Siluman Ular Putih 21 - Setan Haus Darah(1)


Laut Selatan mulai dibaluri sinar kuning 
keemasan dari ufuk timur sana. Pantulan cahaya 
matahari menciptakan pernik-pernik di permukaan 
air laut bak ribuan permata menghampar. Angkasa 
raya masih berselimut awan putih yang berarak, 
hingga membuat udara dingin pagi itu masih terasa. 
Sebuah perahu Layar kecil bergerak perlahan 
menuju pantai, membelah ombak-ombak yang kali 
ini terlihat tenang. Di atasnya, berdiri satu sosok tu-
buh ramping terbungkus pakaian ketat warna biru. 
Rambutnya yang panjang digelung ke atas, dihiasi 
manik-manik permata warna biru pula. 
Makin mendekati bibir pantai, makin jelas ka-
lau sosok ramping di atas perahu layar itu ternyata 
wanita cantik dengan tubuh sintal. Sepasang mata 
cerah dengan hidung mancung. Bibirnya kemera-
han, tampak merekah bagai delima masak. 
Begitu tiba di bibir pantai, si wanita bertubuh 
sintal ini menyembunyikan perahunya di balik rin-
dangnya pohon bakau. Kemudian dengan satu lom-
patan yang ringan sekali, tahu-tahu tubuhnya telah 
mendarat di tanah berpasir. Namun baru saja ka-
kinya  hendak  melangkah, mendadak pendengaran-
nya yang tajam menangkap suara isak tangis bayi 
yang datangnya dari semak belukar pantai. 
Untuk  beberapa  saat wanita ini terus men-
dengarkan tangis bayi yang dilingkahi suara erangan 
dengan  seksama. Karena terdengar begitu memilu-
kan hati, membuat ia mulai beringsut mendekati 
arah datangnya suara. Pada jarak tertentu, tubuh-
nya melompat ringan ke arah semak. Dari gerakan-
nya bisa dipastikan kalau wanita ini memiliki ke-
pandaian. 
Begitu mendarat di balik semak belukar, pa-
ras wanita cantik ini mendadak pias. Dilihatnya seo-
rang wanita muda tengah terengah-engah menahan 
sakit sambil memeluk bayi perempuannya yang te-
rus-terusan menangis. 
Keadaan wanita itu amat mengenaskan. Pa-
kaiannya compang-camping tidak karuan. Darah se-
gar bersimbah di tanah sekitarnya dan di sekujur 
tubuhnya. Wajahnya yang cantik tampak pucat pasi. 
Rambutnya awut-awutan. Bisa jadi wanita itu habis 
diperkosa segerombolan perampok yang akhir-akhir 
ini mengganas di sekitar pantai selatan. 
Sedang bayi dalam pelukan wanita itu kira-
kira berusia empat bulan. Wajahnya mungil dan 
menawan. Kulitnya putih bersih seperti kulit ibunya. 
Dan si bayi terus berusaha meronta dari pelukan 
ibunya. Tangisnya yang menyedihkan amat menyen-
tuh perasaan wanita berpakaian ketat warna biru 
yang baru datang itu. 
"Siapa yang memperlakukan semua ini, 
Adik?" tanya si wanita baju biru sambil mencoba 
meraih bayi agar lebih leluasa menolong ibunya. 
Namun wanita malang itu malah mempererat pelu-
kannya dan memandang curiga. "Jangan cemas, 
Adik! Aku Ratu Alit ingin menolongmu. Siapa na-
mamu? Dan siapa yang membuatmu menderita se-
perti ini?" 
Wanita malang itu mengeluh tertahan. Dari 
bibirnya yang bergetar tampak mengalir darah segar. 
Wanita berbaju biru yang menyebut dirinya Ratu Alit 
tak membiarkan si wanita malang tersiksa lebih la-
ma. Buru-buru ditotoknya beberapa jalan darah di 
tubuh wanita malang itu. 
"Percuma saja kau menolongku. Aku.... 
Aku...." 
Sebelum kalimatnya habis, kepala wanita itu 
mendadak terkulai ke samping. Tak sadarkan diri. 
Untung saja si bayi tetap berada dalam pelukannya. 
Ratu Alit kembali menotok. Sekali lihat saja, 
ia tahu kalau wanita itu memang menderita luka 
cukup parah yang sulit sekali disembuhkan. Namun 
wanita berbaju biru itu tak putus asa. Setelah me-
nyingkirkan bayi dalam pelukan itu ke samping, 
kembali ditotoknya tubuh wanita malang itu. Dan 
perlahan-lahan, wanita itu membuka kelopak ma-
tanya kembali. 
"Di.... Di mana Yustika anakku?" tanya wani-
ta malang itu menggapai-gapaikan tangannya kesa-
na kemari. 
"Jangan cemas, Dik! Anakmu tidak ke mana-
mana. Ia masih di sampingmu. Sekarang katakan, 
siapa namamu. Dan siapa yang membuatmu begi-
ni?!" 
Lega sudah hati si wanita malang melihat 
bayinya masih tergeletak tak jauh darinya dalam 
keadaan tenang-tenang, tak menangis lagi. Kini 
pandang matanya tampak demikian memelas seperti 
tengah mengharap bantuan sang penolongnya. 
"Kau tak mau mengatakannya?" desak Ratu 
Alit. 
"Namaku Kartika. Dan bajingan itu tidak lain 
adalah suamiku sendiri. Di... dialah yang membua-
tku seperti ini.... Ugh ugh...!" desah wanita malang 
yang mengaku bernama Kartika itu, terbatuk batuk. 
Darah segar pun kembali keluar dari mulutnya. 
Ratu Alit cepat merengkuh bahu si wanita, la-
lu disenderkan pada dadanya. Segera ditotoknya da-
da Kartika hingga napasnya tak lagi terengah-engah. 
"Suamimu? Kenapa bisa begini?" Ratu Alit 
membelalak tak percaya. 
"Dia.... Dia menuduhku menyeleweng. Maka 
ia... ia dan anak buahnya menghukumku seperti 
ini." 
"Hhh...!" 
Ratu Alit menghela napas sesak. Hatinya gu-
sar sekali membayangkan kelakuan suami Kartika. 
Jelas sekali kalau nuraninya tak dapat menerima. 
"Terlepas dari kau melakukan tindak penye-
lewengan ataupun tidak, suami tak berhak menyik-
samu seperti ini. Katakan, siapa suamimu?!" desak 
Ratu Alit. 
"Gen.... Gendon Prakoso...," jawab wanita ma-
lang itu dengan hembuskan napas berat. Nampak-
nya keadaannya sudah amat payah dengan luka di 
dadanya akibat tusukan-tusukan benda tajam. 
"Gendon Prakoso...?" desis Ratu Alit dengan 
kening berkernyit. "Sayang sekali aku tak mengenal 
nama itu. Tapi, aku pasti akan menyelidikinya." 
"To.... Tolong anakku...! Aku.... Aku tak sang-
gup lagi.... Ra... rawatlah a... anakku...." 
Disertai hembusan napas terakhir kepala Kar-
tika terkulai dalam pangkuan Ratu Alit. 
Bersamaan dengan itu, bayi mungil di samp-
ing Ratu Alit kontan menangis keras. Seolah-olah si 
bayi turut merasakan kesedihan atas meninggalnya 
sang ibu. Perlahan-lahan Ratu Alit merebahkan tu-
buh Kartika di atas rerumputan. Sejenak perhatian-
nya tertuju pada sebuah kalung emas yang berban-
dulkan permata hijau di leher Kartika. Segera diam-
bilnya kalung itu dan disimpan ke dalam sakunya. 
* * * 
Matahari saat itu sudah melambung tinggi di 
langit. Tangis bayi mungil di samping Ratu Alit pun 
mulai mereda beberapa saat setelah jenazah sang 
ibu selesai dikuburkan. Untuk sesaat Ratu Alit ma-
sih belum tahu apa yang harus dilakukan. Bayi 
mungil dalam pondongannya terus diperhatikannya 
dengan pandang memelas. 
"Kukira aku harus menyelidiki suami Kartika 
terlebih dulu. Kalau tak kutemukan, baru kupu-
tuskan untuk merawatnya. Kasihan sekali bayi ini. 
Masih kecil sudah kehilangan ibunya...," gumam Ra-
tu Alit dalam hati. 
Lalu dengan satu kali hentakan kaki, Ratu 
Alit segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu 
sambil terus memondong si bayi malang. Ratu Alit 
berniat mencari Gendon Prakoso. 
* * * 
Matahari merah jingga perlahan merangkak 
naik di garis laut sana, mengusir embun sisa-sisa 
tadi malam. Sinar matahari menghangati alam 
mayapada ini, memberi udara baru bagi setiap mah-
kluk. 
Ombak pantai Nusa Kambangan berkejaran 
bak tangan-tangan maut yang menjulur-julur me-
nampar batu karang, menimbulkan suara bergemu-
ruh. 
"Heaaa.... Heaaa...!" 
Seiring suara angin kencang yang mendesau, 
terdengar pula suara garang dari seorang gadis can-
tik yang tengah berlatih silat di tepi pantai. Gera-
kannya lincah sekali. Kedua tangannya sesekali me-
nyentak ke depan melontarkan jotosan. Seolah, di 
hadapannya ada seorang musuh yang tengah kewa-
lahan menghadapi jurusnya. Sementara kedua ka-
kinya sesekali berlompatan ringan dari batu karang 
yang satu ke batu karang lainnya. Seolah, tubuhnya 
tak berbobot. Padahal jarak antara batu-batu karang 
itu cukup jauh, hampir mencapai enam sampai tu-
juh tombak. Sekali saja gadis itu membuat kesala-
han, bukan mustahil tubuhnya akan terbanting ke-
ras di batu-batu karang di pinggiran pantai yang di-
kerubungi amukan ombak. 
"Hiaaa...! Hap!" 
Si cantik bertubuh mungil itu terus berkele-
bat lincah di antara batu-batu karang di tepi pantai. 
Pakaian merah dan rambutnya yang dikuncir ke be-
lakang berkibar-kibar dipermainkan angin. Untuk 
sesaat, gadis cantik itu menghentikan gerakan di 
atas batu karang. Tubuhnya yang ramping tampak 
indah di balik pakaiannya yang serba merah. Wa-
jahnya bulat telur dengan sepasang mata berbinar-
binar indah, dihiasi bulu-bulu mata lentik. Dagunya 
runcing. Pas sekali dengan hidung yang mancung. 
Di depan, seorang wanita cantik tengah du-
duk bersila di bongkahan batu karang. Wajahnya 
yang cantik berbentuk lonjong. Sepasang matanya 
berbinar-binar indah. Hidungnya mancung. Kedua 
bibirnya tipis berwarna kemerahan. Belum lagi tu-
buhnya yang padat terbungkus pakaian ketat warna 
biru menampakkan lekuk-lekuk menggairahkan. 
