak sibuk memasang peralatan mereka di lobi. Ketika keempat orang yang datang dari California itu turun lagi pukul 6:45 dengan memakai jas biru tua, yang disediakan oleh FBI untuk mereka, lobi sudah terang-benderang karena lampu-lampu sorot. Mr. Anderson menunggu mereka dekat meja penyampaian pesan. Ia langsung memperkenalkan mereka kepada reporter yang akan meliput acara pesta malam itu.

Reporter itu tampan dan bertubuh jangkung dengan deretan gigi yang sangat putih serta rambut yang ditata rapi. Ia bersalaman dengan Mr. Peck, sementara tatapan matanya terarah sedikit menyamping dari telinga kiri kakek Pete. Kemudian ia melangkah dengan mengitari Mr. Peck untuk menyalami seorang wanita yang saat itu masuk lewat pintu putar. Wanita itu berbusana semarak, serba kemilau.

Kemudian lampu merah yang ada pada kamera TV menyala. Seorang pria yang berdiri di pinggir dengan alat pendengar terpasang pada telinga memberi isyarat pada reporter tadi, yang dengan segera berbicara sambil menghadap ke depan kamera. Ia mengatakan bahwa ia berada di ruang lobi The New Windsor, dan Mrs. Jasper Harris Wheatly ada bersamanya. Mrs. Wheatly sengaja datang dengan pesawat terbang dari Roma, Italia untuk menghadiri pesta peresmian The New Windsor, kata reporter televisi itu.

Ia tidak menjelaskan kenapa Mrs. Wheatly dianggap penting; menurut dugaan anak-anak para pirsawan pasti semuanya tahu, meski mereka sendiri tidak. Senyuman Mrs. Wheatly kelihatan begitu dipaksa, sehingga Pete sudah khawatir saja bahwa wajah wanita itu nanti retak.

Mrs. Wheatly mengucapkan beberapa patah kata, lalu melangkah dengan anggun ke dalam lobi .

Tiba-tiba reporter tadi menuju ke arah Mr. Peck dan anak-anak. Tangannya teracung ke depan dengan sikap mengajak bersalaman, sementara kamera dengan lampu merah menyala diarahkan pada mereka. "Dan inilah Mr. Bennington Peck’" kata reporter itu dengan nada seolah- olah tidak menyangka bahwa Mr. Peck juga ada di situ.

"Tamu yang betul-betul istimewa-yang datang dan daerah barat Amerika Serikat, khusus untuk menghadiri acara ini."

Mr. Peck menatap kamera sambil tersenyum lebar. Dipegangnya tangan reporter itu dan tidak dilepaskannya lagi, sementara ia mengatakan sambil menatap kamera bahwa ia dan menatap kamera bahwa ia dan mendiang istrinya biasa menginap di Hotel Westmore yang lama. "Ketika kami berbulan madu," kata Mr. Peck.

"Hotel Windsor," kata reporter itu membetulkan, sambil berusaha melepaskan tangannya yang dipegang Mr. Peck, tapi ia tidak berhasil.

"Ya, seperti saya katakan tadi, Hotel Windsor," kata Mr. Peck dengan suara lantang "Kami sering menginap. Ia berdiri lurus-lurus. "Saya sangat terpukul ketika Hotel Westmore terbakar tapi yang. baru ini benar-benar hebat. Agak lembab, tapi itu pasti akan bisa diatasi jika pemanasan udah berjalan. Saya dan anak-anak -" kamera digeserkan untuk mengambil wajah Jupe, Bob dan Pete yang tersenyum - "sangat menikmati semuanya, dan kami akan tinggal di sini paling tidak sampai akhir minggu ini. Keasyikannya tidak kalah dibandingkan dengan naik roller coaster yang berputar-putar seperti spiral di Taman Hiburan Coney Island."

Akhirnya reporter itu berhasil melepaskan diri dari pegangan Mr. Peck. Ia melangkah mundur sambil terus memamerkan gigi dengan senyuman profesional. Ia mengucapkan terima kasih kepada Mr. Peck dan anak- anak, dan wawancara singkat itu selesai.

Mr. Peck terhuyung pergi sambil mengelap kening dengan saputangan. "Bagaimana tadi katanya pada anak-anak. "Apa saja yang kukatakan?"

"Wah, hebat, Kakek!" kata Pete. "Semua yang perlu Kakek katakan - dengan lantang dan jelas."

"Bagus!" kata Mr. Peck. "Dengan begitu Snabel bajingan itu kini bisa mengetahui di mana kita berada."

Setelah itu diajaknya anak-anak makan malam di sebuah restoran Skandinavia di Gedung City corp, karena mereka tidak diundang untuk hadir dalam perjamuan makan dan resepsi yang diadakan di taman yang terdapat di atap hotel. Mr. Peck merasa puas. Ia telah menunaikan tugasnya. Yang menjadi pertanyaan kini, berapa lama mereka harus menunggu sampai Snabel muncul?

-Bab 17 TERJEBAK!

KETIKA Mr. Peck memasuki kedai kopi di hotel keesokan paginya, anak- anak sudah hampir selesai sarapan. Malam sebelumnya Mr. Peck menunggu sampai tengah malam untuk melihat wawancaranya dalam siaran berita larut malam dan kemudian sekali lagi dalam berita sangat larut malam. Sambil duduk di samping Pete ia bercerita dengan nada senang bahwa wawancaranya itu sekali lagi disiarkan dalam warta berita

pagi .

Ia memandang berkeliling dengan wajah berseri-seri, seolah-olah sebentar lagi para pengunjung yang lain di kedai kopi itu akan mengerumuninya untuk minta tanda tangan. Pelayan kedai itu bergegas menghampiri dengan membawa daftar hidangan, tapi la kelihatannya tidak mengenali Mr. Pe-k. Mr. Peck- menatapnya sambil melotot. .

"Kopi," sergahnya. "Kue dadar. Dua telur mata sapi digoreng setengah matang, dan daging asap."

"Ingat darah tinggi, Kakek!" kata Pete.

