Pendekar Mabuk 113 - Tabib Sesat(2)





 4

Sampai mereka berpisah, Bibi Layunggini belum tahu bahwa pemuda
tampan  itu  adalah  Pendekar  Mabuk.  Perempuan  separuh  baya  itu  hanya
tahu  bahwa  pemuda  tampan  itu  punya  keberanian  cukup  besar,  karena
tekadnya melawan Tabib Sesat tampak menyaia-nyala sekali.
Bibi Layunggini merasa girang dalam hatinya, karena pada saat itu
Pendekar Mabuk ikut bersamanya menuju ke Kuil Prana Dewa, sedangkan
Riandawi pergi untuk temui Nirwana Tria yang di antara para muridnya di-
kenal  dengan  nama  panggilan:  Guru  Tria.  Sepanjang  perjalanan  ke  Kuil
Prana Dewa, pandangan mata Bibi Layunggini sering tertuju ke wajah Suto
Sinting.  la  sangat  mengagumi  ketampanan  Suto  Sinting,  juga  terpikat
dengan kegagahan si pendekar yang menyembunyikan ketenarannya itu.
Sekalipun Suto Sinting mulai dapat meraba isi hati Layunggini, tapi
ia berpura-pura tidak mengetahui hal itu, la masih bisa bersikap tenang
dan  kalem,  yang  membuat  hati  Bibi  Layunggini  semakin  diliputi  debar-
debar keindahan.
"Sejak sepuluh tahun yang lalu, aku sudah menjadi janda. Suamiku
tewas dalam suatu pertarungan," ujar sang bibi. "Lalu, sejak itu aku tak
bermaksud  ingin  me-  nikah  lagi.  Kuabadikan  sisa  hidupku  dikuil  keramat
itu tanpa berpikir untuk mencari pasangan hidup lagi."
 "Apakah Bibi tidak merasa kesepian?"
"Sangat  kesepian  sekali,"  jawabnya  terang-terangan.  "Dan  untuk
mengatasi  kesepian  itu  aku  banyak  berlatih  beberapa  ilmu  peninggalan
mendiang  suami-  ku.  Kesibukan  merawat  kuil  juga  merupakan  cara  lain
untuk mengalihkan rasa sepiku. Tapi sekarang.....
Kata-kata  tersebut  tiba-tiba  terputus  dengan  sendirinya.  Timbul
rasa heran di hati Suto Sinting. Lebih heran lagi setelah Bibi Layunggini
hentikan langkahnya dengan pandangan mata ke satu arah penuh curiga. •   
"Ada  apa,  Bibi?"  tanya  Suto  pelan  sekali.  "Aku  mendengar  suara  gerak
pertarungan," jawab sang bibi. Pendekar Mabuk mencoba menyimak suara
yang  dimaksud,  namun  ia  tidak  mendengar  suara  apa-  apa  kecuali
hembusan angin pembawa kesejukan,
"Mungkin Bibi salah dengar. Tak ada suara senjata beradu, tak ada
suara letupan apa-apa."
"Ya, tapi aku mendengar dua gerakan yang saling bantam dan saling
menangkis. Arahnya di sebelah sini!"
Bibi Layunggini bergerak lebih dulu, Pendekar Mabuk mengikutinya
dengan hati semakin heran.
"Jika  benar  apa  yang  didengarnya,  berarti  Bibi  Layunggini
mempunyai  pendengaran  yang  sangat  tajam.  Patut  mendapat  pujian  dan
layak untuk dikagumi," ujar Suto dalam hatinya.
Perempuan itu bergerak cepat. Wees, wees, wees. Pendekar Mabuk
terpaksa  gunakan  separuh  jurus  'Gerak  Siiuman'-nya  untuk  imbangi
kecepatan gerak perempuan tersebut.
Dalam  waktu  beberapa  kejap  saja  mereka  sudah  tiba  di  sebuah
kaki  bukit  berhutan  cemara  kuning.  Indah  sekali  tempat  itu  bagi  Suto
Sinting,  daun-daun  cemara  berwarna  kuning  rata,  batang  pohonnya  juga
berwarna kuning. Rumput dan semak yang tumbuh di sekitar tempat itu
juga  berwarna  kuning  menyala.  Indah  sekali.  Pemandangan  serba  kuning
terang itu menjalar dari kaki bukit sampai ke puncak bukit yang tak se-
berapa tinggi itu.
Namun  di  salah  satu  sisi  kaki  bukit  tersebut,  Pendekar  Mabuk
melihat  dua  sosok  manusia  sedang  ber-  tarung  dengan  gerakan  cepat
tanpa  senjata  tajam.  Hal  itu  membuat  Suto  Sinting  menjadi  terheran-
heran  karena  apa  yang  didengar  Bibi  Layunggini  itu  memang  terbukti
kebenarannya.  Kedua  orang  itu  bertarung  bagaikan  tanpa  suara  sedikit
pun. Benturan tongkat dengan tongkat, tangan dengan tangan, tendangan
dengan  tendangan,  hanya  menghasilkan  kepulan  asap  yang  tidak
mempunyai  suara  apa-apa.  Percikan  cahaya  api  pun  tidak  menimbulkan
suara letupan seperti biasanya.
"Hebat  sekali  pendengaran  Bibi  Layunggini,"  puji  Suto  Sinting
dalam  gumam  pelan  di  samping  perempuan  itu.  Si  perempuan  bagai  tak
pedulikan pujian tersebut, karena kedua matanya memperhatikan ke arah
dua sosok tua yang saiing bertarung di seberang sana…!
Pendekar Mabuk segera terperanjat, pandangan matanya terkesip
ketika  menyadari  salah  satu  dari  orang  yang  bertarung  tanpa  suara  itu
mengenakan  jubah  lengan  panjang  berwarna  putih-hitam,  sebelah  kiri
putih, sebelah kanannya hitam. Usia lelaki tua yang seluruh rambut, kumis,
dan  jenggotnya  berwarna  putih  itu  sekitar  delapan  puluh  tahun,  tapi  ia
masih tampak tegar dan lincah. Bahkan lebih berkesan ganas terha- dap
lawannya.
"Kalau tak salah yang berbadan kurus dan berjubah putih-hitam itu
adalah si Branjang Hantu, ya Bibi?"
"Oh, kau sudah kenal dengannya?" sang Bibi agak terkejut.
"Ya, aku bertemu dengan Branjang Hantu ketika berkunjung kemari
beberapa  waktu  yang  lalu,"  sambil  Suto  terbayang  saat  menyeiamatkan
gadis  bernama  Ranti  Ketawang  dari  tangan  Harya  Jipang,  (Baca  serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Maksiat").
Sambung  Suto  lagi,  "Bukankah  dia  adalah  kakek-^  nya  Ranti
Ketawang, Bi?"
"Benar.  Ranti  Ketawang  itu  juga  keponakanku,  kakak  sepupunya
Riandawi."
"Ooooo.,.?!" Pendekar Mabuk manggut-manggut.
"Branjang Hantu adalah pamanku."
“Oooo...," Suto Sinting melongo lagi lebih panjang.
"Lalu.  siapa  perempuan  tua  yang  sekarang  sedang  mendesak  Ki
Branjang Hantu itu, Bi?"
"Dia  itulah  buronan  kami,"  jawab  Bibi  Layunggini.  Jawaban  itu
membuat Suto Sinting memandang si perempuan dengan dahi berkerut.
"Maksud Bibi... perempuan tua bertubuh sekal  itu adalah si Tabib
Sesat?"
“Siapa !agi kalau bukan dia!"
Detak  jantung  menjadi  cepat.  Pendekar  Mabuk  mulai  tampak  tak
sabar. Dadanya bergemuruh menahan desakan hasratnya untuk menerjang
si  Tabib  Sesat  itu.  Tapi  Bibi  Layunggini  menahannya  dengan  kata-kata
sederhana.
"Tapi di mana Putri Merak yang diculiknya itu?"
Pertanyaan tersebut membuat Pendekar Mabuk menahan diri untuk
tidak  menghambur  dalam  perta-  rungan.  Kelihatannya,  Branjang  Hantu
sendiri  masih  mampu  menahan  serangan-serangan  si  Tabib  Sesat.
Pendekar Mabuk cepat mencari Putri Merak dengan pandangan tajamnya.
"Percuma  saja  kutumbangkan  si  Tabib Sesat  jika  aku  tak tahu  di
mana Putri Merak berada, dan bagaimana keselamatan jiwanya?" ujarnya
dalam hati. Maka 'uto pun tetap diarn d<; tempat dengan penuh waspada.
la tak mau bertindak gegabah yang dapat mengakibat- ksn pengejarannya
ke alam perbatasan itu menjadi sia-sia.
Tabib Sesat ternyata berusia belum terlalu tua, sekitar lima puluh
tahun.  Entah  itu  usia  asli  atau  usia  sadapan  dengan  menggunakan  ilmu
awet muda, yang jelas tubuhnya kelihatan tak terlalu kurus, dan di wajah-
nya  masih  ada  sisa  kecantikan  masa  lalu.  la  mengenakan  jubah  biru  tua
berlengan panjang. Pakaian dalamnya pinjung penutup dada warna merah
dan kain penutup bagian bawah berwarna merah tebai.
Sekalipun  dadanya  masih  tampak  sedikit  montok,  sisa
kecantikannya  masih  kelihatan,  tapi  Pendekar  Mabuk  tahu  persis  siapa
Tabib  Sesat  itu  sebenarnya.  Apa  yang  diketahuinya  itu  adalah  sebuah
rahasia yang tidak banyak diketahui orang. Dan rahasia itu membuat bulu
kuduk Suto pun jadi merinding sesaat.
Bibi  Layunggini  masih  bersembunyi  di  balik  pohon;  Tampak  nya  ia
takut diketahui Tabib Sesat, terlihat dari pancaran pandangan matanya
yang  mengandung  kecemasan.  Namun  ketika  Pendekar  Mabuk  ingin  ber-
gerak  maju  untuk  berada  lebih  dekat  lagi  dari  tempat  pertarungan  itu,
tangan Layunggini buru-buru mencekal pundak Suto.
