Pendekar Mabuk 113 - Tabib Sesat(1)




1

MALAM  berbintang  mirip  jerawat  perawan  puber.  Langit  cerah  bagai
bentangan selimut janda kesepian. Rembulan muncul di tepi langit, bundar
besar dan berwarna kuning, mirip bagian tengah telur mata sapi.
Langit  berlukiskan  keindahan  alam  itu  menjadi  pusat  perhatian
setiap orang, terutama para tokoh rimba persilatan yang mengerti tanda-
tanda  keramat  tentang  malam  purnama  itu.  Banyak  mata  yang
tersembunyi  di  balik  kerimbunan  semak.  hutan,  serta  dedaunan  lainnya.
Mereka tak mau tampakkan diri, bak hantu-hantu malam yang mengintai
bayi baru lahir. Mereka menyebar di sela-sela persembunyian sepanjang
Pantai Mindar.
Sudah  malam  begini.  kenapa  belum  muncul  juga?  bisik  seseorang
kepada  temannya  yang  sama-sama  bersembunyi  di  celah-celah  batu
karang.
“Mungkin sebentar lagi. Sabar sajalah!"
“Kalau ternyata dia tidak muncul bagaimana?"
“Kita muncul sendiri!" jawab temannya.
“Brengsek! Kakiku sampai kesemutan. “
“Kakiku justru terasa hangat.
“Kok bisa hangat?"
"Entah kotorannya siapa yang kuinjak sejak tadi ini."
Bisik-bisik sejenis  itu banyak terjadi di sepanjang Pantai Bandar.
Perahu-perahu nelayan ditambatkan tanpa penunggu. Tak ayal lagi perahu-
perahu  nelayan  itu  dipakai  tempat  bisik-bisik  pu!a  oleh  mereka  yang
menunggu pemunculan sesuatu yang keramat.
Malam itu, peristiwa yang kelak akan menjadi sebuah legenda atau
cerita rakyat akan terjadi di Pantai Bandar. Seorang putri bidadari akan
muncul untuk menemui ayahnya; seorang petapa sakti yang dikenal dengan
nama  Paderi  Moyang.  Gadis  anak  bidadari  itu  akan  berkuasa  di  Bukit
Caraka, menjadi perantara suci antara manusia dengan dewa. Gadis anak
bidadari yang keramat itu dikenal dengan nama Putri Merak.
Siapa pun yang bisa memakan jantung Putri Merak, maka orang itu
akan  hidup  selama  seribu  tahun  lagi.  Tetapi  barang  siapa  bisa  menjadi
pengawal dan penye- lamat Putri Merak, maka keturunan pertama orang
itu akan mendapat sukma warisan dari Paderi Moyang. Seluruh ilmu dan
kesaktian sang petapa akan menitis pada bayi pertama si penyelamat Putri
Merak.
Sang  petapa  sakti  yang  pernah  dikabarkan  mati  secara  moksa,
lenyap  tanpa  bekas,  telah  memilih  seorang  gadis  untuk  menjadi
pendamping  kehadiran  pu-  trinya  itu.  Gadis  yang  dipilih  oleh  Paderi
Moyang adalah murid Raja Mantra yang dikenal dengan nama Utari. Oleh
sebab  itu,  Utari  diberi  tanda  oleh  Paderi  Moyang  berupa  kalung  Batu
Kasumbi,  agar  ia  dikenal  dan  diper-  caya  oleh  Putri  Merak  sebagai
pengawal  pilihan  seka-  ligus  utusan  dari  Paderi  Moyang,  (Baca  serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Sukma Warisan").
"Aku  heran,  mengapa  si  Utari  yang  dipilih sebagai  pengawal  Putri
Merak? Padahal ilmunya Utari tidak seberapa tinggi. Masih banyak gadis
seusia  Utari  yang  ilmunya  lebih  tinggi  dan  lebih  bisa  menjamin  kese-
lamatan  Putri  Merak.  Mengapa  Paderi  Moyang  memper-  cayakan
keselamatan Putri Merak di tangan kepada Utari?!"
Seseorang  membalas  suara  kasak-kusuk  teman-  nya  di  balik
persembunyian mereka.
"Ada  beberapa  hal  yang  menjadi  pertimbangan  Paderi  Moyang
sehingga mempercayakan keselamatan putrinya di tangan Utari. Pertama,
karena Utari gadis yang masih perawan. Belum pernah kemasukan ‘maling’
tanpa mata."
"Hiik, hik, hik, hik...! Maling tanpa mata itu apa?" canda temannya.
"Kurasa  kau  tahu  sendiri.  Lalu,  menurutku  pertimbangan  Paderi
Moyang  kedua:  Utari  adalah  murid  dari  sahabatnya,  yaitu  Ki  Wiramba
alias si Raja Mantra. Pertimbangan yang ketiga: Utari dan kakaknya yang
bernama  Rinayi,  sebenarnya  adalah  gadis  berdarah  i-ini  Mereka  anak
Prabu  Balayudha,  dari  Kerajaan  Pa-  inpnll,  Negeri  tersebut  sekarang
sudah lenyap tersapu alam; banjir dan badai besar. Tak seorang pun
penduduk  negeri  itu  yang  masih  hidup  kecuali  Utari  dan  Rinayi.  Sebab
sewaktu terjadi bencana alam yang mengerikan itu, mereka berdua masih
berguru  di  Muara  Angker,  tempat  si  Raja  Mantra  memperdalam  jurus-
jurus  saktinya,  termasuk  jurus  mantra  yang  mempunyai  kedahsyatan
mengagumkan itu."
"Ooo...  jadi  Utari  itu  anak  raja?"  sang  teman  manggut-manggut
dengan suara gumam pelan.
Tentu  saja  orang  di  sampingnya  itu  bisa  jelaskan  perihal  latar
belakang  kehidupan  Utari,  sebab  orang  tersebut  punya  hubungan  dekat
dengan Raja Mantra. Bahkan pernah bertemu tiga kali dengan Paderi Mo-
yang.  Orang  itu  adalah  seorang  wanita  muda  yang  berusia  sekitar  dua
puluh lima tahun. Mempunyai wajah cantik, bertahi lalat di sudut kiri bibir
atasnya. Matanya agak lebar, indah, dan bertepian hitam, berbibir tebal
menggairahkan untuk dipagut.
Ciri-ciri  yang  paling  khas  bagi  wanita  muda  itu  terletak  pada
payudaranya. Diaiah satu-satunya wanita di dunia yang mempunyai delapan
payudara.  Ciri-ciri  itu  pernah  dibuktikan  sendiri  oleh  Pendekar  Mabuk,
dan  si  murid  sinting  Gila  Tuak  itu  sernpat  terkejut  melihat  wanita  itu
mempunyai delapan payudara yang terletak di dada, punggung, pinggang,
dan yang kecil terletak di sekitar pangkal pahanya.
Wanita muda yang berperawakantinggi, sekal, ber- watak tegas dan
berani itu tak lain adalah si Puting Selaksa, muridnya Resi Parangkara dari
Teluk  Sendu,  (Baca  serial  Pendekar  Mabuk  dalam  episode  :  "Wanita
Keramat").
Memang dialah yang berjuluk Wanita Keramat, karena dia pernah
menerima keajaiban 'Rona Dewaji, berupa sinar merah dan rembulan yang
sedang purnama dan membuat tubuhnya saat itu menjadi berwarna hijau
kristal. Rona Dewaji adalah gaib kekuatan kasih yang dimiliki para dewa.
Kesaktian gaib  Rona  Dewaji  itu  akan  membuat  orang  yang  menerimanya
selalu  mengalami  keberuntungan,  keselamatan,  dan  kebahagiaan  turun-
temurun.
Mendengar kabar kernunculan Putri Merak, Puting Selaksa segera
bergegas  ke  Pantai  Bandar.  !a  bersama-  sama  seorang  sahabatnya  yang
bernama  Mayangsita  dari  Lembah  Randu.  Bagi  Pendekar  Mabuk,  gadis
bernama  Mayangsita  itu  bukan  orang  asing  lagi.  Suto  Sinting  alias  si
Pendekar  Mabuk  sangat  kenal  dengan  Mayangsita,  dan  ia  tahu  betul
bahwa Mayangsita adalah murid Eyang Panujum. Gadis itu selalu menjadi
gugup dan latah jika berhadapan dengan pemuda tampan yang sekiranya
membuat  hatinya  kagum  dan  berdebar-debar,  (Baca  serial  Pendekar
Mabuk dalam episode : Rahasia Bayangan Setan" dan "Mahkota Penjerat
Hati").
Mayangsita mengenakan baju tanpa lengan dan celana warna hitam.
Rambutnya pendiek sebahu tanpa ikat kepala.. la juga termasuk gadis yang
cantik.  Berdada  sekal,  berbibir  ranurn  dan  punya  senyum  yang  bisa
membuat hati pemuda deg-degan. Ia bersenjata pedang diselipkan
pada  ikat  pinggangnyai  yang  berwarna  hijau.  Sedangkan  Puting  Selaksa,
rneingenakan baju berlengan panjang dan celana warna hijau tua. Rambut-
nya panjang, disanggul asal-asalan, sisanya berjuntai sebatas bahu seperti
ekor kuda. la mengenakan ikat kepala merah bintik-bintik putih. la tampak
lebih kekar dan lebih montok dari Mayangsita.
Mereka datang ke Pantai Bandar bukan untuk membuat kekacauan.
Pada dasarnya mereka ingin melihat kemunculan si putri bidadari asli dari
kayangan itu, Tetapi tentu saja mereka siap lakukan tindakan jika bahaya
datang  mengancam  keselamatan  Putri  Merak  atau  Utari.  Sebab,  Puting
Selaksa sendiri juga kenal baik dengan Utari dan Rinayi.
Angin laut berhembus sepoi-sepoi basah kuyup, terutama bagi yang
berada  di  kedalaman  aimya.  Sua-  sana  Pantai  Bandar  berkesan  lengang.
Para  penduduk  desa  nelayan  di  pantai  itu  tak  tahu  akan  ada  peristiwa
besar di tempat tersebut, sehingga mereka sibuk me- nyusuri mimpinya,
tapi ada juga yang sibuk menyusuri tubuh istrinya.
Di  sisi  barat,  sebuah  tebing  karang  menjulang  ting-  gi.  Di  atas
tebing  itu  tampak  bayangan  hitam  yang  foer  diri  menatap  ke  perairan
pantai. Sosok bayangan itu bagaikann ada di tengah rembulan, karena jika
dilihat  dari  pantai,  sang  rembulan  ada  di  belakang  sosok  bayangan
tersebut.
Semua  pengintai  tahu,  di  sana  ada  bayangan  yang  berdiri  tegak
tanpa  gerak.  Seakan  bayangan  itu  adala  sang  maul  yang  menunggu
mangsanya.  Tetapi  para  pengintai  tak  pernah  mau  pedulikan  bayangan
hitam  itu. Mereka cenderung memperhatikan perairan pantai, menunggu
kemunculan si anak bidadari asli dari ka- yartgan itu.
"Aaoooouuu...!!"
Terdengar  lolongan  panjang  mengalun  bagaikan  ingin  memenuhi
bumi.  Lolongan  panjang  yang  menyeramkan  itu  datang  dari  si  bayangan
hitam  di  puncak  tebing.  Lolongan  itu  adalah  suara  serigala  yang
kegirangan saat menatap rembulan memancarkan cahaya purnamanya.
Ombak  lautan  mulai  bergulung-gulung.  Air  laut  tampak  pasang.
Biasanya  ombak  lautan  di  Pantai  Bandar  tidak  sebesar  itu.  Air  laut
memang  sering  pasang.  tapi  tidak  sampai  menggenangi  pesisir  pantai  di
depan  rumah  penduduk  desa  nelayan.  Malam  itu.  air  laut  bagaikan
merayapi  ingin  masuk  ke  rumah-rurnah  penduduk  desa  nelayan.  Anak
kepiting  dan  anak  ikan  bermain  di  halaman  rumah  orang,  Untung  bukan
anak ikan paus,
Hembusan  angin  makin  lama  semakin  kencang.  Suara  deru  ombak
menghantam  tebing  karang  terdengar  bergemuruh  meremangkan  bulu
kuduk  setiap  orang.  Pohon-pohon  kelapa  dan  pohon  yang  non  kelapa
meliuk-liuk kearah barat. Pohon-pohon itu seolah Ingin diterbangkan oleh
sang angin.
Makin lama hembusan angin terasa tidak akrab. la datang bersama
pasukan  badai.  Bahkan  di  tengah  lautan  terjadi  pusaran  badai  yang
melingkar  membentuj  cerobong  ke  arah  langit.Air  laut  menjlng  tinggi
dalam gerakan memutar sebegitu dahsyatnya. Seolah-olah pusaran badai
laut  itu  menghantarkan  gelombang  samudera  untuk  naik  ke  langit  dan
mencaplok rembulan.
Suasana di Pantai Bandar menjadi meriyeramkan. Gugusan karang-
karang  yang  menjulang  di  sana-sini  tampak  bergetar.  Sepertinya  ada
kekuatan  dahsyat  yang  mengguncang  samudera  dari  dasar  lautan.  Bah-
kan tanah di sekitar Pantai Bandar itu juga terasa bergetar, seakan ingin
amblas ke bawah di telan bumi.
