Pendekar Mabuk 91 - Tantangan Anak Haram





1
 JAGO-JAGO dunia berkumpul di kotaraja, yang
merupakan Ibukota dari negeri  Bardanesya. Mereka
datang ke negeri Bardanesya bukan sekadar piknik,
namun karena tertarik dengan sayembara yang
dikeluarkan oleh pihak keluarga Istana. Sang penguasa
negeri Bardanesya menyebar pengumuman di seluruh
pelosok dunia, melalui selebaran-selebaran maupun
pariwara dari mulut ke mulut. Entah mulutnya siapa saja,
yang penting pengumuman itu dalam waktu singkat
cepat menyebar dan sampai di telinga para jago dunia.
Isi sayembara itu berbunyi:
Dicari seorang lelaki perkasa
Untuk calon menantu Raja Gundalana.
Syarat-syarat: 
Berbadan sehat, tanpa penyakit sedikit pun, meski hanya
sebutir panu.
Berotak waras, dan belum pernah dinyatakan gila oleh
para perempuan.
Punya rasa tanggung jawab, baik terhadap istri maupun
mertua.
Tidak pernah menggunakan obat  terlarang, sekalipun
obat nyamuk.
... dan sebagainya... dan sebagainya.... 
Barang siapa yang memenuhi syarat dan terpilih
melalui ujian penyaringan, akan dinikahkan dengan
putri Raja Gundalana yang bernama: 
Rara Ayu Kumala Udarini Sumbi, disingkat RAKUS.
Sayembara ini tidak dipungut biaya, kecuali sumbangan
sukarela berupa gula, teh, kopi, emping, kacang, dan
sebagainya untuk para petugas yang menangani
sayembara ini. Sekali lagi: Sukarela saja. Kalau tidak
suka dan tidak rela, tidak apa-apa. Sekian dan terima
kasih.
Bardanesya, 13 Kliwon 4711 SM (Sudah Malam) 
Atas nama Ketua Penyelenggara: Pak Nitlyo. 
Pendekar Mabuk murid si Gila  Tuak dan Bidadari
Jalang, juga membaca selebaran tersebut yang
ditempelkan pada sebatang pohon di hutan perbatasan
negeri tersebut. Senyum si tampan Suto Sinting alias
Pendekar Mabuk adalah senyum orang yang tidak
tertarik dengan pengumuman sayembara tersebut, ia
tetap ingin melanjutkan perjalanannya ke Teluk Sendu. 
Ia harus temui Resi Parangkara yang berdiam di
Teluk Sendu, karena ada kabar dari seorang sahabat
yang mengatakan bahwa Puting Selaksa sedang sakit.
Puting Selaksa adalah murid dari Resi Parangkara yang
jatuh hati kepada si Pendekar Mabuk, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Wanita Keramat").
Tapi menurut dugaan Suto, perempuan itu tak
mungkin sakit berat. Bahkan mungkin hanya menderita
rindu saja. Sebab Suto ingat bahwa Puting Selaksa
adalah satu-satunya perempuan yang pernah mendapat
keberuntungan berupa 'gaib kekuatan kasih' yang
dimiliki para dewa, yang bernama 'Rona Dewaji'.
Kekuatan itu membuatnya perempuan muda itu akan
selalu dianugerahi kesehatan, keberuntungan, dan
kebahagiaan.
Sekalipun Suto punya dugaan seperti itu, tetapi ia
tetap ingin luangkan waktunya untuk datang ke Teluk
Sendu. Karena bukan hanya Puting Selaksa yang akan
dikunjunginya, melainkan Resi Parangkara dan Manggar
Jingga, murid sang resi juga, merupakan orang-orang
yang disayanginya dan perlu dikunjungi sebagai langkah
silaturahmi yang akan mempererat tali persaudaraan.
"Aku tidak tertarik dengan pengumuman seperti itu,"
ujar Suto dalam hatinya sambil teruskan langkah
tinggalkan pohon berpengumuman tadi. "Bagaimanapun
juga aku tetap akan menikahi calon istriku yang
sekarang masih menunggu di Pulau Serindu. Sayang
sekali musuh utamaku;  Siluman Tujuh Nyawa, belum
berhasil kupenggal kepalanya. Kalau saja si manusia 
terkutuk itu sudah berhasil kupenggal  kepalanya dan
kupersembahkan kepada Dyah Sariningrum sebagai
maskawin untuknya, ooh... alangkah indahnya. Pasti saat
ini aku berada di sampingnya sambil mengelus-elus
kulitnya yang putih, halus, lembut, seperti kulit  bayi
itu...."
Masa berandai-andai  si murid sinting Gila Tuak itu
terputus seketika, karena mendadak ia dikejutkan oleh
ledakan kecil yang datang dari arah barat, lebih
mendekati arah batas wilayah negeri Bardanesya. Suara
ledakan kecil itu diduga sebagai  suara pertarungan dua
tenaga dalam. Pendekar Mabuk adalah pemuda yang tak
boleh mendengar suara pertarungan, karena di mana saja
dan sedang apa saja jika ia mendengar suara pertarungan
selalu dihampirinya. Suto adalah pemuda yang hobi
melihat pertarungan, terutama jurus-jurus yang sedang
bertarung itu. Sebab dengan sering melihat jurus-jurus
tersebut, maka dalam benaknya akan penuh
perbendaharaan jurus, sehingga sewaktu-waktu jika
berhadapan dengan salah satu jurus tersebut,  ia  dapat
segera mengantisipasinya.
Pemuda bertubuh kekar, gagah, dengan baju buntung
warna  coklat  dan celana putih itu segera berkelebat ke
arah barat. Bumbung tuaknya masih menyilang di
punggung. Tali bumbung menyilang di dadanya yang
bidang.
Zlaap, wuuut...! Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah
berada di atas pohon berdaun rindang. Lompatannya
nyaris tak terlihat karena selain ia menggunakan jurus 
'Gerak Siluman' yang punya kecepatan menyamai
kecepatan cahaya itu, juga menggunakan ilmu peringan
tubuh yang sangat dikuasainya. Tanpa ilmu peringan
tubuh tingkat tinggi, tak mungkin pemuda berambut
panjang lurus sepundak tanpa ikat kepala itu bisa berdiri
di atas dua ranting sebesar kelingkingnya.
"Alih... gila!" gumam Suto pertama kail melihat ke
arah pertarungan.
"Ternyata si pendek; Sawung Kuntet sedang
berhadapan dengan seorang lawan yang sangat tak
seimbang?! Hmmm... nekat sekali si kuntet itu. Sudah
tahu lawannya bertubuh tinggi, besar, seperti raksasa
berwajah kuburan, masih saja dilawannya?! Apa tak
tersayangkan olehnya kalau sampai kaki si orang besar
itu menginjak kepalanya, sudah tentu kepalanya akan
remuk seperti telur asin diinjak kakinya sendiri?!"
Suto Sinting geleng-gelengkan kepala. "Ck, ck, ck,
ck! Benar-benar konyol si kuntet itu. Boleh saja dia
bertarung pakai golok, pakai tenaga dalam, pakai jurus
andalan, tapi mestinya juga harus pakai otak! Mengapa
ia tidak gunakan jurus-jurus jarak jauh saja? Jangkauan
tangannya sangat tak seimbang dengan jangkauan tangan
si manusia raksasa itu! Goblok! Apa dipikirnya dia
punya nyawa cadangan?!"
Sawung Kuntet adalah seorang lelaki berusia sekitar
empat puluh tahun yang berkumis lebat seperti seekor
kelelawar hinggap di bawah hidungnya. Lelaki bertubuh
setinggi perut Suto itu mengenakan baju lengan panjang
warna hijau dan celana warna hitam. Rambutnya botak 
bagian tengah, dari dahi sampai ke belakang,
membentuk seperti parit. Suto Sinting mengenal lelaki
itu dalam peristiwa hilangnya kitab keramat milik Eyang
Bintara alias si Geledek Biru, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Kematian Sang Durjana").
Sedangkan lawan si Sawung Kuntet itu adalah orang
yang belum dikenal Suto. Orang itu bertubuh  tinggi,
besar, dan berkumis lebat melintang dengan  wajah
seangker kuburan keramat. Badannya besar penuh bulu,
dadanya kekar seperti batu gunung. Pakaiannya serba
merah dengan baju tak berlengan dan tak  terkancing
bagian depannya. Lelaki berusia sekitar  empat puluh
tahun juga itu mempunyai rambut panjang sepunggung,
diurai lepas dan beterbangan ke mana-mana. Tampaknya
ia  tak bersenjata, tapi mengenakan  sabuk besar terbuat
dari logam kemerah-merahan seperti tembaga.  
Sekalipun badannya besar dan tinggi, tapi orang
bergelang akar bahar sebelah kiri itu mempunyai
gerakan cukup gesit dan lincah, ia dapat menghindari
tebasan golok Sawung Kuntet yang sebenarnya
mempunyai gerakan tebas cukup cepat itu.
Sawung Kuntet tampak sulit kenai lawannya. Tak
sedikit pun goloknya menggores tubuh lawan, bahkan
menyentuh kain pakaiannya pun tidak.
Tetapi sekali pancal, kaki orang besar itu kenai
lengan Sawung Kuntet, sehingga Sawung Kuntet
terlempar dan terbanting dengan sangat menyedihkan.
Bruuuk...!
"Ngeeg...!" 
Jarak jatuh Sawung Kuntet dengan tempatnya  di
tendang sekitar tujuh langkah. Orang  berwajah angker
itu tidak buru-buru menyerang lagi. Rupanya  ia  ingin
memberi kesempatan kepada Sawung Kuntet untuk
bangkit dan persiapkan diri kembali untuk lanjutkan
pertarungan secara jantan.
Sawung Kuntet meringis kesakitan sambil menggeliat
bangkit. Pada saat itu, lawannya serukan kata dengan
suara besarnya.
"Sawung Kuntet!  Kalau kau masih bersikeras untuk
datang ke kotaraja, aku tak akan segan-segan
membunuhmu sekarang juga!"
Sawung Kuntet biarpun kecil tapi tengil dan konyol,
ia membalas seruan itu dengan kebiasaannya
menggunakan kata 'anu' sebagai pengganti beberapa kata
yang kadang bisa dipahami orang kadang tidak.
"Aku tak akan gentar dengan anu-mu, Singawulu!
Sekali aku tetap ingin ke sana, aku tetap anu!  Anu-ku
sangat besar, sehingga aku tak merasa takut jika harus
bertarung dengan siapa pun. Siapa tahu aku bisa menjadi
menantu Raja Gundalana, dan putrinya itu menyukai
anu-ku!"
Pendekar Mabuk mencoba berpikir tak jorok. "Apa
yang dimaksud: 'Anu-ku sangat besar' itu? Oh, mungkin,
semangatnya yang sangat besar. Lalu, apa yang
dimaksud dengan kata: 'putrinya menyukai anu-ku' itu?
Hmmm... mungkin maksudnya menyukai
penampilannya atau wajahnya. Ah, memang sulit bicara
dengan si Juragan 'anu' itu. Harus hati-hati mengartikan 
kalimatnya."
Rupanya antara si Sawung Kuntet dengan orang yang
bernama Singawulu  itu sudah saling kenal. Entah
hubungan apa yang terjalin di antara mereka berdua.
Yang jelas, agaknya Singawulu  tak menghendaki
Sawung Kuntet mengikuti sayembaranya Raja
Gundalana itu.
"Sawung Kuntet!  Rupanya kau memang tak pantas
diberi hidup lebih lama lagi! Jika begitu, bersiaplah
untuk mati sekarang juga, Sawung Kuntet!"
Singawulu  berjungkir balik, plik-plak dengan kedua
tangannya. Gerakannya sangat cepat dan lincah. Wut,
wut, wut, wut...!  Tahu-tahu ia sudah berada di depan
Sawung Kuntet. Tapi sebelum ia lakukan tendangan atau
pukulan, Sawung Kuntet sudah lebih dulu menebaskan
goloknya ke lutut Singawulu. Weess...!
Singawulu  lompat ke atas dengan gerakan bersalto
cepat. Tahu-tahu  ia  sudah berada di belakang Sawung
Kuntet, kakinya menendang ke belakang dengan
kekuatan penuh. Dees...!
"Aahk...!" Sawung Kuntet melayang di udara,
terlempar ke arah depannya sejauh sepuluh langkah.
Wajahnya membentur sebatang pohon, dan pohon itu
adalah pohon yang dipakai bersembunyi Suto Sinting.
Brrrruuus...!
"Aaaaaah...!"
Sawung Kuntet memekik keras. Wajahnya berlumur
darah karena hidungnya segera bocor dan bibirnya
jontor. 
Singawulu  yang sudah tak punya ampun lagi itu
segera melepaskan sabuknya. Sabuk yang mirip tembaga
berukir itu segera disabetkan ke udara. Wuut...!
Claap, claap...!  Dua berkas sinar biru melesat dari
sabetan sabuk itu. Salah satu sinar nyasar ke pohon lain.
Jegaaar...! Pohon itu hancur seketika dan menjadi
serpihan arang. Sedangkan satu sinar biru lagi mengarah
ke tubuh Sawung Kuntet.
Melihat pohon itu hancur dan menjadi arang, Suto
Sinting yakin betul kalau tubuh Sawung Kuntet pun akan
senasib dengan pohon tersebut.
Suto dengan cepat segera turun dari atas pohon.
Wuuut...! Bumbung tuaknya sudah berpindah dari
punggung ke tangan, ia menghadang sinar itu dan
menahan kecepatan sinar dengan bumbung tuaknya yang
nyaris meleset. Deebs...!
Blaaarr..!
Meledak. Biasanya sinar yang ditangkis dengan
bambu bumbung tuaknya itu akan memantul balik dalam
keadaan lebih besar dan lebih cepat. Tapi kali ini sinar
itu justru meledak saat membentur bambu tempat tuak
itu. Berarti sinar biru Singawulu  berkekuatan sangat
besar dan mempunyai kesaktian yang tidak tanggung-
tanggung.
Ledakan itu membuat Suto Sinting terpental mundur
tiga langkah dan jatuh berlutut satu kaki.  Ia  buru-buru
bangkit, sebab jari tangan Sawung Kuntet tertindih
lututnya, membuat orang yang masih terkapar itu
semakin merintih kesakitan.  
Sedangkan di seberang sana, Singawulu  tidak
bergeming karena gelombang ledakan tak mencapai
tempatnya. Namun begitu melihat kemunculan pemuda
berwajah tampan, Singawulu  segera kerutkan dahinya
dan menggeram penuh kejengkelan,  ia  merasa asing
dengan Pendekar Mabuk dan tak menduga kalau
Sawung  Kuntet akan ada yang melindungi. Maka,
Singawulu  pun segera maju beberapa langkah dengan
melompat satu kali bagaikan seekor kuda nil terbang ke
arah Suto Sinting. Wuuus...! Bluuuk...!  Kedua kakinya
menapak ke bumi dengan suara yang mirip nangka jatuh.
"Bangsat dari mana kau, hah?!"  bentak Singawulu
kepada Pendekar Mabuk. Tapi yang dibentak tetap
kalem dan tegar, tak merasa gentar sedikit pun.
"Maaf, aku hanya menyelamatkan nyawa sahabatku.
Dia sudah jelas kalah melawanmu. Kurasa tak perlu kau
hancurkan seperti pohon itu, Kawan!" ujar Suto Sinting
dengan nada suara yang bersahabat.
"Kalau perlu kau sendiri akan kuhancurkan dengan
'Sabuk Lidah Dewa'-ku ini!"
Singawulu  mengangkat sabuknya, ingin disabetkan,
tapi suara Suto Sinting segera terdengar menahan
gerakan sabuk itu.
"Tunggu, tunggu...!  Aku tidak bermaksud
melawanmu, Sobat!"
"Hmmm...!" Singawulu  menggeram dengan mata 
besarnya memancarkan pandangan yang menyeramkan.
Suto Sinting hanya menggumam dalam hati. 
"Gila! Matanya seperti telur bebek lho! Ganas juga
dia. Sabuknya saja bernama 'Sabuk Lidah Dewa'. Ya,
ampuuun... dewa mana yang lidahnya dipotong dan
dibuat sabuk orang ini?! Kasihan amat nasib si dewa
itu."
Suara geram Singawulu  tak terdengar lagi setelah
Suto berkata,
"Kuakui, sabukmu memang sakti dan dahsyat.
Mungkin aku tak mampu melawan kesaktian sabukmu.
Tapi alangkah sia-sianya sabuk sedahsyat itu hanya
dipakai untuk membunuh orang kerdil seperti si Sawung
Kuntet  ini?! Tanpa menggunakan sabuk itu kau sudah
bisa mengajarnya dan membuatnya tak berkutik,
mengapa harus menggunakan sabuk pusaka segala?
Simpan saja kekuatan sabuk itu untuk lawanmu yang
lebih tangguh, Singawulu!"
"Dia harus kubunuh supaya tak menjadi perintangku
di kotaraja nanti!"
"Tak perlu. Biar aku yang membunuhnya!"
"Hmmmm...!  Ada urusan apa kau sampai mau
membunuhnya? Bukankah kau bilang dia adalah
sahabatmu?"
"Artinya, kalau dia masih nekat mau ke kotaraja,
maka aku yang akan membunuhnya! Kusarankan,
sebaiknya berangkatlah ke kotaraja sekarang juga.
Hematlah tenagamu, karena siapa tahu kau diterima
sebagai  menantu raja dan harus lakukan bulan madu 
dengan putri raja itu?!"
Singawulu  membatin, "Benar juga kata-katanya. 
Untuk apa aku melayani si kutu monyet itu? Buang-
buang waktu dan tenaga saja!  Hmm... sebaiknya
kutinggalkan saja si kutu monyet itu, biar diurus oleh
sahabatnya yang kurasa ilmunya lebih tinggi dari ilmu si
kutu kuntet itu!"
Pendekar Mabuk merasa lega melihat Singawulu
mengenakan sabuknya di pinggang. Sebelum orang
angker itu pergi, terlebih dulu dia mengancam Pendekar
Mabuk dengan menuding tegas-tegas.
"Baik. Akan kuturuti saranmu. Tapi ingat, kalau
sampai dia masih muncul di kotaraja, maka kau sendiri
yang akan kubunuh!"
"Terserah kemampuanmu! Tapi sebaiknya sekarang
juga kuucapkan selamat jalan padamu semoga usahamu
berhasil!" kata Suto Sinting dengan suara lantang,
menunjukkan tak ada rasa takut sedikit pun terhadap
ancaman itu.
Singawulu  pergi dengan pamer gerakan cepatnya.
Satu kali lompat jauhnya sekitar delapan langkah.
Sedangkan gerakan lompatnya itu cukup cepat, sehingga
dalam waktu singkat  ia  sudah hilang dari pandangan
Suto Sinting.
Sawung Kuntet ternyata menjadi buta akibat benturan
wajah dengan pohon. Dalam arti, pandangan matanya
menjadi rusak dan tak bisa dipakai untuk melihat dengan
jelas. Di samping itu, sekujur tubuhnya bagaikan remuk
akibat tendangan bertenaga dalam Singawulu tadi. Ia tak 
mampu berdiri, namun masih mampu mengerang dan
merintih seperti perempuan mau melahirkan.
Pendekar Mabuk sempatkan diri menenggak tuaknya
beberapa teguk, kemudian  meminumkan tuak itu ke
mulut Sawung Kuntet. Hati si Juragan 'anu' itu merasa
lega, karena ia sempat melihat secara samar-samar
bayangan wajah Pendekar Mabuk. Dan  ia  tahu betul
bahwa Pendekar Mabuk mempunyai tuak sakti yang
mampu obati segala macam luka atau penyakit.
"Makanya...  lain kali jangan nakal!  Jangan berani
sama orang besar. Akibatnya ya begini ini...," ujar Suto   
seperti memberi peringatan kepada anak kecil.
Sawung Kuntet segera sembuh setelah meminum tuak
saktinya Pendekar Mabuk. Rasa sakitnya hilang dalam
waktu singkat. Luka-lukanya pun lenyap beberapa saat
kemudian. Pernapasannya yang semula tersendat-sendat
seperti tagihan hutang, sekarang menjadi longgar.
Badannya pun terasa segar, lebih segar dari saat sebelum
lakukan pertarungan.
"Terima kasih, anu-ku telah kau sembuhkan," katanya
kepada Suto.
"Aku menyembuhkan lukamu, bukan anu-mu!"
bantah Suto.
"Yang kumaksud memang lukaku telah kau
sembuhkan!" Sawung Kuntet bersungut-sungut. Suto
Sinting menggumam sambil tersenyum geli.
"Untung sinar itu kau tangkis dengan anu-mu, kalau
tidak...."
"Bumbung tuakku yang menangkisnya. Bukan anu-
ku yang menangkis!"
"Iya! Maksudku ya bumbung tuak itu!" bentak
Sawung Kuntet yang sebenarnya berasal dari perguruan
silat aliran putih, namun karena jiwanya yang kasar
maka sepintas ia seperti orang beraliran hitam.
"Kalau tidak kau tangkis dengan  anu-mu, sinar biru
itu akan membuatku berkeping-keping."
"Sudah kupertimbangkan sebelumnya! Tapi... siapa
sebenarnya Singawulu itu?"  
"Dia bekas wakil ketua anu-ku...  maksudku wakil
ketua perguruanku, yang telah pergi dan ber-anu lagi
dengan Nyai Santet Pitu."  
"Ber-anu itu apa?"  
"Berguru!" sentak Sawung Kuntet.
"Ooo.... Tapi baru sekarang kudengar nama Nyai
Santet Pitu. Siapa dia, Sawung Kuntet?!"
"Nyai Santet anu... adalah perempuan iblis dari
Tebing Teluh. Dia tokoh anu hitam...."
"Aliran hitam, maksudmu?"  
"Ya, dan dikenal pula sebagai dukun anu...."
"Dukun cabul, maksudmu?"  
"Dukun teluh!" tukas Sawung Kuntet. "Tapi  ia juga
tokoh persilatan yang pernah punya anu...."
"Punya anu bagaimana?" potong Suto lagi. 
"Punya perguruan! Hanya saja, perguruannya
dihancurkan oleh perguruan lain lima tahun yang lalu.
Nyai Santet Pitu ingin turunkan anu-nya kepada
seseorang...."  
"Ilmunya...?" 
"Ya. Dan rupanya Singawulu  tertarik,  sehingga  ia
keluar dari anu-ku, lalu...." 
"Keluar dari anu-mu?!" 
"Keluar dari perguruanku!" geram Sawung Kuntet
dengan jengkel. "Dia keluar dari perguruanku dan
menjadi murid Nyai Santet anu. Dialah satu-satunya
orang yang akan menerima warisan anu dari Nyai anu
Pitu itu."
"Oo... jadi Singawulu  adalah pewaris ilmu-ilmunya
Nyai Santet Pitu?! Lalu, mengapa sampai bentrok
denganmu?!"
"Kami ber-anu dalam perjalanan. Maksudku, bertemu
dalam perjalanan. Rupanya dia juga ingin ke kotaraja
untuk mengikuti sayembara raja anu. Dia tahu kalau aku
pun bermaksud mengikuti anu tersebut. Lalu, dia
menganggapku sebagai lawan yang harus di-anu-kan.
Maksudku, disisihkan. Dia tak setuju kalau aku anu ke
kotaraja. Barangkali karena dalam anunya yakin...."
"Dalam anunya itu apa?"
"Dalam batinnya...!" Sawung Kuntet selalu jengkel
jika kata-katanya dipotong atau ditanyakan."... dia yakin
kalau wajahnya lebih buruk dari anu-ku, sehingga..."
"Husy! Yang benar saja, masa' wajahnya lebih buruk
dari anu-mu?" Suto geli sendiri.
"Maksudku, dia yakin kalau wajahnya lebih buruk
dari wajahku, sehingga  ia  takut kalah saing denganku.
Maka ia bertekad menyingkirkan anu-ku!"  
"Menyingkirkan nyawamu, begitu?!"
"Apa  lagi  kalau bukan nyawaku yang akan 
disingkirkan?!" gerutu Sawung Kuntet sambil bersungut-
sungut. Suto Sinting tertawa pelan, merasa geli melihat
wajah kecil penuh kumis itu bersungut-sungut seperti
ikan tongkol dalam penggorengan.  
"Apakah kau juga anu ke sana, Suto?"
"Ah, untuk apa? Aku tidak tertarik ikuti sayembara
itu."  
"Tapi jago-jago dunia akan datang ke sana dan meng-
anu sayembara itu. Mereka pasti akan bertarung, anu
lawan anu!"
Suto tertawa geli. "Apa maksudmu bertarung anu
lawan anu?"
"Satu lawan satu!"
"Oooo..."    Suto Sinting habiskan tawanya. 
"Aku sendiri sudah siap untuk hadapi mereka dengan
anu-ku!"
"Dengan apamu?"
"Dengan ilmuku!" sentak Sawung Kuntet. "Sekarang
aku mau ke sana. Aku tak takut bertemu beradu anu
dengan Singawulu atau yang lainnya."
"Kau tak takut beradu apa?"
"Beradu ilmu!"
"Kusarankan,  sebaiknya jangan ke sana, Sawung
Kuntet! Kau akan celaka. Salah-salah kau akan
kehilangan nyawa dan tak bisa beli lagi!" ujar Suto
menasihati dengan gaya konyolnya.
Tapi rupanya Sawung Kuntet tak mau peduli dengan
nasihat Suto Sinting itu.
"Bagaimana kalau aku nekat ke sana?!" 
"Aku akan mencegahmu dengan cara apa pun!" jawab
Suto yang membuat Sawung Kuntet diam berpikir.
Hati si juragan 'anu' itu berkata, "Kalau dia yang
mencegahku, pasti aku benar-benar tak akan bisa ke
sana. Hmmm... sebaiknya kupakai anu-ku untuk kelabui
dia."
Niat untuk menggunakan anu alias akal, membuat
Sawung Kuntet akhirnya berlagak pasrah dan menurut.
"Baiklah, kuikuti anu-mu tadi. Saranmu, maksudku!
Tapi aku ingin melihat pertarungan di sana. Apakah kau
tetap  ingin meng-anu-ku jika aku hanya ingin melihat
pertarungan?!"
"Kalau kau hanya ingin melihat pertarungan,
sebaiknya pergi saja denganku. Aku juga ingin melihat
pertarungan tersebut."
Tak ada pilihan lain bagi Sawung Kuntet, akhirnya ia
setuju untuk pergi bersama Suto ke kotaraja. 
*
* *

