TRIO DETEKTIF MISTERI KEJARAN TEROR
Ebook by Syauqy_arr
OCR by Raynold
Kata Pembuka dari
Hector Sebastian
-AKU mendapat kehormatan untuk memperkenalkan Trio Detektif
pada pembaca yang belum tahu siapa mereka. Tapi jika Anda sudah mengenal ketiga
remaja itu, kupersilakan langsung mulai dengan Bab 1.
Kita mulai saja dengan
Jupiter Jones, pemimpin mereka. Anak. itu lebih cerdas dari rata-rata remaja,
dan dibandingkan dengan kebanyakan orang yang kukenal, ia lebih sering membaca
dan ingatannya juga lebih hebat. Ia juga mampu menarik kesimpulan yang
mengagumkan dari sejumlah kecil fakta saja.
Dari ketiga anggota Trio
Detektif itu, Pete Crenshaw yang paling atletis tubuhnya; ia juga periang,
bisa" diandalkan" dan berwatak santai. Menurut pendapatnya, Jupe
kadang-kadang seperti suka mencari-cari kesulitan, dan mungkin bukan dia
sendiri yang berpendapat begitu.
Bob Andrews berwatak tenang
dan agak pendiam. Dalam kelompok detektif remaja itu ia yang menangani tugas
riset dan data. Tapi ini tidak berarti ia enak-enakan saja sementara kedua
temannya melakukan berbagai tindakan yang menyerempet-nyerempet bahaya. Bob
sama beraninya seperti kedua temannya.
Aku sendiri mantan
detektif yang kini menjadi penulis novel misteri.
Aku berkenalan dengan Trio
Detektif lewat kasus seorang pengemis bermuka rusak. Tapi itu cerita lain-di
sini cukuplah jika kukatakan bahwa kalau aku mendengar ada misteri yang
mengasyikkan, mereka pasti kuberi tahu. Selain itu aku juga menuliskan kata
pendahuluan untuk kasus-kasus mereka yang terbaru.
Kasus sekali ini
ditemukan sendiri oleh Trio Detektif. Di dalamnya, ketiga remaja itu
meninggalkan Rocky Beach, kota tempat tinggal mereka, untuk mengadakan
perjalanan berlibur melintasi benua Amerika ke arah timur. Namun perjalanan
yang semula dimaksudkan untuk bersenang-senang itu menjelma menjadi pelarian
dari teror yang mengejar-ngejar, yaitu sewaktu mereka dibuntuti terus oleh
marabahaya yang tidak mereka ketahui dengan jelas wujudnya.
Kalian ingin tahu
bagaimana selanjutnya? Nah, mulai saja. dengan Bab 1, di mana petualangan
mereka berawal!
HECTOR SEBASTIAN
Bab 1 GARA-GARA KAKEK
PINTU dapur dibuka dengan
cepat, lalu dibanting hingga tertutup lagi. Mrs. Crenshaw masuk ke dapur dengan
wajah marah. Mukanya merah padam, sementara mulutnya dikatupkan rapat-rapat.
"Bisa sakit jantung aku
karena si Tua itu!" tukasnya sengit. "Ada-ada saja perbuatannya!
Kalau aku mati karenanya, baru tahu rasa dia!"
Ia melotot ke arah Pete, lalu
pada kedua teman anaknya itu, Jupiter Jones dan Bob Andrews.
"Basah
kuyup!" tukas Mrs. Crenshaw lagi. "Para anggota Persatuan
Wanita-semuanya basah kuuyup! Mrs. Harrison yang menceritakannya padaku tadi,
sewaktu berjumpa di pasar." "Wah, wah," kata Pete,
"lagi-lagi Kakek!"
"Siapa lagi
kalau bukan dia?" sergah ibunya. "Mau tahu apa yang diperbuatnya
sekali ini? Karena kebaikan hatinya, ia menyumbangkan peralatan penyembur air
yang baru guna memadamkan api kepada gereja. Tentu saja hasil ciptaannya
sendiri, dengan perlengkapan pengaktif yang sangat peka. Begitu ada asap
sedikit saja, alat itu langsung bekerja Semuanya Kakek sendiri yang
memasangkan, di ruang serambi gereja. Nah, kemarin kaum ibu mengadakan acara
peragaan busana di situ. Sedang asyik-asyiknya acara itu berlangsung, Pendeta
masuk. Tanpa mengira akan terjadi apa-apa, ia menyalakan rokok - "
Pete berusaha menahan
gerak bibirnya agar jangan tersenyum, tapi tidak berhasil.
"Jangan tertawa, karena
ini tidak lucu!" tukas Mrs. Crenshaw. Tapi detik berikut ujung-ujung
bibirnya bergerak, naik ke atas membentuk senyuman. Pete dan kedua temannya
cekikikan; sesaat kemudian semuanya sudah terpingkal-pingkal - termasuk pula
Mrs. Crenshaw.
"Di pihak lain, Kakek
berjasa juga mengkampanyekan pentingnya udara segar," katanya sambil
mengusap mata yang basah karena tertawa lalu duduk dekat meja dapur. Anak-anak
tetap berdiri menyandar pada tempat meracik sambil mengunyah kue.
"Ayahku memang lain dari
yang lain, juga ketika ia belum pensiun," kata Mrs. Crenshaw lagi.
"Pernah ia membangun rumah yang atapnya bisa dilipat ke samping.
Benar-benar gagasan edan! Tidak ada yang mau tinggal di situ, karena kalau
hujan selalu bocor!"
"Gagasan Mr. Peck, kadang-kadang memang
orisinal," kata Jupe mengomentari.
-Di wajah Mrs. Crenshaw
nampak seolah-olah ada buah yang sangat kecut dalam mulutnya. "Acara peragaan
busana di gereja kemarin pagi itu, keorisinalannya pasti luar biasa."
"Sudahlah, Bu,
segala-galanya pasti akan dibereskan oleh Kakek, kan?" kata Pete
menenangkan. "Itu selalu dilakukan olehnya."
"Ya, dan itu .sebabnya
kami dulu tidak pernah bisa kaya," kata Mrs. Crenshaw. "Lihat saja,
suatu kali ia harus masuk penjara karena ide-ide sintingnya. Tidak semuanya
bisa dibereskan dengan uang."
Itu
memang benar. Beberapa waktu sebelum itu, suatu regu petugas dari Dinas
Pertamanan kota Rocky Beach hendak menebang pohon elm yang ada di depan
pekarangan rumah Mr. Peck, kakek Pete, karena pohon yang tinggi dan bagus itu
terserang penyakit. Tahu-tahu pria yang sudah berumur itu menghambur ke luar
dengan membawa pentungan baseball, sehingga ketiga petugas yang sudah siap
untuk menebang lari pontang-panting kembali ke truk mereka. Kemudian dua orang
bawahan Chief Reynolds datang dan berusaha membujuk Mr. Peck. Tapi kakek Pete
tetap berkeras mempertahankan keutuhan pohon miliknya. Akhirnya polisi terpaksa
menggiringnya ke penjara, dengan tangan diborgol. Mrs. Crenshaw terpaksa
membayar uang jaminan untuk membebaskannya kembali, dan harus berkeras mendesak
ayahnya agar ia menyewa pengacara hukum untuk membela perkaranya. Untung saja
dakwaan terhadap dirinya yang semula berbunyi tindak penyerangan dengan senjata
yang bisa menyebabkan kematian kemudian diperlunak menjadi perbuatan melanggar
ketertiban umum; karenanya Mr. Peck hanya harus membayar denda saja, di samping
mendapat teguran. Para petugas Dinas Pertamanan tidak berani datang lagi, dan
pohon elm yang sakit tetap tegak di depan pekarangan rumahnya, sebagai monumen
dari watak kakek Pete yang keras kepala dan lekas marah.
"Dan sekarang ia ingin ke New York," kata Mrs.
Crenshaw.
Pete terkejut.
"Tinggal di
sana?" katanya dengan nada bertanya. "Kakek mau pindah?"
"Bukan,
bukan untuk pindah. Ia menciptakan sesuatu yang menurutnya begitu penting
sampai membicarakannya saja ia tidak mau; ia hendak menawarkannya kepada
orang-orang yang berwenang mengenainya. Nampaknya orang-orang itu tempatnya di
New York. Menurut Kakek urusan itu tidak bisa dibicarakan lewat telepon. Dengan
pos juga tidak. Ia harus pergi sendiri ke sana."
"Lalu, apa
salahnya jika Kakek ke sana?" tanya Pete.
"Bagaimana
jika orang-orang yang hendak ditemuinya itu tidak mau didatangi? Bagaimana jika
mereka menyuruh dia pulang dari menyampaikan apa yang hendak dikatakannya lewat
surat saja? Kakek pasti akan terus mendesak hendak bertemu, kalau perlu secara
paksa!"
"Ah, Ibu suka
melebih-lebihkan!"
"Tidak!
Aku kan kenal watak ayahku. Mana mau dia ditolak. Dan jika orang-orang yang
hendak dijumpainya kemudian ternyata tidak tertarik pada gagasannya, ia pasti
marah dan mengatakan bahwa mereka manusia-manusia dungu, berotak udang!"
"Ah, Bu - " "Percayalah, aku kan kenal ayahku!" kata Mrs.
Crenshaw berkeras. "Ia pasti akan mengancam sambil marah-marah, sampai
akhirnya polisi terpaksa dipanggil untuk mengatasi keadaan. Kejadiannya nanti
pasti akan seperti ketika ia berhasil begitu baik menyempurnakan cara kerja
alat pemanas air dengan sinar matahari sampai-sampai air di dalamnya mendidih.
Atau seperti ketika alat barunya untuk melembabkan udara dalam ruangan - "
"Alat itu
benar-benar bisa berfungsi," kata Pete mengingatkan.
"Ya,
memang -cuma sayangnya sudah ada yang. menciptakannya lebih dulu dari Kakek,
lalu Kakek bersumpah sambil marah-marah bahwa penciptanya mencuri gagasannya.
Coba tolong jelaskan, bagaimana mungkin seseorang yang bertempat tinggal di
Dubuque, Iowa, bisa mencuri ciptaan kakekmu yang tinggal di Rocky Beach,
California. Jarak dari sini ke Dubuque kan ribuan kilometer!"
-Pete tidak
mengatakan apa-apa lagi.
Jupe dan Bob
berpandang-pandangan dengan sikap bingung.
"Kecuali adanya Kakek di
New York, yang pasti akan menyebabkan timbulnya keributan di sana, masih ada
pula masalah perjalanannya," sambung Mrs. Crenshaw.
"Kakek kan bukan baru
sekali ini naik pesawat terbang, Bu. Kita antarkan dia ke bandar udara lalu-
"
"Ia hendak naik mobil," kata Mrs. Crenshaw
memotong. Melintas benua sampai ke New York. Ia akan mengambil jalan lewat
Montana. Katanya, ia belum pernah melihat Montana; ia juga belum pernah ke
Oregon atau Washington, dan ia tidak ingin ada yang terlewat. Katanya,
kemampuannya berpikir secara kreatif paling baik jika ia sedang mengemudikan
mobil. Mungkin itu penjelasannya, kenapa ia begitu sering ditilang karena
ngebut."
Pete tertawa nyengir.
"Kalau Ibu begitu cemas, kenapa tidak ikut saja dengan Kakek? Jangan Ibu
khawatirkan Ayah dan aku di sini, sementara perjalanan itu mungkin akan
menyenangkan - "
"Perjalanan itu takkan
menyenangkan," kata Mrs. Crenshaw dengan nada yakin. "Bagiku, pasti
tidak. Itu tidak mungkin, jika bersama Kakek. Kau tahu kan, kalau kami berdua
berkumpul, dalam waktu sepuluh detik saja pasti sudah bertengkar. Jika
menurutmu naik mobil melintasi benua bersama dia itu menyenangkan, kau sajalah
yang ikut."
-Mata Pete langsung membesar.
"Sungguh, Bu? Wah, pasti mengasyikkan."
"O
ya?’ kata ibunya menantang. "Kau sanggup menjaga Kakek, agar ia jangan
terlibat dalam kesulitan? Tidak ditahan polisi dan tidak melabrak orang
lain?"
"Beres, Bu!
Maksudku, aku akan berusaha sebaik-baiknya. tapi - "
"Tapi kaurasa kau
mungkin takkan mampu, ya?" kata ibunya memotong. "Sudahlah. Kakekmu
itu memang selalu - "
Tiba-tiba Mrs. Crenshaw
tertegun. Matanya menatap Jupiter. Anak bertubuh gempal itu sedang mengunyah
kue coklat dengan penuh minat. Tapi sementara mulutnya bergerak-gerak terus,
sinar matanya menampakkan kesan seakan-akan ia sedang melamun. Walau demikian,
Mrs. Crenshaw tidak terkecoh karenanya. Jupe, begitu Jupiter dipanggil oleh
teman-temannya, adalah pemimpin Trio Detektif. Mrs. Crenshaw tahu bahwa
sementara Jupe kelihatan seperti sedang melamun atau mengantuk, ia sebenarnya
bisa saja dengan cermat memperhatikan hal-hal yang terjadi di sekelilingnya.
Mrs. Crenshaw juga tahu bahwa daya ingat Jupe nyaris sempurna. Jika ditanya,
kemungkinannya ia sanggup mengulangi seluruh percakapan yang baru saja terjadi.
Kata demi kata.
Kadang-kadang
Mrs. Crenshaw merasa kikuk jika menghadapi Jupe. Sikapnya begitu yakin. Rasanya
tidak wajar, ada anak semuda dia bersikap demikian. Tapi sekali ini menurut
perasaan Mrs. Crenshaw, Jupe merupakan jawaban yang tepat untuk menanggulangi
masalah yang dihadapi.
"Aku ingin
mengontrak Trio Detektif," katanya dengan tiba-tiba.
Trio Detektif itu nama biro
detektif remaja yang didirikan oleh ketiga remaja itu. Para orang tua mereka
menyangka bahwa anak-anak hanya iseng saja main detektif-detektifan. Padahal
Trio Detektif sebenarnya sudah cukup sering berhasil menyelesaikan kasus
misteri yang rumit - rumit.
"Ini ada kasus untuk
biro detektif amatir kalian," kata Mrs. Crenshaw lagi. "Antarkan
ayahku sampai ke New York dengan selamat, nanti kalian akan kuberi imbalan yang
pasti memuaskan."
Jupiter meringis. "Itu
bukan kasus yang biasanya kami tangani," katanya. "Kami ini detektif,
bukan pengawal."
"Anggap saja ini
pengalaman berharga," kata Mrs. Crenshaw. "Kalian kan tidak ingin
selalu melakukan hal yang sama terus? Nanti bisa bosan."
Jupe.
memandang ke arah Bob. Dilihatnya mata temannya itu bersinar. Sinar yang
mengandung harapan.
"Aku mau,"
kata Bob.
"Yah - kurasa tugas itu cukup menantang," kata
Jupe.
"Cukup, katamu?
Itu tantangan yang tidak setengah-setengah," kata Pete. "Kalau Kakek
sudah mengamuk, wah - benar-benar luar biasa!"
"Dan
ia pasti mengamuk nanti," kata Ibu Pete meramalkan. "Ia yakin bahwa
orang-orang yang kreatif semacam dia sering diperlakukan secara tidak adil, dan
itu sangat tidak disukainya. Jadi aku akan sangat berterima kasih apabila
kalian bisa menjaga jangan sampai Kakek mengamuk terhadap entah siapa
nanti."
Saat itu telepon
berdering. .
"Aduh, aku segan
menerimanya saat ini," kata Mrs. Crenshaw, yang mengira bahwa itu pasti
salah seorang anggota Persatuan Wanita yang sehari sebelumnya basah kuyup
karena perbuatan Kakek.
"Biar aku saja yang
menjawab, Bu," kata Pete sambil menghampiri pesawat itu.
"Halo," katanya. Setelah mendengarkan sebentar,
ia berkata, "Anda tahu pasti?" Ia mendengarkan lagi, lalu mengatakan,
"Sebentar, ya?
Akan saya sampaikan padanya."
Ia menoleh ke arah ibunya.
"Ini Mr. Castro, Bu - teman Kakek yang tinggal di seberang jalan. Katanya,
ia sudah berjanji dengan Kakek untuk main catur dengan dia hari ini, tapi
ketika tadi datang ke rumah Kakek, ternyata tidak ada siapa-siapa di sana. Katanya
pintu belakang terbuka dan air mengucur dari keran dapur. Menurut Mr. Castro,
mungkin ada baiknya jika kita menelepon polisi. "
"Polisi?" kata Mrs. Crenshaw. "Kurasa itu
tidak -perlu. Kakek palingpaling cuma pergi berbelanja. Sebentar lagi juga
pulang."
"Bu, mobilnya diparkir di pekarangan, tapi Kakek tidak
ada di situ. Lagi pula, mana pernah Kakek pergi tanpa menutup pintu? Dan air
dibiarkan mengucur begitu saja?"
"Ya, ampun - tapi baiklah. Aku akan
ke sana."
Saat itu Jupiter membuka mulut.
"Biar kami
saja," katanya. "Anda tadi mengatakan, ingin mengontrak Trio
Detektif. Nah, sekarang ada yang perlu kami selidiki. Anda tunggu saja di sini.
Nanti kami menelepon, dari rumah Mr. Peck."
Ketiga remaja itu bergegas keluar. Mereka bertanya-tanya
dalam hati, kesulitan apa lagi yang dihadapi kakek Pete kali ini.
-Bab 2 BERJUMPA DENGAN SEORANG MUSUH
-MR. CASTRO nampak
mondar-mandir di depan rumah Mr. Peck ketika Trio Detektif tiba di sana dengan
naik sepeda. Orangnya kurus dan kelihatanya penggugup, dengan rambut beruban
yang hanya tumbuh di pelipis dan di belakang kepala. Kulitnya coklat dan penuh
kerut. Ia nampak gugup sekali, padahal hari saat musim semi itu sangat cerah.
"Ini
bukan kebiasaan kakekmu," katanya pada Pete. "Kami sudah berjanji
akan main catur, dan dalam keadaan normal takkan mungkin ia melepaskan
kesempatan ini untuk mengalahkan aku, sebab terakhir kalinya kami main, dia
yang kalah. Kakekmu itu paling tidak suka kalau kalah."
"Ya, memang," kata Pete
sependapat.
Anak-anak masuk lewat
pintu depan, yang tidak dikunci. Mr. Castro ikut masuk. Matanya terkedip-kedip
karena gelisah. "Aku tahu, pasti ada
sesuatu yang terjadi dengan
kakekmu," katanya pada Pete. "Tidak mungkin ia pergi begitu saja,
tanpa mematikan keran dulu dan menutup pintu belakang."
Anak-anak langsung menuju
dapur. Sesampainya di sana mereka menatap bak tempat cuci piring, seolah-olah
dari situ mereka bisa memperoleh petunjuk.
"Ia
tadi bermaksud hendak memasak air," kata Jupiter. "Lihat saja, di
tempat racik ada ketel dengan tutup terbuka. Lalu ketika ia hendak mengisi
ketel dengan air, ia memandang ke luar lewat jendela itu, dan ia melihat...
sesuatu," Jupe memandang ke luar lewat jendela yang terdapat di sebelah
atas tempat cuci piring, sambil mereka-reka apa kemungkinannya yang dilihat Mr.
Peck tadi. Ia sendiri bisa melihat sebagian dari pekarangan di samping rumah,
serta pagar semak rendah dipangkas rapi yang memisahkan pekarangan Mr. Peck
dari rumah sebelah. Di batik pagar itu nampak pekarangan yang kelihatannya
tidak terurus. Rumah sebelah kelihatannya terbengkalai dengan jendela- jendela
yang sudah terkelupas catnya di sana-sini dan beberapa helai atap sirapnya
melengkung karena sudah tua dan kering ditimpa sinar matahari.
"Siapa yang
tinggal di rumah sebelah?" tanya Jupe pada Mr. Castro.
Pete yang menjawabnya.
"Seorang laki-laki bernama Snabel. Tapi tidak mungkin Kakek ada di situ.
Kakek dan Snabel saling membenci. Setiap kali bertemu, mereka pasti
perang."
"Biar begitu, kelihatannya. baru-baru ini ada orang
pergi ke sebelah dengan cara menerobos pagar," kata Jupiter. "Kalian
lihat ranting- ranting yang patah itu? Kayu pada bagian yang patah masih
kelihatan putih, dan itu berarti patahnya baru saja terjadi."
Setelah itu anak-anak
pergi ke luar dan menghampiri pagar.
"Pagar serendah ini bisa
dilangkahi dengan mudah oleh Mr. Peck," kata Jupiter.
"Ranting-ranting ini patah, mungkin secara tak disengaja tersangkut
kakinya."
Mr. Castro mengeluh.
"Terakhir kalinya Ben Peck masuk ke pekarangan Ed Snabel, orang itu
mengancamnya dengan senjata api. Mrs. Milford yang tinggal di seberang sana
melihat kejadian itu lalu menelepon polisi, dan baik Ben maupun Snabel lantas
mengajukan pengaduan. Ben mengatakan, Snabel mencuri mesin pemotong rumput
miliknya. Sedang Snabel menuduh Ben hendak masuk ke garasinya tanpa minta izin
terlebih dulu. Kemudian kedua-duanya mencabut kembali pengaduan mereka, tapi
selama beberapa waktu keadaannya benar-benar rawan di antara mereka
berdua."
"Kalau begitu kita perlu
cepat-cepat menemukan Mr. Peck dan membujuknya untuk pergi dari pekarangan Mr.
Snabel," kata Jupe. "Tentunya, itu jika ia memang ada di situ. Tapi
kurasa aku tidak mungkin keliru."
Beberapa ranting pagar semak
patah lagi ketika Jupe melangkahinya untuk masuk ke pekarangan sebelah. Ia
diikuti oleh Pete dan Bob. Mr. Castro ragu-ragu sejenak, tapi akhirnya ia ikut
juga. Lalu mereka mulai mencari, mengelilingi rumah yang tak terawat itu.
Mereka tidak perlu jauh-jauh
mencari. Di belakang rumah ada garasi, dan di belakang garasi itu ada sebuah
bangunan kecil berdinding kaca dan berkerangka kayu. Bangunan seperti itu
gunanya sebagai tempat menanam bunga dan sayur-mayur yang gampang rusak jika
terjadi perubahan cuaca. Keadaannya tidak dibiarkan terbengkalai seperti rumah
tempat tinggal yang di depan. Kerangka kayunya yang bercat putih nampak masih
baru, dan kaca dinding dan atapnya kelihatan bersih, meski buram karena
berlapis kabut.
Tiba-tiba, dari balik rumah kaca itu
terdengar suara orang bernyanyi- nyanyi dengan nada mengejek
"Cobalah lari kalau bisa, kau ketahuan sekarang,
Snabel busuk!" "Astaga!" kata Pete setengah berseru.
"Kakek?"
"Apa?"
Kepala Mr. Bennington Peck tersembul
dari balik bangunan kaca itu. Orangnya bertubuh kurus tapi ulet. Kelihatannya
masih gesit, meski sudah berumur lanjut. Matanya yang biru bersinar-sinar,
sementara wajahnya semu merah karena senang.
"He, Pete! Dan Jupiter, Bob! Coba kemari lihat apa
yang kutemukan ini: Ah, Castro! Aku tidak -melihatmu tadi. Kita sebenarnya ada
janji, ya? Maaf, kau mestinya sudah menunggu-nunggu."
"Ya, cukup lama juga,’. kata Mr.
Castro. "Aku sudah mau menelepon polisi saja, tapi keluargamu mengatakan
jangan buru-buru. Apa yang kaulakukan di situ, Peck?"
"Aku mencoba
membuka pintu rumah kaca ini," kata Mr.. Peck. Ditunjukkannya caranya,
mengorek-ngorek lubang kunci dengan pisau lipat.
"Awas, nanti
diadukan Snabel lagi kepada polisi," kata Mr. Castro memperingatkan.
"Kakek ini membuat kami cemas saja!" kata Pete.
"Itu bukan
maksudku," kata Mr. Peck dengan wajah yang menampakkan rasa menyesal.
"Tapi kemarilah dan coba kaupandang ke dalam. Lihat saja yang ada di
situ!"
"Aduh, Kakek,
-anti diadukan Snabel karena masuk ke sini tanpa seizinnya!"
"Omong kosong!
Aku kan tidak berbuat apa-apa saja. Aku cuma hendak membuka pintu ini, supaya
bisa mengambil barang yang memang milikku. Kau lihat kaleng itu? Isinya
Malathion, alat pembasmi serangga. Aku membelinya minggu lalu, di Toko Harper,
untuk membasmi hama yang merusak pohon elm-ku. Tapi tahu-tahu kaleng itu
lenyap! Dan itu sendok pengaduk tanah milikku yang hilang. Aku tahu pasti,
karena gagangnya kuberi takikan sebagai tanda. Jadi Snabel ternyata bukan cuma
mencuri mesin pemotong rumput saja, tapi juga menyikat sendok tanah dan obat
pembasmi serangga. Dan ia suka mengintip-intip. Aku tidak mengerti untuk apa ia
memerlukan mesin pemotong rumput, karena lihat saja keadaan pekarangannya.
Mungkin cuma untuk membuat aku sebal saja. Kurasa apabila ia menggotong-gotong
anggreknya ke perkumpulan- perkumpulan penggemar anggrek dan di sana
menyombongkan kehebatannya di depan orang-orang yang sama keranjingan anggrek
seperti dia ia tidak mengatakan bahwa segala keperluan untuk itu tidak dibeli
sendiri olehnya, tapi disambar dari rumah tetangga!"
Sambil berkata begitu
Mr. Peck menusukkan ujung pisau lipatnya ke dalam lubang kunci pintu rumah
kaca.
"Belum tentu
barang-barang itu memang milik Kakek yang hilang," kata Pete.
"Aku kenai betul, itu
pasti sendok tanahku," kata Mr. Peck berkeras. "Aku mencari-carinya
selama ini. Begitu pula halnya dengan obat pembasmi serangga itu. Dan aku melihat
pada pagar semakku ada beberapa ranting patah. Aku belum setua itu, sehingga
tidak mampu lagi menarik kesimpulan yang benar."
Saat itu terdengar bunyi
mobil masuk ke pekarangan rumah Snabel. Tidak lama kemudian seorang pria
berambut hitam dan bertubuh gemuk pendek muncul dari dalam garasi. Matanya
cekung di bawah alis tebal. Ia memandang dengan wajah marah.
-"Lagi-lagi kau
menggeratak di gudang peralatanku, Ed Snabel!" tuduh Mr. Peck. "Ayo,
buka pintu rumah kaca ini dan kembalikan obat pembasmi serangga dan sendok
tanahku!"
"Sudah tua, konyol, suka
campur urusan orang lagi!" tukas Snabel. "Sebaiknya kau dikurung
saja! Tinggalkan pekaranganku, cepat! Kalau tidak, kupanggil polisi, dan sekali
ini takkan kucabut lagi pengaduanku!"
Mr.
Peck menutup pisau lipatnya, lalu mengacung-acungkannya di depan hidung Snabel.
"Sekali ini kau takkan kuapa-apakan," katanya, "tapi jika sekali
lagi kau ketahuan masuk ke pekaranganku, aku sendiri yang akan bertindak, dan
persetan dengan polisi!"
"Sudahlah,
Kakek!" kata Pete dengan cemas.
"Jangan ganggu
aku!" tukas Mr. Peck. "Aku ini tak suka diganggu -juga tidak oleh
darah dagingku sendiri!"’
Mr. Peck meninggalkan rumah
kaca dengan maar-h. Anak-anak mengikutinya, begitu pula Mr. Castro yang
kelihatan lega sekali.
"Kadang-kadang
aku benar-benar tidak suka datang ke sini," keluhnya. "Rasanya
seperti memasuki medan perang." "Dasar brengsek!" kata Mr. Peck
sambit melangkahi pagar semak lalu menuju rumahnya dengan langkah bergegas.
"Kita di sini perlu punya rukun tetangga, seperti yang dibentuk oleh para
penghuni gedung apartemen. Dengan begitu kita bisa menentukan siapa yang boleh
membeli rumah di sini dan siapa tidak."
"Kurasa itu bertentangan dengan undang-undang
dasar," kata Mr.
Castro. "Selain itu, ada
kemungkinan para penghuni yang lain berbeda pendapat denganmu, lalu kau kalah
dalam pemungutan suara!"
"Jangan suka omong
kosong!" sergah Mr Peck. "Dan jangan kausia-siakan waktuku, Castro.
Mau main catur atau tidak?"
Mr. Castro mendengus. Tapi
diikutinya juga Mr. Peck masuk ke rumah. Kakek Pete mengisi ketel dengan air
lalu ditaruhnya di atas api. Setelah itu ia masuk ke ruang duduk bersama Mr.
Castro. di situ sudah disiapkan papan catur.
Di dapur ada pesawat telepon.
Pete mengangkat gagang pesawat itu lalu menekan nomor sambungan rumahnya. Ia
hendak memberi kabar kepada ibunya bahwa semuanya beres di rumah Kakek,
setidak-tidaknya untuk saat itu.
"Bagaimana pendapatmu,
bisakah kita menghindarkan kakekku dari kesulitan jika kita ikut dengan
dia?" tanya Pete pada Jupe dengan suara pelan.
Jupe kelihatan agak sangsi.
Tapi kemudian ia meringis. "Kalau gampang, itu sudah pasti tidak,"
katanya, "tapi juga takkan membosankan."
Jupiter tidak tahu bahwa Trio Detektif akan mengalami salah
satu petualangan mereka yang paling ramai.
-Bab 3 PETUALANGAN
DIMULAI
DI MINGGU setelah keributan
yang terjadi mengenai alat-alat berkebun, Mrs. Crenshaw mengundang ayahnya
makan malam di rumahnya. Disajikannya semua hidangan yang disukai Mr. Peck,
termasuk kue tart coklat yang banyak sekali menggunakan mentega dan dengan
lapisan krim.
Ketika
Mr. Peck - begitu pula Pete beserta ayah dan ibunya - sudah selesai makan,
sambil menghidangkan kopi Mrs. Crenshaw dengan gaya sambil lalu mengatakan
bahwa bagi Pete dan kedua temannya perjalanan melintasi Benua Amerika pasti
akan sangat bermanfaat, karena bisa menambah pengetahuan. Mrs. Crenshaw
mengatakan pula bahwa ia merasa pasti akan berhasil meminta izin agar ketiga
remaja itu diperbolehkan libur sebelum waktunya, apabila Mr. Peck mau mengajak
mereka jika ia nanti berangkat ke New York.
Mr. Peck kelihatan
kaget mendengarnya.
"Ayolah," kata Mrs.
Crenshaw membujuk ayah-nya. "Ingat tidak, perjalanan yang kita lakukan
sewaktu aku berumur sepuluh tahun? Kita sekeluarga berwisata mengunjungi Gua
Carlsbad. Asyik sekali waktu itu! Sampai sekarang pun aku masih tetap ingat.
Dan kenangan seperti itu akan bisa didapat oleh Pete, jika ia ikut dengan Ayah.
Dan ia takkan merepotkan, apabila Jupe dan Bob juga ikut. Ayah tidak perlu
memikirkan mereka, karena mereka sudah benar-benar mengenal tanggung
jawab."
Mr. Peck mengaduk-aduk kopinya sambil memandang anaknya
dengan sikap menyelidik. Mrs. Crenshaw tahu sekali makna pandangan ayahnya yang
begitu. Itu berarti Mr. Peck memahami apa sebenarnya yang dikehendaki anaknya.
Mrs. Crenshaw merasa kikuk. Untuk menutupi kegugupannya, ia melipat-lipat
serbetnya.
"Kau menganggap
aku ini perlu dijaga," kata Mr. Peck. "Betul, anak-anak itu tahu
tanggung jawab. Mereka akan baik sekali jika dijadikan penjaga.
"Bukan
begitu soalnya, tapi karena Ayah akan menempuh jarak sejauh itu dengan mobil,
dan... dan tidak sering ada kesempatan bagi anak-anak itu untuk." yah,
sayang rasanya.................................................... "
"Membuang-buang bensin, jika aku pergi seorang
diri?" kata Mr. Peck.
Ia
menoleh pada menantunya, yang selama itu sengaja tidak mencampuri pembicaraan.
Mr. Crenshaw enggan berdebat dengan mertuanya. Bukan karena selalu kalah, tapi
karena nampaknya tidak seorang pun dari mereka pernah bisa menang. Kedua-duanya
tidak mau mundur.
Tapi sekali ini ayah
Pete tidak bisa mengelak.
"Kau juga
berpendapat, aku ini perlu penjaga?" tanya Mr. Peck padanya.
Mr. Crenshaw menarik napas
dalam-dalam. Ia memutuskan, lebih baik berterus terang saja terhadap mertuanya
itu.
"Umumnya, tidak,"
katanya. "Tapi jika ada kemungkinan aku nanti secara tiba-tiba harus
dengan segera meninggalkan segala kesibukanku di sini dan terbang ke Indiana
atau Idaho, yah... "
"Siapa bilang kau harus
terbang ke Indiana atau Idaho?" seru Mr. Peck. "Untuk keperluan apa?
Untuk mengeluarkan aku dari tahanan, ya! Kalau mendengar kalian berdua bicara,
aku ini setiap akhir pekan. bisanya cuma keluar-masuk tahanan saja selama empat
puluh tahun belakangan. Mungkin kalian perlu kuingatkan, aku ini ditahan -
benar-benar ditahan - baru sekali saja, dan itu pun karena -aku tidak mau membiarkan
orang- orang goblok dari Dinas Pertamanan itu membuang pohonku. Sejak itu
kalian bersikap seolah-olah aku ini sinting, atau penjahat, atau lebih gawat
lagi. Nah, kukatakan saja sekarang bagaimana pendapatku..."
Ia berhenti dan memelototkan
matanya ke arah Pete, yang selama itu duduk berdiam diri dengan perasaan kecut.
"Menurut
pendapatku, gagasan menyuruh anak-anak ikut itu bagus sekali!" kata Mr.
Peck meneruskan. "Perjalanan itu memang jauh, dan aku perlu orang yang
bisa diajak mengobrol. Dan itu lebih baik anak-anak daripada kakek-kakek
seperti Castro atau Harry Jacobson. Castro, jika bepergian tidak pernah lupa
membawa koper khusus untuk segala macam obatnya. Sedang Jacobson minta pensiun
karena ingin meninggalkan bisnis asuransi, tapi sekarang omongannya selalu saja
tentang asuransi. Huhh, payah! Jadi jika Pete dan kedua temannya bisa
memperoleh izin dari orang tua dan sekolah mereka, aku tidak keberatan jika
mereka ikut. Liburan sekolah kan beberapa minggu lagi. Akan kuundurkan
perjalananku sampai saat itu. Jika berangkatnya awal Juni, daerah gurun gersang
akan kami lintasi sebelum hawa di sana panas sekali, lalu pulangnya kami bisa
mengambil jalan lewat Kanada. Bagaimana kalau begitu, Pete?"
Pete terlonjak.
"Wow!" serunya dengan gembira. "Tentu saja aku mau!"
Ia bergegas menelepon
Bob dan Jupe untuk memberi tahu.
Bob tidak mengalami kesukaran dalam meminta izin -ada orang
tuanya agar ia diperbolehkan ikut. Mr. dan Mrs. Andrews sangat yakin bahwa
ketiga remaja itu takkan berbuat sembrono-terutama Jupiter-dan selain itu
mereka juga berpendapat bahwa itu merupakan kesempatan yang sangat baik bagi
Bob untuk mengenal Amerika dengan mata sendiri. Setelah itu Bob yang bekerja
sebagai tenaga sambilan di Perpustakaan Kota Rocky Beach mengurus izin cuti.
Ayah dan ibu Jupe
sudah meninggal dunia. Ia ditampung oleh paman dan bibinya, Paman Titus dan
Bibi Mathilda, pemilik Jones Salvage Yard, sebuah pangkalan tempat berjual-beli
barang bekas Bibi Mathilda dan Paman Titus hanya sebentar saja kelihatan ragu,
sebelum mengizinkan Jupe ikut. Jupiter mengetengahkan bahwa melintasi Benua
Amerika Utara, tidak cuma sekali tapi bolak-balik, merupakan pengalaman yang
mungkin cuma sekali saja terjadi seumur hidup.
"Pengalaman
hebat bisa membentuk watak," kata Jupe dengan gaya orang dewasa, "dan
perjalanan itu pasti merupakan pengalaman hebat."
"Sekarang
saja pun watakmu sudah cukup aneh," kata Bibi Mathilda. Meski begitu ia
langsung pergi ke loteng rumah untuk mengambil kantung tidur yang kemudian
dihamparkannya di atas rumput di pekarangan untuk menghilangkan bau apak.