Glegaaamrrrrrr...!!
Itu bukan suara orang batuk. Itu suara petir yang mengguntur di
angkasa.  Cahaya  birunya  yang  mirip  seeker  naga  itu  berkerslap  dengan
gerakan  gesit,  seakan  ingin  membelah  rembulan.  Cahaya  biru  itu
berkerilap beberapa kali tanpa diiringi mendung dan rintik hujan. Langlt
tetap foersih dan cahaya rembulan tetap bersinar.
Cralaap... clap, clap, clap...! JegaaarrrhvJ
"Puling  Selaksa...  aduh,  bagaimana  ini?!  Celanaku  basahS"  bisik
Mayangsita.
"Ah, kau ini seperti anak kecil saja. Dengan suara petir dan deru
badai saja takut, sampai celananya basah! Uuuh....”
"Bukan  basah  karena  takut,  tapi  air  laut  menjadi  makin  naik  dan
membasahi celanaku."
"Makanya jangan jongkok di situ!"
"Habis  jongkok  dimana?  Di  atas  rembulan?”  ujar  Mayangsita
bersungut-sungut, toh akhirnya ia pindah di belakang Puting Seiaksa.
Sebenarnya Mayangsita ingin berbisik lagi kepada Puting Seiaksa,
tapi muiutnya bagaikan kaku secara mendadak. Lidahnya seperti berubah
menjadi  lempengan  besi  baja,  sukar  ditekuk.  Hal  itu  disebabkan  oleh
datangnya cahaya biru terang dari langit.
Cahaya biru terang yang berkesan indah itu meluncur dari langit ke
pusaran  arus  badai  laut  yang  ada  di  tengah  samudera  sana. Seolah-olah
ada dewa yang menyorotkan lampu senternya ke permukaan air laut untuk
mencari ikan teri berjubah.
Yang jelas, cahaya biru terang itu sangat indah dipandang matadan
mendebarkan  hati.  Siapa  pun  yang  memandang  cahaya  biru  terang  itu
hatinya akan diiliputi perasaan tenteram, damai, dan bahagia sekali tanpa
tau apa  sebabnya.  Tak  heran  jika Mayangsita  dan  Puting  Seiaksa  sama-
sama terperangah kagum memandang cahaya biru indah itu.
Semua  mata  pengintaitertuju  ke  pusaran  badai  laut  mu  Mereka
mencoiba mempertajam penglihatannya nynr dapat menemhus cahaya biru
yang  makin  lama  makln  rnenyiSaukan  tapi  tetap  dalam  keindahan  tiada
lunnyn  Itu.  Namun  mata  mereka  tetap  tak  dapat  me-  iitiinhun  silaunya
cahaya, sehingga tak tahu apa yang terjadi di balik kemilau cahaya biru
tersebut.
Bahkan ada pengintai yang sama sekali tak bisa melihatcahaya biru
indah  itu,  karena  kedua  matanya  disapu  angin  kencang,  dan  angin  itu
membawa debu ke matanya. Orang tersebut sibuk mengucal-ngucal kedua
matanya  dengan  panik,  karena  ia  takut  kehabisan  pemandangan  indah
tersebut.
"Menakjubkan  sekali...?!"  gumam  Mayangsita  dalam  hati,  mewakili
kekaguman hati orang-orang di sekitar Pantai Bandar.
Hal  yang  membuat  mereka  kagum  sekali  adalah  keajaiban  yang
terjadi  pada  malam  itu,  di  mana  cahaya  biru  terang  yang  indah  itu
menyebar ke permukaan air iaut, membuat laut menjadi berwarna kemilau
biru  terang.  Pusaran  badai  iaut  itu  telah  hilang.  Kini  permukaan  laut
menjadi  rata.  Datar  dan  bening,  seperti  lempengan  kristal  mewah.
Gerakan air laut sangat pelan, sehingga nyaris tampak tidak bergerak.
Bagi  mereka  yang  kakinya  terendam  air  laut,  ia  dapat  merasakan
kehangatan air tersebut. Kehangatan itu mengalir ke seluruh tubuh dan
membuat  hatinya  menjadi  semakin  berdebar-debar  penuh  keindahan
misterius,
Hembusan angin pun tidak sekencang tadi. Kali ini angin berhembus
pelan, kalem, tapi berwibawa. la menyapu alam sekitarnya. Setiap benda
yang disapu angin itu seolah-olah mendatangkan keindahan, termasuk hati
tiap manusia.
Suasana  di  Pantai  Bandar  menjadi  sangat  romantis.  Sepi  tapi
hangat. Hening tapi penuh semangat. Tak heran jika para penduduk desa
nelayan  yang  sudah  punya  keluarga  menjadi  terbangun  saling  raba-
meraba...mencari  selimut  agar  bisa  menenggelamkan  diri  dalam  impian
yang lebih indah lagi.
Tiba-tiba cahaya biru dari langit itu mengecil, membentuk seperti
pilar tinggi. Lautan tampak seperti menyangga langit dengan pilar cahaya
itu.
O,  ya...!  Sejak  tadi  bayangan  hitam  di  atas  tebing  itu  melolong
panjang  berkali-kali.  Lolongannya  terdengar  merdu  dan  mirip  nyanyian
malam penghantar cumbu.
"Aaaauuuuu...! Aaauuuuu...!"
"uh,  ah!  Gelap!"  ujar  hati  salah  seorang  pengintai  yang  sengaja
menikmati suara lolongan misterius itu.
Para pengintai memang semakin berdebar-debar, terlebih setelah
pilar cahaya biru yang mirip tiang pe nyangga langit itu semakin mengecil,
mengecil...,  dan  kecil  sekali.  Akhirnya  cahaya  biru  itu  menjadi  seperti
tiang bendera yang amat tinggi. Benar-benar mirip tiang bendera. Hanya
saja  siapa  yg  akan  mengerek  bendera  jika  tiangnya  setinggi  itu?  Pasti
membutuhkan tiga kali pingsan untuk mengerek bendera sampai ke ujung
atasnya yang menembus langit itu.
Tiba tiba cahaya biru kecil itu bagaikan putus di ,ujunng atasnya.
Kemudian cahaya itu bergerak meliuk-liuk dengan cepat
zuuub, zuub, zuub... zrraab!
Astaga!  Cahaya  itu  berbentuk  seperti  kereta  berkuda!  Pekik
Mayangsita  dalam  bisikan.  Puting  Selaksa  tersentak  kedepan  karena
kaget,  telinganya  seperti  disembur  hawa  panas  dari  mulut  Mayangsita
yang membisik kaget itu.
"Aaaauuuuuu...!!"  suara  lolongan  terdengar  lagi.  Pada  saat  itu,
cahaya  biru  yang  membentuk  kereta  berkuda  itu  lenyap.  Zaaab...!  Kini
tinggal  pijar-pijarnya  saja.  Dan  mereka  memang  melihat  bentuk  kereta
berkuda yang diiapisi cahaya pijar biru seperti cahaya kunang-kunang.
"Mengagumkan sekali! Baru sekarang kulihat pemandangan yang...."
"Ssst...! Brisik, ah!" sentak Puting Selaksa dengan dongkol kepada
Mayangsita.
Kereta  cahaya  itu  bergerak  mendekati  arah  pantai.  Semua mulut
para pengintai saiing berkasak-kusuk heboh.
"Dia datang... dia datang...!"
"Siapa yang datang? Mertuaku?!1'  ;•
"Tolol! Dia datang...! Putri Merak itu datang dengan kereta cahaya!
Lihat... lihat...!"  |
"Ya, lihat... lihat kebunku, penuh dengan bunga, ada yang.. biru dan
ada yang merah"
"Husy...!"
"Maksudku,..  maksudku,  lihat:  si  Putri  Merak  itu.  i.  menunggang
kereta  cahaya  yang  ditarik  kuda-kuda  bercahaya  biru.  Ooh,  alangkah
indahnya kuda-kuda itu."
"Aaauuuuuuuuu...!!"
Suara lolongan dari atas tebing semakin keras dan panjang. Seakan
bayangan  hitam  di  sana  mengucapkan  selamat  datang  kepada  anak
bidadari  asli  dari  kayangan.  Tetapi  perlambang  apakah  bayangan  hitam
yang  tampak  bagaikan  menodai  rembulan  kuning  itu?  Hanya  beberapa
orang yang berpikir demikian.
Pada umumnya mereka memusatkan perhatiannya ke arah gerakan
kereta cahaya yang ditarik dengan enam ekor kuda biru fosfor. Anehnya,
tak ada suara derap kaki kuda, atau kecipaknya air laut yang digunakan
alas berjalan kereta kuda tersebut.
Sampai di gugusan karang yang sangat dekat dongan pantai, kereta
cahaya  itu  berhenti.  Nyala  pijar  birunya  masih  bisa  menerangi  alam
sekeliling gugusan karang tersebut. Ditambah lagi, cahaya rembulan juga
bersinar  semakin  terang,  seakan  habis  ditambah  minyaknya.  Hal  itu
membuat  tiap  pasang  mata  pengintai  melihat  munculnya  seorang  gadis
cantik dari dalam kereta cahaya.
Gadis  cantik  itu  berambut  panjang  meriap-riap,  Mengenakan
mahkota  kecil  berbatu  putih  berkerilap  terkena  pantulan  rembulan.
Wajah  si  gadis  terkena  sinar  cahaya  keretanya,  sehingga  setiap  orang
dapat melihat bentuk kecantikan yang amat mengagumkan itu.
  Gadis    tersebut  mengenakan  kain warna  pink,  merah  muda  sekali.
Kainnya  halusdan  lembut,  meriap-riap  dihembus  angin  kalem.  Pinjung
penutup dadanya juga warna pink. Pakaian merah muda sekali itu dilapisi
dengan jubah lengan panjang tak dikancingkan bagian depannya. Jubah itu
berwarna  hijau  muda  dengan  hias-  an  bulu-bulu  merak  yang  menempel
bagaikan  disulam-  kan  pada  jubah  tersebut.  Indah  sekali,  berkesan
merah.
"Oooh...  cantiknya  bukan  main...?"  desah  suara  siapa  saja  yang
memandang  penuh  rasa  kagum  pada gadis yang  baru  keluar  dari  kereta
cahaya. Gadis itulah yang disebut-sebut sebagai Putri Merak.
"Mengapa ia diam saja di atas batu karang itu?"
"Mungkin  menunggu  penjemputnya,"  bisik  Puting  Seiaksa  kepada
Mayangsita.
Tiba-tiba  dari  arah  timur  muncul  serombongan  orang  berpakaian
serba  kuning.  Mereka  adalah  orang-  orang  pengusung  tandu.  Di  depan
mereka tampak seorang gadis melangkah dengan gagah yang menge- nakan
pakaian  keprajuritan,  lengkap  dengan  pedang  panjang.  Kalau  berjalan...
prok,  prok,  prok.  Pisau  ter-  bang  yang  bergelantungan  di  sekeliling
pinggangnya itu menyentuh baju besi, hingga terdengar suara prok« prok-
prok jika dipakai berjalan.
"Oh, itu dia rombongan penjemput Putri Merak,' bisik Mayangsita.
"Ya,  tapi...,  bukankah...  bukankah  dia  si  Hindayarifl  orang  dari
Lembah Ajal?!"
"Lho, mengapa bukan Utari?!"
"Entahlah. Kita lihat saja apa yang dilakukan oleh Hindayani itu!"
Gadis  berlangkah  tegap  itu  segera  berlutut  satu  kaki  dan
tundukkan kepala di depan Putri Merak.
"Selamat  datang,  Putri  Merak.  Aku  diutus  ayahandamu  untuk
menjemputmu dan membawamu ke Bukit Caraka!"
"Oh, terima kasih sekali atas budi baikmu. Tapi tunjukkan padaku
kalung  Batu  Kasumbi  yang  menjadi  tanda  bahwa  kau  adalah  utusan
ayahandaku!"
Hindayani  keluarkan  kalung  dari  dalam  baju  besinya.  Kalung  itu
digenggam dan ditunjukkan kepada Putri Merak.
"Inilah kalung Batu Kasumbi yang menjadi tanda bahwa aku adalah
utusan Eyang Paderi Moyang!"
Putri  Merak  tersenyum  manis.  "Kau  menipuku,  Sobat,"  ujarnya
dengan kalem.
Tiba-tiba  dari  langit  muncul  cahaya  petir.  Craalp,  •  Craalp..
Blegaaarr...! Semua mata pengintai terperanjat melihat tubuh Hindayani
disambar petir bersama orang- orangnya yang bertugas mengusung tandu.
Hindayani •I 'M uiang-orangnya lenyap tanpa bekas. Bahkan sisa ^<• y11
tnndunya pun tak ada.
“Gila! Ke mana si Hindayani itu?!” gumam Mayangsita. Ia termakan
kutuk. Kudengar, siapa pun yang mencoba membohongi Putri Merak akan
termakan kutuk. Entah  kutuk bagaimana. Rupanya kutuk itu membuat si
pendusta lenyap tanpa bekas seperti itu. Mmmmm monyeramkan sekali!"
Putri  Merak  masih  berdiri  di  tempatnya,  tak  jauh  dari  kereta
cahaya. Ia seperti seorang gadis sedang menunggu kekasihnya yang sudah
janjian mau bertemu di situ.
