Siang di Desa Sumber Dalem terasa lengang.
Matahari perlahan-lahan bergeser ke ufuk sebelah
barat. Angkasa raya yang membiru tampak cerah,
karena tak ada awan yang berarak. Sementara angin
yang bertiup semilir seolah mati terbawa suasana
sepi.
Dari mulut desa sebelah timur, seorang pe-
muda gagah berjubah besar berwarna biru tengah
melenggang santai memasuki jalan utama. Sesekali,
diperhatikannya keadaan sekitarnya. Beberapa
orang penduduk kampung yang memanggul cangkul
di pundak tampak mulai pulang ke rumah masing-
masing, pertanda hari sebentar lagi akan berganti
petang. Namun di halaman-halaman rumah pendu-
duk tampak masih beberapa orang anak kecil ten-
gah asyik bermain. Tawanya yang ceria sesekali
memecah kesunyian desa.
Ketika pemuda berjubah biru yang bukan lain
adalah Teguh Sayekti tiba di jalan simpang di tengah
desa, matanya langsung tertuju pada sebuah kedai
makan. Tanpa banyak pikir panjang Teguh Sayekti
atau yang lebih dikenal dengan julukan Pembunuh
Iblis segera melangkah menuju kedai.
Empat orang lelaki berwatak kasar yang ten-
gah asyik makan-minum di dalam kedai tampak me-
lirik angkuh saat Pembunuh Iblis memasuki kedai,
lalu kembali melanjutkan makan seolah-olah tak in-
gin diganggu siapa pun. Pemuda berjubah biru itu
sendiri tak ingin mengganggu.
Begitu Pembunuh Iblis menghenyakkan pan-
tatnya di sebuah bangku, seorang gadis pelayan ke-
dai makan buru-buru menyambutnya dengan se-
nyum terkembang di bibir.
"Ada yang bisa aku bantu, Tuan?" tanya gadis
pelayan yang berwajah manis itu penuh hormat.
"Tolong sediakan makanan yang cukup dan
sedikit arak wangi untukku!" ujar Pembunuh Iblis
ramah.
"Baik. Harap Tuan bersedia menunggu seben-
tar," sahut gadis pelayan itu lalu buru-buru masuk
ke dalam.
Namun baru beberapa langkah si gadis beran-
jak dari tempatnya, tiba-tiba tangannya yang halus
telah ditarik seorang laki-laki kasar dan menariknya
dalam pelukan.
"Ooouuww...!"
Sudah tentu gadis pelayan itu meronta minta
dilepaskan. Dan dengan tertawa-tawa senang, laki-
laki kasar itu melepaskan tangan gadis pelayan.
Namun tidak sepenuhnya ikhlas. Karena tangannya
yang nakal tiba-tiba menowel pantat gadis pelayan
itu seraya mengerling ke arah Teguh Sayekti.
"Jangan begitu dong, Tuan! Malu kan dilihat
orang," ucap si gadis tersipu malu kemudian buru-
buru menghilang ke dapur.
Pembunuh Iblis muak sekali melihat tingkah
laku laki-laki kasar di hadapannya. Hanya karena
tak ingin membuat keributan saja terpaksa rasa
amarahnya ditahan dalam dada. Ia yakin, gadis pe-
layan itu adalah gadis baik-baik. Cuma karena ingin
melayani para tamunya dengan baik, sehingga
membuatnya hanya bisa menegur halus.
Tak begitu lama menunggu, gadis pelayan
yang berwajah cantik itu kembali muncul membawa
pesanan Pembunuh Iblis. Dengan ramah segera di-
hidangkannya pesanan itu ke meja si pemuda.
"Silakan, Tuan!" ucap gadis pelayan seraya
menggerakkan ibu jarinya.
Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis terse-
nyum sekilas. Gadis pelayan itu pun buru-buru be-
ringsut dari tempatnya.
"Hey, Pelayan! Cepat kemari!" bentak salah
seorang laki-laki kasar itu galak.
"Baik, Tuan."
Dengan tergopoh-gopoh, buru-buru gadis pe-
layan itu mendekati laki-laki yang memanggilnya ba-
rusan.
Pembunuh Iblis yang hendak menyuapkan
makanan ke mulutnya jadi menahan gerakan ketika
melihat tangan kekar laki-laki kasar itu tahu-tahu
merengkuh pinggang gadis pelayan ke dalam pelu-
kannya.
"Jangan, Tuan! Jangan!" ratap gadis pelayan
itu seraya menggelengkan kepala ke sana kemari
menghindari mulut laki-laki berperangai kasar itu
yang hendak menciumnya.
"Sungguh sayang! Kenapa dunia ini selalu di-
warnai tindak kekerasan? Kenapa hanya untuk me-
lampiaskan nafsu harus memaksakan diri? Hm...!
Aneh. Kalau semua laki-laki di muka bumi ini berla-
ku sewenang-wenang, bagaimana mungkin dunia ini
akan nyaman? Memuakkan!" gumam Teguh Sayekti.
Suaranya sengaja sedikit dikeraskan agar lelaki ka-
sar itu tak meneruskan maksud bejadnya.
"Bangsat kecil! Apa kau bilang barusan, he?!"
tiba-tiba laki-laki kasar itu melemparkan tubuh ga-
dis pelayan dengan kasar. Tanpa ampun tubuh si
gadis menabrak meja di sampingnya.
Braaakk!
Beberapa tamu langganan yang sedang asyik
makan-minum di meja itu kontan terperangah ka-
get. Namun manakala melihat siapa yang menjadi
biang onar, nyali mereka jadi ciut.
Pembunuh Iblis sendiri berlaku angin-
anginan di tempatnya. Sesuap demi sesuap mulut-
nya terus mengunyah makanan. Tentu saja sikap-
nya makin membuat geram keempat laki-laki berpe-
rangai kasar itu. Sejak melihat Teguh Sayekti masuk
ke dalam kedai makan, mereka memang sudah tak
menyukai. Sekarang ketidaksenangan mereka makin
tersulut manakala mendengar gumaman pemuda itu
tadi. Ditambah lagi dengan sikap si pemuda yang
angin-anginan.
"Bajingan kecil! Apa kau tidak tahu tengah
berhadapan dengan siapa, he?!" bentak lelaki berpe-
rangai kasar itu garang seraya bangkit berdiri.
Selangkah demi selangkah, lelaki itu mende-
kati Pembunuh Iblis. Sedangkan ketiga orang te-
mannya yang tertawa-tawa senang melihat keonaran
itu. Seolah merasa dikompori ketiga orang kawan-
nya, laki-laki berperangai kasar itu tiba-tiba men-
gangkat kaki di meja tempat makan Teguh Sayekti.
Brakkk!
"Ulangi lagi! Apa yang kau katakan tadi, he?!"
hardik lelaki berperangai kasar itu garang. Meja ma-
kan yang terkena injakkan kakinya kontan hancur
berantakan. Sedangkan semua yang berada di atas
meja berhamburan ke mana-mana.
Pembunuh Iblis memandang laki-laki kasar di
hadapannya sekilas. Senyum dingin tersungging di
bibirnya.
"Telingamu tidak budek, bukan? Tentunya
kau pun mendengar apa yang kukatakan tadi?" ba-
las Teguh Sayekti, kalem.
"Bajingan? Apa kau belum pernah mendengar
Pasukan Laskar Hijau, he?!"
Teguh Sayekti terperangah. Kini baru disadari
kalau keempat laki-laki kasar itu semuanya menge-
nakan pakaian hijau-hijau. Dan berarti mereka ada-
lah anggota Pasukan Laskar Hijau! Sungguh Pem-
bunuh Iblis tadi tidak begitu memperhatikan sejak
datang ke kedai, pikirannya telah digayuti oleh
bayangan Arum Sari. Kemudian ketika berada di da-
lam kedai, hatinya tersulut oleh tingkah laku keem-
pat lelaki kasar itu.
"Hm...? Kebetulan sekali. Rupanya kalian
yang sering mengganggu ketenteram penduduk-
penduduk kampung?" gumam Pembunuh Iblis se-
raya bangkit berdiri sambil mengangguk-angguk.
"Bagus? Kalau kau sudah tahu kami, Bocah?
Jadi kau tak perlu menyesal kalau harus tewas di
tanganku!" bentak lelaki kasar yang ternyata anak
buah Pasukan Laskar Hijau seraya melayangkan bo-
gem mentah ke wajah Pembunuh Iblis.
"Hap!"
Enak sekali Pembunuh Iblis menggerakkan
tangannya menangkis datangnya serangan. Tam-
paknya gerakan tangan itu tak bertenaga. Namun
akibatnya....
Plakkk!
"Aughhh...!"
Laki-laki kasar itu mendadak meraung keras.
Lengan tangannya yang membentur tangan Pembu-
nuh Iblis seolah membentur tembok baja. Sambil
meringis kesakitan buru-buru tangannya yang tera-
sa ngilu segera ditarik mundur.
Menyadari kalau orang yang tengah dihadapi
memiliki kepandaian tinggi, ketiga orang teman laki-
laki berperangai kasar itu segera berlompatan men-
dekati meja Pembunuh Iblis. Tanpa banyak cakap,
mereka segera menyerang garang.
Pembunuh Iblis hanya tersenyum sekilas. Me-
lihat datangnya serangan tubuhnya sedikit diputar,
lalu tahu-tahu kaki kanannya telah berkelebat cepat
mendahului datangnya serangan. Dan....
Bukkk! Bukkk!
"Ughh...!"
Tiga kali kaki Pembunuh Iblis bergerak, maka
saat itu juga tiga kali terdengar pekikan kesakitan
dari mulut lawan-lawannya. Tubuh-tubuh anggota
Pasukan Laskar Hijau yang terkena tendangan kon-
tan terlempar ke belakang, menabrak meja-meja
makan di belakangnya. Beberapa orang pengunjung
kedai makan yang melihat keributan buru-buru
berhamburan keluar. Dan diam-diam, mereka me-
nonton jalannya pertarungan dari kejauhan.
"Perampok-perampok hina! Kenapa tidak kau
suruh sekalian pimpinan kalian! Enyahlah kalian
dari hadapanku! Suruh pimpinan kalian Setan Haus
Darah menghadapiku!" hardik Pembunuh Iblis.
"Bedebah! Tak perlu ketua kami yang keluar.
Kami berempat pun sanggup mematahkan batang
lehermu!" dengus lelaki kasar yang pertama kali me-
nyerang Pembunuh Iblis. Suaranya bergetar penuh
kemarahan. Dan tiba-tiba tangan kanannya berge-
rak ke belakang.
Srat!
Golok besar yang berkilauan kini tergenggam
di tangan lelaki itu. Sementara ketiga orang kawan-
nya yang sudah bisa bangkit segera mencabut golok
pula.
Pembunuh Iblis hanya tersenyum. Sedikit
pun tidak takut menghadapi keroyokan.
"Majulah kalau kalian ingin merasakan bogem
mentahku!" tantang Pembunuh Iblis.
"Pemuda sombong! Makanlah golokku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, laki-laki kasar
yang pertama menyerang segera menerjang Pembu-
nuh Iblis garang. Bersamaan dengan itu tiga golok
lain segera berdatangan siap menghujam ke arah
pemuda berjubah biru itu.
"Ups!"
