Pendekar Mabuk 95 - Dalam Pelukan Musuh(1)




1
 SOSOK kurus ber wajah tua berdiri di atas gundukan tanah yang membukit. h itu mirip kuburan raksasa, tanpa pohon dan batu kecuali rumput yang mirip karpet hijau itu. Wajah si sosok tua dapat membuat bulu kuduk merinding, bahkan orang hamil   bisa miskram mendadak karena rasa ngeri melihat wajah bermata cekung, tulang pipi dan tulang rahang saling bertonjolan.
Jubah abu-abunya tak dikancingkan. Jubah itu bergerak-gerak ditiup angin perbukitan hingga menyerupai sayap kelelawar penghisap darah. Rambut putihnya yang dikonde sebagian itu juga meriap-riap dihembus angin tanpa permisi dulu oleh si pemilik rambut.
Sosok tua kurus jelek dan angker itu milik seorang nenek yang berkuku runcing warna kehitam-hitaman. Kuku itu dapat untuk merobek kulit singa, apalagi kulit jeruk. Dengan pakaian dalam warna putih kusam, sosok tua yang jelas berjenis kelamin perempuan itu sekarang sedang menjadi bahan pembicaraan para tokoh rimba persilatan.
Dia adalah Nyai Dupa Mayat, guru si De wi Ranjang, yang terbunuh dalam pertarungannya dengan Pendekar Mabuk, alias Suto Sinting. Nyai Dupa Mayat memang mempunyai keringat berbau dupa. Wajah tuanya yang keriputan dengan kedua bibir  mirip jahitan celana itu mempunyai kulit pucat, sepucat seorang almarhumah.
Karena ia dikenal dengan nama Nyai Dupa Mayat. Tapi nama aslinya semasa gadis adalah Pratiwi Ekawati.
"Ya, aku ingat nama itu. T ak kusangka nama secantik itu sekarang diganti dengan nama angker mirip kuburan leak," ujar seorang lelaki tua berusia sekitar delapan puluh tahun. Lelaki itu memandang Nyai Dupa Mayat dari kejauhan, tepatnya dari balik kerimbunan pohon hutan, ia bersembunyi di sana bersama seorang pemuda lulusan Pulau Parang yang punya wajah tampan itu.
Masih ingat pemuda yang ke mana-mana membawa tongkat pramuka sebagai senjata toya andalannya" Tongkat itu dari bambu kuning dan mempunyai kesaktian tersendiri, walaupun tak sesakti bambu tuaknya si Pendekar Mabuk. Pemuda murah senyum itu adalah Sandhi T anayom yang sering disingkat menjadi Santana, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kematian Sang Durjana").
"Apakah Guru kenal betul dengan nenek kempot itu?" tanya Santana kepada lelaki tua yang ternyata gurunya sendiri itu.
"Dulu aku bukan saja kenal dengannya, tapi juga pernah mengadakan hubungan manis dengannya. Yaah... semacam cinta monyet, begitulah kira-kira," ujar sang Gur u tanpa malu-malu.
Santana sunggingkan senyum geli tertahan.
"Amit-amit," gumam Santana lirih. "Mau-maunya Gur u bercinta monyet dengan perempuan keriputan seperti sarung tak dicuci itu"!"
"Oh, waktu itu dia masih muda dan paling cantik di antara yang berwajah jelek. Dulu dia punya bentuk tubuh sekal, padat berisi, dadanya juga seperti semenanjung Malakla.-."
"Maksudnya...?"
"Menjorok maju dan... dan memang joroklah pokoknya!" ujar si Guru dengan lagak santai, jika bicara selalu seenaknya, seperti tak pernah merasa tua dan kadang lupa bahwa dirinya adalah seorang guru bagi muridnya. Sang Guru itu juga murah senyum dan selalu ceria.
Semangat mudanya masih menyala-nyala, pandangan matanya pun masih jelas, sehingga bisa membedakan perempuan mana yang cantik dan yang tidak cantik, hamil dan tidak hamil, mati dan tidak mati... semua bisa dibedakan dengan mudah oleh si Guru. Se bab itulah, si Gur u mempunyai nama julukan yang cukup dikenal bagi para sahabatnya.
Dewa Bandot. Itulah julukan gurunya Santana yang bertubuh tak terlalu kurus, namun juga tidak gemuk, alias sedang-sedang saja. Kebiasaan bermain kalung manik-manik biru yang panjangnya sampai ke perut itu merupakan ciri si Dewa Bandot yang tak bisa dilupakan oleh para sahabatnya. Seperti saat itu, di balik persembunyian pun tangannya bermain kalung manik-maniknya seraya pandangi Nyai Dupa Mayat. Sang Nyai sendiri juga mengenakan kalung dari butiran batu hitam namun tak sepanjang kalung yang dipakai si Dewa Bandot.
"Jadi, jauh-jauh dari Pulau Parang kau membawaku kemari hanya ingin kau suruh melihat bekas kekasihku itu"!" bisik Dewa Bandot kepada muridnya.
"Aku tidak tahu kalau dia bekas kekasih monyetnya Gur u. Aku hanya ingin tunjukkan kepada Guru, nenek itulah yang punya ilmu 'Gerhana Senyawa', yaitu ilmu yang bisa membuat bayangannya bergerak sendiri dan...." "Sudah, sudah... kau tak perlu jelaskan padaku. Aku gurumu, berarti aku lebih tahu tentang berbagai macam ilmu!" potong si Dewa Bandot. "Ngomong-ngomong, ilmu 'Gerhana Senyawa' itu kehebatannya di mana, Santana?"
"Huuhh... tadi mau dijelaskan Guru melarang. Sekarang malah menanyakannya."
Sambil pamerkan senyum tuanya, Dewa Bandot berbisik lirih, "Yaah... namanya orang sudah tua begini, kadang lupa dengan ucapannya sendiri. Maklumi saja, Santana. Jangan jadi beban pikiranmu, nanti kau jatuh sakit, makin parah, lalu mati... itu tidak baik, Santana."
Entah apa yang digerutukan Santana, sebab anak muda itu jika ditanya sering memberi jawaban yang berbeda dengan maksud pertanyaannya. Mau tak mau si Dewa Bandot ajukan tanya lagi. Akhirnya sang muridmengulang penjelasannya tadi.
"Bayangan itu bisa bergerak sendiri memburu lawan atau menyerangnya. Bayangan hitam itu mempunyai daya panas yang sangat tinggi, sehingga siapa pun tersentuh bayangan tersebut dapat terbakar, bahkan banyak yang menjadi abu seketika."
"Ooo... ya, ya... sekarang aku ingat, Ilmu 'Gerhana Senyawa' itu adalah kekuatan inti segala api, termasuk api neraka dan api unggun diserapnya. T entu saja dapat membuat seseorang menjadi abu atau arang dengan sekali sentuh."
"T api mengapa bayangannya bisa bergerak sendiri tidak sesuai dengan gerakan orangnya, Guru?"
"Itu kekuatan iblis! Jadi, kekuatan iblis masuk ke dalam dirinya dan selalu
berada pada bayangan. Karena iblis ada dalam bayangannya, maka bayangan itudapat bergerak sendiri. Se bab itulah dikatakan 'Senyawa' artinya, sama-sama punya nyawa tapi juga sama-sama punya bentuk sepertipemiliknya, hanya beda wujud kasarnya."
Obrolan di balik persembunyian itu terhenti, karena perhatian mereka segera terpusat kembali kepada Nyai Dupa Mayat yang berdiri dengan kedua tangan bersidekap di dada. Karena matahari tepat di pertengahan langit, maka bayangan Nyai Dupa Mayat tepat berada di ba wah kakinya. Tegak lurus dengan tubuhnya.
Rupanya ada sesuatu yang ditunggu oleh Nyai Dupa Mayat, sehingga ia berada di tempat itu. Sesuatu yang ditunggu tersebut ternyata sudah datang dan kini sang Nyai yang bertubuh masih tegak tanpa kebungkukan itu segera pandangi orang yang baru datang. Ia masih berada di atas gundukan tanah, sehingga dapat terlihat dan melihat dengan jelas.
"Siapa orang yang baru datang itu, Santana" Apakah kau kenal dengannya"!"