Jupiter terus saja
membuntutinya.
"Jadi aku boleh
.ikut, Bibi?" katanya.
"Aku
ingin tahu bagaimana cuaca bulan Juni di Minnesota," kata Bibi Mathilda.
"Sangat
indah!" kata Paman Titus bersemangat.
Wajah Jupe langsung
berseri-seri. "Aku berjanji akan membereskan. pencatatan barang-barang
yang ada di pangkalan sebelum berangkat nanti," katanya.
-"Kepingin juga rasanya ikut dengan kalian," kata
Paman Titus dengan nada menyesali diri.
Semasa mudanya, ia pernah
ikut rombongan sirkus sebagai pemain orgel. Kadang-kadang timbul kerinduannya
pada kehidupan sirkus, melanglang ke berbagai penjuru.
"Kan harus ada yang
tinggal di sini untuk menangani usaha kita," kata Bibi Mathilda sambil
tersenyum.
Selama hari-hari selanjutnya,
setiap sore Jupiter sibuk bekerja, memanfaatkan hari yang semakin panjang untuk
membereskan urusan pencatatan barang-barang yang ada di pangkalan. Bulan Juni
tiba dan akhirnya datanglah hari terakhir bersekolah. Pete dan kedua temannya
mulai sibuk berkemas-kemas dan berpamitan. Lalu pada suatu pagi berkabut Mr.
Crenshaw mengantar mereka beserta barang-barang bawaan ke rumah mertuanya.
Anak-anak tidak membawa kantung tidur, karena Mr. Peck dengan tandas menolak
gagasan untuk berkemah. "Aku ini sudah terlalu tua, sudah tidak pantas
lagi main pramuka-pramukaan," katanya. "Mungkin ini petualangan
besarku yang penghabisan dalam umurku yang sudah uzur ini, dan aku berniat
melakukannya dengan bergaya. Kita akan bepergian dengan nyaman, dan di tengah
jalan menginap di hotel."
Ketika anak-anak beserta
bawaan mereka semua sudah masuk ke mobil Buick. Kakek yang sudah tua tapi
kokoh, mereka pun berangkat.
-Sebelum
mobil membelok di sudut jalan, Pete sempat berpaling ke belakang untuk
melambai-lambaikan tangan ke arah ayahnya. Ia, dan juga Jupiter yang ikut
berpaling, melihat seseorang bertubuh gemuk pendek muncul dengan diam-diam dari
balik rumah Kakek dan berdiri seakan-akan menyembunyikan diri dalam semak,
memperhatikan mobil yang pergi.
Orang itu Edgar Snabel.
"Ia
tidak membuang-buang waktu, langsung saja mengintip-intip di rumah Kakek,"
gumam Pete pada Jupe.
"Apa katamu,
Pete?" seru kakeknya dari depan.
"Tidak apa-apa,
Kakek," jawab Pete dengan cepat. "Aku cuma ingin tahu, bisakah kita
nanti mampir sebentar .di Santa Barbara, untuk makan di restoran yang asyik
itu. Kakek tahu kan, yang ada meja-mejanya di halaman?"
"Beres," kata Mr.
Peck. "Sekarang saja pun aku sudah merasa lapar. Aneh, kalau sarapan
terlalu pagi perut cepat sekali terasa kosong kembali. Atau aku tadi tidak
sarapan? Entahlah, aku tidak ingat lagi."
Mr. Peck mengarahkan mobilnya
ke jalan raya bebas hambatan yang menyusur pesisir. Ia menyetir Buick itu
dengan gembira. Jupe nyengir sendiri. Tantangan pertama sudah dilewati dengan
mulus. Nampaknya perjalanan itu akan berlangsung dengan tenang dan tenteram.
Tapi
dalam hati kecilnya, dugaan itu dibantah sendiri olehnya. Mr. Peck, kakek Pete
yang keras kepala dan cepat terangsang emosinya itu dikenal baik olehnya. Apa
pun juga bisa saja terjadi, dengan dia di belakang setir.
-Bab 4 KERIBUTAN
DALAM KABUT
SARAPAN siang di Santa Barbara sangat mengasyikkan.
Anak-anak dan Mr. Peck makan di halaman sebuah bangunan tua yang berasal dari
masa California masih merupakan daerah jajahan Spanyol. Matahari sudah muncul
dari balik kabut yang menghilang ditiup angin. Langit cerah dan hawa pun segar.
"Hebat," seru Mt.
Peck. "Dan lihat sajalah, nanti masih akan bertambah bagus lagi."
Mereka
meneruskan perjalanan ke arah utara, kadang-kadang menyusur pantai dan
kadang-kadang melaju di atas tebing, sehingga mereka bisa melihat laut yang
terbentang di bawah. Beberapa mil setelah Gaviota mobil masuk ke dalam sebuah
terowongan. Pemandangan yang nampak sesudah lintasan menembus gunung itu
dilewati ternyata lain dari sebelumnya. Yang kelihatan tidak lagi deburan ombak
melainkan sapi ternak. Padang rumput yang terbentang masih berwarna hijau
setelah diguyur hujan selama musim dingin, dan kembang berwarna kuning dari
sejenis tanaman kol nampak seperti ditaburkan di atas hamparan hijau itu. Di
sana-sini ada anak-anak sapi yang bermain-main di lereng- lereng, dan anak-anak
kuda berlari-larian di atas rumput.
Menjelang sore laut
kelihatan lagi.
"Pismo
Beach!" kata Mr. Peck. "Sewaktu aku masih muda, Pete, ketika ibumu
belum lahir, aku biasa mengajak mendiang nenekmu ke Pismo pada akhir pekan
untuk mencari kijing. Sejak itu sudah lama sekali aku tidak pernah melakukannya
lagi. Aku sudah tidak berminat lagi makan kijing, tapi kurasa masih
mengasyikkan jika mengendarai mobil di pantai."
"Maksud Anda,
naik mobil di atas pasir?" tanya Bob. "Bisakah itu?"
"Bisa saja,
kalau di Pismo," kata Mr. Peck. "Kita lihat saja, apakah aku masih
ingat di mana tempat itu."
Ia membelokkan mobilnya meninggalkan jalan raya, menyusur
jalan-jalan kecil dan tersesat masuk ke jalan buntu; akhirnya mereka sampai ke
sebuah landasan yang menyambungkan jalan dengan pasir padat yang membatasi
laut.
"Apakah
kita nanti tidak terperosok dalam pasir?" tanya Pete, yang cenderung tidak
percaya pada gagasan-gagasan kakeknya. "Kakek tahu pasti?"
"Tentu
saja," kata Mr. Peck yakin. Coba lihat saja itu."
Ia .menunjuk sebuah mobil
Volskwagen yang melaju menyusur pantai, sedikit di atas batas air.
Sekali-sekali ada ombak memecah di dekatnya. Mobil itu terus saja melaju,
meninggalkan jejak berupa dinding air yang menghambur miring ke atas.
"Asyik!"
kata Pete. "Tapi Volkswagen kan katanya tahan kena air. Bagaimana jika
mesin Buick ini nanti mogok?"
"Kau ini,
macam-macam saja yang kaukhawatirkan," tukas kakeknya.
Pete mendesah. Ucapan
kakeknya memang benar, tapi bagaimana mungkin ia bisa lain karena kakek seperti
kakeknya itu?
Mobil Buick melewati
landasan, lalu meluncur dengan mulus di atas pasir pantai. Kabut sudah nampak
lagi, sedikit ke tengah laut
"Karena
salah satu sebab, di sini sering berkabut," kata Mr. Peck. Ia menghentikan
mobilnya, menarik rem tangan, lalu menoleh pada anak- anak. Aku perlu
berolahraga sedikit untuk melemaskan otot.otot kaki," katanya. "Ada
yang mau ikut jalan-jalan sebentar?"
"Pasti,"
kata Pete.
Keempat pintu mobil besar itu
terbuka serentak. Anak-anak melangkah ke luar, Mr. Peck mengunci mobil, lalu
mereka mulai berjalan-jalan. Beberapa menit kemudian mereka sudah melewati kota
kecil yang bernama Pismo Beach. Kota itu terdiri dari sejumlah rumah yang dibangun
bergerombol saling berdekatan ke arah sebuah tanggul penahan ombak. Di balik
tanggul itu terdapat tebing-tebing dengan hotel-hotel dari berbagai ukuran di
atasnya.
Sementara itu kabut sudah
semakin dekat ke pantai, dengan lambat mulai menyelubungi Mr. Peck dan
anak-anak, mengaburkan pandangan ke arah pantai yang terbentang di depan.
Suasana langsung berubah. Kabut yang datang membawa kesunyian yang aneh.
Anak-anak tahu bahwa jalan raya yang ramai ada di belakang hotel-hotel yang
berjejer di atas tebing, tapi mereka tidak bisa mendengar suara kendaraan yang
lalu- lalang di situ.
Hampir tidak ada orang di
pantai yang terbentang di depan. Hanya satu orang saja yang nampak berjalan
dengan langkah cepat menuju ke arah mereka. Tiba-tiba kabut bertambah tebal dan
pejalan kaki itu lenyap dari pandangan. Dunia di sekeliling seolah-olah berubah
dengan seketika, menjelma menjadi dinding dingin berwarna kelabu.
Saat itu Jupiter merasa
mendapat firasat bahwa ada sesuatu yang berbahaya sedang mengintai tengah kabut
- sesuatu yang bisa menyergap dan melarikan mereka, yang bisa meredam teriakan
minta tolong.
Jupe menggeleng-gelengkan
kepala untuk menghilangkan pikiran itu. Ia sadar, tidak ada bahaya mengintai di
situ; yang ada hanya kabut yang menelan sinar matahari dan menyebabkan pantai
terasa gelap dan tidak ramah.
-"Sudah cukup jauh kan, kita berjalan-jalan ini, Mr.
Peck?" kata Bob. Ia berjalan mendului Jupe, tergegas sedikit agar bisa
mengikuti Pete yang lebih jangkung dan juga lebih atletis. Bob memandang ke
kanan, ke tempat Mr. Peck tadi berjalan. Tapi ia tidak melihatnya di situ. Mr.
Peck lenyap!
Pete berhenti berjalan. ’.Kakek?" serunya memanggil.
"Kakek di mana?" Tidak terdengar suara Mr. Peck menjawab.
"Mr. Peck!" seru Jupe. .
Anak-anak menunggu sesaat,
lalu Jupe mengatakan bahwa mereka jangan cemas. Itu dikatakannya dengan nada
yang sangat yakin. Tapi dalam hati dirasakannya timbul kegelisahan. Di manakah
Mr. Peck? Tidak mungkin ia menghilang dengan begitu saja dalam kabut! Atau - ?
"He, sebaiknya
kita jangan memencar," kata Pete yang hanya. nampak samar-samar, meski
berdirinya di samping Bob. Disentuhnya bahu temannya yang lebih kecil itu,
seolah-olah hendak mencegah Bob ikut menghilang dalam kegelapan kabut
"Mr. Peck!" seru Bob.
"Kakek di mana?" Suara Pete kini terdengar cemas.
"Diam!" Anak-anak mengenal suara bernada galak
itu.
Embusan angin .yang
datang dengan tiba-tiba menyebabkan kabut tersibak sesaat. Anak-anak melihat Mr
Peck berdiri dengan sikap membungkuk di samping sebuah batu besar di kaki
sebuah tebing. Ia kelihatan tegang dan waspada.
"Ada apa, Kakek?" bisik Pete.
Mr. Peck menggerakkan tangannya, menyuruh diam.
"Aha! Benar juga dugaanku!" katanya kemudian
dengan marah.
Orang yang tadi nampak
berjalan kaki di pantai sudah lebih dekat sekarang - bahkan sangat dekat. Orang
itu berjalan dengan berhati-hati di tengah kabut, sambil menggapai-gapaikan
tangan. dan tersandung- sandung sedikit.
"Bandit!" teriak
Mr. Peck, lalu melompat dan balik batu dan menyergap orang tak dikenal yang
hanya nampak samar itu.
Orang yang disergap
terhuyung ke belakang. Terdengar suaranya berteriak kaget.
"Berani-beraninya
kau!" teriak Mr. Peck. Di cengkeramnya kemeja orang itu.
"Berani-beraninya membuntuti aku ke sini!"
"He, jangan
seenaknya saja!" teriak orang itu
"Astaga!"
kata Pete kaget.
"Lepaskan aku,
Peck!" teriak orang itu lagi. "Dasar sinting! Kalau tidak kaulepaskan
juga kupuntir nanti lehermu yang ceking itu!"
Anak-anak terkejut,
karena mengenal suaranya Orang itu ternyata Ed Snabel tetangga Mr. Peck yang
dibencinya.
Mr. Peck tidak melepaskan musuhnya itu, tapi malah
mengguncang- guncangnya. "Manusia licik!" serunya dengan marah.
"Aku tahu apa maumu. Kau kan tahu tentang penemuanku yang terbaru, karena
suka mengintip-intip sewaktu orang yang baik-baik sudah tidur! Mencuri
peralatanku rupanya belum cukup bagimu. Kau juga hendak mencuri hasil
ciptaanku. Karena otakmu seperti kacang kering - "
Ed Snabel berhasil
membebaskan diri dan terhuyung mundur menjauhi Mr. Peck. "Kau gila!"
serunya, lalu berteriak keras-keras, "Polisi! Tolong! Pembunuhan!"
"Sudahlah, Mr.
Snabel!" Pete mendesak di antara kakeknya dan Snabel, lalu memegang lengan
orang itu. "Bukan begitu maksud kakekku. Ia hanya - "
"Jangan minta maaf
untukku!" seru Ben Peck. "Aku sungguh-sungguh tadi. Aku tahu apa yang
dilakukan si pengecut ini, dan itu takkan kubiarkan. Akan kuserahkan dia kepada
polisi!"
Mr. Peck berusaha menyambar
kemeja Snabel lagi. Sekali ini orang itu tidak berteriak. Ia menegakkan
tubuhnya untuk menghindar, sementara matanya terus menatap wajah Mr. Peck.
"Mata-mata!"
seru Mr. Peck sambil mencibir. "Pengecut! Penipu! Ini kan hari Kamis,
kenapa tau tidak berada di tempat kerjamu seperti seharusnya, hah? Karena
menurutmu lebih menguntungkan berada di tempat lain, ya?"
Snabel berpaling lalu
pergi dengan langkah goyah.
"Tidak enak ya,
ketahuan?" teriak Mr. Peck.
Tapi Ed Snabel sudah
tidak kelihatan lagi, menghilang dalam kabut, terbebas dari laki-laki tua galak
yang semakin marah.
"Keterlaluan!"
dengus Ben Peck. "Kalau berani berbuat begitu sekali lagi, akan
benar-benar kuhajar dia!"
Pete merasa bahwa ia gemetar.
Ia merasa seperti sedang bermimpi buruk. Rupanya Kakek sudah gila. Ia
berbahaya. Bisa gagal perjalanan itu sebelum mereka sampai di San Francisco.
Kakek akan berakhir di penjara salah satu kota di pesisir. Atau mungkin juga
Jupiter dan Bob akhirnya memutuskan tidak sanggup memikul tugas, lalu pulang ke
Rocky Beach dengan bis.
"Kakek," kata Pete
kemudian, "kenapa Kakek beranggapan bahwa Mr. Snabel sengaja membuntuti
kemari? Maksudku, itu kan aneh. Ia juga berhak pergi pesiar? Mungkin ia punya
teman di Pismo Beach sini, dan ia kemari untuk mengunjungi mereka." .
"Omong
kosong!" bentak Mr. Peck. "Snabel itu mana mungkin punya teman. Ia
takkan tahu jika ada orang mau berteman dengan dia. Tapi takkan bisa memperoleh
apa yang diingininya. Aku akan mempertahankannya mati-matian!"
"Apakah yang
diingininya itu, Mr. Peck?" tanya Jupiter. Ia mengatakannya dengan sikap
seperti benar-benar ingin tahu. Dan itu menenangkan M Peck. .
"Ia hendak
mencuri hasil ciptaanku," kata kakek Pete
"Penemuan itu?"
Kata Pete. "Yang hendak kakek perlihatkan pada orang- orang di New York
itu?"
"Ya, tentu saja! Dan
jangan kau mengatakannya seolah-olah tidak berarti karena penemuanku itu
merupakan terobosan penting, yang bisa menyebabkan dirombaknya seluruh..."
Kakek tidak melanjutkan kalimatnya. "Tidak,"
katanya. Aku tidak mau menjelaskannya lebih lanjut, demi keselamatan kalian
sendiri. Mungkin saja bukan hanya Snabel yang ingin merampasnya. Dan sebaiknya
kita teruskan saja perjalanan, jika ingin tiba di Monterey sebelum gelap."
Ia
berjalan kembali ke arah mobil dengan langkah santai. Sikapnya tenang,
seakan-akan tidak terjadi apa-apa beberapa saat sebelumnya. Anak-anak
mengikutinya lambat-lambat. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri,
memikirkan laki-laki tua itu. Mereka akan mengadakan perjalanan jauh yang
paling sedikit akan makan waktu satu bulan, mungkin bahkan lebih lama. Kakek
Pete itu, apakah ia cuma manusia eksentrik yang suka berbuat seenaknya sendiri
- atau mungkinkah mereka mengadakan perjalanan melintas benua Amerika Utara itu
dengan seseorang yang benar-benar sudah gila?
-Bab 5 KEJADIAN
MENC(]RIGAKAN
"Dalam perjalanan
ini," kata Mr. Peck, "aku tidak ingin tidur sekamar dengan siapa pun
juga. anak-anak suka minta yang aneh-aneh di tengah malam, seperti ingin minum
atau bahkan makan roti kering dengan keju pukul tiga pagi. Aku ini sudah
terlalu tua, tidak suka jika dibangunkan tengah malam untuk omong kosong
seperti itu."
Setelah itu Mr. Peck memesan
dua kamar di sebuah hotel kecil yang letaknya di daerah pelabuhan nelayan di
Monterey, hanya beberapa blok saja dari dermaga terkenal, Fisherman's Whalf.
Setelah itu diajaknya anak-anak makan ikan yang enak di salah satu restoran di
jalan yang bernama Cannery Row. Sambil makan, ia bercerita dengan riang tentang
sejarah kota Monterey dan California masa lampau, ketika kawasan itu masih
dijajah Spanyol. Pertengkarannya dengan Sabel di Pismo Beach rasanya sudah lama
sekali berlalu, dan juga seperti urusan sepele saja. Rupanya Mr. Peck sudah
melupakannya.
Malam
itu anak-anak cepat masuk ke tempat tidur. Dan dengan segera mereka menyadari
bahwa keputusan Mr. Peck untuk tidak tidur kamar dengan anak-anak memang tepat.
Tapi penilaian mereka disebabkan karena alasan lain. Jika Mr. Peck memilih
tidur sekamar dengan Anak- anak, mereka pasti takkan bisa tidur sepanjang
malam. Kakek Pete begitu keras dengkurannya sehingga dinding pembatas antara
kedua kamar sampai bergetar!
"Rupanya ia
punya gangguan pada hidung," kata Bob.
"Kata ibuku,
tidak," balas Pete. "Kata Ibu, kakek ingin terus diperhatikan, juga
pada saat ia sedang tidur."
Tapi akhirnya anak-anak bisa
juga terlelap. Mereka baru bangun ketika sinar matahari pagi sudah menyusup
masuk ke dalam kamar lewat celah- celah di antara tirai yang tertutup.
Mr. Peck sudah lebih dulu
bangun. Anak-anak mendengar bunyi air mengucur dari pancuran mandi. Kakek
menyanyi-nyanyi sambil mandi. Setelah selesai mandi dan berpakaian, ia
mengguncang-guncang pegangan pintu kamar anak-anak, menyuruh mereka bergegas.
Sarapan pagi terdiri dari
sosis dan bapel serta jeruk, di sebuah restoran dekat dermaga. Jupiter tidak
banyak bicara. Ia mengunyah hidangan sarapan sambil memandang lewat jendela ke
arah teluk. Tiba- tiba dilihatnya seseorang sedang menyeberang jalan di depan
restoran. Jupe agak terkejut, tapi lalu mengarahkan pandangannya ke piring dan
mengambil sepotong bapel untuk menyerap sirop kental yang masih tersisa.
Pete
duduk di sebelah kakeknya, berhadapan dengan Jupe. Ia melihat kekagetan Jupe dan
air mukanya yang tiba-tiba berubah, lalu hendak bertanya. Jupe yang melihat
gelagat itu mengerutkan kening sambil menggeleng sedikit. Karenanya Pete tidak
jadi bertanya.
"Sudah kenyang,
Jupiter?" tanya Mr. Peck.
"Ya, terima
kasih, Mr. Peck. Enak sekali!" "Betul, sedap!" kata Bob
menimpali.
Mr. Peck mendorong
kursinya ke belakang lalu pergi ke kasir untuk membayar.
"Ada apa,
Jupe?" tanya Pete sambil agak memajukan tubuhnya. "Kau tadi kelihatan
aneh."
"Snabel ada di sini," kata Jupe.
Pete menoleh ke arah jendela. "Di mana? Kau
yakin?"
"Ia lewat tadi, dan menuju ke Cannery Row," kata
Jupe.
Saat itu Mr. Peck
kembali, dan meletakkan uang persen untuk pelayan di atas meja.
"Mau berkeliling
sebentar, melihat-lihat di dermaga?" tanyanya pada anak-anak.
"Sesudah itu kita harus berangkat lagi. Aku ingin sudah melewati San
Francisco malam ini - kalau bisa sampai di Santa Rosa. Dengan begitu besok kita
bisa pesiar di kawasan cagar alam tempat tumbuh pohon-pohon redwood."
-Anak-anak mengikuti Mr Peck
keluar, lalu menyeberang jalan. Bob membawa kamera fotonya. Dan ia ingin
membuat beberapa foto teluk di situ. Ia berjalan mendului ke suatu tempat dekat
ujung dermaga, dari mana nampak jelas perahu-perahu yang berlabuh
terangguk-angguk digerakkan ombak, dan perahu-perahu pesiar meluncur laju
melintas teluk dan mengarah ke laut lepas.
Hari masih pagi, tapi suasana di dermaga para nelayan itu
sudah ramai. para wisatawan keluar-masuk toko-toko yang menjual cangkang kerang
dan beraneka ragam
benda hiasan buatan luar negeri. Pete memperhatikan burung-burung camar yang
terbang berputar-putar di atas, sementara Bob asyik memotret. Mr. Peck
melihat-lihat barang yang dipajang dalam etalase sebuah toko yang menjual
cangkang kerang.
Kemudian ia memandang
selintas ke arah jalan di ujung sebelah darat dermaga. Tahu-tahu sikapnya
berubah.
"Dasar
bandit!" sergahnya.
Tanpa melihat pun Jupiter
langsung bisa menebak, Mr. Peck pasti melihat Snabel. Orang itu muncul lagi,
dan menyebabkan sikap Mr. Peck yang semula riang berubah menjadi marah.
"Sudahlah, Kakek,"
kata Pete menyabarkan. "Ini kan negeri yang merdeka. Orang itu berhak ada
di sini jika itu kemauannya."
Mr. Peck mendengus dengan
marah. "Baiklah. Tapi aku tidak sudi lagi ada di sini"
Ia cepat-cepat masuk ke toko
dan bersembunyi di belakang sebuah cangkang tiram besar yang dipajang di
etalase. Anak-anak yang tetap berdiri di luar hanya bisa melihat ubun-ubunnya.
Snabel berjalan menyusur
dermaga ke arah mereka. Rupanya ia tidak sadar bahwa ada yang mengamat-amati.
Ia memegang kamera foto sementara tas kameranya disandang. Kameranya Canon II,
serupa dengan milik Bob. Seperti Bob pula, Snabel rupanya mencari-cari obyek
yang menarik untuk difoto. Penampilannya pagi itu seperti wisatawan pada
umumnya, dengan kemeja yang kancing sebelah atasnya dibiarkan terbuka serta
celana jeans yang masih kaku karena baru. Ia memakai sepatu model santai yang
juga masih baru, sementara kepalanya ditudungi topi jerami bertepi lebar.
Kelihatannya topi itu dibelinya tadi di jalan.
Pete sangsi. Perlukah ia memberi
tahu Snabel bahwa kakeknya sudah bersiap-siap di dalam toko untuk menyergapnya?
Jika itu dilakukan, Kakek pasti akan menganggapnya pengkhianatan. Pete tidak
ingin melihat terjadinya lagi pertengkaran antara Kakek dan Snabel, tapi ia
juga tidak kepingin diamuk kakek.
Akhirnya Pete berpaling dan
mengarahkan tatapan matanya ke seberang teluk. Jupe melaku kan hal yang sama,
sementara Bob mendatangi sebuah bangku yang ada di dekat mereka lalu duduk di
situ, menghadap teluk. Ia berlagak tidak melihat Snabel.
Orang itu datang dengan menenteng kamera lalu berhenti
dekat Pete. Begitu dekat, sehingga bahu mereka nyaris bersentuhan. Tapi Snabel
tidak melihat Pete, karena setiap kali ia menoleh ke arah dari mana ia datang,
lalu melirik arlojinya, seakan-akan sedang menunggu seseorang.
Setelah beberapa
menit, ada orang datang menghampiri.
"Nah, Snabel?" kata orang itu menyapa. Nadanya
geli bercampur agak meremehkan. Jupe menoleh dan memandang orang itu sekilas.
Ia melihat seorang pria berumur empat puluhan berambut hitam lurus. Wajahnya
bersih. Ia memakai celana panjang sutera dan kemeja bagus dari bahan lembut
yang nampak mahal. Mukanya tertutup kacamata gelap berukuran besar, tapi tampak
oleh Jupe bahwa hidungnya mancung, sementara bibirnya yang tipis tersenyum mengejek.
Telinganya yang kecil rapat letaknya ke kepala. Kesan
keseluruhan orang itu ialah bahwa ia tergolong manusia yang berhasil dalam
hidupnya. Di samping orang berpenampilan mengesankan itu, Snabel yang gemuk
pendek nampak kaku dan kikuk dengan celana jeans-nya yang baru serta sepatu
model santainya yang putih mulus.
"Aku membawa
barang itu," kata Snabel.
Orang yang baru
datang melirik ke arah Jupiter.
Jupiter berlagak
tidak tahu apa-apa. Ia mengalihkan pandangannya ke teluk.
"Kita ke sana,"
kata orang itu kepada Snabel, -lalu berjalan beberapa langkah menyusur dermaga,
diikuti oleh Snabel yang bergegas-gegas d sampingnya.
Sekali lagi Jupe mencuri
pandang ke arah kedua orang itu. Kini mereka berada dekat sekali dengan bangku
tempat Bob duduk. Nampak jelas bahwa Snabel berusaha bersikap santai. Ia
meletakkan kakinya di ujung bangku, sementara kameranya dibiarkan tergelantung
pada talinya.
Tahu-tahu matanya terpaku
pada Bob, yang berusaha bersikap biasa- biasa saja.
"Astaga!" kata
Snabel. Ia membungkuk, mengamat-amati wajah Bob dari dekat sekali. Jupe bisa
membayangkan bahwa air muka Snabel pasti pucat sekali saat itu.
Kini Snabel tegak kembali
lalu memandang berkeliling. Ia melihat Pete dan Jupe. Ia juga melihat ubun-ubun
yang ditumbuhi rambut putih tersembul di balik cangkang tiram di dalam toko.
Saat itu Mr. Peck muncul
dengan wajah marah Snabel langsung pucat lagi.
"Gawat!" kata Pete, lalu bergerak menghampir
Snabel. Maksudnya hendak menghalang-halang serbuan kakeknya. Tapi ia terlambat,
karena
Mr Peck .sudah memburu ke
luar dengan wajah merah padam. Kedua tangannya terkepal, seakan-akan siap untuk
menghajar Snabel.
Snabel buru-buru
meletakkan kameranya kebangku lalu mengangkat kedua belah tangannya Mulanya
anak-anak menyangka ia akan memukul Tapi ternyata tidak. Ia mundur satu atau
dua langkah, sementara kedua tangannya tetap terangkat dengan sikap bertahan.
Pria berpenampilan
anggun dengan celana panjang sutera tadi tahu-tahu sudah menghilang.
"Hahh!" sergah Mr.
Peck. Ia kembali mencengkeram kemeja Snabel. "Tak kausangka kau melihatku
lagi sebegini cepat, ya? Aku tahu apa yang hendak .kaulakukan, Snabel, dan
takkan kubiarkan itu terjadi. Pakailah otakmu! Batalkan niatmu itu, selama
masih. bisa."
Snabel membasahi bibirnya. Ia
berusaha mengatakan sesuatu, tapi yang terdengar cuma bunyi yang tidak jelas.
Setelah itu ia terbatuk. Anehnya, ia tidak berusaha mendorong tubuh Mr. Peck.
Ia tidak berusaha mundur atau memukul, atau mencoba lari. Ia cuma menatap Mr.
Peck dengan mulut ternganga. Air mukanya seperti mayat.
Mr. Peck melepaskan kemeja
Snabel yang dicengkeramnya, tapi setelah itu diketuk-ketuknya dada orang itu,
seperti mengetuk pintu. "Dengar nasihatku! Mundur saja sekarang, kalau
tidak ingin menyesal seumur hidup."
Mr. Peck rupanya merasa puas melihat reaksi Snabel, karena
ia lantas berpaling pada anak-anak. "Yuk kita teruskan perjalanan,"
katanya dengan riang. "Dalam beberapa menit terakhir ini lingkungan di
sini menjadi tidak menyenangkan lagi. "
Pete menghembuskan napas
keras-keras, karena selama itu ia rupanya menahan napas terus.
-Bob buru-buru mengambil
kameranya yang terletak di atas bangku, lalu bersama kedua temannya mengikuti
Mr Peck yang sudah menuju pelataran parkir, ke mobilnya. Sambil terkekeh kekeh
Mr. Peck membuka pintu mobil lalu duduk di belakang setir. Tertawanya semakin
keras sementara Buick itu dikemudikannya meninggalkan pelataran dan diarahkan
ke jalan bebas hambatan.
Terdengar suara orang
berteriak-teriak di belakang mereka. Orang itu Snabel. Ia berlari-lari
mengejar, sambil mengacung-acungkan topi jerami dan kameranya.
"Tunggu!" teriaknya. "Peck, tunggu dulu!"
Mobil
Buick bertambah laju larinya, karena Mr. Peck menekan pedal gas dengan kakinya.
"Tadi itu kenapa
sih, Kek?" tanya Pete.
"Mau tahu kenapa?"
jawab kakeknya. "Manusia brengsek itu, yang selama ini dengan diam-diam
berusaha masuk ke rumahku, sekarang membuntuti kita karena mengira bahwa aku
membawa catatan-catatan tentang penemuanku serta model prototipenya. Ia ingin
merampas penemuanku itu untuk kemudian mengatakan bahwa itu hasil ciptaannya.
Tapi ia takkan bisa berhasil! Kalau ia masih terus saja mencoba, bisa- bisa ia
masuk penjara nanti."
"Bisa-bisa ia
masuk rumah sakit karena serangan jantung, jika Kakek berbuat lagi seperti tadi
terhadapnya," kata Pete. "Ia setengah mati ketakutan tadi. Kalau
Kakek terus bertindak seperti tadi, kurasa malah Kakek yang akhirnya akan masuk
penjara. Dan kalau itu terjadi, bisa habis aku diamuk Ibu!" -Bab 6 PETE
MERASA CEMAS
"KAKEK kalau sudah baik,
benar-benar baik!" kata Pete. "Maksudku, mana ada orang lain mau naik
mobil melintas benua bersama segerombolan anak-anak? Dan dia kelihatannya
senang kita ikut. Tapi kalau mulai mengamuk... menakutkan!"
Jupiter mengangguk. Ia sudah
sejak lama sekali kenal dengan Mr. Peck, tapi baru sekali itu ia sebegitu lama
bersama-sama dengan kakek Pete itu. Jupe kaget dan bingung melihat beberapa
tingkah lakunya. Jarang sekali Jupe merasa kewalahan menghadapi orang dewasa,
tapi Mr. Peck berbeda dengan orang dewasa lainnya. Kini Jupe merasa yakin bahwa
masih akan timbul berbagai kesulitan lagi dalam perjalanan itu - kesulitan
besar!
Saat itu pukul setengah dua
siang. Jupiter dan Pete bersandar pada spatbor mobil Buick sambil memperhatikan
Mr. Peck yang bersama Bob mendaki lereng berumput di tepi jalan. Sementara Bob
asyik memotret, Mr. Peck memandang
dengan wajah gembira ke arah
Teluk San Francisco dan Jembatan Golden Gate yang termasyhur itu. Semoga Kakek
terus segembira Saat itu, kata Pete dalam hati.
Kemarahan Mr. Peck hanya sebentar saja hari ini. Ia
mengomel hanya selama menuju Highway 101. Begitu sampai di jalan raya bebas
hambatan itu ia mulai bersiul-siul dengan gembira. Rupanya keributan dengan
Snabel sudah lenyap dari ingatannya. Dikemudikannya mobil besarnya menuju
utara, ke arah San Francisco. Di sana mereka berhenti sebentar untuk makan
siang dan membeli cenderamata. Sambil makan Mr. Peck bercerita tentang gempa
bumi dahsyat yang melanda San Francisco pada tahun 1906.
"San Francisco nyaris
punah seluruhnya dimakan api waktu itu, kan?" kata Jupiter.
Mr. Peck mengangguk.
"Saluran-saluran air ledeng dan pipa-pipa gas berantakan karena gempa, dan
ketika gas yang mengalir ke luar meledak disambar api, tidak ada air untuk
memadamkan kobaran api."
Ia memandang arlojinya lalu
mengatakan bahwa sudah waktunya perjalanan dilanjutkan.
Jembatan Golden Gate mereka
seberangi pukul dua lewat sedikit. Mereka keluar dari Highway 101 di Sausalito,
mengambil jalan yang menuju daerah perbukitan Sesampai di sana Mr. Peck
menghentikan mobilnya sebentar, untuk memberi kesempatan memotret pada Bob.
Pukul setengah tiga mereka masih ada di tempat yang sama ketika Bob menyadari
bahwa filmnya habis.
"Aneh," katanya. "Padahal aku rasanya belum
begitu banyak memotret." Ia bergegas menuruni bukit dan mengambil tas
kameranya yang ditaruh di bagian belakang mobil, lalu mengganti film dengan
yang baru. Setelah itu ia naik kembali dan membuat beberapa foto lagi.
Setelah itu mereka kembali
lagi ke Highway 101, lalu mengarah ke utara lewat daerah yang menyenangkan
pemandangannya. Sementara itu matahari sudah condong ke barat.
Mereka tiba di Santa Rosa menjelang waktu makan malam dan
berhenti di kota itu. Mr. Peck memasuki pekarangan sebuah hotel kecil dan minta
dua kamar di situ untuk menginap satu malam. Kedua kamar itu bersebelahan
letaknya dan dihubungkan dengan sebuah pintu. Itu perlu karena ia bisa
mengawasi anak-anak, kata Mr. Peck bercanda.
"Kurasa kita semua perlu
saling mengawasi dalam perjalanan ini," kata Pete. Tapi perasaannya yang
murung itu hanya sebentar saja menghinggapi dirinya. Ia langsung gembira lagi
begitu kakeknya mengajak mereka semua berenang di kolam renang hotel itu.
Hidangan makan malam di ruang makan menyebabkan kemurungannya semakin hilang,
dan hanya rasa mengantuk yang nikmat saja yang masih dirasakannya sewaktu duduk
bersama Bob dan Jupe di kamar mereka sambil menonton televisi sehabis makan.
-Kemudian timbul keinginannya
minum limun. Ia teringat, tadi melihat di dekat kolam renang ada mesin
otomatis. Dengan segera ia bangun untuk mengambil sebotol limun di situ. Ketika
menuju pintu dan lewat dekat jendela, ia menoleh sambil lalu ke luar. Saat
berikutnya ia sudah tidak ingat lagi pada niatnya hendak membeli limun.
Kamar
yang ditempati Trio Detektif terletak di lantai dua dan menghadap ke pelataran
parkir hotel itu. Pete melihat mobil perderet- deret diparkir di situ. Buick
kakeknya juga kelihatan, nyaris tepat di bawah balkon di depan kamar mereka.
Dan di sebelah Buick itu ada sebuah mobil Lincoln yang kelihatan masih mulus
karena barunya.
Dan dari mobil itu
muncul Edgar Snabel!
Pete tersentak. Sesaat ia
berdiri seperti terpaku dekat jendela. Kemudian ia berpaling dengan cepat dan
berkata, "Jupe, Bob, kemarilah sebentar! Coba lihat itu!"
