Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 1 - Jasa Susu Harimau(1)


JASA SUSU HARIMAU 
Serial 01 Dewi Sritanjung 
Karya : Widi Widayat 
Di tepi sungai, tampak seorang 
kakek duduk bersila di atas batu 
besar, sedang tangan yang kanan 
memegang tangkai pancing. Namun 
agaknya kakek ini lagi sial, karena 
sepanjang hari tidak diperoleh 
seekorpun ikan. 
Nasib.....ah permainan nasib, 
gumamnya. Hai ikan di sungai. Kalau 
saja alat pancingku ini merupakan 
pancing sesungguhnya, nasibmu tentu 
menjadi mangsa manusia. karena di 
antara kamu akan kena oleh pancingku, 
lalu menggelepar dan mati. Tetapi 
pancingku ini bukan pancing sebenarnya 
dan ini hanyalah permainan nasib. 
Tiba-tiba kakek ini menyentakkan 
tangkai pancingnya. Ayaa.... ternyata 
ujung tali pancing itu bukan berisi 
jarum berkait, melainkan hanyalah 
sebutir kerikil. 
Pantas saja kakek ini menyebut 
permainan nasib. Ikan yang menyambar 
kerikil di ujung pancing itulah yang 
disebut nasib. Nasib manusiapun sama 
halnya, menjadi permainan nasib 
seperti halnya ikan yang hidup di 
sungai itu. 
Tetapi kakek yang rambutnya sudah 
putih ini mendadak kaget dan 
menjulurkan lehernya, ketika mendengar 
tangis bayi. Diam-diam kakek ini 
heran, bayi siapakah yang menangis? 
Tempat dirinya sekarang ini duduk 
mengail, merupakan hutan belantara dan 
jauh dari desa. Adakah seorang ibu 
yang membawa bayi ke tempat sepi 
seperti ini? 
Namun ketika makin jelas 
didengar, tangis bayi itu dari tengah 
sungai, ia mendesis, 
ahhh.....mungkinkah bayi dhemit 
(bantu)? 
Ia mengalihkan pandang matanya ke 
sungai. Kendati sudah tua tetapi 
pandang matanya belum lamur. Ia 
mengerutkan alis, ketika melihat 
sebuah belanga hanyut dan dari situlah 
asal tangis bayi itu. 
Ahhh..... bayi dibuang? Lalu 
siapakah yang sudah membuang anak ini? 
desisnya. Ya, Dewata 
Agung.....ampunilah dia yang sudah 
mala gelap dan tersesat itu. Sedang di 
samping itu, perkenanlah hambaMu ini 
menyelamatkan bayi tidak berdosa itu! 
Berbareng dengan ucapannya yang 
terakhir, menyambarlah benda halus ke 
sungai. Ternyata benda itu tali 
pancing yang dipanjangkan, sedang pada 
ujungnya sudah dibentuk lingkaran agak 
lebar. 
Tali itu menyambar tepat hingga 
belanga (kuali) yang hanyut itu 
tertahan dan kemudian dengan gerakan 
menyentak, belanga tersebut sudah 
terbang. Sesaat kemudian belanga 
berisi bayi tersebut sudah dapat 
ditangkap dengan tangan kiri. 
Mendengar suara tangis yang 
semakin parau itu, kakek ini gugup dan 
khawatir. Penutupnya cepat dibuka lalu 
dengan  gerakan hati-hati, orok itu 
dikeluarkan. Orok yang bugil dan pada 
lehernya terdapat sebuah kalung emas 
berbentuk burung garuda. 
Kasihan.....apakah salahmu, 
hingga kau dibuang orang tuamu? 
gumamnya sambil menghela napas 
panjang. 
Orok perempuan yang masih  terus 
menangis itu, didekapnya di dadanya 
yang kerempeng. Lalu diselimuti dengan 
jubahnya agar menjadi hangat. Usahanya 
berhasil, orok itu sekarang berhenti 
menangis dan kemudian tertidur. Kakek 
ini tersenyum, kemudian isi kuali 
diambil dan melangkah perlahan 
meninggalkan sungai dan alat pancing-
nya. 
Orok perempuan yang dilahirkan 
Dewi Anwari ini ternyata bernasib 
baik. Sekarang tertolong oleh kakek 
pertapa sakti yang dikenal orang 
bernama Kiageng Tunjung Biru. 
Dengan perasaan iba, orok dalam 
pondongannya  ini dibawa pulang ke 
pondoknya, terletak tak jauh dari 
pertemuan sungai Widas dan sungai 
Lengkong. Pondok itu dilindungi 
sebatang pohon Tanjung yang sudah amat 
tua dan rindang. 
Dengan hati-hati sekali orok 
perempuan ini diletakkan di 
pembaringan beralaskan rumput kering. 
Kemudian untuk bisa memberi kehangatan 
bagi si orok, beberapa potong pakaian 
yang ditemukan di belanga tadi 
dipergunakan menyelimuti. 
Ia memandang orok merah ini 
dengan perasaan iba. Orok mungil yang 
cantik, tetapi mengapa sebabnya oleh 
orang tuanya dibuang? 
Mendadak saja ia ingat kepada 
nasibnya sendiri. Kini sudah pikun, 
tanpa anak, tanpa isteri, tanpa 
keluarga dan tanpa tetangga. Bukankah 
orok yang ditemukan ini sudah 
merupakan kehendak Dewata Agung untuk 
menjadi teman hidupnya? 
Tetapi  tiba-tiba kakek ini 
berjengit. Kalau orok ini dibuang, 
apakah tidak mungkin merupakan hasil 
hubungan gelap? Karena malu, maka orok 
yang tidak berdosa itu dibuang. 
Namun wawasannya yang amat luas 
menyebabkan kakek ini kemudian 
menghela napas. Apakah sebabnya 
manusia di dunia ini yang terpikir 
hanyalah kepentingan diri? Berani 
berbuat, mengapa tidak berani 
bertanggung jawab? Karena tidak 
sedikit jumlahnya manusia yang menjadi 
lupa diri dan lupa akan tanggung 
jawabnya itu menyebabkan dunia ini 
tidak pernah bisa damai. 
Menurut pendapat kakek ini, orok 
yang ditemukan ini lahir di dunia 
sudah menjadi kehendak Dewata Agung. 
Karena itu tidak pada tempatnya 
apabila disia-siakan apalagi dibuang 
pula. 
Tiba-tiba Kiageng Tunjung Biru 
ingat kepada benda-benda yang 
menyertai orok ini. Benda itu 
diperhatikan satu persatu. Ada dua 
lembar kain baju dan ada sobekan kain 
putih berisi tulisan. 
Kiageng Tunjung Biru menghela 
napas dalam, lalu menggeleng-gelengkan 
kepalanya setelah selesai membaca 
tulisan pada secarik kain putih  itu. 
Tahulah ia sekarang orok ini bukan 
hasil hubungan gelap tetapi merupakan 
buah hasil perkawinan yang berakhir 
dengan tragedi. 
Kakek ini hatinya terasa sedih 
sekali. Mengapakah sebabnya bisa 
terjadi peristiwa seperti ini? Jelas 
semua itu merupakan permainan nasib. 
Kalau tidak demikian, manakah mungkin 
Dewata Agung mempertemukan Dewi Anwari 
dengan Mpu Nala, yang kemudian saling 
jatuh cinta? 
Oleh permainan nasib, Mpu Nala 
kemudian ketakutan setelah tahu, Dewi 
Anwari merupakan puteri Kuti yang 
memberontak kepada Majapahit. Sedang 
Mpu Nala merupakan pejabat tinggi 
Majapahit. Sudah tentu Nala menjadi 
amat khawatir apabila perkawinannya 
ini kemudian menodai nama baiknya 
sebagai pejabat tinggi Majapahit yang 
terpercaya. 
Suratan takdir tidak terbantah. 
Nyatanya dengan peristiwa menyedihkan 
itu, kemudian Kiageng Tunjung Biru 
yang semula hidup seorang diri, 
sekarang mendapat teman hidup orok 
merah. 
Hemm, baiklah, gumamnya. Kalau 
takdir Dewata Agung aku harus menjadi 
ayah dan sekaligus ibu orok ini, aku 
tidak dapat menolak. 
Kakek ini duduk di tepi 
pembaringan. Dan dengan hati-hati 
kalung di leher si kecil itu 
diperhatikan. 
Tiba-tiba orok perempuan itu 
menangis. Kiageng Tunjung Biru gugup, 
lalu mengusap-usap kepala bayi yang 
masih lunak itu perlahan, sambil 
mengucapkan kata-kata menghibur. 
Agaknya kakek ini sudah menjadi 
pelupa, orok yang baru lahir itu belum 
membutuhkan hiburan dan ucapan. 
Tak heran apabila orok ini tidak 
menghentikan tangisnya dan si kakek 
menjadi bingung. Ia belum pernah 
menjadi ayah dan belum pernah pula 
mengasuh bayi. Menurut pendapatnya, 
kalau bayi ini telah dibungkus kain 
rapat-rapat, tentunya sudah hangat. 
Tetapi mengapa masih juga menangis ? 
Saking bingungnya dan tak tahu 
apa yang harus dilakukan, kain 
pembungkus orok itu dibuka. Setelah 
terbuka, kakek ini mendadak terkekeh 
geli sendiri. Ternyata kain pembungkus 
itu telah basah oleh air kencing 
bercampur berak. 
Jangan menangis, Cucu.... biarlah 
kakek membersihkan.... gumamnya sambil 
menggerakkan tangan dan hati-hati 
sekali, mengusap bagian yang basah itu 
dengan kain. Kain yang kotor sudah 
disingkirkan dan diganti dengan kain 
kering. Kemudian kakek ini senang 
sekali, orok itu kembali tidur. 
Tetapi ketika pagi hari tiba orok 
itu menangis lagi, ia menjadi 
kebingungan sendiri seperti kebakaran 
jenggot. Dengan gugup orok itu segera 
dibawa keluar pondok. Timbullah 
niatnya untuk minta pertolongan 
penduduk yang menyusui anaknya. Namun 
celakanya si orok yang haus dan lapar 
ini tidak mau mengerti dan menangis 
terus. 
Di saat ia mendukung orok untuk 
minta pertolongan penduduk ini, tiba-
tiba ia mendengar aum harimau. Ia agak 
heran, karena selama menghuni hutan 
ini ia belum pernah bertemu harimau 
seekorpun. Tetapi mengapa sekarang 
tiba-tiba ia mendengar aum harimau? 
Tak lama kemudian muncullah dua 
ekor harimau yang besar. Harimau tutul 
sebesar lelembut itu telah menghadang 
di depannya. 
Ah, jangan mengganggu aku, 
katanya halus. Pergilah! Aku sedang 
kebingungan dengan orok ini. 