 2
 LERENG bukit tanpa nama mempunyai hutan
berpohon jarang. Bahkan berkesan tandus. Banyak batu
bertengger di lereng bukit yang tak seberapa tinggi itu.
"Dengan melewati bukit ini, kita akan lebih cepat anu
di perbatasan negeri Bardanesya," ujar Sawung Kuntet 
sambil melangkah di samping kanan Pendekar Mabuk.
"Apakah Singawulu juga lewat jalan sini?"
"Kurasa anu," sambil Sawung Kuntet menggeleng.
"Dia tidak tahu jalan tembus lewat sini. Pasti dia lewat
pinggir tepian sungai, karena memang jalan yang anu
lewat pinggiran sungai."
"Rupanya kau sudah sering ke negeri Bardanesya."
"Dulu anu-ku di sana."
"Hahh...?! Anu-mu di sana?"
"Kekasihku!" sergah Sawung Kuntet. "Dulu hampir
setiap tujuh hari sekali aku ber-anu dengan kekasihku."
"Maksudmu bercumbu?"
"Bertemu!"
"O, bertemu...," sambil Suto tersenyum kecil.
"Sayang sekali hubungan kami putus di tengah anu,
sehingga...."
"Putus di tengah anu itu bagaimana?"
"Putus di tengah jalan," jelas Sawung Kuntet. "...
sehingga aku sudah tak pernah datang lagi ke negeri
Bardanesya."
"Sekarang kau sudah punya anak berapa, Sawung
Kuntet?"
Lelaki pendek itu gelengkan kepala. "Aku belum
sempat punya anu." 
"Jadi kau belum punya anak?"
"Belum sempat punya istri!" tegas Sawung Kuntet. 
"O, masih perjaka?"
"Ya, perjaka. Tapi anu-ku sudah tidak perjaka lagi."
Suto Sinting tertawa pelan. "Maksudku, adikku sudah 
tidak perjaga lagi. Sudah menikah lebih dulu."
"Oo... kukira yang sudah tidak perjaka adalah anu-
mu."
"Anu-mu, bagaimana?"
"Hmmm, yaaah... itu, anu... kakakmu," jawab Suto
mengalihkan dugaan ngeres.
"Mengapa kau tidak segera menikah saja?" sambung
Suto.
"Aku masih malas jatuh cinta," jawabnya dengan
kalem, seakan pria yang dingin  terhadap wanita. Tapi
sebenarnya hati Sawung Kuntet sering menangis sendiri,
karena enam belas kali jatuh cinta, tujuh belas kali
ditolak.
"Menurutku," kata Suto. Namun baru saja berkata
satu patah kata, tangan Sawung Kuntet mencekal
lengannya dan hentikan langkah mendadak. Wajah
berkumis lebat itu mulai tampak tegang. Ketegangan itu
mengundang rasa ingin tahu Pendekar Mabuk.
"Ada apa?"
"Sssst...!" Sawung Kuntet memberi isyarat dengan
telunjuknya agar Suto tidak bersuara dulu.  Ia
menelengkan kepala, melacak sebuah suara yang samar-
samar didengarnya.  
Lalu ia berbisik pelan, "Tidakkah kau mendengar
suara anu menangis?"
"Anu menangis? Anu menangis itu seperti apa?"
tanya Suto Sinting dalam bisikan pula.
"Maksudku, suara perempuan menangis!"
"O, perempuan menangis?!" Suto Sinting ikut  
mempertajam pendengarannya. Dalam kebisuan mereka,
Suto akhirnya mendengar suara rintihan perempuan
secara samar-samar sekali.
"Ya, ya... aku mendengarnya. Tapi dari sebelah mana
suara itu datangnya?"
"Sepertinya dari... dari tempat yang lebih anu lagi.
Maksudku, lebih atas lagi."
Mereka berdua segera mendaki lebih ke atas.
Akhirnya mereka mendengar suara rintihan perempuan
tersebut lebih jelas lagi. Mereka pun segera dekati suara
tersebut.
"Ooh...?!"
Ternyata mereka temukan seorang gadis yang
terkapar dalam keadaan sekarat. Gadis itu berusia sekitar
dua puluh dua tahun, raut wajahnya mungil dan cantik,
ia  mengenakan pakaian serba kuning. Tapi keadaan
pakaiannya morat-marit seperti habis diperkosa.
Wajah si gadis pucat pasi seperti mayat. Di bawah
lehernya, mendekati belahan dada, terdapat dua lubang
masing-masing sebesar kemiri. Lubang itu melelehkan
darah berwarna merah kehitaman. Luka yang
membentuk dua lubang itulah yang membuat si gadis tak
berdaya dan sebentar lagi akan kehilangan nyawanya.
"Kasihan sekali gadis itu. Anu-nya berlubang!" ujar
Sawung Kuntet setelah terperanjat dan memeriksa lebih
dekat lagi.
Suto Sinting buru-buru membuka tutup bumbung
tuaknya, ia mengangkat kepala si gadis dengan tangan
kiri, kemudian tangan kanannya yang menyangga 
bumbung tuak itu menuangkan tuak ke dalam mulut si
gadis dengan pelan-pelan. Beberapa teguk tuak
terminum oleh si gadis, sampai gadis itu tersedak dan
terbatuk-batuk. Suto Sinting meletakkan kembali kepala
gadis  itu karena merasa lega, sudah ada tuak yang
tertelan oleh si gadis.
"Kau kenal  dengan gadis ini?" tanya Suto Sinting
setelah ia sendiri meneguk tuak sebagai pembasah
kerongkongannya. Sawung Kuntet hanya menggeleng,
matanya masih tetap tertuju pada dua lubang di sekitar
dada si gadis.
Dua lubang itu mengepulkan asap setelah si gadis
menelan tuak Suto. Makin lama asap itu semakin tebal,
tapi hanya menggumpal di dua lubang yang saling susun
seperti dua kancing baju itu.
Makin lama asap yang menggumpal di dua lubang itu
semakin menipis. Beberapa saat kemudian asap tersebut
hilang, dan kedua lubang itu pun ikut hilang.
Keadaannya menjadi bersih tanpa darah, karena darah
yang sudah telanjur keluar dan membekas di sekitar
lubang tadi ikut menguap setelah si gadis minum tuak
saktinya Pendekar Mabuk.
Gadis itu mulai bernapas dengan normal.  Ia  justru
terkejut ketika menyadari di sampingnya ada lelaki
pendek berkumis mirip kelelawar iseng itu. Ia buru-buru
bangkit dalam satu sentakan menegangkan.
"Hahh...?!"
Begitu melihat pemuda tampan di sisi lain, ia berlari
dekati pemuda tampan itu.  Ia  tak tahu bahwa pemuda 
tampan itu adalah Pendekar Mabuk yang namanya
sering didengar dari mulut teman-temannya seusianya.
"Tenang, tenang... dia sudah jinak kok! Jangan takut,
dia sahabatku!"
"Ak... aku takut dicakar," ujar si gadis dengan nada
manja.
"Kau pikir aku anak macan?!" geram Sawung Kuntet,
lalu bersungut-sungut. Suto Sinting hanya tertawa geli,
namun sengaja buang muka agar tak menyinggung si
juragan 'anu' itu.
Si gadis sempat terbengong tanpa sadar ketika Suto
Sinting sunggingkan senyum kepadanya.
"Siapa kau sebenarnya, Nona? Mengapa sampai
terkapar di sini?"
Saat itulah si gadis terbengong kagum melihat
senyuman yang menurutnya sangat menawan hati itu.
Namun kebengongan itu segera buyar setelah  Sawung
Kuntet pindah tempat ke samping kanan Suto Sinting. Si
gadis sempat mundur selangkah melihat Sawung Kuntet
mendekat. Wajahnya berubah dari kagum menjadi
tegang.
Sawung Kuntet berkata, "Sepertinya aku pernah
melihat anu-mu! Tapi di mana, ya?"
"Husy!  Yang benar saja. Masa' kau pernah melihat
anu-nya?"
"Maksudku, pernah melihat wajahnya!" tegas
Sawung Kuntet.
Pendekar Mabuk segera pandangi gadis itu.
"Apakah kau pernah bertemu dengan sahabatku yang 
bernama Sawung Kuntet ini?!"
Gadis itu gelengkan kepala. "Tapi... tapi guruku
pernah menyebutkan nama Sawung Kuntet kepada
kakakku."
"Siapa gurumu?" tanya Suto. 
"Eyang Cakraduya," jawabnya dengan jelas. 
"Ooo.... Eyang Cakraduya?!" Sawung Kuntet
manggut-manggut. "Aku anu baik dengan beliau. Kalau
begitu, kau  adalah murid beliau yang bernama Candu
Asmara itu?!"
"Bukan. Candu Asmara kakakku, sedangkan aku
bernama Mirah Cendani."
"Nama yang cantik sekali," gumam Suto memuji
dengan suara lirih.
Si  gadis tersipu dan alihkan pandangan. Kebetulan
pedangnya yang terpental saat pertarungan tadi belum
diambil, maka pedang itu pun diambil dan dimasukkan
ke sarungnya yang ada di pinggang.
Gadis berambut kepang satu sepanjang punggung itu,
kembali memandang Sawung Kuntet setelah orang
Lembah Layon itu ajukan tanya kepadanya.
"Apakah kau yang ikut ke Lembah Layon ketika anu-
ku sakit?"
"Husy...! Yang lengkap kalau bicara! Anu-mu apa
maksudnya?" tegur Suto.
"Guruku! Sebab ketika guruku sakit, Eyang
Cakraduya datang menjenguk bersama anu-nya...
maksudku, muridnya. Dan kalau tak  salah gadis inilah
yang kulihat bersama Eyang Cakraduya." 
"Ya, memang aku yang ikut Eyang kala ke Lembah
Layon," jawab Mirah Cendani.
Sawung Kuntet menarik tangan Suto hingga jauhi
Mirah Cendani.  Ia  menyuruh Suto Sinting merendah,
karena ia ingin bisikkan  sesuatu. Suto pun menuruti
kemauan si juragan 'anu' itu.
"Setahuku, Eyang Cakraduya adalah tokoh ber-anu
tinggi. Maksudku, berilmu tinggi. Kudengar, kedua
muridnya juga mewarisi ilmu tingginya. Tetapi,
mengapa Mirah Cendani bisa terluka dan nyaris mati?
Pasti dia di-anu oleh seseorang yang anu-nya lebih besar
lagi."
"Maksudmu di-anu bagaimana?"
"Dilawan oleh orang yang kekuatannya lebih besar
atau ilmunya lebih tinggi. Dalam keadaan luka bolong
pada anu-nya dan masih bisa bertahan hidup, itu sudah
menunjukkan bahwa dia ber-anu tinggi."
"Hmmm... ya. Lantas apa maksudmu?"
"Tanyakanlah, siapa lawannya. Aku ingin bertanya,
tapi takut ia sepelekan anu-ku. Maksudnya... sepelekan
pertanyaanku."
Suto Sinting manggut-manggut dan tegak kembali.
Mereka segera temui Mirah Cendani yang cemberut
manja karena merasa tersinggung melihat mereka
berkasak-kusuk berduaan.
"Mirah Cendani," ujar Suto dengan lembut. "Kami
merasa kagum melihat lukamu yang menurut kami
sangat berbahaya itu tapi kau masih bisa bertahan hidup
sampai kami tiba. Tolong jelaskan kepada kami, 
mengapa kau sampai terluka separah tadi?" tanya Suto.
Sawung Kuntet menimpali, "Tadi kau disembuhkan
oleh Suto Sinting menggunakan anu-nya. Eh,
maksudku... tuaknya."
"O, terima kasih sekali kalau begitu," ujar si gadis
seraya menatap Suto Sinting. "Kalau saja kalian tak
datang dan menemukan diriku, mungkin aku sudah tak
bernyawa lagi saat ini."
"Tadi kulihat dadamu berlubang," kata Suto.
"Ya. Aku terkena senjata 'Garpu Malaikat'-nya si
Tengkorak Tampan."
"Hahh...?!  Tengkorak Tampan?!" Sawung Kuntet
terperanjat.
"Kau kenal siapa si Tengkorak Tampan itu, Sawung
Kuntet?" tanya Suto.
"Dia orang Pulau Wingit, muridnya si Jahanam Tua,
tokoh sakti yang sukar ditumbangkan!"
"Memang benar. Tengkorak Tampan adalah murid si
Jahanam Tua, tokoh aliran sesat! Tapi si Tengkorak
Tampan pernah lari ketika melawan kakakku! Ilmunya
masih di bawah ilmu kakakku. Kalau saja dia tadi tidak
bertindak curang, aku tak mungkin terkena senjatanya!"
"Apa yang membuat kau bentrok dengan Tengkorak
Tampan?!" tanya Suto.
"Sebenarnya persoalan itu adalah persoalan guruku
dengan gurunya. Tapi kami sebagai murid menjadi ikut-
ikutan bermusuhan dengan sesama murid. Ketika aku
dan Candu Asmara pulang dari rumah paman kami, tiba-
tiba kami berpapasan dengan si Tengkorak Tampan. 
Kakakku terkena totokannya, dan tak berdaya. Lalu, aku
menghadapi si Tengkorak Tampan sendirian," tutur si
gadis dengan mata mengecil memancarkan dendam.
Lanjutnya lagi, "Setelah ia terdesak oleh seranganku
beberapa kali, akhirnya ia mengangkat kedua tangannya
dan mengaku kalah. Aku tak jadi lanjutkan seranganku.
Namun tiba-tiba ia mencabut senjatanya dan
menyerangku saat aku ingin melepaskan totokan pada
diri kakakku. Aku tak menduga kalau dia ternyata
menyimpan senjata 'Garpu Malaikat' di balik bajunya.
Padahal 'Garpu Malaikat' adalah senjata berbahaya milik
gurunya tak sebanding jika dipakai melawan senjata
lainnya. Maka, ketika aku berbalik ingin menangkis
'Garpu Malaikat'-nya dengan pedangku, senjata itu lebih
dulu melukaiku."
Gadis itu berhenti sejenak, menarik napas dan
menelannya sebagai penahan kobaran api dendamnya.
Setelah itu  ia  pun berkata lagi dengan suara merdunya
yang enak didengar.
"Aku terpental dan menabrak kakakku. Ujung gagang
pedangku menghantam leher kakakku, tapi justru
membuatnya terlepas dari totokan tersebut."
"Sekarang di mana anu-mu?" tanya Sawung Kuntet.
"Maksudmu... kakakku?"
"Ya. Kakakmu! Di mana dia?"
"Mengejar si Tengkorak Tampan yang lari ke arah
kotaraja.  Karena kubilang lukaku tak seberapa parah,
bisa kuatasi, maka ia pun pergi. Tapi ternyata aku tak
bisa atasi lukaku." 
"Kau yakin bahwa dia lari ke kotaraja?"
"Dia sendiri yang mengatakan akan
mempersembahkan kepalaku dan kepala kakakku
sebagai bukti keperkasaannya dalam melamar putri Raja
Gundalana itu!"
"Hmmmmm...," Sawung Kuntet manggut-manggut.
"Kalau begitu Tengkorak Tampan nanti akan ber-anu
dengan Singawulu!"
"Apakah kau akan menyusul kakakmu, Mirah
Cendani?"
"Tidak. Aku yakin kakakku mampu mengatasi  si
Tengkorak Tampan. Aku akan mengadukan hal  ini
kepada guru."
"Jadi kau mau anu ke Bukit Sutera?!" tanya Sawung
Kuntet,
"Ya. Guru harus segera mengetahui kekurangajaran
murid si Jahanam Tua itu! Karena ia hampir saja
memperkosaku sebelum aku buru-buru mencabut
pedang dan nyaris memenggal kepalanya."
Sawung Kuntet menggumam, dan gumam itu
didengar oleh Suto Sinting.
"Setahuku, senjata 'Garpu Malaikat' adalah senjata
yang sangat berbahaya, dapat dipakai membunuh dua-
tiga lawan dalam sekali pakai!"
Suto Sinting memandang Sawung Kuntet dan
berkata, "Temanilah dia pulang dan menghadap gurunya.
Aku akan menyusul kakaknya Mirah Cendani. Jangan
sampai ia menjadi korban senjata 'Garpu Malaikat' itu."
"Baik, aku setuju!" Sawung Kuntet pun berbisik, 
"Siapa tahu gadis ini tertarik dengan anu-ku dan...."
"Tertarik dengan apamu?" bisik Suto. 
"Wajahku!" geram Sawung Kuntet dengan rasa takut
didengar Mirah Cendani.
Suto tersenyum, Sawung Kuntet lanjutkan kata-
katanya dengan pelan, hanya Suto Sinting yang
mendengarnya.
"Terus terang saja... anu-ku dulu seperti dia.
Maksudku... yang seperti dia kekasihku! Cantik, mungil,
tapi anu-nya besar."
"Apanya yang besar?"
"Keberaniannya."
Melihat mereka berkasak-kusuk lagi, Mirah Cendani
segera berkata dengan nada sedikit ketus.
"Kurasa aku tak perlu pengawal! Aku masih sanggup
tiba di Bukit Sutera dengan selamat tanpa harus dikawal.
Nanti justru aku repot melindungi pengawalku sendiri!"
"Kebetulan aku ada perlu dengan anu-mu. Eh,
maksudku... dengan gurumu," kata Sawung Kuntet yang
sejak tadi diam-diam menikmati sebentuk kecantikan
mungil yang mirip wajah mantan kekasihnya itu.
"Kalau kau ingin bertemu dengan guruku, pergilah
sendiri ke Bukit Sutera, tak perlu bersamaku!"
"Aku... aku lupa jalan menuju ke anu-mu. Hmmm...!
maksudku, lupa jalan menuju ke rumahmu, Mirah
Cendani!"
"Kalau begitu kau bisa mengikuti dari belakang. Tak
perlu berjalan seiring denganku!" ujar si gadis. 
Sebelum Sawung Kuntet bicara lagi, Mirah Cendani
sudah melesat pergi tinggalkan tempat.
"Lho... sudah anu duluan, ehh... sudah kabur lebih
dulu?!"
"Cepat susul dia!"
Sawung Kuntet tak banyak bicara lagi kepada Suto.
Ia  takut kehilangan jejak Mirah Cendani. Maka ia pun
segera mengikuti gadis itu dengan kecepatan gerak
masih lebih tinggi dari gerakan si gadis.
Suto Sinting menuju ke barat, menyusul kakak Mirah
Cendani dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
mampu mempersingkat waktu. Hati si murid Gila Tuak
sempat menggerutu sendiri dalam perjalanannya.
"Sial! Mengapa aku sampai lupa menanyakan ciri-ciri
kakaknya Mirah Cendani itu?! Kalau begini, mana bisa
kutemukan gadis itu kecuali dalam keadaan sedang
bertarung melawan Tengkorak Tampan. Yang namanya
Tengkorak Tampan saja aku tak tahu ciri-cirinya. Uuh...!
Bodoh amat aku ini?!"
Pendekar Mabuk hanya bisa menahan kedongkolan
dalam hatinya. Namun langkahnya tetap meluncur ke
arah negeri Bardanesya yang baru kali  itu akan
disinggahinya. 
*
* *

 3  
PERBATASAN negeri itu dikelilingi oleh parit besar
yang sengaja digali sebagai perintang masuk  ke wilayah
tersebut. Namun ada jalanan lebar yang rata menuju ke
gapura besar yang menjadi pintu gerbang negeri
tersebut. Untuk mencapai pintu gerbang perbatasan yang
letaknya sekitar lima puluh tombak dari parit pembatas,
dibangunlah sebuah jembatan beton selebar delapan
tombak.
Di jembatan itu ada enam penjaga bersenjata tombak
dengan ujung tombak macam-macam. Ada yang
ujungnya berupa pedang besar, ada yang berupa trisula,
ada yang ujungnya berupa kapak dua mata, ada pula
yang ujungnya seperti centong nasi, namun tepiannya
sangat tajam, setajam mata pedang. Enam penjaga itu
berseragam hijau-hijau dengan potongan pakaian sama;
baju berlengan panjang dan celana longgar. Ikat
kepalanya berbeda-beda. Ada yang pakai ikat kepala,
ada yang tidak. Wajah mereka pun berbeda; ada yang
tampan, ada yang sedang-sedang saja, ada pula yang
jelek dengan gigi maju ke depan dan  mekar bak kipas
pengantin.
Orang yang bergigi mekar bak kipas pengantin itulah
yang hentikan langkah Suto Sinting dan menegur dengan
galak.
"Mau ke mana kau, Bocah bau kencur?!"
"Mau... mau jualan kencur, Kang," jawab Suto
Sinting sambil nyengir geli. 
"Bicara yang benar!" bentak si gigi mekar.
"Kau sendiri juga bertanya tak benar," ujar Suto
Sinting dengan kalem. "Sudah jelas aku mau melewati
jembatan ini, tentu saja aku mau menuju ke kotaraja. Itu
tak perlu ditanyakan. Yang perlu ditanyakan adalah
siapa namaku dan apa keperluanku? Begitu, Kang!"
''Eh, berani-beraninya kau mengguruiku, hah?!" orang
itu bukan saja giginya yang keluar, tapi sekarang
matanya pun seperti keluar karena melotot lebar-lebar.
Temannya yang berikat kepala merah itu menyahut,
"Hajar saja kalau dia macam-macam!"
Mereka berenam segera berdiri membentuk pagar
betis memenuhi jembatan. Mereka berbaris dengan
senjata mengarah ke depan, siap menghujam Pendekar
Mabuk. Rupanya mereka sengaja membuat pagar betis
agar Suto tak bisa menerobos dan melewati jembatan itu.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum, ia dapat menduga
keenam orang itu berilmu rendah, karena salah satu dari
mereka ada yang menempatkan kedua kaki berkuda-
kuda lemah. Untuk meyakinkan dugaannya, Pendekar
Mabuk segera menggunakan jurus 'Sentak Bidadari',
pemberian dari bibi gurunya: si Bidadari Jalang. Jurus
itu hanya berlaku bagi orang yang berilmu rendah. Jika
orang itu berilmu tinggi, maka  jurus 'Sentak Bidadari'
tak akan berguna sedikit pun.
Si gigi mekar menggertak lebih dulu, "Pulang dan
jangan kembali ke sini lagi!"
Suto membentak keras, "Minggir...!!"
Wajah-wajah yang dipaksakan angker itu mulai 
tampak surut. Jantung mereka berdetak-detak. Bahkan
tadi ketika suara Suto terlontar, ada yang melonjak
karena kagetnya. Ada pula yang membatin, "Aduh,
jantungku pasti copot ini!"
Jurus 'Sentak Bidadari' telah menggetarkan jiwa
mereka, membuat mereka menjadi takut dan berwajah
pucat. Satu demi satu tundukkan kepala secara tak
langsung. Mereka merasa takut, bahkan ngeri melihat
pemuda tampan yang usianya masih di bawah mereka
semua itu.
"Beri aku jalan!" kata Pendekar Mabuk dengan tegas,
tapi suaranya tak menyentak sekeras tadi.
Mereka segera menyisih dengan langkah sopan dan
penuh hormat. Mereka melangkah ke pinggiran jembatan
dengan membungkuk-bungkuk seperti ingin memberi
jalan untuk rajanya.
"Silakan lewat, Nakmas!" ujar si gigi tonggos dengan
suara pelan dan senyum canggung.
"Hmm, terima kasih!" ucap Suto Sinting, lalu
melangkah tegak, gagah, dan mantap. Tapi dalam
hatinya ia tertawa sendiri melihat wajah-wajah penuh
ketakutan itu.
"Penjagaannya memang cukup kuat. Di sana ada
gerbang perbatasan dan tampaknya dijaga oleh beberapa
orang. Kurasa nanti aku akan menghadapi kesulitan juga
dari mereka," ujar Suto Sinting dalam  hatinya,  ia
sempatkan diri menenggak tuaknya setelah melewati
jembatan tersebut. Keenam penjaga tadi tak satu pun ada
yang berani memandang Suto secara terang-terangan. 
Mereka hanya saling melirik dengan jantung masih
berdebar-debar.
"Kotaraja masih jauh, tapi penjagaannya sudah
seketat  ini?!" ujar Suto membatin. "Ada berapa lapis
penjagaan yang harus kulewati nanti? Apakah si
Tengkorak Tampan dan Candu Asmara juga melewati
penjagaan yang berlapis-lapis ini?!"
Langkah Pendekar Mabuk diperlambat, karena
matanya sibuk menghitung jumlah penjaga yang ada di
sekitar gerbang perbatasan. Gerbang itu dibangun
dengan tembok kokoh berwarna putih, mempunyai dua
pilar di kanan kirinya. Tinggi gerbang itu sekitar lima
tombak, dan bagian atasnya ada dua orang penjaga
berpakaian serba hitam bersenjata panah. Sedangkan
enam orang berpakaian hitam lainnya ada di bawah
dengan senjata tak seragam.
Wajah-wajah kedelapan orang penjaga gerbang
perbatasan  itu lebih seram ketimbang enam orang di
jembatan tadi. Mereka rata-rata berkumis lebat dan
berusia sekitar empat puluh tahun. Badan mereka pun
tampak lebih kekar ketimbang para penjaga yang ada di
jembatan.
Salah seorang dari mereka yang menenteng golok
lebar tanpa sarung sengaja berdiri menghadang langkah
Suto di pertengahan jalan. Golok lebarnya diberdirikan,
bersandar dada kanan. Tangan kirinya melintir kumis
bagaikan sedang melintir sumbu kompor.
"Hei, siapa kau dan apa perlumu datang kemari?!"
tegurnya dengan tak ramah, tapi Suto Sinting 
menanggapi dengan senyum ramah dan kalem.
"Namaku adalah Suto Sinting, Paman. Aku ingin ke
kotaraja."
"Hmmm...!" orang itu manggut-manggut angkuh
sambil tetap melintir kumis lebatnya.  Kemudian dia
berseru memanggil temannya yang agaknya
berkedudukan lebih rendah darinya.
"Gintung, Polo...! Hajar dia!"
Dua orang bersenjata sabit kembar dan trisula kembar
segera hampiri Pendekar Mabuk yang tercengang.
Gintung bersenjata sabit kembar, dan Polo bersenjata
trisula kembar.
"Tunggu dulu!" kata Suto mencoba menahan langkah
kedua orang itu. "Mengapa aku akan dihajar? Apakah
aku melakukan kesalahan?!"
Tetapi pertanyaan itu tak ada yang menjawabnya.
Justru dari arah kanan kiri Suto Sinting segera datang
serangan dari Gintung dan Polo.   
Sabit kembar itu disabetkan secara beruntun ke tubuh
Suto Sinting. Namun dengan gerakan menggeloyor
seperti orang mabuk mau jatuh tebasan sabit kembar itu
selalu  meleset dari sasaran. Tak satu pun sabetan sabit
yang menggores pakaian Pendekar Mabuk.
Sebuah tendangan cepat dikirimkan oleh  Suto.
Wuuut...!  Tendangan itu sukar dilihat, sehingga tahu-
tahu  Gintung terpental sejauh delapan langkah.
Wuuuss..! Brrruk...!
"Aaoow..!" pekiknya kesakitan.
Polo segera menyerang dengan trisula kembarnya. 
Pendekar Mabuk sempoyongan, sepertinya mau jatuh ke
kiri, tak tahunya justru berada di kanan, ia menggeloyor
terbungkuk-bungkuk dengan pegangi bumbung tuaknya
sebagai penahan tubuh agar tak jatuh ke tanah. Gerakan
yang membingungkan itu membuat Polo sukar
mengarahkan tusukan trisulanya ke tubuh Suto Sinting.
Wut, wut, wut, wut...!
Tiba-tiba Suto berguling di tanah dan kakinya
menyentak ke atas. Wuuut...! Sentakan itu tepat kenai
dagu Polo dengan telak, sampai wajah orang itu
terdongak dan tubuhnya terlonjak ke atas. Kruuk...!
"Ouffh...!" Polo mengerang kesakitan, giginya rontok
dua, gusinya berdarah,  ia  sempoyongan dan tak bisa
tegak lagi.
Zlaap, zlaap...! Suto Sinting bergerak dengan
kecepatan menyamai cahaya. Mereka kebingungan, sulit
mengikuti gerakan Suto dengan pandangan mata. Tahu-
tahu Pendekar Mabuk sudah melintasi gerbang
perbatasan, berdiri di bagian dalam, dipunggungi
mereka,  ia  tersenyum di sana sambil membuka tutup
bumbung tuaknya dan menenggak tuak dengan tenang.
"Hei, itu dia anaknya!" seru salah seorang yang ada di
atas pintu gerbang. Mereka berpaling ke belakang dan
terperanjat melihat anak muda itu sudah injakkan
kakinya di tanah wilayah negeri itu.
"Kampret busuk! Keluar kau!" bentak si kumis
melintang dengan melepaskan pelintiran kumisnya.
Empat orang penjaga menyergap Suto membentuk
kepungan dari empat arah: depan, belakang, kanan, kiri, 
dan dua orang yang ada di atas gapura besar itu
merentangkan tali busurnya, siap lepaskan anak panah
ke arah Pendekar Mabuk.
Tapi si murid sinting Gila Tuak itu masih tetap
tenang. Senyumnya berkesan cengar-cengir meremehkan
lawan. Pandangan matanya tertuju ke mata si kumis
melintang yang rupanya sebagai ketua dari kelompok
delapan orang itu.
"Setiap orang yang ingin menghadap Paduka Raja
untuk ikut mendaftarkan diri sebagai calon menantu raja
harus diuji dulu kemampuannya! Kami tidak ingin Gusti
Rara Ayu Kumala Udarini Sumbi mempunyai seorang
suami yang tidak mampu melindungi keselamatan
keluarga istana!"
"Aku tidak bermaksud...."
"Serang!" teriak si kumis melintang memotong kata-
kata Pendekar Mabuk.
Dua anak panah melesat lebih dulu dari atas gapura
besar itu dan menancap di bawah pundak kanan-kiri
Suto Sinting. Jeeb, jeeb...! Disusul dengan lemparan dua
buah pisau dari arah belakang yang menancap di bagian
paha. Jrrub, jruub...! 
"Aaakh...! Aooow...!"
Suara teriakan itu bukan berasal dari Pendekar
Mabuk. Pemuda tampan itu tetap berdiri di tempat tak
bergerak sedikit pun. Tapi si kumis melintang justru
menjerit dua kali dan akhirnya tumbang sendiri.
Brrruk...!
"Aaaaaaoow...! Aaaaahh...!" si kumis melintang 
meraung-raung kesakitan.
Dua orang yang akan menyerang Suto dari kanan kiri
terpaksa hentikan langkah. Mereka terperanjat sekali
melihat ketuanya jatuh dan meraung-raung. Setelah
diperiksa, ternyata si kumis.
"Edan!  Kenapa kau, Sagolo?! Siapa yang
melukaimu?!" seru salah seorang dengan wajah tegang.
Suto Sinting mencabut dua panah yang menancap di
bawah pundak kanan-kiri. Srub, sruub...!
Saat  itu tubuh Sagolo menyentak dua kali sambil
memekik, "Aah, aahkk...!"
Salah seorang dari dua pemanah itu mendelik bagai
patung ketika melihat Suto Sinting mencabut anak panah
dengan santainya, tapi Sagolo yang merasa kesakitan.
Bahkan kini ia melihat Pendekar Mabuk mencabut pisau
di kedua pahanya dengan tenang. Sreeb, sreeb...! Dan
saat itu pula Sagolo menyentak, dua kali lagi dengan
pekik kesakitan yang diteruskan raungan memanjang.
"Hahk, haahk...! Aaaauuh...!"
"Gila!" gumam orang di atas yang terbengong. "Dia
yang kena panah, dia yang cabut panah, eeh.... Sagolo
yang kesakitan dan terluka begitu?!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis.
Tubuhnya tak merasa sakit sedikit pun. Ketika anak
panah dan pisau dicabut dari badannya, ternyata badan
itu tidak terluka. Tetapi Sagolo tetap terluka hingga
darahnya bercucuran ke mana-mana.  Ia  digotong ke
tempat bayangan tembok gerbang yang teduh.
"Monyet, babi, kambing, tokek sinting!" makinya 
sambil berteriak. "Jangan keras-keras mengangkatku!
Sakit semua, Setan!!"
Mereka tak tahu bahwa saat Suto beradu pandang
dengan Sagolo, saat itulah jurus "Alih Raga' dilancarkan.
Jurus itu dapat memindahkan rasa sakit dan luka yang
seharusnya diderita Suto tapi bisa diderita orang lain.
Dalam kesempatan itu, jurus 'Alih Raga' ditujukan
kepada Sagolo melalui pandangan mata Suto tadi,
sehingga yang terluka dan merasakan sakit adalah
Sagolo sendiri walau yang diserang tubuh Suto Sinting.
Tiba-tiba dari arah timur melesat sekelebat bayangan.
Wuuuuss...! Bayangan itu berasal dari salah satu pohon
yang melintasi atas kepala para penolong Sagolo.
Jleeg...! Sesosok tubuh muncul berdiri tak jauh dari
para penolong Sagolo. Mereka terperanjat saat  orang
tersebut perdengarkan suaranya.
"Bukan kalian yang patut menguji ilmu pemuda itu!
Kalian akan mati sia-sia jika masih nekat ingin
menahannya!"
Mereka segera berkasak-kusuk, kejap kemudian
undurkan diri dan merasa takut berhadapan 'tamu' yang
baru datang itu. Suto Sinting berkerut dahi karena
merasa heran melihat sikap mereka yang takut kepada
'tamu' tersebut.
"Siapa dia? Mengapa mereka takut?!" pikir Suto
Sinting sambil pandangi seorang gadis berusia sekitar
dua puluh empat tahun yang mengenakan celana dan
baju buntung warna ungu bintik-bintik putih. Gadis itu
berparas cantik dengan potongan rambutnya yang 
pendek. Cepak, seperti potongan lelaki,  ia  bertubuh
tinggi, sekal, dadanya montok, kulitnya kuning langsat.
Sebilah pedang ada di pinggang yang dililit sabuk kain
merah, sama dengan ikat pinggang Suto Sinting.
Gadis berwajah berhidung mancung dan berbibir
sensual dengan mata bening indah itu sengaja hampiri
Suto Sinting dengan langkah tegas. Tak ada kesan yang
manja dan cengeng pada penampilannya. Suto Sinting
memandangi penuh rasa kagum dan hati mulai berdesir-
desir.
Ketika gadis itu berhenti di depan Pendekar Mabuk
dalam jarak tiga langkah, aroma wangi melati tercium
oleh hidung Suto yang bangir. Aroma wangi melati itu
membuat hati Suto Sinting semakin berdebar-debar
indah.
"Kurasa kau tak perlu membenci mereka. Tugas
mereka memang menguji setiap tamu yang ingin
mendaftarkan diri sebagai calon menantu Raja
Gundalana!"
"Aku tidak membenci dan mendendam kepada
mereka," ujar Pendekar Mabuk dengan senyum
keramahan menghiasi wajah tampannya.
Sambungnya lagi, "Hanya yang kusayangkan, mereka
bukan orang-orang berilmu tinggi yang patut menjadi
kelompok penguji ilmu lawan. Salah-salah mereka bisa
mati sebagai penguji yang naas!"
"Untuk ukuran di sini, ilmu mereka sudah cukup
lumayan."
"Mungkin saja begitu. Tapi kurasa mereka tak harus 
lakukan pengujian dengan menggunakan pertarungan.
Sebaiknya dengan cara lain yang dapat dipakai  untuk
mengukur ketinggian ilmu para tamu! Misalnya dengan
cara memecah batu atau yang lainnya."
"Itulah kecerobohan atasan mereka," ujar si gadis
tinggi sambil memandang ke arah Sagolo yang masih
dibiarkan terkapar merintih-rintih.
Si gadis dekati Sagolo, Pendekar Mabuk pun segera
dekati Sagolo pula, kemudian menyuruh Sagolo
meminum tuaknya. Gintung dan Polo juga disuruh
minum tuaknya. Mereka menurut walau dahi yang lain
berkerut. Mereka heran melihat tindakan Suto.
"Istirahatlah beberapa saat. Luka kalian  akan
sembuh!" ujar Suto Sinting, setelah itu ia pergi
tinggalkan mereka tanpa bicara lagi. Seakan ia tak peduli
dengan  keheranan yang akan berkembang di wajah-
wajah mereka yang akan melihat kesembuhan secara
ajaib itu. Ia juga tak peduli dengan wajah si gadis yang
terbengong memandanginya.
Pendekar Mabuk teruskan langkahnya menuju
kotaraja. Ternyata kotaraja masih jauh dari gerbang
perbatasan. Sejauh mata Suto memandang, ia belum
temukan tanda-tanda keramaian kota atau rumah-rumah
penduduk.
Matahari sudah condong ke barat sejak tadi. Suto
Sinting membatin, "Bisa-bisa sampai kotaraja sudah
malam. Atau mungkin langkahku salah arah?!"
Langkah itu akhirnya terhenti seketika, karena tiba-
tiba muncul seseorang yang turun dari atas pohon di 
depannya. Wuuut...! Jleeg...! Suto Sinting sempat
tersentak kaget, dan secara naluriah tangan dan kakinya
mengambil sikap kuda-kuda pertahanan.
Ketegangan itu segera mengendur setelah Pendekar
Mabuk segera sadar bahwa orang yang turun dari atas
pohon itu adalah si gadis berpakaian ungu bintik-bintik
putih tadi. Rupanya ia sengaja menghadang Suto Sinting
dengan maksud yang masih menjadi tanda tanya besar
dalam hati si pendekar tampan itu.
"Aku sengaja mengganggu perjalananmu sebentar!"
ujar gadis itu tanpa sungkan-sungkan, ia kelihatan tegas
dan rada-rada cuek dalam bersikap. Suto Sinting hanya
sunggingkan senyum tipis sambil pandangannya tak
bergeser dari wajah si gadis tomboy itu.
"Ada yang bisa kubantu?" tanya Suto Sinting bernada
lembut.
"Justru aku yang ingin bertanya, mungkin kau butuh
bantuanku?"
"Bantuan tentang apa, misalnya?"
"Mungkin tentang arah ke kotaraja! Kulihat kau telah
salah arah. Mestinya kau membelok ke kiri saat
melewati jalanan menurun tadi."
Suto Sinting tertawa kecil, menertawakan
kebodohannya.
"Aku  memang orang asing di negeri ini. Kurasa...
kurasa aku memang butuh seorang pemandu."
Gadis itu sunggingkan senyum tipis, seperti gadis
yang angkuh dan melecehkan kebodohan Suto. Tetapi
senyuman tipisnya itu sempat membuat Suto Sinting 
hampir menggeragap, karena di sudut senyuman itu si
gadis mempunyai lesung pipi yang menambah
kecantikannya. Lesung pipit seperti itu juga dimiliki oleh
Dyah Sariningrum, calon istri Suto Sinting yang menjadi
penguasa di negeri Putri Gerbang Surgawi, di Pulau
Serindu. Karenanya, desir-desir di dalam dada Suto
berubah menjadi debar-debar yang sempat membuatnya
salah tingkah.
"Apakah kau yang bernama Suto Sinting dan bergelar
Pendekar Mabuk?" tanya gadis itu sebelum mereka
melangkah.
"Benar. Dari mana kau tahu namaku?"
"Bumbung  tuak dan pakaianmu. Juga, tuak saktimu
yang tadi telah membuat luka-luka Sagolo serta dua anak
buahnya menjadi sembuh. Mereka sehat dan merasa
lebih segar dari sebelum meminum tuakmu! Kehebatan
tuakmu itu yang paling utama mengingatkan diriku pada
cerita beberapa sahabatku tentang Pendekar Mabuk."
Malu juga Suto jadinya. Tapi di balik rasa malu itu
bertaburan rasa bangga akan populeritas namanya yang
sampai membekas dalam ingatan gadis secantik itu.
"Boleh kutahu namamu?" Suto ganti bertanya.
"Candu Asmara!" jawab si gadis. Suto Sinting
terperanjat, namun buru-buru ditahan dan
disembunyikan, sehingga ia tetap kelihatan kalem.
"Candu Asmara...?" gumamnya sambil manggut-
manggut. "Kau pasti murid Eyang Cakraduya, dan kakak
dari si Mirah Cendani!"
Kini gadis itu yang terperanjat kaget. "Dari mana kau 
tahu?"
Tawa Suto sengaja dibuat berkesan dingin,  ia
memandang alam sekelilingnya sambil menjawab
pertanyaan itu, hingga berkesan tengil.
"Kecantikanmu membuatku ingat tentang murid
Eyang Cakraduya yang punya lesung pipit menggetarkan
hati setiap lelaki."
Gadis itu tampak tersipu, namun masih berusaha
tampil cuek.
"Kau... kau kenal dengan guruku?"
"Dengan kekasihmu pun aku kenal," pancing Suto
Sinting. Pancingan itu membuat Candu Asmara menarik
napas seperti menahan kedongkolan.
"Ikuti aku kalau mau ke kotaraja!" ujarnya sambil
melangkah, tapi maksudnya mengalihkan percakapan
yang tadi.
Pendekar Mabuk menangkap perasaan tak enak pada
diri gadis itu, terutama setelah menyinggung tentang
kekasih. Entah apa sebabnya, untuk sesaat Suto tak ingin
menanyakannya. Namun ia segera mengikuti  langkah
Candu Asmara hingga akhirnya mereka berjalan
berdampingan.
"Rupanya kau sudah mengenal seluk beluk negeri ini!
Apakah kau termasuk rakyat negeri Bardanesya?"
"Bukan. Tapi aku sering berkunjung ke kotaraja.
Seorang sahabatku tinggal di sana, dan dia punya
hubungan baik dengan putri Paduka Raja Gundalana
itu."
"Pantas para penjaga tadi saling berkasak-kusuk dan 
takut kepadanya," ujar batin Suto Sinting. "Kurasa
mereka pernah dihajar gadis  ini, sehingga mengetahui
bahwa gadis ini berilmu lebih tinggi dari mereka.
Hmm.... Ternyata kakak si Mirah Cendani lebih cantik
dari adiknya. Aku terkesan sekali dengan sikapnya yang
tegas dan rada-rada galak itu. Dia bisa bikin hatiku
penasaran kalau selalu menjaga keangkuhan sikapnya."
Lamunan dan kecamuk batin Suto dibuyarkan oleh
teguran Candu Asmara. 
"Kau akan mendaftarkan diri sebagai calon menantu
Paduka Raja?"
"Oh, hmm... ya, eeh... tidak! Aku tidak punya niat
begitu," jawab Suto agak grogi, lalu segera ingat tentang
tujuannya semua,  ia  pun ajukan tanya kepada Candu
Asmara.
"Apakah kau sudah bertemu dengan Tengkorak
Tampan?"
Langkah si gadis terhenti, mata memandang tajam,
Suto Sinting menjadi salah tingkah. Senyumnya
berkesan cengar-cengir yang tak jelas tujuannya.        
"Mak... maksudku... hhmm... maksudku, apakah kau
sudah berhasil menghadang langkah si Tengkorak
Tampan?"
"Dari mana kau tahu kalau aku sedang memburu
murid si Jahanam Tua itu?! Kau sahabat si Tengkorak
busuk itu?!"
"Oh, bukan! Hmmm... bukan itu maksudku. Aku...
aku mendengar nama itu dari adikmu: Mirah Cendani!"
Candu Asmara kerutkan dahi. "Kau bertemu dengan 
adikku?"
"Ya. Kutemukan dia terkapar dalam keadaan sekarat.
Tapi untung aku berhasil menuangkan tuak ke mulutnya.
Sekarang dia sudah sehat dan sedang pulang untuk
menemui guru kalian."
Setelah diam termenung sebentar, Candu Asmara
bergumam lirih, namun sempat didengar oleh Suto.
"Pantas ketika aku kembali ke tempat itu, Mirah
sudah tak ada! Kupikir dibawa pulang oleh Guru?!"
Suto pun membatin, "Jika dia sempat menengok
tempat itu lagi, dan berhasil menyusulku tiba di gerbang
perbatasan, berarti dia mempunyai kecepatan gerak yang
hampir menyamaiku?! Oh, agaknya kata-kata Sawung
Kuntet memang benar; murid Eyang Cakraduya berilmu
tinggi. Tak heran jika Candu Asmara mempunyai
kecepatan gerak yang menyamai gerakanku."
Untuk mengetahui seberapa tinggi ilmu si gadis itu
terutama dalam kecepatan geraknya, Pendekar Mabuk
pun memancingnya secara halus.
"Apakah kita tak akan kemalaman di jalan jika
dengan hanya berjalan biasa begini?"
"Sampai kotaraja bisa tengah malam."
"Bagaimana kalau kita berlari agar bisa tiba di
kotaraja sebelum tengah malam?!"
Gadis itu hanya tersenyum kecil berkesan
meremehkan, karena ia tahu ajakan itu merupakan
tantangan halus dari si tampan. Maka, tanpa menjawab
atau berkata sepatah kata pun, Candu Asmara sentakkan
kaki kirinya ke bumi satu kali. Duuhk...! 
Bluub...! Asap mengepul tipis, Candu Asmara
bagaikan lenyap di telan bumi. Suto Sinting
kebingungan  sesaat. Setelah memandang ke depan,
ternyata gadis itu sudah berada jauh di depan sana.
"Gila! Kecepatan geraknya seperti melebihi angin
berhembus?! Hmmm... baik, akan kususul kau, Candu
Asmara!" 
Zlaaaap, zlaaap...! Jurus 'Gerak Siluman'
dipergunakan Pendekar Mabuk untuk susul gadis itu.
Kejap berikut, Candu Asmara hentikan langkah ketika ia
merasakan hembusan angin berkelebat di samping
kanan, mendahului langkahnya.
"Edan! Gerakan apa itu hingga bisa mendahului jurus
'Pemburu Badai'-ku?!" gumam hati gadis cantik itu.
Candu Asmara mencoba menyusul gerakan Suto
Sinting, namun tak pernah berhasil, ia hanya bisa berada
tiga langkah di belakang Suto Sinting. Sekalipun
demikian, gerakan itu dianggap oleh Suto sebagai
pemecah rekor bagi gerakan para gadis yang pernah
dikenal Pendekar Mabuk. Angin Betina, saja masih
tertinggal lima langkah di belakang Suto Sinting. Berarti
Angin Betina, gadis yang menyimpan cinta kepada Suto
itu, masih kalah cepat dengan Candu Asmara, walaupun
Angin Betina punya ilmu yang dapat menembus waktu.
 *
* * 