"Jangan  bertindak  dulu.  Pelajari  dulu  jurus-jurusnya,  siapa  tahu
kau bisa temukan kelemahan jurus- jurus si Tabib Sesat itu!"
"Benar juga!" ujar Suto dalam hatinya. Namun di mulut ia berkata
lain.
"Ki Branjang Hantu semakin terdesak, Bibi."
"Pamanku masih bisa mengatasinya."
"Mengapa Bibi tidak segera turun tangan membantu paman?"
"Aku  tak  ingin  dilihat  oleh  si  Tabib  Sesat,  sebab  dia  pasti
mengincar kunci Kui! Prana Dewa! Aku bisa dibunuhnya demi mendapatkan
kunci pembuka pintu kuil. Dan... ilmuku mernang tak sebanding jika harus
melawannya."
Pendekar  Mabuk  menggumam  lirih  dan  manggut-  manggut.
Perhatiannya kembali diarahkan kepada per- tarungan tanpa suara itu.
la melihat gerakan Tabib Sesat memang cepat dan penuh tipu daya.
Branjang  Hantu  terkena  pukulan  beberapa  kali.  Setiap  pukulan  yang
mengenai lawan selalu menghembuskan asap putih kehitaman.
Kini  mereka  mengadu  tongkat.  Hantaman  tongkat  menimbulkan
percikan  cahaya  merah  dan  semburan  asap,  namun  tetap  tanpa  ledakan
sekecil apa pun. Bahkan suara tongkat dengan tongkat beradu pun tidak
terdengar dari tempat Suto berada.
Adu  tongkat  itu  membuat  tubuh  si Branjang  Hantu terlempar  ke
belakang.  Tubuh  si  Tabib  Sesat  juga  ter-  lempar  ke  belakang.
Punggungnya  menabrak  pohon.  Tapi  tiba-tiba  tubuh  itu  dapat  lolos
melewati pohon ba- gai bayangan tanpa raga. Blees...! Tabib Sesat berdiri
tegak dengan cepat di balik pohon yang diterabasnya itu.
"Gila!  Rupanya  dia  punya  ilmu  bayangan  yang  membuatnya  dapat
menembus pohon?!" gumam Suto Sinting dengan pelan, didengar oleh Bibi
Layunggini, sehingga perempuan itu pun segera berkata pelan juga.
"itulah  salah  satu  kehebatan  ilmunya!  Kau  harus  cari  kelemahan
ilmu itu agar tak celaka jika berhadapan dengannya."
"Bibi  di  sini  saja!  Aku  akan  berada  lebih  dekat  ke  sana.
Kelihatannya Ki Branjang Hantu terluka dalam akibat pukulan Tabib Sesat
tadi. Aku akan menjagai keselamatan Ki Branjang Hantu."
"Tapi, Suto...," Layunggini tak sampai teruskan kalimatnya, karena
anak muda itu tiba-tiba sudah melesat dan berada di balik gugusan batu
berwarna  kuning  kunyit  yang  tingginya  sebatas  pundak  orang  dewasa.
Pendekar Mabuk mengendap-endap di balik batu besar itu.
Branjang  Hantu  masih  bisa  tegak  kembali.  la  me-  mainkan
tongkatnya dengan gerakan cepat, lalu tongkat itu ditancapkan ke tanah.
Jruub...! Branjang Hantu lepas tongkat, bersiap hadapi lawannya dengan
tangan kosong. Sang lawan mendekat dengan masih menggenggam tongkat.
"Branjang  Hantu!"  terdengar  suara  Nini  Kembang  Kempis  yang
terlontar dengan lantang itu.
"Kuingatkan sekali lagi padamu, jangan coba-coba berniat menjadi
satria di depanku! Jika kau masih ber keinginan untuk rnenangkapku, maka
nyawarnu  sendiri  yang  akan  kutangkap  dan  kumasukkan  ke  dalam  raga
seekor babi hutan di Permukaan Bumi nanti!"
"Kalau kau tak mau kutangkap dan kuserahkan kepada Dewa Tanah,
maka  kau  harus  rela  kehilangan  rohmu  yang  akan  kukirim  ke  neraka
jahanam!"
Tabib  Sesat  tersenyum  sinis.  "Kau  tak  akan  unggul  melawanku,
Branjang Hantu! Jika Dewa Tanah saja bisa kuiukai separah itu, mengapa
kau  tidak?!  Bukankah  kau  tahu  aku  menguasai  ilmu  'Siksa  Abadi'  yang
sangat dahsyat itu?!"
"Menggunakan  ilmu  'Siksa  Abadi'  adalah  suatu  pelanggaran  yang
tak  terampuni  lagi!  Oleh  sebab  itulah  kau  harus  diadili,  bila  perlu
dipancung di sini juga!"
Tabib  Sesat  geleng-geleng  kepala  sambil  tangan  kirinya  bertoiak
pinggang.
"Rupanya  semakin  tua  kau  semakin  bandel,  Branjang  Hantu!  Jika
mernang  begitu,  kau  pun  layak  mendapatkan  ganjaran  'Siksa  Abadi'
dariku, seperti ganjaran yang diterima oleh si Dewa Tanah itu! Bersiaplah
untuk modar secara periahan-lahan, Branjang Hantu!"
Nini Kembang Kempis membuka jurus baru. Kaki kanannya ditarik
ke  belakang,  kaki  kirinya  rendah  ke  depan.  Tongkatnya  yang  berkepala
bola  bemkir  itu  diangkat  aebatas  teiinga,  sedangkan  tangan  kirinya
menggenggam kuat di depan dada kiri.
Suto  membatin,  "O,  rupanya  ilmu  'Siksa  Abadi'  adalah  ilmu  yang
berbahaya  dan  tak  boleh  digunakan  dalam  hukum  persiiatan  di  Dasar
Bums  ini.  Dewa  Tanah  terluka  oleh  ilmu  itu,  dan  membuat  Tabib  Sesat
diburu oleh para tokoh aliran putih, sehingga Tabib Sesat melarikan diri.
Hmmm….!  Tapi  mengapa  ia  melarikan  diri?!  Bukankah  sebenarnya  ia bisa
melawan para pengejarnya dengan ilmu'Siksa Abadi' itu?!'
Kecamuk  batin  Suto  dihentikan  karena  perhatian-  I  nya  segera
dikembalikan  pada  gerakan  berbahaya  dari  si  Tabib  Sesat.  Ketika
Branjang  Hantu  menggosok  telapak  tangannya  hingga  menyala  merah
seperti  besi  membara,  TabibSesat  melompat  dengan  gerakan  berputar
cepat.  Gerakan  itu  keluarkan  kabut  merah  yang  melapisi  tubuhnya.      
Tongkat si Tabib Sesat menyambar I kepala Branjang Hantu.
Wuuus...! Dengan cepat Pak Tua berjenggot putih 1 itu berguling ke
tanah sambil kibaskan tangan ke atas. 1 Cahaya merah menyerupai telapak
tangan itu melesat menghantam Tabib Sesat. Tetapi cahaya itu membalik
ke arah semula sebelum kenai tubuh Tabib Sesat, Claap...! Biaab…!
"Aaahk...!"  Branjang  Hantu  terpekik  karena  cahaya  merahnya
justrumenghantam  dadanya  sendiri.  Sskujur  tubuh  Branjang  Hantu
menjadi  terbakar  bagaikan  besi  membara.  Kedua  bola  matanya  pun
menjadi merah mirip batu lahar.
Sebentar  kemudian,  tubuh  itu  padam,  kembali  se  perti  semula.
Branjang Hantu terengah-engah dan berusaha bangkit kembali. Baru saja
berlutut,  tiba-tiba  tubuhnya  menjadimerah  membara  dan  ia  memekik
kesakitan kembali.
"Aaahkk...!  "Branjang  Hantu  pun  tumbang  ke  tanah,  mengerang-
erang dengan kelojotan bagai orang tersiksa yang amat menderita.
"Hmmm...!"  Tabib  Sesat  mencibir  sinis.  "Sudah  kuperingatkan  kau
masih  nekat.  Bukan  salahku  jika  kau  termakan  ilmu  'Siksa  Abadi'-ku,
Branjang Hantu! Nik- mati saja siksaan sepanjang masa itu!"
Zuub...!  Nyala  api  membara  di  tubuh  Branjang  Hantu  padam
seketika. Tubuh itu hanya keluarkan asap ti- pis. Napas Branjang Hantu
terengah-engah  kembali.  la  berusaha  bangkit.  Dengan  sempoyongan  ia
berdiri dan memandang lawannya penuh nafsu untuk membunuh.
“Keparat kau, Tabib Iblis! Terimalah... aaahkk...!"
Branjang  Hantu  mengejang  dengan  kepala  terdo-  ngak  wajah
menyeringai.  Sekujur  tubuhnya  terbakar  kembali  seperti  tadi.  la  jatuh
berkelojotan, sementara si Tabib Sesat tertawa terkekeh-kekeh sambil
pandangi  penderitaan  Branjang  Hantu.  Orang  berjubah  biru  tua  itu
bagaikan sedang menikmati tontonan yang me- nyenangkan hatinya.
"0, rupanya seperti itulah keadaan orang yang terkena ilmu "Siksa
Abadi'...?!" pikir Suto Sinting dengan tegang. "Tapi kulihat tadi si Tabib
Sesat  belum  menyerang  Branjang  Hantu.  la  hanya  melompat,  menge-
pulkan  kabut  merah  menyambar  kepala  Branjang  Hantu  dengan
tongkatnya,  tapi  luput.  Lalu...  lalu  Branjang  Hantu  melepaskan  pukulan
bercahaya  merah.  Tapi  kembali  ke  arah  semula  dan  mengenai  dadanya.
Tiba-  tiba  dia  menjadi  terbakar,  sembuh,  terbakar,  dan  sembuh  lagi,
terbakar  lagi....  Oh.  apakah  sinar  merah  yang  membalik  arah  itu
dinamakan  ilmu  'Siksa  Abadi'?!"
Tabib Sesat berkata, "Tapi kurasa kau tali perlu menderita seperti
itu. Kau bukan musuh utamaku,Branjang Hantu. Jadi sebaiknya kau segera
kukirim  keneraka saja!"
Tabib Sesat mengangkat tongkatnya. Tongkat siap dihujamkan ke
dada Branjang Hantu. Pada saatitulah, Pendekar Mabuk bertindak cepat
dari persembunyian- nya. Jurus 'Jari Guntur' digunakan untuk menyerang
Tabib Sesat.
Tess, tees...! Dua sentiian yang keiuarkan tenaga dalam cukup besar
melesat ke dada Tabib Sesat, Tapi rupanya Tabib Sesat mengetahui akan
datangnya gumpalan hawa padat yang rnembahayakan dadanya. Ia segera
melompat  hindari  hawa  padat  itu  walauharus  batalkan  niatnya
menghujamkan tongkat ke tubuh Branjang Hantu.
Suuut..! Jleeg...! Tabib Sesat sudah berpindah tempat, sedikit lebih
jauh  dari  Branjang  Hantu  Gumpalan  hawa  padat  dari  sentilan  'Jari
Guntur' melesat terus dan mengenai sebongkah batu kuning suram yang
tingginya seukuran dada orang dewasa.
Prrakk...! Prool...!
Batu itu retak sebentar, lalu pecah menjadi bongkahan-bongkahan
sebesar  genggaman  tangan.  Hati  si  Pendekar  Mabuk  merasa  malu-malu
jengkel.  Baru  sekarang  sentilan  jurus  'Jari  Guntur'-nya  dapat  dihindari
lawan.  Mau  tak  mau  ia  harus  mempertanggungjawabkan  serangan  diam-
diamnya  tadi  dengan  melompat  keatas  sambil  bersalto  satu  kali,  karena
pada saat itu Nini Kembang Kempis alias si Tabib Sesat kirimkan pukulan
tenaga dalamnya tanpa sinar dan tanpa suara. Yang keluar dari sodokan
kepala tongkatnya hanya uap putih bagai dihembuskan dari mulut seekor
naga. Wuuus...!
Durrb...!
Tenaga  dalam  itu  kenai  batu  kuning  kunyit  yang  dipakai
bersembunyi Pendekar Mabuk. Yang terdengar hanya suara batu meledak
dalam  satu  daya  redam  cukup  tebal.  Tak bisa  didengar  oleh  orang  yang
berjarak sepuluh langkah dari tempat batu tersebut berada. Ta- hu-tahu
batu itu hancur menjadi butiran kerikil yang menggunduk di tempatnya.
"Rupanya ada pemuda bodoh yang mau ikut dikirim ke neraka!" ujar
Tabib  Sesat  seperti  bicara  pada  diri  sendiri,  tapi  dilontarkan  dengan
suara keras.
Pendekar Mabuk melangkah lebih dekat lagi. Se- mentara itu, nyala
api membara di tubuh Branjang Hantu telah padam. Pak Tua itu berusaha
untuk  bangkit,  namun  susah  sekali.  la  merangkak  mendekati  tongkatnya
yang ditancapkan di tanah.
Tabib  Sesat  tampak  curiga  kepada  pemuda  yang  dipandanginya
dengan  mata  mengecil  itu.  Suto  Sinting  beriagak  tidak  memperhatikan
Tabib Sesat. Pandangannya ditujukan kepada Branjang Hantu yang sudah
berhasil  berdiri  dengan  berpegangan  pada  tongkatnya.  Tapi  ekor  Mata
Suto tetap mewaspadai segala gerakan si Tabib Sesat.
"Minumlah tuakku, Ki Branjang Hantu."
"Kkau... kau si...."
"Ya, memang aku!" jawab Suto tegas. "Jangan banyak bicara dulu,
minumlah tuakku untuk memadamkan api yang akan membakarmu lagi itu,"
sambil Suto menyodorkan bumbung tuaknya.
"Pendekar  Mabuk!"  sentak  suara  Tabib  Sesat.  "Kau  pasti  si
Pendekar Mabuk yang telah membunuh beberapa muridku itu!"
"Sekarang justru gurunya yang akan kubuat menyusul murid-murid
sesat  itu!"  ujar Suto  Sinting  sengaja  memancing  emosi  Tabib  Sesat.  Ia
tak jauh-jauh dari Branjang Hantu yang sedang menenggak tuak. Tabib
Sesat  tampak  berpikir  beberapa  saat.  la  tak  mau  langsung  menyerang
Pendekar Mabuk, karena masih diliputi perasaan heran oleh sesuatu yang
tak diduga-duga sebelumnya.
"Ternyata  anak  itu  bisa  masuk  ke  alam  sini?!  Hmmm...!  Pantas
murid-muridku  banyak  yang  tumbang  di  tangannya!  Pantas  ia  sukar
ditangkap oleh para utusanku!" ujar Tabib Sesat dalam hatinya. "Kurasa
dia harus segera kubereskan. Atau jika terlalu sulit, kutinggal kabur saja!
Aku  harus  segera  menemukan  si  Layunggini  untuk  dapatkan  kunci  Kuil
Prana Dewa, dan membawa Putri Merak ke sana! Dengan memakan jantung
Putri  Merak  di  dalam  kuil  itu,  maka  bukan  saja  umurku  akan  menjadi
panjang, tapi aku akan berubah menjadi lebih muda lagi!"
Pendekar  Mabuk  cepat  ambil  kembali  bumbung  tuaknya,  khawatir
diserang  secara  tiba-tiba.  Branjang  Hantu  terengah  engah.  Tubuhnya
tidak menyala merah lagi, tapi hawa panasnya masih menyengat jaringan
dalam  tubuh.  la  meringis  kepanasan  sambil  berlutut  memegangi
tongkatnya.  Suto  Sinting  tinggalkan  Branjang  Hantu  untuk  sementara,
karena Tabib Sesat mulai memainkan tongkatnya sambil berseru dengan
lantang.
"Sekaranglah  saatnya  kau  menebus  kematian  murid-muridku,
Pendekar Mabuk!"
"Di  mana  kau  sembunyikan  si  Putri  Merak  itu?!"  hardik  Pendekar
Mabuk walau tetap dengan wajah seperti tak beremosi.
"Tak akan ada yang bisa menjamah Putri Merak! Lupakan tentang
dia, dan hadapi saja hukuman dariku ini! Hiaaat...!"
Tabib  Sesat  melompat  cepat,  menyambar  kepala  Suto  Sinting
dengan ujung tongkatnya yang bundar itu. Pendekar Mabuk melenting ke
atas  tanpa  bersalto.  la  sengaja  tidak  menghindari  terjangan  itu,
melainkan  bermaksud  mengadu  kesaktian  bumbung  tuaknya  dengan
tongkat lawan. Seet...!
Blaaamm...!
Benturan  tongkat  dengan  bumbung  tuak  mengeluarkan  cahaya
merah  terang  yang  menyentak  dalam  sekejap.  Bersamaan  dengan  itu,
keluarlah suara berdentam menyerupai ledakan yang menggunakan alat
peredam.
Suara  ledakan  itu  memang  tak  sekeras  biasanya,  tapi  gelombang
daya sentaknya menghantam perut Pendekar Mabuk. Perut itu bagaikan
diterjang  seekor  banteng  yang  mengamuk.  Selain  membuat  sukar  ber-
napas, juga membuat tubuh gagah itu terpental hilang keseimbangan arah.
Wuuus...! Brruuk...!
Pada saat Suto Sinting terbanting, tubuh Tabib Sesat menembus
pohon bagaikan bayangan tanpa ra- ga. Blees…! la jatuh di semak-semak
berdaun  kuning  bening.  Guzraak...!  Tapi  dalam  beberapa  kejap  sudah
bangkit kembali dan siap melepaskan jurus barunya.
Pendekar  Mabuk  pun  memaksakan  diri  untuk  bisa  tegak  kembali.
Napas ditarik dan ditahan dalam perut. Maka mengalirlah hawa murni ke
dalam  perutnya,  sehingga  perut  yang  seharusnya  memar  membiru  dan
sakit sekali dipakai bernapas itu menjadi berkurang rasa sakitnya.
"Kau memang keparat, Bocah Sinting!" geram Tabib Sesat. "Jangan
merasa bangga dulu dengan ilmumu! Kekuatanmu tak ada sekuku hitamnya
dibandingkan kekuatanku!"
"Serahkan Putri Merak atau kuhancurkan ragamu dengan bumbung
tuakku ini, Tabib Sesat!"
Suto lontarkan ancaman sebagai bukti ia tak pe- dulikan kata-kata
lawannya.  Keberaniannya  pun  tampak  tak  berkurang  sedikit  pun.  la
meiangkah ke sarn- ping menunggu reaksi lawan.
Ternyata  sang  lawan  nekat  menerjang  Suto  kembali  dengan  satu
lompatan  secepat  kilat.  Wiizz...!  Suto  Sinting  tak  sempat  menghindar.
Tapi ia segera menyilangkan bumbung tuaknya di depan dada sambil me-
lambung lurus ke atas. Suuut...!
Prrak...! Brruus...!
Bumbung  tuak  itu  diterjang  dengan  telapak  kaki  si  Tabib  Sesat.
Akibatnya  bumbung  itu  membentur  dagu  Suto  sendiri.  Tubuh  Suto  pun
terlempar kembali ke be- lakang dan jatuh berjungkir balik beberapa kali.
Pandangan mata Suto sedikit kabur. Kepalanya sakit sekali bagaikan
mau remuk. Tapi ia segera berdiri dengan satu kaki berlutut.
Ketika  lawannya  tampak  menghantamkan  tongkatnya  ke  arah
kepala,  Pendekar  Mabuk  segera  menadahkan  bumbung  tuaknya  kembali
dengan dipegang kedua tangan.
Traang, blaaam...!
Terlambat sedikit saja, kepala Suto akan remuk karena terhantam
bagian  ujung  tongkat  yang  bundar  berukir  itu.  Dengan  berhasilnya
bumbung  tuak  dipakai  sebagai  penangkis  hantaman  tongkat  lawan,  Suto
Sinting terkapar dalam satu sentakan, karena ledakan yang timbul akibat
benturan itu mempunyai daya sentak yang kuat dan menyakitkan kepala,
membuat wajah terasa panas sampai sebatas pundak.
Tetapi si Tabib Sesat sendiri juga terlempar ke belakang dan jatuh
terpuruk  dengan  tulang-tulang  tera-  sa  iinu  sernua.  Pada  saat  itu
Branjang  Hantu  dalam  keadaan  tidak  kepanasan.  la  segera  hantamkan
tongkatnya ke tubuh Tabib Sesat.
Wuuut,..!
Traak...! Bluuub...!
Hantaman  tongkat  Branjang  Hantu  berhasil  ditangkis  oleh  Tabib
Sesat dengan menyilangkan tongkatnya di atas tubuh dan dipegangi dua
tangan  seperti  Suto  ta  di.  Tetapi  tenaga  dalam  yang  beradu  melalui
tongkat itu membuat dada Tabib Sesat semakin terasa seperti di tindih
dengan batu besar. Sementara itu, Branjang Hantu sendiri terpental dan
jatuh berguling-guling dalam keadaan tongkat terlepas dari genggaman. la
bergegas bangkit, tapi hawa panas menyerang jaringan tubuhnya kembali,
sehingga ia terpaksa mengerang dengan tubuh melintir nungging di tanah.
Kesempatan itu digunakan oleh Tabib Sesat untuk segera berdiri.
Jleeg...!  Satu  ayunan  pinggul  membuat  tubuhnya  tegak  kembali  dalam
sekejap. Tetapi ternyata pemuda tampan yang dihadapinya itu sudah lebih
dulu  berdiri  tegak  sambil  menutup  bumbung  tuaknya,  pertanda  ia  habis
menenggak  tuak  saktinya  untuk  meredam  hawa  panas  yang  menyerang
wajah sampai pundaknya itu.
"Kuakui,  lumayan  juga  pertahananmu,  Bocah  Ingusan!"  ujar  Tabib
Sesat  sambil  manggut-rnanggut  dengan  sinis.  "Tapi  kau  tetap  tak  akan
mampu meiawan jurus 'Siksa Abadi'-ku dengan seluruh kekuatanmu!"
"Jangan serang dial" Branjang Hantu berseru dengan suara berat.
Wajahnya  yang  menahan  rasa  sakit  itu  tampak  tegang  melihat  Suto
Sinting sudah mu!ai memutar bumbung tuaknya.
"Jangan  serang!  Hindari  saja  dia!"  tambah  Branjang  Hantu
membuat Suto Sinting merasa heran, akhirnya hentikan putaran bumbung
tuaknya.
"Aku  curiga  dengan  larangan  itu!  Ada  apa  sebenarnya?!"  pikir
Pendekar Mabuk.
Tapi si Tabib Sesat memainkan tongkatnya dengan cepat, bagaikan
mengerahkan  tenaga  inti  untuk  keluarkan  ilmu  'Siksa  Abadi'.  Dalam
sekejap tubuhnya mulai keluarkan kabut merah samar-samar.
"Tunjukkan.kekuatanmu,  Bocah  Ayan!"  tantang  Tabib  Sesat.  Tapi
Branjang Hantu berusaha melarang dengan seruan bernada berat.
"Jangan serang dia! Hindari saja.... Uuuhk!"
"Tutup  bacotmu,  Bibi!"  bentak  Tabib  Sesat.  Suaranya  dirasakan
oleh Suto mengandung kecemasan tersendiri. Suto Sinting jadi penasaran
dan bertekad turuti seruan Branjang Hantu.
Maka  ketika  Tabib  Sesat  berkelebat  menerjangnya  bagaikan
cahaya  kilat,  Pendekar  Mabuk  lebih  dulu  pergunakan  jurus  'Gerak
Silumannya untuk menghindar.
Wiiizz...! Zlaap...!
Pendekar  Mabuk  berada  di  tempat  agak  jau'h,  sekitar  delapan
langkah  dari  tempat  Tabib  Sesat  daratkan  kakinya.  Terjangannya
menemui tempat kosong, dan
hal itu membuatnya semakin murka.
"Jangan lari kau, Pengecut! Hadapilah aku kalau kau ingin dapatkan
si Putri Merak itu!"
"Aku tidak akan lari, karena aku tahu rahasia kelemahanmu, Tabib
Sesat!" seru Suto Sinting sambil pasang kuda-kuda seperti orang mabuk
mau tumbang.
"Hmmmh..!" Tabib Sesat mencibir meremehkan. "Kau bocah kemarin sore
tak akan mampu ungguli ilmuku, Nak!"
"Kita  lihat  saja  hasilnya!  Aku  sudah  memperoleh  rahasia
kelemahanmu dari Randugara!"
"Hahh...?!"  Tabib  Sesat  mendelik  kaget.  Rasa  kagetnya  itu  tak
sempat ditutupi, walau kejap kemudian ia kembali bersikap liar kembali.
Tapi  sinar  matanya  menunjukkan  adanya  kecemasan  yang  mulai
mengurangi  nyalinya.  Pendekar  Mabuk tersenyum  dengan  tetap  tak  mau
melepaskan serangannya.
"Seranglah aku sekarang juga kalau kau memang tahu di mana letak
kelemahanku!"  tantang  Tabib Sesat, tapi  hati  kecilnya berkata,  "Gawat!
Kurasa  anak  ini  memang  mengetahui  rahasia  kelemahanku,  karena  dia
menyebutkan  nama  Randugara!  Murid  keparatku  itu  pasti  telah
membocorkan  rahasia  itu  kepadanya!  Aku  harus  segera  tinggalkan  anak
ini. Berbahaya sekali jika tahu-tahu serangannya langsung mengenai pusat
kelemahanku!"
Branjang Hantu masih menggerak-gerakkan ta- ngannya walau tak
bisa  bicara.  Tapi  Suto  Sinting  me-  ngerti  bahwa  Branjang  Hantu  tetap
melarangnya untuk lepaskan serangan ke arah Tabib Sesat.
"Jahanam! Cepat serang aku kalau kau mernang jantan!"
"Kita sama-sama jantan!" seru Pendekar Mabuk.
"Celaka!  Dia  benar-benar  tahu  siapa  diriku!"  sentak  hati  Tabib
Sesat. Tiba-tiba kakinya menghentak di tanah. Duuhk...!
Bluuub...!  Tubuhnya  bagaikan  kepulkan  asap  putih  tebal.  Asap  itu
segera sirna karena dihembus angin. Sosok perempuan berjubah biru pun
lenyap seketika itu juga.
"Dia...  melarikan  diri...!"  ujar  Branjang  Hantu  sambil  terengah-
engah. Pada saat itu rasa panas dalam tubuhnya hilang kembali.
"Celaka! Ke mana perginya orang itu?!" tanya Suto Sinting kepada
Branjang  Hantu,  tapi  matanya  sambil  memandang  ke  sana-sini  dengan
tegang.


5

Kini  Bibi  Layunggini  menjadi  tahu,  bahwa  pemuda  tampan  itu
ternyata adalah si Pendekar Mabuk "yang sering didengarnya dari mulut
para tokoh persilatan. Hati perempuan itu menjadi kian berdebar- debar
kegirangan, karena ia merasa bangga dapat bertemu dengan tokoh muda
yang menjadi pujaan para wanita dan pujian para tokoh aliran putih itu.
"Pantas  dia  berani  melawan  si  Tabib  Sesat?!  Kaiau  dia  bukan
Pendekar Mabuk, mana berani dia melakukan pengejaran kemari?!" gumam
hati Layunggini.
"Oh, sebaiknya aku tak boleh hanyut dulu dengan rasa banggaku ini.
Bagaimana keadaan Paman Branjang Hantu itu?! Ooh, dia tersiksa sekali!
Apakah tuak saktinya Pendekar Mabuk tak srtampu sembuhkan luka bakar
yang diderita pamanku itu?!"
Tuak  sakti  Pendekar  Mabuk  hanya  bisa  untuk  me-  ngurangi  rasa
panas  pada  orang  yang  terkena  ilmu  'Siksa  Abadi'-nya  si  Tabib  Sesat.
Rasa panes itu berkurang sedikit sekali. tubuh si penderita hanya bisa ti-
dak  tampak  merah  membara.  Tetapi  jika  kekuatan  'Siksa  Abadi'  itu
datang kembali, si penderita tetap rasakan sesuatu yang menyengat panas
dalam jaringan tubuhnya.
"Ini masih mending, ketimbang penguasa tertinggi kami; Sang Dewa
Tanah!" ujar Layunggini yang berani lampakkan diri setelah Tabib Sesat
lari tinggalkan tempat.
"Dewa  Tanah  masih  sering  meraung-raung  kesakit-  an  jika  panas
'Siksa  Abadi'  itu  datang.  Tubuhnya  masih  sering  menjadi  merah
terbakar, lalu padam beberapa saat, dan terbakar lagi, begitu seterusnya.
Sampai sekarang belum ada obat yang dapat untuk mengatasi keku- atan
ilmu  'Siksa  Abadi'  itu,"  tutur  Branjang  Hantu  saat  tidak  diserang  rasa
panas.
"Karena  itulah  si  Tabib  Sesat  dicari-cari  oleh  Nirvana  Tria,"
sambung  Layunggini,  'Sebab....  Nirwana  Tria  sudah  diberi  tahu  rahasia
kelemahan Tabib Sesat oleh kakeknya: Sang Dewa Tanah itu. Tetapi sama
hal- nya dengan dirimu, Mirwana Tria terlepas kata bahwa dia mengetabui
rahasia  Tabib  Sesat,  sehingga  tabib  Iblis  itu  melarikan  diri  sebelum
berhasil dikalahkan oleh Nirwana Tria. la bersembunyi di Permukaan Bumi,
tapi Nirwana Tria gaga! menemukan tempat persembunyiannyal"
Pendekar  Mabuk  rnenggumam  pendek,  kemudian  ajukan  tanya
kepada Layunggini.
“Lalu,  bagaimana  cara  menghindari  ilmu  'Siksa  1  Abadi'-nya  itu,
Bibi?"
"Jangan menyerang!" sahut Branjang Hantu.
"Ya. Jangan menyerangnya pada saat tubuhnya kabutmerah. Kabut
merah  itulah  tanda  bahwa  ia  menggunakan  ilmu  'Siksa  Abadi'.  Jika  ia
diserang,  maka  serangan  akan  membalik  mengenai  kita.  Bahkan  sebelum
serangan  itu  kita  lepaskan,  bisa-bisa  sudah  membalik  mengenai  tubuh
kita.  Tak  dapat  dihindari  lagi.  Sekecil  apa  pun  serangan  yang  akan  kita
gunakan,  dapat  membakar  tubuh  kita  dan...  membuat  kita  tersiksa
sepanjang  masa,  sebelum  garis  ajal  tiba!  Oleh  karena  itu,  banyak  para
tokoh  yang  terpaksa  segera  lakukan  bunuh  diri  jika  sudah  terkena  ilmu
'Siksa Abadi' itu, sebab mereka tak sanggup hidup tersiksa  selamanya!"
"Ilmu  yang  aneh...,"  gumam  Pendekar  Mabuk,  kemudian  diam
termenung beberapa saat.
Branjang Hantu berkata kepada Layunggini.
"Panas itu menyerangku lagi. Oouhk...!" Branjang Hantu mengerang
kesakitan dengan tubuh meliukturun dan berlutut memegangi tongkatnya.
"Layunggini... bunuh saja aku! Bunuh sekarang juga! Aaahk…!"
Layunggini  bimbang,  namun  memandang  dengan  wajah  penuh  iba.
Suara  yang  merintih  itu  sangat  meng-  iris  hati.  Layunggini  tak  tega.  la
segera mengencangkan genggaman tangannya.
"Paman, maafkan aku...."
Pendekar Mabuk mengerti maksud Layunggini. Perempuan itu akan
menghantamkan  pukulan  yang  mematikan  kearah  Branjang  Hantu.  Oleh
sebab itu, Pendekar Mabuk segera mencekal lengan Layunggini.
"Tunggu! Jangan lakukan hal itu, Bibi!"
"Siksaan ini harus dihentikan, Suto!"
"Ya,  aku  tahu,  Bi!  Tapi  tidak  harus  dengan  cara  membunuh  Ki
Branjang  Hantu.  Baru  saja  kuingat  ramuan  obat  yang  berkhasiat  tinggi.
Aku harus mencari Batu Tembus Jagat. Jika batu itu dicampur dengan tu-
akku, maka akan menjadi satu ramuan obat yang berkhasiat tinggi. Kurasa
bisa dipakai untuk mengalahkan kekuatan 'Siksa Abadi' itu, Bi!"
"Batu Tembus Jagat...?!" gumam Layunggini bernada heran. la tak
menyangka pemuda tampan itu mengetahui adanya batu ajaib yang dapat
untuk sembuhkan penyakit berbahaya itu.
Maka terbayang di benak Layunggini tentang sebuah gua berbatu
indah,  yaitu  Gua  Mahkota  Dewa.  Di  dalam  gua  itulah  terdapat  Batu
Tembus Jagat yang mempunyai kekuatan ajaib itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Penjara Terkutuk").
"Sebaiknya, kita bawa Ki Branjang Hantu ke sebuah tempat yang
aman,  Bibi!  Aku  akan  mencari  Batu  Tembus  Jagat  sambil  memburu  si
Tabib Sesat!"
Layunggini  bertanya  kepada  Branjang  Hantu,  "Paman  mau  kami
bawa ke Kuil Prana Dewa?"
Branjang  Hantu tidak  bisa  menjawab  karena  menahan  rasa  sakit.
Tapi Pendekar Mabuk memutuskan untuk membawa Branjang Hantu tanpa
menunggu pertimbangan tokoh tua itu. Bibi Layunggini pun segera menjadi
pemandu  arah menuju  Kuil  Prana  Dewa.  Di  sana  ia  punya tempat  tinggal
sendiri sebagai juru kunci kuil keramat tersebut.
"Semakin  banyak  minum  tuakmu,  semakin  lama  jarak  kambuh
panasnya,"  ujar  Bibi  Layunggini  sambil  memperhatikan  Branjang  Hantu
yang dibaringkan di atas dipan bambu.
"Syukurlah  jika  beliau  sekarang  bisa  tertidur,"  ujar  Suto  Sinting
sambil menghembuskan napas lega.
Branjang  Hantu  memang  diminumi  tuak  banyak-  banyak  oleh
Pendekar Mabuk. Ternyata semakin banyak meminum tuak, semakin lama
jarak kambuhnya. Semula dalam dua puluh hitungan, Branjang Hantu me-
rasa  kepanasan  lagi.  Tapi  setelah  diminumi  tuak  sakti  itu,  lima  puluh
hitungan  baru  terasa  panas  lagi.  Suto  meminumkan  tuaknya  lagi,  sampai
akhirnya Branjang Hantu bisa tertidur.  |
"Tuakku  hampir  habis,  Bibi,"  ujar  Suto  Sinting  seraya
mengguncang-guncang bumbung tuaknya, dan terdengar bunyi kemerucuk
air tuak dalam bambu sebatas satu jengkal dari dasar bumbung itu.
"Aku  harus  mengisi  bumbung  tuakku  lagi,  Bibi!  Dapatkah  Bibi
tunjukkan di mana ada kedai penjual tuak di sekitar sini, Bibi?"

"Di sini tidak ada orang menjual tuak," kata Layunggini. "Tapi aku
punya simpanan arak untuk pesta malam penyembahan yang akan dilakukan
pada lima purnama mendatang."
"Arak.,.?!" gumam Suto Sinting agak ragu, Karena menurutnya arak
dan  tuak  itu  berbeda,  walaupun  sama-  sama  memabukkan  jika  diminum
terialu banyak.
"Tapi daripada bumbung tuakku nanti kosong, kurasa arak pun tak
jadi soal," ujarnya dalam hati.
"Kalau kau mau, kau bisa mengisi bumbungmu dengan Arak Suci."
Layunggini  menuju  ke  sudut  ruangan.  Di  sana  ada  dua  guci  arak.
Satu  guci  arak  jika  dituang  ke  bumbung  tuak  tidak  akan  membuat
bumbung  itu  penuh.  Tapi  lumayan  bisa  buat  persediaan  melawan  Tabib
Sesat nanti.
"Arak  Suci  ini  dipakai  dalam  pesta  adat  bukan  untuk  mabuk-
mabukan,  meiainkan  untuk  menyucikan  darah  kami  masing-masing  dari
kesalahan-kesalahan  yang  tidak  kami  sadari.  Itu  menurut  kepercayaan
hukum adat kami," tutur Layunggini.
"Boleh kuminta satu guci, Bi?"
"Boleh  saja.  Tapi  apakah  khasiat  tuakmu  tetap  akan  sama  jika
dicampur dengan Arak Suci ini?!"
Pendekar  Mabuk  diam  sebentar  mempertimbang-  kan.  Pertanyaan
itu membuat hatinya menjadi lebih bimbang lagi. Maka sebagai percobaan,
Suto menuang sedikit tuaknya ke dalam cangkir keramik,  lalu rnen- cam
purkan sedikit Arak Suci ke dalam cangkir itu.
"Kalau memang khasiatnya sama, aku akan pergi berbekal tuak itu,
Bi. Tapi kalau tidak berkhasiat, lebih baik aku pergi dengan membawa sisa
tuak ini," ujar Suto Sinting sambil pandangi cangkir keramik yang berisi
air tuak campur arak sebanyak sekitar tiga te~ gukan itu.
Pendekar  Mabuk  cicipi  rasa  tuak  itu  satu  teguk,  lalu  dikecap-
kecapnya sebentar.
"Hmmm...  rasanya  aneh.  Seperti  minum  air  pandan.  Tapi...  tapi  di
badan terasa sedikit panas?!"
"Coba  kucicipi  sedikit,"  pinta  Layunggini.  Perempuan  itu  pun
mencicipi  seteguk,  lalu  lidahnya  mengecap-ngecap  untuk  rasakan  tuak
campuran arak itu.
"Hmmm, ya... rasanya seperti minum air pandan. Padahal Arak Suci
rasanya tidak seperti ini," ujar Layunggini. la menghabiskan separuh sisa
tuak  dalam  cangkir.  Semakin  jelas  rasa  pandannya.  Nikmat,  segar,  tapi
darah yang mengalir ke sekujur tubuhnya menjadi sedikit panas.
Suto Sinting menghabiskan sisa tuak dalam cangkir itu.
"Detak  jantungku  menjadi  lebih  cepat,"  ujar  Layunggini  sambil
menghembuskan  napas  panjang.  la  rnelangkah  masuk  ke  sebuah  kamar
bertirai kain merah.
"Benar  juga,"  pikir  Suto.  "Detak  jantung  menjadi  lebih  cepat.
Tapi...  tapi  debar-debar  ini  membawa  kein-  dahan  tersendiri.  Hmmm,
keindahan apa ini?!"
Semakin  lama  debar-debar  itu  semakin  jelas.  Se-  bentuk
kegembiraan yang tak tahu dari mana asalnya mulai memenuhi ruang hati
Pendekar  Mabuk.  Tentunya  yang  dirasakan  Layunggini  juga  begitu.
Badan  makin  terasa  panas.  Keringat  mulai  tersum-  bui  dari  pori-
pori  tubuh  kekar  Pendekar  Mabuk.  Benak  pun  ikut  dipenuhi  bayang-
bayangan indah tentang ke- romantisan.
"Celaka!  Mengapa  hatiku  berdebar-debar  seperti  orang  sedang
kasmaran?!" gumam hati Suto. "Apakah Bibi Layunggini juga begitu?!"
Sambil  rnenenteng  bumbung  tuaknya,  Pendekar  Mabuk  nekal
menyusui  Layunggini  masuk  ke  kamar  bertirai  kain  merah.  Tersentak
hatinya,  makin  berdetak  kuat  jantung  manakala  kedua  matanya
memandang  keadaan  Layunggini.  Perempuan  itu  melepas  kain  jubahnya,
juga  mengendurkan  kain  pinjung  penutup  dada  sambil  duduk  di  tepi
pembaringan.
Ketika  Suto  Sinting  menyingkapkan  tirai  merah  dan  tersentak
dengan suara lirih, Layunggini memandang dengan senyum aneh.
"Masuklah.  Ini  kamar  tidurku,"  ujar Layunggini,  tapi  Suto  Sinting
tetap diam di tempat dengan mata terbelalak. Layunggini menghampirinya,
kemudian menggandeng tangan Suto Sinting untuk mendekati ranjang.
"Aku  terpaksa  buka  jubah,  karena  badanku  terasa  panas  sekaii,"
Layunggini berujar sambil membawa Suto duduk di pembaringan. Wajah
separuh baya yang masih punya nilai kecantikan sangat matang itu sengaja
menghadap ke arah Suto bagai memamerkan senyum naka!, Kedua matanya
yang masih mempunyai buiu lentik itu mulai tampak sayu.
"Kau tampan sekali, Suto," ujarnya membisik.
"Kenapa  jadi  begini?'  gumam  Suto  masih  benada  heran.  la
memandang  tangannya  yang  sedang  diremas-remas  oleh  Layunggini.
Remasan  tangan  itu  bagaikan  bara  api  yang  mulai  terasa  membakar
gairahnya.  Hasrat  untuk  bercumbu  mulai  bergolak,  seakan  batin  menun-
tut  kehangatan  dan  kemesraan  untuk  menyempurnakan  perasaan  indah
yang menaburi hatinya.
"Di kamar ini aku selalu hidup dalam kesepian, Suto. Tapi sekarang
rasa-rasanya  hidupku  mulai  terisi  kembali.  Entah  sampai  berapa  lama,
yang jelas... yang jelas sekarang hatiku gembira sekali, Suto. Kau tahu apa
yang membuatku gembira?"
"Karena kita berdua di sini?"
"Ya, dan... dan aku bergairah sekali, Suto. Maukah kau... maukah kau
mencium pipiku, Suto?"
Pertanyaan  yang  bernada  desah  diiringi  senyum  memikat  dan
pandangan mata sayu menggairahkan itu telah membuat dada Suto Sinting
semakin bergemuruh, Hati kecilnya ingin menolak tawaran Layunggini, tapi
hasratnya semakin memanas dan tak bisa lakukan penolakan tersebut.
Suto Sinting pun menempelkan bibirnya di pipi Layunggini setelah
sungging  senyumnya  mekar  meng-  goda  hati.  Kecupan  lembut  di  pipi  itu
terasa  menga-  lirkan  getaran  cinta  ke  sekujur  tubuh  Layunggini.  Itulah
sebabnya  tangan  kiri  Layunggini  meremas  paha  Suto  Sinting  dengan
lembut.
Tangan itu akhirnya bergerak merayap naik perlahan-lahan ketika
mereka beradu pandangan mata. Gerakan tangan sampai di pangkuan Suto,
menyentuh  kehangatan  yang  menjadi  kebanggaanhya.  Layunggini
meremas kehangatan itu pelan-pelan.
"Ooooh...  sudah  lama  aku  tak  menggenggam  ini,  Suto.  Dan...  dan
kelihatannya  apa  yang  kau  punyai  melebihi  apa  yang  dimiliki  mendiang
suamiku dulu."
"Bibi  mau  memakainya?"  bisik  Suto  Sinting  dengan  kedua  tangan
mulai berani merayapi sekitar leher dan rahang perempuan itu. Kini justru
satu tangannya turun dan menerobos pinjung penutup dada. Suto Sinting
menemukan  sesuatu  yang  masih  terasa  padat  dan  sekal  di  balik  pinjung
penutup  dada  tersebut.  la  mengu-  sap  ujung-ujung  bukit  itu  dengan
sentuhan mesra sekali.
Layunggini  meresapi  sentuhan  itu  dengan  mata  sedikit  terpejam.
Bibirnya  merekah  bagai  menanti  ke-  cupan  hangat  dari  lawannya.  Suto
Sinting  pun  mende-  katkan  wajah,  lalu  lidahnya  bermain  di  permukaan
bibir  tersebut.  Layunggini  merasa  dibuat  penasaran,  akhir-  nya  ia
menyambar lidah Suto dan memagutnya dengan lembut sekali.
"Oohhhh...!"  Layunggini  mendesah  panjang  ketika  kecupan  itu
dilepaskan.  Gairahhya  semakin  berkobar,  demikian  pula  halnya  dengan
gairah Pendekar Mabuk.
Pemuda  itu  bagai  melambung  ke  awang-awang  ketika  Layunggini
menciumi  Jehernya  dengan  kecupan  kecil  dan  sapuan  lidah  yang  nakal.
Jiwa pemuda  tampan  itu  seakan  melayang-layang  hingga lupa  pada  calon
istrinya  yang  bernama  Dyah  Sariningrum,  ratu  di  negeri  Puri  Gerbang
Surgawi, di Pulau Serindu.
Pagutan  mulut  dan  sapuan  lidah  Layunggini  merayap  turun
menyusuri  dada  bidangnya  Suto  Sinting.  Kedua  tangannya  sempat
menyingkapkan  baju  coklat  tanpa  lengan  itu,  sehingga  kini  Suto  telah
bertelanjang  dada.  Wajah  Layunggini  mendusal-dusal  di  sekitar  dada
kanan-kiri, membuat gigitan kecil yang memercikkan api asmara berkali-
kali.
"Ooh, Bibi... kenapa begini? Kenapa... kenapa aku tak bisa menahan
gairahku  yang...  yang...  ooh,  Bibi...."  Suto  Sinting  membisik  makin  lirih
ketika  Layunggini  berkstut  di  depannya,  sementara  kain  ikat  pinggang
Suto  yang  berwarna  merah  itu  sudah  dilepasnya.  Sesuatu  yang  hangat
dikeluarkan  oleh  tangan  perempuan  itu,  lalu  disantapnya  dengan  lahap
sekali.  Suto  Sinting  terbeliak  nikmat  ketika  pagutan-pagutan  mulut
Layunggini itu semakin liar. Pemuda itu justru sedikit merebah- kan badan
ke belakang dengan kedua tangan bertumpu di tengah ranjang.
"Ooooh....  Suto,  aku...  aku  ingin  sekali!  menikmatinya.  Bolehkah
kunikmati sendiri, Suto...?"
"Naiklah, Bibi. Duduklah di pangkuanku. Tapi... lepaskan dulu kainmu
itu."
Mereka tak sadar bahwa minuman tuak campur Arak Suci itu telah
membangkitkan saraf birahi siapa pun yang meminumnya. Ternyata tuak
yang berasal dari bumbung bambu sakti itu tidak boleh dicampur dengan
Arak Suci tersebut. Jika dicampur akan metigu- bah kedua minuman itu
menjadi  racun  pembakar  gairah  bercumbu  siapa  pun  peminumnya.  Juga,
dapat  melam-  bungkan  jiwa  mereka  kekhayalan  indah  tentang
percumbuan.  Dan  jika  sudah  begitu,  siapa  pun  peminumnya  akan  sulit
menghindari dorongan bercinta yang berkobar-kobar besar sekali itu.
Terbukti,  seorang  pendekar  sakti  seperti  Suto  Sinting  pun  tak
berhasil mengekang dorongan gairahnya, sehingga ia lupa pada dirinya dan
lupa segala-galanya. Yang ada dalam benak dan hatinya adalah memburu
kemesraan bersama lawan jenisnya, tak peduli siapa lawan jenis yang ada
di dekatnya.
"Cepat naik dan lepaskan kainmu, Bibi...," desak Suto Sinting.
"Oh,  ya...  harus  kulepas  dulu  biar  lebih  indah  lagi,  oouh...  uuh...,"
suara Layunggini terkesan gemetar, ge- rakannya terburu-buru, napasnya
pun sudah mulai tak teratur.
Tapi tiba-tiba ia mendengar suara teriakan keras dari si Branjang
Hantu.
"Aaaahhhhkkk...!!"
Teriakan keras dan panjang itu membuat keduanya tersentak kaget
dan  meloinpat  turun  dari  ranjang  ketika  kedua  kaki  Layunggini  ingin
menduduki  Suto  Sinting.  Mereka  bergegas  merapikan  pakaian  dan
Layunggini lebih dulu melesat keluardari kamar.
"Paman, ada apa...?!"seru suara Layunggini.
"Ooohk, panas lagiiiL!" ratap Branjang Hantu terdengar dari kamar.
Suto  Sinting  menghembuskan  na-  pas  lega.  Ternyata  hawa  panas  yang
membakar jaring- an tubuh Branjang Hantu datang kembali dan menyiksa
Pak Tua itu.
Pendekar Mabuk yang sudah telanjur mengenakan pakaian lagi itu
segera sadar akan tindakan yang baru saja dilakukan bersama Layunggini.
Rupanya sentakan kaget itu memulihkan kesadarannya yang telah dibuat
mabuk asmara oleh campuran tuak dengan arak tadi. 
"Gila!  Apa  yang  hampir  kulakukan  tadi  bersama  Bibi  Layunggini?!
Ooh...  celaka!  Hampir  saja  aku  terjerumus  dalam  pelukan  asmara  Bibi
Layunggini!"
Pendekar  Mabuk  buru-buru  menenggak  tuaknya  sedikit.  Tuak  itu
semakin menenangkan gemuruh hati yang tadi susut akibat sentakan rasa
kagetnya.
Sang bibi kembali ke kamar dengan wajah masih berkeringat.
"Pamanku kambuh lagi!"
"Tuakku  tinggal  sedikit.  Tak  bisa  diberi  campuran  tuak  dengan
Arak  Suci  itu.  Hampir  saja  kita  terjebak  dalam  kobaran  asmara  akibat
minum campuran tuak dengan Arak Suci itu, Bibi!"
"Yaaah... aku pun baru menyadari. Tapi... gairahku masih memburu
terus,..."
"Minum tuak murniku ini sedikit saja."
Layunggini se gera menenggak tuak sakti Pendekar Mabuk. Kobaran
hasrat  cintanya  memang  mereda,  tapi  celakanya  tuak  dalam  bumbung
semakin menipis lagi. Padahal, Branjang Hantu merintih-rintih memilukan
hati
karena  penderitaannya.  Suto  Sinting  tak  tega.  la  harus  memberinya
minum dengan sisa tuak dalam bumbung  saktinya itu. Tentu saja hai itu
akan membuat tuak semakin habis.
                                                
 *
 * *

 6

Tabib  Sesat  tak  sabar  menunggu  saat  terbaik  untuk  membelah
dada Putri Merak dan memakan jantungnya. Ketika ia mendapat laporan
dari Jagaloya tentang kegagalannya merebut kunci Kuil Prana Dewa, Tabib
Sesat  memutuskan  untuk  menjebol  pintu  ruang  suci  di  kuil  keramat
tersebut.
"Dasar  bodoh!  Kau  manusia  tak  berguna  iagi,  Jagaloya!  Murid
keropos!"  geram  Tabib  Sesat  dengan  murkanya  akibat  kecewa  melihat
hasil kerja Jagaloya.
"Riandawi ikut campur, Guru! Dan...."
"Dan kau lebih baik kubunuh daripada dibunuh pihak lawan! Hiah..!"
Sreet...! Tongkatdikibaskan dengan cepat. Jagaloya terkejut sekali,
karena  tak  menyangka  sedikit  pun  akan  disabet  ujung  bawah  tongkat
gurunya. Sabetan itu tidak kenai tubuh Jagaloya, tapi angin sabetannya
mempunyai ketajaman seperti mata pedang.
Jagaloya tak sempat terpekik, karena tiba-tiba lehernya putus dan
kepalanya jatuh menggelinding sebelum tubuhnya tumbang ke belakang.
"Guru...!"  Jagaloya  sempat  bersuara  serak  satu  kali,  walau
kepaianya telah terpisah dari raganya. Setelah itu ia tak dapat bersuara
apa pun dan kedua mata nya se- tengah terpejam.
Putri  Merak  ternyata  dalam  keadaan  terkena  pengaruh  totokan
Tabib Sesat. Darahnya menjadi beku, urat-uratnya kaku seperti kawat. la
seperti  mayat  mati  suri.  Tak  bisa  bergerak  sedikit  pun.  Bahkan  tak
mampu mengingatapa-apa.
Tabib  Sesat  memanggul  tubuh  Putri  Merak,  lalu  melesat  menuju
Kuil Prana Dewa.
"Semakin  lama  tertunda,  semakin  banyak  perintangku.  Kuil  itu
harus kujebol dan jantung anak ini harus segera kumakan di sana! Hik, hik,
hik, hik!"
Tabib Sesat menyangka Layunggini tidak berada di kuil tersebut.
Oleh sebab itulah ia memutuskan untuk segera menjebol pintu kuil. Tetapi
ketika ia tiba di pelataran depan kuil berbenteng batu hitam bening itu,
tiba-tiba  langkahnya terhenti  oleh  munculnya  sekelebat  bayangan cepat
yang menerjangnya dari samping. Wees...! Bruuus...!
"Setaaaan...!  Uuhk...!"  Tabib  Sesat  berguling-guling.  la  merasa
diterjang  oleh  serombongan  banteng  yang  tak  bisa  dihindari  lagi.
Tubuhnya  terpental  sejauh  dua  puluh  langkah  dari  tempatnya  diterjang
tadi.  Putri  Merak  pun  terpental  lepas  dari  pundaknya,  jatuh  terbanting
sejauh sekitar delapan langkah dari tempat Tabib Sesat berada.
"Monyet burik!" geram Tabib Sesat, kemudian ber- gegas bangkit
dengan  menahan  rasa  sakit  di  sekujur  tubuhnya.  Ia  memandang  dengan
tajam ke arah orang yang menerjangnya itu.
"Oo,  rupanya  kau  bisa  sampai  sini  juga,  Rupa  Setan!"  seru  Tabib
Sesat dengan murka.
"Seperti  kau  ketahui  sendiri,  Tabib  Sesat...  biarpun  wilayah  alam
perbatasan  ini  sangat  luas,  tapi  toh  aku  masih  mampu  menemukan
congormu  di  sini,  Tabib  Sesat!"  ujarperempuan  cantik  sekali  yang
mengenakan jubah hijau dengan penutup dada dan celana panjang warna
kuning itu.
Rupanya diam-diam Tabib Sesat pernah mendengar percakapan si
Rupa  Setan  dengan  tokoh  lain  yang  habis  ditolongnya,  sehingga  ia  tahu
bahwa  perempuan  montok  berwajah  cantik  itu  berjuluk  si  Rupa  Setan
dengan nama aslinya Anjardini.
Suara  teriakan  murka  Tabib  Sesat  itu  terdengar  sampai  di
kediaman  Layunggini.  Pendekar  Mabuk  dan  Layunggini  segera  keluar.
Mereka  terperanjat  melihat  Tabib  Sesat  sudah  berhadapan  dengan
seorang lawan yang sangat dikenal oleh Pendekar Mabuk.
"Anjardini...!"  sapa  Pendekar  Mabuk  sambil  berkelebat  cepat
mendekati si Rupa Setan.
Zlaaap.J  Jleeg...!  Pendekar  Mabuk  ada  di  samping  kanan  Rupa
Setan. Perempuan cantik itu terkejut melihat Suto sudah bukan manusia
serigala  lagi.  Tapi  ia  tak  sempat  tanyakan  siapa  penyembuhnya,  karena
Tabib  Sesat  yang  sangat  kecewa  melihat  pemuda  tampan  itu  ada  di
tempat  tersebut,  segera  lepaskan  serangan  bersinar  merah  menyerupai
tombak panjang. Sinar merah itu keluar dari kepala tongkatnya.
"Binasalah kalian berdua! Heeaah...!"
Cralaap...!
"Awas...!" seru Anjardini segera melepaskan pukulan bersinar dari
telapak tangannya. Sinar yang keluar dari telapak tangan Anjardini adalah
sinar hijau sebesar jeruk peras. Claap...!
Blegaaaarrr...!!
Ledakan dahsyat terjadi pada saat sinar merah dan sinar hijau itu
saiing  bertabrakan  di  pertengahan  jarak.  Alam  sekitarnya  berguncang
hebat. Batu-batu besar menjadi retak,  pepohonan pun sempat ada yang
ter- beiah, dahan-dahan patah dan jatuh berdebum di sana- sini. Mereka
yang  ada  di  sekitar  tempat  itu  saiing  oleng  terhuyung-huyung  karena
tanah  tempat  mereka  berpijak  diguncang  gempa  bergelombang-
gelombang.
Ketika suasana gaduh itu menjadi tenang kembali. Pendekar Mabuk
sudah berada di dekat Putri Merak. Tabib Sesat menjadi semakin murka
dan khawatir sekali Putri Merak disambar oleh Suto Sinting.
"Berani menyentuh gadis itu, kuhancurkan kepalamu dari sini, Bocah
Keparat!"  sentaknya  keras.  Sebuah  pukulan  jarak  jauh  tanpa  sinar  dan
tanpa suara di- lepaskan dari tangan kiri Tabib Sesat. Wees...! Buuhk...!
Suto Sinting tak sempat menghindar karena cepatnya hawa padat
yang mengarah padanya. Walau ia melompat dengan maksud menghindar,
tapi pahanya masih sempat tersambar hawa padat itu, sehingga tubuhnya
terpelanting dan jatuh agak jauh dari Putri Merak. Brruk...!
"Aoow...!"  pekik  Suto  Sinting  yang  merasa  pahanya  bagaikan
dihantam  dengan  sebongkah  batu  besar.  Rasa  memar  dan  sakit  pada
tulang  memang terasa  menjalar  di  sekujur  tubuh, tapi  Pendekar  Mabuk
tidak peduli. ia segera bangkit dengan terpincang-pinoang.
"Jangan  beri  kesempatan  dia  menggunakan  ilmu  'Siksa  Abadi'!"
suara  lantang  itu  datang  dari  Layunggini.  Seruan  itu  membuat  Tabib
Sesat berpaling ke arah si penjaga kuil keramat.
Pada  saat  itulah,  si  Rupa  Setan  mencabut  kipasnya  lalu  kipas  itu
disentakkan  ke  depan.  Suuut...!  Claap...!  Seberkas  sinar  kuning  patah-
patah melesat dari ujung kipas itu.
Tabib  Sesat  baru  ingin  bergerak  memburu  Layunggini,  tapi
berhubung sinar kuning patah-patah datang ke arahnya, mau tak mau ia
melompat ke atas dan ber- salto satu kali di udara. Wuuut, wuuk...!
Tepat pada saat itu Pendekar Mabuk lepaskan jurus 'Jari Guntur'-
nya.  Des,  des...!  Gumpalan  hawa  padat  melesat  menuju  ke  arah  putaran
tubuh Tabib Sesat. Salah satu sentilan bertenaga dalam itu tepat kenai
mata kaki Tabib Sesat.
Trok...!
"Aaouw...!"  terdengar  suara  Tabib  Sesat  terpekik.  Tapi  segera
tertutup  suara  dentuman  menggelegar  akibat  sinar  kuningnya  si  Rupa
Setan kenai sebatang pohon besar jauh di seberang sana. Glaaarr...! Pohon
itu pecah menjadi potongan-potongan kayu tak beraturan.
Tabib  Sesat  turun  ke  tanah.  Kaki  kirinya  tak  bisa  dipakai  untuk
menapak  dengan  kekar  seperti  biasanya.  Rupanya  mata  kaki  kiri  itulah
yangterkena  sentilan  'Jari  Guntur'-nya  Pendekar  Mabuk  dan  terasa
seperti pecah.
"Keparat kalian semua! Majulah kalian bersama!"
Set, set, wuut...!
Jurus 'Siksa Abadi' dipergunakan. Suto Sinting tahu, gerakan itu
adalah gerakan untuk mengeluarkan kabut merah sebagai gerakan jurus
'Siksa Abadi'. Tetapi ternyata kabut merah tak keluar dari tubuh Tabib
Sesat. Terpaksa gerakan tadi diulangnya kembali.
Set, set, wuut...!
"Heeah...!"  sentak  suara  Tabib  Sesat,  tapi  ternyata  kabut  merah
tetap  tak  bisa  keluar  dari  tubuhnya.  Wajah  si  Tabib  Sesat  menjadi
tampak tegang. Clingak-clinguk bagaikan kehilangan sesuatu.
"Jahanam...!"  geram  Tabib  Sesat  dengan  menyeringai  ganas  dan
memandang ke arah Pendekar Mabuk.
"Kau telah melumpuhkan ilmu 'Siksa Abadi'-ku, Bocah Kunyuk! Kini
tak ada ampun lagi bagimu, Keparat!"
Wut, wut, wut, seet...!
Tabib Sesat memainkan jurus lain dengan gerakan tongkat sangat
cepat, lalu tahu-tahu ia sudah berdiri dengan satu kaki, dan satu kakinya
lagi  melilit  pada  tongkat.  Kini  tongkat  itu  berfungsi  sebagai  pengganti
kaki kiri yang terkena sentilan 'Jari Guntur'-nya Pendekar Mabuk tadi.
Rupanya sentiian 'Jari Guntur' yang mengenai mata kaki itu telah
melumpuhkan  kekuatan  ilmu  'Siksa  Abadi',  sehingga  Tabib  Sesat  tak
dapat menggunakannya lagi. Bahkan ketika ia ingin melarikan diri dengan
cara  menghilang  seperti  yang  dilakukan  oleh  para  tokoh  persilatan  di
dasar bumi itu, ternyata kekuatannya lenyap dalam sekejap itu pun ikut
musnah akibat sentilan mengenai mata kaki tadi.
Dengan kaki kiri melilit pada tongkat, Tabib Sesat menerjang Putri
Merak dalam gerakan masih secepat cahaya kilat. Wiiiz...! Tubuhnya yang
melayang ke arah Suto Sinting segera dihantam oleh pukulan jarak jauh-
nya  si  Rupa  Setan.  Desss...!  Tapi  hawa  padat  kiriman  si  Rupa  Setan
berhasil  ditangkis  dengan  kibasan  tangan  kanan  Tabib  Sesat  yang  juga
keluarkan hawa padat menyebar. Wees...! Blaaarrr...!
Pendekar  Mabuk  melihat  gerakan  kaki  yang  melilit  tongkat  itu
berkelebat menyambar kepaianya. Tubuh Suto Sinting meliuk ke samping
seperti orang mabuk mau tumbang, kemudian segera tegak kembali dan
menggeloyor  ke  depan  seperti  mau  tersungkur  ke  tanah,  tapi  segera
tegak kembali.
Jurus mabuk itu sulit ditembus serangan kaki Tabib Sesat. Bahkan
ketika  tubuh  Tabib  Sesat  telah  berdiri  tegak  di  belakang  Suto,  kaki
pendekar  tampan  itu  berkelebat  menendang  ke  belakang  dengan  sangat
cepat. Weess...! Bluus...!
"Ooh...?!"  Pendekar  Mabuk  maupun  Rupa  Setan  dan  Layunggini
terperanjat  karena  kaki  Suto  yang  mengenai  kepala  Tabib  Sesat  itu
seperti menembus bayangan di udara. Kaki itu tak merasa menyentuh apa-
apa.  Padahal  mereka  melihat  jelas  kaki  itu  menyambar  kepala  Tabib
Sesat.
"Hiah...!" Suto Sinting sentakkan kakinya lagi ke depan dalam satu
lompatan  pendek.  Kaki  itu  jelas-jelas  mengenai  dada  Tabib  Sesat,  tapi
Suto  Sinting  merasa  tidak  menyentuh  apa-apa.  Tendangan  itu  bagaikan
menembus bayang-bayang tanpa sosok nyata. Beess...!
"Hiaah, hah, hah, hah, hah!" Tabib Sesat tertawa keras-keras. "Kau
tak akan bisa menyentuh tubuhku jika aku sudah pergunakan ilmu 'Raga
Temeram' ini. Hiaah, hahh, hahh, hahh, haaa!"
Rupa  Setan  tampak  ingin  bergerak  maju,  tapi  Suto  Sinting  segera
berseru, "Tahan!"
Rupa Setan tak jadi bergerak.
"Biar kuhadapi iblis yang satu ini secara jantan! Aku laki-laki dan
dia juga laki-laki!"
"Bangsaaat...!"  bentak  Tabib  Sesat  dengan  suara  keras.  "Aku
seorang perempuan, Tolol!"
"Kau  seorang  lelaki!  Kau  mengenakan  pakaian  dalam  dari  baja,
karena kelemahanmu ada pada 'burung' kecilmu itu! Randugara, muridmu
itu, telah bicara padaku! Kalau kau tak mau menyerah, akan kuhancurkan
'burung kutilang'-mu itu, Tabib Sesat!"
"Ooh,  jadi  dia  lelaki...?!"  terdengar  suara  Layunggini  hampir
bersamaan  dengan  Rupa  Setan.  Hal  itu  membuat  Tabib  Sesat  menjadi
malu sekali, dan mur- kanya bertambah besar.
"Gggrrmmmhh...!!" ia menggeram dengan mata mendelik lebar.
Melihat murka lawannya menjadi bertambah besar karena malu, Pendekar
Mabuk  justru  berteriak  keras-  keras  dengan  maksud  membuat  Tabib
Sesat menjadi semakin malu lagi.
"Hoiiii... orang-orang Dasar Bumiii...! Ketahuilah, bahwa Tabib Sesat
itu  sebenarnya  laki-laki  yang  me-  miliki  'burung'  keciiiiil..,  sekali!  Tabib
Sesat sebenarnya adalah seorang laki-lakiiii...! Seorang laki  "
"Heeeaaaaat...!"
Pendekar Mabuk tak merasa rugi kata-katanya ter- putus. Tapi ia
telah berhasil memancmg kemarahan lawannya yang meluapluap, sehingga
ia diserang se- cara membabi buta. Sinar-sinar merah keluar dari tangan
dan tongkat si Tabib Sesat. Serangan itu datang secara beruntun. Tapi
dengan  gerakan  menggeloyor  patah-patah  seperti  orang  mabuk,  Suto
Sinting berhasil hindari setiap sinar yang mengarah padanya.
Clap, clap, clap, clap...!
Jegaaaarrr... blaaaarrrrr...!
"Kuhancurkan  mulut  bangsatmu  itu,  Setaaaaan...!!"  teriak  Tabib
Sesat seperti orang kesurupan.
Namun  dalam  satu  kesempatan  bagus,  Pendekar  Mabuk  segera
pergunakan  jurus  yang  bernama  'Mabuk  Lebur  Gunung'.  la  menggeloyor
seperti mau jatuh, tapi tiba-tiba menyodokkan bumbung tuaknya ke arah
la-  wan.  Suuut...!  Sodokan  itu  tepat  kenal  bagian  bawah  pusar  si  Tabib
Sesat.
Prrang...! Terdengar seperti suara logam pecah. Celana serat baja
penutup kelemahan Tabib Sesat berhasil tersodok bumbung tuak walau ia
menggunakan  jurus  ilmu  'Raga  Temeram'.  Rupanya  ilmu  itu  hanya  bisa
membuat  bagian  tubuh  lainnya  menjadi  seperti  bayangan,  tapi  bagian
burung kutilang'-nya tidak bisa ikut seperti bayangan.
Pecahnya celana baja itu membuat Tabib Sesat terperanjat tegang. Kejap
itu pula, Suto Sinting memutar tubuh sambil duduk di tanah, lalu bumbung
tuaknya  menyodok  lagi  ke  atas  dan  kembali  tepat  kenai  sang  'burung
kutilang' itu. Ceprooot...!
"Aaahhhhkk...!"
Tabib Sesat terdongak kepalanya dengan mata memejam kuat-kuat
dan mulutnya ternganga lebar. Kejap kemudian ia diam bagaikan patung.
Sekujur tubuhnya biru legam. Ilmu Raga Temeram' punah dan sosok tu-
buh  itu  tampak  nyata.  Rambutnya  pun  mulai  rontok  karena  dihembus
angin.
Lama-lama  kulit  kepala  itu  terkelupas,  kulit  tubuh  makin  hitam
seperti  hangus.  Ketika  angin  berhembus  agak  kencang,  tubuh  hitam  itu
tumbang  ke  tanah.  Brruk...!  Ternyata  ia  sudah  tak bernyawa  lagi  akibat
terkena jurus 'Mabuk Lebur Gunung' yang cukup berbahaya itu.
Nirwana  Tria  dan  Riandawi  datang  ketika  suasana  tegang  telah
berlalu.  Nirwana  Tria  hanya  hembuskan  napas  panjang  melihat  mayat
Tabib Sesat.
Sebelum Suto Sinting tinggalkan alam perbatasan itu, lebih dulu ia
sempatkan diri menyembuhkan Branjang Hantu dan Dewa Tanah dengan
sisa tuaknya dan Batu Tembus Jagat. Ternyata kedua tokoh tua itu ber-
hasil disembuhkan dari penderitaan 'Siksa Abadi'.
Dengan dikawal Nirwana Tria dan si Rupa Setan, Suto kembali ke
alam kehidupan nyata membawa pu lang Putri Merak. Gadis itu diserahkan
kembali  kepada  Utari,  kemudian  mereka  mengawal  Utari  yang  bertugas
menjaga keselamatan Putri Merak sampai ke Bukit Caraka.


SELESAI
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com