-"Biar itu jadi urusanku sendiri," bentak kakeknya. "Kita akan sibuk sekali hari ini, dan aku perlu menimbun kekuatan!"

Tapi kesibukan tidak dengan segera terjadi setelah mereka selesai sarapan. Anak-anak pergi duduk-duduk di lobi hotel. Bob sengaja sibuk mengutak-utik kamera dan tasnya. Petugas FBI yang memakai jas biru tua berlagak sedang melihat-lihat di toko cenderamata, sementara rekannya yang ber-sweater coklat membalik-balik majalah di kios surat kabar.

"Oke, Snabel, kami sudah siap," gumam Mr. Peck.

Tapi beberapa jam berlalu tanpa terjadi apa-apa. Menjelang pukul sebelas siang, Mr. Peck mulai tidak sabaran lagi. Pukul setengah dua belas, akhirnya ia tidak tahan lagi.

"Konyol!" tukasnya. "Bisa-bisa kita harus terus duduk di sini sepanjang tahun. Manusia dungu itu rupanya tidak melihat wawancaraku! Dasar goblok! Mau jadi mata-mata, tapi warta berita saja tidak dilihat!"

Kemudian ia meringis. "Siang ini di Stadium Yankee ada pertandingan ganda," katanya. "Bagaimana jika kita menontonnya?" "Nanti malah kacau semuanya, Kakek," kata Pete. "Jika Snabel dan kawannya ternyata melihat wawancara itu, mereka pasti akan mencari kita kemari."

"Atau kalau tidak, kita keluar," kata Mr. Peck. "Keliru jika kita cuma duduk-duduk saja di sini. Kita harus keluar dan memberi kesempatan pada mereka untuk menyelinap dan menyergap kita. Mereka kan licik seperti ular, jadi mana berani berbuat secara terang-terangan!"

"Saya rasa tidak perlu kita khawatirkan bahwa mereka tidak menemukan kita," kata Jupe. "Jika mereka kemari dan kita tidak ada, mereka pasti akan menunggu. Atau kalaupun pergi, kemudian datang lagi. Mereka sudah mengejar-ngejar kita sejak dari barat untuk mengambil kembali film itu. Takkan mungkin mereka kini menyerah dengan begitu saja."

Jadi urusan itu beres. Mr. Peck mengajak anak-anak mendatangi pegawai hotel yang bertugas di meja penyampaian pesan dan menanyakan kereta bawah tanah mana yang harus diambil untuk pergi ke Stadion Yankee.

Pukul dua belas tengah hari Mr. Peck dan anak-anak pergi ke stasiun kereta bawah tanah yang letaknya dua blok dari hotel. Petugas FBI yang membuntuti berjalan sekitar setengah blok di belakang mereka. Sesampai di stasiun, Mr. Peck membiarkan satu kereta lewat agar agen FBI tadi tidak sampai tertinggal. Kereta berikut mereka naiki. Mr. Peck dan anak-anak di ujung depan, sementara petugas FBI di ujung belakang. Selama perjalanan Mr. Peck mondar-mandir dengan sikap puas, melihat-lihat dinding kereta yang penuh dengan coretan iseng.

Di stadion mereka berlagak jadi orang New York dan ribut bersorak- sorak mendukung tim Yankee. Mereka bahkan ikut merasa puas ketika, pertandingan pertama berakhir dengan tim Yankee pada posisi unggul satu run.

Anak-anak dan Mr. Peck mengisi waktu jeda dengan makan hot dog dan acar kubis. Setelah itu pertandingan kedua dimulai. Kini tim tamu lebih sering berhasil memukul bola. Para penonton warga New York yang menjagokan tim mereka, ribut berteriak dan bersuit-suit mengejek, sementara para pendukung tim Bronx Bombers bersorak gembira. Mr. Peck dan anak-anak ikut bersorak. Pokoknya asal asyik! Mereka tetap saja gembira, meski tim Bombers dari daerah Bronx akhirnya kalah.

Para penonton berdesak-desakan menuju pintu keluar Anak-anak dan Mr. Peck ikut beringsut ingsut di tengah ribuan penonton lain, dan akhirnya sampai di stasiun kereta bawah tanah Tapi rel kereta di situ bukannya berada dalam terowongan, tapi malah dibangun di jalan layang. Meski orang banyak berdesak-desakan di sekelilingnya, Mr. Peck menikmati embusan angin malam.

Ketika kemudian kereta yang menuju ke Manhattan memasuki stasiun, Mr. Peck dan anak-anak terbawa arus penggemar baseball yang hendak naik. Pintu-pintu tertutup kembali dan kereta itu mulai bergerak meninggalkan stasiun. Saat itu barulah Pete melihat petugas FBI yang bersweater coklat. Orang itu terjepit di tengah orang banyak yang baru saja mendesak maju ke peron -dan nampak bahwa ia dengan sikap bingung memperhatikan gerbong demi gerbong yang lewat di depan hidungnya. Sesaat ia dan Pete bertatapan mata. Kemudian kereta bertambah laju, meninggalkan stasiun dan petugas FBI itu.

Peter terjepit di antara seorang pria gempal dengan jas kotak-kotak dan seorang remaja pria yang berdiri tanpa berpegangan sambil tidak henti-hentinya mengunyah kacang. Pete beringsut menghampiri Jupiter, yang berdiri menggelantung pada pegangan yang terbuat dari logam.

"Kita kehilangan pengawal kita," kata Pete pada Jupe. "Aku melihat yang ber-sweater coklat berdiri celingukan di peron ketika kereta berangkat meninggalkan stasiun."

"Pengawal?" kata seorang wanita kurus yang rambutnya dibungkus ikat kepala berwarna lembayung. Wanita itu berdirinya nyaris menempel pada Jupe, tapi ia bicara dengan suara lantang.

"Kalian punya pengawal? Wah, hebat! Ada apa pada kalian yang perlu dijaga?" Ia terkekeh, seperti baru saja mengatakan sesuatu yang kocak. Beberapa orang penumpang ikut tertawa sambil memandang ke arah Pete.

