SATU
Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Angin bertiup kencang
menaburkan udara dingin yang membekukan tulang. Kabut tebal bergulung-gulung
bercampur awan hitam menghalangi pandangan mata empat orang yang berjalan
tertatih-tatih menembus rinai hujan. Mereka adalah seorang laki-laki tua,
seorang pemuda, seorang wanita, dan seorang anak kecil berusia sekitar tujuh
tahun. Mereka terus berjalan meskipun hujan semakin besar.
"Sebaiknya kita berhenti dulu, Yah. Kasihan Surya
Paku," kata yang wanita dengan suara menggigil kedinginan.
"Tidak di sini. Terlalu berbahaya...," sahut
laki-laki tua yang berjalan paling depan.
"Tapi hujan semakin besar, Yah," kata wanita itu
lagi.
"Sebentar. Di depan sana ada dangau."
Wanita yang masih muda itu kembali diam. Digamitnya lengan
bocah kecil yang berjalan di sampingnya, kemudian digendongnya. Mereka terus
berjalan tanpa berkata-kata lagi. Sementara cuaca semakin buruk. Kegelapan
menyelimuti sekitarnya. Hujan yang semakin besar itu, dihiasi pula oleh
sambaran kilat yang membelah angkasa. Suaranya mengguntur memekakkan telinga.
Setiap kali kilat menyambar, wanita yang berjalan di belakang laki-laki tua itu
memekik kecil. Tubuhnya semakin keras menggigil kedinginan.
Memang benar apa yang dikatakan laki-laki tua tadi. Mereka
kini sudah melihat suatu bangunan terbuka yang hanya beratapkan daun rumbia,
dan bersama-sama bergegas melangkah setengah berlari. Sementara tanah yang
dipijak sudah berair dan berlumpur. Mereka menuju ke dangau kecil tanpa dinding
itu. Untung di dangau itu terdapat sebuah balai-balai kecil yang beralaskan
anyaman tikar daun pandan. Meskipun sudah koyak, tapi cukup untuk beristirahat
sambil menunggu hujan reda.
"Hhh...! Seharusnya kita tidak berangkat hari
ini...," wanita itu mengeluh lirih seraya duduk di balai-balai sambil
memangku bocah laki-laki.
"Jangan mengeluh begitu, Laras. Apa pun yang terjadi
kita harus cepat sampai," kata laki-laki muda yang duduk di sebelahnya.
Sedangkan laki-laki tua yang memakai baju berjubah putih hanya berdiri saja
sambil bersandar pada tiang dangau itu. Pandangannya tertuju lurus ke depan.
"Hhh...! Kenapa nasib kita selalu malang, Kakang?
Sepertinya tidak ada tempat lagi di dunia ini yang bersedia menampung
kita," lagi-lagi wanita yang dipanggil Laras mengeluh.
"Sudahlah, Laras. Tidak baik mengeluh terus seperti
itu," lembut nada suara laki-laki itu. Tangannya merentang memeluk pundak
Laras. Sesaat kemudian tidak lagi kata-kata yang terucapkan. Sementara hujan
terus turun deras sekali, seakan-akan tidak mau berhenti. Secercah kilat
menyambar membuat keadaan sekelilingnya terang sejenak dan disusul oleh suara
mengguntur keras. Laras kontan memekik kaget.
"Ih.... Perasaanku jadi tidak enak, Kakang,"
rintih Laras lirih.
"Hssst..!"
"Prakasa...!" panggil laki-laki tua yang tetap berdiri
bersandar pada tiang dangau.
"Ya, Ayah," sahut laki-laki muda yang dipanggil
Prakasa itu.
Pandu Prakasa berdiri dan menghampiri laki-laki yang
sebenarnya bernama Ki Selong. Laki-laki tua itu Ayah dari Pandu Prakasa, dan
Laras adalah istri pemuda itu. Pandu Prakasa berdiri di samping ayahnya.
"Kau tahu, jalan mana yang terdekat?" tanya Ki
Selong.
"Hanya ini jalan satu-satunya. Ayah, " sahut Pandu
Prakasa.
"Istrimu tahu?"
Prakasa hanya menggeleng saja. Kembali secercah kilat
menyambar membuat suasana terang benderang sesaat Dua orang laki-laki itu
menatap ke arah yang sama. Tampaklah sebuah ba ngunan batu yang ditumpuk
menyerupai kuil kecil, begitu sinar kilat yang sesaat itu menerangi sekitarnya.
Mereka sama-sama terkesiap dan terkejut begitu menyadari bentuk bangunan itu.
Batu-batu yang bertumpuk itu membentuk kerucut yang tingginya tidak lebih dari
tinggi orang dewasa. Bagian bawah bangunan itu sudah terendam air bercampur
lumpur.
"Ayah, apakah jalan yang kita lalui tidak salah?"
tanya Pandu Praka sa tanpa berpaling sedikit pun.
"Kenapa?" Ki Selong balik bertanya.
"Bukankah ini..," Pandu Prakasa tidak melanjutkan
kata-katanya. Matanya tidak berkedip menatap tumpukan batu berbentuk kuil di
depannya.
"Kau yang memilih jalan ini, bukan?" pelan suara
Ki Selong.
"Benar! Tapi...," kembali suara Pandu Prakasa
terputus.
Saat itu kembali secercah kilat menyambar. Dan ujung kilat
itu menghantam tumpukan batu berbentuk kuil kecil itu, sehingga menimbulkan
suara ledakan dahsyat Tumpukan batu itu hancur berkeping-keping, menyebar ke
segala arah. Ki Selong bergegas menarik tangan anaknya, lalu melangkah mundur
mendekati Laras yang memeluk erat-erat anaknya.
Cahaya pun menyemburat dari kobaran api yang membakar
batu-batu itu. Tampak wajah Ki Selong dan Pandu Prakasa pucat pasi. Mata mereka
sama-sama tidak berkedip memandangi kobaran api itu. Suasana yang semula gelap,
berubah terang benderang oleh kobaran api yang ditimbulkan sambaran kilat tadi.
"Ada apa, Ayah? Kakang....?" tanya Laras yang
ketakutan melihat wajah ayah mertua dan suaminya pucat pasi.
Baik Ki Selong mau pun Pandu Prakasa tidak menjawab, tapi
malah saling berpandangan satu sama lain. Saat itu, tiba-tiba saja suatu
ledakan keras terdengar menggelegar dari api yang berkobar besar. Percikan
bunga api menyebar ke segala arah, dan salah satunya menyambar atap dangau yang
terbuat dari daun rumbia. Api itu langsung melalap atap dangau.
"Cepat, pergi...!" seru Ki Selong.
Pandu Prakasa bergegas menarik tangan istrinya dan
membawanya keluar dari dalam dangau. Sedangkan Ki Selong bergegas melompat
keluar menyusul anak dan menantunya. Bocah laki-laki berusia tujuh tahun,
memeluk erat ibunya dan menyembunyikan wajahnya di dada wanita itu. Mereka
berlari-lari menjauhi tempat itu.
Api terus berkobar semakin besar. Hujan pun turun deras
bagai ditumpahkan dari langit Ki Selong bersama anak, menantu, dan cucunya
terus berlari semakin jauh masuk ke dalam hutan. Cahaya api yang begitu besar
menerangi alam sekitarnya. Sesekali mereka menoleh ke belakang melihat sumber
api itu. Dan ketika menoleh untuk kesekian kalinya, mendadak mereka berhenti
berlari.
Saat itu secercah kilat kembali menyambar ke arah kobaran
api. Satu ledakan keras terdengar dahsyat, menggetarkan bumi yang dipijak.
Tidak berapa lama berselang, terdengar suara raungan keras disusul padamnya api
itu.
"Jagat Dewa Batara...!" desah Ki Selong
terperanjat Matanya membeliak tidak berkedip.
Tampak dari reruntuhan batu itu, berdiri sesosok tubuh
tinggi besar dengan kedua tangan terangkat tinggi ke atas. Kepalanya menengadah
lurus ke atas, dan mulutnya terbuka lebar sambil meraung keras menggelegar.
Sepasang bola matanya terlihat merah menyala bagai bara api yang
berkobar-kobar. Gigi-giginya bertaring tajam dan berkilat. Pakaiannya koyak dan
penuh lumpur, tidak jelas lagi warnanya.
"Graaagh...!" makhluk itu menggerung keras, lalu
menoleh ke arah orang-orang yang memperhatikannya.
"Kakang...," Laras merapatkan tubuhnya di belakang
suaminya.
Makhluk mengerikan itu melompat cepat ke arah orang-orang
itu. Dengan kecepatan kilat, diterkamnya Ki Selong yang masih terperangah.
Laki-laki tua itu memekik keras. Lehernya dicengkeram kuat oleh kuku-kuku yang
panjang dan berlumpur.
"Ayah...!" jerit Laras tersentak kaget ketakutan.
"Akh...! Lari...! Cepat lari...!" teriak Ki
Selong.
Laki-laki tua itu memberontak berusaha melepaskan diri dari
cengkeraman itu. Dia berteriak-teriak memerintahkan anak dan menantunya untuk
cepat lari. Tapi Pandu Prakasa seperti terkesima melihat kejadian mengerikan
itu, dan hanya berdiri serta membeliak tidak berkedip. Sementara Ki Selong
semakin lemah gerakannya. Suaranya juga tertelan gemuruh hujan yang masih
deras.
"Lepaskan ayahku...!" teriak Pandu Prakasa begitu
melihat tubuh ayahnya sudah tidak bergerak-gerak lagi.
Pandu Prakasa melompat sambil mencabut goloknya yang terselip
di pinggang. Dengan kekuatan penuh, dibabarkan goloknya ke punggung makhluk
liar mengerikan itu. Tapi goloknya malah terpental begitu menghantam punggung
makhluk itu.
"Gragh...!" makhluk itu menggeram keras.
Cepat sekali dia memutar tubuhnya sambil mengibaskan
tangannya yang penuh lumpur. Pandu Prakasa yang tengah terpana, tidak bisa lagi
berkelit dari sampokan itu. Mulutnya hanya mampu menjerit melengking, dan
tubuhnya terlontar keras menghantam sebatang pohon.
"Graaah...!"
Kembali makhluk itu menggerung keras, lalu melompat menerkam
Pandu Prakasa. Dengan buas dikoyaknya leher laki-laki muda itu dengan
taringnya. Pandu Prakasa menjerit keras, dan tubuhnya menggelepar kuat. Darah
langsung muncrat dari leher yang koyak.
"Kakang...! Oh, tidaaak...!" jerit Laras histeris.
"Ibuuu...," rintih Surya Paku menangis dalam
gendongan ibunya.
Makhluk itu menggerung dan menoleh pada Laras. Sepasang bola
matanya berkilat merah begitu melihat wanita muda berdiri bergetar menggendong
seorang bocah. Laras terpaku seketika, dan tubuhnya semakin keras menggigil.
Tapi entah dari mana, tiba-tiba datang suatu kekuatan yang membuatnya harus
berbalik cepat dan segera berlari kencang.
"Graaagh...!" Makhluk itu menggerung keras.
Dilepaskan cengkeramannya pada Pandu Prakasa. Bergegas
makhluk itu melompat hendak mengejar Laras. Namun, Pandu yang masih mampu
bertahan hidup, cepat melompat menerkam dengan sisa-sisa tenaganya. Tidak
dipedulikannya lagi lehernya yang koyak mengeluarkan darah. Pandu memeluk
erat-erat tubuh makhluk itu dari belakang.
"Ghraaaghk...!" Makhluk itu menggeram marah.
Kuat sekali sibakan kedua tangannya, sehingga dekapan Pandu
terlepas. Tubuh laki-laki muda itu terpelanting jatuh dengan kerasnya ke tanah.
Makhluk itu menjadi marah, dan kembali menerkam Pandu yang menggeletak di tanah
basah. Dengan buas sekali dicabik-cabiknya tubuh laki-laki muda itu. Jeritan
melengking mengiringi kematiannya.
Makhluk aneh mengerikan itu meraung keras, dan kepalanya
berputar memandang ke sekeliling. Tapi Laras sudah tidak terlihat lagi
bayangannya, lenyap ditelan kegelapan malam dan lebatnya hutan. Kembali makhluk
itu meraung keras menggetarkan seluruh alam persada ini. Dua mayat
bergelimpangan, bersimbah darah. Makhluk itu kemudian melampiaskan kemarahannya
dengan mencabik-cabik kedua mayat laki-laki yang menjadi korbannya.
Sementara itu Laras terus berlari-lari sekuat tenaga. Tidak
dipedulikannya lagi arah yang ditempuh. Beberapa kali kakinya tersangkut akar
yang menyembul dari dalam tanah, sehingga wanita itu terjerembab. Namun segala
rintangan sudah tidak dipedulikannya lagi, dan terus berlari sekuat tenaga. Air
matanya bercucuran bercampur air hujan yang turun deras sekali.
"Ibuuu...," Surya Paku merintih lirih dalam
pelukan ibunya.
"Oh!" Laras tersentak mendengar rintihan lirih
anaknya.
Wanita itu berhenti berlari, dan jatuh duduk di tanah yang
berlumpur sambil menangis dan menciumi anaknya. Seluruh tubuhnya terasa letih,
seakan tidak kuat lagi untuk melangkah. Apalagi untuk berlari. Laras memandang
sekelilingnya. Naluri keibuannya mengatakan kalau putra satu-satunya ini harus
diselamatkan.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Laras bangkit berdiri dan
berjalan tertatih-tatih menembus kelebatan hujan sambil memeluk anaknya.
Dilindunginya anak itu dari terpaan air hujan yang begitu deras menyakitkan.
Laras tidak tahu lagi arah yang dituju, dan di mana sekarang berada. Hanya satu
tekadnya. Menyelamatkan Surya Paku dari makhluk buas yang telah merenggut nyawa
ayah mertua dan suaminya!
Pagi begitu bening. Matahari bersinar indah dengan cahayanya
yang hangat menyinari bumi. Burung-burung berkicau membangunkan seluruh makhluk
di muka bumi ini yang semalaman terlelap dalam buaian curah hujan. Titik-titik
air hujan masih terlihat di puncak-puncak pohon, memantulkan cahaya indah
membentuk lingkaran pelangi.
Di atas rerumputan basah, tampak tergolek seorang wanita
muda berpakaian basah dan kotor. Di sampingnya tergolek seorang bocah laki-laki
berusia sekitar tujuh tahun. Hangatnya cahaya matahari pagi membuat dua orang
itu menggeliat. Kelopak mata mereka mengerjap.
"Oh...!" Wanita itu langsung beranjak bangun, dan
memandang berkeliling. Kicauan burung seakan-akan menyambutnya. Wanita itu
menoleh menatap bocah laki-laki kecil yang juga sudah terbangun. Tubuhnya masih
tergolek, meskipun matanya terbuka penuh. Raut wajah mereka tampak begitu
letih, dan pandangan mata sayu. Sesaat kemudian, wanita itu menutup wajah
dengan kedua tangannya. Terdengar suara isak lirih. Bahunya pun terguncang
pelahan.
"Ibu...," pelan sekali suara bocah kecil itu. Dia
bangkit dan beringsut duduk di samping ibunya.
"Oh, Anakku...."
Wanita itu menggamit dan memeluk anaknya. Dia terus menangis
sambil menciumi wajah laki-laki kecil yang kelihatan kebingungan. Tidak berapa
lama kemudian wanita itu menghapus air matanya. Tubuhnya masih terduduk lesu,
dan pandangannya kosong ke depan, menatap hutan yang lebat.
Ingatannya kembali pada peristiwa mengerikan yang merenggut
nyawa ayah mertua serta suaminya semalam. Wanita yang tidak lain adalah Laras,
kembali menitikkan air matanya. Kedua telapak tangannya menutup muka, tidak
sanggup mengingat peristiwa itu. Sedangkan anak laki-laki di sampingnya hanya
bisa memeluk. Hatinya yang masih polos dapat merasakan kesedihan yang dirasakan
ibunya. Meskipun belum mengerti, tapi dia ikut menyaksikan peristiwa yang
mengerikan itu.
"Bu..., Ayah mana?" tanya Surya Paku pelan.
"Oh...!"
Laras memeluk anaknya, dan kembali menangis mendengar
pertanyaan polos itu. Surya Paku semakin tidak mengerti. Dibiarkan saja ibunya
memeluk dan menciuminya, bagai baru saja bertemu setelah berpisah sekian tahun
lamanya. Namun tiba-tiba Laras melepaskan pelukannya ketika mendengar derap
langkah kaki kuda dari kejauhan, yang jelas mengarah ke tempatnya.
Bergegas Laras bangkit berdiri dan menggendong anaknya, lalu
cepat-cepat berlari ke arah semak belukar yang tidak jauh dari tempat itu. Dia
bersembunyi di dalamnya. Tidak lama berselang, muncul seorang pemuda tampan
menunggang kuda hitam. Langkah kaki kuda itu tidak tergesa-gesa. Dan
penunggangnya seperti tengah menikmati keindahan di sekelilingnya sambil
menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.
Penunggang kuda hitam itu menghentikan langkah binatang
jinak tinggi besar itu, di tempat Laras dan anaknya tadi berada. Pemuda tampan
penunggang kuda itu melompat turun. Gerakannya indah tanpa menimbulkan suara
sedikit pun. Sebentar dipandangi keadaan sekeliling, kemudian ditekuk lututnya
hingga menyentuh tanah. Tangan kanannya meraba-raba rumput yang rebah bekas
tertindih benda berat.
"Hm..., tampaknya masih baru," gumam pemuda itu
pelan.
Sebentar kemudian kepalanya terangkat naik. Pada saat itu,
Laras menyembulkan kepalanya keluar dari semak. Tapi buru-buru ditarik kembali
kepalanya. Namun pemuda tampan berbaju rompi putih itu sudah melihatnya. Dia
berdiri dan melangkah ke arah semak belukar itu.
"Nisanak, keluarlah. Kenapa takut?" lembut suara
pemuda itu menyapa.
Tapi Laras tidak kunjung keluar. Semak belukar itu bergoyang
menimbulkan suara gemerisik. Pemuda tampan itu melangkah lebih mendekat Dan
begitu disibakkan semak itu, tampak Laras merungkut memeluk erat anak
laki-lakinya. Pemuda itu mengerutkan alis melihat keadaan wanita muda bersama
seorang anak laki-laki yang tampak ketakutan. Seluruh tubuhnya menggigil, dan
wajahnya pucat pasi.
"Oh, tidak...! Jangan, jangan sakiti aku...,"
rintih laras memelas.
"Nisanak...."
"Jangan..!" jerit wanita itu langsung bangkit
berdiri dan berlari kencang menerobos semak itu.
Pemuda berbaju rompi putih itu melompat menghindari
terjangan Laras. Wanita muda itu terus berlari sambil menggendong anaknya dalam
pelukan yang begitu erat. Tapi belum lama berlari, kakinya terantuk sebongkah
batu. Tak ayal lagi, tubuhnya terjerembab bergulingan. Surya Paku terlepas dari
pelukannya, dan melayang hampir mencium tanah.
"Hup!"
Cepat sekali pemuda itu melompat, seraya menangkap Surya
Paku sebelum bocah itu jatuh ke tanah. Sementara wanita itu bangkit kembali,
dan langsung menjerit melihat anaknya berada di dalam gendongan pemuda asing
yang belum dikenalnya.
"Lepaskan anakku...!" jeritnya keras.
Wanita itu berlari cepat menubruk pemuda tampan berbaju
rompi itu. Dengan paksa direbutnya Surya Paku dari gendongan pemuda itu,
kemudian beringsut mundur dengan wajah pucat ketakutan. Seluruh tubuhnya
menggigil keras bagai terserang demam. Sedangkan bocah laki-laki di dalam
gendongan-nya memeluk ibunya erat-erat.
Sementara pemuda itu kelihatan bingung dan keheranan melihat
sikap wanita muda itu. Dia tidak mengerti, mengapa wanita itu jadi histeris
ketakutan melihatnya. Sepertinya tengah melihat sosok makhluk mengerikan yang
siap mencabik-cabik seluruh tubuhnya.
"Nisanak...," pemuda itu mencoba bicara lembut.
"Jangan! Pergi kau...! Pergiii...!" jerit Laras
melengking.
Pemuda itu mengurungkan niatnya untuk mendekati. Sementara
Laras terus melangkah mundur menjauh. Dipeluk anaknya erat-erat. Seluruh
tubuhnya yang kotor berlumpur, masih terlihat menggigil ketakutan. Wajahnya
semakin pucat bagai tidak teralirkan darah.
"Jangan sakiti aku. Aku tidak bersalah. Aku tidak tahu
apa-apa. Pergi kau....! Pergi....!" jerit Laras.
"Nisanak, aku tidak akan menyakitimu. Apa yang terjadi
denganmu?" tanya pemuda itu lembut.
"Jangan dekat!"
Kembali pemuda itu mengurungkan langkahnya. "Baiklah,
aku akan pergi," kata pemuda itu menyerah.
