SATU
"Aaauuu...!"
Terdengar
lolongan panjang anjing hutan yang mendirikan bulu kuduk. Di malam yang pekat
itu angin bertiup cukup kencang. Awan hitam bergulung-gulung menutupi cahaya
bulan udara begitu dingin membekukan tulang. Namun keadaan alam yang nampak
tidak ramah itu tak menghalangi seorang laki-laki tua yang mengenakan jubah
putih panjang untuk berjalan tertatih-tatih.
Sebatang
tongkat kayu hitam yang berkeluk-keluk, tergenggam erat membantu langkahnya.
Sesekali ditengadahkan kepalanya ke atas, memandang gumpalan awan yang semakin
hitam menebal. Desahan napasnya begitu panjang dan berat Namun kakinya terus
terayun setengah terseret, menapaki tanah berumput.
"Hhh...,
mudah-mudahan belum terlambat," terdengar desahan pelan setengah bergumam.
Laki-laki
yang usianya kelihatan telah mencapai seratus tahun itu terus berjalan
tertatih-tatih menembus kegelapan malam. Dia baru berhenti melangkah setelah
tiba di sebuah puncak bukit yang tidak begitu tinggi. Pandangan matanya lurus
ke arah suatu tempat yang terdapat cahaya-cahaya lampu berpendar, seakan ingin
mengalahkan kegelapan.
Hm...,
apakah itu Karang Setra...?" laki-laki tua itu menggumam bertanya pada
dirinya sendiri.
"Aaauuu...!"
Kembali
terdengar lolongan anjing hutan yang panjang dan menyayat hati. Laki-laki tua
itu kembali menengadahkan kepalanya. Kakinya kembali melangkah pelahan-lahan,
lalu kepalanya tertunduk mem-perhatikan ujung-ujung kakinya yang bergerak
terseret Sebentar kemudian kepalanya mcnoleh ke kanan dan ke kiri. Kedua
matanya yang cekung tampak tajam menatap sekelilingnya, tanpa sedikit pun
berkedip.
"Aku
yakin, di sinilah tempatnya Hhh...! Mimpi itu jelas sekali. Aku yakin itu bukan
sekedar mimpi. Aku melihat.... Begitu jelas. Oh, Dewata Yang Agung...,
mudah-mudahan aku belum terlambat," desisnya lirih.
Laki-laki
tua berjubah putih panjang dan hampir menyentuh tanah itu, kembali berhenti
melangkah. Tatapan matanya lurus pada satu tempat di bawah pohon besar dan
rindang. Tampak sebuah gundukan tanah yang dikelilingi bcberapa batu.
Pelahan-lahan
laki-laki tua itu melangkah mendekati, kemudian berhenti dan berdiri tegak di
samping gundukan tanah itu Terdengar tarik. napasnya yang panjang dan berat.
Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Tatapan matanya tajam beredar ke
sekeliling.
"Benar!
Di sini tempatnya. Aku yakin, itu bukan hanya sekedar mimpi. Hhh..., mudah
mudahan masih bisa kuselamatkan," desah laki-laki tua renta itu.
Pelahan-lahan
dia menjulurkan ujung tongkatnya ke atas gundukan tanah itu, lalu ditekan
hingga masuk hampir setengahnya. Pelahan kemudian, ditariknya kembali tongkat
itu. Terdengar lagi tarikan napas panjang, namun kali ini bernada kelegaan pada
hembusan napasnya. Sinar matanya tidak lagi redup. Raut wajahnya pun nampak
bersinar dan bibimya menyunggingkan senyum
Laki-laki
tua itu membuka jubahnya, dan melemparkan begitu saja.'Kini dia hanya memakai
baju ketat warna biru tua. Di punggungnya tampak sebuah alat berbentuk sekop
yang terikat Laki-laki tua renta itu membuka tali yang mengikat sekop, dan
langsung menggali gundukan tanah
Dari
caranya menggali, sudah dapat dipastikan kalau laki-laki tua itu bukanlah orang
sembarangan. Tenaganya begitu kuat. dan gerakannya cepat luar biasa. Dia terus
menggali meskipun titik-titik air hujan mulai jatuh merinai. Semuanya tidak
dipedulikan, sampai seluruh tubuhnya hampir tenggelam dalam lubang yang
digalinya. Sebentar masih terlihat tanah terlempar ke luar, kemudian tidak
teriihat lagi sesuatu yang terlempar dari dalam Iubang itu.
Bahkan
dari dalam lubang itu melesat bayangan yang langsung mendarat di tepi lubang.
Tampak laki-laki tua itu sudah berdiri tegak memondong sesosok tubuh yang kotor
oleh tanah merah berair. Sukar untuk dikenali tubuh dalam pondongan itu.
Sebentar laki-laki berusia lanjut itu memandang ke dalam lubang, kemudian
membungkuk memungut jubahnya.
"Kau
belum mati dan akan hidup kembali, Cucu ku," kata laki-laki tua itu pelan,
namun terdengar mantap suaranya. Sesaat kemudian, tiba-tiba saja laki-laki tua
renta itu melesat cepat. Begitu cepatnya, tahu-tahu sudah menghilang ditelan
kegelapan malam yang sangat pekat. Tepat pada saat itu di angkasa, kilat
menyambar terang. Hujan pun turun dengan derasnya, bagai ditumpahkan dari
langit.
***
Sementara
itu pada saat yang sama, di sebuah kamar penginapan di luar Kota Kerajaan
Karang Setra, seorang pemuda nampak gelisah dalam tidurnya. Wajahnya yang
tampan dan rambutnya yang panjang terurai, nampak seperti kusut. Keringat
membasahi se-luruh wajah dan tubuhnya. Dan tiba-tiba saja...
"Tidak..!"
Pemuda itu menjerit keras, dan langsung terbangun duduk.
Napas
pemuda itu terengah engah. Wajahnya teriihat pucat pasi. Untuk beberapa saat
dia hanya ter-duduk dan pandangannya kosong Tangannya menyeka keringat yang
membanjiri wajah, kemudian meraih sebilah pedang yang tergeletak di sampingnya.
Digeser tubuhnya, lalu duduk menjuntai di tepi pembaringan. Angin malam yang
dingin menerobos masuk dari jendela yang terbuka lebar.
Pemuda
itu bangkit berdiri dan melangkah ke jendela, kemudian berdiri mematung sambil
memandang ke luar. Langit tampak hitam, dan hujan turun bagai ditumpahkan dari
langit Begitu derasnya, sehingga menimbulkan suara bergemuruh. Kilat menyambar
angkasa, membuat a lam jadi terang untuk sesaat.
"Hhh...!
Aku bermimpi...," keluh pemuda itu pelan.
Angin
malam yang dingin membawa tumpahan hujan, membuat tubuh pemuda itu menggigil
sedikit Ditutupnya jendela kamar sewaan. Seleret cahaya kilat kembali menyambar
angkasa. Pemuda itu tidak jadi menurup jendela. Pandangannya lurus menatap ke
arah bukit yang melatarbelakangi Kerajaan Karang Setra. Bukit yang nampak hitam
dan teriihat angker.
Lama
juga pemuda Itu menatap ke arah bukit itu. Setelah menarik napai panl^ng,
kemudian ditutupnya jendela kamar sewaannya Dia berbalik dan melangkah kembali
mendekati pembaringan, lalu duduk di situ.
"Hampir
tiga purnama aku tidak menginjakkan kaki lagi di sini. Hhh Entahlah, kenapa aku
kembali lagi ke sini? Mimpi itu" pemuda itu bergumam sendiri. Beberapa
kali dHarlknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat
Dia
masih duduk termenung sambil memandang kosong ke depan. Keringat kembali
menitik membasahi wajahnya. Dengan punggung tangan kiri, diseka keringat itu,
lalu kembali ditarik napas panjang, seakan-akan ingin dilonggarkan dadanya.
Bisa dirasakan kalau detak jantungnya demikian cepat Bahkan perasaannya jadi
tidak menentu. Pemuda itu sendiri tidak tahu, kenapa beberapa hari ini jadi
gelisah seperti ini? Sehingga, tanpa disadari dirinya berada kembali di
Kerajaan Karang Setra.
Karang
Setra adalah satu tempat yang begitu banyak menyimpan kenangan. Baik kenangan
manis maupun pahit Tempat yang tidak akan pemah dilupa kan selama hidupnya. Di
sini dia dilahirkan, di sini pula leluhumya terdahulu lahir dan meninggal.
Pemuda itu kembali bangkit berdiri dan berjalan mendekati meja yang terletak di
samping pintu. Diambilnya kendi dan diteguknya air bening dalam kendi itu.
"Hhh...,
aku tak pernah percaya dengan mimpi. Tapi mimpi ini.... Sudah beberapa hari
selalu datang, dan selalu sama! Apakah..., ah tidak!" pemuda itu menggeleng-gelengkan
kepalanya, lalu berbalik dan kembali menuju ke pembaringannya. Dia duduk
kembali di tepi pembaringan itu, dan merebahkan tubuhnya. Tapi pedang di
punggungnya membuatnya tidak nyaman. Dilepaskan pedangnya, dan diletakkan di
sampingnya. Tapi tangan kirinya masih memegangi gagang pedang berkepala burung
itu
Glarrr...!
Guruh
menggelegar kencang, membuat pemuda itu terlonjak bangkit berdiri. Seketika
cahaya kilat memendar di angkasa, membuat kamar yang hanya diterangi sebuah
pelita kecil itu sesaat jadi terang benderang. Dan pada saat itu, mata pemuda
itu menangkap adanya kelebatan bayangan di depan jendela.
Bergegas
dia melompat ke jendela, dan langsung membukanya lebar-lebar. Tapi bayangan itu
sudah tidak teriihat lagi. Hanya angin dingin dan curahan hujan saja yang
menyambutnya. Sebentar diedarkan pandangannya ke sekeliling. Namun hanya
kegelapan saja yang teriihat. Tidak ada lagi bayangan berkelebat yang
dilihatnya sekejap tadi.
Cras!
Kembali
seleret cahaya kilat menyambar langit, disusul suara guruh memekakkan telinga.
Pada saat itu, mata pemuda itu tertumbuk pada sosok tubuh yang berdiri di bawah
pohon yang cukup besar dan berdaun rimbun. Pohon itu terletak di seberang
jalan, dan jaraknya cukup jauh dari rumah penginapan ini.
Tapi
sosok tubuh Itu terlihat hanya sekejap saja. Begitu kilat kembali menyambar,
sosok tubuh itu sudah tidak teriihat lagi Pemuda itu jadi tertegun, lalu
berdiri mematung di dipan jendelanya. Perasaannya yang halus, langsung
menangkap kalau dirinya tengah diawasi seseorang. Tidak jelas , siapa dan apa
maksudnya orang itu mengawasi.
Pagi
begitu cerah. Langit bening tanpa awan sedikit pun menggantung di angkasa.
Matahari bersinar penuh menghangati seluruh Kerajaan Karang Setra yang
semalaman terguyur hujan lebat. Meskipun tanah berlumpur, namun seluruh
penduduk Karang Setra tetap melakukan tugasnya masing-masing. Pagi ini
kehidupan kembali berjalan setelah semalaman bagaikan mati.
Dari
dalam sebuah kamar penginapan, keluar seorang pemuda berwajah tampan. Rambutnya
panjang meriap terikat kain berwarna putih, sewarna dengan bajunya yang tanpa
lengan. Bagian dada dan perutnya terbuka lebar, menampakkan bentuk otot yang
kuat dan tegap. Pemuda itu melangkah ringan, keluar dari rumah penginapan
menuju halaman. Ayunan kakinya seperti terlihat pelahan, tapi kecepatannya
melebihi orang berlari
Tidak
ada seorang pun yang memperhatikan. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya
masing-masing. Tapi, rupanya ada seorang yang selalu memperhatikan dari balik
tudung tikar yang besar, sehingga menutupi sebagian wajahnya.
"Aku
harus segera sampai ke sana. Perasaanku semakin tidak enak. Aku yakin,
mimpi-mimpi itu bukan sekedar mimpi biasa. Jelas itu merupakan petunjuk yang
membawaku kembali ke sini," pemuda itu bergumam dalam hati.
Langsung
dikerahkan ilmu lari cepat begitu berada di luar pemukiman penduduk Ilmu
meringankan tubuhnya memang Hungguh luar biasa, sehingga lari-nya bagaikan
terbang saja. Sepasang kakinya seperti tidak menapak tanah, sukar untuk diikuti
mata biasa. Begitu cepatnya bettari, sehingga yang nampak hanya sebuah bayangan
putih berkelebatan cepat di antara pepohonan.
"Oh,
tidak...!" pekik pemuda itu begitu sampai di suatu tempat, pemuda itu
mendadak menghentikan larinya.
Kedua
bola matanya membeliak lebar dan mulutnya menganga. Wajahnya tampak kosong.
Langkah-nya pelahan-lahan mendekati sebuah lubang yang cukup besar dan dalam.
Di sekitar lubang itu terdapat tanah basah merah yang sepertinya habis digali.
Batu-batuan yang mengelilingi lubang itu masih teriihat
"Oh...,"
pemuda itu mengeluh lirih, langsung jatuh berlutut di tepi lubang itu
Tampak
bahunya berguncang, tapi tidak terdengar sedikit pun suara dari bibimya yang
bergeter. Kepala nya menggeleng-geleng beberapa kali. Tangannya memukul-mukul
tanah, tapi tidak juga terdengar suara dari bibirnya yang bergetar semakin
hebat.
"Bajingan
keparat " tiba tiba saja dia berteriak keras.
Sesaat
kemudian. tubuhnya jatuh bersujud di tepi lubang itu. Jari-jari tangannya
mencakar-cakar tanah di sekitar lubang itu. Sama sekali tidak disadari kalau
ada seseorang yang menghampiri pelahan-lahan dari belakang. Orang bertudung
lebar dan berbaju merah menyala itu berhenti melangkah setelah jaraknya cukup
dekat dengan pemuda itu
"Kakang...,"
terdengar suara lembut
Pelahan
guncangan pada bahunya mulai mereda, kemudian terhenti sama sekai Pelahan-lahan
pula kepalanya bergerak terangkat, lalu menoleh ke belakang. Dan begitu melihat
ada seseorang di belakangnya, tubuhnya langsung melompat dan berdiri.
"Siapa
kau?" bentak pemuda itu kasar. Nampak kedua bola matanya merah dan
merembang berkaca kaca. Wajahnya juga menegang bagai menyimpan sesuatu yang
hampir tidak tertahankan.
"Kakang
Rangga...," lembut sekali suara orang, bertudung besar itu. "Kau
tidak lagi mengenali suaraku, Kakang?"
Pemuda
itu tertegun sesaat Dipandangi orang bertudung dan berbaju merah menyala itu.
Sebilah pedang panjang tergantung di pinggangnya. Dari kulit tangan dan
kakinya, dapat diketahui kalau orang itu adalah wanita. Apalagi juga teriihat
tonjolan indah pada dadanya. Dan suaranya begitu lembut, namun terdengar agak
tertahan.
"Mayang..."
delik pemuda itu tidak percaya.
"Aku
senang kau masih ingat suaraku, Kakang," ucap wanita itu seraya membuka
tudungnya.
Pemuda
itu menggeser kakinya ke samping beberapa tindak. Hampir tidak dipercaya apa
yang dilihatnya kini. Di balik tudung tikar yang besar, tersembunyi seraut
wajah cantik. Namun, matanya teriihat sendu bagai tidak memiliki gairah hidup
lagi Wanita itu melemparkan tudungnya begitu saja
"Aku
Mayang, Kakang Rangga," ujar wanita itu menyebutkan namanya. "Kau
tidak lupa denganku, kan? Aku Mayang...."
"Tidak!
Aku tidak akan pernah melupakan manusia yang paling kubenci di dunia ini!"
ketus jawaban pemuda yang memang tidak lain adalah Rangga, atau yang terkenal
dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti
Wanita
yang ternyata benama Mayang itu menangis terisak. Tapi cepat-cepat dihapus air
matanya. Sebentar ditarik napasnya dalam-dalam, seakan menghendaki adanya
kekuatan dalam dirinya. Tatapan matanya tetap sendu tanpa gairah kehidupan
sedikit pun.
"Hampir
tiga purnama aku selalu mencarimu, Kakang. Meskipun aku tidak jauh meninggalkan
Karang Setra. Aku yakin, suatu saat kau pasti akan kembali. begitu lama kau
kurindukan, untuk menyesali semua kesalahanku. Kakang..., aku tidak kuat
menerima hukumanmu ini. Maafkan aku, Kakang. Maafkan aku...," agak
tersendat suara Mayang diselingi isaknya yang tertahan. Dia memang selalu
berusaha untuk tidak menangis.
"Aku
tahu siapa kau. Mayang. Aku memang tidak percaya kau bisa selicik itu tapi
semua sudah terjadi. Keinginanmu sudah tercapai Pandan Wangi sudah mati, dan
sekarang kuburnya ada yang membongkar! Kau puas sekarang, Mayang dingin
kata-kata Rangga.
"Maafkan
aku, kakang ," Mayang tidak bisa lagi membendung tangisnya yang meledak
seketika itu juga.
"Untuk
apa menangis, Air matamu tidak akan dapat mengembalikan Pandan Wangi!"
dengus Rangga ketus.
Mayang
menyusut air matanya dengan punggung tangan kiri. Sekuat tenaga berusaha untuk
tidak menangis, namun isaknya masih juga terdengar tertahan. Kini jelas sudah,
tidak ada gunanya merengek dan menangis di depan Pendekar Rajawali Sakti ini.
Pemuda yang begitu dicintai sudah terlanjur membencinya setengah mati Dan itu
akibat cemburu buta pada Pandan Wangi, sehingga gadis itu tewas di tangan
seorang buronan yang paling berbahaya di Karang Setra. (Baca Serial Pendekar
Rajawali Sakti, dalam kisah Darah Pendekar)
Rangga
berbalik dan melangkah cepat mening-galkan tempat itu. Digunakannya ilmu
meringankan tubuh, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah begitu jauh
meninggalkan tempat itu.
"Kakang...!"
teriak Mayang keras. Gadis itu langsung berlari mengejar. "Maafkan aku,
Kakang...! Maafkan aku...! Aku mencintaimu, Kakang. Sungguh...!"
Tapi
Pendekar Rajawali Sakti itu tetap saja melangkah, bahkan kini berlari cepat
dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf
sempurna. Dia benar-benar benci terhadap gadis itu. Terlebih lagi setelah
menyaksikan kuburan Pandan Wangi terbongkar. Sia-sia saja bagi Mayang untuk
mengejamya. Ilmu yang dimilikinya masih kalah jauh dibanding Pendekar Rajawali Sakti.
Gadis itu berhenti mengejar dan jatuh berlutut di rerumputan yang basah.
"Oh,
Kakang... Sampai kapan pun kau tetap akan kucari. Aku mencintaimu, Kakang. Aku
mencintaimu...," rintih Mayang seraya terisak.
***
Suasana
di Istana Karang Setra tidak seperti biasanya. Meskipun Rangga yang merupakan
raja di tempat itu telah kembali dari pengembaraannya, tapi tidak mampu
mengusir kemendungan yang menyelimuti seluruh Karang Setra. Sudah tiga hari ini
Pendekar Rajawali Sakti barada di istananya kembali. Dan selama itu selalu
duduk termenung di dalam kaputren.
Seluruh
pembesar, panglima, patih, maupun punggawa dan prajurit di kerajaan itu sudah
mengetahui permasalahan yang membuat raja mereka selalu murung dan menyendiri.
Memang sudah jadi kelaziman bila rajanya diliputi kedukaan, maka seluruh rakyat
ikut merasakan pula. Terlebih lagi bila mereka semua mencintai rajanya.
Kemurungan dan wajah mendung bukan saja tersirat di lingkungan istana, bahkan
sudah menyebar ke seluruh pelosok Kerajaan Karang Setra.
Pagi
itu sepasukan prajurit yang dipimpin langsung Panglima Wirasaba memasuki pintu
gerbang istana. Panglima itu bergegas melompat turun dari punggung kudanya, dan
berlari-lari memasuki istana yang megah. Tapi belum saja memasuki balariung,
langkahnya sudah dicegat Danupaksi, adik tiri Rangga selain Cempaka.
"Salam
sejahtera, Gusti Danupaksi," Panglima Wirasaba memberi sembah.
"Bagaimana,
Paman Panglima? Sudah dapat petunjuk?" tanya Danupaksi langsung.
"Belum,
Gusti. Tapi hamba sudah menyebar puluhan telik sandi dan ratusan prajurit.
Mereka hamba perintahkan untuk pencarian tidak terbatas, Gusti," sahut
Panglima Wirasaba
Belum
lagi Danupaksi melanjutkan pertanyaannya, muncul Cempaka dari dalam ruangan
Balai Sema Agung. Gadis itu langsung menghampiri dan berdiri di samping kakak
tirinya itu Panglima Wirasaba memberikan sembah dengan merapatkan tangan di
depan dada dan tubuh sedikit membungkuk
"Kakang,
Kakang Prabu tidak menyentuh makanannya sedikit pun," kata Cempaka sendu.
"Hhh...,
sudah dua hari ini Kakang Prabu tidak makan," desah Danupaksi.
"Aku
khawatir, Kakang," Cempaka mengemukakan kecemasannya.
"Kita
semua khawatir, Cempaka. Kakang Prabu tidak akan kembali seperti semula kalau
masalah ini belum terselesaikan Yaaah..., bisa kurasakan apa yang dirasakannya
sekarang. Memang tidak mudah menerima kenyataan seperti ini. Dan semua ini
kesalahanku! Seharusnya kutempatkan beberapa prajurit untuk menjaga pusara
Pandan Wangi," ujar Danupaksi lirih.
"Gusti...,"
selak Panglima Wirasaba.
"Ada
apa, Panglima," Danupaksi menatap laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahun itu.
"Dari
seorang telik sandi, hamba mendapat laporan bahwa Gusti Ayu Mayang terlihat di
sekitar Kadipaten Majalayu. Bahkan kadang-kadang juga terlihat di Desa
Pegaringan, dan di Bukit Karungan itu, Gusti," lapor Panglima Wirasaba.
"Mayang...?!"
Cempaka menatap Panglima Wirasaba dalam-dalam.
"Benar,
Gusti Ayu."
"Bukankah
Mayang tidak lagi diperkenankan berada di wilayah Karang Setra ?" Cempaka
seperti bertanya pada dirinya sendiri
"Benar,
Gusti Ayu tapi dari beberapa penduduk yang melihat, kehadiran Gusti Ayu Mayang
bersamaan waktunya dengan kepulangan Gusti Prabu Rangga," ujar Panglima
Wirasaba lagi
Cempaka
menatap kakak tirinya. Sedangkan yang ditatap hanya diam dengan pandangan
menerawang jauh.
"Di
mana dia sekarang'''" tanya Danupaksi setelah lama berpikir.
"Menurut
laporan terakhir, sekarang ini berada di perbatasan Utara, Gusti," jawab
Panglima Wirasaba.
'Paman
Panglima! Siapkan kuda untukku, dan beberapa prajurit pilihan," perintah
Danupaksi.
"Hamba,
Gusti."
Panglima
Wirasaba memberi hormat, lalu bergegas melangkah pergi. Danupaksi berbalik,
tapi langkahnya terhalang Cempaka. Dan belum lagi gadis itu membuka mulut, dari
dalam ruangan Balai Sema Agung muncul Rangga. Kedua kakak beradik tiri itu
langsung berbalik dan memberi hormat. Rangga berdiri tegak disertai pandangan
mata kosong.
"Telah
kudengar semua pembicaraan kalian," kata Rangga datar.
"Ampun,
Kakang Prabu," sembah Danupaksi.
"Untuk
apa menemui Mayang, Danupaksi?" tanya Rangga.
"Hanya
mencari keterangan, Kakang," sahut Danupaksi.
"Kuhargai
usaha kalian. Tapi, Ini persoalan pribadiku. Kalian tidak perlu bersusah-payah
mengirim telik sandi dan ratusan prajurit," tegas Rangga, tetap datar
suaranya.
Danupaksi
menatap Cempaka, kemudian memberi sembah. Rangga mengayunkan kakinya keluar dari
ruangan depan istana ini, lalu berhenti setelah berada di ujung tangga masuk
istana. Danupaksi dan cempaka mengikuti. Beberapa prajurit membungkuk memberi
hormat
"Danupaksi,
siapkan kudaku," perintah Rangga.
"Kakang...,"
Danupaksi tampak kebingungan.
"Kau
belum tuli, bukan?!"
"Ampun,
Kakang Prabu. Hamba segera laksanakan."
Danupaksi
bergegas melangkah menghampiri seorang prajurit. Dia berkata sebentar, dan
prajurit itu berlari-lari pergi. Danupaksi kembali lagi mendekati kakak tirinya
itu. Cempaka masih berada di samping Pendekar Rajawali Sakti itu, yang juga
raja di Karang Setra ini.
Tidak
berapa lama, prajurit yang diperintah Danupaksi datang membawa seekor kuda
hitam. Pada waktu yang bersamaan, Panglima Wirasaba juga datang menuntun kuda
yang diminta Danupaksi. Panglima dan prajurit itu membungkuk dengan kedua
telapak tangan merapat di depan dada.
Rangga
langsung melompat ke punggung kuda hitam yang bernama Dewa bayu, dan yang tidak
akan pemah berpisah darinya Kuda itu dapat mengetahui, di mana majikannya
berada, meskipun terpisah cukup jauh. Dan Rangga juga cukup bersiul untuk
memanggil kudanya kalau tengah mengembara.
"Kakang,
aku ikut!" seru Cempaka langsung melompat ke punggung kuda yang dibawa
Panglima Wirasaba. Padahal kuda Itu semula untuk Danupaksi.
Rangga
tidak menjawab, dan segera menggebah kudanya dengan cepat Kuda dewa Bayu
meringkik keras, lalu berlari kencang menuju ke pintu gerbang. Cempaka langsung
menggebah kudanya menyusul, sedangkan Danupaksi hanya terbengong. Dua ekor kuda
menerobos pintu gerbang yang dibuka tergesa-gesa oleh dua orang prajurit
penjaga. Sebentar saja kedua kuda itu sudah lenyap dari pandangan.
Rangga
terus memacu kudanya dengan cepat; menuju Bukit Karungan. Bukit yang tidak
terlalu tinggi dan mudah untuk didaki. Pendekar Rajawali Sakti itu baru
menghentikan lari kudanya setelah sampai pada suatu tempat, yang terdapat
sebuah lubang besar dan dalam. Rangga melompat turun dan melangkah mendekati
lubang itu. Dia berdiri tegak sambil memandang ke dalam lubang. Terlihat sebuah
sekop di dalam sana.
Cempaka
yang mengikuti, juga bergegas turun dan menghampiri. Dia berdiri di samping
Pendekar Rajawali Sakti itu. Gadis itu tidak sanggup melihat ke dalam liang
lahat. Dipalingkan mukanya, dan berjalan mundur beberapa langkah.
"Kakang..."
pelan suara Cempaka memanggil. "Hhh...." Rangga menarik napas sambil
memba-likkan tubuhnya, lalu berjalan menghampiri Cempaka.
Sebentar
Rangga menatap gadis itu, dan kembali berjalan mendekati kudanya. Cempaka
buru-buru mengejar, dan menahan Rangga yang akan naik ke punggung kuda hitam
itu. Dipegangi tali kekang Kuda Dewa Bayu dekat mulutnya. Rangga tidak jadi
naik, tapi malah menatap tajam pada gadis itu.
"Kembalilah,
Cempaka. Ini bukan urusanmu, kata Rangga tegas.
"Tidak,
Kakang. Bagaimanapun juga aku ikut bersalah atas kejadian ini. Semua ini karena
kelalaianku, Kakang Danupaksi, dan semuanya. Kalau saja aku atau Kakang
Danupaksi menempatkan beberapa prajurit di sini, pasti pusara Kak Pandan Wangi
tidak demikian jadinya," tegas Cempaka.
"Cempaka...."
"Meskipun
Kakang melarang ikut, tapi aku tetap akan mencari siapa pencuri mayat Kak
Pandan!" sentak Cempaka cepat memotong.
Rangga
menarik napas panjang dan dalam. Dia naik ke punggung kudanya sambil terus
menatap Cempaka yang masih berdiri memegangi tali kekang Kuda Dewa Bayu pada
mulutnya.
"Naiklah
ke kudamu, Cempaka," kata Rangga mendesah.
Cempaka
tampak gembira, dan bergegas melompat ke atas punggung kudanya Dan kedua orang
itu kembali berpacu cepat Tapi baru saja mereka pergi, tiba-tiba Rangga
menghentikan lari kudanya, lalu berbalik menghampiri bekas makam itu. Cempaka
jadi keheranan, dan hanya mengikuti dari belakang. Rangga kembali turun dari
punggung kudanya, kemudian meneliti sekitar liang bekas pusara Pandan Wangi
itu.
Cempaka
yang masih berada di punggung kudanya segera mengambil tali kekang Kuda Dewa
Bayu yang ditinggal begitu saja oleh Rangga. Diikutinya Iangkah Rangga yang
berjalan perlahan-lahan dengan kepala tertunduk menekuri tanah. Pelahan-lahan
namun pasti, Pendekar Rajawali Sakti itu berjalan ke satu arah, dan baru
berhenti setelah di depannya menghadang segerumbul semak belukar. Raja Karang
Setra itu jongkok, dan tangannya menyibak semak itu.
Perlahan
dia berdiri dan menghampiri kudanya yang dituntun Cempaka. Rangga melompat
naik, lalu menggebah kudanya agar berjalan pelahan menerobos. Semak itu.
Sedangkan Cempaka mengikutinya dari, belakang.
"Ada
apa, Kakang?" tanya Cempaka masih terheran-heran tidak mengerti.
"Banyak
jejak kaki di sekitar sini," sahut Rangga.
"Mungkin
itu jejak kaki para prajurit, Kakang," duga Cempaka.
Rangga
menatap gadis itu seraya menghentikan Iangkah kaki kudanya. Entah kenapa,
pikirannya tidak sampai di situ. Sudah hampir empat hari kuburan itu
terbongkar, dan yang pasti jejak pencuri mayat Pandan Wangi sudah lenyap.
Sedangkan dua malam berturut-turut di sekitar tempat itu selalu diguyur hujan.
Mustahil masih terlihat jejak kaki. Dan yang sekarang, memang begitu banyak.
Bukan hanya tapak kaki manusia, tapi juga kaki-kaki kuda.
"Kakang,
mengapa tidak kita telusuri saja asal-usul Pandan Wangi...?" ragu-ragu
Cempaka memberikan usul.
"Jagat
Dewa Batara. .!" Rangga tersentak menepuk keningnya sendiri.
Sungguh
dirasakan pikirannya selama ini tertutup. Usul Cempaka seperti menggubah
dirinya dari bayang-bayang mimpi yang panjang dan melelahkan. Sampai
meninggalnya Pandan Wangi, Rangga memang belum tahu persis asal-usul gadis itu.
Memang sedikit diketahui, tapi itu pun kurang jelas. Masih terlalu sukar untuk
dipahami. Dan selama itu Rangga memang tidak pernah berminat untuk
mengetahuinya. Hatinya sudah tertutup oleh cinta yang membara di dadanya.
"Kau
benar, Cempaka," ujar Rangga. "Ayo, kita ke Banyu Biru!"
"Banyu
Biru...?" tanya Cempaka tidak mengerti. Tapi gadis itu tidak bisa lagi
bertanya. Rangga sudah cepat menggebah kudanya. Buru-buru Cempaka menghentakkan
tali kekang kudanya agar berpacu cepat menyusul Kuda Dewa Bayu. Tapi meskipun
udah digebah agar" lebih cepat, tetap saja kudanya tertinggal. Bahkan
jaraknya semakin bertambah jauh saja. Kuda Dewa Bayu berpacu bagaikan terbang
di atas tanah.
"Kakang,
tunggu. !" teriak Cempaka keras, seraya menghentakkan tali kekang kudanya.
Teriakan
Cempaka yang begitu keras, membuat Rangga langsung menghentikan lari kudanya.
Tampak Cempaka tertinggal cukup jauh di belakang. Gadis itu menggebah kudanya,
dan baru berhenti setelah sampai di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Terlalu
kau, Kakang!' dengus Cempaka agak terengah.
"Maaf,"
ucap Rangga pelahan.
"Bisa
mati kudaku kalau begini!" Cempaka memberengut
"Ayolah!
Lebih cepat sampai, lebih baik."
"Iya,
tapi jangan seperti orang kesetanan begitu. Mana ada yang bisa mengejar Dewa
Bayu!" Cempaka masih memberengut.
"Baik,
sekarang aku yang mengikutimu," ujar Rangga mengalah.
Mereka
kembali memacu kudanya kencang. Dan Rangga memang mengendalikan lari kudanya
agar tetap berada di samping kuda Cempaka.
***
Cukup
jauh perjalanan yang harus ditempuh Rangga bersama Cempaka. Dari Karang Setra
ke Desa Banyu Biru, memerlukan waktu lima hari perjalanan berkuda. Itu pun
kalau tidak mengalami hambatan di jalan. Desa Banyu. Biru bukan termasuk
wilayah Kerajaan Karang Setra, dan terletak jauh di daerah Utara.
Saat
itu suasana di Desa Banyu Biru nampak tenang dan tentram. Desa yang tedetak di
sepanjang Sungai Banyu Biru itu semakin terlihat ramai saja. Banyak perahu
pedagang bersandar di dermaga. Dan sebagian besar, penduduk Desa Banyu Biru
mengandalkan hidup dari hasil sungai. Sehingga tidak heran jika setiap hari
selalu saja dikunjungi pendatang. D antara orang orang yang turun dari sebuah
perahu besar, terlihat seorang gadis berbaju merah menyala, Gadis itu berjalan
tenang menyusuri dermaga.
Tidak
ada seorang pun yang memperhatikan, meskipun pakaiannya tampak menyolok dengan
sebilah pedang tergantung di pinggang. Selembar tudung besar terbuat dari
anyaman daun pandan, bertengger di punggungnya. Rambutnya yang panjang
terkepang menyamping di dada kanan. Gadis itu melangkah tenang menuju sebuah
kedai yang tampak ramai dikunjungi pendatang.
Seorang
laki-laki tua pemilik kedai menyambutnya terbungkuk-bungkuk, dan mempersilakan
gadis itu duduk di bangku dekat pintu. Hanya sedikit gadis itu bicara, maka
nampak pemilik kedai itu terangguk-angguk dan meninggalkannya. Tidak lama
berselang dia kembali lagi membawa baki berisi seguci arak dan beberapa
makanan. Laki-laki pemilik kedai itu kembali meninggalkannya, dan kini sudah
sibuk lagi melayani tamu-tamu lainnya. Gadis itu menuangkan arak dari guci ke
gelas bambu, lalu meneguknya hingga tandas.
"Agaknya
terlalu keras minumanmu, Cah Ayu...."
Terdengar
suara berat dan besar dari arah samping kanan gadis berbaju merah menyala itu.
Dan gadis itu hanya melirik saja tampak di situ seorang laki-laki bertubuh
besar dengan cambang menghiasi wajahnya. Sebilah golok besar terselip, di
pinggangnya. Di sampingnya duduk seorang lagi yang juga berwajah kasar, serta
lehernya terkalung seulas cambuk hitam.
"Tampaknya
dia menyukaimu, Kakang Waringin," celetuk yang seorang lagi seraya
mengedipkan sebelah matanya pada gadis Itu
"He
he he.... Cah Ayu itu memang cocok untukku, Adik Watung," sambut laki laki
itu terkekeh.
"Hhh!
Becokok pasar mau jual lagak!" dengus gadis berbaju merah itu tidak
mempedulikan.
"Heh...!"
Waringin tersentak, langsung menggerinjang berdiri.
Gumaman
gadis itu seperti seekor kala yang menyengat pantatnya. Wajahnya merah padam,
dan bibirnya bergerak-gerak. Matanya mendelik lebar menatap gadis itu.
Sedangkan yang seorang lagi tetap duduk meskipun wajahnya juga memerah.
"Kakang
Waringin, kenapa tidak kita undang saja untuk minum bersama satu meja,"
ucap Watung kalem.
"Usul
yang bagus, Adik Watung."
Waringin
mengayunkan kakinya mendekati gadis berbaju merah itu, dan berdiri tegak di
depan meja. Sedangkan gadis itu telihat tenang menenggak araknya. Sedikit pun
tidak dipedulikan kehadiran orang yang bernama Waringin itu. Sementara
orang-orang yang berada di dalam kedai itu mulai muak melihat tingkah laki-laki
kekar bercambang bawuk itu. Bahkan beberapa di antaranya sudah meninggalkan
kedai.
"Nisanak,
pindahlah ke tempatku. Kita minum sama-sama," kata Waringin.
"Terima
kasih, aku sudah selesai," sahut gadis itu seraya bangkit berdiri.
Gadis
itu meletakkan beberapa keping uang untuk membayar makanan dan minumannya.
Tanpa mempedulikan Waringin, dia berbalik dan melangkah pergi. Waringin
menggeram gusar, langsung mengambil guci arak yang masih tersisa setengah.
"Arakmu
tertinggal, Nisanak! Nih...!"
Waringin
melemparkan guci arak itu disertai pengerahan tenaga dalam. Guci itu meluncur
deras ke arah si gadis. Tapi cepat sekali gadis itu berbalik, dan menangkap
guci arak itu. Sambil tersenyum manis, diteguknya arak di dalam guci itu sampai
habis, kemudian diseka mulutnya dengan punggung tangan. "Nih!
Kukembalikan, tikus!"
Wut!
Gadis
itu melemparkan guci ke arah Waringin. Lemparannya begitu kuat dan meluncur
deras sekali. Waringin tersentak sesaat, lalu dengan cepat ditangkapnya guci
itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, tubuhnya terpental dan terbawa dorongan
keras guci arak itu. Waringin menggerung keras. Sebuah meja hancur berantakan
terlanda tubuhnya yang besar.
"Perempuan
setan!" geram Waringin seraya bangkit berdiri
Slap!
Waringin
melemparkan kembali guci di tangannya. Kali ini lemparannya disertai pengerahan
tenaga dalam penuh. Guci itu kini melayang deras. Tetapi, gadis itu hanya
mengibaskan tangannya saja menyampok guci itu. Akibatnya benda itu melesat dan
mendarat tepat di depan meja Watung, dan membuatnya tersentak kaget. Laki-laki
itu kontan melompat berdiri.
"Huh!
Tikus-tikus macam kalian memang selalu merusak suasana!" dengus si Gadis
dingin.
"Kurobek
mulutmu, perempuan keparat!" geram Waringin gusar.
Secepat
kilat laki-laki yang bernama Waringin itu melompat sambil mencabut goloknya
yang besar. Golok itu dikibaskan ke arah leher, tapi hanya sedikit saja gadis
itu mengegoskan kepalanya. Sabetan golok Waringin ternyata hanya menyambar
angin kosong.
Dan
belum lagi Waringin bisa menarik pulang goloknya, tahu-tahu gadis itu sudah
mengibaskan tangan kanannya.
Bug!
"Hughk!"
Waringin mengeluh pendek.
Kibasan
tangan itu tepat menghantam perut Waringin, dan membuatnya terbungkuk. Dan
kembali gadis itu menghantamkan satu pukulan keras ke arah wajah, sehingga
Waringin terpekik tertahan. Wajah laki-laki itu terdongak ke atas. Tiba-tiba
tubuhnya langsung mencelat ke belakang begitu satu tendangan telak menghantam
dadanya. Kembali satu meja hancur terlanda tubuh besar itu
"Setan
keparat! Hiyaaa...!"
Watung
jadi geram bukan main melihat kakaknya terbanting setelah mendapat hajaran
beberapa kali. Adik dari Waringin ini langsung melompat dan mencabut cambuk
yang melilit lehernya. Cambuk itu dikebutkan bebeiapa kali ke arah gadis
berbaju merah itu. Tapi gadis itu lincah sekali berlompatan menghindarinya.
Bahkan pada satu saat, berhasil menangkap ujung cambuk itu Langsung dibetotnya
cambuk itu disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
"Ugh!"
Watung
berusaha, menahan betotan itu. Tapi, sentakan tenaga dalam gadis itu rupanya
lebih kuat, sehingga Watung tidak kuasa menahan lagi. Tubuhnya tertarik deras.
Kesempatan baik ini dimanfaatkan gadis itu untuk melayangkan satu tendangan
keras menggeledek, tepat menghantam dada Watung.
"Akh...!"
Watung memekik keras.
Belum
lagi tubuh laki-laki itu mencelat ke belakang, kembali gadis itu menghantamkan
pukulannya ke arah wajahnya. Watung menjerit melengking. Tubuhnya pun terlempar
jauh, ambruk menindih tubuh kakaknya yang sudah tidak bergerak-gerak lagi.
Hanya sebentar Watung mampu merintih dan menggelinjang, sesaat kemudian diam
tak bergerak-gerak lagi.
"Huh!"
gadis itu mendengus.
Dengan
Iangkah tenang gadis itu keluar dari kedai. Beberapa orang yang masih berada
didalam kedai hanya memandangi saja, tidak berani mencegah. Mereka baru
merubungi Waringin dan Watung yang menggeletak bertindihan tanpa gerakan lagi.
Salah seorang memeriksa, lalu cepat berdiri.
"Bagaimana"
"Mati."
"Hah...?!"
***
Walaupun
malam sudah menyelimuti persada, namun seluruh kegiatan di Desa Banyu Biru
belum juga berhenti. Lampu besar dan kecil menerangi sekitar desa di tepian
sungai itu. Namun tidak demikian halnya dengan sebuah rumah yang terletak agak
terpencil letaknya dari rumah-rumah lainnya.
Rumah
itu tampak agak gelap. Hanya sebuah lampu pelita kecil saja yang meredup di
bagian belakang rumah itu. Tampak seorang laki-laki tua berjubah putih panjang,
duduk bersila di sebuah altar batu putih yang licin dan berkilat. Di depannya
terdapat sebuah kolam yang berisi air berasap menggolak mendidih. Air yang
putih keruh bagai susu, juga ditabur bermacam-macam bunga dan daun daunan.
Laki-laki
tua yang berambut dan berjenggot putih itu duduk bersila. Kedua tangannya
merapat di depan dada. Dan matanya setengah terpejam, namun mengarah lurus ke
kolam di depannya. Tidak ada lagi penerangan, kecuali pelita kecil yang
tergantung pada palang kayu melintang di atas kolam itu.
"Bangkitlah,
Cucuku. Sudah tiga hari kau berada di situ. Bangkitlah...," desah
laki-laki tua itu lirih.
Air
di dalam kolam itu terus bergolak mendidih diiringi suara-suara letupan kecil.
Golakan di dalam.
"Bangkitlah,
Cucuku. Sudah tiga hari kau berada di situ. Bangkitlah...," desah
laki-laki tua itu. Bibimya komat-kamit terus. Dan matanya terpejam rapat.
Lalu
tubuh perempuan itu pun mengambang naik dan terus naik, hingga berada di atas
kolam! kolam itu nampak semakin terasa kuat, dan mulai terdengar gemuruh. Asap
di permukaannya menebal. Laki-laki tua itu menggerak-gerakkan tangannya, lalu
menjulur ke depan dengan jari-jari terbuka lebar. Bibimya bergerak-gerak
komat-kamit. Dan matanya sebentar terpejam. Tubuhnya mulai bergetar, disertai
keringatnya yang bercucuran.
"Bangkitlah,
Cucuku Sudah waktunya bangun. Terlalu lama kau tertidur dalam penderitaan.
Bangkitlah, Cucuku...," desis laki laki tua itu seraya mengatup-kan
kembali tangannya di depan dada.
Pelahan-lahan
air di dalam kolam berhenti bergolak, dan sebentar kemudian menjadi tenang. Air
yang semula keruh itu berubah bening bagai kaca. Asap pun tidak lagi mengepul,
lenyap terbawa angin malam. Tampak di dalam kolam, terbaring sesosok tubuh
ramping yang hanya terbungkus selembar kain putih bersih
Tubuh
itu mengambang naik ke atas permukaan air, lalu terus naik hingga berada di
atas kolam. Laki-laki tua itu melompat turun dari batu putih yang didudukinya.
Disangga dan dipondongnya tubuh ramping itu. Kakinya terayun melangkah
mendekati sebuah pembaringan kayu beralaskan anyaman daun pandan. Dibaringkan
tubuh ramping itu, lalu ditutupi dengan selembar kain putih. Sebentar kemudian
dilepaskan kain yang basah itu.
"Hm..,"
laki-laki tua itu bergumam pelahan.
Laki-laki
tua yang berusia sekitar seratus tahun itu duduk bersila di samping tubuh yang
tetap terbaring dan matanya tetap terpejam. Dirapatkan tangannya di depan dada,
lalu pelahan mata laki-laki tua itu terpejam. Mulutnya bergerak-gerak
komat-kamit. Tidak lama kemudian kelopak matanya kembali terbuka. Dengan
gerakan cepat, jari-jari tangannya menjalar ke seluruh tubuh yang terbaring
itu. Dan terakhir ditotoknya bagian dada tubuh yang terbaring itu, tepat pada
jantungnya.
"Hhh...!"
satu tarikan napas panjang terdengar.
Laki-laki
tua itu tetap duduk bersila, tapi kini telapak tangannya bertumpu pada lutut.
Tampak matanya tidak berkedip memandang tubuh yang masih terbaring pucat. Tidak
ada gerakan sedikit pun, sepertinya lubuh itu sudah mati. Namun sesaat
kemudian, wajah pucat itu mulai berubah memerah. Bahkan kini dadanya bergerak
gerak pelahan. Laki-laki tua itu tersenyum disertai desahan napas panjang.
"Kau
hidup lagi, Cucuku. oh , puji syukur pada-Mu Dewata Yang Agung desah laki-laki
tua itu seraya mendongak.
***
Derit
daun pintu terdengar saat terkuak pelahan. Muncul seorang laki-laki tua
berjubah putih yang kini berdiri di ambang pintu. Laki laki itu tersenyum
melihat di pembaringan tergolek seorang wanita cantik tertutup selembar kain
putih. Wanita itu menoleh, lalu juga tersenyum, meskipun pandangan matanya
masih teriihat sayu.
