Pendekar Mabuk 88 - Rahasia Bayangan Setan


1
 PADANG rumput menghijau bagai bentangan
permadani yang menyegarkan mata. Ketinggian
rumputnya rata-rata sebatas mata kaki. Tentu saja
rumput-rumput itu tumbuh dengan sendirinya, tak ada
orang yang sengaja menanam rumput di tanah datar itu.
Tapi anehnya ada orang yang merasa memiliki
perkebunan rumput itu. Pendekar Mabuk tertawa
pendek, ketika mendengar padang rumput itu ada
pemiliknya.
"Kalau perkebunan kopi, perkebunan karet,
sehingga wajahnya menjadi lebih dekat lagi dengan
wajah Suto. Ia memandang dengan bola matanya yang
bening dan mempunyai keteduhan tersendiri, ia menjadi
tampak menyesali tindakannya yang membuat Pendekar
Mabuk nyaris binasa itu.
"Maafkan aku, Suto. Seandainya aku tahu semua ini
akan mencelakakan dirimu, aku tak akan lari dari
pondok itu. Ooh... tapi... tapi adakah bagian tubuhmu
yang  terluka, Suto?" seraya tangan Mayangsita
menyingkapkan rambut di kening Suto, ia memeriksa
tubuh Suto dengan penuh kecemasan.
"Untung aku membawa bumbung tuakku, sehingga
luka kecil itu dapat kusembuhkan dengan meminum tuak
ini!"
 "Oh, syukurlah," senyumnya mencerminkan hati yang
lega. Hati Suto menjadi berdesir indah melihat sikap
Mayangsita yang tampak mencemaskan dirinya.
Keindahan itu kian berbunga ketika Mayangsita
sunggingkan senyum kelegaan, sepertinya gadis itu
mengungkapkan rasa sayangnya tanpa disengaja.
"Mau minum tuakku? Biar dukamu hilang?!"
Mayangsita sunggingkan senyum kian lebar. "Kau
tahu saja kalau aku haus. Aku menangis semalaman di
sini," sambil Mayangsita menerima bumbung tuak dan
menenggaknya beberapa teguk.
"Jangan menangis lagi, Mayangsita," ucap Suto 
bagai  orang berbisik. "Matamu yang indah dapat
menjadi bengkak jika kau banyak menangis."
Mayangsita serahkan bumbung tuak kembali sambil
berkata, "Tidak, aku tidak akan menangis lagi jika kau
ada di sampingku."
"Betul? Janji tak akan menangis lagi?" sambil Suto
sunggingkan senyum yang memancarkan daya pikat
tinggi itu.
Mayangsita mengangguk dengan tetap pandangi Suto
dan sunggingkan senyum indahnya. Lalu kedua tangan
gadis itu menggenggam tangan Suto.
"Aku berjanji. Tapi kau pun harus janji tetap akan
mendampingiku."
"Mengapa kau ingin kudampingi, Mayangsita?"
pancing Suto Sinting.
"Karena hatiku merasa seperti sudah mengenalmu
sejak, dulu. Entah mengapa, ketika aku memandangmu
 yang pertama kalinya, hatiku tiba-tiba merasa sangat
dekat  denganmu, sepertinya sudah lama kita saling
berdekatan. Rasa-rasanya sulit sekali jika aku harus jauh
darimu, Suto."
Mayangsita tersenyum malu ketika Suto Sinting
sunggingkan senyum lebarnya dengan tatapan mata
lembut yang mendebarkan hati.
"Mungkin aku kena pelet olehmu," tambah
Mayangsita di sela tawanya. Kata-kata itu bernada
kelakar, sehingga Suto Sinting pun akhirnya tertawa di
sela suara tawa kecil si Mayangsita. Kini tangan kiri
Suto ditumpangkan di tangan Mayangsita yang sejak
tadi menggenggam tangan kanannya. Rasa hangat
mengalir di sekujur tubuh akibat kedua pasang tangan itu
saling genggam. Setiap gerakan jari bagai menjadi pusat
perhatian dan menghadirkan debar-debar keindahan
tersendiri.
Tak peduli burung tak lagi berkicau, tak peduli
matahari makin meninggi, mereka bagaikan terhipnotis
oleh suasana indah yang hanya bisa dirasakan oleh
mereka berdua. Bahkan gadis itu tak merasa keberatan
ketika dagunya diraih Suto dan wajahnya sedikit
ditengadahkan. Mata mereka saling tatap penuh
keceriaan dalam jarak kurang dari dua jengkal. Mereka
saling dapat merasakan semburan napas yang
menghangat di sekujur wajah masing-masing.
"Kau cantik sekali, Mayangsita," bisik Pendekar
Mabuk. Bibir ranum Mayangsita bergerak-gerak  indah
saat membalas ucapan itu.
"Kau pun sangat tampan dan menggoda hatiku, Suto.
Aku jadi gemetar sekali."
"Mengapa gemetar? Apakah karena belum sarapan?"
"Bukan karena itu, tapi karena aku belum pernah
dipandangi pemuda setampan dirimu, Suto."
"Kau suka padaku?" pancing Suto.
Mayangsita menjawab lirih, "Lebih dari suka...."
Suto tak mampu bertahan lagi. Bibir ranum itu sangat
menggoda. Akhirnya ia menempelkan bibirnya ke bibir
Mayangsita pelan-pelan. Gadis itu langsung pejamkan
mata, pertanda siap menerima sentuhan hangat dari bibir
Suto. Jantung telah berdebar-debar, dan bibir itu pun ikut
gemetar.
Ketika bibir itu terasa dikecup oleh Suto, tangan
Mayangsita meremas lengan Suto. Seakan  ia menahan
sesuatu yang meledak-ledak dalam dada dengan
indahnya.
Kecupan itu dilepaskan oleh Suto dengan pelan-
pelan. Lalu mereka saling pandang kembali. Pandangan
mata Mayangsita telah menjadi sayu, penuh kobaran
hasrat yang membara. Senyum Suto mengembang tipis
penuh pesona.
"Indahkah kecupan tadi?" bisik Suto. 
"Indah sekali," jawab Mayangsita dengan berbisik
pula.
"Dapatkah kau melakukannya seperti yang kulakukan
tadi?"
Mayangsita tidak menjawab, namun ia segera
mendekatkan wajahnya pelan-pelan. Lalu bibirnya mulai
 menyentuh bibir Suto Sinting. Tetapi lidah Mayangsita
sengaja menyapu permukaan bibir itu lebih  dulu.
Sapuannya sangat lembut dan pelan, hingga jantung Suto
menjadi bergemuruh dihujani keindahan.
Gadis itu rupanya pandai memainkan hati seorang
lelaki. Suto Sinting dibuat penasaran dengan sapuan
lidahnya yang mengitari permukaan bibir Suto. Dengan
kedua tangannya menelusup di sela rambut panjang
Suto, Mayangsita mulai memagut bibir Pendekar
Mabuk. Bibir itu dilumatnya dengan lidah menari-nari,
dan Suto memberi balasan yang tak kalah hangat.
Makin lama gairah Mayangsita semakin bergolak.
Lidah dan bibirnya menyusuri wajah Suto. Ia tak
tanggung-tanggung untuk berlutut di atas dahan pipih
yang kokoh itu. Dengan berlutut dan menunduk, ia lebih
mudah menciumi sekitar wajah Suto, bahkan lidahnya
sempat menggelitik di sekitar daun  telinga Suto. Daun
telinga  itu pun sesekali digigitnya pelan, menimbulkan
rasa nikmat yang membuat tangan Suto meremas.
Apa yang diremas oleh Suto ternyata adalah
gumpalan sekal yang padat dan berisi di permukaan dada
Mayangsita. Rupanya sejak tadi tangan Suto sudah
menelusup ke balik baju tanpa lengan yang berwarna
hitam itu. Tangan tersebut menemukan dua bukit yang
hangat dan segera berkeliaran dengan leluasanya.
"Oouuh...!" Mayangsita mengeluh dengan tangan
meremas rambut Suto. Kepala pemuda itu semakin
dirapatkan ke dadanya, bahkan tangan kirinya sempat
menarik baju dari ikat pinggangnya, sehingga belahan
 baju menjadi lebih lebar lagi, bahkan terlepas bebas.
Mayangsita menyingkapkan bajunya sendiri, kemudian
menyodorkan dadanya ke mulut Suto Sinting.
"Hangatkan yang ini, Suto. Sapulah ujungnya dengan
lidahmu.... Oh, ya, begitu.... Uuuuh... nikmat sekali,
Sutooo...," rengek Mayangsita dengan kepala
mendongak dan mata terpejam. Seakan setiap sentuhan
lidah Suto sangat diresapi keindahannya, sehingga gadis
itu kian menghamburkan desah dan erangan yang tiada
hentinya. Bahkan ketika Suto memagut agak kencang,
Mayangsita memekik dengan kedua tangan meremas
rambut Suto.
"Aoow...  !  Ooh, Suto... indah sekali  itu. Teruskan,
Suto... teruskan... ooouh...!"
Kedua tangan Pendekar Mabuk juga tak mau tinggal
diam. Ia merasa sudah telanjur masuk dalam arena
pertarungan cinta. Tangannya pun mulai mengendurkan
apa yang mengikat di tubuh Mayangsita. Agaknya gadis
itu tak keberatan, karena ia sempat membantu Suto
melepaskan ikat pinggangnya yang terbuat  dari
selendang hijau itu. Akibatnya, kain yang menutupi
bagian bawahnya itu merosot hingga jatuh ke lutut.
Sesuatu yang tersembunyi selama ini terbuka bebas
tanpa hambatan. Tangan Suto pun dapat menjamahnya
dengan leluasa.
"Ouuh...! Teruskan, Suto.... Uuhmmm... indah sekali,
Sayang...," erang Mayangsita bersama napasnya yang
berhamburan dalam desah.
Gadis itu ternyata jauh lebih berani dari dugaan Suto
 Sinting,  ia bahkan meminta Suto Sinting merayapkan
kecupannya dari dada sampai ke bawah. Lidah Suto
dipaksakan untuk menari-nari dengan nada merengek.
