Pendekar Mabuk 110 - Persekutuan Iblis (2)





4
MENURUT penilaian Suto, Ranggina adalah gadis
munafik. Suka tapi berlagak tak suka, senang tapi
berlagak tak senang. Begitu seterusnya. Karena dilihat
dari ketegangan wajah Ranggina, sebenarnya gadis itu
tertarik kepada Elang Samudera, tapi di mulut ia
berlagak tidak tertarik, keberatan, sinis, dan sebagainya.

"Mungkin juga ia suka padaku, tapi berlagak ketus
dan judes begitu. Hiii... takut, ah!" ujar Suto dalam hati
dengan konyol, kemudian tertawa sendiri.
Terlepas dari bagaimana isi hati Ranggina
sebenarnya, pertemuan itu bagi Pendekar Mabuk
membawa hikmah tersendiri. Tanpa melalui
pertemuannya dengan Ranggina, mungkin Suto tak akan
tahu bahwa ada dua pihak yang telah bersekutu dan
didalangi oleh Siluman Tujuh Nyawa. Menurutnya ini
suatu kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Mungkin
saja kali ini Pendekar Mabuk akan melakukan
pertarungannya yang terakhir melawan Siluman Tujuh
Nyawa.
Kemenangan yang diperoleh Elang Samudera
semakin memperlebar kesempatan bagi Pendekar Mabuk
untuk ikut menangani kasus ancaman Panglima Tulang
dan Malaikat Gantung. Sehabis memberikan minum
tuaknya kepada Elang Samudera, mereka sempat
berunding secara bisik-bisik tentang rencana selanjutnya.
"Aku dipanggil menghadap Sultan. Agaknya sultan
bukan saja ingin memberikan hadiah sekantong uang
padaku, tapi juga ada yang ingin dibicarakan," ujar
Elang Samudera.
"Libatkan aku!"
"Ya, aku akan bilang kalau aku tidak sendirian,
melainkan berdua bersama...."
"Bertiga!" sahut Ranggina dengan ketus.
"O, ya... bertiga," ralat Elang Samudera sambil
nyengir malu.
Elang Samudera, Pendekar Mabuk dan Ranggina
diterima pihak Sultan Jantrawindu sebagai tamu
kehormatan. Karena hari sudah senja, mereka mendapat
dua kamar untuk bermalam di dalam istana kesultanan.
Dua kamar itu yang satu untuk Suto dan Elang
Samudera, yang satu lagi untuk Ranggina. Kamar itu
bersebelahan dan mempunyai pintu tembus dari kamar
yang satu ke kamar yang lain. Hal itu membuat mereka
mudah berhubungan sewaktu-waktu.
Sebelum acara makan malam bersama keluarga
istana, Ranggina sempat menemui Elang Samudera di
kala Pendekar Mabuk sedang mandi. Gadis itu nekat
mendekati Elang Samudera bukan untuk suatu keperluan
cinta, melainkan karena ingin menyampaikan ganjalan
hatinya selama ini.
"Elang, apakah sudah kau pertimbangkan baik-baik
untuk melibatkan Suto dalam rencana menghadapi
Malaikat Gantung itu?!"
Sambil mengikat rambutnya yang panjang, Elang
Samudera memandang Ranggina melalui pantulan
cermin rias yang ada di kamar itu. Ia tersenyum geli,
namun bukan dalam bentuk tawa bersuara.
"Kelihatannya kau menyangsikan kemampuan Suto,
Ranggina."
"Sebab setahuku dia tidak mempunyai nyali sebesar
nyalimu. Terbukti ia tidak berani tampil dalam
pertarungan di arena itu."
Senyum Elang Samudera semakin lebar. "Sudah
berapa lama kaukenal dengannya?"
"Baru setengah hari lebih sedikit," jawab Ranggina.
"Pantas kau sangsi padanya," ujar Elang Samudera
dengan kalem. Ia berpaling menatap Ranggina yang ada
di belakangnya dalam jarak tiga langkah.
"Tidakkah kau lihat wajahnya memancarkan
kemarahan ketika kusebutkan nama Siluman Tujuh
Nyawa?!"
"Ya, aku melihatnya. Dia tampak gusar sekali tadi.
Mungkin karena belum-belum ia sudah ketakutan
mendengar nama tokoh sesat yang sangat kejam itu."
Elang Samudera mendekat. Kini jaraknya hanya satu
langkah dari Ranggina.
"Dia bukan takut. Dia gusar karena terbakar api
dendam dan murkanya. Perlu kau ketahui, Siluman
Tujuh Nyawa adalah musuh utamanya dalam hidup ini!"
"Musuh utamanya?! Hmmm...!" Ranggina mencibir.
"Mana mungkin dia berani melawan Siluman Tujuh
Nyawa jika untuk melindungiku dari ancaman Ayodya
saja dia tak punya kesanggupan?! Juga, tak punya
keberanian tampil di arena pertarungan seperti tadi."
"Keberanianku belum ada sekuku hitamnya
keberanian Suto. Ilmuku juga belum ada sejengkalnya
ilmu yang dimiliki Suto."
"Ah, kau terlalu berlebihan menilainya di depanku,
Elang."
"Tidak, Ranggina. Aku berkata yang sebenarnya.
Sebab itulah ia bernafsu sekali untuk berhadapan dengan
Siluman Tujuh Nyawa."
"Tentu saja Siluman Tujuh Nyawa tak akan mundur
jika berhadapan dengannya, bukan?! Menurut cerita
guruku sebelum kami diserang Ayodya, Siluman Tujuh
Nyawa hanya mundur jika berhadapan dengan Pendekar
Mabuk."
"Guru benar!" ujar Elang Samudera sambil
melebarkan senyum. "Dan perlu kau ketahui, Siluman
Tujuh Nyawa juga selalu melarikan diri jika bertarung
melawan Suto."
Ranggina memandang dengan mencibir tak percaya.
"Mengapa Siluman Tujuh Nyawa melarikan diri jika
bertarungmelawan Suto? Apa alasannya?!"
"Karena Suto itulah Pendekar Mabuk."
"Ah, kau...!" Ranggina bersungut-sungut tak percaya.
Ia ingin meninggalkan Elang Samudera, tapi pundaknya
segera dicekal pemuda itu. Badannya pun berbalik
menghadap Elang Samudera lagi.
"Nama aslinya Suto Sinting, dia murid dari si Gila
Tuak dan Bidadari Jalang yang bergelar Pendekar
Mabuk! Lihatlah ciri-cirinya, bumbung tuak yang selalu
dibawa-bawa ke mana pun ia pergi. Itulah ciri-ciri yang
jelas untuk mengenali Pendekar Mabuk."
"Ah, ngibul, ngibul...!" gerutu Ranggina, kemudian
gadis itu bergegas kembali ke kamarnya. Elang
Samudera berkerut dahi dengan sedikit terbengong
melihat Ranggina tidak mempercayai penjelasannya.
Elang Samudera tidak tahu bahwa Ranggina di dalam
kamarnya segera duduk termenung tak bergerak sedikit
pun. Benak dan batinnya berkecamuk sendiri sambil
membayangkan wajah Suto dan mengingat kembali
kata-kata Elang Samudera itu.
"Edan! Kalau benar apa kata Elang Samudera tadi,
berarti benar-benar edan! Entah dia yang edan atau aku
yang edan! Orang pongah-pongah begitu dikatakan
sebagai Pendekar Mabuk?! Ooooh... untung mendiang
Guru tak mendengarnya. Jika sampai mendengarnya
mayat Guru pasti hidup kembali, khusus untuk
membahas tentangpemuda konyol itu!"
Jantung Ranggina berdebar-debar. Ia berusaha
menenangkan, tapi tak berhasil. Batinnya masih terus
berkecamuk memperdebatkan tentang jati diri Suto
Sinting. Ranggina memang sering mendengar cerita
tentang kehebatan Pendekar Mabuk, tapi tak pernah
dengar nama asli Pendekar Mabuk.
"Jika benar ia Pendekar Mabuk, tentunya dia dapat
dengan mudah melindungi nyawaku dari ancaman maut
si Ayodya itu. Mengapa ia tak menyatakan
kesanggupannya sebagai pelindung ku?! Ah, kurasa
Elang Samudera membual terlalu berlebihan. Toh orang
yang membawa bumbung tuak bukan hanya Pendekar
Mabuk saja. Seorang penjual 'legen' pun kalau pergi ke
mana-mana membawa bumbung seperti itu."
Kebimbangan Ranggina membuatnya menjadi
jengkel sendiri. Kebimbangan itu menjadi semakin susut
dan menipis setelah mereka mengikuti perjamuan makan
malam dengan keluarga istana. Dalam perjamuan makan
malam itu Elang Samudera yang sudah diketahui oleh
mereka sebagai pemenang sayembara, memperkenalkan
kedua sahabatnya dengan diawali dari Ranggina.
"Barangkali Kanjeng Sultan perlu mengetahui, bahwa
sahabat hamba yang wanita itu bernama Rengginang,
eeh.... Ranggina, berasal dari Perguruan Lintang Yudha,
murid mendiang Eyang Sampurna...."
"Ooh...?!" Sultan Jantrawindu yang sudah berusia
sekitar enam puluh lima tahun itu terperanjat. Rupanya
ia mengenal nama Eyang Sampurna.
"Jadi... gadis itu adalah murid sahabatku sendiri;
Kakang Sampurna?!"
"Benar, Kanjeng," jawab Ranggina dengan sopan dan
penuh hormat. Kemudian ia menceritakan nasib
perguruannya secara singkat. Sang Sultan tertegun duka
mendengar kematian Eyang Sampurna.
"Aku turut berduka atas wafatnya gurumu,
Ranggina."
"Terima kasih, Kanjeng," jawab Ranggina pelan,
karena hatinya ikut dicekam kesedihan juga.
"Kemudian...," sambung Elang Samudera,"... satu
lagi sahabat hamba yang sejak tadi diam saja ini
bernama Suto Sinting. Barangkali Kanjeng perlu
mengetahui juga, bahwa Suto Sinting adalah murid si
Gila Tuak dan ia bergelar Pendekar Mabuk."
"Hahhh...?!" semua orang yang berada mengelilingi
meja makan besar itu terperanjat, wajah mereka tampak
tegang namun berseri-seri. Suto Sinting berdiri dan
membungkuk satu kali, kemudian duduk kembali. Ia
bagaikan tak mempedulikan pandangan mata Ranggina
yang juga terperangah tak berkedip.
"Aku seperti sedang bermimpi dapat jumpa
denganmu. Pendekar Mabuk," ujar Sultan Jantrawindu.
Suto memberikan senyuman yang lembut dan menawan,
enak dipandang, indah dikhayalkan.
"Aku ingin bicara denganmu nanti. Kumohon kau
tidak keberatan, Pendekar Mabuk."
"Aku bersedia, Kanjeng!" jawab Suto tegas.
"Dan sebelumnya hamba mohon maaf, Kanjeng
Sultan...," sambung Elang Samudera yang masih berdiri
di tempatnya."... hamba sedikit berbohong kepada pihak
Kesultanan Tanahinggil ini. Pada saat hamba
mendaftarkan diri menjadi peserta sayembara, hamba
mengaku bernama Elang Samudera dari Teluk Merah.
Sebenarnya... memang benar hamba dari Teluk Merah,
sebab Guru hamba tinggal di sana, Kanjeng. Tetapi
kedatangan hamba kemari mewakili rakyat Pulau
Sangon. Hamba diutus oleh junjungan hamba, yaitu
Gusti Ratu Remaslega untuk tampil sebagai pemenang
dalam sayembaratadi."
"Ooh... jadi kau... kau adalah utusan Ratu Remaslega,
sahabatku itu?!"
"Benar, Kanjeng Sultan. Dan hamba telah dibekali
banyak pengetahuan tentang keadaan di Kesultanan
Tanahinggil ini. Sejujurnya saja hamba telah mengetahui
alasan yang sebenarnya bagi Kanjeng dalam
mengadakan sayembara tadi."
"Oooh.... Remaslega benar-benar curang! Dia
mengirimkan utusannya tanpa bilang-bilang padaku.
Aku jadi malu sendiri sekarang. Dia mencuri rahasia
kegentingan negeriku. Ooh, Remaslega... harus dengan
cara apa aku membalas budimu selama ini?!" gumam
sang Sultan merasa gembira sekali mendapat perhatian
dari sahabatnya yang berkuasa di Pulau Sangon itu.
Kemudian sang Sultan menghendaki pembicaraan
diputus sampai di situ dulu, mereka diwajibkan
menikmati jamuan makan malam dengan tanpa malu-
malu. Tak heran jika Pendekar Mabuk segera
menyambar sepotong ayam panggang dan melahapnya
sesuai perintah sultan, yaitutanpa malu-malu.
Rupanya sejak tadi baik Pendekar Mabuk maupun
Elang Samudera mendapat sorotan sepasang mata yang
memandangi mereka tiada hentinya. Sepasang mata
berbulu lentik dan sedikit besar namun indah itu datang
dari tempat duduk di depan mereka, berseberangan meja.
Sepasang mata yang menatap penuh ungkapan rasa
kagum yang terpendam dalam hati itu ternyata milik
seorang perempuan berusia tiga puluh tahun, berwajah
cantik oval, bermahkota kecil di bawah rambutnya yang
disanggul. Perempuan yang tadi tampak berdiri di
samping Sultan Jantrawindu saat sang Sultan
menyaksikan pertarungan dari menara pengawas, sejak
tadi memang tidak banyak bicara. Tetapi gerakan
matanya, pandangan mata itu, merupakan ucapan kata
yang hanya bisa dipahami oleh batin Pendekar Mabuk.
Oleh sebab itu, Pendekar Mabuk berkesempatan
membisikkan kata di telinga Elang Samudera tanpa
menimbulkan kecurigaan siapa pun.
"Siapa perempuan yang ada di depan kita ini?"
"Ooh, dia putri sulungnya Kanjeng Sultan. Kalau tak
salah, dialah yang disebut-sebut oleh kakakku sebagai
janda cantik bermata indah. Kata kakakku, dia bernama
Gusti Ayu Rara Padwi."
"Kau sudah kenal?"
"Belum. Tapi kalau kau berminat aku bisa
memperkenalkan diri dulu, baru kuperkenalkan padamu.
Tapi... bagaimana dengan kutilang cantikmu yang satu
ini?!" Elang Samudera melirik Ranggina.
Pendekar Mabuk tersenyum menahan geli.
Pertanyaan itu sengaja tak dijawabnya, sebab ia sendiri
memang tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap
Ranggina. Menurutnya, gadis munafik akan sulit
diselami jiwanya, sehingga jika dituruti akan membuat
kaum lelaki menjadi serba bingung, salah tingkah, serba
salah, akhirnya bisa bunuh diri. Suto tak mau mengalami
nasib seperti itu.
Rupanya perempuan cantik bernama Rara Padwi itu
selalu mendampingi ayahandanya ke mana pun sang
ayah pergi. Pendekar Mabuk punya dugaan, Rara Padwi
bukan sekadar janda cantik yang setia kepada ayahnya,
tapi juga punya ilmu walau kecil-kecilan. Ilmu itulah
yang dipakai mengawal sekaligus melindungi
keselamatan ayahnya yang sudah tua. Dilihat dari
pandangan matanya yang punya unsur ketajaman,
perempuan itu pasti punya keberanian dan ketegasan
dalam bersikap, sehingga tak sembarang lelaki bisa
mendekatinya.
Dalam perundingan yang dilakukan di ruang khusus
bernama Sasana Pura, sang Sultan juga didampingi oleh
putri sulungnya yang sering melemparkan pandangan
kepada Pendekar Mabuk dan Elang Samudera. Namun
kedua pemuda itu bersikap wajar dan berlagak tidak
mengetahui curian pandang itu. Hanya saja, hati
Ranggina sempat memendam keresahan karena ia sering
memergoki Rara Padwi mencuri pandang ke arah Suto
dan Elang Samudera.
Di dalam Sasana Pura itu mereka hanya berlima. Para
pengawal lainnya berjaga-jaga di luar Sasana Pura. Pintu
ruangan yang setebal dua jengkal itu ditutup rapat-rapat.
Tak seorangpun boleh masuk tanpa seizin Rara Padwi.
"Aku memang mencari orang yang dapat kupercaya
untuk menjadi penguasa di Tanah Sereal," ujar Sultan
Jantrawindu dalam sidang rahasia itu.
"Maaf, Kanjeng... jadi sekarang siapa yang
ditugaskan mempertahankan Tanah Sereal itu?" tanya
Elang Samudera.
"Secara resmi belum ada. Tapi untuk sementara ini,
putraku Harya Sentanu kutugaskan menjaga Tanah
Sereal. Rencanaku, siapa yang unggul dalam sayembara
ini akan kujadikan pengganti Panglima Tulang, berkuasa
di Tanah Sereal. Apakah kau punya kesanggupan untuk
mempertahankan Tanah Sereal dari jarahan tangan siapa
pun, Elang Samudera?"
"Hamba sanggup, Kanjeng!"tegas Elang Samudera.
"Bagus! Jika begitu, kau harus segera pergi ke Tanah
Sereal, sebab putraku Harya Sentanu masih lemah dan
tak sebanding jika harus berhadapan dengan Panglima
Tulang."
Sultan Jantrawindu pun bicara tentang kabar dari
mata-matanya yang menyebutkan adanya persekutuan
antara Panglima Tulang dengan Malaikat Gantung alias
Ayodya. Menurutnya, persekutuan itu akan menjadi
persekutuan berdarah dan dapat merenggut banyak
korban nyawa dari pihak mana pun.
"Lumpuhkan persekutuan itu sebelum berkembang
menjadi neraka berjalan!" tegas sang Sultan. "Jika kalian
dapat melumpuhkan persekutuan itu, maka kalian akan
kuberi hadiah berupa wilayah di Lembah Tayub.
Terserah akan kalian apakan tanah di Lembah Tayub itu.
Tapi kalian tetap menjadi bagian dari kesultanan ini.
Keselamatan kalian di Lembah Tayub merupakan
tanggung jawab Kesultanan Tanahinggil."
Secara tak resmi, ketiga tamu kehormatan sang Sultan
itu sudah menjadi orang andalan bagi pihak Kesultanan
Tanahinggil. Tapi tanpa berpikir tentang hadiah atau
upah yang ditawarkan Sultan Jantrawindu, ketiga tamu
istimewa itu sudah mulai mempersiapkan diri, mental
dan semangat untuk menghancurkan persekutuan maut
itu.
"Aku tidak ingin gadis konyol itu ikut terlibat terlalu
dalam," ujar Suto kepada Elang Samudera ketika mereka
berdua ada di dalam kamarnya, sementara itu Ranggina
ada di kamar sebelah.
"Gadis itu akan merepotkan ruang gerak kita jika ikut
tampil menghadapi persekutuan itu, Elang."
"Yah, itu terserah kau saja. Bukankah kau yang
membawanya kemari?"
"Aku yang dibawanya kemari. Bukan dia yang
kubawa!" ralat Suto Sinting. "Aku akan bicara
dengannya dulu!"
"Bicaralah baik-baik, jangan sampai dia meledak!"
Elang Samudera tertawa tanpa suara, kemudian berbisik
di telinga Suto.
"Gadis itu mudah meledak, baik amarahnya maupun
gairahnya!"
"Dia tak suka bicara kotor!"
"Bicara memang tidak suka, tapi mungkin saja
berbuat kotor ia suka."
Elang Samudera tertawa sedikit keras, Pendekar
Mabuk meninggalkannya dengan senyum tertahan. Ia
mengetuk pintu tembus ke kamar sebelah. Ranggina
membukakannya dan Pendekar Mabuk segera berkata
kepada gadis itu.