Laki-laki
tua itu menutup pintu kembali. Kakinya melangkah mendekati pembaringan, lalu
duduk di tepinya. Di tangannya tergenggam sebuah gelas bambu yang beruap.
Diangkatnya kepala wanita itu untuk diminumkan ramuan di dalam gelas.
"Bagaimana
perasaanmu sekarang?" tanya laki-laki tua itu lembut seraya membaringkan
kembali kepala wanita itu.
"Mulai
membaik, tapi...," lemah sekali suara gadis itu.
"Apa
yang kau rasakan?"
"Bahu
dan dadaku terasa sakit sekali."
"Itu
karena bekas luka. Yah...terlalu dalam luka itu. Tapi untung saja tak sampai
menembus jantung."
Gadis
itu terdiam. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar yang dipenuhi
sarang laba-laba. Pelahan kepalanya berpaling, menatap laki-laki tua yang kini
sudah bersila di sampingnya.
"Boleh
aku tanya gadis itu terputus.
"Jamus.
Panggil saja aku Eyang Jamus," ucap laki-laki tua itu menyebutkan namanya.
"Apa yang akan kau tanyakan?"
"Tentang
diriku," masih lemah suara gadis itu.
"Hhh...!"
Eyang Jamus menarik napas panjang. Pandangannya begitu dalam merayapi wajah
cantik yang terbaring di depannya.
Sedangkan
gadis itu hanya diam. Dari sorot matanya yang redup dan sayu, terlihat ada
sesuatu yang sukar ditebak. Bibirnya masih tampak pucat, dan sedikit terbuka.
Dicobanya untuk bergerak, tapi bibirnya langsung meringis merasakan sakit pada
dadanya.
"Siapa
namamu, Anak Manis?" tanya Eyang Jamus.
"Aku...?
Aku.., aku tidak tahu," sahut gadis itu itu kebingungan.
"Sudah
kuduga! Kau pasti tidak akan dapat mengingat lagi perihal dirimu. Bahkan apa
yang terjadi padamu juga tidak mungkin dapat diketahui lagi. Yaaah..., terlalu
lama kau terkubur di alam kematian semu," desah Eyang Jamus
"Kematian
semu...? Apa maksud Eyang?" tanya gadis itu tidak mengerti
"Beberapa
hari yang lain aku selalu dihantui mimpi yang selalu berulang dan sama persis.
Aku melihatmu berada dalam ruangan gelap penuh lumpur sambil merintih dan
meminta tolong padaku," Eyang Jamus mulai menceritakan kejadian...
Gadis
itu memperhatikan dengan seksama. Dicobanya untuk bisa mencerna dan mengingat
apa yang lerjadi pada dirinya, sehingga sekarang terbaring di rumah kecil yang
hanya ada satu kamar ini. Tapi pikirannya benar-benar kosong' dia seperti
seorang bayi yang baru lahir kembali. Tak satu pun yang dapat diingatnya.
"Semula
kuanggap itu hanya mimpi biasa. Tapi karena setiap malam mimpi itu selalu
datang, akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya kepadamu. Saat itu kau hanya
menyebutkan satu tempat, dan untungnya aku tahu tempat yang kau sebutkan itu.
Maka bergegas aku ke sana, dan menemukan kuburanmu," lanjut Eyang Jamus.
"Kuburanku...?!"
gadis itu semakin tidak mengerti.
"Benar!
Kau sudah terkubur hampir tiga purnama. Ketika kucoba memeriksa, aku
benar-benar terkejut. Ternyata kau masih hidup! Itulah sebabnya mengapa
kubongkar kuburanmu dan sekarang berada di rumah ku ini. Aku tidak tahu,
seandainya sudah lewat tiga pumama mungkin kau benar benar mati."
"Jadi...,
apakah aku ini memang sudah mati, Eyang?" tanya gadis Itu.
"Semua
orang memang akan menyangka begitu. Itu sebabnya kau dikubur. Tapi sebenarnya
jiwamu masih tersimpan dalam ragamu. Kau hanya mati semu, Cucuku," Eyang
Jamus berusaha menjelaskan.
"Aku....
Aku tidak mengerti maksudmu, Eyang."
"Memang
sukar untuk dimengerti. Kau sendiri juga tidak mungkin mengetahui masa-masa
hidupmu. Kau adalah sosok manusia langka yang sukar dicari pada masa sekarang
ini. Sebenarnya aku sendiri hampir tidak percaya kalau di zaman sekarang ini
masih ada orang yang bisa mati semu, sebelum mati sesungguhnya."
"Eyang,
bisa kau jelaskan siapa aku ini?" pinta gadis itu.
"Sulit!
Sebab, belum kutemukan jawaban mengapa kau bisa mati semu dalam jangka waktu
yang lama. Biasanya orang yang mati semu, paling lama mampu bertahan tiga
sampai tujuh hari. Tapi, kau hampir tiga purnama masih juga belum mati
sesungguhnya."
"Kalau
begitu, berilah nama padaku, Eyang. Mungkin aku bisa membantumu," pinta
gadis itu.
"Nama
apa yang kau inginkan?"
"Aku
tidak tahu."
Eyang
Jamus terdiam beberapa saat. Rupanya juga kesulitan mencari nama untuk gadis
yang tidak tahu apa-apa ini. Gadis yang seperti baru saja dilahirkan ke dunia
ini. Eyang Jamus beranjak bangkit dari pembaringan, dan melangkah menghampiri
sebuah lemari kecil lantas membukanya, Dari dalam lemari itu dikeluarkan
seperangkat pakaian biru dan sebilah pedang, kemudian dibawanya pada gadis yang
masih terbaring lemah.
"Benda-benda
ini kutemukan bersamamu di dalam kubur," kata eyang Jamus
"Semua
ini milikku eyang" tanya gadis itu.
"Benar.
Semua milikmu. Kau tidak mengenalinya?"
Gadis
itu menggeleng perlahan
"Aku
kenal pedang ini! dulu pernah diperebutkan tokoh-tokoh rimba persilatan. Waktu
itu aku tidak ingin ikut campur, dan bersikap masa bodoh. Sudah puluhan tahun
kutinggalkan dunia persilatan, dan tidak ingin mengotori tanganku lagi dengan
darah dan kekerasan. Namun demikian tidak akan dapat kulupakan pedang
ini," jelas Eyang Jamus.
"Apakah
pedang ini mempunyai nama, Eyang?" tanya gadis itu.
"Benar.
Semua senjata pusaka selalu mempunyai nama yang sesuai dengan keampuhan dan
kegunaannya."
"Apa
namanya?"
"Pedang
Naga Geni "
"Pedang
Naga Geni"
"Biasanya,
pedang ini tidak pernah terlepas dari kitabnya yang bernama Kitab Naga Sewu.
Dalam kitab itu berisi jurus-jurus 'Naga Sewu', yang sukar dicari tandingannya
bila seseorang benar-benar telah sempurna menguasainya. Tapi sayangnya, tidak
kutemukan kitab itu."
"Aku
tidak tahu, Eyang."
"Aku
bisa mengerti. Sekarang ini kau bagaikan bayi yang baru saja lahir. Masih putih,
bersih, dan polos. Saat kau buka matamu untuk pertama kali, maka di situlah kau
buka lembaran hidupmu yang baru. Tidak ada lagi kehidupan masa lalumu."
"Eyang..."
"Hm.."
"Boleh
aku memakai nama...," ucapan gadis itu terputus.
"Aku
mengerti, Cucuku. Dan itu memang tengah kupikirkan. Untuk mengingatkan, kau
pantas menyandang nama Putri naga Sewu," potong Eyang Jamus.
"Putri
Naga Sewu...," gadis itu menggumamkan nama barunya. Bibirnya tersenyum
manis dan tola' matanya bersinar cerah. "Terima kasih, Eyang."
"Ya.
Sekarang, istirahatlah. Masih perlu tujuh hari kau berbaring. Dan selama itu
aku akan mencoba memulihkan keadaan dirimu seperti sedia kala."
"Terima
kasih, Eyang."
"Hm...."
***
Hari
demi hari berlalu cepat. Tidak terasa, sudah cukup lama pula Eyang Jamus
merawat gadis yang ditemukannya melalui jalan mimpi aneh, dan sudah terkubur
selama hampir tiga purnama. Telah dua pekan gadis yang kini memakai nama Putri
Naga Sewu itu tinggal di rumah kecil yang menyendiri di Desa Banyu Biru.
Semakin hari, kesehatannya semakin membaik. Dan gadis itu kini sudah mulai
menjalani latihan gerakan gerakan ilmu olah kanuragan di bawah bimbingan Eyang
Jamus
"Cukup!"
seru Eyang Jamus keras.
Putri
Naga Sewu menghentikan gerakannya begitu mendengar seruan keras. Keringat
bercucuran membasahi wajah dan lehernya yang jenjang. Langkahnya masih nampak
segar menghampiri Eyang Jamus yang luduk bersila di beranda belakang rumahnya.
Putri Naga Sewu duduk bersila di lanah, di hadapan laki-laki tua berjubah putih
itu.
"Semakin
hari kemajuanmu semakin pesat, Naga Sewu. Aku tidak tahu, bagaimana caranya
jurus-jurus Naga Sewu' dapat kau kuasai begitu sempurna. Bahkan ada beberapa
jurus yang sebelumnya pernah kulihat," jelas Eyang Jamus.
"Jurus
apa itu, Eyang?" tanya Putri Naga Sewu.
"Sini!
Duduklah di sampingku."
Putri
Naga Sewu bangkit, dan kembali duduk di samping kanan Eyang Jamus.
"Dari
jurus-jurus 'Naga Sewu', terkadang kau selipkan beberapa jurus lain. Dan
sepertinya kukenali jurus itu. Tapi aku tidak yakin, Naga Sewu," kata
Eyang Jamus.
Putri
Naga Sewu hanya diam saja.
"Entah,
sudah berapa lama tidak pernah lagi kudengar nama dan kabar beritanya. Terakhir
kudengar, ketika terjadi peristiwa di Bukit Setan. Jurus-jurus itu berasal dari
jurus 'Kipas Maut' yang dimiliki oleh seorang gadis cucu sahabatku. Tapi gadis
itu menghilang entah ke mana. Juga sahabatku, Kakek Tangan Seribu, tewas karena
berusaha melindungi cucunya."
"Siapa
namanya?" desak Putri Naga Sewu.
"Pandan
Wangi. Gadis nakal, keras kepala, dan pembuat onar. Tapi sangat manis, penurut,
dan berilmu cukup tinggi. Waktu itu dikabarkan kalau Kitab Naga Sewu dan Pedang
Naga Geni berada di tangannya. Tapi aku tidak percaya. Terlebih lagi, setelah.
peristiwa di Bukit Setan. Ternyata kedua benda pusaka itu ada di tangan seorang
pendekar muda yang sangat tinggi tingkat kepandaiannya."
"Siapa
nama pendekar itu?" tanya Putri Naga Sewu.
"Pendekar
Rajawali Sakti. Nama sebenarnya Rangga. Dia seorang raja di Kerajaan Karang
Setra, tempat kau terkubur di sana selama hampir tiga purnama. Tepatnya di
sebelah Timur Karang Setra, di Bukit Karungan."
"Rangga...,"
Putri Naga Sewu mendesis. Sekilas dia teringat sesuatu. Tapi hanya sekilas,
kemudian tidak tahu lagi.
Putri
Naga Sewu mencoba mengulangi lagi ingatan yang melintas sesaat itu, tapi tetap
saja tidak mampu. Namun hatinya mendadak jadi bergetar aneh kala mendesiskan
nama Rangga. Seperti ada sesuatu yang sukar diungkapkan. Dan Putri Naga Sewu
sendiri tidak tahu, mengapa tiba-tiba saja hatinya bergetar tatkala menyebut
nama itu
"Naga
Sewu...."
"Oh!"
Putri Naga Sewu tergugah dari lamunannya.
"Apa
yang kau pikirkan?" tanya Eyang Jamus.
"Tidak
ada, Eyang," sahut Putri Naga Sewu.
"Hm...,"
gumam Eyang Jamus tidak jelas. "Naga Sewu, ada yang ingin kukatakan
padamu."
"Katakan
saja, Eyang. Memang aku perlu pengetahuan banyak sekali. Barangkali saja bisa
teringat salah satu dari pengalaman masa laluku. Bukankah itu yang ingin Eyang
ketahui?" ujar Putri Naga Sewu cepat.
"Beberapa
hari ini perasaanku selalu dirisaukan oleh wajahmu," kata Eyang Jamus.
"Wajahku...?!
Ada apa dengan wajahku, Eyang?"
"Entahlah,
aku sendiri tidak yakin. Saat ini wajahmu sering kubandingkan dengan wajah
Pandan Wangi. Ternyata kau begitu mirip dengan cucu sahabatku itu," ujar
Eyang Jamus tidak yakin.
"Benarkah
itu?"
"Ya!
Meskipun sudah lama sekali tidak pernah lagi bertemu, tapi aku tak akan lupa
pada wajah Pandan Wangi. Hhh..., sepertinya kau ini Pandan Wangi."
"Apa
tidak mungkin, aku ini Pandan Wangi?" kata Putri Naga Sewu tiba tiba.
Eyang
Jamus agak terkesiap, sampai-sampai menatap tajam pada gadis itu. Dan Putri
Naga Sewu juga seperti terkesima. Entah mengapa bisa telontar kata-kata yang
demikian tandas dan lugas, seperti meluncur begitu saja tanpa dipikir lebih
dahulu. Putri Naga Sewu jadi gelagapan dan menunduk.
"Maaf,
Eyang. Aku...," suara Putri Naga Sewu tersendat.
"Tidak
mengapa, Naga Sewu. Yah..., mungkin saja kau memang Pandan Wangi. Aku sungguh
gembira kalau hal itu benar. Hanya saja perlu waktu yang tidak sedikit untuk
mengetahui dirimu yang sebenarnya."
"Aku
akan berusaha, Eyang. Meskipun cukup senang dengan nama sekarang, tapi harus
juga kuketahui diriku yang sebenarnya. Bukankah begitu, Eyang?"
"Benar,
kau memang harus mencari keterangan tentang dirimu sesungguhnya, Naga
Sewu."
"Eyang
bersedia membantuku?"
"Tentu.
Siapa pun kau sebenarnya, aku akan senang."
"Terima
kasih, Eyang."
***
Matahari
belum lagi penuh memancarkan sinarnya. Tapi di suatu tempat yang cukup jauh
dari Desa Banyu Biru, terlihat Putri Naga Sewu tengah melatih jurus-jurusnya.
Sungguh tidak disadari kalau sepasang mata tengah mengawasinya sejak tadi.
Sepasang mata ang terlindung dan tersembunyi, meskipun jaraknya tidak seberapa
jauh.
Trek!
Terdengar
sebatang ranting patah terinjak. Putri Naga Sewu kontan menghentikan
latihannya. Ditatapnya tajam-tajam sumber suara tadi. Pelahan-lahan kakinya
terayun, dan matanya tidak berkedip memandang ke arah semak belukar diantara
dua pohon cemara.
"Keluar
kau! Hih bentak Putri Naga Sewu keras.
Seketika
itu juga dihentakkan tangan kanannya ke depan. Dan dari telapak tangannya
tiba-tiba meluncur seleret cahaya merah, yang langsung menembus ke semak
belukar dengan cepat. Dan bersamaan terdengarnya ledakan, melesat satu bayangan
merah dari dalam semak itu. Dan bayangan itu ternyata seorang gadis cantik
berbaju merah dengan tudung besar bertengger di kepalanya.
"Siapa
kau?! Kenapa mengintaiku?!" bentak Putri Naga Sewu.
Gadis
berbaju merah itu tidak menjawab. Dibukanya tudung itu, dan dilemparkan begitu
saja ke samping. Tampaklah seraut wajah cantik, terlihat sendu. Gadis itu
melangkah pelahan mendekati, dan baru berdiri setelah berjarak sekitar Uma
Iangkah lagi di depan Putri Naga Sewu.
"Pandan,...
Aku tidak percaya kalau kau benar-benar Pandan Wangi,' gadis berbaju merah itu
merayapi wajah Putri Naga Sewu.
"He!
Apa yang kau...?!"
Putri
Naga Sewu jadi kebingungan. Apalagi tatkala gadis berbaju merah itu malah
melangkah mundur disertai gelengan kepala beberapa kali. Dan tiba-tiba saja dia
berbalik, lalu berlari kencang. Putri Naga Sewu jadi tidak mengerti, tapi
langsung melompat mengejar. Hanya tiga kali lompatan saja, gadis itu sudah
terhadang.
"Tunggu!"
sentak Putri Naga Sewu.
Gadis
berbaju merah itu menghentikan larinya. "Biarkan aku pergi, Pandan. Aku
sudah cukup menderita, dan jangan kau tambah lagi penderitaan pada diriku.
Atau, kau ingin membalas kematianmu? Silakan, Pandan. Aku tidak akan melawan
jika kau ingin membunuhku," kata gadis berbaju merah itu.
"Aku
tidak mengerti apa yang kau katakan. Siapa kau sebenarnya? Mengapa memanggilku
Pandan? Putri Naga Sewu nampak keheranan.
"Kau
lupa padaku, Pandan? Aku Mayang. Kau ingat?" gadis berbaju merah itu juga
jadi keheranan melihat sikap gadis di depannya yang wajahnya begitu mirip
Pandan Wangi. Bahkan bentuk tubuh dan bajunya juga begitu persis.
"Aku
tidak kenal denganmu. Hm..., mengapa kau memanggil diriku Pandan? Namaku Putri
Naga Sewu. Bukan Pandan," kata Putri Naga Sewu.
"Tidak
mungkin! Kau pasti Pandan Wangi. Tapi.... tidak! Mustahil...!" Mayang
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dirayapi seluruh tubuh Putri Naga Sewu
dalam-dalam, seakan-akan ingin dipastikan penglihatannya.
"Ada
apa dengan diriku?" tanya Putri Naga Sewu.
"Tidak
mungkin! Kau pasti bukan Pandan Wangi. Mustahil ada orang mati bisa hidup lagi.
Tapi...," bernada ragu-ragu suara Mayang
Kedua
gadis itu saling bepandangan. Sinar mata nereka menyimpan rasa ke tidak pastian
dan kebingungan. Yang satu tidak mengerti maksud kata-kata Mayang, sedangkan
Mayang sendiri tidak yakin dengan yang dilihatnya. Sungguh tidak diyakini kalau
vang berdiri di depannya ini adalah Pandan Wangi, padahal gadis itu telah tewas
sekitar tiga bulan lalu (Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah,
Darah Pendekar)
Lain
halnya yang ada dalam benak Putri Naga Sewu. Kehadiran Mayang membuat dirinya
begitu terasa lain. Seperginya ada sesuatu yang terjadi pada ingatannya, tapi
masih samar-samar. Memang sukar dipercaya.
Terlebih
lagi setelah mendengar kata-kata Mayang yang dirasakannya begitu aneh. Bahkan
sama persis dengan yang dikatakan Eyang Jamus. Apakah benar dia sudah mati, dan
kini hidup kembali? Memang sukar dipercaya, tapi memang itulah kenyataannya.
Putri Naga Sewu memang tidak tahu dirinya yang sebenarnya. Bahkan nama dirinya
hasil pemberian dari Eyang Jamus. Apakah benar dia Pandan Wangi seperti yang
dikatakan Mayang, yang berarti sama dengan dugaan Eyang Jamus? Semua pertanyaan
itu masih bergelayut di dalam pikiran Putri Naga Sewu. Terlalu sukar untuk
mempercayai kalau dirinya telah mati tiga bulan yang lalu
"Naga
Sewu..! Naga Sewu...!"
Putri
Naga Sewu menoleh ketika namanya dipanggil. Mayang juga memalingkan wajahnya ke
arah laki-laki tua yang berlari-lari kecil agak terseret. Jubah putihnya yang
panjang, melambai-lambai ditiup angin. Sebatang tongkat membantunya untuk
melangkah cepat menghampiri kedua gadis cantik yang saling berdiri berhadapan
itu.
"Siapa
dia, Naga Sewu?" tanya Eyang Jamus begitu tiba di samping Putri Naga Sewu.
"Aku
tidak tahu, Eyang. Dia menyebut namanya Mayang," sahut Putri Naga Sewu
seraya melirik pada Mayang.
"Benar!
Namaku Mayang barangkali kau kakek gadis ini?" serobot Mayang sedikit
ramai
"Benar.
Namaku Eyang Jamus, kakek dari Putri Naga Sewu."
Mayang
memandangi Eyang Jamus dan Putri Naga Sewu bergantian. Pandangannya begitu
dalam, dan banyak mengandung arti yang sukar ditebak. Eyang jamus agak berkerut
keningnya melihat pandangan mata gadis itu.
"Ada
apa? Apakah ada yang aneh?" tanya Eyang Jamus.
"Tidak
apa-apa. Sebaiknya aku pergi saja," kata Mayang seraya berbalik.
Secepat
kilat Mayang melompat, dan langsung berlari kencang sambil mengerahkan ilmu
meringankan tubuh. Cepat sekali gerakannya, sehingga dalam waktu singkat
tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Eyang Jamus memandangi Putri Naga Sewu yang
masih menatap ke arah perginya Mayang. Sepertinya ada sesuatu yang tengah
dipikirkan gadis itu.
"Ayo
kita pulang, Naga Sewu," ajak Eyang Jamus.
Putri
Naga Sewu seperti tidak mendengar ajakan Eyang Jamus, dan terus saja menatap ke
arah gadis itu pergi. Pandangannya kosong, serta wajahnya tidak menyiratkan
perasaan apa pun. Sepertinya gadis itu hanya sesosok tubuh tanpa nyawa. Wajah
itu terlihat pucat, meskipun masih ada sedikit tanda kemerahan pada belahan
pipinya.
"Naga
Sewu...," Eyang Jamus mencolek lengan gadis itu.
"Oh!"
Putri Naga Sewu tersentak kaget.
"Sudah
siang! Ayo pulang," ajak Eyang Jamus lagi.
Putri
Naga Sewu tidak menyahut Tapi dibalikkan juga tubuhnya, lalu dilangkahkan
kakinya menuju rumah kecil yang tidak berapa jauh dari tempat ini. Sebentar
Eyang Jamus memperhatikan, kemudian melangkah cepat. Disejajarkan langkahnya di
samping gadis itu. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi.
"Apa
yang kau pikirkan, Naga Sewu?" tegur Eyang Jamus.
"Ada
Eyang," sahut Putri Naga Sewu mendesah.
"Katakan,
apa yang dipikirkan?"
"Kata-kata
Mayang, Eyang."
"Apa
yang dikatakannya padamu?"
"Seperti
yang kau katakan padaku, Eyang. Tentang diriku."
Eyang
Jamus termenung, lalu menghentikan langkahnya. Putri Naga Sewu juga berhenti
berjalan. Diputar tubuhnya, sehingga menghadap pada laki-laki tua berjubah
putih itu.
"Pulanglah
dulu, aku akan ke dermaga. Ada sesuatu yang harus kubeli," kata Eyang
Jamus seraya menepuk pundak gadis itu.
"Lama?"
tanya Putri Naga Sewu.
"Mungkin
sore nanti baru kembali."
Putri
Naga Sewu mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke bagian belakang
rumah kecil yang menyendiri itu. Sementara Eyang Jamus masih berdiri mematung.
Dibalikkan tubuhnya menghadap ke arah kepergian Mayang. Tiba tiba saja tubuhnya
melesat bagai kilat. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap mata saja
sudah tidak teriihat bayangannya.
Sementara
itu Putri Naga Sewu sudah sampai di dalam rumah kecil yang hanya memiliki satu
ruangan saja. Sebentar dipandangi ruangan itu, dan langsung bertumpu pada
sebilah pedang yang tergantung di dinding. Pedang Naga Geni yang menurut Eyang
Jamus adalah miliknya ketika dibangkitkan dari kubur. Putri Naga Sewu mengambil
pedang itu. Tapi baru saja hendak mencabut, terdengar suara mengejutkan.
Brak!
"Hei...!"
Putri Naga Sewu terlonjak kaget.
Tiba-tiba
saja pintu rumah itu jebol berantakan. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya,
mendadak muncul seorang perempuan tua bersama dua orang laki-laki muda berwajah
kasar. Perempuan tua itu melangkah sambil mengayun-ayunkan tongkatnya.
Sedangkan kedua laki laki di belakangnya langsung menghunus golok besar agak
melengkung.
"Mana
Eyang Jamus?!" tanya perempuan tua berjubah merah itu kasar.
"Tidak
ada!" sahut Putri Naga Sewu ketus. Dia memang tidak menyukai kehadiran
tiga orang yang datang mendobrak pintu itu.
"Siapa
kau?!" tanya perempuan tua itu, masih terdengar kasar suaranya.
Belum
sempat Putri Naga Sewu menjawab, salah seorang laki-laki yang berada di
belakang perempuan berjubah merah itu membisikkan sesuatu. Perempuan tua itu
mengangguk-angguk. Kedua bola matanya yang cekung, langsung bersinar melihat
Putri Naga Sewu. Telebih lagi saat melihat pedang di tangan gadis itu.
"He
he he..., pucuk dicinta ulam tiba. Tidak percuma jauh-jauh datang lagi ke sini.
He he he..., perempuan tua itu tertawa terkekeh.
Putri
Naga Sewu langsung menyadari adanya gelagat tidak baik akan kehadiran perempuan
tua bersama pengawalnya itu. Digeser kakinya mundur beberapa Iangkah. Dengan
cepat, tubuhnya melenting ke atas, dan menjebol atap hingga melesat keluar.
Begitu cepatnya tindakan Putri Naga Sewu, sehingga membuat perempuan tua
berjubah merah itu terperanjat.
"Kejar
dia! Jangan sampai lolos!" perintah perempuan tua itu.
"Hiya...!"
"Yeaaah...!"
Dua
orang laki-laki di belakang perempuan tua itu rentak berlompatan ke luar. Pada
saat yang sama, Putri Naga Sewu baru saja menjejakkan kakinya di halaman depan
rumah. Dan terpaksa dirinya melesat kembali karena dua orang laki-laki
bersenjata golok itu langsung menyerang ke arah kakinya.
"Hait..!"
Putri
Naga Sewu berjumpalitan di udara beberapa kali, lalu menukik seraya mencabut
pedangnya yang tergenggam di tangan kiri. Secepat kilat dikibaskan pedangnya
itu ke arah leher salah seorang penyerangnya. Tebasannya sangat cepat luar
biasa dan tidak terduga sama sekali. Sepertinya sukar untuk dihindari lagi
Cras!
"Aaa...!"
laki-laki itu menjerit melengking. Tubuhnya limbung sebentar, kemudian ambruk
menggelepar di tanah. Darah pun menyembur keluar dari leher yang terbabat
hampir buntung. Sedang seseorang lagi nampak terkesiap, tapi segera bergegas
menyerang ganas.
Putri
Naga Sewu menghindari tebasan golok yang begitu cepat mengurung dirinya.
Beberapa kali dibenturkan pedangnya pada golok itu. Pedang yang berwarna merah
bagai besi terbakar itu berkelebatan cepat, sehingga yang tampak hanya kilatan
merah menyambar-nyambar.
Trang!
Trang!
Dua
kali terjadi benturan senjata. Dan bagaikan kilat, Putri Naga Sewu memutar
pedangnya, langsung dibabatkan ke arah perut lawannya. Kibasan yang begitu
cepat, tidak mampu mengelakkan lagi. Laki-laki berwajah kasar itu menjerit
melengking tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung. Darah langsung merembes deras
dari perutnya yang robek. Dan belum la mampu menyadari apa yang terjadi, Putri
Naga Sewu sudah melompat seraya mengibaskan pedangnya samping.
"Hiyaaat...!"
"Aaakh...!"
orang itu menjerit keras.
Hanya
sebentar mampu berdiri tegak, kemudia laki-laki itu ambruk tidak bangkit
bangkit lagi. Sesaat tubuhnya masih menggelepar meregang nyawa, kemudian diam
tanpa nyawa lagi. Putri Naga Sewu berdiri tegak. Tatapan matanya tajam menusuk
langsung pada perempuan tua berjubah merah yang baru kelu dari dalam rumah
kecil dan terpencil itu.
"Tidak
kusangka kemajuanmu begitu pesat, Pandan Wangi," ucap perempuan tua
berjubah merah itu.
"Hm...,
aku bukan Pandan Wangi! Aku Putri Naga sewu!" ujar Putri Naga Sewu ketus.
"Ha
ha ha...! Kau bisa saja membodohi si tua bangka pencuri licik itu, bocah! Tapi
jangan harap bisa menipu mata tuaku ini! Tidak ada seorang pun yang memiliki
Pedang Naga Geni beserta jurus-jurus 'Naga Sewu' selain si bocah edan Pandan
Wangi!"
Putri
Naga Sewu tertegun mendengar kata-kata perempuan tua itu. Pelahan dimasukkan
kembali pedangnya ke dalam sarungnya yang masih tergenggam di tangan kiri. Dia
tetap berdiri tegak disertai tatapan matanya yang tajam menusuk. Sementara
perempuan tua berjubah merah itu melangkah pelahan mendekati, 'dan baru
berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa batang tombak lagi.
"Siapa
kau? Mengapa mencari eyang Jamus?" tanya Putri Naga Sewu masih terdengar
ketus nada suaranya.
"He
he he... Kau sudah lupa atau berlagak lupa, pandan Wangi?" perempuan tua
itu terkekeh tanpa menjawab.
"Jawab
saja pertanyaanku, Nenek Tua!" dengus Putri Naga Sewu.
"Hm....
Rupanya kau benar-benar sudah lupa, Pandan Wangi. Dengarkan baik-baik. Aku
bernama Nyai Klenting. Datang ke sini, untuk meminta kembali Bunga Abadi yang
dicuri Eyang Jamus dari saudaraku si Jari Malaikat. Saat ini dia membutuhkan
bunga itu. Kau paham maksudku, Pandan Wangi?" perempuan tua berjubah merah
itu tetap saja memanggil! Putri Naga Sewu dengan nama Pandan Wangi.
"Aku
tidak tahu-menahu masalahmu dengan Eyang Jamus. Tapi jelas aku tidak terima kau
sebut Eyang Jamus sebagai pencuri. Tidak ada Bunga Abadi di rumah ini!"
tegas Putri Naga Sewu. "Dan satu hal lagi. Aku bukan Pandan Wangi, tapi
Putri Naga Sewu
"Hm....
Kau bisa saja merubah nama, Pandan Wangi. Tapi wajahmu tidak akan bisa berubah.
Apalagi pedang itu berada di tanganmu. Maka jelaslah kalau kau adalah Pandan
Wangi. Hhh...! Sebaiknya serah kan saja Bunga Abadi itu padaku. Hm..., tapi aku
juga memerlukan pedang itu dan Kitab Naga Sewu."
"Bicaramu
makin tidak karuan saja, Nyai Klenting. Aku menghormatimu sebagai orang tua
Tapi, kalau kau tidak suka berlaku sopan, maaf saja kalau aku harus bertindak
keras!" ancam Putri Naga Sewu.
"He
he he. Kau mengancamku, bocah?" Nyai Klenting terkekeh meremehkan.
"Jangan bangga dulu bisa menjatuhkan dua tikus busuk Mereka memang tidak
berguna!"
"Aku
rasa kau juga tidak lebih busuk dari mereka
"Bocah
setan!" geram Nyai Klenting memuncak amarahnya. "Rupanya kau tidak
bisa lagi diajak bicara heh! Terimalah seranganku! Hiyaaat...!"
Nyai
Klenting tidak bisa lagi menahan amarahnya. langsung saja tubuhnya melompat
sambil menusuk-kan tongkatnya yang berujung runcing. Putri Naga Sewu melompat
mundur. Namun Nyai Klenting menggenjot tubuhnya seraya memutar tongkatya cepat,
dan ujungnya tetap mengancam tubuh gadis itu. Terpaksa Putri Naga Sewu mencabut
pedangnya kembali.
Trang!
Trang!
Dua
kali senjata mereka beradu, dan masing-masing melompat mundur. Tapi sesaat
kemudian sudah kembali bentrok sengit. Masing-masing berusaha untuk saling
menjatuhkan. Pada saat pertarungan itu berlangsung, terlihat sebuah bayangan
putih berkelebat cepat. Bayangan itu langsung meluruk ke dalam kanan
pertarungan, dan tiba-tiba saja Nyai Klenting memekik keras. Tubuhnya terpental
jauh ke belakang.
"Eyang...,"
desah Putri Naga Sewu begitu melihat Eyang Jamus tahu-tahu sudah berdiri
membelakanginya.
"Mundurlah,
Naga Sewu. Perempuan iblis ini bukan tandinganmu," tegas Eyang Jamus
Saat
itu Nyai Klenting sudah bisa bangkit berdiri. Dari sudut bibirnya menetes darah
segar, yang kemudian disekanya dengan punggung tangan. Tatapan matanya begitu
tajam menusuk lurus ke bola mata Eyang lamus. Pelahan-lahan kakinya bergerak ke
samping. Tongkat yang satu ujungnya berbentuk tengkorak kepala kerbau itu
tersilang di depan dada, kemudian liputar pelahan-lahan.
"Pergilah,
sebelum aku berubah pikiran, Klenting!" usir Eyang Jamus tegas.
"Phuih!
Kau pikir jauh-jauh aku datang hanya untuk kalah?! Tidak, Jamus. Aku tidak akan
kembali tanpa Bunga Abadi itu!" sahut Nyai Klenting dingin.
"Bunga
itu tidak ada lagi padaku. Sudah kupakai untuk menyembuhkan gadis ini,"
kata Eyang Jamus seraya membujuk Putri Naga Sewu.
Nyai
Klenting agak tertegun. Tongkatnya berhenti berputar seketika. Ditatapnya gadis
yang kini berada di samping kanan Eyang Jamus. Tatapan matanya begitu dalam,
seakan akan tidak percaya dengan pendengarannya.
"Dia
lebih membutuhkan daripada dirimu, Klenting. Nah, sekarang pergilah! Sia-sia saja
kau datan ke sini," ujar Eyang Jamus lagi.
"Huh!
Kau pikir aku percaya omonganmu, Jamus, Aku tahu siapa dia. Dan aku juga punya
urusan dengannya!" agak keras nada suara Nyai Klenting. Eyang Jamus
melirik Putri Naga Sewu di sampingnya.
"Pandan!
Serahkan Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni itu padaku! Cepat!" bentak
Nyai Klenting keras.
"Perempuan
edan! Sudah kukatakan kalau aku bukan Pandan Wangi! Namaku Putri Naga Sewu,
hu!" dengus Putri Naga Sewu berang. Tapi di balik keberangan itu, dia
berpikir juga. Apakah dirinya benar-benar Pandan Wangi? Sudah dua orang yang
menyangka dirinya adalah Pandan Wangi dalam satu hari ini.
"Klenting!
Kau datang untuk meminta Bunga Abadi padaku, tapi mengapa sekarang berubah?
Sudah kukatakan, bunga itu tidak ada lagi! Sudah kupakai. Dan gadis inilah yang
memakainya. Apa keteranganku kurang jelas?" agak kesal juga nada suara
Eyang Jamus.
"He
he he.... Sekarang tidak kupedulikan lagi Bunga Abadi itu, Jamus. Yang
kuinginkan sekarang, pedang dan kitab itu!" sahut Nyai Klenting. "Aku
tidak peduli pada si Jari Malaikat yang kini sekarat!"
"Kau
benar-benar iblis, Klenting!" desis Eyang Jamus.
Laki-laki
tua berjubah putih itu tahu, siapa si Jari Malaikat. Dia adalah saudara
laki-laki Nyai Klenting. Dan Eyang Jamus juga tahu, mengapa si Jari Malaikat
sekarang tengah sekarat. Itu semua karena kesalahannya sendiri yang mencoba
merebut Bunga Abadi dari tangannya. Bunga Abadi itu hanya satu-satunya di
dunia, dan berbunga hanya setiap seratus tahun sekali. Untuk mengambilnya juga tidak
mudah. Pohonnya pun hanya satu dan berada di atas Puncak Gunung Wijaya. Puncak
gunung yang selalu tertutup kabut tebal dan tidak mudah didaki.
Memang
sejak Eyang Jamus berhasil memiliki Bunga Abadi itu, banyak tokoh rimba
persilatan yang mencoba merampasnya. Salah satunya, si Jari Malaikat Bunga itu
memang berguna untuk segala macam pengobatan. Salah satunya, untuk
membangkitkan seseorang dari kematian semu, seperti yang dialami gadis yang
kini memakai nama" Putri Naga Sewu.
"Pergilah,
Klenting. Aku tidak suka lagi mengotori tanganku dengan darah. Bunga itu sudah
tidak ada lagi. Dan kalau ingin memilikinya, tunggu saja seratus tahun
lagi," jelas Eyang Jamus, mulai lunak nada suaranya.
"Baik,
aku pergi sekarang. Tapi urusanku dengan Pandan Wangi belum selesai!"
tegas Nyai Klenting yang menyadari tidak akan mampu menandingi Eyang Jamus.
Setelah
berkata demikian, Nyai Klenting langsung melompat cepat. Sebentar saja bayangan
tubuh perempuan tua itu tidak teriihat lagi. Eyang Jamus menarik napas panjang,
lalu melirik dua sosok mayat yang tergeletak bersimbah darah. Tatapannya kini
beralih pada gadis di sampingnya. Saat itu Putri Naga Sewu juga menatap ke
arahnya.
"Kau
yang menewaskan mereka?" tanya Eyang Jamus.
"Eyang,
apa benar aku ini Pandan Wangi?" Putri Naga Sewu tak mempedulikan
pertanyaan itu, tapi malah balik bertanya.
"Entahlah.
Aku sendiri tidak tahu," sahut Eyang Jamus sedikit mendesah.
Putri
Naga Sewu terdiam. Tapi jelas terlihat kalau sedang berpikir. Kata-kata Nyai
Klenting dan Mayang membuat dirinya semakin tidak tahu dirinya yang sebenarnya.
"Naga
Sewu! Terus terang, kuakui kalau wajahmu mirip sekali dengan cucu sahabatku.
Dan namanya pun memang Pandan Wangi. Dan aku tahu persis tentang pedang di
tanganmu itu. Hhh.... Kalau kau memang benar-benar Pandan Wangi, aku hanya bisa
berpesan agar hati-hati. Sebab sampai Sekarang ini masih banyak orang yang
menginginkan Pedang Naga Geni dan Kitab Naga Sewu, seperti Nyai Klenting
itu," jelas Eyang Jamus pelan.
"Eyang!
Kau katakan aku terkubur di Bukit Karungan, sebelah Timur Kerajaan Karang
Setra...."
"Benar."
"Kalau
memang demikian, aku harus kembali ke sana, Eyang. Di sana, aku harus kembali
dikubur selama tiga hari. Maka, hal itu bisa mengembalikan ingatan dari seluruh
masa laluku," kata Putri Naga Sewu.
"Heh!
Dari mana kau tahu?" Eyang Jamus terperanjat.
"Dari
salah satu kitab milikmu. Maaf, aku telah lancang membacanya tanpa ijin lebih dulu
padamu, Eyang," ucap Putri Naga Sewu.
"Hhh...!"
Eyang Jamus menarik napas panjang.
"Apa
isi kitab itu benar, Eyang?" tanya gadis itu lagi.
"Aku
tidak tahu pasti. Kitab itu kutemukan di dalam sebuah goa dekat pusara Sepasang
Pendekar Banyu Biru. Kitab itu memang miliknya. Hm..., kau sudah membaca
semuanya?"
"Sudah."
"Bagaimana
menurutmu?"
"Kalau
dulu aku memang pernah diberi air susu oleh ibuku sebelum ia meninggal, ada
kemungkinan kitab itu benar."
"Terlalu
tinggi resikonya, Cucuku."
"Tapi
mesti dicoba, Eyang."
"Dengan
resiko kematian sesungguhnya?"
"Apa
pun resikonya!" tegas jawaban Putri Naga Sewu.
"Sebaiknya
selidikilah dulu, siapa dirimu dan kedua orang tuamu."
"Tidak
akan bisa, Eyang. Hhh.... Sudah dua orang yang menganggapku Pandan Wangi. Kalau
memang benar berarti aku ini putri Sepasang Pendekar Banyu Biru. Di dalam kitab
itu juga disebutkan kalau putri tunggal Sepasang Pendekar Banyu Biru pernah
meminum air susu ibunya sebelum meninggal.... Sedangkan sang Ibu ternyata
memiliki ilmu 'Mati Suri' yang sangat langka. Ilmu itu memang ilmu turunan yang
berasal dari nenek Pandan Wangi, dari pihak Ibu. Ilmu itu bisa menghilangkan
jiwa dari raga untuk waktu tujuh hari. Dengan ilmu itu pula, seseorang bisa
bernapas melalui pusar, atau pori-pori kulit. Sedangkan seorang bayi yang minum
air susu ibunya yang memiliki ilmu itu, berarti ilmu itu akan berpindah pada
keturunannya. Semua itu kuketahui dari kitab itu, Eyang," ungkap Putri
Naga Sewu.
Eyang
Jamus menarik napas panjang, dan tidak tahu lagi harus berkata apa. Semua isi
kitab sudah dikuasai penuh oleh Putri Naga Sewu. Kitab yang berisi riwayat
hidup Sepasang Pendekar Banyu Biru. Juga berisi uraian dari ilmu-ilmunya yang
sangat langka dan sukar dicari tandingannya. Eyang Jamus sedikit menyesal,
karena tidak menyimpan kitab itu baik-baik. Dan memang sebenarnya kitab itu
tidak ada apa-apanya, tapi sudah cukup mempengaruhi jalan pikiran Putri Naga
Sewu. Entah mengapa, gadis itu begitu tertarik dan meresapi seluruh isi kitab
itu. Bahkan sampai hapal di luar kepala.
"Baiklah
kalau Eyang keberatan. Aku tidak akan mengungkit-ungkit lagi masalah ini
Biarlah aku menjadi manusia baru dengan nama baru dan kehidupan yang baru
pula," ujar Putri Naga Sewu melihat Eyang Jamus diam saja.
"Bukannya
keberatan, Cucuku. Tapi berilah aku waktu untuk berpikir," sahut Eyang
Jamus.
"Aku
tidak keberatan. Eyang. Semua keputusan ada di tanganmu"
"Akan
kuberikan Jawaban dalam tiga hari ini," janji Eyang Jamus.
"Terima
kasih, Eyang, ucap Putri Naga Sewu, berseri wajahnya.
"Hm...,"
Eyang Jamus tersenyum.
***
Hari
itu udara begitu cerah. Langit terlihat bening tanpa sedikit pun awan
menggantung. Angin bertiup semilir membuat seluruh penghuni alam ini terasa
dibuai oleh kenyamanan dan kesejukan. Tapi tidak demikian halnya yang dirasakan
Putri Naga Sewu. Gadis itu duduk termenung di tepi sungai yang mengalir
membelah Desa Banyu Biru.
Gadis
itu memandang sebuah pondok yang tinggal puing-puing saja. Seluruh kayu dan
batu di situ sudah hitam bekas terbakar. Putri Naga Sewu seperti teringat
sesuatu di tempat ini. Tapi rasanya sukar untuk mengingat lebih jelas. Hanya
samar-samar yang dapat di-rasakan. Tapi tempat ini diyakini punya kenangan
tersendiri bagi dirinya. Tapi kenangan apa? Dia sendiri tidak jelas
mengetahuinya.
"He
he he..!"
Gadis
itu terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara terkekeh. Begitu menoleh,
tampak Nyai Klenting sudah berdiri tidak jauh darinya. Perempuan tua itu terus
terkekeh seraya mengayun-ayunkan tongkatnya. Putri Naga Sewu bangkit berdiri,
dan berbalik menghadap perempuan tua berjubah merah itu. Digenggamnya erat-erat
pedang di tangan kirinya.
"Orang
yang sudah mati tidak perlu diingat lagi, Pandan Wangi," kata Nyai
Klenting masih juga menyebut Pandan Wangi pada gadis itu.
"Apa
maksudmu berkata begitu, Nyai "Klenting?" ketus nada suara Putri Naga
Sewu.
"He
he he.... Kini aku sudah tahu, mengapa kau selalu tidak mengakui dirimu sebagai
Pandan Wangi. He he he.... Kau selalu ingat dia, Pandan?" Nyai Klenting
menunjuk ke kanan.
Putri
Naga Sewu menoleh. Tampak seorang gadis berbaju merah menyala berdiri tidak
jauh dari gerumbul semak. Gadis yang ternyata adalah Mayang itu melangkah
mendekati Nyai Klenting, lalu berdiri di samping kanan wanita tua Itu
"Aku
tahu, sebenarnya kau sudah mati. Tapi si tua bangka Jamus Itu menghidupkanmu
kembali dengan Bunga Abadi. Bunga yang seharusnya jadi milikku!" ujar Nyai
Klenting. "Tapi, biarlah! Aku tidak perlu lagi bunga busuk itu. Yang
kuinginkan sekarang hanyalah Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni darimu,
Pandan."
"Aku
jadi semakin tak mengerti pembicaraanmu, Nyai Klenting," ujar Putri Naga
Sewu. Benar-benar sulit dipahami, karena dia sendiri tengah kebingungan tentang
dirinya sendiri saat ini.
"Aku
tidak butuh pengertianmu, Pandan! Hampir tiga purnama kau terbujur. Karena kau
putri dari Sepasang Pendekar Banyu Biru, dan telah minum air susu ibumu, maka
kau tidak bisa mati sesungguhnya. Kau hanya mati semu. Dan hanya dengan Bunga
Abadi bisa hidup kembali, karena sudah hampir terlewat batas kematianmu yang
sesungguhnya. Tapi itu tidak bisa terulang untuk kedua kali, Pandan. Sedikit
saja jatuh pingsan, maka kematianmu sudah di ambang pintu. Tubuhmu juga tidak
akan kuat. Kulitmu jadi peka. Jika sedikit saja tergores benda tajam, maka kau
akan merasakan seperti tertusuk ribuan anak panah! Kemudian tubuhmu lemas, dan
siapa saja dengan mudah dapat membunuhmu. Kecuali..., he he he.... Tapi itu tidak
akan terjadi, Pandan Karena hari ini juga akan merasakan kematianmu yang
sesungguhnya," panjang lebar Nyai Klenting berkata.
Putri
Naga Sewu bergidik juga mendengarnya. Hal itu juga diketahuinya dari Eyang
Jamus. Dan sekarang, dirinya bisa hidup kembali karena Eyang Jamus yang
mengobatinya dengan Bunga Abadi. Bunga yang hanya muncul sekali dalam seratus
tahun.
"Nah!
Sekarang bersiaplah untuk mati, Pandan Wangi! Hiyaaa...!"
"Tunggu...!"
Tapi
Nyai Klenting sudah melompat menerjangnya dengan kecepatan tinggi. Putri Naga
Sewu tidak bisa lagi berbuat banyak, selain menghindari terjangan itu. Bergegas
dia melompat ke samping, dan bergulingan di atas batu-batu kerikil di tepi
sungai ini. Tapi baru saja bisa bangkit berdiri, Mayang sudah melompat dan
membabatkan pedangnya.
"Uts!"
Putri
Naga Sewu tidak punya pilihan lain lagi, kecuali menjatuhkan dirinya dan
bergulingan beberapa kali di atas kerikil kembali. Dan dengan cepat tubuhnya
melompat bangkit, langsung melesat mundur menja, jarak. Tapi Nyai Klenting dan
Mayang tidak lagi memberi kesempatan. Mereka berlompatan menyerang kembali dari
dua jurusan.
"Mayang!
Mengapa kau menyerangku!" seru Putri Naga Sewu meminta penjelasan.
"Karena
kau adalah Pandan Wangi, dan juga sebagai penghalangku untuk memperoleh
Rangga!" sahut Mayang seraya melayangkan pedangnya ke arah kepala.
"Uts!"
Putri
Naga Sewu merundukkan kepalanya, sehingga tebasan pedang Mayang lewat di
atasnya. Tapi sebelum juga Putri Naga Sewu bisa mengangkat kepalanya, Nyai
Klenting sudah menusukkan ujung tongkatnya ke arah perut. Buru buru Putri Naga
Sewu mengibaskan pedang yang masih berada di dalam sarungnya di tangan kiri.
Trak!
"Ikh...!"
Nyai Klenting terperanjat kaget, dan langsung melompat mundur.
Seketika
wajah perempuan tua itu jadi memerah. Tangannya mendadak kesemutan ketika
tongkatnya beradu dengan pedang di tangan kiri Putri Naga Sewu yang diyakininya
sebagai Pandan Wangi itu. Sedangkan saat itu Putri Naga Sewu sudah melompat
menghindari kibasan pedang yang meluncur ke arah kaki. Saat berada di udara,
kakinya menghentak ke depan, langsung mendarat di dada Mayang.
"Akh!"
Mayang memekik tertahan. Gadis berbaju merah itu terhuyung-huyung belakang
beberapa Iangkah Putri Naga Sewu bersalto di udara tiga kali, lalu menjejakkan
kakinya di tana berkerikil. Jaraknya cukup jauh dari kedua orang yang
menyerangnya tadi.
"Dengar!
Aku tidak kenal dan tidak pernah punya urusan dengan kalian. Jangan membuatku
jadi bertindak keras!" tegas Putri Naga Sewu, lantang suaranya.
"Pandan
Wangi! Sebaiknya serahkan saja kitab dan pedang itu Dengan demikian, urusan ini
aka selesai," kata Nyai Klenting juga lantang.
"Rakus!
Seharusnya kau bersiap-siap, Nyai Klenting. Umurmu tinggal sejengkal
lagi!" sinis nada suara gadis itu
"Kadal!
Kau memang patut mampus, bocah seta Hiyaaa...!" Nyai Klenting tidak dapat
lagi menahan amarahnya, dan lantas melompat sambil berteria keras melengking
tinggi.
Pada
saat yang sama, Mayang juga melompat dan berputar mengambil arah lain. Kembali
Putri Naga Sewu yang diyakini kedua lawannya sebagai Panda Wangi itu harus
menghadapi serangan dahsyat dari dua jurusan. Serangan-serangan yang datang
bagai air bah itu datang tak henti-hentinya. Tapi sunggu mengherankan, Putri
Naga Sewu manis sekali dia mengimbanginya. Bahkan tidak jarang mengirimkan
serangan balasan yang sanggup membuat kedua wanita itu kerepotan menghindarinya.
Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Bahkan tanpa terasa sudah
menghabiskan lebih dari dua puluh jurus. Tapi nampaknya Putri Naga Sewu masih
sanggup melayani kedua lawannya.
"Awas
kaki...!" Tiba-tiba Mayang berseru nyaring.
"Hait...!"
Putri
Naga Sewu melompat begitu meiihat kilatan pedang menebas ke arah kaki. Tapi
pada saat yang sama, ujung tongkat Nyai Klenling meluruk deras ke arah dadanya.
Putri Naga Sewu tidak punya pilihan lain lagi. Diloloskan pedang dan
disampoknya tongkat yang runcing itu.
"Hiya...!"
Trang!
Tongkat
Nyai Klenting terpental terbabat pedang Naga Geni yang berwarna merah bagai
terbakar itu. Namun pada saat yang hampir bersamaan, Mayang melompat ke atas
melewati kepala Putri Naga Sewu. Begitu cepat lompatannya sambil melayangkan
tendangan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Putri
Naga Sewu tidak bisa lagi menghindar. Tendangan yang keras bertenaga dalam itu
langsung mendarat di punggungnya. Sebentar dia memekik tertahan. Tubuhnya
terlempar ke depan, tersuruk jatuh mencium batu-batu kerikil yang panas
terpanggang matahari.
"Mampus
kau, bocah setan! Hiyaaa...!"
Sambil
berteriak keras, Nyai Klenting melompat dan menghunjamkan ujung tongkatnya ke
tubuh Putri Naga Sewu. Tapi tinggal seujung rambut lagi ujung tongkat itu
menghunjam tubuh Putri Naga Sewu, mendadak satu bayangan putih berkelebat cepat
memotong arus.
Trang!
"Akh!"
Nyai Klenting memekik kaget.
Belum
lagi hilang rasa terkejutnya, tahu-tahu dirasakan dadanya sesak. Bahkan
tubuhnya terpental ke belakang beberapa tombak jauhnya. Tapi perempuan tua itu
masih juga mampu melompat bangkit berdiri. Dengusannya begitu keras ketika
melihat seorang pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi putih sudah berdiri
tegak di samping tubuh Putri Naga Sewu yang masih tengkurap di atas bebatuan.
"Rangga
," desis Mayang terkesiap saat mengenali pemuda berbaju rompi putih itu.
Seketika
wajah Mayang jadi pucat pasi. Buru-buru tubuhnya berbalik dan hendak melompat
kabur. Tapi belum juga niatnya tersampaikan, satu bayangan lain meluncur deras
dan menghadangnya. Mayang terperanjat setengah mati. Apalagi setelah mengenali
orang yang tahu-tahu sudah berdiri tegak menghadangnya. Ternyata dia adalah
Cempaka, adik tiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Cempaka...,"
suara Mayang terdengar bergetar.
Mayang
bergegas melangkah mundur mendekati Nyai Klenting. Mereka berdiri berdampingan.
Yang seorang berwajah geram penuh kemarahan, sedangkan yang seorang lagi
berwajah agak pucat dan kelihatan serba salah.
"Memuakkan!
Mengeroyok orang yang tidak berdaya sama sekali!" dengus Rangga dingin.
"Anak
muda! Apa urusanmu di sini?!" bentak Nyai Klenting.
"Apa
pula yang kau kerjakan di sini?!" Rangga malah balik bertanya.
"Heh!
Aku bertanya padamu, bocah setan!" bentak Nyai Klenting gusar.
"Aku
benci menjawab pertanyaan manusia iblis macam dirimu!"
"Keparat!
Barangkali kau punya nyawa rangkap, sehingga berani menghinaku!" dengus
Nyai Klenting semakin gusar.
"Nyawaku
hanya satu, tapi mampu meredam kebiadabanmu, perempuan Iblis!"
"Kadal!
Monyet buduk' Mampus kau! Hiyaaa...!"
Nyai
Klenting tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya, dan langsung melompat
menerjang Pendekar Rajawali Sakti itu. Kebutan tongkatnya sungguh luar biasa
dahsyatnya, sehingga menimbulkan deru angin bagai topan. Dan Rangga hanya
mengegoskan tubuhnya sedikit, sehingga kebutan tongkat Nyai Klenting tidak
mengenai sasaran. Bahkan perempuan tua itu jadi kerepotan juga menghindari pukulan
yang dilepaskan secara beruntun oleh Pendekar Rajawali Sakti itu.
Sementara
Rangga dan Nyai Klenting bertarung, Cempaka bergerak perlahan mendekati Putri
Naga Sewu yang masih tergolek tengkurap di bebatuan kerikil. Namun matanya
tidak berkedip memandang Mayang. Cempaka baru berhenti bergeser setelah dekat
dengan Putri Naga Sewu. Sedikit pun dia tidak berani berpaling karena tahu
kalau Mayang cukup cerdas. Gadis itu bisa memanfaatkan kesempatan yang hanya
sedikit saja.
Tapi
Cempaka benar benar tidak berdaya, karena tiba-tiba saja Mayang melesat kabur.
Cempaka memang tidak mungkin meninggalkan Rangga. Terlebih lagi di situ
tergolek seorang gadis yang entah pingsan atau sudah tewas. Cempaka belum juga
memeriksa gadis itu, karena pandangannya terpaku untuk menyaksikan pertarungan
itu. Ini merupakan kesempatan baginya untuk menyaksikan pertarungan dua tokoh
sakti yang ternama dalam rimba persilatan.
Pertarungan
terus berlangsung semakin sengit, dan Cempaka memperhatikan tanpa berkedip Dia
sampai tak tahu kalau Putri Naga Sewu mulai bergerak. Gadil itu pelahan-lahan
bangkit berdiri dan melangkah menjauh. Meskipun langkahnya agak terhuyung, tapi
masih mampu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sedangkan Cempaka sama
sekali tidak menyadarinya!
Sementara
pertarungan antara Rangga dan Ny Klenting masih berlangsung sengit. Perhatian
Cempaka semakin terpusat pada pertarungan itu. Benar-benar tidak disadari kalau
gadis yang dikira masih pingsan atau sudah mati itu telah meninggalkannya
diam-diam. Dan gadis itu kini berlari kencang, tanpa ada seorang pun yang
mengetahuinya.
"Modar...!"
tiba-tiba Rangga berseru keras. Dan seketika itu juga tangan kanannya bergerak
ce pat mengibas ke depan. Tepat pada saat yang sama, Nyai Klenting juga
menghunjamkan tongkatnya ke arah dada. Dan tongkat itu pun bertemu tangan kanan
Pendekar Rajawali Sakti dengan kerasnya. Saat itu Rangga memang tengah
mengerahkan Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Akh...!"
Nyai Klenting terpekik tertahan. Tubuh perempuan tua Itu mencelat ke samping.
dan sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Rangga sudah melompat sambil
menghantamkan satu pukulan keras ke arah kepala. Pukulan yang mengandung tenaga
dalam sempurna itu tidak dapat dihindari lagi, dan langsung mcnghajar kepala
Nyai Klenting.
Prak!
"Aaakh.
'" Nyai Klenting menjerit melengking.
Perempuan
tua berjubah merah itu ambruk dan menggelepar di tanah. Dari kepala yang pecah,
mengalir darah segar Hanya sebentar Nyai Klenting berkelojotan, sebnjutnya diam
tidak bergerak lagi. Rangga langsung melompat menghampiri Cempaka.
"Cempaka,
mana dia...?" tanya Rangga.
"Di...,"
suara Cempaka terputus.
Adik
tiri Pendekar Rajawali Sakti itu jadi celingukan. Sungguh mati tidak disadari
kalau gadis yang diduga sudah mati itu telah lenyap dari sisinya. Cempaka
memandang Rangga dengan sinar mata penuh permohonan maaf. Rangga menepuk pundak
gadis itu penuh rasa pengertian. Memang, Pendeka Rajawali Sakti belum mengenali
sosok yang tergolek pingsan tadi.
"Sudahlah,
kita tidak tahu siapa dia. Ayo jalan lagi," ujar Rangga lembut penuh
pengertian.
"Maaf,
Kakang. Aku benar benar terkesima melihat pertarunganmu," ucap Cempaka
lirih.
"Ayolah!
Lupakan saja," sahut Rangga.
"Ke
mana lagi kita pergi, Kakang? Seluruh Desa Banyu Biru rasanya sudah dijelajahi,
tapi tidak ada tanda-tanda sama sekali," kata Cempaka mulai biasa kembali.
"Aku
tidak tahu," sahut Rangga agak lesu. "Oh ya. Ke mana Mayang melarikan
diri?" Rangga jadi ingat Mayang
"Entahlah,"
desah Cempaka seraya memegang bahunya
Rangga
terdiam. Kepalanya tertunduk, dan keningnya berkerut cukup dalam. Cempaka
memperhatikan. Dia tahu kalau kakak tirinya ini sedang berpikir keras. Memang
agak heran juga, mengapa Mayang ada di Desa Banyu Biru ini. Tapi Cempaka tidak
bisa menduga-duga.
"Kakang,
apakah kuda kita aman di rumah penginapan itu?" tanya Cempaka mengalihkan
perhatian.
"Aku
pernah menginap di sana beberapa kali. Pemiliknya sudah kenal padaku,"
sahut Rangga. Namun keningnya masih juga berkerut.
"Ada
yang dipikirkan, Kakang?" Cempaka tidak bisa juga menahan
keingintahuannya.
"Ada,"
sahut Rangga mendrsah.
"Tentang
apa?"
"Mayang.
Aku heran, untuk apa dia berada di sini? Apakah dia sudah tahu kalau kita
memang di sini?" Rangga seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Barangkali
juga, Kakang Masalahnya sampai sekarang dia masih tetap mengharapkanmu. Aku
yakin kalau dia juga sudah tahu tentang hilangnya Pandan Wangi," Cempaka
mengemukakan pendapatnya.
"Dia
memang sudah tahu," kata Rangga.
"Bahaya...!"
desis Cempaka.
Rangga
menatap dalam-dalam gadis itu.
"Bukankah
Mayang masih dendam pada Kak Pandan, Kakang? Aku pernah melihatnya sedang
menimpuki pusara Kak Pandan dengan batu kerikil. Dia itu seperti sudah gila.
Aku jadi menduga kalau dia berusaha mendahuluimu menemukan Kak Pandan, dan
mencoba membunuhnya. Atau bahkan mungkin mencincangnya," lagi-lagi Cempaka
mengemukakan dugaannya yang selama ini terpendam.
"Apa
itu mungkin, Cempaka?" Rangga sedikit terpengaruh juga
"Mungkin
saja. Coba lihat saja tadi. Dia sudah berani bergabung dengan orang lain yang
berilmu tinggi. Sejak diusir dari Karang Setra, Mayang memang seperti sudah
gila, Kakang. Terus terang saja, sebenarnya aku tahu kalau Mayang tidak
jauh-jauh meninggalkan Karang Setra. Tapi aku diam saja. Aku juga sering
mendapat laporan kalau Mayang selalu membunuhi gadis-gadis yang memakai baju
biru. Anggapannya, gadis berbaju biru adalah Pandan Wangi. Dia begitu dendam,
tapi juga licik. Segala ucapannya tidak pernah sesuai dengan hatinya."
"Sudah
tahu begitu, ke ..." ucapan Rangga terputus tiba tiba. Dia langsung
tertegun, seperti mendapat lintasan dalam benaknya
"Ada
apa, Kakang?" tanya Cempaka.
"Sebentar,
Cempaka. Kalau tidak salah, gadis itu tadi juga memakai baju biru...,"
agak ragu-ragu nada suara Rangga.
"Memang
benar," sahut Cempaka "Bahkan memegang pedang yang berwarna
merah."
"Naga
Geni...," desis Rangga cepat.
Tiba-tiba
kenangan manis bersama Pandan Wangi terlintas di benak Pendekar Rajawali Sakti.
"Tapi,
apakah mungkin?" tanya Rangga dalam hati.
Benak
Rangga kini dipenuhi oleh pertanyaan ya membingungkan, sekaligus mendebarkan
hatinya. Jangankan Cempaka, Rangga sendiri sukar untuk mempercayai kalau gadis
yang telah mereka tolong dari maut adalah Pandan Wangi. Tapi melihat ciri-ciri
yang begitu persis, mereka mulai diliputi keragu-raguan lan kebimbangan.
Sayangnya,
di antara mereka tidak ada yang sempat melihat wajahnya Tapi ketika melihat
pedang itu, Rangga yakln kalau pedang itu adalah Pedang Naga Geni. Tidak ada
lagi pedang yang berwama merah bagai besi terbakar selain Pedang Naga Geni milik
Pandan Wangi
"Apakah
Pandan Wangi masih hidup? Atau ada orang lain yang... Tidak! Tidak
mungkin...!" Rangga membantah sendiri pemikirannya. Perasaannya
benar-benar bergolak Antara ada dan tiada. Antara rindu dan ketidakpastian.
Pendekar
Rajawali Sakti itu yakin benar kalau Pedang Naga Geni terkubur bersama tubuh
Pandan Wangi. Sedangkan Kitab Naga Sewu memang sudah dimusnahkan pandan Wangi
di Pulau Karang, setelah menguasai seluruh jurus-jurus yang ada di dalam kitab
itu. Sayangnya, waktu itu Rangga tidak sekalian mengubur kipas baja yang
menjadi ciri khas Pandan Wangi. Kipas itu kini tersimpan dalam ruangan
penyimpanan senjata pusaka di Kerajaan Karang Setra. Dan Rangga memang sengaja
menyimpannya untuk selalu dapat mengenang gadis yang sangat dicintainya itu.
Sudah
setengah harian Rangga berdiri mematung di depan jendela kamar penginapannya.
Sedangkan Cempaka sudah sejak tadi keluar. Katanya ingin melihat-lihat suasana
di Desa Banyu Biru ini, sambil mencari keterangan. Hampir semua orang yang
melintas di depan rumah penginapan ini jadi perharian Rangga, terlebih lagi
para gadis yang berbaju biru.
Dan
ketika mata Pendekar Rajawali Sakti itu menatap seorang gadis yang berjalan
bersama seorang laki-laki tua berjubah putih, seketika aliran darahnya berdesir
kuat. Apalagi gadis itu juga membawa pedang. Maka detak jantungnya terasa lebih
cepat berdenyut. Rangga menggosok-gosok matanya, setengah tidak percaya dengan
yang dilihatnya ini. "Pandan...," desis Rangga.
Secepat
kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat keluar dari jendela kamar
penginapannya. Langsung dikejarnya dua orang yang dilihatnya. Tapi ke adaan
jalan yang penuh orang hilir mudik, membuat langkahnya agak tertahan. Tapi
Rangga terus mengerahkan pandangannya pada dua orang yang berjalan cukup jauh
darinya.
"Pandan...!"
teriak Rangga memanggil. Tepat pada saat itu, sebuah kereta kuda melintas di
depannya. Kalau saja Rangga tidak cepat melompat ke tepi, pasti akan terlanggar
kereta yang melaju cukup kencang. Padahal jalan ini bisa dikatakan begitu padat.
Pandangan Rangga terhalang sesaat. Dan begitu kereta kuda berlalu, dua orang
yang dikejarnya sudah tidak terlihat lagi.
Rangga
bergegas melangkah cepat, dan baru berhenti setelah tiba di tempat dua orang
yang dilihatnya tadi. Pendekar Rajawali Sakti itu memandang ke sekeliling,
namun tidak juga menemukan dua orang yang dicari. Dia bersungut-sungut kesal,
memaki kereta kuda yang lewat dan menghalangi pandangannya tadi.
Rangga
menghampiri seorang penjual buah-buahan di dekatnya. Penjual buah itu tersenyum
dan menganggukkan kepalanya. Ditawarkan buah semangka Yang cukup besar
ukurannya, tapi Rangga menolak halus.
"Maaf,
Kisanak. Aku ingin bertanya," kata Rangga sopan.
"Boleh
saja, Den, tapi beli dulu buahku ini," sahut penjual buah itu.
"Baiklah.
Berapa harga semangka itu?" Rangga menyerah
"Berapa
saja, Den. Asal tidak rugi."
Rangga
mengeluarkan sekeping uang perak, dan menyerahkannya pada penjual semangka itu.
Tentu saja laki-laki setengah baya penjual buah itu terbeliak. Sekeping uang
perak sudah lebih untuk memborong Semua dagangannya.
"Kisanak,
apakah tadi melihat seorang laki-laki tua berjubah putih membawa tongkat
bersama seorang gadis berbaju biru lewat di sini?" tanya Rangga langsung
tanpa mempedulikan penjual buah yang masih terkesiap itu.
"Oh,
eh.... Apa, Den?" penjual buah itu tergagap Rangga mengulangi
pertanyaannya dengan sedikit kesal.
"Wah!
Banyak yang lewat, Den. Tapi sepertinya Raden menanyakan Eyang Jamus...,"
agak ragu-ragu juga penjual buah itu menjawab.
"Eyang
Jamus? Siapa dia?" tanya Rangga.
"Seorang
tabib yang sangat terkenal dan sakti. Segala macam penyakit bisa disembuhkan.
Bahkan dia punya ilmu yang aneh-aneh. Kalau dilihat dari ciri-ciri yang Aden
sebutkan tadi, tidak ada orang lain yang memakai jubah putih bertongkat hitam
selain Eyang Jamus," jelas penjual buah itu.
"Apakah
tadi dia lewat sini?" Rangga ingin ketegasan.
"Baru
saja, Den. Kalau memang benar Eyang Jamus yang dimaksudkan."
"Bersama
seorang gadis berbaju biru?" tanya Rangga lagi.
"Hm...,"
penjual buah itu berpikir sejenak. " iya, Den. Kabarnya Eyang Jamus memang
kedatangan cucunya dari kota. Mungkin juga tadi dia berjalan bersama cucunya.
"Ke
mana perginya?"
"Arahnya
ke sana...," penjual buah itu menunjuk ke suatu arah. "Pasti dia
pulang, Den. Rumahnya terpencil, jauh di sana."
"Kisanak
pernah melihat cucunya?" tanya Rangga semakin tertarik.
"Wah
belum, Den. Itu juga hanya dengar-dengar saja. Soalnya belum ada yang pernah
melihat. Hanya dengar saja, Den."
"Ya,
sudah. Terima kasih "
Rangga
langsung melangkah pergi.
"Eh,
Den...! Buahnya...!"
"Jual
saja pada orang lain!"
"Ha...!"
penjual buah itu terlongong
Tapi
hanya sebentar saja. Sesaat kemudian dia berjingkrak gembira. Tidak
disangka-sangka, hari ini mendapat sekeping uang perak. Dengan uang itu
usahanya bisa bertambah dua kali lipat! Padahal buah dagangannya saja masih
begini banyak. Penjual buah itu tidak peduli dengan dagangannya yang masih
banyak. Langsung saja dibenahi dan beranjak pulang penuh kegembiraan.
"Dasar
rejeki nomplok! He he he...!" penjual buah itu terkekeh kegirangan
sendirian, persis orang gila.
Rangga
memandangi rumah kecil yang letaknya terpencil, jauh dari rumah penduduk
lainnya. Rumah itu dinaungi pohon beringin yang sangat besar. Memang, cukup
teduh dan nyaman. Pelahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya' mendekati rumah
itu. Keakeadaannya sangat sepi, seperti tidak ada orang di dalam rumah itu.
"Silakan
masuk, Anak Muda. Pintu tidak terkunci."
Rangga
tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara tua yang parau dari dalam
rumah kecil itu. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap mengayunkan langkahnya
mendekati pintu yang sedikit terbuka. Sebentar berhenti, kemudian tangannya
mendorong pintu dari kayu itu. Suara bergerit terdengar dari engsel yang
berkarat tidak pemah tersiram minyak.
Sejenak
Rangga memandangi bagian dalam yang tidak begitu luas. Hanya ada sebuah dipan
bambu beralaskan tikar daun pandan, dan sebuah altar baru pualam putih dengan
kolam kecil yang panjang. Tidak ada lagi perabotan, kecuali sebuah lemari kecil
di samping dipan bambu itu.
"Masuklah,"
kata seorang laki-laki tua berjubah putih yang duduk bersila di batu pualam
putih.
Rangga
melangkah masuk, tapi hanya berdiri saja memandang laki-laki tua berjubah putih
itu. Dialah yang dilihatnya tadi berjalan bersama seorang gadis yang wajahnya
mirip Pandan Wangi.
"Silakan
duduk, tapi tidak ada kursi di sini," kata laki-laki tua itu ramah.
"Terima
kasih," ucap Rangga seraya duduk bersila di lantai.
"Ada
keperluan apa hingga datang mengunjungiku, Anak Muda?" tanya laki-laki tua
itu tetap ramah suaranya
"Hanya
ingin bertanya saja, Eyang..."
"Jamus.
Panggil saja aku Eyang Jamus."
"Baiklah,"
desah Rangga.
"Maaf,
terpaksa duduk di lantai. Di sini aku tidak pernah membedakan siapa pun. Semua
yang datang ke sini kuanggap sama, meskipun seorang raja besar yang sepatutnya
diberi tempat layak," kata Eyang Jamus yang sudah tahu siapa sebenarnya
pemuda yang datang ke rumahnya ini.
"Tidak
mengapa, Eyang," ucap Rangga maklum.
"Nah!
Katakan, apa kepeduanmu sehingga sempat datang ke gubukku ini?"
"Maaf,
Eyang. Aku hanya ingin bertemu cucumu," kata Rangga langsung.
"Hm...,"
Eyang Jamus mengerutkan alisnya hingga bertaut hampir menyatu. "Apa tidak
salah alamat, Anak Muda? Aku tahu, siapa kau sebenarnya. Kau seorang raja, dan
seorang pendekar temama tanpa tanding. Ada apa dengan cucuku? Apakah punya kesalahan
padamu?"
"Sama
sekali tidak. Aku hanya...," suara Rangga terputus.
"Teruskan,"
pinta Eyang Jamus.
Tiba-tiba
Rangga terkesiap. Pandangan matanya lurus melewati belakang Eyang Jamus.
Ternyata di sana telah berdiri seorang gadis berwajah cantik memakai baju biru
dengan pedang tersampir di punggung. Sebenarnya gadis Itu biasa saja, tapi
wajahnya sempat membuat Rangga tidak berkedip memandangnya.
"Pandan...,"
desis Rangga tanpa sadar Ingin rasanya Rangga menubruk gadis yang wajahnya
mirip Pandan Wangi itu Kalau saja tidak ada Eyang Jamus, mungkin gadis itu
langsung dipeluk dan diciuminya. Antara percaya dan tidak, yang jelas Rangga
menyaksikan bahwa gadis itu bagaikan Pandan Wangi yang hidup kembali. Maka
dengan seketika, jantungnya berdetak keras. Gelora cinta dan rindunya kian
bergejolak.
Eyang
Jamus segera memutar tubuhnya, dan tersenyum. Lalu diberinya isyarat agar gadis
itu mendekat. Laki-laki tua itu kembali memutar tubuhnya dalam keadaan masih
tetap duduk bersila. Gadis berbaju biru itu melangkah mendekati Eyang Jamus,
kemudian duduk di samping altar pualam putih itu.
"Ini
cucuku, Anak Muda," kata Eyang Jamus.
"Oh!"
Rangga tersentak, langsung mengalihkan pandangannva dari gadis itu pada Eyang
Jamus. Mata Rangga benar-benar tertutup, seperti tak memandang ada laki laki
tua di hadapannya.
"Dia
bernama Naga Sewu," ujar Eyang Jamus memperkenalkan
"Naga
Sewu...?" gumam Rangga. Ingatan Pendekar Rajawali Sakti langsung tertuju
pada Kitab Naga Sewu. Dipandanginya gadis itu lagi. Gagang pedang yang
menyembul membuat pemuda itu tertegun. Tidak salah lagi! Pedang itu memang
benar Pedang Naga Geni. Rangga menatap wajah gadis itu lekat-lekat. Sungguh
mati tidak ditemukan perbedaannya dengan Pandan Wangi. Wajah, bentuk tubuh, dan
segala-galanya sangat mirip Pandan Wangi. Mungkinkah Pandan Wangi hidup
kembali?
Tapi
Rangga tidak percaya kalau Pandan Wangi masih hidup. Jelas kalau si Kipas Maut
itu sudah tewas di tangan Purbaya. Pandan Wangi telah tewas di dalam
pelukannya. Dan pusaranya selalu ditunggu selama tiga hari tiga malam. Lalu,
siapa gadis di depannya ini sebenanya? Dan di mana mayat Pandan Wangi yang
hilang? Macam-macam pertanyaan berkecamuk di dalam benak Rangga.
Pertanyaan-pertanyaan yang sukar untuk dijawab sekarang ini.
"Anak
Muda...," tegur Eyang Jamus.
Lagi-lagi
Rangga tergagap kaget. "Eyang, boleh bicara denganmu berdua saja?"
pinta Rangga setelah bisa menenangkan dirinya.
"Kenapa?
Bukankah tadi ingin bertemu dengan cucuku?"
"Benar,
Eyang. Tapi...," Rangga melirik gadis yang masih diam saja di tempatnya.
"Anak
Muda. Sebenarnya maksud kedatanganmu ke sini sudah kuketahui," kata Eyang
Jamus
Rangga
terdiam. Kembali diliriknya gadis itu. Entah kenapa, setiap kali melirik,
selalu ada perasaan yang bergejolak di hatinya. Perasaan yang sukar untuk
digambarkan, tapi begitu indah jika jadi kenyataan.
"Naga
Sewu, bisa kau pergi sebentar?" pinta Eyang Jamus yang bisa merasakan
perasaan Pendekar Rajawali Sakti itu
Putri
Naga Sewu tidak membantah, lalu beranjak bangkit dan melangkah ke luar. Tapi
sempat ju melirik pada Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti! tidak bisa
mengartikan lirikan gadis itu yang langsu menghilang di balik pintu. Rangga
menggeser duduknya lebih mendekat lagi pada Eyang Jamus. Untuk beberapa saat
keheningan menyelimuti mereka berdua. Sepertinya, masing-masing tengah sibuk
berbicara dalam pikirannya.
"Eyang,
benarkah dia cucumu dan bernama Naga Sewu?" tanya Rangga setelah cukup
lama terdiam.
"Bukan,"
sahut Eyang Jamus singkat
"Bukan...?!"
Rangga tersentak. Entah kenapa tiba-tiba saja dirasakan aliran darahnya seperti
terba Bahkan jantungnya kembali jadi lebih cepat berdetak.
"Aku
sendiri masih belum tahu, siapa dia sebenarnya. Meskipun aku sendiri selalu
dihantui dugaa Yaaah.... memang tidak bisa disangkal kalau wajahnya begitu
mirip cucu sahabat karibku, si Kakek Tangan Seribu," kata Eyang Jamus
terus terang.
"Siapa...?!"
Rangga menggerinjang kaget mendengar nama Kakek Tangan Seribu disebut
"Nampaknya
kau mengenali nama itu, Anak Muda."
"Aku
sempat bertemu dengannya, Eyang. Dan pasti Eyang sudah mendengar peristiwa di
Bukit Setan. Aku terlibat langsung di dalamnya. Yaaah..., memang sangat
kusesalkan kematiannya," kata Rangga pelan.
"Ya,
aku tahu. Justru itu kau sudah kukenal meskipun tidak kau sebutkan namamu,
Rangga."
"Maafkan."
"Tidak
apa."
"Hm...,
Jadi Eyang juga beranggapan kalau dia itu...," kembali suara Rangga
terputus. Tapi hatinya terus berkata, dan berharap kalau gadis itu adalah
Pandan Wangi.
"Benar.
Tapi aku tidak yakin;" sahut Eyang Jamus bisa mengerti. "Naga Sewu adalah
nama pemberianku, karena dia tidak bisa lagi mengingat tentang diri dan masa
lalunya. Sudah cukup lama dia terkubur..."
"Terkubur...?!"
sentak Rangga memutus kata-kata yang Jamus. Hati Rangga makin diliputi perasaan
tak menentu. Harapan yang semula tak mungkin, entah bagaimana caranya, harus
menjadi mungkin.
"Benar,
Rangga. Hampir tiga purnama Naga Sewu terkubur. Aku sendiri tidak tahu, apa
sebabnya. sampai terkubur selama itu. Memang ada suatu ilmu yang disebut 'Ilmu
Mati Semu'. Seseorang bisa diduga mati, padahal sebenarnya jiwanya masih hidup.
Tapi setahuku, paling tahan tiga atau tujuh hari lamanya. Tapi yang terjadi
pada diri Naga Sewu sungguh luar biasa! Ketahanannya hampir menyamai ilmu yang
dimiliki salah seorang dari Sepasang Pendekar Banyu Biru."
"Bukankah
itu orang tua Pandan Wangi...?" potong Rangga.
"Benar.
Tapi aku tidak yakin kalau ibu Pandan Wangi menurunkan ilmunya pada anaknya.
Karena mereka meninggal saat Pandan Wangi baru saja satu bulan dilahirkan, dan
langsung dibawa oleh kakeknya. Entah ke mana, aku sendiri tidak tahu."
"Ya,
aku tahu. Kakek Tangan Seribu pernah cerita padaku sebelum tewas dalam
pertarungannya melawan Nenek Jubah Merah. Sayang, Kakek Tangan Seribu tidak
menceritakannya lebih rinci. Juga tentang kehidupan Eyang Abiyasa yang merawat
Pandan Wangi."
"Itulah
yang menjadi keraguan dalam diriku, Rangga. Selama ini, kudengar kalau Pandan
Wangi dibawa Abiyasa dalam pengembaraannya. Dan dia baru berada di Desa Banyu
Biru setelah kakeknya itu meninggal Dalam pertarungan itu, aku sendiri tidak
tahu permasalahannya. Belum lama Pandan Wangi tinggal bersama Kakek Tangan
Seribu, tapi musibah sudah melanda lagi."
"Hm....
Eyang, apakah 'ilmu Mati Semu' adalah ilmu keturunan?" tanya Rangga
"Memang
bisa dijadikan ilmu keturunan, tapi..."
"Kenapa?"
"Ilmu
itu bisa diturunkan pada saat masih bayi melalui air susu ibunya. Dan itu pun
kalau ibunya sempat menyusui paling sedikit tiga puluh kali. Setelah itu
barulah ilmu itu akan menurun. Yaaah..., memang ada kemungkinan bisa semakin hebat
pada keturunannya.
"Eyang!
Apa tidak mungkin ketika masih bayi Pandan Wangi diberi air susu ibunya?"
duga Rangga
"Rasanya
mungkin juga, Rangga. Walaupun Pandan Wangi langsung dibawa Abiyasa begitu
orang tuanya meninggal, tapi mungkin masih sempat disusui. Memang sewaktu
dibawa pergi, tidak ada seorang pun yang tahu. Mereka seperti menghilang begitu
saja, hingga Pandan sudah besar baru muncul di desa ini."
Untuk
beberapa saat lamanya, kedua orang itu terdiam. Rangga menekur memandangi
lantai di depannya. Sedangkan Eyang Jamus mengelus-elus janggutnya yang panjang
dan putih keperakan. Hampir bersamaan mereka menarik napas panjang, seakan-akan
ingin melonggarkan rongga dada masing masing. Persoalan yang dihadapi memang
tidak mudah, karena orang-orang yang mungkin ada sangkut pautnya dengan Pandan
Wangi sudah meninggal.
"Eyang,
di mana letak kuburan Naga Sewu ketika itu?" tanya Rangga tiba tiba
teringat kata-kata yang tadi diucapkan Eyang Jamus.
"Di
sebelah Timur Karang Setra. Tepatnya di...."
"Bukit
Karungan...!" selak Rangga cepat.
"Benar."
"Tidak
salah lagi, Eyang. Dia pasti Pandan Wangi!" entah bagaimana caranya, Rangga
berusaha memastikan kalau gadis itu adalah Pandan Wangi. Perasaannya kini
meledak-ledak.
"Bagaimana
kau bisa memastikan, Rangga?" tanya Eyang Jamus
"Eyang,
kedatanganku ke Desa Banyu Biru memang untuk mencari mayat Pandan Wangi yang
hilang dari kuburannya. Karena, kudapatkan kuburan itu sudah terbongkar,"
jelas Rangga singkat
"Memang
aku yang membongkar kuburan itu," Eyang Jamus mengakui terus terang.
"Kenapa
?"
"Dengar
dulu penjelasanku, Rangga. Hal itu kulakukan dengan berbagai pertimbangan. Aku
tidak tahu sama sekali ada pusara di sana. Dan aku juga tidak tahu letak Bukit
Karungan, kalau saja tidak ada petunjuk dari mimpi-mimpiku yang aneh. Yaaah....
Seandainya gagal, jenazahnya pasti kukembalikan lagi ke pusaranya semula. Tapi
aku berhasil. Hanya saja gadis itu jadi seperti bayi yang baru lahir. Dia tidak
tahu siapa dirinya, dan tidak bisa lagi mengingat latar belakang dan masa
lalunya. Aku memang sudah menduga sebelumnya, karena ia sudah lama
terkubur," jelas Eyang Jamus singkat.
"Ja...
jadi, Pandan Wangi hidup lagi?" Rangga seperti tak percaya. Sinar matanya
berbinar-bina memancarkan kebahagiaan yang amat sangat.
Eyang
Jamus hanya menganggukkan kepalanya sedikit. Dan Rangga sudah tahu maksudnya.
Bahkan hampir saja dia berteriak seperti anak kecil yang menemukan mainannya
kembali.
"Lalu,
bagaimana untuk mengembalikan dirinya yang sesungguhnya, Eyang?" desak
Rangga, seperti tidak sabar.
"Hanya
ada satu cara."
"Apa?"
"Dikubur
kembali "
Sejak
bertemu Pandan Wangi yang kini memakai nama Putri Naga Sewu, hati Rangga yang
semula berbunga-bunga, kini jadi sering murung menyendiri. Semula memang
diyakini kalau Putri Naga Sewu adalah Pandan Wangi. Tapi gadis itu tetap
menyangkal bahwa dirinya bukan Pandan Waingi! Bahkan tidak ingat sama sekali
terhadap Rangga Memang benar kata Eyang Jamus Gadis itu bagai bayi yang baru di
lahirkan.
Beberapa
kali Rangga mencoba untuk mengembalikan ingatan Pandan Wangi, tapi selalu
gagal. Gadis itu tetap tidak ingat dirinya yang sebenanya. Malah sekarang lebih
suka dipanggil Putri Naga Sewu. Rangga tidak tahu Iagi apa yang harus
dilakukan, kini Memang, tidak ada cara lain untuk mengembalikan Pandan Wangi
pada keadaan seperti semula, selain yang dikatakan Eyang Jamus. Dikubur kembali
sela tiga hari.
Pagi-pagi
sekali Rangga dan Cempaka sudah berada dirumah Eyang Jamus. Pendekar Rajawali
Sakti sudah memutuskan untuk menyetujui usul Eyang Jamus, meskipun tahu
resikonya terlalu tinggi bagi keselamatan Pandan Wangi yang kini masih juga
memfl| kai nama Putri Naga Sewu.
"Berangkat
sekarang?" tanya Eyang Jamus.
"Baik,"
sahut Rangga mantap.
"Kuda
dan perbekalan sudah kusiapkan," selak Cempaka.
"Bagaimana,
Naga Sewu. Sudah siap?" Eyang Jamus menatap Putri Naga Sewu
"Sudah,"
sahut Putri Naga Sewu mantap.
"Baiklah.
Ayo kita berangkat"
Empat
orang keluar dari dalam rumah kecil itu. Empat ekor kuda sudah siap menanti di
depan pintu. Mereka segera melompat ke punggung kuda masing-masing. Eyang Jamus
menggebah kudanya lebih dahulu. Cempaka membarengi di sampingnya. Sengaja
ditinggalkan Rangga dan Putri Naga Sewu di belakang. Rangga masih berusaha
meyakini gadis itu sebagai Pandan Wangi Kadang kala, di benak Rangga terlintas
kalau dirinya tengah berjalan bersama gadis yang dicintainya. Tapi jika
teringat bahwa gadis itu lupa terhadap dirinya, hati Rangga seperti terpukul.
Empat
orang berkuda itu memacu kudanya tidak terlalu cepat Memang tidak dikejar waktu.
Kapan saja bisa dilaksanakan. Rangga mengendalikan Kuda Dewa Bayu di samping
Putri Naga Sewu. Sesekali diliriknya gadis itu. Setiap kali pandangannya
tertumpu pada wajah cantik di sampingnya, terselip suatu perasaan ganjil.
Meskipun yakin kalau gadis itu adalah Pandan Wangi, tapi masih terselip
keraguan di hatinya. Keraguan yang didasarkan pada keyakinannya kalau Pandan
Wangi sudah tewas tiga bulan yang lalu. Dan sekarang seorang gadis yang begitu
serupa segala galanya dengan Pandan Wangi tengah berkuda di sampingnya. Tidak
ada sedikit pun perbedaannya.
"Hhh...!"
Rangga menarik napas panjang dan terasa begitu berat.
"Ada
apa? Kok menarik napas?" tegur Putri Naga Sewu seraya menoleh menatap
pemuda di sampingnya.
"Tidak
apa-apa," sahut Rangga disertai desahan panjang.
"Kelihatannya
ada yang dipikirkan," ujar Putri Naga Sewu tetap memperhatikan
"Mungkin.
Tapi aku tidak tahu apa yang sedang kupikirkan," sahut Rangga terus
terang.
"Aku
tahu, kau pasti sedang memikirkan diriku," tebak Putri Naga Sewu.
Rangga
terkejut mendengar tebakan yang tepat itu. Secara jujur dirinya memang tengah
memikirkan gadis itu. Dia cemas kalau usaha Eyang Jamus mengalami kegagalan.
Itu berarti untuk selamanya tidak akan bisa bertemu Pandan Wangi lagi. Menurut
Eyang Jamus, pekerjaan ini mengandung resiko nyawa bagi gadis itu. Kegagalan
sedikit saja mcngakibatkan kematian yang sebenamya.
Tapi
jika berhasil, maka gadis itu akan memiliki satu ilmu yang langka dan tidak ada
duanya di dunia ini. ilmu yang bisa mematikan diri dan menghidupkannya kembali
sesuka hati. Dan yang pasti, kekuatan ilmu untuk mati semu itu hanya selama
tujuh hari. Lebih dari itu akan mati selama-lamanya.
"Boleh
kutanya kau sesuatu, Kakang?" ucap Putri Naga Sewu yang sudah membiasakan
memanggil Rangga dengan sebutan Kakang. Dan ini memang sudah diminta Rangga
sebelumnya.
"Apa
yang akan kau tanyakan?" sambut Rangga.
"Kenapa
kau begitu yakin kalau aku ini Pandan Wangi?" tanya Putri Naga Sewu.
"Sukar
untuk dikatakan, Naga Sewu. Tapi aku tetap yakin kalau kau adalah Pandan
Wangi," sahut Rangga hati-hati.
"Apa
karena wajahku yang mirip kekasihmu itu?" tebak Putri Naga Sewu.
"Mungkin
salah satunya. Tapi dari cerita Eyang Jamus, kau diambil dari dalam kubur. Dan
aku tahu betul kalau kuburan itu adalah kuburan Pandan Wangi. Itu sebabnya
jauh-jauh mencarimu sampai ke sini."
Putri
Naga Sewu diam saja.
"Aku
yakin, kau adalah Pandan Wangi. Bukan Putri Naga Sewu," lanjut Rangga.
Sepertinya berusaha meyakinkan gadis di sampingnya.
Putri
Naga Sewu tetap diam. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Dan Rangga
sendiri juga sudah tidak bicara lagi. Sementara mereka semakin jauh
meninggalkan Desa Banyu Biru.
Malam
sudah jatuh dalam pelukan alam. Gelap menyelimuti seluruh permukaan bumi. Saat
ini bulan bersinar penuh, dan langit pun terlihat cerah. Bintang-bintang
gemerlap menambah indahnya malam ini. Rangga duduk bersila di depan seonggok
api unggun. Di sampingnya duduk Cempaka. Sedangkan Eyang Jamus dan Putri Naga
Sewu berada agak jauh dari tempat itu. Entah apa yang tengah mereka bicarakan.
"Kakang
," bisik Cempaka tiba-tiba.
"Aku
sudah tahu, Cempaka. Sebaiknya beritahu Eyang Jamus dan Naga Sewu,'' kata
Rangga bisa menangkap bisikan itu.
"Sejak
dari Desa Banyu Biru mereka mengikuti, Kakang,'' kata Cempaka setengah
berbisik.
"Benar.
Aku juga ingin tahu apa maksudnya membuntuti kita," sahut Rangga kalem.
Rangga
dan Cempaka menoleh. Eyang Jamus dan Putri Naga Sewu datang menghampiri. Mereka
duduk melingkar mengelilingi api unggun yang tidak begitu besar. Pandangan
Eyang Jamus lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa
yang mereka inginkan, Rangga?" tanya Eyang Jamus yang rupanya juga sudah
mengetahui kedatangan tamu-tamu tidak diundang.
"Entahlah,
mungkin...," Rangga melirik Putri Naga Sewu.
"Hm...
Rupanya mereka masih juga menginginkan pedang ini," gumam Putri Naga Sewu.
Gadis itu juga sudah tahu.
Keempat
orang itu tetap duduk diam tanpa bicara-bicara lagi, namun jelas bersikap
waspada penuh. Suara-suara Iangkah kaki yang begitu ringan semakin jelas
terdengar. Dalam hati, Rangga menghitung tamu-tamu tak diundang itu. Ada
sekitar empat atau lima orang. Dan tampaknya bukan orang-orang sembarangan.
