SATU
"Gembel
kotor! Busuk...! Pergi dari sini!”
Terdengar
bentakan kasar dari sebuah kedai yang ramai pengunjungnya. Tampak seorang
laki-laki bertubuh gemuk, dan perut buncit berdiri bertolak pinggang. Wajahnya
yang berlipat, tampak garang memerah. Sepasang bola matanya membeliak lebar,
hampir mencuat keluar.
Tidak
jauh di depannya, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh tiga
tahun. Tubuhnya kurus kering, dan pakaiannya compang-camping penuh tambalan.
Rambutnya panjang terurai dan kotor. Begitu kurusnya, sehingga tulang-tulang
pipi dan iganya menyembul, terlihat jelas. Sepasang bola matanya cekung ke
dalam, menatap sendu pada laki-laki gemuk yang menghardiknya dengan kasar.
"Ayo!
Cepat pergi...! Atau ingin kulempar ke kandang babi!" bentak laki-laki
gemuk itu.
"Beri
saya sedikit makanan, Tuan Gemuk," pinta laki-laki muda kurus itu memelas.
"Apa...?!
Apa kau bilang tadi?" laki-laki gemuk itu semakin mendelik.
"Sudah
dua hari saya belum makan. Tolong..., beri..."
Plak!
Belum
lagi menyelesaikan kata-katanya, satu tamparan keras mendarat di wajah pemuda
gembel itu. Dia hanya mampu mengaduh, dan tubuhnya menggeletak di tanah.
Tamparan itu demikian keras, sehingga dari mulutnya mengeluarkan darah.
Disekanya darah di sudut bibir dengan punggung tangannya. Sorot matanya kini
demikian tajam. Sepertinya menyimpan dendam yang sukar untuk dikatakan.
Pelahan-lahan dia bangkit berdiri.
"Cepat
pergi!" bentak laki-laki gemuk itu lagi.
Pemuda
kurus kering itu hanya diam saja, dan tetap berdiri sambil menatap tajam. Darah
masih mengalir dari sudut bibirnya. Seluruh tubuhnya agak bergetar.
"Huh!
Pelit!" umpat pemuda itu.
"Hey...!”
Laki-laki
gemuk itu terkejut. Tangannya pun sudah terangkat hendak menampar lagi. Tapi
pemuda gembel itu sudah cepat berlalu meninggalkan kedai itu, hanya saja tidak
pergi terlalu jauh. Dia berhenti lalu duduk di bawah sebatang pohon yang cukup
rindang. Seperti cukup untuk berlindung dari sengatan matahari yang amat terik
di siang ini.
Beberapa
anak-anak menghampiri, dan mengejeknya dengan kata-kata yang menyakitkan
telinga. Bahkan ada beberapa di antaranya yang melempari batu-batu kerikil.
Pemuda itu hanya memandangi anak-anak yang mengejek dan menghinanya bagai
seoker anjing buduk berpenyakitan.
"Huh!
Anak-anak kurang ajar! Apa kalian tidak pernah diajar menghormati orang lebih
tua, heh?!" rungut pemuda gembel itu geram.
Pemuda
itu bangkit berdiri. Kontan anak-anak yang mengejek dan melemparinya segera
berlarian, tapi tidak jauh. Mereka menghampiri kembali sambil melempari
kerikil. Anak-anak lain segera berdatangan, sehingga semakin banyak saja.
Bahkan ada beberapa orang tua ikut melemparkan kata-kata kotor dan makian.
Pemuda gembel itu tampak semakin geram, tapi tidak berbuat apa-apa. Dia hanya
berusaha melindungi wajahnya dari timpukan kerikil-kerikil itu.
"Berhenti!
Bubar...! Bubar...!"
Tiba-tiba
saja terdengar bentakan keras, disusul munculnya seseorang yang menunggang
kuda. Orang berkuda itu membubarkan anak-anak yang sedang menimpuki serta
melontarkan kata-kata kasar penuh hinaan kepada pemuda gembel itu. Anak-anak
itu langsung berlarian serabutan sambil bersorak-sorai.
Penunggang
kuda putih yang ternyata seorang wanita muda yang cantik itu, melompat turun
dari kudanya. Gerakannya begitu indah dan ringan, pertanda memiliki ilmu olah
kanuragan yang tidak rendah. Dengan senyum terkulum di bibir, dilangkahkan
kakinya menghampiri pemuda gembel itu.
"Maafkan
mereka. Yaaah... masih anak-anak," ucap wanita berbaju kuning gading itu
setelah dekat di depan pemuda gembel.
"Tidak
apa-apa." sahut pemuda gembel itu dingin. "Aku sering menerima
perlakuan begitu. Bahkan yang lebih dari itu pun sering."
"Kenapa
tidak kau usir?"
"Untuk
apa? Orang tua mereka saja membiarkan, bahkan seperti menganjurkan. Ah,
sudahlah! Tidak ada gunanya dibicarakan. Hm... terima kasih atas
pertolonganmu"
Pemuda
gembel itu melangkah pelahan-lahan. Rasanya tidak ingin membicarakan kenakalan
anak-anak tadi pada dirinya. Sedangkan wanita penunggang kuda putih itu
memandanginya saja. Sebentar kemudian, dia berbalik dan melangkah menuju ke
kedai sambil menuntun kudanya.
Laki-laki
gemuk pemilik kedai yang tadi mengusir kasar pemuda gembel itu menyambutnya dengan
ramah. Pemilik kedai itu mempersilakan wanita berbaju kuning gading itu duduk
dekat jendela yang langsung menghadap ke jalan.
"Makan
apa, Nisanak?" tanya pemilik kedai itu ramah.
"Hanya
tuak, dan sedikit makanan kecil," sahut wanita itu.
"Baik,
sebentar kami siapkan."
"Eh,
tunggu," cegah wanita itu kepada pemilik kedai yang akan meninggalkannya.
"Ada
yang dipesan lagi, Nisanak?"
"Tidak!
Aku hanya ingin bertanya."
"Silakan."
"Apa
nama desa ini?"
"Desa
Watu Gayam."
Wanita
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan pemilik kedai bertubuh gemuk itu
bergegas meninggalkannya untuk menyiapkan pesanan. Sementara itu, wanita
berbaju kuning gading yang tampaknya baru pertama kali datang ke desa ini,
mengamati suasana di luar. Masih terlihat pemuda gembel itu yang berjalan
tertatih-tatih di tepi jalan utama desa ini.
Beberapa
orang yang kebetulan berpapasan, langsung menghindar. Bahkan ada diantaranya
yang menyemburkan ludah sambil melontarkan kata-kata kasar bernada penghinaan.
Walaupun agak jauh dari kedai ini, namun setiap kata yang terlontar dapat
didengar. Memang tidak begitu jelas terdengar.
"Ini
pesanannya, Nisanak..."
"Oh!"
wanita berbaju kuning gading itu langsung memalingkan mukanya dari jendela.
Laki-laki
gemuk pemilik kedai ini meletakkan baki pesanan tamunya, kemudian bergegas
melangkah pergi setelah semuanya terhidang di atas meja. Laki-laki gemuk itu
kini melayani orang-orang yang berdatangan mengunjungi kedainya. Dengan ramah
dilayani setiap pengunjung yang datang. Sementara itu wanita berbaju kuning
gading, menikmati hidangannya sambil mengamati keadaan sekelilingnya.
***
"Gembel
keparat! Busuk...! Kau pasti yang mencuri ayamku! Keparat...! Hih!"
"Aduh,
ampun.... Bukan aku yang mencuri.... ampun."
"Tidak
ada ampun-ampun! Hih...! Mampus kau, gembel keparat!"
Pagi
yang harusnya hening dan damai, pecah oleh bentakan dan makian kasar disertai
ratapan dan erangan lirih minta belas kasihan. Beberapa orang mulai
berdatangan, tapi malah ikut memukuli laki-laki muda berpakaian compang-camping
dan kotor berdebu. Seluruh tubuhnya yang kurus kering, sudah biru lebam. Darah
bercucuran dari kening, hidung, dan mulutnya.
"Bunuh
saja dia! Gembel tidak tahu diri!"
"Bikin
kotor kampung saja!"
"Buang
mayatnya di hutan, biar dimakan anjing liar!"
"Bunuh!
Hajar sampai mampus!"
Macam-macam
makian dan kata-kata kotor terlontar. Masing-masing orang berusaha untuk
memukul atau menendang laki-laki kurus kering yang sudah tidak ber-daya lagi.
Rasanya tak mungkin untuk menyelamatkan diri. Jangankan untuk berdiri, membuka
suara saja sudah tidak mampu lagi.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba
terdengar bentakan keras menggelegar. Seketika itu juga, orang yang tengah
mengeroyok gembel itu berhenti. Tampak seorang wanita muda dan cantik
menunggang kuda putih, berada tidak jauh dari kerumunan orang yang mengeroyok
pemuda gembel tadi.
Wanita
cantik berbaju kuning gading itu melompat turun dari kudanya, dan melangkah
menghampiri pemuda gembel itu yang tergeletak tak berdaya. Sebentar diperiksa
luka-luka di tubuh laki-laki kurus kering itu. Pandangannya kini merayapi orang
yang berkerumun di sekitarnya.
"Kenapa
Kisanak semua mengeroyok orang tidak berdaya ini?" tanya wanita cantik itu
lantang.
"Gembel
itu mencuri ayamku!" sahut seorang laki-laki muda bertubuh kekar. Suaranya
cukup lantang juga.
"Oh...
Jadi hanya karena mencuri ayam, lalu kalian akan membunuhnya?" bernada
sinis suara wanita itu. Ditatapnya tajam laki-laki yang menyahuti pertanyaannya
tadi.
"Nisanak!
Tampaknya kau bukan penduduk desa ini. Sebaiknya tidak usah mencampuri urusan
kami." tegas seorang laki-laki tua dengan rambut yang sudah memutih.
"Aku
tidak akan mencampuri, jika kalian tidak main keroyok begini!" sahut
wanita itu tegas.
"Nisanak...."
"Ada
apa ini...?!" tiba-tiba terdengar bentakan yang memotong ucapan laki-laki
tua berambut putih itu.
Semua
orang menatap ke arah datangnya suara bentakan tadi. Mereka serentak bergerak
mundur untuk memberi jalan seorang laki-laki berusia setengah baya. Pakaiannya
indah, dengan kawalan empat orang laki-laki bertubuh tinggi tegap menyandang
golok di pinggang.
Laki-laki
setengah baya dan masih kelihatan gagah itu, melangkah mendekati wanita muda
cantik berbaju kuning gading. Sebentar dirayapinya orang-orang yang berkerumun
di sekitarnya.
"Puspa
Ningrum, ada apa ini?" tanya laki-laki setengah baya itu seraya menatap
pada pemuda gembel yang masih tergeletak di tanah.
"Mereka
mengeroyok orang ini, Kakang Dipa," sahut wanita berbaju kuning gading
yang dipanggil Puspa Ningrum.
"Sudahlah,
Puspa Ningrum. Dia itu..."
"Tapi,
Kakang...! Orang ini sangat lemah, dan bisa mati kalau dipukuli mereka!"
potong Puspa Ningrum cepat.
"Hm....
Kau tidak mengerti, Adikku"
"Kakang,..."
Dipa
Sentana buru-buru mencegah dengan menggoyang-goyangkan kepalanya. Puspa Ningrum
segera diam membisu, karena tidak ingin membantah kakak-nya yang sangat
dihormati di desa ini. Kakaknya adalah Kepala Desa Watu Gayam. Jelas dapat
menjatuhkan kewibawaannya kalau berdebat di depan orang banyak.
Puspa
Ningrum berbalik, lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Dia melompat naik ke
punggung kuda putihnya, dan cepat menggebahnya. Semua orang yang berada di
tempat itu jadi bengong, karena kepala desa mereka tampak kenal betul dengan
wanita yang kelihatannya asing.
"Kalian
bawa orang ini, dan rawat luka-lukanya," perintah Dipa Sentana pada empat
orang pengawalnya.
"Baik."
Empat
orang bertubuh tegap itu segera menggotong pemuda gembel yang masih pingsan.
Kemudian Dipa Sentana bergegas melangkah pergi. Semua orang yang berkerumun,
segera meninggalkan tempat itu.
"Oh..."
"Jangan
bergerak dulu."
Pemuda
berbaju compang-camping itu terkejut, dan berusaha bangkit. Tapi seluruh
tubuhnya terasa remuk, dan nyeri sekali. Dia meringis sambil merintih lirih.
Kelopak matanya mengerjap melihat seraut wajah cantik yang duduk di sampingnya.
"Oh...,
di mana aku...?" tanya pemuda gembel itu lirih.
"Kau
ada di tempat yang aman," sahut wanita itu lembut.
"Siapa
kau?" tanya pemuda gembel itu, seperti pernah melihat wajahnya. Tapi pada
saat ini, sukar untuk mengingat-ingat, dimana pernah bertemu wanita cantik ini.
"Aku
Puspa Ningrum," sahut wanita itu tetap lembut "Dan kau, siapa?"
"Orang-orang
memanggilku si Gembel"
"Kau
pasti punya nama, bukan?" desak Puspa Ningrum.
"Untuk
apa? Tidak ada yang pernah memanggil namaku."
“Tapi
aku lebih suka memanggil namamu daripada si Gembel"
"Percuma!
Kau akan bersikap sama seperti mereka kalau tahu siapa aku ini.”
Puspa
Ningrum hanya tersenyum saja. Begitu manis senyumnya. Dia bangkit berdiri dan
melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Sementara itu pemuda gembel
merayapi sekitarnya. Disadari kalau dirinya kini berada dalam suatu ruangan
yang tidak begitu besar. Seluruh dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Tidak
ada apa-apa di sini, kecuali sebuah dipan kayu yang kini ditiduri.
Pemuda
itu bangkit dan duduk bersila. Ditatapnya Puspa Ningrum yang berdiri
membelakanginya sambil memandang keadaan luar melalui jendela yang terbuka
lebar. Cahaya matahari menerobos masuk menerangi seluruh kamar berukuran kecil
ini. Banyak rumput kering di lantainya. Sesekali terdengar suara ringkik kuda
yang tidak begitu jauh.
"Aku
bernama Gota," ujar pemuda gembel itu pelan.
"Nama
yang bagus," ucap Puspa Ningrum seraya membalikkan tubuhnya.
"Terima
kasih, tapi aku tidak perlu pujianmu. Aku lebih suka kalau kau menghinaku
seperti yang mereka lakukan setiap hari," sahut Gota, agak sinis nada
suaranya.
"Tapi
aku bukan mereka, Gota."
"Hhh!
Aku tahu tempat ini. Dan kau berada di sini, tentu salah seorang dari
mereka."
Puspa
Ningrum mengernyitkan keningnya mendengar kata-kata bernada sinis dan tidak
bersahabat itu. Dilangkahkan kakinya menghampiri laki-laki itu. Pandangannya
begitu dalam, seakan-akan hendak menyelidiki kata-kata Gota tadi. Sedangkan
yang ditatap malah membalasnya dengan tajam.
"Kau
tahu tempat ini. Apakah kau pernah berada di sini sebelumnya? Atau paling
tidak, pernah datang ke sini?" tanya Puspa Ningrum bernada menyelidik.
"Hhh!
Kau bisa tanyakan pada orang yang menguasai tempat ini!" Jawab Gota ketus.
Puspa
Ningrum ingin bertanya lagj, tapi diurungkan niatnya. Pintu kamar ini terkuak,
dan muncul seorang laki-laki muda bertubuh tinggi tegap. Sebilah golok terselip
di pinggangnya. Pemuda itu membungkuk sedikit pada Puspa Ningrum.
"Maaf,
hamba diperintahkan untuk memanggil Gusti Ayu," kata pemuda itu penuh
hormat.
"Gusti
Ayu.... Heh...!"gumam Gota pelan, namun terdengar begitu sinis.
Puspa
Ningrum menatap tajam, namun tetap diliputi rasa penasaran melihat sikap Gota
yang begitu tidak bersahabat. Bahkan kata-kata yang diucapkan, selalu bernada
sinis.
"Gusti
Ayu...."
"Siapa
yang memanggilku?" tanya Puspa Ningrum mendengar suara pemuda suruhan
kakaknya itu.
"Gusti
Dipa."
Puspa
Ningrum terdiam beberapa saat, lalu me-mandang ke luar melalui jendela yang
terbuka. Meskipun jendela itu terbuka lebar, tapi memiliki jeruji yang cukup
rapat dan terbuat dari kayu keras. Puspa Ningrum memalingkan mukanya kembali
dan menatap pada Gota yang masih duduk bersila, bersikap tidak peduli.
"Aku
akan datang lagi ke sini, Gota." ujar Puspa Ningrum.
"Kau
bebas datang kapan saja," sahut Gota datar.
Puspa
Ningrum membalikkan tubuhnya, lalu melangkah menuju pintu. Dia terus melangkah
pergi tanpa berpaling lagi. Sementara pintu ditutup dari luar, Gota beringsut
dan bangkit dari pembaringan. Bibirnya menyeringai menahan sakit begitu
berdiri. Akibat pukulan dan tendangan orang banyak yang mengeroyoknya, dirasakan
seluruh tubuhnya begitu nyeri dan sakit.
"Uh!
Sial..!" rungutnya seraya duduk kembali. Mata Gota yang cekung dalam
merayapi sekitarnya. Tulang-tulang Jari tangannya bergemeletuk ketika
dikepalkan kuat-kuat. Raut wajahnya yang kurus, begitu menegang. Kemudian, dia
beringsut ke tengah-tengah ranjang kayu yang hanya beralaskan tikar daun
pandan, lalu duduk bersila. Diletakkan telapak tangannya di lutut, lalu
pelahan-lahan matanya terpejam.
"Hsss...!?”
Gota mulai mengatur jalan napasnya. Dadanya yang kerempeng dan terbuka,
bergerak teratur turun naik. Sementara suasana jadi hening, hanya sesekali
terdengar ringkik kuda. Gota tetap duduk bersila sambil terpejam. Wajah yang
memerah, kini berangsur-angsur normal. Dirinya semakin kelihatan tenang, dan
napasnya pun teratur baik.
"Hhh...!"
Gota menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Kemudian
dibuka matanya, lalu bangkit dari ranjang kayu itu. Tubuhnya nampak segar, dan
tidak lagi merasakan sakit pada sekujur tubuhnya. Sebentar dipandangi sekitarnya.
Kakinya melangkah mendekati jendela, dan memandang ke luar.
"Sialan…!"
umpatnya begitu melihat dua orang laki-laki bersenjata golok berdiri di depan
pintu kamar ini. Gota melangkah menghampiri pembaringan kayu itu, dan kembali
duduk bersila, lalu dibaringkan tubuhnya menelentang. Matanya yang cekung,
terbuka lebar-lebar menatap langit-langit yang hampir dipenuhi sarang
laba-laba.
"Aku
ttdak suka tempat ini, dan harus keluar dari sini!" dengusnya pelan.
"Hm.... nanti malam…! Ya, nanti malam aku harus keluar dari sini!"
***
DUA
Gelap
menyelimuti seluruh Desa Watu Gayam. Malam telah begitu larut. Di beranda depan
rumah besar yang berdinding batu, tampak Dipa Sentana dan seorang laki-laki tua
duduk memandang bulan penuh yang ber-gelayut di langit hitam. Beberapa orang
bersenjata golok di pinggang, hilir mudik di sekitar rumah besar yang memiliki
halaman luas itu.
"Kudengar
kau membawa si Gembel itu ke sini,” terdengar suara pelan seperti bergumam.
"Benar."
sahut Dipa Sentana seraya mendesah.
"Anak
itu bisa jadi duri dalam dirimu, Dipa. Mengapa masih juga kau biarkan
hidup?"
Dipa
Sentana hanya mendesah saja. Dipalingkan wajahnya menatap laki-laki tua
berjubah biru tua di sampingnya. Sebatang tongkat berkepala ular kobra
tergenggam di tangan kanan. Seluruh rambutnya telah putih, dan tergulung rapi
ke atas. Pandangan laki-laki tua itu tetap ke depan, merayapi kegelapan yang
menyelimuti sekitarnya.
Bukan
sekali ini Ki Jayakrama mengatakan demikian, tapi Dipa Sentana selalu tidak
bisa menjawab. Dia memang menghormati laki-laki tua yang menjadi guru,
sekaligus orang tua asuhnya ini. Tapi juga tidak harus dituruti keinginan Ki
Jayakrama. Sebab, sukar baginya untuk melenyapkan Gota yang selalu disebut si
Gembel. Ada suatu ganjalan bila mendengar nama itu.
"Aku
tahu, kau tidak akan tega membunuhnya. Tapi bukankah bisa menyerahkan pada anak
buahmu, dan membuang mayatnya ke dalam hutan. Lagi pula, tidak ada yang
mempedulikannya lagi. Semua orang membencinya. Tidak ada yang bakal kehilangan
kalau dia mati, Dipa," kata Ki Jayakrama lagi.
"Kurasa
ada, Ki." sahut Dipa Sentana mendesah.
"Dia
pun tidak tahu, dan tidak mengenal Gota. Sebelum terlambat, Dipa. Aku berkata
demikian hanya untukmu, dan demi kelancaran semua cita-citamu. Ingatlah pesan
mendiang ayahmu, Dipa,"
"Aku
tidak pernah lupa, Ki."
"Nah!
Mengapa tidak kau lenyapkan saja si Gembel itu?"
Dipa
Sentana tidak menjawab, tapi malah bangkit berdiri dari duduknya. Dilangkahkan
kakinya beberapa tindak ke depan, lalu berdiri bersandar pada pilar yang
menyangga atap beranda ini. Sementara Ki Jayakrama masih tetap duduk memandang
lurus ke depan, tidak sedikit pun menoleh saat berbicara.
"Gusti...!
Gusti..!"
Dipa
Sentana menoleh ketika mendengar suara memanggilnya. Tampak seorang laki-laki
muda berlari-lari menghampiri. Pemuda dengan golok terselip di pinggang itu
langsung membungkuk begitu sampai di depan Dipa Sentana.
"Ada
apa?" tanya Dipa Sentana.
"Celaka,
Gusti...! Celaka...!"
"Bicara
yang jelas! Ada apa?!" bentak Dipa Sentana agak keras.
"Si
Gembel, Gusti...! Dia kabur dan membunuh dua orang penjaga," lapor pemuda
itu.
"Apa...?!"
Dipa Sentana kaget setengah mati mendengar laporan itu.
Bergegas
Dipa Sentana melompat dan langsung berlari menuju bagian belakang rumah ini.
Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu singkat sudah tiba di depan pintu
kandang kuda. Tampak sepuluh orang laki-laki bertubuh tegap tengah mengerumuni
dua orang yang tergeletak dengan kepala pecah. Sepuluh orang itu menyingkir
begitu Dipa Sentana datang.
Dipa
Sentana tidak bisa berkata-kata melihat dua anak buahnya tewas. Darah masih
mengalir deras dari kepala yang pecah itu. Sementara sepuluh orang pembantunya
hanya bisa menunduk tanpa berkata-kata. Saat itu Ki Jayakrama dan seorang yang
melapor tadi telah tiba di tempat itu. Mereka melihat bagian depan pintu kamar
yang hancur berantakan.
