1
Di bentangan langit sebelah barat, rona merah jelaga cahaya
matahari masih mengusap lembut angkasa. Langit cerah. Suara
riuh kicau burung yang pulang ke kandang makin membuat sua-
sana enak untuk dinikmati,
Namun itu tak berlangsung lama. Karena perlahan-lahan sen-
ja mulai berlalu. Tak ada sinar bulan di angkasa. Kerlip berjuta
bintang seolah malas membanggakan sinar putih keperakannya.
Kini, suasana pun dicekam kegelapan.
Dalam kegelapan malam, masih terlihat sesosok bayangan
kuning tengah berkelebat memasuki Hutan Seruni. Meski gera-
kannya ringan sekali laksana kapas, namun jelas terlihat kalau
sosok bayangan kuning itu terhuyung. Napasnya memburu. Pa-
rasnya yang berperangai kasar terlihat menghitam. Kedua tela-
pak tangannya pun melepuh hitam sampai ke pangkal.
Sosok berjubah kuning ini sejenak menghentikan langkah.
Napasnya kian memburu. Sebelah tangannya mendekap dada
erat-erat. Mulutnya meringis nyeri. Rahangnya mengeras. Kedua
bola matanya yang besar liar memperhatikan keadaan sekitar.
Tubuhnya yang tinggi besar sejenak disandarkan ke sebuah ba-
tang pohon.
"Hm...! Ini semua gara-gara Dewa Kegelapan hingga aku
mengalami luka dalam demikian hebat. Kalau saja manusia ke-
parat itu tidak modar di tangan Siluman Ular Putih, sudah pasti
aku dapat membujuknya memberikan obat pemunah racun. Tapi
sayang, ia sudah modar," geram sosok bayangan berjubah kun-
ing yang tak lain tokoh sesat yang merajai Hutan Kenjeran. Siapa
lagi tokoh itu kalau bukan Gembong Kenjeran? (Untuk menge-
tahui siapa Gembong Kenjeran lebih lanjut, silakan baca episode:
"Titisan Alam Kegelapan").
"Sekarang, tak ada pilihan lain. Terpaksa aku harus menemui
Empat Iblis Merah demi mendapat obat pemunah racun itu.
Huh...!" Gembong Kenjeran menggeretakkan gerahamnya penuh
kemarahan.
Selangkah demi selangkah Gembong Kenjeran kembali me-
lanjutkan perjalanan. Tubuhnya yang tinggi besar oleng seben-
tar, namun terus memaksakan diri. Dengan susah payah akhir-
nya sampailah lelaki berjubah kuning itu di sebuah dataran be-
rumputan di tengah Hutan Seruni.
Sampai di sini Gembong Kenjeran menghentikan langkahnya.
Napasnya masih terus memburu. Parasnya yang menghitam
tampak mengerikan. Sementara sepasang matanya yang meme-
rah terus memperhatikan keadaan sekitar dengan seksama.
Tidak ada tanda-tanda kalau hutan sunyi itu berpenghuni.
Gembong Kenjeran jadi mengeluh.
"Tak mungkin hutan ini tak berpenghuni. Lalu, di manakah
Empat Iblis Merah bersembunyi? Hm...! Ku kira aku harus terus
mencari mereka. Atau paling tidak, salah satu dari mereka sudah
cukup," gumam Gembong Kenjeran dalam hati.
Gembong Kenjeran kembali hendak melanjutkan perjalanan.
Namun baru saja hendak melangkah, mendadak....
"Hanya orang-orang pencari mati saja yang berani memasuki
Hutan Seruni tanpa izin!"
Sebuah bentakan kasar mendadak terdengar. Dan belum hi-
lang gaung suara bentakan, tahu-tahu di hadapan Gembong
Kenjeran telah berdiri empat orang lelaki tua yang semuanya
berjubah merah darah. Lelaki berjubah kuning terkesiap kaget.
Bukan saja kaget melihat kemunculan mereka, tapi juga kaget
melihat keadaan tubuh keempat kakek berjubah merah itu.
Rata-rata wajah keempat kakek renta itu sama-sama menge-
rikan, pucat pasi dan penuh keriputan di sana-sini. Sementara
keadaan mereka masing-masing mempunyai ciri khas sendiri-
sendiri. Yang paling kiri bertubuh buntung tanpa kaki. Di sebe-
lahnya, seorang kakek yang memiliki mata berwarna putih. Di
sebelahnya lagi, seorang kakek yang daun telinganya kecil. Se-
dangkan berdiri paling kiri adalah seorang kakek yang sempurna
keadaan tubuhnya, namun cacat dalam hal bicara alias gagu.
Mereka tak lain dari Empat Iblis Merah yang masing-masing
bergelar Iblis Buntung, Iblis Buta, Iblis Tuli, dan Iblis Gagu.
Gembong Kenjeran tahu kalau saat ini tengah berhadapan
dengan Empat Iblis Merah. Meski hatinya diliputi kecemasan,
namun ia tetap tak kehilangan akal. Ia harus bersikap merendah
kalau ingin mendapatkan obat pemunah racun pukulan 'Darah
Iblis' milik Dewa Kegelapan.
"Maaf! Kalian empat orang gagah penghuni Hutan Seruni
kuharap jangan sampai salah paham. Kalian harus tahu, ada satu
urusan penting yang harus kalian ketahui," ucap Gembong Ken-
jeran, penuh hormat.
"Huh...!" Iblis Buta mendengus. Hidungnya yang kecil men-
jengek. "Meski mataku tak melihat jangan dikira dapat kau dus-
tai, Tikus Busuk! Bukankah kedatanganmu kemari hanya untuk
membujuk kami agar sudi memberikan obat pemunah racun
akibat pukulan 'Darah Iblis'? Jangan mimpi, Tikus Busuk! Kau
pun atau siapa saja yang berani menentang muridku, Dewa Ke-
gelapan, tak kan kubiarkan hidup. Termasuk juga kau!"
Gembong Kenjeran terkejut. Sungguh tak disangka kalau Ib-
lis Buta mampu mengenali tubuhnya yang terluka akibat puku-
lan 'Darah Iblis' milik Dewa Kegelapan hanya dengan endusan
hidungnya.
"Kau benar, Iblis Buta. Tapi tidak semua-nya benar," sahut
Gembong Kenjeran dengan hati kecut.
"Setan! Berani kau mempermainkan kami, he?! Cepat kata-
kan, mau apa kau kemari?" hardik Iblis Buntung tak sabar.
"Huk huk huk...." Iblis Gagu menggerak-gerakkan kedua tan-
gannya ke sana kemari sebagai isyarat kalau ingin mengatakan
sesuatu.
"Ya ya ya...! Kau benar, Gagu! Manusia lancang itu memang
patut dibunuh. Muak sekali aku melihat tingkahnya," sahut Iblis
Tuli geram.
"Tunggu!" cegah Iblis Buta, mengangkat tangan mengisya-
ratkan Iblis Tuli untuk menahan gerakan.
"Apalagi yang ingin kau tanyai, Buta?" tukas Iblis Tuli tak se-
nang.
Iblis Buta tak menyahut. Hanya tangannya saja yang mengi-
bas, mengisyaratkan Iblis Tuli untuk diam.
"Tikus busuk! Apa maksud ucapanmu tadi? Kenapa kau me-
ragukan ucapanku? Apa sebenarnya yang membawa langkahmu
kemari, he?!" lanjut Iblis Buta.
"Seperti kau katakan tadi, kedatanganku kemari memang in-
gin meminta obat pemunah racun akibat pukulan 'Darah Iblis'
murid kalian," jelas Gembong Kenjeran.
"Enak sekali bacotmu, Keparat! Kubiarkan kau hidup bebera-
pa saat saja masih untung. Kini malah minta yang tidak-tidak,"
hardik Iblis Buntung.
"Tunggu! Kuharap kalian jangan cepat marah. Jangan dikira
aku tak tahu diri. Karena kedatanganku kemari juga membawa
kabar penting untuk kalian," sergah Gembong Kenjeran.
"Heh...! Cepat katakan, kabar apa yang ingin kau sampaikan!"
geram Iblis Buntung tak sabar.
Gembong Kenjeran tersenyum. Diam-diam otaknya terus be-
kerja keras. Jelas harga dirinya tak sudi dilecehkan oleh bangko-
tan-bangkotan tua di hadapannya. Tapi yang pasti obat pemunah
racun 'Darah Iblis' harus didapatkan.
"Huk huk huk...!"
Di saat Gembong Kenjeran tengah termangu, Iblis Gagu
menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari. Parasnya yang
pucat mirip mayat menegang. Kedua tangannya yang bergerak
ke sana kemari tampak memerah hingga pangkal siku, pertanda
amarahnya kian menggelegak.
"Yah...! Buat apa kita membuang-buang waktu, Buta. Kita si-
kat saja manusia tak tahu malu ini. Kalau kalian keberatan, biar-
kan aku dan si Gagu yang memberinya pelajaran," tukas Iblis Tu-
li.
"Kalian empat orang tua gagah penghuni Hutan Seruni. Seka-
li lagi, aku mohon pengertian. Bukannya aku ingin membuat ka-
lian marah atau gusar. Tapi, justru sebaliknya. Asal kalian sudi
memberikan obat pemunah racun itu terlebih dahulu, pasti aku
akan memberi keterangan tentang murid kalian yang bergelar
Dewa Kegelapan," kata Gembong Kenjeran berusaha meyakin-
kan.
"Puahhh! Beraninya kau memerintah Empat Iblis Merah dari
Hutan Seruni, he?! Kau memang patut modar di tanganku!"
"Tunggu, Buntung!" cegah Iblis Buta, menggerakkan tangan-
nya ke samping membuat gerakan Iblis Buntung tertahan. "Hey,
kau manusia pencari mati! Cepat katakan berita apa yang ingin
kau sampaikan! Bila kau tak buka bacot, jangan menyesal telah
bertemu kami!"
Gembong Kenjeran tersenyum kecut. Keadaannya terpojok.
Kalau ia terus bersikeras me-minta Empat Iblis Merah menye-
rahkan obat pemunah racun terlebih dahulu, bukan mustahil
nyawanya akan melayang. Namun lelaki berjubah kuning tak pa-
tah semangat.
"Sungguh aku tak mengerti, kenapa kalian memaksaku untuk
buka suara terlebih dulu. Hm...! Tak apa. Aku yakin, kalian tentu
akan memegang janji. Kalian pasti sudi memberikan obat pemu-
nah racun itu, setelah aku mengatakan kejadian yang sebenarnya
telah menimpa Dewa Kegelapan."
"Jangan bertele-tele, Setan! Cepat katakan, kabar apa yang
ingin kau sampaikan!"
