Mungkinkah di tempat ini ada pula
orang bertempat tinggal di luar
pengetahuan Uwa Guru?
Sritanjung menggeleng, jawabnya,
Aku sendiri tak dapat memastikan.
Tetapi kalau bukan takut kepada
manusia, harimau ini takut kepada
siapa lagi? Harimau merupakan binatang
garang jarang tandingannya di dalam
hutan.
Lalu bagaimanakah pendapatmu
sekarang? Lebih baik kembali ataukah
kita malah berusaha bertemu dengan
orang yang membuat harimau ini takut?
Huh, aku jadi penasaran! Aku
tidak takut kepada siapapun. Hayo,
kita terus maju dan biarlah harimau
ini aku perintahkan pulang.
Sritanjung segera memberi isyarat
kepada Senggung dan Klentreng supaya
pulang. Dan atas perintah ini dua ekor
harimau itu menguik-nguik lagi seperti
makin meratap. Dan malah Klentreng
menarik lagi kain panjang Sritanjung.
Klentreng! Senggung! Sudahlah,
kamu jangan mengganggu aku. Lekas
pulanglah kamu, aku dan Surya akan
menghajar manusia yang membuat kamu
ketakutan itu.
Sambil memberi perintah,
Sritanjung menghunus pedang.
Sring.....dan dua harimau itu mendekam
ketakutan. Sesaat kemudian dua harimau
itu membalikkan tubuh dan hampir
berbareng melompat jauh. Kemudian
mereka hilang di semak belukar dan
tinggal suaranya saja yang menguik-
nguik seperti meratap. Namun sejenak
kemudian sudah berganti dengan auman
panjang, tanda harimau itu kecewa.
Hutan pada bagian ini memang lain
dibanding hutan di mana Sritanjung
bertempat tinggal. Di hutan ini banyak
tumbuh pohon besar dan tua, hingga
menjadi rimbun dan matahari sulit
menerobos lebatnya daun. Akibatnya
daun kering yang berjatuhan menumpuk,
membusuk dan lembab.
Tiba-tiba angin bertiup dari arah
berlawanan. Sritanjung mengerutkan
alis dan hatinya berdebar ketika
mencium bau wengur bercampur anyir dan
amis. Sebagai gadis yang sejak kecil
hidup di belantara, tahulah akan arti
bau khas ini. Sedang Surya Lelana yang
berhidung tajampun, sudah menghirup
pula bau tak enak ini dan cepat
bertanya.
Ahhh, bau apakah ini?
Hemm, inilah yang menyebabkan
harimau tadi ketakutan. Ternyata bukan
manusia yang seperti aku duga.
Sritanjung menerangkan sambil
menebarkan pandangmata ke dahan-dahan
pohon.
Ehh, kalau bukan manusia, apa
yang menyebarkan bau seperti ini ?
Hemm, inilah bau khas ular besar.
Agaknya harimau itu pernah hampir
celaka oleh ular itu hingga ketakutan
setengah mati. Maka bisa dibayangkan
kalau mereka sebagai raja hutan saja
ketakutan, ular itu tentu besar dan
berbahaya.
Huwaduh, sungguh kebetulan. Kalau
benar ular itu besar, aku membutuhkan
kulitnya. Betapa gembira guruku
apabila aku dapat membawa buah tangan
kulit ular besar.
Bagus! Marilah kita cari dan kita
bunuh.
Bagi Sritanjung yang sudah biasa
hidup di hutan, tidak ragu-ragu lagi
melesat maju karena sudah dapat
mengira-irakan di mana ular itu
berada. Bau tidak sedap itu belum
keras, pertanda jaraknya masih agak
jauh. Sebaliknya Surya Lelana yang
tidak mengerti, kaget dan khawatir.
Tanjung, hati-hati. Teriaknya sambil
mengejar.
Dari arah depan Sritanjung
menyahut, Jangan takut! Tempatnya
masih jauh.
Makin maju bau tak sedap itu
semakin menyengat hidung. Gerakan
mereka semakin hati-hati dan waspada.
Lalu tibalah mereka pada bagian hutan
perawan dan berhadapan dengan pohon
beringin amat tua dan besar sekali.
Tak jauh dari pohon ini terdapat
sumber air yang amat jernih. Dari
pohon ini sekarang terdengar suara
mendesis agak keras.
Ketika dua orang muda ini melihat
ke atas mendadak saja mereka terpaku.
Mereka kaget berbareng gentar, sebab
ular itu memang besar bukan main dan
ketika bergerak dahan pohon itu
bergoyang keras.
Sejak bayi Sritanjung sudah hidup
di belantara. Namun demikian baru
sekali ini saja dirinya bertemu dengan
ular yang menakjubkan, saking
besarnya. Ular itu tubuhnya sebesar
pohon nyiur, melingkar dan membelit
dahan pohon. Kulit ular yang mengkilap
dengan warna aneka macam itu
menyilaukan. Kepalanya besar, mulutnya
terbuka dan lidah merah menjulur
keluar. Kepalanya besar, mulutnya
terbuka dan lidah merah menjulur
keluar. Melihat lebarnya mulut dan
besarnya kepala ular itu, jangan lagi
manusia, seekor harimaupun bila
berhasil disambar dapat ditelan
mentah-mentah.
Kepala ular raksasa itu
bergantung menjulur ke bawah dari
dahan. Bergerak-gerak ke kanan dan ke
kiri, bergoyang-goyang seakan sudah
siap untuk menangkap korbannya. Sedang
suara mendesis keras tidak pernah
putus, dan uap tipis kehijauan
menyebar sekitarnya. Kepala ular yang
semula tergantung agak tinggi itu,
sedikil demi sedikit sudah bergeser
turun.
Ketika itu Sritanjung sudah
menghunus pedangnya yang bersinar
kebiruan. Di tempat agak gelap ini,
sinar kebiruan itu lebih tampak, ke-
mudian dilintangkan di depan dada.
Sesungguhnya dalam menghadapi
musuh Surya Lelana lebih pengalaman,
dan ia tidak pernah gentar. Tetapi
sekarang ini ia berhadapan dengan ular
raksasa, hatinya menjadi tegang dan
berdebar-debar. Ular itu bergantung di
dahan dan dapat menyambar secara tidak
terduga dan sebaliknya dirinya takkan
gampang melakukan serangan balasan.
Kepala ular raksasa itu
bergantung menjulur ke bawah dari
dahan. Bergerak-gerak ke kanan dank e
kiri, bergoyang-goyang seakan sudah
siap untuk menagkap korbannya.
Ia menjadi khawatir melihat
Sritanjung dan memperingatkan, Tanjung
hati-hatilah! Ular itu amat berbahaya!
Sritanjung tertawa manis,
sahutnya, Jangan khawatir. Aku sudah
biasa berhadapan dengan segala macam
binatang buas!
Tiba-tiba tubuh gadis itu melesat
tinggi. Sinar biru menyambar ke arah
kepala ular.
Siut.... wutt..,. sessss ....
Sritanjung melayang turun dengan, mata
terbelalak heran. Gerakannya tadi
sudah cepat dan pedangnya menyambar.
Namun ternyata ular itu dapat
menghindar, kepalanya malah menyambar
dan mulut terbuka diiringi desis
panjang. Untung Sritanjung cukup
waspada dan gesit, hingga sambaran
moncong ular itu luput.
Jahanam ular liar! bentak Surya
Lelana sambil melesat tinggi dan
pedangnya menyambar.
Sekalipun gerakan Surya Lelana
kalah gesit dibanding Sritanjung,
tetapi dalam ilmu pedang lebih matang.
Ia menggunakan tipu pancingan dan
ketika kepala ular itu menghindar
pedangnya menyambar secara tepat.
Surya Lelana kaget setengah mati.
Sabetannya tepat mengenai kepala ular
raksasa. Tetapi pedangnya mental dan
hampir saja dirinya celaka apabila
tidak gesit menghindari sambaran mulut
ular.
Celaka! Dia kebal senjata!
serunya sesudah mendarat.
Jangan khawatir. Aku tahu caranya
mengalahkan! ujar Sritanjung
bersungguh-sungguh. Mari kita cari
batu yang keras dan cukup besar.
Masing-masing cukup sebutir dan nanti
batu itu kita sambitkan pada saat dia
menyambar. Watak ular, setiap benda
yang menyerang akan disambar. Nah, di
saat ular menelan batu, saat itu pula
kita bertindak. Kita serang matanya,
karena mata tak mungkin kebal!
Bagus! Kau memang cerdik,
Tanjung.
Pujian itu menyebabkan Sritanjung
senang sekali, Gadis ini tersenyum,
lalu mendahului melangkah mencari batu
keras. Tak lama kemudian mereka sudah
memperoleh. Batu itu warnanya hitam
sebesar kepala manusia, lalu mereka
kembali ke dekat ular.
Ular raksasa itu desisnya semakin
keras. Lidahnya yang merah menjulur
keluar dan mulutnya terbuka ingin
menelan. Ular itu karena sudah tua
menyebabkan kulitnya kebal. Tetapi
sekalipun kebal ia merasakan sakit
juga oleh babatan pedang. Karena itu
si ular menjadi marah, ia merosot
turun dan kepala ular itu sekarang
sudah hampir menyentuh tanah.
Ternyata tubuh ular itu disamping
besar juga panjang sekali. Sekalipun
kepala sudah hampir menyentuh tanah
tetapi tubuhnya masih melilit dahan.
Sritanjung memberi isyarat kepada
Surya Lelana. Kemudian hampir
berbareng dua butir batu menyambar.
Ular raksasa itu dalam keadaan
amat marah. Melihat melayangnya benda
hitam, tidak takut. Ular itu juga
tidak menghindar dan malah membuka
mulut lebar-lebar, dan jelas tidak
sadar akan bahaya.
Blung blung... cap cap....
Hampir berbareng dengan masuknya
dua butir batu ke dalam mulut itu,
menyambarlah dua ujung pedang ke mata.
Sambaran ujung pedang itu mengenai
mata secara tepat, karena ular dalam
kesakitan dan tidak bisa menghindar.
Dan akibatnya sepasang mata ular itu
pecah dan darah merah membanjir.
Celakanya lagi pedang itu menembus
otak, sehingga otak ular itupun
mengalir bercampur darah.
Lebih celaka lagi bagi si ular,
setiap benda yang sudah masuk ke dalam
mulut tidak bisa keluar lagi. Maka
ular ini kesakitan luar biasa, tu-
buhnya merosot dan terbanting ke
tanah, lalu kelabakan, berputaran dan
kelojotan di tanah. Makin kuat gerakan
ular itu, sekitarnya menjadi morat-
marit dan darahpun mengucur lebih
banyak.
Namun makin lama gerakan ular ini
semakin menjadi lemah, sedangkan bau
anyir menyengat hidung dan tak lama
kemudian tidak bergerak lagi.