Kamar
itu biasanya digunakan untuk menyimpan barang rongsokan. Hanya baru kemarin
digunakan untuk menyekap Gota yang lebih dikenal dengan panggilan si Gembel.
Dipa Sentana menatap laki-laki tua yang memakai jubah warna biru gelap di
sampingnya.
"Kenapa
kalian diam saja?! Ayo, cari sampai dapat gembel itu!" perintah Ki
Jayakrama membentak.
Sepuluh
orang serentak bergerak menghampiri kuda masing-masing, kemudian segera
menggebahnya dengan cepat keluar dari halaman belakang rumah besar itu.
Sementara dari arah lain, datang sekitar dua puluh orang lagi dengan senjata
golok terselip di pinggang. Ki Jayakrama juga segera memerintahkan mereka untuk
mencari Gota. Tapi Dipa Sentana meminta enam orang untuk tetap tinggal di situ.
Ki Jayakrama sendiri bergegas menghampiri kudanya yang berwarna coklat, tinggi
dan tegap. Dengan gerakan indah, dia melompat naik ke punggung kuda itu.
"Mau
ke mana, Ki?" tanya Dipa Sentana.
"Ke
rumah pamanmu!" sahut Ki Jayakrama.
"Ki...!"
Dipa Sentana ingin mencegah, tapi Ki Jayakrama sudah lebih cepat menggebah
kudanya.
Dipa
Sentana memandangi kepergian guru yang sekaligus orang tua angkatnya itu, lalu
mendesah pelahan. Tubuhnya kemudian berbalik dan melangkah pergi setelah
memerintahkan enam orang anak buahnya untuk mengurus mayat dua orang itu. Dipa
Sentana melangkah pelan, dan kepalanya tertunduk.
***
Puspa
Ningrum menatap tajam wajah kakaknya yang tertunduk sambil duduk diam. Gadis
itu baru tahu kalau pagi ini Gota melarikan diri dengan menjebol pintu dan
membunuh dua orang penjaga. Dan sekarang hampir semua anak buah Dipa Sentana
tengah mencarinya ke seluruh Desa Watu Gayam.
Puspa
Ningrum juga menyaksikan sendiri, bagaimana pintu gudang di samping kandang
kuda itu jebol berantakan, bagai terlanda amukan seekor banteng. Wanita itu
hampir tak percaya kalau Gota mampu menjebol pintu kayu jati yang begitu tebal.
Gota bukan seorang pendekar, tapi hanya seorang gembel. Tubuhnya pun kurus
kering, seperti tanpa tenaga. Mana mungkin bisa menjebol pintu tebal itu?
"Ada
apa sebenarnya, Kakang? Mengapa kau begitu membencinya? Bahkan sampai-sampai
memerintahkan anak buah untuk membunuhnya," Puspa Ningrum minta
penjelasan.
"Aku
tidak membencinya, Puspa. Percayalah!" tegas Dipa Sentana meyakinkan.
Sudah berapa kali ini dia berkata demikian untuk meyakinkan adik perempuannya
ini.
"Kalau
tidak membenci, mengapa kau perintahkan anak buahmu untuk mencari dan
membunuhnya?! Apa itu namanya...?" agak tinggi nada suara Puspa Ningrum.
Dipa
Sentana mengangkat kepalanya, lalu menatap tajam bola mata gadis itu. Sedangkan
Puspa Ningrum berdiri berkacak pinggang, dan matanya membeliak tak berkedip.
Wajahnya yang cantik terlihat tegang.
"Kau
tidak mengerti, Puspa. Sejak kecil kau tidak tinggal di sini, dan hanya
menghabiskan seluruh waktumu di padepokan Eyang Lenteng. Kau tidak tahu
apa-apa, Puspa...." pelan suara Dipa Sentana.
Puspa
Ningrum terdiam. Bisa dirasakan adanya nada tekanan pada nada suara kakaknya.
Memang diakui, sejak masih berusia tujuh bulan telah dibawa ibunya ke Padepokan
Tapak Wisa di Gunung Ketanggungan. Baru kali ini dia mengunjungi kakaknya di
tanah kelahirannya. Biasanya, memang Dipa Sentana yang selalu berkunjung ke
sana. Tapi sekarang Puspa Ningrum yang datang, karena ibunya tujuh hari yang
lalu telah meninggal dunia karena tua. Dan itu sudah disampaikan kepada
kakaknya ketika baru datang ke desa ini.
Memang
tidak ada lagi tempat berpijak bagi Puspa Ningrum selain di tanah kelahirannya
ini. Meskipun tahu kalau kakaknya seorang pemimpin di Desa Watu Gayam ini, tapi
dia tidak pernah tahu keluarga yang lainnya. Ibunya tidak pernah bercerita
padanya, bahkan selalu menghindar kalau ditanya masalah keluarga.
"Kau
menyesal karena harus menanggung semua beban Ayah, Kakang?" pelan suara
Puspa Ningrum.
“Tidak,"
sahut Dipa Sentana seraya menggeleng.
"Sejak
kecil kita memang tidak pernah bersama-sama. Malah paling tidak hanya bertemu
dua atau tiga kali dalam satu tahun. Aku tidak menyesal kalau di antara kita
begitu jauh berbeda meskipun masih dalam ikatan sedarah dari orang tua yang
sama. Memang baru kali ini aku turun gunung. Maaf kalau terlalu banyak ikut
campur persoalanmu." ujar Puspa Ningrum menyesal.
Setelah
berkata demikian. Puspa Ningrum berbalik dan terus melangkah pelahan
meninggalkan kakaknya yang masih duduk memandanginya. Kata-kata gadis itu
membual hati Dipa Sentana tersentuh. Sedikit pun tidak bisa dibantah kebenaran
kata-katanya. Tapi untuk sekarang ini sulit untuk menjelaskannya.
"Mau
ke mana kau, Puspa?" tanya Dipa Sentana seraya bangkit berdiri.
"Jalan-jalan,"
sahut Puspa Ningrum tanpa menghentikan langkahnya.
"Hati-hati,
penduduk di sini belum mengenalmu," pesan Dipa Sentana.
"Hm....
Apakah penduduk desa ini selalu menyerang orang asing?" Puspa Ningrum
langsung berhenti melangkah dan berbalik, tepat di ambang pintu bagian depan
ruangan ini.
"Tidak,
tapi banyak musuhku di luar sana."
Puspa
Ningrum hanya tersenyum tipis, kemudian kembali berbalik dan melangkah ke luar.
Seorang pembantu rumah bergegas datang sambil menuntun seekor kuda putih
berpelana kuning emas. Puspa Ningrum menerima tali kekang kudanya dan langsung
melompat naik.
“Puspa...,"
panggil Dipa Sentana yang tahu-tahu sudah berada di ambang pintu.
Puspa
Ningrum tidak jadi menggebah kudanya. Ditoleh dan dipandanginya kakaknya yang
melangkah mendekati. Dipa Sentana berdiri di depan kuda adiknya, dan mengelus-elus
leher kuda putih itu. Dari sorot matanya, Puspa Ningrum menduga kalau Dipa
Sentana hendak mengatakan sesuatu, tapi berat untuk mengucapkannya.
“Pergi
dan carilah Gota," kata Dipa Sentana tiba-tiba. Pelan suaranya, hampir
tidak terdengar.
Puspa
Ningrum terkejut mendengar ucapan itu. Dikerutkan alisnya, dan ditatapnya
dalam-dalam wajah laki-laki berusia setengah baya itu. Jarak usia antara
dirinya dengan kakaknya memang begitu jauh, bagaikan anak dan ayah saja. Memang
tidak heran, karena mereka satu ayah dan lain ibu. Meskipun usia Dipa Sentana
hampir berkepala lima, tapi wajah dan tubuhnya masih kelihatan gagah seperti
baru berusia tiga puluhan saja.
"Lindungi
dia, jangan sampai terjadi sesuatu terhadapnya," kata Dipa Sentana lagi.
"Kakang...,"
Puspa Ningrum ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
"Jangan
tanyakan mengapa kau kuminta berbuat demikian. Kau bebas keluar masuk rumah
ini, karena ini memang milikmu juga. Tapi, usahakan jangan sampai menimbulan
kecurigaan kalau Gota sudah kau temukan. Bawa dia ke tempat yang aman, jauh
dari jangkauan orang-orangku," jelas Dipa Sentana cepat.
Puspa
Ningrum masih memandangi kakaknya.
“Pergilah."
ujar Dipa Sentana sambil menepuk leher kuda putih itu.
Kuda
putih itu meringkik, dan berlari cepat sebelum Puspa Ningrum menghentakkan tali
kekangnya. Diam-diam, Dipa Sentana menepuk leher kuda itu disertai penyaluran
hawa panas pada telapak tangannya. Akibatnya, kuda putih itu langsung melesat
kencang. Puspa Ningrum agak tersentak kaget, tapi cepat-cepat mengendalikan
kudanya agar berlari tidak terlalu kencang. Sementara Dipa Sentana masih
berdiri memandangi adiknya yang sudah berbelok melewati pintu gerbang yang
dijaga dua orang bersenjata golok.
***
Puspa
Ningrum menghentikan lari kudanya setelah sampal di tepi sungai yang tidak
begitu besar. Airnya sangat jernih, sehingga dasarnya terlihat jelas. Gadis itu
melompat turun dari punggung kudanya, dan membiarkan kuda putih itu mendekati
tepian sungai untuk minum di sana. Puspa Ningrum sendiri juga menghampiri
sungai itu, lalu membasuh wajahnya.
Air
yang jernih dan sejuk itu membuat wajahnya segar kemerahan, sehingga terlihat
semakin cantik. Puspa Ningrum memandangi wajahnya yang terpantul di permukaan
air sungai itu. Tiba-tiba keningnya berkerut begitu di permukaan air sungai,
samar-samar terpantul wajah seseorang yang berdiri di seberang. Puspa Ningrum
mengangkat kepalanya.
"Heh…!"
Gadis itu tersentak kaget, begitu mengangkat kepalanya. Tiba-tiba terlihat satu
bayangan berkelebat cepat di seberang sungai sana. Begitu cepatnya, sehingga
sulit untuk dikenali bayangan itu. Puspa Ningrum mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tidak ada seorang pun yang terlihat di sekitarnya.
"Hm...,
orang itu pakaiannya penuh tambalan. Apakah dia Gota...? Tapi, ah! Bukan...!
Wajahnya bukan Gota, dan tampaknya lebih gemuk dan sudah tua...." Puspa
Ningrum bergumam sendiri.
Puspa
Ningrum kembali terkejut ketika tiba-tiba kudanya meringkik keras. Buru-buru
dia bangkit berdiri. Tapi mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat
menyambarnya. Sejenak gadis itu terperangah, namun cepat-cepat di banting
tubuhnya ke samping dan bergulingan sejauh dua batang tombak.
Cepat
sekali gerakannya ketika melompat bangkit. Matanya membeliak begitu melihat di
depannya sudah berdiri seorang laki-laki tua berambut dan berjanggut putih.
Laki-laki itulah yang dilihatnya tadi di seberang sungai. Pakaiannya
compang-camping dan penuh tambalan. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat
hitam pekat yang tidak jelas bentuknya.
"Hhh...!"
Puspa Ningrum mendesah pendek. Kemudian kakinya menggeser ke samping beberapa
tindak.
Namun
baru empat tindak kakinya digerakkan, mendadak dari balik pohon dan semak
belukar bermunculan beberapa orang berpakaian seperti gembel. Nalurinya
langsung mengatakan kalau harus waspada. Tangannya meraba sabuk yang melilit
pinggangnya. Sabuk itu berwarna keperakan dan tampaknya terbuat dari bahan
logam yang amat tipis dan lentur.
"Siapa
kau, Nisanak? Dan apa keperluanmu memasuki wilayahku ini?" tanya laki-laki
tua bertongkat hitam itu.
"Namaku
Puspa Ningrum." sahut Puspa Ningrum memperkenalkan diri. "Aku ke sini
hanya sebentar, karena kudaku perlu minum."
"Hm....
Nampaknya kau bukan dari Desa Watu Gayam. Apakah kau seorang pengembara?"
tanya laki-laki tua itu ramah.
"Benar."
sahut Puspa Ningrum tidak punya jawaban lain.
"Kalau
begitu, sebaiknya cepatlah tinggalkan tempat ini."
“Tunggu
dulu!" sentak Puspa Ningrum cepat "Aku kira ini masih termasuk
wilayah Desa Watu Gayam. Mengapa tadi kau katakan ini daerah kekuasaanmu?"
"Kau
tidak perlu tahu, Nisanak!" tegas jawaban laki-laki tua itu. Namun masih
bernada ramah.
"Baik,
aku memang tidak perlu tahu. Lagi pula aku tidak ada hubungannya dengan Desa
Watu Gayam," ujar Puspa Ningrum. Sengaja berkata demikian, karena
nalurinya mengatakan dirinya dalam bahaya besar kalau berkata terus terang.
"Dia
adik Dipa Sentana, Ki Tunggul!"
Puspa
Ningrum tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar kata-kata keras dari arah
kanan. Lebih terkejut lagi, begitu melihat Gota telah berdiri tegak di antara
orang-orang yang berpakaian pengemis. Sementara laki-laki tua yang be mama Ki
Tunggul itu menatap tajam Puspa Ningrum. Gota melangkah beberapa tindak
mendekati gadis itu, lalu berdiri tegak sambil menatap tajam.
"Dia
ke sini pasti atas perintah kakaknya!" kata Gota ketus. Tatapannya begitu
tajam menusuk langsung ke bola mata Puspa Ningrum.
Trek!
Dua
puluh orang berpakaian pengemis yang sejak tadi mengurung Puspa Ningrum,
menghentakkan tongkatnya. Wajah mereka tampak berang, memerah bagai bara api
yang tersimpan dalam sekam. Tatapan matanya begitu tajam penuh rasa kebencian
melihat Puspa Ningrum. Sementara gadis itu semakin waspada saja.
“Tahan!"
bentak Ki Tunggul keras, lalu melangkah tiga tindak mendekati gadis itu.
Sementara
Gota bergerak menggeser kakinya ke samping Ki Tunggul. Namun, pandangan matanya
tetap tertuju pada gadis cantik di depannya. Ki Tunggul merentangkan tangannya
sedikit. Serentak, sekitar dua puluh orang yang mengepung, bergerak mundur
teratur. Kembali dilangkahkan kakinya dua tindak ke depan. Jarak antara
laki-laki tua itu dengan Puspa Ningrum tinggal lima langkah lagi.
"Benar
kau adik dari Dipa Sentana?" tanya Ki Tunggul masih bernada ramah.
"Benar,"
sahut Puspa Ningrum tegas. Tidak ada gunanya lagi berbohong.
"Kau
datang ke sini diutus kakakmu?" tanya Ki Tunggul lagi.
“Tidak!
Sengaja aku datang ke sini memang untuk mencari Gota, tapi aku tidak tahu kalau
dia ada di sini." jawab Puspa Ningrum sambil melemparkan pandangannya pada
pemuda kurus kering yang berdiri di samping Ki Tunggul agak ke belakang
sedikit.
"Untuk
apa kau mencariku? Ingin kau serahkan pada kakakmu? Atau ingin kau hina
diriku?" dengus Gota sengit.
"Kau
salah, Gota. Sengaja kau kucari karena aku kaget mendengar kau membunuh dua
orang penjaga. Lagi pula aku ingin menjelaskan kalau sekarang ini Kakang Dipa
sudah menyebar orang-orangnya untuk menangkapmu kembali." kata Puspa
Ningrum tenang.
"Hhh!"
Gota mendengus.
"Gota!
Bisakah kau pergi dari sini?" ucap Ki Tunggul tiba-tiba.
"Ki...!"
Gota terkejut.
"Juga
kalian semua!" seru Ki Tunggul tidak mempedulikan keterkejutan pemuda itu.
Dua
puluh orang yang masih muda dan berpakaian compang-camping itu membungkuk
sedikit, kemudian berbalik dan melangkah masuk ke dalam hutan di sekitar sungai
kecil ini. Gota masih tetap berdiri disertai pandangan tidak mengerti pada Ki
Tunggul. Sedangkan orang tua itu menatapnya tajam.
"Baiklah,
aku pergi. Tapi tidak akan jauh-jauh dari sini," kata Gota menyerah.
"Kau
tidak perlu mencemaskan diriku, Gota," kata Ki Tunggul.
Gota
menatap sebentar pada Puspa Ningrum, kemudian berbalik dan melangkah cepat meninggalkan
tempat itu. Setelah Gota lenyap ditelan kelebatan pepohonan. Ki Tunggul
melangkah menghampiri sebongkah batu ceper, lalu duduk di sana. Puspa Ningrum
masih berdiri tegak. Hatinya diliputi ketidakmengertian pada laki-laki tua yang
tampaknya begitu dihormati oleh orang-orang berpakaian pengemis tadi.
"Kemari,
dan duduklah di sini," kata Ki Tunggul seraya menunjuk sebuah batu tidak
jauh di depannya.
Puspa
Ningrum melirik batu yang ditunjuk, kemudian melangkah mendekati batu itu. Dia
duduk di sana, tapi sikapnya masih penuh kewaspadaan. Disadari kalau di
sekitarnya pasti masih banyak orang berpakaian pengemis tadi. Sedikit saja
bertindak salah, mereka pasti akan keluar dan mengeroyoknya.
“Terus
terang, aku begitu terkejut mendengar kalau kau adalah adik dari Dipa
Sentana...," Ki Tunggul mulai membuka suara.
"Memang
benar," ujar Puspa Ningrum tegas.
"Aku
lahir di sini, dan sampai tua bangka begini pun masih juga berada di sini. Aku
kenal betul siapa Dipa Sentana itu, dan seluruh keluarganya. Aku kenal dengan
kakeknya, ayahnya...," suara Ki Tunggul terputus. Ditatapnya dalam-dalam
gadis di depannya. Tatapannya mengandung nada penuh selidik.
"Tampaknya
kau tidak percaya, Ki Tunggul," agak sinis nada suara Puspa Ningrum.
"Siapa
nama ibumu?" tanya Ki Tunggul tidak mempedulikan kesinisan gadis itu.
"Untuk
apa kau tanyakan ibuku?" dengus Puspa Ningrum tidak senang.
"Aku
harus tahu untuk membuktikan benar tidaknya bahwa kau adik Dipa Sentana!"
tegas Ki Tunggul.
"Wulandari!"
sahut Puspa Ningrum masih bernada kurang senang.
"Ayahmu?"
"Kau
keterlaluan, Orang Tua!"
"Jawab
saja pertanyaanku, atau kau tidak ingin melihat matahari lagi...?!"
Merah
padam muka Puspa Ningrum mendengar ancaman itu, tapi tidak bisa berbuat
apa-apa. Matanya yang tajam melihat salah satu semak bergoyang. Juga di situ
terlihat kepala menyembul keluar dari balik pohon. Dugaannya benar. Dirinya
masih dalam keadaan terkepung saat ini. Dan yang pasti bukan hanya dua puluh
orang saja yang ada, mungkin dua kali lipat dari yang tadi.
“Paradipa,"
ujar Puspa Ningrum dongkol.
"He
he he...!" Ki Tunggul tertawa terkekeh-kekeh.
"Heh!
Kenapa kau tertawa...?!" bentak Puspa Ningrum sengit.
Ki
Tunggul bukannya berhenti, tapi malah semakin keras saja tawanya. Hal itu
membuat Puspa Ningrum Jadi berang. Tiba-tiba saja dia melompat sambil
mengirimkan dua pukulan bertenaga dalam penuh secara beruntun.
***
TIGA
Masih
tertawa terbahak-bahak, Ki Tunggul menghadang serangan itu sambil menyilangkan
tongkatnya di depan dada. Dua pukulan bertenaga dalam yang dilepaskan Puspa
Ningrum, menghantam tongkat hitam laki-laki tua pengemis itu.
"Akh!"
Puspa Ningrum memekik tertahan. Tubuh ramping gadis itu kembali mencelat ke
belakang, dan berputaran beberapa kali di udara. Berdirinya agak limbung begitu
kakinya mendarat lunak di tanah. Dia meringis merasakan kedua tangannya seperti
kesemutan. Sungguh tinggi tenaga dalam yang dimlilki Ki Tunggul. Laki-laki tua
pengemis itu masih tetap duduk bersila, meskipun tadi menahan dua pukulan
beruntun bertenaga dalam cukup tinggi.
Puspa
Ningrum sadar, kalau tingkat kepandaiannya masih berada di bawah Ki Tunggul,
tapi tidak dipedulikannya. Untuk keluar dari tempat ini, laki-laki tua itu
harus bisa dikalahkannya. Gadis itu segera bersiap untuk mengadakan serangan
kembali. Dilepaskan sabuk berwarna keperakan. Dengan sekali kebut saja, sabuk
itu menegang kaku, dan menjadi sebilah pedang perak tipis.
"Kau
bisa tertawa, Kakek Tua! Tapi sekarang rasakanlah Sabuk Saktiku!" dengus
Puspa Ningrum dingin.
"He
he he...!" Ki Tunggul hanya terkekeh saja.
"Hup!
Hiyaaa...!"
Puspa
Ningrum sudah melompat menyerang cepat kembali. Sabuk keperakan yang sudah kaku
bagai pedang tipis itu, berkelebatan cepat mengarah ke bagianbagian tubuh Ki
Tunggul yang mematikan. Namun laki-laki tua pengemis itu hanya menggerakkan
tongkatnya beberapa kali tanpa beranjak dari duduknya di batu pipih.
Trang!
Trang!
Puspa
Ningrum tersentak begitu senjata kebanggaannya bersentuhan keras dengan tongkat
hitam Ki Tunggul. Tangannya langsung bergetar kesemutan. Jari-Jari tangannya
menegang kaku, dan terasa nyeri seketika. Buru-buru dia melompat mundur sambil
meringis kesakitan. Namun tatapan matanya tajam menusuk.
Ki
Tunggul bangkit dari duduknya, lalu berdiri dengan ujung tongkat menekan ke
tanah. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman, namun tidak terdengar lagi suara
tawanya. Pelahan dilangkahkan kakinya menghampiri Puspa Ningrum yang masih
diliputi berbagai macam perasaan.
"Pergilah!
Katakan pada Dipa, bahwa antara Partai Pengemis Tongkat Hitam dan Desa Watu
Gayam tidak ada persoalan. Yang kuinginkan hanyalah, agar Ki Jayakrama
meninggalkan desa itu untuk selamanya. Hanya itu! Biarkanlah kami semua hidup
bebas seperti dulu lagi," kata Ki Tunggul tenang, namun bernada tegas.
Puspa
Ningrum masih tetap berdiri tegak. Pandangan matanya tajam menusuk langsung ke
bola mata laki-laki tua pengemis itu. Pada saat itu, Gota muncul kembali dengan
langkah ringan. Didekatinya gadis itu, lalu berdiri di depannya, di samping
kiri Ki Tunggul.
"Ki
Tunggul, boleh aku bicara dengannya sebentar?" pinta Gota penuh nada
hormat.