"Baik," Gembong Kenjeran tersenyum. "Ketahuilah. Sebenar-
nya, aku ini adalah salah seorang yang telah ditaklukkan Dewa
Kegelapan. Bersama puluhan anak buahku, aku mengabdi demi
kepentingan Dewa Kegelapan. Mungkin kalian berempat pun ta-
hu kalau Dewa Kegelapan bermaksud menggenggam dunia per-
silatan, dan juga ingin membunuh Siluman Ular Putih. Tapi,
sayang Dewa Kegelapan tak mampu mewujudkan impiannya.
Jangankan untuk menguasai dunia persilatan. Untuk membu-
nuh Siluman Ular Putih pun belum mampu. Malah...."
"Malah apa?!" potong Iblis Buntung cepat. "Cepat katakan,
apa yang telah terjadi dengan muridku!"
"Ya ya ya...!" Terpaksa Gembong Kenjeran hanya mengang-
guk-anggukkan kepala, walau hatinya kesal. "Harap kalian keta-
hui, sesungguhnya murid kalian telah tewas di tangan Siluman
Ular Putih."
"Apa?!" teriak Iblis Buntung dan Iblis Buta gusar.
Iblis Gagu yang juga mendengar penuturan Gembong Kenje-
ran jadi murka bukan main. Mulutnya mengoceh tidak karuan
sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya yang memerah ke
sana kemari. Sedang Iblis Tuli yang tidak tahu apa-apa hanya
melongo. Namun manakala melihat perubahan wajah ketiga
orang saudara seperguruannya, mendadak parasnya jadi mene-
gang. Mengerikan! Kilatan sepasang matanya tajam menatap
Gembong Kenjeran.
"Jadi, muridku tewas di tangan Siluman Ular Putih?" pekik
Iblis Buntung dengan suara parau.
"Ya."
"Lalu? Kenapa kau dan anak buahmu tak turut membantu?"
terabas Iblis Buta.
"Aku dan puluhan anak buahku tak mampu menghadapi se-
pak terjang Siluman Ular Putih. Bahkan banyak anak buahku
yang tewas di tangan pendekar sialan itu. Untung saja aku dapat
menyelamatkan diri. Kalau tidak, bukan mustahil aku sudah te-
was di tangannya," lapor Gembong Kenjeran berlebihan.
"Setan alas! Tak mungkin kubiarkan Muridku tewas begitu
saja tanpa menuntut balas! Mari kita cari Siluman Ular Putih,
Kawan-kawan!" ajak Iblis Buntung penuh kemarahan.
"Eh, tunggu! Kalian tak boleh meninggalkanku. Kalian harus
menyerahkan obat pemunah racun itu terlebih dulu! Bukankah
aku telah menyampaikan kabar penting ini?" tukas Gembong
Kenjeran.
"Kau tak becus mengabdi pada muridku. Sebenarnya, kau
pun patut modar di tangan kami. Tapi berhubung kau telah
memberitahukan perihal murid kami, maka kubiarkan kau me-
nikmati sisa-sisa hidup!" desis Iblis Buta, seraya berkelebat cepat
meninggalkan tempat ini diikuti ketiga orang saudara sepergu-
ruannya. Sebentar saja, mereka telah menghilang dari tempat
ini.
"Bedebah! Dasar tua bangka-tua bangka tak tahu diri! Per-
cuma saja aku memberitahukan kabar Dewa Kegelapan kalau
mereka tak mau menyerahkan obat pemunah racun. Setan alas!
Awas, kalau lukaku sudah sembuh! Jangan dikira aku, akan
tinggal diam. Rasakanlah pembalasanku nanti!" gerutu Gem-
bong Kenjeran kesal.
Tak ada pilihan lain. Gembong Kenjeran pun harus segera
meninggalkan tempat itu. Dengan langkah gontai, ia segera me-
langkah ke barat.
***
2
Matahari pagi mengintip malu-malu di ufuk timur sana. Si-
narnya yang kuning keemasan hangat menyirami bumi. Kicauan
burung di ranting-ranting pohon terdengar riuh, seolah ingin
menyambut datangnya pagi.
Jauh di luar Hutan Kenjeran, tepatnya di padang rerumpu-
tan, tampak dua anak manusia tengah menyambut datangnya
pagi dengan canda dan tawa. Sambil menikmati daging kelinci
bakar, mereka terus membuat suasana pagi tampak ceria.
Yang duduk dengan sebelah kaki ditekuk adalah seorang pe-
muda tampan. Wajahnya berbentuk bulat telur. Sepasang ma-
tanya yang biru bersinar jenaka. Tubuhnya tinggi kekar. Ram-
butnya gondrong tergerai di bahu. Pakaiannya rompi dan celana
bersisik yang berwarna putih keperakan. Di kedua pergelangan
tangannya melingkar gelar akar bahar. Sebuah rajahan kecil ber-
gambar ular putih terlihat di dadanya.
Di hadapan si pemuda, duduk bersila seorang gadis cantik
berpakaian serba hijau. Rambutnya yang hitam panjang dihiasi
pita hijau dan untaian bunga melati. Pas benar dengan wajahnya
yang berbentuk lonjong. Daya lariknya makin kelihatan dengan
kulit tubuh yang putih bersih.
Siapakah kedua anak muda yang tengah asyik menikmati
daging kelinci di pagi hari ini?
Menilik ciri-cirinya, mereka tak lain adalah Siluman Ular Pu-
tih dan Arum Sari. Memang setelah menewaskan Dewa Kegela-
pan, mereka kini tengah mencari orang yang telah membunuh
kedua orangtua Arum Sari. Walau sudah tahu kalau si pembu-
nuh adalah Penghuni Kubur, namun mereka belum tahu tempat
persembunyiannya. Hal itulah yang merepotkan. Sudah dua hari
itu mereka keluar masuk hutan namun belum juga menemukan
tempat persembunyian Penghuni Kubur.
"Wah...! Senang sekali aku melihatmu hari ini. Kalau kau ter-
senyum dunia ini terasa indah!" celoteh Soma seraya mengum-
bar senyum. Enak sekali gayanya.
"Jangan menggoda ah! Sekarang, ayo teruskan perjalanan ki-
ta. Kau masih mau menemaniku, kan?" tukas Arum Sari dengan
senyum.
"Oh.... Pasti! Kenapa tidak! Rugi besar kalau menampik aja-
kan gadis secantik kau. Ke mana pun kau pergi, aku pasti akan
ikut. Asal kau berada di sampingku...," oceh Soma seraya meng-
gerak-gerakkan tangan mirip Penyair Sinting kalau sedang
membaca syair.
"Hei! Ayo!"
"Ayo."
Soma mendahului menangkap pergelangan tangan Arum Sa-
ri. Senyumnya dipamerkan sebentar, lalu meloncat bangun.
Arum Sari sendiri tampak tidak segan lagi. Malah hatinya
berbunga-bunga diperlakukan lembut oleh Siluman Ular Putih.
Kini dengan bergandengan tangan, mereka mulai melangkah
meninggalkan tempat itu.
* * *
"Rasanya kita tak mungkin mencari Silu-man Ular Putih. Su-
lit!"
Suara parau Iblis Tuli terdengar memecah kesunyian pagi ini.
Kata-kata itu membuat Iblis Buntung, Iblis Buta, dan Iblis Gagu,
terperangah kaget. Mereka yang saat itu tengah duduk berha-
dap-hadapan di sebuah padang rumput sama-sama menatap
tangan Iblis Tuh dengan kening berkerut.
"Apa maksud ucapanmu tadi, Tuli?" tukas Iblis Buntung den-
gan suara kasar.
Iblis Tuli tetap diam membisu di tempatnya. Malah dibalas-
nya tatapan ketiga saudara seperguruannya tak mengerti.
"Ah, sial! Dasar bolot! Percuma saja aku ngomong!" keluh Ib-
lis Buntung menyadari kalau saudara seperguruannya tak mam-
pu mendengar.
"Kau saja yang bicara, Gagu. Pasti si Tuli itu tahu maksud-
mu," ujar Iblis Buta.
"Huk huk huk...."
Iblis Gagu mengangguk-angguk. Sebab hanya dia sajalah
yang mampu bercakap-cakap lewat isyarat tangan dengan Iblis
Tuli. Maka begitu mendapat perintah, perhatiannya segera di-
alihkan ke arah Iblis Buta.
"Kau mau ngomong apa, Gagu?" tanya Iblis Tuli.
"Huk huk huk...."
Iblis Gagu menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari
bermaksud menanyakan tentang keheranan kedua orang sauda-
ra seperguruannya.
"Oh...! Kau menanyakan itu?" tebak Iblis Tuli.
"Huk huk huk...," Iblis Gagu mengangguk-kan kepala.
"Begini, Kawan-kawan. Seperti yang kukatakan tadi, rasanya
kita tak mungkin menemukan Siluman Ular Putih dalam waktu
singkat. Apalagi, dari kabar yang kita terima dari beberapa tokoh
persilatan, ternyata Siluman Ular Putih tak mempunyai tempat
tinggal tetap. Dan itu wajar bagi seorang pendekar muda. Maka
tentu hal ini menyulitkan pencarian kita," papar Iblis Tuli.
"Ah...! Kau terlalu bertele-tele, Tuli. Bilang saja kalau tak
punya nyali menghadapi Siluman Ular Putih!" tukas Iblis Bun-
tung, jengkel.
Mata Iblis Tuli membeliak heran. Ia sama sekali tak tahu apa
yang diucapkan Iblis Buntung, kecuali hanya dapat mengalihkan
pandang matanya ke arah Iblis Gagu. Memang, hanya dialah
yang mampu menerangkan maksud Iblis Buntung.
Tanpa diminta, Iblis Gagu pun tahu apa yang dikehendaki Ib-
lis Tuli. "Huk huk huk...."
Iblis Gagu kembali menggerak-gerakkan kedua tangannya ke
sana kemari.
Begitu memahami maksud isyarat Iblis Gagu, kontan paras
Iblis Tuli memerah. Kedua pelipisnya bergerak-gerak pertanda
tak senang menangkap maksud ucapan Iblis Buntung tadi.
"Kau jangan menghinaku, Buntung! Jangan mentang-
mentang kau kakak seperguruanku lantas aku takut menghada-
pimu, he?!" tantang Iblis Tuli sengit.
"Sabar-sabar! Jangan salah paham, Tuli!" sela Iblis Buta, ce-
pat angkat bicara. Kedua tangannya bergerak-gerak ke sana ke-
mari seperti Iblis Gagu. Untung saja Iblis Tuli mau mengerti.
