Pendekar Mabuk 89 - Pedang Penakluk Cinta





 
1

SUARA tembang itu ternyata datang dari tanah
perbatasan sebuah desa. Mulanya suara tembang itu
disangka sekelompok orang yang mengadakan lomba
'Tembang Tercantik'. Karenanya, pemuda tampan
berbaju tanpa lengan warna coklat dan bercelana putih
kusam itu segera mendekati tempat tersebut. Pemuda
tampan yang membawa bambu bumbung tuak itu tak
lain adalah si murid sinting Gila Tuak yang bergelar
Pendekar Mabuk dan akrab dipanggil Suto Sinting.
Namun setelah Suto Sinting sampai di tempat
datangnya suara tembang itu, ia jadi kecewa dan geleng-
geleng kepala. Ternyata suara tembang itu  dilantunkan
dari mulut seorang pemuda gila berpakaian rangkap-
rangkapan. Seorang lelaki agak pendek bertubuh kurus 
dengan rambut kucal acak-acakan itu menari-nari sambil
melantunkan tembang tak jelas  iramanya. Sebuah guci
kecil ada di tangan kirinya.
"Uu, lalala... ceriping singkong enak rasanya. Uuh,
lalala... nyolong ceriping aduh nikmatnya, uuh, lala, lala,
la... lalalalala... ceriping!"
Orang gila  itu  berjoget  sambil  geleng-geleng kepala
terus tanpa henti. Seakan dunia itu  miliknya. Seluruh
keindahan di alam jagat raya itu  bagaikan hanya dia
yang punya. Matanya yang sayu itu  seperti orang
mengantuk, tapi gerakan tubuhnya yang meliuk ke sana-
sini dengan teratur itu  benar-benar tampak sedang
dinikmati.
Lelaki berpakaian rangkap tujuh, termasuk tiga
celana pendek, tiga celana panjang beda panjang, dan
sarung kumai dililit di pinggangnya itu, tak pedulikan
kedatangan Suto Sinting di bawah pohon. Pendekar
Mabuk terpaksa menikmati tontonan gratis itu  sebagai
obat kecewa atas hatinya yang salah terka itu.
"Pemuda  itu  benar-benar tak punya beban dalam
hidupnya. Alangkah enak hidup seperti dia?" pikir Suto
sambil senyum-senyum kecil karena geli melihat tarian
si orang gila.
"Coba kalau aku bisa hidup seperti dia, pasti pikiran
dan batinku bebas dari masalah apa pun. Tapi... eh, aku
tak mau hidup seperti dia, itu berarti aku gila! Mana ada
gadis yang mau punya kekasih pemuda gila? Hmmm...
kalau menikmati kelucuan orang gila, boleh-boleh saja.
Sambil beristirahat di tempat teduh ini, kunikmati saja


keanehan orang itu."
Bumbung tuak diangkat dan dijungkirkan ke mulut.
Glek, glek, glek...! Tiga teguk tuak diminumnya. Badan
terasa segar, hati merasa tenang. Pendekar Mabuk
sengaja duduk  di atas sebuah batu yang ada di bawah
pohon rindang itu  sambil  matanya pandangi tarian si
orang gila yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Uuh,  lalala... ceriping kodok aduh baunya. Uuh,
lalala... ceriping tembok aduh kerasnya. Uuh, lala, lala,
la... lalalala... ceriping!"
Orang gila itu  masih berjoget seenaknya dengan
kepala menggeleng-geleng terus. Keringatnya mengucur
dari dahi sampai ke pipi. Giginya gemeretak seperti
orang sedang menggigil kedinginan. Matanya yang sayu
terbuka sedikit dan mulai melihat kehadiran Suto
Sinting, ia tersenyum dan melambaikan tangan penuh
persahabatan. Suto Sinting hanya membalas senyuman
tapi tak mau melambaikan tangan, takut dikira sama-
sama gila.
Tetapi pemuda kurus berambut tipis itu  segera
mendekati Suto  sambil  kepalanya tetap godek-godek
seperti wayang golek.
"Hai, Jek...!" sapanya sambil melambaikan tangan
lagi. "Tampan sekali kau, Jek...."
"Namaku Suto, bukan Jek!"
"Ah, bohong. Kau pasti si Dufkijek... cucunya Mbah
Gudel! He, he, he...!"
"Bukan. Aku bukan Dufkijek, dan bukan cucunya
Mbak Gudel. Namaku Suto Sinting. Kau bisa 
memanggilku Suto, kalau kau mau bersahabat
denganku."
"Ah, kau pasti Dulkijek! Kalau kau bukan Dulkijek,   
aku tak mau bersahabat dan tak mau memberitahukan
rahasia pedang itu lho!"
Suto mulai tertarik mendengar rahasia pedang yang
sebenarnya tak ingin diketahui. Karena pemuda  gila
yang cengar-cengir terus dengan mata sayu seperti orang
mabuk  itu  sudah telanjur menyebutkan tentang rahasia
sebuah pedang, Suto jadi berminat untuk
mengetahuinya. Mau tak mau ia harus bersikap
bersahabat dengan pemuda gila itu.
"Mau bersahabat denganku atau tidak?" sambil
pemuda gila  itu  geleng-geleng terus mengikuti irama
tembang di hatinya.
"Baiklah. Aku mau bersahabat denganmu. Aku
memang Dulkijek!" 
"Naaah...  itu  baru sohib namanya! Sohib  itu  teman
baik! He, he, he, he...!"
Suto Sinting ikut-ikutan tertawa ceria supaya
dianggap seorang sahabat yang baik. Pemuda itu
mengangkat tangannya dengan telapak tangan terbuka
dan mengajak adu telapak tangan.
"Tos dulu, Jek. Ayo, tos dulu...!"
"Tos itu apa?!"
"Tos itu singkatan dari: Tangan Orang Senang. Mari
kita adu tangan kita supaya senang bersama!  Ayo, tos
dulu, Jek...!"
Untuk melegakan pemuda tersebut, Suto Sinting pun
mengadu telapak tangannya dengan orang itu  sambil
tertawa kecil. Plok...!
Wuuut!, brruk...!
Pemuda gila itu terlempar sejauh lima langkah. Suto
Sinting kaget, pemuda itu juga kaget dan menggeragap.
"Kenapa pukulanmu keras sekali, Jek?! Pelan saja?!
Yang penting kita sama-sama asyik, Jek!"
"Wah, aku lupa menarik tenaga dalamku dari telapak
tangan. Aduh, kasihan sekali dia!" pikir Suto Sinting
yang tak sengaja melepaskan tenaga dalamnya saat
beradu telapak tangan. Hal itu  karena Suto sudah
terbiasa jika bertemu dengan lawan dan mengadu telapak
tangan selalu saling melepaskan tenaga dalam dari
telapak tangan itu. Tapi rupanya kali ini pemuda gila itu
tidak mempunyai tenaga dalam sedikit pun. Ia
menghendaki adu telapak tangan secara kosong hanya
sebagai tanda bersahabat. Suto jadi menyesal sendiri dan
buru-buru menolong pemuda itu.
"Maaf, aku tak mengerti maksudmu. Jangan marah,
Kawan!"
"O, tak apa. Untuk apa aku marah? Yang penting kita
sama-sama senang saja, tak perlu saling bermusuhan,
Jek!"
Setelah pemuda itu berhasil dibantu untuk berdiri, ia
mengangkat tangannya lagi.
"Tos lagi, Jek! Pelan-pelan saja!" 
Plaak...!
"Asyiiiik...! ini baru sahabat yang baik!" ujarnya
sambil  tetap ceria, sementara Pendekar Mabuk hanya 
merasa bingung melihat sikap pemuda itu.
"Kelihatannya gila, tapi kok bicaranya masih lancar?"
pikir Suto.
Pemuda yang belum diketahui namanya itu  masih
bergoyang-goyang sambil geleng-gelengkan kepala.
Ceria sekali, tampak sangat gembira menikmati
hidupnya di siang yang teduh itu.
"Mau ceriping juga, Jek?"
"Ceriping...?!" Suto heran lagi.
"Tak usah sungkan-sungkanlah.... Apa kau tak tahu
kalau ceriping itu jenis minuman tuak yang paling enak
dan melebihi tuak majalegi? Kalau mau ceriping, aku
masih punya cukup banyak."
Suto membatin, "Bukankah ceriping itu  sejenis
keripik singkong? Tapi mungkin di daerah ini beda
artinya."
"Kau juragan ceriping?!" tanya Suto.
"Lho, masa' lupa...?! Aku, Mahesa Gondes, bandar
ceriping di seluruh padukuhan sini. Jek!" sambil ia
menepuk dadanya dan tetap godek-godek. Suto hanya
mencatat dalam hatinya bahwa  pemuda  itu  bernama
Mahesa Gondes.
"Kalau kau mau ceriping, nanti kita bisa bergembira
bersama  sambil  menembang begini...," ia mulai
menembang lagi.
"Uuh, lalala... ceriping tokek aduh jijiknya. Uuh,
lalala... ceriping kebo aduh alotnya. Uuh, lala,  lala, la.
lalalala... ceriping!" sambil  ia memperagakan
kenikmatannya dalam berjoget dan geleng-geleng 
kepala.
"Mahesa Gondes, soal  rahasia pedang tadi,
bagaimana?" Suto alihkan omongan.
"Ah, minum ceriping dulu baru ngomong soal
pedang!" ujar Mahesa Gondes sambil geleng-geleng
kepala terus.
"Baik, baik...!  Aku mau minum ceriping. Hmmm...
kau punya ceriping apa, Mahesa Gondes?!"
"Hmmm, pokoknya asyik, Jek! Aku orangnya asyik-
asyik saja, Jek!" kata Mahesa Gondes sambil membuka
tutup guci itu.
"Minum ini! Kau pasti akan menikmati keindahan di
dunia!  Baru kita bisa bicara tentang rahasia pedang
pusaka!"
"Apa ini?!" tanya Suto heran.
"Ini namanya ceriping raja! Minum saja, Jek!"
Pendekar Mabuk sempat dibuat bimbang sesaat, ia
mencium tuak dalam guci berbau wangi.
"Minum saja!" bujuk Mahesa Gondes.
"Minuman apa ini sebenarnya?" Pendekar Mabuk
semakin bingung.
"Minumlah benda itu, itu adalah tuak gegap gempita.
Sejenis minuman yang bikin hati kita senang dan selalu
jujur kepada siapa pun, selalu baik kepada siapa pun,
dan selalu mengalah kepada siapa pun. Namanya "Tuak
Ceriping'."
"Wah, gawat sekali orang ini!" pikir Suto Sinting.
"Jangan-jangan bisa muntah jika aku minum tuak bau
wangi rempah-rempah begini." 
"Kalau kau tak mau minum, aku tidak bisa kasih tahu
rahasia pedang pusaka itu, Jek. Sebab kau tak bisa lihat
di mana pedang pusaka itu berada." 
"Pedang apa itu, Mahesa Gondes?!"
"Pedang Penakluk Cinta. Wow...! Hebat kan
namanya? He, he, he...!" Mahesa Gondes geleng-
gelengkan kepala terus sambil  segera serukan
tembangnya.
"Uuh,  lalala... ceriping sumur aduh benjolnya. Uuh,
lalala... ceriping janda aduh hangatnya. Uuh, lala,  lala,
la... lalala... ceriping! Asyiiik...!"
Sementara itu Pendekar Mabuk mulai teringat sesuatu
yang sempat tak terpikirkan, yaitu sebuah pusaka yang
bernama Pedang Penakluk Cinta. Karena dalam
perjalanannya memburu Siluman Tujuh Nyawa, ia
sempat melihat pertarungan dua tokoh muda tapi
berilmu lumayan tinggi. Dua tokoh muda itu adalah dua
gadis yang tak dikenal Suto dan saling mempersoalkan
Pedang Penakluk Cinta. Sayangnya, sebelum Suto turun
tangan melerai pertarungan itu, keduanya sudah sama-
sama mati dibunuh orang misterius dengan senjata
rahasia berbentuk kelelawar. Suto mengejar dan mencari
orang  itu, tapi tak berhasil menemukannya, sampai
akhirnya ia merasa lelah, lalu mendengar suara tembang
Mahesa Gondes dan akhirnya singgah di tempat itu.
"Penasaran sekali aku dengan pedang itu?! Mengapa
si Mahesa Gondes yang setengah gila  ini mengetahui
rahasia pedang itu? Siapa dia sebenarnya? Hmmm...
supaya dia mau berterus terang padaku, sebaiknya 
kuikuti keinginannya!"
"Ayo minum. Tuakmu kalah enak dengan tuak
ceriping ini!"
Suto Sinting segera menenggak tuak dalam guci itu.
"Lihat tanganmu, Jek!" kata Mahesa Gondes, sambil
mengambil gucinya. Guci itu  mempunyai tali dan
galinya digantungkan pada ikat pinggang.
"Ada apa dengan tanganku?!"
"Kalau telapak tanganmu sudah berkeringat, berarti
kau sudah merasakan khasiat tuak ceriping raja tadi!"
Suto Sinting membiarkan telapak tangannya diperiksa
dengan cara diraba. Setelah meraba tangan Suto, pemuda
yang tak jelas status kejiwaannya, gila  atau mabuk itu,
segera tersenyum dengan mata sayunya memandang
Suto.
"Sebentar lagi kau pasti akan merasa gembira, Jek!
Nikmati saja dulu. Kalau kau sudah mulai merasa
melayang-layang dengan indahnya, baru kita bicara
tentang' rahasia Pedang Penakluk Cinta. Setuju? He, he,
he...!"
Mahesa Gondes menari-nari  lagi  sambil  geleng-
geleng kepala dan melantunkan lagu seperti tadi.
"Uuh,  lalala... ceriping borok aduh asinnya. Uuh,
lalala... ceriping popok aduh pesingnya. Uuh, lala, lala,
la... lalala... ceriping!"
Pendekar Mabuk hanya senyum-senyum  sambil
memikirkan beberapa hal yang membingungkan, ia ikut
geleng-geleng kepala hanya untuk menyenangkan
Mahesa Gondes. 
Tiba-tiba hatinya berkata, "Mengapa aku berdebar-
debar? Ooh... ada perasaan senang di hatiku dan debaran
ini sangat indah rasanya. Hei, ada apa dengan diriku?
Kenapa badanku jadi dingin?! Tapi... tapi tanganku
mulai berkeringat?!"
Pendekar Mabuk semakin bingung dengan perubahan
dirinya yang begitu cepat dan sangat di luar dugaan itu.
Sambil terbawa gerakan Mahesa Gondes yang geleng-
geleng kepala itu, hati Suto berkecamuk terus, bertanya-
tanya pada diri sendiri.
"Ya, ampun... ada apa ini? Mengapa hatiku berbunga-
bunga begini bahagianya? Oh, pandangan mataku pun
serba indah. Melihat pakaian si Mahesa Gondes yang
tumpuk-tumpuk  itu  tampak indah namun lucu sekali.
Aduh... aku ingin tertawa terus tanpa alasan? Oh, bibirku
tertarik ke kanan kiri, ingin tersenyum terus? Aduuh...
nikmat sekali perasaanku hari ini... lalu bagaimana
dengan pedang itu?!"
"Godek-godek terus, Jek! Ayo, jangan malu-malu,
ikuti goyanganku!" Mahesa Gondes memberi semangat.
Bahkan ia mengajak Suto melantunkan tembang pula.
"Uuh, lalala... ceriping tengkuk aduh kerasnya. Uuh,
lalala... ceriping dengkul aduh mualnya. Uuh, lala, lala,
la... lalala... ceriping!"
"Indah sekali tuak ceripingmu, Mahesa!" ujar Suto
sambil tersenyum gembira dan ikut goyang badan serta
goyang kepala. Bahkan ia pun ikut lantunkan tembang
seperti Mahesa Gondes tadi.
"Uuh,  lalala... ceriping golok aduh tajamnya. Uuh, 
lalala... ceriping tombak aduh mulesnya. Uuh, lala, lala,
la... lalala... ceriping!"
"Bagus, Jek!  Terus gelengkan kepala! Nembang
terus, Jeeek...!" seru Mahesa Gondes memberi semangat.
Suto Sinting semakin asyik geleng-geleng  kepala dan
goyangkan badannya yang kekar, sambil mengayunkan
bumbung tuaknya ke sana-sini. Ia tampak menikmati
perasaan girangnya penuh suka cinta.
Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat dari balik
pohon di kejauhan sana. Weeess...! Kebetulan saat itu
Suto Sinting melihat gerakan sinar yang meluncur di
udara ke arah Mahesa Gondes. Tetapi ia tidak segera
melindungi Mahesa Gondes atau menghantam sinar
berbahaya itu dengan jurus mautnya, ia justru menuding
sinar itu sambil tertawa-tawa.
"Hei, lihat... sinar itu  indah sekali warnanya!
Asyiik...! Ha, ha, ha, ha...!" Suto tertawa dengan nada
rendah tapi penuh keceriaan.
Mahesa Gondes juga hanya menatap gembira ke arah
sinar yang melayang ke arahnya.
"Asyik...! Ada dewa menghampiriku. Pasti ingin tuak
ceriping juga! Wahai dewa merah... datanglah kemari
aku akan...."
Blaaabbs...!
Sinar merah itu  menghantam dada Mahesa Gondes.
Tubuh pemuda itu  meletup kepulkan asap tebal.
Pendekar Mabuk bukan kaget dan segera menolong, tapi
justru tertawa sambil menudingnya.
"Hah, hah, nah...! Kau seperti sate kebanyakan 
bumbu, Mahesa! Ngebul teruuuusss...!"
Suto tetap goyangkan badan sambil berseru, "Uh,
lalala... ceriping asap aduh lucunya...."
Asap tebal yang membungkus Mahesa Gondes itu
segera lenyap. Ternyata di balik asap tebal itu  tubuh
Mahesa Gondes telah terkapar di tanah dalam keadaan
tak berkutik. Tubuh  itu  menjadi merah kebiru-biruan,
memar, seperti habis dikeroyok orang sepasar. Bahkan
setiap lubang di tubuhnya keluarkan darah kental; dari
mulut, hidung, telinga, dan sudut-sudut matanya.
Suto Sinting yang diliputi perasaan bahagia itu
memandang Mahesa Gondes seperti memandang badut
yang lucu. Ia tertawa geli walau tak harus terbahak-
bahak, ia memang menghampiri Mahesa Gondes, tapi
bukan untuk menolong seperti biasanya, melainkan
untuk menertawakan.
"Hah, hah, hah...! Kenapa kau bobo manis di sini,
Mahesa?! Ayo, kita keluarkan ceripingmu lagi. Kita ber-
uhlala kembali, Mahesa! Mumpung aku sedang asyik
ini, Jek!"
Suto Sinting bergoyang kepala, "Uuh, lalala...
ceriping mayat aduh bonyoknya. Uuh, lalala... ceriping
lempung aduh pulesnya. Uuh, lala,  lala,  la... lalala...
ceriping!"
Pendekar Mabuk tidak tahu bahwa Mahesa Gondes
saat  itu  sedang sekarat akibat pukulan bersinar merah
tadi. Nyawa pemuda itu  sudah di ubun-ubun, tinggal
lolos meninggalkan raganya, lalu la akan tewas tanpa
bisa ber-uhlala lagi. 
Tapi pada saat itu segera muncul sekelebat bayangan
yang segera menyambar tubuh Mahesa Gondes.
Wuuus...! Orang yang berkelebat cepat itu  membawa
pergi Mahesa Gondes. Suto Sinting berseru, "Hei... mau
diajak jualan tuak di mana dia? Aku ikut, Jeek...!"
Suto Sinting pun mengejar orang tersebut sambil ber-
uhlala.
  
2
ORANG berjubah putih yang membawa lari Mahesa
Gondes  itu  punya kecepatan gerak yang cukup tinggi.
Pendekar Mabuk tertinggal, karena ia lupa menggunakan
jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya menyamai
kecepatan cahaya itu.
Jika ia tidak dalam keadaan terbuai oleh perasaan
indah akibat 'tuak ceriping raja'-nya Mahesa Gondes,
sudah tentu kecepatan orang berjubah putih itu  dapat
disusulnya. Setidaknya, Suto tidak akan kehilangan arah
ke mana larinya si jubah putih itu.
Tuak yang diminumnya demi rasa ingin tahu tentang
rahasia sebuah pedang itu ternyata benar-benar membuat
pikiran Pendekar Mabuk menjadi kacau, ia justru
hentikan langkah ketika bingung mencari orang yang
dikejarnya.