Surya Lelana dan Sritanjung
gembira. Mereka membersihkan pedang
masing-masing lalu disarungkan.
Setelah pedang di dalam sarung, pemuda
dan pemudi ini saling bersenyum dan
saling pandang. Dua-duanya gembira
sudah berhasil membunuh ular raksasa
itu.
Akan tetapi makin lama pandang
mata dua orang muda ini berlainan
dengan waktu sebelumnya. Ketika mereka
bertemu pandang, mata mereka berkilat-
kilat. Disusul oleh getaran aneh,
getaran yang tidak lagi dapat dilawan
dan menggerakkan kaki masing-masing
untuk saling menghampiri.
Menurut pandang mata Surya
Lelana, wajah Sritanjung semakin
cantik dan mempesona. Pandang matanya
redup seakan mengharapkan sesuatu yang
tidak terucapkan.
Sebaliknya menurut pandangmata
Sritanjung, pemuda tampan bemama Surya
Lelana itu menjadi semakin tambah
tampan dan menarik hatinya. Lalu
timbul pula perasaan aneh yang belum
pernah ia rasakan dan mendorong gadis
ini untuk mendekati.
Dua orang muda ini seperti
terkena pengaruh ajaib. Setelah saling
mendekati lengan mereka terulur, dan
tiba-tiba saja muda-mudi ini saling
peluk dan berdekapan. Perawan yang
galak dan liar ini entah sebabnya,
tiba-tiba saja jinak ketika hidung
pemuda itu menyentuh pipi halus.
Sritanjung tidak menolak dan
memberontak, malah beberapa jenak
kemudian bibir mereka saling bertemu
dan berciuman, dan merupakan
pengalaman pertama bagi Sritanjung.
Namun tiba-tiba kaki mereka
menggigil dan lemas, lalu tidak
tercegah lagi dua orang muda ini roboh
masih dalam keadaan berpelukan. Mereka
tidak bergerak sama sekali, karena
mereka sudah pingsan.
Di luar tahu Sritanjung maupun
Surya Lelana, racun uap yang
disemburkan oleh ular raksasa tadi
telah meracuni mereka. Kalau saja dua
orang ini hanya orang biasa, tentu
sudah roboh mati.
Untung bagi dua orang muda ini,
di dalam tubuh sudah mengalir hawa
sakti. Hawa sakti yang melindungi
tubuh itu dapat bergerak sendiri tanpa
digerakkan. Dan oleh perlindungan hawa
sakti ini mereka tidak mati keracunan.
Namun karena mereka tidak sadar
terpengaruh racun, mereka tidak
berusaha mengusir racun itu dari dalam
tubuh. Dan sebagai akibatnya tubuh
menjadi panas, dan celakanya pula
racun ular raksasa ini mempunyai
pengaruh berbahaya terhadap rangsangan
birahi.
Baik Surya Lelana maupun
Sritanjung tidak menyadari keadaan
ini. Karena itu masing-masing
terpesona, kemudian saling peluk dan
berciuman. Masih untung pengaruh racun
ular raksasa itu kuat, hingga
menyebabkan mereka pingsan. Kalau saja
tidak keburu pingsan, entah apa yang
akan terjadi pada diri dua orang muda
itu.
Tak lama kemudian Surya Lelana
sadar lebih dahulu. Ia kaget
mendapatkan dirinya berpelukan dengan
Sritanjung. Tetapi dasar nakal, ia
tidak cepat berusaha melepaskan
pelukannya dan malah dibiarkan lengan
Sritanjung melingkar pada lehernya.
Malah kemudian pemuda ini memejamkan
matanya kembali, pura-pura masih
pingsan.
Kepalanya memang dirasakan masih
agak pening dan disamping itu
kehangatan tubuh Sritanjung dirasakan
amat menyenangkan. Dada yang lembut
menekan dadanya menyebabkan pikirannya
melayang tidak karuan. Perasaan aneh
yang selama ini belum pernah ia
rasakan memenuhi dadanya.
Sebenarnya Surya Lelana bukan
pemuda mata keranjang dan suka main
perempuan. Ia malah bisa dikatakan
pemuda yang tak pernah mendekati
wanita. Akan tetapi sekarang merasakan
kehangatan ini, menyebabkan ia tak mau
mengakhiri.
Tetapi sekalipun demikian Surya
Lelana pemuda sopan. Ia tidak mau
menggunakan kesempatan sekalipun Dewi
Sritanjung masih pingsan. Hanya samar-
samar ia ingat, ia tadi sudah
berciuman mesra sekali dengan gadis
ini.
Ia menjadi heran sendiri. Apa
saja yang sudah mendorong mereka
hingga terjadi peristiwa aneh seperti
ini? Kemudian ia teringat
perkelahiannya tadi dengan ular
raksasa. Dan tiba-tiba saja ia dapat
menduga, mungkin sekali peristiwa aneh
ini sebagai akibat racun ular itu.
Pada saat Surya Lelana masih
sibuk berpikir tentang apa yang
dialami, ia merasakan adanya gerakan
Sritanjung. Ia tahu gadis galak ini
mulai sadar, namun ia tetap pura-pura
masih pingsan dan ingin tahu apa yang
akan dilakukan gadis ini kepada
dirinya.
Tetapi diam-diam ia memang merasa
bersalah juga, kendati apa yang sudah
terjadi diluar kesadarannya. Karena
itu ia rela dipukul, disiksa maupun
dibunuh oleh gadis ini.
Plakk.... plakk....
Surya Lelana nanar seketika
menerima tamparan dua kali. Ia
melompat bangkit sambil mengucak
sepasang matanya dan kemudian
memandang Sritanjung dengan pandang
mata pura-pura keheranan. Ia melihat
jelas, wajah gadis itu sebentar merah
dan sebentar pucat sambil berdiri
berkacak pinggang.
Dalam hati Surya Lelana tersenyum
geli. Tamparan itu bukan apa-apa
dibandingkan dengan kehangatan
pelukannya. Kalau saja boleh, ia sedia
dipukul duakali lagi asal boleh
mencium lagi.
Surya Lelana! Kenapa sekarang kau
berubah menjadi mata keranjang?
katanya dalam hati dan mencaci dirinya
sendiri. Hem, ingatlah kau seorang
ksatrya dan tidak dibenarkan berbuat
tercela, lebih-lebih terhadap
perempuan. Engkau harus pandai
menghargai dan menempatkan wanita pada
tempatnya. Tahukah engkau, apabila
wanita sudah marah bisa
menjungkirbalikkan dunia ini?
Berdebar hatinya mendengar
cacimaki hati sucinya itu. Kemudian
sambil mengusap pipinya yang masih
panas, ia bertanya, Apakah sebabnya
kau memukul aku…?
Surya! Engkau kurangajar. Apa
yang sudah
kaulakukan.....kaulakukan.... ?
Kendati membentak marah namun
Sritanjung tampak malu-malu juga, dan
diam-diam Surya Lelana terpesona.
Sebab walaupun sedang marah,
kecantikan gadis ini tidak juga
berkurang.
Tanjung, sabarlah, jawabnya. Aku
sendiri tidak mengerti apa yang
terjadi. Aku roboh pingsan... ahh...
celaka! Ular itu.... ya, kita sudah
keracunan oleh ular keparat itu.
Ahh... kepalaku pening...
Surya Lelana tidak menipu. Ia
memang merasakan pening dan kepalanya
seperti tambah besar setelah berdiri.
Menjadi jelas bahaya racun ular masih
mengeram dalam tubuh.
Tanjung! Aturlah pernapasan!
terusnya. Usirlah racun ular itu
sampai tuntas.
Tanpa menunggu jawaban Surya
Lelana sudah duduk bersila dan
mengatur pernapasan.
Dewi Sritanjung menjadi sadar. Ia
merasakan pula kepalanya pening. Dan
merupakan pertanda di dalam tubuhnya
masih terdapat racun berbahaya. Maka
tanpa membuka mulut lagi gadis inipun
menjatuhkan diri duduk bersila, lalu
menyalurkan hawa sakti dari pusar guna
mendesak dan mendorong keluar racun
ular yang masuk paru-paru.
Untung sekali mereka sudah
memiliki dasar kuat. Setelah mengatur
pernapasan, sedikit demi sedikit racun
ular tersebut dapat didesak dan
didorong keluar dan kepala mereka
sudah tidak pening lagi.
Sebenarnya Surya Lelana sudah
berhasil mengusir racun ular itu lebih
dahulu. Namun pemuda ini tidak cepat
mengakhiri semadhinya, karena sadar
jangan sampai mendahului gadis galak
ini. Maka sambil memejamkan mata ini
ia justru dapat mengingat kembali,
saat nikmat berpelukan dan berciuman
tadi.
Berbeda dengan Sritanjung.
Setelah kepalanya tidak pening lagi ia
melompat berdiri. Ia melihat Surya
Lelana masih duduk bersila, dan
mengamati penuh perhatian. Diam-diam
ia mengakui Surya Lelana pemuda
tampan, dan dalam hati mengakui pula
apa yang terjadi merupakan kenangan
yang menyenangkan juga. Dan teringat
semua itu timbul rasa sesalnya,
mengapa ia tadi sudah memukul pemuda
itu.
Menurut pendapatnya, bagaimanapun
Surya Lelana tak bersalah. Secara
jujur ia mengakui pula, segalanya
takkan terjadi apabila dirinya tidak
menanggapi. Dan samar-samar ia juga
ingat, dirinya tadi juga memeluk Surya
Lelana dan kemudian membalas ciuman
pemuda itu. Dewi Sritanjung menghela
napas panjang. Ia sekarang sadar,
ucapan Surya Lelana benar. Semua yang
sudah terjadi akibat pengaruh racun
ular.
Karena Surya Lelana masih duduk
tidak bergerak, Dewi Sritanjung tidak
mengganggu dan gadis ini kemudian
duduk diatas batu seraya mengamati
bangkai ular yang tadi mereka bunuh.
Ular itu luar biasa besar dan
panjangnya, dan amat berbahaya bagi
manusia maupun binatang hutan. Maka
dengan terbunuh matinya ular ini,
berarti dapat mengamankan hutan ini
dari gangguan.
Tiba-tiba ia mendengar suara
gerakan Surya Lelana. Ketika
memalingkan muka pemuda itu sudah
berdiri. Sritanjung melihat pula pipi
pemuda itu masih merah agak bengkak.
Sritanjung segera meninggalkan batu
dan menghampiri.
Surya... maafkanlah aku....
Untuk sejenak Surya Lelana
melengak. Tetapi kemudian ia tersenyum
dan diam-diam memuji kejujuran dan
keluguan gadis ini yang tidak segan
minta maaf, sekalipun sebenarnya
kurang perlu.
