Pendekar Mabuk 96 - Tawanan Bermata Nakal (1)

1
ANGIN bertiup menuju ke timur, sementara awan hitam menggantung di langit barat. Hembusan angin itu membuat rambut pan|ang sepundak tanpa ikat kepala itu meriap-riap bagai ingin terbang dari kepala si pemuda tampan.

Pemuda tampan berbaju buntung coklat dengan celana putih kusam dan menyilangkan bumbung tuak di punggungnya itu sengaja berhenti di perbatasan desa tersebut. Pemuda yang tak lain adalah si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang bernama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk itu tertarik pada seorang pengemis kecil yang duduk di bawah pohon.
Pengemis kecil itu berusia sekitar tiga belas tahun. Badannya yang kurus dlbungkus pakaian biru lusuh, seperti jeans belel. Bajunya tanpa lengan tanpa" kancing, celananya cingkrang, tinggi tidak panjang tidak sebatas lutut lewat sedikit Bajunya mempunyai empat tambaian, celananya dihitung hitung ada enam belas tambaian.
Semua kain penambal berbeda wana. bulu dan celananya memang serba tambalan, hanya mulutnya yang tidak ditambal. Karena itulah maka mulut pengemls kecil Itu nyerocos terus, memohon belas kasihan dengan kata-kata dil'agukan dalam irama mirip dangdut.
"Kasihanilah daku..-.
Bapak. Ibu. Kakek, Nenek, dan keturunannya....
Daku ini orang tak punya, duhai"
Ada nasi makan nasi. ada singkong makan
singkong, ada rampok makan ayam....
Mohon belas kasihan.... Bapak, ibu, Kakek, Nenek, dan keturunannya....
Beri daku sedekah aia kadarnya....
Yang penting cukup untuk makan sebulan,
duhai... Bapak, ibu, Kakek, Nenek, dan
keturunannya.... Siapa memberi akan masuk surga....
Yang tidak memberi masuk penjara....
dunai... Bapak, ibu, Kakek, Nenek, dan
keturunannya... "
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum Setelah menyimak permohonan belas kasihan yang ditembangkan itu. ia tersenyum bukan karena punya ide ingin iadi pengemis juga, namun karena merasa unik melihat pengemls kecil melantunkan tembang bersyalr lucu.
Pengemis berambut kucai warna merah jagung dan berkulit hitam kusam itu sempat melirik Suto Sinting. Hatinya berharap mendapat sedekah dari seorang pemuda tampan. Maka permohonannya dalam tembang pun lebih diperbanyak dengan suara agak keras.
"Kasihaniiah daku....
Duhai, Bapak, ibu, Kakek, Kangmas, dan
 keturunannya.... Badanku kurus bukan karena cacingan,
Bapak, ibu, Kakek, Kangmas, dan keturunannya....
Badanku kurus karena bakat, Kangmas....
Bakat [adl pengemis muda....
Duhai, Bapak, ibu, Kangmas, dan keturunannya.--."
Akhirnya Suto mendekati pengemis kecil itu. SI pengemis pandangi wajah Suto dengan mata sayu, seakan penuh harapan untuk mendapat sedekah dari si walah tampan itu. Ternyata Suto Sinting memang mengambil sekeping uang yang ada di selipan Ikat pinggang kain merahnya itu.
"Kau memang pengemis kecil yang berbakat.
Suaramu enak juga didengar sambil tiduran."
"Terima kasih, terima kasih, Kakang"
Yang kubutuhkan bukan pujian tapi makanan,
Kakang" Kalau tak ada makanan uang pun jadi,
Kakang... Tak ada uang, baju pun jadi, Kakang"
Kalau tak ada baju, celana pun jadi,
Kakang..."
Sambil tertawa kecil Suto berkata, "Kalau celanaku kuberikan padamu, lalu aku pakai apa"!
Bisa  masuk angin, Dik" Kata nenek dan para sesepuh kakang ...
Masuk angin itu lebih baik daripada masuk
neraka, Kakang" Aduh lapar, lapar, lapar perutku, Kakang"
Jika tak punya uang jangan bercanda denganku, Kakang?"
Pengemis kecil itu selalu menjawab dengan tembang. Kata-katanya mengandung kelucuan sederhana yang cukup menghlbur hati sl Pendekar Mabuk. Maka, sambil tertawa pelan. murld sinting si Glla Tuak itu berkata lagi kepada pengemis kecil bermata sayu.
"Aku akan memberimu uang, tapi sebutkan dulu
namamu." "Menurut silsilah para raja"raja. Kakang...
Hamba yang hina ini diberi nama Baruna
Widyatama" Tapi karena mirip nama perusahaan; Kakang...
Maka nama Baruna Widyatama diganti Badrun,
Kakang?"
Tawa Suto terdengar iagi seperti orang menggumam pelan. Ia masih menimang-nimang uang yang terhitung besar untuk ukuran perekonomian dl kala Itu. Si pengemis kecil bermata sayu tampak melirik terus dengan. hati-tak sabar. Tempurung yang sejak tadi ditadahkan ke depan itu sengaja diarahkan mendekati tangan Suto Slnting.
"Satu iagl pertanyaanku untukmu, Badrun. Kalau kau bisa, uangku ini akan kujatuhkan ke tempurungmu. Jawablah tak perlu pakai-tembang'lagl.'!
Badrun sangat ngiler mellhat uang sebanyak itu. Kira"kira kalau dlkurskan pada zaman sekarang uang itu Ibarat selembar lima puluh ribuan yang berwarna biru abu-abu itu. Suto memang mempunyal tiga keplng uang masing-masing senilai lima puluh ribu untuk uang sekarang. Ia habis mendapat hadiah dari seorang lurah., karena berhasil selamatkan nyawa anak KI Lurah. yang tenggelam di sungai.
Jiwa sosial Pendekar Mabuk membuatnya tak merasa sayang memberrikan satu keping uang senilal itu kepada seorang pengemis. Apalagi Ia menaruh beias kasihan kepada pengemis kecil tersebut.
Tembangnya membuat hati Suto terharu, namun juga merasa senang bisa bertemu dengan Badrun. Suto Sinting sendiri tak tahu mengapa hatinya menjadi senang ketika menyimak suara tembang bocah tersebut. Yang jelas, ia justru punya minat untuk menjadi sahabat si pengemis kecil.
"Apa yang ingin kau tanyakan. Kang?" tanya Badrun, matanya sebentar-sebentar melirik ke uang yang ditlmang-timang dl tangan Pendekar Mabuk Itu. "Apakah kau punya tempat tinggal"!"
"Punya, tapi hanya sebuah gubuk reot, Kang. Itu pun kalau ada angin kencang bisa ambruk!"
'Bolehkah aku bermalam di gubukmu?"
"Boleh saja, Kang. Tapi cepat jatuhkan uangmu ltu ke tempurungku, Kangl"
'Balkiah," ujar Suto sambil tersenyum, dan uang pun dijatuhkan ke dalam tempurung. Kliting...l Wa|ah si pengemis kecil Itu tampak girang sekali, kedua mata sayu nya menjadi lebar dan seakan melihat surga di depan mata. Ia buru-buru mengambil uang itu dan memasukkan dalam selipat ikat pinggangnya yang terbuat dari kain kuning itu.
"Terima kasih, Kang! Terima kaslh!" ucapnya dengan ceria sekali. 'Kaiau memang kau lngin...," Badrun hentikan kata, karena dilihatnya ada tiga orang berpakaian bagus hendak memasuki perbatasan desa.
"Ssst..., Kang, menjauhiah dulu. Ada tiga nasabah mau lewat."
"Nasabah itu apa?"
"Nasibnya selalu bertambah!"
 "Bertambah kaya atau bertambah miskin?"
"Yaaah, tergantung cuaca. kang -.. ..... ..-.. menyingklrlah dulu, Kang"."
Sambil tersenyum geli Suto Sinting yang selama ini pusing dengan urusan pertarungan, sengaja menyempatkan diri untuk mellhat aksi pengemis kecil sebagal hlburannya. la menjauh, duduk di atas sebatang pohon yang sudah lama tumbang.
Pohon  tumbang Itu ada di seberang jalan perbatasan desa tersebut. Di sana ia menenggak tuaknya tiga teguk.
Tiga orang berpakaian mewah itu sepertinyam para saudagar atau pejabat istana yang hidupnya berkecukupan. Masing-masing menunggang kuda yang berpelana bagus. Lebih bagus pelana'kuda ketimbang pakaian si Badrun.
Kuda yang berjalan santai seperti malas-malasan Itu akhirnya berhenti di depan Badrun ketika Badrun serukan tembangnya. Ketiga orang berusia sekitar lima puluh tahun itu sailng pandang seben tar, kemudian sama"sama menatap Badrun. Wajah si pengemis kecil itu kian dibuat murung sedih dengan mata semakin sayu.
"Berilah sedekah kepada anak yatim piatu"ini....
Duhai, Tuan"tuan yang terhormat, yang gagah
dan perkasa.... Hamba sudah lama tak makan nasi...-
Kecuali panggang ayam dan gulai sapi....
Kasihaniiah hamba yang hina ini....
Duhai, Tuan-tuan yang terhormat dan punya
pangkat.... Sedikit sedekah dapat membuat harta makin
berlimpah.... Tanpa sedikit sedekah nanti malah Tuan dapat
musibah".
Salah seorang yang berpakaian kuning mengkllap itu berseru dengan nada membentak.
"Hei, kau mau minta sedekah atau mau menyumpahi kami"!" '!
"Mohon ampun seribu ampun, Tuan,...
Bukan maksud hamba mengutuk nasib orang....
Tapi syair memang tersusun begitu, dan....
Yang penting bukan syairnya. tapi sedekah-
Duhai Tuan-tuan yang terhormat dan anti
melarat-.."
Suto Sinting hanya senyum-senyum saja dari kejauhan. Matanya memang tidak tertuju langsung ke arah Badrun, tapi perhatiannya terpusat ke sana.
Telinganya menyimak suara tiga penunggang kuda & yang terdengar samar-samar dari tempatnya.
"Sebaiknya kita tanyakan pada dia. Siapa tahu dia mengetahuinya!" usul yang berpakaian merah bergaris-garis biru itu. Kejap kemudian, orang yang
berpakaian kuning itu berseru kepada Badrun tanpa turun dari kudanya. "Hei. Bocah gembel...! Apakah kau melihat gadis penunggang kuda putih lewat sini"!"
"Kasihanilah hamba yang nista ini....
Duhai, Tuan"tuan yang terhormat dan salah
alamat.... Sedikit sedekah dapat perpanjang umur
hamba.... Duhai, Tuan-tuan terhormat dan tersesat...."
Yang berpakaian hijau muda mengkilap itu membentak dengan mata melotot dan kumis dipelintir kuat-kuat.
"Hei, budek kau, yar"! Jawab pertanyaan tadi. Apakah kau melihat seorang gadis menunggang kuda putlh lewat jalanan ini"!"
"Aduh lapar, lapar, lapar perutku....
Segenggam nasi dapat menjadi petunjuk tak
basi.... Sekeping uang dapat menjadi bahan
penerang...."
Badrun tetap ngotot Iantunkan tembang benrisl syair permohonan. ta bagai tak mau dengar pertanyaan ketiga orang berkuda Itu. Salah seorang dari mereka akhirnya turun dari punggung kuda dan hampiri Badrun. Orang berpakaian merah garis-garis biru Itulah yang hampiri Badrun dan menendang tangan Badrun. Plak...l Weeers...l
Tempurung penadah uang terlempar akibat tendangan itu. Badrun ketakutan dan duduknya bergeser mundur. Pendekar Mabuk masih tetap di tempatnya, namun sudah mulai siap-slap lakukan sesuatu jIka orang-orang itu bertindak lebih kasar lagi kepada Badrun.
'Apa kau benar-benar tuli, hah"!" bentak sl baju merah garis-garis biru. "Jawab pertanyaan kami tadi. Jangan hanya bisa minta-minta terus! Kalau kau tak mau menjawab, kami tak akan segan"segan menghajarmu, karena kami tak mau kau permalnkan dengan syair-syairmu itui'
Badrun merapatkan badan ke pohon, ia masih duduk meringkuk dengan wajah penuh ketakutan. Orang berpakaian merah garis-garis biru yang menyandang pedang besar bersarung emas di pinggangnya itu mengulang pertanyaan tadi.
"Kau tinggal menjawab ya atau tidak! Apakah kau melihat seorang gadis menunggang kuda putih lewat jalanan tni"l Ya, atau tidak"l'
"Kalau Tuan bisa jawab tebakanku, aku akan jawab pertanyaan Tuanl' ujar Badrun dengan nada lumrah, namun tak berani dilamplaskan jelas-jelas.
'Turuti saia permintaannya asal bukan uangl" seru yang berpakaian hilau dari atas kudanya.
"Baik. Asal iangan minta uang, akan kuturuti apa"kemauanmu! Apa tebakanmu"!"
"Kalau Tuan tak bisa menjawab, Tuan akan celakal"
'persetanl Apa tebakanmu, lekas sebutkanl' bentak st baju merah garis"garis biru.
Badrun tempelkan kedua telunjuknya di pelipis. Ia memejamkan mata sebentar, kemudian mata terbuka bersama suaranya terdengar ajukan tebakan
"Mana yang lebih hebat: matahari atau rembulan"!"
Sl baju merah garis-garis biru menggeram jengkel. ia segera menatap kedua temannya yang masih tetap di atas kuda. Kedua temannya sunggingkan senyum sinis menyelekan. Si baju merah garis-garis biru akhirnya menjawab tebakan itu sambil me natap Badrun dengan mata garangnya.
"Jelas lebih hebat mataharil Dia lebih besar dan lebih panas." "Salah" ujar Badrun tegas sambil berdiri pelan-pelan.
' Yang berbaju hijau Ikut ngotot. "Hebat matahari! Dia punya daya panas lebih tinggi dari rembulan!"
"Salah!" Badrun makin mene'gaskan.
Yang berpakaian kuning pun menimpali, "Bocah ' bodoh! Rembulan dan matahari itu ieblh hebat matahari. Tenaga matahari bisa untuk membakarmu, Tololl' ' .
"Salahl' ujar Badrun sambil bernada ngotot juga. Lalu sambungnya lagi.
'Rembulan dan matahari lebih hebat rembulan. Karena rembulan bisa menerangi malam, sedangkan matahari tak pernah bisa menerangi malaml'
"Konyol! Hajar saia bocah itu!" seru yang berpakaian hijau. Si baju kuning segera turun dari pu nggung kuda. ; "
Tapi kejap berikut si baju merah garis"garis biru itu tersentak dengan tubuh membungkuk. Tiba-tiba mulutnya terbuka dan suaranya menyentak keras.
"Hooeeek...!" Orang itu memuntahkan darah segar cukup banyak. Kedua temannya tertegun kaget memandang keadaan seperti itu. Si baju merah garis-garis biru ingin kembali ke kudanya, tapi Ia memuntahkan darah lagi.
"Hoooeek...l Hoooeeek...i"
'Kenapa kau, Jalagina"l' tanya si baju kuning segera memapahnya. "Dadaku terasa, hooeek...i Hoooeek...l'
Si baju hijau segera turun dari kudanya. ia Ingin  ikut memapah si baju merah garis-garis biru itu. Tapi  tiba"tiba langkahnya terhenti dan ia sendiri memuntahkan darah segar cukup banyak.
"Hooeeek...l Hoooeeeekk...l'
'Apa yang terjadi Ini"!" seru si baju kuning dengan terheran-heran. 'Kenapa kalian sampai begini" Apakah... hoooeeek...i"
Sl baju kuning juga memuntahkan darah segar cukup banyak dari mulutnya. Ia terbungkuk"bungkuk karena sesuatu mendorong lsl perutnya untuk keluar semua, namun dalam bentuk darah segar.
"Hoooeeek...!' "Huuuueeeaaak...! Huuueeaak...i"
'Hoooook... hooook... hooeeeek...."
Pendekar Mabuk terperanjat sekali dan menjadi tertegun di tempat. ia berdiri seketika pada waktu sl baju hijau memuntahkan darah segar. Dalam benak Suto segera teringat kata"kata Badrun, bahwa mereka akan celaka jika salah menjawab tebakannya.
"Apakah celaka seperti itu yang dimaksud Badrun"!" gumam Suto dalam hatinya. "Apakah muntah darah mereka disebabkan salah menjawab tebakan"! Ah, mana mungkin salah menjawab tebakan bisa bikin muntah darah separah itu"!"
Ketiga orang itu tampak lemah dan berwajah pucat pasl seperti mayat. Darah mereka banyak yang keluar. Mereka tak mampu lagi meiangkah. Sisa
tenaganya dipakai untuk naik ke punggung kuda. Itu pun mereka masih terus-terusan memuntahkan darah segar. Ketiga orang itu akhirnya kembali ketempatnya.Tak jadI lanjutkan perjalanan masuk desa.
Mereka menunggang kuda sebisanya sambil sesekaii muntahkan darah dari mulut. Suara 'hoek-hoek' masihterdengar sekalipun mereka sudah cukup jauh.
Pendekar Mabuk segera hamplrl Badrun dengan wajah penuh keheranan- Badrun yang sudah mengambil tempurungnya itu masih memandang kepergian ketiga orang kaya Itu sambil 'sungglngkansenyum sinis. "Ada apa dengan mereka, Badrun" Suto Sinting berlagak tidak tahu nasib ketiga orang itu.
"Mereka muntah darah, Kang."
"Mengapa bisa muntah darah begitu"!"
"mereka saiah menjawab tebakanku!"
Pendekar Mabuk makin kerutkan dahi, mencoba memahami maksud pengemis konyoi itu- Tapi beberapa renungan tidak membuat Suto mengerti maksud kata-kata Badrun. Sebelum Sute ajukan tanya, Badrun sudah bicara lebih dulu.
"Kalau mereka tidak segera tertolong, mereka dapat mati kehabisan darah. Darah Itu tidak akan berhenti dan akan terkuras sampai habis."
"Maksudku... maksudku mengapa mereka sampai muntah darah hanya karena salah menjawab tebakanmu"!"
Badrun tarik napas dan sedikit tundukkan wajah, pandangi tempurungnya. Suaranya terdengar ilrlh dan membuat Stilo Sinting makin mendekat.
"Mereka bermaksud jahat padaku, jadi terpaksa kugunakan Ilmu 'Kedung Getih', daripada aku yang celaka mendingan mereka yang celaka.'
"ilmu apa..."!" Suto klan kerutkan dahi dekatkan teiinga. "llmu 'Kedung Getlh'. Kang. Hmm... hmmm...sebenarnya kalau yang dua tidak ikut menjawab tebakanku, kedua orang itu tidak akan terkena iimu 'kedung Getlh'-ku. Tapi karena mereka ikut menjawab dan jawaban mereka salah, maka mereka ikui-Ikutan muntah darah."
Pendekar Mabuk tegakkan badan. Memandang ke arah kepergian ketiga orang tadi. Hatinya diilputl kesangslan, antara percaya dan tidak mendengar
pengakuan Badrun itu. Karena baru sekarang Suto sintng menemukan ilmu aneh seperti yang dikatakan Badrun. Pengakuan itu seperti sebuah canda, itu iebih tepatnya mirip orang main-main. Tapi kenyataan yang diiihat Suto membuat hati menjadi' ragu-ragu. "Katamu tadi, kau Ingin ikut bermalam di gubukku, Kang?" Badrun alihkan pembicaraan.
"Hmmm, ehh... iya," lawab Suto mengggeragap karena segera sadar dari lamunannya. "Tapi... tapi  aku ingin tahu dulu tentang ilmu 'Kedung Getih' Itu.
“Apakah kau bersungguh sungguh"!"
"Kugunakan jika dalam keadaan diriku terancam bahaya saja, Kang. Karena begitulah pesan mendiang kakekku."
"Mendiang kakekmu. Apakah ilmu itu dari kakekmu?"
Badrun anggukkan kepala. "Kata mendiang ayahku, Jika Kakek sudah mati, maka llmunya akan menitis padaku. Semasa kakek masih hldup dulu bllang begitu padaku, tapi waktu itu aku masih kecil. Masih usia enam tahun, jadi masih tidak percaya dengan kata-kata Kakek. Tapi aku sering melihat Kakek memberi tebakan kepada lawannya dan lawannya muntah darah lika tidak bisa menjawab tebakannya."
"Aneh..."!' gumam Suto Sintlng sambil masih berkerut dahi, pandangan matanya dilemparkan kearah lain. "Tentang gadis penunggang kuda yang ditanyakan mereka itu saja sudah meniadl bahan pertanyaan dalam batinku. Jawabannya belum kutemukan, sudah harus dibuat heran lagi dengan ilmu 'Kedung Getih' itu"!"
Maka Suto Sinting pun bertanya kepada Badrun, "Tentang gadis penunggang kuda putih itu bagaimana" Apakah kau memang melihat gadis Itu lewat jalanan lnl atau tidak"! Mengapa kau tak mau' menjawab pertanyaan mereka?"
"Kang," ujar Badrun pelan, suaranya agak berbisik. "Kalau mau tahu tentang itu, sebaiknya kita blcara di rumahku saja. Kau tak perlu keluarkan uangsewa kamar lagi. karena memang rumahku tak punya kamar."
Pendekar Mabuk seperti dipaksa untuk tersenyum. Maka yang keluar adalah senyuman canggung dlbayang-bayangl rasa penasarannya.
***

2
DESA itu bernama Desa Bumireja. Sebuah desa yang subur dan padat penduduknya, nyaris menyerupai sebuah kota. Bahkan menurut keterangan Badrun, desa itu'rneniadi pusat perdagangan palawlja dan rempah-rempah.
"Desaku ini masih termasuk wilayah Kadipaten  Buranang lho, Kang," ujar Badrun saat mereka melangkah menuju rumah pengemis kecil itu.
Pendekar Mabuk sedikit terperanjat, karena Ia  pernah dengar nama Kadipaten Buranang. Ia pernah kenal dengan putri sang Adipatiyang manja itu: Dianti Anggraini. Kabar terakhir yang diterima Suto dari Sawung Kuntet, sang putrl'adipati telah diantar sampai ke istananya dengan selamat. Suto jadi lega mendengarnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bibir Penyebar Maut").
"Apakah tiga orang kaya tadi adalah orang Kadipaten Buranang?"
"Kurasa bukan. Kang. Kalau mereka pejabat atau saudagar yang menetap di pusat kota kadlpaten. mereka tidak akan bertindak semena –mena begitu. Kurasa mereka orang dari Kadipaten Lohmina."
"O. ada dua kadipaten?"
"i
Iya, tapi letaknya berjauhan. Batas Kadipaten Buranang adalah Pegunungan Nagasari itu, Kang!" sambil Badrun menuding pegunungan yang tampak  panjang melluk-Iluk mirip badan naga itu.
"Seberang pegunungan itu sudah menjadi wilayah Kadipaten Lohmina: tutur Badrun menjeiaskan bagai pemandu turis. "Kalau yang itu gunung apa namanya, Badrun?"
"0, itu namanya Gunung Batari"
"indah sekali dipandang dari sini. Seperti bentuk mahkota alam."
'indah tapi... tapi cukup berbahaya itu, Kang."
"Berbahayanya kenapa" deSak Suta semakin ingin tahu. "Pokoknya bahaya." jawab Badrun seakan malas memberi penjelasan panjang-lebar. Suto Sinting pun tak. terlalu tertarik untuk mendesaknya, karena matanya segera pandangi lalu-lalang para penduduk desa itu. Mereka tampak rajin bekerja dan punya gairah hidup cukup tinggi.
Suto menyukai semangat hidup yang tampak dari wajah wajah para penduduk desa itu. Ternyata bukan hanya Suto Sinting yang memandang kagum terhadap semangat hidup para penduduk desa, tapi para penduduk desa pun memandang kagum terhadap kehadiran Suto Sinting.
Sebagai orang asing yang punya wajah tampan, tubuh kekar, gagah perkasa, sudah tentu menjadi pusat perhatian mereka. baik secara terang"terangan maupun secara gelap-gelapan.
Mata kaum wanita selalu sempatkan metirlk ke arah Suto, baik yang muda, tua, atau sudah berstatus nenek sekalipun. ada yang-mellrlk sambil dari balik pohon, ada yang menatap darl'.bailk jendela rumahnya, ada yang memandang dari sela"sela jemuran. ada pula yang memandang dari belakang punggung suaminya. Menyadari hal itu, Suto menjadi rlslh sendiri.
Badrun pun disuruh mempercepat langkahnya. Tetapi bocah itu justru memperlambat langkah karena ia merasa bangga bisa berjalan dengan pemuda gagah dan tampan bak seorang ksatria, Menurut Badrun. di desa itu tidak ada pemuda yang segagah dan setampan Suto.
Maka ketika tiba di rumah gubuknya Badrun, Suto buru-buru masuk ke dalam. ia terpaksa merundukkan kepala karena atap rumah itu pendek, pintunya lebih pendek lagi"
"Wah, kalau begini caranya bisa-bisa keluar dari rumah ini bentukku berubah esseperti  udang. Bungkuk' gumam Suto Sintlng sengaja agak- keras supaya dtdengar Badrun.
"Ya, begini inilah gubukku, Kang. Kalau kau suka silakan bermalam di sini. Kalau tak suka, silahkan ajak aku pindah ke rumah yang bagus," kata bocah itu sambil cengar-cenglr. '
Rumah itu memang menyedihkan. Dindingnya terbuat dari papan yang tambal-tambal tak karuan.
Selain beratap pendek, juga miring ke kanan. Sepertinya sekali disapu angin setengah badai, rumah itu akan roboh tanpa ampun lagi.  seperti apa kata Badrun tadi, rumah beratap rumbia itu tak punya kamar.polos tanpa penyekat
Tempat tldumya dari dipan bambu yang sudah reot. Satu kakinya disambung dengan kayu lain hingga posisinya agak miring. Meja kursinya dari kayu papan yang dibuat asal jadI. Di tengah ruangan ltu ada meja lebar, berkaki rendah.
Meja itu dikelilingi tikar pandan yang sudah butukan. Orang yang akan makan di meja itu harus duduk berslla, atau melonjor ke samping. Tak bisa melonior ke depan, karena meja itu menyerupai kotak tanpa kolong. Dua kursi kayu reot ada di samping dipan, satu kursi lagi ada dl sudut. Sudut itu adalah dapur yang mempunya! tungku berabu tinggi, dekat dengan pintu menuju ke halaman belakang.
Tapi halaman belakang hanya secuil tanah yang cukup untuk kamar mandi dan WC saja. Bahkan untuk menanam pohon cabe saia harus diperhitungkan masak-masak letaknya.
Suto tak betah berdiri dI dalam rumah tanpa jendela Itu. Karena ia tak betah harus membungkuk terus. Maka ia memilih duduk di tikar yang mengelilingi meja rendah tersebut.
"Benar"benar menyedihkan. Lebih bagus kandang kebo daripada rumah lnl," pikir Suto Sinting sambil matanya memandang sekeliling.
Badrun menutup pintu rumah, karena petang mulai datang.
"kang, aku punya teh seduh. Apakah kau mau minum teh seduh?"
'kaiau aku menjawab salah, bisa celaka apa tidak ."
Badrun tertawa kecii. "ini pertanyaan biasa kok, Kang. Bukan tebakan 'Kedung Getlh'. Jangan takut menjawab salah," ujar si bocah.
'Aku minum tuak saja," jawab Suto sambil sedikit mengangkat bumbung tuaknya.
"Wah. tak balk terlalu banyak minum tuak, Kang. Sedlklt saja. Sisanya blar kuminum."
Suto tertawa pendek. "Ambil cangkir dan kita minum tuak bersama."
Badrun kegirangan, lalu segera mengambil cangkir keramik yang sudah rusak tepiannya. ini cangkir apa takaran beras"i" gumam Suto Sinting. membuat Badrun tertawa malu.
Sambil menikmati minuman tuak memakai cangkir-cangkir sompai Itu, Suto Sinting sempat pandangl lagi barang-barang yang ada di rumah Itu. Semuanya memang serba rombeng. Satu pun tak ada yang laku dijual.
"Sebenarnya pintu rumah ini tak perlu kau ganjal dengan palang pintu. Karena aku yakin tak ada pencuri yang mau masuk ke rumahmu lnl, Badrun."
"Siapa tahu ada"!" _
"Pencuri masuk ke sini adalah pencuri yang bernasib siail Apa yang mau dicuri?"
"Siapa tahu yang dicuri diriku sendiri"!'
"Orang mencuri dirimu itu adalah orang buta yang menganggapmu patung keramat."
Tawa mereka meledak bersama di bawah penerangan cahaya iampu minyak. lampu itu berupa mangkuk tembaga yang sudah pietat-pietot, dituangi minyak. Sejumput kapas direndam dalam minyak itu, kemudian ditarik sedikit dijadikan sumbu yang membuat lampu itu menjadi menyala.
"Apakah sejak dulu keluargamu tlnggal di sinl"'
"Ya. Ayahku, ibuku, bahkan kakekku juga dulu menempati rumah ini."
"tak dibangun sedikit pun?"
"Kami tak mampu membangunnya. Dari dulu ya begini ini." "Gliai' gumam Suto Sinting sambil geleng"geieng kepala. 'Rumah kanan-kirlmu bagus"bagus, rumahmu sendiri yang luar biasa bagusnya," sindlr Suto tapi dalam nada bercanda. dan tampaknya Badruntak pernah tersinggung oleh sindiran atau candaan seperti itu. Namun hati Suto sebenarnya terharu meiihat kehidupan Badrun.
"Dengan siapa kau tinggal di rumah ini?" tanya Suto setelah diam beberapa saat.
Badrun tidak langsung menjawab, Ia pandangi cangkir tuaknya sesaat, kemudian baru perdengarkan suaranya agak pelan.
"Aku tlnggal sendirian di rumah inl.'
'Kau tak punya saudara?"
"Punya. Seorang kakak!
"Laiu, di mana kakakmu tlnggal?"
'Tidak di rumah ini."
"Siapa nama kakakmu?"
"Peri-..," jawab Badrun, lalu tertawa kecil.
Suto ikut tertawa walaupun sebenarnya ieiucon itu tidak membuatnya geli. Rasa-rasanya pembicaraan itu tak begitu penting bagi Suto. Ada masalah yang lebih penting dibicarakan, yaitu tentang gadis berkuda putih yang ditanyakan tiga orang kaya itu.
Maka Suto pun menanyakan hal itu kepada Badrun.
"Penunggang kuda putih itu memang kulihat tewat di depanku," kata Badrun. 'Tapi aku tak mau memberi tahu mereka."
"Mengapa kau rnerahaslakannya"'
"Gadis itu adaiah... adalah orang suku Mabayo."
Pendekar Mabuk berkerut dahi. "Suku Mabayo?"!"
"Suku yang hidup di Hutan Maiaikat: tambah Badrun dengan suara pelan, seakan takut didengar orang lain. "Aneh. Baru sekarang kudengar nama suku itu. Lalu, yang dinamakan Hutan Malaikat itu ada dl mana?"
"Di Gunung Batar.' "Hmmm...," Suto Sinting menggumam pelan dan manggut-manggut. Selagi mereka saling terbungkam, suara petang menjadi riuh. Di luar rumah ada keributan. Orang"orang berteriak, sailng menjerit, dan suara bentakan terdengar tak ieIas dari mulut orang yang tampaknya berperilaku kasar. Suara tersebut membuat Suto Slnting bangkit berdiri, namun tak bisa tegak.
" 'Jangan keluar, Kang. Jangan keluar! Tetaplah di sini!" ujar Badrun dengan wajah tegang ]uga. Ia pun ikut bangkit dan memegangi tangan Suto.
"Suara keributan apa itu"!' tanya Suto Sintlng.
Bluuub...! Badrun matikan lampu. Suasana meniadl gelap dan keheranan Suto Sinting bertambah besar.
'Badrunl Drum."! Badrun, di mana kau"?" tangan Suto meraba-raba. Plok...i WaJah Badrun dipegangnya
"Kang, ini wajahku. Jangan diremas'
"Badrun, mengapa lampunya kau padamkan'."
'Biar orang-orang itu tidak mendekati rumah ini!' "Kenapa" Orang-orang siapa"i Katakan. Drun... siapa mereka itu"!"
"Mereka orang-orang iahat, kang" bisik Badrun.
"Apa mau mereka"!"
"Mereka pasti mencari gadis penunggang kuda putih."
"Aneh. Aku harus keluar dan mengetahui apa yang mereka perbuat, Druni'
'Jangan, Kangi Nanti salah-saiah kau dibunuh oieh mereka! Sudah tiga malam ini mereka berkeliaran di desa sini dan pasti mencari gadis penunggang kuda putih. Mungkin sekarang mereka jengkel dan marah"marah pada penduduk, Kang."
Saat si Badrun bicara begitu, Suto sudah melangkah dekati pintu dengan meraba"raba. Lalu la temukan palang pintu dan diangkatnya kayu palang pintu itu.
"Kang..." Kang Suto..."l' Badrun memanggil dengan suara berbisik. rTetaplah di rumah dan kunci pintu! Aku keluar sebentar. Drun' 'Bahaya, Kang' "Kalau ada ketukan pintu empat kali, berarti aku yang mengetuk! Kau boleh buka pintu. Tapi kalauketukan kurang atau lebih dari empat kali, berarti bukan aku yang datang. Kau tak perlu buka pintui"
"Tapi, Kang"."
Krriiieet...! Pintu pun dibuka pelan-pelan oleh Suto. Seakan ia tak hiraukan kecemasan Badrun. Bocah berusia tiga belas tahun itu bermaksud menahan Suto, tetapi ketika Ia sampai di pintu, Suto Sintlng sudah keluar rumah. Mau tak mau Badrun ikut keluar iuga. Ia  sangat mengkhawatirkan keselamatan teman barunya itu. Karena seiama ini. baru Suto Sintlnglah orangnya yang datang ke rumahnya sebagai tamu dan bersikap bersahabat.
'Kang..."! Kakang..." panggil Badrun sambil beriarl-lari kecil mengikuti Suto Slnting.
"Hei, kenapa kau ikut keluar juga"! Sana masuk"
"Kang, kau belum paham betui jaian-lalan di desa ini Kau bisa tersesat jika puiang ke rumahku nanti Sebaiknya aku ikut juga biar nanti pulangnya bisa bersama-sama," kata Badrun seakan Ia merasa bertanggung iawab atas keselamatan tamunya. Suto tak tega untuk menghardik atau memaksanya pulang, akhirnya ia biarkan anak itu ikut bersamanya.
Suasana di luar rumah iebih terang daripada di dalam tadi. Tiap rumah mempunyal iampu penerang jalan. pada umumnya terbuat dari bambu melintang dengan tiga atau empat sumbu.
Keadaan terang itulah yang membuat Suto Slnting melihat seorang lelaki kurus diseret keluar dari rumahnya oleh dua orang berpakaian serba hitam.
"Kang... mereka orang-orang Waduk Bangkal!" bisik Badrun semakin bernada penuh kecemasan dan rasa takut. "Siapa orang-orang Waduk Bangkai itu"!"
"Mereka para pembunuh bayaran, Kang! Mereka ganas-ganas! Sebaiknya kita masuk rumah kembali, Kangl" Badrun menarik-narik tangan Suto.
"Kau berlindung di samping rumah berpagar rendah itu. Aku akan temui mereka sebentar."
"Jangan, Kang! Nanti mereka marah padamu!"
"Sudahlah. sana berlindung di samping rumahitu! jangan mendekatiku seiama aku berhadapan dengan orang-orang Waduk Bangkai itu!"
"Tapi... tapi... tapi hati-hati, ya Kang"!"
"Hmmm! O, ya" siapa orang yang diseret mereka itu"!"
"Wakilnya Ki Lurah! Aduh. kasihan dia.... Soalnya Ki Lurah beberapa hari ini sedang sakit. tak bisa turun dari tempat tidurnya dan...."
"Sudahlah, sana sembunyi!"
"Baik, Kang. Baik...i" kata Badrun masih tetap dengan suara bisik, kemudian ia berlari ke samping rumah tetangganya, bersembunyi di sana.
Matanya memandang tegang ke arah Suto Siming yang melangkah dengan tenang dekati kerumunan orang-orang berpakaian serba hitam itu. Dengan bumbung tuak digantungkan di pundak kanannya, Suto Sinting sengaja berjalan di tengah jalanan tak beraspal itu supaya kehadirannya dapat dilihat jelas oleh orang-orang berpakaian hitam yang jumlahnya sekitar enam orang itu.
Si wakil lurah duduk di tanah dengan ketakutan dikelilingi oleh enam orang Waduk Bangkai. Salah seorang dari mereka memegang cambuk yang segera dilecutkan ke tubuh sl wakil lurah.
Ctaaar...! "Kalau kau tak mau kasih tahu di mana gadis berkuda putih itu, kau akan kuhancurkan dengan cambuk Ini!" bentak orang berkumis yang mengenakan ikat kepala model warok Itu. |
"Sumpah mati. aku tidak tahu tentang gadis itui' ujar si wakil iurah. "Bohong! Kau wakil iurah, pasti menerima iaporan dari anak buahmu bahwa di sini ada tamu seorang gadis menunggang kuda putihi"
"Tidak! Tidak ada laporan. Sumpah! Berani disambar petir seratus kail kalau aku bohongi"
"Paksa dia dengan cambukan supaya mengakui" semak salah seorang dari mereka, maka si pemegang cambuk pun melecutkan cambuknya kembali.
Ctaaarrr...i "Aaaow...|" si wakil lurah memekik kesakitan, mengiris hati orang yang mendengarnya. Sementara itu. keiuarganya yang hanya bisa menyaksikan dengan sembunyi-sembunyi dari balik pintu rumah hanya bisa menangis tanpa berani berteriak meminta tolong pada siapa pun.
Pendekar Mabuk segera berseru sebelum cambuk melecut ketiga kallnya.
'Hentikan...l" Suara itu sangat menarik perhatian mereka berenam. Bahkan para penduduk yang diam-diam mengintai dari beberapa tempat itu juga terkejut mendengar suara Suto Sinting. Mereka tak menyangka ada orang yang berani berseru menyuruh orang-orang Waduk Bangkai menghentikan siksaannya.
"Siapa kau"i Berani-beraninya kau menyuruh kami hentikan tindakan Ini, hah"!" seseorang maju dengan berang dan segera mengangkat tangannya untuk menampar Suto Sinting.
Tapi sebeium tangan orang itu berkelebat menampar, tiba-tiba kaki Pendekar Mabuk melayang cepat dengan gerakan tak terlihat oleh siapa pun.
Wuuut...! Ploook...i Tendangan yang teramat cepat itu membuat mereka terbengong sesaat, karena orang itu tahu-tahu sudah jatuh terkapar dengan napas tersentak-semak bagai sekarat. la jatuh di antara kedua temannya.
Melihat orang Itu terkapar, sl pemegang cambuk menjadi barang. ia maju dengan langkah cepat dan melecutkan cambuknya ke arah Pendekar Mabuk.
Tapi gerakan tangan yang terangkat untuk melecutkan cambuk Itu terhenti. Suto lepaskan junrs 'Jarl Guntur", berupa sentilan bertenaga dalam cukup besar, menyamai tendangan seekor kuda jantan.
Teess...i 'Aaaooh...i" sl pemegang cambuk memekik keras-keras. Sentilan bertenaga dalam itu kenai pergelangan tangan orang tersebut, cambuk pun terlepas, tangan tak mampu menggenggam lagi. Ia terbungkuk-bungkuk dengan tangan kiri pegangi tangan kanannya.
"Aauuh, aauh, aaah... aaaakh...l'
'Serang dia' seru salah seorang memberi komando. Empat orang segera mencabut golok danmenyerang Pendekar Mabuk. Murid si Gila Tuak itu meliukkan tubuh ke sana-sini, melompat dan sempoyongan seperti orang mabuk mau tumbang, namun sebenarnya ia menghindari tebasan dan bacokan golok-golok yang menyerangnya secara serentak itu.
'Hiiiaaaat...l" Wut, wuuuk, wuuuk, wuul, wuuk, wees,weeess...l Tak satu pun sabetan golok mereka ada yang kenal tubuh Pendekar Mabuk. Bahkan tendangan dan pukulan mereka dapat dihindari oleh Pendekar Mabuk dengan gerakan cepat yang sukar dihadangdengan pukulan selaniutnya.
Secara tak sadar mereka berempat semakin mengepung lebih dekat lagi. Pada saat itulah, Pendekar Mabuk lompat ke atas dan memutar tubuh dalam keadaan tegak lurus dengan kedua kaki disentakkan secara beruntun.
Wuuuut. prraaak...l , 'Aaaaow...!" Empat orang itu terpental serempak. Mereka terkena tendangan kaki Pendekar Mabuk secara serempak ]uga. Tendangan kaki memutar bagai baling-baling tadi mengandung tenaga dalam yang membuat dagu mereka pecah, salah seorang rahangny'a remuk. Mereka terkapar mengerang"erang, sementara si pemegang cambuk tadi hanya bisa memandangi Suto Sinting dengan tangan kiri
masih pegangi tangan kanan yang terasa sakit bagaikan patah tulang itu.
"Bawa pulang teman-temanmu! Jangan sekali-kali berani bertingkah di desa ini! Kalau ketuamu tak bisa menerima perlakuanku, suruh dia cari aku. Namaku Suto Sinting! Aku bukan orang desa ini. Tapiaku siap berhadapan dengan plhakmu kapan saja kalian menghendaki diriku! Sekali kudengar kalian mengganggu ketenteraman desa Ini, aku akan datang ke Waduk Bangkai, dan kuhancurkan tempatmu ltui'
Kata-kata tersebut diucapkan dengan tegas, sekalipun sikap Suto tenang, tapi tiap kata yang dilontarkan bagai menggetarkan hati si pemegang cambuk. Nyali orang itu mengkerut bagai kerupuk kena angin.
Dengan menahan rasa sakit di tangan  kanan, ia membantu teman"temannya untuk segerapergi. Bahkan Ia ]uga yang menggotong salah seorang yanig pingsan karena serangan pertama tadi.
'Hei, tunggu"!" seru Suto membuat mereka hentikan langkah dengan cemas.
"Siapa yang mengupah kalian untuk mencari gadis berkuda putih"!"
'iimmm, eeeh, eeh... hmmmm.?"
'Aku minta lawaban yang jujur! Jangan harap ' kau bisa pulang ke Waduk Bangkai kalau tak mau menjawab pertanyaankui' "Hmmm, ehhh... kami hanya diperintah oleh Nyai Ratu." 'Nyai Ratu siapa"!"
Nyali yang sudah teianlur mengkerut mirip celdna kodian habis dicuci itu akhirnya tak berani tutupi rahasia tersebut. Sl pemegang cambuk menjawab dengan pelan. "Nyai Ratu... Ratu Sendang Pamuas.'
Suto Sinting menggumam lirih dan manggut manggut. Hatinya bertanya"tanya, "Siapa sebenarnya ratu Sendang Pamuas itu"! Mengapa baru sekarang kudengar nama Sendang Pamuas"! Sayang sekali tadi lupa kutanyakan di mana keduduka si Ratu Sendang Pemuas itu!"
Ketika Suto selesai mengobati luka cambuk si wakil lurah dengan meminumkan tuak dari bumbung saktinya itu. ia pun kembali ke rumah Badrun. sekallpun si wakil lurah menawarkan tempat yan lebih nyaman, tapi Suto Slnting tetap memilih bermalam di gubuk reotnya Badrun. Anehnya, tak satu pun dari penduduk desa yang mengetahui siapa Ratu Sendang Pamua Itu. Badrun pun mengaku tak mengenai nama itu dan baru sekarang mendengarnya.
'Setahuku di sini tak ada ratu, adanya adipati " kata Badrun yang membuat Suto akhirnya termenung parljang di rumah kumuh itu.
***

3
SETELAH dua hari tinggai bersama Badrun. bahkan sempat mengobati penyakit Ki Lurah dan beberapa warga setempat, Pendekar Mabuk akhirnya teruskan perjalanan yang sudah direncanakan dalam benaknya beberapa hari yang lalu.
Persoalan gadis berkuda putih itu dapat ditangguhkan untuk sementara waktu, toh orang-orang Waduk Bangkai tidak muncul iagi sejak peristiwa malam itu.
"Setelah dari Bukit Sawan aku akan datang kembali ke sini untuk mencari tahu. siapa sebenarnya garis berkuda putih itu" Mengapa Ki Lurah dan beberapa Warga desa lainnya tak ada yang bisa menjelaskan tentang gadis berkuda putih itu" Aku sendiri jadi sangsi dengan keterangan Badrun. Jangan-jangan anak itu hanya mengarang sebuah cerita supaya aku betah tinggal bersamanya"! Brengsek: Licin juga akal anak itu. Tapi kuakui. ia sebenarnya anak yang cerdas." ujar Suto Siming dalam hatinya.
"badrun, kau mau ikut ke Bukit Sawan?" tidak, Kang. Nanti siapa yang menggantikan pekerjaanku; mengemis?"
'sudahlah, tinggalkan saja pekerjaan itu. Kau bisa kulatih untuk bisa melakukan pekerjaan lain yang mendatangkan hasil juga."
hah. sayang kalau bakat ini tidak terpupuk. Kang." jawab Badrun sambil cengar-cenglr dan membuat Suto Slnting tersenyum geli. '
Maka ketika pagi mulai meninggi, Pendekar Mabuk tlnggalkan desa tersebut. Ia harus teruskan perjalanannya menuju ke Perguruagn Telaga Murka yang berada di Bukit Sawan. Ia ingin temui seora ng ' gadis cantik bak boneka yang menjadi murid perguruan tersebut. Tirai Surga, namanya!
Gadis itu mampu tinggalkan kesan tersendiri di hati Pendekar Mabuk. Rasa-rasanya sulit bagi Suto untuk melupakan Tirai Surga yang berkullt halus lembut seperti kulit bayi itu. Sekalipun Tlral Surga sebenarnya adalah musuh yang nyaris merenggut nyawa Suto Slnting. karena ia adalah utusan dari Nyai Dupa Mayat yang bertugas menjebak dan menangkap Suto, namun pada kenyataannya justru nyawa Suto diselamatkan oleh jubah Tirai ,Surga saat lakukan pertarungan dengan Nyai Dupa Mayat.
Gadis itu sendiri tak tahu kalau orang yang harus ditangkap dan diserahkan kepada Nylal Dupa
Mayat adalah pemuda yang pertama kali dalam sejarah hidupnya memberikan ciuman dan belalaian mesrra. Tirai Surga sudah telanjur dibuai oleh kemesraan': Pendekar Mabuk, sehingga ketika ia merngtetahui bahwa pemuda yang harus ditangkapnya adalah Suto, maka ia berbalik memihak Suto Sinting: ia lebih baik batal mendapatkan ilmu 'Gerhana Senyawa'
ketimbang tak bertemu dengan Suto Sinting selamanya. Mengharukan sekail, (Baca serial pendekar Mabuk dalam episode : 'Dalam Pelukan Musuh').
"Kalau kau mau ke Bukit Sawan, kau harus melewati kaki Gunung Batar itu, Kang," ujar Badrun pada saat sebelum Suto Slnting meninggalkan desa
tersebut. Suto mencatat panduan itu dalam benaknya.
' 'Kang, aku tidak bisa membekali apa-apa," kata Badrun saat ingin ditinggalkan. "Tapi aku punya dua  tempurung. Kalau kau mau, bawalah tempurungku yang satu Ini, Kang. Yang satunya lagi tetap akan kupakai untuk mengemis."
"Kau plklr aku dijalanan akan mengemis"! Pakai bawa-bawa tempurung segala"!" ujar Suto Slnting sambil bersungut-sungut menahan tawa. Ia segera mengusap-usap kepaia anak itu dengan penuh persahabatan.
' "Kau lebih membutuhkan tempurung itu ketimbang aku, Badrun."
"Tapi setidaknya buat tanda mata, lumayan juga, Kang" Siapa tahu di jalan kau butuh tempat untuk minum"!" Suto merasa didesak. Ia tahu, Badrun ingin memberikan tanda kenang-kenangan atas jalinan persahabatan mereka itu. Maka untuk melegakan hati Badrun, tempurung hitam yang tepiannya bengerigi mlrlp tempat menaruh rokok pada asbak Itu akhirnya diterima juga oleh Suto.
Tempurung hitam itu bergambar wajah orang di bagian luarnya. Hasil goresan tangan Badrun sendiri yang dianggap Suto mempunyai nilai seni cukUp lumayan. Suto sempat menertawakan gambar wajah orang yang mirip topeng itu.
"Wajah kakekmukah yang kau gambar di 'tempurung ini?" canda Suto, dan Badrun tertawa penuh keceriaan. "Ada gunanya juga. Bisa pas untuk tutup bumbungku"!" pikir Suto sambil mencoba menutupkantempurung dalam keadaan tengadah ke lubang bumbung. Tempurung itu bagaikan baut yang harus diputar sedikit agar menutup rapat dan kencang.
Membukanya juga harus diputar sedikit. Dengan tutup tempurung itu, tuak yang ada di dalam bumbung lebih terjaga keutuhannya. Tidak mudah tumpah. atau menetes keluar jika bumbung dalam keadaan terbalik sewaktu-waktu.
Perjalanan separuh siang itu terhenti sejenak akibat suara ledakan kecil yang terdengar sampai di telinga Pendekar Mabuk. Ledakan kecil itu berasal dari arah kiri Suto. ia yakin ledakan kecil itu timbul akibat adanya pertarungan adu tenaga dalam.
Pendekar Mabuk adalah orang yang tak bisa melewatkan sebuah pertarungan. Di mana pun ia mendengar suara pertarungan selain diburunya untuk dijadikan tontonan. Bukan sekadar tontonan penghibur hati. melainkan tontonan penambah pengetahuannya tentang jurus-jurus yang ada di dunia persilatan. ia ingin mengetahui keunggulan dan kelemahan setiap lurus yang dimiliki orang lain.
Karenanya, tak heran jika Suto Sintlng pun sedikit membelokkan arah perjalanannya untuk melihat pertarungan apa yang terjadi di sebelah kirinya itu.
"wuut". ..! Dalam sekejap ia sudah berada di atas pohon dengan menggunakan ilmu peringan tubuh ia melompat dari pohon ke pohOn sampai akhimya meiihat dua sosok yang sedang beradu kekuatan fislk tanpa senjata tajam.
Mata terbelalak segar dengan senyum membias tipis ketika Suto menatap ke arah pertarungan dua gadis yang cukup menarik. Bukan jurus"jurus mereka saja yang menarik, tapi penampilan salah satu dari kedua gadis itu juga sangat menarik. Mereka sama sama mempunyai nilai kecantikan yang seimbang, tapi busana mereka berbeda.
Yang satu berjubah putih kekuning"kuningandari bahan kain halus namun mengkilap seperti satin. Jubalmya berlengan panjang itu tidak dik kancingkan, sehingga pakaian dalamnya yang terdiri daribaju buntung warna biru dan celana biru yang juga mengkilap itu tampak jelas. Gadis berjubah putih krem itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun dengan
rambut disanggul asal-asalan, sehingga sisa rambutnya berjuntai ke bawah seperti ekor anak kuda.
Ia bersenjata pedang dl pinggangnya, namun saat itu belum digunakan. Sarung pedangnya dililit kain beludru merah dengan ujung gagang pedang diberi hiasan rumbai"rumbai benang kuning. Sedangkan lawannya justru berpakaian minim.
Penutup dadanya dari serat"serai kulit pohon yang lemas dan tampak kenyal, berserabut seperti rambut. Demikian pula penutup bagian bawahnya dari rumpul-rumput kulit pohon yang menyerupai rambut.
Digunakan hanya menutup bagian terpenting saja. sisi kanan"kiri pinggulnya hanya tertutup tali serat itu. gadis bertubuh tinggi dan seksi dengan dada montok tampak maju ke depan itu tampak seperti orang prlmltll dilihat dari pakaiannya. Tapi ia adalah gadis yang cantik, berhidung mancung, berblblr sensual, mata agak lebar berkesan galak.
Gadis yang berpakaian prlmltif itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun juga, hanya bedanya Ia bertubuh lebih tinggi dari lawannya. Gerakannya tampak lebih lincah dan ilar. Caranya memandang pun berkesan liar. Sekalipun ia mempunyai pedang di punggung, tapi ia belum mau mencabut pedangnya.
Rambut gadis itu panjang sebahu dan keriting kecil-kecil,'tak terlalu kentara keritingnya jika dilihat dari kejauhan. ia mengenakan ikat kepala dari tali halus berwarna putih yang panjangnya melebihi pundak, sehingga dalam setiap gerakannya, tali itu melayang ke sana-sini, membuatnya tampak lebih lincah dan menarik sekali. "
Kulitnya yang berwarna sawo matang bagaikan tahan pukulan dan tahan goresan, karena keliha tan keras bagal tembaga. Setiap bergerak, rumbai"rumbal penutUp dada dan bagian bawahnya menyingkap ke sana"slni, sehingga barang yang ditutupi sesekali tampak sesekali tertutup, membuat hati Pemdekar Mabuk berdeslr dan pandangan matanya menjadi penasaran.
 'Gila! Ini yang namanya kecantikan alami dan kemontokan alami juga," ujar Suto dalam hati. "Justru kalau kelihatan ngablak malahan kurang menarik. Aih, gila! Kenapa mataku tertuju ke sana. Konyol! Jangan, ahi Tidak boleh! Kata orang tua; pamali" sambil hati Suto tertawa sendlrl.
Gerakan si gadis berpakaian rumbai"rumbai itu makin lama semakin tampak liar. ia melompat ke sana-sini mlrlp kera, terkadang menyerupai singa yang sedang mengamuk, ingin menerkam lawannya dengan buas. Ia sering gunakan gerakan bersalto, atau plik-plak dl tanah. Dan hal itu dilakukan dengan cepat, membingungkan iawannya.
Tahu-tahu kakinya menendang telak kenal wajah gadis berjubah putih krem itu. Plook...! Gadis berjubah putih krem menggoyor ke belakang. Sempoyongan! Wajahnya diklbaskan sesaat karena pandangan matanya jadI buram. Dan pada saat Itu pula, serangan si gadis berambut kerltlng halus Itu datang lagi berupa tendangan beruntun.
Piak, plak, plak, best...!
Gadls berjubah krem berhasil tangkis setiap tendangan lawannya. Bahkan Ia segera memutar tubuh dan layangkan tendangannya ke arah kepala ' lawan. Wuuut...! . Plaaak...l Tendangan itu ditangkls juga oleh lawan.
Kejap berikut mereka saling menghantamkan kedua telapak tangan. Wuuut...! Biaarr...l Ledakan keras terjadi akibat benturan dua telapak tangan yang bertenaga dalam itu. Asap mengepul tipis dari kedua telapak tangan yang saling beradu tadi. Klni mereka sarna-sama teriempar ke belakang bagai dihernpas badai.
Si gadis berjubah putih krem jatuh terduduk, sedangkan lawannya hanya terpelanting dan sempo.yongan, namun tak sempat jatuh karena ia segera berpegangan pada sebatang pohon. Klnl jarak mereka menjadi sekitar delapan langkah.
"Boleh juga si gadis hutan itu," ujar Suto Slnting dalam hati sambil perhatikan gadis berpakaian rumbai-rumbai itu. "Gerakannya cukup llncah dan membingungkan. Ia banyak menggunakan gerak tipuan.
Kurasa si jubah putih tak dapat menumbangkannya.  Justru mungkin si jubah putih akan tumbang dalam beberapa jurus lagi. Karena menurutku.?"
Celoteh batin Suto Sinting Itu terhenti karena si gadis berjubah putih telah bangkit dan berseru kepada lawannya.
'Sudah waktunya kita tentukan siapa yang hidup dan siapa yang mati, Sahara!" sambil si jubah putih krem mencabut pedangnya. Sreeet...l
"Akan kulayani kemauanmu, Cindera Giri!" Gadis berpakaian minim itu pun segera mencabut pedangnya dari punggung. Sraaang...l Rupa-nya ia bernama Sahara, sedangkan lawannya yang berjubah putih krem itu bernama Cindera Girl.
Entah orang mana mereka dan apa persoalannya hingga mereka ingin beradu pedang, Suto Sinting masih belum paham. Tapi hatinya sempat cemas. karena sebenarnya Suto tak ingin salah satu ada yang mati.
"Haruskah aku turun tangan melerai pertarungan itu"!" tanyanya kepada hati sendiri. PendekarMabuk sempatkan diri menenggak tuaknya untuk sambil menimbangcnimbang langkah yang akan diambilnya.
Namun Cindera Giri sudah lebih dulu maju menyerang dengan satu lompatan bagaikan terbang.
Sahara tidak hanya diam. Ia pun menyongsong datangnya serangan lawan dengan satu lompatan llarnya.
'Heeaaah...!" . Trang, trang, wuik, wuik, wuuus. traaang...l
' ! Buuukh...l Sahara berhasil menendang perut Cindera Girl. Gadis yang ditendang terlempar sebelum mereka sama-sama daratkan kaki ke tanah. Gerakan adu pedang yang cepat tadi sempat membuat
Cindera Giri kehilangan kontrol keseimbangan, aklbatnya ia mudah terlempar oleh tendangan kaki panjang Sahara. Wuuut...! Brrruk...l Slaaap...l Cindera Girl melintang ke udara secara tiba-tlba. Ujung pedangnya bertumpu dltanah dan melengkung saat ditekan, lalu pedang Itu bagaikan
per yang menyentak dan melemparkan Clndera Giri ke atas. Dengan satu gerakan bersalto, Cindera Glrl berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya dan daratkan kaki dengan tegak di tanah. Tapi serangan dari Sahara datang lagi iebih ganas dan Ieblh liar.
'Hiillaaah...l' Sahara berlari dengan kedua tangan pegangl pedangnya dan siap menusukkan ke arah Cindera Giri. Namun ketika pedang itu hendak sampai ke perut Cindera Giri, tiba-tiba pedang Cindera Girl berkelebat ke depan menangkis pedang iawan. Traang...l
Perpaduan pedang itu memercikkan bunga api sekejap, kemudian tubuh Sahara terpelantlng ke klrl akibat terbawa oleh sentakan pedangnya yang bagai dibuang ke kanan oleh pedang Cindera Girl.
Pada saat Sahara terpelanting ke sebelah klrinya, pedang Cindera Girl berkelebat sambil tubuhnya memutar satu kali. Wuuuut, beeet...!
Craaas...l 'Aaaakh...!" Sahara menjerit keras, punggung dekat lengan kanannya robek terkena sabetan pedang Cindera Girl. ia jatuh berlutut satu kaki sambil menahan sakit. Pada saat itu pula, Cindera Girl melompat ke arahnya dan menghujamkan pedangnya.
Sahara segera berguling mendekati lawan sambil menebaskan pedang ke atas. Traaang...! Pedang Cindera Giri berhasil ditangkis. lalu pedang Sahara berkelebat menebas daiam posisi berlutut satu kaki lagi. Wuuuut, craaas...l 'Aaaakh...!' Cindera Giri tersentak mundur dalam keadaan perutnya robek terkena tebasan pedang Sahara. Darah pun mengalir sebanyak darah dari luka Sahara. "Bangsat kaul' geram Cindera Giri sambil menahan sakit.
'Heeeaaat...l' Sahara menyerang sambil lakukan lompatan ke arah Cindera Girl. Pedangnya dlgenggam dengan dua tangan lagi dan dlhujamkan ke dada lawan. Wuuut...l Traaang...! Sahara terpelanting ke samping kanan, karena tiba"tiba pedangnya bagal ada yang melemparnya dengan batu besar.
Padahal yang mengenai pedangnya hanya sepotong ranting, tak lebih dari seukuran ibu jari. Hanya saja, ranting itu berisi tenaga dalam cukup besar sehingga kekerasannya bisa menyerupai baja dan kekuatan daya sentaknya bisa meleblhi tendangan seekor kuda.
Perbuatan siapa lagi yang melemparkan ranting  itu kalau bukan perbuatan Suto dari atas pohon. Ia sentilkan ranting itu dengan jurus 'Jarl Guntur' sehingga mampu singkirkan pedang Sahara yang nyaris merenggut nyawa Cindera Giri.
Mata Sahara jelalatan, bukan karena lngln melihat pemuda tampan, tapi karena ingin mencari orang yang menghalangi pedangnya dengan ranting berisi itu. ia tak sadar. pencarian matanya itu membuatnya lengah dan Cindera Giri yang masih bertahan dengan lukanya segera menyerang memakai pukulan tenaga dalamnya. Beet...l Seberkas sinar kuning seperti telur mata sapi melesat dari telapak tangan kiri Cindera Girl.
Claaap...! Sinar itu diketahui Sahara sudah terlambat. Hanya ada sedikit peluang bagi Sahara, itu pun tak bisa dengan cara menghindar. Mau tak mau Sahara keluarkan jurus bersinar juga yang keluar melalui kedipan kedua matanya. Blaap...! Dari kedua mata itu keluar sinar merah kecil yang segera menyatu di depan hidungnya dan melesat menghantam sinar kuning. Crllaaap...!
Jegaarrrr...l Sinar jingga berpendar pecah menyebar dalam sekejap. Besar dan lebar. Sinar jingga itu muncul akibat benturan kedua sinar tadi. Gelombang sentakannya sangat kuat. Melemparkan tubuh Sahara
bagaikan boneka tak terpakai. Weess...l Brruuss...!
Ia jatuh terbanting dengan menyedihkan sekali. Tapi masih beruntung karena Ia jatuh di semak"semak Ilalang. Gelombang ledakan itu hanya membuat Cindera Giri terhuyung"huyung ke belakang sejauh delapan langkah, lalu membentur pohon tak seberapa keras.
Posisinya yang jauh dari ledakan membuat Ia tak terlempar seperti Sahara. Ia masih bisa berdiri memandang lawannya walau dengan sedikit membungkuk dan tangan kirinya segera mendekap luka di perut.
"Seru! Sama-sama kuat sebenarnya, hanya tergantung slapa yang lengah lebih dulu," ujar Suto Slnting. Tapi Ia segera tak tega melihat kedua gadis itu berusaha saling membunuh. Karena ketika Sahara keluar dari semak-semak dalam keadaan semp oyongan, ternyata tubuhnya telah tercablk-cabik bagal habis diserang delapan ekor singa bersama delapan belas anaknya.
Tubuh itu rusak berat, mengerikan, dan menyedihkan. Namun Sahara masih bernyawa dan masih bersikeras untuk lanjutkan pertarungannya.
"Wah, ini sudah kelewatan" ujar Suto Slnting dalam hatinya. la geleng-geleng kepala sambil teruskan membatln.
"Sahara bisa mampus! Mampus betul Sahara! Cindera Giri tarnpak masih tangguh walau terluka. Ia tidak separah Sahara. Aku harus bertindak lebih
nyata lagi jika begini keadaannya."
DI lain pihak, semangat Cindera Giri menjadi besar kembali begitu melihat lawannya rusak berat seperti habis terbungkus petasan yang meledak bersama. Dengan jeritan nyaring, Cindera Giri berlari beberapa langkah, kemudian melayang bagaikan terbang. Pedangnya ditebas-tebaskan di bagian depan, membuat Sahara sempat kebingungan melihat gerakan pedang lawan dan kebingungan pula menangklsnya.
Ziaaap...i Edan! Ada bayangan seperti hantu melayang cepat menyambar tubuh Sahara. Tahu"tahu Sahara sudah pindah di tempat lain, sekitar sepuiuh tombak dari tempat Cindera Giri dan pedangnya kecele, tidak berhasil menebas sasaran.
Siapa orang yang menyambar Sahara dalam kecepatan seperti hantu sakit perut itu kalau bukan si Pendekar Mabuk yang rada-rada konyol itu. Cindera Giri terkejut melihat kemunculan pemuda tampan yang belum dikenalnya. Pemuda itu sedang menyangga tubuh Sahara yang miring dalam berdirinya.
Sahara sendiri kaget melihat seorang pemuda tampan berperawakan tinggi gagah sedang menyangga tubuhnya yang nyaris tak kuat berdiri lagi
Itu. Tapi karena ia sibuk menahan rasa sakit, maka kekagetannya itu tak begitu kentara. Ia hanya mengeluh sambil pejamkan mata. _
"Oouh...l' Tubuhnya bertambah memberat dalam sanggaan tangan kiri Suto Slnting. Mau tak mautangan itu makin diperkuat. Bumbung tuak belum
sempat diraih Suto. Masih menggantung di pundaknya.
"Lepaskan dia atau kau ikut kuhancurkan"l" teriak Clndera Giri dengan ancaman yang bukan main-main.
"Hentikan pertarungan Ini!" Suto Slnting berseru, mencoba tampilkan Suara wibawanya. Tapi ternyata tak digubris oleh Cindera Giri.
Sinar kuning seperti telur mata sapi tadi melesat lagi dari tangan Cindera Girl. Pendekar Mabuk segera meraih tali bumbung tuaknya. Dalam sekejap bumbung tuak sudah berada di tangan kanan dan  dlhadangkan ke depan. Tepat pada saat itu sinar kuning datang, lalu menghantam bumbung tuak itu. Teeub...! Eh, sinar kuning membalik arah dalam keadaan lebih cepat dan iebih besar. Seperti telur mata kebo.
Sinar Itu bagaikan batu mengenai karet yang segera memantul balik ke arah pemiliknya.
'Setaaan...!" teriak Cindera Giri memaki sambil lompat ke samping. Sinar kuningnya yang sudah berubah itu melesat melewati bekas tempatnya berdiri tadl dan menghantam sebatang pohon besar.
Blegaaarrr...l Tanah berguncang bagai dilanda gempa. Hawa sekeliling menjadi panas menyengat. Daun-daun  rontok dan menjadi layu. Pohon itu sendiri terbelah menjadi beberapa potong. Salah satu potongan kayu yang Sebesar paha perawan itu menghantam punggung Cindera Giri. Buuukh...i
'Heeekh-..!" Cindera Giri terSentak ke depan  dan jatuh tersungkur dengan napas tak bisa dihela untuk sesaat. Suto Sintlng iatuh ke belakang, karena guncangan tanah membuat keseimbangannya hilang.
Padahal Ia menyangga beban tubuh tinggi seksi milik Sahara. Maka mereka pun jatuh bersama.
Brruuk...! Tubuh Sahara menimpa tubuh Suto Slnting. Gadis yang belum pingsan namun sudah tak  mampu berbuat apa-apa itu hanya mengerang lirih.
'Uuuhhh...!" "Celakal Mungkin sebentar lagi dia akan mati"!" gumam hati Suto Sintlng, ialu ia segera menyingkirkan tubuh penuh luka cablk-cablk Itu.
Suto Slnting sempat memandang ke arah Cindera Giri. Rupanya gadis Itu memuntahkan darah dari mulutnya akibat terhantam potongan kayu pohon tadi. Cindera Giri sedang sibuk Seperti orang ngidam. Kesempatan itu digunakan oleh Suto Slnting untuk buru-buru menuangkan tuak ke mulut Sahara.
Tuak tertuang ke dalam mulut yang ternganga mengerang. Akibatnya, Sahara tersedak, tuak tumpah di sekitar wajah dan dadanya. Tapi Suto agak lega karena yakin ada tuak yang telah tertelan.
'Berbarlnglah dulu! Sebentar lagi lukamu akan sembuh!" ujar Suto Sinting, lalu tinggalkan Sahara.
Ia segera hampiri Cindera Giri yang sedang bergegas bangkit.
'Nona...," baru saja Suto ingin menawarkan tuak saktinya untuk sembuhkan luka, Cindera Giri sudah memotong dengan geram penuh dendam.
"ingat! Lain kali kau akan berhadapan denganku, dan akan kubalas tindakanmu Inil'
'Lho, aku tidak menyerangmu"! Kau yang menyerangku. Cuma sinar kuningmu Itu terlalu rendah kadar kesaktiannya, Sehingga memantul ballk
dan...." "Dlaamm...l" bentak Cindera Giri. Ia menuding Suto dengan pandangan mata menyeramkan.,
"Kau akan kubuat lumpuh seumur hidup jika kita jumpa lagi!" "Jangan begitu, Nona. Aku hanya..."
Blaaass...l Cindera Girl melesat pergi tanpa pedulikah kata kata Suto lagi. Ia mengerahkan tenaga ' penghabisan untuk berlarl' secepat mungkin. SutoSintlng hanya pandangi kepergian Cindera Girl dengan mulut melongo dan garuk"garuk kepala. Wajahmya jadi seperti murid SLB.
***