"He
he he...," Ki Tunggul tertawa terkekeh. Tanpa bicara lagi dia berbalik dan
melangkah pergi.
Gota
memandanginya dari sudut matanya. Sedangkan Puspa Ningrum memasukkan kembali
sabuk peraknya ke dalam tali ikat pinggangnya. Raut wajahnya masih terlihat
kaku, dan sorot matanya tetap tajam menusuk.
"Aku
ingin bicara denganmu, bukan sebagai musuh," kata Gota setelah Ki Tunggul
tidak terlihat lagi.
Puspa
Ningrum tidak menyahuti, tapi malah berjalan menghampiri kudanya yang tengah
merumput. Dia melompat naik ke punggung kuda putih itu. Gota melompat dan
mencekal tali kekang kuda putih itu dekat mulutnya.
"Tidak
ada yang perlu dibicarakan!" dengus Puspa Ningrum ketus.
Setelah
berkata demikian, Puspa Ningrum menghentakkan tali kekang kudanya, kemudian
menggebahnya keras-keras. Kuda putih itu meringkik keras, kemudian melompat,
membuat Gota harus menyingkir cepat-cepat. Kuda putih itu melesat cepat bagaikan
anak panah lepas dari busurnya. Gota hanya memandang kepergian gadis itu.
Pemuda
kurus kering berpakaian compang-camping itu, masih tetap berdiri meskipun Puspa
Ningrum sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Pandangannya lurus ke arah
kepergian gadis itu, sampai-sampai tidak menyadari kalau Ki Tunggul sudah
berada di sampingnya. Laki-laki tua itu mendehem dua kali. Gota tersentak
kaget, dan buru-buru menoleh.
"Kasihan
dia, Ki. Dia harus tahu siapa dirinya yang sebenarnya," kata Gota pelan.
"Jangan
ikuti perasaanmu, Gota," ujar Ki Tunggul menasehati.
"Sejak
semula memang sudah kuduga, Ki. Dan sekarang sudah jelas. Dua kali dia
menolongku dari kekejaman mereka," masih terdengar pelan suara Gota.
“Tanpa
pertolongannya pun kau tidak akan bisa dikalahkan mereka."
"Benar.
Tapi aku tidak ingin menunjukkannya, Ki. Aku hanya ingin tahu, apakah penduduk
Desa Watu Gayam benar-benar membenci Partai Pengemis Tongkat Hitam atau karena
hanya mendapat tekanan saja dari manusia keparat itu," agak tertahan nada
suara Gota.
"Bagaimana
penilaianmu selama satu bulan berada di tengah-tengah penduduk Desa Watu
Gayam?" tanya Ki Tunggul.
"Entahlah...."
sahut Gota tidak yakin.
"He
he he... kau ingin mencobanya lagi?"
"Kalau
Ki Tunggul mengijinkan"
"Aku
percaya, kau mampu menjaga dirimu sendiri. Tapi satu pesanku, jangan biarkan
mereka menganiayamu kembali. Kalaupun sampai terjadi, gunakan ilmu 'Raga Baja'.
Ini berguna agar dirimu tidak sengsara dan tahan segala macam pukulan atau
senjata tajam. Mengerti, Gota?"
"Aku
mengerti, Ki."
"Nah,
pergilah. Jika ada sesuatu yang berat dan tidak bisa dihadapi sendiri,
cepat-cepat hubungi aku."
“Baik,
Ki."
"Hm."
Gota
membungkukkan badannya memberi hormat, kemudian melangkah pergi meninggalkan
laki-laki tua pemimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam itu. Sementara Ki Tunggul
memandanginya sampai punggung pemuda kurus kering itu lenyap dari pandangannya.
"Hhh....
Kasihan kau Gota. Hidupmu jadi sengsara karena manusia serakah itu,..!"
desah Ki Tunggul seraya mengayunkan langkahnya pelahan.
***
Puspa
Ningrum menghentikan lari kudanya dengan tiba-tiba. Kuda putih itu meringkik
keras sambil mengangkat kaki depannya. Gadis itu langsung melompat turun, tapi
tidak jadi bergerak mendekati pertempuran yang berlangsung di depannya.
Pertarungan yang berlangsung antara seorang laki-laki muda bertubuh kurus
kering melawan empat orang lakilaki bertubuh tinggi tegap dan bersenjata golok.
Tampak
jelas kalau laki-laki kurus kering berpakaian comping-camping itu kian
terdesak. Beberapa pukulan mendarat di tubuhnya. Dia bergulingan di tanah.
Namun begitu bangkit, satu pukulan telak menggedor dadanya. Sementara Puspa
Ningrum yang menyaksikan peristiwa itu, sudah bisa menduga kalau laki-laki muda
kurus kering itu bakal mati di tangan empat orang yang menghajarnya secara
bergantian.
"Hentikan...!"
bentak Puspa Ningrum keras.
Seketika
itu juga pertarungan berhenti. Empat orang bertubuh tegap, langsung melompat
mundur. Mereka membungkukkan badannya sedikit pada Puspa Ningrum. Sedangkan
gadis itu tidak mempedulikannya, tapi malah melangkah menghampiri pemuda kurus
kering yang sedang berusaha bangkit berdiri.
"Gota,
apa yang kau lakukan di sini?" tanya Puspa Ningrum.
"Apa
urusanmu? Aku bebas berbuat apa saja di sini!" dengus Gota menolakkan
tangan Puspa Ningrum yang ingin membantunya berdiri.
Puspa
Ningrum tidak berkecil hati mendapatkan jawaban yang ketus dan tidak bersahabat
itu. Dia melangkah mundur satu tindak, membiarkan Gota berdiri. Gadis itu
menatap tajam pada empat orang yang jelas-jelas anak buah Dipa Sentana.
"Memalukan!
Mengeroyok orang yang tidak berdaya!" dengus Puspa Ningrum ketus.
"Gusti
Ayu.... kami hanya menjalankan perintah." kilah salah seorang yang berdiri
paling kanan.
"Perintah
siapa?" bentak Puspa Ningrum.
Empat
orang itu saling berpandangan.
"Jawab!
Siapa yang memerintah kalian berbuat pengecut seperti ini?" bentak Puspa
Ningrum gusar.
"Aku!"
Tiba-tiba
saja terdengar jawaban keras bertenaga dalam tinggi. Semua kepala menoleh ke
arah datangnya suara itu. Tampak seorang laki-laki tua berjubah biru gelap
tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh dari mereka. Laki-laki tua yang menggenggam
tongkat itu tidak asing lagi bagi mereka semua. Tongkat yang pada ujung bagian
atas berbentuk kepala ular kobra itu dihentakkan ke tanah tiga kali. Serentak
empat orang yang mengeroyok Gota tadi, melompat ke belakang Ki Jayakrama.
"Puspa
Ningrum, cepatlah pulang! Ini bukan urusanmu" perintah Ki Jayakrama,
dingin nada suaranya.
"Kalau
aku tidak mau?" tantang Puspa Ningrum.
Ki
Jayakrama tampak serba salah, namun tidak ditunjukkannya. Malah, ditatapnya
tajam-tajam gadis cantik yang berdiri membelakangi Gota. Seolah-olah Puspa
Ningrum sengaja melindungi pemuda yang biasa dipanggil si Gembel itu.
"Puspa
Ningrum, pulanglah. Tidak ada gunanya membela si Gembel itu. Dia musuh besar
kakakmu," tegas Ki Jayakrama, tapi agak melunak suaranya.
"Tapi
dia bukan musuhku. Pantang bagiku membiarkan orang tidak berdaya dikeroyok
seenak hati! Apa kesalahannya, sehingga kalian begitu ingin membunuhnya!"
lantang kata-kata Puspa Ningrum.
Merah
padam wajah Ki Jayakrama seketika, namun masih bisa ditahan kesabarannya. Dia
tidak ingin membuat gadis ini berang. Hal itu harus dijaga, meskipun telinganya
sudah sakit mendengar kata-kata bernada menantang itu.
"Baiklah,
kali ini aku mengalah. Tapi cepatlah pulang, dan temui kakakmu!" tegas
kata-kata Ki Jayakrama.
"Oh....
Kau ingin mengadukan hal ini pada Kakang Dipa...?! Baik! Adukanlah kalau aku
membela Gota, dan tidak peduli pada kalian semua!" ujar Puspa Ningrum
tegas.
Ki
Jayakrama mendengus menahan geram, dan langsung berbalik melangkah cepat
meninggalkan tempat itu. Empat orang yang tadi mengeroyok Gota, juga bergegas
pergi. Puspa Ningrum baru berbalik setelah lima orang itu tidak terlihat lagi.
“Tidak
ada gunanya bersikap begitu, Puspa." kata Gota pelan
"Apakah
aku tidak boleh melindungi orang yang lemah?" Puspa Ningrum malah
memberikan pertanyaan.
Sebenarnya
Gota ingin tertawa mendengar pertanyaan gadis itu. Tapi sebisa mungkin, ditahan
rasa gelinya. Meskipun tadi dipukuli dan ditendangi empat orang bertenaga
besar, namun itu tidak berarti sama sekali pada tubuhnya yang kurus kering.
Sebab dia tadi menggunakan ilmu 'Raga Baja', sehingga setiap pukulan dan
tendangan empat orang itu tidak terasa sama sekali.
"Terima
kasih, Puspa. Aku tahu kau tidak seperti yang lainnya. Tapi pikirkanlah
keselamatan dirimu juga. Mereka orang-orang yang kejam, dan jelas tidak akan
memandangmu lagi sebagai adik Dipa, kalau terus-terusan membelaku. Percayalah
padaku, Puspa! Jangan libatkan dirimu dalam persoalan ini." pinta Gota
mengharapkan pengertian gadis itu.
“Ternyata
kau juga keras kepala seperti kakakku, Gota." dingin nada suara Puspa
Ningrum.
"Ini
demi kebaikanmu juga, Puspa. Pulanglah, sebelum keadaan bertambah parah."
Puspa
Ningrum memandang lurus ke arah bola mata pemuda itu. Pada saat yang sama, Gota
juga menatap pada gadis itu. Sesaat mereka saling tatap tanpa berkata-kata.
Pelahan-lahan Puspa Ningrum menunduk. Entah mengapa, jantungnya jadi berdetak
cepat dan wajahnya bersemu merah dadu. Gota sendiri menarik napas dalam-dalam.
Juga dirasakan seperti ada yang tak beres dalam dirinya ketika mereka saling
pandang tadi.
“Pulanglah,
Puspa...,” ucap Gota pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Gota...,"
Puspa Ningrum mengangkat kepalanya. Kembali mereka saling tatap.
“Pulanglah"
Puspa
Ningrum melangkah mundur beberapa tindak ke belakang, kemudian berbalik dan
menghampiri kudanya. Dengan gerakan yang indah, dia melompat naik ke punggung
kuda putih itu. Tatapannya masih tertuju pada pemuda bertubuh kurus dengan baju
compang-camping itu. Kemudian digebahnya kudanya dengan cepat.
Gota
menghenyakkan tubuhnya ke tanah berumput. Terdengar tarikan napas yang panjang
dan berat, seolah-olah ingin melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja jadi
terasa sesak. Gota yang akan bangkit jadi terkejut setengah mati. Tiba-tiba
dari batik pepohonan, bermunculan sekitar enam orang bersenjata golok terhunus.
Gota langsung menggerinjang bangkit berdiri. Belum hilang rasa terkejutnya,
muncul Ki Jayakrama yang langsung melompat menerjangnya.
"Hup!"
***
Tidak
ada lagi kesempatan buat Gota untuk menghindari serangan yang cepat dan
mendadak itu. Hanya ada satu cara, dan itu harus dilakukan dengan cepat.
Tangannya terangkat ke depan sambil mengerahkan tenaga dalamnya dengan penuh.
Satu benturan keras terjadi disertai suara ledakan menggelegar begitu dua
pasang telapak tangan beradu.
Gota
terpental sejauh tiga batang tombak, sedangkan Ki Jayakrama hanya terdorong
beberapa langkah saja. Meskipun Gota masih bisa berdiri, namun tubuhnya limbung
juga. Seluruh tangannya seperti tersengat ribuan kala berbisa. Bergetar, dan
terasa panas luar biasa.
"He
he he... Rupanya kau punya simpanan juga. Gembel!" dengus Ki Jayakrama
seraya terkekeh.
Gota
hanya mendengus saja, lalu kembali bersiap-siap menerima serangan laki-laki tua
itu. Sebentar kemudian, Ki Jayakrama kembali menyerang menggunakan jurus-jurus
yang cepat dan berbahaya. Namun tanpa diduga sama sekali, Gota mampu
mengimbanginya dengan gesit pula. Tentu saja hal ini membuat Ki Jayakrama
tercengang, sekaligus penasaran.
Seorang
gembel kotor kurus kering, mampu melayaninya sampai sepuluh jurus lebih. Hal
ini tidak pernah terpikirkan olehnya selama ini. Makanya Ki Jayakrama semakin
memperhebat serangan-serangannya. Dan saat mulai dikeluarkan satu jurus
andalan, Gota sudah kelihatan kewalahan menghadapinya. Lebih-lebih lagi ketika
satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi bersarang di dada Gota. Akibatnya,
pemuda gembel itu kini tidak bisa lagi mengendalikan dirinya.
"Ha
ha ha...! Mampus kau sekarang, Gembel!" Ki Jayakrama tertawa
terbahak-bahak kegirangan.
Buk!
Buk!
Dua
kali pukulan bersarang di tubuh Gota, dan membuatnya terhuyung-huyung ke
belakang. Pada saat itu, Ki Jayakrama menjentikkan jarinya tiga kali. Seketika
empat orang yang menyertainya langsung melompat sambil mengibaskan golok kearah
si Gembel itu. Tapi rupanya Gota masih alot juga, bahkan berhasil menghindari
golok-golok yang mengancam tubuhnya. Namun satu tendangan keras membuat
tubuhnya terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak.
"Hoek..!"
Gota memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Pemuda
gembel itu berusaha bangkit. Namun, satu pukulan bertenaga dalam cukup tinggi
kembali menghajar dadanya. Pemuda gembel itu kembali terpental. Punggungnya
menghantam sebuah pohon hingga tumbang. Dan pada saat tubuhnya menggeletak,
satu kilatan golok berkelebat cepat ke arah lehernya.
"Dewata
Yang Agung... matilah aku kali ini...” keluh Gota seraya memejamkan matanya.
Golok
salah seorang anak buah Ki Jayakrama, begitu cepat berkelebat. Dan yang pasti,
Gota tidak mampu lagi menghindarinya. Namun pada saat yang kritis itu, mendadak
sebuah bayangan putih berkelebat menyambar tubuh pemuda gembel itu, sambil
menyentil golok yang hampir menebas leher Gota.
"Akh!"
orang itu terpekik tertahan, tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.
Semua
orang yang berada di tempat itu, jadi tercengang. Seperti hantu saja, bayangan
putih itu melesat cepat bagai kilat membawa pergi si Gembel. Terlebih lagi, Ki
Jayakrama yang jadi bengong sehingga tidak bisa berbuat sesuatu. Namun ketika
disadari, maka diperintahkanlah seluruh anak buahnya untuk mengejar.
"Kejar!
Bunuh mereka...!" seru Ki Jayakrama keras.
Semua
anak buahnya segera berlompatan mengejar bayangan putih yang membawa kabur si
Gembel. Tapi usaha mereka jelas sia-sia. Bayangan itu sudah lenyap, dan tidak
jelas lagi arah kepergiannya. Ki Jayakrama bersungut-sungut kesal. Orang yang
selama ini ingin dilenyapkan, masih bisa lolos pada saat kematiannya sudah di
ambang pintu.
"Setan
keparat! Siapa yang menolongnya...?'' dengus Ki Jayakrama kesal.
Kekesalan
Ki Jayakrama terbawa sampai ke rumah. Dipa Sentana benar-benar tidak mengerti
terhadap tingkah gurunya itu. Semua anak buahnya kena semprot, meskipun tidak
melakukan kesalahan. Ki Jayakrama benar-benar kesal. Orang yang selama ini
ingin dimusnahkan, bisa lolos setelah tidak berdaya lagi. Bahkan tinggal
seujung kuku lagi nyawanya pasti terenggut.
"Apa
yang membuatmu kesal, Ki?" tanya Dipa Sentana setelah melihat Ki Jayakrama
agak tenang, duduk di bangku taman belakang.
"Anak
itu!" rungut Ki Jayakrama masih dihinggapi kekesalan.
"Siapa?"
tanya Dipa Sentana tidak mengerti.
"Gembel
itu!"
Dipa
Sentana baru mengerti kalau kekesalan Ki Jayakrama disebabkan gagal membunuh
Gota. Dilangkahkan kakinya menghampiri Ki Jayakrama, lalu duduk di sebelahnya.
Matanya terus merayapi wajah tua yang memerah menahan kekesalan hatinya.
'"Kau
sudah menemukannya, Ki?" tanya Dipa Sentana lagi.
"Sudah,
tapi lolos!" masih bernada sengit jawaban Ki Jayakrama.
"Lolos...?"
Dipa Sentana terheran-heran mendengarnya. Rasanya mustahil kalau si Gembel itu
bisa lolos dari tangan laki-laki tua yang memiliki tingkat kepandalan tinggi
ini. Dipa Sentana menatap dalam-dalam wajah laki-laki tua di sebelahnya.
"Dipa!
Sudah kubilang, jaga anak itu! Dia bisa jadi penghalang semua tujuan
kita!" kata Ki Jayakrama seraya memalingkan mukanya menatap pada Dipa
Sentana.
"Aku
tidak mengerti yang kau maksud, Ki." kata Dipa Sentana dengan alis bertaut
menjadi satu.
"Huh!
Kau benar-benar bodoh. Dipa! Apa sih untungnya memperhatikan anak itu? Bertindaklah
yang tegas, Dipa. Anak itu sudah berani mencampuri urusan kita! Bahkan
terang-terangan membela si Gembel itu!" rungut Ki Jayakrama.
"Puspa
Ningrum, maksudmu?" tebak Dipa Sentana.
"Siapa
lagi yang kau anggap adik, heh?!"
Dipa
Sentana terdiam. Tidak disangka kalau kekesalan hati Ki Jayakrama juga
disebabkan Puspa Ningrum. Memang sudah diduga kalau Puspa Ningrum juga dapat
menemukan Gota, dan menghalangi maksud Ki Jayakrama untuk membunuhnya. Tapi
Dipa Sentana juga tidak percaya begitu saja. Dia kenal betul Ki Jayakrama, yang
merupakan seorang tokoh berilmu tinggi. Sikapnya, tidak pernah memandang
saudara atau kerabat untuk meraih semua keinginannya.
Rasanya
tidak masuk akal kalau Ki Jayakrama mengalah begitu saja kepada Puspa Ningrum.
Terlebih lagi, gadis itu menghalangi maksudnya untuk membunuh Gota. Sejak usia
lima belas tahun Dipa Sentana selalu mengikuti Ki Jayakrama, dan tahu betul
watak laki-laki tua ini. Baginya membunuh manusia sama saja dengan menyembelih
ayam!
"Dipa!
Kau boleh-boleh saja membalas budi, tapi jangan sampai menyulitkan dirimu
sendiri. Sejak semula aku tidak setuju kalau anak itu ada di sini. Sekarang
sudah terbukti kalau dia jadi penghalang besar bagimu! Kau harus ingat
cita-cita ayahmu, dan janjimu sendiri di hadapan pusara ayahmu!" jelas Ki
Jayakrama tanpa memberi kesempatan Dipa Sentana untuk membuka mulut.
Kepala
Desa Watu Gayam itu hanya berdiam diri saja. Sedikit pun tidak ada keberanian
untuk membantah setiap kata yang dikeluarkan laki-laki tua ini. Kalau bukan
karena Ki Jayakrama, mungkin dirinya sudah tidak ada lagi di dunia. Kalaupun
masih hidup, pasti nasibnya jauh lebih buruk lagi daripada Gota sekarang ini.
Di lain pihak, dirinya juga tidak setuju kalau harus menyingkirkan Puspa
Ningrum. Biar bagaimanapun dia tetap sayang pada adiknya. Di samping itu pula,
dia pun harus selalu patuh pada Ki Jayakrama, meskipun hidup laki-laki tua itu
selalu bergelimang noda dan darah. Dipa Sentana tidak akan pernah melupakan
jasa baik seseorang yang telah menyelamatkan nyawanya dari maut.
"Apa
yang kau pikirkan, Dipa?" tegur Ki Jayakrama melihat Dipa Sentana hanya
diam tertunduk.
“Tidak
ada," sahut Dipa Sentana mendesah seraya mengangkat kepalanya.
"Dipa,
urusan Puspa Ningrum adalah urusanmu. Aku tidak ingin mencampuri, meskipun dia
telah lancang mencampuri urusanku. Hanya satu yang kuinginkan, kau harus tegas
melarang adikmu keluar rumah sebelum kubereskan si Gembel itu!" tegas
kata-kata Ki Jayakrama.
"Tidak
mungkin, Ki. Dia juga punya hak di rumah ini. Bahkan..."
"Dipa!"
sentak Ki Jayakrama keras, memotong ucapan Dipa Sentana.
"Ki...,
selama ini selalu kuturuti dan kuhormati keberadaanmu. Karena kau adalah
guruku, sekaligus ayah angkatku. Tapi untuk yang satu ini.... Rasanya sukar
sekali, Ki," kata Dipa Sentana seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku
tidak peduli dengan segala macam alasanmu, Dipa. Tujuan kita tidak boleh putus
di tengah jalan. Kau mengerti itu, Dipa!" agak keras nada suara Ki
Jayakrama.
Dipa
Sentana terdiam. Ki Jayakrama bangkit berdiri begitu matanya melihat Puspa
Ningrum melangkah menghampiri. Gadis itu menatap tidak senang pada Ki
Jayakrama, namun tetap menghampiri tempat itu. Sedangkan tanpa berkata-kata
lagi, Ki Jayakrama berlalu meninggalkan taman belakang ini. Puspa Ningrum
memandang kepergian laki-laki tua itu, kemudian duduk di samping kakaknya.
"Dari
mana kau, Puspa?" tanya Dipa Sentana berusaha tersenyum. Namun senyum itu
terasa amat dipaksakan, dan getir sekali.
"Jalan-jalan."
sahut Puspa Ningrum menatap wajah laki-laki setengah baya di sampingnya
"Ada apa, Kakang? Kelihatannya kusut sekali"
"Tidak
ada apa-apa," sahut Dipa Sentana seraya mendesah panjang. Dia bangkit
berdiri dan melangkah pelahan-lahan mendekati kolam, di tengah-tengah taman
ini.
Puspa
Ningrum memandangi laki-laki yang selalu dianggap sebagai kakak satu-satunya.
Dirasakan kalau ada sesuatu di dalam diri Dipa Sentana. Tadi sempat dilihatnya
pandangan mata Ki Jayakrama, yang menyiratkan begitu banyak misteri yang
terkandung di dalamnya. Puspa Ningrum ikut bangkit dan melangkah mengikuti Dipa
Sentana yang sudah sampai di tepi kolam.
***
EMPAT
Malam
ini Puspa Ningrum tampak gelisah di kamarnya yang besar dan cukup indah. Sudah
larut malam, tapi gadis itu belum dapat tidur juga. Memejamkan mata saja
rasanya sulit. Dia berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Maksudnya datang
ke sini sebenarnya untuk mencari ketenangan setelah ibunya meninggal dunia.
Semua kenangan di Padepokan Tapak Wisa di Gunung Ketanggungan ingin
dilupakannya.
Malam
terus merayap semakin larut. Namun Puspa Ningrum masih juga belum bisa tenang.
Sejak berada di Desa Watu Gayam ini, sudah beberapa kali ditemukan persoalan
yang dirasakan begitu janggal. Dia juga tidak mengerti akan sikap kakaknya yang
melarangnya keluar dari rumah dalam beberapa hari ini. Pikirannya terpaut pada
pemuda kurus kering yang dijuluki si Gembel.
Entah
mengapa, Puspa Ningrum merasakan ada sesuatu setiap kali menatap mata pemuda
yang bertubuh kurus kering itu. Puspa Ningrum melangkah menghampiri jendela,
dan membukanya lebar-lebar. Angin malam yang dingin, langsung menerpa wajahnya
begitu jendela kamar itu terbuka lebar. Sambil berdiri mematung, dipandanginya
bulan penuh yang bergelayut di langit kelam. Pikirannya kembali tertuju pada
Gota.
"Gota..."
desah Puspa Ningrum tanpa sadar.
Puspa
Ningrum menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik. Pada saat itu, sebuah
bayangan hitam melesat masuk melalui jendela. Puspa Ningrum terkejut setengah
mati, sampai-sampai terpekik tertahan. Tapi bayangan hitam itu lebih cepat lagi
bergerak menotok jalan darah gadis itu, sebelum Puspa Ningrum sempat melakukan
sesuatu.
"Oh...,"
Puspa Ningrum langsung jatuh lunglai ke lantai kamarnya.
Hanya
sesaat dia bisa melihat orang berbaju serba hitam yang wajahnya juga terbungkus
kain hitam. Hanya kilatan cahaya matanya saja terlihat. Sesaat kemudian, gadis
itu sudah tidak sadarkan diri.
"Puspa...!
Puspa Ningrum...!"
Tiba-tiba
saja terdengar panggilan keras, disertai gedoran pintu. Panggilan itu terdengar
berulang-ulang, dan gedoran di pintu juga semakin keras. Orang berbaju serba
hitam itu agak kebingungan, namun dengan cepat dipondongnya tubuh Puspa
Ningrum. Tepat ketika pintu kamar itu didobrak dari luar, tubuh berbaju hitam
itu mencelat lewat jendela membawa gadis itu dalam pondongannya ke luar.
"Puspa...!"
Dipa
Sentana menerobos masuk dari pintu yang jebol berantakan, dan langsung berlari
ke arah jendela. Tapi orang berbaju serba hitam itu sudah lenyap bagai terbenam
pekatnya malam. Dipa Sentana segera melompati jendela itu, dan berlari cepat
menerobos malam yang pekat dan dingin. Dia berhenti begitu tiba di batas pagar
baru yang tinggi.
Dipa
Sentana memandangi tembok yang menjulang tinggi, kokoh menantang di depannya.
Pada saat itu, Ki Jayakrama dan enam orang anak buahnya datang menghampiri
sambil berlari-lari, Ki Jayakrama cepat melentingkan tubuhnya ke atas tembok,
dan berdiri tegak di bibir tembok yang tebal itu. Sebentar dilayangkan
pandangannya ke sekeliling luar tembok itu, kemudian melompat turun dengan
indahnya. Tanpa bersuara sedikit pun, kakinya menjejak tanah tepat di depan
Dipa Sentana.
"Ada
yang menculik Puspa Ningrum...," ucap Dipa Sentana pelan.
"Aku
dengar ribut-ribut tadi." kata Ki Jayakrama.
"Aku
terlambat, Ki."
"Sudahlah!
Besok kita cari," kata Ki Jayakrama seraya mengajak Dipa Sentana pergi.
Namun
Dipa Sentana menyentakkan tangan laki-laki tua itu. Ki Jayakrama menatap tajam
pada muridnya ini, namun dibalas tidak kalah tajam pula oleh Dipa Sentana.
Sesaat mereka saling menatap tajam.
"Aku
harus mencarinya malam ini juga! Tidak ada seorang pun yang boleh
mencelakakannya!" tegas Dipa Sentana. Agak keras suaranya.
"Dipa,
ini sudah tengah malam," Ki Jayakrama mencoba mencegah.
"Aku
tidak peduli!" seru Dipa Sentana seraya melesat cepat ke atas.
Hanya
sekali lompatan saja, laki-laki setengah baya namun masih kelihatan gagah itu,
sudah melewati bibir tembok yang tinggi dan tebal. Tubuhnya kemudian meluruk
tanpa menyentuh tembok itu. Ki Jayakrama memerintahkan anak buahnya untuk
menyusul, sedangkan dia sendiri bergegas kembali ke rumah besar yang sebagian
sudah gelap tanpa penerangan sedikit pun. Tampak jendela kamar Puspa Ningrum
masih terbuka lebar.
Ki
Jayakrama tidak masuk ke dalam rumah itu, tapi segera menyerukan kepada
sebagian besar anak buahnya untuk mengejar Dipa Sentana dan membawanya kembali
pulang. Sama sekali tidak disinggung-singgung tentang penculikan Puspa Ningrum,
tapi hanya ditekankan agar membawa pulang Dipa Sentana saja. Sekitar dua puluh
orang anak buahnya langsung bergerak dengan menggunakan kuda malam itu juga. Ki
Jayakrama baru masuk ke dalam rumah setelah dua puluh orang anak buahnya
meninggalkan halaman rumah besar itu.
***
Malam
yang gelap dan dingin seperti ini, biasanya orang enggan untuk berada di luar
rumah. Tapi tidak demikian halnya dengan seorang yang memakai baju serba hitam.
Orang itu berlari cepat bagai angin. Di pundaknya tersandang sesosok tubuh
ramping yang tidak sadarkan diri. Orang yang seluruh tubuhnya mengenakan baju
hitam itu, terus berlari masuk ke dalam hulan.
Orang
itu baru berhenti berlari setelah sampai di sebuah pondok kecil beratap daun
rumbia. Diturunkan tubuh ramping di pundaknya dengan kasar. Sosok tubuh berbaju
biru muda itu menggelimpang jatuh ke tanah. Tampak wajahnya yang cantik bagai
tertidur pulas. Orang itu membuka kedoknya yang terbuat dari kain hitam. Tampak
wajahnya yang kasar dan penuh brewok itu.
"Ha
ha ha...! Tidak terlalu sukar membawamu ke sini. Anak Manis," ucap orang
yang telah membuka kedoknya itu.
Orang
itu, melangkah menghampiri tubuh ramping yang tergeletak di tanah tidak
sadarkan diri. Diamati wajah cantik itu dengan bola mala berbinar. Lidahnya
menjulur, menjilati bibirnya yang tebal.
“Tidak
kusangka, kau begini cantik...," desah laki-laki berwajah kasar itu.
Pelahan-lahan
dia berlutut di samping wanita yang ternyata adalah Puspa Ningrum. Tangannya
menjulur meraba wajah yang berkulit halus itu. Tangannya agak gemetar begitu
menyentuh kulit halus pada leher yang jenjang. Pelahan-lahan jari-jari tangannya
merayap menyentuh dada yang membusung indah terbungkus baju biru muda.
"Kau
cantik sekali! Sayang sekali jika dilewatkan begitu saja," gumam laki-laki
itu.
Dengan
tangan agak gemetar, dicobanya untuk membuka sabuk perak yang melilit pinggang
Puspa Ningrum. Tapi dia terkejut, karena sabuk itu sukar dilepaskan. Wajahnya
jadi menegang, dan matanya liar menatap raut wajah cantik yang masih juga belum
sadarkan diri.
"Hih!"
Laki-laki
berwajah penuh brewok itu, menotok bagian leher. Seketika itu juga Puspa
Ningrum terbangun dari ketidaksadarannya. Gadis itu terkejut begitu melihat
seorang laki-laki berwajah kasar penuh brewok berada di dekatnya. Lebih
terkejut lagi saat dikenalinya orang itu.
"Paman
Kumbana! Apa yang kau lakukan di sini?" sentak Puspa Ningrum sambil
berusaha menggelinjang.
Namun
gadis itu jadi terkejut setengah mati. Seluruh tubuhnya terasa kaku, sukar
digerakkan. Puspa Ningrum menyadari kalau telah terkena totokan yang
melumpuhkan tubuhnya. Masih diingatnya kejadian yang menyebabkannya berada di
sini bersama seorang laki-laki yang dikenalnya.
"Kau
masih ingat aku rupanya, Puspa Ningrum. Tidak kusangka, kau tumbuh menjadi
seorang gadis cantik menggiurkan. He he he...," laki-laki yang dikenali
Puspa Ningrum bemama Kumbana itu terkekeh. Matanya liar merayapi wajah gadis
itu.
Puspa
Ningrum bergidik juga mendengarnya. Dia tahu betul siapa Paman Kumbana ini.
Seorang laki-laki berwajah menyeramkan, penuh brewok, dan ada luka codet
memanjang membelah pipi kanannya. Luka itu yang membuat wajahnya semakin
menyeramkan. Gadis itu ingat luka di wajah laki-laki itu dibuat oleh gurunya
ketika Kumbana ingin membawa paksa diri Puspa Ningrum dan ibunya dari Padepokan
Tapak Wisa.
Sebenarnya
dulu Kumbana adalah abdi setia ayah dari Dipa Sentana. Dia memisahkan diri,
lalu membentuk kekuatan baru. Setelah kekuatannya kuat dia memberontak,
meruntuhkan kekuasaan ayah dari Dipa Sentana di Desa Watu Gayam. Dulu desa itu
sebuah kadipaten yang tidak begitu besar. Tapi karena runtuh akibat perang
saudara dan banyaknya kekacauan yang terjadi, akibatnya seluruh penduduk
meninggalkan tempat itu. Dan sampai sekarang di tempat itu tinggal segelintir
orang saja yang masih bertahan. Dipa Sentana kemudian membangun kembali bekas
kadipaten itu menjadi sebuah desa. Semua itu diketahui Puspa Ningrum dari
cerita guru maupun ibunya yang selalu mendampingi di Padepokan Tapak Wisa.
“'Paman!
Apa yang kau lakukan...?" sentak Puspa Ningrum terbangun dari lamunannya.
Gadis
itu berusaha menggelinjang ketika tangan Kumbana berusaha menyentuh dadanya,
tapi seluruh tubuhnya sudah tidak bisa digerakkan lagi. Jari-jari tangan
Kumbana yang kasar, merayapi dada yang membukit indah itu.
"Kurang
ajar! Kubunuh kau, Kumbana!" bentak Puspa Ningrum, merah padam wajahnya.
Tidak ada lagi rasa hormat pada laki-laki berhati binatang itu.
"He...
he... he.... Kau tidak akan bisa membunuhku, Puspa Ningrum. Kau lihat
ini...!" Kumbana menunjukkan luka codet di pipi kanannya.
Puspa
Ningrum bergidik melihat luka memanjang membelah pipi kanan laki-laki itu.
"Sebentar
lagi akan datang seseorang yang sangat membutuhkanmu. Tapi kau pun tak akan
kulepaskan begitu saja, tanpa.... He he he..." Kumbana terkekeh
menyeringai, menambah seram wajahnya.
"Tidak...!
Lepaskan aku!" bentak Puspa Ningrum bergidik ketakutan. Sudah bisa
ditebak, apa yang akan dilakukan Kumbana pada dirinya.
Puspa
Ningrum berusaha memberontak melepaskan totokan di tubuhnya. Tapi totokan itu
demikan kuat. Bahkan hawa murni di dalam tubuhnya juga tidak mampu
membebaskannya. Sementara Kumbana dengan leluasa menggerayangi tubuh gadis itu.
Napas-nya mendengus bagai kuda yang dipacu cepat. Liurnya hampir menetes,
merayapi tubuh gadis itu.
"Bajingan!
Keparat...! Kubunuh kau, Kumbana!" maki Puspa Ningrum sambil menghindari
serangan ciuman laki-laki itu pada wajahnya.
Tapi
Kumbana tidak lagi peduli. Dengan kasar direnggutnya baju gadis itu, sehingga
bagian tubuh yang berkulit putih menyembul keluar.
"Setan!
Keparat...!" maki Puspa Ningrum berang.
"Kau
tidak akan bisa lepas dariku malam ini, Manis," desah Kumbana di sela
napasnya yang memburu.
Hampir
serak Puspa Ningrum memaki, tapi Kumbana benar-benar sudah kerasukan setan.
Tidak dipedulikan lagi jeritan dan makian gadis itu. Puspa Ningrum terus memaki
dan menjerit-jerit berusaha melepaskan diri dari cengkeraman laki-laki berhati
iblis itu. Tapi usahanya hanya sia-sia saja. Makian dan jeritannya bagaikan
satu alunan nyanyian merdu di telinga Kumbana.
Namun
ketika seluruh penutup tubuh Puspa Ningrum hampir terbuka, mendadak saja tubuh
Kumbana mencelat ke atas, dan jatuh keras ke tanah. Belum sempat disadari apa
yang terjadi, Puspa Ningrum merasakan adanya beberapa totokan di tubuhnya. Saat
itu juga dirasakan tubuhnya bisa digerakkan lagi dengan bebas. Gadis itu
bergegas mengenakan kembali pakaiannya walaupun sudah tidak sempuma lagi.
Buru-buru dia bangkit berdiri.
"Setan
belang! Siapa yang berani mencampuri urusanku, heh?!" bentak Kumbana
gerarn, seraya bangkit berdiri.
"Aku!"
terdengar sahutan dari belakang Kumbana.
Laki-laki
codet itu, langsung berbalik. Dia mendelik melihat seorang pemuda tampan
tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh darinya. Pemuda itu berbaju rompi putih,
tengah berdiri membelakangi Puspa Ningrum, seakan-akan sengaja melindunginya.
"Keparat!
Apa kau sudah bosan hidup, bocah?!" bentak Kumbana geram.
"Asal
tahu saja, aku paling tidak suka melihat iblis berkedok manusia macam
kau!" tajam sekali kata-kata pemuda itu.
"Setan
alas! Berani kau berkata begitu, heh?! “Bocah...! Sebutkan namamu sebelum
kukirim ke neraka!”
"Namaku
tidak ada artinya bagimu, Iblis!"
"Babi
buntung! Kadal....!" maki Kumbana geram.
Tanpa
mempedulikan siapa sesungguhnya pemuda berbaju rompi putih itu, langsung
dicabut senjatanya yang mirip golok penjagal hewan. Golok yang kelihatan berat
itu, terayun mengarah ke kepala pemuda itu. Ayunannya begitu kuat, sehingga
menimbulkan tiupan angin yang sangat keras.
"Uts!"
Pemuda berbaju rompi itu melompat ke belakang dua tindak. Tebasan golok besar
Kumbana hanya menyambar angin saja. Dan pada saat itu, kaki kanan pemuda itu
melayang menghajar pergelangan tangan Kumbana yang memegang senjata.
"Akh!"
Kumbana memekik tertahan. Buru-buru ditarik mundur tubuhnya beberapa tindak,
sambil meringis merasakan sakit pada pergelangan tangannya. Sebentar
diurut-urut pergelangan tangan kanannya, kemudian diayun-ayunkan goloknya di
atas kepala. Suara angin menderu-deru bagai hendak terjadi badai topan yang
sangat dahsyat. Daun-daun berguguran tertiup angin yang ditimbulkan oleh
putaran golok besar itu.
"Hebat!
Ayam kampung bisa mati kaku melihat golokmu, setan tua!" ejek pemuda itu
tersenyum sinis.
"Kadal
buduk!" umpat Kumbana marah.
Kumbana
benar-benar tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dengan kekuatan penuh,
diserangnya pemuda berbaju rompi putih yang selalu mengejek sehingga darahnya
mendidih. Dengan ayunan goloknya yang besar, diserangnya pemuda itu. Namun
setiap serangannya selalu dapat dihindari dengan manis. Bahkan satu dua pukulan
bersarang di tubuh laki-laki berwajah codet itu.
Sementara
dari jarak yang cukup jauh, Puspa Ningrum memperhatikan saja pertarungan itu.
Dia belum ingin terjun dalam pertempuran, meskipun hatinya terbakar amarah
akibat kekurangajaran Kumbana padanya. Pantang baginya untuk mengeroyok
seseorang dalam pertempuran. Gurunya tidak pernah mengajarkan untuk berlaku
curang meskipun dalam keadaan diliputi kemarahan.
Pertempuran
antara Kumbana melawan pemuda berbaju rompi putih, masih lerus berlangsung
sengit. Entah sudah berapa puluh jurus dimainkan Kumbana, tapi belum ada satu
serangan pun yang berhasil mengenai sasaran. Sementara sudah tidak terhitung
lagi pukulan dan tendangan pemuda itu mendarat di tubuhnya. Melihat pemuda
berbaju rompi putih itu seakan-akan sengaja memperlambat pertempuran. Puspa
Ningrum jadi tidak sabaran.
"Persetan!"
geram Puspa Ningrum langsung melompat masuk dalam pertempuran itu.
"Hiyaaat..!"
Kumbana
jadi kelabakan begitu pukulan Puspa Ningrum hampir bersarang di kepalanya.
Laki-laki berwajah kasar itu langsung melompat mundur, tapi Puspa Ningrum terus
mendesak sambil mengirimkan pukulan-pukulan mautnya yang bertenaga dalam cukup
tinggi. Pada saat itu, pemuda berbaju rompi putih tidak lagi bergerak. Sambil
berdiri, perhatiannya tak lepas ke arah pertempuran itu dari jarak yang tidak
seberapa jauh.
Sret!
Puspa Ningrum melepas sabuknya yang berwarna keperakan. Dipegangnya sabuk itu
pada bagian kepala yang berbentuk kepala seekor macan. Dengan sekali kebut
saja, sabuk itu menegang kaku dan berubah jadi sebilah pedang tipis berwarna
keperakan. Dengan senjata andalannya ini, Puspa Ningrum semakin dahsyat
mencecar Kumbana. Tidak ada lagi kesempatan diberikan pada laki-laki itu untuk
mengambil napas dan balas menyerang.
"Mampus
kau, hiyaaat...!"
Sambil
berteriak nyaring melengking, Puspa Ningrum mengibaskan senjatanya ke arah
leher. Namun Kumbana gesit sekali menyampok dengan goloknya.
Tring!
Begitu dua senjata beradu, Puspa Ningrum menggunakan tenaga lawannya untuk
memutar senjatanya. Langsung saja dia berkelebat merobek dada Kumbana. Satu
gerakan tipuan yang tidak terduga sama sekali, membuat Kumbana terpekik dan
terhuyung. Darah segar mengucur deras dari dadanya yang sobek cukup panjang dan
dalam.
"Hiyaaa...!"
Puspa Ningrum yang tidak lagi memberi kesempatan, segera melompat sambil
berteriak keras. Senjatanya dikebutkan ke arah leher. Pada saat itu, Kumbana
berusaha merunduk. Namun, gerakannya terlambat, karena seketika itu juga
senjata Puspa Ningrum lebih dulu menebas lehernya.
"Aaa...!"
Kumbana menjerit melengking tinggi.
“Hait..."
Puspa Ningrum melayangkan satu tendangan keras mendupak dada Kumbana. Tubuh
tinggi besar itu terjungkal ambruk dengan kepala terpisah dari leher. Hanya
sebentar Kumbana mampu berkelojotan, sesaat kemudian diam tidak bergerak-gerak
lagi. Darah mengucur deras dari leher yang buntung. Puspa Ningrum melilitkan
kembali sabuknya selelah dikebutkan untuk dilemaskan kembali.
"Ck...
ck... ck..!"
"Eh...!"
Puspa Ningrum tersentak kaget.
Gadis
itu baru sadar kalau di tempat ini masih ada seorang yang telah menyelamatkan
kehormatannya dari maksud kotor Kumbana. Dia segera berbalik dan berdiri
terpaku menatap wajah tampan di depannya. Sejenak Puspa Ningrum terpaku, sesaat
kemudian dipalingkan wajahnya ke arah lain.
“Terima
kasih atas pertolonganmu," ucap Puspa Ningrum tanpa memandang pemuda
berbaju rompi putih itu.
"Simpan
saja rasa terima kasihmu itu, Puspa Ningrum," sahut pemuda itu.
"He...!
Kau tahu namaku?" Puspa Ningrum terkejut, sampai-sampai harus menatap
pemuda itu kembali.
"Tentu.
Karena kau yang kucari, dan kebetulan bertemu di sini," sahut pemuda itu
kalem.
"Hhh!
Siapa kau?" Puspa Ningrum jadi curiga.
"Namaku
Rangga," pemuda itu memperkenalkan diri. Dia memang Rangga yang berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga...,"
Puspa Ningrum bergumam pelan. Dirayapi seluruh tubuh pemuda berbaju rompi putih
di depannya, seolah-olah sedang menyelidiki pemuda yang mengaku bemama Rangga
itu.
"Kenapa
kau menatapku demikian?" tegur Rangga agak risih.
"Sepertinya
aku pernah mendengar namamu...," pelan suara Puspa Ningrum, hampir tidak
terdengar. Dia seperti bicara dengan dirinya sendiri.
"Mungkin
salah dengar. Sebab, baru kali ini aku bertemu denganmu. Dan kau tentunya juga
demikian," kata Rangga tetap kalem.
"Memang,
kita baru bertemu kali ini. Tapi aku yakin pernah mendengar namamu," sahut
Puspa Ningrum tetap pada pendiriannya, tapi juga tengah mengingat-ingat.
"Ah,
sudahlah. Se...," ucapan Rangga terputus seketika.
Pendengaran
Pendekar Rajawali Sakti itu tajam luar biasa, karena dapat menangkap adanya
satu gerakan halus mendekati tempat ini. Tanpa berkata-kata lagi, Rangga
langsung melompat cepat bagaikan kilat menyambar tubuh gadis itu.
"Hey...!"
Puspa Ningrum tersentak kaget. br />
Tapi
Rangga cepat menyumpal mulutnya. Pendekar Rajawali Sakti itu menjejakkan
kakinya di atas sebatang dahan yang cukup tinggi dan terlindung oleh lebatnya
dedaunan pohon itu. Dilepaskan bekapannya pada mulut Puspa Ningrum.
"Kurang
ajar...!" umpat Puspa Ningrum.
"Ssst..!"
cepat-cepat Rangga memberi isyarat agar diam.
Puspa
Ningrum ingin memaki, tapi segera diurungkan. Memang dia juga mendengar adanya
langkah kaki beberapa orang yang mendekati tempat itu. Kedua bola matanya
membeliak begitu dari balik semak dan pepohonan yang merapat di sekitar hutan
ini, muncul beberapa orang. Dan gadis itu mengenalinya....