"Hah, hah, hah...! Orang  itu  larinya cepat sekali,
seperti setan kebelet buang air besar," ujarnya dengan
terkekeh-kekeh sendiri, ia sandarkan salah satu
tangannya ke pohon dan pandangan mata menatap ke 
sana-sini. Mata Suto seperti mata orang mengantuk.
Sayu dan sedikit merah.
"Jualan tuak ceriping ke mana si Mahesa Gondes itu,
ya?" tanya Suto pada dirinya sendiri. "Hebat sekali
ceripingnya. Bisa bikin perasaanku selalu riang dan
senang. Umumnya bahan yang dipakai untuk ceriping
adalah singkong atau pisang. Tapi kali ini yang
kuminum ceriping... ceriping raja? Heh, heh, heh...!"
Suto Sinting melangkah tanpa tujuan sambil
menikmati keindahan yang memabukkan jiwanya.
"Ceriping sama dengan tuak. Singkong sama dengan
raja. Jadi ceriping singkong sama dengan tuak raja! Hah,
hah, hah, hah...! Lucu sekali pengertian yang kudapatkan
ini?! Raja kok dibuat tuak?! Apa tidak bikin orang
kesurupan?! Hehh, hehh, heeh, he...!"
Tiba-tiba ia mendengar suara dentuman yang cukup
keras.
Blaaarr...!
Tawanya dihentikan, tapi senyum kegembiraan masih
ada.
"Suara apa itu tadi?! Setan batuk?! Hah, hah, hah...!
Setan kok batuk?! Ada-ada saja pikiranku ini!"
Blegaaar...!
"Waah, lebih seru lagi. Kurasa suara itu bukan suara
setan batuk. Tapi suara petir bangkis! Hah, hah, hah...!
Petir kok bangkis, lalu ingusnya sebesar apa, ya? Hik,
hik... lucu sekali pikiranku ini? Kenapa aku jadi punya
pikiran yang lucu-lucu, ya?!"
Ledakan ketiga terdengar lagi. Kali ini ledakan 
tersebut sampai menggetarkan tanah tempat Suto
berpijak. Pemuda mabuk tuak ceriping itu  bicara pada
diri sendiri.
"Wah, buminya mau ambrol. Pasti sudah keropos!
Tapi, jangan-jangan getaran tanah ini akibat suara
menggelegar  itu? Ah, sebaiknya kulihat ada apa di
sebelah sana, sehingga sejak tadi jegar-jeger mirip dewa
tepuk tangan! Heeh, heeh, hheeh, hee...! Dewa kok tepuk
tangan, apa dewanya kurang kerjaan?!" Suto Sinting
tertawa sendiri sambil hampiri tempat datangnya ledakan
tadi.
Ternyata di lembah berpohon renggang itu  terdapat
sebuah pertarungan yang cukup seru. Pertarungan itu
dilakukan oleh dua perempuan yang usianya sama-sama
sekitar dua puluh tiga tahun. Yang satu berambut pendek
sepundak dengan poni di depan dahinya, yang satu
berambut panjang sebahu diriap, dengan ikat kepala dari
kulit macan tutul.
Gadis yang mengenakan ikat macan tutul itu  juga
mengenakan baju model tutul-tutul tapi bukan warna
kuning-hitam, melainkan warna biru tutul-tutul putih.
Bajunya tanpa lengan dan berbelahan dada lebar,
menampakkan sebagian tepi bukit mulusnya yang
berkulit kuning langsat itu. Sedangkan bagian bawahnya
adalah kain yang dibentuk seperti celana panjang
longgar berbelahan samping kanan-kiri. Jika kaki gadis
itu  menendang, maka kainnya akan menyingkap dan
pahanya pun akan melambai-lambai menggugah hasrat
lelaki yang sedang tidur. 
Gadis berpakaian tutul-tutul  itu  punya tendangan
cukup bagus. Selain cepat juga tinggi, melebihi kepala
lawannya. Sedangkan sang lawan jarang gunakan
tendangan, kecuali dalam saat-saat tertentu.
Sang lawan mengenakan jubah rapat berlengan
longgar warna hijau dengan bunga-bunga merah. Celana
panjangnya yang longgar berwarna merah darah.
Sekalipun ia tampak rapi, tidak seseronok lawannya, tapi
gumpalan dadanya tampak membusung penuh
tantangan, seakan menunggu jamahan tangan lawan
jenisnya, ia juga seorang gadis cantik berhidung
mancung dan berbibir mungil. Matanya indah, dan
sangat sayang jika sampai tercolok pedang lawannya.
Melihat kedua gadis itu bertarung, Suto Sinting justru
menertawakan walau tak keras, ia memandang dari
ketinggian tanah yang ditumbuhi semak ilalang.
"Haah, haah, haah, haa...! Cantik-cantik kok pada
berantem?! Bodoh amat mereka itu. Mendingan ikut
senang-senang denganku, hati riang jiwa melayang,
ooh... asyiknya!"
Suto Sinting menuruni tanah tinggi itu  sambil
mendendangkan tembang suara pelan.
"Uuh, lalala... ceriping paha aduh mulusnya. Uuh,
lalala... ceriping dada aduh montoknya. Uuh, lala,  lala,
la... lalalala... ceriping! Uuh... lalala... uuh, lalala...."
Tiba-tiba ia berseru, "Awas kepala!"
Plook...! Si gadis berikat kepala kulit macan tutul itu
terkena tendangan kaki lawan yang memutar dengan
cepat. Pelipisnya bagaikan ditampar dengan tendangan 
itu  cukup keras, ia terpelanting dan berguling-guling
sesaat. 
Suto tertawa melihat gadis itu  berguling-guling,
"Hah, hah, hah, hah! Tangkisanmu salah, Nona!
Menangkislah pakai tangan, jangan pakai kepala!"
Kali ini Pendekar Mabuk bukan sebagai pemisah
pertarungan, tapi sebagai penonton terang-terangan.
Jaraknya dengan pertarungan sekitar sepuluh langkah, ia
menyaksikan pertarungan itu  sambil tertawa-tawa,
karena setiap gerakan kedua gadis itu  selalu
menghadirkan kelucuan bagi hati Suto Sinting. Tak
segan-segan ia bertepuk tangan seperti anak kecil nonton
adu jago di pekarangan rumah tetangga.
"Awas perutmu, hoi!"
Buuhk...!
"Naah... apa kataku! Hah, hah, hah, hah! Ususmu bisa
kusut, Nona! Perut mau ditendang kok dibiarkan saja?!
Uuuh... lucu sekali gadis berbaju biru itu."
Gadis berbaju biru tutul-tutul putih itu  bukan saja
rasakan sakit pada bagian perutnya yang terkena
tendangan lawan, tapi juga merasa dongkol mendengar
komentar Suto dari kejauhan. Ingin rasanya menyumpal
mulut Suto dengan segenggam tanah kuburan. Namun
karena si jubah hijau bunga-bunga merah mendesaknya
terus, maka si baju biru merasa tak perlu pedulikan
seruan-seruan pemuda tampan itu.
"Sebelum kesabaranku habis, serahkan saja Pedang
Penakluk Cinta itu  padaku, Sunggar Manik!  Jika kau
tetap ingin membawa lari pedang itu, maka aku 
mengakhiri masa hidupmu di bumi ini! Ratu Ladang
Peluh telah memberiku wewenang untuk mencabut
nyawamu jika kau tetap membandel tak mau serahkan
pedang pusaka itu!"
"Sampai mati pun tak akan kuserahkan pedang itu ke
tanganmu. Mustikani! Bila perlu, Ratu Ladang Peluh
pun akan kulawan dengan pedang itu!" balas si baju biru
tutul-tutul yang ternyata bernama Sunggar Manik  itu,
sedangkan lawannya bernama Mustikani. Suto Sinting
terkekeh pelan di tempatnya sambil geleng-geleng
kepala.
"Bodoh amat kalian! Mengapa harus berebut pedang?
Beli lagi saja! Banyak tukang pande besi jualan pedang!"
Mustikani benar-benar ingin wujudkan ancamannya.
Pedang di punggung dicabut. Sreet...! Sunggar Manik
yang ada dalam jarak delapan langkah itu dihampirinya
dengan gerakan melompat jungkir balik berkali-kali
dengan gunakan ujung pedangnya sebagai tumpuan di
tanah. Wuk, wuk, wuk, wuk!
Tiba di depan Sunggar Manik pedangnya ditebaskan
dengan cepat dengan gerakan memenggal kepala.
Wuuus...! Trang...! Sunggar Manik pun telah siap dan
cabut pedangnya dengan cepat, lalu menangkis pedang
itu. Denting suara pedang melengking tinggi dan
keluarkan pereskan bunga api.
Sunggar Manik cepat sentakkan pedang runcingnya
yang habis dipakai menangkis tadi. Suuut...! Pedang itu
bertujuan menghujam ke dada Mustikani. Tetapi gadis
berponi rata itu  berkelit ke samping dengan lincahnya. 
Lalu ia putar tubuhnya dengan cepat, pedangnya
menyambar perut Sunggar Manik. Wees...! Traaaang...!
Hampir saja perut Sunggar Manik robek tanpa ada
yang menjahitnya. Untung jurus pedangnya cukup
lincah, sehingga ia berhasil menangkis tebasan cepat.
Seakan ia sudah tahu bahwa serangan berikutnya akan
membahayakan perutnya.
Trang, trang, tring, trang, tring...!
Kedua gadis itu  beradu pedang dengan kecepatan
tinggi. Gerakan jurus pedang mereka nyaris tak bisa
dilihat dari tempat Suto berdiri sambil sesekali
menenggak tuaknya, lalu tertawa-tawa pelan,
menganggap pertarungan pedang itu adalah sesuatu yang
lucu.
"Mana bisa saling merobek perut, jurus pedang kalian
tanpa tipuan begitu?!" ujar Suto pelan, hanya dia yang
mendengarkan. "Kalian pegang pedang saja seperti
pegang centong nasi, mana bisa unggul?!"
Lalu, ia berseru, "Gunakan kaki, Non! Kaki
mainkan...!"
Seruan  itu  dijawab sendiri, "Mau main ke mana si
kaki, ya? Main jauh-jauh nanti malah nyasar ke
pelacuran? Hik, hik, hik, hik!" Pendekar Mabuk pun
tertawa sendiri.
Tapi seruannya tadi sempat ditangkap telinga
Mustikani, sehingga kaki Mustikani segera berkelebat
cepat menendang  Sunggar Manik saat pedang mereka
beradu di atas kepala. Traang...! Buuhk...!
"Heehk...?!" Sunggar Manik terpental lima langkah 
jauhnya. Ulu hatinya terkena tendangan dengan telak.
Tendangan bertenaga dalam itu sempat membuat ulu hati
Sunggar Manik bagaikan terbakar bagian dalamnya, ia
memuntahkan darah segar saat hendak bangkit.
"Hoeek...!"
Suto berkata sambil tertawa, "Wah, ngidam, ya Non?!
Sudah hamil berapa bulan, Non?!" sambil ia tetap
geleng-geleng kepala dengan lambat, badannya
bergerak-gerak ikuti irama goyangan indah.
Tetapi tiba-tiba Suto melihat selarik sinar putih terang
melesat dari telapak tangan Mustikani yang disentakkan
ke arah Sunggar Manik. Kala itu Sunggar Manik sedang
berlari jauhi lawannya, karena ingin menahan luka panas
di dalam dadanya lebih dulu. Ia merasa akan terganggu
bahaya  jika redakan luka dalam jarak dekat dengan
lawannya.
Slaaap...! Sinar putih itu  meluncur jauh ke arah
lawan. Suto langsung berseru sambil tertawa.
"Woow...!  Indah sekali sinarmu! Lebih indah jika
dipadu dengan sinarku!"
Claap...! Suto Sinting lepaskan jurus pukulan 'Guntur
Perkasa' yang berupa sinar hijau dari tangannya. Karena
posisinya seolah-olah berada di pertengahan jarak antara
Mustikani dengan Sunggar Manik, maka sinar hijau itu
berhasil memotong kecepatan sinar putih tersebut dan
bertabrakan di depan Sunggar  Manik yang baru saja
hendak lari ke arah lain. Blaaarrr...!
Ledakan keras menggelegar guncangkan tanah
sekelilingnya. Tubuh Sunggar Manik terlempar akibat 
jaraknya terlalu dekat dengan ledakan, ia bagai
dilemparkan oleh ledakan yang mempunyai gelombang
panas dan daya sentak cukup besar itu. Weerr...!
Bruuuss...!
"Aaoow...!" Sunggar Manik meraung kesakitan
karena menabrak pohon besar. Wajahnya berciuman
dengan pohon dengan keras. Kulit pohon sampai lecet
dan somplak. Hal itu membuat Sunggar Manik semakin
parah. Dahinya terasa retak, batang hidungnya terasa
patah. Darah mengalir deras dari hidung, sementara
tulang dada juga terasa remuk.
"Sekarang tamatlah riwayatmu, Sunggar Manik!
Hiaaah..!"
Mustikani melayang seperti seekor burung tanpa
sayap. Pedangnya diarahkan ke depan, siap menembus
dada atau leher lawan. Pendekar Mabuk girang melihat
gadis itu bagaikan terbang.
"Wooow, hebaaat..! Aku juga bisa, Non! Lihat,
hiaaahuu...!"
Pendekar Mabuk ikut-ikutan meluncur bagaikan
terbang. Bahkan gerakannya lebih cepat karena ia
menggunakan separo jurus 'Gerak Siluman' yang
terkenal berkecepatan tinggi itu. Weees...! Akibatnya,
kedua tubuh itu  bertabrakan di udara  sebelum pedang
Mustikani mencapai tubuh Sunggar Manik. Brrruus...!
Bumbung tuak lebih dulu membentur tubuh
Mustikani dari arah samping. Gadis itu  langsung
terpental jauh bagaikan diterjang badai besar, ia sempat
memaki keras ketika melayang-layang di udara. 
"Setan kuraaap...!"
Brruuuk...!
"Uuuhk...!" Mustikani mengerang, ia jatuh dalam
keadaan telentang. Tulang punggungnya terganjal akar
pohon sebesar lengan. Tulang punggung itu  bagaikan
patah seketika karena hempasan terbangnya mempunyai
daya banting cukup keras. Sedangkan Pendekar Mabuk
juga jatuh terbanting dengan kepala membentur tanah.
Duuuk...!
"Aoow...! Puyeeng...!" erangnya sambil  menggeliat
memeluk bumbung tuaknya. Namun  rasa puyeng di
kepala hanya sesaat, ia segera bangkit dan menenggak
tuak sambil berlutut satu kaki. Glek, glek, glek...! Tuak
itu  membuat seluruh rasa sakit hilang, termasuk rasa
puyengnya, ia tertawa-tawa lagi dengan suara tawa
seperti erang menggumam.
"Hebat, hebat... kepalaku termasuk barang awet, tak
mudah pecah! Heh, heh, heh, heh!"
Suto memandang ke arah Sunggar Manik, ia
terperanjat melihat gadis itu  telah melarikan diri agak
jauh.
"Lho... lari?! O, ya... memang lebih baik kau
melarikan diri dulu, Non. Nanti kembali lagi kalau luka-
lukamu     sudah sembuh, ya?! Hik, hik, hik, hik...!
Larinya seperti ayam kesiangan!" 
Wuuut, brruk...!
Tiba-tiba Suto Sinting terjungkal ke depan.
Punggungnya diterjang dengan tendangan kuat. Rupanya
Mustikani berhasil kerahkan tenaga simpanan sambil 
menahan tulang punggungnya yang sakit untuk lakukan
terjangan ke arah Suto. Ia tampak berang kepada pemuda
yang belum dikenalnya itu. Tapi merasa pernah dibuat
beruntung oleh saran Suto tentang tendangan tadi.
"Uuh...!  Punggungku masih ada apa sudah jebol,
ya?!" gumam Suto Sinting sambil cengar-cengir, masih
tetap bersuasana senang dan tak merasa marah oleh
serangan tersebut.
Mustikani memandang ke arah Sunggar Manik yang
sudah menjauh itu. Ia ingin mengejar, tapi tiba-tiba
kakinya disampar oleh kaki Suto yang berlagak ingin
bangkit  itu. Wuuut, brruuk...! Mustikani terpelanting
jatuh dengan pedang nyaris menancap perutnya sendiri.
Untung ujung pedang itu  menancap di tanah samping
pinggangnya, sehingga perut gadis itu masih utuh.
"Setan busuk!" maki Mustikani, ia ingin bangkit,
namun jatuh melemas lagi. Kali ini tulang punggungnya
benar-benar patah, ia mengerang kesakitan dan hanya
bisa menggeliat pelan-pelan.
Suto Sinting menertawakan lagi. "Uuh, lalala...
ceriping kaki aduh sakitnya...," goda Suto Sinting yang
tidak mendapat tanggapan dari si gadis. 
"Oouh...! Oooouh...!"
"Sakit, ya? Sakit, Non?!" Suto mendekati dan
jongkok seenaknya di dekat Mustikani sambil cengar-
cengir. "Punggungku yang kau jejak juga sakit, Nona.
Tapi aku minum tuak ini jadi bisa 'uhlalala' lagi. Kalau
kau mau tak sakit, minumlah tuakku ini!"
Si gadis masih tak menghiraukan, ia hanya 
mengerang sambil peringas-peringis berusaha mengurut
pinggangnya. Suto Sinting membuka tutup bumbung
tuak, lalu menyodorkan ke mulut si gadis.
"Ayo, minum! Minumlah... jelek-jelek tuak ini
mengandung kekuatan sakti, Non. Sakti sekali! Sakit apa
pun yang kau derita bisa cepat sembuh, kalau kau mau
minum tuak ini. Orang mati yang sudah jadi tengkorak
saja bisa hidup kembali, kalau mau minum tuak ini! Tapi
biasanya orang mati pada bandel, tak ada yang mau
minum tuak ini!" celoteh Suto tanpa pedulikan wibawa
dan kharismanya sebagai pendekar kondang itu  hilang
daripadanya.
Bumbung tuak disodor-sodorkan ke mulut Mustikani.
Si gadis tetap tak peduli karena menahan rasa sakit. Tapi
pada saat mulutnya mengerang, tuak pun mengucur
masuk ke mulut si gadis. Beberapa tuak terteguk, tapi
yang lainnya berceceran di sekitar mulut dan dada si
gadis.
Beberapa saat kemudian, Mustikani mulai rasakan
kesegaran pada tubuhnya. Mula-mula pernapasannya
yang tadinya berat menjadi longgar. Rasa sakit jika
bergerak mulai ringan. Bahkan tulang punggungnya
terasa tersambung lagi. Rasa sakit itu  makin lama
semakin lenyap dan tubuh Mustikani menjadi lebih segar
dari sebelum bertarung dengan Sunggar Manik.
"Hebat juga tuaknya. Hmmm...! Siapa pemuda ini
sebenarnya?" pikir Mustikani sambil memperhatikan
Suto Sinting yang masih menggumamkan tembang
sambil duduk santai di bawah pohon terdekat, kepala 
menggeleng-geleng menikmati irama tembang yang
digumamkan itu.
 
3
SETELAH rasakan kehebatan tuak Suto, gadis itu
menjadi punya pertimbangan lain dalam benaknya. "Aku
yakin dia bukan pemuda sembarangan. Dari kehebatan
tuaknya yang mampu lenyapkan luka dengan cepat ini,
aku yakin dia punya ilmu cukup tinggi. Setidaknya
sejajar denganku. Kurasa ada baiknya jika ia kubujuk
untuk membantuku mendapatkan Pedang Penakluk
Cinta."
Mustikani merasa yakin, bahwa ia akan kalah jika
berhadapan dengan Sunggar Manik apabila Sunggar
Manik mengeluarkan Pedang Penakluk Cinta. Tadi dia
berani serang Sunggar Manik, karena pedang yang ada
di pinggang Sunggar Manik bukan Pedang Penakluk
Cinta.
"Pedang  itu  pasti disimpan di suatu tempat," pikir
Mustikani. "Sekarang ia sedang mengambilnya untuk
melawanku! Tak ada jeleknya jika kugunakan pemuda
ini untuk menjadi perisaiku melawan pedang tersebuti
Aku harus mengenalnya lebih dekat lagi."