Tiba-tiba timbul keisengan Jupiter. "Jangan khawatir," katanya pada Pete. "Kau tidak memerlukan pengawalan lagi. Masa inkubasi itu mestinya sudah lewat kemarin."

Wanita kurus itu langsung tegang. Sikapnya, berubah, menjadi curiga

"Masa inkubasi?" katanya dengan suara melengking. "Masa inkubasi apa? Kau mengidap penyakit menular?"

"Tidak!" kata Pete buru-buru. "Kawanku ini cuma bercanda."

Tapi bantahannya itu malah menambah kecurigaan wanita itu. Ia langsung menjauh, lalu turun di perhentian berikut. .

Masih banyak lagi penumpang yang juga turun dalam perjalanan menuju Manhattan. Tidak lama kemudian Mr. Peck dan Bob bisa berkumpul dengan Pete dan Jupe di bagian tengah kereta yang agak kosong.

"Pete tadi melihat petugas FBI yang mengawasi kita berdiri di peron," kata Jupe pada Mr. Peck. "Ia tidak berhasil masuk ke kereta. Kita sekarang sendiri."

"Itu bukan cerita baru," kata Mr. Peck. "Dan kelihatannya. itu juga tidak apa, karena aku tidak melihat Snabel atau temannya di sini."

Itu memang benar. Anak-anak kini bisa dengan leluasa memandang isi kereta, dari ujung ke ujung. Dari para penumpang yang masih ada tidak satu pun yang ada kemiripannya dengan Snabel atau Bartlett.

Mr. Pe-k dan anak-anak turun di perhentian Forty-Second Street. Mr. Peck melihat bahwa di dekat situ ada terowongan. Lewat terowongan itu mereka akan keluar dari kompleks stasiun dua blok lebih dekat ke hotel. Anak-anak berpandang-pandangan, karena terowongan itu gelap. Akhirnya mereka mengangkat bahu lalu mengikuti Mr. Peck yang sudah lebih dulu masuk ke situ. Ketika mereka berada di tengah-tengah terowongan, terdengar suara orang memanggil.

"Ben Peck!"

Dalam terowongan itu hanya ada satu orang selain mereka. Orang itu menyongsong ke arah mereka sambil tersenyum. Tubuhnya kelihatan lebih pendek daripada yang ada dalam ingatan anak-anak. Atau mungkin juga lebih gemuk, karena ia memakai mantel hujan yang longgar.

"Snabel!" seru Mr. Peck.

"Lama juga kita tidak ketemu," kata Snabel.

Terowongan itu sangat sepi, sehingga anak-anak bisa mendengar bunyi air menetes entah di mana di dalamnya. Kemudian terdengar suara orang berbicara di belakang mereka.

"Kemarikan tas kamera itu," kata orang itu.

Ternyata dia orang yang mereka lihat di Monterey. Ia menggenggam pistol, yang diacungkan ke arah Bob.

Bob buru-buru menyerahkan tas kameranya kepada orang tak dikenal yang berpenampilan anggun itu. Orang itu melongok sebentar ke dalam tas untuk memeriksa apakah rol-rol film ada di dalamnya. Lalu ia memandang Snabel sambil mengangguk. "Oke," katanya pada Mr. Peck dan anak-anak. "Semuanya masuk ke situ."

Ia menggerakkan pistolnya, menunjuk sebuah pintu di dinding terowongan. Snabel mengorek tembok yang terpasang pada pintu itu sehingga terbuka. Di belakangnya terdapat ruangan sempit berisi sejumlah sapu, sepon, dan botol-botol yang isinya bahan pembasmi kuman.

Begitu anak-anak dan Mr. Peck sudah masuk, pintu ditutup lagi. Terdengar bunyi sesuatu disorongkan pada sangkutan di bagian luar pintu untuk mengancingnya. Lalu Snabel dan Bartlett pergi.

"Tolong!" seru Pete. "Kami terkurung di sini!"

-Bab 18 BOB BERAKSI

-SETELAH lama sekali rasanya mendekam dalam ruangan sempit itu, seseorang yang kebetulan lewat mendengar bunyi samar gedoran dan teriakan mereka lalu buru-buru melapor kepada penjaga karcis di ujung terowongan. Petugas itu datang untuk membukakan, diiringi seorang polisi ronda. Ketika polisi itu hendak menanyai bagaimana mereka sampai bisa terkurung di situ, Mr. Peck malah marah dan bergegas kembali ke hotel, dari mana ia kemudian menelepon Mr. Anderson.

Petugas FBI itu datang dengan segera. Sikapnya tenang-tenang saja.

Dan itu menyebabkan Mr. Peck semakin marah.

"Jadi inilah gunanya kami membayar pajak!" sergahnya. "Kami sudah mempertaruhkan nyawa, untuk membantu kalian menangkap sepasang mata-mata berbahaya. Tapi ketika pancingan mereka sambar, kalian di mana? Tidur semuanya!"

"Anda benar, Mr. Peck," kata Mr. Anderson dengan tenang.

Setelah itu Mr. Peck menceritakan segala peristiwa yang terjadi hari itu. Dengan panjang-lebar dituturkannya pengalaman terkurung dalam ruangan sempit dan pengap berisi sapu-sapu basah yang baunya menusuk hidung.

"Keterlaluan!" serunya mengakhiri penuturan.

"Ya, memang," kata Mr. Anderson mengiakan. "Seharusnya itu tidak boleh sampai terjadi."

Mr. Peck duduk. Ia merasa dirinya sudah menjadi jauh lebih tenang. Sementara itu Mr. Anderson melanjutkan, "Agen-agen kami sementara ini sudah dikerahkan untuk mengawasi semua jalan keluar dari New York City-bandar udara, stasiun kereta api dan bus, terowongan, jembatan, pokoknya semuanya. Besar kemungkinannya kami bisa menangkap kedua orang itu jika mereka mencoba meninggalkan kota."

"Tapi kalau mereka tidak lari?" kata Mr. Peck. "Apakah kami harus terus begini, menjadi bulan bulanan?"