Kedua temannya itu buru-buru menghampirinya. Dari balik
jendela mereka bisa melihat Snabel yang dengan langkah menyelinap mengelilingi
mobil Mr. Peck sambil membungkuk dan mengintip ke dalam kendaraan itu. Kemudian
ia pergi ke bagian belakang dan mencoba membuka tutup tempat bagasi. Tiba-tiba
ia memandang ke arah kantor hotel lalu ke jendela kamar-kamar yang ada di
atasnya.
Ketiga anak yang.
memperhatikan dirinya dari balik jendela kamar di lantai dua buru-buru
merunduk.
-Snabel
mengerutkan kening, lalu masuk kembali ke mobilnya dan pergi dari situ.
Anak-anak yang ada di
atas sama-sama menbisu sesaat.
"Mungkin kecurigaan
kakekmu benar, Pete," kata Jupe kemudian. "Mungkin Snabel ingin
mencuri hasil ciptaannya."
Pete menggeleng.
"Aku... entahlah, aku tidak tahu. Semula kuanggap bahwa yang dikatakannya
penemuan itu cuma salah satu gagasan konyolnya lagi. Tapi mungkin ia memang
berhasil menciptakan sesuatu yang penting. Atau barang kali kakekku itu tidak
waras pikirannya, sementara Snabel sama saja. Tapi... sebaiknya jangan kita
ceritakan pada Kakek bahwa kita melihat Snabel di sini, karena ia pasti akan
langsung bergegas kantor polisi setempat untuk mendesak agar Snabel ditangkap.
Nanti tahu-tahu malah Kakek yang dijebloskan ke dalam tahanan oleh polisi.
Siapa tahu, kan?"
"Ya,
memang," kata Jupiter sependapat. "Dengan Mr. Peck, kemungkinan itu
bisa saja terjadi."
"Ada kemungkinan itu
tadi cuma kebetulan saja," kata Bob menimpali. "Bisa saja kan, Snabel
juga sedang berlibur, dan secara kebetulan mampir di sini. Lalu ia melihat
mobil Mr. Peck, dan memutuskan lebih baik menginap di tempat lain saja."
"He, aku jadinya ingat
lagi," kata Pete. "Kenapa tahu-tahu Snabel naik mobil Lincoln yang
masih baru sekali? Selama ini kita lihat dia memakai mobil Chevrolet yang.
sudah tua." "Mungkin ia menyewanya," kata Jupiter. "Mungkin
saja menurut dia mobil tuanya itu takkan tahan jika dipakai menempuh jarak
jauh."
Setelah itu mereka kembali ke
kesibukan semula, menonton televisi. Mr. Peck masuk dan ikut menonton sebentar
bersama mereka. Pukul setengah sebelas pesawat televisi dimatikan, karena semua
sudah ingin tidur.
Mr. Peck langsung terlelap.
Tidak lama kemudian sudah terdengar dengkurannya yang nyaring di kamar sebelah.
Bob mengeluh, sementara Jupe terkekeh geli. Pete berdiri lagi untuk menutup
pintu penghubung kedua kamar, lalu kembali ke ranjangnya. Akhirnya ia pun
terlelap pula.
Dalam tidurnya ia bermimpi.
Mimpinya aneh, tapi dalam perasaannya waktu itu tidak aneh. Ia mengikuti
kakeknya yang sedang berjalan di dalam lobi sebuah hotel. Ruang itu besar dan
penuh dengan orang-orang berpakaian serba bagus dan bergaya. Mereka memandang
ke arah Kakek dan dirinya sambil tertawa dan menuding-nuding. Saat itu barulah
Pete menyadari bahwa Kakeknya hanya memakai kaus dalam berwarna merah serta
celana dalam putih yang dihiasi dengan sulaman gambar hati berwarna merah. Sedang
Pete sendiri, ia tidak memakai apa-apa!
Pete terbangun sambil
bergidik. Kamar gelap gulita. Ia tidak mendengar apa-apa. Suasana sunyi senyap.
Malam pasti sudah sangat larut, kata Pete dalam hati. Ia turun dengan pelan
dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar mandi karena ingin minum. Ia lewat
lagi dekat jendela yang menghadap ke pelataran parkir.
Dan kembali dilihatnya seseorang berjalan mengendap-endap
di belakang deretan mobil yang diparkir. Pete memperhatikannya dengan kening
berkerut. Orang yang hanya nampak seperti bayangan hitam itu berjongkok di
samping mobil Buick kakeknya.
Dengan
segera Pete lari ke ranjang yang ditempati Jupe dan mengguncang-guncangkannya
supaya bangun. "Jupe!" bisik Pete. "Bangun! Snabel muncul lagi.
Ia ada di pelataran parkir mengutik-utik mobil kita!"
-Bab 7 TEROR LAWAN
TEROR
-TANPA sempat memakai sepatu
lagi, Trio Detektif bergegas menuruni tangga di luar yang menuju ke lantai
bawah. Jupiter tersaruk-saruk langkahnya, menimbulkan bunyi berdebam-debam di
tangga. Ia cepat- cepat berpegangan pada sandaran supaya tidak terjerembab.
Orang yang berjongkok di
samping Buick menegakkan tubuhnya, memandang dengan cepat ke arah tangga, lalu
lari menyusur deretan mobil menuju ke jalan besar.
Anak-anak
mengejar dengan terpincang-pincang karena tidak memakai sepatu. Ketika mereka
sampai di jalan, orang tadi sudah tidak kelihatan lagi.
"Sialan! Ia
lolos!" seru Bob.
"Dan itu karena
larimu tidak bisa pelan tadi, Jupe," kata Pete dengan sebal.
"Kau yakin orang
itu Snabel?" tanya Jupe.
"Pasti," kata Pete
yakin. "Aku sempat melihat tampangnya sekilas ketika ia lewat di bawah
salah satu lampu beranda."-
Anak-anak kembali ke mobil Buick lalu mengitarinya sambil
memeriksa pintu-pintu. Semuanya masih terkunci, begitu pula tutup tempat bagasi
Jupe mengintip ke kolong mobil, tapi tidak bisa melihat apa-apa.
"Aku perlu sen
ter," katanya.
Saat
itu terdengar bunyi pintu terbuka di atas mereka. Mr. Peck muncul di balkon
kamarnya
"Ada apa?"
tanyanya. "Sekarang ini sudah hampir pukul empat pagi!"
Ia
mengatakannya dengan suara yang menurut pendapatnya . sudah berbisik-bisik.
Tapi bisikannya, orang yang setengah mil dari situ pun masih bisa mendengarnya.
Lampu-lampu dinyalakan nampak beberapa tamu memandang ke luar.
"Tadi ada orang
berkeliaran di sini," kata Pete.
"Pasti
itu Snabel lagi," kata Mr. Peck Pete tidak menanggapinya. Mr. Peck
menyuruh anak-anak kembali ke atas, dan ketika mereka sudah berada lagi dalam
kamar mereka, kakek Pete mengomel-ngomel tentang Snabel. "Ia ingin
mengetahui apa yang kubawa," katanya. "Tapi pokoknya, ia takkan bisa
memperolehnya!"
"Kakek membawa
apa?" tanya Pete.
"Kau
tidak perlu tahu," tukas kakeknya. "Semakin sedikit yang kalian
ketahui, semakin baik bagi kalian sendiri. Sekarang masuk lagi ke ranjang
masing-masing dan teruskan tidur kalian. Tidur perlu berjaga- jaga karena si
Kunyuk itu, selama ia belum berbuat apa-apa. Ia belum melakukan apa-apa,
kan?"
"Rasanya belum,
Mr. Peck," kata Jupe.
"Dia memang begitu," kata Mr. Peck sambil
mengangguk. "Menyelinap dan mengintip-intip, tapi tidak berani berbuat
apa-apa!"
Mr. Peck kembali ke
kamarnya, dan dalam waktu singkat sudah terdengar lagi dengkurannya.
"Mudah-mudahan saja kata
Kakek tadi benar," kata Pete gelisah. "Tapi bagaimana jika Snabel lak
cuma mengintip-intip saja? Bagaimana jika berniat merusak mobil kita? Sebaiknya
aku tidur saja di dalamnya, untuk berjaga-jaga jika ia datang lagi."
Pete mengambil selimut dari
tempat tidurnya, lalu berjingkat-jingkat memasuki kamar kakeknya. Tanpa
menyebabkan dengkuran Kakek terganggu diambilnya kunci-kunci mobil yang
terletak di meja. Setelah itu ia pergi ke bawah, ditemani oleh Jupe. Sesampai
di mobil, mereka mengeluarkan senter dari laci depan. Tapi ketika hendak
dinyalakan, ternyata tidak bisa.
"Sialan," kata
Pete. "Baterainya sudah habis. Tapi aku tidak mengerti, mau apa sebetulnya
Snabel tadi?"
"Apa pun yang hendak
dilakukannya," kata Jupe, "yang jelas ia tidak berhasil! Sekarang,
jika ia muncul lagi, kau berteriak keras-keras."
"Baik," kata Pete. Setelah itu Jupe pergi lagi ke
atas, sementara Pete merebahkan diri di jok belakang. Ia merasa pasti takkan
mungkin bisa tidur lagi.
Tapi
kenyataannya ia terlelap juga. Hanya tidurnya tidak tenang. Lagi- lagi ia
bermimpi aneh. Ketika ia bangun, matahari baru saja terbit. Burung-burung berkicau
di pepohonan, dan seorang wanita bertubuh gemuk dan memakai pakaian senam
berwarna ungu mengetuk-ngetuk jendela mobil.
"Kau baik-baik saja?" seru wanita itu.
Pete kaget lalu duduk - tapi langsung
jatuh ke lantai -mobil.
Wanita itu terkejut melihat ia jatuh. Ia berusaha membuka
pintu. Tapi tidak bisa, karena dikunci oleh Pete sebelum ia tidur tadi.
"Saya tidak
apa-apa!" seru Pete dari dalam. "Terima kasih, saya tidak
apa-apa!"
Ditariknya selimut untuk menyelubungi
tubuhnya, lalu ia membuka pintu dan keluar.
"Bagaimana sih, orang
tuamu?" kata wanita itu mengomel. "Kan tidak aman, tidur di luar
begini!"
"Ya,
Ma'am," kata Pete. Ia bergegas kembali - atas lalu mengguncang- guncang
gagang pintu agar dibukakan oleh Bob atau Jupe.
"Keterlaluan!" gumam wanita
tadi seorang diri di pelataran parkir. "Apa saja yang dilakukan sementara
orang supaya tidak perlu menyewa satu kamar lagi!"
Bob membukakan pintu dan Pete bergegas
masuk.
"Jangan cerita pada Kakek tentang
ini," kata Pete. "Ia pasti marah jika tadi mendengar omelan wanita
itu."
"Itu sudah pasti," kata Bob
sambil tertawa.
Hari
itu mereka melanjutkan perjalanan ke arah Utara, lewat jalan raya Redwood
Highway. Mr. Peck menyetir mobilnya dengan riang. Pohon- pohon raksasa yang
berjajar di kiri-kanan jalan mengingatkannya pada masa lampau - ketika ia masih
suka pesiar ke daerah itu bersama istrinya yang waktu itu masih hidup.
"Kau tentunya
tidak begitu ingat pada nenekmu ya, Pete," katanya.
"Ingat sih ingat, tapi
cuma samar-samar saja" kata Pete. "Ia suka membuat kue apel yang enak
sekali rasanya."
"Ya,
memang," kata Mr. Peck. "Kalau makan kue bikinannya, badan rasanya
langsung menjadi bertambah sehat."
Diam-diam Jupe memperhatikan
pria yang -udah berumur lanjut itu. Mr. Peck seolah-olah berdiri dari dua kepribadian
yang sama sekali berlainan, katanya dalam hati. Yang satu adalah kakek yang
ceria dan penuh kasih sayang, yang mau mengajak cucunya serta teman-teman
cucun-ya mengadakan perjalanan yang mengasyikkan. Sementara kepribadian yang
satu lagi berwujud pria tua pemarah yang terlalu curiga terhadap -orang
tetangganya. Meski pada awalnya terdapat kesan bahwa .Mr. Peck benar-benar
tidak waras pikirannya, tapi kini Jupe harus mengakui bahwa tuduhan-tuduhannya
mengandung kebenaran. Edgar Snabel memang menyelinap-nyelinap sambil mengintip-
intip dekat mobil Buick. Apakah itu dilakukannya karena berharap akan bisa
menguasai salah satu penemuan Mr. Peck Atau mungkinkah ada alasan lain yang
menyebabkan ia bertindak begitu?
Mungkin untuk keseratus kalinya Jupe berusaha
menebak-nebak, apakah kemungkinannya penemuan Mr. Peck. Tapi ia tidak
menanyakannya secara langsung, karena tahu bahwa Mr. Peck takkan mau
mengatakan. Tapi kalau tentang Snabel, tanpa perlu ditanya pun ia pasti mau
bicara. Jupe memutuskan untuk memancingnya karena siapa tahu - mungkin nanti di
antara kata katanya ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.
"Sebetulnya aneh
juga, anggrek-anggrek itu," kata Jupe dengan tiba- tiba.
"Anggrek?"
Bob menoleh ke arah Jupe dengan heran. "Anggrek yang mana?" -
"Bukankah Mr.
Snabel memelihara anggrek," kata Jupe.
"Betul,"
jawab Mr. Peck singkat.
"Padahal ia kelihatannya
bukan orang yang cukup memiliki kesabaran untuk berkebun," kata Jupitar
lagi. "Bahkan rumput yang tumbuh di pekarangan saja tidak dipotong
olehnya."
"Itu karena
memotong rumput tidak menghasilkan uang," kata Mr. Peck. "Hanya
tukang kebun saja yang bisa, mendapat penghasilan dengan memotong rumput.
Snabel tidak berminat pada tanaman - ia cuma tertarik pada uang. Kalau untuk
mengurus anggrek-anggreknya, ia banyak waktu, karena uang yang bisa diperoleh
dari penjualannya juga banyak. Toko-toko bunga berlangganan padanya. Snabel
anggota sebuah perkumpulan anggrek, dan sekali sebulan orang-orang yang
keranjingan anggrek berkumpul untuk memperagakan tanaman anggrek peliharaan
mereka. Aku berani bertaruh, Snabel pasti juga mencuri macam-macam perlengkapan
dari mereka."
"Lalu siapa yang
mengurus anggrek-anggrek Mr. Snabel sekarang?" tanya Jupiter.
"Mungkin
salah seorang anggota perkumpulannya," kata Mr. Peck. "Terus terang
saja, aku tidak peduli tentang itu. Tahu tidak kalian, waktu ia baru saja
pindah ke rumahnya yang sekarang, aku pernah mengalami saluran air ledengku
dimatikan selama beberapa waktu. Dinas Air Minum dan Listrik menemukan
kebocoran pada pipa yang menghubungkan saluran utama di jalan dengan rumahku.
Selama kebocoran itu dibetulkan aku tidak kebagian air. Aku lantas pergi ke
rumah Snabel dengan membawa cerek untuk minta air sedikit dari keran yang ada
di luar rumah. Kalian mau tahu, apa yang terjadi kemudian?"
"Ia memanggil
polisi?" kata Bob menebak.
"Ia mengancam akan
memanggil polisi," kata Mr. Peck. "Ia juga menuduh aku menyambungkan
selang airku ke kerannya sewaktu ia sedang tidak ada di rumah, untuk menyiram
pekaranganku! Seolah-olah watakku selicik itu!"
-Tengkuk Mr. Peck nampak
merah --padam sekarang, dan untuk pertama kalinya hari itu ia tidak lagi
memperhatikan pohon-pohon redwood yang mengapit jalan yang dilewati."
"Snabel itu rupanya
mengidap paranoia," katanya dengan nada pasti.. "Itu sebabnya ia
mengira aku mencuri airnya. Kalian tahu apa itu, paranoia. Itu semacam penyakit
jiwa, dan orang yang mengidapnya dihantui pikiran bahwa semua orang
memusuhinya. Dan begitulah Snabel itu!"
Jupiter agak gentar juga
melihat Mr. Peck marah-marah, lalu memutuskan bahwa untuk sementara mereka
sudah cukup banyak mendengar tentang Snabel. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi
yang bisa memancing komentar Mr. Peck tentang tetangga yang dibencinya itu.
Selama beberapa waktu semuanya membisu.
Tapi hari itu terlalu menyenangkan, dan pohon-pohon redwood
terlalu mengagumkan. Mr. Peck melupakan kemarahannya dan kembali mulai
bercerita tentang masa lampau. Ia terus begitu sepanjang perjalanan, sampai
akhirnya mereka tiba di Crescent City.
Matahari sudah rendah di barat
ketika mobil mereka memasuki kota kecil di tepi pantai itu. Karenanya mereka
lantas masuk ke sebuah hotel Sesudah mandi mereka pergi berjalan-jalan untuk
melihat-lihat pelabuhan perahu yang ada di dekat situ.
Dermaga di tempat itu
lebih kecil dari Fisherman’s Wharf di Monterey. Tapi mobil bisa parkir di
atasnya, dan selain itu ada pula beberapa restoran dan satu atau dua toko di
situ. Berseberangan dengan restoran-restoran terdapat tempat-tempat menambatkan
perahu layar. Suasana cukup ramai di situ. Nampak sejumlah pemilik perahu sibuk
dengan perahu mereka, membetulkan, membersihkan, atau merapikan. Beberapa
pasangan nampak berjalan-jalan dengan santai di trotoar, menikmati pemandangan
matahari terbenam dan burung-burung -amar yang beterbangan di angkasa.
"Kelihatannya
kita sudah bebas dari gangguan Snabel," kata Mr. Peck dengan tiba-tiba.
Perasaan tidak enak timbul
lagi dalam hati Pete. Sudah beberapa jam lamanya Kakek tidak menyebut-nyebut
manusia menyebalkan penggemar anggrek itu, dan karenanya Pete mengira bahwa
Kakek sudah melupakannya. Tapi ternyata dugaannya keliru.
"Aku
tadi terus memperhatikan jalan di belakang kita lewat kaca spion," kata
Mr. Peck pada anak-anak. "Tapi kelihatannya tidak ada yang membuntuti
kita. Rupanya si Kunyuk itu ketakutan kemarin malam, sewaktu kalian
memergokinya dekat mobil kita."
"Mudah-mudahan
saja," kata Pete.
Kemudian ia berpaling dan memandang ke arah jalan besar,
karena terdengar bunyi mesin menderu-deru, bercampur suara berteriak- teriak.
Tujuh
sepeda motor datang dengan laju dan masuk ke dermaga. Para pengendaranya
pemuda-pemuda bertubuh tegap dan memakai jaket kulit berwarna hitam.
"Hmm!" kata
Mr. Peck. "Tampang mereka galak-galak."
Ketujuh pemuda itu memang
bertampang seram. Selain berjaket kulit hitam, kebanyakan dari mereka
berjenggot. Ada yang membiarkan tumbuh gondrong sehingga nyaris menutupi
seluruh muka, dan ada lagi yang memotongnya sedemikian rupa sehingga aneh-aneh
bentuknya. Mereka juga mengenakan pending dan gelang lengan dari kulit yang
dipasangi paku payung, sementara pada sarung tangan mereka nampak berderet
paku-paku runcing. .
"He, Kakek!" teriak
salah seorang pemuda itu. Diarahkannya sepeda motornya seakan-akan hendak
menabrak Mr. Peck, dan pada saat terakhir baru membelokkannya.
Pete
dan kedua temannya mengira, Mr. Peck pasti mengamuk. Tapi dugaan mereka keliru.
Mr Peck memandang ketujuh pemuda yang lewat dengan sepeda motor menderu-deru
itu, lalu tertawa nyengir. "Aku tahu pasti, ada orang baik-baik yang juga
suka naik sepeda motor," katanya, "tapi hari ini kita tidak berjumpa
dengan mereka."
"Kita pergi saja
dari sini, ya?" kata Pete berusaha membujuk kakeknya.
Sementara
itu ketujuh pengendara sepeda motor itu sudah sampai di ujung dermaga. Mereka
berkerumun di situ mengelilingi pengendara yang tadi mencoba menakut-nakuti Mr
Peck. Mereka memandang ke arah Mr. Peck dan anak-anak. dengan sikap
mengira-ngira.
"Ayolah!"
Pete menarik-narik lengan kakeknya. "Kita pergi saja!"
"Iiii-yahuuu!" teriak salah seorang pengendara sepeda motor itu, dan
orang yang tadi kembali memacu kendaraannya, lurus menuju ke tempat Mr. Peck
dan .anak-anak!
"Jangan
lari!" seru Mr. Peck, lalu melangkah maju menyongsong sepeda motor. yang
menyerbu ke arahnya.
Jupe merasa perutnya melilit
karena ngeri. Sementara itu keenam sepeda motor yang lain sudah dipacu pula
menyusul kendaraan yang pertama. Ketujuh pengendaranya menyeringai. Terdengar
jelas suara mereka tertawa mengejek. Satu dari mereka mengayun-ayunkan sesuatu.
Rupanya pendingnya yang dipasangi paku-paku besar.
Para
pelancong dan orang-orang yang sedang makan angin di dekat anak- anak buru-buru
lari memencar.
"Panggil
polisi!" teriak seorang dari mereka.
Ketujuh sepeda motor tadi
lewat dekat Mr. Peck dengan mesin menderu-deru, lalu semuanya berbalik dan
kembali menuju ke arahnya. Suara mereka tertawa bertambah keras dan galak.
Mereka berkeliling dengan sepeda motor
mereka, mengepung Mr. Peck dan anak-anak. Kepungan mereka makin lama makin
menyempit, semakin dekat ke sasaran mereka yang terjepit di -tengah-tengah.
Bagi mereka itu merupakan permainan-permainan yang ganas!
"Hajar mereka!" seru salah satu dari para
pengendara sepeda motor itu. Ia meninggalkan lingkaran kepungan dan memacu
kendaraannya lurus ke arah Mr. Peck. Ketika kelihatannya benturan sudah pasti
terjadi, barulah sepeda motornya direm.
Anak-anak melihat sepasang
mata kecil berkilat-kilat di atas jenggot kasar, dan gigi-gigi putih di tengah
wajah dekil. Mereka mendengar suara tertawanya, mengalahkan deru keenam sepeda
motor lainnya.
Saat itu Mr. Peck bergerak. Hanya
sedikit saja, sehingga anak-anak nyaris tidak melihatnya. Mr Peck melemparkan
sesuatu.
Terdengar bunyi tembakan dan
kepulan asap Asap hitam tebal mengepul, menyelubungi kawanan penyerang.
Mata kecil tadi terbelalak.
Mulut yang semula menyeringai terbuka lebar. Orang itu berteriak kaget, lalu
membelokkan kemudinya dengan keras sehingga sepeda motornya terbalik
Sekali lagi Mr. Peck
menggerakkan lengannya dengan cepat, dan sekali lagi terdengar bunyi letusan
serta nampak kepulan asap hitam tebal.
Ketujuh pengendara sepeda
motor itu celingukan dengan sikap bingung, mencari-cari orang yang terdengar
dua kali melepaskan tembakan itu.
Saat itu terdengar bunyi
sirene di jalan besar. Dua mobil patroli polisi memasuki dermaga dengan lampu
merah menyala berputar-putar di atap.
"Kita makan sekarang, yuk?"
kata Mr. Peck, lalu berjalan dengan cepat ke sebuah restoran yang terdapat di
dermaga itu. Anak-anak bergegas mengikutinya.
Di
ambang pintu rumah makan itu berkerumun orang-orang yang menonton kejadian tadi.
Mereka cepat-cepat menepi, memberi jalan pada Mr. Peck
"Anda tidak apa-apa?" kata seseorang sambil
menjamah bahu Mr. Peck.
"Jangan main-main dengan
orang-orang seperti mereka itu," kata seseorang lagi. "Mereka itu
jahat -jahat!"
"Aku
tadi tidak main-main, Anak muda," kata Mr. Peck. "Jika polisi tidak
datang tadi, berandal-berandal itu akan tahu bagaimana aku jika sudah
sungguh-sungguh!"
Bab 8 HARI-HARI YANG
BERBAHAYA
-MR. PECK memandang ke luar
lewat jendela restoran. Ia melihat petugas-petugas polisi mendatangi para
pengendara sepeda motor yang masih tertegun di dermaga. Ketujuh pemuda berandal
itu dengan sikap enggan mengambil kartu tanda pengemudi mereka dan
menunjukkannya pada polisi.
"Kalau aku tidak ingin
buru-buru meneruskan perjalanan, akan kuadukan kunyuk-kunyuk itu," kata
Mr. Peck. "Biar mereka mendekam dalam penjara, sehingga selama beberapa
waktu tidak bisa menakut-nakuti orang," Setelah itu diambilnya kartu
daftar makanan dan ditelitinya
Sementara
itu ketujuh berandal tadi sudah menghidupkan mesin sepeda motor mereka kembali.
Mereka berputar-putar berkelompok lalu menyusur dermaga lambat-lambat ke arah
jalan besar. Para petugas polisi masuk lagi ke mobil-mobil mereka dan mengikuti
kelompok pemuda berandal itu dari belakang.
-"Apakah mereka
itu digiring ke penjara?" kata Bob.
"Rasanya
tidak," kata Mr. Peck. "Kurasa mereka sekarang digiring polisi ke
luar kota. Baguslah, daripada mengacau di sini."
"Kakek, apa yang menimbulkan bunyi keras tadi?"
tanya Pete.
"Bunyi keras?" kata
Mr. Peck. "Bunyi yang mana?" Ia mengatakannya sambil meneliti daftar
makanan. Nampaknya keributan dengan para pengendara sepeda motor tadi sudah
dilupakannya.
"Kakek melemparkan
sesuatu ke arah orang yang hendak menubruk Kakek, dan benda itu meletus. Apa
itu? Mercon?"
"Tentu saja bukan!" kata Mr. Peck sengit.
"Mercon merupakan barang terlarang di banyak tempat. Itu tadi salah satu
hasil ciptaanku sendiri. Aku akan memasarkannya, dan mudah-mudahan saja bisa
laris.
Barangnya
sederhana saja dan sama sekali tidak berbahaya. Hanya menimbulkan bunyi nyaring
disertai kepulan asap tebal. Pemasarannya nanti bisa sebagai alat untuk
menakut-nakuti penjambret dan perampok"
Pete tertawa lebar.
"Tapi bagaimana jika
nanti sesudah populer, para penjambret dan perampok tahu bahwa barang itu sebenarnya
tidak berbahaya?"
"Kalau begitu aku akan
menjualnya pada para petugas pos," kata. Mr. Peck dengan santai.
"Mereka itu sangat kewalahan menghadapi anjing- anjing galak."
-Setelah
itu Mr. Peck kembali mengarahkan perhatiannya pada daftar makanan, lalu memesan
tiga ekor ikan merah untuknya sendiri.
***
-Pete melihat papan
penunjuk di tepi jalan. Saat itu pukul satu siang keesokan harinya. Mereka
sudah memasuki negara bagian Oregon, dan kota Portland sudah dilewati.
"Itu tadi penunjuk jalan
ke tempat dari mana Gunung St. Helens bisa dilihat, Kakek. Bisakah kita mampir
sebentar di sana?"
"Tentu saja bisa,"
kata Mr. Peck. "Berapa banyak gunung berapi yang masih aktif yang mungkin
bisa kita lihat seumur hidup kita? Jangan sia- siakan kesempatan, begitulah
pedomanku."
Dibelokkannya mobil
meninggalkan jalan raya Interstate. Buick itu mulai mendaki daerah berbukit
-bukit, makin lama makin tinggi melalui jalan berkelok-kelok. Langit yang
memang mendung menjadi semakin kelabu kelihatannya, dan tahu-tahu nampak awan
tipis seperti menyelimuti permukaan jalan.
Akhirnya
mereka sampai di tempat yang dituju. Kini mereka berada pada posisi yang lebih
tinggi daripada hamparan awan rendah, dan ketika pandangan dilayangkan ke
timur, di mana gunung yang hendak dilihat seharusnya nampak ternyata yang
kelihatan hanya tumpukan awan kelabu saja.
-"Sialan!"
umpat Pete.
"Apa boleh buat,’. kata
Mr. Peck sambil nyengir. "Tapi sudahlah, perjalanan kita masih jauh, dan
masih banyak lagi pemandangan lain yang juga mengasyikkan. "
Ia memutar mobilnya, dan
kendaraan itu mulai lagi menuruni jalan berkelok-kelok menuju jalan raya
Interstate. Sebelum mereka sampai di sana, percikkan air hujan sudah membasahi
kaca jendela.
Ketika memasuki Highway 5
nampak beberapa mobil sudah menyalakan lampu besar. Dengan segera Mr. Peck
memutuskan bahwa malam itu mereka lebih baik menginap saja di Longview, di
negara bagian Washington. Ia begitu sibuk mengatur rencana sehingga tidak
melihat mobil Lincoln yang berhenti di pinggir jalan pada arah sama dengan yang
sedang mereka tempuh. Lampu mobil itu tidak dinyalakan, tapi penghapus kacanya
bergerak-gerak dan asap knalpotnya nampak mengepul.
Jupe terkejut ketika melihat
mobil itu. Ia memutar tubuh untuk terus mengamatinya, sementara Buick yang
disetir oleh Mr. Peck menyusup di tengah lalu-lintas kendaraan yang menuju ke
utara.
Jupe melihat seseorang duduk
membungkuk di belakang setir. Snabel- kah itu? Mobil itu kelihatannya seperti
yang dipakai orang itu di Santa Rosa. Tapi Jupe tidak tahu pasti apakah itu memang
mobil Snabel. Ia tahu, saat itu pasti ada ratusan mobil Lincoln berwarna kelabu
yang lalu- -lalang. Hampir secara otomatis dicatatnya nomor kendaraan itu dalam
ingatannya: 920-XT J.
"Snabel!"
desis Mr. Peck dengan tiba-tiba, lalu langsung menginjak rem. Pengendara mobil
yang ada di belakang Buick itu membunyikan tuter.
"Awas,
Kakek!" seru Pete.
Mr. Peck memacu mobilnya
lagi, sementara kendaraan yang ada di belakang meliuk ke samping karena direm
dengan cepat. Untung saja tidak sampai terjadi tabrakan. Tapi anak-anak sangat.
terkejut.
"Sori," kata Mr.
Peck dengan nada menyesal "Mobil yang baru kita lewati tadi, yang berhenti
di pinggir jalan... aku tidak begitu memperhatikan, tapi rasanya pasti bahwa
itu Snabel."
Anak-anak menoleh ke belakang. Mobil Lincoln itu masih ada
di pinggir jalan. Warnanya yang kelabu menyebabkan wujudnya nyaris tidak nampak
di tengah hujan sore itu.
"Ia tetap
berhenti," kata Jupe. "Kelihatannya seperti sedang meneliti peta,
atau mungkin juga mogok’" .
"Bisa saja Snabel masih terus
membuntuti kita," kata Mr. Peck. "Kalau dia bisa sedikit saja
menggunakan otaknya, ia pasti bisa menduga bahwa kita akan terus mengambil
jalan ini, paling tidak sampai di Seattle. Bisa saja ia sengaja tetap berhenti
selama beberapa saat, supaya aku tidak curiga. "
Setelah itu semuanya
sama-sama membisu. Jalan raya bebas hambatan cepat mereka tinggalkan hari itu.
Mr. Peck mengemudikan Buick-nya menelusuri jalan-jalan di kota Longview sampai
akhirnya mereka menemukan sebuah hotel kecil yang terletak di sebuah jalan
kecil. Mr. Peck memilihnya karena jaraknya cukup jauh dari jalan raya. Snabel
takkan bisa menemukan jejak mereka sampai di situ.
"Ini bukan karena aku
takut," kata Mr. Peck, "tapi yang penting sekarang adalah sampai di
New York dengan selamat - dan kalau bisa juga bersenang-senang selama dalam
perjalanan."
Seperti Mr. Peck, Trio
Detektif juga tidak biasanya menghindari persoalan. Tapi sekali ini rasanya
tindakan itulah yang sebaiknya diambil. Jika Snabel ternyata memang
mengejar-ngejar mereka tidak bisa apa- apa sebelum orang itu berbuat sesuatu.
Tapi jika ternyata bahwa Snabel mengejar itu cuma sangkaan Mr. Peck saja, maka
itu paling baik ditangani anak-anak dengan cara terus menyertainya.
Malam itu, beberapa waktu setelah tengah malam, Jupe terbangun.
Didengarnya dengkuran keras Mr. Peck di kamar sebelah. Tapi bukan bunyi itu
yang menyebabkan Jupe terbangun; ia udah terbiasa dengannya. Tidak, ia
terbangun karena ada sinar terang dari lampu sebuah mobil yang dengan
lambat-lambat memasuki pekarangan hotel lalu berhenti.
Terdengar
bunyi pintu mobil terbuka, meskipun mesinnya tidak dimatikan. Seseorang
berjalan bergegas-gegas, berhenti, lalu bergegas- gegas lagi. Jupe buru-buru
berdiri dan menghampiri jendela kamar, sementara dari arah luar terdengar bunyi
pintu mobil ditutup. Ia mengintip ke luar Dilihatnya sebuah mobil besar
bergerak meninggalkan pekarangan hotel.
Mobil Lincoln yang
tadikah itu? Jupe tidak bisa memastikannya.
Ia masuk lagi ke tempat
tidur. Ia mengumpat dirinya sendiri, karena mulai aneh seperti Mr Peck.
Bisa-bisa nanti ia merasa melihat Snabel bersembunyi di balik setiap semak atau
membuntuti di setiap jalan raya yang dilalui. Itu kan konyol! Dan andaikan
Snabel memang membuntuti terus, lalu apa gunanya bagi dia? Selama itu ia tidak
pernah mengutik- utik mobil Mr. Peck atau menggeledah kamar-kamar mereka.
Lalu tentang penemuan
yang hendak diserah kan oleh Mr. Peck pada entah siapa di New York - di manakah
barang itu? Menurut perasaan Jupe tidak mungkin disembunyikan dalam mobil kecuali
jika ukurannya memungkinkan disimpan dalam koper.
Akhirnya Jupe
tertidur. Ketika bangun lagi dilihatnya Bob dan Pete sudah selesai berpakaian.
Hari itu mereka
melintasi negara bagian Washington menuju ke timur, mendaki untuk melewati
daerah Pegunungan Cascade Mountain, lalu turun dan sampai di sebuah dataran
luas yang agak gersang.
"Gurun!" kata Pete. Kedengarannya ia sangat
kecewa. "Kusangka seluruh negara bagian Washington ini merupakan daerah
hutan pinus."
Tapi sesudah kota Spokane
dilewati mereka kembali memasuki pegunungan. Kadang-kadang mereka melewati
jalan raya yang di sisinya ada sungai pegunungan berair deras, sementara hutan
lebat merapat di kiri-kanan.
Malam itu juga mereka sudah
memasuki negara bagian Idaho. Mereka menginap di Coeur d’Aiene. Mr. Peck
kembali berkeras memilih hotel kecil yang lokasinya seperti di Longview.
Anak-anak langsung teringat lagi pada Snabel. Tapi Mr. Peck mengatakan dengan
riang, "Mungkin kita berhasil meloloskan diri dari Snabel. Selama dalam
perjalanan tadi aku terus melirik ke belakang lewat kaca spion, tapi tidak
nampak sesuatu yang mencurigakan. Mungkin ia mengira kita bermalam di Spokane,
atau terus sampai di Missoula. Walau begitu kita perlu terus waspada."
Selama makan malam Mr. Peck
tidak lagi menyebut-nyebut nama Snabel. begitu pula ketika mereka main minigolf
sesudah itu.
Malam itu, ketika mereka
semua sudah tidur, tiba-tiba terdengar bunyi nyaring yang melengking tinggi.
"Ada
apa lagi sekarang?" kata Pete sambil menegakkan tubuh di pembaringannya.
Ia mengendus-endus, lalu berteriak,
"Jupe.! Bob!
Bangun, cepat!"
Digedor-gedomya
dinding kamar untuk membangunkan Mr Peck. "Ada kebakaran!"
-Bab 9 TIRAI ASAP
-LENGKINGAN sirene tanda kebakaran memecah kesunyian malam.
Terdengar bunyi langkah orang
ramai berlari-lari dan berteriak-teriak. Pintu-pintu mobil ditutup
bergegas-gegas. Udara penuh asap.
Jupiter melompat ke pesawat
telepon lalu menghubungi Dinas Pemadam Kebakaran.
Pete
lari keluar dengan piamanya lalu menggedor-gedor pintu kamar Mr. Peck.
"Kakek! Kakek! Bangun! Ada kebakaran di hotel!" .
Mr. Peck membuka
pintu sambil batuk-batuk karena asap.
Sementara itu Bob
sudah memakai celana jeansnya dan bergegas keluar. Ia menggedor-gedor pintu
kamar-kamar, membangunkan tamu-tamu hotel.
Seorang wanita dengan
daster berwarna merah jambu membuka pintu kamarnya, sambil mengusap-usap
matanya yang pedih kena asap.
"Ada apa?" gumamnya tak jelas karena belum
benar-benar bangun.
-"Ada kebakaran di hotel," kata Bob memberi tahu.
Wanita itu tersentak.
"Norman, bangun!’ -
serunya sambil menoleh ke dalam kamar. "Apa kataku, kenapa kita menginap
di tempat brengsek begini!"
Sementara itu anak-anak dan juga Mr. Peck terus
menggedor-gedor pintu kamar-kamar dari bangunan hotel yang berbentuk U itu.
Asap tebal menyelubungi mereka. Nampaknya datang dari ujung salah satu sayap
bangunan itu.
Terdengar bunyi keras dan gemerincing kaca pecah. Di
pelataran parkir, sebuah mobil dengan nomor negara bagian Indiana yang rupanya
hendak mundur, menabrak mobil lain yang berasal dari Oregon. Pengemudi mobil
Oregon berteriak sambil menjulurkan kepala keluar dari jendela. "Hati-
hati sedikit, Goblok!"
Tamu-tamu
hotel keluar dari kamar-kamar mereka, sambil batuk-batuk dan merapatkan mantel
kamar untuk menahan dingin. Ada yang lari ke mobil mereka lalu cepat-cepat
meninggalkan hotel, sementara yang selebihnya berkerumun di pekarangan untuk
menonton apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Dinas Pemadam Kebakaran sudah
dihuungi?" tanya seorang wanita.
"Sudah
saya telepon tadi," kata Jupe. "Mereka dalam perjalanan kemari."
"Lihat itu, Jupe," kata Pete.
Pada satu ujung bangunan
berbentuk U itu ada sebuah pintu dengan tulisan HANY A UNTUK KARYAWAN. Asap
mengepul ke luar lewat celah-celah pintu itu.
"Ya, memang dari situ
asalnya," kata Jupe dengan cepat. "Semua mundur!"
Pete dan Bob sibuk
kian kemari, meminta agar orang-orang menjauhi pintu itu.
Saat itu terdengar bunyi sirene mobil-mobil pemadam
kebakaran yang datang.
"Ada apa ini?" kata
seorang pria botak bertubuh kecil yang memakai mantel mandi yang sudah usang.
"Saya manajer hotel." Tangannya yang satu menenteng alat pemadam api,
sedang di tangannya yang lain ada seberkas anak kunci.
"Nampaknya kebakarannya
dalam ruangan di balik pintu itu," kata Jupe, lalu berteriak melihat
manajer hotel hendak membuka pintu ruangan itu, "Tunggu! Jangan
dibuka!"
Terlambat! Sementara itu anak
kunci sudah diputar, dan pintu terbuka. Api langsung menyambar ke luar. Manajer
hotel itu terhuyung mundur. Alat pemadam api terlepas dari pegangannya. Ia
mengangkat kedua lengannya untuk melindungi muka. Anak-anak merasakan pukulan
hawa yang panasnya luar biasa.
Pete lari untuk menolong
manajer hotel, sementara Bob menyambar alat pemadam api. Alat itu
dijungkirkannya, lalu disemprotkannya cairan berbusa ke kobaran api di dalam
ruangan sempit itu.
Dua mobil pemadam kebakaran
tiba di depan hotel. Para petugas lari menghampiri sambil berseru-seru. Bob
didorong ke samping. Seorang petugas pemadam kebakaran mengarahkan selang yang
dibawanya dari mobil ke arah api. Semprotan air yang sangat kuat menyembur ke
api yang langsung padam. Lengkingan sirene tanda kebakaran berhenti. Yang
nampak dalam ruang gudang yang sempit hanya sejumlah sapu dan alat untuk
mengepel yang hangus, sebuah ember plastik yang sudah tidak tentu lagi
bentuknya, serta setumpuk kain bekas yang hangus dan basah di lantai.
Seorang petugas pemadam kebakaran masuk ke dalam ruang itu.
Ia memperhatikan tumpukan yang basah di lantai dengan kening berkerut, lalu
menendangnya. Diambilnya selembar kain dari tumpukan itu dan dibauinya.
"Sejenis
minyak," katanya. "Baunya seperti terpentin. Anda habis
mengecat?"
Pertanyaan itu ditujukannya
kepada manajer hotel, yang alisnya terbakar sebelah.
"Tidak!" kata manajer itu sambil mendekapkan
kedua tangannya seperti hendak berdoa. "Tidak ada cat di sini sejak
berminggu-minggu - bahkan beberapa bulan belakangan!"
Petugas pemadam kebakaran itu
mengendus lagi. "Minyak untuk menggosok mebel?"
"Tidak
mungkin!" kata manajer hotel. "Maksudku, takkan kubiarkan saja jika
ada pegawai membiarkan kain lap berminyak tergeletak sembarangan."
-"Tapi baunya
ini," kata petugas pemadam kebakaran Dijatuhkannya lap yang hitam karena
hangus itu ke lantai.
Mr. Peck, yang
berdiri tidak jauh dari situ mendengus.
"Masalah
begini takkan timbul jika Anda memakai Furglow," katanya dengan nada
menyalahkan.
"Furglow?"
kata Bob tidak mengerti.
"Itu salah satu produk hasil penemuan Kakek,"
kata Pete menjelaskan. "Lap khusus yang sudah diberi bahan pengilap.
Sesudah dipakai sekali langsung dibuang."
"Aku
menjual ide itu kepada salah satu perusahaan sabun, tapi mereka menaruhnya
dalam salah satu lemari besi mereka lalu melupakannya!" kata Mr. Peck
dengan sebal, lalu kembali ke kamarnya. Tapi begitu masuk, langsung terdengar
suaranya berteriak seperti ada yang menggigit.
"Maling! Bajingan!"
teriaknya. "Pete! Jupiter! Bob! Cepat kemari!"
Ketiga anak itu
datang.
"Periksa kamar kalian,
cepat!" seru Mr. Peck. Ia berdiri di ambang pintu kamarnya sambil menatap
ranjangnya dengan marah. Ranjang itu berantakan. Kasurnya dilipat dengan paksa,
dan selimut-selimut dicampakkan ke lantai. Pakaian Mr. Peck berserakan. Sisir,
alat cukur, sabun, dan lain-lainnya yang disimpan dalam tas kecil ditumpahkan
di atas meja dekat tempat tidur.
-Jupe tertegun sesaat. Ia hanya bisa melongo. Tapi kemudian
ia pergi memeriksa ke kamar mandi. Di atas bak mandi, pada dinding belakang
bangunan itu, ada jendela yang tinggi letaknya. Jendela itu terbuka. Di pinggir
bak nampak jejak sepatu.
Jupe naik ke pinggir
bak itu lalu memperhatikan kancing jendela. Kelihatan catnya terkelupas
sedikit.
"Ada orang membuka
kancing jendela itu lalu masuk lewat sini," katanya kepada Mr. Peck.
"Mungkin keluarnya lewat sini pula, atau bisa juga lewat pintu. Gampang
baginya untuk meloloskan diri tanpa ketahuan, di tengah-tengah keributan dan
kepulan asap kebakaran tadi."
Bob
datang berlari-lari dari kamar sebelah. "He, teman-teman, kalian tahu apa
yang terjadi?" "Ya," kata Pete. "Ada orang masuk ke kamar
kita dan mengobrak-abrik di situ."
Bob mengangguk.
"Betul. Tapi kelihatannya tidak ada yang hilang."
"Itu pasti
Snabel!" seru Mr. Peck. "Ia berhasil melacak jejak kita sampai ke
sini!"
"Mana mungkin,
Kakek?" kata Pete. "Katakanlah Lincoln yang kita lihat berhenti di
pinggir jalan kemarin itu mobilnya, tapi sejak itu kita kan tidak melihatnya
lagi. Bagaimana mungkin ia bisa tahu bahwa kita ada di sini?"
"Mungkin saja ia. terus membuntuti, tapi kita saja yang tidak
menyadarinya," kata Mr. Peck berkeras. "Bisa saja Lincoln itu mobil
sewaan yang sementara itu sudah dikembalikan olehnya, dan ia sekarang memakai
mobil lain"
Jupe teringat bahwa malam
sebelumnya ia melihat ada mobil besar keluar dari pekarangan hotel tempat
mereka menginap di Longview. Tapi ia diam saja, karena dirasakannya bahwa itu
hanya menyebabkan Mr. Peck semakin marah saja.
Pete
memperhatikan keadaan kamar yang porak-poranda. "Apakah Kakek tidak perlu
meriksa apakah ia berhasil mengambil hasil penemuan Kakek?"
"Tidak,"
kata Mr. Peck. "Ia takkan mungkin bisa mengambilnya."
Mr. Peck keluar lagi
dari kamarnya, diikuti oleh anak-anak.
Sejumlah tamu hotel masih
berdiri di pekarangan, memperhatikan manajer hotel yang sibuk sendiri. Kedua
mobil pemadam kebakaran menunggu di jalan dengan mesin menyala, sementara
sebuah mobil patroli polisi diparkir di jalan masuk ke pekarangan. Lampu tandanya
yang dipasang di atap menyala berputar-putar, menyebabkan sinar berwarna merah
bergerak menyapu bagian depan bangunan hotel.
Mr. Peck melangkah dengan
sikap pasti, menghampiri polisi yang berdiri di ambang pintu ruang gudang
sambil berembuk dengan salah seorang petugas pemadam kebakaran.
"Anda tidak
perlu menduga-duga lebih jauh," kata Mr. Peck pada kedua petugas itu.
’’kebakaran tadi disengaja." •
-Kedua petugas itu
memandang Mr Peck dengan sikap heran bercampur curiga.
"Anda tahu sesuatu mengenainya?" tanya petugas
pemadam kebakaran. "Itu sudah jelas!" jawab Mr. Peck mantap.
Pete mengeluh. "Nah, mulai lagi kita sekarang,"
katanya pada Jupe.
"Ini perbuatan Ed
Snabel," kata Mr Peck. "Ia melakukannya supaya bisa masuk ke kamarku
dia menggeledahnya. Aku baru saja melihat bahwa kamarku itu dan juga kamar yang
ditempati anak-anak morat-marit karena digeledah habis-habisan. Orang itu
benar-benar nekat. Ia tidak segan-segan membahayakan keselamatan orang banyak,
asal tujuannya tercapai. Biar hotel ini terbakar habis, ia takkan bergeming
sedikit pun!"
Manajer hotel menatap Mr.
Peck dengan wajah berseri-seri, seolah-olah pria tua itu malaikat yang baru
turun dari langit dengan menunggang awan putih. "Apa kubilang tadi!"
serunya. "Sudah kukatakan, kami di sini tidak membiarkan ada lap berminyak
tergeletak sembarangan. Kami punya peraturan ketat yang wajib ditaati para
pegawai bagian kebersihan. Jadi kebakaran tadi bukan karena kecerobohan,
melainkan disengaja!"
Polisi
yang tadi bercakap-cakap dengan petugas pemadam kebakaran masuk ke dalam gudang
lalu memandang dengan mata terpicing ke arah jendela yang terdapat di dinding
belakang. Jendela itu serupa bentuknya dengan yang ada di -kamar mandi Mr.
Peck. Keadaannya terbuka separuh, menggantung ke bawah. Kancingnya rusak,
nampaknya karena dibuka secara paksa.
"Sudah berapa
lama keadaannya seperti itu?" tanya polisi itu.
"Baru sekarang saya
melihat terbuka -seperti itu," kata manajer hotel dengan pasti.
"Semua selalu saya tutup rapi, dan apa pun yang rusak langsung saya suruh
betulkan. Saya takkan membiarkan ada kancing jendela rusak. Satu sampai dua
hari kemudian pasti sudah dibetulkan lagi!"
Polisi tadi berpaling
pada Mr. Peck. "Sekarang saya ingin melihat kamar Anda," katanya.
Mr. Peck bergegas
mengantarnya ke sana. Setelah itu anak-anak mendapat giliran memperhatikan
keadaan kamar mereka.
Polisi itu sibuk mencatat.
Rekannya yang selama itu menunggu di mobil patroli mendatangi kamar-kamar yang
lain dan menanyai tamu-tamu yang sudah kembali ke kamar masing-masing. Setelah
itu ia mendatangi rekannya untuk memberi tahu bahwa ternyata yang dimasuki
orang dan digeledah hanya kedua kamar yang ditempati Mr. PecK dan anak-anak.
"Bisa-
saja pelakunya hendak mencuri," kata polisi yang pertama, "tapi
maling hotel, biasanya bukan begini cara kerjanya, dan - " "Ed Snabel
yang melakukannya, kataku!"’ tukas Mr. Peck. "Ia membuntuti kami
sejak dari Rocky Beach - "
"Rocky
Beach?" kata polisi tadi.
-"Itu di California.
Snabel itu sudah menunggu kami di Pismo Beach, dan setelah itu di Monterey.
Besar kemungkinannya dia pula yang mengerahkan berandal-berandal bersepeda
motor yang menyerang kami. Aku minta agar dia ditangkap. Orang itu
berbahaya!"
"Yes,
Sir," kata polisi itu untuk menenangkan Mr. Peck. Kemudian ia menyambung,
"Tapi apa sebabnya ia membuntuti Anda? Kenapa kamar anda diobrak-abriknya?
Apa yang dicarinya?"
"Hasil
penemuanku," kata Mr. Peck.
"Oh?" kata
polisi itu. "Penemuan apa?"
Air muka Mr. Peck langsung
berubah, menjadi lega. "Itu - itu tidak bisa kukatakan pada Anda," katanya.
"Sekarang ini belum bisa kuceritakan pada siapa pun juga."
"Begitu," kata
polisi itu. ’’Yah, kalau begitu jika anda bisa mengatakan bagaimana rupa orang
itu serta mobilnya, kami akan bisa - "
"Ia selama ini memakai
mobil Lincoln, tapi besar kemungkinannya kini sudah berganti kendaraan,"
kata Mr. Peck. "Kenapa Anda masih mengoceh terus di sini? Nanti ia
lolos!"
Polisi itu mengangguk sambil
tersenyum menenangkan. Dicatatnya nama dan alamat rumah Mr. Peck serta
anak-anak. Ia juga mencatat nomor mobil Lincoln yang diberikan Jupe padanya.
Setelah itu ia dan rekannya kembali ke mobil patroli mereka.
"Dasar goblok!"
tukas Mr. Peck dengan geram, sambil memandang mobil polisi yang meninggalkan
pekarangan hotel. "Aku berani bertaruh, ia takkan berbuat apa-apa."
"Ia
mengira kita ini gila," kata Pete. "Apa boleh buat, jika Snabel
memang benar membuntuti, kita terpaksa menghadapinya sendiri!"
-Bab 10 PANIK DI
TAMAN
-DUA hari kemudian. Mr. Peck
dan anak-anak sudah melintasi negara bagian Idaho menuju Livingston di Montana,
lalu dari situ ke Yellowstone National Park, cagar alam di negara bagian
Wyoming. Saat itu baru awal musim pariwisata, jadi lalu-lintas di jalan masih
jarang. Di Yellow-Stone mereka melihat uap mengepul keluar dari retak-retak di
tanah, dan mereka menonton air mendidih menyembur ke atas sampai berpuluh meter
tingginya. Itulah yang dinamakan geiser. Mereka tercengang melihat kolam-kolam
berisi lumpur menggelegak. Entah berapa banyak telaga dan air terjun yang
indah-indah mereka lihat di itu. Begitu kagum mereka menyaksikan pesona alam di
kawasan yang dulunya vulkanis itu, sampai lupa pada rongrongan yang mengganggu
dalam perjalanan sebelumnya.
Tapi itu hanya untuk
sementara. Ketika Pete berpaling ke belakang untuk memperhatikan jalan dalam
taman itu, Bob mendesah karena tahu -bahwa Pete sudah siaga lagi, melihat-lihat
tanda adanya musuh yang membuntuti.
"Sejak di Highway 5 setelah gagal melihat Gunung St.
Helens kita tidak melihat apa-apa lagi yang mencurigakan," kata Bob.
Saat itulah Jupe memutuskan
untuk berterus terang. Diceritakannya tentang mobil besar yang dilihatnya
keluar dari pekarangan hotel di Longview.
"Tapi tentu saja aku
sama sekali tidak bisa memastikan bahwa pengendaranya Mr. Snabel,"
katanya. .
"Mungkin saat ini dia
sudah kembali berada di Rocky Beach, asyik menyirami bunga-bunga
anggreknya," kata Bob. "Mungkin kebakaran di hotel itu perbuatan
orang lain. Kita saja yang kebetulan menginap di situ saat seorang pencuri
mendapat akal untuk sengaja menimbulkan kebakaran supaya ia bisa dengan leluasa
merampok kamar-kamar dan -"
"Omong kosong!"
tukas Mr. Peck. "Orang yang menggeledah kamarku dan kamar kalian bukan
pencuri biasa. Tidak ada sesuatu yang diambil olehnya. Dompetku tetap ada di
atas meja sebelan tempat tidur. Orang yang masuk itu tidak menyentuhnya.
Kameramu juga tidak diambil olehnya."
"Itu memang tidak
mungkin," kata Bob, "karena tertinggal dalam mobil. Saya lupa
membawanya ke kamar malam itu." "
"Tapi uangku?" kata
kakek Pete berkeras. Aku sudah sering membaca tentang para pencuri yang biasa
beraksi di hotel-hotel. Mereka cepat sekali bisa mengetahui di mana uang
disimpan. Dan mereka tidak biasa sengaja menyebabkan kebakaran untuk
menimbulkan kekacauan. Bukan begitu cara kerja mereka."
Anak-anak kembali dirundung
perasaan suram. Kegembiraan mereka setelah menyaksikan geiser menyembur
langsung lenyap.
"Kita teruskan saja perjalanan kita," kata Mr.
Peck. Ia sudah tegang lagi. "T empat ini terlalu sepi. Aku jadi gelisah
karenanya."
Biasanya Pete akan
mengomentari, "Ah, sudahlah, Kakek!" Tapi hari itu ia tidak begitu
pasti jangan-jangan kakeknya benar.
Sorenya mereka singgah di
sebuah kota kecil yang terletak di perbatasan antara Montana dan Wyoming.
Setelah memasukkan koper- koper ke dua kamar di hotel yang didatangi, Mr. Peck pergi
memarkir Buick-nya ke salah satu jalan samping di dekat situ. Setelah itu ia
sebentar-sebentar pergi dari hotel ke tempat itu untuk melihat apakah mobilnya
tidak diutik-utik orang.
"Dengan begitu tidak ada
gunanya mobil kita di parkir di tempat lain, Kakek," kata Pete setelah
kakeknya untuk kelima kalinya pergi melihat. "Jika Snabel benar-benar
membuntuti kita, ada kemungkinan ia melihat Kakek mondar-mandir di sana. Lalu
ia tinggal mengikuti Kakek kemari dan-brakk-kamar-kamar kita akan diobrak-abrik
lagi."
-Komentar cucunya itu
menyebabkan Mr. Peck dengan segera masuk ke kamarnya, dan tidak lama kemudian
sudah terdengar dengkurannya di dalam. Sementara itu anak-anak masih
bercakap-cakap sambil berbaring. Mereka membicarakan kebakaran yang terjadi
Coeur d’Alene.
"Tidak mungkin Snabel yang melakukannya," kata
Pete berkeras,
"kecuali
jika ia punya indra keenam. Kalau ada mobil membuntuti kita, tidak peduli mobil
macam apa, kita pasti tahu!" .
"Mungkin ia
membuntuti lewat udara, naik helikopter," kata Bob.
"Dari mana ia bisa mendapat helikopter?" kata
Pete sambil mendengus. "Lagi pula, helikopter kan berisik bunyinya! Masa
kita tidak mendengar!"
Tiba-tiba
Jupe menegakkan tubuhnya di tempat tidur. "Kita telepon dia!"
katanya. "Kenapa selama ini tidak terpikir olehku ide ini? Kita menelepon
ke rumahnya di Rocky Beach, dan jika ia menjawab kita akan tahu bahwa segala
kejadian selama ini ternyata kebetulan saja, dan kita tidak perlu khawatir lagi
tentang apa pun."
"Kau tahu nomor
teleponnya?" tanya Bob.
"Tentu saja
tidak, tapi kan bisa kutanyakan kepada bagian informasi - kecuali jika nomornya
dirahasiakan. "
Jupe
meraih pesawat telepon yang terletak di atas meja di sebelah ranjangnya.
Semenit kemudian sudah terdengar dering pesawat telepon di rumah Edgar Snabel.
-"Ia pasti marah
karena dibangunkan malam-malam begini," kata Bob.
"Waktu di Rocky Beach
satu jam lebih lambat," kata Jupe mengingatkan. "Kita sekarang berada
di wilayah waktu Rocky Mountain." Bob dan Pete mengangguk, karena baru
ingat bahwa Amerika Serikat terbagi dalam lima wilayah waktu, di luar Alaska
dan Hawaii.
Setelah pesawat itu berdering
tiga kali terdengar bunyi seperti gagang diangkat. Jupe tidak mendengar apa-apa
sesaat, lalu terdengar .lagi bunyi ketikan pelan.
"Di sini Ed Snabel," terdengar suara yang kentara
merupakan rekaman. "Maaf, saya tidak bisa menjawab sekarang. Jika Anda
menyebutkan nama Anda serta nomor telepon di mana Anda bisa dihubungi, begitu
sempat saya akan segera menelepon Anda. Tunggu bunyi isyarat dulu, lalu
sampaikan pesan Anda." Setelah itu terdengar bunyi "bip" yang
sangat keras.
"Sialan,"
kata Jupe sambil meletakkan gagang telepon ke tempatnya. "Yang menjawab
alat penjawab otomatis."
"Jadi kita sama
saja tidak tahu pasti seperti sebelumnya," kata Pete.
"Kita bisa
mencoba meneleponnya lagi besok pagi," kata Jupe. "Mungkin saat itu
ia sendiri yang kan menjawab."
Tapi ketika dicobanya
menelepon Snabel pukul delapan keesokan paginya, alat penjawab otomatis lagi
yang terdengar. Karenanya anak- anak tidak mencoba lagi.
Ketika perjalanan
dilanjutkan, mereka merasa capek dan lesu. Cuaca hari itu sangat cerah. Langit
biru mulus, dengan gumpalan awan putih di sana-sini. Mereka melintasi negara
bagian Wyoming, lewat daerah peternakan yang luas di mana nampak sapi-sapi yang
sedang merumput.
Ketika sudah hampir sampai di
kota Rapid City yang terletak di negara bagian North Dakota, tiba-tiba Mr. Peck
mengatakan bahwa ia tidak mau suasana perjalanan pesiar itu dirusak oleh Sabel.
"Masa bodoh si Brengsek
gendut itu, kita akan tetap bersenang- senang," katanya. "Kita
datangi semua yang ingin kita lihat."
Anak-anak bersemangat kembali mendengarnya dan ketika
sedang makan siang di Rapid City mereka sudah asyik tertawa-tawa lagi.
Setelah itu, dalam perjalanan
ke selatan menuju obyek pariwisata Mount Rushmore, tidak sekali pun mereka
menoleh ke belakang. Tapi Jupe melihat bahwa Mr. Peck masih saja melakukannya,
lebih sering dari yang memang perlu demi keamanan lalu-lintas.
Jalan
menuju tempat pengamatan pemandangan. di Mount Rushmore menanjak berkelok-kelok
sejauh beberapa mil, lalu mendatar di tempat parkir di mana mobil mereka
tinggalkan Mr. Peck dan anak-anak selanjutnya berjalan kaki jalan khusus yang
lebar, di mana bendera- bendera dari kelima puluh negara bagian Amerika Serikat
berkibar kena angin. Jalan khusus itu -landai, mendaki kira-kira seperempat mil
dari tempat parkir sampai ke pelataran dari mana pandangan bisa dilayangkan ke
seberang, ke arah wajah empat presiden Amerika Serikat yang ternama yang
dipahatkan pada tebing gunung.
"Luar biasa!"
kata Pete.
Jupe membaca dari
buku panduan yang dibawanya. .
"Patung-patung kepala
dari Washington. Jefferson, Lincoln, dan Theodore Roosevelt dibuat dengan
pengarahan oleh mendiang Gutzon Borglum," katanya. "Masing-masing
patung kepala itu tingginya enam puluh kaki, jadi hampir dua puluh meter."
Tiba-tiba Pete tertawa
sendiri. "Mungkin sewaktu masih kecil ibunya mengatakan padanya agar cepat
besar dan melakukan sesuatu yang benar-benar hebat supaya ibunya bisa merasa
bangga terhadapnya."
"Aduh, pintarnya,"
kata seseorang di belakang anak-anak. Pete dan juga Mr. Peck menoleh ke arah
suara itu.
"Cucu-cucu
Anda?" tanya seorang wanita gemuk bercelana jeans yang terlalu ketat
untuknya. Ia memandang Mr. Peck dengan wajah berseri- seri.
’’Ya, satu dari mereka,"
jawab Mr. Peck.
"Anak-anak memang sangat menyenangkan," kata
wanita itu lagi dengan suara manis. "Ada-ada saja pikiran mereka yang
orisinal dan segar!"
Mr. Peck memandang anak-anak,
seakan mencari-cari tanda keorisinalan dan kesegaran pada mereka. Pete langsung
merengut, sementara air muka Bob menjadi merah.
Jupiter yang paling tidak
suka disebut anak-anak, menatap wanita gemuk itu dengan tajam. Menurut
taksirannya, wanita itu umurnya pasti hampir enam puluh tahun. Ia memakai
kemeja dengan bunga-bunga mawar berwarna merah jambu disulamkan pada bagian
bahu. Ia juga memakai anting-anting merah jambu. Bahkan bibirnya pun dipoles
dengan lipstik yang sewarna dengan bunga-bunga mawar sulaman itu. Sambil
memamerkan senyuman yang olehnya sendiri pasti dianggap menawan, wanita itu
mendekati Mr. Peck.
"Satu-satunya yang saya
sesali," katanya dengan nada kecewa, "adalah bahwa saya tidak punya
anak. Semua orang mengatakan, saya harus punya anak. 'Bessie,' kata mereka,
’kau itu pantas sekali menjadi Ibu.' Tapi biar begitu saya sudah cukup senang
melihat anak-anak orang lain."
Mr. Peck berusaha mundur,
karena melihat bahwa jarak antara dirinya dengan wanita itu baginya sudah
terlalu dekat. Saat itu baru disadarinya bahwa lengannya dipegang oleh wanita
itu. Ia - wanita itu, bukan Mr. Peck - memoles kuku-kukunya dengan warna merah
jambu, serupa dengan lipstik yang dipoleskan ke bibirnya.
Pete melihat ke arlojinya
lalu mendeham mengatakan, "Kita harus berangkat lagi, Kakek. Nenek
menunggu kita di hotel."
Kebohongan itu ternyata
manjur. Keriangan wanita itu langsung pupus. Dilepaskannya lengan Mr. Peck,
sementara ia sendiri agak menjauh.
"Wah, saya tidak boleh
menahan Anda," katanya. "Senang juga rasanya mengobrol
sebentar." "Ya,
memang," kata Mr. Peck sambil tersenyum sopan, lalu beranjak ke arah
tempat parkir. Anak-anak berjalan mengelilingi seperti pasukan pengawal.
Sesampai di tempat parkir
mereka buru-buru masuk ke mobil, Mr. Peck menghidupkan mesin. Kendaraan itu
menuruni lereng, lalu membelok di jalan yang menuju ke sebuah taman nasional
lain yang tidak jauh dari situ letaknya, yaitu Custer State Park
"Bison-bison yang hidup
di situ termasuk salah satu kumpulan yang paling besar di dunia," kata
Jupe. "Aku sudah pernah melihat banteng- banteng Amerika itu, tapi di
kebun binatang. Kalau di alam liar, belum pernah."
"Kalian akan bisa
melihat mereka dalam lingkungan hidup yang asli," kata Mr. Peck. "He,
Jupe, kau ini menelan buku panduan, ya, sebelum berangkat? Atau malam-malam
menghafal isi halaman-halaman tertentu?"
"Jupe ini,
otaknya seperti perangkap," kata Bob. "Kalau pernah mendengar atau
membaca sesuatu, pasti takkan dilupakannya lagi."
"Aku kepingin
bisa begitu juga," kata Mr. Peck. "Ada hari-hari saat mana namaku
sendiri saja tak kuingat, apabila tidak tertera dalam SIM- ku."
"Itu mungkin karena
Kakek selalu bergaul dengan kami, dan sibuk menyerap pikiran kami yang orisinal
dan segar," kata Pete, "seperti dikatakan wanita tadi."
"Betul," kata Mr. Peck. "Dan jika kau masih
mengoceh terus, nanti kuturunkan di pinggir jalan dan silakan berjalan kaki ke
Custer."
Sementara
mereka asyik berkelakar, mobil menuruni sebuah bukit lalu diperlambat jalannya
ketika memasuki gerbang Custer State Park.
"Astaga,"
kata Mr. Peck, "apa lagi itu?" Ia menghentikan mobilnya.
Sekawanan
keledai liar nampak menggerombol di pinggir jalan. Terdengar bunyi kuku mereka
berketik-ketik di aspal ketika mereka menghampiri jendela-jendela Buick itu.
"Kurasa mereka
ingin diberi makanan," kata Pete.
"Hebat!" kata Mr.
Peck. "Kemungkinannya mereka sudah kecanduan makan jajanan yang tidak
bergizi. Mudah-mudahan saja kawanan bison nanti juga tidak
mengemis-ngemis."
Kekhawatirannya tidak menjadi
kenyataan. Binatang-binatang bertubuh dan berkepala besar serta berbulu lebat
itu merumput di tempat yang agak jauh dalam taman. Mereka tidak mengarahkan
mobil yang dihentikan Mr. Peck di jalan.
"Dulu binatang ini
begitu banyak jumlahnya sehingga dataran-dataran kelihatan hitam
karenanya," kata Jupiter. "Perjalanan kereta api kadang-kadang
terhambat sampai berjam-jam apabila ada kawanan yang menyeberangi rel."
"Dan kini kawanan itu
boleh dibilang tinggal satu-satunya yang masih ada," kata Mr. Peck.
"Itu bukti apa yang bisa terjadi jika manusia melampiaskan nafsu
berburunya. "
Bob sibuk memotret.
"Kalau bisa, aku ingin lebih dekat," katanya. "Dari jarak sejauh
ini mereka kelihatannya seperti bongkah-bongkah batu besar di tengah rumput
tinggi." "Jangan macam-macam," kata Pete. "Mereka terlalu
berbahaya!"
"Betul," kata Mr.
Peck. "Setiap tahun ada saja orang yang cedera kena tanduk, karena mencoba
berpose dekat seekor bison. Mereka itu satwa liar, dan satwa liar selalu
berbahaya jika didekati."
Mr. Peck menjalankan mobilnya
lagi, lalu memarkir mobilnya di suatu tempat di pinggir jalan.
"Sudah
cukup lama aku duduk terus di belakang setir," katanya. "Jadi perlu
berjalan-jalan sedikit untuk melemaskan otot." Ia menuding ke arah jalan
setapak yang mengarah ke lereng bukit yang ditumbuhi pohon pinus. "Ada
yang merasa sanggup ikut untuk melihat ada apa di ujung jalan kecil itu?"
"Asal ujungnya
tidak terlalu jauh," kata Bob.
Mr. Peck mengambil
kunci starter. "Kau ikut?" tanyanya pada Jupiter.
"Tidak,"
jawab Jupiter. "Saya di sini saja, karena ada yang perlu saya. pikirkan:’
"Terserah,"
kata Mr. Peck sambil mengangkat bahu.
-Diikuti oleh Pete dan Bob,
pria yang sudah berumur lanjut itu mulai menelusuri jalan setapak dan dalam
beberapa menit sudah lenyap ke dalam hutan pinus yang lebat. Jupe turun dari
mobil, lalu memasang telinga.
Didengarnya bunyi mobil
datang. Jupe menunggu. Ia takkan terlalu heran jika yang datang itu mobil
Lincoln berwarna kelabu. Tapi dugaannya ternyata keliru, karena yang muncul
mobil kemping yang dikemudikan pria yang sudah agak berumur. Ketika lewat,
orang itu melambai ke arah Jupe.
Jupe tersenyum, karena sadar
bahwa ia terlalu dibayangi pikirannya sendiri. Tidak ada yang membuntuti. Jika
Snabel membuntuti, mestinya ia harus menjaga jarak agar bisa melihat mereka
walau tidak harus terus-menerus. Dan selama perjalanan mereka cukup waspada,
namun selama beratus-ratus mil tidak melihat barang sesuatu yang mencurigakan.
Seekor
burung berkicau sambil bertengger di pohon di atas Jupe, lalu terbang menjauh.
Jupe mulai merasa bosan menunggu di tepi jalan. Tapi ia merasa perlu tinggal di
situ untuk menjaga mobil, tapi kini disadarinya bahwa itu gagasan yang konyol.
Ia harus bergegas, apabila masih hendak menyusul yang lain-lain.
Ia mulai melangkah di
jalan setapak.
Tidak lama kemudian ia sudah
sampai di tepi hutan pinus. Ketika ia menoleh ke belakan sewaktu sampai di
belokan pertama dalam hutan itu, ternyata jalan tidak. kelihatan lagi. Tapi ia
mendengar bunyi mesin mobil. Mobil itu berhenti lalu menyusul bunyi pintu
dibuka dan ditutup lagi. Rupanya ada. orang memarkir mobilnya di pinggir jalan,
dekat Buick mereka.
Jupe merasa bahwa napasnya
bertambah cepat. Bulu tengkuknya meremang. Ia melangkah ke samping lalu
memandang berkeliling. Didengarnya langkah orang yang menghentikan mobilnya
dekat Buick itu memasuki jalan setapak. Rasa panik melanda Jupiter. Ia harus
menyembunyikan diri!
Lereng bukit itu cukup gelap,
karena rapatnya pohon-pohon pinus yang tumbuh di situ. Tapi tanah di situ lega,
hanya sedikit belukarnya. Namun beberapa meter di samping kanan jalan setapak
ada semak lebat yang tumbuh rendah. Jupe bergegas menghampiri semak itu lalu
bersembunyi di dalamnya. Ia mengintip ke arah jalan setapak. .
Ia tidak bisa melihat muka
orang yang datang itu, karena penglihatannya ke arah atas terhalang dedaunan.
Tapi masih nampak sepasang kaki yang berjalan dengan langkah lamban. Didengarnya
bunyi napas berat terengah-engah. Orang itu berhenti sambil menghadap ke arah
depan. Jupe melihat bahwa ia memakai celana jeans dan sepatu santai berwarna
coklat. Jupe menduga bahwa orang itu tidak biasa bergerak di alam terbuka.
Sepatunya nampak baru, dan celana jeans-nya kelihatan masih kaku. Agak lama
juga orang itu berhenti.
-Kenapa ia menunggu begitu
lama di situ? Mungkin karena melihat sesuatu? Timbul kecemasan dalam hati Jupe,
jangan-jangan ia tadi meninggalkan jejak ketika meninggalkan jalan setapak.
Jupe merasa pasti akan
ketahuan. Jika orang itu berpaling ke kanan, pasti akan melihat Jupe dalam
tempat persembunyiannya.
Tiba-tiba terdengar suara
gemerisik ketika ada sesuatu lari dari suatu tempat di sebelah kiri jalan
setapak. Orang itu berpaling ke arah itu, rupanya untuk melihat apa yang
menimbulkan bunyi itu.
Saat itu juga Jupe yang
semula menelungkup cepat -cepat mengangkat badannya lalu memandang lewat sisi
atas semak.
Napasnya
tersentak, melihat bahwa orang yang berdiri itu menggenggam pistol.
Terdengar suara orang
berseru memanggil.
"Yuhuuu!"’
Orang yang berdiri di jalan
setapak Itu memandang ke arah jalan tempat kedua mobil diparkir. Kini Jupe bisa
melihat mukanya, yang ditudungi topi jerami bertepi lebar. Ternyata orang itu
Snabel.
Jupe buru-buru merebahkan
diri lagi. Keringat dinginnya mengucur. Ia menimbang-nimbang, bagaimana jika ia
mencoba lari? Lebih baik jangan, katanya memutuskan dalam hati, karena Snabel
pasti akan melihatnya jika ia meninggalkan tempatnya.
"Masih ingat saya?
kata orang yang datang -dari arah jalan. Jupe meringis, karena mengenal suara
itu. Itu Bessie, wanita yang mengajak Mr. Peck mengobrol ketika mereka sedang
melihat-lihat pemandangan di pelataran yang menghadap ke Mount Rushmore.
"Saya sangka
saya takkan bertemu lagi dengan Anda," kata wanita itu. "Sehabis
makan tadi Anda tahu-tahu menghilang!"’
Tanpa melihat pun, Jupe
merasa yakin bahwa Snabel tentu sudah buru- buru memasukkan pistolnya ke dalam
kantung. Didengarnya Snabel mengatakan dengan suara bergumam bahwa ia tadi
harus membeli bensin. Wanita itu menyatakan kegembiraannya bisa berjumpa lagi
dengan Snabel, lalu menawarkan diri untuk menemaninya berjalan-jalan jika itu
yang hendak dilakukan olehnya. Snabel menolak dengan ketus. Dikatakannya untuk
hari itu ia sudah cukup banyak menghirup udara segar. Setelah itu ia berjalan
kembali ke mobilnya, diikuti oleh wanita itu yang terus saja mengoceh.
Jupe mengangkat kepalanya dan
memandang ke arah kedua orang yang pergi itu.
Wanita itu memegang lengan
Snabel yang berjalan dengan sikap kaku seperti robot. Jupe menebak bahwa dalam
hati Snabel pasti marah sekali karena tersusul wanita itu, yang kini
kelihatannya akan terus membuntutinya.
Kedua orang itu lenyap dari
penglihatan Jupe. Satu atau dua menit kemudian didengarnya bunyi mesin sebuah
mobil dihidupkan, disusul oleh satu mobil lagi. Kedua kendaraan itu berangkat,
meninggalkan tempat parkir.
Jupe duduk di atas sebuah batu, karena merasa lututnya
lemas sekali. Tidak sabar rasanya menunggu Mr. Peck dan kedua temannya kembali
karena ingin cepat-cepat memberi tahu apa yang baru saja dialaminya.
-Bab 11 GERAKAN YANG
BERANI
-MR.
PECK dan kedua anak yang menemaninya menemukan Jupe yang masih tetap duduk di
tepi jalan setapak ketika mereka kembali setengah jam kemudian.
"Kau rugi, tidak
ikut jalan-jalan tadi," kata Pete.
Kening Bob berkerut.
"Tampangmu... aneh," katanya pada Jupe. "Pasti ada apa-apa
tadi."
"Sama
sekali tak kusangka ia akan mengejar kita dengan pistol," kata Jupe. Ia
menggeleng-geleng. "Aku kaget sekali karenanya. Dan Mr. Peck, kami bertiga
harus minta maaf pada Anda."
"O ya?"
kata Mr. Peck dengan heran. "Untuk apa?"
"Snabel muncul di sini tadi," kata Jupiter,
"dan ia membawa pistol. Selama ini, terus-terang saja saya tidak yakin
tentang kecurigaan Anda. Tapi ternyata Anda benar. Ia memang membuntuti kita,
dan jika bisa ia pasti tidak akan segan-segan mencelakakan kita."-
Ia lantas
menceritakan pengalamannya melihat Snabel muncul di jalan setapak itu.
-Ketika ia selesai
menuturkannya, Ben Peck terkekeh geli.
"Wah,
rupanya wanita itu memang suka bergaul dengan orang-orang yang tak dikenalnya.
Snabel pasti selama beberapa waktu disibukkan olehnya."
Pete menatap
kakeknya, yang nampak sangat bergembira.
"Kejadian itu tidak
lucu, Kek," katanya. "Bisa saja kita tadi ditembak oleh Snabel.
Sekarang setelah kita mengetahuinya, mungkin kita sebaiknya memberi tahu
polisi, atau sheriff, atau siapa saja yang harus dihubungi di sini."
Mr. Peck menggeleng.
"Kalian ingat polisi pada waktu kebakaran di hotel itu, ketika kulaporkan
padanya tentang Snabel? Ia menyangka aku ini sinting. Waktu itu kau sudah
mengatakannya Pete, dan pendapatmu itu benar: apa pun yang terjadi, kita harus
menghadapinya sendiri. Tapi sudahlah, janganlah urusan itu terlalu dipikirkan
Kita teruskan saja perjalanan wisata kita!"
Ia menarik napas
dalam-dalam, seperti baru untuk pertama kalinya menghirup hawa hutan.
"Kurasa aku malah merasa lega karena kini sudah bisa tahu secara
pasti," katanya. "Terus terang saja, aku sendiri sudah mulai
bertanya-tanya dalam hati, jangan-jangan aku ini mulai pikun."
Pete dan Jupe saling berpandangan dengan sikap kaget,
sementara Mr. Peck sudah berjalan lagi menuju mobilnya. Anak-anak mengikutinya.
Mereka kembali ke
Rapid City di tengah ketemaraman senja, dan mendatangi sebuah hotel kecil untuk
menginap di situ. Sesudah makan hamburger di rumah makan terdekat, mereka
pulang ke hotel. Mr. Peck langsung tidur.
Jupe berbaring di
ranjangnya. Ia menatap langit-langit. Dari kamar sebelah terdengar dengkuran
keras kakek Pete.
"Bisa-bisanya
dia itu," kata Jupe, setengah pada diri sendiri.
"Siapa
maksudmu?" tal1¥a Pete. "Kakek, atau Snabel?"
"Snabel," kata
Jupe. "Ia seolah-olah selalu saja bisa langsung menemukan kita, ke mana
saja kita pergi. "
Pete dan Bob tidak
menjawab, karena itu memang tidak mungkin bisa dijawab. Akhirnya ketiga anak
itu tertidur.
Ketika berangkat lagi
keesokan paginya. semua berada dalam keadaan tegang. Mereka mengawasi jalan di
depan, dan berulang kali menoleh ke belakang. Setiap kali mampir di berbagai
tempat untuk melihat-lihat pemandangan selama perjalanan menelusuri Badlands di
negara bagian South Dakota, suatu kawasan gersang berbukit-bukit yang bentuknya
mempesona, mereka tidak pernah pergi jauh-jauh meninggalkan mobil.
Cadas yang menjulang di mana-mana dengan bentuk seperti
menara langsing, membuat perasaan Pete menjadi semakin tidak tenang. Ia merasa
seperti berada di suatu kawasan asing, di mana mungkin saja Snabel tahu-tahu
tersembul dari balik semak atau batu besar dan melepaskan tembakan.
"Apakah sebenarnya hasil
penemuan Kakek yang diincar terus oleh Snabel?" tanya Pete. Mungkin sudah
untuk keseratus kalinya ia menanyakannya sejak mereka berangkat.
"Pokoknya itu sangat
penting," kata kakeknya dengan serius, "dan bagi kalian benar-benar
lebih aman jika kalian tidak tahu."
Mereka melanjutkan
perjalanan, lewat berbagai cadas yang macam- macam bentuknya. Akhirnya mereka
sampai di suatu dataran yang penuh dengan lubang. Lubang-lubang itu dibuat oleh
sejenis satwa liar yang wujudnya mirip tikus, tapi namanya prairie dog,.-
anjing prairi. Lubang- lubang itu jalan masuk ke liang-liang tempat kediaman
anjing-anjing gadungan itu. Anak-anak asyik mengamati binatang-binatang kecil
itu yang berjemur di ambang liang atau sibuk lari kian kemari, dari lubang yang
satu ke lubang lainnya.
Sesudah puas melihat-lihat di
Badlands, belum sampai pukul sebelas siang, Mr. Peck mengarahkan Buick-nya
kembali ke Interstate Highway dan menyusur jalan raya lintas-negara bagian itu
menuju ke timur. Daerah yang dilalui kini benar-benar datar. Jalan nampak
terbentang lurus di depan, bermil-mil jauhnya tanpa ada lekuk atau belokan yang
berarti. Mereka melihat mobil-mobil di depan dan di belakang mereka, tapi tidak
ada Lincoln di antaranya. Mr. Pec- memacu Buick-nya, menyusul mobil-mobil lain
dan memperhatikan pengemudi setiap kendaraan yang dilewati.
Beberapa waktu kemudian Mr.
PecK memperlambat mobilnya dan membiarkan kendaraan-kendaraan lain melewati.
Tapi tidak satu pun dari pengemudi mobil-mobil itu Edgar Snabel.
"Aku tidak
mengerti," kata Mr. Peck "Ia tidak ada di depan kita di jalan ini,
dan di belakang pun tidak. Selama ini ia tidak menyusul kita dan kita Juga
tidak melewati dia, tapi aku berani mempertaruhkan seluruh isi
dompetku bahwa ia nanti pasti
tahu-tahu muncul lagi. Bagaimana mungkin hal itu terjadi?"
Pete yang selama itu memperhatikan jalan di belakang
mereka, tiba-tiba berseru kaget. "Rombongan sepeda motor! Gila juga, jika
itu gerombolan yang mengganggu kita di Crescent City!"
Mr. Peck memandang ke
belakang lewat kaca spion. "Saat ini kita sudah jauh sekali dari Crescent
City. Jadi tidak mungkin itu mereka, kecuali jika mereka hendak menghadiri
rapat bajingan di salah satu tempat di Timur. Aku pernah mendengar, mereka itu
pun biasa mengadakan rapat"
Rombongan
sepeda motor itu berjalan membentuk barisan dua-dua. Mereka melaju dengan sikap
duduk sangat tegak dan pandangan lurus ke depan. Penampilan mereka sama
seramnya seperti kawanan yang di Crescent City, terbungkus pakaian kulit serba
hitam yang dipasangi paku-paku. Dan mereka semakin menghampiri mobil Buick
-"Tidak bisakah
kita lebih cepat lagi, Kakek?" kata Pete cemas
"Kita tidak lari
dari siapa pun juga," kata Mr. Peck.
Bob nyengir sendiri.
Kakek Pete banyak kekurangannya, tapi harus diakui bahwa ia berani dan bertekad.
"Tidak ada alasan untuk
beranggapan bahwa para pengendara sepeda motor itu ada sangkut-pautnya dengan
kita," kata Mr. Peck lagi. "Andaikan mereka memang yang kita lihat
waktu itu di Crescent City, mereka pasti sudah lupa pada kita sekarang."
Anak-anak bisa mendengar derum mesin rombongan sepeda motor
itu, dan mereka melihat pengendara-pengendara paling depan meliukkan kendaraan
mereka ke kiri untuk menyusul Buick dan melewatinya.
"Aduh,"
kata Pete. "Itu tadi orang berbadan besar yang hendak menabrak Kakek di
dermaga waktu itu."
Mr. Peck mendengus.
"Mana mungkin kau bisa tahu dengan pasti? Jenggotnya begitu gondrong,
sampai nyaris tidak seperti manusia tampangnya." -
Pengendara sepeda motor yang
dibicarakan itu memalingkan muka untuk memandang ke arah Buick ketika
melewatinya, dan malangnya Mr. Peck saat itu juga memandang ke arahnya.
Pandangan
mereka beradu. Nampak mata pengendara sepeda motor itu membesar, dan ia
berteriak karena kaget. Anak-anak melihat ia nyengir, lalu berseru pada
teman-temannya sambil menuding ke arah Mr. Peck dan anak-anak.
"Nah, sekarang
gawat," kata Bob.
Mr. Peck menekan pedal gas.
Buick-nya meleset maju. Para pengendara yang ada di depan tidak menepi. Mereka
terus saja berada di posisi semula sambil menatap lurus ke depan, seakan-akan
menantang Mr. Peck untuk menubruk dari belakang.
"Mereka pasti yakin bahwa aku takkan menubruk, dan
mereka benar," kata Mr. Peck getir. Ia menginjak rem untuk memperlambat
mobilnya.
Ia memandang ke kiri, lalu
menggerakkan Buick sedikit ke arah itu. Pengendara sepeda motor yang ada pada
posisi sejajar beringsut ke tengah. Mr. Peck menggerakkan mobilnya sedikit ke
kiri lagi, dan pengendara itu kembali mengalah dan menggeser posisi sepeda
motornya. Terdengar teriakan-teriakan marah di sekeliling, tapi reaksi mereka
terlambat. Buick yang dikemudikan oleh Mr. Peck sudah berada di jalur cepat,
meninggalkan pengendara sepeda motor yang tidak berani merintangi gerakan
pindah jalur tadi.
"Kalian lihat di depan
itu?" Mr. Peck mengatakannya sambil menunjuk dengan anggukan kepala ke
arah asap tebal yang mengepul dari sebuah padang rumput di pinggir jalan.
Rupanya ada yang membakar rumput kering di situ, dan karena saat itu boleh
dibilang tidak ada angin, asap rumput yang terbakar tetap mengambang dekat ke
tanah, menyebabkan terhalangnya penglihatan di jalan. Beberapa detik lagi
mereka akan masuk ke tengah asap tebal itu - begitu pula gerombolan pengendara
sepeda motor yang berteriak-teriak marah di sekeliling mereka.
"Nanti kalau kita sudah
masuk ke tengah asap itu, kalian berpegang kuat-kuat," kata Mr. Peck pada
anak-anak. Tidak ada waktu lagi untuk memberi penjelasan lebih lanjut, karena
detik berikutnya mobil diselubungi asap tebal sehingga jalan tidak kelihatan
lagi. Gerombolan sepeda motor juga tidak nampak. Yang ada hanya keremangan asap
kelabu yang bergerak-gerak.
Mr. Peck membanting setir ke
kiri. Buick itu meleset keluar dari jalan raya. Sesaat terasa bahwa kendaraan
besar itu melayang, lalu membentur tanah dan masuk ke selokan yang menjulur di
tengah-tengah garis pemisah jalan Pete terpekik, karena menyangka mobil pasti
terbalik. Tapi kendaraan itu berhasil dihentikan dengan selamat, dengan arah
kembali menghadap ke barat.
Mr. Peck bernapas
dalam-dalam. Persneling dipindahkan ke gigi satu, pedal gas ditekan dalam-dalam.
Terasa bahwa ban berputar kencang, lalu kendaraan itu meloncat maju,
tergelincir dan terlambung-lambung keluar dari selokan, melaju sepanjang jalur
tengah menuju ke barat.
Mr. Peck menoleh ke belakang sewaktu mobilnya muncul dari
asap yang menyelubungi. tidak ada mobil di jalur jalan yang menuju ke barat.
-"Nah,
sekarang kita sikat!" seru Mr. Peck bersemangat sambil membanting setir ke
kanan. Mobil terlambung sedikit ketika melewati pinggiran pembatas jalur, lalu
bertambah laju meluncur di jalur kiri jalan yang mengarah ke barat.
"Hebat,
Kakek!" seru Pete.
"Jangan terlalu
cepat gembira," kata kakeknya. "Kunyuk-kunyuk itu pasti akan segera
mengetahui apa yang kulakukan."
Di depan nampak mulut jalan
keluar, dan Mr. Peck membelokkan Buick- nya memasuki jalan itu. Sesampai di
ujung jalan keluar itu ia membelokkan kendaraannya dan menuju sebuah hutan
kecil yang letaknya sekitar setengah mil dari situ.
"Kita lihat saja
sekarang," katanya sambil membelokkan mobilnya keluar dari jalan dan masuk
ke dalam hutan itu lalu berhenti di situ. Buick-nya kini tidak bisa dilihat
lagi dari jalan raya.
"Mereka takkan mungkin
bisa melihat kita di sini," katanya. "Mereka pasti memperhatikan
jalan di depan mereka."
Bunyi napasnya terdengar
lebih cepat dari biasanya. Tapi pria berumur lanjut itu tersenyum lebar sambil
memperhatikan jalan raya.
Tidak sampai semenit kemudian
gerombolan sepeda motor yang tadi nampak lagi. Mereka kembali melaju dalam
barisan rapi, dan nampaknya sambil memacu kendaraan ke barat terus memperhatikan
jalan di depan mereka.
"Orang-orang brengsek," kata Mr. Peck.
"Kurasa kita masih akan berurusan lagi dengan mereka."
Gerombolan pengendara
sepeda motor itu terus melaju dan berapa saat kemudian menghilang di kejauhan.
Tiba-tiba Jupe
berseru sambil menuding. "Lihatlah - itu, di sana!"
Sebuah
mobil Lincoln kelabu nampak melaju di jalan raya, menuju ke timur. Sedetik
setelah Jupe berbicara, kendaraan itu nampak diperlambat jalannya.
"Benar-benar
luar biasa," kata Mr. Peck.
"Bisa saja itu
bukan Snabel," kata Bob. "Mungkin saja orang lain."
"Dan jika itu Snabel,
kita bisa saja membiarkan dia di depan kita," kata Pete.
Tapi Lincoln itu
minggir ke tepi jalan lalu berhenti, persis berseberangan dengan tempat Mr.
Peck dan anak-anak bersembunyi sambil mengintai!
-Bab 12 NY ARIS SAJA!
LINCOLN itu menunggu di tepi jalan dengan lampu parkir
berkelip-kelip.
"Lagi-lagi ia berhasil menemukan jejak kita!"
tukas Mr. Peck. "Sialan!
Itu pasti Snabel, dan
ia tahu kita ada di sini Tapi bagaimana caranya?"
Dari balik daun-daun pepohonan yang menutupi, anak-anak dan
Mr. Peck melihat ada mobil patroli polisi muncul di jalan raya. Mobil itu
berhenti di belakang Lincoln tadi dan seseorang berseragam polisi keluar dari
dalamnya. Pintu Lincoln dibuka oleh pengendaranya yang ternyata memang Snabel.
Dan ia kelihatan berbicara sebentar dengan polisi itu.
Kemudian mereka
bersama-sama menghampiri bagian depan mobil Lincoln. Snabel membuka tutup kap
dan membungkuk, seperti memperhatikan mesin.
"Ia
berpura-pura," kata Jupe mengomentari, "seolah-olah mobilnya
mogok."
Jupe
turun dari Buick. "Oke," katanya. "Sementara Snabel sedang sibuk
dengan polisi, kita periksa saja bagaimana ia bisa selalu menemukan jejak
kita."
"Bagaimana
caranya?"
"Di mobil ini mestinya
ada salah satu alat yang mengirimkan isyarat," kata Jupe menjelaskan
"Snabel menerima isyarat itu dan dengan demikian tahu di mana kita berada.
Begitulah caranya ia bisa membuntuti kita tanpa pernah kelihatan oleh kita. Itu
satu-satunya cara yang mungkin."
Mendengar penjelasan Jupe,
dengan segera teman-temannya bergegas keluar dari mobil sementara Mr. Peck lari
ke belakang dan membuka tutup tempat bagasi. Koper-koper dikeluarkan dan
ditaruh di tanah. Jok belakang ditarik ke luar. Jupe merogoh-rogoh di bawah jok
depan dan dasbor.
Akhirnya Bob yang
menemukan benda yang dicari itu. Ia merangkak ke kolong mobil. Dan dilihatnya
sebuah kotak plastik yang ukurannya sebesar sabun mandi, ditempelkan dengan
pita perekat ke tangki bensin.
"Kurang ajar!" sergah Mr. Peck. Diambilnya batu
untuk meremukkan alat pemberi isyarat itu.
"Jangan! Tunggu!"
Jupe mengambil benda itu lalu berjingkat untuk menaruhnya di pangkal dahan
sebatang pohon yang ada di dekatnya.
"Biar dia
menunggu-nunggu terus sambil bertanya-tanya dalam hati selama beberapa waktu sementara
kita lekas-lekas pergi dari sini."
Anak-anak bergegas memasukkan
barang-barang ke dalam mobil. Mr. Peck menghidupkan mesin, lalu Buick itu
bergerak lagi. Tapi bukan kembali ke jalan raya, melainkan melintasi padang
rumput ke arah utara.
Sementara mobil terus melaju, Bob menoleh ke belakang.
Sampai lenyap dari penglihatan, nampak olehnya Snabel masih terus berbicara
dengan polisi. Polisi itu menatap mobil Lincoln yang terbuka kap mesinnya
sambil menggaruk-garuk kepala dengan sikap bingung.
Setelah beberapa lama, Mr.
Peck membelokkan mobilnya masuk ke sebuah jalan -tanah yang dilapisi minyak. Di
situ ia menuju kembali ke timur, melewati sejumlah desa pedalaman. Antara desa
yang satu dan desa berikutnya terbentang padang rumput, di mana kadang-kadang nampak
kawanan sapi dan kuda sedang merumput. Di Pierre, South Dakota, mereka
menyeberangi Sungai Missouri. Setelah itu melalui lagi kota-kota kecil yang
diselang-seling oleh padang rumput.
Malamnya mereka menginap di
sebuah penginapan kecil di sebuah kota yang letaknya tidak sampai lima puluh
mil dari perbatasan negara bagian Minnesota. Di penginapan itu ada garasi
berkunci di mana Mr. Peck bisa menaruh mobilnya. Pemilik penginapan itu Mrs.
Leonard. Wanita itu berpenampilan santai dan suka tersenyum. Ia berbicara terus
tanpa henti, dan tanpa mengharapkan dijawab.
Mrs. Leonard menyajikan
hidangan makan malam yang sangat enak rasanya. Keesokan paginya ia membuatkan
sarapan petani yang asli bagi mereka. Selesai sarapan perjalanan dilanjutkan,
di tengah suasana pedalaman berhawa nyaman.
Waktu melintasi negara bagian
Minnesota, sebagian besar dari perjalanan dilakukan dengan menghindari jalan
raya lintas-negara bagian. Interstate Highway baru dimasuki kembali ketika
mereka sampai di Rochester, dan lewat jalan raya itu mereka melaju ke La
Crosse, Wisconsin. Mr. Peck senang sekali kelihatannya.
"Masa bodoh Snabel,
pokoknya kita ke La Crosse," katanya. "Mendiang nenek Pete dibesarkan
di situ. Kota itu sangat menyenangkan."
"Karena alat pelacak-
yang dipasangkan Snabel ke mobil sudah kita singkirkan, kita tidak perlu merasa
khawatir lagi," kata Pete mengetengahkan.
"Snabel itu benar-benar
licik," kata Mr. Peck. "Ia rupanya sudah siap untuk melakukan
pekerjaan mata-mata secara profesional. Mungkin sudah sejak lama ia memasang
alat-alat penyadap di sekitar rumahku. Pantas tahu begitu banyak tentang
hal-hal yang bukan urusannya."
Kalau kata-kata itu diucapkan
Mr. Peck beberapa waktu yang lalu, mungkin Jupe akan menanggapinya dengan
perasaan sangsi. Tapi kini ia yakin bahwa pendapat kakek Pete itu pasti benar.
Snabel memang jelas membuntuti terus - dan nampaknya ingin menguasai hasil
penemuan Mr. Peck, apa pun juga wujud penemuan itu.
Dan di mana benda itu ditaruh? Jupe merasa heran. Mobil
sudah sempat diperiksa dengan cermat, tapi tidak nampak adanya sesuatu yang
luar biasa. Mungkinkah Mr. Peck mengantunginya? Atau bukan merupakan benda
nyata, melainkan baru ada dalam otaknya? Mana mungkin Snabel bisa mencurinya
jika begitu?
Dan
untuk apa Snabel menemui orang berpenampilan anggun di dermaga nelayan di
Monterey itu? Orang itu langsung menghilang, begitu timbul keributan di situ?
Tapi ia kelihatannya sama sekali tidak menunjukkan minat pada Mr. Peck. Untuk
apa ia datang menjumpai Snabel?
"Nah, itu
dia!" seru Mr. Peck dengan tiba-tiba.
Saat
itu Buick sedang melintasi jembatan yang terbentang di atas sungai yang lebar.
Mr. Peck memberi tahu bahwa itulah Sungai Mississippi. Nampak tebing-tebing
hijau menjulang di tepi air serta pulau-pulau kecil yang ditumbuhi pepohonan
rimbun. Di seberang sungai nampak sebuah kota.
"Itu La
Crosse," kata Mr. Peck. "Kita menginap di sana nanti."
Malamnya mereka makan di
sebuah restoran yang terletak di tepi sungai. Anak-anak asyik memperhatikan
burung layang-layang yang terbang menyambar-nyambar di atas air serta seekor
bangau yang mengarungi tempat dangkal dekat salah satu pulau.
"Mestinya beginilah
wajah Mississippi semasa kehidupan Mark Twain," kata Mr. Peck.
"Kalian ingat ketika Tom Sawyer bersembunyi di sebuah -pulau bersama Huck?
Mestinya pulaunya semacam yang nampak itu."
"Bisakah
kita pesiar naik kapal roda buritan?’ tanya Bob bersemangat. "Di hotel ada
poster dengan pengumuman bahwa ada acara pesiar dengan kapal model kuno itu,
yang berangkat beberapa jam sekali dari tengah kota."
"Ayolah,"
kata Mr. Peck memutuskan.
Keesokan harinya
pukul sebelas kurang seperempat mereka sudah siap di dermaga, menunggu saat
naik ke La Crosse Queen. Kapal kecil yang digerakkan putaran roda berkisi-kisi
yang terpasang pada bagian buritan itu berlayar bolak-balik dari ujung State
Street ke pintu air yang letaknya sedikit ke sebelah hulu dari kota. Mr. Peck
agak kecewa ketika mengetahui bahwa kapal itu digerakkan mesin disel, dan bukan
mesin uap seperti zaman dulu. Tapi Pete langsung menjelaskan bahwa mesin disel
tidak mungkin meledak hingga menyebabkan kapal tenggelam, sedangkan hal itu
bisa terjadi pada mesin uap.
"Yah, pokoknya
selama kapalnya masih benar-benar digerakkan roda besar yang di belakang,"
kata Mr. Peck.
Ia
dan anak-anak bergegas naik ke kapal begitu mereka diizinkan. Mereka duduk di
geladak atas. Dari situ mereka memandang kesibukan para pelancong lainnya yang
meniti tangga dari dermaga. Mereka juga melihat orang-orang yang berolahraga
lari berkeliling taman di pinggir sungai serta anak-anak yang bermain-main di
rumput. Tapi Mr. Peck juga melihat sesuatu yang menyebabkan dia marah-marah
lagi.
"Lihat!"
serunya. "Lihat!"
Anak-anak memandang
ke arah yang ditudingnya. Mr. Peck memarkir Buick-nya dekat dermaga, dan kini
anak-anak melihat seorang laki-laki berdiri di belakang mobil itu sambil
memperhatikannya dengan sikap menyelidik.
Jupe tersentak.
Laki-laki itu orang berpenampilan anggun yang dijumpai Snabel di dermaga ketika
di Monterey!
"Itu dia, kan?"
kata Mr. Peck. "Dia itu yang dijumpai Snabel di Monterey. Akan kuhajar
dia!"
Mr. Peck lari ke tangga yang menuju ke geladak bawah. Tapi
dari arah itu berdatangan para pelancong yang ingin duduk di geladak atas.
Sementara
itu mesin kapal sudah mulai berdegum-degum. Ketika Mr. Peck akhirnya sampai di
geladak bawah, jarak antara kapal dan tepi dermaga sudah terlalu jauh. Kapal
sudah berangkat.
*** -Baru lebih dari sejam kemudian La Crosse Qu-een
kembali merapat ke dermaga. Mr. Peck dan anak-anak termasuk yang paling dulu
turun. Mereka cepat-cepat lari ke Buick mereka.
Mobil itu tidak menampakkan tanda diutik-utik orang. Pete
merangkak ke bawah kolong untuk memeriksa sebelah bawahnya. Bob dan Jupe
-meneliti tempat bagasi setelah mengeluarkan koper-koper dari situ.
Mr. Peck meraba-raba di bawah
dasbor dan mencari-cari di tempat mesin.
"Tidak ada
apa-apa!" kata Mr. Peck kemudian. "Lalu apa yang dilakukan orang itu
di sini tadi? Dan bagaimana cara mereka bisa menemukan jejak kita lagi? Padahal
alat pelacak itu kan sudah kita singkirkan!"
"Mungkin mereka memang sudah
menunggu di sini," kata Bob. Melihat yang lain-lainnya nampak tidak
mengerti, ia menyambung, "Maksudku, jika aku berniat menemukan orang yang
sedang mengadakan perjalanan lintas-benua, akan kudatangi tempat-tempat yang
biasa dikunjungi para wisatawan, lalu menunggu di situ. Di La Crosse sini akan
kuamat-amati dermaga kapal roda buritan, karena mungkin saja orang yang kucari
itu hendak pesiar dengannya."
Mr. Peck mengangguk.
"Ya, mungkin begitu cara mereka. Kau ini cerdas, Bob. Kalian semua
cerdas-cerdas. " "Mungkin sebaiknya kita lekas-lekas saja pergi dari
sini," kata Bob, "dan mulai sekarang jangan mendatangi tempat-tempat
pariwisata. Jika kita jauhi jalan raya, kita takkan mengalami kesulitan
lagi."
"Baiklah," kata Mr.
Peck. "Mulai sekarang kita jangan mampir-mampir lagi kecuali untuk
menginap. Jika nanti sudah tiba di New York, akan berakhirlah segala urusan
ini. Di sana Snabel takkan bisa apa-apa lagi.".
-Dalam waktu lima belas menit
mereka sudah meninggalkan La Crosse dan meluncur ke arah tenggara lewat
jalan-jalan daerah. Malam itu mereka menginap di pinggiran kota Rockford,
Illinois.
Keesokan paginya mereka
memasuki kota Chicago, di mana Mr. Peck membawa anak-anak lewat Lake Shore
Drive sebentar, menyusuri rumah-rumah dan bangunan-bangunan apartemen mewah
yang berjajar di sepanjang jalan besar di tepi Danau Michigan itu. "Kini
kalian bisa mengatakan sudah pernah kemari," kata Mr. Peck.
Siangnya mereka makan di
restoran yang terdapat di puncak salah satu gedung tinggi di kota itu, dan
setelah itu perjalanan diteruskan melintasi negara bagian Indiana.
Malamnya mereka menginap di
Sturgis, Michigan, sedikit di sebelah utara jalan raya lintas-negara yang
melewati Indiana. Di situ Bob meninggalkan teman-temannya sebentar, karena
hendak membeli film baru. Bekal film yang dibawa sudah terpakai semua. Toko
alat-alat foto yang ada di jalan besar sudah tutup. Jadi ia terpaksa masuk ke
pusat perbelanjaan yang terdekat. .
Ia pergi ke suatu tempat pada salah satu sisi pusat
perbelanjaan itu, di mana dijual film. Ia membeli dua rol, lalu melangkah ke
arah pintu keluar. Tapi tahu-tahu ia dihadang seseorang.
Bob terkejut, karena ternyata
orang itu pria berpenampilan anggun yang dilihatnya bersama Snabel di Monterey.
Sesaat ia merasa seperti lumpuh, tidak bisa bicara maupun bergerak.
"Kau
tidak membawanya," kata orang itu. Nada suaranya datar. Air mukanya pun
kaku. "Baiklah, kalau begitu kita ambil saja."
Dicengkeramnya lengan
Bob. "Ayo ikut." Ia tersenyum sekilas.
Bob berusaha membebaskan
diri, tapi tidak bisa. Cengkeraman orang itu keras sekali. Kini pria asing itu
melangkah menuju pintu keluar, sambil menarik Bob. Pintu terbuka secara
otomatis ketika mereka menghampirinya. Di luar pintu itu terdapat pelataran
parkir, dan setelah itu...
Berbagai pikiran melintas
dengan cepat dalam benak Bob. Orang asing berpakaian rapi itu pasti kawan Mr.
Snabel. Mereka akan menahannya sampai mereka memperoleh apa yang diinginkan
selama itu, yaitu penemuan Mr. Peck. Bagaimana jika kakek Pete yang keras
kepala itu menolak, tidak mau menyerahkannya? Bagaimana jika...?
Bob
berteriak sambil berusaha bertahan. Dekat pintu ada alat otomatis penyedia air
minum. Bob menyentakkan tubuhnya ke arah alat itu lalu berpegang kuat-kuat ke
situ. Tangannya memegang tombol yang harus ditekan agar air keluar. Air yang
sejuk menyembur ke mukanya dan membasahi leher serta kemeja, tapi ia terus
berpegang erat-erat sambil berteriak-teriak.
"Ayolah,
Nak," kata pria tak dikenal itu, "jangan suka macam-macam."
Orang itu berbicara dengan suara mantap, -seperti seorang
ayah yang memarahi anaknya yang bandel. .
Tahu-tahu
pegawai toko yang melayani Bob tadi sudah berdiri dekat mereka berdua.
"Ada
kesulitan?" katanya.
"Ah, tidak," kata
pria asing itu. Sambil terus mencengkeram lengan Bob, ia berusaha melepaskan
tangan anak itu yang berpegang pada alat penyedia air minum. "Anak saya
ini... yah... dia..."
"Penculik!" teriak
Bob dengan suara serak. Ia menggeser sedikit, sehingga mukanya tidak lagi kena
semburan air. "Penjahat! Panggil polisi! Orang ini bukan ayahku. Aku belum
pernah melihatnya seumur hidup!"
Orang-orang yang sedang
berbelanja di situ mulai datang mengerumuni. Lalu datang seorang pegawai toko
lagi, yang memakai jaket merah.
"Charlie," kata
pegawai yang pertama pada rekannya yang baru datang, "tolong teleponkan
Henry Parsons di kantor sheriff, ya? Kita memerlukan bantuannya untuk menangani
urusan ini."
"Untuk apa?!" tukas pria asing berpakaian rapi
itu. "Maksud saya, saya tidak ingin... polisi tidak perlu dibawa-bawa.
Anak saya ini belum pernah melanggar undang-undang, dan saya perlu bertindak
tegas agar itu tidak sampai terjadi." Ia memelankan suaranya. "Anak
saya ini mencoba-coba mengisap ganja dan... mungkin juga mencoba yang lebih
berat, dan saya perlu bertindak tegas sebelum - "
"Orang ini bukan ayah
saya!" kata Bob memotong. "Bahkan nama saya saja dia tidak
tahu!"
-Pegawai yang tadi
melayani Bob sewaktu membeli film memandang pria berpakaian rapi itu sambil
mengangkat alis, bertanya tanpa mengatakan apa-apa.
"Tanya saja
padanya!"’ desak Bob. "Suruh dia mengatakan siapa nama saya. Pasti
dia tidak tahu." ..
Orang asing itu hanya
tersenyum saja. "Anak saya Ralph ini memang sangat keras kepala. Kami
semuanya memang berwatak begitu."
Bob melepaskan tombol
yang selama itu dipegang, lalu mengambil dompet dari kantungnya dan
menyodorkannya pada pegawai pusat perbelanjaan. "Di dalam ada kartu
pelajar saya katanya. "Di kartu itu ada foto saya."
Sementara pegawai
yang disodori dompet itu membukanya, pria berpenampilan anggun itu cepat-cepat
pergi lewat pintu keluar.
-Bab 13 PETE NGEBUT
-BOB duduk di sebuah
ruangan kecil yang pengap di belakang bagian penjualan produk susu di pusat
perbelanjaan itu. Ia sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
pembantu sheriff padanya. Agak repot juga meyakinkan petugas itu.
"Tapi untuk apa kalian
dibuntuti terus sejak dari California?" tanya pembantu sheriff.
"Kata Mr. Peck,
karena kawanan orang ini ingin merampas hasil penemuannya," kata Bob.
"Saya rasa katanya itu benar."
Bob menjelaskan bahwa Mr. Peck itu kakek temannya, Pete.
Lalu ia diminta mengatakan apa saja hasil penemuan Mr. Peck yang diketahuinya
begitu pula apa sebabnya kakek Pete itu tidak mau mengatakan apa-apa pada
anak-anak tentang penemuan pentingnya yang hendak dijualnya di New York.
"Menurut Mr. Peck:
ia khawatir nanti keselamatan kami terancam jika terlalu banyak tahu
mengenainya," kata Bob.
-"Dan itu-nyaris
saja terjadi tadi," kata petugas kepolisian daerah itu.
Bob mengangguk. Setelah itu
ia diantar oleh pembantu sheriff kembali ke hotel.
Mr. Peck marah-marah ketika
mendengar apa yang hampir saja terjadi dengan Bob. Walau ia dengan tandas
menolak untuk menceritakan perihal hasil penemuannya kepada pembantu sheriff,
ia dengan senang hati menuturkan peristiwa pengejaran yang terjadi sejak dari
Rocky Beach. Tidak ada yang tidak diceritakannya kebakaran di hotel tempat
mereka menginap di Coeur d’Alene, tentang alat pelacak yang dipasangkan pada
tangki bensin, begitu pula kenyataan bahwa pria berpenampilan rapi yang pertama
kali dilihat di Monterey kemudian nampak berkeliaran dekat Buick sewaktu di La
Crosse.
Ketika Mr. Peck mulai
dengan penuturannya pembantu sheriff bersikap sopan dan penuh minat. Tapi
ketika ia akhirnya selesai, nampak jelas bahwa petugas kepolisian daerah itu
tidak mempercayainya.
"Ya, ya," kata petugas itu. "Jadi cuma itu
saja!"
"Apakah itu belum cukup?" tukas Mr. Peck
"Baik! ini lebih dari cukup," kata pembantu
sheriff.
Jupiter teringat lagi pada nomor mobil yang dilihatnya
dekat Gunung St. Helens, lalu diberikannya pada petugas kepolisian itu yang
mencatatnya. Setelah Mr. Peck dan Bob menandatangani catatan laporan mereka,
petugas kepolisian itu pergi.
-"Mereka takkan berhasil menangkap kedua bandit
itu," kata Mr. Peck mengomentari kepergian pembantu sheriff. "Mereka
pasti sudah jauh sekarang."
Anak-anak tidak membantahnya.
Kemudian, ketika
anak-anak sudah masuk ke tempat tidur, Jupe mengatakan, "Ada sesuatu yang
tidak logis dalam persoalan ini."
Pete mengeluh, karena
sebenarnya sudah ingin lekas-lekas tidur.
"Apa maksudmu,
Jupe?" tanya Bob.
"Untuk apa kawan
Snabel itu hendak menculikmu, Bob?"
"Agar dengan begitu bisa memperoleh hasil penemuan Mr.
Peck," jawab Bob.
"Bukan begitu
maksudku," kata Jupe menjelaskan. "Kenapa justru kau yang hendak
diculiknya, dan bukan Mr. Peck atau salah seorang dari kami."
"Wah,
tidak tahu ya," kata Bob. "Barangkali karena aku tadi sedang seorang
diri."
"Mungkin karena Bob memiliki daya
pesona," sela Pete.
Jawaban
iseng itu tidak diacuhkan oleh Jupe. Ia melanjutkan sambil merenung, "Dan
orang itu mengatakan, ’Kau tidak membawanya'. Selama ini kita beranggapan bahwa
yang dimaksudkannya itu hasil penemuan Mr. Peck, karena itulah yang ada dalam
pikiran kita. Tapi pada hakikatnya, yang dimaksudkan olehnya itu bisa apa
saja." -"He, Jupe," kata Bob memelas, "bagaimana jika
urusan ini besok saja kita teruskan? Aku sudah capek sekali."
"Aku juga,"
kata Pete. "Kita ini katanya kan sedang berlibur." . .
Tampang Jupe langsung
masam, tapi ia mengatakan, "Baiklah."
Tidak lama kemudian
hanya dengkuran keras di kamar sebelah saja yang masih terdengar.
*** -Keesokan paginya, sebelum matahari terbit mereka
sudah berangkat lagi. Perjalanan kini berubah sifatnya, menjadi pelarian.
Mereka tidak lagi memilih lewat jalan-jalan daerah, karena tidak peduli jalan
mana yang ditempuh, musuh kelihatannya selalu saja berhasil menemukan jejak
mereka. Karenanya mereka mengambil jalan raya lintas-negara, di mana
setidak-tidaknya banyak kendaraan lalu-lalang. Jika Snabel dan kawannya mencoba
melakukan sesuatu dengan kekerasan - misalnya saja mendesak mobil Mr. Peck
sehingga keluar dari jalan - bisa dipastikan bahwa dengan segera akan ada yang
datang menolong.
Buick yang disetir oleh Mr. Peck melaju terus melintasi
wilayah Indiana dan kemudian Ohio. Menjelang petang, Mr. Peck sudah capek sekali.
Seluruh tubuhnya terasa kaku dan pegal. Ia marah-marah pada dirinya sendiri,
karena dianggapnya panik dikejar-kejar oleh Snabel. Kejengkelannya tidak bisa
ditahan lagi olehnya sewaktu mereka sudah memasuki negara bagian Pennsylvania.
Dibelokkannya Buick meninggalkan jalan raya, lalu singgah untuk menginap di
sebuah hotel kecil yang tidak sampai dua ratus meter letaknya dari jalan yang
baru saja ditinggalkan.
"Sana,
pergilah berenang, atau nonton televisi, atau apa saja," katanya pada
anak-anak. "Aku hendak membeli bensin sebentar."
"Kami ikut,
Kakek," kata Pete dengan cepat.
"Aku belum
memerlukan. penjaga!".bentak Mr. Peck. "Tidak jauh di jalan ini ada
pompa bensin. Sebentar lagi aku kembali."
Setelah
itu ia langsung berangkat. Anak-anak masuk ke kamar mereka lalu menghidupkan
pesawat televisi. Tapi perasaan mereka terlalu gelisah saat itu, sehingga tidak
bisa mengikuti acara yang sedang ditayangkan. Mereka menunggu Mr. Peck kembali.
Dua puluh menit sudah
berlalu, dan kemudian setengah jam.
"Kakek pasti
mengalami sesuatu," kata Pete.
Jupe mondar-mandir
dalam kamar, sementara Bob memandang ke luar jendela. Hotel tempat mereka
menginap itu terletak di daerah pinggiran sebuah kota kecil. Bob bisa melihat
cahaya lampu-lampu di kota itu di balik pepohonan.
"Mungkin ketika sedang
mengisi bensin teringat olehnya bahwa ia memerlukan sesuatu, lalu pergi ke kota
untuk membelinya," kata Bob.
"Atau bisa juga
harga bensin di pompa yang didatanginya dianggapnya terlalu mahal, dan
karenanya ia mencari pompa bensin lain," kata Jupe.
Lima bel as menit kemudian
anak-anak tidak sanggup lagi menunggu lebih lama. Mereka mengenakan jaket
mereka lalu pergi menyusul.
Mr. Peck tidak ada di pompa bensin yang terdekat. Pegawai
di situ mengatakan bahwa Mr Peck tidak mampir. "Kalau ada mobil dari
California, pasti aku
melihatnya," kata orang itu. "Meski tempat ini dekat dengan jalan
raya lintas-negara kami jarang disinggahi kendaraan yang datang dari sebegitu
jauh."
Anak-anak meneruskan
pencarian, sementara hari semakin gelap. Mr. Peck juga tidak ada di pompa
bensin berikut yang didatangi. Pompa bensin ketiga letaknya di sudut jalan.
Pegawai yang bekerja di situ hanya beberapa tahun saja lebih tua daripada Jupe
dan kedua kawannya. Ia ingat ada seorang laki-laki tua naik mobil Buick mampir
untuk membeli bensin di situ.
"Setengah
jam yang lalu, paling sedikit," kata remaja itu. "Orang tua itu
mengisi bensin sementara aku memeriksa minyak dan air pendingin untuknya serta
ban-ban."
"Kau ingat ke
arah mana ia pergi setelah itu," tanya Pete cepat-cepat.
"Kembali
ke arah sana," kata remaja pegawai pompa bensin itu sambil menggerakkan
tangannya ke arah hotel. "Aku tidak tahu apakah ia terus saja atau tidak,
karena saat itu ada dua orang datang naik sepeda motor dan aku lantas sibuk
melayani mereka."
"Sepeda
motor?" kata Pete dengan- cepat.
Jupe
merasa kecut, karena mendapat firasat buruk. "Mereka berberapa, katamu
tadi?" tanyanya.
"Berdua.
Kenapa?’ tanya pegawai pompa bensin.
"Kami... kami mengalami
keributan dengan serombongan pengendara sepeda motor di barat, beberapa waktu
yang lalu," kata Jupiter. "Mungkin saja kedua orang yang datang
kemari tadi bukan dari rombongan yang sama, tapi kaulihat ke arah mana mereka
kemudian pergi?"
"Juga ke sana,"
kata pegawai pompa bensin sambil menuding ke arah hotel. "Mereka bertanya,
di mana tempat yang enak untuk berkemah, kujawab, di tempat piknik dekat hutan,
dekat Parson’s Woods. He, jika menurut kalian ada sesuatu yang terjadi dengan
orang tua itu dan kejadian itu ada hubungannya dengan kedua pengendara sepeda
motor tadi, aku bisa... aku bisa memanggilkan polisi."
Tawaran itu
ditanggapi anak-anak dengan sikap dingin. Pete membayangkan sifat kakeknya yang
gampang sekali marah. Dan malam itu Mr. Peck sudah nyaris meledak karena
jengkel. Jika ia merasa bahwa anak-anak khawatir tanpa alasan, bisa-bisa ia
mengamuk nanti.
"Terima
kasih," kata Pete. "Tapi itu nanti sajalah, kalau ternyata memang
perlu."
"Di mana tempat
piknik yang kaukatakan itu?" tanya Bob
-Remaja yang bekerja di pompa
bensin itu mengatakan bahwa letaknya tidak sampai setengah mil dari situ.
Diambilnya buku kuitansi dari kantor lalu dibuatkannya peta sebagai petunjuk di
bagian belakang salah satu halaman buku itu. Anak-anak mengucapkan terima kasih
lalu berjalan kembali ke arah hotel. Bob memegang peta yang dibuatkan remaja
pegawai pompa bensin tadi.
Mereka menempuh jalan yang dilewati sewaktu datang tadi.
Sebelum sampai di hotel ada jalan lain di sebelah kiri. Mereka mengambil jalan
itu menuruti petunjuk dalam peta. Kemudian mereka, sampai di jalan lain yang
tidak ada rumah atau toko-toko di pinggirnya. Lampu jalan jarang- jarang
letaknya. Akhirnya itu pun tidak ada lagi.
Langkah anak-anak diterangi
sinar temaram bulan yang baru terbit. Tapi setelah beberapa lama berjalan,
nampak cahaya terang lagi. Ada api unggun di sebuah tempat terbuka di sebelah
kiri jalan. Anak-anak melihat dua orang laki-laki bergerak mondar-mandir
diterangi nyala api unggun yang bergerak-gerak. Jupe mengajak Bob dan Pete
terus berjalan, dan sesaat kemudian mereka melihat Buick yang diparkir tidak
jauh dari api di belakang mobil dan api kelihatan Mr. Peck yang duduk
membungkuk di bangku piknik, membelakangi meja yang terbuat dari kayu. Ia
menatap kedua lelaki yang mondar-mandir antara tempat dia duduk dan mobil
Buick. Air muka. Mr. Peck nampak kaku. .
-"Mereka
pengendara sepeda motor yang waktu itu juga," bisik Pete. "Mereka
berhasil meringkus Kakek!"
"Ssst!"
desis Jupiter menyuruhnya diam.
Dari jalan tempat
anak-anak berada ke tempat piknik ada jalan tanah. Anak-anak menyelinap lewat
jalan itu, sampai Bob nyaris saja terjungkal karena menubruk kedua sepeda motor
yang ditinggalkan di jalan itu. Anak-anak berhenti dan berjongkok di sisi kedua
kendaraan itu, sambil memasang telinga.
Kedua orang yang
mondar-mandir dekat api berbicara dengan suara keras.
"Ini belum
apa-apa, Pak Tua!" tukas seorang dari mereka sambil mencibir. "Kau
akan kami bawa pesiar dengan sepeda motor kami, biar kapok!"
Orang
itu menenggak dari sebuah kaleng bir yang kemudian direnyukkannya dengan satu
tangan saja lalu dicampakkannya ke belakang. Ia merogoh ke dalam sebuah kantung
kertas yang terletak di tangan, mengambil sebuah kaleng lagi. Ia minum dengan
rakus, bersendawa, dan mengusapkan lengan ke mulut.
Mr. Peck membuang
muka sambil mendengus jijik.
"He, pandang aku jika
aku bicara denganmu!" teriak pengendara sepeda motor yang tidak tahu adat
itu.
Pete terlonjak kaget
mendengar bentakan itu. Jupe cepat-cepat memegang lengannya.
-"Kau pernah
ngebut naik-turun bukit, Pak Tua? Lewat tempat-tempat yang tidak pernah dilalui
siapa pun juga?" kata pengendara sepeda motor yang tadi. .
Temannya tertawa.
"Wah, itu benar-benar asyik! Kau pasti menyukainya. Pak T ua - jika kau
tidak mati karenanya!"
Kedua orang itu
tertawa.
Jupe hendak melepaskan lengan
Pete yang dipegangnya sejak tadi. Saat itu barulah disadarinya bahwa temannya
itu sudah tidak ada lagi di sebelahnya. Denyut jantung Jupe serasa berhenti
sejenak karena kaget
Tapi sementara itu Pete sudah
muncul lagi. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Jupe sambil memberi isyarat
pada Bob agar ikut mendengar kan. "Orang-orang itu meninggalkan kunci
sepeda motor di kendaraan mereka, dan kunci mobil Kakek juga dibiarkan di
tempatnya," bisik Pete. Ia mengacungkan tiga pasang kunci.
"Mereka takkan bisa
membawa Kakek ke manapun juga!" bisiknya dengan sengit. "Bawa
kunci-kunci ini dan lekas pergi ke pompa bensin yang tadi untuk menelepon
polisi dari sana. Aku tetap di sini, dan jika mereka nanti hendak menyakiti
Kakek, aku akan... aku..."
Ia tertegun, karena tidak
tahu apa yang akan dilakukannya jika kedua pengendara sepeda motor itu
melakukan sesuatu terhadap Mr. Peck.
Jupe menyeringai, karena saat
itu ada akal yang bagus melintas dalam benaknya.
-Selama beberapa saat ia
membisu, memikirkan gagasannya. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa
dengannya mereka akan bisa membebaskan Mr. Peck dalam keadaan selamat.
"Begini," bisik
Jupe pada Pete. "Kau kan pernah beberapa kali mencoba sepeda motor Charlie
Fisher?"
Charlie Fisher itu kenalan
anak-anak. Orangnya sudah agak tua, dan ia membiayai hidupnya dengan melakukan
pekerjaan apa saja,di rumah- rumah orang. Ia memiliki sebuah sepeda motor
bobrok, dan ia suka pada anak-anak muda. Kadang-kadang, jika ada anak yang
sangat disukainya - seperti Pete misalnya - diizinkannya anak itu sekali-sekali
mencoba naik sepeda motornya.
Tapi sepeda motor Charlie
yang sudah tua tidak bisa disamakan dengan kedua sepeda motor ukuran besar
kepunyaan berandal-berandal itu.
Pete
memandang Jupe dengan kening berkerut. "Maksudmu, aku harus naik salah
satu sepeda rnotor mereka?" bisiknya. "Kau sudah sinting, ya?"
"Mungkin,"
kata Jupe. "Tapi mungkin juga tidak."
Lalu dibisikkannya seluruh rencananya.
Ternyata gagasan Jupe memang bagus, dan Pete mengaguminya.
Sayangnya, ada satu cacatnya! Jika gagasan itu .meleset-jika Pete ternyata
tidak mampu menguasai sepeda motor yang ditungganginya - kemungkinannya ia
kemudian akan dihajar habis-habisan oleh kedua berandal -itu, kecuali jika Jupe
dan Bob mampu menghadapi mereka.
Tapi itulah yang sangat
disangsikan oleh Pete.
Di
pihak lain, jika Pete dan kedua temannya, tidak lekas-lekas bertindak, Mr. Peck
akan tersiksa karena perlakuan kasar para berandal. Pete tidak bisa membiarkan
hal itu terjadi.
"Oke;" kata
Pete, "kita coba saja!"
Ketiga anak itu menyelinap,
menghampiri mobil Buick. Dengan berhati- hati mereka membuka tempat bagasi dan
mengeluarkan beberapa perkakas, lalu mulai bekerja.
Sementara itu sudah banyak
kaleng bir yang ditenggak isinya oleh kedua pengendara sepeda motor.
Gerak-gerik mereka sudah kurang terkendali. Menurut Pete mereka itu takkan
mendengar bunyi kesibukan anak-anak yang sibuk melakukan sesuatu. Tapi walau
begitu Trio Detektif tidak mau mengambil risiko yang tidak perlu. Mereka
bekerja dengan berhati- hati, sambil meraba-raba. Tidak begitu lama waktu yang
diperlukan, setelah mereka terbiasa dengan perkakas yang dipakai.
"Untung mereka cuma
berdua," kata Jupe dengan suara pelan. "Coba seluruh gerombolan ada
di sini, kita takkan mungkin bisa menerapkan siasat ini."
Dengan pelan sekali, Jupe
memasukkan kunci starter ke tempatnya di setang sepeda motor yang pertama.
Kunci starter yang satu lagi disodorkannya kepada Pete, yang berdiri merunduk
di sisi sepeda motor kedua.
-Sepeda
motor itu sangat besar. Pete, yang paling tinggi dari ketiga Trio Detektif,
ujung kedua kakinya nyaris tidak sampai ke tanah ketika ia sudah duduk di sadel
Walau begitu ia berhasil juga menurunkan kendaraan roda dua itu dari
standarnya. Kunci starter dimasukkan ke tempatnya, lalu ia menarik napas
dalam-dalam. Setelah itu diletakkannya kaki kanan ke pedal starter.
Kunci starter
diputar, dan pedal starter dienyakkan ke bawah.
Sepeda motor itu
meraung. Bunyinya seperti binatang besar yang marah. Tapi setelah itu mati
lagi.
Pete merasa tubuhnya
lemas karena ngeri.
Kedua berandal yang duduk
dekat api unggun berteriak dan cepat-cepat berdiri.
Sekali lagi Pete mengenyakkan
pedal starter ke bawah. . Sekali lagi sepeda motor meraung, dan kini tidak mati
lagi. Pete mencondongkan tubuhnya ke depan, dan mengikuti gerak liar sepeda
motor yang meliuk dan melambung-lambung, seperti kuda liar. Kendaraan itu
melambung masuk ke dalam sebuah parit lalu terpental keluar lagi ke jalan. Pete
berteriak-teriak ketakutan, tapi ia terus bertahan di atas sepeda motor itu.
Kedua berandal yang marah
cepat-cepat naik ke sepeda motor yang satu lagi. Orang yang duduk di depan
mengenyakkan starter cepat-cepat, dan mereka langsung mengejar. Lain dari Pete,
mereka mampu menguasai kendaraan mereka untuk sesaat. Tahu-tahu terdengar
teriakan dan makian. Kedua berandal itu jatuh terguling ke dalam parit, karena
roda depan kendaraan mereka terlepas. .
Kedua orang itu cepat-cepat
melompat, menghindar dari gerakan liar sepeda motor yang tinggal roda
belakangnya saja.
Jupe dan Bob lari menghampiri
Mr. Peck lalu menggiringnya sambil berlari-lari ke mobil Buick,
Sesaat kakek Pete bingung, tapi kemudian ia mengerti.
Cepat-cepat dibukanya pintu Buick. Jupe dan Bob masuk ke sebelah belakang mobil
itu, sementara kunci starter dilempar ke jok depan di mana Mr. Peck sudah
duduk. Sebelum pintu pintu tertutup semua, kendaraan itu sudah bergerak. Mr.
Peck membanting setir. Buick-nya menikung, menyambar sejumlah semak rendah.
Kendaraan itu nyaris saja menubruk sebatang pohon dan kemudian melaju lewat
kedua pengendara sepeda motor yang masih tercengang.
Seperempat
mil kemudian barulah Mr. Peck, memperlambat kendaraan itu. Anak-anak menoleh ke
belakang. Mereka melihat kedua berandal tadi berdiri di tengah jalan,
berteriak-teriak marah sambil mengayun- ayunkan tangan.
Jupe dan Bob tertawa.
-Bab 14 RAHASIA YANG
SANGAT BERBAHAYA
-SETENGAH jam kemudian barulah Pete muncul di hotel. Ia
berjalan terpincang-pincang. Pakaiannya basah dan kotor, tapi ia sendiri sangat
senang.
"Sepeda motor itu
kucemplungkan ke dalam sebuah kolam," katanya. "Kunci starternya
kumasukkan ke dalam sebuah kotak surat. Berandal- berandal itu untuk sementara
waktu tidak bisa berbuat apa-apa lagi."
"Apa sebetulnya yang
terjadi tadi, Kakek?" tanyanya setelah itu pada Mr. Peck. "Kenapa
sampai bisa jatuh ke tangan mereka?"
Mr. Peck agak malu
kelihatannya. "Yah, Pete, aku disergap kunyuk- kunyuk itu. Aku memang
membeli bensin tadi, seperti kukatakan pada kalian. Kemudian aku masuk ke jalan
samping itu untuk memeriksa apakah Snabel atau kawannya memasang alat pelacak
lagi ke tangki bensin.
Sementara aku sedang
melongo k ke kolong, tahu-tahu kedua bajingan itu muncul! Mereka mengancam akan
menghajarku sampai remuk jika melawan. Satu dari mereka masuk ke mobil dan
memaksaku pergi ke tempat piknik itu."
"Anda tadi dalam
bahaya besar," kata Jupiter dengan wajah serius. "Untung bisa lolos
dengan selamat. "
"Ah, kau tidak perlu
khawatir tentang diriku, Jupe," kata Mr. Peck dengan nada lebih riang.
"Aku tadi menunggu
sampai orang-orang itu sudah benar-benar mabuk. Aku masih punya beberapa siasat
lagi."
Pete
tidak begitu tahu apa yang dimaksudkan oleh kakeknya, tapi ia merasa lebih baik
itu tidak ditanyakan.
"Kakek sudah menghubungi polisi?" tanyanya.
"Aku
tidak mau lagi menghubungi mereka," kata Mr. Peck. "Aku tidak ingin
kehilangan lebih banyak waktu karena harus memberi keterangan pada
petugas-petugas hukum yang goblok. Kita tinggalkan kota ini, dan menuju ke
barat."
"Ke barat?"
kata Pete dengan heran.
"Ya, ke barat.
Berandal-berandal bersepeda motor itu takkan menduga bahwa kita mengarah ke
sana. Begitu pula Snabel dan kawannya - jika mereka mengintai kita - mereka pun
takkan menduganya. Nanti kita datangi sebuah kota kecil di sebelah barat lalu
kita cari pedagang mobil di sana. Buick-ku kita tukar dengan mobil lain, dan
setelah itu kita teruskan perjalanan, dengan aman. Buick itulah yang selalu
saja menyebabkan jejak kita ketahuan. Snabel mengenalnya. Kawannya mengenalnya.
Kawanan bersepeda motor juga mengenalnya. Karena itu harus cepat-cepat
kujual."
Pete memandang kakeknya
dengan kagum. "Wah, itu gagasan yang sangat cerdik!"
"Kalian juga
cerdik!" kata Mr. Peck. "Baiklah, sekarang kemaskan barang-barang
kalian, Anak-anak. Tolong bereskan pula koperku, sementara aku mengurus
.pembayaran sewa kamar."
Wajah pria tua. itu sudah
berseri-seri kembali, dan matanya berkilat- kilat. "Akan kuambil
mobil," katanya, "dan kubawa ke pintu samping - yang dekat kolam
renang. Kalian tunggu aku di situ, dengan barang- barang kita. Dan kau, Pete,
cepat ganti pakaianmu yang basah itu."
Pete sebenarnya tidak perlu disuruh lagi, karena ia sudah
membuka kemejanya yang basah, sementara Bob dan Jupe buru-buru menjejalkan
barang-barang mereka ke dalam koper. Mr. Peck tertawa puas. Kini ia tidak lagi
melarikan diri, melainkan akan adu pintar dengan musuhnya.
Tidak lama kemudian Mr. Peck
dan anak-anak sudah kembali berada di jalan raya lintas-negara, menuju ke
barat. Menjelang tengah malam mereka memasuki sebuah kota yang terletak di
perbatasan antara Ohio dan Pennsylvania. Jalan-jalan di situ sudah lengang dan
gedung-gedung kebanyakan sudah gelap. Tapi di Hotel Holiday Inn yang letaknya
dekat. jalan raya masih nampak lampu-lampu menyala. Mereka memutuskan untuk
menginap di situ. Keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka sudah bangun lagi.
Mereka langsung mendatangi toko mobil yang paling dekat dengan hotel. Mereka
menunggu sampai toko yang merupakan agen perusahaan Ford itu dibuka.
Tanpa banyak bicara lagi, Mr.
Peck menerima penawaran harga yang diajukan oleh pramuniaga untuk Buick-nya.
Kemudian dipilihnya sebuah sedan Ford berumur dua tahun yang dipajang di bagian
mobil bekas. Ia membayarnya dengan cek, lalu menunggu bersama anak-anak di
kantor sementara manajer toko itu mengadakan pembicaraan telepon jarak jauh ke
California untuk memastikan kesahan tanda pembayaran itu.
Lewat tengah hari Mr. Peck
dan anak-anak meninggalkan tempat jual- beli mobil, dengan mengendarai Ford
yang baru saja dibeli.
"Kurasa kita berhasil
meloloskan diri dari kejaran mereka semua," kata Mr. Peck, yang selama itu
terus berjaga-jaga terhadap kemungkinan munculnya Snabel atau kawannya. Ia
menguap lebar-lebar dan menggosok-gosok matanya. "Aku selalu saja lupa
bahwa aku ini sudah tidak muda lagi," katanya. "Bagaimana jika kita
beristirahat sehari di kota ini? Snabel takkan mungkin bisa menemukan jejak
kita lagi, setelah Buick kita ganti dengan Ford ini."
Anak-anak mau saja diajak
beristirahat. Mereka kembali ke Holiday Inn, dan tidak lama kemudian sudah
terdengar lagi bunyi dengkuran Mr. Peck. -Anak-anak pergi berenang di kolam
renang hotel dan kemudian main minigolf, tapi mereka tidak pergi jauh-jauh dari
tempat penginapan.
Menjelang
sore mereka kembali ke kamar mereka. Bob dan Pete nonton televisi sementara
Jupe duduk dekat jendela sambil memandang ke luar. Keningnya berkerut dan
tangannya menarik-narik bibir bawahnya: Itu tanda yang jelas bahwa ia sedang
sibuk berpikir. Tiba-tiba ia mengangguk dan berkata, "Ya, tentu
saja!"
Kedua temannya
menoleh ke arahnya. "Tentu saja apa?" tanya Bob.
"Snabel bukan berminat
terhadap hasil penemuan kakekmu, Pete," kata Jupe. "Sejak semula
bukan itu yang dikejar-kejarnya."
Pete tercengang.
"Mana mungkin-pasti itu yang hendak dirampasnya. Di Custer, ia hendak
menyergap kita dengan pistol. Atau kausangka ia waktu itu hendak berburu bison,
ya?"
"Dan bagaimana
dengan kawannya yang mencoba menculik aku di pusat perbelanjaan itu?" kata
Bob.
"Justru tentang dia
itulah aku berpikir sejak tadi," kata Jupiter. Ia mendeham-deham meminta
perhatian, sambil meluruskan duduknya Begitulah kebiasaannya jika hendak
menguraikan suatu teori. "Apa tepatnya yang dikatakan orang itu ketika
hendak menculikmu di pusat perbelanjaan, Bob?"
"Ia mengatakan aku
anaknya, dan aku hendak dibawanya pergi karena ketagihan obat bius. Alasannya
sudah jelas, kemungkinannya aku hendak ditawannya untuk minta tebusan dan
tebusan itu mestinya hasil penemuan Mr. Peck. Mungkinkah itu ada hubungannya
dengan pertahanan nasional? Karena kurasa bukan cuma bom asap saja."
"Yang kutanyakan bukan penjelasannya pada pegawai di sana. Apa yang
dikatakannya padamu sebelum pegawai itu datang?"
"O,
itu maksudmu! Kalau tidak salah, ia mengatakan, ’Kau tidak membawanya. Kalau
begitu kita ambil saja!’ Atau mungkin juga, ’Kau tidak membawanya, kan?’
Kurang-lebih begitulah!"
"Dan apa-apa
yang tidak kaubawa saat itu?" tanya Jupiter.
"Yah... ya,
mestinya hasil penemuan Mr. Peck. Apa lagi kalau bukan itu?’.
"Apakah
tidak mungkin barang lain?" kata Jupiter. "Apakah tidak mungkin
sesuatu yang biasanya selalu kaubawa, tapi waktu itu tidak ada padamu ?"
Kening Bob berkerut,
berusaha mengingat-ingat.
"Aku tidak tahu
barang apa itu, kecuali-ah ya, benar juga! Kameraku dan kotaknya. Tapi
kenapa... apa alasannya orang itu tertarik pada kameraku?"
"Betul." Jupiter
nyengir. "Kamera dan kotak yang berisi film-filmmu yang sudah diekspos.
Waktu itu kau meninggalkannya di hotel, dan itulah yang diincar mereka berdua.
Aku berani bertaruh!"
Jupe bersandar ke punggung kursi dan mendekapkan kedua
tangannya di depan dada sehingga kelihatan seperti menyembah. Ia tersenyum.
"Kurasa Snabel bukan membuntuti kita ketika kita pertama-tama menjumpainya
dalam perjalanan," katanya. "Kalian ingat reaksinya sewaktu di pantai
Pismo Beach, ketika Mr. Peck tahu-tahu menyergapnya? Ia kaget dan -ketakutan.
Kurasa ia datang ke Pismo itu untuk alasan lain.
"Kita anggap saja
perjumpaan kita dengan dia waktu itu terjadi karena kebetulan semata-mata. Dan
Snabel bukan bermaksud hendak mengintai Mr. Peck ketika kita melihatnya
menyelinap-nyelinap memperhatikan sewaktu kita berangkat dari Rocky Beach. Ia
melakukannya, hanya karena orangnya memang terlalu ingin tahu urusan orang
lain. Beberapa saat setelah kita berangkat ia juga pergi, dengan maksud hendak
ke Monterey untuk menjumpai seseorang di situ. Kita sempat mampir dulu di Santa
Barbara untuk makan siang, sehingga perjalanan kita memakan waktu sekitar satu
jam lebih lama. Sedangkan Snabel langsung menuju ke Pismo Beach, di mana ia
mampir untuk melemaskan otot -otot sebentar. Ia berjalan-jalan di pantai,
seperti kita juga, dan ketika kakek Pete melihatnya dan langsung naik darah,
Snabel paling sedikit sama kagetnya seperti Mr. Peck. Kalian ingat bagaimana
tampangnya saat itu?
-"Ia berhasil
membebaskan diri lalu pergi ke Monterey, dan mulai di situ situasi berubah.
Kalian ingat, apa yang terjadi di sana?"
"Kita berjumpa
lagi dengan dia di dermaga," kata Pete, "dan kita juga melihat orang
yang satu lagi - yang hendak menculik Bob."
"Betul! Dan ketika
Snabel tiba di derma-ga kapal-kapal nelayan di Monterey itu, ia jelas bukan
membuntuti kita. Ia sama sekali tidak berusaha tidak ketahuan oleh kita. Ia
berjalan dengan santai ke dermaga, seperti wisatawan biasa."
Jupe menutup matanya dengan tangan. Bob dan Pete tahu bahwa
teman mereka itu berusaha membayangkan kembali kejadian saat itu, seperti orang
yang memutar kembali kaset video. Hal-hal yang rasanya tidak penting sewaktu
anak-anak tiba-tiba berhadapan dengan Snabel di dermaga kini mungkin akan
nampak mencolok.
"Waktu itu Snabel
menenteng kamera, yang modelnya sama dengan milik Bob, tapi ia sama sekali
tidak memotret. Ia hanya berdiri saja, menunggu dengan kamera di tangan.
Kemudian orang yang satu lagi muncul dan Snabel berkata padanya, ’Aku membawa
barang itu'.
"Bukankah itu berarti
Snabel hendak menyerahkan sesuatu kepada orang yang baru muncul itu? Dan orang
itu mengajaknya ke tempat lain. Lalu mereka berdua berjalan menjauhi tempat
kita dan berdiri dekat bangku di mana Bob duduk Saat itu Snabel mengenali kita.
Kalian ingat, mukanya menjadi pucat? Lalu .Mr. Peck muncul dari toko, di mana
ia selama itu mengintai. Orang yang baru datang untuk menjumpai Snabel
buru-buru menghilang. Tahu-tahu ia sudah tidak ada lagi. Mr. Peck mencengkeram
Snabel dan mengancamnya jika ia meneruskan perbuatannya.
"Lagi-lagi Snabel
kelihatan ketakutan. Ia tidak menyangka akan berjumpa dengan Mr. Peck di situ.
Kemudian Mr. Peck mengajak kita pergi, Bob mengambil kameranya yang selama itu
terletak di atas bangku, lalu kita pergi dari situ.
"Dan
mulai saat itulah Snabel mengejar-ngejar kita. Kalian ingat ia berlari-lari
mengejar sambil berteriak-teriak ketika kita berangkat?"
Pete mengangguk,
sementara Bob menatap Jupe.
"Betul,"
kata Bob. "Tapi kenapa ia begitu?"
"Karena yang kauambil
bukan kameramu, Bob," kata Jupiter. "Kau mengambil kamera yang dibawa
Snabel yang diletakkannya di atas bangku ketika Mr. Peck menyerangnya."
"Maksudmu, kamera itu
yang diincarnya selama ini?" kata Pete. "Tapi itu kan aneh! Jika
memang benar, kenapa ia tidak mendatangi kita saja di hotel di Santa Rosa dan
mengatakan, ’He, kamera kalian tertukar dengan kameraku, dan ini dia kamera
kalian’. Untuk apa segala kerepotan membuntuti, menculik, dan macam-macam
lagi?"
"Karena jika urusannya
cuma menyangkut kamera, penyelesaiannya memang bisa segampang itu! Takkan ada
yang mau repot menyusul dari Monterey sampai ke Santa Rosa, jika hanya untuk
kamera yang tertukar. Jadi yang diincar sebenarnya film yang ada dalam kamera
itu. Itulah yang penting bagi Snabel dan orang yang satu lagi itu, dan mereka
tidak ingin kita tahu tentang film itu."
"Ya," kata
Bob, "mungkin juga." Ia berdiri, lalu menumpahkan isi tas kameranya
ke tempat tidur. Dari sembilan rol film, hanya satu yang belum dipakai. Sisanya
sudah diekspos, tinggal dicuci saja lagi.
"Pasti ada toko
foto yang cepat layanannya di kota ini," kata Bob. "Yuk, kita
cari."
Mereka menjumpai toko yang
dicari itu di sebuah pusat pertokoan yang kecil, tiga blok dari hotel tempat
mereka menginap. Anak-anak menyerahkan rol-rol film kepada wanita yang
melayani. Setelah itu mereka keluyuran di pusat pertokoan itu sambil menunggu
film-film selesai dicuci.
Tangan
Bob gemetar ketika membawa sampul-sampul kuning berisi kedelapan rol film di
toko foto ke pelataran parkir. Di situ ia meneliti foto fotonya, sementara Pete
dan Jupe ikut melihat dari belakang. Mereka melihat foto Mr. Peck di Mount
Rushmore, foto-foto kawanan bison di Custer, serta batu-batu cadas yang
langsing menjulang di kawasan Badlands. Di antara foto-foto wisata itu ada satu
yang lain, yaitu foto sebuah pesawat terbang yang sedang tinggal landas.
"Ini bukan aku yang mengambil," kata Bob.
-Pete meraih foto itu lalu
mengamat-amatinya. Pesawat itu berbadan langsing. Bentuknya runcing seperti
jarum, dan kedua sayapnya condong ke belakang. "Kelihatannya ini pesawat
terbang militer," kata Pete.
Bob
memperhatikan foto-foto yang lain. Ada beberapa yang menampakkan suatu
instalasi yang wujudnya seperti perpaduan antara kilang minyak dan lumbung
gandum yang tinggi. Ada pula foto-foto dari jarak dekat yang menampakkan
bermacam-macam gambar yang ditempelkan di atas sebuah meja dengan paku payung.
Lalu ada foto- foto buku catatan yang terbuka, dan halaman-halamannya berisi
berbagai perhitungan dan catatan yang tidak dimengerti maknanya oleh Jupe
maupun kedua temannya.
Akhirnya semua foto
sudah dilihat. Bob berkeringat.
"Jadi
foto-foto yang bukan kuambil ini yang hendak diserahkan Snabel kepada orang
yang ditemuinya itu," katanya. "Mungkin yang nampak tadi itu
instalasi-instalasi militer, ya? Jangan-jangan Snabel itu mata-mata, yang
hendak menjual informasi rahasia kepada musuh!"
-Bab 15 MEMANCING
MATA-MATA
-"FBI!" kata Mr.
Peck bersemangat. "Betul, itu yang harus kita lakukan! Kita hubungi FBI,
biar menangkap orang jahat itu!"
Pete sudah mengambil
buku telepon dan mencari-cari. "Tidak ada," katanya. "Tidak ada
kantor FBI di kota ini."
"Kausangka ada?" kata Mr. Peck. "Kita akan
mendatangi FBI di New York, dan sekarang ini juga kita berangkat!"
Mereka segera berkemas, lalu berangkat malam itu juga. Mr. Peck terus
memacu mobilnya dan pagi-pagi sekali akhirnya mereka memasuk sebuah tembusan
yang nampak kemilau karena berdinding tegel putih. Lalu- lintas kendaraan ramai
di dalamnya. Setelah melewati tembusan itu, mereka sampai di kota dunia yang
dituju. Kota dengan gedung-gedung menjulang tinggi, lalu-lintas
bersimpang-siur. Taksi-taksi berderet panjang di luar sebuah bangunan besar,
yang ternyata stasiun kereta api, Pennsylvania Station.
-Mr. Peck menghentikan mobil
di seberang jalan berhadapan stasiun itu sementara Jupe masuk untuk mencari
alamat kantor FBI dalam buku telepon. Anak-anak sangat bersemangat. Mereka sudah
berulang kali bekerja sama dengan pihak kepolisian di Rocky Beach. Tapi belum
pernah dengan FBI dalam urusan spionase.
Pukul setengah sepuluh Mr.
Peck dan anak-anak sudah berada dalam sebuah ruangan bersama seseorang yang
menurut mereka mestinya agen FBI. Namanya Anderson. Penampilannya rapi, dan
tindak-tanduknya tenang. Untung saja ia tenang, karena ketika Mr. Peck sudah
mulai berbicara tentang Snabel yang hendak menjual rahasia militer kepada
musuh, kemarahan kakek Pete timbul lagi sehingga selama beberapa saat hanya
bisa tergagap-gagap. Petugas FBI itu menunggu dengan sopan sampai Mr. Peck
sudah bisa mengendalikan dirinya lagi.
"Sudahlah, Kakek,"
kata Pete dengan nada memohon. "Kita kan tidak tahu pasti tentang berbagai
hal itu. Kenapa tidak diperlihatkan saja foto-foto itu?"
"Kita tahu pasti!" tukas Mr. Peck. Tapi
dibantingnya sampul berisi foto- foto ke atas meja. "Ini ada dalam kamera
yang dibawa Bob - tapi itu bukan kameranya, karena tertukar," katanya.
"Snabel pengkhianat itu hendak menjual foto-foto ini kepada seorang
mata-mata asing!"
Mr.
Anderson meneliti foto-foto itu. Air mukanya sedikit pun tidak berubah.
-Jupiter memanfaatkan
kesempatan itu untuk ikut bicara
"Mr. Anderson,
saya ingin memperkenalkan diri saya dan kedua teman saya." Dikeluarkannya
selembar kartu nama dari kantungnya dan diserahkannya pada Mr. Anderson.
Petugas FBI itu membacanya:
-TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa Saja"
? ? ?
-Penyelidik Satu Jupiter Jone Penyelidik Dua Peter Crenshaw
Data dan Riset Bob Andrew
-Jupe cepat-cepat berbicara
lagi, ketika melihat Mr. Anderson nampaknya hendak menanyakan sesuatu.
"Saya Jupiter Jones,
pemimpin biro detektif kami, yang berkantor -di Rocky Beach, California. Selama
ini sudah beraneka jenis misteri yang kami teliti, jadi kami bukan orang awam
tentang teknik-teknik penyelidikan."
Bob merasa seperti melihat mata Mr. Anderson memancarkan
kegelian sekilas, saat petugas FBI berwajah dingin itu dengan tenang meletakkan
kartu nama ketiga detektif remaja itu di atas meja kerjanya
Jupe
masih terus berbicara. "Tentu saja," katanya sambil menundukkan mata
dengan sikap agak malu-malu, "kami belum pernah menjumpai kasus sepenting
ini. Dan bagi kami benar-benar merupakan kehormatan, bisa bekerja sama dengan
FBI-"
"Cepatlah
sedikit," sela Pete tidak sabaran.
Jupe menoleh ke arahnya
sambil melotot, lalu berpaling pada Mr. Anderson lagi dan menyambung,
"...menangani kasus yang mungkin menyangkut keamanan nasional kita."
Ia
melanjutkan dengan .penjelasan tentang kejadian tertukarnya kamera Bob dan
kamera Snabel di Monterey.
"Itu awal dari
serangkaian kejadian berbahaya," katanya.
"Penjahat itu terus
mengincar kami sejak itu!" tukas Mr. Peck. Hanya itu saja dikatakannya,
sementara Jupiter melaporkan tentang kebakaran di hotel tempat mereka menginap di
Coeur d’AIene, Idaho, lalu melihat Snabel membuntuti dengan membawa pistol di
taman suaka bison di Custer, South Dakota, dan akhirnya percobaan penculikan
Bob di Michigan.
"Sudah pasti ada catatan
di kantor polisi kota Sturgis, Michigan, mengenai percobaan penculikan yang
terjadi di sana beberapa hari yang lalu. Manajer pusat perbelanjaan di sana
memanggil sheriff. "
Mr. Anderson diam saja, seperti menunggu
apakah masih ada lagi yang hendak dikatakan oleh Jupiter. Sesaat kemudian ia
mengangguk, tanda memahami penjelasan Jupe..
Jupiter merasa puas. Ia telah menyampaikan laporan dengan
logis, teratur, cermat, dan pasti juga meyakinkan.
"Snabel busuk
itu berwatak mata-mata rupanya," sergah Mr. Peck tiba- tiba, "dan
orang yang bersama dia itu mestinya mata-mata musuh.
Mr.
Anderson tersenyum. "Tapi musuh yang mana?" kata petugas FBI itu.
"Pentingkah
itu?" tukas Mr. Peck.
"Mungkin
juga tidak," kata Mr. Anderson. Ia meminta Mr. Peck dan anak-anak agar
menunggu sebentar, lalu ia pergi dengan membawa foto- foto itu. Beberapa saat
kemudian ia kembali dan hanya mengatakan bahwa ia sudah meminta rekan-rekannya
untuk melakukan penyidikan.
"Di mana kalian
menginap selama berada di New York?" tanyanya.
"Riverview Plaza,"
kata Mr. Peck menyebutkan nama sebuah hotel kecil di kawasan East Side. Mr
Anderson mencatatnya.
"Itu kalau di
sana tidak penuh," sambung Mr. Peck, yang tiba-tiba merasa sangsi.
"Saya rasa itu
bisa kita tanyakan, apabila Anda tidak keberatan menunggu selama beberapa
menit," kata Anderson.
Petugas FBI itu keluar lagi,
dan beberapa menit kemudian kembali dengan berita bahwa di Riverview Plaza
sudah dipesankan dua kamar untuk Mr. Peck dan anak-anak.
"Jika nanti ternyata ada lagi yang rasanya perlu
dilaporkan, atau jika kalian kebetulan melihat Snabel lagi, harap hubungi
saya," katanya, sambit memberikan kartu namanya.
Saat itu barulah anak-anak
merasa pasti bahwa laporan mereka ditanggapi dengan serius- setidak-tidaknya
untuk diselidiki. Mereka meninggalkan kamar kerja Mr. Anderson dengan perasaan
puas lalu turun dengan lift.
Hotel Riverview Plaza yang
mereka datangi kemudian ternyata merupakan bangunan yang udah agak tua. Nama
"Riverview" menyebabkan te-rbayang pemandangan ke arah sungai. Dulu
itu mungkin benar, tapi kini pemandangan itu terhalang bangunan-bangunan kantor
yang tinggi-tinggi. Seorang pelayan hotel pergi memarkirkan mobil Ford Mr.
Peck. Seorang pelayan lain mengangkatkan koper-koper mereka ke atas, ke sebuah
suite yang terdiri dari dua buah kamar dan sebuah kamar mandi. Dari balik
jendela-jendela yang tidak begitu bersih bisa dilihat sebuah bangunan kantor
berdinding kaca. Dan di balik dinding kaca itu nampak pria dan wanita duduk
berderet-deret menghadap pesawat-pesawat komputer, diterangi lampu bersinar
kebiru-biruan.
Bagi
Jupe, pemandangan itu menyuramkan perasaan. Karenanya dengan perasaan lega
ditariknya kerai ke bawah, lalu ia masuk ke tempat tidur. Dipejamkannya
matanya, sambil bertanya-tanya dalam hati berapa lama waktu yang diperlukan FBI
untuk mengecek kebenaran laporan mereka tadi. Ia ingin tahu apa yang akan
dilakukan oleh para petugas rahasia mengenai Snabel.
Tahu-tahu ia sudah
terlelap.
Ia bermimpi berada di rumah, di pangkalan barang bekas.
Dalam mimpi itu ia sedang merangkak-rangkak di bawah tumpukan barang bekas yang
ditimbun menutupi karavan yang dijadikan kantor oleh Trio Detektif. Ia
bergegas-gegas, karena terdengar bunyi pesawat telepon berdering- dering di
dalam karavan.
Jupe terbangun. Tubuhnya
basah karena keringat. Telepon dalam kamar ternyata memang berdering-dering. Bob
turun dari tempat tidur lalu mengangkat gagang pesawat itu. Sementara Jupe
memperhatikan dalam keadaan masih mengantuk, Bob mengatakan, "Ya."
Lalu, "Ya, tentu saja, Bob mengembalikan gagang telepon ke tempatnya.
"Itu Mr. Anderson, dari lobi di bawah katanya. "Ia kemari."
Pete, yang sementara itu juga
sudah bangun cepat-cepat lari ke kamar sebelah untuk membangunkan Mr. Peck.
Kakeknya itu muncul dalam kamarnya dengan rambut kusut ketika terdengar bunyi
pintu diketuk. .
Mr. Anderson ternyata
tidak datang seorang diri. Ia ditemani orang yang lebih jangkung dan agak lebih
tua daripada dia. Diperkenalkannya orang itu sebagai rekannya yang bernama
Friedlander.
Setelah itu ia duduk
di kursi bersandaran lurus yang ada di sudut kamar, membiarkan Friedlander yang
berbicara.
Mr. Peck harus menjawab
berbagai pertanyaan mengenai Ed Snabel. Ia berhasil melakukannya tanpa terlalu
sering melantur atau tergagap- gagap karena marah. Ternyata hanya sedikit saja
yang diketahuinya tentang Ed Snabel, jika diingat bahwa mereka tinggal
bersebelahan sejak sekian tahun. Mr. Peck hanya bisa mengatakan, kalau tidak
salah Snabel bekerja di salah satu industri pertahanan, dan nampaknya tidak
punya keluarga ataupun teman, dan ia mempunyai hobi memelihara anggrek. Ketika
ditanya Mr. Friedlander tentang orang yang pernah dilihat bersama-sama dengan
Snabel dan mencoba menculik Bob, Mr. Peck mengatakan bahwa ia tidak tahu
apa-apa tentang orang itu. Tapi Bob menunjuk foto -seorang, ketika Friedlander
menyodorkan selusin foto kepada mereka.
"Siapa dia?" kata Bob setelah itu. "Apakah
ia pernah tercatat karena melakukan pelanggaran hukum?"
Foto yang dikantungi kembali
oleh Friedlande- bukan seperti foto-foto penjahat yang ada di kantor polisi.
Foto itu menampakkan orang tak dikenal dan berpenampilan anggun itu sedang
berjalan keluar dari bandar udara, atau bisa juga stasiun kereta api.
"Kami pernah berurusan
dengan dia, sekian waktu yang lewat," kata Mr. Friedlander. "Sebut
saja namanya Bartlett. Itu salah satu dari sekian banyak nama samarannya."
Mr. Anderson datang menghampiri lalu membuka tas yang
dibawanya. Ia mengeluarkan beberapa rol film. Rol-rol itu dilem ujungnya.
Nampaknya film-film itu sudah diekspos, tinggal dicuci saja.
"Bob," kata Mr.
Anderson, "kami akan sangat tertolong jika kau mau membawa rol-rol film
ini dalam tas kameramu. Dan jangan kaget kalau nanti ada yang mencurinya,
karena foto-foto ini tidak ada gunanya."
Mr. Peck bergegas mencampuri.
"Tidak!" teriaknya. "Anak ini hendak Anda jadikan sasaran! Saya
yang bertanggung jawab atas keselamatannya dalam perjalanan ini, dan saya tidak
setuju!"
Mr.
Anderson tersenyum. "Tidak, Mr. Peck," katanya, "kami tidak
menjadikannya sasaran. Sekarang pun kedudukannya sudah begitu. Masih ada
kemungkinan Snabel dan temannya menemukan kalian. Sudah cukup banyak upaya
mereka sejauh ini untuk memperoleh film yang itu. Jika Bob akhirnya jatuh juga
ke tangan mereka dan ia tidak bisa menyerahkan apa yang mereka inginkan,
menurut pendapat Anda apakah yang akan mereka lakukan?"
Wajah Mr. Peck langsung pucat. Ia cepat-cepat duduk.
"Anda hendak memasang
jebakan rupanya, ya?" katanya. "Seperti dalam seri-seri detektif yang
sering muncul di televisi. Anda akan membuntuti Bob secara diam-diam, lalu
nanti jika Snabel dan orang yang Anda katakan bernama Bartlett itu beraksi,
Anda langsung menyergap mereka."
-Baik Anderson maupun
Friedlander tidak memberi komentar. Mereka hanya meminta Mr. Peck agar memberi
tahu apabila hendak pergi lagi dari New York atau pindah hotel. Setelah itu
kedua petugas FBI itu pergi.
Begitu pintu kamar tertutup,
Bob bersorak gembira. "Aku akan jadi agen untuk FBI!" katanya.
"Selama ini kita yang diburu-buru, tapi sekarang kitalah yang
memburu."
"Kau
dijadikan umpan!" kata Mr. Peck membetulkan. Tapi walau begitu ia pun ikut
merasa bersemangat. Tidak pernah terbayang olehnya bahwa ia akhirnya akan
bekerja sama dengan FBI- untuk menjebak tetangganya yang begitu menyebalkan!
-Bab 16 KAKEK MASUK
DALAM PEMBERITAAN
-"EMPAT
hari!" keluh Bob. "Sudah empat hari, tapi mereka belum muncul-muncul
juga!"
"Mereka rupanya
kehilangan jejak kita," kata Pete.
Jupe diam saja. Ia duduk di sebuah bangku dari batu di
depan Museum Sejarah Alam Amerika, sambil memperhatikan burung-burung merpati
yang berkeliaran mencari makan di trotoar. Ia juga memperhatikan Mr. Peck.
Pria yang sudah berumur
lanjut itu memandang lalu-lintas kendaraan yang lewat dengan wajah masam.
Selama empat hari yang sudah berlalu tidak satu kali pun ia menyebut-nyebut
hasil penemuannya, untuk urusan mana mereka semua berangkat ke New York. Tidak
satu kali pun ia mengatakan akan menghubungi seseorang guna menyampaikan
gagasannya itu. Seluruh perhatiannya tercurah pada rencana memancing Snabel dan
kawannya agar muncul. Ia selalu bersikap waspada setiap kali pergi meninggalkan
-hotel bersama anak-anak. Ia tidak pernah mau jauh dari Bob. .
Menurut dugaan mereka, Snabel
dan Bartlett kemungkinannya menunggu mereka muncul di salah satu obyek wisata
terkenal- seperti yang terjadi di La Crosse, Minnesota. Karenanya Mr. Peck dan
anak-anak memutuskan untuk malah sengaja menampakkan diri di mana-mana, dan
mendatangi semua tempat yang menarik untuk dilihat di New York City. Bob akan
terus menenteng tas kameranya dan sering berlagak seperti mencari-cari sesuatu
dan mengeluarkan rol-rol film, supaya orang yang ada di dekatnya pasti akan
melihat bahwa dalam tas itu ada sejumlah film yang sudah diekspos dan tinggal
dicuci saja.
Rencana itu logis, dan mereka
melaksanakannya dengan tekun. Pada hari pertama pelaksanaan rencana itu mereka,
pesiar naik kapal mengelilingi Pulau Manhattan, dan siangnya mengunjungi gedung
Perserikatan Bangsa-bangsa. Kakek rupanya sekali-sekali ingin royal.
Ditraktirnya anak-anak makan malam di sebuah restoran terbuka yang letaknya di
atap sebuah hotel yang dekat dengan tempat penginapan mereka. Seorang pemain
piano menghibur para pesantap dengan musik yang enak di telinga. Anak-anak
memandang ke arah lautan cahaya lampu yang gemerlapan di bawah. Terasa sekali
kehidupan semarak kota dunia itu.
Pagi sekali keesokan
harinya mereka sudah berangkat lagi. Sekali ini ke Brooklyn dengan kereta bawah
tanah, untuk mencoba naik roller coaster di taman hiburan Coney Island. Setelah
mengadakan kunjungan singkat
ke Akuarium yang tidak jauh
letaknya dari situ, mereka melanjutkan acara pesiar ke Patung Kemerdekaan.
Malamnya mereka makan di tingkat paling atas dari gedung World Trade Center.
Restoran tempat mereka berada begitu tinggi letaknya, sehingga nampak pesawat-
pesawat terbang melintas di bawah mereka. Pete sampai bingung, tidak tahu mana
yang lebih mengasyikkan untuk dipandang. Mungkin saja mereka saat itu merupakan
umpan, tapi tidak pernah ia melihat pemandangan yang begitu mengasyikkan di
Rocky Beach.
Hari ketiga, Mr. Peck dan
anak-anak meneruskan pelaksanaan rencana mereka, tanpa merasa kecewa karena dua
hari berturut-turut upaya memancing musuh agar muncul ternyata tidak membawa
hasil. Mereka berjalan-jalan di kawasan Greenwich Village yang bersejarah, lalu
makan siang di Chinatown, daerah pemukiman warga keturunan Cina. Sehabis makan
mereka nonton pertunjukan "The Rockettes" di Radio. City Music Hall.
Setelah itu makan malam di Restoran Lindy’s yang sangat terkenal, lalu nonton
pertunjukan lagi. Mereka begitu capek ketika akhirnya kembali di hotel,.
sehingga semuanya langsung tidur. -
Hari keempat, pagi
hari diisi dengan acara mengunjungi Museum Seni Rupa Metrop-litan setelah itu
berjalan-jalan di Central Park. Di situ mereka duduk-duduk di sebuah bangku
untuk menikmati kehangatan sinar matahari, sambil makan roti sandwich berisi
daging anak domba yang dibeli dari pedagang yang menjajakannya dengan kereta
dorong.
Setelah itu mereka
mendatangi Museum Sejarah Alam yang letaknya di seberang taman.
Selama melancong kian kemari itu beberapa kali mereka
melihat seorang pria muda bersweater coklat dan bercelana panjang kelabu ada di
dekat mereka. Jika orang itu tidak kelihatan, yang nampak adalah seseorang lagi
yang berbadan tegap, berwajah kemerah-merahan dan mengenakan jas model sport
berwarna biru tua.
"Orang-orang
FBI," kata Bob dengan gaya pasti. "Aku merasa lebih aman dengan
adanya mereka di dekat kita."
"Jangan suka
mengkhayal," kata Mr. Peck. Tapi ia langsung menyambung,
"Mudah-mudahan saja orang-orang FBI itu tidak lengah."
Paginya, ketika
bangun tidur, Mr. Peck kelihatan capek sekali, sehingga Pete mengatakan,
"Kenapa Kakek tidak tinggal saja di sini hari ini, lalu kita pesankan
sarapan agar diantar kemari? Kita lupakan saja Snabel. Kelihatannya ia
benar-benar udah kehilangan jejak."
"Mungkin saja ia
menunggu kita di salah satu tempat," balas kakeknya, "dan aku tidak
mau kemungkinan itu lewat karena kita tidak muncul."
Jupe tersenyum lebar,
mengagumi kegigihan pria yang sudah berumur lanjut itu.
-"Hari ini akan terjadi
sesuatu," kata Mr. Peck. "Aku bisa merasakannya."
Dan sebab itulah mereka kini
ada di depan museum, dan saat itu sudah menjelang sore. Tapi sejauh itu belum
juga terjadi apa-apa. Pria yang bersweater coklat tidak kelihatan. Tapi pria
yang lebih tegap, yang memakai jas biru tua, ia berdiri di trotoar sambil
menikmati es krim yang dibelinya dari penjual di tepi jalan. Ia kelihatannya
sudah bosan.
"Kita rupanya
kurang mencolok mata," kata Pete. "Kota ini kan besar sekali, dan
Snabel tidak tahu di mana harus mencari kita. Kita perlu melakukan sesuatu yang
pasti sangat mencolok seperti mendaki sisi luar gedung Empire State atau
berenang menyeberangi Sungai Hudson. Dengan itu perhatian pasti akan terarah
pada kita. Jika kita muncul di televisi, Snabel pasti akan melihat kita."
"Bisa habis aku nanti, diamuk ibumu," kata Mr. Peck.
"Memang," balas
Pete dengan santai, "tapi segala sesuatu kan ada risikonya."
Senyuman gembira mekar dengan perlahan wajah Jupe.
"Televisi," katanya dengan suara lirih.
"Ha?" kata Bob.
"Wah, wah," keluh
Pete. "Kau pasti mendapat gagasan hebat lagi. Tapi jangan yang membuat
capek, ya, Jupe? Aku tadi cuma bercanda ketika menyebut gagasan mendaki sisi
luar Empire State Building."
-"Perbuatan kita tidak
terlalu kentara hendak menarik perhatian," kata Jupiter. "Misalnya
kalau saja kita bisa muncul dalam acara kuis di televisi. Atau berita tentang
suatu peristiwa penting."
"Bagaimana
dengan upacara peresmian sebuah hotel?" kata Bob. "Aku membaca dalam
surat kabar bahwa akan ada peresmian hotel baru di New York. Namanya The New
Windsor. Peresmian itu menarik perhatian besar karena gedungnya dibangun di
lokasi sebuah hotel tua yang terbakar habis beberapa tahun yang lalu. Ketika
hotel tua itu masih ada, orang-orang dari kalangan kesusastraan banyak yang
tinggal di situ apabila datang ke New York. Menurut berita yang kubaca dalam
surat kabar itu, untuk peresmian hotel yang baru akan diadakan pesta besar, dan
kemungkinannya Gubernur New York juga akan hadir."
"Kapan peresmiannya?" kata Jupe.
"Besok malam,"
jawab Bob. "Jika Gubernur jadi datang, televisi pasti akan
meliputnya."
Jupiter
mengangguk. "Dan FBI mestinya bisa mengatur agar kita mendapat
undangan," katanya. "Lebih bagus lagi jika kita bisa pindah ke Hotel
itu, dan tidak cuma hadir dalam pesta peresmiannya. Karena dengan begitu Sabel
dan Bartlett akan tahu di mana kita bisa ditemukan."
Ia berdiri lalu
menghampiri pria tegap yang berjas biru tua. .
"Adakah kemungkinan
bahwa FBI bisa mengusahakan agar kami menghadiri pesta peresmian -Hotel The New
Windsor besok malam?" katanya pada orang itu. Yang diajak bicara begitu
kaget karena tahu- tahu disapa, sehingga es krimnya terlepas dari pegangan.
"Peristiwa itu
pasti akan diliput televisi dan ditayangkan dalam warta berita," kata
Jupiter lalu pura-pura tidak melihat bahwa es krim yang jatuh tadi mengotori
sepatu orang itu. "Jika kami diwawancarai oleh reporter televisi, mungkin
nanti salah seorang dari kami bisa mengatakan bahwa kami menginap di hotel itu.
Dengan demikian Edgar Snabel akan bisa mengetahui di mana ia bisa menemukan
kami. Jadi Anda tidak perlu repot lagi terus membuntuti kami berkeliling New
York."
Agen FBI itu
nampaknya sudah pulih dari kekagetannya tadi. Ia menarik napas, dan hendak
mengatakan sesuatu. Tapi tidak jadi. Ia mengangguk.
"Kalian akan
kami beri kabar," katanya, lalu pergi.
Jupe kembali ke teman-temannya. "Mereka akan memberi
kabar," katanya melaporkan.
"Sementara itu
kita dibiarkan sendiri di sini tanpa perlindungan," kata Mr. Peck.
"Aduh,
Kakek, janganlah berlagak tidak berdaya," kaia Pete mengomel. "Kalau
bicara soal perlindungan, Kakek ini bisa disamakan dengan tank Sherman. Si
Snabel itu akan setengah mati kerepotan, jika sampai berhadapan lagi dengan
Kakek!"
Kata-kata cucunya itu
menyebabkan. Mr. Peck gembira lagi.
-Malam itu telepon di hotel
berdering. Mr. Peck yang menerimanya. Ternyata yang menelepon Mr. Anderson, dan
ia menyarankan agar. mereka berkemas-kemas, karena ada kemungkinan keesokan
harinya pindah ke The New Windsor
"Dan
Anda serta anak-anak membawa setelan atau jas model sport berwarna gelap?"
tanya Mr. Anderson. "Jika rencana kalian hendak tampil di televisi,
mestinya penampilan kalian seolah-olah datang ke New York ini dengan maksud
menghadiri pesta hebat!"
"Wah," kata
Mr. Peck agak kaget.
"Anda tidak usah
cemas tentang itu, karena akan kami sediakan," kata Anderson lagi.
***
-H-otel baru itu
belum seluruhnya selesai. Ruang lobi yang luas masih berbau cat. Bob sewaktu
naik lift berjumpa dengan seorang pelayan kamar yang memegang gambar denah
ruangan. Rupanya ia belum hafal. lika-liku hotel tempatnya bekerja. Suite yang
disediakan bagi Mr. Peck dan anak-anak lebih kecil ukuran daripada kamar-kamar
mereka di Hotel
Riverview. Tapi letaknya di
lantai tiga puluh dua, dan dari kamar tidur Mr. Peck, mereka bisa melihat
kapal-kapal di East River.
Ketika Mr. Peck dan anak-anak
masuk ke hotel itu sekitar pukul lima sore, para awak TV nampak sibuk memasang
peralatan mereka di lobi. Ketika keempat orang yang datang dari California itu
turun lagi pukul 6:45 dengan memakai jas biru tua, yang disediakan oleh FBI
untuk mereka, lobi sudah terang-benderang karena lampu-lampu sorot. Mr.
Anderson menunggu mereka dekat meja penyampaian pesan. Ia langsung
memperkenalkan mereka kepada reporter yang akan meliput acara pesta malam itu.
Reporter itu tampan dan
bertubuh jangkung dengan deretan gigi yang sangat putih serta rambut yang
ditata rapi. Ia bersalaman dengan Mr. Peck, sementara tatapan matanya terarah
sedikit menyamping dari telinga kiri kakek Pete. Kemudian ia melangkah dengan
mengitari Mr. Peck untuk menyalami seorang wanita yang saat itu masuk lewat
pintu putar. Wanita itu berbusana semarak, serba kemilau.
Kemudian lampu merah yang ada
pada kamera TV menyala. Seorang pria yang berdiri di pinggir dengan alat
pendengar terpasang pada telinga memberi isyarat pada reporter tadi, yang
dengan segera berbicara sambil menghadap ke depan kamera. Ia mengatakan bahwa
ia berada di ruang lobi The New Windsor, dan Mrs. Jasper Harris Wheatly ada
bersamanya. Mrs. Wheatly sengaja datang dengan pesawat terbang dari Roma,
Italia untuk menghadiri pesta peresmian The New Windsor, kata reporter televisi
itu.
Ia tidak menjelaskan kenapa Mrs. Wheatly dianggap penting;
menurut dugaan anak-anak para pirsawan pasti semuanya tahu, meski mereka
sendiri tidak. Senyuman Mrs. Wheatly kelihatan begitu dipaksa, sehingga Pete
sudah khawatir saja bahwa wajah wanita itu nanti retak.
Mrs. Wheatly mengucapkan
beberapa patah kata, lalu melangkah dengan anggun ke dalam lobi .
Tiba-tiba reporter tadi
menuju ke arah Mr. Peck dan anak-anak. Tangannya teracung ke depan dengan sikap
mengajak bersalaman, sementara kamera dengan lampu merah menyala diarahkan pada
mereka. "Dan inilah Mr. Bennington Peck’" kata reporter itu dengan
nada seolah- olah tidak menyangka bahwa Mr. Peck juga ada di situ.
"Tamu yang betul-betul
istimewa-yang datang dan daerah barat Amerika Serikat, khusus untuk menghadiri
acara ini."
Mr. Peck menatap
kamera sambil tersenyum lebar. Dipegangnya tangan reporter itu dan tidak
dilepaskannya lagi, sementara ia mengatakan sambil menatap kamera bahwa ia dan
menatap kamera bahwa ia dan mendiang istrinya biasa menginap di Hotel Westmore
yang lama. "Ketika kami berbulan madu," kata Mr. Peck.
"Hotel
Windsor," kata reporter itu membetulkan, sambil berusaha melepaskan
tangannya yang dipegang Mr. Peck, tapi ia tidak berhasil.
"Ya, seperti saya katakan tadi, Hotel Windsor,"
kata Mr. Peck dengan suara lantang "Kami sering menginap. Ia berdiri
lurus-lurus. "Saya sangat terpukul ketika Hotel Westmore terbakar tapi
yang. baru ini benar-benar hebat. Agak lembab, tapi itu pasti akan bisa diatasi
jika pemanasan udah berjalan. Saya dan anak-anak -" kamera digeserkan
untuk mengambil wajah Jupe, Bob dan Pete yang tersenyum - "sangat
menikmati semuanya, dan kami akan tinggal di sini paling tidak sampai akhir
minggu ini. Keasyikannya tidak kalah dibandingkan dengan naik roller coaster
yang berputar-putar seperti spiral di Taman Hiburan Coney Island."
Akhirnya reporter itu
berhasil melepaskan diri dari pegangan Mr. Peck. Ia melangkah mundur sambil
terus memamerkan gigi dengan senyuman profesional. Ia mengucapkan terima kasih
kepada Mr. Peck dan anak- anak, dan wawancara singkat itu selesai.
Mr. Peck terhuyung pergi
sambil mengelap kening dengan saputangan. "Bagaimana tadi katanya pada
anak-anak. "Apa saja yang kukatakan?"
"Wah, hebat,
Kakek!" kata Pete. "Semua yang perlu Kakek katakan - dengan lantang
dan jelas."
"Bagus!" kata Mr.
Peck. "Dengan begitu Snabel bajingan itu kini bisa mengetahui di mana kita
berada."
Setelah
itu diajaknya anak-anak makan malam di sebuah restoran Skandinavia di Gedung
City corp, karena mereka tidak diundang untuk hadir dalam perjamuan makan dan
resepsi yang diadakan di taman yang terdapat di atap hotel. Mr. Peck merasa
puas. Ia telah menunaikan tugasnya. Yang menjadi pertanyaan kini, berapa lama
mereka harus menunggu sampai Snabel muncul?
-Bab 17 TERJEBAK!
KETIKA Mr. Peck memasuki kedai kopi di hotel keesokan
paginya, anak- anak sudah hampir selesai sarapan. Malam sebelumnya Mr. Peck
menunggu sampai tengah malam untuk melihat wawancaranya dalam siaran berita
larut malam dan kemudian sekali lagi dalam berita sangat larut malam. Sambil
duduk di samping Pete ia bercerita dengan nada senang bahwa wawancaranya itu
sekali lagi disiarkan dalam warta berita
pagi
.
Ia memandang berkeliling
dengan wajah berseri-seri, seolah-olah sebentar lagi para pengunjung yang lain
di kedai kopi itu akan mengerumuninya untuk minta tanda tangan. Pelayan kedai
itu bergegas menghampiri dengan membawa daftar hidangan, tapi la kelihatannya
tidak mengenali Mr. Pe-k. Mr. Peck- menatapnya sambil melotot. .
"Kopi,"
sergahnya. "Kue dadar. Dua telur mata sapi digoreng setengah matang, dan
daging asap."
"Ingat darah
tinggi, Kakek!" kata Pete.
-"Biar itu jadi urusanku
sendiri," bentak kakeknya. "Kita akan sibuk sekali hari ini, dan aku
perlu menimbun kekuatan!"
Tapi
kesibukan tidak dengan segera terjadi setelah mereka selesai sarapan. Anak-anak
pergi duduk-duduk di lobi hotel. Bob sengaja sibuk mengutak-utik kamera dan
tasnya. Petugas FBI yang memakai jas biru tua berlagak sedang melihat-lihat di
toko cenderamata, sementara rekannya yang ber-sweater coklat membalik-balik
majalah di kios surat kabar.
"Oke, Snabel,
kami sudah siap," gumam Mr. Peck.
Tapi beberapa jam berlalu
tanpa terjadi apa-apa. Menjelang pukul sebelas siang, Mr. Peck mulai tidak
sabaran lagi. Pukul setengah dua belas, akhirnya ia tidak tahan lagi.
"Konyol!"
tukasnya. "Bisa-bisa kita harus terus duduk di sini sepanjang tahun.
Manusia dungu itu rupanya tidak melihat wawancaraku! Dasar goblok! Mau jadi
mata-mata, tapi warta berita saja tidak dilihat!"
Kemudian ia meringis.
"Siang ini di Stadium Yankee ada pertandingan ganda," katanya.
"Bagaimana jika kita menontonnya?" "Nanti malah kacau semuanya,
Kakek," kata Pete. "Jika Snabel dan kawannya ternyata melihat
wawancara itu, mereka pasti akan mencari kita kemari."
"Atau kalau tidak, kita
keluar," kata Mr. Peck. "Keliru jika kita cuma duduk-duduk saja di
sini. Kita harus keluar dan memberi kesempatan pada mereka untuk menyelinap dan
menyergap kita. Mereka kan licik seperti ular, jadi mana berani berbuat secara
terang-terangan!"
"Saya rasa tidak perlu
kita khawatirkan bahwa mereka tidak menemukan kita," kata Jupe. "Jika
mereka kemari dan kita tidak ada, mereka pasti akan menunggu. Atau kalaupun
pergi, kemudian datang lagi. Mereka sudah mengejar-ngejar kita sejak dari barat
untuk mengambil kembali film itu. Takkan mungkin mereka kini menyerah dengan
begitu saja."
Jadi urusan itu beres. Mr.
Peck mengajak anak-anak mendatangi pegawai hotel yang bertugas di meja
penyampaian pesan dan menanyakan kereta bawah tanah mana yang harus diambil
untuk pergi ke Stadion Yankee.
Pukul dua belas tengah hari
Mr. Peck dan anak-anak pergi ke stasiun kereta bawah tanah yang letaknya dua
blok dari hotel. Petugas FBI yang membuntuti berjalan sekitar setengah blok di
belakang mereka. Sesampai di stasiun, Mr. Peck membiarkan satu kereta lewat
agar agen FBI tadi tidak sampai tertinggal. Kereta berikut mereka naiki. Mr.
Peck dan anak-anak di ujung depan, sementara petugas FBI di ujung belakang.
Selama perjalanan Mr. Peck mondar-mandir dengan sikap puas, melihat-lihat
dinding kereta yang penuh dengan coretan iseng.
Di stadion mereka berlagak
jadi orang New York dan ribut bersorak- sorak mendukung tim Yankee. Mereka
bahkan ikut merasa puas ketika, pertandingan pertama berakhir dengan tim Yankee
pada posisi unggul satu run.
Anak-anak dan Mr. Peck
mengisi waktu jeda dengan makan hot dog dan acar kubis. Setelah itu
pertandingan kedua dimulai. Kini tim tamu lebih sering berhasil memukul bola.
Para penonton warga New York yang menjagokan tim mereka, ribut berteriak dan
bersuit-suit mengejek, sementara para pendukung tim Bronx Bombers bersorak
gembira. Mr. Peck dan anak-anak ikut bersorak. Pokoknya asal asyik! Mereka
tetap saja gembira, meski tim Bombers dari daerah Bronx akhirnya kalah.
Para penonton berdesak-desakan
menuju pintu keluar Anak-anak dan Mr. Peck ikut beringsut ingsut di tengah
ribuan penonton lain, dan akhirnya sampai di stasiun kereta bawah tanah Tapi
rel kereta di situ bukannya berada dalam terowongan, tapi malah dibangun di
jalan layang. Meski orang banyak berdesak-desakan di sekelilingnya, Mr. Peck
menikmati embusan angin malam.
Ketika kemudian kereta yang
menuju ke Manhattan memasuki stasiun, Mr. Peck dan anak-anak terbawa arus
penggemar baseball yang hendak naik. Pintu-pintu tertutup kembali dan kereta
itu mulai bergerak meninggalkan stasiun. Saat itu barulah Pete melihat petugas
FBI yang bersweater coklat. Orang itu terjepit di tengah orang banyak yang baru
saja mendesak maju ke peron -dan nampak bahwa ia dengan sikap bingung memperhatikan
gerbong demi gerbong yang lewat di depan hidungnya. Sesaat ia dan Pete
bertatapan mata. Kemudian kereta bertambah laju, meninggalkan stasiun dan
petugas FBI itu.
Peter terjepit di antara seorang pria gempal dengan jas
kotak-kotak dan seorang remaja pria yang berdiri tanpa berpegangan sambil tidak
henti-hentinya mengunyah kacang. Pete beringsut menghampiri Jupiter, yang
berdiri menggelantung pada pegangan yang terbuat dari logam.
"Kita kehilangan pengawal kita," kata Pete pada
Jupe. "Aku melihat yang ber-sweater coklat berdiri celingukan di peron
ketika kereta berangkat meninggalkan stasiun."
"Pengawal?" kata
seorang wanita kurus yang rambutnya dibungkus ikat kepala berwarna lembayung.
Wanita itu berdirinya nyaris menempel pada Jupe, tapi ia bicara dengan suara
lantang.
"Kalian punya pengawal?
Wah, hebat! Ada apa pada kalian yang perlu dijaga?" Ia terkekeh, seperti
baru saja mengatakan sesuatu yang kocak. Beberapa orang penumpang ikut tertawa
sambil memandang ke arah Pete.
Tiba-tiba
timbul keisengan Jupiter. "Jangan khawatir," katanya pada Pete.
"Kau tidak memerlukan pengawalan lagi. Masa inkubasi itu mestinya sudah
lewat kemarin."
Wanita kurus itu langsung tegang.
Sikapnya, berubah, menjadi curiga
"Masa inkubasi?" katanya
dengan suara melengking. "Masa inkubasi apa? Kau mengidap penyakit
menular?"
"Tidak!" kata Pete buru-buru.
"Kawanku ini cuma bercanda."
Tapi bantahannya itu malah
menambah kecurigaan wanita itu. Ia langsung menjauh, lalu turun di perhentian
berikut. .
Masih banyak lagi penumpang yang juga turun dalam
perjalanan menuju Manhattan. Tidak lama kemudian Mr. Peck dan Bob bisa
berkumpul dengan Pete dan Jupe di bagian tengah kereta yang agak kosong.
"Pete tadi melihat
petugas FBI yang mengawasi kita berdiri di peron," kata Jupe pada Mr.
Peck. "Ia tidak berhasil masuk ke kereta. Kita sekarang sendiri."
"Itu bukan cerita
baru," kata Mr. Peck. "Dan kelihatannya. itu juga tidak apa, karena
aku tidak melihat Snabel atau temannya di sini."
Itu memang benar. Anak-anak
kini bisa dengan leluasa memandang isi kereta, dari ujung ke ujung. Dari para
penumpang yang masih ada tidak satu pun yang ada kemiripannya dengan Snabel
atau Bartlett.
Mr.
Pe-k dan anak-anak turun di perhentian Forty-Second Street. Mr. Peck melihat
bahwa di dekat situ ada terowongan. Lewat terowongan itu mereka akan keluar
dari kompleks stasiun dua blok lebih dekat ke hotel. Anak-anak
berpandang-pandangan, karena terowongan itu gelap. Akhirnya mereka mengangkat
bahu lalu mengikuti Mr. Peck yang sudah lebih dulu masuk ke situ. Ketika mereka
berada di tengah-tengah terowongan, terdengar suara orang memanggil.
"Ben Peck!"
Dalam
terowongan itu hanya ada satu orang selain mereka. Orang itu menyongsong ke
arah mereka sambil tersenyum. Tubuhnya kelihatan lebih pendek daripada yang ada
dalam ingatan anak-anak. Atau mungkin juga lebih gemuk, karena ia memakai
mantel hujan yang longgar.
"Snabel!"
seru Mr. Peck.
"Lama juga kita
tidak ketemu," kata Snabel.
Terowongan itu sangat sepi, sehingga anak-anak bisa
mendengar bunyi air menetes entah di mana di dalamnya. Kemudian terdengar suara
orang berbicara di belakang mereka.
"Kemarikan tas
kamera itu," kata orang itu.
Ternyata dia orang yang
mereka lihat di Monterey. Ia menggenggam pistol, yang diacungkan ke arah Bob.
Bob buru-buru menyerahkan tas
kameranya kepada orang tak dikenal yang berpenampilan anggun itu. Orang itu
melongok sebentar ke dalam tas untuk memeriksa apakah rol-rol film ada di
dalamnya. Lalu ia memandang Snabel sambil mengangguk. "Oke," katanya
pada Mr. Peck dan anak-anak. "Semuanya masuk ke situ."
Ia menggerakkan pistolnya,
menunjuk sebuah pintu di dinding terowongan. Snabel mengorek tembok yang
terpasang pada pintu itu sehingga terbuka. Di belakangnya terdapat ruangan
sempit berisi sejumlah sapu, sepon, dan botol-botol yang isinya bahan pembasmi
kuman.
Begitu
anak-anak dan Mr. Peck sudah masuk, pintu ditutup lagi. Terdengar bunyi sesuatu
disorongkan pada sangkutan di bagian luar pintu untuk mengancingnya. Lalu
Snabel dan Bartlett pergi.
"Tolong!"
seru Pete. "Kami terkurung di sini!"
-Bab 18 BOB BERAKSI
-SETELAH lama sekali rasanya mendekam dalam ruangan sempit
itu, seseorang yang kebetulan lewat mendengar bunyi samar gedoran dan teriakan
mereka lalu buru-buru melapor kepada penjaga karcis di ujung terowongan.
Petugas itu datang untuk membukakan, diiringi seorang polisi ronda. Ketika
polisi itu hendak menanyai bagaimana mereka sampai bisa terkurung di situ, Mr.
Peck malah marah dan bergegas kembali ke hotel, dari mana ia kemudian menelepon
Mr. Anderson.
Petugas FBI itu
datang dengan segera. Sikapnya tenang-tenang saja.
Dan itu menyebabkan
Mr. Peck semakin marah.
"Jadi
inilah gunanya kami membayar pajak!" sergahnya. "Kami sudah
mempertaruhkan nyawa, untuk membantu kalian menangkap sepasang mata-mata
berbahaya. Tapi ketika pancingan mereka sambar, kalian di mana? Tidur
semuanya!"
"Anda benar, Mr.
Peck," kata Mr. Anderson dengan tenang.
Setelah
itu Mr. Peck menceritakan segala peristiwa yang terjadi hari itu. Dengan
panjang-lebar dituturkannya pengalaman terkurung dalam ruangan sempit dan
pengap berisi sapu-sapu basah yang baunya menusuk hidung.
"Keterlaluan!"
serunya mengakhiri penuturan.
"Ya,
memang," kata Mr. Anderson mengiakan. "Seharusnya itu tidak boleh
sampai terjadi."
Mr. Peck duduk. Ia merasa
dirinya sudah menjadi jauh lebih tenang. Sementara itu Mr. Anderson
melanjutkan, "Agen-agen kami sementara ini sudah dikerahkan untuk
mengawasi semua jalan keluar dari New York City-bandar udara, stasiun kereta
api dan bus, terowongan, jembatan, pokoknya semuanya. Besar kemungkinannya kami
bisa menangkap kedua orang itu jika mereka mencoba meninggalkan kota."
"Tapi kalau mereka tidak
lari?" kata Mr. Peck. "Apakah kami harus terus begini, menjadi bulan
bulanan?"
"Sama sekali
tidak," kata Mr. Anderson. "Bagi kalian, kasus ini sudah selesai.
Kedua orang itu takkan merongrong kalian lagi. Snabel kini sudah tidak punya
urusan dengan kalian lagi, karena ia sudah menyerahkan rol-rol film kepada
Bartlett. Dan begitu Bartlett melihat bahwa foto-foto itu palsu, ia akan dengan
segera sadar bahwa foto- foto yang asli ada di tangan kami. Jadi ia akhirnya
kalah dan kami yang menang!’ -
-"Tapi bahaya
masih tetap ada, karena keduanya masih bebas," kata Mr. Peck.
Mr. Anderson tersenyum.
"Edgar Snabel takkan mungkin lagi bisa mencuri rahasia negara," kata
petugas FBI itu. "Anda yang membuka kedoknya, dan untuk itu Anda boleh
merasa bangga. Ia tidak bisa melamar pekerjaan di bidang industri pekerjaan,
karena untuk itu diperlukan penelitian sidik jari. Jika ia nekat juga dan
melamar dengan nama palsu, ia pasti akan ketahuan juga. Tapi kemungkinannya ia
takkan berani mencoba. Ia akan menghilang, dan kemudian hidup di salah satu
tempat dengan nama lain."
"Tapi bagaimana dengan bajingan
yang bersama dia? Orang yang kata Anda antara lain memakai nama Bartlett
itu?" tanya Mr. Peck dengan ketus. "Bagaimana jika mencoba beraksi
lagi?"
"Kemungkinannya
itu akan dilakukan olehnya, jika kami tidak berhasil menangkapnya," kata
Mr. Anderson. "Tapi kami berusaha sekuat tenaga untuk meringkusnya.
Sementara itu, Mr. Peck - anak-anak - kami sangat berterima kasih atas bantuan
yang kalian berikan. Jangan kalian kira kasus ini sepele, atau tidak penting.
Tidak, ini kasus yang sangat penting artinya!" .
Setelah itu ia pergi,
meninggalkan Mr. Peck dan anak-anak dalam perasaan tidak menentu.
"Sialan!" tukas Pete.
Jupe mengangguk dengan wajah
serius "Rasanya seperti harus tidur di ranjang yang acak-acakan,"
katanya. "Ada keinginan bangun lagi lalu mengencangkan letak seprai."
Tapi nampaknya tidak ada
kemungkinan bagi Trio Detektif untuk bisa melakukannya. Biar sudah
dipikir-pikir, tetap saja tidak muncul gagasan dengan mana bisa dilacak jejak
Snabel atau Bartlett. Karenanya mereka memutuskan untuk menikmati saja sisa
waktu kehadiran mereka di New York, sementara Mr. Peck mencurahkan perhatian
pada hasil penemuan yang menyebabkan dia mengadakan perjalanan itu.
Keesokan harinya Mr. Peck
pergi sepanjang hari. Ketika menjelang malam kembali ke hotel, dikatakannya
bahwa ia sudah bertemu dengan kalangan yang berwenang dan urusannya
kelihatannya "berjalan lancar". Hanya itu saja yang mau dikatakan
olehnya.
Setelah itu dibawanya mobil
Ford-nya ke garasi untuk diperiksa, agar perjalanan pulang ke California bisa
terlangsung tanpa gangguan.
Selama beberapa hari selanjutnya, pagi-pagi sekali Mr. Peck
sudah pergi dan baru pulang apabila sudah malam, sehingga anak-anak sendiri
saja sepanjang hari. Mereka mengisi waktu dengan berwisata, mengunjungi sebuah
kapal induk yang ditambatkan di Sungai Hudson sebagai museum, menyaksikan
keajaiban jagat raya di Planetarium Hayden, menikmati makanan Italia di daerah
pemukiman orang Italia, pesiar ke Rockfeller Center, dan berbelanja
cenderamata. Empat hari setelah perjumpaan dengan Snabel yang berakhir dengan
kegagalan, ketika Jupe dan kedua temannya sedang berada di sudut jalan antara
Sixth Avenue dan Thirtieth Street, ada seorang wanita lewat membawa tanaman
anggrek dalam pot. Tanaman itu bagus, dengan tiga tangkai bunga berwarna hijau
dan coklat.
"He!" kata
Bob ketika melihat wanita itu.
Reaksi Jupiter seperti
biasanya, jika ingin menarik perhatian. Ia memberi hormat dengan membungkuk,
lalu mengatakan, "Ini anggrek cymbidium, kan?" .
Wajah wanita itu langsung
berseri. "Kau mengetahuinya! Kau juga memelihara anggrek?"
"Bukan saya, tapi paman
saya Egbert," kata Jupe berbohong dengan gayanya yang biasa, sehingga
wanita itu percaya.
"Aku
hendak menitipkan tanamanku ini di rumah anakku," kata wanita itu,
"karena ada beberapa urusan yang masih harus kuselesaikan. Aku akan
memamerkannya nanti malam. Kurasa aku akhirnya akan bisa memenangkan hadiah
juga."
"Ada pameran
anggrek rupanya, ya?" kata Jupe dengan nada bertanya.
"Bukan
pameran," kata wanita itu, "tapi cuma pertemuan bulanan kelompok
penggemar anggrek setempat. Sir Clive Stilton akan menyampaikan ceramah. Dia
itu benar-benar ahli tentang anggrek. Kenapa kalian tidak datang saja? Nanti
kami juga akan melelang tanaman, dan kau bisa membawa oleh-oleh anggrek untuk
pamanmu itu. Kalian tinggal di New York?"
-"Tidak,"
kata Jupiter, "di California:’
Wanita itu menitipkan
tanamannya sebentar pada Pete, lalu membuka tasnya. Dikeluarkannya selembar
kartu lalu ia menuliskan alamat di atasnya. "Pukul delapan malam, di Hotel
Statler Royal," katanya. "Kalian mampirlah nanti. Pamanmu pasti
tertarik jika mendengar bahwa kalian sempat melihat Sir Clive. Salah seorang
anggota kami nanti akan merekam ceramahnya, dan kalau berminat kalian juga bisa
memesannya."
Ia mengambil kembali
tanamannya yang tadi dititipkan pada Pete, lalu pergi meninggalkan anak-anak.
Jupe membaca kartu
nama yang diberikan wanita itu. Namanya Helen Innes McAuliffe, dan tinggalnya
di Riverdale, New York. Hotel Statler Royal yang disebutnya tadi terletak di
Seventh Avenue, jadi di jalan besar yang sejajar dengan Sixth Avenue di mana
mereka saat itu berada.
"Jika pertemuan
kelompok penggemar anggrek itu diumumkan dalam harian-harian, mungkin saja
Snabel juga membacanya," kata Jupe.
"Kemungkinan itu sudah
melintas dalam pikiranku, begitu kau tadi menyapa wanita itu," kata Bob.
"Menurutmu, ada kemungkinan Snabel masih di kota ini? Dan berani datang ke
pertemuan penggemar anggrek itu? Ingat, dia sekarang kan harus menyembunyikan
diri."
"Siapa tahu, kan?"
kata Jupe. "Jika ia masih ada di sini tentunya ia juga" ingin mengisi
waktu, dan menurut Mr. Peck satu-satunya yang bisa menarik perhatiannya adalah
anggrek."
"Ya, memang mungkin saja
ia nanti-muncul di sana," kata Pete. "Lagi pula, apa ruginya bagi
kita?"
Anak-anak
berembuk sebentar, apakah pergi minta ditemani Mr. Peck nanti malam. Pete
berkeberatan. "Nanti Kakek mengamuk lagi, jika Snabel ternyata
muncul," katanya. "Tekanan darah Kakek bisa semakin tinggi saja
karenanya!" "Tapi bagaimana jika kita pergi sendiri, lalu itu
kemudian ketahuan olehnya?" kata Bob.
Pete mengernyit,
ngeri membayangkan kemungkinan itu.
Dengan perasaan bimbang
karena tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, anak-anak kembali ke hotel. Di
sana mereka diberi tahu bahwa Mr. Peck tadi menelepon untuk mengatakan bahwa ia
masih ada urusan di tempat lain sampai larut malam. Anak-anak disuruhnya pergi
makan malam sendiri, lalu menonton film jika mau.
Sehabis makan malam,
anak-anak naik bus ke Hotel Statler Royal, lalu naik lift ke lantai dua belas,
ke ruang pesta.
Ruang pesta itu ternyata
tidak begitu megah. Hotel itu sendiri sudah tua. Karpet merah yang menutupi
lantai sudah gundul di sana-sini. Ketika anak-anak keluar dari lift, mereka
disambut seorang pria gemuk yang memakai kemeja putih yang longgar. Pada
kemejanya itu terpasang lencana nama, dan di situ tertulis bahwa nama orang itu
Walter Bradford, dari Syosset. Mr. Bradford senang sekali ketiga remaja itu
tertarik pada anggrek, dan ia yakin Jupiter nanti pasti bisa memperoleh pita
rekaman ceramah Sir Clive sebagai oleh-oleh untuk Paman Egbert.
"Sir
Clive akan berbicara tentang pembudidayaan," kata Mr. Bradford. "Pentingnya
memilih bibit yang baik. Pasti akan menarik sekali!"
Pete dan Bob
berpandang-pandangan dengan sikap skeptis.
Mr. Bradford meninggalkan mereka, karena harus menyambut
beberapa anggota perkumpulan yang saat itu keluar dari lift. Anak-anak lantas pergi
memeriksa susunan ruang di lantai dua belas itu.
Ruang
pesta menempati sebagian besar lantai itu. Di gang yang terdapat di luar pintu
masuk ke ruang itu ada dua lift untuk tamu-tamu hotel. Di samping kedua lift
itu terdapat sebuah pintu. Di balik pintu itu ada ruangan tangga. Kamar-kamar
kecil untuk tamu terletak di ujung lorong di sisi kanan, dan sebuah lift untuk
karyawan terdapat di tengah gang di sebelah kiri. Setelah lift itu ada ruangan
berpintu, yang merupakan dapur tempat meracik hidangan. Di seberang pintu dapur
itu ada pintu yang menuju ke ruang pesta, sementara di ujung gang terdapat
sebuah pintu berat yang kelihatannya merupakan jalan keluar ke suatu ruang
tangga lagi. Tapi ketika Pete membuka pintu berat itu dan melongok ke luar,
yang nampaknya hanya balkon sempit yang dibatasi pagar pengaman. Untuk pergi
dari balkon itu tidak ada jalan lain kecuali lewat pintu berat yang
dibuka oleh Pete. Dan
pintu itu hanya bisa dibuka dari dalam.
Setelah memastikan bahwa
kalau Snabel muncul pasti harus naik lift atau lewat tangga di ujung gang,
anak-anak kembali ke ruang pesta. Mereka melihat Mr. Bradford sudah berdiri di
mimbar pembicara. Ia mengetuk-ngetuk meminta perhatian dan menyilakan para
pengunjung duduk agar acara pertemuan bisa dimulai.
Para penggemar anggrek yang
bergerombol-gerombol di pinggir ruangan di mana nampak anggrek-anggrek dipajang
di atas meja-meja pameran, dengan segera mengambil tempat duduk di kursi-kursi
kecil dicat keemasan yang diatur berjejer-jejer. Lampu-lampu di langit-langit
ruangan yang sudah redup dikecilkan sehingga ruangan bertambah remang-remang,
dan dengan tiba-tiba ada sinar lampu sorot yang diarahkan ke mimbar pembicara.
Mr. Bradford
mengucapkan kata-kata sambutan lalu dengan segera memaparkan maksud pertemuan
itu, yaitu mendengarkan ceramah tamu kehormatan malam itu, Sir Clive Stilton.
"Sir Clive akan mempertunjukkan sejumlah slide dari anggrek-anggrek
koleksinya," kata Mr. Bradford "dan ia juga akan membahas betapa
pentingnya memilih tanaman bibit yang kuat dalam proses penyilangan, agar bisa
diperoleh hibrida yang bagus.
-"Aduh," keluh
Pete, "bisa-bisa tertidur aku nanti mendengar begini terus!"
Seorang wanita yang
duduk di deretan sebelah depan Pete berpaling dan mendesis menyuruhnya diam.
Pete merendahkan duduknya,
sementara seorang pria yang sangat kurus dan berwajah kemerah-merahan seperti
bayi menghampiri mimbar pembicara sambil menggosok-gosokkan kedua telapak
tangannya. Selama beberapa saat ia tidak mengatakan apa-apa, melainkan hanya
menatap para penggemar anggrek yang duduk berjejer-jejer di depannya. Wajahnya
berseri-seri. Kemudian barulah ia membuka mulut.
"Mr. Bradford baru saja
mengatakan senang karena yang tampil untuk berbicara malam ini seorang
pembudidaya basah, karena yang berceramah sebelum ini pembudidaya kering. Saya
sendiri tidak bisa mengatakan bahwa saya ini pembudidaya basah murni."
Tubuh Pete terguncang-guncang
karena menahan tertawa. Bob menyikutnya, menyuruh diam. Jupe menatap lurus ke
depan sambil memaksa diri jangan sampai tertawa.
Di belakang mereka terdengar
bunyi pintu berdecit. Jupe berpaling ke arah bunyi itu.
"Tolong matikan lampu-lampu," kata Sir Clive yang
hendak memulai ceramahnya.
Mr. Bradford bergegas
melakukannya, dan sesaat lamanya ruangan menjadi gelap-gulita.
Kemudian terdengar desuman
proyektor, dan pada sebuah tabir muncul gambar slide yang menampakkan pembicara
dalam rumah kacanya. Ia berdiri membungkuk di depan sebuah meja yang penuh
dengan tanaman.
"Sekarang, bagaimana
caranya memilih bibit yang paling baik? Satu cara adalah dengan melihat
bunganya, jika usaha budidaya kita itu untuk bunganya. "Dan bukankah itu
yang paling banyak diminati?" kata Sir Clive.
Salah satu pintu ke gang
terbuka. Di ambangnya nampak sosok tubuh seseorang yang gemuk. Orang itu
rupanya hendak membiasakan matanya dulu dengan kegelapan di dalam ruangan.
Sementara itu pembicara di
mimbar mencerocos terus tentang berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam
membudidayakan anggrek. Orang yang tadi berdiri di ambang pintu masuk ke dalam
ruangan yang gelap. Pintu tertutup lagi.
Jupe
menyikut Pete, lalu berdiri dan sambil meraba-raba menuju ke sisi belakang
ruangan. Pete dan Bob mengikutinya.
"Kurasa yang
baru masuk tadi itu Snabel," kata Jupe berbisik-bisik.
"Aku akan
mencoba menelepon Mr. Anderson."
Ia menyelinap ke luar, tanpa terlalu lebar membuka pintu.
Bob dan Pete menyusul. Ketiga anak itu memandang ke kiri dan ke kanan dalam
gang, mencari-cari telepon.
-Mereka mendengar bunyi pintu
dibuka, tidak jauh dari tempat mereka. Bukan pintu besar antara gang dan ruang
pesta, tapi yang lain. Jadi mestinya yang terdapat dekat dapur.
Snabel-kah yang keluar itu?
Apakah ia mengenali anak-anak ketika mereka meninggalkan ruang pesta? Mestinya
sosok tubuh mereka nampak sesaat ketika berada di ambang pintu, karena diterangi
sinar lampu yang menyala dalam gang.
Terdengar bunyi langkah orang
berjalan dalam lorong di sisi kiri, ditingkahi bunyi gemerincing piring dan
cangkir. Sesaat kemudian terdengar bunyi dengungan lift karyawan yang naik dari
lantai bawah.
Anak-anak menyelinap
ke ujung gang sebelah kiri, lalu mengintip ke dalam lorong di mana terdapat
pintu lift karyawan. Mereka melihat seorang pria bersetelan warna gelap berdiri
di situ membelakangi mereka. Ia menating baki yang penuh dengan cangkir
Pelayan! Ternyata yang
datang itu pelayan hotel, yang mengambil baki berisi cangkir-cangkir kotor.
"He! Ia memakai sepatu
santai," Karena terkejut, Bob tidak menyadari bahwa ia berseru.
Pelayan
itu kaget mendengar suara Bob. Ia memalingkan kepalanya sedikit, dan anak-anak
melihat wajahnya dari samping.
"Tahan begitu
sebentar, Mr. Snabel," kata Bob
"Saya ingin
mengambil foto Anda."
-Bob memang selalu membawa kamera fotonya ke mana-mana.
Diarahkannya lensa ke pelayan tadi
Snabel menerjang ke arah Bob
sementara lampu blitz menyala. Terdengar bunyi cangkir-cangkir pecah berantakan
karena jatuh ke lantai.
Saat itu pintu lift terbuka.
Jupe dan Pete lari mengitari Snabel dan masuk ke lift itu. Jupe menekan tombol
darurat yang menghentikan lift di tempatnya sedang berada. Pete mengayunkan
tangannya, menabok kenop merah untuk membunyikan tanda bahaya. Seketika itu
juga ada bel berdering-dering tanpa henti.
"Polisi!" teriak
Bob, yang berdiri di luar pintu utama ruang pesta. "Tolong!
Pembunuhan!"
Pintu ruang pesta terbuka,
tepat pada saat tangan Snabel sudah hendak mencengkeram leher Bob.
Sekali lagi Bob menjepretkan
tustelnya. Mr. Bradford muncul dalam gang. Mukanya tergerenyot karena marah.
"Jangan berisik di sini!" teriaknya.
Snabel tertegun, karena
bingung dan juga silau kena lampu blitz yang menyambar dekat matanya.
"Polisi!" jerit
Bob. "Cepat, panggil polisi" Sekali lagi lampu blitz menyala, kali
ini tepat di depan muka Snabel.
Snabel terhuyung ke belakang. Kedua tangannya menutupi
mukanya sesaat. Kemudian ia lari ke lift karyawan. Namun di situ ada Jupe dan
Pete. Snabel menyerbu ke arah mereka. Tapi kemudian dilihatnya pintu yang
terdapat di ujung lorong. Ia masih bisa melihatnya walau matanya
berkunang-kunang. Dengan segera ia mengubah arah, menuju ke pintu itu.
"Awas!"
seru Pete. Tapi sudah terlambat. Snabel merenggut pegangan pintu dan
membukanya, lalu lari ke luar.
Pintu tertutup lagi
dan langsung terkunci dari dalam.
Sementara
itu orang-orang yang sedang mengikuti ceramah tentang anggrek bermunculan dari
dalam ruang pesta dan berkerumun dalam gang. Ada yang dengan perasaan takut,
tapi banyak juga yang cuma ingin tahu apa yang menyebabkan keributan.
Sementara itu bel
tanda bahaya sudah tidak berdering lagi.
Dalam kesunyian yang terjadi
selama sesaat, terdengar jelas suara orang berteriak. Datangnya dari balik
pintu di ujung lorong.
"Tolong!"
Orang yang berteriak itu Snabel. Ia menggedor-gedor pintu. "Bukakan pintu!
Tolong! Aku takut jatuh!"
Dengan tenang, Jupe
menoleh ke arah Mr. Bradford. .
"Di
manakah pesawat telepon yang terdekat, Mr. Bradford?" tanyanya. "Saya
perlu menelepon - memanggil FBI."
-Bab 19 MR. SEBASTIAN
MENTRAKTIR MAKAN
-RESTORAN itu benar-benar
mewah. Taplak mejanya kain linen putih yang halus, dan jendelanya dihiasi tirai
dari brokat. Permadani yang terhampar di lantai begitu tebal, sehingga tidak
terdengar langkah orang berjalan di atasnya.
Tidak ada kartu daftar
hidangan seperti di restoran-restoran lain, melainkan kepala pelayan yang
datang dan dengan suara lirih menyarankan hidangan apa saja yang sebaiknya dipilih.
Kemudian seorang pelayan lain dengan jas panjang berwarna biru dan rompi
bergaris-garis datang menyajikan hidangan. Hidangannya, sejenis masakan udang,
lain sama sekali dari masakan udang yang pernah dimakan oleh Jupe dan kedua
temannya. Dan hidangan itu juga tidak banyak.
Orang yang mentraktir,
sahabat mereka Hector Sebastian, memandang berkeliling sambil tersenyum hambar.
"Dulu, sewaktu aku masih
menjadi detektif swasta di kota ini, aku tidak mampu makan di sini,"
katanya. "Sekarang, setelah aku mapan sebagai pengarang kisah-kisah
misteri dan menulis untuk film, aku mampu membayar makan di mana saja aku mau.
Tapi kenapa aku sampai memilih tempat ini? Pasti nanti siang aku harus makan
lagi."
Mr. Sebastian meneguk
air mineral lalu nyengir "Walau begitu, enak juga punya uang! Sekarang.
bagaimana dengan kasus kalian itu? Aku dengan segera menelepon Bibi Mathilda,
Jupe, ketika berita tentang Edgar Snabel muncul di koran koran. Bibimu itu
kaget sekali. Katanya, menurut rencana kalian ini pesiar dengan kakek Pete. Ia
tidak mengerti, kenapa kalian tahu-tahu diberitakan mengejar mata-mata. Begitu
pula ada urusan apa kalian menghadiri pertemuan perkumpulan penggemar
anggrek!"
Pete meringis.
"Kami memang sedang berlibur di sini," katanya, "tapi sekaligus
juga sedang, menangani kasus, atas permintaan ibuku."
Diceritakannya pesan ibunya
untuk mengawasi Kakek, agar jangan terlibat dalam kesulitan.
"Kami memang
melakukannya," kata Pete, "tapi selain itu masih kami alami juga
hal-hal lain yang sama merepotkan." "Begitulah yang kudengar,"
kata Mr. Sebastian. "Untung bagiku bahwa aku ada di New York bersamaan
dengan kedatangan kalian. Aku kenari ini untuk menyerahkan naskah bukuku yang
terbaru kepada Penerbit Batemann, Watts. Mereka yang menerbitkan bukuku yang
terakhir sebelum ini. Menurut agenku mereka ingin sekali mendapat hak
menerbitkan bukuku yang terbaru. Judulnya... Kesunyian Maut."
"Apa
judulnya?" kata Jupiter. "Kesunyian Maut? Hebat juga kedengarannya.
Kisahnya tentang apa?"
"Kalian akan kuberi satu
kopi begitu sudah selesai dicetak,- kata Mr. Sebastian. "Sekarang ini aku
ingin mendengar tentang kasus kalian. Kalian akan menuliskan kisahnya...
seperti biasanya?"
"Saya memang sudah sibuk
menyusun catatan kami mengenainya," kata Bob. "Kami merasa senang
ketika Anda menelepon ke hotel tadi pagi, karena kami memang ingin meminta Anda
menulis kata pendahuluan untuk itu."
"Terang saja aku
mau," kata Mr. Sebastian. "Tapi ceritakanlah lebih banyak
mengenainya."
Anak-anak mulai dengan
perjumpaan yang pertama dengan Snabel di Pismo Beach, dan mengakhiri dengan
penuturan bersemangat tentang peristiwa yang terjadi di Hotel Statler Royal.
"Hebat!" kata Mr.
Sebastian mengomentari. "Dan reaksi kalian benar- benar profesional,
ketika menyadari bahwa pelayan di hotel tidak selayaknya memakai sepatu santai!
Tapi aku heran tentang satu hal. Kenapa kalian sampai tidak melihat alat
pelacak jejak yang dipasangkan di bawah tangki bensin ketika kalian memeriksa
ke bawah kolong mobil di Santa Rosa? Mestinya kalian langsung melihatnya waktu
itu." "Itu kesalahanku," kata Jupe. "Saat itu tengah malam
dan senter kami sudah habis semua baterainya. Aku lupa mengecek lagi, karena
sibuk dengan berbagai kejadian yang menyusul setelah itu. Dan waktu itu kami
belum begitu mengacuhkan pernyataan Mr. Peck yang menuduh bahwa Snabel itu
mata-mata. Padahal ia benar!
"Kami takkan bisa
sepenuhnya mengetahui kejahatan yang dilakukan olehnya. Urusan itu sangat
rahasia sifatnya, jadi tidak banyak yang dikatakan oleh FBI pada kami. Tapi
dari Mr. Anderson kami masih mendapat keterangan bahwa Snabel memiliki izin
untuk memasuki tempat-tempat terlarang di pabrik tempat dia bekerja. Ia bekerja
sebagai tenaga ahli elektronik di situ, dan pabrik itu memproduksi perlengkapan
pesawat terbang. Snabel dipecat karena tidak bisa akur dengan rekan-rekannya.
Mungkin ia melakukan kegiatan mata-mata karena sakit hati, merasa diperlakukan
tidak adil. Sebelum berhenti ia sempat memotret berbagai obyek yang
dirahasiakan, dan kemudian berhasil menyelundupkan kameranya ke luar.
"Ia tidak memiliki
perlengkapan untuk mencuci sendiri foto-foto itu. Ia tidak berani mencucikannya
ke toko foto. Jadi ia memutuskan untuk menyerahkan foto-foto beserta kameranya
sekaligus kepada Bartlett. Tapi kemudian terjadilah kesialan baginya, ketika kameranya
tertukar dengan kepunyaan Bob. Lalu karena setiap kali berjumpa dengan Mr.
Peck, kakek Pete selalu saja mengamuk dan mengata-ngatainya sebagai mata-mata,
Snabel lantas curiga. Jangan-jangan Mr. Peck mengetahui rahasianya."
"Asyik!"
kata Mr. Sebastian bersemangat. "Jadi Snabel membongkar kedoknya
sendiri!"
Pete mengangguk.
"Tindak-tanduk Kakek
ikut mendorong," katanya. "Dan semakin jauh perjalanan kami, semakin
panik saja Snabel jadinya. Ia harus berhasil merampas kembali rol filmnya yang
ada pada Bob, sebelum Bob mengetahui apa yang ada pada rol itu lalu melapor
pada pihak yang berwenang. "
"Lalu,
apa yang terjadi dengan orang yang salah satu namanya Bartlett itu?" tanya
Mr. Sebastian.
Tampang Jupe dan
kedua temannya langsung nampak lesu.
"Kelihatannya ia
berhasil meloloskan diri," kata Jupe mengaku. "Mr. Anderson
mengatakan bahwa orang itu terlihat ada di Wina sehari setelah Snabel
ditangkap. Jadi Bartlett berhasil meloloskan diri dari perangkap yang dipasang
FBI."
"Tidak mengherankan -
karena rupanya dia itu mata-mata yang berpengalaman." kata Mr. Sebastian
mengomentari.
"Tapi jika ia
menyerahkan film yang dirampasnya dari Bob kepada pihak yang berminat atau
mungkin juga yang menugaskannya. Lalu ketahuan bahwa foto-foto itu ternyata
palsu, ia pasti akan mengalami kesulitan! Jadi setidak-tidaknya kami berhasil
menggagalkan aksinya sekali ini."
-Mr. Sebastian mengangguk
"Dan bagaimana dengan kakekmu, Pete? Berhasilkah ia menjual hasil
penemuannya?"
"O ya," kata Pete
dengan bangga. "Sekali ini ia benar-benar berhasil. Itu tidak harus
berarti ia lantas menjadi kaya-raya, tapi sekali ini idenya benar-benar ada
gunanya."
"Kami tidak bisa menemukan penemuan itu dalam mobil,
karena memang tidak ada di situ. Mr. Peck ternyata mengirimkannya lewat pos ke
Riverview Plaza, di mana kami
mula-mula menginap," kata .Jupe. "Ia memesan agar barang itu disimpan
sampai ia datang untuk mengambil. Jadi penemuannya itu disimpan dalam lemari
besi hotel selama itu. Itu sebabnya reaksinya hanya marah ketika mengira bahwa
Snabel hendak merampasnya. Mr. Peck marah, tapi tidak takut! "
"Apa sebetulnya penemuan
itu?" tanya Mr. Sebastian. "Kenapa begitu dirahasiakan?"
"Karena memang
merupakan rahasia militer," kata Pete. "Sebetulnya bukan militer,
tapi penting artinya bagi program antariksa negara kita. Penemuan itu semacam
katup model baru yang idenya diperoleh kakek ketika ia sedang mereka-reka
peralatan penyemprot air untuk mencegah kebakaran, yang hendak disumbangkannya
pada gereja. Katup itu dilengkapi dengan alat otomatis. Selain ukurannya lebih
kecil dari katup yang sekarang dipakai kerjanya juga lebih efisien. Dengannya
bisa - diatur suhu dan tekanan udara dalam pakaian antariksawan, sehingga
pakaian itu tidak perlu lagi sebesar sekarang ukurannya karena bahan pelapis
sebagai isolasi tidak perlu tebal. Jadi para antariksawan kita nanti bisa lebih
leluasa bergerak pada saat berada di luar pesawat mereka."
"Jadi ia
benar-benar berhasil menciptakan sesuatu yang penting artinya!" kata Mr.
Sebastian.
"Betul!
Dan sekarang Kakek sibuk mengadakan perembukan dengan salah satu perusahaan
yang merupakan pemasok utama untuk Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA. Ia
didampingi seorang pengacara hukum, dan sementara ini sudah disusun
perjanjian-perjanjian mengenai penemuannya itu. Terus terang, sayang Kakek
belakangan ini begitu sibuk. Ia kadang-kadang memang bisa membikin senewen,
tapi pada umumnya asyik jika ia ada." "Kedengarannya, kakekmu itu
memang sangat bersemangat," kata Mr. Sebastian. "Dan kau kini sudah
benar-benar akrab dengannya."
Pete tersenyum
mengiakan.
"Nah,
Anak-anak," kata Mr. Sebastian lagi, "jika kalian diizinkan pergi
sendiri sore ini, aku punya sesuatu yang kemungkinannya akan menarik bagi
kalian. Aku punya karcis pertunjukan teater di Broadway, yang menampilkan
cerita berjudul Jebakan Maut! Kisahnya sangat berliku- liku. Pokoknya,
misterius!"
"Wah,
asyik," kata Jupiter. Pete dan Bob mengangguk dengan gembira.
-"Kalau begitu sekarang
saja kita berangkat, supaya jangan sampai terlambat," kata Mr. Sebastian.
"Tapi masih ada
satu permintaan, Mr. Sebastian," kata Jupiter sambil berdiri.
"Apa itu, Jupe?" tanya Mr. Sebastian.
"Bisakah kita mampir untuk makan sebentar dalam
perjalanan ke sana?" -Selesai
Emoticon