Pendekar Mabuk 87 - Pembantai Cantik




Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan
undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
-ooo0dw0ooo-
1
PERJALANAN sang Pendekar Mabuk menuju negeri Samudera
Kubur menjadi berantakan. Semula ia berangkat ke negeri Samudera
Kubur yang ada di Pulau Blacan bersama Perawan Sinting dan
Mahesa Gibas, si pelayan sang Adipati Jayengrana itu. Dengan
mengendarai sebuah perahu layar mereka menyeberangi lautan
menuju Pulau Blacan.
Tiba-tiba badai datang, lautan mengamuk, ombak melonjak-
lonjak bagai ratusan kuda liar. Akhirnya perahu itu pecah, tiga
penumpangnya menyebar arah. Tak tahu bagaimana nasib Perawan
Sinting dan Mahesa Gibas.
Murid si Gila Tuak itu pingsan dan terdampar di pantai, ia
ditemukan oleh seorangkakek berjambul putih. Kemudian dibawa ke
pondok sang kakek yang tak jauh dari pantai. Di pondok itulah Suto
Sinting, murid si Gila Tuak itu siuman dalam keadaan sekujur
tulangnya bagaikan remuk terpatah-patah. Ia mencoba bangkit,
namun tubuh terasa sakit.
"Tetaplah berbaring dulu sebelum kekuatanmu pulih kembali.
Anak muda!" ujar sang kakek yangmengenakan jubah abu-abu itu.
Suto kaget, lalu merasa asing dengan wajah tua bertulang pipi
menonjoi itu. Ia tak pernah bertemu dengan tokoh tua yang
rambutnya pendek warna hitam, tapi rambut bagian depan di sekitar
ubun-ubun itu berwarna putih uban. Sang kakek menganggap wajar
jika dirinya diperhatikan dengan dahi berkerut tajam. Ia sunggingkan
senyum tipis dan menampakkan sikap bijaknya dengan
memperkenalkan diri lebih dulu.
"Aku yang menemukan kauterkapar di pantai, tak jauh dari kayu-
kayu pecahan perahu. Mungkin itu perahumu yang dihantam ombak
ganas tadi malam. Kau tak perlu takut padaku, karena aku bukan
hantu penunggu pantai, juga bukan iblis penunggu hutan ini."
"Lalu siapa kau sebenarnya, Pak Tua?" tanya Suto Sinting dengan
menyeringai menahan rasa sakitnya.
Kakek bertubuh kurus dan tak terlalu tinggi itu semakin lebarkan
senyum.
"Aku adalah seorang pengelana yang sudah bosan berkelana,"
jawab sang kakek yang berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih itu.
Sambungnya lagi, "Namaku yang sebenarnya adalah Jumantara,
tapi aku dikenal dengan nama: si Jambul Haha. Dalam bahasa orang-
orang sini, 'Haha' itu artinya putih. Jadi yang dimaksud Jambul Haha
adalah Jambul Putih. Tapi kalau tanyakan kepada orang daerah
Pantai Porong ini nama Jambul Putih, tak ada yang tahu. Tapi jika
kau tanyakan nama si Jambul Haha, semua orang tahu dan
mengenalku."
"Nama
Ki Jumantara!
"Jambul Ha
Sebab nama asl
mat," senyumnya
dalam sekejap. Jad
tidak harus berwajah
Pendekar Mabuk
nya.Ternyata bumbung
Bumbung tersebut ikut terp
besar menyapu habis perah
Itu ia meminum tuak dari bum
maka seluruh sakitnya akan
menjadi segar kembali
"Ah,tenang saja! Nanti bumbung
datang sendiri," pikir Suto penuh rasa
Sebab, bambu bumbung tuak itutemu. sakti,
seperti punya nyawa sendiri, karen
jelmaan daritokoh sakti zaman dulu,
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang
Biru"),
Bumbung tuak itu sudah beberapa kali
Suto, baiktak sengaja ataupun disenga
oleh seseorang. Namun pada saat-saa
tentu bumbung tuak itutahu-tahu muncul tak
dari Suto Sinting. Seakan bumbung tuak itu tahu di mana majikan
setianya itu berada, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Asmara Janda Liar").
"Sebentar lagi rasa sakit di sekujur tubuhmu akan hilang," ujar si
Jambul Haha. "Tapi kurasa me-
.u kehilangan
pea?.
asal ceplos sa
dirimu di pantai,
petaka. Kulitmu
bawa kemari, kusalurkan
ngeluarkan Racun Keong
Hawa murniku keba
tulang dan uratmumenjadi
percayalah, tak sampai mata
buhmu akan segar kembali."
kasih, Ki Jambul Haha. Akutak tahu
rus membalas budi baik dan jasamu
sendiri jasa baik akan terbalas
Tapi kita tak tahukapan da-
dan kita tak perlu mengha
Karena siapa pun yang menolong de-
harapkan batas jasa, itu namanya bukan san
melainkan memburuhkan jasa untuk
ari upah."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum sebagai ucapan berterima
kasih atas petuah si Jambul Haha. Kakek berkulit hitam namun tak
sampai kering itu segera pergi ke sisi lain, kemudian datang kembali
dengan membawakan sepoci teh panas dan gula batu di tempat
khusus seperti mangkuk dari perak kusam.
"Kubuatkan teh untukmu, biar badanmu cepat segar, Nak, Tapi
sebelum kau minum teh ini, terlebih dulu tolong sebutkan siapa
namamu?"
"Namaku... Suto Sinting, Ki."
"Oh, nama yang bagus sekali itu," puji si Jambul Haha. "Dalam
bahasa orang Pantai Porong, Sinting itu berarti tampan, Suto itu
berarti anak. Jadi Suto Sinting itu anak tampan. Cocok sekali dengan
wajahmu yang ganteng, Nak."
"Ah, kau terlalu mengada-ada dalam memujiku, Ki Jambul
Haha."
"O, ya... kau belum berkenalan dengan cucuku yang bernama
Mahayuni. Sebentar, akan kupanggilkan. Dia sedang berlatih jurus
baru di dekat danau sana. Dia sudah wanti-wanti agar aku
memanggilnya jika kau sudah siuman."
Suto Sinting hanya bisa tersenyum, anggukkan kepala kecil, lalu
berkecamuk sendiri dalam hatinya setelah si Jambul Haha pergi
memanggil cucunya.
"Baik sekali pak tua itu. Punya cucu perempuan segala. Hmmm,..
seperti apa cucunya itu? Tapi... bagaimana keadaan Perawan Sinting
dan Mahesa Gibas? Bagaimana nasib mereka? Oh, aku lupa
menanyakannya kepada Ki Jambui Hahatadi."
Tiba-tiba mata Pendekar Mabuk menangkap sebuah benda yang
berdiri di pojok dipan, bersandar pada dinding kayu. Benda itu
membuat mata Suto Sinting berbinar-binar penuh kegembiraan.
Benda tersebut tak lain adalah bumbung tuaknya yang tadi tidak ada
di tempat itu.
"Nah, datang juga akhirnya!"
Kemudian Suto meraih bumbung tuak itu dan menenggak tuaknya
beberapa teguk. Glek, glek, glek...!
Beberapa kejap kemudian, rasa sakit pun hilang. Badan menjadi
segar, pernapasan lancar. Suto tersenyum dan mencium bumbung
tuaknya sebagai ungkapan kegembiraannya. Ia mampu bangkit
dengan tanpa menggeliat, bahkan ia mampu berdiri dengan tegak dan
gagah. Baju coklatnya yang tanpa lengan dan celana putihnya yang
telah kering itu membuatnya tampak semakin kekar. Pakaian itu pas
untuk tubuhnya yang berotot dan berdada bidang.
Tapi tiba-tiba pandangan matanya menjadi buram, makin lama
semakin gelap, dan... blaap!
"Ooh...?! Aku buta...?! Mataku menjadi buta atau... atau...."
Suto Sinting tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya menjadi lemas dan
terkulai tanpa daya sedikit pun. Sukma bagai melayang entah ke
mana, dan rasa apa pun tak pernah ada lagi pada diri Pendekar
Mabuk.
Beberapa saat kemudian, tak diketahui berapa lamanya, tahu-tahu
Pendekar Mabuk mulai rasakan desiran angin. Setelah merasakan
desiran angin, ia mulai mendengar suara gemuruh samar-samar.
Suara gemuruh itu menjadi jelas beberapa kejap berikutnya. Ternyata
suara itu adalah suara ombak lautan.
Napas terhirup dengan ringan dan longgar. Suto Sinting mulai
dapat rasakan hawa panas di punggungnya. Hawa panas itu datang
dari cahaya terik matahari.
Kemudian seluruh rasa telah kembali dimilikinya. Kini mata pun
mulai dapat terbuka dan berkedip-kedip sesaat. Pendekar Mabuk
akhirnya tersentak kaget dalam hatinya saat memandangi tanah
berpasir, ia segera bangkit dan menjadi tertegun bengong. Ternyata
ia dalam keadaan terkapar di pantai, dan baru saja siuman dari
pingsannya.
"Oh, apa yang telah terjadi pada diriku?" pikirnya dengan heran
sekait. "Mengapa aku berada di pantai lagi? Bukankah aku tadi
berada di pondoknya Ki Jambul Haha?! Aneh, kenapa bisa jadi
begini?"
Mata si tampan berambut sepundak tanpa ikat kepala itu mulai
menemukan sebatang bambu tergeletak tak jauh dari jangkauannya.
Bambu itu adalah bumbung tuak tempat minumnya.
"Seingatku tadi aku minum tuak dari bumbung ini di pondoknya
si Jambul Haha?! Ya, ya... aku meminumnya tiga teguk, kemudian
aku merasa pusing, pandangan mata kabur, dan... tak ingat apa-apa
lagi. Tahu-tahu aku sudah ada di sini?!"
Suto mencoba untuk bangkit. Ternyata badannya terasa segar dan
tidak mengalami rasa sakit sedikit pun. Hal itu juga membuat
Pendekar Mabuk terheran-heran, ia memandangi keadaan dirinya dan
sekelilingnya.
"Pakaianku utuh, badanku tak ada yang terluka, tapi... tapi kayu
yang terdampar di sana itu sepertinya pecahan perahu yang kunaiki
bersama Perawan Sinting dan Mahesa Gibas?! Hmmm... ya, aku
ingat sekarang. Perahu hancur dihantam ombak, lalu aku terkapar
di... di mana ini? Seingatku si Jambul Haha menyebutkan nama
daerah ini: Pantai Potong. Apa benar nama tempat ini Pantai
Potong?!"
Suto Sinting menyangka dirinya dibuang kembali oleh si Jambul
Haha. Karenanya ia segera bergegas mencari pondok berdinding
kayu di dalam kerimbunan hutan pantai itu. Bumbung tuak diperiksa
sebentar, ternyata masih berisi dua pertiga bagian. Suto merasa
tenang jika bumbung tuaknya masih menyimpan tuak sebanyak itu.
"Keanehan apa yang telah kualami ini sebenarnya? Aku jadi
sangat penasaran, merasa seperti dibuai bulan-bulanan oleh si Jambul
Haha yang... o, ya... seingatku Jambul Haha akan memperkenalkan
cucu gadisnya kepadaku. Kalau tak salah ia menyebutkan nama sang
cucu... Mahayuni. Hmmm, ya... aku tak salah dengar, ia
menyebutkan nama Mahayuni sebagai nama cucunya yang sedang
berlatih di dekat danau. Kalau begitu, aku harus mencari sebuah
danau sebagai patokan mencari pondoknya si Jambul Haha."
Langkah si tampan Suto Sinting terhenti seketika. Dari atas pohon
meluncur turun sekelebat bayangan yang menghadangnya. Bayangan
itu kini tampak utuh sebagai sosok seorang perempuan cantik
berambut terurai sepanjang punggung. Matanya memandang tajam,
namun punya keindahan yang menarik, terutama pada bulu mata
lentiknya.
Perempuan itu mengenakan jubah tanpa lengan warna merah
bintik-bintik kuning emas. Dadanya ditutup dengan selembar kain
sutera warna hijau muda transparan. Apa yang dibungkusnya itu
tampak menonjol kencang seakan selalu menantang. Sedangkan kain
penutup pinggul dan bagian bawah lainnya juga terbuat dari kain
sutera transparan berbelahan dua. Belahan itu memanjang dari bawah
sampai ke atas paha. Semilir angin menyingkapkan kain halus itu
membuat pahanya yang mulus tampak mengintai ke arah Suto
Sinting.
Melihat caranya memandang, perempuan berusia sekitar dua
puluh enam tahun itu sepertinya menganggap Suto sebagai
musuhnya. Tapi sikap Suto justru lunak dan menampakkan
keramahannya. Suto menegurnya lebih dulu dengan tutur kata dan
suara yang lembut.
"Sepertinya kita baru bertemu kali ini. Nona. Siapakah dirimu
sebenarnya, dan mengapa menghadang langkahku dengan sikap
seperti itu? Bukankah kita belum pernah saling bermusuhan, Nona?"
Gadis itu tak menjawab. Kakinya melangkah ke samping, tapi
matanya masih tertuju pada Suto Sinting. Pandangan mata itu
membuat Pendekar Mabuk jadi salah tingkah, bahkan sempat
clingak-clinguk tanpa arti.
"Kau telah memasuki wiiayah kekuasaan kami!" ujar perempuan
itu secara tiba-tiba. Nada bicaranya ketus dan sangat tidak
bersahabat. Pendekar Mabuk menanggapi dengan cengar-cengir.
Pandangan matanya sempat nakal, tertuju pada belahan dada yang
kelihatan sekal dan 'mlenuk' seperti bakpao mengintip itu.
"Kau pasti mata-mata dari Tanjung Leak!" tuduh perempuan
cantik itu.
"Tanjung Leak itu di mana? Apakah banyak leaknya?!"
Pertanyaan Suto tak ditanggapi dengan jawaban semestinya.
Sebagai pengganti jawaban, perempuan cantik itu segera menyerang
Suto dengantendangan kipasnya yang memutar cepat. Wuuut...!
Suto rundukkan kepala agak limbung sedikit seperti orang mabuk
mau jatuh. Weess...! Kaki yang berkelebat ingin menendang kepala
Suto itu akhirnya hanya menendang angin. Badan si murid sinting
Gila Tuak itutegak kembali. Nyengir.
"Kau terlalu galak terhadap seorang tamu, Nona."
Kata-kata Pendekar Mabuk tak dihiraukan. Perempuan itu cepat-
cepat lepaskan pukulan tangan kosongnya ke wajah Suto Sinting.
Beet..., beet, beet...! Suto hanya menghindar ke kanan-kiri sambil
sempoyongan mundur seperti pemabuk keberatan kepala. Jurus
mabuknya itu berhasil hindari serangan lawan, tapi justru membuat
lawan bertambah penasaran.
Perempuan cantik itu segera lepaskan tendangan menyamping
atas. Wuut...! Kali ini tangan Suto berkelebat menangkis. Plaakk...!
Namun ternyata tendangan itu cukup ringan, dan yang terberat
tendangan kaki kirinya perempuan itu.
Dengan satu lompatan rendah, tubuh si perempuan memutar balik
dan kaki kirinya tahu-tahu menyodok perut Suto. Buuhk...!
"Heehk...!" Pendekar Mabuk mendelik dan tubuhnya terlempar ke
belakang dalam keadaan menahan rasa sakit, seperti orang mau
buang hajat.
Brruk...! Pendekar Mabuk jatuh tepat di bawah pohon.
Punggungnya membentur akar pohon yang menggunduk keras.
Duuhk...!
"Uuuhkk...!" pemuda tampan itu semakin meringis dengan tubuh
meliuk kesakitan. Tulang punggungnya terasa memar karena
benturan keras itu.
"Edan! Main tipu juga dia." gerutu Suto Sinting dalam hatinya.
"Tendangannya cukup berbobot. Perutku terasa mual dan mulas.
Napasku jadi sesak. Belum lagi punggungku ini, aduuuh... jangan-
jangan tulang punggungku retak ini?!"
Perempuan itu bergegas dekati Suto dengan langkah galaknya.
Pendekar Mabuk masih tetap duduk di tanah dan menyeringai
kesakitan. Wajahnya sedikit mendongak pandangi si perempuan
yang kini berdiri di depannya dalam jarak dua langkah. Mata
perempuan itu semakintajam, kelihatan bertambah garang.
"Kalau kautak mau minggat dari sini, kukirim kau ke neraka!"
"Ja... jangan, jangan...!" Pendekar Mabuk berlagak ketakutan
sambil bangkit berdiri dengan dipaksakan.
"Jangan kirim aku ke neraka, Nona. Sumpah mati, aku belum tahu
jalannya. Nanti nyasar ke rumah janda, repot kan?!"
"Hmmm...!" dengus perempuan itu dengan wajah benci.
Tangannya mulai meraih gagang pedang. Suto berlagak semakin
ketakutan dan gemetar.
"Ja... jangan... jangan cabut pedangmu, Nona. Ak... aku paling
ngeri melihat pedang. Lebih baik melihat wanita cantik daripada
melihat pedang. Sumpah!"
"Pergi kau dari wilayah kami. Sekarang juga!" bentak perempuan
itu.
"Nona, ak... aku... aku bukan mata-mata dari Tanjung Leak!
Berani mati berdiri sambil nyengir, aku memang bukan mata-mata,
Nona! Bahkan akutaktahu di mana Tanjung Leak itu!"
"Lalu kenapa kau berada di wilayah ini?! Apa kerjamu?"
"Nganggur. Eh, maksudmu... maksudmu, aku tidak punya
pekerjaan apa-apa, karena aku baru saja siuman dari pingsanku."
Sreett...!Pedang dicabut, Suto makin berlagak takut.
"Aduh, mati aku kalau kau mencabut pedang, Nona," sambil
tangannya menyilang bagai menutupi matanya dari pantulan kemilau
pedang itu.
"Kalau kau tak mau berterus terang tentang dirimu, kutebas
lehermu sekarang juga!" ancam si perempuan cantik.
"Aku sudah mengaku apa adanya, Nona! Percayalah padaku,
lihatlah tampangku! Apakah wajahku punya kesan sebagai wajah
orang jahat?!"
"Ya!" bentak si perempuan.
"Oh, kalau begitu, kusarankan cucilah matamu dengan air sirih
biar terang, Nona."
"Kurang ajar! Bukannya pergi malah menghina! Hiaat...!"
Wees...! Pedang ditebaskan ke arah pundak Suto. Tapi dengan
gesitnya tangan Suto mengangkat bumbung tuak dan bumbung itu
dipakai menangkis tebasan pedang. Trangng...! Suara yang timbul
seperti besi beradu dengan besi.
Perempuan cantik itu sebenarnya terkejut, namun rasa kagetnya
disimpan dalam hati. Hanya saja, hati itu tak hanya menyimpan rasa
kaget, melainkan menggumam penuh kekaguman.
"Hebat! Bambu tempat tuak itu tidak lecet sedikit pun?! Bahkan
suaranya berdentang, sepertinya pedangku menghantam besi
berongga. Hmmm... pasti dia menyalurkan tenaga dalamnya ke
dalam bumbung tuak itu. Berarti dia bukan orang sembarangan.
Setidaknya punya ilmu yang patut diperhitungkan. Tapi aku yakin,
kali ini ia tak akan bisa hindari tebasan jurus 'Pedang Ceplok" yang
belum pernah ada tandingnya!"
Tanpa banyak bicara, perempuan itu segera lepaskan jurus
'Pedang Ceplok' yang punya kecepatan cukup berbahaya. Pedang itu
ditebaskan dari atas ke bawah bagai membelah telur, lalu dengan
gerakan cepat yang nyaris tak terlihat, pedang itu menyentak ke
kanan dan ke kiri. Wuuut, bet, bet...!
Tapi Pendekar Mabuk sengaja jatuhkan diri hingga duduk di
tanah, lalu kakinya menendang lutut perempuan itu dengan satu
sentakan pendek yangpenuh tenaga dalam. Dees...! Krakk...!
"Oouh...!" perempuan itu memekik sambil jatuh berlutut.
"Maaf, Nona... ini sekadar perkenalan saja!"
Bet, plook...!
Tiba-tiba Suto Sinting berbalik dan merangkak, lalu kakinya
menyodok ke belakang tepat kenai pipi perempuan cantik itu.
Sodokan kaki Suto membuat si perempuan terpental dan terguling-
guling bagai disereduk babi hutan.