Tak lama kemudian, seorang wanita muda berkuda muncul dari arah
kedaiaman  hutan  pantai.  Perempuan  berkuda  itu  kenakan  jubah  biru
terang.  Gerakan  menunggang  kuda  tampak  gesit  dan  lincah.  Sebilah  pe-
dang disandang di punggungnya.
"Ooh, siapa yang datang itu, Puting Seiaksa?"
"Hmmm... sepertinya dia orang Gua Batur. Aku mengenali jubahnya
yang  biru  bersulam  benang  merah  bergambar  bunga  mawar  itu!"  ujar
Puting Selaksa.
"Tapi aku tak tahu siapa namanya," tambah Puting Seiaksa.
Perempuan muda itu segera melompat turun dari punggung kuda. la
buru-buru berlutut di pasir kering depan Putri Merak.
"Maaf, Putri Merak... aku datang terlambat karena jalanan macet.
Maksudku...  banyak  penghalang  yan<  ingin  merebut  tugasku  sebagai
penjemputmu, Putri Me rak!"
"Oh, jadi kau yang ditugaskan ayahandaku untuk menjemputku?"
"Benar, Putri Merak!"
"Kau membawa kalung Batu Kasumbi?"
"Semula  membawa, tapi  di  perjalanan  direbut  oleh lawanku. Maka
aku  buru-buru  kemari  sebelum  lawan!  tiba  lebih  dulu  dengan  membawa
Batu Kasumbi itu.
Putri Merak sunggirigkan senyum manisnya.
"Sinar  matamu  menampakkan  kebohonganmu,  Sobat!  Kau  telah
mendustaiku!"
"Aku tidak dusta! Aku benar-benar...."
Jegaaarrr...!
Kilat biru menyambar gadis penunggang kuda itu. la lenyap bersama
kudanya juga. Itu menandakan bah- wa dia bukan pengawal utusan Paderi
Moyang.
Melihat  kenyataan  seperti  itu,  bagi  mereka  yang  siap-siap  ingin
menyamar  sebagai  utusan  Paderi  Moyang  muiai  ciut  nyali.  Mereka  tak
berani  lakukan  rencana  untuk  berpura-pura  menjadi  utusan  Paderi  Mo-
yang,  karena  siapa  pun  yang  berbuat  demikian  akan  lenyap  tanpa  bekas
disambar petir misterius. Agaknya Putri Merak tak dapat ditipu dengan
cara apa pun. Dan sang putri tampak masih menunggu hadirnya kejujuran
dengan sabar.
Tak berapa lama, seorang gadis melompat dengan cepat dari atas
sebuah  pohon.  Wuut,  wuut...!  Jleeg...!  Gadis  itu  mendaratkan  kakinya  di
pasir kering depan Putri Merak.
"Nah, itu dia si Utari...!' sentak suara bisik Puting Selaksa.
Rupanya Utari sejak tadi sengaja menunggu di atas pohon.Keadaan
di sekitarnya dipelajari lebih dulu sebelum akhirnya ia muncul menghadap
Putri Merak.
Utari  gadis  berusia  sekitar  dua  puluh  tiga  tahun,  dengan  baju
jingga dan celana ungu tua ternyata sudah sembuh dari luka-lukanya saat
dilarikan  oleh  kakaknya  dari  pantai  jalang.  Kini  ia  tampak  sehat  seperti
tak pernah menderita luka apa pun.
la  berdiri  dengan  tegap,  tampak  sebagai  sosok  gadis  pemberani.
Dengan  tangan  kiri  ditaruh  di  atas  pedang  sarung  perunggu  yang
diselipkan di pinggang kirinya, Utari yang bergiwang merah itu rapatkan
kedua kaki dan memberi anggukan sebagai sikap menghormat.
"Siapa kau, Sobat?" tegur Putri Merak dengan ramah.
"Aku  yang  bernama  Utari,  utusan  Eyang  Paderi  Moyang  untuk
menjemput dan membawamu ke Bukit Caraka!"
"Mana buktinya kalau kau utusan ayahandaku?"
Utari  keluarkan  kalung  berbatu  hijau  dalam  lipatan  kain  celana
ungunya.  Rupanya  selama  ini  kalung  Batu  Kasumbi  disembunyikan  Utari
dalam  lipatan  celananya,  sehingga  tak  mudah  diketahui  lawan  yang  ingin
me-  nyerobotnya.  Kalung  itu  sengaja  tak  dikenakan  oleh  Utari.  karena
takut  akan  memancing  perhatian  pihak  lain  yang  ingin  memiliki  kalung
tersebut.
Setelah  berhadapan  dengan  Putri  Merak,  kalung  itu  sekarang
dipakai  oleh  Utari.  Batu  hijau  pada  bandul  kalung  bertali  hitam  itu
memancarkan sinar hijau sa ngat terang dan hanya sepintas saja. Claaap...!
Sinar hijau itu menerpa wajah Putri Merak, mem buat sang putri percaya
bahwa dia sudah berhadapan dengan seorang utusan dari ayahnya. Putri
Merak pun menengok ke samping kanan, bagaikan bicara pada enam ekor
kuda cahaya tersebut.
"Turangga  Surya...  kembalilah  menghadap  Ibu  dan  katakan  aku
sudah bertemu dengan penjemputku!"
Zruuubs...! Tiba-tiba kereta bercahaya biru itu lenyap tanpa bekas
lagi. Warna air laut pun berubah menjadi seperti biasanya: biru kehijau-
hijauan. Cahaya dari kalung Batu Kasumbi pun telah hilang sejak tadi. Kini
cahaya  yang  ada  hanyalah  sinar  rembulan  bundar  bak  martabak  di  atas
penggorengan.
"Utari, bawalah aku ke Bukit Caraka sekarang juga!"
"Baik, Putri...!"
Utari menyelipkan kedua jarinya ke mulut dan diti- upnya jari itu.
Suiiiittt...!
Suara suitan itu merupakan tanda bagi seseorang. Maka dari arah
barat  muncul  seorang  gadis  menunggang  kuda  sambil  menuntun  seekor
kuda  kosong  tanpa  penumpang.  Gadis  berbaju  merah  yang  menunggang
kuda  itu  adalah  Rinayi,  kakak  kandung  Utari  yang  pernah  menjadi  anak
buah tokoh sesat: Hantu Asmara, Hingga kesuciannya sudah tidak tersisa
lagi.
Rinayi memberikan hormat kepada Putri Merak saat diperkenalkan
oleh  Utari.  Sang  putri  segera  naik  ke  atas  punggung  kuda  putih,
sedangkan Utari menunggang kuda hitam yang tadi ditunggangi Rinayi.
Uta  hati-hati!"  pesan  sang  kakak  sebelum  Utari  dan  Putri  Merak
akhirnya pergi meninggaikan Pantai Bandar.
Wuuus, wuuut, weers, blaas, blaass...!
Rinayi  terperangah  kaget.  Ternyata  banyak  bayangan  yang
berkelebat dari sisi lain ke arah yang sama dengan tujuan Utari dan Putri
Merak.
"Celaka!  Ternyata  banyak  orang  yang  mernbayang-  bayangi  Utari
dan  Putri  Merak?!  Pasti  mereka  ingin  membunuh  Putri  Merak  dan
memakan jantungnya! Ooh, aku harus segera hubungi Guru agar Utari dan
Putri Merak lolos dari hadangan mereka!'
Rinayi  pun  bergegas  lari  ke  arah  barat.  la  menuju  ke  tempat  di
mana  sang  Guru  dan  Rupa  Setan  bersem-  bunyi  bersamanya,  menunggu
saat-saat  kemunculan  Putri  Merak.  Namun  alangkah  terkejutnya  Rinayi
setelah mengetahui tempat itu kosong. Raja Mantra, gurunya, dan si Rupa
Setan  yang  pernah  menjadi  Ketua  Partai  Petapa  Sakti  itu,  telah  lenyap
dan  tidak  ada  di  tempat.  Rinayi  kebingungan  mencari  sang  Guru  untuk
melaporkan bahaya yang membayang-bayangi Utari dan Putri Merak itu.

2

Bayangan hitam di atas tebing yang melolong itu, ternyata adalah si
manusia  serigala  berbulu  hitam.  Tanpa  uban  selembar  pun.  Dan  manusia
serigala  itu  tak  lain  adalah  Pendekar  Mabuk,  si  murid  sinting  Gila  Tuak
dan Bidadari Jalang. la akrab juga dikenal dengan nama Suto Sinting.
Sang pendekar tampan yang bertubuh tinggi, gagah, dan kekar itu
sedang  mengalami  musibah  dalam  hidupnya.  la  terkena  jurus  'Siluman
Serigala' akibat pertarungannya dengan petapa berilmu tinggi dari aliran
hitam  yang  dikenal  dengan  nama  Belah  Nyawa.  Pertarungan  itu  terjadi
bukan saja berdasarkan dendam si Belah Nyawa kepada Suto, yang telah
menewaskan  dua  murid  andalannya,  namun  juga  karena  Belah  Nyawa
merasa  dihalangi  tindakannya  yang  ingin  menculik  Cindera  Giri.  Niatnya
menculik  Cindera  Giri  timbul  setelah  mendengar  bahwa  Cindera  Giri
mengetahui rahasia Tabib Sesat dari Pantai Jalang, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Manusia Serigala").
Musibah itu telah membuat Suto Sinting berwujud seperti seekor
serigala.  Badannya  berbulu  lebat,  rahangnya  maju  ke  depan,  telinganya
menjadi  tinggi,  Jari-jarinya  mengeluarkan  kuku  hitam  seperti  kuku
serigala.  Repotnya  lagi,  emosinya  menjadi  emosi  serigala.  Buas  dan  liar.
Tapi di balik semua itu, Pendekar Mabuk masih mempunyai rasa manusiawi
yang  tersisa,  sehingga  kadang  ia  terpaksa  menekan  sekuat  tenaga  agar
emosi binatangnya tidak terlepas seliar serigala asli.
Tuak  saktinya  yang  terkenal  dapat  untuk menyembuhkan  luka  itu
ternyata kali ini tidak bisa dipakai untuk melawan kekuatan uap racun dan
jurus  'Siluman  Serigala'.  Dugaan  Suto,  musibah  itu  dapat  diatasi  jika
mendapatkan obat dari Dyah Sariningrum, calon istrinya, yang mempunyai
seorang ibu berkuasa di alam gaib! yaitu Gusti Ratu Kartika Wangi.
Tetapi kemunculan Arya Suaka, murid dari Geledek Biru, membuat
Suto Sinting sempat beralih kepada sang iokoh sakti tersebut. Menurut
Arya Suaka, gurunya pernah menangkal kekuatan jurus Siluman Serigala'
pada beberapa tahun yang lalu.
Tetapi  karena  kemunculan  Putri  Merak  ternyata  lebih  penting
untuk  dibayang-bayangi,  maka  niat  Suto  datang  kepada  Geledek  Biru
terpaksa  ditangguhkan.Penangguhan  itulah  yang  membuat  tubuh  Suto
Sinting  menjadi  lebih  berbulu  lagi  dan  perubahan  yang  terjadi  pada
dirinya semakin membuat orang sulit mengenali siapa dia sebenarnya. Rasa
malu  mencekam  hatinya!!  sehingga  ia  sempat  merasa  minder  dan  tak
berani muncul di antara para pengintai sapanjang Pantai Bandar tadi.

Paderi  Moyang,  petapa  sakti  aliran  putih  yang  dikabarkan  telah
moksa itu, bukan orang asing lagi bagi Pendekar Mabuk. Sang tokoh yang
pernah menampakkan diri pada Pendekar Mabuk itu juga pernah memberi
tugas untuk menyingkirkan angkara murka yang dilakukkan oleh Pendekar
Mabuk. Suto Sinting merasa punya hubungan baik dengan Paderi Moyang,
sehingga  iapun  merasa  perlu  melindungi  kemuneulan  Putri  Merak  yang
ditakdirkan  akan  berkuasa  di  Bukit  Caraka,  menjadi  perantara  antara
manusia dengan dewa.
Oleh  sebab  itu,  ketika  Putri  Merak  sudah  dibawa  oleh  Utari,
Pendekar  Mabuk  pun  segera  berkelebat  Membayang-bayangi  mereka
berdua. la berusaha agar  keadaan dirinya tidak dilihat oleh Utari, Putri
Merak dan yang lainnya.  ^ ^
Dengan  menggunakan  jurus  'Gerak  Siluman'  yang  membuatnya
mampu  bergerak  menyamai  kecepatan  cahaya  itu.  Suto  Sinting
menyelusup  di  sela-sela  keremangan  malam.  la  berada  dalam  jarak
pandang dengan putri Merak dan Utari. Posisinya yang selalu berpindah-
pindah  dengan  sangat  cepat  itu  membuat  beberapa  orang  yang  juga
bermaksud  membayang-bayangi  Putri  Merak  dan  Utari,  tak  melihat
keberadaan si manusia serigala disekitar langkah mereka.
Tiba-tiba  seberkas  cahaya  putih  menyilaukan  melesat  dari  satu
arah. Seberkas cahaya putih menyilaukan itu sempat membuat Pendekar
Mabuk Terperanjat bukan kepalang.
"Oh, apa yang terjadi itu?!" ujarnya dalam hati.
Blaaab...!