Rencana batinnya itulah yang membuat Mustikani
mulai dekati Pendekar Mabuk. Walau wajahnya masih
belum bisa ramah, karena menahan harga dirinya agar
tak dianggap gadis ganjen, namun sikapnya sudah mulai
menunjukkan rasa ingin bersahabat. Sikap itu ditanggapi 
Suto Sinting dengan santai, tak terlalu pikirkan apa
maksud pendekatan si gadis, karena Suto masih diliputi
perasaan senang, bahagia dan selalu ingin tersenyum.
Apa saja yang dipandang bisa menghadirkan perasaan
geli di hatinya, sehingga  ia mudah tertawa atau
tersenyum.
"Apa maksudmu menghalangi seranganku kepada
Sunggar Manik?!" tanya Mustikani dengan ketus.
"Biar lebih seru lagi," jawab Suto Sinting seolah-olah
terlontar seenaknya saja.
"Kau kekasihnya Sunggar Manik?!"
Pendekar Mabuk tertawa geli, namun tak terbahak-
bahak. Rasa-rasanya pertanyaan wajar seperti itu
mengandung kelucuan yang amat menggelikan, padahal
dilontarkan dengan wajah ketus dan berkesan sinis. Tapi
perasaan Suto tak merasa tersinggung sedikit pun.
"Kalau dia kekasihku, sudah kuajak 'uhlala' sejak
tadi," jawabnya di sela tawa. "Aku tidak kenal siapa dia,
juga tidak kenal siapa dirimu. Tapi aku yakin kita pasti
akan berkenalan."
"Hmmm...!" Mustikani mencibir, Suto perpanjang
tawanya.
"Asyik sekali cibiranmu, Non! Mirip rembulan dalam
gerhana. Heh, heh, heh, heh!"
Mustikani pandangi Suto yang cuek, geleng-geleng
kepala dengan badan sedikit ikut bergoyang. Mustikani
menyimpan keheranan melihat sikap pemuda tampan
yang ceria dan geleng-geleng terus itu.
"Jangan-jangan dia orang gila lepas dari pasungan?" 
pikir Mustikani, tengkuknya sempat merinding sedikit.
Pandangan mata sayu Suto Sinting masih tetap tertuju
ke wajah Mustikani yang cantik jelita itu. Setelah
beberapa saat saling bungkam dan saling pandang, Suto
Sinting perdengarkan suaranya yang bernada lembut,
seakan penuh persahabatan dan kesabaran yang damai.
"Namaku Dulkijek, ehh... bukan. Itu bukan namaku.
Hanya si gendeng Mahesa Gondes saja yang
memanggilku Dulkijek. Namaku sebenarnya adalah
ceriping raja. Eh, salah lagi... anu.... Suto! Nah, iya...
namaku Suto, itu asli, tidak salah lagi!" lalu Suto tertawa
cekikikan, merasa geli sekali dengan kesalahan ucap
yang dilakukan tanpa disengaja itu. Sedangkan
Mustikani sendiri sebenarnya ingin  tertawa, namun
ditahannya mati-matian agar tetap kelihatan berwibawa
di depan pemuda aneh itu.
"Namamu sendiri siapa, Nona? Boleh kutahu? Kalau
tak boleh akan kuberi nama sendiri. Heh, heh, heh, heh!"
Setelah diam sesaat dengan pandangan tetap berkesan
angkuh, gadis itu  pun sebutkan namanya dengan suara
datar. 
"Namaku Mustikani!"
"Siapa? Setrikani?!"
"Mustikani!" sentak si gadis.
"Ooo.... Mustikani?! Kedengarannya tadi Setrikani.
Kupikir, apanya yang disetrika? Tengkuknya? Heh, heh,
heh, heh!"
"Kau ceria sekali, ya? Sedikit-sedikit tertawa, sedikit-
sedikit tertawa? Jangan-jangan otakmu sedang tak 
waras?!"
"Kelihatannya memang begitu. Heh, heh, heh...! Hari
ini aku diliputi perasaan senaaaang... sekali, ini gara-gara
si Mahesa Gondes yang memberiku tuak ceriping raja,
eh... ceriping apa tadi namanya, ya?" Suto menggumam,
seakan bertanya pada diri sendiri. Mustikani hanya
kerutkan dahi dan tak pedulikan tentang apa yang
dialami Suto Sinting, ia segera ajukan tanya perihal
pertolongan Suto terhadap dirinya itu.
"Mengapa kau menyelamatkan Sunggar Manik dari
ancaman mautku, sementara kau juga sembuhkan
cederaku dengan tuakmu itu? Apa maksud tindakanmu
yang kuanggap aneh ini?!"
"Entah, aku sendiri tak tahu mengapa aku lakukan
semua itu! Aku hanya merasa senang dan bahagia sekali
jika bisa sembuhkan dirimu dan membuatmu sehat
seperti sekarang ini. Cuma itu yang ada di hatiku. Kalau
tak percaya, tanyakanlah padaku!"
Mustikani tarik napas dalam-dalam. Ada rasa kesal
mendengar jawaban yang seolah-olah dilontarkan tidak
dengan sungguh-sungguh  itu. Hati gadis itu  pun
membatin sambil memandang ke arah kepergian
Sunggar Manik.
"Sepertinya pemuda ini benar-benar gila. Kurasa ia
tak bisa diharapkan menjadi perisaiku dalam
menghadapi Sunggar Manik dan Pedang Penakluk Cinta
itu. Diajak bicara saja susah, apalagi diajak kerja sama,
malah akan menyusahkan diriku sendiri nanti!
Sebaiknya kukejar saja si Sunggar Manik sebelum ia 
mengambil Pedang Penakluk Cinta yang disembunyikan
di suatu tempat!"
Suto Sinting segera bangkit berdiri ketika Mustikani
ingin tinggalkan tempat itu. Suaranya cepat berseru
menahan langkah kaki Mustikani.
"Hei, tunggu...!" Ia terpaksa mendekat dengan
langkah limbung karena Mustikani berhenti dalam jarak
lima langkah di depannya.
"Mau ke mana kau, Mustikani?"
"Mengejar lawanku tadi!" jawab Mustikani masih
ketus.
"Dia sudah lari, mengapa harus dikejar?! Bodoh amat
kau ini. Orang lari kok dikejar?! Lebih baik istirahat
dulu di sini bersamaku, nanti akan kunyanyikan sebuah
lagu yang berjudul 'Uhlala'. Kau pasti ikut-ikutan
goyang kepala, Mustikani. Heh, heh, heh, heh!"
Suto mulai tarik suara, "Uuh, lalala...."
"Aku tak butuh nyanyian!" sentak Mustikani
memotong, membuat Suto tak jadi lantunkan
tembangnya, ia justru tertawa geli menyadari
tembangnya terputus begitu saja.
"Yang kubutuhkan adalah Sunggar Manik, bukan
nyanyianmu yang bersuara seperti kaleng rombeng itu!"
tambah Mustikani dengan hati kesal.
"Mengapa kau membutuhkan Sunggar Manik?
Apakah dia kekasihmu?"
"Hmm, dasar bodoh!"
"Sudah lama aku bodoh, tapi baru kau yang tahu.
Heh, heh, heh, heh!"  
"Persetan dengan ucapanmu!" sentak Mustikani,
kemudian ia bergegas pergi. Tapi tangan Suto mencekal
lengannya dengan cepat, membuat langkah tertahan
kembali. Teeb...!
"Sebutkan dulu alasanmu, mengapa ingin mengejar
Sunggar Manik?!"
"Itu urusanku! Kau tak perlu tahu!"
"O, perlu! Aku perlu tahu alasanmu, supaya aku bisa
tentukan sikap; apakah aku harus membantumu atau
tidak."
"Kau tidak perlu membantuku!"
"Jadi, kau tak butuh bantuanku? Oh, kalau begitu,
kembalikan tuakku yang sudah kau telan tadi!
Kembalikan, ayo...!"
"Dasar edan! Tuak sudah ditelan disuruh
mengembalikan?!"
Gerutuan si gadis tak didengarkan oleh Suto. Murid
sinting si Gila  Tuak  itu  berkata lagi dengan nada
membujuk.
"Percayalah, aku akan membantumu jika kau mau
berterus terang tentang permusuhanmu dengan Sunggar
Manik. Jelaskan saja padaku, supaya aku bisa tahu mana
yang baik dan mana yang jahat. Kalau kau yang jahat,
aku tak mau membantumu. Tapi kalau kau di pihak yang
baik, aku akan membantumu."
"Tak ada yang perlu kujelaskan padamu!" ketus
Mustikani. "Kau mau anggap aku orang baik atau orang
jahat, terserah! Aku tak punya urusan denganmu!"
"Heh, heh, heh, heh...! Tak punya urusan denganku 
kok berhenti di sini?" ledek Suto Sinting.
"Kau yang menahan langkahku!" bentak Mustikani
semakin dongkol hatinya.
"Aku menahan karena aku ingin tahu tentang pedang
yang kau perdebatkan dengan Sunggar Manik tadi!"
Mustikani agak kaget. Ada rasa sesal karena tadi ia
memperdebatkan pedang yang dicarinya tanpa
menyadari ada orang yang mendengarkan perdebatan itu.
Mustikani merasa tak bisa sembunyikan masalah lagi
jika kenyataannya Suto Sinting sudah menyinggung-
nyinggung tentang pedang. Napas gadis itu  ditarik
dalam-dalam, lalu dihembuskan dalam satu sentakan
kedongkolan.
"Apa saja yang kau dengar dari pertengkaranku
dengan Sunggar Manik tadi?'"
"Aku mendengar kalian tadi berdebat soal Pedang
Penakluk Cinta. Selain itu  juga main ancam-ancaman
yang mengerikan, tapi aku belum sempat ngeri.
Sekarang aku ngeri dulu, ya?"
"Bicara yang benar!" sergah Mustikani dalam nada
menghardik. Suto Sinting tersenyum, mengangkat
tangannya, memberi tanda agar Mustikani tenang dan
jangan terburu-buru marah.
Pemuda berambut panjang lurus sepundak tanpa ikat
kepala itu menyambung kata-katanya lagi,
"Hanya soal pedang itu  yang masih melekat dalam
ingatanku. Jadi sekarang kuminta padamu, jelaskanlah
tentang pedang itu, Mustikani! Kalau kau tidak  mau
jelaskan, aku akan lantunkan tembang keras-keras 
tentang 'uhlala' yang...."
"Cukup!" sentak Mustikani memotong kata-kata Suto
lagi.  Ia merasa akan semakin kesal jika sampai
mendengarkan tembang yang dianggapnya melantur tak
karuan  itu. Karenanya ia memilih lebih baik jelaskan
persoalan sebenarnya.
"Siapa tahu dia memang benar-benar mau
membantuku," pikir Mustikani, menaruh harap lagi
kepada Suto Sinting yang belum diketahuinya sebagai
Pendekar Mabuk.
Nama Pendekar Mabuk cukup dikenal di rimba
persilatan. Mustikani sendiri sering mendengar cerita
tentang kesaktian Pendekar Mabuk dari beberapa orang
yang dikenalnya. Bahkan cerita-cerita  itu  membuatnya
ikut merasa kagum terhadap Pendekar Mabuk. Tetapi ia
belum pernah bertemu dengan sosok Pendekar Mabuk,
sehingga ia tak tahu kalau sekarang ia sedang
berhadapan dengan pendekar berilmu tinggi itu.
"Aku diutus untuk menangkap Sunggar Manik atau
membunuhnya, dan membawa pulang Pedang Penakluk
Cinta," tutur Mustikani dengan serius.
"Siapa yang mengutusmu? Sunggar Manik sendiri?"
"Bukan!" sentaknya dengan kesal. "Ratu Ladang
Peluh yang mengutusku!"
"O, ya... tadi kudengar kalian juga sebutkan nama
ratu  itu. Siapa...? Ratu Ladang Peluh?! Aneh. Ladang
kok peluh. Ladang itu  pantasnya ladang jagung atau
ladang singkong. Jadi bisa dipanen tiap bulan-bulan
tertentu. Kalau ladang peluh itu  yang mau dipanen 
apanya? Mau panen peluh?! Memangnya sekarang peluh
sekilonya berapa?"
"Mau kujelaskan persoalannya apa mau ngoceh
sendiri?!" hardik Mustikani. Suto Sinting cepat-cepat
diam, menutup mulut sambil tertawa geli tanpa suara.
Hanya tubuhnya yang terguncang-guncang sesaat.
"Sunggar Manik mencuri pusaka ratu kami, yaitu
Pedang Penakluk Cinta itu!  Ia mencuri pedang itu
bersama adiknya yang bernama Lentik Sunyi.
Kemudian, sang Ratu menugaskan aku dan Umbari
untuk menangkap atau membunuh keduanya, yang
penting Pedang Penakluk Cinta harus berhasil  kami
bawa pulang ke Bukit Randa, tempat sang ratu bertakhta
dalam istana kecilnya."
"Bukit Randa itu  di mana?" potong Suto Sinting,
karena tiba-tiba ia merasa sangat asing dengan nama itu
dan menjadi ingin tahu secepatnya.
"Bukit Randa ada di sebelah selatan, hampir
mendekati pesisir kidul," jawab Mustikani sepolos-
polosnya, karena ia pikir penjelasan itu  perlu diketahui
Suto agar jika terjadi sesuatu padanya  Suto bisa
sampaikan kabar kepada Ratu Ladang Peluh.
"Aku dan Umbari berpisah di lereng bukit itu,"
Mustikani menuding sebuah bukit kecil tak jauh dari
tempat mereka berdiri.
"Kami berpisah karena masing-masing mengejar
kedua pencuri yang berpencar itu. Aku mengejar
Mustikani dan Umbari mengejar Lentik Sunyi."
Sambil masih godek-godek kepala, Suto Sinting
 segera ajukan tanya setelah Mustikani diam selama dua
helaan napas.
"Bagaimana kalau sampai kau tak berhasil tangkap
Sunggar Manik dan Lentik Sunyi?"
"Ratu akan menghukumku! Mungkin juga akan
membunuhku karena dianggap sebagai pengawalnya
yang sudah tak berguna lagi."
"Ooo... jadi kau pengawal Ratu Ladang Peluh?"
"Bukan aku saja, tapi Umbari dan beberapa orang
lainnya, termasuk Sunggar Manik sendiri sebenarnya
adalah pengawal pribadi sang Ratu."
"Ooo... pantas kalian cantik-cantik dan lincah-lincah.
Tentunya ilmu silat kalian cukup tinggi, ya?" 
Gadis berjubah hijau bunga-bunga merah itu  tidak
hiraukan sanjungan yang dianggap kampungan itu.
Mustikani lanjutkan kata-katanya. Kini kata-katanya
lebih cenderung berkesan keluhan hati yang dicekam
rasa cemas.
"Jika ratu mengutus kami, berarti nyawa kami siap
hilang sewaktu-waktu; hilang di tangan musuh, atau
hilang di tangan ratu jika kami gagal."
"Oh, itu tak baik! Manusia tanpa nyawa, itu tak baik!
Sumpah!" kata Suto Sinting seakan serius sekali. "Jadi
kusarankan, sebaiknya kau jangan mau kehilangan
nyawa. Apa artinya hidup tanpa nyawa?! Iya, kan?!"
Mustikani bersungut-sungut, "Wejanganmu
kesiangan! Aku bukan anak kecil yang perlu wejangan
seperti  itu! Aku harus pergi mengejar Sunggar Manik
dan Lentik Sunyi! Pedang itu harus kudapatkan, karena 
aku ingin tetap bernyawa!"
"Bagus! Mari kita bernyawa bersama!" ujar Suto
semakin ngaco. Mustikani menatap dengan tajam dan
cemberut. Suto segera sadar bahwa ucapannya tadi
kurang betul.
"Maksudku, mari kita mengejar Sunggar Manik dan
Lentik Sunyi bersama. Kita serang mereka. Kita tangkap
mereka. Lalu... kita ajak mereka menyanyikan:
'Uuh, lalala... ceriping maling aduh bencinya. Uuh,
lalala... ceriping copet aduh muaknya. Uuh, lala,  lala,
la... lalalala... ceriping'!"
Suto lantunkan tembang lagi dengan kepala
menunduk dan geleng-geleng, tubuh bergoyang ikuti
irama.  Tapi ketika ia buka mata, ternyata Mustikani
sudah berlari jauh meninggalkannya.
"Lho... dia sudah sampai sana?! Waah... ketinggalan
aku ini! Kejar terus, Jek...!"
Zlaap, zlaap...! Suto Sinting segera menyusul
Mustikani dengan Jurus 'Gerak Siluman' yang dilakukan
secara refleks itu. Dalam sekejap saja Mustikani sudah
terkejar dan justru Suto Sinting berhasil mendahului
Mustikani. Ia berhenti di bawah pohon yang akan
dilewati Mustikani.
"Edan! Cepat sekali gerakannya? Tahu-tahu ia sudah
berada di depan langkahku?! Padahal sudah kutinggal
cukup jauh!" ujar Mustikani dalam hatinya dengan rasa
terheran-heran.
Akhirnya mereka berlari beriringan. Namun baru
beberapa saat mereka lakukan pengejaran terhadap diri 
Sunggar Manik, tiba-tiba langkah mereka terpaksa
hentikan langkah. Mereka temukan dua sosok mayat
tergeletak berdekatan. Dua sosok mayat itu  adalah dua
gadis yang pertarungannya pernah dilihat Suto sebelum
Suto akhirnya bertemu Mahesa Gondes.
"Umbari...?! Umbari!...!" seru Mustikani sambil
hampiri salah satu mayat yang berpakaian abu-abu itu.
Ternyata mayat itu adalah mayat Umbari, sedangkan
mayat yang satunya adalah mayat Lentik Sunyi.
"Kulihat mereka tewas karena lemparan senjata
rahasia berbentuk kelelawar," kata Suto Sinting sambil
mencari sekeping logam hitam berbentuk kelelawar
bersayap runcing. Ketika kedua gadis yang lakukan
pertarungan  itu  tiba-tiba tumbang karena lemparan
senjata rahasia, Suto sempat memeriksa keduanya, dan
menemukan sekeping logam berbentuk kelelawar
bentangkan sayap. Logam hitam berukuran kecil itu
sempat dicabut oleh Suto dari leher Umbari, lalu logam
itu dibuang begitu saja setelah Suto merasa jelas dengan
bentuk logam tersebut. Sekarang logam itu  sedang
dicarinya untuk ditunjukkan kepada Mustikani.
Tetapi sebelum Suto temukan logam tersebut,
Mustikani sudah berhasil menemukan sekeping logam
berbentuk kelelawar dari dada mayat Lentik Sunyi, ia
mencabut benda itu  dan memperhatikan dengan dahi
berkerut. Dukanya terhadap kematian sang teman
menjadi surut oleh rasa heran dan aneh melihat logam
berbentuk kelelawar kecil itu.
"Nah, seperti itulah logam yang kutemukan
 menancap di leher mayat ini," ujar Suto sambil dekati
Mustikani.
"Kurasa, kedua gadis ini sengaja dibunuh oleh
seseorang yang memiliki senjata rahasia berbentuk
kelelawar seperti yang kau pegang itu, Mustikani! Dan
orang tersebut sempat kukejar, kucari-cari, tapi yang
kutemukan  justru 'ceriping raja'-nya si Mahesa Gondes
yang sangat 'uhlala' ini," sambil Suto Sinting
sunggingkan senyum keceriaan.
Mustikani tetap berkerut dahi pandangi senjata
rahasia berbentuk kelelawar itu. Ia menggumam, seperti
bicara pada diri sendiri.
"Rasa-rasanya aku kenal siapa pemilik senjata rahasia
ini!"
"O, kau kenal pemilik senjata itu? Bagus, bagus!"
kalau begitu, maukah kau mengenalkan diriku
kepadanya?!" seraya senyum Suto semakin melebar,
kepala godek-godek pelan.
Mustikani menggeram. "Hiih...!"
Wuuut, jruuub...!
Senjata  itu  dilemparkan  di atas kepala Suto Sinting.
Pemuda  itu  cepat rundukkan kepala dengan wajah
menyeringai merasa ngeri. Senjata itu  menancap di
pohon belakang Suto.
"Akan kubalas kematian Umbari! Akan kutuntut
nyawanya sebagai pengganti nyawa Umbari!" geram
Mustikani sambil matanya menerawang jauh,
memancarkan dendam yang ditujukan pada seseorang.
Suto Sinting sempat bengong karena beranggapan 
dirinya yang diancam Mustikani.
"Bukan aku pemilik senjata rahasia itu, Non! Aku
orang baik-baik. Lihat saja, aku hanya bisa menyanyi:
'Uuh,  lalala... ceriping codot aduh ngototnya. Uuh,
lalala....'"
