Pendekar Mabuk 110 - Persekutuan Iblis (1)



1
SEBUAH kedai berukuran agak besar dikunjungi
beberapa pembeli. Kedai ituterletak di sebuah desa yang
merupakan salah satu desa paling dekat dengan kotaraja.
Tentu saja desa itu berpenduduk padat, bahkan banyak
orang buka usaha penginapan dan kost-kostan untuk
para buruh yang punya lapangan kerja di kotaraja.
Jarak antara Desa Walikutu dengan kotaraja hanya
dua kilometer jika menggunakan ukuran zaman
sekarang. Sarana angkutan umum juga cukup banyak,
dari dokar, pedati, gerobak sapi sampai ojek gendong.
Karena pada masa itu tidak ada sepeda atau motor, maka
beberapa penduduk desa bisa mencari nafkah melalui
ojek gendong. Artinya, siapa yang mau ngojek dari desa
ke kotaraja, maka ia akan digendong oleh si pengojek
dengan upah yang cukup untuk membeli dua bungkus
nasi pecel.
Tentu saja ojek tersebut ber-AC dengan tempat duduk
pas untuk satu orang. Hanya saja, pada masa itu
istilahnya bukan ojek, melainkan andong, artinya: angkat
dan gendong. Pada akhirnya nanti, zaman yang
berkembang membuat 'andong' yang semula tenaga
manusia menjadi bertenaga kuda dan mempunyai tempat
duduk sendiri, seperti dokar atau delman.
Pada umumnya 'tukang ojek' di masa itu bertubuh
kekar dan rata-rata tingginya satu tombak lebih sedikit.
Mereka berkalung untaian bunga aneka aroma untuk
menghilangkan kesan bau badan yang dapat membuat
muntah pada penumpangnya. Maklum, pada masa itu
belum ada parfum, sehingga untuk mengatasi bau badan
mereka menggunakan wewangian alami.
Salah satu 'tukang ojek' yang terkenal bernama
Puntung. Nama itu sesuai dengan kebiasaan pemuda
'tukang ojek' itu yang gemar menyelipkan puntung rokok
di telinganya. Walau tubuh si Puntung tak begitu kekar,
tapi dia 'tukang ojek' paling laris. Sepertinya dia
memakai aji penglaris, sehingga banyak orang yang
menyewa punggungnya untuk dijadikan sarana angkutan
dari desa ke kotaraja atau sebaliknya.
Kala itu Pendekar Mabuk yang dikenal dengan nama
Suto Sinting, murid si Gila Tuak, sedang menikmati
jagung rebusnya. Ia duduk di bawah pohon tempat para
pengojek mangkat. Sambil menikmati jagung rebusnya
ia memperhatikan para pengojek yang menawarkan
punggungnya kepada orang-orang yang baru keluar dari
pasar.
"Andong, andong, andong...!" seru mereka mencari
penumpang. "Mari siapa yang mau diangkat dan
digendong ke kotaraja?! Ayo, ayo, ayo... jangan malu-
malu. Gendongan saya bermutu. Bebas panu dan bebas
bau badan. Ayo, ayo, ayo... siapa mau digendong. Tarif
murah anti tabrakan...."
Pendekar Mabuk tertawa sendiri mendengar cara
mereka menawarkan jasa gendongannya. Banyak juga
perempuan tua yang sudah waktunya dipanggil 'nenek'
yang memanfaatkan ojek gendong untuk mengurangi
rasa capeknya dalam berjalan ke kotaraja. Ada pula yang
hanya menyuruh si pengojek menggendong barang
belanjaannya, sementara si pemilik belanjaan berjalan di
samping si 'tukang ojek' itu.
Melihat pemuda tampan yang membawa bumbung
tuak tergantung di pundak itu sudah selesai makan
jagung rebusnya, Puntung mendekati dengan senyum
ramah. Pendekar Mabuk sedang bergegas berdiri. Ia
bermaksud meneruskan perjalanannya memburu
Siluman Tujuh Nyawa yang melarikan diri dari
pertarungan. Siluman Tujuh Nyawa adalah tokoh super
jahat yang dikenal sebagai tokoh paling tersesat dan
tersasar. Dia adalah musuh utama si Pendekar Mabuk,
karena kepala tokoh sesat itu akan dijadikan maskawin
oleh Suto untuk melamar seorang putri cantik dari Pulau
Serindu, yaitu ratu negeri Pintu Gerbang Surgawi yang
bernama Dyah Sariningrum.
Dalam catatan kitab takdir kehidupan, Pendekar
Mabuk berjodohan dengan Dyah Sariningrum, sehingga
sampai sekarang pemuda tampan bertubuh kekar itu
tidak mau menikah dengan perempuan mana pun kecuali
hanya 'cuci muka' alias cium sana cium sini sebagai
selingan dalam perjalannya berpetualang, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Kembali pada masalah si 'tukang ojek' yang bernama
Puntung itu, ia berharap Pendekar Mabuk akan
menggunakan jasa tenaganya dan mau digendong untuk
perjalanan ke kotaraja. Maka Puntung pun menawarkan
punggungnya kepada Suto Sinting.
"Kang, butuh gendongan apa?! Mari, kugendong ke
kotaraja. Ditanggung nyaman, Kang. Biar tidur pules
asal jangan ngiler."
Geli juga mendengar tawaran bersifat merayu itu.
Tapi untuk menjaga agar tidak menyinggung perasaan si
Puntung, maka tawa Suto pun hanya berbentuk senyum
lebar dan tanpa suara terbahak-bahak.
"Akutidak sedang menuju kotaraja, Sobat."
"Lho, jadi kau mau ke mana, Kang?"
"Mau ke mana saja mengikuti arah angin."
"Oo... edan orang ini?" gerutu Puntung pelan,
sekalipun Suto mendengarnya tapi ia tidak tersinggung.
Justru kembali tersenyum geli mendengar gerutuan yang
tak sungguh-sungguh itu.
"Ayolah, Kang... sebaiknya kau ke kotaraja saja,"
desak Puntung. "Di sana kan ada sayembara, Kang.
Apakah kau tidaktertarik dengan sayembara tersebut?"
"Sayembara apa?" tanya Pendekar Mabuk.
"Makanya datang saja ke kotaraja, nanti kau akan
tahu sayembara apa yang sedang berlangsung di depan
istana kesultanan itu."
Sekali lagi Pendekar Mabuk tertawa kecil, kemudian
menenggak tuaknya dari bumbung bambu yang
berukuran satu depa itu.
"Boleh aku minta minumanmu, Kang?"
"O, silakan! Tapi jangan banyak-banyak."
"Ah, aku sudah biasa minum tuak kok, Kang. Tak
usah takut kalau aku akan mabuk."
"Maksudku jangan banyak-banyak bukan takut kau
mabuk, tapi takut tuakku habis."
Setelah minum tuak Suto beberapa teguk, Puntung
merasakan badannya menjadi segar. Kelelahannya dalam
bekerja sebagai tukang ojek gendong bagaikan lenyap
begitu saja. Tapi pemuda berambut kucai itu tidak
memperhatikan perubahan tubuhnya. Cuek saja. Bahkan
ia mendesak Suto Sinting lagi agar mau menggunakan
jasa gendongannya.
"Ayo, Kang... naiklah ke punggungku. Kugendong
sampai ke kotaraja.Tak usah membayarku mahal-mahal,
cukup dua sikal saja, Kang. Mumpung patas lho, Kang."
"Apa itupatas?"
"Tempatnya terbatas. Hanya cukup untuk satu
penumpang."
"Lha, iya... mana mungkin kau akan menggendong
dua penumpang. Ada-ada saja kau ini. O, ya... siapa
namamu?"
Ia menunjukkan dadanya. Rupanya di dada si
Puntung yang memakai baju putih kusam itu terdapat
tulisan dari getah pisangyang berbunyi:
ANDONG 'PUNTUNG' CEPAT, ANTAR KOTA
ANTAR DESA
"Ooo... namamu Puntung?" gumam Suto Sinting
sambil masih tersenyum geli. "Namamu hampir sama
dengan namaku, ya?"
"Namamu siapa, Kang?"
"Suto!"
"Wah, jauh sekali itu, Kang. Mana ada kesamaannya
dengan nama Puntung?!"
"Maksudku sama-sama jelek!" lalumereka tertawa.
Seorang gadis berbaju hijau mendekati mereka. Saat
itu Suto Sinting sempat melirik ke arah si gadis yang
datang dari belakang Puntung. Pemuda berambut kucal
dan berbaju putih kusam dengan celana hitam itu belum
mengetahui ada gadis mendekatinya. Tapi karena ia
melihat ada seorang perempuan yang membawa
belanjaan berat, maka ia pun segera bergegas menemui
perempuan itu.
"Maat, Kang... langgananku datang. Aku mau angkut
dia dulu!"
"Silakan," ucap Pendekar Mabuk sambil tersenyum
memperhatikan si Puntung berlari menemui perempuan
pembawa barang belanjaan itu.
Kini gadis berpakaian hijau yang cantik dan tampak
sexy itu semakin dekat. Gadis itu tadi dilihat Suto
sedang makan sendirian di dalam kedai. Waktu Suto
makan di sana ia memperhatikan gadis itu, tapi agaknya
si gadis tak pedulikan pandangan siapa pun yang
bermaksud melirik nakal kepadanya.
Gadis berpakaian hijau itu membawa sebuah tongkat
berukir yang tingginya sepundak lewat sedikit. Tongkat
itu terbuat dari sejenis kayu jati coklat tua, ujung atas
dan bawahnya berukir biasa, seperti tiang bendera atau
seukuran tongkat pramuka. Tapi tentu saja gadis itu
bukan anggota pramuka dari Gugus Depan mana saja,
karena pada masa itu belum ada istilah pramuka.
Yang jelas si gadis berambut dikuncir ke belakang itu
mengarahkan pandangan matanya kepada Pendekar
Mabuk. Saat itu Suto Sinting berlagak memperhatikan
Puntung di seberang sana yang sedang berusaha
menaikkan barang belanjaan langganannya ke
punggung. Suto berlagak tidak mengetahui kedatangan
si gadis cantik itu. Karenanya, ketika si gadis menegur,
ia berpura-pura sedikit terkejut.