"Sebenarnya yang kumaksudkan bukan begitu. Tapi, si Bun-
tung itu keburu memotong ucapanku," kilah Iblis Tuli meski ha-
tinya jengkel. Sejenak ucapannya dihentikan. Sekilas diperhati-
kannya ketiga orang saudara seperguruannya. "Yang kumaksud-
kan, begini. Kita ini sudah terlalu tua untuk mengejar Siluman
Ular Putih. Sebenarnya, bisa saja kalau mau memaksakan diri.
Tapi, terus terang aku tak menyukai cara ini. Aku justru lebih
menyukai kalau kita mau menggunakan ini!"
Iblis Tuli mengetuk-ngetuk jidatnya sendiri.
"Maksudmu?" cibir Iblis Buntung, kini gantian merasa ter-
singgung atas ucapan Iblis Tuli.
"Kau ngomong apa lagi, Buntung? Apa kau ingin menantang-
ku bertarung?!" bentak Iblis Tuli garang.
"Huk huk huk...."
Buru-buru Iblis Gagu menengahi. Tanpa diminta kedua tan-
gannya segera bergerak-gerak ke sana kemari, menjelaskan mak-
sud Iblis Buntung.
"Oh...! Jadi kau ngomong itu...?" Iblis Tuli tak mau mengakui
kesalahannya. Malah hidungnya dijengekkan. "Dengar! Buka te-
linga kalian lebar-lebar! Apa karena usia bertambah membuat
kalian semua jadi pikun? Aku tidak menginginkan cara kalian
kali ini. Tapi, aku justru lebih senang dengan cara yang biasa kita
tempuh sewaktu muda dulu."
"Maksudmu...? Kita.... Kita...."
"Yah! Dengan cara itulah kita dapat mendapatkan Siluman
Ular Putih dengan mudah," terabas Iblis Tuli.
"Hm...! Benar. Kukira memang dengan cara itulah kita dapat
mendapatkan Siluman Ular Putih," sambut Iblis Buta seraya
mengangguk-angguk.
Iblis Buntung menggeretakkan geraham-nya. Jengkel. Na-
mun akhirnya ucapan Iblis Tuli tak dibantahnya. Karena me-
mang dengan cara itulah Siluman Ular Putih dapat ditaklukkan!
***
3
Di sebuah bangunan besar yang di pintu tertulis: Perguruan
Pring Sewu, tengah terjadi kegemparan. Beberapa orang murid
perguruan yang terletak di utara Hutan Seruni menemukan tan-
da bergambar empat telapak tangan manusia berwarna merah
darah di pintu gerbang. Beberapa orang murid yang menemukan
tanda itu kontan berteriak-teriak heran memanggil murid-murid
lainnya. Saat itu pula, puluhan murid Perguruan Pring Sewu
berhamburan ke pintu gerbang ingin melihat apa yang terjadi.
"Tanda apa ini, Kakang Gandrik?" tanya seorang murid, seo-
rang gadis cantik berpakaian serba kuning. Rambutnya yang hi-
tam panjang dikuncir dua ke belakang.
"Aku tidak tahu, Adik Mawarni," sahut pemuda bernama
Gandrik, murid yang pertama menemukan tadi. Dia adalah seo-
rang pemuda gagah berwajah keras.
"Apa kau tak melihat seseorang di depan pintu gerbang per-
guruan kita tadi, Kakang Gandrik?" tanya Mawarni.
"Tidak," sahut Gandrik sambil menggeleng kepala. "Tapi me-
nilik tanda darah yang sudah mengering, bisa jadi hal itu dilaku-
kan pada malam hari. Atau tepatnya, tadi malam."
"Ya ya ya...! Kau benar, Kang. Darah merah ini memang su-
dah mengering," kata Mawarni membenarkan.
"Lebih dari itu, pasti orang yang telah berbuat tidak hanya
berjumlah satu orang. Tapi empat orang. Lihat tanda telapak
tangan itu. Semuanya telapak tangan kanan," timpal murid lain-
nya.
"Ya ya ya....! Bisa juga. Tapi, bisa juga satu orang. Apa susah-
nya sih, membuat tanda seperti ini tanpa di ketahui murid-
murid penjaga kalau yang melakukannya mempunyai kepan-
daian tinggi?"
"Ah....! Kenapa kalian malah meributkan sesuatu yang tak
perlu? Kenapa kita tak lapor saja pada Guru?" tukas Mawarni
menengahi.
"Ya. Kau benar, Adik Mawarni. Kita memang harus melapor-
kan peristiwa ini pada Guru. Ayo, sekarang kita menemui Guru."
ajak Gandrik pada adik-adik seperguruannya yang berjumlah tak
kurang dari tiga puluh orang.
Namun entah dari mana datangnya, tahu-tahu di belakang
mereka telah berdiri seorang perempuan tua renta bertubuh
tinggi kurus. Saking kurusnya, seolah nenek berpakaian serba
kuning ini tak kuat berdiri tegak di tempatnya. Hanya karena
bantuan tongkat dari batang bambu kuningnya sajalah yang
membuatnya mampu berdiri. Namun menilik sepasang matanya
yang mencorong tajam, jelas tenaga dalamnya luar biasa.
"Guru....'"sebut puluhan murid Perguruan Pring Sewu seren-
tak seraya menjura dengan kedua telapak tangan di depan hi-
dung.
Perempuan tua yang sebenarnya memang Ketua Perguruan
Pring Sewu ini diam tak menyahut. Rahangnya saling bergemele-
takkan. Kilatan-kilatan sepasang matanya yang mencorong ta-
jam terus memperhatikan tanda berupa empat telapak tangan
manusia di pintu gerbang perguruannya tanpa berkedip sedikit
pun.
"Setan alas! Jangan-jangan...." Belum habis Ratu Pring Sewu
menggumam, mendadak....
"Ha ha ha...! Kalian semua memang patut terkejut. Dan ka-
lian semua memang harus tak-luk!"
Mendadak terdengar suara mengejutkan, entah dari mana
datangnya.
* * *
Sepasang mata Ketua Perguruan Pring Sewu kian mencorong
tajam. Rahangnya bergemeletakkan penuh hawa amarah. Den-
gan ilmu membedakan gerak dan suara perempuan tua ini tahu
kalau suara tawa itu berasal dari sebelah barat.
"Manusia-manusia pengacau! Keluar! Tampakkan diri kalian
di hadapan Ratu Pring Sewu!" bentak Ketua Perguruan Pring
Sewu. Pandang matanya tajam mengawasi pohon rindang tak
jauh dari hadapannya.
"Ha ha ha...! Mukamu jelek! Mana pantas kau bergelar Ratu
Pring Sewu? Tapi itu bukan satu halangan untuk membantu ka-
mi. Maka, mulai hari ini pula kalian semua harus tunduk di ba-
wah perintah kami!"
Terdengar suara bergelak dari kerimbunan pohon di hadapan
perempuan tua yang berjuluk Ratu Pring Sewu dan puluhan mu-
ridnya yang semuanya mengenakan pakaian serba kuning. Seju-
rus kemudian dari kerimbunan pohon di hadapan mereka berke-
lebat beberapa sosok bayangan merah melayang turun.
"Hup!"
Bak burung-burung merah raksasa, sosok-sosok bayangan
merah itu menjejakkan kaki, ringan sekali di tanah tanpa sedikit
pun mengeluarkan suara! Melihat hal ini jelas kalau ilmu merin-
gankan tubuh keempat sosok yang ternyata empat lelaki tua ber-
pakaian serba merah itu amat luar biasa!
"Cih...! Sudah kuduga. Pasti monyet-monyet merah dari Hu-
tan Seruni yang membuat onar di perguruanku. Mau apa kalian
datang ke perguruanku, he?!" hardik Ratu Pring Sewu pada em-
pat kakek renta berbaju merah yang memang Empat Iblis Merah
dari Hutan Seruni.
"Ha ha ha...! Dari dulu lagakmu selalu pongah, Nenek Keri-
put! Percuma saja kau menggertak kami!" sahut Iblis Buntung,
dengan tawa meremehkan.
"Aku tidak berlagak. Aku hanya berpikir, buat apa berbasa
basi dengan manusia-manusia tak berjantung seperti kalian!"
ejek Ratu Pring Sewu, tak mau kalah.
"Benar. Kita memang tak perlu basa basi. Toh, kami juga tak
menyukai. Cuma yang kami inginkan, mulai hari ini Perguruan
Pring Sewu harus tunduk di bawah perintah kami. Ada satu tu-
gas penting buat kalian semua!" teriak Iblis Tuli, pongah.
"Puahhh! Enak benar kalian main perintah. Memangnya ka-
mi ini apamu, heh?!" damprat Ratu Pring Sewu kasar.
"Apa? Kau ngomong apa, Nenek Keriput?" Iblis Tuli membe-
liakkan matanya liar. Bukannya geram, tapi memang tak men-
dengar apa yang dikatakan Ratu Pring Sewu barusan.
"Huk huk huk...!" Iblis Gagu segera menggerak-gerakkan
tangannya, memberi isyarat.
"Jadi? Kalian semua tak mau tunduk di bawah perintah kami.
Berarti kalian semua memang harus modar!" dengus Iblis Tuli,
begitu mengerti maksudnya.
"Tunggu!" Iblis Buta menahan gerakan tangan Iblis Tuli.
Iblis Tuli menggereng penuh kemarahan. Tak puas dengan
tindakan Iblis Buta.
"Ratu Pring Sewu! Kami berempat datang kemari dengan tu-
juan baik. Kami hanya ingin kalian semua membantu kami. Jika
keberatan, terpaksa kami pun harus memaksa kalian dengan ja-
lan kekerasan," jelas Iblis Buta tanpa tedeng aling-aling. Nada
suaranya terdengar kalem, namun sarat ancaman.
"Cih...! Buat apa kita bicara panjang lebar, Guru! Toh buntut-
nya juga tetap memaksa kita," teriak Mawarni panas.
Ratu Pring Sewu menoleh ke arah murid gadisnya sebentar.
Dilihatnya Mawarni telah siap menghadapi Empat Iblis Merah
dari Hutan Seruni dengan tongkat bambu kuning di tangan. De-
mikian pula puluhan murid Perguruan Pring Sewu lain.
"Kalian dengar apa yang diucapkan muridku? Apa pun yang
akan terjadi pendirian kami tak berubah. Mana sudi kami mem-
bantu kalian kalau hanya ingin membuat onar dunia persilatan?"
kata Ratu Pring Sewu.
"Kami tidak bermaksud membuat onar di dunia persilatan.
Kami hanya menginginkan Siluman Ular Putih. Dan kalian se-
mua harus membantu. Tidak ada kata tidak! Semua harus tun-
duk di bawah perintah kami!" tegas Iblis Buntung, garang.
"Apa pun yang kalian inginkan, kami tetap tak sudi memban-
tu! Kalian dengar?!" tandas Ratu Pring Sewu.