"Diaaam...!" bentak Mustikani membuat Suto
terlonjak kaget dan langsung bungkam tak bersuara
sedikit pun. 

4
 MUSTIKANI tetap ingin kejar Sunggar Manik lebih
dulu. Jika ia berhasil merebut Pedang Penakluk Cinta
yang diduga disembunyikan oleh Sunggar Manik, maka
ia akan dapat menumbangkan orang yang membunuh
Umbari dengan senjata rahasia beracun tinggi itu.
Namun gadis  itu  tak mau menjawab pertanyaan Suto
ketika Suto ajukan tanya siapa pemilik senjata berbentuk
kelelawar itu.
"Nanti kau akan tahu sendiri jika kau benar-benar
bantu aku dalam merebut Pedang Penakluk Cinta itu!"
ujarnya sambil melirik Pendekar Mabuk dengan wajah
masih pancarkan dendam terhadap si pembunuh Umbari
itu.
Suto Sinting akhirnya ikuti langkah Mustikani yang
sudah ditinggal jauh oleh Sunggar Manik. Sekalipun
demikian, Mustikani masih yakin bahwa ia akan berhasil
temukan Sunggar Manik, karena ia tahu Sunggar Manik 
terluka cukup parah dan akan kehabisan darah dalam
pelarian. Setidaknya akan kehabisan tenaga, lalu
berhenti di suatu tempat, dan di situlah saatnya
Mustikani harus memaksa Sunggar Manik untuk
serahkan pedang tersebut.
Murid Sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang
bertubuh kekar dan gagah itu  masih dalam keadaan
dimabuk oleh khayalan indah yang menyenangkan
hatinya. Tetapi ia tak terlalu banyak kehilangan
kewaspadaan. Masih ada sisa kewaspadaan yang
membuatnya segera mencekal lengan Mustikani, lalu
menariknya mundur hingga saling berjatuhan.
Bruuuss...!
"Edan kau ini!" sentak Mustikani dengan marah.
Namun belum habis kata-kata itu, suara Mustikani cepat
menjadi lirih karena tiba-tiba ia sadar apa yang terjadi
pada saat itu.
Serombongan jarum melayang di atasnya pada saat ia
jatuh telentang dan menindih tubuh Suto yang telentang
juga  itu. Jarum-jarum  itu  bagaikan pasukan nyamuk
yang melesat di udara dan menancap di pohon belakang
mereka. Zruuub...!
Pohon itu segera menjadi layu. Kulit pohon bergerak-
gerak terkelupas pelan-pelan dan mengkerut. Daun-daun
pohon segera mengkerut juga dalam keadaan berubah
menjadi kuning. Kejap berikutnya, pohon itu  telah
menjadi kering dan merengas bagai hidup di padang
pasir tanpa air. Keadaan tersebut ternyata disebabkan
oleh racun di ujung-ujung puluhan jarum yang 
menancap di batangnya. Racun itu bekerja dengan cepat
dan ganas, membuat pohon bagaikan mati kering dalam
dua helaan napas.
Mustikani buru-buru bangkit dan memasang
kewaspadaan tinggi. Matanya menatap ke arah
datangnya jarum-jarum hitam tersebut. Sementara itu,
Suto Sinting bergegas bangkit dengan wajah
menyeringai karena tangannya terlipat ke belakang saat
jatuh dan tertindih tubuh Mustikani. Tangan itu  terasa
terkilir dan sakit jika dipakai untuk bergerak.
"Sial! Pergelangan tanganku terselip di sebelah mana
ini?!" gumam Suto Sinting dalam nada gerutu. Tapi
hatinya merasa geli melihat pergelangan tangannya
sukar ditegakkan, ia buru-buru menenggak tuaknya
sambil duduk melonjor di tanah. Dua teguk tuak cukup
rasa sakitnya hilang dan pergelangan tangannya menjadi
normal kembali.
Namun  ia segera terkejut begitu  melihat arah yang
dipandang Mustikani. Ternyata di sana telah berdiri
seorang tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, ia
seorang kakek berjubah biru lusuh dengan tubuh kurus,
mata cekung dan rambut abu-abu pendek. Janggut dan
kumisnya juga abu-abu pendek. Giginya... bukan abu-
abu, tapi hitam kelam bagai  kebanyakan nikotin
tembakau. Tokoh tua yang menggenggam tongkat
berujung seperti palu itu sangat asing bagi Suto Sinting,
sehingga Suto segera dekati Mustikani. Kala itu
Mustikani sedang beradu pandang mata dengan mulut
terbungkam rapat, namun dadanya yang naik turun 
menunjukkan gemuruhnya hati yang dibakar kemarahan
dan ketegangan.
"Siapa Pak Tua itu? Bandar ceriping juga?" tanya
Suto dalam bisikan.
Mustikani menjawab dengan lirih dan bernada datar.
"Dia dikenal dengan nama: si Tulang Besi dari
Sungai Garong. Dia adalah Ketua Perguruan Raga Baja"
"Diakah yang menyerangmu dengan jarum-jarum
maut tadi?"
"Memang dia!" geram Mustikani. "Satu purnama
yang lalu, perguruannya dihancurkan oleh ratuku, ia
sempat lolos, dan baru sekarang muncul lagi. Kurasa dia
ingin balas dendam padaku, karena dia tahu aku
orangnya Ratu Ladang Peluh."
Pendekar Mabuk masih senyum-senyum saat
pandangi si Tulang Besi yang berwajah tegas, berkesan
galak. Senyuman Suto Sinting diartikan lain bagi si
Tulang Besi, karenanya ia segera berseru dengan
suaranya yang masih terdengar sedikit berat,
menyeramkan.
"Apa maksudmu senyum-senyum padaku, Pemuda
Pikun?!"
"Maksudku...? Oh, hmmm... maksudku tersenyum
padamu ya mengajakmu tersenyum," jawab Suto
Sinting, lalu tertawa pelan. "Pertanyaanmu lucu juga,
Pak Tua. Orang tersenyum kok mau dilarang?!"
"Aku tidak butuh senyumanmu, Pemuda Bodoh!"
bentaknya.
"Tidak butuh ya sudah! Masih bisa kutawarkan pada 
yang butuh," ujar Suto Sinting dengan santai sekali,
seakan tak punya beban apa-apa, tak punya rasa takut
sedikit pun.
"Dengar kataku, Pemuda Dungu...! Aku tak punya
persoalan apa-apa denganmu. Persoalanku hanyalah
mencabut nyawa gadis pengikut ratu Iblis itu  sebagai
cicilan hutang si ratu iblis itu  atas pembantaian yang
menewaskan semua muridku!  Tapi  jika kau mau
berlagak jagoan, mau jadi pelindung gadis binal itu,
maka aku tak segan-segan mencabut nyawamu pula
tanpa permisi lagi!"
"Tulang Besi!" seru Mustikani. "Jika kau ingin
membalas dendam atas kematian semua muridmu,
lampiaskan kepada ratuku!  Jangan kepadaku, karena
pada waktu peristiwa pembantaian itu terjadi, aku tidak
ikut di dalamnya. Aku sedang menengok kakekku yang
saat  itu  kebetulan sedang sakit. Jadi aku tak punya
kesalahan apa pun padamu, Tulang Besi!"
"Hmmm...! Hanya segitu nyalimu, Perawan Busuk?!"
geram si Tulang Besi. "Aku dapat rasakan getaran
hatimu yang ketakutan melihat kehadiranku di sini!"
Suto Sinting menyahut, "Pak Tua, bolehkah aku
melindungi gadis ini?!"
Mustikani menggerutu pelan namun penuh geram.
"Goblok! Begitu saja ditanyakan!"
Tulang Besi segera berkata, "Kalau kau ingin mati
bersama gadis busuk  itu, jadilah pelindungnya. Bila
perlu, jadilah pemandu jalan menuju neraka!"
"Wow... mengerikan sekhalieee...," ujar Suto 
berkesan canda.
Tulang Besi marah, merasa dipermainkan oleh
Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat ia menggeram
seperti seekor singa mengincar mangsa. Geraman itu
membuat tanah dan pohon sekitarnya bergetar. Bahkan
beberapa helai daun ada yang rontok akibat getaran
tersebut. Rupanya si Tulang Besi sengaja pamer
kesaktian sambil ciutkan nyali calon lawannya.
Suto Sinting berkata kepada Mustikani dengan santai,
cuek sekali, seakan ia tidak sedang berhadapan dengan
seseorang yang berilmu tinggi.
"Rupa-rupanya ada gunung berapi mau meletus,
Mustikani. Getaran gempanya sampai ke tempat kita ini!
Bagaimana jika kita mengungsi lebih dulu sebelum kena
letusan gunung berapi itu?!"
Mustikani tidak melayani ucapan Suto. Ia tetap diam
dan menatap tajam-tajam ke arah Tulang Besi. Ia tak
mau lengah dan terkena pukulan lawan.
Murid si Gila Tuak yang dikenal pula dengan Julukan
Tabib Darah Tuak itu segera memandang si Tulang Besi
sambil nyengir dan berkata kalem.
"Pak Tua, aku mau coba lindungi gadis ini. Karena
menurut dugaanku, gadis ini tidak bersalah, sebab dia
tidak ikut dalam pembantaian itu. Jadi, kalau kau tidak
keberatan dan tidak merasa jeri, izinkan aku melindungi
gadis ini dari ancaman balas dendammu. Bagaimana?"
Tulang Besi semakin menggeram dengan mata
cekungnya kian tajam. 
"Grrrhhmmrrr!"
Getaran pada tanah semakin hebat. Bahkan tanah di
bawah kaki si Tulang Besi menjadi retak memanjang
sampai di sekitar tempat Suto berdiri. Pohon-pohon pun
bergetar lebih keras, membuat daun-daun berguguran
dan ranting-ranting kecil berjatuhan. Suara derak samar-
samar terdengar. Ternyata sebatang dahan lapuk patah
akibat getaran tersebut.
Pendekar Mabuk memandang sekelilingnya dengan
bingung tapi tetap dengan senyum.
"Wah, rasa-rasanya kiamat mau tiba, Mustikani. Tapi
mengapa langit tidak ikut bergetar, ya? Jangan-jangan di
dalam tanah ini ada binatang raksasa yang sedang
menguap karena habis bangun tidur?"
Nada  bicara yang berkesan menyepelekan itu
membuat hati Mustikani menjadi cemas. Sebab secara
jujur hati kecilnya mulai mengakui kehebatan ilmu
Tulang Besi. Hanya dengan keluarkan suara menggeram
saja bisa menggetarkan tanah dan pepohonan
sekelilingnya, apalagi  pukulannya. Nyali pun menjadi
ciut juga, namun Mustikani tidak perlihatkan keciutan
nyalinya  itu. Ia tetap diam memandang Tulang Besi
seakan siap hadapi serangan kapan pun.
Sementara itu, Tulang Besi menjadi semakin berang
melihat Suto Sinting tidak kelihatan takut sedikit pun.
Bahkan sebaliknya, tampak menyepelekan gertakan
nyali itu. Tulang rahangnya yang bertonjolan itu tampak
bergerak menggeletukkan gigi. Suaranya pun  terdengar
kian memberat, seakan dibebani kemarahan yang telah 
menjadi lebih besar dari sebelumnya.
"Anak muda, kuizinkan kau menjadi pelindungnya
jika kau kuat menahan hantaman tongkatku ini!
Heeeah...!"
Weess...! Tongkat itu  dihantamkan ke kepala
Pendekar Mabuk sambil si  Tulang Besi lakukan
lompatan cepat. Dengan gerak refleksnya Pendekar
Mabuk angkat bumbung tuak dan sentakkan ke samping.
Tongkat pun akhirnya kenai bumbung tuak.
Duaaar...!
Benturan tongkat dengan bumbung tuak timbulkan
ledakan yang cukup keras dan mengeluarkan daya sentak
besar. Tangan si Tulang Besi yang pegangi tongkat itu
tersentak ke belakang, badannya turut tersentak dan
akhirnya ia terpelanting nyaris jatuh kalau tidak
punggungnya membentur pohon. Sementara itu,
Pendekar Mabuk yang cengar-cengir  itu  juga
terpelanting ke belakang dan nyaris jatuh kalau tak
segera ditahan dengan kedua tangan Mustikani.
"Gila! Ternyata bumbung tuak bocah itu  punya
kekuatan tenaga dalam yang tidak kecil?!" gumam hati si
Tulang Besi. "Agaknya aku harus hati-hati dengannya.
Selama ini hanya orang-orang berilmu tinggi yang
mampu menahan hantaman tongkatku. Apakah anak
muda  itu  juga berilmu tinggi? Siapa dia sebenarnya?
Aku tak pernah jumpa dengannya."
Mustikani berbisik, "Hati-hati, dia bukan orang
berilmu pas-pasan! Seluruh  tulangnya seperti terbuat
dari besi. Tenaga dalamnya pun cukup tinggi. Jangan 
sampai pukulan dan tendangannya kenai tubuhmu. Bisa
remuk tulangmu jika diadu dengan tulangnya."
"Tenang saja. Aku hanya berpura-pura sempoyongan,
padahal... memang benar-benar sempoyongan. Heh, heh,
heh, heh!"
"Masih konyol saja kau ini! Hilangkan
kekonyolanmu!" Mustikani menyentak dengan suara
berbisik, ia benar-benar mencemaskan jiwa Suto, tapi
yang dicemaskan justru seenaknya saja.
"Pak Tua, aku sudah bisa menahan pukulan
tongkatmu, malahan kau sendiri yang terpental lebih
jauh dariku. Jadi, sekarang kau mengizinkan aku
menjadi pelindung gadis ini, bukan?!"
"Jangan merasa bangga dulu dengan keselamatan
yang kebetulan ini, Bocah bau popok! Tahanlah
pukulanku ini jika kau memang merasa mampu menjadi
pelindung! Heeeahh...!"
Wuuut...! Tulang Besi berkelebat menerjang
Pendekar Mabuk dengan tangan menggenggam dan
dihantamkan ke wajah anak muda itu. Beet!
Suto Sinting menggeloyor seperti orang mabuk mau
jatuh. Wuuut, wees...! Pukulan tangan itu  lolos dari
sasaran. Namun ternyata kaki si Tulang Besi menendang
cepat ke arah samping mengenai pangkal lengan Suto.
Beet, krak...!
"Aaaah...!" Suto Sinting memekik sambil terjungkal
ke samping. Tulang di ujung pundaknya terasa dihantam
dengan besi sebesar betisnya. Tulang itu  terasa remuk
dan tangan kirinya tak mampu digerakkan lagi. 
"Aaahk...!" Suto Sinting mengerang kesakitan sambil
bergeser mundur dengan merayap-rayap hingga
mencapai bawah pohon, ia sandarkan tubuhnya di sana
seraya berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa.
Matanya sesekali terbeliak dengan mulut ternganga, atau
terpejam kuat-kuat dengan mulut menyeringai.
"Kutumbuk hancur batok kepalamu, Tikus Lumbung!
Haaaah...!"
Tulang Besi melompat sambil ingin hantamkan
tongkatnya yang berkepala mirip martil besar itu.
Namun sebelum lompatan itu mendekati tubuh Suto, jari
tangan Suto segera menyentil dua kali. Des, des...!
Jurus 'Jari Guntur' dipergunakan Pendekar Mabuk
untuk menyingkirkan bahaya yang sedang menuju ke
arahnya. Sentilan jari itu  mempunyai kekuatan tenaga
dalam cukup besar, seperti tendangan kuda jantan yang
liar. Dua sentilan bertenaga dalam itu  kenai dada si
Tulang Besi. Duuhk, duuhk ..!
"Uuhk...!" Tulang Besi terlempar mundur. Kekuatan
daya lompatnya kalah besar dengan kekuatan sentilan
Suto Sinting. Akibatnya ia jatuh terbanting dalam
keadaan duduk. Brruuk...!
Umumnya orang yang terkena sentilan jurus 'Jari
Guntur' apalagi di bagian dadanya, dia akan menyeringai
kesakitan karena tulang dadanya terasa remuk. Apalagi
sampai dua kali sentilan mengenai tempat yang sama,
pasti orang itu tidak akan bisa bernapas untuk beberapa
saat.
Tetapi tidak demikian halnya dengan si Tulang Besi. 
Ia segera bangkit dan tetap tampak kuat bagai tak pernah
mendapat sentilan 'Jari Guntur'. Rupanya tulang-tulang
tubuhnya yang keras seperti besi itulah yang membuat ia
mampu cuek setelah terkena sentilan 'Jari Guntur' dua
kali.
"Kuat juga orang ini?!" gumam Suto Sinting  dalam
hati.
Mustikani ingin bertindak, tapi Suto Sinting
mencegahnya.
"Diam saja di tempat, Mustikani! Aku masih sanggup
menghadapi besi tua ini!"
Sambil berkata begitu, Suto Sinting bangkit berdiri
lagi. Sebab pada saat Tulang Besi terlempar dan
terbanting, Suto buru-buru menenggak tuaknya dua
teguk. Tuak itu  segera hilangkan rasa sakit di ujung
pundak kirinya, ia menjadi sehat lagi, seperti tak pernah
cedera sedikit pun, dan hal itu  juga menimbulkan rasa
kagum di dalam hati si Tulang Besi.
Kakek berjubah biru itu segera mainkan jurus dengan
tongkatnya. Tiba-tiba tubuhnya melambung di udara,
melesat cepat bagai seekor burung zaman purba yang
meluncur ke arah Suto Sinting dengan tongkat
digenggam dua tangan menyilang di depan dadanya.
Weeers...!
Ayunan tubuh menyentak ke atas, membuat Pendekar
Mabuk melambung naik. Wuus...! Kemudian kedua
kakinya menjejak pohon yang ada di belakangnya.
Dess...! Tubuhnya pun meluncur cepat bagaikan terbang
ke arah si Tulang Besi. Weess...! 
Dengan kedua tangan menggenggam bumbung tuak
melintang di dada, Pendekar Mabuk sengaja mengadu
kekuatan tenaga dalamnya kepada si Tulang Besi.
Bumbung tuak dan tongkat saling bertabrakan di
udara. Masing-masing digenggam dengan kedua tangan
yang sudah dialiri tenaga dalam.
Blegam...!
Ledakan dahsyat terjadi hingga mengguncangkan
alam sekeliling. Beberapa pohon berukuran sedang
menjadi tumbang bagaikan dihempas badai yang
mengamuk.
Benturan tongkat dengan bumbung tuak itu  sempat
menimbulkan daya rekat cukup kuat, sehingga Tulang
Besi bagai  bergelayutan pada tongkatnya dan kakinya
menendang ke dada Suto Sinting secara beruntun.
Des, des, des, des, des...!
"Aaahk...!" Suto Sinting tak bisa hindari tendangan
itu  karena tak menduga akan mendapat serangan
beruntun secepat itu.
Ketika tongkat terlepas dari bumbung tuak, tubuh
mereka sama-sama melayang turun. Tapi Pendekar
Mabuk masih sempat kerahkan sisa tenaganya untuk
berkelebat memutar tubuh. Wuuus...! Bersamaan dengan
itu  bumbung tuaknya pun berkelebat menyabet dan
kenai bagian bawah ketiak si Tulang Besi.
Buuhk, kraak...!
"Aaaahhk...!" Tulang Besi terlempar bagai bola kena
pukulan kuat. Tubuhnya melayang cepat sejauh delapan
langkah lebih. Kepala si Tulang Besi yang kehilangan 
keseimbangan badan itu membentur pohon besar dengan
kuatnya. Prrook...!
"Aauw...!" pekik si Tulang Besi lagi. Benturan itu
sangat kuat, sehingga sebagian kulit batang pohon itu
menjadi rompal. Tak ketinggalan kepala si Tulang Besi
yang kerasnya seperti besi itu akhirnya bocor juga dan
mengalirkan darah cukup deras.
"Aauh...! Bangsat tengik bocah itu!" erang si Tulang
Besi sambil pegangi  rusuknya. "Jahanam terkutuk!
Tulang rusukku bisa patah begini?! Kalau kupaksakan
aku bisa mati di tangan anak semuda dia!"
Tulang Besi segera kerahkan sisa tenaganya dan
melarikan diri secepatnya, ia merasa tak mungkin
mampu melawan kekuatan si pemuda sinting itu  jika
dalam keadaan terluka separah itu. Maka tanpa berkata
apa pun, ia tinggalkan tempat tersebut dengan gerakan
cepat,
Mustikani sengaja tidak mengejarnya, karena ia
menjadi tegang setelah melihat Suto Sinting terkapar di
tanah tanpa bergerak lagi. Tendangan beruntun si Tulang
Besi tadi telah membuatnya pingsan dan terluka parah di
bagian dalam dadanya.