"Sama sekali tidak," kata Mr. Anderson. "Bagi kalian, kasus ini sudah selesai. Kedua orang itu takkan merongrong kalian lagi. Snabel kini sudah tidak punya urusan dengan kalian lagi, karena ia sudah menyerahkan rol-rol film kepada Bartlett. Dan begitu Bartlett melihat bahwa foto-foto itu palsu, ia akan dengan segera sadar bahwa foto- foto yang asli ada di tangan kami. Jadi ia akhirnya kalah dan kami yang menang!’ -

-"Tapi bahaya masih tetap ada, karena keduanya masih bebas," kata Mr. Peck.

Mr. Anderson tersenyum. "Edgar Snabel takkan mungkin lagi bisa mencuri rahasia negara," kata petugas FBI itu. "Anda yang membuka kedoknya, dan untuk itu Anda boleh merasa bangga. Ia tidak bisa melamar pekerjaan di bidang industri pekerjaan, karena untuk itu diperlukan penelitian sidik jari. Jika ia nekat juga dan melamar dengan nama palsu, ia pasti akan ketahuan juga. Tapi kemungkinannya ia takkan berani mencoba. Ia akan menghilang, dan kemudian hidup di salah satu tempat dengan nama lain."

"Tapi bagaimana dengan bajingan yang bersama dia? Orang yang kata Anda antara lain memakai nama Bartlett itu?" tanya Mr. Peck dengan ketus. "Bagaimana jika mencoba beraksi lagi?"

"Kemungkinannya itu akan dilakukan olehnya, jika kami tidak berhasil menangkapnya," kata Mr. Anderson. "Tapi kami berusaha sekuat tenaga untuk meringkusnya. Sementara itu, Mr. Peck - anak-anak - kami sangat berterima kasih atas bantuan yang kalian berikan. Jangan kalian kira kasus ini sepele, atau tidak penting. Tidak, ini kasus yang sangat penting artinya!" .

Setelah itu ia pergi, meninggalkan Mr. Peck dan anak-anak dalam perasaan tidak menentu.

"Sialan!" tukas Pete.

Jupe mengangguk dengan wajah serius "Rasanya seperti harus tidur di ranjang yang acak-acakan," katanya. "Ada keinginan bangun lagi lalu mengencangkan letak seprai."

Tapi nampaknya tidak ada kemungkinan bagi Trio Detektif untuk bisa melakukannya. Biar sudah dipikir-pikir, tetap saja tidak muncul gagasan dengan mana bisa dilacak jejak Snabel atau Bartlett. Karenanya mereka memutuskan untuk menikmati saja sisa waktu kehadiran mereka di New York, sementara Mr. Peck mencurahkan perhatian pada hasil penemuan yang menyebabkan dia mengadakan perjalanan itu.

Keesokan harinya Mr. Peck pergi sepanjang hari. Ketika menjelang malam kembali ke hotel, dikatakannya bahwa ia sudah bertemu dengan kalangan yang berwenang dan urusannya kelihatannya "berjalan lancar". Hanya itu saja yang mau dikatakan olehnya.

Setelah itu dibawanya mobil Ford-nya ke garasi untuk diperiksa, agar perjalanan pulang ke California bisa terlangsung tanpa gangguan.

Selama beberapa hari selanjutnya, pagi-pagi sekali Mr. Peck sudah pergi dan baru pulang apabila sudah malam, sehingga anak-anak sendiri saja sepanjang hari. Mereka mengisi waktu dengan berwisata, mengunjungi sebuah kapal induk yang ditambatkan di Sungai Hudson sebagai museum, menyaksikan keajaiban jagat raya di Planetarium Hayden, menikmati makanan Italia di daerah pemukiman orang Italia, pesiar ke Rockfeller Center, dan berbelanja cenderamata. Empat hari setelah perjumpaan dengan Snabel yang berakhir dengan kegagalan, ketika Jupe dan kedua temannya sedang berada di sudut jalan antara Sixth Avenue dan Thirtieth Street, ada seorang wanita lewat membawa tanaman anggrek dalam pot. Tanaman itu bagus, dengan tiga tangkai bunga berwarna hijau dan coklat.

"He!" kata Bob ketika melihat wanita itu.

Reaksi Jupiter seperti biasanya, jika ingin menarik perhatian. Ia memberi hormat dengan membungkuk, lalu mengatakan, "Ini anggrek cymbidium, kan?" .

Wajah wanita itu langsung berseri. "Kau mengetahuinya! Kau juga memelihara anggrek?"

"Bukan saya, tapi paman saya Egbert," kata Jupe berbohong dengan gayanya yang biasa, sehingga wanita itu percaya.

"Aku hendak menitipkan tanamanku ini di rumah anakku," kata wanita itu, "karena ada beberapa urusan yang masih harus kuselesaikan. Aku akan memamerkannya nanti malam. Kurasa aku akhirnya akan bisa memenangkan hadiah juga."

"Ada pameran anggrek rupanya, ya?" kata Jupe dengan nada bertanya.

"Bukan pameran," kata wanita itu, "tapi cuma pertemuan bulanan kelompok penggemar anggrek setempat. Sir Clive Stilton akan menyampaikan ceramah. Dia itu benar-benar ahli tentang anggrek. Kenapa kalian tidak datang saja? Nanti kami juga akan melelang tanaman, dan kau bisa membawa oleh-oleh anggrek untuk pamanmu itu. Kalian tinggal di New York?"

-"Tidak," kata Jupiter, "di California:’

Wanita itu menitipkan tanamannya sebentar pada Pete, lalu membuka tasnya. Dikeluarkannya selembar kartu lalu ia menuliskan alamat di atasnya. "Pukul delapan malam, di Hotel Statler Royal," katanya. "Kalian mampirlah nanti. Pamanmu pasti tertarik jika mendengar bahwa kalian sempat melihat Sir Clive. Salah seorang anggota kami nanti akan merekam ceramahnya, dan kalau berminat kalian juga bisa memesannya."

Ia mengambil kembali tanamannya yang tadi dititipkan pada Pete, lalu pergi meninggalkan anak-anak.