"Ke kotaraja berapa?!"
"Hmm, eehh... apanya yang berapa, Nona?"
"Ongkosnya!" gadis itu sedikit menyentak dengan
sikap angkuh. Pendekar Mabuk segera nyengir geli,
karena ia segera sadar bahwa dirinya dianggap tukang
ojek seperti si Puntung itu. Timbul niat konyolnya untuk
menggoda gadis itu agar dapat berkenalan lebih akrab
lagi.
"Mengapa kautanyakan ongkos ke kotaraja, Nona?"
"Aku mau ke sana! Bukankah kau butuh upah untuk
menggendong seseorang ke kotaraja?"
"Kau ingin kugendong ke sana?"
"Cerewet kau ini!" gertak si gadis. "Berapa
ongkosnya, sebutkan saja."
"Oh, itutergantung, Nona."
"Tergantung bagaimana?"
"Tergantung mau digendong sebelah mana? Kalau
digendong belakang ongkosnya lima sikal...."
"Mahal amat?!"
"Kalau digendong depan, hmmm... gratis!"
"Gendong depan gratis?! Artinya, tidak perlu
bayaran?"
"Benar, Nona! Sekarang mau pilih gendong depan
atau gendong belakang?"
"Gendong depan saja!"
"Baik!" Suto bersemangat bersiap mau menggendong
gadis itu.
"Ee, eh... tunggu dulu! Bukan aku yang harus kau
gendong."
"Lho, lalu siapa?!"
"Nenek yang baru keluar dari kedai itu?!" sambil si
gadis menunjuk seorang perempuan tua, bungkuk dan
jalannya tertatih-tatih, menggunakan tongkat sebagai
penjaga keseimbangan tubuhnya. Suto Sinting
terperanjat dengan langsung terbengong melihat nenek
yang masih mengunyah sirih dan air sirihnya berceceran
di sekitar dagu. Langsung tubuh Suto bergidik merinding
membayangkan dirinya menggendong nenek itu dari
depan.
"Hiiihh...!" ia berjingkat mundur sambil mengusap
tengkuk kepalanya yang merinding.
"Lho, kenapa? Katanya kalau gendong depan itu
gratis?!"
"Iya, tapi kalau untuk nenek seperti dia aku tak
menyediakan tempat duduk di depan. Di belakang pun
sudah penuh!" gerutu Suto Sinting dengan hati dongkol,
lalu bergegas pergi meninggalkan tempat sambil berseru,
"Aku bukan tukang ojek, Non!"
"Hei, tunggu...!" gadis itu mengejarnya dengan
lompatan. Wuk, wuk...! Jleeg...!
Pendekar Mabuk terperanjat lagi melihat gadis itu
melayang di atas kepalanya dalam gerakan bersalto,
tahu-tahu berdiri di depan langkahnya.
"Aku hanya bercanda. Bukan nenek itu yang harus
kau gendong, tapi diriku sendiri. Aku capek, habis
melakukan perjalanan sangat jauh. Aku butuh kendaraan
untuk sampai ke kotaraja. Maukah kau menggendongku
di belakang?!"
"Hmmm, eeh... sebaiknya kau cari tandu sewaan saja,
Nona. Akutak kuat menggendongmu."
"Ah tubuh kekar dan gagah begitu masa' tak kuat
menggendongtubuhku yang kecil begini?"
"Bukan tenagaku yang tak kuat, tapi imanku menahan
getaran jantung saat tubuhmu menempel di badanku."
"Dasar otak mesum!" geram gadis itu, lalu tiba-tiba ia
kibaskan tongkatnya menyambar kepala Suto. Wuuut...!
Suto Sinting menggeloyor mau jatuh, tapi tegak kembali
setelahtongkat itu meleset tak kenai kepalanya.
"Tunggu, Nona...!"
Gadis itu penasaran atas kegagalannya menghantam
kepala Pendekar Mabuk. Dengan cepat tongkatnya
disodokkan ke perut Suto Sinting. Suuut...! Suto hanya
berkelit ke kanan dengan tubuh sedikit memutar.
Sodokan datang lagi dengan cepat. Suuut...! Suto
berkelit ke kiri dengan tubuh memutar.
"Hiaah...!" gadis itu menyodokkan tongkatnya secara
beruntun dan cepat. Sut, sut. sut, sut!
Suto Sinting berkelit ke kanan-kiri berkali-kali
sehingga mirip orang menari. Hal itu bukan saja
membuat sodokan tongkat selalu meleset, tapi juga
membuat beberapa 'tukang ojek' memperhatikan dengan
tertawa-tawa. Bahkan mereka bertepuk tangan memberi
semangat ketika melihat Suto Sinting melompat-lompat
menghindari tebasan tongkat gadis yang mengarah ke
kakinya.
Wut, wut, wut, wut...!
"Hentikan, Nona! Hentikan seranganmu!" seru Suto
Sinting sambil merunduk dua kali dan melompat tiga
kali. Wes, wes, wes, wes, wes...! Si gadis tetap
menyerang dengan tubuh berputar satu kali dan
tongkatnya menyambar kian kemari.
Lama-lama hati Suto menjadi jengkel. Kali ini
sabetan tongkat si gadis ditangkis dengan bumbung
tuaknya. Trrang...! Suara yang timbul seperti tongkat
menghantam bumbung besi. Dan pada saat tongkat itu
tertahan oleh bumbung tuak, kaki Suto Sinting
berkelebat menyambar betis si gadis. Wuut, plak,
brruuk...!
"Huaaah, hah, hah, hah, haa...!" mereka tertawa
melihat gadis itu jatuh terpelantingtanpa ampun lagi.
"Setan...!" geramnya dengan mata makin
memancarkan permusuhan. Pendekar Mabuk tak mau
layani gadis itu. Ia segera berlari meninggalkan tempat.
Pelarian itu juga menimbulkan perasaan geli bagi para
penontonnya.Tapi Suto Sintingtak pedulikan suara tawa
mereka. Ia tetap melarikan diri untuk jauhi keramaian
orang.
"Berhenti kau, Jalang!" seru si gadis yang segera
mengejarnya. Wees...! Gerakan cepat dipergunakan oleh
si gadis untuk menyusul Pendekar Mabuk. Tetapi si
pemuda tampan berambut panjang lurus tanpa ikat
kepala itu segera menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Zlaap...! Dalam waktu kurang dari sekejap, Pendekar
Mabuk sudah berada jauh dari si gadis. Gerakan yang
mirip menghilang karena kecepatannya menyerupai
kecepatan cahaya itu membuat si gadis terbengong
melompong.
"Edan! Cepat sekali gerakannya itu?! Hmmm...
rupanya dia memang bukan pemuda biasa! Ia punya
ilmu cukup lumayan! Sebaiknya kukejar dengan
memotong jalan! Pasti dia akan lewat balik bukit sana!"
pikir si gadis, kemudian ia berkelebat mengejar Suto
dengan memotong jalan.
Dugaannya tepat sekali. Suto Sinting melintasi jalan
di balik bukit yang tak seberapa tinggi itu. Dan si gadis
pun melompat dari tebing bukit itu dengan gerakan
bersalto dua kali. Wuk, wuk, jleeg...! Langkah Pendekar
Mabuk terhenti lagi karena tiba-tiba gadis itu muncul
menghadang langkahnya.
"Bandel juga gadis ini?!"
Suto Sinting menggeram jengkel dalam hatinya. Tapi
di wajah tampannya ia tak kelihatan menggerutu. Ia
justru tampak tenang dengan kedua mata memandang
lembut ke arah gadis itu. Di balik kelembutan pandangan
matanya itu si gadis merasakan adanya ketajaman
pandang yang menjadi ciri-ciri orang berilmu tinggi. Dia
belum tahu siapa pemuda yang dihadapinya, sehingga
hati si gadis pun bertanya-tanya serta memendam
perasaan kagum terhadap si murid sinting Gila Tuak dan
Bidadari Jalang itu.
"Mengapa kau menjadi liar begitu, Nona?!" tegur
Suto Sinting saat si gadis melangkah ke samping dengan
memutar-mutar tongkatnya, bersiap untuk menyerang
kembali.
Wajah cantik yang mengandung keangkuhan itu
sekarang ada di samping kanan Suto. Kuda-kudanya
dipasang sedemikian rupa dengan tongkat diarahkan ke
depan. Satu kali sentakan diiringi lompatan cepat dapat
membuat kepala Suto tersodok tongkat tersebut. Supaya
tidak terkena serangan mendadak, Pendekar Mabuk pun
segera memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan
gadis berdada sekal itu.
"Dugaanku memang sempat meleset, tapi pada
mulanya dugaanku ternyata benar, bahwa kau bukan
pemuda sembarangan. Kau pasti berilmu lumayan,
setidaknya satu tingkat di bawah ilmuku!" ujar si gadis
dengan nada ketus.
"Jika memang begitu anggapanmu, lantas apa maumu
terhadap diriku, Nona?!"
"Hampir saja aku terkecoh dengan menyangkamu
sebagai tukang ojek gendong!"
"Sekarang kau tak terkecoh. Lalu apa maumu!"
bentak Suto karena jengkel tak mendapat jawaban yang
pasti dari si gadis.
"Kau harus membantuku, Manusia Jalang!"
"Membantu dalam hal apa?!".
"Nanti kujelaskan! Sekarang ikutlah aku ke kotaraja!
Kalau kau tak mau, aku akan membuat wajahmu babak
belur sehingga ketampananmu hilang!"
"Menjengkelkan betul kau ini, Nona!" gumam Suto
Sinting setelah menarik napas menahan kedongkolan
hatinya.
"Dengar, Nona... kalau kau mau meminta bantuan
padaku, bukan begini caranya!"
"Persetan dengan cara! Apa pun akan kulakukan agar
aku tetap selamat!"
"Selamat...?!" Pendekar Mabuk berkerut dahi,
kemudian mendekati gadis itu. Ujung tongkat si gadis
sengaja diulurkan ke depan. Langkah Suto berhenti
ketika ujung tongkat itu ada di depan lehernya, kurang
dari setengah jengkal.