Cahaya putih menyilaukan itu seperti jaring yang. ditebarkan dari
satu  tangan.  Cahaya  itu  menyambar  tubuh  Putri  Merak.  Dalam  sekejap
saja,  Putri  Merak  dan  kudanya  lenyap  tanpa  bekas  yang  ditinggalkan.
Bahkan suara kuda pun tak terdengar, kecuali suara ringkik kudanya Utari
yang melonjak ketakutan. Utari terlempar dari punggung kuda, dan sang
kuda pun lari ngibrit tanpa pamit lagi.
Suasana remang-remang sempat membuat pan- dangan mata orang-
orang yang membayangi perjalar tersebut menjadi gelap pekat beberapa
kejap. Mata me reka bagaikan buta, sama sekali tak bisa melihat apa apa.
Demikian pula halnya dengan Utari.
Sekitar tujuh helaan napas kemudian, pandangai mata mereka mulai
normal  kembali.  Pendekar  Mabuk  mempunyai  pandangan  yang  buram,
karena  memang  sejak  ia  berubah  menjadi  manusia  serigala,  pandangan
matanya tak setajam biasanya.
"Putri  Meraaak...!  Putri  Meraaak...!"  teriak  Utari  mencari  orang
yang dikawalnya dengan panik.
Wuuut, wuuut...! Dua bayangan melesat ham|i Utari.
Jleeg, jleeg...!
"Utari! Ini aku.... Puting Selaksa!"
"Ooh, kau...?! Aku kehilangan...."
"Ya,  aku  tahu!  Cahaya  putih  tadi  datang  dari  utara  sana!"  ujar
Puting  Selaksa.  Sementara  itu, Mayangsita  yang  masih  mengikuti  Puting
Selaksa segera perdengarkan suaranya.
"Cahaya itu menelan habis Putri Merak dan kudanya!"
Wuuut, wuuut...! Jleeg, jleeg...!
Dua orang muncul lagi di sekitartempat itu. Mereka adalah Cindera
Giri  dan  Arya  Suaka  yang  diam-diam  mongikuti  perjalanan  Utari  dari
Pantai Bandar.
Utari  segera  bersiap  cabut  pedang,  karena  menyangka  datang
bahaya mengancamnya. Tapi begitu ia melihat wajah Arya Suaka secara
samar-samar. Ia segera teringat tentang pemuda yang pernah dilihatnya
dalam  peristiwa  rebutan  mahkota  pusaka  itu.  Peristiwa  tersebut  juga
melibatkan  Cindera  Giri  yang  sempat  bentrok  dengannqan  Utari,  tapi
segera diselamatkan nyawanya oelh Utari sendiri, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode "Geger Hantu Asmara").
Dalam  sepintas  kulihat  orang  yang  memiliki  cahaya  putih  itu
mengenakan jubah hitam!" ujar Arya Suaka langsung nyeplos begitu saja.
Cindera Giri masih diam, tapi ikut membantu mencari Putri Merak dengan
memandang ke sana-sini.
Wess  jleg..!  Sesosok  tubuh  sekal  milik  gadis  berpakaian  kuning
gading muncul di belakang Utari. Dengan cepat Utari mencabut pedangnya
dan diarahkankepada gadis yang baru saja muncul.
Kuarasa  kau  yang  mengacaukan  tugasku  ini  Tiara  Surga!"  geram
Utari dengan penuh curiga.
"Pakai  otakmu!  Jangan  hanya  dengkulmu  yang  dipakai  untuk
berpikir!"  ketus  Tiara  Surga,  murid  dari  Perguruan  Telaga  Murka,  yang
pernah bentrok dengan Utari karena ingin gantikan tugas Utari sebagai
penga-  wal  Putri  Merak,  (Baca  serial  Pendekar  Mabuk  dalam  episode  :
"Sukma Warisan").
"Sudah kuduga, kau tidak akan becus mengawal Putri Merak!" tegas
Tiara Surga lagi. "Eyang Paderi Moyang benar-benar salah pilih!"
"Tutup mulutmu!" sentak Utari dengan berang sekali,
"Tak  ada  gunanya  saling  debat  begini!"  potong  Puting  Seiaksa.
"Sebaiknya kita menyebar untuk men- cari Putri Merak!"
Tiba-tiba terdengar suara lain menyahut dari atas pohon.  I
"Tindakan yang sia-sia!"
Semua mata tertuju ke arah suara tua tersebut.
"Serahkan  saja  padaku!  Aku  akan  memburunyal'  tambah  suara
tersebut.  Lalu,  si  pemilik  suara  pun  meluncur  turun  dari  atas  dahan.
Gerakannya  sangat  cepat.  Nyaris  tanpa  suara  saat  kakinya  menapak  ke
tanah dl samping Mayangsita.
Tokoh  tua  itu  berusia  sekitar  delapan  puluh  tahun,  berambut
pendek  warna  putih  rata,  la  memiliki  kumlt  dan  jenggot  putih  uban.
Mengenakan  jubah  kunirig  garis-garis  merah,  berkalung  tasbih  biru
sepanjang perut.
Bagi  Arya  Suaka  dan  yang  lainnya,  tokoh  itu  masih  menimbulkan
tanda tanya di hati mereka, sebab mereka tidak mengenalnya. Tetapi bagi
Utari, atau Suto Sinting yang memperhatikan dari atas pohon yang paling
tinggi,  tokoh  tua  yang  banyak  senyum  dan  semangatnya  masih  seperti
remaja itu bukan orang yang membi- ngungkan, Dia adalah si Dewa Bandot
dari Pulau Pahang. Utari mengenalnya karena Dewa Bandot adalah sahabat
karib Raja Mantra.
"Eyang Dewa Bandot! Rupanya Eyang ada di sini |uga?!" sapa Utari
yang mendapat senyum lebar dari si dewa Bandot.
"Aku  sedang  mengikuti  seseorang  yang  mengincar  Putri  Merak,"
ujar  Dewa  Bandot.  "Tapi  rupanya  aku  terlambat.  Jadi,  sebaiknya  kalian
tak  perlu  saling  kecam  dan  saling  menyalahkan.  Akan  kususul  orang  itu
untuk menyelamatkan putri sahabatku: Paderi Moyang!"
“iapa orang yang...."
Laaaap.J  Dewa  Bandot  lenyap  sebelum  Utari  selesaikan
pertanyaannya,  Tokoh  dari  Pulau  Parang  itu  bergerak  sangat  cepat
sehingga seperti menghilang ditelan Bumi.
Disatu  sisi,  sepasang  mata  berbulu  lebat  memperhatikan  gerakan
Dewa Bandot. Manusia Serigala itu  mendengar percakapan tadi dari jarak
jauh,  karena  ia  mempunyai  ilmu  'Sadap  Suara'  yang  mampu  mendengar
percakapan dari jarak seratus tombak lebih. Suto Sinting itulah orangnya.
Tanpa banyak berpikir panjang lagi, Pendekar Mabuk segera susul
gerakan  Dewa  Baudot  dengan  meng-  gunakan  ilmu  Sukma  Lingga'-nya.
Claap...!  Sosok  ma-  nusia  serigala  itu  berubah  menjadi  sinar  hijau  yang
ber- ekor kecil, mirip kunang-kunang.
Sinar  hijau  itu  melesat  dengan  cepat  bagaikan  menembus
perbatasan  alam  nyata  dan  alam  gaib.  Kecepatan  gerak  jurus  ini  bisa
dibilang  tiga  kali  cepat  dari  jurus  'Gerak  Siluman',  sehingga  dalam
sekejap saja  Suto mampu menyusul Dewa Bandot. la sengaja menghadang
langkah  super  cepatnya  Dewa  Bandot,  sehingga  gurunya  Santana  itu
terkejut ketika merasa dihadang oleh sosok manusia berbulu lebat.
Tanpa berpikir panjang, Dewa Bandot segera i paskan serangannya
berupa sinar patah-patah wa biru. Crelaap...! Sinar lurus patah-patah itu
dihadang  oleh  bumbung  tuaknya  Suto,  sehingga  timbul  ledakan  yang
menggema cukup dahsyat. Blegaaarr...!
Pendekar Mabuk terpental sejauh delapan  langkah tubuhnya yang
berbulu melayang-layang. Bagian depan tubuhnya: dada, wajah, perut, dan
bawah  perut  alias  paha,  terasa  seperti  diterjang  lempengan  baja  yang
cukup  keras.  Pendekar  Mabuk  mengerang sakitan,  tapi  suaranya  seperti
erangan seekor serigala
"Gggrrrrr...!!"
Dewa  Bandot  perdengarkan  suaranya,  kali  ini  suaranya  sengaja
dibuat  berwibawa  untuk  menggertak  lawannya.  Tapi  tetap  saja  ia
tersenyum, walau sinis, sebab ia memang dikenai sebagai tokoh tua yang
banyak senyum.
"Sekali lagi kau menghalangiku, kau akan terbang ke neraka, Iblis
Berbulu!"
Pendekar  Mabuk  menggeliat  bangkit  untuk  berdiri.  Ia  bertopang
bumbung  tuaknya  saat  mengangkat  badannnya.  Dewa  Bandot  berkerut
dahi, curiga melihat bentuk bumbung tuak yang sudah dikenalinya itu. Ke-
inginan  untuk  melepaskan  amarahnya  ditahan  sesaat,  Tapi  ia  tetap
waspada  dan  siap  serang  jika  timbul  bahaya  dari  si  pemegang  bumbung
tuak itu.
Siapa kau sebenarnya, Iblis Berbulu?!"
"Eyang  ...  Dewa  Bandot...,"  sapa  Suto  Sinting  dengan  suara  serak
dan  agak  cadel.  Semakin  terkesiap  pandangan  Dewa  Bandot  mendengar
namanya  disebutkan  oleh  manusia  berwajah  serigala  itu.  la  bergerak
mendekat lagi. Senyumnya makin lebar, tapi bermakna keheranan.
“Kau membawa bumbung tuaknya si Pendekar Mabuk Apakah kau...."
“Aku Suto Sinting, Eyang!"
“Jabag  bayi!"  Dewa  Bandot  tersentak  dengan  kepala  mundur
sedikit. Senyumnya lenyap untuk sekejap.
“Kenapa kau bisa jadi begini, Pendekar Mabuk?!"
“Belah Nyawa menggunakan ilmu...."
“Siluman  Serigala...?!  Hmmm,  ya,  aku  tahu  dialah  pemilik  ilmu  itu!
Hanya  dia  yang  mempunyai  ilmu  itu.  Entah  sudah  diturunkan  kepada
muridnya  atau  kepada  orang  lain,  atau  belum  diturunkan  kepada  siapa-
siapa.  Tapi  yang  jelas  keadaanmu  harus  segera  dipulihkan,  sebelum
akhirnya tubuhmu menjadi busuk dan mati tanpa dikenali oleh siapa pun!"
Agaknya si Dewa Bandot itu cukup tahu tentang ilmu andalannya si
Belah  Nyawa  yang  berhasil  dipulihkan  kembali  dalam  beberapa  waktu
belakangan ini. Tetapi Pendekar Mabuk tidak terlalu tertarik dengan se-
gala sesuatu yang diketahui Dewa Bandot mengena ilmu 'Siluman Serigala'
itu. Ada satu hal yang ingin segera diketahui olehnya.
"Eyang  Dewa  Bandot,  kudengar  tadi  Eyang  bicara  dengan  Utari,
bahwa Eyang sedang mengikuti orang yang mengincar Putri Merak. Pasti
Eyang tahu siapa orang itu! Tolong katakan padaku, siapa orangnya da aku
akan  segera  menyusulnya  sebelum  ia  berhasil  memakan  jantung  Putri
Merak!"
Sekalipun  sebenarnya  bicara  Suto  tersendat-sendat  bagai  orang
sulit bernapas, tapi Dewa Bandot paham betul dengan maksud keinginan si
Pendekar  Mabuk  itu.  Tetapi  agaknya  ada  sesuatu  yang  perlu
dipertimbangkan  baik-baik  oleh  Dewa  Bandot,  sehingga  tokoh  yang  kini
tersenyum-senyum itu tidak buru-buru menjawab, melainkan memandang
kearah lain sambil melangkah ke samping kanan Pendekar Mabuk.
"Memang aku percaya, kau mampu hadapi orang Itu. Ilmu yang kau
miliki sepadan dengan ilmu yang dimiliki orang tersebut. Tapi keadaanmu
sendiri perlu segera mendapat pertolongan, Pendekar Mabuk. Kusarankan
agar kau segera menghubungi...."
Blaar, blaar, jegaarrr...!
Ledakan beruntun yang menggelegar hingga menggetarkan bumi itu
memutus  kata-kata  Dewa  Bandot.  Perhatian  mereka  segera  tertuju  ke
arah  utara,  tempat  datangnya  suara  ledakan.  Kilatan  sinar  merah
menghentak-hentak tiga kali terlihat jelas di malam yang remang-remang
itu. Maka tanpa bersepakat lebih dulu kedua orang berbeda generasi itu
segera melesat ke arah utara. Ziaaap...! Blaass...!
Siapa  yang  bertarung  di  sana,  Pendekar  Mabuk  maupun  Dewa
Bandot  masih  belum  jelas.  Mereka  mencari  pusat  ledakan  dahsyat  tadi.
Tiba-tiba mereka mendengar suara gerutu dan makian yang samar-samar.
Mereka bergegas menuju tempat datangnya suara tersebut.
Sapi  rontok,  kucing  gering,  kambing  gembrot!  Uuukh  Kurang  ajar
betul dia! Dasar babi lempoh, kodok kerot babon busung!"
Raja  mantra..?!"  sapa  Dewa  Bandot  yang  menampakkan  diri  lebih
dulu. Ternyata orang yang menggerutu dan memaki-maki  sambil bangkit
berdiri itu adalah Raja Mantra gurunya Utari.
Pendekar  Mabuk  masih  bimbang  untuk  menampakkan  diri  karena
malu dengan perubahan sosok diri- nya. Dari balik kerimbunan semak dan
kegelapan  malam,  matanya  yang  merah  liar  itu  memperhatikan  Raja
Mantra setelah teriebih dulu ia memperhatikan ke- adaan sekeliling yang
terasa lengang itu. Agaknya Raja Mantra habis bentrok dengan seseorang
dan ia ditinggalkan oleh lawannya setelah berhasil dibuat berguling- guling
di tanah.
"Dewa Bandot, kau ada di sini rupanya?!"
"Kau pasti memburu orang yang membawa lari Putri Merak itu!"
"Memang.  Tapi  sialnya  aku  salah  menangkisnya  dengan  ilmu  yang
lebih rendah satu tingkat dari yang digunakan menyerangku! Dasar bebek
kembungl sambil Raja Mantra menebah-nebah pakaian hijau tua nya yang
model biksu itu.
Tokoh tua berusia sekitar delapan puluh tahun itu segera menarik
napas panjang-panjang untuk pulihkan tenaganya yang tadi hilang sebagian
akibat  adu  ilmu  dengan  lawannya.  Rambutnya  yang  putih  dirapikan
gulungannya,  jenggot  dan  kumisnya  yang  putih  diusapnya  satu  kali
memakai  tangan  kiri,  sementara  tangan  kanannya  masih  menggenggam
tongkat  kayu  borkepala  bentuk  tangan  menggenggam.  Sekalipun  ia
menggerutu tapi wajahnya tetap berkesan cuek.
"Syukurlah  jika  kau  sudah  tahu  siapa  penculik  Putri  Merak  itu!"
ujar Dewa Bandot kepada si Raja Mantra.
"Ya, aku tahu persis siapa dia. Sekarang dia sedang dikejar oleh si
Rupa Setan yang sejak tadi bersamaku. Raja Mantra memandang ke arah
Dewa Bandot yang ada di sebelah kirinya.
"Apakah kau ingin ikut rnengejarnya, Dewa Ban- dot?!"
"Tidak.  Ada  sesuatu  yang  harus  kita  kerjakan  lebih  •lulu,"  kata
Dewa Bandot sambil tersenyum. Wajah tuanya disoroti cahaya rembulan
pucat.
"Keselamatan si Putri Merak adalah tanggung jawab muridku; Utari!
Aku  tidak  mau  Utari  gagal  dalam  tugasnya  sebagai  pengawal  pilihan
Kakang  Paderi  Moyang.  Aku  harus  menyusu!  Rupa  Setan.  Karena
menurutku Rupa Setan belum tentu unggul melawan si keparat  keropos,
sapi rontok, babi busung itu!"
“Tunggu dulu, Raja Mantra! Kuharap kau mau lakukan sesuatu yang
lain, tapi bisa kita kaitkan dengan penculikan Putri Merak itu!"
“Kalau  kau  tak  mau  jelaskan  dalam  lima  hitungan,  •aku  akan  pergi
secepatnya. Aku akan mulai menghitung Tiga.. empat..."
Dewa Bandot segera berseru memanggil seseorang.
“Pendekar Mabuk... keluarlah! Kemarilah, Nak...!
" Pendekar Mabuk...?!" gumam Raja Mantra hentikan hitungannya.
Pendekar  Mnbuk  masih  belum  mau  tampakkan  diri.  •  Ia
mempertimbangkankan keadaan dirinya yang tentunya akan tidak dikenali
oleh  Raja  Mantra.  Padahal  Raja  Mantra  sudah  membayangkan  sosok
Pendekar  Mabuk  tampan  yang  akan  berubah  itu,  sebab  ia  sudah  diberi
tahu oleh si Rupa Setan alias Anjardini tentang bencanajj  yang dialami si
murid sinting Gila Tuak itu.
"Suto  Sinting!  Aku  tahu  kau  pasti  berubah  menjadi  manusia
serigala. Kemarilah, tak perlu malu padaku! Aku bukan perawan cantik, Cah
Bagus!"  seru  Mantra.  Seruan  itu  membuat  Suto  Sinting  sempat
terperanjat.
"Ternyata  Eyang  Raja  Mantra  sudah  mengetahui  keadaanku?!
Hmmm...  mungkin  karena  beliau  telah  bertemu  dengan  Anjardini,"  ujar
Suto  dalam  hatinya  Baginya  sudah  tak  ada  alasan  untuk  malu  atau
bersembunyi  lagi.  1a  pun  segera  keluar  dari  tempat  persembunyiannya.
Zlaap...! Jleeg...!
"Husy!  Jangan  menggeram  begitu!  Bikin  bulu  kudukku  merinding
saja!" ujar Raja Mantra yang benar benar tak merasa kaget melihat sosok
wujud Suto Sinting yang berbulu lebat itu,
"Eyang.... Raja Mantra...," sapa Suto Sinting dengan suara serak dan
lirih. Sapaan itu menimbulkan perasaan haru di hati Raja Mantra.
"Duh,  Dewa...  kenapa  jadi  seperti  kau,  Cah  bagus?!"  Raja  Mantra
mengusap-usap  punggung  Pendekar  Mabuk.  "Hmm,  hmm...  gatal  semua
tanganku memegang bulumu, Mak!"
"Jangan menghina, Eyang....,"
"Oohoo,  tidak.  Aku  tidak  menghina.  Sekadar  membangkitkan
candamu saja!"
Dewa  Bandot  segera  berkata,  "Raja  Mantra,  kurasa  ilmunya
Pendekar  Mabuk  akan  mampu  mengimbangi  ilmunya  si  penculik  Putri
Merak!"
Hmmm, yaah... sepertinya memang begitu."
"Untuk  itulah,  kumohon  kau  bisa  pulihkan  keadaannya  sebagai
pemuda tampan yang berilmu tinggi itu, Raja Mantra."
Pendekar  Mabuk  sempat  memendam  perasaan  heran  dan    curiga
terhadap  kata-kata  Dewa  Bandot  itu.  Tapi  ia  tak  sempat  ajukan  tanya,
karena Raja Mantra sudah lebih dulu berkata kepada Dewa Bandot.
"Apakah  kau  yakin  aku  bisa  memulihkan  keadaan  si  ganteng  yng
konyol ini?!”
“Aku yakin kau bisa lakukan dengan mantra saktimu”! Tegas Dewa
Bandot walau dengan senyum seulas menghiasi wajah tuanya.
“Mantra yang mana, ya.,.?!" gumam Raja Mantra seperti bicara pada
diri sendiri. la berpikir beberapa saat.
“Kebanyakan  mantra  sakti  jadi  lupa  yang  mana  yang  bisa
menghancurkan uap racun Siluman Serigala itu'!" gerutu Dewa Bandot.
Kejap  kemudian,  Raja  Mantra  seperti  ingat  sesuatu,  aiM'iy  i  dan
suaranya menyentak bersama wajahnya yang berseri-seri, dihiasi senyum
cengar-cengir.    
Nah  aku  ingat  sekarang!  Tapi...  tapi  harus  diucapkan  oleh  dia
sendiri, Dewa Bandot!"
"Jangan bodoh! Kau bisa tuntun dia untuk mengucapkan mantra itu!"
Raja Mantra menggumam dan manggut-mangg Kemudian ia bicara kepada
Suto Sinting dengan memandang berhadapan.
"Pendekar Mabuk, aku akan mencoba mantra saktiku yang berjudul
: 'Koyak Kayik'. Kau tinggal men ikutinya dan...."  I
"Itu mantra apa puisi, kok pakai judul segala potong Dewa Bandot
dengan senyum geli.
"Jahit mulutmu, agar jangan mengganggu mantraku, Dewa Bandot!"
Yang diperingatkan hanya tertawa kecil. Dewa Bandot sedikit menyisih.
"Pendekar  Mabuk,  kosongkan  pikiranmu,  kosongkan  pula  batinmu,
tirukan apa yang kuucapkan resapilahtiap kata nanti, walau kau tak tahu
artinya, anggaplah tiap kata yang kau ucapkan mengalir ke sekujurtubuh
mengikuti darahmu. Bisakah kau berbuat begitu, Nak?!"
"Bisa,  Eyang,"  jawab  Suto  Sinting.  Kemudian,  tanpa  diperintah,  si
manusia  serigala  itu  pejamkan  matanya  sendiri,  bukan  mata  orang  lain
yang  dipejamkan.  Lalu  terdengar  si  Raja  Mantra  mengawali  ucapan
mantranya  yang baru diikuti oleh Suto Sinting.
"Koyak kayik si koyak kayik...."
"Koyak kayik si koyak kayik...." 
"Bahorok koyak perih rasanyo...."
"Bahorok koyak perih rasanyo...."
"Sigobal, sigahel a/a sigobal-gabel...."
“Sigobai, sigabel ala sigobal-gabel...."
"Adigantang, aciigantung bergobal-gabel...."
"Adigantang, adigantung bergobal-gabel...."
“Apa ini apa itu...,"
“Yang mana maksudmu?" sahut Dewa Bandot sambil clingak-clinguk
mencari sesuatu.
Hei,  ini  mantra!  Jangan  diartikan  sebagai  pertanyaan!'  ujar  Raja
Mantra dengan jengkel.
"Ooo... maaf, maaf... teruskan!" Dewa Bandot menyisih lagi.
Suto tirukan ucapan mantra yang tadi, "Apa ini apa itu
pudar gaib pudar wujud, kuasa Hyang Maha Dewa…..
pudar gaib pudar wujud, kuasa Hyang Maha Dewa…..
“Simulu kutuk kublung!"
“Simulu kutuk kublung!"
“Nah tunggu beberapa saat….”
“Nah tunggu beberapa saat„.."
Heeh yang ini jangan ditirukan!" hardik Raja Mantra. Dewa Bandot
terkekeh geli, membuat hati Suto Sinting pun sebenarnya ingin tertawa
cekikikan.  Tapi  niat  untuk  tertawa  itu  terpaksa  harus  ditahannya,  ka-
rena tiba-tiba ia merasakan desiran angin menjadi kencang.
Sepertinya  ada  pasukan  dari  kayangan  yang  datang  ke  bumi  dan
timbulkan hembusan angin cukup kencang. Suara gemuruh pun terdengar.
Suara  itu  sepertinya  datang  dari  langit. Makin  lama  makin  keras,  makin
bergemuruh  besar,  dan  angin  makin  berhembus  kencang  menyerupai
badai.
"Mantramu memang hebat, Wirambada," puji Dewa Bandot dengan
menyebut nama asli Raja Mantra.
Rupanya  terjadinya  kelainan  alam  itu  akibat  terucapnya  mantra
yang tampaknya seperti main-main, tapi sebenarnya mengandung kekuatan
sakti  sungguh  dahsyat.  Pendekar  Mabuk  tak  sempat  bicara  apa-apa  !a
hanya meresapi tiap hembusan angin yang menerpanya.
Sedikit demi sedikit ia merasakan udara menjadi dingin. Sepertinya
ia kehilangan baju dan celana, tnpl sebenarnya bulu-bulu yang tumbuh di
sekujur  tubuh  nya  itu  mulai  rontok  tersapu  angin.  Semakin  kencang
hembusan angin membadai itu, semakin terasa urat-urat di sekitar wajah
mulai mengendor.
Dalam beberapa saat kemudian, ternyata mantra itu benar-benar
berhasil  memulihkan  keadaan  Suto  sinting  menjadi  seperti  semula:
tampan, gagah, tinggi,kekar, dan macho sekali.
"Aku  telah  pulih,  Eyang!  Aku  telah  pulih  seperti  sediakala!"  Suto
nyaris  berteriak  karena  kegirangnnya  'Terima  kasih,  Eyang  Raja
Mantra...! Terima kasih, Eyang Dewa Bandot!"
"Hei,  yang  sembuhkan  kau  adalah  mantraku.  Dewa  Bandot  tidak
punya mantra sakti seperti itu!" protes si Raja Mantra karena Suto juga
mengucapkan terima kasih kepada Dewa Bandot.
Wajah  Dewa  Bandot  tampak  murung  sesaat.  Tapi  Suto  Sinting
segera berkata
"Jika tanpa didesak Eyang Dewa Bandot, belum tentu Eyang Raja
Mantra  mau  pulihkan  keadaanku.  Jadi,  kurasa  sudah  sepatutnya  aku
menghaturkan terima kasih pula kepada Eyang Dewa Bandot!"
Ya,  sudah. Boleh  juga.  tapi  sedikit  saja  ucapan  terima  kasih  yang
kau  berikan  pada  si  Dewa  Bandot!  jangan  banyak-banyak!"  ujar  Raja
Mantra daiam kesan candanya.
Tidak  dapat  ucapan  terima  kasih  juga  tidak  apa-  gerutu  Dewa
Bandot sambil bersungut-sungut. Bisa beli di pasar!"
Sudah Eyang...! Menurutku, yang penting bukan kepada siapa saya
harus berterima kasih," ujar Suto.  Yang terpenting  adalah siapa orang
yang membawa kabur Putri Merak. Tolong beritahukan padaku. Aku akan
mengejarnya sebelum Putri Merak jadi korban keganasan orang itu!"
“Tabib Sesat !" Raja Mantra dan Dewa Bandot  bicara bersamaan
secara  tak  sengaja.  Mereka  saling  lirik  sebentar,  lalu  Duwa  Bandot
tampak mengalah. Raja Mantra lanjutkan ucapannya setelah Suto Sinting
menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
"Oo... jadi si penculik Putri Merak itu adalah Nini Kembang Kempis
alias si Tabib Sesat dari Pantai Jalang?!"
"Ya.  Memang  dia  orangnya.  Rupanya  dia  tak  sabar  mengandalkan
orang-orangnya,  sehingga  bertindak  sendiri  melakukan  penculikan
tersebut."
"Tapi aku yakin Putri Merak tidak dibawanya ke Pantai Jalang!"
"Tentu  saja,"  sahut  Raja  Mantra.  "Karena  dia  me-  nembus  alam
gaib, berarti dia membawa Sari Putri Merak ke Dasar Bumi, tempat asal-
usulnya yang sebe- narnya!"
"Aku akan mengejarnya sekarang juga, Eyang!" tegas Suto Sinting
bernada tak sabar lagi.


3

Bukan  hal  yang  sulit  bagi  Pendekar  Mabuk  untuk  masuk  ke  alam
gaib.  la  mempunyai  kesaktian  pada  keningnya,  yaitu  noda  merah  kecil
pemberian  Ratu Kartika  Wangi.  Noda  merah  kecil  di  keningnya  itu  akan
dapat membuat Suto Sinting keluar- masuk ke alam gaib dengan mengusap
kening itu memakai telapak tangan kanannya. Noda merah keci! di kening
Suto itu hanya bisa dilihat oleh orang-orang berilmu tinggi, seperti Dewa
Bandot,  Raja  Mantra,  dan  yang  lainnya,  (Baca  serial  Pendekar  Mabuk.
dalam episode : Manusia Seribu Wajah"). •
Tetapi  alam  yang  dituju  Suto  Sinting  sebenarnya  terletak  di
perbatasan alam nyata dan alam gaib. Wilayah  yang dihuni manusia Dasar
Bumi itu memang sangat tipis sekali lapisannya dengan wilayah yang dihuni
manusia  di  permukaan  Bumi.  Maka  masyarakat  Dasar  Bumi  pun  ibarat
hidup di antara dua alam,. yaitu alarn gaib dan alam nyata.
Pendekar  Mabuk  bukan  tidak  pernah  datang  ke  alarn  tersebut
Ketika mencari Batu Tembus Jagat, ia pernah datang ke alam perbatasan
tersebut,  (Baca  serial  Pendekar  Mabuk  dalam  episode  :  "Penjara Terkutuk").
Juga  ketika  Pendekar  Mabuk  harus  menghancurkan  kebejatan  si
Ratu Kamasinta alias Dewi Penyebar Asmara, ia pun terpaksa harus lenyap
dari  alam  nyata  dan  masuk  ke  alam  perbatasan  tersebut,  sampai  akhir-
nya  ra  bertemu  dengan  gadis  cantik  bernama  Nirwana  Tria.  Gadis  itu
masih muda dan cantik, namun sudah menjadi guru dalam satu aliran silat
golongan putih. Gadis itu ternyata cucunya Dewa Tanah, si penguasa ter-
tinggi golongan putih di Dasar Bumi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Ratu Maksiat").
Tak  heran  jika  si  Tabib  Sesat  alias  Nini  Kembang  Kempis  itu 
membawa lari Putri Merak ke alam perbatasan, karena memang ia 
berasal dari  sana.  Tabib  Sesat  adalah  pelarian  dari  Dasar  Bumi  yang  berhasil
membaur  di  tengah  kehidupan  masyarakat  Permukaan  Bumi.  
Tentu  saja Tabib  Sesat  berilmu  tinggi,  karena  menurut  penjelasan  yang  pernah
diterima Suto dari Nirwana Tria, masyarakat Dasar Bumi mempunyai ilmu 
 tinggi dan cukup bisa diandalkan untuk melawan para tokoh di Permukaan Bumi.
Dengan  membawa  lari  Putri  Merak  ke  alam  perbatasan  itu,
tentunya Tabib Sesat merasa aman dan merasa tak akan ada yang mampu
mengejarnya.  Sekalipun  ada  hanya  dua-tiga  orang  saja,  itu  pun  pada
umumnnya para tokoh tua berilmu tinggi. Namun si Tabib Sesat tak tahu
bahwa Rupa  Setan  yang  pernah  menjadi  Ketua  Partai  Petapa  Sakti  dan
Pendekar Mabuk bisa lakukan pengejaran sampai ke alam perbatasan
tersebut.
Dulu  memang  Rupa  Setan  tidak  bisa  menembus  alam  perbatasan.
Tapi  sejak  peristiwa  memburu  Batu  Tembus  Jagat  itu,  ia  berusaha
perdalam lagi ilmunya, sehingga kini bisa menembus alam perbatasan.
Alam  tersebut  mempunyai  pemandangan  yang  lebih  indah.  Pohon-pohon
berwarna-wami,  gugusan  batu  bermunculan  dengan  warna-warna  yang
menawan.  Ada  yang  berwarna  merah  beneng  seperti  agar-agar,  tapi
kerasnya seperti batu cincin. Ada juga batu yang bentuk dan ukurannya
seperti  kuda  mengangkat  kedua  kaki  depannya,  berwarna  hijau  lumut.
Pohon berbatang merah dengan daunnya yang kuning berkilauan juga tam-
pak tumbuh di sana-sini,
Pendekar  Mabuk  merasa  sedang  berada  di  taman  surga.  Hatinya
menjadi berseri-seri penuh keindahan. Tapi sang hati pun masih bertanya-
tanya,
"Di  wilayah  mana  aku  berada?!  Ke  mana  arah  pe-  larian  si  Tabib
Sesat itu?!"
Semak-semak  berwarna  ungu  menjadi  pusat  per-  hatian  Suto
Sinting.  Semak-semak  itu  seperti  ilalang,  tapi  daunnya  berwarna  ungu
bagai memancarkan sinar kemilau, seakan terbuat dari kristal. Tapi ilalang
ungu itu juga bergerak-gerak dihembus angin semilir.
Alam  indah  itu  juga  mempunyai  angin,  udara,  tanah,  dan  langit
seperti  yang  ada  di  Permukaan  Bumi.  Hanya  bedanya,  sekalipun  tampak
terang,  namun  suasananya  berkesan  teduh.  Hembusan  angin  membawa
kesejukan  tersendiri,  seolah-olah  membawa  pengaruh  gaib  yang  dapat
menenteramkan hati.
Karena tak ada petunjuk yang jelas, ke mana ia harus melangkah,
maka  Pendekar  Mabuk  pun  berjalan  menuju  perbukitan  yang  letaknya
cukup  jauh.  la  menyusuri  hutan  berwarna-warni  dengan  suara  kicau  bu-
rung yang aneh, tapi enak didengarkan.
Hembusan angin yang tadi terasa membawa kesejukan tersendiri,
kini  mulai  terasa  kering.  Semakin  lama  angin  yang  berhembus  terasa
semakin  aneh.  Kulit  lengan  mulai  terasa  sedikit  panas,  lalu  timbul  rasa
perih.
"Sepertinya  ada  yang  tak  beres!"  ujar  hati  Suto  Sinting.
Langkahnya  terpaksa  dihentikan  karena  firasat  adanya  ketidakberesan
semakin kuat.
Bahkan  hembusan  angin  terasa  semakin  membuat  sekujur  tubuh
perih.  Mata  pun  jadi  pedas,  mengeluarkan  air  dengan  sendirinya.
Kesunyian yang ada di sekitar tempat itu, bagaikan mengandung misteri
yang perlu dicurigai.
Pendekar  Mabuk  buru-buru  menenggak  tuaknya.  Beberapa  teguk
tuak dapat mengusir rasa perih pada kulit dan matanya, la sengaja masih
tetap diam di tempat, di bawah sebatang pohon biru berdaun biru muda.
Daunnya kecil-kecil dan rindang, seperti daun pohon beringin. Akar pohon
itu termasuk jenis akar rambut, bergelantungan dari dahan-dahannya.
"Ooh...?!'' Suto terkejut melihat kulit tubuhnya yang sedikit putih,
seperti ditaburi tepung. Tapi serbuk putih itu makin lama semakin tebal
dan berkilauan.
"Serbuk  beling...?!"  gumam  hatinya  dalarn  keheranan.  la  mulai
sadar,  bahwa  angin  yang  berhembus  di  tempat  itu  mengandung  serbuk
beling  yang  dapat  menggores  kulit  tubuh  manusia  secara  tak  kentara.
Goresan  serbuk  lembut  itulah  yang  mendatangkan  rasa  perih  tadi.  Jika
Suto  tidak  segera  menenggak  tuak  saktinya,  maka  rasa  perihnya  akan
semakin tajam.
"Kurasa angin itu bukan angin sembarangan. Serbuk beling lembut
sekali itu pasti kiriman seseorang!" ujarnya membatin. Mata pun segera
memandang  penuh  waspada  ke  sana-sini.  Bumbung  tuak  mulai  digan-
tungkan di pundak kanan, sewaktu-waktu dapat disambar untuk menangkis
serangan dari arah mana pun.
"Agaknya  ada  yang  menyambut  kedatanganku  dengan  tak  ramah.
Hrnmm...  sebaiknya  kugunakan  jurus  'Kipas  Malaikat  untuk  mengetahui
seberapa hebat kekuatan angin yang menyambutku ini." 
Tali bumbung tuak segera digenggam, melilit pada genggaman itu.
Bumbung  tuak  pun  segera  diputar  di  atas  kepala  dengan  gerakan  cepat
hingga timbulkan bunyi berdengung.
Wuuuung... wuuuung... wuuuung...!
Putaran bumbung tuak itu hadirkan angin kencang yang menyebar
ke berbagai arah dalam gerakan melingkari tubuh Pendekar Mabuk. Begitu
kencangnya  angin  yang  ditimbulkan  dari  gerakan  bumbung  memutar  itu,
sehingga terdengar suara hembusannya secara samar-samar. Arah angin
pun  berubah.  Dan  tiba-  tiba  daun-daun  tanaman  di  sekitar  tempat  itu
mulai berguguran.
Traas, trrass, traass...!
"Oh, daun-daun itu bukan berguguran tapi terpotong?! Buktinya ada
daun yang jatuh dalam keadaan terbelah menjadi dua bagian. Dan ilalang
ungu itu pun bagaikan dipangkas pada bagian pucuknya?! Kurasa angin yang
menaburkan  serbuk  beling  halus  itu  berubah  menjadi  seperti  pisau
pemangkas  yang  amat  tajam!"  pikir  Suto  sambii  memperhatikan
sekeliiingnya.
Jurus  'Kipas  Maiaikat'  dihentikan.  Suto  ingin  rasakan  hembusan
angin  di  sekitarnya  apakah  masih  mengandung  serbuk  beling  atau  sudah
menjadi  sejuk  kembali.  Ternyata  angin  berhembus  semilir  damai  tanpa
timbulkan rasa perih di kulitnya.
"Hmmm,  penyambutku  telah  perkenalkan  diri,  dan  ia  merasa  aku
menyambut  perkenalannya.  Kurasa  tak  lama  lagi  ia  akan  muncul  di
hadapanku!"  ujar  Suto  Sinting  membatin  dengan  tetap  bersikap  tenang
tapi penuh waspada.
Tiba-tiba Suto Sinting mendengar suara aneh yang berirama. Suara
itu  seperti  besi  ditabuh  dan  menim-  bulkan  dengung  atau  denging
berbagai nada.
Ting, tong, tong, ting, tang, tong...!
"Suara apa itu?!"
Tong, teng, teng, tung, tang, ting, tong, tung,tring...!
"Aduh,  kupingku...?!"  Suto  Sinting  mulai  mendekap  telinganya.
Suara  itu  mempunyai  getaran  gelombang  tenaga  dalam  yang  berubah
menjadi  seperti  jarum-  jarum  tajam.  Seakan  suara  tersebut  menusuk-
nusuk gendang telinga hingga timbulkan rasa sakit yang sampai membuat
tubuh Suto tersentak-sentak sambil me- nyeringai.
Ting, long, tong, tang, tung, tring, trang, tung, tung...!
"Ooouh, suara itu semakin mendekat, semakin sakit telingaku! Sial”
geram  Suto  Sinting  yang  segera  me-  narik  napasnya  dan  menahannya
beberapa  saat. Hawa murni disalurkan ke gendang telinga. Hawa murni itu
yang membuat ia mampu menahan rasa sakit. walau untuk itu telinganya
tetap keluarkan darah kental sedikit demi sedikit.
Tuak  segera  ditenggaknya.  Hanya  satu  teguk.  namun  sudah  bisa
mengurangi rasa sakit dan menahan darah agar tidak keluar lebih banyak.
Darah yang telah meleleh sampai di pipi itu menguap dan lenyap bagaikan
bensin terserap angin.