Jupe membaca kartu nama yang diberikan wanita itu. Namanya Helen Innes McAuliffe, dan tinggalnya di Riverdale, New York. Hotel Statler Royal yang disebutnya tadi terletak di Seventh Avenue, jadi di jalan besar yang sejajar dengan Sixth Avenue di mana mereka saat itu berada.

"Jika pertemuan kelompok penggemar anggrek itu diumumkan dalam harian-harian, mungkin saja Snabel juga membacanya," kata Jupe.

"Kemungkinan itu sudah melintas dalam pikiranku, begitu kau tadi menyapa wanita itu," kata Bob. "Menurutmu, ada kemungkinan Snabel masih di kota ini? Dan berani datang ke pertemuan penggemar anggrek itu? Ingat, dia sekarang kan harus menyembunyikan diri."

"Siapa tahu, kan?" kata Jupe. "Jika ia masih ada di sini tentunya ia juga" ingin mengisi waktu, dan menurut Mr. Peck satu-satunya yang bisa menarik perhatiannya adalah anggrek."

"Ya, memang mungkin saja ia nanti-muncul di sana," kata Pete. "Lagi pula, apa ruginya bagi kita?"

Anak-anak berembuk sebentar, apakah pergi minta ditemani Mr. Peck nanti malam. Pete berkeberatan. "Nanti Kakek mengamuk lagi, jika Snabel ternyata muncul," katanya. "Tekanan darah Kakek bisa semakin tinggi saja karenanya!" "Tapi bagaimana jika kita pergi sendiri, lalu itu kemudian ketahuan olehnya?" kata Bob.

Pete mengernyit, ngeri membayangkan kemungkinan itu.

Dengan perasaan bimbang karena tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, anak-anak kembali ke hotel. Di sana mereka diberi tahu bahwa Mr. Peck tadi menelepon untuk mengatakan bahwa ia masih ada urusan di tempat lain sampai larut malam. Anak-anak disuruhnya pergi makan malam sendiri, lalu menonton film jika mau.

Sehabis makan malam, anak-anak naik bus ke Hotel Statler Royal, lalu naik lift ke lantai dua belas, ke ruang pesta.

Ruang pesta itu ternyata tidak begitu megah. Hotel itu sendiri sudah tua. Karpet merah yang menutupi lantai sudah gundul di sana-sini. Ketika anak-anak keluar dari lift, mereka disambut seorang pria gemuk yang memakai kemeja putih yang longgar. Pada kemejanya itu terpasang lencana nama, dan di situ tertulis bahwa nama orang itu Walter Bradford, dari Syosset. Mr. Bradford senang sekali ketiga remaja itu tertarik pada anggrek, dan ia yakin Jupiter nanti pasti bisa memperoleh pita rekaman ceramah Sir Clive sebagai oleh-oleh untuk Paman Egbert.

"Sir Clive akan berbicara tentang pembudidayaan," kata Mr. Bradford. "Pentingnya memilih bibit yang baik. Pasti akan menarik sekali!"

Pete dan Bob berpandang-pandangan dengan sikap skeptis.

Mr. Bradford meninggalkan mereka, karena harus menyambut beberapa anggota perkumpulan yang saat itu keluar dari lift. Anak-anak lantas pergi memeriksa susunan ruang di lantai dua belas itu.

Ruang pesta menempati sebagian besar lantai itu. Di gang yang terdapat di luar pintu masuk ke ruang itu ada dua lift untuk tamu-tamu hotel. Di samping kedua lift itu terdapat sebuah pintu. Di balik pintu itu ada ruangan tangga. Kamar-kamar kecil untuk tamu terletak di ujung lorong di sisi kanan, dan sebuah lift untuk karyawan terdapat di tengah gang di sebelah kiri. Setelah lift itu ada ruangan berpintu, yang merupakan dapur tempat meracik hidangan. Di seberang pintu dapur itu ada pintu yang menuju ke ruang pesta, sementara di ujung gang terdapat sebuah pintu berat yang kelihatannya merupakan jalan keluar ke suatu ruang tangga lagi. Tapi ketika Pete membuka pintu berat itu dan melongok ke luar, yang nampaknya hanya balkon sempit yang dibatasi pagar pengaman. Untuk pergi dari balkon itu tidak ada jalan lain kecuali lewat pintu berat yang

dibuka oleh Pete. Dan pintu itu hanya bisa dibuka dari dalam.

Setelah memastikan bahwa kalau Snabel muncul pasti harus naik lift atau lewat tangga di ujung gang, anak-anak kembali ke ruang pesta. Mereka melihat Mr. Bradford sudah berdiri di mimbar pembicara. Ia mengetuk-ngetuk meminta perhatian dan menyilakan para pengunjung duduk agar acara pertemuan bisa dimulai.

Para penggemar anggrek yang bergerombol-gerombol di pinggir ruangan di mana nampak anggrek-anggrek dipajang di atas meja-meja pameran, dengan segera mengambil tempat duduk di kursi-kursi kecil dicat keemasan yang diatur berjejer-jejer. Lampu-lampu di langit-langit ruangan yang sudah redup dikecilkan sehingga ruangan bertambah remang-remang, dan dengan tiba-tiba ada sinar lampu sorot yang diarahkan ke mimbar pembicara.

Mr. Bradford mengucapkan kata-kata sambutan lalu dengan segera memaparkan maksud pertemuan itu, yaitu mendengarkan ceramah tamu kehormatan malam itu, Sir Clive Stilton. "Sir Clive akan mempertunjukkan sejumlah slide dari anggrek-anggrek koleksinya," kata Mr. Bradford "dan ia juga akan membahas betapa pentingnya memilih tanaman bibit yang kuat dalam proses penyilangan, agar bisa diperoleh hibrida yang bagus.

-"Aduh," keluh Pete, "bisa-bisa tertidur aku nanti mendengar begini terus!"

Seorang wanita yang duduk di deretan sebelah depan Pete berpaling dan mendesis menyuruhnya diam.