"Ooouuh...!" ia mengerang di semak-semak sana. Wajahnya
menjadi merah karena tendangan kaki Suto, kakinya dipegangi
karena sendi lututnya terasa lepas dan sakit sekali.
Pendekar Mabuk cepat bangkit dan menenggak tuaknya. Tuak itu
membuat tubuhnya segar kembali dan rasa sakit di perut serta di
punggung lenyap beberapa kejap berikutnya.
Kini Suto Sinting sengaja melangkah kalem dekati perempuan itu
sambil sunggingkan senyum mengejek. Perempuan itu berang sekali,
kemudian menyabetkan pedangnya ke arah kaki Suto. Wuutt...! Suto
melompat, seet...! Ia hinggap di atas ilalang setinggi betis. Ilalang itu
tidak patah ataupun rusak, bahkan lebih melengkung dari semula pun
tidak. Perempuan itu hanya memandang dengan mata tak berkedip
dan mulut ternganga sedikit alias bengong.
"Ilmu peringan tubuhnya sangat tinggi!" gumam perempuan itu
dalam hati. "Pantas jurus 'Pedang Ceplok'-ku bisa dihindarinya,
rupanya ia memang berilmu lebih tinggi dariku. Aduuh... lututku
sakit sekali, seperti habis dihantam pakai batu sebesar anak kerbau.
Uuh... mungkin tempurung lututku pecah. Tak bisa kupakai
bergerak. Aaduuuh...!"
Perempuan itu menahan sakit dengan menggigit bibir bawahnya.
Hati Suto menjadi berdebar-debar, matanya tak mau pindah dari
wajah itu, karena ekspresi wajah itu mengingatkan Suto pada wajah
seorangperempuan yang sedang menikmati gairah kemesraannya.
"Menggairahkan sekali ia jika menggigit bibir begitu. Hmm,
hmmm...!" geram Suto dengan geregetan.
"Mau diteruskan atau berhenti sampai di sini saja, Nona?!"
tantang Pendekar Mabuk dengan tersenyum-senyum. Sang Nona
hanya memandang penuh kedongkolan.
*
* *
2
MELIHAT sikap Suto Sinting penuh keramahan dan canda,
perempuan itu akhirnya mengendurkan ketegangannya, menepis
permusuhannya, dan mencoba untuk tidak terlalu bercuriga. Bujukan
Suto membuat perempuan itu akhirnya mau meminum tuak sakti
tersebut.
"Aneh! Ajaib sekali!" gumam hati si perempuan dengan
keheranan yang besar. "Begitu aku meminum tuaknya, rasa sakitku
hilang. Lututku sudah bisa digerakkan, dan... oh?! Aku bisa berdiri.
Berdiri tegak sekali! Benar-benar manusia langka pemuda ini!
Bahkan kurasakan sekujur badanku menjadi segar, kegusaran hatiku
pun menjadi tenang kembali. Oh, jangan-jangan aku sedang
berhadapan dengan cucunya malaikat?!"
Segala pujian dan kekaguman tetap tersimpan dalam hati demi
menjaga gengsi. Bahkan ucapan terima kasih pun tak dilontarkan
oleh si perempuan. Wajah cantiknya tetap dijaga agar kelihatan
angkuh dan berwibawa. Tapi pedangnya sudah disarungkan kembali
dan pandangan matanya tak segalak tadi.
"Siapa kau sebenarnya?" tanyanya dengan ketus.
"Namaku... Suto!" jawab Pendekar Mabuk, sengaja tak mau
menonjolkan kependekarannya. Bahkan ia berusaha untuk tidak
menyebutkan nama lengkapnya supaya perempuan itu
menganggapnya berdusta. Sebab, siapa tahu nama Suto Sinting alias
Pendekar Mabuk sudah terkenal di wiiayah tersebut, sehingga si
perempuan bisa saja menganggap Suto menyombongkan diri jika
menyebutkan nama lengkapnya sebagai Suto Sinting.
"Terus terang saja, aku terdampar di pantai sebelah sana itu!"
Suto menuding tempatnya terdampar. "Aku dan dua temanku dalam
perjalanan mengarungi lautan menggunakan perahu layar biasa.
Tahu-tahu ada ombak datang, perahuku tersapu ombak, bahkan
berputar-putar seperti mau tersedot angin puting beliung. Akhirnya,
perahuku pecah, aku terkapar di pantai dan terpisah dengan kedua
temanku itu."
Perempuan tersebut pandangi Suto dengan mata tak berkedip, ia
bukan saja menemukan daya tarik yang menggetarkan hati, namun
juga menemukan sebentuk kejujuran dalam penuturan cerita tadi.
"Lalu, mengapa kau menuju ke hutan ini? Mengapa kau tidak
menyusuri pantai?"
"Aku mencari sebuah pondok," jawab Suto dengan kalem, ia
sudah turun dari atas ilalang sejak tadi, dan kini berhadapan dengan
perempuan itu dalam jaraktiga langkah.
"Pondok siapa yang kau cari?" desak perempuan itu penuh curiga.
"Pondok seorangkakek berjambul putih."
Perempuan itu terkejut, matanya sedikit menyentak lebar, lalu
netral kembali. Tapi sorot pandangan matanya itu memancarkan
kecurigaan yang menjadi besar lagi seperti tadi. Hanya saja, Suto
Sinting berlagak tidak peduli dengan reaksi tersebut, ia tetap
lanjutkan ucapannya yang dilontarkan dengan suara lembut. Sangat
bersahabat kesannya.
"Aku tidak tahu sekarang aku ada di mana. Tapi pada waktu aku
siuman yang pertama, aku sudah berada di sebuah pondok. Rupanya
seorang kakek berjambul putih telah menolongku dan membawaku
ke pondok, ia juga telah menyembuhkan diriku yang katanya terkena
racun kuil keong. Entah racun apa namanya, aku lupa. Pada waktu
aku meminum tuakku ini untuk sembuhkan rasa sakit di sekujur
tubuhku, sang kakek sedang memanggil cucunya untuk
diperkenalkan padaku."
Pendekar Mabuk bergeser ke kiri, tangannya bersidekap di dada,
dan bumbung tuaknya menggantung di pundak.
"Dan pada waktu kuminum tuak ini, tiba-tiba pandangan mataku
jadi gelap, lalu aku tak sadar diri lagi. Ketika aku siuman, ternyata
aku masih dalam keadaan terkapar di pantai, dekat kayu pecahan
perahuku. Makanya aku segera masuk ke hutan ini untuk mencari
pondok si kakek dan menanyakan, mengapa aku dibuang kembali ke
pantai?!"
Perempuan itu masih diam, masih memandangi Suto, masih
menyimpan debar-debar lembut akibat daya pikat yang terpancar
melalui wajah dan senyum si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari
Jalang itu. Ia menunggu lanjutan cerita dari Suto. Tapi karena Suto
ternyata tidak melanjutkan ceritanya, maka si perempuan yang makin
lama tampak semakin curiga itu segera perdengarkan suaranya.
"Siapa nama kakek yang menolongmu itu?"
"Dia memperkenalkan diri kepadaku dengan nama Jambul Haha,
dan...."
"Ooh...?!" si perempuan makin terkejut, wajahnya terang-terangan
menegang. Pendekar Mabuk heran, tapi berusaha untuk cuek
sementara.
"... dan cucunya yang akan diperkenalkan padaku itu bernama
Mahayuni, lalu...."
"Oooh...?!" sentakan kaget si perempuan kian jelas dan nyata.
AkhirnyaPendekar Mabuk penasaran dan merasa jengkel.
"Ah, oh, ah, oh... kenapa kau begitu terus, Nona?! Mengapa kau
kaget-kagetan sejak tadi?!"
Perempuan itu bicara dengan tegas. "Kau jangan berpura-pura
kalem! Jelaskan, siapa kau sebenarnya, atau kuulangi kekasaranku
tadi?!"
"Aneh," Suto Sinting tersenyum. "Sekarang kau bahkan
mengancamku lagi?!"
"Karena aku tahu maksudmu. Kau ingin memperdaya diriku!"
"Memperdaya bagaimana? Tak perlu kuperdaya, kau memang
sudah tak berdaya dalam berhadapan denganku, Nona."
Perempuan itu mendengus kesal dan jadi serba salah.
"Nona, aku bicara apa adanya dan berusaha bersikap jujur di
depanmu, karena aku tahu kau perempuan yang tidak pantas untuk
ditipu atau dikelabuhi. Kalau memang aku mengada-ada dan
bermaksud memperdaya dirimu, mengapa aku harus sembuhkan luka
di lututmu itu? Mestinya kubiarkan saja, atau kubunuh, atau
kuperkosa... kan mudah?!"
"Benar juga," gumam hati si perempuan. Lalu ia ajukan tanya
dengan nada sedikit tenang, tak seketus dan setegas tadi.
"Benarkah kau bertemu dengan seorang kakek bernama Jambul
Haha?!"
"Benar! Bahkan dari mulutnya aku mengetahui kalau tempat ini
bernama Pantai Porong. Entah benar atau tidak, aku tak tahu.
Bagaimana? Apa benartempat ini bernama Pantai Porong?"
"Benar!" jawab perempuan itu pelan.
"Apakah Pantai Porong masih dalam wilayah tanah Jawa?"
"Memang!" jawabnya pendek.
"Kalau begitu si Jambul Haha tidak membohongiku," gumam
Suto seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Jika kau benar bertemu dengan kakek bernama Jambul Haha,
tentunya kautahu siapa nama asli kakek itu?"
"Hmmm...," Suto berpikir sebentar, "O, ya... ia juga
memperkenalkan nama aslinya yang menurutnya hanya berlaku
untuk orang-orang penting saja. Ia mempunyai nama asli Ki
Jumantara."
Perempuan itu terkesip, kepalanya tersentak ke belakang sedikit,
tanda ia terkejut mendengar nama Ki Jumantara.
"Apakah kau kenal dengan Ki Jumantara atau si Jambul Haha?!"
tanya Suto Sinting dengan nada tetap lembut.
Setelah diam beberapa saat, perempuan itu akhirnya menjawab
dengan suara seperti orang menggumam.
"Itu nama almarhum kakekku."
Kini Suto Sinting terkejut. "Oh...?! Maksudmu... kau adalah cucu
Ki Jumantara?"
"Benar. Akulah yang bernama Mahayuni!" jawabnya tegas sekali.
Pendekar Mabuk terperangah, kemudian manggut-manggut sambil
terbengong.
Mahayuni berkata dengan pelan, "tapi itutak mungkin."
"Tak mungkin bagaimana?"
"Kakekkutelah meninggal tujuh tahun yang lalu."
Mata si tampan Suto terbelalak tanpa sungkan-sungkan lagi.
Baginya penjelasan Mahayuni seperti petir menyambar ujung
hidungnya. Taarr...!
"Aku bersungguh-sungguh."
Mahayuni sekarang mulai tampakkan kejujurannya lewat
pancaran mata yang tak setajam tadi. Bahkan raut wajahnya tampak
mulai murung, seperti ada duka yang melapisi kecantikan berhidung
mancung itu. Mau tak mau Suto Sinting pun kontan percaya pada
kata-kata Mahayuni.
"Beliau tewas di tangan lawannya dalam suatu pertarungan satu
lawan satu."
"Siapa yangmembunuhnya?"
"Si Bayangan Setan dari Pulau Blacan!"
"Hahh...?!" tersentak lagi hati Suto mendengar jawaban itu.
Jantungnya bagaikan dibetot tanpa permisi oleh suara Mahayuni.
Karena wajah Suto Sinting kelihatan tegang sekali, Mahayuni pun
ajukan tanya dalam keheranannya.
"Apakah kau mengenal nama si Bayangan Setan? Kelihatannya
kau terkejut sekali, Suto."
"Justru perahuku pecah dan aku terdampar di sini itu lantaran aku
sedang memburu si Bayangan Setan di Pulau Blacan! Aku punya
urusan sendiri dengan si Bayangan Setan dan ingin mengajaknya adu
nyawa dalam sebuah pertarungan!" tutur Suto Sinting dengan cepat
dan penuh semangat.
Mahayuni sunggingkan senyum tawar. Bagi Suto senyum itu aneh
juga. Karenanya Suto memandangi dengan dahi berkerut heran.
"Pulau Blacan sudah hancur! Kau tak akan temukan si Bayangan
Setan jika ke sana!"
"Hancur...?!" makin heran lagi si Pendekar Mabuk itu. Seakan
semua yang didengar dari mulut Mahayuni yang berbibir agak tebal
tapi sensual itu serba mengandung keanehan.
"Sebaiknya kau pulang saja, dan jangan berada di wilayah Pantai
Porong. Nanti kau disangka mata-mata dari tanjung Leak."
"Tunggu dulu," sergah Suto ketika Mahayuni ingin tinggalkan
dirinya. Tanpa sadar tangan Suto mencekal lengan Mahayuni.
Perempuan cantik itu hanya pandangi tangan tersebut, membuat Suto
Sinting akhirnya segera sadar dan melepaskan genggamannya,
"Aku butuh penjelasan darimu tentang si Bayangan Setan," kata
Suto tegas, '
"Carilah di Bukit Lahat!"
"Bukan soal tempatnya saja, tapi keteranganmu itu kusangsikan,
Mahayuni!"
"Sama saja aku menyangsikan keteranganmu yang mengaku
bertemu dengan mendiang kakekku!"
"Hmm, ehhh, hhhmm...," Soto salah tingkah sendiri karena
menjadi gugup.
"Semoga kita tak akan jumpa lagi!"
Blaas...! Mahayuni melesat pergi dengan cepat. Pendekar Mabuk
kelabakan sebentar, akhirnya menyusul Mahayuni dengan jurus
'Gerak Siluman' yang kecepatannya sama dengan kecepatan cahaya
itu. Zlaaapp...!
Dalam sekejap Mahayuni sudah terhadang langkahnya oleh Suto
Sinting. Pendekar Mabuk itu sengaja berdiri tepat di depan Mahayuni
dalam jarak sepuluh langkah kurang. Akibatnya, Mahayuni hentikan
langkah dengan menarik napas menyimpan kejengkelan hatinya.
Pendekar Mabuk hampiri si cantik dan berhenti dalam jarak
empat langkah. Mereka saling berhadapan dengan sama-sama tegang
seperti ingin lakukan pertarungan. Pendekar Mabuk sendiri bicara
dengan nada tegas dan tanpa senyum, ia tampak serius sekali.
"Kuharap kau percaya padaku, bahwa aku memang ditolong oleh
kakekmu, sehingga terhindar dari racun kulit keong itu."
"Kuharap kau juga percaya, bahwa istana Samudera Kubur sudah
hancur dan si Bayangan Setantidak ada di sana!" balas Mahayuni.
"Baik. Aku akan percayai kata-katamu itu. Tapi jelaskan, kapan
Samudera Kubur hancur?!"
"Delapan tahun yang lalu!"
"Ooh...?!" Pendekar Mabuk terperangah dan tampak bingung, ia
berkata dengan suara seperti orang menggumam, namun didengar
oleh Mahayuni.
"Padahal perjalananku menuju Samudera Kubur baru memakan
waktu delapan hari."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, baru tiga hari yang lalu aku berhadapan dengan
orang-orangnya si Bayangan Setan yang menculik Rama Jiwana,
menanti Adipati Jayengrana."
"Tidak mungkn! Kurasa kau orang yang kurang pengetahuan
dalam hal ini, Suto!"
"Aku denyar sendiri suara si Bayangan Setan menyuruh orang-
orangnya untuk pulang ke Samudera Kubur!"
"Barangkali yang dimaksud adalah Bukit Lahat!" sentak
Mahayuni karena merasa jengkel melihat sikap Suto yang ngotot itu.
Sikap saling ngotot itu membuat mereka semakin mirip orang
ingin lakukan pertarungan. Karenanya, tiba-tiba sekeping logam
berbentuk daun bergerigi melesat dengan cepat dari arah belakang
Pendekar Mabuk. Ziiing...! Jeerb...!
"Aaahk...!" Suto Sinting mengejang dengan mata terpejam kuat-
kuat. Ia memegangi punggungnya. Punggung itu terluka dan
berdarah. Rupanya ada orang yang lemparkan senjata rahasia
beracun tinggi ke arah Suto Sinting. Senjata itu kini menancap di
punggung Suto dan membuat Suto terkulai jatuh, lalu tak sadarkan
diri.
Mahayuni terkejut, ia segera mendekati Pendekar Mabuk dan
memeriksanya. Mahayuni menjadi semakin kaget setelah mengetahui
punggung Suto terluka oleh senjata rahasia yang mirip daun
bergerigi itu. Ia mengenali pemilik senjata rahasia tersebut.
Maka perempuan cantik itu menjadi cemas dan tegang, ia bangkit,
lalu berseru dengan lantang dengan marahnya.
"Rahisan! Keluar kau!"
Kurang dari dua helaan napas, sesosok bayangan turun dari atas
pohon, ia bagaikan elang menghampiri mangsanya. Gerakannya
cepat dan menebarkan angin kencang di sekelilingnya.
Wuuusss...!
Daun-daun terhembus, semak ilalang tersingkap, bahkan ranting
kering yang berjatuhan di tanah dapat berserakan bersama rumput-
rumput kering. Rambut panjang Mahayuni tersingkat meriap-riap
bagai dihembus angin kencang. Sudah pasti bayangan yang turun
dari atas pohon itu adalah orang berilmu tinggi yang gerakannya
mampu hadirkan angin kencang, nyaris menyerupai badai.
Seraut wajah mungil segera menjelma ketika angin kencang itu
mulai reda. Seraut wajah mungil itu milik seorang gadis kecil
berambut kepang kuda. Gadis kecil itu mengenakan baju tanpa
lengan warna hijau dan celananya juga warna hijau. Ikat
pinggangnya dibalut kain beludru warna merah. Di pinggang si gadis
kecil itu terselip sebilah pedang bersarung hitam dengan gagang
ukiran bentuk kepala burung hantu.
Gadis kecil yang tingginya sebatas perut Mahayuni itu tersenyum
ketika ditatap Mahayuni dengan pandangan mata berangnya.
Wajahnya yang cantik mungil seperti baru berusia sekitar sepuluh
tahun itu kelihatan tenang. Seolah-olah ia merasa tak melakukan apa-
apa.
"Mengapa kau serang pemuda ini, Rahisan?! Tahukah kau bahwa
racun dalam senjata rahasiamu itu dapat menewaskan pemuda itu
dalam waktu kurang dari seperempat hari?!"
"Itu bagus, bukan?!"
"Apanya yang bagus?!" bentak Mahayuni.
"Apakah aku salah jika membelamu?! Apakah aku tak boleh
melumpuhkan orang ini sebelum dia menyerangmu?!" ujar gadis itu
dengan lagak tengil dan sok tua.
"Kau keliru, Rahisan! Aku tidak bermusuhan dengan pemuda
ini!"
"Lho...?!" Rahisan memandang dengan bengong.
"Dia terdampar di pantai! Perahunya pecah dihantam ombak
badai. Dia sedang berdebat dengankutentang si Bayangan Setan!"
"Jadi... kalian berteman?!" Rahisan makin bingung.
*
* *
3
TERNYATA Pantai Porong merupakan wilayah kekuasaan
Panembahan Pancalingga. Di situ berdiri sebuah padepokan yang
juga sebuah perguruan cukup besar dengan jumlah murid hampir
mencapai seratus orang.
Perguruan beraliran putih itu diketuai langsung oleh Panembahan
Pancalingga. Dalam silsilahnya, Mahayuni adalah murid sekaligus
cucu dari Panembahan Pancalingga, karena sang penembahan adalah
adik dari Ki Jumantara alias si Jambul Haha.
Racun yang ada di senjata rahasia gadis kecil itu hanya bisa
disembuhkan oleh sangPanembahan sendiri. Beruntung saat itu, luka
beracun yang diderita Pendekar Mabuk belum sampai membuat
nyawa sang pendekar melayang. Panembahan Pancalingga menyerap
habis racun itu dengan cara menempelkan telapak tangannya pada
luka. Telapak tangan itu berubah menjadi biru, lama-lama menjadi
hitam.
Tangan lelaki kurus berjubah putih dengan sorban putih juga itu
segera disentakkan ke atas, maka melesatlah cahaya biru berasap
samar-samar dan tangan yang hitam itu menjadi bersih seperti
semula.