"Memang benar. Dia menunggu kedatangan orang itu," jawab Santana seperti orang tuli diajak bicara. Sang Gur u terpaksa mengulang dengan nada agak jengkel.
"Yang kutanyakan, siapa orang yang baru datang itu"!"
"Oh, nama orang itu"! Hmmm... namanya...."
Sebelum Santana menjawab secara lengkap, tiba-tiba sekelebat bayangan melintas di depan mata mereka. Bayangan itu berkelebat menuju ke arah Nyai Dupa Mayat, tapi tidak mengetahui keberadaan Santana dengan gurunya di balik pohon bersemak-semak itu.
Jleeg...! Bayangan yang berkelebat bagaikan angin itu hentikan langkah dan tahu-tahu sudah berdiri di samping orang yang sudah lebih dulu menghadap Nyai Dupa Mayat. "Edan! Keduanya sama-sama cantik, Santana!" Ujar si Dewa Bandot dalam bisikan.
"Iya... cantik semua, Guru. Dan...."
"Ssst...!" sang Gur u mendesis sambil memberi isyarat dengan telunjuk
ditempelkan ke mulut. Santana pun diam, tak jadi lanjutkan kata-katanya. Mereka segera menyimak suara Nyai Dupa Mayat yang bicara kepada dua ga dis yang menghadapnya. Dua gadis itu tampaknya sengaja diundang oleh Nyai Dupa Mayat dan mereka merencanakan pertemuan di tempat itu.
"Kalian sengaja kupanggil untuk bicarakan tentang permohonan kalian tempo hari," ujar Nyai Dupa Mayat dengan suara tuanya yang masih garing seperti keripik singkong lama di penggorengan.
"Aku ingin kabulkan harapan kalian, yaitu mempelajari Ilmu 'Gerhana Senyawa'. T etapi aku punya satu permintaan yang harus  kalian penuhi."
"Sebutkan permintaanmu itu. Nyai," ujar si gadis yang baru datang.
"Cari pemuda bergelar Pendekar Mabuk! Bawalah dia padaku, karena aku ingin membunuhnya sebagai balas dendam atas kematian murid kesayanganku; Dewi Ranjang. Jika kalian bisa membawa Pendekar Mabuk kepadaku, maka kalian akan dapatkan ilmu 'Gerhana Senyawa' yang kalian idam-idamkan dari dulu itu."
"Baik. Akan kucari si Pendekar Mabuk dan kuba wa padamu!" ujar si gadis yang datang pertama kali itu.
Gadis yang baru datang berkata, "Asal kau jangan menipuku, Nyai! Jika kau menipuku, aku akan bikin perhitungan sendiri denganmu!"
"Jangan bicara sembarangan di depanku, Wigati!" hardik Nyai Dupa Mayat sambil tangannya menuding lurus kepada gadis yang barudatang itu. Mata sang Nyai memandang tajam sekali. Rupanya ia tersinggung dengan kata-kata Wigati, sehingga wajah angkernya tampak semakin menyeramkan.
T api gadis yang bernama Wigati itu justru menanggapinya dengan santai dan tenang. Bahkan senyumnya terkesan sedikit sinis.
"Aku hanya khawatir kalau kau berbuat licik, Nyai! Karena aku adalah gadis yang paling benci kelicikan! Lebih baik kulakukan pertarungan sampai mati daripada harus diliciki seseorang. Ingat-ingatlah hal itu, Nyai!"
Ucapan Wigati semakin dirasakan sang Nyai memanaskan telinga. "Belum-belum sudah membakar harga diriku, Wigati!" geram Nyai Dupa Mayat dengan sorot pandangan mata semakin tajam.
Wigati masih bandel, menyahut dengan kata-kata berkesan angkuh.
"Sebelum kau menjatuhkan harga diriku dengan tipuanmu nanti, aku harus memberi peringatan padamu, Nyai!"
"Kau yang harus kuberi peringatan, Gadis Bodoh!"
Tiba-tiba Nyai Dupa Mayat lakukan lompatan bagaikan terbang. Tubuhnya meluncur di atas kepala Wigati.
Weess...! Pada saat itu, baik Wigati maupun gadis yang pertama kali datang itu tidak punya kecurigaan apa-apa tentang gerakan sang Nyai. Mereka menganggap sang Nyai turun dari atas gundukan tanah yang membukit.
T etapi ketika tubuh sang Nyai melayang melintasi atas kepala Wigati, bayangannya menerjang gadis itu karena matahari tepat di atas kepala manusia.
Wuusss...! Blaaabs...! Buuuusss...! Gadis yang pertama kali datang menghadap Nyai Dupa Mayat itu segera terlonjak kaget hingga tubuhnya mental ke belakang. Mata gadis itu mendelik melihat Wigati bagai disambar petir tanpa suara. Cahaya merah berkerliap sekejap. Tak ada satu kedipan mata. T ahu-tahu Wigati telah lenyap, tinggal asap yang mengepul tebal.
Asap itu pun sirna karena angin berhembus agak  kencang. Dan pada saat itu pula si gadis yang datang pertama kalitadi terpekik lirih bernada kaget.
"Ooh..."!" Gadis itu semakin lebarkan matanya ketika melihat Wigati sudah menjadi abu dan tumpukan arang hitam. T ubuh Wigati bagai dimasukkan dalam open yang panasnya ribuan derajat. Pakaian dan pedangnya ikut terbakar. T ak ada yangtersisa dari tubuh Wigati selain gundukan abu putih suram yang bercampur arang hitam. Arang itu adalah sisa kerangka Wigati yang terbakar oleh hawa panas ribuan derajat tingginya.
"Edan!" gumam si Dewa Bandot dengan mata mendelik dari balik ilalang. Mata itu segera dikedipkan dan kepala ditarik mundur karena hembusan angin menggerakkan daun ilalang kecil. Daun ilalang kecil itu mencolok mata si Dewa Bandot.
Untung saja ia tidak terpekik keras sehingga keberadaannya di tempat itu masih tidak diketahui oleh orang lain. Santana sendiri tak berkedip, karena baru sekarang ia melihat jelas sekali bagaimana bayangan Nyai Dupa Mayat menghanguskan tubuh la wan. Santana tak bisa bersuara, kerongkongannya bagaikan ikut kering saat bayangan Nyai Dupa Mayat membakar Wigati dalam tempo kurang dari satu kedipan.
Mereka segera mendengar suara Nyai Dupa Mayat bicara dengan gadis yang pertama kali datang menghadangnya itu.
"Aku tak suka punya utusan yang berani bicara tak sopan di depanku! Ini suatu peringatan bagimu. Jika kau ingin dapatkan ilmu 'Gerhana Senyawa', kerjakan tugas itu dan jangan bicara sembarangan di depanku!"
"Aku mengerti, Nyai!"
"Pergilah sekarang juga, cari si Pendekar Mabuk! Bawa dia padaku secepatnya!"
"Baik, Nyai!" jawab si ga dis, lalu segera melesat pergi dengan gerakan seperti anak panah lepas dari busurnya. Blaas...!
"Aku akan menghadang gadis itu, Guru!" ujar Santana bergegas pergi, tapi sang Guru segera mencekal lengannya.
"Jangan gegabah!"
"T api dia mau mencelakai sahabatku; si Pendekar Mabuk itu, Guru!"
"Harus dipikirkan langkah yang paling aman, agar kita tidak mati konyol, Santana!" Pemuda itu akhirnya hembuskan napas panjang, menyabarkan diri, menahan hasrat menggebu yang ingin kejar gadis utusan Nyai Dupa Mayat itu.
"Kita ikuti saja ke mana perginya si Pratiwi," ujar Dewa Bandot dalam bisikan.
"Karena sudah lama aku tak mengetahui di mana tempat tinggal Pratiwi yang sekarang. Yang jelas dia sudah tidak tinggal di tempat yang dulu. T empat itu agaknya sudah kena gusur karena di sana sudah dibangun sebuah waduk untuk pengairan sawah orang-orang kadipaten Jumbalang."
Nyai Dupa Mayat segera berkelebat pergi tinggalkan tempat itu. Dewa Bandot mengikutinya, Santana agak ketinggalan karena gerakannya kalah, cepat dengan gerakan sang Guru.