Namun  suara  tabuhan  aneh  itu  semakin  dekat  dan  semakin  jelas.
Seakan  si  penabuhnya  sengaja  memukul  benda  bunyi-bunyian  itu  lebih
kuat lagi. Hanya saja, tuak sakti yang sudah diminumnya masih mampu me-
nahan serangan gelombang tenaga dalam yang disebarkan melalui bunyi-
bunyian tersebut.
"Ini  harus  kubalas  dengan...  dengan...  dengan  apa,  ya?  Oh,
sebaiknya  dengan  jurus  Napas  Tuak Setan'  saja!  Tapi...  tapi  badai  yang
akan keluar dari mulutku nanti dapat merusak keindahan alam di sekitar
sini. Aduh, sayang sekali!"
Saat  murid  si  Gila  Tuak  itu  menimbang-nimbang,  tiba-tiba  dari
balik    pohon  hijau  bening  di  seberang  Suto  muncul  seseorang  dengan
tongkat  menyerupai  tulang  iga.  Tongkat  itu  sedikit  melengkung  dan
mempunyai  anak  tulang  di  sisi  kanan  kirinya.  Sepertinya  tongkat  itu
tgrbuat  dari  tulang  iga  binatang  yang  sukar  dikenali.  Setiap  tulang
pendek-pendek  yang  dipukul  dengan  kayu  biasa  menimbulkan  bunyi
beraneka nada. Lewat pukulan itulah orang tersebut menyalurkan tenaga
dalamnya dan mengubah getaran gelombang suara menjadi getaran tajam
yang merusak gendang telinga.
"Ini  tidak  perlu  kulawan!"  ujar  Suto  Sinting  dalam  hatinya.
"Sebaiknya  kutunjukkan  padanya  bahwa  aku  mampu  menahan  getaran
gelombang suaranya!"
Langkah si penabuh tongkat tulang iga itu semakin dekati Pendekar
Mabuk. Tapi pemuda tampan itu sengaja berdiri dengan tegap dan tampak
gagah. Kedua kakinya sedikit merenggang dan kedua tangannya memeluk
bumbung  tuak  di  dada.  ia  pandangi  si  penabuh  tongkat  tulang  iga  itu
dengan senyum kalem berkesan meremehkan kekuatan orang tersebut.
Si  penabuh  tongkat  tulang  iga  itu ternyata  adalah!  seorang  gadis
berhidung bangir dan berbibir mungii. Matanya bundar, bening, dan indah
sekali,  karena  ia  mempunyai  bulu  mata  yang  lentik  dan  alis  yang  sedikit
tebal tapi melengkung kecii seperti bulan tersipu malu.
Gadis  itu  berkulit  kuning  langsat,  mengenakan  pakaian  terusan
longgar berlengan panjang. Pakaian yang panjangnya sampai sebatas mata
kaki itu berwarna biru tipis, sepertinya dari bahan sutera. Di atas warna
biru  itu  terdapat  bintik-bintik  berbentuk  bintang,  bagai  terbuat  dari
logam anti karat yang dapat menempel lekat pada gaun tersebut.
"Manis juga dia," gumam hati Suto mulai konyol. Matanya sengaja
memandang teduh dan bersahabat. Wajah mungil si gadis berambut ekor
kuda itu diperhatikan terus sampai gadis itu hentikan langkah dalam jarak
tiga tombak di depannya.
Si  gadis  mungil  hentikan  tetabuhannya.  la  tampak  heran  melihat
pemuda  tampan  di  depannya  tak cedera  sedikit  pun.  Tongkat  tulang  iga
digenggam dengan tangan kiri, dipakai berjalan ke kanan empat langkah,
kembali  lagi  ke  kiri  enam  langkah,  akhirnya  berhenti  dengan  pandangan
mata sama tajamnya ke arah wajah Suto Sinting.
Senyum  si  murid  sinting  Gila  Tuak  sengaja  lebih  dilebarkan  lagi
agar tampak keramahannya. Tangan kanan menyingkapkan rambut sesaat
agar  tidak  menutupi  wajah  tampannya.  Bumbung  tuak  tetap  didekap  di
dada, seperti memeluk bayi.
"Terima  kasih  atas  sambutan  ramahmu,  Nona,"  Suto  mengawali
bicara, sedikit dibuat agak angkuh, karena gadis berusia sekitar dua puluh
dua tahun itu juga bersikap agak angkuh.
Sambung  Suto,  "Sayang  sekali  irama  musikmu  tak  cukup  untuk
menumbangkan  pohon  atau  memecahkan  batu,  sehingga  tak  bisa
melukaiku!"
"Hmm...!" gadis itu mendengus sinis. Matanya memandangi Suto dari
kepala sampai kaki. Yang dipandang justru pasang aksi, sebentar-sebentar
mengubah  gaya  berdirinya,  sambil  masih  melontarkan  kata-kata  yang
memancing kejengkelan gadis itu.
"Kiriman  serbuk  beiingmu  juga  sudah  kuterima,  Nona.  Kurasa  kau
kurang  pandai  dalam  memilih  serbuk  beling  yang  tajam  dan  yang  tidak
tajam.  Untuk  itu,  kusarankan  jika  ingin  jadi  tukang  beling  pelajari  dulu
jenis beling yang tajam dan yang tidak."
Si  gadis  tampak  merah  mukanya  mendengar  hinaan  itu.  Kontan  ia
melompat ke arah Suto Sinting dengan menyodokkan tongkat tulang iga
itu. Wuuut...! Draak…..!
Bumbung tuak dipakai menangkis sodokan tongkat. Begitu tongkat
menyodok bumbung tuak, kekuatan si gadis memantul balik dan membuat
tubuh sekalnya terpental ke belakang. Wuuus...! Jleeg...! Untung ia dapat
berdiri dengan sigap lagi, sehingga tak begitu merasa malu oleh serangan
balik dari lawannya.
"Edan!  Bumbung  bambu  itu  rupanya  bukan  bambu  sembarangan!"
gumamnya dalam hati. Namun di wajahnya si gadis tampakkan kesan sinis
dan meremehkan kekuatan pemuda tampan itu. la mendengus satu kali dan
melangkahi  maju  lagi  hingga  mencapai  dua  tombak  di  depan  Pendekar
Mabuk.
"Kurasa sudah cukup perkenalanmu, Nona. Aku sudah tahu bahwa
kau bukan gadis berilmu rendah. Getaran tenaga dalammu melalui tongkat
itu sempat menyodok ulu hatiku saat bumbung tuakku menangkisnya tadi."
"Hmmm...!  Itu  belum  seberapa!"  ujar  si  gadis  tampak  menyimpan
rasa  bangga  mendengar  pujian  tak  langsung  dari  Suto.  Padahal  sodokan
tongkat tadi tidak mempunyai arti apa-apa bagi Pendekar Mabuk.
Si  gadis  menggertak,  "Kalau  kau  tak  mau  ting-  galkan  wilayahku,
tongkatku  ini  akan  menumbuk  ke-  palamu  sampai  selembut  serbuk
belingku tadi!"
"Oh,  jadi  aku  memasuki  batas  wilayahmu,  Nona?"  Suto  berlagak
kaget.
“Tak perlu banyak mulut! Pergi sekarang juga!"
"Aku tak banyak mulut, Nona. Mulutku cuma satu. Mungkin kaulah
yang banyak mulut, karena mulutmu lebih dari satu!"
Si  gadis  menggeram,  lalu  mendengus  satu  hembusan.  la  segera
ambil sikap kuda-kuda menyerang. Pandangan matanya semakin tajam.
"Maaf, aku hanya bercanda, Nona!" ujar Suto Sinting dengan buru-
buru  untuk  menahan  luapan  kemarahan  si  gadis.  Ia  pun  berkata  lagi,
"Aku akan pergi setelah dapat bertemu dengan Nirwana Tria. Kau
kenal dia, Nona?"
"Ooh...?!" gadis itu terperanjat. Sorot pandangan matanya berubah,
tajam tapi penuh keheranan.
Suto  membatin,  "Sepertinya  dia  kenal  dengan  Nirwana  Tria.
Hmmm, sebaiknya kupancing lagi dengan menyebutkan nama itu."
"Jika  kau  tahu  di  mana  Nirwana  Tria,  tolong  an-  tarkan  aku
padanya, Nona Cantik."
"Jangan  sembarangan  menyebutkan  nama  guruku.  Bisa  kurobek
mulutmu dengan tongkat ini!" gertak si gadis.
Kini  justru  Suto  Sinting  yang  terkesip  rnendengar  kata-kata
tersebut.
"Jadi, kau muridnya Nirwana Tria?!"
"Siapa  kau  sebenarnya,  Bocah  Lancang?!"  sentak  si  gadis  dengan
menampakkan kegalakannya.
"Aku adalah Suto Sinting, masyarakat muka bumi!"
Si  gadis  mundur  satu  langkah.  Wajah  cantiknya  tampak  sedikit
tegang. ia tidak langsung bicara, me- lainkan diam beberapa saat sambil
memperhatikan  Suto  lagi,  memandang  dari  kepala  sampai  kaki.  Yang  di-
pandang justru menenggak tuaknya satu teguk. Badan terasa lebih segar
lagi.
"Apakah kau mempunyai gelar di dunia persilatan ini?!"
"Pendekar Mabuk adalah gelarku!" tegas Suto Sinting.
"Ooh...?!"  si  gadis  makin  terperanjat  dan  lebih  te-  gang  lagi.
Kakinya  mundur  dua  langkah.  Bersamaan  dengan  itu  pancaran  matanya
yang tajam penuh per- musuhan itu menjadi susut.
"Celaka!  Kalau  begitu  aku  berhadapan  dengan  orang  yang  salah.
Ternyata  dia  adalah  si  Pendekar  Mabuk,  sahabat  Guru,  yang  sering
dibangga-bangga  kan  oleh  Guru.  Gawat!  Guru  bisa  menghukumku  dengan
hukuman berat jika ia mengadukan sikapku tadi!"
Kini  si  gadis  justru  rapatkan  kedua  kaki,  turunkan  tongkatnya
hingga  ujung  bawah  menyentuh  tanah,  lalu  sedikit  membungkuk  dengan
kepala tertunduk sekejap, pertanda memberi hormat.
"Ampunilah  aku,  Pendekar  Mabuk.  Hukumlah  kelancanganku  tadi,
asal jangan kau adukan tindakanku itu kepada Guru Tria."
Mulanya  pendekar  tampan  itu  heran  melihat  gadis  itu  memberi
hormat  padanya.  Tapi  segera  merasa  geli  setelah  tahu  bahwa  si  gadis
takut diadukan kepada gurunya.
"Aku  tak  akan  adukan  tindakanmu  yang  tak  sopan  tadi  kepada
gurumu, asal kau mau sebutkan siapa namamu, Cantik?!"
"Namaku....  Riandawi,  penjaga  Lembah  Surya  ini,"  jawab  si  gadis
penuh hormat. Pendekar Mabuk lebar- kan senyum dan mendekat.
"Riandawi...  hmm,  nama  yang  aneh  tapi  menurutku  itu  nama  yang  cantik
juga. Sama seperti orangnya."
Riandawi menjadi kikuk, senyumnya canggung dan kaku sekali.
"Ternyata cerita Guru itu bukan sekadar mimpi kosong. Orang yang
bernama Pendekar Mabuk itu memang tampan dan mudah menggetarkan
hati wanita.  Aduh, celaka  kalau  begini!  Aku  harus  jaga  jarak  dengannya
agar  batinku  tak  terialu  berharap  apa-apa  dari  hatinya,"  ujar  Riandawi
membatin.
Tapi bibirnya yang mungil ranum seperti bibir gurunya itu segera
berucap lain.
"Sebaiknya,  Tuan  Pendekar  Mabuk  kuantar  menemui  Guru  Tria
sekarang juga! Ikutlah aku, Tuan Pendekar!"
"Hei, hei...!" Pendekar Mabuk mencekal pundak Riandawi yang ingin
pergi.  "Narnaku  Suto  Sinting,  bukan  Tuan  Pendekar.  Jadi,  sebaiknya
panggil  saja  aku:  Suto  Sinting,  atau  Suto  saja.  Tapi  jangan  panggil  aku
Sinting saja. Paham?"
Riandawi tersenyum dan mengangguk.
"Kau  dan  aku  adalah  sahabat.  Teman.  Bukan  pelayan  dan  majikan,
bukan pula murid dan guru tetapi apa?"
"Teman!"
"Bagus!" puji Pendekar Mabuk.
Baru  beberapa  langkah  mereka  berjalan,  tiba-tiba  mereka
mendengar  suara  ledakan  besar  yang  meng-  J  gema.  Suara  tersebut
terdengar sangat jelas, menan- I dakan sumbernya tak jauh dari tempat
mereka berada. 
Blaaamm...!!
"Ledakan apa itu?" pancing Pendekar Mabuk. 
"Kita  lihat  saja!"  jawab  Riandawi  dengan  cepat.  Bahkan  dengan
cepat pula ia melesat kembali arah. Pendekar Mabuk menyusulnya dengan
menggunakan separuh kekuatan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaab….!
Di  sebuah  tanah  datar,  mereka  melihat  dua  orang  saling  beradu
ilmu  tanpa  senjata.  Keduanya  sama-sama  berusia  sekitar  empat  puiuh
tahun.  Mereka  adalah  seorang  lelaki  berpakaian  abu-abu  dengan  kumis
lebat dan seorang perempuan berjubah merah dengan rambut disanggul.