Suara Iangkah kaki itu demikian halus, dan hampir tidak terdengar. Itu sudah
menandakan kalau ilmu yang dimiliki cukup tinggi. Siapa mereka...?
Belum
sempat pertanyaan di dalam benak Rangga terjawab, mendadak sebatang tombak
panjang meluncur deras ke arah Putri Naga Sewu. Hanya dengan sedikit
memiringkan tubuh, tombak itu menancap dalam pada sebatang pohon di samping
gadis itu. Sebatang tombak hitam kemerahan dan sebelum lagi keempat orang itu
bisa bergerak, mendadak melesat puluhan anak panah.
Keempat
tokoh rimba persilatan itu serentak berlompatan menghindari hujan anak panah
itu. Meskipun serangan itu hanya sekali, namun puluhan anak panah itu cukup
mengancam nyawa mereka. Sekilas, Rangga melihat sebuah bayangan berkelebat
dalam semak. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat mengejar.
"Hiyaaa...!"
Tepat
begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti menembus semak, sebuah bayangan melesat ke
atas, lalu hinggap di atas dahan. Dan belum lagi Rangga keluar dari dalam
semak, dari segala penjuru bermunculan sekitar enam orang bersenjata golok dan
tombak. Tanpa berkata apa apa, mereka berlompatan menyerang Putri Naga Sewu,
Eyang Jamus dan Cempaka.
Malam
yang semula hening tenang itu, seketika pecah oleh pekik dan teriakan
pertempuran, ditingkahi benturan senjata beradu. Rangga cepat-cepat melompat
keluar dari dalam semak, dan langsung terjun ke dalam kancah pertempuran itu.
Tapi belum juga sempat melayangkan satu pukulan, mendadak sebuah bayangan
berkelebat memotong arahnya.
"Hait..!"
Pendekar
Rajawali Sakti Itu melentingkan tubuhnya ke belakang. Tubuhnya kini berputar
beberapa kali di udara, kemudian mendarat manis di tanah. Tatapan matanya tajam
menangkap sesosok tubuh perempuan tua kurus. Tongkat di tangannya, pada
ujungnya berbentuk tengkorak bertanduk
"Dewi
Tengkorak Hitam...," desis Rangga mengenali perempuan tua itu. Pendekar
Rajawali Sakti pernah bertemu orang ini sekali ketika terjadi pertempuran di
Bukit Setan. Memang sudah bisa ditebak kemunculan perempuan berhati iblis ini
Yang jelas, pasti ingin merebut Pedang Naga Geni yang ada di tangan Putri Naga Sewu.
"He
he he ! Kalian tidak akan pernah sampai ke Karang Setra, Dewi Tengkorak Hitam
terkekeh. "Pandan Wangi! Serahkan pedang dan kitab pusaka itu!"
Namun
Putri Naga Sewu yang merasa dirinya bukan Pandan Wangi, hanya diam saja.
Padahal Dewi Tengkorak Hitam menatap tajam padanya.
"Phuih!
Kalau aku tahu pedang itu terkubur bersamamu, sudah dari dulu kubongkar!"
rungut Dewi Tengkorak Hitam.
"Kotor
sekali mulutmu, Nisanak!" geram Rangga.
"Wadya
Bala, serang! Bunuh mereka semua...!" seru Dewi Tengkorak Hitam keras.
Seketika
itu juga enam orang bersenjata golok dan tombak, serentak berlompatan
menyerang. Eyang Jamus melompat mundur memberikan kesempatan pada Putri Naga
Sewu dan Cempaka untuk menghadapi enam orang.itu. Sedangkan Dewi Tengkorak
Hitam segera merangsek Pendekar Rajawali Sakti. Eyang Jamus sudah dapat
mengukur kalau enam orang itu tidak akan mampu menghadapi Cempaka dan Putri
Naga Sewu. Seorang saja dari dua gadis itu, belum tentu dapat ditundukkan
Tidak
heran kalau sebentar saja sudah terdengar jeritan melengking tinggi, disusul
ambruknya salah seorang dari mereka disertai simbahan darah. Belum lagi hilang
suara jeritan itu, disusul jeritan lainnya. Melihat dua orang roboh dengan
mudah, Cempaka melompat mundur Dibiarkan saja Putri Naga Sewu bertarung
sendirian.
Meskipun
tidak menghunus Pedang Naga Geni, namun Putri Naga Sewu mampu membuat empat
orang lawannya jatuh bangun menghadapinya. Dan sebentar kemudian dua orang
lawannya terjengkang, langsung tewas seketika. Putri Naga Sewu berteriak keras,
disusul satu lompatan cepat bagai kilat. Dua pukulan dilepaskan secara
beruntun. Maka, dua orang lawannya yang tersisa, tidak dapat lagi menghindar.
Bug!
Bug!
Dua
jeritan melengking terdengar menyayat, kemudian dua tubuh besar itu terjungkal
ambruk ke tanah. Kepala mereka pecah dan dada melesak masuk ke dalam. Hanya
sebentar bisa bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi. Putri Naga Sewu
berbalik menatap Cempaka yang mengacungkan jempolnya. Kedua gadis itu berdiri
berdampingan menyaksikan pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan
Dewi Tengkorak Hitam.
Mengetahui
tinggal sendirian, Dewi Tengkorak Hitam agak gentar juga hatinya. Padahal sudah
dikerahkan lebih dari dua puluh jurus, tapi belum sedikit pun dapat mendesak
Pendekar Rajawali Sakti. Kegentaran semakin melanda hati perempuan tua itu.
"Mayang,
bantu aku...!" tiba-tiba Dewi Tengkoral Hitam berseru nyaring.
Seruan
yang keras itu membuat semua orang yang ada di hutan itu terkejut setengah
mati. Lebih-lebih Pendekar Rajawali Sakti, yang sampai melompat mundur
menghentikan serangannya.
Cempaka
langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dan pada saat itu, terlihat
sebuah bayangan merah berkelebat di balik pepohonan. Secepat kilat Cempaka
melesat mengejar bayangan tadi. Dan pada saat yang sama, Dewi Tengkorak Hitam
memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur. Bagaikan kilat tubuhnya melompat
melarikan diri.
"Jangan
lari kau! Hiyaaa...!" Gesit sekali Putri Naga Sewu melemparkan pedangnya
disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Pedang Naga Geni yang berwama
merah itu melesat cepat melebihi anak panah yang terlepas dari busur, dan
langsung meluruk ke arah Dewi Tengkorak Hitam. Begitu cepatnya lemparan Putri
Naga Sewu, sehingga..
"Aaa...!"
Pedang
Naga Geni menghunjam langsung ke punggung Dewi Tengkorak Hitam, hingga tembus
ke dada. Dewi Tengkorak Hitam terjerembab jatuh mencium tanah. Dia berusaha
bangkit meskipun dada dan punggungnya terpanggang pedang yang selalu
diimpikannya itu. Namun belum juga mampu berdiri, Putri Naga Sewu sudah
melompat cepat. Langsung saja tangan gadis itu melayang memberi satu pukulan
keras bertenaga dalam cukup tinggi.
"Hiyaaa
Prak!
"Aaa...!"
Dewi
Tengkorak Hitam langsung tewas seketika dengan kepala hancur berantakan. Putri
Naga Sewu menarik lepas pedangnya dari tubuh perempuan itu, kemudian
menyarungkan kembali. Sebentar berdiri tegak, kemudian berbalik dan melangkah
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Eyang Jamus sudah lebih dahulu sampai di
samping pemuda pendekar itu
"Mana
Cempaka?" tanya Rangga yang memang tidak sempat melihat kepergian Cempaka,
karena terlalu terpusat perhatiannya pada Dewi Tengkorak Hitam.
"Mengejar
bayangan itu," sahut Putri Naga Sewu.
"Mayang...?"
Belum
terjawab pertanyaan Rangga, tiba-tiba Cempaka muncul. Gadis itu langsung
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Napasnya tersengal, dan wajahnya bersimbah
keringat. Rangga memandangi adik tirinya ini
"Tidak
ada. Cepat sekali menghilangnya," ujar Cempaka tanpa diminta memberitahu
hasil pengejarannya.
"Sudahlah.
Malam ini dia pasti tidak akan berani muncul lagi," kata Rangga menjamin.
"Tapi
sewaktu-waktu bakal muncul kembali, Kakang. Aku yakin," bantah Cempaka.
"Aku
tahu. Tapi yang jelas tidak malam ini. Entah besok atau lusa."
"Huh!
Benar-benar sudah gila dia. Tidak mengukur kemampuan diri sendiri!" gerutu
Cempaka.
"Sebaiknya
kau istirahat saja, Cempaka. Juga kau, Naga Sewu," kata Rangga seraya memandang
ke wajah gadis itu Dan setiap kali memandang, darahnya seperti berdesir hangat.
Kedua
gadis itu tidak membantah. Mereka mendekati api unggun yang hampir padam.
Setelah menambahkan beberapa ranting, kedua gadis itu merebahkan diri
beralaskan daun tikar pandan yang dianyam halus. Sedangkan Rangga dan Eyang
Jamus duduk tidak jauh di bawah pohon. Mereka duduk bersila saling berhadapan.
"Dia
juga pernah datang menemui Naga Sewu. Tapi waktu itu sambil menangis dan
meminta maaf. Aku sendiri tidak tahu, apa persoalannya. Dia menyebut Naga Sewu
sebagai Pandan Wangi," jelas Eyang Jamus.
"Dan
yang pasti Naga Sewu tidak mengakui, bukan?" tebak Rangga pasti.
"Benar."
"Mayang
pasti merasa terhina, lalu mendendam. Yaaah..., persoalan lama terulang
lagi," gumam Rangga pelan, seolah bicara untuk dirinya sendiri.
"Dendam
lama...?"
Tanpa
ragu-ragu lagi Rangga menceritakan semua yang pernah terjadi antara Mayang
dengan Pandan Wangi, yang tentu saja juga melibatkan dirinya. Eyang Jamus
mendengarkan penuh perhatian. Kepala laki-laki tua itu terangguk-angguk tanda
mengerti. Sampai Rangga selesai bercerita, Eyang Jamus masih diam sambil
terangguk-angguk seperti mengantuk.
"Rangga!
Kurasa ini ancaman serius bagi pemulihan Pandan Wangi..., eh, Naga Sewu,"
ujar Eyang Jamus setengah bergumam.
"Itulah
yang menjadi pemikiranku, Eyang," sambut Rangga.
"Yang
pasti, Mayang tidak akan membiarkan gadis itu hidup kembali. Hm... Apa tindakanmu,
Rangga?"
"Rencana
ini tetap berjalan, Eyang. Aku bisa mengerahkan prajurit-prajurit Karang Setra
untuk menjaga Bukit Karungan. Yang jelas, aku tidak akan jauh darimu.
Percayalah, pekerjaanmu tidak akan mendapat gangguan yang berarti. Tapi entah
dalam perjalanan ini. Mungkin juga banyak hambatan," kata Rangga mantap.
"Kau
begitu bersemangat sekali, Anak Muda," Eyang Jamus tersenyum penuh arti.
Rangga
jadi tersenyum kecut. Sedikit wajahnya bersemu merah. Kata-kata laki-laki tua
itu sangat tepat mengenai hatinya yang paling dalam. Sejak mengetahui dan yakin
kalau Putri Naga Sewu adalah Pandan Wangi, dia memang begitu bersemangat untuk
mengembalikan gadis itu seperti semula. Rasanya, tidak ingin kehilangan untuk
yang kedua kalinya.
***
Perjalanan
yang ditempuh Rangga, Eyang Jamus, dan dua gadis Itu memang mengalami banyak
hambatan. Dan kebanyakan datangnya dari tokoh rimba persilatan yang masih
menginginkan Pedang Naga Geni. Tapi untunglah semua itu mampu teratasi dengan
mudah. Hanya satu yang menjadi pemikiran Rangga, yakni tentang Mayang. Gadis
itu belum juga jera mengundang tokoh-tokoh berkepandaian tinggi hanya untuk
melaksanakan dendamnya pada Pandan Wangi
Pagi-pagi
sekali rombongan kecil itu sudah tiba dl; Bukit Karungan. Mereka kini berdiri tepat
di pinggir lubang bekas kuburan Pandan Wangi. Lubang itu masih menganga lebar,
dan sebuah sekop masih berada di dalamnya. Saat itu Rangga meminta Cempaka
kembali ke istana, untuk segera membawa prajurit-prajurit pilihan. Cempaka
langsung pergi tanpa banyak tanya lagi. Dia sudah tahu maksud Pendekar Rajawali
Sakti itu.
"Kapan
dimulai," Eyang?" tanya Rangga.
"Malam
nanti," sahut Eyang Jamus.
"Kenapa
tidak secepatnya saja?"
"Aku
mengeluarkannya malam hari, dan harus dikembalikan malam hari juga. Hm..., lagi
pula aku menyiapkan diri lebih dulu."
Rangga
tidak bertanya lagi. Dihampirinya Putri Naga Sewu yang sudah duduk di bawah
pohon kemuning. Sedangkan Eyang Jamus menggelar tikar pandan, laki duduk
bersila di dekat lubang kuburan itu. Disiapkan beberapa peralatan yang
dibawanya, lalu dinyalakan pendupaan. Laki-laki tua itu duduk tepekur dengan
telapak tangan merapat di depan dada. Kedua matanya terpejam rapat, dan tarikan
napasnya halus teratur.
Siang
terus merambat semakin tinggi. Matahari bergulir sejalan dengan peredaran
waktu. Hangatnya cahaya matahari demikian terasa menyengat. Beberapa kali
Rangga mendongakkan kepalanya melihat ke arah jalan, menunggu Cempaka yang
pergi ke Istana Karang Setra untuk mengambil beberapa prajurit pilihan. Tapi
jalan tembus ke Kota Karang Setra itu tetap sunyi. Rangga tidak dapat
menyembunyikan kegelisahannya. Sedangkan Putri Naga Sewu tampak tenang saja.
"Kau
gelisah sekali, Kakang," tegur Putri Naga Sewu.
"Entahlah.
Aku sendiri tidak tahu," desah Rangga pelahan.
Rangga
menatap dalam-dalam bola mata gadis di sampingnya, sepertinya sedang mencari
sesuatu di dalam mata yang bulat bening itu. Memang tidak ada yang dapat
ditemukan. Tatapan mata Putri Naga Sewu begitu bening bagai mata seorang bayi
yang baru dilahirkan.
"Kenapa
menatapku begitu?" tegur Putri Naga Sewu sedikit jengah juga.
"Naga
Sewu, apakah tidak bisa kau batalkan semua ini?" tanya Rangga ragu ragu.
"Maksudmu?"
tanya Putri Naga Sewu.
"Naga
Sewu, aku tidak peduli siapa namamu. Yang jelas aku yakin kalau kau adalah
Pandan Wangi. Itu kuburanmu, dan kau diangkat dari sana oleh Eyang Jamus.
Hhh...! Terus terang, aku cemas kalau...." Rangga seperti mengharapkan
sesuatu.
"Pendirianku
sudah mantap, Kakang," potong Putri Naga Sewu cepat.
"Resikonya
terlalu besar, Naga Sewu," Rangga tetap membujuk.
"Apa
pun yang akan terjadi, tetap kujalani. Tidak enak menjadi orang lain. Padahal
kau dan semua orang mengenaliku, meskipun aku tidak tahu diriku sebenamya.
Percayalah! Eyang Jamus pasti berhasil. Dia bisa membangkitkan aku dari kubur,
tentu bisa juga menyempurnakan diriku."
"Ya,
aku percaya padanya. Tapi...," belum Rangga melanjutkan ucapannya,
tiba-tiba di sekitai bermunculan sekitar sepuluh orang bersenjata terhunus.
Rangga
cepat melompat sigap mendekati Eyang Jamus yang masih duduk bersila menyatukan
raga jiwa pada Sang Pencipta. Putri Naga Sewu juga segera melompat mengikuti
Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga mengedarkan pandangannya, menatap sepuluh
orang yang bergerak pelahan mendekati.
"Hm...,"
Rangga menggumam pelan. Saat itu dari atas pohon yang cukup tinggi, meluruk
turun seorang gadis berbaju merah menyala. Kemudian disusul seorang laki laki
tua dan dua orang perempuan yang hampir sebaya usianya dengan Putri Naga Sewu.
Rangga mengenali mereka semua.
Yang
berbaju merah, sudah pasti Mayang. Sedangkan yang laki-laki bersenjata cambuk
ekor kuda adalah si Iblis Cambuk Neraka. Dan, dua orang wanita muda di samping
Mayang adalah si Kembar Bidadari Maut. Mereka sudah jelas tokoh rimba
persilatan dari golongan hitam. Memang sudah bisa ditebak maksud kedatangan
mereka yang tiba-tiba ini. Sama sekali Pendekar Rajawali sakti itu tidak
menghiraukan sepuluh orang yang bersenjata golok. Mereka adalah kroco-kroco
yang pasti dibayar Mayang untuk kelancaran niatnya yang buruk pada Putri Naga
Sewu.
"Kau
benar, Mayang. Dia adalah Pandan Wangi. Dan pedang itu.... He he he..., pedang
itulah yang selama ini kucari cari. Tidak percuma mengajakku ke sini,
Mayang," kata si Iblis Cambuk Neraka gembira melihat pedang di punggung Putri
Naga Sewu.
"Aku
hanya menginginkan kepalanya saja, Iblis Cambuk Neraka. Kau boleh memiliki
pedang itu, atau apa saja yang kau inginkan," kata Mayang tersenyum sinis
pada Putri Naga Sewu.
"Bagaimana
dengan janjimu, Mayang?" celetuk salah seorang gadis dari siKembar
Bidadari Maut.
"Terserah
kalian. Aku tidak membutuhkannya lagi. Aku muak dengan kesombongannya.
Huh!" Mayang mendengus sambil menyemburkan ludahnya ke arah Pendekar
Rajawali Sakti. "Bisa kau balas kematian gurumu, si Durjana Pemetik
Bunga."
"Bukan
guru, tapi kakak seperguruanku," ralat salah seorang lainnya dari si
Kembar Bidadari Maut.
Sementara
itu Rangga yang mendengar semua percakapan mereka, menjadi geram setengah mati.
Rupanya selama ini Mayang tahu semua tentang petualangan dirinya. Maka
dimanfaatkanlah orang-orang yang ada hubungan dengan Pendekar Rajawali Sakti
itu. Terutama yang menyangkut persoalan dendam dalam dunia persilatan.
Benar-benar licik gadis ini. Tidak mampu menghadapi sendiri, maka diperalat
orang-orang yang memiliki dendam pribadi pada Pendekar Rajawali Sakti. Atau
mereka yang haus senjata pusaka.
Rasa
cinta, marah, dan benci, serta dendam dalam hati Mayang, rupanya tidak bisa
terkendalikan lagi. Hati gadis itu bagai tertutup rayuan dan bujukan iblis
sehingga lupa daratan dan menjadi wanita licik penuh dendam. Sungguh amat
disayangkan, seorang gadis yang semula baik, polos, dan berada di jalan yang
benar, kini terlibat persoalan dendam yang membuatnya jadi mata gelap. Tidak
bisa lagi membedakan yang benar dan yang salah.
"Sebaiknya
kalian tidak perlu membuang-buang waktu lagi. Cepat bereskan sebelum para
prajurit Karang Setra berdatangan," kata Mayang.
"Keparat..!"
geram Rangga dalam hati. Dia benar-benar gusar melihat tingkah Mayang kali ini.
Rangga
baru sadar kalau selama ini ternyata Mayang membuntutinya mencari Pandan Wangi.
Bahkan selalu bisa mengambil kesempatan untuk melampiaskan dendamnya. Rangga
benar-benar tidak bisa lagi menahan amarahnya. Kebenciannya memuncak melihat
tingkah Mayang yang sudah dianggapnya kelewat batas.
"Seraaang...!"
seru Mayang tiba tiba.
Seruan
Mayang yang keras itu membuat sepuluh orang bersenjata golok, berlompatan
menyerang seketika. Golok-golok berkilat tertimpa cahaya matahari saling
berkelebat mengarah ke bagian-bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti dan Putri
Naga Sewu. Sedangkan empat orang lainnya masih berdiri memperhatikan. Terlebih
Mayang, yang begitu tertumpah perhatiannya pada Putri Naga Sewu. Gadis yang
diyakininya sebagai Pandan Wangi.
Trang!
Trang...!
"Hiya!
Yeaaah...!"
Pertarungan
berlangsung sengit. Putri Naga Sewu sudah mencabut pedangnya yang berwama merah
bagai besi terbakar. Dengan Pedang Naga Geni, dirinya bagai sosok malaikat
pencabut nyawa. Setiap kibasan pedangnya, satu nyawa melayang. Sedangkan
Pendekar Rajawali Sakti hanya mempergunakan jurus-jurus ringan. Itu pun sudah
menyebabkan beberapa nyawa melayang.
Meskipun
hanya berdua, tapi sepuluh orang itu tidak mampu mendesak lawannya. Bahkan satu
persatu mereka terjerembab jatuh, dan nyawa melayang. Tidak berapa lama
pertarungan itu berlangsung. Jeritan melengking terakhir masih terdengar dari
lawan Putri Naga Sewu. Gadis itu segera melompat mendekati Pendekar Rajawali
Sakti yang berdiri tegak melindungi Eyang Jamus.
"Hebat!
Tapi jangan berbangga dulu. Terimalah seranganku ini. Hiyaaa...!"
Ctar!
Si
Iblis Cambuk Neraka melompat cepat bagai kilat menerjang Putri Naga Sewu. Tapi
sebelum cambuknya menyentuh tubuh gadis itu, dengan cepat Rangga melepaskan
satu pukulan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna sekali.
"Eh!
Uts...!"
Si
Iblis Cambuk Neraka terkejut setengah mati. Belum juga pukulan Pendekar
Rajawali Sakti itu sampai, angin pukulannya sudah terasa demikian dahsyat.
Akibatnya, laki-laki berkumis tebal itu terpaksa menarik pulang serangannya,
kemudian segera melenting ke atas Dan pada saat tubuhnya berada di udara,
dengan cepat dikebutkan cambuknya ke arah Putri Naga Sewu kembali.
Ctar!
"Hap!"
Putri
Naga Sewu tidak menggeser kakinya sedikit pun. Begitu ujung cambuk yang
menyerupai buntut kuda itu berada di atas kepalanya, secepat kilat diangkat
tangannya, dan ditangkap cambuk itu. Dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup
tinggi, Putri Naga Sewu membetot cambuk itu ke bawah.
"Eh...!"
si Iblis Cambuk Neraka tersentak kaget.
Belum
juga dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, Putri Naga Sewu sudah melesat ke
atas. Maka satu tendangan kilat segera dilepaskan ke dada laki-laki berkumis
tebal itu. Tendangan yang cepat dan tak terduga sama sekali itu, sukar
dihindarkan lagi. Apalagi, saat itu si Iblis Cambuk Neraka sedang menahan betotan
Putri Naga Sewu
Bug!
"Akh...!"
si Iblis Cambuk Neraka terpekik tertahan.