Sedang rambutnya yang hitam panjang digelung ke 
atas dihiasi dengan manik-manik permata berwarna 
biru. 
Siapakah sebenarnya perempuan cantik ber-
pakaian biru-biru ini? 
Di dunia persilatan hanya ada seorang tokoh 
sakti yang tinggal di Pulau Nusa Kambangan. Meli-
hat ciri-cirinya, siapa lagi tokoh itu kalau bukan Ra-
tu Alit! 
Tujuh belas tahun yang lalu, Ratu Alit telah 
berusaha menyelamatkan seorang wanita yang ter-
luka parah di pantai Nusa Kambangan. Sayang wa-
nita bernama Kartika yang juga membawa seorang 
bayi itu tak lama kemudian tewas. 
Si bayi kemudian tumbuh dewasa, menjadi 
seorang gadis cantik yang kini sedang berlatih ilmu 
silat. Sampai saat ini, gadis itu memang belum dibe-
ri tahu tentang asal-usul dirinya. Kendati pernah di-
tanyakan, tetapi Ratu Alit selalu mengelak, karena 
menganggap belum waktunya untuk diceritakan. Ia 
takut si gadis belum siap untuk mengetahui kea-
daan yang sebenarnya. 
Ratu Alit sendiri waktu itu pernah mencari 
ayah si bayi, yang telah menganiaya Kartika hingga 
menemui ajal. Sayang, pencarian itu sia-sia. Sehing-
ga akhirnya diputuskannya untuk merawat si bayi 
saja, yang diketahui bernama Yustika. 
Dalam menanyakan asal-usulnya, pertanyaan 
Yustika sendiri sempat memojokkan Ratu Alit. Yaitu, 
saat kalau dirinya bukan ibu si gadis. Akhirnya, Ra-
tu Alit menjelaskan kalau dirinya adalah salah seo-
rang kerabat Kerajaan Mataram. 
Ratu Alit kabur dari keputren karena tak se-
tuju dengan calon suami yang telah ditetapkan ke-
dua orang-tuanya. Namun orangtuanya pun ru-
panya tak tinggal diam. Dengan mengerahkan ba-
nyak pasukan, mereka terus mencari putrinya. Ma-
ka untuk menghindari kejaran pasukan-pasukan 
Kerajaan Mataram, akhirnya Ratu Alit menyingkir 
jauh ke selatan. Dan di Pulau Nusa Kambangan itu-
lah Ratu Alit menyembunyikan diri. 
Bertahun-tahun Ratu Alit hidup seorang diri 
di pulau kecil sebelah selatan Pulau Jawa tanpa sa-
nak saudara. Bertahun-tahun pula wanita itu memi-
sahkan diri dari kehidupan ramai. Hingga pada sua-
tu saat, ia menemukan sebuah kitab kuno yang ter-
simpan di dalam goa persembunyiannya. Berkat ke-
cerdasan dan ketelatenannya, akhirnya ilmu yang 
terkandung dalam kitab kuno itu mampu dipelaja-
rinya. 
* * * 
"Yustika! Kenapa berhenti? Teruskan lati-
hanmu! Coba mainkan jurus 'Pedang Menembus Bu-
lan'!" kata Ratu Alit sambil tetap memejamkan mata. 
Sejenak Yustika ragu-ragu, namun tak berani 
melanggar perintah gurunya. 
"Baik," sahutnya seraya mencabut keluar pe-
dang yang menggelantung di pinggang kiri. 
Yustika memusatkan pikirannya sebentar, la-
lu mulai memainkan jurus yang disebut gurunya. 
Dengan sebilah pedang di tangan kanan, tubuhnya 
berkelebat cepat ke sana kemari. Pedangnya dipu-
tar-putar cepat hingga yang terlihat hanya kilatan-
kilatan saja. 
Sambil terus memutar-mutar pedang, tubuh 
Yustika sesekali meloncat dari bongkahan batu ka-
rang yang satu ke bongkahan batu karang lainnya. 
Saat melayang di udara, gerakannya indah sekali 
laksana burung walet yang tengah menyambar 
mangsa dengan pedang menghujam ke bawah. Seo-
lah-olah, di atas batu karang itu berdiri musuh yang 
menanti serangannya. 
"Hea! Hea!" 
Begitu kedua kakinya menjejak di bongkahan 
batu karang tanpa menimbulkan suara sedikit pun, 
Yustika kembali memainkan pedang di tangan ka-
nannya. Terkadang gerakan pedangnya melambat, 
namun tiba-tiba bisa berubah cepat luar biasa! 
Werrr! Werrr! 
Lima belas jurus terlewati sudah. Yustika 
sendiri tahu-tahu telah berdiri dengan pedang me-
nyilang di depan dada. Napasnya sedikit memburu. 
Itu dapat dilihat dari sepasang buah dadanya yang 
bergerak naik turun. Dari parasnya yang jelita tam-
pak butiran keringat membasahi kening. 
Ratu Arit membuka matanya perlahan. Lalu 
kepalanya mengangguk-angguk penuh kagum. 
"Hebat, Muridku. Sejak kecil aku memang 
sudah menduga kalau kau sangat berbakat. Jurus 
'Pedang Menembus Bulan' yang baru saja kau main-
kan memang hebat," puji sang Guru. 
"Terima kasih atas pujian. Guru," ucap Yusti-
ka seraya menjura penuh hormat. 
"Aku senang sekali memiliki murid macam 
kau, Yustika. Di samping sangat berbakat, kau pun 
memiliki sikap halus." 
"Ini semua tak lepas dari didikan mu. Tapi...." 
Yustika tak meneruskan ucapannya. Hatinya 
ragu-ragu untuk meneruskan apa yang mengusik 
hatinya selama ini. 
"Ada apa, Yustika? Kenapa tak kau te-
ruskan?" kata Ratu Alit seraya memandang murid-
nya tajam. 
"Bolehkah aku mengatakan sesuatu padamu, 
Guru?" 
"Mendekatlah kalau kau ingin bicara, Yusti-
ka!"  
"Baik." 
Yustika cepat menutulkan kakinya ke bong-
kahan batu karang. Dan kini tubuhnya telah berada 
di udara. Dengan satu putaran indah, akhirnya ke-
dua kakinya mendarat mulus di bongkahan batu ka-
rang tak jauh dari gurunya bersila. 
"Duduklah, Yustika. Sedari tadi kuperhatikan 
kau tampak gelisah sekali. Apa yang ingin kau kata-
kan?" 
Perlahan-lahan Yustika meletakkan pantat-
nya di hadapan gurunya. Duduk bersila sambil me-
nenangkan perasaannya yang rusuh. 
"Aku memang sedang gelisah. Kalau tak kebe-
ratan, izinkan aku untuk berpetualang. Guru." 
"Hm...! Jadi, kau sudah tak betah tinggal ber-
samaku di sini, Yustika?" tanya Ratu Alit, memanc-
ing. 
"Maafkan aku, Guru! Sebenarnya bukan itu 
maksudku." 
"Lalu?" 
"Se... semalam aku bermimpi bertemu kedua 
orang-tuaku. Kalau saja mimpiku benar, aku ingin 
sekali bertemu mereka. Maka itulah aku gelisah se-
kali memikirkannya, Guru." 
"Hm...! Kau mimpi bertemu kedua orangtua 
mu, Yustika? Coba ceritakan dengan jelas!" 
Yustika menghela napasnya sebentar. "Aku 
bermimpi buruk, Guru. Kulihat, ibuku terjerumus 
ke dalam lobang yang sangat dalam. Tapi, ayahku 
malah tertawa-tawa. Te... terus-terang aku jadi ingin 
sekali bertemu kedua orangtua ku. Apakah Guru 
dapat membantuku menemukan mereka?" 
Kini gantian Ratu Alit yang harus menghela 
napas panjang. Lalu kepalanya menggeleng-geleng. 
"Ada apa. Guru? Kenapa kau tampak geli-
sah?" "Aku khawatir kalau kau akan kecewa, Murid-
ku. Mungkin mimpimu itu benar. Tapi, terkadang 
mimpi itu juga merupakan kebalikannya."  
"Maksudmu?" 
"Dalam mimpimu, kau seolah-olah melihat 
kalau ayahmu bersenang-senang dalam penderitaan 
orang lain. Tapi, mimpi tak selamanya benar. Karena 
bisa jadi ayahmu tak seperti dalam bayanganmu 
saat ini. Kau paham, Yustika?" urai Ratu Alit, tanpa 
bermaksud menyinggung perasaan muridnya. 
Yustika mengangguk. 
"Aku mengerti maksud Guru. Tapi meski de-
mikian, bukan berarti aku harus membiarkan hati-
ku penasaran untuk mengetahui siapa kedua orang-
tua ku," kata Yustika mengeraskan niatnya. 
Ratu Alit diam untuk beberapa saat. Bukan-
nya keberatan melepas muridnya berpetualang men-
cari keadaan orangtuanya, melainkan khawatir apa 
yang diceritakannya nanti akan membuat Yustika 
terpukul. Dan bila muridnya berkeras untuk berpe-
tualang, ia juga khawatir akan menemukan kesuli-
tan di dunia ramai. Sebab bukan mustahil dunia 
persilatan yang penuh kelicikan itu justru akan 
membuat muridnya celaka. 
"Apakah Guru keberatan melepasku pergi?" 
Ratu Alit mengangguk pelan. 
Yustika mengeluh tertahan. 
"Kenapa, Guru? Kenapa Guru tak mengizin-
kan aku mencari kedua orangtua ku?" tanya Yustika 
penasaran. 
"Sebenarnya bukannya aku keberatan kau 
mencari mereka, melainkan aku khawatir kalau kau 
akan celaka. Kau belum tahu, macam apa dunia 
persilatan itu. Apalagi buat gadis cantik semacam-
mu." 
"Tapi, Guru...," Yustika tetap bersikeras. 
"Ya ya ya...! Aku tahu apa maksudmu, Yusti-
ka. Aku tak mungkin membiarkan kau penasaran 
seperti ini." 
"Jadi? Guru mengizinkanku untuk berpetua-
lang?" sambut Yustika dengan raut wajah gembira. 
Ratu Alit mengangguk. 
"Terima kasih. Guru. Terima kasih...." Yustika 
cepat menghaturkan sembah kepada Ratu Alit. 
"Tunggu dulu, Yustika! Aku belum selesai bi-
cara," tukas Ratu Alit. Tangan kanannya segera me-
rogoh sesuatu di balik pakaian biru-birunya. "Kau 
perlu memakai kalung ini." 
Ratu Alit segera menunjukkan sebuah kalung 
berbandulkan permata hijau ke hadapan Yustika. 