"Bedebah! Rupanya nenek keriput itu tidak bisa diajak bicara
baik-baik. Mereka semua memang patut merasakan hajaranku
terlebih dahulu," geram Iblis Tuli, tak dapat lagi mengendalikan
amarah.
Saat itu pula tanpa banyak cakap lagi Iblis Tuli segera mener-
jang Ratu Pring Sewu. Tidak tanggung-tanggung, kedua telapak
tangannya yang telah berubah jadi merah hingga ke pangkal siku
segera berputaran mengerahkan jurus ‘Telapak Darah’, jurus
yang juga telah diturunkan pada Dewa Kegelapan. (Baca epi-
sode: "Titisan Alam Kegelapan").
"Hea! Hea...!"
Ratu Pring Sewu tak mau tinggal diam. Melihat serangan ga-
nas datang, tongkat bambu kuning di tangan kanannya segera
diputar. Seketika tongkat itu berubah jadi gulungan-gulungan
sinar kuning.
"Ah...!"
Iblis Tuli terperangah kaget. Untuk sesaat gerakan tubuhnya
tertahan oleh angin berkesiur yang ditimbulkan oleh putaran
tongkat bambu kuning di tangan Ratu Pring Sewu. Lebih dari
itu, samar-samar matanya sempat melihat kalau tongkat bambu
kuning di tangan Ratu Pring Sewu siap memecahkan batok kepa-
lanya.
Untung pada saat yang gawat, Iblis Buta melompat dengan
kaki melepas tendangan ke arah tongkat.
Wesss!
Takkk!
Iblis Tuli menghela napas lega. Hampir saja batok kepalanya
jadi sasaran empuk tongkat di tangan Ratu Pring Sewu. Untung-
nya Iblis Buta datang menolong dengan memelencengkan arah
tongkat Ratu Pring Sewu. Sedangkan tubuh Ratu Pring Sewu
limbung ke samping.
"Bedebah! Maju kalian semua!" bentak Ratu Pring Sewu gu-
sar bukan main.
"Jangan terlalu sombong, Nenek Keriput! Menghadapiku sa-
ja, kau belum tentu sanggup. Apalagi kalau dengan keroyokan.
Ha ha ha...!" ejek Iblis Buta, membuat merah telinga Ratu Pring
Sewu.
Ratu Pring Sewu menggeretakkan gerahamnya penuh kema-
rahan. Tak ada gunanya berkata-kata. Toh Empat Iblis Merah
dari Hutan Seruni tetap memaksa dirinya dan murid-muridnya.
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Ratu Pring Sewu menerjang Iblis
Buta. Tongkat di tangan kanannya berputaran cepat luar biasa,
menciptakan gulungan warna kuning. Angin kesiuran yang di-
timbulkannya pun cukup keras, membuat baju Iblis Buta berki-
bar-kibar.
Tentu saja Iblis Buta tak ingin tubuhnya jadi bulan-bulanan.
Dengan mengandalkan jurus 'Tangan Merah', tubuhnya segera
berkelebat cepat dan berkelit-kelit di antara gulungan-gulungan
kuning dari putaran tongkat Ratu Pring Sewu.
Melihat gurunya mulai bertindak, murid-murid Perguruan
Pring Sewu pun tak tinggal diam. Dengan tongkat bambu kuning
di tangan mereka segera membantu Ratu Pring Sewu. Namun
baru saja bertindak, Iblis Gagu dan Iblis Tuli telah menghadang.
Tentu saja keadaan ini membuat serangan-serangan mereka ko-
car-kacir. Karena jelas, kepandaian mereka masih jauh diband-
ing Iblis Tuli dan Iblis Gagu.
Melihat murid-muridnya jadi bulan-bulanan, Ratu Pring Se-
wu jadi gusar bukan main. Namun sayang, ia sendiri pun tengah
sibuk menghadapi gempuran-gempuran Iblis Buntung dan Iblis
Buta. Jadi mana mungkin dapat membantu murid-muridnya?
Jangankan membantu. Untuk keluar dari gempuran-gempuran
iblis lawan-lawannya pun sulit.
"Jahanam! Terkutuk kalian semua! Beraninya kalian meng-
ganggu murid-muridku, he?!" teriak Ratu Pring Sewu kalang ka-
but.
"Jangan banyak bacot, Nenek Keriput! Awas, jaga serangan!"
Iblis Buntung tiba-tiba mengerahkan pukulan 'Darah Iblis' ke
arah Ratu Pring Sewu. Begitu kedua telapak tangannya didorong
ke depan, seketika meluruk dua larik sinar hitam legam me-
nyambar tubuh Ratu Pring Sewu. Begitu cepat serangannya, se-
hingga....
Buk! Bukkk!
"Aaahh...."
Ratu Pring Sewu memekik setinggi langit. Ia yang saat itu
tengah sibuk menghadapi serangan Iblis Buta, tak menyangka
akan dibokong demikian rupa. Tanpa ampun tubuh tinggi ku-
rusnya terlempar jauh ke samping, berputar-putar sebentar dan
jatuh berdebam ke tanah.
"Setan alas! Dasar curang! Hooekh...!"
Ratu Pring Sewu tak mampu lagi menahan desakan dari da-
lam tubuhnya. Darah segar yang mengaduk-aduk dalam dadanya
pun menyembur keluar.
Ratu Pring Sewu mengeluh dengan paras pias. Dari sudut-
sudut bibirnya mengalir darah segar. Namun perempuan tua ini
tetap memaksakan diri untuk meloncat bangun walaupun den-
gan susah payah.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Buntung!" desis Ratu
Pring Sewu penuh kemarahan.
Bett! Bett!
Ratu Pring Sewu segera mengerahkan ilmu andalannya
'Tongkat Penggebuk Iblis' setelah menggerakkan tongkatnya ke
berbagai arah. Kini tangannya telah berubah jadi kuning berki-
lauan hingga ke pangkal. Ini jelas menandakan kalau Ketua Per-
guruan Pring Sewu telah mengeluarkan tenaga dalam dengan
kekuatan penuh.
"Tunggu, Nenek Keriput! Sebelum kau menyerang, aku akan
memecahkan batok kepala muridmu yang cantik ini terlebih du-
lu!" teriak Iblis Tuli tiba-tiba dengan telapak tangan yang ber-
warna merah siap meremukkan batok kepala Mawarni. Memang
ternyata gadis itu telah diperdayai Iblis Tuli dengan mudah.
Ratu Pring Sewu menghentikan niatnya dengan wajah kaget
bukan main. Tak mungkin murid kesayangannya dibiarkan cela-
ka di tangan Iblis Tuli. Namun, ia juga tak ingin membiarkan se-
pak terjang Iblis Buntung dan kawan-kawannya begitu saja.
"Keparat! Monyet-monyet curang! Lepaskan muridku!" Maki
Ratu Pring Sewu. Tubuhnya menggigil di tempat saking tak
kuatnya menahan amarah yang menggelegak. Kedua telapak
tangan yang telah berubah jadi kuning berkilauan pun mulai
mengendur.
"Ha ha ha...! Enak saja kau main perintah. Sudah terjepit,
masih saja main perintah," ejek Iblis Buntung dengan seringaian
buas penuh kelicikan.
"Aku bilang, lepaskan muridku! Cepat! Kalau tidak, akan ku-
bunuh kalian semua!"
"Apa kau ngomong apa, Nenek Keriput? Apa kau mau menye-
rah?" tanya Iblis Tuli, tak tahu maksud ucapan Ratu Pring Sewu.
"Huk huk huk...!" Iblis Gagu segera memberitahu dengan
isyarat.
Iblis Tuli jadi tak tahan untuk tidak mengumbar tawa.
"Melepaskan muridmu. Mudah saja. Tapi ada satu syarat
mutlak yang tak dapat kau tawar, Nenek Keriput."
"Persetan dengan syarat yang kau ajukan, Tuli! Cepat le-
paskan muridku!" sembur Ratu Pring Sewu penuh kemarahan.
"Ratu Pring Sewu! Kau sudah kalah. Tak ada gunanya keras
kepala. Mau tidak mau, kau harus membantu kami!" timpal Iblis
Buta.
"Cih...! Siapa sudi membantu kalian?!"
"Baik. Kalau begitu, kau ingin melihat muridmu modar di
tangan kami, he?!" ancam Iblis Buta.
Paras Ratu Pring Sewu kian pucat. Sebentar matanya me-
mandang ke arah Iblis Buntung penuh kemarahan. Sebentar
kemudian, beralih ke arah Mawarni dengan tatapan bingung.
"Jangan hiraukan aku, Guru! Bunuh saja iblis-iblis tua itu!"
teriak Mawarni, tak mengenal takut.
Ratu Pring Sewu malah kian bingung. Kalau menuruti pera-
saan hati, ingin rasanya segera diterjang Iblis Buntung. Namun
manakala pandang matanya tertumbuk pada murid kesayangan-
nya, hatinya jadi ragu.
"Kalian memang iblis! Mau apa sebenarnya kalian kemari,
he?!" bentak Ratu Pring Sewu, saking tak tahunya apa yang ha-
rus diucapkan.
"Ha ha ha...! Dengar, Nenek Pikun! Buka telingamu lebar-
lebar. Kalau kami menginginkan nyawa busukmu dan murid-
muridmu, adalah satu pekerjaan mudah. Tapi kami tidak men-
ginginkan hal itu. Yang kuinginkan, kalian harus membantuku.
Syukur kalau dapat menyerahkan kepala Siluman Ular Putih pa-
da kami. Tapi kalau tak becus, kalian cukup menyampaikan pe-
san kami, seperti yang kami lakukan di pintu gerbang pergu-
ruanmu. Kau paham, Nenek Pikun?" papar Iblis Buntung.
Ratu Pring Sewu tak menyahut. Matanya hanya melotot ta-
jam ke arah Iblis Buta. Namun sayang, percuma saja hal itu dila-
kukan. Toh Iblis Buta tak tahu apa yang dilakukannya.
"Hm...! Sudah kuduga, kau pasti keberatan, Nenek Pikun.
Tapi, kami tetap memaksamu. Sebagai jaminan, untuk sementa-
ra muridmu yang cantik ini akan kami bawa. Kau dengar?" kata
Iblis Buta sambil mengisyaratkan tangan ke arah Iblis Tuli, un-
tuk bersiap-siap meninggalkan tempat itu.
"Setan alas! Kalian terlalu memaksaku. Tak mungkin aku
membiarkan muridku jatuh ke tangan manusia-manusia berhati
iblis seperti kalian!" dengus Ratu Pring Sewu.