Seketika
itu juga tubuh besar itu meluncur deras ke bawah, dan jatuh bergulingan di
tanah. Tampak darah kental mengucur dari mulutnya. Iblis Cambuk Neraka bergegas
bangkit, tapi tubuhnya agak limbung. Sebentar digerakkan tangannya di depan
dada, lalu dikebut kebutkan cambuknya yang sama persis dengan buntut kuda.
Hiyaaa...!"
Sambil
berteriak keras menggelegar, si Iblis Cambuk Neraka berlari kencang menyerang
Putri Naga Sewu. Dikebutkan cambuknya kuat-kuat. Cambuk itu pun menegang kaku
bagai sebatang tongkat. Bahkan ujung-ujungnya yang bagai.rambut itu menegang
kaku.
"Hait..!"
Putri
Naga Sewu melompat ke atas menghindari serudukan si Iblis Cambuk Neraka. Dan
begitu laki-laki berkumis tebal itu lewat di bawah kakinya, dengan cepat Putri
Naga Sewu menghunus pedangnya kembali. Dengan kecepatan kilat, dikibaskan
pedang itu ke arah leher, dan...
Cras!
"Aaa...!"
si Iblis Cambuk Neraka menjerit melengking tinggi.
Darah
langsung muncrat keluar dari leher yang terpenggal buntung. Bersamaan dengan
menggelindingnya kepala, tubuh si Iblis Cambuk Neraka juga ambruk sambil
memuncratkan darah segar dari leher yang buntung. Putri Naga Sewu menendang
tubuh tanpa kepala itu setelah mendarat di tanah.
Pada
saat itu, dari kejauhan terdengar suara derap langkah kaki kuda. Tampak
Cempaka, Danupaksi, dan dua orang panglima serta sekitar lima puluh prajurit
Kerajaan Karang Setra memacu kudanya cepat mendaki Lereng Bukit Karungan ini.
Seketika wajah Mayang jadi pucat pasi. Bagitu pula dengan si Kembar Bidadari
Maut Mereka nampak gelisah karena kini datang para prajurit Karang Setra itu.
"Rangga,
persoalan ini belum lagi selesai!" kata salah seorang dari si Kembar'
Bidadari Maut lantang.
Setelah
berkata demikian, gadis kembar itu Iangsung melesat pergi se belum para
prajurit yang dibawa Cempaka tiba. Pada saat yang sama, Mayang juga hendak
melompat kabur. Tapi Putri Naga Sewu cepat-cepat menghadangnya. Belum lagi
Mayang bisa berbuat sesuatu, rombongan prajurit Karang Setra itu sudah tiba.
Mereka langsung berlompatan turun dari kudanya masing-masing, membentuk
lingkaran mengurung Mayang.
"Kau
menang, Pandan...," kata Mayang ketus.
"Tidak
ada kesempatan lagi untuk membalas, Mayang!" dengus Cempaka yang sudah
muak akan tingkah Mayang selama ini.
Mayang
menatap Cempaka yang berjalan mendekati Putri Naga Sewu. Saat itu, Rangga dan
Danupaksi berada tidak jauh di sebelah kanan kedua gadis itu. Entah apa yang
dibisikkan Rangga di telinga adik tirinya itu, tapi kepala Danupaksi
terangguk-angguk. Kemudian, Danupaksi mendekati dua orang berpakaian panglima,
dan juga berbisik. Kedua panglima itu langsung bergerak mengatur penjagaan di
sekitar Bukit Karungan ini. Hanya tinggal enam prajurit dan seorang panglima
saja yang masih berada di dekat tempat itu.
"Kanda
Prabu, hukuman apa yang pantas untuk perempuan setan ini?" tanya Cempaka
seraya melirik penuh kebencian pada Mayang.
"Biarkan
dia pergi," kata Rangga dingin dan datar.
"Apa...?!"
Cempaka terkejut tidak percaya dengan pendengarannya.
Rangga
memang muak dan benci terhadap tingkah Mayang. Tapi tidak mungkin untuk
bertindak lebih selain membiarkan Mayang pergi. Bagaimanapun juga, gadis itu
adalah murid bibinya yang pernah berjasa mengembalikan Karang Setra pada ahli
warisnya. Berdirinya Kerajaan Karang Setra juga tidak terlepas dari jasa
Mayang. Hal itu jelas tidak akan pernah dilupakan Rangga. Sukar bagi Pendekar
Rajawali Sakti untuk menjatuhkan hukuman berat pada Mayang.
"Kakang...,"
Danupaksi mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Aku
tahu perasaan kalian semua. Tapi, kalian harus ingat jasa-jasanya yang tidak
kecil. Meskipun sekarang ini pikirannya sedang kacau, tapi rasanya tidak patut
memberikan hukuman padanya. Biarkan dia pergi," kata Rangga penuh
kewibawaan.
"Kakang,
dia tidak akan kapok. Pasti akan membuat perkara lagi di kemudian hari,"
kata Cempaka tetap tidak setuju keputusan Rangga.
"Pada
dasarya dia baik, Cempaka. Aku yakin suatu saat Mayang akan menyadari
kekeliruannya," kata Rangga "Pergilah kau Mayang, sebelum aku berubah
pikiran."
Mayang
menatap dalam-dalam pemuda yang dicintainya, sekaligus juga dibencinya.
Kemudian pandangannya beralih pada Cempaka, Danupaksi, dan berakhir pada Putri
Naga Sewu yang wajahnya begitu mirip Pandan Wangi. Pantas memang semua orang
yang ada di Bukit Karungan ini begitu yakin kalau gadis itu adalah Pandan
Wangi.
"Terima
kasih kau biarkan aku pergi. Tapi, pikiranku tidak akan berubah! Aku tidak akan
mencelakakanmu atau keturunanmu. Aku mencintaimu. Aku hanya membenci siapa saja
yang berusaha mendapatkanmu. Itu janjiku, Kakang. Siapa saja yang mencoba
mendekatimu harus mati di tanganku!" tegas nada suara Mayang.
Setelah
berkata demikian, Mayang berbalik dan langsung melompat ke punggung salah
seekor kuda prajurit. Dengan cepat digebahnya kuda itu. Debu berkepul tersepak
kaki kuda yang berlari kericang bagai dikejar setan. Rangga dan kedua adik
tirinya serta Putri Naga Sewu memandang kepergian Mayang, sampai bayangannya
lenyap bersama kuda tunggangannya.
Saat
itu matahari sudah tergulir ke arah Barat. Sinarnya yang terik tidak lagi
terasa. Angin berhembus agak kencang. Danupaksi memerintahkan pada empat orang
prajurit untuk menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan. Sementara itu
Rangga berdiri tegak tidak jauh dari Eyang Jamus yang masih tenang duduk
bersila di pinggir liang lahat bekas milik Pandan Wangi.
Sementara
Putri Naga Sewu dan Cempaka mengambil tempat yang teduh di bawah naungan pohon
flamboyan. Suasana di sekitar Bukit Karungan menjadi sunyi senyap. Semua orang
menunggu Eyang Jamus yang tengah mempersiapkan diri untuk memulihkan kembali
Putri Naga Sewu atau Pandan Wangi.
Waktu
berjalan terasa begitu lambat Sepertinya lama sekali menanti datangnya malam.
Namun, pada akhirnya datang juga. Seluruh permukaan Bukit Karungan kini sudah terselimut
kegelapan. Tidak ada yang menyalakan api, karena memang dilarang Eyang Jamus.
Laki-laki tua Itu sudah bangun dari semadinya yang cukup panjang. Ditatapnya
Putri Naga Sewu, maka gadis itu melangkah menghampirinya didampingi Cempaka.
"Sekarang
waktunya, Cucuku," kata Eyang Jamus pelan.
"Kau
sudah siap, Pandan?" tanya Rangga sudah menyebut gadis itu dengan nama
Pandan Wangi.
Putri
Naga Sewu hanya tersenyum manis, kemudian melangkah mendekati lubang itu. Eyang
Jamus berkomat kamit sebentar, lalu menyipratkan sepercik air dari dalam guci
ke wajah Putri Naga Sewu. Seketika itu juga mata gadis itu terpejam, dan
tubuhnya menegang kaku. Tak ada lagi gerakan di dalam dirinya. Eyang Jamus
kembali duduk bersila, lalu mengangkat tangannya ke arah Putri Naga Sewu.
Tak
ada yang bersuara sedikit pun. Semua orang yang menyaksikan saling menahan
napas. Tubuh ramping berbaju biru itu terangkat pelahan, dan rebah mengambang
di udara. Pelahan-lahan tubuh Putri Naga Sewu bergerak masuk ke dalam lubang
kubura mengikuti gerakan tangan Eyang Jamus.
"Kubur,"
perintah Eyang Jamus setelah tubuh Putri Naga Sewu terbaring di dalam lubang.
"Eyang...,"
ada nada cemas pada suara Rangga.
Eyang
Jamus menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga jadi serba salah,
kemudian memberi isyarat pada empat orang prajurit yang sudah memegang sekop.
Empat prajurit itu segera bekerja menguruk lubang itu. Sedikit demi sedikit
lubang itu tertimbun tanah merah. Rangga benar-benar tidak sanggup melihatnya
lagi. Padahal dia sering melihat orang mati, bahkan mati terbunuh oleh
tangannya. Tapi melihat tubuh gadis berbaju biru itu terkubur, benar-benar
tidak tahan. Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik dan bergegas melangkah
menjauh. Cempaka yang sejak tadi memperhatikan, bergegas menyusul
"Kakang,
kau tidak apa-apa?" tegur Cempaka cemas.
"Tidak...,
aku tidak apa-apa," sahut Rangga seraya menarik napas panjang. Padahal
hatinya begitu cemas. Betapa tidak? Gadis yang dicintainya kini harus dikubur
kembali, dengan resiko kematian yang sesungguhnya.
Pendekar
Rajawali Sakti itu berdiri tegak memandang ke arah lain. Rasanya memang tidak
sanggup melihat Putri Naga Sewu yang diyakininya sebagai Pandan Wangi kembali
terkubur dalam liang pusaranya. Sementara itu para prajurit sudah menyelesaikan
pekerjannya. Eyang Jamus masih tetap duduk bersila dengan kedua telapak tangan
merapat di depan dada. Empat prajurit itu menyingkir menjauh setelah diberi
isyarat Danupaksi.
"Paman
Panglima, atur penjagaan lebih ketat lagi. Aku tidak tahu, berapa lama hal ini
berlangsung," perintah Danupaksi.
"Hamba
laksanakan, Gusti," sahut panglima itu seraya memberi hormat.
Danupaksi
mengangguk, kemudian menarik napas seraya menoleh ke arah Rangga dan Cempaka
yang berdiri membelakangi tempat ini. Pemuda itu ikut merasakan apa yang tengah
dirisaukan kakak tirinya saat ini. Tapi yang jelas, dia harus bisa mengambil
tindakan cepat untuk mengamankan sekitar Bukit Karungan ini.
Sementara
itu Rangga duduk bersila di atas sebongkah baru besar. Cempaka berdiri tidak
jauh di sampingnya. Gadis itu tidak ingin meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti
itu sendirian, karena tahu kalau semua ini akan berlangsung paling tidak tiga
hari lamanya. Dan selama itu mereka harus berada di sini menjaga segala
kemungkinan.
"Kakang,
apa tidak sebaiknya Kakang Danupaksi kembali ke istana?" usul Cempaka.
"Bicara
saja pada Danupaksi, Cempaka," kata Rangga. "Aku serahkan semuanya
pada kalian berdua."
Cempaka
berpaling pada Danupaksi. Pada saat yang sama, Danupaksi memandang ke arah
gadis itu. Danupaksi bergegas menghampiri melihat isyarat yang diberikan adik
tirinya itu
"Ada
apa?" tanya Danupaksi.
"Kakang
minta agar kau kembali ke istana. Janga sampai kosong di sana," kata
Cempaka.
"Lalu
di sini?"
"Biar
aku yang tangani. Atur saja pergantian penjagaan setiap pagi dan sore sampai
semuanya selesai."
"Baiklah.
Tapi setiap hari aku akan menyempatkan diri datang ke sini," kata
Danupaksi.
Pemuda
itu memberi hormat pada Rangga yang hanya diam saja dengan mata terpejam.
Danupaksi bergegas mengambil kudanya. Dituntunnya kuda itu sampai jauh, lalu
ditunggangi dan digebahnya cepat-cepat Cempaka menarik napas panjang. Sebentar
ditatapnya Rangga yang tetap bersemadi, kemudian dilangkahkan kakinya
meninggalkan Rangga. Gadis itu masuk ke dalam tenda yang disiapkan prajurit
untuk beristirahat.
Sebenarnya
ada tiga tenda yang berdiri. Satu untuk Rangga, satu untuk Cempaka, dan satu
lagi untuk Danupaksi. Tapi Danupaksi kini kembali ke istana, sedangkan Rangga
sudah bersemadi di atas baru di luar tenda. Sepuluh orang prajurit dan satu
panglima terlihat berjaga jaga. Sedangkan empat puluh prajurit dan seorang
panglima lain, berada cukup jauh di bagian lereng. Belum lagi sekitar seratus
prajurit yang menjaga di sekitar kaki bukit. Penjagaan ini memang sudah diatur
oleh Danupaksi untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Tiga
hari sudah terlewati tanpa ada kejadian yang berarti. Saat itu malam sudah
demikian larut. Dan Rangga sudah berdiri di samping Eyang Jamus yang tetap
duduk bersila. Di samping Pendekar Rajawali Sakti itu juga terlihat Cempaka.
Hampir lima puluh prajurit terlihat berjaga-jaga di sekeliling tempat itu.
"Bangkitlah,
Cucuku. Sudah waktunya kau hidup kembali," kata Eyang Jamus dengan mata
terpejam.
Kembali
hening, tak ada suara sedikit pun. Mulut Eyang Jamus berkomat-kamit, kemudian
menaburkan sepercik air dari dalam cawan ke atas kuburan di depannya. Tiba-tiba
dia melompat cepat. Pada saat itu terdengar satu ledakan dahsyat menggelegar.
Rangga dan Cempaka terkejut, dan langsung melompat mundur. Tampak kuburan itu
terbongkar bagai gunung api meletus. Tanah dan bebatuan beterbangan ke udara disertai
ledakan yang menggelegar memekakkan telinga.
Di
antara tanah dan bebatuan yang terlontar ke atas, juga terlihat sosok tubuh
ramping mengenakan baju biru. Tubuhnya juga terlontar tinggi ke udara. Eyang
Jamus sigap sekali melompat, lalu menangkap tubuh ramping itu, kemudian dengan
manis mendarat di tanah. Laki-laki tua itu membaringkan tubuh ramping yang
bagaikan tidur pulas itu di atas tikar daun pandan. Rangga dan Cempaka bergegas
menghampiri.
"Bangun,
Cucuku," desis Eyang Jamus seraya memercikkan air dari dalam cawan ke
wajah gadis itu. Tidak berapa lama kemudian, dada gadis itu bergerak. Sebentar
kemudian kepalanya menggeleng lemah ke kiri dan ke kanan. Pelahan-lahan kelopak
matanya terbuka, dan terdengarlah rintihan lirih.
"Pandan...,"
Rangga berlutut di samping gadis berbaju biru itu. Seperti tak percaya pada
penglihatannya.
"Oh...,
di mana aku...?" lemah sekali suara gadis itu.
"Pandan...,
kau kenal aku?" ujar Rangga, seperti mengharapkan jawaban yang selama ini
diimpi-impikannya.
Gadis
itu menoleh. Sebentar dikerjapkan matanya beberapa kali. "Kakang...."
"Oh,
Pandan.... Kau kembali, Pandan...."
Rangga
tidak bisa lagi menahan perasaannya. Langsung saja direngkuhnya tubuh gadis
itu, lalu diangkat dan dipeluknya erat-erat Rangga tak lagi mempedulikan
orang-orang di sekitarnya. Perasaannya yang sukar dilukiskan telah menutup
matanya. Kembalinya Pandan Wangi ke dunia ini, berarti juga kembalinya perasaan
cinta yang selama ini hilang. Mungkin kalau tak malu, rasanya Rangga ingin
menangis haru. Rangga benar-benar tak percaya melihat kenyataan bahwa gadis
yang dicintai, kini hidup kembali!
Sementara
itu Eyang Jamus berdiri seraya menghembuskan napas panjang. Dimakluminya sikap
Rangga yang seperti telah menemukan sesuatu yang hilang itu. Laki-laki tua itu
kemudian berbalik dan melangkah menjauh. Cempaka mengikutinya dan menghadang
laki-laki tua itu.
"Eyang...,"
agak tercekat suara Cempaka.
"Aku
ingin istirahat. Di mana tendaku?" ujar Eyang Jamus.
"Oh...,
itu," Cempaka menunjuk salah satu tenda.
Gadis
itu lega, karena tadi dikira Eyang Jamus hendak pergi. Sementara itu Rangga
membantu gadis berbaju biru itu berdiri. Kelihatan masih lemah, tapi sudah
mulai nampak berangsur segar. Cempaka memandang sejenak, lalu menghampirinya.
"Cempaka...,"
desah gadis Itu
"Oh,
Kak Pandan..."
Cempaka
menghambur dan kedua gadis itu langsung berpelukan disertai seribu macam
perasaan bergelut di hati mereka berdua. Rangga hanya berdiri saja. Matanya
agak berkaca-kaca. Rasanya malam inilah untuk pertama kali mengenyam
kebahagiaan. Tidak ada lagi kebahagiaan yang dapat dirasakannya selain malam
ini. Rangga tidak tahu lagi, apa yang diucapkannya. Mulutnya seperti terkunci
oleh perasaan yang sukar diucapkan. Dia hanya berterima kasih pada Hyang Widi
yang telah menghidupkan kembali Pandan Wangi dari kematian semu.
Cempaka
dan Pandan Wangi melepaskan pelukannya. Mereka masih saling berpandangan.
Kemudian sama-sama menoleh menatap Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu
melingkarkan tangannya ke pundak kedua gadis itu, lalu memeluknya dengan sejuta
rasa bahagia yang berbunga di hatinya.
"Di
mana Eyang Jamus?" tanya Rangga tiba-tiba teringat laki-laki tua yang
telah begitu berjasa mengembalikan Pandan Wangi dalam kehidupan yang nyata.
"Istirahat
di tenda," sampung Cempaka.
Rangga
bergegas menuju ke tenda yang ditunjuk Cempaka. Disibakkan kain penutup pintu
tenda itu. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu jadi tertegun, karena di dalam
tenda itu tidak ada siapa-siapa Rangga mencari di tenda lainnya. Tetap saja
yang dicari tidak ada. Tiga tenda semuanya kosong. Cempaka dan Pandan Wangi
saling berpandangan, kemudian sama-sama menghampiri Pendekar Rajawali Sakti
itu.
"Ada
apa, Kakang?" tanya Cempaka.
"Eyang
Jamus. Dia tidak ada," sahut Rangga.
"Oh...!
Ke mana perginya?" Cempaka menutup mulutnya.
"Aku
tidak tahu. Hhh...! Aku harus mencarinya. Dia pasti kembali ke Desa Banyu
Biru," duga Rangga.
"Aku
ikut, Kakang," kata Cempaka.
"Tidak!
Kau harus kembali ke istana...," Rangga menatap Pandan Wangi.
"Pandan,
kau masih perlu banyak beristirahat. Aku berjanji, tak akan lama pergi. Setelah
bertemu Eyang Jamus, aku pasti akan kembali bersamamu," jelas Rangga. Jiwa
besar Pendekar Rajawali Sakti memang selalu begitu. Hatinya tak akan tentram
bila belum mengucapkan terima kasih pada Eyang jamus.
Rangga
menepuk bahu kedua gadis itu, kemudian memanggil seorang panglima yang ada di
situ. Panglima itu bergegas menghampiri dan membungkuk memberi hormat.
"Panglima,
malam ini juga kalian harus kembali ke istana. Jaga mereka. Pertaruhkan
keselamatannya dengan nyawamu," perintah Rangga.
"Hamba,
Gusti Prabu," sahut panglima itu seraya membungkuk hormat.
"Aku
pergi dulu, Pandan, Cempaka," pamit Rangga
"Baik,
Kakang," sahut kedua gadis itu hampir bersamaan.
Walaupun
dengan hati berat, tapi Rangga tetap melompat ke punggung kudanya. Dan seketika
itu juga Kuda Dewa Bayu melesat cepat bagai kilat menerobos kegelapan malam
yang pekat. Cempaka mengajak Pandan Wangi pergi. Mereka menunggang kuda dikawal
para prajurit dan panglima perang. Mereka kembali ke istana Karang Setra, dan
menunggu Rangga pulang membawa Eyang Jamus yang tidak ketahuan perginya.
"Siapa
itu Eyang Jamus?" tanya Pandan Wangi yang berkuda pelahan di samping
Cempaka.
"Sahabat
kakekmu. Katanya, juga sahabat orang tuamu, Kak Pandan. Dialah yang menghidupkan
dirimu kembali dari kematian semu," jelas Cempaka singkat. Dia juga
melanjutkan ceritanya tentang semua yang telah terjadi dalam upaya menghidupkan
kembali Pandan Wangi.
Sedangkan
Pandan Wangi yang kini benar-benar sudah pulih kembali, mendengarkan penuh
perhatian. Sampai Cempaka selesai bercerita, Pandan Wangi masih diam. Sungguh
tidak disangka kalau dirinya pernah mati selama tiga bulan, dan terkubur di
dalam liang lahat!
"Kau
tidak kenal Eyang Jamus, Pandan?" tanya Cempaka ketika dilihatnya Pandan
Wangi hanya diam saja.
"Aku
memang belum pernah melihat orangnya. Tapi aku tahu bahwa sebenamya dia bernama
si Tabib Aneh Jari Delapan. Kudengar dia memang sahabat keluargaku. Hm..., aku
tidak tahu kalau aku telah ditolong olehnya," kata Pandan Wangi.
"Mungkin
karena antara kau dan dia terdapat ikatan batin. Bukankah antara keluargamu dan
Eyang Jamus bersahabat karib?"
"Ya,
mungkin juga," desah Pandan Wangi pelan. "Hhh.... Seandainya sudah
pulih benar, pasti aku akan menyusulnya, lalu mengucapkan terima kasih."
"Kakang
Rangga pasti berhasil membawanya ke istana. Aku yakin," Cempaka
membesarkan hati Pandan Wangi.
"Mudah-mudahan
saja."
Kedua
gadis itu tidak berbicara lagi. Mereka berkuda pelahan-lahan di belakang
panglima. Sedangkan sekitar lima puluh prajurit mengikuti di belakang.
Sementara malam terus merayap semakin larut Dan perjalanan itu tampaknya tidak
akan mengalami hambatan apa pun.
Sementara,
hati Pandan Wangi pun berharap agar Rangga dapat membujuk Eyang Jamus atau si
Tabib Aneh Jari Delapan ke Istana Karang Setra. Tapi yang paling diharapkan,
dapat bersama-sama kembali dengan pemuda yang dicintainya. Bahkan mungkin
bersama-sama mengembara lagi memerangi ke angkara murkaan. Harapan yang tidak
berlebihan
TAMAT
EPISODE
SELANJUTNYA:
HANTU
KARANG BOLONG
Emoticon