Teguh Sayekti cepat melompat ke belakang,
membuat serangan-serangan golok para anggota
Laskar Hijau hanya mengenai angin kosong. Tentu
saja hal ini membuat keempat orang kasar itu geram
bukan main. Dengan kemarahan meluap mereka
kembali meluruk ke arah Teguh Sayekti.
"Hea! Hea!"
Empat golok di tangan para anggota Pasukan
Laskar Hijau kembali berkelebat mengancam tubuh
Teguh Sayekti dengan gerakan cepat luar biasa. Na-
mun bagi Teguh Sayekti, gerakan tangan mereka tak
ubahnya seperti gerakan orang menari. Begitu lam-
bat, nyaris tak bertenaga.
"Jaga golok kalian!" teriak Teguh Sayekti ma-
sih sempat memberi peringatan.
Dan tiba-tiba tubuh Pembunuh Iblis segera
berkelebat cepat di antara gulungan-gulungan golok
besar di tangan keempat orang pengeroyoknya. Se-
dang jari-jari tangannya yang terkembang bergerak
cepat, menotok orang pengeroyoknya.
Tukkk! Tukkk!
Trang! Trang!
Empat golok kontan beterbangan manakala
pergelangan tangan para pengeroyok terkena toto-
kan tangan Teguh Sayekti. Di saat mereka terperan-
gah kaget, pemuda berjubah biru itu segera bertin-
dak. Jari-jari tangannya yang terkembang kembali
bergerak cepat menotok.
Tukkk! Tukkk!
Keempat orang anggota Pasukan Laskar Hijau
itu kontan membelalak lebar dengan tubuh kaku tak
dapat digerakkan.
"Katakan! Di mana pimpinan kalian yang ber-
gelar Setan Haus Darah bersembunyi! Cepat!" ben-
tak Teguh Sayekti, seraya mencengkeram leher laki-
laki kasar yang pertama menyerangnya tadi.
Mata anggota Pasukan Laskar Hijau itu mem-
belalak ketakutan. Kedua bola matanya mengerling
ke arah ketiga orang kawannya di samping. Namun
anehnya, mereka diam tak mempedulikannya. Sikap
mereka pun sama seperti orang yang tengah dito-
dong Teguh Sayekti. Takut. Entah takut pada siapa.
"Kau tak mau mengatakannya, he?!" dengus
Teguh Sayekti makin memperkeras cengkeraman di
leher lelaki itu.
Tetap saja lelaki itu tak mau membuka suara.
Teguh Sayekti gusar bukan main. Disentakkannya
tubuh laki-laki itu kasar, lalu kembali mendekati ke-
tiga orang anggota Laskar Hijau yang lain.
"Apa kalian juga tak mau buka suara di mana
Setan Haus Darah bersembunyi?!" hardik Teguh
Sayekti, kian membuat wajah ketiga anggota Pasu-
kan Laskar Hijau itu pias.
"Aku.... Aku tak berani. Kami pasti akan di-
bunuh bila sampai membocorkan rahasia tempat
pimpinan kami bersembunyi," jelas salah seorang
dari ketiga anggota Pasukan Laskar Hijau itu keta-
kutan.
"Jadi kau lebih takut dengan pimpinanmu da-
ripada aku, he?! Apa kau tak takut kalau batang le-
hermu kupatahkan?!" ancam Teguh Sayekti tak
main-main.
"Lebih baik kau bunuh kami daripada dis-
uruh mengatakan pimpinan kami bersembunyi,
Tuan!" tantang anggota Pasukan Laskar Hijau.
Teguh Sayekti menggeram penuh kemarahan.
Dikiranya orang itu hanya menggertak. Maka untuk
memaksa tak ada pilihan lain kecuali makin mem-
perkeras cengkeraman tangannya di leher orang itu.
Krak! Krakkk!
"Augh...!" jerit orang itu kesakitan, namun be-
lum juga mau membuka suara.
"Apa kau lebih senang nyawamu tanggal dari-
pada membuka suara?" ancam Pembunuh Iblis.
"Bunuh saja aku, Tuan. Aku tak mungkin
memberitahukan di mana pimpinan kami bersem-
bunyi!" teriak orang itu di antara erang kesakitan
dan napasnya yang tersengal karena lehernya terce-
kik.
"Baik. Kalau begitu, terimalah kematianmu!"
bentak Teguh Sayekti hanya untuk menakut-nakuti.
Cengkeraman tangannya di leher orang itu pun ma-
kin diperkeras.
"Kekh.... Keekh...!"
Anggota Pasukan Laskar Hijau itu tetap tak
mau buka suara kecuali suara lenguhan. Matanya
malah mendelik-delik menahan sakit di tenggoro-
kan. Teguh Sayekti geram bukan main, ia tetap
mengira kalau anggota Pasukan Laskar Hijau itu
hanya menantang ancamannya belaka. Toh kalau
sudah merasa sakit, akhirnya mau memberi tahu
juga.
Berpikir sampai di situ, Pembunuh Iblis ma-
lah jadi merasa tertantang. Maka tanpa ampun te-
naga dalamnya pun makin ditambah dalam cengke-
raman tangannya di leher anggota Pasukan Laskar
Hijau.
Krak! Krakkk!
"Aakh...!"
Tiba-tiba anggota Pasukan Laskar Hijau itu
men-jerit tertahan. Sepasang matanya membelalak
lebar. Lalu dari mulut dan hidungnya keluar cairan
berwarna merah darah. Sementara tubuhnya tidak
bergerak-gerak sama sekali. Mati!
Pembunuh Iblis terperangah kaget. Tak dis-
angkanya golongan perampok ini lebih senang mati
di tangan musuh daripada harus memberi tahu
tempat persembunyian pimpinan mereka.
Melihat orang yang tengah diancam telah me-
nemui ajal, Teguh Sayekti jadi bingung. Sekali
menghentakkan tangannya, tubuh anggota Pasukan
Laskar Hijau yang telah menjadi mayat itu segera
terbanting ke samping. Dalam kebingungannya, pe-
muda berjubah biru itu kembali mondar-mandir ke
sana kemari.
"Walaupun kau menurunkan tangan maut,
tak mungkin kami memberitahukan tempat persem-
bunyian pimpinan kami, Pendekar!" ejek salah seo-
rang anggota Pasukan Laskar Hijau.
"Hm...!" Teguh Sayekti menggumam tak jelas.
Tak mungkin ia menurunkan tangan mautnya, wa-
lau mereka adalah penjahat-penjahat keji. Sedang
saat ini Pembunuh Iblis sangat menginginkan untuk
segera bertemu Setan Haus Darah. Karena, pimpi-
nan itulah yang lebih utama baginya. Kalau hendak
menumpas gerombolan perampok, tumpas mulai da-
ri pimpinan mereka. Begitu kata hati Teguh Sayekti.
Tiba-tiba Pembunuh Iblis melangkah mende-
kati seorang anggota Pasukan Laskar Hijau lainnya.
Lalu tangannya mengibas.
Tuk!
Sekali Teguh Sayekti menotok, maka bebaslah
lelaki itu dari pengaruh totokan.
"Pergilah! Suruh pimpinan kalian menemuiku
di sini! Cepat!" bentak Pembunuh Iblis.
Laki-laki anggota Pasukan Laskar Hijau itu
ragu-ragu. Sejenak diperhatikannya kedua orang
kawannya yang masih tegak tak dapat bergerak.
"Jangan khawatir! Aku tak akan mencelaka-
kan mereka. Tapi kalau kau tak mau menyampaikan
pesanku tadi, maka kedua orang kawanmu akan se-
gera mati. Cepat beri tahu pimpinan kalian! Aku,
Pembunuh Iblis, menanti kedatangan ketua kalian
di sini!"
"Ba... baik!"
Anggota Pasukan Laskar Hijau itu buru-buru
meninggalkan kedai makan. Sambil berlari, sesekali
kepalanya menoleh ke belakang. Dan akhirnya, so-
soknya yang tinggi besar menghilang di simpang ja-
lan desa.
"Kenapa harus begini, Tuan Pendekar? Setan
Haus Darah dan anak buahnya pasti akan kemari
dan menghancurkan desa ini," jelas gadis pelayan.
Tubuhnya menggigil ketakutan di pojok ruangan.
"Jangan khawatir! Aku memang sedang men-
carinya. Doakan saja aku dapat mengatasi sepak
terjangnya!" ujar Pembunuh Iblis dengan senyum
terkembang di bibir.
"Tapi...."
"Sudahlah! Sekarang sediakan lagi makanan
yang enak untukku! Ini untuk sekadar mengganti
kerusakan kedaimu berikut harga makanan yang
kupesan!"
Pembunuh Iblis merogoh kantong kecil yang
menggelantung di pinggang. Lalu diberikannya bebe-
rapa keping uang perak pada gadis pelayan itu.
"Terimalah!" Pembunuh Iblis menyerahkan
beberapa uang perak ke dalam genggaman tangan
gadis pelayan. "Sekarang masuklah! Buatkan pesa-
nan makanku, ya!"
Gadis pelayan itu segera beringsut ke dalam.
Parasnya yang pucat pasi sesekali menoleh ke bela-
kang. Terus terang hatinya merasa heran sekali ka-
rena berani benar pemuda itu menantang Setan
Haus Darah berikut anak buahnya. Sungguh ia tak
habis pikir. Bahkan kini, Pembunuh Iblis sendiri
tampak tenang-tenang duduk di meja makan.
7
"Pembunuh Iblis! Keluar! Aku Setan Haus Da-
rah datang memenuhi tantanganmu!"
Seorang lelaki berperawakan tinggi kekar
dengan pakaian ringkas warna hijau serta ikat kepa-
la juga berwarna hijau terbuat dari kain sutera ber-
diri gagah di atas punggung kuda. Beberapa orang
penduduk Desa Sumber Dalem yang melihat ke-
munculan lelaki yang tak lain Pimpinan Pasukan
Laskar Hijau ini buru-buru menyingkir.
Dari dalam kedai orang yang dipanggil Pem-
bunuh Iblis hanya mengangguk-anggukkan kepala.
"Bagus! Rupanya mereka sudah datang," gu-
mam Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis.
Sekilas mata pemuda berjubah biru melirik ke
arah dua orang anggota Pasukan Laskar Hijau yang
tubuhnya masih kaku tak dapat bergerak. Lalu den-
gan mantap kakinya melangkah ke luar.
Di halaman depan kedai makan Pembunuh
Iblis melihat Setan Haus Darah duduk di atas pung-
gung kuda dikawal beberapa orang anak buahnya.
Jumlah mereka cukup banyak, tak kurang dari dua
puluh lima orang.
"Kaukah yang bergelar Pembunuh Iblis, Bo-
cah?!" bentak Setan Haus Darah, manakala melihat
Teguh Sayekti melangkah keluar.
"Benar! Dan kau tentu ketua perampok yang
bergelar Setan Haus Darah?!" balas Pembunuh Iblis.
Setan Haus Darah tertawa bergelak.
"Bocah bau kencur macam kau beraninya
menantangku! Lekaslah bersujud di hadapanku ka-
lau tak ingin nyawamu lenyap dari raga!" ejek Setan
Haus Darah pongah.
"Jangan banyak bicara, Setan Haus Darah!
Manusia pengacau macam kau memang patut di-
musnahkan dari muka bumi. Bersiap-siaplah me-
nemui malaikat maut, Manusia Pongah!"
"Kau...!"
Setan Haus Darah menudingkan telunjuknya
ke arah Pembunuh Iblis. Lalu tawanya yang bergelak
pun kembali meledak. Lagaknya jelas sangat me-
mandang remeh lawan.
"Manusia perampok! Meski aku baru kemarin
sore menginjakkan kaki di dunia persilatan, tapi
jangan dikira akan gentar menghadapi manusia-
manusia bejat macam kau! Majulah! Aku menan-
tangmu bertarung!" ejek Pembunuh Iblis.
"Biarkan kami yang menghajar bocah tak ta-
hu adat ini, Ketua!" teriak lima lelaki berpakaian
serba hijau seraya maju beberapa tindak ke depan.
"Boleh! Hajarlah pemuda pongah itu, Surono!"
Begitu mendapat persetujuan dari pimpinan
mereka, kelima orang anggota Pasukan Laskar Hijau
segera melompat dari punggung kuda, dan langsung
mengurung Pembunuh Iblis dari lima arah.
Pembunuh Iblis mengedarkan pandangan ke
kanan kiri dengan senyum tersungging di bibir. Se-
dikit pun hatinya tidak gentar menghadapi keroyo-
kan lima orang anggota Pasukan Laskar Hijau.
Meskipun, dari cara melompat Teguh Sayekti tahu
kalau kelima orang anggota Pasukan Laskar Hijau
itu rata-rata memiliki kepandaian lumayan.
"Majulah, Tikus-tikus Comberan!" tantang
Pembunuh Iblis.
Kelima orang anggota Pasukan Laskar Hijau
menggeram penuh kemarahan. Sekali mereka meng-
gerakkan tangan, golok-golok telah tercabut dari
pinggang.
Srat! Srattt!
Lima buah golok besar yang berkilauan ter-
timpa sinar matahari kini sudah tergenggam di tan-
gan kelima orang pengeroyok. Paras-paras mereka
kini mulai memancarkan hawa membunuh.
"Jangan banyak jual lagak, Tikus-tikus Com-
beran! Majulah!"
"Setan alas! Justru kau yang banyak jual la-
gak! Terimalah kematianmu hari ini, Bocah!" dengus
anggota Pasukan Laskar Hijau yang tadi dipanggil
Surono seraya mengibaskan golok ke depan.
Bersamaan dengan kibasan itu, kelima orang
anggota Pasukan Laskar Hijau itu serempak mener-
jang. Golok di tangan mereka tampak berputaran
mengurung pertahanan Pembunuh Iblis.
Sementara Pembunuh Iblis tampak masih te-
nang-tenang di tempatnya dengan senyum tersungg-
ing. Begitu jarak serangan para pengeroyoknya
hanya tinggal setengah tombak, Pembunuh Iblis
menjejakkan kakinya ke tanah. Dan tahu-tahu tu-
buhnya yang tinggi kekar telah melenting tinggi ke
udara. Setelah berjungkir balik beberapa kali di uda-
ra, tiba-tiba tubuhnya meluncur dengan totokan-
totokan jari tangan yang mengancam ubun-ubun
kepala para pengeroyok.
Begitu melihat bahaya mengancam, kelima
orang pengeroyok Pembunuh Iblis itu segera memu-
tar golok sedemikian rupa. Mereka bermaksud me-
mangkas buntung sepasang tangan Pembunuh Iblis.
Srat! Sratt!
"Enak benar kalian ingin memotongku! Awas
jaga nyawa kalian, Tikus-tikus Comberan!" ejek
Pembunuh Iblis, langsung membuat gerakan yang
sulit sekali ditebak.
Tubuh pemuda itu yang tinggi kekar dengan
lentur meliuk-liuk di udara. Dan begitu kakinya
menjejak ke tanah, tahu-tahu telah dilontarkannya
tendangan memutar dua kali.
Bukkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Telak sekali tendangan kaki kanan Pembunuh
Iblis mendarat di dada dua orang pengeroyoknya
hingga kontan terbanting keras dengan dada seakan
mau pecah. Buktinya saja, dari mulut mereka me-
nyemburkan darah segar, pertanda telah menderita
luka dalam cukup lumayan,
Melihat dua orang dapat dijatuhkan dengan
mudah, para anak buah Setan Haus Darah kembali
meluruk menyerang. Maka pertarungan pun tak da-
pat dihindari lagi.
* * *
"Kau tak seharusnya berlaku kasar terhadap
pemuda itu, Arum!" tegur Siluman Ular Putih.
Saat itu Soma dan Arum Sari tengah berjalan
menyusuri jalan setapak di sebuah hutan kecil den-
gan pohon-pohonnya yang besar berjajar di kanan
kiri. Saking rapatnya pohon itu, membuat udara jadi
lembab tak tersentuh sinar matahari yang tak mam-
pu menembus kelebatan hutan. Hanya kilauan-
kilauan sinar berwarna kuning keemasan saja yang
sesekali terlihat di sana sini di antara gerak dedau-
nan yang tertiup angin.
Arum Sari sedikit pun tak mau menggubris
kata-kata pemuda itu. Hatinya memang sedang kes-
al sekali. Baru kali ini hatinya merasa kurang nya-
man melakukan perjalanan bersama Soma. Semua
itu dikarenakan sikap Siluman Ular Putih yang an-
gin-anginan. Memang, pemuda itu lembut dan pe-
nuh perhatian terhadapnya. Namun, si gadis seperti
merasa tak puas hanya mendapat kelembutan dan
perhatian Soma seperti itu.
"Aku tahu kau tentu kecewa atas sikapku ha-
ri-hari belakangan ini, Arum. Tapi, mengertilah. Se-
benarnya aku sama sekali tak ingin mengecewakan
hatimu. Aku sendiri belum tahu, apa yang sebenar-
nya terbersit dalam hatiku. Tapi bukankah kita te-
tap masih bersahabat?" lanjut Soma tak berputus
asa.
Lagi-lagi Arum Sari hanya bungkam. Menu-
rutnya, tak ada gunanya bicara panjang lebar den-
gan pemuda di sampingnya kalau hanya akan me-
nemui kekecewaan semata. Si gadis justru lebih se-
nang membiarkan perasaannya yang seolah terbang
oleh tiupan angin yang menerbangkan debu entah
ke mana.
"Arum. Aku sedih sekali kalau melihat kau
murung terus. Ayo dong senyum! Masa' aku dibiar-
kan seperti patung hidup begini?" kata Siluman Ular
Putih bermaksud menggoda.
Hati Arum Sari makin gelisah. Selama dua
hari belakangan ini, ia memang lebih banyak bung-
kam. Malas meladeni ucapan Siluman Ular Putih.
"Sudahlah, Soma! Aku tahu kau memang baik
padaku. Tapi terus terang, hatiku saat ini sedang ge-
lisah. Harap kau mau mengerti, Soma. Terus terang
aku memang sedang berusaha membunuh perasaan
dalam hatiku," ujar Arum Sari dengan suara serak.
Siluman Ular Putih tersenyum getir. Entah
kenapa Soma merasa bersalah melihat kemurungan
wajah Arum Sari.
"Kasihan sekali kau, Arum. Demi Tuhan aku
tak bermaksud mempermainkan hatimu. All...! Ini
semua gara-gara ucapan ibu...," desah Siluman Ular
Putih dalam hati.
Arum Sari melirik ke arah Siluman Ular Putih
sejenak. Dilihatnya murid Eyang Begawan Kama-
setyo tengah menatap kosong ke depan. Tapi si gadis
membiarkannya.
Saat tiba di simpang jalan di pinggiran hutan
kecil. Arum Sari mendadak menghentikan langkah-
nya. Sepasang matanya yang tajam menekuri rum-
put-rumput kering di bawah dengan seksama.
"Soma, lihat! Tampaknya ada bekas beberapa
telapak kaki kuda yang baru saja melewati tempat
ini," tunjuk Arum Sari tanpa menoleh ke arah Silu-
man Ular Putih sedikit pun.
Soma sendiri saat itu tengah berjongkok men-
gamati bekas-bekas tapak kaki kuda di atas rumput
kering sambil sesekali menggumam. Lalu pandang
matanya segera dialihkan ke jalan setapak yang me-
nuju ke timur.
"Kau benar, Arum. Jejak-jejak kaki kuda yang
banyak sekali menandakan kalau yang baru lewat
adalah sepasukan orang berkuda. Dan kalau tak sa-
lah pengamatanku, mereka menuju ke timur," sahut
Soma dengan tatapan ke arah timur.
"Jangan-jangan mereka itu Pasukan Laskar
Hijau, Soma?"
"Hm...! Bisa jadi...."
Di saat Siluman Ular Putih dan Arum Sari
tengah sibuk mengamati jejak-jejak kaki kuda....
"Heaaaa...!"
"Aaa...!"
Samar-samar Siluman Ular Putih mendengar
suara hiruk pikuk yang ditingkahi jerit-jerit kesaki-
tan di kejauhan sana.
"Arum! Tampaknya di sebelah timur hutan ini
tengah terjadi pertarungan. Ayo kita ke sana. Arum!"
ajak Siluman Ular Putih seraya melirik ke arah
Arum Sari sekilas
Arum Sari mengangguk dan segera berkelebat
mendahului.
Siluman Ular Putih sendiri pun tak ingin ber-
lama-lama di tempat itu. Sekali menghentakkan ka-
kinya ke tanah, tubuhnya telah menjajari langkah
Arum Sari.
* * *
"Percuma saja kau menyuruh tikus comberan
itu mengeroyokku, Setan Haus Darah. Kenapa kau
tak maju sekalian, biar aku tak terlalu banyak
buang tenaga?" kata Pembunuh Iblis dengan tangan
bersedekap, ketika kembali menjatuhkan beberapa
anak buah Setan Haus Darah.
Setan Haus Darah menggeram penuh kema-
rahan. Rahangnya yang mengembung tampak demi-
kian mengerikan dengan sepasang mata berkilat-
kilat. Namun, ia sengaja masih memberi kesempatan
kepada para anak buahnya untuk memberi pelaja-
ran terhadap Pembunuh Iblis.
"Bocah pongah! Mana pantas kau berhadapan
dengan ketua kami! Menghadapi kami saja belum
tentu kau becus!" geram Surono.
Saat itu pula Surono segera memberi aba-aba
pada teman-temannya yang masih segar bugar. Se-
dang empat orang temannya yang terkena tendan-
gan Pembunuh Iblis tadi masih ngejoprak tak mam-
pu bangun lagi.
"Majulah kalau kalian tak sabar untuk berte-
mu malaikat maut, Tikus-tikus Comberan!" ejek
Pembunuh Iblis.
"Bajingan! Belum puas aku kalau belum me-
reguk darah busukmu, Bocah. Makanlah golokku!
Hea!"
Berbareng teriakannya yang nyaring, Surono
yang dibantu dua orang temannya kembali mener-
jang Pembunuh Iblis. Mereka bertiga kini tidak se-
gan-segan lagi mengeluarkan jurus andalan Pasu-
kan Laskar Hijau. Begitu tubuh mereka berkelebat,
yang terlihat hanyalah bayangan kehijauan dari ge-
rakan mereka yang cepat luar biasa. Sedang golok di
tangan mereka sesekali menyelinap di antara keleba-
tan tubuh.
Werrr! Werrr!
Pembunuh Iblis tak mau kalah gertak. Meli-
hat datangnya serangan, tubuhnya pun berkelebat
menyongsong. Meski hanya menggunakan tangan
kosong, sedikit pun ia tak kewalahan menghadapi
gempuran-gempuran ketiga orang pengeroyoknya.
Malah mudah sekali tubuhnya berjumpalitan ke sa-
na kemari menghindari tebasan-tebasan golok. Bah-
kan sesekali balik membalas serangan. Kedua tela-
pak tangannya yang terkepal erat tiba-tiba menyeli-
nap di antara gulungan golok di tangan Surono.
Dan....
Bukkk! Bukkk!
"Augh...!"
Pekik kesakitan kontan keluar dari mulut So-
rono yang juga tangan kanan Setan Haus Darah.
Begitu terkena hantaman tubuhnya terjajar bebera-
pa langkah ke belakang. Menilik darah segar yang
membasahi sudut-sudut bibir, jelas sekali kalau
tangan kanan Setan Haus Darah itu telah menderita
luka dalam.
"Heaaa…!"
Melihat Surono telah terluka, kedua orang
pengeroyok Pembunuh Iblis makin meningkatkan
serangan. Dikawal bentakan nyaring mereka mener-
jang ganas.
Pembunuh Iblis menghadapi serangan, segera
mengerahkan tenaga dalamnya ke kedua telapak
tangan. Dan dengan satu gerak tipu yang sulit diter-
ka, tiba-tiba kedua telapak tangannya telah men-
gancam dada kedua orang pengeroyoknya. Namun
sebelum serangan-serangannya mengenai sasaran,
tiba-tiba terasa ada hawa dingin yang bukan kepa-
lang telah mengancam punggungnya.
Wesss!
"Hup!"
Pembunuh Iblis cepat membuang tubuhnya
jauh ke samping, sehingga serangan itu hanya men-
genai angin kosong. Dan begitu kakinya menjejak
tanah, dilihatnya Setan Haus Darah telah turun dari
punggung kuda. Rupanya dialah yang melepas se-
rangan gelap tadi.
"Kenapa tidak dari tadi kau turun tangan, Se-
tan Haus Darah? Sekarang setelah melihat anak
buahmu kewalahan, kau baru turun tangan. Huh!"
ejek Pembunuh Iblis.
"Mundur!" bentak Setan Haus Darah pada pa-
ra anak buahnya yang bermaksud membantu.
Tanpa diperintah sekali lagi, para anggota Pa-
sukan Laskar Hijau segera melompat ke belakang
berkumpul bersama teman-teman lainnya. Namun
mereka masih tetap siaga dengan golok di tangan.
"Tak kusangka kau memiliki sedikit kepan-
daian, Bocah. Pantas kau berani menantangku. Tapi
jangan harap dapat mengalahkanku. Percuma saja
aku bergelar Setan Haus Darah kalau tak dapat me-
robohkanmu!" desis Pemimpin Laskar Hijau itu.
"Buktikan saja, Setan Haus Darah. Kau atau
aku yang terlebih dulu berkalang tanah!" tantang
Pembunuh Iblis.
"Bajingan! Bocah tak tahu diuntung. Sudah
dikasih hati malah menginjak kepala. Kau memang
layak modar di tanganku!" geram Setan Haus Darah
tak dapat lagi menahan amarah.
Setan Haus Darah segera menarik kedua te-
lapak tangannya ke belakang. Dan sekonyong-
konyong, dipukulkan ke arah Pembunuh Iblis.
Bed!
Wuss!
Saat itu juga, tempat itu laksana disapu ge-
lombang angin panas menuju ke arah Pembunuh Ib-
lis yang melesat dari kedua telapak tangan Setan
Haus Darah. Apa saja yang ada di sekitar tempat
pertarungan seolah bagai terpanggang. Suasana pun
berubah redup mengandung hawa kematian!
Menyadari hawa kematian mengincar nya-
wanya, Pembunuh Iblis segera menggerakkan ba-
hunya setengah lingkaran. Sepasang mata pemuda
berjubah biru itu kontan terpentang lebar! Lalu dis-
ertai gerengan kemarahan, tiba-tiba ujung jubahnya
dikebutkan dengan kedua telapak tangan disentak-
kan ke depan!
Wesss! Wesss!
Yang melesat pertama kali dari serangan ba-
lasan Pembunuh Iblis adalah gelombang angin dah-
syat yang mampu mengeluarkan suara menggidik-
kan. Di saat berikutnya, menyusul asap putih yang
langsung melesat turun naik diiringi hawa panas
bukan kepalang!
Blarr...!
Gelombang angin pukulan Pembunuh Iblis
kontan menyambut pukulan Setan Haus Darah,
menimbulkan satu ledakan hebat!
Tempat pertarungan kontan terguncang hebat
laksana terjadi gempa! Tanah langsung-
berhamburan tinggi ke udara, meninggalkan lubang-
lubang yang menganga lebar! Pagar-pagar rumah
penduduk bermentalan sebelum akhirnya hancur
berkeping-keping di udara! Sementara beberapa
orang anak buah Pasukan Laskar Hijau terlebih du-
lu membuang tubuh ke samping hingga luput dari
sambaran angin akibat bentrokan pukulan tadi!
Tubuh Pembunuh Iblis sendiri kontan terlem-
par jauh ke belakang. Parasnya pucat pasi dengan
darah segar membasahi sudut-sudut bibir. Agaknya,
pemuda berjubah biru itu telah menderita luka da-
lam.
Agak jauh di depannya, Setan Haus Darah
tampak terhuyung-huyung dengan tubuh bagian
atas hampir tersiram pasir. Namun sebelum kepa-
lanya menghantam tanah, kedua telapak tangannya
segera bergerak ke depan, sehingga keseimbangan
tubuhnya dapat terkuasai. Keadaan ini sebenarnya
masih jauh lebih menguntungkan dibanding kea-
daan Pembunuh Iblis. Setan Haus Darah tahu, mu-
suhnya telah menderita luka dalam. Maka cepat ia
melompat bangun.
"Bagus! Rupanya kau memiliki satu pukulan
hebat juga, Bocah. Tapi tetap saja percuma mela-
wanku. Kau akan modar di tanganku! Sekarang,
makanlah pukulan 'Gemuruh Badai'! Hea!"
Dikawal bentakan keras, Setan Haus Darah
kembali menghentakkan kedua telapak tangannya
ke depan. Seketika meluncur angin kencang laksana
amukan topan badai dari kedua telapak tangan Se-
tan Haus Darah siap melabrak tubuh Pembunuh Ib-
lis.
Werrr! Werr!
Pembunuh Iblis menggeram penuh kemara-
han. Ia merasakan, sebelum hawa pukulan Setan
Haus Darah sempat mengenai tubuhnya, terlebih
dahulu berkesiur hawa panas luar biasa yang me-
nyengat kulit tubuh!
"Hiaaa...!"
Tanpa buang-buang waktu, Pembunuh Iblis
segera menghantamkan kedua telapak tangannya ke
depan. Seketika meluruk dua larik sinar biru dari
kedua telapak tangannya. Dan....
Blammm! Blammm!
Tepat pada titik tengah, sinar-sinar biru dari
tangan Pembunuh Iblis menghantam pukulan Setan
Haus Darah. Seketika kembali terdengar dua leda-
kan dahsyat. Hebat bukan main bentrokan dua te-
naga dalam kali ini, sehingga menimbulkan kesiur
angin yang memporak-porandakan apa saja yang
ada di sekitar tempat pertarungan. Ranting-ranting
pohon berderak dengan daun-daun hangus terba-
kar! Sedang beberapa orang anak buah Setan Haus
Darah yang terlambat menghindar kontan menjerit
dengan sekujur tubuh melepuh!
Sewaktu terjadinya bentrokan tadi, tubuh
Pembunuh Iblis melayang jauh ke belakang. Tubuh
tinggi kekarnya berputar-putar, sebentar sebelum
akhirnya terbanting keras.
Bukkk!
Pembunuh Iblis meringis kesakitan. Tulang
punggungnya yang beradu dengan tanah terasa mau
remuk. Sementara kedua telapak tangannya mele-
puh akibat bentrokan tadi. Luka dalamnya yang di-
derita kali ini benar-benar menyiksa. Kendati begitu,
pemuda itu mencoba melompat bangun. Tapi, tu-
buhnya terasa lemah tak bertenaga, sehingga kem-
bali luruh ke tanah.
"Ha ha ha...! Saat inilah kematianmu, Bocah
Pongah! Jangan salahkan kalau aku terpaksa harus
merenggut nyawa busukmu, Bocah! Sekarang teri-
malah hari kematianmu! Hea!"
Setan Haus Darah cepat menarik kedua tela-
pak tangannya ke belakang. Dan dengan kekuatan
tenaga dalam penuh, kedua telapak tangannya telah
dihantamkan ke depan. Seketika itu juga meluruk
dua gulungan bola api dari kedua telapak tangannya
siap melabrak tubuh Pembunuh Iblis.
Werrr! Werrr!
Pembunuh Iblis mengeluh pasrah. Mengha-
dapi bahaya maut yang siap merenggut nyawanya, ia
berniat memapak dengan kekuatan tenaga dalam
penuh. Namun baru saja hendak melontarkan puku-
lan, mendadak melesat dua larik sinar putih terang
yang datangnya dari samping. Dan tahu-tahu, dua
sinar putih terang itu telah memapak pukulan Setan
Haus Darah!
Blammm!
"Setan alas! Siapa yang berani gila dengan Se-
tan Haus Darah, he?!"
8
Sepasang mata merah menyala Setan Haus
Darah berkilat-kilat penuh kemarahan menatap se-
pasang anak muda-mudi yang berdiri tak jauh di
depannya. Yang sebelah kanan adalah seorang pe-
muda tampan berambut gondrong sebahu. Pakaian-
nya rompi dan celana bersisik warna putih kepera-
kan. Sedang di sebelahnya seorang gadis cantik be-
rambut digelung ke atas, dihiasi untaian bunga me-
lati. Gadis ini mengenakan pakaian yang juga ber-
warna hijau. Menilik ciri-cirinya, mereka tak lain da-
ri Siluman Ular Putih dan Arum Sari.
"Terima kasih, Sobat. Kali ini aku berhutang
nyawa denganmu," ucap Pembunuh Iblis pada Silu-
man Ular Putih.
Soma hanya menoleh sebentar ke arah Pem-
bunuh Iblis yang masih mengejoprak di tanah. Lalu
dengan senyum tersungging di bibir kembali diha-
dapinya Pimpinan Pasukan Laskar Hijau.
"Jadi, kaukah yang bergelar Setan Haus Da-
rah? Hm...! Kebetulan sekali. Aku memang sedang
mencari-carimu berikut konco-koncomu," ancam Si-
luman Ular Putih, senang.
"Jahanam! Bocah edan mana lagi yang berani
pentang bacot demikian rupa di hadapan Setan
Haus Darah?! Apa kau sudah bosan hidup, he?!"
bentak Setan Haus Darah tak kalah gertak.
"Sudahlah! Jangan banyak bacot, Biang Pe-
rampok! Aku sudah kebal segala macam gertak
sambal. Sekarang kalau kau ingin mencabut nyawa-
ku, lakukanlah! Tapi, hati-hati! Jangan-jangan ma-
lah kau sendiri yang kena gebuk!" balas Siluman
Ular Putih.
Setan Haus Darah menggeram murka. Ia ya-
kin sekali dapat mengatasi, walau tadi sebenarnya
sudah merasakan kehebatan pukulan pemuda edan
di depannya.
"Tunggu!" ujar Setan Haus Darah.
"Apa lagi yang hendak kau bicarakan, Biang
Perampok? Katanya kau ingin mencabut nyawaku?"
tanya Soma.
"Aku tak akan mencabut nyawa seseorang ka-
lau belum tahu siapa nama orang itu. Sekarang ka-
takan siapa nama dan gelarmu hingga membuatmu
pongah, Bocah Gondrong!"
"Ooo...! Rupanya kau penasaran dengan na-
maku, ya? Aha...! Sayang sekali, namaku tak cukup
baik. Soma! Tapi yang jelas, nama bukanlah jadi ja-
minan. Buktinya kau yang mengaku bergelar Setan
Haus Darah malah jadi biang kerok. Suka meng-
ganggu rakyat tak mampu," sahut Soma asal jadi.
"Bajingan! Katakan sekalian siapa gelarmu,
Bocah!"
"Itu tak penting. Pokoknya, asal bisa memberi
pelajaran pada manusia pongah macam kau, itu su-
dah cukup penting bagiku."
"Baik! Kalau kau keberatan menyebutkan ge-
larmu tak jadi soal. Asal jangan menyesal kalau
nyawamu minggat dari raga!"
"Aku tak mungkin menyesal. Malah aku se-
nang dapat berjumpa golongan perampok macam
kalian. Tapi sayang, aku tak punya barang yang cu-
kup berharga untuk dirampok. Padahal, aku ingin
sekali merasakan seperti apa sih enaknya diram-
pok?"
"Setan alas! Makin diumbar malah makin ke-
lewatan! Kau akan menyesal telah bertemu dengan-
ku, Bocah! Sekarang rasakanlah akibatnya!" geram
Setan Haus Darah.
Saat itu juga, Setan Haus Darah segera me-
narik mundur kedua telapak tangannya ke bela-
kang. Lalu dengan kekuatan tenaga dalam penuh ti-
ba-tiba kedua telapak tangannya segera disentakkan
ke depan.
Wesss! Wesss!
Seketika meluruk dua gulungan bola api dari
kedua telunjuk tangan Setan Haus Darah, siap me-
labrak tubuh Siluman Ular Putih. Bahkan sebelum
serangan-serangan itu sempat mengenai sasaran,
terlebih dahulu telah berkesiur hawa panas bukan
kepalang.
Sementara di saat Setan Haus Darah melon-
tarkan pukulan maut, beberapa orang anak buah-
nya yang tak sabar untuk turun ke tempat perta-
rungan segera menerjang Siluman Ular Putih. Na-
mun baru saja mereka bertindak. Arum Sari telah
menghadang dengan pedang di tangan.
"Bagus, Arum! Hajar perampok-perampok ke-
cil itu biar tahu rasa!" celoteh Siluman Ular Putih.
Padahal saat itu, dua gulungan bola api dari kedua
telapak tangan Setan Haus Darah siap mengganyang
tubuhnya.
Begitu gulungan dua bola api itu hanya ting-
gal beberapa jengkal di hadapannya, Siluman Ular
Putih pun segera bertindak. Segera kedua telapak
tangannya menghantam ke depan, membuat dua la-
rik sinar putih terang melesat memapak pukulan Se-
tan Haus Darah. Itulah pukulan 'Tenaga Inti Bumi'
yang cukup menggetarkan dunia persilatan. Dan....
Blammm!
Terdengar satu ledakan hebat di udara begitu
terjadinya bentrokan dua tenaga dalam tingkat ting-
gi di udara. Seketika bumi laksana diguncang pra-
hara. Angin panas yang ditingkahi angin dingin
langsung menebar ke segenap penjuru, memporak-
porandakan apa saja yang ada di sekitarnya. Pagar-
pagar rumah penduduk hancur berantakan. Seba-
gian beterbangan ke udara, menghantam tanah di
sekitarnya!
Tubuh Setan Haus Darah sendiri kontan me-
layang jauh ke belakang begitu terjadi bentrokan.
Untung saja tubuhnya cepat membuat putaran dan
hinggap di tanah tanpa terbanting keras. Meski de-
mikian tetap saja rasa nyeri dalam dadanya tak da-
pat disembunyikan dari parasnya yang pias dan mu-
lutnya yang meringis.
Jauh di depan sana, sosok Siluman Ular Pu-
tih hanya bergoyang-goyang sebentar. Kedua ka-
kinya tersurut beberapa langkah ke belakang. Na-
mun sedikit pun tidak membahayakan keselama-
tannya. Malah murid Eyang Begawan Kamasetyo ini
tersenyum nakal.
"Ayo, bangun! Masa' baru begitu saja sudah
loyo? Huh! Katanya biang perampok nomor wahid?"
ejeknya.
"Bajingan! Kuakui kau memang hebat, Bocah
Edan! Tapi, jangan bangga dulu! Aku sama sekali
belum kalah," dengus Pimpinan Laskar Hijau itu.
"Sekarang rasakanlah pukulan 'Gemuruh Badai
Api'-ku!"
Begitu melompat bangun, tak tanggung-
tanggung lagi Setan Haus Darah segera mengelua-
rkan pukulan andalan 'Gemuruh Badai Api'. Saat itu
juga kedua tangannya yang telah berubah jadi me-
rah menyala hingga ke pangkal menghentak disertai
bentakan nyaring.
"Heaaa...!"
Wusss...!
Seketika meluruk dua gulungan api yang ber-
kobar-kobar dari kedua telapak tangan lelaki tinggi
besar itu ditingkahi angin kencang berkesiur ke arah
Siluman Ular Putih.
"Hmmm...!"
Siluman Ular Putih menggumam dalam hati.
Dari berkesiurnya hawa panas yang menyentuh ku-
lit, disadarinya akan kehebatan pukulan 'Gemuruh
Badai Api'. Untuk itu, pemuda ini tak berani main-
main lagi. Maka segera digabungkannya pukulan
'Tenaga Inti Bumi' dan 'Tenaga Inti Api'. Lalu secepat
itu kedua telapak tangannya mendorong ke depan.
"Hea!"
Bukan main! Dua larik sinar merah dan putih
yang disertai berkesiurnya hawa panas dan dingin
bukan kepalang saat itu pula meluncur dari kedua
telapak tangan Siluman Ular Putih, memapak puku-
lan Setan Haus Darah. Dan....
Blammm! Blammm!
"Aaakh...!"
Setan Haus Darah kontan menjerit tertahan.
Tubuhnya yang tinggi besar tanpa ampun kembali
melayang jauh ke belakang dan terbanting keras di
tanah. Sedang Siluman Ular Putih sendiri pun men-
galami nasib tak jauh berbeda. Begitu bentrokan ter-
jadi, tubuhnya terpental ke belakang. Cuma be-
danya, ia cepat mematahkan daya luncur tubuhnya
dengan beberapa kali putaran di udara. Maka begitu
mendarat, keseimbangan tubuhnya jadi terkendali.
Sementara itu, Arum Sari yang tengah sibuk
menghadapi keroyokan beberapa orang anak buah
Setan Haus Darah tampak kewalahan bukan main.
Meski memiliki kepandaian yang cukup lumayan,
namun menghadapi keroyokan dari orang-orang
yang juga memiliki kepandaian lumayan, tak urung
membuatnya kewalahan. Apalagi jumlah pengeroyok
cukup banyak. Meski demikian, Arum Sari tetap be-
rusaha membalas dengan menggunakan jurus anda-
lan 'Tongkat Penggebuk Iblis'.
Namun keadaan ini tak urung membuat hati
Siluman Ular Putih resah. Hatinya khawatir kalau-
kalau Arum Sari akan celaka di tangan para penge-
royoknya. Sedang pemuda berjubah biru yang kini
bergelar Pembunuh Iblis pun hanya ngejoprak di ta-
nah, sehingga tak mungkin diharapkan bantuannya.
Mau tak mau Siluman Ular Putih terpaksa harus
membagi perhatiannya.
"Biang rampok! Kukira kau harus segera me-
ninggalkan jalan yang kau tempuh selama ini! Kalau
tidak, aku benar-benar ingin membuat perhitungan
denganmu. Juga dengan anak buahmu. Terus te-
rang, aku paling benci dengan kejahatan di muka
bumi!"
"Bocah bau kencur macam kau! Bisanya
berkhotbah di depanku. Puahhh! Makan saja kata-
kata manismu tadi. Siapa mau peduli?!" dengus Se-
tan Haus Darah merasa muak sekali melihat tingkah
Siluman Ular Putih.
"Kalau begitu, kau memang patut dilenyapkan
dari muka bumi ini, Biang Rampok!"
"Lakukanlah kalau kau memang sanggup!"
Siluman Ular Putih kembali bersiap melon-
tarkan pukulan andalan. Telapak tangan kanannya
telah berubah jadi merah menyala hingga ke pangkal
lengan. Sedang telapak tangan kirinya telah berubah
jadi putih terang, juga sampai pangkal lengan. Itulah
pukulan gabungan antara pukulan 'Tenaga Inti Bu-
mi' dan pukulan 'Tenaga Inti Api' yang dahsyat luar
biasa.
Seperti yang dilakukan Siluman Ular Putih,
Setan Haus Darah pun tak mau kalah. Maka segera
dikeluarkannya pukulan 'Gemuruh Badai Api' den-
gan kekuatan tenaga dalam penuh.
Menilik kekuatan tenaga dalam yang dikelua-
rkan, rupanya mereka benar-benar ingin mengadu
jiwa. Siapa yang tenaga dalamnya kendur, berarti
kematianlah yang akan ditemui. Tapi di saat Silu-
man Ular Putih dan Setan Haus Darah sama-sama
hendak melontarkan pukulan maut....
"Aahh...!"
Mendadak terdengar teriakan kesakitan dari
samping. Selang beberapa saat, tampak tubuh Arum
Sari terhuyung-huyung mendekati Setan Haus Da-
rah, akibat pukulan salah seorang pengeroyoknya.
Pimpinan Laskar Hijau yang memang berwatak licik,
diam-diam tersenyum gembira. Saat itu pula kedua
telapak tangannya yang telah berubah jadi merah
menyala hingga pangkal siku dihantamkan ke arah
Arum Sari!
"Tahan!" teriak Siluman Ular Putih kalap bu-
kan main.
Namun sayang, teriakan Siluman Ular Putih
terlambat. Karena....
Desss...!
"Aaakh...!"
Begitu terkena pukulan Setan Haus Darah,
seketika tubuh gadis cantik itu terlempar jauh ke
samping disertai teriakan kesakitan. Tampak tubuh
rampingnya berputar-putar sebentar di udara, sebe-
lum akhirnya terbanting keras.
Bukkk!
Tampak punggung Arum Sari menghantam
keras ke tanah. Tubuhnya menggeliat-geliat seben-
tar, dan kembali luruh ke tanah.
"Bajingan! Licik! Kubunuh kau...!" pekik Si-
luman Ular Putih tak dapat mengendalikan hawa
amarah yang menggelegak dalam dada.
Karena tidak kuat menahan amarahnya yang
menggelegak, mendadak sekujur tubuh murid Eyang
Begawan Kamasetyo dipenuhi asap putih tipis se-
hingga, akhirnya sosoknya tertutup asap putih! Dan
saat asap putih yang menyelimuti sekujur tubuhnya
itu hilang tertiup angin, maka saat itu juga…
"Ggggeeerrr...!!!"
9
"Si.... Siluman Ular Putih...!" pekik Setan
Haus Darah dan semua yang berada di tempat per-
tarungan penuh takjub. Termasuk juga, Pembunuh
Iblis yang saat itu tengah sibuk menyembuhkan lu-
ka dalamnya.
Di hadapan Setan Haus Darah kini tampak
seekor ular putih raksasa dengan ukuran tubuh luar
biasa, hampir sebesar pohon kelapa! Taring-
taringnya yang runcing demikian mengerikan den-
gan sepasang mata yang mencorong beringas ber-
warna merah menyala!
"Ggggeeerrr...!!!"
Sosok Soma yang telah berwujud ular putih
raksasa itu sejenak mengibas-ngibaskan ekornya ke
sana kemari, membuat tempat pertarungan kontan
bergetar hebat. Debu-debu membubung tinggi ke
udara, menghalangi pandangan.
"Hm...! Jadi kaukah yang bergelar Siluman
Ular Putih, Bocah Keparat?! Bagus! Kebetulan sekali
aku memang sudah lama ingin menjajal kehebatan
Siluman Ular Putih yang akhir-akhir ini menggem-
parkan dunia persilatan. Majulah! Akan kulihat
sampai di mana kehebatanmu, Ular Keparat!" ejek
Setan Haus Darah.
Diam-diam, Pimpinan Pasukan Laskar Hijau
ini kembali mengerahkan pukulan andalannya,
'Gemuruh Badai Api'. Seketika dua telapak tangan
pentolan Pasukan Laskar Hijau ini kembali berubah
merah menyala hingga ke pangkal.
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Suara
gerengannya yang kasar dan berat seolah ingin
menggetarkan nyali lawannya. Habis menggereng,
mendadak ular putih raksasa ini sedikit menekuk
ekornya ke samping. Dan....
Wesss!
Sosok ular putih raksasa itu kini telah mele-
sat cepat, siap melabrak tubuh Setan Haus Darah.
Kedua taringnya yang runcing berkilauan tertimpa
sinar matahari. Belum lagi sepasang matanya yang
berwarna merah menyala seolah-olah ingin melumat
sosok lawannya.
"Jangan gegabah, Ular Putih Keparat! Makan-
lah pukulan 'Gemuruh Badai Api'-ku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Setan
Haus Darah menghentakkan kedua telapak tangan-
nya ke depan disertai tenaga dalam penuh. Saat itu
juga meluruk dua gulungan api yang berkobar-kobar
dari kedua telapak tangannya siap meluluhlantak-
kan tubuh ular putih raksasa.
Besss!
Serangan Siluman Ular Putih kontan terhenti
di tengah jalan. Sementara, tak ada suara ledakan
yang terdengar, kecuali gerengan ular putih raksasa
itu saat sekujur tubuhnya terpanggang api. Tak hen-
ti-hentinya sosok ular putih raksasa itu menggeliat-
geliat hebat ke sana kemari.
Setan Haus Darah tertawa bergelak seolah
puas dengan hasil serangannya. Dengan paras me-
negang kekuatan tenaga dalamnya makin ditambah,
hingga kobaran api yang membakar tubuh Siluman
Ular Putih makin hebat. Namun anehnya, sosok ular
putih raksasa itu sedikit pun tidak cedera! Jangan-
kan cedera, mengelupas kulit tubuhnya pun tidak!
Malah begitu kobaran api yang membakar tubuhnya
sirna, Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan
ekornya liar ke sana kemari.
"Gggeeerrr...!!!"
Setan Haus Darah terkesiap. Keningnya ber-
kerut-kerut saking herannya.
"Mustahil! Pukulan 'Gemuruh Badai Api'-ku
tak mampu melukai tubuh ular putih raksasa ini!"
geram Setan Haus Darah, hanya dalam hati.
"Ggggeeeerrr...!"
Sosok ular putih raksasa itu kembali mene-
kuk ekornya ke samping. Sesaat kemudian sosoknya
yang besar dan panjang kembali melesat cepat ke
arah Setan Haus Darah. Taring-taringnya yang runc-
ing siap melumat lawan. Pada saat yang sama, Setan
Haus Darah masih ter-paku oleh keterkejutan meli-
hat kehebatan Siluman Ular Putih. Akibatnya saat
menghindar gerakannya jadi lambat. Dan....
Bukkk!
"Aaaakh...!"
Setan Haus Darah kontan meraung setinggi
langit. Tubuhnya yang tinggi besar tanpa ampun
langsung terbanting keras dengan wajah pias. Pada
bagian punggungnya yang terkena kibasan terasa
mau remuk! Untung saja tubuhnya tadi telah terlin-
dungi tenaga dalam. Kalau tidak, bukan mustahil
tubuhnya akan remuk!
Begitu bangkit, Pimpinan Laskar Hijau itu
menggeram murka. Kedua telapak tangannya kem-
bali berubah jadi merah menyala hingga ke pangkal
lengan. Sementara, sosok ular putih raksasa di ha-
dapannya telah siap menerkam dirinya. Setan Haus
Darah tentu saja tak ingin tubuhnya jadi sasaran
empuk. Maka saat ular putih raksasa itu berada be-
berapa tombak lagi, langsung dikerahkannya tenaga
dalam tinggi seraya melepas pukulan 'Gemuruh Ba-
dai Api'.
"Hea...!"'
Saat itu juga. Kembali dua gulungan api yang
berkobar-kobar menghantam tubuh Siluman Ular
Putih. Kali ini jauh lebih hebat dari pukulannya
yang pertama. Sehingga, kobaran api yang menyeli-
muti sekujur tubuh Siluman Ular Putih makin
menggila!
"Ggggeeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih serangannya berhasil di-
gagalkan menggereng liar. Ekornya dikibaskan ke
sana kemari membuat debu dan pasir beterbangan
memenuhi tempat pertarungan. Selang beberapa
saat, kobaran api pun reda dengan sendirinya.
"Edan! Tak mungkin ular putih raksasa itu
kebal terhadap pukulan andalanku! Hm...? Benar-
benar tak dapat kupercaya. Kalau tak melihat den-
gan mata kepala sendiri, mustahil aku dapat mem-
percayainya. Hm...!" gumam Setan Haus Darah
sambil mengangguk-angguk.
"Hajar ular keparat itu!" perintah Setan Haus
Darah kepada puluhan anak buahnya yang siap
membantu.
Habis memerintah, Pimpinan Laskar Hijau itu
segera memungut golok salah seorang anak buahnya
yang tergeletak di tanah. Kemudian dengan golok di
tangan, kembali diserang ular putih raksasa itu, di-
bantu puluhan anak buahnya.
Wesss! Wesss!
Crakkk! Crakkk!
"Gggeeerrr...!!!"
Sosok ular putih raksasa itu hanya mengge-
liat-geliat sebentar ketika tubuhnya dicincang golok
para pengeroyoknya. Namun hebatnya, sedikit pun
tak mengalami cedera! Malah kibasan-kibasan ekor-
nya membuat beberapa orang anak buah Setan
Haus Darah berpelantingan ke sana kemari dengan
bagian tubuh remuk!
Bukan main geramnya hati Setan Haus Darah
melihat kehebatan ular putih raksasa di depannya.
Ia sendiri sudah berkali-kali membacokkan golok ke
tubuh Siluman Ular Putih dengan tenaga dalam pe-
nuh. Namun apa yang dialami tak jauh berbeda
dengan puluhan anak buahnya. Sosok ular putih
raksasa itu tetap utuh tanpa terluka sedikit pun.
"Setan alas! Kalau begini terus, tak mungkin
aku menghadapinya. Hm...!"
Setan Haus Darah menggeram penuh kema-
rahan. Otaknya yang licik kini kembali memenuhi
benaknya. Dan saat melihat tubuh Arum Sari masih
terletak tak berdaya di luar pertarungan, bibirnya
melepas senyum gembira. Apalagi saat itu Pembu-
nuh Iblis tampak sedang lengah.
"Suuuitt...!"
Berpikir demikian, Setan Haus Darah segera
bersuit memberi aba-aba kepada anak buahnya un-
tuk segera meninggalkan tempat pertarungan. Se-
dang dirinya sendiri segera berkelebat cepat, lang-
sung menyambar tubuh Arum Sari setelah melepas
totokan beberapa kali.
"Berhenti!" teriak Pembunuh Iblis geram bu-
kan main.
Saat itu, meski tengah menderita luka dalam
yang cukup parah, pemuda berjubah biru ini me-
maksakan diri untuk melontarkan satu pukulan
maut. Tapi sayang, dadanya terasa nyeri bukan
main. Terpaksa niatnya diurungkan. Sedangkan Se-
tan Haus Darah telah berkelebat cepat ke atas
punggung kudanya dengan tawa bergelak.
"Hup!"
Begitu mencapai punggung kudanya yang
sempat menjadi liar manakala melihat sosok Silu-
man Ular Putih, Setan Haus Darah segera mengge-
bahnya keras-keras. Sejenak sepasang kaki depan
kuda itu terangkat tinggi lalu melesat cepat mening-
galkan tempat pertarungan. Tindakannya pun diiku-
ti puluhan anak buahnya yang segera menyusul.
Namun, masih ada juga beberapa orang anggota
Laskar Hijau yang masih tergeletak tak berdaya.
Melihat para pengeroyoknya melarikan diri,
ular putih raksasa jelmaan murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu tak henti-hentinya menggereng hebat.
Dalam keadaan masih berwujud ular, jelas tak
mungkin Setan Haus Darah dan anak buahnya bisa
dikejar. Maka untuk meneruskan niatnya, mau ti-
dak mau Siluman Ular Putih harus mengubah di-
rinya menjadi manusia biasa kembali. Dan ini pun
memerlukan waktu!
"Gggeeerr...!"
Tak berapa lama, tampak sosok tubuh ular
putih raksasa telah dipenuhi asap putih tipis. Se-
hingga sosoknya yang panjang memutih tak keliha-
tan sama sekali tertutup asap putih.
Besss!
Pembunuh Iblis dan beberapa orang pendu-
duk kampung yang menyaksikan kehebatan Silu-
man Ular Putih tak henti-hentinya berdecak penuh
kagum. Selang beberapa saat setelah asap putih ti-
pis itu lenyap tertiup angin, maka yang tampak di
tempat pertarungan adalah seorang pemuda tampan
berambut gondrong sebahu. Pakaian rompi dan ce-
lananya bersisik warna putih keperakan! Itulah so-
sok murid Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar
Siluman Ular Putih!
* * *
"Maaf, Soma! Sebagai seorang sahabat, aku
benar-benar merasa tak berguna. Arum Sari lenyap
dibawa kabur Setan Haus Darah tanpa dapat kuce-
gah," keluh Pembunuh Iblis penuh sesal. Akibat tadi
memaksakan diri mengerahkan tenaga dalam, maka
luka dalam tubuh pemuda itu pun makin menghe-
bat.
"Sudahlah! Lupakan! Aku maklum dengan
keadaanmu," ujar Siluman Ular Putih, lalu buru-
buru mengambil sebutir obat yang tersimpan di kan-
tong kecil yang menggelantung di pinggang. "Minum-
lah obat ini! Luka dalammu pasti akan cepat sem-
buh."
'Terima kasih. Soma," ucap Pembunuh Iblis,
segera mengambil sebutir obat berwarna kuning dari
telapak tangan Siluman Ular Putih dan menelannya.
"Sekarang tolong urusi beberapa orang anak
buah Setan Haus Darah yang tertinggal! Aku sendiri
harus secepatnya menyelamatkan Arum Sari. Sela-
mat tinggal, Kawan!"
Saat itu juga Siluman Ular Putih segera men-
jejakkan kakinya ke tanah, langsung berkelebat ce-
pat meninggalkan tempat itu. Tak tanggung-
tanggung, segera dikerahkannya ajian 'Menjangan
Kencono' untuk mengejar Setan Haus Darah dan
anak buahnya. Sehingga dalam beberapa kelebatan
saja, sosoknya telah melesat jauh.
10
Dalam terpaan angin siang, seorang kakek
renta berpakaian serba biru tengah terkantuk-
kantuk di bawah rindangnya sebuah pohon. Usianya
kira-kira tujuh puluh tahun. Rambutnya awut-
awutan tak terawat. Saking kurusnya, membuat se-
pasang matanya mencekung ke dalam.
Kakek renta ini terus bertelekan pada tong-
katnya. Kepalanya tertunduk, sehingga wajahnya
yang kasar tertutup rambut putih. Dengkurnya pun
mulai terdengar, pertanda mulai terlelap.
Di saat kakek renta yang tengah menikmati
semilirnya angin siang, mendadak....
Krakkk!
Terdengar suara ranting kering terinjak,
membuat si kakek terkejut. Saat itu pula hidungnya
yang tajam menangkap bau harum. Seketika rasa
kantuknya terbunuh oleh perasaan ingin tahunya.
"Eh...! Bau apa ini?"
Kakek berpakaian biru itu mengenduskan hi-
dungnya ke sana kemari. Bersamaan dengan gera-
kan hidung, kepalanya pun bergerak perlahan ke
samping. Dan seketika matanya terbentur pada seo-
rang gadis cantik yang tengah berkelebat cepat ke
arahnya di jalan setapak. Tubuhnya yang tinggi
ramping dibalut pakaian indah warna merah. Se-
dang rambutnya yang hitam lebat digelung ke atas.
Bentuk matanya bulat dihiasi bulu mata lentik. Be-
lum lagi bentuk hidung dan dagunya yang merunc-
ing. Benar-benar anggun dan menawan penampilan
gadis cantik satu ini. Apalagi gelungan rambutnya
dihiasi pula dengan mutiara beraneka warna sehing-
ga, penampilannya tak ubah seperti seorang ratu.
"Maaf, Kek! Boleh aku menanyakan sesuatu?"
kata si gadis begitu menghentikan langkahnya di
depan kakek berpakaian biru. Suaranya begitu san-
tun.
"Hm...!"
Kakek renta itu tak langsung menjawab, ke-
cuali menggumam tak jelas. Matanya tajam menghu-
jam ke sekujur tubuh si gadis cantik. Namun pan-
dangannya bukanlah menunjukkan ketertarikan
melihat penampilan gadis di hadapannya, melainkan
sedang menaksir-naksir apa yang tersembunyi da-
lam diri gadis itu.
"Maaf, Kek! Apakah Kakek mengenal seseo-
rang yang bernama Gendon Prakoso?" tanya gadis
itu langsung saja.
Si kakek menggeleng pelan. Namun sepasang
matanya terus menghujam tajam ke arah gadis can-
tik di hadapannya.
Melihat dirinya dipandangi demikian rupa, si
gadis cantik jadi curiga. Bagaimana tidak curiga ka-
lau dirinya terus diperhatikan seperti itu? Walau
yang memperhatikannya seorang kakek renta, na-
mun bagaimanapun juga adalah seorang lelaki. Dan
naluri kewanitaannya mau tak mau harus mengi-
syaratkan lain. Karena bukan mustahil dunia persi-
latan yang banyak ditebari tokoh dunia hitam dan
manusia berhati keji membuat dirinya celaka.
"Kau tidak mengenalnya, Kek?" tanya si gadis
lagi, tetap dengan suara santun.
"Hm.... Siapa namamu?" Si kakek kali ini bu-
ka suara.
"Yustika, Kek," sahut gadis yang ternyata
Yustika alias Ratu Adil.
"Hmmm.... Aku Peramal Maut. Mendekatlah
Yustika. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan," ujar
kakek renta yang ternyata bergelar Peramal Maut se-
raya melambaikan tangan.
"Baik."
Tanpa banyak cakap Yustika menurut. Si ga-
dis maju selangkah, hingga berada dua tombak di
hadapan si kakek. Dalam hatinya berharap kalau
kakek renta ini mau membantu dirinya untuk me-
nemukan ayah kandungnya yang bernama Gendon
Prakoso.
Memang, sejak diberi gelar Ratu Adil oleh gu-
runya, Yustika sengaja merubah penampilannya.
Rambutnya yang biasanya dikuncir ke belakang kini
digelung ke atas serta dihiasi mutiara-mutiara in-
dah. Demikian juga tutur sapanya. Yustika yang
memang berwatak lembut merasa tidak kesulitan
untuk menyesuaikan diri dengan gelar yang diberi-
kan gurunya.
"Apa yang ingin kau katakan, Kek?"
"Hhh...," Peramal Maut menghela napasnya
sejenak. Pandang matanya pun tampak sayu kala
menatap Yustika.
"Katakanlah, Kek! Apa yang ingin Kakek bica-
rakan?" desak Yustika, tak sabar.
"Begini, Yustika. Sewaktu kau lewat tadi, aku
mencium bau harum yang luar biasa. Namun selang
beberapa saat kemudian, aku pun mencium bau bu-
suk. Kau tahu pertanda apakah itu?" Yustika meng-
geleng.
"Nah...! Seperti getaran dalam hatiku, aku ya-
kin kalau kau adalah seorang gadis berhati mulia.
Dan bau busuk yang kucium, itu menandakan ka-
lau kau akan banyak mengalami rintangan untuk
mencari orang yang bernama Gendon Prakoso. Di
samping itu, kau pun akan resah bila sudah berte-
mu seorang pemuda. Dan pemuda itulah yang nan-
tinya akan membantumu menemukan orang yang
kau cari," papar Peramal Maut, sok pasti.
Yustika diam terpekur. Entah percaya atau
tidak pada ramalan itu. Tapi yang jelas, ia jadi per-
caya walau kakek di hadapannya memang Peramal
Maut. Buktinya saja, belum-belum sudah meramal.
"Bagaimana, Gadis? Apa kau mempercayai
ramalanku tadi?" tanya si kakek dengan sepasang
mata mencorong tajam memancarkan hawa mem-
bunuh.
"Hhh...," Yustika menghela napas panjang.
"Terus terang aku tidak tahu, Kek. Mungkin mem-
percayai ramalanmu, mungkin juga sebaliknya."
"Maksudmu kau tak mempercayai ramalan-
ku?" terabas Peramal Maut dengan suara melengk-
ing tinggi.
"Bisa dibilang begitu...."
"Bagus! Siapa saja yang tidak mempercayai
ramalan Peramal Maut, berarti harus mati di tan-
ganku!" tandas Peramal Maut.
"Maksudmu...? Kau ingin membunuhku,
Kek?" Ratu Adil terperangah dengan mata terbelalak.
"Kau sudah mendengar keinginanku. Dan kau
pun harus siap modar di tanganku! Heaaah...!"
Yustika alias Ratu Adil kini benar-benar ter-
perangah. Apalagi ketika melihat Peramal Maut be-
nar-benar telah melaksanakan ancamannya. Kedua
telapak tangannya yang mendadak jadi menghitam
hingga sampai ke pangkal siku tahu-tahu telah di-
hentakkan ke depan.
Wusss...!
Sejenak Ratu Adil terkesiap. Namun begitu
melihat dua larik sinar hitam melesat dari kedua te-
lapak tangan Peramal Maut, buru-buru tubuhnya
dibuang ke samping. Sehingga, dua larik sinar hitam
legam itu terus melesat ke belakang, langsung
menghantam batang pohon.
Brakkk!
Batang pohon sebesar dua lingkaran tangan
manusia dewasa tampak bergoyang-goyang. Selang
beberapa saat terdengar suara menggemuruh dari
pohon yang tumbang menghantam tanah. Seketika
debu dan pasir di jalan setapak itu berhamburan
tinggi ke udara.
Peramal Maut yang merasa geram melihat se-
rangannya dapat dihindari dengan mudah segera
melompat bangun. Kedua telapak tangannya yang
berubah jadi hitam legam kembali dihantamkan ke
depan.
Bed!
Wess! Wesss!
Lagi-lagi dua larik sinar hitam legam meluruk
dari kedua telapak tangan Peramal Maut yang diser-
tai hawa panas luar biasa.
Ratu Adil menggerutu kesal. Baru pertama
kali kakinya menginjak di dunia persilatan sudah
harus berhadapan dengan orang tua aneh yang
hanya karena sebab sepele lantas hendak membu-
nuh. Gadis ini benar-benar tak mengerti. Namun
saat itu juga tenaga dalamnya dikerahkan setelah
membuat kuda-kuda kokoh. Setombak lagi serangan
itu mengancam kedua tangannya menghentak.
Wesss! Wesss!
Blammm! Blammm!
Hebat sekali bentrokan dua tenaga dalam
tingkat tinggi yang barusan terjadi. Seketika terden-
gar ledakan dahsyat yang bagai menggetarkan alam
sekitarnya. Bahkan ranting-ranting pohon pun kon-
tan hangus terbakar terkena sambaran angin ben-
trokan itu!
Sementara, Peramal Maut tampak terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Kedua tela-
pak tangannya saat ini terasa panas bukan main.
Sedang Ratu Adil sendiri terpental jauh ke belakang.
Tadi, tenaga dalam yang dikerahkan hanya sebagian
saja. Maka tak heran kalau gadis ini menerima aki-
bat yang cukup lumayan. Darah segar kontan mem-
basahi sudut-sudut bibir, pertanda gadis murid Ra-
tu Alit dari Nusa Kambangan ini telah menderita lu-
ka dalam cukup lumayan.
"Sungguh aku tak mengerti. Hanya karena
aku tak mempercayai ramalanmu kau tega hendak
membunuhku, Peramal Maut?" desis Ratu Adil se-
raya menggeleng-geleng.
"Siapa pun juga yang tak mengakui kebena-
ran ramalanku berarti mati!" dengus Peramal Maut.
"Sayang sekali, sebenarnya aku tak bernafsu
bertarung. Tapi untuk menjajal ilmu yang kuperoleh
dari Guru, tak ada salahnya kalau ku coba," gumam
Ratu Adil dalam hati.
Saat ini Peramal Maut mulai menggeser ka-
kinya dengan tongkat di tangan. Tubuhnya yang ku-
rus kering terseret-seret, mendekati Ratu Adil. Bu-
kannya karena terluka akibat bentrokan tenaga da-
lam tadi, melainkan karena tengah mempersiapkan
pukulan andalan 'Gada Akhirat'.