Pemuda itu melangkah menghampiri kudanya, lalu melompat naik
ke punggung kuda hitam itu. Sebentar dipandangi wanita bersama anaknya itu,
kemudian dihela kudanya perlahan. Kuda hitam itu berjalan pelan-pelan masuk ke
dalam hutan. Laras langsung menjatuhkan dirinya berlutut Seluruh tubuh dan
perasaannya terasa lemas.
***
DUA
Hari terus merayap semakin tinggi. Laras terus melangkah
tertatih-tatih menuntun anaknya yang berjalan pelan di sampingnya. Hampir seharian
mereka berjalan, namun belum juga menemukan perkampungan. Sepanjang jalan yang
dilalui hanya padang gersang dan hutan lebat. Laras sengaja menghindari hutan
karena takut kalau-kalau bertemu makhluk aneh mengerikan yang telah membunuh
ayah mertua serta suaminya secara liar dan buas.
"Bu, ke mana kita pergi?" tanya Surya Paku lesu.
"Entahlah," sahut Laras yang juga lesu. "Kau
lelah, Sayang?"
"He-eh." Surya Paku mengangguk.
"Kita istirahat sebentar di sini."
Tempat itu memang cocok untuk beristirahat. Pemandangannya
cukup indah, dan terdapat juga sungai kecil yang mengalir jernih. Surya Paku
menceburkan dirinya ke dalam sungai itu. Dibersihkan tubuhnya yang kotor
berlumpur. Sedangkan Laras juga membersihkan tubuh dan pakaiannya. Mereka
beristirahat sambil menikmati segarnya air jernih sungai kecil itu.
Tidak lama mereka berada di dalam sungai, kemudian naik ke
darat dengan pakaian basah kuyup. Memang hanya itu satu-satunya pakaian yang
bisa dibawa. Mereka tidak sempat lagi menyelamatkan barang bawaan yang
tertinggal di dangau. Laras duduk di atas batu ceper yang menyerupai piring.
"Ha ha ha..!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras. Laras tersentak
kaget dan buru-buru bangkit berdiri seraya menggendong anaknya. Suara tawa itu
terdengar menggema, seolah-olah datang dari segala penjuru. Laras jadi bingung.
Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak terlihat ada orang lain di
tempat ini.
Belum juga Laras bisa menyadari apa yang bakal terjadi,
tiba-tiba saja empat orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berwajah kasar
bermunculan dari balik semak belukar. Mereka tertawa-tawa terkekeh sambil
menatap liar pada Laras. Tentu saja wanita itu jadi ketakutan dan beringsut
mundur. Tapi....
"Ah...!" Laras memekik kaget.
Entah kapan dimulainya, tahu-tahu salah seorang dari empat
laki-laki kasar itu sudah melompat dan menerkamnya. Wanita itu tidak bisa lagi
mengimbangi tubuhnya, lalu jatuh bergulingan bersama laki-laki yang
menerkamnya. Surya Paku terlepas dari gendongan Ibunya. Tiga laki-laki lainnya
hanya tertawa-tawa melihat pergumulan seorang temannya.
"Lepaskan! Bajingan...! Auh!" Laras menjerit-jerit
sambil meronta berusaha melepaskan diri.
Tapi dengan kasar laki-laki itu merenggut pakaian yang
dikenakan Laras, sehingga wanita itu terpekik. Dengan berusaha susah payah
ditutupi tubuhnya yang mulai terbuka. Tiga laki-laki lainnya semakin keras
tertawa, dan mulai berlompatan mendekati. Tatapan matanya begitu liar, dan
lidahnya menjulur ke depan menjilati bibirnya sendiri.
Laras benar-benar tidak berdaya lagi. Tubuhnya
menggeliat-geliat di tanah dikeroyok empat orang laki-laki. Sementara Surya
Paku hanya bisa menangis menyaksikan ibunya direjam empat orang dengan buas.
Namun ibu anak kecil itu masih juga berusaha meronta melepaskan diri, meskipun
seluruh pakaiannya sudah cabik-cabik tidak karuan lagi.
Namun pada saat yang kritis, tiba-tiba saja laki-laki yang
mengerubuti Laras berpentalan ke udara. Mereka memekik keras dan bergelimpangan
di tanah. Laras buru-buru beringsut sambil membenahi pakaiannya yang sudah
tidak berbentuk lagi. Tidak jauh darinya berdiri seorang laki-laki muda dan
tampan. Empat orang laki-laki itu bergegas bangkit, langsung menggeram marah.
"Aku muak melihat manusia-manusia berhati iblis macam
kalian!" dengus pemuda itu dingin.
"Kurang ajar! Kau cari mampus rupanya, heh!" geram
salah seorang.
"Seharusnya kalian malu, mengeroyok wanita lemah tanpa
daya."
"Setan! Kubunuh kau, keparat..!"
Empat orang laki-laki itu segera mencabut goloknya, dan
melompat menerjang pemuda yang memakai baju rompi putih. Namun terjangan itu
manis sekali dapat dielakkan. Bahkan- pemuda itu mampu menyarangkan pukulannya
secara beruntun. Empat orang laki-laki berwajah kasar itu memekik keras, dan
tubuhnya berpentalan bagai daun kering.
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu senjata mereka sudah
berpindah tangan. Pemuda itu melemparkan golok yang dirampasnya, dan senjata
itu menancap tepat di depan empat orang itu. Mata mereka membeliak lebar
melihat goloknya terbenam dalam sampai ke tangkal
"Cepat pergi, sebelum pikiranku berubah!" tetap
dingin suara pemuda itu.
Empat laki-laki itu saling berpandangan, lalu bergegas
meninggalkan tempat itu. Mereka tidak peduli lagi dengan goloknya yang tertanam
dalam di tanah. Pemuda itu berbalik menghadap pada Laras yang sudah berada di
samping anaknya. Pakaian wanita itu sudah tidak karuan lagi sehingga beberapa
bagian tubuhnya terbuka.
"Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu lembut.
"Tidak, terima kasih," sahut Laras.
"Suit!" pemuda itu bersiul pendek.
Terdengar ringkikan, kemudian disusul oleh munculnya seekor
kuda hitam yang tinggi dan tegap. Kuda itu menghampiri pemuda berbaju rompi
putih sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Pemuda itu mengambil buntalan kain
usang dari pelana kudanya, dan menyerahkannya pada Laras.
"Aku menemukan ini tidak jauh dari sini," kata
pemuda itu. "Hanya ada beberapa potong pakaian, mungkin pas ukurannya
denganmu."
"Oh, di mana Tuan temukan ini?" Laras mengenali
buntalan kain miliknya itu.
"Di sebuah dangau," sahut pemuda itu. "Hm...,
sebaiknya jangan memanggil aku tuan. Panggil saja Rangga. Itu namaku."
Laras memberikan senyuman sedikit. Dibukanya buntalan kain
itu, lalu diambilnya selembar kain yang terlipat rapi. Sesaat kemudian
dililitkan kain itu ke tubuhnya Pemuda berbaju rompi putih yang ternyata adalah
Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti, melangkah menjauhi dan membalikkan
tubuhnya menghadap ke arah lain.
Sejenak Laras memandanginya, kemudian bergegas mengambil
sepotong baju yang dengan cepat dikenakannya. Dia pun harus mengganti baju
anaknya yang sudah kotor itu. Laras kelihaian cantik dengan baju merah muda
yang bersih. Sengaja dipakainya celana sebatas lutut untuk memudahkannya
bergerak. Kembali dipandangi punggung Rangga yang menghadap ke arah lain.
"Tuan...," pelan suara Laras memanggil.
Rangga menoleh sedikit, lalu berbalik menghadap wanita itu.
Pendekar Rajawali Sakti itu bersiul kecil melihat Laras sudah berganti pakaian.
Seketika wajah wanita itu jadi merah tersipu malu. Pelahan-lahan Rangga
melangkah menghampiri dan berlutut di depan anak laki-laki kecil.
"Siapa namamu?" tanya Rangga lembut.
Surya Paku tidak langsung menjawab, tapi hanya menengadah
menatap ibunya.
"Surya," Laras yang menyahuti.
"Nama yang bagus," ucap Rangga seraya berdiri.
"Terima kasih, Tuan...."
"A a a...," Rangga menggerak-gerakkan jari
telunjuk di depan mulutnya dengan kepala menggeleng-geleng. "Jangan
panggil aku tuan, panggil saja Rangga."
"Maaf," ucap Laras kembali tersipu.
Laras menundukkan kepalanya. Dia tadi telah menyangka buruk
terhadap pemuda itu. Tapi sekarang, pemuda itu telah menolongnya, bahkan
membawakan pakaiannya kembali. Laras jadi malu dan tidak sanggup memandang
wajah laki-laki tampan di depannya. Untuk beberapa saat, dirinya hanya bisa
diam sambil tertunduk.
***
Rangga memutar-mutar dahan kecil di atas api yang dibuatnya.
Pada ujung dahan kecil itu terpanggang seekor kelinci gemuk yang ditangkap
tadi. Di sampingnya duduk Surya Paku, yang kelihatan lahap sekali menikmati
daging kelinci panggang. Sedangkan di depannya, Laras juga tengah menikmati
daging yang sama. Masih ada seekor lagi yang belum dipanggang.
"Kau bilang barang-barang itu milikmu, kenapa
ditinggalkan di dangau?" tanya Rangga seraya mengangkat kepalanya menatap
Laras.
Mulut Laras yang sudah terbuka hendak menggigit daging
kelinci, jadi terkatup kembali mendengar pertanyaan itu. Sesaat wanita itu
menatap Rangga, kemudian kepalanya tertunduk. Terpancar kesedihan yang amat
dalam pada raut wajahnya. Kilatan sinar matanya juga menunjukkan perasaan takut
dan kengerian yang mendalam.
"Aku juga menemukan bekas-bekas...."
"Ah!" Laras terpekik tanpa sadar, dan langsung
mengangkat kepalanya.
Rangga jadi heran melihat wajah Laras jadi pucat pasi.
Tubuhnya mendadak saja bergetar bagai terserang demam. Wanita itu beringsut
mendekati anaknya, lalu memeluknya erat-erat. Tatapannya masih tertuju pada
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau sakit, Laras?" tanya Rangga tidak mengerti
akan sikap wanita itu.
"Oh, tid..., tidak," sahut Laras tergagap.
"Tapi..., wajahmu pucat."
"Aku..., aku...," suara Laras jadi tercekat di
tenggorokan.
"Hssst..., sudah. Maaf, aku tidak akan menyinggung lagi
tentang itu," Rangga menenangkan.
Laras kembali tertunduk. Tubuhnya masih terlihat bergetar.
Wajahnya juga masih memucat. Di benaknya terbayang kembali peristiwa mengerikan
yang merenggut orang-orang yang dicintainya, yang tidak akan pernah terlupakan
seumur hidup. Sungguh mengerikan! Rasanya Laras tidak sanggup membayangkannya
lagi. Tubuhnya selalu bergetar jika teringat peristiwa malam itu.
"Boleh aku tahu, ke mana tujuanmu?" tanya Rangga
membelokkan pembicaraan.
Laras tidak langsung menjawab. Diangkat kepalanya
perlahan-lahan, langsung ditatap bola mata pemuda di sampingnya. Perlahan
sekali kepalanya bergerak menggeleng, hampir tidak kelihatan.
"Jarang orang yang datang ke daerah ini. Apa kau dari
Desa Caruban?" kembali Rangga membuka suara.
"Caruban...?!" nada suara Laras seperti baru saja
mendengar nama desa itu.
"Iya, Caruban. Desa itu tidak jauh dari sini. Hanya
setengah hari perjalanan. Kau bukan dari sana?" Rangga ingin kejelasan.
"Bukan," sahut Laras pelan seraya menggeleng
lemah.
"Ha.., tidak ada desa lagi di sekitar Gunung Puring
ini," suara Rangga terdengar bergumam.
"Apakah ini Gunung Puring?" Laras jadi bertanya.
"Benar! Kita sekarang berada di sebelah Timur Lereng
Gunung Puring. Kenapa kau bertanya begitu? Kau tidak tahu, Laras?" Rangga
jadi heran.
"Oh...," Laras menggeleng-gelengkan kepalanya
beberapa kali. Desahannya begitu berat dan panjang. Tangannya mengusap-usap
kepala anaknya yang hanya diam saja di pangkuan ibunya.
"Aneh.... Kau berada di sini bersama anakmu, tapi tidak
tahu nama tempat ini...," gumam Rangga pelan, seolah untuk dirinya
sendiri.
"Rangga...," panggil Laras pelan.
"Hem...."
"Kau berasal dari mana?" tanya Laras seraya
menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Aku hanya seorang pengembara yang tidak mempunyai
tempat tinggal pasti.
"Kau bukan orang suruhan...," suara Laras
terputus.
"Tidak ada yang bisa menyuruhku," kata Rangga
seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Meskipun kelihatannya biasa saja, namun hati Pendekar
Rajawali Sakti itu sudah bisa menebak kalau Laras mempunyai persoalan, sehingga
berada di tempat yang sangat terasing dan tidak pernah didatangi orang ini.
Tapi Rangga tidak ingin mendesaknya, khawatir akan menyinggung perasaannya dan
membuat wanita itu pucat dan menggigil.
Laras terdiam, mungkin sedang mempertimbangkan pemuda tampan
yang telah menolongnya dari tangan-tangan kotor tadi. Kembali dinikmati daging
kelinci panggangnya. Sementara Rangga juga menyantap kelinci bakar, lalu
memanggang seekor lagi. Sementara Surya Paku tetap tenang, seperti tidak mengetahui
yang ada di dalam hati dan pikiran ibunya.
Mereka menghabiskan kelinci panggang itu tanpa berbicara
lagi. Sampai kelinci panggang tak tersisa, belum ada yang membuka suara. Rangga
bangkit berdiri dan mendekati kudanya yang tertambat di pohon, lantas memasang
pelana pada kuda hitam itu. Sebentar diliriknya Laras yang sudah bersiap untuk
meninggalkan tempat ini. Buntalan kain sudah tersandang di pundaknya yang
kecil. Tangan kirinya menggandeng Surya Paku.
"Ke mana tujuanmu?" tanya Rangga baru membuka suara
kembali.
"Entahlah," desah Laras menjawab.
"Bu, katanya...."
"Ssst...!" Laras menyentakkan tangan anaknya,
sehingga Surya Paku langsung diam.
"Bukannya aku menakut-nakuti, tapi rasanya tidak aman
jalan seorang diri, apalagi membawa anak. Tempat ini penuh manusia-manusia liar
tidak beradab," kata Rangga memperingatkan.
"Terima kasih, tapi...," ucap Laras terputus.
"Aku berharap kau bisa selamat. Sampai ketemu
lagi," ucap Rangga seraya melompat naik ke punggung kuda Dewa Bayu.
"Eh..!"
Rangga tidak jadi menggebah kudanya. Ditatapnya Laras yang
kelihatan bimbang. "Ada yang ingin kau katakan?" lembut suara Rangga.
"Tid..., eh, iya," Laras jadi gugup.
"Katakanlah," pinta Rangga seraya turun kembali
dari punggung Dewa Bayu.
"Aku percaya kau orang baik...," kembali kata-kata
Laras terputus.
Rangga menghampiri sambil menuntun kudanya. "Jangan
katakan apa-apa kalau tidak ingin mengatakannya. Tapi aku bersedia mengantar
sampai tujuanmu," kata Rangga melihat Laras masih tampak bimbang.
Rangga meraih tubuh Surya Paku dan menaikkannya ke kudanya.
Bocah itu kelihatan senang berada di atas punggung Dewa Bayu yang hitam dan
gagah.
"Mau jalan kaki, atau naik kuda ini?" Rangga
menawarkan.
"Terima kasih," hanya itu yang bisa terucapkan
dari bibir Laras.
Tanpa berkata-kata lagi, mereka berjalan perlahan-lahan
meninggalkan tempat itu. Rangga berjalan di samping Laras sambil menuntun
kudanya. Wanita itu kelihatan masih bimbang dan terus berpikir. Entah apa yang
ada dalam kepalanya saat ini. Dia sendiri tidak tahu arah yang di tuju
sekarang.
Rangga dan Laras terus berjalan perlahan memutari Lereng
Gunung Puring. Mereka berjalan tanpa arah dan tujuan pasti. Hari terus berjalan
demikian cepat. Tak terasa keadaan sekitarnya telah gelap.
Saat Rangga, Laras, dan Surya Paku, terdiam membisu,
tiba-tiba terdengar suara raungan dahsyat bagai seekor binatang buas. Raungan
itu demikian keras, sehingga terdengar jelas. Seketika itu juga wajah Laras
pucat pasi, dan tubuhnya menggigil bagai terserang demam mendadak. Rangga
sampai terlonjak dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Rangga, awas...!" seru Laras tiba-tiba.
Rangga membalikkan tubuhnya cepat. Pada saat yang sama
sesosok makhluk tinggi besar dan berwajah mengerikan muncul. Makhluk itu
menggeram keras memperlihatkan giginya yang bertaring tajam. Seluruh tubuhnya
kotor berlumpur. Hampir-hampir Rangga tidak percaya dengan penglihatannya.
Belum pernah dia melihat makhluk seram seperti ini.
"Grauuugh...!" makhluk itu menggeram dahsyat. Tiba-tiba
saja makhluk itu melompat cepat bagaikan kilat menerkam Pendekar Rajawali
Sakti. Saat itu Rangga masih terpaku. Perasaannya diliputi berbagai macam
perasaan melihat makhluk yang baru pertama kali dilihatnya ini. Rangga
benar-benar tidak sempat lagi menghindar. Jari-jari tangan yang kotor dan
berkuku panjang, kini telah mencengkeram leher Pendekar Rajawali Sakti itu.
Seketika itu juga Rangga merasakan pernapasannya terganggu.
Dicobanya untuk melepaskan cengkeraman makhluk itu. Tapi semakin berusaha, semakin
keras cekikan itu pada lehernya.
"Ugh! Cekikan ini...!" dengus Rangga dalam hati.
***
TIGA
Rangga menghimpun tenaga dalamnya. Ditekankan kakinya ke
perut makhluk itu, dan tangannya menekan dada. Sambil mengerahkan kekuatan
tenaga dalam yang sudah mencapai kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti itu
menghentakkan makhluk itu kuat-kuat.
"Hiyaaa...!"
"Graghk...!"
Makhluk itu melayang deras ke angkasa, lalu jatuh menghantam
sebongkah batu besar hingga bumi terasa bergetar begitu tubuh makhluk besar itu
jatuh menghantam batu. Sementara Rangga bergegas melompat bangkit berdiri.
Sebentar dipegangi lehernya yang terasa perih. Untung tidak ada luka, tapi
cukup membuat napasnya sesak.
"Graghk...!"
Makhluk besar dan berlumpur itu kembali melompat cepat. Namun
kali ini Rangga sudah siap. Dia segera melompat ke kiri, sambil melayangkan
satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi apa yang
terjadi sungguh di luar dugaan sama sekali. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti
justru malah terpental menabrak pohon hingga tumbang. Sedangkan makhluk itu
berdiri tegak sambil menggeram keras.
"Gila! Makhluk apa ini..?" rungut Rangga seraya
bangkit berdiri.
Sementara, makhluk besar dan kotor itu sudah melangkah
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Geramannya begitu keras sehingga
mendirikan bulu roma. Matanya merah menyala bagai kobaran api. Rangga melangkah
ke samping sambil mempersiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat
terakhir. Kedua tangannya jadi merah bagai terbakar.
"Ghraaakh...!"
"Hiyaaat..!"
Begitu makhluk itu menyerang, dengan cepat Rangga melompat
ke atas. Tubuhnya kemudian menukik tajam sambil melontarkan dua pukulan mautnya
ke arah kepala, dan tepat menghantam sasaran. Tapi, makhluk itu bukannya roboh!
Justru Pendekar Rajawali Sakti-lah yang terpental dan bergulingan di tanah.
Rangga bergegas bangkit berdiri. Hatinya benar-benar heran menghadapi makhluk
yang begitu kuat. Tidak sedikit pun terpengaruh jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' tingkat terakhir. Bahkan makhluk itu masih tetap tegar, dan kini
sudah kembali menyerang ganas.
Menghadapi lawan seperti ini. Rangga tidak punya pilihan
lagi. Langsung dikerahkannya jurus-jurus andalan yang jarang dikeluarkan dalam
pertarungan. Tapi setiap jurus yang dikeluarkan, tidak berpengaruh sama sekali.
Makhluk itu tetap tegar, bahkan kini semakin liar saja. Kali ini Rangga
benar-benar kewalahan menghadapinya.
"Hup!"
Rangga melompat jauh ke belakang sambil memutar tubuhnya di
udara. Dengan manis sekali kakinya mendarat di tanah, tidak jauh dari Laras dan
Surya Paku. Wanita itu sudah menggendong anaknya dengan tubuh gemetar
ketakutan. Sementara makhluk itu menggerung-gerung marah. Tenaganya begitu luar
biasa. Pohon besar hancur begitu terkena amukannya.
"Cepat kalian tinggalkan tempat ini," perintah
Rangga.
"Kau...?" nada suara Laras terdengar cemas.
"Pakai kudaku! Dia tahu ke mana harus membawamu,"
kata Rangga lagi.
Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu meringkik, seakan-akan
bisa mengerti apa yang dikatakan Rangga. Kuda Dewa Bayu melangkah mendekati,
dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Rangga tidak banyak bicara lagi.
Diangkatnya tubuh Laras yang menggendong anaknya, lalu ditempatkan di punggung
kuda hitam itu.
"Kau tahu ke mana harus membawa mereka?" tanya
Rangga pada kuda Dewa Bayu sambil menepuk leher kuda itu.
Kuda Dewa Bayu meringkik keras, lalu berlari kencang membawa
dua orang di punggungnya. Sementara Rangga kembali bersiap-siap menghadapi
makhluk aneh mengerikan itu. Makhluk itu kelihatan marah melihat Laras pergi
menunggang kuda. Dia menggeram keras, lalu melompat hendak mengejar. Tapi
Rangga tidak bisa mendiamkan begitu saja, dan cepat-cepat ikut melompat sambil
mengirimkan beberapa pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
Tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat. Makhluk
itu kini memusatkan perhatiannya pada Rangga. Kemarahannya ditumpahkan pada
Pendekar Rajawali Sakti itu, lalu mengamuk membabi buta. Rangga tahu kalau
makhluk ini tidak pandai ilmu silat, tapi hanya mengandalkan kekuatan tubuh
saja.
Sret!
Rangga mencabut pedang pusakanya, dan mempersiapkan jurus
'Pedang Pemecah Sukma'. Makhluk itu menggeram dahsyat melihat pedang yang
bersinar biru itu. Kembali diserangnya Rangga dengan ganas. Dengan pedang di
tangan, Rangga semakin lincah dan sukar didekati.
"Modar!" seru Rangga keras.
Seketika itu juga Rangga menyabetkan pedangnya ke dada yang
terbuka. Gerakan makhluk itu memang cepat, tapi terasa lamban bagi Pendekar
Rajawali Sakti. Tebasan pedang itu tepat menghantam dadanya.
Semula Rangga mengira makhluk itu akan meraung dan
menggelepar di tanah. Tapi, kenyataan yang dihadapi sungguh di luar dugaan sama
sekali. Tidak ada luka sedikit pun di dadanya. Bahkan Rangga kini merasakan
jari-jari tangannya menjadi kaku. Buru-buru dia melompat mundur beberapa tombak.
"Hiyaaat...!"
Kembali Rangga menerjang sambil membabatkan pedangnya
beberapa kali ke tubuh makhluk itu. Tidak ada satu pun tebasannya yang luput
dari sasaran. Namun makhluk besar dan kotor itu tetap tegar, dan tidak terluka
sedikit pun. Hal ini membuat Rangga perasaran, bercampur heran. Baru kali ini
Pedang Rajawali Sakti tidak bermanfaat.
"Phuih! Dari mana setan ini muncul...? Huh! Bisa habis
tenagaku kalau begini terus!" dengus Rangg seraya melompat mundur sejauh
tiga batang tombak.
Rangga tidak ingin membuang-buang tenaga menghadapi makhluk
kebal itu. Segera dikerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Pendekar Rajawali Sakti
itu menekuk lututnya, hingga tubuhnya sedikit merendah. Kemudian tangan kirinya
menggosok mata pedang yang melintang di depan dada. Sementara makhluk itu
menggerung pelan memperhatikan.
Perlahan-lahan cahaya biru kemilau bergulung membentuk
lingkaran bulat seperti bola di ujung pedang. Dan lingkaran itu bergerak
menggulung seluruh mata pedang Rajawali Sakti, hingga ke tangkainya.
"Grrrh...!" makhluk itu menggerung perlahan sambil
menggerakkan kepalanya miring ke kanan.
Namun tiba-tiba saja makhluk itu melompat cepat, lalu masuk
ke dalam hutan lebat. Rangga tersentak kaget melihat makhluk tinggi besar
berlumpur itu kabur. Cepat-cepat dihentakkan pedangnya ke depan, maka bola biru
itu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busurnya. Satu ledakan keras
terdengar menggelegar begitu bola biru menghantam pepohonan.
Trak!
Rangga memasukkan kembali pedang ke dalam warangkanya di
balik punggung. Dipandangi pepohonan yang tumbang, hancur berkeping-keping
terhantam aji 'Cakra Buana Sukma'. Kini tidak terlihat lagi makhluk itu. Rangga
jadi keheranan juga melihat makhluk itu lari begitu dikerahkan aji 'Cakra Buana
Sukma'.
"Hhh...! Makhluk apa itu? Bentuknya seperti manusia.
Tapi..," Rangga bergumam sendiri disertai hembusan napas panjang.
Rangga jadi teringat akan sikap Laras yang begitu ketakutan
ketika mendengar suara makhluk itu. Padahal bentuknya saja belum kelihatan.
Sepertinya, makhluk itu memang mengincar Laras. Pendekar Rajawali Sakti jadi
bertanya-tanya sendiri di dalam hati. Dicobanya untuk menghubung-hubungkan
keberadaan Laras di hutan Lereng Gunung Puring ini, dengan sikap aneh wanita
itu.
"Memang aneh sikap Laras. Tapi, apa hubungannya dengan
makhluk itu?" Rangga bergumam, bertanya pada dirinya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti itu menggeleng-geleng kan kepalanya.
Belum bisa dijawab semua pertanyaan yang mengalir di dalam benaknya. Langkah Rangga
cepat ke arah perginya kuda Dewa Bayu membawa Laras dan Surya Paku. Sudah
diketahui ke mana kuda Dewa Bayu membawa wanita dan anaknya itu pergi.
Rangga mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang diimbangi
ilmu lari cepat. Ilmu yang dimilikinya sudah mencapai taraf kesempurnaan,
sehingga gerakannya begitu cepat. Larinya saja seperti tanpa menyentuh tanah.
Rangga terus berlari menerobos hutan. Kadang-kadang harus melompat di pohon
yang satu ke pohon yang lain.
Pendekar Rajawali Sakti itu terus berlari cepat, dan baru
berhenti setelah tiba pada sebuah perkampungan yang ada di kaki Lereng Gunung
Puring. Perkampungan itu tidak terlalu besar, tapi cukup padat penghuninya.
Rangga melangkah tenang menyusuri jalan utama perkampungan itu.
"Laras...!" teriak Rangga ketika melihat seorang
wanita berjalan menuntun kuda hitam yang di punggungnya duduk seorang anak
laki-laki.
Wanita itu berhenti melangkah dan menoleh. Dia langsung
berlari menghampiri Rangga yang melangkah cepat ke arahnya. Kuda hitam itu juga
berbalik dan melangkah menghampiri majikannya.
"Oh! Aku cemas sekali, Rangga," ucap Laras.
Wajahnya masih terlihat pucat.
Rangga hanya tersenyum saja. Diambilnya tali pelana kudanya,
lalu kembali melangkah sambil menuntun kuda itu. Laras juga ikut berjalan di sampingnya.
Mereka melangkah tanpa bicara lagi, dan baru berhenti setelah tiba di depan
rumah kecil berdinding papan. Seorang laki-laki tua yang tengah duduk di
balai-balai bambu, langsung melompat dan menghampiri.
"Den...," laki-laki itu tampaknya sudah kenal
dengan Rangga.
"Ki, aku ingin menumpang lagi untuk beberapa hari di
sini," kata Rangga ramah.
"Oh, tentu. Tentu saja boleh, Den. Silakan masuk,"
sambut laki-laki tua itu ramah.
"Laras, ini Ki Giri. Aku pernah menginap di sini
beberapa hari," Rangga memperkenalkan.
"Ha ha ha.... Rumah ini selalu terbuka untuk Den
Rangga, dan Den Ayu," sambut Ki Giri.
"Panggil saja aku Laras, Ki," kata Laras.
"Oh ya..., silakan masuk! Tentunya kalian semua sudah
lelah dan lapar. Tadi aku mencabut ketela di kebun, dan sudah ada yang kurebus.
Ayo, masuk."
"Terima kasih," ucap Laras.
Rangga menurunkan Surya Paku dari punggung kuda Dewa Bayu,
kemudian menambatkannya di bawah pohon kemuning. Sementara Ki Giri sudah
membawa masuk Laras dan anaknya ke dalam rumahnya. Rangga memandangi sekitarnya
beberapa saat. Kemudian melangkah masuk ke dalam rumah itu. Dihenyakkan
tubuhnya di dipan kayu yang hanya beralaskan tikar daun pandan.
Sedangkan Laras duduk di dipan itu juga, tidak jauh dari
Pendekar Rajawali Sakti, dipan ini memang cukup besar dan tampaknya kuat, dan
terbuat dari kayu jati yang sudah tua usianya. Ki Giri keluar dari ruangan
belakang membawa sepiring ketela rebus yang masih mengepulkan uap.
Diletakkannya piring yang penuh ketela itu di meja dekat dipan itu.
"Ayo dimakan, mumpung masih hangat," Ki Giri
mempersilakan.
"Terima kasih, Ki," ucap Laras seraya mengambil
sepotong dan sebelahnya. Diberikan yang sebelah itu pada anaknya. Sedangkan
Rangga juga mengambil sepotong.
Ki Giri menuangkan air ke dalam gelas bambu dari dalam kendi
tanah liat. Kemudian diambil tembakau dan digulungnya dengan daun kawung. Tidak
lama Ki Giri sudah asyik bersama asap tembakaunya.
"Tadinya, kukira Den Rangga tidak akan kembali lagi ke
sini," celoteh Ki Giri membuka pembicaraan kembali.
"Siapa bilang, Ki. Kan sudah kukatakan, pasti aku akan
kembali lagi ke sini," sambut Rangga ringan.
"Hampir seluruh penduduk Desa Caruban ini selalu
menanyakanmu, Den. Hampir kewalahan aku menjawabnya. Lebih-lebih Ki
Bonang," kata Ki Giri lagi.
"Ada apa dengan kepala desa itu?" tanya Rangga.
"He he he..., dia berharap kau bersedia meminang anak
gadisnya," Ki Giri terkekeh.
"Ada-ada saja Aki ini...," Rangga tersenyum kecut.
"Dia benar-benar menyesali sikapnya terhadapmu, Den.
Katanya, kalau tahu Aden seorang pendekar yang digdaya, pasti dia tidak akan
bersikap kaku. Perasaannya malu sekali, karena telah menyepelekan Aden yang
telah menyelamatkan nyawanya. He he he.... Biasa, Den. Penyesalan itu datangnya
selalu belakangan," kembali Ki Giri terkekeh.
Rangga hanya tersenyum saja. Memang desa ini belum ada satu
pekan ditinggalkan. Desa yang semula seperti mati akibat tekanan satu
gerombolan liar. Semula gerombolan itu hanya menjarah harta benda penduduk
saja. Tapi semakin lama semakin liar saja. Bahkan dengan berani, kepala
rombongan itu meminta anak gadis kepala desa untuk dijadikan istrinya.
Sebenarnya waktu itu Rangga tidak ingin ikut campur. Dia
hanya kebetulan saja lewat di desa ini. Tapi melihat kebrutalan gerombolan itu,
jelas tidak bisa tinggal diam. Lebih-lebih setelah Ayu Kumala meminta untuk
membebaskan dirinya dan seluruh penduduk desa ini dari tekanan gerombolan liar
itu. Ya, Ayu Kumala memang cantik. Apalagi dia putri bungsu Kepala Desa
Caruban. Kakak laki-lakinya tewas di tangan pemimpin gerombolan itu, sedangkan
kakak perempuannya bunuh diri, karena hendak diperkosa.
"He he he.... Kau ingat dengan Ayu, Raden?" goda
Ki Giri.
"Ah, Ki Giri...," wajah Rangga menyemburat merah.
"Kau tidak istirahat, Laras?" Rangga mengalih kan perhatiannya pada
Laras, ingin menghindari godaan Ki Giri.
"Ya, rasanya lelah sekali," sahut Laras.
"Oh, mari.... Mari kutunjukkan kamar untukmu Den
Ayu," kata Ki Giri seraya bangkit berdiri.
Laras menggendong anaknya yang kelihatan sudah mengantuk,
kemudian turun dari dipan, dan melangkah mengikuti Ki Giri. Rangga menyandarkan
tubuhnya pada dinding papan. Tidak berapa lama kemudian Ki Giri sudah muncul
kembali.
"Tidak ada kamar lagi, Den. Terpaksa kamar bekas Aden
dipakai," kata Ki Giri sambil duduk kembali di kursinya.
"Tidak apa, Ki. Aku bisa tidur di sini," sahut
Rangga.
"Jangan! Raden bisa tidur di kamarku, dan biar aku saja
yang tidur di sini."
"Terima kasih, aku sudah begitu merepotkan.
"Aaah.... Kalau dibandingkan jasa Aden, ini belum
seberapa."
Lagi-lagi Rangga tersenyum saja.
"Den, wanita itu siapa?" tanya Ki Giri setengah
berbisik.
Rangga kembali tersenyum dan menceritakan pertemuannya
dengan Laras. Juga diceritakannya peristiwa yang terjadi, hingga diputuskanlah
untuk kembali lagi ke sini. Ki Giri mendengarkan penuh perhatian. Raut wajahnya
langsung berubah begitu mendengar adanya makhluk aneh mengerikan yang muncul di
sebelah Selatan Lereng Gunung Puring. Rangga melihat perubahan wajah itu, tapi
tidak ingin menanyakannya sekarang. Rasanya saat ini ingin istirahat saja,
melepaskan lelah setelah pertarungannya yang begitu banyak menguras tenaga.
***
Kedatangan kembali Pendekar Rajawali Sakti ke Desa Caruban
cepat menyebar. Sehingga, banyak penduduk yang berdatangan ke rumah Ki Giri,
hanya untuk melihat dan berbicara dengan orang yang telah membebaskan desa ini
dari tekanan gerombolan orang liar dan tak beradab. Sebagian besar penduduk
desa ini memang belum pernah melihat, meskipun sudah mendengar tentang
kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tidak bisa menolak kehadiran mereka. Sampai jauh
malam, dia baru bisa tenang setelah tidak ada lagi penduduk desa yang datang.
Rangga baru saja akan merebahkan diri di dipan kayu yang berada di ruangan
depan rumah Ki Giri, ketika pintu rumah itu diketuk dari luar. Sambil mendengus
panjang, Pendekar Rajawali Sakti bangkit dan melangkah ke pintu.
"Siapa?" tanya Rangga sebelum membuka pintu.
"Aku.... Ayu," terdengar sahutan halus.
Rangga tersentak kaget. Buru-buru dibukanya pintu itu.
Tampak seorang gadis muda berusia sekitar sembilan belas tahun, berdiri di
ambang pintu. Gadis itu mengenakan baju hijau muda yang cukup ketat! Rambutnya
yang hitam panjang, terkepang menjuntai di depan dada. Rangga buru-buru keluar,
kemudian menutup kembali pintunya.
"Ada apa ke sini?" tanya Rangga setengah berbisik,
karena tidak ingin mengganggu tidur Ki Giri.
"Kau tidak suka kedatanganku, Kakang?" Ayu Kumala
memberengut manja.
"Bukannya aku tidak suka, tapi ini sudah larut malam
Ayu."
"Memangnya, kenapa?"
Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rasanya malu
jika kedatangan gadis ini ada yang melihat. Saat ini memang telah larut malam,
dan tidak ada lagi yang berada di luar rumah. Seluruh penduduk Desa Caruban ini
sudah terlelap dalam tidur. Rangga menarik tangan gadis itu, lalu membawanya ke
samping rumah. Mereka kemudian duduk di kayu pohon ara, persediaan kayu bakar
yang belum dibelah.
"Kau pasti tidak suka dengan kedatanganku,
Kakang," tebak Ayu Kumala masih memberengut manja.
"Aku suka," sahut Rangga tidak ingin mengecewakan
gadis ini
"Tapi, mengapa sikapmu begitu?"
"Begitu, bagaimana?"
"Kau tidak menyuruh masuk, tapi malah membawaku ke
sini."
"Ayu..., Ki Giri sudah tidur. Aku tidak mau
mengganggunya. Ini kan sudah larut malam. Lagi pula, tidak baik kalau dilihat
orang," Rangga coba memberi pengertian.
"Masa bodoh dengan mereka!" dengus Ayu Kumala.
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Sejak bertemu gadis
ini, sulit rasanya memberi pengertian pada Ayu Kumala. Sebagai anak bungsu,
apalagi kedua kakaknya telah tewas, maka kedua orang tuanya sangat
memanjakannya. Jadi, sikapnya sering seenaknya sendiri saja. Tapi gadis ini
cukup pintar, dan ilmu olah kanuragannya juga lumayan.
"Baiklah," Rangga menyerah. "Apa keperluanmu
datang malam-malam begini?"
"Hanya ingin bertemu," sahut Ayu kalem.
"Tidak ada hal lain?" desak Rangga.
Ayu tidak menjawab, tapi hanya mempermainkan ujung rambutnya
dengan sikap manja. Matanya mengerling pada Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan
Rangga sempat menelan ludahnya melihat kerlingan mata yang indah itu.
"Kakang tidak marah jika aku tanya sesuatu?" manja
sekali suara gadis itu.
"Kamu ini ada-ada saja, Ayu. Katakan saja, apa yang
ingin ditanyakan."
"Hm...," Ayu Kumala ragu-ragu.
"Katakan saja, mengapa ragu-ragu?" desak Rangga.
"Benar Kakang datang bersama seorang wanita?"
tanya Ayu agak ditekan suaranya.
Tawa Rangga hampir meledak mendengar pertanyaan itu, tapi
masih mampu ditahannya. Dia tidak ingin gadis itu marah dan tersinggung.
Bagaimanapun juga harus bisa dijaga perasaan gadis manja ini.
"Benar," sahut Rangga. "Memangnya
kenapa?"
"Kekasihmu?" tanya Ayu Kumala langsung.
"Bukan."
"Istrimu?"
Rangga menggeleng. Sudah bisa ditebak arah pembicaraan ini.
Pasti Ayu cemburu. Mungkin itu sebabnya gadis itu tidak ikut bersama ayahnya
datang ke sini sore tadi Rupanya tengah menyimpan sesuatu yang baru sekarang
dibuka.
"Sungguh?" Ayu Kumala ingin memastikan.
"Kau ini aneh. Apa sih sebenarnya yang
diinginkan?"
"Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja," sahut Ayu
kalem.
"Sekarang sudah tahu, lalu?"
"Ya sudah. Toh dia bukan apa-apamu. Lagi pula, kalau
memang kekasihmu, aku juga tidak apa-apa," ada sedikit tekanan pada nada
suara Ayu Kumala.
Rangga mengangkat bahunya, lalu bangkit berdiri. "Sudah
larut malam. Ayu. Sebaiknya pulanglah dulu. Aku antar, ya...?" kata Rangga
tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini.
Ayu Kumala bangkit berdiri dan melangkah ringan. Rangga
menyamakan langkahnya di samping gadis ini. Mereka berjalan menembus kegelapan
tanpa berkata-kata. Dan Rangga memang enggan untuk berkata lagi. Apalagi untuk
memikirkan sikap gadis ini. Hanya saja, dia tidak ingin hubungan yang sudah
baik ini retak karena persoalan sepele. Persoalan yang seharusnya tidak perlu
timbul.
***
EMPAT
Matahari belum lagi naik tinggi. Tapi udara sekitar Desa
Caruban begitu terasa panas menyengat sehingga seperti membuat semua orang
cepat lelah. Dan biasanya mereka memilih berendam di dalam sungai. Tapi para
petani, seperti tidak terpengaruh. Padahal, sengatan matahari begitu panas,
bagai hendak menghanguskan seluruh benda yang ada di belahan muka bumi ini.
Sungai yang membelah Desa Caruban siang ini dipenuhi
anak-anak dan wanita. Mereka begitu bergembira sambil bermain air. Di antara
mereka, terlihat Surya Paku bermain bersama anak-anak sebayanya. Anak laki-laki
itu cepat sekali akrab. Lain dengan ibunya, yang kelihatan duduk menyendiri di
atas sebongkah batu di tepi sungai. Tubuhnya hanya dililit selembar kain usang.
"Nyi Laras...?"
"Oh!" Laras tersentak dari lamunan ketika
mendengar suara lembut menyebut namanya.
Laras langsung menoleh. Tampaklah seorang gadis cantik
memakai baju kuning gading sudah berdiri di dekatnya. Laras belum mengenal
gadis ini. Memang sudah hampir satu pekan berada di desa ini, rasanya belum
pernah melihat gadis yang baru saja menyebut namanya.
"Aku Ayu Kumala," gadis itu memperkenalkan diri.
"Oh, aku...."
"Tidak perlu memperkenalkan diri, Nyi. Aku tahu siapa
namamu," potong Ayu Kumala cepat.
Laras menggeser duduknya agak ke tepi, dan mempersilakan Ayu
Kumala duduk. Tapi dengan halus gadis itu menolak, dan tetap berdiri memandang
ke arah anak-anak bermain di sungai. Sementara Laras memandanginya sampai tidak
berkedip. Memang pernah didengar nama gadis ini, karena sering jadi bahan
pembicaraan Ki Giri dan Rangga. Pembicaraan yang bernada menggoda Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kita memang belum pernah saling mengenal dan bertemu
muka. Tapi aku yakin, di antara kita sudah sering mendengar perihal diri
masing-masing," kata Ayu Kumala, tenang suaranya.
"Ya," desah Laras.
"Mungkin sekarang saatnya yang tepat untuk saling
mengenal lebih jauh. Nyi Laras," sambung Ayu Kumala.
Laras diam saja. Hanya diduga-duga saja arah pembicaraan
gadis itu. Tapi dugaannya selalu tertuju pada hubungan antara Ayu Kumala dengan
Rangga. Laras sering mendengar gurauan Ki Giri tentang Ayu Kumala yang
ditujukan kepada Rangga. Meskipun kedengarannya hanya gurauan, namun Laras
dapat menangkap maksud yang sebenarnya. Ayu Kumala memang cantik, dan tampaknya
memiliki ilmu kanuragan yang lumayan. Lebih-lebih dia seorang anak kepala desa
ini. Tapi Laras tidak mempedulikan semua itu. Dia sudah cukup senang jika bisa
tinggal di desa ini dan melupakan semua yang telah terjadi terhadap dirinya.
"Kakang Rangga pernah cerita tentang dirimu, dan
pengalaman pahitmu, Nyi Laras. Tapi aku ingin sekali mendengar sendiri darimu.
Kau tidak keberatan, kan?" Ayu Kumala membuka suara lagi.
"Untuk apa?" tanya Laras, enggan membuka lembaran
penderitaannya lagi. Lembaran yang hanya menimbulkan rasa belas kasihan saja.
Padahal dia tidak ingin dikasihani.
"Mungkin ada gunanya. Atau mungkin juga, aku bisa
mengurangi penderitaanmu," sahut Ayu Kumala.
"Terima kasih. Aku sudah begitu banyak merepotkan.
Bukan hanya Ki Giri, tapi Ayahmu dan seluruh penduduk desa ini begitu baik
padaku. Mereka semua bersedia menerimaku yang tidak punya apa-apa ini,"
ucap Laras terharu.
"Penduduk di sini memang mencintai persahabatan. Aku
juga...," terdengar terputus nada suara Ayu Kumala.
Laras kembali menatap dalam-dalam wajah gadis itu. Bisa
dirasakan adanya tekanan pada suara Ayu Kumala. Dan ini sudah bisa diduga apa
penyebabnya. Entah kenapa, dirinya jadi bergetar, dan jantungnya terasa lebih
cepat berdetak. Tiba-tiba saja Laras jadi tidak suka dengan pembicaraan ini.
"Sudah lama aku di sini dan harus segera pulang. Aku
belum menyiapkan makan untuk Ki Giri," kata Laras seraya bangkit berdiri.
"Untuk apa buru-buru? Ki Giri biasa hidup
sendiri," cegah Ayu Kumala.
Laras hanya tersenyum saja. Diambilnya keranjang cucian,
lalu melangkah pergi. Ayu Kumala hanya memandangi saja tanpa mencegah lagi.
Tapi belum begitu lama Laras pergi, tiba-tiba terdengar jeritan nyaring
melengking tinggi.
"Nyi Laras...!" sentak Ayu Kumala mendesis.
Jeritan itu jelas terdengar dari arah kepergian Laras tadi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ayu Kumala bergegas melompat dan berlari cepat
menuju arah jeritan tadi. Bukan itu saja. Orang-orang yang ada di sungai
ternyata juga bergegas berlari mengikutinya.
***
Sementara di jalan setapak tidak jauh dari sungai, tampak
Laras menggigil ketakutan dengan wajah pucat pasi. Jarak beberapa tombak di
depannya, berdiri sesosok makhluk tinggi besar. Tubuhnya penuh berlumur lumpur.
Makhluk itu menyeringai memperlihatkan taringnya yang menyembul.
"Grauuugh...!" makhluk aneh menyeramkan itu
meraung keras sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Akh!" Laras memekik tertahan.
Wanita itu seperti akan pingsan begitu makhluk tinggi besar
itu melompat ke arahnya. Namun belum sempat mencapai tubuh yang hanya terlilit
selembar kain itu, mendadak satu bayangan putih melesat cepat menghajarnya.
Makhluk itu meraung keras, dan tubuhnya terlontar balik ke belakang. Sebatang
pohon besar hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya yang besar penuh lumpur
itu.
Saat itu dari arah sungai muncul Ayu Kumala. Gadis itu
membeliak setengah tidak percaya melihat makhluk tinggi besar dan berwajah
menyeramkan itu berdiri tegak sambil meraung-raung. Sedangkan di depan Laras,
berdiri Pendekar Rajawali Sakti. Tidak berapa lama, muncul orang-orang yang
tadi berlarian dari sungai. Mereka langsung berhenti, dan bergerak mundur
begitu mendapati makhluk mengerikan menggeram dahsyat sambil mengangkat
tangannya ke atas.
"Kakang...," Ayu Kumala mendekati Rangga.
"Tinggalkan tempat ini, cepat!" seru Rangga tegas.
Ayu Kumala kelihatan bingung.
"Ayu, bawa Laras dan yang lainnya pergi. Makhluk ini
sangat berbahaya! Ayo, cepat..!"
"Kau...," suara Ayu Kumala tertahan di
tenggorokan.
"Jangan hiraukan aku. Cepat pergi!" Ayu Kumala
bergerak mundur mendekati Laras yang sudah menggendong anaknya. Tidak
dipedulikannya lagi keranjang cuciannya yang tergeletak berentakan. Ayu Kumala
menyuruh orang-orang yang berkerumun itu segera pergi, dan segera membawa Laras
menyingkir dari tempat itu. Mereka mengambil jalan memutar menuju ke Desa
Caruban.
Sementara itu Rangga memutar tubuhnya, untuk memancing
perhatian makhluk itu. Diambilnya sepotong ranting yang cukup besar dan
panjang. Dengan mengerahkan tenaga dalam, ranting tadi dilemparkan ke arah
makhluk itu.
"Gragh...!" makhluk itu meraung marah sambil
menyambar ranting itu dengan tangan kanannya.
Dengan cepat makhluk itu melompat menerjang Pendekar
Rajawali Sakti. Kali ini Rangga memang hanya ingin memancing makhluk itu agar
menjauhi penduduk yang sedang menuju kembali ke desanya. Digunakannya jurus
'Sembilan Langkah Ajaib', sehingga tubuhnya bergerak lincah memutari tubuh
makhluk itu. Rangga menggiringnya masuk ke dalam hutan.
Makhluk itu semakin marah, karena tidak bisa menyentuh
manusia kecil yang berlompatan mengitari tubuhnya. Pepohonan dan bebatuan
hancur berantakan diterjang makhluk liar dan kotor berlumpur itu.
Rangga terus menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Sesekali dirubah jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Meskipun
dikerahkan sampai pada tingkat terakhir, tetapi sama sekali tak berarti bagi
tubuh makhluk itu. Walaupun demikian Rangga tetap menggunakannya.
"Hup...!"
Rangga melentingkan tubuhnya ke belakang, sejauh empat
batang tombak. Makhluk itu menggeram dahsyat, lalu mencabut pohon besar di
dekatnya. Pohon itu bagai segumpal kapas saja di tangannya, dengan kuat
dilemparkan pohon itu ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan, menyambut
lemparan pohon itu. Satu ledakan keras terdengar, bersama hancurnya pohon itu.
Tapi belum juga Rangga menarik pulang tangannya, makhluk itu sudah mengangkat
sebongkah batu sebesar kerbau, dan dilemparkan ke arah Rangga.
Kali ini Rangga tidak sempat lagi melawan lemparan batu itu.
Cepat-cepat dijatuhkan dirinya ke samping, lalu berguling beberapa kali di
tanah, sebelum melompat bangkit berdiri. Batu sebesar kerbau menghantam tanah
dengan keras, membuat bumi yang dipijak bergetar hebat bagai terjadi gempa.
"Keluarkan semua kekuatanmu, keparat!" tantang
Rangga memanasi.
"Graaaghk...!" makhluk itu menggeram marah.
Makhluk itu melompat, dan kembali menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Rangga
kini tidak main-main lagi. Jelas bahwa makhluk berbentuk manusia itu begitu
luar biasa kuatnya bagai binatang liar. Dikeluarkanlah jurus-jurus andalannya
yang dahsyat, dibarengi pengerahan ajian kesaktian simpanannya.
Tapi makhluk liar itu memang luar biasa. Tubuhnya
benar-benar kebal terhadap segala macam bentuk kesaktian yang dimiliki Pendekar
Rajawali Sakti. Bahkan pedang pusaka Rajawali Sakti tak ada artinya sama sekali
pada tubuhnya. Benar-benar kebal! Belum pernah Rangga mendapatkan lawan seperti
ini. Dirasakan tenaganya makin terkuras, karena tidak ada satu ajian atau jurus
yang mampu membinasakan makhluk itu.
"Hm.... Akan kucoba dengan aji 'Cakra Buana
Sukma'," gumam Rangga dalam hati.
Rangga memasukkan pedangnya ke dalam warangkanya di
punggung. Kini aji 'Cakra Buana Sukma' siap-siap dikerahkannya tanpa
menggunakan pedang. Tidak tanggung-tanggung lagi, ajian itu dikerahkan pada tahap
terakhir, yang belum pernah digunakan sebelumnya selama ini.
"Graghk...!" makhluk itu menggeram sambil
melantangkan tangannya lebar-lebar, seolah-olah menantang.
Cahaya biru bergulung-gulung pada kedua tangan Pendekar
Rajawali Sakti, dan semakin lama semakin membesar membuat bulatan. Makhluk itu
meraung-raung keras bersikap menantang.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga keras.
Seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil
menghentakkan tangannya ke depan kuat-kuat. Aneh, makhluk itu tidak bergerak
sedikit pun! Bahkan menanti dengan tangan terbuka lebar. Tak pelak lagi,
dadanya menjadi sasaran kedua belah tangan Rangga yang mengerahkan aji 'Cakra
Buana Sukma'.
Glarrr...!
Satu ledakan keras dan dahsyat terjadi begitu kedua telapak
tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam dada makhluk besar mengerikan itu.
Sukar untuk dipercaya! Makhluk itu tetap berdiri tegap. Bahkan sebaliknya,
Pendekar Rajawali Sakti terlontar jauh ke belakang. Entah berapa pohon yang
hancur terlanda tubuhnya. Rangga baru berhenti meluncur setelah menghantam
dinding batu cadas hingga berguguran.
Rangga bergegas melompat, menghindari batu-batu cadas yang
berguguran. Namun begitu kakinya menyentuh tanah, tubuhnya limbung dan ambruk
menggelimpang. Pendekar Rajawali Sakti itu berusaha bangkit berdiri sambil
memuntahkan darah kental kehitaman dua kali. Seluruh tubuhnya terasa remuk.
Kepalanya berat, dan matanya berkunang-kunang. Napasnya tersengal, karena
dadanya seperti pecah.
"Ugh! Gila...!" dengus Rangga seraya bangkit
berdiri.
Pendekar Rajawali Sakti itu masih limbung, dan belum bisa
berdiri tegak. Sebentar digosok-gosok matanya. Hatinya terkesiap begitu melihat
makhluk tinggi besar itu masih tetap berdiri tegak bersikap menantang. Namun
perlahan terjadi keanehan.
Makhluk bertubuh tinggi besar dan penuh lumpur itu, tampak
menggigil bagai terserang demam. Dari mulutnya yang menyeringai, keluar suara
erangan lirih. Sementara Rangga perlahan melangkah lebih mendekat. Dia juga
sedang mengatur pernapasan dan menyalurkan hawa murni untuk mengembalikan
kondisi tubuhnya.
Makhluk itu menggeletar semakin kuat. Dan erangannya kini
terdengar keras bagai raungan seekor binatang buas. Dengan tubuh masih
menggeletar, dia duduk bersila. Tangannya dilipat di depan dada. Perlahan-lahan
kelopak matanya terpejam, namun bibirnya masih terlihat menyeringai.
"Eh...!" Rangga terkejut.
Dari tubuh makhluk itu mengepul asap tipis berwarna putih
kehitam-hitaman. Asap itu semakin lama semakin menebal, dan pada akhirnya
menyelimuti seluruh tubuh makhluk itu. Sementara Rangga terus memperhatikan
tanpa berkedip. Asap itu terus berkepul menebal dan semakin banyak, menutupi
seluruh tubuh makhluk itu.
Slap!
Tiba-tiba saja secercah kilat menyambar ke arah asap yang
berkepul itu. Disusul kemudian terdengar suara ledakan keras menggelegar.
Begitu kerasnya, sampai-sampai bumi ini bergetar. Memang sukar dipercaya. Hari
yang begini cerah dan panas, bisa terjadi petir. Tapi itu memang kejadian yang
dilihat Rangga. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu tidak berkedip
memandanginya. Kini asap tebal yang menyelimuti seluruh tubuh makhluk besar
kotor berlumpur dan mengerikan itu, langsung lenyap setelah tersambar kilat.
"Oh..., apakah aku tidak salah lihat...?" desah
Rangga setengah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya kini.
Kini, di tempat makhluk mengerikan tadi duduk bersila, duduk
seorang laki-laki muda berwajah tampan, namun terlihat keras. Pakaiannya begitu
indah dan bersih, bagaikan seorang pengeran. Namun sinar matanya begitu tajam,
memerah bagai mata seekor banteng marah. Pemuda itu bangkit berdiri dengan
tenangnya. Baju yang longgar pada bagian bawah, berkibar tertiup angin.
Sedangkan pada bagian atasnya cukup ketat, sehingga memetakan bentuk tubuh yang
tegap dan berotot Warna hijau muda sungguh cocok menimpali kulitnya yang putih.
Pemuda itu tetap berdiri tegak, kemudian perlahan kedua tangannya
terangkat ke atas. Kepalanya menengadah menatap lurus ke langit biru tanpa
awan. Sementara dari tempat yang tidak begitu jauh, Rangga memperhatikan tanpa
berkedip. Dia ingin tahu, apa yang akan dilakukan laki-laki muda jelmaan
makhluk aneh berlumpur itu.
"Wahai iblis-iblis yang bersemayam di neraka! Berilah
aku kekuatan abadi untuk menguasai seluruh dunia...!" lantang suara pemuda
itu.
Secercah kilat menyambar angkasa, disusul ledakan dahsyat
mengguruh. Tiba-tiba saja angkasa jadi hitam, terselimut awan tebal. Angin
bertiup kencang, bagai terjadi badai topan. Semakin lama angin semakin kencang
menerbangkan pohon-pohon, melontarkan bebatuan, dan mengguncangkan bumi. Saat
ini sepertinya dunia akan kiamat!
Tidak lama peristiwa itu berlangsung, maka alam pun kembali
seperti semula. Langit kembali cerah, tanpa awan sedikit pun menggantung di
angkasa. Sementara Rangga masih berdiri mematung memandangi laki-laki muda
jelmaan dari makhluk buas dan liar. Memang, tidak ada yang tahu asalnya,
kecuali Laras dan anaknya. Laki-laki muda itu berbalik, dan nampak terkejut
melihat Pendekar Rajawali Sakti ada di tempat ini. Namun cepat dibiasakan
dirinya kembali, seperti pernah terjadi apa-apa.
"Aku tidak kenal denganmu. Sebaiknya jangan mencampuri
urusanku!" kata laki-laki muda itu dingin dan datar nada suaranya.
Rangga ingin membuka mulutnya. Tapi belum juga sempat
berbicara, pemuda aneh itu sudah lenyap bagaikan hilang begitu saja. Rangga
jadi celingukan mencari-cari. Tapi bayangan laki-laki itu tidak nampak lagi. Hilang
bagai ditelan bumi. Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuhnya, bisa lenyap
tanpa dapat diketahui arahnya oleh Rangga!
***
LIMA
"Kakang..!"
Rangga membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara panggilan
dari belakang. Tampak Ayu Kumala bersama ayahnya, dan diikuti beberapa penduduk
Desa Caruban serta Ki Giri berlari-lari menghampirinya. Mereka semua membawa
senjata yang bermacam-macam bentuknya. Bahkan ada yang membawa cangkul, ataupun
arit penyabit rumput. Ayu Kumala lebih dahulu yang mencapai tempat itu.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Ayu Kumala
dengan perasaan cemas, yang tidak dapat disembunyikan
"Tidak," sahut Rangga tersenyum tipis.
Pendekar Rajawali Sakti itu memandang orang-orang yang sudah
berada di depannya. Mereka adalah penduduk desa yang setiap hari bergelut
dengan lumpur dan ladang, dan bukanlah orang rimba persilatan. Mereka tidak
mengerti ilmu olah kanuragan sedikit pun, tapi berani mengambil resiko tinggi
untuk mengamankan desanya.
"Mana makhluk itu...?" tanya Ayu Kumala lagi.
"Pergi," sahut Rangga singkat.
"Aku yakin, kau pasti sudah mengalahkannya,"
celetuk Ki Bonang memuji.
Rangga tersenyum tipis dan menggeleng pelan. kemudian
melangkah perlahan. Semua orang mengikutinya. Ki Bonang berjalan di samping
kanan Pendekar Rajawali Sakti itu, diikuti Ki Giri. Sedangkan Ayu Kumala tidak
lepas memegangi lengan kiri pendekar muda itu. Untuk beberapa saat mereka
berjalan tanpa berbicara sedikit pun.
Sementara Rangga sendiri masih diliputi berbagi macam
pertanyaan yang sukar dijawab. Masih belum bisa dipahami kejadian yang
dilihatnya tadi. Sangat sulit untuk diterima akal sehat. Juga sulit dimengerti,
bagaimana mungkin makhluk liar bagai binatang buas itu tiba-tiba berubah ujud
menjadi seorang laki-laki muda. Bahkan hanya mengeluarkan satu kalimat saja
untuknya. Ya..., satu kalimat yang hanya ditujukan untuk Pendekar Rajawali
Sakti.
Rangga memperlambat langkahnya, dan membiarkan orang-orang
itu berjalan lebih dahulu. Sedangkan Ayu Kumala masih tetap berjalan di
sampingnya meskipun ayahnya sudah berjalan lebih dahulu bersama penduduk Desa
Caruban. Ki Giri sendiri masih tetap berada di belakang.
"Sejak tadi kau diam saja, Kakang. Apa yang kau
pikirkan?" Ayu Kumala membuka suara.
Rangga menghentikan langkahnya. Dengan halus dilepaskan
pegangan tangan Ayu Kumala pada lengannya. Sebentar dia menarik napas panjang,
lalu menatap Ki Giri yang juga berhenti melangkah. Laki-laki tua itu cengar-cengir,
dan melangkah perlahan.
"Mau ke mana, Ki?" tanya Rangga.
"Pulang," sahut Ki Giri tanpa berhenti melangkah.
"Aku memerlukan dirimu, Ki," kata Rangga.
Ki Giri berhenti dan berbalik. Agak terkejut juga keningnya
mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti itu tadi. Namun dihampirinya juga,
ketika melihat wajah Rangga begitu sungguh-sungguh. Sementara Ayu Kumala
memandang wajah tampan pemuda itu dengan alis hampir menyatu rapat.
"Ada apa?" tanya Ki Giri.
"Ki, kau masih ingat ceritaku ketika datang membawa
Laras?" tanya Rangga.
Ki Giri mengangguk, dan alisnya bertaut.
"Waktu itu memang tidak lengkap kuceritakan, tapi
sempat kulihat kau terkejut," lanjut Rangga.
"Ada apa ini?" celetuk Ayu Kumala tidak mengerti.
"Kau akan tahu nanti, Ayu," kata Rangga.
"Den, apakah makhluk itu sama dengan yang pertama kau
jumpai di lereng sebelah Selatan?" tanya Ki Giri perlahan.
"Benar, Ki," sahut Rangga. "Hanya...."
"Hanya apa?" tanya Ki Giri mulai serius.
"Aku tidak tahu, Ki. Rasanya sulit untuk dipercaya.
Kejadiannya begitu cepat, dan...," Rangga terputus kata-katanya.
"Teruskan, Den," pinta Ki Giri serius.
"Terus terang, Ki. Aku sering menghadapi berbagai
peristiwa, baik yang masuk akal maupun yang tidak. Tapi yang ini rasanya sukar
untuk dimengerti. Hampir-hampir aku tidak percaya dengan penglihatan ku
sendiri. Rasanya sulit dibayangkan, Ki. Terlalu ganjil...," suara Rangga
bernada kurang percaya dengan yang diucapkannya.
"Sebaiknya Aden istirahat dulu, tenangkan diri dan
pikiran. Nanti kita bicarakan lagi hal ini," kata Ki Giri bijaksana.
"Entahlah, Ki. Rasanya belum tenang kalau hal ini belum
terpecahkan," desah Rangga pelan.
"Kita pulang dulu, Den," ajak Ki Giri.
Rangga tidak menolak saat Ki Giri menggamit tangannya, dan
mengajaknya pergi meninggalkan hutan ini. Sementara Ayu Kumala yang sejak tadi
diam saja, belum bisa memahami pembicaraan itu. Langkahnya juga kurang mantap,
karena benaknya diliputi berbagai macam pikiran. Dia berusaha mengerti, namun
sulit untuk dicapai oleh jalan pikirannya. Mereka terus berjalan tanpa
berbicara lagi.
***
Sejak peristiwa di dalam Hutan Lereng Gunung Puring itu
Rangga jadi lebih banyak diam. Sedang Laras sendiri lebih senang menyendiri di
dalam rumah. Dia jadi takut pergi ke mana-mana seorang diri. Sosok makhluk
mengerikan bagai mayat hidup, masih terus menghantui pikirannya.
Sementara Ayu Kumala jadi sering mengunjungi rumah Ki Giri.
Beberapa kali gadis itu mendesak untuk lebih tahu kejadian di Lereng Gunung
Puring, tapi Pendekar Rajawali Sakti enggan untuk membicarakannya. Lebih-lebih
lagi setelah tahu kalau makhluk itu adalah seorang tokoh sakti yang hidup entah
berapa tahun silam. Mungkin puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu.
"Sudah lama orang melupakan tentang Hantu Karang Bolong
itu, Den. Semua orang percaya kalau hantu itu sudah musnah. Aku sendiri hampir
tidak percaya waktu Aden mengatakannya pertama kali..," kata Ki Giri
ketika mempunyai kesempatan bicara berdua bersama Rangga.
"Ki, apakah mungkin orang yang sudah mati dapat bangkit
kembali?" tanya Rangga.
"Kalau percaya dengan adanya kebangkitan kembali, maka
kau akan percaya datangnya kehidupan kembali setelah manusia mati," sahut
Ki Giri.
"Maksudku bukan itu, Ki," sergah Rangga.
"Kebangkitan dari alam kubur, maksud Aden?"
"Mungkin," nada suara Rangga terdengar ragu-ragu.
"Den, seumur hidupku belum pernah kudengar adanya orang
mati bisa hidup kembali setelah puluhan tahun, bahkan ratusan tahun terkubur.
Tapi.... Yah, mungkin saja hal itu bisa terjadi pada orang yang mati secara
tidak wajar, dan menyimpan dendam dalam hatinya," kata Ki Giri.
"Dendam...?!"
"Itu juga belum pasti, Den. Banyak tokoh rimba
persilatan yang tewas dalam pertarungan. Dan yang pasti juga menyimpan dendam
atas kekalahannya. Tapi toh mereka tidak pernah muncul kembali setelah jasadnya
terkubur di dalam liang."
"Ki, adakah satu ilmu yang membuat orang tidak bisa
mati?" tanya Rangga.
"Ha ha ha...!" Ki Giri tertawa mendengar
pertanyaan bernada ragu-ragu itu.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum kecut. Baru disadari kalau
pertanyaan itu seperti membuatnya bodoh sekali. Pertanyaan yang seharusnya
tidak pernah terlontar dari seorang pendekar yang sangat ternama dan disegani
baik lawan maupun kawan.
"Dulu, ketika masih muda dan gagah sepertimu, aku juga
sering mengembara. Selama malang melintang di dalam rimba persilatan, belum
pernah kudengar ada orang yang mempunyai ilmu menolak kematian. Yaaah....
Memang, pernah juga mendengarnya, tapi tidak pernah kupercayai!" kata Ki
Giri.
"Ilmu apa itu, Ki?" tanya Rangga.
"Ilmu 'Batara Karang'," sahut Ki Giri. "Ah!
Sudahlah, Den. Tidak ada ilmu seperti itu. Semua makhluk di bumi ini pasti
mati. Dan itu sudah takdir yang digariskan Hyang Widi. Tidak ada satu makhluk
pun yang sanggup menentangnya."
Rangga terdiam. Tiba-tiba teringat salah satu kitab yang
pernah dibacanya di goa Lembah Bangkai, tempatnya selama dua puluh tahun hidup
bersama seekor burung rajawali raksasa, Di dalam kitab peninggalan Pendekar
Rajawali, gurunya, tertulis adanya suatu ilmu yang bernama 'Batara Karang'.
Tapi belum ada seorang pun yang sanggup memilikinya. Meskipun ada yang mampu,
tapi tidak akan mencapai kesempurnaan. Ajal pasti merenggutnya juga.
Di dalam kitab itu juga tertulis agar Rangga tidak
mempelajari ilmu terkutuk itu, karena dapat menyesatkan orang yang
mempelajarinya. Tetapi, benarkah Hantu Karang Bolong memiliki ilmu 'Batara
Karang'? Kalau memang benar, tidak mungkin bisa terkubur selama puluhan tahun
begitu. Orang yang memiliki ilmu 'Batara Karang" tidak akan mati selama
masih menyentuh tanah.
"Den, waktu makhluk itu mengubah ujud, apakah
menyebutkan namanya?" tanya Ki Giri setelah lama berdiam diri.
"Tidak, tapi hanya mengatakan satu kalimat saja. Dan
itu ditujukan padaku," sahut Rangga.
"Hm.... Dari ciri-ciri yang kau sebutkan, memang persis
dengan si Hantu Karang Bolong. Dia memang seorang pemuda yang sangat tampan.
Meskipun belum pernah bertemu dengannya, tapi sering kudengar sepak terjangnya.
Dunia benar-benar terancam kepunahan kalau memang dia bangkit kembali,"
jelas Ki Giri setengah bergumam.
"Ki Giri tahu, bagaimana dia bisa terkubur?" tanya
Rangga.
"Entahlah, aku tidak tahu pasti. Aku hanya mendengar
dari cerita orang-orang tua dulu saja," sahu Ki Giri tidak yakin.
"Katakan, Ki. Mungkin bisa bermanfaat," desak
Rangga.
"Dulu, Hantu Karang Bolong pernah menantang seorang
pendekar tangguh yang pada saat itu belum ada tandingannya. Mereka bertarung di
sebelah Selatan Gunung Puring, tempat Hantu Karang Bolong dikuburkan. Aku tidak
tahu pasti, bagaimana caranya pendekar itu bisa mengalahkan Hantu Karang
Bolong," tutur Ki Giri.
"Siapa nama pendekar itu, Ki?" desak Rangga lagi.
Dia memang begitu berminat untuk mengetahui lebih jauh perihal Hantu Karang
Bolong itu.
"Pendekar Bayangan Dewa. Tempat tinggalnya dulu di
Puncak Gunung Puring. Mungkin sampai saat ini masih ada sisa-sisanya. Tapi
telah lama tidak ada orang yang pernah menginjak tempat itu lagi, karena harus
melewati kuburan Hantu Karang bolong. Memang ada jalan lain, tapi terlalu sulit
ditempuh."
"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Selain daerahnya yang berbukit dan bertebing terjal,
juga banyak binatang berbisa. Belum lagi harus melewati daerah rawa berlumpur
yang dapat menyedot apa saja yang melewatinya. Lalu, juga harus melalui
lebatnya padang berduri. Lain halnya jika melewati kuburan Hantu Karang Bolong.
Jalannya mudah dilewati dan tidak ada hambatan sama sekali," jelas Ki
Giri.
"Berapa lama untuk sampai ke sana?" tanya Rangga
lagi.
"Ah, Aden bercanda...," desah Ki Giri.
"Aku sungguh-sungguh, Ki."
"Sebaiknya jangan, Den. Lewat jalan mana pun juga
sekarang ini, tidak akan mudah mencapai Puncak Gunung Puring. Apalagi sekarang
Hantu Karang Bolong telah bangkit kembali. Itu pun kalau dia memang benar-benar
bangkit dari kuburnya," Ki Giri langsung bisa menebak maksud Rangga.
"Dia memang bangkit!"
Rangga dan Ki Giri terkejut begitu tiba-tiba terdengar suara
lain dari arah belakang. Serentak mereka menoleh ke belakang. Lebih terkejut
lagi begitu melihat seseorang yang berada tidak jauh di belakang. Rangga dan Ki
Giri saling berpandangan beberapa saat, kemudian sama-sama bangkit berdiri.
Sama sekali Rangga tidak menyadari kalau pembicaraannya
dengan Ki Giri juga didengar orang lain. Bahkan Ki Giri terkejut bukan main,
sehingga tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kebisuan terjadi untuk beberapa saat
lamanya.
***
"Laras! Sejak kapan kau di sini?" tanya Rangga
setelah hilang rasa terkejutnya.
"Lama Juga. Yang jelas, semua yang kalian bicarakan
telah kudengar," sahut Laras.
"Den Ayu! Bagaimana kau bisa begitu yakin?" tanya
Ki Giri ingin tahu.
"Terus terang, sebenarnya aku takut untuk
mengatakannya. Karena telah mendengar semua pembicaraan kalian, maka kuputuskan
untuk berterus terang. Aku tidak ingin adanya jatuh korban lagi. Biarlah ayah
mertuaku dan suamiku yang jadi korban," wajah Laras berubah mendung.
Laras melangkah menghampiri dan duduk di depan kedua
laki-laki itu. Sebentar dihirupnya udara banyak-banyak agar mendapat kekuatan
untuk menceritakan semua yang dilihatnya malam itu. Peristiwa yang selama ini
disimpannya dalam-dalam. Namun, kali ini berat rasanya untuk menyimpan beban
itu. Dia tidak ingin orang yang telah menyelamatkan dan menolongnya tewas di
tangan makhluk liar itu.
"Rangga, kau ingat ketika pertama kali menemukan
diriku?" tanya Laras pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Ingat," sahut Rangga mengangguk
"Kau juga ingat saat menemukan barang-barangku?"
tanya Laras lagi.
"Tentu," lagi-lagi Rangga mengangguk.
"Apa yang kau lihat di dangau itu?"
"Tidak ada apa-apa, kecuali bercak-bercak darah. Aku
tidak tahu, apakah sudah lama atau masih baru. Dan bercak darah itu sudah
bercampur air hujan dan lumpur," sahut Rangga menjelaskan.
"Itu darah suamiku dan darah ayah mertuaku," jelas
Laras agak tertahan suaranya.
Rangga terkejut mendengarnya. Ditatapnya dalam-dalam
sepasang bola mata wanita itu, seolah-olah ingin mencari kebenaran. Namun yang
didapatkannya hanya sepasang bola mata yang mendung dan agak berkaca-kaca.
"Aku berasal dari sebuah desa yang sangat terpencil,
dan sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi sejak berusia tujuh tahun. Aku
tinggal bersama seorang wanita tua yang sangat kejam, dan memperlakukanku
seperti binatang. Aku harus patuh pada setiap perintahnya. Dia tidak
segan-segan mencambuk, atau mengurungku dalam kerangkeng kalau melakukan
sedikit kesalahan. Sampai berusia tujuh belas tahun, aku selalu hidup dalam
tekanan dan penderitaan. Akhirnya, datang seorang laki-laki tua yang
membebaskanku dari wanita itu..," tutur Laras tentang kehidupan pahitnya.
Rangga dan Ki Giri saling pandang. Mereka diam saja,
mendengarkan penuh perhatian. Baru kali inil Laras mau terbuka tentang dirinya.
"Laki-laki tua itu kemudian membawaku pergi. Aku tidak
bisa memberikan apa-apa untuk membalas jasanya. Maka ketika diminta untuk jadi
menantunya, aku tidak bisa menolak, sehingga mendapatkan seorang putra. Anak
itu kami beri nama Surya Paku. Dengan nama itu, aku berharap datangnya sinar
kebahagiaan yang selama ini tidak kunjung menyinariku. Tapi semua harapanku
jadi sia-sia, karena ternyata ayah mertuaku seorang kepala penyamun. Akhirnya,
hari naasnya datang. Seluruh anak buahnya tewas oleh pasukan kerajaan yang
dirampasnya. Kami lari, hingga sampai di Lereng Gunung Puring," kembali
Laras berhenti.
"Bagaimana mungkin kau tidak tahu pekerjaan ayah mertua
dan suamimu?" tanya Rangga.
"Aku tidak pernah menanyakan setiap kali mereka pergi.
Yang penting, aku hanya berbakti saja, karena merasa berhutang budi pada
mereka. Pada suatu saat, suamiku bercerita akan pergi ke suatu tempat. Aku
takut. Tapi karena sudah terlanjur mencintainya, aku rela ikut bersamanya ke
mana saja pergi"
"Kau tahu tujuannya?" tanya Rangga lagi.
"Suamiku memang memberi tahu, meskipun seharusnya tidak
boleh untuk diceritakan. Dan aku harus berpura-pura tidak tahu di depan
ayahnya."
"Ke mana?" desak Rangga.
"Puncak Gunung Puring.
"Puncak Gunung Puring..?! Apa maksudnya kesana?"
Ki Giri terperanjat.
"Menurut suamiku, di sana kami bisa bangkit kembali.
Bahkan bisa lebih besar lagi. Aku sendiri tidak mengerti, apa yang dicari
suamiku di sana. Aku juga tidak mau banyak tanya, dan hanya menurut saja."
"Lalu, apa yang terjadi saat tiba di Lereng Gunung
Puring?" tanya Rangga.
"Mengerikan...!" desis Laras.
"Ceritakan," desak Ki Giri.
"Kami tiba sudah malam dan hujan lebat. Ayah mertuaku
memilih sebuah dangau untuk beristirahat sambil menunggu hujan reda. Di
situ...," Laras tidak sanggup lagi meneruskan.
"Apa yang terjadi, Laras?" desak Rangga.
"Makhluk itu.... Makhluk itu tiba-tiba muncul setelah
kilat menyambar kuil kecil. Kuil itu terbakar, dan makhluk itu muncul dari
kobaran api...," Laras kembali terhenti. Ditutupi wajahnya dengan telapak
tangan, tidak sanggup membayangkan peristiwa mengerikan itu.
"Hhh...! Sudahlah, Laras," desah Rangga tidak
tega.
"Aku tidak tahu lagi lalu lari...!" Laras mulai
menangis.
Rangga menarik napas dalam-dalam. Ditatapnya Ki Giri yang
saat itu juga tengah menatap padanya. Sesaat kemudian Ki Giri melingkarkan
tangannya pada pundak Laras. Lalu membawanya bangkit berdiri. Sebentar
laki-laki tua itu menatap Pendekar Rajawali Sakti, kemudian membawa Laras
kembali masuk ke dalam rumahnya.
Sementara Rangga masih duduk diam di tempatnya. Di dalam
benaknya, kembali terulang cerita Laras lalu dihubungkan dengan semua yang
dialaminya. Hanya satu yang menjadi pertanyaannya. Untuk apa mereka ke Gunung
Puring? Dan apa yang dimaksudkan suami Laras dengan kebangkitan yang lebih
besar?!
Rangga masih memikirkan hal itu sampai Ki Giri datang
kembali, dan duduk di depannya. Tampak raut wajah laki-laki tua itu tidak
seperti biasanya yang selalu ceria, penuh kata-kata menggoda. Rangga melirik
saat mendengar desahan napas panjang keluar dari hidung Ki Giri.
"Mungkin hari kiamat sudah dekat, Den," gumam Ki
Giri seraya mendesah panjang.
Rangga mengangkat kepalanya, dan langsung menatap ke bola
mata laki-laki tua di depannya. Tidak dimengerti kata-kata Ki Giri barusan.
Meskipun sudah menduga, tapi belum yakin.
"Ramalan bahwa Hantu Karang Bolong bangkit kembali dari
kuburannya ternyata benar. Dan ini pertanda suatu malapetaka besar. Tidak ada
seorang pun yang sanggup menandingi kesaktiannya. Hanya...," kata-kata Ki
Giri terputus.
"Hanya apa, Ki?" desak Rangga.
"Ah! Sudahlah, Den. Tidak ada gunanya dibicarakan
lagi."
"Ki...," Rangga tetap mendesak.
Ki Giri menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya
kuat-kuat. Sebentar ditatapnya dalam-dalam Pendekar Rajawali Sakti itu,
kemudian kepalanya digelengkan beberapa kali disertai hembusan napas panjang.
"Tidak ada gunanya, Den. Hantu Karang Bolong tidak
mungkin bisa dikalahkan. Dia bukan manusia, tapi jelmaan iblis neraka yang
ingin menghancurkan manusia di atas bumi ini," kata Ki Giri terasa berat
mengatakannya.
"Tapi mengapa dia bisa dikalahkan Pendekar Bayangan
Dewa?"
"Itu dulu, Den. Sekarang pendekar itu sudah tidak ada
lagi."
"Pasti ada satu senjata ampuh yang dimiliki Pendekar
Bayangan Dewa, sehingga bisa mengalahkan si Hantu Karang Bolong itu. Hm...! Dan
ini tentu diketahui ayah mertua Laras ataupun suaminya. Aku yakin, mereka
menuju ke Puncak Gunung Puring untuk menemukan senjata itu. Yaaa...! Mungkin
inilah yang dikatakannya bangkit kembali yang lebih besar!" Rangga gembira
bisa menemukan jawaban dari pertanyaannya sendiri.
"Den...!" sentak Ki Giri bernada cemas.
"Aku harus ke puncak gunung itu, Ki. Senjata Pendekar
Bayangan Dewa harus kutemukan. Hantu Karang Bolong harus dimusnahkan
selama-lamanya, sebelum benar-benar menghancurkan dunia ini!" tekad
Rangga.
"Jangan, Den. Berbahaya...! Lagi pula tidak ada yang
tahu, di mana dan bagaimana senjata itu. Sia-sia saja, Den. Tidak ada
gunanya," cegah Ki Giri, jelas nada suaranya begitu cemas.
"Apa pun bentuknya, senjata itu pasti ada. Dan harus
kutemukan sebelum ada yang mengetahui tentang ini, Ki. Aku yakin, Pendekar Bayangan
Dewa menggunakan senjata itu untuk mengalahkan Hantu Karang-Bolong. Aku yakin,
Ki!" tegas kata-kata Rangga.
"Tapi...."
"Tolong jangan cegah aku, Ki," potong Rangga
cepat. "Aku akan berterima kasih sekali jika Ki Giri bersedia menerima
Laras sebagai anak, dan mengijinkannya tinggal di sini. Kasihan dia," kata
Rangga perlahan.
Ki Giri menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.
Terdengar desahan panjang dan berat. Bisa dipahami jiwa kependekaran pemuda
itu. Dan jiwa itu dulu juga ada dalam dirinya ketika masih malang melintang
dalam rimba persilatan. Ki Giri seolah-olah melihat dirinya kembali dalam diri
Pendekar Rajawali Sakti.
"Baiklah, Den. Aku tidak akan mencegahmu lagi. Hanya
pesanku, segeralah kembali kalau gagal," ucap Ki Giri menyerah.
"Terima kasih, Ki."
"Masalah Laras, jangan dikhawatirkan. Dia boleh tinggal
di sini sesukanya, asal tidak bosan mengurusi laki-laki tua cerewet ini,"
gurau Ki Giri.
Rangga tersenyum juga mendengar gurauan itu.
"Kapan berangkat?" tanya Ki Giri.
"Besok, pagi-pagi sekali," sahut Rangga.
***
ENAM
Pagi-pagi sekali, sebelum matahari menampakkan diri, Rangga
sudah memacu kuda hitamnya meninggalkan rumah Ki Giri. Laki-laki tua itu
mengantarkan sampai di depan pintu rumahnya. Sebenarnya dia ingin ikut serta,
tapi Rangga tidak mengizinkan. Biar bagaimanapun, keselamatan Laras juga harus
diperhatikan. Jangan sampai wanita dan anaknya itu berada seorang diri di rumah
ini. Ki Giri hanya bisa berharap Rangga kembali dengan selamat, dan berhasil
mengalahkan Hantu Karang Bolong.
Rangga cepat memacu kudanya melintasi jalan Desa Caruban
yang masih sepi lengang. Namun mendadak lari kudanya dihentikan begitu tiba di
perbatasan desa. Tampak di depannya berdiri sesosok tubuh ramping. Di
sampingnya seekor kuda putih tengah merumput dengan tenang. Rangga melompat
turun dar menghampirinya.
"Ayu Kumala! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya
Rangga begitu dekat dengan gadis yang seperti sedang menantinya.
"Kau pikir, aku sedang apa di sini?" Ayu Kumala
malah balik bertanya.
"Jangan main-main, Ayu."
"Aku serius!"
"Kau tidak bermaksud menungguku di sini, bukan?"
tebak Rangga berharap meleset.
"Aku memang sengaja menunggumu," ringan sekali
jawaban Ayu Kumala.
"Ayu..!"
"Jangan katakan aku wanita tidak tahu diri karena
menunggu laki-laki di pagi buta begini, Kakang!" potong Ayu Kumala cepat.
Rangga geleng-geleng kepala. Benar-benar sulit dimengerti
sikap gadis satu ini. Biasanya Rangga selalu bisa mengatasi setiap gadis yang
mencoba masuk ke dalam kehidupannya. Tapi menghadapi Ayu Kumala, Rangga seperti
kehilangan akal. Sukar baginya untuk menebak maksud yang terkandung di dalam
hati gadis ini. Sikapnya tidak pernah tetap, dan sukar sekali untuk bisa
dipahami.
"Aku tahu ke mana kau akan pergi, Kakang. Makanya aku
menunggumu di sini," kata Ayu Kumala.
"Aku ada urusan penting, Ayu," jelas Rangga
mencoba meminta pengertian.
"Begitu pentingkah sehingga melupakan diriku,
Kakang?"
Rangga tidak bisa menjawab. Benar-benar sulit dimengerti
sikap gadis ini. Tapi dalam hatinya timbul juga kecemasan. Ayu Kumala selalu
cepat mengetahui apa yang terjadi di Desa Caruban ini. Bahkan jika setiap orang
mempunyai rencana, pasti dapat dike tahuinya. Terlebih lagi kalau hal itu
sangat diminati.
"Kita berangkat sekarang, Kakang," ujar Ayu
Kumala.
"Berangkat ke mana?!" sentak Rangga terkejut.
"Ke Gunung Puring," sahut Ayu ringan.
"Ayu...!"
"Kau pasti membutuhkanku, Kakang. Aku tahu jalan yang
mudah ke sana. Ki Giri sengaja tidak memberitahu kepadamu, supaya kau
membatalkan semuanya. Dia terlalu cemas dan takut kehilanganmu, celoteh Ayu
Kumala lancar bagai air sungai mengalir tanpa hambatan.
"Ayu, apa yang kau bicarakan?"
"Aku kan sudah bilang, aku tahu ke mana tujuanmu.
Ayolah, nanti keburu siang."
"Tunggu dulu, Ayu!"
Ayu Kumala tidak jadi naik ke kudanya. "Dari mana kau
tahu semua ini?" tanya Rangga penasaran. Dia memang selalu penasaran bila
menghadapi gadis ini, yang sepertinya mengetahui semua kejadian di sini.
Ayu Kumala hanya tersenyum saja, kemudian melompat naik ke
punggung kudanya. Tanpa menghiraukan pertanyaan Rangga, gadis itu menghentakkan
tali kekang kudanya agar melaju. Rangga bergegas melompat naik ke punggung
kudanya, menyusul gadis itu.
"Ayu, jawab pertanyaanku! Dari mana kau tahu rencana
kepergianku ini?" desak Rangga.
Ayu tetap tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Dia
terus mengendalikan kudanya.
"Ki Giri yang mengatakannya padamu?" desak Rangga
menebak.
"Bukan siapa-siapa," sahut Ayu tenang.
"Dengar, Ayu! Tujuanku sangat berbahaya. Rencanaku akan
kubatalkan kalau kau tidak mengatakan terus terang," ancam Rangga jadi
sengit.
Ayu Kumala menghentikan langkah kudanya. Dan Rangga juga
demikian. Sebentar mereka saling pandang.
Tiba-tiba saja Ayu Kumala tertawa terbahak-bahak, begitu
renyah dan terbuka. Rangga jadi dongkol, dan menggerutu dalam hati. Gadis ini
benar-benar membuat kepalanya berputar tujuh keliling. Baru kali ini Rangga
merasa kewalahan menghadapi seorang gadis nakal. Namun diakui, kalau Ayu Kumala
benar-benar cerdik.
"Ayo, Kakang! Kita berpacu!" ajak Ayu Kumala.
"Ayu.., tunggu! Kau belum menjawab pertanyaanku!"
Tapi Ayu Kumala sudah menghentakkan tali kekang kudanya. Dan
kuda putih Itu berlari cepat bagai angin. Rangga bergegas memacu kudanya untuk
mengejar gadis itu. Dewa Bayu bukanlah kuda sembarangan, maka dengan cepat kuda
putih yang ditunggangi gadis cantik itu bisa disusul.
"Ayu, aku tidak main-main! Ini sangat berbahaya!"
kata Rangga sedikit keras.
"Aku juga," sahut Ayu kalem.
"Kau benar-benar nakal!" gerutu Rangga.
"Biar, asal kau tidak mati sendirian!"
"Gila!" lagi-lagi Rangga menggerutu kesal.
"Kau akan membutuhkan orang gila, Kakang.
Percayalah!"
"Aku tidak akan percaya lagi kepadamu!"
"Oh, ya...? Lihat saja nanti."
Ayu kembali tertawa terbahak-bahak, dan terus memacu cepat
kudanya mendaki Lereng Gunung Puting. Sementara Rangga masih bersungut-sungut.
Tapi, benarkah dia akan membutuhkan gadis ini nanti? Atau sebaliknya, malah
menambah kesulitan saja. Yang jelas, Sekarang Ayu Kumala tidak bisa lagi
disuruh pulang!
Untuk pertama kalinya, Rangga mengucapkan terima kasih
kepada Ayu Kumala, meskipun hanya dalam hati saja! Jalan yang dipilih Ayu
Kumala memang mudah dilalui, bahkan kuda mereka dengan leluasa dapat berpacu
kencang. Hingga matahari belum lagi sepenggalan, ternyata sudah tiba di Puncak
Gunung Puring. Mereka baru menghentikan lari kudanya setelah sampai di tengah
puncak gunung itu.
Sebentar Rangga memandangi sekitar Puncak Gunung Puring.
Kabut tebal menyelimuti seluruh permukaan puncak gunung itu. Udara dingin
berhembus kencang membawa butir-butir air bagai permata menghias dedaunan.
Sungguh indah pemandangan di sini, dan seolah-olah tidak menyimpan misteri apa
pun. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu bisa merasakan adanya sesuatu yang
ganjil, yang begitu kuat menghentak jantungnya. Rangga tidak tahu, kekuatan
yang dirasakannya saat ini. Yang jelas dirasakan jantungnya jadi lebih cepat
berdetak. Bahkan sepertinya aliran darahnya tidak teratur.
"Hm...," gumam Rangga perlahan..
Pendekar Rajawali Sakti itu mencoba untuk menahan perasaan
yang tiba-tiba saja muncul dalam dirinya. Tapi semakin keras mencoba, semakin
kuat pula daya tarik itu terasakan. Rangga membuka aliran hawa murni dari pusat
tubuhnya, dan mencoba mengalirkan ke seluruh tubuh. Tapi, tubuhnya malah menggigil.
Hawa murni itu balik menyerang pusat kekuatannya. Buru-buru ditarik kembali
hawa murni dalam tubuhnya.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ayu kumala. Rupanya gadis
itu memperhatikan sejak tadi.
"Tidak apa-apa. Hanya aku...," Rangga tidak
melanjutkan.
"Kau merasakan ada kekuatan gaib di sini, Kakang?"
tebak Ayu Kumala.
Rangga langsung menatap dalam gadis itu. Hatinya benar-benar
terkejut mendengar tebakan yang begitu tepat.
"Tidak perlu dirisaukan. Itu hanya sebuah gejala
kekuatan gaib yang ada di sekitar Puncak Gunung Puring ini. Semua orang akan
merasakannya bila pertama kali menginjakkan kakinya di sini. Nanti juga hilang
sendiri," jelas Ayu Kumala.
Rangga tetap diam. Dan memang, dirasakan kekuatan daya tarik
itu perlahan mengendur. Dan akhirnya hilang sama sekali. Dia jadi tidak
mengerti, apa sebenarnya yang baru saja dirasakannya. Pendekar Rajawali Sakti
itu kembali menatap Ayu Kumala, seperti minta penjelasan.
"Rasanya tidak perlu dijelaskan, lagi, Kakang. Ki Giri
pasti sudah mengatakannya padamu," kata Ayu Kumala seolah mengerti arti
tatapan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kau sering ke sini, Ayu?" tanya Rangga
menyelidik.
"Kadang-kadang," sahut Ayu Kumala enteng.
"Kau tahu, di mana letak makam Pendekar Bayangan
Dewa?"
"Di sini," sahut Ayu tetap ringan suaranya.
"Kau jangan main-main. Ayu"
Ayu Kumala hanya tersenyum saja. Dituntun kudanya, dan
ditambatkan di bawah pohon beringin besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah.
Rangga mengikuti, lalu juga menambatkan kudanya di sana.
Kemudian diedarkan pandangannya ke sekeliling. Sama sekali
tidak terlihat tanda-tanda kalau di sekitar sini ada sebuah makam. Sepanjang
mata memandang, hanya kelebatan hutan yang berselimut kabut cukup tebal.
Kembali ditatapnya Ayu Kumala yang tengah mengumpulkan ranting kering, dan
menumpuknya di dekat kuda mereka.
"Untuk apa itu?" tanya Rangga.
"Membuat api," sahut Ayu kalem.
"Masih terlalu siang, Ayu. Untuk apa membuat api?"
tanya Rangga jadi tidak mengerti.
"Kita akan bermalam di sini."
Rangga menghampiri gadis yang sedang menata ranting-ranting
itu. Dipandanginya gadis itu dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti semakin
merasakan adanya keanehan yang tersimpan dalam diri Ayu Kumala. Satu misteri
yang tidak mudah diungkapkan. Namun Ayu Kumala hanya membalasnya dengan
senyuman saja. Dihenyakkan dirinya, duduk di atas akar yang menyembul dari
dalam tanah.
"Kan sudah kubilang, kau akan membutuhkan diriku,
Kakang," kata Ayu Kumala, jengah juga dipandangi terus.
"Dan ini salah satu bantuanmu?"
"Aku rasa masih ada yang lain. Percayalah, kau tidak
akan berhasil tanpa bantuanku. Yang dihadapi sekarang ini bukan lagi manusia,
tapi perujudan seseorang yang sudah mati puluhan tahun silam."
"Ayu! Tampaknya kau sudah tahu banyak. Katakan, dari
mana kau ketahui semua ini?" desak Rangi tidak main-main lagi.
"Kau selalu mendesakku, Kakang. Baiklah, akan kukatakan
terus terang. Tapi kuharap jangan menyalahkan siapa-siapa. Ini semua untuk
dirimu sendiri dan juga seluruh manusia yang ada di dunia ini," kata Ayu
Kumala bernada menyerah.
"Katakan, dari mana kau tahu semua ini?" desak
Rangga tidak sabar lagi.
"Baiklah. Tapi jangan tegang begitu dong...," goda
Ayu masih juga bisa bercanda.
"Kunyuk!" gerutu Rangga dalam hati. Dihenyakkan
tubuhnya di rerumputan yang lembab.
"Aku tahu semua ini dari Ki Giri. Dia datang ke rumah
dan menceritakan semua rencanamu, dan semua yang kau ketahui tentang Hantu
Karang Bolong...," Ayu Kumala mengakui terus terang.
"Sudah kuduga...," dengus Rangga.
"Terus terang, tadinya juga tidak kupercayai kalau ada
orang mati bisa bangkit kembali. Tapi setelah ayahku menjelaskan semuanya, baru
aku percaya. Terlebih lagi aku memang sudah melihat sendiri. Memang menyeramkan,
seperti mayat baru bangkit dari kuburnya."
"Apa yang dikatakan ayahmu?" tanya Rangga.
"Sama seperti yang Ki Giri katakan padamu."
"Lantas, kenapa kau membantuku? Kau kan tahu pekerjaan
ini sangat berbahaya."
"Ayah yang menyuruhku."
"Mustahil!" dengus Rangga tidak percaya.
"Aku berkata sesungguhnya, Kakang. Ayah begitu
mengkhawatirkan dirimu. Demikian pula dengan Ki Giri. Mereka yakin kalau kau
tidak akan berhasil tanpa bantuanku. Kau tidak mungkin mendapatkan benda yang
kau maksud di sini," kali ini nada Ayu Kumala bersungguh-sungguh.
"Kenapa?" tanya Rangga.
"Karena yang dicari tidak ada di sini," tegas Ayu
kumala.
Kembali Rangga menatap gadis itu dalam-dalam.
***
Waktu terus berjalan cepat. Senja mulai merayap turun
menyelimuti permukaan Gunung Puring. Matahari sudah demikian condong ke arah
Barat, dan sebentar lagi kegelapan akan menyelimuti alam ini. Sementara Ayu
Kumala sudah menyalakan api pada ranting-ranting yang tadi dikumpulkan. Rangga
sendiri telah berhasil menangkap tiga ekor kelinci gemuk yang bisa digunakan
untuk makan malam.
Suasana di Puncak Gunung Puring ini semakin terasa lengang.
Tak terdengar suara binatang malam, tapi hanya desir angin saja yang mengganggu
gendang telinga. Udara semakin dingin, seakan-akan nyala api tidak sanggup
mengusirnya. Semakin gelap menyelimuti seluruh puncak, semakin senyap
suasananya.
"Ayu! Kau tentu tahu tentang Hantu Karang Bolong dan
Pendekar Bayangan Dewa, bukan?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam
diri.
"Tidak banyak, itu pun kuketahui dari cerita Ayah dan
Ki Giri," sahut Ayu Kumala.
"Pengetahuanmu tentu lebih banyak dariku."
"Tidak juga."
"Ayu, kau tentu punya alasan lain sehingga berada di
sini, kan?"
Ayu Kumala tidak menjawab, tapi malah menundukkan kepalanya.
Disembunyikan rona merah yang mendadak saja menyemburat di wajahnya. Tapi
Rangga sudah lebih dulu melihat wajah yang bersemu merah dadu itu, dan ini
tentu saja tidak diinginkannya. Bisa diduga, alasan apa yang membuat Ayu Kumala
berani mempertaruhkan nyawanya di tempat sunyi penuh misteri ini.
"Kuharap, bukan karena alasan pribadi sehingga kau
berada di sini, Ayu. Aku lebih senang jika kau pertaruhkan nyawa karena
menegakkan kebenaran dan keadilan. Mengerti maksudku, Ayu?" lembut, namun
sangat bermakna sekali kata-kata yang diucapkan Rangga.
"Aku mengerti, Kakang. Tapi apakah seseorang akan
terhina jika...," Ayu Kumala tidak melanjutkan kalimatnya. Perlahan-lahan
dia mengangkat wajahnya, dan ditatapnya lurus bola mata Pendekar Rajawali Sakti
itu.
"Kakang...," agak bergetar suara Ayu Kumala.
"Ah, sudahlah. Tidak pantas membicarakan masalah
seperti ini dalam suasana yang...," ucap Rangg tiba-tiba terputus.
Saat itu telinganya mendengar suara yang membuat aliran
darahnya seketika serasa berhenti mengalir. Rangga bergegas berdiri, dan
melayangkan pandangan ke arah suara yang tadi didengarnya. Suara yang begitu
halus, bagai desiran angin.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ayu Kumala.
"Ssst...," Rangga mendesis.
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti itu melompat bagai
kilat. Tubuhnya langsung menerobos gerumbul semak yang bergerak menimbulkan
suara gemerisik. Namun begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti lenyap di dalam
semak, mendadak saja terdengar suara pekikan tertahan yang disusul melesatnya
sosok tubuh ke angkasa dengan cepatnya.
Tubuh itu kembali menukik keras, dan jatuh bergulingan di
tanah yang berumput lembab. Ayu Kumala memekik begitu mengenali tubuh yang
sedang berusaha bangkit berdiri itu. Buru-buru dia berlari menghampiri.
"Kakang...!" Ayu Kumala membantu Rangga berdiri.
"Ugh...!" Rangga berdahak sekali dan menyemburkan
darah kental dari mulutnya.
Selagi Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit, dari dalam semak
belukar melesat satu bayangan putih. Tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri
seorang laki-laki muda berwajah tampan, dan sorot matanya merah tajam.
Laki-laki itu mengenakan baju putih bersih agak ketat, sehingga membentuk
tubuhnya yang tegap berotot. Dia menatap tajam pada Rangga dan Ayu Kumala.
"Hhh! Menyesal memberi kesempatan hidup kepadamu!"
dengus pemuda itu dingin.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Ayu Kumala tidak lepas
menatap laki-laki tampan yang kini berada di hadapannya.
"Hantu Karang Bolong," sahut Rangga pelan.
"Oh...!" Ayu Kumala mendesah terkejut. Gadis itu tidak menyangka
kalau orang yang bernama Hantu Karang Bolong begitu tampan. Namun sorot matanya
yang merah membara bagai bola api itu.... Ayu Kumala tidak sanggup memandangnya
terlalu lama. Tengkuknya bergidik setiap kali menatap bola mata merah menyala
itu.
"Menyingkirlah, Ayu," kata Rangga seraya mendorong
gadis itu ke belakang.
Ayu Kumala melangkah beberapa tindak ke belakang. Tatapan
matanya tidak lepas ke arah pemuda tampan dan berwajah keras. Tatapan matanya
tajam dan menusuk. Masih belum dipercaya kalau laki-laki tampan itu adalah
Hantu Karang Bolong, yang namanya begitu ditakuti sepanjang zaman. Dan karena
dia pula, kini desanya kembali diliputi ketegangan dan kecemasan.
***
TUJUH
Rangga menggeser kakinya ke kiri beberapa langkah. Dia ingin
agar Ayu Kumala jauh dari incaran orang liar yang sebenarnya sudah terkubur
puluhan tahun lalu. Pendekar Rajawali Sakti itu baru berhenti setelah Ayu
Kumala cukup jauh dari tempat itu. Sedikit diliriknya tempat gadis itu tadi
berdiri, kemudian perhatiannya kembali tercurah pada laki-laki tampan yang
dikenal bernama Hantu Karang Bolong.
"Sebelumnya, belum pernah aku memberi kesempatan hidup
pada seseorang yang lancang mencampuri urusanku. Tapi karena kau telah berjasa
menyempurnakan kehidupanku, maka baru kali inilah aku mengucapkan rasa terima
kasih pada manusia. Sayang, rupanya kebaikan hatiku kau sia-siakan,"
dingin dan datar suara Hantu Karang Bolong.
"Terima kasih," ucap Rangga tidak kalah dinginnya.
"Hm..., sekali ini aku rasanya masih bermurah hati lagi
padamu. Dan sebaiknya, cepat tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah
pikiran!" nada suara Hantu Karang Bolong terdengar mengancam.
"Sayang sekali, aku ada urusan sendiri di sini,"
sahut Rangga.
"Aku tahu urusanmu, Anak Muda. Sayang..., terpaksa aku
harus membunuhmu. Aku tidak suka ada duri dalam diriku!"
"Begitu mudahnya kau mengatakan membunuh. Rasanya sukar
untuk kau lakukan," ejek Rangga geram.
"Ha ha ha...!" Hantu Karang Bolong tertawa terbahak-bahak.
Sikapnya begitu meremehkan, dan tidak memandang sebelah mata pun pada Pendekar
Rajawali Sakti.
Sedangkan Rangga sedikit pun tidak memandang ringan pada
Hantu Karang Bolong. Dua kali bentrok, dan sudah bisa diukur tingkat
kepandaiannya. Meskipun saat itu Hantu Karang Bolong masih berbentuk makhluk
setengah mayat. Dan Rangga belum bisa memastikan apakah akan mampu
menghadapinya.
Akibat dari pukulan aji 'Cakra Buana Sukma', kehidupan Hantu
Karang Bolong bisa menjadi lebih sempurna lagi. Dan Rangga tidak bisa
meramalkan, dengan ilmu apa dia mampu menjatuhkannya. Setidaknya, sudah dicoba
semua ilmu yang dimilikinya, tapi waktu itu Hantu Karang Bolong yang belum
sempurna dalam kehidupannya malah semakin liar saja. Bahkan kehidupannya
menjadi sempurna.
"Dengar, Anak Muda. Semua ilmu yang kau miliki tidak
ada seujung kuku dari yang kumiliki. Kau memang boleh bangga dengan ilmumu.
Tapi, di hadapanku kau harus lebih banyak belajar lagi! Paling tidak, butuh
waktu lima puluh tahun untuk menyamai ku!" kata Hantu Karang Bolong
pongah.
"Boleh kita coba," tantang Rangga.
"Keparat! Rupanya kau tidak bisa dikasih hati, Anak
Muda!" geram Hantu Karang Bolong.
"Maaf, kau juga tidak bisa dibiarkan hidup lebih lama
lagi. Tempatmu bukan di sini. Seluruh Dewa di Kahyangan mengutuk kebangkitanmu
kembali!"
"Ha ha ha...! Tidak ada satu Dewa pun yang bisa
menandingi kesaktianku, Anak Muda!" Hantu Karang Bolong semakin pongah.
"Tapi aku bisa membuatmu kembali mendekam di dalam
kubur!"
"Kurang ajar! Kurobek mulutmu, bocah keparat!"
Hantu Karang Bolong benar-benar geram mendapat tantangan
terbuka begitu. Dia segera berteriak nyaring, dan melompat menerjang Pendekar
Rajawali Sakti. Terjangan yang begitu cepat, disertai lontaran dua pukulan
dahsyat bertenaga dalam luar biasa.
"Hup!"
Rangga yang sudah siap sejak tadi, langsung melompat ke
samping, seraya mengirimkan satu tendangan bertenaga dalam cukup sempurna.
Serangan Hantu Karang Bolong luput dari sasaran, namun tendangan Rangga juga
mengenai tempat yang kosong. Mereka kembali saling berhadapan, dan kembali
bersiap untuk melakukan pertarungan.
"Hiya...!"
"Yaaa...!"
Pertarungan tidak bisa dihindari lagi. Masing-masing segera
mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Sementara itu di tempat yang cukup
jauh, Ayu Kumala memperhatikan jalannya pertarungan itu dengan hati diliputi
kecemasan. Kepalanya menjadi pening mengikuti setiap gerakan dua tokoh sakti
itu. Sangat sukar bagi Ayu Kumala untuk mengikuti setiap gerak pertarungan itu.
Dan memang, baik Rangga maupun Hantu Karang Bolong bertarung
menggunakan jurus-jurus yang sukar untuk diikuti pandangan mata biasa.
Jurus-jurusnya begitu cepat dan sangat berbahaya. Terlebih lagi suasana saat
ini begitu gelap, karena malam sudah turun menyelimuti permukaan Puncak Gunung
Puring ini. Ditambah kabut yang semakin tebal, sehingga menyulitkan pandangan.
***
Sementara pertarungan di Puncak Gunung Puring terus
berlangsung. Dan di kejauhan terlihat beberapa ekor kuda sedang mendaki Lereng
Gunung Puring itu. Ada sekitar delapan ekor kuda yang dipacu cepat. Tampak
paling depan, Ki Giri bersama Kepala Desa Caruban.
Suara ledakan dan gemuruh dari puncak gunung, membuat mereka
menghentikan lari kudanya. Ki Giri dan kepala desa itu saling berpandangan
sesaat. Tampak wajah mereka begitu diliputi kecemasan. Mereka sama-sama
memandang enam orang pemuda yang berada di belakang. Mereka semua membawa
senjata golok yang terselip di pinggang.
"Bagaimana, Ki Bonang?" tanya Ki Giri seolah
meminta pertimbangan.
"Hm...," Ki Bonang hanya menggumam tidak jelas.
Pandangannya kembali mengarah ke puncak gunung yang kelam tertutup kabut tebal.
"Sepertinya mereka sudah bertarung, Ki," kata Ki
Giri lagi, yang juga tengah menatap ke arah Puncak Gunung Puring.
"Hm..., mudah-mudahan kita belum terlambat membantu
Pendekar Rajawali Sakti," ucap Ki Bonang setengah bergumam.
"Kenapa tidak kau berikan saja Besi Kuning itu pada
anakmu?" tanya Ki Giri seraya menghentakkan tali kekang kudanya.
Ki Bonang tidak menyahut. Juga digebah kudanya agar kembali
berpacu cepat mendaki lereng gunung ini. Enam orang pemuda yang mengikutinya,
juga segera memacu kudanya mengikuti dua orang laki-laki tua yang terpandang di
Desa Caruban.
Delapan ekor kuda itu terus berpacu cepat menembus pekat a
malam, dan kelebatan hutan di sekitar lereng gunung itu. Namun sepertinya
mereka sudah sering melintasi jalan ini, sehingga tidak sukar untuk mencapai
Puncak Gunung Puring ini. Mereka tiba setelah Rangga dan Hantu Karang Bolong
bertarung menggunakan ilmu-ilmu kesaktian.
Baik Ki Giri maupun Ki Bonang begitu terkejut melihat
sekitar Puncak Gunung Puring ini porak poranda bagai baru saja diamuk puluhan
ekor gajah. Sementara agak jauh di depan, dua orang tokoh sakti dan digdaya,
sedang bertarung mengadu ilmu kesaktian. Sebentar-sebentar terdengar suara
ledakan menggelegar, disusul memerciknya bunga api ke segala arah.
"Ayah...!" terdengar seruan halus.
"Ayu...!" sentak Ki Bonang begitu melihat putrinya
berlari menghampiri.
Ayu Kumala langsung menghambur memeluk ayahnya, lalu segera
dilepaskan pelukannya. Ditatapnya Ki Giri serta enam orang anak muda di
belakang kedua laki-laki tua itu. Ayu Kumala menoleh memandang pertarungan yang
masih berlangsung sengit.
"Apakah itu si Hantu Karang Bolong, Ayu?" tanya Ki
Bonang pada anaknya.
"Benar, Ayah," sahut Ayu Kumala tanpa menoleh.
"Hm...," gumam Ki Bonang tidak jelas.
"Tampaknya mereka masih memerlukan waktu lama, Ki
Bonang," kata Ki Giri yang berada di samping kepala desa itu.
"Ya, aku tidak yakin Pendekar Rajawali Sakti mampu
menandingi Hantu Karang Bolong," sahut Ki Bonang pelan.
"Kita lihat saja dulu," sergah Ki Giri.
Sementara pertarungan antara Rangga melawan Hantu Karang
Bolong, terus berlangsung sengit. Belum ada tanda-tanda bakal ada yang
terdesak. Masih sama-sama tangguh, dan masih berimbang. Mereka bertarung sambil
bergerak terus menuruni Puncak Gunung Puring ini. Dan nampaknya Rangga sengaja
mengajak Hantu Karang Bolong menuju ke lereng sebelah Selatan.
"Pendekar Rajawali Sakti benar-benar cerdik!"
gumam Ki Giri yang mengetahui maksud Rangga menggiring Hantu Karang Bolong ke
Lereng Gunung Puring sebelah Selatan.
"Mereka ke Selatan, Ki!" seru Ayu Kumala.
"Memang itu tujuan Pendekar Rajawali Sakti," sahut
Ki Giri kalem.
"Celaka! Hantu Karang Bolong pasti murka kalau tahu
digiring ke sana!" desak Ki Bonang.
"Mau ke mana, Ki Bonang?" tanya Ki Giri melihat Ki
Bonang sudah melangkah cepat mengikuti pertarungan yang bergerak terus ke arah
Selatan.
"Memberikan Besi Kuning ini pada Rangga," sahut Ki
Bonang terus saja melangkah cepat.
"Jangan sekarang!" cegah Ki Giri seraya mengikuti,
dan mensejajarkan langkahnya di samping Ki Bonang.
"Kenapa?" tanya Ki Bonang yang sudah merasa
bersalah, karena tidak memberikan Besi Kuning itu cepat-cepat pada Rangga.
"Biarkan mereka sampai ke tempat yang dituju dulu.
Jangan merusak rencana Den Rangga," kata Ki Giri.
Ki Bonang menatap laki-laki tua di sampingnya, kemudian menganggukkan
kepalanya. Mereka terus berjalan mengikuti dua tokoh yang masih bertarung
sengit. Dan memang jelas kalau Rangga sengaja mundur menarik perhatian si Hantu
Karang Bolong. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak membalas serangan
lawannya, dan hanya berkelit dan berlompatan menghindari setiap serangan yang
datang. Namun gerakannya jelas menuju ke arah Selatan Lereng Gunung Puring ini.
***
Sementara orang-orang di Gunung Puring diliputi kecemasan
melihat pertarungan Rangga melawan Hantu Karang Bolong, demikian juga di rumah
Ki Giri. Di sini, Laras juga tengah diliputi kecemasan yang amat sangat. Semua
yang terjadi di Gunung Puring, berawal dari dirinya. Wanita ini benar-benar
mengutuki dirinya yang selalu menyebabkan kesengsaraan setiap orang. Di mana
dia berada, selalu terjadi bencana.
Sudah seharian Rangga dan Ki Giri meninggalkan rumah ini.
Dan Laras tahu, ke mana tujuan mereka meskipun tidak diberi tahu. Semua
percakapan Ki Giri dengan Rangga telah didengarnya dari bilik kamar. Dirasakan,
semua peristiwa di sini karena kesalahannya. Kalau saja dia tidak dilahirkan,
mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Sejak pagi buta, hingga malam, dan
datang pagi lagi, Laras selalu diliputi kecemasan.
Laras tidak bisa lagi menunggu di rumah ini. Dititipkan
Surya Paku pada seorang tetangga yang selalu baik padanya, kemudian bergegas
pergi menuju ke Gunung Puring. Sedikitnya dia pernah belajar menunggang kuda
ketika tinggal bersama mertua dan suaminya. Laras pergi menggunakan kuda milik
Ki Giri, dan dipacu cepat kudanya bagai kesetanan.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Laras semakin cepat memacu kudanya begitu melewati batas
Desa Caruban dengan Gunung Puring. Tapi belum juga jauh meninggalkan batas desa
itu, mendadak kudanya meringkik keras, dan kaki depannya terangkat tinggi.
Laras terkejut, tidak bisa lagi mengendalikan kudanya yang mendadak saja jadi
liar. Tubuh yang ramping itu terlontar jauh, dan jatuh keras ke tanah.
Kuda coklat belang putih itu juga jatuh menggelepar di
tanah. Sebatang anak panah tertancap dalam di lehernya. Sebentar kuda itu
menggelepar, kemudian diam tidak berkutik lagi. Laras berusaha bangkit berdiri,
namun sebuah kaki besar menahan dadanya. Kedua bola mata wanita itu membeliak
lebar begitu melihat seorang laki-laki tinggi besar, dan berwajah kasar berdiri
sambil sebelah kaki menekan dadanya.
"He he he.... Kau tidak bisa lepas dariku, Manis,"
laki-laki tinggi besar itu menyeringai lebar.
"Oh...!" Laras berusaha melepaskan diri.
Kaki laki-laki itu terangkat. Kesempatan ini dimanfaatkan
Laras untuk beringsut kemudian bergegas bangkit. Tapi belum juga bisa berlari,
muncul tiga orang laki-laki lain. Laras tahu kalau keempat orang inilah yang
dulu pernah akan memerkosanya di tepi sungai.
"He he he...!" keempat laki-laki beringas itu
terkekeh, dan bibirnya menyeringai lebar.
Empat pasang mata liar menatap Laras, dan dipenuhi hawa
nafsu yang meluap-luap. Laras jadi bergidik, dan hanya celingukan dengan wajah
ketakutan. Empat orang laki-laki itu melangkah mendekati sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
"Hup!"
Salah seorang yang berada di belakang Laras, melompat
langsung menerkam wanita itu. Laras memekik kaget, tapi terlambat. Tangan
laki-laki itu sudah memeluk tubuhnya kuat-kuat. Laras berusaha memberontak,
melepaskan diri dari pelukan laki-laki bertampang beringas itu Dia memekik,
memaki, dan berteriak meminta tolong. Tapi suaranya tenggelam oleh derai tawa
orang-orang itu.
"Setan! Lepaskan aku...! Lepaskan, keparat!" maki
Laras terus memberontak.
Tapi pelukan laki-laki itu demikian kuat. Sia-sia saja Laras
memberontak, meskipun mengerahkan seluruh tenaganya. Sedangkan tiga orang
lainnya sudah mendekat. Mereka memegangi tangan wanita itu, dan
merentangkannya. Yang berada di depan berusaha memeluk dan menciumi wajah
wanita itu.
"Bajingan! Lepaskan...!" pekik Laras.
Plak!
"Auh...!"
Laras memekik keras ketika satu tamparan keras mendarat di
pipinya. Wanita itu langsung terkulai lemas. Perlahan-lahan kesadarannya
menghilang, kemudian benar-benar terkulai tidak sadarkan diri lagi.
"Ha ha ha...!" empat orang laki-laki itu tertawa
terbahak-bahak.
Mereka melepaskan cekalannya, sehingga tubuh Laras melorot
jatuh menggeletak di tanah. Kain yang dikenakannya tersingkap, sehingga
menampakkan sepasang paha yang putih gempal menggiurkan. Empat pasang mata
merah menatap liar. Salah seorang langsung menubruk, dan buas sekali menciumi
wajah serta leher Laras.
Bret!
Kasar sekali orang itu merenggut bagian dada baju Laras,
sehingga terbuka lebar. Tiga orang lainnya langsung berhenti tertawa. Bola mata
mereka membeliak lebar begitu melihat bentuk tubuh yang sangat indah terbalut
kulit putih bersih tanpa noda.
"Iblis...!"
Tiba-tiba saja terdengar satu bentakan keras, membuat
keempat laki-laki itu terkejut. Mereka serentak melompat berdiri, melepaskan
Laras yang sudah polos tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Bola mata
mereka membeliak begitu melihat seorang pemuda yang wajahnya dipenuhi cambang
dan jenggot kasar.
"Laras...," pemuda yang wajahnya kelihatan kasar,
dan bajunya robek di beberapa bagian itu mendesis begitu melihat sesosok tubuh
wanita tergolek tanpa busana lagi.
Ditatapnya empat orang laki-laki yang sudah menghunus
goloknya. Satu suara geraman terdengar. Pemuda itu cepat melompat sambil
mencabut sebilah golok besar yang salah satu bagian matanya bergerigi
"Keparat..! Mampuslah kalian! Hiyaaa...!"
Wut!
Pemuda itu bagai kerasukan setan. Dikibaskan golok besarnya
dengan kekuatan penuh. Trang! Trang!
Dua kali benturan senjata terdengar, maka dua orang dari
keempat laki-laki beringas itu memekik tertahan. Golok mereka terpental jauh ke
udara. Dan belum lagi mereka bisa menyadari apa yang terjadi, senjata pemuda
berwajah penuh brewok itu berkelebat cepat.
Dua pekikan panjang terdengar saling sahut, kemudian disusul
ambruknya dua sosok tubuh tinggi besar. Mereka menggelepar, dan lehernya koyak
hampir putus. Dua orang lagi yang tersisa, jadi membeliak begitu melihat
temannya tewas seketika hanya dalam satu gebrakan saja. Dan belum lagi bisa
melakukan sesuatu, golok besar yang salah satu matanya bergerigi kembali
berkelebat cepat bagaikan kilat.
"Hiyaaa...!"
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Dua orang laki-laki itu tidak mampu lagi berkelit. Golok
besar bergerigi pemuda itu langsung membabat buntung leher mereka. Nyawa pun
langsung hilang sebelum tubuh mereka menyentuh tanah. Pemuda berbaju kumal dan
robek-robek itu, bergegas menghampiri Laras yang belum sadarkan diri. Dia
tampak kebingungan, kemudian mengambil kain yang teronggok tidak jauh dari
wanita itu. Meskipun banyak koyaknya, tapi kain itu cukup untuk menutupi tubuh
Laras.
"Laras...," pemuda itu berusaha menyadarkan Laras.
Agak lama juga Laras tidak sadarkan diri, tapi kemudian
perlahan mengerang, dan kelopak matanya terbuka. Dia memekik tertahan ketika
melihat seraut wajah penuh brewok berada tidak jauh darinya. Laras langsung
beringsut, dan membenahi kainnya.
Wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya gemetar.
"Laras, ini aku.... Anggas," pemuda itu menyebut
namanya.
"Anggas...," pelan suara Laras.
Wanita itu memandangi seluruh tubuh pemuda yang mengaku
bernama Anggas. Sesaat kemudian Laras menubruk pemuda itu dan menangis. Anggas
membiarkan saja wanita itu menangis dalam pelukaan-nya. Lama juga Laras
menguras air matanya. Kemudian dilepaskan pelukan itu setelah bisa menguasai
diri.
"Mana anakmu?" tanya Anggas setelah melihat Laras
tenang kembali.
"Ada," sahut Laras. "Bagaimana kau bisa
begini?"
"Ceritanya panjang, Laras," sahut Anggas.
Dipandangi wanita di depannya, kemudian pandangannya terarah pada empat mayat
yang bergelimpangan.
"Sudah dua kali mereka berusaha memerkosaku," kata
Laras memberi tahu.
"Siapa mereka?" tanya Anggas.
"Nanti kuceritakan. Yang penting, sekarang aku harus
segera ke Lereng Gunung Puring," tegas Laras langsung teringat akan
tujuannya semula meninggalkan rumah Ki Giri.
"Gunung Puring...? Ada apa di sana?" tanya Anggas
seraya menatap ke arah Gunung Puring di depannya.
"Nanti kuberi tahu. Ayo cepatlah, sebelum
terlambat!" sahut Laras.
Anggas masih tidak mengerti, tapi tidak bisa lagi bertanya.
Laras sudah melangkah cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Maka, Anggas pun
bergegas melangkah juga, dan mensejajarkan dirinya di samping wanita itu. Rasa
penasaran masih menghinggapi dirinya, sehingga tidak sabaran lagi bertanya.
Laras terpaksa menceritakan semua yang terjadi pada dirinya.
Juga tentang kematian ayah mertua dan suaminya di tangan makhluk liar yang
bangkit dari kuburnya. Wanita itu tidak lupa menceritakan pertemuannya dengan
seorang pendekar muda, yang kemudian membawanya ke sebuah rumah di Desa
Caruban.
"Kau sendiri, bagaimana bisa sampai di sini?"
Laras balik bertanya, meminta penjelasan setelah selesai menceritakan
perjalanannya selama ini.
"Kau tahu, bahwa seluruh anak buah Paman Selong habis
dibantai pasukan kerajaan. Waktu itu aku berusaha bertahan, dan meminta Paman
dan suamimu pergi menyelamatkan diri. Aku sendiri bergegas pergi, tapi pasukan
tentara kerajaan itu terus mengejarku. Aku berhasil ditangkap, dan dijebloskan
ke dalam penjara," tutur Anggas tentang perjalanannya.
"Bagaimana kau bisa keluar dari penjara?"
"Seorang prajurit penjaga berhasil kuperalat. Aku
kemudian terus kabur setelah membebaskan seluruh tawanan kerajaan. Dalam
suasana gaduh, aku berhasil lolos dan meninggalkan istana kerajaan itu. Karena
yakin kau pasti selamat, maka aku terus mencarimu, Laras. Sayang sekali, Paman
dan suamimu tewas. Aku menyesal...," agak pelan suara terakhir Anggas.
"Sudahlah, Anggas. Semua bukan salahmu. Kau sudah
berusaha keras menyelamatkan Ayah."
"Aku menyesal belum bisa membalas budi Paman. Sejak
kecil aku dirawat dan dibesarkan olehnya. Bahkan Kakang Pandu begitu baik,
sehingga menjadikanku seperti adik kandungnya sendiri."
Laras diam saja, dan terus saja melangkah cepat dibarengi
Anggas yang berjalan di sampingnya. Dia tahu kalau Anggas sejak kecil sudah
ikut Ki Selong, dan diangkat sebagai anak. Tidak jelas asal-usul pemuda ini.
Yang Laras tahu, Anggas adalah adik angkat suaminya.. Hanya itu saja.
***
DELAPAN
Sementara itu pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti
melawan Hantu Karang Bolong sudah sampai di Lereng Gunung Puring sebelah
Selatan. Mereka sudah berada di sekitar reruntuhan batu-batuan yang menjadi
makam Hantu Karang Bolong beberapa puluh tahun lalu. Menyadari berada kembali
di tempat saat dirinya pernah dikalahkan, Hantu Karang Bolong jadi geram
setengah mati. Dirasakan dirinya terjebak.
"Bocah keparat...! Kau sengaja membawaku ke sini,
heh!?" geram Hantu Karang Bolong.
"Di sini kau mati, di sini kau bangkit kembali. Maka di
sini pula kau harus kembali ke alammu, Hantu Karang Bolong!" kata Rangga
sambil mengelakkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari lawannya.
"Kurang ajar...! Kau harus mampus, bocah!" bentak
Hantu Karang Bolong sengit.
Kemarahan orang yang seharusnya sudah mati itu, semakin
memuncak tatkala setiap serangannya kini dapat dielakkan Pendekar Rajawali
Sakti. Mereka sudah bertarung satu malam penuh tanpa beristirahat sedikit pun.
Dan sekarang ini hari sudah demikian tinggi. Sekitar tempat pertarungan itu
sudah porak poranda. Matahari bersinar terik seakan-akan hendak memanggang
seluruh mayapada ini.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras, dan tangannya cepat
menghentak ke depan. Satu desiran angin kuat menghempas ke arah Hantu Karang
Bolong. Namun laki-laki muda yang bermata merah bagai mata binatang buas itu,
cepat bisa berkelit dengan melompat! ke samping. Ledakan keras terdengar begitu
pukulan aji 'Batara Naga' yang dipelajari Rangga dari Satria Naga Emas,
menghantam puing-puing batu bekas kuburan Hantu Karang Bolong. Batu-batu itu
terpental keras ke udara, sehingga debu mengepul tinggi bagai memayungi sekitar
tempat itu dari sengatan sinar matahari.
Tampak, bekas pukulan aji 'Batara Naga' itu sangat luar
biasa. Tanah yang terkena hantaman berlubang besar dan sangat dalam. Cukup
untuk mengubur seekor gajah dewasa yang sehat dan gemuk. Sementara itu Hantu
Karang Bolong segera bangkit dan melompat cepat sambil menjulurkan kedua
tangannya ke depan.
Rangga yang pada saat itu belum siap, tidak bisa lagi
menghindar. Segera diangkat tangannya untuk mengerahkan aji 'Cakra Buana
Sukma'. Cahaya biru langsung memancar membentuk lingkaran pada kedua tangan
Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan pada saat itu pula, kedua tangan Hantu Karang
Bolong sudah demikian dekat.
"Yaaa...!" "Hiyaaa...!"
Ledakan keras kembali terdengar begitu dua pasang telapak
tangan beradu. Seketika itu juga, terlihat dua sosok tubuh yang saling
bertarung mengerahkan ilmu kesaktian masing-masing, terpental balik ke
belakang. Rangga sampai menghantam tiga batang pohon besar berturut-turut.
Sedangkan Hantu Karang Bolong, berputaran dua kali di udara, sebelum kakinya
mendarat manis di tanah.
Lain halnya yang dialami Rangga. Tubuhnya tergeletak di
antara reruntuhan pepohonan yang terlanda tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti itu
bergegas bangkit berdiri, namun terhuyung-huyung Dari sudut bibirnya mengucur
darah segar. Tangan kirinya menekap dada yang terasa sesak, sukar untuk
bernapas.
"Ha ha ha...!" Hantu Karang Bolong tertawa
terbahak-bahak.
"Ugh...!" sambil terhuyung-huyung, Rangga
melangkah keluar dari reruntuhan pepohonan.
"Kakang, awas...!" tiba-tiba Ayu Rumala berteriak
keras.
Pada saat itu, Hantu Karang Bolong sudah melompat menerjang
kembali dengan cepatnya. Sesaat Rangga terkesiap. Buru-buru dibanting tubuhnya
ke samping, dan bergulingan beberapa kali. Terjangan Hantu Karang Bolong hanya
mengenai sebongkah batu besar, hingga hancur berantakan!
"Grrr...!" Hantu Karang Bolong menggerung geram.
Dia cepat berbalik, dan kembali mengadakan penyerangan yang
lebih dahsyat lagi. Rangga yang baru saja bisa bangkit berdiri, tidak mungkin
lagi bisa menghindari serangan itu. Sedangkan Hantu Karang Bolong sudah cepat
menyerang kembali. Pada saat yang begitu kritis, tiba-tiba saja Ki Bonang
melemparkan sebuah benda berwarna kuning keemasan yang panjangnya kira-kira
satu hasta!
Benda bulat berwarna kuning emas itu melayang ke arah
Rangga. Tepat pada saat itu, Hantu Karang Bolong yang tengah menghantamkan
pukulannya ke arah dada lawan, mendadak menarik pulang serangannya. Dia
langsung melompat mundur.
"Hap!"
Tap!
Rangga setengah melompat, menyongsong benda kuning yang
dilemparkan Ki Bonang padanya. Benda itu seperti tongkat, dan kedua ujungnya
berbentuk mata tombak. Kini senjata itu sudah berada di dalam genggaman
Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu, wajah Hantu Karang Bolong menjadi pucat
pasi melihat benda kuning keemasan telah berada di tangan lawannya.
"Gunakan senjata itu, Rangga!" teriak Ki Bonang
memberi tahu.
Rangga melirik pada laki-laki tua Kepala Desa Caruban itu.
Ditimang-timangnya benda keemasan berbentuk tongkat itu di tangannya. Benda ini
terasa begitu ringan, seperti tidak memiliki daya berat sama sekali. Warnanya
kuning keemasan berkilat tertimpa cahaya matahari.
"Keparat..!" geram Hantu Karang Bolong.
"Hm...," kening Rangga berkerut menatap lawannya.
Agak sedikit heran juga Pendekar Rajawali Sakti ketika wajah
Hantu Karang Bolong berubah pucat saat benda berwarna kuning keemasan berada di
tangannya. Rangga memutar-mutar benda itu, dan langsung ia terkejut! Ternyata
putaran yang sedikit saja menimbulkan deru angin bagai topan. Dan ini membuat
Hantu Karang Bolong menutupi muka dengan kedua tangannya.
"Cepat, Kakang! Musnahkan dia, jangan sampai hari
gelap!" teriak Ayu Kumala keras.
Hantu Karang Bolong menggeram hebat mendengar suara gadis
itu. Matanya tajam menatap Ayu Kumala. Tapi begitu Rangga menggerakkan tangan
yang menggenggam besi kuning bermata dua itu, Hantu Karang Bolong langsung
menutupi mukanya dengan kedua tangan menyilang.
"Apa pun nama benda ini, tampaknya kau takut
menghadapinya, Hantu Karang Bolong," kata Rangga seraya mengulas senyuman.
"Bocah keparat..! Ayo, hadapi aku! Kita bertarung
sampai mati!" tantang Hantu Karang Bolong geram.
"Hm..., rasanya kau sudah mati, Hantu Karang
Bolong," ejek Rangga.
"Kadal! Kurobek mulutmu, keparat..!"
Amarah Hantu Karang Bolong memuncak saat mendengar ejekan
Pendekar Rajawali Sakti. Sambil menggeram dahsyat bagai binatang buas,
laki-laki berwajah tampan dan memiliki sorot mata tajam itu langsung melompat
menyerang. Namun kali ini Rangga seperti mendapat tenaga baru setelah
menggenggam sebentuk senjata itu. Dia sendiri tidak tahu, untuk apa senjata ini
diberikan Ki Bonang padanya.
"Hait..!"
Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri menghindari
pukulan lurus Hantu Karang Bolong. Dan dengan cepat dikibaskan senjata di
tangannya ke arah perut. Hantu Karang Bolong melenting ke atas, dan tubuhnya
setengah berputar menghindari tebasan itu. Kemudian cepat sekali kakinya
melayang menyampok ke arah pundak Pendekar Rajawali Sakti.
"Akh!" Rangga memekik tertahan begitu pundaknya
kena tendangan lawannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu sedikit terdorong ke samping,
namun cepat memanfaatkan tenaga tendangan itu untuk melesat membuat jarak. Dan
begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat melompat tinggi ke angkasa, lalu
menukik tajam. Kedua kakinya bergerak cepat mencecar kepala. Rangga mengulangi
kembali jurusnya yang pernah diandalkan, yakni jurus 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa'.
Hantu Karang Bolong menganggap remeh jurus itu. Dengan
ringan sekali dielakkan serangan dari jurus itu, bahkan kini mengirimkan satu
pukulan keras begitu kaki Rangga mendarat di tanah. Tapi tanpa diduga sama
sekali, Rangga menyampokkan senjata kuning keemasannya ke arah tangan lawan.
"Eh!" Hantu Karang Bolong terperanjat setengah
mati.
Buru-buru ditarik pulang pukulannya. Tapi sabetan Rangga
yang sudah direncanakan sebelumnya memang hanya sebuah pancingan. Dengan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' sebagai pancingan, Hantu Karang Bolong
memekik keras begitu tangannya terhantam senjata kuning itu.
Hantu Karang Bolong melompat mundur ke belakang, sambil
memegangi tangannya yang terhantam senjata di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Tangan yang terhantam Besi Kuning itu, terlihat hitam membusuk. Kedua bola mata
Hantu Karang Bolong membeliak lebar melihat sebelah tangannya membusuk seperti
mayat!
Lain halnya dengan Rangga yang begitu gembira setelah
melihat hasilnya. Kini baru diketahui kegunaan senjata yang diberikan Ki Bonang
padanya. Rupanya senjata yang pernah digunakan Pendekar Bayangan Dewa untuk
mengalahkan Hantu Karang Bolong beberapa puluh tahun lalu, benar-benar dahsyat.
"Tamatlah riwayatmu sekarang, Hantu Karang Bolong!"
desis Rangga.
"Kurang ajar! Monyet buduk...!" Hantu Karang
Bolong menyumpah serapah menahan kemarahan yang memuncak.
Sebelah tangannya sudah tidak bisa lagi digunakan. Tangan
kanan itu cepat membusuk, dan beberapa bagian dagingnya mulai mengelupas.
"Tusukkan saja ke arah jantung, Rangga!" teriak Ki
Bonang memberi tahu.
"Tutup mulutmu, tua bangka keparat!" bentak Hantu
Karang Bolong gusar.
"Terlambat, Hantu Karang Bolong. Aku sudah tahu!"
ejek Rangga.
"Setan...!"
Hantu Karang Bolong tidak bisa lagi menahan amarahnya.
Sambil berteriak keras melengking tinggi, diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti.
Namun terjangan itu dengan mudah dapat dielakkan Rangga. Bahkan hampir saja
dadanya tertusuk senjata di tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Tapi satu tendangan keras, tidak bisa dielakkan Hantu Karang
Bolong. Tubuhnya terjungkal mencium tanah, namun mampu cepat bangkit kembali.
Bahkan kini langsung menerjang kembali disertai kemarahan yang semakin
memuncak. Memang tidak mudah bagi Rangga untuk menancapkan senjata kuning itu
ke dada lawannya. Meskipun tinggal sebelah tangan yang masih berfungsi, Hantu
Karang Bolong masih cukup tangguh dan gesit menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan saat ini, Rangga sudah kelihatan lelah karena
semalaman penuh bertarung. Dan sekarang, matahari sudah mulai condong ke arah
Barat, ini berarti waktunya tinggal sedikit lagi untuk mengalahkan Hantu Karang
Bolong. Makhluk satu ini akan berlipat ganda kekuatannya jika malam datang.
Cahaya bulan akan melipatgandakan kekuatannya. Jelas tidak ada harapan lagi
buat Rangga untuk mengalahkannya, meskipun memegang Besi Kuning.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, Rangga mendesak Hantu
Karang Bolong. Jurus-jurus andalannya dikeluarkan, disertai pengerahan tenaga
dalam penuh. Beberapa kali ujung senjatanya hampir menembus dada Hantu Karang
Bolong, namun selalu bisa dielakkan.
"Awas kepalamu, Hantu Karang Bolong...!
Tiba-tiba saja Ayu Kumala melompat sambil berteriak nyaring.
Pedangnya terhunus, berkelebat mengarah kepala Hantu Karang Bolong. Hal ini
tentu saja membuat Ki Giri maupun Ki Bonang terkejut setengah mati.
"Ayu...!" teriak Ki Bonang khawatir.
Dan pada saat itu, Hantu Karang Bolong mengibaskan tangannya
ke arah Ayu Kumala. Akibatnya secara tak sadar pertahanannya terbuka sedikit.
Kesempatan yang hanya sedikit ini, tidak disia-siakan Rangga. Dengan cepat
dihunjamkan ujung senjata ke dada lawannya itu.
"Aaa...!" Hantu Karang Bolong menjerit melengking
tinggi.
Dan pada saat yang bersamaan, tangan kirinya berhasil
menyampok tubuh Ayu Kumala. Gadis itu memekik tertahan, dan tubuhnya terpental
keras menghantam pohon. Hampir dalam waktu yang bersamaan pula, Rangga
melontarkan satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna ke
kepala lawannya.
Untuk kedua kalinya, Hantu Karang Bolong menjerit melengking
tinggi. Kepalanya retak, mengucurkan darah kehitaman berbau busuk. Hantu Karang
Bolong meraung keras, dan tubuhnya perlahan membusuk.
"Satu lagi! Hiyaaa...!" teriak Rangga keras.
Seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil
melontarkan satu tendangan keras. Hantu Karang Bolong terpental, dan langsung
jatuh ke dalam lubang yang terbuat akibat pukulan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga berdiri tegak di bibir lubang itu. Pandangannya
tertuju langsung pada tubuh yang berubah menjadi sosok mayat membusuk,
menggeliat-geliat sambil meraung-raung bagai binatang buas. Perlahan-lahan
tubuh itu mencair, dan tidak bergerak-gerak lagi. Kening Rangga agak berkerut
begitu melihat ada dua bentuk senjata berwarna kuning tertancap pada bagian
dada.
Yang satu, jelas senjata yang digunakan Rangga dari Ki
Bonang. Sedangkan sebuah lagi berukuran hampir sama, tapi hanya berbentuk
warangka dari senjata itu. Rangga mencoba untuk bisa mengerti, tapi untuk saat
ini otaknya belum bisa diajak berpikir.
***
"Ayu...," desah Ki Bonang seraya membantu anaknya
berdiri.
Ayu Kumala meringis, lalu bangkit berdiri dari reruntuhan
pohon yang terlanda tubuhnya akibat terkibas tangan kiri si Hantu Karang
Bolong. Sementara itu Rangga melangkah pelarian menghampiri Ki Giri yang tetap
berdiri pada tempatnya. Enam orang pemuda bersenjata golok, berada di belakang
laki-laki tua itu.
Ki Giri memerintahkan enam orang anak muda itu untuk
menimbuni lubang yang berisi mayat Hantu Karang Bolong dengan batu cadas yang
banyak terdapat di sekitar tempat ini. Tanpa membantah sedikit pun, enam orang
pemuda dari Desa Caruban itu melaksanakan perintah Ki Giri.
"Hhh...! Untung belum terlambat," desah Ki Giri
seperti untuk dirinya sendiri.
"Apa yang belum terlambat, Ki?" tanya Rangga
tiba-tiba.
"Besi Kuning itu," sahut Ki Giri.
Sementara itu Ki Bonang menghampiri sambil memapah anaknya.
Ayu Kumala masih meringis setiap kali melangkah. Seluruh tubuhnya terasa remuk.
Ki Bonang membantu anaknya duduk di bawah pohon beringin yang besar dan
rindang. Demikian pula dengan Rangga dan Ki Giri yang juga duduk di bawah pohon
itu. Sementara enam pemuda masih menimbuni batu-batuan ke dalam lubang kuburan
Hantu Karang Bolong.
"Kulihat ada senjata lain yang bentuknya hampir sama di
dalam tubuh iblis itu," kata Rangga bernada bertanya.
"Itu adalah warangka dari senjata Besi Kuning,"
jelas Ki Bonang.
"Oh...!" Rangga meminta penjelasan lebih lanjut.
"Senjata itu adalah milik Pendekar Bayangan Dewa.
Sebenarnya ketika Hantu Karang Bolong bertarung melawan Pendekar Bayangan Dewa,
senjata bersama warangkanya itu telah tertanam di dalam tubuhnya. Tapi sebelum
mati, Hantu Karang Bolong berhasil mencabut senjata Besi Kuning, dan tidak
sempat mengeluarkan warangkanya. Kalau hanya salah satu yang tertanam dalam
tubuhnya, maka beberapa puluh tahun kemudian dia akan bangkit kembali. Itulah
sebabnya kenapa dia bisa bangkit kembali. Tapi kalau keduanya berada dalam tubuhnya,
dia akan mati selamanya. Asalkan kedua senjata itu tetap berada bersama
mayatnya di dalam kubur," jelas Ki Bonang.
"Dan senjata Besi Kuning bisa diperoleh Ki Bonang tiga
tahun lalu, melalui pertapaan di Puncak Gunung Puring ini," sambung Ki
Giri.
"Pertapaan...?" tanya Rangga.
"Pendekar Bayangan Dewa menghabiskan waktunya di dalam
sebuah kuil di Puncak Gunung Puring. Selama itu dia bertapa sambil menunggu
kalau-kalau Hantu Karang Bolong bangkit kembali," Ki Bonang menjelaskan.
"Dan sampai ajalnya, iblis itu tidak juga bangkit,
sampai Ki Bonang mendapatkan senjata itu," sambung Ki Giri lagi.
"Aku mengerti sekarang! Jadi, Pendekar Bayangan Dewa
sengaja memiliki senjata itu hanya untuk menghadapi Hantu Karang
Bolong...?" tebak Rangga mulai mengerti.
"Benar! Dan itu juga diperoleh melalui pertapaan yang
panjang dan hampir merenggut nyawanya,' sahut Ki Bonang.
"Nampaknya Ki Bonang tahu persis," kata Rangga.
"Itu sudah menjadi legenda bagi rakyat Desa Caruban,
Rangga. Hampir semua orang, di desa ini mengetahui hal itu. Jadi sudah bukan
rahasia umum lagi," jelas Ki Bonang lagi.
"Hm...," Rangga bergumam dan kepalanya
terangguk-angguk.
Desa Caruban memang tidak berapa jauh dari tempat ini. Tidak
heran kalau semua penduduknya mengetahui tentang hal ini. Pendekar Rajawali
Sakti itu menoleh ketika telinganya mendengar suara langkah kaki.
Tidak berapa lama setelah Rangga berdiri, Laras datang
bersama seorang laki-laki yang pakaiannya bagaikan seorang gembel. Laras dan
lelaki muda itu bergegas menghampiri mereka yang sedang duduk di bawah pohon
beringin. Sementara itu enam pemuda Desa Caruban sudah menyelesaikan
pekerjaannya.
"Laras, mengapa kau ke sini?" tanya Ki Giri seraya
bangkit berdiri.
"Maaf, Ki... Aku cemas, soalnya...."
"Ah! Sudahlah, Laras. Semuanya sudah berakhir,"
potong Ki Giri cepat.
"Berakhir...?!" Laras kelihatan bingung.
"Benar, Kak Laras. Hantu Karang Bolong sudah
musnah," celetuk Ayu Kumala yang sudah bisa menormalkan keadaan dirinya
kembali.
"Oh...," Laras mendesah lega.
"Laras...," Ki Giri menatap pada laki-laki yang
berada di samping wanita itu.
"Oh, iya! Ki, ini adik suamiku. Namanya Anggas.
Kebetulan kami bertemu di jalan," kata Laras memperkenalkan.
Ki Giri mengangguk ramah, kemudian dibalas oleh Anggas yang
juga mengangguk pada Ki Bonang. Tapi Ki Giri malah menatap agak tajam pada
Laras yang hanya memakai kain sobek-sobek, sehingga beberapa bagian tubuhnya
menyembul. Laras jadi kikuk juga.
"Nanti kujelaskan, Ki," kata Laras buru-buru.
"Ada sedikit kesulitan dihadapi Kak Laras," kata
Anggas membantu bicara.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Ki Giri. Ada nada
kecemasan dalam suaranya.
"Tidak, Ki," sahut Laras.
"Syukurlah."
"Sudah hampir malam, sebaiknya kita kembali saja,"
kata Ki Bonang mengingatkan.
"Hey...! Di mana...?!" tiba-tiba Ki Giri teringat
pada Rangga.
Semua orang yang ada di tempat itu baru sadar kalau Rangga
sudah tidak ada lagi. Mereka celingukan mencari-cari, kemudian saling pandang.
Seakan-akan saling menanyakan satu sama lainnya. Tapi mereka sama-sama
mengangkat-bahu. Tidak-ada yang melihat kapan dan ke arah mana Pendekar
Rajawali Sakti itu pergi.
"Hhh...! Dua kali aku tidak sempat berbuat apa-apa
padanya," desah Ki Bonang bernada mengeluh!
"Seorang pendekar sejati tidak memerlukan balas jasa,
Ki," tegas Ki Giri.
"Ya, aku tahu. Tapi paling tidak ucapan terima kasih
harus ada."
"Ah, sudahlah. Sebaiknya segera saja kita kembali.
Mudah-mudahan saja dia kembali lagi pada kita, Ki Giri menengahi.
Memang tidak ada gunanya lagi mengharapkan Rangga muncul.
Mereka segera bergerak meninggalkan tempat itu. Tapi Ayu Kumala masih juga
berdiri tanpa melangkah sedikit pun. Raut wajahnya begitu kosong, sukar untuk
diartikan.
"Ayu...!" panggil Ki Bonang
"Oh! Ya, Ayah...!"
Ayu Kumala bergegas melangkah menyusul yang lainnya.
Sementara Laras diam-diam memperhatikan, dan mensejajarkan langkahnya di
samping gadis itu. Mereka berjalan perlahan paling belakang.
"Kau mencintainya, Ayu?" tebak Laras langsung.
Ayu Kumala tidak langsung menjawab, tapi malah menatap lurus
ke bola mata Laras. Pertanyaan itu tidak mungkin dijawab saat ini juga. Dia
sendiri tidak tahu, apakah mencintainya atau tidak. Yang jelas, saat ini
hatinya begitu kosong. Seperti ada sesuatu yang hilang terbawa pergi bersama
Pendekar Rajawali Sakti.
"Untuk bisa hidup bersama seorang pendekar, harus juga
bisa mengerti jiwa pendekar. Maaf, bukannya ingin mencampuri kehidupan
pribadimu. Aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya tentang kehidupan seorang
pendekar," kata Laras lagi.
"Tampaknya Kak Laras tahu banyak tentang
pendekar," kata Ayu Kumala.
"Sedikit. Tapi, paling tidak aku pernah hidup bersama
seseorang yang.... Ya..., bisa dikatakan selalu bepergian mengembara."
"Menarik sekali. Boleh aku tahu lebih banyak,
Kak?" Ayu Kumala begitu berminat.
"Tentu saja."
"Terima kasih, Kak."
"Tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Jangan terlalu berharap untuk bisa hidup bahagia
bersama seorang pendekar."
"Ah, Kakak...."
Seketika wajah Ayu Kumala jadi bersemu merah jambu. Dia
menunduk dan terus berjalan perlahan. Sementara di dalam hatinya tetap berharap
bisa berjumpa kembali dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Bagaimanapun juga, diakui kalau ada sekeping hatinya yang
tercuri oleh Pendekar tampan itu. Tapi... benar juga kata Kak Laras, jangan
terlalu berharap bisa hidup berbahagia bersama seorang pendekar.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
DENDAM ANAK PENGEMIS
Emoticon