"Apakah ada orang yang mengancam keselamatanmu,
Nona?!"
"Ada! Dan kau harus bantu aku menyingkirkan orang
itu!"
"Siapa orang tersebut?!"
"Ayodya!" jawabnya singkat tapi jelas dantegas.
"Siapa Ayodya itu, Nona?"
"Tak perlu banyak tanya! Jawab dulu pertanyaanku:
maukah kau menolongku atautidak?!"
"Singkirkan dulu tongkatmu!" tegas Suto Sinting.
"Tidak! Aku tetap akan mengancammu dengan
tongkat maut ini. Jika kau tak bersedia menolongku,
tongkat ini akan meremukkan kepalamu yang mungkin
banyak kutunya itu!"
Pendekar Mabuk tersenyum. "Sepertinya aku
berhadapan dengan gadis gila! Minta tolong kok
memaksa begini?!"
"Masa bodoh!!" bentak si gadis dengan berang.
Tongkatnya menyodok leher Suto. Tubuh si pemuda
tampan itu sengaja bertahan di tempat, tak mau mundur,
sebagai bukti bahwa ia tak takut dengan ancaman si
gadis. Akibatnya, tenggorokan Suto seperti dicekik
dengan tenaga cukup kuat. Rupanya tenaga dalam si
gadis tersalur melalui tongkat itu, sehingga dapat
membuat jakun di leher Suto bagai ingin dipecahkan
secara pelan-pelan.
"Oo, rupanya tongkat ini bukan sembarangan," pikir
Suto Sinting. "Tapi bagaimana jika gadis ini kuberi
pelajaran sedikit biar tidak gendeng begini?!"
Tiba-tiba kaki Suto Sinting menendang ke atas
dengan badan melengkung ke belakang. Wuuut, trak...!
Tendangan kaki yang tiba-tiba itu mengenai tongkat, dan
tongkat tersebut terpental lepas dari pemegangnya.
Tendangan itu beraliran tenaga dalam cukup besar,
sehingga genggaman kuat pada tangan si gadis tersentak
dan terlepas.
Sedangkan jari tangan Suto pun menyentil ke depan
tak kentara. Sentilan yang melepaskan tenaga dalam
cukup besar itutelah mengenai perut si gadis.
Buuuhk...! Si gadis terpekik sambil tubuhnya
tersentak ke belakang.
"Uuhk...!"
Brruk...! Ia jatuh terhempas dalam keadaan duduk.
Jurus 'Jari Guntur' pendekar ganteng itu berhasil
membuat perut si gadis bagaikan ditendang seekor kuda
jantan. Untung ia segera menahan napas dan salurkan
tenaga intinya ke perut sehingga tak sampai membuat isi
perutnya tersembur keluar melalui mulut. Namun ia
sempat menyeringai kesakitan dengan mata terpejam dan
tangan memegangi perut.
"Maaf, itu hanya sebagai pelajaran agar kau tak
bersikap gendeng terhadap orang yang ingin kau mintai
bantuannya, Nona!"
"Keparat kau...!" geramnya dengan nada berat.
"Ya, aku memang keparat! Tapi aku punya hormat
dan harga diri! Kau tidak bisa memperlakukan aku
seperti itu, Nona! Aku bukan musuhmu!"
"Aku tak suka caramu bicara tadi. Kotor!" sambil si
gadis bergeser untuk mengambil tongkatnya.
"Maaf kalau ucapanku tadi kotor. Itu hanya sebuah
canda. Kalau kaumemang...."
Weesss...! Tiba-tiba tongkat itu dilemparkan dengan
cepat sekali. Pendekar Mabuk sempat terperanjat. Ia
segera melompat ke kanan untuk menghindari tongkat
itu. Begitu kakinya mendarat ke tanah dan ia ingin
lepaskan sentilan 'Jari Guntur'-nya lagi, tiba-tiba ia
mendengar suara orangterpekik di belakangnya.
"Aahk...!!"
Pendekar Mabuk memutar kepala memandang suara
orang terpekik itu. Oh, ternyata orang yang terpekik itu
mendelik dengan mulut ternganga karena ulu hatinya
terkena lemparan tongkat. Punggung orang itu
membentur pohon dalam keadaan ulu hati bagai
didorong kuat oleh sebatangtongkat.
Pendekar Mabuk masih belum hilang rasa kagetnya,
tahu-tahu tongkat itu meluncur ke arah si gadis dan
ditangkap oleh tangan berjari lentik itu. Wees, taab...!
Pendekar Mabuk makin terbengong melihat kejadian
yang tak disangka-sangka. Semuanya terjadi dengan
sangat cepat dan mengagumkan.
Rupanya si gadis melihat seorang lelaki ingin
menebaskan goloknya ke punggung Pendekar Mabuk. Ia
segera melemparkan tongkatnya itu dan kenai ulu hati si
penyerang tersebut. Tongkat segera memantul balik
bagai habis membentur karet, lalu dalam sekejap tongkat
itu sudah ada di tangan si gadis, sementara lelaki
bersenjata golok itu masih mengangkat tangannya ke
atas, namun mulutnya melelehkan darah kental akibat
sodokan tongkat tadi. Si lelaki berpakaian serba hitam
itu jatuh terpuruk di bawah pohon dengan tubuh kejang-
kejang. Sekarat.
"Ternyata dia bermaksud menyelamatkan diriku?"
gumam hati Pendekar Mabuk. "Tapi jurus tongkatnya
yang baru saja kulihat itu sungguh hebat. Kalau tongkat
itu tak mengenai orang berpakaian hitam, maka
punggungku mungkin akan robek ditebas goloknya!"
Gadis itu segera hampiri si lelaki berpakaian hitam.
Tongkatnya siap disodokkan ke wajah orang tersebut.
Tapi langkahnya terhenti ketika tahu-tahu Suto Sinting
berkelebat dengan cepat, menghadang di depannya
dengan kedua tangan merentang.
"Cukup! Jangan lanjutkan seranganmu. Dia sudah tak
berdaya!"
"Kau berhutang nyawa padaku!"
"Benar, dan terima kasih. Tapi ingat, kau juga
berhutang padaku. Hutang jawaban!"
Si gadis yang berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu
melirik sinis, lalu mendengus ketus. Pendekar Mabuk
sunggingkan senyum, lalu berbalik pandangi orang baju
hitam yangmasih kejang-kejang itu.
"Kau tahu siapa orang ini?! Aku tidak mengenalnya,
Nona!"
Si gadis masih diam, tapi matanya memandang tajam
dan bersikap memusuhi orang yang tadi hendak melukai
Suto Sinting itu. Suto juga diam, menunggu penjelasan
dari gadis konyol itu.
*
* *
2
AKHIRNYA kekerasan hati si gadis dapat
ditundukkan dengan kesabaran Pendekar Mabuk. Gadis
itu mengaku bernama Ranggina. Sedangkan lelaki
berpakaian hitam yang dilumpuhkannya itu dikenal
sebagai 'Begundal Pulau Darah'. Tentu saja Pendekar
Mabuk terkejut mendengar nama Pulau Darah, sebab ia
memang bermusuhan dengan penguasa Pulau Darah
yang bernama Pawang Setan, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "TerorPemburu Cinta").
"Tak mungkin ia orang Pulau Darah. Setahuku orang
Pulau Darah punya ilmu tinggi dan tak mudah
dirobohkan dengan sesederhana itu!" ujar Pendekar
Mabuk.
"Kubilang tadi, dia Begundal Pulau Darah, artinya dia
hanya orang yang memihak Pulau Darah. Tapi dia
memang bukan orang Pulau Darah. Pasti dia ingin
membunuhmu hanya semata-mata ingin dapat upah atau
dapat kesempatan berguru kepada si Pawang Setan."
"Oh, kau kenal dengan Pawang Setan segala,
Ranggina?!"
"Aku pernah berurusan dengan pihaknya. Jadi aku
tahu persis siapa-siapa saja yang memihak Pawang
Setan."
Ranggina membuka baju orang yang kini telah
pingsan itu. Satu sentakan tongkat telah berhasil
membuat baju hitam itu tersingkap lepas dari
pengikatnya. Breet...!
"Lihat tato di dadanya ini!" ujar Ranggina. Pendekar
Mabuk memperhatikan tato gambar tengkorak di atas
dua pedang bersilang.
"Ini ciri-ciri orang yang bersekutu dengan Pawang
Setan!"
"Ooo...," Pendekar Mabuk menggumam.
"Kau punya masalah dengan Pawang Setan?!"
"Punya! Kau mau minta?" jawab Suto Sinting dengan
konyol. Ranggina hanya mendengus, tanpa senyum dan
tawa sedikit pun.
"Hati-hati jika kau punya masalah dengan Pawang
Setan. Dia cukup kuat dan sukar ditumbangkan!" ujar
Ranggina, dan Suto Sinting sengaja menggumam
pendek, tak mau menceritakan hal yang sebenarnya.
Mungkin Ranggina tak akan percaya jika Pendekar
Mabuk telah terlibat bentrokan dengan pihak Pawang
Setan, terlebih setelah ia berhasil membunuh adik
Pawang Setan yang bernama Delima Wungu. (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kematian
Misterius").
Setelah sikap Ranggina mulai tampak bersahabat,
walau masih kelihatan kaku, mereka segera
meninggalkan Begundal Pulau Darah itu. Suto melarang
niat Ranggina yang ingin menghabisi nyawa Begundal
Pulau Darah itu.
"Tinggalkan saja dia! Biar nanti celaka oleh
tindakannya sendiri jika masih ingin memburuku!
Sebaiknya sekarang kita masuki persoalanmu. Tolong
jelaskan seluruh persoalanmu yang membuat kau nekat
memaksaku untuk dibantu!"
"Supaya kau tidak menganggapku remeh dan
mengecamku sebagai gadis yang lemah, aku harus
lakukan kekerasan seperti itu dalam mengharap
pertolonganmu, Suto!" ujar Ranggina. "Aku tak tahu
siapa kau sebenarnya, sehingga aku harus jaga wibawa
di depanmu!"
"Sekarang kau tahu bahwa namaku Suto, tak punya
tempat tinggal tetap, termasuk orang jalanan. Apakah
kau masih ingin jaga wibawa dengan sikap kasarmu
itu?!"
"Bila kuperlukan, memang harus begitu!" jawab si
gadis dengan tegas. Agaknya ia benar-benar tak mau
disepelekan oleh seorang pemuda tampan yang
sebenarnya membuat hatinya sering berdesir kagum itu.
Suto memang tidak memperkenalkan dirinya sebagai
Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak. Ia tak ingin gadis
itu menertawakan atau mencibirkan pengakuan itu.
Sebab menurut Suto, Ranggina bukan gadis yang mudah
percaya dengan nama besar seperti Pendekar Mabuk itu.
Jadi percuma saja Suto mengaku sebagai Pendekar
Mabuk, nanti justru akan timbul masalah baru, misalnya
dijajal ilmunya oleh Ranggina. Suto malas melayani
orang-orang yang sekadar ingin mengetahui tingkat
ketinggian ilmunya.
Dengan mengaku sebagai Suto, orang jalanan, rasa-
rasanya lebih mudah dipercaya dan mudah menjadi
akrab dengan Ranggina. Terbukti gadis itu mau
menjelaskan persoalannya sambil mereka meninggalkan
si Begundal Pulau Darah. Suto tak tahu bahwa arah yang
mereka tuju adalah jalan melingkari bukit yang menuju
ke arah kotaraja.
"Seperti kukatakan tadi, aku mencari orang yang
dapat menyelamatkan jiwaku dari ancaman Ayodya alias
si Malaikat Gantung itu," ujar Ranggani mengawali
penjelasan yang sebenarnya.
"Kau belum jawab pertanyaanku tadi tentang siapa
Ayodya itu sebenarnya."
"Ayodya adalah kakak seperguruanku. Tetapi ia
dianggap murid murtad oleh Guru karena ia mendalami
ilmu hitam dari tokoh lain."
"Siapa yang menjadi guru ilmu hitamnya itu?" tanya
Suto.
"Nyai Kembang Kempis!"
"Ooh.. ?!" Suto Sinting terkejut, sebab ia tahu nama
Nyai Kembang Kempis adalah nama gurunya Delima
Wungu. Tokoh tua itu disebut juga sebagai Tabib Sesat
yang berasal dari dasar bumi. Kabarnya, Nyai Kembang
Kempis memang seorang pelarian dari dasar bumi.
"Kenapa terkejut? Kau juga murid Nyai Kembang
Kempis?" sambil Ranggina melirik curiga. Pendekar
Mabuk tersenyum tenang sambil tetap melangkah.
"Kalau aku murid Nyai Kembang Kempis, tentunya
kau sudah kuhancurkan sejak tadi. Aku terkejut karena
pernah mendengar nama Nyai Kembang Kempis sebagai
tokoh pelarian dari dasar bumi yang berjuluk Tabib
Sesat itu."
"Rupanya kau punya pengetahuan cukup lumayan
tentang rimba persilatan, Suto."
"Mungkin saja. Sayang sekali pengetahuanmu tak
sebanyak pengetahuanku," ujar Suto karena merasa
dirinya tidak dikenali sebagai Pendekar Mabuk.
"Hmmm, jangan merasa tersanjung dulu oleh kata-
kataku," ujar Ranggina.
"Aku tidak merasa tersanjung, hanya saja... ah,
sudahlah. Sebaiknya lanjutkan penjelasanmutadi."
Sambil tetap melangkah di samping kiri Pendekar
Mabuk, gadis itu melanjutkan penjelasannya tentang
Ayodya alias si Malaikat Gantung itu.
"Guruku bernama Eyang Sampurna, dari perguruan
silat Lintang Yudha...."
"Yang ini memang tak ada dalam pengetahuanku,"
sela Suto. "Teruskan...!"
"Malaikat Gantung menyusun kekuatan sendiri
setelah ia berhasil pelajari beberapa ilmu hitamnya Nyai
Kembang Kempis. Kemudian ia menyerang perguruan
kami. Perguruan menjadi hancur. Ternyata Eyang
Sampurna juga berhasil ditewaskan oleh ilmunya si
Malaikat Gantung. Aku sempat membawa kabur Guru
untuk mengobati lukanya, tapi tak berhasil. Guru pun
tewas di depanku. Tapi sebelum beliau wafat, sebuah
amanat disampaikan kepadaku."
"Amanat apa?"
"Aku harus tetap menghidupkan Perguruan Lintang
Yudha! Tanah perguruan yang telah dikuasai oleh
Malaikat Gantung harus kurebut kembali. Namun aku
merasa kalah ilmu dengan Malaikat Gantung. Bahkan
kini aku menjadi buronannya. Malaikat Gantung tak
ingin ada murid Eyang Sampurna yang tersisa. Seluruh
murid telah dibantainya habis. Tinggal beberapa orang
yang melarikan diri menyebar entah ke mana, termasuk
diriku."
"Apakah kau tetap bersikeras untuk melaksanakan
amanat mendiang gurumu itu?"
"Ya. Aku harus merebut kembali tanah perguruan
kami dan membuka kembali Perguruan Lintang Yudha.
Sebab itulah aku butuh bantuan seseorang yang kuat dan
bisa kuajak bersama-sama menumbangkan si Malaikat
Gantung itu!"
"Hmmm, begitu...?!" gumam Suto pelan. "Lantas,
mengapa kau memaksaku ikut ke kotaraja?!"
"Kudengar Sultan Jantrawindu sedang mengadakan
sayembara orang kuat. Aku ingin melihat siapa yang
unggul dalam sayembara orang kuat itu. Jika ternyata
orang kuat tersebut bisa didekati, maka aku akan
meminta bantuan pula kepada orang kuat itu untuk
melindungiku."
"Apa upahnya?!" sela Pendekar Mabuk sekadar ingin
tahu kesanggupan Ranggina dalam memberi imbal balik
kepada orang yang dimintai bantuannya. Gadis itu diam
sesaat, kemudian menjawab dengan pandangan mata
berpaling ke arah lain. Seakan ia tak berani menatap
Pendekar Mabuk.
"Jika memang ada orang yang mampu
menyelamatkan jiwaku, melindungi nyawaku dari
ancaman Malaikat Gantung, seandainya orang itu wanita
akan kuanggap sebagai kakak angkatku, tapi jika dia
seorang lelaki, mungkin aku akan pasrah padanya."
"Pasrah bagaimana?" desak Suto Sinting dengan
pertanyaan yangtergolong usil itu.
"Terserah orang itu! Dia boleh memperistri diriku
jika menurutnya aku pantas menjadi istrinya, atau
menganggapku sebagai adik. Singkatnya, siapa yang
bisa melindungiku aku akan mengabdi kepadanya, asal
bukan kepada si Malaikat Gantung."
Pendekar Mabuk tertawa pelan, nyaris tak terdengar.
Ia tahu gadis itu tak mau memandangnya karena malu
terhadap kesanggupannya memberikan imbalan seperti
itu. Tetapi hati Pendekar Mabuk bisa memaklumi
mengapa Ranggina sampai mau berpasrah seperti itu
kepada si penyelamatnya nanti. Hal itu dikarenakan ia
tak mempunyai apa-apa yang bisa dijadikan imbalan
timbal balik, dan agaknya ia benar-benar tak ingin jatuh
di tangan Ayodya. Demi menjalankan amanat sang
Guru, apa pun risikonya Ranggina harus bisa
menyingkirkan Ayodya dari tanah perguruannya yang
terletak di Bukit Palawa itu.
Menurut pengakuan Ranggina, ia sudah tak
mempunyai ayah dan ibu lagi. Bahkan dua adiknya telah
tewas di tangan musuh leluhurnya. Keterangan itu
menimbulkan rasa iba di hati Pendekar Mabuk. Hanya
saja, rasa iba itu tak ditunjukkan di depan Ranggina,
takut akan membuat gadis itu semakin ngelunjak
terhadap Pendekar Mabuk. Dengan tetap bersikap kalem,
Suto kelihatan tak begitu tergerak hatinya terhadap nasib
Ranggina.
"Bagaimana jika orang kuat yang unggul dalam
sayembara nanti tidak mau membantumu menghadapi
Ayodya?" pancing Suto.
"Berarti aku harus mencari teman lain yang mau
membantuku! Sebelum kudapatkan orang yang mampu
melindungiku dan mampu kuajak kerja sama untuk
menumbangkan Ayodya, aku akan berusaha untuk tidak
dilihat oleh Ayodya."
"Bagaimana jika sebelum kau dapatkan orang
tersebut kau sudah tertangkap oleh pihak Ayodya lebih
dulu."
"Aku pasti akan dibunuhnya. Dan kalau sudah begitu,
ya sudah.... Itu namanya nasib!"
Pendekar Mabuk tersenyum geli. Tapi langkahnya
semakin merapat ke samping kanan Ranggina. Dengan
pandangan wajah tetap lurus ke depan, Pendekar Mabuk
bicara dengan pelan seperti orang berbisik.
"Apakah kau mempunyai seorang teman lelaki
bertubuh kurus?"
"Tidak," jawab Ranggina dengan mata memandang
penuh curiga.
"Atau... barangkali kau mempunyai teman lelaki
berambut panjang dikonde dengan tubuh agak kurus
juga?"
Ranggina makin berkerut dahi. "Tidak. Kenapa kau
bertanya begitu?!"
"Karena kita diikuti oleh dua orang yang tidak sama-
sama kita kenal."
"Ooh...?!"
"Jangan menengok ke belakang!" sergah Suto Sinting
sambil tetap memandang lurus ke depan. Ia
menambahkan dalam bisikannya.
"Dua orang itu yang satu berbadan kurus dengan
rambut lurus sepundak, seperti rambutku, yang satu lagi
berbadan sedikit gemuk dari yang pertama, tapi
rambutnya dikonde seperti perempuan. Cuma dia punya
kumis tipis."
"Di mana mereka sekarang?"
"Di balik pohon belakang kita. Mereka ada di sebelah
kirimu dan di sebelah kananku. Keduanya sama-sama
bersenjata tombak berkepala pedang besar. Sinar kilatan
pedangnya yang memantulkan sinar matahari sempat
kenai pohon depan kita itu!" sambil Suto menuding
pohon itu secara tak kentara. Ranggina segera
menemukan kilatan kemilau logam yang memantulkan
sinar matahari.
"Tajam sekali penglihatanmu?" bisik Ranggina.
Pendekar Mabuk tersenyum dan tetap tenang. Tentu
saja Ranggina memujinya demikian karena ia tak tahu
bahwa Suto sering menggunakan jurus 'Lacak Jantung'-
nya dalam setiap perjalanan. Sewaktu-waktu ia gunakan
jurus itu dan menangkap suara detak jantung milik orang
lain. Ia segera curiga dan mencari cara untuk mengintai
si pemilik detak jantung itu secaratak kentara.
"Di depan ada serumpun bambu yang tumbuh
memanjang," bisik Ranggina.
"Itu bukan tanaman kebunku," jawab Suto iseng.
"Lompatlah ke balik semak bambu itu. Akan
kuhadapi dua orang penguntit kita itu."
"Tak akan berhasil. Mereka pasti tak mau
menampakkan diri menyusul kita jika kita bersikap
menunggu."
"Akan kupaksa mereka!"
"Percuma. Sebaiknya ikutlah belok ke semak-semak
bambu itu. Lalu, tiba-tiba kita sergap langkah mereka."
"Tapi janji, biar akuyang mengurus mereka?!"
"Dengan senang hati akan kuberikan kesempatan ini
padamu, Ranggina!" bisik Pendekar Mabuk sambil
tertawa kecil seperti orang pacaran.
Rupanya Ranggina ingin tunjukkan kemampuannya
menangani dua lawannya itu. Pendekar Mabuk
menghargai maksud gadis itu. Sehingga ia tidak akan
ikut campur kecuali jika si gadis dalam keadaan bahaya.
Maka ketika mereka membelok ke semak-semak,
Ranggina segera berbalik arah dan siap menunggu
langkah kedua penguntit itu. Pendekar Mabuk sentakkan
kakinya ke tanah, deg...! Wuuut...! Jurus 'Layang Raga'
yang merupakan ilmu peringan tubuh itu digunakan.
Dalam sekejap Pendekar Mabuk sudah berada di atas
ranting pohon bambu tanpa membuat ranting itu patah.
Ranggina sempat meliriknya sekejap dan terperangah
melihat Pendekar Mabuk mampu berdiri di atas ranting
bambu sekecil kelingking.
"Edan! Rupanya dia punya ilmu peringan tubuh
cukup lumayan?!" gumam Ranggina pelan. Lalu
perhatiannya kembali pada dua penguntitnya.
Ternyata apa yang dikatakan Suto Sinting memang
benar. Ranggina segera melihat dua sosok tubuh kurus
yang bersenjata tombak berujung pedang. Dua orang itu
mengendap-endap dari pohon ke pohon. Yang satu
berbaju merah dengan celana hitam, rambutnya dikonde.
Yang satunya lagi berompi biru dengan celana hitam,
rambutnya lurus tanpa ikat kepala. Masing-masing
berusia sekitar tiga puluh tahun.
Ketika yang berambut lurus itu berkelebat pindah
tempat, Ranggina segera melesat menerjangnya dengan
tongkat disentakkan ke depan.
"Hiaaaat...!"
"Sambra, awaaas...!!"
Weess...! Trang...! Tongkat itu tertangkis oleh pedang
di ujung tombak lawan. Tapi pedang itu menjadi patah
akibat tersodok ujung tongkat Ranggina.
"Hmmm... kekuatan tongkat itu seperti baja?!"
gumam Pendekar Mabuk yang kali ini sengaja menjadi
penonton dari atas pohon bambu.
Kalau saja orang berambut panjang yang dikonde itu
tidak berseru mengingatkan temannya yang bernama
Sambra, maka tongkat itu akan kenai tengkuk kepala
orang tersebut. Pendekar Mabuk mengecam Ranggina
dalam hati, karena lakukan serangan dengan bersuara.
"Bodoh! Mau menyerang pakai teriak segala! Yah,
tentu saja ketahuan!"
Tetapi agaknya Ranggina tak peduli serangannya
diketahui pihak lawan. Patahnya pedang lawan membuat
Ranggina semakin bersemangat melepaskan serangan
tongkatnya ke arah dada Sambra. Wuuut, trak...!
Serangan itu berhasil ditangkis juga oleh tombak
Sambra. Kini sisa pedang di ujung tombak itu
dihujamkan ke wajah Ranggina. Wuut...!
Ranggina lompat ke belakang dengan bersalto. Wuk,
jleeg...! Begitu ia menapakkan kakinya ke tanah, pedang
di ujung tombak si lelaki berkonde itu membelah
kepalanya. Wuung...!
Traang...! Ranggina berlutut satu kaki dan
menyilangkan tongkatnya di atas kepala dengan
dipegangi dua tangan. Tebasan pedang lawan tertangkis
oleh tongkat itu. Ranggina segera berguling ke tanah
dengan tubuh memutar, kaki menyampar cepat. Wuuut,
plaak...!
"Awas, Dempak!" pekik Sambra mengingatkan
temannya yang bernama Dempak itu. Tapi peringatan itu
terlambat. Kaki Ranggina sudah telanjur menyampar
kaki Dempak dengan kuat. Akibatnya, Dempak pun
jatuh terpelanting kehilangan keseimbangannya.
Brruuk...!
Dengan cepat tongkat Ranggina menghantam kepala
Dempak. Beet...! Trok...!
"Aaoow...!!" teriak Dempak dengan mengejang.
Kepala itu langsung berlumur darah, bonyok pada
bagian pelipisnya. Dempak menggelepar kebingungan
sambil meraung-raung.
"Bangsat kau. Gadis Kunyuk!! Heeaah...!!"
Sambra makin mengamuk melihat temannya terluka
seperti itu. Ia melompat dengan sisa senjata dihantamkan
ke kepala Ranggina. Wuuut...! Ranggina berguling ke
depan, sehingga hantaman tombak itu tak mengenai
sasaran. Tetapi tongkatnya segera menyentak ke atas.
Dees...!
"Uuhk...!" perut Sambra menjadi sasaran empuk
ujung tongkat itu. Ternyata Ranggina salurkan tenaga
dalamnya melalui tongkat itu, sehingga sentakan ke
perut Sambra membuat lelaki ituterlempar ke udara dan
berjungkir balik tanpa keseimbangan lagi. Wuk, wuk,
wuus...!
Brruuk...!
"Aaahk...!" Sambra mengerang kesakitan, tulang
punggungnya bagaikan dibanting di permukaan batu
sebesar kepala kerbau. Ia menyeringai kesakitan
merasakan tulang punggungnya bagaikan patah dan tak
bisa dipakai bangkit dengan cepat.
"Hiaaah...!" Ranggina merentangkan kedua
tangannya dengan tongkat melilit di tangan kanan, kedua
kakinya merendak ke samping. Jurus yang dimainkan
kala itu sungguh indah dan menimbulkan rasa kagum
dalam hati Pendekar Mabuk.
"Dia bukan saja kelenturan tubuh, namun juga lincah
dan tangkas." ujar hatiPendekar Mabuk.
Tongkat itu pun diputar-putar di sekitar tubuhnya.
Kelebatan tongkat itu menimbulkan suara mendesau
menandakan angin yang ditimbulkan dari gerakan
tongkat itu cukup kuat.
Dempak dan Sambra berhasil bangkit dengan
memaksakan diri. Padahal Suto tahu keduanya sudah
kehilangan tenaga cukup banyak akibat menahan rasa
sakitnya. Dan pada saat itu mereka bermaksud
menggunakan jurus gabungan.
Tapi pada saat mereka masih berdiri berjajar dalam
jarak tiga langkah, tiba-tiba Ranggina melesat bersama
tongkatnya. Tongkat itu ditancapkan ke tanah dan
tubuhnya memutar dengan tangan berpegangan pada
tongkat tersebut. Hiaaat...!!"
Plok, plok, des, des...!
Kedua kaki Ranggina menendang secara beruntun.
Entah berapa kali gerakan kaki itu menendang dengan
cepat. Yang jelas semua tendangan beruntun yang mirip
orang berlari itu mengenai tubuh lawannya. Mereka
berdua sama-sama terpekik pelan karena suaranya
tertahan rasa sakit di tenggorokan. Kejap berikutnya
mereka berdua tumbang ke belakang setelah lebih dulu
terpental ke arah yang berlainan.
Brrusk, brruk...!
"Uuggrr...!" Dempak mengerang menyeramkan
karena mulutnya semburkan darah kental. Sementara itu,
Sambra tak terdengar suaranya sedikit pun. Bahkan
tubuhnya hanya bergerak sebentar, lalu terkulai lemas
dengan hidung dan telinga mengucurkan darah kental.
Ranggina berdiri dengan kedua tangan merentang dan
tongkatnya melilit di tangan kiri. Matanya memandang
lawan dengan tajam. Posisi kakinya diangkat satu bagai
seekor burung bangau di tengah sawah. Ia tampak siap
siaga menerima serangan berikutnya. Tapi ternyata
berikutnya tak ada serangan, yang ada hanya desau angin
mengembus sunyi.
Beberapa saat kemudian, Pendekar Mabuk turun dari
atas pohon bambu. Ia memeriksa kedua orang yang
terkapar tanpa gerakan lagi itu.
"Dia tewas!" ujar Suto Sinting setelah berdecak dan
geleng-geleng kepala. Orang yang tewas itu adalah
Dempak. Sedangkan Sambra tampaknya hanya pingsan
atau sedang sekarat, yang jelas ulu hatinya masih tampak
berdenyut-denyut pertanda napasnya masih ada.
"Seranganmu terlalu kuat, Ranggina. Akibatnya yang
satu mati dan yang satu lagi setengah mati," ujar Suto
Sinting sambil meninggalkan kedua orang itu.
"Itulah bodohnya mereka. Mengincar nyawaku tapi
tak melindungi nyawanya sendiri," ucap Ranggina
dengan nada ketus. Wajahnya yang cantik masih
memancarkan kebencian terhadap kedua lawannya itu.
"Apakah kautahu siapa mereka?"
"Dempak dan Sambra!"
"Iya, aku juga tahu kalau cuma nama mereka," Suto
bersungut-sungut. "Tapi tahukah kau dari pihak mana
mereka dan mengapa menguntit kita?"
"Mereka orangnya Ayodya! Untuk apa lagi mereka
menguntit kita kalau bukan menunggu kelengahanku.
Pasti mereka ditugaskan membunuhku!"
Suto Sinting manggut-manggut. Ia semakin yakin
bahwa gadis itu memang dalam ancaman bahaya. Rasa-
rasanya tak ada salahnya jika ia mulai bertindak menjadi
pelindung Ranggina tanpa perlu mengeluarkan
pernyataan apa pun.
"Suto, kita lanjutkan perjalanan kita ke kotaraja!
Kurasa sayembara itu sudah dimulai. Aku ingin melihat
siapa orang kuat yang memenangkan sayembara di
sana!"
"Tunggu! Aku melihat seseorang berkelebat ke sana!"
sambil Suto memandang ke arah bayangan yang
dilihatnya melesat dari arah lain ke arah ujung semak
bambu tadi.
"Kurasa orang itu juga tak mau ketinggalan tontonan
gratis di alun-alun kesultanan!" ujar Ranggina.
"Sepertinya akumengenali orang itu, Ranggina!"
"Kalau begitu, mengapa kau hanya diam saja?! Siapa
tahu dia kenalanmu yang cukup kuat dan bisa ikut
membantuku menghadapi Ayodya?!"
Setelah bicara begitu, Ranggina bergerak lebih dulu.
Seolah-olah ia ingin menyusul bayangan yang berkelebat
ke arah kotaraja itu. Pendekar Mabuk pun bergegas
mengikutinya tanpa menggunakan jurus Gerak Siluman',
sehingga kecepatan geraknya sejajar dengan kecepatan
lari Ranggina.
*
* *
3
SEBUAH panggung dibangun di tengah alun-alun.
Panggung itu tak seberapa tinggi, tapi cukup luas.
Lantainya dilapisi karung-karung rami yang membuat
lantai panggung menjadi tebal dan empuk.
Panggung itu dikelilingi oleh banyak orang. Mereka
bukan ingin melihat karung-karung dibentangkan
melainkan untuk melihat suatu tontonan murah, meriah,
dan bikin betah, kadang-kadang bisa bikin muntah.
Tontonan itu tak lain adalah pertarungan adu kekuatan
tenaga dalam.
Sultan Jantrawindu mengadakan sayembara orang
kuat dengan hadiah cukup tinggi. Sekantong uang emas
akan diberikan kepada si peserta yang dapat kalahkan
lawannya dalam tiga kali berturut-turut. Sekantong uang
emas itu menjadi daya tarik bagi para peserta, walau
kantongnya berukuran kecil. Berisi sekitar empat sampai
tujuh keping uang emas. Tapi nilai itu sudah sangat
tinggi untuk ukuran pada waktu itu. Oleh sebab itulah,
banyak dari luar kesultanan yang mendaftarkan diri
sebagai peserta sayembara.
Salah satu orang dari luar Kesultanan Tanahinggil
adalah seorang pemuda berwajah tergolong tampan, ia
mengenakan baju tanpa lengan berwarna ungu dan
celananya juga ungu. Rambutnya panjang dikuncir ke
belakang. Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu
bertubuh tinggi, tegap, mengenakan gelang kulit warna
loreng hitam-putih. Pemuda itu mempunyai tato kecil di
punggung telapak tangannya bergambar seekor burung
elang biru mengepakkan sayapnya.
Pendekar Mabuk nyengir geli sendiri setelah tahu
siapa bayangan yang berkelebat dan yang diikuti
bersama Ranggina itu. Ternyata dia adalah Adhiyaksa,
murid Pendeta Darah Api. Pemuda itu dikenal dengan
nama Elang Samudera.
Wuut, teeb...! Suto Sinting melemparkan sebongkah
batu dari arah belakang pemuda berbaju ungu itu.
Dengan cepat tangan pemuda itu menyambar ke
belakang bersama tubuh yang memutar cepat. Batu itu
berhasil ditangkapnya, wajah Elang Samudera tampak
berang. Tapi begitu melihat Pendekar Mabuk tertawa
cengar-cengir dari jarak tujuh langkah di belakangnya,
wajah ngototnya itu segera mengendur. Napas terhempas
lepas sambil geleng-geleng kepala.
Tapi tiba-tiba batu itu ganti dilemparkannya dengan
gerakan cepat. Wuuut...! Ranggina terkejut melihat batu
melayang cepat ke wajah Pendekar Mabuk. Ia segera
menyodokkan tongkatnya. Suuut...! Teeb...!
Sodokan tongkat itu melesat karena kalah cepat
dengan lemparan batu itu. Tapi tangan Suto Sinting
berkelebat ke depan dan dalam sekejap batu itu sudah
dijepit dengan kedua jarinya; jari tengah dan jari
telunjuk.
Ranggina terbengong melihat batu itu sudah ada
dalam jepitan jari tangan Suto. Pendekar Mabuk
menyeringai makin lebar. Tapi Ranggina tampak geram.
Ia ingin melepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah
Elang Samudera. Tetapi gerakan tangannya ditahan oleh
tangan Suto Sinting.
"Jangan...!"
"Dia melemparmu dengan batu itu!"
"Karena aku melemparnya lebih dulu!"
"Tapi...."
"Dia sahabatku! Mari kukenalkan dengan si konyol
Elang Samudera itu!"
Elang Samudera sengaja bertolak pinggang melihat
dirinya dihampiri oleh Suto Sinting dan seorang gadis
cantik yang belum dikenalnya. Ketika mereka sudah
berada dalam jarak dua langkah di depannya, Elang
Samudera segera perdengarkan suaranya yang bernada
senang karena berjumpa dengan sahabat karibnya itu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Dendam
Selir Malam" dan "Kuil Perawan Ganas").
"Kalau saja kau tidak bersama Nona cantik ini, sudah
kuperbesar batu kirimanmu tadi, Suto!"
Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum
menanggapi kelakar Elang Samudera. Ia segera
memperkenalkan Elang Samudera kepada Ranggina, dan
sedikit menceritakan tentang nasib Ranggina.
"Oh, jadi Eyang Sampurna sudah wafat?!" Elang
Samudera tampak kaget.
"Kau kenal dengan gurunya Ranggina itu?!"
"Aku pernah jumpa beliau satu kali ketika
mengantarkan guruku dalam satu pertemuan di Selat
Bantang. Hanya satu kali, tapi aku cukup terkesan
dengan sikap bijaknya beliau yang penuh kesabaran itu,"
jawab Elang Samudera menyebutkan ciri-ciri sikap
mendiang Eyang Sampurna, sehingga Ranggina makin
percaya bahwa Elang Samudera memang mengenal
mendiang gurunya.
"Bagaimana kabar kakakmu; si Dewi Cintani itu?"
tanya Suto yang mengenal kakak perempuan Elang
Samudera sebagai panglima dari Pulau Sangon.
"Baik-baik saja, Suto. Ratu Remaslega juga dalam
keadaan sehat-sehat saja. Juga si Bocah Emas dalam
keadaan sehat."
"Lalu, mengapa kau datang kemari, Elang?"
"Mau mengikuti sayembara itu," jawab Elang
Samudera yang membuat Ranggina menatap tanpa
berkedip. Dahinya sedikit berkerut, seakan
menyangsikan kekuatan Elang Samudera.
"Kau ingin mengikuti adu kekuatan itu? Ooh, aneh
sekali bagiku, Elang," ujar Suto sedikit bernada
mengecam. "Apa yang kau cari dari kemenanganmu
nanti?"
"Hadiahnya!"
"Beberapa keping uang emas, maksudmu?!"
"Bukan hanya itu," jawab Elang Samudera yang
membuat Ranggina dan Pendekar Mabuk saling pandang
sebentar, tampak merasa aneh dengan jawaban Elang
Samudera.
"Sebagian besar orang tak tahu apa maksud Sultan
Jantrawindu mengadakan sayembara ini," bisik Elang
Samudera, takut ucapannya didengar pihak lain.
"Apa sebenarnya maksud Sultan Jantrawindu
mengadakan sayembara ini?" desak Suto.
"Mencari orang tangguh yang akan dipercaya untuk
berkuasa di Tanah Sereal!"
Ranggina menyahut, "Tanah Sereal memang dalam
kekuasaan wilayah Kesultanan Tanahinggil, tapi
bukankah Tanah Sereal sudah dikuasakan kepada
PanglimaTulang?!"
"Apakah kau belum dengar bahwa Panglima Tulang
sekarang bersekutu dengan salah seorang muridnya Nyai
Kembang Kempis yang berjuluk si Malaikat Gantung?!"
"Hahh...?!" Ranggina terkejut, matanya yang bundar
melebar indah namun berkesan tegang. Pendekar Mabuk
justru pertajam kerutan dahinya.
"Kau tak salah dengar itu, Elang?"
Dengan senyum kalem Elang Samudera menggeleng.
"Sultan Jantrawindu adalah sahabat Ratu Remaslega.
Kabar itu datang dari utusan Pulau Sangon yang
kebetulan singgah kemari beberapa hari yang lalu."
"Jadi... maksudmu Panglima Tulang telah
meninggalkan Tanah Sereal dan...."
"Dan diperkirakan akan menguasai wilayah-wilayah
Kesultanan Tanahinggil yang lainnya. Tentu saja
wilayah Tanah Sereal akan dikuasai keseluruhannya,
juga daerah yang bernama Cadas Pitu, Lembah Tayub
dan beberapa desa di kaki Bukit Ratus itu."
"Daerah-daerah subur semua?!" gumam Ranggina.
"Rupanya kau cukup banyak tahu tentang daerah
kekuasaan Kesultanan Tanahinggil ini, Ranggina," ujar
Elang Samudera berkesan memuji. "Tapi aku yakin kau
belum tahu siapa yang ada di belakang tindakan makar si
Malaikat Gantung dan PanglimaTulang itu!"
"Maksudmu... persekutuan mereka ada yang
mendalangi?!" sela Pendekar Mabuk.
"Benar. Dan tidak semua orang tahu siapa dalang
yang berdiri di belakang mereka?!"
"Nyai Kembang Kempis?!" tebak Ranggina. Elang
Samudera menggeleng dalam senyuman tipis.
"Lalu, siapa dalang dari rencana persekutuan mereka
itu, Elang?" desak Pendekar Mabuk.
"Siapa lagi kalau bukan saudara kembarmu: Siluman
Tujuh Nyawa."
"Setan!" maki Suto Sinting dengan jengkel, tapi
membuat Elang Samudera tertawa mirip orang
menggumam terputus-putus.
Wajah Suto sempat menjadi semburat merah
mendengar nama Siluman Tujuh Nyawa sebagai orang
yang berada di belakang persekutuan Ayodya dengan
Panglima Tulang. Bara api permusuhan bagaikan
menyala berkobar-kobar dalam hati Pendekar Mabuk. Ia
menggeram dan menggenggam kedua tangannya kuat-
kuat.
Tanah di depannya menyebar ke kanan-kiri. Batuan
kecil sempat menggelinding lari akibat hembusan napas
Pendekar Mabuk. Dalam keadaan sedang memendam
kemarahan begitu, dengan sendirinya napas yang keluar
dari hidung Suto adalah suatu kekuatan maha dahsyat
yang dinamakan Napas Tuak Setan. Hembusan napas
seperti itu sangat berbahaya, dapat mendatangkan badai
yang mampumenggulung habis sebuah desa.
"Tenang, tenang...! Kendalikan dirimu, Suto," bisik
Elang Samudera yang mengetahui bahayanya napas
Pendekar Mabuk jika sedang diliputi kemarahan. Tetapi
Ranggina berkerut dahi tampak terheran-heran melihat
perubahan Suto Sinting.
"Sejak tadi ia tampak kalem, kenapa sekarang
menjadi gusar dan pandangan matanya kelihatan liar?!"
pikir Ranggina yang belum tahu-menahu pribadi Suto
Sinting yang sebenarnya.
Pendekar Mabuk pun segera kuasai dirinya. Matanya
sengaja dipakai memandang beberapa orang yang sudah
tak sabar menunggu sayembara dimulai. Perhatian Suto
pun sengaja ditujukan kepada seorang punggawa istana
yang memimpin sayembara tersebut. Kini si ketua
panitia itu telah berada di atas panggung pertarungan,
membacakan peraturan dan tatatertib bagi para peserta.
"Saudara-saudara sebangsa dan setanah air...," sang
panitia mengawali sambutannya.
Dari menara pengawas, tampak Sultan Jantrawindu
duduk di sebuah kursi khusus yang dijaga ketat oleh para
pengawal. Di kanan-kiri Sultan Jantrawindu berdiri
beberapa keluarganya termasuk seorang wanita berusia
tiga puluh tahun yang berwajah cantik, bermahkota
kecil, namun jelas ia bukan permaisuri sultan. Sebab
menurut penjelasan Ranggina, sang Sultan sudah tidak
beristri lagi dan hanya hidup bersama tiga orang putri
dan dua orang putra, serta menantu-menantunya.
Setelah panitia bertubuh gemuk itu memberi
sambutan alakadarnya, termasuk menyebutkan tujuan
sang Sultan mengadakan sayembara dengan alasan
memperluas persahabatan, maka sang panitia pun
membacakan tatatertib pertarungan tersebut.
"Pertama, para peserta pertarungan persahabatan ini
tidak boleh saling membunuh. Siapa yangterluka sedikit
parah akan disingkirkan dari arena pertarungan, supaya
tidak menimbulkan korban nyawa bagi siapa pun.
Kanjeng sultan tidak berkenan memilih peserta yang
sampai membuat lawannya luka berat atau bahkan
tewas. Kemenangannya dianggap batal! Paham?!"
"Pahaaaaammm...!!" seru mereka, bahkan yang bukan
peserta pun ikut berseru sehingga suasana menjadi
cukup meriah.
"Kedua, pertarungan ini tidak dibenarkan
menggunakan senjata tajam maupun senjata tumpul.
Ketiga, peserta yang berdarah walau hanya sedikit akan
diturunkan dari arena dan pertarungan dihentikan.
Keempat, peserta harus sudah siap di sekitar arena agar
mempermudah tampil jika gilirannya telah tiba. Kelima,
peserta yang dipanggil tiga kali berturut-turut tidak naik
ke arena ini, dinyatakan... budek!"
"Huuuhhh...!!" seru mereka sambil tertawa. "Selain
budek juga dinyatakan mengundurkan diri!" sambung
panitia. "Keenam, peserta tidak diperkenankan main
keroyokan. Ketujuh, dilarang menggigit kuping. Sebab
daun kuping itu sangat tipis, kalau somplak susah
nambalnya."
Para penonton dan peserta lainnya saling tertawa.
Kelakar itu sengaja dikeluarkan oleh sang ketua panitia
untuk menarik minat bagi mereka yang masih berada
agak jauh dari alun-alun. Buktinya tawa mereka
memancing yang lain mendekat ke arah arena.
"Kedelapan, peserta harus bisa menjaga diri baik-
baik, karena barang rusak, hilang, risiko tanggung
peserta sendiri. Kesembilan, dilarang mengeluarkan
anggota badan. Kesepuluh, buanglah sampah pada
tempatnya...."
Elang Samudera menghilang dari samping Ranggina.
Gadis itu mencari-cari, sementara Suto Sinting sengaja
diam tak berkata sepatah pun dengan mata memandang
ke arah orang yang berbicara di panggung. Ranggina
mencoba berbisik dengan hati-hati.
"Di mana sahabatmu tadi, Suto?"
Barulah Suto memperdengarkan suaranya yang datar.
"Mungkin mendaftarkan diri."
Ranggina memandang ke arah panitia lainnya, dan
ternyata Elang Samudera memang sedang mendaftarkan
diri. Pendekar Mabuk pun bergegas maju, mau menyusul
Elang Samudera. Ranggina menahan langkah Suto
Sinting dengan mencekal lengannya.
"Mau ke mana?"
"Pipis," jawab Suto seenaknya. Konyol sekali, bikin
hati Ranggina menggeram. Tapi gadis itu yakin, Suto tak
mungkin benar-benar mau buang air kecil. Maka gadis
itu pun ikut-ikutan berkata konyol.
"Aku juga, ah!"
Langkah Suto di antara orang-orang itu terhenti.
"Jangan barengan!"
"Habis, siapa duluan?!" tanya Ranggina makin
berlagak konyol. Suto Sinting mendengus kesal, lalu
berjalan lagi menyelusup di antara kerumunan orang
yang berada di sekitar panggung arena. Pundaknya
segera dicekal kembali oleh Ranggina.
"Sebaiknya segeralah mendaftarkan diri supaya tidak
terlambat!"
"Mendaftar ke mana?"
"Apakah kautak ingin ikut sayembara ini?!"
"Aku bukan orang kuat! Sekali geprak akan rontok
perabot dalamtubuhku!"
"Tapi... tapi bagaimana dengan sahabatmu itu?! Elang
Samudera yang tidak segagah dirimu, tidak sekekar
badanmu, itu saja berani ikut dalam sayembara ini.
Mengapa kautak berani?!"
"Nyaliku kecil! Tak seberapa nyalinya Elang
Samudera."
"Lalu kau mau apa mendekati meja pendaftaran?"
"Mau bicara dengan Elang Samudera! Mau pamit
pergi dari sini!"
"Kau sinting, Suto?!"
"Aku Suto Sinting, bukan Sinting Suto!" sambil
pemuda itu terus mendesak kerumunan orang untuk
mendekati Elang Samudera. Ranggina mengikutinya
dengan gerutu dan omelan yang tak digubris lagi oleh
Pendekar Mabuk.
Setelah berada di dekat Elang Samudera, Pendekar
Mabuk berkata kepada si petugas pendaftaran.
"Apakah aku bisa bertemu dengan Kanjeng Sultan?!"
"Ada perlu apa?" tanya prajurit yang
mengamankansekitar tempat itu.
"Ada yang ingin kubicarakan tentang...."
Elang Samudera menyahut, "Setelah acara ini selesai
tentunya kau bisa menghadap Kanjeng Sultan!
Sebaiknya sekarang mundurlah dulu dan tonton saja
sayembara ini tanpa ikut campur!"
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera saling beradu
pandang beberapa saat. Akhirnya Suto tanggap dengan
kata-kata Elang Samudera. Agaknya ia tak diizinkan
bicara yang menyinggung-nyinggung tentang si
PanglimaTulang atau Malaikat Gantung.
Elang Samudera pun berharap agar Suto tidak ikut
tampil dalam arena nanti. Bukan saja karena akan
berhadapan dengannya, tapi Elang Samudera ingin
unggul dalam pertarungan itu, supaya dia dijadikan
andalan untuk menangani masalah persekutuan maut itu.
Mau tak mau Suto memahami juga hal itu, sehingga
ia merasa lebih baik berunding dengan Elang Samudera
seusai acara tersebut. Tapi agaknya sikap Suto yang tak
mau ikut dalam sayembara itu mengecewakan hati
Ranggina, sehingga gadis itu diam saja dengan wajah
cemberut.
"Tak peduli dia mau kecewa atau tidak," ujar Suto
dalam hatinya, "... kurasa memang ada baiknya kalau
aku tidak menampakkan diri dalam acara ini. Firasatku
mengatakan bahwa di sekitar sini pasti ada mata-mata
dari pihak Malaikat Gantung atau Panglima Tulang.
Siapa yang akan unggul dalam sayembara ini pasti akan
sampai di telinga mereka. Paling tidak mereka dapat
menduga bahwa pemenang sayembara ini akan
diandalkan oleh sang Sultan sebagai penangkis serangan
mereka. Hmmm.... Panglima Tulang dan sekutunya pasti
akan mempelajari kelemahan orang andalan sultan!"
Pendekar Mabuk memperhitungkan langkahnya
masak-masak. Ia tak menyangka kalau akan menghadapi
masalah segawat itu. Persoalan persekutuan Panglima
Tulang dengan Malaikat Gantung bukan persoalan yang
ringan baginya, karena di belakang mereka berdiri si
tokoh paling sesat yang menjadi musuh bebuyutannya:
Siluman Tujuh Nyawa.
Dulu, Siluman Tujuh Nyawa pernah ingin
mempersunting Dyah Sariningrum secara paksa. Tapi
Suto Sinting tampil dan mengacaukan segala rencana si
tokoh sesat yang paling ditakuti oleh para tokoh
golongan hitam itu. Sebagai sumpahnya, Pendekar
Mabuk akan melamar Dyah Sariningrum dengan
maskawin kepalanya Siluman Tujuh Nyawa.
Tetapi tokoh yang sudah nyaris hancur dan
kehilangan banyak pengikut itu ternyata cukup licin.
Setiap pertarungan ia selalu menggunakan jurus
'Langkah Seribu', artinya melarikan diri jika keadaannya
sudah terdesak. Ia melarikan diri bukan saja dengan
kedua kakinya, melainkan dengan ilmunya yang tinggi,
yang mampu menembus alam gaib dan sukar dilacak
lagi.
Berkali-kali Suto Sinting gagal menumbangkan
Siluman Tujuh Nyawa. Orang terkutuk yang memang
dikutuk oleh leluhurnya untuk menjadi manusia sesat
selama tiga ratus tahun itu memang tampak kewalahan
hadapi Pendekar Mabuk. Tapi Pendekar Mabuk pun
sering dibuat keteter dalam berhadapan dengan Durmala
Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa.
Pengembaraan Suto selama ini adalah dalam rangka
mengejar si manusia kejam yang tempat
persembunyiannya sukar ditemukan. Jika sekarang
diketahui ia berada di belakang Malaikat Gantung dan
Panglima Tulang, maka Suto sangat bernafsu untuk
hadapi salah satu dari kedua orang itu. Suto berharap
dapat menangkap salah satu dari mereka secara hidup-
hidup, agar bisa dapatkan keterangan di mana letak
persembunyian Siluman Tujuh Nyawa.
Lamunan Pendekar Mabuk buyar dan ia tersentak
kaget, sempat menggeragap sebentar ketika pinggangnya
disodok memaki siku oleh Ranggina. Gadis itu
bersungut-sungut melihat Suto Sinting menggeragap.
"Orang-orang bersorak kau malah melamun! Lihatlah
pertarungan itu! Kasihan temanmu terbanting berkali-
kali!"
Pendekar Mabuk baru sadar bahwa ia sudah melamun
cukup lama. Pertarungan di atas panggung arena itu
sudah berlangsung cukup lama. Peserta demi peserta
telah dinyatakan tumbang. Kini tinggal Elang Samudera
melawan seorang lelaki bertubuh tinggi, kekar, dan
berkepala pelontos, walau bukan berarti gundul.
Orang itu mendaftarkan diri dengan nama Wiro
Geprak.
Tubuhnya tampak kenyal dan sukar ditumbangkan.
Elang Samudera berhasil menendangnya beberapa kali,
tapi Wiro Geprak tetap berdiri tegar bagai tiang pancang
sebuah jembatan beton.
Dalam satu lompatan kecil, Elang Samudera berhasil
menghantam pukulannya ke arah perut Wiro Geprak.
Tapi tangan Wiro Geprak justru mencekal genggaman
Elang Samudera. Teeb...! Genggaman itu dirematnya.
Kreeerk...!
"Aaaaoow...!!" Elang Samudera menggeliat sambil
menyeringai kesakitan. Tulang-tulang jari tangannya
bagaikan remuk. Namun ia masih bisa menyilangkan
tangan kiri ke atas kepala ketika Wiro Geprak ingin
menghantam kepalanya. Dees...! Tangkisan itu pun
terasa membuat tulang lengan Elang Samudera bagaikan
patah. Tiga kali hantaman tangan kanan Wiro Geprak
berhasil ditangkis oleh Elang Samudera, namun untuk
hantaman keempat sepertinya Elang Samudera tak
sanggup menangkisnya lagi, sebab tulang lengannya
sudah terasa remuk.
Namun ternyata hantaman Wiro Geprak tidak seperti
tiga hantaman yang tadi. Kali ini telapak tangan Wiro
Geprak menyodok ke depan. Kepala Elang Samudera
disentakkan ke belakang untuk hindari sodokan telapak
tangan besar itu. Namun agaknya gerakan tersebut
terlambat, sehingga rahang Elang Samudera tersodok
telapak tangan itu. Deess...!
"Ooufw...!" wajah Elang Samudera tersentak ke
samping, air peluhnya memercik, rambutnya terhempas
lepas dari ikatannya.
"Gila! Besar sekali tenaga orang itu?!" gumam
Pendekar Mabuk dengan tegang.
Tangan kanan Elang Samudera masih dalam
cengkeraman Wiro Geprak, membuat Elang Samudera
tak bisa terpental jatuh. Padahal pandangan matanya
telah menjadi buram akibat tulang rahangnya terasa
pecah.
Orang-orang berseru saling melontarkan aneka
macam kata-kata.
"Hantam lagi! Hantam lagi biar mulutnya
mengsong!"
"Ayo, Elang... lawan terus dia! Ayo... ayooooo, kamu
bisa...!"
"Genjot mukanya! Genjot yang mantap, biar
hidungnya somplak!"
"Awas, jangan gigit kuping, nanti disidang!" seru
yang lain. Suto Sinting pun gemas sendiri dan berseru
dari tempatnya.
"Gunakan lututmu. Elang! Lutut...! Lutut...!"
Rupanya Elang Samudera sempat mendengar suara
Suto samar-samar. Dalam keadaan pandangan mata
semakin gelap, Elang Samudera segera menyodokkan
lututnya ke depan. Dess...! Prook...!
"Aaaaaoow...!!"
Wiro Geprak memekik keras-keras. Tubuhnya
langsung terbungkuk mundur. Genggaman tangannya
pada kepalan tangan Elang Samudera dilepaskan. Elang
Samudera pun berhasil melangkah mundur dengan
sempoyongan, namun segera terhempas jatuh. Ia
terengah-engah sebentar, dan mendengar suara Wiro
Geprak berteriak-teriak akibat 'anunya' tersodok lutut
dengan keras sekali.
"Bangun! Cepat bangun...!" seru mereka kepada
Elang Samudera, karena mereka tahu keadaan Wiro
Geprak sudah mulai lemah, makin lama makin lemah.
"Ayo, bangun! Serang lagi dia! Cepat, bangun...
bangun!"
"Bangun tidur kuterus mandi...!"
"Husy! Itu tembang anak-anak!" gertak teman orang
yang konyol itu.
Suto Sinting pun berseru, "Pusatkan napas! Pusatkan
napas di dada!"
Ranggina ikut berseru dengan kedua tangan di
samping mulutnya.
"Di dada...! Dada...! Pusatkan dada di napas, eeh...
pusatkan napas di dada!"
Seruan itu tak dihiraukan Elang Samudera. Tak ada
yang didengarnya sama sekali. Tapi jiwa dan semangat
pertarungannya tetap membara, sehingga dengan susah
payah Elang Samudera pun berusaha bangkit. Melalui
pandangan mata yang memburam, tak segelap tadi. Ia
melihat Wiro Geprak terbungkuk-bungkuk
mendekatinya dengan kedua kaki merapat. Elang
Samudera pun kerahkan tenaganya untuk lakukan satu
lompatan berputar, wuuut...! Kakinya berkelebat dalam
satu tendangan seperti orang menampar. Wees, plook...!
"Aaaaohk...!" Wiro Geprak terpekik lagi, tubuhnya
terlempar ke samping. Tendangan kaki itu seperti
sebatang pohon beringin menerjangnya dari kiri. Pelipis
dan tulang rahangnyaterasa mau pecah.
Brrrrukk...!
Wiro Geprak tumbang bagaikan nangka busuk jatuh
dari pohon. Ia tak berkutik lagi. Pingsan. Tak ada
penantang atau peserta lain yang ingin mengadu
kekuatan dengan Elang Samudera, sehingga dengan
demikian maka kemenangan mutlak berada di tangan
Elang Samudera.
Para penonton, termasuk Pendekar Mabuk, bersorak
kegirangan menyambut kemenangan Elang Samudera.
Tetapi Ranggina tidak ikut bersorak. Ia hanya diam
dengan cemberut, sehingga menimbulkan tanda tanya di
batin Suto Sinting.
Akhirnya Suto pun bertanya, "Mengapa kau tampak
tak senang melihat kemenangan Elang Samudera?!"
"Aku sangsi apakah dia bisa melindungiku atau
tidak."
"Yang perlu kau sangsikan adalah, apakah dia mau
melindungimu atau tidak!" ujar Suto Sinting agak
tersinggung karena kemampuan temannya disepelekan
oleh Ranggina.
"Sebaiknya aku pergi saja."
"Hei, katamu kau mau minta bantuan pada pemenang
sayembara ini?!"
"Tak jadi!"
"Mengapa tak jadi?"
"Aku... aku tak berani memberikan upah yang pernah
kukatakan padamu itu! Aku tak mau jadi istrinya jika ia
berhasil kalahkan Ayodya!"
"Jangan kegedean rasa dulu! Elang pun belum tentu
mau memperistri dirimu, Ranggina! Dia sudah punya
kekasih sendiri."
"O, ya...?! Benarkah dia sudah punya kekasih?!"
Ranggina tampak terperanjat dan sedikit tegang. Suto
Sinting hanya memandang dalam keheranan.
"Kenapa sekarang ia justrutampaktegang?!"
*
* *