Terima kasih. Tetapi aku memang
patut kau-pukul, sahut Surya Lelana
menyesal.
Sudahlah, apakah sebabnya kau
jadi ngambek? kata gadis ini sambil
tertawa lirih. Ular keparat itulah
yang menjadi gara-gara. Tetapi ahh,
sudahlah... mari kita cepat pulang,
hari sudah sore. Amat berbahaya bagi
kita apabila terlalu lama di sini.
Sesungguhnya ingin sekali sang
pemuda mengambil kulit ular itu untuk
dibawa ke Majapahit. Namun teringat
pengaruh racun ular yang dapat
membangkitkan rangsangan birahi, ia
membatalkan niatnya. Maka ia
mengangguk lalu melangkah berdampingan
menuju pulang.
Untuk beberapa saat mereka tidak
membuka mulut. Pengaruh kenangan yang
baru saja mereka alami, sekarang agak
mengganggu.
Namun tiba-tiba mereka kaget
mendengar aum harimau. Bagi Surya
Lelana aum itu tidak ada artinya.
Tetapi bagi Sritanjung tahu belaka
apabila harimau itu kesakitan.
Celaka! Harimauku diganggu orang!
Serunya tertahan.
Tubuhnya sudah melesat menuju
arah aum harimau. Surya Lelana kaget
dan gugup dan cepat melompat untuk
memburu.
Dugaan Dewi Sritanjung memang
tepat. Auman nyaring tadi merupakan
jerit kesakitan.
4
Tadi setelah Klentreng dan
Senggung diusir Sritanjung, dua ekor
harimau tua ini menuju pondok. Namun
binatang tetap binatang. Kendati
jinak, tetap selewengan mencari
mangsa. Setelah perut kenyang dua ekor
harimau ini menuju sungai untuk
mencari minum.
Di saat menuju sungai ini dua
ekor harimau itu kaget melihat
berlabuhnya perahu ke tepi. Dari
perahu itu kemudian berlompatlah
sepuluh orang laki-laki.
Sekalipun binatang Klentreng dan
Senggung merupakan binatang yang
terlatih. Dua ekor harimau ini bisa
menduga orang-orang itu bukan orang
baik. Maka dari tempat bersembunyi dua
ekor harimau ini mengaum lalu
menerjang dengan cakaran dan gigitan
taring tajam.
Sepuluh orang itu memang tidak
menduga akan diserang harimau. Maka
tidak mengherankan sekali terjang, dua
orang sudah roboh kesakitan dan
menderita luka parah.
Delapan orang yang lain menjadi
marah. Mereka cepat mencabut senjata
dan mengeroyok.
Jahanam harimau liar! teriak
salah seorang. Kau sudah membunuh dua
orang kawanku. Untuk membalaskan sakit
hati, jantung dan hatimu akan aku
makan mentah-mentah.
Klentreng dan Senggung masing-
masing menghadapi empat orang. Dengan
garang sambil menggeram dua ekor
harimau itu mengamuk hebat sekali.
Berkat latihan Kiageng Tunjung Biru
dua ekor harimau ini dapat berkelahi
tangkas. Sambaran senjata dapat
dihindari, sedangkan balasannya amat
berbahaya.
Sebaliknya orang-orang itu bukan
orang lemah. Maka walaupun sudah
mendapat pelajaran berkelahi, dua ekor
harimau itu sulit dapat merobohkan
lawan. Kalau tadi sekali sergap dua
orang roboh, adalah karena tidak
pernah menduga.
Dua ekor harimau ini mengamuk
hebat sekali. Tetapi delapan orang
yang mengeroyok itupun cukup hati-
hati. Dan lebih-lebih sesudah melihat
dan merasakan, harimau ini berbeda
dengan harimau lain dan luar biasa.
Banyak kali serangan mereka dapat
dihindari secara aneh.
Setelah berkelahi dan mengeroyok
cukup lama belum juga berhasil, maka
salah seorang dari mereka, yang
bertubuh tinggi besar sudah berteriak.
Hai harimau siluman! Rasakan
pisau terbangku ini!
Enam buah sinar putih melesat dan
menyebar ke arah Senggung. Sambaran
itu kuat sekali dan dilepaskan dari
jarak dekat. Tentu saja sulit bagi
Senggung untuk menghindarkan diri. Dan
jangan lagi seekor harimau seperti
Senggung, manusia sekalipun kalau ilmu
kepandaiannya belum tinggi kiranya
takkan mudah dapat menyelamatkan diri.
Senggung mengaum keras sekali
karena kesakitan. Dua batang pisau
telah menancap dalam perut dan leher,
dan seketika itu juga roboh.
Saking gembiranya salah seorang
dari mereka melompat maju seraya
mengangkat golok untuk memenggal
leher. Tetapi orang ini terlalu
sembrono dan kurang perhitungan,
harimau itu belum mati. Harimau itu
masih dalam kesakitan hebat, kebuasan
dan kekuatannya bertambah. Maka
sebelum golok berhasil memancung
leher, orang itu malah kena terkam.
Dua puluh kuku tajam menancap di
tubuhnya. Orang itu roboh menjerit
ngeri satu kali. Selanjutnya orang itu
sudah mati karena kepalanya masuk ke
dalam mulut harimau.
Tiga orang kawannya kaget dan
menerjang maju untuk menolong. Hujan
bacokan dan tikaman melubangi sekujur
tubuh Senggung. Tetapi walaupun
Senggung mati, orang itu juga mati.
Melihat si jantan mati, Klentreng
mengaum keras sekali. Tanpa
mempedulikan keselamatannya sendiri,
Klentreng sudah mengamuk hebat, guna
membalaskan sakit hati si jantan yang
dicintainya. Tetapi justru dalam
keadaan marah ini, Klentreng
kehilangan perhitungan dan menyerang
secara nekad. Hingga mempercepat
kekalahannya menghadapi keroyokan
tujuh orang. Sebagai akibatnya
Klentreng pun mati dengan tubuh
hancur.
Di saat Klentreng roboh ini
tibalah Sritanjung. Gadis ini marah
bukan main melihat dua ekor harimau
yang disayang itu tidak bernyawa lagi
dengan tubuh mandi darah. Maka sambil
melengking nyaring Sritanjung sudah
menerjang dengan pedangnya.
Tring cring.... tring.... trang
...
Sritanjung terhuyung, pedangnya
tergetar dan telapak tangannya panas,
ketika pedangnya ditangkis beberapa
senjata lawan. Tetapi sebaliknya tiga
di antara tujuh orang itu terbelalak
pucat, ketika mengamati senjatanya
tinggal separo.
Dengan mata berapi saking marah,
gadis ini sudah menghardik, Siapakah
di antara kamu yang sudah membunuh
harimauku?
Laki-laki tinggi besar yang
menjadi pemimpin itu maju sambil
memandang Sritanjung dengan mata
terbelalak. Kemudian dari mulutnya
terdengar suara gagap, Kau... kau di
sini...?
Sritanjung memandang orang itu.
Hardiknya, Siapakah kau? Dan apakah
kau sudah kenal aku?
Ahh.... ohhh... engkau mirip
sekali. Tetapi kau masih terlalu
muda....
Ucapan orang ini membingungkan
Sritanjung. Lalu gadis ini membentak,
Aku mirip siapa? Lekas katakanlah,
jika tidak pedangku ini takkan mau
memberi ampun lagi.
Laki-laki tinggi besar itu
terkekeh. Sahutnya, Uah.... galaknya.
Ibarat bunga.... kau ini bunga melati.
Mungil, tetapi menarik hati. Hemm....
katakanlah sekarang, apakah hubunganmu
dengan Anwari?
Siapakah Anwari ?
Calon isteriku yang lari. Kau....
ohh.... kau mirip sekali dengan dia.
Tidaklah mengherankan apabila
laki-laki ini berhadapan dengan
Sritanjung lalu menyebut nama Anwari.
Sebab orang ini adalah Joyo Brewu yang
dahulu melarikan diri ketakutan kepada
Bupati Saradan dan Mpu Nala. Ketika
itu Joyo Brewu yang sudah menawan Dewi
Anwari, ibu Dewi Sritanjung ini,
melarikan diri bersama Kresno dan
Lontang, lewat jalan rahasia yang
sudah dipersiapkan.
Belasan tahun lalu Joyo Brewu
memang kaya raya dan terkenal mata
keranjang. Apabila sudah menginginkan
perempuan, ia takkan berhenti berusaha
baik dengan jalan halus maupun kasar.
Itulah sebabnya waktu itu Dewi Anwari
dia lawan, dan dengan paksa akan
diperisteri. Untuk kemudian peristiwa
ini diketahui oleh Mpu Nala yang
kedudukannya sebagai pejabat tinggi
Majapahit. Dan berkat pertolongan ini,
kemudian Dewi Anwari kawin dengan Mpu
Nala.
Sepasang pengantin itu hidup
bahagia, dan Nala sudah merencanakan
memboyong ke kota Majapahit. Tetapi
celakanya ketika itu Ibu angkatnya,
Nyai Joyokretiko lancang mulut,
menceritakan keadaan Dewi Anwati yang
sebenarnya, ialah puteri Kuti yang
memberontak.
Mpu Nala kaget. Dirinya adalah
seorang pejabat tinggi Majapahit. Maka
apabila ia mengawini anak pemberontak
Kuti, hal ini berarti bisa
membahayakan kedudukannya. Sebagai
akibatnya Mpu Nala lalu meninggalkan
Dewi Anwari diam-diam.
Waktu itu Dewi Anwari sudah hamil
hampir tujuh bulan. Ia menjadi sedih
sekali setelah Mpu Nala pergi hanya
meninggalkan secarik surat Saking
sedih dan menyesal perempuan ini
hampir bunuh diri. Tetapi sekalipun
urung bunuh diri, Dewi Anwari merasa
selalu dirundung sedih. Akibatnya
ketika melahirkan anaknya, ibu ini
meninggal.
Nyai Joyokretiko yang merasa
bersalah membocorkan asal-usul Dewi
Anwari terpukul batinnya dan gila.
Maka kemudian sebagai hasil musyawarah
penduduk setempat, orok merah itu
kemudian dihanyutkan ke sungai Widas,
dan akhirnya ditemu dan diselamatkan
oleh Kiageng Tunjung Biru.
Itulah yang pernah terjadi
belasan tahun lalu.
Untuk menghindarkan dari bahaya,
kemudian Joyo Brewu dan pembantunya
melarikan diri ke Sadeng. Secara
kebetulan di Sadeng sedang terjadi
pergolakan dan Bupati Sadeng
memberontak. Maka Joyo Brewu diterima
dan membantu memberontak.
Akan tetapi kemudian ternyata
cita-cita Bupati Sadeng ini
berantakan, ketika pasukan Majapahit
di bawah pimpinan Mpu Mada dan
Adityawarman menyerbu. Pasukan Sadeng
terpukul kocar-kacir dan bupatinya
tewas dalam perang. Kemudian sisanya
melarikan diri.