"Aku ingin bicara empat mata denganmu! Kau
bersedia?!"
Ranggina tidak menjawab, tapi ia segera
menyingkirkan dari depan pintu pertanda memberi jalan
agar Suto masuk ke kamarnya. Suto pun menutup pintu
tembus itu lagi, karena ia tak ingin diganggu oleh
kekonyolan Elang Samudera pada saat lakukan
pembicaraan serius dengan Ranggina nanti.
Sebenarnya Elang Samudera memang punya niat usil.
Tapi niat itu tak jadi dilaksanakan, batal akibat malam
itu seorang pengawal istana datang ke kamarnya.
"Gusti Ayu Rara Padwi memintamu datang
menghadapnya sekarang juga, Elang Samudera."
"Ada persoalan apa?! Sekarang sudah hampir larut
malam."
"Aku hanya diperintahkan untuk membawamu
menghadap Gusti Ayu!"
Dengan hati ingin tahu dan sedikit tegang, Elang
Samudera pun bergegas menghadap Rara Padwi. Pedang
peraknya ditenteng sebagai sikap siaga dalam
menghadapi bahaya kapan saja. Elang Samudera tak
sempat pamit kepada Pendekar Mabuk, karena pikirnya
keperluan tersebut hanya sebentar.
Rupanya putri sulung sang Sultan sudah menunggu di
taman keputrian. Taman bercahaya nyala api obor di
setiap sudut itu membuat Elang Samudera sedikit curiga
dan kewaspadaannya dipertajam. Sang pengawal yang
menjemputnya segera pergi setelah Rara Padwi memberi
isyarat dengan tangannya agar orangtersebut keluar dari
taman.
"Ada masalah apa, Gusti Ayu?!" tanya Elang
Samudera dengan sikap tenang, tapi kelihatan gagah dan
penuh keberanian.
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan padamutentang
PanglimaTulang."
"Haruskah semalam ini kita bicarakan?"
"Malam bukan penghalang. Apa yang ingin
kusampaikan padamu itu sangat penting, dan Ayah tidak
mengetahuinya. Jadi, kuharap kau pun tidak bicara pada
Ayah atau kepada temanmu; si Pendekar Mabuk dan
kekasihnya itu tentang pertemuan kita ini!"
Rara Padwi menyangka Ranggina adalah kekasih
Pendekar Mabuk, karena ke mana-mana Ranggina
tampak berdekatan terus dengan Pendekar Mabuk. Elang
Samudera ingin jelaskan bahwa hubungan mereka bukan
sebagai kekasih. Tapi agaknya Rara Padwi punya
persoalan lebih penting dari penjelasan tersebut,
sehingga Elang Samudera membatalkan niatnya. Kini ia
justru mengikuti langkah Rara Padwi yang
memerintahkan agar langkahnya diikuti.
Perempuan cantik berjubah kuning sutera dengan
dalaman warna biru menyala itu menuju ke sudut taman.
Di sana ada serumpun bambu hias yang daunnya kecil-
kecil dengan batang bambunya yang berwarna kuning.
Serumpun bambu hias itu tumbuh berjajar seperti pagar,
tertata rapi dan punya keindahantersendiri.
Namun ternyata di balik deretan bambu hias yang
rimbun itu ternyata ada sebuah pintu dalam posisi ke
tanah. Pintu kayu jati itu segera dibuka, ternyata di balik
pintu itu ada tangga menuju ke bawah. Elang Samudera
masih belum banyak tanya mengenai keadaan di
sekitarnya. Namun ia cepat mengambil kesimpulan
bahwa Rara Padwi membawanya ke ruang bawah tanah
yang terdiri dari lorong-lorong dan kamar-kamar bertirai
kain tebal.
"Ini ruang bawah tanah, jalan rahasia untuk melarikan
diri jika kami terancam bahaya sewaktu-waktu," ujar
Rara Padwi sambil memperlambat langkah supaya
sejajar dengan langkah Elang Samudera.
Cahaya terang dari obor-obor yang ada di sana-sini
membuat mata Elang Samudera dapat melihat jelas
keadaan di ruang bawah tanah. Rupanya ruang bawah
tanah itu bukan saja jalan rahasia yang dapat tembus di
suatu tempat, namun juga merupakan tempat
perlindungan dan persembunyian yang cukup aman.
Karena di dalam ruang bawah tanah itu terdapat pula
beberapa kamar yang lengkap dengan perabotnya,
sehingga memungkinkan sekali seseorang tinggal di
ruangan tersebut sampai beberapa hari.
Ruangan itu dijaga oleh dua prajurit bertubuh tinggi,
besar, mengenakan baju rompi merah dan celana merah,
berkulit hitam keling mirip algojo dengan senjata pedang
dan tombak bermata kapak lebar. Kedua pengawal itu
hanya memberi hormat ketika Rara Padwi menuruni
tangga, setelah itu mereka tetap berada di sekitar tangga
masuk. Mereka tak ikut menyusuri lorong bersama Rara
Padwi dan Elang Samudera.
Rara Padwi membawa masuk Elang Samudera ke
sebuah kamar yang berpenerangan api obor samar-
samar. Kamar tersebut menyerupai kamar tidur yang
dilengkapi dengan ranjang kayu, meja minuman, almari
pakaian dan sebagainya. Tempat buah dari logam
kuningan itu terisi buah-buahan segar. Sepertinya sudah
disiapkan sebelumnya. Kamar itu menyebarkan aroma
wangi mawar yang begitu lembut dan menenteramkan
jiwa.
"Mengapa Gusti Ayu membawaku kemari?"
"Pembicaraan ini sangat rahasia!" jawab Rara Padwi
sambil melepaskan mahkota kecil di sanggulnya.
Bahkan gulungan sanggul pun dilepaskan. Kini rambut
janda cantik berbibir menggemaskan itu terurai lepas
sepanjang pinggang kurang. Elang Samudera duduk di
sebuah bangku dari batu berlapis bantalan empuk warna
merah. Ia memandang dengan heran saat Rara Padwi
melepaskan seluruh perhiasannya, termasuk giwang
mutiara dan gelang berhias batuan merah delima itu.
"Panglima Tulang bukan orang yang mudah
ditumbangkan," ujar Rara Padwi saat melepasi
perhiasannya. "Dia mempunyai ilmu andalan yang
berbahaya bagi lawan-lawannya. Ilmu itu bernama jurus
'Lidah Geni'. Mulutnya bisa menyemburkan api seperti
lidah naga, panjang dan sangat berbahaya. Terkena hawa
panasnya saja kulit kita bisa melepuh, apalagi sampai
terkena kobaran apinya, kulit kita bisa hangus seketika."
Elang Samudera sengaja tak berkomentar. Ia
memperhatikan janda cantik bermata indah itu sambil
merekam seluruh keterangan dalam otaknya.
"Jurus Lidah Geni' itu sangat buas dan ganas. Jika
tanganmu terkena semburan api dari mulutnya, maka
dalam sekejap tanganmu akan kehilangan kulit dan
daging, yang tersisa hanya tulang hangus dan
mengerikan."
"Benarkah Kanjeng Sultan belum mengetahui ilmu
andalan itu?!"
"Untuk ilmu itu, Ayah memang mengetahuinya. Tapi
ada satu hal yangtidak diketahui oleh Ayah."
Rara Padwi mendekat. Ia berdiri dengan pinggang
bersandar tepian meja marmer. Persis di depan Elang
Samudera. Hidung Elang Samudera dapat mencium
aroma wangi mawar pada tubuh janda cantik berkulit
putih mulus itu. Hati pemuda berusia dua puluh tahun itu
berdebar-debar karena berada dalam jarak kurang dari
satu jangkauan dari Rara Padwi. Aroma wangi mawar
yangtercium terasa menggelitik kenakalan jiwanya.
"Ayah tidak mengetahui hubungan isi hati Panglima
Tulang terhadap diriku," sambut Rara Padwi. "Panglima
Tulang sangat mencintaiku. Semangat pengabdiannya
dari dulu berkobar-kobar karena ingin tunjukkan rasa
cintanya yang besar pada diriku."
"Jadi... jadi maksud Gusti Ayu dia...."
"Panggil aku: Padwi! Jangan pakai sebutan Gusti
Ayu, kecuali jika kita berada di depan umum," potong
Rara Padwi. Pandangan matanya begitu tajam dan
mengandung getaran yang mengusik hati Elang
Samudera, sehingga pemuda itu menjadi tersipu-sipu
untuk sesaat. Rara Padwi melanjutkan kata-katanya
tanpa pedulikan sikap kikuknya Elang Samudera.
"Cintanya yang begitu besar membuatnya patuh
terhadap segala perintah Ayah, juga segala permintaanku
diturutinya. Tetapi belakangan ini aku mengecewakan
hatinya. Dia tahu kalau aku tak mencintainya dengan
sungguh-sungguh. Ia menjadi sangat kecewa dan marah.
Lalu kutegaskan sekalian bahwa aku memang tidak
mencintainya. Aku hanya suka bersahabat dengannya,
atau bersaudara dengannya. Kekecewaannya itulah yang
membuatnya pergi meninggalkan Tanah Sereal dan
bersekutu dengan Malaikat Gantung."
Elang Samudera manggut-manggut dengan gumam
kecil. Pedangnya diletakkan di atas meja marmer. Saat
itu paha kiri Rara Padwi diletakkan di meja itu juga,
sehingga perempuan itu nyata-nyata duduk di tepian
meja dengan kaki kiri ditekuk di atas meja. Belahan
jubahnya tersingkap, dan kemulusan pahanya
terpampang jelas menggoda hati Elang Samudera. Dada
pemuda itu bergemuruh karena gejolak hasratnya yang
melonjak-lonjak begitu disuguhi paha mulus tanpa cacat
itu.