"Celaka! Bagaimana kalau sudah begini?!" keluh
Mustikani dengan wajah tegang sekali. Sekalipun dia
tahu tuak Suto dapat sembuhkan luka, tapi dia tak tahu
bagaimana cara meminumkan tuak itu, karena keadaan
mulut Suto terkatup rapat.
Gadis cantik yang tadi ikut terlempar saat terjadinya
ledakan dahsyat itu, kini diam mematung dalam keadaan 
serba bingung. Matanya menatap lurus ke sosok tubuh
kekar berwajah tampan yang kini terkapar dengan sangat
menyedihkan.
"Dadanya menjadi merah kebiru-biruan. Alangkah
parahnya  ia. Siapa yang akan kumintai  bantuan untuk
menyelamatkan  nyawa pemuda konyol ini?!" pikir si
cantik di sela-sela kecemasannya. 

5
CAHAYA lampu minyak menerangi rumah gubuk di
lereng Bukit Busung. Dinamakan demikian, karena
menurut legenda zaman dulu, di bukit itu  ada seorang
gadis anak janda miskin yang hamil tanpa suami.
Artinya, tidak ada yang mengaku sebagai ayah si jabang
bayi yang dikandungnya. Akhirnya untuk menutup rasa
malu, ketika perut gadis itu membengkak, si ibu selalu
mengatakan kepada kenalannya bahwa anak gadisnya
bukan hamil tapi karena terkena penyakit busung lapar.
Setelah sembilan bulan, gadis itu  tidak melahirkan,
sampai dua bulan ke depan juga belum melahirkan.
Ketika diperiksa seorang tabib, ternyata gadis itu
memang benar-benar kena penyakit busung lapar.
Karenanya bukit itu dinamakan Bukit Busung.
Tetapi persoalan yang dihadapi Pendekar Mabuk
bukan persoalan busung-membusung, melainkan
persoalan Pedang Penakluk Cinta yang kabarnya tidak
bisa membuat oramg menjadi busung. Keberadaan
Pendekar Mabuk di Bukit Busung itu bukan lantaran ia 
ingin  menjadi busung juga, tapi karena dibawa oleh
Mustikani. Ia dipanggul di pundak Mustikani yang
menggunakan kekuatan tenaga dalam. Tanpa kekuatan
tenaga dalam mustahil gadis cantik itu dapat memanggul
tubuh Suto Sinting yang kekar dan tinggi gagah itu.
Dengan kekuatan tenaga dalamnya, Mustikani
menyampirkan tubuh Suto Sinting di pundaknya seperti
menyampirkan handuk saat mau ke kamar mandi.
Pemuda berhidung bangir itu  tak melakukan protes
atau meronta saat dipanggul seenaknya oleh Mustikani
dan dibawa ke  Bukit Busung, karena pada waktu itu
Suto Sinting dalam keadaan pingsan.
Mustikani membawanya ke pondok di lereng Bukit
Busung, karena tempat itulah yang terdekat dengan
tempat pingsannya Suto akibat tendangan beruntun si
Tulang Besi. Kebetulan Mustikani mempunyai kakek
yang tinggal di Bukit Busung. Maka tak ada pilihan lain
bagi si gadis untuk menyelamatkan nyawa si tampan
kecuali dengan cara membawanya ke pondok sang kakek
itu.
Tetapi setelah tiba di rumah kakeknya, ternyata
Mustikani terpaksa mencukil pintul belakang dan masuk
lewat pintu belakang tersebut. Bukan karena Mustikani
berbakat jadi maling, tapi karena keadaan terpepet. Sang
kakek ternyata sedang pergi, sedangkan hari sudah
hampir petang. Mau tak mau Mustikani harus segera
membawa masuk Suto Sinting ke dalam pondok
tersebut.
Pemuda  itu  dibaringkan di atas dipan dari anyaman 
bambu. Dipan itu tidak berkasur, karena mungkin sang
kakek tak sempat memesan kasur di toko mebel, atau
memang saat itu belum ada toko mebel. Sekalipun dipan
itu  tanpa kasur,  tapi terasa empuk, karena dilapisi
anyaman jerami yang dibungkus tikar pandang.
Pendekar Mabuk siuman setelah dibaringkan di situ
selama lebih kurang dua jam. Karena pada waktu itu
belum ada arloji, maka Mustikani tidak mempersoalkan
berapa lama si pendekar tampan itu dibaringkan dalam
keadaan pingsan.
Yang jelas ketika Suto Sinting siuman, pertama-tama
yang dirasakan adalah sakit dada, senut-senut di kepala,
panas di pernapasan, lemah di tenaga, nyeri di sekujur
tulangnya. Pertama ia membuka mata, yang dilihat
adalah ujung api lampu minyak. Lampu minyak  itu
menggantung di tengah ruangan dan dapat dilihat dari
tempat Suto berbaring.
Makin lama pandangan matanya makin jelas. Makin
bingung juga jadinya.
"Di mana aku ini?" gumamnya dengan suara lirih
sekali, lalu segera menyeringai menahan rasa sakit di
dadanya. Dada itu  hangus dan gumpalan darahnya
menghitam di bawah lapisan kulit.
Lalu seraut wajah muncul bagai melongok Suto dari
sisi kanan. Serut wajah itu amat cantik dan mempesona.
Suto Sinting kaget, tapi tak mau berteriak karena
dadanya akan menjadi semakin sakit jika dipakai untuk
berteriak.
"Ssi... siapa kau, Nona?" 
"Apakah kau lupa padaku?" Mustikani justru balik
bertanya. Pendekar Mabuk bingung, namun tak sampai
pingsan lagi. Ia segera mengingat-ingat bayangan yang
samar-samar sudah mulai muncul di benaknya. Lalu,
sebaris kenangan tadi sore muncul  kembali dalam
ingatannya.
"Oh, kau... kau Mustikani, yang mau dibunuh oleh
Tulang Anjing itu?"
"Benar. Tapi yang mau membunuhku adalah si
Tulang Besi, bukan Tulang Anjing."
"Iya. Maksudku, si Tulang Besi yang mirip tulang
anjing itu," ujar Suto menutupi kekeliruannya.
Setelah  itu  si tampan konyol itu  menyeringai  lagi,
menahan rasa sakit di dadanya. Tangannya yang ingin
memegang dada bergerak sangat pelan. Menyedihkan
sekali, ia seperti orang jompo yang belum makan tujuh
hari. Lemas dan sepertinya tak punya sisa tenaga lagi
selain untuk menarik napas. Menarik napas saja terasa
sulit, apalagi menarik timba sumur, jelas tak akan
mampu. Bahkan menarik kesimpulan saja agak susah.
"Tuak...," ucap Suto Sinting pelan. "Minum tuak...."
"Sudah. Aku sudah minum tuak, tadi sewaktu sampai
di sini."
"Aku yang minum... bukan kau!" kata Suto dengan
menahan rasa dongkol.
"Oo... maksudmu kau ingin minum tuak. Hmmm...
sebentar, kuambilkan...." Mustikani agak gugup.
Rupanya gadis  itu  menjadi gugup karena punya rasa
takut, yaitu takut kalau pemuda tampan itu mati. Maka 
ketika Suto mulai siuman, Mustikani merasa gembira.
Rasa gembira itu  tak disadari muncul sendiri dalam
hatinya dengan tulus, ikhlas, tanpa paksa dan tanpa
ancaman. Tak heran jika saat Suto meminta minum
tuaknya, Mustikani sempat menggeragap dan salah
ambil. Bukan bumbung tuak milik Suto yang
diambilnya, melainkan bumbung milik kakeknya yang
biasa dipakai untuk menyimpan minyak tanah. Untung
saja belum sempat diserahkan kepada Suto sehingga
Mustikani terhindar dari tindakan yang nyaris
memalukan pribadinya.
"Hmmm .. hmmm... apakah kau bisa meminum tuak
sendiri? Keadaanmu lemah begitu, Suto," ujar
Mustikani.
"Tidak... bisa. Harus ada yang... menuangkan ke
mulutku."
"Hmm, eeh, hhm... aku saja. Aku sudah biasa
menyiram tanaman, jadi aku yakin kalau aku bisa
menuangkan tuak ke mulutmu."
"Kau... pikir... aku... pot kembang...?!"
Mustikani tersenyum tawar dan kaku sekali. Salah
tingkah juga gadis itu, selain juga tangannya gemetar
karena rasa gugup. Perasaan gugup itu timbul setelah ia
merasa beruntung bertemu dengan Suto Sinting. Jika
tidak ada Suto Sinting, ia yakin akan tumbang di tangan
Tulang Baja, karena ilmunya tak akan mampu
menandingi ilmu si Tulang Baja.
Rasa salut dan kagum membuat hati Mustikani
tertarik untuk bersahabat dengan pemuda tampan itu. 
Lebih-lebih setelah beberapa saat ia tadi pandangi wajah
Suto yang pingsan,  ia  baru temukan sebentuk
ketampanan yang mendebarkan hati. Seakan ketampanan
itu  membutuhkan belas kasih sayang yang tulus dari
hatinya, sehingga sang hati pun membuka pintu dan
siap-siap menerima tamu jika sampai Suto Sinting
merayap masuk ke hatinya.
"Buka mulutmu, akan kutuangkan tuak ini pelan-
pelan," ujar Mustikani masih paksakan diri untuk
kelihatan tegar dan tegas, walau pemaksaan itu  justru
membuatnya semakin kikuk.
Suto Sinting membuka mulutnya. Kecil. Mustikani
sangsi dapat menuangkan tuak di lubang mulut yang
sekecil itu.
"Lebarkan lagi mulutmu."
"Sudah...," jawab Suto pelan, lalu melebarkan
mulutnya lagi.
"Lebih lebar lagi. Terlalu sempit untuk masuknya air
tuak."
"Ini... sudah besar."
"Ah, mengapa masih kecil sekali?"
"Yang... mau kau... tuangi itu... lubang hidung."
Mustikani tertawa, namun tak berani bersuara lepas.
Bahkan ia tertawa sambil menoleh ke belakang,
sembunyikan senyum gelinya. Tanpa sengaja tawa yang
dipendam  itu  mengguncangkan tubuh, sementara
bumbung tuak sudah dimiringkan. Mau tak mau tuakpun
akhirnya mengguyur wajah Suto Sinting. Byuur...!
"Haap, hhaap, haap...!" Suto Sinting gelagapan. 
"Ooh...?!" Mustikani kaget dan buru-buru menarik
bibir tuak dari mulut Suto. Tapi dengan begitu, sebagian
tuak sudah tertelan ke tenggorokan, dan mulai bekerja
sebagai penyembuh luka di dada si Pendekar Mabuk itu.
Mustikani meninggalkan Suto yang masih berbaring
di dipan bambu, ia sempatkan diri untuk mandi, karena
kebetulan tempat penampungan air di kamar mandi terisi
penuh. Usai mandi, badan segar, pakaian rapi, Mustikani
kembali temui Suto sambil menentang pedangnya.
Pedang pun diletakkan di atas meja. Saat itu, Suto
Sinting telah duduk di tepian dipan bambu, ia tampak
segar dan telah sehat seperti sediakala. Tak ada bekas
luka sedikit pun di dadanya.
"Maaf, tadi aku... aku tak sengaja mengguyur
wajahmu," kata Mustikani dengan senyum dikulum.
Gadis  itu  dekati Suto Sinting, berdiri pandangi Suto
dengan bola mata bening yang memancarkan
kelembutan tersendiri, ia berkata lagi dengan suaranya
yang semakin berkesan kalem tapi punya ketegasan yang
tak timbulkan kesan cengeng.
"Aku benar-benar tak sengaja mengguyur wajahmu
dengan air tuak."
"Tak apa. Aku tak sakit hati, asal bukan air comberan
yang kau guyurkan ke wajahku," ujar Suto dengan
kalem. Senyumnya pun tampak lebih kalem lagi dari
senyum sebelumnya.
Rupanya setelah minum tuaknya sendiri luka di dada
tadi hilang, dan pengaruh tuak yang diminumnya dari
Mahesa Gondes telah sirna sama sekali tanpa bekas. 
Kondisi murid si Gila Tuak benar-benar normal,
perasaannya pun tidak diliputi khayalan indah seperti
saat mabuk 'ceriping raja' itu. Suto Sinting tampil
sebagai pemuda yang gagah, tampan, mempesona,
wibawa, dan lembut. Mengesankan sekali.
Perubahan sikap itu  membuat Mustikani bingung.
Ada dua hal yang membuat Mustikani bingung. Pertama,
sikap Suto menjadi sangat menarik dan tidak
kampungan. Kedua, hati Mustikani menjadi sering
berdebar-debar jika melihat senyuman Suto. Apa
maksud debaran hati itu, Mustikani sendiri tak tahu
dengan pasti. Yang jelas, malam itu  Suto tampil beda
dari jumpa semula. Kekonyolannya terbatas dan tidak
berkesan norak.
"Gara-gara pemuda yang bernama Mahesa Gondes
itulah aku menjadi nyaris kehilangan jati diriku, dan
hanyut dalam keindahan yang memabukkan," tutur Suto
menjelaskan kondisinya kala jumpa pertama itu.
"Apakah kau kenal dengan pemuda yang bernama
Mahesa Gondes itu?"
"Tidak. Aku baru mendengar nama itu  sekarang,"
jawab Mustikani polos sekali. "Kurasa kau telah diberi
tuak beracun yang dapat membawa khayalanmu ke alam
keindahan, dan mempengaruhi pikiran serta jiwamu
kepada kesenangan semata."
"Kurasa  juga begitu." Suto Sinting tersenyum,
setengah tersipu malu sambil geleng-geleng kepala
dalam terawangnya, ia malu pada diri sendiri.
"Mengapa kau mau saja disuruh meminum tuak itu?" 
"Karena aku penasaran ingin mengetahui rahasia
tentang...." Suto Sinting diam sesaat, ia juga ingat
tentang Pedang Penakluk Cinta yang dicuri oleh Sunggar
Manik.
Saat pertimbangan Suto terlalu lama, Mustikani
memandang dengan dahi berkerut. Menyadari
pandangan mata si gadis penuh curiga, Suto Sinting
buru-buru alihkan pembicaraan tersebut ke masalah lain.
"Apakah ini rumahmu sendiri, Mustikani?"
"Bukan. Ini rumah kakekku yang dikenal dengan
nama Ki Belantara. Kau mengenalnya, Suto?"
"Tidak. Tapi aku ingin sekali berkenalan dengan
beliau."
"Kakek pergi, entah ke mana. Ketika aku
membawamu kemari, rumah ini kosong. Pasti kakek
pergi, entah untuk berapa lama," jawab Mustikani sambil
matanya bagai tak mau lepas dari wajah Suto dan merasa
sayang jika berkedip.
Pendekar Mabuk langkahkan kaki, seperti
menyelidiki tiap dinding rumah kayu itu. Padahal dalam
benak Suto sedang mencari bahan pembicaraan
selanjutnya. Sebab ketika pandangan matanya beradu
dengan tatapan mata Mustikani selama tiga helaan
napas, jantung Suto mulai berdebar-debar, salah tingkah,
dan otaknya bagaikan kosong, tak tahu apa yang harus
dibicarakan. Karenanya, untuk menutupi perasaan itu, ia
berlagak pandangi sekeliling rumah kayu tersebut.
"Di kamar mandi belakang masih banyak air, kurasa
cukup untuk mandi. Kalau kau ingin mandi, mandilah 
sana. Biar badanmu lebih segar lagi."
"O, ya... baru saja aku ingin katakan hal itu!" ujar
Suto, lalu bergegas, untuk mandi.
Selama Suto pergi mandi, Mustikani termenung di
depan meja kayu berwarna coklat kehitaman. Apa yang
direnungkan adalah perasaannya yang tiba-tiba berubah
aneh setelah mengetahui sikap Suto Sinting sebenarnya.
Dan tiba-tiba sebaris ingatan bagai menyengat
hidungnya, sehingga gadis itu  tersentak kaget dengan
menegakkan badannya dalam keadaan tetap duduk di
bangku panjang.
"Ciri-ciri pakaiannya, bumbung tuaknya,
ketampanannya, ooh... semua itu  pernah kudengar dari
mulut  orang-orang yang pernah bertemu langsung
dengan  Pendekar Mabuk. Hmm...  Apakah  dia si
Pendekar Mabuk itu?!" 
Mustikani berdebar-debar, mulai gusar dan salah
tingkah lagi.
"Sepertinya memang benar dia si Pendekar Mabuk.
Jika bukan Pendekar Mabuk, mana mungkin bumbung
tuaknya mampu menahan pukulan 'Tongkat Maut'-nya si
Tulang Besi?! Oh, ya... aku yakin! Yakin sekali, bahwa
Suto adalah si Pendekar Mabuk!"
Mustikani hembuskan napas, tubuhnya bagai terasa
lemas karena debar-debar kegirangan menguasai
jiwanya.
"Ya,  ampuun... mengapa baru sekarang kusadari
kalau dia adalah si Pendekar Mabuk?!"
Kemunculan si pemuda seusai mandi itu 
mengagetkan Mustikani. Gadis itu sempat menggeragap
dan buru-buru sembunyikan kekagetannya dengan
berlagak menata tikar pelapis dipan bambu  itu. Suto
Sinting sempat curiga, namun ia lebih pandai
menyimpan kecurigaannya, sehingga bersikap biasa-
biasa saja. Seakan tak mengetahui kekagetan gadis
cantik jelita itu.
"Sekarang ada di mana pemuda yang memberimu
butiran racun berbahaya itu?" Mustikani makin menutupi
perasaannya.
"Seseorang telah menyambarnya saat ia sekarat, ia
sekarat karena ada orang yang kehendaki kematiannya
dengan melepaskan pukulan jarak jauh yang sangat
membahayakan jiwanya. Aku tak tahu siapa orang itu.
Aku juga mengejar orang  yang menyambar Mahesa
Gondes, tapi mungkin salah arah. Akhirnya aku lupa
mengejarnya lagi setelah melihat pertarunganmu dengan
Sunggar Manik itu!"
Pendekar Mabuk duduk kembali ke dipan tak
berkasur  itu. Mustikani duduk di sampingnya dalam
jarak satu jangkauan tangan.
"Mengapa kau bertanya soal pemuda itu?" tanya
Suto.
"Karena kau tadi tampak ragu mau sebutkan suatu
rahasia."
Pendekar Mabuk alihkan pandangan ke atas meja. Di
sana tergeletak pedang Mustikani yang tadi nyaris
merenggut nyawa Sunggar Manik. Gadis  itu  tetap
arahkan pandangannya kepada Suto. Pandangan mata itu 
seakan menuntut Suto untuk jelaskan rahasia yang
dimaksud. Akhirnya, Suto tak bisa sembunyikan hal itu
karena tadi sudah telanjur sebutkan tentang sebuah
rahasia.
"Mahesa Gondes ingin mengatakan sebuah rahasia,
asal aku mau ikut minum tuak tersebut. Rahasia itu
adalah rahasia tentang Pedang Penakluk Cinta."
"Ooh...?!" Mustikani terperanjat, duduknya bergeser
lebih dekat lagi dengan Suto. Dalam jarak seperti itu, ia
bisa bicara pelan sekali dan tetap didengar oleh si
pemuda tampan itu.
"Apa yang ia katakan tentang rahasia Pedang
Penakluk Cinta itu?"
"Dia belum katakan rahasia itu  sudah telanjur
diserang seseorang dan dibawa lari. Entah penyerangnya
sama dengan yang melarikan atau tidak aku tak jelas."
Gadis berbibir ranum itu  hembuskan napas tanda
kecewa.
"Sayang sekali...," gumamnya lirih, lalu pandangan
matanya tampak menerawang ke satu arah.
"Apakah kau tahu rahasia Pedang Penakluk Cinta
itu?" tanya Suto Sinting.
"Aku tak mengerti maksud 'rahasia' dalam kata-kata
temanmu  itu. Tapi seperti yang pernah kuceritakan
padamu, bahwa pedang itu  dicuri oleh Sunggar Manik
dan adiknya; Lentik Sunyi. Pada saat Sunggar Manik
dan Lentik Sunyi kupergoki, mereka tidak membawa
pedang tersebut. Aku menduga, pedang  itu
disembunyikan oleh mereka. Mungkin temanmu yang


bernama Mahesa Gondes itu  tahu di mana pedang
tersebut disembunyikan oleh Sunggar Manik."
"Hmmm..., ya, mungkin juga!" Suto Sinting
sentakkan bahu satu kali. "Tapi mungkin juga Mahesa
Gondes  itu  sendiri yang menyembunyikan pedang
tersebut."
Mustikani menjadi gelisah. Ada kecemasan yang
membias di permukaan wajah cantiknya. Kecemasan itu
adalah rasa takut dijatuhi hukuman mati oleh sang Ratu
jika ia tak berhasil dapatkan Pedang Penakluk Cinta.
"Sebenarnya, seberapa dahsyat kesaktian pedang itu,
Mustikani?" tanya Suto Sinting setelah menenggak
tuaknya lagi. Tuak di dalam bumbung tinggal sedikit,
sehingga Suto harus mulai hemat untuk tak terlalu sering
meneguk tuaknya.
Mustikani menjawab pertanyaan Suto Sinting dengan
sesekali matanya memandang Suto, sesekali
menerawang bagai mengingat-ingat kedahsyatan pedang
tersebut.
"Dua tahun yang lalu, aku mulai menjadi pengikut
Ratu Ladang Peluh. Selama setahun kurang, aku
mengikuti perjalanan Ratu Ladang Peluh sampai
akhirnya kami berhasil merebut wilayah Bukit Randa
yang kini menjadi wilayah kekuasaan kami."
"Semula siapa yang menguasai Bukit Randa?"
"Iblis Wajah Sutera, yang sekarang sudah dikirim ke
neraka oleh Ratu Ladang Peluh. Orang-orangnya pun
berhasil kami bantai habis, sehingga tak ada lagi aliran
silat dari keturunan Iblis Wajah Sutera." 
"Hmmm...," Suto Sinting hanya manggut-manggut.
"Selama  itu  aku melihat sendiri kesaktian Pedang
Penakluk Cinta," sambung Mustikani. "Pedang itu
mempunyai tiga kesaktian. Pertama, mampu menusuk
jantung orang melalui bekas telapak kaki orang tersebut.
Kedua, jika lawan tergores pedang itu, maka racun yang
ada di dalam besi pedang akan menyerang urat saraf
setelah menyatu dengan darah, berpengaruh pada otak
manusia yang dapat membangkitkan gairah untuk
bercinta. Pedang itu sebenarnya bukan terbuat dari besi,
melainkan dari jenis batu-batuan dari kerak bumi yang
menyerupai besi dan mempunyai kadar racun penggugah
gairah bercumbu jika racun itu  menyatu  dengan darah
korban."
"Hebat sekali pedang itu?!" gumam Suto Sinting.
"Lalu, apa kesaktiannya yang ketiga?"
"Jika terkena sinar rembulan dapat memantulkan
cahaya putih. Cahaya putih itu  jika kenai mata kita,
maka mata kita akan menjadi buta seumur hidup. Tak
ada obat penyembuhnya."
"Cukup berbahaya juga pedang itu!" gumam Suto
Sinting lagi dengan membayangkan kehebatan pedang
tersebut. Segenggam kecemasan mulai bertaburan di hati
Suto Sinting, karena menurutnya pedang itu  dapat
menjadi biang bencana bagi kedamaian di dunia jika
berada di tangan orang sesat.
"Pedang  itu  harus dihancurkan. Jika tidak, ia akan
menjadi perusak kehidupan di muka bumi itu, jika
pemegangnya adalah tokoh persilatan sesat." 
Mustikani diam sebentar, merasa tak enak mendengar
ucapan itu. Tapi ia tak tunjukkan perasaan tak enaknya
itu, walau hati kecilnya menyadari bahwa selama ini ia
telah menjadi pengikut tokoh aliran hitam yang berjuluk
Ratu Ladang Peluh.
"Apakah kau setuju jika pedang itu  dihancurkan?!"
tanya Suto Sinting sambil ingin mengetahui jiwa
Mustikani yang sebenarnya. Ternyata gadis itu  tak
segera menjawab. Di  wajahnya tampak kebimbangan
bercampur  perasaan gelisah yang menjengkelkan diri
sendiri.
"Agaknya kau tak setuju jika pedang itu
dimusnahkan," ujar Suto pelan sekali, berusaha untuk
tidak menyinggung perasaan si cantik jelita itu.
"Bukan soal setuju atau tidak setuju. Tapi pedang itu
sekarang sudah merupakan nyawaku. Jika aku gagal
membawa pulang pedang itu, maka aku akan dibunuh
oleh Ratu Ladang Peluh," Mustikani mencoba
mengungkapkan ganjalan hatinya.  
"Jadi kau tak setuju jika pedang itu  kuhancurkan?"
desak Suto Sinting seakan ingin mendengar kepastian
dari mulut si cantik jelita itu.
"Setuju saja, asal pedang itu  sudah berhasil
kukembalikan ke tangan Ratu Ladang Peluh," kata
Mustikani setelah diam selama dua helaan napas, ia
bicara sambil memandang Suto. Pandangan matanya itu
seakan mengharap pengertian tersendiri dari Suto
tentang niatnya itu. Suto Sinting segera  sunggingkan
senyum sambil manggut-manggut, menandakan ia cukup 
mengerti maksud hati kecil Mustikani.
"Aku tak mau mati karena gagal dalam tugas."
"O, ya! Aku paham maksudmu. Kau tak mau terlibat
dalam usaha menghancurkan pedang itu, bukan?"
"Aku masih ingin hidup lebih lama lagi, karena aku
belum punya keturunan."
Senyum Suto menjadi lebih lebar lagi. 
"Mengapa tak segera mencetak keturunan?" tanya
Suto dengan kalem bernada menggoda. Mustikani malu
dan sembunyikan senyum masamnya.
"Kusarankan secepatnya bersuami jika memang
sekarang kau belum bersuami."
"Aku memang belum bersuami."
"Desaklah kekasihmu agar cepat menikahimu, maka
kalian akan segera mempunyai keturunan."
"Aku... aku tidak mempunyai kekasih."
"Ah, kau bergurau!" Suto Sinting menggoda dengan
berlagak tak percaya.
"Tidak! Aku tidak bergurau! Aku memang tidak
mempunyai kekasih. Sejak putus dengan kekasihku yang
dulu, aku masih belum bisa percaya dengan hati seorang
lelaki. Kuanggap setiap lelaki hanya mencari kepuasan
dan kehangatan tubuh seorang perampuan sepertiku.
Setelah puas, pergi dan mencampakkannya!"
"Kurasa... anggapan itu  kurang tepat," ujar Suto
Sinting  sambil  segera menyimpulkan bahwa Mustikani
ternyata gadis yang patah hati dan tak mau percaya lagi
kepada cinta seorang lelaki. Tentunya  hal  itu  terjadi
akibat ia pernah dikhianati oleh seorang lelaki. 
"Lelaki adalah sosok seorang manusia, demikian pula
perempuan. Yang membuat seorang lelaki menjadi
pengkhianat cinta adalah kepribadian orang itu  sendiri,
Mustikani. Pribadi manusia beraneka ragam, satu dengan
yang lainnya tidak bisa sama persis. Perempuan pun ada
yang punya kepribadian buruk, ada yang cenderung
menjadi seorang pengkhianat cinta, tapi tidak semua
perempuan berkepribadian buruk."
Mustikani diam saja. Ia sedikit tundukkan kepala
karena merenung. Pendekar Mabuk sengaja biarkan
gadis itu hanyut dalam renungannya.
Suto Sinting sempatkan diri menengok keadaan di
luar rumah melalui jendela yang dibukanya sendiri.
Ternyata keadaan di luar rumah sepi-sepi saja dan sang
rembulan muncul di balik awan. Sangat sedikit, sehingga
sinarnya hanya teram-temeram menerangi permukaan
bumi.
Jendela ditutup, Suto Sinting kembali duduk di dipan.
Kali ini ia duduk lebih dekat lagi dengan Mustikani. Ia
beranikan diri mengusap punggung gadis cantik berkulit
kuning langsat itu.
"Buanglah kepicikanmu sebelum kau bisa menilai
seseorang dengan benar, penilaian terhadap pribadi
seseorang tidak boleh dibarengi dengan dendam dan
kesumat. Pandanglah kehidupan dari berbagai sisi,
jangan hanya satu sisi saja."
"Akan kucoba," ujar Mustikani dengan lirih sekali.
Suto Sinting beranikan diri untuk menyentuh dagu
Mustikani. Wajah yang sedikit tertunduk itu 
didongakkan pelan-pelan hingga mereka saling beradu
pandang.
Senyum lembut sengaja dipamerkan oleh Suto
bersama tutur kata yang sedikit bernada bisik.
"Melangkahlah  lagi  ke jalan penuh kasih. Jangan
takut gagal, karena jika kau takut gagal berarti kau takut
berhasil."
"Ya, aku mengerti," balas Mustikani dalam bisikan
pula.
"Cobalah mencari seorang kekasih yang dapat
mendamaikan hatimu."
"Selama ini tak ada. Yang ada hanya kepalsuan. Tapi
akan kucoba membuka hatiku kembali untuk menerima
kehadiran seorang lelaki yang dapat kujadikan dambaan
hatiku."
"Bagus!" tegas Suto Sinting seraya lebarkan senyum.
"Masih banyak kesempatan bagi gadis secantik dirimu,
Mustikani. Jangan hancurkan hatimu oleh dendam dan
kebencianmu sendiri. Aku yakin, cepat atau lambat kau
pasti akan temukan kedamaian itu."
"Adakah kedamaian di hatimu sendiri?"
"O, ya... tentu ada."
"Dapatkah kau berikan kedamaian itu untukku?"
Suto Sinting menjadi terbungkam sesaat, ia bingung
menjawab, karena ia tahu maksud Mustikani. Apalagi
gadis  itu  segera tambahkan kata di sela keheningan
mereka berdua itu.
"Kurasa jika aku selalu bersamamu, aku akan
memperoleh kedamaian yang hakiki." 
Hanya sehela napas yang dihempaskan pelan bersama
senyuman tawar. Sebenarnya Suto ingin katakan bahwa
harapan Mustikani untuk mendapatkan kedamaian dan
kasih sayang dari Suto adalah hal  yang  tak mungkin,
sebab Suto sudah mempunyai seorang kekasih sendiri,
bahkan calon  istri, yaitu  Dyah Sariningrum, penguasa
negeri Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu. Tetapi
hati kecil  Suto tak tega untuk menjelaskan hal itu,
sekalipun hal  itu  adalah kejujuran yang patut dihargai
dari seorang lelaki.
"Banyak hal yang harus kita pertimbangkan masak-
masak dalam menentukan pendamping hati.
Pertimbangan itu membutuhkan waktu dan tak mungkin
bisa diputuskan sesingkat ini, Mustikani."
"Ya, aku mengerti sekali. Tapi...  itu  hanya suatu
harapan. Toh harapan tak harus menjadi kenyataan. Bisa
gagal dan bisa pula berhasil."
"Aku senang jika kau mulai bisa berpandangan
seperti  itu. Kau tampak lebih cantik dari sebelumnya,
Mustikani."
"Benarkah?"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala. Senyumnya
yang kian menawan hati si gadis membuat si gadis
tambah berdebar-debar.
Jari tangan yang masih pegangi dagu itu kini merayap
ke pipi Mustikani merasa dibuai oleh sentuhan penuh
damai, ia biarkan sentuhan jemari itu hingga nyata-nyata
merupakan usapan tangan penuh kelembutan. Mustikani
pejamkan mata untuk resapi tiap sentuhan  lembut  itu.
  Saat mata si gadis terpejam, Pendekar Mabuk
bertambah gemetar karena pandangi bibir ranum yang
menggemaskan  itu. Akhirnya dengan tekad berani
tanggung risiko kena tampar tujuh kali, Pendekar Mabuk
segera dekatkan wajah, lalu bibirnya menyentuh pipi si
gadis.
Ternyata Mustikani diam saja. Bahkan tangannya
meremas tangan Suto Sinting yang jatuh di
pangkuannya. Remasan itu  merupakan pertanda bahwa
lampu hijau telah dinyalakan, Suto dipersilakan masuk.
Maka ciuman Suto yang lembut sekali itu  merayap
hingga menyentuh bibir. Bibir ranum itu  segera
dikecupnya pelan-pelan sekali. Cuup...! Suto melumat
bibir itu sesaat, si gadis justru memberi peluang dengan
merekahkan bibirnya dan pasrah lidahnya untuk dipagut.
Ternyata Suto benar-benar memagut lidah itu  dengan
pagutan sangat lembut, sentuhan keindahannya sampai
ke dasar kalbu si gadis.
Tangan si gadis akhirnya memeluk Suto Sinting.
Seakan  ia meraih sebentuk kebahagiaan sejati yang
jarang diperoleh dari seorang lelaki. Kebahagiaan liar
memang sering diperolehnya, namun yang sejati dan
agung seperti malam itu, sama sekali tak pernah
diperolehnya. Karena itulah pelukan itu menjadi sangat
erat, Mustikani seakan tak ingin lepaskan apa yang telah
menyiram hatinya dengan damai dan sejuk itu.
"Ooh.... Suto, sudah... sudah, Suto. Jangan teruskan,"
bisik si gadis dengan suara gemetar.
"Bau keringatmu masih harum, sulit membuatku 
hentikan ciuman ini, Mustikani," ujar Suto yang juga
membisik di sekitar leher dan telinga kiri gadis itu.
"Jangan teruskan, Suto. Kau... kau bukan para budak
cinta piaraan sang Ratu!"
"Balaslah ciumanku, Mustikani. Balaslah...!" pinta
Suto seakan membangkitkan semangat Mustikani yang
telah lama terkubur ditimpa dendam itu.
"Aku tak mau... aku tak mau kau hanyut dan terlena
dalam buaianku. Kau bukan para budak pemuas gairah
kami, Suto.... Kumohon, hentikanlah sebelum kau
terkena racun kemesraanku."
"Balaslah!"
"Tidak. Aku tidak mau! Aku kotor dan kau tak pantas
menerima kekotoran ini, Suto. Oouh... jangan pancing
gairahku, Suto. Nanti akan mengamuk dan membuatmu
kewalahan."
"Lawanlah aku, Mustikani! Lawanlah...."
"Tidak, Suto! Jangan paksa aku untuk, oooh.... Suto,"
desah Mustikani dengan meremaskan kedua tangannya
ke punggung Suto, pertanda sedang menahan gejolak
gairah yang tak ingin dilepaskan kepada Suto. Mustikani
merasa tidak layak menerima kelembutan yang begitu
indahnya dari seorang pemuda seperti Suto Sinting,
sebab ia tahu Suto Sinting adalah Pendekar Mabuk.
Nama besar pemuda itu terlalu agung baginya.
Mustikani akhirnya terkulai lemas dalam pelukan
Suto Sinting karena menahan gejolak gairahnya mati-
matian, ia terpaksa harus puas menerima kebahagiaan
dari Suto walau dengan hanya menyandarkan kepala di 
dada bidang sang Pendekar Mabuk itu.

6
TIDUR nyenyak dalam pelukan Pendekar Mabuk
merupakan kebanggaan tersendiri bagi Mustikani. Udara
dingin yang biasanya meresap ke tulang, malam itu
dapat dikalahkan oleh hangatnya pelukan sang Pendekar
Mabuk.
Mimpi pun menjadi indah. Mimpi jalan di atas
padang bunga, mimpi terbang sampai menyentuh
rembulan, mimpi bertarung dengan siapa pun selalu
menang, mimpi makan tempe rasa ayam panggang, dan
berbagai macam mimpi indah lainnya datang silih
berganti membuat hati Mustikani selalu diliputi rasa
senang.
Pendekar Mabuk sendiri juga merasa memperoleh
kebahagiaan selama tidur memeluk gadis cantik jelita.
Mimpi yang hadir dalam tidur Suto juga serba indah;
bertemu dengan arwahnya Pesona Indah yang pernah
menjadi utusan Ratu Asmaradani, berkunjung ke
Padepokan Griya Indah, menunggang kuda yang
bernama Indah Turangga dan hal-hal  yang serba indah
lainnya.
Tak heran jika mereka berdua akhirnya bangun
kesiangan.  Mustikani menggeragap dan wajahnya
menjadi pucat pasi. Tubuh gadis itu  gemetar dengan
jantung berdebar-debar keras.
Suto Sinting yang membuka mata dalam keadaan
masih berbaring sempat merasa heran melihat Mustikani 
sepucat itu.
"Bangun kesiangan saja sampai gemetaran dan pucat
sekali kau, Mustikani."
"Bu... bukan karena bangun kesiangan, tapi... lihat
itu...!"
"Astaga!" Suto Sinting juga kaget dan segera
melompat dari dipan bambu. Ternyata di pintu rumah
kayu itu sudah berdiri seorang lelaki tua berjubah putih
dengan rambut pendek dan kumis abu-abu. Lelaki itu
berusia sekitar enam puluh tahun, bertubuh sedang tapi
berwajah tegas, matanya memandang dengan tajam.
"Siapa dia?" bisik Suto Sinting.
"Kakekku...," Jawab Mustikani dengan lirih.
"Pantas wajahmu jadi  pucat pasi, rupanya kau takut
karena dipergoki kakekmu sedang tidur bersamaku.
Hmmm... katakan saja kalau kita hanya tidur biasa, tanpa
luar biasa!" bisik Pendekar Mabuk yang terpaksa cengar-
cengir karena dipandang tajam oleh Ki Belantara, kakek
Mustikani.  
Sang kakek segera mengangkat tangan kirinya dan
menyentak ke depan. Wuuut...! Ternyata ia
mengeluarkan tenaga dalam yang menerjang Mustikani,
membuat gadis itu terlempar jatuh di atas dipan bambu.
Gubraaakk...!
"Untuk apa kau pulang, Gadis Liar!" geram Ki
Belantara menampakkan kemarahannya. Mustikani tak
berani melawan, ia diam saja dan bersimpuh di atas
dipan dengan kepala tertunduk dan menahan kesedihan.
"Kau sudah tak layak lagi singgah di rumahku, Gadis 
Liar!" bentak Ki Belantara, lalu tubuhnya melompat ke
atas dipan ingin menendang Mustikani. Tapi dengan
cepat Pendekar Mabuk sentilkan jarinya yang dapat
keluarkan gelombang tenaga dalam itu. 
Tees..! Buuhk...!
Ki Belantara terpental dan menabrak pintu yang telah
dibuka dari luar tadi. Gubraaak...! Bruuk...!
Seet...! Kakek itu  bangkit dengan secepatnya.
Napasnya ditarik panjang-panjang, matanya menatap
lebih tajam. Suto Sinting maju dengan sikap masih
menghormat dan salah tingkah.
"Jadi sekarang kau ingin menjadi pembela cucuku,
Bocah Sapi?!" geram Ki Belantara kepada Suto Sinting.
"Maaf, Ki...! Kami hanya tidur biasa, tanpa
melakukan gitu-gituan. Kumohon jangan marah kepada
Mustikani, Ki. Jika kau ingin marah, marahlah padaku.
Pukullah aku sepuas hatimu asal pelan-pelan, Ki!"
"Aku tidak menuduh kalian berbuat mesum di sini!
Aku hanya marah kepada cucuku yang bandelnya
melebihi cucu setan itu!" sambil Ki Belantara menuding
Mustikani dengan tegas-tegas.
Ki Belantara mendekati Suto Sinting.
"Dengar, gadis itu  sudah menjadi pengikut Ratu
Ladang Peluh alias ratu kebejatan! Pasti sudah ikut-
ikutan bejat seperti ratu itu. Entah berapa lelaki yang
sudah jatuh dalam pelukannya untuk memuaskan
gairahnya. Dia sudah menjadi gadis yang kotor, hina,
dan celaka! Aku tak sudi punya cucu sesat seperti dia!
Aliran hitam bukan aliranku. Jika ia menjadi pengikut 
ratu aliran hitam, berarti dia sudah menjadi musuhku!
Musuhku tak boleh tinggal di pondokku ini!"
Mustikani segera turun dari dipan, berlari ke arah
kakeknya, lalu bersimpuh sambil memeluk kaki sang
Kakek. Tangisnya tercurah di sana hingga terisak-isak.
"Ampunilah aku, Kakek... ampunilah aku...! Aku
memang bersalah, tak mau menuruti nasihatmu kala itu.