"Mau tidak mau, kami tetap pada keputusan kami. Nanti ka-
lau urusan kami dengan Siluman Ular Putih selesai, baru mu-
ridmu bisa diambil. Ingat! Kalau kau tak becus menangkap Si-
luman Ular Putih, suruh dia menemui kami tepat pada malam
purnama bulan ini! Beritahukan saja tempat persembunyian
kami!" ujar Iblis Buntung,
"Dan sebagai jaminannya, kami tidak ingin mencelakakan
muridmu. Asal kalian bekerja dengan baik demi kepentingan
kami!" tambah Iblis Buta, seraya memberi isyarat pada teman-
temannya untuk meninggalkan tempat itu.
Saat itu pula, empat Iblis Merah dari Hutan Seruni segera
berkelebat cepat ke arah barat dengan membawa murid Ratu
Pring Sewu.
"Jangan dikejar!" perintah Ratu Pring Sewu pada murid-
muridnya yang bermaksud mengejar.
"Kenapa, Guru?" tanya Gandrik, tak puas.
"Percuma," kata Ratu Pring Sewu seraya menggelengkan ke-
pala. "Sekarang, cepat kalian berkumpul di pendopo!"
"Baik, Guru."
***
4
Di ruang pendopo, murid-murid Perguruan Pring Sewu du-
duk bersimpuh tanpa kata-kata. Mulut mereka seolah terkunci.
Suasana duka tampak sekali masih mewarnai wajah mereka.
Di hadapan para murid, Ratu Pring Sewu duduk membisu.
Parasnya pucat pasi pertanda luka dalam yang dideritanya be-
lum sembuh. Untuk beberapa saat perempuan tua ini menyapu
pandangan ke arah murid-muridnya seksama. Diam-diam ha-
tinya menangis. Meski tanpa kata, namun menilik parasnya yang
kusut jelas menandakan kalau hatinya sedang berduka.
"Hhh...!" Ratu Pring Sewu menghela napas panjang-panjang.
Luka dalam akibat pukulan 'Darah Iblis' milik Iblis Buntung ma-
sih tidak lebih parah dibanding sakit hatinya. Satu-satunya mu-
rid kesayangannya dirampas. Harga dirinya sebagai ketua pergu-
ruan bagai diinjak-injak.
"Guru...!" sebut Gandrik, memberanikan diri angkat bicara.
"Tindakan apa yang harus kita lakukan? Apa kita akan menyerah
begitu saja dengan kepongahan Empat Iblis Merah dari Hutan
Seruni?"
Ratu Pring Sewu menggeleng pelan. Seulas senyum getir ter-
sungging di bibirnya yang keriput.
"Lalu, tindakan apa yang harus kita laku-kan, Guru? Jelas ki-
ta tidak bisa menerima penghinaan ini. Apa lagi sekarang, Adik
Mawarni tertawan! Bagaimana kalau kita serang saja Hutan Se-
runi, Guru?" usul Gandrik, berapi-api. Jauh di relung hatinya
tersimpan serat-serat cinta pada gadis bernama Mawarni.
"Jangan, Gandrik! Dalam keadaan kita seperti ini, tak mung-
kin kita melawan. Kesaktian mereka berempat tinggi sekali. Ka-
lau nyawa kita diinginkan, semudah membalikkan telapak tan-
gan bagi mereka. Tapi mereka tidak menginginkan kita mati.
Hanya yang kupikirkan, kenapa mereka melibatkan kita? Buat
apa mereka melibatkan kita kalau mereka mampu membunuh
Siluman Ular Putih?" tanya Ratu Pring Sewu, seperti pada diri
sendiri.
"Ah...! Kenapa justru Guru memikirkan orang lain? Kenapa
kita tidak memikirkan bagaimana menyelamatkan Adik Mawar-
ni, Guru?" tukas Gandrik belum puas dengan jalan pikiran gu-
runya.
"Itu juga kupikirkan, Gandrik. Cuma seperti yang sudah ku-
katakan tadi, kita akan membuang nyawa percuma kalau nekat
melabrak Hutan Seruni."
"Walau nyawa taruhannya, aku rela mati di tangan iblis-iblis
tua itu. Asal, Adik Mawarni selamat. Guru."
"Benar, Guru. Usul Kakang Gandrik benar. Kita tak mungkin
membiarkan sepak terjang Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni
begitu saja. Kita harus bertindak cepat kalau menginginkan Adik
Mawarni selamat," timpal salah seorang murid Perguruan Pring
Sewu lainnya, berani.
"Aku mengerti perasaan kalian. Seperti kalian juga, aku juga
merasa sedih. Tapi untuk nekat menyerang Hutan Seruni...," Ra-
tu Pring Sewu menggeleng-geleng. Senyum getirnya kembali ter-
sungging di bibir. "Sulit. Sulit rasanya kita melawan mereka be-
rempat. Dan satu-satunya jalan, kita terpaksa memang harus
menjalankan apa yang mereka inginkan."
"Maksud Guru...? Kita akan terima begitu saja perintah iblis-
iblis tua itu?"
"Tak ada pilihan lain. Kita memang harus menjalankan itu
untuk sementara. Kalian tahu, ini semua demi keselamatan Ma-
warni. Lekaslah beberapa orang dari kalian melaksanakan apa
yang telah diperintahkan Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni.
Sebab kalau mereka tahu bahwa kita belum bertindak, aku kha-
watir terhadap nasib Mawarni."
"Baik kalau memang itu yang Guru ingin-kan. Aku akan sege-
ra membawa teman-teman melaksanakan perintah Empat Iblis
Merah," cetus Gandrik, akhirnya.
"Ya ya ya...! Lekaslah kalian berangkat!"
Gandrik cepat melompat bangun, diikuti beberapa orang adik
seperguruannya, jumlah mereka tak kurang dari dua belas orang.
"Ayo, Kang. Kita laksanakan tugas keparat ini secepatnya!"
ajak salah seorang adik seperguruan Gandrik bersemangat, sebe-
lum Gandrik mengajak.
"Hm...!" Gandrik menghela nafasnya sebentar. "Baik. Mari ki-
ta berangkat!"
Sementara Ratu Pring Sewu diam membisu di tempatnya.
Hanya pandangan matanya saja yang terus mengikuti perginya
Gandrik dan kedua belas adik seperguruannya yang kemudian
menghilang di balik pintu pendopo.
"Sekarang kalian cepat kembali ke tempat jaga masing-
masing. Awasi semua keadaan sekitar perguruan dengan seksa-
ma!" perintah Ratu Pring Sewu pada murid-murid lainnya yang
masih duduk membisu di ruang pendopo.
"Baik, Guru."
Tanpa diperintah sekali lagi, murid-murid Perguruan Pring
Sewu yang masih duduk bersimpuh di pendopo segera meloncat
bangun. Lalu dengan langkah lebar, mereka segera meninggal-
kan perempuan tua itu seorang diri di pendopo.
Ratu Pring Sewu segera membenamkan diri dengan berse-
madi. Dengan cara itu luka dalamnya akan disembuhkan. Na-
mun sayang, setiap hawa murninya disalurkan ke bagian pung-
gung yang terkena pukulan Iblis Buntung tadi, selalu saja mulut-
nya meringis kesakitan. Kini ia sadar, di samping menderita luka
dalam yang cukup parah, ternyata tubuhnya pun keracunan!
Ratu Pring Sewu menggeretakkan gerahamnya penuh kema-
rahan. Sama sekali tidak disangka kalau pukulan ‘Darah Iblis’
milik Iblis Buntung juga mengandung hawa racun keji. Kalau in-
gin cepat sembuh, maka ia harus segera mencari obat pemunah-
nya. Tapi....
Ratu Pring Sewu terkesiap kaget. Tiba-tiba pendengarannya
yang tajam mendengar langkah-langkah halus di atas genteng
pendopo. Sejenak pandangan matanya beredar seksama. Gera-
kan-gerakan halus di genteng makin terdengar nyata.
"Tamu-tamu tak diundang! Kalau kalian bermaksud baik, le-
kas tunjukkan diri! Tapi kalau kalian bermaksud jahat, jangan
dikira aku tak mampu menggebuk!"
Tak ada sahutan. Hanya samar-samar terdengar tawa berna-
da melecehkan di balik genteng sana.
Ratu Pring Sewu kesal bukan main. Namun belum sempat
bertindak, tiba-tiba genteng di atas pendopo terkuak. Saat itu
pula, meluncur dua sosok bayangan putih dan kelabu di tengah-
tengah ruang pendopo!
Mata Ratu Pring Sewu terbeliak lebar. Di hadapannya kini te-
lah berdiri dua lelaki tua yang usianya sulit ditebak. Yang seo-
rang berpakaian putih bersih, yang seorang lagi berpakaian kela-
bu. Rambut mereka sama-sama memutih. Alis mata, bulu mata
dan jenggotnya yang memanjang pun memutih. Dan mereka sa-
ma-sama menggenggam tongkat kuning.
Melihat siapa yang datang, amarah Ratu Pring Sewu kontan
meledak. Apalagi mereka masuk ke ruang pendopo dengan men-
jebol genteng!
"Kalian,..? Kurang ajar! Teganya kalian masuk ke pendopoku
dengan merusak genteng, he?!" dengus Ratu Pring Sewu cepat
melompat bangun.
Anehnya, dua orang kakek renta yang di-bentak malah cen-
gengesan. Mereka saling berpandangan sebentar, lalu tertawa
terpingkal-pingkal. Entah apa yang dianggap lucu.
Sudah pasti Ratu Pring Sewu jadi manyun berat. Siapa sudi
amarahnya malah disambut gelak tawa.
"Mau apa kalian kemari, he?! Mau memamerkan gigi ompong
kalian, iya?!" bentak Ratu Pring Sewu.
"Ah...! Adikku yang manis ini makin tam-bah manis saja ka-
lau membercngut begini ya, Kang. Cuma sayang, ia sudah tua.
Tak cantik lagi seperti dulu. He he he…" kata kakek berbaju pu-
tih, tak karuan juntrungnya. "Tapi ngomong-ngomong, siapa sih
yang mau kemari? Siapa sih yang memamerkan gigi ompong?
Bukan aku, kan? Bukan aku?"
Sepasang mata sayu kakek baju putih ini dibeliak-beliakkan
lucu.
"Siapa lagi kalau bukan kau?! Mulutmu bau. Adik kita kan
suka orang yang mulutnya bau. Iya kan?" sahut kakek berbaju
kelabu lebih parah.
Sabar-sabar! Ratu Pring Sewu menggumam dalam hati. Bisa
kontan sakit ayan kalau terus meladeni manusia-manusia aneh
seperti mereka.
"Kang...," lengking Ratu Pring Sewu saking jengkelnya.
"Ooooi...!" sahut kedua kakek yang ternyata berwajah kembar
itu, kompak.
Makin dongkol saja hati Ratu Pring Sewu menghadapi ting-
kah dua orang kakak seperguruannya.
"Jauh-jauh kalian dari Curuk Winong mau apa, heh?! Apakah
kedatangan Dua Orang Tua Aneh Putih Kelabu hanya untuk
menggodaku? Cepat katakan! Kalau tidak, ku... huk huk huk...."
Ratu Pring Sewu terbatuk-batuk keras. Buru-buru dadanya
didekap kuat-kuat. Perlahan-lahan tubuhnya kembali luruh ke
lantai.
Dua orang kakek berjuluk Dua Orang Aneh Putih Kelabu se-
jenak saling berpandangan, seperti tak tahu apa yang harus di-
perbuat.
"Kenapa dia, Kang Putih? Kok mendadak batuk-batuk?"
tanya kakek berbaju kelabu heran.
"Tak tahulah. Kesamber dedemit sawah barang kali," sahut
kakek berbaju putih yang di-panggil Kang Putih, sekenanya.
"Kang...! Tolong aku!" pinta Ratu Pring Sewu, memelas.
"I.... iya-iya...," sahut Dua Orang Tua Aneh Putih Kelabu dari
Curuk Winong itu serempak.
Menyadari kalau Ratu Pring Sewu yang masih adik sepergu-
ruannya itu menderita luka dalam, buru-buru Dua Orang Tua
Aneh Putih Kelabu dari Curuk Winong saling berebut untuk me-
nolong. Kakek Putih menyambar lengan kiri Ratu Pring Sewu.
Sedang Kakek Kelabu menyambar tangan kanan. Mereka seolah
tak mau mengalah satu sama lain.
"Eh eh eh...! Mau diapakan aku ini, he?! Aku menyuruh ka-
lian menolongku. Bukan berebutan begini!" sembur Ratu Pring
Sewu, kasar. "Lepaskan tanganku!"
Ratu Pring Sewu menyentakkan tangannya kasar, membuat
Kakek Putih dan Kakek Kelabu jadi cemberut. Mereka sama-
sama diam membisu, seperti anak kecil yang tengah dimarahi
ibunya.
"Yah...! Aku kan mau menolong. Tapi, Adik Kelabu merebut-
mu. Aku kan jadi kesal," rajuk Kakek Putih lucu.
"Aku juga. Aku kan juga mau menolongmu. Tapi, Kakang Pu-
tih mendahuluiku. Tentu saja aku tak mau," rajuk Kakek Kelabu
pula.
"Sudah-sudah! Bosan aku melihat tingkah kalian. Dari dulu
selalu saja bertingkah tengik. Dasar tua bangka-tua bangka aneh!
Siapa di antara kalian yang punya obat penawar racunku?"
"Eh eh eh...! Ada. Aku punya!"
Seperti suara-suara bebek yang akan di-bawa ke sawah, Ka-
kek Putih dan Kakek Kelabu saling berebut dalam menyahut.
Mereka pun buru-buru saling mengeluarkan obat penawar racun
dari kantong masing-masing.
"Ini, Adik. Semoga cepat sembuh, ya!" kata Kakek Putih,
mendahului menyodorkan butiran obat pemunah racun berwar-
na hijau.
"Jangan mau, Adik! Pakai yang ini saja. Ini lebih manjur. Biar
racun dari dasar neraka, pasti akan punah kalau kau sudah mi-
num obatku. Dijamin halal, Dik. Lekas minum obat Sari Bunga
Kumbang dari Gunung Semeru ini!" Kakek Kelabu buru-buru
menyodorkan butiran obat pemunah racun berwarna merah da-
rah ke hadapan Ratu Pring Sewu.
"Ah...! Benarkah, Kang? Obat ini dapat menghilangkan segala
jenis racun keji?" desah Ratu Pring Sewu dengan mata berbinar-
binar.
"O.... Sudah pasti beres. Luka yang menahun pun akan sem-
buh kalau sudah minum obatku ini. Lekas diminum!" ujar Kakek
Kelabu, bersemangat. Sementara Kakek Putih hanya menekuk
wajah, kesal karana obat-nya tak dianggap.
Ratu Pring Sewu segera menelan obat pemberian Kakek Ke-
labu.
Kakek Kelabu senang bukan main. Lagak-nya makin dibuat-
buat. Dadanya membusung dengan mata mengerling ke arah
Kakek Putih yang kecewa berat.
"Bagaimana, Dik? Cukup manjur, bukan?" tanya Kakek Kela-
bu bangga.
Ratu Pring Sewu tak menyahut. Namun tetap saja tak dapat
menyembunyikan perasaan girangnya saat rasa nyeri yang me-
nusuk-nusuk dalam dada mulai menghilang.
"Nah…! Kubilang apa? Kalau adik tadi minum obat pemunah
racunnya Kakang Putih, belum tentu dapat senyum-senyum, bu-
kan?" lanjut Kakek Kelabu.
"Terima kasih, Kang. Obatmu tadi memang cukup manjur.
Rasa nyeri dalam dadaku mulai hilang," ucap Ratu Pring Sewu.
"Ya ya ya...! Nanti rasa nyeri itu juga akan hilang dengan sen-
dirinya. Pokoknya yang penting, kau sekarang sudah sembuh,"
kata Kakek Kelabu dengan senyum terkembang di bibir.
"Sekarang kalian mendekatlah! Dengarkan aku baik-baik, ya!
Ada sesuatu yang ingin kubicarakan," ujar Ratu Pring Sewu,
mendadak raut wajahnya berubah jadi tegang.
"Baik."
Kakek Putih dan Kakek Kelabu patuh menuruti perintah Ratu
Pring Sewu. Tanpa banyak membantah mereka segera duduk
bersimpuh di hadapan adik seperguruannya. Mulut mereka ter-
kunci dengan mata memandang Ratu Pring Sewu seksama.
"Kalian masih ingat Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni?"
tanya Ratu Pring Sewu.
"Sudah pasti aku masih ingat. Malah me-reka masih hutang
beberapa gebukan dariku," sambar Kakek Putih.
"Aku juga. Aku juga punya piutang beberapa gebukan. Ada
apa? Kenapa kau sebut-sebut kunyuk-kunyuk merah itu? Apa
kau juga ingin menggebuk mereka?" timpal Kakek Kelabu tak
mau ketinggalan.
"Bukan saja ingin menggebuk. Tapi, aku ingin membunuh
mereka semua!" geram Ratu Pring Sewu penuh kemarahan. "Ka-
lian tahu tidak. Aku luka begini karena ulah monyet-monyet me-
rah itu!"
"Oooo...! Pantas. Tadi kulihat racun hitam di tubuhmu pasti
akibat pukulan 'Darah Iblis' mereka. Benarkah, Adik?" kata Ka-
kek Kelabu.
"Benar. Dan itu pulalah yang menyebalkanku. Bukan saja ka-
rena tugas keparat itu. Tapi, mereka juga menculik murid ke-
sayanganku!"
"Aduuuh! Ini tidak bisa dimaafkan, Adik. Kita harus segera
membuat perhitungan. Tapi ngomong-ngomong, kau tadi me-
nyebut-nyebut tugas. Tugas apa yang kau maksudkan, Adik?"
"Huh...," Ratu Pring Sewu mendengus kesal. "Manusia-
manusia keparat itu menyuruhku menangkap Siluman Ular Pu-
tih. Kalau aku tak sanggup, aku cukup menyampaikan pesannya
saja agar Siluman Ular Putih menemui Empat Iblis Merah di Hu-
tan Seruni, tepat pada malam purnama bulan ini."
"Keterlaluan. Beraninya mereka main perintah pada adikku
yang cantik. Awas! Kalau ketemu nanti, pasti aku akan membuat
perhitungan dengan mereka. Sekarang, apa yang harus kulaku-
kan, Dik?" desis Kakek Kelabu, seraya mengepal-ngepalkan ke-
dua telapak tangan.
"Benar, Dik. Cepat ngomong! Apa kau minta empat bangko-
tan tua itu kujadikan pepesan?" desak Kakek Putih.
"Iya..., tapi kesaktian mereka tinggi sekali. Tak seperti dulu,"
keluh Ratu Pring Sewu.
"Kami tak peduli. Pokoknya, mereka harus dihajar. Sekarang
juga! Ayo, Kang Putih!"
"Ayo."
"Tunggu! Kalian jangan gegabah melabrak mereka. Muridku
sekarang dalam tawanan mereka. Aku... aku takut mereka akan
membunuh Mawarni kalau kalian menyambangi tempat per-
sembunyian mereka."
"Lalu, aku harus bagaimana?" tukas Kakek Putih, kesal.
"Tunggu sampai luka dalamku sembuh benar. Lagi pula, mu-
rid-muridku sekarang banyak yang keluar menyampaikan pesan
pada Siluman Ular Putih."
"Tapi, kita jadi kan, menyerang Empat Iblis Merah di tempat
persembunyian mereka?"
"Iya. Tapi... tapi, ah! Aku cemas sekali memikirkan keadaan
muridku. Jangan-jangan mereka mencelakakan muridku. Ba-
gaimana ini?" keluh Ratu Pring Sewu, kebingungan sendiri.
"Ah...! Kau ini bagaimana, sih? Baiknya cepat suruh murid-
muridmu memanggil yang lain. Lalu, kita serang bangkotan-
bangkotan merah itu. Kan beres?" cetus Kakek Kelabu.
"Hm...! Bagaimana, ya?" Ratu Pring Sewu tercenung bebera-
pa saat.
"Jangan terlalu lama dipikirkan, Adik! In-gat! Empat Iblis
Merah dari Hutan Seruni bukan orang baik-baik. Mereka itu bi-
angnya tokoh sesat dunia persilatan. Siapa yang akan jamin ka-
lau toh akhirnya mereka mencelakakan muridmu juga?"
"Ah, iya! Kau benar, Kang. Kenapa aku tidak berpikir demi-
kian? Ah...! Menyesal sekali aku," desah Ratu Pring Sewu penuh
nada kekhawatiran.
"Sudah. Menyesalnya belakangan saja. Yang penting, seka-
rang kau harus cepat perintahkan muridmu untuk mencari mu-
rid-muridmu yang lain. Itu saja!"
"Baik, Kang."
Ratu Pring Sewu cepat melompat bangun. Gerakan kedua ka-
kinya agak lebih ringan, setelah minum obat pemunah racun
pemberian Kakek Kelabu.
Kakek Kelabu dan Kakek Putih tetap diam di tempatnya. Se-
telah sosok Ratu Pring Sewu menghilang di balik pintu pendopo,
mereka saling berpandangan. Entah siapa yang memulai, tahu-
tahu mereka malah cengengesan. Entah, apa yang ditertawakan.
***
5
Apa enaknya berjalan di bawah guyuran sinar matahari di
siang bolong? Hawa panas sinar matahari terasa seperti memba-
kar kulit tubuh. Keringat bercucuran. Debu-debu yang beterban-
gan tertiup angin pun sesekali memedihkan mata.
Namun keadaan ini tidak berlaku bagi So-ma yang berjalan
bersama Arum Sari. Walau kulit tubuhnya terasa seperti terba-
kar, keringat bercucuran maupun matanya pedih, pemuda ini te-
tap berjalan di samping si gadis dengan senyum terkembang. Se-
sekali matanya mengerling ke arah gadis cantik di sampingnya,
lalu kembali mengumbar senyum. Dilihatnya pipi gadis cantik di
sampingnya memerah. Keringat telah membasahi sekujur tu-
buhnya.
Soma senang sekali melihat keadaan ini. Pakaian basah Arum
Sari membuat lekuk-lekuk tubuhnya kelihatan samar. Apalagi
pada bagian dadanya yang membusung bak dua buah bukit
kembar. Tanpa sadar mata nakal si pemuda tak ingin beralih dari
dada yang membusung indah di sampingnya.
"Kalau cuaca begini terus, senang sekali aku menemanimu ja-
lan-jalan, Arum," ucap Soma disertai senyum terkembang di bi-
bir.
"Kenapa?" tanya Arum Sari seraya memperlambat langkah.
Kerling matanya melirik ke arah Soma sebentar. Merasa heran
dengan apa yang diucapkan pemuda tampan di sampingnya ba-
rusan.
"Yah...! Pokoknya, enaklah. Ada satu pemandangan indah
yang sulit sekali kugambarkan."
"Pemandangan apa? Aku kok tak melihat. Justru aku merasa
sebal sekali. Kalau saja aku tak ingin segera menemukan Peng-
huni Kubur, mana sudi aku berpanas-panas begini?"
"Aku kok tidak. Malah aku dapat menikmati perjalanan ini."
Sembari berkata begitu, mata nakal si pemuda kembali men-
gerling ke arah dua buah bukit kembar yang lengket di balik pa-
kaian hijau Arum Sari.
Si gadis kontan memberengut. Sebab kebetulan sekali ia me-
lihat kerling mata Soma tengah memperhatikan bagian dadanya.
Ketika kepala menunduk, ternyata pakaiannya yang basah oleh
keringat membuat lekuk-lekuk dadanya terlihat nyata.
"Kau...?" Arum Sari membeliakkan mata. "Kurang ajar! Jadi
inikah yang dinamakan pemandangan indah? Pemandangan
yang dapat kau nikmati?"
"Anu.... Anu.... Maksudku...."
Soma garuk-garuk kepala. Mana sudi pemuda ini mengakui
terus terang.
"Jangan mungkir!"
"Tidak. Aku tidak mungkir. Pemandangan siang ini memang
cukup indah. Coba lihat gerumbulan hutan-hutan di depan sana.
Cukup indah, kan? Apalagi angin bertiup semilir," kilah Soma
seraya menunjukkan kegerumbulan hutan di depan sana. "Iya,
kan? Cukup indah?"
Arum Sari berbalik kesal. Dan saat itu pula, tiba-tiba sepa-
sang mata indahnya membeliak lebar. Di bongkalan batu di ha-
dapannya, terlihat tanda empat telapak tangan kanan manusia
berwarna merah darah. Di bawah tanda itu tertulis....
Pesan untuk Siluman Ular Putih.
Kami berempat menunggu kedatanganmu tepat di malam
purnama bulan ini. Di Hutan Seruni.
Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni.
Arum Sari tercenung. Jelas, pesan itu ditujukan pada Silu-
man Ular Putih.
"Soma, lihat! Ada seseorang menuliskan pesan untukmu,"
tunjuk Arum Sari, terlupa dengan ulah nakal Soma tadi.
Soma tidak menyahut. Saat itu, ia juga tengah mengamati tu-
lisan di bongkalan batu persis di belakang tubuh Arum Sari. Se-
hingga ketika kepala si gadis berpaling ke belakang, pipinya me-
nyentuh bibir Soma.
Arum Sari kesal bukan main. Mulutnya gatal untuk mendam-
prat. Namun Soma tidak mempedulikannya. Pemuda itu malah
berjalan mendekati bongkalan batu dan mengamati tuli-san
dengan seksama.
Tanpa sadar diam-diam si gadis meraba ke pipi yang tercium
bibir Soma tadi. Wajahnya kontan memerah. Ada sisa-sisa ke-
hangatan di sana. Dan entah kenapa matanya memejam dengan
hati berbunga-bunga.
"Tampaknya orang yang menulis tulisan ini belum begitu la-
ma berlalu dari sini. Arum. Coba lihat! Tulisan darah itu masih
basah?" duga Soma. "Hm.... Apakah aku pernah berurusan den-
gan Empat Iblis Merah...? Siapa mereka, ya?"
Tak ada jawaban.
Kening Soma jadi berkerut, heran karena tak mendengar sua-
ra. Karena takut ditinggal sahabatnya yang cantik, buru-buru
kepalanya berpaling ke belakang.
"Hey...! Kenapa kau. Arum? Kenapa diam saja? Lho? Kok,
malah memejamkan mata?"
Siluman Ular Putih cepat mendekati Arum Sari. Dipegangnya
kedua bahu gadis cantik itu dan diguncang-guncangkannya.
"Ada apa. Arum?" lanjur Soma lembut, langsung menyentuh
relung hati gadis cantik di hadapannya.
Arum Sari tersenyum, samar. Ada sesuatu yang terus bergejo-
lak dalam dadanya. Entah apa itu. Yang jelas, rasanya si gadis
ingin sekali menyandarkan kepalanya ke dada bidang pemuda
tampan ini. "Soma! Aku... aku.,.."
Arum Sari tak meneruskan kata-katanya. Lidahnya terasa ke-
lu untuk berterus terang. Kedua pipinya pun makin merona me-
rah.
Siluman Ular Putih menangkap apa yang diinginkan gadis
itu. Kendati begitu, tubuh mungil di hadapannya membuatnya
tak tahan untuk memeluk.
Saat si pemuda nekat memeluk, anehnya Arum Sari tak me-
nolak. Malah kepalanya dibenamkan ke dada Soma dengan mata
terpejam.
Soma berdebar keras saat merasakan kelembutan dada mem-
busung gadis itu yang menghangatkan dadanya. Cukup lembut.
Segenap perasaan Siluman Ular Putih tersentuh hingga mem-
buatnya betah berlama-lama memeluk gadis itu. Darahnya seo-
lah berdesir kencang.
Kendati cukup menikmati keadaan ini. namun si pemuda ti-
dak ingin tenggelam dalam bahtera birahi yang bisa membuat
hatinya mabuk kepayang. Apalagi samar-samar pendengarannya
yang tajam menangkap langkah-langkah halus mendekati tem-
pat itu. Perlahan-lahan, dilepaskannya pelukan pada gadis itu.
"Ada beberapa orang mendekati tempat ini," kata Soma, lem-
but di telinga Arum Sari.
Si gadis tersipu. Kedua pipinya kontan memerah. Begitu pe-
lukan terlepas, kepalanya langsung tertunduk malu. Namun di-
am-diam hatinya makin kagum saja pada Soma. Bukan saja ka-
gum melihat ketampanan pemuda di hadapannya, melainkan ju-
ga kagum melihat kepandaiannya. Betapa pendengaran pemuda
tampan bergelar Siluman Ular Putih ini begitu tajam. Mampu
menangkap langkah-langkah seseorang yang masih di kejauhan
sana. Buktinya saja ketika Arum Sari hendak membuka suara,
terlihat tiga belas orang berpakaian kuning-kuning tengah men-
dekati mereka.
"Siapa mereka, Soma?" tanya Arum Sari.
"Aku tidak tahu. Kita tunggu saja, mau apa mereka kemari?"
jawab Soma, tanpa mengalihkan perhatian dari ketiga belas pe-
muda berpakaian kuning-kuning yang makin mendekati.
Begitu berhenti sejauh empat tombak di hadapan Soma dan
Arum Sari, ketiga belas pemuda berpakaian kuning-kuning itu
langsung menatap penuh selidik.
"Menilik rajahan kecil di dada dan pakaian rompi serta celana
putih keperakan, benarkah kau yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih?" tanya satu dari tiga belas orang berpakaian kuning-kuning
itu.
"Hm...! Ada apa, ya? Kenapa kalian ingin bertemu Siluman
Ular Pulih?" tanya Soma. "Apa kalian yang bergelar Empat Iblis
Merah dari Hutan Seruni? Kurasa tidak kan? Jumlah kalian tiga
belas orang. Sedang Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni sudah
pasti empat orang. Atau mungkin Empat Iblis Merah dari Hutan
Seruni itu guru kalian?"
"Kami bukan murid iblis-iblis tua itu. Kami dari Perguruan
Pring Sewu," sahut pemuda yang berdiri paling depan. Dia ada-
lah Gandrik. "Tapi kalau menilik nada bicaramu, pasti kau sudah
membaca pesan itu."
"Pesan apa, ya? Kalau yang dimaksudkan pesan tanda merah
di bongkalan itu, aku memang baru saja membaca. Tapi aku ti-
dak tahu siapa Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni."
"Hm...! Jadi benar. Rupanya kaulah yang bergelar Siluman
Ular Pulih!" tebak Gandrik, mendesis ketus.
Siluman Ular Putih tersenyum kecut. Menyesal sekali ia telah
kelepasan bicara.
"Kalau memang iya, apakah kalian sudi menerangkan padaku
kenapa Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni bermaksud men-
gundangku?"
"Huh...!" dengus Gandrik. Kilatan matanya tajam memperha-
tikan Siluman Ular Putih.
"Sudah, Kang! Buat apa bicara panjang lebar. Sudah jelas ka-
lau pemuda gondrong itu Siluman Ular Putih. Tunggu apa lagi,
Kang? Sikat saja si pembawa sial ini!" timpal salah seorang dari
murid Perguruan Pring Sewu, memanas-manasi.
Siluman Ular Putih terheran-heran. "Ada apa ini? Kenapa
kau bilang aku sebagai si pembawa sial?"
"Benar! Kau memang manusia pembawa sial. Karena kaulah
yang menyebabkan adik seperguruan kami diculik," teriak Gan-
drik, tak da-pat lagi menahan dongkol.
"Siapa yang mengobrak-abrik perguruan kalian? Siapa pula
yang menculik adik seperguruan kalian?"
"Siapa lagi kalau bukan Empat Iblis Merah dari Hutan Seru-
ni?" terabas Gandrik cepat.