"Kasihan Suto kalau sampai bernasib seperti Wigati tadi," ujar Santana membatin.
"Di mana Suto sekarang berada" Aku harus memberitahukan tentang utusan Nyai Dupa Mayat itu. Jangan sampai ia terjebak sebelum punya persiapan hadapi keganasan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu."
Se benarnya saat itu Suto Sinting berada tak jauh dari tempat tersebut, ia berada di balik bukit berhutan lebat itu. T api karena tak terjadi suara ledakan atau denting pedang pertarungan, ia tak menuju ke tempat itu.
Sayangnya lagi, mereka tak ada yang mengarah ke balik bukit itu, hingga tak ada yang bertemu dengan murid sinting si Gila T uak dan Bidadari Jalang.
Seandainya sang Nyai bergerak ke arah balik bukit, pasti ia akan jumpa dengan Pendekar Mabuk dan ceritanya akan tamat sampai di sini saja. Untung sang Nyai bergerak ke timur dan sang utusan bergerak ke utara, sehingga kesibukan Pendekar Mabuk tidak ada yang mengganggu.
Sang pendekar tampan itu tetap tenang duduk di bawah pohon berumput halus, melonjorkan kedua kakinya sambil dengan santai. Di samping kanannya terdapat bumbung bambu berisi tuak yang berdiri bersandar batu dengan santai pula.
Di pangkuan Suto, terdapat kepala manusia berambut panjang. Kepala itu masih bisa mengedipkan mata dan sunggingkan senyum, sebab kepala itu milik seorang gadis cantik yang menaruh hati kepada Pendekar Mabuk. "Baru sekarang kurasakan betapa damainya hidup ini," ujar si gadis yang kepalanya jatuh di pangkuan Suto. "Keindahan yang kurasakan saat ini, benar-benar berbeda dengan keindahan yang ada dalam aliran hitam. T erasa lebih agung dan lebih berarti bagi jiwaku."
"Betulkah kau tak pernah rasakan keindahan seperti ini?" tanya Suto Sinting sambil mengusap-usap rambut gadis itu dengan sentuhan yang teramat lembut dan berkesan sekali.
"Ada kemesraan yang pernah kurasa, ada keindahan yang pernah unikmati, namun tak selembut ini. Baru sekarang seumur hidupku aku bermanja di pangkuan seorang lelaki yang terasa menyatu dalam jiwaku."
"Ah, masa'..."!" Suto Sinting menggoda dalam senyuman.
"Sumpah! Berani disedot setan kalau aku berkata bohong padamu, Suto," ujar si gadis seraya mengusapkan tangannya ke pipi Suto, dan jarinya pun mulai menyentuh bibir pemuda tampan itu. "Suto harus percaya bahwa saat ini aku benar-benar merasa bahagia sekali, seolah-olah hidup ini punya arti yang lebih dalam dari yang pernah kurasakan. Rasa-rasanya aku tak ingin cepat mati jika selalu berada di pangkuanmu, Suto."
* * *

2
GADIS yang berbaring di pangkuan Pendekar Mabuk itu berambut panjang selewat pundak, lebih sering rambutnya berada di depan pundak dengan keikalan bagian bawahnya. Sedangkan rambut depan diponi sebatas kening, ia mempunyai wajah cantik, namun tidak berkesan manja.
Kecantikannya itu adalah kecantikan yang mempunyai nilai tegar, berani, dan cerdas. Selain hidungnya yang mancung, bibirnya yang tebal sensual, matanya yang biru, alias mata yang tebal, gadis itu juga mempunyai tubuh yang tinggi, sekal, berdada montok dan kencang.
Kemontokan dadanya itu tertutup rompi ketat anti senjata tajam yang bercampur logam tembaga. Rok bawahnya juga bercampur logam tembaga yang panjangnya hanya separo paha, sehingga kemulusan paha sekatnya itu sering tampak menggiurkan hati seorang pemuda normal seperti Suto Sinting itu. Melihat pedang berukuran panjang dari besi kehitam-hitaman dan pisau-pisau terbang yang ada di sekeliling pakaian perangnya, gadis itu kentara sekali sebagai seorang prajurit wanita dari suatu negeri. Negeri itu sekarang telah hancur, ratunya binasa di tangan Pendekar Mabuk. Siapa lagi gadis cantik bermata biru tegar itu jika bukan Pandawi, mantan prajurit Ratu Kehangatan yang kini bertekad pindah dari aliranhitam ke aliran putih.
Sejak Pendekar Mabuk berhasil tumbangkan si Jahanam T ua yang kala itu nyaris membunuh Pandawi, gadis itu menjadi lebihakrab dengan Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bibir Penyebar Maut").
Rasa terpikatnya terhadap Suto tumbuh sejak ia melihat Pendekar Mabuk bertarung melawan Dewi Ranjang dalam memperebutkan sebuah pedang pusaka yang bernama Pedang Jagal Keramat. Dewi Ranjang tewas di tangan Suto Sinting setelah pemuda itu menerima lemparan pedang dari Pandawi untuk melawan serangan Dewi Ranjang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pertarungan Dewi Ranjang").
Pada mulanya Pandawi menaruh dendam kepada Suto Sinting karena Suto Sinting berhasil hancurkan Istana Kematian tempatnya menjadi satu dari beberapa prajurit wanita pengawal Ratu Kehangatan. Ia ingin kalahkan Suto Sinting, sehingga ketika bertemu dengan Nyai Dupa Mayat, Pandawi memberi tahu tentang kematian Dewi Ranjang di tangan Pendekar Mabuk. Sang Nyai pun segera mengajak Pandawi untuk bersekutu menyerang Suto Sinting dengan perjanjian: Pandawi akan mendapat ilmu 'Gerhana Senyawa' dari sang Nyai dan diangkat sebagai muridnya.
Tetapi hati kecil yang menaruh kekaguman terhadap ketampanan serta kegagahan Pendekar Mabuk membuat Pandawi tak bisa tidur, selalu terbayang wajah Pendekar Mabuk yang makin lama memadamkan api dendamnya. Akhirnya, Pandawi putuskan untuk tinggalkan Nyai Dupa Mayat dan bergabung dengan Pendekar Mabuk. T ernyata pemuda tampan bertubuh kekar dengan senyum yang mengguncangkan hati setiap gadis itu menerima Pandawi dengan tangan terbuka tapi hati separo tertutup. Hati itu terpaksa ditutup separo, karena di  dalamnya masih tersimpan cinta kasih dan kesetiaan untuk Dyah Sariningrum, calon istri Suto Sinting yang menjadi ratu di negeri Puri Gerbang Surga wi di alam nyata.
Namun sikap manis Pendekar Mabuk itu dirasakan Pandawi semakin membuatnya bertekuk lutut dan terlena. Buaian mesra selembut itu belum pernah dirasakan oleh Pandawi, sehingga dalam hatinya Pandawi bertekad ingin memiliki kemesraan selembut itu selamanya.
Namun kini belaian lembut, kemesraan yang agung, dan remasan jemari penuh getaran indah itu terpaksa harus mereka hentikan. Suasana romantis mereka dirusak oleh datangnya sinar merah sebesar telur burung. Sinar merah itu melesat dari atas pohon seberang dan mengarah ke tubuh Pandawi. Clap, Wuuusss...!
Pendekar Mabuk melihat datangnya sinar tersebut, ia segera meraih bumbung tuaknya sambil sentakkan kepala Pandawi hingga ga dis itu terbangun. Bumbung tuak itu segera dipakai menangkis sinar merah tersebut setelah Suto Sinting gulingkan tubuh satu kali dan berdiri dengan satu kaki berlutut, kedua tangan pegangi bambu bumbung tuaknya. Deeb...! Wuuuusss...!
Sinar merah itu memantul balik ke arah semula dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat dari aslinya.
Brrruus... Blegaaarr...!
Pohon itu hancur bersama bunyi ledakan yang cukup dahsyat. Dahan dan batangnya menyebar ke mana-mana menjadi potongan-potongan sebesar telapak tangan.
Bahkan pohon di kanan-kirinya ikut bergetar nyaris tumbang karena gelombang ledakan tadi mempunyai daya sentak cukup besar.
"Siapa itu tadi"!" geram Pandawi dengan mata birunya memandang ganas. Gadis itu tampak tegang dan berang.
"T enang saja," ujar Suto Sinting kalem. "Pasti ada orang yang tak suka melihat kedamaian kita, Pandawi."
"Akan kupenggal kepala orang itu! Berani-beraninya dia mengganggu kemesraanku"!" sambil tangan Pandawi siap-siap mencabut pedangnya. Namun tangan Suto memberi isyarat agar pedang jangan dicabut dulu. Ia ingin tahu siapa orang yang berani melepaskan pukulan jarak jauhnya tadi.
"Apakah dia ikut hancur bersama pohon yang meledak itu"!" tanya Pandawi yang mau melangkah ke sana namun segera dicegah oleh Pendekar Mabuk.
"T ak mungkin dia ikut hancur, karena aku yakin dia bukan orang bodoh. Begitu melihat sinar merahnya berbalik arah ia pasti sudah pergi dari pohon itu lebih dulu. Hanya saja kita tak sempat melihat ke mana perginya. Aku akan mencari di sekitar sini. Kau tetap di tempat, Pandawi!"
T iba-tiba sebuah suara terdengar di belakang mereka.
"Aku di sini!"
Pendekar Mabuk dan Pandawi cepat berbalik dan lemparkan pandangan tajam kepada orang tersebut.
Pandawi sudah mulai merunduk sebagai sikap kuda-kuda untuk hadapi serangan lawan. Tapi karena orang yang tiba-tiba muncul di belakang mereka itu diam saja, tidak lepaskan serangan lagi, maka Pandawi pun segera kendurkan ketegangannya.
"Dewi Kun..."!" gumam Suto Sinting, menyebut sepotong nama itu dengan nada heran. Dewi Kun adalah kakak sulung dari tiga gadis kembar yang menguasai Kuil Perawan Ganas di Pulau Swaladipa. Ia seorang wanita berhati keras dan mudah menjadi ganas oleh suatu masalah yang tidak berkenan di hatinya. Mulanya Suto Sinting sempat bingung sebentar ketika melihat penampilan sosok cantik berambut keriting halus terurai sepanjang punggung.
Rompi merah berumbai-rumbai dengan ujung rompi saling terikat di depan perut, dan celana rumbai-rumbai berukuran separo paha yang ketat itu, merupakan ciri pakaian dari ketiga gadis kembar dari Kuil Perawan Ganas. T etapi begitu melihat tato bunga mawar di belahan dada kanannya, Suto segera mengenali bahwa perempuan itu adalah Dewi Kun, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kuil PerawanGanas").
Pandawi merasa tak kenal dengan Dewi Kun. Ia segera hampiri wanita itu yang sama-sama berani dalam beradu nyawa. Dewi Kun tetap berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merenggang. Tangan kirinya yang menenteng pedang bergagang ukiran kepala burung itu tampak siap-siap menyatu dengan tangan kanannya untuk mencabut pedang tersebut. T etapi Pandawi justru melangkah lebih cepat dan lebih tegas lagi.
Suto Sinting menyangka Pandawi ingin memaki-maki di depan Dewi Kun. Tapi di luar dugaan, begitu Pandawi tiba di depan Dewi Kun, tangannya segera berkelebat menghantam dengan tinjunya ke wajah Dewi Kun tanpa bicara sepatah kata pun.
Beet...! Dewi Kun menangkap genggaman tangan itu dengan tangan kanannya. T eeb...! Namun tangan Pandawi segera terlipat sambil ia bergerak ke samping dan sikunya menghentak kuat ke wajah Dewi Kun. Plok...! "Ouh...!"
Dewi Kun tersentak ke belakang, terhuyung-huyung sambil sedikit merunduk memegangi rahangnya yang terkena sodokan siku Pandawi.
Gerakan Pandawi tak putus sedikit pun. Begitu lawannya oleng ke belakang, kakinya segera menendang dengan mantap. Wuuut...! Buuhk...! "Uuh...!" Dewi Kun terpelanting hampir jatuh.
Pandawi melompat pendek dan rendah, tubuhnya berputar cepat dan kaki kirinya lakukan tendangan putar.
Wuus...! Plook...! Wajah Dewi Kun terkena tendangan dengan telak sekali, hingga wanita itu terlempar ke samping dan jatuh di semak-semak. Brruus...!
Pandawi tak memberi kesempatan lawannya untuk membalas. Bahkan tak ada kesempatan bagi Dewi K un untuk bersiap hadapi serangan berikut. Karena baru saja ia jatuh terhempas, Pandawi sudah datang lagi dalam satu gerakan lari cepat dan langsung menendang dagu Dewi Kun bagai menendang bola.
Dees...! "Ouff...!" Dewi Kun terjungkal makin ke dalam semak. Pandawi ingin menginjak kepala Dewi Kun dengan satu lompatan agak tinggi, tapi tiba-tiba sekelebat bayangan menyambarnya. Zlaap...! Wuuut...!
T ahu-tahu ia sudah berada dalam jarak tujuh langkah dari Dewi Kun, dan ia berada dalam pelukan Suto Sinting. "Cukup, Pandawi! Cukup!"
"Lepaskan aku!" sentak Pandawi berang sambil meronta, ia masih bernafsu inginmenyerang Dewi Kun lagi. T api gerakannya ditahan kuat-kuat oleh tangan kiri Suto Sinting yang memeluknya.
"Sudah, sudah...! Jangan teruskan, Pandawi! Dia sahabatku!"
"Sahabat"! Orang yang mau membunuh kita dengan ilmu tenaga dalamnya itu kau anggap sahabat"!" bentak Pandawi dengan mata nanar liar.
"Mungkin... mungkin dia hanya usil saja," jawab Pendekar Mabuk mencari alasan, karena ia tidak mengharapkan kedua perempuan itu saling bertarung hingga timbul korban lebih parah lagi.
"Lepaskan dia, Suto!" teriak Dewi Kun sudah berdiri tegak dan mencabut pedangnya. "Akan kulihat seberapa tangguhnya dia menghadapi jurus pedangku!"
"Hiaah...!" Pandawi menyentakkan kedua tangan dan terlepas dari pelukan Suto Sinting. Suto jatuh ke belakang, terjengkang seperti anak baru bisa berjalan.
Pandawi segera lari hampiri Dewi Kun sambil mencabut pedangnya. Sraang...! "Hiaaat...!" Pandawi memekik panjang, lalu tebaskan pedangnya yang lebih besar dan lebih panjang dari pedang milik Dewi Kun.
Wuuut...! Pedang berkelebat bagai ingin membelah kepala Dewi Kun, namun dengan cekatan sekali Dewi Kun menangkis pedang itu di atas kepalanya. T raang...!
"Heeah...!" Pandawi menjejakkan kaki dan tepat kenai perut Dewi Kun. Buuhk...!
"Heeegh...!" Dewi Kun terlempar mundur sejauh empat langkah. Namun ia masih mampu berdiri walau sedikit oleng. Saat Dewi Kun membetulkan posisi kakinya, Pandawi datang menyerang dengan tebasan pedang besarnya itu.
Wuuk, wuuk, wukk, traang, trang, wuus...!
"Heeeeaaaat...!!"
Dewi Kun memekik panjang sambil sentakkan kaki ke tanah, tubuh pun melambung ke atas dalam gerakan bersalto. Pedang segera berkelebat menebas kepala Pandawi. Namun mantan prajurit wanita itu sedikit rendahkan kaki dan menyilangkan pedangnya dengan kedua tangan di atas kepala. T raang...! T ebasan Dewi Kun tertangkis pedang itu.
T ubuh Dewi K un bergerak turun dari udara dalam posisi siap menapak. Pedangnya yang masih terulur ke depan itu segera disa bet dengan pedang Pandawi. Sabetan pedang itu sangat kuat, mengandung kekuatan tenaga dalam cukup besar.
Wuuut...! Trraang, daarrrr...!
Ledakan kecil yang mengejutkan itu mempunyai daya sentak sangat kuat. Percikan api menyebar ketika pedang beradu dengan pedang. Namun Dewi Kun segeramenggeragap ketika pedangnya ternyata terlepas dari genggaman tangannya melayang dan menancap pada sebuah pohon, lima langkah dari tempatnya berdiri.