Ampunilah aku... hukumlah aku seberat mungkin! Aku
akan terima hukuman darimu apa saja, asal aku tetap kau
akui sebagai cucumu, Kek...!"
Tangis Mustikani membuat Suto Sinting bergegas
keluar dari pondok itu. Ia tak tega, tak bisa melihat gadis
menangis sebegitu  menyedihkan. Bagi Suto, lebih baik
melihat pemandangan indah serba hijau daripada melihat
seorang gadis menangisi penyesalannya.
Rupanya Ki Belantara sangat marah ketika Mustikani
nekat bergabung dengan Ratu Ladang Peluh, ia tak
sempat mencegah cucunya lagi, dan sengaja membiarkan
sang cucu bergabung dengan ratu sesat itu. Tetapi untuk
selanjutnya Ki Belantara merasa tak memiliki cucu lagi
dan menganggap Mustikani bukan lagi cucunya. Karena
itu, Ki Belantara menjadi berang melihat Mustikani
berada di pondoknya karena ia sudah menganggap gadis
itu tidak punya hubungan apa-apa dengannya.
Suto Sinting membiarkan persoalan mereka diurus
oleh mereka berdua di dalam rumah kayu itu. Suto
Sinting sengaja nyelonong ke kamar mandi dan
menyegarkan badan di belakang rumah, ia tak mau ikut
campur urusan pribadi antara kakek dan cucu itu. 
Bagaimanapun juga, ternyata cinta sang Kakek
terhadap cucunya masih tetap ada, walau tertimbun oleh
kemarahan yang terpendam selama dua tahun. Akhirnya,
Ki Beiantara pun tak tega untuk tidak mengakui
Mustikani sebagai cucunya. Sang cucu akhirnya dipeluk
dengan seribu ampun yang menjengkelkan diri sendiri
bagi Ki Belantara.
"Aku tidak ingin kembali ke Bukit Randa! Aku tidak
mau jadi pengikutnya lagi. Suto Sinting telah bicara
banyak padaku dan membuatku sadar, Kek!" tutur sang
cucu di sela tangisnya. "Aku ingin kembali menjadi
gadis baik-baik dan meninggalkan aliran sesat sang
Ratu! Terimalah aku sebagai cucumu lagi, Kek... karena
aku tak punya orangtua lagi, tak punya sanak saudara
lainnya. Hanya kau yang kupunyai sebagai sisa
leluhurku, Kek...."
Ratapan itu yang membuat hati Ki Belantara akhirnya
luluh. Pendekar Mabuk dipanggil saat pemuda itu berdiri
di bawah pohon depan rumah sambil menenteng
bumbung tuaknya dan memandangi pohon-pohon
sekitarnya.
"Aku ingin kau menjadi saksi!" kata Ki Belantara.
"Saksi apa maksudmu? Apakah di sini ada
pembunuhan?" tanya Suto Sinting.
"Bukan saksi pembunuhan, tapi saksi pengakuan!"
tegas ki Belantara. "Cucuku, si Mustikani, berjanji tidak
akan kembali menjadi pengikutnya Ratu Ladang Peluh.
Dia ingin kuterima lagi  sebagai cucuku. Dia bersedia
menjalani hukuman dariku!"
"Benar aku berjanji seperti itu di depanmu, Suto!"
Pendekar Mabuk nyengir bingung sendiri. Baru
sekarang ia menjadi saksi seperti itu. Tapi agaknya ia
harus ikuti permainan yang ada.
"Aku ingin kau menjadi saksi kesanggupan Mustikani
dalam menjalani hukuman dariku!" ujar si kakek.
"Hukuman apa maksudmu, Ki Belantara?"
"Mustikani tidak boleh keluar dari batas halaman
rumah ini selama tujuh bulan, dan harus bisa kuasai
jurus 'Beruang Menari' yang akan kuajarkan padanya!"
"Ooh...?! Tujuh bulan?!" Mustikani kaget. 
Suto Sinting mengerti keberatan hati Mustikani, maka
ia mencoba meringankan hukuman itu  dengan berkata
kepada Ki Belantara, "Tujuh bulan itu terlalu menyiksa
hati cucumu, Ki. Bisa-bisa begitu  selesai jalankan
hukuman, cucumu menjadi gadis yang kurus dan sakit-
sakitan karena tekanan batin. Apakah kau tak malu
punya cucu yang kurus, kerempeng, sakit-sakitan, kena
angin sedikit roboh?!"
"Hmmm...," Ki Belantara diam sesaat. "Kalau begitu
lima bulan saja!"
"Tiga bulan!" tegas Suto.
"Ini hukuman! Bukan jualan kambing yang bisa
ditawar!"
"Tapi tiga bulan tak boleh keluar halaman rumah ini
sudah merupakan siksaan berat bagi seorang gadis
secantik dia, Ki! Percayalah, dengan tiga bulan
terkurung di sini dia akan jera dan tak akan berani
menentang nasihatmu lagi!" 
Setelah diam sesaat, Ki Belantara berkata, "Baiklah!
Tiga bulan tak boleh ke mana-mana. Tapi dalam waktu
tiga bulan dia harus kuasai jurus 'Beruang Menari'. Jika
belum bisa kuasai jurus itu, dia tak boleh ke mana-
mana!"     
"Baik! Aku setuju!" ujar Suto.
"Yang mau jalani hukuman adalah cucuku! Mengapa
kau yang menyatakan setuju? Kau hanya kubutuhkan
sebagai saksi saja!" ujar Ki Belantara membuat Suto
Sinting nyengir sambil palingkan wajah.
"Bagaimana denganmu, Mustikani?! Sanggup jalani
hukuman itu?!"
Mustikani anggukkan kepala di depan kakeknya.
"Sanggup, Kek! Tapi bagaimana dengan... dengan
pedang itu?!"
Suto Sinting segera teringat tentang Pedang Penakluk
Cinta, ia menatap Mustikani yang masih diliputi
kecemasan.
Ki Belantara perdengarkan suaranya di sela
keheningan mereka, "Aku tahu maksudmu, Mustikani!
Seperti yang kau tuturkan dalam tangismu tadi, kau
mendapat tugas oleh Ratu Ladang Peluh untuk dapatkan
Pedang Penakluk Cinta yang dicuri Sunggar Manik. Jika
kau tak berhasil, maka kau akan dibunuh oleh ratu bejat
itu. Tapi sekarang keadaannya sudah lain, Cucuku! Ratu
bejat itu harus berhadapan denganku jika akan jatuhkan
hukuman seperti itu padamu! Kau sudah menjadi orang
hukumanku lebih dulu, dan si ratu bejat tak bisa merebut
tawananku seenaknya sendiri." 
"Aku akan mencari pedang itu!" sahut Suto tiba-tiba.
Ki Belantara menatap Suto dengan dahi berkerut,
"Kau ingin memiliki pedang itu?!"
"Ya. Aku ingin memilikinya sekejap untuk kemudian
akan kuhancurkan!"     
"Bagus!" sentak Ki Belantara mengagetkan Suto dan
Mustikani. Si kakek tampak bersemangat sekali setelah
mendengar ucapan Suto Sinting tadi.
"Aku akan membantumu menghancurkan pedang itu,
Pendekar Mabuk!" ujar Ki Belantara. Kali ini ucapan itu
benar-benar membuat Suto Sinting tercengang dan
terbengong beberapa saat. Ki Belantara sunggingkan
senyum tipis melihat si pemuda tercengang.
"Dari mana kau tahu kalau aku adalah Pendekar
Mabuk?!"
"Dari ciri-cirimu!" jawab Ki Belantara sambil
melangkah  ke dapur. Suto dan Mustikani saling
pandang. Gadis itu  juga sunggingkan senyum sambil
segera palingkan wajah ke arah lain.
"Sial! Rupanya gadis itu  juga sudah tahu kalau aku
adalah Pendekar Mabuk?!" gumam Suto dalam hatinya.
Ki Belantara keluar dari dapur sambil perdengarkan
suaranya.
"Bumbung tuakmu, ketampananmu, dan semua yang
ada padamu membuatku yakin bahwa kau adalah murid
si Gila Tuak. Sekalipun aku belum pernah bertemu Gila
Tuak, tapi namanya sangat kukenal."
Ki  Belantara dekati Suto, memandang dalam jarak
dua langkah.
 "Karena itulah aku tak berani bertindak terlalu kasar
padamu, karena aku tahu cucuku kembali bersama
seorang pemuda yang tak lain adalah Pendekar Mabuk!
Sebab  itu  pula kau kujadikan saksi dalam menebus
kesalahan cucuku ini!"
"Kau memang hebat, Ki!" ujar Suto tanpa alasan,
karena ia ingin tutupi rasa canggung dan kikuk sejak Pak
Tua itu memandangnya penuh rasa kagum.
"Pedang  itu  dapat kita temukan setelah kita berhasil
menemukan muridku!"
Mustikani kaget. "Oh, jadi sekarang Kakek sudah
punya murid?!"
"Ya. Aku kesepian tanpa dirimu, Mustikani. Lalu
seorang pemuda pencari kayu bakar kutemukan, dan
kuangkat sebagai muridku. Tapi sayang pemuda itu
bandelnya sama denganmu, Mustikani!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan seperti orang
menggumam. Tapi tawa itu  segera hilang setelah Ki
Belantara menunjukkan benda kecil bagai sebutir kacang
tanah berwarna hitam. Rupanya benda itu  sejak keluar
dari dapur sudah ada di dalam genggaman Ki Belantara.
"Muridku  itu  mencuri beberapa butir racun perubah
jiwa yang belum selesai kuracik ini!"
Suto Sinting terkejut dengan mata melebar. "Ooh,
ini... ini 'ceriping raja' yang pernah kutelan dari...."
"Mahesa Gondes!" sahut Ki Belantara. Suto Sinting
dan Mustikani  menarik napas jelas-jelas sebagai tanda
terkejutnya.
"Kulihat kau memang tergoda oleh bujukan muridku
 yang masih bodoh itu, Pendekar Mabuk. Kulihat kalian
bersenang-senang dan geleng-geleng kepala. Lalu
dengan jengkel kuhantam sendiri muridku, kubuat
sekarat, dan kubawa lari agar ia tidak buka rahasia
tentang obat perubah jiwa manusia ini!"
"Oh, jadi kau yang menghantam Mahesa Gondes
dengan sinar merah, dan kau pula yang menyambar
pemuda itu saat ia terkapar?!"
"Benar!" jawab Ki Belantara dengan tegas. "Dan aku
berhasil menghindar dari kejaranmu. Tapi saat
kusembuhkan anak itu  dari  lukanya, tiba-tiba aku
diserang musuh lamaku; Janarpati karena dendam
lamanya! Kami bertarung hingga menjelang petang.
Janarpati melarikan diri, aku mengejarnya tanpa
pedulikan Mahesa Gondes lagi. Ketika kurasakan tak
berhasil mengejar Janarpati, aku kembali hampiri
Mahesa Gondes, ternyata anak itu sudah tak ada. Kucari
hingga fajar terbit di ufuk timur, namun Mahesa Gondes
tetap tidak kutemukan. Kusangka ia pulang kemari,
ternyata tidak!"
Mustikani segera ajukan tanya setelah mereka sama-
sama bungkam beberapa helaan napas.
"Untuk apa Kakek menciptakan racun itu?"
"Meracuni orang-orang Bukit Randa! Terus terang,
aku muak dengan tingkah laku Ratu Ladang Peluh yang
sempat menggiurkan  cucuku hingga cucuku bersekutu
dengannya!"
"Aku hanya ingin membalas sakit hatiku kepada
Raden Pundawa dengan menggunakan kekuatan Ratu
 Ladang Peluh. Sebab aku tak mungkin unggul melawan
Raden Pundawa yang telah merenggut kesucianku dan
menghancurkan hatiku dengan cinta palsunya itu.
Dengan menggunakan Pedang Penakluk Cinta, Raden
Pundawa telah berhasil ditaklukkan oleh sang Ratu. Ia 
menjadi pelayan cinta sang Ratu sampai akhirnya mati di
kamar sang Ratu. Aku puas melihat kematiannya!"
Ki Belantara menghempaskan napas. "Mengapa kau
tidak mengatakan hal itu pada kakekmu ini, Mustikani?!
Kau sangka kakekmu ini tak sanggup menghajar Raden
Pundawa?!"
"Kakek punya hubungan baik dengan ayah Raden
Pundawa, sang Adipati Kumatan itu! Tentunya cara
Kakek menangani Raden Pundawa berbeda dengan Ratu
Ladang Peluh!" 
Ki Belantara tarik napas lega, memaklumi  jalan
pikiran sang cucu. Ia segera melupakan masalah itu, dan
lebih bersemangat menyambut niat Suto Sinting untuk
menghancurkan Pedang Penakluk Cinta yang belum
diketahui ada di mana itu. 
"Sebaiknya kita segera mencari Mahesa Gondes. Dia
tahu persis rahasia pedang tersebut! Karena kudengarkan
celotehnya selama mabuk obatku ini, ia selalu sebut-
sebut tentang Pedang Penakluk Cinta," ujar Ki
Belantara. Suto setuju, lalu mereka pun pergi dan
meninggalkan Mustikani di pondok tersebut.
 *
* *

 7
DALAM perjalanan mencari Mahesa Gondes, Ki
Belantara sempat jelaskan maksudnya menciptakan tuak
racun yang dinamakan Mahesa Gondes sebagai tuak
'ceriping raja' itu. Menurut Ki Belantara yang ingin
hancurkan kekuatan di Bukit Randa, tuak racun perusak
jiwa  itu  dapat melumpuhkan kekuatan Ratu Ladang
Peluh secara tak kentara. Rencananya racun itu  akan
dimasukkan ke dalam sumber air yang mengalir ke
Istana Bukit Randa.
"Dengan memasukkan racun itu, maka orang-orang
Bukit Randa akan lemah dan mereka akan lengah karena
sibuk  bersukaria. Dalam keadaan seperti itu, aku dapat
menghancurkan Ratu Ladang Peluh dan pengikutnya,
namun cucuku bisa kuselamatkan. Racun itu  kucari
sendiri dari getah dan akar-akaran. Ada satu akar yang
belum kumasukkan dalam tuak itu, tapi tuak tersebut
sudah telanjur banyak dicuri oleh Mahesa Gondes sialan
itu!"
Suto tertawa kecil, ia mengerti maksud jalan pikiran
Ki  Belantara. Kakek itu  merasa tak akan unggul jika
bertarung dengan Ratu Ladang Peluh yang pasti akan
menggunakan senjata Pedang Penakluk Cinta. Oleh
sebab  itu, si jubah putih berikat kepala  hitam  itu  ingin
membuat lawannya lupa tentang pedang tersebut dengan
racun yang membuat orang selalu senang dan  terbuai
oleh keindahan. 
"Aku pernah mempunyai seorang sahabat yang
bernama Mahesa Gibas," ujar  Suto. "Apakah Mahesa


Gondes bersaudara dengan Mahesa Gibas, karena
namanya hampir sama."
"O, aku pernah mendengar nama Mahesa Gibas dari
mulut Mahesa Gondes. Mereka bukan bersaudara,
melainkan hanya berkawan. Semula mereka sahabat
karib. Mereka sama-sama menggunakan nama Mahesa 
sebagai ikatan persahabatan, tapi mereka punya nama
asli sendiri-sendiri dan tidak ada hubungan keluarga.
Mereka itu sebenarnya pemuda-pemuda yang tak punya
pengarah hidup sehingga mereka bertindak seenaknya
sendiri."
"Ooo...," Suto Sinting menggumam lega. Rupanya
soal nama saja sempat mengganjal di hati Suto Sinting,
sehingga ia menyempatkan diri untuk menanyakannya.
Langkah mereka berdua terhenti mendadak. Ada
suara orang memekik bukan karena kesakitan tapi karena
luapan kemarahan. Suara pekikan itu  ada di sebelah
timur mereka. Suto Sinting segera mengajak Ki
Belantara untuk menuju ke arah suara pekikan itu.
"Jangan-jangan muridku sedang bertarung dengan
seseorang?!" gumam Ki Belantara sambil bergegas
menuju ke timur.
Ternyata suara itu datang dari balik bukit cadas tanpa
nama. Bukit itu tak begitu tinggi, mudah di daki dari sisi
barat. Suto Sinting dan Ki Belantara berada di atas bukit
itu, mereka berlindung di balik bebatuan tinggi, menatap
ke arah pertarungan yang terjadi di bawah sana.
Pertarungan  itu  dilakukan oleh seorang perempuan
muda yang usianya sekitar dua puluh enam tahun.
 Mengenakan jubah tanpa lengan warna jingga dengan
kain pembalut bagian bawahnya juga berwarna jingga
longgar, ia tampak mengenakan penutup dada warna
hitam kecil, sehingga sebagian kulit dadanya tampak
coklat mulus. Perempuan muda itu mempunyai rambut
panjang yang digulung ke atas, sisanya dibiarkan
berjuntai seperti ekor kuda.
Wajah perempuan itu cantik. Tapi matanya berkesan
jalang. Bibirnya sedikit tebal, dan mengundang selera
untuk bercumbu. Seakan tiap ia tersenyum selalu
menyebarkan daya tarik untuk bercumbu. Perempuan itu
bertubuh sekal, padat dan montok. Mata Suto Sinting
sempat tak berkedip memandanginya.
"Ssst...!" Ki Belantara menendang betis Suto ketika
Suto terbengong melompong pandangi perempuan
berjubah  jingga  itu. Suto Sinting buru-buru sadar dan
nyengir malu, hindari pandangan mata Ki Belantara
yang cemberut itu.
"Jangan mudah tergiur! Kau belum kenal siapa
perempuan itu."
"Memang belum, Ki. Siapa perempuan montok itu?"
"Jerami Ayu!" 
"O, pantas!" 
"Pantas apa?"
"Pantas ayu!" jawab Suto lirih sambil berbisik.
"Dia orangnya Ratu Ladang Peluh. Tapi kudengar dia
sudah memisahkan diri dari Ratu Ladang Peluh karena
persoalan pribadi dengan ratu bejat itu."
"Ooo...," Suto menggumam lirih. "Mengapa kau 
selalu mengatakan Ratu Ladang Peluh sebagai ratu
bejat?!"
"Karena dia selalu mencari mangsa seorang lelaki
muda dengan pedang pusakanya, ia menampung lelaki
muda sepertimu cukup banyak untuk dijadikan pemuas
gairahnya. Kau belum tahu, kehidupan di istana Bukit
Randa sangat bejat. Mereka bebas bercinta dengan lelaki
mana pun, kecuali lelaki yang sedang menjadi pilihan si
ratu bejat, tak boleh dipakai oleh anak buahnya!
Menurutnya, darah kemesraan seorang pemuda dapat
membuatnya panjang umur dan tetap cantik, sehingga...
kurasa tak perlu kuceritakan lagi  kau sudah bisa
membayangkan seperti apa gilanya kehidupan bercinta
di dalam istana Bukit Randa itu."
"Ya, kau benar, Ki. Kau tak perlu bercerita dulu,
sebab kulihat pemuda yang sedang bertarung melawan
Jerami Ayu itu mulai keluarkan jurus mautnya!"
Blegaaarr...!
"Apa kataku, jurus mautnya  keluar, bukan?!" bisik
Suto Sinting setelah mendengar ledakan cukup dahsyat
dan mengguncangkan bukit cadas itu. Ledakan itu
timbul  akibat benturan sinar kuning yang keluar dari
tangan seorang pemuda gagah berpakaian hitam. Sinar
kuning itu ditangkis dengan sinar biru yang keluar dari
tangan Jerami Ayu. Sehingga meledak di pertengahan
jarak, membuat pemuda itu  terpental dan jatuh
berguling-guling bagai diterjang badai. Jerami Ayu
sendiri terlempar kuat hingga membentur pohon dengan
keras. Bruuus...! 
"Jangan  campuri dulu urusan mereka! Kita  lihat
sampai di mana kekuatan si Jerami Ayu," bisik Ki
Belantara. Suto Sinting setuju dan anggukkan kepala.
Tapi tiba-tiba Ki Belantara tampak terkejut setelah
melihat Jerami Ayu cabut pedang yang sejak tadi
diselipkan di pinggang kirinya.
"Ooh...?! Ternyata di sana?!" gumam Ki Belantara
dengan nada tegang, memancing rasa ingin tahu
Pendekar Mabuk.
"Apa maksudmu, Ki?"
"Lihat, Jemari Ayu mencabut pedang hitam!"
"Ya, aku melihatnya. Kurasa ia merasa terdesak dan
ingin segera tumbangkan si pemuda. Kau kenal  siapa
pemuda itu, Ki?"