"Kalau begitu, kenapa kalian menyalahkanku?"
"Bagaimanapun juga, kaulah biang kerok-nya. Kaulah yang
menyebabkan Empat Iblis Me-rah menyatroni tempat kami se-
hingga Adik Mawarni diculik! Untuk itu kau harus bertanggung
jawab. Kau harus kami hajar!"
"Eh, sabar! Sobatku ini tak bersalah. Kenapa kalian memaksa
meminta tanggung jawab-nya?" Arum Sari yang sedari tadi
membisu tak dapat lagi menahan kesal.
"Diam kau! Aku tidak bicara denganmu!" bentak Gandrik
langsung memasang kuda-kuda. Tongkat bambu kuning di tan-
gan kanannya telah terangkat. Sikapnya siap menerjang Siluman
Ular Putih dengan jurus-jurus pilihan.
Melihat Gandrik sudah mulai bertindak, kedua belas adik se-
perguruannya Langsung membuat lingkaran dengan sikap me-
nyusun serangan. Tongkat di tangan kanan mereka diputar-
putarkan sedemikian rupa di atas kepala sambil memutari Silu-
man Ular Putih dan Arum Sari.
"Ah...! Kenapa kalian terlalu memaksa? Kenapa kalian tidak
menuntut balas pada Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni? Ke-
napa justru menuntut balas padaku? Ingat, Kawan! Jangan te-
ruskan niatmu itu!" ujar Siluman Ular Putih memperingatkan.
"Jangan banyak bacot! Cepat keluarkan senjata mu!" bentak
Gandrik tak peduli. "Serang!"
Begitu aba-aba terdengar, kedua belas murid Perguruan
Pring Sewu segera mengiringi serangan Gandrik. Tongkat bambu
mereka segera berseliweran menyerang Siluman Ular Putih dan
Arum Sari dari dua belas penjuru. Begitu cepat gerakan tongkat
mereka, sehingga terlebih dahulu berkesiur angin keras me-
nampar-nampar tubuh.
Werrr! Werrr!
"Hati-hati, Arum! Jangan terlalu gegabah menurunkan tan-
gan maut!" ucap Siluman Ular Putih memperingatkan.
"Iya, Soma," Arum Sari menganggukkan kepala.
Siluman Ular Putih tersenyum sekilas. Sekali lihat saja, bisa
diketahui kalau serangan-serangan ketiga belas orang murid
Perguruan Pring Sewu itu tampak lamban tak bertenaga. Sekali-
gus, bisa diketahui kelemahan serangan lawan.
"Hup!"
Siluman Ular Putih cepat bertindak. Sekali menjejak tanah,
tubuhnya cepat berkelebat di antara gulungan-gulungan kuning
tongkat bambu di tangan para pengeroyoknya.
Kalau saja mau, tidak sulit bagi Siluman Ular Putih untuk
merobohkan ketiga belas orang pengeroyoknya. Namun hal itu
tidak dilakukannya. Tangannya hanya bergerak cepat luar biasa,
merampas tongkat di tangan murid-murid Perguruan Pring Se-
wu.
Tak! Tak! Tak!
Sepuluh orang murid Perguruan Pring Sewu terkesiap kaget.
Saking cepatnya Siluman Ular Putih berkelebat sehingga yang
terlihat hanya sosok bayangan putih keperakan. Dan tahu-tahu
tangan Siluman Ular Putih telah merampas tongkat-tongkat di
tangan mereka.
"Tahan serangan!" bentak Siluman Ular Putih, tahu-tahu kini
telah berdiri tegak jauh di luar tempat pertarungan. Sepuluh
tombak bambu kuning murid Perguruan Pring Sewu telah ter-
genggam di tangan. Hanya tiga orang murid lainnya saja yang
masih menggempur Arum Sari habis-habisan. Namun, tampak-
nya gadis cantik berpakaian hijau-hijau itu masih mampu meng-
hadapi serangan-serangan lawan.
"Lekas, letakkan senjata kalian! Kalau tidak, jangan salahkan
kalau aku terpaksa menghajar kalian!" bentak Arum Sari seraya
melempar tubuh jauh ke belakang. Meski hanya menggunakan
tangan kosong, namun si gadis masih mampu mengatasi ketiga
orang pengeroyoknya.
Gandrik dan kedua belas orang adik seperguruannya tersadar
kalau ternyata tengah berhadapan dengan pendekar-pendekar
berkepandaian amat tinggi. Mereka tahu diri kalau terus me-
maksa, bukan mustahil justru mereka yang menderita kerugian.
Kini mereka tak berani berlaku lancang lagi.
Gandrik sendiri kini jadi terbuka mata kalau ilmunya belum
terlalu tinggi. Kalau saja kedua orang yang dikeroyoknya itu
menghendaki, bukan mustahil ia dan teman-temannya sudah tak
bernapas.
"Maaf, kami benar-benar tak tahu diri. Kami benar-benar ge-
lap mata, sehingga tak menyadari keadaan. Maaf atas kekuran-
gajaran kami!"
Habis berkata demikian, Gandrik dan kedua belas adik seper-
guruannya segera berlutut di hadapan Siluman Ular Putih dan
Arum Sari. Wajah-wajah mereka yang menyiratkan ketakutan
disembunyikannya dalam-dalam.
"Sudahlah! Cepat kalian bangun!" ujar Siluman Ular Putih,
seraya mengangkat pundak Gandrik.
"Kami tak berani sebelum kekurangajaran kami dimaafkan,"
Gandrik bersikeras tak mengikuti tarikan tangan Siluman Ular
Putih.
Diam-diam Siluman Ular Putih dan Arum Sari jadi kagum
melihat sikap gagah murid-murid Perguruan Pring Sewu. Mere-
ka kini yakin kalau murid-murid Perguruan Pring Sewu dari go-
longan putih. Dan dari penuturan mereka tadi, Soma tahu kalau
murid Perguruan Pring Sewu itu tengah ditimpa musibah. Tanpa
diperintah pun Siluman Ular Putih merasa berkewajiban untuk
menolong.
"Bangunlah! Kami berdua telah memaafkan kalian," ujar So-
ma lagi.
"Terima kasih."
Gandrik dan kedua belas orang adik seperguruannya buru-
buru meloncat bangun.
"Sekarang ceritakan, bagaimana asal muasalnya sampai Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni sampai mengobrak-abrik per-
guruan kalian! Juga, ceritakan siapa itu Empat Iblis Merah dari
Hutan Seruni!" pinta Siluman Ular Putih kalem.
"Baik," Gandrik sejenak menghentikan bicara. "Sebenarnya
kami tak tahu, siapa Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni itu.
Dan kami juga tidak tahu, mengapa perguruan kami yang dijadi-
kan sasaran. Yang jelas, mereka menginginkan agar kami mem-
bantu mereka untuk menangkapmu. Kalau tidak dapat, kami cu-
kup menyampaikan pesan seperti yang telah kami lakukan di
bongkahan batu itu."
"Hm...!" Siluman Ular Putih dan Arum Sari mengangguk-
anggukkan kepala.
"Tapi, kenapa kalian mau menuruti kemauan mereka?" lanjut
Siluman Ular Putih.
"Karena mereka telah menawan adik seperguruan kami. Ka-
lau kami tak sudi membantu, mereka akan membunuh adik se-
perguruan kami," jelas Gandrik dengan rahang bergemeletakkan
bila mengingat Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni yang telah
menawan Mawarni.
Mendengar penuturan Gandrik, Siluman Ular Putih dan
Arum Sari hanya mengangguk-angguk. Sedang Gandrik sendiri
terus bercerita mengenai gurunya yang kini terluka parah.
Sebelum Gandrik menuntaskan cerita mengenai keadaan gu-
runya, mendadak muncul beberapa orang berpakaian serba kun-
ing. Dengan tergopoh-gopoh mereka berlari-lari mendekati
Gandrik.
"Kang Gandrik! Cepat tinggalkan tempat ini! Guru meminta
kita berkumpul. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan," ujar salah
satu orang berpakaian kuning yang memang dari Perguruan
Pring Sewu pula.
"Ada apa, Pidekso? Kenapa Guru meminta kita berkumpul?"
tanya Gandrik heran.
"Tidak tahu, Kang. Pokoknya Guru meminta kita cepat ber-
kumpul. Ayo, cepat tinggalkan tempat ini, Kang!"
"Baik," sahut Gandrik cepat. "Maaf, Tuan Pendekar! Terpaksa
kami harus meninggalkan kalian berdua? Kalau kalian berdua
ingin lebih jelas tentang persoalan ini, sekaligus demi menegak-
kan kebenaran, baiknya cepat selidiki Empat Iblis Merah dari
Hutan Seruni!"
"Ya ya ya...! Tentu! Tentu!"
Setelah itu Gandrik dan murid-murid Perguruan Pring Sewu
lainnya segera berkelebatan meninggalkan tempat ini. Gerakan
mereka cukup ringan dan cepat. Dan dalam waktu singkat sosok-
sosok mereka itu telah berada di kejauhan sana.
* * *
"Kita sahabat, Soma. Urusanmu adalah urusanku. Demikian
juga dengan urusanku. Kau tentu juga mau membantu urusanku,
bukan?" sahut Arum Sari diiringi senyum manis.
"Terima kasih. Kau baik sekali. Arum. Tapi, apa kau tahu di
mana letak Hutan Seruni?"
"Kenapa tadi tidak kau tanyakan pada murid-murid Pergu-
ruan Pring Sewu?" Arum Sari balik bertanya.
"Iya, ya. Kenapa tadi aku tak menanyakannya?" ulang Silu-
man Ular Putih lucu sambil garuk-garuk kepala.
"Sudahlah! Pokoknya kita selidiki sendiri."
"Baik."
"Apa yang harus kita lakukan, Arum?" tanya Soma.
Siluman Ular Putih menatap gadis cantik di sampingnya ta-
jam.
Arum Sari hanya menghela napasnya panjang. Sepasang ma-
tanya sempat memperhatikan ke arah murid-murid Perguruan
Pring Sewu menghilang tadi.
"Tak ada pilihan lain. Terpaksa kita harus menunda urusan
sebentar," sahut Arum Sari.
"Maksudmu?"
"Kita harus menyelesaikan urusan ini terlebih dulu. Aku be-
lum puas kalau kau belum menyelesaikan urusanmu dengan
Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni."
"Yah...! Terus terang aku memang penasaran sekali, Arum.
Aku belum puas kalau belum menyelidiki, mengapa Empat Iblis
Merah dari Hutan Seruni memusuhiku. Tapi, kau tak keberatan
kan kalau kita menunda urusan dengan Penghuni Kubur?"
***
Emoticon