Di saat Putri Hijau hendak melanjutkan
perjalanan, tiba-tiba telinganya mendengar suara-
suara teriakan orang bertempur tak jauh dari Hu-
tan Kenjeran. Sebagai seorang pendekar, sudah
pasti Putri Hijau ingin melihat apa yang terjadi.
Ternyata dugaannya benar. Di tempat itu telah
terjadi pertarungan antara Gembong Kenjeran
melawan Siluman Ular Putih.
"Kau keberatan menyebutkan gelarmu, Pe-
rempuan Hina? Baik! Keberatan maupun tidak,
kau pun tetap akan modar di tanganku. Rasakan-
lah kelancanganmu ini, Perempuan Keparat!" pu-
tus Gembong Kenjeran.
Di akhir bentakannya, Gembong Kenjeran
segera menghantam kedua telapak tangannya ke
depan. Maka kembali dari kedua telapak tangan-
nya yang berwarna hitam legam itu mencuat so-
sok-sosok bayi hitam mengerikan dengan tangan-
tangannya yang terjulur ke arah Putri Hijau!
"Hik hik hik...! Kau pasti ada sangkut
pautnya dengan tua bangka Pamekasan. Bagus!
Kau pasti murid tua bangka itu, aku jadi ingin
menjajal kehebatan aji 'Setan Kober'-mu," ejek
Putri Hijau. Sedikit pun hatinya tidak gentar
menghadapi tangan-tangan bayi hitam dari kedua
telapak tangan Gembong Kenjeran.
Begitu melihat tangan-tangan bayi hitam
itu makin mendekat, Putri Hijau cepat membuka
payung hijaunya.
Brakkk!
Payung di tangan Putri Hijau telah terbuka,
melindungi dirinya dari cengkeraman tangan-
tangan bayi hitam itu.
Plak! Plak!
Hebat bukan main! Ternyata tangan-
tangan bayi hitam dari kedua telapak tangan
Gembong Kenjeran tak mampu menembus
payung hijau yang melindungi tubuh Putri Hijau.
Begitu tangan-tangan bayi hitam itu mendekat,
satu kekuatan dahsyat yang kasat mata telah me-
muntahkan serangan. Berkali-kali Gembong Ken-
jeran mencoba menembus kehebatan payung di
tangan Putri Hijau, namun tetap saja tak mene-
mui hasil. Lagi-lagi tangan-tangan bayi hitamnya
seperti menghadapi satu kekuatan dahsyat luar
biasa yang mampu menolak serangan-
serangannya!
"Hik hik hik...! Untung aku selalu memba-
wa payung. Kalau tidak, aku bisa kapiran!"
Putri Hijau tersenyum senang. Payung di
tangan kanannya diputar-putar seenaknya. Dan
seiring Putri Hijau menaikkan payungnya ke atas,
tangannya tiba-tiba mengibas.
Werrr! Werrr!
Seketika tampak lima buah sinar biru yang
berbentuk seperti gerigi melesat cepat ke arah
Gembong Kenjeran.
Gembong Kenjeran menggeram penuh ke-
marahan. Ia yang saat itu tengah kebingungan
bagaimana caranya menghadapi Putri Hijau, ter-
paksa harus membuang tubuhnya ke samping.
Tatkala berjatuhan ke tanah, baru diketahui ka-
lau kelima sinar biru itu adalah lima buah bunga
melati berwarna biru! Hebatnya lagi, ternyata lima
bunga melati itu mampu mengeluarkan bau ha-
rum yang luar biasa. Hidung Gembong Kenjeran
sampai kembang kempis dibuatnya. Dan manaka-
la semakin banyak menghirup bau harum bunga
melati biru itu, mendadak kepalanya berdenyut
hebat! Gembong Kenjeran seperti merasakan satu
kekuatan dahsyat dari bau harum bunga melati
biru itu yang mampu membuat dirinya mabuk
kepayang!
"Bajingan! Bagaimana mungkin kepalaku
jadi pening begini?" rutuk batin Gembong Kenje-
ran gelisah bukan main.
"Hik hik hik...! Bagaimana? Cukup nyaman
kan bau bunga-bunga cintaku?" ejek Putri Hijau.
Gembong Kenjeran menggeram penuh ke-
marahan. Sepasang matanya makin beringas. Ki-
ni dicobanya mengerahkan aji 'Panglarut Banyu
Putih' yang juga jadi andalannya. Maka begitu te-
naga dalamnya dikerahkan dua telapak tangan-
nya pun telah berubah menjadi putih berkilau,
dan langsung didorong ke depan.
"Aji 'Panglarut Banyu Putih'...!" desis Putri
Hijau manakala melihat dua gulungan asap putih
berkilauan menyeruak dari kedua telapak tangan
Gembong Kenjeran.
Menghadapi serangan-serangan Gembong
Kenjeran, lagi-lagi Putri Hijau mengembangkan
payungnya ke depan dan berlindung di baliknya.
Rut! Rut!
Laksana air hujan serangan-serangan
Gembong Kenjeran ambyar begitu menghantam
permukaan payung. Sedang payung itu sendiri
sedikit pun tidak mengalami pengaruh apa-apa.
"Hik hik hik...! Payungku ini benar-benar
berjasa. Hm...! Tak percuma aku memilikinya...,"
gumam Putri Hijau sambil memutar-mutar
payung di tangan kanannya manakala serangan-
serangan Gembong Kenjeran mereda.
Gembong Kenjeran heran bukan main. Ba-
gaimana mungkin payung butut di tangan Putri
Hijau mampu mengatasi semua serangan-
serangannya. Sungguh tak masuk akal. Diam-
diam lelaki ini jadi bertanya-tanya, siapa perem-
puan cantik di hadapannya itu.
"Siapa kau sebenarnya, Perempuan Hina?!"
tanya Gembong Kenjeran, akhirnya.
"Kan aku sudah bilang, aku ya aku. Tapi,
agar kau tak penasaran kukira tak jeleknya aku
memperkenalkan diri. Ketahuilah! Gelarku sebe-
narnya tak sebagus gelarmu. Aku Putri Hijau. Je-
las?!" jelas Putri Hijau mantap.
Seketika paras Gembong Kenjeran jadi pias
begitu mendengar julukan perempuan cantik di
hadapannya,
"Hm...! Jadi perempuan inikah yang berge-
lar Putri Hijau? Pantas saja kalau semua seran-
ganku dapat dipatahkan...," gumam Gembong
Kenjeran dalam hati.
Menyadari siapa perempuan cantik di ha-
dapannya, saat itu juga nyali Gembong Kenjeran
amblas entah ke mana. Ia kini tak berani me-
mandang remeh lagi pada Putri Hijau. Malah ju-
stru yang dipikirkan adalah, bagaimana caranya
melarikan diri.
Begitu mendapat satu siasat, Gembong
Kenjeran melompat ke arah Ratu Adil yang masih
tertotok. Sekali renggut, tubuh murid Ratu Alit
dari Nusa Kambangan telah berada dalam anca-
mannya.
"Berani kau mendekat, akan kubunuh ga-
dis ini, Perempuan Hina!" ancam Gembong Kenje-
ran dengan tangan terkepal erat, siap meremuk-
kan batok kepala Ratu Adil.
Putri Hijau kesal bukan main, sungguh tak
disangka kalau Gembong Kenjeran akan bertin-
dak seculas itu, Untuk menyelamatkan Ratu Adil,
rasanya tak mungkin. Jangankan untuk menye-
lamatkan gadis itu. Untuk bergerak saja, bukan
mustahil Gembong Kenjeran akan segera meng-
habisi nyawa gadis itu.
"Curang! Beginikah yang namanya tinda-
kan seorang lelaki? Memalukan!" geram Putri Hi-
jau.
"Terserah kau mau ngomong apa, Perem-
puan hina! Kalau kau berani bergerak sedikit sa-
ja, aku tak segan-segan membunuh gadis ini!"
ancam Gembong Kenjeran sembari melangkah
mendekati tubuh Dewi Bunga Bangkai yang ma-
sih tergeletak pingsan. Dan dengan tangan ki-
rinya, Gembong Kenjeran cepat meraih tubuh
Dewi Bunga Bangkai dan membawanya ke pun-
dak.
Putri Hijau sama sekali tak berdaya di-
buatnya, kecuali hanya menggeletukkan geraham
penuh kemarahan. Bagaimanapun juga, hatinya
amat mengkhawatirkan keselamatan Ratu Adil.
Untuk itu otaknya segera berputar keras.
"Dengar, Putri Hijau! Kalau kau berani
mengejarku, aku akan membunuh gadis ini!" te-
riak Gembong Kenjeran.
Di ujung teriakannya, tokoh sesat dari Hu-
tan Kenjeran itu segera berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu.
Putri Hijau geram bukan main. Namun be-
lum sempat mengejar, tiba-tiba terdengar keluhan
seseorang. Maka cepat kepalanya berpaling ke
arah datangnya suara.
Ternyata, suara keluhan itu keluar dari
mulut Siluman Ular Putih. Sekali lihat saja pe-
rempuan ini tahu kalau murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu menderita luka dalam yang parah.
Terlambat sedikit saja, bukan mustahil keselama-
tan Siluman Ular Putih tak akan tertolong lagi.
Menyadari hal ini, segera diputuskannya untuk
menyembuhkan luka dalam pemuda itu terlebih
dulu.
***
7
Perlahan-lahan Putri Hijau memeriksa tu-
buh Siluman Ular Putih seksama. Seperti du-
gaannya, ternyata pemuda itu memang menderita
luka dalam hebat. Sedikit saja terlambat mengo-
bati, bukan mustahil nyawanya akan melayang.
Pertama-tama yang dilakukan adalah me-
nyalurkan hawa murni ke tubuh Siluman Ular
Putih. Dengan meletakkan kedua telapak tangan
ke dada Siluman Ular Putih, Putri Hijau mulai
mengerahkan hawa murni. Tak selang beberapa
lama, hawa panas yang mengaduk-aduk dalam
tubuh murid Eyang Begawan Kamasetyo itu mulai
mereda. Namun, Siluman Ular Putih belum juga
siuman, kecuali hanya sesekali mengeluarkan ke-
luhan.
Perlahan-lahan Putri Hijau menarik tan-
gannya kembali. Matanya yang tajam terus me-
mandang sekujur tubuh Siluman Ular Putih yang
menghitam seksama. Sambil menggumam, kepa-
lanya menggeleng-geleng. Entah, apa yang terlin-
tas dalam benak perempuan sakti yang sebenar-
nya sudah berusia lanjut itu.
Meski bilur-bilur hitam akibat cengkera-
man tangan-tangan bayi hitam itu agak berku-
rang, namun Putri Hijau kewalahan juga. Dia ti-
dak tahu, bagaimana harus menyembuhkan luka
dalam Siluman Ular Putih, karena memang bukan
ahli obat. Di saat Putri Hijau tengah kebingungan
memikirkan luka dalam Siluman Ular Putih, tiba-
tiba....
Aku adalah bangkai
Bangkai kejang nan kaku
Seorang hamba yang dating
Dengan lemah gemulai
Penuh pengakuan, juga penyesalan
Sementara api yang dinyalakan-Nya
Membakar otot-otot dan hati
Betapa sangat sempit
Lorong jalan kehidupan
Di alam dunia....
"Pasti tua bangka sinting itu yang datang
kemari," duga Putri Hijau dalam hati, lalu me-
langkah berdiri.
Dan kenyataannya memang benar. Belum
sempat hilang gaung suara syair itu, Putri Hijau
melihat seorang lelaki tua dengan pakaian serba
putih tengah melenggang santai di jalan setapak
yang menuju tempat bekas pertarungan.
"Wahai, Sobatku! Kemarilah! Aku butuh
bantuanmu," sapa Putri Hijau, ramah seperti bi-
asanya. Dan tak lupa menyebut kata-kata 'wahai'
pada setiap orang.
Lelaki tua berpakaian serba putih yang
memang Penyair Sinting menyahut. Kedua bibir-
nya terus melantunkan bait-bait syairnya. Namun
toh langkahnya menghampiri Putri Hijau.
Bagiku....
Cuma ada satu keheranan
Tumpahnya mata
Lemah lunglainya tulang
Berlalunya pengharapan
Manakala dirimu tahu
Tentang semua ini
Maka....
"Sudah! Sudah! Aku malas mendengar
ocehanmu, Orang Sinting! Cepat bantu aku!" ujar
Putri Hijau, sedikit ketus.
Penyair Sinting tersenyum arif. Mulutnya
tak lagi berkemik-kemik melantunkan bait-bait
syairnya. Hanya langkahnya saja yang tetap le-
mah gemulai menghampiri Putri Hijau. Keliha-
tannya seperti melangkah biasa, namun hebatnya
cepat luar biasa. Hingga dalam waktu yang tidak
lama, sosok Penyair Sinting telah tegak di hada-
pan Putri Hijau.
"Hm...! Sekali lihat saja aku tahu kalau bo-
cah gondrong ini pasti terkena cengkeraman tan-
gan-tangan bayi hitam keparat itu. Entah siapa
yang melakukan. Mungkin manusia jahanam Pa-
mekasan itu," gerutu Penyair Sinting.
"Kalau sudah tahu, kenapa diam saja? Ce-
pat obati dia!" tukas Putri Hijau tak sabar.
"Nenek cantik! Dari dulu kau selalu mem-
bentak-bentak. Apa kau pikir usiamu jauh lebih
tua dibanding aku, hingga seenaknya saja mem-
bentak-bentak aku, hah?!" sungut Penyair Sint-
ing.
"Ah...! Sayang sekali aku tak ada waktu
untuk meladenimu, Kakek Sinting. Lekas obati
kawanmu ini! Aku akan menolong Ratu Adil yang
tengah dilarikan Gembong Kenjeran."
"Hey! Aku sendiri akan mencari orang yang
kau sebutkan barusan itu. Apa kau melihatnya?"
"Sudahlah! Jangan banyak tanya! Kau urus
saja bocah gondrong itu!" tukas Putri Hijau, lalu
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
"Sontoloyo! Enak saja main perintah. Dia
pikir aku ini apa?" sungut Penyair Sinting kesal.
Lebih kesal lagi manakala Penyair Sinting
mendengar suara tawa Putri Hijau di kejauhan
sana. Namun akhirnya mau juga lelaki tua ini
mengobati Siluman Ular Putih.
"Sial benar nasibmu, Bocah! Kenapa kau
biarkan tubuhmu babak belur begini," gerutu Pe-
nyair Sinting entah apa maksudnya.
Di ujung kalimatnya tangan Penyair Sinting
segera merogoh sesuatu di kantong bajunya. Ter-
nyata yang diambil adalah sebuah bungkusan ke-
cil berisi bubuk-bubuk putih. Dijumputnya bu-
buk-bubuk putih itu, dan ditaburkan ke sekujur
tubuh Siluman Ular Putih yang menghitam.
Cesss!
Aneh! Tiba-tiba bubuk-bubuk putih itu
mengeluarkan suara seperti bara api tersiram air
tatkala ditaburkan ke sekujur tubuh Siluman
Ular Putih yang menghitam. Asap kehitam-
hitaman pun mengepul ke atas. Tak selang bebe-
rapa lama, bubuk-bubuk putih itu telah berubah
menjadi hitam! Dan hebatnya lagi, sekujur tubuh
Siluman Ular Putih yang menghitam pun sirna!
Siluman Ular Putih mengerang beberapa
kali. Sementara Penyair Sinting cepat menotok
beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu. Kini
terlihat tubuh Siluman Ular Putih pun tergetar,
karena Penyair Sinting menotoknya dengan jurus
'Totokan Jari-jari Suci'.
Kini tubuh Siluman Ular Putih tak sekadar
bergeser lagi, tapi mulai menggeliat-geliat. Kelo-
pak matanya pun perlahan-lahan mulai membu-
ka.
"Mana tua bangka itu? Mana? Aku harus
membunuhnya. Aku harus menolong sahabatku!"
teriak Siluman Ular Putih, begitu siuman.
"Eh eh eh...! Kau memakiku, Bocah?" ujar
Penyair Sinting sambil menarik dadanya.
Siluman Ular Putih melongo. Saking kalut-
nya memikirkan keselamatan Ratu Adil, pemuda
itu sampai lupa terhadap Penyair Sinting. Ia ma-
lah sibuk mencari Ratu Adil dan Gembong Kenje-
ran dengan pandangan matanya.
"Kau.... Kau? Bagaimana kau bisa berada
di sini, Kek?" tanya Siluman Ular Putih kehera-
nan.
"Goblok! Siapa lagi kalau bukan karena
nenek cantik itu!" tukas Penyair Sinting.
"Maksudmu? Putri Hijau?"
"Ya!"
"Ke mana dia sekarang?"
"Tidak tahu. Katanya ingin menyelamatkan
Ratu Adil."
"Hm...! Kalau begitu, aku harus ke sana.
Aku pun harus menolong sahabatku!"
Siluman Ular Putih cepat melompat ban-
gun. Namun, Penyair Sinting cepat menyambar
lengannya.
"Tunggu! Seenaknya saja kau mau mening-
galkanku," ujar Penyair Sinting, bersungut-
sungut.
"Ada apa, Kek? Kenapa kau menahan lang-
kahku?"
"Jangan sewot! Aku cuma mau tanya. Apa-
kah kau kenal Gembong Kenjeran?"
"Bukan kenal lagi. Dialah yang melarikan
Ratu Adil."
"Oh, ya? Aku lupa. Tadi nenek cantik itu
juga bilang begitu. Tapi apakah Gembong Kenje-
ran yang melukaimu dengan aji 'Setan Kober'?"
"Ya!"
"Goblok!" sergah Penyair Sinting memaki
kasar. "Kau kan murid Begawan Kamasetyo. Jadi
tentu memiliki ilmu 'Tenaga Sakti Inti Kapas'.
Lantas kenapa tak kau gunakan untuk mengha-
dapi aji 'Setan Kober'?"
"Aku tak sempat berpikir ke sana, Kek. Ta-
pi, apakah benar jurus 'Tenaga Sakti Inti Kapas'-
ku dapat mengalahkan aji 'Setan Kober'?" tanya
Siluman Ular Putih, ngeri juga bila membayang-
kan tangan-tangan bayi hitam itu.
"Ya."
"Ah...! Kalau begitu, aku harus cepat men-
cari Gembong Kenjeran."
"Bagus. Aku pun juga ingin mencarinya.
Ayo!"
Tanpa banyak cakap lagi, Penyair Sinting
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Sementara Siluman Ular Putih tidak langsung
menyusul, melainkan segera mengambil anak pa-
nahnya yang tertancap di batang pohon, baru
kemudian berkelebat menyusul.
***
8
Gembong Kenjeran yang tengah mabuk ke-
payang melihat kemolekan tubuh Ratu Adil, seo-
lah tak mempedulikan apa yang akan terjadi. Ba-
ginya, yang penting adalah melampiaskan nafsu
bejatnya. Maka begitu memasuki gua tempat per-
sembunyiannya di sekitar Hutan Kenjeran, tanpa
banyak membuang waktu segera dibawanya Dewi
Bunga Bangkai dan Ratu Adil ke sebuah ruangan.
Ruangan itu memang tidak begitu luas. Le-
barnya tak lebih dari tiga kali empat tombak. Se-
buah obor besar yang tertancap di salah satu
dinding, membuat suasana dalam ruangan gua
itu terang benderang. Di atas tumpukan jerami,
Gembong Kenjeran merebahkan tubuh Dewi Bun-
ga Bangkai yang masih tak sadarkan diri perla-
han. Sementara tubuh Ratu Adil tetap berada da-
lam pondongannya.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku, Pengecut!"
teriak Ratu Adil kalap.
Gembong Kenjeran hanya tertawa bergelak,
tak sudi menuruti perintah Ratu Adil. Segera di-
bawanya gadis itu ke ruang sebelah. Namun baru
saja melangkah....
"Kakang!"
Terdengar teguran seseorang, membuat
Gembong Kenjeran terpaksa menahan langkah.
Lalu badannya berbalik. Ternyata Dewi Bunga
Bangkai telah siuman. Dan memang, perempuan
cantik itulah yang tadi menegurnya.
"Kau membawa gadis itu pula, Kang?"
tanya Dewi Bunga Bangkai, sambil menggigit bibir
menahan luka dalamnya.
"Iya. Kenapa?"
"Apa kau ingin...?" tanya Dewi Bunga
Bangkai tanpa berlanjut, seolah mengerti apa
yang diinginkan Gembong Kenjeran.
"Ya! Kau sedang terluka. Jadi tak mungkin
aku bisa menikmati tubuhmu. Minumlah saja ob-
at ini biar luka dalammu berkurang," ujar Gem-
bong Kenjeran, lalu segera mengambil butiran-
butiran obat dan melemparkannya ke arah Dewi
Bunga Bangkai.
Tepp!
Dewi Bunga Bangkai cepat menangkap ob-
at pemberian Gembong Kenjeran.
Gembong Kenjeran sendiri tak lagi mempe-
dulikan Dewi Bunga Bangkai. Saat ini ia sudah
melangkah meninggalkan Dewi Bunga Bangkai
seorang diri.
Walaupun Dewi Bunga Bangkai seorang
wanita yang berhati keji dan sudah terbiasa me-
lakukan hubungan intim dengan banyak lelaki,
tetap saja merasa iri melihat Gembong Kenjeran
begitu bernafsu terhadap gadis tawanannya. Na-
mun karena pada dasarnya wanita itu pun tak
mencintai Gembong Kenjeran, maka keresahan-
nya cepat reda. Dan setelah menelan obat pembe-
rian Gembong Kenjeran, dirinya telah tenggelam
dalam semadi.
* * *
Di ruang sebelah....
Sambil tertawa bergelak Gembong Kenjeran
merebahkan tubuh Ratu Adil ke tumpukan jera-
mi. Tubuhnya sendiri pun segera bersimpuh di
samping si gadis. Sepasang matanya yang ber-
warna merah saga tak henti-hentinya menjilati se-
tiap lekuk tubuh murid Ratu Alit dari Nusa Kam-
bangan.
"Mau kau apakan aku, Pengecut?!" teriak
Ratu Adil, kalut bukan main.
Inilah saat-saat yang paling mendebarkan
bagi gadis itu. Meski belum pernah mengalami,
namun naluri kewanitaannya mengatakan kalau
dirinya bakal mengalami musibah yang jauh lebih
mengerikan dibanding kematian!
"Kau tentunya tahu, Manis. Ilmu silatmu
hebat. Kuharap, di atas ranjang pun kau jauh le-
bih hebat. Ayo, tunjukkan kehebatanmu, Manis!"
oceh Gembong Kenjeran dengan jakun turun
naik.
Nyaris mau muntah Ratu Adil mendengar
ucapan Gembong Kenjeran. Pandangan lelaki itu
pun seolah hendak menelan dirinya bulat-bulat.
Berkali-kali gadis ini berusaha melepaskan toto-
kan, namun tetap saja tak mampu. Malah tari-
kan-tarikan napasnya makin membuat Gembong
Kenjeran menelan liurnya sendiri.
"He he he...! Tubuhmu tampak makin
menggairahkan bila kau menggeliat-geliat seperti
itu, Manis," kekeh Gembong Kenjeran. Jari-jari
tangannya yang kasar pun mulai merenggut kain
penutup tubuh Ratu Adil.
Bret! Bret!
Dua kali tangan Gembong Kenjeran berge-
rak, maka seketika itu juga pakaian Ratu Adil ro-
bek. Kini satu pemandangan indah terbentang di
depan mata.
Ratu Adil menjerit-jerit kalap. Ingin ra-
sanya ia menutupi bagian-bagian tubuhnya yang
amat mengundang gairah bagi setiap laki-laki.
Namun sayang, hal itu tak mampu dilakukan.
Tanpa sadar matanya berair saking ngerinya
membayangkan musibah yang bakal menimpa di-
rinya.
Sementara mata Gembong Kenjeran sendiri
seolah terpaku menatap tubuh mulus di hada-
pannya. Ingin rasanya ia segera menubruknya.
Namun entah kenapa, tiba-tiba pandang matanya
jadi liar tatkala melihat seutas kalung yang dihia-
si permata indah warna hijau di leher Ratu Adil!
Untuk sesaat Gembong Kenjeran terpaku
laksana melihat setan di siang bolong. Ratu Adil
yang belum menyadari apa yang tengah bergolak
dalam hati Gembong Kenjeran makin berteriak-
teriak kalap. Lebih kalap lagi manakala wajah
Gembong Kenjeran mulai mendekati wajahnya.
Dan saking tidak kuatnya menahan musibah
yang bakal menimpa dirinya, gadis ini hanya me-
mejamkan matanya. Air matanya pun terlihat
makin membasahi pipi.
Bret!
Ratu Adil terkesiap ketika merasakan se-
suatu tanggal dari lehernya. Setelah itu, ia tak
merasakan apa-apa. Hanya dengusan-dengusan
Gembong Kenjeran saja yang terdengar. Perlahan-
lahan, si gadis memberanikan diri membuka ke-
lopak matanya.
Sungguh jauh di luar perkiraan Ratu Adil.
Ternyata Gembong Kenjeran bukannya tengah
memandangi tubuhnya yang polos, melainkan
tengah memandangi kalung permata hijau yang
direnggutnya barusan.
"Pengecut! Berikan kalung itu!" teriak Ratu
Adil begitu menyadari kalau pemberian gurunya
telah direnggut Gembong Kenjeran. Baginya, ka-
lung itu adalah segala-galanya, karena satu-
satunya bukti untuk dapat menemukan ayah
kandungnya.
"Dari mana kau dapatkan kalung itu?!"
bentak Gembong Kenjeran dengan pandang mata
nanar. Suara bentakannya pun tak lagi segalak
tadi. Malah, Ratu Adil seperti merasakan getaran-
getaran aneh dalam bentakan barusan.
"Berikan kalung itu, Pengecut!"
"Jawab dulu pertanyaanku! Aku tak akan
memberikan kalung ini sebelum kau menjawab
pertanyaanku!"
Ratu Adil memekik penuh kemarahan.
Namun karena tak ada pilihan lain, akhirnya di-
penuhinya permintaan Gembong Kenjeran.
"Aku.... Aku mendapatkan kalung itu dari
guruku," jawab Ratu Adil.
"Siapa gurunya?" kejar Gembong Kenjeran.
"Ratu Alit."
"Hm...! Lalu, bagaimana kalung ini sampai
bisa jatuh ke tangan gurumu? Jawab dengan ju-
jur!"
Ratu Adil menelan ludahnya sebentar. "Gu-
ruku.... Guruku mendapat kalung itu dari seo-
rang perempuan yang tengah sekarat di tepi pan-
tai Nusa Kambangan...."
Gadis itu lantas menceritakan latar bela-
kang hidupnya seperti waktu Ratu Alit mencerita-
kan kepadanya. Sejak ia ditemukan, sampai di-
rinya turun gunung. Lengkap, tanpa ditambah
dan dikurangi. (Untuk mengetahui latar belakang
Ratu Adil, silakan baca episode : "Setan Haus Da-
rah").
Sementara Gembong Kenjeran yang men-
dengar cerita Ratu Adil malah makin tegang wa-
jahnya....
* * *
Gembong Kenjeran bungkam seribu bahasa
begitu Ratu Adil selesai bercerita. Entah kenapa
tiba-tiba raut wajah tokoh sesat dari Hutan Ken-
jeran ini jadi sedih. Kedua bibirnya pun berkemik-
kemik. Entah, apa yang tengah dipikirkan. Bah-
kan kini didekapnya erat-erat kalung itu dalam
dadanya.
"Jadi, kaukah bayi perempuan itu?" tanya
Gembong Kenjeran, seperti ingin meyakinkan diri.
"Yah...! Akulah bayi perempuan itu," sahut
Ratu Adil, mantap.
"Jadi.... Jadi? Ah...!" keluh Gembong Kenje-
ran sedih bukan main.
Paras lelaki ini yang biasanya garang, en-
tah kenapa jadi muram. Seolah tengah menang-
gung derita yang teramat sangat.
"Katakan! Siapa nama ayahmu yang se-
dang kau cari itu!" pinta Gembong Kenjeran ber-
gegas. Jantungnya makin berdetak keras, khawa-
tir kalau jawaban gadis itu sama dengan apa yang
ada dalam benaknya.
"Guruku bilang, kalau aku ingin bertemu
ayah kandungku, aku harus mencari seseorang
yang bernama Gendon Prakoso. Dialah ayah kan-
dungku!"
Mencelos hati Gembong Kenjeran menden-
gar jawaban gadis itu. Jelas nama Gendon Prako-
so terucap dari bibir gadis yang hendak diperko-
sanya! Wajahnya seketika jadi pucat pasi.
"A.... Akulah Gendon Prakoso itu, Nak....
A... Aku ayah kandungmu...! Maafkan aku, Nak....
Ohh.... Terkutuknya ak...!" desah Gembong Ken-
jeran mirip kerbau mau disembelih.
"Kau.... Kaukah Gendon Prakoso? Oh...!"
pekik Ratu Adil, tak kalah kaget.
Lalu, entah kenapa tiba-tiba Ratu Adil me-
nangis menyayat. Entah bahagia dapat menemu-
kan ayah kandungnya kembali, entah benci meli-
hat ayah kandungnya ternyata seorang penjahat
keji. Bahkan hampir saja menodai dirinya!
Gembong Kenjeran tergugu di tempatnya.
Napasnya memburu menahan guncangan dalam
hatinya. Untuk sesaat lelaki yang semula garang
ini seperti tak tahu apa yang harus diperbuat. Pe-
rasaan bersalah terhadap mendiang istrinya yang
dulu diperlakukan sewenang-wenang, juga pera-
saan berdosa karena hampir saja menodai putri
kandungnya sendiri, begitu memukul batinnya.
Namun manakala melihat Ratu Adil masih terto-
tok, segera dibebaskannya totokan itu.
"Ayah...!" pekik Ratu Adil mengharukan,
langsung dipeluknya Gembong Kenjeran.
Gendon Prakoso alias Gembong Kenjeran
mendekap erat-erat. Perasaan yang semula begitu
menggebu-gebu ingin merusak kehormatan Ratu
Adil, kontan sirna begitu mengetahui kalau gadis
itu adalah putri kandungnya sendiri.
"Sekali lagi. Maafkan ayahmu, Nak! Maaf-
kan ayahmu...!" ucap Gembong Kenjeran merintih
lirih dan bergetar.
Ratu Adil diam tak menyahut, tapi justru
lebih senang menghamburkan tangisnya dalam
pelukan ayah kandungnya yang amat dirindukan.
"Kenapa kau diam saja, Anakku? Apa kau
tak sudi memaafkan ayahmu yang telah bergeli-
mangan dosa?" tanya Gendon Prakoso.
Ratu Adil menggeleng-geleng pelan. Kedua
bahunya tampak masih bergerak turun naik.
Gembong Kenjeran sedih sekali melihat
keadaan putri tunggalnya. Apalagi manakala me-
lihat wajah putrinya yang bersimbah airmata.
Hampir saja lelaki ini tak kuat menahan guncan-
gan dalam hatinya.
"Maafkan ayahmu, Nak! Maafkan ayah-
mu...!" ucap Gembong Kenjeran.
Untuk sesaat Ratu Adil masih membung-
kam.
"Sebenarnya masih ada satu hal yang mesti
kusampaikan padamu. Ayah," kata Ratu Adil.
"Tentang apa?" tanya Gendon Prakoso.
"Tentang Teguh Sayekti...."
"Teguh Sayekti? Siapa dia?"
"Kakak Kandungku!"
"Astaga...?! Ya, ampun.... Oh, Gusti.... Am-
punkan hamba-Mu yang hina ini. Dengan anak
sulungku pun aku lupa...."
Bukan main terpukulnya Gendon Prakoso,
betapa selama ini anak sulungnya pun terlupa-
kan. Ingin rasanya ia menjerit, tapi berusaha di-
tahannya.
"Ba... bagaimana kabar kakak kandung-
mu? Sejak kutinggal, aku tak pernah mendengar-
nya lagi. Apakah kau pernah bertemu dengan-
nya?" tanya Gendon Prakoso, berdebar.
"Kami berjumpa setelah sama-sama dewa-
sa, Ayah. Tapi sayang, perjumpaan itu teramat
singkat. Kakang Teguh Sayekti telah tewas di tan-
gan Hantu Tangan Api!" jelas Ratu Adil, kelu. (Un-
tuk jelasnya baca episode : "Warisan Agung").
"Keparat! Huh! Aku harus membuat perhi-
tungan dengannya!" desis Gendon Prakoso.
"Tak perlu, Ayah. Hantu Tangan Api telah
dimusnahkan oleh Siluman Ular Putih," jelas Ra-
tu Adil, membuat ayah kandungnya kembali ter-
gugu.
"Oh, Gusti. Betapa hatiku telah berlumur
dosa.... Maafkan aku, Teguh.... Ayah telah berdo-
sa terhadapmu.... Semoga kau tenang di alam sa-
na..."
"Bahkan guru Kakang Sayekti pun telah
tewas...," lanjut Ratu Adil.
"Siapa gurunya?"
"Kakek Pikun dari Gunung Slamet. Dan
ayah sendirilah yang membunuhnya...," jelas Ra-
tu Adil terus terang.
"Ohh...!"
Hanya itu yang keluar dari mulut Gendon
Prakoso. Makin galau saja hatinya. Keangkuhan-
nya kini terbang entah ke mana. Dosa-dosanya
terdahulu seolah membuat keangkerannya pudar.
Yang ada kini hanya rasa penyesalan.
"Se.... Sebenarnya sulit sekali memaafkan
kesalahanmu. Ayah. Tapi.... Tapi, baiklah. Aku
akan memaafkanmu. Asal, Ayah sudi meninggal-
kan jalan sesat yang selama ini kau tempuh."
Gembong Kenjeran tercekat. Memang
keangkerannya telah hilang. Tapi ada hal lain
yang mengganggu benaknya. Yakni, perjanjiannya
dengan Eyang Pamekasan.
"Bagaimana, Ayah? Apakah kau kebera-
tan?"
Gembong Kenjeran tetap masih membung-
kam. Hatinya gelisah sekali. Berkali-kali ia meng-
hela napas resah.
"Kalau kau keberatan, sebaiknya bunuh
saja aku, Ayah. Atau, terserah mau kau apakan
aku," desak Ratu Adil.
"Tidak! Tidak mungkin aku mencelaka-
kanmu, Nak. Dosa-dosaku sudah bertumpuk.
Aku menyesal. Menyesal sekali."
"Kalau begitu, berarti Ayah masih senang
bergelimangan dunia sesat! Apa Ayah juga masih
menginginkan nyawa Siluman Ular Putih dan Pe-
nyair Sinting? Padahal, merekalah yang membela
Kakang Teguh Sayekti mati-matian."
Berat sekali rasanya menjawab pertanyaan
Ratu Adil, Gembong Kenjeran mengeluh berulang-
ulang. Parasnya pun menegang.
"Apakah kau tidak ingin meninggalkan du-
nia sesat, lalu hidup bersama putrimu, Ayah?"
bujuk Ratu Adil.
"Aku.... Aku... sudah bersumpah pada se-
seorang untuk membunuh Siluman Ular Putih
dan Penyair Sinting...."
"Lupakan sumpah itu, Ayah!"
"Tidak semudah itu, Putriku, Orang itu
pasti akan membunuhku."
"Nyawa terletak bukan pada tangan seseo-
rang, Ayah! Melainkan pada Yang Maha Kuasa.
Kalau Yang Maha Kuasa menghendaki nyawa
Ayah sekarang juga, itu bukan pekerjaan sulit.
Demikian juga sebaliknya,"
"Sungguh kau bijaksana sekali, Anakku.
Terus terang aku jadi malu. Baiklah! Mulai seka-
rang, akan kutinggalkan dunia sesat. Dan kita hi-
dup bersama."
"Terima kasih, Ayah! Akhirnya kau sadar
juga," kembali Ratu Adil menubruk Gembong
Kenjeran dan memeluknya erat-erat.
"Justru aku yang patut berterima kasih
padamu, Anakku. Oh, ya. Sebenarnya, siapa na-
ma aslimu, Anakku?"
"Yustika, Ayah."
"Nah...! Sekarang lekas kenakan kembali
pakaianmu, Yustika. Aku ingin mengajakmu pergi
ke tempat yang jauh."
"Baik, Ayah."
Buru-buru Ratu Adil melepaskan pelukan
ayahnya. Agak malu juga hatinya manakala di-
rinya masih telanjang. Maka cepat pakaiannya di-
kenakan kembali.
Sementara Ratu Adil mengenakan pa-
kaiannya, tampak Gembong Kenjeran duduk ber-
lutut menghadap dinding-dinding gua. Parasnya
menegang. Kedua bibirnya pun berkemik-kemik.
"Guru...! Maafkan muridmu, Guru! Terpak-
sa aku harus mencabut sumpahku. Demi menun-
jukkan kasih sayangku terhadap putri tunggalku,
aku rela mengkhianatimu. Hukumlah aku! Hu-
kumlah aku kalau kau menghendaki, Guru...," bi-
sik hati Gembong Kenjeran.
***
9
Aneh!
Tiba-tiba permukaan air sendang tempat
Eyang Pamekasan bertapa bergolak. Semula
hanya gelembung-gelembung kecil saja, namun
tak selang berapa lama air sendang itu bahkan
membuncah tinggi ke udara!
Bersamaan dengan itu, mendadak muncul
satu sosok tubuh berpakaian serba hitam dari
dasar sendang. Mula-mula yang terlihat hanya
kepalanya, lalu disusul sosoknya yang masih da-
lam keadaan bersemadi!
"Bajingan! Kau harus membayar mahal
atas pengkhianatanmu ini, Muridku!" dengus ka-
kek yang memiliki wajah tirus dan rambut putih
digelung ke atas penuh kemarahan. Sepasang
matanya yang berwarna merah saga tampak men-
corong beringas. Lalu dengan ilmunya yang tinggi,
perlahan-lahan sosok renta yang masih dalam
keadaan bersemadi itu mulai bergerak menuju
tepian sendang. Hebatnya lagi, begitu tiba di te-
pian sendang dan melompat keluar, ternyata pa-
kaian yang dikenakan tidak basah!
Bukan main! Entah menggunakan ilmu
apa hingga kakek renta yang memang Eyang Pa-
mekasan ini mampu melakukan hal seperti itu.
"Setan alas! Jangan dikira aku tak tahu di
mana tempat persembunyianmu, Murid Keparat!"
maki Eyang Pamekasan tak dapat lagi mengenda-
likan amarah.
Andai saja saat itu muridnya yang bernama
Gembong Kenjeran ada di hadapannya, sudah
pasti Eyang Pamekasan akan melabraknya. Na-
mun sayang, Gembong Kenjeran tak berada di
tempat itu. Terpaksa Eyang Pamekasan harus
menangguhkan hawa amarahnya yang menggele-
gak sampai ubun-ubun.
Di lain kejap, Eyang Pamekasan segera
berkelebat cepat meninggalkan tempat perta-
paannya. Dengan ilmu meringankan tubuhnya
hebat luar biasa, sosoknya telah meluncur cepat
laksana anak panah terlepas dari busur.
"Kenapa kau bersedih. Ayah? Apa kau ti-
dak senang hidup bersamaku?"
Terdengar suara lembut Ratu Adil mengu-
sik keresahan ayahnya.
Gembong Kenjeran yang saat itu masih
duduk berlutut menghadap dinding gua hanya
menghela napas sesak. Tampak sekali kalau lelaki
berjubah kuning ini tengah gelisah memikirkan
ancaman gurunya. Ia yakin sekali kalau Eyang
Pamekasan akan menuntut tanggung jawab atas
pengkhianatannya. Cepat atau lambat!
"Ada apa, Ayah? Kenapa kelihatan sedih?"
usik Ratu Adil lagi.
"Aku bingung, Putriku. Entah kenapa tiba-
tiba saja aku mengkhawatirkan bila guruku me-
minta tanggung jawabku," keluh Gembong Kenje-
ran, mendesah.
Ratu Adil melangkah mendekat. Ia yang ki-
ni telah mengenakan pakaiannya kembali tampak
begitu anggun walau robek di sana-sini. Gembong
Kenjeran yang melihat robekan-robekan kain pu-
trinya hanya tersenyum kecut.
"Bangunlah, Ayah! Tak ada gunanya Ayah
tenggelam dalam kesedihan. Apalagi mengkhawa-
tirkan sesuatu yang belum jelas," ujar Ratu Adil
sambil merengkuh bahu ayahnya.
Gembong Kenjeran menurut dipapah pu-
trinya. Melihat kasih sayang Ratu Adil yang amat
mendalam terhadap dirinya, lelaki ini menjadi
semakin trenyuh. Hal ini pula yang diam-diam
membuatnya bertekad untuk meninggalkan dunia
sesat yang selama ini digeluti.
"Kau benar, Yustika. Kupikir, tak ada gu-
nanya mengkhawatirkan suatu kejadian yang be-
lum jelas. Kalau guruku, Eyang Pamekasan ingin
menghukumku karena tak mentaati perintahnya,
aku sudah siap. Mati pun aku tak peduli. Hanya
yang kukhawatirkan, kalau semisalnya aku mati,
lalu kau akan hidup dengan siapa?"
"Sebaiknya Ayah tak perlu punya perasaan
apa-apa terhadapku maupun terhadap hal-hal
yang belum jelas. Semua ini terserah pada titah
Yang Maha Kuasa. Kita serahkan saja semua per-
soalan ini pada-Nya. Niscaya kita akan mendapat
kedamaian."
"Baiklah, Putriku. Aku akan menuruti apa
yang kau nasihatkan."
"Maaf, Ayah! Aku bukannya menasihati
atau mengguruimu," ucap Ratu Adil malu-malu.
"Tidak. Kau memang pantas menasihati
maupun mengguruiku, Putriku. Sebab, kau me-
mang lebih arif dibanding ayahmu!"
"Ah...! Sudahlah! Kenapa Ayah malah me-
mujiku? Nanti aku jadi besar kepala, lho?" seloroh
Ratu Adil.
"Kau memang pantas berbesar kepala, Pu-
triku. Habis, kau memang jauh lebih hebat di-
banding ayahmu."
"Ah...! Ayah ini bisa saja! Kalau kepalaku
besar, nanti siapa yang mau menjadi menantu-
mu?"
"Jadi? Kau sudah punya kekasih, Putriku?"
"Hm...!"
Ratu Adil tak langsung menjawab. Entah
kenapa tiba-tiba saja di benaknya terbayang wa-
jah Siluman Ular Putih. Semakin diingat, hatinya
semakin gelisah saja. Padahal belum ada seten-
gah hari berpisah dengan Siluman Ular Putih. Ta-
pi, rasa-rasanya seperti sudah lama sekali.
"Aneh! Ada apa sebenarnya dengan hatiku?
Kenapa aku seperti merasakan ada sesuatu yang
hampa dalam hatiku...?" desah Ratu Adil dalam
hati.
"Lho...? Kok, malah melamun?"
"Ah..., Ayah. Mengagetkanku saja," kata
Ratu Adil malu-malu.
Gembong Kenjeran tertawa. Alangkah le-
pasnya suara tawa itu terdengar di telinga Ratu
Adil. Seolah, tak memiliki beban lagi.
"Pasti kau sedang memikirkan seseorang.
Siapakah pemuda yang beruntung itu, Putriku?"
cecar Gendon Prakoso alias Gembong Kenjeran.
"Sudah, ah! Kenapa Ayah jadi cerewet, sih?
Katanya ingin mengajakku pergi ke tempat yang
jauh?" tukas Ratu Adil, sengaja mengalihkan
pembicaraan.
"Ayo! Tapi kapan-kapan kau kenalkan ke-
kasihmu itu padaku, ya!" goda Gembong Kenjeran
gembira.
Ratu Adil cemberut.
Gembong Kenjeran tertawa senang seraya
merengkuh bahu Ratu Adil. Diajaknya gadis itu
untuk keluar dari gua tempat persembunyian.
"Kakang! Apakah kau hendak meninggal-
kanku?"
Tiba-tiba terdengar suara halus seseorang
bernada menegur. Seketika Gembong Kenjeran
dan Ratu Adil memalingkan kepala ke arah da-
tangnya suara.
Di ruang sebelah dalam gua, Dewi Bunga
Bangkai tengah melangkah mendekati Gembong
Kenjeran dan Ratu Adil. Tampak wajah perem-
puan cantik itu tak lagi pucat, pertanda luka da-
lamnya mulai berangsur sembuh.
"Ayah! Biarkan aku menghajar wanita ke-
parat ini. Ayah!" Ratu Adil memberontak dari
rengkuhan tangan ayahnya.
"Tunggu, Putriku! Kau tak boleh semba-
rangan menurunkan tangan maut!" cegah Gem-
bong Kenjeran.
"Kenapa?" tanya Ratu Adil gusar. Bagaima-
napun juga, gadis ini masih penasaran belum da-
pat merobohkan Dewi Bunga Bangkai.
"Kakang Gembong Kenjeran! Biarkan gadis
sial itu bertingkah! Aku ingin melihat, sampai di
mana kehebatannya!" tukas Dewi Bunga Bangkai
sengit.
"Jangan sembarangan bicara, Dewi Bunga
Bangkai! Gadis ini tak lain dari putriku. Siapa sa-
ja yang berani mengganggunya, aku tak akan
tinggal diam!" hardik Gembong Kenjeran.
"Jadi? Kau lebih memilih gadis sial itu di-
banding aku, Kakang Gembong Kenjeran?!" teriak
Dewi Bunga Bangkai, seolah tak percaya melihat
perubahan sikap Gembong Kenjeran.
"Dia putriku. Bagaimanapun juga, aku
akan membelanya."
"Hm...! Jadi, kau mulai tak menyukaiku,
ya?! Baik! Jangan dikira aku akan diam begitu sa-
ja menerima penghinaan orang!" sentak Dewi
Bunga Bangkai.
"Pergilah! Tak ada gunanya kau mengan-
camku!"
"Baik! Aku memang akan meninggalkan
tempat ini. Tapi, ingat! Aku pasti akan datang
menuntut balas," dengus Dewi Bunga Bangkai
penuh kemarahan. Di akhir kalimatnya, murid
Ratu Bangkai dari Lembah Selaksa Kematian itu
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Gembong Kenjeran memandangi kepergian
Dewi Bunga Bangkai sedih. Bukan sedih karena
ditinggal, melainkan sedih karena sudah telanjur
bergaul akrab dengan perempuan cantik itu.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini, Putriku!"
ajak Gembong Kenjeran mendahului, karena tak
ingin mendengar pertanyaan putrinya tentang
hubungannya dengan Dewi Bunga Bangkai.
"Baik," sahut Ratu Adil singkat.
Gembong Kenjeran segera mengajak pu-
trinya keluar. Namun baru saja hendak melang-
kah, tiba-tiba....
"Gembong Kenjeran! Keluar! Aku datang
ingin menemuimu!"
Gembong Kenjeran gusar bukan main keti-
ka tiba-tiba mendengar bentakan keras dari luar
gua. Hatinya khawatir kalau-kalau Eyang Pame-
kasan yang datang ingin meminta pertanggungja-
wabannya. Tanpa sadar kepalanya berpaling me-
mandang pada Ratu Adil, seolah-olah ingin minta
pertimbangan.
Ratu Adil mengangguk. Maka Gembong
Kenjeran pun segera mengajak putrinya keluar
dari tempat persembunyian.
***
10
Di luar gua tempat persembunyian, seo-
rang lelaki tua berpakaian ringkas berwarna biru
telah menunggu kedatangan Gembong Kenjeran.
Tubuhnya amat kurus. Rambutnya awut-awutan
tak terawat. Dari wajahnya yang kepucatan tam-
pak dipenuhi tonjolan-tonjolan daging hidup. Dia
tak lain adalah Peramal Maut.
Melihat siapa yang datang, Gembong Ken-
jeran jadi menghela napasnya lega. Tanpa banyak
membuang waktu putrinya segera diajak keluar
dari mulut gua yang tertutup semak belukar.
"Hup! Hup!"
Kini Gembong Kenjeran dan Ratu Adil telah
berdiri tegak di hadapan Peramal Maut. Mereka
sejenak saling berpandangan. Sementara bagi Pe-
ramal Maut, hatinya merasa heran melihat Ratu
Adil bersama Gembong Kenjeran.
"Hm...! Rupanya gadis bengal itu sudah
dapat kau tundukkan, Gembong Kenjeran," gu-
mam Peramal Maut, sembarangan.
"Jangan bicara sembarangan, Peramal
Maut! Dia putriku," hardik Gembong Kenjeran.
"Oh...! Putrimu?" sentak Peramal Maut
membelalak lebar. Lalu pandangannya dialihkan
ke arah Ratu Adil. "Benar kan apa yang kuramal-
kan beberapa hari lalu? Ternyata orang yang kau
cari tak seperti yang kau harapkan, bukan?"
"Tak semua ramalanmu benar, Peramal
Maut. Buktinya aku dapat membujuk ayahku un-
tuk kembali ke jalan lurus," sergah Ratu Adil sen-
git. (Untuk mengetahui ramalan Peramal Maut
terhadap Ratu Adil, harap baca episode: "Setan
Haus Darah").
"Oho...? Kembali ke jalan lurus? Benarkah?
Apa tidak salah pendengaranku?"
"Tidak, Peramal Maut. Berkat nasihat pu-
triku, sekarang aku sadar. Aku tak ingin bergeli-
mang dosa lagi!" tegas Gendon Prakoso.
Peramal Maut tertawa bergelak. Lucu sekali
melihat Gembong Kenjeran yang sebelumnya to-
koh sesat tiba-tiba bertekuk lutut hanya karena
mendengar nasihat seorang gadis.
"Bukan main. Ini benar-benar satu keju-
tan. Gembong Kenjeran ternyata bertekuk lutut
hanya karena seorang gadis. Ha ha ha...!" tawa
Peramal Maut terdengar sangat melecehkan.
"Peramal Maut! Apa kau datang kemari
hanya untuk memperolokku?" tegur Gembong
Kenjeran tak senang.
Peramal Maut menghentikan tawanya. Se-
pasang matanya mendadak menatap tajam Gem-
bong Kenjeran.
"Tidak! Buat apa aku memperolokmu. Ti-
dak diperolok pun kau sudah merasa malu. Aku
datang kemari hanya ingin menagih janjimu."
"Janji? Janji apa?"
"Ha ha ha...! Hm.... Beginikah ciri-ciri
orang yang sudah tobat? Heran? Kenapa bisa lu-
pa? Bukankah kau akan memberikan obat pena-
war racun kalau aku sudah menyampaikan pe-
sanmu pada Siluman Ular Putih dan Penyair Sint-
ing? Nah! Sekarang apa yang kau inginkan sudah
kulaksanakan. Mungkin sebentar lagi mereka
akan kemari. Ayo! Sekaranglah saatnya kau
memberikan obat penawar racun itu."
"Hm...! Baik," sahut Gembong Kenjeran.
Tangan kanannya segera mengambil butiran kun-
ing dari satu jubahnya, dan dilemparkan ke arah
Peramal maut. "Terimalah obat penawar racun
ini, Peramal Maut!"
Werrr! Werrr!
Dengan sigap Peramal Maut segera me-
nangkap butiran-butiran kuning yang meluncur
deras. Hebatnya, kedua telapak tangan Peramal
Maut kontan bergetar keras manakala menang-
kap. Padahal, kelihatannya Gembong Kenjeran
hanya melemparkan pelan saja!
Untuk menutupi keterkejutannya, Peramal
Maut hanya tertawa. Hatinya sebenarnya merasa
heran juga. Sungguh tak disangka kalau akan
mendapat obat penawar racun begitu mudah.
Seandainya saja Gembong Kenjeran belum berto-
bat, bukan mustahil Peramal Maut akan menda-
pat kesulitan. Bahkan bukan mustahil pula nya-
wanya akan melayang.
"Terima kasih. Sekarang aku baru percaya
kalau kau telah bertobat," ujar Peramal Maut. La-
lu buru-buru ditelannya dua butiran kuning
pemberian Gembong Kenjeran. (Untuk mengeta-
hui Peramal Maut terkena racun oleh Gembong
Kenjeran, silakan baca episode : "Wasiat Kema-
tian"),
Begitu merasakan kesegaran dalam tubuh-
nya, Peramal Maut tersenyum senang. Dipandan-
ginya Gembong Kenjeran dengan mata berbinar.
"Sekarang urusan di antara kita tuntas su-
dah. Dan karena tak ada lagi yang patut dibicara-
kan, aku pun tak ingin lagi berlama-lama di tem-
pat ini. Selamat tinggal!" kata Peramal Maut.
Namun belum sempat lelaki tua itu menje-
jakkan kakinya ke tanah hendak berkelebat me-
ninggalkan tempat itu, mendadak....
"Murid murtad! Aku datang meminta per-
tanggung-jawabanmu!"
Peramal Maut terkesiap ketika terdengar
bentakan dari sebelah barat, ia seperti mengenali
bentakan barusan itu.
"Dia datang. Aku harus dapat meman-
faatkannya untuk melampiaskan dendamku pada
Gembong Kenjeran," batin Peramal Maut.
Seperti yang dialami Peramal Maut, Gem-
bong Kenjeran juga terkejut bukan main. Meski
sosoknya belum kelihatan, lelaki ini tahu siapa
pemilik suara itu.
Dan kenyataannya memang benar. Belum
sempat hilang gaung bentakan, tiba-tiba dari se-
belah barat Hutan Kenjeran muncul sesosok
bayangan hitam-hitam ke tempat itu. Sosok itu
adalah seorang lelaki tua renta berpakaian serba
hitam. Rambutnya yang putih digelung ke atas.
Dia tak lain dari Eyang Pamekasan!
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang
cepat luar biasa, ternyata Eyang Pamekasan telah
tiba di tempat persembunyian Gembong Kenjeran.
Tidak mengherankan memang. Eyang Pamekasan
yang sebenarnya memiliki aji 'Penuntun Sukma'
yang belum pernah diturunkan pada siapa pun,
tentu saja dapat menemukan tempat persembu-
nyian Gembong Kenjeran dengan mudah.
"Benarkah kau telah mengkhianati perin-
tahku, Gendon Prakoso?"
Seketika paras Gembong Kenjeran pucat
pasi. Untuk beberapa saat lelaki ini tak mampu
membuka suara. Hatinya tegang. Seumur hidup-
nya baru kali ini hatinya merasa tegang dan ta-
kut. Takut akan ajalnya, juga takut akan berpisah
dengan putrinya.
"Kenapa diam saja, Gendon?! Benarkah
kau telah mengkhianati perintahku?"
"Ha ha ha...! Sungguh malang nasibmu,
Pamekasan. Punya murid tapi tak mau berbakti.
Buat apa murid macam itu? Bikin sakit gigi saja!"
selak Peramal Maut memanas-manasi.
"Diam kau, Peramal Maut! Aku tak butuh
ocehanmu!" bentak Eyang Pamekasan.
"Ha ha ha...! Kau akan menyesal besar ka-
lau tak mau mendengar ocehanku, Pamekasan.
Akulah saksi atas pengkhianatan muridmu," kata
Peramal Maut, kian membuat Eyang Pamekasan
penasaran.
"Gendon Prakoso! Benarkah apa yang di-
ucapkan, Peramal Maut?"
"Maaf, Guru! Dengan sangat terpaksa, mu-
rid mencabut semua sumpah yang pernah di-
ucapkan," ucap Gembong Kenjeran sambil me-
nangkupkan kedua telapak tangan ke depan da-
da.
"Kau dengar sendiri, apa yang diucapkan
murid kesayanganmu itu, kan?" selak Peramal
Maut lagi, mengejek.
"Bangsat! Jadi benar kau telah mengkhia-
natiku, Murid Murtad?!"
"Adalah kekejian di atas kekejian bila se-
seorang menghalang-halangi seseorang untuk
kembali ke jalan lurus. Semua ini harusnya dite-
rima dengan lapang dada. Bukan malah sebalik-
nya!" sela Ratu Adil.
"Bocah lancang! Beraninya kau menasiha-
tiku! Siapa kau sebenarnya, he?!" bentak Eyang
Pamekasan.
"Dia itu putri kandung muridmu, Pameka-
san. Dan dia pulalah yang telah membuat mu-
ridmu keblinger."
"Kurang ajar! Berarti kalian berdua me-
mang patut mampus di tanganku! Minggir!"
Eyang Pamekasan mendorong tubuh Pe-
ramal Maut kasar. Lalu dengan kemarahan me-
muncak, diterjangnya Gembong Kenjeran dengan
ganas.
Wutt! Wuttt!
Angin berkesiur keras manakala bogem
mentah Eyang Pamekasan berkelebat.
Anehnya Gembong Kenjeran tetap tegak di
tempatnya. Sedikit pun tidak ada niatan untuk
menghindar atau menangkis. Malah, serangan
gurunya diterima dengan mata terbuka. Akibat-
nya....
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali bogem mentah Eyang Pameka-
san mendarat di dada Gembong Kenjeran. Seketi-
ka tubuh lelaki itu terpental ke belakang, dan ter-
banting keras. Darah segar kontan menyembur
dari mulutnya. Gembong Kenjeran mengerang he-
bat. Dadanya yang terkena hantaman seolah mau
jebol!
"Ayah!" jerit Ratu Adil memilukan.
Gadis itu segera menubruk ayahnya dan
berusaha membangunkannya. Namun, Gembong
Kenjeran malah menggelengkan kepala.
"Hukumlah aku kalau kau menghendaki,
Guru! Aku memang bersalah. Aku patut menda-
pat hukumanmu! Tapi, tolong! Jangan libatkan
putriku dengan masalahku ini!"
Eyang Pamekasan menggeram penuh ke-
marahan. Sekali menjejak kembali diterjang
Gembong Kenjeran ganas. Kali ini tendangan ka-
kinya yang keras kembali siap mengancam dada.
Lagi-lagi Gembong Kenjeran tetap tak mau
bergeming dari tempatnya. Melihat itu, Ratu Adil
jadi gusar sekali. Tanpa pikir panjang segera dis-
ambarnya tubuh ayahnya untuk menghindar.
Bukan main geramnya hati Eyang Pameka-
san melihat Ratu Adil ikut campur tangan. Me-
nyadari serangannya hanya mengenai angin ko-
song, lelaki tua sesat itu jadi kian beringas. Sepa-
sang matanya yang mencorong tampak demikian
mengerikan memandang ke arah Ratu Adil dan
Gembong Kenjeran. Dan kini, selangkah demi se-
langkah didekatinya ayah beranak itu.
"Selamatkanlah dirimu, Anakku! Cepat!"
ujar Gembong Kenjeran gusar bukan main.
"Tidak! Apa pun yang akan terjadi tak
mungkin aku meninggalkanmu. Ayah!" tegas Ratu
Adil.
"Tapi...."
"Tanggalkan kepala putrimu dulu baru
kuizinkan pergi!" tuding Eyang Pamekasan ke
arah Ratu Adil.
Di ujung kalimatnya Eyang Pamekasan tak
segan-segan lagi kembali melabrak Gembong Ken-
jeran dan Ratu Adil.
Wuttt! Wuttt!
Kembali tendangan-tendangan kaki Eyang
Pamekasan mengancam ayah dan anak itu. Se-
perti sebelumnya, Gembong Kenjeran tetap tak
mau bergeming dari tempatnya. Lelaki itu tetap
duduk berlutut menunggu hukuman gurunya.
Namun belum sempat serangan Eyang Pa-
mekasan mengenai dada, tiba-tiba Gembong Ken-
jeran melihat selarik sinar putih memapak da-
tangnya serangan.
Srattt!
Eyang Pamekasan terkesiap kaget. Buru-
buru kakinya ditarik kalau tidak ingin terbabat
sambaran pedang di tangan Ratu Adil.
"Kurang ajar! Beraninya kau menghalang-
halangi maksudku, Gadis! Makanlah pukulan
'Pelebur Bumi'-ku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Eyang Pameka-
san yang tak dapat lagi mengendalikan amarah
segera melontarkan pukulan maut ke arah Ratu
Adil. Seketika meluruk dua larik sinar hitam le-
gam dari kedua telapak tangannya siap melabrak
tubuh Ratu Adil.
Wesss! Wesss!
Ratu Adil tercekat, tak menyangka akan
mendapat serangan demikian hebat dari Eyang
Pamekasan. Untuk menghindar maupun mema-
pak rasanya tidak mungkin. Di samping serangan
itu demikian tiba-tiba, juga dilontarkan dari jarak
yang demikian dekat.
Dan belum sempat Ratu Adil memikirkan
tindakan apa yang dilakukan, tiba-tiba meluruk
dua larik sinar hitam legam memapak serangan
Eyang Pamekasan.
Blammm! Blammm!
Terdengar ledakan hebat di udara. Tubuh
Eyang Pamekasan yang sempat terjajar tampak
bergetar hebat. Parasnya menyiratkan keterkeju-
tan melihat orang yang memapak serangannya.
"Bangsat! Berani kau melawan gurumu,
Murid Murtad!" hardik Eyang Pamekasan gusar
bukan main melihat Gembong Kenjeran berani
memapak serangannya.
Gembong Kenjeran yang sempat terjungkal
beberapa tombak berusaha bangkit. Wajahnya
pucat pasi dengan napas tersengal. Dadanya tera-
sa seperti mau ambrol akibat benturan tadi.
"Maaf, Guru! Aku hanya ingin melindungi
putriku," ucap Gembong Kenjeran tersendat-
sendat. Sambil menekap dadanya, lelaki ini beru-
saha berdiri kokoh.
Ratu Adil yang melihat keadaan ayahnya,
segera menyilangkan pedangnya di depan dada,
bermaksud menghalang-halangi Eyang Pameka-
san.
"Kalau kau berani melukai ayahku, aku
siap mengadu jiwa denganmu, Orang Tua!" tegas
Ratu Adil, sedikit pun tidak menyiratkan pera-
saan takut.
"Yustika! Pergilah! Biar urusan ini Ayah
yang menangani," teriak Gembong Kenjeran kha-
watir.
"Tidak, Ayah. Aku tak mungkin meninggal-
kanmu."
"Bangsat hina! Aku akan melenyapkan ka-
lian berdua!" bentak Eyang Pamekasan.
"Tunggu, Pamekasan! Agar kau lebih lelua-
sa menghukum muridmu, biarkan aku main-
main sebentar dengan gadis bengal itu!" usul Pe-
ramal Maut sambil melompat ke tempat pertarun-
gan.
Eyang Pamekasan tampak ragu-ragu. Seje-
nak dipandanginya Peramal Maut tajam-tajam.
"Baiklah. Kau boleh memperlakukan gadis
bengal itu sesukamu, Peramal Maut!" putus
Eyang Pamekasan akhirnya.
Peramal Maut tertawa bergelak, senang se-
kali mendapat kesempatan untuk menghajar Ratu
Adil.
"Terima kasih, Pamekasan. Ayo, kita hajar
manusia-manusia tak tahu diri ini!" sambut Pe-
ramal Maut gembira.
Eyang Pamekasan diam tak menyahut.
Amarahnya yang memuncak membuat perhatian-
nya hanya terpusat pada Gembong Kenjeran. Na-
mun belum sempat kedua tokoh sesat itu mem-
buka serangan, tiba-tiba....
"Wah...! Kebetulan sekali sudah berkumpul
semua di sini. Apa kabar, Pamekasan?"
***
11
Eyang Pamekasan menggeram penuh ke-
marahan. Sepasang matanya yang berkilat-kilat
segera dialihkan ke arah datangnya suara. Ter-
nyata, tak jauh dari tempat itu telah berdiri seo-
rang perempuan cantik berusia tiga puluh lima
tahun. Tubuhnya yang dibungkus pakaian ketat
warna hijau pupus menebarkan aroma harum
bunga melati. Sedang rambutnya yang hitam pan-
jang digelung ke atas. Sambil mengumbar se-
nyum, perempuan cantik itu terus mempermain-
kan payung di tangan kanannya. Seperti pa-
kaiannya, payung itu juga berwarna hijau pupus.
"Putri Hijau...!" desis Eyang Pamekasan.
"Wah...! Beruntung sekali kau masih men-
genaliku, Pamekasan! Apa kabar? Kenapa kau tak
menjawab pertanyaanku?" kata perempuan cantik
itu yang memang Putri Hijau sambil tetap men-
gumbar senyum.
"Tak ada gunanya menjawab pertanyaan-
mu. Karena, memang aku tak ada urusan den-
ganmu," sahut Eyang Pamekasan ketus.
"Oh... begitu. Tapi, muridmu telah melari-
kan temanku yang cantik itu. Jadi kukira aku
berhak mencampuri urusanmu," tandas Putri Hi-
jau sambil menudingkan ujung payungnya ke
arah Ratu Adil.
"Walaupun kau berurusan dengan murid
murtadku, tapi jangan harap bisa menghakimi
muridku! Karena, akulah yang berhak."
"Oho...! Kau bilang murid murtad? Ada apa
sebenarnya?" sentak Putri Hijau membeliakkan
matanya yang indah.
"Sobatku, Putri Hijau! Ketahuilah! Gem-
bong Kenjeran adalah ayah kandungku. Aku telah
memintanya untuk kembali ke jalan lurus. Tapi,
orang tua itu menghalangi niat baik orangtua ku,"
sela Ratu Adil sambil menudingkan ujung pedang
ke arah Eyang Pamekasan.
"Ah...! Kalau begitu kau yang salah, Pame-
kasan. Masa' muridmu mau tobat tak diizinkan?
Yang benar saja, ah?! Kalau kau memang biang-
nya orang sesat, sehingga tak suka melihat orang
bertobat. Biarkanlah muridmu menempuh jalan-
nya sendiri!"
"Jangan banyak omong, Putri Hijau! Kalau
berani menghalang-halangi niatku, maka kaulah
yang pertama kali akan kumusnahkan!" dengus
Eyang Pamekasan sarat ancaman.
"Oho...! Sungguh nyaring suaramu, Pame-
kasan. Sepertinya kau saja yang berkuasa di mu-
ka bumi," ejek Putri Hijau.
"Sobatku, Putri Hijau! Tolong bantu ayah-
ku. Ia tak mau melawan gurunya. Ayahku lebih
baik memilih mati daripada harus melawan," pin-
ta Ratu Adil.
"Hm...! Itu bagus. Itu tanda-tandanya
orang mau tobat. Tentu aku akan melindunginya.
Nah, Pamekasan! Seperti yang kau dengar dari
sobatku yang cantik jelita itu, aku diminta untuk
melindungi Gembong Kenjeran. Sebenarnya, aku
juga belum yakin benar kalau muridmu akan ber-
tobat. Tapi menimbang permintaan sobatku, tak
ada salahnya kalau aku melindungi murid mur-
tadmu!"
"Bangsat! Kalau begitu majulah! Akan ku-
lihat, sampai di mana kehebatanmu!" putus
Eyang Pamekasan.
Meski berkata begitu, tapi toh lelaki tua itu
sendiri yang lebih dulu membuka serangan. Tidak
tanggung-tanggung, dikerahkannya pukulan an-
dalan 'Pelebur Bumi'. Maka begitu kedua telapak-
nya berubah hitam legam hingga pangkal, segera
dihantamkannya ke depan.
Wesss! Wesss!
Tak terhindarkan lagi, dua larik sinar hi-
tam legam langsung melesat dari kedua telapak
tangan Eyang Pamekasan yang disertai hawa pa-
nas bukan kepalang, siap melabrak tubuh Putri
Hijau.
Putri Hijau sempat menyunggingkan se-
nyum. Namun diam-diam telah pula dikerahkan
tenaga dalam tinggi. Dan begitu serangan melu-
ruk segera dipapaknya.
Blammm!
Saat itu juga terdengar satu ledakan hebat
di udara begitu dua kekuatan dahsyat beradu.
Tubuh kedua orang itu pun sama-sama terjajar
ke belakang.
* * *
Sementara itu, Peramal Maut pun mulai
membuka serangan. Dengan tongkat di tangan
kanan, segera diterjangnya Ratu Adil hebat.
Tongkat di tangan kanannya pun telah berseliwe-
ran mengerikan, mengancam tubuh Ratu Adil
yang terus berkelebat cepat menghindari dan me-
nangkis.
Takkk! Takkk!
Dua kali pedang di tangan Ratu Adil me-
nangkis. Dan akibatnya tongkat di tangan Peram-
al Maut kontan terbabat buntung menjadi dua
bagian.
"Setan!"
Peramal Maut menggembor penuh kemara-
han. Sisa tongkat di tangan kanannya dilempar-
kan ke samping. Lalu, sejenak pikirannya dipu-
satkan. Pada saat itu, kedua telapaknya mulai
menghitam hingga ke pangkal lengan.
Ratu Adil maklum kalau Peramal Maut mu-
lai mengerahkan pukulan andalan. Tanpa banyak
pikir panjang, pedangnya segera disimpan kemba-
li dan siap menghadapi Peramal Maut dengan pu-
kulan andalan 'Cakar Naga Samudera'. Maka be-
gitu tenaga dalamnya dikerahkan, tampak jari-jari
tangannya berubah menjadi biru.
Di hadapannya, mata Peramal Maut sem-
pat terbelalak lebar melihat musuhnya mulai
mengerahkan pukulannya. Bagaimanapun juga,
lelaki tua ini pernah merasakan kehebatan puku-
lan murid Ratu Alit. Untuk itu, ia tidak ingin ce-
laka untuk yang kedua kali. Maka tenaga dalam-
nya ditambah menjadi kekuatan penuh.
Ratu Adil sendiri tak berani bersikap ayal-
ayalan. Dua kali gadis ini hampir celaka di tangan
Peramal Maut. Dan itu semua hanya karena keli-
cikan tokoh sesat dari puncak Gunung Kembang
itu. Maka untuk menghadapi pertarungan, tinda-
kannya harus lebih hati-hati. Ia tidak ingin terke-
na tipu muslihatnya untuk yang ketiga kali.
(Mengenai pertarungan Peramal Maut dan Ratu
Adil sebelumnya, silakan baca episode : "Setan
Haus Darah" dan "Hantu Tangan Api").
"Hea!"
Bersamaan teriakannya yang nyaring, tiba-
tiba Peramal Maut menghentakkan kedua telapak
tangan ke depan. Hebat bukan main. Dua larik
sinar hitam legam segera meluruk dari kedua te-
lapak tangannya yang disertai hawa dingin mem-
bekukan tulang.
Wesss! Wesss!
Ratu Adil tak ingin banyak membuang-
buang waktu. Begitu melihat datangnya serangan,
jari-jari tangannya segera digurat-guratkan ke
udara. Akibatnya dari jari-jari tangannya kontan
melesat cepat sepuluh larik sinar biru memapak
pukulan Peramal Maut.
Cesss! Cesss!
Sepuluh larik sinar biru dari jari-jari tan-
gan Ratu Adil seperti mencelup dalam kubangan
air. Namun hebatnya, dua larik sinar hitam legam
milik Peramal Maut sempat tertahan lalu ambyar
ke udara!
Pesss!
Hawa panas dan dingin dari bentrokan se-
gera menguar memenuhi tempat pertarungan.
Seketika, ranting-ranting pohon berderak dengan
daun-daun dalam keadaan hangus terbakar! Se-
bagian lainnya kontan berubah menjadi kusam!
Sementara, tubuh Peramal Maut dan Ratu
Adil sama-sama terpental jauh ke belakang. Na-
mun, Ratu Adil cepat dapat menguasai keseim-
bangan. Walau parasnya menjadi pias, namun
dapat tersenyum puas melihat hasil serangannya.
Di hadapannya, tubuh Peramal Maut ma-
sih terduduk di tanah dengan napas memburu.
Pakaian yang dikenakan tampak bolong-bolong,
akibat terkena lesatan sinar biru dari jari-jari tan-
gan Ratu Adil. Untung saja, tenaga dalamnya se-
gera dikerahkan, hingga luka yang diderita tak
begitu parah.
"Bangsat hina! Kau pikir mudah meroboh-
kanku, he?!" geram Peramal Maut meledak-ledak.
Di ujung geramannya, tokoh sesat dari
puncak Gunung Kembang ini segera melompat
bangun, Tubuhnya sempat limbung begitu ka-
kinya menjejak tanah. Namun keseimbangan tu-
buhnya cepat dapat dikuasai. Kedua telapak tan-
gannya kini telah berubah kuning hingga pangkal
lengan, pertanda telah mengerahkan tenaga da-
lam tinggi.
"Hati-hati, Anakku! Ia akan mengeluarkan
pukulan 'Gada Akhirat'!" teriak Gembong Kenje-
ran, dari luar tempat pertarungan.
"Jangan khawatir. Ayah! Asal tua bangkai
itu tak berbuat licik, pasti aku dapat mengata-
sinya," sahut Ratu Adil, merasa terharu melihat
ayahnya masih terduduk di luar tempat pertarun-
gan akibat luka dalamnya.
"Gadis pongah! Makanlah pukulan 'Gada
Akhirat'-ku! Hea!"
Seiring teriakan keras, tiba-tiba Peramal
Maut menyentakkan telapak tangannya ke depan,
membuat dua larik sinar kuning berkilauan mele-
sat ke depan. Hawa panas yang bukan kepalang
pun sempat menampar-nampar kulit Ratu Adil
sebelum mencapai sasaran.
Ratu Adil menggeletukkan geraham se-
kuatnya. Sinar biru di jari-jari tangannya pun
makin terang. Lalu dengan menambah tenaga da-
lam sepenuhnya, jari-jari tangannya segera digu-
rat-guratkan kembali ke udara.
Srattt! Srattt!
Saat itu pula sepuluh larik sinar biru dari
jari-jari tangan Ratu Adil melesat cepat. Suaranya
mencicit, sebelum akhirnya memapak dua larik
sinar kuning milik Peramal Maut.
Besss!
Bumi bergetar hebat ketika terjadi bentu-
ran dua kekuatan dahsyat. Gulungan-gulungan
sinar biru dan sinar kuning tampak tertahan di
udara. Di kejap lain, sosok Peramal Maut terpen-
tal jauh ke belakang dengan teriakannya me-
lengking tinggi.
Bukkk!
Tubuh Peramal Maut terbanting keras. Dari
lobang hidung dan telinganya mengeluarkan da-
rah segar. Mulutnya mengerang hebat. Tangannya
menggapai-gapai ke udara, lalu luruh ke tanah
dan tidak bergerak-gerak lagi. Tewas!
***
12
"Ha ha ha...! Lihatlah, Pamekasan! Nyawa
sobatmu telah dijemput malaikat maut! Sebentar
lagi pasti giliranmu!"
Suara merdu Putri Hijau terdengar amat
menyakitkan telinga Eyang Pamekasan. Tentu sa-
ja hal ini makin membuat amarah lelaki tua itu
makin berkobar. Maka dengan disertai pekik ke-
marahan, diterjangnya Putri Hijau ganas. Tidak
tanggung-tanggung, kali ini disertai pengerahan
pukulan 'Panglarut Banyu Putih'. Maka begitu
tangannya dihentakkan, seketika meluncur dua
gulungan asap putih berkilauan menyeruak.
Wesss! Wesss!
"Wah...! Rupanya kau sudah tak sabar in-
gin bertemu malaikat maut, Pamekasan! Baiklah.
Kudoakan agar kau cepat pergi," ejek Putri Hijau.
Di akhir ejeknya, Putri Hijau segera mem-
buka payungnya lebar-lebar. Tatkala gulungan
asap putih dari tangan Eyang Pamekasan sema-
kin dekat dengan tubuhnya, tubuhnya cepat ber-
lindung ke balik payung yang terbuka.
Besss!
Aneh!
Ternyata payung di tangan Putri Hijau ti-
dak mengalami kerusakan apa-apa. Malah yang
terjadi justru sebaliknya. Dua gulungan asap pu-
tih itu tertahan di udara!
"Hik hik hik...! Alangkah nyamannya ber-
lindung di balik payungku ini. Untung aku selalu
membawanya. Kalau tidak, bisa celaka aku," oceh
Putri Hijau.
Eyang Pamekasan jadi gusar bukan main.
Padahal kedua telapak tangannya makin bergetar
hebat. Sedang dua gulungan asap dari kedua te-
lapak tangannya tetap saja tak mampu menem-
bus payung di tangan Putri Hijau. Melihat hal ini
dicobanya melipatgandakan tenaga dalam.
"Hea!"
Bersama teriakannya yang nyaring, tiba-
tiba Eyang Pamekasan menyentakkan tangannya
kuat-kuat. Akibatnya, gulungan asap putih milik-
nya makin hebat menerjang payung di tangan Pu-
tri Hijau.
Buk! Buk!
Hebat lagi, ternyata payung di tangan Putri
Hijau mampu menahan datangnya serangan. Wa-
lau payung itu sempat bergetar keras, namun se-
rangan-serangan Eyang Pamekasan jadi tertahan!
Tiba-tiba Putri Hijau memutar payungnya
kuat. Akibatnya, gulungan asap dari kedua tela-
pak tangan Eyang Pamekasan ambyar! Sedang-
kan tubuh Eyang Pamekasan terpental ke bela-
kang.
Tubuh Putri Hijau sendiri pun kontan ter-
getar hebat. Tampak paras cantiknya pucat pasi,
pertanda mengalami luka dalam yang cukup pa-
rah. Namun bibir itu masih dapat menyungging-
kan senyum.
"Hup!"
Pada saat itu tiba-tiba Putri Hijau menje-
jakkan kakinya ke udara. Sekali tangannya dike-
butkan, lima larik sinar kecil yang menebarkan
bau harum langsung melesat cepat ke arah Eyang
Pamekasan.
Werrr! Werrr!
Eyang Pamekasan terkesiap kaget. Tubuh-
nya yang saat itu masih melayang-layang di udara
tak siap untuk menerima datangnya serangan.
Namun, lelaki tua itu tak kehabisan akal. Ujung
pakaiannya cepat dikebutkan, membuat serang-
kum angin keras langsung memapak serangan
lawan.
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!
Lima larik sinar biru kecil yang memang
berupa lima buah bunga melati biru langsung lu-
ruh ke tanah! Dan begitu menyentuh tanah, hawa
harum bunga melati itu pun menebar, amat me-
nyengat hidung Eyang Pamekasan! Tapi semakin
lama menghirup bau harum itu, kepalanya jadi
pening!
"Celaka! Aku bisa mampus terkena racun
bunga melati biru itu. Aku harus secepatnya
mengeluarkan aji 'Setan Kober'-ku...," rutuk
Eyang Pamekasan dalam hati.
Tanpa banyak pertimbangan lagi, Eyang
Pamekasan segera menelangkupkan kedua tela-
pak tangan di depan dada disertai pengerahan te-
naga dalam. Saat itu juga, kedua telapak tangan-
nya berubah menjadi hitam legam hingga pangkal
lengan! Lalu dikawal bentakan nyaring, kedua te-
lapak tangannya disentakkan ke depan.
Buesss!
Kini dari kedua telapak tangan Eyang Pa-
mekasan menyembul keluar dua kepala bayi hi-
tam dengan tangan-tangannya yang menjulur
panjang ke arah Putri Hijau!
Seperti sewaktu menghadapi Gembong
Kenjeran, Putri Hijau segera berlindung di balik
payungnya. Hebat bukan main! Tangan-tangan
bayi hitam milik Eyang Pamekasan tak mampu
menembus kehebatan payung di tangan Putri Hi-
jau!
Bukan main terkejutnya lelaki tua ini
sungguh tidak disangka kalau serangan tangan-
tangan bayi hitamnya tetap saja tak mampu me-
nembus payung di tangan Putri Hijau.
"Hik hik hik...! Tuhan memang maha adil.
Beruntung benar aku memiliki Payung Keda-
maian ini, hingga dapat terhindar dari tangan-
tangan kotor manusia-manusia yang berhati ib-
lis," kata Putri Hijau sambil tertawa makin mem-
buat hati Eyang Pamekasan penasaran.
Eyang Pamekasan bungkam seribu bahasa.
Perasaan malu dan geram bercampur dalam da-
da. Saat itu pula tenaga dalamnya ditambah, seo-
lah hendak memaksakan tangan-tangan bayi hi-
tamnya untuk mencengkeram payung di tangan
Putri Hijau.
Pada saat yang sama, tiba-tiba Putri Hijau
memutar payung di tangan kanannya cepat.
Serrr!
Serangkum angin keras laksana gelombang
badai kontan melabrak tangan-tangan bayi hitam.
"Aaakh...!"
Eyang Pamekasan memekik keras. Tubuh-
nya kontan limbung ke samping, Sedangkan tan-
gan-tangan bayi hitamnya pun seketika lenyap,
sehingga membuatnya gusar bukan main. Paras-
nya pucat pasi. Dari lobang hidungnya tampak
mengalir darah segar! Pakaian yang dikenakannya
pun robek di sana sini!
Di hadapannya, tampak Putri Hijau men-
gebutkan tangannya. Seketika, berpuluh sinar bi-
ru kecil melesat cepat ke arah Eyang Pamekasan.
Eyang Pamekasan yang telah menderita lu-
ka dalam cukup hebat segera berkelebat meng-
hindar. Namun karena gerakannya agak lambat,
maka beberapa bunga melati biru milik Putri Hi-
jau sempat menghantam dadanya!
Plukk! Plukkk!
"Aaakh...!"
Eyang Pamekasan meraung setinggi langit
ketika tubuhnya jatuh ke tanah. Rasa nyeri yang
bukan kepalang terasa hebat menyerang dada.
Sekujur tubuhnya pun menggigil hebat!
"Hoeekh!"
Darah segar kebiru-biruan langsung me-
nyembur dari mulut Eyang Pamekasan. Tangan
kanannya cepat mendekat dada kuat-kuat. Sepa-
sang matanya yang tajam pun mulai jelalatan ke
sana kemari. Lalu tanpa banyak membuang wak-
tu, tubuhnya segera bangkit dan berkelebat cepat
meninggalkan tempat pertarungan.
"Hey...! Kau mau ke mana, Pamekasan?!
Kenapa lari terbirit-birit?"
Mendadak terdengar suara teguran yang
disusul dengan berkelebatnya dua sosok bayan-
gan yang langsung menghadang langkah Eyang
Pamekasan.
* * *
Sepasang mata Eyang Pamekasan berkilat-
kilat liar. Dua orang penghadangnya ternyata dua
orang musuh bebuyutan yang sebenarnya tengah
dicari. Mereka tak lain adalah Penyair Sinting dan
Siluman Ular Putih.
Menyadari dirinya telah menderita luka da-
lam hebat, jelas tak mungkin lelaki tua sesat itu
dapat melampiaskan dendamnya. Apalagi di situ
masih ada Putri Hijau yang lihai. Menghadapi Pu-
tri Hijau saja, ia belum mampu. Apalagi sekarang
muncul Siluman Ular Putih dan Penyair Sinting.
Maka ciutlah nyali Eyang Pamekasan.
"Pamekasan! Kau bilang ingin menghabisi
nyawaku? Ayo, bunuh aku kalau bisa!" hardik
Penyair Sinting sambil membusungkan dada.
Eyang Pamekasan diam tak menyahut. Ma-
tanya kian jelalatan ke sana kemari mencari pe-
luang untuk melarikan diri. Namun sayang, pe-
luang itu tak ada. Malah kini Putri Hijau sudah
bergabung dengan Penyair Sinting dan Siluman
Ular Putih.
"Tua bangka macam kau memang patut
dimusnahkan dari muka bumi ini. Sudah tua bu-
kannya bertobat, malah menjadi biang pembuat
onar. Huh!" dengus Siluman Ular Putih
"Kau benar, Bocah Sinting. Tua bangka ini
memang palut dilenyapkan," timpal Penyair Sint-
ing.
"Wahai, sobat-sobatku Penyair Sinting dan
Siluman Ular Putih! Ucapan kalian kurasa me-
mang benar. Sepertinya aku mulai mendengar
malaikat maut mulai gentayangan di tempat ini.
Pasti, ia ingin merenggut tua bangka Pamekasan
itu!" tuding Putri Hijau ke arah Eyang Pameka-
san.
"Ha ha ha...!"
Entah karena tegang, entah saking tak
kuatnya menahan malu, tiba-tiba Eyang Pameka-
san tertawa bergelak. Suara tawanya terdengar
sumbang seperti orang putus asa.
"Kalian semua tak mungkin dapat membu-
nuhku! Kecuali.... Huh...!"
Dikawal dengusan, tiba-tiba Eyang Pame-
kasan mengangkat dua jari tangannya ke atas, la-
lu dihujamkan ke ubun-ubun kepalanya sendiri
dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Crokkk!
Darah segar berikut isi kepala langsung
menyemburat keluar. Perlahan-lahan Eyang Pa-
mekasan luruh ke tanah. Tubuhnya mengejang-
ngejang sebentar, lalu tidak bergerak-gerak lagi.
Untuk beberapa saat, Putri Hijau, Penyair
Sinting, dan Siluman Ular Putih hanya tercekat
melihat kejadian menggiriskan barusan. Mereka
semua tidak menyangka kalau Eyang Pamekasan
akan bertindak nekat menghabisi nyawanya sen-
diri.
"Yah...! Mungkin memang beginilah yang
dikehendaki Yang Maha Kuasa...;" desah Putri Hi-
jau sambil mendesah panjang.
Penyair Sinting tampak masih tercekat di
tempatnya. Namun tidak demikian halnya Silu-
man Ular Putih. Begitu murid Eyang Begawan
Kamasetyo melihat Ratu Adil yang tengah mengo-
bati luka dalam Gembong Kenjeran, buru-buru
menghampiri walau dengan sinar mata penuh ke-
heranan.
"Bagaimana kabarmu, Yustika? Kau tidak
apa-apa?" sapa Siluman Ular Putih sambil men-
gerling ke arah Gembong Kenjeran.
Ratu Adil yang tahu apa arti kerling mata
Siluman Ular Putih tersenyum.
"Ternyata Gendon Prakoso yang kita cari
adalah Gembong Kenjeran, Soma;" jelasnya.
"Jadi...?"
"Ya! Inilah ayah kandungku yang sebenar-
nya, Soma," Ratu Adil memeluk ayahnya erat-
erat.
Siluman Ular Putih melongo. Masih belum
mengerti apa yang dikatakan Ratu Adil.
"Siluman Ular Putih! Aku menyesal sekali.
Selama ini, aku begitu bodoh. Bahkan aku sam-
pai menghendaki nyawamu. Juga, menghendaki
nyawa siapa saja yang menghalang-halangiku. Te-
rus terang, aku sudah insaf. Aku tobat. Kau tidak
bertanya siapa yang membuatku jadi begini, Si-
luman Ular Putih?" ucap Gembong Kenjeran.
"Tentu karena putrimu yang cantik jelita
itu, bukan?" tebak Siluman Ular Putih asal saja.
Ratu Adil tertunduk malu.
"Benar! Memang putrikulah yang telah
membuatku sadar. Terus terang, aku bangga se-
kali memiliki putri seperti ini," kata Gembong
Kenjeran sambil mendekap Ratu Adil erat. "Tapi,
sudikah kau memaafkan kesalahanku selama
ini?"
"Tentu! Tapi kau juga harus meminta maaf
pada orang-orang yang telah kau sakiti. Termasuk
juga, orang tua itu. Eh, di manakah mereka?"
Siluman Ular Putih celingukkan ke sana
kemari. Tapi sosok Putri Hijau dan Penyair Sint-
ing sudah meninggalkan tempat itu.
"Ah...! Dasar orang-orang sinting! Seenak
perutnya saja ngeloyor," rutuk si pemuda.
"Sadahlah! Mereka itu orang-orang aneh.
Buat apa mencarinya," kata Gembong Kenjeran,
lalu merangkak bangun. "Sebentar." Lelaki itu
lantas melangkah, mendekati mayat Eyang Pame-
kasan.
"Soma! Ayahku sudah tobat. Apa kau pikir
baik kalau misalnya aku mengajaknya hidup di
Nusa Kambangan?" tanya Ratu Adil, meminta
pendapat.
"Kau dan ayahmu akan hidup di Nusa
Kambangan?"
"Ya. Kenapa?"
"Hm...! Tak apa-apa," sahut Soma gugup.
Ratu Adil memandang Soma sebentar. En-
tah kenapa, hatinya jadi gelisah sekali.
"Sebenarnya, aku senang sekali melakukan
perjalanan bersamamu. Soma. Tapi setelah ber-
temu ayah kandungku, terpaksa aku harus me-
nemaninya. Kapan-kapan kau tengok aku di Nusa
Kambangan, ya?" desah Ratu Adil.
Siluman Ular Putih mengangguk pelan.
"Terima kasih, Soma. Kau baik sekali...,"
ucap Ratu Adil. Seketika gadis itu menubruk si
pemuda. Kepalanya langsung direbahkan ke dada
Siluman Ular Putih.
Soma mendekap si gadis erat. Dibelainya
rambut Ratu Adil lembut.
"Ayo, kita bantu ayahmu menguburkan
mayat Eyang Pamekasan," ajak Siluman Ular Pu-
tih.
Ratu Adil mendesah. Hatinya agak kecewa
saat Siluman Ular Putih melepaskan pelukannya.
Namun manakala si pemuda kembali menggeng-
gam jari-jari tangan dan menggandeng lengannya
untuk mendekati ayah kandungnya, Ratu Adil
merasa bahagia. Senyumnya pun tampak jelas
terkembang di bibir.
SELESAI
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon