Pendekar Mabuk 90 - Kematian Sang Durjana


 1
 SUNGGUH mengejutkan sekali jika Arjuna tampil di
rimba persilatan dan berhadapan dengan Pendekar
Mabuk. Tentu saja dunia akan menjadi gempar, dan
setiap orang tak akan percaya, karena mereka berbeda
zaman. Mungkin juga setiap orang akan bertanya-tanya,
siapa yang unggul jika Pendekar Mabuk bertarung
melawan Arjuna?
Sayangnya, orang yang menghadang langkah Suto
Sinting, si Pendekar Mabuk itu, hanyalah orang yang
mirip Arjuna. Rambutnya pendek, rapi, tanpa ikat
kepala. Badannya sedang, tidak tinggi, tidak pendek,
tidak gemuk, tidak kurus dan tidak apa-apa. Kulitnya
putih untuk ukuran kulit seorang lelaki. Usianya sekitar
dua puluh empat tahun. Matanya kecil tapi tajam.  
Hidungnya bangir dan punya ketampanan tersendiri.
Jika Pendekar Mabuk mengenakan baju tanpa lengan
warna coklat dan celana putih, maka orang yang mirip
Arjuna itu  mengenakan rompi putih dan celana coklat
tua. Pendekar Mabuk mengenakan ikat pinggang dari
kain merah, orang yang mirip Arjuna itu mengenakan
ikat pinggang kulit warna hitam. Pendekar Mabuk
membawa bambu bumbung tuak, orang itu membawa
bambu tanpa tuak. Bambu itu adalah sebuah toya yang
panjangnya satu depa lewat, seperti tongkat pramuka.
Tapi orang itu jelasbukan seorang pramuka.
Bambu kuning itu adalah bambu gading. Kedua
ujungnya papak alias datar. Kelihatannya masih basah,
karena warna kuningnya masih mengkilap. Tapi
sebenarnya bambu itu cukup ulet dan keras. Sekali
gebuk, lalat pun bisa mati, apalagi nyamuk.
Ketika langkah Suto Sinting terhenti, pemuda itu tiba-
tiba lakukan lompatan cepat menerjang ke dada Suto.
Wuuut...! Tentu saja tendangan kaki itu dapat ditangkis
dengan sentakan tangan kanan ke samping kiri. Plak...!
Kaki kiri Pendekar Mabuk pun berkelebat ke samping.
Wuuut...! Deeekh.
"Akh...!" pemuda berbambu kuning itu tersentak
mundur dua langkah karena pinggangnya terkena
tendangan Suto. Tapi ia tak sampai jatuh, karena setelah
tersentak mundur dua langkah, bambu kuningnya
berkelebat menyambar Suto beberapa kali.
Wus, wus, wus, wus...!
Suto menghindarinya dengan melangkah mundur 
sambil kepalanya berkelit ke kanan-kiri. Bambu itu
hanya lewat di depan hidung Suto, kira-kira berjarak
setengah jengkal.
Namun tiba-tiba bambu kuning itu berhenti, lalu
menyodok mata Pendekar Mabuk. Suuut...! Taaab...!
Pendekar Mabuk menahan sodokan bambu kuning
tersebut dengan telapak tangannya. Dalam sekejap toya
bambu kuning itu telah tertangkap di tangan Suto.
Namun segera terlepas kembali ketika Suto Sinting
kirimkan tendangan sekali lagi ke arah pinggang lawan.
Buuukh...!
"Uuuugkh...!" pemuda berbambu kuning itu
menyeringai sambil sedikit membungkuk pegangi perut
sampingnya. Tendangan itu dirasakannya seperti
terjangan seekor kerbau mabuk.
"Maaf, bukan aku yang cari penyakit, tapi kau sendiri
yang  ingin cepat ke liang kubur, Sobat!" ujar Suto
Sinting yang sengaja tak lanjutkan serangannya agar si
pemuda berambut pendek itu sadar akan kesalahannya.
Tapi rupanya harapan Suto itu tidak terkabul, karena si
pemuda berambut pendek itu justru memainkan toya
bambunya setelah menarik napas untuk menahan rasa
sakitnya. 
Raut wajah pemuda itu tampak menyimpan dendam
atas dua kali serangan Suto yang mengenainya, ia juga
tampak penasaran karena sejak tadi tak bisa melukai atau
mencelakai lawannya. Padahal ia merasa sudah tepat
sasaran.
Kali ini si pemuda berambut pendek sentakkan  
tongkatnya ke arah dada Suto Sinting. Tongkat itu dialiri
tenaga dalam hingga keluarkan sinar kuning lurus.
Claaap...! Pendekar Mabuk agak terkejut karena tak
menyangka ujung tongkat akan keluarkan sinar. Namun
dengan cekatan ia menyambar bumbung tuaknya dan
dihadangkan di depan dada sehingga sinar kuning lurus
itu tepat kenai bumbung tuak tersebut.
Traaak...! Terdengar suara seperti benda keras beradu
dengan bumbung tuak. Dan sinar kuning itu ternyata
memantul berbalik  ke arah pemiliknya dalam keadaan
lebih cepat dan lebih besar dari keadaan aslinya.
Weess...!
"Edan!" teriak pemuda berambut pendek itu, lalu  ia
melompat dan berguling di tanah ketika sinar kuningnya
nyaris kenai dadanya sendiri. Wut, bruuk...!  Sinar
kuning itu akhirnya menghantam pohon di belakangnya.
Duaaarr...! Ledakan cukup keras terdengar
menggema, mata si pemuda berambut pendek terbelalak
melihat pohon yang terhantam sinar kuning itu terbelah
menjadi dua bagian. Padahal biasanya sinar kuning itu
jika meleset kenai lawan, akan menghantam pohon dan
pohon itu hanya akan terkoyak sebagian saja. Tapi kali
ini sinar kuning itu justru telah membuat pohon itu
terbelah sedemikian rupa. Sungguh mengherankan bagi
si pemuda berambut pendek itu.
Akhirnya ia bangkit pandangi lawannya yang tetap
berdiri tenang dengan senyum tipis membias di
wajahnya. Kalau saja Suto mau lakukan serangan lagi,
pemuda itu pasti akan celaka karena  ia  punya 
kesempatan menghantam dengan telak. Pemuda itu pun
berpikir, "Mengapa ia tak mau balas menyerangku?!"
Suto pun perdengarkan suaranya yang bernada kalem
tapi tegas.
"Siapa kau sebenarnya, Sobat?!"
"Aku yakin kau si Pendekar Mabuk yang kondang
itu! Ciri-cirimu tetap seperti yang pernah kudengar dari
seseorang."
"Yang kutanyakan, siapa kau sebenarnya?!" Suto
agak menggertak, karena jawaban pemuda itu tak sesuai
dengan pertanyaan yang diajukan Suto.
Pemuda itu segera sadar, lalu menjawab sesuai
pertanyaannya.
"Namaku Santana!"
"Santana...?!" Suto berkerut dahi. "Aku merasa asing
dengan nama itu."
"Hmm, kasihan. Rupanya kau pendekar yang kurang
pergaulan," ejek Santana dengan senyum sinis. "Kau
belum tahu siapa jawara dari Parang, eh... maksudku dari
Pulau Parang?!"
"Aku pernah mendengar nama Pulau Parang tapi
tidak pernah tahu kalau pulau itu ada jawaranya," ujar
Suto Sinting dengan melangkah ke samping.
"Akulah jawaranya!" Santana menepuk dada.
"Akulah yang bernama Sandi Tanayom alias Santana!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut kalem, "Akulah
Suto Sinting, alias Pendekar Mabuk!"
"Aku sudah tahu nama aslimu Sinting. Kau tak perlu
memperkenalkan diri lagi. Sebaiknya cepat persiapkan 
diri untuk kematianmu!" sambil Santana mondar-mandir
ke kanan-kiri dengan lagak sok jagonya.
"Mengapa aku harus persiapkan diri untuk
kematianku?"
"Sudah tujuh hari aku mencarimu, Suto Sinting!"
Pendekar Mabuk tertawa dalam hati, "Bocah ini kalau
ditanya pasti jawabannya tidak pernah nyambung!
Goblok apa gila dia itu?"
"Mengapa kau ingin membunuhku Santana?!"
"Sekadar menyalurkan bakat saja," jawabnya dengan
konyol.
"Bakat apa?"
"Jangan sebut-sebut bakat seenaknya, ya? Bakat itu
nama bapakku!" Santana tampak ngotot. "Subakat, itu
nama lengkap bapakku!"
"Lho, yang menyinggung soal bakat kau dulu,
Santana. Aku hanya menanyakan bakat apa yang ingin
kau salurkan itu!"
"Bakat menjadi pembunuh bayaran!" jawab Santana
dengan mata dilebarkan biar tampak galak dan
menyeramkan. Tapi karena wajahnya tampan, maka
kesan galaknya tidak ada, yang muncul justru kesan lucu
menggelikan hati Suto.
"O, jadi kau seorang pembunuh bayaran?" gumam
Suto sambil manggut-manggut.
"Hampir," jawab Santana tegas. "Maksudku, sebentar
lagi aku hampir menjadi pembunuh bayaran, terutama
setelah berhasil membunuhmu, Pendekar Sinting!"
"Siapa yang membayarmu untuk membunuhku?" 
"Memang tugasku membunuhmu!"
"Yang kutanyakan, siapa yang menyuruhmu
membunuhku?!" sentak Suto agak kesal dengan jawaban
yang tulalit alias tak pernah nyambung itu.
"Soal siapa yang menyuruhku, kau tak perlu tahu. Itu
urusanku dan itu rahasia perusahaan. Kau hanya kuminta
dengan kerelaanmu agar bersedia kubunuh dan mayatmu
akan kuserahkan kepada Ratu Ladang Peluh!"
"Ooo... jadi yang mengupahmu untuk membunuhku
itu adalah si Ratu Ladang Peluh?" sambil Suto manggut-
manggut, tapi Santana membantahnya dengan keras.
"Kau tidak perlu tahu siapa yang mengupahku! Aku
bukan orang upahan Ratu Ladang Peluh! Bagaimanapun
juga aku tidak akan katakan padamu bahwa aku
pembunuh bayaran atas suruhan Ratu Ladang Peluh!"
"Bocah goblok!" gerutu Suto sambil menahan rasa
jengkel-jengkel geli. "Kalau mau merahasiakan siapa
yang mengupahmu, jangan sebutkan namanya!"
"Memang tidak sebutkan namanya! Buktinya aku
tidak bilang padamu kalau aku disuruh membunuhmu
oleh Ratu Ladang Peluh, bukan?! Aku tidak bilang
begitu, bukan?!"
"Hmmm..., pembunuh bayaran kelas teri kau ini,
Santana," kecam Pendekar Mabuk sambil sunggingkan
senyum berkesan geli. Karena bagaimanapun ngototnya
Santana, Suto tahu persis bahwa pemuda itu disuruh oleh
Ratu Ladang Peluh untuk membunuh Pendekar Mabuk.
Padahal nama itu sedang menjadi buah pikiran Suto,
sebab masih ada kaitannya dengan perkara hancurnya 
sebuah pedang pusaka, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Pedang Penakluk Cinta").
"Sebaiknya urungkan niatmu membunuhku,
Santana," saran Suto.
"Urungkan?! Hmmm, enak saja! Aku sudah
menerima uang muka dari orang yang menyuruhku, dan
uang muka itu sudah habis kupakai jajan, masa' aku
harus mengurungkan niatku?! Hmmm, tidak bisa! Aku
harus tetap berusaha membunuhmu, supaya dapat
tambahan uang dan memperoleh sebuah pusaka dari
orang yang menyuruhku itu. Pusaka Pedang Penakluk
Cinta!"
"Dasar bodoh! Kau tak pantas menjadi pembunuh
bayaran, Santana, karena semua rahasia kau beberkan
secara tidak sengaja, termasuk nama orang yang
membayarmu itu! Aku tahu, kau disuruh  oleh Ratu
Ladang Peluh dengan upah menarik, yaitu sebuah
pedang pusaka yang bernama Pedang Penakluk Cinta."
"Lho, kok tahu?" gumam Santana yang sampai
didengar oleh telinga Suto. Maka senyum Suto pun
mengembang dengan lebar. Santana akhirnya
menggeram,
"Aku tak peduli kau tahu siapa yang menyuruhku
atau tidak, yang jelas sekarang terimalah saat
kematianmu yang sebenarnya, Suto Mabuk! Heaaat...!"
Santana melompat kembali sambil  menyodokkan
toya bambu kuningnya. Tapi dengan sentakan cepat,
Pendekar  Mabuk telah melayang melebihi ketinggian
Santana. Wuuut...! Santana melesat di bawah kaki 
Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat ujung kaki kanan
Suto menyentak ke bawah, tepat kenai ubun-ubun
Santana. Deess...!
Brrukk...! Santana kontan jatuh tersungkur. Wajahnya
yang tampan itu bagai diadu dengan tanah. Suara
pekiknya terbungkam oleh rumput yang masuk ke
mulutnya. Sedangkan Suto Sinting sudah berada di
tempat lain dengan lakukan gerakan salto pada saat
kakinya menyentak di kepala Santana.
"Babi burik! Kepalaku malah dipakai buat tumpuan
kakinya!" geram hati Santana. "Ooh... kepalaku? Ya,
ampun... mengapa berat sekali? Uuh...! Gila! Kepalaku
seperti dibanduli batu sebesar gunung. Sulit sekali
diangkat dan rasa sakitnya sampai ke tunggir! Uuuh,
setan belang nyolong kacang, jurus apa yang dipakai si
Pendekar Sinting itu?!"
Pendekar Mabuk akhirnya menjambak rambut
Santana hingga kepala pemuda itu terdongak.
Mulutnya ternganga penuh rumput yang terpotong
pada saat giginya menggegat menahan rasa sakit itu.
Pendekar Mabuk cabuti rumput yang ada di dalam mulut
Santana sambil berkata,
"Aku tahu kau pesuruh yang bodoh, jadi aku tak tega
untuk mencelakaimu!"
Santana tak bisa bertindak dengan tongkat karena
kedua tangannya yang lurus ke depan itu diinjak oleh
kaki Suto. Posisi Suto ada di depan Santana. Setelah
rumput tidak menyumbat mulut Santana, Suto pun
menuangkan tuaknya ke mulut itu. 
"Minum tuak ini biar kepalamu tak pecah!"
Glek, glek, glek ..! Mau tak mau Santana menelan
tuak itu. Kejap berikutnya ia merasa sehat kembali tanpa
rasa sakit sedikit pun. Suto segera membangunkan.
"Sekali  lagi kusarankan padamu, batalkan niatmu
untuk membunuhku, Santana! Ratu Ladang Peluh itu
bukan orang yang patut dibela. Dia ratu aliran hitam!"
Setelah berpikir sejenak, Santana pun berkata, "Akan
kuturuti saranmu. Tapi ada syaratnya!" sambil hati
Santana membatin, "Kalau kulawan dengan kekerasan
aku tak akan menang. Harus kugunakan akalku untuk
tundukkan orang ini!"
Suto Sinting diam saja,  ia  sengaja menyimak apa
yang ingin dikatakan oleh Santana. Sampai akhirnya,
tanpa diminta Santana menjelaskan sendiri maksudnya.
"Syaratnya cukup ringan."
Santana membuat lingkaran besar dengan tongkat
bambu kuningnya. Lingkaran itu mengelilingi Suto
Sinting dalam jarak empat langkah dari tengah ke garis
lingkaran. Setelah itu, Santana dekati Suto Sinting lagi.
"Pendekar Mabuk, kalau kau bisa membuatku keluar
dari lingkaran ini, berarti aku tidak jadi membunuhmu.
Karena jika kau bisa membuatku keluar dari garis
lingkaran itu, maka aku akan merasa tak bakal bisa
menandingi kekuatan dan ilmumu. Tapi jika kau yang
keluar dari garis lingkaran itu, berarti kau harus rela
kubunuh demi tugasku!"
Santana tersenyum lagi. Suto Sinting tetap tenang
memandangi garis lingkaran tersebut. 
"Bagaimana?" desak Santana bernada menantang.
Dengan kalem Suto Sinting berkata sambil garuk-garuk
kepala.
"Kelihatannya syarat itu cukup berat, Santana. Kurasa
aku tak bisa membuatmu keluar dari lingkaran. Tapi
kalau membuatmu masuk ke dalam lingkaran, kurasa
aku sanggup melakukannya."
"O, baik! Baik!" Santana manggut-manggut. "Itu tak
jadi masalah, Suto," sambil  ia  melangkah keluar dari
lingkaran. "Silakan kau membuatku jatuh ke dalam
lingkaran dengan cara apa pun. Kalau memang...."
Suto Sinting memotong, "Santana, aku tidak
menggunakan ototku, tapi aku menggunakan otakku."
"Tak apa! Kau boleh menggunakan otakmu. Aku
tetap mengakui kemenanganmu walaupun kau
menggunakan otak jika...."
"Santana," potong Suto Sinting lagi. "Lihat kakimu!
Sekarang kau sudah berada di luar lingkaran. Berarti aku
sudah bisa membuatmu keluar dari garis lingkaran
sesuai dengan syarat yang kau ajukan tadi!"
"Maksudku, hmm... ehhh... begini, Suto. Kau tadi
bilang...."
"Kau kalah, Santana! Kau sudah keluar dari lingkaran
sedangkan aku tetap berada di dalam lingkaran!" sahut
Suto lagi. Santana menjadi diam tertegun dan segera
menyadari bahwa dirinya telah terpedaya oleh kata-kata
Pendekar Mabuk tadi.
Suto Sinting sunggingkan senyum lebar ketika
Santana menatap dengan bengong. Hati murid si Gila  
Tuak itu merasa  geli dan ingin tertawa, namun demi
menjaga perasaan Santana, ia tak jadi lepaskan tawa
lebar-lebar.
"Kau curang, Suto!" Santana mulai menggeram.
"Hei, ingat apa yang kukatakan tadi... aku tidak akan
menggunakan otot melainkan menggunakan otak, dan
kau sudah bilang akan mengakui kemenanganku
walaupun aku menggunakan otak!"
Santana bagai tak bisa berkutik lagi. Senyumnya
hilang, pandangan matanya terasa hampa. Jelas batinnya
penuh gerutu dan makian.
"Jika kau seorang pria sejati berjiwa kesatria, kau
pasti mengakui kekalahanmu ini, Santana! Tapi jika kau
berjiwa pengecut dan banci, maka kau akan ngotot tak
berani akui kekalahan diri sendiri!" tambah Suto Sinting
semakin membuat Santana terbungkam seribu bahasa
selama empat helaan napas lebih.
Ketika sedang beradu pandang dalam kebisuan, tiba-
tiba ekor mata Pendekar Mabuk melihat gerakan benda
yang meluncur ke arah Santana.
Slaap...! Seketika itu pula Pendekar Mabuk berseru
dengan wajah menegang seketika. "Awaaas...!"
Santana segera sentakkan tangan kanannya ke  kiri.
Bambu kuning itu melintang di sekitar telinganya. Benda
yang meluncur itu menancap tepat di bambu kuning itu.
Jrraab...! Jika tak terhalang bambu kuning, leher Santana
yang menjadi sasaran benda tersebut.
Tongkat ditarik kembali oleh Santana dengan kalem.
Matanya memandang benda yang menancap di 
bambunya. Ternyata sebuah senjata rahasia dari
sekeping logam putih berbentuk bintang segi enam, tapi
bagian tengahnya berlubang seperti cincin.
Suto Sinting membatin, "Boleh juga gerakan
cepatnya! Tanpa memandang ke arah kirinya  ia  sudah
bisa menangkis senjata rahasia tersebut. Kuakui, walau
cuma seperti itu tapi ia sudah tergolong hebat. Ilmunya
tidak terlalu rendah."
Santana yang kehilangan senyum itu melirik ke
semak-semak sebelah kirinya.
"Agaknya ada orang jahil yang ingin membunuhmu,
Santana!" ujar Suto Sinting.
Santana tidak memberikan komentar apa-apa. Tapi ia
segera sentakkan tongkat bambu kuningnya itu ke arah
datangnya senjata rahasia tadi. Sentakan bertenaga
dalam membuat benda yang menancap di tongkat
bambunya itu terlepas dan melesat dengan cepat seperti
dilemparkan dengan tangan. Slaaap.! Benda itu
melayang ke arah semak-semak. Zrrraab...!
Triing...!
Terdengar suara denting menggema kecil, seakan
benda berbentuk bintang segi enam itu telah menyentuh
logam lain di balik semak-semak tersebut. Kejap
berikutnya, dari balik semak-semak tampak sesosok
bayangan melesat keluar dengan gerakan bersalto di
udara dua kali.
Bruus...! Wuuk, wuuk...!
Jleeg...!
Pendekar Mabuk dan Santana sama-sama pandangi 
seraut wajah cantik yang baru saja muncul dari semak-
semak itu. Seraut wajah cantik itu milik seorang gadis
berusia sekitar dua puluh dua tahun. Rambutnya pendek,
seperti potongan lelaki, kepalanya dililit logam kuning
emas dengan hiasan batu merah delima sebesar biji sawo
berantai pendek.
Gadis itu mengenakan baju tanpa lengan warna
merah kehitaman dari bahan kain tebal. Bajunya yang
berhias benang emas dan mempunyai krah agak tinggi,
hingga menutupi sebagian lehernya yang dari depan
tampak berwarna kuning mulus.
Baju berbelahan dada agak lebar dan sedikit
menggoda itu dililit sabuk hitam dengan kepala sabuk
dari logam emas berbatu merah. Ada tiga batu merah
delima pada kepala sabuknya itu. Sedangkan celananya
juga berwarna merah kehitaman berhias  benang emas
dari kain tebal dan ketat hingga membentuk lekak-lekuk
pinggul, paha dan betisnya.
Kaki yang separo betisnya kelihatan itu mengenakan
sandal kulit bertali hitam membentuk anyaman renggang
pada betisnya. Gadis itu bersenjata pedang di punggung.
Pedang tersebut sudah dicabut dari sarungnya dan
digenggam dengan tangan kanan. Rupanya pedang itulah
yang terkena lemparan balik sekeping logam berbentuk
bintang segi enam itu.  Ia  berhasil menangkisnya dan
segera tampakkan diri dengan wajah tanpa senyum.