Tetapi manakah mungkin harimau 
itu mengerti maksud ucapan manusia? 
Ucapan kakek ini malah disambut dengan 
aum dahsyat dan dua ekor harimau itu 
malah siap menerkam. 
Hemm, apakah kau tak mendengar 
ucapanku? Pergilah dan jangan ganggu 
diriku.  
Tetapi ucapannya kali ini malah 
disambut dengan terkaman hampir 
berbareng.  
Wutt wutt.... terkaman harimau 
itu luput, ketika kakek ini melesat ke 
samping dengan gerakan gesit. 
Dua ekor harimau ini menjadi 
marah. Hampir berbareng sudah mengaum 
dan menerjang kembali. Dengan tenang 
Kiageng Tunjung Biru menghindar lagi. 
Di saat menghindar ini, ia menjadi 
tahu baliwa dua ekor harimau ini 
seekor jantan dan seekor betina. Yang 
betina susunya besar, menjadi tanda 
masih menyusui anaknya. 
Tiba-tiba saja wajahnya berseri. 
Desisnya. Terima kasih ya Dewata 
Agung. Kau menolong kesulitanku. Hemm, 
harimau ini bisa menolong dengan air 
susunya. 
Orok merah itu lalu dipondong di 
tangan kiri. Ketika dua ekor harimau 
itu menyerang lagi, ia bukan hanya 
menghindar, tetapi menggeser diri ke 
samping membungkukkan tubuh. Secara 
tidak terduga, tangan kanan bergerak 
seperti kilat cepatnya menepuk leher 
harimau betina. Ketika yang jantan 
menyerang, ia pun menepuk leher 
harimau itu hingga mengaum kesakitan 
dan terguling. 
Tetapi hanya sejenak. Dua ekor 
harimau itu sudah kembali menerjang. 
Kiageng Tunjung Biru tidak gentar, 
lagi-lagi tangan kanan memukul. 
Akibatnya dua ekor harimau itu 
sekarang roboh di tanah tetapi tidak 
mati. 
Bibir kakek ini tersenyum. Ia 
menghampiri si betina, lalu katanya 
halus, Macan, berikan air susumu untuk 
bocah ini. 
Dua ekor harimau yang sudah tidak 
dapat bergerak itu hanya menggeram 
lirih, sedangkan si kakek lalu 
mendekatkan mulut orok itu ke puting 
harimau. 
Hati kakek ini terharu melihat si 
orok menyusu lahap sekali. Cukup lama 
orok ini menyusu. Dan sesudah kenyang, 
si orok tertidur pulas. 
Orok merah itu kemudian dipondong 
kembali, didekapnya di dada penuh 
kasih sayang. 
Untuk beberapa saat lamanya kakek 
ini berdiri di samping harimau itu. 
Kemudian terpikir tiap kali orok ini 
lapar, bayi ini akan menangis dan 
minta air susu. Maka jalan satu-
satunya untuk menyelamatkan bayi ini 
hanya minta bantuan seseorang agar 
memberikan susunya. 
Namun tiba-tiba timbul pula rasa 
keraguannya. Dengan minta bantuan 
orang, bagaimanapun membuat orang itu 
repot 
Kemudian terlintas dalam 
benaknya, untuk kepentingan si bayi 
ini sebaiknya harimau betina ini 
ditangkap saja, dijadikan sebagai 
pengganti ibu. Ia pernah mendengar 
cerita gurunya, air susu harimau 
pengaruhnya besar sekali bagi orok, 
bisa mempunyai daya tahan yang lebih 
dibanding manusia. 
Tetapi sebaliknya segera timbul 
keraguannya pula. Timbul pertanyaan 
dalam hati, bagaimanakah dengan anak 
harimau ini yang juga masih butuh 
susu? Mereka akan mati apabila 
induknya tidak pulang ke sarang. Ia 
menjadi tidak tega, maka kemudian dua 
ekor harimau tersebut dibebaskan 
kembali agar dapat menuju kembali ke 
sarang. 
Orok merah itu lalu dibungkus 
kain dan diemban. Bayi yang belum 
punya nama ini tetap tidur pulas dan 
membuat kakek ini amat senang. 
Diambillah kemudian sepotong 
ranting kayu kering. Lalu dengan 
sentuhan perlahan pada punggung, dua 
ekor harimau ini dapat bergerak kem-
bali. Dua ekor harimau ini melompat 
sambil menggeram. Tetapi di luar 
dugaannya, setelah harimau itu saling 
menyentuhkan hidungnya tidak mau pergi 
malah mendekam. Lalu sambil menggeram 
lirih, dua ekor harimau ini 
menggerakkan kaki depan dan mencakar 
tanah. 
Melihat sikap harimau ini, 
Kiageng Tunjung Biru ketawa lirih. 
Katanya halus, Bagus! Kamu tunduk? 
Terima kasih. Sekarang pulanglah ke 
sarangmu, bawa semua anakmu lalu 
pulang bersama dengan aku. Ketahuilah 
aku membutuhkan air susumu guna 
membantu bayi ini. Nah, cepat pergilah 
dan aku menunggu di sini. 
Entah tahu atau tidak maksud 
ucapan kakek ini, dua ekor harimau itu 
menggeram lirih. Sesaat kemudian 
mereka pergi masuk semak belukar dan 
tidak tampak lagi. 
Kiageng Tunjung Biru menghela 
napas dalam tetapi lega. Orok merah 
itu kemudian diambil dan ditimang-
timang dengan bibirnya tersenyum dan 
wajah berseri. Orok merah ini mungil 
dan cantik, keturunan ksatrya pula. Ia 
tidak mau melepaskan lagi dan bertekad 
akau mengasuh sampai dewasa. 
Hemm, kau belum punya nama, 
Cucuku, bisiknya. Tetapi ahh.....sulit 
juga aku memilih nama yang tepat 
untukmu..... 
Untung kemudian kakek ini 
teringat kepada pohon yang menaungi 
pondoknya, pohon Tanjung. Bibirnya 
tersenyum lalu katanya, Bagus! Namamu 
Dewi Sritanjung. He heh heh heh, Dewi 
Sritanjung, Nama yang bagus.....cocok 
dengan yang punya.... 
Sebenarnya ia ingin sekali 
mencium pipi montok bayi ini. Namun 
timbul kekhawatirannya kalau tersentuh 
oleh kumisnya, orok itu akan terjaga 
dari tidurnya. Oleh sebab itu kakek 
ini menjadi puas kendati hanya 
memandang saja. 
Tidak lama kakek ini menunggu. 
Beberapa saat kemudian terdengar suara 
gemerisik di tengah semak dan 
muncullah sepasang harimau yang tadi 
disertai dua ekor anaknya yang baru 
sebesar kambing, tetapi gerakannya 
sudah gesit. 
Ia memandang empat ekor harimau 
itu dengan bibir tersenyum dan 
kepalanya mengangguk puas. Ia 
bersyukur kepada Dewata Agung 
kesulitannya mencari air susu untuk 
Dewi Sritanjung dapat diatasi. 
Bagus! Sekarang ikutlah aku 
pulang, katanya halus. 
Kiageng Tunjung Biru melangkah 
perlahan dan harimau itu seperti tahu 
perintahnya mengikuti langkahnya 
dengan patuh. Malah dua ekor anak 
harimau tutul itu lebih jinak lagi, 
berjalan mengapit kakek itu sambil 
kadang kala menyentuhkan tubuhnya ke 
kaki. 
Setiba di pondok dibiarkannya 
empat ekor harimau itu ikut menghuni 
pondoknya. Empat ekor harimau ini 
memilih tidur di bawah pembaringan. 
Kiageng Tunjung Biru memberi 
kebebasan kepada mereka. Namun 
demikian kakek ini selalu waspada agar 
Sritanjung tidak terganggu. 
Pada mulanya setiap Sritanjung 
membutuhkan air susu, kakek ini 
bersikap hati-hati. Namun setelah 
induk harimau itu benar-benar jinak, 
penurut dan setia, kakek ini menjadi 
gembira dan tidak kuatir lagi. 
Kesetiaan induk harimau kepada 
Sritanjung ini terbukti, setiap bayi 
itu menangis, tanpa diperintahkan 
induk harimau sudah melompat ke atas 
ambin, lalu memberikan susunya. 
Tingkah laku induk harimau ini 
menyebabkan kakek ini terharu. Betapa 
tidak? Seekor harimau memberikan kasih 
sayangnya kepada bayi manusia. Anehkan 
peristiwa ini? Tidak! Semua sudah 
sejalan dengan kehendak Dewata Agung. 
Kendati binatang induk itu juga 
mempunyai naluri untuk memberikan 
kasih sayang kepada anak. 
Sebagai balas jasa kepada harimau 
kesayangan itu dan agar tidak gampang 
diganggu orang, kemudian kakek ini 
melatih semacam gerakan ilmu tata 
kelahi. Ternyata dua ekor anak harimau 
itu lebih gampang dilatih, dibanding 
dengan yang sudah dewasa. 
Tanpa terasa setahun sudah 
berlalu. Sejak berumur sepuluh bulan, 
berkat air susu harimau Dewi 
Sritanjung sudah pandai berjalan. Anak 
ini tumbuh sehat dan baru berumur 
setahun sudah bisa berlari-lari. 
Sedang empat ekor harimau tutul yang 
jinak itu amat kasih dan sayang kepada 
Sritanjung. 
Berkat latihan yang diberikan 
Kiageng Tunjung Biru, gerakan empat 
ekor harimau tersebut menjadi gesit 
dan tak gampang diganggu manusia. Dan 
berkat hubungannya dengan kakek itu 
pula, kalau dahulu harimau ini sering 
makan daging manusia, sekarang tidak 
mau lagi. Harimau ini hanya menangkap 
dan makan daging binatang yang 
ditemukan di dalam hutan. 
Tambah besar, kecantikan Dewi 
Sritanjung semakin tampak. 
Pertumbuhannya cepat, kuat dan hampir 
tidak pernah sakit. Kiageng Tunjung 
Biru menduga, kesehatan anak ini tentu 
pengaruh air susu harimau. Karena itu 
besar harapannya agar di kemudian hari 
Dewi Sritanjung menjelma sebagai 
seorang wanita perkasa dan menjadi 
penerus sejarahnya serta dapat membawa 
harumnya nama Sritanjung sendiri. 
Ketika Dewi Sritanjung berumur 
lima tahun, bocah ini tumbuh menjadi 
anak luar biasa. Kecuali menjadi bocah 
yang tabah dan berani juga sehari-
harinya bercanda dan menunggang 
harimau, yang sekarang anak harimau 
itu sebesar induknya. 