"Tidak! Tapi aku mengenal pedang di tangan Jerami
Ayu. Pedang hitam itu adalah Pedang Penakluk Cinta!"
"O, ya...?!" Suto terperangah kaget. "Kau tak salah
pandang, Ki?" 
"Kudengar penjelasan dari seorang sahabatku yang
pernah melihat Ratu Ladang Peluh  menggunakan
Pedang Penakluk Cinta, katanya pedang itu  berwarna
hitam karena terbuat dari batu kerak bumi yang kerasnya
melebihi besi. Gagang pedang berbentuk dua hati
berempetan. Bukankah gagang pedang di tangan Jerami
Ayu juga berbentuk dua hati berdampingan?!"
"Hmmm... ya, memang benar. Tapi apakah pedang itu
memang Pedang Penakluk Cinta? Bukankah menurut
cucumu pedang itu dicuri oleh Sunggar Manik?!"
Ki  Belantara tak sempat  menjawab, karena mereka 
segera menyimak suara Jerami Ayu yang berseru kepada
lawannya.
"Sambada! Kali ini kau tak bisa lari dari pelukanku!
Lihat, apa yang ada di tanganku ini?!"
"Hmm...! Kau kira pedang murahan itu  bisa
meluluhkan hatiku untuk tetap mencintaimu?! Tidak,
Jerami!"  
Rupanya pemuda yang bernama Sambada itu  tidak
tahu tentang pedang di tangan Jerami Ayu. Pemuda
tinggi, tegap, gagah, dan bercambang tipis dengan
rambut ikal  bergelombang sepanjang bahu itu  sengaja
maju dekati Jerami Ayu. Dua pisau yang ada di
pinggang kanan-kirinya  itu  segera dicabut. Masing-
masing pisau panjangnya sekitar dua jengkal lebih
sedikit, ia memainkan pisaunya itu  dengan jurus-jurus
yang punya gerakan cepat.
Jerami Ayu tersenyum dan mulai melangkah ke
samping seraya mengangkat pedang hitam itu  dengan
kedua tangannya. Sarung pedang yang terbuat dari
ukiran kayu cendana berlapis emas pada tepiannya itu
masih terselip di pinggang. Kemewahan sarung pedang
itulah yang membuat Suto Sinting mulai yakin bahwa
pedang itu adalah Pedang Penakluk Cinta. Aroma harum
cendana menyebar dan tercium oleh hidung Suto ketika
angin berhembus ke arahnya.
"Saatnya kita bergerak, Pendekar Mabuk!" bisik Ki
Belantara.
"Aku saja yang menanganinya, Ki!" bisik Suto, lalu
bersiap untuk lakukan serangan yang dapat 
menghancurkan pedang itu.
Tetapi sebelum Suto bergerak, tiba-tiba terdengar
suara orang melantunkan tembang dari arah barat. Suara
itu membuat Ki Belantara dan Suto Sinting menengok ke
arah barat, tempat datangnya mereka tadi.
"Uuh, lalala... ceriping sendok aduh kerasnya. Uuh,
lalala..."
"Itu dia si Mahesa Gondes, Ki!" sentak Suto dengan
suara bisik.
"Kucing kurap, kadal kudis...! Dia masih tetap mabuk
racun itu rupanya?!"
"Mungkin dia habis minum tuak beracun itu, Ki!"
"Kurasa begitu, karena ia mencurinya satu guci
penuh."
"Edan!" gumam Suto Sinting sambil geleng-geleng
kepala.
Perhatian mereka terhadap Jerami Ayu dan Sambada
terlupakan sesaat. Dan pada saat itu  mereka segera
melihat kemunculan seorang gadis berpakaian biru tutul-
tutul putih, mengenakan ikat kepala kulit macan tutul.
Gadis  itu  tak lain adala Sunggar Manik yang muncul
dari belakang Mahesa Gondes, langsung menerjang
pemuda itu dari belakang. Wuuut...! Bruuuk...!
"Aauh...!" Mahesa Gondes tersungkur dan mengerang
kesakitan.
"Celaka! Murid bodong itu bisa mati di tangan gadis
itu!" geram Ki Belantara.
"Tanganilah dulu, Ki! Aku akan menangani pedang
itu!" ujar Suto Sinting membagi tugas. Ki Belantara 
segera melesat turun dari bukit dan menerjang Sunggar
Manik yang ingin menghajar Mahesa Gondes lagi itu.
Wuuut...! Bruuus...!
Pendekar Mabuk cepat pindahkan perhatian ke arah
pertarungan Jerami Ayu dengan Sambada. Pada saat itu,
tepat Jerami Ayu melompat dan melayang di atas kepala
Sambada. Ia bersalto satu kali, namun sambil
menebaskan Pedang Penakluk Cinta itu.
Wuuut, craas...!
"Auh...!" Sambada terpekik dan jatuh tersungkur.
Pundak kirinya terkena sabetan Pedang Penakluk Cinta.
Goresan  itu  tak seberapa dalam. Bahkan darah yang
keluar dari goresan pedang itu  boleh dibilang sangat
sedikit. Tetapi hal itu  membuat Jerami Ayu tersenyum
lega setelah berdiri tegak tak jauh dari Sambada.
"Apa yang terjadi jika sudah begitu?" pikir Suto
Sinting. Rasa ingin tahu menahan niatnya untuk
menyerang Jerami Ayu yang kini tertawa cekikikan
sambil  berdiri pegangi pedangnya di bawah pohon,
empat  langkah dari Sambada. Pemuda itu  telah berdiri
dan menggenggam kedua pisaunya.
Suto melihat ketegangan di wajah Sambada mulai
berkurang. Pandangan matanya yang tertuju pada Jerami
Ayu pun tak setajam tadi. Bahkan semakin lama
memandang Jerami Ayu yang tersenyum menggoda itu,
wajah Sembada semakin luluh, tanpa ketegangan sedikit
pun. Senyum tipisnya mulai tampak. Kedua pisaunya
dilepaskan. Jatuh di tanah.
"Apakah kau masih berkeras untuk menolak cintaku, 
Sambada?!" ujar Jerami Ayu sambil matanya melirik
nakal.
"Jerami...," Sambada dekati perempuan itu. Si
perempuan sengaja mundur hingga punggungnya
merapat dengan batang pohon.
"Apakah kau tetap ingin meninggalkan aku dan
melangsungkan pernikahanmu dengan Seriti Kumala?!"
"Kau ternyata lebih cantik dari Seriti Kumala! Ooh,
Jerami Ayu... aku ingin kembali padamu dan kita akan
hidup bersama, Sayang...."
Racun dari Pedang Penakluk Cinta telah membaur
dengan darah Sambada. Racun itu  mempengaruhi otak
Sambada dan membakar gairah.  Hati Sambada yang
semula tetap tak ingin layani cinta Jerami Ayu kini
berhasil ditaklukkan oleh pedang tersebut.
"Edan! Begitu cepatnya Sambada berubah pikiran dan
menjadi bergairah kepada Jerami Ayu?!" ujar Suto
dalam hatinya saat melihat Sambada segera merapatkan
badan ke tubuh Jerami Ayu.
Perempuan  itu  segera masukkan pedang tersebut ke
sarungnya. Kedua tangan segera memeluk Sambada
yang menciumi wajahnya. Jerami Ayu tertawa cekikikan
sebagai ungkapan rasa bahagianya.
"Peluklah aku, Sambada! Oouh... jangan gigit
leherku. Geli, ah! Hik, hik, hik!"
Sambada bergairah sekali. Bibir perempuan itu segera
dilumatnya dengan ganas. Jerami Ayu membalas dengan
jamahan tangan yang mencapai tempat tertentu.
Sambada membiarkan tangan Jerami Ayu menemukan 
apa yang dicari dalam dirinya.
"Oouh, Sambada.... Sambada aku sayang padamu...
jangan tinggalkan aku, Sambada! Oouh...!" Jerami Ayu
kian mengganas ketika Sambada melepaskan penutup
dadanya, lalu menyapu dada montok itu dengan ciuman
buasnya.
Tangan pemuda itu menarik kain tipis penutup bagian
bawah Jerami Ayu. Kain itu tersingkap ke atas dan paha
mulus si Jerami Ayu membuat mata Suto Sinting tak
bisa berkedip. Jantung Suto berdetak-detak manakala
melihat tangan Sambada semakin nakal merayap di
sekitar paha Jerami Ayu yang masih tetap berdiri
bersandar pohon itu.
"Sam... ooh, Sam... sudah lama kurindukan sentuhan
mesramu ini! Aku tak mampu menahannya lagi, Sam.
Lakukanlah... lakukanlah.... Oouh...!" Jerami Ayu
mengerang penuh kenikmatan. Jubahnya terlepas karena
gerakan  liarnya. Sementara itu, Sambada sendiri telah
kehilangan ikat pinggangnya dan membuat pakaiannya
berantakan. Pemuda itu  bagai orang gila cumbuan, ia
mengganas dan melampiaskannya dengan kasar kepada
Jerami Ayu. Agaknya Jerami Ayu menyukai kekasaran
itu, sehingga ia memberi perlawanan yang sama
hangatnya sampai-sampai ikat pinggangnya sendiri
terlepas dan pedang itu  dibiarkan jatuh di bawah
kakinya.
"Oouuuh...!" Jerami Ayu tak malu-malu lagi untuk
mengerang panjang ketika ditikam oleh kehangatan
Sambada yang luar biasa nikmatnya itu. 
Pendekar Mabuk berkeringat dingin. Seakan seluruh
tulangnya hilang karena terbuai oleh pemandangan yang
membuat dadanya bergemuruh bagai gunung ingin
meletus itu.
"Celaka! Aku tak boleh hanyut dengan pemandangan
itu!" pikir Suto Sinting sambil menarik napas dan
mengalihkan pandangan sebentar.
Pandangan Suto Sinting dialihkan ke arah Ki
Belantara. Rupanya Pak Tua itu masih sibuk menghajar
Sunggar Manik yang tetap ingin mengejar Mahesa
Gondes yang lari mengelilingi bukit cadas itu. Meski
mulut dan hidungnya telah mengucurkan darah, Sunggar
Manik tak mau melarikan diri ke arah lain.
"Kalau benar dia muridmu, kau harus bertanggung
jawab, Setan Peot! Muridmu telah mencuri pedangku!"
seru Sunggar Manik.
Pendekar Mabuk alihkan pandangan lagi ke arah
Jerami Ayu dan Sambada. Oh, ternyata mereka semakin
panas. Sambada mendayung perahu cintanya
mengarungi samudera kenikmatan, membawa Jerami
Ayu ke puncak keindahan. Perempuan itu  memekik-
mekik tanpa pedulikan suasana di sekitarnya lagi.
Dengan mata terpejam dan tangan mencengkeram kedua
lengan Sambada dengan rematan penuh gairah.
"Jerami...?!!" seru suara orang yang baru tiba di situ.
Orang tersebut adalah Mahesa Gondes sendiri yang
segera hentikan pelariannya dan membelalakkan mata
melihat apa yang diperbuat Jerami Ayu dengan
Sambada. 
Seruan itu membuat Jerami Ayu hentikan kemesraan
dan membuka matanya. Sambada didorong mundur.
Tapi pemuda itu  tetap ingin lanjutkan pelayarannya
sehingga Jerami Ayu sibuk menghindarinya.
"Tunggu sebentar, Sambada!"
"Jerami, aku belum selesai membahagiakan dirimu.
Ayolah, Jerami...," bujuk Sambada.
Jerami Ayu meraih pakaiannya dan mengenakan
sejadinya.
"Pergilah, Mahesa! Jangan pandangi aku demikian!"
"Jerami, kau... kau... hah, hah, hah, hah!" Mahesa
Gondes tertawa. "Kau membohongiku, Jerami! Nah,
nah, nah... sekarang ketahuan kau membohongiku! Kau
suruh aku melarikan Pedang Penakluk Cinta saat
Sunggar Manik pingsan di tanganmu dan kau
menghadapi adiknya. Katamu, jika aku mau melarikan
pedang  itu, kau mau menjadi kekasihku. Tapi ternyata
kau bercinta dengan pemuda itu. Hah, hah, hah, hah!"
Jerami Ayu segera menyambar pedangnya setelah
menyentakkan tubuh Sambada yang membuat Sambada
terjungkal ke semak-semak. Saat itu  Suto Sinting
membatin dalam hatinya.
"O, rupanya Mahesa Gondes diperalat oleh Jerami
Ayu! Dia melarikan pedang itu  saat Sunggar Manik
pingsan dan Lentik Sunyi bertarung melawan Jerami
Ayu. Rupanya Mahesa Gondes berhasil serahkan pedang
itu  kepada Jerami Ayu dengan janji ingin dijadikan
kekasihnya. Alangkah kasihan si Mahesa Gondes, ia tak
tahu Jerami Ayu ingin dapatkan pedang itu  untuk 
tundukkan cinta Sambada!"
"Mahesa! Aku tidak ada urusan apa-apa lagi
denganmu! Sebaiknya pergi dan jangan ganggu aku
lagi!" seru Jerami Ayu.
"Hah,  hah, hah, hah...! Kau menipuku, Jerami! Kau
menipuku, hah, hah, hah, hah!" Mahesa Gondes tertawa
walau merasa ditipu. Tawa itu tetap ada karena pengaruh
'ceriping raja' yang ditelannya.
"Aku memang memperalat dirimu, Mahesa Gondes,
karena aku tahu kau pemuda yang bodoh! Bahkan kau
percaya saja ketika aku pergi dengan alasan memeriksa
pedang ini kepada guruku. Kau tak tahu bahwa kala itu
aku sengaja melarikan diri dari congor bebekmu itu!"
"Hah, hah, hah, hah! Congorku  ini bukan congor
bebek, tapi congor kambing, Jerami! Hah, hah, hah...!"
Wuuus...! Tiba-tiba sekelebat bayangan melesat
menerjang Jerami Ayu yang telah mencabut Pedang
Penakluk Cinta. Tapi untung ia segera berguling
bersama pedang tersebut, sehingga terjangan dari
belakangnya itu tidak kenai kepalanya sedikit pun.
"Oh, rupanya kau, Sunggar Manik?!" geram Jerami
Ayu sambil memandang Sunggar Manik yang telah
berdarah akibat dihajar Ki Belantara itu. Sunggar Manik
mengejar Mahesa Gondes, namun segera setelah berhasil
lolos dari serangan Ki Belantara. Sementara itu, Ki
Belantara pun segera mengejarnya. Namun Sunggar
Manik cenderung untuk segera menyerang Jerami Ayu
karena melihat pedang itu ada di tangan Jerami Ayu.
"Kembalikan pedang itu!" sentak Sunggar Manik.
 "Apa? Kembalikan?! Hmmm! Ini yang kukembalikan
padamu!"
Weess...! Jerami Ayu lemparkan senjata rahasianya
berupa sekeping logam berbentuk kelelawar. Sunggar
Manik sentakkan kaki dan melambung ke atas dengan
cepat dalam gerakan bersalto satu kali. Senjata  itu
meleset dari tubuh Sunggar Manik, namun di belakang
Sunggar Manik ada Sambada yang ingin membantu
Jerami Ayu dengan menyerang Sunggar Manik dari
belakang. Maka senjata rahasia berbentuk kelelawar itu
akhirnya menancap telak di dada Sambada. Jrreeb...!
"Aahk....!" Sambada pun roboh dan berkelojotan
beberapa saat sebelum hembuskan napas terakhir.
"Sambadaaa...!"
Jerami Ayu menjerit, menyesal sekali telah
membunuh orang yang dicintainya itu. Ia segera hampiri
Sambada, namun racun ganas dari senjatanya membuat
Sambada tak kehilangan nyawa dalam waktu lima
hitungan sejak terkena senjata tersebut.
Jerami Ayu menjadi sangat murka kepada Sunggar
Manik, ia berpaling ke belakang, tepat saat Sunggar
Manik mencabut pedangnya untuk ditebaskan ke
punggung Jerami Ayu. Wuuut, wwees...!  Jerami Ayu
berguling ke samping dalam keadaan pakaian setengah
bugil  itu. Ia segera menghujamkan Pedang Penakluk
Cinta ke tanah. Jrrub...!
"Aaahkh...!" Sunggar Manik mengejang, pegangi
dadanya dengan mata mendelik. Rupanya jantungnya
telah tertusuk Pedang Penakluk Cinta melalui bekas 
telapak kakinya yang dihujam pedang itu.
Brrruk...! Sunggar Manik pun roboh tak berkutik
selamanya. Jerami Ayu menggeram dengan mata liar
memandang Mahesa Gondes yang mendekatinya.
"Jerami, bagaimana dengan  nasib cintaku, Cah
Ayu...! Heh, heh, heh, heh!"
"Keparat kau, Mahesa!  Semua Ini gara-garamu!
Kubunuh kau sekarang juga!" teriak Jerami Ayu.
Wees...! Mahesa Gondes disambar seseorang,
ternyata Ki Belantara. Tapi pada saat itu, Pedang
Penakluk Cinta segera diangkat oleh Jerami Ayu dan
siap dihujamkan ke bekas telapak kaki Mahesa Gondes.
"Heeaat...!"
Wuuus...! Baaar...!
Jerami Ayu disambar sesuatu yang membuatnya
terpental. Ternyata Pendekar Mabuk mulai bergerak,
berkelebat menyambar Jerami Ayu dengan bumbung
tuak diadukan dengan Pedang Penakluk Cinta. Benturan
itulah yang mengakibatkan timbulkan ledakan
bergelombang padat dengan daya sentak cukup tinggi.
Suto Sinting sendiri jatuh terjungkal dalam jarak empat
langkah dari tempat benturan tersebut.
"Jahanaam...!!" teriak Jerami Ayu dengan murkanya.
Matanya mendelik bagai orang kesurupan, ia segera
bersalto beberapa kali sambil dekati Suto Sinting. Saat
itu Suto sedang menggeliat bangkit dengan menyeringai
menahan rasa sakit di pinggangnya. Pinggang itu
menjadi memar akibat membentur sebongkah batu.
"Kubuat gila birahi kau, Jahanam!" teriak Jerami
 Ayu, kemudian pedang itu  ditebaskan dari atas ke
bawah. Wuuut...!
Suto Sinting segera melintangkan bumbung tuaknya
dengan kedua tangan ke atas kepala dalam keadaan
berlutut satu kaki. Duaaarr...! Pedang itu  meledak saat
menghantam bumbung tuak. Sementara bumbung dari
bambu itu tidak mengalami kerusakan sedikit pun. Lecet
atau hangus pun tidak.
Ledakan  itu  membuat Jerami Ayu terpental lagi,
namun kali ini hanya terhuyung-huyung ke belakang.
Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Guntur Perkasa'
yang merupakan sinar hijau lurus melesat dari tangan
kirinya. Slaaap...! Sinar itu  tepat kenai pedang hitam
yang masih terangkat ke atas dalam genggaman Jerami
Ayu.
Jegaaaarrr...!
Ki Belantara tarik mundur langkahnya begitu melihat
sinar hijau menghantam Pedang Penakluk Cinta dan
ledakan dahsyat terjadi hingga mengguncangkan tanah
sekitar tempat itu. Pepohonan pun bergetar, runtuhkan
ranting dan daun.
Jerami Ayu menyeringai menahan sakit sambil
pandangi Pedang Penakluk Cinta yang kini hancur
menjadi serbuk halus berhamburan di tanah. Ki
Belantara  pun tertegun di tempat melihat kedahsyatan
jurus  pukulan 'Guntur Perkasa'-nya Pendekar Mabuk.
Mahesa Gondes pun ikut terbengong melihat pedang itu
hancur dalam sekejap.
Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya yang 
tinggal  sedikit  itu  untuk hilangkan rasa sakit di
pinggang. Sementara si perempuan berpakaian setengah
bugil  itu  segera menyambar jubah jingganya dengan
tangan kiri, sebab tangan kanannya menjadi hangus
akibat ikut terkena jurus 'Guntur Perkasa' itu.
"Bangkai setan!" serunya pada Suto. "Kuberi waktu
padamu untuk menebus kelancanganmu ini! Kalau kau
tak bisa mengganti pedang itu, kau harus siap kehilangan
nyawamu!"
Blaaassss...!
Jerami Ayu segera pergi meninggalkan tempat itu.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum mendengar
ancaman tersebut.


SELESAI


Segera terbit!!!
 KEMATIAN SANG DURJANA  

Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
 https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com