Pendekar Mabuk 95 - Dalam Pelukan Musuh (2)




4
PELAYAN Resi Pakar Pantun itu setelah ditolong Suto hanya bisa jelaskan tentang siapa orang yang membawa Suto sampai ke tempat itu. Persoalan yang sebenarnya, Kadal Ginting tak bisa jelaskan. Karena pada waktu Jalu Kuping jelaskan perkara muridnya; si Badra Sanjaya itu, ia dalam keadaan KO alias pingsan.

Maka dalam hati Suto pun diliputi tanda tanya besar, "Apa alasan Ki Jalu Kuping membiusku dan ingin membawaku ke pondoknya"! Kesulitan apa yang  dialaminya sehingga ia nekat bertindak sekonyol itu padaku" Lalu, bagaimana dengan Pandawi dan Dewi Kun itu"!"
Ke mana kedua tokoh tua itu pergi, Kadal Ginting juga tak bisa jelaskan. Oleh sebab itu, Pendekar Mabuk segera perintahkan Kadal Ginting untuk mencari kedua tokoh tua itu ke arah timur, sedangkan Suto sendiri akan mencari ke arah utara.
Padahal kedua tokoh tua itu berlari ke arah barat. T entu saja mereka tidak akan bertemu dengan kedua tokoh tua itu. T anpa terasa Pendekar Mabuk sudah berkeliaran mencari mereka selama dua hari, baik mencari kedua tokoh tua itu atau mencari Pandawi dan Dewi Kun.
Rasa-rasanya seluruh pelosok bumi telah dijelajahi Suto untuk mencari mereka, padahal baru sebagian kecil dari permukaan bumi yang dijelajahinya. Tentu saja mereka tak dapat ditemukan.
Anehnya, Pendekar Mabuk justru menemukan seraut wajah cantik lainnya yang belum pernah dikenal dan dijamahnya. Seraut wajah cantik jelita itu milik seorang gadis berpakaian kuning gading. Bajunya tanpa lengan, agak ketat dengan tubuhnya yang sekal itu. Celananyajuga a gak ketat dengan pinggulnya yang padat berisi itu.
T api gadis itu mengenakan jubah tanpa lengan yang mudah dilepas. Jubah merah beludru itu seperti jubah milik Superman atau Drakula, seakan bisa dipakai untuk terbang. T api sebenarnya gadis itu tidak bisa terbang, karena bukan peranakan kelelawar, ia juga tidak doyan minum darah, karena bukan keturunan vampire.
Suto Sinting temukan gadis berambut pendek sepundak itu di sebuah lembah. Gadis yang mengenakan ikat kepala dari lempengan logam kuning emas berbatu kecil-kecil seperti intan itu ditemukan Suto bukan dalam keadaan sedang melamun atau menangis, tapi dalam keadaan sedang berjumpalitan di udara karena hindari pedang seorang lawan. Lawan yang sedang bertarung dengan si gadis itu pernah dilihat oleh Suto, yaitu seorang pemuda  berusia sekitar dua puluh lima tahun yang rambutnya digulung ke atas dan dililit pita merah.
Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap, dan ramping. Badannya tidak sekekar Pendekar Mabuk, ia mengenakan jubah kuning mengkilat dari semacam kain satin, pakaian dalamnya warna hitam. Sarung pedangnya dibungkus kain jingga dan terselip di pinggang.
Pemuda berwajah tampan dan beralis tebal itu tak lain adalah si Raden Lontar, putra bangsawan yang menjadi murid Perguruan Darah Biru.
Raden Lontar adalah sosok pemuda yang haus ilmu, sehingga ia pernah ingin membunuh seorang tokoh tua aliran putih yang bernama T ulang Geledek, hanya untuk dapatkan ilmu dahsyat dari si manusia berwajah ba dak yang bernama Rogana.
Kehadiran Pendekar Mabuk dan gadis konyol; Perawan Sinting, membuat usaha menangkap T ulang Geledek menjadi gagal, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Perawan Sinting").
"Aku masih ingat si Raden Lontar itu," gumam hati Suto Sinting. "Tapi siapa gadis cantik berhidung mancung dan berbibir menggemaskan itu"! Hmm...! Kecantikannya punya daya tarik tersendiri. Beda dengan yang sudah-sudah. Kecantikan itu bagaikan memancarkan cahaya berlian yang berkesan mewah dan mengagumkan. Hmmm... benar-benar mirip boneka gadis itu." Suto Sinting geleng-geleng kepala dengan rasa kagum berbunga-bunga.
Gerakan gadis itu sangat lincah dan gesit. Segalanya dilakukan dengan cepat, nyaris tak terlihat mata manusia biasa. Agaknya ia belum mau menggunakan senjatanya walau Raden Lontar sudah menggunakan pedangnya yang berkesan mewah itu.
"Menyerahlah kau, T irai Surga!" bentak Raden Lontar yang rupanya kewalahan karena sejak tadi tak bisa kenai gadis itu dengan pedangnya.
"Perguruanku tak kenal kata menyerah, Raden Lontar! Tapi jika perguruanmu mengenal kata menyerah, kusarankan agar segeralah kabur sebelum hidupmu berakhir di sini!" ujar si gadis yang ternyata bernama T irai Surga itu.
"Kita buktikan siapa yang masa hidupnya berakhir di sini! Hiaaah...! Raden Lontar menebaskan pedangnya dari kanan ke kiri. Arahnya ke leher T irai Surga. T api dengan gerakan gesit dan cepat T irai Surga meliukkan badan sambil merunduk hingga pedang Raden Lontar membabat tempat kosong. Wuuss...!
Dengan geram Raden Lontar hentakkan kaki ke depan dan pedangnya menghujam ke dada si gadis.
Suuut...! Gadis itu hanya bergeser ke samping dalam gerakan miring. Pedang lawan lewat di depan dadanya. T angan si gadis segera menghantam pergelangan tangan Raden Lontar. Plaak...! Pedang itu hampir saja terlepas dari genggaman Raden Lontar, namun berhasil ditangkap kembali dengan gerakan terhuyung ke kanan. Kesempatan itu digunakan oleh T irai Surga untuk lepaskan tendangan menyamping.
Gerakan kaki itu sangat cepat, sehingga Raden Lontar tak bisa hindari atau menangkisnya. Bet, plook...! Wajah Raden Lontar terkena tendangan cepat dan  kuat. Pemuda itu tersentak ke belakang dan terjungkal satu kali.
"Monyet...!" geram Raden Lontar setelah menegakkan badannya dalam keadaan satu kaki berlutut.
Wajahnya yang terasa panas dan tulang rahangnya seperti patah itu ditahan sesaat. Raden Lontar segera lepaskan pukulan tangan kiri. Wuuut...! Claap...! Sinar biru lurus melesat dari telapak tangan RadenLontar di luar dugaan T irai Surga. Sinar itu berkelebat sangat cepat dan tak bisa dihindari. Si gadis hanya bisa menahan dengan telapak tangannya yang segera ingin memancarkan sinar merah.
Namun sebelum sinar merah itu menjadi besar dan terlepas dari telapak tangan itu, sinar birunya Raden Lontar lebih dulu menghantamnya. Blegaaar...! Ledakan cukup keras membuat T irai Surga terlempar sejauh tujuh langkah dan jatuh berguling-guling. Ra den Lontar segera mengejarnya, tak beri kesempatan bagi si gadis untuk lepaskan balasan. Kali ini Raden Lontar pergunakan pedangnya untuk membunuh T irai Surga.
Dalam jarak satu langkah, pedang itu diayunkan memenggal leher si gadis yang sedang sempoyongan akibat ledakan tadi.
Wuuut...! Traaang...!
T iba-tiba pedang itu terpental bagai disambar setan. Se butir batu kecil telah melesat dan kenai pedang itu. Batu kecil itu disentilkan dari tangan seorang pemuda tampan yang bersembunyi di balik semak. Pendekar Mabuk itulah orangnya yang merasa sayang jika gadis secantik itu terpenggal kepalanya.
"Setan...!! Siapa kau yang ada di semak-semak itu"! Keluar!" seru Raden Lontar setelah memungut pedangnya. Pendekar Mabuk sengaja tak menjawab, karena sebenarnya ia tak ingin terlibat urusan antar perguruan itu. Ia hanya merasa sayang jika gadis itu sampai kehilangan nyawa. Jika hanya luka atau celaka tak apa, asal jangan sampai mati.
Raden Lontar mencoba untuk tidak pedulikan gangguan dari balik semak. Selagi T irai Surga belum bangkit dan masih tampak lemah akibat pukulan sinar birunya tadi, Raden Lontar ayunkan kembali pedangnya untuk memenggal kepala gadis Itu. Wuuut...!
Traang...! Lagi-lagi batu sekecil kemiri melesat kenai pedang Raden Lontar. Pedang itu tersentak kuat membalik arah, bahkan membuat keseimbangan Raden Lontar menjadi  limbung. Hampir saja ia jatuh terjengkang kalau tak segera pasang kuda-kuda rendah. "Bangsat kurap betul orang itu!" geram Raden Lontar, kemudian tangan kirinya lepaskan pukulan bersinar biru seperti tadi ke arah semak-semak. Claap...!
Sinar biru itu melesat cepat ke arah semak-semak. Suto Sinting melihat gerakan sinar biru itu, lalu cepat-cepat hadangkan bumbung tuaknya sebagai penangkis. Tuub...! Sinar itu membentur bumbung tuak seperti benda padat membentur karet.
Bumbung tuak tidak mengalami luka lecet atau hangus sedikit pun, tapi ia mampu pantulkan sinar biru itu ke arah semula dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar dari aslinya.
Wuuus...! "Edan..."!" pekik Raden Lontar dengan mata mendelik melihat sinar birunya memantul balik dengan lebih cepat dan lebih besar dari aslinya, ia sempat panik, dan segera melepaskan jurus bersinar kuning dari sentakan pedangnya. Pedang yang disentakkan ke depan keluarkan sinar kuning dari  ujungnya sebesar telur ayam kampung. Claap...! Jegaaarrr...! Benturan sinar kuning yang baru saja keluar dari ujung pedang dengan sinar biru   timbulkan ledakan dahsyat yang melemparkan tubuh Raden Lontar sejauh sepuluh langkah lebih. T ubuh itu melayang ke belakang bagai tersapu badai dan jatuh terbanting di atas sebongkah batu sebesar anak sapi. Bruuuk...!
"Huaaaahhkk...!!" pekik Raden Lontar dengan kerasnya. Suara pekikan itu dibarengi dengan semburan darah segar dari mulutnya.
Suto Sinting sendiri terkejut, karena tak sangka akan membuat Raden Lontar separah itu. "Salahnya, pakai ditangkis dengan sinar kuning segala!" gerutu hati Suto  Sinting. "Coba dihindari saja, tak akan membuatnya terluka dalam separah itu"!"
T irai Surga pun terperanjat melihat lawannya terlempar sejauh itu dan semburkan darah segar dari mulutnya. Gadis itu dapat menduga, lawannya terluka parah bagian dalam tubuhnya. Namun siapa orang yang memihaknya, T irai Surga tak dapat menduga.
Raden Lontar mencoba bangkit dengan terhuyung-huyung. Wajahnya menjadi pucat pasi seperti mayat. Mulutnya menganga terus karena berusaha menghirup napas yang tampak sukar sekali itu. Ia melangkah mundur dengan masih pegangi pedangnya. Langkahnya itu menggeloyor dan jatuh terduduk di tempat, darah keluar lagi dari mulutnya. Namun ia mencoba bangkit kembali dengan pandangan mata mulai sayu.
"Wah, mati tuh orang..."!" gumam hati Suto Sinting dengan agak menyesal. Ia ingin bergegas keluar untuk menolong Raden Lontar,karena di antara dirinya dan Raden Lontar sebenarnya tak punya masalah pribadi apa pun. Ia hanya menyelamatkan nyawa si cantik T irai Surga itu, tak sengaja membuat Raden Lontar sampai segawat itu.
Namun sebelum Pendekar Mabuk keluar dari persembunyiannya, murid Perguruan Darah Biru itu sudah kabur lebih dulu. Dalam hati Raden Lontar yakin bahwa lukanya akan semakin parah jika dilanjutkan melawan T irai Surga atau orang yang ada di balik semak itu. Maka ia memilih lari dari pertarungan dan segera temui gurunya untuk lakukan pengobatan.
"T api aku akan kembali lagi untuk bikin perhitungan sendiri denganmu, T irai Surga!" geram hati Raden Lontar yang cepat menghilang di balik kerimbunan hutan  seberang. T irai Surga sudah dapat berdiri dan menahan
kayunya, ia ingin kejar musuh perguruannya itu. T etapi tiba-tiba langkahnya terhenti oleh sebuah suara yang muncul dari semak-semak di belakangnya.
"T ahan...!"
T irai Surga terkejut meiihat seraut wajah tampan yang sedang melangkah tegap ke arahnya. Gadis itu sempat  tertegun bagai melihat setan ganteng menghampirinya.
"Ya, ampun... ganteng amat pemuda ini"! Senyumnya walaupun tipis namun terasa meneduhkan hatiku yang marah kepada si Raden Lontar itu"!" ujar T irai Surga dalam hati. "Anak siapa dia, ya"! Pandangan matanya membuat hatiku berdesir-desir indah. Ooh... kurasa dia memakai ilmu pelet sehingga aku bisa terpesona oleh penampilannya. Tapi... tapi apa benar dia pakai ilmu pelet"! Wajahnya toh memang asli tampan, badannya juga tegap, gagah, dan langkahnya mantap sekali. Kurasa tanpa ilmu pelet pun dia sudah menawan."
Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah di depan T irai Surga dalam jarak satu tombak kurang. Senyumnya sengaja dipamerkan supaya si gadis tahu bahwa ia bermaksud bersahabat bukan bermusuhan. Namun si gadis belum bisa membalas senyumannya. Walau hati si gadis berdebar-debar indah, tapi ia tak mau pamer senyum sembarangan. Ia memasang wajah berkesan dingin. Hanya saja, sorot pandangan matanya tak bisa berbohong, bahwa ia terpesona kepada murid sinting si Gila T uak itu.
"T ak perlu kau kejar dia, Nona. Lukanya sudah terlalu berat. Anggap saja dia kalah tanding denganmu dan melarikan diri. Jangan menyerang orang yang telah melarikan diri dan tak berdaya itu."
"Kaukah yang ikut campur dalam pertarunganku ini"!" suara T irai Surga terdengar dingin sekali, seakan acuh tak acuh terhadap kehadiran Suto di situ.
"Ya, memang aku yang menyentilkan batu ke pedang Raden Lontar, karena aku tak ingin nyawamu melayang dalam usia semuda ini dan secantik ini. Kau boleh mati setelah wajahmu keriput dan kempot, yaah... kira-kira setelah berusia seratus tahun lebih," ujar Suto Sinting seenaknya saja dalam bicara.
"Apakah kau dewa penentu usia seseorang"!"
"T erserah anggapanmu. Dianggap dewa ya mau, dianggap raja ya mau, dianggap pangeran ya mau! Asal jangan dianggap sapi saja."
Senyum pemuda tampan itu makin mekar. Tirai Surga merasa diajak bercanda, tapi ia sengaja menahan senyum dan tawa agar tak berkesan sebagai gadis yang mudah terpikat oleh ketampanan dan kelakar setiap pemuda. Ia justru melangkah ke bawah pohon, supaya tubuhnya yang putih mulus itu terlindung oleh sengatan sinar matahari. Suto Sinting hanya mengikuti dengan pandangan mata, namun karena gadis itu berhenti agak jauh, mau tak mau Suto Sinting pun menghampirinya, ia ingin melihat sebentuk kecantikan yang mulus, tanpa cacat, dan jerawat sebutir pun.
"Kau terlalu lancang, ikut campur dalam urusan perguruanku!"
"Maaf, seperti kukatakan tadi. aku hanya tak ingin Raden Lontar mencabut nyawamu. Kalau hanya membuatmu bonyok atau babak belur, itu tak apa. Asal jangan membuatmu mati."
"Mengapa kau tak ingin kalau aku mati?"
"Hmmm... karena... karena itu akan merepotkan aku. Aku adalah orang yang tak bisa melihat mayat tergeletak tanpa dikubur. Aku selalu menguburkan mayat tak kukenal, terutama yang berwajah cantik," sambil Suto Sinting tertawa pelan pertanda ucapannya hanya sekadar kelakar belaka. Kali ini si gadis sunggingkan senyum kecil berkesan sinis.
"Rupanya kau ingin kuanggap sebagai pendekar sakti, ya" Hmmm...," gadis itu mencibir. "T anpa kau bela pun sebenarnya aku bisa tumbangkan pemuda laknat tadi! Aku sengaja diam, dan menunggu dia mendekat, lalu akan kuhantam dia dengan jurus mautku. T api rupanya kau terlalu usil dan sok jago, sehingga ia akhirnya kabur dalam keadaan bernyawa. Padahal aku ingin dia kabur dalam keadaan sudah tak bernyawa."
"Mana mungkin"!" ujar Suto sambil tertawa lirih.
"Mungkin saja! Kau sangka ilmuku lebih rendah dari Raden Lontar"! Hmmm...! Sepuluh Raden Lontar pun sanggup kugulingkan dalam waktu sekejap"!"
"Maksudku, mana mungkin orang sudah tak punya nyawa bisa lari"!" potong Suto Sinting membuat Tirai Surga hentikan kata-katanya, sedikit merasa malu menyadari ucapannya yang salah ucap tadi.
Setelah sama-sama diam sesaat, Pendekar Mabuk segera ajukan tanya kepada T irai Surga yang sejak tadi dipandanginya penuh rasa  kagum. "Kalau boleh kutahu, perkara apa yang membuat perguruanmu bermusuhan dengan perguruannya Raden Lontar"!"
"Urusan Guru sama Guru, murid jadi kena getahnya!" jawab T irai Sur ga masih bernada dingin. "Mereka berebut kitab warisan Eyang Guru, lalu kami para murid saling mendukung Guru masing-masing. Permusuhan ini  sudah lama berlangsung, tak satu pun dari mereka ada yang mau saling mengalah. Maka jika orang perguruanku bertemu orang Perguruan Darah Biru, pasti saling beradu nyawa."
"Kau dari perguruan mana?"
"Aku dari Perguruan T elaga Murka. Saat ini kami tak mempunyai ketua, karena ketua perguruan kami baru saja meninggal karena penyakit ketuaannya."
"Jadi kau sedang mencari seorang ketua untuk perguruanmu"!"
"Malam purnama yang akan datang akan dilakukan pemilihan calon ketua dengan cara adu kekuatan di antara para murid. Siapa yang terkuat dan unggul melawan para calon ketua, dialah yang akan dinobatkan sebagai ketua kami."
"Aneh. Kau bilang tadi, gurumu dan gurunya Raden Lontar selalu bermusuhan, tapi sekarang kau bilang sedang mencari ketua perguruan yang...."
"Guru tidak mau menjadi ketua perguruan! Guru hanya sebagai pengawa s dan penggembleng para murid. Gur u juga tidak mau menunjuk salah satu dari kami untuk menjadi ketua. Maka kami sepakat untuk adakan adu kekuatan tenaga luar. Dan aku ingin sekali menjadi orang berjasa dalam perguruan yang nantinya akan kuhadapi musuh utama kami si Beruang iblis, karenanya aku harus mencari tambahan ilmu dari pihak luar secara diam-diam."
"Ooo... ceritanya kau ingin cari penghasilan sampingan di luar perguruan"!" ujar Suto Sinting sambil tertawa pelan dan manggut-manggut kecil. "Kau memang termasuk murid bengal, T irai."
T irai Surga tak tersenyum sedikit pun. T api ia pandangi Suto Sinting dengan mata beningnya yang tak berkedip sejak tadi itu. Sesaat kemudian, ia mulai perdengarkan suaranya yang terdengar seperti ragu-ragu dalam pengucapannya itu.
"Maukah... maukah kau membekaliku sedikit ilmu untuk membuatku menjadi lebih   tinggi dari para murid lainnya"!"
Suto Sinting tertawa lagi. Seakan permohonan itu dianggap lucu dan tak perlu ditanggapi secara serius.
"Kau belum mengenalku, belum tahu namaku, belum tahu seberapa tinggi ilmuku, mengapa kau sudah berani meminta ilmu padaku" Siapa tahu ilmumu sendiri lebih tinggi dari ilmuku"!"
T irai Surga gelengkan kepala pendek saja. Matanya tetap tertuju ke arah wajah Suto Sinting. Sikap berdirinya mengesankan sebagai gadis pemberani yang tak pernah kenal kata menyerah. "Kulihat kau tadi sudah bisa mengembalikan sinar birunya Raden Lontar dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar, itu sudah menandakan kau berilmu tinggi, karena dari perguruanku maupun dari perguruan Raden Lontar tak ada yang punya ilmu seperti itu," ujarnya dengan polos tanpa senyum.
"Begitukah?" sambil Suto tersenyum bangga, namun senyum itu justru memancarkan daya pikat lebih tinggi lagi, sehingga debar-debar di hati T irai Surga menjadi bertambah meresahkan jiwanya. Namun gadis itu pandai sembunyikan perasaannya, sehingga tak mudah diketahui oleh pemuda yang ada di depannya itu.
"Namaku: Tirai Surga! Kau boleh memanggilku Tirai saja, atau Surga saja. Kurasa kau tak akan rugi menurunkan sedikit ilmumu kepadaku, karena akan kukenang sepanjang masa dan...."
"Dan namaku Suto Sinting," potong Suto yang tak mau mendengar janji-janji bercorak bualan belaka itu.
"Kau boleh memanggilku Suto, boleh memanggilku Sinting. T erserah seleramu saja!" tambah Suto Sinting.
Gadis itu sudah hampir mau tersenyum. Tapi tiba-tiba mereka mendengar suara ledakan yang menggelegar. Suara ledakan itu sangat jelas, dan cukup dekat menurut perhitungan jarak lari Pendekar Mabuk. T anah tempat mereka berpijak sempat terasa bergetar, menandakan ledakan tadi terjadi karena perpaduan dua kekuatan berilmu tinggi.
"Maaf, aku harus pergi ke arah ledakan tadi, untuk melihat siapa yang bertarung di sana!" "T unggu! Aku ikut denganmu!" sahut T irai Surga."Kau keberatan"!"
Pendekar Mabuk belum jadi melangkah pergi, ia menatap T irai Surga yang ber wajah cantik mulus. Kulitnya begitu lembut bagaikan kulit bayi. "Biarkan aku ikut denganmu. Aku tidak akan mengganggu ruang gerakmu, Suto!" ujar T irai Surga setengah mendesak. Pendekar Mabuk hanya sentakkan kedua pundaknya, kemudian segera melesat dengan kecepatan tinggi, menyerupai gerakan seberkas sinar, karena ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
T irai Surga terbengong melompong melihat kecepatan gerak itu. Ia terkesima di tempat hingga tertinggal cukup jauh oleh Suto Sinting. "Aku harus mendekatinya terus. Siapa tahu kekuatan dan ilmunya biasa kugunakan untuk melindungiku dari maut yang sedang kuburu ini"!" ujar gadis itu sambil  bergegas menyusul Suto.
* * *

5
MATA pendekar tampan itu tidak berkedip pandangi pertarungan antara seorangnenek berjubah abu-abu dengan seorang kakek berjubah biru muda. Hal yang amat menarik bagi Suto Sinting adalah keduanya bertarung di atas daun-daun ilalang. T entu saja mereka sama-sama pergunakan Ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, sehingga mampu berdiri di atas pucuk-pucuk ilalang. Seakan pucuk-pucuk ilalang adalah tanah padat atau hamparan batu luas tanpa celah sedikit pun.
Si jubah biru tampak bergerak dengan lincah, lakukan lompatan ke sana-sini sambil lepaskan pukulan bersinar putih. Pukulan itu ditangkis terus oleh si nenek berjubah abu-abu dengan kibasan tangannya. Angin kibasan tangan itu mewakili perisai hawa padat yang membuat sinar putih itu tak pernah berhasil menyentuhnya.
Sekali si nenek lepaskan pukulan dengan tubuh melayang bagai terbang, kedua tangan mereka beradu di udara dan timbullah ledakan besar yang kedua kalinya. Blegaarr...! Jubah biru yang belum dikenal Suto Sinting itu jatuh berlutut, tapi tetap di atas ilalang tanpa terperosok sedikit pun. Itu menandakan kemampuan dalam menjaga keseimbangan tubuh dalam ilmu peringannya nyaris mendekati sempurna.
Sayangnya si jubah biru tidak segera dongakkan wajah, sehingga ia tak tahu ketika nenek berjubah abu-abu dan berkuku runcing itu melepaskan sinar hijau kecil sebesar lidi dari ujung telunjuknya. Sinar hijau itu melesat lurus bagaikan kawat dan menghantam leher si jubah biru. Claap...!
Dess...! "Uuhk...!" Jubah biru memekik dan jatuh terperosok ke dalam semak.
Pada saat itu, T irai Surga datang mendekati Suto Sinting dengan langkah pelan agar tak timbulkan suara.
Namun bagi Suto, suara langkah kaki gadis itu masih bisa didengar karena jaraknya semakin dekat. Suto Sinting menengok sesaat, kemudian ketika T irai Surga ada di sampingnya, Suto pun berbisik dengan suara sangat pelan.
"Kau lihat si jubah biru tadi?"
"Ya. Dia yang berjuluk si Singa Bangka dari Pantai Bacin. Dia termasuk gurunya Raden Lontar di luar Perguruan Darah Biru."
"Ooo..." Suto Sinting menggumam lirih dan manggut.
"Sebenarnya ia termasuk orang tangguh. T api sayang ia lebih dulu terkena jurus  'Mati Raga', sehingga ia tak akan bisa berkutik lagi," tambah Tirai Surga yang tadi sempat melihat sinar hijau lurus menghantam leher Singa Bangka.
"O, sinar hijau tadi namanya jurus 'Mati Raga'"!" gumam Suto merasa baru tahu nama jurus itu. "Lalu, yang berjubah...."
Kata-kata Pendekar Mabuk terhenti sampai di situ, karena matanya segera terbelalak ketika melihat bayangan nenek berjubah abu-abu itu bergerak sendiri, bagai melompati tubuh  jubah bir u yang terperosok di dalam ilalang itu. Sedangkan si pemilik bayangan segera melesat ke arah lain, memunggungi Suto Sinting.
Weess...! Blaass...!
Gerakan bayangan hitam yang berbeda dengan gerakan si pemilik bayangan itu timbulkan letupan kecil dan nyaris tak terdengar. Bluub...! Wuuurss..!
"Hahh..."!" Suto Sinting nyaris terpekik karena kagetnya. Sayang rasa kagetnya terlalu besar sehingga yang
keluar dari mulutnya hanya desah napas menyentak. Matanya masih tak berkedip pandangi bayangan hitam yang segera bergabung dengan tubuh si jubah abu-abu. Mereka bagai  dua nyawa yang se gera melesat pergi tinggalkan tempat tersebut.
Tubuh Singa Bangka segera kepulkan asap, lalu asap segera lenyap ditiup angin, dan Singa Bangka ternyata sudah menjadi abu bercampur arang.
"Ger.... Ger.... Gerhana Senyawa..."!" ucap Suto Sinting lirih sekali sambil
menggeragap dan terpaku di tempat.
"Benar. Itu tadi jurus ' Gerhana Senyawa' yang sangat dahsyat dan mematikan sekali!" ujar T irai Surga sambil matanya pandangi ke arah kepergian si jubah abu-abu. Pendekar Mabuk belum bisa kedipkan mata. Jantungnya bagai menyentak-nyentak setelah tahu bahwa Singa Bangka akhirnya tewas menjadi abu karena dilanda bayangan hitam dari sosok tubuh si jubah abu-abu tadi.
Kini si jubah abu-abu sudah sangat jauh dan menghilang dari pandangan Suto Sinting serta Tirai Surga. Namun keadaan Suto masih tetap terpaku di tempat bagaikan patung bernyawa dengan mulut ternganga. T irai Surga memeriksa abu itu dengan menerabas semak-semak ilalang. Sesaat kemudian ia kembali temui Suto. T api pemuda itumasih terpaku di tempat dengan mata melebar dan mulut ternganga.
"Hei, kenapa kau"!" tegur T irai Surga seraya menepuk punggung Pendekar Mabuk. T epukan dan teguran itu berhasil membuat Suto Sinting sadar dan menggeragap.
Napasnya terengah-engah,
wajahnya menjadi pucat dan menegang. Hal itu menimbulkan keheranan dan kecurigaan bagi T irai Surga.
"Ada apa kau"! Kenapa wajahmu menjadi sepucat mayat puasa"!"
Bisa dibayangkan, wajah mayat saja sudah pasti pucat pasi, dan orang puasa pun berwajah pucat. Dapat dibayangkan pula seperti apa kepucatan wajah Suto kala itu jika T irai Surga sampai mengatakan 'seperti mayat puasa'" Suto Sinting sangat shock begitu melihat kematian Singa Bangka dari Pantai Bacinitu. Ia sampai tak bisa bicara sesaat, karena tenggorokannya sibuk menelan napas beberapa kali. Bahkan ketika ia melangkah ke bawah pohon dan sandarkan tangan kirinya di sana, ia masih belum bisa bicara dengan benar sewaktu T irai Surga menegurnya lagi.
"Ada apa sebenarnya"! Kau aneh sekali, Suto Sinting"!"
"Itu... tadi... iya... hmm... jurus itu...."
"Jurus yang mana" Apakah maksudmu jurus ' Gerhana Senyawa' itu"!"
"Kau... kau kenal dengan si jubah abu-abu tadi"!"
"T entu. Dia adalah Nyai Dupa Mayat yang sedang memburu Pendekar Mabuk," jawab Tirai Surga dengan polos, karena ia tak tahu bahwa Suto Sinting itu adalah si Pendekar Mabuk.
"Oohhhh...," Suto Sinting mengeluh dengan tubuh melemas.
"Untuk saat ini, memang baru Nyai Dupa Mayat yang menguasai ilmu 'Gerhana Senyawa'. T api ia juga mempunyai beberapa jurus maut yang membahayakan lawan, di antaranya adalah jurus 'Mati Raga' itu tadi.
Seseorang yang terkena jurus 'Mati Raga' selamanya tak akan bisa bergerak, namunnyawa dan napasnya masih ada."
T uak segera diteguk untuk menenangkan getaran hatinya. Hal yang membuat Suto Sinting menjadi shock adalah penglihatannya yang tak disangka-sangka.
Dengan jelas sekali ia melihat sosok Nyai Dupa Mayat. Dengan jelas pula ia melihat bagaimana bayangan hitam itu berkelebat membakar tubuh Singa Bangka dalam sekejap.
Sedangkan saat itu nyawa Suto merasa terancamoleh ilmu gila itu. T ak dapat dibayangkan olehnya jika nenek berjubah abu-abu itu tadi pergi dengan melintas   atas kepalanya, tentu saja saat ini ia sudah menjadi abu seperti nasib Singa Bangka itu.
Baru sekarang Suto Sinting melihat sosok orang yang akan menjadi calon lawannya nanti. Rasa sesal itu mengejutkan hati Suto, karena sebenarnya tadi ia punya kesempatan untuk menyerang Nyai Dupa Mayat dengan jurus 'Manggala' atau jurus 'Yudha'-nya. Sayang sekali ia tak tahu siapa nenek berjubah abu-abu itu, sehingga yang dilakukan hanya terbengong melompong saksikan pertarungan tersebut. "Bodoh! Bodoh sekali aku! Lawan sudah di depan mata dibiarkan pergi begitu saja"! Ia tak mungkin bisa terkejar olehku, karena ia juga punya gerakan cepat, menyamai dengan jurus 'Gerak Siluman'-ku!" geram Suto Sinting dalam hatinya.
Tirai Surga pandangi Suto sejak tadi. Yang dipandang cuek saja, tak hiraukan si gadis, karena pikirannya tertuju pada penyesalan besarnya itu. Wajah Nyai Dupa Mayat yang sempat dilihatnya sepintas tadi masih membayang terus di pelupuk matanya. Suto Sinting merasa seperti melihat sang malaikat yang akan mencabut nyawanya.
"Suto, katakan dengan jujur, mengapa kau tampak ketakutan sekali"! Apakah baru sekarang kau melihat korban ilmu "Gerhana Senyawa'?" ujar T irai Surga.
"Hmmm. Eeh... iya, memang baru sekarang," jawab Suto menutupi kasus sebenarnya yang sedang dihadapi.
"Kau tak perlu khawatir, Suto. Nyai Dupa Mayat tak akan mencelakaimu semasa kau tidak mengganggunya. Aku tahu betul tentang sifatnya yang pendendam itu, karena dia pernah tiga kali datang ke perguruanku dan mengajak guruku bergabung. T api guruku menolaknya. Aku tahu banyak tentang dia dari guruku."
"O, ya..."!" jawab Suto Sinting secara basa-basi, tapi sebenarnya ia tidak begitu menghiraukan kata-kata tersebut. Hanya dalam hatinya ia berkata, "Kau tidak tahu yang sebenarnya. T irai Surga. T entu saja kau bisa berkata begitu."
T irai Surga menyambung kata-katanya tadi, "Lupakan tentang apa yang kau lihat tadi. Percayalah, Nyai Dupa Mayat tidak akan menyerangmu. Dia hanya membutuhkah nyawa si Pendekar Mabuk saja!"
Hati Suto Sinting bagai diiris dengan sembilu. Bukan saja perih namun juga merasakan kecemasan yang amat besar, ia membayangkan saat bayangan hitam itu melintasi tubuhnya, dan akan terasa seperti apa panas yang menyengat sekujur tubuh dan membuatnya menjadi abu.
"Kalau masih sempat bertarung saling berhadapan, masih ada kesempatan bagiku untuk melawan dan menghindarinya. T api kalau tiba-tiba bayangannya melintasiku sementara aku sedang duduk beristirahat dengan santai, mau dibilang apa" Matilah aku saat itu juga! Hmmm... memang mestinya aku harus segera temui si Bocah Emas untuk mencari tahu penangkal ilmu 'Gerhana Senyawa' itu. Sebab kali ini lawanku bisa saja mencabut nyawaku pada saat aku tidur. Tentu aku tak akan merasakan kehadiran bayangan hitam itu."
Pendekar Mabuk termenung panjang. Hatinya berceloteh sendiri, sementara T irai Surga tampak pandangi keadaan sekeliling. Gadis itu tak mau pergi dari Suto, karena hatinya punya niat untuk bisa selalu berada di dekat pemuda tampan itu.
Suto pun membatin kembali, "Semakin matahari condong ke barat, atau berada di  sisi timur, maka bayangan tubuh Nyai Dupa Mayat akan semakin panjang. Sangat mudah baginya untuk menyerangku jika bayangan itu semakin panjang. Dan jika bayangan itu tahu-tahu mendekatiku dari samping, sementara aku berhadapan dengan Nyai Dupa Mayat, mana mungkin aku bisa mengetahuinya jika mataku tak memandang waspada keadaan sekelilingnya"
Lalu, jika bayangan itu datang dari belakang, mana mungkin kudengar kehadirannya" Mana mungkin kurasakan gerakannya"
Oh, gila betul ini! Sekarang aku benar-benar sedikit grogi berhadapan dengan lawan yang punya ilmu edan-edanan itu! Untung bukan Siluman Tujuh Nyawa, musuh utamaku, yang mempunyai ilmu edan seperti itu.  Seandainya dia yang mempunyai ilmu itu, akan semakin sulit bagiku untuk mengalahkannya dalam setiap pertarungan"!"
Wajah yang tertunduk hanyut dalam renungan itu kini terangkat ingin memandang T irai Surga. T iba-tiba sekelebat benda tampak meluncur dari atas pohon seberang ke arah gadis itu.
"T irai, awaas...!" seru Suto Sinting sambil bergegas menyambar tangan gadis itu dan menariknya ke dalam pelukan. Gadis itu sempat terpelanting hilang keseimbangan dan tubuhnya berputar balik dengan punggung menyentuh dada Suto Sinting.
Namun pada saat itu pula, benda yang melesat cepat dari atas pohon seberang itu menancap di dada kiri T irai Surga. Zaaap...! Jrrub...!
"Aaahk...!"
Sebatang anak panah menancap di dada kiri gadis itu, tepatnya di bawah pundak. Pendekar Mabuk tak sempat menangkap anak panah itu karena tangan kanannya memegangi bumbung tuak dan tangan kirinya menarik tubuh T irai Surga. Ga dis itu langsung mengejang dan mengerang pelan.
"Uuuhhh...!" suaranya merintih mengharukan. T ubuh si gadis menjadi lemas, bahkan tak mampu berdiri dengan kedua kakinya.
"T irai..."! Tirai..."!" Suto Sinting mengguncang-guncang tubuh gadis itu. Tirai Surga semakin redupkan matanya dalam pelukan Suto. Hati si pemuda menjadi berang, gemas, dan jengkel sendiri. Maka dicabutnya anak panah yang menancap di dada gadis itu.
Sleeb...! Suto Sinting sempat terperanjat heran karena tak ada darah yang mengalir dari luka berlubang itu. Luka tersebut mengeluarkan darah hanya sedikit dan berwarna hitam, hanya di sekitar lubang luka saja. Jelas hal itu dikarenakan ujung anak panah mempunyai racun yang cukup membahayakan.
Pendekar Mabuk segera baringkan gadis itu ke tanah berumput. Mulutnya yang ternganga keluarkan erangan merintih itu segera dituangi tuak. Sebagian tuak ada yang terminum, sebagian ada yang berceceran di sekitar mulut dan leher.
Selesai itu, Suto tak pedulikan lagi keadaan Tirai Surga, ia segera menatap ke arah pohon tempat keluarnya anak panah tersebut. T ernyata di sana masih ada si pemanah yang tampaknya ingin memastikan apakah T irai Surga benar-benar mati atau tidak. Kesempatan itu segera digunakan Suto untuk melepaskan pukulan jarak jauhnya yang dinamakan 'Pukulan Guntur Perkasa' itu.
Sentakan tangan kiri Suto Sinting keluarkan sebaris sinar hijau. Claaap...! Sinar itu segera menghantam dahan pohon besar berdaun rimbun itu.
 Jegaaarrr...! Ledakan membahana terdengar bersamaan berpendarnya sinar hijau besar. Kejap berikut pohon itu telah hancur separo bagian. Sekelebat bayangan tampak melesat dari pohon itu, terlempar akibat gelombang ledakan. Walau sinar hijau itu tak kenai tubuh si pemanah, namun gelombang ledakannya melemparkan si pemanah sejauh delapan tombak dari pohon tersebut.
Pendekar Mabuk segera hampiri orang itu dengan gerakan cepatnya. Zlaap...! T ahu-tahu ia sudah berada di samping si pemanah yang sedang berusaha bangkit sambil mengerang. Busur panahnya patah akibat tertimpa tubuhnya sendiri saat jatuh terbanting. Seba gian anak panahnya berceceran ke mana-mana. Si pemanah ternyata seorang lelaki yang berusia sekitar empat puluh tahun dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala merah tua.
Lelaki berperawakan sedang, berkumis lebat dan bermata besar itu sengaja dibiarkan bangkit oleh Suto Sinting, sampai akhirnya lelaki itu memandang Suto dengan tersentak kaget. Raut wajahnya tampak menyimpan kecemasan bercampur kemarahan. Se bilah pisau sepanjang dua jengkal dicabut dari pinggangnya. Sreet...! Ia sedikit membungkuk sambil mengarahkan pisau mengkilat itu kepada Suto Sinting.
"Majulah kalau kau ingin mati di tanganku, Bangsat!"
"Namaku; Suto, bukan Bangsat!" ujar Pendekar Mabuk dengan kalem, walau hatinya geram sekali ingin menghantam congor orang itu.
"Persetan dengan siapa namamu! Tapi kau sudah mencampuri urusanku, maka kau pun harus mati di ujung pisauku ini! Hiaaat...!"
Wut, wut, wut, wess, wuut, wees, wess...!
Serangan orang itu datang secara beruntun, menusuk dan menyabetkan pisaunya. Tapi dengan gerakan cepat yang menggeloyor ke sana-sini seperti orang mabuk ingin jatuh, Suto berhasil hindari tusukan dan sabetan pisau itu. Sampai suatu saat akhirnya tangan orang itu berhasil ditendang oleh Sulo dengan tendangan berputar cepat. Beet...! Wuut...!
Tangan itu tersentak ke atas dengan kuat, pisaunya terpental dari genggaman.
"Hahh..."!" orang itu membelalak tegang setelah sadari tangannya tak memegang pisau lagi. Pendekar Mabuk berputar sekali lagi dengan gerakan cepat.
Wuuus...! Kakinya bagai menampar wajah orang itu dengan telak sekali. Plook...!
"Aauw...!" Orang itu terjungkal ke samping karena kuatnya tendangan Suto. Ia jatuh berguling-guling dengan wajah bagaikan ditampar dengan balok kayu yang amat besar. Untuk sesaat orang itu menjadi buta, tak bisa melihat apa-apa. Ia mencoba bangkit dengan meraba-raba dan mengerang dengan suara napas memburu ganas. Pendekar Mabuk sengaja biarkan orang itu geragapan mencari pegang.
 Pada saat itu mata Suto sempat melirik ke arah Tirai Surga. Gadis itu telah berdiri dan memandang heran ke arah dadanya yang terluka. Luka tersebut telah merapat dan lenyap. Kulit dada menjadi mulus kembali tanpa luka seujung jarum pun. Hanya saja, baju kuningnya yang tanpa lengan itu terpaksa bolong akibat ditembus anak panah beracun tinggi itu.
Wut, wut, wut...!
Plook...! Tirai Surga berplik-plak cepat, berjungkir balik dengan menggunakan kedua tangannya di tanah menuju ke arah si lelaki berpakaian hitam itu. Begitu tiba di depan lelaki tersebut, kaki T irai Sur ga menendang ke atas dengan cepat dan kuat. Dagu si lelaki terkena tendangan tersebut, sehingga orang itu terdongak dan sambil mengerang keras, lalu sempoyongan ke belakang.
"Hiaaah...!" T irai Surga menjejak dengan cepat, dada orang itu terkena telak dan membuatnya semakin terlempar, lalu jatuh terkapar setelah semburkan darah segar dari mulutnya.
Gadis itu mempunyai senjata gelang pipih bertepian tajam. Sepasang gelang pipih mirip piringan itu mempunyai tempat tersendiri di pinggang kanan-kiri yang terbuat dari kulit. Gelang pipih sebesar piring makan itu segera dicabut dari tempatnya. Matanya memandang beringas kepada lelaki yang sedang berusaha bangkit dengan merangkak-rangkak itu.
"Habis sudah riwayatmu, Setan Ajak!" teriak T irai Surga tampak murka sekali. Senjata itu akan dilemparkan ke arah si Setan Ajak untuk memenggal leher orang tersebut. T api Suto Sinting yang saat itu ada di belakang T irai Surga segera mencekal tangan yang sudah memegang senjata gelang putih dari besi baja itu.
"Jangan! Dia sudah cukup terluka oleh tendanganmu. T erlambat menyembuhkan dia akan mati dengan sendirinya!"
"T api dia hampir saja membunuhku secara curang! Dia harus menerima hukumannya; kehilangan kepala!"
"T irai, kau masih hidup dan tetap sehat, bukan"! Kurasa tak perlu harus mencabut nyawanya. Jangan terlalu mudah mencabut nyawa  orang selama tidak dalam keadaan sangat terpaksa, T irai!"
Gadis itu menatap Suto, dan Suto pun menatapnya lekat-lekat. "T urunkan amarahmu, T irai."
Tatapan mata lembut itu terasa menembus sampai ke dasar hati, menyiramkanketeduhan yang damai bagi T irai Surga. T atapan mata itu menjinakkan hati yang beringas terhadap si Setan Ajak. Namun demi memperlihatkan ketangguhan dan harga dirinya, Tirai Surga berseru kepada Setan Arak yang bermaksud melarikan diri itu.
"Katakan kepada Beruang Iblis; ketua perguruanmu itu, T irai Surga tak akan gentar jika harus bertarung melawannya! Jangan coba-coba lagi berusaha membunuhku jika tak ingin perguruanmu kuratakan dengan tanah!"
Setan Ajak bagai tak pedulikan seruan itu. Ia bergegas pergi tanpa menengok ke belakang lagi. Sesekali arah langkahnya terhuyung ke kiri atau ke kanan karena ia masih harus menahan luka di dalam dadanya.
"Siapa si Setan Ajak itu sebenarnya"!"
"Orang perguruan Pintu Neraka, anak buah si Beruang Iblis!" jawab T irai Surga setelah hembuskan napas pengendur ketegangannya.
"Beruang iblis..."!" gumam Suto Sinting merasa asing dengan nama itu.
"Jika aku menjadi ketua perguruan nantinya, Beruang Iblis adalah la wan beratku yang harus kuhadapi. Karena itu aku butuh tambahan ilmu yang dapat kupakai untuk melumpuhkan si Beruang Iblis. Maukah kau ajarkan salah satu ilmu andalanmu padaku?" Pendekar Mabuk kembali diliputi perasaan serba salah, ia tak tahu harus bilang apa kepada gadis itu, sementara hati kecilnya merasa ingin mengajarkan salah satu jurus mautnya, tapi ia terikat oleh satu perintah dari sang Gur u Gila T uak dan Bidadari Jalang, bahwa ia masih tak boleh ajarkan ilmu kepada siapa pun.
Sementara itu, T irai Surga semakin yakin bahwa Suto Sinting adalah pemuda tampan yang berilmu tinggi, karena ketika ia dapatkan lukanya mengering dan rasa sakitnya lenyap, hatinya melontarkan berbagai pujian dan rasa kagum yang amat besar kepada pemuda tampan itu. Lenyapnya luka dalam waktu singkat hanya bisa dilakukan oleh orang berilmu tinggi, menurutnya. Karena itu, Tirai Surga semakin bernafsu untuk dapatkan satu atau dua ilmu andalan dari Suto Sinting.
"T anpa ada tambahan ilmu dari aliran lain, kurasa aku tak akan bisa kalahkan si Beruang Iblis. Padahal si Beruang Iblis itu lebih berbahaya daripada gurunya Raden Lontar," tambah si gadis dengan harapan dapat meluluhkan hati Suto Sinting. Yang diajak bicara hanya diam saja dengan senyum menghiasi bibirnya yang menawan. Bahkan pemuda itu kini menenggak tuaknya beberapa teguk. Kala itu ia melihat langit sore mulai memerah.
T iba-tiba mereka mendengar suara jeritan kematian di kejauhan.
"Aaaaa...!"
Pendekar Mabuk tersentak kaget. "Suara apa itu"!
Seseorang terbunuh"!" sambil matanya menatap Tirai Surga. Yang ditatap hanya angkat pundak sambil kembangkan kedua tangan.
"Itu sudah hukum yang berlaku bagi mereka."
"Bagi siapa"! Mereka siapa maksudmu"!"
"Kau mau lihat ke sana" Akan kutunjukkan jalannya!"
T irai Surga lebih dulu bergerak ke arah jeritan kematian itu. Pendekar Mabuk segera mengikutinya, ia sangat penasaran dengan apa yang dikatakan T irai Surga tadi. * * *

6
SETAN Arak ditemukan tewas dengan luka lebar di dadanya. Pendekar Mabuk sempat merasa heran dan segera menatap T irai Surga. Gadis itu sunggingkan senyum tipis seraya berkata dengan nada dingin.
"Dia gagal membunuhku, maka dia harus dibunuh!"
"Siapa yang membunuhnya"!"
"T emannya sendiri!" jawab T irai Surga kalem.
"Rupanya ia menjadi 'Utusan Maut' dari pihak perguruannya. Hukum yang berlaku di Perguruan Pintu Neraka, siapa pun yang diangkat menjadi 'Utusan Maut' akan dibunuh oleh teman sendiri jika gagal menjalankan tugasnya. Orang yang diutus membunuh 'Utusan Maut' dinamakan 'Utusan Ajal'. Dan bagi 'Utusan Maut' tak pernah tahu siapa teman seperguruannya yang dijadikan 'Utusan Ajal', bahkan tidak tahu di mana sang 'Utusan Ajal' itu bersembunyi  menguntit tugasnya."
"Kejam sekali"!"
"Seperti itulah kekejaman hati si Beruang Iblis!"
"Mengapa bukan si 'Utusan Ajal' yang membunuhmu?"
"Sekalipun aku lewat di depannya, ia tak akan membunuhku, karena tugasnya hanya lakukan hukuman mati bagi kegagalan si 'Utusan Maut'...."
Percakapan itu berlanjut sambil mereka sama-sama melangkah. Ketika senja mulaimenua dan sebentar lagi petang akan tiba, mereka menemukan sebuah gua di lereng bukit. Gua itu tampaknya sering digunakan sebagai tempat beristirahat bagi para pengembara atau pencari kayu. Sisa-sisa kayu bakar bekas api unggun masih ada di dalam gua datar yang mempunyai langit-langit tinggi itu. Maka mereka pun tak perlu mencari kayu bakar lagi, karena menurut Suto, sisa kayu bakar yang ada di dalam gua jika dikumpulkan cukup untuk menghidupkan api unggun selama satu malam.
`Tak jauh dari gua itu, ada telaga yang berukuran kecil yang bisa dipakai untukmandi. Airnya bening, dan berwarna kehijau-hijauan. Ketika Suto menyalakan api unggun, T irai Surga sempatkan diri pergi ke telaga kecil itu.
"Haruskah aku membawa T irai Surga ke Pulau Sangon untuk temui si Bocah Emas?" pikir Suto saat gadis berjubah merah beludru itu belum kembali dari telaga kecil.
"Sepertinya gadis cantik itu akan mengikutiku terus sebelum mendapatkan satu-dua ilmu dariku. Agaknya ia benar-benar membutuhkan ilmu tersendiri untuk kalahkan si Beruang Iblis. Hmmm...! Tapi hal itu tak mungkin kulakukan, aku takut melanggar peraturan dari Kakek Guru Gila T uak dan Bibi Guru Bidadari Jalang," ucap batin Suto sambil tangannya menata kayu bakar agar nyala apinya tetap stabil. "Kurasa aku harus berterus terang padanya tentang ketidaksanggupanku untuk menurunkan satu ilmu pun padanya. Tentang dia mau ikut ke Pulau Sangon, itu tak jadi masalah, selama ia sendiri tidak bikin masalah di perjalanan. Aku harus cepat-cepat temui si Bocah Emas untuk dapatkan keterangan tentang kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu."
T iba-tiba ucapan batin Suto terhenti, karena mendadak ia ingat sesuatu yang pernah dikatakan T irai Surga.
"Dia banyak mengetahui tentang Nyai Dupa Mayat"!
Apakah ia juga tahu kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu"! Hmmm... sebaiknya kutanyakan saja padanya. Siapa tahu dia bisa jelaskan rahasia kelemahan ilmu gila itu"!"
Hati Suto Sinting agak cemas ketika T irai Sur ga sudah cukup lama belum kembali ke gua. Ia se gera menyusul ke telaga kecil itu dengan penerangan sinar bulan yang baru muncul seperempat bagian itu.
Setibanya di telaga, Suto tak temukan T irai Surga di sana. T api kemilau air telaga yang terkena pantulan sinar bulan samar-samar itu menggoda hatinya, sehingga ia pun sempatkan diri untuk mandi di telaga itu. Selesai mandi, ia baru berpikir lagi tentang T irai Surga.
"Jangan-jangan aku tadi bersimpang jalan" Sebaiknya kutengok dulu keadaan di dalam gua, mungkin ia sudah sampai di sana," pikir Suto, maka ia pun bergegas kembali ke gua. T ernyata gadis itu sedang berdiri dengan cemas di depan pintu gua, memandang ke sana-sini mencari Suto Sinting.
"Dari mana saja kau"! Bikin orang cemas saja!" omel T irai Surga sambil mendahului masuk ke dalam gua tersebut. Suto hanya sunggingkan senyum kecil.
"Aku mencarimu. Kupikir kau hilang, karena terlalu lama berada di telaga."
"Aku mengejar ayam hutan!" sambil ia menuding ke atas api unggun, ternyata di sana sudah ada ayam hutan yang sedang dibakar.
"Hmmm... pantas bau sedapnya tercium olehku dari bawah sana. Perutku jadi lapar sekali, Tirai."
"Aku sengaja menangkapnya untuk santap malam kita, Guru."
"Guru..."!" Suto tertawa pelan. "Jangan mengigau memanggilku guru. Aku bukan gurumu." "Walau hanya satu ilmu yang akan kau turunkan padaku, tapi kau tetap layak kupanggil guru."
"T irai, tak akan satu pun ilmu yang kuturunkan padamu, karena aku belum mendapat mandat dari guruku sendiri. Aku takut melanggar larangan beliau."
Gadis itu diam saja, tapi wajahnya tampak menyimpan kekecewaan. Pendekar Mabuk berlagak tak hiraukan kekecewaan itu. Sambil menggerai-geraikan rambut basahnya di dekat api unggun, Suto sempatkan bicara kepada T irai Surga.
"Kalau kau memintaku membantu menundukkan si Beruang iblis atau siapa pun, aku sanggup. T api kalau untuk menurunkan ilmu padamu, atau kepada siapa saja, aku tak sanggup."
Gadis itu melepaskan jubah merahnya. Jubah itu diletakkan di atas batu setinggi satu betis. Dari sana Tirai Surga terdengar mengulang kata-kata Suto tadi.
"Jadi, kau bersedia membantuku tumbangkan si Beruang iblis?"
"Kenapa tidak, semasa Beruang Iblis tokoh aliran sesat yang perlu dimusnahkan"!"
Pendekar Mabuk bicara sambil membolak-balikkan ayam bakar supaya tak sampai hangus, ia duduk di atas batu yang panjangnya sedepa dan tingginya separo betis. Batu itu menyerupai anak tangga, punya tempat lebih tinggi dan lebih rendah.
Suto duduk di tempat yang tinggi, sementara Tirai Surga datang mendekat, lalu duduk di tempat yang agak rendah Itu.
"Kalau begitu, besok akan kubawa kau ke Lereng Curam, tempat Perguruan Pintu Neraka berada!" ujar T irai Surga seraya membetulkan susunan kayu bakar paling bawah. "Jangan besok!" potong Suto. "Besok aku harus pergi ke Pulau Sangon."
"Pulau Sangon..."! O, ya... aku pernah dengar nama Pulau Sangon yang di bawah kekuasaan Ratu Remaslega itu."
"Pengetahuanmu cukup lumayan juga rupanya," puji Suto sambil memandang dan sunggingkan senyum. Tirai Surga bagai tak hiraukan pujian itu.
"Mau apa kau ke sana?"
"Temui seorang sahabatku," jawab Suto, sengaja tak mau sebutkan nama si Bocah Emas, karena takut menjadi masalah tersendiri di rimba persilatan.
"Kekasihmu ada di sana?" pancing T irai Surga. Suto tertawa pendek.
"Aku tidak punya kekasih di Pulau Sangon."
"Lalu di pulau mana kekasihmu?"
"Di Pulau Serindu," jawab Suto terus terang, tapi justru membuat T irai Surga mencibir tak percaya.
"Pulau Serindu adalah kekuasaan Ratu Gusti Mahkota Sejati yang bernama asli Dyah Sariningrum. Orang-orang Pulau Serindu jarang yang punya kekasih dari tanah Jawa. Kau tak perlu membual di depanku, Suto."
"Belum tahu dia," gumam hati Suto sambil bibirnya sunggingkan senyum lebar.
Mereka menikmati santap malam berupa ayam bakar sambil T irai Surga bercerita tentang latar belakang kehidupannya. Bahwa ia ternyata putri seorang panglima perang dari sebuah kerajaan yang sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi. Sang ayah tewas dalam peperangan ketika T irai Surga berusia delapan tahun.
Kemudian menyusul ibunya tewas ketika T irai Surga berusia sepuluh tahun. Ia dan adiknya sempat melarikan diri ketika keturunan sang panglima perang itu dihabisi oleh seorang musuh dari Laut  Bangkai. Tapi sang adik akhirnya meninggal juga setelah sama-sama berguru kepada Eyang Syakati dari Gunung Waru. Sang adik tewas karena terkena jarum beracun dari lawannya.
T irai Surga mengaku bercita-cita ingin mengabdi kepada seorang raja, dan berkeinginan keras menjadi panglima perang dalam kerajaan itu. Ia ingin meneruskan profesi sang ayah dulu, namun selama ini ia masih merasa belum cukup ilmu, sehingga tak berani melamar sebagai prajurit. Ia bersumpah tak akan menikah sebelum menjadi seorang perwira di sebuah negeri.
"Apakah kau mampu menahan kehadiran cinta dalam usiamu sekarang ini?" tanya Suto Sinting, saat itu mereka sudah menghabiskan ayam bakar tersebut.
"Mengapa tidak" Buktinya sampai sekarang aku belum pernah jatuh cinta pada seorang lelaki."
"Sulit dipercaya, gadis secantik kau tidak mengenal cinta seorang kekasih, adalah suatu hal yang langka sekali."
"Secara manusiawi, kadang aku memang punya keinginan bermesraan dengan seorang pemuda. Namun sampai sekarang, aku tak pernah temukan pemuda yang sesuai dengan hatiku."
"Sampai sekarang belum ada pemuda, yang cocok dengan seleramu"!" Suto bernada tak percaya. "Hmmm... hmmm...," T irai Surga sulit menjawab, karena ia sadar saat ini hatinya selalu berdebar-debar penuh keindahan, karena merasa bangga dan bahagia bisa berada dalam satu gua dan satu malam bersama Suto Sinting. Akhirnya gadis itu diam membisu, hanya pandangi lidah api unggun yang menari-nari bagai seorang penari telanjang.
"Mau minum lagi?" Suto menawarkan tuaknya setelah ia meneguknya beberapa kali. Tuak itu masih separo bumbung, Masih cukup untuk perjalanan ke sebuah desa dan mengisinya kembali dari sebuah kedai. Tirai Surga menenggak tuak itu sedikit. Gerakan menengadah itu dipandangi  oleh Suto, sehingga gadis itu sempat grogi dan tuaknya tumpah di sekitar mulut dan leher. "Ooh...!" Tirai Surga sempat tersenyum malu, dan hati Suto Sinting berdebaran manakala melihat senyum itu begitu manis dan indahnya.
"Ini gara-gara kau pandangi aku terus!" gerutu si gadis sambil sembunyikan senyum malunya.
"Kau cantik kalau sedang tersenyum begitu," ujar Suto Sinting dengan lembut. Tangannya menerima bumbung tuak dan menutupnya kembali. T irai Sur ga sengaja palingkan wajah. Dadanya bergemuruh bagaikan ada tanah longsor di dalam dada itu. Pujian Suto terasa semakin mendebarkan hati, membuat tangannya sempat gemetar halus.
"Sungguh cantik menurut pandanganku."
"Lupakan pujian itu," kata T irai Surga. "Aku bukan gadis yang gila pujian,"
"Apakah kau pikir aku sedang memujimu" Oh, tidak! Kau salah duga, Tirai. Aku bukan sedang memujimu, tapi sedang bicara dengan hatiku sendiri. Kau tak perlu mendengarnya."
Si gadis menjadi salah tingkah. Namun ia cepat kuasai getaran jiwanya itu dengan menelan napas beberapa kali. Matanya tertuju ke arah api unggun, tak berani melirik Suto Sinting yang ada di sebelah kanannya. "Lehermu basah oleh tuak, T irai."
"Ya. Biar saja!"
"Boleh aku mengeringkannya?"
Se belum mendapat jawaban, Suto Sinting melepaskan bajunya, kemudian baju itu dipakai untuk mengeringkan tuak yang membasahi leher T irai Surga. Ga dis itu menjadi semakin gemetar dan serba salah. Keindahan yang ditimbulkan dari sentuhan perbuatan Suto itu sangat menyentuh perasaannya, sehingga lidah pun menjadi kelu. Hembusan napas dari hidung Suto terasa menghangat di pipinya, karena jarak wajah mereka sangat dekat. Suara Suto yang membisik membuat Tirai Surga semakin tak bisa bicara lagi.
"T irai, boleh aku mencium pipimu"!"
Pendekar Mabuk sengaja hadapkan wajah cantik itu pelan-pelan dengan menyentuh dagu si gadis dan menariknya ke samping. Mata indah itu ditatap lekat-lekat oleh Suto Sinting. Si gadis tak bisa lari dari pandangannya, ia pun merasakan kedamaian dan keteduhan di dalam hatinya manakala bola mata Suto itu dipandanginya tak berkedip. "Bolehkah aku menciummu?" ulang Suto dalam bisikan. T irai Surga hanya bisa  membuat bibirnya merekah, dan bibir itu tampak gemetar jelas-jelas.
Akhirnya si gadis pejamkan mata pelan-pelan. Suto Sinting pun segera mencium pipi si gadis yang berkulit halus dan lembut mirip kulit bayi itu.
Kehangatan yang menyiram wajah berhidung mancung itu bagai membakar sekujur tubuh. Si ga dis meremas tangan Suto, dan Suto rasakan remasan itu punya getaran yang dapat dirasakan oleh tangan Suto.
"Suto...," gadis itu membisik ketika Suto ingin menarik wajahnya dari ciuman pertama. Suara itu terdengar parau dan lirih sekali. Napas yang terhembus dari hidung mancung itu mengalir deras menghangat di wajah Suto Sinting.
Rupanya gadis itu tak ingin wajah Suto jauh dari wajahnya. Wajah itu pun bergeser ke kiri, sehingga bibir mereka saling bersentuhan. Maka bibir itu pun dikecup oleh Suto pelan-pelan.
Kecupan itu seperti mengambang, antara menyentuh dan tidak. Hati si gadis makin berdesir bagai terbang. Bibir ranum itu dikecup-kecup oleh Suto Sinting, makin lama semakin terasa jelas kecupannya. Akhirnya si gadis memeluk Suto kuat-kuat setelah bibirnya terasa dilumat dengan lembut dan penuh kehangatan.
Si gadis mencoba membalas kecupan Suto. Bibir Suto dipagutnya pelan-pelan. Tapi Suto justru menyodorkan lidahnya. Si gadis pun memagut lidah Suto. Lalu ia ingin rasakan jika lidahnya dipagut, maka ia pun ulurkan lidahnya dan Suto Sinting memagut dengan lembut.
"Oooh... ternyata lebih nikmat dan indah sekali," ucap si gadis dalam hatinya, ia memeluk Suto semakin kuat, karena merasakan ada sentakan dalam dada yang menuntut keindahan itu berkepanjangan.
"Aku belum pernah rasakan keindahan seperti ini, Suto," bisiknya pelan ketika Suto sengaja merebahkan kepala si gadis di dadanya. T angan kekar Pendekar Mabuk  itu memeluk hangat dan membuat hati si gadis bagai terlindung oleh perisai kedamaian dan kemesraan.
"Betulkah selama ini kau belum pernah dicium seorang lelaki?"
"Aku berani sumpah mati sekarang juga kalau aku berbohong padamu," jawab T irai Surga sambil meremaskan genggamannya ke tangan kiri Suto yang jatuh di pangkuannya. Sementara tangan kanan Suto mengusap-usap rambut yang ada di kening si gadis.
Usapan itu membuat si gadis terasa kian terbuai oleh kemesraan yang baru pertama kali dirasakan.
"Memang sudah lama aku ingin menikmatinya, setidaknya merasakan seperti apa kemesraan seorang lelaki itu. T etapi... tak pernah ada pemuda yang membuatku tertarik untuk melakukannya."
"Melakukan apa?" pancing Suto sengaja menggoda.
"Yaah, melakukannya seperti tadi," jawab T irai Surga sambil tertawa kecil, malu-malu kelinci. Suto Sinting ikut tertawa seraya mempererat pelukannya.
Gadis itu sedikit menengadah, wajahnya dihadapkan ke arah Suto. Lalu, ciuman Suto Sinting mendarat lagi di pipinya. Ciuman itu bergeser ke bibir, dan si gadis menyambarnya lebih dulu. Ia melumat bibir Suto Sinting dengan kelembutan  yang hangat. "Auh...!" Suto terpekik sambil menarik wajah ke belakang. Si gadis cekikikan, sembunyikan wajah di dada Suto. Ia telah menggigit bibir pemuda itu karena gemasnya. "Nakal kau ini!" sambil Suto Sinting menyentil ujung hidung T irai Surga.
Si gadis makin tertawa kegirangan, lalu tangannya merangkul Suto dan wajahnya semakin dibenamkan di dada pemuda tampan itu. Sang pemuda memeluk dengan kedua tangan. T api karena T irai Surga banyak bergerak dalam tawanya, karena ia juga menggigit dada Suto dengan nakal, maka Suto pun jatuh terbaring dan si gadis tiduran di dada pemuda itu.
"Suto, apakah kau benar-benar mau menolongku jika tak bisa turunkan ilmumu?"
"T entu saja, T irai Surga. Katakan, apa yang harus kulakukan untukmu?"
T irai Surga tak langsung menjawab, benaknya penuh pertimbangan, ia hanya bermain anak rambut yang jatuh di samping leher Suto Sinting. Kepalanya direbahkan di dada bidang dalam posisi miring dengan wajah menghadap ke arah wajah Suto Sinting.
Agaknya si gadis ragu-ragu untuk katakan sesuatu, sehingga ketika Suto mengulangi pertanyaannya, gadis itu hanya menjawab lirih.
"T idak. T idak ada yang perlu kau lakukan untukku selain berada di dekatku."
"T irai, mengapa kau berkata begitu?"
"Karena aku suka berada di dekatmu. Pada dirimulah kutemukan keindahan dan kemesraan yang pertama  kalinya. Mungkin sulit bagiku untuk melupakan saat-saat indah seperti malam ini." Pendekar Mabuk usapkan tangannya ke rambut gadis itu. Usapan yang pelan-pelan membawa mereka dalam kebisuan. Si ga dis sengaja tak bicara untuk resapi usapan lembut yang baru kali itu diperolehnya dari seorang pemuda.
"T irai...," Suto Sinting segera perdengarkan suara setelah mereka cukup lama tenggelam dalam kebisuan.
"Benarkah kau tahu banyak tentang Nyai Dupa Mayat"!" Suto menyambung ucapannya.
"Mengapa kau bertanya begitu?"
"Aku ingin tahu kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu." T irai Surga bangkit pandangi wajah pendekar tampan yang masih berbaring tanpam, baju itu. "Mengapa kau ingin tahu kelemahan ilmu itu, Suto?"
"Jangan bertanya dulu. Ja wablah dulu pertanyaanku, T irai. Tahukah kau tentang kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu?"
T irai Surga diam sesaat bagai memikirkan sesuatu. Kemudian suaranya terdengar dengan jelas sambil gelengkan kepala. "Tidak, aku tidak tahu!"
Pendekar Mabuk pandangi wajah T irai Surga. Sorot mata gadis itu tampak menyimpan kebohongan. Suto Sinting mengetahui ada sesuatu yang disembunyikan di balik tatapan mata sayu gadis itu. T api ia ragu-ragu untuk mendesaknya.
"Aneh," ujar Suto dalam hati. "T iba-tiba hati kecilku merasa yakin kalau dia tahu kelemahan ilmu itu"! Mengapa naluriku mengatakan demikian"! Suatu saat aku pasti akan tahu rahasia ilmu itu darinya. Mungkin sekarang ia masih ragu karena aku tak mau menurunkan ilmu padanya, atau... atau dia sengaja ingin membuatku penasaran, sehingga aku tetap bersamanya"! Oh, kalau begitu dia pandai membuat satu jeratan hati dengan rahasia itu" Benar-benar aneh! T iba-tiba saja aku berpendapat seperti itu. Padahal pendapatku itu belum tentu benar. Bisa saja salah!"
Suto Sinting sengaja berlagak melupakan pertanyaannya tadi. Ia mengalihkan dengan satu tanya yang segera dija wab dengan anggukan kepala oleh si gadis. "Besok aku harus ke Pulau Sangon. Apakah kau mau ikut ke sana juga?"
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tenang ketika melihat kepala si gadis mengangguk. Lalu, si gadis ajukan tanya,
"Katakan dulu, untuk apa kau mau ke Pulau Sangon."
"Ada seorang sahabatku yang tahu tentang kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu. Aku ingin menanyakan padanya."
Wajah gadis itu tampak sedikit tegang karena kecemasan mulai membersit lewat tatapan matanya. Suto Sinting sengaja memperhatikan mata yang menyimpan keresahan kecil itu.
"Kurasa...," si gadis menelan ludah sendiri. "Kurasa tak perlu ke Pulau Sangon."
"Mengapa tak perlu"!"
"Hmmm... eehh...," setelah pandangannya serba salah, T irai Surga akhirnya menatap Suto Sinting.
"Mengapa kau repot-repot ke sana, toh Nyai Dupa Mayat tidak mengincar nyawamu"!"
"Sebenarnya...."
"Ah, sudahlah! Kau tak perlu mencampuri urusan pribadi Nyai Dupa Mayat, salah-salah kau benar-benar menjadi korban berikutnya, Suto! Aku tak ingin kau menderita nasib seperti Singa Bangka atau pemuda yang lainnya!"
Setelah bicara demikian, T irai Surga mulai tampakkan keresahan dan kecemasannya. Suto Sinting berkata dalam hatinya,
"O, rupanya ia resah dan gelisah karena takut kalau aku menjadi korban Nyai Dupa Mayat"! Ia pasti akan merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga kalau sampai  aku mati di tangan sang Nyai! T api ia belum tahu bahwa aku adalah si Pendekar Mabuk itu. Haruskah kujelaskan padanya?"
* * *

7
BUKAN hanya Suto Sinting yang mengetahui ke mana arah menuju Pulau Sangon. T etapi mantan prajurit istana Kematian yang bermata biru itu juga mengetahui arah ke Pulau Sangon. Pandawi akhirnya mengarahkan langkah kakinya ke sana setelah berputar-putar mencari Suto Sinting tak ditemukannya.
Gadis berba dan tinggi sekal itu akhirnya menjalin hubungan kerja sama dengan Dewi Kun, karena mereka sama-sama merasa kehilangan Pendekar Mabuk. Mereka juga sama-sama merasa harus menemukan Suto. Perkara nanti jika sudah bertemu mereka harus bertarung lagi karena rasa iri, itu tak masalah bagi mereka.
"Jika ingin kalahkan ilmu 'Gerhana Senyawa' harus tahu rahasianya. Dan si Bocah Emas pasti tahu rahasia itu, karena ia kuasai seluruh rahasia kelemahan ilmu apa pun!" ujar Dewi Kun yang membuat Pandawi merasa perlu juga datang ke Pulau Sangon dan menanyakannya kepada si Bocah Emas.
Dugaan Pandawi memang benar, Suto Sinting tetap ngotot dalam hatinya untuk temui si Bocah Emas. Ia membawa T irai Surga ke arah Pulau Sangon dengan alasan hanya sekadar ingin tahu rahasia ilmu tersebut.
"Aku tidak akan melawan Nyai Dupa Mayat. Aku hanya ingin tahu saja rahasia tersebut, sebagai bekal pengetahuanku di masa mendatang," tambah Suto dalam ajukan alasan yang kira-kira bisa diterima oleh akai sehat Tirai Surga, dan tidak timbulkan kecurigaan yang mencemaskan gadis itu.
Namun langkah Pendekar Mabuk dan T irai Surga terhenti karena suara orang bicara di balik kerimbunan pohon bambu hutan. Suara- suara itu sangat dikenali oleh Suto Sinting. Oleh sebab itu, Suto membawa T irai Surga ke jalan setapak yang menuju balik pepohonan bambu itu.
"T ak ada gunanya kita saling berbaku hantam lagi, jika ternyata kita sama-sama kehilangan dia!"
"Ini semua gara-gara ulahmu. Pakar Pantun!"
"Ulahmu juga, Jalu K uping! Lain kali kau tidak boleh lakukan cara seperti itu. Kurasa bocah itu akan bersedia membantumu jika kau jelaskan perkara yang sebenarnya!"
Mereka adalah dua tokoh tua yang sudah tiga hari ini kebingungan mencari Pendekar Mabuk. Resi Pakar Pantun dan Jalu Kuping sempat dibuat jengkel oleh tingkah mereka sendiri.
Akhirnya saling menyadari bahwa perselisihan itu tak perlu terjadi. Mereka memang sudah bertemu dengan si Kadal Ginting, sehari setelah Kadal Ginting sendiri kebingungan mencari majikannya. Tapi ternyata menemukan Pendekar Mabuk tidak semudah menemukan Kadal Ginting. Namun mereka sudah  mendapat penjelasan arah kepergian Suto saat bersepakat dengannya mencari kedua tokoh tua itu.
Maka ketika Suto Sinting muncul dari satu arah, Kadal Ginting lebih dulu berseru sambil menunjuk ke arah Suto.
"Itu dia orangnya!"
Resi Pakar Pantun dan Jalu Kuping sama-sama menengok ke arah yang ditunjuk Kadal Ginting, lalu wajah mereka sama-sama tampak lega melihat Suto Sinting berjalan dengan gagahnya. Tetapi mereka sempat berkerut dahi ketika melihat di samping Suto ada gadis cantik yang melangkah seiring, bahkan tangannya digandeng mesra oleh Suto Sinting.
"Siapa lagi gadis itu"!" gumam Resi Pakar Pantun.
"Setiap kujumpa dia selalu saja ganti-ganti wajah gadis pendampingnya." Jalu K uping menyahut lirih, "Kita dulu juga pernah muda, bukan"!" Senyum keramahan Suto mengawali percakapan mereka. Namun terlebih dulu sang Resi segera lepaskan pantunnya sambil sesekali melirik ke arah Tirai Surga.
"Telur tokek beranak m enjangan,
jatuh ke lum pur langsung dimakan.
Jika tangan sudah bertemu tangan,
orang tua pun dianggap boneka pajangan."
Pendekar Mabuk tertawa pelan seperti orang menggumam, T irai Surga tersipu malu, karena sebelum muncul tadi Suto Sinting sudah jelaskan siapa-siapa mereka bertiga itu. Maka gadis itu pun tampakkan sikap bersahabat tanpa kecurigaan apa pun.
"Eyang Resi, Ki Jalu K uping... perkenalkan, ini T irai Surga, murid si Perguruan T elaga Murka."
Jalu Kuping menyahut, "Ooo... jadi kau muridnya si Gampar Sewu"!"
"Benar, Ki! Aku murid Eyang Gampar Sewu!" jawa b T irai Surga dengan sopan.
Resi Pakar Pantun segera utarakan maksudnya, yaitu tugas memanggil Suto untuk hadiri penyerahan Pedang Jagal Keramat kepada Karina Larasita, murid si Burung Bengal. "Secepatnya kedatanganmu ditunggu di Lembah Sunyi, Suto!"
"T api sebaiknya ke pondokku dulu, Suto," sahut Ki Jalu Kuping yang segera jelaskan perkara muridnya itu.
Suto Sinting dan T irai Surga saling pandang ketika mereka mendengar nama jurus 'Mati Raga' disebutkan.
"Setahuku, jurus itu dulu milik Bega wan Dawung Gada. T api beliau sudah lama meninggal," ujar Ki Jalu Kuping. "Aku tak tahu siapa orang yang memiliki jurus itu sekarang ini, Suto. Karenanya..,."
"Nyai Dupa Mayat!" sahut Suto Sinting cepat membuat Jalu Kuping hentikan ucapannya dan terkesiap pandangi Suto Sinting.
"Benar, Ki. Jurus 'Mati Raga' dikuasai oleh Nyai Dupa Mayat," timpal Tirai Surga. "Aku tahu persis dia memiliki ilmu itu."
"Dan juga ilmu 'Gerhana Senyawa'...," tambah Suto Sinting.
Resi Pakar Pantun dan Jalu Kuping tertegun tak berucap satu kata pun.
"Dan sekarang dia sedang mencariku, Eyang Resi," ujar Suto membuat T irai Surga melirik heran. Suto tak pedulikan lirikan itu. Ia tetap menyambung kata-katanya.
"Nyai Dupa Mayat mencariku untuk balas dendam, karena muridnya yang bernama Dewi Ranjang tumbang di tanganku ketika kami berebut pusaka Pedang Jagal Keramat itu." Resi Pakar Pantun manggut-manggut. "Sudah kuduga si Pratiwi akan turun tangan juga demi membela muridnya. T api aku tak tahu kalau Pratiwi alias Nyai Dupa Mayat itu menguasai ilmu 'Gerhana Senyawa', itu ilmu paling berbahaya. Sebaiknya hindari pertarungan dengannya, Suto."
"Rasa-rasanya sulit, Eyang. Sebab ia tak akan hentikan pencariannya sebelum bertemu muka denganku!"
T irai Surga semakin kerutkan dahi. "Ini orang kalau ngomong sembarangan saja!" gumamnya dalam hati.
"Apa maksudnya bicara begitu"!"
Di kaki bukit itu, ternyata mereka dikejutkan oleh kemunculan seorang pemuda yang bersenjata toya bambu kuning. "Santana..."!" sapa Suto Sinting agak keras. Wajahnya sedikit tegang melihat Santana berlari-lari dengan kesan panik.
"Ooh... kebetulan kau ada di sini, Suto! Ooh. ooh...,"
Santana terengah-engah.
"Kalau tak salah lihat, ini kan muridnya Banyudana ailas si Dewa Bandot dari Pulau Parang"!" ujar Resi Pakar Pantun.
"Benar, Kek... aku... aku muridnya Eyang Dewa Bandot!" jawab Santana sambil berusaha menenangkan
napasnya. "Apa yang terjadi, Santana"!"
"Aku sendiri tak tahu mengapa harus terjadi. Padahal kami sudah berusaha untuk tidak menemuinya. Tapi...."
"Yang kutanyakan; apa yang terjadi sampai kau ngos-ngosan dan tegang begitu"!" tegas Suto dengan suara agak keras.
"Oohhh..."!!" Santana justru terbelalak kaget dan wajahnya memancarkan rasa takut yang lebih besar lagi.
Pandangan matanya yang melebar itu tertuju ke arah T irai Surga.
"Sssu.... Suto, sebaiknya jangan berada dekat gadis itu! Cepat ke sini!"
"Apa-apaan kau ini, Santana"!" Suto agak menyentak karena keheranannya. Bukan hanya Suto Sinting yang merasa heran melihat sikap Santana yang tampak takut memandang T irai Surga, tapi juga Resi Pakar Pantun, Kadal Ginting, dan Ki Jalu Kuping ikut heran terhadap tingkah Santana.
"Lekas, Suto...! Lekas kemari, jangan dekat-dekat dia! Kau akan mati, Suto!"
Suto Sinting memandang bingung ke arah Santana dan T irai Surga secara bergantian. Pada mulanya Tirai Surga juga merasa heran melihat tingkah Santana. Tapi lama-lama ia tersinggung juga ketika Santana berseru dengan wajah tegang,
"Suto, dia bukan gadis yang pantas bersahabat denganmu! Dia adalah racun maut yang akan merenggut nyawamu!"
"Bicara apa kau sebenarnya, Keparat!!" bentak T irai Surga mulai tampakkan kemarahannya, ia ingin maju menyerang Santana, tapi segera dihalang-halangi oleh Resi Pakar Pantun.
"T unggu! Sa barlah, T irai Surga...!"
"Dia menghinaku sedemikian rupa, Eyang Resi!"
"Biar Suto yang selesaikan! Serahkan masalah ini kepada si Pendekar Mabuk itu!"
"Pendekar Mabuk..."!" T irai Surga terkejut, wajahnya tersentak mundur bagai ada petir yang menyambar giginya, ia memandang Suto dan sang Resi secara bergantian sambil melangkah mundur. T indakan itu membuat Suto Sinting menjadi sangat heran terhadap T irai Surga.
"T irai... mengapa kau menjadi setegang itu"! Aku memang Pendekar Mabuk. T api kau tak perlu menatapku dengan cara seperti itu, T irai...!"
"T idak...!" sentaknya sambil si ga dis ingin menangis.
Ketika Suto mendekatinya, ia justru melangkah mundur dengan cepat.
"T irai, aku tak bermaksud jahat padamu, mengapa kau takut"!"
"T idak! Jauhi aku! Jauhi aku, Suto.,..!" si gadis kini benar-benar menangis.
Air matanya membasah di pipi dan ia tetap melangkah mundur pelan.
"Santana! Apa yang terjadi sebenarnya dengan gadis itu"!" tegur Ki Jalu Kuping,
"Gadis itu memang cantik. Kuakui kecantikannya...."
"Yang kutanyakan, ada apa dengan gadis itu"!" sentak Ki Jalu K uping jika ja waban Santana terasa akan tak sesuai dengan pertanyaannya. "Oh, hmmm... gadis itu... gadis itu adalah utusan Nyai Dupa Mayat! Aku dan guruku sendiri melihat ia menghadap Nyai Dupa Mayat bersama seorang gadis yang bernama Wigati. T api Wigati tewas karena banyak menentang Nyai Dupa Mayat.
Satu-satunya orang yang menjadi utusan sang Nyai adalah dia!"
Pendekar Mabuk mulai gemetar. Dadanya bergemuruh karena jantungnya menyentak-nyentak. Ia sempat tak percayai kata-kata Santana. "Jangan menyebar fitnah di depanku, Santana!"
"Aku berani bersumpah, Suto! Dia adalah utusan Nyai Dupa Mayat! Tugasnya menangkapmu dengan  bujukan dan membawanya kepada Nyai Dupa Mayat, ia mendapat upah cukup besar, yaitu ilmu 'Gerhana Senyawa' yang akan diturunkan padanya jika ia berhasil menjebakmu!"
"T idaaaakkk...!!"
T irai Surga berteriak sekeras-kerasnya, kemudian ia melesat pergi sambil membawa tangisnya yang bukan sekadar tangis kacangan. Blaas, blaas, blaas...! Dalam waktu singkat ia sudah berada di tempat jauh. Tapi telinga Suto Sinting seperti masih mendengar suara isak tangisnya yang mengharukan.
"Jangan kejar dia!" cegah Ki Jalu Kuping ketika Suto Sinting tampak ingin bergerak mengejar T irai Surga.
Sang pendekar tampan hanya diam di tempat dengan napas memburu. Napasnya sudah mulai berubah menjadi napas badai. T anah yang berhadapan dengan arah hidungnya menjadi berongga, rumputnya tercabut dengan sendirinya. Jurus 'Napas T uak Setan' sudah mulai bekerja dengan sendirinya karena kemarahan Suto mulai menggumpal di dada.
Untung Resi Pakar Pantun dan Ki Jalu Kuping segera menghibur hingga kemarahan yang tak mengerti harus dicurahkan kepada siapa itu mulai surut. Perhatian Suto mulai terarah kembali kepada Santana.
"Santana, di mana gurumu sekarang"!" tanya Suto Sinting, masih ingin mendengar sendiri pengakuan itu dari si Dewa Bandot.
"Guruku adalah Dewa Bandot, ia memang sudah tua tapi...."
"Di mana gurumu sekarang"!" bentak Suto Sinting, suaranya menggetarkan hati jantung setiap orang yang ada di situ, termasuk si Kadal Ginting yang kedua kakinya gemetar sekali bagai nyaris kehilangan kekuatan untuk berdiri.
"Guruku..."! Ooh, ya... hmmm... guruku ada di balik bukit itu! Beliau sedang
membantu Pandawi dan...."
"Ada apa dengan Pandawi"!" sentak Suto karena terkejut mendengar nama Pandawi.
"Yang kutanyakan, ada apa dengan Pandawi! Jawab yang benar!" ulang Suto.
"Pandawi..."! Hmmm... o, ya.... Pandawi sedang berhadapan dengan Nyai Dupa Mayat!" "Apaa..."!" suara Suto menyentak lagi, tampak semakin tegang.
"Guruku berusaha untuk selamatkan Pandawi", karena kukatakan bahwa Pandawi adalah kekasihmu. Benar dan tidaknya, dibetulkan nanti saja! Yang jelas...."
Zlaaap, zlaaap...! Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah ada di lereng bukit tanpa menunggu Santana selesai bicara. Resi Pakar Pantun segera berkata kepada Ki Jalu Kuping. "Dia pasti menuju ke pertarungan itu!"
"Ikuti dia!" ujar Ki Jalu Kuping. Maka mereka pun bergegas mengikuti Suto Sinting. T ernyata apa yang dikatakan Santana memang benar.
Di balik bukit itu ada pertarungan. Pertarungan itu terjadi antara Pandawi dengan Nyai Dupa Mayat.
Pada mulanya Pandawi berdua bersama Dewi Kun dalam perjalanan menuju pantai, karena mereka ingin menuju ke Pulau Sangon. Tetapi begitu melihat kelebatan Nyai Dupa Mayat, dendam Dewi Kun  bergolak teringat kematian adik bungsunya dan beberapa orang Kuil Perawan Ganas.
Dewi Kun menyerang Nyai Dupa Mayat lebih dulu dengan pukulan bersinar biru. T api pukulan itu bisa dipatahkan oleh sang Nyai.
Maka bertarunglah Dewi Kun dengan Nyai Dupa Mayat. Sementara itu, Pandawi mengincar kelengahan Nyai Dupa Mayat secara diam-diam. Tindakan itu dilakukannya karena Pandawi takut kalau sang Nyai nantinya justru akan menewaskan Pendekar Mabuk.
T etapi dalam beberapa gebrakan saja Dewi Kun telah diterjang oleh bayangan sang
Nyai. Ketika perempuan tua berkelebat ke kiri, bayangannya berkelebat ke kanan dan lakukan pukulan ke arah Dewi Kun. Bluub...! Wuuurss...!
Maka hanguslah tubuh Dewi Kun seketika itu juga tanpa sempat memekik, ia menjadi abu dan tumpukan arang yang mengerikan.
Kejadian itu bukan saja dilihat oleh Pandawi sendiri, namun Santana dan Dewa Bandot melihatnya, sebab mereka memang sempat kehilangan arah ketika mengikuti jejak sang Nyai. Secara kebetulan mereka melewati tebing bukit, sehingga melihat pertarungan tersebut dari atas sana. Maka turunlah Santana dan gurunya.
"Lari dan bersembunyilah! Jangan sampai Dupa Mayat melihatmu, nanti kau disangka Pendekar Mabuk, sebab katamu dia belum tahu seperti apa si Pendekar Mabuk itu. Maka pergilah, jauhi tempat ini. Aku akan mencoba menenangkan murkanya!" ujar Dewa Bandot kepada muridnya. Maka Santana pun berlari menjauh sampai akhirnya bertemu dengan Suto Sinting.
Pada saat Suto tiba di tempat itu, Dewa Bandot telah terkapar terkena jurus 'Mati Raga' dari sang Nyai.
Pada kala itu Dewa Bandot baru berkata, "Pratiwi, kumohon jangan gunakan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu! Kau boleh membalas dendam kepada Pendekar Mabuk, tapi jangan gunakan ilmu terkutuk itu. Kemenanganmu tak akan sempurna dan...."
"Jangan banyak bicara kau. Dewa Bandot!" bentak sang Nyai, lalu jurus 'Mati Raga' pun dilepaskan. Dewa Bandot tak menduga, dan berusaha menghindar tapi gagal. Akhirnya ia terkapar tanpa bisa bergerak sedikit pun.
Kepada Pandawi sang Nyai berseru, "Kau...! Mengapa kau tak jadi menangkap Pendekar Mabuk dan menyerahkannya padaku, hah"! Kau ingin menjadi pengkhianat bagiku, Pandawi"!"
"Kurasa lebih baik aku membunuhmu daripada Pendekar Mabuk yang kau bunuh. Nyai!" ucap Pandawi dengan tegas. Srraang...! Ia segera mencabut pedangnya tanpa tanggung-tanggung.
"Gadis busuk!" geram Nyai Dupa Mayat, kemudian ia menyerang dengan satu lompatancepat. Pandawi perhatikan bayangan sang Nyai. Ia berusaha hindari bayangan itu, namun justru terkena tendang kaki Nyai Dupa Mayat dengan telak. Buuuhk...!"
"Heeehhk...!!" Pandawi terlempar ke belakang dan jatuh setelah membentur pohon besar. T ubuhnya sampai terpental ke depan lagi karena kerasnya benturan itu.
Pedang pun terlepas dari tangannya, dan napas menjadi sesak, dada terasa jebol akibat tendangan telak tadi. Pandawi berlutut ingin bangkit, tapi bayangan hitam Nyai Dupa Mayat bergerak melesat mendahului raga sang Nyai. Wuuus...!
Saat itu pula sekelebat bayangan menyambar tubuh Pandawi. Zlaap...! Wuuut...! Bayangan sang Nyai tak kenai tubuh Pandawi, karena tubuh itu lenyap sebelum bayangan mendekatinya. Pandawi sudah berada di sisi lain dalam jarak delapan langkah dari Nyai Dupa Mayat.
Di samping Pandawi berdiri seorang pemuda tampan yang tak lain adalah Pendekar Mabuk. Sang Nyai pandangi pemuda tampan itu ketika bayangan hitamnya menyatu kembali dengan kakinya yang menapak di tanah. Suto Sinting menatap tanpa berkedip ke arah Nyai Dupa Mayat. Namun ia sempat berbisik kepada Pandawi tanpa berpaling memandang gadis itu.
"Menjauhlah...! Sudah saatnya ia harus bertemu denganku! Lekas menjauh dan hindari bayangannya!"
"T api, Suto...."
"Jangan banyak bicara! Pergi sana!" geram Suto Sinting sambil meraih bumbung tuaknya dari pundak.
Pandawi pun segera menyingkir, namun tetap memasang kewaspadaan untuk sewaktu-waktu lepaskan pukulan guna membantu Suto Sinting.
"Akulah orang yang kau cari, Nyai! Aku si Pendekar Mabuk yang ingin kau bunuh itu!" "Bagus! Rupanya pekerjaanku sudah akan selesai! Bersiaplah mati demi menebus nyawa murid kesayanganku, Pendekar Mabuk! Heeaat...!"
T ubuh sang Nyai melayang hendak menerkam, tapi Suto Sinting juga segera melayang menyambut serangan itu dengan bumbung tuak diputar di atas kepala.
Wuuus...! Wuuung...!
Bumbung tuak disabetkan, namun kedua tangan Nyai Dupa
Mayat menangkis dengan lengan. Duaar...! Benturan bumbung tuak dengan kedua tangan timbulkan ledakan, menandakan kedua lengan Nyai Dupa Mayat telah dilapisi tenaga dalam cukup tinggi. Sang Nyai memang terpental dan jatuh terbanting, tapi kedua tangannya tetap utuh dan tak merasakan sakit sedikit pun.
"Edan! Baru sekarang ada orang kuat menahan pukulan bumbung tuakku"!" gumam Suto dalam hati sambil tapakkan kakinya kembali ke tanah. Nyai Dupa Mayat kembali lakukan serangan dengan satu lompatan menendang ke samping. Wees...!
Pada saat itu bayangan hitamnya mulai bergerak lebih cepat dari gerakan tubuh sang Nyai. Suto hampir saja terpancing gerakan melompat lawannya. Semula Suto hanya akan bergeser ke samping dengan menggeloyor seperti orang mabuk, lalu akan sodokkan bumbung tuaknya.
Tapi melihat bayangan hitam lawannya tampak bergerak lebih cepat, konsentrasi Suto sempat dibuat kacau.
T iba-tiba terdengar suara berseru dari atas pohon terdekat, "Hancurkan dia, Sutooo...!!"
Wuuurss...! Selembar Jubah merah beludru melayang, dilemparkan oleh seseorang yang ada di atas pohon. Jubah itu melebar di udara dalam gerakan memutar melayang-layang di atas kepala Nyai Dupa Mayat. Dengan begitu cahaya matahari menutupi sang Nyai dan bayangan hitamnya hilang seketika. Pendekar Mabuk pun segera sodokkan bumbung tuaknya ke arah kaki sang Nyai. Buuhk...! Lalu meliukkan badan ke tanah dan menyodokkan kembali bumbung tuaknya ke perut sang Nyai. Blaaarr...!
"Aaaaaaahh...!!"
Perut berlapis tenaga dalam itu robek seketika bersama bunyi ledakan keras setelah terkena sodokkan bumbung tuak dari jurus 'Mabuk Lebur Gunung' dari Suto Sinting. Jeritan histeris pun terlontar dari mulut nenek berjubah abu-abu itu.
Nyai Dupa Mayat akhirnya jatuh terpuruk tanpa gerak lagi dalam keadaan tak berdaya. Jubah merah beludr u milik T irai Surga itu jatuh menutupi tubuh sang Nyai. Bruuuk...!
"T irai..."!" seru Suto Sinting setelah lawannya tak bergerak-gerak lagi. Ia
memandang ke arah pohon di mana gadis cantik yang menjadi utusan Nyai Dupa Mayat itu telah berubah pikiran dan berada di pihak Pendekar Mabuk.
Jubah merah itu telah menyelamatkan nyawa Suto dari terjangan bayangan Nyai Dupa Mayat. Seandainya jubah T irai Surga tidak menjadi payung penutup raga sang Nyai dari sinar matahari, mungkin Suto sudah menjadi abu dan arang seperti nasib Dewi Kun.
T irai Surga segera dekati jubahnya dan mengambil jubah itu. Wuuuut...! Ternyata Nyai Dupa Mayat sudah tak bernyawa, sekujur tubuhhya menjadi hitam dan muiai membusuk akibat sodokan bambu saktinya Pendekar Mabuk tadi.
"Dia telah mati!" ujar T irai Surga dengan nada dingin. "Kematiannya sama dengan kepergian bayangan iblis dari ilmu 'Gerhana Senyawa'! Kau tak perlu khawatir lagi!"
"T irai... kau telah selamatkan nyawaku! Aku...."
"Karena aku masih ingin jumpa denganmu di lain waktu!" sahut T irai Surga, kemudian melesat pergi tanpa pamit lagi. Kedua matanya masih digenangi air yang ditahan agar tak menitik di depan siapa saja.
Pandawi segera dekati Suto Sinting dan bertanya penuh curiga, "Siapa dia sebenarnya?"
"Seorang sahabat," jawab Suto Sinting dengan masih terbengong pandangi kepergian T irai Surga, sang utusan maut  yang menjadi pengkhianat majikannya demi kenangan indah di saat ia dan Suto berada di dalam gua.
Pandawi mendengus kesal, Suto Sinting tak terlalu hiraukan sikap gadis bermata biru. Ia segera dekati Resi Pakar Pantun yang berdiri bersama Ki Jalu K uping, Santana, dan Kadal Ginting. Mereka berada di dekat si Dewa Bandot. Jurus 'Mati Rasa' itu akhirnya berhasil dikalahkan oleh kesaktian tuak Suto yang diminumkan ke mulut Dewa Bandot.
Sang Guru dari Pulau Parang itu menjadi sehat seperti sediakala. Demikian pula dilakukan Suto untuk Badra Sanjaya pada hari berikutnya. T api di pihak lain, Pandawi masih penasaran dan ingin mengetahui hubungan apa yang terjadi antara Suto Sinting dengan T irai Surga itu.
SELESAI PENDEKAR MABUK Se gera menyusul!!!
T AWANAN BERMATA NAKAL
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/