SATU
SEEKOR kuda hitam berpacu cepat menyusuri tepian pantai
berpasir putih. Penunggannya, seorang pemuda bertubuh tegap yang otot-ototnya
bersembulan sehingga menampakkan kejantanannya. Rambutnya panjang terurai,
meriap melambai-lambai dipermainkan angin pantai. Kuda hitam itu terus berpacu
cepat bagaikan angin, menerjang ombak pantai.
"Hiya! Hiyaaa..."
Pemuda itu mendera kudanya semakin cepat. Kuda hitam itu
meringkik keras. Begitu cepat larinya sehingga bagaikan tidak menapak pasir
basah yang senantiasa dijilat ombak. Tiba-tiba saja kuda itu berbelok, dan
terus berlari kencang menembus kelebatan hutan bakau. Namun kuda hitam itu
tidak juga memperlambat larinya. Bahkan semakin cepat saja berpacu bagai
dikejar setan
"Hooop...!"
Penunggang kuda hitam Itu menarik tali kekang kudanya.
Bersamaan dengan terdengarnya ringkik kuda, pemuda itu melompat turun. Kuda
hitam itu berhenti seketika. Sungguh indah dan ringan lompatannya, pertanda
pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak rendah.
Pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi putih itu
memandangi sekitarnya Tatapan matanya begitu tajam. Sesekali kepalanya
menggeleng ke kiri dan ke kanan, atau mendongak ke atas. Sepertinya tengah
menunggu sesuatu di tempat itu. Tempat yang berpasir, dan dipenuhi tanaman
bakau yang akarakarnya menyemak rapat
Tiba-tiba saja dari arah samping kanan, meluncur sebatang anak
panah. Pemuda itu menarik tubuhnya ke belakang sedikit, lalu tangannya bergerak
cepat menangkap anak panah itu, tapi tidak terlihat satu bayangan pun yang
berkelebat. Kemudlan pandangannya beralih pada anak panah yang berada dalam
genggamannya.
"Hm...!" gumamnya dengan kening berkerut
Ada selembar daun lontar pada bagian tengah anak panah
berwarna keperakan itu, yang diikat pita merah muda. Pemuda berbaju rompi putih
itu mem-buka ikatan, dan mengamati lembaran daun itu. Keningnya kembali
berkerut, sehingga sepasang alisnya yang tebal bertaut menjadi satu. Hanya ada
sebaris kalimat yang tertera di sana.
BERJALANLAH KE ARAH SELATAN... MUTIARA DARI SELATAN.
Pemuda itu melipat daun lontar itu dan menyelipkannya di
balik lipatan sabuk. Sebentar diangkat kepalanya, menatap ke arah Selatan. Arah
datangnya anak panah tadi. Digerakkan tangannya, maka kuda hitam itu melangkah
mendekat. Binatang tunggangan itu mendengus sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya di samping pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hitam, aku tidak tahu apa keinginan orang ini.
Sebaiknya kita ikuti saja petunjuknya," kata pemuda itu setengah bergumam
Kuda hitam pekat berotot kuat itu meringkik perlahan,
seakan-akan mengerti ucapan majikannya. Pemuda berbaju rompi putih itu melompat
naik dengan tangkasnya, dan menggebah kuda hitam itu perlahan-lahan. Kuda itu
berjalan lambat menuju ke arah Selatan.
"Hm..., siapa sebenarnya orang itu? Kenapa selalu
menamakan dirinya Mutiara dari Selatan...?" pemuda itu bergumam
bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Sementara kuda hitam itu terus berjalan perlahan-lahan
menerobos lebatnya hutan bakau di sepanjang pantai ini. Semakin jauh masuk ke
dalam, hutan bakau itu semakin merenggang. Pemuda itu berdecak pelan, sehingga
kuda hitam itu mulai mempercepat langkahnya. Mereka terus bergerak menuju
Selatan, seperti yang tertulis pada daun lontar itu.
Hutan bakau yang menjadi pembatas pantai dengan daratan,
telah terlewati. Dan kini pemuda penunggang kuda hitam itu mulai memasuki suatu
padang rumput yang tidak begitu luas. Tampak di seberang sana terhampar hutan
yang kelihatannya tidak pernah terjamah manusia. Pemuda itu menghentikan laju
kudanya, lalu memandang ke sekeliling. Arah pandangannya langsung tertuju pada
hutan di seberang padang rumput ini.
"Kau merasakan sesuatu, Hitam?" tanya pemuda itu
melihat kuda hitamnya tampak gelisah.
Kuda hitam itu terangguk-angguk, dan sebelah kaki depannya
menggaruk-garuk tanah berumput tebal. Pemuda itu melompat turun dari punggung
kudanya. Dipegangi tali kekang kuda hitam itu. Namun binatang itu kelihatan
masih tetap gelisah, meskipun sudah ditepuk-tepuk lehernya untuk ditenangkan.
"Tenanglah, Hitam...," bisik pemuda itu mencoba
menenangkan kudanya.
Tapi kuda itu malah meringkik keras sambil mengangkat kaki
depannya tinggi-tinggi. Pemuda itu melompat melepaskan pegangannya pada tali
kekangnya. Kuda hitam itu mendengus-dengus menghentak-hentakkan kakinya ke
tanah. Sedangkan pemuda itu semakin heran melihatnya. Tapi belum juga
keheranannya lenyap, mendadak hatinya dikejutkan oleh munculnya satu bayangan
biru.
"Heh...! Hup!"
Pemuda itu bergegas melentingkan tubuhnya ke belakang,
karena bayangan itu meluncur deras ke arahnya. Bayangan itu lewat di antara
putaran tubuhnya, dan terus meluncur deras menghantam sebuah pohon. Pemuda itu
berdiri tegak menatap wonggok kain berwarna biru cerah yang tergeletak di
antara pohon yang tumbang kena terjangannya.
"Hm.... Apa pula ini...?" gumamnya bertanya-tanya
sendiri.
***
Pemuda berbaju rompi putih melangkah perlahan-lahan mendekati
seonggok kain biru itu. Sejenak dipandangi bungkusan itu, kemudian dipungutnya.
Bungkusan kain biru itu tidak terlalu besar. Bentuknya bulat yang salah satu
ujungnya bulat besar dan satunya lagi kecil. Dibukanya lipatan kain biru itu,
dan matanya membeliak lebar ketika melihat isinya.
"Biadab...!" desisnya sambil membungkus kembali
kain biru itu.
Hatinya geram bukan main, karena bungkusan kain biru itu
ternyata berisi sebuah kepala manusia yang darahnya sudah mengering. Pada
kepala buntung itu ada ikat kepala terbuat dari bahan seperti emas yang dihiasi
manik-manik dari mutiara. Pemuda berbaju rompi putih itu meletakkan bungkusan
itu di bawah pohon.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelegar. Pemuda itu
langsung berbalik, dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara tawa itu
seolah-olah datang dari segala arah. Jelas, kalau suara itu disertai pengerahan
tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Hm...," gumam pemuda itu perlahan.
Belum sempat pemuda itu menemukan arah sumber suara tawa
itu, tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Tahu-tahu, tidak jauh di depannya
telah muncul seorang wanita tua berjubah kumal sambil memegang tongkat
keperakan. Wanita itu masih juga terbahak-bahak. Pemuda itu menggeser kakinya
ke depan beberapa tindak, dan pandangannya tajam menusuk langsung kearah wanita
itu.
"Hebat sekali permainanmu, Nisanak," dengus pemuda
itu kurang senang.
Wanita tua itu segera menghentikan tawanya. Ditatapnya
pemuda tampan di depannya dalam-dalam. Perlahan tongkatnya terangkat dan
tertuju langsung ke arah dada pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kuperingatkan padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Jangan
turun campur urusan ini!" dingin suara wanita tua itu.
"Kau sudah tahu namaku. Siapa kau sebenarnya?"
tanya pemuda yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku!" sahut wanita tua
itu tetap dingin. Tongkatnya diturunkan perlahanlahan.
"Baik. Aku tidak kenal siapa dirimu. Tadi kau katakan
jangan mencampuri urusanmu? Aku tidak mengerti maksudmu, Nisanak," tenang,
namun dingin sekali nada suara Pendekar Rajawali Sakti.
"Jangan berlagak bodoh, Pendekar Rajawali Sakti! Aku
tahu maksudmu datang ke daerah Selatan ini. Maka kuperingatkan sekali lagi
padamu. Tinggalkan daerah ini atau bernasib sama dengannya!" ujar wanita
tua itu seraya menunjuk bungkusan kain biru di bawah pohon.
"Hm..., siapa dia?" tanya Rangga atau yang lebih
dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Orang yang tidak menuruti kata-kataku. Terpaksa
kupenggal kepalanya karena keras kepala. Nah! Sudah kuperingatkan padamu,
Pendekar Rajawali Sakti. Tinggalkan daerah ini sebelum kepalamu terpisah dari
badan!" ancam wanita tua itu tidak main-main.
Setelah berkata demikian, cepat sekali tubuhnya melesat, dan
tahu-tahu sudah lenyap dari hadapan Rangga Begitu tinggi ilmu meringankan
tubuhnya, sehingga wanita tua itu bagaikan lenyap ditelan bumi. Rangga menarik
napas panjang, lalu menoleh. Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, karena
bungkusan kain biru itu juga lenyap entah ke mana.
Meskipun merasa terkejut, tapi Pendekar Rajawali Sakti itu
bisa mengerti. Cukup dikagumi kehebatan wanita tua itu. Bisa melesat cepat
sambil menyambar bungkusan kain biru itu tanpa diketahui. Tapi di balik rasa
kagumnya, Rangga juga jadi tidak mengerti maksud wanita tua itu. Kedatangannya
ke daerah ini karena selalu mendapat pesan tertulis di daun lontar.
Sepanjang perjalanan, sudah didapatkan tidak kurang dari
lima kali. Dan semua pesan itu menunjukkan arah yang harus ditempuhnya, tanpa
dijelaskan apa maksudnya. Yang menjadi pertanyaan, siapa sebenarnya pengirim
pesan dalam daun lontar itu? Setiap pesan selalu tertulis kata Mutiara dari
Selatan.... Rangga tidak mengerti, apakah Mutiara dari Selatan hanya sebuah
julukan, atau mempunyai maksud tertentu di dalamnya.
"Hm..., pesan itu seperti bernada meminta bantuan. Tapi
bantuan apa...?" gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu makin tidak mengerti setelah
menghubungkan semua pesan-pesan itu dengan kejadian-kejadian membingungkan
selama menempuh perjalanan ke Selatan ini. Apalagi dengan munculnya wanita tua
yang tidak mau menyebutkan namanya tadi. Memang bisa dirasakan kalau
peringatannya tidak main-main, dan mengandung ancaman serius. Buktinya adalah
sebuah kepala terbungkus kain biru.
Rangga mengernyitkan keningnya. Kepala buntung tadi memakai
semacam gelang pada kepalanya. Dan pengikat kepala macam itu biasanya dimiliki
para pembesar kerajaan sebagai pertanda kedudukan. Walaupun Rangga sebagai
raja, tapi belum pernah melihat bentuk ikat kepala seperti ini. Bahkan juga
tidak terdapat tanda tanda dari satu kerajaan mana. Ikat kepala yang
kelihatannya terbuat dari emas bertahtakan batu mutiara. Jelas itu pertanda
kalau pemiliknya bukan orang sembarangan dan memiliki kedudukan yang tinggi pada
suatu daerah.
"Hhh.... Aku jadi penasaran...," desah Rangga
pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri kudanya yang hitam
pekat dengan tubuh tinggi tegap dan otot bersembulan. Binatang itu
mendengus-dengus seraya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Rangga
memperhatikan sejenak, lalu melompat naik ke punggung kuda hitam yang bernama
Dewa Bayu itu. Tapi Rangga lebih suka memanggil si Hitam saja. Sepertinya kuda
itu juga tidak keberatan terhadap nama barunya yang hanya dipakai Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kita terus ke arah Selatan, Hitam," perintah
Rangga seraya menghentakkan tali kekangnya.
Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi, kemudian melompat cepat dan berlari bagaikan sebatang
anak panah lepas dari busurnya. Begitu cepatnya kuda hitam itu berlari,
seakan-akan keempat kakinya tidak menapak tanah.
***
Rangga menghentikan lari kudanya. Pandangannya lurus menatap
ke depan. Hampir tidak dipercaya kalau di tengah-tengah hutan lebat begini
masih ada sebuah perkampungan yang begitu besar. Perkampungan ini sepertinya
tidak pantas disebut desa. Semua rumah berdinding batu dan besar-besar.
Bentuknya pun indah dikelilingi tembok benteng yang tinggi.
Perkampungan ini bagaikan sekelompok benteng. Rangga
berdecak pelan, lalu menghentakkan tali kekang kudanya. Si Hitam berjalan
perlahan-lahan memasuki perkampungan yang aneh luar biasa itu. Dari atas
punggung kudanya, Pendekar Rajawali Sakti itu memandang ke sekeliling.
Perasaannya jadi semakin aneh, karena sejak tadi tidak melihat seorang pun di
tempat ini. Keadaannya sangat sunyi, seperti sudah begitu lama ditinggalkan.
Ketika pandangan Rangga tertuju pada sebuah bangunan yang di
depannya terdapat sebuah patung singa, di situ sebuah bayangan berkelebat
menyelinap ke balik pagar tembok yang tinggi besar itu. Bergegas Rangga
melompat ke arah bayangan itu. Begitu cepatnya, tahu-tahu sudah berada di balik
tembok.
"Eh...!" Rangga terkejut bukan main begitu melihat
seorang gadis berdiri tegak. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar.
Punggung gadis itu menempel pada dinding tembok. Tiba-tiba
saja dia jatuh berlutut, kemudian menangis terisak-isak. Rangga jadi heran.
Dihampirinya gadis itu dan berlutut di depannya. Dengan lembut tangannya
menyentuh pundak gadis itu. Tapi gadis itu malah tersentak, dan berlutut. Tentu
saja Rangga semakin keheranan tidak mengerti.
"Nisanak...," tegur Rangga pelan.
"Ampun, Den.... Ampun...," rintih gadis itu
memelas.
"Bangunlah, jangan berlutut begitu," kata Rangga
lembut.
Pendekar Rajawali Sakti mencekal kedua pundak gadis yang
berbaju kain kasar dengan beberapa bagian sobek. Rambutnya yang hitam pekat,
tidak teratur bentuknya. Perlahan-lahan gadis itu bangkit, tapi masih juga
berlutut. Rangga terpaksa tetap berlutut sehingga kedua lututnya menyentuh
tanah.
"Siapa namamu, Nisanak?" tanya Rangga lembut Gadis
itu tidak langsung menjawab. Perlahan-lahan diangkat kepalanya. Tampak air mata
berlinangan membasahi wajahnya yang kotor berdebu. Tubuhnya masih gemetar
menahan isaknya. Rangga melepaskan cekalan pada gadis itu. Ditatapnya gadis itu
dengan lembut.
"Siapa namamu? Mengapa menangis?" tanya Rangga
lagi lebih lembut
"Kencana...," sahut gadis itu pelan. Begitu
pelannya, sehingga hampir tidak terdengar kala menyebutkan namanya.
"Kenapa menangis?" tanya Rangga tetap lembut.
"Aku..., aku...," gadis itu tampak ketakutan.
Dan belum lagi dapat berkata benar, mendadak matanya
membeliak menatap lewat bahu Rangga. Tubuhnya semakin bergetar hebat, dan
wajahnya pucat pasi. Mulumya yang dihiasi bibir mungil dan berwarna merah
delima, terbuka lebar seperti ingin mengucapkan sesuatu.
Rangga tidak mengerti, lalu menoleh. Tapi mendadak saja satu
desiran halus terdengar ke arahnya. Dan belum lagi sempat disadari, tahu-tahu
tubuhnya terpental ke samping. Pendekar Rajawali Sakti itu jatuh bergulingan di
tanah, kemudian melompat bangkit. Bibirnya meringis sedikit merasakan sakit
pada bagian iganya.
Rangga masih belum mengerti apa yang terjadi, tahu-tahu satu
bayangan besar berkelebat cepat menerjang ke arahnya. Pendekar Rajawali Sakti
itu langsung melompat ke samping sambil mengayunkan satu pukulan disertai
pengerahan tenaga dalam tidak penuh.
"Hegh...!"
Terdengar erangan kecil, tapi Rangga merasakan tangannya
seperti memukul segumpal kapas yang begitu lunak. Pukulannya terasa berbalik,
membuat pergelangannya nyeri. Rangga cepat-cepat berbalik. Matanya langsung
membelalak begitu melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar bagai raksasa
berdiri tegak tidak jauh di depannya.
"Waladala! Manusia macam apa ini...?" desah Rangga
terperangah.
Kepala orang itu menggeleng beberapa kali, membuat suara
gemerincing dari anting-anting yang dikenakannya. Rangga sendiri sampai terpana
melihatnya. Orang itu mengenakan pakaian yang sangat indah, terbuat dari bahan
sutra halus bersulamkan benang emas pada bagian tepinya. Hiasan rambutnya juga
terbuat dari emas, dengan kalung besar dan anting-anting seperti boneka kayu.
Wajahnya cukup bersih dan tampan, tapi perawakannya seperti raksasa.
Penampilannya tadi benar-benar mengerikan.
"Siapa kau bocah cilik?" tanya orang itu.
"Kau bertanya padaku?" Rangga balik bertanya,
karena merasa bukan bocah lagi.
"Gradah...! Aku bertanya padamu, tolol!" bentak
orang itu keras.
Rangga sampai melangkah mundur mendengar bentakan yang
demikian menggelegar, bagai guntur di siang bolong. Bukan karena gentar, tapi
terkejut mendengar suara itu.
"Kau sendiri, siapa?" Rangga malah balik bertanya.
"Ha ha ha...!" Manusia raksasa itu tertawa
terbahak-bahak.
"Ditanya malah tertawa!" gerutu Rangga tidak enak
mendengar tawa menggelegar dan memekakkan telinga itu.
"Bocah edan! Aku yang bertanya padamu, goblok!"
bentak orang tinggi besar itu keras.
"Baik. Aku berikan namaku, tapi kau juga harus
menyebutkan namamu," Rangga menawarkan.
"Berani sekali kau, setan cilik! Tapi baiklah, kuterima
syaratmu!" kata orang itu jadi tertawa kembali.
"Jangan tertawa! Telingaku sakit!" bentak Rangga
keras.
Orang itu langsung diam. Dia menggereng dengan mata merah
membara menatap langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Sebutkan, siapa namamu!" bentaknya.
"Rangga, dan kau?"
"Raden Segara!"
Rangga menelan ludahnya mendengar orang bertubuh tinggi
besar itu menyebutkan namanya. Malah hampir-hampir tertawa. Sungguh mati tidak
dikira kalau orang bertubuh tinggi besar itu seorang bangsawan. Apakah di dunia
ini ada sekelompok manusia setengah raksasa?
DUA
Raden Segara melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
Sepasang kakinya yang besar, terayun berat Namun tidak ada suara sedikit pun
saat melangkah. Manusia tinggi besar itu berdiri tepat sekitar tiga langkah
lagi di depan Rangga. Kemudian dia duduk bersila tanpa mempedulikan kalau
tempat ini hanya tanah berdebu.
Rangga sendiri tidak mengerti, kenapa tiba-tiba manusia
setengah raksasa itu tidak garang seperti tadi. Bahkan sepasang bola matanya
juga memancarkan cahaya persahabatan, bukan seperti tadi yang merah menyala
penuh rasa permusuhan. Raden Segara merentangkan tangannya sedikit. Rangga
mengerti, lalu duduk bersila di depan manusia raksasa itu. Tubuhnya dua kali
lipat dari tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa maksudmu datang ke tempat ini?" tanya Raden
Segara. Meskipun suaranya lunak, tapi masih juga terdengar besar dan kasar.
"Hanya kebetulan lewat," sahut Rangga.
"Hm.... Kau seorang pengembara?"
"Benar."
"Kalau kau tidak punya tujuan di sini, sebaiknya cepat
angkat kaki. Aku tidak mau kau celaka di sini. Kau orang asing, dan aku tidak
suka lagi ada pembunuhan orang asing di sini," tegas nada suara Raden
Segara.
Rangga tidak bersuara. Diliriknya Kencana yang masing
berlutut bersandar pada dinding tembok pagar tinggi dan sangat besar. Raden
Segara juga melirik ke arah yang sama.
"Kencana, kemari kau!" panggil Raden Segara.
"Hamba, Raden...," sahut Kencana dengan suara
bergetar.
Gadis yang berpakaian koyak itu menggeser tubuhnya mendekat.
Kepalanya tertunduk, lalu memberi hormat pada manusia setengah raksasa itu.
"Kau sudah kuberi kesempatan, tapi kenapa tidak
digunakan?" ujar Raden Segara menatap tajam pada gadis itu.
"Ampun, Raden. Hamba..., hamba...," jawab Kencana
tergagap.
"Aku tidak suka mendengar alasanmu lagi. Pergi-lah
sebelum para pengawal Ayahanda Prabu menemukanmu di sini."
Kencana memberi hormat dengan merapatkan telapak tangannya
di depan hidung Gadis itu melirik Rangga yang duduk tidak jauh di sampingnya.
"Sebaiknya gadis ini kau bawa pergi, aku percaya kau
bersedia melindunginya," kata Raden Segara seperti bisa mengerti lirikan
Kencana.
"Kenapa?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Cepatlah, sebelum mereka menemukan kalian di
sini," desak Raden Segara.
Rangga bangkit berdiri, tapi benaknya masih dipenuhi
berbagai macam pertanyaan dan keheranan. Sama sekali tidak dimengerti akan
semua kejadian ini Rangga menghampiri Kencana sambil bersiul sedikit Tidak
berapa lama, seekor kuda hitam datang meng hampiri.
"Naiklah ke kudaku," kata Rangga.
Kencana memandangi pemuda di depannya, kemudian menatap pada
Raden Segara. Manusia setengah raksasa yang sudah berdiri itu, menganggukkan
kepalanya sedikit Gadis itu segera naik ke punggung kuda hitam dibantu Rangga.
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu juga melompat naik ke belakang gadis itu.
Dewa Bayu masih belum digebah, karena masih ada satu ganjalan yang mengganggu
benaknya.
"Raden, kalau boleh aku tahu, kenapa kau tadi
menyerangku?" tanya Rangga
"Hanya untuk mengujimu. Ah, sudahlah...! Cepat kalian
pergi!" sahut Raden Segara.
Rangga ingin bertanya lagi, tapi manusia tinggi besar itu
sudah melesat cepat. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap
dari pandangan. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menggebah kudanya kern ball
ke arah semula, tapi malah memacunya ke arah Selatan.
Dewa Bayu terus berlari kencang bagai melayang di atas
tanah. Mungkin karena debu yang mengepul itulah yang menandakan kalau keempat
kakinya mendepak tanah. Rangga terus memacunya cepat, dan keluar dari
perkampungan aneh itu. Lari kudanya dihentikan setelah berada di dalam hutan,
jauh dari tempat yang membuatnya jadi seperti orang gila. Rangga benar-benar
tidak mengerti akan semua peristiwa yang dialaminya sekarang. Sepertinya berada
di alam lain saja!
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti melompat turun, kemudian membantu
Kencana turun dari punggung kuda hitam itu. Gadis itu langsung melangkah pelan,
kemudian menghenyakkan tubuhnya di atas akar pohon yang menyembul dari dalam
tanah. Rangga menghampiri dan berdiri bersandar pada pohon itu. Dibiarkan saja
kudanya merumput
"Terima kasih! Raden telah membawaku keluar dari neraka
itu," ucap Kencana perlahan.
"Apa maksudmu? Neraka?" tanya Rangga tidak
mengerti.
"Tempat itu merupakan penjara yang lebih menyakitkan
daripada neraka...," jelas Kencana sambil tertunduk. Suaranya juga
terdengar begitu pelan, hampir tak tertangkap.
Rangga menghampiri dan duduk di sebelahnya. Dipandangi gadis
itu dalam-dalam, kemudlan diangkatnya wajah Kencana dengan ujung jari berada di
dagu. Ditatapnya bola mata yang bulat indah itu. Dalam hati, Rangga mengakui
kecantikan Kencana. Hanya saja keadaannya yang kotor dan tidak terawat membuat
kecantikannya agak memudar.
Di dalam sinar mata indah itu, Rangga bisa menangkap adanya
sesuatu yang tersembunyi dalam diri gadis ini. Yang jelas, terlihat adanya
tekanan penderitaan yang sangat besar. Pendekar Rajawali Sakti itu membetulkan
letak pakaian Kencana yang tidak karuan bentuknya. Gadis itu diam saja, bahkan
malah memandangi dengan sinar mata sukar diartikan.
***
Rangga duduk menghadapi api unggun kecil. Sedangkan tidak
jauh di sampingnya, Kencana tidur memeluk lutut. Udara malam ini memang dingin
sekali. Sesekali Rangga melirik gadis itu yang selalu merintih menggigil karena
kedinginan. Kalau saja bisa ditemukan sebuah goa di hutan ini, mungkin bisa
lebih hangat. Tapi sudah satu harian berjalan, tidak juga ditemukan tempat yang
cocok untuk bermalam. Hutan ini juga sangat luas, seperti tidak bertepi.
Rangga mengeluarkan lembaran-lembaran daun lontar dari balik
lipatan sabuknya. Dibukanya satu persatu lipatan daun lontar itu, lalu
dibacanya setiap tulisan yang tertera. Semua tulisan itu memberikan petunjuk
agar dirinya menuju Selatan. Tapi, tidak dijelaskan untuk apa petunjuk itu.
Rangga mencoba menghubungkan semua peristiwa yang dialami selama menuju Selatan
ini. Beberapa kejadian memang seperti ada hubungannya dengan kepergiannya ini.
Yang sudah jelas adalah perempuan tua itu
Sama sekali Rangga tidak mengerti maksud perempuan tua itu
melarangnya pergi ke arah Selatan. Bahkan sempat mengancam! Sedangkan yang baru
terjadi... Itu pun belum bisa dimengerti. Sampai saat ini Kencana masih belum
bisa diajak bicara. Gadis itu seperti baru saja menghadapi persoalan yang
membuatnya selalu diliputi perasaan takut. Sementara di daerah ini tidak
ditemukan satu perkampungan pun, selain perkampungan yang aneh itu.
Mendadak, Rangga tersentak ketika telinganya mendengar
desiran halus mengarah padanya. Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh. Dan betapa
terkejutnya dia ketika melihat sebuah benda keperakan meluncur deras ke
arahnya. Dengan sigap diangkat tangannya, dan ditangkapnya benda itu.
"Panah perak...," desis Rangga begitu melihat
sebatang anak panah berada dalam genggamannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat ke arah
datangnya anak panah ini, tapi tidak menemukan apa-apa di sana. Agak lama juga
matanya ditajamkan mengamati ke sekeliling. Telinganya juga dipasang lebih
tajam, tapi tetap saja sunyi sepi. Tak ada tanda-tanda ada seseorang di sekitar
hutan ini. Rangga kembali menghampiri api unggun, lalu duduk kembali di
tempatnya semula.
"Daun lontar lagi...," desisnya begitu melihat ada
daun lontar terikat pada batang anak panah itu.
Rangga membuka ikatan daun lontar itu, dan melemparkan anak
panahnya ke atas api. Keningnya berkerut membaca tulisan yang tertera di atas
daun lontar. Sebentar ditatapnya Kencana yang masih tidur pulas, kemudian
dibacanya lagi tulisan itu seperti kurang percaya.
"Bawa gadis itu ke Gunung Sintruk. Mutiara dari
Selatan," gumam Rangga membaca tulisan itu sekali lagi
Rangga melipat daun lontar itu dan menyatukannya dengan yang
lain di balik sabuknya. Kembali dipandangi Kencana yang masih melingkar
tertidur pulas. Semakin memikirkan pesan pesan di dalam daun lontar itu,
semakin kesal hatinya. Rangga merasakan dirinya seperti dijadikan bahan
permainan belaka tanpa tujuan yang pasti. Tapi...
"Ah! Aku yakin, orang itu pasti punya tujuan. Hhh...!
Caranya saja yang membuatku kesal!" gerutu Rangga seorang diri. "Huh!
Kalau bertemu nanti, akan kuhajar dia!"
Rangga menggerutu kesal karena merasa diper-mainkan.
Dilemparkan ranting ranting yang sudah lembab ke dalam api. Api itu memercik
melahap ranting-ranting kering itu. Sebentar nyalanya kecil seperti hampir
mati, kemudian membesar sehingga sekitarnya terasa hangat. Kencana menggeliat,
dan Rangga melirik ke arah gadis itu. Rasa hangat dari api yang membesar,
membuat gadis Itu tidak lagi memeluk lututnya.
Semalaman Rangga tidak bisa memejamkan matanya sekejap pun.
Pikirannya sibuk dibebani oleh tulisan-tulisan yang tertera pada daun lontar.
Pesan-pesan itu selalu ditujukan ke arahnya, menggunakan anak panah berwama
perak. Dia yakin, orang yang mengirimkan pasti memiliki kepandaian memanah luar
biasa. Dan yang pasti, punya tujuan tertentu. Hanya saja sampai saat ini Rangga
belum tahu maksudnya.
Rangga mengangkat kepalanya ketika Kencana datang
menghampiri. Gadis itu kelihatan segar dan cantik. Tidak jauh dari tempat Ini
mengalir sungai kecil, dan gadis itu baru saja membersihkan dirinya di sana.
Meskipun bajunya masih kotor dan koyak, namun wajahnya sudah begitu bersih
memancarkan kecantikan yang selama ini tersembunyi. Rangga sampai tidak
berkedip memandangnya.
"Berangkat sekarang?" ucap Rangga seraya bangkit
berdiri.
Kencana hanya mengangguk saja.
"Mari kubantu," ajak Rangga sambil memegangi tali
kekang kudanya.
"Jalan kaki saja," tolak Kencana.
"Aku tidak tahu harus berjalan ke mana. Sebaiknya kau
naik kuda, biar aku saja yang jalan kaki," tegas Rangga.
"Kemarin kau sudah jalan kaki. Aku tidak ingin
dimanjakan," rungut gadis itu.
"Baiklah, kalau itu keinginanmu," Rangga menyerah.
Tanpa bicara lagi, mereka berjalan. Rangga menuntun kudanya,
sedangkan Kencana melangkah di sampingnya. Mereka berjalan pelan-pelan tanpa
bicara sedikit pun. Kebisuan ini memang tidak menyenangkan, apalagi bersama
teman seper-jalanan. Rangga mendehem tiga kali, seolah tengah mengumpulkan
kata-kata untuk diucapkan. Sedangkan Kencana tetap saja membisu dengan kepala
setengah tertunduk.
"Kencana, kau tahu di mana letaknya Gunung
Sintruk?" tanya Rangga setelah cukup lama diam.
Kencana tidak langsung menjawab. Perlahan-lahan diangkat
kepalanya, lalu ditatapnya Rangga yang juga tengah menatapnya. Gadis itu
kembali memalingkan kepalanya menatap ke depan.
"Mau apa ke sana?" tanya Kencana tanpa menjawab
pertanyaan Rangga tadi.
"Ada yang ingin kuketahui di sana," jawab Rangga.
Sedangkan bagi Rangga, jawaban gadis itu tadi sudah cukup untuk mengerti bahwa
dia tahu letak Gunung Sintruk.
"Tidak ada yang bisa didapatkan di sana, Raden,"
tegas Kencana.
"Berarti kau tahu letaknya, bukan?"
"Ya," sahut Kencana mendesah.
"Tunjukkan, di mana?" desak Rangga.
"Di Selatan," sahut Kencana pelan.
"Hm..., bukankah ini daerah Selatan? Lalu ke arah yang
mana lagi?" tanya Rangga bingung juga.
"Jalan saja terus ke Selatan. Setelah keluar dari hutan
ini, nanti akan bertemu sungai kecil. Seberangi sungai itu, terus akan bertemu
sebuah desa. Namanya, Desa Sintruk. Letaknya memang di Kaki Gunung Sintruk.
Tapi percuma saja kau ke sana. Desa itu sudah tidak berpenghuni lagi,"
jelas Kencana.
"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Entahlah," jawab Kencana seraya menghembuskan napas
panjang.
Rangga menatap dalam-dalam. Dirasakan kalau gadis ini
menyembunyikan sesuatu padanya. Gadis itu pasti tahu kenapa desa itu tidak
berpenghuni lagi, tapi tidak bersedia mengatakannya. Dan Rangga sebenarnya
ingin tahu, hanya saja tidak ingin terlalu mendesak. Sepertinya Kencana memang
belum bisa tenang. Gadis ini memang terlalu pendiam, tidak suka bicara kalau
tidak didahului.
Mereka terus saja melangkah perlahan-lahan menembus hutan
yang cukup lebat Pohon-pohonnya terlalu tinggi dan rimbun, menghalangi cahaya
mata hari. Udara di hutan ini terasa lembab sehingga lumut dan jamur tumbuh
subur pada batang-batang pohon dan bebatuan. Sampai tengah hari, mereka baru
berhenti. Dan itu pun sudah sampai di tepi hutan. Memang benar apa yang
dikatakan Kencana. Tidak jauh di depan, mengalir sebuah sungai kecil yang
airnya jernih.
"Hm.... Tidak terlalu sukar menyeberangi sungai
ini," gumam Rangga seraya melangkah lebih ke tepi.
"Sungai ini memang dangkal. Dulu sering dipakai
penduduk Desa Sintruk untuk mandi dan mencuci," sambung Kencana tanpa
diminta
"Oh...," Rangga mengernyitkan keningnya menatap
Kencana yang sudah berada di sampingnya.
Kencana seperti tidak tahu kalau tengah dipandangi. Wajahnya
tetap lurus ke depan, tapi tatapan matanya kosong ke seberang sungai. Rangga
juga mengalihkan pandangannya ke sana.
"Yuk...?" ajak Rangga.
Kencana tetap diam, tapi kakinya melangkah juga menyeberangi
sungai itu. Rangga mengikutinya dari belakang sambil menuntun kuda hitamnya.
Mereka tidak mendapat kesulitan sama sekali ketika menyeberangi sungai kecil
ini. Dasarnya begitu dangkal, dan aimya sejuk jemih mengalir tenang. Mereka
langsung saja berjalan begitu keluar dari sungai, dan tanpa bicara lagi.
***
Rangga jadi heran setengah mati melihat Kencana tiba-tiba
menangis begitu tiba di depan sebuah rumah yang cukup besar di Desa Sintruk
Desa yang tampak sunyi senyap dan tidak berpenghuni sama sekali. Beberapa rumah
tampak hancur, dan sebagian lagi sudah roboh rata dengan tanah. Pendekar
Rajawali Sakti itu menepuk pundak Kencana yang masih terisak memandangi rumah
besar itu.
"Kenapa, Kencana?" tanya Rangga lembut.
"Tidak..., tidak apa-apa. Yuk, jalan lagi," jawab
Kencana seraya mengayunkan kakinya.
Tapi Rangga cepat menarik tangan gadis itu, dan menahannya.
Belum sempat Rangga membuka mulut, mendadak dari dalam rumah besar itu melesat
bayangan yang langsung menerjang mereka. Cepat sekali Rangga melompat ke
samping sambil menarik tubuh Kencana. Untunglah terjangan itu luput dari
sasaran. Rangga mendorong tubuh gadis itu agar berlindung ke balik tembok yang
berlumut
"Tunggu...!" seru Rangga ketika melihat seorang
perempuan setengah baya sudah bersiap hendak menyerangnya kembali. Wanita
berbaju ketat warna kuning gading itu telah menghunus sebilah pedang pendek
yang tipis, agak kehitaman. Diurungkan niatnya untuk menyerang setelah
mendengar bentakan Rangga.
"Siapa kau? Kenapa menyerangku?" tanya Rangga.
"Tidak perlu banyak tanya, Anak Muda! Siapa pun yang
berani masuk ke sini harus mampus!" ujar wanita setengah baya itu ketus.
"Kenapa? Apakah daerah ini terlarang?" tanya
Rangga tidak mengerti.
Saat itu Kencana keluar dari persembunyiannya. Wanita
setengah baya itu menatap gadis berpakaian koyak yang baru muncul dari balik
tembok. Pada saat yang sama, Kencana juga menatap ke arahnya. Sesaat mereka
saling tatap. Tentu saja hal ini membuat Rangga jadi semakin tidak mengerti.
"Ibu...," desis Kencana lirih.
"Kencana, Anakku...!"
Tiba-tiba saja kedua wanita itu berlari, dan saling
berpelukan erat sambil mendesis lirih. Rangga hanya memperhatikan, tapi
kepalanya dipenuhi tanda tanya besar. Sungguh tidak bisa dipahami semua
kejadian ini. Kencana memanggil wanita setengah baya itu dengan sebutan Ibu.
Sedangkan sebaliknya, wanita itu memanggil anak pada Kencana. Apakah mereka...?
Rangga belum berpikir lebih jauh lagi, tapi Kencana dan
wanita setengah baya Itu sudah melepaskan pelukannya. Mereka sama-sama menatap
pada Pendekar Rajawali Sakti. Kencana melangkah menghampiri sambil memegangi
tangan wanita setengah baya itu.
"Ibu..., dia yang menolongku keluar dari mereka,"
tegas Kencana, memahami apa yang tengah dipikirkan ibunya.
Rangga menganggukkan kepalanya sedikit, tapi benaknya tetap
diliputi berbagai macam pertanyaan. Dijulurkan tangannya yang kemudian disambut
wanita itu. Rangga menyebutkan namanya dan melepaskan tangannya kembali.
"Aku Nyai Talut. Terima kasih atas pertolonganmu
membebaskan anakku," ucap wanita setengah baya itu memperkenalkan diri.
Tapi nada suaranya agak tersendat. "Maaf kalau tadi aku tidak ramah
padamu, Den..."
"Rangga, Nyai. Panggil saja aku Rangga," potong
Rangga mendengar suara Nyai Talut terputus.
"Mari, sebaiknya kita ke dalam," ajak Nyai Talut
Rangga tidak menolak, lalu ikut melangkah di belakang Nyai Talut dan Kencana.
Dua wanita itu berjalan sambil berangkulan mesra. Sedangkan Rangga
memperhatikan saja dari belakang. Mereka masuk ke dalam rumah besar berdinding
batu.
Sejenak Rangga memandangi bagian dalam rumah ini. Keadaannya
sangat kotor, seperti cukup lama tidak pernah terjamah tangan. Sarang laba-laba
menyemati bagian atas, ditambah debu yang menebal. Hampir semua perabotannya
hancur berserakan di lantai. Nyai Talut membawa masuk ke ruangan lain, dan
tibalah mereka pada salah satu kamar yang cukup bersih.
Sebuah kamar tidur dengan ranjang cukup besar. Di situ juga
ada seperangkat meja kursi yang terletak di bawah jendela, dan lemari besar
berukir di salah satu sudut kamar ini. Rangga menghenyakkan tubuhnya di kursi
setelah dipersilakan. Sedangkan Kencana merebahkan dirinya di pembaringan. Nyai
Talut sendiri hanya duduk saja di tepi pembaringan.
"Bagaimana ceritanya sehingga kau bertemu dengan
anakku, Den Rangga?" tanya Nyai Talut setelah cukup lama berdiam diri.
"Tidak sengaja, Nyai," sahut Rangga yang sengaja
menutupi hal yang sebenarnya sehingga ada di daerah Selatan ini.
"Ibu..., Raden Rangga masuk ke daerah terlarang itu.
Semula aku takut. Tapi setelah Raden Segara muncul dan menolong kami lari, aku
jadi percaya kalau Den Rangga orang baik, Bu," selak Kencana seraya duduk
di samping ibunya.
"Raden Segara...?!" Nyai Talut nampak terkejut
"Benar, Bu. Raden Segaralah yang selalu melindungiku,
dan memintaku untuk menjadi pelayan pribadinya. Dia orang baik, Bu. Bahkan
selalu membelaku dari mereka yang bermaksud kotor," tutur Kencana.
"Manusia-manusia busuk itu memang harus dibasmi!"
dengus Nyai Talut dingin
"Bu...," terputus suara Kencana.
"Apa saja yang telah mereka lakukan padamu,
Kencana?" tanya Nyai Talut.
"Mereka tidak melakukan apa apa, Bu. Sungguh... Raden
Segara selalu melindungiku, bahkan juga menolongku melarikan diri," kata
Kencana mengulang lagi.
"Apa pun katamu, mereka telah membuat keluarga kita
berantakan. Bahkan seluruh penduduk desa ini telah hancur karenanya. Mereka
telah menyengsarakan dirimu, menjadikanmu budak! Penghinaan ini harus dibalas,
Kencana!" tegas dan bernada dingin kata-kata Nyai Talut.
Kencana terdiam. Sementara itu Rangga hanya memperhatikan
saja tanpa membuka suara sedikit pun. Dicobanya untuk menelaah setiap
pembicaraan kedua wanita itu. Namun Pendekar Rajawali Sakti masih juga belum
bisa mengerti penuh. Apalagi untuk menghubungkannya dengan tulisan-tulisan pada
daun lontar yang membawanya sampai ke daerah ini. Daerah yang begitu jauh dari
tempat asalnya.
Sementara Rangga masih disibuki dengan pikirannya, Kencana
bangkit berdiri dan menghampiri lemari besar, lalu membukanya. Diambilnya
seperangkat pakaian, kemudian gadis itu melangkah keluar dari kamar ini. Nyai
Talut juga ikut keluar setelah memberi pesan agar Rangga jangan pergi dulu
sampai mereka kembali. Rangga hanya mengangguk saja.
***
TIGA
Dua hari Rangga terpaksa tinggal di dalam rumah besar ini,
dan baru sekaranglah dapat mengetahui keadaan yang telah terjadi di Desa Sintruk
yang terletak di bagian Utara kaki Gunung Sintruk. Desa ini memang telah
dihancurkan oleh sekelompok orang yang menginginkan berdirinya sebuah kerajaan
di daerah Selatan ini. Seluruh penduluk desa telah diangkut dan dijadikan budak
untuk bekerja paksa membangun daerah Selatan.
Dan perkampungan aneh yang dilihat Rangga kemarin, merupakan
benteng pertahanan sekelompok orang itu. Bukan hanya Desa Sintruk yang
dihancurkan, tapi desa-desa lain pun mengalami nasib yang sama tanpa
terkecuali. Mereka membunuh orang-orang jompo dan lemah, mengangkut yang masih
muda dan kuat. Tidak peduli apakah itu laki-laki atau perempuan. Sedangkan
anak-anak tidak dibutuhkan, sehingga dibantai habis semuanya.
Darah Pendekar Rajawali Sakti mendidih tatkala mendengar
semua penuturan Nyai Talut dan Kencana itu. Nyai Talut masih beruntung dapat
meloloskan diri dari kekejaman orang-orang liar yang terlalu muluk
keinginannya. Hanya saja, dia tetap bertahan di tanah kelahirannya sambil
menunggu saat yang tepat untuk membalas semua kekejaman ini.
"Sebenarnya bukan aku saja yang berhasil lolos, Den.
Masih ada beberapa lagi, termasuk suamiku yang kini entah berada di
mana...," tutur Nyai Talut di suatu malam saat mereka berada di dalam
kamar yang hanya satu-satunya bisa ditempati.
"Jumlah mereka hanya sedikit, tidak lebih dari dua
puluh orang. Kenapa tidak dapat dilawan?" tanya Rangga.
"Terlalu tangguh, Den. Tubuh mereka besar-besar bagai
raksasa. Bahkan juga kebal terhadap senjata apa pun juga. Desa Sintruk ini juga
mempunyai perguruan silat Tapi semua muridnya, bahkan semua guru kami tewas di
tangan mereka. Siapa saja yang mencoba melawan akan dibunuh tanpa ampun,"
ujar Nyai Talut, agak pelan suaranya.
"Mereka berasal dari mana?" tanya Rangga yang
teringat akan Raden Segara, laki-laki berwajah cukup tampan dan bertubuh tinggi
besar setengah raksasa itu.
"Tidak ada yang tahu mereka datang dari mana, Den.
Tahu-tahu muncul dan menjarah harta kami semua. Mereka mendirikan sebuah
perkampungan di sebelah Utara Hutan Nangkil. Bahkan juga membangun rumah-rumah
bagai benteng pertahanan. Hhh.... Kau pasti sudah melihatnya, Den."
"Benar. Memang agak aneh juga bentuknya," desah
Rangga.
Rangga menatap Kencana yang sejak tadi diam saja. Gadis itu
hanya duduk di tepi pembaringan sambil memandang ke luar melalui jendela yang
terbuka. Udara malam yang cukup dingin berhembus kencang menerobos masuk.
Kencana tampak cantik dengan baju biru muda yang agak ketat Namun wajahnya
masih terlihat murung, seolah-olah masih menyembunyikan sesuatu dalam dirinya.
Sesuatu yang hanya diketahuinya sendiri.
"Sudah lama aku berusaha mencari bantuan untuk
membebaskan seluruh penduduk Desa Sintruk dari cengkraman mereka, tapi semua
usahaku sia-sia saja. Kebanyakan yang kumintakan bantuan, mengharapkan imbalan
yang sangat besar. Sedangkan aku sendiri tidak punya apa-apa lagi," Nyai
Talut mengeluh.
Rangga agak tersentak juga mendengar keluhan itu. Ingatannya
langsung tertuju pada daun-daun lontar yang diterimanya secara aneh dalam
beberapa hari ini. Kalimat-kalimat yang tertera di situlah yang membawanya
sampai ke tempat ini. Rangga mengeluarkan lipatan-lipatan daun lontar dari
balik sabuknya, kemudian menyerahkannya pada Nyai Talut. Wanita setengah baya
itu memandang Rangga tidak mengerti.
"Terus terang, aku sampai ke sini karena mendapat
petunjuk seseorang yang tidak jelas siapa orangnya. Dia mengirimkan daun-daun
lontar ini padaku," jelas Rangga.
Nyai Talut menerima daun-daun lontar itu, lalu membuka
lipatannya satu persatu. Kencana menghampiri, dan ikut membaca setiap baris
kali mat yang tertera pada daun lontar itu. Sesaat kedua wanita itu menatap
Rangga setelah selesai membaca semua daun lontar itu. Nyai Talut menyerahkan
kembali pada Rangga.
"Apakah Nyai yang mengirimkan semua ini?" tebak
Rangga. Disimpannya kembali semua daun lontar itu dalam sabuknya di pinggang.
"'Tidak...," sahut Nyai Talut keheranan.
"Aneh juga ya, Bu. Semua daun lontar itu ada tulisan
Mutiara dari Selatan...," gumam Kencana seperti bicara kepada dirinya
sendiri.
"Dugaanku, itu hanya sebuah kata samaran saja,"
kata Rangga.
"Itu bukan nama samaran, tapi sebuah julukan yang
sangat terkenal di sini," sergah Nyai Talut
"Oh...?!" Rangga tidak bisa menyembunyikan
keterkejutannya.
"Sudah terlalu lama tidak kudengar lagi namanya.
Yaaah.... Sejak orang-orang liar itu menjarah ke desa ini, Mutiara dari Selatan
seperti menghilang begitu saja. Padahal aku pribadi mengharapkan kemunculannya
untuk mengenyahkan mereka selamanya," ujar Nyai Talut agak pelan suaranya.
"Siapa Mutiara dari Selatan itu?" tanya Rangga.
Belum sempat Nyai Talut menjawab, tiba-tiba mereka
dikejutkan suara bergemuruh dari luar. Suara itu demikian jelas terdengar, dan
menggetarkan seluruh isi kamar ini. Rangga langsung melompat ke jendela, begitu
pula Nyai Talut dan Kencana Mereka membeliak begitu melihat apa yang ada di
luar dari jendela kamar ini. Sementara suara gemuruh itu semakin jelas
terdengar.
***
"Hhh! Apa maksudnya mereka datang ke sini...?"
dengus Nyai Talut setengah bergumam.
Di luar sana memang terlihat enam orang laki-laki bertubuh
tinggi besar bagai raksasa. Pakaian mereka begitu indah, dan berhias
manik-manik dari batu mutiara. Mereka berdiri tegak di depan rumah ini. Di
tangan masing-masing tergenggam sebuah gada berwama kuning emas, yang ujungnya
berbentuk bulatan berduri kasar dan tajam.
"Kencana! Tidak ada gunanya bersembunyi! Keluarlah
kau...!" teriak salah seorang dengan suara besar menggelegar. Orang itu
berdiri paling tengah menyandang gada besar di pundaknya.
"Ibu...," Kencana jadi bergetar. Wajahnya seketika
pucat pasi. Dipeluk ibunya erat-erat
"Tenanglah, Kencana. Mereka tidak akan membawamu
kembali. Kau aman bersamaku," Nyai Talut berusaha menenangkan anak
gadisnya.
"Hm..., dari mana mereka tahu Kencana ada di
sini?" gumam Rangga bertanya pada dirinya sendiri.
"Raden Segara," sergah Nyai Talut menyahut
Rangga menatap Nyai Talut dalam-dalam, kemudian melirik
Kencana. Gadis itu hanya diam saja, namun sinar matanya menyiratkan bantahan
atas dugaan ibunya tadi.
"Bukan hanya Kencana saja yang jadi umpan permainannya.
Sudah banyak gadis yang dilepas, kemudian diburu lagi untuk kesenangan,"
kata Nyai Talut.
"Bu...," Kencana ingin membantah.
"Kebaikannya hanya sementara, Kencana. Kau akan tahu
nanti, siapa sebenarnya Raden Segara itu. Dia tidak lebih dari seorang iblis
berhati kejam dan licik. Kalau dapat tertangkap kembali, kau akan diperkosa dan
dibunuh!"
Kencana bergidik mendengamya, namun sinar matanya masih juga
belum percaya atas keterangan ibunya itu. Sedangkan Rangga sudah mengalihkan
perhatiannya kembali pada enam orang laki-laki bertubuh setengah raksasa di
depan rumah ini. Mereka mulai bergerak perlahan menghampiri. Rangga membuka
jendela lebar-lebar, kemudian menatap pada Nyai Talut dan Kencana.
"Menyingkirlah sebelum mereka mengetahui,"
perintah Rangga setengah berbisik
"Sulit menghadapi mereka sendirian, Raden," kata
Nyai Talut.
"Aku hanya mengalihkan perhatian mereka sampai kalian
berada di tempat yang aman," tegas Rangga.
"Ayo, Bu. Kita cepat pergi dari sini," desak
Kencana ketakutan.
"Baik, hati-hatilah Mereka tidak bisa diajak
damai," pesan Nyai Talut.
Rangga hanya tersenyum Nyai Talut mengajak anak gadisnya
menghampiri pintu lemari, lalu membukanya. Rangga memperhatikan sebentar.
Ternyata itu adalah sebuah pintu rahasia. Di balik lemari terdapat pintu lain
yang langsung menembus ke sebuah lorong. Nyai Talut bergegas masuk diikuti
Kencana. Mereka menutup kembali pintu lemari itu. Sedangkan Rangga bergegas
melompat keluar dari jendela setelah mematikan lampu ruangan ini.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai taraf sempurna, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung meluruk ke arah
enam orang yang tengah bergerak perlahan mendekati rumah besar ini. Mereka
cukup terperanjat, karena tiba-tiba mendapat serangan dari sebuah bayangan
putih yang bergerak begitu cepat bagai kilat.
Rangga ingat pesan Nyai Talut, dan mempercayai keterangan
wanita setengah baya itu. Enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu
berlomatan menghindari terjangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat. Dan
belum lagi sempat mengatur posisi, Rangga sudah menyerang mereka kembali. Tentu
saja enam orang bagai raksasa itu jadi kelabakan. Rangga memang menyerang
disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang begitu sempurna, sehingga tidak
bisa di ketahui arah dan kapan menyerangnya.
Pekikan melengking dan raungan keras terdengar saling
sambut, disertai tubuh-tubuh besar yang bergelimpangan ke tanah. Rangga tidak
memberi kesempatan sedikit pun untuk balas menyerang. Saat mereka baru bisa
bangkit berdiri, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah cepat menyerang kembali.
"Berpencar...!" seru salah seorang tiba-tiba.
Enam orang itu langsung berlompatan berpencar. Dan kini
Rangga berada di tengah-tengah. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi sangat gusar,
karena tidak mungkin bisa menyerang sekaligus seperti tadi.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa menggelegar. Rangga
langsung menoleh ke arah sumber suara tawa itu. Tampak Raden Segara berdiri
tegak di atas tembok pagar rumah yang tidak begitu tinggi, namun cukup tebal
dan kuat. Sarung pedang panjang dan besar tergenggam di tangan kirinya.
"Raden Segara! Apa yang kau lakukan ini?!" geram
Rangga merasa dipermainkan.
"Bocah cilik! Kau harus dihukum berat karena berani
membawa lari pelayanku!" kata Raden Segara keras menggelegar.
"Setan alas! Kau sendiri yang membantu
melepaskannya!" bentak Rangga geram
"Ha ha ha...! Aku memang melepaskannya untuk binatang
buruan. Tapi kemudian kau muncul, maka buruanku jadi dua. Ha ha ha!" Raden
Segara tertawa terbahak-bahak.
Rangga menggeram dahsyat, benar-benar marah. Kata-kata Raden
Segara sungguh menyinggung perasaannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga
segera menggerakkan tangannya di depan dada. Dan seketika itu....
"Aji 'Bayu Bajra'...!" seni Rangga keras.
Seketika itu juga tangannya menghentak ke arah Raden Segara.
Dan bersamaan dengan itu, meluncur aliran angin deras yang begitu kuat dan
dahsyat. Dorongan angin itu langsung menghantam tembok yang dipijak Raden
Segara. Tembok itu langsung hancur berkeping-keping sehingga menimbulkan suara
bergemuruh bagai terjadi gempa. Perkiraan Rangga, tubuh Raden Segara pasti
hancur berkeping-keping. Tadi dilihatnya laki-laki bertubuh setengah raksasa
itu tidak bergeming sedikit pun. Namun yang terjadi sungguh membuat Pendekar
Rajawali Sakti membeliak tidak percaya.
"Setan...!" geram Rangga.
Raden Segara masih tetap berdiri tegak di atas reruntuhan
tembok batu itu. Bahkan malah tertawa terbahak-bahak dan bersikap meremehkan.
Rangga segera menghimpun kembali ajiannya, dan cepat sekali dilontarkan kembali
aji 'Bayu Bajra' dengan kekuatan penuh.
"Ha ha ha...!"
Kembali Rangga terkejut. Jelas kalau gempurannya menghantam
tubuh tinggi besar itu, namun sama sekali Raden Segara tidak bergeming! Manusia
setengah raksasa itu benar-benar kebal, tidak mempan meskipun digempur ilmu
kesaktian yang tangguh.
"Hm.... Akan kucoba dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu segera mengerahkan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkat terakhir. Begitu dahsyatnya jurus
itu, sehingga kedua kepalan tangannya berubah menjadi merah membara bagai
terbakar. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat sambil berteriak
keras menggelegar. "Hiyaaat..!"
***
Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dada Raden
Segara yang tidak bergeming sedikit pun. Bahkan menerima pukulan itu tanpa
membalas sama sekali. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan. Pendekar
Rajawali Sakti malah terpental ke belakang begitu pukulannya menghantam dada
laki-laki tinggi besar setengah raksasa itu.
Dua kali Rangga berputar di udara, kemudian manis sekali
mendarat. Hampir tidak dipercaya kalau pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' dapat berbalik. Seakan-akan baru saja memukul segumpal kapas yang
begitu lunak. Jurus ampuhnya seperti teredam begitu saja.
"Keluarkan seluruh kepandaianmu, Rangga. Ha ha
ha...!" Raden Segara tertawa mengejek. Bahkan enam orang yang sejak tadi
diam, juga ikut tertawa terbahak-bahak
Rangga jadi geram karena dua serangannya tidak berarti sama
sekali bagi manusia setengah raksasa, tapi berwajah cukup tampan itu. Rangga
jadi ingat akan kata-kata Nyai Talut padanya. Semua kata-kata wanita setengah
baya itu bukan bualan belaka. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti merasakannya
sendiri.
"Bunuh dia!" perintah Raden Segara.
Enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar, langsung
berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Gada mereka yang besamya
melebihi paha orang dewasa, berdesiran cepat menimbulkan suara bergemuruh.
Rangga berlompatan menghindari serangan dahsyat yang datang bertubi tubi.
Setiap kali gada menghantam tanah, langsung berlubang membuat bumi bergetar.
Tembok dan rumah rumah hancur terkena sambaran gada berduri enam orang setengah
raksasa itu.
Tidak mudah bagi Pendekar Rajawali Sakti menghadapi enam
orang lawannya kali ini. Beberapa pukulannya berhasil disarangkan telak, namun
enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu tidak terpengaruh sama sekali.
Gerakan mereka memang tidak gesit, tapi tubuhnya begitu kebal. Rangga
benar-benar kewalahan, tapi tidak mungkin bisa bertahan lama dalam keadaan
seperti ini. Semua jurus andalannya sudah dikeluarkan, tapi tidak satu pun yang
berguna.
Enam orang bertubuh besar setengah raksasa itu terus
merangsek semakin ganas. Namun sampai sejauh ini, belum ada yang dapat
menghantam Pendekar Rajawali Sakti. Padahal pemuda berbaju rompi putih itu
sudah kewalahan. Sementara itu Raden Segara memperhatikan pertarungan itu dari
tempatnya berdiri.
"Cukup!" bentak Raden Segara tiba-tiba.
Enam orang yang menyerang Rangga, serentak berlompatan
mundur. Tanpa diduga, Rangga masih sempat melontarkan satu pukulan telak pada
salah seorang dari mereka, dan tepat mengenai bagian mata. Orang itu meraung
keras sambil menutupi wajahnya. Pukulan itu tepat menghantam di antara kedua
matanya.
Tampak yang lain begitu terkejut, begitu pula Raden Segara.
Orang itu menggerung-gerung bergulingan di tanah. Tampak darah mengucur keluar
dari kening di atas hidungnya. Rangga sendiri tidak mengerti, mengapa
pukulannya kali ini membuat lawannya bergulingan dan mengucurkan darah. Padahal
sudah tidak terhitung lagi pukulan dan tendangan bertenaga dalam penuh,
berhasil disarangkan pada tubuh lawannya, tapi tidak ada satu pun yang berarti
banyak. Dan ini, pukulan terakhirnya ini.... Padahal tadi dilepaskan dengan
pengerahan tenaga setengah, tapi malah berakibat di luar dugaan sama sekali.
"Keparat! Kau lukai orangku!" geram Raden Segara
seraya melompat ke depan beberapa tombak jauhnya.
Pemuda berwajah tampan dan bertubuh tinggi besar bagai
raksasa itu, menjejak bumi begitu keras. Tubuhnya melesat, dan mendarat tepat
sekitar lima langkah lagi di depan Rangga. Bumi jadi bergetar bagai gempa.
Rangga sempat terkejut juga, lalu melangkah mundur setindak.
"Kau harus membayar mahal, setan cilik!" dengus
Raden Segara sambil menahan kemarahannya, melihat salah seorang pembantunya
terluka menggerung-gerung di tanah.
Lima orang lainnya segera membantu temannya yang masih
menggerung-gerung menutupi wajahnya. Darah semakin banyak keluar dari luka di
antara kedua mata orang itu Raden Segara memberi isyarat agar dua orang itu
membawa pergi orang yang terluka. Sedangkan tiga orang lainnya segera ber-gerak
mengepung Pendekar Rajawali Sakti
Rangga menyadari kalau semua lawannya diliputi kemarahan
yang meluap-luap akibat salah seorang dari mereka terluka. Dan Rangga juga
mengetahui kelemahan mereka sekarang. Seluruh bagian tubuh orang-orang tinggi
besar ini memang kebal. Tapi pada bagian di antara kedua mata jelas adalah
kelemahan mereka!
"Hm..." Rangga bergumam perlahan. Dipandanginya
empat orang yang sudah mengepungnya.
"Bunuh dia...!" seru Raden Segara memberi
perintah.
"Yaaah...!"
Tiga orang serentak beriompatan sambil mengayunkan gada yang
besamya bukan main. Rangga melompat melentingkan tubuhnya menghindari hantaman
gada itu, yang langsung menghajar tanah hingga berlubang. Pada saat itu,
"Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras melengking, Pendekar Rajawali Sakti
itu bergerak menukik dan kedua kakinya bergerak cepat berputar. Ketiga orang
itu terperangah, karena sepasang kaki itu jelas mengincar bagian tengah-tengah
mata. Cepat-cepat mereka berlompatan menghindar.
Tapi Rangga tidak membiarkan begitu saja. Begitu kakinya
menjejak tanah, dengan cepat diganti jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali', dan langsung diarahkan ke wajah salah seorang yang berada di
depannya.
"Ah...!" orang itu terperangah.
Namun belum juga pukulan Rangga mencapai sasaran, dengan
cepatnya Raden Segara melompat sambil mengibaskan pedang yang panjang dan
besar. Satu desiran angin keras membuat Rangga melentingkan tubuhnya ke belakang,
menggagalkan serangannya. Dan belum lagi kaki Pendekar Rajawali Sakti itu
menjejak tanah, salah seorang sudah melompat sambil mengayunkan gadanya.
"Hait..!"
Rangga tidak bisa lagi berkelit. Cepat-cepat disampoknya
gada itu dengan satu tendangan keras. Tapi Rangga malah memekik keras. Kakinya
seperti remuk begitu menendang gada itu. Buru-buru tubuhnya melompat ke atas,
dan hinggap di atap rumah. Secepat itu pula dilentingkan tubuhnya, dan langsung
lenyap ditelan kegelapan malam.
"Kejar...! Jangan biarkan lolos!" seru Raden
Segara memerintah.
Tiga orang pembantunya segera berlarian mengejar. Dan Raden
Segara sendiri bergegas melangkah menghampiri jendela kamar yang terbuka lebar
tempat Rangga keluar tadi. Raden Segara melompat masuk. Tak lama, terdengar
suara ribut dari barang-barang yang terbanting Sebentar kemudian laki-laki
tinggi besar itu sudah melompat kembali keluar. Wajahnya merah padam.
"Setan keparat..! Kubunuh kalian semua...!" teriak
Raden Segara keras.
Begitu kerasnya teriakan itu, sehingga suaranya menggelegar
terpantul Gunung Sintruk yang membelakangi desa ini. Raden Segara bergegas
melompat mengejar ke arah Rangga melailkan diri tadi. Malam yang semula bising
oleh suara pertempuran, kini jadi sunyi senyap bagai tidak pernah terjadi apa-apa
di tempat itu.
***
EMPAT
Rangga duduk merenung sendiri sambil memandang ke arah Desa
Sintruk. Diyakini kalau ini adalah tujuannya yang terakhir dari pesan pesan
yang tertulis di atas selembar daun lontar. Sejak sampai di desa itu, tidak ada
lagi pesan-pesan yang diterimanya.
Hanya saja masih belum dimengerti, untuk apa orang yang
menamakan diri Mutiara dari Selatan itu menggiringnya ke tempat ini? Tempat
yang aneh dengan peristiwa-peristiwa yang membuat kepalanya serasa akan pecah.
Dan kini dia sendiri tidak tahu di mana kini berada.
"Kencana...," desis Rangga tiba-tiba.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu Rangga teringat gadis
yang ditolongnya sehingga membuatnya sekarang ada di tempat sunyi mengerikan
ini. Tempat ini ditumbuhi pohon-pohon besar yang sepertinya tidak pernah terjadi
siang. Sepertinya selalu diselimuti gelap. Rangga sendiri jadi heran. Sejak
masuk ke Desa Sintruk, suasana di sekitar Gunung Sintruk ini selalu terlihat
malam.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas bangkit berdiri, tapi
sesaat kemudian menjadi tercenung. Dia tidak tahu, di mana Kencana dan ibunya
kini berada. Apalagi untuk mengetahui, di mana tembusan jalan rahasia yang
dimasuki kedua wanita itu. Jalan satu-satunya hanya melalui rumah itu kembali.
Tapi tidak mungkin. Rumah itu sekarang ini pasti tengah diawasi.
Selagi Pendekar Rajawali Sakti kebingungan, mendadak sebuah
benda keperakan meluncur pesat ke arahnya. Dengan sigap sekali Rangga
memiringkan tubuhnya sedikit ke belakang, dan tangannya langsung bergerak
menanngkap benda itu.
"Panah perak!" desis Rangga.
Langsung diambilnya daun lontar yang terikat di
tengah-tengah batang panah berwarna perak itu. Keningnya berkerut membaca
tulisan di atas daun lontar itu.
"Berjalanlah membelakangi Desa Sintruk. Kau akan
menemukan sebuah kuil tua. Tunggu di sana!"Rangga membaca dengan suara
pelan.
"Huh! Apa maksudnya orang ini...?" dengus Rangga
jadi kesal sendiri.
Daun lontar itu diselipkan di balik sabuknya, menyatu dengan
daun-daun lontar sebelumnya. Sebentar Rangga memandangi sekitarnya, lalu
berbalik membelakangi arah Desa Sintruk. Kakinya mulai melangkah pergi.
Meskipun benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan, namun Rangga tetap
menuruti kata-kata yang tertera pada daun lontar itu. Hatinya memang semakin
penasaran. Apa sesung-guhnya yang diinginkan orang itu? Memberi petunjuk tanpa
jelas maksudnya lewat selembar daun lontar pada sebatang anak panah perak.
Namun belum lagi Rangga jauh berjalan, mendadak sebuah
bayangan berkelebat di depannya. Dan kini, tahu-tahu di depan Pendekar Rajawali
Sakti itu sudah berdiri seorang perempuan tua yang bertongkat warna perak.
Rangga terkejut juga atas kemunculan perempuan tua berbaju kumal itu.
"Kau benar-benar keras kepala, bocah!" dingin nada
suara perempuan tua itu.
"Kenapa kau selalu menggangguku, Nisanak?" tanya
Rangga, kesal juga terhadap perempuan tua ini.
Kemunculannya selalu membuat masalah, dan selalu menghalangi
kepergiannya ke daerah Selatan ini. Sama sekali Rangga tidak tahu, apa
keinginan perempuan tua yang tidak pernah bersedia menyebutkan namanya itu.
"Karena kau terlalu angkuh dan keras kepala, Pendekar
Rajawali Sakti!" sahut wanita tua itu ketus.
"Nisanak. Aku tidak kenal siapa dirimu. Aku juga tidak
tahu apa maksudmu selalu menghalangi jalanku. Sebelumnya belum pernah kita
bertemu, kecuali waktu itu. Dan kau muncul langsung membuat persoalan. Katakan
yang sebenarnya, siapa dirimu? Dan apa maksudmu selalu menghalangi? Apa
tujuanmu sebenarnya...?" Rangga memborong semua pertanyaan dan kekesalan
hatinya.
"Dasar bodoh! Seharusnya kau sudah bisa mengerti,
Pendekar Rajawali Sakti!"
"Jangan berbelit-belit, Nisanak. Siapa kau ini
sebenarnya?" desak Rangga tidak sabar.
"Kau lihat tongkatku ini, bocah...?" perempuan tua
itu menunjukkan tongkat peraknya. "Aku dikenal dengan nama si Iblis
Tongkat Perak!"
Wanita tua yang memperkenalkan nama julukannya itu jadi
tertegun, karena apa yang diharapkan meleset sama sekali. Semula diduganya
pemuda itu bakal terkejut mendengar namanya. Tapi. Rangga kini malah tersenyum
senyum. Iblis Tongkat Perak menghentakkan tongkatnya ke tanah, tepat di ujung
kakinya.
"Nama yang hebat. Cocok untuk menidurkan anak
kecil," dengus Rangga sinis.
"Kadal! Harus kau bayar penghinaan ini, bocah
keparat!" geram si Iblis Tongkat Perak marah.
"Lantas, kapan akan kau bayar keusilanmu?" tantang
Rangga berbalik.
"Aku bukan usil, tapi memperingatkanmu!"
"Oh, ya ? Dengan cara menghambat perjalananku? Begitu?
Nisanak, sudah dua kali kau halangi jalanku. Untuk apa kau lakukan itu?"
selidik Rangga.
"Kau sendiri, apa maksudmu ke daerah Selatan ini?"
Iblis Tongkat Perak malah balik bertanya.
"Bukan urusanmu!" dengus Rangga sengit "Kau
selalu menghalangi perjalananku. Kenapa masih bertanya juga? Kau pasti sudah
tahu jawabannya!"
"Bocah sombong!"
Iblis Tongkat Perak menghentakkan tongkatnya ke tanah.
Perlahan-lahan diangkat tongkat berwarna perak itu. Satu ujungnya ditujukan
lurus ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu bisa ditebak kalau wanita
tua itu menginginkan pertarungan. Pendekar Rajawali Sakti segera bersiap-siap
menyambut serangan Iblis Tongkat Perak.
***
"Kau tidak akan berhasil, bocah. Kembalilah! Ini
peringatanku yang terakhir!" tegas dan dingin sekali nada suara si Iblis
Tongkat Perak.
"Juga terakhir bagimu menghalangiku, Iblis Tongkat
Perak!" sambut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Kepala batu! Terimalah kematianmu! Hiyaaa...!"
Perempuan tua itu tidak mungkin menarik serangannya kembali.
Dia berteriak keras dan melompat cepat sambil mengibaskan tongkatnya ke arah
kepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga yang sudah siap sejak tadi, hanya
menarik kepalanya sedikit ke belakang.
Di luar dugaan, Iblis Tongkat Perak cepat menusukkan
tongkatnya begitu kibasannya melewati sasaran. Cepat-cepat Rangga memiringkan
tubuhnya ke kanan. Pada saat itu juga ditarik kakinya ke belakang. Dan dengan
kecepatan kilat, dihentakkan kakinya ke depan.
"Uts...!"
Iblis Tongkat Perak terperanjat. Buru-buru ditarik tubuhnya
ke belakang selangkah, dan langsung dikibaskan tongkatnya ke arah kaki Pendekar
Rajawali Sakti. Namun kaki itu bisa berputar, seraya mengikuti arah kibasan
tongkat itu. Dan begitu kaki Rangga menapak tanah, langsung dilentingkan
tubuhnya ke depan setelah ujung kakinya bertumpu pada tanah. Segera saja
dikirimkan satu tendangan keras bertenaga dalam sangat tinggi.
"Keparat!" dengus Iblis Tongkat Perak terkejut
Buru-buru tubuhnya dibanttng ke tanah dan bergulingan
beberapa kali, lalu cepat-cepat melompat bangkit. Sementara itu Rangga sudah
berdiri tegak dan bersikap menantang. Iblis Tongkat Perak mendengus kesal
menyemburkan ludahnya. Sepasang matanya merah menyala bagai bola api yang
hendak membakar hangus tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Jangan bangga dulu dengan ilmu picisanmu itu, Pendekar
Rajawali Sakti. Rasakanlah tongkatku ini. Yaaat..!" Iblis Tongkat Perak
kembali melompat sambil mengirimkan serangan beruntun.
"Hup! Hiyaaa!"
Untuk menghadapi serangan itu, Rangga mempergunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang mengandalkan kecepatan dan kelincahan
gerak kaki. Itu pun masih diimbangi kelenturan tubuh dalam menghindari setiap
serangan yang datang. Beberapa kibasan maupun tusukan tongkat perak itu, dapat
dihindarkan dengan mudah. Hal itu membuat si Iblis Tongkat Perak semakin
bertambah berang.
Jurus demi jurus berlalu cepat Namun Iblis Tongkat Perak
belum juga mampu mendesak Pendekar Rajawali Sakti yang hanya berkelit dan meng
hindar tanpa memberikan perlawanan sama sekali. Namun begitu, tidak mudah bagi
Iblis Tongkat Perak menjatuhkannya. Untuk mendesak saja sampai saat ini belum
bisa dilakukannya. Dia tidak tahu kalau Rangga masih mempelajari setiap jurus
yang dikeluarkan Iblis Tongkat Perak.
"Hap! Lepas...!"
Tiba-tiba saja Rangga berseru nyaring. Tepat ketika ujung
tongkat Iblis Tongkat Perak mehusuk ke arah dada, Pendekar Rajawali Sakti
memiringkan tubuhnya ke samping. Dan tanpa diduga, tangan kanannya menghentak
cepat Iblis Tongkat Perak terperanjat setengah mati. Buru-buru ditarik pulang
tongkatnya. Namun gerakannya terlambat! Dupakan tangan Pendekar Rajawali Sakti
tepat mengenai bagian tengah tongkat berwarna perak itu.
"Ikh!" Iblis Tongkat Perak memekik tertahan.
Tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang
sudah mencapai tingkat sempurna. Akibatnya tongkat Iblis Tongkat Perak terlepas
begitu terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti itu. Perempuan tua berjubah
kumal Itu langsung melompat mengejar tongkat peraknya. Namun secepat kilat,
Rangga melesat mengejar pula. Buk! Buk!
Dalam keadaan tubuh melesat ke udara, Rangga masih sempat
mengirimkan dua tendangan keras ke arah perempuan tua itu. Tendangan yang tak
terduga sama sekali itu mendarat telak dl bagian dada dan perut Iblis Tongkat
Perak terpekik tertahan. Tubuhnya langsung terjungkal keras ke tanah
"Hup!"
Tap!
Tangkas sekali Rangga menangkap tongkat lawannya yang
melayang tinggi ke angkasa. Tubuhnya segera meluruk turun dengan tangan
terkembang. Bersamaan dengan tergulingnya tubuh perempuan tua berjuluk Iblis
Tongkat Perak Itu, sepasang kaki Pendekar Rajawali Sakti menapak tanah, dan
langsung melesat ke arah tubuh warpa tua itu.
"Oh...!" Iblis Tongkat Petak terperanjat.
Ujung tongkat berwarna perak yang runcing telah tertekan ke
bagian tenggolokan perempuan tua itu. Saat itu, tubuhnya memang masih belum
sempat bangkit. Apalagi Pendekar Rajawali Sakti juga berada tepat di
sampingnya. Iblis Tongkat Perak menatap tajam penuh kebencian dan dendam atas
kekalahannya ini, namun tidak bisa berbuat lebih. Sedikit saja melakukan
gerakan, ujung tongkatnya sendiri bisa memanggang lehernya.
"Jawab pertanyaanku sejujur-jujurnya, atau kau tewas
dengan senjatamu sendiri!" ancam Rangga tanpa tekanan nada suara sedikit
pun.
"Huh!" Iblis Tongkat Perak hanya mendengus saja.
"Kenapa kau selalu membuntutiku, perempuan iblis?"
tanya Rangga datar dan dingin nada suaranya
"Jawablah sendiri!" sahut Iblis Tongkat Perak
ketus.
Rangga menekan ujung tongkat itu lebih keras.
"Ukh!" Iblis Tongkat Perak mengeluh pendek.
Ujung tongkat yang runcing itu mulai menyayat kulit leher
perempuan tua itu. Darah mulai merembes keluar. Iblis Tongkat Perak meringis
menahan rasa perih pada bagian lehernya yang tergores sedikit.
"Siapa yang memerintahmu untuk mengikutiku?" tanya
Rangga lagi lebih dingin
"Tidak ada seorang pun yang dapat memerintahku, bocah
setan!" sahut Iblis Tongkat Perak sinis.
"Lalu, apa maksudmu menghalangiku?" desak Rangga.
"Sudah kukatakan, kau bisa jawab sendiri!"
"Hhh! Aku tidak yakin kepalamu sekeras batu, perempuan
iblis!" ancam Rangga.
"Tidak ada gunanya mengancamku, bocah. Kau pikir
kematian membuatku gentar? Ha ha ha...!" Iblis Tongkat Perak malah tertawa
terbahak-bahak.
Lalu, tiba-tiba saja tubuh perempuan tua itu menggerinjang,
dan menusukkan sendiri lehernya ke ujung tongkat itu. Rangga terkejut.
Buru-buru ditarik tongkatnya, tapi terlambat. Kepala Iblis Tongkat Perak ikut
terangkat saat dihentakkan tongkat yang sudah memanggang leher perempuan tua
itu hingga tembus ke belakang.
Dengan kesal, Rangga mencampakkan tongkat yang telah
menembus leher Iblis Tongkat Perak. Wanita tua Itu langsung diam tidak
bergerak-gerak lagi. Lehernya terpanggang tongkatnya sendiri. Darah mengucur
deras dari leher yang terpanggang. Rangga mendengus kesal, dan menghentakkan
kakinya ke tanah.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak menginginkan
kematian perempuan tua yang berjuluk Iblis Tongkat Perak itu. Masalahnya belum
sempat diperoleh apa-apa darinya. Dengan perasaan kesal dan kemarahan yang
meluap, Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah pergi meninggalkan mayat Iblis
Tongkat Perak.
Tanpa diketahui, sepasang bola mata yang tersembunyi di
balik semak memperhatikan semua kejadian itu. Jaraknya memang cukup jauh. Mata
itu juga memperhatikan langkah Pendekar Rajawali Sakti yang terus menuju
Selatan. Dan begitu tubuh Rangga lenyap, pemilik sepasang mata itu menampakkan
diri. Dia kemudian langsung melesat cepat bagaikan kilat ke arah Selatan, ke
arah Pendekar Rajawali Sakti pergi.
"Bagus! Usahaku tidak sia-sia...," dia bergumam
pelan sebelum pergi ke arah Selatan.
Gerakannya begitu cepat, sehingga dalam sekejap saja sudah
lenyap bagai asap. Sementara itu Rangga yang berjalan cepat dan sudah begitu
jauh, semakin masuk ke dalam hutan menuju arah Selatan. Kelihatannya berjalan
biasa, namun gerakan kakinya begitu ringan. Seolah-olah jalannya tidak menapak
tanah. Rangga memang berjalan menggunakan ilmu meringankan tubuh agar lebih
cepat sampai ke tujuan.
Langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti itu terhenti ketika di
depannya menghadang sebuah bangunan kuil yang tidak begitu besar. Kuil itu
terbuat dari tumpukan batu yang diukir indah. Hanya sayangnya seperti tidak
terurus. Buktinya halaman kuil dikotori oleh dedaunan kering dan rumput-rumput
liar. Bahkan hampir seluruh dindingnya tertutup lumut tebal.
"Hm.... Inikah tempat yang dimaksud...?" Rangga
bergumam pelan.
Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah perlahan-lahan
mendekati kuil tua itu. Tatapan matanya tajam beredar ke sekeliling. Rangga
diam-diam juga mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Suara sekecii apa
pun, bisa tertangkap oleh pendengarannya.
"Hm... Aku mendengar tarikan napas ringan di
belakang," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu tetap saja melangkah mendekati
kuil itu. Dan begitu sampai di depan undakan baru, tubuhnya cepat melesat ke
atas, dan langsung menyelinap di balik batu-batu kuil itu. Sesaat suasana
menjadi sunyi sepi. Tidak sedikit pun terdengar suara, kecuali desiran angin
Tidak berapa lama berselang, muncul seorang berpakaian ketat
putih yang menonjolkan lekuk-lekuk tubuhnya. Ayunan kakinya ringan tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Tarikan napasnya juga halus, sampai-sampai sukar
didengar telinga biasa. Orang itu tetap melangkah ringan dan perlahan mendekati
kuil. Dan begitu kakinya baru menapak undakan batu pertama, tiba-tiba melesat
sebuah bayangan menghadangnya.
"Hait..!"
Orang berpakaian ketat putih itu melompat mundur dan
langsung menarik pedangnya yang tergantung di pinggang. Tapi begitu mengetahui
siapa yang kini berdiri di depannya, tiba-tiba dimasukkan kembali pedangnya.
Sedikit dibungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat.
Rangga yang tadi melompat menghadang, jadi heran akan sikap
orang berpakaian putih itu. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup
caping yang cukup besar. Terlebih lagi cara memakai caping dari anyaman bambu
itu agak diturunkan ke depan. Tapi Rangga dapat memastikan kalau dia seorang
wanita. Bentuk tubuhnya yang ramping dan dadanya membukit, sudah mengisyaratkan
itu adalah wanita.
"Siapa kau?" tanya Rangga tetap bersikap waspada.
Beberapa peristiwa yang dialaminya selama dalam perjalanan
ke Selatan ini, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu jadi lebih hati-hati.
Rangga menapak turun dari undakan baru itu, dan baru berhenti setelah jaraknya
dengan wanita berbaju putih itu tinggal sekitar satu batang tombak.
"Salam hormatku, Pendekar Rajawali Sakti," ucap
wanita bercaping itu halus. Sekali lagi dibungkukkan tubuhnya memberi hormat
"Hm.., kau tahu namaku. Siapa kau ini sebenarnya?"
tanya Rangga tanpa membalas salam hormat itu.
"Sebentar lagi kau akan tahu. Tunggulah barang beberapa
saat lagi," sahut wanita itu. Suaranya tetap halus dan lembut.
Rangga ingin membuka suara lagi, tapi tiba-tiba terdengar
suara lonceng kecil yang panjang dan tiada henri. Suara lonceng itu tidak jelas
berasal dari arah mana. Sepertinya datang dari segala penjuru. Rangga
memiring-miringkan kepalanya, mencoba mencari sumber suara itu mempergunakan
aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Tapi, tetap saja suara itu membingungkannya.
Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu dapat menentukan
suara lonceng itu, muncul seseorang dari balik semak belukar yang berada di
bagian kanan puri ini. Seorang laki laki bertubuh gemuk dan pendek. Perutnya
buncit seperti bola. Kepalanya gundul dengan kalung dengan manik-manik besar
berwarna hitam melingkar di lehernya. Tangan kanannya menggenggam sebatang
tongkat kayu coklat yang bagian atasnya tersimpul sebuah lonceng kecil
Laki-laki gemuk berpakaian seperti pendeta itu melangkah
ringan mendekati Rangga. Sebentar kemudian dia sudah berdiri di tengah tengah
antara Pendekar Rajawali Sakti dengan wanita berbaju putih dan bercaping besar
itu. Suara lonceng berhenti, bersamaan dengan berhentinya langkah kaki
laki-laki gemuk berpakaian pendeta itu.
"Puji bagi Sang Hyang Widi yang memberkati seluruh umat
manusia di Mayapada ini...," ucap laki-laki gemuk itu ringan. Namun nada
suaranya jelas terdengar penuh kewibawaan.
Laki-laki berpakaian pendeta dan berkepala gundul itu
berpaling menatap Rangga, kemudian berpaling menatap wanita berbaju putih yang
belum juga membuka capingnya. Kepalanya pun mengangguk beberapa kali.
Digerakkan tangan kanannya yang memegang tongkat, maka suara lonceng pun
terdengar kecil, namun begitu nyaring menggema.
Tepat ketika suara lonceng itu berhenti, tiba-tiba dari
dalam kuil bermunculan orang-orang yang membawa golok di pinggangnya. Mereka
berdiri berjajar lalu membungkukkan tubuhnya pada laki-laki gemuk itu. Dan
tidak berapa lama kemudian, muncul lagi beberapa wanita serta anak-anak. Rangga
hampir terpekik begitu melihat Nyai Talut dan Kencana ada di antara kelompok
para wanita dan anak-anak itu.
Dan sebelum Rangga bisa mengerti semua ini, muncul lagi
seorang pemuda tampan diikuti seorang wanita cantik memakai baju sama berwarna
biru muda. Masing-masing di punggungnya tersampir sekantung anak panah berwarna
perak. Sedangkan busurnya juga dari perak, yang tergenggam di tangan kanan.
Mereka membungkuk di depan laki-laki gemuk berperut buncit itu.
Rangga benar-benar tidak mengerti semua ini. Ditatapnya
Kencana dan Nyai Talut bergantian. Tapi yang dipandang hanya menundukkan
kepalanya saja, seakan-akan tidak berani menatap Pendekar Rajawali Sakti itu.
Pada saat Rangga masih diliputi berbagai perasaan dan pertanyaan di hatinya,
dari atas kuil meluncur sesosok tubuh berpakaian keemasan. Dan tubuh itu
mendarat ringan di undakan ketujuh dari kuil itu. Semua orang serentak berlutut
Orang berpakaian indah bagai terbuat dari benang emas itu
mengangkat tangannya sedikit. Maka semua orang yang berlutut, segera duduk
bersila. Rangga yang masih berdiri bersama wanita bercaping itu, menatap sosok
orang berwajah cantik bagai dewi dari kahyangan itu. Di atas kepalanya yang
berambut panjang hitam itu, terpasang sebuah mahkota kecil bertahtakan manik-manik
batu permata. Di tangannya yang halus, masing-masing menggenggam sebatang
tongkat pendek dan sebuah kipas. Semuanya berwarna kuning keemasan, yang
berkilat memancarkan cahaya terang. Rangga sendiri dibuat terpesona, terutama
memandang wajah orang itu yang bercahaya nan cantik jelita bagai bidadari
***
LIMA
"Paman Pendeta Wuragil, bagaimana tugas yang kau
emban?" tanya wanita berbaju indah keemasan itu. Suaranya begitu lembut,
namun mencerminkan kewibawaan yang luar biasa.
"Ampun, Gusti Ratu Mutiara. Tugas hamba telah
terlaksana dengan baik berkat bantuan Sepasang Panah Perak. Namun hamba hanya
memperoleh dua orang pendekar," sahut laki-laki gemuk berkepala botak yang
dipanggil Pendeta Wuragil itu.
Saat itu Rangga melirik dua orang yang membawa busur dan
anak panah. Otaknya langsung bekerja, mencoba memahami semua yang ada di sini.
Juga situasinya.
"Pendekar-pendekar yang perkasa, perkenalkanlah
namamu," pinta Ratu Mutiara lembut dan berwibawa. Pandangannya langsung
tertuju pada Rangga dan wanita bercaping.
"Tuan Pendekar, Gusti Ratu meminta Tuan menyebutkan
nama masing-masing," tambah Pendeta Wuragil seraya menunjuk Rangga dan
wanita bercaping itu.
"Namaku Rangga," ucap Rangga lebih dahulu.
"Dan kau?" Ratu Mutiara menunjuk wanita bercaping
di samping Rangga.
"Dewi Wila Marta," sahut wanita itu seraya membuka
caping besarnya. Tampak seraut wajah cantik dengan sepasang bola mata indah
bersinar bagai bintang.
"Kuucapkan terima kasih atas kesediaan kalian berdua
memenuhi undanganku," ucap Ratu Mutiara.
Pendekar Rajawali Sakti itu mulai bisa mengerti duduk
persoalannya, meskipun masih terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab di
benaknya. Tapi, paling tidak, sudah bisa diketahui jika semua daun lontar yang
ditujukan padanya benar benar berasal dari wanita berbaju indah keemasan yang
dipanggil Ratu Mutiara. Apakah pesan itu dikirimkan dua orang anak muda yang
berjuluk Sepasang Panah Perak? Kelihatannya, dugaan Rangga menjurus ke arah
itu.
"Aku juga mohon maaf jika undangan ini membuat kalian
susah," sambung Ratu Mutiara.
Ratu Mutiara menatap Pendeta Wuragil. Dan laki-laki gemuk
botak itu menjura memberi hormat.
"Paman, aku ingin berbicara langsung dengan kedua
pendekar itu di dalam kuil," pinta Ratu Mutiara, tetap lembut nada
suaranya. "Juga dengan kau dan kedua muridmu."
"Baik, Gusti Ratu," sahut pendeta Wuragil. Ratu
Mutiara berbalik, dan langsung melayang bagaikan terbang saja. Seketika itu
juga tubuhnya lenyap begitu sampai di puncak kuil. Rangga benar-benar mengagumi
ilmu meringankan tubuhnya yang begitu sempurna. Bisa melesat ringan bagaikan
terbang!
Pendeta Wuragil mempersilakan Rangga dan Dewi Wila Marta
mengikutinya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap saja berdiri tak
bergeming. Malah ditatapnya Kencana dan Nyai Talut yang tetap duduk bersimpuh
dengan kepala tertunduk. Saat itu Sepasang Panah Perak menghampirinya.
"Silakan, Pendekar Rajawali Sakti," ucap salah
seorang dari Sepasang Panah Perak.
"Hm.... Boleh aku bicara sebentar dengan kedua wanita
itu?" pinta Rangga seraya menunjuk Kencana dan ibunya.
"Nanti saja setelah kau bertemu Ratu Mutiara,"
kata Pendeta Wuragil.
Rangga mengangkat bahunya, kemudian melangkah mengikuti
Pendeta Wuragil Dewi Wila Marta berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti
itu. Di belakang, Sepasang Panah Perak mengikuti. Mereka berjalan meniti
undakan batu.
Pada lantai pertama kuil itu terdapat sebuah rongga bagai
pintu tanpa penutup. Pendeta Wuragil terus melangkah memasukinya diikuti yang
lain. Suasana di dalam begitu gelap, dan mereka terus melangkah. Semakin masuk
ke dalam, keadaan semakin terlihat terang. Rangga merasakan kalau jalan yang
dilalui seperti menurun.
Setelah melewati suatu tikungan, mereka tiba pada sebuah
ruangan cukup besar yang ditata indah. Lantainya beralaskan permadani bulu
tebal berwarna biru laut. Pada bagian depan mereka, tampak Ratu Mutiara duduk
di atas singgasana indah bagai terbuat dari emas yang berkilat tertimpa cahaya
obor dan pelita yang menerangi ruangan ini.
Pendeta Wuragil dan Sepasang Panah Perak berlutut memberi
hormat. Sedangkan Rangga dan Dewi Wila Marta hanya membungkuk sedikit. Pendeta
Wuragil dan kedua muridnya bergeser, kemudian duduk bersila. Ratu Mutiara
mempersilakan kedua pendekar itu duduk di bangku yang sudah disediakan. Rangga
duduk di depan, sebelah kanan Ratu Mutiara. Sedangkan Dewi Wila Marta di
seberangnya.
Pendeta Wuragil memberi hormat, kemudian melangkah menghampiri
Ratu Mutiara, dan berdiri di samping kanannya. Sedangkan Sepasang Panah Perak
masih tetap duduk bersila bersisian. Ratu Mutiara mengangkat tangannya sedikit
dengan telapak tangan di atas. Sepasang Panah Perak mem-beri hormat, kemudian
mereka duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang wanita di
samping Dewi Wila Marta.
***
"Aku ingin mendengar perjalanan kalian berdua hingga
sampai ke sini," pinta Ratu Mutiara.
"Tidak ada yang menarik. Perjalananku mulus tanpa
hambatan sama sekali," jelas Dewi Wila Marta mendahului.
"Terlalu banyak rintangan, dan aku masih kesal!"
dengus Rangga mengeluarkan isi hatinya.
"Oh...?!" Ratu Mutiara tampak terkejut.
"Bisa kau ceritakan, Pendekar Rajawali Sakti?"
pinta Pendeta Wuragil.
"Aku ingin bertanya lebih dahulu," selak Rangga.
"Silakan," Ratu Mutiara mempersilakan dengan
lembutnya.
"Aku sampai ke sini karena mendapat tuntunan. Oleh
sebab itu aku ingin tahu, siapa yang mengirimkan semua ini?" Rangga
mengeluarkan semua lembaran daun lontar dari balik sabuknya.
"Aku," sahut pemuda yang berada di sebelah
Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga menatap pemuda itu agak tajam.
"Maaf, kalau caraku tidak menyenangkan hatimu. Tapi
hanya itu yang bisa kulakukan untuk menjaga kerahasiaan ini. Masalahnya tugas
ini sudah bocor dan diketahui Iblis Tongkat Perak," jelas pemuda itu.
"Huh! Lagi-lagi perempuan iblis itu!" rungut
Pendeta Wuragil.
"Sebenarnya aku cemas ketika kau bertarung dengan Raden
Segara dan enam orang pengawalnya. Apalagi si Iblis Tongkat Perak terus
membuntuti. Tapi aku lega karena kau mampu mengatasi semua itu, bahkan berhasil
membunuh si Iblis Tongkat Perak," sambung pemuda itu.
"Benar itu, Benawa?" sergah Pendeta Wuragil hampir
tidak percaya.
"Benar, Pendeta. Aku melihat sendiri."
"Oh!" Pendeta Wuragil mendesah panjang. Sepertinya
hendak dilonggarkan dadanya, saat mendengar berita kematian Iblis Tongkat
Perak.
"Tampaknya kau gembira sekali mendengar berita itu,
Paman Pendeta. Sebenarnya slapakah Iblis Tongkat Perak itu?" setengah
bergumam nada suara Rangga
"Salah seorang musuh kami. Dialah yang selalu
menghalangi setiap maksud dan rencana Gusti Ratu Mutiara untuk merebut kembali
tahtanya yang diduduki orang-orang asing bertubuh setengah raksasa. Bahkan
seluruh rakyat jadi menderita karena kekejamannya," jelas Pendeta Wuragil
singkat
"Orang-orang asing...?! Siapa mereka?" tanya
Rangga.
"Raden Segara dan pengawal-pengawalnya," selak
Ratu Mutiara cepat
"Mereka sekarang menduduki Kerajaan Karang Putih, dan
telah membangun benteng-benteng pertahanan di perbatasan sebelah Timur
kerajaan. Hm.... Kau tentu telah melewati daerah itu," Pendeta Wuragil
mencoba menjelaskan.
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas mulai bisa
dipahami maksud semua ini. Tapi masih ada lagi pertanyaan di hatinya. Dan tanpa
raguragu lagi langsung dikemukakan ganjalan di hatinya itu.
"Satu lagi, Ratu Mutiara. Siapa sebenarnya Mutiara dari
Selatan itu?"
Ratu Mutiara tersenyum mendengar pertanyaan itu. Sedangkan
Pendeta Wuragil kelihatan kikuk dan serba salah. Terlebih lagi Benawa. Pemuda
itu jadi merah padam wajahnya, dan hanya tertunduk tidak mampu menatap semua
yang ada di ruangan ini. Rangga jadi heran tidak mengerti. Apakah pertanyaannya
itu salah?
"Gusti Ratu, apakah pertanyaan itu perlu dijawab?"
Pendeta Wuragil meminta pertimbangan dengan hormat.
"Jawab saja, Paman. Sekarang ini kita membutuhkan
bantuan mereka, dan tidak sepantasnya menyembunyikan kerahasiaan," sahut
Ratu Mutiara lembut.
"Baik, Gusti Ratu."
Rangga menatap Pendeta Wuragil. Demikian juga Dewi Wila
Marta yang sejak tadi hanya diam saja mendengarkan. Masalahnya dia memang tidak
mempunyai persoalan atau hambatan apa pun seperti yang dialami Rangga. Lagi
pula, kedatangannya dijemput gadis murid Pendeta Wuragil yang duduk di
sebelahnya kini. Dan gadis itu telah menjelaskan semuanya sepanjang perjalanan.
Jadi maksud undangan ini memang sudah diketahuinya.
Lain halnya Pendekar Rajawali Sakti yang harus menerima
undangan dengan cara membingungkan, ditambah berbagai macam hambatan. Dewi Wila
Marta pun sudah tahu tentang kedatangan Pendekar Rajawali Sakti itu, karena
sudah diberitahu oleh gadis itu juga. Dengan senang hati, maka dipenuhilah
undangan ini. Apalagi setelah sering mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali
Sakti. Biasanya, jarang seorang pendekar dapat memperoleh kesempatan bertemu
pendekar ternama dan digdaya seperti Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Sebenarnya Mutiara dari Selatan itu adalah Gusti Ratu
sendiri...," ucap Pendeta Wuragil, agak tersipu jawabannya.
"Sudah kuduga," desis Rangga dalam hati.
"Dulu, sebelum menjadi ratu menggantikan Ayahanda
Prabu, aku sering bepergian mencari ilmu. Dan aku selalu menamakan diri Mutiara
dari Selatan," Ratu Mutiara menambahkan. "Sebenarnya namaku bukan
Mutiara. Tapi karena lebih dikenal dengan sebutan Mutiara dari Selatan, maka sampai
sekarang aku selalu dipanggil Mutiara. Dan aku sama sekali tidak
keberatan."
"Terima kasih, kini aku paham. Dan sekarang aku ingin
tahu, untuk apa aku diundang ke sini?" ucap Rangga.
"Pendeta Wuragil yang akan menjelaskan nanti,"
tegas Ratu Mutiara.
***
Rangga memandangi pondok kecil yang berjajar rapi di
belakang kuil. Pondok-pondok itu terbuat dari belahan kayu dan beratapkan daun
rumbia. Sangat sederhana, tapi terlihat apik karena teratur letaknya. Rangga
mengayunkan kakinya menuju salah satu pondok. Di sana duduk seorang gadis yang
tengah sibuk menyulam.
"Kencana...," panggil Rangga setelah dekat
"Oh...!" gadis itu tampak terkejut, dan langsung
mengangkat kepalanya.
Rangga lebih mendekat, dan duduk di samping Kencana tanpa
diminta lagi. Gadis itu menggeser duduknya agar merenggang. Kepalanya menoleh
ke kiri dan ke kanan, seakan-akan takut ada yang melihat.
"Kapan kau sampai ke sini?" tanya Rangga.
"Hari itu juga," sahut Kencana. "Lorong itu
langsung tembus ke sini"
"Oh...," Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kembali Rangga memandang sekitarnya. Satu pondok dihuni satu
keluarga. Semuanya berisi orang tua dan anak-anak Pendekar Rajawali Sakti itu
menoleh memandang Kencana. Sedangkan yang dipandang hanya menunduk saja.
"Ke mana Ibumu?" tanya Rangga teringat akan Nyai
Talut
"Ada," sahut Kencana tanpa mengangkat kepalanya.
"Kencana, ada yang ingin kutanyakan padamu. Aku
berharap kau bersedia membantuku," kata Rangga mulai serius.
Kencana mengangkat kepalanya, dan langsung menatap bola mata
Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kencana, apakah wanita yang ada di puri itu seorang
ratu?" tanya Rangga bernada menyangsikan.
"Benar," sahut Kencana.
"Kalau seorang ratu, tentu memiliki prajurit. Sedangkan
tidak ada seorang prajurit pun di sini. Katakan padaku sejujurnya, Kencana. Kau
dan ibumu terkejut ketika kusebut nama Mutiara dari Selatan. Sedangkan waktu
itu ibumu berharap orang yang bernama Mutiara dari Selatan muncul. Terus
terang, Kencana. Aku jadi tidak mengerti semua ini." kata Rangga.
"Apa yang harus kulakukan?" Kencana malah
bertanya.
"Kau jawab saja semua pertanyaanku, Kencana,"
pinta Rangga.
"Dia tidak tahu apa-apa," tiba-tiba terdengar
suara dari arah belakang.
Rangga langsung menoleh. Tampak Nyai Talut sudah berdiri di
belakang Pendekar Rajawali Sakti itu. Wanita setengah baya itu melangkah
menghampiri anaknya, lalu duduk di sampingnya.
"Sebenarnya aku dan Kencana tidak punya hak untuk
memberi keterangan apa-apa padamu, Raden. Tapi Pendeta Wuragil telah mengijinkan
untuk memberikan semua yang kau perlukan. Dia tahu kalau aku dan Kencana bisa
berada di sini berkat pertolonganmu. Semua itu sudah diketahuinya dari
Benawa," kata Nyai Talut
Rangga menatap dalam-dalam wanita setengah baya itu.
'"Aku sendiri tidak tahu kalau lorong rahasia itu akan
sampai ke tempat ini. Meskipun tahu ada lorong rahasia di rumahku, tapi belum
pernah kulalui. Baru kali itulah kuberanikan diri untuk melewatinya,"
lanjut Nyai Talut.
"Kenapa?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Suamiku yang melarang," sahut Nyai Talut.
"Suamiku seorang panglima di Kerajaan Karang Putih. Ternyata dia juga ada
di sini, dan sekarang sedang menghimpun kekuatan. Rasanya tidak perlu
kuberitahu di mana suamiku dan para prajurit lainnya kini berada. Yang pasti,
suatu saat mereka akan mengusir orang-orang itu dari Karang Putih."
"Hm.... Masih punya-prajurit, kenapa masih juga mencari
pendekar...?" Rangga bergumam seperti ber-tanya pada dirinya sendiri.
"Raden sudah menghadapinya sendiri. Mereka tidak mudah
dikalahkan. Tubuh mereka kebal, dan berilmu sangat tinggi. Pernah dua kali
Gusti Ratu mencoba, tapi malah kehilangan banyak prajurit. Gusti Ratu
berpendapat, hanya orang rimba persilatan sajalah yang dapat menandingi
mereka," jelas Nyai Talut.
"Bukankah hal itu juga pernah dicoba?" Rangga
teringat kata-kata Pendeta Wuragil
"Aku tidak tahu," sahut Nyai Talut.
Saat itu Sepasang Panah Perak datang menghampiri. Mereka
membungkuk sedikit memberi hormat Rangga bangkit berdiri, diikuti Nyai Talut
dan Kencana. Pendekar Rajawali Sakti itu menatap dua anak muda murid Pendeta
Wuragil itu.
"Pendeta Wuragil hendak bertemu Tuan Pendekar,"
kata Danawa hormat.
"Hm..., baiklah."
Rangga memandang sejenak pada Nyai Talut dan Kencana,
kemudian melangkah pergi mengikuti Sepasang Panah Perak itu. Nyai Talut
memandangi sampai punggung ketiga anak muda Itu lenyap dari pandangannya.
Setelah mendesah panjang, kakinya melangkah masuk ke dalam pondok. Kencana
kembali duduk di balai-balai bambu, dan kembali sibuk menyulam. Tapi hanya
sebentar, kemudian diangkat kepalanya. Pandangannya kosong menatap ke depan.
Sepertinya ada yang mengganjal di relung hati gadis ini.
"Kencana, kemari sebentar...!" terdengar panggilan
dari dalam.
"Oh! lya, Bu...! Sebentar!"
Kencana bergegas membereskan peralatan sulamannya, kemudian
melangkah masuk ke dalam pondok. Gadis itu menutup pintunya, dan tidak
muncul-muncul lagi. Terdengar suara percakapan perlahan dari dalam pondok itu.
Suara percakapan yang tidak terdengar, karena suara itu setengah berbisik.
Tapi tidak lama kemudian, terdengar suara isak tangis
tertahan. Dan suara percakapan itu pun tidak terdengar lagi, hilang tertelan
oleh isak yang tersandat. Sesaat kemudian Nyai Talut muncul, dan melangkah
tergesa-gesa meninggalkan pondok itu.
"Bu...!"
Kencana keluar dan berdiri bersandar pada ambang pintu. Nyai
Talut berhenti melangkah dan berbalik. Tampak wajah Kencana telah dipenuhi air
mata.
"Jangan ke mana-mana sebelum aku kembali," kata
Nyai Talut seraya berbalik dan bergegas melangkah pergi.
"Ibu...," Kencana merintih lirih.
Gadis itu berbalik dan menutup pintu pondoknya. Tidak ada
yang dapat didengar lagi, kecuali isak tangis tersendat yang terdengar pelan.
*** 6 Kegelapan menyelimuti sekitar daerah Selatan di hutan
hutan dekat Gunung Sintruk. Kegelapan yang tak pernah berlalu sejak kedatangan
manusia-manusia bertubuh tinggi besar setengah raksasa. Mereka begitu kebal dan
sukar untuk ditandingi. Sementara, dari kegelapan terlihat dua bayangan
berkelebat cepat menyeberangi hutan yang kini oleh pohon-pohon yang tinggi
besar menjulang.
Dua bayangan itu baru berhenti bergerak setelah tiba di
pinggir sebuah perkampungan yang cukup aneh. Bentuk bangunannya bagai benteng,
ber-dinding batu yang tinggi dan tebal dua sosok tubuh itu jelas tengah
mengamati sekitar perkampungan bagai benteng itu. Mereka tidak lain dari Rangga
dan Dewi Wila Marta, dua pendekar yang diundang Ratu Mutiara atau lebih dikenal
bejuluk Mutiara dari Selatan.
"Apa mungkin mereka ada di sini?" tanya Dewi Wila
Marta setengah tidak percaya, melihat suasana yang sepi senyap bagai tidak
berpenghuni.
"Aku pernah bertemu salah seorang di sini," tegas
Rangga agak berbisik.
"Bertarung?"
"Hampir."
Rangga menoleh menatap gadis di sampingnya. Capingnya
terbuka menyampir di punggung. Wajahnya cukup cantik, tapi terlihat agak pucat
Titik-titik keringat berkilat di dahinya. Agak heran juga Pendekar Rajawali
Sakti itu melihatnya.
"Kau takut?" tanya Rangga tiba-tiba.
"Takut...?!" Dewi Wila Marta terkejut. Langsung
ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti itu. "Kenapa harus takut? Aku sering
menghadapi bahaya!"
Agak berkerenyit juga kening Rangga mendengar nada suara
yang sedikit bergetar itu. Sedangkan Dewi Wila Marta kembali berpaling menatap
ke depan. Rangga bisa menebak kalau gadis itu gelisah, namun tidak tahu apa
yang digelisahkannya.
"Kau tinggal dulu di sini, akan kuselidiki dulu keadaan
di sana," kata Rangga.
"Heh...! Ini tugas kita berdua. Aku tidak ingin jadi
penonton!" sentak Dewi Wila Marta.
"Bukan untuk menonton. Kalau aku tertangkap, kau bisa
cepat memberitahu Ratu Mutiara," kata Rangga beralasan. Padahal dia tidak
ingin menyertakan gadis yang kelihatan gelisah itu. Entah apa sebabnya?
"Segala resiko kita tanggung bersama. Kita sama-sama
diundang dan diminta menghancurkan mereka. Kau tidak bisa bergerak sendirian,
Rangga. Ingat, posisi kita sama di sini!" tegas Dewi Wila Marta menolak
usulan Rangga
"Aku sudah pernah bertemu mereka. Bahkan sempat
bertarung di Desa Sintruk. Yang kita hadapi sekarang tidak bisa dianggap
sembarangan, Wila."
"Jangan merendahkanku, Rangga. Kau sendiri belum tentu
bisa mengalahkanku!" dengus Dewi Wila Marta ketus.
"Bukannya aku merendahkanmu, Wila. Kau sendiri sedang
tidak tenang...," Rangga terpaksa berterus terang.
Dewi Wila Marta nampak terkejut. Tajam sekali tatapannya
tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti.
Tebakan Rangga memang tepat. Saat ini hatinya sedang
gelisah. Dan kegelisahannya itu hanya diketahuinya sendiri. Dewi Wila Marta
berpaling lagi menatap ke depan. Sekuat tenaga berusaha ditekan kegelisahannya.
Sebelumnya juga sudah dicoba untuk menutupinya, tapi Rangga ternyata sangat
jeli. Ternyata Pendekar Rajawali Sakti mampu menilai seseorang dari raut
wajahnya. Diam-diam, Dewi Wila Marta kagum juga terhadap pandangan tajam pemuda
itu.
"Tunggu saja di sini, sebentar aku kembali," kata
Rangga.
Dewi Wila Marta diam saja. Dan Rangga sudah melesat cepat
bagaikan kilat ke arah perkampungan yang terdiri dari bangunan-bangunan besar
terbuat dari batu yang kokoh. Begitu cepatnya bergerak, sebentar saja tubuhnya
sudah berada pada salah satu sisi bangunan bertembok tinggi. Sebentar Pendekar
Rajawali Sakti itu menatap ke arah Dewi Wila Marta yang tetap berada di sana.
"Hup!"
Hanya sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah
berada di atas tembok. Matanya langsung beredar ke sekeliling mengamati keadaan
sekitarnya. Kemudian dia melompat lagi, dan berputar di udara tiga kali. Ringan
dan tanpa suara sedikit pun sepasang kakinya mendarat di atas sebuah bangunan
besar berdinding batu.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Rangga berjalan
setengah merayap di atas atap itu. Telinganya dipasang tajam-tajam dengan
mempergunakan immu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sungguh aneh! Sama sekali tidak
terdengar suara apa pun, kecuali desiran angin saja yang mengganggu gendang
telinganya. Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti melangkah setelah sampai di
bagian tepi atap bangunan itu.
"Sepi... Apakah bangunan ini kosong?" gumam Rangga
dalam hati.
Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti itu melesat turun.
Gerakannya cepat, tapi tak bersuara sedikit pun. Seperti kapas tertiup angin,
kakinya mendarat lunak di tanah, tepat di bawah sebuah jendela berukuran besar
yang terbuka lebar. Rangga menjulurkan kepalanya, meneliti bagian dalam melalui
jendela itu.
"Kosong...," desis Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu melompat masuk, dan langsung
meneliti ruangan yang besar dan nampak kosong ini. Ada beberapa kamar, dan
semuanya kosong tak berpenghuni. Hanya sebentar saja Rangga berada di dalam
bangunan besar itu, kemudian keluar lagi. Tubuhnya langsung melesat ke atas
atap bangunan satunya.
Delapan bangunan dari sepuluh yang ada sudah diperiksa
Rangga. Tapi tidak satu pun yang berpenghuni. Semuanya kosong, dan tidak ada
satu pun perabotan. Rangga berpikir juga melihat keadaan ini.
Rangga berdiri tegak di atas atap bangunan terakhir yang
diperiksanya. Benar benar sukar dimengerti kalau bangunan terakhir juga tidak
berpenghuni. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melesat cepat ke arah Dewi
Wila Marta yang telah ditinggalkannya. Begitu sempurnanya ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah sampai di samping
gadis itu
"Bagaimana?" tanya Dewi Wila Marta ketika Rangga
baru saja menjejakkan kakinya.
Rangga mengangkat bahunya disertai dengusan napas panjang.
Dewi Wila Marta menatapnya dalam-dalam. Hatinya merasa heran juga melihat raut
wajah Pendekar Rajawali Sakti yang jadi kusut. Sulit dimengerti. Sedangkan
Rangga berbalik dan menatap lurus ke arah perkampungan aneh itu. Dia sendiri
masih belum bisa memahami keadaan bangunan-bangunan besar menyerupai benteng
itu.
"Apa yang kau peroleh di sana, Rangga?" tanya Dewi
Wila Marta penasaran melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Tidak ada!" sahut Rangga seraya mendengus.
"Tidak ada...?!" Dewi Wila Marta benar-benar tidak
mengerti. Ditatapnya Rangga semakin dalam.
"Semua kosong, tidak ada apa-apa di sana!"
"Lalu..."
***
Entah apa yang ada di dalam diri Pendekar Rajawali Sakti
sekarang ini. Mungkin rasa kesal, geram, bingung, atau apa lagi. Yang jelas,
saat ini Rangga tidak bisa memahami semua yang dialaminya sekarang. Semua yang
terjadi sunggguh membingungkan, dan sulit diterima akal sehatnya. Sering dia
mengalami kejadian-kejadian aneh, tapi peristiwa kali ini sungguh membuat
kepalanya terasa akan pecah.
Sambil bersungut-sungut tidak karuan, Rangga melangkah
menuju ke perkampungan aneh itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah,
mendadak tersentak. Bergegas dia berbalik dan berjalan cepat. Sementara Dewi
Wila Marta jadi tidak mengerti melihat sikap Rangga, lalu bergegas mengikuti.
Disejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Ada apa, Rangga?" tanya Dewi Wila Marta.
"Aku merasa ini semua cuma tipuan belaka!" sahut
Rangga mendengus.
"Tipuan...? Aku tidak mengerti maksudmu."
Rangga menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap
gadis di sampingnya. Ditatapnya dalam-dalam bola mata gadis itu Dewi Wila Marta
jadi kikuk juga ditatap sedemikian rupa. Dipalingkan wajahnya sedikit, tidak
tahan membalas pandangan mata pemuda itu.
"Wila, kau belum menceritakan bagaimana perjalananmu
sampai ke sini," kata Rangga serius.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Rangga. Untuk apa
kuceritakan hal itu padamu? Lagi pula aku tidak mengalami kesulitan apa pun.
Semuanya berjalan lancar tanpa gangguan sedikit pun," sahut Dewi Wila
Marta keheranan.
"Kau datang dari mana?" tanya Rangga.
"Daerah Utara," sahut Dewi Wila Marta.
"Tepatnya?" desak Rangga. Masalahnya seluruh
daerah Utara sudah dijelajahinya. Jadi kenal betul seluk beluk di sana.
"Gunung Waja," sahut Dewi Wila Marta.
"Aku tahu, di mana itu Gunung Waja...," gumam
Rangga. "Hm..., apakah kau dari Padepokan Arang Watu?"
"Benar, dari mana kau tahu?"
"Kalau benar kau berasal dari sana, tentunya kau murid
Resi Kamuka. Hm..., rasanya tidak mungkin Resi Kamuka mengutusmu ke sini.
Sedangkan beliau memiliki murid-murid utama yang tangguh dan berkepandaian
cukup tinggi. Wila, kau tidak berbohong padaku?" Rangga jadi curiga.
"Untuk apa berdusta? Aku memang murid Resi Kamuka dari
Padepokan Arang Watu, dan ke sini tanpa sepengetahuan Resi Kamuka. Aku bertemu
Witarsih di kedai perbatasan Kerajaan Jiwanala, lalu tertarik ketika dia
menceritakan semuanya dan bermaksud mencari para pendekar," tutur Dewi
Wila Marta terus terang.
Rangga menarik napat panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat
Sedangkan Dewi Wila Marta memandangnya tidak mengerti
"Ada apa sebenarnya, Rangga?" tlanya Dewi Wila
Marta ingin tahu.
"Entahlah, aku sendiri belum bisa memastikan. Yang
jelas kau terlalu berani datang ke sini tanpa memberitahu lebih dahulu gurumu.
Kau dalam bahaya besar, Wila," desah Rangga.
"Bahaya ..?!" Dewi Wila Marta mendelik.
Belum sempat Rangga menjelaskan, tiba-tiba terdengar suara
tawa keras terbahak-bahak. Suara tawa itu terdengar menggelegar, sehingga
merontokkan daun-daun pohon dan menggetarkan batu-batuan. Rangga langsung
menarik tangan Dewi Wila Marta, dan menempatkan di belakangnya. Tampak wajah
Dewi Wila Marta sedikit pucat mendengar suara tawa menggelegar itu.
Belum lagi hilang suara tawa itu, tiba-tiba muncul sepuluh
orang laki-laki bertubuh tinggi besar bagai raksasa. Mereka semua membawa gada
besar yang bagian kepalanya bulat berduri kasar dan tajam. Mereka berlompatan
membuat lingkaran mengepung dua pendekar itu.
"Ihhh...!" Dewi Wila Marta agak bergidik melihat
manusia-manusia setengah raksasa itu.
Saat Rangga menolehkan kepalanya ke kiri, melesat sesosok
tubuh setengah raksasa. Ternyata, Raden Segara. Bumi terasa bergetar begitu
kaki Raden Segara menjejak tanah. Dewi Wila Marta sampai terbeliak melihat
perawakan tinggi besar itu. Belum pernah dilihat sebelumnya manusia begini
besar, yang besarnya hampir dua kali lipat dari orang biasa!
"Siapa mereka, Rangga...?" tanya Dewi Wila Marta
setengah berbisik. Suaranya terdengar sedikit bergetar.
"Aku tidak tahu siapa mereka. Yang jelas, merekalah
lawan kita," sahut Rangga
"Mereka...?!" Dewi Wila Marta tidak bisa lagi
menyembunyikan keterkejutannya.
"Kenapa? Takut?""
"Tidak!" sahut Dewi Wila Marta. Tapi suaranya
masih juga terdengar bergetar.
Rangga bisa memaklumi. Kalau Dewi Wila Marta memang benar
murid Resi Kamuka, pasti belum berpengalaman menghadapi tokoh-tokoh rimba
persilatan. Yang jelas, Resi Kamuka tidak akan sembrono mengirimkan seorang
gadis yang tingkat kepandaiannya belum cukup. Apalagi untuk berpetualang ke
daerah yang begitu jauh.
"Tidak perlu repot mencarimu, Rangga. Aku kagum dengan
keberanianmu, tapi sayang kau harus mati di sini," kata Raden Segara.
"Justru aku datang untuk membunuh kalian semua!"
dingin nada suara Rangga.
"Ha ha ha " Raden Segara tertawa terbahak-bahak.
"Ih ! Manusia atau jin, ini?!" desis Dewi Wila
Marta pelan di belakang punggung Pendekar Rajawali Sakti.
"Rupanya kau sudah sampai ke kuil itu! Ha ha ha...!
Sudah kuduga, kau datang ke sini memang bukan sekadar lewat. Hebat! Benar-benar
licik dia. Tidak mampu menghadapiku sendiri, tapi malah meminta bantuan orang
lain. Sayang kau terlalu bodoh, Rangga," ujar Raden Segara lantang.
"Aku tidak peduli apa yang kau katakan, Raden Segara.
Siapa saja yang meminta pertolonganku, akan kutolong. Dan aku tidak segan-segan
menentang kekejaman!" mantap kata-kata Rangga.
"Kekejaman..., heh!" dingus Raden Segara sinis.
"Perbuatanmu tidak bisa lagi didiamkan, Raden
Segara."
"Perbuatanku? Apa yang telah kulakukan? Heh...! Rupanya
orang-orang busuk itu sudah mempengaruhi otakmu, dan kau terlalu bodoh untuk
menilai!"
Rangga menatap tajam laki-laki bertubuh setengah raksasa
itu. Sedangkan Dewi Wila Marta hanya diam saja tanpa mengeluarkan suara sedikit
pun.
"Dengar, Rangga. Aku tidak peduli siapa dirimu, dan
dari mana datangnya. Siapa pun yang berani mengusikku, itu berarti harus
berhadapan denganku. Seperti juga orang-orang busuk di puri itu. Mereka harus
menerima akibat perbuatannya karena mencoba menentangku!" tegas kata-kata
Raden Segara.
"Mereka pantas menentangmu karena tidak tahan terhadap
kekejaman dan kebrutalanmu!" sambut Rangga ketus.
"Itu peraturanku, Rangga. Tidak ada seorang pun yang
boleh melanggar aturanku!" dengus Raden Segara.
"Dengan menjadikan tawanan sebagai binatang buruan?
Membantai orang-orang tua dan anak-anak? Menculik gadis-gadis, dan
mempekerjakan pemudapemuda secara paksa. Apa itu bukan kekejaman namanya? Dan
kau harus tahu, Raden Segara. Di mana aku berada, maka tidak akan berdiam diri
melihat keangkaramurkaan!"
"Dengan kata lain kau menantangku, Rangga."
"Terserah apa pendapatmu. Yang jelas, kuminta kau
membebaskan seluruh tawananmu, dan kembali ke asalmu!"
"Kadal busuk! Menyesal kau kubiarkan hidup!"
Raden Segara menggerakkan tangannya sedikit, maka empat
orang yang memegang gada besar langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali
Sakti. Serangan itu demikian cepat, dan Rangga tidak punya pilihan lain.
Langsung saja dikerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Di samping harus
menghindari serangan-serangan itu, dia juga harus melindungi Dewi Wila Marta.
"Hiya! Hiya...!"
Sambil berteriak keras, Rangga memutar tubuhnya lalu melesat
ke atas. Dua pukulan bertenaga dalam sempurna dilepaskan langsung mengarah ke
bagian di antara dua mata penyerangnya. Dua pukulan itu demikian cepat,
sehingga dua orang penyerangnya tidak bisa menghindari diri lagi.
Kedua orang tinggi besar bagai raksasa itu meraung keras
sambil menutup wajahnya. Darah mengalir dari sela-sela jarinya. Mereka ambruk
berdebum ke tanah dengan kerasnya, dan menggeliat-geliat sambil meraung keras.
Dua orang lagi jadi terpana, dan segera menghentikan serangannya memandang dua
temannya yang menggelepar-gelepar meraung kesakitan.
"Keparat!" geram Raden Segara marah.
"Hm...," Rangga tersenyum sinis.
***
Keanehan terjadi tiba-tiba. Dua orang yang menggelepar dan
meraung di tanah, mendadak diam kaku. Kemudian dari seluruh tubuhnya mengepul
asap tipis yang semakin lama semakin menebal. Asap itu kini menyelubungi seluruh
tubuh kedua manusia setengah raksasa itu. Tidak berapa lama, asap itu
menghilang. Dan kedua tubuh yang menggeletak di tanah, kini berubah menjadi
kecil seukuran tubuh manusia biasa. Dua sosok tubuh kurus kering itu berlubang
pada bagian di antara kedua matanya. Tampak sebutir batu merah terdapat dalam
lubang di kening mereka.
Rangga menggeser kakinya ke belakang dua tin-dak. Hampir
tidak dipercaya dengan apa yang dilihatnya. Ternyata di kening manusia-manusia
setengah raksasa itu tertanam sebutir batu mutiara merah. Dan rupanya, di
situlah letak kelemahannya. Rangga sendiri belum mengerti tentang semua ini,
tapi sudah bisa mengetahui letak kelemahan manusia-manusia raksasa ini.
"Wila, kau harus bisa melawan mereka. Pusatkan
perhatian seranganmu pada kening. Di situ letak kelemahannya," jelas
Rangga setengah berbisik.
"Baik, Rangga," sahut Dewi Wila Marta.
Sementara itu Raden Segara sudah memberi isyarat dengan
tangannya. Maka delapan manusia setengah raksasa lainnya, serentak bergerak
menyerang sambil mengayunkan gadanya yang besar dan berduri kasar. Kali ini
Dewi Wila Marta tidak luput dari serangan mereka. Gadis itu mencabut pedangnya,
kemudian berlompatan menghindari setiap serangan yang datang.
"Huh! Kenapa susah-susah mengarahkan ke kening? Gerakan
mereka tidak terlalu cepat, dan aku bisa menusukkan pedang ke mana saja!"
dengus Dewi Wila Marta dalam hati.
Seketika itu juga Dewi Wila Marta membabatkan pedangnya ke
arah leher salah seorang penyerangnya yang terdekat. Tapi begitu pedangnya
menghantam leher lawan, gadis itu terpekik kaget. Pedangnya terpental kembali
dengan kuat. Bahkan dirasakan tangannya bergetar hebat. Sedangkan lawannya
tidak terluka sedikit pun!
Rangga yang sempat melihat kejadian itu, langsung melompat
mendekati Dewi Wila Marta. Padahal dia sendiri tengah sibuk menghadapi enam
orang manusia setengah raksasa.
"Sudah kukatakan, jangan coba-coba!" bentak
Rangga, kesal juga akan kebandelan gadis itu.
"Aku hanya ingin tahu!" rungut Dewi Wila Marta.
"Kau tidak punya pedang lagi! Sebaiknya, cepat
tinggalkan tempat ini!" perintah Rangga.
"Tidak!"
Rangga geram juga akan gadis keras kepala ini. Dan pada saat
itu salah seorang dari manusia setengah raksasa itu menyerang ke arah Dewi Wila
Marta. Namun belum sempat orang itu mendekat, Rangga sudah lebih dahulu
melompat sambil mengirimkan satu tendangan ke arah kening. Tendangan yang cepat
disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu tidak bisa lagi dihindari.
Padahal orang itu sudah mencoba mengelak. Dia meraung keras sambil menutupi
wajahnya.
"Hup!"
Rangga langsung menyambar pedang Dewi Wila Marta yang
menggeletak di tanah. Secepat kilat, tubuhnya melesat seraya menyambar gadis
itu. Begitu cepatnya gerakan Rangga, tahu-tahu lenyap bagai tertelan bumi.
Raden Segara jadi berang setengah mati. Diperintahkanlah pembantu-pembantunya
untuk mengejar. Sementara dia sendiri kembali ke perkampungan. Tidak
dihiraukannya lagi seorang pembantunya yang mulai berubah wujud menjadi sosok
tubuh kurus kering dengan kening bolong dan sebutir mutiara merah di keningnya.
***
TUJUH
Dewi Wila Marta bersungut-sungut seraya bangkit berdiri.
Dibersihkan debu yang melekat di bajunya. Sedangkan Rangga berdiri tegak tidak
jauh darinya. Pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti itu demikian tajam
menusuk. Dewi Wila Marta memungut pedangnya yang menggeletak di tanah, dan
disarungkan kembali di pinggang.
"Sebaiknya kau kembali saja ke Gunung Waja!" ujar
Rangga dingin.
"Kalau aku tidak mau?" dengus Dewi Wila Marta
ketus.
"Aku yang akan membawamu ke sana. Aku yakin, Resi
Kamuka tidak menyukai tindakanmu. Kau telah melangkahi wewenang gurumu
sendiri."
"Aku bosan di padepokan terus!" rungut Dewi Wila
Marta.
"Kau belum siap terjun ke dalam rimba persilatan, Wila.
Masih banyak yang belum kau ketahui. Bekalmu belum lagi cukup. Mengertilah itu,
Wila. Dunia persilatan, dunia yang keras. Tidak ada hukum yang bisa
mengaturnya. Masing-masing pribadi punya hukum sendiri-sendiri," Rangga
mencoba memberi pengertian pada gadis itu.
Apa yang dilakukan Dewi Wila Marta tadi sudah menandakan
kalau gadis itu masih terlalu hijau untuk terjun ke dalam kancah persilatan. Terlalu
berbahaya bagi keselamatan dirinya sendiri. Dan Rangga tidak ingin gadis itu
mati sia-sia hanya karena menuruti kata hati belaka.
"Jurus-jurusmu memang dari Padepokan Arang Watu. Tapi
kau belum begitu sempurna memilikinya. Harus lebih banyak lagi belajar, Wila.
Kau tidak bisa merambah ganasnya rimba persilatan hanya dengan kepandaian yang
setengah. Pulanglah, sebelum semuanya terlambat," ujar Rangga lebih
lembut.
"Aku tadi hanya mencoba, kenapa kau menilaiku begitu?
Kau pikir aku bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa? Kau boleh mengujiku,
Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun kau seorang pendekar digdaya, tapi belum
tentu mampu menjatuhkanku dalam lima jurus!" tantang Dewi Wila Marta
ketus.
"Untuk apa? Aku sudah bisa mengukur, sampai di mana
lingkat kepandaianmu!" selak Rangga jadi sengit.
"Sombong! Kau terlalu angkuh, Rangga. Ayo, kita
bertarung. Jika mampu merobohkan dalam lima jurus, aku akan menuruti
kata-katamu. Tapi kalau tidak..., jangan harap bisa mengaturku!" tantang
Dewi Wila Marta sambil mencabut pedangnya.
Pendekar Rajawali Sakti menggeleng-gelengkan kepala melihat
tingkah gadis itu. Rangga sudah sering malang-melintang dalam rimba persilatan.
Sudah tidak terhitung lagi, berapa tokoh golongan hitam yang dihadapinya, dan
berapa pendekar yang dikenalnya. Seorang tokoh rimba persilatan tidak akan
cepat-cepat mencabut senjata kalau tidak terdesak. Sikap Dewi Wila Marta yang
langsung mencabut senjata, sudah menandakan kalau gadis itu masih terlalu
hijau.
"Aku yakin, baru pertama kali ini kau keluar dari
padepokan," tebak Rangga.
"Jangan banyak omong! Ayo lawan aku!" rungut Dewi
Wila Marta senglt
"Tidak ada gunanya menurutimu, Gadis Manis. Dari
sikapmu saja sudah menunjukkan kalau kau belum pernah berkecimpung di dunia
luar. Apa kau sudah lupa ajaran dari padepokanmu? Seorang pendekar pantang
mencabut senjata kalau tidak terpaksa. Dan senjatamu itu sudah menunjukkan
kalau kau masih harus lebih banyak belajar lagi."
Seketika wajah Dewi Wila Marta menyemburat merah dadu.
Kata-kata Rangga yang tenang dan lembut sungguh tepat mengenai sasaran.
Mendadak, seluruh tubuh Dewi Wila Marta jadi lemas. Pedang yang tergenggam
erat, jatuh ke sampingnya. Kemudian tubuhnya sendiri jatuh berlutut
Rangga menghampiri dan memungut pedang gadis itu.
Disentuhnya pundak gadis itu, dan memintanya untuk bangkit berdiri.
Perlahan-lahan gadis itu bangkit. Namun kepalanya terus tertunduk dalam,
seolah-olah malu untuk menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Sarungkan kembali pedangmu," ujar Rangga lembut.
Perlahan-lahan Dewi Wila Marta mengangkat kepalanya.
Diterimanya pedang itu dari tangan Rangga, dan disarungkannya kembali.
"Bisa kurasakan adanya kesungguhan di hatimu untuk
menjadi seorang pendekar. Tapi kesungguhan hati tidak cukup untuk berkecimpung
di dalam rimba persilatan," kata Rangga lembut. "Masih banyak yang
harus dipelajari dan dipahami di padepokan. Bukan hanya penguasaan jurus-jurus,
tapi juga pengetahuan lain agar tidak terperosok dan akan membuat dirimu
dirundung penyesalan seumur hidup."
"Maafkan aku...," ucap Dewi Wila Marta menyesal.
''Tidak ada yang perlu dimaafkan. Anggap saja ini sebagai
pelajaran berharga untuk di kemudian hari jika kau sudah benar-benar siap
menjadi seorang pendekar," ujar Rangga tetap lembut
"Aku memang belum siap, tapi aku ingin menimba
pengalaman di luar. Resi Kamuka tidak pernah mengijinkan setiap muridnya keluar
sebelum menyelesaikan pelajarannya di padepokan. Sedangkan aku sudah tidak
tahan lagi. Sejak kecil aku berada di Padepokan Arang Watu, dan tidak ingin
sampai tua di sana," keluh Dewi Wila Marta.
"Aku bisa memahami perasaanmu, Wila."
"Sudah lebih dari sepekan kutinggalkan padepokan tanpa
ijin. Tidak mungkin aku kembali lagi ke sana. Resi Kamuka pasti tidak bersedia
menerimaku lagi. Dan semuanya pasti sudah menganggapku murid murtad."
"Aku tahu siapa gurumu. Beliau orang yang bijaksana.
Kalau kau mengakui semua kesalahanmu, pasti masih diterima dengan tangan
terbuka."
Dewi Wila Marta menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku
takut, Rangga. Aku tidak sanggup lagi bertemu Resi Kamuka. Rasanya dia sudah
kubuat kecewa," lirih suara Dewi Wila Marta
"Tidak perlu takut. Aku akan menjelaskannya nanti pada
Resi Kamuka," janji Rangga.
"Oh, sungguh...?"
Rangga mengangguk.
"Terima kasih...."
"Rangga."
"Boleh aku memanggilmu Kakang?"
"Kenapa tidak?"
"Terima kasih," ucap Dewi Wila Marta mulai cerah
kembali wajahnya. "Tapi...," mendadak wajahnya kembali mendung.
"Apa lagi?" tanya Rangga.
"Apa mungkin Resi Kamuka masih menerimaku lagi?"
tanya Dewi Wila Marta pelan.
"Kenapa tidak? Kau punya bakat besar. Aku yakin, dalam
waktu dua atau tiga tahun saja kau sudah mampu malang melintang dalam dunia
persilatan," Rangga meyakinkan.
"Resi Kamuka pasti menghukumku, Kakang."
"Segala perbuatan mengandung resiko. Kau berani
melakukan perbuatan ini, tentu berani juga menanggung resikonya. Aku rasa
hukuman yang akan kau dapat tidak berarti banyak bila kau sudah terjun ke dunia
luar. Resiko seorang pendekar lebih berat lagi daripada hukuman yang pasti
hanya bersifat mendidik. Bukan karena kebencian semata."
"Aku gembira bisa bertemu denganmu, Kakang. Resi Kamuka
sering menceritakan tentang dirimu, dan aku ingin sekali bertemu
denganmu," ungkap Dewi Wila Marta terus terang.
"Aku tidak percaya hanya karena hal itu kau berani
mengambil resiko besar seperti ini," Rangga menggeleng-gelengkan
kepalanya. Memang sudah bisa ditebak sebabnya Dewi Wila Marta berada di sini
sekarang.
"Iya," sahut Dewi Wila Marta tersipu.
***
Rangga menepuk pundak Dewi Wiia Marta, dan mengajaknya
berjalan. Tapi belum juga jauh melangkah, tiba-tiba muncul Raden Segara bersama
lebih dari dua puluh orang pengawalnya. Mereka membuat suara-suara gaduh sambil
mengayun-ayunkan gada yang besar dan berduri tajam. Dewi Wila Marta terkesiap
juga melihat manusia setengah raksasa yang tahu-tahu sudah mengepungnya.
Sedangkan Rangga jadi berpikir melihat jumlah manusia
manusia setengah raksasa Itu demikian banyak. Menghadapi lima atau enam orang saja
sudah begitu sukar baginya. Apalagi harus menghadapi sekian banyak! Namun yang
menjadi bahan pikiran Pendekar Rajawali Sakti adalah Dewi Wila Marta. Gadis ini
pasti tidak akan mampu menghadapi mereka. Seorang saja belum tentu bisa
dihadapi Dewi Wila Marta yang masih terlalu hijau dalam dunia kependekaran.
"Ha ha ha...! Kali ini kau tidak akan bisa lolos
dariku, bocah setan!" keras sekali suara Raden Segara.
Para pengawalnya yang semuanya bertubuh setengah raksasa,
ikut tertawa terbahak-bahak. Dewi Wila Marta cepat menutup telinganya, tidak
tahan mendengar suara yang menggelegar itu.
"Bunuh dia! Biarkan yang perempuan hidup!"
perintah Raden Segara menggelegar.
Lebih dari dua puluh orang bertubuh tinggi besar itu
menghambur dan berteriak-teriak mengayun-ayunkan gadanya. Mereka langsung
merangsek Pendekar Rajawali Sakti, dan menggiringnya agar terpisah dari Dewi
Wila Marta. Tentu saja hal ini membuat Dewi Wila Marta jadi ketakutan juga.
Dengan sekuat tenaga dan semampunya gadis itu berusaha melawan mempergunakan
pedang dan jurus-jurus yang dipelajari di Padepokan Arang Watu.
Rangga sendiri agak kewalahan juga menghadapi keroyokan
manusia setengah raksasa itu. Mereka kini sudah mengetahui kelemahan
masing-masing, sehingga tidak mudah bagi Rangga untuk mengarahkan pukulannya ke
kening. Setiap kali pukulannya mengarah ke sana, selalu saja ada yang menjegal,
atau menghantamkan gada besar dan berduri besar. Mereka bahkan membiarkan saja
bagian tubuh lainnya terbuka lebar. Mudah bagi Rangga untuk menghantam dada,
perut, atau bagian tubuh lainnya yang dapat mematikan bagi orang lain. Tapi
tidak ada gunanya bagi manusia setengah raksasa ini.
"Ha ha ha...!" Raden Segara yang menyaksikan
pertarungan itu tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Rangga harus berpikir keras mencari jalan untuk
mengalahkan manusia-manusia setengah raksasa ini. Gerakan mereka terlihat lebih
cepat, dan selalu melindungi kening dengan gadanya. Sedangkan Rangga tahu,
hanya di situlah letak kelemahan mereka. Seluruh jurus maupun aji kesaktian
yang dimiliki tidak berarti apa-apa sama sekali! Rangga hanya mengandalkan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tapi, itu pun sudah terasa sulit, karena
lawannya begitu banyak dan ruang gerak juga semakin terbatas.
"Akh...!" tiba-tiba terdengar suara pekikan
tertahan dari Dewi Wila Marta.
"Wila...!" sentak Rangga terkejut
Tampak Dewi Wila Marta terhuyung-huyung sambil mendekap
dadanya. Tampak dari sudut bibirnya keluar darah segar. Dan selagi gadis itu
terhuyung, sebuah hantaman keras mendarat di punggungnya. Dewi Wila Marta
kembali memekik keras, dan tubuhnya langsung terjerembab mencium tanah. Rangga
yang melihat keadaan gadis itu, langsung melompat. Tapi sebuah gada melayang
deras menghadang lompatannya.
"Hup!"
Rangga melentingkan tubuhnya berputar menghindari terjangan
gada besar berduri itu. Dan tubuhnya langsung meluruk deras menjangkau Dewi
Wila Marta yang tengah berusaha bangkit berdiri. Tapi sebelum Pendekar Rajawali
Sakti itu bisa meraih tubuh Dewi Wila Marta, mendadak satu tendangan keras
mendarat di punggungnya.
"Ugh!" Rangga mengeluh pendek.
Pendekar Rajawali Sakti terdorong beberapa langkah ke depan.
Dan selagi tubuhnya belum seimbang, satu pukulan keras kembali mendarat di
dadanya. Satu pekikan keras terdengar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti itu.
Tubuhnya cepat mencelat tinggi ke udara, dan berputaran beberapa kali.
Bukan Pendekar Rajawali Sakti kalau tidak mampu menghadapi
keadaan sulit ini dengan cepat. Mengetahui dirinya mendapat dua pukulan
sekaligus, cepat-cepat Rangga melentingkan tubuhnya dan hinggap di atas dahan.
Sebentar digerakkan tangannya, mengerahkan hawa murni untuk mengurangi rasa
nyeri pada punggung dan dadanya.
"Phuih!" Rangga menyemburkan ludahnya.
Sret!
Cahaya biru berkilau langsung menyemburat menerangi
sekitarnya begitu pedang pusaka Rajawali Sakti tercabut dari warangkanya di
punggung. Semua orang bertubuh tinggi besar bagai raksasa itu terpana melihat
cahaya biru memancar dari pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dua orang
yang tengah memegangi Dewi Wila Marta, jadi terpaku. Dan kesempatan ini cepat
dimanfaatkan gadis itu untuk meloloskan diri.
Dengan cepat Dewi Wila Marta berlari begitu dapat terlepas
dari cekalan dua manusia setengah raksasa itu. Dia lari ke bawah pohon tempat
Rangga berada. Pendekar Rajawali Sakti itu segera meluruk turun, dan mendarat
manis sekali di depan Dewi Wila Marta. Pedangnya melintang di depan dada.
"Bocah setan! Dari mana kau dapatkan pusaka itu?"
bentak Raden Segara seraya membeliak lebar.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil.
Pertanyaan Raden Segara membuat kening Pendekar Rajawali
Sakti berkerut juga. Terlebih lagi melihat wajah manusia-manusia setengah
raksasa yang kehhatan pucat dengan mata membeliak lebar ketika melihat pedang
di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan-lahan mereka bergerak mundur.
"Kakang, mereka takut melihat pedangmu," kata Dewi
Wila Marta setengah berbisik
Lagi-lagi Rangga hanya bergumam saja, kemudian kakinya
bergerak maju perlahan-lahan Manusia-manusia setengah raksasa itu semakin
bergerak mundur.
Sret!
Raden Segara mencabut pedangnya yang panjang dan cukup
besar. Digenggamnya pedang itu erat-erat dengan kedua tangannya. Perlahan
kakinya menggeser ke kanan beberapa tindak. Kedua matanya tajam menatap pedang
berwarna biru berkilau di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Serang...!" teriak Raden Segara keras.
Empat orang serentak melompat maju seraya mengayunkan
gadanya kuat-kuat. Sedangkan Rangga hanya menggeser sedikit ke kanan kakinya,
lalu mengibaskan pedangnya ke arah salah seorang penyerangnya yang berada di
sebelah kanan. Kibasan pedang bercahaya biru berkilau itu demikian cepat,
sehingga tidak dapat dielakkan lagi. Ujung pedang itu langsung membabat dada
manusia setengah raksasa itu.
"Aaargh...!"
Satu raungan keras terdengar. Seketika orang itu menggelepar
dan dadanya yang robek panjang langsung mengucurkan darah segar. Belum lagi
lenyap suara raungan itu, Rangga sudah melompat sambil mengebutkan pedangnya ke
kiri. Kembali terdengar raungan keras disusul ambruknya seorang penyerang lagi.
Dua orang lainnya langsung melompat mundur. Tampak dua orang yang menggelepar
di tanah, langsung berubah mengecil setelah asap menyelubungi tubuhnya. Kini
yang ada hanya dua orang laki-laki kurus kering seperti seonggok mayat yang
sudah lama terkubur di dalam tanah.
Rangga berdiri tegak dengan pedang pusakanya menyilang di
depan dada. Sungguh tidak dimengerti, kenapa pedang pusakanya mampu mengoyak
tubuh mereka yang kebal. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu jadi tersenyum
gembira dalam hati. Kini, tidak perlu lagi dipusatkan perhatiannya pada kening
manusia-manusia setengah raksasa itu. Dengan Pedang Rajawali Sakti, kekebalan
tubuh mereka tidak ada artinya.
Rangga sempat melirik dua sosok tubuh yang menggeletak tidak
jauh darinya. Tampak pada bagian kening di antara kedua matanya, terdapat satu
lubang yang tidak berapa besar. Dan di dalam lubang itu terlihat sebutir
mutiara merah. Bau busuk yang datang dari dua sosok tubuh yang tergeletak mulai
terasa menyengat hidung.
"Serang! Bunuh bocah setan itu...!" teriak Raden
Segara kalap.
Raden Segara langsung melompat sambil mengi-baskan pedangnya
ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi manis sekali Rangga mengelakkannya.
Bahkan pedangnya berkelebat cepat menusuk ke arah perut Raden Segara terkesiap
sesaat, dan cepat-cepat melompat mundur ke belakang. Pada saat itu
pengawal-pengawalnya sudah berhamburan menye-rang Pendekar Rajawali Sakti.
Beberapa di antaranya mengeroyok Dewi Wila Marta.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Rangga berlompatan cepat seraya
mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Raungan keras terdengar saling
sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh besar bersimbah darah. Rangga bagaikan
seekor singa gurun yang terluka. Gerakannya demikian cepat, sehingga sukar
diikuti pandangan mata biasa. Jeritan melengking terdengar saling sambut
disertai raungan keras dari tubuh-tubuh yang menggelepar bersimbah darah. Asap
mengepul di beberapa tempat. Sebentar saja, tidak kurang dari delapan mayat
bergelimpangan membusuk. Kening mereka berlubang, dan ada sebutir batu mutiara
merah di dalamnya.
Melihat delapan orang pengawalnya tewas, Raden Segara agak
gentar juga menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Langsung dialihkan perhatiannya
pada Dewi Wila Marta. Secepat kilat Raden Segara melompat dan langsung
menyambar tubuh gadis itu. Dewi Wila Marta terpekik kaget. Tapi tubuhnya sudah
tidak berdaya lagi dalam kempitan tangan yang besar.
"Wila...!" teriak Rangga terkejut.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat, namun
beberapa orang bertubuh tinggi besar sudah menghadangnya. Mereka langsung
memberikan serangan dahsyat. Sementara, Raden Segara sudah melesat kabur
membawa Dewi Wila Marta. Pengawal-pengawalnya yang tersisa juga segera
berlarian cepat ke segala arah.
"Iblis! Pengecut...!" rutuk Rangga geram.
***
DELAPAN
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melesat
mengejar Raden Segara yang kabur membawa lari Dewi Wila Marta. Meskipun bayangan
manusia setengah raksasa itu sudah tidak terlihat lagi, namun Pendekar Rajawali
Sakti masih bisa melihat arah kepergiannya.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiiiki Pendekar Rajawali Sakti
memang sudah mencapai taraf sempurna, sehingga dalam waktu tidak berapa lama
sudah sampai di perkampungan aneh. Perkampungan yang lebih tepat disebut
benteng pertahanan. Namun Rangga tidak berhenti sampai di situ Dia terus menuju
ke arah Timur, menerobos lebatnya semak belukar dan pepohonan yang merapat,
menambah gelapnya suasana.
Rangga baru berhenti setelah di depannya terlihat sebuah
bangunan besar bagai istana, yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan tebal.
Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah perlahan mendekati pintu gerbang benteng
yang nampak terbuka lebar, seakan-akan sengaja memberi peluang untuk dimasuki.
Namun Rangga tidak gegabah begitu saja. Dia berhenti sekitar tiga batang tombak
jaraknya di depan pintu gerbang benteng istana itu.
Slap...!
Mendadak seberkas cahaya merah meluncur dari dalam benteng
istana itu. Sinar merah yang begitu terang, meluruk deras ke arah Pendekar
Rajawali Sakti. Bergegas Rangga melompat, dan berputar sekali di udara. Cahaya
merah itu meluncur deras dalam putaran tubuhnya. Dan begitu kakinya mendarat di
tanah, kembali datang dua sinar merah sekaligus. Rangga terpaksa beriompatan
kembali di udara menghindari terjangan sinar-sinar merah itu. Suara ledakan
terdengar beruntun, disusul tumbangnya pepohonan yang terlanda sinar-sinar
merah itu.
"Rangga, kemari...!"
Tiba-tiba terdengar suara panggilan keras dari belakang.
Pada saat itu, Rangga baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Dia langsung
menoleh, dan seketika kembali meluncur seberkas sinar merah dari dalam benteng
istana.
"Awas..!" terdengar seruan kecil, namun terdengar
jelas.
"Hup! Hiyaaa...!"
Terlambat....
"Akh...!" Rangga memekik keras agak tertahan.
Tubuhnya terlontar beberapa tombak ke belakang.
Sinar merah itu tepat menghantam dada Pendekar Rajawali
Sakti, sehingga tubuhnya terlontar ke belakang. Dua batang pohon yang sangat
besar langsung tumbang terlanda tubuh pemuda pendekar itu. Belum lagi Rangga
sempat bangkit, tiba-tiba melesat satu bayangan kuning keemasan, langsung
menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti dan membawanya pergi dari tempat itu.
Tepat, pada saat itu kembali seberkas cahaya merah melesat, menghantam tempat
tadi Rangga tergolek. Sedangkan bayangan kuning keemasan itu sudah membawa
Rangga cukup jauh dari perkampungan bagai benteng itu. Dibaringkan kembali
tubuh Pendekar Rajawali Sakti di tempat yang cukup aman.
"Ugh!" Rangga mengeluh pendek begitu dia merasakan
tubuhnya kembali terbaring di tanah.
Rangga berusaha bangkit, tapi sebentuk tangan halus
mencegahnya. Pendekar Rajawali Sakti itu memandang seraut wajah cantik bagai
bidadari kahyangan. Pakaiannya begitu indah terbuat dari surra halus yang penuh
terhias sulaman benang emas. Wanita itu memberikan senyum yang begitu manis
menawan.
"Ratu Mutiara...," desis Rangga seraya berusaha
bangkit, tapi kemudian meringis karena dadanya nyeri sekali.
"Jangan bangun dulu. Tetaplah berbaring," kata
Ratu Mutiara lembut
Rangga tidak bergerak lagi. Dirasakan sepasang tangan yang
halus dan lembut menekan dadanya.
Perlahan-lahan seluruh rongga dadanya serasa jadi dingin.
Namun sesaat kemudian mendadak seluruh dadanya jadi sesak, dan tulang-tulangnya
seperti diremas. Begitu menyakitkan, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu
meringis menahan rasa sakit yang luar biasa.
"Hoek...!" Rangga memuntahkan darah kental
kehitaman.
Ratu Mutiara melepaskan tangannya. Saat itu Rangga
rherasakan seluruh rongga dadanya kembali longgar, dan napasnya pun kembali
teratur. Tidak ada lagi rasa nyeri dan sakit di dadanya, bahkan kini sudah bisa
bangkit dan duduk bersila. Ratu Mutiara juga tetap duduk di depan Pendekar
Rajawali Sakti itu.
"Apa yang terjadi padaku?" tanya Rangga seraya
meraba dadanya.
"Kau terkena ilmu pukulan jarak jauh yang mengandung
racun mematikan. Tapi bukan karena itu. Dalam pukulan itu tersimpan sebutir
mutiara merah," sahut Ratu Mutiara.
"Mutiara Merah...!" Rangga jadi teringat batu-batu
mutiara yang selalu ada pada setiap kening manusia-manusia setengah raksasa
itu.
"Mutiara kehidupan yang juga mematikan."
"Aku tidak mengerti maksudmu?"
"Memang sukar untuk dimengerti bangsa manusia. Itu
sebabnya aku pergi dari puri menemuimu," kata Ratu Mutiara.
Rangga semakin tidak dapat memahami kata-kata Ratu Mutiara
tadi. Benaknya kini dipenuhi bermacam dugaan. Sedangkan Ratu Mutiara hanya
tersenyum, seolah bisa membaca yang ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti
itu.
"Aku dan seluruh rakyatku sebenarnya bukan bangsa
manusia seperti yang kau lihat. Demikian pula dengan Raden Segara dan
pengawal-pengawahnya. Sebenarnya kami semua termasuk bangsa siluman yang tidak
bisa terlihat oleh manusia. Tapi karena ulah Raden Segara, semuanya jadi
seperti melawan kodrat alam," kata Ratu Mutiara mencoba menjelaskan.
Rangga mencoba menangkap penjelasan yang sukar dipahami ini.
"Sejak nenek moyang kami diciptakan, antara bangsaku
dengan bangsa Raden Segara sudah terjadi permusuhan. Dan itu tidak akan dapat
terselesaikan hingga akhir jaman. Aku sendiri menjadi ratu sejak ribuan tahun
lamanya. Demikian juga Ayah Raden Segara. Meskipun kami semua bangsa siluman,
tapi kami hidup seperti layaknya bangsa manusia. Bisa berkembang biak, dan juga
dapat mati. Dan semua itu sudah takdir. Hanya para pemimpinlah yang tidak akan
mati kalau tidak menyalahi kodrat yang telah digariskan. Dan semua kodrat yang
telah digariskan Sang Pencipta itu telah dilanggar Raden Segara."
Sedikit-sedikit Rangga mulai bisa memahami.
"Sejak pertama kali diciptakan, antara bangsaku dengan
bangsa Raden Segara tidak akan bisa bersatu. Tapi Raden Segara tidak peduli.
Dia tetap ingln menyuntingku sebagai istrinya. Tentu saja aku menolak, karena
tidak ingin menyalahi kodrat yang telah digariskan. Raden Segara tidak bersedia
menerimanya. Maka, dicurilah mutiara-mutiara merah yang menjadi kekuatan
kehidupan dan kematian bangsa siluman. Mutiara merah itu bisa menjadi lambang
kekuatan kehidupan abadi jika digunakan secara benar, tapi juga bisa membuat
kematian bila digunakan secara salah. Mutiara Merah itu juga tidak akan berguna
banyak bagi bangsa manusia, dan akan musnah kekuatannya oleh bangsa manusia
jika sudah mengetahui letak penanamannya."
"Maksudmu?" tanya Rangga ingin lebih jelas.
"Kau sudah tahu di mana letak mutiara merah itu berada,
bukan?" tanya Ratu Mutiara.
"Ya," sahut Rangga.
"Letak yang sebenarnya bukan di antara kedua mata, tapi
di dalam hati. Ini maksudnya sebagai sumber dari segala pusat kehidupan setiap
makhluk siluman. Dan hal itu kemudian diketahui Raden Segara. Kemudian, diculik
dan dibunuhlah bangsaku untuk diambil mutiara merahnya, lalu dikenakan pada
pengawal-pengawalnya di antara kedua mata mereka. Dia sendiri juga
mengenakannya. Itulah sebabnya kenapa dirinya dan para pengawalnya bisa berubah
menjadi setengah raksasa. Itu tak lain karena kesalahan dalam penggunaan yang
sebenarnya sudah diketahui, tapi tetap dilanggar. Kau tahu, hatinya begitu
culas dan selalu ingin berkuasa...."
"Terutama untuk mendesakmu menerima lamarannya. Bukan
begitu?" tebak Rangga mulai mengerti.
"Benar! Tapi dia sangat kecewa karena aku tetap pada
pendirianku. Yang jelas, aku tidak mau menentang kodrat yang telah digariskan.
Aku sudah ditentukan akan menikah dengan seseorang, tapi bukan pada saat-saat
sekarang ini. Malah calon suamiku belum jelas berada di mana. Yang pasti, aku
akan menikah dengan bangsa siluman juga. Tapi bukan dari lawan-lawanku, seperti
bangsa siluman Raden Segara."
"Hm.... Aku masih belum mengerti, kenapa mereka....
Maksudku Raden Segara mengambil mutiara merah dari bangsamu?" tanya
Rangga.
"Raden Segara tahu, kekuatan bangsaku berada pada
mutiara merah yang tertanam di hati. Tanpa mutiara itu sudah sejak lama kami
musnah, dan jumlah mutiara itu pun terbatas. Makanya setiap ada bangsaku yang
mati, mutiaranya kusimpan untuk diberikan pada yang baru lahir. Bisa kau bayangkan
jika semua mutiara merah berhasil dikuasainya. Semua bangsaku akan musnah. Dan
itu bukan saja membahayakan seluruh bangsa siluman lainnya, tapi bagi kehidupan
manusia! Karena, dari mutiara merah itu mereka bisa terlihat jelas oleh
manusia. Dan kau tahu sendiri, mereka tidak mudah untuk dikalahkan."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mulai bisa
mengerti duduk persoalannya. Pantas saja sejak pertama kali datang, dan saat
menerima pesan-pesan aneh yang membingungkan, sudah dirasakan adanya kelainan.
Terlebih lagi setelah menginjakkan kakinya di daerah Selatan ini. Daerah yang
masih diselubungi hutan lebat yang tidak terjamah manusia.
"Apa yang kau pikirkan, Rangga?" tanya Ratu
Mutiara.
"Hm," Rangga bergumam saja.
"Katakan, dengan senang hari akan kujawab. Sudah
kutetapkan, kau harus tahu semuanya karena telah terlibat langsung dalam
persoalan ini."
"Hm...," kembali Rangga bergumam, seperti mencari
kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaan wanita ini.
Sedangkan Ratu Mutiara menunggu sabar. Bibir-nya selalu
menyunggingkan senyum, meskipun tidak sedang tersenyum.
***
"Katakan saja. Jangan khawatir, aku tak akan
tersinggung," kata Ratu Mutiara lembut Sepertinya, dia selalu tahu setiap
kali Rangga berpikir.
"Jalan pikiranku selalu bisa kau tebak dengan tepat.
Tentu kau tahu, apa yang ada dalam pikiranku saat ini," kata Rangga bisa
merasakan.
"Kau ingin tahu kenapa aku meminta bantuanmu,
begitu?" tebak Ratu Mutiara langsung.
"Tepat!" sahut Rangga kagum.
"Karena aku tahu siapa dirimu, dari mana kau peroleh
semua kepandaianmu. asal-usulmu, dan semuanya.
"Oh, ya...?" terkejut juga Rangga.
"Jangan heran. Aku ini bangsa siluman, sehingga bisa
mengetahui yang tidak bisa diketahui manusia. Tapi aku bukan dewa, sehingga
juga punya keterbatasan."
"Kalau begitu, kau juga pasti tahu kalau bukan karena
aku saja yang...."
"Kau ingin dengar alasanku, Rangga?" potong Ratu
Mutiara.
"Jika tidak keberatan."
"Aku memilihmu karena kau mewarisi ilmu Pendekar
Rajawali yang hidup seratus tahun lalu. Terlebih lagi, kau juga membawa pedang
pusaka Rajawali Sakti. Itu yang menyebabkan aku memilihmu, Rangga"
"Apa hubungannya?"
"Karena dulu Pendekar Rajawali pernah mengalahkan
bangsa siluman dari kaum Raden Segara. Makanya aku percaya betul kalau kau juga
pasti mampu."
"Bagaimana dengan Dewi Wila Marta?" Rangga jadi
teringat gadis dari Padepokan Arang Watu itu.
"Sejak semula, sudah kuketahui kalau dia tidak akan
berguna. Tapi aku tidak ingin mengecewakannya. Maka kubiarkan saja karena aku
tahu apa yang ada dalam hatinya."
"Dia sudah menyadari kekeliruannya," jelas Rangga.
"Aku tahu, dan sekarang aku juga tahu kalau dia berada
di tangan Raden Segara. Tapi tidak perlu khawatir. Kodrat manusia dengan
siluman itu berbeda. Raden Segara tidak akan dapat menyamakannya. Dia akan
selamat tanpa kurang satu apa pun. Itu juga kalau Raden Segara tidak
membunuhnya. Terlalu mudah baginya untuk membunuh manusia."
"Aku harus cepat membebaskannya," tegas Rangga.
"Rangga, kau bisa membunuh mereka. Tapi jangan membunuh
Raden Segara. Bagaimanapun juga, dia yang akan meneruskan kodrat kaumnya. Dan
ini tidak boleh dilanggar meskipun sifatnya buruk. Dan memang itu yang sudah
terjadi. Ada sifat baik, ada juga sifat buruk. Aku yakin, bangsa manusia juga
begitu."
"Aku janji," kata Rangga.
"Terima kasih."
Rangga bangkit berdiri. Ratu Mutiara juga ikut berdiri.
"Ada satu lagi, Rangga," kata Ratu Mutiara begitu
mereka melangkah kembali menuju bangunan istana megah itu.
"Apa?" tanya Rangga terus saja melangkah.
"Kau hadapi mereka, biar aku yang membebaskan Dewi Wila
Marta bersama yang lainnya."
"Kenapa begitu?"
"Karena, aku tidak dapat membunuh mereka yang memakai
mutiara merah. Itu sama saja membunuh rakyatku sendiri. Karena perbedaan antara
siluman terletak pada alat kehidupan dan kematiannya. Mereka juga memilikinya.
Dan, kau tidak perlu tahu, Rangga."
"Kenapa?"
"Ini kodrat, yang tak boleh dilanggar."
Rangga langsung diam. Sebenarnya hatinya kesal juga, karena
Ratu Mutiara selalu berkata kodrat. Dia memang percaya adanya kodrat yang telah
digariskan Sang Hyang Widi. Dan itu tidak bisa ditolak ataupun dilanggar.
Sebesar apa pun usahanya untuk melawan, tetap akan datang juga. Tapi Rangga
tidak terlalu terpaku pada kodrat. Yang dipercayainya hanya adanya nasib baik
dan buruk. Keberuntungan dan kesialan. Hanya itu yang tertanam dalam hatinya
sebagai seorang pendekar pemberantas keangkaramurkaan di Mayapada ini
Sementara itu mereka mulai berjalan menuju pintu gerbang
benteng istana. Benteng yang seharusnya ditempati Ratu Mutiara beserta seluruh
rakyatnya. Mereka berhenti setelah dekat benteng istana itu.
"Akan kubebaskan tawanan mereka. Kau masuk saja
sendiri. Jangan hiraukan serangan sinar merah mereka. Kau sudah kebal
sekarang," kata Ratu Mutiara.
"Apa yang kau lakukan pada diriku tadi?" tanya
Rangga.
"Hanya perisai. Gunakan pedangmu, karena hanya senjata
itulah yang dapat menghancurkan mereka," pesan Ratu Mutiara.
Belum lagi Rangga membuka mulut, Ratu Mutiara mendadak telah
lenyap dari pandangannya. Rangga mengangkat bahunya, kemudian melangkah memasuki
pintu gerbang benteng istana itu. Baru saja kakinya melewati ambang pintu,
beberapa cahaya merah meluruk deras ke arahnya. Cahaya itu langsung menghantam
tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan kali ini Rangga bisa tersenyum karena
sinar-sinar itu langsung pudar begitu menyentuh tubuhnya. Rangga tersenyum
sambil terus melangkah masuk.
"Serang...!" tiba-tiba terdengar seruan keras.
"Hiyaaa...!"
"Graaagh...!"
***
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah banyak manusia
setengah raksasa bermunculan. Mereka berlarlan cepat memperdengarkan suara
gemuruh ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu Rangga segera teringat pesan
Ratu Mutiara. Tanpa menunggu datangnya serangan lagi, Pendekar Rajawali Sakti
itu langsung mencabut pedang pusakanya yang bercahaya biru.
Sret!
"Hiya! Yaaahhh...!"
Rangga tidak lagi menunggu terlalu lama. Begitu pedangnya
terhunus, segera dikibaskan cepat disertai pengerahan jurus 'Pedang Pemecah
Sukma'. Satu jurus yang sangat dahsyat dan sangat jarang digunakan.
"Aukh...!"
"Aaargh...!"
Suara-suara pekikan dan raungan menyayat terdengar saling
sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh yang bersimbah darah segar. Cahaya biru
berkelebatan menyambar-nyambar mengikuti gerak tubuh Pendekar Rajawali Sakti,
dan tidak bisa terbendung lagi. Setiap kali berkelebat, satu dua nyawa melayang
diiringi erangan menyayat. Tidak terhitung lagi berapa tubuh bergelimpangan
bersimbah darah. Rangga mengamuk bagai banteng terluka. Meskipun dikeroyok
puluhan manusia setengah raksasa, tapi mampu menjatuhkan begitu banyak lawan.
Tiba-tiba saja Rangga dikejutkan adanya suara gemuruh, yang
langsung disusul jerit dan pekikan melengking dari arah belakang. Belum sempat
Rangga mengetahui apa yang terjadi, mendadak di dekatnya muncul Ratu Mutiara.
Rangga cepat melompat menghampiri.
"Temanmu sudah ada di perbatasan Utara," kata Ratu
Mutiara.
Secepat dia berkata, secepat itu pula tubuhnya melesat
melewati beberapa kepala manusia-manusia setengah raksasa. Rangga ikut melesat
cepat menyusul. Dan begitu kakinya mendarat, tampak Ratu Mutiara sudah berdiri
tegak menghadapi Raden Segara. Pendekar Rajawali Sakti menempatkan diri di
samping wanita cantik bangsa siluman itu. Sementara di belakang mereka,
terlihat prajurit-prajurit Ratu. Mutiara bertarung sengit melawan pengawal
pengawal Raden Segara.
"Kuakui, kali ini kau menang, Mutiara. Tapi jangan harap
aku menyerah begitu saja," kata Raden Segara dingin.
"Kembalikan saja mutiara merah itu, Raden. Aku janji,
semua yang terjadi di sini tidak akan sampai terdengar ayahmu," ujar Ratu
Mutiara lembut
Raden Segara bergumam agak mendesis, kemudian meraba wajahnya.
Dilemparkan sebutir mutiara merah, dan Ratu Mutiara langsung menangkapnya.
Bibirnya tersenyum setelah melihat sebutir mutiara berada dalam genggamannya.
Keanehan terjadi. Raden Segara langsung jadi menyusut kecil, dan kembali
seperti sediakala.
Seketika itu juga, para pengawalnya pun berubah mengecil
kembali Pertarungan pun segera berhenti. Pengawal-pengawal Raden Segara
berlompatan seraya melemparkan batu mutiara merah. Prajurit-prajurit Ratu
Mutiara juga segera menangkapnya.
"Suatu saat aku akan kembali lagi, Mutiara. Ingat! Kau
harus jadi milikku," kata Raden Segara, tetap dingin nada suaranya.
Raden Segara menatap tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hhh! Seharusnya aku tahu kalau kau seorang manusia. Sayang, kau masih
terikat persaudaraan dengan Raja Siluman Ular. Kalau tidak, nyawamu sudah
menghuni penjara istanaku, Rangga," dengus Raden Segara.
Setelah berkata demikian, Raden Segara langsung lenyap,
disusul para pengawalnya. Ratu Mutiara menarik napas panjang, kemudian
berpaling pada Rangga yang berdiri di sampingnya.
"Terima kasih, Rangga," ucap Ratu Mutiara.
"Tapi berhati-hatilah, Raden Segara begitu dendam
padamu."
"Kenapa dia tidak mau melawanku?" tanya Rangga.
"Karena kau saudara angkat Satria Naga Emas, Raja
Siluman Ular."
"Hm...."
"Tidak ada satu pun bangsa siluman yang berani
menentang Raja Siluman Ular. Dia adalah raja dari segala raja siluman yang ada.
Beruntunglah kau memiliki saudara angkat seperti dia."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kasihan temanmu. Dia pasti sudah menunggu lama,"
Ratu Mutiara mengingatkan.
"Baiklah. Aku pergi dulu," pamit Rangga.
"Atas nama seluruh rakyatku, kuucapkan banyak terima
kasih, Rangga."
"Ah! Sudah sepantasnya aku membantu siapa saja yang
memerlukan," desah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu membungkukkan badannya, kemudian
melesat cepat menuju ke arah Utara. Saat itu, perlahan-lahan tempat Ratu
Mutiara dan seluruh rakyatnya berada, berubah kembali menjadi hutan belantara.
Tidak ada lagi satu bangunan pun yang terlihat. Semuanya lenyap, kembali
menjadi sediakala. Sementara Rangga terus berlari cepat menuju perbatasan Utara
dengan wilayah kaum siluman itu.
Alam kembali terang benderang. Matahari bersinar cerah,
tepat di saat Rangga bisa menemukan Dewi Wila Marta yang memang telah
menunggunya setelah dibebaskan Ratu Mutiara. Mereka tidak banyak bicara lagi,
dan langsung pergi menunggang kuda masing-masing.
Rangga sendiri tidak ingin bertanya bagaimana caranya Ratu
Mutiara membebaskan Dewi Wila Marta. Bahkan juga menyediakan kuda-kuda di
tempat ini. Pendekar Rajawali Sakti sempat menoleh ke belakang, dan terlihat
bayangan Ratu Mutiara yang mengambang sambil tersenyum manis.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
Emoticon