Suto Sinting yang berada dalam jarak dua langkah di
samping Santana segera berbisik dengan pandangan
mata tetap tertuju kepada wajah cantik berhidung 
mancung dan berbibir sensual itu.
"Kau mengenalnya, Santana?"
"Dia memang cantik," jawab Santana seperti orang
tuli yang selalu salah jawab.
Suara Suto Sinting jadi menggeram karena menahan
kejengkelan.
"Aku bertanya padamu, apakah kau mengenal gadis
itu?!"
"Oh, hmm... tidak!" jawab Santana seperti baru saja
sadar dari lamunan. "Aku... aku sama sekali tak
mengenalnya. Mungkin kau yang mengenalnya.
Barangkali dia kekasihmu?!"
"Kekasihku adalah Dyah Sariningrum. Bukan dia!
Dyah Sariningrum lebih cantik darinya. Sayang sekali
perjalananku ke Pulau Serindu untuk menemuinya
terhalang oleh kemunculanmu tadi!"
Santana menatap Suto Sinting dengan mulut
terperangah.
"Hei, nama itu kukenal! Bukankah orang yang
bernama Dyah Sariningrum itu adalah penguasa di Pulau
Serindu yang bergelar Gusti Mahkota Sejati?!"
"Tepat sekali! Dia itulah calon istriku!"
"Ooo... jadi kau sudah pesan tempat di hati sang Ratu
Puri Gerbang Surgawi itu?!" Santana mulai tersenyum
kembali.
"Benar sekali. Aku sudah pesan tempat cukup lama!"
Suto pun tersenyum walau hanya tipis-tipis saja.
"Hebat sekali kau! Hebat sekali! Hah, hah, hah, hah!"
Kedua pemuda itu tertawa, sepertinya tak 
menghiraukan kemunculan si gadis cantik yang
menggenggam pedang itu. Sang gadis menjadi dongkol,
kemudian segera lakukan lompatan ke arah Santana.
Pedangnya ditebaskan dalam sekali kelebat. Beet...!
Trak...! Pedang itu berhasil ditangkis dengan bambu
kuningnya Santana. Bambu itu tak menjadi patah atau
terpotong, padahal pedang tersebut cukup tajam. Jika tak
dialiri tenaga dalam, tentunya bambu itu sudah patah
atau terpotong.
Gagal menebaskan pedangnya  ke tubuh Santana,
gadis itu segera kirimkan tendangan kakinya dalam satu
lompatan kecil. Beet...! Plook...! Santana menangkisnya
dengan kaki, sehingga kaki mereka saling beradu.
Sementara itu, Suto Sinting mundur jauhi mereka.
Namun ketika itu Santana segera hantamkan telapak
tangan kirinya dalam gerakan sangat cepat. Beet...!
Buuhk...!
"Hehhk...!" gadis itu tersentak mundur, tubuhnya
melayang sesaat, namun berhasil kuasai diri sehingga tak
sampai jatuh, ia berdiri dalam jarak lima langkah dari
Santana.
Sedangkan Suto Sinting berdiri dua langkah dari
samping kiri si gadis. Gadis itu melirik Suto Sinting
dengan lirikan tak bersahabat, Suto pun segera mundur
sambil mengambil bumbung tuaknya yang sejak tadi
menyilang di punggung. Sambil melangkah mundur,
Suto  Sinting sunggingkan senyum lebar, bagaikan
seringai penuh goda.
"Siapa kau, Nona cantik?! Apa alasanmu dua kali 
menyerangku dengan senjata?!" tanya Santana dengan
wajah tak menampakkan permusuhannya. Wajah itu
kembali dihiasi oleh senyum yang kadang kecil kadang
melebar.
Si gadis tak lagi menatap Suto melainkan lemparkan
pandangan ke arah Santana. Walau sepasang mata itu
jernih dan berbulu lentik, namun  sorot pandangannya
terasa tajam dan dingin. Tajam seperti peniti, dingin
seperti es cendol. 
*
* *

2
 PENDEKAR Mabuk coba menyapa si gadis dengan
nada lebih lembut dari nada suara Santana.
"Nona, boleh kutahu siapa dirimu sebenarnya?"
Gadis  itu memandang Santana, tapi menjawab
pertanyaan Suto Sinting walau bernada ketus.
"Aku yang berjuluk Mendung Merah dari Gunung
Pare!" 
"Wah, gawat!" sahut Santana pelan, memandang Suto
dengan senyum dikulum.
"Gunung Pare itu tempat begituan!"
"Begituan bagaimana?"
"Tempat perjudian nyawa!" tegas Santana.
"Kudengar, di Gunung Pare banyak orang berjudi
dengan mengadu jago.  Jago mereka adalah manusia 
seperti kita. Siapa yang mati, itulah yang kalah. Kalau
belum mati, walau sudah babak belur dan tidak bisa
bicara lagi, tapi masih bernapas, tetap belum dikatakan
kalah! Bukankah begitu, ya Nona?!" Santana melempar
bicara kepada gadis itu.
"Itu dulu!" jawab si gadis pendek, namun sudah bikin
Santana tersenyum lebar. Sebelum pemuda bertongkat
bambu kuning itu bicara lagi, Mendung Merah sudah
dului ajukan tanya kepada pemuda itu.
"Kau yang berjuluk Pendekar Mabuk, bukan?!"
"Ooo...  keliru, Non! Keliru!" ujar Santana santai
sekali, ia menuding Suto, "Dia yang punya gelar
Pendekar Mabuk!"
"Benar, aku yang bergelar Pendekar Mabuk!" sambil
Suto acungkan tangan dengan cengar-cengir.
Gadis itu menatap Suto Sinting sesaat, lalu menatap
Santana, kembali memandang Suto, kembali lagi
pandangi Santana. Ia tampak bingung menentukan
keyakinannya. Mungkin karena pakaian Suto dan
Santana punya warna sama, hanya berbeda tempatnya,
maka si gadis menjadi bimbang. Bawahan putih atau
atasan  putih? Atasan coklat atau bawahannya yang
coklat? Tapi keduanya sama-sama membawa bambu,
hanya saja beda kegunaannya.
"Aku bertanya sungguh-sungguh, siapa yang berjuluk
Pendekar Mabuk?!"
"Aku...!" jawab Suto lagi sambil menepuk dada dan
maju selangkah.
"Jangan menyesal jika pedangku telanjur merenggut 
nyawamu!" geram gadis itu.
Tiba-tiba  ia  bergerak cepat menyabetkan pedangnya
ke dada Suto Sinting. Beett...! Tapi gerak naluri Suto
sudah terlatih. Dengan memiringkan badan sedikit
seperti orang mabuk menggeloyor, bambu bumbung
tuaknya dihadangkan ke arah datangnya pedang. Maka
bambu itulah yang terkena sabetan pedang si Mendung
Merah. Traang...!
"Busyet! Suaranya seperti besi ketemu besi?!"
gumam Santana pelan. Matanya memandang kagum ke
arah bumbung tuak yang tak lecet sedikit pun.
Si gadis lepaskan pukulan dengan tangan kirinya, tapi
dihindari oleh Suto dengan menggeloyor seperti ingin
tersungkur ke depan. Wuut...! Pukulan tersebut tak kenai
sasaran, tapi hembusan angin, pukulannya terasa panas
di tengkuk Pendekar Mabuk. Berarti pukulan itu
mengandung tenaga dalam cukup besar.
"Hai, sabar...! Sabar dulu, Mendung Merah!" bujuk
Pendekar Mabuk.
Namun si gadis tak mau turuti bujukan itu. Kakinya
menendang ke samping, arahnya tepat di depan mulut
Pendekar Mabuk. Wuukk...! Tendangan itu tidak
ditangkis, tapi dihindari juga dengan cara melompat ke
belakang. Wes, jleeg...!
Si gadis sentakkan kakinya dan tubuh sekalnya itu
tiba-tiba melambung ke atas, lalu bersalto ke belakang.
Wees...!
Begitu kedua kakinya sampai di tanah, pedangnya
menebas ke samping kanan. Wuuut...! Trang..! 
Bumbung tuak dipakai menangkis pedang itu lagi. Tapi
sang pedang berkelebat dalam gerak meliuk cukup cepat.
Suuutt...! Wees...! Kepala Suto Sinting nyaris jadi
sasaran telak kalau saja pemuda itu tidak cepat-cepat
tundukkan kepala dengan setengah berjongkok.
Tangan kiri Suto menapak di tanah, tubuhnya
memutar cepat dengan kaki menyambar betis gadis itu.
Wuut...! Plook...!
Brrruk...!  Mendung Merah jatuh terduduk dalam
hempasan keras. Suto Sinting segera berdiri dan pindah
tempat dengan gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berada di belakang
Santana.
Diam-diam Mendung Merah tercengang kagum
melihat gerakan sebegitu cepat, nyaris tak terlihat sedikit
pun bayangannya. Santana sendiri agak kaget
mengetahui Suto Sinting sudah ada di belakangnya.
"Edan! Lewat mana kau bisa sampai di belakangku?!"
"Lewat kolong kakimu!" jawab Suto Sinting sambil
pandangi si gadis yang telah berdiri dengan wajah
memancarkan permusuhan.
Ketika Mendung Merah ingin bergerak lagi, Santana
buru-buru berkata kepadanya.
"Mendung Merah, maukah kau kerja sama
denganku?"
"Minggir kau! Akan kuhantam dia dari sini jika benar
dia Pendekar Mabuk!" sentak Mendung Merah.
"O, silakan!" ujar Santana sambil menyingkir,
membuat Pendekar Mabuk tanpa penghalang apa pun di 
depannya. Seketika itu pula Mendung Merah sentakkan
tangan kirinya dengan jari lurus ke depan dan saling
merapat. Suuutt...! Dari ujung jari tengah itu keluar sinar
merah panjang yang melesat ke dada Pendekar Mabuk.
Claap...!
Bumbung tuak segera diangkat sedada. Sinar merah
itu menghantam bumbung tersebut. Tuub...!
Ternyata sinar merah itu memantul balik dalam
keadaan lebih cepat dan lebih besar dari aslinya.
Weess...!
Mendung Merah kaget sekali. Hampir  saja ia jadi
sasaran balik sinarnya sendiri. Untung  ia  segera
sentakkan kaki dan tubuhnya melambung ke udara dan
bersalto mundur satu kali. Suut...! Wuuuk...!
Sinar yang kembali arah itu akhirnya menghantam
sebatang pohon yang besarnya tiga kali pelukan Suto
Sinting. Jegaarrr...!
"Edan!" sentak Santana dengan rundukkan kepala
hampir jongkok. Ledakan yang terjadi sangat keras dan
menghentak kuat, seakan ingin memecah gendang
telinga.
Sementara itu,  Mendung Merah tertegun beberapa
kejap dengan mata tak bisa  berkedip, ia nyaris tak
percaya bahwa sinar merahnya yang berbalik arah itu
telah membuat pohon yang dihantamnya menjadi
serpihan-serpihan kayu yang menyebar ke berbagai arah.
Padahal biasanya sinar merah tersebut hanya bisa
membuat pohon berlubang besar dalam keadaan
lubangnya hangus. Tak sampai membuat pohon pecah 
seperti saat itu.
Setelah masing-masing sama-sama bungkam selama
dua helaan napas, Pendekar Mabuk segera menegur
Mendung Merah dengan serius, tanpa senyum sedikit
pun, namun tanpa wajah bermusuhan.
"Mendung Merah, mengapa kau benar-benar ingin
membunuhku?!"
Santana menyahut, "Jawab saja, Nona! jawab apa
adanya, daripada nanti dia matinya penasaran, Rohnya
bisa mendatangimu tiap malam dan mencabuti bulu
ketiakmu!"
"Aku tak punya bulu!" bentak Mendung Merah
kepada Santana.
"Ooh... maaf, maaf... aku salah pandang kalau
begitu!" kata Santana sedikit gugup, tapi gayanya
menggelikan hati Pendekar Mabuk.
Mendung Merah hampiri Santana dan mengacungkan
pedangnya ke arah pemuda itu.
"Jika kau bukan Pendekar Mabuk, jangan ikut bicara!
Bisa robek mulutmu dengan pedangku ini kalau masih
ikut campur urusanku dengannya!"
Suto menyahut, "Aku merasa tak punya urusan
denganmu, Mendung Merah."
"Aku yang punya urusan denganmu! Kau tak perlu
ikut mengurusnya, biar aku yang mengurus, karena
memang tugasku tak jauh dari urusan nyawamu!"
"Tugas apa itu, kalau boleh kutahu?!" 
"Memenggal kepalamu!" geram Mendung Merah.
Santana maju dekati Mendung Merah. Senyumnya 
berkesan sinis mengejek.
"Siapa yang memberimu tugas begitu, Neng?!"
"Aku dibayar oleh Ratu Ladang Peluh untuk
membunuh Pendekar Mabuk!"
Suto Sinting terperanjat. Lagi-lagi  nama Ladang
Peluh mengejutkan hatinya, membelalakkan matanya,
menahan napasnya di tenggorokan. Suto Sinting tak bisa
tertawa, tapi Santana justru tertawa agak keras. Tawa
meremehkan.
"Itu tidak mungkin, Nona cantik! Tidak mungkin!"
"Apanya yang tidak mungkin, Tikus parit?!" geram
Mendung Merah.
"Ratu Ladang Peluh sudah menyewaku untuk
membunuh Pendekar Mabuk. Separo bayaranku sudah
diberikan sebagai uang muka, sisanya akan dilunasi
setelah aku datang kembali dengan membawa potongan
kepala Pendekar Mabuk! Jadi tak mungkin kau merebut
lahanku, Cah Ayu!"
"Mendung Merah tak kenal kata tak mungkin!"
sentak gadis itu dengan galaknya. "Pendekar Mabuk
adalah buruanku!"
"Tidak bisa! Dia adalah buruanku!" bantah Santana.
"Kalau begitu kita tentukan siapa yang berhak
memenggal kepala Pendekar Mabuk!"
"Boleh!" kata Santana dengan bersemangat
menyambut tantangan Mendung Merah.
Suto Sinting tertawa kecil dalam hatinya, ia sengaja
mundur beberapa langkah sampai di bawah pohon.
Hatinya pun membatin, 
"Gila! Mereka berebut kepalaku? Lucu sekali! Apa
mereka pikir mudah memenggal kepala Pendekar
Mabuk?!"
Santana dan Mendung Merah masih bersitegang. Suto
sengaja membiarkannya, sambil ia ingin tahu sejauh
mana kemampuan kedua orang itu sehingga mereka
berani memperebutkan kepala Pendekar Mabuk.
"Kalau kau mampu menahan sodokan bambu
kuningku, berarti kau berhak mendapatkan kepala
Pendekar Mabuk!" ujar Santana sambil melangkah ke
kiri mengitari gadis itu. Si gadis sendiri melangkah ke
kanan membentuk gerakan melingkar sambit
mempertinggi kewaspadaannya.
Bambu kuning yang dipermainkan dengan kedua
tangan Santana itu tiba-tiba menyodok ke dada Mendung
Merah secara beruntun.
Suutt, suut, suuut, suutt...!.
Mendung Merah hanya menghindar dengan gerak
tubuh lincahnya yang meliuk ke sana-sini, sementara
kedua kaki tetap berada di tempat, tak bergeser sedikit
pun. Gadis itu ingin tunjukkan bahwa ia mampu
bergerak lebih cepat dari  sodokan bambu kuning
Santana.
Sodokan itu mengandung tenaga dalam, sehingga
ujung bambu terasa keluarkan hawa panas yang dapat
menyengat kulit manusia biasa. Hawa panas itu pun
berhasil dihindari oleh Mendung Merah.
Namun ketika pedang Mendung Merah ingin
menebas bambu itu, tiba-tiba Santana berputar tubuh 
dengan cepat bersama bambunya. Namun seketika itu
pula bambunya menyodok ke belakang ketika Santana
memunggungi Mendung Merah. Wuutt...!
Tenaga dalam yang keluar dari ujung bambu lebih
besar dari yang tadi. Untung gadis itu berhasil sentakkan
kaki ke tanah secepatnya, lalu tubuhnya melambung ke
udara dan bersalto maju satu kali. Wuuuss...!
Tubuh itu melayang lewat atas kepala Santana.
Pedang pun ditebaskan ke arah kepala Santana. Tetapi
dengan cepat Santana berlutut satu kaki dan bambu
kuningnya disilangkan di atas kepala dengan kedua
tangan memeganginya. Traakkk...! Pedang itu akhirnya
tertahan oleh bambu kuning tersebut hingga tak sempat
lukai kepala Santana.
Pemuda itu cepat-cepat lepaskan satu tangannya. Kini
bambu kuning dipegang dengan satu tangan dan berputar
melilit di tangan Mendung Merah yang memegangi
pedang.
Slep, slep, slep...!
Dess...! Bambu itu menyodok cepat dan kenai ketiak
Mendung Merah.
"Uuhk...!" Mendung Merah menyeringai, ketiaknya
terasa sakit sekali mendapat sodokan bambu kuning
yang rasanya seperti disodok besi. Tulang di ketiak
terasa remuk. Tangan kanan Mendung Merah pun tak
mampu menggenggam lagi. Pedangnya jatuh ke tanah,
tangan itu bagaikan lumpuh tanpa daya sedikit pun.
Tapi gadis itu belum mau menyerah, ia berusaha
kerahkan tenaga yang masih tersisa. Seluruh tenaga 
dipusatkan pada tangan kirinya. Ketika bambu Santana
menyabet punggung Mendung Merah, gadis itu cepat-
cepat berguling di tanah. Wuuus, wuuutt...!
Gerakan berguling sengaja mendekati kaki Santana.
Dengan gerakan cepat, tangan kiri itu segera keraskan
kedua jarinya dan menotok tepian mata kaki Santana
dengan gerakan seperti seekor kobra mematuk mangsa.
Tuuuss...!
"Aow...!" Santana terpekik dengan suara tertahan.
Tiba-tiba tubuhnya jatuh terduduk. Seluruh urat dan
tulangnya bagaikan hilang. Rupanya ia terkena totokan
lawan yang membuatnya kehilangan sebagian besar
kekuatannya, namun masih tetap dalam keadaan sadar, ia
tak mampu lagi memegangi bambu kuningnya.
Napasnya menjadi sangat sesak dan sulit dihela,
sehingga Santana tampak cengap-cengap seperti seekor
lele kekurangan air.
"Haap, haap.., haap...!"
Mendung Merah segera menendangkan kaki
kanannya, sementara kaki kiri dipakai untuk berlutut di
tanah. Wuuut, plook...! Dengan telak tendangan itu kenai
wajah Santana. Tapi setelah itu Mendung Merah jatuh
terduduk. Rupanya sodokan bambu kuning di ketiaknya
makin lama semakin melumpuhkan seluruh bagian
tubuhnya. Tulang-tulang terasa nyeri dan urat-urat bagai
mengendor.
Bruuukk...! Mendung Merah jatuh terduduk dalam
keadaan bersandar pada akar pohon yang tersumbul dari
tanah setinggi betis manusia dewasa itu. Napasnya 
terengah-engah dengan wajah pucat pasi seperti mayat.
Wajah Santana pun tampak lebih pucat lagi, bahkan
menyerupai sehelai kertas tanpa stempel.
"Edan...!  Kurang ajar...," Santana memaki dengan
suara lirih dan serak karena berusaha melonggarkan
napasnya.
"Hrrmmm... hhrrmmm...," Mendung Merah tak bisa
keluarkan suara kecuali menggeram seperti orang
mendengkur. 
Pendekar Mabuk tertawa dari kejauhan. Tawa gelinya
memang tak keluarkan suara keras, namun dari
guncangan badannya ia tampak terpingkal-pingkal
melihat kedua orang yang ingin membunuhnya itu saling
terkulai lemas. Dengan sisa tawa yang ada, Suto pun
akhirnya hampiri kedua orang yang sama-sama lumpuh
itu.
Pedang milik Mendung Merah dipungutnya, lalu
diletakkan di atas pangkuan gadis itu.
"Babat saja lehernya! Kapan lagi kalau tidak
sekarang!" ujar Suto dengan nada menyindir.
Bambu kuning yang tergeletak sejauh satu langkah
dari Santana juga dipungut dan diletakkan di atas dada
Santana yang terduduk melonjor dalam keadaan lengan
tersangga batu sebesar anak sapi.
"Gebuk saja gadis itu! Jangan malu-malu, Santana!"
"Mata... mu...!" Santana memaki sambil matanya
mendelik dan sibuk menarik napasnya yang terasa sulit
dihela itu.
Pendekar Mabuk lebarkan senyum, keluarkan suara 
tawa seperti orang menggumam, ia geleng-geleng kepala
pandangi kedua orang tersebut secara bergantian.
Mereka juga memandang Pendekar Mabuk dengan
kecamuk batin masing-masing. Entah apa yang
dikecamukkan mereka, tapi yang jelas mereka punya
kedongkolan sendiri terhadap ejekan Suto Sinting tadi.
"Kalian ini bagaimana? Payah sekali!" Suto bertolak
pinggang satu tangan. "Bagaimana kalian mau
membunuhku jika menumbangkan lawan seperti kalian
tak mampu saling menumbangkan?!"
Melihat kedua orang itu tak berdaya, Pendekar
Mabuk tak sampai hati. Sekalipun mereka bermaksud
membunuhnya, namun dalam hati Pendekar Mabuk
yakin bahwa mereka akan membatalkan niatnya jika
sudah mengetahui permasalahan yang sebenarnya.
Menurut penilaian Suto, wajah-wajah mereka bukan
wajah-wajah orang jahat yang tak dapat disadarkan.
Mereka masih bisa disadarkan dan diberi pengertian.
"Apalagi ilmu mereka hanya segitu, sekali kugebrak
bakalan ngacir tak balik-balik lagi," ujar Suto dalam
hatinya. "Aku yakin mereka hanya terpedaya oleh kata-
kata Ratu Ladang Peluh, sehingga mereka  menerima
tawaran menjadi pembunuh bayaran. Agaknya mereka
belum tahu belang si Ladang Peluh itu."
Tuak sakti yang ada dalam bumbung Suto
diminumkan kepada mereka satu persatu. Dengan
meneguk tuak dari dalam bumbung yang selalu dibawa-
bawa Suto itu, kekuatan mereka menjadi pulih kembali.