Sejak berumur empat tahun bocah 
ini sudah mendapat latihan dasar ilmu 
beladiri. Maka sekali pun baru berumur 
lima tahun, ia sudah menjadi bocah 
luar biasa. Ia tidak kesulitan 
melompat maupun meloncat turun dari 
punggung harimau. Larinya cepat sekali 
dan gerakannya lincah. Tetapi karena 
dalam pondok ini manusia satu-satunya 
yang menjadi kawan hanya Kiageng 
Tunjung Biru, maka sikap bocah ini 
amat manja. Ia memanggil kakek dan 
suka minta gendong. Kalau kakek itu 
tidak sedia, ia menangis. 
Perputaran roda dunia ini 
sekalipun tampaknya lambat namun 
selalu tetap dan tidak pernah 
berhenti. Karena itu tidak terasa enam 
belas tahun sudah lewat. Sritanjung 
menjadi dara remaja cantik jelita. 
Kecantikannya seperti pinang dibelah 
dua dengan ibunya, Dewi Anwari. 
Sebaliknya pertumbuhan tubuhnya 
dipengaruhi oleh darah ayahnya, Nala. 
Ia menjadi seorang dara remaja yang 
bertubuh semampai dengan tinggi yang 
cukupan. 
Kiageng Tunjung Biru semakin 
menjadi kasih berbareng bangga. 
Ternyata harapannya sekarang terkabul. 
Cucu pungut ini bukan saja cantik 
jelita, tetapi juga berilmu tinggi. 
Memang sudah ada bakat yang dibawa 
sejak lahir. Berkat gemblengan lahir 
dan batin sejak kecil, bukan saja 
Sritanjung menjelma sebagai gadis per-
kasa, tetapi juga mempunyai pandangan 
luas. 
Suatu hari Kiageng Tunjung Biru 
mengerutkan alis disamping gelisah. 
Sejak pagi Sritanjung pergi dengan dua 
ekor anak harimau yang diberi nama 
Manis dan Tumpak. Nama Manis untuk 
anak harimau yang betina, sedang 
Tumpak untuk yang jantan. 
Kegelisahan kakek ini bukan main 
karena matahari sudah bergerak ke 
barat, namun mereka belum juga tampak 
pulang. Tidak biasa bagi Sritanjung 
pergi begitu lama seperti sekarang. 
Sedang kalau menyuruh dua ekor harimau 
yang lain untuk menyusul dan mengajak 
pulang tidaklah mungkin. Harimau tidak 
dapat bicara, maka sekali pun jinak 
tidak bisa berkomunikasi seperti 
semula. 
Akhirnya ia sendiri yang harus 
meninggalkan pondok setelah berpesan 
kepada dua ekor harimau itu supaya 
tetap menjaga pondok. 
Apa yang sudah terjadi dengan 
Sritanjung? Adakah masalah yang 
menyebabkan gadis ini tertahan pulang? 
Dugaan ini memang benar. Sritanjung 
menghadapi dan sekaligus mengalami 
peristiwa baru. 
Pagi itu seperti biasanya, 
Sritanjung disertai Manis dan Tumpak 
pergi menjelajah hutan, di samping 
bermaksud memberi kesempatan agar 
harimau ini mendapatkan mangsa segar. 
Tanpa disadari perjalanan  alam 
ini terlalu jauh. Dara remaja yang 
mulai mengenal keindahan alam ini 
menjadi kesengsem oleh indahnya hutan 
belantara yang belum terjamah manusia 
disamping terpikat pula oleh kicau 
burung. Kemudian ketika merasa gerah, 
ia duduk mengaso dan duduk di alas 
batu dinaungi pohon rindang. Sedang 
Tumpak dan Manis pergi mencari mangsa. 
Di saat Sritanjung menyandarkan 
kepala pada bateng pohon dan menikmati 
kicau burung,  tiba-tiba ia terkesiap 
mendengar aum harimau. Ia kenal, auman 
itu merupakan jerit marah. Kemudian ia 
menduga tentu Tumpak dan Manis yang 
sedang marah oleh gangguan manusia 
atau binatang lain. 
Kendati ia percaya Tumpak dan 
Manis pasti dapat mengatasi kesulitan 
yang dihadapi, namun Sritanjung tidak 
tega berpekik tangan. Dari mulutnya 
segera terdengar pekik nyaring hampir 
serupa dengan aum harimau yang tadi ia 
dengar. Belum juga lenyap suara 
lengkingannya, tubuh sudah berkelebat 
lenyap ditelan oleh rumpun belukar. 
Gerakannya benar-benar gesit. 
Ketika auman dari Tumpak dan 
Manis makin tambah nyaring, gerakan 
gadis ini menjadi semakin cepat. Maka 
semakin kuat dugaannya, Tumpak dan 
Manis berhadapan dengan bahava dan 
membutuhkan pertolongan. 
Tidak sulit bagi Sritanjung 
menemukan Tumpak dan Manis. Auman 
nyaring dan panjang itu menjadi 
petunjuk ke mana dirinya harus menuju. 
Tiba-tiba saja sepasang mata 
gadis ini menyala seperti menyinarkan 
api. Dugaannya benar baik Tumpak 
maupun Manis sedang berkelahi 
mengeroyok laki-laki muda bertubuh 
gagah dan tampan. Pakaiannya indah 
gemerlapan, menjadi tanda bukan pemuda 
sembarangan. Setidak-tidaknya sesuai 
dengan cerita kakeknya, pemuda ini 
tentu anak seorang kaya atau 
berkedudukan tinggi. 
Pemuda itu menghadapi Tumpak dan 
Manis hanya bertangan kosong. 
Terdengar seruan kagum berkali-kali 
dari mulut pemuda itu, ketika pukulan 
balasannya mengenai tempat kosong. 
Hebat! Kamu harimau hebat dan aku 
kagum! desis pemuda itu. 
Gerakan harimau yang dihadapi 
sekarang ini, baik dalam menerkam, 
menyerang maupun menghindar demikian 
teratur. Ia baru kali ini berhadapan 
dengan harimau yang ia anggap aneh. 
Harimau yang menarik perhatian, hingga 
pemuda itu tidak tega menggunakan 
senjata maupun melukainya. 
Ternyata pemuda itu berilmu 
tinggi. Kendati bertangan kosong, 
dengan tinju dan tendangan kaki ia 
berhasil membuat harimau itu terpental 
dan mengaum keras. Rasa sakit oleh 
pukulan dan tendangan itu menyebabkan 
Tumpak dan Manis marah. Gerakannya 
menjadi semakin ganas, kuku yang 
runcing dan taring yang mengerikan 
setiap saat siap untuk merobek-robek 
kulit dan daging pemuda tampan itu. 
Kalau dua ekor harimau itu tamhah 
marah, si pemuda tampan tambah heran 
berbareng kagum. Pukulan dan 
tendangannya sanggup merobohkan pohon 
sebesar paha dan batu sebesar kambing. 
Akan tetapi mengapa sekarang 
berhadapan dengan harimau saja pukulan 
dan tendangannya tidak berdaya? 
Makin kuat dugaannya tentu bukan 
harimau biasa, tetapi piaraan seorang 
sakti yang sudah terlatih. Memperoleh 
dugaan demikian ia menjadi khawatir 
kalau pemiliknya menjadi marah. Lalu 
timbullah niatnya untuk melompat dan 
kemudian melarikan diri agar tidak 
bermusuhan dengan pemiliknya. 
Tetapi sebelum pemuda itu sempat 
melarikan diri sudah terdengar seruan 
nyaring, Kurangajar! Engkau berani 
mengganggu  harimauku? Tumpak, Manis, 
mundurlah. Aku yang menghajar manusia 
busuk itu! 
Tumpak dan Manis yang sudah 
terlatih itu mengerti maksud 
majikannya. Hampir berbareng dua ekor 
harimau itu mengaum lirih sambil me-
lompat mundur. Tetapi tampaknya 
harimau itu masih penasaran, sebelum 
dapat mengalahkan lawannya sudah 
diperintah mundur. 
Dengan gerakan indah Sritanjung 
melompat lalu bertolak pinggang. Sinar 
matanya marah menyinarkan api tetapi 
wajahnya yang amat cantik menyebabkan 
pemuda itu terpesona. Sekalipun sedang 
marah tetapi menurut pandangan pemuda 
itu seperti seorang dara yang sedang 
pamer kecantikanrrya. Dan saking 
terpesona, ia seperti tidak mendengar 
teguran Sritanjung. 
Sritanjung membantingkan kakinya 
dan tambah marah. Bentaknya, Hai! 
Tulikah kau? Dan kau sedang memandang 
apa? Dengarlah baik-baik, aku bertanya 
kepada dirimu. Apakah sebabnya kau 
mengganggu harimau piaraanku? 
Pemuda itu tersenyum, lalu 
jawabnya halus, Nona.,., di dalam 
hutan banyak terdapat binatang buas 
yang berkeliaran. Manakah mungkin aku 
bisa tahu harimau ini ada pemiliknya? 
Tetapi yang jelas aku tidak bermaksud 
mengganggu harimau ini. Dengarlah, aku 
tadi sedang lewat di tempat ini dan 
tanpa sebab, harimau itu sudah 
menyerang diriku. Untuk mempertahankan 
nyawa tentu saja aku melawan. Salahkah 
orang yang membela diri dalam usaha 
menghindari bahaya? Meskipun demikian 
aku tidak berusaha melukai harimau 
itu. 
Tetapi pukulan dan tendanganmu 
membuat harimauku kesakitan! 
Sritanjung membentak. Engkau menghina 
harimauku, berarti pula sudah menghina 
diriku! 
Memang tidak mengherankan apabila 
Sritanjung bersikap segalak ini. Sejak 
kecil dan tumbuh menjadi remaja hidup 
dan terpisah dari masyarakat. Sedang 
satu-satunya manusia yang ia kenal 
hanyalah kakek dan sekaligus gurunya, 
Kiageng Tunjung Biru, dan yang lain 
hanyalah harimau. 
Selama ini terhadap Kiageng 
Tunjung Biru, sikapnya selalu manja 
dan sebaliknya selalu dituruti 
kemauannya oleh kakeknya. 
Pemuda itu terbelalak mendengar 
tuduhan gadis ini. Namun ia 
menyabarkan diri dan bertanya, Aku 
menghina Nona? Bagaimana mungkin? 
Bertemu baru kali ini, bagaimanakah 
aku bisa menghina? Aku berani 
bersumpah, tidak sengaja mengganggu 
harimau itu dan akupun hanya membela 
diri saja. 
Hemm, Sritanjung mendengus. Jika 
engkau tidak sengaja menghina diriku, 
engkau harus minta maaf. 
Baiklah Nona, aku minta maaf!  
Huh, enak saja kau mengucapkan 
kata-kata minta maaf. 