"Wow, bagusnya...! Kalung siapakah itu?" 
"Dengarlah, Muridku. Agar kau tak penasa-
ran, sebaiknya dengarkan dulu ceritaku tujuh belas 
tahun lalu!" 
"Baik." 
Ratu Alit menghela napas sebentar. Sepasang 
matanya yang berbinar indah meredup seolah-olah 
tengah membayangkan kejadian tujuh belas tahun 
lalu. Selang beberapa saat, Ratu Alit pun mulai ber-
cerita.... 
Yustika masih terpekur di tempatnya ketika 
Ratu Alit baru saja menyelesaikan ceritanya. Wajah-
nya berubah mendung kala mendengar cerita gu-
runya barusan. Untuk sesaat, gadis ini tak dapat 
berkata-kata. Kedua bibirnya bergetar-getar mena-
han tangis. Sungguh tak disangka kalau ibunya te-
lah meninggal. Dan yang menyebabkannya adalah... 
ayahnya sendiri! 
"Kau sekarang paham siapa pemilik kalung 
ini sebenarnya?" tanya Ratu Alit seraya menimang 
kalung di tangan. 
Yustika mengangguk perlahan.  
"Nah...! Sekarang pakailah kalung ini? Karena 
memang kalung ini milikmu, warisan mendiang 
ibumu.'" Ratu Alit mengangsurkan kalung itu ke ha-
dapan Yustika. 
Yustika ragu sejenak. Sepasang matanya yang 
indah berkaca-kaca. 
"Pakailah! Kenapa kau ragu-ragu?"  
"Aku.... Aku tidak ragu-ragu, Guru. Aku... 
aku hanya tidak tahu harus bagaimana untuk 
membalas kebaikan Guru yang sudi merawat dan 
mendidikku hingga aku dewasa seperti ini." 
"Sudahlah, Yustika. Bagiku, kau sudah kua-
nggap seperti anak kandungku. Tak perlu kau men-
gungkit-ungkit peristiwa itu. Sekarang, ambil dan 
pakailah kalung ini!" 
Yustika mengulurkan tangannya ke  depan. 
Tampak jari-jarinya gemetar kala menerima kalung 
milik mendiang ibunya. Namun Yustika tidak segera 
mengenakannya. Melainkan, dipandanginya kalung 
milik mendiang ibunya itu untuk beberapa saat. Se-
pasang mata Yustika pun makin basah oleh air ma-
ta. 
"Aku sangat maklum kalau kau terpukul atas 
peristiwa tujuh belas tahun lalu, Muridku. Tapi aku 
yakin, kau tentu dapat melupakan kejadian pahit 
itu," kata Ratu Alit perlahan. 
Yustika mengangguk. 
"Tapi bukan berarti aku harus melupakan 
siapa yang telah mencelakakan mendiang Ibu, Guru. 
Aku harus menuntut pertanggung jawaban atas te-
wasnya mendiang ibuku!" desis Yustika. 
"Berarti kau akan membunuh ayah kan-
dungmu sendiri?" tukas Ratu Alit, tajam. 
Yustika mengeluh. Hatinya rusuh bukan 
main. Mungkinkah ia membunuh ayah kandungnya 
yang telah menewaskan ibunya serta menelantarkan 
dirinya? 
"Aku.... Aku tidak tahu. Guru. Sulit bagiku 
untuk memahami arti kehidupan yang demikian 
rumit melingkar dalam diriku." 
"Kalau memang ayah kandungmu yang telah 
menewaskan ibumu, aku maklum kalau kau bin-
gung sekali. Sebagai seorang anak, tentu kau tak in-
gin berbuat durhaka. Apalagi, sampai ingin membu-
nuh orangtua sendiri. Rasanya kau memang dalam 
keadaan sulit, Muridku." 
"Bagaimanapun juga aku tetap akan mencari 
orang yang bernama Gendon Prakoso. Terlepas ayah 
kandungku atau bukan, pokoknya kalau ia masih 
malang melintang di dunia kejahatan, aku pasti 
akan memberantasnya. Kukira aku hanya ingin 
menggunakan dalih ini, Guru." 
"Bagus, bagus. Itu artinya, kau harus me-
nyingkirkan dendammu lebih dulu....'" 
Ratu Alit mengangguk-angguk kecil. 
"Sekarang izinkan aku untuk berpetualang. 
Guru!" tandas Yustika mendahului gurunya yang 
hendak angkat bicara. 
"Hhh...!" Ratu Alit  menghela napas panjang. 
"Sebenarnya aku berat sekali melepasmu, Muridku. 
Tapi aku pun maklum apa yang tengah bergolak da-
lam hatimu. Kalau aku menahanmu, berarti aku ku-
rang bijaksana. Hanya mementingkan diriku sendiri. 
Tapi kalau membiarkan kau pergi aku pun... ah! 
Baiknya kau pelajari dulu pukulan 'Cakar Naga Sa-
mudera'! Kukira baru aku lega melepas kepergian-
mu, Yustika. Dan bila jurus ini kau kuasai, kau ku-
beri gelar Ratu Adil!" 
"Terima kasih. Guru. Kelak gelar itu akan ku-
sandang sampai akhir hayatku!" 
"Nah, sekarang bersiap-siaplah mempelajari 
pukulan 'Cakar Naga Samudera', Muridku? Pu-
satkanlah jalan pikiranmu pada satu titik sasaran. 
Serta, kendurkanlah semua urat saraf dalam tu-
buhmu?"  
"Baik, Guru." 
Puncak Gunung Bucu berselimut awan putih. 
Matahari yang bersinar keemasan berusaha menyi-
bak kabut yang bagaikan tirai putih di lereng sebe-
lah timur. Sementara hawa dingin yang mengung-
kungi bumi mulai sirna oleh hangatnya sang menta-
ri. Embun-embun pagi di ranting-ranting dahan 
maupun di bongkahan-bongkahan batu di puncak 
gunung tampak berkilauan bagai permata mutu 
manikam tertimpa sinar matahari. 
Di atas sebuah bongkahan batu besar, seo-
rang gadis cantik asyik memandang hamparan le-
reng-lereng terjal nun jauh di sana. Rambutnya yang 
hitam lebat sebatas punggung bergerak-gerak ter-
tiup angin pagi. Kulitnya putih bersih. Matanya bu-
lat dan tajam ditingkahi bulu mata panjang serta 
lentik. Hidungnya mancung. Pas sekali dengan bibir 
merah yang tipis dan indah. Dadanya kencang 
membusung, membayang jelas dari pakaian ketat-
nya yang berwarna hijau. Dari ujung-ujung rambut-
nya yang melingkar sebagian dihiasi untaian bunga 
melati putih. 
Sudah beberapa saat berlalu gadis jelita ini 
hanya membisu seorang diri. Sepasang matanya 
yang indah terus melekat pada pemandangan indah 
nun jauh di sana. Menilik cara memandangnya, se-
benarnya gadis itu tidak sedang menikmati peman-
dangan indah pagi itu. Bahkan sebaliknya! Dari gu-
ratan-guratan keningnya yang sesekali mengernyit, 
juga tarikan-tarikan napasnya, jelas kalau gadis itu 
tengah gelisah. 
"Sekarang apa lagi yang harus kulakukan? 
Musuh besarku Penghuni Kubur telah tewas di tan-
gan Raja Penyihir," gumamnya perlahan, nyaris tak 
kentara. 
Si gadis membuang pandangannya ke arah 
lain. Napasnya terasa sesak bila mengingat sepak 
terjang musuh besarnya. 
"Hm...! Bajingan-bajingan itu telah tewas di 
tangan Raja Penyihir maupun  Siluman Ular Putih. 
Sekarang sebagai seorang anak, kukira aku harus 
segera menemukan kubur kedua orangtua ku. Sesu-
lit apa pun, aku harus menemukannya!" 
Gadis berwajah jelita ini mendesah panjang. 
Bilur-bilur kesedihan dalam hatinya sedikit berku-
rang bila mengingat musuh-musuh besarnya telah 
tewas. 
Meski tewas bukan di tangannya sendiri, na-
mun gadis cantik yang tak lain Arum Sari ini patut 
merasa lega. (Untuk mengetahui sepak terjang mu-
suh besar Arum Sari, silakan baca episode : "Titisan 
Alam Kegelapan" dan "Murka Penghuni Kubur"). 
"Sekarang sudah saatnya aku meninggalkan 
puncak Gunung Bucu ini. Sudah tiga hari tiga ma-
lam aku menginap di sini. Rasanya, tak enak kalau 
harus berlama-lama. Kukira, aku harus secepatnya 
menyelidiki di mana kubur kedua orangtua ku...," 
lanjut Arum Sari perlahan. 
Namun saat si gadis hendak menggerakkan 
tubuh, tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk kecil 
tak jauh di belakangnya. 
Buru-buru Arum Sari berpaling ke arah da-
tangnya suara. Di belakangnya ternyata telah berdiri 
seorang pemuda tampan dengan senyum manis ter-
kembang di bibir. 
Tampang pemuda di hadapan Arum Sari me-
mang cukup meyakinkan. Wajahnya berbentuk lon-
jong dengan rahang-rahang mengeras. Rambutnya 
yang gondrong dibiarkan tergerai dipermainkan an-
gin. Pakaiannya rompi dan celana  bersisik warna 
putih keperakan. Dua gelang akar bahar tampak 
melingkar di pergelangan tangan. Sementara sebuah 
rajahan kecil bergambar ular putih tergambar di da-
da. Siapa lagi pemuda satu ini kalau bukan murid 
Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman 
Ular Putih! 
"Soma! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya 
Arum Sari untuk sekadar menghilangkan keterkeju-
tannya. 
"Kok, malah tanya? Justru aku yang ingin 
bertanya, kenapa kau tampak murung di tempat 
ini?" tukas Siluman Ular Putih sambil memamerkan 
giginya yang putih bersih. Seolah-olah dengan se-
nyumnya, ia ingin sekali menarik perhatian Arum 
Sari. 
"Nah...! Sekarang malah kau sendiri yang me-
lamun. Apa kau sedang memikirkan gadismu?" te-
bak Arum Sari, asal saja. Diam-diam diperhatikan-
nya sikap pemuda di hadapannya seksama. 
"Ah... kau ini! Mana ada gadis yang mau den-
ganku. Lagi pula mengapa memikirkan gadis lain 
kalau di hadapanku ada seorang gadis jelita? He he 
he...," celoteh Soma, asal saja. 
Semburat rona merah kontan mewarnai pipi 
Arum Sari. Hatinya pun mendadak jadi rusuh bukan 
main. Senang sekali hatinya mendengar ucapan So-
ma barusan. 