Rasa sakit hilang, napas sesak menjadi  longgar, tulang 
nyeri menjadi kokoh kembali, urat kendor menjadi
keras, dan gemuruh hati yang ingin membunuh menjadi
tenang kembali.
"Aneh?! Hanya dengan meneguk tuaknya saja
badanku menjadi segar dan lincah kembali?" pikir
Santana. "Bahkan aku merasa lebih segar dari sebelum
bertemu dengannya? Ternyata tinggi juga kesaktian yang
dimiliki si Pendekar Mabuk itu?! Apakah aku mampu
melawannya? Ah, aku jadi sangsi pada kemampuanku
sendiri jika harus berhadapan dengannya. Apalagi dia
baik padaku, mau mengobati kelumpuhanku ini!"
Sementara itu, hati Mendung Merah sendiri
membatin, "Luar biasa tuaknya itu. Sekujur badanku
seperti habis dipijat secara rata. Enak dan segar.
Mengapa dia mau menolongku, sedangkan dia tahu aku
diupah untuk membunuhnya? Oh, haruskah aku
membunuh orang sebaik dia dan... dan setampan dia?!
Ah, ratu setan itu benar-benar iblis tanpa malu! Pemuda
setampan dia disuruh membunuhnya. Apa dia sudah
buta?! Belum lagi pertimbangan tentang ilmunya yang
dapat kuduga lebih tinggi dari ilmuku. Bayangkan saja,
jurus totokanku yang kenai pemuda konyol itu dapat
dibuyarkan dengan meminum tuaknya?! Apa bukan ilmu
edan-edanan itu namanya?!"
Ketika keduanya saling berdiri membenahi pakaian
dan membersihkan tanah yang menempel di pakaian
mereka, Pendekar Mabuk sengaja pandangi mereka dari
jarak empat langkah sambil perdengarkan suaranya yang
masih bernada bersahabat itu. 
"Sebenarnya apa yang membuat kalian bersemangat
sekali diupah untuk membunuhku oleh Ratu Ladang
Peluh? Apakah karena besarnya upah tersebut atau
karena hal lain?!"
"Upah itu bisa dibilang besar, bisa pula dibilang kecil.
Tergantung keadaan orang tersebut. Kalau sedang
miskin, tak punya beras sejimpit pun, tentu saja upah itu
termasuk besar dan menggiurkan hati. Tapi bagi orang
yang sudah punya delapan kapal, maka upah seperti itu
dinilai sesuatu yang tak berharga."
"Jawabanmu tak pernah sesuai dengan pertanyaan,
Santana. Sebaiknya kau jangan menjawab!" kata Suto
Sinting agak jengkel, ia segera memandang Mendung
Merah yang telah memasukkan pedangnya ke sarung
pedang.
Tapi sebelum gadis itu bicara, tiba-tiba Suto Sirting
tersentak kaget dan cepat bergerak dengan menggunakan
jurus Gerak Siluman'-nya. Zlaapp...! Ia melesat hampiri
gadis itu. Mendung Merah menyangka Suto ingin
menerjangnya, ia segera menghindar ke samping kanan.
Gerakan Suto berkelebat di sebelah kirinya.
Blaaarrr...!
Ledakan besar terjadi dan menggetarkan tanah sekitar
tempat itu. Ternyata tindakan Suto tadi adalah langkah
menyelamatkan Mendung Merah dari serangan sinar
biru yang melesat dari atas pohon berdaun rimbun. Sinar
biru itu seperti lidi, meluncur cepat mengarah ke kepala
Mendung Merah.
Tetapi dengan berkelebatnya Pendekar Mabuk, maka 
sinar biru itu akhirnya menghantam bumbung tuak Suto.
Sinar itu membalik arah dan menghantam dahan pohon
bersama timbulnya ledakan besar tadi.
Zrraak...! Bruuk...!
Dari atas pohon itu melesat sekelebat bayangan.
Rupanya ada seseorang yang nyaris termakan sinar
birunya sendiri yang memantul balik dalam keadaan
lebih cepat dan lebih besar dari keadaan aslinya. Orang
tersebut melompat hindari sinar tersebut. Karena
terburu-burunya, maka ia tak berhasil kuasai
keseimbangan tubuh, sehingga ia jatuh terduduk pada
saat kakinya mendarat di tanah.
Santana kaget, tapi Mendung Merah lebih kaget lagi,
karena ia sadar bahwa nyawanya nyaris terancam punah
dari peredaran jika tidak segera diselamatkan oleh
Pendekar Mabuk. Gadis itu semakin terkejut setelah
mengetahui siapa orang yang melepaskan sinar biru
penjemput nyawanya itu.
"Siapa orang itu?!" bisik Suto kepada Mendung
Merah, karena saat itu Mendung Merah ada di samping
kanannya, sedangkan Santana ada di sebelah kirinya.
 *
*  *

 3
 PEMILIK sinar biru itu adalah seorang lelaki pendek
berusia sekitar empat puluh tahun dengan kumis seperti
kelelawar menclok di bawah hidung. Tinggi badannya
sebatas perut Suto lebih sedikit. Lelaki itu mempunyai
rambut yang tumbuh di sisi kanan-kiri kepalanya,
sedangkan bagian tengah kepala dari depan sampai ke
belakang botak tanpa rambut sehelai pun.
Ia mengenakan baju berlengan panjang warna hijau
tua dengan celananya berwarna hitam. Baju itu tidak
dikancingkan, sehingga perutnya yang buncit itu tampak
berkulit coklat gelap.
Ia juga mengenakan sabuk dari kain warna merah.
Kain merah itu dipakai untuk selipkan golok bergagang
hitam bentuk kepala burung gagak.
Matanya yang beralis tebal itu memandang lurus dan
tajam ke arah Mendung Merah. Pandangan mata itu
menandakan sikap permusuhan yang dalam, seakan tak
akan mengenal kata ampun untuk Mendung Merah.
"Apa maksudmu menyerangku, Sawung Kuntet?!"
seru Mendung Merah dengan suara lantang menandakan
keberaniannya. Suto Sinting sedikit condongkan
badannya ke arah Santana dan berbisik pelan, tak
kentara.
"Ooo... namanya Sawung Kuntet!"
"Sawung  itu jago, Kuntet itu pendek. Berarti dia
jagoan yang bertubuh pendek." 
"Jagoan apa dulu?" 
"Mungkin jagoan sambar jemuran orang? Hee, hee,
hee, he...!"
"Sstt...!" desis Suto menyuruh Santana agar tak
cengengesan dulu, karena saat itu bibir si Sawung
Kuntet sudah mulai bergerak-gerak ingin bicara.
"Aku mau anu kau, karena kau mau anu Pendekar
Mabuk!"
Santana dan Suto Sinting berkerut dahi, merasa tak
jelas dengan kata-kata Sawung Kuntet yang gemar
menggunakan kata 'anu' sebagai pengganti kata yang
dimaksud. Suto Sinting akhirnya bertanya dalam bisikan
kepada Mendung Merah.
"Apa maksudnya?"
"Dia ingin membunuhku karena aku ingin
membunuhmu. Kurasa begitulah maksudnya."
"Aneh. Mengapa harus pakai kata 'anu' untuk
mengungkapkan maksudnya?"
"Memang begitulah ciri bicaranya!" bisik Mendung
Merah.
"Sudah lama kau kenal dia?"
"Cukup lama.  Ia  orang Lembah Layon yang ada di
kaki Gunung Pare."
Setelah menggumam dan manggut-manggut, Suto
Sinting kerutkan dahi. Pada saat itu Sawung Kuntet
melirik Suto sekejap. Anehnya, lirikan itu tidak tampak
bersahabat melainkan justru kelihatan bermusuhan.
Hati Suto pun membatin, "Rupanya dia ingin
membelaku?! Dengan alasan apa dia ingin selamatkan
diriku?"
 Mendung Merah ajukan tanya lagi kepada Sawung
Kuntet.
"Apa maksud pembelaanmu terhadap Pendekar
Mabuk?!"
"Karena dia anuku!"
"Anumu...?!" Santana berseru dengan heran. "Anumu
bagaimana?!"
"Dia jatahku!" bentak Sawung Kuntet. "Kau pun juga
akan ku-anu setelah anunya gadis itu melayang!"
Suto Sinting tertawa ditahan, Santana pun geli dan
menutup mulutnya agar tak melepaskan tawa.
"Anunya Mendung Merah akan melayang, katanya.
Melayang ke mana, ya?!" ujar Santana sambil menahan
tawa.
Mendung Merah jelaskan, "Maksudnya, dia juga akan
membunuhmu setelah nyawaku melayang!"
"Ooo...," Suto dan Santana sama-sama melongo
sambil angguk-anggukkan kepala dan memendam rasa
geli dalam hati.
"Apa maksudmu mengatakan Pendekar Mabuk
adalah jatahmu?!" tanya Mendung Merah lagi.
"Aku sudah di-anu oleh Ratu Ladang Peluh...."
"Di-anu itu diapakan?" potong Santana. "Diperkosa
apa diperbudak?!"
"Disewa, Bodoh!" bentak Sawung Kuntet.
"O, jadi kau sudah disewa oleh Ratu Ladang Peluh?
Disewa untuk apa?!" tanya Suto.
"Untuk meng-anu-mu!"
"Apa lagi artinya itu, Mendung?" bisik Suto. 
Mendung Merah pun berbisik, "Mungkin artinya dia
sudah disewa oleh Ratu Ladang Peluh untuk
membunuhmu!"
Suto Sinting terkesip. Matanya segera menatap
Sawung Kuntet.
"Benarkah kau sudah disewa oleh Ratu Ladang Peluh
untuk membunuhku?!"
"Benar!"  jawabnya tegas. "Dari tadi kuikuti
pembicaraan kalian, sehingga aku meng-anu siapa kalian
berdua. Ternyata dia bernama Santana dan kau yang ber-
anu Pendekar Mabuk!"
Mendung Merah segera bicara kepada Sawung
Kuntet.
"Kurasa sebaiknya urungkan saja niatmu membunuh
Pendekar Mabuk! Kau tak akan mampu menandingi
ilmunya!"
"Justru kau yang harus anu, dan jangan bermimpi lagi
mendapatkan anu besar dari Ratu Ladang Peluh! Jika
kau tak mau mundur, maka kau akan ku-anu sekarang
juga! Siapa pun yang ingin meng-anu Pendekar Mabuk,
akan ku-anu lebih dulu sebelum ia berhasil bawa kepala
Pendekar Mabuk ke Ratu anu!"
Santana tampil ke depan sambil cengar-cengir.
"Sawung Kuntet, sedikit banyak aku bisa memahami
maksud kata-katamu. Siapa pun yang ingin membunuh
Pendekar Mabuk maka orang itu akan kau bunuh lebih
dulu, supaya kepala Pendekar Mabuk bisa kau dapatkan,
dan  kau tukar dengan upah dari Ratu Ladang Peluh!
Tapi ketahuilah pula Sawung Kuntet... sebagai orang 
yang disewa juga oleh Ratu Ladang Peluh, aku tak
gentar sedikit pun jika harus bertarung dulu denganmu
untuk menentukan siapa yang berhak membunuh
Pendekar Mabuk!  Jadi jika kau tetap ingin menjadi
pembunuh bayaran untuk dapatkan kepala Pendekar
Mabuk, kurasa kau harus beranu-anuan dulu denganku!"
"Apa itu beranu-anuan?!" sentak Mendung Merah.
"Berpukul- pukulan. He, he, he, he...!"
Santana nyengir. Mendung Merah masih berwajah
ketus, sedangkan Sawung Kuntet menjadi berang karena
dibuat bercandaan oleh Santana. Tiba-tiba tangannya
berkelebat seperti melemparkan pisau ke arah Santana.
Ternyata yang keluar dari lemparan tangannya adalah
cahaya merah yang berbentuk seperti piringan bergerigi.
Crlaapp...!
Santana segera sodokkan tongkat bambunya ke
depan. Wuuutt...! Dari ujung bambu kuning itu keluar
seberkas cahaya kuning seperti anak panah kecil.
Claap...! Cahaya kuning itu menghantam cahaya
merahnya Sawung Kuntet. Maka meledaklah kedua
cahaya itu di pertengahan jarak.
Duuaaarrr...!
Daya sentak ledakan itu melesat ke dua arah,
membuat Sawung Kuntet terdorong mundur hingga lima
langkah dan Santana terpelanting ke belakang sekitar
lima langkah.
Suto Sinting segera berdiri di pertengahan jarak
mereka. Pada saat itu, Sawung Kuntet sudah mulai
kepalkan kedua tangannya yang mengeras, seakan ia 
telah menggenggam tenaga dalam yang siap dilepaskan
dari jarak jauh. Mendung Merah mencabut pedangnya
kembali. Sreett...! Gadis itu berseru sebelum Pendekar
Mabuk menyuruh Sawung Kuntet hentikan serangannya.
"Hadapilah aku lebih dulu, Sawung!"
Lelaki pendek itu segera sentakkan kedua tangannya
ke arah Mendung Merah sambil membuka
genggamannya. Ternyata sebentuk tenaga dalam cukup
besar  dilepaskan oleh Sawung Kuntet pada saat
Mendung Merah lakukan lompatan menyerang.
Wuuutt...! Baahkk...!
Tubuh gadis itu terlempar cukup jauh. Ia seperti
diterjang seekor banteng liar yang sedang mengamuk.
Tubuh itu terbanting di bawah pohon dan mengerang
lirih di sana.
Brruuuss...!
"Aooh...!"
Suto Sinting membatin, "Boleh juga tenaga dalamnya
yang tanpa sinar itu! Mendung Merah seperti kapas
dihempas badai. Hmmm... rupanya si Sawung Kuntet
punya tenaga dalam cukup besar juga?!"
Rasa ingin menjajal ilmunya Sawung Kuntet
membuat Santana segera maju menyerang. Kali ini ia
pergunakan jurus 'Toya Sakti'-nya yang ditebaskan ke
kanan-kiri beberapa kali, lalu tiba-tiba menyentak ke
depan dan dari ujung toya itu keluar jarum-jarum
berkarat yang jumlahnya lebih dari sepuluh batang
jarum.
Sraab...! weerrs...! 
Jarum-jarum berkarat menerjang Sawung Kuntet.
Tetapi pria pendek berkumis seperti kelelawar itu
melayangkan tubuhnya dengan ringan. Wuuutt...! Tubuh
itu bersalto dua kali selama di udara, dan jarum-jarum
berkarat itu menancap pada sebatang pohon, Pohon
tersebut menjadi rubuh dalam beberapa kejap kemudian.
Tempat yang terkena jarum-jarum  itu tampak hitam
membusuk.
Pendekar Mabuk bingung sendiri melihat sana-sini
menyerang Sawung Kuntet. Ia segera melompat ke sisi
lain dan membiarkan Santana hadapi Sawung Kuntet
yang sudah mencabut goloknya begitu kakinya menapak
ke bumi.
Jleeg...!
Wut, wut, wut, wuut, wuut...!
Sawung Kuntet tebaskan goloknya ke arah Santana
beberapa kali. Gerakan golok menebas itu sangat cepat
sehingga tampak seperti cahaya putih berkelebat ke
sana-sini, karena golok itu memantulkan sinar matahari.
Rupanya Santana juga dapat mainkan tongkat bambu
kuningnya dengan kecepatan yang sama. Setiap tebasan
golok itu selalu ditangkis dengan bambunya.
Trak, trak, trak, trak, trak...!
Lalu tubuh Santana berputar cepat dan tongkatnya
menghantam dari arah samping. Buuhk...! Pinggang si
Sawung Kuntet terhantam. Sebelum lelaki itu memekik,
Santana segera rendahkan badan dengan menyapukan
tongkatnya ke arah bawah. Wuutt...! Prraakk...!
"Aaow...!" Sawung Kuntet memekik, karena Santana 
berhasil menyambar mata kakinya. Pria pendek itu
berdiri dengan satu kaki dan mulai limbung. Santana
segera menyodokkan bambu kuningnya dengan
kecepatan tinggi dan secara beruntun. Deb, deeb, deeb,
deeb...!
Suara angin dapat keluar dari ujung bambu kuning itu
dan menghantam dada Sawung Kuntet beberapa kali.
Lelaki itu terdorong mundur gelagapan, akhirnya
terlempar dalam gerakan melayang mundur saat tongkat
menyodok telak ulu hatinya. Des...! Wuuutt...!
Brruuk...!
Sawung Kuntet terbanting di antara akar-akar pohon
yang bertonjolan di tanah, ia menyeringai kesakitan.
Santana melompat dengan gerakan jungkir balik
menggunakan tongkatnya yang sesekali menyentuh
tanah sebagai penopang tubuh. Wuk, wuuk, wuk...!
Jleeg...! Santana daratkan kakinya tepat di samping
Sawung Kuntet dan terbaring. Tongkat bambu kuning
diangkat dan ingin dihujamkan ke perut Sawung Kuntet.
Tetapi pria pendek itu gunakan tenaga simpanannya
hingga tubuhnya bisa melenting naik dengan kedua kaki
terangkat ke atas dalam gerakan jungkir balik. Saat
itulah tongkat bambu kuning berhasil ditendang oleh
kaki Sawung Kuntet. Bet...! Tendangan itu sangat keras,
sehingga bambu kuning itu tersentak dan tubuh Santana
ikut terbawa hingga oleng.
Santana yang menggeragap itu segera disabet dengan
golok panjang Sawung Kuntet. Weess...!  Tapi bambu
kuning bergerak cepat lindungi pinggang samping 
sehingga golok itu tak jadi merobek pinggang melainkan
kenai bambu itu dengan keras.
Trraak...! Benturan itu memercikkan bunga api dalam
sekejap, sepertinya golok tersebut beradu dengan besi
baja yang melapisi bambu kuning tersebut. Padahal yang
ada dalam lapisan bambu kuning itu adalah tenaga dalam
Santana yang selalu disalurkan ke dalam bambu tersebut.
Begitu sadar goloknya tak kenai sasaran, Sawung
Kuntet segera pergunakan telapak tangan kirinya untuk
menghantam punggung Santana. Bet! Plaak...!
"Aaah...!" Santana memekik, punggungnya berasap
dan membekas telapak tangan Sawung  Kuntet yang
selain bertenaga besar juga mengandung hawa panas api
cukup tinggi.
Brruk...! Santana tumbang dalam keadaan tersangkut.
Sawung Kuntet tak mau hentikan serangan sampai di
situ saja,  ia  mengangkat goloknya dan menghujamkan
golok ke punggung Santana dengan kedua tangan.
"Heaaah...!"
Tapi di luar dugaan, Sawung Kuntet terpental
sebelum goloknya sempat menghujam punggung
lawannya, ia merasa ulu hatinya ditendang seekor kuda
jantan dengan kerasnya. Napas bagai menggumpal di
perut, jantung terasa berhenti mendadak. Sawung Kuntet
jatuh terkapar dalam jarak lima langkah dari Santana, ia
tak tahu bahwa Pendekar Mabuk telah lepaskan jurus
'Jari Guntur'-nya yang berupa sentilan jari bertenaga
dalam tinggi.
"Aahk...! Aaakkh...!" Sawung Kuntet mendelik dan 
kelojotan, mulutnya ternganga karena ingin menghirup
udara banyak-banyak. Namun jalur pernapasannya
seakan tersumbat sesuatu yang sulit dihilangkan.
Mendung Merah sudah berdiri sejak tadi. Rasa
sakitnya akibat jatuh terbanting itu sudah dapat diatasi
dengan  tarikan napasnya. Gadis itu segera berlari dan
lakukan lompatan bersalto beberapa kali hingga
secepatnya tiba di dekat Sawung Kuntet. Jleeg...!
Pedang di tangannya segera dihujamkan ke dada
Sawung Kuntet. Suuut...! Traang...! Mendung Merah
terpelanting jatuh karena pedangnya tersentak kuat dan
akhirnya menancap di tanah. Jreeb...!
Sesuatu yang membuat pedang Mendung Merah
terpental adalah sentilan tenaga dalam juga yang
dilakukan oleh Pendekar Mabuk dari tempatnya berdiri.
Sentilan  itu tepat kenai pedang, dan pedang menjadi
berat dalam keadaan terlempar. Mau tak mau tubuh
Mendung Merah terbawa oleh pedangnya.
"Hentikan semua!" seru Pendekar Mabuk kali ini
perlihatkan ketegasannya.
Suasana hening sejurus ketika Pendekar Mabuk
hampiri ketiga orang itu. Lalu, suara erangan Santana
terdengar secara samar-samar. Sentakan-sentakan napas
Sawung Kuntet pun terdengar lirih seperti orang
cegukan. Pria itu masih mendelik dengan mulut terbuka
berusaha menarik napas beberapa kali.
"Sadarlah kalian bahwa saat ini aku dapat membunuh
kalian semua!" seru Suto Sinting bernada tegas, namun
hatinya tetap bersabar. Suto hanya ingin memberi 
peringatan kepada mereka, agar tidak bertarung sendiri-
sendiri hanya untuk merebutkan haknya sebagai
pembunuh bayaran Ratu Ladang Peluh.
"Aku sengaja tak ingin menjadi musuh kalian dengan
cara melukai, atau mencederai, bahkan membunuh
kalian! Lupakan tugas kalian sebagai pembunuh bayaran
si Ladang Peluh itu, karena tindakan tersebut hanya akan
mengorbankan nyawa kalian secara cuma-cuma!"
Tak satu pun yang berani bicara pada saat itu.
Apalagi si Sawung Kuntet, sama sekali tak bicara karena
ia sedang sibuk ngap-ngapan mencari lubang napasnya.
Sekali lagi Pendekar Mabuk tunjukkan sikap
bersahabatnya dengan meminumkan tuak sakti kepada
mereka. Dengan begitu, luka dan rasa sakit mereka
segera lenyap. Badan mereka pun segar kembali. Tetapi
warna hitam hangus di rompi Santana masih membekas
telapak tangan Sawung Kuntet, dan agaknya bekas itu
menjadi suatu peringatan bagi Santana untuk lebih
berhati-hati jika terpaksa harus bertarung lagi melawan
Sawung Kuntet.
Kegalakan lelaki pendek itu pun menjadi reda dengan
sendirinya, karena ia merasa diselamatkan oleh Pendekar
Mabuk, sehingga pernapasannya normal kembali.