Joyo Brewu juga mencari tempat
persembunyian. Selama ini mereka
selalu berpindah tempat dan sebagai
penopang hidup melakukan perampokan.
Namun merampok ini makin lama menjadi
sulit karena perlawanan penduduk dan
bantuan pasukan keamanan. Oleh karena
itu ia tadi menepi dengan maksud
mendarat.
Tidak terduga sama sekali, usaha
pendaratannya ini harus mengorbankan
tiga orang anak buahnya. Peristiwa ini
membuat ia amat menyesal. Namun
sekarang setelah berhadapan dengan
gadis jelita yang mirip dengan Anwari,
rasa sesal itu lenyap dan
kejantanannya malah bangkit kembali.
Menurut pikirannya, inilah kesempatan
bagus. Gadis ini sekarang hanya
seorang diri.
Joyo Brewu menyeringai seperti
iblis kelaparan. Sebagai laki-laki
buaya sejak masih muda, ia menjadi
lupa daratan.
Engkau memang mirip dengan
Anwari, istriku yang melarikan diri,
katanya. Heh heh heh heh, kau mirip
dengan dia dan sekarang kau harus
menggantikan Anwari. Kau.... kau harus
menjadi istriku!
Keparat! Setan alas! teriak
Sritanjung yang tersinggung. Monyet
tua macam kau, berani membuka mulut
sembarangan di depanku? Huh, apakah
kau sudah bosan hidup?
Heh heh heh heh, Joyo Brewu
mengejek. Kau perempuan, apakah yang
kau andalkan berani menantang aku?
Manis, engkau jangan keras kepala. Heh
heh heh heh, sekalipun sudah berumur,
aku akan bisa membahagiakan engkau....
heiiiiit.....
Joyo Brewu yang belum selesai
bicara ini terpaksa melompat
menghindarkan diri seraya berteriak
kaget, ketika seleret sinar biru
menyambar dada. Ia mengebutkan tangan
kanan untuk menghalau pedang,
sedangkan tangan kiri menyambar cepat
guna mencengkeram pergelangan tangan
lawan. Tetapi Joyo Brewu kemudian
berteriak kaget sambil melompat
mundur. Sebab tahu-tahu pedang gadis
itu telah membalik dan hampir menabas
tangan kirinya.
Walaupun dirinya seorang yang
luas pengalaman, ia merasa kaget
sekali menghadapi ilmu pedang gadis
ini. Dalam satu gebrakan saja dirinya
sudah hampir celaka.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar
bentakan lantang, Bangsat tua! Engkau
berani mengacau tempat ini?
Bentakan itu kemudian disusul
berkelebatnya Surya Lelana. Dua orang
anak buah Joyo Brewu dengan golok
menyambut berbareng. Tetapi Surya
Lelana hanya tersenyum, tidak
menghindarkan diri dan dengan
menggunakan jari tangan menyentil
golok dengan tangan kanan sekaligus
melancarkan pukulan dengan tangan
kiri.
Tring cring plak bukk....
Aduhh...!
Dua batang golok itu terpental
oleh sentilan Surya Lelana. Kemudian
dua penyerang itu memekik nyaring dan
roboh dengan kepala pecah. Empat orang
yang lain terbelalak dan tidak
sembarangan berani maju.
Surya Lelana dengan mata berapi-
api berteriak kepada Dewi Sritanjung,
Tanjung! Berikan monyet tua itu
kepadaku!
Enak saja kau bicara! sahut gadis
ini sambil menggerakkan pedangnya.
Gerakan pedang itu menggetar
sehingga pedang yang semula menyerang
dada, kemudian mengancam pundak kanan
dan leher Joyo Brewu. Serangan ini
benar-benar mengejutkan Joyo Brewu dan
terpaksa harus menghindarkan diri de-
ngan gugup.
Sambil terus menyerang,
Sritanjung berkata lagi, Surya! Aku
masih sanggup menghajar monyet busuk
ini!
Surya Lelana tidak menjawab. Ia
sudah berhadapan dengan empat orang
yang mengeroyok dan tidak berani
sembrono lagi. Ia cepat mencabut
pedang dan mengamuk. Pedangnya
bergulung-gulung menyambar ke sana ke
mari. Namun berkat kerjasama empat
orang itu, mereka dapat mengeroyok
rapi sekali.
Joyo Brewu yang hampir celaka
menjadi marah. Ia memang laki-laki
yang tak pemah mau melepaskan
perempuan cantik, lebih-lebih gadis
muda dan cantik seperti Sritanjung
ini. Namun demikian ia seorang kasar,
berangasan dan kejam. Kalau sudah
marah ia tidak peduli apapun lagi, dan
bagi dirinya yang lebih penting adalah
mempertahankan nyawa dari maut. Maka
setelah merasa tak mampu melawan
dengan tangan kosong, ia mencabut
senjatanya sebatang tongkat baja.
Tongkat itu memang aneh. Bisa
berubah menjadi panjang dan pendek
menurut kegunaan. Disamping itu bagian
dalam tongkat itupun berlubang.
Apabila alat rahasia ditekan akan
segera menyambarlah puluhan batang
jarum yang berbahaya karena beracun.
Trang....! Joyo Brewu kaget
ketika tongkatnya terpotong sedikit
berbenturan dengan pedang lawan. Ia
menjadi sadar pedang lawan merupakan
pedang pusaka. Maka ia membentak
marah, huh, bocah celaka. Engkau
berani merusak senjataku? Mampuslah!
Joyo Brewu menyodok ke arah dada,
tetapi untung sekali Sritanjung dapat
bergerak seperti burung walet. Ia
menghindar sambil menyabetkan
pedangnya, namun ahh gadis ini
tertipu.
Trang....! Dewi Sritanjung kaget
dan wajahnya pucat. Sabetan tongkat
hampir saja menyebabkan pedangnya
lepas dan telapak tangannya panas
seperti terbakar. Baru sadarlah gadis
ini, gerakan menyodok tadi hanya
tipuan belaka. Dewi Sritanjung seorang
gadis yang belum berpengalaman. Karena
belum berpengalaman ia tadi cepat
berbesar hati, ketika pedangnya
berhasil membabat ujung senjata lawan.
Rasa besar hati ini merupakan musuh
utama bagi orang berkelahi. Lalu
timbul rasa merendahkan lawan dan
akibatnya merugikan diri sendiri.
Sritanjung amat marah dan segera
mengerahkan kepandaian dengan maksud
dapat merobohkan lawan. Tetapi
sekarang Joyo Brewu amat ber-hati-hati
hingga sulit untuk menabas senjata la-
wan. Joyo Brewu sudah membalas
menyerang baik dari jarak dekat maupun
jauh. Memang senjatanya memungkinkan
untuk dapat menyerang dari segala
jarak. Karena secara otomatis senjata
itu bisa pendek maupun panjang.
Dan karena melihat sekalipun
gerakannya gesit dan dilindungi pedang
pusaka, tetapi gerakannya masih agak
canggung dan hijau, Joyo Brewu masih
sempat ketawa dan mengejek. Hatinya
gembira dan merasa pasti akan dapat
menangkap gadis cantik ini. Sebagai
laki-laki yang suka berburu perempuan,
dalam benaknya sudah terbayang
nafsunya yang kotor. Maka kalau semula
sudah marah dan akan membunuh lawan,
sekarang berubah lagi. Ia berusaha
agar dapat menangkap dan menawan
hidup-hidup gadis ini.
Gagasan Joyo Brewu yang
menyeleweng ini justru menolong Dewi
Sritanjung. Sebab serangan balasan
yang dilancarkan Joyo Brewu sekarang
berubah mengarah bagian tubuh yang
tidak berbahaya.
Di pihak lain Surya Lelana yang
dikeroyok empat orang berkelahi dengan
gelisah, mengkhawatirkan keselamatan
Sritanjung.
Mengingat bahaya yang sewaktu-
waktu bisa menimpa Dewi Sritanjung ini
ia mengerahkan seluruh kepandaiannya
untuk secepatnya mengalahkan lawan.
Oleh gerakan cepat pedangnya, menyusul
salah seorang pengeroyoknya menjerit
ngeri dan dadanya berlubang.
Makin berkurangnya jumlah yang
mengeroyok, pemuda ini semakin garang.
Empat orang pengeroyoknya ini yang dua
orang sudah terluka darah mengucur
dari luka, menyebabkan gerakannya
kurang gesit. Tak lama kemudian
terdengar jeritan ngeri, seorang lawan
terkutung lengannya oleh sabetan
pedang Surya Lelana.
Akan tetapi justru penderitaan
anak-buahnya itu kemudian
membangkitkan kemarahan Joyo Brewu.
Tiba-tiba saja tangan kiri bergerak
dan menyambarlah beberapa batang pisau
kecil.
Sritanjung kaget dan berteriak,
Surya....
Sambil berteriak gadis ini sudah
kembali menerjang dengan pedangnya ke
arah dada. Namun dengan terkekeh
mengejek Joyo Brewu berhasil
menghindar ke samping dan berbareng
menyabetkan tongkat ke arah tangan.
Disusul gerak tongkat yang diteruskan
untuk menyerampang kaki.
Sesungguhnya sekalipun tanpa
diperingatkan, Surya Lelana sudah tahu
serangan pisau itu. Karena itu pedang
diputar cepat untuk melindungi tubuh.
Tring... tring... tring pisau yang
dilemparkan Joyo Brewu runtuh di
tanah.
Karena takut sisa anak buah Joyo
Brewu melarikan diri. Pemuda ini tak
mau memberi kesempatan. Orang yang
terluka pahanya, lari terpincang-
pincang dan gerakannya lambat. Dalam
waktu singkat punggungnya telah
berlubang oleh tikaman pedang.
Melihat anak buahnya berantakan
Joyo Brewu tambah marah. Dengan
menggunakan kesempatan baik di saat
Sritanjung menghindari serangannya, ia
melompat jauh. Secepat kilat ia
menekan alat rahasia pada tongkatnya
dan menyusul sinar berkeredep keluar
dari lubang tongkat, menyambar Surya
Lelana.
Sritanjung kaget berbareng marah.
Ia menerjang maju dan nekad menyerang
Joyo Brewu sambil berteriak nyaring.
Surya! Awas belakang....!
Joyo Brewu terkekeh mengejek.
Serangan jarum beracun seperti ini
selama hidup belum pernah gagal.
Karena itu ia sudah memastikan pemuda
itu akan segera roboh dan tanpa
kesulitan lagi dirinya akan bisa
menangkap gadis cantik yang galak ini.
Hatinya tidak menyesal sekalipun harus
mengorbankan anak buahnya, karena
dirinya akan mendapat ganti seorang
gadis muda yang mirip dengan Anwari.