LIMA
Rangga
mencekal tangan Puspa Ningrum saat melihat gelagat gadis itu akan melompat
turun dari dahan pohon ini. Juga, buru-buru disumpal mulut gadis itu dengan
menyilangkan jari telunjuk di bibir gadis itu yang mungil memerah. Puspa
Ningrum menatap sejenak, lalu perhatiannya kembali beralih pada sebelas orang
yang berada di bawahnya.
Tampak
salah seorang yang mengenakan jubah biru tua dengan tongkat kepala ular di
tangan, berlutut di samping mayat Kumbana. Tongkatnya dihentakkan tiga kali ke
tanah. Dia bangkit berdiri dan memandang sekitarnya. Sementara sepuluh orang
bersenjata golok terhunus, membentuk lingkaran yang cukup lebar. Sikap mereka
berjaga-jaga.
Tidak
lama mereka berada di tempat itu, kemudian bergegas pergi terburu-buru. Jelas
mereka menggunakan ilmu meringankan tubuh, karena sebentar saja sudah lenyap
ditelan lebatnya hutan.
Rangga
baru melompat turun disusul Puspa Ningrum, dan mendarat manis di tanah. Puspa
Ningrum memandangi arah kepergian sebelas orang tadi.
"Kau
kenal mereka, Puspa?" tanya Rangga.
"Tentu,"
sahut Puspa Ningrum mendesah, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja
dilihatnya.
Beberapa
kalimat memang terlontar dari mulut laki-laki tua berjubah biru tua tadi. Dan
kata-kata itulah yang membuat Puspa Ningrum tidak percaya. Tapi semuanya
dilihat dan didengar jelas. Dia sadar, dan tidak sedang bermimpi saat ini.
"Sebaiknya
kita cepat tinggalkan tempat ini, Puspa," ajak Rangga.
Puspa
Ningrum tidak segera menyahuti, tapi malah menatap dalam-dalam pada Pendekar
Rajawali Sakti itu. Sorot matanya seperti sedang meminta penjelasan tentang apa
yang baru dilihat dan didengarnya barusan. Rangga mendekati dan menyentuh
lembut pundak gadis itu. Dengan lembut pula diajaknya gadis itu untuk segera
pergi.
"Apa
artinya semua ini, Rangga?" tanya Puspa Ningrum sambil berjalan pelahan di
samping Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kenapa
kau tanyakan itu padaku?" Rangga malah balik bertanya.
"Kau
tiba-tiba muncul dan menolongku. Mustahil kalau berada di sini hanya secara
kebetulan. Lagi pula kau tadi mengatakan memang sengaja mencariku!" kata
Puspa Ningrum, jelas bernada curiga.
"Kau
cerdik sekali, Puspa," puji Rangga tulus.
"Aku
tidak butuh pujian, tapi butuh penjelasan," sentak Puspa Ningrum.
"Penjelasan
apa?" tanya Rangga seenaknya.
"Jangan
berpura-pura, Rangga. Apa maksudmu mencariku?" desak Puspa Ningrum.
"Ada
seseorang yang memintaku untuk membawamu kepadanya," sahut Rangga kalem.
"Seseorang..!?
Siapa?"
"Sayang
sekali, dia tidak suka kalau aku mengatakannya. Dia ingin agar kau sendiri yang
mengetahuinya."
"Sepertinya
kau bukan orang bayaran. Dan lagi memang aku tidak percaya kalau kau dibayar
seseorang hanya untuk mencariku tanpa alasan pasti!" dengus Puspa Ningrum
sambil bergumam.
Rangga
tersenyum getir. Benar-benar patut dipuji kecerdikan gadis Ini. Tapi dia sudah
janji untuk tidak mengatakan apa pun pada gadis ini, dan hanya untuk membawa
Puspa Ningrum dengan selamat. Hanya itu saja!
"Di
mana dia menungguku?" tanya Puspa Ningrum, merasa tidak mungkin bisa
mendesak Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Tidak
jauh dari sini," sahut Rangga.
"Kau
tidak bermaksud buruk padaku, bukan?" selidik Puspa Ningrum.
Rangga
hanya tertawa saja, tawanya begitu lepas, dan terdengar renyah di telinga.
Namun Puspa Ningrum jadi bersungut. Dirinya merasa dipermainkan, tapi jadi
penasaran juga. Ingin diketahui, siapa yang menunggunya, dan apa maksudnya
ingin bertemu dengannya.
"Kalau
tidak salah, kau katakan tadi pernah mendengar namaku. Kalau tahu siapa aku,
pasti kau tidak punya pikiran buruk terhadapku," kata Rangga setelah reda
tawanya.
Puspa
Ningrum terdiam. Memang pernah didengarnya nama itu. Tapi.... Mendadak gadis
itu tersentak. Langsung saja langkahnya terhenti. Ditatapnya dalam-dalam wajah
pemuda itu yang ikut berhenti berjalan. Hampir-hampir tidak percaya kalau
sekarang ini dia tengah berjalan dengan seorang tokoh rimba persilatan yang
begitu ternama dan menjadi buah bibir di mana-mana.
Gadis
itu baru ingat. Gurunya, yang bernama Eyang Lenteng, sering bercerita tentang
sepak terjang orang yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan bernama asli
Rangga Pati Permadi. Eyang Lenteng sering mengatakan padanya kalau tindakan dan
tingkah laku Pendekar Rajawali Sakti patut jadi teladan bagi pendekar-pendekar
lainnya di muka bumi ini. Puspa Ningrum hampir tidak percaya, kalau orang yang
disegani seluruh tokoh rimba persilatan, ternyata masih muda dan begitu tampan.
"Apa
yang kau pikirkan, Puspa?" tegur Rangga lembut.
"Oh...!"
Puspa Ningrum tersentak dari lamunannya.
"Ayo,
kita jalan lagi," ajak Rangga.
Mereka
kembali melangkah menembus hutan yang semakin lebat. Sementara malam terus
merambat semakin larut. Kegelapan menyelimuti seluruh hutan ini, sehingga harus
hati-hati melangkah agar tidak tersangkut akar yang menyembul keluar dari dalam
tanah.
"Maaf,
seharusnya aku tidak bersikap ketus padamu." ucap Puspa Ningrum setelah
cukup lama terdiam.
"Lupakan
saja," sahut Rangga kalem
***
Puspa
Ningrum memandangi mulut goa yang terpampang di depannya. Kedua bola matanya
tiba-tiba membeliak tak berkedip melihat seorang laki-laki kurus kering telah
berdiri di depan mulut goa itu. Sebentar tatapannya terarah ke depan, sebentar
kemudian beralih pada Pendekar Rajawali Sakti di sampingnya. Sementara
laki-laki bertubuh kurus kering dan berbaju compang-camping itu, menghampiri.
"Terima
kasih atas kedatanganmu ke sini, Puspa," ucap laki-laki muda bertubuh
kurus kering itu
"Gota...,"
hanya itu yang bisa terucapkan Puspa Ningrum.
"Mungkin
kau sangka, aku sudah tewas di tangan Ki Jayakrama dan orang-orangnya. Kalau
saja Pendekar Rajawali Sakti ini tidak menyelamatkan nyawaku, entah apa
jadinya," kata Gota seraya melirik Rangga.
"Hanya
kebetulan saja," ucap Rangga merendah.
"Memang,
aku yakin kau bisa selamat, Gota. Kakang Dipa pun mengatakannya padaku,"
kata Puspa Ningrum.
"Baik
sekali dia." agak sinis nada suara Gota.
"Gota,
apa maksudmu ingin bertemu denganku?" tanya Puspa Ningrum langsung pada
pokok persoalannya.
Gota
tidak segera menjawab, tapi malah melirik Rangga yang masih berdiri disamping
Puspa Ningrum. Rangga, mengerti, dan segera menyingkir.
"Aku
ada di dalam jika kalian membutuhkanku," pesan Rangga sambil terus
melangkah mendekati goa.
Gota
menggamit lengan gadis itu, kemudian mengajaknya duduk di bawah sebatang pohon
kemuning. Mereka masih berdiam diri dan saling pandang saja, meskipun sudah
cukup lama Rangga meninggalkan tempat itu. Masing-masing membisu, tanpa ada
yang bicara sedikit pun.
"Kau
mengundangku ke sini bukan untuk jadi patung, bukan?" tegur Puspa Ningrum
jengah.
"Maaf,"
ucap Gota buru-buru.
"Apa
maksudmu sebenarnya, Gota?" tanya Puspa Ningrum tegas. Dia tidak ingin
hanyut oleh perasaan yang tiba-tiba menggayut di hatinya. Perasaan aneh yang
belum pernah dirasakan sebelumnya.
"Puspa,
sebenarnya hal ini tidak boleh kukatakan padamu. Tapi juga tidak mungkin
kupendam terus-menerus, sementara Dipa Sentana dan Ki Jayakrama makin
menjadi-jadi saja." kata Gota pelan dan terdengar berat nada suaranya.
"Gota.
Aku tidak tahu, persoalan apakah yang terjadi antara kau dengan kakakku.
Sebenarnya aku tidak ingin terlibat, tapi...," Puspa Ningrum menghentikan
kata-katanya, dan langsung teringat ucapan Ki Jayakrama di depan mayat Kumbana.
"Puspa!
Ingatkah kau ketika kau sebutkan namamu dan nama kedua orang tuamu pada
guruku?" tanya Gota mengingatkan.
"Ki
Tunggul, maksudmu? Ya aku ingat," Puspa Ningrum mengangguk pasti.
"Sebenarnya
Ki Tunggul tidak bermaksud menghinamu. Dia tertawa karena mendengar
keteranganmu yang menyebutkan nama Paradipa dan Wulandari sebagai kedua orang
tuamu," kata Gota tanpa bermaksud menyinggung perasaan gadis ini.
"Aku
mengatakan yang sebenarnya!" sentak Puspa Ningrum agak tersinggung juga.
"Aku
tahu, Puspa. Memang, kau mengatakan yang sebenarnya. Tapi tidak demikian bagi
Ki Tunggul. Dan aku sendiri sebenarnya...."
"Kau
juga menertawakanku, Gota?" potong Puspa Ningrum cepat.
“Tidak,"
sahut Gota tegas. "Justru aku merasa iba padamu."
"Kau
jangan main-main, Gota!" sentak Puspa Ningrum. Mendadak perasaannya jadi
tidak enak.
"Aku
tidak main-main, Puspa. Aku sungguh-sungguh iba padamu, dan ingin mengembalikan
dirimu yang sesungguhnya. Tidak ada maksud buruk terselip di hatiku,"
terdengar serius nada suara Gota kali ini.
Puspa
Ningrum terdiam. Perasaannya semakin tidak menentu. Terlebih lagi mendengar
nada suara Gota yang begitu serius. Selama ini kehidupannya memang selalu dalam
lingkungan padepokan yang tertutup dan terpencil, sehingga yang dikenali hanya
wajah ibunya. Sejak kecil dia tidak pernah melihat wajah ayahnya, meskipun
sering mendengar nama ayahnya disebut-sebut.
"Puspa,
apakah kau tidak pernah mendengar atau meminta ibumu menceritakan perihal
ayahmu?" tanya Gota.
"Sering,"
sahut Puspa Ningrum pelan.
"Kau
mempercayai semua ceritanya?"
Puspa
Ningrum tidak menjawab, tapi hanya menatap tajam pada laki-laki yang kelihatan
baru berusia sekitar dua puluh tahun ini. Wajahnya yang kurus dengan mata
cekung ke dalam, membuat tampang Gota jauh lebih tua.
"Aku
tahu siapa Eyang Lenteng. Kami sering bertemu dan berbicara di luar padepokan.
Sebenarnya dia juga iba padamu, tapi tidak bisa berbuat banyak untuk
menolongmu. Terpaksa dirimu dijejali dengan cerita-cerita palsu," jelas
Gota lagi.
"Gota,
apa maksudmu sebenarnya? Kau ingin memecah belah diriku dengan Kakang Dipa? Kau
pikir aku masih bocah ingusan yang dapat dengan mudah diperdayai? Jangan harap,
Gota!" Puspa Ningrum jadi sengit. Dia menebak ada maksud buruk yang
tersembunyi dalam diri laki-laki pengemis ini.
"Jangan
berprasangka buruk dulu, Puspa."
"Kalau
tidak, lalu untuk apa mengatakan hal itu padaku?"
"Demi
kebenaran. Puspa."
"Kebenaran
untuk mempengaruhiku, sehingga harus memusuhi kakakku sendiri. Begitu?"
"Puspa..."
"Cukup,
Gota!" sentak Puspa Ningrum seraya berdiri. "Aku tidak suka lagi
mendengar segala macam ocehan busukmu!"
"Memang
benar apa yang dikatakan Eyang Lenteng. Sulit menjelaskan hal ini
padamu...." desah Gota setengah bergumam.
"Jangan
bawa-bawa nama guruku, Gota. Beliau terlalu suci untuk disertakan dalam
kebusukan hatimu!" bentak Puspa Ningrum sengit.
"Tidak
kusalahkan pendirianmu, Puspa. Kau memang punya hak untuk tidak mempercayaiku.
Tapi ketahuilah! Dipa Sentana itu bukan kakakmu. Paradipa juga bukan ayahmu.
Ayahmu yang sebenarnya adalah Ki Sawung! Dia tewas karena membela kehormatan
ibumu. Dipa Sentanalah yang membunuh ayahmu!" agak keras suara Gota.
"Tidak!
Kau bohong...! Kau dusta...!" bentak Puspa Ningrum kalap.
"Sayang
sekali ibumu sudah meninggal. Kalau saja masih hidup, bisa kau desak agar
menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana waktu itu hampir diperkosa oleh
Paradipa. Kau tahu, siapa bajingan tengik itu? Dia adalah ayah kandung Dipa
Sentana. Paradipa tewas di tangan ayahmu, dan secara tidak sengaja Dipa Sentana
membunuh ayahmu. Dia menyesal, lalu membawa ibumu yang waktu itu hamil tiga
bulan ke Padepokan Tapak Wisa. Bahkan juga berjanji akan mengangkatmu sebagai
adik setelah kau lahir. Janji itu dibuktikannya untuk menebus segala dosa dan
kesalahan yang dilakukan orang tua serta dirinya!"
"Cukup!"
bentak Puspa Ningrum sambil menutup teliganya.
"Tapi
turunan bajingan tetap saja bajingan! Ibumu tidak kuasa, dan terpaksa melayani
kemauan Dipa Sentana. Kau tahu, apa yang terjadi setelah kau lahir? Setelah kau
berusia dua tahun, lahir kembali seorang anak laki-laki dari rahim ibumu, yang
kemudian dibuang ke dalam hutan. Dipa Sentana mengira bayi merah itu akan
dimakan binatang buas. Tapi Dewata masih melindunginya. Bayi itu ditemukan
seorang laki-laki tua yang hidup serba kekurangan. Seorang pengemis, tapi
berjiwa luhur dan satria. Kau tahu Puspa, siapa anak laki-laki itu?
Aku...!"
"Tidak...!
Tidak mungkin...!" Puspa Ningrum meng-geleng-gelengkan kepalanya.
"Kita
kakak beradik, Puspa. Meskipun lain ayah. Tapi, sama sekali Dipa Sentana tidak
kuakui sebagai ayahku. Dia seorang iblis yang telah membuang darah dagingnya
sendiri. Orang macam itukah yang kau hormati, kau sanjung, dan kau anggap
sebagai kakak? Buka matamu lebar-lebar, Puspa. Lihatlah perbedaan usiamu dengan
Dipa Sentana! Berapa usia ibumu saat meninggal? Berapa sekarang usia Dipa
Sentana? Adakah seorang anak yang hanya terpaut tiga tahun dari ibunya? Kau
buta, Puspa. Bukan hanya matamu, tapi hatimu pun buta!"
“Tidak..."
rintih Puspa Ningrum langsung menjatuhkan dirinya di atas rerumputan. Gadis itu
tidak kuasa lagi menahan air matanya, dan menangis sambil me-rintih
menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara Gota hanya berdiri saja sambil
memandang lurus pada Puspa Ningrum yang menangis dan merintih.
"Maafkan
aku, Puspa Ningrum. Terpaksa kubuka semua rahasia ini. Aku..., aku...,"
tersendat suara Gota.
Gota
juga tidak kuasa lagi menahan perasaannya. Dia jatuh duduk dan memukuli tanah
berumput di depannya. Sementara itu, di depan mulut goa, Rangga hanya
memperhatikan saja. Semua percakapan itu telah didengarnya. Meskipun sebelumnya
sudah diberitahu oleh Gota, tapi keharuan masih juga menyelimuti hatinya.
Pertemuan yang seharusnya menggembirakan, tapi malah sebaliknya.
***
Seharian
penuh Puspa Ningrum duduk memandang matahari yang hampir tenggelam di dalam
peraduannya. Dia duduk sambil melamunkan semua kata-kata yang diucapkan Gota
semalam. Memang, semuanya tidak dipercayai begitu saja, tapi hati kecilnya
membenarkan juga semua cerita Gota, Puspa Ningrum juga tidak bisa membantah,
bahwa ada satu ikatan batin yang begitu kuat antara dirinya dengan pemuda
pengemis itu.
Perasaan
itu memang sudah dirasakan ketika pertama kali bertemu. Puspa Ningrum tidak
tahu, kenapa memiliki perasaan itu pada seorang pemuda yang baru dikenalnya.
Seorang pemuda gembel kurus kering yang raut wajahnya lebih tua sepuluh tahun
dari usia sebenarnya. Semakin dipikirkan kata-kata Gota semalam, semakin
bimbang hatinya. Sampai-sampai tidak diketahui ada seseorang mendekatinya.
Gadis itu pun juga tidak menyadari kalau orang itu sudah duduk di sampingnya.
"Puspa...."
Puspa
Ningrum tersentak bangun dari lamunannya, lalu menoleh. Kepalanya tertunduk
ketika mendapati Rangga sudah duduk di sampingnya. Dua kali gadis itu menarik
napas panjang dan dihembuskan kuat-kuat, seakan-akan ingin dilonggarkan rongga
dadanya yang terasa sesak seketika.
"Boleh
kutemani duduk di sini?" pinta Rangga.
"Hhh...!"
Puspa Ningrum hanya menghembuskan napasnya saja.
"Aku
ikut prihatin dengan..."
“Terima
kasih," potong Puspa Ningrum cepat.
"Aku
mendengar semua pembicaraan kalian semalam," kata Rangga lagi.
Puspa
Ningrum menatap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu. Agak terkejut
juga mendengarnya, tapi kemudian dipalingkan mukanya. Kembali ditatapnya
matahari yang sudah hampir tenggelam.
"Memang
berat untuk menghadapi kenyataan pahit ini. Tapi aku yakin kau mampu
mengatasinya dengan baik," kata Rangga, berusaha menghibur.
Puspa
Ningrum hanya diam saja.
“Tidak
mudah untuk menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar. Hanya kau dan
Gota yang bisa menentukannya. Aku bisa memahami perasaanmu. Maaf kalau aku
terlalu banyak ikut campur dalam hal ini," kata Rangga pelan.
Puspa
Ningrum kembali menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat.
Sebentar ditengadahkan kepalanya menatap langit yang memerah jingga, kemudian
ditolehkan kembali wajahnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Mungkin
saat ini aku membutuhkan seseorang untuk bicara." ujar Puspa Ningrum
setengah mendesah.
"Kalau
kau percaya padaku...." sambut Rangga dengan hati lapang.
"Kau
terlalu baik...," ucapan Puspa Ningrum terputus. "Bolehkah aku
memanggilmu kakang?"
"Dengan
senang hati."
Puspa
Ningrum tersenyum tipis. "Eyang Lenteng sering bercerita tentang dirimu.
Mungkin kau orang yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Ah.... Aku
terlalu berharap padamu, Kakang. Semua ini persoalan pribadi, tidak seharusnya
kau kusertakan."
"Ada
kalanya persoalan pribadi membutuhkan orang lain untuk menyelesaikannya."
kata Rangga bijaksana.
“Terima
kasih." ucap Puspa Ningrum.
"Nah,
apa yang ingin kau katakan padaku?"
"Entahlah,
aku masih bingung. Sepertinya aku kehilangan diriku sendiri. Tidak tahu lagi,
apa yang harus kukatakan. Aku seperti orang yang terbuang tanpa cinta,"
pelan suara Puspa Ningrum.
“Tidak
seburuk yang dialami Gota," timpal Rangga.
"Gota...?"
Puspa Ningrum menatap Rangga.
"Kau
masih beruntung, Puspa. Ada orang yang menyayangi, mencintai, mengurus, serta
memperhatikanmu. Tapi Gota...? Sejak bayi sudah dibuang ke tengah hutan, dan
hidup bersama pengemis tua yang untuk hidup sendiri saja sudah sulit"
Puspa
Ningrum terdiam, dan jadi teringat ketika pertama kali bertemu Gota. Terbayang
kembali perlakuan penduduk Desa Watu Gayam yang begitu merendahkan dan menghina
seperti seonggok sampah busuk.
"Kakang,
benarkah yang dikatakan Gota semalam?" tanya Puspa Ningrum.
"Menurutmu
bagaimana?" Rangga malah balik bertanya.
"Entahlah!
Aku bingung,'' sahut Puspa Ningrum ragu-ragu.
"Cobalah
ambil dari kenyataan yang ada, Puspa," usul Rangga.
"Aku
tidak tahu, mana yang benar dan mana yang palsu. Sepertinya aku ini hidup di
alam lain," keluh Puspa Ningrum.
"Sebenarnya
aku tidak memihak pada siapa pun, dan hanya berada di tengah-tengah. Tapi
menurut pendapat pribadiku, Gota ada benarnya juga. Dan di pihakmu, juga tidak
semuanya salah. Orang yang kau anggap kakak selama ini, telah berbuat baik
padamu dengan alasan tertentu. Sedangkan ibumu, kurasa sangat tertekan,
sehingga tidak sanggup menceritakan yang sebenarnya padamu. Demikian pula
dengan Eyang Lenteng. Mungkin ada satu persoalan pada dirinya, sehingga tidak
bisa menceritakan yang seharusnya diceritakan. Dan sebenarnya, hanya kau
sendirilah yang bisa menilai," jelas Rangga panjang lebar mencoba membuka
jalan pikiran gadis itu.
"Apa
yang harus kulakukan, Kakang?" tanya Puspa Ningrum meminta saran.
Rangga
hanya mengangkat bahu. Tidak mudah baginya untuk memberi sedikit saran pada
Puspa Ningrum. Masalahnya, persoalan yang dihadapi gadis itu sangat pelik, dan
terlalu pribadi sifatnya. Sampai saat ini, belum juga bisa ditentukan, mana
yang salah dan mana yang benar. Persoalan ini sangat peka, dan sukar diselesaikan.
***
ENAM
Hampir
satu pekan Puspa Ningrum menghilang. Dan selama itu Dipa Sentana seperti tidak
bergairah lagi. Sehari-hari, kerjanya hanya duduk melamun di beranda depan
rumahnya. Sedangkan Ki Jayakrama semakin sibuk, karena belakangan ini banyak pengemis
bermunculan. Tidak diketahui, dari mana datangnya dan apa maksudnya
pengemis-pengemis itu bermunculan di Desa Watu Gayam ini.
"Rasanya
bosan melihatmu begitu terus, Dipa!" tiba-tiba Ki Jayakrama muncul sambil
bersungut-sungut.
"Hhh...!"
Dipa Sentana mendesah panjang seraya mengangkat kepalanya.
"Sudah
berapa kali kukatakan, jangan menyesali diri! Kau sudah cukup menebus
kesalahanmu! Biarkan Puspa Ningrum hidup dengan caranya sendiri!" rungut
Ki Jayakrama lagi.
Dipa
Sentana hanya menarik napas panjang saja. Sedikit pun tidak disahuti gerutuan
itu. Pandangannya lurus menatap ke depan "Dipa, keadaan kini semakin
bertambah parah. Kian hari kian banyak pengemis yang datang ke sini. Mereka
berpakaian pengemis, tapi tidak pernah mengemis. Bahkan untuk makan mereka
membeli. Aku jadi curiga. Perhatikanlah perubahan itu, Dipa!" kata Ki
Jayakrama lagi.
"Mungkin
mereka teman-temannya Gota," celetuk Dipa Sentana asal saja.
"Itu
yang aku khawatirkan, Dipa!" sergah Ki Jayakrama cepat.
Dipa
Sentana menoleh, langsung menatap bola mata laki-laki tua yang sudah duduk di
sampingnya. Hanya sebuah meja bundar yang menghalangi mereka. Tadi sebenarnya
dia hanya berkata seenaknya saja, tapi justru perkataannya itu yang terpenting.
"Kau
tahu, Dipa. Setiap hari, satu atau dua orang kita lenyap tanpa diketahui
jejaknya. Sekarang jumlahnya tidak ada tiga puluh orang lagi. Keyakinanku,
pasti ada ancaman serius yang tidak bisa dianggap enteng. Dan ini ada
hubungannya dengan kemunculan pengemis-pengemis itu!" agak keras nada suara
Ki Jayakrama.
"Mereka
hanya menuntut hak saja, Ki," ujar Dipa Sentana setengah bergumam.
"Bicaramu
semakin tidak karuan saja, Dipa!" dengus Ki Jayakrama sengit.
"Terus
terang, beberapa hari ini sudah kupikirkan dan kutimbang masak-masak. Kita
memang tidak punya hak di sini. Kita tidak ubahnya gerombolan perampok yang
menikmati hidup dari merebut hak orang lain...."
"Dipa!
Kau ini bicara apa...?" sentak Ki Jayakrama terkejut.
"Aku
bicara yang sebenarnya, Ki Selama ini hidup kita selalu dipenuhi kepalsuan! Kau
gembar-gemborkan kalau akulah yang membangun dan menghidupkan kembali desa ini
setelah musnah akibat peperangan. Padahal semua itu palsu! Bukan aku yang telah
berbuat banyak begitu, tapi...."
"Dipa...!"
bentak Ki Jayakrama gusar.
"Biarkan
aku bicara, Ki. Rasanya beban dalam dada akan berkurang kalau sudah kukeluarkan
semua yang ada di sini!" Dipa Sentana menepuk dadanya.
"Kau
hanya membesar-besarkan perasaan saja, Dipa," agak lunak suara Ki
Jayakrama.
"Justru
ingin kuperkecil kesalahan ini, Ki. Kau selalu mengatakan kalau aku sudah
menebus semua dosa dan kesalahanku dan orang tuaku. Tapi kenyataannya, justru
semakin besar dosa-dosaku. Tidak sepatutnya Puspa Ningrum dan ibunya
kuperlakukan seperti itu. Dan sekarang dia lenyap. Padahal, aku sudah berjanji
pada Eyang Lenteng untuk menjaga dan memberikan haknya kelak!" lantang
kata-kata Dipa Sentana.
"Cukup,
Dipa! Aku tidak suka mendengar lagi ocehan tololmu!" bentak Ki Jayakrama
sengit.
"Tolol...?
Heh...! Siapa yang tolol!" terdengar sinis nada suara Dipa Sentana.
"Kau
mulai berani padaku, Dipa. Hati-hatilah! Aku tidak segan-segan menghukum
muridku sendiri!" ancam Ki Jayakrama.
"Aku
memang pantas dihukum, Ki!" tantang Dipa Sentana.
"Setan!
Darah pengkhianat rupanya mengalir juga pada dirimu!" dengus Ki Jayakrama
seraya bangkit berdiri.
"Ayahku
memang pengkhianat! Dan aku tidak ingin meneruskan jejaknya untuk menghancurkan
Desa Watu Gayam ini! Aku muak semua ini! Aku muak...!"
"Cukup!"
bentak Ki Jayakrama geram.
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Dipa Sentana. Laki-laki yang usianya
hampir berkepala lima itu langsung berdiri. Merah seluruh wajahnya. Kedua bola
matanya berapi-api menatap tajam orang tua yang selama ini membimbing dan
mendampinginya. Tamparan itu memang keras, dan sangat menyakitkan. Tapi yang
lebih sakit lagi adalah hatinya!
"Dipa,
ingatlah pesan mendiang ayahmu. Kau harus meneruskan cita-citanya! Bangunlah
desa ini agar menjadi lebih besar. Ubahlah menjadi sebuah kadipaten, bahkan
kalau bisa menjadi sebuah kerajaan, dan kau menjadi raja di sini. Itu semua
kulakukan untuk meneruskan cita-cita ayahmu, adik kandungku! Mengertikah kau,
Dipa Sentana?! Kau dengar itu...?!" agak keras suara Ki Jayakrama.
"Dengan
merebut kekuasaan orang lain?! Menghancurkan sebuah kadipaten yang sudah ada,
dan membangkitkannya kembali seperti dulu? Tidak, Ki! Kehancuran Kadipaten Watu
Gayam disebabkan oleh ayahku, dan saudara-saudaraku sendiri yang haus
kekuasaan. Mereka telah membantai semua orang yang menentang, dan membiarkan
orang-orang yang patuh pada kita. Tapi coba lihat! Apakah mereka bisa hidup
dengan layak!? Apakah mereka bahagia?" Dipa Sentana menggeleng-gelengkan
kepalanya beberapa kali. "Mereka sengsara, Ki! Tidak ubahnya hidup di atas
bara api neraka. Sayang, mereka tidak punya kekuatan untuk menentang!"
"Setan
mana yang masuk ke dalam dirimu, Dipa?" dengus Ki Jayakrama.
"Kesadaran,
Ki. Kesadaran yang terlambat, tapi ingin kuperbaiki!" tegas Dipa Sentana.
"Heh!
Percuma saja bicara banyak-banyak padamu, Dipa. Pengawal..!"
Empat
orang bersenjata golok di pinggang bergegas menghampiri, lalu membungkuk
memberi hormat.
"Masukkan
anak setan ini ke penjara!" perintah Ki Jayakrama.
Empat
orang itu terperangah mendengar perintah Ki Jayakrama. Sedangkan Dipa Sentana
hanya tersenyum sinis, dan tanpa berkata apa-apa lagi langsung melangkah pergi.
"Aku
akan masuk sendiri, biar kau puas!" lantang suara Dipa Sentana.
"Anak
setan!" gerutu Ki Jayakrama sambil mendengus.
Bergegas
laki-laki tua itu melangkah menyusul Dipa Sentana, diikuti empat orang yang
dipanggil tadi. Sementara Dipa Sentana terus berjalan menuju ke bangunan
penjara yang terletak di belakang rumah besar yang dulunya adalah sebuah
kadipaten.
Dipa
Sentana terus saja melangkah masuk ke dalam bangunan yang terbuat dari batu
kali ini tanpa menoleh sedikit pun. Dua orang penjaga tampak kebingungan, tapi
langsung membungkuk memberi hormat. Ki Jayakrama berdiri di depan pintu penjara
itu, dan menguncinya dengan rantai baja.
"Jangan
biarkan seorang pun menengoknya, kecuali aku!" pesan Ki Jayakrama.
"Baik,
Gusti"
"Lipat
gandakan penjagaan, jangan sampai lolos!"
Setelah
berkata demikian, Ki Jayakrama berbalik dan melangkah pergi. Kakinya selalu
menghentak, pertanda sedang diliputi kekesalan. Sementara delapan orang penjaga
hanya bisa bengong bertanya-tanya, mengapa pemimpin mereka dijebloskan ke dalam
tahanan?
***
Ki
Jayakrama semakin kewalahan menghadapi serbuan pengemis yang semakin hari
semakin bertambah banyak jumlahnya. Tidak sedikit penduduk yang mengadu. Para
pengemis itu ternyata semakin berani, bahkan tidak segan-segan merampas dan
berlaku kasar. Ki Jayakrama mencoba mengirim anak buahnya untuk mengusir para
pengemis itu. Tapi di luar dugaan, lima orang anak buahnya dalam keadaan babak
belur begitu mereka kembali. Mereka mengadu kalau pengemis-pengemis itu
memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
Laki-laki
tua yang memegang tongkat berbentuk ular cobra itu, jadi semakin kelabakan.
Dilipatgandakan penjagaan di sekitar rumah besar itu. Hal ini dilakukan karena
ada lima orang pengemis yang mencoba menembus penjagaan, tapi semuanya tewas di
tangan Ki Jayakrama. Laki-laki tua itu berpendapat kalau pengemis-pengemis
memang sengaja datang untuk meruntuhkan kekuasaannya di Desa Watu Gayam ini.
Siang
itu Ki Jayakrama tampak gelisah, berjalan mondar-mandir di beranda depan rumah
besar yang dijaga ketat. Dia seperti menunggu seseorang yang akan datang hari
ini. Sebentar-sebentar dilayangkan pandangannya ke arah pintu gerbang yang
tertutup rapat Ki Jayakrama bergegas turun dari beranda begitu pintu gerbang
terbuka.
Terlihat
tiga orang penunggang kuda menerobos masuk. Dua penjaga pintu gerbang, bergegas
menutup pintu itu kembali. Tiga penunggang kuda itu langsung berlompatan turun
dengan gerakan yang indah dan segera menghampiri Ki Jayakrama. Ki Jayakrama
tampak gembira menyambut mereka, dan segera mem-bawa masuk ke dalam rumah.
Mereka kemudian duduk menghadapi meja bundar dari batu pualam putih.
"Terima
kasih, kalian bersedia datang memenuhi undanganku," ucap Ki Jayakrama.
Wajahnya cerah berseri-seri.
"Kita
berempat sudah mengikat janji untuk saling membantu. Jangan kau sangsikan
kesediaan kami untuk membelamu, Jayakrama," jelas seorang yang
kelihatannya berusia sekitar lima puluh tahun. Di tangannya tergenggam tombak
panjang bermata tiga.
"Terima
kasih, Tombak Iblis," ucap Ki Jayakrama. "Dan kau juga, Pedang Setan,
Cakar Maut"
"Langsung
saja, Jayakrama. Apa kesulitanmu sehingga minta bantuan kami?" selak si
Pedang Setan.
"Hm...,
kalian tentu sudah menyaksikan di luar sana. Tempat ini bagaikan desa pengemis.
Di mana-mana hanya ada pengemis berkeliaran," jelas Ki Jayakrama membuka
permasalahannya.
"Hanya
karena pengemis kau meminta bantuan, Jayakrama...?" si Cakar Maut setengah
tidak percaya.
"Kalau
hanya pengemis biasa, tidak perlu meminta bantuan kalian."
"Teruskan,
Jayakrama," pinta si Tombak Iblis.
"Pengemis-pengemis
itu ada yang memimpin! Mereka adalah Partai Pengemis Tongkat Hitam."
"Tunggul...,"
desis si Tombak Iblis pelan.
Semua
mata memandang si Tombak Iblis. Namun yang dipandang hanya menghentak-hentakkan
tombaknya ke lantai.
"Berapa
tahun kau menguasai desa ini, Jayakrama?" si Tombak Iblis malah bertanya.
"Sekitar
dua puluh dua tahun," sahut Ki Jayakrama.
"Selama
itu rupanya kau sudah lupa karena bergelimang kesenangan. Kau rebut tempat ini
dari saudaramu sendiri, dan kau hancurkan mereka. Dan sekarang, kau bangun
kembali desa ini dengan akal licikmu memecah belah semua orang? Kau lupa,
Jayakrama! Ki Tunggul adalah pemimpin besar Partai Pengemis Tongkat
Hitam!" tenang namun tegas kata-kata si Tombak Iblis.
Ki
Jayakrama tersentak mendengar penjelasan itu. Dia seperti baru terbangun dari
mimpi panjang yang melenakannya. Sungguh tidak disadari kalau para pengemis itu
adalah anak buah Ki Tunggul, bekas adipati di Watu Gayam ini, yang juga adik
kandungnya sendiri. Kini baru disadari kalau para pengemis itu menghimpun
kekuatan dan ingin meruntuhkannya.
"Tapi
kau tidak perlu khawatir, Jayakrama. Besok orang-orangku yang berjumlah tiga
puluh orang datang ke sini. Meskipun selama ini kau telah melupakan sahabat,
tapi sebagai pribadi aku tidak akan berdiam diri begitu saja melihatmu dalam
kesulitan," kata si Pedang Setan.
"Maaf,
aku telah buta. Aku tidak lagi memandang kalian sebagai sahabat," sesal Ki
Jayakrama.
"Sudahlah,
lupakan semua itu. Yang penting sekarang apa keinginanmu?" celetuk si
Cakar Maut.
"Terima
kasih. Kalian memang sahabat sejati."
"Hm...,
sejak tadi aku tidak melihat murid tunggalmu, Jayakrama. Ke mana dia?"
selak si Tombak iblis tiba-tiba.
Ki
Jayakrama terdiam. Dipandangi satu persatu sahabatnya. Perlahan-lahan
diceritakannya tentang Dipa Sentana yang telah berubah, dan sekarang mendekam
dalam penjara. Semua itu terpaksa dilakukan, karena tidak ingin segala sesuatu
yang telah diperjuangkannya selama puluhan tahun berantakan. Tombak Iblis,
Pedang Setan, dan si Cakar Maut mendengarkan sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Ki
Jayakrama diam cukup lama setelah selesai menceritakan semuanya. Memang berat,
tapi harus dilakukan. Baginya kehilangan seorang murid tidak ada artinya, jika
dibanding dengan segala yang diinginkannya di Watu Gayam ini. Dan itu memang
disadari ketiga sahabatnya. Mereka juga tidak memberikan komentar apa-apa,
karena itu adalah urusan pribadi Ki Jayakrama sendiri terhadap muridnya. Mereka
tahu betul, siapa Ki Jayakrama itu. Dia tidak akan pernah memandang saudara,
murid, atau kerabat, untuk mencapai setiap keinginannya. Baginya penghalang
harus dilenyapkan untuk selama-lamanya.
"Boleh
aku melihatnya, Jayakrama?" pinta si Pedang Setan.
"Silakan.
Aku juga ingin minta pendapat kalian, hukuman apa yang pantas bagi murid
durhaka itu," sahut Ki Jayakrama, agak tertahan suaranya.
"Kau
yang menentukan, Jayakrama," sahut si Tombak Iblis.
"Mari,
kuantarkan menengoknya. Setelah itu aku akan memberi hukuman padanya di depan
kalian."
Mereka
bangkit berdiri dan berjalan ke luar. Ki Jayakrama berjalan paling depan. Tiga
sahabatnya mengikuti dari belakang setelah saling melempar pandangan.
Sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak pernah terucapkan. Saran apa
pun yang dikeluarkan, tidak akan pernah ditanggapi Ki Jayakrama, meskipun
laki-laki itu memintanya. Mereka ingin tahu, hukuman apa yang akan diberikan
kepada Dipa Sentana.
Mereka
terus berjalan tanpa banyak bicara. Dua orang prajurit penjaga pintu penjara
segera membungkukkan badan begitu Ki Jayakrama dan ketiga sahabatnya sampai di
depan pintu penjara. Ki Jayakrama memandang ketiga sahabatnya sebentar,
kemudian memberi isyarat pada penjaga untuk membuka pintu. Salah seorang
penjaga bergegas membuka lebar-lebar pintu yang terbuat dari baja itu. Ki
Jayakrama melangkah masuk diikuti ketiga sahabatnya. Seketika mereka tersentak
begitu berada di dalam ruangan tahanan yang tidak begitu besar itu.
"Setan!
Terkutuk kau, Dipa Sentana...!" umpat Ki Jayakrama berang.
Dengan
wajah merah padam, Ki Jayakrama bergegas ke luar. Ketiga sahabatnya mengikuti
sambil saling melempar pandang. Di dalam kamar tahanan itu tidak ada seorang
pun yang terlihat. Semuanya kosong, dan dinding bagian belakang jebol
berantakan. Ki Jayakrama memanggil semua anak buahnya. Dengan suara lantang
menggelegar, diperintahkan anak buahnya untuk mencari Dipa Sentana.
"Biar
aku yang mencarinya, Jayakrama." kata si Tombak Iblis.
Ki
Jayakrama memandang sahabatnya itu. "Perintahkan keputusanmu," desak
Tombak Iblis.
"Bunuh
anak keparat itu!" dengus Ki Jayakrama geram.
"Aku
akan membawa kepalanya padamu," janji si Tombak Iblis mantap.
"Aku
Juga akan mencarinya, Jayakrama,'' selak si Cakar Maut.
"Aku
tidak bisa mencegah. Tapi, hati-hatilah pada Partai Pengemis Tongkat Hitam. Aku
yakin, anak keparat itu bergabung bersama mereka."
Si
Tongkat Iblis dan si Cakar Maut bergegas melangkah menghamptri kudanya,
kemudian melompat naik dan menggebah cepat kudanya. Sedangkan Ki Jayakrama itu
bergegas kembali ke dalam rumah besar itu. Si Pedang Setan mengikutinya. Dia
tidak ikut mencari Dipa Sentana, karena harus menunggu anak buahnya dulu.
***
TUJUH
Sementara
itu jauh di tengah hutan sebelah Barat Desa Watu Gayam, Rangga tengah berjalan
bersama Puspa Ningrum dan Gota. Di belakang, ada dua orang berpakaian
compang-camping. Arah yang dituju, jelas Desa Watu Gayam. Mendadak langkah
mereka terhenti. Tampak dari kejauhan, terdengar suara orang tengah bertarung.
Pekik melengking bercampur menjadi satu bersama denting senjata.
"Hup!"
Rangga
langsung melompat cepat bagai kilat. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah tidak
terlihat lagi. Gota segera menggamit tangan Puspa Ningrum, dan mengajaknya
berlari ke arah suara pertempuran itu.
Sementara
Rangga sudah lebih dahulu sampai di tempat pertempuran itu. Agak terkejut juga
dia ketika melihat dua orang bertempur sengit menggunakan senjata. Yang seorang
memegang pedang panjang berkilat, sedangkan seorang lagi menggunakan tombak
panjang bermata tiga.
"Hm...,"
Rangga bergumam pelan. Dia hanya berdiri memperhatikan, karena sama sekali
tidak mengenali kedua orang itu. Saat Pendekar Rajawali Sakti itu tengah
berpikir, muncul Gota dan Puspa Ningrum, yang langsung menghampiri Rangga.
"Kakang..."
Puspa Ningrum mendesah begitu mengenali orang yang memegang pedang.
"Dipa
Sentana..." Gota juga mendesis tertahan.
Gota
dan Puspa Ningrum saling berpandangan. Pertentangan batin terjadi di antara
mereka berdua. Gota sangat membenci Dipa Sentana, meskipun sejak semula tahu
kalau laki-laki itu adalah ayahnya yang telah membuangnya sejak masih bayi.
Sedangkan lain lagi yang dirasakan Puspa Ningrum. Dia masih belum percaya penuh
terhadap perbuatan buruk Dipa Sentana pada ayah dan ibunya. Gadis itu masih
diliputi kebimbangan. Selama ini yang diketahuinya bahwa Dipa Sentana adalah
kakaknya, meskipun hatinya membantah karena perbedaan usia yang begitu
menyolok.
"Aku
akan membunuhnya, Puspa." kata Gota, agak tersendat suaranya.
Puspa
Ningrum hanya diam saja, karena tidak tahu harus berkata apa lagi. Saat ini
batinnya juga sedang berperang. Sementara itu pertarungan masih terus
berlangsung, dan jelas terlihat kalau Dipa Sentana terdesak. Gota yang akan
terjun ke dalam pertarungan itu, cepat-cepat dicegah Rangga.
"Siapa
pun lawannya, aku tidak peduli! Dia harus mati di tanganku!" sentak Gota
menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Bukan
satria jika mengeroyok orang yang terdesak," kata Rangga memperingatkan.
"Dia
juga bukan satria! Dia Iblis!"
Pada
saat itu, tanpa diduga sama sekali, Puspa Ningrum melompat sambil berteriak
keras. Rangga dan Gota tersentak kaget. Gadis itu telah meloloskan sabuk
peraknya, dan dikebutkan kuat-kuat. Sabuk yang langsung menegang itu,
dikibaskan ke arah leher orang yang bertarung melawan Dipa Sentana.
"Puspa
Ningrum...!" sentak Dipa Sentana terkejut.
"Uts!"
Orang yang menggunakan tombak bermata tiga, langsung mengegoskan kepalanya, dan
buru-buru melompat mundur. Dia mengumpat habis-habisan, tapi Puspa Ningrum
terus mencecar tanpa memberi kesempatan orang itu memberikan perlawanan.
Sementara Dipa Sentana terpaku sesaat kemudian melompat hendak membantu Puspa
Ningrum. Namun pada saat itu, Gota melompat menghadangnya.
"Gota...,"
desis Dipa Sentana kembali terkejut.
"Lama
aku menunggu kesempatan ini, Dipa!" dingin nada suara Gota.
"Gota,
aku tahu kau membenciku. Tapi ingatlah, aku ayahmu."
"Ayah...?!
Iblis! Tidak pantas rasanya mengaku ayah padaku! Kau sudah membuangku. Kau
bukan manusia, Dipa! Kau iblis...!"
"Kuakui
kesalahanku, Gota. Sekarang aku tidak akan melawan seandainya kau membunuhku.
Hukuman apa pun akan kuterima jika ingin kau limpahkan padaku. Lakukan,
Gota," Dipa Sentana membuang pedangnya.
"Setan!
Ambil pedangmu, keparat'" geram Gota.
"Kau
tidak akan bisa membunuhku, Gota. Lakukan, dan aku tidak akan melawan. Aku rela
mati di tanganmu, Gota. Bunuhlah aku!" tegas kata-kata Dipa Sentana.
Gota
mengangkat tongkatnya yang berwarna hitam pekat. Satu ujungnya yang runcing,
diarahkan ke dada Dipa Sentana. Namun belum sempat ujung tongkatnya ditusukkan,
mendadak terdengar suara pekikan keras. Dipa dan Gota langsung menoleh, dan
kontan terkejut melihat Puspa Ningrum terjajar memegangi dadanya. Dari sudut
bibir gadis itu merembes darah kental.
"Puspa…!”
"Puspa
Ningrum ..!"
"Ha
ha ha...! Bagus! Rupanya kalian sudah kumpul semua! Bagus...! Sekarang bisa
kubawa kepala kalian pada Jayakrama!"
Gota
berlari menghampiri Puspa Ningrum yang tengah berusaha bangkit berdiri, lalu
membantu gadis itu berdiri. Puspa Ningrum berdahak, dan memuntahkan kembali
darah kental dari mulutnya. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang
mengotori bibir.
"Kau
tidak apa-apa, Puspa?" ada nada kecemasan pada suara Gota.
"Uh,
dadaku...." keluh Puspa Ningrum tersendat.
"Duduklah
dulu."
Gota
dan Puspa Ningrum menoleh. Entah kapan datangnya, tahu-tahu Rangga sudah berada
di belakang mereka. Pendekar Rajawali Sakti itu menuntun Puspa Ningrum, dan
membawanya ke bawah pohon. Dimintanya gadis itu untuk duduk bersila. Puspa
Ningrum tidak membantah, lalu duduk bersila. Kedua telapak tangannya menempel
di lutut.
Rangga
kemudian duduk bersila di depan Puspa Ningrum. Sebentar dipejamkan matanya,
lalu dipusatkan hawa murni pada telapak tangannya. Kemudian pelahan-lahan
ditempelkan telapak tangannya di dada gadis itu. Puspa Ningrum agak tersentak.
Namun begitu merasakan hawa panas mengalir melalui dadanya, dia terdiam dengan
mata terpejam.
"Hoek…!"
Puspa Ningrum memuntahkan darah kental berwarna merah kekuning-kuningan. Sesaat
kemudian, tubuhnya mengejang, lalu roboh lunglai. Gota langsung memburu, tapi
buru-buru dicegah Rangga. Pemuda pengemis itu hanya bisa memperhatikan di samping
gadis itu. Sedangkan Rangga menggerakkan jari-jari tangannya di beberapa bagian
tubuh Puspa Ningrum.
"Hih!"
"Akh!"
Puspa Ningrum terpekik tertahan.
Satu
hentakan tangan Rangga menggoncangkan dada gadis itu. Namun Puspa Ningrum hanya
merintih lirih, lalu bangkit duduk bersila kembali. Sementara Rangga menarik
napas panjang. Dia bangkit berdiri dan membiarkan gadis itu bersemadi.
"Bagaimana
dia?" tanya Gota tidak dapat menyembunyikan kecemasannya.
"Tidak
apa-apa, untung belum terlambat." sahut Rangga sedikit mendesah.
"Terkena
racun?" tebak Gota.
"Betul.
Tapi sekarang tidak lagi. Puspa Ningrum butuh beberapa saat untuk bersemadi.
Pasti akan pulih kembali "
"Oh,
syukurlah..." desah Gota lega. Gota mengalihkan perhatiannya pada Dipa
Sentana dan laki-laki setengah baya bersenjata tombak panjang bermata tiga.
Kedua orang itu sudah terlibat kembali dalam pertarungan. Sementara Puspa
Ningrum masih tetap bersemadi memulihkan tenaga dan mengeluarkan sisa-sisa
racun yang mengendap di dalam tubuhnya.
***
"Modar!
Hiyaaa...!"
"Akh!"
Sambil
menjerit keras, Dipa Sentana terpental deras ke belakang setelah satu pukulan
telak bertenaga dalam penuh mendarat di dadanya. Laki-laki bersenjata tombak
mata tiga langsung melompat mengejar sambil menghunjamkan ujung senjatanya ke
arah dada Dipa Sentana. Pada saat yang tepat, Rangga sudah melompat cepat, lalu
menyentil ujung tombak itu.
"Ikh!”
Si Tombak Iblis tersentak kaget. Buru-buru dia menarik pulang senjatanya, dan
dilentingkan tubuhnya dua kali ke belakang. Manis sekali sepasang kakinya
mendarat di tanah.
Sedangkan
Rangga telah berdiri tegak membelakangi Dipa Sentana yang tengah berusaha
bangkit, namun jatuh kembali sambil memuntahkan darah kental yang berwarna
merah ke kuning-kuningan
"Jangan
bergerak! Pusatkan hawa murni ke jantung dan seluruh aliran darah,” kata Rangga
tanpa menoleh. Dia tahu kalau si Tombak Iblis mendaratkan pukulan beracun yang
sangat mematikan.
Dipa
Sentana segera memusatkan hawa murninya, tapi malah memuntahkan darah kembali.
Tubuhnya kini tergeletak dan napasnya terengah-engah.
"Gota,
salurkan hawa murni melalui punggungnya!" seru Rangga.
Gota
terlihat ragu-ragu. Kebencian dan rasa dendam pada Dipa Sentana menyayat
dadanya. Tapi melihat laki-laki yang telah membuang dan menyia-nyiakannya dalam
keadaan kritis, hatinya tidak tega juga. Dengan perasaan masih belum menentu,
dihampirinya juga. Gota membantu Dipa Sentana duduk bersila, kemudian ia sendiri
duduk bersila di belakang laki-laki yang sebenarnya ayahnya itu. Dengan kedua
telapak tangan menempel pada punggung Dipa Sentana, Gota menyalurkan hawa murni
untuk mencegah menjalarnya racun ke seluruh tubuh laki-laki setengah baya itu.
"Tutup
jalan darahnya, Gota," perintah Rangga seraya menggeser kakinya ke depan
beberapa langkah.
"Hup...!"
Gota bergegas menutup beberapa jalan darah yang belum dimasuki racun.
Sementara
Rangga kembali melangkah ke depan mendekati si Tombak Iblis. Tatapan matanya
tajam menusuk, dan bibirnya terkatup rapat. Sedangkan si Tombak Iblis sudah
bersiap-siap hendak menyerang kembali.
"Setan
keparat! Aku tak peduli siapa dirimu! Yang jelas, kau harus mampus di tanganku!
Hiyaaat..!"
Si
Tombak Iblis melompat menerjang sambil menggeram marah. Senjatanya yang bermata
tiga, dikebutkan dan ditusukkan dengan kecepatan tinggi. Pendekar Rajawali
Sakti berlompatan meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan beruntun itu.
Dikerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang selalu digunakan pada awal-awal
pertarungannya. Dengan jurus itu Rangga dapat mengukur tingkat kepandaian
lawan.
Si
Tombak Iblis sudah mengeluarkan lima Jurus, tapi belum juga dapat menyentuh
tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan itu sudah dirasakan cukup oleh Rangga untuk
mengetahui tingkat kepandaian lawannya. Maka langsung dirubah jurusnya menjadi
Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali’.
"Awas
kepala!" teriak Rangga tiba-tiba.
"Uts!"
Si Tombak Iblis langsung merunduk begitu satu pukulan keras dan tiba-tiba,
melayang ke arah kepalanya. Tapi tanpa diduga sama sekali, satu tendangan
melayang mengarah ke pinggang. Si Tombak Iblis merungut kesal. Buru-buru
ditarik mundur tubuhnya. Dan pada saat itu, Rangga mengibaskan tangan kiri ke
arah dada.
"Hap!"
Si Tombak Iblis menangkis menggunakan tombaknya. Betapa terperangahnya dia,
karena dengan cepat sekali Rangga memutar tangannya dan langsung menyodok
bagian atas perut. Si Tombak Iblis jadi terbeliak mendapat serangan yang begitu
cepat dan beruntun. Buru-buru dia melompat mundur beberapa langkah. Namun pada
saat itu Gota melompat cepat sambil mengibaskan tongkatnya ke arah punggung.
"Akh!"
si Tombak Iblis memekik tertahan. Tubuhnya langsung terhuyung ke depan.
Pada
saat yang sama, Rangga yang sudah melompat mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa', menjadi terkejut dan tak mungkin lagi menarik pulang
serangannya. Maka satu tendangan keras mendarat di kepala si Tombak Iblis.
"Aaa...!"
si Tombak Iblis meraung keras sambil memegangi kepalanya. Darah merembes keluar
dari sela-sela jarinya. Selagi si Tombak Iblis meraung sambil terhuyung, Gota
kembali melancarkan pukulan dibarengi tendangan. Segera diakhirinya pertarungan
itu dengan satu tusukan tepat ke jantung si Tombak Iblis.
"Aaa...!"
sekali lagi si Tombak Iblis menjerit melengking tinggi.
"Hih"
Bersamaan dengan Gota menarik keluar tongkatnya, tubuh si Tombak iblis
terjungkal jatuh. Seketika itu juga nyawanya melayang dari badan. Darah
mengucur dari kepala yang retak dan dada berlubang dalam sampai tembus ke
punggung. Gota memandangi mayat yang membujur bersimbah darah itu. Tidak jauh
di seberangnya berdiri Pendekar Rajawali Sakti.
Agak
lama juga Rangga bersama Gota menunggu Puspa Ningrum dan Dipa Sentana selesai
bersemadi. Sedangkan dua orang pengemis yang menyertai mereka, sudah menyiapkan
ranting kering untuk api unggun. Saat ini senja memang sudah mulai merayap
turun. Langit mulai remang-remang bersimbah cahaya merah jingga. Mayat si
Tombak Iblis masih menggeletak membujur. Darah di sekujur tubuhnya mulai
mengering.
"Tunggu...!"
cegah Rangga ketika Gota akan bangkit begitu melihat Dipa Sentana sudah selesai
bersemadi.
Gota
duduk kembali, namun pandangannya tetap tajam tertuju pada laki-laki setengah
baya itu. Sementara Dipa Sentana menggerak-gerakkan tangannya, menyempurnakan
keadaan tubuhnya. Dia langsung menatap Gota, lalu bangkit berdiri. Dengan
langkah tegap, Dipa Sentana menghampiri pemuda pengemis itu.
"Sebaiknya
kau cepat pergi sebelum pikiranku berubah," ujar Gota ketus.
"Kau
telah menyelamatkan nyawaku, Gota. Aku harus membalas budimu." ucap Dipa
Sentana lembut.
"Aku
tidak mengharapkan imbalan darimu!" ketus jawaban Gota.
"Mungkin
kau tidak membutuhkan. Tapi, teman-temanmu semua memerlukan, Gota. Aku tahu,
kau kini bergabung dengan Partai Pengemis Tongkat Hitam yang sekarang semuanya
berada di Watu Gayam. Aku tahu maksudnya, tapi itu akan sia-sia saja. Meskipun
kalian berjumlah seribu orang, tidak akan mampu mengalahkan Ki Jayakrama dan
teman-temannya." kata Dipa Sentana, tetap tenang suaranya.
"Satu
orang sudah mampus!" dengus Gota seraya melirik mayat si Tombak Iblis.
Dipa
Sentana terdiam. Memang baru satu orang, tapi yang lainnya masih banyak. Dipa
Sentana menatap Gota, kemudian berpaling memandang Rangga yang ada di sebelah
pemuda pengemis itu. Pandangan Dipa Sentana kembali beralih ke arah Puspa
Ningrum yang sudah bangun dari semadinya. Gadis itu berdiri dan melangkah menghampiri,
lalu berhenti di antara Gota dan Dipa Sentana.
"Malapetaka
besar akan menimpa Watu Gayam,” desah Dipa Sentana setengah bergumam.
"Ya,
seperti yang kau lakukan terhadap ayahnya Puspa Ningrum!" dengus Gota.
Dipa
Sentana mendesah panjang, seakan-akan ingin melonggarkan dadanya yang mendadak
saja jadi sesak. Sebentar ditatapnya Puspa Ningrum, kemudian pelahan-lahan
kepalanya tertunduk. Saat itu Gota bangkit berdiri diikuti Rangga. Sejak tadi
Pendekar Rajawali Sakti itu hanya diam saja. Dia sendiri tidak tahu harus
berbuat apa. Terlalu tipis jenjang pemisah antara yang benar dan salah.
"Bertahun-tahun
kau selalu meracuni gadis tidak berdosa itu. Kau menjejalinya dengan
cerita-cerita palsu... Dipa, meski pun aku lahir karena perbuatanmu, tapi jangan
harap kau kuanggap ayahku. Aku sudah lama menganggap ayahku mati. Sekarang
ceritakan pada Puspa Ningrum yang sebenarnya kalau kau ingin menebus semua
kesalahanmu!" mantap suara Gota.
"Kakang...,"
agak bergetar suara Puspa Ningrum.
"Dia
bukan kakakmu, Puspa!" sentak Gota sengit.
"Kakang,
benarkah itu?" Puspa Ningrum meminta kepastian.
Dipa
Sentana menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Ditatapnya
dalam-dalam gadis cantik yang tengah diliputi kebimbangan. Pelahan kepalanya
terangguk lemah.
"Oh...!"
Puspa Ningrum menutup bibirnya. Sepasang bola mata yang indah membeliak lebar
menatap tidak percaya pada Dipa Sentana. Pelahan-lahan dia melangkah mundur dua
tindak. Tubuhnya agak bergetar bagai terserang demam. Sementara Dipa Sentana hanya
bisa menatap dengan sinar mata penuh rasa penyesalan. Sudah bisa diduga hal ini
pasti terjadi, tapi perikiraannya tidak akan seburuk ini. Dipa Sentana
melangkah hendak mendekati gadis itu.
"Jangan
dekat!" sentak Puspa Ningrum tiba-tiba
"Puspa....
maafkan aku. Aku..." tersendat suara Dipa Sentana.
"Penipu!
Pembohong…! Kau yang selama ini kuhormati, ternyata tidak lebih dari seorang
bajingan!
"Pengecut..!"
pekik Puspa Ningrum, berlinang air matanya.
"Maafkan
aku, Puspa...," ucap Dipa Sentana penuh penyesalan.
"Pergi
kau! Pergiii...!" jerit Puspa Ningrum histeris. Puspa Ningrum menangis
sesenggukan.
Rangga
menghampiri dan merengkuh gadis iItu ke dalam pelukannya. Pendekar Rajawali
Sakti itu membiarkan Puspa Ningrum menangis di dalam pelukannya. Sementara Gota
tampak bergetar menahan marah. Sedangkan Dipa Sentana tertunduk diam penuh
penyesalan.
"Bajingan
kau, Dipa...!" geram Gota memuncak amarahnya "Hiyaaat..!"
"Gota...!"
sentak Rangga terkejut. Tapi Gota tidak bisa lagi membendung amarah dan
dendamnya. Dia sudah melompat dan mengirimkan beberapa pukulan beruntun. Dipa
Sentana yang sedang dihinggapi rasa penyesalan, tidak melawan sedikit pun.
Dibiarkan saja tubuhnya menjadi sasaran empuk pukulan dan tendangan pemuda
pengemis yang lahir dari darah dagingnya sendiri. Pemuda yang sewaktu bayi
dibuang karena tidak ingin menimbulkan malapetaka.
"Gota,
hentikan...!" teriak Puspa Ningrum langsung melepaskan diri dari pelukan
Rangga.
"Biar
kubunuh dia! Manusia keparat! Setan...!”
Gota
seperti kemasukan setan saja. Dia mengamuk dan menghajar Dipa Sentana dengan
pukulan-pukulan dan tendangan yang keras. Namun tidak sedikit pun Dipa Sentana
melawan. Dia diam saja, jatuh bangun kena amukan pemuda pengemis itu. Darah
sudah mengucur dari sudut bibirnya. Tubuhnya babak belur, biru lebam.
"Gota,
hentikan!" bentak Rangga langsung melompat, dan mencekal tangan pemuda
itu.
"Lepaskan!
Biar kubunuh dia…!" jerit Gota berusaha memberontak.
Tapi
Rangga mencekalnya kuat-kuat. Sementara Puspa Ningrum jadi termangu. Sebentar
ditatapnya Dipa Sentana yang menggeletak mengerang lirih, sebentar kemudian
beralih ke arah Gota yang tengah memberontak mencoba melepaskan diri.
"Kendalikan
amarahmu, Gota. Tidak ada gunanya mengumbar amarah..." kata Rangga mencoba
menyadarkan pemuda pengemis itu.
"Oh...!"
Gota mengeluh.
Tubuhnya
bergetar menggigil, dan jatuh berlutut. Dia menangis sesenggukan seperti anak
kecil. Rangga melepaskan cekalannya pada tangan pemuda itu. Dibiarkan saja Gota
yang menangis memukuli tanah berumput. Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri
Dipa Sentana, dan memeriksa luka-lukanya.
"Kenapa
kau mencegahnya? Aku rela mati di tangannya. Hanya itu jalan satu-satunya untuk
menebus semua dosa-dosaku padanya. Aku memang pantas mati... Aku bukan ayah
yang baik. Aku telah membuangnya hanya untuk kekuasaan. Aku berdosa…"
rintih Dipa Sentana lirih.
Puspa
Ningrum menghampiri dan berlutut di samping Rangga. Dipa Sentana memandang
gadis itu. Ada setitik air bening menggulir dari sudut matanya.
"Maafkan
aku, Puspa...," lirih suara Dipa Sentana.
"Kakang...,"
ujar Puspa Ningrum di sela isaknya.
"Tidak
pantas aku menerima air matamu, Puspa. Aku telah membunuh ayahmu, memperkosa
ibumu. Meruntuhkan kejayaan orang tuamu. Kaulah satu-satunya ahli waris Watu
Gayam. Aku bukan kakakmu. Aku hanya seorang pembunuh yang haus kekuasaan.
Maafkan aku, Puspa...." semakin lirih suara Dipa Sentana.
Puspa
Ningrum tidak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya menangis, tidak tahu apa yang
harus dilakukan. Pengakuan Dipa Sentana memang menghancurkan hatinya, tapi juga
membahagiakannya. Entah apa lagi yang ada dalam hatinya saat ini. Hanya air
mata yang bisa ditumpahkan untuk mengeluarkan perasaannya.
Tangan
Dipa Sentana bergetar menggapai menjulur. Diusapnya air mata yang berlinang
membasahi pipi Puspa Ningrum. Bibirnya yang berlumuran darah, bergetar
memberikan senyuman. Sesaat kemudian, tubuhnya mengejang, lalu jatuh lunglai.
"Oh!
Tidak..!" jerit Puspa Ningrum tersentak.
Rangga
cepat-cepat merengkuh bahu gadis itu, dan memeluknya erat-erat. Puspa Ningrum
semakin keras tangisnya. Sementara Dipa Sentana sudah terbujur mati, dengan
bibir mengulas senyum. Rangga membawa Puspa Ningrum bangkit dan melangkah
menjauh. Sempat diliriknya Gota yang menatap terpaku pada tubuh Dipa Sentana.
"Ayah...,"
bergetar dan pelan sekali suara Gota.
"Ayaaah...!"
Tiba-tiba
saja Gota melompat dan menubruk tubuh Dipa Sentana yang membujur kaku. Gota
terus histeris sambil memeluk memanggil-manggil ayahnya. Sementara Rangga yang
menyaksikan itu menjadi serba salah. Dia harus menenangkan Puspa Ningrum, tapi
sekarang Gota malah histeris memeluk dan mengguncang-guncang tubuh Dipa
Sentana.
"Oh,
tidak...! Tidak.... Ayah, kau tidak boleh mati. Kau harus hidup...! Kau
ayahku!" rintih Gota seraya meng-guncang-guncang tubuh yang tak bernyawa
lagi itu.
Mendadak,
Gota terdiam. Dipandanginya wajah Dipa Sentana yang berada di dalam pelukannya.
Pelahan-lahan diturunkan tubuh ayah kandungnya itu, kemudian bangkit berdiri.
Tatapan matanya tetap tertuju pada tubuh Dipa Sentana yang membujur tidak
bergerak lagi.
"Aku
tidak membunuhmu, Ayah. Mereka yang menyebabkan semua ini!" dengus Gota
dingin. "Jayakrama.... Kau harus membayar mahal nyawa ayahku. Kau harus
mampus Jayakrama keparat..!"
Suara
Gota terdengar keras menggelegar. Tanpa disadari teriakannya disertai
pengerahan tenaga dalam, sehingga suaranya bagaikan mengguncangkan bumi, dan
menggugurkan daun-daun.
"Kubunuh
kau, Jayakrama...!"
***
DELAPAN
Lima
ekor kuda berpacu cepat membelah fajar yang baru saja menyingsing. Sinar
matahari membias di cakrawala Timur. Kabut masih menyelimuti permukaan Desa
Watu Gayam. Lima ekor kuda itu terus berpacu meninggalkan debu yang mengepul di
udara. Beberapa orang yang kebetulan berada di jalan itu bergegas menyingkir,
karena takut terlanda kuda yang dipacu bagai kesetanan.
Lima
ekor kuda itu berhenti tepat di depan sebuah pintu gerbang yang tertutup rapat
Tembok benteng yang tinggi dan kokoh menghalangi mereka. Lima penung-gang kuda
itu berlompatan turun. Mereka adalah Rangga, Gota, Puspa Ningrum, dan dua orang
lelaki ber-tongkat hitam yang masih muda dengan baju compang-camping. Semuanya
berdiri tegak di depan pintu gerbang itu.
"Jayakrama!
Keluar kau...!" teriak Gota lantang.
Teriakan
yang disertai penyaluran tenaga dalam itu menggema, membuat burung-burung yang
tengah ber-kicau langsung terdiam. Sepertinya gema suara itu dipantulkan oleh
bukit yang mengelilingi desa ini. Namun suasana tetap sepi, tidak ada sahutan
dari dalam benteng itu.
Rupanya
teriakan Gota yang begitu keras, mengejutkan semua orang. Tampak dari berbagai
arah, bermunculan orang berpakaian compang-camping. Tampak di antara mereka ada
Ki Tunggul, pemimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam. Laki-laki tua bertongkat
hitam itu menghampiri Gota.
"Mereka
masih di dalam. Sejak kemarin tempat ini kuawasi terus." kata Ki Tunggul
memberitahu.
"Awas...!"
tiba-tiba Rangga berseru keras.
Pada
saat itu, dari atas tembok benteng yang tinggi bermunculan beberapa kepala. Dan
hampir bersamaan pula, meluruk puluhan anak panah bagai hujan. Rangga dengan
sigap merampas tongkat salah seorang pengemis yang berada di dekatnya. Disertai
gerakan cepat, diputarnya tongkat itu bagai baling-baling. Sementara para
pengemis yang berkumpul, langsung berlompatan menghindar. Beberapa di antaranya
tidak sempat menghindari hujan anak panah itu.
Jerit
melengking terdengar saling sahut. Hujan anak panah itu terus berdatangan tanpa
henti. Rangga memerintahkan untuk menjauhi benteng ini. Tongkat rampasannya
terus berputar melindungi orang-orang yang berada di dekatnya. Dia sendiri
bergerak mundur, dan baru berhenti setelah berada dalam jarak yang cukup jauh
dari jangkauan anak panah.
"Keparat!
Pengecut..!" geram Gota sengit.
Rangga
mengembalikan tongkat itu pada pemiliknya. Dipandanginya pintu benteng yang
masih tertutup rapat dan kokoh. Terdengar suara gumaman pelan, kemudian
pelahan-lahan tangannya bergerak ke atas, meraih tangkai pedangnya.
"Apa
yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Puspa Ningrum sebelum Rangga
mencabut pedangnya.
"Aku
harus menjebol pintu itu," sahut Rangga tanpa berpaling.
"Jangan
nekad, Kakang. Anak panah akan menghujanimu!" sentak Puspa Ningrum.