"Lain kali kau tak boleh gegabah menggunakan senjatamu itu,
Rahisan!"
"Baik, Eyang!" jawab Rahisan dengan wajah penuh rasa takut.
"Pemuda ini bukan orang Tanjung Leak. Ilmunya bahkan jauh
lebih tinggi dari si Penguasa Tanjung Leak itu."
"Maksud Eyang, orang ini lebih sakti dari Nyai Gincu Barong?!"
"Benar, Rahisan! Justru sebenarnya kita beruntung kedatangan
tamu pemuda ini, karena dia pasti akan memperkuat pihak kita jika
orang-orangTanjung Leak menyerang lagi."
Percakapan itu terjadi pada saat Pendekar Mabuk belum siuman,
namun racun senjata rahasia itu sudah diserap habis oleh sang
Panembahan. Pendekar Mabuk dibaringkan di lantai pendopo beralas
tikar. Beberapa murid Perguruan Pantai Porong mengerumuninya,
termasuk Mahayuni yang paling dekat dengan tempat Suto berbaring
menunggu siuman, sementara yang lain hanya berkerumun dari jarak
agak jauh. Rahisan dan Mahayuni berada di samping kanan-kiri
Pendekar Mabuk, mendengarkan kata-kata Eyang Panembahan
mereka.
"Dia mengaku bernama Suto, Eyang," ujar Mahayuni. "Benarkah
itu namanya?"
"Benar," jawab Eyang Panembahan. "Nama lengkapnya adalah
Suto Sinting, gelarnya adalahPendekar Mabuk."
"Ooohhh...?!"
Semua orang yang ada di situ menggaung antara terkejut dan
bangga. Selama ini mereka hanya mendengar nama dan kesaktian
sang Pendekar Mabuk, tak pernah bertatap muka dengan pendekar
yang kondang ketampanannya itu. Baru sekarang mereka dapat
berjumpa dan melihat sendiri seperti apa kegagahan dan ketampanan
sang Pendekar Mabuk alias Suto Sinting itu.
Karenanya, beberapa murid yang semula berada agak jauh kini
mendekat secara serempak ingin melihat lebih jelas lagi sosok si
Pendekar Mabuk itu. Bahkan beberapa orang dari mereka saling
berdesak-desakan, ingin mendapat tempat paling depan, terutama
para gadisnya. Tetapi Mahayuni segera menenangkan mereka agar
kembali tertib seperti semula. Mereka pun menurut apa perintah
Mahayuni, karena Mahayuni dipandang sebagai murid tertua dan
tertinggi tingkatannya dibanding mereka. Tingkatan kedua diduduki
oleh Rahisan yang merupakan cucu langsung dari Eyang
Panembahan Pancalingga.
"Kalian boleh bertukar pendapat dengan Pendekar Mabuk, boleh
saling berkenalan, tapi tetap jaga kesopanan dan hormat. Sebab, aku
melihat noda merah kecil di tengah keningnya," ujar Eyang
Panembahahan.
"Apa arti noda merah kecil itu, Eyang?" tanya Rahisan.
Salah seorang murid menimpali, "Apakah noda merah itu berarti
sang pendekar sedang masuk angin?!"
"Husy!" hardik Mahayuni membuat orangtersebut mengkerut.
Mereka saling berkerut dahi, merasa heran dengan penglihatan
sendiri. Sebab mereka tidak melihat ada noda merah kecil dikening
Pendekar Mabuk. Bahkan sebutir jerawat pun tak ada. Mereka
akhirnya berkesimpulan, hanya orang-orang berilmu tinggi yang
sudah mencapai kepekaan Indera ketujuh saja yang bisa melihat noda
merah kecil itu. Dan ternyata penjelasan sang Panembahan pun
memang begitu.
"Noda merah kecil sebesar biji jagung itu tidak bisa dilihat oleh
sembarang orang. Sebab noda merah itu merupakan tanda
penghargaan sekaligus jabatan bagi si Pendekar Mabuk. Bagi orang
yangtahu, tak akan berani bertingkah sembarangan di depan pemuda
ini, sebab noda merah itu menandakan bahwa dia adalah seorang
Manggala Yudha alias Panglima Perang dari Sebuah negeri di alam
gaib, yaitu negeri Puri Gerbang Surgawi dengan ratunya yang
kukenal bernama Gusti Ratu Kartika Wangi," (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode; "Manusia Seribu Wajah").
Para murid manggut-mahggut, merasa terkesima dan terkagum-
kagum oleh penuturan Eyang Panembahan alias guru mereka itu. Si
gadis kecil Rahisan sempat bertanya kepada kakek kandungnya itu
dengan lagak sok tuanya.
"Bukankah negeri Puri Gerbang Surgawi itu adanya di Pulau
Serindu, Eyang. Seingatku, ratu negeri Puri Gerbang Surgawi
bernama Dyah Sariningrum dan berjuluk Gusti Mahkota Sejati.
Bukan Ratu Kartika Wangi seperti yang Eyang katakan tadi. Pikirlah
dulu baik-baik, Eyang. Siapa tahu catatan dalam ingatan Eyang
sedikit keliru."
Sang Panembahan tersenyum bijaksana. "Rahisan, negeri Puri
Gerbang Surgawi itu ada dua; satu di alam gaib, satu di alam nyata.
Dyah Sariningrum itu ratu Puri Gerbang Surgawi di alam nyata. Dia
anak dari Gusti Ratu Kartika Wangi."
"Ooo...," Rahisan manggut-manggut.
"Kalau begitu, Pendekar Mabuk ini adalah tamu agung kita,
Eyang?" ujar Mahayuni.
"Iya! Tapi... pendekar yang satu ini memang agak konyol. Lihat
saja, sebagai Manggala Yudha dari sebuah negeri terhormat hanya
mengenakan pakaian seperti ini dan membawa-bawa bumbung tuak
itu," sambil sang Panembahan menuding bumbung tuak yang
tergeletak di lantai atas kepala Suto. "Itu kan namanya konyol! Jadi
cara kita bersikap kepadanya tak perlu muluk-muluk. Dia bahkan tak
suka dihormati secara muluk-muluk. Dan hati-hati...," Panembahan
agak mengecilkan suara.
"Ada apa, Eyang?"
"Hati-hati, pendekar ini agak mata keranjang. Jangan mengawali
melirik nakal. Sebab kalau diawali dengan lirikan nakal, maka
kalian, terutama yang perempuan, bakal mendapat lirikan yang lebih
nakal lagi. Biasanya kalau sudah begitu, gadis mana pun pasti akan
terbuai olehnya dan bisa jadi tergila-gila padanya."
"Hi, hi, hi, hi...!' para murid wanita tertawa cekikikan.
"Habis ganteng, Eyang," celetuk salah seorang murid wanita.
"Memang dia ganteng, tapi kalau tidak diawali dia tidak mau
berbuat nakal. Sekali terkena kenakalannya, ooh... heboh! Pokoknya
heboh!"
"Dari mana Eyang tahu banyak tentang pendekar heboh ini?"
tanya si kecil Rahisan.
"Lho, Eyang kan sering berhubungan batin dengan bibi gurunya;
si Bidadari Jalang itu."
"Lho, katanya Pendekar Mabuk itu muridnya si Gila Tuak?"
"Lha, iya! Memang muridnya si Gila Tuak. Tapi dia juga menjadi
muridnya Bidadari Jalang."
"Jadi dia punya dua guru, Eyang?"tanya Mahayuni.
"Benar. Punya dua guru; Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Mereka
ibarat kakak-beradik dalam satu perguruan."
Mereka saling berkasak-kusuk dengan wajah berseri-seri, sesekali
tampak mengagumi kehebatan ilmu Pendekar Mabuk. Kejap berikut,
Panembahan Pancalingga perintahkan kepada Mahayuni untuk
memindahkan Suto Sinting sebelum pemuda itu siuman.
"Bawa dia ke kamar peristirahatan. Bisa malu kita kalau dia
siuman dan ternyata masih digeletakkan di lantai begini."
Para murid, terutama yang wanita, saling berebut membawa Suto
ke kamar peristirahatan.
"Biar aku saja yang membawanya.... Jangan, aku saja! Badanku
lebih kuat kok,... Minggir-minggir, sini kubawanya sendiri.... Eh,
jangan sendirian. Aku juga mau membawanya.... Tidak, aku saja...."
Tubuh Suto ditarik ke sana-sini oleh beberapa tangan.
Panembahan Pancalingga menjadi cemas.
"Eeh, eeh... jangan dibetot ke sana-sini! Kalian pikir rebutan
kalkun panggang?!"
Akhirnya tubuh kekar itu jatuh dari ketinggian satu perut. Bruuk,
gleduuuhk...!
"Naaah... jatuh kan?! Aduh, bisa bocor kepalanya itu!"
Jatuhnya Suto membuat pingsannya justru menjadi siuman, ia
tersentak kaget dan langsung menyeringai sambil mengerang
kesakitan. Kedua tangannya, pegangi kepala.
"Aaauuhh.!"
Mereka justru ketakutan dan ditinggal kabur begitu saja. Bruubut.
.! Tinggal EyangPanembahan yang ada di situ, clingak-clinguk salah
tingkah, karena merasa tak enak terhadap sang Manggala Yudha
yang dihormati itu.
"Aduh, anak-anak bagaimana ini?! Kalau sudah begitu ditinggal
pergi begitu saja. Celaka! Pasti akuyang kena getahnya!"
Namun ternyata Pendekar Mabuk tidak tersinggung dan tak ada
yang disalahkan. Pemuda itu justru mengambil sikap bijaksana,
mengucapkan terima kasih kepada Eyang Panembahan walaupun
sebelumnya Eyang Panembahan lebih dulu buru-buru memberikan
hormat kepada sang Manggala Yudha itu. Keramahan dan keceriaan
Suto Sinting membuat mereka menjadi tak sungkan-sungkan untuk
mendekat dan saling ajukan tanya. Hal itu, terjadi setelah badan Suto
merasa segar kembali akibat menenggak tuak saktinya.
"Dia memang tidak seperti seorang panglima, ya?" bisik salah
seorang murid lelaki.
"Dia memang selalu merendah. Tuh, lihat saja kepalanya sampai
rendah, kan?"
"Itu karena dia sedang garuk-garuk jempol kakinya!" sentak yang
lain dengan suara pelan.
Mereka terkesima mendengar cerita pertarungan Pendekar Mabuk
saat melawan Pangeran Cabul dan Rogana, si manusia badak, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan Sinting"). Tapi
mereka segera menjadi tegang dan berdebar-debar ketika Suto
ceritakan pertarungannya dengan Gober, orang kepercayaan si
Bayangan Setan, kisah pengejaran ke Samudera kubur dan
pertemuannya dengan Ki Jambal Haha.
Bukan para murid saja yang terkejut mendengar nama Jambul
Haha disebutkan, melainkan Eyang Panembahan sendiri juga kaget,
hingga terpaksa ajukan beberapa pertanyaan yang bersifat menguji
kesungguhan cerita tersebut. Tentu saja tes uji kesungguhan itu
berhasil dijawab oleh Suto secara benar, karena bagi Suto pertemuan
dengan Jambul Haha bukan sekadar isapan jempol.
Salah seorang murid berbisik kepada temannya, "Kurasa cerita itu
sungguh-sungguh terjadi. Bukan hanya isapan jempol semata."
"Lagi pula jempolnya siapa yang mau dihisap sampai mata?!"
tanggap murid yang memang rada culun. Mereka cekcok sendiri, lalu
digertak oleh si kecil Rahisan, keduanya diam, mengkerut seperti
harum manis kena angin.
Panembahan Pancalingga mengangkat kedua tangannya, semua
suara hilang. Suasana menjadi sepi senyap seketika itu juga.
Rupanya kedua tangan Panembahan Pancalingga mempunyai daya
bungkam sendiri bagi murid-muridnya, sehingga tak satu pun berani
bersuara. Bahkan yang suara batuk pun tak ada. Suara napas pun tak
terdengar.
"Hebat Juga Eyang Panembahan ini," pikir Suto. "Jurus apa yang
dipakainya, sehingga dengan mengangkat kedua tangan saja sudah
bisa bikin bungkam mulut mereka?"
Pendekar Mabuk tak tahu bahwa kedua tangan Eyang
Panembahan sebenarnya tak memiliki kekuatan pembungkam. Yang
membuat mulut mereka bungkam adalah wibawa dan kharisma sang
Panembahan, di mana ia sebagal guru dan penguasa wilayah Pantai
Porong sangat dihormati dan ditakuti oleh para muridnya.
"Agaknya, mendiang Ki Jambul Haha, yaitu kakakku sendiri,
sengaja ingin mempertemukan Pendekar Mabuk dengan kita. Entah
apa sebenarnya maksud roh Ki Jambul Haha itu. Tapi firasatku
mengatakan, Ki Jambul Haha ingin supaya Pendekar Mabuk
membantu kita dalam menghadapi orang-orang Tanjung Leak,
terutama Nyai Gincu Barong itu!"
Tiba-tiba, mereka bersorak serentak, "Hidup Pendekar
Mabuutik...!!"
Suto Sinting clingak-clinguk kaget, ia memperhatikan mereka.
Hanya si kecil Rahisan yangtidak ikut bersorak dan mengangkat satu
tangan. Mahayuni saja ikut bersorak, tapi gadis kecil Rahisan hanya
diam, cuek, bersidekap, matanya memandang agak angkuh kepada
Pendekar Mabuk.
"Rahisan, kenapa kau tidak ikut gembira menyambut kedatangan
Pendekar Mabuk ini?!" tanya Mahayuni.
"Ah belum tentu dia unggul melawan Nyai Gincu Barong," jawab
Rahisan sambil mencibir terang-terangan di depan Suto Sinting.
"Buktinya, ia masih bisa terkena senjata rahasiaku! Hmmm...! Kita
lihat saja hasilnya nanti. Jangan bersorak dulu sebelum dia memang
unggul melawan Nyai Gincu Barong!"
"Tengil amat gadis lucu itu?" pikir Suto Sinting sambil
sunggingkan senyum geli. Tapi ia segera berkata dengan nada
merendahkan diri.
"Tiap manusia memang punya kelemahan, demikian juga aku.
Dan kurasa memang belum tentu aku unggul melawan Nyai Gincu
Barong. Tetapi jika Eyang Panembahan yang melawan Nyai Gincu
Barong, tentunya Nyai Gincu Barong akan tumbang dalam satu
gebrakan. Bisa jadi Nyai Gincu Barong akan sakit sendiri, jatuh
sendiri, mati sendiri dan mengubur diri sendiri!"
"O, tidak begitu, Nak Mas Pendekar...," sela Eyang Panembahan.
"Aku sudah bersumpah untuk tidak mau lakukan pertarungan,
kecuali menghindari dan mengobati yang terluka. Sumpah ini
kuucapkan di depan kakakku; si Jambul Haha, pada saat dia dalam
keadaan sekarat dan aku tak bisa kejar si Bayangan Setan itu! Jadi
aku tak berani melanggar sumpah. Barangkali dengan alasan itulah,
maka roh kakakku mempertemukan dirimu dengan pihakku, agar kau
menjadi wakilku melawan Nyai Gincu Barong."
Mahayuni menarik tangan gadis kecil berlagak tengil itu.
"Rahisan, hati-hati bicaramu. Jangan menyinggung perasaan
Pendekar Mabuk."
Rahisan justru membantah dengan suara keras.
"Masa' seorang pendekar perasaannya mudah tersinggung dengan
ucapan seperti itu saja?! Hmmm! Pendekar cap apa dia kalau
begitu?!"
Suto menyahut, "Cap tengkorak nyengir!"
Lalu yang lainnya tertawa serentak. Suto Sinting sendiri ikut
tertawa walau tidak terbahak-bahak.
Tetapi di balik sambutan ramah orang-orang Padepokan Pantai
Porong itu, ternyata Suto Sinting tetap menyimpan misteri yang
membuatnya sangat penasaran, akhirnya ia dibayang-bayangi oleh
kegelisahan. Menjelang tidur malam di kamarnya, Pendekar Mabuk
kelihatan sangat resah, tak bisa tenang.
"Benarkah Samudera Kubur sudah hancur delapan tahun yang
lalu?! Kalau begitu, haruskah aku mengejar si Bayangan Setan ke
Bukit Lahat?! Apakah ia masih menyandera Rama Jiwana? Terus,
bagaimana dengan Perawan Sinting dan Mahesa Gibas? Seharusnya
dalam saat-saat bingung begini, aku bisa bertemu dengan Perawan
Sinting dan membicarakannya. Tapi... kelihatannya pihak
Panembahan sangat membutuhkan bantuanku. Lalu, mana yang
harus kulakukan lebih dulu; menghadapi Nyai Gincu Barong lebih
dulu?!"
Akhirnya Suto memutuskan untuk mencari Perawan Sinting di
sepanjang Pantai Porong. Ia berharap dapat menemukan Perawan
Sinting atau Mahesa Gibas di pantai tersebut, ia juga berharap kedua
sahabatnya itu terdampar di pantai itu juga dalam keadaan masih
bernyawa.
*
* *
4
POTONGAN tiang layar ditemukan Suto bersama sesobek kain
layarnya. Semula ia merasa senang, karena dapat menemukan bagian
lain dari perahunya. Tetapi di sekitar tempat itu tak ditemukan
Perawan Sinting maupun Mahesa Gibas. Hanya saja, ia menemukan
bekas telapak kaki yang bergerak dari pantai ke hutan.
"Apakah ini bekas jejak kaki Perawan Sinting?!" tanyanya dalam
hati. "Atau jangan-jangan ini Jejak kaki si Mahesa Gibas?! Oh, aku
lupa menanyakan ukuran kaki mereka sebelum berlayar. Akibatnya
aku tak bisa membedakan telapak kaki siapa yang ada di pasir pantai
ini?!"
Pendekar Mabuk pandangi arah hutan dengan teliti. Tak ada
tanda-tanda gerakan manusia di sana. Bahkan suara rintih atau
dengus napas pun tak terdengar. Maka, jurus 'Lacak Jantung' pun
digunakan oleh Suto Sinting. Jurus itu dapat mendeteksi detak
jantung seseorangyang berada di sekitarnya.
"Hmmm..., aku mendengar detak jantung yang berirama kalem-
kalem saja. Arahnya di sebelah sana. Aku yakin di sana pasti ada
orang. Hanya saja, apakah dia Perawan Sinting atau Mahesa Gibas,
aku tak bisa menduganya."
Suto segera menuju sasaran dengan lompatan-lompatan peringan
tubuhnya, sehingga suara langkahnya tak terdengar oleh siapa pun. Ia
menyelinap di antara pohon-pohon mendekati suara detak jantung
itu.
"Ooh...?!" dahi Pendekar Mabuk berkerut heran. "Suara detak
jantung itu menghilang? Aneh. Padahal tadi sudah semakin keras,
berarti semakin dekat. Mengapa tiba-tiba hilang begitu saja? Apakah
orang itu mati?!"
Mata setengah dipejamkan, konsentrasi dipusatkan pada kepekaan
pendengaran. Jurus 'Lacak Jantung' digunakan lagi. Akhirnya ia
memandang ke arah pantai, karena kini suara detak jantung itu ada di
pantai.
"Mengapa bisa pindah ke pantai secepat ini?!" pikir Pendekar
Mabuk. "Apakah yang ada di pantai adalah detak jantung orang lain?
Maksudku, bukan orang yang ada di dekat-dekat sini?"
Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk terpaksa memeriksa
keadaan hutan sebentar. Tetapi ternyata di sekitar tempat
didengarnya detak jantung tadi memang tak ada orang, bahkan
sesosok mayat pun tak ada. Pendekar Mabuk berkesimpulan, si
pemilik detak jantung itu memang sudah pindah ke daerah pantai.
Maka ia pun segera mengejar ke pantai kembali. Zlaaap...!
Di sana juga tak ada orang. Tapi anehnya, detak jantung itu
menjadi semakin jelas, bahkan sepertinya sedang mendekati Suto
Sinting. Pandangan dan kewaspadaan Suto segera ditingkatkan.
Bumbung tuak yang digantungkan di pundak kini sudah digenggam
dengan tangan kirinya.
"Ada sesuatu yang bergerak mendekatiku, tapi ia tak punya rupa,"
batin sang pendekar. "Aku harus hati-hati. Siapa tahu tiba-tiba ia
menyerangku tanpa bisa kusentuh tubuhnya, aku harus tetap
waspada."