Jruubs...! Pandawi menggenggam pedang dengan kedua tangan, lalu segera ayunkan pedang itu dari atas ke bawah, seolah-olah ingin membelah kepala Dewi Kun yang   dianggap mirip semangka itu. Wuuut...! Dewi K un berlutut satu kaki, lalu....zeeb! Pedang itu berhasil dijepit dengan kedua telapak tangannya tanpa luka.
Kedua tangan Dewi Kun menyentak ke samping dengan kekuatan tenaga dalam tersalur ke tangannya. Bett...!
Sentakan itu ternyata mampu melemparkan tubuh Pandawi ke arah kiri. T ubuh itu terlempar dengan kuat.
Brruuk...! Pandawi jatuh dalam keadaan miring. T ubuhnya sempat membal di tanah, ia mengerang kecil karena tulang pundaknya membentur akar pohon sekeras batu, sedangkan pedangnya sudah tidak di tangan. Pedang itu masih terjepit di kedua telapak tangan Dewi Kun.
"Hiaaah...!" Dewi Kun memutar balik pedang itu hingga gagang pedang ada di tangannya, kemudian melemparkan pedang tersebut ke arah tubuh Pandawi.
Wuuut...! Pandawi sempat melihat gerakan pedang meluncur ke arahnya, ia segera berguling ke kiri. Juubs...! Pedang pun menancap di tanah tempat Pandawi terbanting tadi.
Melihat pedangnya dalam satu jangkauan, Pandawi segera bangkit untuk mencabut pedang itu. Namun Pendekar Mabuk segera kirimkan jurus 'Jari Guntur' yang merupakan sentilan bertenaga dalam, kekuatannya seperti tendangan seekor kuda jantan. T ees, tees...!
"Aahk...!" Pandawi terlempar ke belakang karena lengannya bagai ditendang kuda. Pedangnya tak jadi tercabut.
"Uuhk...!" Dewi Kun terlempar dan jatuh di semak-semak sewaktu ia ingin melepaskan pukulan bersinar merah ke arah Pandawi. Rupanya pemuda tampan itu juga lepaskan sentilan mautnya yang mengenai paha Dewi Kun hingga perempuan itu tak jadi lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Pandawi.
Kini keduanya menyeringai kesakitan, sekujur tulang mereka bagai terpotong-potong. Sakit semua. Mereka hanya mengerang sambil menggeliat berusaha bangkit, namun tak bisa secepat tadi..
Pendekar Mabuk melesat dalam satu lompatan. Wuuut...! Ia menyambar pedang Dewi Kun yang tertancap di pohon. Sleeb...!
Setelah pedang itu berhasil dicabut, kaki Suto yang masih melayang itu menjejak pohon tersebut, sehingga gerakan terbangnya berpindah arah. Dees, wuuut...!
Sleeb...! Pedang Pandawi berhasil disambar. Kini kedua pedang perempuan itu ada di tangannya. Suto Sinting bersalto satu kali setelah menjejakkan kakinya ke atas batu setinggi perut. Wuuk...! Dalam sekejap ia sudah daratkan kedua kakinya di depan Dewi Kun dan Pandawi. Jleeb...!
"Kalau kalian masih tetap saling menyerang, kedua pedang ini akan kuhancurkan!" ancam Pendekar Mabuk sambil mengangkat kedua pedang dengan tangannya, sementara bumbung tuaknya menggantung di pundak
kanan, ia tampak serius, sehingga kedua wanita itu sama-sama diam dalam keadaan duduk, sama-sama pandangi Suto Sinting yang tampak serius itu.
Kedua perempuan itu akhirnya patuh kepada Pendekar Mabuk. Agaknya mereka tak ingin kehilangan senjata kesayangan mereka, walau keduanya bukan merupakan pedang pusaka, tapi cukup berarti bagi keselamatan hidup mereka.
Rasa permusuhan mereka memang masih ada, tapi tidak ditonjolkan di depan Pendekar Mabuk. Mereka segera diberi minum tuak dari bumbung bambu sakti itu, sehingga dalam beberapa saat kemudian tubuh mereka menjadi segar. Rasa sakit mereka lenyap, bahkan tuak itu mampu meredakan kemarahan dalam hati Pandawi maupun Dewi Kun, walau tidak berarti padam sama sekali. "Apa maksudmu mengarahkan pukulanmu ke Pandawi"!" tegur Suto Sinting kepada Ketua Kuil Perawan Ganas itu, sambil serahkan kembali pedang masing-masing.
Pandawi memandang angker kepada Dewi Kun yang meliriknya dengan sinis.
"Aku merasa tak rela kau dibuai perempuan liar macam dia!"
"Jaga mulutmu, Keparat!" sentak Pandawi. Ia ingin menyerang lagi, tapi segera ditahan oleh genggaman tangan Suto yang mencekal lengannya.
"Dewi Kun, tindakanmu terlalu melewati batas. Kau tak berhak mencampuri urusan pribadiku!" ujar Suto Sinting dengan tegas.
"Kau dulu milikku!"
"T ak ada siapa pun orangnya yang memiliki diriku! Semua adalah sahabatku."
Dewi Kun menarik napas, sepertinya menahan rasa perih di hatinya mendengar ucapan Pendekar Mabuk Itu.
Namun ia berusaha untuk tidak menampakkan perasaan sebenarnya.
"Kalau tahu kau tidak mencintaiku, kukejar kau saat melarikan Bocah Emas dari Pulau Swaladipa!" ujar Dewi Kun seperti orang menggeram.
"T ak ada kata cinta yang keluar dari mulutku untuk siapa saja...," ucap Suto, tapi hatinya melanjutkan sendiri, "... kecuali untuk calon Istriku; Gusti Mahkota Sejati, Dyah Sariningrum."
"Sekarang katakan saja apa maksudmu datang ke tanah Jawa ini, Dewi Kun"!"
"Aku ingin bertemu dengan Bocah Emas yang kau bawa lari itu!"
"Hmm... untuk apa kau mencari Bocah Emas?"
"Aku ingin mencari tahu kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' yang...."
"Apa..."!" sahut Pandawi agak kaget. Suara itu membuat Dewi Kun hentikan ucapannya, memandang Pandawi dengan tajam.
Suto Sinting segera menimpali, "Setahuku, Ilmu itu milik Nyai Dupa Mayat, Dewi Kun! Apakah kau punya urusan dengan Nyai Dupa Mayat"!"
"Beberapa waktu yang lalu dia telah mengacak-acak Kuil Perawan Ganas dan bermaksud menguasainya.
Adik bungsuku, Dewi Mul tewas secara mengerikan; menjadi abu dan arang setelah diterjang oleh bayangan hitamnya! Juga beberapa anak buahku, dibuat menjadi abu. Kini waktunya aku bikin perhitungan dengan Nyai Dupa Mayat. T api aku harus mengetahui kelemahan ilmu Itu. Menurutku, hanya Bocah Emas yang mengetahui kelemahan ilmu apa pun!"
Pendekar Mabuk diam tertegun. Dalam benaknya terbayang si Bocah Emas yang pernah dibawanya lari dari Pulau Swaladipa. Bocah Emas itu adalah anak pasangan petapa sakti yang telah tiada, yaitu Eyang Winudaya dengan Eyang Sutimuning, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bocah Titisan Iblis").
Mendengar penuturan Dewi Kun, dalam hati Suto Sinting pun bertanya-tanya, "Benarkah yang mengetahui kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' adalah si Bocah Emas"! Mungkinkah hanya si Bocah Emas yang mampu kalahkan Nyai Dupa Mayat"!"
Pandawi pandangi Suto Sinting sejak tadi. Ia mengharapkan satu langkah dari Suto untuk ikut mengetahui kelemahan Ilmu 'Gerhana Senyawa' itu.
Pendekar Mabuk pun sempat memandang Pandawi sebentar, kemudian pandangannya dialihkan ke arah Ketua Kuil Perawan Ganas.
"Bocah Emas itu ada di Pulau Sangon...."
"Ya, aku tahu! Bocah Emas itu berada di Istana Ratu Remaslega. T api aku perlu bantuanmu untuk menghadap Ratu Remaslega," sahut Dewi Kun. "Se bab bila tidak bersamamu, maka kedatanganku ke sana hanya akan dianggap sebagai musuh belaka. Apalagi di sana ada Elang Samudera, yang setidaknya akan menaruh curiga buruk padaku!"
Pendekar Mabuk diam kembali, benaknya dililiti oleh berbagai pertimbangan dan kesangsian. Namun akhirnya ia putuskan untuk mencoba turuti permintaan Dewi Kun, sekalian ia sendiri ingin tahu rahasia kelemahan Ilmu 'Gerhana Senyawa' Itu. Maka ia pun memandang Pandawi yang telah menjauh dan berdiri di ba wah pohon, bersandar di sana dengan mata memandang tajam kepada Dewi Kun. Pendekar Mabuk terpaksa dekati
Pandawi. "Kau mendengar sendiri apa yang dikatakannya. Bagaimana menurutmu, Pandawi"!"
"Aku tak mau ikut ke Pulau Sangon!" jawab Pandawi dengan nada datar berkesan ketus. Matanya tetap memandang ke arah Dewi Kun yang juga menatapnya   dengan sinis. "Mengapa kau tak mau ikut ke Pulau Sangon"
Bukankah kita sejak kemarin bingung memikirkan kelemahan Ilmu 'Gerhana Senyawa' itu"!"
"Aku tak sudi berjalan dengan perempuan menjijikkan itu!" ucap Pandawi mirip orang sakit gigi.
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. T erasa serba salah jadinya. Di sisi lain ia butuh keterangan dari si Bocah Emas tentang kelemahan ilmu tersebut, di sisi lain Pandawi benci kepada Dewi Kun. Suto  sendiri merasa tak enak jika pergi berdua bersama De wi K un, sementara Pandawi tak mau bersamanya. Jelas hal itu akan mengecewakan Pandawi dan hubungan manisnya dapat menjadi retak.
Pandawi akhirnya berkata lirih, "Kita memang harus bertemu dengan orang yang kau maksud sebagai Bocah Emas itu, tapi jangan bersama perempuan jahanam itu! Dia bisa kubunuh di perjalanan!"
"Pandawi, kau tak boleh begitu."
"Harus begitu!"
"Huhh... repot juga kalau be gini!" keluh Suto lirih sambil lepaskan napas
panjang. Wajahnya pun menjadi tampak lesu.
* * *

3
SEBERKAS sinar hijau sebesar merica melesat dari belakang Suto Sinting. Sinar itu sangat kecil dan tak ditangkap oleh pandangan mata Dewi Kun. Suto sendiri tak rasakan hembusan hawa aneh yang mendekati punggungnya. T ahu-tahu ia merasa tengkuknya seperti digigit nyamuk. Sniit...!
"Auuh...! Sialan!" Suto Sinting terkejut sambil memaki, lalu menepak tengkuknya. Plaak...! Ia menyangka ada nyamuk yang menggigit tengkuk kepalanya. Namun kejap berikut, pandangan mata Suto Sinting menjadi berkunang-kunang, makin lama semakin buram. Kurang dari tujuh hitungan tubuh Pendekar Mabuk menjadi lemas, ia pun jatuh terkulai tak sadarkan diri.
"Suto..."!" pekik Pandawi dengan kagetnya, ia segera menangkap tubuh Suto yang terkulai lemas itu. Se dangkan Dewi Kun bergegas hampiri Suto Sinting pula dengan wajah penuh keheranan. Namun tanpa diketahui oleh dua wanita cantik itu, sinar hijau kecil itu melesat lagi dari balik pepohonan rindang. Kali ini dua sinar hijau yang melesat dengan kecepatan tinggi. Sniit, sniit...!
"Uhh...!" "Aah...!"
Pandawi merasa lehernya digigit semut, tangannya segera menepak leher yang tersengat itu. Dewi Kun juga merasa daun telinganya seperti disengat lebah. Secara refleks tangannya menepak telinga sendiri. Plak...! Kejap berikutnya, kedua wanita itu saling berkerut dahi dan saling pandang.
Mereka pun akhirnya menjadi lemas, kemudian jatuh tak sadarkan diri. Kini ketiga orang itu saling terkapar di tanah dalam keadaan pingsan. Hutan yang sunyi tiba-tiba dihiasi oleh suara tawa yang terkekeh pelan mirip orang menggumam. T awa itu berasal dari balik kerimbunan pohon berjarak sekitar lima belas langkah dari tempat Suto terkapar.
Sesaat kemudian muncul seraut wajah tua mirip seorang lelaki berusia sekitar delapan puluh tahun. Kakek berambut panjang abu-abu dengan kumis dan  jenggotnya yang abu-abu juga itu mengenakan jubah abu-abu dan tutup kepala kain merah. Badannya kurus, matanya kecil, berhidung panjang. Salah satu bagian tubuhnya yang menjadi ciri-cirinya adalah daun telinga yang mempunyai taji atau jalu kecil.
Setiap orang yang melihat sepasang taji kecil di telinga tokoh tua itu pasti akan segera mengenalinya sebagai si Jalu Kuping dari Lereng Kunyuk di Gunung Dara. Pendekar Mabuk pernah berhadapan dengan tokoh nyentrik yang rada konyol itu. Suto juga pernah dibuat tak berdaya oleh kesaktian ilmu si Jalu Kuping, sehingga raga Suto Sinting pernah ditukar dengan raga milik muridnya yang bernama Badra Sanjaya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Jarum Surga").
Kali ini agaknya Suto Sinting juga 'dikerjain' oleh si Jalu Kuping hingga tak berdaya. Jalu Kuping menyambar tubuh Suto Sinting dan membawanya pergi sambil tinggalkan ucapan untuk Pandawi dan De wi K un yang pingsan itu.
"Maaf, kupinjam sebentar jagoan kalian. Heh, heh, heh, heh...!" .
Ki Jalu Kuping tak lupa membawa pula bumbung tuak Suto Sinting, sebab ia tahu kekuatan Pendekar Mabuk seba gian besar berada dalam kesaktian bumbung itu. Dengan memanggul Suto di pundak kirinya, seperti memanggul kasur yang mau dijemur, Ki Jalu Kuping melesat bagaikan kilat menuju ke pondoknya yang ada di Lereng Kunyuk. Hutan di lereng itu dulu pernah menjadi pusat perkumpulan para monyet dari berbagai penjuru.
Tapi sejak Ki Jalu Kuping menempati daerah itu, para monyet pun pergi dan tak ada yang mau singgah di petilasan mereka lagi. Ki Jalu Kuping mempunyai ilmu yang dapat  mengusir segala macam jenis binatang, termasuk kutu di rambut seorang perawan. Namun jauh sebelum mencapai kaki Gunung Dara, langkah Ki Jalu Kuping dihadang oleh seorang lelaki tua yang berusia sekitar delapan puluh tahun juga. Ia mengenakan pakaian model biksu yang membungkus tubuhnya agak gemuk itu. Rambut juga tipis, tapi berwarna putih.
Begitu tipisnya hingga tokoh tua itu berkesan botak. Namun ia  empunyai janggut panjang berwarna putih rata. Ki Jalu Kuping hentikan langkah ketika tiba-tiba tokoh tua itu muncul dari balik gugusan cadas, seakan sengaja menghadangnya dengan senyum berkesan konyol. "Ooh... kau!" keluh Jalu Kuping tampak kurang suka dengan penghadangan itu,
 "Telur sapi berwarna Jingga,
dibuat bedak bikin manis rupa.
Sudah lama kita tak jumpa,
sekali jumpa wajahmu seperti buaya."
Orang itu segera terkekeh geli sendiri. Tapi si Jalu Kuping bersungut-sungut sambil menggerutu tak jelas, ia terpaksa turunkan tubuh Suto Sinting pelan-pelan, dibaringkan di tempat yang teduh. Rupanya si Jalu Kuping sudah mengenal orang tersebut, terlebih setelah kemunculan seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun yang bertubuh kurus agak pendek. Lelaki berpakaian serba hijau dan berikat kepala merah dikenal sebagai pelayan sijanggut putih. "Bagaimana kabarmu, Pakar Pantun"!"
"Ooh, selalu sehat dan awet muda, Jalu Kuping," jawab si janggut putih yang tak lain adalah Resi Pakar Pantun dan pelayannya yang bernama si Kadal Ginting.
Tokoh jago pantun itu sangat kenal baik dengan Suto Sinting, sehingga ia tahu persis siapa orang yang dipanggul Jalu Kuping tadi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Asmara Darah Biru").
"Telur gajah di dalam celana,
indah baunya harum bentuknya...."
Kadal Ginting segera memotong sambil mencolek
lengan majikannya, "Eyang... kebalik itu tadi. Yang
benar: 'indah bentuknya, harum baunya', begitu."
"Yang punya pantun aku, kenapa kau yang repot susun kata"!"
"T erserah Eyang sajalah...," Kadal Ginting cemberut tundukkan kepala. Sang Resi pun ulangi pantunnya tadi.
"Telur gajah di dalam celana,
indah bentuknya harum baunya.
Siapa orang yang tidak terpesona,
m elihat Pakar Pantun selalu berwajah Arjuna."
"Hehh, heeh, hehh, hehh...!"
Jalu Kuping sunggingkan senyum cekak. "Boleh saja kau selalu merasa seperti Arjuna. Tapi sebaiknya segeralah menyingkir dan jangan halangi langkahku, karena aku ada urusan yang sangat penting, Pakar Pantun!"
Resi Pakar Pantun melirik ke arah Pendekar Mabuk yang belum siuman juga itu. Kemudian senyumnya kembali merekah mirip durian tua.
"Kelihatannya kau punya urusan dengan Pendekar Mabuk, Jalu Kuping!"
"Benar! Dan kau tak perlu tahu, sebab aku malas memberi tahu dirimu!" tegas Ki Jalu Kuping yang kala itu tidak membawa tongkat.
"Kelihatannya kau mencuri pemuda itu dan kau ba wa pergi. Maksudku, kau buat dia pingsan lalu kau cabut dari tempatnya."
"Itu urusanku!"
"Ooo... berarti kau punya maksud tak baik terhadap cucu angkatku itu, Jalu Kuping." "Jangan bikin masalah denganku, Pakar Pantun!" gertak si Jalu Kuping. T api gertakan itu ditertawakan oleh Resi Pakar Pantun.
"Telur bebek jatuh di tanah...."
"Pecah, Eyang...," sahut Kadal Ginting.
"Diam kau! Ini pantun, tak kenal kata pecah untuk telur bebek. Mau jatuh di tanah kek, di batu kek, di atas kepalamu kek, tak akan pecah!" omel sang Resi, dan sang pelayan hanya  geleng-geleng kepala sambil menjauh, seakan bersikap masa bodoh dengan pantun yang akan dilontarkan sang majikan. Maka Resi Pakar Pantun pun lanjutkan pantunnya kepada si Jalu Kuping yang tampak masih tenang dengan mengelus-elusjanggutnya.
"Telur bebek jatuh ke tanah,
berubah bentuk m enjadi rakit.
Bukan aku yang bikin m asalah,
tapi kau sendiri yang cari penyakit."
"Apa maksud pantunmu"!"
"Kau kuanggap menculik Pendekar Mabuk, dan itu namanya kau mencari penyakit! Sudah pendekar, mabuk lagi, eeh... masih mau diculik"! Kau bisa digibas oleh si Gila T uak, tahu"!"
"Aku punya urusan dengan murid si Gila T uak ini. Bukan bermaksud menyakitinya. Aku takut ia tak mau menolongku jika tidak dengan cara langsung kuba wa ke pondokku, maka terpaksa kubius dengan jurus ' Sengat Rembulan'-ku!"
"Itu namanya curang!" sahut sang Resi, sedangkan si Kadal Ginting segera menggerutu dengan bersungut-sungut.
"Rembulan mana punya sengat"! Uuh... ngaco saja kalau bikin nama jurus orang ini!" Rupanya gerutuan itu didengar oleh si Jalu Kuping.
Hatinya agak jengkel juga kepada si Kadal Ginting. Dengan cepat ia sentakkan tangannya dengan jari tangan menegang keras dan lurus.  Suuut...! Claap...! Sinar hijau sekecil merica melesat dan kenai lengan si Kadal Ginting. Sang Resi mau bertindak menghalangi sinar itu, tapi sinar sudah terlanjur kenai Kadal Ginting.
"Begitulah rasanya jika rembulan menyengat!" ujar si Jalu Kuping dengan tersenyum sinis. Brruuk...! Resi Pakar Pantun terperanjat pandangi pelayannya yang tahu-tahu roboh tak berkutik lagi, alias pingsan.
T indakan itu cukup menyinggung harga diri sang Resi. Maka terdengarlah suara sang Resi yang mengecam si Jalu Kuping.
"T ak pantas kau lakukan hal itu kepada pelayanku, Jalu Kuping!"
"Aku sudah bosan berhadapan dengan kalian! Kuharap kau tidak mengganggu perjalananku lagi, Pakar Pantun!" sambil Jalu Kuping mau mengangkat Suto Sinting dan bumbung tuaknya lagi. Tapi tiba-tiba hawa padat dilepaskan dari tangan Resi Pakar Pantun.
Wuuut...! Buuuhk...!
Pukulan tenaga dalam tanpa sinar kenai pinggang Jalu Kuping yang sedang membungkuk itu. Brruuus...!
Jalu Kuping terlempar melompati Suto Sinting. Ia jatuh terguling-guling bagaikan dilanda badai kencang. Tapi ketika gerakan tergulingnya berhenti, ia langsung bangkit dan berdiri dengan tegak.
Senyum tipis berkesan sinis, mekar di bibir tuanya yang berwarna biru kehitam-hitaman. "Oo... jadi kau mau main-main denganku, Pakar Pantun"!" sambil Jalu Kuping manggut-manggut.
"Kau yang mengawali lebih dulu dengan menyerang pelayanku."
"Karena kalian menghalangi langkahku!" sahut Jalu Kuping mulai beremosi.
"Kuhalangi langkahmu, karena aku curiga dengan maksudmu membawa Pendekar Mabuk secara tidak sah!" bantah Resi Pakar Pantun. "Untuk apa kau membawanya dengan cara seperti ini"!"
Jalu Kuping mencoba bersabar dengan menarik napasnya dalam-dalam. Ia melangkah lebih mendekat lagi, lalu menuding Resi Pakar Pantun sambil menggeram penuh kejengkelan.
"Dengar, Pakar Pantun...! Muridku si Badra Sanjaya terkena pukulan 'Mati Raga' yang dimiliki oleh lawannya, ia tak bisa bergerak dan bicara sedikit pun.
Sudah empat puluh hari lamanya ia menderita seperti itu. Aku tak tahu siapa lawannya itu. Maka aku ingin menggunakan raga Suto Sinting untuk mencari orang yang memiliki jurus 'Mati Raga' itu. Sukmanya akan kupindahkan ke raga Suto, dengan begitu ia akan dapat membalas kekalahannya. Setidaknya ia dapat sebutkan padaku siapa lawan yang telah membuatnya tak bisa berbuat apa-apa itu!"
"Suto belum tentu mau!"
"Memang. Karena itulah ia kubius dengan jurus 'Sengat Rembulan', sehingga ketika ia sadar ia sudah berada di raganya Badra Sanjaya dan Badra Sanjaya akan pergi mencari lawannya dengan memakai raganya si Suto Sinting!"
"Itu pemaksaan namanya! Licik!" sentak Resi Pakar Pantun penuh nada kecaman.
"Aku sendiri punya keperluan dengan Pendekar Mabuk itu. Aku disuruh oleh Resi Wulung Gading untuk memanggil Suto sehubungan dengan penyerahan Pedang Jagal Keramat ke tangan Karina, murid si Burung Bengal."
"T angguhkan dulu urusan itu! Aku tak ingin muridku menderita lebih lama lagi. Setelah urusanku selesai, Pendekar Mabuk akan kuantar sendiri ke Lembah Sunyi untuk temui Kakang Wulung Gading!"
"T idak bisa!" bantah sang Resi. "Urusan ini lebih penting daripada urusan pribadimu! Jika sampai raga Suto bertemu dengan lawannya muridmu, dan dia terkena jurus 'Mati Raga' lagi, lantas siapa yang akan bertanggung ja wab dengan bencana itu"! Bisa atau tidak, Suto Sinting akan kubawa ke Lembah Sunyi!"