Akan tetapi agaknya Dewata belum
menghendaki Surya Lelana mati muda.
Pada saat berbahaya itu berkelebatlah
bayangan yang bergerak seperti kilat,
menyusul angin dahsyat menyambar ke
arah puluhan jarum beracun itu hingga
runtuh ke tanah.
Ahhh.... Kakek...!
Uwa Guru....!
Hampir berbareng Sritanjung dan
Surya Lelana berteriak, melihat
munculnya Kiageng Tunjung biru. Dan
tentu saja munculnya kakek ini disaat
berbahaya, amat menggembirakan dua
orang muda itu.
Joyo Brewu menjadi gentar dan
kaget melihat munculnya seorang kakek,
tetapi tubuhnya masih gagah dan kuat.
Kalau dua orang muda itu saja cukup
tangguh, apalagi kakek itu, tentu
sulit dilawan. Maka secepat kilat ia
sudah melarikan diri.
Surya Lelana dan Sritanjung tak
mau melepaskan begitu saja, dan cepat
mengejar. Tetapi mendadak dua orang
muda ini kaget ketika Kiageng Tunjung
Biru sudah menghadang sambil men-egah.
Jangan! Biarkan dia pergi!
Kakek! protes Sritanjung. Mengapa
orang jahat itu Kakek biarkan pergi ?
Mereka datang dan mengacau, malah
mereka sudah membunuh Klentreng dan
Senggung....
Hemm.... orang itu mempunyai
senjata yang amat berbahaya. Kiageng
Tunjung Biru memberikan alasannya.
Kamu tak gampang mengalahkan dan
salah-salah malah celaka.
Tetapi toh ada Kakek. Kakek tentu
dapat mengatasi dia!
Heh heh heh heh. Kalau mengingat
bahayanya orang itu dibiarkan hidup
terus, memang pantas aku turun tangan.
Tetapi orang itu sudah melarikan diri
dan tidak berani melawan aku. Betapa
dunia ini akan menertawakan aku
sebagai seorang tua yang tak tahu diri
nekad menghajar orang yang sudah tidak
berani melawan.
Sritanjung mengerutkan alis lalu
bersungut-sungut. Katanya, Kek, engkau
ini bagaimana? Jelas dia tadi mau
membunuh Surya Lelana secara curang.
Dan dia juga sudah membunuh Klentreng
dan Senggung, malah juga bermaksud
menangkap aku. Tetapi mengapa Kakek
biarkan dia lari?
Kiageng Tunjung Biru mengerti
perasaan muridnya yang penasaran ini.
Dan ia sadar juga, jalan pikiran
Sritanjung bahwa orang yang sudah
membuat kerugian harus dibalas dan
kalau perlu dibunuh. Namun kakek ini
jelas tidak mau dipengaruhi oleh nafsu
seperti itu.
Karena yang bunuh membunuh
akhirnya akan menimbulkan balas dendam
yang takkan ada habisnya.
Ketika dirinya masih muda
dirinyapun mempunyai pendirian dan
pendapat seperti Sritanjung ini.
Dengan dalih orang jahat dan banyak
melakukan kejahatan dan pembunuhan.
Namun setelah dirinya menjadi tua dan
pikun, hal tersebut tinggal dalam
penyesalan.
Sesudah menghela napas kakek ini
menjawab halus. Mereka telah membunuh
Klentreng dan Senggung, itu tak bisa
dipungkiri. Namun sebaliknya kamu
telah membunuh tujuh manusia. Nah, dua
ekor binatang sudah diganti dengan
tujuh nyawa manusia. Apakah kamu belum
juga puas?
Sritanjung membantah, Tetapi
bukan aku yang membunuh mereka.
Tanjung, engkau atau orang lain
bukanlah soal. Surya telah membunuh
tujuh orang, tidak lain karena membela
dan membantu kerepotanmu, berarti
Surya berdiri di pihakmu. Dengan
demikian pihakmu telah berhasil
membalaskan kematian Klentreng maupun
Senggung.
Dewi Sritanjung membantingkan
kakinya ke tanah saking penasaran.
Tetapi Joyo Brewu dan anak buahnya
sudah mendayung perahu dan sudah jauh.
Dengan demikian Sritanjung sudah tak
dapat berbuat apa-apa lagi.
Tiba-tiba Sritanjung menjerit
nyaring lalu lari ke arah Klentreng
dan yang sudah tidak bergerak. Ia
menubruk, memeluk sambil menangis.
Gadis ini menangis sejadi-jadinya,
menyebabkan Kiageng Tunjung Biru dan
Surya Lelana terharu.
Kiageng Tunjung Biru menatap
Surya Lelana kemudian katanya halus,
Surya, biarkan dia menangis sampai
puas dan jangan kauganggu. Sekarang
aku minta tolong kepadamu, buatlah
lubang kubur untuk tujuh orang ini.
Sedang aku juga akan membuat lubang
kubur untuk Klentreng dan Senggung.
Surya Lelana menyanggupkan diri
sambil membungkuk memberi hormat.
Kemudian pemuda ini sudah bekerja
membuat lubang kubur dengan pedangnya.
Kiageng Tunjung Biru masih
berdiri dan diam-diam amat terharu
melihat adegan dan tangis muridnya
ini. Bagaimanapun antara Klentreng
dengan Sritanjung mempunyai pertalian
batin yang amat kuat. Dan kendati
Klentreng hanya seekor harimau dan
Sritanjung manusia, tetapi mereka itu
tidak bedanya ibu dengan anak. Berkat
air susu Klentreng maka Sritanjung
bisa hidup terus dan tumbuh menjadi
gadis cantik.
Sekarang kalau Sritanjung
menangis sambil memeluk bangkai
harimau ini, kiranya sudah wajar. Ia
percaya dalam tubuh Sritanjung
terdapat getaran gaib yang tak dapat
dilihat oleh mata manusia secara
lahir. Menyadari hal tersebut, Kiageng
Tunjung Biru tak mau mengganggu.
Kemudian kakek ini menghela napas
pendek. Diam-diam ia berterima kasih
kepada Dewata, bahwa dirinya datang
tepat pada saat Surya Lelana dan
Sritanjung dalam bahaya. Sedikit
terlambat saja tentu Surya Lelana
sudah mati terbunuh dan Sritanjung
diculik orang.
Kenyataannya memang kakek ini
menyadari, kedatangannya di tempat ini
seperti dibimbing oleh tangan gaib,
hingga tepat pada saat yang amat
genting, ia dapat memberi pertolongan.
Maka setelah menghela napas pendek, ia
melangkah perlahan. Ia mematahkan
sebatang dahan pohon sebesar lengan
manusia dewasa. Kemudian menggunakan
kayu ini ia mulai menggali lubang.
Apa yang kemudian terjadi sungguh
mengagumkan. Surya Lelana yang sibuk
pula menggali lubang berhenti menggali
dan teraganga keheranan melihat apa
yang tengah dilakukan kakek itu.
Sekalipun hanya menggunakan kayu,
ternyata setiap tusukan tidak kalah
dengan sepuluh kali tusukan pedang
yang ia lakukan. Tanah itu dengan
cepat sudah tergali cukup dalam.
Melihat itu Surya Lelana tidak
berani bermalas-malas. Ia pun
mengerahkan tenaga agar lubang kubur
yang dibuat cepat selesai.
Akhirnya selesai pula lubang
kubur yang dibuat Surya Lelana.
Ketika ia berhenti ternyata
Kiageng Tunjung Biru sudah lebih
dahulu selesai.
Tak lama kemudian Sritanjung
sudah puas menangis. Ia tampak
menyesali sekali karena Klentreng dan
Senggung mati.
Kiageng Tunjung Biru memandang
Surya Lelana. Ia kemudian berkata
halus, Surya, sesuatu yang hidup di
dunia ini tentu akan mati. Karena itu
kematian tidak dapat dihindari
siapapun, karena merupakan kodrat
alam. Yang lama tumbang, yang tua mati
dan yang baru muncul dan yang muda
tumbuh. Jadi, kematian atau pungkasan
(akhir) hidup itu merupakan permulaan
bagi yang baru. Sebab di dunia ini
tidak ada yang abadi dan yang abadi
hanya yang di sana, sesudah manusia
atau yang disebut hidup ini mati.
Kakek itu berhenti sejenak,
sesudah menghela napas pendek,
terusnya, Surya, kalau demikian halnya
yang sudah tentu terjadi di dunia ini,
mengapa sesuatu yang sudah berakhir
atau sampai pada pungkasannya harus
disesalkan? Jika terjadi demikian
jelas kau keliru.
Kiageng Tunjung Biru berhenti
lagi dan menghela napas pendek. Orang
tua itu menggunakan sudut matanya
mengerling ke arah Sritanjung, karena
sesungguhnya ucapannya memang
diiujukan kepada gadis ini.
Surya Lelana berdiam diri dan
menundukkan kepalanya.
Sesudah mengangguk-angguk kakek
ini meneruskan, Surya, di dunia ini
berlaku yang serba berlawanan. Ada
suka dan ada duka. Ada gelap dan ada
terang. Karena itu ada kehidupan juga
ada kematian. Jadi, semua itu wajar.
Semua itu sudah semestinya, sesuai
dengan kodrat alam. Nah, jika engkau
sudah mengetahui hai ini, akan menjadi
tebal keyakinanmu bahwa semua ini
sudah ada yang mengatur, ialah Yang
Maha Tinggi. Ya, sudah diatur oleh
Dewata Agung. Jika semua ini sudah ada
yang mengatur, maka engkau akan sadar
bahwa apa yang terjadi atas dirimu tak
mungkin dapat kauhindari. Malah
kematian pun tak juga dapat kau tolak.
Oleh karena itu engkau harus mau
menerima hidup ini secara wajar. Apa
adanya!
Wajar dan apa adanya berarti
engkau tidak mengadakan perbandingan
dan penilaian. Maka apabila kau sudah
dapat menerima hidup ini secara wajar,
engkau akan memperoleh ketenangan
batin yang sebenarnya, tanpa kau buat-
buat! Laksana air telaga yang amat
dalam.
Kakek ini berhenti sejenak
mencari kesan, baru kemudian
meneruskan, Ya, laksana air telaga
yang amat dalam. Walaupun orang
mengganggu dengan memasukkan sesuatu
benda ke dalam telaga, guncangannya
hanya terjadi sesaat dan dipermukaan
saja. Ada contoh lain, pohon nyiur. Ia
selalu teguh baik di waktu banyak air
maupun di saat kemarau, akan tetap
hidup tanpa perubahan, namun selalu
berbunga dan berbuah.
Surya Lelana mengangguk-angguk
dan amat memperhatikan. Pemuda ini
sadar petunjuk ini benar-benar
berharga.