Pemuda itu melengak dan 
keheranan. Katanya dalam hati, Aneh 
sekali gadis ini. Orang sudah minta 
maaf sesuai dengan permintaannya, 
namun masih juga dianggap kurang. 
Bagaimanakah maksud Nona? 
Aku baru mau memaafkan 
kelancanganmu, jika kau mau berlutut 
dan mengangguk tujuh kali! 
Keterlaluan gadis ini! pikir si 
pemuda. 
Ia merasa tidak bersalah. Kalau 
tadi ia bersedia minta maaf, tidak 
lain oleh perasaannya yang segan untuk 
bertengkar. Tetapi kalau sekarang 
disuruh berlutut, manakah mungkin? Hal 
itu merupakan penghinaan terhadap 
dirinya. Karena itu ia menatap gadis 
ini penuh perhatian. 
Nona, sahutnya, kuharap Nona 
jangan menghina orang. Aku sudah 
bersedia minta maaf sesuai dengan 
permintaamu, sekalipun aku tidak 
bersalah. Tetapi kalau harus berlutut 
di depanmu, maaf, tak mungkin aku 
bersedia melakukannya. Aku sudah 
mengalah, tetapi sekalipun demikian 
aku tidak mau direndahkan orang. 
Dewi Sritanjung mendelik. Katanya 
dingin, Hemm, kau berani membandel di 
depanku? Bagus, hi hi hik. Agaknya kau 
memang belum kenal siapa Sritanjung. 
Berbareng dengan ucapannya yang 
terakhir, dengan gerakan gesit dan 
ringan, Sritanjung menerjang maju. 
Arah tangan itu yang kiri mencengkeram 
leher sedang tangan kanan mencengkeram 
pusar. 
Tangan gadis ini memang kecil. 
Tetapi sekalipun kecil, akibatnya akan 
hebat bagi orang yang terkena 
cengkeramannya. 
Pemuda itu mengerutkan alis tidak 
senang. Mengapa disamping galak, gadis 
ini juga membawa kemauannya sendiri. 
Wajahnya cantik jelita, tetapi apakah 
sebabnya seliar ini? Tentu saja si 
pemuda tidak mau mengalah. Ia lalu 
menggeser kaki ke kiri, kemudian 
dengan gerak tangan yang cepat, ia 
berusaha menangkap lengan gadis galak 
ini. Sekalipun demikian ia masih agak 
segan, sebab tidak merasa bermusuhan 
dan kalau salah tangan malah bisa 
menyesal seumur hidup. 
Tuduhan untuk Sritanjung sebagai 
gadis galak memang tidak terlalu 
salah. Tetapi keliaran dan 
kegalakannya ini bukan sebagai 
pencerminan watak. Semua ini adalah 
akibat hidupnya yang terasing dari 
pergaulan. Ia hampir tidak pernah 
bertemu dengan orang lain, kecuali 
kakek dan sekaligus gurunya. Sebagai 
akibat hidupnya yang terasing itu, 
walaupun Kiageng Tunjung Biru 
mengajarkan pula tentang tata santun 
masyarakat, dalam praktek gadis ini 
belum tahu. Karena itu ketika 
perintahnya tidak diturut, ia menjadi 
marah lalu menyerang. Setelah 
serangannya dapat dihindari dengan 
mudah, ia penasaran. Ia menjadi lupa 
kepada petunjuk gurunya, lalu 
menyerang dan menyerang lagi. 
Pemuda tampan itupun seorang muda 
dan baru berumur dua puluh dua tahun. 
Kendati semenjak kecil telah 
digembleng kesabaran oleh gurunya, 
tidak urung menjadi panas oleh 
pengaruh darah mudanya. Tiga kali 
Sritanjung menyerang ia hanya 
menghindar dan tidak membalas. Tetapi 
sesudah tiga kali menghindar dan gadis 
itu masih saja menyerang, pemuda ini 
menjadi gatal tangan dan membalas. 
Bagus, hi hi hi hik, agaknya kau 
mempunyai kepandaian pula, maka kau 
menjadi sombong. Marilah kita uji 
siapakah di antara kita yang lebih 
unggul! ujar Sritanjung tanpa 
menghentikan serangannya yang cepat 
dan berbahaya. 
Dua orang muda ini segera 
terlibat dalam perkelahian sengit. 
Bagi Sritanjung apa yang terjadi 
sekarang ini merupakan peristiwa yang 
pertama kali berkelahi sungguh-
sungguh. Biasanya ia selalu berlatih 
dengan harimau piaraannya. Namun sejak 
usianya meningkat, semua harimau itu 
tidak bisa menang lagi sekalipun 
mengeroyok. Lawan satu-satunya untuk 
berkelahi dan berlatih hanyalah 
Kiageng Tunjung Biru. 
Tetapi berlatih jauh berlainan 
dengan berkelahi sungguh-sungguh. 
Dalam berlatih, gurunya lebih banyak 
memberi petunjuk. Tetapi sekarang ia 
berhadapan dengan bahaya apabila 
sedikit lengah saja. 
Walaupun gadis ini masih canggung 
dan belum berpengalaman, tetapi 
gerakannya amat cepat di samping 
mantap. Hanya sayang karena kurang 
pengalaman ia banyak kali tertipu oleh 
siasat lawan. Keadaan ini amat 
merugikan Sritanjung kalau  saja ia 
bukan gadis luar biasa. 
 Pengaruh bakat dasar sejak lahir 
dan pengaruh air susu harimau yang 
menjadi tiang hidupnya sejak bayi, 
ternyata benar-benar luar biasa 
seperti yang sudah diduga oleh Kiageng 
Tunjung Biru. Di samping mempunyai 
kekuatan tubuh luar biasa, tabah luar 
biasa, kegesitan dan kelincahannya 
sulit dicari bandingannya. 
Diam-diam si pemuda heran 
berbareng kagum. Masih muda belia, 
gerakannya masih canggung, tetapi ilmu 
tata kelahinya merupakan ilmu tingkat 
tinggi. Maka semakin kuat dugaannya 
baik yang memelihara harimau maupun 
guru gadis ini tentu tokoh sakti 
mandraguna. Terpikir demikian pemuda 
ini semakin hati-hati dan tidak berani 
sembrono. Kemudian malah timbul 
niatnya untuk mengakhiri perkelahian 
tanpa sebab ini dengan jalan melarikan 
diri. Karena itu ia segera melancarkan 
serangan berantai, berbareng itu ia 
melompat panjang dan melarikan diri. 
Jangan lari! teriak Sritanjung. 
Tubuhnya melesat seperti anak 
panah lepas dari busur. Tahu-tahu 
pemuda tampan itu terbelalak kaget 
berbareng kagum. Kemudian dengan gugup 
pemuda ini melompat ke samping untuk 
menghindari serangan Sritanjung. Dan 
saking gugupnya sekalipun sudah 
berusaha, pundaknya masih juga 
terpukul. 
Kalau tidak mengalami sendiri 
tentu tidak percaya. Selama ini 
dirinya dikenal orang sebagai pemuda 
jago lari dan kegesitannya sulit 
dicari, sehingga orang memberi julukan 
Si Tapak Angin, Gurunya sendiri juga 
selalu memuji, kiranya takkan ada 
manusia lain yang dapat bergerak 
secepat dan seringan dirinya. 
Tetapi yang terjadi ini di  luar 
dugaannya. Gadis muda belia ini 
memiliki gerakan yang lebih cepat lagi 
dan tahu-tahu sudah menghadang di 
depannya dan melancarkan pukulan lagi. 
Kendati tinju perempuan, 
pundaknya terasa sakit juga. Ia 
menjadi penasaran dan maksudnya untuk 
lari diurungkan, meskipun sikapnya 
masih tetap mengalah. 
Hemm, kau terlalu mendesak aku 
dan memaksa, dengusnya tidak senang. 
Sekarang kau jangan menyesal apabila 
aku terpaksa melawan dan 
mengalahkanmu. 
Hi hi hik, sombongnya! ejek gadis 
itu. Apakah engkau tadi hanya  main-
main dan tidak melawan? Jika kau tidak 
membandel tentu saja aku tidak 
mendesak terus. Cepat lah kau berlutut 
dan mengangguk tujuh kali. Sesudah itu 
kau boleh pergi tanpa ada yang 
mengganggu lagi. 
Kalau aku tak mau? 
Kuhajar kau sampai babak belur! 
Kalau perlu harimauku ini akan 
merobek-robek kulit dan dagingmu. 
Hemm, dengus pemuda itu. Kau mau 
menghajar aku dengan apa? 
Pukulan dan tendanganku akan 
sanggup menghajar engkau sampai 
jungkir balik. Apakah kau ingin 
merasakannya? 
Enak saja kau bicara. Tetapi 
eh... sayang... 
Apanya yang sayang? gadis ini 
mendelik. 
Sayang... wajahmu cantik tetapi 
kau galak seperti kucing... 
Huh, kau seperti kerbau. Ah 
tidak.... engkau tampan tetapi... 
bandel dan keras kepala seperti 
gendruwo..... 
Kau sudah pernah ketemu dengan 
gendruwo itu? 
Belum. Apakah kau sudah pernah 
tahu ? Katakanlah seperti apa yang 
disebut gendruwo itu. 
Pemuda ini menjadi geli mendengar 
pertanyaan ini. Jelas sekali sifat 
kekanak-kanakan gadis ini belum 
hilang. Dan sekalipun sikapnya galak, 
tetapi gadis ini polos dan jujur. 
Adakah gadis lain berani berterus 
terang menyebut "tampan" seperti gadis 
ini? Ia belum pernah ketemu dengan 
wanita macam ini yang berterus terang 
memuji ketampanannya kecuali ibu dan 
keluarganya sendiri. 
Pemuda ini tentu saja tidak tahu, 
pengaruh keterasingannya, menyebabkan 
Sritanjung tidak kenal arti bohong, 
menipu, dusta dan perbuatan tidak baik 
yang lain. Bicaranya selalu jujur dan 
merupakan pencerminan batinnya. Justru 
Sritanjung tidak kenal tata cara dalam 
pergaulan masyarakat, dan tidak pada 
tempatnya seorang gadis berterus 
terang memuji ketampanan seorang pe-
muda, maka Sritanjung mengucapkan 
tanpa malu. 
Tiba-tiba saja pemuda ini 
tertawa. Ia tertawa geli yang tidak 
dapat ditahan lagi. Karena baru kali 
ini saja ia mengalami hal aneh, di 
tengah berkelahi, tegang dan 
berbantahan, tahu-tahu sudah 
menyeleweng kepada suatu persoalan 
yang tanpa hubungan sama sekali. 
Hai! Apakah sebabnya kau ketawa 
seperti monyet....? bentaknya. 