"Oh, Suto... menarilah... mainkan tarian lidahmu,
Suto. Ooh, ya, ya, yaaaah... terus, Suto. Teruuuss...!"
Gadis lembut itu akhirnya menuntut kemesraan lebih
liar lagi. Ia duduk di dahan atasnya. Suto Sinting di
dahan bawah. Tanpa merasa canggung dan malu lagi,
segala yang dikenakan tadi ditanggalkan di dahan
bawah.
Kerindangan dedaunan pohon membuat mereka tak
merasa khawatir dilihat orang. Gadis itu semakin
menjerit. Terlebih ketika puncak kemesraannya tiba,
Mayangsita tak tanggung-tanggung meraung panjang
bagai orang sedang disiksa. Keringatnya pun mengucur
deras, namun agaknya ia masih belum merasa puas,
sehingga Suto masih dituntut untuk melakukan
keindahan seperti tadi dengan lidahnya.
"Oh, Suto... Suto, sekarang giliranmu, Sayang....
Berhentilah dulu, aku akan melambungkan jiwamu
seperti yang kualami tadi. Indah sekali, Suto...."
Pendekar Mabuk pun menghentikan cumbuannya.
Mayangsita menyuruh Suto Sinting berdiri dengan kedua
tangan menumpang di dua dahan sebatas dada itu.
Mayangsita sendiri yang melepaskan ikat pinggang Suto
yang terbuat dari kain merah itu. Kemudian tangannya
menemukan sesuatu yang segera diraih dalam
genggamannya.
"Ooh... luar biasa sekali kau, Suto...," pujinya dalam
 desah dan napas memburu. Kala itu kain putih Suto
segera ditarik dan jatuh menutupi telapak kaki.
Mayangsita tampak kegirangan. Matanya memandang
dengan berbinar-binar. Sambil tangannya masih
menggenggam, Mayangsita mulai memagut-magut lutut
Suto. Kadang lutut itu digigitnya pelan, lalu disapu
dengan ujung lidahnya.
"Ouh, Mayang...," desah Suto menahan keindahan
yang ingin meledak dari dalam dada.
Mayangsita merayapkan lidahnya dari lutut ke paha
dengan gerakan sangat pelan, ia tak peduli lutut itu
gemetaran, tapi kedua tangannya tetap memaksa agar
Suto lebih terbuka lagi. Kepala Mayangsita pun
menggeliat hingga tengadah, karena sang lidah ingin
menyapu bagian lain dari sesuatu yang digenggamnya
sejak tadi.
"Ooooh...!" erangan panjang Suto membuat
Mayangsita semakin bersemangat lagi. Ia biarkan tangan
Suto meremasi  rambutnya, karena hal itu akan
membuatnya merasa bangga karena dapat memberikan
keindahan yang setimpal dengan yang diberikan oleh
Suto Sinting tadi. Pagutan-pagutannya semakin kuat,
bibir dan lidahnya semakin lincah bermain di ujung
kehebatan Suto itu. Setelah puas bermain, gadis itu pun
seakan ingin menelan Suto bulat-bulat. Hal itu membuat
Suto mengerang panjang.
Gadis itu tak sanggup lagi menahan tuntutan
gairahnya,  ia  ingin lakukan pelayaran cinta bersama
Pendekar Mabuk yang bertubuh kekar dan saat itu
 bermandi keringat. Menatap keringat Suto saja
Mayangsita sudah tak sabar lagi mempermainkan
asmaranya sendiri.
Ia segera melompat ke dahan lain. Huup...! Jleeg... !
Dahan itu lebih datar dan mempunyai permukaan kulit
yang halus, ia berbaring di dahan itu. 
Kedua kakinya ditumpangkan pada dahan kecil yang
lebih tinggi dari dahan yang dipakainya berbaring.
Dahan kecil itu terletak di kanan kirinya, masing-masing
berjarak satu betis dari dahan besar.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum ketika
melihat Mayangsita telah berbaring di sana. Mata si
gadis semakin sayu menatap Suto, membentang lebar
penuh tantangan, dan bibirnya merekah saat memanggil
dengan suara merengek seperti anak kecil.
"Suto, datanglah kemari. Aku tak sanggup bertahan
lagi, Suto.... Lakukanlah sekarang juga, Sayang.
Kemarilah...."
Kalau saja saat itu tidak segera terdengar suara
ledakan, mungkin Suto Sinting telah melompat ke dahan
itu dan menikam si gadis dengan kedahsyatannya. Tetapi
karena saat itu mereka segera mendengar suara ledakan
dua kali yang berasal dari tempat tak seberapa jauh dari
situ, maka perhatian Suto pun segera beralih ke suara
ledakan tersebut.
Duaar, blaaarr...!
Pendekar Mabuk menegang seketika. Matanya lebih
lebar, tak sesayu tadi. Mayangsita pun tertarik dengan
suara ledakan tersebut, namun gadis tu segera bisa
 bersikap cuek dan tak mau perhatiannya pindah ke suara
ledakan.
"Suto, biarkan suara itu. Lekaslah mengarungi lautan
kemesraan bersamaku, Suto...!" pintanya bernada
merengek.
Jegaaar...!
Suara ledakan itu semakin keras dan menggetarkan
pohon tempat mereka bercumbu. Pendekar Mabuk
semakin penasaran dan resah, ia yakin, di seberang sana
ada pertarungan seru. Dan Suto paling tak bisa tinggal
diam jika mendengar suara pertarungan. Nalurinya
sebagai seorang pendekar selalu menuntut untuk melihat
siapa yang bertarung dan jurus-jurus maut apa saja yang
digunakan mereka.
Gairah Suto yang sudah membara pun menjadi
padam seketika. Rengekan Mayangsita sempat tak
dihiraukan,  ia segera mengenakan apa yang tadi telah
dilepaskannya.
Melihat Suto Sinting merapikan diri, Mayangsita
mulai bernada kecewa.
"Suto, jangan pergi dulu!  Lakukanlah dulu, Suto.
Oooh... aku ingin menikmati walau sekali saja...."
"Kau tetap di sini! Aku akan kembali secepatnya
setelah melihat siapa yang bertarung di sana!" ujar Suto
dengan sedikit gugup karena terburu-buru.
"Sutooo...," rengek Mayangsita seperti mau
menangis. "Lupakan dulu pertarungan itu. Kita berlayar
dulu sampai ke puncak keindahan walau satu kali saja.
Setelah itu kita sama-sama melihat siapa yang bertarung
 di sana. Lalu kita akan kembali ke sini dan
mengulanginya lagi, Sayang. Ayolah, Suto... oouh, Suto
aku sudah tak bisa menahan diri lagi, Sayang...," bujuk
Mayangsita sambil pinggulnya sengaja menggeliat agar
menarik perhatian Suto.
Tetapi bagi Pendekar Mabuk, sebuah pertarungan
lebih menarik perhatiannya daripada sebuah goyangan
pinggul, ia tak peduli rengekan itu. Bumbung tuak yang
tadi digantungkan pada salah satu ranting, kini
disambarnya dalam keadaan telah berpakaian rapi.
"Sutooo...!" pekik gadis itu dengan jengkel.
"Sebentar saja, Mayang. Aku hanya sebentar, nanti
aku ke sini lagi!"
"Kau tak ingin menikmatinya dulu walau sejenak,
Suto?!"
"Aku akan melihat pertarungan itu. Sebentar saja!"
"Tapi nanti kau ke sini lagi?!"
"Ya, aku ke sini lagi!"
"Dan berlayar denganku ke lautan cinta?"
"Iya, ya...!" Suto agak menyentak.
"Kau berjanji, Suto?!"
"Cerewet kau, ah!"
Zlaaap...! Suto Sinting bagaikan menghilang, ia
melesat cepat menuju ke tempat pertarungan. Sisa asap
hitam dari ledakan yang kedua tadi masih terlihat. Sisa
asap itulah yang menjadi pedoman langkah Suto yang
melompat dari pohon ke pohon.
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
Gerakan cepat itu terhenti dengan cepat pula. Seeet...!
 Pendekar Mabuk masih tetap berada di atas pohon ketika
ia melihat dua orang gadis sedang lakukan pertarungan
di tanah berpohon renggang itu. Mata Suto Sinting
sempat terbelalak kaget melihat kedua gadis yang
bertarung dengan sengitnya itu. Yang satu sudah
mencabut pedangnya, yang satu masih menggunakan
tangan kosong.
Pada saat itu jantung Suto Sinting bagaikan berhenti
seketika, karena yang dilihatnya adalah seorang gadis
berpakaian serba hitam sedang bertarung dengan seorang
gadis cantik berjubah putih. Jubah putihnya yang berhias
benang emas itu tidak memakai lengan, sehingga kulit
tubuhnya tampak berwarna kuning langsat.
Gadis yang berjubah  putih itu mengenakan kutang
biru tipis hingga  dadanya tampal  sekal  menonjol,
ujungnya mencuat ke atas. Celana komprangnya
berwarna biru, panjang sampai ke mata kaki dan diberi
tali pengikat  pada ujung celana itu. Gadis berjubah putih
itu mempunyai senjata pedang gading berukir kepala
naga pada gagangnya, ia mempunyai potongan rambut
shaggy tanpa ikat kepala, bibirnya mungil, Hidungnya
bangir.
Pendekar Mabuk yakin gadis itu jika tersenyum pasti
mempunyai lesung pipit di kedua pipinya, sebab
Pendekar Mabuk pernah bertemu dengan gadis itu ketika
menembus alam perbatasan antara gaib dan alam nyata.
Gadis itu tak lain adalah Nirwana Tria, cucu Dewa
Tanah yang menjadi orang paling disegani di Dasar
Bumi, (Baca serial  Pendekar Mabuk dalam episode :
 "Ratu Maksiat").