Sritanjung yang masih duduk
terisak mendengar pula apa yang
diucapkan gurunya. Ibarat sebuah
wadah, Sritanjung ini merupakan wadah
yang masih kosong. Ia merupakan gadis
yang belum berpengalaman oleh
pergaulan yang gampang mempengaruhi
jiwa muda dan bisa menyesatkan. Karena
itu begitu mendengar nasihat kakek
ini, ia cepat menjadi sadar. Tak ada
gunanya menangis, kecewa dan menyesal
oleh matinya dua ekor harimau itu.
Ahh, Kakek benar. Yang hidup akan
mati. Klentreng dan Senggung sudah
mati, mengapa harus disesalkan? Mari,
segera kita kuburkan, Surya. Tetapi
manusia jahat itu biarkan saja geletak
menjadi makanan burung gagak.
Mendengar ucapan gadis ini kakek
itu cepat menanggapi, Apapun yang
sudah mati adalah mati. Yang mati itu
suci, dan tidak dapat disangkut-
pautkan dengan hidup. Apapun yang
pernah dilakukan ketika masih hidup
tiada hubungannya sesudah mati. Karena
itu lebih baik kita kubur saja.
Pada mulanya Sritanjung cemberut
mendengar ucapan kakeknya ini. Namun
setelah dipikir dan dirasakan, ia tak
dapat membantah lagi benarnya pendapat
kakek itu. Sebagai gadis yang polos ia
segera pula mengakui.
Ahh, kakek benar lagi, katanya.
Mari, sekarang kita kuburkan semuanya.
Akan tetapi meskipun begitu kelak akan
datang saatnya aku melakukan
pembalasan.
Balas membalas, dendam mendendam
dan benci membenci, merupakan pangkal
dari segala keributan dan tiada
kerukunan manusia di dunia ini, ujar
Kiageng Tunjung Biru halus. Sebaliknya
sebagai akibatnya, manusia ini akan
kejam melebihi binatang buas antara
manusia sendiri. Tanjung, pikiran
semacam itu akan menyebabkan orang
menjadi mabuk, lupa bahwa di atas
manusia ini masih ada Yang Maha
Tinggi. Lupa bahwa apa yang terjadi
sudah menjadi kehendakNya yang tak
terbantahkan oleh manusia lagi. Akan
tetapi secara wajar, justru akan
merasakan sudah merupakan kehendak
Dewata Agung.
Kek, apakah sebabnya kau bilang
begitu? Orang jahat itu sudah membunuh
Klentreng dan Senggung. Mengapa harus
kita biarkan saja tanpa pembalasan?
Tanjung, apakah sangkamu
Klentreng dan Senggung bisa mati
apabila tidak dikehendaki Yang Maha
Tinggi? Apapun yang dilakukan manusia
di dunia ini, kalau belum dikehendaki
oleh Dewata Agung semuanya akan gagal.
Orang yang akan dibalas bisa
menghindarkan diri dan akan hidup
terus. Tetapi sebaliknya, tanpa
dibalaspun kalau sudah kehendak Dewata
Agung, tentu akan mati juga. Mungkin
karena takdir dan mungkin dibunuh
orang lain. Tanjung, yang sudah mati
biarlah mati dan hadapilah tanpa
penilaian dan perbandingan. Hadapilah
secara wajar dan apa adanya. Dan
jangan beranggapan bahwa Klentreng dan
Senggung ini mati karena dibunuh
orang.
Kalau demikian Kakek menjadi
pengecut dan akibatnya kita akan
selalu dihina orang! bantah Sritanjung
sambil bertolak pinggang. Hemm, aku
tidak sudi menjadi pengecut dan dihina
orang.
Heh heh heh heh, Kiageng Tunjung
Biru terkekeh. Tanjung, ternyata kau
mencampur adukkan persoalan yang tidak
ada hubungannya. Dengar baik-baik,
Cucuku, bebas dari rasa benci, bebas
dari mendendam dan balas-membalas,
adalah kebesaran hati karena semua itu
tidak baik. Jadi, bukan pengecut dan
bukan pula mau dihina orang lain.
Kakek ini berhenti dan memandang
cucunya penuh kasih. Katanya lebih
lanjut, Akan tetapi sebaliknya,
apabila orang mau menyadari dan
menghayati dengan wajar, takkan ada
lagi apa yang engkau maksudkan itu.
Hemm, apakah yang disebut pengecut dan
apa pula yang disebut hina itu?
Bukankah semua hanyalah anggapan
belaka? Nah, kalau hanya anggapan dari
orang berarti bukanlah ketentuan yang
harus dianut.
Nah, kalau memang tidak merasa
sebagai pengecut, mengapa pula merasa
terhina? lanjut kakek itu. Sebaliknya
pula mengapa engkau menjadi gembira,
bangga dan senang mendengar orang
memuji dan menghormatimu? Inilah
bahayanya manusia yang gampang
diombang-ambingkan perasaan. Oleh
pikiran! Akan tetapi sebaliknya kalau
menghadapi dengan pikiranmu yang
kosong, secara wajar, apa adanya,
engkau takkan merasakan semua itu.
Karena semua yang terjadi di dunia ini
sumbernya bukan lain oleh permainan
pikiran manusia sendiri.
Surya Lelana yang umurnya lebih
tua dan luas pengalaman lebih gampang
menangkap apa yang dimaksud kakek ini.
Sebaliknya Sritanjung yang belum dapat
menangkap maksud gurunya masih belum
puas. Namun karena cuaca sudah hampir
gelap, ia tidak mau banyak mulut lagi.
Dengan tangkas bangkai Klentreng dan
Senggung dipondong ke liang kubur.
Surya Lelana segera pula merawat
orang-orang yang sudah mati oleh
tangannya maupun oleh harimau. Tidak
lama kemudian semuanya sudah terkubur.
5
Keesokan paginya jadilah Surya
Lelana meninggalkan hutan ini kembali
ke Ibukota Majapahit. Sritanjung
mengantar sampai tepi sungai. Untuk
beberapa saat lamanya mereka saling
pandang. Dua orang muda ini merasa
berat untuk berpisah kendati baru
berkenalan beberapa hari.
Tanjung, entah mengapa sebabnya
rasanya amat berat hatiku untuk
berpisah dengan engkau, ujar pemuda
itu sambil memegang lengan Sritanjung.
Kapan kau pergi ke Ibukota Majapahit?
Entahlah, sahut Sritanjung sambil
menggeleng. Tetapi yang jelas akan
datang saatnya aku pergi ke sana.
Hemm, Surya... engkau tidak tahu bahwa
akupun... berat sekali rasanya
berpisah dengan engkau....
Jawaban Sritanjung ini merupakan
pencerminan hati. Jawaban yang jujur.
Ia berat berpisah karena merasa cocok
memperoleh kawan sama-sama muda.
Sekarang begitu Surya Lelana pergi ia
merasa kehilangan. Ia tidak mempunyai
kawan lagi kecuaii harimau yang
tinggal dua ekor saja. Manusia satu-
satunya hanya kakeknya, akan tetapi
kakek itu lebih banyak tenggelam dalam
dunianya sendiri, sehingga apabila
tidak saatnya memberi pelajaran dan
melatih ia tidak memperoleh perhatian
sama sekali.
Akan tetapi ucapan Sritanjung ini
diartikan secara salah oleh Surya
Lelana. Pemuda yang sudah cukup dewasa
ini menganggap bahwa Sritanjung
mengucapkan kata-kata ini sebagai
pernyataan yang tertarik dan jatuh
cinta.
Karena menduga salah Surya Lelana
menjadi gembira. Lalu teringatlah
pengalamannya kemarin ketika berciuman
akibat pengaruh racun ular. Sekarang
sebelum berpisah timbul keinginannya
untuk mencium gadis ayu ini. Karena
menurut pendapatnya apakah salahnya,
kalau gadis ini memang suka kepada
dirinya?
Tiba-tiba saja Surya memeluk
erat. Sritanjung yang kaget meronta
dan menjerit. Tetapi jeritannya tidak
dapat keluar, karena bibirnya sudah
tersumbat oleh bibir pemuda nekad ini.
Maksud untuk merontapun menjadi gagal
karena tiba-tiba tubuhnya menjadi
gemetaran. Ada perasaan aneh yang
menyebabkan hatinya bahagia
mendapatkan ciuman ini. Sekarang
seakan tubuhnya melayang di udara dan
dibawa oleh perasaan. Dan tanpa
sesadarnya, gadis inipun menanggapi
apa yang dilakukan Surya Lelana.
Akan tetapi beberapa saat
kemudian Sritanjung, sadar akan
dirinya. Ia meronta dan lepas, lalu
tangan kanan bergerak seperti kilat
menyambar dan menampar plak plak....
Dua kali pipi Surya Lelana
ditampar Sritanjung, seperti yang
sudah terjadi kemarin. Akan tetapi
Surya Lelana tidak marah malah
tersenyum.
Pipi Sritanjung agak merah dan
malah menambah kecantikannya. Warna
merah pada pipinya ini terpengaruh
oleh rasa malu berbareng marah. Ke-
mudian sambil mendelik gadis ini
mendamprat,
Surya! Mengapa engkau berani
berbuat seperti ini kepada diriku?
Apakah engkau sengaja menghina aku?
Surya Lelana terkesiap. Melihat
sikapnya, jelas gadis ini marah, dan
kalau demikian bisa runyam. Menyadari
keadaan ini ia cepat minta maaf.
Tanjung.... ohh.... maafkan aku.
Tetapi.... aku tidak main-main. Terus
terang saja.... aku cinta padamu.....
Makin tambah merah pipi
Sritanjung mendengar pengakuan Surya
Lelana yang blak-blakan mengaku cinta
itu. Tiba-tiba saja jantungnya
berdegup lebih cepat. Untuk menutupi
perasaan ini ia membentak, Sudahlah,
jangan banyak mulut lagi. Lekaslah
engkau pergi dari tempat ini sebelum
aku marah.
Surya Lelana terbelalak kaget.
Tetapi kemudian ia menghela napas,
membungkuk dan berkata, Baiklah
Tanjung, selamat tinggal.
Tanpa menunggu jawaban Surya
Lelana sudah lari ke tepi sungai lalu
meloncat ke perahu kendaraannya. Surya
Lelana mencoba menengok ketika sudah
di tengah sungai, tetapi ah, gadis ayu
itu sudah lenyap entah ke mana.
* * *
Akan tetapi beberapa saat
kemudian Sritanjung, sadar akan
dirinya. Ia meronta dan iepas, lalu
tangan kanan bergerak seperti kilat
menyambar dan menampar plak plak......
Tanpa terasa lagi, setahun sudah
lewat. Sritanjung sekarang sudah
berumur 17 tahun dan telah menjadi
seorang dara remaja, bak bunga sedang
mekar. Tubuhnya ramping tetapi padat
berisi sedang wajahnya semakin cantik
jelita dan raut wajahnya mirip sekali
dengan ibunya, Dewi Anwari. Sayang
sekali gadis jelita ini tidak pernah
sempat merasakan kasih sayang ibunya
maupun mengenal ayahnya. Demikian pula
ayah, dan satu-satunya manusia di
dunia ini yang mencurahkan kasih
sayangnya kepada dirinya, hanyalah
Kiageng Tunjung Biru seorang, yang
menurut perasaannya adalah kakeknya
sendiri. Sedang mahluk lain dan
memberi kasih sayang kepada dirinya
adalah empat ekor harimau tutul,
tetapi yang dua ekor sekarang sudah
mati.
Malam itu amat dingin. Hujan
turun deras sekali dan guntur
menggelegar, menyambar-nyambar di
angkasa. Di luar pondok amat gelap,
demikian pula di dalam pondok amat
gelap.
Pondok Kiageng Tunjung Biru tanpa
penerangan. Sekalipun demikian setiap
kilat menyambar akan tampaklah keadaan
di dalam pondok secara sekilas.
Kiageng Tunjung Biru duduk bersila di
atas tikar beralas rumput kering,
sedang Dewi Sritanjung sendiri duduk
di depannya, dan bersila pula.
Tidak seorangpun di antara mereka
membuka mulut. Sebab di saat ini guru
dan murid ini sedang tenggelam dalam
semadinya. Adapun dua ekor harimau
tutul piaraan yang bernama Tumpak dan
Manis juga berdiam diri mendekam pada
sudut pondok. Agaknya dua ekor harimau
ini tahu majikannya sedang menghadapi
saat-saat penting, maka tidak berani
membuat keributan.
Keadaan seperti ini memang sudah
terjadi sejak dua hari lalu dimulai
ketika sesudah senja. Dengan demikian
berarti keadaan semacam ini sudah
berlangsung dua hari dua malam. Waktu
yang cukup panjang, namun guru dan
murid ini belum juga menghentikan
semadinya. Mereka berubah bagai
patung.
Memang sejak kakek ini menerima
surat dari Mpu Mada, kakek ini
menggembleng murid tunggalnya dengan
latihan-latihan berat. Dewi Sritanjung
hampir tidak mempunyai waktu lagi
untuk bermain-main dengan Tumpak dan
Manis. Latihan berat itu dimaksud agar
apa yang diharapkan Kiageng Tunjung
Biru bisa terwujud. Agar kelak
kemudian hari menjadi seorang dara
perkasa. Menjadi pembela keadilan dan
kebenaran. Latihan berat itu ternyata
dapat dilampaui oleh Sritanjung dengan
memuaskan dan membuat gurunya bangga.
Bagi orang yang tidak terlatih
betapa derita orang harus duduk
bersila tidak bergerak, tidak dalam
keadaan tidur dan perut kosong, selama
dua hari dua malam. Tetapi bagi
Sritanjung walaupun baru berumur 17
tahun tidak pernah mengeluh setiap
kali gurunya memerintahkan apa saja.
Justru ketekunannya dan sungguh-
sungguh dalam melaksanakan perintah
gurunya ini, ia memperoleh kemajuan
pesat dan amat mengagumkan.
Malam ini telah lewat dan
kemudian datanglah pagi. Namun guru
dan murid ini masih tenggelam dalam
semadinya.
Dua ekor harimau tutul bernama
Tumpak dan Manis itupun masih tetap
mendekam pada sudut pondok, tidak mau
meninggalkan pondok dan mencari
mangsa. Matanya juga terpejam, seakan
dua ekor harimau ini mengikuti yang
dilakukan oleh majikan. Meniru
bersemadi, meniru berpuasa sekalipun
tidak tahu apa maksud majikannya.
Sekalipun lambat waktu terus
bergerak dan matahari bergeser secara
tetap. Tanpa terasa matahari sudah
tenggelam di barat dan Kiageng Tunjung
Biru mendahului membuka mata. Pondok
gelap dan diluar pondok pun gelap.
Tetapi sekalipun gelap dari celah
dinding kakek ini melihat langit cerah
dan jutaan bintang menghias langit
biru, sesudah semalam turun hujan
dengan deras. Diam-diam kakek ini
kagum melihat muridnya belum bergerak.
Dan ketika memandang ke arah dua ekor
harimau itupun kakek ini manggut-
manggut dengan bibir tersenyum.
Tanjung, sudah cukup. Hentikan
semadimu! ujarnya.
Akan tetapi Dewi Sritanjung yang
ketika itu menutup, babahan hawa sanga
(sembilan lubang pada tubuhnya) dan
dalam keadaan mematikan rasa itu tidak
mendengar suara gurunya. Setelah tiga
kali kakek ini memanggil, barulah
Sritanjung sadar dari semadinya.
Apakah yang kau rasakan sekarang?
Tubuh nyaman dan panca indera
lebih tajam. Tetapi anehnya saya tidak
merasa lapar dan haus sahut gadis ini.
Bagus. Sekarang coba perhatikan
apa yang terjadi dalam tubuhmu?
Gadis ini tak cepat menjawab. Ia
memperhatikan keadaan dalam tubuhnya,
dan sejenak ia menyahut, Kek, ada
semacam hawa yang hangat pada pusar,
seperti gumpalan yang mendesak ke sana
dan kemari.
Bagus! Salurkanlah sekarang
gumpalan hawa pada pusar itu. Jangan
tergesa, perlahan saja tetapi pasti
agar kemudian beredar di seluruh
bagian tubuhmu. Itulah hawa sakti
berkat latihan dan semadimu. Tetapi,
hati-hati dan jangan kau paksakan.
Jika mendapat kesulitan, jelaskanlah.
Mulai! Ayo mulai.
Sesuai petunjuk gurunya gadis ini
mulai menyalurkan dan menguasai
gumpalan hawa sakti pada pusar yang
mendesak-desak itu. Pada mulanya gadis
ini dapat mendesak dan menyalurkan
hawa sakti itu secara lancar dan
merasakan pula badannya hangat dan
nyaman. Namun ketika hawa sakti itu
digiring naik ke atas, ke kepala,
tiba-tiba gadis ini kaget dan
berteriak.
Kek, kepalaku berdenyut dan
pening.
Teruskan. Tetapi jangan kaupaksa.
Sritanjung meneruskan perintah
gurunya sekalipun kepala terasa
berdenyutan seperti mau pecah. Di saat
gadis ini hampir tak kuat menahan
lagi, tengkuknya merasa diusap oleh
tangan dengan perlahan dan didengar
pula suara gurunya.
Marilah aku bantu.
Betapa heran gadis ini setelah
diusap gurunya, rasa berdenyutan dan
pening tadi menghilang lalu hawa sakti
itu menyalur dengan lancar.
Salurkan ke dada. Kemudian tarik
kembali ke pusar.
Perintah itu diturut. Dan setelah
selesai dan membuka mata, gadis ini
berkata. Kek, tubuhku lebih nyaman
lagi rasaya. Pendengaran dan
pandanganku lebih tajam dibanding
sebelumnya.
Kemudian pada suatu malam, Dewi
Sritanjung duduk di depan kakeknya.
Tiba-tiba saja persoalan yang selama
ini menggoda hatinya timbul kembali.
Maka gadis ini memandang gurunya, lalu
berkata.
Kek, aku sudah cukup sabar
menunggu jawaban Kakek. Bertahun-tahun
setiap kakek kutanya tentang ayah-
bundaku, selalu menjawab agar sabar
dan belum waktunya.
Sritanjung berhenti lalu
memandang kakeknya sejenak kemudian
lanjutnya, Kek, sekarang aku sudah
tujuh belas tahun. Sudah cukup dewasa
dan cukup umur. Apakah Kakek masih
akan beralasan lagi belum waktunya?
Kiageng Tunjung Biru tersenyum,
lalu jawabnya halus, Engkau benar.
Memang sudah waktunya engkau tahu
siapakah ayah dan bundamu. Baiklah
Cucuku, esok pagi berangkatlah ke
Ibukota Majapahit, cari dan temuilah
dinda Gajah Mada sambil membawa
suratku. Dari dialah engkau akan
mendapat keterangan, siapakah orang
tuamu. Dan yang perlu kau ketahui,
engkau bukanlah puteri orang
sembarangan.
Berdebar hati gadis ini mendengar
ucapan kakek sekaligus gurunya ini.
Ada dua macam hal yang menyebabkan
hatinya berdebar. Pertama datang
kepada Gajah Mada berarti pula bertemu
dengan Surya Lelana, pemuda tampan dan
diam-diam menarik hatinya itu. Dan
tiba-tiba saja wajahnya terasa panas,
sebab segera teringatlah peristiwa
setahun lalu. Saat mereka berpisah
Surya Lelana mencium dirinya.
Diam-diam ia merasa heran,
mengapa tiada perasaan marah dan benci
oleh kelancangan pemuda itu? Yang
terkesan dalam dadanya hanyalah agak
main.
Kemudian yang kedua, benarkah
dirinya bukan anak sembarangan? Lalu
siapakah dirinya ini, apakah puteri
Gajah Mada sendiri ? Tetapi pikiran
ini dibantah sendiri. Manakah mungkin
puteri Mahapatih Majapahit, diserahkan
kepada gurunya ini dan hidup terasing
di hutan?
Kek, katakanlah terus-terang.
Siapakah sebenarnya ayah dan bundaku?
desaknya.
Engkau akan segera tahu sendiri
sesudah tiba di Majapahit, sahut kakek
ini.
Tapi... tapi ... bagaimanakah
dengan Kakek setelah diriku pergi?
Lalu siapakah yang mengurus Kakek?
Kiageng Tunjung Biru ketawa
perlahan, jawabnya, Apakah sebabnya
kau merepotkan aku yang sudah tua ini?
Tak ada yang perlu kau pikirkan
tentang diriku.
Tetapi kakek sudah tua maka aku
tidak tega meninggalkan kau. Maka
apakah tidak sebaiknya Kakek bersama
pergi dengan aku saja? Dan kalau tidak
eh... lebih baik aku tidak usah pergi
saja. Biarlah aku terus menunggu dan
melayani kebutuhanmu.
Kakek itu terkekeh kemudian
katanya, Cucuku, dahulu, sebelum
engkau hidup bersama kakek di sini,
kakekmu hidup seorang diri dan dapat
pula memenuhi kebutuhan hidupnya.
Karena itu dengan kepergianmu ini
tidak akan menimbulkan akibat apa-apa
bagiku. Engkau masih muda dan hari
depanmu masih amat jauh. Dan apa yang
akan kau peroleh jika kau hanya
mengenal hutan yang sunyi ini? Maka
engkau harus terjun ke dunia ramai,
terjun ke masyarakat agar engkau
mengenal corak dunia dan corak manusia
hidup di dunia ini. Gunakan ilmu
kepandaianmu untuk membela keadilan.