"Tidak
ada jalan lain. Bersiap-siaplah," kata Rangga mantap.
Sret!
Cring...!
Cahaya
biru berkilau langsung menyeruak begitu pedang Rajawali Sakti keluar dari
warangkanya. Semua orang yang melihat, membeliak lebar. Belum pernah disaksikan
pamor pedang yang begitu dahsyat. Mata mereka menjadi silau melihat cahaya biru
yang memancar dari pedang itu.
Rangga
melintangkan pedangnya di depan dada. Kemudian diangkatnya tinggi-tinggi sampai
di atas kepala. Dengan kaki terpentang lebar dan agak tertekuk, ditarik
pedangnya menyamping. Tangkai pedang digenggam erat dengan kedua tangannya.
Sesaat kemudian...
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat cepat bagaikan
kilat. Pada saat yang sama, puluhan anak panah menghujaninya. Namun Rangga
mengibaskan cepat pedangnya menghalau anak panah itu. Dan begitu jaraknya
tinggal beberapa langkah lagi di depan pintu, dia melompat cepat sambil
berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaa..!"
Glarrr...!
Begitu
pedang Rajawali Sakti menghantam pintu yang terbuat dari kayu jari tebal,
terdengar ledakan dahsyat. Seketika, pintu itu hancur berkeping-keping. Tubuh
Pendekar Rajawali Sakti langsung menerobos masuk.
"Seraaang...!"
teriak Gota memberi komando.
Tanpa
menunggu perintah dua kali, puluhan pengemis berlarian sambil berteriak
menyerukan pekik peperangan. Tampak cahaya biru berkilatan di atas tembok
benteng. Terdengar suara-suara jeritan melengking tinggi. Beberapa tubuh
terjungkal bersimbah darah jatuh dari atas tembok benteng itu. Puluhan pengemis
yang dikomando Gota, menyerbu masuk melalui pintu gerbang yang sudah hancur
berantakan.
Pertempuran
tidak dapat dihindari lagi. Jerit kematian dan pekik pertempuran bercampur-baur
dengan denting senjata beradu. Tubuh-tubuh bersimbah darah bergelimpangan.
Sementara Puspa Ningrum dan Gota mengamuk bagai sepasang harimau. Senjata
mereka berkelebatan cepat meminta nyawa dari orang-orang yang mendekatinya.
Tidak terhitung lagi nyawa yang melayang tersambar senjata mereka.
"Ha...
ha.. ha...! Hayo keluar semua, anjing-anjing keparat! Biar kurobek perut
kalian! Ha ha ha...!" di tempat lain, terlihat Ki Tunggul bertarung sambil
tertawa-tawa.
Meskipun
sudah berusia lanjut, namun Pemimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam itu masih
gesit. Gerakan tubuhnya cepat luar biasa. Setiap kebutan dan tusukan tongkat
hitamnya selalu meminta nyawa lawan.
Sementara
itu Rangga melompat mendekati Puspa Ningrum yang mengamuk dahsyat bagai singa
betina kehilangan anaknya. Rangga hanya sesekali saja mengibaskan pedangnya.
Diikutinya setiap gerak langkah kaki gadis itu. Merasa tidak ada gunanya
menggunakan pedang, Pendekar Rajawali Sakti itu memasukkan senjata pusaka itu
ke dalam warangkanya di balik punggung.
"Kau
tidak mengatakan jumlah mereka begini banyak, Puspa Ningrum," kata Rangga
sambil melayangkan tangan pada salah seorang yang mencoba menyerangnya.
Orang
itu kontan terjungkal muntah darah, dan tidak bangun-bangun lagi. Rangga terus
mengikuti setiap gerak gadis di depannya. Satu dua orang yang mencoba
menyerang, harus melepaskan nyawanya.
"Aku
tidak tahu, kemarin jumlah mereka tiga puluh orang," sahut Puspa Ningrum
sambil tidak henti-hentinya mengebutkan sabuk peraknya.
"Ini
bukan tiga puluh orang, tapi seratus!" dengus Rangga.
"Mereka
anak buahnya si Cakar Maut!" tiba-tiba Ki Tunggul menyahuti.
Rangga
melirik pada laki-laki tua itu yang jaraknya cukup jauh juga. Pendekar Rajawali
Sakti itu kagum juga pada kehebatan Ki Tunggul yang bisa mendengar meskipun
sibuk mengatasi lawan-lawannya.
"Aku
tak melihat Jayakrama, Puspa?" tanya Rangga.
"Mungkin
ada di ruangan depan," sahut Puspa Ningrum.
"Hup!"
Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Rangga melompat melewati beberapa kepala. Dua kali
berputaran di udara, kemudian dengan manis tubuhnya malesat, dan mendarat di
tangga depan. Namun pada saat itu enam orang keluar dari dalam, dan langsung
menyerang.
"Uts!
Hiyaaa...!"
Rangga
tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung dikeluarkan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak cepat. Kedua tangannya bergerak
bagai kilat menghajar enam orang yang tiba-tiba menyerangnya. Mereka memang
bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam waktu singkat sudah
menggeletak tak bernyawa lagi.
"Hup!"
Rangga
langsung melompat ke beranda. Dan begitu kakinya menjejak beranda, melesat
seorang laki-laki sambil memegang pedang terhunus. Tanpa berkata-kata lagi,
diserangnya Rangga dengan ganas. Pendekar Rajawali Sakti yang memang sudah
siap, tidak mengalami kesulitan untuk berkelit menghindari serangan orang itu.
"Hati-hati,
Anak Muda! Dia si Pedang Setan…! Pedangnya bisa mengeluarkan uap beracun!"
tiba-tiba Ki Tunggul memperingatkan.
"Terima
kasih, Ki!" seru Rangga semakin kagum pada laki-laki tua itu.
Bagaimana
tidak? Dalam keadaan bertarung pun masih sempat memperhatikan ke arah lain, dan
memberi peringatan. Hal itu sudah menandakan kalau tingkat kepandaian Ki
Tunggul tinggi sekali. Sementara Rangga bukannya meremehkan, tapi memang kebal
terhadap segala jenis racun apa pun di dunia ini.
Peringatan
Ki Tunggul memang benar. Pedang di tangan si Pedang Setan mulai mengeluarkan
asap tipis berwarna hitam kebiru-biruan. Namun Rangga sama sekali tidak
terpengaruh, bahkan tetap lincah dan mampu melayani si Pedang Setan meski pun
tidak menggunakan senjata.
"Gila!
Seharusnya dia mampus oleh uap beracunku!" dengus si Pedang Setan
menggerutu dalam hati.
Menghadapi
lawan yang ternyata kebal terhadap uap beracunnya, si Pedang Setan mulai tidak
percaya diri. Serangan-serangannya jadi tidak terarah dan sering melakukan
kesalahan. Akibatnya memang cukup fatal bagi dirinya sendiri. Sudah tidak
terhitung lagi, berapa tendangan dan pukulan bersarang di tubuhnya.
Si
Pedang Setan semakin kewalahan. Dia terus terdesak dan tidak mampu lagi
membalas serangan-serangan Pendekar Rajawali Sakti. Hingga pada satu saat, satu
tendangan keras tidak dapat dielakkan lagi. Tendangan bertenaga dalam cukup
sempuma itu mendarat di dadanya.
"Akh...!"
si Pedang Setan memekik keras.
Tubuhnya
terlontar jauh, hingga keluar dari beranda. Pada saat itu, Puspa Ningrum
melompat ke arahnya sambil mengebutkan sabuknya hingga menjadi kaku. Sambil
berteriak keras, gadis itu mengibaskan senjatanya ke leher si Pedang Setan.
"Aaa...!"
si Pedang Setan menjerit melengking tinggi.
Lehernya
hampir putus terpenggal senjata Puspa Ningrum. Tubuhnya ambruk, dan darah
memuncrat deras dari lehernya. Hanya sebentar si Pedang Setan mampu bergerak,
kemudian diam tidak berkutik lagi. Puspa Ningrum mengacungkan ibu jarinya pada
Rangga yang dibalas kerlingan oleh Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Awas
di belakangmu, Puspa...!" teriak Rangga.
"Hait….!”
Puspa
Ningrum memutar tubuhnya setengah merunduk sambil mengibaskan senjatanya. Dan
satu orang yang akan membokongnya menjerit melengking. Dadanya sobek terkena
sabetan senjata gadis itu Puspa Nmgrum langsung melompat ke beranda begitu
Pendekar Rajawali Sakti menerobos masuk. Pada saat yang sama, Gota juga
melesat, langsung menerobos ke dalam bangunan besar bagai istana itu.
Rangga,
Gota, dan Puspa Ningrum saling berpandangan. Mereka tidak mendapatkan seorang
pun di dalam ruangan besar yang tertata indah ini. Mereka bergerak melangkah
pelahan-lahan melintasi ruangan depan itu. Pandangan mereka tajam mengedar
ber-keliling.
"Apa
tidak mungkin mereka sudah kabur, Kakang?" Puspa Ningrum menduga-duga.
"Hm..."
Rangga menggumam tidak jelas.
"Kau
tahu, mungkin ada jalan lain selain dari depan?"
“Tidak.
Aku baru beberapa hari di sini." sahut Puspa Ningrum.
"Gota...?"
Rangga melirik Gota yang berada di samping kirinya.
"Hanya
sekali aku berada di sini. Itu pun karena tertangkap." sahut Gota.
"Bangunan
seperti ini biasanya punya jalan rahasia. Hanya orang dalam saja yang
mengetahuinya," kata Rangga setengah bergumam.
"Aku
tahu...!”
Ketiga
anak muda itu langsung menoleh terkejut.
Ki
Tunggul melangkah menghampiri sambil menyunggingkan senyuman.
Dihentak-hentakkan ujung tongkatnya ke lantai. Sementara Rangga, Gota dan Puspa
Ningrum hanya saling pandang saja tidak mengerti.
"Dulu
aku sering datang ke sini, ketika Watu Gayam masih menjadi sebuah kadipaten.
Aku tahu persis seluk beluk istana ini." kata Ki Tunggul.
"Apakah
mereka kabur lewat jalan rahasia, Ki?" tanya Gota.
"Benar,"
sahut Ki Tunggul kalem.
"Kalau
begitu, sebaiknya kita cepat kejar!" seru Gota.
"Tidak
ada gunanya mengejar lewat jalan rahasia. Jalan itu penuh jebakan! Hanya mereka
yang tahu kuncinya saja yang bisa selamat melewatinya. Hanya dua orang yang
tahu. Ayahmu, dan Ki Jayakrama," kata Ki Tunggul seraya melirik Puspa
Ningrum.
"Jalan
itu tembus ke mana, Ki?" tanya Rangga
"Perbatasan
sebelah Utara."
Rangga
yang seorang raja, mengerti betul seluk-beluk jalan rahasia sebuah bangunan
istana. Jalan itu sengaja dibuat untuk menghadapi keadaan darurat. Untuk melewatinya,
memang tidak mudah. Memerlukan banyak waktu untuk mencapai pintu tembus, dan
diperlukan sikap hati-hati yang seksama.
"Kakang...!
Mau ke mana?" seru Puspa Ningrum melihat Rangga berbalik.
"Mencegat
mereka!" sahut Rangga sambil terus me-langkah cepat.
"Aku
ikut'" seru Puspa Ningrum bergegas melangkah.
"Kau
Juga, Gota. Biar disini aku yang tangani," ujar Ki Tunggul.
"Baik,
Ki." sahut Gota.
Ketiga
anak muda itu bergegas melangkah ke luar. Sementara pertarungan di halaman
bangunan besar bagat istana ini masih terus berlangsung. Tapi para pengemis
yang tergabung dalam Partai Pengemis Tongkat Hitam tampaknya bisa menguasai
keadaan. Mereka kini berada di atas angin.
Rangga
sengaja mengambil jalan lewat samping menuju sebelah Utara, untuk menghindari
mereka yang sedang bertarung. Pendekar Rajawali Sakti itu segera melesat
melewati tembok benteng yang tingginya lebih dari tiga batang tombak. Gota dan
Puspa Ningrum mengikuti, dan bersama-sama melompati tembok itu dengan mudah.
Dengan
mempergunakan ilmu meringankan tubuh, ketiga anak muda itu berlarian cepat
menuju ke batas Utara Watu Gayam ini. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga Gota
dan Puspa Ningrum agak kewalahan untuk mengejarnya. Mereka tertinggal jauh di
belakang, meskipun sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuh sampai batas
kemampuan.
Dalam
waktu yang tidak berapa lama, Rangga sudah sampai di perbatasan Utara. Dia
berhenti dan memandang sekitarnya. Setiap semak menjadi perhatiannya.
Dibongkarnya semua semak yang ada, tapi pintu tembus jalan rahasia yang
dimaksud tidak juga ditemukan. Sementara itu Gota dan Puspa Ningrum sudah
sampai dengan napas terengah-engah.
"Bagaimana,
Kakang?" tanya Puspa Ningrum.
"Belum
kutemukan," sahut Rangga sambil membongkar sebuah semak belukar.
"Apakah
sebaiknya kita tunggu saja sampai mereka keluar, Kakang?" usul Puspa
Ningrum.
"Pintu
jalan tembus itu harus ditemukan lebih dahulu, Puspa," sahut Rangga seraya
mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Sementara
itu Gota yang memisahkan diri. Juga tengah mencari pintu jalan tembus itu.
Namun, pada akhirnya tampak kesal juga, karena tidak kunjung menemukannya. Gota
berdiri seraya matanya beredar ke sekeliling. Wajahnya memerah bagai kepiting
rebus. Dilampiaskan kekesalannya dengan memukul sebongkah batu besar yang ada
di sampingnya. Dan tanpa disadari, batu itu bergeser sedikit.
Rangga
yang melihat, segera melompat menghampiri. Dikerahkan tenaganya untuk menggeser
batu itu. Melihat ada sebuah celah di balik batu itu, Gota langsung membantu.
Batu sebesar kerbau itu pun ter-guling. Tampak sebuah mulut goa yang tidak
begitu besar terpampang di depan mereka. Selagi mereka memandangi mulut goa
itu, mendadak dua orang melesat dari dalam.
"Awas….!"
seru Rangga sambil mendorong Gota ke samping, seraya cepat melentingkan
tubuhnya ke udara.
Ki
Jayakrama….!" desis Gota, begitu mengenali salah seorang yang baru keluar
dan dalam goa itu.
"Gembel
busuk! Rupanya kau tahu juga tempat ini, heh?!" dengus Ki Jayakrama geram.
"Ke
mana pun pergi, kau akan kukejar, Jayakrama!" sahut Gota mantap.
"Phuih!
Gurumu saja belum tentu mampu menandingiku!" ejek Ki Jayakrama.
"Tongkatku
ini yang akan membungkam mulutmu!"
"Bocah
setan! Hiyaaa...!"
Ki
Jayakrama melompat menerjang Gota. Namun pemuda pengemis itu gesit sekali
menghindarinya sambil melompat. Sementara si Cakar Maut juga tidak ingin
ketinggalan. Dia memilih Puspa Ningrum untuk menjadi lawannya. Sedangkan Rangga
hanya jadi penonton. Rasanya tidak mungkin membantu salah seorang karena jiwa
kependekarannya tidak mengijinkan untuk main keroyok.
Pertarungan
berlangsung sengit. Tampak sekali kalau Gota memang bukan tandingan Ki
Jayakrama. Baru beberapa jurus saja, pemuda pengemis itu sudah terdesak. Bahkan
ketika pukulan Ki Jayakrama menyodok dadanya, Gota tidak mampu menghindar. Dia
memekik keras, dan tubuhnya terjungkal menghantam pohon.
"Mampus
kau, gembel busuk! Hiyaaa...!"
Ki
Jayakrama melompat cepat sambil mengayunkan tongkatnya yang berbentuk ular
kobra ke arah Gota. Dan pada saat yang tepat, Rangga melompat cepat menghalau
sabetan tongkat laki-laki tua itu. Ki Jayakrama segera melentingkan tubuhnya ke
belakang. Dia bersungut-sungut karena serangannya dipatahkan Pendekar Rajawali
Sakti.
"Bocah
setan! Siapa kau?" bentak Ki Jayakrama jengkel.
"Aku
lawanmu, Ki Jayakrama," kata Rangga dingin.
"Phuih!
Bocah bau kencur mau melawanku!" dengus Ki Jayakrama meremehkan.
"Kita lihat saja, kau atau aku yang lebih dahulu masuk ke liang
kubur"
"Kadal
buduk! Terimalah kematianmu! Hiaaat...!" Merah padam muka Ki Jayakrama
mendapat tantangan itu. Dia langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali
Sakti. Laki-laki bertongkat ular kobra itu segera menggunakan jurus-jurusnya
yang dahsyat.
Sementara
Rangga hanya menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Meskipun tadi sudah
melihat pertarungan Ki Jayakrama melawan Gota, tapi ingin juga dirasakan angin
pukulan tenaga dalam lawannya.
"Hm....
Aku tidak mungkin melawannya dengan tangan kosong," gumam Rangga dalam
hati.
Setelah
mengetahui sampai di mana tingkat kepandaian lawan, Pendekar Rajawali Sakti itu
melompat tinggi ke udara seraya mencabut pedang pusakanya. Cahaya biru berkilau
langsung menyemburat begitu pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya. Ki
Jayakrama sempat terkesima melihat pamor pedang itu, tapi dengan cepat
menyerang kembali begitu Rangga menjejak tanah.
Rangga
kini tidak lagi main-main. Disadari betul kalau lawannya memiliki ilmu yang
cukup tinggi, maka langsung saja dikeluarkan Jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
Gerakan-gerakan Pendekar Rajawafi Sakti itu semakin cepat dan membingungkan.
Pedangnya berkelebatan bagai kilat, sehingga yang terlihat hanya kurungan sinar
biru yang mengurung tubuh Ki Jayakrama.
Beberapa
gerakan berlalu, Ki Jayakrama tampak begitu kacau memainkan jurus-jurusnya.
Jurus 'Pedang Pemecah Sukma' mulai mempengaruhi laki-laki tua itu. Perhatiannya
jadi terpecah, dan aliran darahnya serasa tidak teratur. Jantungnya terasa
lebih cepat berdetak Ki Jayakrama tidak mengerti, kenapa jadi tidak bisa
memusatkan perhatiannya. Sekuat tenaga dicobanya untuk berkonsentrasi. Tapi,
semakin keras mencoba, semakin pening terasa kepalanya. Pandangannya pun mulai
mengabur.
"Awas
kaki..!" seru Rangga tiba-tiba.
"Uts!"
Ki Jayakrama buru-buru melompat menghindari sepakan kaki Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi tanpa diduga sama sekali, pedang di tangan Rangga berkelebat cepat
bagai kilat menyambar leher Ki Jayakrama, buru-buru ditarik kepalanya ke
belakang. Namun gerakannya terlambat. Ujung pedang Rangga lebih cepat membabat
lehernya.
"Aaa...!"Ki
Jayakrama menjerit keras melengking.
Darah
menyembur dari leher yang koyak. Belum lagi laki-laki tua itu bisa menguasai
tubuhnya. Rangga sudah mengibaskan pedangnya, langsung merobek dada Ki
Jayakrama. Kembali dia menjerit melengking. Tubuhnya limbung beberapa saat,
kemudian ambruk menggelepar di tanah. Hanya sebentar menggelepar, kemudian diam
tidak bergerak-gerak lagi. Mati.
Jeritan
kematian Ki Jayakrama membuat si Cakar Maut jadi kecut hatinya. Buru-buru dia
melompat keluar dari pertarungannya melawan Puspa Ningrum. Tapi begitu kakinya
menjejak tanah, Gota melompat cepat dan menusukkan ujung pedangnya. Si Cakar
Maut tidak bisa menghindar lagi. Ujung tongkat Gota menembus dadanya hingga ke
punggung.
Kembali
jeritan menyayat terdengar. Begitu Gota menarik keluar tongkatnya, si Cakar
Maut ambruk dengan nyawa melayang dari badan. Puspa Ningrum berlari menghampiri
Gota. Mereka memandang tubuh lawan-lawannya yang sudah tidak bernyawa lagi,
kemudian saling berpandangan.
"Kak
Puspa..." desah Gota pelan.
"Gota,
adikku...."
Sesaat
mereka saling berpandangan, kemudian berpelukan hangat. Mereka adalah kakak
beradik yang terpisah, meskipun terlahir dari lain ayah. Sementara Rangga yang
menyaksikan semua itu, segera melangkah ringan meninggalkannya. Dan dengan satu
lesatan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu menghilang.
Agak
lama juga kakak beradik itu berpelukan. Mereka baru melepaskan pelukan itu
begitu menyadari ada orang lain yang ikut membantu. Tapi mereka jadi
celingukan, karena tidak lagi melihat Rangga di tempatnya.
"Dia
sudah pergi," desah Gota pelan.
"Ya.
Kita patut berterima kasih padanya," sahut Puspa Ningrum pelan.
Gota
menatap kakaknya. Saat yang sama Puspa Ningrum juga menatap pemuda itu.
"Apa rencanamu selanjutnya, Kak?" tanya Gota.
"Entahlah.
Aku merasa Watu Gayam bukan tempat yang tepat untukku," sahut Puspa
Ningrum.
"Aku
juga tidak akan kembali ke sana. Terlalu pahit bagiku," ujar Gota.
"Gota,
sebaiknya kita ke Padepokan Tapak Wisa saja. Eyang Lenteng pasti menerimamu
dengan senang hati," usul Puspa Ningrum.
"Eyang
Lenteng memang pernah menawarkan padaku."
"Kalau
begitu, kita berangkat sekarang."
"Aku
harus pamitan dulu pada Ki Tunggul. Dia begitu mengharapkanku untuk memimpin
Partai Pengemis Tongkat Hitam. Aku tidak ingin mengecewakannya."
"Aku
akan menunggu sampai kau siap, Gota," tiba-tiba Ki Tunggul sudah ada di
situ.
"Ki...!"
Gota terkejut.
"Memang
seharusnya kau ke Padepokan Tapak Wisa. Aku sudah bicara kepada Eyang Lenteng.
Dia berjanji akan menurunkan ilmunya padamu. Juga kau, Puspa," jelas Ki
Tunggul lagi.
"Terima
kasih, Ki," ucap Gota dan Puspa Ningrum bersamaan.
"Pergilah.
Aku menunggu di Padepokan Partai Pengemis Tongkat Hitam."
Setelah
berkata demikian, Ki Tunggul langsung melesat. Begitu cepatnya, sehingga dalam
sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata.
"Mari,
Kak," ajak Gota.
Puspa
Ningrum mengangguk. Mereka kemudian berjalan berdampingan, sambil menceritakan
tentang diri masing-masing. Tidak ada lagi perasaan bermusuhan atau saling
curiga. Yang ada kini hanya rasa rindu selama dua puluh tahun berpisah. Mereka
berjalan menuju lembaran hidup baru. Lembaran yang begitu banyak menjanjikan
bagi masa depan mereka berdua.
TAMAT
EPISODE
SELANJUTNYA:
MACAN
GUNUNG SUMBING
Emoticon