Pete merendahkan duduknya, sementara seorang pria yang sangat kurus dan berwajah kemerah-merahan seperti bayi menghampiri mimbar pembicara sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Selama beberapa saat ia tidak mengatakan apa-apa, melainkan hanya menatap para penggemar anggrek yang duduk berjejer-jejer di depannya. Wajahnya berseri-seri. Kemudian barulah ia membuka mulut.

"Mr. Bradford baru saja mengatakan senang karena yang tampil untuk berbicara malam ini seorang pembudidaya basah, karena yang berceramah sebelum ini pembudidaya kering. Saya sendiri tidak bisa mengatakan bahwa saya ini pembudidaya basah murni."

Tubuh Pete terguncang-guncang karena menahan tertawa. Bob menyikutnya, menyuruh diam. Jupe menatap lurus ke depan sambil memaksa diri jangan sampai tertawa.

Di belakang mereka terdengar bunyi pintu berdecit. Jupe berpaling ke arah bunyi itu.

"Tolong matikan lampu-lampu," kata Sir Clive yang hendak memulai ceramahnya.

Mr. Bradford bergegas melakukannya, dan sesaat lamanya ruangan menjadi gelap-gulita.

Kemudian terdengar desuman proyektor, dan pada sebuah tabir muncul gambar slide yang menampakkan pembicara dalam rumah kacanya. Ia berdiri membungkuk di depan sebuah meja yang penuh dengan tanaman.

"Sekarang, bagaimana caranya memilih bibit yang paling baik? Satu cara adalah dengan melihat bunganya, jika usaha budidaya kita itu untuk bunganya. "Dan bukankah itu yang paling banyak diminati?" kata Sir Clive.

Salah satu pintu ke gang terbuka. Di ambangnya nampak sosok tubuh seseorang yang gemuk. Orang itu rupanya hendak membiasakan matanya dulu dengan kegelapan di dalam ruangan.

Sementara itu pembicara di mimbar mencerocos terus tentang berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam membudidayakan anggrek. Orang yang tadi berdiri di ambang pintu masuk ke dalam ruangan yang gelap. Pintu tertutup lagi.

Jupe menyikut Pete, lalu berdiri dan sambil meraba-raba menuju ke sisi belakang ruangan. Pete dan Bob mengikutinya.

"Kurasa yang baru masuk tadi itu Snabel," kata Jupe berbisik-bisik.

"Aku akan mencoba menelepon Mr. Anderson."

Ia menyelinap ke luar, tanpa terlalu lebar membuka pintu. Bob dan Pete menyusul. Ketiga anak itu memandang ke kiri dan ke kanan dalam gang, mencari-cari telepon.

-Mereka mendengar bunyi pintu dibuka, tidak jauh dari tempat mereka. Bukan pintu besar antara gang dan ruang pesta, tapi yang lain. Jadi mestinya yang terdapat dekat dapur.

Snabel-kah yang keluar itu? Apakah ia mengenali anak-anak ketika mereka meninggalkan ruang pesta? Mestinya sosok tubuh mereka nampak sesaat ketika berada di ambang pintu, karena diterangi sinar lampu yang menyala dalam gang.

Terdengar bunyi langkah orang berjalan dalam lorong di sisi kiri, ditingkahi bunyi gemerincing piring dan cangkir. Sesaat kemudian terdengar bunyi dengungan lift karyawan yang naik dari lantai bawah.

Anak-anak menyelinap ke ujung gang sebelah kiri, lalu mengintip ke dalam lorong di mana terdapat pintu lift karyawan. Mereka melihat seorang pria bersetelan warna gelap berdiri di situ membelakangi mereka. Ia menating baki yang penuh dengan cangkir

Pelayan! Ternyata yang datang itu pelayan hotel, yang mengambil baki berisi cangkir-cangkir kotor.

"He! Ia memakai sepatu santai," Karena terkejut, Bob tidak menyadari bahwa ia berseru.

Pelayan itu kaget mendengar suara Bob. Ia memalingkan kepalanya sedikit, dan anak-anak melihat wajahnya dari samping.

"Tahan begitu sebentar, Mr. Snabel," kata Bob

"Saya ingin mengambil foto Anda."

-Bob memang selalu membawa kamera fotonya ke mana-mana. Diarahkannya lensa ke pelayan tadi

Snabel menerjang ke arah Bob sementara lampu blitz menyala. Terdengar bunyi cangkir-cangkir pecah berantakan karena jatuh ke lantai.

Saat itu pintu lift terbuka. Jupe dan Pete lari mengitari Snabel dan masuk ke lift itu. Jupe menekan tombol darurat yang menghentikan lift di tempatnya sedang berada. Pete mengayunkan tangannya, menabok kenop merah untuk membunyikan tanda bahaya. Seketika itu juga ada bel berdering-dering tanpa henti.

"Polisi!" teriak Bob, yang berdiri di luar pintu utama ruang pesta. "Tolong! Pembunuhan!"

Pintu ruang pesta terbuka, tepat pada saat tangan Snabel sudah hendak mencengkeram leher Bob.

Sekali lagi Bob menjepretkan tustelnya. Mr. Bradford muncul dalam gang. Mukanya tergerenyot karena marah. "Jangan berisik di sini!" teriaknya.

Snabel tertegun, karena bingung dan juga silau kena lampu blitz yang menyambar dekat matanya.

"Polisi!" jerit Bob. "Cepat, panggil polisi" Sekali lagi lampu blitz menyala, kali ini tepat di depan muka Snabel.

Snabel terhuyung ke belakang. Kedua tangannya menutupi mukanya sesaat. Kemudian ia lari ke lift karyawan. Namun di situ ada Jupe dan Pete. Snabel menyerbu ke arah mereka. Tapi kemudian dilihatnya pintu yang terdapat di ujung lorong. Ia masih bisa melihatnya walau matanya berkunang-kunang. Dengan segera ia mengubah arah, menuju ke pintu itu.

"Awas!" seru Pete. Tapi sudah terlambat. Snabel merenggut pegangan pintu dan membukanya, lalu lari ke luar.

Pintu tertutup lagi dan langsung terkunci dari dalam.

Sementara itu orang-orang yang sedang mengikuti ceramah tentang anggrek bermunculan dari dalam ruang pesta dan berkerumun dalam gang. Ada yang dengan perasaan takut, tapi banyak juga yang cuma ingin tahu apa yang menyebabkan keributan.

Sementara itu bel tanda bahaya sudah tidak berdering lagi.

Dalam kesunyian yang terjadi selama sesaat, terdengar jelas suara orang berteriak. Datangnya dari balik pintu di ujung lorong.

"Tolong!" Orang yang berteriak itu Snabel. Ia menggedor-gedor pintu. "Bukakan pintu! Tolong! Aku takut jatuh!"

Dengan tenang, Jupe menoleh ke arah Mr. Bradford. .

"Di manakah pesawat telepon yang terdekat, Mr. Bradford?" tanyanya. "Saya perlu menelepon - memanggil FBI."

-Bab 19 MR. SEBASTIAN MENTRAKTIR MAKAN

-RESTORAN itu benar-benar mewah. Taplak mejanya kain linen putih yang halus, dan jendelanya dihiasi tirai dari brokat. Permadani yang terhampar di lantai begitu tebal, sehingga tidak terdengar langkah orang berjalan di atasnya.

Tidak ada kartu daftar hidangan seperti di restoran-restoran lain, melainkan kepala pelayan yang datang dan dengan suara lirih menyarankan hidangan apa saja yang sebaiknya dipilih. Kemudian seorang pelayan lain dengan jas panjang berwarna biru dan rompi bergaris-garis datang menyajikan hidangan. Hidangannya, sejenis masakan udang, lain sama sekali dari masakan udang yang pernah dimakan oleh Jupe dan kedua temannya. Dan hidangan itu juga tidak banyak.

Orang yang mentraktir, sahabat mereka Hector Sebastian, memandang berkeliling sambil tersenyum hambar.

"Dulu, sewaktu aku masih menjadi detektif swasta di kota ini, aku tidak mampu makan di sini," katanya. "Sekarang, setelah aku mapan sebagai pengarang kisah-kisah misteri dan menulis untuk film, aku mampu membayar makan di mana saja aku mau. Tapi kenapa aku sampai memilih tempat ini? Pasti nanti siang aku harus makan lagi."

Mr. Sebastian meneguk air mineral lalu nyengir "Walau begitu, enak juga punya uang! Sekarang. bagaimana dengan kasus kalian itu? Aku dengan segera menelepon Bibi Mathilda, Jupe, ketika berita tentang Edgar Snabel muncul di koran koran. Bibimu itu kaget sekali. Katanya, menurut rencana kalian ini pesiar dengan kakek Pete. Ia tidak mengerti, kenapa kalian tahu-tahu diberitakan mengejar mata-mata. Begitu pula ada urusan apa kalian menghadiri pertemuan perkumpulan penggemar anggrek!"

Pete meringis. "Kami memang sedang berlibur di sini," katanya, "tapi sekaligus juga sedang, menangani kasus, atas permintaan ibuku."

Diceritakannya pesan ibunya untuk mengawasi Kakek, agar jangan terlibat dalam kesulitan.

"Kami memang melakukannya," kata Pete, "tapi selain itu masih kami alami juga hal-hal lain yang sama merepotkan." "Begitulah yang kudengar," kata Mr. Sebastian. "Untung bagiku bahwa aku ada di New York bersamaan dengan kedatangan kalian. Aku kenari ini untuk menyerahkan naskah bukuku yang terbaru kepada Penerbit Batemann, Watts. Mereka yang menerbitkan bukuku yang terakhir sebelum ini. Menurut agenku mereka ingin sekali mendapat hak menerbitkan bukuku yang terbaru. Judulnya... Kesunyian Maut."

"Apa judulnya?" kata Jupiter. "Kesunyian Maut? Hebat juga kedengarannya. Kisahnya tentang apa?"

"Kalian akan kuberi satu kopi begitu sudah selesai dicetak,- kata Mr. Sebastian. "Sekarang ini aku ingin mendengar tentang kasus kalian. Kalian akan menuliskan kisahnya... seperti biasanya?"

"Saya memang sudah sibuk menyusun catatan kami mengenainya," kata Bob. "Kami merasa senang ketika Anda menelepon ke hotel tadi pagi, karena kami memang ingin meminta Anda menulis kata pendahuluan untuk itu."

"Terang saja aku mau," kata Mr. Sebastian. "Tapi ceritakanlah lebih banyak mengenainya."

Anak-anak mulai dengan perjumpaan yang pertama dengan Snabel di Pismo Beach, dan mengakhiri dengan penuturan bersemangat tentang peristiwa yang terjadi di Hotel Statler Royal.

"Hebat!" kata Mr. Sebastian mengomentari. "Dan reaksi kalian benar- benar profesional, ketika menyadari bahwa pelayan di hotel tidak selayaknya memakai sepatu santai! Tapi aku heran tentang satu hal. Kenapa kalian sampai tidak melihat alat pelacak jejak yang dipasangkan di bawah tangki bensin ketika kalian memeriksa ke bawah kolong mobil di Santa Rosa? Mestinya kalian langsung melihatnya waktu itu." "Itu kesalahanku," kata Jupe. "Saat itu tengah malam dan senter kami sudah habis semua baterainya. Aku lupa mengecek lagi, karena sibuk dengan berbagai kejadian yang menyusul setelah itu. Dan waktu itu kami belum begitu mengacuhkan pernyataan Mr. Peck yang menuduh bahwa Snabel itu mata-mata. Padahal ia benar!

"Kami takkan bisa sepenuhnya mengetahui kejahatan yang dilakukan olehnya. Urusan itu sangat rahasia sifatnya, jadi tidak banyak yang dikatakan oleh FBI pada kami. Tapi dari Mr. Anderson kami masih mendapat keterangan bahwa Snabel memiliki izin untuk memasuki tempat-tempat terlarang di pabrik tempat dia bekerja. Ia bekerja sebagai tenaga ahli elektronik di situ, dan pabrik itu memproduksi perlengkapan pesawat terbang. Snabel dipecat karena tidak bisa akur dengan rekan-rekannya. Mungkin ia melakukan kegiatan mata-mata karena sakit hati, merasa diperlakukan tidak adil. Sebelum berhenti ia sempat memotret berbagai obyek yang dirahasiakan, dan kemudian berhasil menyelundupkan kameranya ke luar.

"Ia tidak memiliki perlengkapan untuk mencuci sendiri foto-foto itu. Ia tidak berani mencucikannya ke toko foto. Jadi ia memutuskan untuk menyerahkan foto-foto beserta kameranya sekaligus kepada Bartlett. Tapi kemudian terjadilah kesialan baginya, ketika kameranya tertukar dengan kepunyaan Bob. Lalu karena setiap kali berjumpa dengan Mr. Peck, kakek Pete selalu saja mengamuk dan mengata-ngatainya sebagai mata-mata, Snabel lantas curiga. Jangan-jangan Mr. Peck mengetahui rahasianya."

"Asyik!" kata Mr. Sebastian bersemangat. "Jadi Snabel membongkar kedoknya sendiri!"

Pete mengangguk.

"Tindak-tanduk Kakek ikut mendorong," katanya. "Dan semakin jauh perjalanan kami, semakin panik saja Snabel jadinya. Ia harus berhasil merampas kembali rol filmnya yang ada pada Bob, sebelum Bob mengetahui apa yang ada pada rol itu lalu melapor pada pihak yang berwenang. "

"Lalu, apa yang terjadi dengan orang yang salah satu namanya Bartlett itu?" tanya Mr. Sebastian.

Tampang Jupe dan kedua temannya langsung nampak lesu.

"Kelihatannya ia berhasil meloloskan diri," kata Jupe mengaku. "Mr. Anderson mengatakan bahwa orang itu terlihat ada di Wina sehari setelah Snabel ditangkap. Jadi Bartlett berhasil meloloskan diri dari perangkap yang dipasang FBI."

"Tidak mengherankan - karena rupanya dia itu mata-mata yang berpengalaman." kata Mr. Sebastian mengomentari.

"Tapi jika ia menyerahkan film yang dirampasnya dari Bob kepada pihak yang berminat atau mungkin juga yang menugaskannya. Lalu ketahuan bahwa foto-foto itu ternyata palsu, ia pasti akan mengalami kesulitan! Jadi setidak-tidaknya kami berhasil menggagalkan aksinya sekali ini."

-Mr. Sebastian mengangguk "Dan bagaimana dengan kakekmu, Pete? Berhasilkah ia menjual hasil penemuannya?"

"O ya," kata Pete dengan bangga. "Sekali ini ia benar-benar berhasil. Itu tidak harus berarti ia lantas menjadi kaya-raya, tapi sekali ini idenya benar-benar ada gunanya."

"Kami tidak bisa menemukan penemuan itu dalam mobil, karena memang tidak ada di situ. Mr. Peck ternyata mengirimkannya lewat pos ke

Riverview Plaza, di mana kami mula-mula menginap," kata .Jupe. "Ia memesan agar barang itu disimpan sampai ia datang untuk mengambil. Jadi penemuannya itu disimpan dalam lemari besi hotel selama itu. Itu sebabnya reaksinya hanya marah ketika mengira bahwa Snabel hendak merampasnya. Mr. Peck marah, tapi tidak takut! "

"Apa sebetulnya penemuan itu?" tanya Mr. Sebastian. "Kenapa begitu dirahasiakan?"

"Karena memang merupakan rahasia militer," kata Pete. "Sebetulnya bukan militer, tapi penting artinya bagi program antariksa negara kita. Penemuan itu semacam katup model baru yang idenya diperoleh kakek ketika ia sedang mereka-reka peralatan penyemprot air untuk mencegah kebakaran, yang hendak disumbangkannya pada gereja. Katup itu dilengkapi dengan alat otomatis. Selain ukurannya lebih kecil dari katup yang sekarang dipakai kerjanya juga lebih efisien. Dengannya bisa - diatur suhu dan tekanan udara dalam pakaian antariksawan, sehingga pakaian itu tidak perlu lagi sebesar sekarang ukurannya karena bahan pelapis sebagai isolasi tidak perlu tebal. Jadi para antariksawan kita nanti bisa lebih leluasa bergerak pada saat berada di luar pesawat mereka."

"Jadi ia benar-benar berhasil menciptakan sesuatu yang penting artinya!" kata Mr. Sebastian.

"Betul! Dan sekarang Kakek sibuk mengadakan perembukan dengan salah satu perusahaan yang merupakan pemasok utama untuk Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA. Ia didampingi seorang pengacara hukum, dan sementara ini sudah disusun perjanjian-perjanjian mengenai penemuannya itu. Terus terang, sayang Kakek belakangan ini begitu sibuk. Ia kadang-kadang memang bisa membikin senewen, tapi pada umumnya asyik jika ia ada." "Kedengarannya, kakekmu itu memang sangat bersemangat," kata Mr. Sebastian. "Dan kau kini sudah benar-benar akrab dengannya."

Pete tersenyum mengiakan.

"Nah, Anak-anak," kata Mr. Sebastian lagi, "jika kalian diizinkan pergi sendiri sore ini, aku punya sesuatu yang kemungkinannya akan menarik bagi kalian. Aku punya karcis pertunjukan teater di Broadway, yang menampilkan cerita berjudul Jebakan Maut! Kisahnya sangat berliku- liku. Pokoknya, misterius!"

"Wah, asyik," kata Jupiter. Pete dan Bob mengangguk dengan gembira.

-"Kalau begitu sekarang saja kita berangkat, supaya jangan sampai terlambat," kata Mr. Sebastian.

"Tapi masih ada satu permintaan, Mr. Sebastian," kata Jupiter sambil berdiri.

"Apa itu, Jupe?" tanya Mr. Sebastian.

"Bisakah kita mampir untuk makan sebentar dalam perjalanan ke sana?" -Selesai