Dengan tarikan napas panjang yang pelan-pelan,
Elang Samudera berusaha mengendalikan gejolak
hasratnya. Ia pun mengurangi kenakalan matanya untuk
tidak melirik ke arah paha, melainkan sedikit
mendongakkan wajah memandang kecantikan Rara
Padwi.
"Sebenarnya kalau sekarang aku mau menerima cinta
Panglima Tulang, maka ia akan kembali memihak
kesultananku dan meninggalkan persekutuan itu."
"Mengapa tidak kau lakukan?"
Rara Padwi menggeleng, "Hatiku tak bisa menerima
cinta lelaki macam dia. Pernah kucoba untuk
menerimanya, tapi batinku selalu menolak dan aku
merasa tersiksa."
"Mengapa demikian?" tanya Elang Samudera sedikit
parau.
"Dia tidak memiliki apa yang dibutuhkan batinku
sebagai seorang wanita. Dia hanya jantan di pertarungan,
perkasa di medan laga, tapi berbeda jauh jika berada di
dalam kamar seperti ini."
Elang Samudera berkerut dahi. "Aku tak mengerti
maksud kata-katamu, RaraPadwi."
Perempuan itu tersenyum. Elang Samudera
merasakan senyuman itu bukan sekadar senyuman biasa.
Senyuman itu mengandung tantangan dan harapan.
Pandangan matanya juga bukan sekadar sorot mata
seorang sahabat, melainkan mengundang ajakan untuk
bercumbu dalam kemesraan. Naluri Elang Samudera tak
bisa dibohongi. Dia mulai mengerti apa sebabnya Rara
Padwi membawanya ke ruang rahasia tersebut.
"Kau sudah punya kekasih, Elang?" tanya Rara Padwi
dengan suara lirih dan sedikit parau. Tangannya
membelai-belai rambutnya sendiri yang dikedepankan.
"Mengapa kautanyakan hal itu?"
"Hanya sekadar ingin tahu," jawab Rara Padwi, tapi
pahanya itu semakin melebar, sehingga belahan jubah
kuningnya kian terbuka. Sesuatu yang ada di balik jubah
itu tampak jelas di mata Elang Samudera. Bahkan yang
paling dalam pun terlihat jelas dari tempat duduk Elang
Samudera. Pemandangan itu membuat pemuda bertubuh
tegap itu menjadi bergetar dan deg-degan. Keringat
dinginnya mulai tersembul di bagian kening dan leher.
"Jika kau sudah punya kekasih, aku tak ingin
mengganggu kemesraan kalian. Tapi jika kau belum
punya kekasih...."
Rara Padwi sengaja berhenti bicara, bikin hati Elang
Samudera penasaran. Maka pemuda itu pun
mendesaknya dengan sebuah pertanyaan.
"Jika belum, kenapa?!"
"Mungkin kau tahu aku seorang janda yang sudah
sekian lama tak disentuh oleh seorang lelaki. Aku haus
kemesraan. Perasaan ini tak bisa kututupi lagi sejak aku
melihatmu bertarung di arena. Aku berusaha menahan
mulutku agar tak bicara, tapi gairahku mendesak batinku
agar mengatakannya padamu."
Rara Padwi membungkuk, meraba pipi Elang
Samudera dengan sentuhan lembut. Elang Samudera
diam, memandang tak berkedip dengan jantung
berdetak-detak.
"Jika kautak bisa memenuhi tuntutan batinku, jangan
katakan pada siapa pun tentang hal ini. Tapi jika kau
merasa mampu memenuhi keinginan batinku, mampu
mengobati siksaan batinku, lakukanlah sesuatu pada
diriku. Sentuhlah aku, Elang...," suara Rara Padwi
semakin berbisik lirih.
Cukup lama mereka saling pandang. Cukup lama
jemari tangan Rara Padwi mengusap lembut di sekitar
wajah Elang Samudera.
Rupanya gairah pemuda itu pun menjadi terbakar
total. Ia tak mampu mengendalikan hasrat pribadinya.
Maka tangannya pun mulai meraba paha mulus di
depannya. Rabaan pelan itu menjalar sampai di
kedalaman jubah. Rara Padwi memajukan duduknya.
Kini ia nyata-nyata duduk di depan Elang Samudera.
Kedua kakinya berada di kanan kiri tempat duduk
pemuda itu.
Rara Padwi mendekatkan wajahnya dengan kedua
tangan mengusap pipi Elang Samudera. Pelan-pelan
bibirnya disentuhkan di kening anak muda yang tampak
masih ingusan dalam hal bercinta itu. Cuup...! Ciuman
itu pun merayap turun ke mata Elang Samudera yang
terpejam, menikmati kecupan hangatnya.
"Elang...," bisik Rara Padwi, "Sentuhlah lebih dalam
lagi...."
Jari-jari tangan Elang Samudera semakin merayap ke
dalam. Rara Padwi memberi kesempatan lebih leluasa,
sehingga jari tangan itu kini berhasil menyentuh pusat
kehangatan yang menghadirkan rasa nikmat jika dijamah
pelan-pelan.
"Oooh...," keluh janda cantik itu. "Ooh, indah sekali
sentuhan lembutmu, Elang. Uuuh... mmmhh!" Rara
Padwi tak bisa bicara lagi karena bibir Elang Samudera
mengecup bibirnya. Bahkan pemuda yangtampak masih
ingusan dalam bercinta itu ternyata pandai melumat bibir
lawan jenisnya, pandai pula menari-narikan lidahnya
hingga menimbulkan debar-debar keindahan dalam hati
Rara Padwi.
"Oooh, benar-benar indah, Elang... oooh, mau apa
kau, hmm?! Mau apa kau, oouh... yaah... yaaaah,
lakukanlah, Elang...."
Rara Padwi mengerang setelah tahu mulut Elang
Samudera merayapi pahanya. Paha mulus itu dipagut
lembut oleh Elang Samudera.
"Oooouhkk...!" Rara Padwi mengerang keras, seperti
merengek. Rambut dan kepala Elang Samudera
diremasnya, ditekan agar mencapai tempat lebih dalam
lagi.
"Sssshhh... aaah! Ternyata kau... kau nakal, Elang.
Oouh, kau nakal... uuuhkkk... ssssh, aaaah!" Rara Padwi
kegirangan sekali mendapatkan kemesraan seperti itu. Ia
belum pernah mendapatkannya dari mantan suaminya
atau dari lelaki mana pun. Bahkan dari Panglima Tulang
pun tak pernah ia temukan sapuan lidah seindah itu.
"Oooouuuh...!!!"
Rara Padwi memekik keras dengan tubuh mengejang,
karena jiwanya bagaikan terbang lebih tinggi lagi ketika
ia merasakan 'mahkotanya' dipagut lembut oleh bibir
Elang Samudera. Kedua mata terpejam kuat-kuat, tubuh
pun menggeliat nikmat, karena pagutan bibir Elang
Samudera semakin nakal.
"Oooooh, luar biasa indahnya, Elang. Lakukan lagi...
lagi... ooouh, yaaaah...."
Apa yang ada di atas meja menjadi berantakan. Elang
Samudera menjadikan meja itu sebagai arena
pertarungan yang amat disukai si janda cantik itu.
*
* *
5
BERSATUNYA Panglima Tulang dengan Malaikat
Gantung dianggap suatu persekutuan iblis oleh pihak
kesultanan. Dalam hal ini, Ranggina tetap ngotot ingin
ikut dalam upaya menghancurkan persekutuan iblis itu.
Pendekar Mabuk tak mampu lagi membujuk gadis itu,
akhirnya hanya bisa angkat tangan dengan satu
perjanjian.
"Akutak menjamin keselamatanmu!"
"Aku yang akan menjamin keselamatanmu!" balas
gadis cantik itu dengan angkuhnya, padahal dalam
hatinya ia ingin menjerit jengkel karena Pendekar
Mabuk tak maumelindunginya.
Suto Sinting sempat berang menunggu Elang
Samudera sampai hampir fajar, tapi pemuda itu belum
juga kembali ke kamarnya. Pendekar Mabuk sampai
tertidur di atas bangku panjang. Ketika ia bangun, Elang
Samudera sudah ada di kamar. Pemuda itulah yang
membangunkan Suto Sinting dengan wajah sedikit
tegang.
"Brengsek kau!" sentak Suto bersungut-sungut.
"Kemana saja kau semalaman?!"
"Sekarang belum sempat kujelaskan. Tapi sebaiknya
segeralah berkemas. Sultan memanggil kita bertiga."
"Sepagi ini?!"
"Ada seorang mata-mata datang membawa kabar
buruk. Kita harus segera menghadap sultan! Bangunkan
Ranggina!"
"Bangunkan sendiri!" jawab Suto dengan suara parau.
Ia segera mengambil bumbung tuaknya dan menenggak
tuak beberapa teguk. Badan pun menjadi segar, kantuk
pun hilang.
Kabar yang dibawa mata-mata kesultanan itu cukup
mengejutkan ketiga tamu istimewa itu.
"Hari ini, Lembah Tayub sudah dikuasai oleh
Panglima Tulang!" ujar sang Sultan menyampaikan
kabar dari mata-matanya. "Beberapa orangku tewas
dibunuh, Gerdanala yang kuserahi tugas menjaga
Lembah Tayub juga tewas di tangan Panglima Tulang."
"Apakah Malaikat Gantung tampak ikut campur
tangan dalam perebutan wilayah itu, Kanjeng?" tanya
Ranggina.
"Benar. Bahkan mata-matamu sempat melihat
Siluman Tujuh Nyawa muncul di sana."
"Kalau begitu sekarang juga kami akan berangkat ke
Lembah Tayub!" tegas Suto penuh semangat. Ia
bagaikan tak sabar lagi; ingin segera berhadapan dengan
Siluman Tujuh Nyawa.
"Akan kusuruh orang-orangku mempersiapkan kuda
untuk kalian. Dan pilih sendiri beberapa prajurit untuk
membantu kalian merebut kembali Lembah Tayub!"
"Kami cukup bertiga, Kanjeng," ujar Elang
Samudera.