Untuk membela kebenaran. Cucuku,
ketahuilah di dunia ini tidak
terhitung jumlahnya manusia yang buruk
watak dan mendekatkan diri dengan
nafsu dan kejahatan. Selama keadaan
manusia masih seperti sekarang ini,
manusia-manusia seperti engkau
dibutuhkan tenaganya oleh masyarakat.
Kiageng Tunjung Biru berhenti dan
menghela napas pendek. Sejenak
kemudian kakek ini meneruskan, Tetapi
Cucuku, untuk kepentinganmu, engkau
harus hati-hati terjun ke dalam masya-
rakat. Karena engkau akan berhadapan
dengan berbagai macam peristiwa yang
selama ini belum pernah kau alami dan
saksikan. Hemm, siapa tahu apabila
dalam kepergianmu ke Ibukota Majapahit
ini, secara tidak sengaja kau bertemu
dengan orang berjuluk Si Tangan Iblis
maupun cucu dan murid-muridnya...
Kek, siapakah Si Tangan Iblis
itu? Sritanjung tertarik.
Orang yang berjuluk Si Tangan
Iblis itu adalah seorang sakti
mandraguna tetapi jahat dan kejam.
Hindarkan diri jangan sampai kau
terlibat urusan dengan orang itu
maupun murid-muridnya. Itu amat
berbahaya.
Tetapi aku tidak takut.
Aku mengerti. Namun lebih baik
kau menghindarkan diri agar terhindar
dari bahaya.
Aku tak ingin berselisih dengan
dia. Tetapi jika dia memulai, aku akan
melawan.
Heh heh heh heh, kakek ini
terkekeh. Jangan takabur, Cucuku,
karena akan merugikan dirimu sendiri.
Dan kau juga jangan kecewa dan
menyesal jika aku mengatakan
sejujuraya, kau bukan lawan yang
sebanding dengan Si Tangan Iblis.
Ibarat buah semangka melawan durian,
tidak mungkin menang dan lebih dekat
dengan bahaya maut. Itulah sebabnya
aku berpesan, agar engkau berusaha
menghindarkan diri dengan kakek sakti
itu.
Baiklah Kek, aku perhatikan dan
aku akan berusaha menghindarkan diri.
Tetapi Kek, jelaskan padaku, siapakah
Si Tangan Iblis itu?
Baiklah aku jelaskan. Orang yang
sudah kakek-kakek dan bernama Si
Tangan Iblis itu, bertempat tinggal di
Tosari. Ia inempuatyai bebe-rapa orang
murid dan juga tiga orang cucu. Se-
karang ini keluarga Si Tangan Iblis
sedang bersebaran dalam usaha mencari
cucunya yang bungsu bernama Sentikno.
Karena bocah itu meninggalkan rumah
tanpa pamit, setelah mendengar cerita
kakeknya.
Cerita tentang apa, dan mengapa
pula bocah bernama Sentiko itu pergi
diam-diam ? Dan kepergian bocah itu
mencari siapa? tanya Sritanjung. Dan
aku juga heran, mengapa Kakek yang
tidak pernah pergi, bisa tahu
peristiwa itu?
Kiageng Tunjung Biru tersenyum.
Tidaklah mengherankan apabila muridnya
ini bertanya seperti itu, karena jika
ia pergi Sritanjung tidak pernah tahu.
Ia selalu pergi diam-diam dalam usaha
menyadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi maupun memantau segala sesuatu
yang terjadi di dalam masyarakat.
Itulah ia bisa menceritakan sesuatu
yang baru bagi Sritanjung.
Tanjung, kurang perlu kautanyakan
mengapa aku tahu. Yang penting harus
kau ketahui sekarang ini, kau harus
hati-hati dalam perjalananmu ke
Ibukota Majapahit agar tidak sampai
tertipu orang yang tidak bertanggung
jawab maupun terlibat dalam peristiwa
Si Tangan Iblis itu.
Kemudian diceritakan oleh Kiageng
Tunjung Biru, bahwa nama sebenarnya
adalah Taruno. Dan sesudah menetap di
Tosari mengganti namanya dengan Si
Tangan Iblis. Taruno dulunya prajurit
Majapahit berpangkat Lurah. Akan
tetapi karena melakukan penyelewengan
dan merugikan nama baik pasukan
Majapahit, Taruno dipecat.
Karena sakit hati kemudian
menjadi kepala bajak laut dan bajak
sungai. Tetapi kemudian gerombolan ini
hancur berantakan diserang oleh Mpu
Nala dan pasukannya. Ia berhasil dan
ketika tahun 1319 Kuti memberontak, ia
menggabungkan diri. Namun sayang
sekali pemberontakan Kuti gagal dan
Taruno buron. Lalu di saat ia
merantau, ia mendengar kabar dari
seorang sahabatnya, anaknya yang
menjadi prajurit Bhayangkara, Karimun
dibunuh mati oleh Gajah Mada.
Mendengar ini Taruno marah sekali
karena menduga anaknya dilibatkan
dalam perkaranya.
Padahal yang benar dibunuhnya
Karimun tiada hubungan dengan
kesalahan Taruno, ujar kakek itu.
Karimun dibunuh mati oleh Gajah Mada
dalam usaha menjaga rahasia tempat
persembunyian Raja Jayanegara yang
meninggalkan keraton dan bersembunyi
di Bedander.
Sritanjung tidak membuka mulut
dan mempe-hatikan. Sebab ia
menganggap, cerita ini besar
kegunaannya dalam hubungan
kepergiannya ke Majapahit.
Sebagai akibat matinya Karimun,
keluarga yang ditinggalkan berantakan.
Isteri Karimun lalu menyerahkan dua
orang anak perempuannya yang masih
kecil kepada tetangga. Dan janda ini
kemudian memadu kasih dengan seorang
pemuda yang dicintai sejak Karimun
masih hidup.
Ahh.... jadi isteri itu berani
menyeleweng? tanya Sritanjung.
Kiageng Tunjung Biru mengangguk
dan meneruskan ceritanya. Taruno
menjadi penasaran. Kemudian menantu
tidak setia itu dibunuh secara kejam,
termasuk pula pemuda kekasihnya itu.
Taruno masih belum puas, maka keluarga
pemuda itupun semua dibantai.
Ahh.... kejam sekali! seru
Sritanjung.
Taruno alias Si Tangan Iblis
memang kejam dan ganas. Itulah
sebabnya aku berpesan agar kau hati-
hati dan jangan mencampuri urusan
kakek itu, sahut kakek ini.
Diceritakan seterusnya, dua orang
cucu itu lalu diboyong oleh Taruno.
Yang besar bernama Sarindah berumur
empat tahun dan yang kecil bernama
Sarwiyah berumur tiga tahun. Si Tangan
Iblis memilih Tosari sebagai tempat
tinggalnya. Guna kepentingan dua
cucunya ini agar ada yang merawat,
kemudian Taruno merampas seorang gadis
dari desa Gempol untuk diperisteri.
Dari isteri yang belum 18 tahun ini
kemudian lahirlah anak laki-laki
diberi nama Sentiko. Lalu ketika
Sentiko berumur tiga tahun, pada suatu
malam Taruno menangkap basah isterinya
sedang berzina dengan pemuda dari desa
Gempol juga. Tak ampun lagi isteri dan
pemuda itu kemudian dibunuh secara
kejam. Namun ternyata Taruno belum
puas, Sentiko yang tidak berdosa itu
diangkat untuk dibanting...
Ahh.... kasihan bocah itu...
Sritanjung pucat.
Memang Sentiko tentu mati jika
jadi dibanting, sahut Kiageng Tunjung
Biru. Tetapi untung sekali Sarindah
yang sudah berumur 9 tahun dan
Sarwiyah yang sudah berumur 8 tahun,
dapat menolong. Dua bocah ini terjaga
dari tidurnya akibat terjadi
keributan, kemudian memeluk lutut
kakeknya ketika melihat Sentiko akan
di banting.
Demikianlah, untuk menghilangkan
kenangan yang tidak menyenangkan itu
maka Sentiko dibiasakan memanggil
kakek dan bukan ayah. Dan karena
umurnya paling muda, maka Sentiko se-
bagai cucu termuda.
Tetapi apakah sebabnya Sentiko
pergi? selidik Sritanjung.
Itu adalah gara-gara Sarindah dan
Sarwiyah yang mendesak kepada Si
Tangan Iblis agar diberitahu siapakah
ayah bundanya, dan siapa pula yang
sudah membunuh, jelas Kiageng Tunjung
Biru sambil menghela napas pendek. Dan
celakanya Si Tangan Iblis memberikan
keterangan salah. Ia memfitnah paman
gurumu Gajah Mada.
Apakah sebabnya memfitnah Paman
Gajah Mada?
Si Tangan Iblis memang licik.
Oleh dendam kesumatnya, ia mendidik
kepada cucu dan semua muridnya agar
membenci dan memusuhi Gajah Mada. Maka
setelah mendengar penjelasan itu,
Sentiko pergi diam-diam dengan maksud
akan membalas dendam dan membunuh
Gajah Mada.
Sekecil itu manakah Sentiko mampu
melawan Gajah Mada? Sritanjung heran.
Memang amat mustahil bisa
terlaksana. Namun nyatanya bocah kecil
itu sudah nekad dan akan membalas
dendam. Itulah cucuku, cerita ringkas
tentang Si Tangan Iblis. Maka dalam
kepergianmu ke Ibukota Majapahit kau
harus selalu berhati-hati. Jangan
gampang terpancing oleh tipu muslihat
orang, dan jangan mencampuri urusan
orang sebelum jelas. Sudahlah, Cucuku,
sekian dulu cerita tentang Si Tangan
Iblis. Hari sudah malam dan
mengasolah.
Sekian dulu cerita ini kita
akhiri. Tetapi cerita ini secara
keseluruhan belum selesai. Perjalanan
masih panjang dan Dewi Sritanjung akan
mengalami berbagai peristiwa dalam
perjalanannya menuju Ibukota
Majapahit, dalam usaha bertemu dengan
ayah kandungnya. Anda akan terharu,
tergelitik dan berdebar kiranya dalam
mengikuti kisah Dewi Sritanjung ini.
Akan tetapi agar Anda dapat
mengkuti kisah tentang Si Tangan
Iblis, silakan membaca lanjutan buku
Seri Dewi Sritanjung ini dengan judul
"SI TANGAN IBLIS". Lebih menarik, seru
dan mendebarkan. Mungkinkah Sentiko
cucu Si Tangan Iblis yang sudah
diceritakan oleh Kiageng Tunjung Biru
ini dapat membunuh Gajah Mada?
TAMAT
Sala, awal tahun 1987
Emoticon