"Lho? Kok, jadi senyum-senyum? Ada apa, 
nih? Jangan-jangan malah kau sendiri yang lagi 
memikirkan kekasihmu? Iya, kan?" lanjut Soma, 
meledek. 
"Kali ini aku tidak sedang memikirkan siapa-
siapa. Aku justru sedang memikirkan mendiang ke-
dua orangtua ku. Aku ingin sekali segera menemu-
kan kubur mereka." 
"Hm...! Kalau kau tak keberatan, aku ingin 
sekali membantumu. Arum," cetus Siluman Ular Pu-
tih dengan nada lembut. 
Hal ini malah makin membuat hati Arum Sari 
blingsatan. Apalagi ketika Soma ikut duduk di sebe-
lahnya seraya merengkuh bahunya. Ingin rasanya 
Arum Sari segera menyandarkan kepala ke dada Si-
luman Ular Putih. 
"Tentu saja aku tak keberatan. Soma. Kau.... 
Kau adalah sahabatku yang paling baik," sambut 
Arum Sari. Nyaris mendesah. 
"Aduuuh senangnya hatiku mendengar pujian 
dari seorang gadis. Apalagi gadis secantikmu. Hm...!" 
Siluman Ular Putih langsung memandang Arum Sari 
lekat-lekat dengan kepala menggeleng-geleng penuh 
kagum melihat seraut wajah cantik di hadapannya. 
"Jangan memandangiku seperti itu, ah!" ujar 
Arum Sari tersipu malu. Rona merah di pipinya pun 
makin kentara. Maka buru-buru kepalanya menun-
duk sambil memainkan jari-jari tangannya. 
"Ayo, kita kembali. Ibu dan eyangku ingin bi-
cara denganmu."  
Arum Sari mendongak memandang Siluman 
Ular Putih tak mengerti. Bukannya keberatan diajak 
Soma menemui ibu dan eyangnya, melainkan se-
dang memikirkan hal lain. 
"Ayo!" Soma membimbing Arum Sari. Si gadis 
tersenyum manis. Sama sekali ia tak keberatan di-
perlakukan manis oleh pemuda yang sebenarnya 
sangat diidam-idamkan itu. Malah dengan berge-
layut mesra di lengan Soma, segera diikuti langkah 
Siluman Ular Putih. 
* * * 
Di dalam goa tempat asal-usul Siluman Ular 
Putih, tampak pula Raja Penyihir tengah duduk ber-
semadi  di samping Eyang Begawan Kamasetyo. 
Ruangan dalam goa itu memang cukup lebar. Beru-
kuran kira-kira enam kali tujuh tombak. Sebuah ob-
or kecil tertancap di salah satu dinding goa, mem-
buat ruangan terlihat jelas. 
Dari sebelah dinding  barat, tampak sebuah 
pancuran kecil dengan airnya yang bening kebiru-
biruan tertampung di sebuah kolam mirip sendang. 
Di pinggir sendang itulah seekor ular putih raksasa 
melingkar. Kelopak matanya tampak terpejam di 
atas batu putih pipih menghadap ke mulut pancu-
ran. Tak jauh di belakangnya, Eyang Begawan Ka-
masetyo dan Raja Penyihir tengah bersemadi sambil 
menemani Dewi Ratri yang masih menjelma menjadi 
ular putih raksasa, atau lebih terkenal dengan julu-
kan Siluman Naga Puspa. (Untuk mengetahui kena-
pa Dewi Ratri masih menjadi ular putih, harap baca 
episode : "Misteri Bayi Ular"). 
Manakala Soma dan Arum Sari melangkah 
masuk, Eyang Begawan Kamasetyo dan Raja Penyi-
hir segera membuka kelopak matanya. Kedua anak 
muda itu sendiri segera duduk bersimpuh di hada-
pan mereka. 
"Arum Sari! Mendekatlah! Eyang ingin bicara 
denganmu," ujar Eyang Begawan Kamasetyo. 
"Baik, Eyang Begawan." 
Arum Sari menggeser duduknya beberapa de-
pa ke depan. Siluman Ular Putih ikut pula duduk 
menjejeri. 
"Cucuku sudah bercerita banyak tentang di-
rimu. Arum Sari. Terus terang, aku turut prihatin. 
Tak kusangka sobatku Sepasang Pendekar Garuda 
Emas telah mendahuluiku. Tapi, kuharap kau tak 
usah terlalu bersedih, Arum. Bukankah orang yang 
telah membunuh kedua orangtua mu pun telah te-
was?" 
"Benar, Eyang Begawan. Itu semua tak lepas 
dari bantuan Soma dan Raja Penyihir. Cuma terus 
terang, aku sangat menyayangkan, kenapa aku tak 
mampu membalaskan sakit hati kedua orangtua ku 
dengan tanganku sendiri," desah Arum Sari. 
"Aku mengerti. Kepandaian Penghuni Kubur 
memang luar biasa. Kukira kau tak perlu menyesal, 
Arum. Bukannya Eyang merendahkan kepandaian-
mu. Tapi kepandaianmu saat ini memang masih 
jauh di bawah kepandaian manusia sesat itu." 
"Benar, Eyang Begawan. Aku pun menyadari 
hal itu." 
"Zzzzt! Zzzzt...!!!" 
Tiba-tiba Siluman Naga Puspa mendesis-
desis, ikut bicara. 
"Apa kau bilang, Ratri?" tanya Eyang Begawan 
Kamasetyo. 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi, seo-
lah mengulangi ucapannya. 
"Oh...! Kau menghendaki Arum Sari tinggal di 
sini untuk menemanimu? Begitu?" kata Eyang Be-
gawan Kamasetyo. 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. 
"Baik, Akan kutanyakan pada Arum Sari," sa-
hut Eyang Begawan Kamasetyo, lalu kembali me-
mandang Arum Sari. "Arum...! Kukira kau sudah ta-
hu apa yang kubicarakan dengan putriku barusan. 
Apa kau bersedia tinggal di sini bersama kami?" 
"Hm...," Arum Sari menelan ludahnya seben-
tar. Tanpa sadar pandang matanya beralih ke arah 
Siluman Ular Putih. 
"Kukira itu juga lebih baik, Arum. Kau baik-
nya tinggal saja di sini menemani ibu dan eyangku. 
Mengenai masalah kuburan kedua orangtua mu, bi-
ar aku saja yang mencari," cetus Soma, menimpali. 
Arum Sari menggeleng. 
"Maaf, Eyang Begawan. Terus terang, bukan-
nya aku keberatan tinggal di sini. Tapi rasa-rasanya, 
aku tak puas kalau belum menemukan makam ke-
dua orangtua ku. Untuk itu, izinkanlah aku mencari 
makam mereka, Eyang Begawan!" 
"Hm...! Sayang sekali sebenarnya. Tapi, kalau 
memang itu keputusanmu, Eyang tak dapat lagi 
menahanmu" 
"Zzzzt! Zzzzt...!" 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. Kali 
ini bukan saja Eyang Begawan Kamasetyo yang ter-
peranjat, melainkan Soma sendiri pun ikut terperan-
jat. Malah kedua pipi si pemuda kontan bersemu 
merah. 
"Ah...! Ibu ini ada-ada saja. Aku belum ingin 
menikah! Tugas di pundakku masih teramat berat. 
Aku belum membantu Arum Sari menemukan ma-
kam kedua orangtuanya. Juga, belum dapat mere-
but Kujang Emas senjata andalan Ayah yang kini 
masih dikangkangi Prameswara," tandas Soma, jen-
gah. 
Meski Arum Sari tidak tahu apa yang di-
ucapkan Siluman Naga Puspa, namun manakala 
mendengar ucapan Soma kontan saja rona merah 
menjalar di pipinya. 
"Bodoh! Mumpung kau masih muda, tunggu 
apa lagi, Soma! Turuti saja kemauan ibumu," tera-
bas Raja Penyihir, ikut menimpali. 
"Tidak, Kek. Aku belum ingin menikah," tegas 
Soma. 
"Tunggu, Bocah! Apa kau lupa? Kau harus 
memanggilku Guru, tahu??" sentak Raja Penyihir. 
"Hm...!" Soma memainkan bibirnya sebentar. 
Sebenarnya ingin sekali ia membantah ucapan Raja 
Penyihir. Namun manakala melihat pandang mata 
Eyang Begawan Kamasetyo, niatnya diurungkan. 
"Baiklah, Guru." 
"Baik apanya? Apa kau sudah setuju dengan 
permintaan ibumu? Kau sudah berubah pikiran un-
tuk cepat-cepat menikah? Hm...! Bagus. Kukira ga-
dis itu tidak mengecewakan. Wajahnya cantik. Si-
kapnya cukup santun. Kukira tak ada yang kurang 
dari Arum Sari. Memang tepat sekali bila...." 
"Aku belum ingin menikah, Guru. Tadi, aku 
hanya mengiyakan ucapanmu yang menyuruhku 
memanggilmu guru. Bukan menyetujui keinginan 
Ibu," tukas Siluman Ular Putih dengan nada tinggi. 
"Oh oh oh...! Kukira kau ingin menikah. He he 
he...!" Raja  Penyihir terkekeh senang. "Sebenarnya, 
aku juga ingin menikah. Tapi sayang, badanku su-
dah bau tanah. Jangan-jangan aku malah.... Hik hik 
hik...!" 
Raja Penyihir tak meneruskan ucapannya. 
Malah tersipu malu dengan apa yang terlintas di be-
naknya. 
Arum Sari sendiri hanya diam membisu di 
tempatnya. Bayangan indah untuk menikah dengan 
Siluman Ular Putih kontan terpangkas. Bahkan kini 
berganti rasa gelisah yang mengungkung hatinya. 
"Jangan kecewa. Arum! Mungkin cucuku 
memang belum ingin menikah," ujar Eyang Begawan 
Kamasetyo kemudian. 
Sedang Siluman Naga Puspa sendiri tak hen-
ti-hentinya terus mendesis 'mencaci' putranya. 
Arum Sari diam tertunduk. Tak ada keinginan 
di hatinya untuk membantah ucapan Eyang Bega-
wan Kamasetyo. Ia justru lebih senang bermain den-
gan perasaannya sendiri. Itu lebih baik daripada ha-
tinya kian nelangsa. 
"Maafkan aku. Arum! Kau tak apa-apa, kan?" 
ucap Soma tiba-tiba. 
Arum Sari memaksakan diri untuk terse-
nyum. Kedua bibirnya yang bergetar tak kuasa un-
tuk berkata-kata. 
"Terima kasih atas pengertianmu, Arum. Kau 
memang sahabatku yang paling baik." 
Arum Sari menggigit bibirnya sendiri. Tampak 
sekali hatinya tak puas mendengar jawaban Soma. 
"Hm.... Bagaimana kalau sekarang saja kita 
mencari di mana makam kedua orangtua mu, 
Arum?" ajak Soma, untuk menghilangkan kekakuan 
"Ayo," ucap Arum Sari seraya mengangguk pe-
lan. 
"Ibu, Eyang. Juga kau, guruku Raja Penyihir. 
Kukira sudah waktunya aku dan Arum Sari mene-
ruskan perjalanan. Kalian tidak keberatan, kan?" 
kata Soma. 
Siluman Naga Puspa tidak menyahut. Sepa-
sang matanya yang mencorong mendadak berair, 
seolah keberatan melepas putra kesayangannya. 
"Jangan bersedih, Ibu! Aku pasti akan sering-
sering menengok ke mari. Dan, jangan lupa. Minta-
lah pada Yang Kuasa agar Ibu kembali dapat beru-
bah wujud seperti manusia biasa." 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis hebat. 
Ekornya dikibas-kibaskan ke sana kemari. Sepasang 
matanya yang mencorong kini makin dibasahi air. 
"Tabahkanlah hatimu, Ibu! Niscaya Tuhan 
akan mengabulkan permintaan kita semua kalau 
Ibu sendiri tak berputus asa untuk terus berdoa." 
"Sudahlah, Cucuku! Kalau kau mau berang-
kat, berangkatlah!" tukas Eyang Begawan Kama-
setyo tak tega melihat kesedihan Siluman Naga Pus-
pa. 
"Baik, Eyang." 
Soma memeluk tubuh ibunya sebentar. Dan 
Siluman Naga Puspa pun balas memeluk dengan 
melilit tubuh putranya. Arum Sari yang melihat ade-
gan ibu dan anak itu tak kuasa lagi untuk memben-
dung air mata. Bahkan ketika Soma meninggalkan 
tempat pertapaan, Arum Sari masih dililit perasaan 
sedih. 
Dunia seolah tak pernah sepi dari gejolak. Bi-
la satu gejolak berhasil dipadamkan di tempat yang 
satu, maka gejolak lain akan tumbuh di tempat ber-
beda. Begitu pula yang terjadi di tanah Jawa bagian 
tengah. 
Bulan-bulan belakangan sering terdengar pe-
rampokan besar-besaran di sana-sini yang dilaku-
kan orang-orang berpakaian serba hijau. Tak heran 
kalau mereka kemudian dijuluki Laskar Hijau. Ko-
non pasukan serba hijau yang dipimpin Setan Haus 
Darah itu sedikit pun tak memberi ampun pada dae-
rah-daerah yang dilewati. Semua dirampok, tak ter-
kecuali harta benda yang berharga, binatang-
binatang ternak, perempuan-perempuan baik tua 
maupun setengah baya. Semua diboyong ke markas 
Pasukan Laskar Hijau. Siapa saja yang berani 
menghalangi, pasti akan ditumpas habis. Bahkan 
pasukan Kerajaan Mataram dan beberapa orang 
pendekar sudah banyak yang tewas di tangan Pasu-
kan Laskar Hijau. 
Siang itu cahaya matahari leluasa menghu-
jamkan panasnya ke permukaan bumi, menggarang 
sepasukan berkuda yang berjumlah tak kurang dari 
tiga puluh orang yang beriring-iringan menyusuri ja-
lan di pinggiran Hutan Karang Ampel sebelah barat. 
Kuda-kuda mereka dipacu dengan kecepatan biasa-
biasa saja. 
Semua penunggang kuda itu adalah para le-
laki bengis berpakaian hijau-hijau. Di kepala mereka 
pun melingkar ikat kepala yang juga berwarna hijau, 
mereka tak lain memang Pasukan Laskar Hijau. 
Sesekali penunggang kuda yang berada paling 
depan memberi aba-aba pada beberapa orang-orang 
di belakangnya, lelaki berusia empat puluh tahun. 
Itulah yang menjadi pemimpin pasukan ini. Wajah-
nya bengis dengan sepasang mata garang berwarna 
merah menyala. Tubuhnya tinggi kekar berbalut pa-
kaian hijau-hijau terbuat dari sutera. Rambutnya 
yang hitam panjang dibiarkan tergerai di bahu. Se-
buah ikat kepala berwarna hijau tampak melingkari 
kepala. Sekali lihat, lelaki Pimpinan Pasukan Laskar 
Hijau yang tak lain Setan Haus Darah itu memang 
gagah. Namun bila menilik perangai dan sepak ter-
jangnya, tentu saja akan membuat orang lari tung-
gang langgang. Siapa sudi menghadang langkah me-
reka, kendati bila ingin mati. 
Ketika memasuki sebuah kampung, Setan 
Haus Darah memperlambat lari kudanya. Mereka 
memandang heran, karena sama sekali tak mene-
mukan apa-apa. Penduduk kampung yang biasanya 
hilir mudik di mulut desa maupun di pematang-
pematang sawah, tak kelihatan sama sekali. Bahkan 
anak-anak yang biasanya bermain di halaman ru-
mah tak lagi terdengar suaranya! 
Setan Haus Darah jadi curiga bukan main. 
Segenap mata memandang hanya kelengangan yang 
ditemui. Debu-debu pun seolah-olah malas beter-
bangan di jalan utama desa itu. 
Semakin memasuki desa itu, Setan Haus Da-
rah jadi tak dapat menahan amarah lagi. 
"Berhenti...!" 
Lelaki ini berteriak lantang menyuruh anak 
buahnya berhenti. Tali-tali kekang di tangan para 
anggota pasukan Laskar Hijau segera ditarik ke be-
lakang. Kuda-kuda mereka meringkik keras, lalu 
berhenti. 
Setan Haus Darah dan ketiga puluh orang 
anak buahnya memandang beringas ke sekeliling. 
Kuda-kuda mereka bergerak-gerak liar seperti pe-
nunggangnya yang terus menggeram penuh kema-
rahan. 
"Bajingan! Rupanya penduduk Kampung Ka-
rangkates ini telah mengetahui kedatangan kita," 
dengus Setan Haus Darah. 
"Benar, Ketua. Mereka pasti sudah menyem-
bunyikan harta benda dan gadis-gadis cantik yang 
kita butuhkan. Baiknya, kita beri pelajaran saja, Ke-
tua!" usul salah seorang anak buah Setan Haus Da-
rah. 
"Kau  benar, Pergiwo! Hajar penduduk kam-
pung ini! Kuras harta benda mereka!" perintah Setan 
Haus Darah, langsung saja. 
Saat itu pula, Setan Haus Darah menyentak-
kan tali kudanya keras-keras. Kuda hitam tunggan-
gannya pun meringkik keras. Kedua kakinya diang-
kat tinggi-tinggi ke udara, sebelum akhirnya berlari 
kencang memasuki sebuah halaman rumah yang 
cukup terpandang di Desa Karangkates itu. Dan 
dengan sekali loncat, tubuhnya telah berkelebat ma-
suk ke dalam rumah. 
Melihat sang Ketua sudah bertindak, ketiga 
puluh orang anggota Laskar Hijau segera berlompa-
tan turun dari kuda. Mereka langsung memasuki 
rumah-rumah  penduduk desa dan mengobrak-
abriknya. Benda berharga apa saja disikat. Tak puas 
dengan itu, mereka tanpa ampun menghajar bebe-
rapa penduduk kampung yang mencoba melawan. 
"Di mana anak-anak gadis kalian, he?! Kena-
pa tak ada di rumah?" bentak Setan Haus Darah gu-
sar bukan main seraya menarik keluar seorang lela-
ki setengah baya pemilik rumah itu dan melempar-
kannya ke halaman. Matanya yang beringas berki-
lat-kilat beredar ke sekitar. Sedang beberapa anak 
buahnya segera masuk dan langsung mengobrak-
abrik, membawa apa saja yang dirasanya cukup 
berharga. 
"Kami.... Kami tak mempunyai anak gadis, 
Tuan," ratap lelaki setengah baya itu. Wajahnya 
tampak tak karuan, sudah babak  belur menerima 
hajaran. 
"Bohong! Tak mungkin dari sekian banyak 
penduduk Kampung Karangkates ini tak mempunyai 
anak gadis. Dari tadi kami tak melihat seorang gadis 
pun di desa ini. Pasti kalian telah menyembunyikan. 
Hayo! Sekarang tunjukkan, di mana anak-anak ga-
dis kalian disembunyikan?!" bentak seorang anak 
buah Setan Haus Darah gusar bukan main. Benta-
kannya sekaligus ditujukan  pada beberapa pendu-
duk yang telah dikumpulkan di halaman ini dengan 
wajah babak belur. 
"Be.... Benar, Tuan. Kami tak mempunyai 
anak gadis," tegas laki-laki lain yang berusia tua se-
raya menyembah-nyembah. 
"Mustahil! Pasti kalian telah menyembunyi-
kannya. Huh! Kalau kalian tak mau menunjukkan 
harta dan anak gadis kalian, jangan salahkan kalau 
kami terpaksa akan menghajar sampai mampus!" 
ancam Setan Haus Darah. 
"Ampun! Ampun, Tuan! Kami tak punya harta 
benda apa-apa. Kami juga tak punya anak gadis," 
ratap para penduduk kampung hampir bersamaan 
berlutut di hadapan Setan Haus Darah dan anak 
buahnya. 
Namun, mana mau Setan Haus Darah dan 
anak buahnya menerima penjelasan mereka. Tanpa 
ampun tendangan-tendangan kaki pun kembali 
menghajar penduduk kampung yang sudah tak ber-
daya. 
Desss! Desss! 
Tak henti-hentinya beberapa orang anak buah 
Setan Haus Darah mengirimkan tendangan keras ke 
tubuh penduduk kampung yang tengah berlutut. 
Seketika itu juga, terdengar jerit-jerit kesakitan di-
iringi tubuh-tubuh yang mencelat ke belakang dan 
ambruk tak berdaya. 
Tubuh-tubuh tua penduduk Kampung Ka-
rangkates menggeliat sebentar, lalu dengan meme-
laskan sekali kembali merangkak ke hadapan Setan 
Haus Darah dan beberapa orang anak buahnya. 
"Ampunkan kami, Tuan! Kami benar-benar 
tak mempunyai apa-apa. Jangankan anak gadis. 
Harta benda pun kami tak punya. Ampunkan kami, 
Tuan!" teriak mereka memelas. 
"Kami tak percaya bacot kalian! Kalian akan 
kami hajar sampai mau menunjukkan di mana har-
ta benda dan gadis-gadis disembunyikan!" 
"Ampun, Tuan! Ampuuun...!" ratap penduduk 
kampung, serempak seraya menyembah-nyembah.  
Dess! Dess! 
Namun, lagi-lagi tubuh-tubuh tua mereka 
hanya jadi santapan empuk kaki-kaki anak buah 
Setan Haus Darah. Dan lagi-lagi pula terdengar jerit-
jerit kesakitan di sana-sini bersamaan dengan tu-
buh-tubuh yang mencelat menghajar dinding-
dinding pagar maupun semak belukar. 
Brakkk! Brakkk! 
Setan Haus Darah jadi makin gusar. Api ke-
marahan dalam dadanya makin berkobar saja. Me-
reka saat ini hanya sedikit menemukan harta jara-
han yang berarti. Maka tak ada pilihan lain kecuali 
terus menyiksa penduduk Kampung Karangkates 
yang membandel. 
* * * 
Pada akhirnya, beberapa orang anak buah Se-
tan Haus Darah dapat menemukan barang-barang 
berharga serta gadis-gadis yang disembunyikan para 
penduduk di lorong-lorong bawah tanah. Hal itu ter-
jadi karena ada seorang pemuda yang tak tahan 
mendapat siksaan dari anak buah Setan Haus Da-
rah. Pemuda itu buka mulut dengan harapan agar 
dibebaskan dari siksaan. Tapi apa yang diharapkan 
tak menjadi kenyataan. Setelah menunjukkan tem-
patnya, pemuda itu pun dibunuh. 
Merasa dibohongi para penduduk, bukan 
main marahnya Setan Haus Darah. Dengan beringas 
kembali para anak buahnya diperintahkan  untuk 
menghajar penduduk kampung. 
Setelah puas menghajar penduduk kampung, 
Setan Haus Darah segera memerintahkan anak 
buahnya untuk mengangkut barang-barang rampa-
san, termasuk juga gadis-gadis yang tadi disembu-
nyikan. 
"Jangan, Tuan! Jangan bawa anakku!" jerit 
seorang perempuan penduduk kampung memelas 
saat melihat anak gadisnya diseret paksa oleh Setan 
Haus Darah. 
"Setan! Tua bangka macam kau mana pantas 
menghiba padaku! Menghibalah pada Raja Akhirat!" 
Desss! 
Tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun, 
kaki Setan Haus Darah telah mendarat elak di dada 
perempuan itu hingga kontan mencelat jauh ke be-
lakang. Tubuhnya terbanting keras dengan darah 
keluar dari mulut dan lobang hidung. 
"Ibuuu...!" teriak gadis yang paling cantik dari 
gadis-gadis rampasan itu kalap. 
Namun ketika tangannya ditekuk gadis cantik 
itu kembali terkulai dalam pelukan pimpinan rom-
bongan Pasukan Laskar Hijau ini, 
"Dengar! Buka telinga kalian lebar-lebar! Sia-
pa pun yang berani menentang Setan Haus Darah 
dan pasukannya, berarti kematianlah yang akan di-
terima. Jangan sekali-kali berani mempermainkan 
kami kalau tak ingin mati! Kalian dengar!" 
Tak ada sahutan dari penduduk Kampung 
Karangkates yang tengah mengerang menahan sakit. 
Hanya kilatan-kilatan sepasang mata mereka yang 
tak rela saja yang terus memperhatikan Setan Haus 
Darah dan anak buahnya. 
Setan Haus Darah mendengus angkuh. Lalu 
ia memerintahkan anak buahnya untuk mengemasi 
barang-barang berharga ke atas kuda. Sementara 
gadis-gadis yang tertawan dipondong di atas bahu. 
"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" perintah 
Setan Haus Darah pada anak buahnya. 
Laki-laki bertubuh tinggi kekar itu segera me-
loncat ke punggung kudanya. Meski sambil memon-
dong gadis cantik dalam pelukannya, namun gera-
kan tubuhnya tampak ringan sekali kala melompat 
ke punggung kuda. Gerakannya pun diikuti anak 
buahnya yang segera menaiki kuda masing-masing. 
"Hea! Hea!" 
Setan Haus Darah menggebah, membuat ku-
da tunggangannya melaju kencang meninggalkan 
tempat itu. Bersamaan dengan itu, beberapa orang 
anak buah Setan Haus Darah pun telah menggebah 
kuda masing-masing sambil membawa barang-
barang rampasan dan beberapa orang gadis dalam 
pondongan. 
Suara-suara isak tangis dari beberapa orang 
gadis yang menjadi barang jarahan Pasukan Laskar 
Hijau terdengar demikian memelaskan di antara de-
rap-derap kuda-kuda yang melaju kencang mening-
galkan tempat. itu. Beberapa orang penduduk Kam-
pung Karangkates yang melihat anak gadisnya di-
bawa pergi hanya dapat meratap. Sesekali, terdengar 
sumpah serapah mereka. 
Belum begitu lama Pasukan Laskar Hijau 
pergi, dua orang anak muda tengah melenggang 
santai memasuki Desa Karangkates melewati pintu 
gerbang sebelah utara. Yang sebelah kanan adalah 
seorang pemuda tampan berambut gondrong terge-
rai di bahu. Tubuhnya yang tinggi kekar dibalut 
rompi dan celana bersisik warna putih keperakan. 
Sedang di sebelahnya adalah seorang gadis berpa-
kaian warna hijau-hijau. Wajahnya yang cantik ber-
bentuk bulat telur. Rambutnya yang hitam panjang 
digelung ke atas dengan hiasan untaian bunga mela-
ti. 
Menilik pakaian serta ciri-ciri, mereka tak lain 
dari Siluman Ular Putih dan Arum Sari. Sepasang 
anak muda itu baru saja turun dari puncak Gunung 
Bucu, dan sengaja ingin menyambangi desa itu. Bu-
kannya apa-apa, tapi cuma ingin mengganjal perut 
yang sejak tadi pagi belum diisi. 
"Kuperhatikan sejak kita meninggalkan Gu-
nung Bucu, kau selalu tampak murung. Arum. Ada 
apa? Apa ada kata-kataku yang kurang mengena di 
hatimu?" usik Soma sambil terus melangkah di sisi 
Arum Sari. 
Arum Sari  diam tak menyahut. Wajahnya 
yang cantik saat ini berselimut mendung. Entah apa 
yang merisaukan hatinya. Yang jelas, hanya dirinya 
sajalah yang tahu.  
"Kok, diam? Kenapa tak menjawab perta-
nyaanku. Arum? Apa benar kau tersinggung dengan 
ucapanku, tadi?" lanjut Soma. 
Arum Sari mendongak, lalu menggeleng pe-
lan. 
"Jadi apa, dong? Kenapa diam saja dari tadi? 
Dan, kenapa wajahmu murung? Ah...! Pasti kau se-
dang memikirkan sesuatu? Atau, jangan-jangan kau 
sedang memikirkan kekasihmu, ya?" goda Siluman 
Ular Putih. 
Arum Sari menghentikan langkahnya seben-
tar. Dipandanginya Soma seksama. Kepalanya lan-
tas menggeleng pelan. Senyum getirnya tampak ter-
sungging di bibir. 
Siluman Ular Putih jadi bingung. Tak menger-
ti apa yang dimaksudkan Arum Sari. 
"Ada apa, sih? Kau kan sahabatku yang pal-
ing baik. Juga, paling cantik. Masa' kalau punya 
masalah dipendam seorang diri? Apa kau tak ingin 
membagi-bagi kesulitanmu denganku?" 
"Soma...!" Arum Sari malah mendesah. Ha-
tinya mendadak jadi risau bukan main. Gadis ini ja-
di tak tahan dengan perasaan hatinya. Kepalanya 
pun kembali menunduk dalam-dalam. 
"Hey, kok malah jadi tersipu malu begitu? Ada 
apa, nih? Wah, gawat! Jangan-jangan temanku yang 
cantik ini sedang ketiban penyakit asmara?" ledek 
Siluman Ular Putih, semakin menjadi. 
"Soma.... Apa kau... kau juga menyukaiku. 
Soma?" tanya Arum Sari tiba-tiba. Suaranya lirih, 
nyaris tak terdengar. 
"Apa?" Siluman Ular Putih membelalakkan 
matanya lebar. "Oh...! Itu maksudmu. Tentu. Tentu 
aku menyukaimu. Kenapa kau bertanya begitu, 
Arum?" 
"Hanya itu? Apa tak ada perasaan lain terha-
dapku?" tanya Arum Sari lagi, tak puas dengan ja-
waban Siluman Ular Putih tadi. 
"Maksudmu?" 
Lagi-lagi kening Siluman Ular Putih berker-
nyit heran. 
"Ah...! Kau pasti tahu ucapanku tadi, Soma. 
Kau.... Kau...." 
Arum Sari buru-buru  menyembunyikan wa-
jahnya dalam-dalam. Tak kuat rasanya membalas 
pandang mata Soma. 
"Maaf, Arum! Kukira kau tadi sudah menden-
gar apa jawabanku. Bukannya aku tak menyukai-
mu. Tapi, kau tahu. Tugas di pundakku ini masih 
banyak. Belum lagi dengan keinginanku dalam 
membantumu untuk menemukan makam kedua 
orangtua mu. Kuharap kau...." 
"Cukup, Soma! Aku sekarang tahu apa ja-
wabmu," potong Arum Sari dengan wajah memerah. 
"Tunggu, Arum!" Buru-buru Siluman Ular Pu-
tih menyambar lengan Arum Sari saat si gadis hen-
dak berkelebat meninggalkannya. 
"Lepaskan aku. Soma! Aku tak ingin melan-
jutkan perjalanan denganmu!" 
Arum Sari memberontak dari cengkeraman 
tangan Siluman Ular Putih. Tapi mana mau Soma 
melepaskannya begitu saja. 
"Arum. Kita kan sahabat. Kumohon, jangan 
bicarakan hal  itu lagi. Terus terang aku masih 
bing...." 
Ucapan Siluman Ular Putih seketika terputus 
ketika sekonyong.... 
"Hm...! Sayang sekali, cantik-cantik jadi ang-
gota gerombolan perampok...." 
* * * 
Arum Sari dan Siluman Ular Putih buru-buru 
menoleh ke arah datangnya suara barusan. Tampak 
tak jauh di belakang mereka telah berdiri seorang 
pemuda gagah berpakaian warna putih yang ditutup 
jubah besar warna biru. Rambutnya yang hitam 
panjang digelung ke atas. Wajahnya berbentuk lon-
jong dengan sepasang mata tajam bak sepasang ma-
ta rajawali. Kedua alis matanya tebal berwarna hi-
tam agak naik ke atas. Hidungnya mancung dengan 
bentuk dagu yang mengeras, menyiratkan kekerasan 
sikap pemuda itu. 
Tak jauh di belakang si pemuda tampak bebe-
rapa orang penduduk Kampung Karangkates ber-
duyun-duyun mendekati dengan berbagai macam 
senjata tajam di tangan kanan. Sambil berteriak-
teriak penuh kemarahan, para penduduk yang ma-
rah akibat sepak terjang Pasukan Laskar Hijau yang 
tadi mengobrak-abrik tempat ini kini mulai mende-
kati Siluman Ular Putih dan Arum Sari. 
"Jangan sembarangan pentang suara, Kawan! 
Siapa yang perampok? Enak saja menuduh orang 
sembarangan!" dengus Arum Sari melampiaskan ke-
jengkelan hatinya pada pemuda gagah di hadapan-
nya. 
"Harap jangan sembarangan menuduh, Sobat. 
Aku dan temanku ini sama sekali bukan perampok. 
Kami hanya ingin mampir ke desa ini, barangkali 
ada kedai makan yang buka," jelas Siluman Ular Pu-
tih kemudian. 
"Kalian bukan perampok?" tukas pemuda ber-
jubah biru seraya mengangkat alisnya yang tebal. 
Nada suaranya terdengar kurang percaya. Untuk 
meyakinkan hatinya, kepalanya menoleh ke arah 
beberapa orang penduduk kampung yang kini telah 
mengurung Arum Sari dan Siluman Ular Putih. 
"Tuan Pendekar! Harap jangan ragu-ragu. Pe-
rempuan berbaju hijau itu pasti anggota perampok 
yang tadi siang mengobrak-abrik desa kami. Malah 
bisa jadi kedua-duanya adalah perampok. Lihat saja 
pakaian yang dikenakan gadis itu sama persis den-
gan yang dikenakan Setan Haus Darah dan anak 
buahnya!" teriak salah seorang penduduk kampung 
yang berdiri paling depan. Raut wajahnya tegang pe-
nuh kemarahan. 
"Iya, Tuan Pendekar! Mereka berdua pasti ge-
rombolan perampok. Kapan lagi kalau tidak seka-
rang kita menumpas perampok-perampok bengis 
itu, Tuan Pendekar?! Mereka kejam. Sama sekali tak 
pandang bulu. Harta benda kami diangkut. Ternak-
ternak  kami disikat. Malah beberapa orang gadis 
penduduk desa ini pun tak luput dari jarahan mere-
ka! Ayo, kita sikat saja kedua manusia perampok ini, 
Tuan Pendekar!" teriak seorang penduduk kampung 
lain menambahi. 
Si pemuda berjubah biru tampak makin dililit 
keragu-raguan. Menilik sikap sepasang anak muda 
di hadapannya tak mungkin termasuk golongan pe-
rampok. Tapi melihat kemarahan penduduk kam-
pung dengan kemunculan mereka, bisa jadi tuduhan 
itu benar. Kalau tidak, mustahil penduduk kampung 
ini menuduh sembarangan, pikir pemuda berjubah 
biru. 
Sebenarnya, pemuda berjubah biru itu adalah 
seorang pendekar muda yang baru saja turun gu-
nung yang belum pengalaman. Maka begitu tadi 
memasuki desa yang menjadi jarahan Pasukan 
Laskar Hijau, ia sudah diminta penduduk kampung 
untuk membantu menumpas pasukan Laskan Hijau 
yang dipimpin Setan Haus Darah. Sebagai seorang 
pendekar, jelas ia tak dapat menerima kejahatan 
berlangsung di depan mata. 
"Tuan Pendekar! Kenapa Tuan masih ragu-
ragu? Kita sikat saja, Tuan! Tunggu apa lagi?"  
"Hh...!" 
Si pemuda berjubah biru mendengus. Ekor 
matanya yang tajam mengerling ke arah Siluman 
Ular Putih dan Arum Sari. Entah kenapa sewaktu 
melirik ke arah si gadis, si pemuda berjubah biru 
tampak mengeraskan dagunya. Mungkin ia sedang 
menindih perasaan tak enak yang tiba-tiba menyita 
hatinya demi melihat seorang gadis cantik di hada-
pannya. 
"Harap kalian berdua sudi menjawab perta-
nyaanku dengan jujur! Benarkah kalian anak buah 
dari Setan Haus Darah?" tanya si pemuda berjubah 
biru hati-hati. 
Beberapa orang penduduk kampung yang 
mendengar pertanyaan si pemuda berjubah biru 
tampak tak puas. Mereka berteriak-teriak lantang, 
menyuruh sang penolong untuk segera bertindak. 
Namun dengan tenangnya si pemuda berjubah biru 
mengangkat tangannya, menyuruh penduduk tetap 
tenang. 
"Pemuda tak tahu adat! Buka telingamu le-
bar-lebar! Kami bukan perampok. Sekali lagi, kami 
berdua bukan perampok seperti yang kalian tuduh-
kan! Lagi pula, siapa itu Setan Haus Darah? Men-
dengar namanya saja baru kali ini. Enak saja kalian 
menuduh kami perampok!" sungut Arum Sari jeng-
kel. 
"Tapi, tampaknya penduduk kampung ini cu-
kup mengenalimu, Nona. Mereka semua menuduh 
kalau kau dan temanmu adalah perampok. Maka 
kini harap kalian berterus terang! Aku tak ingin ke-
salahan tangan menurunkan maut!" ancam si pe-
muda berjubah biru. 
"Pemuda bau kencur! Huh menilik sikap dan 
caramu bicara, aku yakin, kau pasti seorang pemu-
da pongah yang baru saja turun gunung untuk 
mencari pengalaman!" desis Arum Sari ketus. 
"Kau benar, Nona. Aku memang baru saja tu-
run gunung. Tapi meski begitu, bukan berarti aku 
harus membiarkan perampok-perampok yang telah 
mengganggu ketenteraman penduduk kampung," 
sahut si pemuda berjubah biru sedikit meninggi na-
da bicaranya. Mungkin agak kesal melihat sikap 
Arum Sari yang melecehkan dirinya. 
"Tahan amarahmu, Sobat! Kami bukan pe-
rampok. Kami hanya orang yang ingin singgah di de-
sa itu untuk mencari kedai makan. Kalau kalian tak 
percaya, boleh mengikuti kami untuk beberapa 
saat," timpal Siluman Ular Putih, berusaha menen-
gahi. 
"Puahhh! Siapa sudi mengikuti kalian? Paling 
kalian hanya ingin menunggu bala bantuan. Karena 
sudah terjepit, jadi kalian takut menghadapi kami!" 
teriak salah seorang penduduk tak sabar. 
"Ah...! Buat apa kita buang-buang waktu, 
Teman-teman! Mana ada sih maling yang mengakui 
kalau belum kita gebuk!" 
"Kau benar, Kang! Kita hajar saja perampok-
perampok kecil ini biar tahu rasa betapa sedihnya 
mendapat siksaan seperti orangtua-orangtua kami 
tadi. Ayo, Teman-teman! Hajar perampok-perampok 
kecil  ini!" teriak seorang pemuda lantang. Golok di 
tangannya diacung-acungkan sebentar ke udara.  
"Hiaaatt...!" 
Lalu entah siapa yang memulai dulu, tahu-
tahu beberapa orang penduduk kampung yang su-
dah kalap segera menyerang Siluman Ular Putih dan 
Arum Sari. 
Si pemuda berjubah biru tampak masih tegak 
di tempatnya. Hatinya ragu-ragu sekali untuk ber-
tindak. Terus terang dalam hatinya sendiri tak per-
caya kalau dua orang anak muda itu dari golongan 
perampok. Namun manakala melihat cara memper-
tahankan diri mereka yang  jelas-jelas memiliki ke-
pandaian tinggi, kecurigaan si pemuda berjubah bi-
ru jadi makin bertambah. 
Memang, betapa mudahnya dua orang anak 
muda itu dapat mempermainkan serangan-serangan 
penduduk kampung. Malah kalau mau, dengan mu-
dahnya mereka dapat melumpuhkan serangan-
serangan. Namun anehnya, mereka tak melakukan 
itu. 
Si pemuda berjubah biru tak lagi berpikir 
sampai di situ. Begitu melihat serangan-serangan 
penduduk kampung dapat dihindari dengan mudah, 
tubuhnya segera berkelebat ke tempat pertarungan.  
"Bagus! Kalau kau pun ingin merasakan bo-
gem mentahku, Kawan!" desis Arum Sari seraya se-
gera menyambut datangnya si pemuda berjubah bi-
ru dengan serangan-serangan hebat. 
Tentu saja si pemuda berjubah biru tak ingin 
kalah gertak. Begitu melihat datangnya serangan, 
segera tubuhnya sedikit dimiringkan ke samping. 
Sehingga serangan-serangan Arum Sari hanya me-
nemui angin kosong.  
Bed! 
Pada saat bogem mentah Arum Sari melayang 
ke belakang, mendadak jari-jari tangan si pemuda 
berjubah biru itu telah berkelebat ke arah punggung 
Arum Sari. 
"Ah...!" 
Arum Sari terperangah kaget, tak menyangka 
si pemuda berjubah biru itu dapat menghindari se-
rangannya demikian mudah. Malah kini punggung-
nya terancam totokan-totokan jari-jari tangan pe-
muda itu. 
"Hihh...!" 
Arum Sari mendengus penuh kemarahan. 
Tentu saja ia tidak ingin dirobohkan hanya dalam 
sekali gebrakan. Melihat punggungnya terancam, 
segera tubuhnya dibuang ke samping. 
Sementara itu Siluman Ular Putih yang ten-
gah menghadapi kemarahan penduduk kampung 
tampak tak bergairah menghadapi serangan-
serangan mereka. Namun saat melihat serangan-
serangan kian menjadi liar, pemuda ini jadi berpikir 
lain. Ia bertekad untuk segera mengakhiri kesalah-
pahaman itu.  
"Hup...!" 
Siluman Ular Putih segera berkelebat cepat. 
Saking cepatnya, sampai-sampai beberapa orang 
penduduk kampung hanya melongo mencari-cari Si-
luman Ular Putih. Namun belum sempat mereka 
membuka suara, tahu-tahu.... 
Pak! Pak! 
"Aahh...!" 
Seketika tubuh mereka telah kaku tak dapat 
bergerak begitu terkena tepukan lembut oleh tangan 
Siluman Ular Putih pada bagian punggung. 
"Ah...!" 
Beberapa orang penduduk kampung yang 
menyadari tubuhnya kaku tak dapat digerakkan jadi 
gelisah bukan main. Mereka masih belum tahu, apa 
yang tengah dialami. Mereka hanya melihat Siluman 
Ular Putih berdiri di hadapan beberapa orang pen-
duduk lain yang juga mengalami nasib serupa. Tu-
buh mereka kaku tak dapat digerakkan! 
Tentu saja, hal ini pun tak luput pula dari 
perhatian si pemuda berjubah biru. Ia benar-benar 
tak mengira kalau pemuda berpakaian rompi dan 
celana bersisik warna putih keperakan itu dapat me-
lumpuhkan beberapa orang penduduk hanya sekali 
gebrakan saja. Diam-diam dalam hatinya mengagu-
mi kelihaian teman si gadis. Kini dia sadar kalau 
yang dihadapi adalah seorang pemuda berkepan-
daian tinggi. Bahkan mungkin, jauh lebih tinggi di-
banding kepandaiannya. 
Namun tidak demikian Arum Sari. Melihat si 
pemuda berjubah biru tak lagi menyerang, amarah 
gadis murid Nenek Rambut Putih itu kian tersulut. 
Seakan-akan kekesalan dan kekecewaannya terha-
dap Siluman Ular Putih kini sengaja ditumpahkan 
pada si pemuda berjubah biru yang telah lancang 
menuduh dirinya perampok. 
Maka begitu melihat si pemuda berjubah biru 
tengah mengagumi sepak terjang Siluman Ular Pu-
tih, tanpa banyak buang-buang waktu Arum Sari 
kembali menyerang hebat.  
"Hea! Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, Arum Sari berke-
lebat cepat. Tidak tanggung-tanggung segera dikelu-
arkannya jurus andalannya ‘Tongkat Penggebuk Ib-
lis’. Maka dalam sekejap saja pedang di tangannya 
telah bergulung-gulung cepat mengurung pertaha-
nan si pemuda berjubah biru. 
Melihat datangnya serangan, si pemuda ber-
jubah biru tentu saja tak ingin tubuhnya jadi sasa-
ran empuk. Ia pun tak segan-segan lagi untuk sege-
ra mengeluarkan jurus-jurus andalan. Karena bila 
tidak secepatnya dapat merobohkan Arum Sari, be-
rarti bahaya besar mengancamnya. 
"Tahan senjata!" teriak Siluman Ular Putih ti-
ba-tiba. 
Sekali menjejak kakinya ke tanah, tahu-tahu 
tubuh Siluman Ular Putih telah berdiri di antara 
Arum Saritian si pemuda berjubah biru. Beberapa 
orang penduduk kampung  yang tubuhnya masih 
kaku tak dapat digerakkan hanya dapat memandan-
gi penuh ketakutan. 
"Minggir, Soma! Aku harus menghajar pemu-
da lancang ini!" teriak Arum Sari, tak dapat men-
gendalikan amarah. 
Namun buru-buru Siluman Ular Putih meraih 
pergelangan tangan Arum Sari. Sehingga, gadis itu 
hanya dapat memandang jengkel. Sedang si pemuda 
berjubah him sendiri tampak mulai segan dengan 
pemuda lihai di hadapannya. 
Melihat kilatan mata Arum Sari yang tak me-
nyukai tindakannya, Siluman Ular Putih hanya ter-
senyum. Sama sekali tak dihiraukannya Arum Sari 
yang tengah uring-uringan tidak karuan. 
"Sobatku, pemuda berjubah biru! Aku yakin 
tentu kau adalah golongan baik-baik. Sebagai seo-
rang pendekar gagah, tentunya kau tahu kenapa 
aku tak menurunkan tangan maut pada penduduk 
kampung itu, bukan?" kata Siluman Ular Putih. Se-
sekali telunjuk tangannya menuding ke arah pendu-
kung kampung yang tubuhnya masih tegak kaku 
tak dapat bergerak-gerak sama sekali. 
Mendengar apa yang diucapkan Siluman Ular 
Putih, kini sadarlah si pemuda berjubah biru. Tadi 
ia memang dapat melihat dengan jelas betapa gera-
kan Siluman Ular Putih demikian hebatnya. Ia sen-
diri belum tentu sanggup menghadapinya. 
Terus terang aku memang mulai sadar, Pen-
dekar Muda. Perkenalkan, aku yang bodoh ini ber-
nama Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis." 
"Ah...! Jangan menyebutku Pendekar Muda. 
Dan kau tak perlu merendah begitu. Tak enak ra-
sanya. Oh ya, Namaku, Soma. Dan temanku yang 
cantik ini adalah Arum Sari!" tukas Siluman Ular 
Putih, 
Si pemuda yang ternyata bernama Teguh 
Sayekti alias Pembunuh Iblis tersenyum. Ia senang 
sekali melihat sikap Siluman Ular Putih yang amat 
bersahabat. 
"Kalian baik sekali! Aku yakin penduduk 
kampung ini pasti telah salah paham. Kalian pasti 
bukan golongan perampok yang mereka tuduhkan. 
Melainkan sebaliknya. Kalau tidak, sudah pasti pen-
duduk kampung itu dapat kalian lumpuhkan. Terus 
terang, aku amat mengagumi sepak terjangmu, Ka-
wan!" puji Teguh Sayekti dengan nada penuh persa-
habatan. 
"Terima kasih. Kau terlalu memujiku, Kawan. 
Tak enak aku mendengar pujianmu. Nanti malah bi-
sa jadi besar kepalaku. He he he...," Siluman Ular 
Putih terkekeh sebentar. "Tapi ngomong-ngomong, 
siapa sih sebenarnya Setan Haus Darah itu?" 
"Aku sendiri tidak begitu mengenalnya. Aku 
hanya mendengar sepak terjang pimpinan perampok 
itu dari penduduk kampung yang tadi siang dijarah 
Pasukan Laskar Hijau pimpinan Setan Haus Darah." 
Siluman Ular Putih mengangguk-angguk. "La-
lu di mana markas Setan Haus Darah dan anak 
buahnya?" 
"Itu sendiri aku belum tahu. Aku memang in-
gin mencarinya. Tapi  sewaktu penduduk kampung 
melihat kedatangan kalian di desa ini, mereka kon-
tan marah dan menuduh kalian perampok. Untuk 
itu pula, aku harus minta maaf pada kalian. Bagai-
manapun juga aku telah picik menuduh orang sem-
barangan," ucap Teguh Sayekti, sedikit membung-
kukkan badan. 
"Sudahlah! Jangan terlalu banyak berbasa-
basi! Asal kau dan penduduk kampung tak lagi me-
nuduh kami perampok, aku sudah cukup berterima 
kasih," tukas Siluman Ular Putih. Diam-diam Soma 
mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengirimkan 
totokan jarak jauh ke arah beberapa orang pendu-
duk kampung yang tubuhnya masih kaku tak dapat 
digerakkan. 
"Mendengar sepak terjang Setan Haus Darah 
dan pasukannya aku pun jadi tak tahan lagi untuk 
menyelidikinya. Percayalah, aku akan menggempur 
habis mereka bila bertemu nanti. Selamat tinggal, 
Kawan!" 
Habis berkata demikian, tanpa banyak cakap 
Siluman Ular Putih segera menyambar lengan Arum 
Sari. Mereka langsung berkelebat cepat meninggal-
kan tempat itu. Teguh Sayekti yang baru saja mene-
gakkan tubuhnya kembali sejenak menggeleng-
gelengkan kepala penuh kagum. Hanya dalam bebe-
rapa kelebatan saja, sosok Siluman Ular Putih dan 
Arum Sari telah di kejauhan sana. Lebih heran lagi, 
manakala melihat penduduk kampung yang tubuh-
nya tadi kaku tak dapat digerakkan, kini sudah da-
pat bergerak leluasa seperti biasa. Hal ini benar-
benar membuat Teguh Sayekti makin terheran-
heran. 
"Hm,..! Tak kusangka hari ini aku akan ber-
temu pendekar muda yang berkepandaian tinggi...." 
Sebenarnya, hati Teguh Sayekti gelisah sekali. 
Ia merasa tak puas karena teramat singkat bertemu 
dan berkenalan dengan Siluman Ular Putih dan 
Arum Sari. Apalagi, perkenalannya yang singkat tadi 
ternodai akibat kesalahpahamannya. Maka setelah 
memberi nasihat pada penduduk Kampung Karang-
kates dan berjanji akan menumpas Pasukan Laskar 
Hijau, Teguh Sayekti segera kembali melanjutkan 
perjalanan. 
Namun apa yang menjadi keinginan Teguh 
Sayekti tak terlalu mudah untuk diwujudkan. Sudah 
berhari-hari pemuda berjubah biru itu keluar masuk 
hutan, namun belum juga menemukan Siluman 
Ular Putih dan Arum Sari serta markas Pasukan 
Laskar Hijau. 
"Heran? Kenapa sejak aku bertemu Arum Sari 
jadi sulit sekali melupakannya. Ada apa ini? Kenapa 
keinginan bertemu dengannya demikian menggebu?" 
gumam Teguh Sayekti, galau. 
Kini Teguh Sayekti menghentikan langkahnya 
di bawah rindangnya sebuah pohon. Rasa penat se-
telah hampir seharian berlari ditambah semilirnya 
angin siang, membuat matanya terkantuk-kantuk. 
Teguh Sayekti membiarkan perasaannya ter-
buai semilirnya angin siang itu. Perlahan-lahan pan-
tatnya pun direbahkan di atas rerumputan. Dengan 
bertelekan sebelah lengan, dicobanya untuk menen-
teramkan hatinya. 
Herannya, wajah cantik Arum Sari makin le-
kat saja dalam hatinya. Semakin berusaha menge-
nyahkan bayangan itu semakin resah saja hatinya 
memikirkan Arum Sari. Meski ia tampak diam te-
nang di atas rerumputan, namun sebenarnya piki-
rannya tengah sibuk memikirkan bagaimana ca-
ranya menemukan Arum Sari. 
"Edan! Kenapa aku jadi dicekam perasaan 
aneh seperti ini? Mungkinkah ini yang dinamakan 
cinta?" 
Teguh Sayekti tercenung sesaat. Apakah ia 
terlalu cepat menerima perasaan seperti itu? Berka-
li-kali Teguh Sayekti berusaha menepiskan perasaan 
itu dalam hatinya, namun tetap saja tak sanggup. 
Malah hatinya makin dicekam kerinduan. 
Semilir angin siang bukannya membuat hati 
pemuda itu sejuk, tapi malah sebaliknya. Blingsatan 
tidak karuan. Teguh Sayekti tak tahan lagi didera 
perasaan semacam itu.  
"Hup!" 
Sekali menggerakkan tubuhnya, Teguh 
Sayekti pun telah berdiri tegak kembali seperti se-
mula. Untuk sesaat  diperhatikannya keadaan seki-
tar seksama. Mulutnya menggumam tak menentu. 
Entah, apa yang digumamkan. Yang jelas, ketika 
pemuda itu menjejakkan kakinya sebentar ke tanah, 
tahu-tahu tubuhnya yang tinggi kekar telah berkele-
bat cepat meninggalkan tempat ini. Hanya dalam 
beberapa kelebatan saja, sosoknya yang terbungkus 
jubah besar berwarna biru telah menghilang di balik 
kerimbunan hutan depan sana. 
* * *