Kemunculan Nirwana Tria memang mengejutkan
bagi Suto. Tetapi lebih mengejutkan lagi adalah lawan
dari Nirwana Tria itu. Gadis yang sedang menebaskan
pedangnya ke arah leher Nirwana Tria dan tebasan itu
dapat dihindari dengan meliukkan badan ke belakang itu
adalah gadis berpakaian serba hitam, cantik, berambut
pendek sebahu tanpa ikat kepala, mengenakan sabuk
hijau, dan dadanya montok. Gadis itu tak lain adalah
Mayangsita.
"Lalu, siapa  yang  bercinta denganku di atas pohon
tadi?!" pikir Suto Sinting dengan hati berdebar-debar, ia
sempat bingung dan menggeragap sejenak, ia merasa
bercumbu begitu panasnya dengan Mayangsita, tapi
ternyata gadis itu sekarang sedang bertarung dengan
Nirwana Tria. Padahal Suto masih ingat bahwa
Mayangsita ditinggalkan di pohon besar itu dan sedang
menunggu kedatangannya untuk mengarungi lautan
cinta.
"Jangan-jangan mataku telah rusak?!" gumam hati
Pendekar Mabuk, menyangsikan penglihatannya, ia
mengerjap-ngerjap dan mengucal-ngucal mata sesaat.
Tapi ketika memandang ke arah pertarungan, ternyata
tetap Mayangsita yang dilihatnya sedang bertempur
melawan Nirwana Tria.
"Haruskah aku kembali ke pohon itu dan membawa
Mayangsita untuk melihat siapa yang bertarung di
sini?!" pikir Suto dalam pertimbangan paniknya. 
"Oh, tak mungkin aku kembali sekarang.
 Kelihatannya Mayangsita mulai terdesak oleh serangan
Nirwana Tria. Kalau pertarungan itu tidak segera
kuhentikan, Mayangsita akan terluka, bisa-bisa
nyawanya melayang. Pertarungan ini tak setanding."
Namun sebelum Suto bertindak, Mayangsita sudah
berhasil melepaskan jurus andalannya ke dada Nirwana
Tria. Tendangan itu datang tak disangka-sangka,
sehingga Nirwana Tria kecolongan. Duukh...! Weess,
brrruuk...!
Nirwana Tria terpental mundur dan jatuh dengan satu
kaki berlutut. Mayangsita melompat dan menebaskan
pedangnya dari atas ke bawah, seakan ingin membelah
kepala Nirwana Tria.
Tetapi cucu si Dewa Tanah itu segera bangkit dah
menyambut datangnya pedang itu dengan kedua tangan
saling merapatkan pergelangannya dan menyentak ke
atas. Seeeb...! Pedang itu terselip di antara kedua telapak
tangan Nirwana Tria. Dalam keadaan menjepit pedang,
kedua tangan Nirwana Tria menyentak ke kiri. Krrak...!
Pedang itu pun patah dan Mayangsita terperangah.
Tanpa menunggu lawannya sadar kembali dari
kekagetannya, Nirwana Tria segera memutar tubuh
dengan cepat. Kakinya menendang dalam gerakan
memutar beberapa kali, sehingga kaki itu bagai
menampar wajah Mayangsita berulang-ulang.
Plak, plak, plak, plak, plak...!
Mayangsita terdesak mundur dengan geragapan. Dan
yang terakhir kalinya, kaki Nirwana Tria melayang lebih
cepat lagi, membuat Mayangsita terlempar ke samping
 tanpa ampun lagi.
Beeet, ploook...!
Wees, brruk...!
Mayangsita tak sempat terpekik karena nyawanya
bagaikan melayang sekejap dan kembali lagi dengan
cepat, ia jatuh terkapar di bawah pohon dengan tubuh
mengejang dan wajah menyeringai menahan sakit.
Tiba-tiba dari arah belakang Nirwana Tria muncul
sekelebat bayangan yang segera menerjang punggung
gadis  cantik bersenjata pedang dua jengkal  yang diberi
nama Pedang Lidah Naga itu. Wwees...! Duuukh...!
Nirwana Tria terhentak ke depan. Punggungnya
disodok dengan ujung tongkat. Ujung tongkat itu
kepulkan asap. Semestinya punggung itu bolong
seketika. Tapi ternyata punggung  Nirwana   tidak
mengalami cedera apa pun. Bahkan bekas hangus di
jubah putihnya pun tak ada. Ia hanya merasa sesak napas
sedikit, lalu segera bangkit dan cepat berbalik.
"Wah,  gawat! Ki Wabah Langit turun tangan?!"
gumam Suto Sinting sebelum menghambur ke
pertarungan. "Pasti suara ledakan tadi yang membuat Ki
Wabah Langit segera lari kemari dan mencemaskan diri
Mayangsita!"
Wabah Langit tampak memandang dengan angker
kepada Nirwana Tria. Tapi gadis yang dipandang justru
menyunggingkan senyum sinis berkesan meremehkan
pandangan angker itu. Wabah Langit segera menggeram,
tongkatnya diputar di samping kanan dengan permainan
jari-jari tangan kanannya. Putaran itu sangat cepat,
 menimbulkan suara dengung yang menyakitkan gendang
telinga.
Nirwana Tria segera mengeraskan kedua jari
telunjuknya. Jari telunjuk  itu  ditempelkan ke pelipis
sebentar, lalu pergelangan tangannya berputar bagai
menari, dan kedua jari itu disentakkan ke depan.
Suuut...!
Slaaap...! Dua larik sinar hijau bening melesat dari
ujung jari itu dan mengarah  ke  dada Wabah Langit.
Kakek berjubah biru itu memindahkan tongkatnya ke
depan  dalam  keadaan masih berputar cepat bagaikan
baling-baling. Weerrs...! Kedua sinar hijau itu akhirnya
menghantam tongkat tersebut hingga timbulkan ledakan
yang menggelegar.
Jegaaar...!
Nirwana Tria terpental mundur, namun hanya jatuh
berlutut, sementara si Wabah Langit masih tegak berdiri,
ia bahkan segera lakukan lompatan dengan tongkat
tergenggam kuat lalu dihantamkan ke arah kepala
Nirwana Tria. Gerakannya sangat cepat dan hantaman
tongkat itu nyaris tak terlihat.
Pada saat itulah,  Suto  Sinting segera melepaskan
sentilan kecil dari jurus "Jari Guntur'-nya ke pinggang si
Wabah Langit. Tees...!
Buukh...!  
Sentilan yang dilakukan sambil melompat ke tengah
pertarungan itu membuat Wabah Langit terpelanting ke
samping hingga pukulan tongkatnya jauh dari sasaran
semula. Brrruk...! Wabah Langit tak bisa menjaga
 keseimbangan tubuhnya, ia jatuh terbanting dengan
sangat menyedihkan.
"Bangsat terkutuk...!" makinya dengan kasar dan
bersuara keras.
Zlaap, jleeg...!
Suto Sinting muncul di pertengahan jarak antara
Nirwana Tria dan Wabah Langit. Kemunculan itu
membuat keduanya sama-sama terkejut. Bahkan
Nirwana Tria sempat berseru girang.
"Suto...?!"
"Hentikan pertarungan ini!" tegas Suto Sinting.
Wabah Langit protes sambil menahan sakit di
pinggangnya. "Dia ingin membunuh Mayangsita!"
Mayangsita yang sudah berdiri namun tubuhnya
sangat  lemas sehingga berpegangan pada pohon itu
segera ikut berkata dengan suara lemah.
"Diid... dia... si Bayangan... Bayangan Ketan, eeeh...
Bayangan Setan!" sambil menuding Nirwana Tria.
Pendekar Mabuk segera menarik lengan Nirwana Tria
agar berdiri bersebelahan dengannya. Saat itu Nirwana
Tria berkata kepada Suto Sinting bagai  anak kecil
mengadu kepada orangtuanya.
"Dia menyerangku lebih dulu, Suto! Tak tahu apa
sebabnya, dia ingin membunuhku!"
"Kar... karena... karena kau adalah Bayangan Wetan,
eeeh... Bayangan Setan!" timpal Mayangsita.
"Kau salah duga!" ujar Suto kepada Mayangsita.
"Siapa yang salah raga?!" sahut Wabah Langit
dengan keras. 
 "Salah duga!" ulang Suto memperjelas ucapannya
untuk si Wabah Langit. "Gadis cantik ini bukan si
Bayangan Setan! Dia adalah Nirwana Tria, dari negeri
Pusar Bumi atau Dasar Bumi! Dia sahabatku, cucu dari
Dewa Tanah!"
"Dewa Lintah?!"
"Dewa Tanah, Ki!" seru Suto.
Wabah Langit terkejut. "Dewa Tanah...?! Ooh...?!
Bbe... benarkah dia cucunya si Dewa Tanah, penguasa
Pusar Bumi itu?!"
"Benar!" jawab Suto Sinting tegas sekali.
"Boh... bohong...! Waanita... wanita cantik itu pasti si
Bayangan Setan! Ddi... dia... dia bisa berubah-ubah rupa
seperti siapa saja!" kata Mayangsita tetap tak percaya, ia
tampak gugup karena matanya sesekali memandang ke
arah Suto Sinting.
Pendekar Mabuk membatin, "Agaknya dia benar-
benar Mayangsita. Dia bicara dengan gugup dan terbata-
bata jika berhadapan denganku. Sedangkan gadis yang
bercumbu denganku tadi bisa bicara dengan lancar. Oh,
jika benar si Bayangan Setan bisa berubah-ubah rupa,
tak salah lagi, pasti gadis di pohon itu adalah si
Bayangan Setan alias Andani! Ia  berubah menjadi
Mayangsita dan memancingku untuk bercumbu! Sialan!
Tapi... diam-diam saja, ah! Malu sekali kalau sampai
cerita ini didengar mereka yang ada di sini!"
Wabah Langit tampak takut memandang Nirwana
Tria. Ia bahkan sempat sedikit membungkuk penuh
hormat kepada Nirwana Tria.
 "Maafkan kebodohanku tadi, Cucu Dewa Tanah!"
"Kau kenal dengan kakekku, Pak Tua?"
"Aku hanya mendengar kebesaran namanya saja.