Sampai beberapa saat, detak jantung itu masih terdengar jelas tapi
wujud pemiliknya tak kelihatan. Bahkan Suto merasa si pemilik
detak jantung itu sedang mengitarinya dalam jarak sekitar delapan
langkah.
"Aneh, tak kulihat sosoknya tapi jelas kudengar detak jantungnya.
Hmmm... kurasa kali ini aku berhadapan dengan Bayangan Setan
yang mampuhadir tanpa sosok tubuh itu. Jika memang...."
Ucapan batin sang Pendekar Mabuk terhenti karena tiba-tiba
pandangan matanya menangkap sesuatu. Sesuatu yang dilihatnya
adalah seekor kupu-kupu yang terbang mengelilinginya.
Rasa ingin membuang air kecil pun timbul, dan Suto mencari
tempat yang tersembunyi untuk membuang air seninya. Tapi kupu-
kupu itu hinggap di ilalang persis di depan Suto. Sambil
memandangi kupu-kupu itu, dengan cuek Suto menuntaskan hajat
kecilnya tersebut.
"Hmmm... kupu-kupu itu sepertinya memandangiku terus.
Apakah ia tertarik dengan alat pembuang airku ini?" ujarnya dalam
hati dengan konyol. Lalu, perhatiannya kepada kupu-kupu itu
dilanjutkan.
Namun kejap berikut, setelah pembuangan hajat kecil itu selesai,
Pendekar Mabuk baru menyadari ada yang aneh pada seekor kupu-
kupu yang berwarna hitam bintik-bintik kuning dengan ukuran kecil
itu.
Pendekar Mabuk pandangi kupu-kupu yang sekarang terbang
kembali mengelilinginya dan ternyata suara detak jantung tersebut
berasal dari binatang kecil tersebut. Menurutnya, ini hal yang aneh.
Tak pernah ia dapat melacak detak jantung seekor kupu-kupu.
Bahkan detak jantung seekor burung pun tak berhasil dilacaknya
dengan ilmu tersebut. Tapi mengapa sekarang Suto bisa
mendengarkan suara detak jantung seekor kupu-kupu?
"Aku yakin dia bukan kupu-kupu sembarangan," pikirnya dalam
membatin. "Tak mungkin seekor kupu-kupu mempunyai detak
jantung sekeras ini. Tapi jika kupu-kupu itu terbang melintasi
kepalaku, suara detak jantung pun kudengar lebih keras lagi. Ah, apa
iya seekor kupu-kupu mempunyai sentakan jantung sama dengan
ukuran detak jantung manusia?!"
Tiba-tiba kupu-kupu hitam bintik-bintik kuning itu melesat cepat
seakan ingin menabrak wajah Suto.
Wees...! Pendekar Mabuk hanya lengkungkan badan ke belakang
hingga kepalanya terdongak. Dengan begitu kupu-kupu tersebut tak
berhasil kenai wajahnya.
"Hei, kenapa dia sepertinya mau menyerangku?!" ujar Suto
membatin dengan heran.
Kupu-kupu itu segera hinggap di atas ujung sebongkah batu
berukuran satu dada. Pendekar Mabuk mendekati dengan rasa
penasaran. Namun baru mendapat beberapa langkah, kupu-kupu itu
terbang kembali dan melesat ingin menerjang Suto Sinting. Dengan
gerakan limbung cepat seperti orang mabuk mau tumbang, gerakan
kupu-kupu itu berhasil dihindari Suto Sinting lagi. Wuuus...!
Kejap berikut kupu-kupu itu terbang tinggi dan memutar cepat.
Putaran tubuhnya mengeluarkan asap yang makin lama semakin
tebal. Asap itu bergerak turun sambil berputar, sampai akhirnya
menyentuh tanah dan, buuss...!
"Ooh...?!" Pendekar Mabuk terbelalak kaget, karena hilangnya
asap dan kupu-kupu, muncullah seraut wajah cantik berjubah hitam
bola-bola kuning. Seraut wajah cantik itu mempunyai rambut
panjang terurai dan mengenakan mahkota hias berukuran kecil.
Pendekar Mabuk mengucal-ngucal matanya, khawatir kalau dia
salah pandang. Ternyata apa yang dipandangnya saat itu memang
benar, ia berhadapan dengan seraut wajah cantik berhidung mancung
dan berbibir menggemaskan. Tubuhnya sekal, padat dan berisi.
Dadanya yang ditutup dengan pinjung kain kuning itu kelihatan
montok sekali. Sebagian belahan dadanya tersumbul naik dari dalam
pinjung.
Wanita cantik itu tampak sudah berusia sekitar dua puluh tujuh
tahun. Kecantikannya cukup matang, demikian pula keseksian
tubuhnya tampak sedang matang-matangnya. Kain penutup pinggul
yang berwarna kuning itu mempunyai dua belahan, depan dan
belakang. Belahan yang depan cukup panjang. Dari bawah sampai
mendekati pusar. Satu gerakan kaki saja dapat menyingkapkan kain
dan menimbulkan dayatarik yang dapat membuat Suto panas-dingin.
Wanita cantik itu sunggingkan senyum tipis berkesan sinis. Tapi
senyuman itu justru menambah kecantikannya menjadi semakin
memancarkan daya pikat tinggi.
"Cantik sekali dia?!" puji Suto dalam hatinya. Senyuman itu
dibalas oleh Pendekar Mabuk dengan senyuman tipis pula. Setelah
maju tiga langkah, Pendekar Mabuk sengaja tampilkan kesan bahwa
ia sangat mengagumi kecantikan perempuan itu.
"Kupu-kupu yang cantik," ujar Suto pelan. "Siapa sangka kalau
kupu-kupu kecil itu ternyata adalah seorang wanita yang menarik
dan menggemaskan. Sayang sekali tak kutahunamanya."
Dengan mata memandang nakal mengoda hasrat lelaki, wanita
berkulit putih itu perdengarkan suaranya yang bening tanpa serak
sedikit pun.
"Apakah kau pernah mendengar nama Andani?"
"Belum. Terus terang saja, aku orang baru di sini. Jadi masih
merasa asing dengan nama Andani. Siapakah orang yang memiliki
nama Andani itu?"
"Orang itu ada di depanmu."
"Oo...," Suto Sinting manggut-manggut dalam senyumnya yang
menawan.
"Ternyata nama itu sangat sesuai dengan kecantikan orangnya",
tambah Suto Sinting. Si wanita perlear senyumnya, namun matanya
tetap memandang Suto tanpa kedip penuh goda.
''Apakah kau orangPantai Porong juga, Andani?"
"Bukan. Aku orang pendatang, Suto."
Pemuda tampan itu terkejut. "Oh, kau sudah tahunamaku?!"
"Siapa orang yang tidak kenal nama Suto Sinting dalam pakaian
berciri coklat-putih dan bumbung tuak yang selalu dibawanya itu?
Siapa orang yang tidak kenal wajah tampan berbadan kekar dan
gagah itu adalah milik Suto Sinting?! Kurasa semua orang
mengenalmu dari ciri-cirimu itu, Suto."
"Ternyata wawasanmu lebih luas daripada Mahayuni atau yang
lain."
"Siapa Mahayuni itu? Kekasihmukah?!"
"Bukan," jawab Suto Sinting dengan lemparkan senyum ke arah
lautan lepas, ia melangkah ke perairan sambil lanjutkan kata.
"Mahayuni adalah seorang sahabat baru. Ia tidak mengenaliku
saat kami jumpa pertama."
Pendekar Mabuk palingkan pandang ke arah Andani.
"Apakah kau sama sekali tidak mengenal Mahayuni?"
Wanita itumendekat dengan memandang ke arah lautan juga.
"Sudah kukatakan tadi, aku hanyalah tamu di Pantai Porong ini!
Tamu yang kebetulan saja lewat di Pantai Porong dan singgah
sebentar karena melihat cahaya ketampanan dari seorang pemuda
yangternyata adalah Pendekar Mabuk."
"Jangan memujiku, nanti aku lupa daratan, ingatnya cuma lautan."
Andani lepaskan tawa kecil. "Ini adalah keberuntungan besar
bagiku," kata Andani tanpa pandangi Suto. "Barangkali memang
sudah kehendak dewata akuharus bertemu denganmu, Suto."
"Apa maksudmu berkata begitu?"
"Aku membutuhkan seorang tabib. Kudengar kau juga dikenal
sebagai Tabib Darah Tuak?"
"Hanya beberapa orang saja yang menjulukiku demikian."
"Tapi julukan itu membuatku menaruh harap padamu, Tabib
Darah Tuak."
"Boleh saja kau menaruh harap padaku, tapi segala keputusan
tetap ada di tangan Yang Kuasa, Andani."
"Aku paham maksudmu."
Pendekar Mabuk kembali menikmati sebentuk kecantikan yang
enak dipandang dan membuat jantung berdebar-debar sejak tadi.
Debaran itu menghadirkan keindahan tersendiri yang sukar
dilukiskan dengan kata.
"Siapa yang membutuhkan bantuanku sebagai tabib?!" tanya Suto
setelah mereka beradu pandang dua helaan napas.
"Aku sendiri," jawab Andani. Pendekar Mabuk hanya
sunggingkan senyum sebagai tanda kurang percaya atas pengakuan
tersebut.
"Kau tampak segar, sehat, cantik, dan... menawan sekali. Kau tak
kelihatan sebagai orang yang sakit, Andani."
"Kelihatannya memang begitu. Tapi beberapa tahun yang lalu,
seseorang telah menyerangku dan melukai bagian dalamku. Orang
itu menggunakan jurus 'Karang Siksa'. Dengan jurus itu ia
menanamkan sebutir batu dalam tubuhku. Batu itulah sebenarnya
yang dinamakan batu 'Karang Siksa', yang tubuhku merasa tersayat-
sayat setiap malam. Kadang merasa seperti dicambuk-cambuk, atau
juga seperti ditusuk-tusuk jarum. Menyiksa sekali. Dan setiap malam
aku harus menderita perasaan seperti itu. Jika matahari muncul,
barulah siksaan itu berhenti dan keadaanku sehat-sehat saja, seperti
saat ini."
"Jurus yang aneh sekali," gumam Pendekar Mabuk.
"Lawanku itu memang tangguh. Tapi dalam waktu dekat nanti,
dia akan kukirim ke neraka setelah aku menyelesaikan pelajari satu
jurus utama khusus untuk mengalahkan lawanku itu!"
"Siapa lawanmu yang mempunyai jurus 'Karang Siksa' itu,
Andani?" tanya Pendekar Mabuk setelah merenung sebentar.
"Kurasa nama itu tak penting bagimu. Yang kuharap darimu
adalah menghancurkan batu 'Karang Siksa' yang tertanam di dalam
tubuhku ini! Aku ingin bebas dari siksaan setiap malam. Aku ingin
bisa tidur dengan nyenyak dan damai."
Wajah cantik itu tampak murung, sebagai ungkapan dari rasa
sedihnya jika membayangkan siksaan setiap malamnya itu. Pendekar
Mabuk menjadi iba hati melihat si cantik berwajah murung.
Akhirnya ia putuskan untuk menolong wanita cantik itu.
"Akan kucoba menolongmu, Andani. Tapi terlebih dulu aku ingin
tahu, dari mana asalmu?"
"Aku... aku dari Bukit Jerami, agak jauh dari sini. Aku sengaja
mengasingkan diri ke Bukit Jerami, karena sebenarnya aku sudah tak
ingin ikut campur dalam dunia persilatan ini! Aku capek dan ingin
istirahat dengan damai di bukit yang sepi itu."
"Jadi, kau tinggal sendirian di Bukit Jerami, tanpa teman, tanpa
saudara dan tanpa suami?"
"Saudaraku telah tewas semua di tangan musuhku itu. Aku tak
pernah mau dikunjungi teman, karena aku memang ingin hidup
menyendiri. Sedangkan suami... suamiku telah kabur dengan
perempuan lain, dan membiarkan hidupku menjanda tanpa anak dan
keluarga."
Kata-kata itu dituturkan dengan menghiba sekali, membuat
Pendekar Mabuk semakin trenyuh dan berbelas kasihan kepada
Andani. Semakin trenyuh lagi hati Suto setelah perempuan itu
berlutut di depannya dan memohon dengan suara menghiba.
"Kumohon kau mau menyembuhkan sakitku ini, Pendekar
Mabuk! Aku sudah tak kuat hidup dalam penderitaan setiap malam!"
"Bangunlah, Andani. Bangun, tak perlu berlutut di depanku
begitu. Aku akan mengobatimu sekarang juga. Minumlah tuakku ini
dan kau akan terhindar dari penyakit yang menyiksa itu. Tuakku ini
dapat hancurkan batu "Karang Siksa' yang ada dalam tubuhmu itu,
Andani!"
Sambil berkata begitu, tangan Suto mencekal lengan Andani dan
membimbing agar wanita itu segera berdiri lagi. Bahkan setelah
Andani berdiri, tangan itu masih mencekal lengan si wanita,
sehingga keduanya sama-sama merasakan sentuhan hangat yang
menjalar sampai ke seluruh tubuh.
"Minumlah tuakku...," sambil Suto Sinting menarik bumbung
tuak yang tadi sempat digantungkan di pundaknya. Namun sebelum
bumbung tuak itu sempat diberikan kepada Andani, tiba-tiba
seberkas sinar hijau seperti buah rambutan melesat cepat menyerang
Pendekar Mabuk dari arah belakang. Weeess...!
"Oh, Suto...?!" Andani segera menarik tubuh Suto ke dalam
pelukannya, kemudian dengan telapak tangannya ia menahan
datangnya sinar hijau tersebut. Suuurb...!
Seandainya Suto tidak ditarik hingga berpelukan dengan Andani,
dan tangan Andani yang ada di belakang Suto tidak menahan sinar
hijau itu, maka punggung Suto akan berlubang besar dan nyawa pun
akan melayang.
Ketika mereka merenggangkan jarak, Suto Sinting sempat
tersenyum karena menyangka mendapat pelukan mesra dari Andani.
Tapi ketika genggaman tangan Andani membuka, tampaklah sinar
hijau yangmemancar seperti bentuk buah rambutan.
"Seseorang ingin membunuhmu dengan sinar ini," ujar Andani.
Maka, Suto pun akhirnya terbelalak tegang dan kebingungan
sendiri. Ketegangan di hati Suto disebabkan oleh datangnya sinar
hijau yang nyaris mengenai punggungnya, dan kemampuan Andani
menangkap sinar hijau yang sampai sekarang belum meledak-ledak
juga.
"Gila! Tinggi sekali ilmu perempuan ini?!" pikir Suto dalam
keheranan "Cahaya hijau itu bisa ditangkapnya dan tidak meledak
dalam gengamannya. Kalau bukan berilmutinggi tak mungkin hai itu
bisa dilakukan."
Andani justru memainkan sinar hijau itu seperti memainkan bola
kecil di tangannya.
"Aku ingin tahu siapa yang ingin membunuhmu itu!" ujarnya, lalu
tiba-tiba sinar hijau itu dilemparkan ke arah tempat datangnya
semula. Weess...! Sinar itu melesat dan menghantam sebatang pohon
besar. Jegaaarr...!
Pohon itu berlubang sebesar kepala sapi. Daun-daunnya rontok
seketika, bahkan dahan serta rantingnya menjadi kering dalam waktu
singkat.
Pendekar Mabuk terbelalak membayangkan jika sinar hijau itu
mengenai punggungnya, maka nasibnya akan seperti pohon tersebut.
"Untung dia tangkas dan punya ilmu bisa memegang sinar
pukulan sedahsyat itu, seandainya ia tidak mempunyai ilmu tersebut,
pasti sekarang ini aku sudah menjadi sundel bolong. Punggungku
akan berlubang sebesar kepala sapit begitu."
Sementara si perempuan cantik itu masih memperhatikan ke arah
pohon tersebut, ia menunggu sesuatu yang muncul dari balik pohon
tersebut, karena ia melihat orang yang melepaskan pukulan bersinar
hijau itu bersembunyi di baiik pohon tersebut. Tetapi sampai dua
helaan napas ditunggu, orang tersebut tak segera tampakkan diri,
Andani pun jengkel dan berseru dengan lantang.
"Jahanam, keluar kau! Jangan hanya berani menyerang dari
belakang!"
"Aku di sini sejak tadi!" ujar suara yang tiba-tiba didengar sudah
berada di belakang Suto dan Andani. Mereka berpaling serentak dan
mundur dua langkah.
"Siapa kau?!" tanya Suto dengan tetap tenang. "Mengapa kau
menyerangku dari belakang dengan jurus yang berbahaya itu?!"
Seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di belakang mereka itu
hanya sunggingkan senyum dingin. Lelaki itu bertubuh sedang,
kumisnya tak terlalu lebat, jenggotnya cepak. Rambut si lelaki masih
hitam dan pendek, diikat dengan ikat kepala warna biru, sesuai
dengan pakaiannya yang serba biru itu. Diperkirakan, lelaki itu
berusia sekitar empat puluh tahun lebih sedikit, ia menyandang
kapak yangterselip di sabuk hitamnya.
"Aku tak punya urusan denganmu, Perempuan cantik! Urusanku
adalah dengan pemuda itu!"
"Aku tidak kenal denganmu," sergah Suto Sinting. "Mengapa kau
merasa punya urusan denganku?!"
"Karena kau yang kulihat bergabung dengan pihak Panembahan
Pancalingga!"
"Kalau begitu kau orangTanjung Leak?!"
"Benar! Akulah yang dipercaya untuk memata-matai padepokan
itu dan diberi hak untuk membunuh orang padepokan selagi ada
kesempatan untuk melakukannya. Tapi sasaranku yang paling utama
adalah membunuh si tua bangka; Panembahan Pancalingga, supaya
Nyai Gincu Barong semakin bangga dengan hasil kerjaku!"
"Kau yang bernama Singaloya?!" sahut Andani dalam tanya.
"Dari mana kau mengenaliku sebagai Singaloya, Cantik?!"
"Aku tahu, si Gincu Barong punya beberapa orang kepercayaan,
di antaranya ada yang bernama Singaloya yang mempunyai senjata
ampuh 'Kapak Guntur'. Dan kulihat senjata di pinggangmu itu adalah
Kapak Guntur!"
"Ha, ha, ha, ha...! Kau ternyata cukup jeli. Cantik! Tapi aku tak
tahu siapa kau dan di pihak mana kau berdiri. Maklum, aku baru
beberapa bulan bergabung dengan Nyai Gincu Barong!"
"Sampaikan salamku kepada Gincu Barong, dan ingatkan
kepadanya agar tidak mengganggu pemuda ini."
"Oh, pikirmu kau ini siapa, sehingga merasa mampu menyuruh
Nyai Gincu Barong untuk tidak membunuh pemuda ini?! Kalau
kukatakan bahwa pemuda ini akan memperkuat pihaknya Padepokan
Pantai Porong, tentu saja tak akan ada ampun bagi pemuda ini. Nyai
tetap akan perintahkan kepadaku untuk membunuhnya."
"Kalau begitu." kala Andani. "Sebelum kau melukai pemuda ini,
terlebih dulu sebaiknya kau kukirim ke neraka, Singaloya'"
"Oh, jadi kau yang ingin tampil sebagai perisainya?! Celaka!
Bodoh amat kau ini, Cantik. Mengapa kau mau menjadi perisainya?
Apakah kau tak tahu kali ini yang berhadapan dengannya adalah
Singaloya? Kau bisa mati tanpa berkedip kalau harus melawanku,
Cantik."
"Jangan banyak bicara!" geram Andani, tiba tiba tangannya
berkelebat ke depan seperti menaburkan sesuatu. Wuuurs...! Tangan
itu sebarkan percikan sinar merah yang segera menerjang ke arah
Singaloya. Namun dengan cepat Singaloya melesat tinggi ke atas,
hingga percikan sinar merah itutak ada yang mengenainya
"Modar kau. Cantik! Heeah...!"
Singaloya lepaskan pukulan bersinar lurus tanpa putus ke arah
Andani. Claaap...! Sinar hijau lurus itu bermaksud menghantam
kepala Andani.Tetapi dengan tangkas tangan Andani menahan ujung
sinar tersebut.
Deeb...! Sinar itu tetap memancar lurus dari tangan Singaloya ke
tangan Andani Sementara itu Suto yang ingin ikut campur segera
dilarang oleh Andani memakai bahasa isyarat. Mau tak mau ia
membiarkan dulu kemampuan Andani menghadapi Singaloya.
Sampai lelaki berpakaian serba biru itu daratkan kakinya ke tanah,
sinar hijau itu masih memancar seperti sebatang tongkat yang
dipakai untuk saling mendorong lawan.
Namun dalam kejap berikutnya, Andani bukan sekadar menahan
sinar hijau melainkan juga ikut kerahkan tenaga dalamnya melalui
telapak tangan itu. Wuuk...! Sinar hijau pun membengkak menjadi
kebiru-biruan. Lalu dengan satu kali sentakan tangan ke depan,
Andani berhasil membuat Singaloya terjungkal ke belakang dan
berguling-guling.
Weess...! Brruk...!
"Uuhk...!" Singaloya mengerang ketika sinar hijau yang berubah
kebiru-biruan itu menghantam masuk ke telapak tangannya dan
tubuhnya bagai diseruduk banteng liat.
Clap, clap...! Tiba-tiba dari kedua jari Andani keluar sinar merah
seperti ujung tombak. Sinar merah itu melesat cepat dan
menghantam dada Singaloya.
Blegaaarr...! Blaaarr...!
"Gila?!" pendekar tampan itu terperangah bengong. Ternyata tak
ada ampun lagi bagi Singaloya, tubuhnya menjadi hancur dihantam
dua sinar merahnya Andani tadi. Tanpa punya kesempatan
menggunakan senjata 'Kapak Guntur'-nya, Singaloya akhirnya
tumbang dalam keadaan mengerikan, tangan, kaki, badan, kepala,
bahkan jari-jari tangannya, semua menjadi menyebar karena pecah.
"Mengapa kau bunuh dia sekeji itu, Andani?!"
"Karena ia pun orang yang keji, dan layak mendapat ganjaran
seperti itu dariku!"
Pendekar Mabuk masih tertegun bengong memperhatikan Andani.
Hatinya memuji namun juga mengecam Andani yang dapat
membunuh Singloya dalam waktu amat singkat.
*
* *
5
PARA murid Perguruan Pantai Porong sibuk mencari pendekar
heboh itu. Setiap orang ditugaskan mencari Suto Sinting secara
bergantian. Batas wilayah Pantai Porong dijaga ketat oleh mereka
dengan senjata siap perang.
"Ke mana si wajah heboh itu, ya? Jangan-jangan ditelan cumi-
cumi?" gerutu salah seorang murid laki-laki yang ditugaskan
menyusuri pantai bersama beberapa orang lainnya.
"Hei, lihat...! Kepala siapa itu yang tergeletak di seberang sana?!"
seru salah seorang. Lalu mereka menghampiri benda yang dituding
oleh orang tersebut.
"Oh, kepala manusia?! Tapi... kurasa ini bukan kepala si pendekar
heboh. Pendekar heboh itutidak berkumis!"
"Siapa tahu kumisnya tumbuh mendadak?!" ujar temannya
dengan konyol.
Setelah mereka perhatikan bagian-bagian tubuh yang menyebar
itu, maka tahulah mereka bahwa potongan tubuh itu miiik orang
Tanjung Leak. Mereka segera melaporkan hal itu kepada Eyang
Panembahan Pancalingga.
Ketua perguruan itu turun tangan sendiri, memeriksa mayat yang
berantakan di pantai. Dari hasil pemeriksaan indera keenamnya,
Eyang Panembahan yakin bahwa mayat itu adalah mayat orang
Tanjung Leak, tapi bukan dibunuh olehPendekat Mabuk.
"Seseorang telah membunuhnya entah karena persoalan apa."
"Lalu, ke mana Pendekar Mabuk itu, Eyang?" tanya Mahayuni
dengan cemas.
Rahisan menyahut dengan tengilnya, "Kurasa dia pulang, karena
takut kalau harus melawan Nyai Gincu Barong."
"Tak mungkin," sahut Eyang Panembahan. "Suto pamit padaku
mau mencari kedua orang temannya, siapa tahu terdampar di
sepanjang Pantai Porong ini."
"Jangan-jangan tertangkap orang-orangnya Nyai Gincu Barong
dan dibawa ke Tanjung Leak?!" ujar Mahayuni.
Eyang Panembahan pejamkan mata sejenak, melihat dengan
indera keenamnya. Sebentai kemudian ia buka mata dan gelengkan
kepala,
"Tidak, tidak ada di sana."
"Lalu ke mana dia, Eyang? Coba lihat dengan mata batin Eyang,"
desak Rahisan.
Beberapa saat setelah Eyang Panembahan pejamkan mata, ia jadi
bingung sendiri dan berkata kepada kedua cucunya.
"Sulit sekali, Ada kabut hitam yang menyelimutinya, sehingga
sukar kutembus di mana dia berada."
Mereka tidak tahu kalau Pendekar Mabuk dibawa oleh Andani ke
tebing karang berongga besar. Rongga besar itu ada gua yang
mempunyai lorong panjang entah sampai di mana.
"Mengapa kita harus di sini, Andani?!" tanya Suto dengan rasa
penasaran.
"Akutak ingin pengobatanku nanti ada yang melihatnya."
"Seandainya ada yang melihatnya, mengapa kau keberatan?"
"Karena dia tahu orang itu kenal dengan musuhku dan ia
memberitahukan pengobatan ini, sehingga ia datang lagi untuk
menyerangku kembali."
"Kurasa kemungkinan itu tipis sekali, Andani. Dan lagi caraku
mengobatimu tidak kentara. Kau hanya meminum tuak ini. Minum
biasa saja, seperti orang sedang haus. Dan batu 'Karang Siksa' itu
akan hancur dengan sendirinyatanpa keanehan apa-apa."
Andani mendekati Suto hingga berjarak dua langkah, ia
memandang tajam tapi berkesan sayu. Hati Suto bergetar lagi
menerima tatapan mata yang penuh daya pikat itu.
"Yang jelas, aku tak ingin ada orang mengetahui pertemuanku
denganmu."
"Kenapa begitu?"
"Supaya musuhku pun tak tahu kalau aku telah mengenalmu dan
menjadi seorang sahabatmu. Bukankah... bukankah kita bersahabat,
Suto?"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala dengan bibir sunggingkan
senyum menawan. Kalem, lembut dan enak dipandang. Andani
semakin ceria dan berbinar-binar bagai ditaburi bunga-bunga indah.
Ia melangkah ke balik gugusan batu setinggi perut yang memanjang
sekitar dua langkah. Cahaya yang masuk melalui mulut gua membuat
gua itu berpenerangan remang-remang.
Di balik batu setinggi perut itu terdapat tumpukan jerami yang
lebar, sepertinya sudah biasa digunakan untuk tidur. Andani berdiri
di sana menunggu Suto mendekat.
"Andani, apakah kau sudah sering tinggai di gua ini?" tanya Suto
Sinting sambil memandang di kedalaman gua yang gelap.
"Ya, gua ini kadang kupakai sebagai tempat persembunyian dari
pengejaran musuh-musuhku. Atau sesekali kupakai untuk bersemadi.
Jarang orang mengetahui tempat ini, Suto. Aku merasa aman jika
sudah berada di sini."
Sambil mendekati Andani, Suto ajukantanya dengan suara tegas.
"Tembus ke mana lorong di kedalaman sana?"
"Akutak pernah mencobanya," jawab Andani tepat pada saat Suto
berhenti di depannya dalam jarak satu jangkauan.
"Kapan kau ingin mengobatiku, Tabib Darah Tuak?!"
"O, sekarang pun bisa." Suto Sinting pun meraih bumbung
tuaknya. Tapi pada saat itu Andani melepaskan jubahnya. Kini
pundak dan punggungnya tampak terbuka dengan bebas. Kemulusan
tubuh itu membentang tanpa penghalang apa pun.
"Andani, kau tak perlu harus buka pakaian. Kau hanya meminum
tuak ini, seperti penjelasanku tadi."
"O, ya... maaf. Kusangka kau akan salurkan hawa saktimu melalui
punggungku."
Andani tertawa kecil. Tapi ia tidak mengenakan jubahnya lagi. Ia
menerima bumbung tuak itu dan menenggaknya beberapa kali.
Sebagian tuak tercecer di sekitar mulut dan dagu hingga lehernya.
"Aahhh...! Segar sekali rasanya," ujar Andani sambil serahkan
kembali bumbung itu kepada Suto Sinting.
"Nanti malam kau tak akan merasakan hal-hal yang menyakitkan
seperti katamu tadi."
"O, ya? Tapi hanya beginikah caramu mengobatiku?"
"Memang hanya begitu."
"Sederhana sekali."
"Ya. Tapi... sayang sekali tuak itu tumpah di sekitar bibir dan
lehermu."
"Kau mau mengeringkannya?" pancing Andani.
"Mau, asal aku mengeringkan dengan bibirku juga," goda Suto
Sinting.
"Cobalah lakukan, aku ingin tahu bagaimana caramu
mengeringkan tuak dari bibir, dagu, leher, dan... oh, ada yang
membasah di belahan dadaku. Hi, hi, hi...!"
Pendekar Mabuk semakin deg-degan mendapat tantangan seperti
itu. Lalu, pelan-pelan ia mendekatkan wajahnya setelah meletakkan
bumbung tuak di batu sebelah. Andani setengah memejamkan mata
dan dagunya sedikit naik dengan bibir ranum merekah. Suto Sinting
pun menjilat air tuak yang masih membasah di sudut bibir itu.
Seeet...! Hangat sekali rasanya bagi Andani.
Tepian bibir itu dikecup-kecup dengan hisapan lembut supaya air
tuak tertelan oleh Suto. Kecupan itu membuat hati Andani makin
berdesir-desir hingga napasnya sering dilepaskan lewat mulut
bersama desah yang samar-samar.
Dari tepian bibir, kecupan Suto merayap ke dagu, menjilat tuak
yang membasah di sekitar dagu itu, lalu menyusuri leher. Lidah Suto
menyapu leher yang basah oleh tuak. Tanpa diketahui Suto, ternyata
Andani telah melepaskan tali simpul dari kain pinjungnya. Kini
pinjung itu jatuh ke kaki dan dada itu terbuka. Pendekar Mabuk
masih sibuk menyusuri tempat yang basah oleh tuak.
Ia menjadi terkejut setelah bibirnya menyentuh tepian bukit dada,
matanya melirik ke samping, ternyata bukit itu telah menantang
penuh keberanian.
Andani mendesis lirih. "Sssssh...! Oh, indah sekali sentuhanmu,
Suto. Geserlah ke kiri sedikit."
Kecupan Suto bergeser ke kiri. Sekalipun tak ada tuak di situ, tapi
mulut Suto masih memagut-magut dengan pelan, lembut sekali.
"Ooh, Suto... ke kiri lagi. Terus ke kiri...." Ketika kecupan Suto
makin ke kiri dan menyentuh ujung bukit, Andani mengerang
panjang sambil meremas pundak Suto.
"Ooouh...! Indah sekali itu, Suto. Indah sekali... oh, agak kencang
sedikit, Sayang. Aah, yaa... ya... terus, jangan berhenti. Aku suka
sekali pagutanmu, Suto. Oouh... nikmatnya bukan main. Aaah...."
Sambil menghamburkan kata-kata yang menjadi ungkapan dari
perasaannya, Andani meremas pundak Suto makin kuat. Bahkan
tanpa disengaja ia telah membuat baju Suto mengendor ke lengan,
akhirnya baju itu dilepaskan olehnya. Suto membiarkan bajunya
dilepas oleh Andani. Tetapi tangannya yang merangkul pinggang
Andani akhirnya menemukan ujung pengikat. Tangan Suto
melepaskan ujung kain pengikat dan kain penutup bagian bawah
Andani pun jatuh terkulai di kaki perempuan itu.
Dengan masih seperti bayi yang kehausan, Suto Sinting
merayapkan kedua tangannya ke bagian belakang tubuh Andani.
Tangan itu akhirnya mengelus pinggul, lalu meremas bagian yang
menggunduk sekal di sekitar pinggul itu.
"Ooh, Suto... aku senang sekali kau perlakukan begini. Ooh...
bikin aku semakin melayang-layang lagi, Suto...," ucap Andani
seperti bocah kecil merengek.
Ciuman Suto Sinting mulai merayap turun setelah kedua bukit di
dada Andani tersapu habis seluruhnya. Andani sendiri yang meminta
agar kecupan Suto turun ke bawah dengan menekan kepala Suto agar
turun ke bawah.
"Terus, terus...! Uuh... terus ke bawah, Suto. Oh yaa... ya... di situ,
Suto! Bikin aku lebih indah lagi...." Lalu ia memekik, "Aaaah...!
Sutooo.... Oh, ya... kau pintar sekali melambungkan jiwaku yang,
ooouuh...!" Ia meremas rambut kepala Suto kuat-kuat karena
merasakan keindahan yanghampir mendekati puncaknya.
Andani menaikkan kaki kanannya ke atas batu yang setinggi perut
itu. Suto Sinting berlutut dan seakan pintu kehangatan telah dibuka
lebar-lebar oleh Andani, sehingga kecupan dan sapuan lidah Suto
dapat bergerak dengan lebih bebas lagi.
Rupanya perempuan itu mempunyai tato gambar kupu-kupu di
paha kirinya. Tato itu tadi sempat dilirik Suto saat sebelum
kemunculan Singaloya. Menurut penglihatan Suto, tato kupu-kupu
itu dalam ukuran kecil. Tapi sekarang Suto melihat tato kupu-kupu
itu menjadi besar dan sayapnya melebar.
Rupanya tato itu bukan sembarang tato. Ia dapat mekar dan
mengecil sesuai dengan gairah Andani. Jika gairah perempuan itu
masih kecil, maka tato gambar kupu-kupu itu tetap kecil. Tapi jika
gairah Andani semakin besar, maka tato kupu-kupu itu pun menjadi
lebar.
Tato itu sekarang disapu oleh lidah Suto dengan gerakan pelan
sekali. Andani memekik kegirangan.
"Aaow...!"
Suto berhenti dan mendongak. "Sakit...?!"
"Tidak, Sayang, itu tempat yang pailng nikmat untuk dikecup.
Lakukan lagi, Sayang. Lakukan lebih lama lagi. Aaooww...!"
Andani memekik lagi, karena belum selesai bicara lidah Suto
Wah menyapu tato tersebut. Rupanya memang benar apa kata
perempuan itu, semakin lama tato itu dikecup atau disapu dengan
lidah, Andani semakin memekik keras bagai dihujam seribu
kenikmatan. Pendekar Mabuk mencoba menggigit pelan tato itu,
Andani kian liar, teriakannya dan remasan tangannya bagai orang
sedang menahan sesuatuyang ingin meledak bersama keindahannya
Tangan Suto akhirnya tak mau tinggal diam di pinggul. Tangan
itu merayap dan jarinya mulai berani memasuki gerbang kemesraan
Andani.
"Oooh, oooh... teruskan, Suto! Aku suka yang begini, ooh...!
Indah sekali, Suto. Indah sekaliii...!"
Napas Andani terengah-engah, ia masih bertahan untuk tetap
berdiri dengan satu kaki, sementara pinggulnya pun meliuk-liuk
mengikuti irama keindahan. Tangan Suto masih menari di gerbang
kemesraan Andani dan semakin lincah lagi, sementara tato kupu-
kupu itu masih pula dipagut-pagut serta digigit-gigit kecil oleh Suto.
"Sutooo, oouh... Sayang, aku mau... aku mau sampai, Sayang.
Terus, terus... lebih cepat lagi, Suto. Ooouh, oouh.... Aaaahk...!"
Andani memekik panjang. Sekujur tubuhnya mengejang kaku.
Kepalanya mendongak dengan mata terpejam kuat-kuat. Rupanya ia
telah mencapai puncak keindahannya sebelum Suto Sinting
menggunakan dayungnya untuk mengayuh perahu cinta. Mereka
belum berlayar, tapi Andani sudah mencapai puncak pelayaran lebih
dulu. Jika bukan karena kepandaian Suto dalam memainkan irama
kemesraan, tak mungkin perempuan itu mencapai puncak kemesraan
lebih dulu.
Kini tubuh Andani basah oleh keringat. Tapi ia tak
mempedulikannya. Ia masih menyukai jurus-jurus kemesraan
sebelum keduanya berlayar dengan perahu cinta. Bahkan Suto
Sinting ternyata mampu membuat perempuan itu melambung tinggi-
tinggi mencapai puncak kemesraannya beberapa kali. Tak heran jika
suara pekikan dan erangan Andani membuatnya menjadi serak dan
parau.
"Cukup, Suto! Cukup...! Kau harus menikmati seperti apa yang
kurasakan! Ooh, berdirilah, Sayang...! Aku ganti akan
melambungkan jiwamu ke langit-langit asmara...."
Suto Sinting bangkit berdiri, bersandar pada batu setinggi perut.
Andani lebih dulu menerjang bibir Suto. Bibir itu dilumat hingga
lama, dan gairah Suto menjadi berkobar-kobar. Lalu, lidah Andani
pun menyusuri dagu, hingga mencapai leher. Di sana ia memagut-
magut lembut, menimbulkan rasa syur di hati Suto Sinting.
Gerakan bibir itu makin lama semakin liar. Pagutan Andani bagai
seekor singa yang buas. Dada Suto pun menjadi sasaran berikutnya.
Andani bagai seorang bayi yang kehausan dan rakus. Suto Sinting
bagai seorang ibu yang membiarkan bayinya minum dengan sepuas-
puasnya, ia hanya mengusap-usap kepala perempuan itu sambil
sesekali meremas karena menahan desiran kenikmatan.
Akhirnya ciuman Andani turun terus ke bawah dan perempuan itu
menemukan pusat keindahan Suto. Ia meremasnya dengan kepala
mendongak ke atas, menyunggingkan senyum kegirangannya.
Namun baru saja Andani ingin berlutut, tiba-tiba gua itu terasa
bergetar. Suara gemuruh terdengar samar-samar bagai datang dari
luar gua. Mereka sama-sama terkejut, bahkan Andani segera bangkit
dan terduduk dengan mata melebar memandang Suto Sinting.
"Ada apa itu?!"
"Entahlah! Sepertinya terjadi ledakan dahsyat di atas tebing ini."
Gleeerrr...!
Gua berguncang semakin hebat. Langit-langit gua bagaikan mau
runtuh. Mau tak mau Andani dan Suto Sinting sama-sama bergegas
mengenakan pakaiannya kembali.
"Jika langit-langit gua ini runtuh, kita bisa mati tertimbun di sini!"
ujar Pendekar Mabuk sambil berkemas untuk keluar dari gua.
"Suto, tunggu...!" Andani terburu-buru mengenakan pakaiannya.
Kemudian ia menyusul Pendekar Mabuk yang sudah berada di mulut
gua.
"Kita periksa dulu apa yangterjadi di atas tebing ini!" ujar Andani
dengan penuh semangat. Kemudian mereka berdua melesat
tinggalkan gua itu dan mendaki tebing dengan cara melompat
bagaikan seekor tupai.
Tab, tab, tab, tab, tab...!
Dalam sekejap saja mereka sudah sampai ke atas tebing. Ternyata
bagian atas tebing itu merupakan tempat yang jarang ditumbuhi
pohon dan banyak bebatuan yang berserakan di sana-sini dalam
ketinggian masing-masing. Ada yang tingginya seukuran tinggi
tubuh Suto, tapi ada pula yang dua kali tinggi ukuran tubuh Suto.
"Akutak melihat ada pertarungan di sini!" ujar Andani.
"Coba kita cari di sebelah sana!" sambil Suto mendahului
bergerak ke arah yang dimaksud.
*
* *
6
DUGAAN Suto benar. Di tempat yang tampak masih
mengepulkan asap itu terjadi pertarungan. Namun agaknya
pertarungan itu sangat tak seimbang.
Pendekar Mabuk terkejut ketika melihat siapa yang bertarung di
situ. Seorang perempuan berusia sekitar dua puluh lima tahun
melawan seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun.
Perempuan yang tampak masih lajang itu sangat berang kepada si
pemuda yang mengenakan baju kuning dan celana hitam berikat
kepala kuning merah. Pemuda bertubuh tak terlalu kurus itu
mempunyai kulit gelap dan wajahnya masih kelihatan polos.
"Mahesa Gibas...?!" Suto Sinting nyaris terpekik begitu
mengenali pemuda itu.
Mahesa Gibas sedang diserang oleh perempuan muda yang
berpakaian serba merah itu. Tendangan si perempuan kenai
punggung Mahesa Gibas, membuat pemuda itu terpental dan
berjungklr balik.
"Edan! Tentu saja ia dapat menghajar Mahesa Gibas, karena
Mahesa Gibas tak mempunyai ilmu yang cukup. Akulah
tandingannya!" ujar Suto Sinting sambil ingin melompat dari balik
semak. Tapi tangannya segera dicekal oleh Andani.
"Tak perlu ke sana. Aku tahu perempuan itu adalah orang
Tanjung Leak, murid si Gincu Barong!"
"Tapitemanku itu akan celaka jika dibiarkan saja!"
"Akan kuselesaikan dari sini demi temanmu!"
Andani membuktikan kata-katanya, ia melepaskan pukulan jarak
jauh berupa sinar merah seperti ujung tombak yang keluar dari ujung
telapak tangannya. Clapp...! Satu sinar merah terbang cepat dan
dengan telak menghantam tubuh perempuan berpakaian serba merah
yang sedang ingin menerjang Mahesa Gibas dengan lompatannya itu.
Blarrr...!
Mahesa Gibas terperangah dan memekik kaget, ia melihat
lawannya pecah menjadi beberapa bagian akibat dihantam sinar
merah tadi. Nasib perempuan itu seperti yang dialami Singaloya.
Menyedihkan, sekaligus mengerikan. Mahesa Gibas mematung di
tempat karena dicekam perasaan kaget yang mengerikan.
"Beres, kan?!" ujar Andani sambil tersenyum pandangi Suto.
"Seharusnya kau tak perlu gunakan jurus mautmu itu."
"Sudahlah, jangan mengecam! Hampiri temanmu itu!"
Pendekar Mabuk pun segera hampiri Mahesa Gibas, sedangkan
Andani masih tetap di balik semak-semak.
"Mahesa...!" sapa Suto Sinting.
"Haah...?! Sutooo?!" Mahesa Gibas makin terperangah, bahkan
sempat terpekik keras karena girangnya. Ia pun berlari dan
menghamburkan pelukan kepada Suto Sinting.
"Sutoo... ooh, untung aku bisa bertemu denganmu lagi. Jika tidak,
aku tak tahu seperti apa nasibku nanti. Mungkin aku akan bunuh diri
di bawah pohon toge!" pemuda ituterharu dalam kegembiraannya.
"Di mana Perawan Sinting?"
"Aku tak tahu. Aku tak bertemu dengannya. Aku justru bertemu
dengan perempuan itu."
"Mengapa kau dihajar oleh perempuan Itu?"
"Dia... dia ingin minta dicumbu. Ak... aku sudah mencumbunya.
Tapi dia minta lebih dari sekadar dicumbu. Aku tak mau, karena
hatiku sedang sedih dan bingung memikirkan nasib kita. Rupanya
perempuan itu marah, ia menunjukkan kehebatan ilmunya dengan
menghantam pohon besar itu yang langsung meledak dan menjadi
serpihan kayu seperti yang kau lihat itu...."
Pendekar Mabuk memperhatikan serpihan kayu yang berceceran
ke berbagai arah. Rupanya ledakan itulah yangtadi mengguncangkan
hingga terasa sampai di dalam gua.
"Dia menakut-nakutiku dengan cara begitu. Tapi aku tetap tidak
mau memberikan kenikmatan yang dimintanya."
"Kenapa tak kau layani saja?" pancing Suto.
"Aku... aku tidak punya kemampuan, karena hatiku masih gelisah
dan memikirkan kau serta Perawan Sinting. Apa yang ia harapkan
tak bisa bangun, sehingga ia semakin marah padaku, lalu aku
dihajarnya...," sambil ia menunjukkan wajahnya yang babak belur.
Pendekar Mabuk justru tertawa melihat Mahesa Gibas bonyok
begitu.
"Kasihan. Minumlah tuakku ini!"
Mahesa Gibas buru-buru meminum tuak, dan rasa sakit dan luka-
lukanya segera hilang dalam waktu singkat.
"Padahal kalau aku mau melayaninya, aku akan diajak menemui
gurunya dan akan dijadikan murid si guru itu," kata Mahesa Gibas.
"Siapa guru yang dimaksud itu?"
"Kalau tak salah ia menyebutkan Nyai Gincu Barong."
"Hmmm... kalau begitu apa kata Andani memang benar. Dia
orangTanjung Leak, anak buah Nyai Gincu Barong."
"Andani? Siapa Andani itu, Suto?!"
"Seorang teman baru. O, ya... Ikut aku, Mahesa! Kukenalkan kau
kepada Andani!"
Sambil melangkah menuju balik semak tempat Andani
bersembunyi, Mahesa Gibas bercerita tentang saat-saat ia terdampar
di sebuah pantai dalam keadaan terjepit karang. Untung ia berhasil
melepaskan diri dari jepitan karang itu walau siku dan pahanya
sempat robek.Tapi luka itu kinitelah tiada sejak meminumtuak Suto
tadi.
Pendekar Mabuk berseru sebelum mencapai semak-semak.
"Andani...! Keluarlah,temanku ini ingin berkenalan denganmu!"
Tetapi Andani tak menjawab. Bahkan Suto Sinting tak melihat
ada gerakan di balik semak-semak itu. Mahesa Gibas pun diajak
menerobos semak untuk menemui Andani. Tetapi Andani tidak ada
di tempatnya semula.
"Andani...?! Andani...!!" seru Suto sambil memandang ke sana-
sini.
"Andani ituperempuan atau lelaki, Suto?"
"Perempuan cantik dan bertubuh mulus menggairahkan. Kaupasti
akan suka memandanginya."
"Jika dibandingkan kecantikan Perawan Sinting, mana yang lebih
unggul?"
"Keduanya sama-sama cantik. Tapi... terus terang aku lebih suka
Perawan Sinting. Hmmm... di mana si Andani tadi!" Suto pun
berseru kembali sambil badannya memutar pelan-pelan.
"Andanii...?! Hai, di mana kau, Andani?!"
Tetap saja tak ada jawaban. Pendekar Mabuk terpaksa mencarinya
di sekitar tempat itu. Mahesa Gibas diam menungu sambil clingak-
clinguk.
Kejap kemudian Pendekar Mabuk kembali dekati Mahesa Gibas
dengan napas terhempas. Mahesa Gibas memandang dengan dahi
berkerut.
"Manatemanmu itu, Suto?"
"Entahlah. Tadi dia ada di sini. Mengapa sekarang pergi?"
Suto pun membatin, "Apakah dia sengaja menghindariku? Atau
karena ia melihat lawannya dan segera kabur?! Hmmm... ke mana si
Andani? Oh, ya... mungkin ia kembali ke gua dan menungguku di
sana."
Mahesa Gibas segera berkata, "Suto, kata Tunawi, perempuan
yang ingin memperkosaku tadi, di tempat ini ada sekelompok
manusia pemakan orang. Mereka tinggal di padepokan dan
mempunyai perguruan sendiri yang bernama Perguruan Pantai
Porong! Hati-hatilah jika kau bertemu dengan orang Perguruan
Pantai Porong."
"Ah, siapa bilang?!"
"Tunawi! Orang Pantai Porong katanya selalu bersikap baik lebih
dulu. Tapi pada akhirnya kita akan disembelih seperti kambing dan
dimakan mentah-mentah!"
"Tunawi berbohong! Justru aku diselamatkan dan ditolong oleh
orang-orang Perguruan Pantai Porong! Aku kenal mereka dan aku
ada di pihak mereka."
"Lho, tapi kenapa Tunawi berkata begitu?"
"Tentu saja Tunawi berkata begitu. Karena Tunawi orangTanjung
Leak. Ketahuilah, Mahesa... orangTanjung Leak sedang bermusuhan
dengan orangPantai Porong."
Mahesa Gibas menggumam. "Lalu, bagaimana dengan rencana
kita? Sang Adipati pasti menunggu hasil kerja kita. Beliau tak mau
kehilangan menantunya; Rama Jiwana itu."
"Kita memang akan lanjutkan perjalanan. Tapi kudengar negeri
Samudera Kubur telah hancur dan si Bayangan Setan sudah tidak
tinggal di Pulau Blacan lagi."
"Ah, kata siapa?!" Mahesa bersungut-sungut. "Baru beberapa hari
yang lalu dia menyerang kadipaten dan menyuruh anak buahnya
pulang ke Samudera Kubur, kenapa sekarang kau bilang Samudera
Kubur telah hancur? Si Bayangan Setan itu bukan orang yang mudah
dilumpuhkan, Suto."
"Aku pun sependapat denganmu. Tapi keterangan ini kudapatkan
dari orang yang bisa kupercaya juga, yaitu ketua Perguruan Pantai
Porong yang bernama Eyang Panembahan Pancalingga. Dia tak
mungkin berkata bohong, Mahesa. Bahkan menurutnya, kehancuran
Samudera Kubur terjadi delapantahun yang lalu."
"Semakin tak masuk akal!" gumam Mahesa Gibas dengan
lagaknya yang sok tahu. "Sudah, tak perlu hiraukan kata-kata itu.
Sekarang sebaiknya kita cari perahu baru untuk lanjutkan perjalanan
ke Pulau Blacan!"
"Nanti dulu. Aku harus temukan Perawan Sinting dulu. Aku harus
tahu bagaimana nasibnya. Aku tak mau meninggalkan Perawan
Sinting sebelum kuketahui nasibnya! Dan lagi...."
Kata-kata Suto terhenti oleh suara ledakan yang menggelegar di
sebelah barat, ia dan Mahesa Gibas saling pandang dengan sedikit
tegang.
"Ada pertarungan di sana!"
Mahesa Gibas menimpali, "Ya. Jangan-jangan si Perawan Sinting
yang bertarung dengan orangTanjung Leak?!"
"Celaka! Aku harus segera ke sana!"
Zlappp...!
"Heii...! Tunggu aku, Suto!"
Mahesa Gibas tertinggal karena Suto menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'. Mau tidak mau Suto hentikan langkah dan harus
menyesuaikan gerakan Mahesa Gibas, karena ia tak mau kehilangan
teman satu pemberangkatan itu.
Ternyata pertarungan itu terjadi antara Mahayuni dan dua orang
berpakaian serba hitam. Dua lelaki berpakaian serba hitam itu
mengenakan ikat kepala merah dan yang satunya hijau. Mereka
berbadan kekar dan tinggi, usia mereka rata-rata sekitar tiga puluh
tahunan.
Mahayuni tampak terdesak oleh tendangan si ikat kepala hijau itu.
Tendangan itu sangat cepat datangnya, seakan seperti angin yang tak
dapat dilihat.
Mahayuni berusaha menangkisnya beberapa kali, tapi akhirnya
dadanya menjadi sasaran empuk kaki tersebut. Druk, duk...!
"Aahk...!" Mahayuni terlempar ke belakang dalam keadaan
melayang. Brruk...! Ia jatuh terbanting begitu saja.
Sementara lelaki berikat kepala merah melepaskan pukulan jarak
jauhnya yang bersinar merah dengan asap tipis menyertainya.
Weesss...!
Pada saat itu, Mahayuni baru saja akan bangkit. Tiba-tiba ia harus
menghadapi sinar merah yang sudah ada di depan matanya.
Mahayunitak punya waktu untuk berkelit atau menangkisnya.
Blarrr...!
Sinar merah itu pecah dan timbulkan ledakan yang melemparkan
tubuh Mahayuni lagi. Seandainya tak ada sinar hijau dari arah kiri
yang menghantam sinar merah itu, sudah pasti Mahayuni akan
kehilangan nyawanya. Tetapi dengan munculnya sinar hijau yang
menghantam sinar merah itu, Mahayuni hanya terlempar ke belakang
dan berguling-guling beberapa saat.
"Keparat! Ada yang mau ikut campur urusan kita, Bedana!"
geram lelaki berikat kepala merah kepada lelaki berikat kepala hijau
yangternyata bernama Bedana itu.
"Serang dia, dan aku akan menyerang perempuan kotor itu,
Gambra!" seru si ikat kepala hijau kepada yang berikat kepala merah,
yangternyata bernama Gambra itu.
Bedana segera mencabut goloknya dan lakukan lompatan bersalto
beberapa kali untuk dekati Mahayuni. Sementara itu, Gambra
melepaskan sinar merahnya lagi ke arah kerimbunan semak. Clapp...!
Namun pada saat itu Pendekar Mabuk muncul dengan bumbung
tuak telah berada di tangan. Wess...! Satu lompatan Suto membuat
sinar merah itu segera menghantam bumbung tuak yang dipakai
untuk menangkis.
Tubbs, weng...! Sinar merah itu berbalik arah dalam keadaan
lebih besar dan lebih cepat. Sementara itu, bumbung tuak Suto tidak
mengalami cedera atau lecet sedikit pun.
Gambra terkejut melihat sinar merahnya menuju ke arahnya
dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat, ia terpaksa melompat
tinggi dan bersalto di udara. Wess...!
Sinar merah itu memang tak jadi kenai tubuh Gambra. Namun
sinar merah besar itu meluncur terus ke belakang Gambra di mana
Bedana sedang ingin mengibaskan goloknya ke kepala Mahayuni.
Pada saat itulah, sinar merah tersebut menghantam punggung
Bedana. Jedarrr...!
"Aaaaa...!!" Bedana menjerit sekeras-kerasnya, ia berlari ke sana-
sini dalam kedaan tubuhnya dibungkus api. Rupanya sinar merah
dari Gambra adalah sihar pembakar tubuh yang mestinya hanya
membuat lawan hangus bagian dalamnya. Tapi karena sinar merah
itu menjadi lebih besar dua kali lipat, maka akhirnya sinar merah itu
bukan saja membakar bagian dalam tubuh Bedana, namun juga
membakar sekujur tubuhnya.
"Bedana...?!!" teriak Gambra dengan tegang, ia sangat terkejut
melihat temannya terbungkus api sebesar itu. Ia kebingungan
memadamkannya, sementara Bedana berguling-guling di rerumputan
dengan jeritan yang menyayat hati.
"Kasihan...!" gumam Suto Sinting. Lalu, tuak pun ditenggaknya.
Sebagian ditelan, sebagian lagi disimpan dalam mulut.
Zlapp...!
Dengan gerakan cepat, Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah ada di
dekat Bedana yang meraung-raung. Tuak dalam mulut itu segera
disemburkan untuk padamkan kobaran api. Api padam seketika. Tapi
tubuh Bedana sudah telanjur hangus, ia menghabiskan sisa napasnya
sebentar, kemudian tak berkutik lagi selama-lamanya. Gambra
memekik keras penuh murka melihat temannya tewas. Pekikan keras
itu merupakan ungkapan rasa penyesalannya terhadap serangannya
tadi yang akhirnya kenai teman sendiri, dan juga ungkapan
kemarahannya kepada Suto Sinting.
"Kau telah membunuh temanku, Bangsaaat...! Heeeaaahh...!"
Gambra melompat sambil cabut goloknya. Golok itu ditebaskan ke
arah dada Suto Sinting. Wuuttt....
Suto Sinting menangkisnya dengan bumbung tuak. Trrang...! Tapi
dari arah samping kanan Gambra, melesat sinar biru kecil yang
langsung menghantam pinggang lelaki itu. Clapp...! Jrass...!
"Aaahk...!" Gambra memekik sambil tumbang ke tanah. Sinar
yang datang dari Mahayuni itu membuat pinggangnya hangus dan
seluruh badannya terasa mengering.
"Bangsat! Awas kalian nanti! Aku akan datang lagi menuntut
balas. Tunggu saatnya yangterbaik!"
Gambra akhirnya larikan diri. Ia tak sanggup melawan Mahayuni
dan Pendekar Mabuk dalam keadaan terluka begitu. Mahayuni mau
mengejar dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak jauh.
Tapi Pendekar Mabuk segera merentangkan tangan dan berseru
kepada Mahayuni.
"Tahan!" Ia mendekati perempuan yang tak jadi lepaskan
pukulannya itu.
"Dia sudah lemah. Tak perlu diserang lagi!"
"Tapi dia mengancam ingin membalas kekalahannya ini!"
"Biar akuyang berurusan dengannya nanti," ujar Suto Sinting.
*
* *
7
PENDEKAR Mabuk dan Mahesa Gibas dibawa ke padepokan
oleh Mahayuni. Orang-orang padepokan yang sedang mencari Suto
Sinting ditarik kembali. Mereka diperintahkan untuk melakukan
penjagaan lebih kuat lagi, karena orang-orang Tanjung Leak
tampaknya semakin gencar lagi lakukan penyerangan secara
bertahap.
Suto ceritakan pertemuannya dengan perempuan cantik yang
bernama Andani. Tapi Eyang Panembahan dan para muridnya tak
ada yang pernah mengenal nama Andani.
"Di seluruh Pantai Porong dan sekitarnya, tak ada wanita yang
bernama Andani dengan ciri-ciri yang kau sebutkan tadi," kata
EyangPanembahan. "Kurasa dia bukan orang sini."
"Tapi mengapa memihak kita, Eyang? Dia membunuh dua orang
Tanjung Leak; pertama Singaloya dan kedua perempuan yang
hendak membunuh Mahesa Gibas itu!" ujar Suto.
"Berarti kita punya satu kekuatan lagi untuk melawan Nyai Gincu
Barong," sela Mahayuni.
Si kecil Rahisan menyahut, "Jangan buru-buru menilai begitu.
Siapa tahu dia lakukan hal itu semata-mata hanya ingin dipuji oleh
Suto? Biasa, cari perhatian!"
Percakapan malam itu terhenti seketika karena kemunculan
seorang murid yang bernama Argayosan. Ia adalah mata-mata yang
ditugaskan menyusup ke Tanjung Leak dan mempelajari kekuatan
serta rencana-rencana Nyai Gincu Barong. Kedatangan Argayosan
disambut baik oleh Eyang Panembahan. Hampir seluruh murid
berkumpul mendekati Argayosan untuk mendengar kabar yang
dibawanya.
"Kabar apa yang kau peroleh dari Tanjung Leak, Argayosan?"
tanya Eyang Panembahan kepada pemuda berambut ikal dan
berpakaian abu-abu itu.
"Nyai Gincu Barong murka, Eyang. Dua orangnya ditemukan
tewas dalam keadaan pecah raganya. Salah satu orang yang tewas itu
adalah Singaloya, orang andalan sang Nyai sendiri. Maka Nyai pun
merencanakan akan menyerang kita esok siang dari arah timur!"
jawab Argayosan dengan wajah masih agak tegang.
"Tapi mereka yang tewas dengan raga terpisah itu bukan oleh
perbuatan orang-orang kita, Argayosan."
"Nyai Gincu Barong tak mungkin mau percaya, Eyang, ia tetap
saja menuduh pihak kita yang melakukannya."
"Hmmm...," Eyang Panembahan manggut-manggut sambil
menggumam. "Jadi ia akan menyerang dari timur esok siang?"
"Benar, Eyang. Terutama setelah menggantung tawanannya pagi
hari."
"O, Gincu Barong punya tawanan?! Apakah tawanan itu dari
pihak kita?"
"Bukan, Eyang," jawab Argayosan dengan tegas. "Saya yakin dia
bukan orang kita, Eyang. Saya sendiri merasa asing melihat
perempuan itu."
"Seorang perempuankah tawanan itu?"
"Benar, Eyang. Tapi Nyai Gincu Barong tetap menuduh
perempuan itu orangnya kita, Eyang. Perempuan itu dituduh sebagai
mata-mata dari pihak kita, sehingga disiksa sedemikian rupa agar
mengaku. Tapi perempuan itu tetap mengaku bukan orangPerguruan
Pantai Porong dan tidak mengenai Eyang Panembahan Pancalingga
serta yang lainnya."
Pendekar Mabuk termenung, sebentar. Dahinya mulai berkerut
begitu mendengar tawanan perempuan itu mengaku tidak mengenal
EyangPanembahan dan yang lainnya. Mulailah timbul kecurigaan di
hati Pendekar Mabuk, hingga ia beranikan diri untuk ajukan tanya
kepada Argayosan.
"Siapa nama perempuan itu?"
"Kudengar ia mengaku bernama Perawan Sinting."
"Hahh...?!"
Wajah si Pendekar Mabuk menjadi merah seketika. Mahesa Gibas
hanya mendelik dan membuka mulutnya. Mahayuni saling pandang
dengan Rahisan, sementara Eyang Panembahan Pancalingga hanya
menarik napas sebagai ungkapan rasa kagetnya.
"Eyang," kata Suto Sinting. "Sekarang juga aku akan pamit pergi
ke Tanjung Leak!"
"Jangan sekarang, Nak Mas Pendekar."
"Akutidak ingin temanku itu mati di tangan Nyai Gincu Barong."
"Benar. Aku pun tak ingin Perawan Sinting, temanmu itu menjadi
korban kebrutalan si Gincu Barong. Tetapi ada saatnya sendiri untuk
melakukan pembebasan itu. Malam ini bukan saat yang baik. Banyak
rintangannya. Karena pada malam hari tentunya pihak Tanjung Leak
mempertinggi penjagaan keamanan mereka. Tentunya keamanan itu
dilakukan secara berlapis-lapis, dan mereka yang berjaga-jaga dalam
keadaan waspada tinggi pula. Tapi jika menjelang fajar tiba,
pertahanan mereka akan mulai mengendur. Kurasa kita bisa
melumpuhkan mereka dengan mudah di saat mereka dihinggapi
kelelahan dan rasa kantuk."
Mahayuni menimpali, "Aku setuju untuk lakukan penyerangan
menjelang fajar tiba. Akan kubawa beberapa orang kami yangpandai
lakukan penyusupan, termasuk Argayosan sendiri."
Pendekar Mabuk mendesah karena gelisah. Bayangan Perawan
Sinting dalam keadaan tersiksa semakin muncul di benaknya dan
membuat Pendekar Mabuk bertambah tak sabar lagi untuk menunggu
sampai menjelang fajar. Sekalipun EyangPanembahan sudah berikan
penjelasan dan bujukan macam-macam, tapi kegelisahan itu tak bisa
hilang dari hati Pendekar Mabuk, ia tak rela jika sampai Perawan
Sinting mati di tangan Nyai Gincu Barong.
Maka setelah lewat tengah malam, Suto Sinting nekat keluar dari
padepokan dengan cara mengendap-endap. Tanpa pamit siapa pun,
tanpa diketahui oleh siapa pun, ia melesat pergi menuju Tanjung
Leak. Sebelumnya ia sudah lakukan percakapan empat mata dengan
Argayosan tentang keadaan di Tanjung Leak, termasuk tempat-
tempat rawan yang mudah diterobos, dan tempat di mana Perawan
Sinting ditawan. Argayosan menjelaskan segalanya, tapi ia juga
mengingatkan agar Suto Sinting menuruti saran Eyang Panembahan.
Suto berlagak setuju dengan saran tersebut, agar tidak timbulkan
perdebatan terlalu lama.
Karenanya, ketika ia pergi meninggalkan padepokan menuju
Tanjung Leak, ia sudah tahu jalan mana yang harus diambilnya agar
sampai ke Tanjung Leak. Pada waktu ia meninggalkan padepokan,
sang rembulan masih tersisa di langit, hingga cahayanya cukup
lumayan untuk menjadi penerang jalan.
Zlaap, zlaap, zlaap...! Gerakan Suto seperti anak panah menerabas
semak dedaunan. Kecepatan geraknya memang luar biasa. Dalam
waktu tak terlalu lama, ia akan sampai di perbatasan Tanjung Leak.
Tetapi sebelumnya, langkah itu terpaksa dihentikan karena mata
Suto melihat bayangan yang bergerak di sela-sela pepohonan
samping kanannya, ia segera merunduk, sembunyikan diri dan
memperhatikan bayangan yang bergerak di bawah pohon dalam
keremangan cahaya rembulan yangterhalang dedaunan itu.
"Sepertinya aku pernah melihat perempuan itu?!" pikir Suto
Sinting. "Hmmm... coba kulihat lebih dekat lagi. Apa yang dilakukan
perempuan itu di sana?"
Bayangan itu memang bayangan seorang perempuan yang
mempunyai rambut panjang terurai, tapi tak jelas wajah dan
pakaiannya. Perempuan itu sedang melakukan kegiatan di bawah
pohon, sepertinya sedang menikmati hidangan yang menggairahkan.
Ketika Pendekar Mabuk berhasil melesat ke atas pohon tanpa
suara, dan ia melompat dari pohon ke pohon menggunakan ilmu
peringan tubuhnya, maka sampailah ia di tempat yang paling dekat
dengan perempuan itu. Ia memandang dengan jelas apa yang
dilakukan oleh si perempuan, dan ia pun tahu siapa perempuan itu
sebenarnya.
Pendekar Mabuk terkejut dan menggumamkan nama dalam hati,
"Andani...?!" Matanya tak mau berkedip melihat apa yang dilakukan
oleh Andani. Justru apa yang dilakukan Andani itulah yang membuat
Suto Sinting semakin terkejut dan nyaris ingin terpekik dengan suara
keras.
"Ooh...?!" Pendekar Mabuk menutup mulutnya sendiri agar tak
timbulkan suara. Namun sekujur tubuhnya menjadi gemetar melihat
pemandangan yang mengerikan itu.
Rupanya Andani bertemu dengan seorang lelaki yang berusia
sekitar tiga puluh tahun. Lelaki itu kini dalam keadaan terbaring
tanpa busana. Agaknya Andani habis bercumbu dengan lelaki itu dan
menikmati puncak kemesraan secara bersama-sama.
Tetapi yang membuat Suto hampir muntah adalah tindakan
Andani berikutnya. Entah bagaimana caranya, lelaki yang telah
dijadikan pemuas dahaga itu dibunuh oleh Andani. Lelaki itu bukan
hanya dibunuh saja, melainkan juga dimakan secara rakus. Pendekar
Mabuk tak berani menggambarkan bagaimana caranya Andani
menggigit bagian perut lelaki itu, dan bahkan tampaknya Andani
juga memakan 'jimat kejantanan' lelaki tersebut dengan lahapnya.
Tentu saja hal itu membuat sekujur tubuh Suto merinding dan
gemetar.
"Tak kusangka dia seorang perempuan pemakan daging
manusia?!" gumam hati Suto bernada tegang. "Oh, seandainya pada
waktu di dalam gua itu aku jadi berkencan dengannya, mungkin
setelah ia memperoleh kepuasan maka aku akan dimakannya seperti
lelaki itu? Hiih...! Cantik-cantik tapi menyeramkan sekali
kegemarannya."
Pendekar Mabuk tak berani terlalu lama menyaksikan, adegan
mengerikan itu. Ia segera tinggalkan Andani dengan tanpa timbulkan
suara. Untuk sementara Andani dilupakan. Suto lebih memusatkan
perhatiannya kepada nasib Perawan Sinting di tangan Nyai Gincu
Barong.
Saat mendekati perbatasan Tanjung Leak, tiba-tiba seberkas sinar
biru melesat dari arah depan Suto. Mau tak mau gerakan Suto
dihentikan dan sinar itu segera ditangkis dengan bumbung tuaknya.
Claap...! Buuuss...!
Sinar itu tidak timbulkan ledakan apa pun, juga tidak memantul
balik ke arah semula. Sinar biru itu hanya meletup kecil dan
menyemburkan asap abu-abu.
"Hmm... siapa orangnya yang menyerangku dari depan saja?!
Pasti dia berilmu tinggi, karena serangannya tak bisa
dipantulbalikkan oleh bumbung tuakku ini!" pikir Suto Sinting
dengan mata memandang tajam. Keremangan cahaya rembulan
membuat pandangan tak mampu menembus kejauhan. Pendekar
Mabuk akhirnya melesat ke atas pohon dan mengintai dari sana.
Wuuutt...! Weesss..!
Sekelebat bayangan datang dari arah depan. Seseorang yang
berkelebat sangat cepat itu hanya bisa dilihat seperti bayangan merah
yang melintas di bawah pohon tempat persembunyian Suto Sinting.
Mau tak maupandangan Suto mengikuti bayangan merah tersebut.
"Pasti dialah orangnya yang melepaskan sinar biru tadi," ujarnya
membatin.
Semula Suto ingin membiarkan orang itu lewat begitu saja. Ia
ingin teruskan langkahnya menuju gerbang Tanjung Leak. Tetapi
ketika ia bergerak kembali, ternyata bayangan merah itu telah
berbalik arah. Mungkin karena tak menemukan Suto di tempat yang
dituju, orang itu kembali ke tempat semula dan pada saat itu Suto
Sinting mendengar desau angin yang mencurigakan, ia segera
berbalik, dan akhirnya berpapasan dengan orang berpakaian serba
merah itu.
"Oh, rupanya kau sudah ada di sini, Penyusup!" geram orang
brewok berkepala botak dengan pakaian serba merah. Orang itu
bertubuh tinggi, besar, dan berwajah angker.
"Siapa yang menyuruhmu malam-malam begini berkeliaran di
perbatasan Tanjung Leak, hah?!" bentak orang itu menampakkan
kegalakannya. Pendekar Mabuk tetap tenang, sempat melirik
sekelilingnya. O, ternyata orang itu sendirian.
"Aku ingin bertemu dengan Nyai Gincu Barong!"
"Mau apa kau bertemu dengan Guru malam-malam begini?!"
"Menantang pertarungan dengannya!" tegas Suto Sinting tanpa
basa-basi lagi, karena di benaknya terbayang keadaan Perawan
Sinting yang tersiksa seperti yang diceritakan Argayosan itu.
"Manusia jahanam! Ngelunjak sekali kau, malam-malam
menantang guruku?! Itu sama saja kau ingin membedah dadaku,
tahu?!" bentak orang bersenjata golok besar itu.
"Kalau kau mengartikan begitu, terserah! Kurasa kalau memang
kau minta dibedah dadamu, aku tak keberatan menjadi juru
bedahnya!" kata Suto tetap kalem, namun kata-katanya sengaja
memancing emosi lawan.
Orang brewok berbadan besar itu menggeram. Matanya yang
lebar semakin lebar ketika ia melotot menampakkan kemarahannya.
Pendekar Mabuk hanya melangkah ke samping dengan pandangan
mata tak pernah berkedip.
"Bocah' urap! Rupanya kau belum tahu siapa si Bagolo ini, hah?!"
Buuhk, buhk...! Ia menepuk dadanya sendiri. Pendekar Mabuk
justru sunggingkan senyum tipis dan membatin, "Oo... namanya
Bagolo?! Nama yang lucu menurut telingaku! Tapi sesuai dengan
perawakannya yangtinggi besar itu."
"Sebaiknya urungkan saja niatmu dan kuberi kebijaksanaan agar
kau pulang saja. Jangan sampai murkaku tak terbendung lagi di
depanmu, Anak muda! Kau bisa kehilangan nyawa dalam tiga
kedipan saja!" ujar Bagolo dengan suaranya yang besar
menyeramkan itu.
"Aku sudah siap kehilangan nyawa! Aku akan pulang kalau
temanku yangkaliantawan itu dibebaskan!"
"O, jadi kau teman si perempuan liar bernama Perawan Sinting
itu?!"
"Benar! Dan akumenuntut pembebasan atas dirinya!"
"Kalau begitu tak ada salahnya jika sebelum kau bikin onar, lebih
baik kucabut nyawamu sekarang juga! Heeeaah...!"
Bagolo tiba-tiba menerjang tanpa diketahui kapan bergeraknya.
Brruusk...! Pendekar Mabuk menggeragap dan terpental lima
langkah dari tempatnya semula. Dadanya terasa mau jebol akibat
terkena lutut Bagolo saat menerjang tadi. Bukan saja panas, namun
juga sakit sekali dipakai untuk bernapas.
Pendekar Mabuk mencoba bertahan dalam keadaan terluka dalam,
ia bangkit kembali pada saat Bagolo mengayunkan golok besarnya
ke arah kepala Suto. Wuuut...! Zlaap...! Pendekar Mabuk bagaikan
menghilang ditelan bumi. Lenyap begitu saja, sehingga golok besar
itu tak mengenai sasaran apa pun. Bagolo kebingungan sesaat
mencari lawannya.
"Aku di sini, Kawan!"
Bagolo kaget mendengar suara itu dan buru-buru berpaling ke
belakang. Tapi tepat ia berpaling, kaki Suto berkelebat cepat
melepaskan jurus tendangan mabuk yang sukar dihindari. Beet....!
Prrok...!
"Ouhff...!" Bagolo terpental, wajahnya menjadi sasaran telak
tendangan Suto Sinting itu.
Sesaat setelah berguling-guling di tanah, Bagolo bangkit dengan
satu kaki berlutut, kemudian tangan kirinya menyentak ke depan.
"Heaaah...!"
Weess...! Seberkas sinar biru seperti tadi melesat menghantam
dada Suto Sinting. Namun sebelum sinar itu kenai dada Suto, lebih
dulu kaki Suto menyentak ke tanah dan tubuhnya melenting di udara
dengan cepat. Wuuukk...!
Tapi tak disangka-sangka Bagolo juga melesat ke atas menerjang
Pendekar Mabuk dengan golok segera ditebaskan dari arah samping
kanan ke kiri. Beet...!
Traang...! Pendekar Mabuk menangkis tebasan golok dengan
bumbung tuaknya. Bersamaan dengan itu, kaki Suto menendang
lengan Bagolo dari bawah. Dess...! Krrak...!
"Ouuh...!" Bagolo memekik, tulang sikunya bagaikan patah akibat
tendangan tadi. Goloknya sendiri terpental ke atas. Pendekar Mabuk
segera jejakkan kaki kanannya saat mereka bergerak turun. Duuhk...!
"Heehg...!" Bagolo terlempar ke belakang, goloknya melayang
turun dan segera disambar oleh tangan Suto. Teeb...! Kini golok itu
ada di tangan kiri Pendekar Mabuk.
Sekalipun Bagolo terkena tendangan tenaga dalam Suto beberapa
kali, tapi tampaknya ia tak merasa terlalu kesakitan, ia dapat segera
bangkit dan masih kelihatan segar. Bahkan kali ini ia lepaskan
pukulan tenaga dalamnya dari kedua telapak tangan. Pukulan itu
berupa sinar merah yang terang yang menerjang Suto dengan cepat.
Wuuuss...!
Pendekar Mabuk terpaksa mengibaskan bumbung tuaknya dalam
satu putaran ke depan. Wuuuk, blaarr...! Kibasan itu keluarkan
tenaga sakti tersendiri yang beradu dengan sinar merahnya Bagolo.
Ledakan dahsyat pun terjadi mengguncangkan tanah dan alam
sekitarnya.
Bagolo dan Pendekar Mabuk sama-sama terpental ke belakang.
Namun dalam waktu singkat keduanya sama-sama bangkit kembali.
"Bangsaaat kau, Bocah urapan! Heeeaaah...!"
Bagolo lakukan lompatan panjang bagaikan terbang. Kedua
tangannya menyala merah seperti besi dipanggang api. Kedua tangan
itu menyentak ke depan dan keluarkan sinar merah runcing bagaikan
tombak. Clap, clap...!
Zlaap...! Pendekar Mabuk gunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk
pindah tempat. Tahu-tahu ia sudah berada di samping Bagolo, dan
golok Bagolo yang ada di tangan kiri Suto itu ditebaskan dalam satu
gerakan melambung melintasi kepala Bagolo. Wuut, craas, crraas...!
"Aaaah...!" Bagolo memekik keras dan panjang, karena dalam
waktu sekejap ternyata kedua lengannya menjadi buntung akibat
tebasan golok di tangan Pendekar Mabuk tadi.
"Bangkai busuk kauuu...! Ggrrrmm...!" Bagolo mengerang-
ngerang penuh luapan murka yang membuatnya panik sekali, ia
pandangi potongan kedua tangannya yang tergeletak di tanah. Ia
pandangi lengannya yang buntung, ia menggeram seperti orang mau
menangis.
"Ggrrmm...! Bagaimana nyambungnya kalau begini, Setaaan...!!
Huuuaaa...! Tanganku buntung. Huaaa...!" Bagolo benar-benar
menangis seperti anak kecil.
"Aku hanya memberi peringatan pada gurumu agar Perawan
Sinting harus segera dilepaskan. Jika tidak, semua orang Tanjung
Leak akan kubuntungi sepertimu, Bagolo!"
"Peringatan ya peringatan, tapi tak usah pakai acara buntung-
buntungan begini! Huaaa...! Kalau begini, lantas bagaimana nanti
kalau aku mau cuci muka?! Huaaa...! Kebangetan kau, kebangetan,
huaaa...!"
"Sekarang pulang dan menghadap gurumu! Sampaikan pesanku,
bahwa Perawan Sinting harus dibebaskan. Jika tidak, gurumu yang
akan kubuntungi kepalanya!Paham?!"
"Setan kau! Huaaa...!"
"Atau kepalamu yang akan kubuntungi lebih dulu!"
"Jangan! Huaaa...! Kalau kepalaku kau buntungi, lantas
bagaimana aku bisa sampaikan pesanmu kepada Guru. Tolol!
Huaaa... sakit!"
Bagolo masih berusaha ingin membawa pulang potongan kedua
tangannya itu. Tapi tak ada kemampuan untuk memegangnya,
sehingga Suto pun segera berkata dengan tegas.
"Tak perlu kau bawa potongan itu!"
"Kalau digondol kucing bagaimana?! Huaaa...! Biar berbulu
begini, tangan ini sering dipakai untuk mengusap-usap dada si
Darmasih, istri mudaku!"
"Cepat pulang dan beri tahukan kepada gurumu!"
"Iyaa... iyaa...!" Bagolo ketakutan ketika Pendekar Mabuk mulai
angkat golok besar itu lagi. Bagolo akhirnya berlari meninggalkan
potongan tangannya sambil berseru dalam tangis.
"Awas kau! Tunggu pembalasan dari guruku! Bukan tanganmu
yang akan kubuntungi, tapi nyawamu juga akan dibuntungi. Huaaa...
nasib, nasib. Huaaa...!"
Pendekar Mabuk hempaskan napas kelegaan. Golok besar segera
dibuang, ia menenggak tuaknya untuk obati luka terjangan Bagolo
tadi.
*
* *
8
TANJUNG Leak menjadi gempar setelah Bagolo tiba di sana
dalam keadaan kedua tangan buntung. Padahal Bagolo adalah
termasuk orang andalan Nyai Gincu Barong. Tentu saja sang Nyai
menjadi murka melihat Bagolo dibuntungi lawan.
"Siapa yangmelakukannya?!"
"Anak muda, Guru! Anak muda sekali!" jawab Bagolo sambil
menyeringai antara sedih dan takut.
Nyai Gincu Barong yang mengenakan jubah merah hitam
bertepian benang emas itu menggeletukkan gigi, menahan murka
yang ingin meledak. Wajahnya yang masih tampak muda seperti
baru berusia tiga puluh tahunan itu, kelihatan memancarkan api
kemarahan yang ingin segera dilampiaskan. Dalam hatinya
perempuan berambut disanggul dengan tubuh sekal dan masih
tampak montok itu berkata membatin,
"Jika Bagolo saja berhasil dibuntungi tangannya, berarti anak
muda itu berilmu lebih tinggi dari Bagolo!"
Saat itu, Bagolo segera sampaikan pesan Suto Sinting.
"Dia menghendaki supaya temannya dibebaskan. Gadis yang
mengaku bernama Perawan Sinting itu adalah teman anak muda itu,
Guru! Dia juga ingin menantang pertarungan dengan Guru jika
Perawan Sintingtidak dibebaskan!"
"Keparat! Berani betul dia sesumbar begitu?!" geram Nyai Gincu
Barong yang berbibir merah lebar namun mengundang ajakan untuk
bercumbu bagi lelaki mana pun. Akhirnya Nyai Gincu Barong
merasa gengsinya jatuh jika tak berani hadapi si anak muda itu. Ia
akan kehilangan wibawa di depan murid-muridnya jika tak mau
layani tantangan pertarungan si anak muda itu. Maka dengan suara
keras ia berserukepada para muridnya.
"Ambil obor, ikut aku sebagian! Kini akan kuperlihatkan kepada
kalian bagaimana caranya membalas dendam kepada seseorang yang
telah membuntungi kedua tangan muridnya!"
Lebih dari dua puluh orang berbondong-bondong mengikuti
langkah Nyai Gincu Barong. Di tangan mereka masing-masing
menggenggam obor yang membuat suasana malam menjadi terang.
Namun ketika mereka keluar dari pintu gerbang, ternyata seorang
pemuda tampan berbadan kekar dengan menggantungkan bumbung
tuak di pundak, telah berdiri menghadang langkah mereka.