Ha ha ha, apakah kau sudah pernah 
tahu ada monyet tertawa seperti aku? 
goda si pemuda. 
Hemm... tak usah melucu! hardik 
Sritanjung sambil mendelik. Jawab 
pertanyaanku. Gendruwo itu seperti 
apa? 
Aku tidak tahu. Tentunya kau 
malah lebih tahu dibanding aku. 
Tidak! Kau mesti tahu. Sekarang 
terangkanlah, gendruwo itu seperti 
apa? 
Jika kau mendesak, baiklah. 
Menurut cerita kakek, gendruwo itu 
serupa manusia. Tetapi gendruwo itu 
sebangsa hantu dan jarang menampakkan 
diri. Namun kalau sudah mau 
menampakkan diri tubuhnya tinggi besar 
seperti raksasa. Dan gendruwo itu juga 
suka sekali menjelma seperti manusia 
dan suka pula mengganggu perempuan.... 
Ihh... tidak! Manakah ada 
perempuan mau?  
Ini kakek yang bilang. Aku 
sendiri tidak tahu benar dan tidaknya. 
Sambil menjawab pemuda itu melirik dan 
tersenyum-senyum. Dalam hati pemuda 
ini sungguh kagum kepada Sritanjung. 
Pakaiannya dari bahan kasar, sanggul 
rambutnya hanya dihias dengan sekuntum 
bunga hutan, tanpa perhiasan apapun, 
kecuali seuntai kalung emas dengan 
hiasan garuda. Namun ternyata 
kesederhanaan dara ini sedemikian 
menarik dan mempesona. Gadis yang 
masih asli dan cantik pemberian alam. 
Hai mulutmu! Mengapa senyum-
senyum dan matamu lirak-lirik? bentak 
dara ini. Jelas kau ini laki-laki 
tidak baik. Hayo cepat, kau mau 
menurut apakah tidak? Mau berlutut dan 
mengangguk tujuh kali apakah tidak? 
Meledak ketawa pemuda ini saking 
geli oleh sikap gadis ini yang ia 
anggap aneh. Baru saja gadis ini 
bertanya tentang gendruwo tahu-tahu 
sekarang sudah tersinggung dan marah. 
Oleh sebab itu kemudian timbul 
keinginan pemuda ini untuk menggoda. 
Ada apakah dengan mulutku? 
tanyanya. Mulut ini adalah mulutku 
sendiri, apakah sebabnya kau mau 
mencampuri ? Mau tersenyum, mau ter-
tawa, mau menangis, toh tidak ada 
hubungannya dengan kau. Lalu apakah 
sebabnya kau menjadi marah? Dan 
tentang mataku ini, ada apa pula? Mata 
bertugas untuk memandang. Mata tidak 
bisa digunakan untuk urusan lain. Mata 
ini juga aneh. Mata hanya mau 
memandang yang serba menarik dan 
indah. Mata... 
Sudahlah! Aku tidak butuh bicara 
tentang mata. Sekarang lekaslah. Kau 
mau berlutut apa tidak? 
Pemuda ini sekarang tidak main-
main lagi. Ia mengamati Sritanjung 
dengan mata berkilat. Sahutnya. 
Nona.... apakah maksudmu yang 
sebenarnya? 
Maksudku? Hmm, karena kau sudah 
mengganggu dan menyakiti harimauku, 
maka  aku harus membalas. Aku harus 
menyakiti engkau seperti yang sudah 
kaulakukan terhadap Tumpak dan Manis. 
Siapakah Tumpak dan Manis itu? 
Siapa lagi kalau bukan dua 
harimau yang tadi sudah kauganggu? 
Hayo, jika engkau benar laki-lak…  
Aku memang laki-laki.  Siapa 
bilang aku perempuan? 
Jangan cerewet. Rasakan 
pukulanku! Hampir berbarengan dengan 
ucapannya, tubuh Sritanjung sudah 
melesat dan menerjang ke depan. 
Pemuda ini sudah tahu, dara 
cantik ini mempunyai gerakan gesit 
luar biasa. Ia tidak boleh sembrono 
dan ia pun cepat melesat ke samping 
sambil mengebutkan telapak tangan 
untuk menghalau serangan. Kemudian dua 
orang muda ini terlibat perkelahian 
seru dan sengit. 
Plak... plak... Aihh... 
Tubuh Sritanjung terpental dan 
jungkir balik dua kali. Kemudian gadis 
ini berdiri tanpa suara, nampak kaget! 
Wajah yang cantik itu sebentar merah 
dan sebentar pucat. Ia tampak amat 
penasaran pukulannya ditangkis lawan 
dan akibatnya malah dirinya terpental 
sedang lengannya bergetar seperti 
lumpuh. 
Sekalipun demikian hati gadis ini 
terhibur juga. Dirinya terpental 
tetapi pemuda itu terhuyung ke 
belakang beberapa langkah. 
Kalau Sritanjung penasaran, 
pemuda ini kagum bukan main. Tidak 
pernah dia sangka, disamping 
gerakannya cepat, gadis ini juga hebat 
tenaganya. 
Sringg...! 
Saking marahnya Sritanjung sudah 
mencabut pedang. Sinarnya kebiruan, 
berkilau dan jelas merupakan pedang 
pusaka. 
Tahan! pemuda ini menjadi kaget 
dan berteriak. Apakah maksud Nona 
mencabut pedang? 
Hemm, kau mengandalkan kekuatan 
tenaga maka menjadi sombong dan tak 
memandang sebelah mata kepadaku. Lekas 
cabut senjatamu dan lawanlah pedangku 
ini. 
Nona, mengapa hanya soal sepele 
harus diselesaikan dengan senjata? 
Ingatlah! Kita tidak bermusuhan dan 
senjata tidak punya mata. Baiklah 
sekarang aku menuruti perintahmu. Aku 
akan berlutut di depanmu dan 
mengangguk tujuh kali sebagai 
permintaan maaf. 
Jelas pemuda ini bersikap 
mengalah, dengan bersedia berlutut dan 
mengangguk tujuh kali, sekalipun hal 
ini berarti mengorbankan 
kehormatannya. Sikap yang mengalah ini 
jelas bahwa si pemuda memang segan 
berurusan dengan gadis ini. 
Celakanya sikap ini malah 
diterima secara salah oleh Dewi 
Sritanjung. Ia merasa amat direndahkan 
dan dirinya dianggap belum berharga 
sebagai lawan bertanding. Karena salah 
paham, Sritanjung  malah melengking 
nyaring sambil menggerakkan pedangnya 
untuk menyerang.  
Mampuslah! 
Sinar biru yang panjang itu 
bergulung-gulung cepat sekali, 
membungkus tubuh si pemuda. 
Tahan! tring...! Si pemuda 
berteriak sambil melompat mundur. 
Entah bagaimana caranya  bergerak, 
tahu-tahu si pemuda sudah memegang pe-
dang dan berhasil menangkis. 
Pedang Sritanjung tergetar dan 
gadis ini merasakan pula tangannya 
panas. Sritanjung melintangkan 
pedangnya di depan dada dengan sikap 
garang dan dada yang membukit itu 
berombak. 
Katakanlah apa maksudmu? 
Nona, sekali lagi senjata tidak 
bermata. Apakah sebabnya kau biarkan 
pedang ikut bicara? Daripada kita 
saling tegang dan berkelahi, bukankah 
lebih enak kita berkenalan dan 
berbicara baik-baik? 
Huh huh, siapa yang sudi kenal 
dengan  kau? Sudahlah, tidak perlu 
bicara lagi. Awas pedang...! 
Pedang Sritanjung berkelebat lagi 
dan menyerang. Kemudian kembali 
menjadi gulungan warna putih kebiruan. 
Pemuda ini mengeluh dan menyesal. 
Mengapa gadis secantik ini keras 
kepala dan tidak mau mendengar maksud 
baiknya? Saking jengkel, tiba-tiba 
saja timbul pikirannya, gadis jelita 
ini disamping galak, keras kepala dan 
juga sombong. Karena merasa dirinya 
berilmu tinggi, menyebabkan tidak mau 
memandang sebelah mata kepada orang 
lain. 
Mendapat gagasan seperti ini 
kemudian timbul niatnya untuk memberi 
hajaran yang setimpal agar perempuan 
ini tahu betapa tingginya langit dan 
luasnya jagad. Agar tidak hanya 
membawa kemauannya sendiri, dan tidak 
mau mendengar nasihat orang lain. Ia 
bermaksud baik, demi hari depan gadis 
itu sendiri. 
Mendapat gagasan demikian, pemuda 
ini segera melayani dengan pedangnya. 
Akan tetapi sekalipun demikian pemuda 
ini cukup hati-hati dan bijaksana. 
Hati-hati karena sinar pedang dara 
yang bersinar kebiruan itu merupakan 
pedang pusaka. Salah sedikit saja 
pedangnya bisa rusak atau malah patah 
sama sekali. Sedangkan bijaksana, ia 
harus berusaha agar gadis ini tidak 
terluka. Sebab kalau sampai terluka, 
maksud baiknya tidak mungkin terwujud. 
Malahan mungkin gadis yang belum ia 
kenal namanya ini akan membenci 
dirinya. 
Dua orang muda ini masing-masing 
bertenaga penuh. Bedanya si pemuda 
lebih matang, gerakan pedangnya sudah 
sejiwa dengan hati dan pikirannya, 
mantap tetapi cukup hati-hati. 
Sebaliknya gerakan Sritanjung walaupun 
cepat masih canggung. Dengan demikian 
masing-masing pihak mempunyai 
kelebihan dan kelemahan. 
Makin lama perkelahian menjadi 
semakin sengit. Pedang dua orang muda 
ini saling libat dan berusaha menang. 
Tumpak dan Manis berdiri 
berdampingan sambil menggeram lirih, 
dan kaki depannya mencakar tanah. 
Agaknya dua ekor harimau ini merasa 
penasaran dan gelisah melihat 
majikannya belum pula dapat 
mengalahkan lawan.  
Tring trang tak plak....  
Masing-masing terhuyung dua 
langkah ke belakang. Tetapi detik 
selanjutnya mereka sudah terlibat lagi 
dalam perkelahian yang lebih seru. Ma-
sing-masing terbakar oleh darah 
mudanya, dan tidak ada yang mau 
mengalah. 
Pada saat dua orang muda ini 
masih mencurahkan perhatian untuk 
mendapat kemenangan, terdengar Tumpak 
dan Manis mengaum pendek. Kemudian 
tampak bayangan berkelebat seperti 
thathit (kilat) disusul suara halus. 
Mengasolah...! 
Tahu-tahu Sritanjung maupun 
pemuda ini merasa terdorong oleh 
tenaga yang tidak terlawan. Kemudian 
mereka terhuyung mundur tiga langkah. 