Tapi aku menjadi percaya bahwa kau adalah cucu Dewa
Tanah, karena punggungmu tetap utuh  menerima jurus
'Tongkat Kobra'-ku tadi! Jika bukan orang berilmu
tinggi, tak mungkin dapat menahan jurus 'Tongkat
Kobra'-ku!"
Lalu, Wabah Langit berkata kepada Mayangsita.
"Jangan lagi melawannya, Mayangsita! Dia memang
bukan si Bayangan Setan! Dugaanmu hanya diracuni
oleh dendammu sendiri."
Mayangsita tundukkan kepala, karena Pendekar
Mabuk memandanginya.
 *
* *

5
 PENDEKAR MABUK ingin buktikan kepada mereka
bahwa Bayangan Setan telah mengubah diri sebagai
Mayangsita. Ia segera membawa mereka ke pohon besar
yang dipakainya bercumbu itu. Tetapi ternyata pohon itu
sudah tidak berpenghuni lagi. Sosok gadis yang
menyerupai Mayangsita telah tiada. Berarti Bayangan
Setan telah pergi.
Wabah Langit berkata, "Mungkin dia tahu Nirwana
Tria telah muncul di sekitar tempat ini!"  
Nirwana Tria menarik napas dan palingkan wajah, tak
mau menjadi bahan perhatian Mayangsita dan Pendekar
Mabuk. Sementara itu, Mayangsita yang sudah mau
percaya dengan penjelasan Suto serta Wabah Langit itu
segera ajukan tanya kepada sahabat gurunya itu.
"Mengapa si Bayangan Setan segera pergi jika benar
ia mengetahui kemunculan Nirwana Tria, Ki?" 
"Karena dia takut!" sentak si Wabah Langit.
"Mengapa takut?!" desak Mayangsita dengan lancar
karena matanya tertuju pada si wajah angker berjubah
biru itu.
"Apakah gurumu tak pernah menceritakan tentang
kehancuran Samudera Kubur saat bersarang di Pulau
Blacan, delapan tahun yang lalu?!"
"Guru tak banyak membeberkan cerita itu, Ki."
"Gurumu memang songong!" geram Wabah La ngit.
"Samudera Kubur saat berada di Pulau Blacan telah
dihancurkan oleh pasukan dari Dasar Bumi atau dari
negeri Pusar Bumi. Pasukan itu dipimpin oleh seorang
gadis, cucu dari Dewa Tanah. Dan gadis itu sekarang ada
di sampingmu!"
Mata Mayangsita melirik Nirwana Tria, bahkan kini
memandang langsung dengan posisi berdiri menghadap
Nirwana Tria. Yang dipandang jadi serba salah dan
akhirnya hanya tundukkan kepala sambil kedua
tangannya bersedekap, kakinya bermain batu secara
iseng.
Suto Sinting pun jadi ikut memandang Nirwana Tria,
karena kekagumannya terhadap gadis itu semakin  
bertambah, ia pun ingat dengan cerita Perawan Sinting
tentang sebuah biara yang telah runtuh dan sekarang
tinggal puing-puingnya. Biara itu dulu bekas pusat
Perguruan Bunga Seroja. Ketika perguruan itu diambil
alih oleh Peri Kahyangan, maka orang-orang Perguruan
Bunga Seroja menjadi sesat dan beraliran hitam.
Perguruan itu akhirnya dihancurkan oleh Nirwana Tria
pada  masa lima puluh tahun yang lalu, dan Peri
Kahyangan melarikan diri ke alam gaib. Rupanya Peri
Kahyangan kini bergentayangan lagi dan menamakan
dirinya sebagai  si Bayangan Setan, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Buronan Cinta
Sekarat")     
Kini giliran Nirwana Tria yang bicara.
"Cerita itu tak perlu disebarluaskan, Ki Wabah
Langit," ujarnya dengan sopan dan hormat. "Untuk apa
membicarakan masa lalu. Bukankah lebih baik
membicarakan masa sekarang, di mana Bayangan Setan
mengganas lagi dan aku diperintahkan oleh Kakek Dewa
Tanah untuk menuntaskannya!"
"Aku bersyukur jika kau sudah mulai turun tangan
lagi, Nirwana Tria," ujar si Wabah Langit. "Karena aku
sendiri merasa belum tentu unggul melawan si Bayangan
Setan!"
"Kabar yang kudengar, Bayangan Setan atau si Peri
Kahyangan itu bersembunyi di Bukit Lahat. Maka aku
pun segera mencari Bukit Lahat sambil mencari tahu di
mana Pendekar Mabuk berada."
"Mengapa kau juga mencari Pendekar Mabur, eeh...  
Pendekar Beruk, eeh... anu... Pendekar...."
"Pendekar Mabuk!" sentak Wabah Langit.
"Iya!" balas Mayangsita pendek saja. Ia selalu gugup
jika menyebut Pendekar Mabuk di depan orangnya.
"Kakek berpesan agar aku bekerja sama dengan
Pendekar Mabuk. Si  Bayangan Setan hanya bisa mati
atau musnah selamanya jika yang membunuh adalah
pemuda tanpa pusar. Dan pemuda tanpa pusar itu adalah
Suto Sinting; si Pendekar Mabuk ini!"
Mayangsita terperangah dan tergagap-gagap lagi.
"Oh, jad... Jadi dia tidak punya pasar? Eeeh... tidak
punya ular? Aduh, anu... maksudku... dia tidak punya...."
"Pusar!" sentak Wabah Langit lagi.
"Iya. Tidak punya pusar?!"
Nirwana Tria tersenyum geli. "Tanyakan sendiri pada
orangnya."
Wabah Langit menyahut, "Kalau perlu, periksalah
kebenarannya, Mayangsita!"
"Ah, anu... oh, Iya periksa. Eh, jangan...! Tidak mau!"
Mayangsita menjauh sambil mengibas-ngibaskan
tangannya.
Pendekar Mabuk dan Nirwana Tria tertawa geli.
Setelah keadaan tenang kembali, Mayangsita telah
berpindah di samping Wabah Langit, maka Nirwana Tria
mulai bicara dengan serius kepada Suto Sinting.
"Berapa lama kau bertemu dengan si Bayangan Setan
dalam wujud Mayangsita?"
"Yah, tak terlalu lama. Kami hanya bertegur sapa saja
dan menanyakan mengapa Mayangsita tadi malam kabur  
dari pondok Ki Wabah Langit."
Mayangsita menyahut, "Aku sembunyi di... di-
tumpukan kayu kabar, eeeh... kayu bakar, di belakang
murah, eeeh... di belakang rumah. Aku memang ingin
sindiran, aah... anu, aku memang ingin sendirian
merenungi kata-kata Ki Bawah Langit!"
"Goblok! Namaku Wabah Langit!" bentak si pemilik
nama.
"Iya, maksudku, Wabah Langit, Goblok!  Eaeh...
maaf, maaf, Ki!" Mayangsita ketakutan sendiri  sampai
cium tangan si Wabah Langit.
Nirwana Tria akhirnya memutuskan agar Wabah
Langit dan Mayangsita kembali ke pondok, ia dan Suto
Sinting akan menuju ke Bukit Lahat, memburu si
Bayangan Setan. Semula gadis murid Eyang Panujum itu
agak ngotot, ingin ikut ke Bukit Lahat. Tetapi Suto
Sinting menetapkan dengan tegas.
"Kau harus tetap di pondok bersama Ki  Wabah
Langit dan Mahesa Gibas! Jika kau tak mau menurut,
aku tak mau mengenalmu lagi!"
"Bbaa... baiklah kalau begitu maumu. Akk... aku...
akan tetap di pondong, eeh... akan tetap di pondok
bersama Ki  Wabah Langit dan Mahesa Gabus, eeh...
Mahesa Gibras, aduh... salah lagi! Siapa, Ki?"
"Tirukan! Ma-he-sa...." 
"Ma-he-sa...." 
"Gi-bas...." 
"Gi-bas...." 
"Mahesa Gibas!"  
"Mahesa Gabres! Aduuuh... salah lagi!"
"Sudah, sudah... kita pulang sekarang saja, biar
urusan si Bayangan Setan ditangani Nirwana Tria dan
Suto Sinting!" geram si Wabah Langit sambil menarik
tangan Mayangsita. Pendekar Mabuk dan Nirwana Tria
pandangi kepergian mereka sesaat.
Begitu mereka telah menghilang dari pandangan
mata, tiba-tiba Nirwana Tria memeluk Suto dan bibirnya
menyambar bibir pemuda itu. Crrup...! 
"Hei, nakal kau!"
"Aku kangen padamu!" ujar gadis cantik berlesung
pipit itu. "Ketika Kakek Dewa Tanah memanggilku dan
memberikan tugas menghancurkan Peri Kahyangan
dengan terlebih dulu mencari Pendekar Mabuk, hatiku
girang sekali. Semangatku tinggi karena aku punya
kesempatan muncul di permukaan bumi dan bisa
bertemu denganmu. Maka dari kabar ke kabar, kuperoleh
keterangan bahwa si Pendekar Mabuk sedang memburu
Bayangan Setan ke Pulau Blacan atas permintaan tolong
dari Adipati Jayengrana. Teropong batinku mengatakan,
kau tidak ada di Pulau Blacan. Mata batinku pun
mencarimu hingga akhirnya kutemukan kau ada di
sekitar Pantai Porong. Lalu kuperoleh keterangan dari
Panembahan Pancalingga, bahwa kau bergerak ke arah
sini. Maka aku pun memburumu ke sini."
Nirwana Tria bicara dengan berapi-api, seakan
menampakkan betul kegembiraannya dapat bertemu
dengan Pendekar Mabuk, ia memang terpikat oleh
ketampanan dan keromantisan sang Pendekar Mabuk.  
Namun karena ia tahu, Pendekar Mabuk sudah
mempunyai calon istri sendiri, yaitu Dyah Sariningrum
anak dari Ratu Kartika Wangi yang dihormati, maka ia
tak berani merebut pemuda itu dari hati Dyah
Sariningrum. Ia hanya memanfaatkan bunga-bunga
indah yang bermekaran di masa lajang si  Pendekar
Mabuk itu.