Si lelaki bersalto cepat di udara sambil sentakkan telapak tangannya ke
arah  lawannya.  Sentakan  telapak  tangan  itu  tidak  keluarkan  cahaya
melainkan sembur- kan asap kuning tebal. Wuuuss...!
Perempuan  berjubah  merah  sentakkan  kakinya  dan  tubuhnya
segera  melesat  naik  sambil  kibaskan  tangan  bagai  membuang  sesuatu.
Wess...!  Dari  tangan  itu  keluar  asap  merah  tebal  dalam  bentuk  seperti
bola  kaki.  Asap  merah  itu  terhantam  asap  kuning,  kemudian  terjadi
ledakan yang kedua sekeras tadi.
Biaaamm...!
Dari  ledakan  itu  timbul  pancaran  cahaya  jingga  yang  menyebar
dalam satu sentakan cepat. Cahaya jingga itu kenai tubuh si perempuan.
"Aaahk...!"  perempuan  itu  memekik  dengan  tubuh  terlempar
melayang ke belakang, lalu jatuh terhempas tanpa ampun lagi.
Lawannya  segera  memburu  dengan  satu  lompatan  cepat.  Kakinya
ingin  menginjak  dada  si  perempuan.  Tapi  dengan  cepat  Riandawi
hantamkan  pukulan  jarak  jauhnya.  Beet...!  Hawa  padat  terkirim  dan
menghantam pinggang lelaki berpakaian abu-abu. Baahk...!
"Uuhk...!" Lelaki itu terpekik, tubuhnya terlempar ke samping. Brruk.J. la
jatuh  terjongkok.  Kemudian  buru-  buru  bangkit.  Namun  pukulan  jarak
jauh Riandawi telah menyusulnya dan tak sempat ditangkis oleh lelaki ter-
sebut. Baahk...!
"Aaahk…!"  Orang  itu  terjengkang  ke  belakang,  dan  jatuh  dalam
keadaan telentang. Brruk..! Darah segar pun keluar dari mulutnya saat ia
berusaha  bangkit.  la  hanya  mampu  berlutut  dengan  napas  tersendat-
sendat.
Riandawi  segera  melesat.  Kedua  kakinya  mendarat  di  samping
perempuan berjubah merah.
"Bibi...?! Bagaimana keadaanmu?!" 
"Menyingkirlah,"  ujar  perempuan  itu  yang  ternyata  bibinya
Riandawi. "Ini urusanku dengan si Jagaloya!"
Terdengar lelaki yang bernama Jagaloya itu berseru dengan suara
menggeram.
"Keparat!  Kau  mau  ikut  campur  juga,  Riandawi!  Terimalah  ini,
hiaaah. ...!"
Jagaloya  bagaikan  seekor  harimau  sedang  terbang  menerkam
mangsanya. Riandawi segera melompat ke samping menghindari terkaman
kedua tangan Jagaloya. Tapi tongkatnya segera disabetkan dari bawah ke
atas. Wees, prook...!
"Aaaow...!"  Jagaloya  menjerit  kesakitan.  Dagunya  terharitam
tongkat Riandawi. la jatuh berguling-guling dengan mengerang panjang.
Bibinya  Riandawi  segera  menyerang.  Tapi  sebelum  kaki  perempuan  itu
menendang  punggung  Jagaloya,  tangan  lelaki  itu  menghantam  ke  tanah.
Bluuk...!
Buuss...!  Asap  putih  menyembur  ke  atas.  Angin  menyapunya,  dan
Jagaloya pun ternyata telah lenyap tanpa bekas lagi.
Pendekar  Mabuk  terkesip  memandang  lenyapnya  Jagaloya.  la
sengaja  tak  ikut  campur  urusan  itu  karena  memang  tak  tahu  menahu
persoalan yang dihadapi mereka.
"Hebat juga ilmunya si Jagaloya. Bisa lenyap seketika," ujar Suto
dalam hati. "Tapi agaknya ia mengakui kalah ilmu dengan Riandawi. Kecil-
kecil bahaya juga gadis itu? Gerakannya sukar dilihat."
"Bibi, dia melarikan diri! Perlukah kukejar, Bi?"
"Tidak  perlu!"  jawab  sang  bibi  setelah  menarik  napas  panjang.
"Lukaku  tidak  seberapa.  Aku  tahu  dia  pasti  menuju  ke  Tebing  Keramat
untuk mengambil kapaknya yang jatuh di sana."
"Di mana trisula Bibi?!"
"Jatuh  di  sekitar  tebing  itu  juga,  saat  kupakai  menangkis  hantaman
kapaknya!"
Riandawi  hembuskan  napas  panjang  juga.  Suto  Sinting  mulai
mendekat dengan langkah tegap dan berkesan gagah. Sang bibi pandangi
pemuda  yang  masih  asing  baginya  itu.  Namun  sebelum  sang  bibi  ajukan
tanya,  Riandawi  lebih  dulu  perdengarkan  suara  memperkenalkan  si
Pendekar Mabuk. 
"O, ya... dia teman baruku, Bi. Dia bernama Pendekar Mabuk..."
"Suto  Sinting!"  sahut  Suto  sebelum  Riandawi  menyebutkan  gelar
Pendekar Mabuk.
"Rupanya dia tak mau kuperkenalkan sebagai Pendekar Mabuk yang
namanya sering jadi pembicaraan masyarakat Dasar Bumi ini! Hmmm, aku
tahu dia tak ingin tonjolkan nama itu," gumam hati Riandawi. Lalu, gadis
itu memperkenalkan nama Layunggini sebagai nama bibinya itu.
0, jadi kau orang Permukaan Bumi?!"
"Betul,  Bibi  Layunggini!"  jawab  Suto  Sinting  dengan  sopan.  "Aku
baru saja tiba dan bertemu dengan Riandawi."
Sang bibi yang mempunyai kecantikan matang itu manggut-manggut.
Kedua  matanya  memandang  Suto  tak  berkedip.  Pandangan  itu  berkesan
aneh bagi Suto, seakan ia menjadi grogi menerima tatapan mata seperti
itu.  Maka  buru-buru  Suto  Sinting  alihkan  pandangan-  nya  kepada
Riandawi.
"Lelaki  yang  lenyap  itu  tadi  siapa,  Riandawi?"  Suto  berpura-pura
bodoh.
Layunggini yang menjawab, "la bernama Jagaloya, bekas muridnya
Tabib Sesat!"
Suto  Sinting  terkejut  mendengar  nama  Tabib  Sesat  disebutkan,
tapi  ia  sembunyikan  perasaan  kagetnya  itu.  la  masih  tampaktenang,
senyumnya tipis namun penuh keakraban.
"Mengapa Bibi bentrok dengannya?" tanya Riandawi.
"Dia memaksaku agar serahkan kunci Kuil Prana Dewa!"
Riandawi  berkerut  keningnya.  "Untuk  apa  dia  butuhkan  kunci  Kuil
Prana Dewa?! Apakah dia ingin masuk di kuil keramat itu?!"
"Mestinya begitu! Tapi... jika bukan karena urusan sangat penting
dia tak mungkin berkeinginan masuk ke dalam Kuil Prana Dewa."
Riandawi  diam  merenungkan  hal  itu.  Layunggini  kembali  pandangi
Suto Sinting. Yang dipandang menjadi kikuk, Salu menutupi kekikukannya
dengan sebuah pertanyaan yang semestinya tak perlu dilontarkan.
"Apa yang dimaksud dengan Kuil Prana Dewa itu, Riandawi?"
Layunggini  lagi  yang  menjawabnya,  "Kuil  itu  adalah  kuil  keramat
yang  hanya  boleh  dibuka  pada  saat-saat  tertentu,  terutama  jika
masyarakat  Dasar  Bumi  ingin  lakukan  sujud  kepada  Hyang  Maha  Dewa. 
Setiap  sepuluh  kali  purnama  kami  melakukan  upacara  sesembahan
tersebut. Jika hari-hari iainnya, hanya keturunan Dewa Tanah yang boleh
masuk ke dalam kuil dan lakukan sesembahan lainnya."
Bibi  sangat  kenal betul  tempat  Itu,  karena  beliau  adalah  penjaga
Kuil  Prana  Dewa,"  sahut  Riandawi  yang  membuat  Suto  menggumam  dan
manggut-manggut.
“Seseorang yang mempunyai hajat istimewa bisa dilakukan di dalam
kuil  tersebut  jika  sudah  meminta  izin  kepada  Dewa  Tanah,  penguasa
masyarakat kami itu," sambung Layunggini. "Biasanya hajat yang dilakukan
di dalam kuil akan membawa berkah besar bagi kehidupan orang itu. Yang
ingin punya keturunan menjadi banyak keturunan, yang ingin panjang umur
menjadi lebih panjang lagi umurnya, yang...."
“Maaf, Bibi...!" potong Suto Sinting karena ia mendengar kata-kata
'panjang umur', sehingga  ingat tentang si Tabib Sesat yang kemungkinan
besar akan memakan jantungnya Putri Merak agar berumur panjang.
"Apakah seseorang dapat berumur lebih panjang lagi jika memakan
jantung  seorang  putri  yang  dapat  membuatnya  berumur  seribu  tahun
lagi?"
"Jika  hal  itu  dilakukan  di  dalam  Kuil  Prana  Dewa,  maka  orang  itu
dapat  hidup  sampai  dua  ribu  tahun  lagi!  Tapi  mengapa  kau  bertanya
begitu, Suto Sinting?"
"Karena...  hmmm...  karena,  terus  terang  saja,  aku  datang  kemari
karena  mengejar  seseorang  yang  pasti  sudah  Bibi  kenal.  Orang  itu
menculik Putri Merak dan ingin memakan jantung Putri Merak. Barangkali
saja orang itu ingin melakukannya di dalam Kuil Prana Dewa itu supaya…."
"Siapa orang tersebut?!" potong Riandawi.
"Tabib Sesat!"
Riandawi  dan  bibinya  sama-sama  terperanjat  dan  saling  pandang
dengan mata terbelalak.
"Sebenarnya  aku  ingin  menemui  Nirwana  Tria  untuk  menanyakan
tentang  kemungkinan  tempat  persembunyian  si  Tabib  Sesat.  Tapi...
ternyata aku justru bertemu denganmu, Riandawi."
"Jadi....  Tabib  Sesat  telah  kembali  dari  pelariannya?!"  gumam
Layunggini bernada tegang. 
Riandawi berujar kepada Suto Sinting, Dia masih menjadi buronan
kami!  Dan  sangat  berbahaya  jika  kembali  ke  alam  kami.  Berarti  akan
timbul bencana lagi seperti dulu. Tabib Sesat adalah tokoh aliran hitam
yang banyak mendatangkan bencana bagi masyarakat Dasar Burni ini. Suto
Sinting,  Tak  ada  yang  bisa  membunuhnya  kecuali  Dewa  Tanah,  sebab
hanya Dewa Tanah yang tahu rahasia kelemahan Tabib Sesat."
"Ya,  benar!"  timpal  sang  bibi.  "Tapi  Eyang  Dewa  Tanah  sekarang
sedang sakit. Tak mungkin lakukan pertarungan dengan si Tabib Sesat."
"Aku sendiri yang akan lakukan pertarungan de- ngannya. Bibi," ujar
Suto  Sinting  dengan  tegas,  membuat  sang  bibi  menatap  dengan  tegang
kembali.  la  tak  percaya  akan  kemampuan  Suto  dalam  melawan  Tabib
Sesat, karena ia tak tahu bahwa pemuda tampan yang ada di depannya itu
adalah si Pendekar Mabuk, tokoh muda yang sering dibicarakan oleh para
tokoh di Dasar Bumi itu.
Ternyata pertanyaan yang semula dianggap iseng- iseng itu punya
makna  besar  bagi  tujuan  Suto  datang  ke  alam  tersebut.  Tetapi  baik
Riandawi  maupun  Layunggini  tidak  dapat  memperkirakan  di  mana  Tabib
Sesat saat itu berada.
"Jika benar kau merasa mampu berhadapan dengan si Tabib Sesat
itu,  aku  dapat  memancingnya  agar  ia  muncul  di  Kuil  Prana  Dewa  nanti!"
ujar Layunggini.
"Pancinglah  dia,  Bibi!  Usahakan  ia  berani  muncul  di  Kuil  Prana
Dewa!"  jawab  Sutotegas  sekali.  "Akuakan  menghadapinya  tanpa  peduli
menang atau kalah!"
"Kalau begitu aku harus segera menghadap Guru dan mengabarkan
hal ini pada beliau!" sahut Riandawi, seakan mendukung rencana Suto dan
bibinya  untuk  memaneing  kemunculan  Tabib  Sesat  itu.  Tapi  sang  bibs
Justru  berbaiik  menjadiragu-ragu.  la  menyangsikan  ke-  mampuan  Suto
Sinting dan terang-terangan berkata,
"Sangat  disayangkan  jika  pemuda  setampan  dan  segagah  dirimu
harus  mati  di  tangan  nenek  iblis  itu,  Suto.  Kurasa,  sebaiknya  urungkan
saja niatmu. Biar penguasa bumi yang menanganinya!"
Suto Sinting mengeluh dengan napas dihembuskan lepas-lepas.