"Kalau begitu kita terpaksa bertarung dulu, Pakar Pantun," ujar Jalu Kuping dengan sikap meremehkan, senyumnya tetap berkesan sinis. Sang Resi pun ikut-ikutan tersenyum sinis dan bersikap meremehkan pula.
"Jika memang kau inginkan pertarungan, aku akan melayani secara kecil-kecilan!"
"Hemm...! Kau akan tumbang di tanganku, Pakar Pantun!"
"Telur dadar tersangkut dipaku,
m elam bai-lambai ditiup sang bayu.
Bersiaplah kenalan dengan ilmu baruku,
sekali tepuk rontok tulang dan tetelanm u."
Resi Pakar Pantun segera tarik kaki kirinya ke
belakang dan kedua kaki merendah, kedua tangan
mengeras, masing-masing mengeraskan telapak tangan.
Melihat persiapan seperti itu. Jalu Kuping pun se gera renggangkan kaki dan merendah sedikit, lalu kedua tangannya yang berada di samping dada saling mengeras pula dengan telapak tangan mengarah ke depan. Napas pun terhempas pelan  melalui mulutnya.
"Hooooohhh...!!"
Kedua tangan Jalu Kuping segera berasap, ia lakukan gerakan di tempat sebelum maju menyerang lawan.
Sementara itu, Resi Pakar Pantun pun mulai keluarkan asap dari kedua telapak tangannya, ia mengubah posisi dengan gerakkan kaku karena seluruh tubuhnya mengeras.
"Heeah...!" Resi Pakar Pantun menyentakkan kaki, tubuh pun segera meluncur ke depan. Wuuus...! Dan si Jalu Kuping tak mau diam di tempat, sentakan kakinya juga membuatnya meluncur ke depan dalam keadaan seperti singa ingin menerkam mangsanya.
Kedua tokoh tua itu akhirnya bertemu di udara dan saling hantamkan pukulan  berasapnya secara beruntun.
Plak, plak, plak, plak, plak...!
Mereka saling beradu tangan, saling tangkis, dan saling beradu kaki dengan gerakan serba cepat. Ketika tubuh mereka hendak turun ke bumi, mereka saling mengadu kedua telapak tangan.
"Hiaah...!"
Jegaaaarrrr...!
Kilatan cahaya ungu kemerah-merahan membias dalam sekejap bersama suara ledakan dahsyat. Gelombang ledakan itu mempunyai hawa panas yang menyentak kuat ke berbagai penjuru. Akibatnya, si Jalu Kuping terpental dalam gerakan melambung ke udara cukup tinggi, sedangkan Resi Pakar Pantun terlempar ke belakang dalam gerakan seperti dihempas badai.
Wuuut...! Brruk...!
Keduanya sama-sama jatuh terbanting. Agaknya si Jalu Kuping lebih parah, karena ia terbanting dari keadaan yang lebih tinggi ketimbang Resi Pakar Pantun.
Bluuk...! "Aaahk...!" Jalu Kuping mengerang kesakitan, ia tak pedulikan janggutnya yang menjadi hangus dan bondol. Wajahnya sendiri berubah menjadi kemerah-merahan karena hawa panas dari ledakan tadi. Resi Pakar Pantun juga ber wajah merah, seperti kepiting diangkat dari air rebusan, ia menggeragap dan kebingungan karena merasakan panas yang menjalar lambat ke leher dan dada.
"Celaka! Hawa saljuku tak bisa padamkan rasa panas membakar ini"!" gumam hati Resi Pakar Pantun dengan cemas. Di pihak lawan, si Jalu Kuping juga mencemaskan hal yang sama.
"Uuhf...! T ak tahan aku dengan hawa panas ini! Gila!
Napas kutupku tak bisa memadamkan hawa panas yang sebentar lagi membakar sekujur tubuhku!" Resi Pakar Pantun membatin, "Ini harus dibantu dengan air! Ooh, ya... aku ingat, tadi di sebelah sana aku melewati sungai! Sebaiknya aku berendam di sungai itu sambil kerahkah hawa saljuku!" ,
Supaya tak disangka kalah dan larikan diri, Resi Pakar Pantun segera serukan pantunnya dengan suara bergetar dan serak akibat menahan sakit.
"Telur kuda jatuh di mulut babi,
telur babi tak pernah bisa bernyanyi.
Jangan pergi ke mana-mana kau, Kuping Sapi,
tak sampai sewindu aku kan datang lagi."
Blaass...! Resi Pakar Pantun pun pergi secepatnya. Jalu Kuping mulai dapat menangkap maksud kepergian sang Resi.
"Dia pasti mau gunakan air sebagai pembantu hawa dinginnya! Hmm, sebaiknya kuikuti dia, karena aku pun butuh air untuk membantu hawa dingin dari napas kutupku!" Blaasss...! Jalu Kuping segera susul Resi Pakar Pantun. Keadaan panas yang merambat ke dada itu membuat si Jalu Kuping tak pedulikan keadaan Pendekar Mabuk, dan Resi Pakar Pantun tak pedulikan keadaan si Kadal Ginting. Tanpa diketahui mereka berdua, Suto Sinting sudah mulai siuman, karena para tokoh tua itu pergi terlalu lama. Rupanya sinar hijau kecil yang menyengat dari si Jalu Kuping bukan pukulan mematikan.
Sinar hijau yang dinamakan jurus ' Sengat Rembulan' hanya melumpuhkan urat saraf dan menghapus kesadaran seseorang. Beberapa saat kemudian, orang itu akan siuman sendiri, tergantung ketahanan fisik dan Ilmu yang dimiliki. Semakin tinggi ilmu orang itu, semakin cepat siumannya.
Berbeda dengan si Kadal Ginting; tak dapat cepat siuman karena ia mempunyai ilmu tidak setinggi Pendekar Mabuk. Maka ketika Pendekar Mabuk siuman, ia segera terkejut melihat Kadal Ginting terkapar tak jauh darinya.
"Gila"! Kenapa si Pandawi berubah menjadi Kadal Ginting"! Wah, celaka kalau begini"! Berarti aku tadi bermesraan dengan si Kadal Ginting serta...," ucapan hati Suto terhenti sejenak, karena memori dalam benaknya teringat kembali saat-saat terakhir bersama Pandawi dan Dewi Kun.
"O, bukan! Pandawi bukan berubah menjadi Kadal Ginting! Aku ingat... saat itu aku merasa seperti disengat nyamuk, lalu pandangan mataku mulai buram dan... dan aku tak sadar lagi. Hmm... pasti orang yang membawaku sampai di sini. Tapi apa hubungannya dengan Kadal Ginting"!"
Pendekar Mabuk segera tenggak tuaknya. Dengan meneguk tuak dari bumbung saktinya, rasa nyeri di sekujur tubuhnya menjadi hilang. Badannya terasa segar  dan sehat kembali, seperti tak pernah pingsan atau terluka sedikit pun.
Kebetulan sekali Kadal Ginting pingsan dalam keadaan mulut sedikit ternganga, seperti lubang belut. Pendekar Mabuk menuangkan tuaknya pelan-pelan ke mulut Kadal Ginting. T uak masuk ke tenggorokan sedikit demi sedikit bagai air merembas ke tanah.
Beberapa saat kemudian, Kadal Ginting sadar dan langsung tersedak.
"Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!" Kadal Ginting terbatuk-batuk, karena ia memang rawan dengan penyakit batuk.
Wajahnya sampai merah dan berkeringat karena batuknya tak berhenti-henti.
Plaak...! Suto Sinting menepak tengkuk Kadal Ginting supaya batuknya berhenti. T api Kadal Ginting tersungkur jatuh dalam keadaan tengkurap. Ulu hatinya terganjal akar yang menonjol. Napasnya sesak, dan ia pun pingsan kembali.
"Sial! Rupanya tabokan tanganku terlalu keras sehingga dia pingsan lagi. Haahhh... bikin kerjaan saja ini orang!" gerutu Pendekar Mabuk sambil gulingkan tubuh Kadal Ginting agar telentang kembali.
* * *