"Dan kami tak butuh kuda!" sahut Pendekar Mabuk.
"Aku hanya butuh tuak. Bumbung tuakku ini harus diisi
penuh sebagai bekal di perjalanan nanti, Kanjeng
Sultan!"
"Padwi, suruh pelayan membawa tuak kemari dan
mengisi penuh bumbung itu!" perintah sang Sultan.
Sebelum matahari meninggi, mereka sudah berangkat
tinggalkan Kesultanan Tanahinggil. Dua prajurit istana
ikut dalam perjalanan itu sebagai pemandu arah. Mereka
masih muda, sebaya dengan usia Elang Samudera.
Mereka adalah Parerang, si jago panah, dan yang satu
lagi bernama Wisena, si jago pisauterbang.
"Berapa lama perjalanan menuju ke Lembah Tayub?"
tanya Elang Samudera kepada Wisena.
"Setengah hari jika ditempuh dengan jalan kaki
biasa," jawab Wisena. "Tapi kami biasa menempuhnya
dalam waktu kurang dari setengah hari dengan
menggunakan kuda."
Suto Sinting menyahut, "Derap kaki kuda hanya akan
memancing pendengaran mereka, sehingga mereka dapat
bersiap-siap menghadapi kedatangan kita! Itulah
sebabnya kupilih untuktidak menunggang kuda."
"Aku mengerti maksudmu," ujar Wisena. Tapi
sebelum ia melanjutkan kata-katanya, tangkah kakinya
tiba-tiba berhenti. Dari sorot matanya ia tampak tegang.
"Ada apa?" tanya Elang Samudera.
"Aku mendengar suara langkah kaki di belakang
kita."
"Biarkan saja," sahut Suto. "Itu hanya langkah kaki
anak kecil. Mungkin sedang mencari kayu."
Rupanya Pendekar Mabuk sejak tadi sudah
mengetahui ada langkah kaki yang mengikuti mereka. Ia
juga tahu bahwa langkah kaki itu milik seorang bocah
berusia sekitar delapan tahun. Dari tekanan suara
kakinya saat menginjak rumput kering, Suto dapat
memperkirakan usia bocah itu.
Saat mereka memandang ke arah belakang, ternyata
memang ada seorang bocah yang mengenakan baju
rompi merah dengan kalung kain hitam. Bocah itu pun
tampak tidak mempedulikan mereka. Ia sibuk mencari
burung dengan ketapel siap di tangannya. Rombongan
Pendekar Mabuk segera meneruskan langkah mereka.
"Gunakan langkah cepat, agar lekas sampai di
tujuan!" ujar Suto Sinting yang secara tak langsung
dianggap oleh mereka sebagai pimpinan rombongan.
Maka mereka pun menggunakan jurus peringan tubuh
agar dapat berlari cepat. Wisena dan Parerang ternyata
mempunyai kecepatan gerak yang lumayan, sama
cepatnya dengan Ranggina. Mereka bertiga berada
paling depan, sementara Pendekar Mabuk dan Elang
Samudera mengikuti dari belakang, menyesuaikan
kecepatan tiga orang itu.
Namun tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti
pasukan guntur lewat. Gluuuurrr...! Tanah terasa
bergetar. Ranggina dan yang lain menyangka ada gempa.
Mereka sempat clingak-clinguk kebingungan. Suara
gemuruh itu berkepanjangan bagai tiada henti.
"Elang, lompat ke sisi kanan!" seru Pendekar Mabuk
sambil menunjuk ke gundukan tanah membukit.
Seruan itu mengisyaratkan adanya bahaya. Elang
Samudera segera lakukan lompatan zig-zag ke atas
gundukan tanah itu. Tab, tab, tab...! Wees...! Parerang
dan Wisena bergegas mengikuti gerakan Elang
Samudera. Tapi Ranggina masih kebingungan karena tak
paham mengapa Suto berseru dengan tegang.
"Bodoh!" sentak Pendekar Mabuk, kemudian ia
segera berkelebat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Zlaap...! Tubuh Ranggina disambarnya. Wees...! Dalam
sekejap saja mereka sudah berada di atas gugusan tanah
yang membukit.
"Oooh...?!" Ranggina terkejut, matanya terbelalak.
Bukan saja karena tubuhnya telah disambar Suto, tapi
juga karena melihat tanah tempatnya berdiri tadi telah
retak lebar seakan bumi ingin terbelah. Seandainya Suto
terlambat menyambar Ranggina, maka gadis itu akan
mati terkubur dalam celah keretakan tanah yang amat
dalam. Asap tipis mengepul dari keretakan tanah
tersebut.
Krraak, kraaak, duuuurrr...!
Kini keretakan tanah bercabang menjadi lima tempat.
Keretakan tanah itu bergerak cepat bagaikan lima ekor
naga ke lima penjuru.
"Elang, lari ke bukit itu! Lekas...!!"
Wuut, wuut, wees...!
Tanpa banyak kompromi lagi, mereka berkelebat
mendaki bukit. Memang tak terlalu tinggi, tapi cukup
lumayan sebagai tempat berlindung sementara. Ketika
mereka tiba di puncak bukit tandus, getaran bumi
semakin kuat. Pepohonan tumbang tanpa angin badai.
Banyak tanaman dan batu yang tenggelam ke dasar
bumi. Dari puncak bukit itu mereka dapat melihat
kiamat kecil yang melanda kawasan bawah bukit.
Mengerikan sekali. Seakan bumi menjadi murka dan
ingin menelan hidup-hidup siapa saja yang ada di
atasnya.
Beberapa saat kemudian, getaran bumi menjadi reda.
Keadaan normal kembali. Di mana-mana tampak tanah
menganga, membentuk celah-celah yang mengerikan
dengan semburan asap samar-samar dari kedalamannya.
Angin pun bertiup dengan kecepatan sedang.
"Bencana alam apa ini?! Mengapa terjadi di sekitar
sini saja?!"
"Kurasa ini bukan bencana alam," ujar Pendekar
Mabuk menimpali suara gumam Parerang tadi.
"Firasatku mengatakan, gempa ini kiriman dari
seseorang yang ingin membuat kita celaka bersama!"
"Firasatku juga berkata demikian," sahut Elang
Samudera.
"Kurasa...," Ranggina ingin ikut bicara tapi tak jadi,
karena tiba-tiba mereka mendengar suara jeritan seorang
bocah yang memilukan hati.
"Toloooong...!! Maaaak...! Maaaak...!! Tolooong...!"
Elang Samudera berwajah tegang. "Suto, bocah di
belakang kita tadi masuk ke dalam salah satu celah
tanah! Ia terperosok ke dalam!"
"Suaranya dari arah sana!" sahut Wisena sambil
menuding ke suatu arah.
"Yang lain di sini saja!" tegas Pendekar Mabuk,
kemudian ia berkelebat cepat ke arah datangnya suara
teriakan itu. Zlaap, zlaap...!
Ternyata dugaan Elang Samudera memang benar.
Bocah berompi merah dan berkalung kain tali hitam itu
terperosok dalam keretakan bumi. Ia tersangkut pada
tonjolan tanah di dinding celah itu, di kedalaman sekitar
tujuh tombak. Bocah itu menangis ketakutan
mengulurkan tangan kirinya ke atas, sementara tangan
kanannya sempat memegangi tepian batu celah.
"Tolooong...! Tolooong...!"
Wuuus...! Pendekar Mabuk segera terjun ke dalam
celah yang menyerupai jurang itu. Bocah itu ingin
disambarnya, namun tiba-tiba kaki si bocah menghentak
pada tempat berpijak dan tubuhnya melenting tinggi.
Wuuus...!
Jleeg...! Suto Sinting kecele. Ia berhasil tapakkan
kakinya di tempat bocah itu tadi tersangkut. Tapi ia
segera terperanjat kaget melihat bocah itu sudah
melenting ke atas dan kini berada di tepian celah.
"Heehk, heek, heehk, heehk...!"
Bocah itu tertawa kegirangan memandangi keadaan
Suto di bawah sana. Ia pun melesat bagaikan seekor
tupai. Wuuut, jleeg...! Sebatang pohon yang tidak ikut
tumbang dipakaitempat bertengger.
Tiba-tiba tanah bergetar kembali. Keretakan yang
membentuk celah bergerak cepat, seakan digeser oleh
tangan raksasa hingga bergerak menutup rapat seperti
semula.
"Sutooo...!" teriak Ranggina ketika melihat Pendekar
Mabuk tergencet dua sisi belahan tanah. Ia ingin
bergegas menyelamatkan Suto, tapi Elang Samudera
menahan lengannya.
"Jangan ke sana! Berbahaya!"
"Tapi dia tergencet belahan tanah! Ia akan terkubur
hidup-hidup!"
"Pendekar Mabuk tak mungkin sebodoh dugaanmu!
Aku akan mengejar bocah keparat itu!"
Blaas...! Elang Samudera berkelebat menghampiri
bocah bermata tajam itu. Sementara si Pendekar Mabuk
yang nyaris mati tergencet dua lapisan tanah itu segera
menyilangkan bumbung tuaknya. Wut, krep...! Gerakan
dua lapisan tanah yang ingin menggencet tubuh
Pendekar Mabuk terhenti akibat tertahan bumbung tuak
yang melintang. Celah sempit itu segera dimanfaatkan
oleh Pendekar Mabuk untuk meluncur ke atas
menggunakan jurus 'Layang Raga' yang digabung
dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaap, wuuut...!
Pada saat tubuh Suto meluncur ke atas, tangannya
menyambar tali bumbung tuaknya. Dees...! Bumbung
tuak pun ikut terbawa terbang dengan cepat. Seketika itu
pula dua lapisan tanah tadi mengatup menjadi rapat
seperti sediakala. Zeeerb...!
Jleeg...! Pendekar Mabuk berhasil daratkan kakinya
di atas tanah datar. Parerang dan Wisena
menghembuskan napas lega melihat Pendekar Mabuk
selamat dari gencetan tanah. Ranggina tampak lebih lega
lagi, sampai-sampai ia tertunduk melemas sambil
bergelayutan pada tongkatnya yang diberdirikan di tanah
itu.
"Syukurlah dia selamat!" gumamnya di sela engahan
napas sisa ketegangannya.
Blaaar...! Suara ledakan cukup keras membuat
mereka yang ada di atas bukit segera memandang ke
timur. Ternyata di sana Elang Samudera sedang dibuat
berjungkir balik ke belakang akibat pukulannya beradu
dengan tangan bocah liar itu. Si bocah tak mau
ditangkap. Ia bermaksud melarikan diri. Tapi ia ingin
diterjang oleh Elang Samudera, maka ia pun melepaskan
pukulan tenaga dalam dari kedua tangannya yang
membuat Elang Samudera terlempar ke belakang.
Berarti tenaga dalam bocah itu lebih besar daripada
tenaga dalam Elang Samudera.
"Bocah setan!" geram Pendekar Mabuk. "Siapa pun
dirimu, kau sudah bertindak melebihi setani"
Zlaap, zlaap...! Pendekar Mabuk mengejar bocah itu
dari sisi lain. Dalam sekejap, si bocah terhadang oleh
langkah Pendekar Mabuk. Mereka sempat saling kejar
dari pohon ke pohon. Si bocah ingin hindari tangkapan
Pendekar Mabuk. Tapi karena tahu-tahu Pendekar
Mabuk meluncur dari arah depannya, maka si bocah pun
segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya dengan kedua
tangan disentakkan ke depan. Blaab...! Seberkas sinar
putih menyilaukan menerjang Suto Sinting. Pada saat itu
Pendekar Mabuk segera mengibaskan bumbung tuaknya
dalam gerakan memutar.
Wuuut...! Jurus 'Kipas Malaikat' dipergunakan oleh
Pendekar Mabuk untuk menandingi sinar putih
menyilaukan itu. Jurus tersebut hadirkan angin kencang
dan semburan busa salju yang segera menghantam sinar
putih lebar itu.
Blegaaarr...!
Ledakan dahsyat terjadi, gelombang ledakannya
menyentak ke berbagai penjuru, mematahkan empat
pohon di sekitar tempat itu. Si bocah pun terlempar
jatuh, demikian pula Pendekar Mabuk. Brruk, brruuss...!
Rupanya bocah itu bukan sembarang bocah. Pendekar
Mabuk merasa seperti diterjang oleh uap panas yang
membuat kulit tubuhnya menjadi merah matang. Perih
semua. Tapi ia masih mampu menahan rasa panas dan
perih, sehingga dalam sekejap Pendekar Mabuk sudah
bangkit berdiri dan memasang kuda-kudanya.
Bocah itu pun seperti terbuat dari karet. Begitu jatuh
terbanting ke tanah dari ketinggian pohon, tubuhnya
membal ke atas, menabrak dahan pohon dan membal
lagi ke arah lain. Dalam satu gerakan salto yang cukup
lincah, bocah itu sudah berhasil berdiri di atas
sebongkah batu hitam yang tadi nyaris ikut terperosok
dalam keretakan tanah.
Jleeg...!
"Bocah gendeng! Siapa kau sebenarnya!" seru Suto
Sinting dari jarak lima langkah.
"Kau tak perlu tahu siapa aku. Tapi aku tahu rencana
kalian ingin merebut Lembah Tayub! Kudengar
percakapan kalian dalam perjalanan tadi!" seru bocah itu
dengan suara cemprengnya.
Sreeet...! Elang Samudera mencabut pedangnya.
Dengan sekali sentak kedua kaki, tubuhnya melayang
tinggi dan meluncur ke arah bocah itu. Pedang tersebut
ditebaskan ke leher si bocah dari arah belakangnya.
Namun sebelum pedang itu diayunkan, si bocah segera
berbalik arah dan sentakkan tangannya dengan telapak
tangan terbuka. Wut, claap...!
Seberkas sinar merah panjang melesat dari tengah
telapak tangan itu. Sinar tersebut langsung kenai dada
Elang Samudera. Tapi karena tangan Elang Samudera
mengayunkan pedang, maka tubuhnya pun miring dan
sinar itu menyerempet lengan kiri Elang Samudera.
Craas...!
"Aaaahk...!" Elang Samudera memekik. Sekujur
tubuhnya bagaikan tersengat kilatan petir yang membuat
seluruh ototnya seperti putus dan mengendur. Elang
Samudera pun jatuh tanpa bisa menjaga
keseimbangannya. Brrruk...!
"Edan!" geram Suto Sinting. Serta-merta ia melayang
cepat menerjang bocah itu dengan kecepatan 'Gerak
Siluman'-nya. Zlaap...! Bruss...!
"Oouf...!" Suto terpekik sendiri. Bocah itu melompat
juga dan menghadangkan kedua kakinya. Tabrakan kaki
dengan dada membuat seluruh tulang Pendekar Mabuk
bagaikan remuk seketika itu juga.
Bruuuk...!
Pendekar Mabuk jatuh telentang. Si bocah justru
terpental dalam keadaan melayang di udara.
Punggungnya membentur pohon, deel...! Tubuh itu pun
memantul bagaikan karet membentur benda keras.
Pada saat tubuh itu memantul balik, Pendekar Mabuk
sedang kerahkan tenaga cadangan untuk bangkit. Dalam
keadaan setengah duduk, tahu-tahu tubuh bocah itu
menerjangnya dari depan.
"Hiaaaaah...!!"
Teriakan melengking itu membuat Pendekar Mabuk
segera sadar akan datangnya bahaya, ia segera berguling
ke kiri dan cepat bangkit terduduk dengan tangan
berkelebat ke samping. Tangan yang menguncup itu
mematuk seperti seekor ular. Gerakan cepat itu tepat
kenai mata kaki si bocah. Dees...!
"Aaaook..!" bocah itu memekik dengan tubuh
melayang ke arah lain, kemudian berguling-guling
bersama suaranya yang mengerang kesakitan. Pendekar
Mabuk sendiri segera roboh kembali setelah melepaskan
jurus totokan 'Delapan Penjuru Sarat' yang apabila
mengenai mata kaki seseorang akan berubah menjadi
totokan pemudar gaib.
"Haaarrh...!!" suara mengerang itu menjadi besar.
Pendekar Mabuk yang rasakan lemas sekujur tubuhnya
sempat memandang ke arah datangnya suara tadi.
Ternyata suara itu berasal dari si bocah yang segera
bangkit dan berbentuk bayang-bayang, lalu berdiri tegak
dalam sosok seorang pemuda seusia Suto Sinting.
"Sudah kuduga, bocah itu hanya bocah jadi-jadian!"
geram hati Suto Sinting sambil memperhatikan ke arah
lawannya yang sudah berubah menjadi pemuda dewasa
berambut panjang dikuncir ke belakang seperti Elang
Samudera.
Pemuda itu segera membuka jurus dengan kuda-kuda
yang cukup kokoh. Tubuhnya yang gempal tampak
berotot. Matanya tajam berkesan bengis.
"Panglima Tulang...!!" seru Wisena sambil berlari
menuruni bukit. Pendekar Mabuk mendengar seruan itu.
"Oh, rupanya dia yang bernama Panglima Tulang?!"
gumam hati Suto sambil berusaha mencari kesempatan
untuk menenggak tuaknya.
Wisena mencabut pisau terbangnya. Ranggina ikut
bergegas turuni bukit dengan gerakan lincahnya yang
cukup cepat. Teb, teb, teb, teb...! Sementara itu,
Parerang melepaskan anak panahnya ke arah Panglima
Tulang. Zaaab... zaaab...! Dua anak panah dilepaskan
sekaigus dan berkelebat sangat cepat.
Panglima Tulang menghindari anak panah itu dengan
berseru berang. "Bangsat kau, Parerang...!!"
Wut, wut...! Tapi baru saja kakinya mendarat ke
tanah, dua pisau terbang Wisena melayang ke arahnya.
Wwest, wesst...! Panglima Tulang terpaksa melompat ke
belakang berjungkir balik dua kali untuk hindari pisau
beracun itu.
Saat itulah Pendekar Mabuk gunakan kesempatan
untuk menenggak tuaknya. Dengan menenggak tuaknya,
maka kekuatannya pulih kembali. Sayang ia tak sempat
meminumkan tuak kepada Elang Samudera, sehingga
Elang Samudera masih tetap terkapar tak berdaya dalam
keadaan urat-uratnya bagaikan putus semua.
Namun dalam keadaan seperti itu, Elang Samudera
masih punya sisa tenaga sehingga ia bisa keluarkan suara
keras yang ditangkap oleh pendengaran Suto Sinting.
"Hati-hati, mulutnya dapat keluarkan api yang
berbahaya!"
"Hiaaaat...!!" Ranggina ikut menyerang Panglima
Tulang dengan jurus tongkat mautnya. Sodokan tongkat
itu keluarkan sinar merah berkelok-kelok seperti cahaya
petir. Sinar merah beruntun itu menyerang Panglima
Tulang, membuat pemuda itu kewalahan
menghindarinya.
Blarr, blaar, blaar...! Ledakan terjadi secara beruntun
juga setiap sinar merah itukenai benda keras apa pun.
"Bangsat tengik! Kalian benar-benar memuakkan
semua! Heeahhh...!"
Sentakan napas dari mulut Panglima Tulang
menyemburkan lidah api yang mengarah kepada
Ranggina. Woooss...! Ranggina melompat dalam
gerakan bersalto mundur. Wuuk...! Sementara itu,
Wisena dan Parerang menghujani Panglima Tulang
dengan panah dan pisau mereka. Panglima Tulang makin
dibuat sibuk dan tak punya kesempatan untuk
menyerang. Zaab, zaab, weest, wesst...! Wuut, wuuut,
wuut...!
Panglima Tulang menghindari mundur dengan
lompatan zig-zag. Tak satu pun panah dan lemparan
pisau mereka yang mengenai tubuh Panglima Tulang.
Sementara itu, Pendekar Mabuk sejak tadi sudah
berkelebat ke arah lain. Ia mengepung Panglima Tulang
dari balik semak-semak berduri. Ketika Panglima
Tulang berhasil menjauhi para penyerangnya. Ia
kepergok olehPendekar Mabuk.
"Ooh...?!" sentaknya kaget, karena pada saat itu kaki
Pendekar Mabuk segera menendangnya dengan
tendangan berputar. Weet, dees...!
"Ahhk...!" Panglima Tulang terlempar ke samping
akibat rahangnya terkena tendangan Pendekar Mabuk. Ia
buru-buru bangkit sebelum serangan berikutnya
menyusul.
Tab, tab, tab, wwuut...!
Lompatan cepatnya membuat Panglima Tulang dalam
sekejap sudah berada di atas dahan pohon. Hidung dan
mulutnya tampak berdarah akibat tendangan Pendekar
Mabuk tadi. Tapi dari atas pohon ia sempat berseru.
"Biadab! Kalian telah membuatku tak jadi melihat
keadaan Rara Padwi! Tunggu pembalasanku nanti!"
Blaaas...! Panglima Tulang cepat-cepat melarikan diri
sebelum Parerang melepaskan anak panahnya lagi.
Ranggina tampak mau mengejar pelarian Panglima
Tulang, tapi Pendekar Mabuk segera menahannya.
"Jangan kejar dia! Biarkan dia lari dan mengadu
kepada Siluman Tujuh Nyawa!"
Pendekar Mabuk bermaksud memancing musuh
utamanya itu agar keluar dari persembunyiannya dengan
membiarkan Panglima Tulang melarikan diri. Yang lain
pun tak jadi mengejar Panglima Tulang setelah mengerti
maksud Pendekar Mabuk.
Elang Samudera segera ditolong dengan
meminumkan tuak dari bumbung sakti Pendekar Mabuk
itu.
"Dia bergerak ke arah Lembah Tayub!" ujar
Parerang. Lalu, suara Wisena terdengar seperti orang
menggumam.
"Tak kusangka ilmunya menjadi sehebat itu?!"
"Pasti dia telah berguru kepada Malaikat Gantung
atau orangyang lebih tinggi ilmunya!"
"Kita ikuti saja dia!" ujar Suto Sinting memberi
komando, membuat mereka pun segera bergegas ke arah
Lembah Tayub.
*
* *
6
MEREKA melanjutkan perjalanan dengan saling
memasang kewaspadaan tinggi. Percakapan demi
percakapan terjadi. Mereka berkesimpulan sama, bahwa
kiamat kecil yang nyaris mengubur Suto hidup-hidup itu
tak lain adalah perbuatan si bocah iblis jelmaan
Panglima Tulang. Terbukti si bocah hampir saja berhasil
menjebak Suto ke dalam celah lapisan tanah itu.
Elang Samudera sempat menceritakan pertemuannya
dengan Rara Padwi kepada Suto Sinting. Sekalipun Suto
menggerutu mendengar kemesraan Elang Samudera
dengan Rara Padwi, namun ia merasa beruntung karena
dapat mendengar ilmu andalan Panglima Tulang. Suto
pun mengingatkan kepada yang lain agar waspada
dengan semburan api dari mulut Panglima Tulang.
Tapi mendengar nama Siluman Tujuh Nyawa
disebut-sebut sebagai dalang persekutuan iblis itu,
Parerang dan Wisena menjadi ciut nyali. Mereka berdua
sering mendengar kehebatan ilmu tokoh sesat itu.
Mereka juga sering mendengar cerita kekejaman
Siluman Tujuh Nyawa. Akhirnya, Wisena berkata
kepada Pendekar Mabuk.
"Kurasa aku dan Parerang tak perlu mengantar kalian
sampai Lembah Tayub. Nanti jika sudah sampai balik
bukit itu, kami harus segera kembali ke istana karena ada
tugas lain yang harus kami selesaikan."
Elang Samudera tersenyum sinis mendengar.
"Mengapa kalian berubah pikiran?! Kalian takut karena
PanglimaTulang dibantuoleh Siluman Tujuh Nyawa?!"
"Bukan begitu, tapi...."
"Kalau jadi pengecut memang sebaiknya tak perlu
ikut!" sahut Ranggina dengan ketus membuat kata-kata
Wisena tak jadi diteruskan.
Elang Samudera berkata kepada Wisena, "Siluman
Tujuh Nyawa bukan tandingan kalian. Pendekar Mabuk
yang akan menghadapinya. Jadi kalian tak perlu takut
akan berhadapan dengan Siluman Tujuh Nyawa."
Pendekar Mabuk sendiri segera menimpali, "Gagasan
Wisena tidak buruk, Elang! Ada baiknya jika mereka
segera kembali ke istana setelah kita berada di dekat
Lembah Tayub. Kita hanya butuh panduan mereka agar
tak salah arah, bukan?!"
"Terima kasih atas pengertianmu, Pendekar Mabuk,"
ujar Parerang dengan hati lega.
Tapi di luar dugaan, mereka berdua ternyata tetap
terlibat dalam perkara tersebut. Karena ketika mereka
hampir mendekati Lembah Tayub, Parerang dan Wisena
tak jadi pulang ke istana. Mendadak mereka dikepung
oleh sejumlah orang berwajah angker yang rata-rata
mengenakan pakaian serba hitam. Orang-orang itu
muncul dari berbagai arah dengan senjata terhunus siap
tarung.
"Celaka! Kita terkepung mereka, Suto!" ujar
Ranggina dengan tegang.
"Uuhk...!" tiba-tiba Parerang memekik sambil
tubuhnya jatuhterpelanting.
"Hei, kenapa kau, Parerang?!" seru Elang Samudera
dengan heran.
Wisena segera mendekati temannya. "Parerang, kau...
oaaahk...!"
Wisena sendiri terpekik dengan kepala terdongak.
Tubuhnya terpental mundur dan berguling-guling.
Ketika ia merangkak, ternyata ia memuntahkan darah
segar dari mulutnya.
"Hooeek...!"
"Gawat! Bersiaplah! Mereka menyerang dari jarak
jauh!" seru Pendekar Mabuk dengan mata terbuka
tegang.
Dees, dees, dees...!
"Aaahk, uuuhk, aaahk...!"
Ranggina seperti disodok ulu hatinya dengan
sebatang kayu balok. Ia terlempar ke belakang dan jatuh
terkapar dengan mata mendelik sukar bernapas.
Elang Samudera seperti dihantam dengan tangan besi
pada bagian pinggangnya. Ia roboh ke depan dalam
keadaan tulang punggung bagaikan remuk. Sedangkan
Pendekar Mabuk terlempar sejauh empat langkah.
Bumbung tuaknya terpental lepas dari genggamannya,
karena ia merasa seperti diterjang seekor banteng yang
sedang mengamuk. Telinganya menjadi berdarah.
Serangan tanpa wujud itu datang kembali dan
menghajar mereka satu persatu. Des, des, des, des, des!
Mereka saling terpekik dan bergelimpangan. Tanpa
diketahui dari mana datangnya serangan itu, tiba-tiba
mereka merasa rahangnya seperti mau copot, dadanya
bagaikan mau jebol, kepalanya seperti dihantam kayu
besar, dan macam-macam rasa sakit yang tak
tertahankan lagi.
Dalam empat hitungan saja mereka sudah saling
bergelimpangan, berdarah dan keluarkan erangan
kesakitan yang memanjang. Pendekar Mabuk sendiri tak
bisa atasi serangan tanpa wujud itu. Karena ketika ia
menduga serangan itu datang dari arah kiri, ternyata
serangan berikut datang dari depannya persis. Dagunya
bagaikan mau pecah karena seperti ditendang dengan
kaki baja.
Prook...!
"Aaahk...!" Kepala Suto tersentak ke belakang. Ia pun
tumbang dengan mulut mengucurkan darah. Namun ia
masih berusaha mengerahkan tenaga simpanannya untuk
menahan melapisi sekujur tubuhnya dengan tenaga
dalam.
Beet, beet, beet, prook, ceprot...!
Serangan tak diketahui dari mana asalnya itu seakan
mengincar Pendekar Mabuk. Ia dihajar tanpa ampun lagi
sampai tubuhnya terbanting-banting dan terjadi luka di
beberapa tempat. Termasuk luka hangus pada dadanya.
"Edan! Tenaga dalamnya tinggi sekali! Siapa yang
menyerangku dengan cara licik ini?!" geram hati
Pendekar Mabuk yang sudah mulai kehilangan banyak
tenaga. Ia mencoba bangkit dan merangkak mendekati
bumbung tuaknya.
Sraak...! Bumbung tuak itu terpental dengan
sendirinya, bagai ada yang menyampar dengan kaki.
Jaraknya semakin jauh dari Suto Sinting. Bumbung tuak
itu tergeletak dalam satu jangkauan dari tempat Elang
Samudera terkapar berlumur darah pada bagian
kepalanya.
"Suto...," suara Ranggina terdengar mengerang berat.
"Ini... perbuatan.... Malaikat Gantung! Seperti... yang
dilakukan... pada... pada mendiang Guru dan teman-
temanku. Oohk... cari dia! Serang ddii... dia, agar tak
menggunakan... jurus 'Lamunan Iblis'-nya. Uuuhk...!"
Suto Sinting melihat para pengepung semakin
berdatangan. Dalam keadaan tubuh tergeletak dengan
kepala miring ke kanan. Ia melihat dua orang
mendekatinya. Salah satu dari kedua orang itu adalah si
Panglima Tulang. Rupanya orang itu telah berhasil
memberi tahu para sekutunya tentang rencana Pendekar
Mabuk dan kawan-kawannya yang akan menyerang
Lembah Tayub.
Ayodya alias si Malaikat Gantung segera kerahkan
orang-orangnya untuk menghadang mereka di kaki
bukit. Usaha itu berhasil. Bahkan si Malaikat Gantung
dengan mudahnya melumpuhkan lima orang dari
Kesultanan Tanahinggil itu.
Pendekar Mabuk melihat sosok lelaki berusia sekitar
tiga puluh tahun yang berambut panjang dengan ikat
kepala dari logam perak berukir. Lelaki itu mengenakan
jubah merah tua dan di pinggangnya terdapat se-gulung
tambang yang menyerupai cambuk. Hati kecil Suto
mengatakan bahwa orang berjubah merah itu pasti si
Malaikat Gantung. Pandangan matanya begitu tajam,
seakan dapat membutakan orang yang beradu pandang
dengannya.
"Panglima Tulang...! Kini saatmu menghancurkan si
keparat yang nyaris membuatmu mati itu!" ujar Malaikat
Gantung.
"Akan kuremukkan kepalanya tanpa ampun lagi!"
geram Panglima Tulang yang kala itu membawa senjata
berupa gada besi berduri.
Dalam keadaan tergolek tanpa daya, Pendekar Mabuk
hanya bisa memandangi langkah Panglima Tulang yang
mendekatinya dengan penuh nafsu membunuh. Gada
besinya yang cukup besar dan berat itu digenggam kuat-
kuat.
"Modarlah kau sekarang juga! Heeah...!"
Gada besi itu diangkat, ingin dihantamkan ke kepala
Pendekar Mabuk. Tetapi pada saat itu satu-satunya
kekuatan yang dimiliki Suto adalah kekuatan pada
matanya. Ia memandang sebongkah batu sebesar kepala
sapi. Batu itu dilemparkan dengan kekuatan pandangan
matanya. Wuuut...! Batu itu melayang cepat menerjang
gada besi dari samping. Prraak...! Crrooook...!
"Aaaah...!!" Panglima Tulang memekik keras-keras.
Akibat diterjang batu sebesar kepala sapi, gada besi
berduri itu membentur kepala Panglima Tulang sendiri.
Tentu saja sebagian wajah dan kepala Panglima Tulang
menjadi berlumur darah karena duri-duri pada gada itu
menancap dan merobek kulit wajah.
Gada itu terlepas dari tangan Panglima Tulang. Orang
tersebut terbungkuk-bungkuk kesakitan sambil
memegangi lukanya. Suto Sinting segera menggunakan
ilmu 'Pranasukma' yang dapat membuat benda bergerak
sendiri dengan kekuatan pandangan matanya. Dengan
mata melebar jelas, Malaikat Gantung melihat gada itu
melayang sendiri dan menghantam tengkuk kepala
PanglimaTulang. Wuuut, ceprooot...!
"Aaahk...!" pekikan Panglima Tulang itu lebih
pendek, karena kepalanya menjadi hancur akibat
hantaman gada besi berduri. Panglima Tulang pun jatuh
tersungkur, menggelepar sesaat, kemudian
menghembuskan napas terakhir dalam keadaan kepala
rusak berat. Hancur.
"Panglima Tulaaang...!!" teriak Malaikat Gantung
begitu sadar bahwa Panglima Tulang telah tak bernyawa
lagi.
Para pengepung menjadi tegang dan mundur
selangkah melihat Panglima Tulang tewas karena
serangan lawan yang aneh itu. Malaikat Gantung
menjadi murka sekali. Matanya memandang makin
tajam. Namun langkahnya yang ingin dekati mayat
Panglima Tulang itu terhenti karena ia melihat Parerang
berusaha bangkit berlutut dan ingin menarik anak
panahnya dari busur.
Dengan cepat tangan Malaikat Gantung menyambar
tambang yang menyerupai cambuk panjang itu. Seet...!
Tambang tersebut segera dilecutkan. Jedaaarr...! Lecutan
itu timbulkan suara keras dan menyentak. Tahu-tahu
tambang itu menjerat leher Parerang. Sert...!
"Aahkkkr, hhkkr...!" Parerang tak bisa bersuara lagi.
Tambang segera ditarik dalam satu sentakan tenaga
dalam. Wuuut...! Seert...! Leher Parerang terjerat kuat.
Tubuh Parerang pun terlempar ke atas dalam keadaan
tetap dijerat tambang. Pada saat melayang di udara itu,
jeratan itu semakin kencang dan membuat Parerang
mendelik, lidahnya terjulur, lalu jatuh menggelepar
sesaat. Kurang dari dua hitungan, nyawa Parerang pun
pergi tanpa pamit dari raganya. Ia seperti mati digantung
lawannya. Barangkali senjata tambang maut itulah yang
membuat Ayodya menggunakan julukan Malaikat
Gantung.
Tanpa setahu Ayodya, Elang Samudera kerahkan sisa
tenaganya yang tinggal sedikit itu untuk dekatkan kepala
ke bumbung tuak Suto. Tutup bumbung itu terbuka
sedikit, sehingga tuaknya mengalir keluar. Elang
Samudera tahu betul kesaktian tuak tersebut, maka ia
pun berusaha meminum tuak itu walau sedikit saja.
Dengan menjulurkan lidah seperti seekor anjing sedang
minum, tuak tersebut berhasil ditelan oleh Elang
Samudera, membuat kekuatan Elang Samudera mulai
pulih kembali.
Pada saat tubuh Parerang jatuh dan menghembuskan
napas terakhir, Elang Samudera telah mempunyai
separuh lebih dari kekuatannya semula. Maka dengan
cepat ia meraih pisau terbang milik Wisena. Pisau itu
dicabut dari pinggang Wisena yang ada di sisi kanannya.
Seet,..! Elang Samudera bangkit terduduk dan pisau itu
dilemparkan ke arah Malaikat Gantung. Wees...!
Jrruub...!
"Aaahk...!" Ayodya alias Malaikat Gantung terkejut
sekali. Ia tak menyangka akan ada serangan dari
lawannya. Pisau itu tak sempat hindari karena kecepatan
lemparannya yang nyaris tak terlihat oleh mata awam
itu.
Akibatnya, pisau itu menancap di dada Malaikat
Gantung. Pisau itu terbenam seluruhnya, tinggal bagian
gagangnya saja. Malaikat Gantung mengeluarkan darah
kental dari mulutnya dalam keadaan mata mendelik dan
badan sedikit bungkuk.
I buru-buru berusaha melepaskan jurus 'Lamunan
Iblis'-nya untuk menyerang Elang Samudera. Tetapi
ternyata Pendekar Mabuk lebih dulu menggunakan jurus
'Pranasukma'-nya, melemparkan tubuh Malaikat
Gantung dengan kekuatan pandangan mata.
Wuuut...! Tubuh itu terlempar ke arah pohon dengan
keras. Padahal di pohon itu ada bekas dahan yang patah
dan berbentuk runcing. Tak ayal lagi tubuh Malaikat
Gantung itu tertancap pada keruncingan dahan tersebut
dari punggung tembus ke perut. Jrruub...!
"Aakkh...!!"
Malaikat Gantung mendelik, tak bisa berkutik.
Tubuhnya kelojotan sesaat, setelah itu diam tak bergerak
selama-lamanya.
"Gawat! Sang ketua tewas juga?!" seru seorang
pengepung. "Lariiiii...!!"
Para pengepung lari tunggang langgang. Mereka
dapat bayangkan, betapa mengerikan lawan yang mereka
kepung itu. Jika ketuanya yang dianggap sakti itu
berhasil dibunuh oleh lawan, apalagi diri mereka yang
masih berilmu pas-pasan. Oleh sebab itu mereka
memilih melarikan diri sebagai satu-satunya obat
panjang umur.
Elang Samudera segera mengucurkan tuak ke mulut
Pendekar Mabuk. Dengan begitu, kekuatan Pendekar
Mabuk berangsur-angsur pulih dan luka-lukanya
terobati. Hal yang sama dilakukan pula kepada Ranggina
dan Wisena. Tapi Parerang tetap Parerang, maksudnya
tetap menjadi mayat Parerang, tak dapat dihidupkan
kembali dengan tuak saktinya Pendekar Mabuk itu.
"Persekutuan iblis itu telah kita lumpuhkan!" ujar
Elang Samudera setelah memandangi mayat Panglima
Tulang. Sambungnya lagi,
"Apakah kita akan kembali menghadap sultan untuk
mengambil hadiahnya?"
"Aku bukan memburu hadiah?" tegas Suto Sinting.
"Aku memburu si keparat Durmala Sanca! Sial! Kenapa
dia tak muncul di sini?!"
Suto tampak sedikit kecewa karena musuh utamanya
tak berhasil ditemuinya. Namun Elang Samudera bisa
menghibur kekecewaan itu dengan berkata pelan,
"Suatu saat dia pasti akan muncul di hadapanmu, dan
saat itulah kau punya kesempatan memancung
kepalanya!"
Ranggina berkata kepada kedua pemuda tampan itu.
"Kalian telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman
maut Ayodya. Siapa dari kalian yang ingin mengambil
hadiahnya?!"
"Hadiah apa?!" tanya Elang Samudera.
"Menikah dengannya atau bersaudara dengannya!"
jawab Suto, lalu Elang Samudera memandangi Ranggina
beberapa saat. Setelah itu menatap Suto Sinting sambil
berkata.
"Ambillah hadiahnya."
"Aku...?! Ooh, aku sudah punya Dyah Sariningrum.
Kau belum ada yang punya, kan?"
"Hmmm... kalau begitu kita bersaudara saja!" kata
Elang Samudera, membuat Ranggina tersenyum manis
dan berkata lirih.
"Terima kasih...."
Lalu mereka membawa pulang mayat Panglima
Tulang dan mayat Malaikat Gantung ke istana, sebagai
bukti bahwa mereka sudah berhasil melumpuhkan
persekutuan iblis itu. Sedangkan Wisena membawa
pulang mayat Parerang, sebagai bukti kejamnya
persekutuan iblis.
SELESAI
Pendekar mabuk
Segera terbit!!!
SUKMA WARISAN
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com