Ratu Adil yang masih hijau dengan segala
macam kelicikan yang selalu berlaku di dunia persi-
latan tak tahu dengan maksud tindakan Peramal
Maut. Ia hanya mengira kalau Peramal Maut terluka
akibat bentrokan tenaga dalam tadi.
"Ah...! Kau terluka, Kek?" pekik Ratu Adil me-
rasa hiba sekali dengan keadaan Peramal Maut.
Peramal Maut yang memang berwatak licik
malah sengaja berpura-pura kalau dirinya tengah
menderita luka dalam yang hebat. Sambil melang-
kah tangannya terus memegangi dada yang terasa
sesak dengan mulut meringis. Licik sekali!
"Ah...! Baiknya kuobati dulu luka dalammu,
Kek!" Buru-buru Ratu Adil melangkah mendekati
Peramal Maut. Namun manakala hendak mengambil
kantong obat yang menggelantung di pinggang,
mendadak terasa ada angin dingin bukan kepalang
yang siap melabrak tubuhnya. Dan sepertinya tak
percuma gadis itu mendapat gemblengan bertahun-
tahun dari Ratu Alit.
Jelas, Ratu Adil dapat merasakan adanya ba-
haya maut mengancam dirinya.
"Hup!"
Seketika itu juga, Ratu Adil cepat membuang
tubuhnya ke samping. Namun sayang, gerakannya
kalah cepat. Maka tanpa ampun lagi....
Bukkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Ratu Adil memekik tertahan begitu serangan
Peramal Maut mendarat di sasaran. Tubuhnya seke-
tika melayang di udara. Berputaran sebentar, lalu
terbanting keras. Ratu Adil menggeliat-geliat mena-
han sakit. Dadanya yang terkena hantaman tangan
Peramal Maut terasa mau pecah!
"Licik!" desis Ratu Adil penuh kemarahan.
Peramal Maut hanya tertawa bergelak.
"Untuk memenangkan pertarungan, apa pun
yang akan kulakukan tidak penting. Yang penting,
lawan cepat modar di tanganku!" kata Peramal Maut
pongah.
"Tak kusangka kau tega berlaku licik terha-
dapku, Orang Tua. Sungguh menyesal sekali aku te-
lah berlaku baik terhadapmu. Rupanya, kau tak
ubahnya anjing beludak! Dikasih hati malah balas
menggigit!" dengus Ratu Adil, lalu buru-buru me-
lompat bangun. Meski agak susah payah, namun
akhirnya toh tubuhnya dapat berdiri tegak juga.
"Terserah kau mau ngomong apa! Bagiku, li-
cik atau tidak itu hanya tergantung dari penilaian,"
kilah Peramal Maut.
"Tapi tindakanmu jelas-jelas licik, Orang Tua!"
tukas Ratu Adil sengit.
"Itulah watakku! Yang penting, setiap lawan-
ku harus cepat modar. Entah itu dengan cara licik
maupun tidak. Ha ha ha...," kata Peramal Maut, lalu
disusul tawa bergelak.
Ratu Adil muak sekali. Sekarang baru disada-
ri, manusia macam apa kakek renta di hadapannya.
"Jangan gegabah, Peramal Maut! Nyawa ma-
nusia bukanlah terletak pada tangan manusia. Tapi
Yang Kuasa-lah yang menuntun setiap langkah ma-
nusia. Meski kau berkepandaian tinggi, kalau aku
belum ditakdirkan tewas di tanganmu, tetap saja
kau tak mampu melaksanakan niat angkaramu!" ka-
ta Ratu Adil seraya menahan gejolak amarah.
"Bocah bau kencur macam kau, tahu apa
dengan segala macam filsafat! Pakai mengguruiku
lagi!"
"Umur seseorang bukanlah jaminan untuk
mengenal arti kehidupan yang sebenarnya. Melain-
kan, hati yang bersih sajalah yang mampu mema-
hami apa sebenarnya arti hidup ini. Untuk itu seba-
gai manusia, kenapa kau selalu membuat kerugian
terhadap orang lain? Bukankah itu menyimpang da-
ri hakekat kebenaran?"
"Puahhh! Pintar juga kau bersilat lidah! Aku
jadi tak sabar apa kau juga pintar bermain silat?"
"Sudahlah, Orang Tua! Kalau kau bersikeras
ingin membunuhku, lakukanlah! Semoga Tuhan
masih melindungiku. Juga, melindungi kebenaran
yang sudah tercoreng moreng oleh ulah segelintir
manusia."
"Setan alas! Kau pikir aku senang mendengar
khotbahmu, Bocah!" geram Peramal Maut penuh
hawa membunuh.
Saat itu juga, Peramal Maut segera menge-
rahkan pukulan andalan 'Gada Akhirat'. Maka seke-
tika kedua telapak tangan tokoh sesat dari Gunung
Kembang kembali berubah jadi kuning berkilauan.
Sebelum Peramal Maut melontarkan pukulan
andalannya, terlebih dahulu Ratu Adil telah men-
cium bau amis yang bukan kepalang. Gadis itu ta-
hu, pukulan andalan Peramal Maut jelas mengan-
dung hawa racun yang keji luar biasa. Untuk meng-
hadapi datangnya bahaya maut, diam-diam segera
dikerahkannya pukulan andalan 'Cakar Naga Sa-
mudera'.
"Sekaranglah saatnya kau menemui ajal, Ga-
dis Sok Pintar! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Peramal Maut
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Seketika melesat dua larik sinar kuning berkilauan
ke arah Ratu Adil.
Yustika alias Ratu Adil sendiri telah memper-
siapkan diri dengan pukulan andalan 'Cakar Naga
Samudera'. Maka begitu larik sinar kuning dari ke-
dua telapak tangan Peramal Maut melesat, kuku-
kuku jarinya yang telah berubah jadi biru pun sege-
ra digurat-guratkan ke udara.
Werrr! Werrr!
Saat itu pula meluruk lima larik sinar biru
dari kedua telapak tangan Ratu Adil, memapak pu-
kulan Peramal Maut.
Cesss! Cesss!
Tak ada bunyi ledakan yang berarti akibat
pertemuan dua ajian barusan. Namun terlihat jelas
kalau tubuh Ratu Adil dan Peramal Maut sama-
sama berguncang hebat. Selang beberapa saat,
langkah mereka tersurut beberapa tindak ke bela-
kang. Namun kedua orang itu tak ada yang mau
mengalah. Malah mereka makin melipatgandakan
tenaga dalam
"Hea!"
Tiba-tiba Peramal Maut menghentakkan ke-
dua telapak tangannya ke depan, membuat tubuh
Ratu Adil jadi berguncang hebat. Darah segar mulai
mengalir dari sudut-sudut bibirnya. Andai saja gadis
ini tak menderita luka dalam akibat kelicikan Pe-
ramal Maut tadi, belum tentu ini mengalami gun-
cangan yang demikian hebat.
Meski keadaannya amat mengkhawatirkan,
namun bukan berarti Ratu Adil harus menyerah be-
gitu saja. Apa pun yang akan terjadi, tekadnya siap
menghadapi pertarungan, walau selembar nyawa ta-
ruhannya.
Melihat tubuh Ratu Adil makin berguncang
hebat, diam-diam Peramal Maut tersenyum penuh
kemenangan. Lelaki tua ini pun bertambah seman-
gat untuk merobohkan lawannya. Maka dengan se-
kali menghentakkan kembali kedua telapak tangan-
nya ke depan....
"Aughhh...!"
Terdengar satu jeritan amat menyayat yang
diiringi terpentalnya tubuh Ratu Adil jauh ke bela-
kang. Tampak tubuh murid Ratu Alit itu berputar-
putar sebentar di udara, lalu terbanting keras di ta-
nah.
Brakkk!
Sejenak Ratu Adil menggeliat, namun tetap
berusaha untuk melompat bangun. Sayang, ia tak
sanggup. Tangan kanannya yang menggapai-gapai
ke udara luruh ke tanah.
"Kepandaian hanya sebatas dengkul, kenapa
harus nekat mencari penyakit dengan Peramal Maut.
Hm.... Daripada kau menderita seperti ini, kenapa
tidak menyerahkan nyawa sekalian? Tapi tak apa.
Aku malah lebih senang mencabut nyawa seseorang,
setelah terjadinya pertarungan. Sekarang apa kau
sudah siap men-jemput datangnya maut, Cah
Ayu...?"
Gerakan Ratu Adil bergemeretak penuh ke-
marahan. Ingin sekali ia memaki kakek licik di ha-
dapannya. Namun sayang, pandangannya menjadi
kabur. Ratu Adil menggigit bibirnya kuat. Samar-
samar matanya melihat Peramal Maut kembali
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
"Oh...! Mungkin memang sudah nasibku ha-
rus tewas di tangan bangkotan tua ini. Sayang seka-
li. Aku sendiri belum sempat melihat wajah ayah
kandungku...," desah Ratu Adil dalam hati dengan
mata terpejam.
Wuutt!
Tap!
Dan di saat yang gawat baginya, Ratu Adil
merasakan tubuhnya tersambar tangan halus. Gadis
ini tak tahu, siapa penolongnya. Karena begitu tu-
buhnya melayang, saat itu juga kesadarannya telah
lenyap.
"Kau...! Lagi-lagi kau yang selalu menggagal-
kan rencanaku. Kunyuk Gondrong!" bentak Peramal
Maut geram bukan main.
Di hadapan lelaki tua itu kini telah berdiri
seorang pemuda tampan dengan mengenakan pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Siapa lagi sang penolong Ratu Adil kalau bu-
kan Siluman Ular Putih?
"Bangsat! Meski kau dulu pernah mengalah-
kanku, tapi jangan dikira kali ini dapat mengalah-
kanku, Siluman Ular Putih. Saat inilah waktunya
aku menuntut balas!" hardik Peramal Maut penuh
kebencian. (Untuk mengetahui betapa bencinya Pe-
ramal Maut terhadap Siluman Ular Putih, silakan
baca episode : "Misteri Dewa Langit").
Siluman Ular Putih hanya menggeleng-geleng
saja. Bukannya tak bernafsu untuk menghadapi to-
koh sesat di hadapannya, melainkan lebih
mengkhawatirkan keadaan gadis cantik dalam pelu-
kannya. Itu sebabnya, Siluman Ular Putih jadi ber-
pikir lain.
"Aku harus secepatnya menyelamatkan nya-
wa gadis ini. Tampaknya, lukanya cukup parah. Ter-
lambat sedikit saja bisa celaka gadis ini...," gumam
Siluman Ular Putih.
"Hm...! Sayang sekali aku tak ada waktu un-
tuk meladenimu, Peramal Maut! Selamat tinggal!"
Selesai berkata begitu, Siluman Ular Putih
cepat menjejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya saat
itu juga berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.
Peramal Maut yang merasa gusar hanya
menghentakkan kakinya keras ke tanah.
Brolll!
Seketika, tanah kontan berhamburan tinggi
ke udara. Debu-debu membubung tinggi memenuhi
sekitarnya itu. Dan ketika suasana tempat itu kem-
bali terang, ternyata sosok Peramal Maut pun sudah
tak berada di tempat itu.
SELESAI
Segera menyusul:
HANTU TANGAN API
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon