1
Derap puluhan kaki kuda yang ditingkahi
teriakan-teriakan keras terdengar riuh memecah
kesunyian sore di sebuah kawasan hutan kecil.
Debu-debu membubung tinggi di sepanjang jalan
yang dilalui tak kurang dari dua puluh lelaki ka-
sar yang memacu kudanya kuat-kuat. Binatang-
binatang perkasa itu meringkik hebat. Sementara
kaki-kakinya yang kokoh terus menghentak-
hentak permukaan tanah. Padahal, dari mulutnya
telah menyemburkan cairan putih berbusa.
Tanpa mempedulikan keadaan kuda-
kudanya, mereka terus memacu kuat-kuat. Se-
hingga yang terlihat hanya bayangan hijau dari
pakaian mereka yang serba hijau serta ikat kepala
warna hijau.
Berada paling depan adalah seorang lelaki
bertubuh tinggi besar berusia empat puluh tahun.
Wajahnya bengis dengan sepasang mata menco-
rong berwarna merah menyala. Rambutnya yang
gondrong sengaja dibiarkan tergerai di bahu. Pa-
kaiannya juga serba hijau terbuat dari sutera in-
dah serta ikat kepala juga berwarna hijau. Siapa
lagi lelaki ini kalau bukan Setan Haus Darah,
Pimpinan Laskar Hijau yang baru-baru ini mere-
sahkan tanah Jawa bagian tengah. Sebelah len-
gannya tampaknya mendekap tubuh seorang ga-
dis cantik yang direbahkan di atas pangkuannya.
Gadis itu masih berusia muda, berusia ki-
ra-kira tujuh belas tahun. Wajahnya cantik ber-
bentuk bulat telur. Kulit tubuhnya yang putih
bersih terbungkus pakaian indah yang juga ber-
warna hijau. Rambutnya yang hitam pekat dige-
lung ke atas, dihiasi untaian bunga melati. Se-
dang sepasang matanya yang dihiasi bulu-bulu
lentik terus terpejam. Malah dari sudut-sudut bi-
birnya tampak mengalir darah segar pertanda
tengah mengalami luka dalam.
Seperti yang dilakukan pimpinan mereka,
beberapa anggota Laskar Hijau ini juga terus
menggebah kudanya sambil memeluk tubuh seo-
rang gadis dengan menggunakan sebelah lengan-
nya. Gadis-gadis itu adalah penduduk Kampung
Sumber Dalem yang berhasil diculik. Di samping
gadis-gadis cantik, beberapa orang anggota Pasu-
kan Laskar Hijau lainnya pun juga membawa
bungkusan-bungkusan besar hasil jarahan. (Un-
tuk lebih jelasnya silakan baca episode: "Setan
Haus Darah").
Tiba di sebuah jalan setapak, Setan Haus
Darah memperlambat lari kudanya. Tindakannya
segera diikuti anak buahnya. Meski demikian, Se-
tan Haus Darah dan anak buahnya tetap waspa-
da, karena bisa jadi tiba-tiba musuh datang me-
nyerang.
"Ketua! Kita tak mungkin membiarkan ke-
jadian ini begitu saja! Kita harus menuntut balas.
Siluman Ular Putih harus secepatnya dienyahkan
dari muka bumi ini!" kata salah seorang anggota
Pasukan Laskar Hijau penuh kegeraman, setelah
menjajari langkah kuda Setan Haus Darah. Se-
perti pemimpinnya, ia juga memangku seorang
gadis yang tampak ketakutan. Wajahnya yang
cantik berbentuk lonjong pucat pasi. Matanya je-
lalatan ke sana kemari memperhatikan laki-laki
berperangai kasar yang terus mendekapnya erat-
erat. Namun dalam keadaan tertotok begitu tak
mungkin si gadis bisa memberontak.
"Bagaimana, Ketua? Apa usulku tadi dapat
diterima?" ulang lelaki bertampang bengis di
samping Setan Haus Darah.
"Hhh...!" Setan Haus Darah mendesah, tak
langsung menjawab. Rahangnya tampak men-
gembung dengan kedua pelipis bergerak-gerak.
"Tentu saja aku tak dapat melupakan penghinaan
ini, Surono! Siluman Ular Putih harus mampus di
tanganku. Tapi, aku juga sadar. Pemuda keparat
itu bukanlah pendekar sembarangan. Meski
usianya masih muda, tapi ilmunya tinggi sekali.
Buktinya aku sendiri tak mampu menghentikan
sepak terjangnya."
"Mungkin kita harus meminta bantuan Ki
Banaspati, Ketua," usul salah seorang anggota
Pasukan Laskar Hijau dari belakang, setelah
mendengar percakapan itu.
"Hm....! Bagus. Aku memang sedang memi-
kirkannya. Tapi mungkinkah Guru Besar kita
yang sudah lama mengasingkan diri dari dunia
persilatan itu mau membantuku...?" ucap Setan
Haus Darah seperti ditujukan pada dirinya sendi-
ri. Sepasang matanya yang bengis tampak mere-
dup. "Yah...! Kukira aku harus dapat membujuk
Guru agar sudi membantuku...."
"Bagaimana, Ketua?" desak lelaki di samp-
ing Setan Haus Darah yang dipanggil Surono.
"Yah...! Nanti akan kuusahakan," jawab Se-
tan Haus Darah seraya mendesah. "Yang penting
sekarang kita harus sampai di tempat persembu-
nyian secepatnya. Ayo, kita tinggalkan tempat ini
secepatnya!"
Begitu habis kata-katanya, Setan Haus Da-
rah segera menggebah tali kekang kuda tunggan-
gannya.
Kuda putih tunggangan Pemimpin Laskar
Hijau seketika meringkik keras, lalu melaju cepat.
Anak buahnya pun melakukan hal yang sama.
Kuda mereka digebah cepat, meninggalkan debu-
debu yang beterbangan di belakang ditingkahi te-
riakan-teriakan nyaring.
Belum begitu jauh gerombolan Pasukan
Laskar Hijau itu bergerak, mendadak....
"Hieeekh...!"
Setan Haus Darah terkejut bukan kepalang
ketika tiba-tiba kuda tunggangannya meringkik
hebat dengan kedua kaki depan terangkat tinggi-
tinggi ke udara. Kalau saja lelaki kasar Pemimpin
Laskar Hijau itu tak cepat bertindak, dengan me-
meluk leher kuda kuat-kuat bukan mustahil tu-
buhnya akan terlempar berikut gadis cantik da-
lam pangkuannya dan gadis cantik dalam pon-
dongannya tidak terlempar dari punggung kuda.
Karena kuda putih tunggangan Setan Haus
Darah berhenti mendadak, mau tak mau bebera-
pa orang anak buahnya harus menarik tali ke-
kang membuat kuda-kuda mereka berubah jadi
liar. Akibatnya, beberapa orang anak buah Setan
Haus Darah berpelantingan beserta gadis-gadis
dalam pondongan.
"Bajingan! Siapa yang berani menghalangi
jalanku, hah?!" bentak Setan Haus Darah begitu
bisa menguasai keadaan dan melihat keadaan
anak buahnya. Pandangan matanya langsung be-
redar ke segenap penjuru.
Tak ada sahutan. Apalagi menemukan ba-
tang hidung orang yang telah mengganggu perja-
lanan mereka. Namun samar-samar telinga Setan
Haus Darah yang tajam mendengar suara tawa
seseorang yang entah dari mana datangnya. Nada
tawa itu terdengar amat melecehkan!
Tentu saja hal ini membuat Setan Haus
Darah dan anak buahnya jadi menggeram murka.
Kepala mereka celingukkan ke sana kemari men-
cari-cari di sekitar pohon-pohon yang tumbuh di
situ. Namun tetap saja tak menemukan apa-apa,
kecuali semilirnya angin sore itu. Dan yang makin
membuat hati Setan Haus Darah makin gusar
bercampur amarah, ternyata suara tawa itu ter-
dengar makin memekakkan gendang telinga.
Dengan perasaan kesal bukan main, Setan
Haus Darah melompat turun dari kudanya sete-
lah meletakkan gadis dalam pelukannya di atas
punggung kuda. Dia yakin, suara sumbang itulah
yang telah menghadang jalannya. Entah menggu-
nakan ilmu apa, hingga menyebabkan kudanya
berhenti mendadak dengan sikap liar penuh keta-
kutan. Menilik hal ini, jelas orang yang mengha-
dang memiliki kepandaian tinggi.
"Bajingan! Pengecut! Ayo, tampakkan ba-
tang hidungmu kalau ingin merasakan bogem
mentah Setan Haus Darah!" teriak Setan Haus
Darah. Suaranya membahana memenuhi hutan
itu.
"He he he...! Aku di sini, Biang Rampok!
Mengapa marah-marah?"
2
Begitu Setan Haus Darah dan anak buah-
nya berbalik, di ranting pohon yang menjuntai ke
jalan setapak telah duduk dengan enaknya seo-
rang lelaki tua berjubah hitam sampai lutut. Se-
buah topi hitam panjang bertengger di kepala.
Begitu asyik ia ongkang-ongkang kaki, padahal
ranting pohon itu kecil sekali. Tak lebih dari ibu
jari manusia dewasa. Namun anehnya tidak me-
lengkung sedikit pun menahan berat badannya!
Bisa dipastikan, lelaki tua ini memiliki ilmu me-
ringankan tubuh yang sudah sangat tinggi.
Perawakan tubuh si tua bau tanah itu
memang kurus kering. Kelihatannya tubuhnya
tak bertenaga dimakan usia. Wajahnya putih ber-
sih. Sepasang matanya kelabu dengan alis mata
berwarna putih. Sedang jubah hitamnya yang ke-
dodoran tampak berkibar-kibar tertiup semilirnya
angin sore.
"Bajingan! Tua bangka jelek! Siapa kau se-
benarnya?! Mengapa mengganggu perjalanan ka-
mi, hah?!" bentak Setan Haus Darah garang. Na-
mun sebenarnya hatinya kagum juga melihat ke-
pandaian si kakek renta.
"He he he...! Kukatakan pada kalian pun,
tak ada gunanya. Percuma! Sebab aku malas ber-
kenalan dengan perampok-perampok macam ka-
lian," leceh si kakek renta yang berpenampilan
mirip seorang terpelajar pada masa itu. Kekehan-
nya membuat wajah Setan Haus Darah merah.
Geraham Pemimpin Laskar Hijau ini ber-
gemelutuk menahan marah. Sepasang matanya
yang tajam berusaha mengukur kepandaian si
kakek renta yang masih ongkang-ongkang kaki di
tempatnya.
"Ketua! Siapa pun adanya tua bangka itu,
sebaiknya beri pelajaran saja biar tahu rasa!" sela
Surono, murka bukan main.
Pimpinan Pasukan Laskar Hijau itu tak
menyabut. Keningnya kian berkerut-kerut beru-
saha menerka siapa sebenarnya tua bangka satu
ini. Melihat ciri-cirinya, Setan Haus Darah mulai
bisa menerka. Kepalanya manggut-manggut begi-
tu di benaknya tersirat sebuah nama....
"Pendidik Ulung! Di antara kita tak pernah
silang sengketa. Tapi, kenapa hari ini kau meng-
hadang perjalanan kami?!" bentak Setan Haus
Darah begitu mengenali siapa kakek di hadapan-
nya yang ternyata Pendidik Ulung.
Beberapa orang anak buah Setan Haus Da-
rah yang mendengar siapa tua bangka itu tiba-
tiba jadi ciut nyalinya. Kendati belum pernah me-
lihat secara langsung, namun nama Pendidik
Ulung di dunia persilatan sudah begitu mengge-
tarkan. Sepak terjangnya tak pernah kenal am-
pun pada tokoh-tokoh sesat. Maka tak heran ka-
lau kakek renta itu sangat ditakuti kaum golon-
gan sesat.
"Syukur kalau kau masih ingat, Biang
Rampok. Tapi, patut dicatat. Meski kalian menge-
naliku, tetap saja aku akan membuat perhitungan
dengan bajingan-bajingan kecil macam kalian.
Baik ada silang sengketa secara langsung atau ti-
dak. Kalian paham? Untuk itulah aku mengha-
dang kalian!" sahut Pendidik Ulung, lugas.
"Setan alas! Kenapa jantungku jadi dag-
dig-dug begini? Padahal di belakang masih ada
anak buahku. Hm...! Aku tak boleh gegabah.
Meski ia seorang diri, aku harus tetap hati-
hati...," rutuk Setan Haus Darah dalam hati.
"Ketua! Bagaimana ini? Apakah kita harus
cepat bertindak?" bisik Surono.
"Hm...! Lihat saja perkembangannya nanti!
Aku memang malas berbentrokkan dengan tua
bangka satu ini. Tapi, kalau terpaksa, apa boleh
buat," kilah Setan Haus Darah, berbisik.
"Hey...! Kenapa kalian malah kasak kusuk?
Pasti kalian sedang menjelekkan aku. Ya?! Seka-
rang kuminta, cepat lepaskan gadis-gadis itu! Ju-
ga, harta benda yang kalian sikat!" perintah Pen-
didik Ulung berani.
Seketika, tokoh sakti dari Lembah Kalie-
rang ini segera melompat tinggi ke udara. Tubuh-
nya yang kurus kering membuat putaran bebera-
pa kali di udara, lalu mantap sekali sepasang ka-
kinya yang kurus menjejak tanah tanpa bersuara
sedikit pun!
Melihat gelagat yang tidak baik, beberapa
orang anak buah Setan Haus Darah segera men-
gurung Pendidik Ulung walau belum ada perin-
tah. Golok-golok besar di tangan mereka langsung
tercabut, menimbulkan kilauan akibat tertimpa
sinar matahari yang memerah tembaga di ufuk
barat.
Srattt! Srattt!
Pendidik Ulung terkekeh senang. Satu per-
satu dipandanginya anggota-anggota Pasukan
Laskar Hijau.
"Cecurut-cecurut macam kalian masih juga
berlagak! Kalau boleh kunasihati, baiknya me-
nyingkirlah! Aku tak ingin berurusan dengan ka-
lian. Tapi dengan Biang Rampok itulah!" tuding
Pendidik Ulung ke arah Setan Haus Darah.
Setan Haus Darah mendengus gusar. Dari
tadi amarahnya yang menggelegak memang beru-
saha ditahan, walaupun rasa gentar juga mengu-
sik hatinya. Namun manakala mendengar ejekan
Pendidik Ulung, rasa takut itu pun sirna, berganti
kenekatan.
"Bajingan! Meski nama besarmu cukup di-
perhitungkan di dunia persilatan, jangan dikira
aku takut menghadapimu, Tua Bangka Keparat!"
dengus Setan Haus Darah dengan gigi-gigi gera-
ham bergemeletukkan.
"Terserah kau mau ngomong apa, Biang
Rampok! Pokoknya apa yang kuperintahkan ha-
rus dituruti. Lepaskan gadis-gadis itu berikut
harta benda yang kalian sikat!" tandas Pendidik
Ulung.
"Jangan gegabah, Pendidik Ulung! Pantang
menyerah bagi Setan Haus Darah sebelum kita
saling bertukar jurus."
"Jadi? Kau menantangku, ya?" tukas Pen-
didik Ulung. "Bagus-bagus! Tanganku memang
sudah gatal lama tak menghajar orang. Terutama
sekali sejak kedua muridku yang murtad
mengkhianatiku. Sekarang, saatnyalah aku
menghajar manusia-manusia macam kalian! Se-
bab aku yakin, kelakuan kalian pun tak jauh ber-
beda dengan kedua orang muridku!" (Untuk men-
getahui siapa kedua orang murid Pendidik Ulung,
silakan baca episode: "Persekutuan Maut").
"Lagakmu pongah sekali, Pendidik Ulung?!
Apa kepandaianmu juga setara dengan lagakmu,
mulut besarmu, hah?!"
"Sudahlah.... Jangan bertele-tele. Seka-
rang, cepat lepaskan gadis-gadis itu! Kalau tidak,
kalian akan kuhajar sampai terkencing-kencing!"
"Siapa peduli ancamanmu, Tua Bangka
Keparat! Majulah kalau ingin nyawa busukmu
melayang!" damprat Surono. Tangan kanan Setan
Haus Darah yang berwatak berangasan.
"He he he...! Aku tidak mengancam. Aku
hanya ingin memberi sedikit pelajaran. Nah, seka-
ranglah saatnya aku memberi pelajaran!"
Sebelum kata-katanya habis, Pendidik
Ulung segera meluruk cepat. Jari-jari tangannya
yang telah berubah jadi putih berkilauan berputa-
ran cepat, siap melontarkan totokan 'Jari Putih
Dewa Langit'.
Wutt! Wuuuttt!
Bunyi gesekan udara karena jari-jari tan-
gan Pendidik Ulung bergerak-gerak begitu cepat
membuat beberapa orang anggota Pasukan
Laskar Hijau yang menjadi sasaran terlihat kocar-
kacir.
Werrr! Werrr!
Pendidik Ulung terus berkelebat, mengin-
car anak buah Setan Haus Darah yang terdekat.
Gerakan hingga tubuhnya yang terbungkus baju
jubah hitam makin di-percepat. Sementara jari-
jari tangannya pun tak luput mengancam tubuh
para pengeroyoknya.
Tukkk! Tukkk!
"Aaahh...!"
Dua kali jari tangan kanan Pendidik Ulung
bergerak cepat, seketika terdengar keluhan terta-
han dua orang anak buah Setan Haus Darah
dengan tubuh kaku tak dapat digerakkan.
Serangan Pendidik Ulung tak berhenti
sampai di situ saja. Begitu jubahnya berkelebat
ke tempat lain, jari-jari tangannya pun kembali
meminta korban. Maka saat itu pula terdengar
pekik kesakitan dari para anak buah Setan Haus
Darah yang saling susul. Tubuh mereka kontan
kaku tak dapat bergerak lagi.
Melihat sepak terjang Pendidik Ulung yang
tak dapat terbendung oleh para anak buahnya,
Setan Haus Darah menggeram penuh kemarahan.
"Setan alas! Jangan dikira aku takut men-
dengar nama besarmu, Tua Bangka Keparat!
Meski kesaktianmu setinggi langit, aku akan me-
nantangmu bertarung habis-habisan!" teriak Se-
tan Haus Darah.
"Heaaa...!"
Diiringi teriakan merobek angkasa Setan
Haus Darah meluruk deras, menyerang Pendidik
Ulung.
"Bagus! Akhirnya kau mau turun tangan
juga, Biang Rampok!" ejek Pendidik Ulung, kalem.
"Bajingan! Makanlah bogem mentahku,
Tua Bangka Keparat!" geram Setan Haus Darah.
Kedua telapak tangan Pemimpin Laskar Hi-
jau yang terkepal erat segera melontarkan puku-
lan maut secara bertubi-tubi. Begitu kuatnya,
sampai-sampai menimbul-kan berhawa panas.
Pendidik Ulung sejenak terkekeh senang.
Lalu segera dimainkannya jurus andalannya
'Tangan Maut Dewa Kayangan', sehingga kedua
telapak tangannya kontan berwarna putih berki-
lauan sampai pangkal. Sejenak Pendidik Ulung
merentang-rentangkan kedua tangannya bak
sayap burung garuda. Lutut kanannya ditekuk ke
atas dalam-dalam.
"Hup...!"
Begitu melemparkan kaki kanannya ke be-
lakang, mendadak Pendidik Ulung menerjang ke
depan menyambut serangan Setan Haus Darah.
Kedua tangannya yang tadi direntangkan kini
menyambar cepat laksana sepasang tangan dewa.
Wesss! Wesss!
Bukan main hebatnya terjangan kakek ren-
ta dari Lembah Kalierang ini. Gerakan tangan dan
kakinya yang cepat luar biasa mampu menimbul-
kan angin dingin berkesiutan yang menyambar-
nyambar. Ranting-ranting pohon kontan bergugu-
ran dengan warna berubah jadi hitam legam ter-
kena sambaran angin pukulannya.
Setan Haus Darah sempat terkesiap meli-
hat kelebatan lawan. Namun sedikit pun juga ha-
tinya tak gentar. Malah tenaga dalamnya makin
ditambah ke dalam kedua telapak tangannya....
Plak! Plak!
"Aaah...!"
Setan Haus Darah memekik tertahan. Tu-
buhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.
Kedua tangannya yang berbentrokan dengan tan-
gan Pendidik Ulung terasa nyeri bukan main. Itu
pertanda tenaga dalamnya masih setingkat di ba-
wah Pendidik Ulung.
Di hadapannya, Pendidik Ulung terkekeh
senang. Tubuhnya yang kurus kering tampak
bergoyang-goyang dengan kaki melesak ke dalam
tanah!
"Bagus! Tak sia-sia rupanya kau bergelar
Setan Haus Darah. Ternyata kecongkakanmu ada
sedikit buktinya juga. Tapi, sayang. Gelarmu
sungguh tak cocok dengan sikap maupun peran-
gaimu. Hm...! Setan Haus Darah! Sungguh satu
gelar indah yang sarat akan kecongkakan...," gu-
mam Pendidik Ulung lalu menggeleng-gelengkan
kepala. Entah apa maksud gelengannya.
"Jahanam! Aku belum kalah, Tua Bangka
Keparat! Lihat serangan!" dengus Setan Haus Da-
rah seraya membuat beberapa gerakan dengan
kedua tangannya.
Selang beberapa saat kedua telapak tangan
Setan Haus Darah kontan berubah jadi merah
menyala hingga sampai pangkal siku. Sambil
menjengekkan hidungnya sebentar, kedua telapak
tangan ditarik ke belakang, lalu tiba-tiba disen-
takkan ke depan dengan tenaga dalam penuh.
"Hea!"
Bersama teriakan nyaringnya, dari kedua
telapak tangan Setan Haus Darah meluncur dua
gulungan bola api ke depan. Tak lama kemudian,
mendadak dua gulungan bola api itu mengem-
bang, memancarkan hawa panas bukan kepalang!
Werrr! Werrr!
Melihat datangnya serangan dahsyat begi-
tu, kini giliran Pendidik Ulung yang terperanjat
kaget. Seolah tak percaya, sejenak diperhatikan-
nya gulungan bola api yang hanya tinggal satu
tombak dari tubuhnya. Tapi kemudian tiba-tiba
kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan.
"Heaaa...!"
Dikawal teriakan nyaring, saat itu pula me-
luruk dua larik sinar putih berkilauan dari kedua
telapak tangan Pendidik Ulung yang diiringi ber-
kesiurnya hawa dingin bukan kepalang! Dan keti-
ka kedua sinar putih bertubrukan dengan kedua
bola api itu....
Besss!
Tak ada satu ledakan hebat yang terjadi.
Untuk sesaat dua gulungan sinar putih dan gu-
lungan bola api itu saling gulung bergulung, seo-
lah ingin saling meluluh-lantakan.
Di tempat masing-masing, tubuh Pendidik
Ulung dan Setan Haus Darah sama-sama bergetar
hebat. Namun keduanya tak ada yang ingin men-
galah. Mereka sama-sama ngotot mempertahan-
kan kedudukan masing-masing. Bila salah satu
ada yang lengah, berarti kematianlah yang akan
merenggut.
Di saat Pendidik Ulung dan Setan Haus
Darah makin meningkatkan tenaga dalam mas-
ing-masing, mendadak Surono dan puluhan ang-
gota Pasukan Laskar Hijau lainnya telah mener-
jang dengan golok di tangan. Tentu saja sasaran-
nya adalah Pendidik Ulung.
"Modar kau, Tua Bangka Keparat!" bentak
Surono garang.
Pendidik Ulung terkesiap kaget. Puluhan
mata golok yang berkilauan di tangan anggota Pa-
sukan Laskar Hijau tampak berseliweran menge-
rikan siap menghancurkan tubuhnya. Sedang
saat itu, tak mungkin bagi Pendidik Ulung untuk
membagi serangan. Tak ada pilihan lain, terpaksa
tenaga dalamnya kian dilipatgandakan.
"Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, mendadak Pen-
didik Ulung menyentakkan kedua telapak tan-
gannya kuat-kuat ke depan. Seketika terdengar
suara menggemuruh memenuhi tempat pertarun-
gan. Bumi saat itu pula berguncang keras. Se-
mentara kaki-kaki kedua tokoh itu saling bergeta-
ran.
"Aaakh...!"
Setan Haus Darah mendadak memekik he-
bat. Seketika tubuhnya terlempar jauh ke bela-
kang, berputar-putar sebentar dan terbanting ke-
ras.
Bukkk!
Setan Haus Darah menggeram murka.
Punggungnya yang membentur tanah terasa mau
remuk. Di samping itu tampak kedua telapak
tangannya melepuh akibat pukulannya yang
membalik. Buru-buru diambilnya sebutir obat
berwarna kuning dari kantong kecil yang mengge-
lantung di pinggang ditelannya.
Sementara akibat sentakan kuat Pendidik
Ulung, udara di sekitarnya berubah jadi dingin.
Bahkan akibat beradunya dua kekuatan sakti itu
menciptakan angin keras, membuat ranting-
ranting pohon berderak. Daun-daun berguguran
berubah jadi hitam legam. Sedang beberapa orang
anak buah Setan Haus Darah yang saat itu ten-
gah melancarkan serangan maut ke tubuh Pendi-
dik Ulung kejap itu pula memekik menyayat. Ka-
rena tubuh mereka langsung tersambar pengaruh
dua kekuatan dahsyat tadi.
Bukkk! Bukkk!
Puluhan anggota Pasukan Laskar Hijau
tampak berpelantingan ke sana kemari dan ter-
banting keras dengan paras pucat pasi!
Tak jauh dari hadapan mereka, tampak tu-
buh Pendidik Ulung sendiri tengah terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Parasnya
pucat pasi. Darah segar pun mengalir di sudut
bibir! Buru-buru Pendidik Ulung menyeka dengan
punggung tangan.
"Manusia-manusia curang! Licik! Rasakan-
lah akibatnya!" dengus Pendidik Ulung sarat ke-
marahan.
Beberapa orang anggota Pasukan Laskar
Hijau yang terkena kesiuran angin akibat bentro-
kan tenaga dalam tadi tampak tertatih-tatih beru-
saha melompat bangun. Sekujur tubuh mereka
menggigil hebat. Kalau mereka ingin selamat ha-
rus segera mengerahkan tenaga dalam untuk be-
berapa saat agar hawa dingin yang menyerang
sirna. Dan kenyataannya mereka memilih menye-
lamatkan selembar nyawa. Begitu duduk, mereka
segera bersemadi.
Melihat apa yang telah menimpa anak
buahnya, Setan Haus Darah jadi mata gelap. Har-
ga dirinya merasa terinjak-injak melihat puluhan
anak buahnya celaka di tangan Pendidik Ulung.
Dengan menggeram penuh kemarahan, buru-
buru Pemimpin Laskar Hijau itu melompat ban-
gun.
"Keparat! Kau celakakan semua anak bua-
hku! Demi Iblis, aku tak terima! Akan kuenyah-
kan kau saat ini juga! Terimalah kematianmu hari
ini!" geram Setan Haus Darah, seraya memutar-
mutar kedua telapak tangannya.
Seketika, kedua telapak tangan tokoh sesat
Pimpinan Pasukan Laskar Hijau berubah jadi me-
rah menyala hingga pangkal siku, pertanda telah
mengerahkan tenaga dalamnya dengan kekuatan
penuh.
"Pukulan 'Gemuruh Badai Api'...!" desis
Pendidik Ulung dengan mata terbelalak lebar. Se-
tan Haus Darah tersenyum dingin.
"Syukur kalau kau sudah mengenali puku-
lan mautku. Berarti, kau tak akan menyesal di
akhirat nanti!"
"Hm...! Kau pasti ada hubungannya dengan
tua bangka yang bergelar Manusia Api."
"Dia guruku. Kau mulai gentar, bukan?"
"Bagus! Kalau begitu, kau dan gurumu
memang patut dilenyapkan dari muka bumi ini!"
"Jangan gegabah, Tua Bangka Keparat! Ju-
stru nyawamulah yang kini berada dalam geng-
gaman tanganku! Sekarang, rasakanlah pembala-
sanku!"
Tiba-tiba Setan Haus Darah menarik kedua
telapak tangannya ke belakang. Lalu dikawal te-
riakan nyaring, kedua telapak tangan yang telah
berubah jadi merah menyala itu segera disentak-
kan ke depan.
Werrr....
Seketika, terdengar suara badai yang
menggemuruh memenuhi tempat pertarungan. Di
samping itu, dari kedua telapak tangan Setan
Haus Darah pun telah melesat lidah api yang ber-
kobar-kobar siap melabrak tubuh Pendidik Ulung.
Wesss! Wesss!
Pendidik Ulung bukannya tidak tahu akan
datangnya bahaya maut. Meski tampak sikapnya
seperti angin-anginan, sebenarnya tokoh sakti da-
ri Lembah Kalierang ini tengah mengerahkan ju-
rus pamungkasnya 'Tulisan Maut Dewa Kayan-
gan'.
Kini, Pendidik Ulung pun menggurat-
guratkan telunjuk jari tangannya ke udara. Seke-
tika, terdengar bunyi mencicit yang teramat me-
mekakkan telinga akibat guratan-guratan telun-
juknya. Di samping itu guratan kedua telunjuk
jarinya pun agak aneh. Telunjuk jari kanan
menggurat dari kanan ke kiri, sedangkan telunjuk
jari kiri menggurat dari kiri ke kanan. Pada saat
kedua telunjuk jari itu menyatu, saat itu pula
memancarkan sinar putih berkilauan yang cepat
melesat ke depan memapak kobaran api Setan
Haus Darah.
Classs!
Laksana baja panas yang dicelupkan dalam
air, sinar putih dari kedua telunjuk jari tangan
Pendidik Ulung mampu mematahkan serangan
Setan Haus Darah. Seketika, lidah api yang ber-
kobar-kobar ambyar, memporak-porandakan apa
saja yang ada di tempat pertarungan!
Bersamaan dengan itu....
"Aaa...!"
Terdengar teriakan menyayat dari beberapa
orang anak buah Setan Haus Darah yang tengah
duduk bersemadi dan juga beberapa orang gadis
hasil jarahan. Tubuh mereka terbakar hebat begi-
tu terkena sambaran lidah api dari kedua telapak
tangan Setan Haus Darah.
Bukan main murkanya hati Setan Haus
Darah melihat beberapa orang anak buahnya te-
was dengan cara amat mengerikan. Sedang saat
itu parasnya pucat pasi akibat bentrokan tenaga
dalam tadi. Dadanya terasa sesak. Pimpinan
Laskar Hijau ini berusaha bertahan, namun do-
rongan dari dalam dada membuatnya mengeluh.
Hingga....
"Huahhh!"
Darah merah kehitaman kontan meluncur
dari mulut Setan Haus Darah. Buru-buru Pimpi-
nan Pasukan Laskar Hijau itu menotok beberapa
jalan darah di tubuhnya. Ketika dadanya sedikit
lega, ia segera memberi aba-aba pada beberapa
orang anak buahnya dengan siulan.
"Tunggulah pembalasanku, Tua Bangka
Keparat!"
Setan Haus Darah terseok-seok meninggal-
kan tempat pertarungan menuju kuda tunggan-
gannya. Beberapa anak buahnya yang selamat
segera mengikuti tindakannya, hendak mening-
galkan tempat pertarungan.
Pendidik Ulung yang sudah tahu gelagat
segera bertindak. Seperti pertama kali tadi mem-
permainkan Setan Haus Darah, kedua telapak
tangannya yang terentang ke depan segera ditarik
ke belakang.
"Hieekh...!"
Laksana ada satu kekuatan gaib yang dah-
syat luar biasa, mendadak kuda tunggangan Se-
tan Haus Darah meringkik keras sambil melon-
jak-lonjak. Setan Haus Darah yang hendak me-
lompat ke punggung kudanya terpaksa mengge-
ram penuh kemarahan. Namun, ia tidak banyak
bertingkah kali ini.
"Hup!"
Begitu melihat kuda tunggangannya jadi
liar, kakinya segera menjejak tanah, melompat ke
punggung kuda di sebelahnya.
"Hea! Hea!"
Begitu mendarat di atas punggung kuda,
Setan Haus Darah segera menggebahnya. Bebe-
rapa orang anak buahnya yang sudah berada di
atas punggung kuda segera menyusul.
Pendidik Ulung menggeleng-gelengkan ke-
pala.
"Kalau saja gadis-gadis itu tak perlu dis-
elamatkan, sudah pasti akan kupatahkan batang
leher manusia biang rampok itu. Hm...! Tapi,
memang baiknya aku mengurus gadis-gadis itu.
Siapa tahu mereka masih da-pat terlolong...," gu-
mam Pendidik Ulung.
Meski telah mengambil keputusan seperti
itu, ekor mata si tua ini terus mengikuti kepergian
Setan Haus Darah dan anak buahnya. Saat so-
sok-sosok mereka mengecil tepat di lingkaran bola
matahari yang menembaga di ufuk barat, Pendi-
dik Ulung mengalihkan perhatian pada gadis-
gadis itu.
3
Pendidik Ulung sejenak masih terpaku di
tempatnya. Dadanya terasa sesak akibat adu te-
naga dalam tadi. Segera diambilnya sebutir obat
pulung berwarna putih dari saku jubah hitamnya.
Sejenak diperhatikannya obat itu, lalu ditelan.
"Kalau saja banyak bertebaran tokoh sesat
berkepandaian tinggi seperti manusia edan itu,
bukan mustahil dunia persilatan akan kapiran.
Yahhh.... Untuk sementara aku dapat menghenti-
kan sepak terjangnya. Walau tidak sampai tuntas,
namun sudah cukup memberi pelajaran pada me-
reka. Hm...," gumam Pendidik Ulung, kembali
menggeleng-geleng.
Entah, apa yang tengah berkecamuk dalam
benak kakek renta dari Lembah Kalierang itu.
Yang jelas begitu melihat mayat yang berserakan
di tempat pertarungan, buru-buru ditelitinya den-
gan seksama.
"Hm...! Tak kusangka akibat angin pukulan
dari bentrokan tadi membuat anggota Pasukan
Laskar Hijau ini menemui ajal. Juga, gadis-gadis
malang itu. Hm...!"
Pendidik Ulung kembali tercenung untuk
beberapa saat. Menyaksikan puluhan mayat yang
berserakan, tapi urung membuat tengkuknya
bergidik.
"Sontoloyo! Kalau tahu mereka semua su-
dah tewas, buat apa aku melepaskan biang ram-
pok itu kabur bersama anak buahnya. Huh! Bikin
jengkel hatiku saja!" rutuknya.
Pendidik Ulung menghentak-hentakkan
kakinya kesal. Lalu si tua ini jalan mondar-
mandir sambil menyembunyikan tangan di balik
pinggang.
"Oh, ya? Baiknya aku menguburkan mayat
mereka terlebih dulu, baru kemudian mengejar
bajingan-bajingan itu," pikir Pendidik Ulung tiba-
tiba.
Habis berpikir, Pendidik Ulung segera me-
raih sebuah dahan pohon yang berserakan di
tempat itu. Setelah daun-daunnya dibersihkan,
batang pohon digunakan untuk membuat lobang
besar. Sebagai tokoh berkepandaian tinggi tak be-
gitu sulit bagi Pendidik Ulung membuat lobang
untuk menguburkan mayat-mayat Pasukan
Laskar Hijau dan gadis-gadis itu. Dengan penge-
rahan tenaga dalam, sebentar saja sudah tercipta
sebuah lobang besar. Dan dengan gerakan cepat
pula, dimasukkannya mayat-mayat itu ke dalam
lobang. Namun baru saja hendak menimbun lo-
bang tiba-tiba...
"Hoekhhh!"
Terdengar seseorang tengah muntah-
muntah tak jauh di belakang Pendidik Ulung. Bu-
ru-buru lelaki tua ini membalikkan badan. Ter-
nyata di dekat sebuah batang pohon tampak seo-
rang gadis cantik berpakaian serba hijau tengah
merintih menahan sakit. Wajahnya yang cantik
tampak pucat pasi. Darah segar yang mengalir di
sudut bibir menandakan kalau gadis cantik itu
tengah menderita luka dalam cukup parah.
"Siapakah gadis cantik itu?" gumam Pendi-
dik Ulung dengan kening berkerut. "Oh.... Dia tadi
berada di atas punggung kuda Setan Haus Darah,
lalu terlempar ketika kuda itu terkejut. Hm... me-
nilik pakaiannya, bisa jadi gadis itu juga anak
buah Setan Haus Darah. Ah... baiknya kudekati
saja...."
Si tua ini segera melangkah mendekati si
gadis. Sikapnya tetap waspada, meski melihat ga-
dis itu menderita akibat luka dalamnya.
"Siapa kamu, Cah Ayu. Dan siapa pula
yang membuatmu begini?" tanya Pendidik Ulung
sesampainya di dekat gadis cantik yang bukan
lain Arum Sari. Saat terlempar dari kuda tadi, un-
tungnya pengaruh totokan Setan Haus Darah te-
lah punah. Sehingga ketika berada di udara, ia
bisa mematahkan daya lontaran hingga tak sam-
pai membentur pohon yang kini disandarinya.
Namun demikian, gadis itu tak bisa berdiri lama-
lama ketika merasakan dadanya kian sesak saja.
Maka untuk itu ia mencoba mengobati dirinya
sendiri di bawah pohon dengan jalan bersemadi.
Pendidik Ulung memperhatikan Arum Sari
seksama. Terutama sekali pada pakaian hijau-
hijaunya yang sama persis dengan yang dikena-
kan anggota pasukan Laskar Hijau.
Arum Sari tidak langsung menjawab. Tan-
gannya kini mengurut dada sebentar seraya men-
gedarkan pandangan mata ke sekeliling. Begitu
pandang matanya berbentrokan dengan mayat-
mayat anggota Pasukan Laskar Hijau dan bebera-
pa orang gadis di dalam lobang yang baru digali,
matanya langsung membeliak lebar.
"Siapakah yang telah melakukan ini se-
mua?" Arum Sari malah balik bertanya.
Pendidik Ulung makin curiga.
"Aku. Memangnya kenapa?" jawabnya,
tandas.
"Lalu? Di manakah orang yang bergelar Se-
tan Haus Darah itu, Orang Tua?"
"Huh...!" Pendidik Ulung mendengus. "Jadi
kau mencari manusia biang rampok itu? Kau
mencari ketuamu yang pongah itu?"
Pendidik Ulung merasa yakin kalau gadis
cantik di hadapannya adalah salah seorang ang-
gota Pasukan Laskar Hijau.
"Maksudmu…?"
"Jangan berpura-pura, Cah Ayu! Kau pasti
salah seorang anak buah biang rampok yang ber-
gelar Setan Haus Darah!"
Arum Sari membelalak liar.
"Jangan menuduh sembarangan, Orang
Tua! Aku sama sekali tak ada hubungannya den-
gan mereka!" tukas Arum Sari tak senang.
"He he he...! Cah Ayu! Kau ingin mengela-
bui tua bangka macam aku ini, ya? Jangan dikira
aku dapat dikibuli!"
"Orang tua! Aku bersungguh-sungguh. Ha-
rap jangan salah paham! Aku memang mencari
Setan Haus Darah. Karena, manusia sesat itulah
yang telah mencelakakanku hingga seperti ini.
Mungkin juga teman-ku...."
Arum Sari mendadak menghentikan uca-
pannya. Sepasang matanya yang indah dengan
bulu-bulu mata yang lentik kembali beredar ke
sekeliling. Setelah tidak menemukan orang yang
dimaksud, si gadis mendesah lirih.
"Hm...! Jangan-jangan Soma telah tewas di
tangan Setan Haus Darah," gumam Arum Sari,
nyaris tak kentara.
"Siapa yang kau maksudkan, Cah Ayu?"
tanya Pendidik Ulung dengan mata ikut jelalatan
ke sana kemari mengikuti pandangan gadis cantik
di hadapannya.
"Temanku," jawab Arum Sari.
"Siapa?"
"Soma."
"Maksudmu...? Siluman Ular Putih?" tebak
Pendidik Ulung.
"Benar! Apa kau tadi melihatnya, Orang
Tua?" tanya Arum Sari harap-harap cemas.
"Hm...! Tidak. Dari tadi aku tak melihat bo-
cah edan itu. Tapi, benarkah kau teman dari bo-
cah edan itu? Apa kau bukan anak buah Setan
Haus Darah?"
"Orang tua! Harap jangan main-main! Aku
terluka karena kelicikan Setan Haus Darah. Dan
mungkin Siluman Ular Putih terluka pula...."
Kembali Arum Sari menelan kegelisahan
dalam hati. Rasanya tak sanggup untuk menga-
takan kalau Siluman Ular Putih telah menemui
ajal di tangan Setan Haus Darah. Saking cemas-
nya memikirkan keselamatan pemuda itu, tak
henti-hentinya mulutnya menggumam.
"Ah...! Bodoh benar aku ini!" ujar Pendidik
Ulung seraya menepuk jidatnya sendiri manakala
melihat sekujur tubuh Arum Sari yang dipenuhi
bintik-bintik merah.
"Ada apa, Orang Tua? Apakah kau melihat
Siluman Ular Putih?" tanya Arum Sari, tak dapat
menyembunyikan perasaannya.
Pendidik Ulung menggeleng.
"Ah...!" keluh Arum Sari sedih.
"Sudahlah! Jangan cemaskan pemuda
edan itu! Aku yakin, ia dapat mengatasi Setan
Haus Darah. Tapi kalau kau tak keberatan, seka-
rang izinkan aku mengobati lukamu! Kalau tak
salah, kau tentu terluka akibat pukulan
'Gemuruh Badai Api' milik Setan Haus Darah."
"Benar, Orang Tua. Setan Haus Darahlah
yang telah mencelakakanku. Tapi apa sekarang
kau tak lagi mencurigaiku sebagai anak buah ba-
jingan itu?"
Pendidik Ulung menggeleng.
"Nah! Sekarang, kau boleh mengobati lu-
kaku, Orang Tua!" kata Arum Sari dengan napas
sedikit tersengal. (Untuk mengetahui bagaimana
Arum Sari sampai celaka di tangan Setan Haus
Darah, baca episode sebelumnya: "Setan Haus
Darah").
"Baik."
Pendidik Ulung mengisyaratkan agar Arum
Sari berbalik. Tanpa sedikit pun curiga. Arum Sa-
ri segera berbalik membelakangi Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung bersila di belakang Arum
Sari. Segera kedua telapak tangannya ditempel-
kan di punggung si gadis. Perlahan-lahan, gadis
ini merasakan hawa dingin yang bukan kepalang
dari kedua telapak tangan Pendidik Ulung di
punggungnya sambil menggigit bibirnya kuat-
kuat, matanya dipejamkan. Hingga, hawa panas
yang mengaduk-aduk isi dadanya perlahan mulai
sirna.
"Nah, sekarang telanlah obat ini!"
Arum Sari kembali berbalik menghadap
Pendidik Ulung. Matanya sempat melihat dua bu-
tir obat pulung berwarna putih di telapak tangan
kakek renta penolongnya. Tanpa ragu-ragu sedikit
pun, segera diambilnya dua butir obat putih itu
dan ditelannya.
Selang beberapa saat, Arum Sari merasa-
kan hawa segar memasuki rongga mulutnya, dis-
usul hawa dingin yang terus mendesak hawa pa-
nas yang mengaduk-aduk dalam tubuh. Kendati
tubuhnya masih lemah, namun hatinya merasa
lega. Kini ia hanya tinggal membutuhkan waktu
untuk memulihkan tenaga dalamnya.
"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik sekali.
Sebenarnya kalau boleh tahu, siapakah kau ini?"
ucap Arum Sari seraya menelangkupkan kedua
telapak tangan di depan hidung penuh hormat.
Suaranya pun terdengar lembut menyentuh re-
lung hati.
Pendidik Ulung tersenyum. Samar-samar
dipandanginya Arum Sari. Dan hatinya makin ya-
kin akan kejujuran di balik ucapan Arum Sari ta-
di. Namun si tua ini tetap tidak mempercayainya
begitu saja. Sebab, Prameswara muridnya yang
kedua juga selalu bertutur kata lembut seperti
Arum Sari saat itu. Tapi betapa berangnya hati
Pendidik Ulung, manakala mengetahui ternyata
Prameswara yang bergelar Pelajar Agung malah
mengkhianatinya! Itulah yang membuat hatinya
harus bertindak hati-hati. (Untuk mengetahui
pengkhianatan Prameswara, silakan ikuti episode:
"Persekutuan Maut" dan "Lukisan Darah").
"Jangan terlalu diungkit-ungkit kebaikan
yang tidak seberapa, Cah Ayu!" tegur Pendidik
Ulung enggan mengatakan siapa dirinya.
"Kau keberatan mengatakan siapa dirimu,
Orang Tua?" desak Arum Sari.
"Apalah artinya sebuah nama kalau tidak
ditunjang perilaku yang baik. Apalah artinya tu-
tur kata lembut, kalau tidak ditunjang dengan ha-
ti bersih," sindir Pendidik Ulung.
Yang disindir malah tersenyum,
"Memang benar, Orang Tua. Meski aku be-
lum lama mengenyam pahit getirnya dunia persi-
latan, namun setidaknya aku sudah dapat mera-
sakan kalau yang kau katakan itu benar. Kukira,
aku harus lebih berhati-hati untuk mengarungi
dunia persilatan. Aku tak ingin terpedaya hanya
karena tutur kata, maupun kelembutan seseo-
rang sebelum mengenal siapa orang itu sebenar-
nya," balas si gadis.
Pendidik Ulung jadi tak enak hati menda-
pat sindiran balik.
"Kau menyindirku, Cah Ayu?"
"Tak ada gunanya aku menyindir seseo-
rang. Apalagi, orang itu telah sangat berjasa pa-
daku. Kenapa kau tanyakan hal ini, Orang Tua?"
Pendidik Ulung menelan ludahnya sendiri.
"Siapa kau sebenarnya, Cah Ayu?"
"Aku hanyalah seorang gadis yatim piatu.
Namaku Arum Sari."
"Satu nama yang indah. Tapi, benarkah
kau yatim piatu?"
"Benar." Arum Sari mengangguk.
"Hm...? Sekarang setelah luka dalammu
sembuh, kau hendak ke mana lagi. Arum?"
"Sebenarnya tujuanku hanya satu. Setelah
pembunuh kedua orang tuaku tewas di tangan
Raja Penyihir, sekarang aku ingin sekali mencari
makam kedua orang tuaku. Apakah kau tahu, di
mana makam kedua orang tuaku yang bergelar
Sepasang Pendekar Garuda Emas, Orang Tua?"
papar Arum Sari.
"Apa? Jadi.... Kau putri dari Sepasang Pen-
dekar Garuda Emas?" Pendidik Ulung kaget bu-
kan kepalang.
"Benar, Orang Tua. Kenapa kau demikian
kaget?"
"Hhhm...!" Pendidik Ulung menghela napas
sebentar. "Tak kusangka hari ini aku akan berte-
mu putri sahabatku."
"Apakah kau mengenal mendiang kedua
orang tuaku, Orang Tua?" tanya Arum Sari gem-
bira.
"Bukan saja mengenal. Tapi, Sepasang
Pendekar Garuda Emas adalah kawan akrabku.
Jadi mulai hari ini, kau boleh memanggilku pa-
man. Paman Pendidik Ulung."
"Terima kasih. Or.... Eh, Paman Pendidik
Ulung. Sekali lagi aku menghaturkan sembah un-
tukmu," ucap Arum Sari tak dapat mengendali-
kan perasaan gembira. Kemudian dengan penuh
hormat kembali kedua telapak tangannya mene-
langkup di depan hidung.
"Sudahlah! Jangan terlalu berbasa-basi!
Aku paling tak senang melihat orang terlalu ber-
basa basi. Yang penting adalah sikap dan hati
bersih. Buat apa orang terlalu banyak berbasa
basi, kalau ternyata berhati busuk? Kau paham
maksudku. Arum Sari?"
"Paham, Paman. Tapi, apakah Paman tahu
di mana makam kedua orang tuaku?"
"Hm...! Sayang sekali aku tidak tahu. Tapi
menurut kabar angin yang kudengar selama ini,
mayat Sepasang Pendekar Garuda Emas masih
tergolek di dasar sebuah jurang di Gunung Sla-
met, setelah dilemparkan oleh Penghuni Kubur.
Aku sendiri tak begitu yakin. Bukan aku tak pe-
duli dengan mayat sahabatku. Tapi ketika aku
mencari di beberapa dasar jurang, tak kutemu-
kan. Entah berada di jurang yang mana kedua
mayat sahabatku itu. Pokoknya, di Gunung Sla-
met."
"Oh...!" Arum Sari tercekat. Seketika pa-
rasnya yang cantik jadi kian pias. "Ja..., jadi
mayat kedua orang tuaku masih berada di sebuah
jurang di Gunung Slamet...?"
Pendidik Ulung mengangguk. Hatinya kini
jadi tambah gelisah setelah tahu kalau Arum Sari
adalah putri tunggalnya Sepasang Pendekar Ga-
ruda Emas.
"Sebenarnya aku tertarik sekali dengan ga-
dis ini untuk kujadikan murid. Tapi, aku harus
berhati-hati. Aku harus menguji ketabahan ha-
tinya sebelum mengangkatnya sebagai murid.
Aku tak ingin tertipu untuk yang ketiga kali," gu-
mam Pendidik Ulung dalam hati.
"Kenapa kau pandangi aku seperti itu, Pa-
man?" kata Arum Sari menyentak lamunan Pen-
didik Ulung yang masih menatapnya.
"Terus terang aku mulai tertarik untuk me-
latihmu. Arum. Tapi, sudahlah! Jangan terlalu
kau risaukan. Sekarang, ayo ikut aku. Nanti ku-
bantu kau menemukan makam kedua orang tu-
amu," ajak Pendidik Ulung.
"Baik, Paman."
Pendidik Ulung cepat melompat bangun,
diikuti Arum Sari yang mulai dapat bergerak lelu-
asa. Namun disaat hendak meninggalkan tempat
itu, tiba-tiba....
"Ehem...! Syukur. Akhirnya kau kutemu-
kan juga di sini, Arum."
Terdengar sebuah suara mengejutkan, se-
kaligus mcnggembirakan....
4
Pendidik Ulung terkesiap. Sebagai orang
berkepandaian tinggi, telinganya tadi tak me-
nangkap suara sedikit pun kalau ternyata di tem-
pat itu telah berdiri seseorang tanpa diketahui.
Untuk itulah buru-buru kepalanya cepat berpal-
ing ke arah datangnya suara.
Ternyata tak jauh di sampingnya telah ber-
diri seorang pemuda berambut gondrong tergerai
di bahu. Tubuhnya yang tinggi kekar dibalut pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih ke-
perakan. Wajahnya yang tampan berbentuk lon-
jong menyunggingkan senyum nakal sambil terus
memondong satu sosok tubuh ramping.
Sambil melangkah mendekati Pendidik
Ulung dan Arum Sari, pemuda tampan itu terse-
nyum manis. Sementara kepala gadis cantik yang
rambutnya digelung ke atas dengan hiasan mu-
tiara-mutiara indah berwarna biru itu terantuk-
antuk seiring langkah si pemuda. Tubuhnya yang
padat sintal terbungkus pakaian indah terbuat
dari sutera warna merah. Sedang parasnya yang
cantik tampak demikian pucat pasi. Malah, ada
darah kering yang masih membersit di sudut bi-
birnya.
"Siluman Ular Putih...!" sebut Pendidik
Ulung, sedikit mendengus. "Ada keperluan apa
sampai kau kemari, hah?!"
"Jangan galak-galak, Orang tua! Aku ke-
mari memang tidak ada keperluan denganmu.
Semula aku memang bermaksud menolong te-
manku. Tapi, ternyata kau sudah mendahului.
Terima kasih. Lain kali budimu pasti aku balas,"
sahut pemuda itu yang memang murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih.
Bagaimana Soma bisa sampai di tempat
ini? Itu tak lain karena memang tekad Siluman
Ular Putih yang harus mencari Arum Sari yang
dibawa lari Setan Haus Darah dan pasukannya.
Namun di tengah perjalanan si pemuda bertemu
seorang gadis yang tengah kewalahan menghada-
pi Peramal Maut. Malah nyawa gadis itu nyaris te-
rancam kalau saja Siluman Ular Putih tidak cepat
menolong.
Melihat luka dalam yang diderita, akhirnya
Siluman Ular Putih memilih menyelamatkan nya-
wa si gadis daripada meladeni Peramal Maut yang
ingin menuntut balas atas kekalahannya. (Untuk
mengetahui sakit hati Peramal Maut, baca epi-
sode: "Misteri Dewa Langit").
Siluman Ular Putih yang membawa gadis
yang sebenarnya tak lain dari Yustika alias Ratu
Adil ke tempat yang aman dari kejaran Peramal
Maut, tanpa sengaja mendengar suara orang ber-
cakap-cakap. Ternyata begitu didekati, hatinya
langsung bersorak gembira. Karena di situ ia me-
lihat Arum Sari tengah diobati oleh Pendidik
Ulung.
Sementara itu Arum Sari diam memberen-
gut. Entah kenapa, hatinya jadi rusuh sekali begi-
tu melihat kedatangan Siluman Ular Putih. Bu-
kannya tidak senang melihat kemunculan si pe-
muda, melainkan risih melihat sosok gadis yang
tengah dipondong. Harus diakui hatinya panas
oleh api cemburu.
"Arum...! Apa kau tak senang melihat keda-
tanganku? Kenapa diam saja?" tanya Siluman
Ular Putih heran.
Arum Sari malah menunduk dalam-dalam.
Melihat kegalauan Arum Sari, Pendidik
Ulung malah terkekeh senang. Lelaki ini terus
berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan
menyatu di belakang tubuhnya. Sesekali pula di-
perhatikannya wajah Siluman Ular Putih dan
Arum Sari, lalu kembali terkekeh.
"Ada apa ini? Tampaknya ada udang di ba-
lik batu. Hm...! Memang aneh kalau orang tengah
kasmaran. Ck ck ck...!" goda Pendidik Ulung
sambil menggeleng-geleng. "Bagaimana ini. Arum?
Apa kau jadi pergi denganku?"
"Jadi, Paman," sahut Arum Sari seraya me-
langkah.
Si gadis memang tengah gusar sekali den-
gan sikap Siluman Ular Putih. Dan ia merasa tak
ada gunanya lagi berlama-lama di tempat itu. Ha-
tinya terasa perih apalagi bila mengingat penola-
kan Siluman Ular Putih atas permintaan ibunya
yang bermaksud menjodohkan dengan dirinya.
"Tunggu, Arum!"
Siluman Ular Putih cepat menghadang
langkah Arum Sari dan Pendidik Ulung. Namun
gadis itu malah kian menyembunyikan wajahnya
dalam-dalam.
"Ada apa. Arum? Kenapa kau tak menyukai
kedatanganku?" cecar Siluman Ular Putih masih
belum mengerti.
"Bocah tolol! Mana ada gadis yang suka
melihat kekasihnya datang menemuinya bersama
gadis lain!" tukas Pendidik Ulung.
Siluman Ular Putih tercenung. Ia kini tahu
maksud ucapan Pendidik Ulung, namun belum
tahu bagaimana harus bersikap. Pemuda itu
hanya menggaruk-garuk kepala.
"Jangan hanya garuk-garuk kepala, Bocah
Tolol! Sekarang cepat tentukan sikap!"
"Sikap apa yang kau maksudkan, Kek?"
"Huh...!" Pendidik Ulung membanting ka-
kinya kesal. "Sikap apa, ya? Aku sendiri kurang
tahu. Mungkin kau harus cepat memilih."
"Paman! Ayo, kita tinggalkan tempat ini!"
ajak Arum Sari, seraya kembali melangkah. De-
mikian pula Pendidik Ulung.
"Eh, tunggu!" buru-buru Siluman Ular Pu-
tih menghadang langkah Arum Sari dan Pendidik
Ulung.
"Ada apa lagi, Siluman Ular Putih?" tanya
Pendidik Ulung.
"Arum...!" kata Siluman Ular Putih, sama
sekali tak menghiraukan ucapan Pendidik Ulung.
"Kau jangan salah paham, Arum!"
Arum Sari menggeleng lemah.
"Ah, sudahlah! Kenapa bertele-tele begini?
Sekarang aku dan Arum mau pergi. Kalau kau
memang mencintai Arum, baiknya setelah kau
menyembuhkan luka dalam gadis dalam pondon-
ganmu. Ayo, Arum! Kita tinggalkan tempat ini!"
"Baik, Paman."
Pendidik Ulung segera meraih lengan Arum
Sari, lalu cepat berkelebat meninggalkan tempat
itu.
"Selamat tinggal, Bocah Tolol! Jangan lupa
kuburkan mayat-mayat itu!" terdengar suara
Pendidik Ulung di kejauhan sana.
Siluman Ular Putih menggumam tak jelas.
Ketika pandang matanya tertumbuk pada mayat
yang telah berada di dalam lobang, pemuda itu
mengerti.
"Rupanya kakek itu telah menghajar Pasu-
kan Laskar Hijau. Tapi... hmm.... Kasihan sekali
gadis-gadis yang telah menjadi mayat itu. Bisa ja-
di mereka penduduk kampung di sekitar sini yang
menjadi jarahan Setan Haus Darah dan pasukan-
nya...."
Siluman Ular Putih mengedarkan pandan-
gan matanya sejenak ke seputar tempat itu.
"Sialan! Rupanya tua bangka itu menyisa-
kan pekerjaan untukku. Tapi tak apa-apalah!
Nanti setelah aku selesai menyembuhkan luka
dalam gadis ini, baru aku akan menguburkan
mayat-mayat mereka...," gumam Siluman Ular
Putih akhirnya.
* * *
"Siapa kau?" Ratu Adil yang baru disem-
buhkan Soma cepat membuang tubuhnya ke
samping, begitu siuman.
Siluman Ular Putih sengaja membiarkan-
nya. Malah bibirnya menyunggingkan senyum
manis.
"Kau.... Kau, ah! Terima kasih. Kau pasti
yang telah menyelamatkan nyawaku dari tangan
Peramal Maut," ucap si gadis akhirnya mengerti
juga.
"Syukur kalau akhirnya kau mengerti. Tapi
ngomong-ngomong sebenarnya bukanlah aku
yang menyelamatkan nyawamu. Melainkan, Dia,"
sergah Siluman Ular Putih sambil menuding ke
atas.
"Maaf atas kecurigaanku tadi!"
"Sudahlah! Jangan terlalu banyak basa-
basi! Baiknya ceritakan saja bagaimana kau sam-
pai bersilang sengketa dengan Peramal Maut!"
"Hm...!"
Gadis itu menggumam tak jelas. Di saat ia
hendak melompat bangun, Siluman Ular Putih te-
lah mengulurkan tangannya, bermaksud mem-
bantu bangun.
"Terima kasih," ucap si gadis segera meraih
tangan Siluman Ular Putih dan beranjak bangun.
"Tapi sebelum kau cerita, bolehkah aku
mengetahui namamu?" tanya Siluman Ular Putih.
"Aku Yustika. Kau sendiri siapa?"
"Aku Soma. Aku senang sekali dapat ber-
kenalan denganmu."
Gadis cantik yang memang Yustika berge-
lar Ratu Adil, murid tunggal Ratu Alit hanya ter-
senyum.
"Ayo, cerita! Kenapa malah senyum-
senyum?" bisik Siluman Ular Putih tak sabar.
Sekali lagi Yustika tersenyum.
"Sebenarnya, aku sedang mencari ayah
kandungku, Soma. Tapi di tengah perjalanan aku
melihat seorang kakek renta yang tengah beristi-
rahat di bawah sebuah pohon rindang. Aku lalu
bertanya padanya barangkali mengenal ayahku.
Tapi kakek itu malah meramalku. Tentu saja aku
tak bisa mempercayai ramalannya begitu saja.
Lantas, kakek itu marah dan bermaksud membu-
nuhku. Untung saja kau segera datang meno-
long," papar Yustika.
"Hm...! Ya ya ya...! Peramal Maut memang
sering berlaku begitu. Siapa saja yang tak mau
mempercayai ramalannya, pasti akan dibunuh,"
jelas Siluman Ular Putih membenarkan.
"Sekarang aku mau tanya padamu, Soma.
Apa kau mengenal orang yang bernama Gendon
Prakoso?" lanjut Ratu Adil.
"Diakah ayah kandungmu?"
"Iya. Apakah kau mengenalnya?"
Siluman Ular Putih menggeleng seraya
menghela napas panjang. "Sayang sekali aku tak
mengenalinya.... Tapi jangan khawatir! Sebagai
sahabat, tentu aku akan membantu mencari ayah
kandungmu. Tapi, yah...! Kalau kau tak kebera-
tan tentunya."
"Aku tak keberatan sama sekali. Malah se-
baliknya."
"Bagus! Kalau begitu, ayo kita cari ayah
kandungmu itu!" ajak Siluman Ular Putih.
"Tapi mayat-mayat itu? Apakah akan di-
biarkan begitu saja, Soma?" kata Ratu Adil men-
gingatkan.
"Oh...! Ya, ampun! Kenapa aku jadi pikun
begini?" Siluman Ular Putih memukul kepalanya
sendiri. "Tentu saja aku tak mungkin membiar-
kan mayat-mayat itu, Yustika. Kau tunggu saja di
sini, ya. Biar aku yang menguburkan."
"Tapi, Soma."
"Sudahlah! Kau duduk saja. Daripada kau
membantuku, lebih baik bersemadi saja dulu biar
tenaga dalammu pulih!"
Yustika sebenarnya keberatan. Namun ka-
rena memang apa yang diucapkan Siluman Ular
Putih benar, akhirnya hanya menurut.
"Mayat-mayat siapakah mereka itu. Soma?"
"Yang mengenakan pakaian hijau-hijau itu
pasti mayat anak buah Setan Haus Darah. Se-
dang mayat gadis-gadis itu aku tidak tahu.
Mungkin penduduk kampung di sekitar sini yang
menjadi jarahan Setan Haus Darah dan pasukan-
nya."
"Hm...!" Ratu Adil mengangguk-angguk.
"Siapakah Setan Haus Darah dan pasukannya
itu. Soma?"
"Mereka adalah rampok yang sering mem-
buat keresahan penduduk kampung di sekitar
Pegunungan Perahu ini," sahut Soma seraya me-
langkah ke pinggir lobang.
Sekali lagi Ratu Adil hanya mengangguk-
angguk. Manakala pemuda berpakaian rompi dan
celana bersisik warna putih keperakan mulai me-
nimbun tanah dengan ranting pohon, gadis itu
segera duduk bersemadi.
Siluman Ular Putih hanya tersenyum. Se-
sekali dinikmatinya kecantikan Ratu Adil, dengan
ekor matanya.
5
Ketika bumi mulai dikungkung kegelapan
malam, satu rombongan berkuda yang semuanya
mengenakan pakaian serba hijau tengah memacu
tunggangannya memasuki kawasan perbukitan
terjal bebatuan. Bila dilihat dari atas bukit yang
lebih tinggi lagi, maka permukaan bukit yang kini
dilalui oleh rombongan berkuda itu akan tampak
memanjang seperti pedang. Maka tak heran kalau
bukit itu dinamakan Bukit Pedang.
Derap kaki kuda yang ditunggangi orang-
orang berpakaian serba hijau itu terdengar men-
gusik keheningan malam. Dari kilauan sinar rem-
bulan yang menggantung di angkasa tampak ka-
lau para penunggang kuda itu semuanya lelaki
bertampang kasar.
Menilik pakaian yang dikenakan, jelas ka-
lau rombongan berkuda itu tak lain adalah Setan
Haus Darah dan sisa-sisa anak buahnya. Mereka
semua tergabung dalam Pasukan Laskar Hijau!
Jalan setapak menuju Bukit Pedang me-
mang cukup curam. Berkelok-kelok, diapit ju-
rang-jurang yang menganga lebar. Di sebuah ti-
kungan tajam Setan Haus Darah terus memacu
cepat kudanya. Beberapa orang anak buahnya
tampak agak ragu-ragu untuk memacu kuda
masing-masing secepat itu. Namun mereka tak
berani mengelak ketika sang Pemimpin memberi
isyarat dengan tangan agar mereka memacu kuda
lebih cepat lagi.
Dari cahaya bulan yang berkilauan jelas
kalau jurang-jurang itu begitu mengerikan. Kalau
saja lengah memacu kuda, bukan mustahil kema-
tianlah yang akan menghadang. Dengan melipat-
gandakan keberanian anggota Pasukan Laskar
Hijau yang kini hanya tinggal dua belas orang itu
menggebah cepat kuda mereka mengikuti Setan
Haus Darah yang tampak terus melesat cepat
tanpa mendapat kesulitan apa pun.
"Hea! Hea!"
Setelah memacu kuda menyusuri jalan se-
tapak berdebu, tak selang berapa lama Setan
Haus Darah menarik tali kekang. Kaki-kaki kuda
tunggangannya seketika menggeruk tanah di ja-
lanan setapak, lalu kedua kaki depannya terang-
kat tinggi-tinggi ke udara disertai ringkikan keras.
Debu-debu kontan mengepul menambah kepeka-
tan malam.
Tepat ketika kedua belas orang anak
buahnya juga menghentikan kuda, Setan Haus
Darah melompat turun. Wajahnya yang beringas
terlihat demikian tegang. Napasnya memburu ter-
bakar amarah yang menggelegak dalam dada.
"Tunggu aku di sini!" perintah Setan Haus
Darah dengan suara keras.
"Baik, Ketua."
Setan Haus Darah mendengus gusar. Tari-
kan-tarikan dagunya menyiratkan hawa membu-
nuh. Lalu dengan langkah kasar, segera diting-
galkannya para anak buahnya menuju ke sebuah
bukit karang. Tubuhnya berkelebat cepat, menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh.
Sesampainya di ujung jalan setapak yang
menyimpang ke samping, Setan Haus Darah
menghentikan kelebatannya. Kepalanya mendon-
gak ke atas, menatap se-buah bukit batu karang
berdiri kokoh di hadapannya. Ia mengempos te-
naganya sebentar, lalu....
"Hup! Hup!"
Dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, tubuh
tinggi besar Setan Haus Darah cepat berlompatan
di antara tumpukan batu-batu terjal dan terus
menuju atas. Sekilas, tubuhnya mirip capung
raksasa yang tengah terbang membubung tinggi
ke udara. Hanya seperlunya saja sepasang ka-
kinya yang kokoh menjejak tanah, kemudian
kembali melesat ke atas dengan kecepatan luar
biasa!
"Hap!"
Dengan satu putaran tubuh, Setan Haus
Darah mendarat tegak di mulut sebuah goa sele-
bar setengah tombak. Sejenak lelaki tinggi besar
ini memicingkan mata, berusaha menembus ke-
pekatan goa yang tampak gelap dari luar. Lalu
perlahan-lahan kakinya mulai melangkah masuk.
Semakin Setan Haus Darah bergerak ma-
suk, ternyata lorong goa itu makin lebar. Di salah
sebuah kelok-an, lelaki ini membelok. Hingga ak-
hirnya, sampailah di sebuah ruangan yang cukup
lebar berukuran lima kali enam tombak.
Ruangan ini hanya diterangi obor yang ter-
tancap di dinding-dinding. Sehingga, dinding-
dinding goa itu tampak seperti terbakar. Semua-
nya berwarna hitam kusam. Dan dari terangnya
cahaya obor, tampak seorang kakek renta tengah
bersemadi di atas sebuah batu putih pipih.
Rambut dan pakaian yang dikenakannya
semuanya berwarna merah menyala!
"Guru! Murid datang menghadap," kata Se-
tan Haus Darah. Tubuhnya menjura, lalu bersim-
puh menghadap lelaki tua itu.
Tak ada sahutan. Hanya tiba-tiba saja batu
putih pipih tempat si tua berpakaian merah ber-
tapa itu bergerak memutar dengan amat perla-
han-lahan! Hal ini saja sudah membuktikan ka-
lau tenaga dalam si kakek yang sebenarnya berge-
lar Hantu Tangan Api ini sudah mencapai tingkat
tinggi!
Begitu membalikkan badan, tampaklah be-
tapa mengerikannya wajah tirus di hadapan Se-
tan Haus Darah. Sepasang mata si tua yang ber-
nama asli Ki Banaspati itu melesak ke dalam, ter-
tutup tulang-tulang pipinya yang menonjol ke-
luar. Baik rambut, bulu mata, alis mata, serta
jenggot yang panjang semuanya berwarna merah
menyala!
"Ada apa kau datang menemuiku, Sing-
gih?" tanya Hantu Tangan Api langsung memang-
gil nama asli muridnya.
"Aku ingin membicarakan sesuatu pada-
mu. Guru," sahut Singgih alias Setan Haus Da-
rah.
"Apa?!" cecar Hantu Tangan Api tak sabar.
Setan Haus Darah sempat melengak kaget
mendengar suara gurunya. Namun ia cepat dapat
mengendalikan perasaan.
"Anu, Guru. Aku dan pasukan telah dika-
lahkan Pendidik Ulung, Guru."
"Pendidik Ulung?! Hm...! Jadi tua bangka
dari Lembah Kalierang itu telah mempermalu-
kanmu, Singgih?"
"Benar, Guru."
"Apakah kau sudah mengerahkan pukulan
'Gemuruh Badai Api'?" tanya Hantu Tangan Api
dengan suara parau.
"Sudah, Guru. Tapi, tua bangka itu benar-
benar lihai. Meskipun aku telah mengerahkan
pukulan 'Gemuruh Badai Api', aku tetap tidak
sanggup menghadapi sepak terjangnya."
"Bodoh!" bentak Hantu Tangan Api garang.
Jari-jari tangannya yang mencengkeram batu pu-
lih pipih tempatnya bersemadi tampak kian men-
geras. Seketika, batu putih pipih itu hancur ber-
keping-keping dan mengepulkan asap tipis ber-
warna hitam!
Melihat kemurkaan gurunya, Setan Haus
Darah sedikit pun tidak berani mengangkat wa-
jah. Kepalanya tertunduk terus menekuri lantai.
Namun dia tahu, dari napas Ki Banaspati yang
memburu jelas menandakan kalau gurunya ten-
gah diamuk hawa amarah.
"Singgih! Apa hanya tua bangka Pendidik
Ulung saja yang telah mempermalukanmu, he?!"
"Bu.... Bukan, Guru."
"Jadi?" Hantu Tangan Api mengernyitkan
dahinya. "Apakah masih ada orang yang mampu
mengalahkan pukulan 'Gemuruh Badai Api' cip-
taanku, he?!"
"Be... benar, Guru. Malah orang yang men-
galahkanku kali ini masih berusia sangat muda.
Namun anehnya, kepandaiannya telah tinggi," je-
las Singgih.
"Setan alas! Percuma aku mendidikmu ber-
tahun-tahun kalau menghadapi bocah bau ken-
cur saja tidak becus. Memalukan! Kau tewas
maupun kalah di tangan Pendidik Ulung aku ma-
sih bisa maklum. Tapi dikalahkan oleh seorang
pemuda kemarin sore? Huh...! Murid macam apa
kau ini, Singgih!"
Bukan main marahnya Hantu Tangan Api
mendengar laporan muridnya.
Sementara Setan Haus Darah duduk
menggigil di tempatnya. Ia khawatir kalau-kalau
gurunya akan menurunkan tangan maut seperti
yang biasa dilakukannya terhadap tokoh-tokoh
putih.
"Sekarang apa yang harus kau lakukan se-
telah dikalahkan banyak orang, he?! Apa kau in-
gin memperdalam ilmumu?"
"Tid.... Tidak, Guru. Aku.... Aku ingin Guru
membantuku," ucap Setan Haus Darah agak gu-
gup. Hatinya merasa lega bukan main karena gu-
runya tidak menurunkan tangan maut. Meski
demikian, hati Singgih masih merasa belum ten-
teram bila gurunya belum sudi membantu dirinya
untuk memberantas musuh-musuhnya.
"Apa kau bilang? Kau ingin gurumu yang
sudah tua bangka ini untuk turun tangan?!" sen-
tak Ki Banaspati.
Setan Haus Darah cepat memutar otaknya.
Rencananya tidak boleh gagal. Yang jelas, ia ha-
rus dapat menyeret gurunya untuk turun dalam
kancah dunia persilatan. Sekaligus memberantas
musuh-musuhnya.
"Sebenarnya aku tidak bermaksud demi-
kian. Tapi berhubung Pendidik Ulung selalu men-
jelek-jelekkan nama Guru, terpaksa hal ini harus
kulaporkan. Di samping itu, malah Pendidik
Ulung bermaksud menantang Guru. Apa murid
bisa tinggal diam mendengar Guru dihina demi-
kian rupa?! Tentu saja tidak, Guru! Namun
sayang, murid dapat dikalahkan Pendidik Ulung.
Juga oleh Siluman Ular Putih."
"Keparat! Jadi Pendidik Ulung dan Siluman
Ular Putih ingin menantang bertarung?"
"Benar, Guru."
"Bajingan! Kali ini aku memang terpaksa
harus turun gunung. Akan kumusnahkan orang-
orang pongah yang kau sebut tadi. Sekarang tun-
jukkan, di mana mereka berada, Singgih?!"
"Tepatnya murid kurang tahu. Guru. Na-
mun murid yakin, Pendidik Ulung dan Siluman
Ular Putih masih berkeliaran di sekitar Pegunun-
gan Perahu ini, Guru."
"Cukup! Bagiku semua keteranganmu su-
dah cukup, Singgih. Sekarang juga akan kucari
Pendidik Ulung dan Siluman Ular Putih," sambar
Hantu Tangan Api.
Belum juga gema suaranya lenyap, Ki Ba-
naspati segera menghentakkan kedua telapak
tangannya ke bawah. Seketika, tubuhnya yang
tinggi kurus langsung me-lenting melampaui Se-
tan Haus Darah yang masih duduk bersimpuh di
tempatnya. Dan begitu menjejakkan kakinya ke
tanah, sosok Hantu Tangan Api pun segera berke-
lebat, lalu menghilang di balik dinding-dinding
goa.
Diam-diam Setan Haus Darah jadi gembira
bukan main. Kini ia tak gentar lagi untuk kembali
ke dunia persilatan. Dengan mendompleng nama
besar gurunya, lelaki tinggi besar ini yakin akan
banyak tokoh dunia persilatan yang kalang kabut.
Lebih dari itu, tentu tenaga gurunya dapat diman-
faatkan untuk memberantas tokoh-tokoh putih
yang memusuhinya.
"Hm...! Sekarang apa lagi yang mesti dita-
kutkan? Guruku Hantu Tangan Api telah turun
tangan. Siapa pun juga yang akan menentangku
akan kulibas!" gumam Setan Haus Darah seraya
mengepalkan tinjunya erat-erat.
6
Matahari siang terasa panas memanggang
bumi. Daun-daun kering bercampur debu-debu
beterbangan manakala angin kering berhembus
kencang. Di sebuah pohon besar, beberapa bu-
rung jalak terdengar riuh saling bersahutan di-
tingkahi beberapa burung lain yang tengah riuh
berkelahi sambil beterbangan ke sana kemari.
Di bawah pohon besar itu pula seorang
pemuda gondrong berpakaian putih bersih yang
ditutup jubah besar warna biru tengah terlelap.
Suara-suara gaduh burung-burung jalak yang se-
dang bertengkar di atasnya sama sekali tidak
mengganggu tidurnya. Hanya wajahnya yang ga-
gah saja tampak menegang. Entah mimpi apa
pemuda berambut gondrong yang digelung ke
atas itu.
Di saat si pemuda tengah menikmati sua-
sana siang dengan mimpinya, tiba-tiba saja....
Breng! Gombreng-gombreng! Kenyataan
memang menyakitkan. Apalah artinya cinta, kalau
hanya akan menderita.
Breng! Gombreng-gombreng! Kekasih ada-
lah tambatan hati. Tapi ke mana aku harus men-
cari. Bila hati hanya dusta.
Dusta! Prol! Proolll!
Terdengar seseorang tengah membacakan
sajak ditingkahi suara cempreng, membuat si
pemuda yang tengah terlelap bersandar batang
pohon itu terbangun. Burung-burung jalak yang
tengah riuh berkicau sejenak berhenti dengan
mata memandang ke bawah.
Di bawah sana, seorang kakek tua renta
tengah berjalan santai dengan tongkat butut di
tangan. Tubuhnya kurus kering terbalut jubah
besar warna biru. Rambutnya awut-awutan tak
terawat. Wajahnya kasar penuh tonjolan daging.
Sesampainya di dekat pemuda berpakaian
biru, entah kenapa tiba-tiba saja kakek renta itu
menghentikan langkah. Hidungnya yang pesek te-
rus mengendus-endus. Lalu dengan pandang ma-
ta seksama diperhatikannya pemuda yang tengah
duduk bersandar di batang pohon.
"Hm...! Aku mencium hawa kematian dari
bau tubuhmu, Pemuda. Aku juga mencium kalau
kau akan terlunta-lunta karena cinta. Katakan!
Siapa namamu, Pemuda!" kata si kakek, langsung
saja. Nada suaranya terdengar galak, seolah-olah
ingin meyakinkan kalau apa yang diucapkan itu
benar.
"Kau bertanya padaku, Orang Tua?" Pemu-
da berpakaian biru-biru itu balik bertanya.
"Aku tanya padamu, Setan!" bentak si ka-
kek renta itu.
"Hm...! Ya yaya...! Aku.... Teguh Sayekti.
Ada apa?" sahut pemuda berpakaian biru yang
memang Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis. Si-
kapnya terheran-heran melihat sikap kasar kakek
renta yang tentu saja tak lain dari Peramal Maut.
"Bagus! Kau harus ingat! Peramal Maut tak
pernah luput meramal orang. Dan kau harus
mengakuinya!" tegas Peramal Maut.
"Ya ya ya...! Aku memang sedang gelisah
karena memikirkan seorang gadis, Orang Tua.
Sudah tiga hari ini aku mencarinya. Namun, be-
lum juga kutemukan batang hidungnya. Apakah
kau dapat membantuku?"
"Membantu apa? Maksudmu membantu
untuk mendapat cinta gadis yang kau kejar-kejar
itu?"
"Hm...! Boleh kalau kau bisa."
"Sayang. Aku hanya dapat memberitahumu
kalau kau akan terlunta-lunta bila memikirkan
gadis itu. Tapi bukan mustahil kau akan menda-
patkan cintanya."
"Jadi? Aku dapat memiliki gadis yang
kuimpi-impikan itu, Orang Tua?" sambar Pembu-
nuh Iblis seraya melompat bangun dengan mata
membuka lebar. Lenyap sudah rasa kantuknya.
"Benar. Tapi yang lebih penting, kau harus
hati-hati. Sekali lengah kau akan celaka. Kau
akan modar, Bocah."
"Terima kasih, Orang Tua! Aku pasti akan
mengingat apa yang kau katakan barusan."
"Kau sudah tahu nasib apa yang akan me-
nimpamu, bukan?" lanjut Peramal Maut tajam.
"Ya."
"Nah! Dengar, Bocah! Sekarang bayarlah
apa yang telah kuramalkan tadi!" ujar Peramal
Maut, menyodorkan telapak tangan kanan ke ha-
dapan Pembunuh Iblis.
"Tapi.... Tapi aku tak mempunyai uang,
Orang Tua," sahut Pembunuh Iblis gelagapan.
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya kau harus
bayar. Mana ada ramalan cuma-cuma. Di mana-
mana juga harus bayar. Cepat, Bocah!" desak Pe-
ramal Maut.
"Aku.... Aku tidak mempunyai uang, Orang
Tua," sahut Teguh Sayekti meyakinkan.
"Benar?"
"Benar."
"Bagus! Kalau begitu, nyawamulah sebagai
bayarannya!" tukas Peramal Maut. Sepasang ma-
tanya yang melesak ke dalam mendadak jadi be-
ringas. Kaki kanannya pun sudah disurutkan ke
belakang, membentuk kuda-kuda kokoh sambil
memutar-mutar tongkat bututnya.
"Kau benar-benar ingin membunuhku,
Orang Tua?" perangah Pembunuh Iblis, seolah tak
percaya melihat perubahan sikap Peramal Maut.
"Ya!"
"Tapi...? Bukankah aku tak menyuruhmu
meramalku?" tukas Pembunuh Iblis, berusaha
menenangkan Peramal Maut.
"Ya. Tapi, bukan berarti kau tak harus
membayar setelah mendengar ramalanku?"
"Hm...! Benar-benar aneh watak orang tua
ini. Belum pernah rasanya aku bertemu orang
seaneh ini sejak turun ke dunia persilatan...,"
gumam Pembunuh Iblis dalam hati. Lalu bibirnya
berdecak-decak penuh keheranan.
"Jangan berlagak, Bocah! Cepat cabut sen-
jatamu!" bentak Peramal Maut, garang.
Tanpa menunggu tanggapan Pembunuh Ib-
lis, tiba-tiba Peramal Maut telah menerjang serta-
merta tongkat di tangan kanannya diputar-putar
sehingga menimbulkan angin menderu-deru.
Werrr! Werrr!
Tentu saja Pembunuh Iblis tak ingin tu-
buhnya jadi sasaran empuk serangan-serangan
Peramal Maut. Tanpa banyak cakap segera pe-
dang yang menggantung di pinggang diloloskan
keluar. Langsung dihadapinya serangan tongkat
Peramal Maut.
Trang! Trang!
Terlihat bunga api berpijar saat tongkat di
tangan kanan Peramal Maut berbenturan dengan
pedang Pembunuh Iblis di udara. Keduanya sa-
ma-sama terjajar beberapa langkah ke belakang.
Teguh Sayekti mengeluh dalam hati, merasakan
tangan kanannya yang terasa kesemutan akibat
bentrokan tadi. Hal ini saja sudah membuktikan
kalau tenaga dalamnya masih kalah satu atau
dua tingkat di banding Peramal Maut.
Meski demikian, bukan berarti Pembunuh
Iblis harus menyerah begitu saja. Dengan meng-
gunakan jurus-jurus andalan, pedang di tangan
kanannya segera diputar sedemikian rupa. Seke-
tika angin kencang kontan menderu-deru, hingga
membuat jubah Peramal Maut berkibar-kibar.
"Hm...! Bagus! Rupanya kau mempunyai
ilmu pedang yang lumayan juga, Bocah. Tapi jan-
gan dikira ilmu tongkatku hanya pepesan kosong
belaka! Majulah kalau ingin merasakan gebukan
tongkatku!" ejek Peramal Maut.
"Heaaat...!"
Pembunuh Iblis yang merasa penasaran
segera menerjang Peramal Maut. Pedang di tan-
gan kanannya sengaja diarahkan lurus ke dada
lawan. Sedang telapak tangan kirinya yang telah
berubah menjadi biru siap pula melontarkan pu-
kulan maut.
Bed! Bed!
Pedang di tangan Pembunuh Iblis terus
bergerak cepat di antara gulungan tongkat di tan-
gan lawan. Namun Peramal Maut bukanlah tokoh
kemarin sore. Dengan amat mudah si tua ini da-
pat membaca ke arah mana datangnya serangan.
Setelah membuang tubuhnya ke samping, dengan
satu gerakan cepat luar biasa tiba-tiba tongkat-
nya digerakkan dari atas ke bawah, bermaksud
menggeprak kepala Pembunuh Iblis.
Werrr!
Pembunuh Iblis mendengus gusar. Begitu
melihat datangnya serangan, tubuhnya ditarik ke
belakang. Sementara pedangnya bergerak me-
nangkis tongkat di tangan Peramal Maut.
Prakk! Prakkk!
"Aakh...!"
Emoticon