"Itu dia orangnya, Guru!" sentak Bagolo sambil mundur hingga
menginjak kaki temannya.
"Aduh! Hati-hati kau, ah!"
Plak...! Temannya menabok pelan. Tapi karena yang ditabok tepat
bagian yang buntung dan masih berdarah, maka Bagolo pun menjerit
keras-keras mengagetkan yang lain.
"Aaooww...!!"
Plook...! Wajahnya justru ditampar Nyai Gincu Barong yang
sedang memendam murka, karena teriakan Bagolo juga membuat
tubuh sang Nyai terlonjak kaget. Tamparan itu ternyata adalah
tamparan bertenaga dalam. Akibatnya, Bagolo terpelanting jatuh dan
pingsan seketika dalam keadaan pipinya menjadi hangus.
Sang Nyai segera pandangi Pendekar Mabuk yang berdiri tegak
dengan kedua kaki sedikit merenggang. Dalam hati sang Nyai
sempat memuji ketampanan Pendekar Mabuk yang tak disangka-
sangka itu.
"Setan! Ternyata kali ini lawanku pemuda ganteng yang bertubuh
kekar dan menggiurkan seleraku! Aduh, celaka kalau begini! Dia
sangat menawan, semakin lama dipandang semakin membangkitkan
gairahku. Hmmm... haruskah kubatalkan pembalasan dendamku ini?
Oh, tidak! Murid-muridku akan mengancamku jika aku tergiur oleh
ketampanan anak muda itu. Aku harus tetap membunuhnya agar di
mata orang-orangku wibawaku masih tetap ada!"
Lalu, sang Nyai berseru, "Kepung dia!"
Wuurrs...! Beberapa orang yang menggenggam obor itu segera
mengepung Pendekar Mabuk. Tangan kiri mereka memegang obor,
tangan kanan mereka menggenggam senjata masing-masing. Tetapi
sang pendekar tampan itutetap berpenampilan tenang dan mantap, ia
biarkan mereka mengepung, ia biarkan Nyai Gincu Barong
mendekat. Tetapi seluruh inderanya dipasang dan dipekakan supaya
sewaktu-waktu mendapat serangan dari berbagai arah dapat
dirasakan hembusan anginnya.
"Kaukah yang menantang pertarungan denganku, Anak muda?!"
sentak Nyai Gincu Barong.
"Benar! Aku memang menantangmu adu nyawa jika Perawan
Sinting tidak kau bebaskan!" tegas Suto.
"Hmmm...! Jangan mimpi dulu, Anak muda! Kau belum tahu
siapa Nyai Gincu Barong ini!"
"Kau pun belum tahu siapa Suto Sinting ini!" balas Suto sambil
menuding dadanya sendiri.
Nyai Gincu Barong dan beberapa pengepung sempat terperangah,
mata mereka terkesip kaget begitu mendengar nama Suto Sinting.
Sebab mereka tahu bahwa yang bernama Suto Sinting itu adalah
orang yang bergelar Pendekar Mabuk. Apalagi setelah mereka
perhatikan ciri-ciri yang ada pada Suto, mereka semakin yakin
bahwa pemuda itu memang benar-benar Suto Sinting, si Pendekar
Mabuk.
Para pengepung mundur satu langkah membuat lingkaran menjadi
lebih lebar. Tetapi Nyai Gincu Barong tak menampakkan rasa
takutnya walau ia sadar siapa yang dihadapinya, ia justru mengumbar
sesumbar untuk membangkitkan keberanian para muridnya.
"Kebetulan sekali kali ini aku berhadapan denganmu, Pendekar
Mabuk! Sudah lama kuidam-idamkan ingin menumbangkan
kekuatanmu, biar namamu tidak menjadi pujian setiap orang!
Agaknya sebentar lagi adalah giliran namaku yang disanjung-
sanjung oleh setiap orang, karena aku berhasil membunuh Pendekar
Mabuk yang katanya berilmu tinggi itu. Hmmm...! Kurasa itu hanya
isapan jempol dari orang-orang bodoh saja!"
"Aku tak ingin banyak bicara, Nyai! Aku hanya ingin agar
Perawan Sinting kau bebaskan, karena kami bukan orang Perguruan
Pantai Porong! Kami terdampar dari tempat yang jauh dengan tujuan
ke suatu tempat yang ada hubungannya dengan pihakmu! Jika kau
tak mau bebaskan Perawan Sinting, maka kita akan beradu nyawa
sampai salah satu ada yangterkirim ke neraka!"
"Dengan senang hati kulayani tantanganmu, Pendekar Mabuk!
Kalau kau memang bisa tumbangkan diriku, maka ambillah si
Perawan Sinting itu dan bawalah pulang secepatnya. Tapi jika kau
yang tumbang di tanganku, maka kalian berdua akan kugantung
begitu matahari terbit nanti."
"Sebuah perjanjian yang manis bagiku, Nyai!"
"Bersiaplah untuk sekarat, Bocah hangus...!"
Tiba-tiba sang Nyai sentakkan tangan kirinya bagai memercikkan
air. Praat...! Weess, buuhk...!
Pendekar Mabuk terkejut sekali. Kepretan tangan sang Nyai
ternyata mengandung kekuatan tenaga dalam sangat besar. Suto
seperti dihantam dengan batu gunung sebesar dua kali kepala kerbau
yang mengenai dadanya dengan telak.
Brruk...! Pendekar Mabuk pun terlempar jatuh dengan dada
merasa sakit sekali. Seakan tulang dadanya menjadi remuk seketika
itu juga. Sang Nyai tetap di tempat, memandang angkuh, seakan
menunggu lawannya bangkit kembali.
Begitu Suto berdiri, sang Nyai segera bertepuk tangan satu kali
dengan kedua tangan lurus ke depan. Plook...! Crralaap...!
Oh, rupanya tepukan tangan itu hasilkan cahaya petir biru yang
melesat cepat dengan gerakan berkelok-kelok menuju wajah
Pendekar Mabuk. Namun dengan cepat, bumbung tuak segera
dihadangkan ke depan wajah dan sinar biru itu menghantam telak
bumbung tuak tersebut.
Jegaarr...! Ledakan dahsyat terjadi begitu sinar itu kenai bumbung
tuak Suto.
Pendekar Mabuk terlempar kembali dan terbanting dengan keras
hingga tulang punggungnya bagaikan patah. Wajah Suto menjadi
merah matang karena ledakan tadi semburkan hawa panas yang
menyengat. Sekujur tubuh Suto menjadi perih sekali seperti alami
luka bakar. Sedangkan Nyai Gincu Barong masih tetap berada di
tempatnya tanpa bergeser sedikit pun.
"Bangun kau, Jahanam! Tunjukkan kesaktianmu yang sering
dipuji-puji orang itu!" seru Nyai Gincu Barong.
Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya dua teguk. Lalu
ia bangkit dengan satu lompatan yang bertumpu pada pinggul.
Wuuut...! Jleeg...! Tubuhnya segera menjadi segar dan hawa panas
tak dirasakan lagi. Kulit wajahnya tidak tadi, dan rasa perih hilang
dari seluruh tubuhnya. Pendekar Mabuk melangkah dengan tenang
dekati lawannya lagi.
Tiba-tiba Nyai Gincu Barong melayang bagaikan terbang dalam
keadaan tetap berdiri tegak. Tapi kedua tangannya mengarah ke
depan dengan sepuluh jari lurus ke arah Suto. Srraap...! Tiba-tiba
dari kesepuluh jari itu keluar kuku tajam dan runcing dalam ukuran
panjang. Kesepuluh jari itu memancarkan cahaya merah bagai besi
dipanggang api.
Wees...! Nyai Gincu Barong menyerang Suto dengan kesepuluh
jarinya yang menyala merah itu. Tetapi Pendekar Mabuk segera
gunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk hindari terjangan lawannya.
Zlaap...!
Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Nyai Gincu Barong.
Merasa terjangannya tak berhasil kenai lawan, Nyai Gincu Barong
segera berpaling ke belakang dan tubuhnya memutar dengan cepat.
Pada saat itulah, Suto lepaskan jurus 'Tangan Guntur', berupa
sinar biru besar dari telapak tangannya yang melesat cepat
menghantam Nyai Gincu Barong. Clap, wweeess...!
Kedua telapak tangan Nyai Gincu Barong berdiri tegak merapat.
Maka sinar biru itu tertahan oleh kedua telapak tangan tersebut.
Deeeb...! Beesss...!
Sinar itu padam begitu saja tanpa timbulkan suara ledakan
ataupun letupan kecil. Pendekar Mabuk terkesip melihat jurus
'Tangan Guntur'-nya dapat dipadamkan oleh lawannya. Bahkan
dengan cepat kedua telapak tangan Nyai Gincu Barong berkelebat
bagai memutar dan menyentak ke depan, sehingga dari ujung
kesepuluh kuku jarinya itu keluar sinar merah berkelok-kelok
bagaikan cacingmembara. Cralaaap...!
Pendekar Mabuk sengaja diam di tempat. Begitu sepuluh sinar
merah berkelok-kelok itu telah berada di depan hidungnya, tubuh
Suto melayang ke atas dalam satu sentakan. Suuttt...! Weess...!
Tubuh Suto tetap dalam posisi seperti berdiri tegak. Sementara
kesepuluh sinar merah itu melesat terus hingga kenai enam orang
pengepung di belakang Suto. Jegarr...! Keenam orang itu langsung
tumbang dalam keadaan tubuh mereka berlubang besar dan tak
bernyawa lagi.
Nyai Gincu Barongtersentak kaget.
"Biadab kau! Muridku jadi korban salah sasaran! Kuhabisi
nyawamu sekarang juga, Bangsat! Hiaaah...!!"
Nyai Gincu Barong melesat dalam keadaan tubuh berputar cepat
di udara. Lalu dari putaran tubuhnya itu memancarkan sinar merah
terang ke berbagai arah, empat sinar di antaranya menyerang
Pendekar Mabuk. Maka dengan gerakan cepat, Pendekar Mabuk
hantamkan bumbung tuaknya dalam satu putaran. Wuuutt...! Empat
sinar merah itu bagaikan tersapu bumbung tuak dan menimbulkan
ledakan lebih besar lagi.
Glegaaarr...!
Pendekar Mabuk terpental, tapi Nyai Gincu Barong tetap
melayang menerjangnya. Hanya saja, karena keadaan Suto terlempar
dan jatuh di luar kepungan, maka tubuh Nyai Gincu Barong pun
menabrak dua orang anak buahnya yang memegangi obor. Brruuss...!
"Aaaahhk...!" kedua muridnya itu sama-sama memekik keras dan
panjang, karena tangan mereka terpotong seketika begitu ditabrak
tubuh Nyai Gincu Barong yang berputar cepat bagaikan gangsing itu.
Pendekar Mabuk segera melompat tinggi-tinggi dan bersalto dua
kali di udara, kemudian ia daratkan kakinya dalam keadaan sudah
berada di dalam lingkungan pertarungan lagi. Jleeeg...!
Pada saat itu, Nyai Gincu Barong segera melompat dengan
gerakan tangan cepat bagai ingin mencabik-cabik lawan. Kuku-kuku
yang panjang bagaikan mata pisau runcing itu masih memancarkan
cahaya merah bara, sehingga tiap gerakan tangan diikuti oleh
bayangan sinar merahtersebut yang mirip bintang berekor.
Jleeg...! Nyai Gincu Barong tiba di depan Suto, langsung
kesepuluh kukunya ditancapkan ke pinggang kanan-kiri Suto.
Cruuss...!
"Aaahk...!" Suto Sinting mengejang dengan wajah menyeringai.
Namun sebelum kesepuluh kuku itu merobek tubuh Suto, kedua
tangan Suto segera menyentak ke samping kanan-kiri hingga
kesepuluh kuku itu lepas dari tubuhnya. Deess...! Lalu kedua tangan
Suto menghantam ke depan bersamaan dalam keadaan telapak
tangan terbuka. Buuhk...!
"Haaahk...!" Nyai Gincu Barong mendelik seketika dengan tubuh
melayang mundur beberapa langkah.
Suto Sinting tak hiraukan luka-lukanya yang mengucurkan darah
segar itu. Ia segera menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh, tapi
tahu-tahu bumbung tuaknya disodokkan tepat di ulu hati lawannya.
Wuuut, duuhk...!
"Uuaahk...!" sang Nyai sentakkan napas dalam keadaan mulut
terbuka. Bersamaan dengan itu menyemburlah darah segar hingga
nyaris kenai wajah Suto jika Suto tidak segera berlutut satu kaki.
Dengan satu kaki berlutut, Suto Sinting sentakkan kembali
bumbung tuaknya yang dinamakan jurus 'Mabuk Lebur Gunung' itu.
Wuuut, beeehk...!
"Oouhk...!" Nyai Gincu Barong makin mendelik, darah yang
muncrat dari mulutnya semakin banyak. Wajahnya dan anggota
tubuh lainnya menjadi biru legam. Rambut sang Nyai mulai rontok,
namun sang Nyai masih bertahan untuk tetap berdiri hadapi Suto
Sinting.
Tiba-tiba sekelebat bayangan melintas cepat menendang Nyai
Gincu Barong. Weesss...! Plaakk...! Tendangan keras itu membuat
Nyai Gincu Barong yang sudah terluka parah oleh kekuatan jurus
'Mabuk Lebur Gunung' itu segera terlempar dan jatuh berguling-
guling. Kemudian seraut wajah cantik muncul di tempat itu. Jleeg...!
"Andani...?!" sapa Suto dengan kaget.
"Pergilah dan cari si perawan itu, lalu bebaskan dia dari kamar
tawanan yang ada di ruang bawah tanah itu. Aku akan menghadapi si
Nyai Gincu Barongyang merasa dirinya sudah paling ampuh itu!"
Mau tak mau Suto Sinting segera melesat memasuki pintu
gerbang yang diterjang begitu saja dan hancur dalam waktu kurang
dari satu kedipan mata. Prrak, brraak...! Sementara itu, Andani
segera melepaskan jurus merahnya dari telapak tangan yang
menyerupai ujung tombak itu. Claaap...!
Blaarr...!
Maka hancurlah tubuh Nyai Gincu Barong dalam keadaan
anggota tubuhnya terpotong dan terpisah saling berjauhan. Padahal
menurut Suto, tanpa keikutsertaan si Andani, sang Nyai pun tak akan
dapat berkutik lagi, karena sodokan bumbung tuak tadi.
"Hahh...?! Guru kita tewas! Guru...?! Guruuu...!"
Para murid tampak marah melihat guru mereka tak bernyawa lagi.
Mereka segera menyerang Andani. tapi mereka saling terpental
begitu Andani sentakkan kedua tangannya ke kanan-kiri. Wuuut...!
Bruuk...! Bruukk...!
Suto berhasil temukan Perawan Sinting dalam keadaan terikat
rantai di dua tiang. Kedua kaki dan tangan direntangkan. Tubuhnya
penuh luka, bahkan wajahnya hancur menyedihkan. Namun Perawan
Sinting segera angkat wajahnya yang tertunduk dengan pelan ketika
ia mendengar seseorang berseru,
"Perawan Sinting...?!"
Rupanya ia tahu suara itu adalah suara Pendekar Mabuk, sehingga
tenaganya yang nyaris terkuras habis karena siksaan itu menjadi
timbul kembali dan ia mampu mengangkat wajahnya. Kedua
matanya yang memar memandang kecil kepada Suto. Bibirnya yang
hancur pun mulai bergerak dengan suara lirih.
"Sutooo...?"
Pendekar Mabuk segera lepaskan rantai-rantai pengikat itu.
Perawan Sinting dipaksa untuk meminum tuaknya. Walaupun perih,
Perawan Sinting tetap menelan tuak sakti Suto, sehingga dalam
beberapa saat kemudian luka-lukanya menjadi hilang dan
kekuatannya pulih kembali.
"Suto, pedangku di mana?!"
"Kita cari pedang itu!"
Setelah Pedang Galih Guntur berhasil ditemukan dalam kamar
sang Nyai, mereka pun segera tinggalkan tempat itu. Mereka sempat
terperangah kaget melihat suasana di luar gerbang. Ternyata para
murid Nyai Gincu Barong terkapar semua tak bernyawa. Mayat
bergelimpangan di sana-sini dalam keadaan tubuh mereka pecah,
anggota tubuh saling berpencar ke mana-mana.
"Gila! Dibantai habis begini jadinya?!" gumam Suto Sinting
dengan mata menegang.
"Siapa yangmelakukannya, Suto?!"
"Melihat keadaan mayat terpotong-potong begini, siapa lagi yang
melakukan kalau bukan Andani!"
"Andani...?! Oh, rupanya kau sempat serong selama aku dalam
penyiksaan, Suto?!"
"Bukan begitu. Maksudku...."
"Dasar pemuda hidung belang!" gertak Perawan Sinting yang
merasa cemburu jika Suto berkenalan dengan seorang perempuan,
karena gadis berpakaian ungu itu menaruh hati kepada Pendekar
Mabuk.
Akhirnya Suto menjelaskan pertemuannya dengan Andani sambil
matanya memandang ke sana-sini mencari Andani yang ternyata
telah menghilang lebih dulu sebelum Suto dan Perawan Sinting tiba
di tempat itu. Suto pun menceritakan ciri Andani dengan tak lupa
menyebutkan tato gambar kupu-kupu di paha perempuan itu.
"Apa...?! Di pahanya ada tato gambar kupu-kupu?!" Perawan
Sinting mendelik. "Apakah tato itu bisa menjadi besar dan bisa
mengecil, tergantung gairah yang ada padanya?"
"Benar! Kulihat tato itu sempat menjadi besar."
"Celaka! Kalau tak salah dugaanku, perempuan itulah yang
bernama Peri Kahyangan, di mana kita dulu pernah bermalam di
reruntuhan biaranya!"
"Peri Kahyangan?!" Suto segera teringat cerita Perawan Sinting
tentang Peri Kahyangan yang bekas biaranya pernah dipakai
bermalam oleh mereka dan Mahesa Gibas, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Buronan Cinta Sekarat").
Sebelum mereka lanjutkan bicara, tiba-tiba dari arah timur
muncul Mahayuni bersama beberapa orang murid Eyang
Panembahan, termasuk Mahesa Gibas ikut dalam rombongan itu.
Rupanya mereka mencari kepergian Suto yang sudah diduga arahnya
ke Tanjung Leak. Perawan Sinting segera menyambut gembira bisa
bertemu dengan Mahesa Gibas, lalu Mahesa Gibas menceritakan
siapa Mahayuni dan yang lainnya itu.
"Tadi kami sudah sampai sini dan melihat perempuan cantik
sedang memakan beberapa potong tubuh mayat-mayat itu. Tapi ia
segera kabur begitu Mahayuni menyapanya," kata Mahesa Gibas.
"Benarkah begitu, Mahayuni?"
"Ya. dan kami mengejarnya, tapi tak berhasil."
"Siapa perempuan itu sebenarnya?"
"Si Bayangan Setan!"
"Hahh...?!" Pendekar Mabuk mendelik seketika itu juga, demikian
pula Perawan Sinting. "Ke mana larinya?"
"Ke timur!"
"Kalau begitu, kita kejar dia ke timur, Suto!" ajak Perawan
Sinting.
"Tunggu dulu! Kita perlu pelajari siapa perempuan itu sebenarnya
melalui Eyang Panembahan."
Mahesa Gibas menyahut, "Jelas dia adalah si Bayangan Setan!
Aku pernah melihat perempuan itu membunuh beberapa pelayan di
kadipaten!"
"Ya, ya... tapi aku membutuhkan beberapa saran dari Eyang
Panembahan untuk hadapi perempuan itu," kata Suto. "Terutama
tentang kehancuran Samudera Kubur delapan tahun yang lalu itu."
"Delapan tahun yang lalu?!" Perawan Sinting menggumam heran.
"Bukankah kita baru pergi dari kadipaten delapan hari lamanya,
Suto?!"
Pendekar Mabuk tak hiraukan keheranan itu, ia segera melangkah
menuju ke Padepokan Pantai Porong untuk menemui Eyang
Panembahan; Pancalingga. Yang lainnya pun segera mengikuti sang
pendekar heboh itu bersama munculnya sang fajar di ufuk timur.
SELESAI


Segera menyusul!!!
RAHASIA BAYANGAN SETAN
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com