"Aku mendapatkan satu kesimpulan setelah melihat
pertarungan kalian yang lamban dan kurang pantas jika
menjadi pembunuh bayaran," ujar Suto Sinting
memberanikan diri bicara agak sombong untuk
meluruskan jalan pikiran mereka.
Sambungnya lagi, "Kalian sebenarnya dimanfaatkan 
oleh Ratu Ladang Peluh sebagai umpan agar aku
menemuinya. Mengapa kalian dijadikan umpan? Karena
dia tak bisa menemukan diriku dengan mudah, sehingga
tak bisa melampiaskan dendamnya!"
Santana melirik Mendung Merah, saat itu Mendung
Merah sendiri melirik Sawung Kuntet yang menatap
Suto Sinting dengan pandangan mata tak setajam tadi.
Agaknya mereka sengaja diam untuk dengarkan ucapan
sang Pendekar Mabuk itu.
"Nyawa kalian sama sekali tidak dihargai oleh Ratu
bejat itu. Bayangkan saja, berapa duit kalian dibayar
untuk dapat membunuhku? Sementara dia tahu persis
bahwa kalian tak mungkin bisa membunuhku, justru
kalian sendiri akan terbunuh olehku jika kita saling
bertarung. Jika kalian terbunuh, tentu saja dia tak akan
keluarkan uang untuk membayar kalian!"
Suto sengaja diam sesaat untuk memberi kesempatan
kepada mereka merenungi kata-katanya itu. Beberapa
kejap kemudian, Sawung Kuntet perdengarkan suaranya
yang mirip orang menggumam, seakan bicara pada
dirinya sendiri.
"Keparat! Berani-beraninya dia menjadikan anuku
sebagai umpan!"
"Anuku itu apa maksudnya?" tanya Santana.
"Nyawaku!" sentak Sawung Kuntet.
"Ooo... nyawamu. Kukira anumu!" gumam Santana,
lalu diam, masalah 'anu' tak dibahas lagi.
Mendung Merah segera berkata, "Aku tertarik tugas
ini bukan semata-mata upah sejumlah uang dan 
perhiasan. Terus terang saja aku tertarik tugas ini karena
ia berjanji akan memberi hadiah padaku sebuah pedang
sakti yang bernama Pedang Penakluk Cinta, jika aku
berhasil membawa pulang kepala Pendekar Mabuk."
"Aku juga akan diberi hadiah Pedang Penakluk Cinta
jika bisa memenggal kepalamu, Suto!" ujar Santana.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum lebar
setengah geli.
Sawung Kuntet segera berkata, "Dia juga ber-anu
begitu padaku, dan aku sangat tertarik dengan Pedang
Penakluk anu...."
"Husy! Penakluk anu bagaimana?!" sentak Santana.
"Maksudku. Pedang Penakluk Cinta!"
"Bicaralah yang lengkap!"
"Apa hakmu mengatur bicaraku?!" sentak Sawung
Kuntet menegang. Suto Sinting segera meredakan
kembali ketegangan itu.
"Ratu bejat itu memang licik!" ujar Suto Sinting.
"Kalian boleh percaya boleh tidak, Pedang Penakluk
Cinta sudah kuhancurkan saat berada di tangan Jerami
Ayu!"
Ketiga orang itu saling pandang dengan dahi
berkerut.
Suto menyambung, "Kalian boleh tanyakan kepada
Ki  Belantara, jika kalian kenal dengan beliau. Ki
Belantara adalah saksi mata saat aku menghancurkan
Pedang Penakluk Cinta. Karena pedang itu kuhancurkan,
maka Ratu Ladang Peluh sangat marah dan mendendam
padaku, tapi tak bisa melampiaskan kemarahannya. 
Kurasa ia sudah cukup lama mencari-cariku namun tak
berhasil dijumpai, sehingga ia menggunakan umpan
nyawa kalian. Harapannya, jika kalian sekarat
ditanganku, tentunya kalian akan bicara siapa yang
menyuruh kalian. Dan kalau sudah begitu, dia berharap
aku mendatanginya ke Bukit Randa!"
"Bangsat kurap! Pedang sudah anu ditawarkan
sebagai anu!" geram Sawung Kuntet.
Wajah tiga orang utusan Ratu Ladang Peluh itu
tampak memendam kejengkelan. Mendung Merah
bahkan kelihatan menyembunyikan rasa malu di
hadapan Pendekar Mabuk, ia tak berani menatap
langsung ke mata si murid sinting Gila Tuak itu.
"Kurasa bukan hanya kita saja yang dikerahkan
sebagai orang upahannya!" kata Santana sambil
tersenyum kecut. "Mungkin lebih dari lima atau enam
orang."
Mendung Merah segera berkata dengan nada
menggeram, "Aku akan bikin perhitungan sendiri
dengan Ratu Ladang Peluh!  Ia  telah menganggapku
sebagai gadis bodoh dengan cara seperti ini!"
"Aku pun akan memberi pelajaran pada anu-nya yang
busuk itu!" Sawung Kuntet ikut-ikutan menggeram.
"Apa benar anu-nya Ratu Ladang Peluh itu busuk?!"
tanya Santana sambil tersenyum menahan geli.
"Yang kumaksud, mulutnya! Mulut busuk itu harus
dihajar biar anu!"
Pendekar Mabuk segera berkata, "Itu urusan kalian!
Aku tak menyuruh kalian bertindak begitu. Hanya saja, 
yang jelas aku tak akan layani dendam si Ratu Ladang
Peluh itu! Aku punya urusan lain yang lebih penting dari
melayani dendamnya!"
Santana perdengarkan  suaranya yang kalem, "Aku
hanya akan minta bukti keutuhan Pedang Penakluk Cinta
itu. Jika ia bisa tunjukkan pedang itu masih utuh, akan
kulanjutkan tugasku mengejar kepalamu, Suto. Tapi jika
ia tak bisa tunjukkan pedang itu, berani pedang itu
benar-benar  hancur dan... yah, mungkin kepalanya
kubuat hancur juga dengan bambu gadingku ini!"
"Gagasanmu itu bagus! Pertama, untuk membuktikan
kebenaran kata-kataku tentang pedang yang sudah
kuhancurkan itu. Kedua, untuk menelanjangi tipu
muslihatnya! Tentang yang lain-lain, terserah dirimu
sendiri, Santana."
"Anu-nya ratu itu memang palsu!" ujar  Sawung
Kuntet. 
"Anu-nya palsu? Maksudnya anu-nya dari karet,
begitu?!" tanya Suto.
"Pengakuannya palsu!" sentak Sawung Kuntet
menjelaskan.
"Ooo... pengakuannya?! Kukira...  kukira giginya
yang palsu," gumam Suto Sinting sambil tertawa.
Mendung Merah sembunyikan senyum. "Dia pandai
menutupi otak ngeresnya!" ujar Mendung Merah
membatin.
"Dia mengaku, anu-nya kau acak-acak, dan ia sangat
sakit hati padamu."
"Ah, yang benar saja! Mana mungkin aku mengacak-
acak anunya!"
Mendung Merah yang menyahut, "Maksudnya, ia
mengaku istananya di Bukit Randa itu kau acak-acak!
Sebab, di depanku pun ia mengaku demikian."
"Ooo... istananya?" Suto Sinting manggut-manggut
sambil tersenyum, sementara Mendung Merah sengaja
bersungut-sungut dengan gerutu tak jelas. Wajahnya
tampak semakin cantik dan menarik dalam keadaan
cemberut begitu.
Santana juga ingin katakan hal yang sama tentang
pengakuan Ratu Ladang Peluh. Tetapi sesuatu telah
membuat Santana tak jadi bicara.
Sekelebat bayangan melintas di depan mereka, tepat
di belakang Pendekar Mabuk. Mereka menjadi cemas
dalam keadaan tegang. Sosok bayangan yang muncul di
belakang Suto Sinting itu tak lain adalah tokoh yang
dikenal oleh mereka bertiga.
*
* *

4
 TOKOH yang baru muncul itu bertubuh kurus,
ceking, jangkung dan bermata cekung. Ia seorang lelaki
tua yang mempunyai rambut berwarna biru. Rambut itu
panjangnya sepundak, berkesan kusut, tanpa ikat kepala.
Ia tak berkumis dan tak berjenggot, namun alisnya yang
tebal juga berwarna biru.
Jubahnya yang berlengan panjang  dan bagian 
depannya tidak dikancingkan itu  juga  berwarna biru
muda seperti rambutnya. Tapi celana komprangnya
berwarna abu-abu, bukan biru lagi. Kakek berusia sekitar
delapan puluh tahun  itu mempunyai kulit yang kusam
dan berkeriput. Dadanya yang tinggal tulang dibungkus
kulit itu masih tersisa tato semasa muda. Tato yang
lebarnya pas satu dada itu bergambar seekor burung
sedang lebarkan sayapnya.
Pendekar Mabuk merasa asing dengan kemunculan
kakek bertongkat hitam itu. Sepanjang ingatannya, ia
merasa belum pernah jumpa dengan tokoh tua tersebut.
Tapi si tokoh tua menatapnya dengan pandangan mata
yang dingin dan menggetarkan hati.
"Kau kenal kakek itu?" bisik Suto kepada Mendung
Merah.
"Dia yang bernama Eyang Bintara alias Geledek
Biru!"
Santana yang mendengar bisik-bisik itu segera
menimpali dengan bisikan pula.
"Dia adalah Penguasa Kuil Keramat di Bukit
Belatung! Di kawasan tenggara, dia sangat dikenal,
ditakuti dan disegani."
Sawung Kuntet nimbrung juga, "Anu-ya sangat
banyak!"
"Apanya maksudmu?"
"Pengikutnya!" geram Sawung Kuntet.
"Dia guru besar dari Perguruan Badai Keramat!"
tambah Mendung Merah. Si tampan Pendekar Mabuk
hanya menggumam dan manggut-manggut kecil. 
Setelah beradu pandang sebentar, tiba-tiba saja si
Geledek Biru surutkan pandangan matanya, tak sedingin
tadi, tak setajam saat ia datang. Mereka yang mengenal
siapa Geledek Biru menjadi heran melihat surutnya
pandangan  mata tersebut. Tak biasanya Geledek Biru
surutkan pandangan mata dalam berhadapan dengan
siapa pun.
Zeeeb...! Geledek Biru bergerak dekati Suto Sinting
dengan gerakan kaki tak menyentuh tanah, seperti
melayang cepat dan berhenti dengan cepat pula.
Yang lain mundur dua langkah, tapi Suto Sinting
tetap diam di tempat dalam jarak empat langkah dari
Geledek Biru. Pemuda itu masih menampakkan
sikapnya yang tenang, seakan menghadapi manusia
biasa. Padahal dalam  hati Pendekar Mabuk mulai
mengakui kehebatan  ilmu Geledek Biru dengan cara
memperhatikan  gerakan kakek tersebut saat
mendekatinya tanpa menyentuh tanah.
"Pasti kau yang berjuluk Pendekar Mabuk!" ujarnya
dengan nada tegas dan suara masih jelas.
"Benar, Eyang! Aku yang berjuluk Pendekar Mabuk,
murid si Gila Tuak!" jawab Suto Sinting dengan tegas
pula.
Santana beranikan diri bersuara setelah Geledek Biru
dan Pendekar Mabuk    saling  membisu dalam beradu
pandang.  
"Maaf, Eyang Geledek Biru,  apakah  Eyang juga
diminta bantuannya oleh Ratu Ladang Peluh untuk
membunuh Pendekar Mabuk?!" 
Sebelum pertanyaan itu dijawab oleh  Geledek Biru,
gadis berpakaian merah itu segera menimpalinya.
"Eyang Geledek Biru, mohon Eyang tidak
terpengaruh oleh kata-kata Ratu Ladang Peluh. Mohon
pula, pertimbangkan baik-baik pengaduan Ratu Ladang
Peluh itu. Jangan sampai Eyang Geledek Biru termakan
fitnah atau terpedaya olehnya."
Sawung Kuntet jadi ikut bicara, "Kami semua di-anu
oleh Ratu Ladang Peluh, Eyang!"
"Di-anu itu diapakan?!" sahut Santana.
"Ditipu, maksudku!" Sawung  Kuntet agak
menyentak.  
Mendung Merah berkata lagi, "Pendekar Mabuk
bukan orang yang patut dipenggal kepalanya, tapi Ratu
Ladang Peluh itulah yang patut  dipenggal kepalanya,
Eyang!"  
Suto Sinting pandangi sekeliling, menatap wajah para
utusan Ratu Ladang  Peluh  satu persatu. Keheningan
terjadi karena mereka  saling bisu. Geledek Biru juga
pandangi wajah-wajah di belakang Pendekar Mabuk.
Kejap berikut, sebelum Suto Sinting ingin mengawali
percakapannya, si Geledek Biru kembali perdengarkan
suara dengan nada rendah.
"Justru aku ke sini ingin menanyakannya kepada
Pendekar Mabuk,  benarkah dia yang membunuh Ratu
Ladang Peluh?!"
"Bukan membunuh, Eyang!" sahut Mendung Merah.
"Tapi menurut pengakuan Pendekar Mabuk, dialah yang
hancurkan Pedang Penakluk Cinta milik sang Ratu itu, 
Eyang."
Geledek Biru seperti orang menggumam, "Lalu, siapa
yang membunuh Ratu Ladang Peluh?"
Ketiga wajah di belakang Suto Sinting saling tatap
satu dengan yang lainnya. Pendekar Mabuk pun
kerutkan dahi, sama seperti mereka. Tatapan mata si
Pendekar Mabuk tertuju ke wajah bermata cekung di
depannya, setelah tadi ia sempatkan diri menengok ke
belakang dan pandangi wajah-wajah mereka yang penuh
keheranan itu.
"Membunuh bagaimana maksudnya, Eyang?!" kini
Suto Sinting beranikan diri untuk bertanya kepada si
Geledek Biru. Yang ditanya justru membungkam
mulutnya sesaat dengan tetap pandangi bola mata
Pendekar Mabuk. Beberapa saat kemudian, suara si
Geledek Biru pun terdengar kembali.
"Ladang Peluh ditemukan tewas di pantai bersama
empat orang pengawalnya."
"Ooh...?'" mereka saling menggumam kaget. "Mayat
mereka ditemukan oleh salah seorang muridku dalam
keadaan terpenggal kepalanya. Sementara itu, kudengar
kabar dari Jerami Ayu, bahwa  Ratu Ladang Peluh
mencari-cari Pendekar Mabuk untuk lampiaskan
dendamnya. Maka kucoba untuk mencari dan
menemukan Pendekar Mabuk dengan caraku sendiri."
"Bukan aku yang membunuhnya, Eyang," kata Suto
Sinting dengan nada bicara tetap ramah. "Justru aku
yang sedang diburunya dan ingin dipenggal kepalaku,
sampai-sampai dia menyuruh tiga orang di belakangku 
ini untuk memenggal kepalaku. Tapi setelah kujelaskan
bahwa mereka diperdaya oleh Ratu Ladang Peluh,
mereka justru menjadi sahabatku, Eyang!"
"Kapan mayat Ratu Ladang Peluh ditemukan,
Eyang?" tanya Mendung Merah.
"Kemarin sore!" jawab Geledek Biru. Ia melirik
Mendung Merah sebentar yang terperangah, lalu
menatap Suto Sinting lagi.
"Kurasa... seorang Manggala Yudha sepertimu tak
perlu mendustaiku. Pendekar Mabuk!"
Suto Sinting kaget disebut 'Manggala Yudha' alias
sang senopati atau panglima perang, itu berarti si
Geledek Biru mampu melihat noda merah kecil di
kening Suto yang menjadi tanda bahwa dirinya adalah
Manggala Yudha Kinasih dari negeri Puri Gerbang
Surgawi di alam gaib. Noda merah kecil itu pemberian
Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya, atau ibu dari
Dyah Sariningrum. Noda merah itu tak bisa dilihat oleh
sembarang orang, kecuali oleh orang berilmu tinggi,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia
Seribu Wajah").
Pendekar Mabuk mulai simpulkan bahwa si Geledek
Biru memang berilmu tinggi, terbukti ia dapat melihat
noda merah di kening Suto Sinting. Tetapi  nada
bicaranya tadi seperti tidak percaya dengan pengakuan
Suto, sehingga si murid sinting Gila Tuak terpaksa
meyakinkan sekali lagi kepada Geledek Biru.
"Sungguh,  Eyang! Aku bukan orang yang
menewaskan Ratu Ladang Peluh! Bahkan bertemu pun 
belum pernah."
Si rambut biru itu manggut-manggut, kalem tapi
berwibawa.
"Kalau begitu, pasti orang lain yang membunuh si
Ratu Ladang Peluh itu!"
"Kurasa memang begitu, Eyang!" kata Suto Sinting,
namun dalam  hatinya membatin, "Mengapa  ia sangat
peduli dengan kematian Ratu Ladang Peluh? Apakah ia
punya hubungan keluarga dengan Ratu bejat itu?!"
Seperti orang yang tahu maksud hati orang lain,
Geledek Biru  tanpa diminta telah jelaskan alasannya
dalam mencari Pendekar Mabuk.
"Aku sengaja mencarimu, karena kusangka kau yang
membunuhnya. Seandainya memang kau yang
membunuhnya, maka yang ingin kutanyakan, apakah
Serat Sekar Siluman ada padamu?"
Kerutan dahi  Suto Sinting menjadi semakin tajam,
demikian pula kerutan dahi ketiga orang di belakangnya.
Mereka merasa asing dengan kata-kata 'Serat Sekar
Siluman' yang sama sekali tak dimengerti maksudnya
itu. Maka si Pendekar Mabuk pun menanyakannya
kepada Geledek Biru, dan kakek tua yang mirip
tengkorak berkulit itu segera jelaskan maksud kata-kata
itu. 
''Yang kumaksud dengan  'Serat Sekar Siluman' itu
adalah kitab kecil seukuran telapak tangan yang selalu
diselipkan di pinggang Ladang Peluh. Kitab keramat itu
terdiri dari sepuluh lembar, terbuat dari kulit rusa. Kitab
itu berisi mantra-mantra pemanggil kekuatan iblis. 
Mantra-mantra itu tidak bisa diingat atau dihafalkan, jadi
cara menggunakannya harus dibaca. Jika si Ladang
Peluh membaca salah satu dari kesepuluh mantra dalam
kitab tersebut, maka kekuatan iblis yang maha dahsyat
akan datang dan menyatu dalam jiwa raganya."
Mereka manggut-manggut serempak, kecuali si kakek
kurus itu. Beberapa saat setelah suasana sempat menjadi
hening karena tak ada yang bersuara, Santana segera
ajukan tanya kepada si Geledek Biru.
"Jika benar kitab yang dapat mendatangkan kekuatan
iblis itu selalu dibawa dan terselip di pinggang Ratu
Ladang Peluh, mengapa ia bisa terbunuh, Eyang?!"
"Tentunya ia belum sempat membaca salah satu dari
kesepuluh mantra itu, maka seseorang sudah lebih dulu
berhasil membunuhnya. Tetapi jika saat itu Ratu Ladang
Peiuh punya kesempatan membaca satu saja dari sepuluh
mantra keramat tersebut, maka orang yang
membunuhnya itu justru akan kehilangan nyawanya
sendiri," tutur Geledek Biru dengan kata demi kata dapat
didengar secara jelas.
Sambungnya  kembali, "Aku yakin, 'Serat Sekar
Siluman' itu ada padanya sebelum ia tewas. Dan setelah
ia tewas, 'Serat Sekar Siluman' dicuri pula oleh si
pembunuhnya  itu. Karena pada waktu mayat Ladang
Peluh ditemukan oleh tiga orang muridku, keadaan
sabuk dan angkinnya terlepas, menandakan seseorang
telah sengaja melepas sabuk dan angkin itu untuk
mengambil 'Serat Sekar Siluman' tersebut."
"Dari mana Eyang tahu kalau kitab itu ada padanya?" 
tanya Mendung Merah.
"Kitab itu adalah milikku!"
"Ooh...?!" Mendung Merah dan Santana menggumam
bersama dengan nada terperanjat.
"Satu purnama yang lalu, kitab itu dicuri, atau lebih
tepatnya lagi dirampas oleh si Ladang Peluh saat kitab
tersebut berada di tangan muridku yang bernama: Jati
Kumarang." 
"Apakah Jati Kumarang tidak melawannya kala itu?"
tanya Suto Sinting.
"Jati Kumarang seorang pemuda tampan sepertimu.
Sayang sekali ia mudah tergoda bujuk rayu dan
kecantikan si ratu celaka itu. Ia terbuai oleh kemesraan,
sehingga dengan mudahnya melepaskan kitab tersebut.
Ketika  ia  sadar, ia tak bisa ungguli kekuatan Ratu
Ladang Peluh."
Geledek Biru hentikan kata sejenak. Menerawang
bagai mengenang sang murid dengan napas ditarik
panjang-panjang.
"Jati Kumarang terkena luka beracun. Saat ia
menghadapku dan melaporkan bencana itu, aku
terlambat selamatkan nyawanya, karena racun yang
mengenainya begitu ganas dan segera merenggut
nyawanya," sambung Geledek Biru dengan memendam
kesedihan.
"Mengapa kitab itu tidak segera Eyang rebut dari
tangan Ratu Ladang Peluh?" ujar Mendung Merah
setelah mereka saling bungkam sesaat. 
"Kala itu Ladang Peluh masih mempunyai pusaka
yang sangat membahayakan, yaitu Pedang Penakluk
Cinta. Aku pernah mencobanya mengadu nyawa dengan
Ladang Peluh, tapi hampir saja mati di ujung pedang itu.
Ia  nyaris berhasil menikam jantungku melalui bekas
telapak kakiku di tanah. Dan  ketika aku berhasil
menguasai ilmu peringan tubuh yang kunamakan jurus
'Tapak Angin', yang membuatku dapat berjalan tanpa
meninggalkan bekas telapak kaki di tanah ini, ternyata
semuanya sudah terlambat. Bahkan kudengar dari mulut
Jerami Ayu sendiri, bahwa Pedang Penakluk Cinta telah
dihancurkan oleh pendekar Mabuk. Sayang sekali dalam
keadaan seperti ini, Ladang Peluh telah tewas dan kitab
itu sudah disambar pencuri lain!"
"Kira-kira siapa anu-nya, Eyang?!" tanya Sawung
Kuntet. "Maksud saya... siapa pelakunya?"
"Semula kusangka sang Pendekar Mabuk inilah
pelakunya. Tapi ternyata kutemukan kejujuran dari bola
matanya, bahwa dia bukan pelakunya. Jika begitu, pasti
ada pihak lain yang mempunyai ilmu cukup tinggi juga
dan berhasil menewaskan Ladang Peluh bersama
keempat orangnya itu. Tentu saja si pelaku adalah orang
yang tahu tentang kitab 'Serat Sekar Siluman' tersebut.
Jika tidak, tak mungkin ia membawa lari kitab itu setelah
membunuh Ladang Peluh!"
Suto Sinting hembuskan napas panjang. Kini ia tahu,
bahwa hancurnya Pedang Penakluk Cinta membuat Ratu
Ladang Peluh menjadi sangat murka. Perempuan itu
bermaksud menghancurkan Suto melalui mantra yang 
ada di dalam kitab 'Serat Sekar Siluman' yang selalu
dibawanya dalam pencarian itu. Tetapi sayang sekali ada
pihak yang mengincar kitab itu di luar dugaan Ratu
Ladang Peluh, sehingga sang Ratu bejat itu tewas lebih
dulu sebelum berhasil muntahkan murkanya kepada
Pendekar Mabuk.
Suto yakin, sang Ratu bejat mengetahui hancurnya
Pedang Penakluk Cinta adalah karena laporan dari
Jerami Ayu. Sebab ketika pedang itu hancur, Suto
membiarkan perempuan itu lolos. Besar kemungkinan si
Jerami Ayu yang telah memisahkan diri dari Ratu
Ladang Peluh, kembali ingin bergabung lagi.
Pedang Penakluk Cinta pada mulanya dicuri oleh
Sunggar Manik dari tangan Ratu Ladang Peluh. Dalam
pelariannya, Sunggar Manik bertemu dengan Jerami
Ayu yang rupanya sudah lama mengincar pedang
tersebut. Jerami Ayu berhasil merebut pedang itu dengan
bantuan Mahesa Gondes, murid Ki  Belantara. Jerami
Ayu ingin tundukkan hati pemuda tampan yang bernama
Sambada dengan menggunakan pedang tersebut. Namun
akhirnya pedang itu hancur di tangan Pendekar Mabuk,
setelah dipakai membunuh Sunggar Manik.
Jerami Ayu bisa saja berlagak tak pernah memegang
pedang tersebut, ia pura-pura menjadi saksi mata
pertarungan antara Sunggar Manik dan Pendekar Mabuk
yang menewaskan Sunggar Manik dan menghancurkan
pedang tersebut. Dengan membawa keterangan berharga
itu ia menghadap Ratu Ladang Peluh dengan harapan
dapat diterima kembali sebagai pengikut si Ratu bejat itu.
"Mungkinkah si Jerami Ayu sendiri yang membunuh
Ratu Ladang Peluh, Eyang?" ujar Suto Sinting memecah
kebisuan mereka.
"Tak mungkin!" tegas Geledek Biru. "Jerami Ayu tak
akan mampu ungguli ilmunya si Ladang Peluh, ia
memang  kecewa terhadap sikap Ladang Peluh  karena
niatnya bergabung kembali ditolak sang Ratu, walaupun
ia telah menjadi pembawa berita tentang hancurnya
Pedang Penakluk Cinta. Tapi Jerami Ayu tak mungkin
berani melawan Ladang Peluh, terbukti ia justru datang
kepadaku dan dengan maksud meminta bantuanku untuk
kalahkan Ladang Peluh. Tapi aku menolaknya, karena
aku tahu Jerami Ayu bukan perempuan baik-baik.  Ia
perempuan yang licik dan serakah."
"Kalau begitu, sangat berbahaya jika kitab keramat
itu jatuh di tangan Jerami Ayu!" ujar Santana kepada
Mendung Merah.
"Di tangan manusia serakah siapa pun, kitab keramat
itu sangat berbahaya karena bisa menjadi bencana bagi
kehidupan manusia," ucap Eyang Bintara alias si
Geledek Biru.
"Jika begitu, aku akan membantumu mencari  kitab
keramat  itu, Eyang!" ujar Suto Sinting menyatakan
kesanggupannya.
"Bila perlu, hancurkan saja kitab itu agar tak menjadi
biang petaka dan  bahan incaran orang-orang serakah!"
kata Geledek Biru. "Aku rela tak memiliki kitab itu,
daripada bumi ini menjadi hancur karena kitab itu!" 
"Aku juga akan mencoba ikut membantu mencarikan
kitab itu, Eyang," ujar Santana, seakan tak mau kalah
gengsi dengan Pendekar Mabuk.
Mendung Merah akhirnya berkata, "Aku hanya
sanggup sampai mengetahui siapa pemegang kitab
keramat itu sekarang. Barangkali aku tak punya
kesanggupan untuk merebut kitab itu, karena aku tak
mau menjadi korban mantra kekuatan iblis yang ada di
dalam kitab tersebut, Eyang."
"Kuhargai kesanggupanmu walau cukup sederhana
itu, Mendung Merah!"
Sawung Kuntet yang semula diam saja kini jadi ikut
bicara juga.
"Aku akan anu ke Lembah Layon. Aku tak berani
anu-anuan seperti kalian."
"Tak berani apa maksudmu?"
"Ikut-ikutan!" sentak Sawung Kuntet dengan
dongkol. Santana nyengir tanpa pedulikan wajah murung
si pria pendek itu.
*
* *

5
 BARU saja mereka ingin berpencar, tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara gemuruh yang menggetarkan
bumi. Suara gemuruh itu tak diketahui dari mana
datangnya. Tetapi getarannya sungguh mencemaskan
hati mereka, karena tanah di sekitar  tempat itu mulai 
retak dan membentuk celah-celah lebar. Bahkan
sebagian tanah ada yang amblas ke dalam, menelan dua
pohon besar.
"Selamatkan diri kalian maaing-masing!" seru
Geledek Biru. Seruan itu membuat mereka menyebar
dan mencari tempat yang dapat dipakai untuk
menyelamatkan diri dari ancaman maut itu.
"Mantra di dalam kitab itu pasti ada yang
membacanya! Cari orang yang telah mengucapkan
mantra tersebut! Ini bencana berasal dari kekuatan iblis!"
Baik Suto Sinting atau yang lain masih sempat
mendengar  seruan si Geledek Biru. Tetapi mereka tak
sempat balas berseru, karena beberapa saat kemudian
hembusan angin menjadi hembusan badai. Suara
gemuruh semakin jelas, dibarengi kilatan cahaya petir
yang menyambar ke sana-sini. Ledakan di pucuk pohon
terjadi beberapa kali. Pohon-pohon yang disambar petir
itu mengepulkan asap, bahkan ada yang pecah dan
ditelan gerakan tanah yang longsor ke dalam bumi.
Langit menjadi gelap, awan hitam makin tebal dan
menutupi hampir sebagian besar permukaan langit.
Suasananya seperti awal kiamat yang datang tanpa
diduga-duga oleh siapa pun.
"Aaauuuh...!" Mendung Merah menjerit, ia jatuh
terperosok dalam keretakan tanah, seakan dihisap dari
dalam bumi.
Melihat keadaan gadis itu sangat membahayakan,
Pendekar Mabuk segera melesat dengan sangat cepat.
Weeess...! Wuuutt...! Tangan gadis itu disambarnya. 
Dalam sekejap saja Mendung Merah telah berada dalam
pelukan Suto dan dibawa menjauh dari tempat tersebut.
Zlaap, zlaap, zlaap...!
Mendung Merah terengah-engah, tubuhnya terasa
lemas karena merasa hampir tak bernyawa lagi.  Ia
bersyukur setelah mengetahui dirinya sudah berada di
sebuah bukit yang tak terlalu tinggi dan dapat
memandang kehancuran alam di bawah sana. Namun
gadis itu cepat tersentak kaget setelah menyadari berapa
dalam pelukan Pendekar Mabuk.  
"Ooh... kau...?!"
"Oh, hmm... eeh...," Pendekar Mabuk sendiri segera
menggeragap dan mengalihkan perhatiannya ke wajah
Mendung Merah, ia buru-buru melepaskan pelukannya,
karena tadi terkesima melihat alam yang nyaris hancur
bagal dilanda kiamat itu. Sekalipun kini gemuruh itu
telah lenyap dan suasana sudah menjadi tenang, namun
ternyata gemuruh di dalam  dada Suto Sinting masih
terasa menggetarkan tubuhnya dan membuatnya
tergagap-gagap.
"Apa yang terjadi... yang terjadi di sana itu, eeh... Iya,
di sana!" Suto Sinting mencoba alihkan perhatian untuk
menutup rasa malunya, ia merasa seperti pemuda jalang
yang berani memeluk seorang gadis tanpa permisi.
Untungnya Mendung Merah juga segera alihkan
perhatian, seakan tak ada masalah tentang pelukan
penyelamatan tadi, walau hatinya pun bergemuruh
digoda oleh perasaan malu, geli dan gembira.
"Kudengar suara si Geledek Biru tadi berseru 
mengatakan ada orang yang telah menggunakan kitab itu
dengan mengucapkan salah satu mantranya," kata
Mendung Merah sambil berpura-pura tak merasa pernah
dipeluk Pendekar Mabuk.
"Siapa yang menggunakan mantra dalam kitab itu?!"
"Mana ada yang tahu?! Justru si Geledek Biru tadi
berseru agar kita mencari orang yang memegang kitab
tersebut!"
"O, Iya.  Benar. Aku tadi juga mendengarnya. Tapi,
hei... di mana mereka?"
Dari tempat tinggi itu, mata Pendekar Mabuk dan
Mendung Merah mencari-cari mereka, yang tadi ada di
kanan-kirinya. Tak terlihat batang hidung si murah
senyum; Santana. Juga tak terlihat sepotong gigi pun
milik juragan 'anu' Sawung Kuntet. Bahkan Eyang
Bintara alias si Geledek Biru itu juga tak kelihatan
kemana gerakannya. Mungkin mereka menjadi korban
bencana alam sepintas tadi, mungkin terkubur ke dalam
bumi, mungkin pula lolos dari maut dan berada di
tempat lain.
"Kita terpisah dari mereka," ujar Mendung Merah
dengan mata masih memandang pohon-pohon yang
tumbang berserakan dan tanah yang rusak berat.
"Ya, kita memang terpisah dari mereka. Tapi apakah
hal ini membuat kita harus merasa takut?"
"Aku tidak berkata begitu," kata Mendung Merah
sedikit ketus, karena ia agak tersinggung dianggap
merasa takut. Pendekar Mabuk tersenyum kalem.
Ketenangannya sudah berhasil pulih dan dikuasai.
 "Sebaiknya kita cari si pemegang kitab keramat itu
sambil memeriksa tempat tadi. Siapa tahu ada yang
tergencet pohon," ujar Suto Sinting.
Mendadak mereka mendengar suara letusan yang tak
begitu keras. Letusan itu seperti suara perpaduan tenaga
dalam yang dihantamkan dari kedua orang dalam suatu
pertarungan. Pendekar Mabuk segera mengajak
Mendung Merah untuk datangi tempat tersebut, melihat
apa yang terjadi di sana.
"Oh...?! Lihat, siapa yang terkapar itu?!" ujar
Mendung Merah sambil menuding ke satu arah, di
samping gundukan tanah setinggi kuda itu. Di sana
tampak seseorang berpakaian hijau-hitam tergeletak
dengan wajah biru memar dan sedang kejang-kejang.
Orang itu tampak sedang mendekati ajalnya karena luka
pukulan yang menghangus di bagian dadanya.
"Celaka! Ada apa dengan si Sawung Kuntet itu?!"
gumam Suto tegang, lalu segera berkelebat dekati
Sawung Kuntet yang sedang sekarat. Mendung Merah
pun ikut berkelebat hampiri Sawung Kuntet.
"Siapa lawannya?!" sambil mata Suto memandang
sekeliling dengan tajam. Tetapi mereka berdua tidak
melihat ada orang di  sekitar tempat itu. Mereka yakin,
Sawung Kuntet ditinggalkan begitu saja oleh lawannya.
"Aku akan mencari di sekitar sini!" ujar Suto Sinting.
Namun sebelum bergegas pergi, lengannya segera
dicekal oleh Mendung Merah.
"Bagaimana dengan dia? Apakah kita biarkan mati di
sini atau kita tolong dulu dengan tuakmu itu?" 
"Ya, ampun...! Hampir saja aku lupa!" Suto Sinting
segera tuangkan tuak ke mulut Sawung Kuntet secara
pelan-pelan agar tak banyak tuak yang terbuang sia-sia.
"Tunggu dia, dan tanyakan padanya siapa orang yang
melukainya tadi!" 
"Kau mau ke mana?!" 
"Mengejarnya di sekitar sini!" 
"Hei, tunggu dulu! Bagaimana kau bisa mengejar
lawan si Sawung Kuntet ini jika belum tahu siapa
orangnya?!" seru Mendung Merah. Tetapi pada saat itu
Suto  Sinting sudah berkelebat jauh, karena ia
menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya
menyamai kecepatan cahaya itu.
Tuak sakti Pendekar Mabuk yang ditelan Sawung
Kuntet itu telah membuat si juragan 'anu' segera sadar.
Luka parahnya terkikis habis oleh kesaktian tuak
tersebut.  Dalam  beberapa kejap  ia sudah dapat
mengenali wajah Mendung Merah yang berdiri tak jauh
darinya, ia pun segera bangkit terduduk. Napasnya yang
menjadi longgar itu menghirup udara banyak-banyak,
seakan ingin mengganti udara yang tadi tak sempat terisi
di paru-parunya.
"Siapa yang sembuhkan anuku ini?" tanya Sawung
Kuntet saat dipandangi Mendung Merah dengan sikap
masih tetap ketus, seakan tak pernah bisa ramah kepada
pria pendek itu.
"Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu yang
mengobatimu."
"O, pantas...," gumamnya pelan. "Orang itu 
menghantam anuku seenaknya saja!" tambah Sawung
Kuntet sambil berdiri.
"Apamu yang dihantamnya?!"
"Anuku!"
"Dadamu?"
"Benar-benar anuku!" sentak Sawung Kuntet sambil
melirik bagian bawahnya. "Bukan dadaku saja, tapi
anuku juga kena!"
Mendung Merah buang muka karena ia ingin tertawa.
"Sekarang ke mana si Pendekar Anu itu?!"
"Pergi mencari orang yang menyerangmu," jawab
Mendung Merah dengan ketus.
"Celaka! Pendekar Mabuk pasti celaka kali ini!"
"Kenapa?!" sergah Mendung Merah, tampak segera
menjadi cemas.
"Orang itu... lawanku tadi... dia membawa anu,
kurasa...."
"Membawa anu bagaimana?! Yang jelas!" bentak
Mendung Merah.
"Membawa kitab keramat yang dikatakan oleh Eyang
Bintara tadi!" Sawung Kuntet ganti membentak,
menandakan tak suka mendapat bentakan.
Mendung Merah menjadi semakin tegang. "Jadi... jadi
lawanmu tadi membawa kitab 'Serat Sekar Siluman'?!
Kau melihat dengan jelas dia memegangnya, atau hanya
kira-kira saja?!"
"Dia kupergoki sedang membuka-buka anu, dan...."
"Membuka anu bagaimana?!"
"Membuka kitab!" sentak Sawung Kuntet. "Kitab itu 
berwarna  coklat, kecil, tampak terbuat dari kulit anu...
kulit rusa, maksudku."
"Kau mengenali orangnya?!"
"Tidak. Kurasa selama ini aku belum pernah
menganu dia... mengenali dia!"
Gadis itu menarik napas penuh kecemasan. Setelah
diam sesaat memikirkan langkahnya, akhirnya ia segera
melesat tinggalkan Sawung Kuntet sambil berseru, "Aku
mau menyusul Pendekar Mabuk! Dia pasti dalam
bahaya!"
"Masa bodo! Lebih baik aku pulang saja, daripada
anuku kena lagi," gerutu Sawung Kuntet, kemudian ia
pergi tinggalkan tempat itu berbeda arah dengan
kepergian Mendung Merah.
Suto Sinting sempat jengkel dalam hatinya, karena
sudah mencari dalam radius sepuluh kilometer tapi tetap
tak temukan siapa pun di sekitar tempat itu. Bahkan
ketika ia kembali ke tempat semula, ternyata Mendung
Merah dan Sawung Kuntet sudah tak ada pula. Rupanya
Mendung Merah tak berhasil berpapasan dengan Suto. Ia
tak tahu gerakan Suto Sinting mengelilingi tempat
tersebut, sehingga akhirnya Mendung Merah sendiri
clingak-clinguk kebingungan dengan memendam rasa
kesal dan cemas.
Tentu saja ia mencemaskan Suto Sinting, karena
dalam hati Mendung Merah mempunyai rasa kagum dan
tertarik kepada pemuda tampan yang berilmu tinggi itu.
Ia  ingin mendekati Suto lebih dekat dari yang sudah
dekat. Jauh-dekat tiga debaran indah bagi hati Mendung 
Merah. Hanya saja ia sangsi melakukan hal itu, takut
dikecewakan, karena menurutnya biasanya pemuda
tampan seperti Suto adalah type pemuda yang suka
mempermainkan gadis dan playboy, pacarnya banyak,
gemar merayu, sadis dalam hal kerinduan. Hanya saja,
hati Mendung Merah ternyata tak mau berpaling begitu
saja. Hati itu masih dibayang-bayangi berbagai rasa,
termasuk rasa khawatir akan keselamatan Suto, rasa
dongkol, rasa kagum dan... mungkin juga rasa kare ayam
ada di dalam hati gadis itu manakala mengenang
Pendekar Mabuk.
"Ke mana si Mendung Merah dan Sawung Kuntet?!"
gumam hati Suto Sinting sambil melompat dari pohon ke
pohon, ia melakukan pencarian melalui pohon ke pohon,
karena tempat itu dianggapnya telah memungkinkan
untuk memandang sekeliling secara luas. Dengan ilmu
peringan tubuhnya yang cukup tinggi, Pendekar Mabuk
tak ragu-ragu menapakkan kakinya ke pucuk-pucuk
dedaunan, ia bagaikan seekor burung yang sedang
mencari sarangnya, hinggap dari pucuk daun yang satu
ke pucuk daun yang lainnya.
Tak terasa pencariannya semakin menjauhi tempat
terjadinya bencana alam lokal tadi. Bahkan semakin jauh
dari tempat ditemukannya Sawung Kuntet dalam
keadaan sekarat.
Tiba-tiba tampak olehnya cahaya merah melesat ke
udara, melambung menuju ke suatu tempat.
Cahaya yang mirip bintang jatuh itu terlihat
melambung di seberang gerumbulan dedaunan pohon 
sebelah timur, agak jauh dari tempat Pendekar Mabuk
berada. Dengan gerakan serupa cahaya, Pendekar Mabuk
melesat juga ke arah timur, karena rasa ingin tahunya
tentang cahaya merah tadi begitu besar.
Ternyata cahaya merah tersebut adalah kekuatan
tenaga sakti si Geledek Biru yang digunakan menyerang
seorang lawan berjubah biru lusuh, berjenggot abu-abu
dengan wajah tampak angker. Orang tersebut berusia
sekitar tujuh puluh tahun, dan pernah berhadapan dengan
Suto Sinting ketika Suto melindungi Mustikani. Tokoh
tua  itu tak lain adalah si Tulang Besi, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang Penakluk
Cinta").
Ketika Pendekar Mabuk tiba di balik gerumbulan
daun pohon. Tulang Besi dalam keadaan tubuhnya
berasap, tangannya yang kanan lurus ke depan dengan
telapak tangan terbuka. Tangan itu tampak sedang
menahan cahaya merah yang tadi mirip bintang jatuh itu.
Sedangkan Eyang Bintara alias si Geledek Biru tetap
diam di tempat, seakan menjadi penonton aksi si Tulang
Besi yang menahan sinar merah. Sinar tersebut
menempel di telapak tangan Tulang Besi dengan
cahayanya yang makin lama semakin terang.
"Keluarkan seluruh tenaga intimu, dan tahan sinar
'Ajilebur'-ku itu!"
"Heeaahh...!!" Tulang Besi benar-benar kerahkan
tenaga intinya, sehingga telapak tangannya menyala biru
pendar-pendar.
"Persoalan apa yang membuat Eyang Bintara 
bertarung melawan Tulang Besi!" pikir Suto dari
tempatnya. "Kurasa Tulang Besi akan hancur jika nekat
melawan Eyang Bintara. Bodoh amat dia!"
Dugaan tersebut mendekati kebenaran. Tulang Besi
tampak gemetaran dan semakin terang cahaya merah
bundar yang menempel di telapak tangannya semakin
kuat getaran pada sekujur tubuhnya. Asap yang
mengepul dari tangan tersebut membuat sinar birunya
menjadi redup, bagai tak sanggup lagi untuk menyala
terang.
Tiba-tiba Eyang Bintara ulurkan tangan ke depan,
lalu tangan itu menyentak ke belakang dan sinar merah
yang menempel di telapak tangan Tulang Besi itu
berkelebat lepas, meluncur balik dan ditangkap oleh si
Geledek Biru.
Zuubbs...! Sinar itu kini berada dalam genggaman
Geledek Biru dan keadaannya berubah menjadi biru
bening.  Kedua tangan Geledek Biru saling bertemu,
telapak tangannya saling bergeseran seperti
menghancurkan sinar tersebut. Bluub...! Sinar itu pun
lenyap, tinggal  asap tipis yang segera musnah diterpa
angin.
Tulang Besi jatuh berlutut dengan napas terengah-
engah dan keringat bercucuran. Tubuhnya tampak lemas,
wajahnya kelihatan pucat pasi seperti mayat. Kejap
berikutnya kepalanya tersentak ke depan dan dari
mulutnya keluar darah kental.
"Heek...!"  Tulang Besi jatuh merangkak. Siapa pun
orangnya akan menduga, Tulang Besi tak sanggup lagi 
menghadapi Geledek Biru. Keadaannya sudah sangat
parah. Satu pukulan lagi dari lawannya dapat
mengakibatkan minggatnya sang nyawa dari raganya.
"Aku tak ingin kau mati, Tulang Besi! Tapi serahkan
kitab keramatku itu sebelum pendirianku berubah!"
Dengan suara berat menahan sakit, Tulang Besi
berkata, "Bunuhlah aku dan geledahlah di dalam
tubuhku! Maka kau tetap tak akan temukan kitab
keramatmu itu, karena memang bukan aku yang
membunuh Ladang Peluh! Bukan aku... yang mengambil
kitab keramatmu... itu!"
"Bukankah kau yang sedang mencari kesempatan
untuk membalas dendammu kepada Ladang Peluh?!"
"Memang benar! Tapi... uuhk... tapi sudah kucoba
melawannya, ternyata aku... aku kalah ilmu dengannya.
Aku... aku pergi meninggalkan mereka, dan beberapa
saat kemudian kudengar suara ledakan di sekitar pantai
tempatku mencoba bertarung dengannya. Aku... aku
tidak pedulikan suara itu, lalu aku pergi ingin temui
adikmu; si Tulang Geledek, karena kurasa dia tahu
rahasia kematian dan kelemahan Ladang Peluh. Ternyata
aku justru hampir mati oleh kiamat kecil tadi!"
Suto sempat terperanjat, "Oh, ternyata Eyang Bintara
alias si Geledek Biru itu adalah kakak dari Tulang
Geledek yang pernah bertemu denganku dalam urusan
dengan Rogana?" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Perawan Sinting").
Rupanya pengakuan Tulang Besi membuat Geledek
Biru bertimbang rasa. Akhirnya ia dekati Tulang Besi 
dengan gerakan kaki tanpa menyentuh tanah.
Zeeebb...!
Geledek Biru dapat berhenti secara mendadak di
depan Tulang Besi. Kemudian dari telunjuknya yang
ditudingkan keluar sinar putih terang dan menyilaukan.
Claap...! Sinar putih itu kenai  kepala Tulang Besi.
Beberapa kejap kemudian, Tulang Besi pun sehat
kembali. Rupanya sinar putih itu adalah cahaya sakti
yang dapat menyembuhkan luka si Tulang Besi dan
memulihkan tenaganya.
"Kucoba untuk mempercayaimu, karena kau adalah
teman adikku semasa muda dulu," kata Geledek Biru.
"Tapi jika kuketahui kau pemegang kitab itu, maka
seketika itu juga kucabut nyawamu demi keselamatan
seisi dunia ini, karena aku tahu jalanmu mulai
menyimpang sejak kau mendirikan Perguruan Raga Baja
itu! Pergilah, dan jangan campuri urusan ini! Jangan
coba-coba ikut mencari kitab keramatku itu, nanti akan
kau miliki sendiri jika kau yang memperolehnya!"
Tanpa komentar apa pun, Tulang Besi segera melesat
pergi tinggalkan Geledek Biru. Suto Sinting masih
menaruh curiga pada Tulang Besi, karena ia tahu Tulang
Besi menaruh dendam kepada Ratu Ladang Peluh, sebab
perguruannya dihancurkan oleh Ratu bejat itu.
Karenanya, Suto Sinting diam-diam mengikuti kepergian
Tulang Besi dari kejauhan.
"Siapa tahu ia pandai bersandiwara di depan Eyang
Bintara, dan kitab itu disembunyikan di suatu tempat
yang hanya dia yang tahu?!" pikir Suto sambil mengikuti 
Tulang Besi.
Ketika  Tulang Besi melintasi lembah berpohon
jarang, langkahnya segera terhenti dan berkelebat
sembunyi di balik pohon. Suto Sinting hentikan
langkahnya tapi masih tetap berada di atas pohon agak
jauh dari Tulang Besi.
"Mengapa ia bersembunyi?" pikir Suto dalam
pengintaiannya.
Rupanya Tulang Besi sedang mengincar seseorang
yang akan lewat tempat tersebut, ia sudah mengetahui
gerakan orang yang diincarnya. Orang itu sedang
melesat bagai bayangan dari arah barat. Ketika melintas
di depan Tulang Besi, tiba-tiba bayangan yang berwarna
kuning gading itu dihantamnya menggunakan tenaga
tanpa sinar. Wuutt...! Buuhk...!
"Aakh...!" orang itu memekik dan jatuh terbanting.
Brruuk...!
Suto Sinting terkejut, ia mendekat dengan
melayangkan tubuhnya dan hinggap di pohon yang
satunya. Mata pemuda itu lebih terbuka lagi, karena
sekarang ia dapat melihat jelas bahwa bayangan kuning
gading itu ternyata adalah seorang perempuan berwajah
cantik dengan perhiasan lengkap dan pakaiannya
berkesan mewah. Perempuan itu terkapar dengan bagian
lehernya berwarna biru legam akibat terkena pukulan
tanpa sinar si Tulang Besi tadi.
"Terpaksa kulakukan kecurangan ini, Rasti!  Tanpa
kulakukan kecurangan ini aku tak mungkin bisa
melumpuhkan dirimu dan...." 
Zlaaap...! Wuuss...!
Tulang Besi terkejut sekali, karena tubuh perempuan
itu ternyata sudah lenyap dari hadapannya. Percuma saja
ia menghampiri perempuan tersebut dan meluncurkan
celotehan jika perempuan itu tiba-tiba disambar oleh
seseorang.
"Bangsat! Berhenti kau! Tinggalkan perempuan itu!"
teriak  Tulang Besi  dengan berang, ia melepaskan
pukulan bercahaya merah suram. Clap...! Duar! Cahaya
itu tidak kenai orang yang menyambar Rasti. Cahaya itu
kenai sebatang pohon dan pohon itu segera retak dari
atas ke bawah. Tapi si penyambar tubuh Rasti tetap
melesat dan sukar dikejarnya.
Orang yang menyambar tubuh perempuan itu tak lain
adalah si Pendekar Mabuk, ia merasa kasihan melihat
perempuan itu diserang secara licik dan terluka
berbahaya. Jika tak segera disambar dan dibawa lari
untuk diobati, pasti perempuan yang berusia sekitar dua
puluh delapan tahun itu akan mati oleh luka parahnya
itu.
Lagi-lagi sebuah gua menjadi tempat persembunyian
Pendekar Mabuk yang membawa lari pasiennya. Gua itu
tidak terlalu dalam, mempunyai pintu masuk yang
termasuk sempit. Namun keadaannya cukup terang,
karena bagian atas gua terdapat celah untuk masuknya
sinar matahari. Hanya saja, karena sinar matahari mulai
redup di awal senja, maka sinar yang masuk akhirnya
menjadi  ikut redup. Tetapi pada saat sinar itu redup,
Suto Sinting sudah berhasil menuangkan tuak ke mulut 
Rasti yang dibaringkan di atas tanah berbatu datar dan
berlumut rata mirip permadani.
"Ternyata wajahnya cantik juga dia?!" gumam Suto
Sinting dalam hatinya. Perempuan yang pingsan dan
sedang menunggu proses penyembuhan itu
dipandanginya dengan cermat, dengan senyum tipis,
dengan hati berdebar-debar. Baju kuningnya yang tanpa
lengan dan panjang menyerupai jubah tak terkancing itu
tersingkap lebar, sehingga penutup dadanya kelihatan
jelas, berwarna merah tipis, membuat gumpalan di
dadanya membayang samar-samar. Pakaian longgar
penutup bagian bawahnya juga berwarna merah samar-
samar, dan membuat apa yang ditutupi tampak
membayang, semakin mendebarkan.
Ternyata perempuan itu mempunyai tubuh yang sekal
dan montok. Kemulusan kulitnya yang berwarna putih
sangat menggiurkan bagi setiap lelaki yang
memandangnya. Hidung yang mancung dan bibir yang
sensual membuat hati Suto Sinting geregetan dan ingin
mengecupnya pelan-pelan. Rambutnya yang panjang
sepunggung diikat dengan logam perhiasan dari bahan
emas bercampur bebatuan warna-warni. Sungguh cantik
ia jika mengenakan perhiasan rambut seperti itu. Kalung
dan gelangnya pun menampakkan bahwa dirinya adalah
perempuan berada. Bukan perempuan miskin yang
keluyuran mencari upah seperti Mendung Merah.
Pendekar Mabuk sengaja keluar gua sebentar untuk
memeriksa keadaan. Siapa tahu Tulang Besi
mengikutinya sampai tempat tersebut. Tapi ternyata 
Tulang Besi atau siapa pun tak ada di tempat itu.
Agaknya gua itu cukup aman, apalagi terlindung semak
ilalang setinggi pundak Suto Sinting. Setelah yakin
keadaan aman, Pendekar Mabuk masuk ke gua kembali.
Pada saat itu si perempuan telah siuman dan segera
memandang Suto Sinting dalam keadaan duduk, ia
berkerut dahi, terbungkam dan merasa asing oleh
penampilan pemuda tampan yang gagah perkasa itu.
Suto sunggingkan senyum keramahan.
"Kau aman di sini, Rasti!" ujar Suto, langsung
menyebut nama perempuan itu, karena ia telah
mendengar nama tersebut dari mulut Tulang Besi. Rasti
terperanjat dan semakin heran mendengar namanya
disebutkan oleh pemuda yang belum dikenalnya.
"Kaukah yang menyerangku dengan curang?!"
"Bukan. Orang yang menyerangmu adalah Tulang
Besi. Kau dalam keadaan terluka parah dan kelihatannya
akan dibunuh oleh si Tulang Besi. Lalu aku
menyambarmu dan membawamu kemari."
Setelah Suto Sinting mendekat pada saat Rasti
berdiri, tiba-tiba pandangan mata perempuan itu
dipertajam dan mulutnya sebutkan kata dengan pelan.
"Apakah... apakah kau Pendekar Mabuk alias Suto
Sinting?!
"Benar!" jawab Suto dengan senyum ramah. Rasti
tersentak dan mundur selangkah dengan wajah tegang.
"Hei, mengapa kau tampak takut padaku?! Aku bukan
orang jahat!" kata Pendekar Mabuk sambil membetulkan
letak tali bumbung tuak di pundaknya. 
"Hmm, eeh... tidak. Tidak apa-apa.  Aku hanya
terkejut. Tak sangka akan bertemu dengan Pendekar
Mabuk yang kondang itu," ujar Rasti sambil
sunggingkan senyum kaku.
"Ada persoalan apa kau dengan Tulang Besi,
sehingga ia tampak bernafsu sekali ingin
membunuhmu?" tanya Suto mengalihkan pembicaraan
agar tidak terlalu berpusat pada dirinya.
"Aku tak tahu. Tapi aku kenal dengan Tulang Besi.
Dulu kami pernah bermusuhan, tapi ia kalah dan nyaris
mati di tanganku. Hanya saja, persoalan itu sudah
kuanggap kadaluwarsa, Sudah sekitar delapan tahun
yang lalu dan tak pernah kuingat-ingat lagi. Mungkin
saja dia ingin balas dendam padaku karena kekalahannya
di masa lalu."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dan menggumam
kecil.
"Dari mana kau tahu namaku?!" tanya perempuan
bermata jeli itu.
"Kudengar si Tulang Besi menyapamu dengan nama
Rasti. Maka aku yakin namamu adalah Rasti. Apakah
aku salah panggil?"
Perempuan itu sunggingkan senyum dan mulai luwes.
"Kau memang cerdas!" pujinya di sela senyum indahnya
itu.
Pandangan matanya mulai berkesan genit. Suto
Sinting sadar dirinya sedang digoda, maka ia segera
alihkan pandangan matanya ke arah lain.  Ia  sengaja
hindari hal itu, karena tak ingin terjerat oleh debar-debar 
keindahan yang sudah semakin bergemuruh dalam dada.
"Maukah kau mengantarku ke suatu tempat, Suto?"
"Ke mana?" tanya Suto Sinting sambil berbalik
menatap lagi. Tapi Rasti tidak langsung menjawab,
melainkan menatap seperti tadi dengan senyum yang
sangat menggoda. Suto Sinting akhirnya salah tingkah
sendiri, lalu segera ajukan tanya untuk memecah
kebisuan di antara mereka.
"Kau mau ke mana, Rasti?"
Setelah melangkah dekati Suto, perempuan itu
menjawab dengan lirih.
"Aku ingin ke suatu tempat yang jauh dari keramaian.
Mungkin puncak gunung atau sebuah pulau yang
terpencil." 
"Mengapa kau ingin ke sana?"
"Aku  ingin membuang rasa kesepianku yang
menyiksa hidupku sejak kematian suamiku dua tahun
yang lalu. Mungkin dengan mengusir kesepian, aku bisa
bergairah lagi dalam  hidup dan tidak punya niat untuk
bunuh diri."
"Suamimu meninggal dua tahun yang lalu? Sakitkah
dia?"
Perempuan itu gelengkan kepala. Bibirnya yang
menawan hati bergerak-gerak dengan pandangan mata
yang sedikit sayu.
"Dia dibunuh oleh si Geledek Biru."
"Oh...?!" Suto Sinting terkejut. "Mengapa sampai
berurusan dengan si Geledek Biru?"
"Salah paham! Ada dua nama yang sama, dan 
Geledek Biru menyangka nama suamiku adalah orang
yang mencuri pedang pusakanya. Lalu, suamiku yang
tak berilmu sedikit pun itu dibunuhnya. Aku ingin
membalas dendam kepada Geledek Biru, tapi tak
mungkin bisa, karena ilmunya tak seimbang dengannya.
Maka kupilih untuk menghilang dari rimba persilatan,
mengasingkan diri di suatu tempat yang terpencil, agar
tak tersiksa oleh kesepian yang sering muncul manakala
kulihat dua pasangan sedang berkasih-kasihan atau...."
Ucapan itu terhenti, napas Rasti tersentak. Suto
Sinting memandang dengan heran. Namun ketika
perempuan itu tersentak lagi sambil pegangi dadanya,
Suto Sinting tahu ada sesuatu yang menyakitkan dalam
dadanya.
"Rasti... minumlah tuakku lagi. Lekas minum!"
"Tid... tidak bisa... aku... aku...."
Rasti mengejang beberapa kali. Tubuhnya oleng dan
jatuh ke belakang. Namun sewaktu tubuh itu limbung
ingin jatuh, tangan Pendekar Mabuk segera
menangkapnya. Rasti terkulai sesaat dalam pelukan Suto
Sinting, matanya terbeliak-beliak mengerikan. Tubuhnya
menjadi dingin, wajahnya pucat pasi.
"Hei, kenapa kau ini?! Ada apa, Rasti?!"
"Pen... penyakitku kambuh lagi... lagi...."
"Minumlah tuakku, biar penyakitmu hilang!"
Rasti menggeleng, bibirnya gemetar.
"Aku... aku tak bisa.... Penyakit ini tidak bisa diobati
dengan apa pun, kecuali, kecuali... oouh, huuhk....
Ahhk...!" 
"Kecuali apa. Rasti?!"
"Di... dingin... peluklah aku. Peluklah, huuhk...!" ia
menyentak lagi. Suto Sinting segera memeluknya dalam
keadaan mulai panik.
"Hang... hangatkan aku... oouh. hangatkan aku.
Toloong... hanya dengan memberi kehangatan, penyakit
ini bisa hilang. Oouhk... tolong hangatkan aku.
Hangatkan seluruh tubuhku...."
"Ak... aku harus bagaimana?"
"Peluk... peluk seluruh tubuhku. Peluk erat-erat,
hangatkan de... dengan tubuhmu. Huuhkk... aahk...!"
Rasti menyentak dan kejang. Badannya terasa
semakin dingin seperti es. Wajahnya pun bertambah
pucat seperti kertas putih. Semula Suto Sinting ragu
memberikan apa yang diminta Rasti, tapi setelah melihat
wajah yang semakin  pucat dan tubuh yang bertambah
dingin dan bergetar, Suto merasa harus melakukan
permintaan Rasti.
"Ia tidak main-main. Ia sungguh-sungguh menderita
penyakit aneh. Aku harus memberikan pelukan yang...
oh, tapi kehalusan kulit dan kesekalan tubuhnya dapat
membuatku tergoda, dan gairahku bisa terbakar. Aduh,
bagaimana kalau begini...? Haruskah kuberi pelukan dan
kubiarkan gairahku semakin terbakar?"
Pendekar Mabuk benar-benar panik, tindakannya
serba canggung. Tapi perempuan itu semakin tersentak-
sentak, tubuhnya pun kian dingin.
*
* *

 6
 SEMAKIN erat Suto Sinting memeluknya, semakin
reda sentakan-sentakan tubuh Rasti. Napasnya yang
sesak tampak mulai longgar. Rasti sengaja
ditengkurapkan di atas tubuh Suto sementara Suto
sendiri berbaring di atas batuan datar. Jika tubuh Rasti
yang berbaring, maka punggung Rasti akan terkena
dinginnya batu yang berlumut. Jadi mau tak mau Suto
memeluk Rasti yang tengkurap di atasnya. Kedua kaki
Suto pun menggamit tubuh Rasti erat-erat.
"Ooh... uuuhhh..., tempelkan mulutmu  ke leherku,"
bisik perempuan itu. Suto mengerti maksudnya.
Hembusan napasnya akan menghangat di leher
perempuan itu dan menciptakan kehangatan yang lebih
mendalam lagi.
Tetapi aroma wangi mawar di tubuh perempuan itu
semakin menggoda hasrat si pemuda tampan. Tempelan
bibirnya pada leher Rasti membuat lidah Suto pun
akhirnya usil  juga. Leher itu digelitik dengan lidah
secara pelan-pelan. Rasti justru mengencangkan
pelukannya. Kepalanya bergerak menggeliat ke kanan-
kiri, seakan ia ingin seluruh  lehernya mendapat
kehangatan dan keusilan lidah Suto.
Gerakan tubuh Rasti pun memancing hasrat Suto
untuk menikmati tiap sentuhan tubuh. Hati berdebar-
debar, jiwa menuntut keindahan lebih tinggi. Pendekar
Mabuk akhirnya meremas-remas pinggul Rasti.
Perempuan itu tidak menolak, justru keluarkan suara
erangan tipis. Bahkan makin lama wajahnya semakin
didusal-dusalkan di telinga kiri Suto, kadang merayap ke
permukaan wajah Suto lalu pindah ke telinga kanan.
Hembusan napas Rasti menghangat di sekitar wajah,
sehingga Suto Sinting benar-benar terpancing untuk
mencumbunya.
"Oouh, ouuh... hangat sekali, Suto. Hangat dan
nikmat. Uuuh... peluk aku lebih kuat lagi. Peluk aku...
uuhmmm...!" perempuan itu nekat mencium Suto,
bahkan bibir Suto dikecupnya dan dilumatnya. Suto tak
bisa menolak karena telah terlanjur terjerat tuntutan
batinnya sendiri.
"Remas aku, Suto.... Remas aku! Oouh, aahh...."
Rasti merintih dengan gerakan semakin liar. Suto Sinting
meremas pinggul Rasti yang masih kencang itu.
Remasan tangan Suto membuat Rasti bertambah
mengerang, dan bibirnya semakin ganas mengecup leher
Suto, memagut-magut dengan sapuan lidahnya yang
begitu mendebarkan hati si pemuda tampan itu.
Pakaian Rasti berantakan dengan sendirinya.
Gumpalan di dadanya terasa menghangat di wajah Suto,
karena Rasti bergerak naik hingga dadanya ada di atas
wajah Suto Sinting.
"Kecup, Suto... oouh, kecuplah sekarang juga,
Sayang...," rengek Rasti. Maka ujung dada yang
merentang itu pun disambar oleh mulut Suto Sinting. 
Haaapp...!
"Aaaahh... nikmat sekali, Sayang. Nikmat sekali!
Ooohh... ssss, ahh!" Rasti mendesis-desis dengan wajah
terdongak. Matanya terpejam kuat, namun kadang
terbeliak dengan bibir digigit sendiri. Suto Sinting
menjadi seperti bayi yang kehausan. Seolah-olah ia tak
sadar dengan apa yang sedang diperbuatnya saat itu.
"Ooouh... luar biasa indahnya, Suto. Hangat sekali
kemesraanmu. Ooh... jangan hentikan sampai di sini
saja, Suto. Aku bahagia sekali. Aku, oouh...." Tubuh itu
tidak lagi dingin. Bahkan semakin lama semakin panas
dan mencucurkan keringat. Butiran keringat menetes
dari dagunya ke leher Suto Sinting. Gerakan-gerakan
liarnya terhenti bersama helaan napas yang terengah-
engah seperti habis melakukan pekerjaan yang amat
melelahkan. Suto Sinting pun menghentikan reaksi
ketika Rasti akhirnya jatuh terkulai di atasnya dan
memeluk dengan kepala tergolek di samping wajah Suto.
Pada saat itulah kesadaran Pendekar Mabuk muncul
kembali. Pemuda itu merasa seperti baru saja bangun
dari mimpinya. Hatinya tersentak kaget menyadari apa
yang baru saja dilakukan bersama perempuan yang baru
dikenalnya itu. Ia segera menyingkirkan tubuh Rasti dari
atasnya. Rasti menggerang manja, tak ingin turun dari
atas Suto. "Aku ingin menikmatinya lagi, Suto." 
"Hmm, eehh, hmmm... istirahatlah dulu. Kau tampak
lelah sekali, Rasti."
"Tapi kau kan belum mencapai puncak keindahanmu?
Sekarang giliranku yang akan menjadi pelayan 
kemesraan kita, Suto. Berbaringlah dulu, jangan berdiri.
Aku akan membuatmu seperti berada di langit-langit
surgawi, Sayang...."
"Iyy... iya, tapi nanti saja. Kau harus istirahat. Kalau
kau teruskan, penyakitmu tadi bisa kambuh lagi, Rasti."
"Tidak, tidak! Justru aku akan menjadi semakin kuat
dan tangguh setelah mendapatkan puncak kemesraan
seperti ini."
"O, begitukah kau sebenarnya?" sambil Suto Sinting
duduk bersandar pada dinding gua.
"Sudah beberapa waktu lamanya aku tidak menikmati
kemesraan seorang lelaki. Aku terlalu sibuk dengan
urusanku, sehingga tak sempat memburu pemuas
dahagaku. Akibatnya, penyakitku kambuh lagi."
"Penyakit apa itu tadi?"
"Penyakit... penyakit kekurangan hawa sakti." 
"Baru sekarang kudengar ada penyakit seperti itu."
"Kurangnya hawa sakti akan merusak kelenjar di
dalam hatiku. Keringnya kelenjar hati membuat darah
terserap. Lama-lama seluruh darahku dapat mengering
dengan sendirinya jika aku tak segera mendapat
cumbuan dan kemesraan dari seorang lelaki.  Puncak
kenikmatan yang kudapatkan dari seorang lelaki
membuat kelenjar hatiku berfungsi kembali dan darahku
tidak terserap habis. Hawa saktiku pun bekerja seperti
semula setelah aku dapat mencapai puncak kenikmatan
asmaraku."
"Aneh sekali...?'" gumam Suto Sinting dengan dahi
berkerut. 
"Aku akan menjadi lebih segar lagi  jika sudah
tersiram darah kemesraan seorang lelaki.  Darah
kemesraan lelaki  merupakan semangat baru di dalam
jiwa dan ragaku. Karenanya, lakukanlah lagi, Suto.
Cumbulah aku dan berlayarlah bersamaku. Semburkan
darah kemesraanmu sebanyak-banyaknya padaku, agar
hidupku menjadi lebih segar dan lebih bersemangat
lagi."
"Hmm, eeeh.... nanti saja," jawab Suto setelah
menimbang-nimbang. Bagaimanapun panasnya
kemesraan itu, Suto Sinting tetap tak  ingin menodai
kesetiaan cintanya terhadap seorang kekasih nun jauh di
sana: Dyah Sariningrum.  Ia  tak ingin lakukan
percumbuan yang begitu dalam dengan perempuan mana
pun.  Ia  ingin berikan kesucian asmara sejati kepada
Dyah Sariningrum sebelum perempuan lain merasakan
semburan darah kemesraannya.
Namun dalam temeram sisa cahaya senja itu, wajah
Rasti semakin melentur sayu, memancarkan harapan
cumbu yang begitu besar, memancarkan gairah yang
bergelora. Remasan tangannya sebagai simbol desakan
batin untuk mendapatkan darah kemesraan Suto.
Senyumnya pun melambangkan ajakan untuk berlayar
menuju pulau kenikmatan sejati.
"Tanganmu sungguh hebat, Suto. Tapi apakah...
apakah kehangatanmu ini juga sehebat jari tanganmu
yang mampu melambungkan jiwaku ke puncak
asmara?!"
Suto Sinting hanya tersenyum canggung, ia sadar 
kata-kata itu merupakan jebakan halus menuju ke
percumbuan yang lebih dalam. Suto pun bergolak dan
gairahnya menggeliat, ingin unjuk kehebatan. Tetapi
kesadarannya yang selalu terjaga itu membuat Suto
harus menolak tantangan bercumbu itu secara halus, ia
tak ingin lakukan penolakan secara kasar, karena ia tak
ingin menyinggung perasaan perempuan cantik yang
sudah matang dalam berkencan itu.
"Aku harus mandi dulu. Aku akan mencari sungai di
sekitar tempat ini," ujar Suto Sinting ketika Rasti
menyodorkan bibirnya dengan mata kian sayu.
"Mengapa harus mandi? Tak perlu mandi kau sudah
harum dan keringatmu membakar gairahku, Suto."
"Aku... aku tidak bisa lakukan pelayaran cinta dalam
keadaan badan masih kotor dan belum mandi. Aku harus
mandi dulu, Rasti."
"Percuma, Suto. Kau nanti toh akan mandi keringat
juga; keringatku dan keringatmu sendiri."
"Memang. Tapi untuk mengawalinya, badanku harus
bersih  dulu. Aku tak ingin kau menikmati pelayaran
cinta denganku dalam keadaan badanku masih kotor.
Aku tak ingin memberikan yang kurang baik padamu.
Aku ingin berikan yang terbaik padamu, Rasti."
Perempuan itu tersenyum, hatinya berdesir bangga
karena merasa diistimewakan oleh si tampan itu.  Ia
segera menyambar bibir Suto.  Bibir itu dilumatnya
sejenak, kemudian dilepaskan dengan engahan napas
kelegaan.
"Pergilah mandi sana! Jangan lama-lama. Aku tak 
ingin menunggu terlalu lama. Nanti aku kedinginan dan
masuk angin," tuturnya seraya hamburkan tawa lirih
yang mengikik penuh rangsangan menantang.
Suto Sinting bergegas bangkit, merapikan pakaian
sejenak.
"Atau... aku ikut mandi sekalian saja, ah!" ujar
perempuan itu seraya ikut-ikutan bangkit dan merapikan
pakaian.
Pada saat itu, mata Suto menangkap sebuah benda
yang segera diselipkan di pinggang Rasti. Benda itu
semula jatuh di tanah, diduduki oleh perempuan itu.
Ketika si perempuan merapikan pakaiannya, benda itu
nyaris tertinggal, ia segera memungutnya dan
menyelipkan di pinggang belakang, di balik kain
pengganti sabuk. Benda itu berwarna coklat  sebesar
telapak tangan, bentuknya menyerupai lembaran-
lembaran kulit rusa.
"Benda apa itu, Rasti?!" tanya Suto Sinting setelah
mempertimbangkan kecurigaannya yang menggoda hati.
"Hmm, ooh... anu, hmm... bukan apa-apa. Maksudku,
bukan  sesuatu yang penting. Ini hanya... hanya jimat.
Jimat pemikat pria, hik, hik. hik...!"
Sekalipun Rasti mengalihkan dalam  canda, namun
rasa penasaran Suto masih menggoda terus dan
kecurigaannya semakin besar. Benda itu menyerupai
sebuah kitab yang terdiri dari sekitar sepuluh lembar
kulit rusa. Dalam benak Pendekar Mabuk menduga
bahwa kitab itu adalah kitab keramat yang dinamakan
kitab 'Serat Sekar Siluman'. Tetapi hati kecil Suto masih 
sangsi, sehingga ia pun bertanya-tanya dalam hatinya,
"Apa benar bentuk kitab keramat seperti itu?!"
Rasti sudah rapi, siap pergi mencari sungai untuk
mandi.
"Ayo, kita cari sungai itu dan bersihkan badan
sebelum petang tiba. Nanti kita kembali lagi kemari,
Suto!" ajak Rasti ketika sudah diambang pintu gua.
Suto Sinting sempat  tertinggal  karena memikirkan
benda yang dikatakan sebagai jimat oleh perempuan itu.
"Rasti, boleh kulihat benda yang kau katakan sebagai
jimat itu?"
Rasti berlagak tidak mendengar ucapan Suto Sinting,
ia bergegas keluar dari gua lebih dulu. Suto Sinting
buru-buru menyusulnya.
"Rasti...! Rasti, tunggu sebentar!" 
Langkah perempuan itu semakin cepat. "Ayo, Suto...
kita temukan sebuah sungai sebelum petang tiba!
Lekaslah...!"
"Hei, Rasti... tunggu aku! Aku ingin melihat benda
yang kau selipkan di pinggang belakangmu itu! Apakah
benda itu adalah kitab keramat 'Serat Sekar Siluman'
milik Geledek Biru yang pernah dicuri Ratu Ladang
Peluh?!"
Perempuan itu bagaikan tak menghiraukan seruan
Suto sama sekali.  Ia justru melangkah semakin cepat
dengan jubah kuningnya  yang melambai-lambai. Suto
berlari menyusulnya, tapi Rasti makin percepat
langkahnya.
"Rasti, aku hanya ingin tahu apakah benar benda itu 
adalah kitab keramat berisi mantra-mantra berkekuatan
iblis?!" seru Suto Sinting, namun seruan itu tetap tak
dihiraukan Rasti. Bahkan perempuan itu mengubah
langkahnya menjadi gerakan lari kecil dengan lompatan-
lompatan peringan tubuh.
Suto Sinting jengkel, akhirnya ia membentak, "Hei,
Rasti...! Tunggu!"
Di luar dugaan, Rasti hentikan langkah sekejap,
berbalik ke belakang dan sentakkan tangan  kirinya ke
arah Suto Sinting. Wuutt...! Sentakan itu mengeluarkan
cahaya kuning emas sebesar telur burung. Claap...!
Weess...!
Pendekar Mabuk sangat terkejut mendapat pukulan
bersinar kuning emas itu. Bumbung tuak yang
disilangkan di punggung tak sempat diraih dan dipakai
menangkis. Namun sebelum sinar kuning emas sebesar
telur burung itu menghantam dadanya, secara refleks
tangan Suto pun menyentak ke depan. Jurus 'Pecah Raga'
yang digunakan secara tiba-tiba itu keluarkan sinar hijau
dari telapak tangan si Pendekar Mabuk. Namun gerakan
itu agak terlambat, sinar hijau tersebut menghantam
sinar kuning emas yang sudah mendekat dan kurang tiga
langkah lagi. Akibatnya, benturan sinar hijau dan sinar
kuning emas itu timbulkan ledakan yang menyentak kuat
dan mengguncangkan pepohonan di sekitarnya.
Blaaarrr...!
Tubuh Suto Sinting terlempar ke belakang, melayang
dan berjungkir balik tak karuan bagaikan seonggok
sampah tersapu badai, ia jatuh terbanting setelah 
tubuhnya membentur pohon berduri. Cruus, buuhk...!
"Aaow...!" pekiknya sambil menyeringai kesakitan.
Duri-duri pohon yang berukuran sebesar paku itu
menancap dan merobek pinggang Suto. Duri itu
mengandung getah beracun yang cukup membahayakan
jiwa manusia. Suto Sinting akhirnya terpuruk sesaat di
bawah pohon itu dengan pinggang mengucurkan darah
dan darah  itu menjadi cepat mengering dan itu berarti
kematian Suto pun akan tiba.
"Rastiii...!" teriak Suto sebelum ia semakin lemas
akibat racun pada duri pohon tersebut. Namun
perempuan yang dipanggilnya justru semakin percepat
pelariannya, dan dalam waktu singkat telah menghilang
dari pandangan si Pendekar Mabuk. Rasti benar-benar
melarikan diri tanpa basa-basi lagi.
"Keparat! Berarti dugaanku benar; benda itu adalah
kitab keramat yang dinamakan 'Serat Sekar Siiuman'
Oouhk...! Badanku panas sekali! Celaka! Pasti duri
pohon ini beracun membahayakan. Oouhk... aaahk...!"
Suto Sinting buru-buru mengambil bumbung tuaknya
dengan susah payah. Tangannya selain lemas juga
gemetar, sehingga bumbung tuak tak dapat diambil
dengan mudah, walau akhirnya berhasil juga. Ia segera
menenggak tuak saktinya.
Suara ledakan tadi memancing seseorang untuk
datang ke tempat itu. Dalam keremangan cahaya senja
yang semakin menua, Pendekar Mabuk masih bisa
melihat kemunculan sesosok tubuh kurus bermata
cekung yang dulu pernah bertarung melawannya. Orang 
tersebut tak lain adalah si Tulang Besi, yang sedang
mencari-cari buronannya. Buronan itu tadi disambar oleh
seseorang dan orang yang menyambarnya adalah Suto
sendiri. Tapi Tulang Besi tak tahu bahwa penyambar
buronannya adalah si Pendekar Mabuk.
Maka ketika ia mengetahui keadaan Pendekar Mabuk
sedang kesakitan akibat tergores duri beracun, dan tuak
yang ditenggaknya belum bereaksi, Tulang Besi segera
lepaskan tendangan kebenciannya ke arah wajah Suto.
"Kau yang tempo hari coba-coba melawanku, Bocah
gendeng! Terimalah upah kelancanganmu waktu itu.
Hiaaah...!"
Beet! Plaak...!
Suto Sinting masih sempat menangkis dengan
silangkan lengan kirinya ke depan. Tendangan itu
tertahan lengan tersebut, tak sempat kenai wajah tampan
si murid sinting Gila Tuak itu. Pemuda tersebut segera
berguling ke belakang, lakukan jungkir balik dengan
cepat. Dalam satu sentakan tubuhnya pun melambung ke
atas dan bangkit berdiri dengan tegak. Pengaruh luka di
pinggangnya telah hilang, bahkan luka itu telah
mengering. Sebentar lagi akan hilang sama sekali tanpa
bekas.
"Tahan seranganmu, Tulang Besi!" sentak Suto
Sinting dengan lantang pertanda badannya telah segar
kembali.
"Persetan dengan kata-katamu, Bocah gendeng! Kau
telah memihak Mustikani, yang berarti kau ada di pihak
Ladang Peluh! Itu sama saja kau adalah musuhku yang 
perlu kubinasakan! Heaah...!"
Tulang Besi melompat cepat dan melepaskan
tendangan beruntunnya ke dada Pendekar Mabuk. Wuut,
wuut,  wuut...! Tapi dengan cepat Suto Sinting
menadahkan bumbung tuaknya sebagai penangkis
tendangan itu. Krak, prak, krak...!
"Aaoww...!"  Tulang Besi memekik kesakitan dan
jatuh terduduk di tanah. Kedua kakinya terasa remuk
karena menendang bumbung bambu tuak yang
mempunyai kekuatan tenaga dalam tersendiri. Tulang
Besi bagaikan menendang sebatang baja yang
meremukkan Tulang kakinya sendiri.
"Hentikan kebodohanmu, Tulang Besi! Aku tahu apa
yang kau cari dan apa yang harus kita kejar!" sentak
Suto Sinting, ingin ungkapkan tentang perempuan yang
bernama Rasti itu. Tetapi agaknya  Tulang Besi masih
terpaku oleh kekalahannya beberapa waktu yang lalu,
sehinga dengan berang ia melepaskan pukulan jarak
jauhnya tanpa sinar.
Dalam keadaan duduk di tanah, Tulang Besi
sentakkan tangannya ke depan, dan gelombang hawa
padat berkekuatan dua kali tenaga kuda itu meluncur
lepas menghantam Suto Sinting. Beet, wuuut...! Suto
Sinting segera hindari gelombang hawa padat itu dengan
satu lompatan ke atas. Wuuuus...! Gelombang hawa
padat  itu akhirnya menghantam pohon berduri di
belakang Suto.
Blaam...! Krraaak...!
Pohon itu retak dan menjadi miring, hampir saja 
tumbang. Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus 'Jari
Guntur'-nya ke arah Tulang Besi. Senantiasa jarinya
diarahkan tepat ke dada Tulang Besi. Des, dos...!  Dua
kali sentilan jari membuat Tulang Besi yang pernah
merasakan akibatnya segera berguling ke samping untuk
menghindarinya. Buub, buub...! Sentilan bertenaga
dalam  itu akhirnya kenai tanah. Tanah pun memuncrat
dengan dedaunan kering menyebar ke mana-mana
Zlaap, zlaaap...! Suto Sinting segera berpindah tempat
dengan cepat, sehingga tampak seperti menghilang.
Tulang Besi sempat clingukan sebentar dengan wajah
tegang. Akhirnya ia temukan Suto Sinting sudah berada
di belakangnya. Dalam keadaan kedua kakinya masih
terasa sakit dipakai berdiri, Tulang Besi akhirnya
berguling ke belakang dari keadaannya yang duduk di
tanah sejak tadi. Gerakan tergulingnya itu sambil
melepaskan tendangan bertenaga dalam, sehingga
hembusan hawa padat kembali menyerang Pendekar
Mabuk secara beruntun. Wuuk, wuuk...! Namun
bumbung tuak pun kembali menghadang gelombang
hawa padat itu dalam keadaan dipegang dua tangan dan
satu kaki Suto berlutut menahannya.
Blaam, blaamm. .! Benturan gelombang hawa padat
dengan bumbung tuak membuat Suto Sinting terdorong
ke belakang dan jatuh terduduk. Namun ia segera
berguling ke samping karena Tulang Besi tampak ingin
lepaskan pukulan bersinarnya. Sebelum hal itu terjadi,
Suto Sinting segera arahkan sentilan 'Jari Guntur'-nya ke
pelipis Tulang Besi. Dess...! Wuuut, brruukk...! 
"Aoooww...!" Tulang Besi memekik sambil jatuh
berguling guling. Kepalanya terasa mau pecah karena
terkena sentilan jarak jauh yang mempunyai kekuatan
tenaga dalam sebesar tendangan seekor kuda jantan itu.
Untuk sesaat Tulang Besi yang meraung-raung kesakitan
sambil kedua tangannya pegangi kepala.
Pendekar Mabuk bergegas bangkit, ia sengaja tidak
menyerang lagi, karena tak ingin pertarungan itu
mencelakakan kedua belah pihak. Bagaimanapun
ganasnya si Tulang  Besi, tapi Suto masih ingat bahwa
kakek tua itu patut murka kepada pihak Ratu Ladang
Peluh karena perguruannya dihancurkan. Hanya saja, ia
salah paham dan menyangka Mustikani masih berada di
pihak Ratu Ladang Peluh, sehinga pembelaan Suto
terhadap Mustikani dianggap bersekutu dengan pihak
Ratu Ladang Peluh. Yang perlu dilakukan Suto adalah
meluruskan anggapan tersebut agar tidak membuat
pertikaian dan salah paham itu menjadi berlarut-larut.
"Sekarang pun kau sudah kuanggap mati di tanganku,
Tulang Besi!" seru Suto Sinting sambil mengarahkan
bambu tuak seperti ingin dihantamkan ke kepala Tulang
Besi.
"Kalau aku mau, bambu ini dapat membuat kepalamu
pecah seperti telur bebek habis dibanting!" tambah Suto.
"Tapi karena aku merasa kau bukan musuhku dan aku
bukan berada di pihak Ratu Ladang Peluh, maka aku tak
akan membunuhmu, Kakek berang!"
"Keep... keparat kaauu...!" geram Tulang Besi sambil
menahan sakit. 
"Minumlah tuakku, kujamin kau akan sembuh dan tak
merasa sakit lagi! Tapi berjanjilah untuk tidak
bermusuhan lagi denganku karena kemarahanmu itu
menimbulkan kesalahpahaman belaka, Tulang Besi!"
Suto Sinting segera sodorkan bumbung tuaknya dengan
tetap waspada. Tulang Besi menolak dengan suara
mengerang dalam satu sentakan.
"Tulang  Besi, aku tahu yang kau cari saat ini! Kau
mencari perempuan berjubah kuning yang bernama
Rasti! Jika kau tak mau minum tuakku, maka pelarian
Rasti semakin jauh lagi dari tempat ini, karena ia tadi
bersamaku dan segera melarikan diri setelah kutahu ia
menyembunyikan kitab keramat di pinggang
belakangnya!"
Tulang Besi segera berubah sikap. Walau tetap
menggeram, namun ia mulai tertarik dengan ucapan Suto
tadi.
 *
* *

 7
 SETELAH menerima perdamaian dari Pendekar
Mabuk berupa pengobatan melalui tuak saktinya, Tulang
Besi akhirnya membenarkan dugaan Suto tentang kitab
keramat di tangan Rasti.
"Memang benar, benda yang disembunyikan 
perempuan itu adalah kitab keramat. Kitab itu
diambilnya dari mayat Ladang Peluh  sesaat setelah ia
berhasil  membunuh Ratu bejat  itu bersama beberapa
pengawalnya."
"Apakah kau melihatnya sendiri?"
"Ya, aku mengintainya dari kejauhan. Karena
sebelum itu, Ratu bejat kuserang sebagai tindakan balas
dendamku kepadanya. Tapi agaknya aku kaliah ilmu
dengannya. Aku terluka dalam, dan harus sembuhkan
lukaku  dulu  untuk menyerangnya lagi. Saat
kutinggalkan, beberapa waktu kemudian kudengar suara
ledakan dari tempatku bertarung melawannya. Aku
kembali ke sana untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata
Ratu Ladang Peluh  bertarung melawan Rastiwina, dan
pertarungan itu kuperhatikan hingga tewasnya si Ladang
Peluh dan anak buahnya itu."
Sementara si Tulang Besi berceloteh, benak Suto
Sinting memikirkan sesuatu yang terasa menggoda
ingatannya. Bahkan batin Pendekar Mabuk   pun
bertanya pada diri sendiri, "Rastiwina...?! Sepertinya aku
pernah mendengar nama Rastiwina itu?! Di mana dan
kapan kudengar nama itu?!"
"Rupanya Rastiwina mengetahui bahwa Ladang
Peluh mempunyai kitab keramat tersebut. Mungkin
karena dulu mereka bersahabat dan belakangan ini
kudengar mereka bermusuhan karena persoalan pribadi,
sehingga Rastiwina akhirnya nekat menghadapi Ladang
Peluh. Tujuannya hanya untuk mengambil kitab keramat
tersebut. Dan kulihat Rastiwina berhasil dapatkan kitab  
itu setelah menggeledah tubuh mayat Ratu bejat yang
dipenggalnya memakai pedang milik pengawal Ladang
Peluh sendiri."
"Dan kau pun naksir kitab itu?!"
Tulang Besi gusar sesaat, namun akhirnya menjawab,
"Daripada kitab keramat itu jatuh di tangan Rastiwina
yang juga sebejat Ladang Peluh, lebih baik kitab itu
kurebut dan kukuasai sendiri!"
"Kau akan berurusan dengan Geledek Biru jika
menguasai kitab itu!"
"Memang. Tapi  aku bisa pergunakan kekuatan  sakti
di dalam kitab itu untuk melawan Geledek Biru. Hanya
saja... sekarang pendapatku sudah berubah, mengingat si
Geledek Biru adalah kakak sahabatku  sendiri. Aku
hanya ingin merebut kitab itu agar jangan jatuh di tangan
perempuan bejat!" 
"Bukankah dia...."  
"Apakah kau belum kenal  dengan Rastiwina yang
berjuluk Ratu Lembah Girang itu, Anak muda?!"
Suto Sinting tersentak kaget begitu mendengar nama
Ratu Lembah Girang. Rasa ingin protes atas pemotongan
kata-katanya tadi terpaksa dibatalkan karena ia lebih
tertarik memperhatikan nama Ratu Lembah Girang. Kini
Suto ingat bahwa ia pernah berurusan dengan Ratu
Lembah Girang yang ingin menguasai bocah sakti di
Pulau Swaladipa. Walau secara langsung memang ia
belum pernah beradu muka dengan Ratu Lembah
Girang, tetapi para begundalnya telah menyerang dan
bermaksud membunuhnya, termasuk iblis kirimannya
 yang amat berbahaya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Bocah Titisan Iblis").
"Pantas sejak tadi aku merasa janggal terhadap nama
Rastiwina. Rupanya nama itu adalah nama asli dari Ratu
Lembah Girang yang pernah kudengar disebutkan oleh
si Manusia Kayu; Ki Sumparana," pikir Suto Sinting
sambil tertegun berkepanjangan. Karena ia juga ingat
pertarungannya melawan Pangeran Cabul dan Lembah
Wuyung, yang merupakan orang-orang utusan Ratu
Lembah Girang untuk mencabut nyawa Suto Sinting.
"Kurasa ia mengenaliku. Tapi mengapa saat di dalam
gua ia tidak membunuhku? Mengapa ia justru
bersemangat dalam mencumbuku?" pikir Suto lagi.  Ia
tak tahu bahwa Rastiwina alis Ratu Lembah Girang
terkejut ketika mengetahui ketampanan Suto Sinting
yang menjadi lawannya itu.  Ia  tidak menyangka
ketampanan dan kegagahan Pendekar Mabuk sangat
menawan hatinya, sehingga ia merasa sayang jika harus
membunuh pemuda itu sebelum dimanfaatkan
kehangatan kemesraannya.
"Dia tidak boleh mati. Dia begitu hangat dan pandai
membuatku terbang di puncak kenikmatan. Aku akan
tundukkan dia dengan aji pemikat abadi  yang menurut
keterangan Ladang Peluh dulu, mantra tersebut ada di
dalam kitab keramat ini. Sekarang dia tahu aku
membawa kitab itu. Aku harus melumpuhkannya sesaat.
Setelah kitab ini kupelajari, akan kuhampiri dia dan
kutundukkan agar menjadi pemuas gairahku. Ooh... aku
suka sekali  dengan permainan tangannya yang seolah-
olah sangat sesuai dengan harapanku itu. Aku tak boleh
membunuhnya...!" pikir Rastiwina pada saat itu.
Karenanya ia lebih baik melarikan diri daripada harus
berhadapan dengan Suto dan saling mengadu ilmu.
Pendekar Mabuk segera sadar dari lamunannya.
Namun ia terperanjat mengetahui hari telah menjadi
gelap dan Tulang Besi telah pergi dari hadapannya. Ke
mana perginya si Tulang  Besi, Suto tak tahu. Namun
dugaan hati kecilnya mengatakan, bahwa Tulang Besi
pergi mencari Rastiwina karena ingin merebut kitab
keramat itu.
Sekalipun gelap petang telah tiba, namun Pendekar
Mabuk tetap lakukan pencarian terhadap diri Rastiwina.
Semakin  cemas hati si Pendekar Mabuk setelah
mengetahui bahwa kitab itu ternyata jatuh di tangan Ratu
pengumbar nafsu dari Pulau Swaladipa. Semakin kuat
niatnya untuk selamatkan kitab itu atau
menghancurkannya sama sekali, seperti yang dikatakan
si Geledek Biru.
Esok paginya, Pendekar Mabuk yang sempat tidur
beberapa waktu di atas pohon itu, segera memutuskan
untuk memberi tahu hal  itu kepada Geledek Biru dan
beberapa orang lainnya yang dianggap mau membantu
Geledek Biru dalam  mencari kitab keramat tersebut.
Sebuah  desa yang disinggahi menjadi tempatnya
bertanya tentang kediaman si Geledek Biru, sambil ia
mengisi bumbungnya dengan tuak yang baru.
"Eyang Bintara tinggal di Bukit Belatung,"    tutur si
pemilik kedai yang sudah berusia sekitar enam puluh 
tahun itu.
"Ke mana arahnya jika aku harus ke Bukit Belatung,
Ki?"
"Jalanlah menuju ke selatan. Jika kau temukan dua
sungai bersebelahan, ikutilah sungai yang  sebelah kiri
dan menuju ke muara!"
Ketenangan Suto terasa semakin besar, karena
bumbung tuaknya sudah terisi tuak  penuh, ia lebih
bersemangat lagi dalam  perjalanannya. Hanya saja,
langkahnya terpaksa terhenti karena suara ledakan
menggelegar yang samar-samar berasal dari arah barat
daya.  Ia  segera bergegas ke sana, karena rasa ingin
tahunya jika mendengar suara pertarungan selalu
menggoda hati.
Mata Suto Sinting terbelalak begitu melihat di tepian
sungai terjadi pertarungan antara Rastiwina melawan
Mendung Merah. Agaknya gadis berpakaian merah itu
terdesak beberapa kali, karena ilmunya tak sebanding
dengan ilmu si Ratu Lembah Girang. Namun gadis itu
masih belum  mau larikan diri walaupun  ia  telah
memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Kau memang keparat busuk, Mendung Merah! Kau
sama busuknya dengan gurumu! Jika gurumu  saja
hampir mati di tanganku, apalagi hanya kau seorang?!"
Rupanya antara perguruan Mendung Merah dengan
pihak Ratu Lembah Girang pernah terjadi bentrokan
yang nyaris menewaskan gurunya Mendung Merah yang
namanya tak diketahui oleh Suto Sinting. Tapi dari
perkataan Rastiwina, Suto dapat simpulkan bahwa 
bentrokan itu terjadi karena rebutan sebuah pusaka yang
akhirnya dihancurkan sendiri oleh Ratu Lembah Girang.
"Urusan pusaka Keris Bumiyamka itu sudah tak ada
lagi. Pusaka itu ternyata kalah sakti dengan ilmuku,
terbukti mampu kuhancurkan sendiri!  Kurasa kau  tak
perlu mengungkit masa lalu antara pihakku dengan
pihak perguruanmu, Mendung Merah. Apalagi kau
masih bau kencur saat peristiwa itu terjadi!"
"Aku bukan memasalahkan Keris Bumiyamka itu!
Yang kukehendaki adalah kitab keramat 'Serat Sekar
Siluman'! Aku tahu kitab itu ada padamu, karena
Sawung Kuntet memergokimu sedang membuka-buka
kitab tersebut, lalu ia kau serang hingga sekarat!"
"O, jadi kau ingin menguasai kitab keramat itu juga?!
Hmm...! Kalau aku sudah menjadi bangkai, kau boleh
menguasai kitab itu. Mendung Merah! Sekalipun si
Geledek Biru yang ingin merebutnya dari tanganku,
akan kupertahankan dengan mempertaruhkan nyawaku!"
"Kalau begitu, jangan salahkan diriku jika aku  harus
merebutnya dengan cara sekasar mungkin!" bentak
Mendung Merah, lalu segera mencabut pedangnya.
Sreeet...!
Tetapi sebelum Mendung Merah menyerang, tiba-tiba
Rastiwina lepaskan pukulan jarak tujuh langkah dengan
pergunakan dua jarinya yang mengeras. Dua jari itu
dikibaskan seperti melemparkan pisau, dan dari dua jari
itu melesat sinar merah patah-patah seukuran pisau
terbang. Clap, clap, dap!
Mendung Merah sentakkan kaki ke tanah dan 
tubuhnya melambung naik dengan gerakan bersalto.
Wuk, wuuk...! Begitu hinggap di atas gundukan tanah
setinggi pundak manusia dewasa, pedang itu dikibaskan
ke depan dan dari kibasan pedang itu keluarlah serbuk
biru mengkilap yang menyebar ke arah Ratu Lembah
Girang. Wuuurrsss...!
Serbuk itu pasti serbuk beracun, terbukti rumput-
rumput yang terkena serbuk itu menjadi lumer dan
akhirnya mencair seperti bubur. Jika sampai serbuk biru
mengkilap itu kenai tubuh Ratu Lembah Girang,
tentunya perempuan bermata jalang itu akan lumer dan
menjadi seperti bubur. Sayangnya, Ratu Lembah Girang
bukan orang berilmu pas-pasan, sehingga dengan satu
kali sentakan tangannya, ia dapat keluarkan hembusan
angin yang membuat serbuk-serbuk itu terbang ke arah
Mendung Merah sendiri. Wuuss, wuuurss...!
"Heeaaat...!" Mendung Merah melompat ke sana-sini
dengan lompatan cepat. Kakinya bagai menyentak
bagian ujung saja, termasuk menjejak sebatang pohon
yang membuatnya meluncur ke satu arah hindari
serbuknya sendiri.
Begitu kakinya mendarat di bumi, tahu-tahu
Rastiwina lepaskan pukulan bersinar kuning emas
sebesar telur burung puyuh itu. Claap...! Sinar kuning itu
meluncur cepat ke  arah Mendung Merah. Namun
sebelum sampai di pertengahan jarak, seberkas sinar
merah kecil telah melesat lebih cepat dan menghantam
sinar kuning tersebut. Weeess...! Jegaaarrr...!
Ledakan itu menyentakkan tubuh Rastiwina ke 
belakang, namun ia hanya terhuyung sesaat, lalu dapat
berdiri tegak kembali dan memandang ke arah datangnya
sinar merah kecil tadi. Ternyata dari balik pohon rindang
itu muncul seraut wajah yang murah senyum, yaitu
wajah seorang pemuda bertongkat bambu kuning.
"Santana...?!" gumam Suto Sinting dari
persembunyiannya. "Kusangka ia telah mati ditelan
bumi, ternyata masih cengar-cengir juga anak itu?!"
"Bocah ingusan! Kau mau ikut campur juga, hah?!"
bentak Rastiwina dengan wajah berang. Santana tetap
nyengir sambil melangkah santai dekati lawannya.
"Jurusmu cukup membahayakan nyawa sahabatku,
Bibi! Aku terpaksa mematahkannya, ketimbang
sahabatku kehilangan nyawa, lebih baik kau sajalah yang
kehilangan nyawa, toh wajahmu sudah tampak tua.
Kuduga usiamu  sudah delapan puluh tahun lebih, Bibi
cantik!"
Santana bicara seenaknya dan tak punya kesan
bermusuhan. Namun kata-katanya justru memanaskan
telinga Rastiwina yang tak mau dikatakan sudah tua. Ia
sangat tersinggung dengan penghinaan itu, sehingga
suara geramnya menunjukkan ia sangat marah kepada
Santana.
Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala sambil
tersenyum geli. "Bocah itu kalau bicara seenak udel-nya
sendiri! Memang menjengkelkan, tapi juga menggelikan.
Apalagi dia mengakui bahwa Mendung Merah adalah
sahabatnya, jelas itu sangat menggelikan bagiku, sebab
kutahu mereka semula adalah saingan; sama-sama 
menjadi pembunuh bayaran yang memburuku, eeh...
sekarang malah jadi sahabat?!"
Celoteh batin Suto Sinting dihentikan sampai di situ
dulu, karena Rastiwina melepaskan kemarahannya
dengan sebuah pukulan jarak jauh yang mengeluarkan
asap hitam-hitaman dari pangkai telapak tangan atau
pergelangannya.
Wuuusss...! Asap itu menyembur ke arah Santana.
Mendung Merah berseru dari tempatnya. "Awas,
racuuun...!"
Santana segera memutar tongkat bambu kuningnya
dengan satu tangan. Tongkat itu bagaikan berputar
secepat baling-baling dalam gerakan menyelinap
dipermainkan oleh kelima jari tangan kanan itu. Seerr...!
Wuuurrss...! Angin putaran tongkat itu membuyarkan
asap kehitaman. Pada saat itu, Rastiwina segera melesat
bagaikan kilat menerjang Santana. Weesss...!
"Brreesss...!
"Aoow...!" pekik Santana tertahan. Tubuhnya
terpental delapan langkah ke belakang, ia terbanting
dengan kerasnya di samping Mendung Merah. Brruuk!
"Auuh...! Tulang punggungku patah, Sayang...!"
rintihnya sambil menyeringai menatap Mendung Merah
dengan satu mata dipicingkan. Mendung Merah tak
pedulikan rintihan konyol itu.  Ia  segera menyerang
Rastiwina dengan tebasan pedangnya beberapa kali.
Wut, wut, wut, wut...!
Rastiwina hanya menghindar dengan meliukkan
badan dengan lincah ke kiri, kanan, belakang, merunduk, 
dan akhirnya jatuhkan diri, sambil kakinya menyapu
betis Mendung Merah. Wuuutt...! Prraak...!
Brrruk...! Rastiwina berhasil menjatuhkan Mendung
Merah yang memekik tanpa suara karena mata kakinya
bagaikan pecah disapu tendangan bertenaga dalam tadi.
Sapuan itu juga membuat pedang Mendung Merah
terlepas dari genggamannya. Pedang itu terpental ke atas
dan segera disambar oleh Rastiwina.
Wuuut, teeb...!
"Saatnya pergi ke neraka telah tiba, Gadis bodong!
Heeaah...!"
Ratu Lembah Girang menebaskan pedang ke arah
kepala Mendung Merah. Namun sebelum pedang itu
bergerak membabat kepala, tiba-tiba Santana lemparkan
tongkat bambu kuningnya dengan tenaga dalam
disalurkan ke dalam bambu tersebut. Wuuut...! Deeeg!
"Uuhk...!" tubuh Rastiwina terdorong mundur,
bahkan jatuh berjumpalitan di tanah, ia merasa seperti
diseruduk banteng liar. Lemparan bambu kecil itu kenai
dada kirinya, dan bambu itu memantul balik ke arah
pemiliknya. Teeb...! Santana menangkap bambu itu
dengan cekatan, ia segera bangkit dan sunggingkan
senyum kepada Mendung Merah yang menatapnya.
"Mundur, Sayang... nanti nyawamu berantakan! Dia
sudah memegang senjatamu, biar aku yang hadapi dia!"
"Kitab itu ada pada...."
"Aku tahu!" potong Santana dengan kalem. "Aku
dengar suaramu tadi. Lihat, bagaimana caranya
mengambil kitab itu, hanya ada di ujung tongkatku ini!" 
Santana segera melompat dengan menggunakan
tongkatnya sebagai alat pelempar tubuh yang
disentakkan ke tanah.
"Hiaaahh...!"
Wuuuss, wuutt...! Terjangan ke arah kepala Rastiwina
berhasil dihindari. Santana akhirnya mendarat ke
belakang Rastiwina. Namun dengan cepat bambu
kuningnya bagaikan disabetkan dari samping kiri ke
kanan dalam satu gerakan cepat, nyaris tak terlihat.
Weess...!
Trraak...! Pedang di tangan Rastiwina menahan
bambu itu. Kaki perempuan tersebut berkelebat menjejak
dada Santana. Beet! Bluuhk...!
"Huuueeeek...!"
Bruuuss...!
Mulut Santana semburkan darah cukup banyak.
Pemuda itu jatuh terkapar dengan napas tersentak-
sentak, matanya pun mendelik dengan mulut ternganga.
Keadaan Santana sekarat, karena tendangan yang kenai
dadanya itu bertenaga dalam sangat besar dan membuat
dada Santana  membekas telapak kaki  warna hitam dan
berasap.
"Habislah riwayatmu, Jahanam! Hiaaah...!" teriak
Rastiwina dengan murkanya. Tangan yang memegangi
pedang milik Mendung Merah diangkat, pedang itu akan
dihujamkan ke dada Santana. Tetapi niat itu tertunda
kembali.
Zlaaap...! Bruuuss...!
Pendekar Mabuk turun tangan setelah melihat  
kenyataan yang menyedihkan, kedua orang sahabatnya
tidak dapat mengalahkan Ratu Lembah Girang. Maka ia
pun segera berkelebat menerjang Ratu Lembah Girang
dengan pergunakan kecepatan gerak yang menyerupai
perpindahan sinar itu.
Terjangan dari samping itu membuat Ratu Lembah
Girang terlempar sepuluh langkah jauhnya, ia jatuh
terbanting di sela-sela bebatuan. Pendekar Mabuk segera
mengejarnya, dan hentikan langkah dalam  jarak satu
tombak dari Rastiwina. Ia biarkan perempuan itu bangkit
dengan suara geram kemarahan yang lebih besar lagi.
"Hhmmr...! Ternyata kau tak bisa kujadikan pemuas
gairahku lagi, Pendekar Mabuk kecubung! Kau
membuat pengampunanku hilang, dan kini yang ada
padaku hanyalah membunuhmu, mencabik-cabikmu, dan
merajang habis sekujur tubuhmu yang sebenarnya
menggairahkan sekali itu!"
"Berilah kitab itu dan kita selesaikan permusuhan kita
sampai di sini saja. Ratu Lembah Girang!" ujar Suto
Sinting, sengaja menyebut nama itu untuk mengingatkan
perempuan itu pada peristiwa Bocah Emas beberapa
waktu yang lalu.
"Biadab kau, Suto! Dari dulu kau selalu mencampuri
urusanku! Kau membuatku murka dan tak punya belas
kasihan lagi! Adikku; Pangeran Cabul, juga kau bunuh!
Bocah Emas itu juga kau bawa lari. Kau benar-benar
neraka bagi hidupku, Pendekar sapi! Sekarang saatnya
membalas seluruh tindakanmu itu, Keparat!"
"Rastiwina,  yang kuharapkan adalah kau 
mengembalikan kitab itu kepada si pemiliknya, yaitu
Eyang Bintara alias Geledek Biru. Serahkan padaku dan
aku akan menyerahkannya kepada beliau!" tegas Suto
Sinting.
"Ambil ini! Hiaaah...!"
Rastiwina sentakkan kedua tangannya dalam keadaan
menggenggam. Dari kedua genggaman itu keluar sinar
kuning secara beruntun dalam  bentuk seperti piring
kecil.
Blab, blab, blab, blab, blab, blab,..!
Suto Sinting menangkisnya dengan melintangkan
bambu tuaknya di depan dada. Kedua tangannya
memegangi bambu itu dengan kuat, karena sinar kuning
itu ternyata tidak bisa membalik ke arah semula seperti
sinar-sinar lain yang terkena bumbung tuak. Bahkan
sinar-sinar kuning itu tidak meledak walau berulangkali
membentur bumbung tuak. Menandakan kekuatan sinar
itu sungguh dahsyat dan dapat mengimbangi kekuatan
sakti yang ada pada bumbung tuak milik Pendekar
Mabuk itu.
Kekuatan Suto menahan bumbung tuak itu akhirnya
lemah. Wuuuss...! Tubuh Suto Sinting terlempar ke
belakang dengan keseimbangan tubuh tak terkendali, ia
jatuh terjungkal dan pelipisnya membentur batu runcing.
Cuuur...! Darah pun mengucur dari pelipis Pendekar
Mabuk.
Sinar kuning itu telah lenyap. Kini Rastiwina
meluncur bagaikan singa terbang tanpa membawa
pedang milik Mendung Merah. Wuuut...! Dari kedua 
matanya memancarkan sinar merah lurus dua larik yang
ditujukan ke tubuh Pendekar Mabuk. Dengan gerakan
cepat, Pendekar Mabuk sentakkan tangan ke tanah dan
tubuhnya melesat naik, melambung di udara tepat pada
saat kedua sinar merah dari mata Ratu Lembah Girang
menghantam batu besar yang ada di belakang Suto saat
Suto terjatuh tadi. Cralap...! Blegaaarrr...!
Batu besar itu lenyap tanpa bekas, kecuali asap hitam
yang segera buyar disapu angin. Pada saat itu, Suto
Sinting yang masih melambung di udara segera lepaskan
pukulan sinar kuning juga, yaitu jurus 'Pukulan Gegana'
dari dua jari yang dikeraskan. Sinar kuning patah-patah
itu menghantam punggung Rastiwina yang sedang
melayang di bawahnya. Clap, clap, clap...!
Jleb, jleb, jleb...!
"Aaaa...!" Rastiwina alias Ratu Lembah Girang
memekik panjang dan tubuhnya jatuh tengkurap. Sinar
kuning itu menembus punggungnya. Punggung itu
akhirnya kepulkan asap yang makin lama makin tebal
membungkus raga.
Pendekar Mabuk segera bersalto di udara dan
hinggap di atas batu setinggi dadanya sendiri. Jleeg..!
Dari sana ia dapat melihat kemunculan si Tulang Besi
yang segera hentikan langkahnya sambil pandangi tubuh
Rastiwina yang dibungkus asap tebal. Dari arah lain juga
melesat bayangan biru yang menghampiri Pendekar
Mabuk. Wuuutt...! Jleeg...!
"Eyang Bintara...?!" sapa Suto Sinting, lalu buru-buru
turun dari atas batu tersebut, takut dianggap tak sopan 
kepada si Geledek Biru.
Geledek Biru pandangi Rastiwina yang sudah tak
berkutik lagi.  Bahkan ketika gumpalan asap itu buyar
seketika setelah Geledek Biru hembuskan napas dari
mulutnya, semua mata memandang tertegun ke arah
Ratu Lembah Girang. Ternyata tubuh perempuan itu
sudah menjadi seonggok daging yang kering, kehitam-
hitaman, dan tentunya tak mempunyai nyawa sesendok
pun. Ratu Lembah Girang akhirnya tewas di tangan
Pendekar Mabuk, disaksikan seorang tokoh tua yang
amat disegani dan ditakuti di kawasan tenggara; Geledek
Biru.
"Dia yang mencuri kitab keramat itu, Eyang!" kata
Suto Sinting.
"Hmmm...,"  Geledek Biru manggut-manggut. "Tapi
dia sudah menjadi kering seperti arang begitu, apakah
kitab keramatku masih utuh?"
"Hmm, hmm... mungkin ya ikut kering juga, Eyang!"
jawab Suto Sinting dengan takut-takut.
Tulang Besi yang sudah mendekati mereka ikut
bicara.
"Lebih baik hancur daripada bikin penyakit bagi
orang lain!"
Geledek Biru hanya melirik si Tulang Besi,
sementara itu Suto memeriksa kain ikat pinggang
Rastiwina yang juga menjadi abu itu.  Ia  menemukan
kitab tersebut, namun keadaannya sudah terbakar dan
hanya sisa bagian pinggirannya saja.
"Ini kitab keramat milik Eyang, silakan ambil, 
Eyang!"                                    
"Aku sudah punya banyak abu gosok buat cuci piring.
Ambillah sendiri!" ujar Geledek Biru dengan hati kesal,
namun membuat Tulang Besi tersenyum kaku, dan
Pendekar Mabuk tersipu malu menahan geli.
"Lupakan tentang kitab itu! Tolong sembuhkan
Mendung Merah dan Santana!" perintahnya kepada
Pendekar Mabuk. Dengan rasa hormat Suto pun  obati
mereka menggunakan tuak saktinya. Lalu, mereka pun
saling berpisah dengan damai.
 
 SELESAI


 Segera terbit!!!
TANTANGAN ANAK HARAM
      Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
 https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com