4
 HATI Candu Asmara merasa lega mendengar
adiknya dalam keadaan sehat. Nafsu memburu
Tengkorak Tampan tidak sebesar tadi. Bahkan perhatian
gadis itu lebih banyak ditujukan kepada Pendekar
Mabuk. Curahan perhatian batin itu membuat Candu
Asmara juga rasakan debar-debar indah yang sering
membuatnya jengkel sendiri.
Hampir memasuki kotaraja, Pendekar Mabuk sengaja
hentikan langkah disusul langkah Candu Asmara yang
terhenti pula. Gadis itu memandang heran kepada Suto
Sinting. Suaranya terdengar lirih. "Kenapa berhenti?"
"Aku mendengar suara perempuan merintih," jawab
Suto pelan.
Candu Asmara diam sesaat, pertajam
pendengarannya. Matanya melirik ke arah kiri, pada
gerumbulan semak yang melingkari batu besar. Suara
rintihan perempuan berasal dari gerumbulan semak itu.
Sepertinya ada yang terkapar dan sekarat di bawah batu
besar itu.
Suto Sinting berbisik lagi, "Arah pandangan matamu
memang benar. Suara itu dari bawah batu. Hanya saja,
ketinggian semaknya membuat kita tak bisa melihat apa
yang terjadi di bawah batu besar itu."
"Rasa-rasanya bukan rintihan orang menderita," ucap
Candu Asmara dengan membisik. "Sebaiknya tak perlu
kau hiraukan. Kita lanjutkan langkah kita."
"Tunggu sebentar," sergah Pendekar Mabuk sambil 
mencekal lengan Candu Asmara. "Aku penasaran dan
ingin mengintainya dari atas pohon itu."
"Ah, sudahlah! Itu tak perlu!"  
"Sebentar saja!"
Wuuut...! Tahu-tahu Suto Sinting sudah berada di
atas pohon. Gerakan lompatnya sangat cepat dan
membuat Candu Asmara hanya bisa hempaskan napas
sebagai tanda menahan rasa kesalnya.
"Bandel juga dia!" gerutunya dalam hati. "Masa' dia
tak bisa bedakan suara rintihan kesakitan dengan rintihan
kenikmatan?!"
Pendekar Mabuk melesat dari pohon pertama ke
pohon kedua, dari pohon kedua ke pohon ketiga. Di situ
ia berhenti, mengintai ke bawah, tepat di atas batu besar
tersebut.
"Astaga...?!" hati Suto terkejut dan jantungnya
menjadi berdetak-detak.
Ternyata apa yang ada di balik semak dan di bawah
batu besar itu adalah suatu pemandangan yang
menggetarkan gairah kemesraannya. Seorang perempuan
sedang dicumbu oleh seorang pemuda dengan panasnya.
Perempuan itu tampak berusia sekitar tiga puluh
tahun, sedangkan lawan jenisnya berusia sekitar dua
puluh tiga tahun. Tetapi pemuda yang bertubuh gempal
itu tampak masih hijau dalam hal bercumbu, sehingga
butuh bimbingan dari si perempuan yang cukup matang
dalam masalah kencan. Pemuda itu menurut saja ketika
diperintahkan untuk memindahkan kecupannya ke dada
si wanita. Sekalipun pemuda itu masih hijau, tapi 
semangatnya  tampak tinggi dan menggebu-gebu,
sehingga si perempuan mengerang berkali-kali
menikmati keindahannya.
Candu Asmara akhirnya menyusul Suto Sinting.
Dengan lompatan yang sama seringan tubuh Suto tadi, ia
melesat ke atas pohon dan hampiri Suto Sinting. Daun
dan ranting yang dipijaknya tak sempat bergerak karena
ilmu peringan tubuhnya ternyata cukup tinggi juga.
Suto Sinting nyaris terkejut ketika sikunya
menyentuh daging empuk di belakangnya. Ternyata ia
menyentuh pipi Candu Asmara yang ikut berjongkok di
sampingnya, agak ke belakang.
"Sial!" gerutu Suto Sinting.
"Inikah yang ingin kau intip? Rupanya kau doyan
mengintip orang beginian, ya?"
"Kusangka bukan beginian!"
Mereka hentikan bisik-bisik sesaat karena suara
perempuan yang sedang dicumbu pemuda itu makin
meringkik tinggi manakala si pemuda memagut dada
sekal perempuan itu. Candu Asmara sengaja palingkan
pandangan ke arah lain sambil mencolek lengan Suto.
"Tinggalkan pemandangan itu! Sebentar lagi petang
datang, kita harus sudah tiba di  kotaraja sebelum hari
menjadi gelap."
"Sebentar...," ujar Suto Sinting dalam bisikan,  ia
memandang tak berkedip adegan hot yang dilakukan
oleh sepasang insan yang sudah seperti bayi baru lahir
itu. Mereka menggelar pakaian sebagai alas berbaring
bagi si perempuan. Tampaknya perempuan itu sangat 
menikmati tiap sentuhan hangat yang dilakukan si
pemuda atas perintahnya.
Suto Sinting berbisik tepat di telinga Candu Asmara,
membuat napasnya menyembur hangat di sekitar telinga
gadis itu.
"Kau kenal dengan mereka?"
Candu Asmara menjawab dengan nada dingin, "Dewi
Ranjang, seorang janda liar yang selalu memburu
kehangatan pemuda ingusan."
"Dewi Ranjang...?!" gumam Suto lirih. "Lalu, siapa
pemuda yang menjadi pasangannya itu?"
"Rudaya, bocah ingusan, anak Raden Mas
Sastrajingga, salah satu dari lima penasihat Raja
Gundalana."
Suto Sinting menggumam lirih sambil manggut-
manggut, pandangan matanya kembali ke arah kedua
insan yang sedang asyik-asyiknya menyerap kenikmatan
bersama itu. Jantung Suto pun kian berdebar-debar saat
melihat Rudaya menuruti perintah Dewi Ranjang.
"Kecuplah ini... kecuplah, Rudaya," sambil
perempuan itu menekan kepala Rudaya agar bergeser ke
bawah. Rudaya pun menurut, kepalanya bergeser ke
bawah dan kecupannya mencapai bagian yang
diinginkan Dewi Ranjang.
"Oouh... nikmat sekali itu, Rudaya. Uuuhhh...!
Hmmmmhhh...!" sambil kedua tangan Dewi Ranjang
meremas-remas rambut pendek Rudaya dan merentang
diri untuk mempermudah gerakan kepala Rudaya.
"Sudahlah! Untuk apa kita tonton lama-lama?!" bisik 
Candu Asmara dengan tak enak hati. Ia menarik tangan
Suto agar menyingkir dari tempat itu. Tapi Pendekar
tampan itu masih betah menyaksikan adegan yang makin
lama semakin membakar darah kemesraannya sendiri.
Tentu saja darah kemesraan Suto terbakar, karena
kala  itu Rudaya digulingkan oleh Dewi Ranjang.
Pemuda itu terbaring dan menerima dengan pasrah apa
yang akan dilakukan Dewi Ranjang.
"Diamlah begitu, kau akan kuterbangkan ke langit
yang paling tinggi. Hik, hik, hik, hik...!" kata perempuan
yang berparas ayu dan punya mata serta bibir
memancarkan daya tarik untuk bercumbu.
Rudaya menggigit bibirnya sendiri sambil
menggeram ketika Dewi Ranjang menciumi wajahnya,
lalu melumat bibir pemuda itu dengan lahap. Lidah
perempuan itu akhirnya menjalar sampai ke leher,
mencekam beberapa saat, lalu bergeser ke dada si
pemuda.
Desir-desir di dalam dada Suto semakin tinggi,
karena ia membayangkan seandainya yang diperlakukan
begitu adalah dirinya. Desiran itu sempat membuat Suto
Sinting meremas dedaunan manakala  ia  melihat jelas
sekali ke mana gerakan lidah Dewi Ranjang.
Mulut perempuan bertahi lalat di sudut dagu
kanannya itu melintasi perut Rudaya. Ternyata mulut itu
tidak hanya berhenti mengecup di perut saja, namun
lewat terus dan lidahnya menyapu sekitar paha Rudaya.
Napas si Pendekar Mabuk menjadi sesak ketika
mendengar suara Rudaya merintih dengan kepala 
menggeliat ke atas dan kedua tangan di kanan-kiri
kepalanya itu menggenggam kuat-kuat. Suto dapat
merasakan desiran keindahan yang amat tinggi yang
dirasakan Rudaya manakala mulut Dewi Ranjang bagai
ingin menelan sesuatu dengan gerakan pelan-pelan
sekali.
Candu Asmara resah. Mau pergi sendiri, tak enak.
Mau tetap di samping Suto, juga tak enak. Serba salah
jadinya.
"Pendekar jalang!" gerutunya pelan bernada jengkel,
tapi gerutuan itu didengar oleh Pendekar Mabuk. Hati
menjadi tak enak mendengar kecaman tersebut. Suto
segera ingat nama besarnya sebagai seorang pendekar.
"Masa' seorang pendekar kerjanya nonton begituan?
Ah, tak enak hati aku kepada gadis yang baru ku kenal
ini. Sebaiknya memang aku harus segera pergi agar tak
timbulkan kesan buruk di hati Candu Asmara," ujar Suto
dalam hatinya, maka  ia  pun segera bergegas pergi
tinggalkan pemandangan yang sedang panas-panasnya
itu.
"Jangan coba-coba menatap mata Dewi Ranjang jika
kebetulan kau berpapasan dengannya," kata Candu
Asmara sambil teruskan langkah menuju kotaraja.
"Mengapa tak boleh?"
"Ia mempunyai  aji pemikat melalui pandangan
matanya. Kau bisa kasmaran jika terkena aji pemikatnya
itu."
"Kau khawatir?" Suto Sinting sunggingkan senyum
menggoda. 
"Aku hanya mengingatkan padamu, bukan karena
khawatir. Jika kau sendiri punya selera kepada si janda
liar itu, silakan saja!  Itu urusan pribadimu, bukan
urusku."
Pendekar  Mabuk makin lebarkan senyum dan
akhirnya berubah menjadi tawa pelan seperti orang
menggumam. Candu Asmara bersungut-sungut, tampak
sedang menahan rasa malu dan sembunyikan
keresahannya.
Menjelang matahari ditelan bumi, Pendekar Mabuk
dan Candu Asmara tiba di kotaraja. Gadis itu segera
membawa Suto Sinting ke sebuah penginapan. Tentu
saja hal itu cukup mengherankan bagi Suto.
"Mengapa aku dibawa ke penginapan?" tanyanya
terang-terangan. 
Gadis tomboy itu menjawab seenaknya, "Kalau
kutahu jalan ke neraka, kubawa kau ke neraka dan
kuceburkan ke sana!"
Suto Sinting tertawa geli melihat gadis itu bersungut-
sungut.
"Maksudku, aku tak punya uang untuk sewa kamar."
"Untuk apa sewa kamar? Kau pikir perempuan apa
aku ini?!"
"Mmm... mmm... maaf, aku tidak bermaksud
menilaimu jelek, Candu Asmara. Tapi... tapi terus terang
saja, tujuanku kemari semula ingin melihat orang-orang
yang mencalonkan diri sebagai menantu raja. Tapi
segera berubah setelah bertemu adikmu. Tujuanku
menjadi ingin melindungimu dari serangan Tengkorak 
Tampan yang membawa senjata milik gurunya bernama
'Garpu Malaikat' itu. Aku khawatir kau menjadi korban
senjata yang kata temanku adalah senjata berbahaya.
Lalu...."
"Cukup!" potong Candu Asmara. "Aku mengerti
maksudmu. Kalau kau ingin bertemu dengan Tengkorak
Tampan, kau bisa temui dia esok hari. Karena esok hari
para calon menantu raja berkumpul di alun-alun."
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut. "Kau
sendiri tak ingin lanjutkan pembalasanmu terhadap
Tengkorak Tampan?"
"Terlambat. Kurasa saat ini ia sudah menjadi tamu
kehormatan Paduka Raja. Siapa yang mengusik atau
mengganggu tamu istana akan mendapat hukuman dan
dianggap bermusuhan dengan pihak Raja Gundalana.
Jadi aku tak berani mengusiknya. Tapi jika ia sudah
pulang dan tidak lagi  menjadi tamu Istana, aku akan
bikin perhitungan sendiri padanya!" kata Candu Asmara
dengan tegas sekali. Suto Sinting sangat menyukai nada
bicara yang tegas seperti itu.
Ketika Suto diajak masuk ke penginapan berlantai
dua itu, Candu Asmara sempat berkata dalam nada
pelan.
"Aku mencari sahabatku; Cempaka Ayu!"
"Apakah dia sering bermalam di penginapan ini?"
"Dia anak pemilik penginapan ini."
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut lagi. Ia ingin
ajukan tanya, tapi batal karena seorang lelaki berusia
sekitar lima puluh tahun dan berpakaian rapi segera 
menyambut kedatangan Candu Asmara dengan senyum
ramahnya.
"Candu Asmara.... Oh, sudah lama kau tak datang
menjenguk kami. Mengapa kau menghilang hampir satu
purnama, Candu Asmara?!"
"Aku ada urusan yang harus kuselesaikan, Paman! O,
ya... perkenalkan, ini sahabatku; Suto Sinting."
Orang yang dipanggil sebagal 'paman' oleh Candu
Asmara itu memberikan hormat kepada Pendekar
Mabuk, kedua tangannya saling genggam di dada serta
badannya sedikit membungkuk.
"Selamat datang di penginapanku, Tuan Muda!"
"Terima kasih. Senang sekali aku melihat penginapan
sebagus  ini, Paman," kata Suto membalas keramahan
sang Paman itu.
"Paman, apakah Cempaka Ayu ada?"
"O, dia ada di kamarnya. Datanglah sana ke
kamarnya! Kedatanganmu sangat ditunggu-tunggu oleh
Cempaka. Heh, heh, heh, heh...!"
Candu Asmara mengajak Suto Sinting menaiki
tangga yang tampak dari ruang tamu itu. Ruang tamu
tersebut dipakai sebagai kedai yang menyajikan
makanan mewah dengan tamu-tamu dari golongan atas.
Kala itu, kedai mewah tersebut sedang melayani delapan
tamu yang membentuk  tiga kelompok berlainan meja.
Mereka memandang ke arah Candu Asmara dan Suto
Sinting, namun keduanya bersikap tak menghiraukan
pandangan para tamu berbusana rapi dan bagus itu.
"Orang yang kupanggil 'paman' tadi adalah ayahnya 
Cempaka Ayu!"
"Ooo...," Suto  hanya menggumam dan manggut-
manggut lagi.
"Dia sangat senang jika aku ada di sini, karena
berkali-kali aku berhasil mengusir orang-orang yang
berniat mengganggu ketenangan para tamu di sini!"
"Rupanya kau petugas keamanan di penginapan ini?!"
"Tak resmi!"  jawab Candu Asmara pendek, sambil
menelusuri lorong di depan kamar-kamar lantai atas.
Sebuah pintu kamar yang letaknya di ujung sendiri
diketuk  oleh  Candu Asmara. Kemudian seraut wajah
cantik berhidung bangir muncul dari balik pintu kamar
tersebut.
"Candu  Asmara...?!" gadis berusia sebaya dengan
Candu Asmara itu terpekik girang, kemudian ia
memeluk Candu Asmara dalam  senyum yang lebar.
Matanya sempat beradu pandang dengan Pendekar
Mabuk yang masih berdiri di belakang Candu Asmara.
Gadis itu segera lepaskan  pelukannya dan mulai salah
tingkah karena baru sadar bahwa Candu Asmara datang
bersama pemuda tampan.
"Cempaka, perkenalkan ini sahabatku; Suto Sinting
namanya."
"Ooh...?! Pendekar Mabuk?!" Cempaka Ayu
terperanjat dengan mata membelalak.
Suto Sinting hanya anggukkan kepala dalam senyum
keramahannya.
"Astaga! Rupanya apa yang kau impikan selama ini
benar-benar menjadi kenyataan, Candu Asmara. Kau 
bisa bertemu dengan Pendekar Mabuk dan...."
"Ssst...!  Tak perlu dibahas lagi soal itu," potong
Candu Asmara yang wajahnya menjadi semburat merah
karena malu kepada Suto Sinting. Senyum si tampan itu
semakin lebar, hatinya pun menggumam,
"Rupanya selama ini Candu Asmara ingin sekali
bertemu denganku. Hmm... ketahuan sekarang! Aku
yakin saat ini hatinya sangat gembira  karena
keinginannya bertemu denganku sudah tercapai. Meski
berlagak angkuh, tapi ternyata dia menyimpan
kegembiraan yang pasti membuat hatinya melonjak-
lonjak. Hmm, hmm, hmm...!  Perempuan, perempuan...
paling pintar menutupi isi hatinya!"
Cempaka Ayu sebentar-sebentar melirik Pendekar
Mabuk. Rupanya gadis itu juga menyimpan rasa kagum
terhadap ketampanan Suto Sinting. Namun ia
menghargai nilai sebuah persahabatan, sehingga tak mau
bertingkah yang bukan-bukan di depan Candu Asmara,
ia hanya sering berbisik dan mereka tertawa kecil sambil
melirik Suto.
"Kebetulan kau datang hari ini, Candu," ujar
Cempaka Ayu.
"Mengapa kebetulan?!" tanya Candu Asmara.
Cempaka Ayu melirik ke arah Pendekar Mabuk
sesaat. Sepertinya ada sesuatu yang ragu-ragu dikatakan
karena keberadaan Suto di tempat itu. Suto jadi tak enak
hati.
"Apakah aku harus pergi dulu?" tanya Suto Sinting.
"O, tidak! Tidak perlu," jawab Cempaka Ayu tergesa- 
gesa. "Ini bukan rahasia lagi. Aku hanya ingin
menyampaikan kabar tentang niat Paduka Raja
mencarikan  menantu yang gagah perkasa dan layak
diandalkan sebagai panglima negeri ini."
"Itu sudah kudengar, Cempaka. Esok para calon
menantu raja akan dikumpulkan di alun-alun untuk
dilihat kemahirannya dalam ilmu kanuragan. Siapa yang
ilmunya paling tinggi, itulah  yang akan dinikahkan
dengan Rara Ayu Kumala, bukan?!"   
"Iya. Tapi... tapi rencana itu ternyata harus diubah
oleh pihak keluarga istana." 
"Mengapa diubah?"
"Kemarin malam Rara Ayu Kumala hilang."
"Hilang...?!" Candu Asmara terperanjat, demikian
pula Pendekar Mabuk yang segera berkerut dahi tajam-
tajam.
"Seseorang telah menculik Rara Ayu Kumala!"
"Ooh...?! Siapa orang yang menculik putri raja itu?!"
tanya Suto Sinting dengan rasa penasaran mendesak
dadanya.
"Rara Ayu Kumala diculik oleh  tokoh aliran hitam
dari Pulau Setan yang bernama : Hantu Urat Iblis!"
"Celaka!" sentak Candu Asmara dengan wajah
tegang. Agaknya  ia  sudah  mengetahui siapa si Hantu
Urat Iblis itu.
Suto Sinting segera berkata, "Tapi mengapa para
penjaga di gerbang perbatasan masih menguji tamu yang
mau mencalonkan diri sebagai menantu raja?! Bahkan
aku sempat diuji oleh mereka!" 
Cempaka Ayu menjawab, "Kabar ini belum disebar-
luaskan. Tapi ayahku mendengarnya dari kenalannya
yang menjadi pejabat istana. Ayah pun wanti-wanti
padaku agar tidak bicara pada siapa pun. Tapi kepada
kalian aku tak bisa merahasiakannya."
Candu Asmara masih tertegun membayangkan Hantu
Urat Iblis, sementara itu Cempaka Ayu menyambung
kata-katanya sambil menatap Pendekar Mabuk.
"Mungkin maksud sang Raja tetap akan menerima
calon menantu sebanyak mungkin, karena dengan begitu
raja merasa punya banyak dukungan dari orang-orang
berilmu tinggi. Karena rencana beliau, esok para calon
menantu akan dikumpulkan di alun-alun, dan diberi tahu
tentang penculikan tersebut. Raja akan mengubah
sayembara, barang siapa yang bisa mengalahkan Hantu
Urat Iblis dan membawa pulang putrinya, dialah yang
akan dinikahkan dengan sang Putri dan mendapat
kedudukan tinggi sebagai panglima tertinggi di negeri
ini!"
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut  dalam
renungannya.
"Apakah... apakah kau berminat untuk merebut Rara
Ayu Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis?" tanya
Cempaka Ayu kepada Suto.
Candu Asmara segera menyahut sambil menatap Suto
tajam-tajam dan bicaranya penuh tekanan.
"Hantu Urat Iblis adalah tokoh sesat aliran  hitam
yang mempunyai ilmu 'Perisai Kubur', kau tak mungkin
bisa tumbangkan dirinya!"
 "Apa itu ilmu 'Perisai Kubur'?!" tanya Pendekar
Mabuk.
"Tak bisa terluka. Setiap kali ia terluka, lukanya akan
menutup sendiri dan pulih seperti sediakala. Racun apa
pun tak bisa bercampur dengan darahnya." 
"Aku ingin mencoba melawannya!"
"Tak perlu, Suto!" sentak Candu Asmara. "Kau akan
mati sia-sia jika melawannya!"
Pendekar Mabuk terbungkam dan memendam
keheranan. "Mengapa ia jadi berang begitu?! Seandainya
aku mati, mengapa tak boleh? Ih, lama-lama aneh juga
gadis ini, ya?!"
 *
* *

 5
 ALASAN apa yang membuat Hantu Urat Iblis
menculik putri raja, hal  itu pun menjadi sesuatu yang
dipikirkan oleh Pendekar Mabuk. Karenanya, sekalipun
ia dan Candu Asmara mendapat satu kamar gratis di
penginapan itu, namun Pendekar Mabuk tak bisa cepat
tertidur, ia masih terngiang kata-kata Candu Asmara
ketika mereka berada di kamar Cempaka Ayu.
"Hantu Urat Iblis  bukan saja punya ilmu 'Perisai 
Kubur', namun juga menguasai ilmu 'Peluh Neraka' yang
tidak dimiliki orang lain."
"Apa kehebatan ilmu 'Peluh Neraka' itu?" tanya Suto.
"Pada saat-saat yang ditentukan, ia dapat keluarkan
racun melalui peluhnya. Racun ganas yang sangat
mematikan itu bercampur dengan keringatnya. Siapa pun
yang terkena keringatnya walau sedikit saja, maka orang
itu akan mati dalam tiga belas hitungan. Repotnya lagi,
racun itu tak bisa ditangkal dengan obat penawar racun
apa pun."
"Sakti sekali?!" sindir Suto Sinting agak tak percaya.
"Siapa sebenarnya si Hantu Urat iblis itu sehingga ia
bisa mempunyai ilmu aneh-aneh begitu?!"
"Dia anak haram dari mendiang Nyai Selir Iblis,
penguasa Pulau Setan. Menurut cerita dari guruku,
Hantu Urat Iblis sejak bayi tak pernah kena sinar
matahari, karena hidupnya di ruang bawah tanah. Di
sana ia digembleng oleh ibunya sendiri hingga menjadi
dewasa. Seluruh ilmu milik ibunya sudah mengalir ke
dalam diri Hantu Urat Iblis sejak ia berusia lima tahun.
Ketika ibunya tewas, ia muncul di permukaan bumi
sebagai pengganti sang Ibu; menjadi penguasa Pulau
Setan. Karenanya, dalam usia sekitar empat puluh tahun
ini, dia sudah menjadi tokoh yang ditakuti oleh lawan-
lawannya, karena ilmunya memang dahsyat!"
"Apakah dia punya guru lain?"
"Tidak! Seluruh ilmu yang diwariskan oleh mendiang
ibunya sudah cukup untuk kalahkan beberapa guru dari
perguruan-perguruan yang pernah menjadi lawan ibunya 
semasa hidup."
"Jika ia dikatakan sebagai anak haram, maka sampai
sekarang ia tak tahu siapa ayahnya?"
"Kurasa ia sudah tahu," jawab Candu Asmara. "Tapi
kurasa ia belum pernah bertemu dengan ayahnya.
Karena menurut cerita guruku, yang pernah menyelidiki
kekuatan di Pulau Setan, ternyata Nyai Selir Iblis pernah
kencan dengan siluman dari alam gaib. Kencan itu
membuahkan keturunan, dan keturunan tersebut adalah
si Hantu Urat Iblis."
Beberapa penjelasan itulah yang dicerna terus oleh
otak Pendekar Mabuk, hingga malam yang semakin larut
dibiarkan lewat begitu saja. Rasa kantuknya belum juga
datang  walau  ia telah berbaring di ranjang yang
berseberang dengan ranjangnya Candu Asmara.
Sedangkan gadis berpakaian ungu bintik-bintik putih itu
tampak sudah tertidur sejak tadi dengan tenang,  ia
berbaring sambil mendekap pedangnya yang diletakkan
di dada.
Sebelum ke kamarnya, tadi Suto sempat mengisi
bumbungnya dengan tuak yang didapat dari ayah
Cempaka Ayu. Kini bumbung tuak itu telah terisi penuh.
Namun sebentar-sebentar ditenggaknya, sehingga mulai
berkurang sedikit.
"Bagaimana kalau kucoba menembus alam gaib dan
mencari ayahnya si Hantu Urat Iblis  itu? Barangkali
dengan bujukan sang ayah, Hantu Urat Iblis  mau
melepaskan putri raja," pikir Suto Sinting yang mampu
menembus alam gaib karena kekuatan khusus yang 
diberikan oleh Ratu Kartika Wangi, calon ibu mertuanya
itu, (Baca serial Pendekar  Mabuk  dalam  episode:
"Manusia Seribu Wajah").
"Tetapi... kalau aku pergi sekarang tanpa pamit, pasti
Candu Asmara sangat kecewa dan mempunyai penilaian
buruk padaku. Sebaiknya kubangunkan saja dia dan aku
harus pamit dulu padanya."
Suto Sinting dekati ranjang Candu Asmara. Namun
kurang dua langkah dari ranjang, Candu Asmara sudah
membuka matanya, terbangun dari tidurnya, namun tetap
dalam  posisi tenang, walau  tangan kanannya secara
cepat memegang gagang pedang. Begitu sadar  didekati
Pendekar Mabuk, tangan yang memegang gagang
pedang itu mengendur, gagang pedang dilepaskan, tak
jadi dicabut. Kini pedang itu justru digeser ke samping
kiri, sejajar dengan tubuhnya.
"Hebat!  Ternyata dia sangat peka dengan gerakan.
Walau  dalam  keadaan tertidur, namun dapat segera
mengetahui ada sesuatu yang mendekatinya," pikir Suto
Sinting merasa kagum terhadap kepekaan Candu
Asmara.
Karena  ia  dipandang  oleh  gadis itu, maka ia pun
sunggingkan senyum berkesan nyengir. Suto jadi tak
enak hati, takut dianggap ingin bertingkah kurang ajar,
maka ia buru-buru jelaskan maksudnya.
"Aku ingin membangunkanmu, bukan ingin bertindak
yang bukan-bukan."
Candu Asmara hembuskan napas panjang, tapi ia
tetap berbaring dengan mata memandang langit-langit 
kamar.
"Mau apa membangunkan tidurku?" 
"Aku mau... mau pamit!" 
"Pamit ke mana?" 
"Ke alam gaib."
"Edan!" sentaknya pelan, lalu  cemberut dan
melengos. Suto Sinting lebih mendekat hingga persis di
tepi ranjang.
"Akan kucoba menemui siluman yang menjadi ayah
si Hantu Urat Iblis itu. Akan kudesak siluman itu agar
mau menyuruh anaknya melepaskan putri raja."
"Tidurlah  dulu, baru mengigau!  Jangan mengigau
sebelum tidur, itu tidak baik!" ujar Candu Asmara
sambil masih palingkan wajah ke dinding.
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum geli
mendengar kata-kata Candu Asmara. Wajah cantik itu
dipandangi dari samping. Timbul getaran nakal di batin
Suto yang membuatnya gelisah. Karena keindahan mata,
kemancungan hidung, ketebalan bibir yang serasi itu,
sangat menggoda hatinya dan membuatnya ingin usil di
wajah halus tanpa jerawat sebutir pun itu.
Lengan si gadis juga dipandangi. Hati pun berdesir
kembali, karena lengan itu mempunyai bulu-bulu halus
yang samar-samar, seakan mengundang hasrat untuk
meraba bulu-bulu itu.
Pendekar Mabuk akhirnya menelan ludah sendiri, ia
memberanikan diri untuk duduk di tepian ranjang.
Ternyata gadis itu diam saja, namun masih berpaling ke
arah dinding dan memejamkan mata. Suto yakin, gadis 
itu tidak tidur. Karenanya  ia  pun segera mengajaknya
bicara dengan suara pelan, agar tak mengundang
kebrisikan bagi tamu penghuni kamar sebelah.
"Candu Asmara, aku bicara sungguh-sungguh tentang
rencanaku tadi. Sekarang juga aku akan pergi. Kau
tetaplah di sini dulu."
Candu Asmara membuka mata, kini wajahnya
menjadi agak miring ke kanan, pandangannya tertuju ke
wajah Suto Sinting yang tetap sunggingkan senyum tipis
di bibirnya.
"Rencana apa maksudmu?" tanya Candu Asmara
berlagak bodoh. Sebelum Suto Sinting mengulangi
penjelasannya tadi, Candu Asmara sudah bicara  lagi
lebih dulu.
"Kau berhasrat ingin membebaskan putri raja itu?
Maksudmu supaya kau dinikahkan dengan Rara Ayu
Kumaia dan menjadi menantu Raja Gundalana? Kau
ingin menjadi panglima tertinggi di negeri ini dengan
didampingi istri secantik putri raja itu?!"
Pertanyaan yang beruntun hanya membuat Pendekar
Mabuk geli sendiri. Tawanya tak bersuara, tapi jelas-
jeias berkesan meremehkan dugaan-dugaan Candu
Asmara itu.
"Aku...."
"Kalau kau ingin mendapat hadiah seorang istri yang
cantik seperti Rara Ayu Kumala,  pergilah sana,
bebaskanlah dia!" sahut Candu Asmara memotong kata-
kata Suto.
Pendekar Mabuk akhirnya diam sambil tetap 
sunggingkan senyum dan menatap Candu Asmara.
Pandangan yang beradu bagai menembus sampat ke
dasar hati masing-masing. Candu Asmara merasakan
getaran hati menjalar ke seluruh tubuhnya, seakan darah
mengalir dengan deras namun punya keindahan yang
sulit digambarkan.
Rupanya kebisuan di antara mereka berdua mengubah
wajah ketus dan cemberut menjadi sendu. Mata tegar
berubah menjadi sayu. Tangan di dada pindah ke
pangkuan Suto Sinting. Tangan itu disambut dengan
usapan lembut oleh sang Pendekar tampan. Akhirnya
tangan  itu saling meremas pelan, dan rasa hangat
mengalir pula di seluruh tubuh mereka berdua.
"Mengapa kau tampaknya sangat tak setuju jika aku
membebaskan putri raja itu?" tanya Suto Sinting yang
kini membungkuk, bertumpu siku di pangkuannya,
sementara tangan Candu Asmara digenggam dengan
kedua tangan, dimainkan dengan usapan pelan-pelan.
"Aku takut kau tidak berhasil, tapi juga takut kalau
kau berhasil," jawab Candu Asmara dengan suara lirih,
sambil meresapi tiap usapan tangan Pendekar Mabuk.
"Aneh sekali  ketakutanmu itu. Gagal takut, berhasil
takut?"
"Karena jika kau gagal atau berhasil kita tetap tak
akan saling bertemu lagi. Gagal berarti mati, berhasil
berarti menjadi menantu raja."
Kepala gadis itu tergolek. Manis sekali. Suto merasa
sedang menunggui istrinya yang habis melahirkan.
Kebahagiaan seperti itulah yang ada di dalam hati 
Pendekar Mabuk malam itu.
"Aku tak mungkin gagal, juga tak mungkin menikah
dengan putri raja."
"Benarkah?" suara itu agak parau, menambah suasana
menjadi semakin romantis saja rasanya.
Suto Sinting anggukkan kepala. "Aku bersumpah tak
akan menerima hadiah itu seandainya aku bisa kalahkan
Hantu Urat iblis."
"Kau tetap akan bersamaku?"
"Mengapa tidak?" jawab Suto lirih, namun terdengar
menggema sampai ke lubuk hati Candu Asmara.
"Kita baru saja bertemu, tapi rasa-rasanya seperti
sudah beberapa tahun saling kenal," ucap gadis itu.
"Aku pun merasa demikian. Begitu dekatnya kau
dengan hatiku, sampai aku lupa  kalau  kita baru saja
bertemu," balas Suto Sinting, lalu tersenyum menawan,
Candu Asmara pun tersenyum manis.
Tangan pemuda tampan itu beranikan diri mengusap
rambut Candu Asmara. Ternyata gadis itu tidak
menolak, ia bahkan meresapi usapan yang berawal dari
kening hingga ke pertengahan rambut itu.  Ia  meresapi
dengan mata terpejam lembut.
Kulit halus di pipi kuning itu semakin menggoda Suto
Sinting. Mata yang terpejam seakan sebuah isyarat untuk
Suto agar  bertindak lebih romantis lagi. Maka dengan
jantung berdetak-detak cepat, Suto Sinting dekatkan
wajahnya. Pipi halus lembut seperti kulit bayi itu
diciumnya pelan-pelan. Ceesss...!  Seperti salju menetes
di ujung hati, begitu indah dan sangat menyejukkan jiwa. 
Candu Asmara tidak meronta,  ia  diam saja, seakan
pasrah dengan apa yang akan dilakukan Suto Sinting.
Gadis itu masih tak mau membuka matanya, walau
sudah dua kali dikecup oleh Suto; pipi dan keningnya.
Mungkin ia malu jika membuka matanya dan menatap
wajah tampan, atau tak sanggup menahan getaran jiwa
yang mengguncang dan bergemuruh di dalam dada.
Yang jelas wajah bersih berkulit kuning langsat itu
menjadi semburat merah saat dua kali menerima ciuman
lembut dari Pendekar Mabuk. Merahnya kulit wajah itu
bisa berarti menahan rasa malu atau menahan hasrat
yang memburu.
Pendekar Mabuk mengumbar kebahagiaan di hatinya.
Ciumannya kembali menghangat di kening Candu
Asmara. Ciuman itu merayap pelan-pelan ke mata si
gadis. Namun kini kedua tangan Suto memegangi kepala
Candu Asmara, mengusap lembut kedua sisi kepala itu
dari rambut sampai ke pipi sambil merayapkan
ciumannya. Tangan kanan Candu Asmara meremas
pinggang Suto Sinting ketika ciuman hangat itu
mendekati bibirnya.
"Ooh... Indah sekali caranya menciumku," desah
Candu Asmara dalam hatinya.
Namun ketika bibir Suto melintasi hidungnya dan
hampir menyentuh bibirnya, Candu Asmara segera
membuka mata dan mengelak dengan memalingkan
wajah ke samping kiri.  Ia  bagaikan tak mau dikecup
bibirnya. Suto Sinting pun menarik wajah dan
memandanginya dengan satu tangan masih mengelus 
lembut kepala gadis itu. Kini sang gadis menatapnya
dengan mata kian sayu.
"Jangan mencium bibirku," katanya dengan suara
seperti berbisik.
"Sekali saja," pinta Suto lirih.
"Jangan," sambil Candu Asmara menggeleng.
"Mengapa tak boleh?" 
"Berbahaya bagi dirimu."
Suto Sinting lebarkan senyum geli. "Aku bisa
menahan hasratku jika kecupan kita makin membara."
"Tak mungkin kau bisa menahan hasratmu jika sudah
mengecup bibirku satu kali pun. Tak ada lelaki yang bisa
menahan keinginannya. Sekali kau mengecup bibirku,
kau akan mengecupnya terus dan selalu ingin berdekatan
denganku. Aku tak ingin membuatmu tergila-gila
padaku. Karena aku tahu hatimu belum sepenuhnya siap
hidup bersamaku."
"Jangan samakan diriku dengan pria lain, Candu
Asmara."
"Kau belum tahu apa yang ada di mulutku, juga di
ujung bibirku, Suto."
"Keindahan dan kehangatan yang membara, bukan?"
Candu Asmara gelengkan kepala.
"Menurut guruku. Air liurku mengandung racun
karena aku pelajari  ilmu 'Tirta Wicara'. Racun itu jika
bersatu dengan air liurmu akan membuatmu selalu ingin
bercumbu denganku dan... dan kau akan tergila-gila
padaku, Suto."
"Benarkah?" 
"Aku tak pernah mencobanya. Sebab itu tak pernah
ada lelaki yang mengecup bibirku. Aku takut menyiksa
dirinya setelah kecupan itu berakhir."
 
Tentu saja Pendekar Mabuk tidak percaya
sepenuhnya. Rasa percaya dan tidak membuatnya
menjadi penasaran, ingin membuktikan. Karena memang
begitulah  sifat Pendekar Mabuk, mudah penasaran
terhadap sesuatu yang membahayakan.
"Aku ingin mencobanya. Aku ingin sekali mengecup
bibirmu yang ranum ini," seraya ujung bibir itu disentuh
oleh telunjuk Suto Sinting.
"Apakah kau sudah siap untuk keracunan asmara?"
Suto tertawa kecil. "Kalau memang terbukti begitu,
tentunya kau tak akan menolak kehadiranku, bukan?"
Candu Asmara diam, sunggingkan senyum tipis,
seakan pamer lesung pipit yang kian menggoda hati
Pendekar Mabuk. Dada si pemuda kian bergemuruh
seperti gejolak gunung yang akan meletus. Bibir itu
dipandanginya, makin lama makin menantang
keberanian. Suto Sinting pun akhirnya dekatkan
wajahnya pelan-pelan.
"Suto, jangan...," larang Candu Asmara dengan suara
lembut sekali. Ia menempelkan telunjuknya ke bibir Suto
sebagai tanda melarang gerakan bibir mendekati
bibirnya sendiri.
"Aku ingin membuktikan kata-katamu, Candu
Asmara," desak Suto Sinting yang kian penasaran.
Candu Asmara akhirnya pasrah. "Kau memang 
bandel. Terserah kau saja. Tanggung sendiri akibatnya,
Pendekar Nakal!"
Jari telunjuk itu pun pergi dari bibir Suto Sinting.
Wajah pemuda tampan kian mendekat. Candu Asmara
pejamkan mata dengan bibir merekah, seakan siap
menerima kecupan hangat dari pemuda yang
mendebarkan hatinya itu.
Akhirnya bibir Suto pun menempel pelan-pelan di
permukaan bibir Candu Asmara. Siiiirr...! Hati keduanya
sama-sama berdesir indah sekali.
Bibir pemuda itu bergeser pelan dengan ujung
lidahnya menyentuh samar-samar di permukaan bibir si
gadis. Candu Asmara panas-dingin, sentuhan hangat
bibir dan lidah Suto membakar gairahnya hingga
berkobar-kobar.
"Aih, gila betul!  Pandai sekali  dia menciptakan
sentuhan indah yang membuatku ingin menjerit. Ooh...
aku suka sekali dengan keindahan ini! Ternyata lebih
indah dari sekadar usapan tangannya yang lembut tadi.
Ooh.... Suto, kau telah menjerat hatiku dengan cara
seperti ini. Tak sadarkah kau, Suto?" rintih batin si gadis
sambil tetap menikmati sentuhan lidah Suto yang
bermain nakal di permukaan bibirnya.
Akhirnya bibir ranum itu dipagut pelan-pelan  oleh
Suto Sinting. Pagutan lembut itu bertambah
menggetarkan jantung si gadis, sehingga rasa ingin
menjerit nyaris tak bisa terbendung lagi.
"Hhmmmhh...," Candu Asmara mengerang dalam
gumam. Kedua tangannya meremas baju Suto bagian 
punggung. Tubuhnya menggelia menahan rasa yang luar
biasa nikmatnya. Akhirnya gigi si gadis membuka dan
lidah Suto pun disambarnya. Haap...!
"Hhhmmmh...!" desah yang keluar lewat hidung
menghamburkan geram menggumam penuh curahan
kebahagiaan. Suto Sinting melumat lidah  dan bibir
Candu Asmara dengan kelembutan yang terasa
menerbangkan jiwa setinggi mungkin. Candu Asmara
membalasnya dengan lembut pula, namun kedua
tangannya meremas tubuh Suto di sana-sini, seakan
ingin merobek baju Suto yang tak berlengan itu.
Batin si gadis  menuntut kuat. Tuntutan keindahan
yang lebih nyata lagi  itu dipertahankan mati-matian
hingga napasnya terengah-engah dan keringat dinginnya
keluar semua. Hembusan napas kelegaan terlontar
bersama erangan memanjang ketika Suto Sinting
melepaskan bibir si gadis dan merayapkan ciumannya ke
dagu, lalu menelusup ke leher.
"Aaaaaahh...!"
Candu Asmara gemas sendiri. Punggung Suto
menjadi sasaran remasan kegemasannya lagi. Tapi ia tak
mau menyingkirkan wajah Suto yang menelusup di
lehernya. Bahkan  ia  memiringkan kepala, membuat
lehernya menjadi kian terbuka sehingga Suto  Sinting
memperoleh kebebasan bergerak. Leher itu disapu
dengan lidah Suto, sesekali dipagut-pagut kecil dalam
kelembutan yang memancarkan gairah berlebihan bagi
Candu Asmara.
"Sutooo... uuuhh, hhek, heek, heek...," Candu Asmara 
merengek seperti anak kecil, ia merasa semakin hanyut,
terbang di langit tingkat tertinggi, lupa segala-galanya,
hanyut dalam kemesraan yang belum pernah
diperolehnya, walau dulu ia pernah mempunyai seorang
kekasih yang bernama Umbada. Tapi Umbada tak
pernah mendapatkan kesempatan seperti yang diperoleh
Suto. Candu Asmara tak pernah mau berciuman dengan
Umbada, karena Umbada tak pandai menundukkan
jiwanya.
Sementara itu, hati Pendekar Mabuk sendiri
berkecamuk dalam keheranan. Hasratnya ingin mencium
tubuh Candu Asmara tak bisa ditangguhkan sebentar
pun. Bahkan semakin lama semakin bersemangat, dan
gairahnya semakin berkobar-kobar.
"Edan! Aku tak bisa berhenti?! Padahal aku ingin
berhenti sebentar saja untuk menarik napas, tapi rasa-
rasanya sulit sekali  untuk berhenti. Ooh... sekujur
tubuhku penuh dengan keringat dingin. Gairahku
meledak-ledak di dalam  dada. Apakah karena racun
dalam  air liurnya? Oh, pantas dia bernama Candu
Asmara, rupanya siapa pun yang pernah mengecup
bibirnya akan kecanduan bermain cinta dengannya.
Aduh, bagaimana berhentinya kalau begini?!"
Candu Asmara sendiri hanya bisa mengerang dan
merintih-rintih ketika ciuman Suto merayap sampai ke
belahan dada.  Ia  biarkan tangan Suto melebarkan
bajunya hingga baju itu terlepas. Dada berlapis kutang
tipis diterjang ciuman Pendekar Mabuk, sampai akhirnya
mulut Pendekar Mabuk itu mencapai puncak bukit 
kehangatan,  ia  menyapu ujung bukit itu dengan
lidahnya, pelan namun pasti. Maksudnya, pasti disantap.
"Aaoouh...!" Candu Asmara memekik dengan
rematan kedua tangan semakin kuat ketika ujung bukit
itu akhirnya disantap oleh  Pendekar Mabuk. Tubuhnya
mengejang, bibirnya digigit sendiri dengan kepala
menggeliat naik. Suto Sinting memagutnya pelan, pelan,
dan pelaaan... sekali.
"Celaka!  Aku benar-benar tak bisa hentikan
tindakanku ini," pikir Suto sempat tegang juga.
"Keinginan menggumulinya semakin besar dan tak bisa
kuhindari. Ooh... kalau begitu aku benar-benar telah
terkena racun asmara dalam air liurnya itu. Bahaya kalau
begini! Bahaya sekali! Aku harus paksakan diri untuk
melepaskan cumbuanku dan meminum tuakku!"
Suto Sinting merencanakan hal itu, tapi dalam hatinya
masih ada sedikit kesangsian; dapatkah tuak itu melawan
racun asmara tersebut? 
*
* *

 6
 TERNYATA kesaktian tuak Suto masih mampu
melumpuhkan racun cinta tersebut. Dengan menenggak
tuak beberapa teguk, hasrat ingin bercumbu secara
berlebihan dapat dihentikan. Bahkan tuak itu mampu
meredam emosi cinta Candu Asmara, sehingga
keduanya sama-sama tegang, hanya saling berpelukan
dalam damai.
Pelukan damai itu, melebihi puncak keindahan
bercumbu. Pelukan damai itu terasa lebih agung dan
sangat berkesan dalam  hati mereka masing-masing.
Terasa sulit melupakan saat-saat bahagia dalam pelukan
seperti itu.
Pusat perhatian mereka beralih ke masalah
penculikan putri raja. Mereka ikut hadir di alun-alun
bersama para calon menantu raja yang jumlahnya cukup
banyak itu. Namun Suto dan Candu Asmara tidak ikut
berkumpul di tengah alun-alun. Mereka hanya berada
dalam  jajaran rakyat yang menyaksikan wajah-wajah
calon menantu raja mereka.
"Itu yang bernama Tengkorak Tampan," bisik Candu
Asmara sambil menunjuk ke arah pemuda berbaju
merah, rambut kucal, tubuh kurus, namun masih tampak
muda, seperti berusia sekitar dua puluh tiga tahun.
Suto Sinting hanya menggumam sambil manggut-
manggut. Menurutnya, pemuda berpakaian serba merah
dengan punggungnya bergambar tengkorak warna putih
itu memang mempunyai wajah yang lumayan tampan 
dibandingkan Sawung Kuntet. Tapi melihat bentuk
matanya yang kecil, Suto dapat pastikan bahwa pemuda
itu penuh kelicikan.
Di samping Tengkorak Tampan, Suto melihat wajah
angker berbadan tinggi, besar, berbulu, ia adalah si
Singawulu  yang pernah berhadapan dengan Suto saat
menyelamatkan nyawa Sawung Kuntet. Hanya beberapa
orang yang berwajah angker, lainnya pada umumnya
mempunyai wajah yang bisa dibilang lumayan ganteng.
"Gila! Bocah gendeng itu ada di sana juga rupanya?!"
gumam Suto Sinting dengan terperangah. 
"Siapa maksudmu?"
"Santana, sahabatku dari Pulau Parang," jawab Suto
sambil menuding ke arah pemuda bersenjata toya bambu
kuning yang mengenakan rompi putih celana coklat itu.
Pendekar Mabuk geli sendiri saat membayangkan
pertemuannya dengan Santana, si pemuda kalem dan
murah senyum itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kematian Sang Durjana").
Pendekar Mabuk segera tertarik pada seorang pemuda
bertubuh lebih tinggi darinya, berbadan kekar dan
bercambang halus. Wajah tampannya dihiasi dengan
kumis tipis dan rambut bergelombang sepanjang bahu.
Pemuda yang mengenakan pakaian hijau muda dengan
hiasan benang emas itu diperkirakan baru berusia sekitar
dua puluh tahun. Tapi karena perawakannya yang tinggi
dan kekar, ia tampak seperti sudah berusia lebih dari dua
puluh tahun. Wajah bocahnya masih tampak jelas,
sehingga orang dapat menduga bahwa ia masih muda 
belia.
"Siapa pemuda yang berdiri di bawah pohon itu?"
"Oh, dia...?! Dia dikenal  dengan nama si Pedang
Dewa, murid Perguruan Jari Wasiat, berasal dari Selat
Kubang. Aku kenal  dengannya ketika adikku; Mirah
Cendani hampir mati di tangan para Perampok Gunung
Sawan. Dia yang selamatkan Mirah Cendani," jawab
Candu Asmara dengan lancar. Tapi tiba-tiba wajah gadis
itu sedikit menegang. Seseorang yang berjalan dari arah
kanan Suto menjadi pusat perhatian. Candu Asmara pun
berbisik kepada Suto dengan lagak tak memperhatikan
orang tersebut.
"Kita pindah ke sebelah sana saja, dekat Cempaka
Ayu!"
"Kenapa?" tanya Suto heran.
"Pindah saja ke sana!" sambil Candu Asmara menarik
tangan Suto. Ketika pemuda itu menaruh curiga dengan
pandangan si gadis dan ingin berpaling ke belakang,
Candu Asmara buru-buru menyentak dengan suara bisik.
"Jangan menengok ke belakang! Jangan menengok!"
"Hei, ada apa sebenarnya, Candu Asmara?!"  
"Dewi Ranjang melihatmu dan dia berusaha
mendekatimu!" bisik Candu Asmara yang membuat Suto
Sinting jadi tersenyum geli. Rasa takut Candu Asmara
terhadap aji pemikat di mata Dewi Ranjang membuatnya
sempat tampak gugup. Suto tahu, Candu Asmara sangat
takut jika Suto terkena aji pemikat Dewi Ranjang. Sebab
itu, Suto tak berani coba-coba melirik Dewi Ranjang,
karena Candu Asmara akan berang terhadapnya jika 
nekat melakukan hal itu.
Candu Asmara berpindah posisi. Kini ia berjalan di
belakang Suto Sinting dan mengarahkan langkah Suto
untuk pindah tempat. Dengan begitu, ia seolah-olah
menjadi penghalang utama jika Dewi Ranjang ingin
mendekati Pendekar Mabuk.
Setelah mereka bergabung dengan Cempaka Ayu
yang berdiri bersama kekasihnya, maka pusat perhatian
mereka pun tertuju pada utusan dari istana yang
mewakili Raja Gundalana. Sang utusan tampil di atas
panggung lebar yang sebenarnya disediakan untuk
pertarungan laga bagi para calon menantu raja. Dari atas
sana sang utusan berseru mengumumkan tentang
hilangnya Rara Ayu Kumala Undarini Sumbi yang
diculik oleh Hantu Urat Iblis.
Suara gemuruh terdengar bagai ratusan lebah
menyerang alun-alun. Suara gemuruh itu berasal  dari
gumam, gerutu dan kecaman dari para calon menantu
raja dan rakyat di sekeliling alun-alun. Mereka sangat
terkejut, sekaligus kecewa dengan munculnya musibah
yang baru sekarang diketahui oleh mereka itu.
"Tepat malam purnama yang akan datang dua hari
lagi, Hantu Urat iblis memberi kesempatan kepada siapa
saja yang ingin mencoba merebut Gusti Rara Ayu
Kumala dari tangannya. Hantu Urat Iblis menunggu di
Bukit Kecubung dan siap lakukan pertarungan dengan
siapa pun. Jika tak ada yang bisa menumbangkan
dirinya, maka Gusti Rara Ayu Kumala  akan
diboyongnya ke Pulau Setan dan dijadikan istrinya 
secara paksa."
"Bangsaaat...!" teriak Singawulu  dengan keras,
membuat ia diperhatikan oleh  setiap orang. Singawulu
tampak marah sekali  dan sangat bernafsu untuk
membunuh Hantu Urat Iblis.
Suto Sinting justru tertawa geli mendengar makian
Singawulu  yang sangat kecewa itu. Dalam benak Suto
terbayang semangat Singawulu  saat hendak menuju ke
kotaraja, seakan ia yakin betul bahwa dirinya yang akan
menjadi menantu Raja Gundalana. Tapi kenyataannya ia
justru mendapat kabar seperti itu, dan Suto dapat
bayangkan betapa besar kekecewaan Singawulu saat itu.
Utusan raja berseru lagi, "Karenanya, Paduka Raja
memutuskan, barang siapa yang bisa membebaskan
Gusti Rara Ayu Kumala dan membawanya pulang
dengan selamat, dialah yang akan menjadi menantu
Paduka Raja dan diangkat sebagai panglima tertinggi di
negeri Bardanesya ini!"
"Aku sanggup!" seru salah seorang peserta.
"Aku juga sanggup! Kau pikir kau saja yang
sanggup?!" bantah orang di sebelahnya.
"Jangan besar mulut, Kawan! Buktikan, siapa di
antara kau atau aku yang berhasil tumbangkan si Hantu
Urat iblis itu!"
"Eh, kau meremehkan aku, ya?!" bentak orang kedua
tadi.
"Kalau iya mau apa kau, hah?!" orang pertama juga
tampak berani.
"Hei, hei, hei...! Jangan ribut di sini!" sentak yang 
lainnya. "Kalau mau ribut di Bukit Kecubung sana!"
Mereka melerai, Suto Sinting memandang dengan
tertawa geli. Pendekar tampan itu masih tetap tenang dan
seakan tidak ikut terlibat dalam rencana pertarungan di
Bukit Kecubung itu.  Ia  bahkan berbisik kepada Candu
Asmara dengan pelan.
"Dapatkah aku menghadap Raja Gundalana?!"
"Untuk apa?"
"Ada beberapa hal yang ingin kuketahui tentang
hubungan raja dengan Hantu Urat Iblis," jawab Suto
dengan serius, sehingga Candu Asmara pun menanggapi
dengan serius pula.
Bisikan itu didengar oleh Cempaka Ayu, kemudian
Cempaka Ayu ikut angkat bicara dalam bisikan pula.
"Kurasa untuk saat seperti sekarang ini, siapa pun
sulit menemui raja, karena beliau dalam keadaan sangat
berduka. Sebaiknya jika ada sesuatu yang ingin kau
ketahui, tanyakanlah kepada Paman Sumanjaya!"
"Siapa itu Paman Sumanjaya?" tanya Suto.
"Sahabat ayahku yang sering berkunjung untuk
makan di penginapanku."
"Oooo..," Suto manggut-manggut. "Apakah Paman
Sumanjaya mengetahui hubungan pribadi  antara raja
dengan Hantu Urat Iblis?"
"Menurutku... beliau tahu banyak tentang keluarga
istana, karena beliau adalah penasihat raja dalam bidang
hukum dan adat."
"Kurasa memang lebih baik bicara kepada Paman
Sumanjaya saja," timpal Candu Asmara. "Menghadap 
raja tidak mudah. Bisa-bisa kau dicurigai sebagai  anak
buah Hantu Urat Iblis!" sambil Candu Asmara
sunggingkan senyum cantiknya yang membuat Suto
Sinting berdebar-debar, lalu balas memamerkan senyum
menawannya.
Paman Sumanjaya bertemu dengan Pendekar Mabuk
di kedai penginapan milik keluarga Cempaka Ayu.
Pendekar Mabuk didampingi oleh Candu Asmara yang
sudah dikenal oleh Paman Sumanjaya.
Tetapi sebelumnya Suto mewanti-wanti  kepada
Candu Asmara dan Cempaka Ayu agar jangan
memperkenalkan dirinya sebagai Pendekar Mabuk. Ia
hanya bersedia dikenalkan sebagai  sahabat Candu
Asmara yang bernama Suto saja.
"Mengapa kau tak mau diperkenalkan sebagai
Pendekar Mabuk. Menurutku, jika Paman Sumanjaya
mengetahui bahwa kau Pendekar Mabuk, maka ia tak
segan-segan menceritakan apa saja yang ingin kau
ketahui. Namamu sudah sering disebut-sebut oleh para
prajurit dan pejabat istana," kata Cempaka Ayu.
"Justru aku tak ingin mereka terlalu menaruh harap
padaku," ujar Pendekar Mabuk. "Jangan katakan kalau
aku pun ingin mencoba membebaskan putri raja.
Katakan saja bahwa aku dan Candu Asmara hanya
sekadar ingin tahu tentang penculikan tersebut."
Candu Asmara menimpali lagi, "Kalau hanya itu aku
sendiri yang bicara kepada Paman Sumanjaya!"
Orang yang bernama Paman Sumanjaya itu berbadan
gemuk dan tinggi tubuhnya sedang-sedang saja. 
Kebiasaannya makan siang di kedai tersebut bukan
lantaran di istana tidak mendapat jatah makan, tetapi
sekadar ingin selalu bertemu dengan ayahnya Cempaka
Ayu dan menambah porsi makannya. Sebab jika ia
makan terlalu banyak di istana, merasa malu terhadap
pejabat lainnya.
"Penculikan itu dilakukan pada tengah malam," ujar
Paman Sumanjaya mengawali ceritanya. "Tak seorang
pun yang terbangun pada malam itu, sehingga tak
seorang pun yang melihat jalannya penculikan tersebut.
Kami seperti dibius dengan suatu ilmu yang membuat
kami tertidur nyenyak sekali. Bahkan penjaga pintu
gerbang istana pun ikut tertidur sampai pagi baru
bangun."
"Dari mana pihak istana tahu kalau Hantu Urat Iblis
menunggu di Bukit Kecubung?"
"Selembar surat ditinggalkan di dalam kamar Gusti
Rara Ayu Kumala," jawab Paman Sumanjaya.
Kini Suto Sinting giliran ajukan pertanyaan kepada
sang penasihat raja bidang hukum itu.
"Apakah sebelumnya pihak raja sudah kenal dengan
Hantu Urat Iblis, Paman?"
"Sudah," jawabnya tegas. "Hantu Urat Iblis pernah
datang melamar Rara Ayu Kumala, tapi lamarannya
ditolak secara halus."
"Secara halusnya bagaimana?"
"Rara Ayu Kumala  mau menerima lamaran Hantu
Urat Iblis jika diberi maskawin seekor kelinci emas."
"Mana ada kelinci emas?" sela Suto sambil tertawa 
dalam senyum.
"Justru itulah putri raja memberi syarat yang tak
mungkin bisa dikabulkan oleh Hantu Urat Iblis."
"Hmmm...," Suto Sinting menggumam sambil
manggut-manggut. "Kalau  begitu, rupanya Hantu Urat
Iblis merasa sakit hati dengan penolakan lamarannya itu,
kemudian ia mendengar sang Raja mencari calon
menantu. Sebelum calon menantu didapatkan,  ia
menculik Rara Ayu Kumala. Menurutku selain ia sakit
hati juga ingin membuktikan bahwa ia mampu bertindak
dengan cara apa pun untuk dapat memperistri Rara Ayu
Kumala."
"Ya, memang begitulah kesimpulan kami, para
pejabat Istana!" ujar Paman Sumanjaya.
"Tapi sebelumnya tak ada perjanjian apa-apa,
bukan?"
"Perjanjian apa maksudmu, Nak?"
"Misalnya, sang Raja pernah berjanji tidak akan
mengawinkan putrinya dengan siapa pun sebelum Hantu
Urat Iblis mendapatkan kelinci emas, atau perjanjian
lainnya yang bersifat mengikat kebebasan keluarga
istana?"
"O, tidak! Tidak pernah ada perjanjian apa pun."
Suto Sinting manggut-manggut, lalu diam termenung
beberapa saat. Sementara itu, Candu Asmara ganti
ajukan tanya kepada Paman Sumanjaya.
"Paman, jika seseorang berhasil merebut Rara Ayu
Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis, tapi dia tidak
bersedia menikah dengan Rara Ayu Kumala, apa 
sanksinya?"
"Tak ada sanksi apa-apa. Tak ada hukuman apa-apa!
Justru pihak istana akan merasa tak enak hati dan pasti
akan menuruti apa pun permintaan orang tersebut
sebagai hadiahnya."
"Nanti dianggap penghinaan?!" timpal  Suto Sinting
dengan nada cemas, karena ia pernah nyaris dianggap
menghina keluarga istana karena menolak hadiah berupa
perkawinan terhadap putri sang penguasa, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Asmara Darah Biru").
"Kurasa tidak demikian, Nak. Perkawinan itu hanya
semacam hadiah saja. Karena orang yang membebaskan
sang Putri belum tentu semuanya bermaksud melamar
ingin menjadi menantu raja. Peraturannya sudah berbeda
dengan peraturan semula. Sekarang siapa pun, tua atau
muda, lelaki atau perempuan, boleh ikut membebaskan
Rara Ayu Kumala. Pihak istana punya kebijaksanaan
tersendiri dalam hal ini."
"Paman berani menjamin tak ada kesan penghinaan
jika ada yang berhasil membebaskan Rara Ayu Kumala
tapi tidak mau menikah dengannya?" sela Candu
Asmara.
"Ya. Aku berani menjamin! Apakah kau tak tahu
yang merumuskan ketentuan dan hukum adalah diriku,
Candu Asmara?"
Candu Asmara merasa lega, demikian pula Pendekar
Mabuk. Tapi bagi Paman Sumanjaya, pertanyaan itu
akhirnya menjadi buah ganjalan hatinya.
"Mengapa  kalian mempersoalkan tentang itu? 
Apakah ada yang ingin membebaskan putri raja tapi tak
ingin menikah dengannya?!"
Suto Sinting buru-buru menjawab pada saat bibir
Candu Asmara mulai bergerak ingin lontarkan kata.
"O, tidak! Kami hanya ingin tahu saja, Paman. Kami
tertarik dengan peristiwa itu dan ingin mengikuti sampai
di mana akhir dari penculikan tersebut. Adakah para
calon menantu raja yang mampu merebut sang Putri dari
tangan Hantu Urat Iblis? Hanya itu yang ingin kami
ketahui, Paman." 
"Kita lihat saja pada malam purnama nanti!" kata
Paman Sumanjaya, seakan yakin bahwa salah satu dari
para tamu istana itu ada yang berhasil bebaskan Kumala
dari tangan Hantu Urat Iblis.
Candu Asmara sendiri akhirnya tertarik untuk melihat
pertarungan di Bukit Kecubung. Para jago dari pelosok
penjuru dunia datang untuk  melawan Hantu Urat Iblis.
Bahkan menurut Paman Sumanjaya, para pelamar itu
ada yang datang dari Pegunungan Tibet dan Tanah
Gangga. Suatu kerugian besar jika Candu Asmara tidak
ikut menyaksikan pertarungan di Bukit Kecubung itu.
Selama dua malam Suto Sinting menginap di
penginapan milik ayahnya Cempaka Ayu itu. Selama
dua malam itu, bunga-bunga  asmara berhamburan di
kamar yang tak seberapa lebar. Namun gadis berhidung
mancung itu tetap tak ingin lanjutkan cumbuan mereka
menjadi pelayaran cinta yang mendebarkan. Suto Sinting
pun tak merasa kecewa dan merasa lebih bangga dapat
memeluk Candu Asmara sepanjang malam tanpa 
menodai cinta dan kesetiaannya terhadap Dyah
Sariningrum.
"Jangan bertindak dulu sebelum jelas bahwa tak satu
pun dari mereka yang mampu merebut Kumala  dari
tangan  Hantu Urat Iblis," ujar Candu Asmara sebelum
mereka berangkat ke Bukit Kecubung.
"Aku memang bermaksud begitu. Kalau memang ada
yang mampu menumbangkan Hantu Urat Iblis, aku
justru  senang, karena tak perlu repot-repot lompat sana-
sini melawannya."
Candu Asmara hembuskan napas lega. Tapi ketika
mereka berangkat menuju bukit tersebut pada awal
purnama tiba, Candu Asmara tampak gelisah. Ada suatu
kecemasan yang disembunyikan oleh gadis cantik
bertubuh tinggi sekal itu.
"Mengapa kau kelihatannya resah, Candu Asmara?"
tegur Suto yang merasa janggal atas jarangnya Candu
Asmara bicara sepanjang perjalanan itu.
"Aku takut kalau kau tumbang di tangan Hantu Urat
Iblis! Aku... aku tak ingin kau mati di tangannya!"
Suto Sinting tertawa kalem. "Bukankah kau dapat
bertindak secepatnya jika aku tampak terdesak bahaya?!
Kita bisa lari bersama, heh, heh, heh...."
"Aku yakin kau tak akan mundur walau sudah tahu
kalau terdesak. Kau adalah seorang pendekar, jiwamu
tak mungkin menyerah begitu saja. Kau lebih baik mati
di pertarungan daripada lari dari pertarungan!"
"Betulkah jiwaku begitu? Oh, aku sendiri justru baru
tahu sekarang," ujar Pendekar Mabuk dengan santainya, ai ketegangan sedikit pun.
Ketenangan Suto itu justru membuat Candu Asmara jadi
kesal sendiri di dalam hatinya. Gadis itu tak mau
sunggingkan senyum seulas pun walau  Suto
menggodanya dengan canda.
Sampai mereka tiba di Bukit Kecubung, gadis itu
masih tak mau tersenyum. Namun ketenangannya mulai
terlihat sejak ia melihat gurunya  ternyata hadir di situ
pula bersama Mirah Cendani dan Sawung Kuntet,
"Lihat, di sebelah sana ada adikmu dan Sawung
Kuntet!"
"Ya, aku tahu. Kita ke sebelah sini saja. Kalau Guru
tahu aku di sini, pasti akan melarangku ikut campur
dalam pertarungan ini. Padahal kalau kau maju melawan
Hantu Urat Iblis dan keadaanmu terdesak, aku tetap akan
ikut campur dalam pertarungan nanti!"
Candu Asmara sengaja tidak temui gurunya. Tapi ia
yakin, jika ia ikut campur dan dalam bahaya, pasti sang
Guru tidak akan tinggal diam. Rupanya kabar tentang
malam pertarungan  itu cepat menyebar ke mana-mana
sampai Eyang Cakraduya mengetahuinya.
Terbukti, bukan hanya para calon menantu raja saja
yang hadir di Bukit Kecubung itu, melainkan beberapa
tokoh dari berbagai  penjuru ikut datang menyaksikan
ulah si anak siluman yang kala itu belum datang.
Ketika bukit tersebut sudah ramai dikunjungi orang,
maka angin besar berhembus bagaikan badai di awal
kiamat tiba. Suara deru angin yang disertai dengan
kilatan cahaya petir membuat beberapa orang, terutama 
yang berilmu rendah, sempat merinding dan bergidik.
Mereka memandang ke arah langit. Tampak cahaya biru
petir yang melesat di sana-sini dengan gelegar suaranya
yang menggema di sana-sini.
"Biasanya ini pertanda si Hantu Urat Iblis datang
bersama murkanya," bisik Candu Asmara kepada Suto
Sinting. Mata pemuda tampan murid si Gila Tuak itu
menatap ke sana-sini, hatinya penasaran ingin segera
melihat sosok tokoh aliran hitam yang dikenal  sebagai
Hantu Urat Iblis itu.
 *
* *

 7
 TIDAK seorang pun mengetahui kehadiran Hantu
Urat Iblis. Tahu-tahu mereka dikejutkan oleh
kemunculan seorang lelaki berjubah hitam dan bercelana
merah. Jubah hitamnya yang tanpa lengan itu berkelebat
ditiup sisa badai misterius tadi.
Kini cahaya purnama tampak semakin terang dan
menyinari sesosok tubuh yang tak terlalu gemuk, tapi
juga tak terlalu kurus. Pandangan mata mereka tertuju
pada seraut wajah pucat yang punya ketampanan
tersendiri. Wajah pucat berambut sepunggung  warna
abu-abu itu mempunyai kulit tubuh warna putih dengan
garis-garis biru sebagai bayangan urat nadi yang tampak
 jelas karena ketipisan kulitnya.
"Diakah yang bernama Hantu Urat Iblis?" bisik Suto
kepada Candu Asmara.
"Benar! Dialah orangnya!" Candu Asmara menjawab
dengan suara sedikit terasa tegang.
Tapi Pendekar Mabuk memandang dengan sikap
tenang sekali, ia memperhatikan sosok Hantu Urat Iblis
dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Ia tak melihat
orang tersebut membawa senjata, selain keruncingan
pada kuku-kuku tangannya. Hanya orang-orang berilmu
tinggi yang sering merasa malas membawa senjata,
karena seluruh anggota tubuhnya dapat berubah menjadi
senjata maut perenggut nyawa lawannya.
"Atau memang dia tak mempunyai senjata?" ujar hati
Suto Sinting dengan usil.
Bukit Kecubung termasuk bukit gundul tanpa hutan.
Ketinggiannya memang tak seberapa, tapi permukaan
puncaknya sangat datar, mirip sebuah lapangan bola. Di
puncak itu hanya ada satu pohon yang tumbuh tinggi,
seperti pohon jati tapi daunnya mirip beringin.
Di pohon itulah, Rara Ayu Kumala tahu-tahu sudah
terikat begitu mereka mengetahui Hantu Urat Iblis sudah
tiba di tempat tersebut. Gadis cantik itu terikat tubuhnya
dalam keadaan menangis terisak-isak. Namun  ia  masih
sehat dan tak ada luka sedikit pun pada tubuhnya.
"Gusti Ayu Kumala... apakah dia sudah menodai-
mu?!" seru Tengkorak Tampan.
"Belum! Tapi aku takut... oh, tolonglah aku...!" seru
Kumala Udarini Sumbi.
"Apakah dia menyakitimu?!" seru pemuda yang lain.
"Tidak. Dia... dia hanya menyekapku dan sekarang
mengikatku di sini! Tolong bebaskan diriku!" sambil
sang gadis menangis ketakutan.
Cahaya rembulan bersinar penuh. Malam bagaikan
siang. Terang sekali. Angin berhembus sedang dengan
kecepatan tak perlu disebutkan. Yang jelas, rambut
panjang Hantu Urat Iblis meriap-riap dipermainkan
angin. Sebagian ada yang menutup wajah, membuat
wajahnya menjadi tampak menyeramkan. Sorot
pandangan matanya sangat dingin, seakan mampu
membekukan seluruh darah orang yang dipandangnya.
Utusan dari istana maju, bicara dengan Hantu Urat
Iblis dengan gemetar.
"Hantu Urat Iblis, apakah kau tak menyesal membuka
tantangan pertarungan di sini dengan para pelamar ini?!"
"Jangan banyak mulut!  Siapa yang merasa mampu
menjadi istri Kumala, tunjukkan padaku kehebatannya!
Hantu Urat Iblis berkuasa atas diri gadis yang sudah
lama kuidam-idamkan ini! Siapa pun tak  berhak
memilikinya!"
"Baiklah, itu urusanmu. Kalau sakit, kau sendiri yang
menanggung. Para pelamar kebanyakan orang-orang
galak dan...."
Claaap...! Tiba-tiba dari mata Hantu Urat Iblis
keluarkan sinar merah berbentuk seperti pintu runcing.
Sinar itu melesat cepat dan menghantam dada utusan
dari istana. Zuuurb...!
Orang itu diam saja, tapi mulutnya tetap ternganga 
tak bisa ditakupkan lagi. Ia tak menjerit kesakitan, walau
beberapa orang mengetahui dada utusan istana itu
menjadi hitam hangus selebar telapak tangan.
"Minggirlah, Ki Juru Wicara... biar aku yang
menghadapinya pertama kali!" ujar seorang pemuda
berbaju biru tua kepada utusan dari istana itu.
Tetapi pemuda tersebut segera tercengang setelah
mengetahui bahwa Ki Juru Wicara ternyata sudah tidak
bernyawa  lagi. Wajah pemuda itu menegang dan ia
segera berseru kepada orang di sekitarnya.
"Dia sudah tak bernyawa?! Dia langsung mati?!"
"Kejam!" geram Singawulu  yang tampak sudah tak
sabar lagi.
Singawulu  tiba-tiba melesat dalam  satu  lompatan.
Wuuut...! Jleeg...!  Ia  berdiri di  depan Hantu Urat Iblis
dalam jarak lima langkah.
"Lepaskan putri raja atau kulepaskan kepalamu dari
ragamu!" ancam Singawulu  sambil melepas sabuk
pusakanya.
Hantu Urat Iblis tak menjawab. Hanya saja,
Singawulu  tiba-tiba menggeragap bagai diterjang
bayangan hitam yang membuat matanya gelap sesaat.
Wuuus...! Tanpa suara teriak atau menggeram,
Singawulu  tahu-tahu sudah berada di tanah, terkapar
dalam  keadaan sekarat. Dadanya rusak tercabik kuku
tajam. Sedangkan Hantu Urat Iblis sudah berada di
tempat yang tadi dibelakangi Singawulu.
"Edan! Gerakannya seperti setan ketakutan?!" gumam
seorang penonton di samping Suto Sinting. 
"Gerakan setan yang tidak ketakutan saja sudah
secepat itu, apalagi setan yang ketakutan, ya?" timpal
temannya.
Beberapa orang sempat tertegun melihat Singawulu
kejang-kejang beberapa saat, kemudian napasnya
menghembus panjang, dan sejak saat itu tak mau
bernapas lagi.
"Gila!  Alangkah singkatnya pertarungan itu. Belum
apa-apa Singawulu  sudah tewas, padahal baru
melepaskan sabuknya?!" gumam Suto Sinting pelan
sekali dan didengar oleh Candu Asmara.
Gadis itu berkata, "Begitulah cara Hantu Urat Iblis
jika bertarung. Tak pernah pakai  basa-basi dulu, tahu-
tahu lawannya tewas tanpa sempat lakukan perlawanan
sedikit pun."
"Ssst...! Lihat, pemuda yang pernah menolong
adikmu itu sudah mencabut pedangnya. Pasti dia akan
menyerang lebih dulu," bisik Suto, dan baru saja bisikan
tersebut berhenti, ternyata pemuda tinggi berambut ikal
yang bergelar si Pedang Dewa sudah berkelebat
menerjang Hantu Urat Iblis.
Wees. .! Craas...!
Terjangan dari belakang membuat Hantu Urat Iblis
terkena sabetan pedang. Punggungnya tampak koyak
lebar. Tetapi beberapa orang yang berada di arah
belakang Hantu Urat Iblis segera tercengang melihat
luka  itu berasap tipis dan bergerak menutup sendiri
secara pelan-pelan. Akhirnya punggung tersebut utuh
kembali tanpa luka seujung rambut pun. Hanya saja 
pakaian hitam Hantu Urat Iblis tetap saja robek, tanpa
ada yang menjahitnya, baik secara ajaib maupun nyata.
"Itulah  ilmu 'Perisai Kubur'-nya," bisik Candu
Asmara. Suto hanya menggumam kecil dan tetap tenang.
Matanya tertuju pada si Pedang Dewa yang memainkan
pedangnya dengan gerakan indah.
Hantu Urat Iblis hentakkan kakinya dari jarak lima
langkah. Duuhk...! Brruuus...!
"Aaaaa...!!" jeritan si Pedang Dewa terdengar
menyayat hati. Tanah yang dipijaknya itu longsor ke
dalam bukit. Tubuhnya bagai tersedot ke dalam. Setelah
itu tanah tersebut muncul kembali dan menjadi datar
lagi. Bahkan menjadi keras seperti tak pernah longsor
sedikit pun.
"Celaka!" ujar Candu Asmara. "Si Pedang Dewa
tewas ditelan bumi?! Padahal dia pernah menolong
adikku. Aku harus...."
Suto Sinting mencekal lengan gadis itu. "Ingat, kau
hanya akan ikut campur jika aku dalam bahaya!"
Candu Asmara akhirnya hembuskan napas, tak jadi
lakukan tindakan pembalasan terhadap nasib si Pedang
Dewa, karena ingat akan janjinya.
Perhatian gadis itu segera diarahkan kepada si
Tengkorak Tampan. Karena pemuda berbaju merah
dengan gambar tengkorak di punggungnya itu segera
lakukan lompatan bersalto cepat ke arah Hantu Urat
Iblis. Wuk, wuk, wuk...! Sambil bersalto ia mencabut
senjata milik gurunya; 'Garpu Malaikat' yang selama ini
dianggap sebagai senjata sangat berbahaya.

 !
Jleeg...! Tepat saat kaki Tengkorak Tampan menapak ke
tanah, 'Garpu Malaikat' disentakkan ke  depan. Wuuut!
Claaap...! Dari ujung kedua mata garpu itu keluar sinar
merah sebesar lidi yang bergerak dengan sangat cepat.
Jleeb...! Sinar itu menghujam dada Hantu Urat Iblis.
"Uuhk ?!" Hantu Urat Iblis sempat terpekik dan
limbung ke belakang beberapa langkah. Tapi kejap
kemudian ia menjadi tegak kembali dan lubang bekas
luka kedua sinar merah itu telah mengatup dengan
sendirinya.
"Keparat kau, Iblis!" geram Tengkorak Tampan, lalu
ia lakukan lompatan menerjang dengan senjata
disabetkan dari bawah ke atas. Weees...!
Hantu Urat Iblis berguling ke tanah satu kali, lalu
tangannya menampar ke atas, mengenai  kaki si
Tengkorak Tampan. Plaak...! Suara tamparan itu tak
seberapa keras, namun akibatnya sungguh berbahaya
bagi si Tengkorak Tampan.
Pada mulanya pemuda itu masih mampu berdiri tegak
dan memainkan jurusnya untuk siap lakukan serangan
kembali. Tapi tiba-tiba ia menggeloyor mau jatuh.
Tubuhnya terasa menggigil. Kakinya menjadi biru
legam. Warna biru legam itu merayap dengan cepat
sampai ke pinggul. Brruk...! Tengkorak Tampan pun
roboh dalam keadaan napas tersentak-sentak.
Semua mata memperhatikan si Tengkorak Tampan.
Mata mereka terbelalak serentak setelah si Tengkorak


Tampan mengejang kuat, lalu melemas sambil
hembuskan napas terakhirnya.
"Gila! Kena tamparannya saja langsung koit?!" ujar
penonton awam yang nekat menyusup di antara para
jagoan.
Candu Asmara berbisik kepada Pendekar Mabuk,
"Bukan tamparannya yang mematikan, tapi keringat di
telapak tangannya,  ia  pasti pergunakan Ilmu 'Peluh
Neraka'. Tengkorak Tampan akhirnya mati setelah tiga
belas hitungan."
"Kau menghitungnya?"
"Ya," jawab Candu Asmara dengan tegas.
Kini setiap orang mengetahui kehebatan Ilmu si
Hantu Urat Iblis itu. Namun demikian pertarungan masih
berlangsung terus. Sebagian memang ada yang
mengundurkan diri, karena merasa tak punya ilmu yang
bisa untuk tandingi kesaktian Hantu Urat Iblis itu. Tapi
sebagian lagi masih merasa penasaran dan ingin
mencoba melawannya.
Mayat bergelimpangan di puncak Bukit Kecubung.
Setiap lawan yang tumbang tak bernyawa dibuang oleh
Hantu Urat Iblis dengan tendangan kaki hingga
menggelinding ke tepian.
Satu persatu mereka tumbang tak bernyawa. Sampai
akhirnya tak ada orang lagi yang ingin mencoba merebut
Rara Ayu Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis. Si anak
siluman itu berseru dengan suara lantangnya.
"Kuhitung sampai tiga kali, kalau tak ada yang maju,
berarti aku harus segera pulang ke Pulau Setan


memboyong Kumala!"
Suto dan Candi Asmara saling pandang. Tapi tiba-
tiba Suto terkejut melihat sekelebat bayangan melesat ke
tengah arena. Wuuus...! Jleeg...!
"Aku yang akan melawanmu, Paman!" ujar seorang
pemuda bertongkat bambu kuning sambil cengar-cengir.
"Edan! Santana mau ikut-ikutan maju?!" sentak Suto
Sinting dengan tegang.
Zlaaap...! Suto Sinting bagaikan menghilang dari
hadapan Candu Asmara. Ternyata ia berkelebat
menyambar tubuh Santana dari hadapan Hantu Urat
Iblis. Weess...! Tubuh Santana dilemparkan begitu saja
dan jatuh menggelinding menuruni lereng bukit.
Brruk...!
"Aahk...!" pekikannya terdengar pelan dan pendek,
karena saat itu Santana langsung pingsan. Ulu hatinya
membentur batu sebesar kepala bayi dengan kerasnya
saat ia jatuh terbanting.
Kini Suto Sinting yang ada di depan Hantu Urat Iblis.
Kemunculan Pendekar Mabuk membuat beberapa orang
yang mengetahui ciri-ciri tersebut saling terkejut dan
bergumam kagum. Mirah Cendani segera berseru di sela
gumam mereka.
"Pendekar Mabuk! Jangan hadapi dia!"
Si gadis ingin berlari ke arena, tapi tangan sang Guru
mencekalnya.
"Biarkan dia mengakhiri keganasan si anak siluman
itu!" ujar Eyang Cakradayu yang mengenakan kain putih
dililitkan tubuh seperti seorang biksu.


Candu Asmara memandang dengan tegang,
jantungnya berdetak-detak saat mendengar Hantu Urat
Iblis membentak kepada Suto Sinting.
"Mau cari mampus juga kau, hah?!"
Suto Sinting justru menenggak tuaknya dengan
santai. Ketenangan Pendekar Mabuk membuat darah si
anak siluman itu semakin membara.
Tiba-tiba Hantu Urat Iblis menerjang Suto dengan
kecepatan tinggi, seperti yang dilakukan terhadap
Singawulu. Wees...!
Zlaaap...! Jurus 'Gerak Siluman' si Pendekar Mabuk
membuat terjangan cepat itu tak mengenai sasaran.
Tahu-tahu Suto Sinting sudah berada di samping Rara
Ayu Kumala.
"Biadab kau!" geram Hantu Urat Iblis.
Zlaaap...! Suto sudah berpindah tempat sebelum
Hantu Urat Iblis menyerangnya. Anak siluman itu
kebingungan sesaat. Begitu menengok ke belakang,
ternyata lawannya sedang berdiri di belakangnya,
menutup bumbung tuak. Hal itu sangat menjengkelkan
sekali bagi Hantu Urat Iblis. Maka serta-merta dari
kedua matanya keluar sinar merah seperti pisau yang
meluncur cepat menghantam Suto Sinting.
Claaap...! Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi hingga mengguncangkan
bukit tersebut, karena Pendekar Mabuk menangkis dua
sinar itu dengan bumbung tuaknya. Bumbung tuak
tersebut tidak pecah atau terluka sedikit pun. Bahkan
lecet pun tidak. Tetapi tubuh Suto terpental ke belakang


akibat gelombang ledakan tadi, dan Hantu Urat Iblis
terdorong sempoyongan ke arah belakang.
"Wajahku panas sekali! Sialan!  Ledakan tadi
menyemburkan hawa panas yang terasa membuat
wajahku melepuh!  Aduh, perih sekali?!" gerutu hati
Pendekar Mabuk.
Candu Asmara semakin tegang, karena ternyata
wajah Suto benar-benar melepuh,  bagai tersiram air
panas, demikian juga dengan dada dan lengannya. Tapi
agaknya Suto Sinting masih kuat menahan rasa sakit itu,
sehingga dalam waktu singkat  ia  sudah berdiri tegak
kembali.
"Heeah...!" Hantu Urat Iblis sentakkan kaki ke bumi.
Suto Sinting ingat Jurus itu pernah digunakan untuk
melawan si Pedang Dewa. Maka dengan pergunakan
jurus 'Layang Raga', tubuh Suto tetap berada di tempat
sementara tanah di bawah kakinya menjeblos ke dalam.
Brruus...!
Hantu Urat Iblis terbelalak melihat Suto Sinting tetap
berada di tempat dalam keadaan kedua kaki
mengambang di udara. Zuuurb...! Tanah itu muncul lagi
dan datar seperti semula. Telapak kaki Suto menyentuh
tanah lagi.
Namun serta-merta ia lakukan lompatan cepat
menerjang lawannya. Bumbung tuak disodokkan ke
depan. Wuuut...! Jurus 'Bangau Mabuk' membuat tubuh
Suto terbawa terbang oleh  gerakan bumbung tuak
tersebut.
Hantu Urat Iblis menahan sodokan bambu itu dengan


kedua telapak tangannya yang mulai menyala merah itu.
Deeeb...! Duaaarr...!
Suto Sinting terlempar kembali dan jatuh terbanting
dengan sangat menyedihkan. Kepalanya membentur batu
dan bocor. Darah mengalir dari kepala bagian samping.
Sementara  itu, Hantu Urat Iblis juga terlempar dan
berguling-guling ke belakang akibat ledakan yang saling
menyentak kedua arah itu.
Candu Asmara berkelebat hampiri Suto Sinting,
karena gadis itu sangat mencemaskan keselamatan Suto
melihat banyaknya darah yang mengalir.
"Suto! Suto, bangun...!  Ayo, bangun dan minum
tuakmu!" seru Candu Asmara yang sempat membuat
Mirah Cendani dan gurunya terperangah kaget melihat
Candu Asmara ternyata sudah kenal dekat dengan
Pendekar Mabuk.
Hantu Urat Iblis cepat bangkit dan menggeram di
kejauhan. Candu Asmara tegang sekali, karena keadaan
Suto sangat lemah karena masih merasa pusing. Melihat
Hantu Urat Iblis hendak menyerang lagi, Candu Asmara
segera cabut pedangnya dan menghadang lawan,
melindungi Suto Sinting.
"Sudah saatnya kau berhadapan denganku, Anak
Haram!" seru Candu Asmara.
Murka si Hantu Urat Iblis memuncak mendengar
seseorang mengatakannya 'anak haram',  ia  pun
menggeram kuat dengan tubuh bergetar, kedua tangan
mulai diangkat pelan-pelan dengan kuku runcing
menyala biru, dan dari kuku ke kuku tampak sinar biru


berlompatan bagai petir-petir kecil.
Suto Sinting segera kerahkan tenaga begitu
mendengar seruan Candu Asmara, ia sadar bahwa gadis
itu mulai bertindak, sedangkan tindakan tersebut hanya
akan mengantarkan nyawa di tangan Hantu Urat Iblis.
Maka serta-merta kaki Suto menendang kaki Candu
Asmara. Beet...! Brruk...!
Gadis itu terpelanting jatuh. Suto yang ada di
belakangnya segera bangkit, berdiri dengan satu kaki
berlutut. Kemudian tangan kanannya menyentak ke
depan dalam keadaan jari lurus mengeras. Napasnya
dihentakkan lewat hidung. Bersamaan dengan itu,
melesatlah sinar-sinar  kuning emas berbentuk pisau
kecil-kecil dalam jumlah banyak.
Cralaap...! Weerrss...!
Saat itu Hantu Urat Iblis sedang bersiap melepaskan
pukulan mautnya dari dua tangan, sehingga kedua
tangannya diangkat ke atas. Namun sebelum niatnya
terlaksana, sinar emas berbentuk pisau dari jurus
'Manggala' itu telah lebih dulu menerjang dadanya.
Zeeerrb...!
Orang-orang bergumam kagum, "Oooohhh...!"
Hantu Urat Iblis diam tak bergerak dalam posisi tetap
mengangkat kedua tangan dan wajahnya tetap
menyeringai. Suto Sinting  buru-buru menenggak
tuaknya untuk atasi luka bakar dan kebocoran di
kepalanya. Candu Asmara segera bangkit, tak pedulikan
Suto lagi, ia berlari dekati Hantu Urat  Iblis sambil
mengangkat pedangnya.


Namun sebelum pedang itu ditebaskan, angin
berhembus agak kencang. Rambut Hantu Urat Iblis
rontok dan menjadi debu. Candu Asmara terperanjat
kaget. Setelah diperhatikan baik-baik, ternyata Hantu
Urat  Iblis sudah tak bernyawa lagi. Tubuhnya menjadi
abu seketika begitu terkena jurus 'Manggala' tadi.
Keadaan itu dapat diketahui oleh mereka setelah
hembusan angin semakin kencang dan tubuh Hantu Urat
Iblis pun berhamburan dalam bentuk abu. Prruuuss...!
"Dia telah tewas! Penculik itu tewas...!" teriak salah
seorang. Yang lain segera berseru,
"Hidup Pendekar Mabuk! Hidup Pendekar Mabuk!"
Mereka menghambur ke arah Suto sebagai ungkapan
kegembiraan atas keberhasilan Suto membebaskan putri
raja. Tetapi gerakan mereka terhenti karena saat itu Suto
Sinting segera dipeluk oleh Candu Asmara dengan
ungkapan kegembiraan yang luar biasa.
"Huuuhh...!" mereka menggoda kedua insan yang
berpelukan itu, lalu mereka hamburkan tawa
kemenangan. Sang putri pun segera dibebaskan dari
ikatannya oleh para prajurit istana yang ikut
menyaksikan pertarungan tersebut. Mirah Cendani dan
gurunya bergabung dengan Suto Sinting, demikian pula
dengan si Sawung Kuntet.
Mereka beramai-ramai mengantarkan Rara Ayu
Kumala ke istana, setelah gadis itu ucapkan terima
kasihnya kepada Pendekar Mabuk. Namun si gadis
merasa kecewa setelah Suto mengatakan,
"Kau bebas  menikah dengan siapa pun, Rara Ayu.


Bukan aku calon suamimu."
Candu Asmara sunggingkan senyum kebanggaan.
Tangannya menggenggam erat-erat tangan Pendekar
Mabuk.
Tanpa diketahui siapa pun, sepasang mata sedang
memandang ke arah Pendekar Mabuk. Sepasang mata itu
adalah milik seorang perempuan cantik bertahi lalat kecil
di ujung dagunya. Dia dikenal dengan nama: Dewi
Ranjang.
Suto Sinting tak tahu kalau sedang diincar oleh mata
si Dewi Ranjang, alias janda liar pemburu kehangatan
pemuda.  

SELESAI


 Segera terbit!!!
DARAH PEMUAS RATU
 Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
 https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com