Sambil  melangkah mendaki perbukitan, Pendekar
Mabuk sempat ajukan tanya kepada Nirwana Tria yang
sebenarnya sudah berusia tiga kali lipat usia Suto Sinting
itu.
"Apakah kau tahu, bagaimana caranya si Bayangan
Setan dapat menirukan wujud dari Mayangsita?"
"Dia bisa mengambil alam pikiran seseorang dan
mewujudkannya dalam bentuk nyata. Barangkali saat itu
kau memikirkan Mayangsita dengan segala
permasalahannya, sehingga pikiranmu diambil dan ia
membentuk diri menyerupai alam pikiranmu itu. Ia
mempunyai ilmu 'Aji Samar Dewi' yang bisa membuat
dirinya berubah-ubah wujud. Bisa saja ia berubah
menjadi binatang atau raksasa."
"Hmmm...!" Pendekar Mabuk menggumam sambil
manggut-manggut. "Lalu, bagaimana cara
mengatasinya? Maksudku, bagaimana cara mengetahui
bahwa binatang atau seseorang itu adalah penyamaran
dari si Bayangan Setan?!"
"Tato di pahanya akan selalu ikut serta dalam setiap
perubahannya, walaupun tato itu tidak hidup seperti jika
berada di pahanya sendiri."
 Pendekar Mabuk hanya membatin, "O, pantas waktu
tadi kuciumi pahanya, aku melihat ada tato kecil di sana.
Tapi tak jelas bentuknya, sehingga kusangka hanya
tompel biasa. Rupanya tato kecil itu berbentuk kupu-
kupu! Ah, kurang ajar betul si Andani itu! Aku nyaris
dibuatnya ternoda! Untung belum sempat kuberikan
'jimat keramat'-ku  ini kepadanya. Benar-benar gila dia.
Kusangka si Mayangsita gairahnya sebuas itu. Tak
tahunya si setan keparat yang punya gairah!"
Nirwana Tria sempat curiga dengan bungkamnya
mulut Suto itu.
"Benarkah kau tadi hanya bicara-bicara biasa dengan
jelmaan si Bayangan Setan?"
"Hmmm... ya, benar!" Suto mempertegas jawabannya
agar tak timbulkan kecurigaan lagi di hati gadis itu.
"Tidak berbuat yang bukan-bukan?"
"Tidak! Kenapa kau bertanya begitu padaku?"
Nirwana Tria tersenyum kalem. "Kau sangka aku tak
tahu watakmu kalau sudah berhadapan dengan seorang
gadis cantik dalam keadaan hanya berdua di tempat
sepi?!"
Suto Sinting tertawa pahit. "Aku tak serendah
dugaanmu."
"Itu tak mungkin kulakukan. Seandainya hal itu
kulakukan, tentunya aku sudah mati dimakan si
Bayangan Setan."
Nirwana Tria tersenyum sinis, "Ia tak akan
melukaimu atau membunuhmu. Bahkan ia tak mungkin
mengunyah dagingmu walau sedikit pun."  
"Kenapa kau yakin dia tak akan membunuhku?"
"Karena dia pasti tahu bahwa kau adalah pemuda
tanpa pusar. Satu pantangan yang tak boleh dilanggar
olehnya adalah membunuh atau memakan daging orang
yang tidak punya pusar!"
"O, ya...?!" Suto Sinting terperanjat dan semakin
penasaran. "Seandainya dia nekat membunuhku atau
memakan dagingku, bagaimana jadinya?"
"Seluruh ilmunya akan hilang seketika itu juga!"
"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut lagi.
"Oleh sebab itu, kakekku menyarankan agar aku
menemuimu dan mengatakan, bahwa hanya kaulah
orang yang bisa membinasakan si Peri Kahyangan itu,"
ujar Nirwana Tria dengan serius. "Karena jika ia
melawanku, ia hanya bisa kukalahkan namun tak bisa
kubunuh, ia akan segera kabur dan hilang entah ke mana,
lalu muncul kembali beberapa tahun kemudian, seperti
halnya kali ini!"
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. Secara tak
langsung ia telah mendapat mandat dari Dewa Tanah
untuk hancurkan si Bayangan Setan. Hatinya merasa
bangga mendapat kepercayaan sebesar itu. Tetapi ia
belum tahu bagaimana cara mengalahkan si Bayangan
Setan. Tentunya tidak seperti ia mengalahkan  lawan-
lawannya yang lain.
"Bayangan Setan mempunyai segudang ilmu," lanjut
Nirwana Tria. "Kau harus hati-hati. Jangan sampai ia
melarikan diri lagi. Jangan sampai pula ia merasa lebih
baik mati bersama daripada mati sendirian."  
"Apakah kau tahu di mana  letak kelemahan si
Bayangan Setan itu?!" tanya Suto Sinting terang-
terangan meminta petunjuk dari gadis cantik yang
tampak lebih muda darinya itu. Nirwana Tria pun
ternyata tidak meremehkan pertanyaan itu dan ia
memberikan jawaban dengan sungguh-sungguh.
"Kelemahan si Peri Kahyangan atau si Bayangan
Setan itu terletak di... di antara kedua pahanya. Kurasa
kau tahu maksudku, Suto."
Pendekar Mabuk justru hentikan langkah dan
memandang dengan dahi berkerut. "Kau tidak sedang
bergurau, Tria?" 
"Tidak! Karena menurut keterangan kakekku, ketika
tubuh Peri Kahyangan tersiram 'Cahaya Iblis', yang tidak
terkena cahaya hanya bagian 'mahkota'-nya saja. Jadi,
tempat itu adalah tempat yang rawan, alias tempat
apesnya!" 
"Apa maksudnya, 'Cahaya Iblis' itu?" 
"Cahaya merah yang keluar dari gerhana matahari.
Kekuatan iblis terpancar melalui gerhana matahari
berupa sinar merah kebiru-biruan. Siapa pun yang
terkena sinar merah itu, maka ia akan memiliki kekuatan
iblis yang sungguh dahsyat. Tetapi tidak setiap ada
gerhana matahari, maka akan muncul 'Cahaya Iblis' itu.
Seribu tahun sekali 'Cahaya Iblis' itu akan terpancar dari
gerhana matahari. Dan selama ini, hanya si Peri
Kahyangan yang pernah tersiram 'Cahaya Iblis' pada saat
terjadi gerhana matahari, karena pada saat itu ia sedang
lakukan semadi telanjang di puncak sebuah gunung."  
Pendekar Mabuk sempat membatin, "Unik juga letak
kelemahannya itu. Kalau sejak tadi aku sudah
mengetahuinya, tentu saat di atas pohon itu aku sudah
bisa membunuh si Bayangan Setan! Sangat bisa, sebab
kelemahannya itu terbuka lebar-lebar. Tapi mengapa
justru kuberi kenikmatan, ya? Ah, bodoh sekali aku ini!"
Tiba-tiba Nirwana Tria menahan lengan Suto hingga
pemuda itu hentikan langkahnya. Mata si gadis
memandang sekeliling dengan jeli. Pendekar Mabuk ikut
memandang sekelilingnya, karena gerakan mata
Nirwana Tria mengisyaratkan datangnya bahaya di
sekitar mereka.
"Ada apa, Tria?" bisik Suto Sinting karena tak
melihat ada sesuatu yang mencurigakan. 
"Kau dengar suara lalat menggaung?" 
Pendekar Mabuk tajamkan pendengaran sebentar.
"Hmmm... ya, dia memutar-mutar sekitar kita. Tapi
gerakannya sukar kulihat. Ada apa dengan lalat itu?"
"Adakah bangkai atau benda busuk di sekitar sini?"
"Belum kuperiksa. Tapi menurut penciumanku, tak
ada benda busuk di sini."
"Kalau begitu, seekor lalat yang terbang itu adalah
lalat yang tidak wajar."
"Maksudmu, lalat yang kurang ajar?" 
"Tidak wajar!" tegas Nirwana Tria. "Pasti bukan lalat
sembarangan! Bersiaplah, Suto! Firasatku mengatakan,
kehadiran kita sudah mulai disambut oleh si Bayangan
Setan yang mengubah diri menjadi seekor lalat."
"Gawat!" gumam Suto Sinting sambil meraih  
bumbung tuaknya. Mereka mulai merenggang jarak.
Nirwana Tria mencabut pedangnya yang pendek, namun
dapat menjadi panjang dalam satu sentakan tenaga dalam
tertentu.
Wuuuung...! Wuuuung...!
Lalat itu perdengarkan bunyinya sambil mengelilingi
mereka berdua. Suto Sinting semakin percaya terhadap
dugaan Nirwana Tria. Jika lalat itu adalah lalat liar, tak
mungkin hanya terbang mengelilingi mereka berdua.
Maka kedua mata Pendekar Mabuk pun dipertajam
dengan tali bumbung tauk mulai melilit di genggaman
tangannya.
"Menjauhlah, Suto! Biar kuhadapi sendiri lalat
keparat itu!"
Pendekar Mabuk sengaja memberi tempat bergerak
untuk Nirwana Tria. Suara lalat mendengung makin jelas
mengelilingi Nirwana Tria. Tapi gerakan lalat itu tak
bisa dilihat oleh Suto maupun Nirwana Tria.
Gadis itu akhirnya pejamkan mata. Ia mulai lakukan
gerakan dengan berdasarkan ketajaman pendengarannya.
Tanpa memejamkan mata, maka konsentrasinya akan
terpecah belah dan tebasan pedangnya akan meleset dari
sasaran.
Kejap berikut, Nirwana Tria mengibaskan pedangnya
dalam gerakan yang nyaris tak terlihat oleh pandangan
mata Suto. 
Wut, wut, wuuut...! Wees...! 
Nguuuuung...!
Lalat  itu justru terbang meninggi. Nirwana Tria  
hentikan gerakan dan tetap pejamkan mata. Pendekar
Mabuk mencari lalat itu dengan pandangan yang tertuju
ke atas. Tapi tetap saja tak melihat seekor lalat yang
terbang dan mendengung pelan.
Beberapa saat kemudian dengung lalat itu terdengar
mendekat kembali.
"Awas, Tria...!" ujar Suto mengingatkan. Nirwana
Tria tidak menjawab, namun badannya bergerak
memutar pelan-pelan sambil tetap pejamkan mata. Hal
itu terjadi cukup lama. Sampai akhirnya, pedang
Nirwana Tria berkelebat dan menjadi panjang sendiri
dalam gerakan menebas ke samping dua kali.
Wut, wuuuut...! 
Ngguuuurrk...! Nguuurrk...! 
Suara dengung lalat pun tak senyaring tadi. Nirwana
Tria masih pejamkan mata dan bergerak memutar
dengan pelan. Tapi kali ini ia perdengarkan suaranya
kepada Suto Sinting.
"Dia jatuh! Kau melihatnya, Suto?!" 
"Sedang kucari!" jawab Suto Sinting sambil
menyimak suara dengung yang rusak itu.  
"Aku telah menebas sayap kirinya," kata Nirwana
Tria. "Periksalah jika kau dapatkan dia! Mungkin
sekarang ada di sebelah kiriku. Di bawah, Suto!"
Pendekar Mabuk memeriksa bagian kiri Nirwana
Tria. Tiap jengkal tanah diperhatikan. Namun ia tak
menemukan binatang kecil itu. Nirwana Tria membuka
mata, karena suara dengung itu telah hilang dan tak
muncul-muncul lagi.  
"Dia telah pergi!" gumamnya dengan nada
menggeram jengkel.
"Hei, ada sesuatu yang kutemukan di atas daun ini!"
seru Suto Sinting yang membuat Nirwana Tria segera
mendekatinya.
Sehelai daun semak liar berwarna hijau pupus
menjadi pusat perhatian mereka. Di atas daun itu tampak
noda hitam kecil yang jika diperhatikan baik-baik
ternyata adalah selembar sayap seekor lalat. 
"Sayap inilah yang kutebas tadi," kata Nirwana Tria.
Pendekar Mabuk hanya membatin, "Gila! Kecepatan
jurus pedangnya memang luar biasa. Dia bisa
memastikan bahwa tebasan pedangnya telah kenai salah
satu sayap lalat itu. Dan sekarang terbukti ada selembar
sayap lalat di daun ini. Benar-benar hebat jurus pedang
yang dimilikinya. Atau mungkin pedang pusakanya
itulah yang mempunyai  kehebatan sedemikian tinggi?!
Pantas jika pedang itu dinamakan Pedang Lidah Naga!"
"Sebaiknya kita...," Nirwana Tria tak jadi lanjutkan
kata-katanya, karena tiba-tiba mereka mendengar suara
dengung yang lebih besar dan sepertinya menggema.
Wajah gadis itu  tampak tegang saat memandang Suto
Sinting, membuat Suto sendiri jadi berkerut dahi.
"Suara dengung itu makin besar!" ujarnya kepada
Nirwana Tria.
"Apakah lalat itu juga menjadi sebesar kerbau?" tanya
Suto asal cuap saja.
"Kurasa kini yang datang serombongan lalat beracun
yang ingin menyerang kita, Suto! Bersiaplah!"  
Nirwana Tria melompat dalam jarak empat langkah
dari Suto. Mereka sama-sama menghadap ke timur,
karena suara dengung besar itu datang dari timur.
Dahi si Pendekar Mabuk semakin berkerut kuat-kuat
ketika ia melihat bayangan hitam bergerak berombak-
ombak menuju ke arahnya. Bayangan hitam itu tak lain
adalah ratusan ekor lalat kiriman si Bayangan Setan
yang tentunya masing-masing membawa racun
mematikan.
"Mereka datang dalam jumlah banyak, Tria!"
"Minggirlah! Cari tempat terlindung. Kuhancurkan
sendiri rombongan lalat itu!" ujar Nirwana Tria.
"Tidak! Ini giliranku, Tria! Mundurlah...!" kata
Pendekar Mabuk sambil membuka bumbung tuaknya, ia
segera menenggak tuak. Yang ditelan hanya sedikit,
sisanya disimpan dalam  mulut, sehingga kedua pipi
pemuda tampan itu mengembung besar. Nirwana Tria
tak mau mengecewakan Suto, ia pun bergegas mundur
dengan siap siaga lepaskan pukulan yang akan
menghancurkan ratusan lalat yang berombak-ombak itu.
Mereka terbang dalam ketinggian sebatas kepala Suto
Sinting. Tapi Suto yakin lalat-lalat itu akan segera
merendah dan menyergap mereka bersama racun yang
ada di kaki mereka.
Ketika rombongan lalat itu lebih dekat lagi, Pendekar
Mabuk segera lakukan lompatan tinggi dalam gerakan
bersalto maju. Wuuuk, wuuuk...! Lompatan itu melebihi
ketinggian barisan lalat.
Pada saat posisi Suto menukik di atas barisan lalat,  
tuak dalam mulutnya segera disemburkan. Itulah jurus
'Sembur Bromo Wiwaha' yang memercikkan bunga api
saat tuak disemburkan.
Bwwwwweeerrss...!
Trak, trak, pletak, praak, traatak, pletak, traaak...!
Terdengar suara seperti berondongan jagung bakar.
Lalat-lalat itu terbakar oleh semburan tuak yang
memercikkan bunga api. Suara gemeretak membuat
tanah menjadi hitam beberapa saat kemudian. Rumput
tertutup oleh ratusan bangkai lalat yang menghangus.
Semburan panjang dari mulut Suto tadi telah berhasil
membunuh semua lalat yang ada dalam rombongan
tanpa nama itu. Hanya satu ekor yang lolos dari
semburan tuak Suto tadi. Satu ekor lalat tersebut segera
mendengung dalam terbangnya yang menukik tinggi lalu
menghilang di sela-sela dahan pohon rindang.
Pendekar Mabuk bermaksud mengejar yang seekor
itu, tetapi Nirwana Tria sudah lebih dulu berseru
kepadanya. 
"Jangan kejar!  Dia  akan membawamu ke jebakan
yang berbahaya!" 
Pendekar Mabuk segera sadar tentang peringatan itu,
sehingga ia tak berani lanjutkan pengejarannya. Hati
sang pendekar pun membatin, "Kalau dipikir-pikir
memang tak pantas, sebagai pendekar kok yang dikejar-
kejar seekor lalat! Apa kata orang yang tak tahu jika
melihat tingkahku tadi."
Nirwana Tria berkata, "Kalau begitu kita sudah
berada di dekat sarang si Bayangan Setan! Kita serang  
saja dia sebelum dia mempermainkan kita dengan
makhluk jelmaannya seperti tadi!"
"Bagaimana kita bisa menyerang jika kita tak melihat
bentuknya?!" kata Suto.   
"Bukankah kau bisa keluar-masuk alam gaib?!" 
"Apa maksudmu?!" Suto kerutkan dahi. 
"Peri  Kahyangan mempunyai pintu sendiri untuk
keluar-masuk ke alam gaib bagi dirinya maupun bagi
para pengikutnya. Pergunakan kesaktianmu itu agar bisa
melihat di mana mereka berada!"
Pendekar Mabuk segera ingat tentang noda merah di
keningnya yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang.
Noda merah itu pemberian dari calon mertuanya; Ratu
Gusti Kartika Wangi. Noda merah itu selain sebagai
tanda bahwa Suto adalah Manggala Yudha negeri Puri
Gerbang Surgawi di alam gaib, juga sebagai kunci untuk
keluar-masuk alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Manusia Seribu Wajah").
Noda merah di keningnya yang sebesar biji jagung itu
jika diusap dengan tangan kiri bisa untuk melihat
kehidupan alam gaib, tapi jika diusap dengan tangan
kanan membuat Suto dapat keluar-masuk ke alam gaib.
Maka Pendekar Mabuk pun segera mengusap
keningnya dengan tangan kiri. Slaaap...!  Ia pun lenyap
dari pandangan mata dan telah berada di alam gaib.
Nirwana Tria menyusul kepergian Suto dengan
merapatkan kedua tangannya di dada, blaas...! Nirwana
Tria pun menghilang, dan kini berada di alam gaib
bersama si Pendekar Mabuk.  
*
* *

6
 TERNYATA di alam gaib itu, Pendekar Mabuk dan
Nirwana Tria melihat sebuah bangunan megah dari
batuan putih. Tepi bangunan itu dilapisi logam sejenis
emas yang berkilauan. Bangunan itu berada di puncak
bukit yang harus didaki dulu oleh Pendekar Mabuk dan
Nirwana Tria.
Bukan hal sulit bagi mereka untuk mendaki bukit itu.
Masing-masing menggunakan ilmu peringan tubuh dan
mampu melesat seperti anak panah. Zlaaap, zlaaap...!
Dalam sekejap mereka sudah mencapai tangga  berbatu
putih yang menjadi pintu gerbang bangunan megah itu.
"Pantas mereka tak pernah bisa menemukan di mana
persembunyian si Bayangan Setan, karena ia tinggal di
alam perbatasan ini!" ujar Suto seperti bicara pada diri
sendiri.
Nirwana Tria menyenggol lengan Suto dan berbisik,
"Dua orang penjaga gerbang mendekati kita!"
"Kau satu yang berbaju merah, aku yang berbaju
biru! Setuju?!"
"Yang mana saja aku selalu setuju dengan usulmu,
Pria Jelek!" Nirwana Tria masih sempat berseloroh,
karena memang ia sangat tenang menghadapi kedua
penjaga gerbang yang tadi ada di depan tangga. 
Dua orang itu sama-sama berbadan besar dan  
bersenjata bola berduri. Bola besi itu mempunyai rantai
yang berhubungan dengan  gagangnya. Mereka sama-
sama berwajah lebih angker dari si Wabah Langit.
"Mau apa kalian kemari, hah?!" bentak si baju merah.
Nirwana Tria tidak menjawab, demikian pula
Pendekar Mabuk. Keduanya sama-sama lepaskan
pukulan jarak lima langkah berupa sinar yang keluar dari
tangan mereka. Nirwana Tria keluarkan sinar hijau, dan
kebetulan Suto Sinting pun keluarkan sinar hijau dari
jurus 'Pecah Raga' yang dipakai menyerang si Gober itu.
Clap, dap...!
Blaaar, bleggaarr...!   
Tak ada satu kedipan kedua penjaga berwajah angker
itu kini menjadi berwajah pucat. Mereka tumbang dalam
keadaan hancur tak bernyawa. Bola besi berduri ternyata
sia-sia digenggamnya sejak kemarin-kemarin, toh nyawa
mereka langsung minggat  begitu Pendekar Mabuk dan
Nirwana Tria muncul di depan mereka.  
Suara ledakan itu jelas mengagetkan mereka yang ada
di dalam bangunan megah tersebut. Dan  sudah tentu
mereka menangkap datangnya bahaya,  sehingga tak
heran ketika mereka menghambur keluar menuruni
tangga, mereka sudah bersenjata dan  siap menghadapi
pertarungan.  
Lebih dari lima belas orang menuruni tangga yang
jumlahnya sekitar tiga puluh anak tangga itu. Nirwana
Tria dan Pendekar Mabuk tak merasa gentar sedikit pun.
Mereka masih tampak kalem.
"Aku menghadapi mereka, kau menembus ke dalam
dan cari si Peri Kahyangan! Hancurkan dia sebelum
sempat kabur lagi!" ujar Nirwana Tria.
"Kau sanggup menghadapi mereka?!"
"Jangan mengecilkan kemampuanku, Suto!"
"Maaf, kusangka kau hanya bisa menciumku saja!"
ujar Suto berseloroh, lalu mereka berdua sama-sama
menyongsong orang-orang yang sedang menuruni
tangga tersebut.
Pendekar Mabuk berusaha menerobos masuk dengan
mengibaskan bumbung tuaknya beberapa kali. Mereka
yang terhantam bumbung tuak bertenaga dalam tinggi
tak pernah sempat mengerang lebih dari satu kali.
Sementara itu, Nirwana Tria dengan Pedang Lidah
Naga-nya bergerak cepat melumpuhkan mereka yang
pada umumnya buas-buas dan liar-liar.
"Cepat masuk!" seru Nirwana Tria setelah ia
menyingkirkan tiga orang yang menghadang langkah
Suto Sinting. Tiga orang itu dihantam dari arah samping
dengan sinar biru yang keluar dari ujung kedua jari
Nirwana Tria. Sinar tersebut menembus pinggang ketiga
orang itu dan robohlah mereka tanpa mau bernapas lagi.
Ternyata yang keluar dari bangunan megah itu
semakin banyak. Tapi pada saat itu, Pendekar Mabuk
berhasil menerabas masuk dengan jurus 'Gerak
Siluman'-nya, sementara Nirwana Tria menghadapi
mereka dengan kelincahan yang sukar diimbangi oleh
mereka.
Pendekar Mabuk tiba di bangsal utama. Beberapa
lelaki bertelanjang dada yang mempunyai tubuh kekar  
dan kulit hitam segera menyerangnya. Namun mereka
dapat disingkirkan dalam  waktu singkat, sehingga Suto
Sinting segera masuk lebih dalam lagi.
Salah seorang pengawal bersenjata cambuk
menyerang Suto dari belakang. Ctaaar...! Pendekar
Mabuk tersentak dan memekik dengan suara tertahan,
karena cambuk itu melilit kuat di bagian dadanya. Makin
lama lilitan cambuk terasa makin menjerat dan nyaris
menembus ke daging dan tulangnya. Wajah Pendekar
Mabuk menjadi merah karena darahnya tak bisa
mengalir lagi.
Dengan sentakan kaki pelan, tubuh Pendekar Mabuk
akhirnya melambung ke atas dan bersalto mundur.
Wuuut...!  Tali cambuk berhasil dipegangnya saat ia
berada di udara, lalu disentakkan ke depan dengan
kekuatan penuh. Wuuut...! Si  pemegang cambuk
terlempar kuat dan kepalanya membentur dinding
dengan keras. Praaak...!
"Aaoww...!" pekiknya memanjang, karena kepala itu
segera mengucurkan darah. Pendekar Mabuk cepat
lepaskan diri dari lilitan cambuk itu, kemudian ia segera
menerjang orang tersebut dengan tendangan kakinya.
Wuuut...! Bruuusk...!   
"Heeekh...!" orang itu mendelik, lehernya tergencet
kaki Suto dengan dinding.
"Di  mana si Bayangan Setan itu! Katakan sekarang
juga atau kutekan lebih kuat lagi kakiku ini!" hardik
Suto. Orang itu tak mau sebutkan, rupanya ia ingin
menjadi pengawal setia si Bayangan Setan. Tapi Suto
Sinting semakin memperkuat tekanan pada kakinya
sehingga orang itu tersentak dengan mulut terbuka dan
lidah terjulur.
"Di mana dia! Katakan, maka akan kulepaskan
kakiku ini!"
Orang itu memang tak bisa menjawab, tapi tangannya
menuding ke arah sebuah kamar berpintu emas. Kamar
itu terletak di lantai atas yang dapat terlihat dari tempat
Suto berada.
"Terima kasih!" kata Suto, kemudian melepaskan
kakinya sambil menjejak ke atas. Dees...! Prook...! Dagu
orang  itu remuk, dan kejap kemudian nyawanya pun
melayang karena terlalu lama tercekik lehernya oleh kaki
Suto.
Pendekar Mabuk menuju ke lantai atas. Ia tidak
menggunakan tangga yang ada, melainkan menggunakan
ilmu peringan tubuhnya.  Dalam  satu gerakan salto ia
sudah bisa mencapai lantai  atas tersebut. Wuuut...!
Weess...!
Begitu tiba di depan pintu berlapis emas, Pendekar
Mabuk segera sentakkan kakinya menendang dengan
tenaga dalam tersalur penuh ke kaki tersebut.
Braaakkk...! Pintu pun jebol, lalu seraut wajah cantik
yang sedang berbaring di ranjang mewah itu
sunggingkan senyum menawan.
"Andani...?!" gumam Suto Sinting kepada perempuan
berambut panjang yang telah melepaskan jubah
hitamnya yang berbola-bola kuning itu.
"Tak perlu sekasar itu, Suto! Seharusnya kau tahu  
bahwa aku telah tunduk padamu!" ucap Andani atau si
Bayangan Setan yang cantik, sexy, dan menampakkan
kemontokan dadanya, ia kini melepas jubah hitamnya
dengan mata memandang sayu penuh tantangan
bercumbu.
"Aku sudah lama menunggumu di sini, Suto...."
Pendekar Mabuk bagaikan kehilangan semua
bahasanya. Lidahnya menjadi kelu manakala kain tipis
penutup pinggul itu tersingkap. Tato gambar kupu-kupu
terlihat jelas di paha kiri Andani  yang dulu pernah
bercumbu dengan Suto Sinting itu.
"Tak kusangka kaulah si Bayangan Setan yang keji
itu, Andani!" geram Suto Sinting dengan langkah pelan
dekati ranjang.
Andani makin perlebar belahan kainnya dengan
merenggangkan kaki. Suto Sinting berdebar-debar
memandang sesuatu yang mengintip dari balik kain tipis
itu.
"Jangan marah padaku, Suto. Aku hanya melakukan
tuntutan batinku yang tak bisa kuhindari lagi  ini!
Barangkali kepada orang lain aku memang kejam, tapi
kepadamu sebenarnya aku tunduk, Suto. Datanglah lebih
dekat, tak mungkin aku akan menyakitimu, Sayang"
Pendekar Mabuk menarik napas dalam-dalam.
"Andani, kau sudah terlalu banyak makan korban.
Rasa-rasanya sukar sekali untuk diampuni oleh siapa
pun!"
"Apakah kau akan membunuhku?!"
"Tak ada jalan lain untuk menghentikan tindakan  
kejimu selama ini, Andani. Barangkali aku memang
harus mengakhiri masa hidupmu yang sesat tanpa batas
lagi itu!" tegas Suto Sinting dengan dada bidang tampak
menantang. Dada itu penuh keringat yang membuat mata
Andani selalu tertuju ke sana. Perempuan itu tampak
bergairah sekali pandangi dada Suto yang penuh
keringat dan kekar itu.
"Suto, aku berjanji akan hentikan segala tindakanku,
asal aku selalu ada di sampingmu!" tutur Andani dengan
suara-suara yang membangkitkan gairah seorang lelaki,
ia tetap berbaring dengan siku menopang tubuhnya.
"Kau tak mungkin bisa bersamaku, karena aku sudah
mempunyai seorang kekasih!"
"Siapa kekasihmu, Pendekar tampan?" Andani
akhirnya bangkit dan turun dari ranjang dengan gerakan
lembut, ia berdiri di depan Suto dalam jarak kurang dari
satu jangkauan. Sambil menatap dengan mata sayu
penuh harap, ia mengulangi pertanyaannya yang belum
dijawab oleh Suto Sinting itu.
"Siapa kekasihmu, Sayang?"
"Dyah Sariningrum; Gusti Mahkota Sejatil"
"O, si penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi itu?!"
"Benar!"
"Aha.... itu bisa kuatasi. Aku dapat kalahkan dia
dengan mudah. Sekarang pun bisa kukirimkan penyakit
kepadanya dan ia akan mati dalam sekejap. Kau tak
perlu takut kepadanya, Suto!"
Tangan perempuan itu mulai nakal, walau masih
dalam batas mengusap-usap keringat di dada Suto  
Sinting.
"Aku mau hentikan  tindakanku selama ini, jika kau
izinkan aku hidup di sampingmu. Aku menyukai
kehangatanmu, Suto," bisiknya, lalu tanpa ragu-ragu lagi
mengecup dada Suto. Kecupan itu merayap ke kiri
hingga menemukan titik hitam di dada Suto, lalu
memagutnya beberapa saat sambil tangannya mulai
merayap ke bawah dan meremas lembut apa yang
ditemukannya di sana.
Pendekar Mabuk mulai terbuai dan gairahnya yang
tadi tertunda itu terbakar kembali. Tapi ia buru-buru
ingat serangan lalat beracun tadi. Maka tubuh
perempuan itu cepat-cepat disentakkan menjauh.
"Kita bukan sepasang kekasih, namun sepasang
musuh, Andani!" tegas Suto Sinting.
"Kau tak mau berdamai denganku, Suto?" ujar
Andani dengan nada manja.
"Aku tak punya waktu untuk berdamai lagi
denganmu! Roh para korban tak bersalah menuntut
tindakanku lebih tegas lagi kepadamu!"
"Kau tak takut kehilangan kemesraanku?"
Pendekar Mabuk membuang bayangan indah saat
bermesraan dengan Andani di atas sebuah pohon. Lalu ia
segera teringat nasib Rama Jiwana, sang menantu
Adipati Jayengrana itu.
"Di mana Rama Jiwana?! Katakan, di mana dia?!"
bentak Suto Sinting.
Andani menjawab dengan kalem, "Oh, dia satu-
satunya lelaki yang bisa lolos dari pelukanku. Tapi dia  
sekarang terjerat di perkampungan kusta, ia tak tahu
seperti apa tempat persembunyiannya itu. Kini ia terkena
penyakit kusta dan aku tak mau mendekatinya lagi.
Hiiii...!"
Sambil berkata demikian, Andani melepaskan
penutup dadanya. Bahkan kain penutup bagian
bawahnya pun dilepaskan pelan-pelan.
"Kau boleh membunuhku, Suto. Tapi berikan aku
kemesraanmu yang dahsyat itu sekali saja. Setelah itu
kau boleh membunuhku!"
"Tak ada kemesraan lagi bagimu, Andani!"
"Kalau begitu kau sangat mengecewakan diriku,
Suto!"
"Sejak dulu seharusnya aku mengecewakan dirimu!"
"Jahanam!" bentak Andani tak sabar lagi. Tangannya
disentakkan ke depan dan seberkas sinar biru melesat
menghembus dada Suto Sinting kurang dari sekejap.
Claaap...! Jrrub...!
"Aaaakh...!" Suto terlempar ke belakang dan
membentur dinding. Dadanya hangus dan hawa panas
bagai merambat ke sekujur tubuh.
Ia segera menenggak tuaknya. Namun baru
tertenggak sedikit, Andani telah mengibaskan tangannya
tanpa bergerak dari tempatnya. Wuuut...!
Buuuekh...! Suto Sinting bagaikan dihantam dengan
kayu balok besar. Tubuhnya yang sedang menenggak
tuak itu terlempar dan membentur dinding sebelahnya.
Brruussk...!
Tuak tumpah, namun tak semuanya. Pendekar Mabuk  
mengerang sambil menutup tuak. Ia segera mengerahkan
tenaganya untuk menahan rasa sakitnya.
"Aku sudah siap mati bersama, Suto!" 
Clap, clap, clap... !
Tiba-tiba dari tiga sisi dinding keluar sinar merah
serempak ke arah Suto Sinting, padahal tangan Andani
hanya dijentikkan seperti memanggil seekor ayam. Tiga
sinar itu bergerak cepat, membuat Suto Sinting hanya
bisa melesat ke atas hingga kepalanya membentur langit-
langit kamar. 
Duuukh, blegaar...!
Ledakan dahsyat terjadi saat ketiga sinar itu saling
bertemu di tempat berdiri Suto tadi.
Anehnya, dinding kamar tersebut tak menjadi jebol,
sedangkan barang-barang lainnya menjadi porak
poranda. Andani tetap berdiri di tempat dengan wajah
berangnya.
Suto Sinting jatuh di lantai bagai  terbanting karena
kepalanya membentur langit-langit kamar dengan keras.
Namun ia sempat berpikir ketika Andani mendekatinya,
dan kedua kaki Andani ada di depan wajahnya.
"Kalau dia sudah siap mati bersama, ini berbahaya!"
sambil Suto teringat kata-kata Nirwana Tria tadi. "Aku
harus membujuknya agar ia tak punya niat mati
bersama."
Dengan suara ketus, si Bayangan Setan berkata,
"Mengapa kau tak menyerangku, hah?! Tak mampukah
kau melakukannya?"
"Aku tak tega!" jawab Suto. "Aku teringat kemesraan  
yang pernah kita nikmati di atas pohon saat itu!"
"Hik, hik, hik, hik...!  Dan kau rupanya ketagihan,
Suto?"
"Jangan berkata begitu. Aku malu, Andani!" sambil
Suto masih duduk di lantai dan mendongakkan kepala.
Andani yang sudah tak berlapis apa pun itu menyeringai
kegirangan.
"Tunjukkan sikapmu yang ketagihan itu, Suto...,"
sambil Andani mendekatkan paha ke wajah Suto. Paha
itu tersentuh bibir Suto. Bibir itu sengaja memagut
pelan. Andani mulai mendesis kecil, ia mengangkat satu
kakinya, ditumpangkan di atas sebuah bangku yang tadi
terpental dan jatuh dalam posisi miring itu.
"Kecuplah seperti dulu lagi, Suto... ooh, naikkan
kecupanmu, terus naiiik.... Ooh...!"
Tapi tiba-tiba tangan Suto yang memegangi bambu
tuaknya segera menyodok ke atas dengan tenaga dalam
penuh. Sodokan itu tepat kenai 'mahkota'
kenikmatannya. Wuuut, jraaab...!
"Aaaaa...!"
Andani alias si Bayangan Setan memekik keras-
keras, ia tak tahu bahwa Suto sudah mengetahui di mana
letak kelemahannya, ia tak menyangka bumbung tuak itu
akan menyodok "mahkota'-nya hingga hancur dan
menyemburkan darah. Untung tubuh itu segera
melayang dan membentur dinding, sehingga semburan
darah tak sampai membasahi wajah Suto.
Tubuh Andani jatuh bersimbah darah. Darah pun
membanjir di lantai. Jurus 'Mabuk Lebur Gunung' telah  
hancurkan rahasia si Bayangan Setan yang jago rayu itu.
Tapi agaknya Andani masih belum kehilangan
nyawanya, ia masih bisa bangkit berdiri dengan
sempoyongan. Wajahnya berubah menjadi tua, keriput,
dan kulitnya pecah-pecah menyeramkan. Rambutnya
pun memutih dan mulai rontok helai demi helai. Giginya
meruncing berwarna hitam mengerikan.
"Kau mengkhianatiku, Suto...! Kau menyakitiku...!
Hrrrk...!"  Ia menyeringai sambil mengangkat kedua
tangannya yang mulai berkuku panjang dan hitam itu.
Pendekar Mabuk segera bangkit, namun tiba-tiba
tubuh tua menyeramkan itu melayang dengan cepat
menerkam leher Pendekar Mabuk.
"Haarrrhh...!"
Weeesss...! Crrraass...!
Kuku-kuku runcing itu menancap di leher Suto,
mencengkeram kuat membuat napas Suto terhenti
seketika. Namun dalam keadaan segenting itu, tangan
Suto masih sempat menyodok ke depan dalam keadaan
jari tangan lurus dan miring. Beeet...! Zuuurrb...! Sinar
perak telah terlepas dari  ujung tangan Suto dan
menembus ke perut si Bayangan Setan. Seketika itu
cengkeraman kesepuluh kuku itu melemah. Suto Sinting
segera tarik diri dan jatuh bersimbah darah. Luka di
lehernya sangat parah. Sementara si Bayangan Setan
akhirnya tumbang dalam  keadaan tubuhnya terpotong-
potong pada setiap persendiannya. Jurus 'Yudha' telah
digunakan Suto dalam keadaan sangat terpaksa seperti
tadi, dan jurus itulah yang mengakhiri riwayat hidup si  
Bayangan Setan alias Peri Kahyangan.
"Sutooo...! Sutooo...?!" suara Nirwana Tria terdengar
berlari-lari di lantai bawah. Suto Sinting tersandar di
dinding dalam keadaan leher robek dan mengucurkan
darah. Ketika Nirwana Tria berhasil temukan Suto, gadis
itu memekik kaget dan segera menghambur memeluk
Suto Sinting.
"Suto...?! Kau terluka...?!  Ooh...! Kau terluka,
Suto...!"
"Tak apa...," suara Suto serak. "Aku hanya tak kuat
mengangkat bumbung tuakku. Beri aku minum tuakku
ini, Tria...!"
"Ba... baik! Baik...! Buka mulutmu, Sayang...!"
Nirwana Tria sempat panik. Tapi untung ia dapat
menuangkan tuak ke mulut Suto dan luka Suto pun bisa
segera teratasi.
"Semuanya sudah hancur, Suto! Semuanya sudah
binasa!" ujar Nirwana Tria.
"Bayangan Setan pun sudah binasa! Lihatlah dia...!"
sambil Suto menuding potongan tubuh si nenek tua yang
sebenarnya adalah wujud asli si Bayangan Setan alias
Peri Kahyangan itu.
Nirwana Tria akhirnya tertawa sambil memeluk Suto,
lalu mereka segera keluar dari alam gaib dengan senyum
kemenangan. Suto Sinting sengaja sempatkan diri
menenteng kepala nenek tua itu sebagai bukti bahwa si
Bayangan Setan telah tiada.
Kematian Bayangan Setan segera menyebar ke mana-
mana. Nama Suto Sinting dan Nirwana Tria pun ikut  
menjadi bahan pembicaraan tiap tokoh persilatan.
Sementara itu, Rama Jiwana berhasil ditemukan Suto di
perkampungan penderita kusta, ia tak berani pulang ke
kadipaten karena tertular penyakit yang mengerikan itu.
Tapi Suto Sinting segera menyembuhkan Rama
Jiwana dengan tuaknya. Bahkan para penduduk
perkampungan kusta itu pun kini menjadi sehat dan tak
pernah menderita penyakit kusta lagi sejak mereka
meminum tuak sakti si Pendekar Mabuk.

SELESAI


Segera terbit!!!

PEDANG PENAKLUK CINTA

 Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
 http://duniaabukeisel.blogspot.com/  
 https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com