Ternyata Kiageng Tunjung Biru 
yang sudah tua itu telah berdiri 
dengan bibir tersenyum-senyum, sambil 
memandang dua orang muda itu 
bergantian. Kakek ini tau dua orang 
muda itu masih penasaran dan belum 
puas. Namun hal itu tidak boleh 
terjadi lalu katanya halus.  
Tanjung! Sarungkan pedangmu!  
Biasanya Dewi Sritanjung selalu 
patuh dan menurut perintah gurunya, 
sekalipun sikapnya selalu manja. 
Tetapi kali ini adalah lain, ia tidak 
menyarungkan pedangnya malah 
membantah. 
Huh! Aku tak bersalah. Mengapa 
sebabnya kakek mencegah aku menghajar 
pemuda.... kurang ajar ini ? 
Kiageng Tunjung Biru tidak marah 
malah tertawa sejuk. Kemudian sambil 
mengelus jenggotnya yang putih dan 
panjang itu, ia menghela napas pendek. 
Ia mengenal watak orang muda apabila 
hati sudah terbakar kemarahan tidak 
ingat apa-apa lagi. 
Sarungkan pedangmu dan kita 
bicara. 
Lalu kakek ini mengamati si 
pemuda sambil berkata halus pula, Anak 
muda, penuhilah permintaanku. 
Sarungkan pedangmu, tak enak kita 
berbicara tetapi melihat pedang 
terhunus! 
Tanpa membantah lagi pemuda ini 
menyarungkan pedangnya. Kemudian dia 
membungkuk memberi hormat. Katanya, 
Terima kasih dan sudilah Kakek mau 
mengampuni kelancanganku. Aku memang 
tidak ingin berkelahi, namun cucu 
kakek sendiri yang terlalu mendesak 
dan terpaksa aku melayani. 
Sekalipun masih muda si pemuda 
sudah luas pengalaman. Karena itu 
berhadapan dengan Kiageng Tunjung 
Biru, ia cepat bisa menduga, ber-
hadapan dengan seorang sakti. Sikapnya 
berwibawa, pandang matanya sejuk dan 
agung, hingga bisa diduga kakek ini 
sudah putus (sempurna) dalam bidang 
guna kesantikan dan jaya kewijayan. Ia 
percaya orang tua seperti ini dalam 
segala soal akan menggunakan 
kebijaksanaan. 
Dugaan pemuda ini ternyata benar. 
Kiageng Tunjung Biru mengalihkan 
pandang matanya kepada cucu  dan 
sekaligus muridnya. Katanya halus, 
Tanjung, apa yang sudah kaulakukan? 
Dia terlalu sombong dan bandel, 
Sritanjung menggerutu. Dia menganggu 
Tumpak dan Manis, siapa yang tidak 
marah? 
Kakek ini mengerutkan alis, 
mengalihkan pandang mata kepada si 
pemuda. 
Tetapi sebelum si kakek sempat 
menegur, pemuda ini sudah mendahului, 
menjelaskan apa yang sudah terjadi. 
Keterangannya singkat tidak ditambah 
maupun dikurangi. 
Mendengar ini makin dalam kerut 
alis kakek ini. Dalam hatinya 
mengeluh, inilah akibat sikapnya 
sendiri yang salah. Sikap yag 
memanjakan Sritanjung, hingga muridnya 
ini manja. Sebagai akibat kemanjaannya 
ini Sritanjung menjadi tidak senang 
kepada orang yang membantah kehendak 
dan perintahnya. Mau menang sendiri 
dan liar. 
Tetapi ia seorang tua yang 
bijaksana dan luas pandangannya. Kalau 
di depan orang lain ia memberi 
nasihat, akibatnya malah runyam, dan 
Sritanjung bisa salah paham. Karena 
itu ia hanya menatap muridnya sambil 
bertanya, Tanjung, benarkah keterangan 
pemuda ini ? 
Sritanjung mengangguk,  lalu 
menundukkan kepala karena malu, dan 
menggerakkan ibu jari kakinya untuk 
mencungkil tanah. Kiageng Tunjung Biru 
tersenyum dan senang akan kejujuran 
Sritanjung. 
Hemm, orang muda. Belum jelas 
persoalannya sudah lancang menggunakan 
senjata. Apakah yang kamu lakukan ini 
patut? 
Kata-kata kakek ini sebenarnya 
ditujukan kepada Sritanjung. Namun 
untuk tidak menyinggung perasaan, ia 
menunjukan ucapannya kepada dua orang. 
Orang muda, katanya lagi. Kamu 
harus pandai melatih kesabaran dan 
pandai pulalah menggunakan 
kebijaksanaan dalam segala persoalan. 
Orang yang selalu mendekatkan diri 
kepada nafsu amarah, akibatnya 
hanyalah akan berhadapan dengan musuh. 
Ingatlah kalian, segala sesuatu 
hadapilah dengan kebijaksanaan. Dengan 
pandangan luas, berkaca kepada 
pengalaman dan pengetahuan, karena 
semua itu bukan lain untuk kepentingan 
kalian sendiri. 
Ucapan kakek ini besar sekali 
pengaruhnya. Agaknya dua orang muda 
ini kemudian baru sadar, apa yang baru 
terjadi dan mereka lakukan adalah 
tidak benar. Dan merasa perbuatan 
mereka salah, seperti ada yang 
mempengaruhi, tiba-tiba saja dua 
pasang mata ini bertemu pandang. Namun 
Sritanjung cepat menundukkan kepala 
seraya mengulum senyum manis. 
Namun demikian timbul pula rasa 
curiga kepada orang muda itu. Apakah 
maksud sebenarnya masuk kawasan hutan 
ini? Tidak biasanya orang berburu di 
hutan ini. Dan tidak biasa pula orang 
berani berkeliaran karena takut kepada 
empat ekor harimau piaraannya. 
Hutan ini oleh orang disebut 
hutan Wingit dan ditakuti orang. Akan 
tetapi apakah sebabnya pemuda ini 
datang juga? Melihat ketampanannya 
maupun pakaiannya yang indah, jelas 
bukan pemuda desa umumnya. 
Orang muda, katanya halus. 
Bolehkan aku bertanya siapakah 
sesungguhnya kau ini dan apa pula 
maksudmu masuk ke kawasan hutan ini? 
Engkau tersesat jalan ataukah memang 
sengaja datang membawa maksud? 
Sebelum menjawab pemuda ini 
membungkukkan tubuh lagi dan memberi 
hormat. 
Saya yang muda bernama Surya 
Lelana. Saya datang dari tempat jauh, 
ialah Ibukota Majapahit. 
Ahh.... Kakek ini kaget. 
Majapahit  sungguh jauh. Lalu apakah 
sebabnya kau masuk hutan ini? 
Saya memang harus datang ke hutan 
ini. Tetapi.... bolehkah saya 
bertanya? Apakah yang ingin 
kautanyakan? Saya masuk hutan ini 
dengan maksud mencari seseorang. 
Apakah Kakek tahu, di manakah tempat 
tinggal Kiageng Tunjung Biru? 
Kiageng Tunjung Biru kaget juga 
mendengar pertanyaan ini. Apakah 
maksud si pemuda ini sebenarnya, ingin 
tahu tempat tinggalnya? Pengakuan 
pemuda ini menimbulkan kecurigaan. 
Ya, aku tahu. Tetapi lebih dahulu 
terangkan maksudmu datang kemari, dan 
siapa pula yang menyuruh engkau? 
Ahh, maafkan saya yang muda ini. 
Saya hanya dapat mengatakan ingin 
bertemu dengan Kiageng Tunjung Biru. 
Pesan guru, saya tidak boleh bicara 
apapun kecuali kepada Kiageng Tunjung 
Biru sendiri. 
Ohh, jadi kau datang atas suruhan 
gurumu, Mpu Mada? 
Pemuda ini terbelalak memandang 
kakek itu dengan pandang mata heran. 
Ia mengangguk kemudian jawabnya, 
Benar. Saya memang muridnya tetapi 
yang membuat saya heran mengapa kakek 
bisa menduga tepat sekali? 
Heh heh heh heh, gerakan dan 
caramu berkelahi itulah yang 
menyebabkan aku teringat kepada 
gurumu, Mpu Mada. Tahukah engkau, 
akulah Kiageng Tunjung Biru yang 
kaucari itu? 
Ohh.... ampunilah saya yang muda 
dan tak kenal kesopanan ini. 
Surya Lelana menjatuhkan diri 
berlutut lagi.  
Bangkitlah orang muda, sudahlah 
jangan terlalu sungkan. Kiageng 
Tunjung Biru berkata sambil 
mengebutkan tangannya. 
Lirih saja. Namun Surya Lelana 
sudah terkesiap kaget. Ia merasa 
seperti dibetot tenaga tak terlawan, 
lalu berdiri kembali. 
Kakek ini terkekeh gembira. Ia 
memalingkan muka ke arah Sritanjung, 
katanya, Untung kau tadi tidak 
lancang, Tanjung. Hayo, sekarang 
berkenalanlah kalian dan tidak perlu 
malu. Sedangkan apa yang tadi sudah 
terjadi anggaplah tidak pernah 
terjadi. Kalian bukan orang lain, maka 
kamu berdua harus rukun. Cucuku, 
Tanjung, ketahuilah bahwa Mpu Mada 
adalah adik seperguruanku sendiri. 
Tetapi kendati adik seperguruan, 
umurnya jauh perbedaannya dengan aku 
seperti antara ayah dan anak. Nah 
sekarang kamu sudah menjadi jelas, 
antara kalian masih terdapat hubungan 
perguruan. 
Sekalipun dengan sikap yang 
canggung dua orang muda itu kemudian 
berkenalan. 
Namamu amat bagus dan sesuai pula 
dengan keadaanmu yang tampan, puji 
Sritanjung tanpa tedeng aling-aling. 
Wajah Surya Lelana berubah agak 
merah mendengar pujian dari gadis 
jelita ini. 
Berbeda dengan Kiageng Tunjung 
Biru, kakek ini hanya terkekeh. Sebab 
kakek ini tahu sebabnya, Sritanjung 
seberani itu. Kelak apabila Sritanjung 
sudah terjun ke dunia ramai ia 
percaya, akan mengenal sendiri tata 
cara dan sopan santun dalam pergaulan 
masyarakat. 
Orang muda, tak enak kita bicara 
di sini. Marilah kita pulang ke pondok 
dan ceritakan pula apa maksud gurumu! 
ajaknya kemudian. 
Ia memalingkan muka ke arah 
Sritanjung, terusnya, Tanjung, 
temanilah dia pulang ke pondok. Aku 
mendahului. 
Tanpa menunggu jawaban Kiageng 
Tunjung Biru sudah melangkah. 
Tampaknya orang tua itu melangkah 
seenaknya namun dalam waktu singkat 
sudah lenyap ditelan rimbun daun. 
Dua orang muda itu melangkah 
berdampingan menuju arah yang sama. 
Tumpak dan Manis mengikuti di belakang 
dan sekarang sudah berubah. Kalau tadi 
bertemu pertama kali buas dan 
menyerang sekarang menjadi jinak 
sekali. Dalam mengikuti langkah mereka 
ini Tumpak dan Manis berkali-kali 
mencium tangan pemuda itu disamping 
pula menyentuhkan perutnya ke paha 
Surya Lelana. Dan melihat jinaknya 
harimau ini Surya Lelana menjadi 
senang. Setiap harimau ini mencium 
tangannya, pemuda ini menggunakan 
telapak tangannya mengusap kepala dan 
leher dengan sikap sayang. 
Namun diam-diam pemuda ini heran 
sendiri atas sikap Sritanjung. 
Sikapnya demikian bebas, terbuka dan 
jujur, hanya sedikit sayang liar dan 
galak. Tadi ketika belum kenal dan 
tahu asal-usulnya, Sritanjung keras 
kepala dan mengajak berkelahi. Namun 
sekarang gadis ini seperti sudah lupa 
akan perkelahiannya tadi dan 
disepanjang perjalanan pulang, 
Sritanjung banyak bertanya tentang 
kota Majapahit dan tetek bengeknya. 
Dan dengan senang hati Surya Lelana 
menjawab dan menerangkan, sebab pemuda 
ini sadar, gadis ini tentu belum 
pernah meninggalkan hutan. 
Orang kota seperti kau ini, 
pakaiannya demikian bagus, pujinya. 
Tidak seperti aku, pakaiannya jelek 
dan kasar. 
Sambil berkata ini Sritanjung 
meraba kain yang menempel tubuh Surya 
Lelana, dan secara kebetulan yang 
diraba paha. 
Jantung Surya Lelana berdebar 
keras. Gadis ini jelita sekali dan 
menurut penilaiannya tak kalah dengan 
putri bangsawan Majapahit 
Dan tiba-tiba saja jantung Surya 
Lelana bertambah tegang lagi ketika 
tangan Sritanjung yang halus itu 
menyentuh lengannya sambil bertanya,  
Hai,  apakah sebabnya kau diam 
saja? 
Aku... engkau suruh bicara apa 
lagi? Surya Lelana gugup. 
Sritanjung menjadi geli, ia 
ketawa lepas, Hi hi hik, aku tadi 
bilang, orang kota seperti kau pakai-
annya bagus. Tidak seperti aku, 
pakaiannya kasar dan jelek. 
Tetapi...  sahut pemuda itu. 
Pakaian ini hanyalah alat pembungkus 
tubuh demi kesopanan. Manusia ini yang 
penting bukanlah ujud yang tampak di 
lahir. Maka menurut pendapatku, engkau 
lebih menunjukkan keaslian dan 
kesederhanaan, dan sekalipun kau 
mengenakan kain kasar, engkau tak 
kalah dengan perempuan kota. 
Apanya yang tak kalah? tanya 
gadis ini sambil memalingkan muka. 
Matanya yang bening tanpa ragu lagi 
memandang Surya Lelana. 
Tak kalah dalam segala hal. 
Kau.... cantik, jujur dan.... 
Eh, kau bilang aku cantik? 
Sritanjung tidak tersinggung malah 
tersenyum bangga. Tetapi perempuan 
kota tentu lebih cantik. Karena mereka 
tentu berpakaian bagus, tidak seperti 
aku. 
Sesungguhnya Surya Lelana ingin 
sekali memuji kecantikan Sritanjung. 
Akan tetapi bibirnya terasa berat, 
khawatir gadis ini tersinggung. 
Namun untuk tidak menyebabkan 
gadis ini kecewa, ia menjawab juga, 
Aku tadi sudah bilang, engkau lebih 
menunjukkan keaslian dan keseder-
hanaan. Berbeda dengan perempuan kota, 
karena tertutup oleh macam-macam usaha 
mempercantik diri, maka belum tentu 
kecantikannya itu dapat dipertahankan. 
Apa yang nampak cantik akan segera 
luntur, kalamana apa yang menutup dan 
membuatnya cantik itu ditinggalkan. 
Hi hi hik, perempuan kota tentu 
marah jika mendengar kata-katamu ini. 
Kenapa marah? Aku bicara apa 
adanya. Mereka banyak menggunakan alat 
kecantikan dalam usaha agar bisa 
disebut cantik. Berbeda dengan 
perempuan udik tidak kenal dengan 
alat-alat kecantikan itu. 
Di sana ramai tentunya, tidak 
seperti di sini yang selalu sepi. 
Tentu saja! Karena kota Majapahit 
tempat tinggal raja. 
Raja itu apa sih? Raja itu orang 
ataukah bukan? 
Ketawa Surya Lelana hampir 
meledak mendengar pertanyaan ini. 
Untung ia dapat menahan mulutnya, 
karena dapat menduga tentu gadis ini 
belum tahu apa yang disebut raja itu. 
Gadis ini terasing dari pergaulan, 
sedang Kiageng Tunjung Biru pun 
agaknya tidak pernah bicara tentang 
raja. Maka tidaklah mengherankan 
apabila gadis ini belum tahu. 
Raja itu orang juga seperti kita 
ini. Tetapi dia berkuasa di seluruh 
bumi ini. 
Eh.... berkuasa di seluruh bumi? 
Juga hutan ini ? Juga sungai, juga 
gunung? Ehh, mengapa sebabnya begitu? 
Dia toh orang juga, kau bilang sama 
dengan kita. Tetapi mengapa bisa 
terjadi adanya perbedaan? 
Surya Lelana melongo oleh 
pertanyaan tidak terduga ini. 
Bagaimana mungkin dirinya bisa 
menjawab ? Ia sendiri hanya menerima 
warisan pengetahuan dari nenek moyang. 
Raja kuasa dan masyarakat Majapahit 
terbagi-bagi dalam beberapa golongan. 
Mengapa bisa begitu, ia sendiri juga 
tidak tahu sebabnya. 
Karena merasa tidak tahu, 
akhirnya ia menggeleng. Jawabnya, 
Entahlah, aku sendiri tidak tahu 
sebabnya. Yang aku tahu, menurut 
cerita para orang tua, memang raja 
sekarang ini merupakan keturunan raja 
sebelumnya. 
Apakah sebabnya kau hanya ikut-
ikutan saja? Bukankah engkau orang 
kota, tentunya serba tahu dan cerdik? 
Celaka! Surya Lelana mengeluh. 
Apakah setiap orang kota tentu serba 
bisa dan serba tahu? Serba bisa dan 
kecerdikan bukan datang dengan 
sendirinya, tetapi karena belajar. 
Bakat pembawaan sejak lahir tak 
mungkin dapat menolong tanpa 
dikembangkan dengan pengetahuan yang 
dipelajari. Karenanya Surya Lelana 
tertawa, lalu, Ha ha ha ha, kau ada-
ada saja, Nona. 
Ehh, apa-apaan kau panggil aku 
Nona? Bukankah kita sudah kenal ? 
Cukup kau panggil namaku seperti aku 
memanggil engkau dengan namamu, Surya 
Lelana. 
Baiklah Tanjung. Tetapi kau 
keliru apabila mengatakan orang yang 
hidup di kota harus lebih cerdik dan 
serba tahu. 
Sudahlah.... kalau memang 
begitu.... Sritanjung tidak mendesak 
lagi ketika melihat wajah pemuda ini 
sungguh-sungguh. Untuk beberapa saat 
lamanya, mereka melangkah tanpa bi-
cara. Namun tiba-tiba Sritanjung 
memalingkan mukanya memandang Surya 
Lelana, katanya, O ya, apakah engkau 
sudah pernah menunggang harimau? 
Harimau? Milikmu ini?  
Sritanjung mengangguk. Sahutnya, 
Memang harimauku ini serba guna. 
Disamping bisa dijadikan pengawal 
setia, juga kalau lelah bisa dijadikan 
kendaraan. Marilah sambil bicara kita 
duduk di punggung harimau saja. 
Harimau piaraan Kiageng Tunjung 
Biru ini memang  pandai mengenal 
sahabat. Karena tahu Surya Lelana ini 
seorang tamu majikannya, maka ketika 
pemuda ini mengusap punggung harimau 
ini lalu mendekam, seakan 
mempersilakan Surya Lelana duduk 
dipunggungnya. Walaupun Surya Lelana 
sanggup meloncat ke punggung harimau, 
pemuda ini menurut juga. Ia duduk di 
atas punggung kemudian dua ekor 
harimau ini melangkah cepat. 
O ya, Surya, siapakah gurumu yang 
bernama Mpu Mada itu? tanya 
Sritanjung. 
Engkau tadi sudah mendengar 
sendiri, guruku merupakan adik 
seperguruan Kakekmu. Tetapi sekarang 
beliau sudah menduduki jabatan sebagai 
Patih Mangkubumi Majapahit dan dikenal 
tiap orang dengan nama Gajah Mada. 
Apakah kedudukan Patih Mangkubumi 
itu? 
Pemuda ini tersenyum. Gadis ini 
selalu ingin tahu hal baru. Ia tidak 
ingin membuatnya kecewa, jawabnya, 
Tanjung, aku tadi menyebut raja yang 
kuasa di seluruh bumi ini. Nah, raja 
itu tentu saja takkan dapat menguasai 
miliknya tadi, kalau tidak mempunyai 
orang kepercayaan dan alat untuk 
memerintah. Alat dan pembantu ini 
jumlahnya banyak dan pembantu itu 
dengan macam-macam pangkat dan 
jabatan. Dari semua pembantu dan alat 
itu, Patih Mangkubumi sebagai 
kepalanya atau atasan tertinggi. 
Setiap alat dan pembantu harus memberi 
laporan setiap waktu yang ditentukan. 
Agar dari laporan Patih Mangkubumi 
ini, kemudian raja tahu segala 
permasalahan kerajaan atau negara. 
Sebagai seorang dara yang hidup 
terasing dan masih berumur muda pula, 
barang tentu Sritanjung tak dapat 
menangkap maksud Surya Lelana secara 
eepat. Maka ia bertanya dengan bibir 
yang selalu menyungging senyum, 
bersikap wajar, jujur dan polos. 
Begitu tiba di depan pondok, dua 
ekor harimau tua menggeram melihat 
manusia yang belum mereka kenal. 
Seperti Tumpak dan Manis, harimau tua 
ini juga diberi nama Senggung untuk si 
jantan dan Klentreng untuk si betina. 
Sritanjung cepat berteriak, 
Senggung! Klentreng! Dia bukan orang 
lain. Hayo cepat sujud dan berilah 
hormat. Dia tamu kita. 
Entah  mengerti atau tidak atas 
perintah itu, namun nyatanya dua ekor 
harimau tua ini sekarang benar-benar 
bersujud. Moncongnya menyentuh tanah, 
memberi hormat kepada tamu. 
Surya Lelana senang melihat dua 
ekor harimau yang jinak dan menurut 
perintah. Senggung dan Klentreng lalu 
dipeluk dan diusap-usap bulunya. 
Mereka segera masuk dalam pondok. 
Kiageng Tunjung Biru sudah duduk 
bersila di atas tikar pandan. Katanya, 
Silakan duduk, Anak muda. 
Setelah memberi hormat dua orang 
muda ini duduk. Kiageng Tunjung Biru 
tersenyum dan bertanya, Kabar apa saja 
yang kaubawa dari Adi Mada? 
Guru menyertakan sebuah surat 
untuk Uwa guru, sahutnya. 
Selembar lontar yang semula 
disimpan rapi dalam pakaiannya 
dikeluarkan. Kemudian diserahkan 
kepada kakek itu. 
Kiageng Tunjung Biru membaca 
surat adik seperguruannya itu dengan 
mengangguk-angguk. Gajah Mada memberi 
kabar bahwa dirinya sekarang telah 
diangkat menjadi Patih Mangkubumi atau 
Mahapatih Majapahit menggantikan Arya 
Tadah. Tetapi Gajah Mada minta maaf, 
karena oleh kesibukannya belum sempat 
bersilaturrahmi kepada kakak-
seperguruannya, maka diutuslah 
muridnya. 
Dikabarkan pula oleh Gajah Mada, 
telah terjadi perubahan di Majapahit 
sejak Kiageng Tunjung Biru 
mengasingkan diri. Raja Jayanegara 
yang bermaksud mengawini adik seayah 
lain ibu, ialah Rani Kahuripan dan 
Rani Daha, telah meninggal ditikam 
oleh Tanca. Kemudian Tanca sendiri 
juga mati ditikam oleh Gajah Mada. 
Sebagai pengganti raja adalah dua 
orang puteri Raja Kertarajasa yang 
bernama Tribhuwonottunggadewi (Rani 
Kahuripan) dan Mahadewi (Rani Daha). 
Ini merupakan kebijaksanaan Gajah Mada 
agar tidak terjadi perebutan 
kekuasaan. Dan dengan demikian dua 
orang puteri memerintah Majapahit se-
cara bersama-sama. 
Mengingat kesibukannya menjadi 
Mahapatih ini Gajah Mada berharap agar 
Kiageng Tunjung Biru sedia membantu 
dengan cara hidup di kota-raja 
Majapahit. Mengapa? Karena Gajah Mada 
sudah mempersiapkan rencana untuk 
kejayaan Majapahit. Bantuan Kiageng 
Tunjung Biru bukan saja berujud 
nasihat tetapi juga oleh kesaktiannya. 
Membaca surat adik seperguruannya 
yang termuda ini, Kiageng Tunjung Biru 
menghela napas panjang. Betapa 
inginnya membantu adik seperguruannya 
ini, tetapi sayang dirinya sekarang 
ini sudah pikun. Sudah delapanpuluh 
tahun lebih. Karena itu ia tidak 
menginginkan, sisa hidupnya disibukkan 
oleh urusan negara. Ia ingin bisa kem-
bali ke tempat asal dalam keadaan 
damai, tenang dan sunyi. 
Kiageng Tunjung Biru memandang 
Dewi Sritanjung. Timbul keinginan 
dalam hatinya untuk mengirimkan murid 
tunggal ini sebagai wakilnya. Tetapi 
sayang muridnya masih terlalu muda dan 
ilmu kesaktiannya masih mentah. Karena 
itu Sri Tanjung memerlukan gemblengan 
sementara waktu agar menjelma menjadi 
gadis perkasa. Dan bukan hanya itu, 
tetapi juga persoalan rumit yang 
sedang dihadapi tentang gadis itu 
sendiri. 
Sudah berkali-kali Sri Tanjung 
bertanya siapakah orang tuanya. Selama 
ini ia selalu menjawab belum masanya 
rahasia ini dibuka. Kelak apabila 
sudah dewasa, tiba saatnya Kiageng 
Tunjung Biru akan membuka rahasia. 
Sesudah berpikir beberapa lama 
akhirnya kakek ini membalas surat 
Gajah Mada. Dalam surat itu dibeberkan 
pula tentang keadaannya sekarang yang 
tengah menggembleng murid tunggal 
bernama Dewi Sritanjung. Karena itu ia 
minta waktu. 
Agar jawaban untuk Gajah Mada itu 
lancar dan baik, maka dua orang muda 
itu diperintahkan mengaso di kamar 
masing-masing. 
Pagi harinya, ternyata surat 
jawaban untuk Gajah Mada itu belum 
selesai. Maka Sritanjung mengajak 
Surya Lelana untuk menikmati keindahan 
alam dan hutan sekitar pondok itu. 
Bagi orang yang hidup di kota 
seperi Surya Lelana, hijau daun, 
lebatnya hutan dan suara binatang 
merupakan hai baru yang menarik. 
Hemm, aku merasa heran, ujar 
Surya Lelana. 
Apa yang menyebabkan kau heran? 
Sritanjung menatap Surya Lelana sambil 
tersenyum. 
Antara guruku dan gurumu 
merupakan saudara seperguruan. Namun 
anehnya mengapa ilmu kita tidak ada 
kemiripannya? Kalau saja ilmu kita 
agak mirip, ketika kita bermain-main 
kemarin akan segera kita ketahui 
adanya hubungan perguruan itu. 
Kau benar. Tetapi mengapa kau 
tidak bertanya kepada Kakek? 
Hati memang ingin, tetapi belum 
sempat. 
Untuk sesaat meraka berdiam diri. 
Mereka melangkah berdampingan dan 
walaupun baru kenal tampaknya mereka 
cocok dan cepat menjadi akrab. 
Hal ini tidak mengherankan sebab 
bagi Sritanjung pengalaman ini 
merupakan hal yang baru. Sejak bayi 
hingga dewasa ia belum sempat 
berbicara dengan manusia lain kecuali 
Kiageng Tunjung Biru. Maka hal ini 
menyebabkan Sritanjung rindu akan 
hubungan dengan manusia lain. 
Sebaliknya Surya Lelana merupakan 
seorang pemuda yang luas pergaulan di 
kota. Tetapi selama ini ia tidak 
pernah bertemu dengan gadis seperti 
Sritanjung ini. Biasanya gadis kota 
malu-malu namun sering tidak wajar, 
dan menyembunyikan sesuatu. Maka sikap 
Sritanjung yang terbuka dan polos itu 
menyebabkan pemuda ini menjadi sangat 
tertarik. 
Tiba-tiba Sritanjung bertanya, 
Apakah sebabnya kau diam saja? 
Karena tak dapat menjawab Surya 
Lelana mengembalikan pertanyaan ini 
dengan bertanya juga, Tetapi apakah 
sebabnya kau juga diam? 
Dua-duanya geli. Mereka tadi 
berdiam diri tetapi lengan saling 
sentuh dan langkah menjadi lambat. 
Jantung mereka berdegup keras tetapi 
tidak tahu apa sebabnya. 
O ya, Surya Lelana bertanya, 
sejak kapan kau berdiam di hutan ini? 
Aku tidak tahu sejak kapan. 
Tetapi aku ingat tidak pernah pergi 
dari tempat ini dan juga tidak pernah 
bertemu manusia lain. 
Ahhh... lalu ayah bundamu? Surya 
Lelana kaget. 
Sritanjung menggeleng, sahutnya, 
Aku sendiri tidak tahu, siapakah ayah 
dan bundaku. Aku sendiri juga heran, 
tetapi  setiap aku bertanya kepada 
Kakek, maka beliau selalu berdalih 
belum waktunya. Kata Kakek, setelah 
tiba saatnya, Kakek akan memberi tahu. 
Kalau demikian agaknya semua ini 
demi kepentinganmu sendiri.  
Kepentingan apa? 
Agar kau belajar dengan giat dan 
rajin. Agar hatimu tidak bercabang dan 
mengunjungi orang-tuamu. Hemm, agaknya 
kau bukan melulu murid, tetapi tentu 
cucu Uwa Guru sendiri. Tak tahulah. 
Aku sendiri bingung. Tetapi apa yang 
sudah diucapkan Surya Lelana ini 
berbeda dengan yang terkandung dalam 
hati.  Pemuda yang sudah luas 
pengalaman ini cepat bisa menduga, 
gadis ini tentu seorang yatim piatu. 
Agaknya gadis ini ditemukan Kiageng 
Tunjung Biru sejak bayi. Lalu apakah 
sebabnya? Tetapi Surya Lelana tidak 
berani mengemukakan perasaan ini 
khawatir kalau gadis galak ini ter-
singgung. 
Mereka terus melangkah sambil 
bicara. Banyak yang mereka bicarakan, 
disamping pemuda ini kesengsem kepada 
keindahan alam dan tidak bosannya 
memuji. 
Saking kesengsem dua orang muda 
ini menjadi lupa waktu dan lupa pula 
perjalanan sudah jauh dari pondok. Dua 
orang muda ini masuk ke bagian hutan 
yang selama ini belum pernah mereka 
jamah. 
Tiba-tiba Sritanjung merasakan 
sesuatu di belakang. Ia kaget dan 
membalikkan tubuh, dan ternyata 
harimau tua Senggung dan Klentreng 
sudah mengikuti di belakang. Klentreng 
menggunakan giginya menarik kain 
panjang Sritanjung, dan sesudah itu 
mendekam sambil menggaruk-garukkan 
kaki depan di tanah seraya menguik-
nguik perlahan seperti sedang meratap. 
Melihat Klentreng dan Senggung 
bersikap aneh itu, Sritanjung 
mengerutkan alis berbareng heran. 
Hai Klentreng dan Senggung, 
tegurnya. Ada apa? Dan mengapa pula 
kau ketakutan? 
Klentreng mengulangi lagi 
perbuatannya, menarik kain panjang 
Sritanjung dengan gigi dan menguik-
nguik lagi. 
Surya Lelana yang keheranan 
bertanya, Apakah maksud harimau ini? 
Kalau bisa bicara, mungkin dia 
ketakutan dan memperingatkan kita agar 
kembali. Entah apa yang dimaksud dan 
entah siapa pula yang mereka takuti 
itu. 
Sritanjung cepat menebarkan 
pandang matanya ke sekeliling. Sebagai 
gadis yang biasa di dalam hutan, ia 
menjadi curiga. Kiranya harimau ini 
ketakutan, karena sudah pernah 
diganggu orang di tempat ini.