Siluman Ular Putih 22 - Hantu Tangan Api(1)


Derap puluhan kaki kuda yang ditingkahi 
teriakan-teriakan keras terdengar riuh memecah 
kesunyian sore di sebuah kawasan hutan kecil. 
Debu-debu membubung tinggi di sepanjang jalan 
yang dilalui tak kurang dari dua puluh lelaki ka-
sar yang memacu kudanya kuat-kuat. Binatang-
binatang perkasa itu meringkik hebat. Sementara 
kaki-kakinya yang kokoh terus menghentak-
hentak permukaan tanah. Padahal, dari mulutnya 
telah menyemburkan cairan putih berbusa. 
Tanpa mempedulikan keadaan kuda-
kudanya, mereka terus memacu kuat-kuat. Se-
hingga yang terlihat hanya bayangan hijau dari 
pakaian mereka yang serba hijau serta ikat kepala 
warna hijau. 
Berada paling depan adalah seorang lelaki 
bertubuh tinggi besar berusia empat puluh tahun. 
Wajahnya bengis dengan sepasang mata menco-
rong berwarna merah menyala. Rambutnya yang 
gondrong sengaja dibiarkan tergerai di bahu. Pa-
kaiannya juga serba hijau terbuat dari sutera in-
dah serta ikat kepala juga berwarna hijau. Siapa 
lagi lelaki ini kalau bukan Setan Haus Darah, 
Pimpinan Laskar Hijau yang baru-baru ini mere-
sahkan tanah Jawa bagian tengah. Sebelah len-
gannya tampaknya mendekap tubuh seorang ga-
dis cantik yang direbahkan di atas pangkuannya. 
Gadis itu masih berusia muda, berusia ki-
ra-kira tujuh belas tahun. Wajahnya cantik ber-
bentuk bulat telur. Kulit tubuhnya yang putih 
bersih terbungkus pakaian indah yang juga ber-
warna hijau. Rambutnya yang hitam pekat dige-
lung ke atas, dihiasi untaian bunga melati. Se-
dang sepasang matanya yang dihiasi bulu-bulu 
lentik terus terpejam. Malah dari sudut-sudut bi-
birnya tampak mengalir darah segar pertanda 
tengah mengalami luka dalam. 
Seperti yang dilakukan pimpinan mereka, 
beberapa anggota Laskar Hijau ini juga terus 
menggebah kudanya sambil memeluk tubuh seo-
rang gadis dengan menggunakan sebelah lengan-
nya.  Gadis-gadis itu adalah penduduk Kampung 
Sumber Dalem yang berhasil diculik. Di samping 
gadis-gadis cantik, beberapa orang anggota Pasu-
kan Laskar Hijau lainnya pun juga membawa 
bungkusan-bungkusan besar hasil jarahan.  (Un-
tuk  lebih jelasnya silakan baca episode: "Setan 
Haus Darah"). 
Tiba di sebuah jalan setapak, Setan Haus 
Darah memperlambat lari kudanya. Tindakannya 
segera diikuti anak buahnya. Meski demikian, Se-
tan Haus Darah dan anak buahnya tetap waspa-
da, karena bisa jadi tiba-tiba musuh datang me-
nyerang. 
"Ketua! Kita tak mungkin membiarkan ke-
jadian ini begitu saja! Kita harus menuntut balas. 
Siluman Ular Putih harus secepatnya dienyahkan 
dari muka bumi ini!" kata salah seorang anggota 
Pasukan Laskar Hijau penuh kegeraman, setelah 
menjajari langkah kuda Setan Haus Darah. Se-
perti pemimpinnya, ia juga memangku seorang 
gadis yang tampak ketakutan. Wajahnya yang 
cantik berbentuk lonjong pucat pasi. Matanya je-
lalatan ke sana kemari memperhatikan laki-laki 
berperangai kasar yang terus mendekapnya erat-
erat. Namun dalam keadaan tertotok begitu tak 
mungkin si gadis bisa memberontak. 
"Bagaimana, Ketua? Apa usulku tadi dapat 
diterima?" ulang lelaki bertampang bengis di 
samping Setan Haus Darah. 
"Hhh...!" Setan Haus Darah mendesah, tak 
langsung menjawab. Rahangnya tampak men-
gembung dengan kedua pelipis bergerak-gerak. 
"Tentu saja aku tak dapat melupakan penghinaan 
ini, Surono! Siluman Ular Putih harus mampus di 
tanganku. Tapi, aku juga sadar. Pemuda keparat 
itu bukanlah pendekar sembarangan. Meski 
usianya masih muda, tapi ilmunya tinggi sekali. 
Buktinya aku sendiri tak mampu menghentikan 
sepak terjangnya." 
"Mungkin kita harus meminta bantuan Ki 
Banaspati, Ketua," usul salah seorang anggota 
Pasukan Laskar Hijau dari belakang, setelah 
mendengar percakapan itu. 
"Hm....! Bagus. Aku memang sedang memi-
kirkannya. Tapi mungkinkah Guru Besar kita 
yang sudah lama mengasingkan diri dari dunia 
persilatan itu mau membantuku...?" ucap Setan 
Haus Darah seperti ditujukan pada dirinya sendi-
ri. Sepasang matanya yang bengis tampak mere-
dup. "Yah...! Kukira aku harus dapat membujuk 
Guru agar sudi membantuku...." 
"Bagaimana, Ketua?" desak lelaki di samp-
ing Setan Haus Darah yang dipanggil Surono. 
"Yah...! Nanti akan kuusahakan," jawab Se-
tan Haus Darah seraya mendesah. "Yang penting 
sekarang kita harus sampai di tempat persembu-
nyian secepatnya. Ayo, kita tinggalkan tempat ini 
secepatnya!" 
Begitu habis kata-katanya, Setan Haus Da-
rah segera menggebah tali kekang kuda tunggan-
gannya. 
Kuda putih tunggangan Pemimpin Laskar 
Hijau seketika meringkik keras, lalu melaju cepat. 
Anak buahnya pun melakukan hal yang sama. 
Kuda mereka digebah cepat, meninggalkan debu-
debu yang beterbangan di belakang ditingkahi te-
riakan-teriakan nyaring. 
Belum begitu jauh gerombolan Pasukan 
Laskar Hijau itu bergerak, mendadak.... 
"Hieeekh...!" 
Setan Haus Darah terkejut bukan kepalang 
ketika tiba-tiba kuda tunggangannya meringkik 
hebat dengan kedua kaki depan terangkat tinggi-
tinggi ke udara. Kalau saja lelaki kasar Pemimpin 
Laskar Hijau itu tak cepat bertindak, dengan me-
meluk leher kuda kuat-kuat bukan mustahil tu-
buhnya akan terlempar berikut gadis cantik da-
lam pangkuannya dan gadis cantik dalam pon-
dongannya tidak terlempar dari punggung kuda. 
Karena kuda putih tunggangan Setan Haus 
Darah berhenti mendadak, mau tak mau bebera-
pa orang anak buahnya harus menarik tali ke-
kang membuat kuda-kuda mereka berubah jadi 
liar. Akibatnya, beberapa orang anak buah Setan 
Haus Darah berpelantingan beserta gadis-gadis 
dalam pondongan. 
"Bajingan! Siapa yang berani menghalangi 
jalanku, hah?!" bentak Setan Haus Darah begitu 
bisa menguasai keadaan dan melihat keadaan 
anak buahnya. Pandangan matanya langsung be-
redar ke segenap penjuru. 
Tak ada sahutan. Apalagi menemukan ba-
tang hidung orang yang telah mengganggu perja-
lanan mereka. Namun samar-samar telinga Setan 
Haus Darah yang tajam mendengar suara tawa 
seseorang yang entah dari mana datangnya. Nada 
tawa itu terdengar amat melecehkan! 
Tentu saja hal ini membuat Setan Haus 
Darah dan anak buahnya jadi menggeram murka. 
Kepala mereka celingukkan ke sana kemari men-
cari-cari di sekitar pohon-pohon yang tumbuh di 
situ. Namun tetap saja tak menemukan apa-apa, 
kecuali semilirnya angin sore itu. Dan yang makin 
membuat hati Setan Haus Darah makin gusar 
bercampur amarah, ternyata suara tawa itu ter-
dengar makin memekakkan gendang telinga. 
Dengan perasaan kesal bukan main, Setan 
Haus Darah melompat turun dari kudanya sete-
lah meletakkan gadis dalam pelukannya di atas 
punggung kuda. Dia yakin, suara sumbang itulah 
yang telah menghadang jalannya. Entah menggu-
nakan ilmu apa, hingga menyebabkan kudanya 
berhenti mendadak dengan sikap liar penuh keta-
kutan. Menilik hal ini, jelas orang yang mengha-
dang memiliki kepandaian tinggi. 
"Bajingan! Pengecut! Ayo, tampakkan ba-
tang hidungmu kalau ingin merasakan bogem 
mentah Setan Haus Darah!" teriak Setan Haus 
Darah. Suaranya membahana memenuhi hutan 
itu. 
"He he he...! Aku di sini, Biang Rampok! 
Mengapa marah-marah?" 
Begitu Setan Haus Darah dan anak buah-
nya berbalik, di ranting pohon yang menjuntai ke 
jalan setapak telah duduk dengan enaknya seo-
rang lelaki tua berjubah hitam sampai lutut. Se-
buah topi hitam panjang bertengger di kepala. 
Begitu asyik ia ongkang-ongkang kaki, padahal 
ranting pohon itu kecil sekali. Tak lebih dari ibu 
jari manusia dewasa. Namun anehnya tidak me-
lengkung sedikit pun menahan berat badannya! 
Bisa dipastikan, lelaki tua ini memiliki ilmu me-
ringankan tubuh yang sudah sangat tinggi. 
Perawakan tubuh si tua bau tanah itu 
memang kurus kering. Kelihatannya tubuhnya 
tak bertenaga dimakan usia. Wajahnya putih ber-
sih. Sepasang matanya kelabu dengan alis mata 
berwarna putih. Sedang jubah hitamnya yang ke-
dodoran tampak berkibar-kibar tertiup semilirnya 
angin sore. 
"Bajingan! Tua bangka jelek! Siapa kau se-
benarnya?! Mengapa mengganggu perjalanan ka-
mi, hah?!" bentak Setan Haus Darah garang. Na-
mun sebenarnya hatinya kagum juga melihat ke-
pandaian si kakek renta. 
"He he he...! Kukatakan pada kalian pun, 
tak ada gunanya. Percuma! Sebab aku malas ber-
kenalan dengan perampok-perampok macam ka-
lian," leceh si kakek renta yang berpenampilan 
mirip seorang terpelajar pada masa itu. Kekehan-
nya membuat wajah Setan Haus Darah merah. 
Geraham Pemimpin Laskar Hijau ini ber-
gemelutuk menahan marah. Sepasang matanya 
yang tajam berusaha mengukur kepandaian si 
kakek renta yang masih ongkang-ongkang kaki di 
tempatnya. 
"Ketua! Siapa pun adanya tua bangka itu, 
sebaiknya beri pelajaran saja biar tahu rasa!" sela 
Surono, murka bukan main. 
Pimpinan Pasukan Laskar Hijau itu tak 
menyabut. Keningnya kian berkerut-kerut beru-
saha menerka siapa sebenarnya tua bangka satu 
ini. Melihat ciri-cirinya, Setan Haus Darah mulai 
bisa menerka. Kepalanya manggut-manggut begi-
tu di benaknya tersirat sebuah nama.... 
"Pendidik Ulung! Di antara kita tak pernah 
silang sengketa. Tapi, kenapa hari ini kau meng-
hadang perjalanan kami?!" bentak Setan Haus 
Darah begitu mengenali siapa kakek di hadapan-
nya yang ternyata Pendidik Ulung. 
Beberapa orang anak buah Setan Haus Da-
rah yang mendengar siapa tua bangka itu tiba-
tiba jadi ciut nyalinya. Kendati belum pernah me-
lihat secara langsung, namun nama Pendidik 
Ulung di dunia persilatan sudah begitu mengge-
tarkan. Sepak terjangnya tak pernah kenal am-
pun pada tokoh-tokoh sesat. Maka tak heran ka-
lau kakek renta itu sangat ditakuti kaum golon-
gan sesat. 
"Syukur kalau kau masih ingat, Biang 
Rampok. Tapi, patut dicatat. Meski kalian menge-
naliku, tetap saja aku akan membuat perhitungan 
dengan bajingan-bajingan kecil macam kalian. 
Baik ada silang sengketa secara langsung atau ti-
dak. Kalian paham? Untuk itulah aku mengha-
dang kalian!" sahut Pendidik Ulung, lugas. 
"Setan alas! Kenapa jantungku jadi dag-
dig-dug begini? Padahal di belakang masih ada 
anak buahku. Hm...! Aku tak boleh gegabah. 
Meski ia seorang diri, aku harus tetap hati-
hati...," rutuk Setan Haus Darah dalam hati. 
"Ketua! Bagaimana ini? Apakah kita harus 
cepat bertindak?" bisik Surono. 
"Hm...! Lihat saja perkembangannya nanti! 
Aku memang malas berbentrokkan dengan tua 
bangka satu ini. Tapi, kalau terpaksa, apa boleh 
buat," kilah Setan Haus Darah, berbisik. 
"Hey...! Kenapa kalian malah kasak kusuk? 
Pasti kalian sedang menjelekkan aku. Ya?! Seka-
rang kuminta, cepat lepaskan gadis-gadis itu! Ju-
ga, harta benda yang kalian sikat!" perintah Pen-
didik Ulung berani. 
Seketika, tokoh sakti dari Lembah Kalie-
rang ini segera melompat tinggi ke udara. Tubuh-
nya yang kurus kering membuat putaran bebera-
pa kali di udara, lalu mantap sekali sepasang ka-
kinya yang kurus menjejak tanah tanpa bersuara 
sedikit pun! 
Melihat gelagat yang tidak baik, beberapa 
orang anak buah Setan Haus Darah segera men-
gurung Pendidik Ulung walau belum ada perin-
tah. Golok-golok besar di tangan mereka langsung 
tercabut, menimbulkan kilauan akibat tertimpa 
sinar matahari yang memerah tembaga di ufuk 
barat. 
Srattt! Srattt! 
Pendidik Ulung terkekeh senang. Satu per-
satu dipandanginya anggota-anggota Pasukan 
Laskar Hijau. 
"Cecurut-cecurut macam kalian masih juga 
berlagak! Kalau boleh kunasihati, baiknya me-
nyingkirlah! Aku tak ingin berurusan dengan ka-
lian. Tapi dengan Biang Rampok itulah!" tuding 
Pendidik Ulung ke arah Setan Haus Darah. 
Setan Haus Darah mendengus gusar. Dari 
tadi amarahnya yang menggelegak memang beru-
saha ditahan, walaupun rasa gentar juga mengu-
sik hatinya. Namun manakala mendengar ejekan 
Pendidik Ulung, rasa takut itu pun sirna, berganti 
kenekatan. 
"Bajingan! Meski nama besarmu cukup di-
perhitungkan di dunia persilatan, jangan dikira 
aku takut menghadapimu, Tua Bangka Keparat!" 
dengus Setan Haus Darah dengan gigi-gigi gera-
ham bergemeletukkan. 
"Terserah kau mau ngomong apa, Biang 
Rampok! Pokoknya apa yang kuperintahkan ha-
rus dituruti. Lepaskan gadis-gadis itu berikut 
harta benda yang kalian sikat!" tandas Pendidik 
Ulung. 
"Jangan gegabah, Pendidik Ulung! Pantang 
menyerah bagi Setan Haus Darah sebelum kita 
saling bertukar jurus." 
"Jadi? Kau menantangku, ya?" tukas Pen-
didik Ulung. "Bagus-bagus! Tanganku memang 
sudah gatal lama tak menghajar orang. Terutama 
sekali sejak kedua muridku yang murtad 
mengkhianatiku. Sekarang, saatnyalah aku 
menghajar manusia-manusia macam kalian! Se-
bab aku yakin, kelakuan kalian pun tak jauh ber-
beda dengan kedua orang muridku!" (Untuk men-
getahui siapa kedua orang murid Pendidik Ulung, 
silakan baca episode: "Persekutuan Maut"). 
"Lagakmu pongah sekali, Pendidik Ulung?! 
Apa kepandaianmu juga setara dengan lagakmu, 
mulut besarmu, hah?!" 
"Sudahlah.... Jangan bertele-tele. Seka-
rang, cepat lepaskan gadis-gadis itu! Kalau tidak, 
kalian akan kuhajar sampai terkencing-kencing!" 
"Siapa peduli ancamanmu, Tua Bangka 
Keparat! Majulah kalau ingin nyawa busukmu 
melayang!" damprat Surono. Tangan kanan Setan 
Haus Darah yang berwatak berangasan. 
"He he he...! Aku tidak mengancam. Aku 
hanya ingin memberi sedikit pelajaran. Nah, seka-
ranglah saatnya aku memberi pelajaran!" 
Sebelum kata-katanya habis, Pendidik 
Ulung segera meluruk cepat. Jari-jari tangannya 
yang telah berubah jadi putih berkilauan berputa-
ran cepat, siap melontarkan totokan 'Jari Putih 
Dewa Langit'. 
Wutt! Wuuuttt! 
Bunyi gesekan udara karena jari-jari tan-
gan Pendidik Ulung bergerak-gerak begitu cepat 
membuat beberapa orang anggota Pasukan 
Laskar Hijau yang menjadi sasaran terlihat kocar-
kacir. 
Werrr! Werrr! 
Pendidik Ulung terus berkelebat, mengin-
car anak buah Setan Haus Darah yang terdekat. 
Gerakan hingga tubuhnya yang terbungkus baju 
jubah hitam makin di-percepat. Sementara jari-
jari tangannya pun tak luput mengancam tubuh 
para pengeroyoknya. 
Tukkk! Tukkk! 
"Aaahh...!" 
Dua kali jari tangan kanan Pendidik Ulung 
bergerak cepat, seketika terdengar keluhan terta-
han dua orang anak buah Setan Haus Darah 
dengan tubuh kaku tak dapat digerakkan. 
Serangan Pendidik Ulung tak berhenti 
sampai di situ saja. Begitu jubahnya berkelebat 
ke tempat lain, jari-jari  tangannya pun kembali 
meminta korban. Maka saat itu pula terdengar 
pekik kesakitan dari para anak buah Setan Haus 
Darah yang saling susul. Tubuh mereka kontan 
kaku tak dapat bergerak lagi. 
Melihat sepak terjang Pendidik Ulung yang 
tak dapat terbendung oleh  para anak buahnya, 
Setan Haus Darah menggeram penuh kemarahan. 
"Setan alas! Jangan dikira aku takut men-
dengar nama besarmu, Tua Bangka Keparat! 
Meski kesaktianmu setinggi langit, aku akan me-
nantangmu bertarung habis-habisan!" teriak Se-
tan Haus Darah. 
"Heaaa...!" 
Diiringi teriakan merobek angkasa Setan 
Haus Darah meluruk deras, menyerang Pendidik 
Ulung. 
"Bagus! Akhirnya kau mau turun tangan 
juga, Biang Rampok!" ejek Pendidik Ulung, kalem. 
"Bajingan! Makanlah bogem mentahku, 
Tua Bangka Keparat!" geram Setan Haus Darah. 
Kedua telapak tangan Pemimpin Laskar Hi-
jau yang terkepal erat segera melontarkan puku-
lan maut secara bertubi-tubi. Begitu kuatnya, 
sampai-sampai menimbul-kan berhawa panas. 
Pendidik Ulung sejenak terkekeh senang. 
Lalu segera dimainkannya jurus andalannya 
'Tangan Maut Dewa Kayangan', sehingga kedua 
telapak tangannya kontan berwarna putih berki-
lauan sampai pangkal. Sejenak Pendidik Ulung 
merentang-rentangkan kedua tangannya bak 
sayap burung garuda. Lutut kanannya ditekuk ke 
atas dalam-dalam.  
"Hup...!" 
Begitu melemparkan kaki kanannya ke be-
lakang, mendadak Pendidik Ulung menerjang ke 
depan menyambut serangan Setan Haus Darah. 
Kedua tangannya yang tadi direntangkan kini 
menyambar cepat laksana sepasang tangan dewa. 
Wesss! Wesss! 
Bukan main hebatnya terjangan kakek ren-
ta dari Lembah Kalierang ini. Gerakan tangan dan 
kakinya yang cepat luar biasa mampu menimbul-
kan angin dingin berkesiutan yang menyambar-
nyambar. Ranting-ranting pohon kontan bergugu-
ran dengan warna berubah jadi hitam legam ter-
kena sambaran angin pukulannya. 
Setan Haus Darah sempat terkesiap meli-
hat kelebatan lawan. Namun sedikit pun juga ha-
tinya tak gentar. Malah tenaga dalamnya makin 
ditambah ke dalam kedua telapak tangannya.... 
Plak! Plak! 
"Aaah...!" 
Setan Haus Darah memekik tertahan. Tu-
buhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. 
Kedua tangannya yang berbentrokan dengan tan-
gan Pendidik Ulung terasa nyeri bukan main. Itu 
pertanda tenaga dalamnya masih setingkat di ba-
wah Pendidik Ulung. 
Di hadapannya, Pendidik Ulung terkekeh 
senang. Tubuhnya yang kurus kering tampak 
bergoyang-goyang dengan kaki melesak ke dalam 
tanah! 
"Bagus! Tak sia-sia rupanya kau bergelar 
Setan Haus Darah. Ternyata kecongkakanmu ada 
sedikit buktinya juga. Tapi, sayang. Gelarmu 
sungguh tak cocok dengan sikap maupun peran-
gaimu. Hm...! Setan Haus Darah! Sungguh satu 
gelar indah yang sarat akan kecongkakan...," gu-
mam Pendidik Ulung lalu menggeleng-gelengkan 
kepala. Entah apa maksud gelengannya. 
"Jahanam! Aku belum kalah, Tua Bangka 
Keparat! Lihat serangan!" dengus Setan Haus Da-
rah seraya membuat beberapa gerakan dengan 
kedua tangannya. 
Selang beberapa saat kedua telapak tangan 
Setan Haus Darah kontan berubah jadi merah 
menyala hingga sampai pangkal siku. Sambil 
menjengekkan hidungnya sebentar, kedua telapak 
tangan ditarik ke belakang, lalu tiba-tiba disen-
takkan ke depan dengan tenaga dalam penuh. 
"Hea!" 
Bersama teriakan nyaringnya, dari kedua 
telapak tangan Setan Haus Darah meluncur dua 
gulungan bola api ke depan. Tak lama kemudian, 
mendadak dua gulungan bola api itu mengem-
bang, memancarkan hawa panas bukan kepalang! 
Werrr! Werrr! 
Melihat datangnya serangan dahsyat begi-
tu, kini giliran Pendidik Ulung yang terperanjat 
kaget. Seolah tak percaya, sejenak diperhatikan-
nya gulungan bola api yang hanya tinggal satu 
tombak dari tubuhnya. Tapi kemudian tiba-tiba 
kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan.  
"Heaaa...!" 
Dikawal teriakan nyaring, saat itu pula me-
luruk dua larik sinar putih berkilauan dari kedua 
telapak tangan Pendidik Ulung yang diiringi ber-
kesiurnya hawa dingin bukan kepalang! Dan keti-
ka kedua sinar putih bertubrukan dengan kedua 
bola api itu.... 
Besss! 
Tak ada satu ledakan hebat yang terjadi. 
Untuk sesaat dua gulungan sinar putih dan gu-
lungan bola api itu saling gulung bergulung, seo-
lah ingin saling meluluh-lantakan. 
Di tempat masing-masing, tubuh Pendidik 
Ulung dan Setan Haus Darah sama-sama bergetar 
hebat. Namun keduanya tak ada yang ingin men-
galah. Mereka sama-sama ngotot mempertahan-
kan kedudukan masing-masing. Bila salah satu 
ada yang lengah, berarti kematianlah yang akan 
merenggut. 
Di saat Pendidik Ulung dan Setan Haus 
Darah makin meningkatkan tenaga dalam mas-
ing-masing, mendadak Surono dan puluhan ang-
gota Pasukan Laskar Hijau lainnya telah mener-
jang dengan golok di tangan. Tentu saja sasaran-
nya adalah Pendidik Ulung. 
"Modar kau, Tua Bangka Keparat!" bentak 
Surono garang. 
Pendidik Ulung terkesiap kaget. Puluhan 
mata golok yang berkilauan di tangan anggota Pa-
sukan Laskar Hijau tampak berseliweran menge-
rikan siap menghancurkan  tubuhnya. Sedang 
saat itu, tak mungkin bagi Pendidik Ulung untuk 
membagi serangan. Tak ada pilihan lain, terpaksa 
tenaga dalamnya kian dilipatgandakan. 
"Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, mendadak Pen-
didik Ulung menyentakkan kedua telapak tan-
gannya kuat-kuat ke depan. Seketika terdengar 
suara menggemuruh memenuhi tempat pertarun-
gan.  Bumi saat itu pula berguncang keras. Se-
mentara kaki-kaki kedua tokoh itu saling bergeta-
ran. 
"Aaakh...!" 
Setan Haus Darah mendadak memekik he-
bat. Seketika tubuhnya terlempar jauh ke bela-
kang, berputar-putar sebentar dan terbanting ke-
ras. 
Bukkk! 
Setan Haus Darah menggeram murka. 
Punggungnya yang membentur tanah terasa mau 
remuk. Di samping itu tampak kedua telapak 
tangannya melepuh akibat pukulannya yang 
membalik. Buru-buru diambilnya sebutir obat 
berwarna kuning dari kantong kecil yang mengge-
lantung di pinggang ditelannya. 
Sementara akibat sentakan kuat Pendidik 
Ulung, udara di sekitarnya berubah jadi dingin. 
Bahkan akibat beradunya dua kekuatan sakti itu 
menciptakan angin keras, membuat ranting-
ranting pohon berderak. Daun-daun berguguran 
berubah jadi hitam legam. Sedang beberapa orang 
anak buah Setan Haus Darah yang saat itu ten-
gah melancarkan serangan maut ke tubuh Pendi-
dik Ulung kejap itu pula memekik menyayat. Ka-
rena tubuh mereka langsung tersambar pengaruh 
dua kekuatan dahsyat tadi. 
Bukkk! Bukkk! 
Puluhan anggota Pasukan Laskar Hijau 
tampak berpelantingan ke sana kemari dan ter-
banting keras dengan paras pucat pasi! 
Tak jauh dari hadapan mereka, tampak tu-
buh Pendidik Ulung sendiri tengah terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Parasnya 
pucat pasi. Darah segar pun mengalir di sudut 
bibir! Buru-buru Pendidik Ulung menyeka dengan 
punggung tangan. 
"Manusia-manusia curang! Licik! Rasakan-
lah akibatnya!" dengus Pendidik Ulung sarat ke-
marahan. 
Beberapa orang anggota Pasukan Laskar 
Hijau yang terkena kesiuran angin akibat bentro-
kan tenaga dalam tadi tampak tertatih-tatih beru-
saha melompat bangun. Sekujur tubuh mereka 
menggigil hebat. Kalau mereka ingin selamat ha-
rus segera mengerahkan tenaga dalam untuk be-
berapa saat agar hawa dingin yang menyerang 
sirna. Dan kenyataannya mereka memilih menye-
lamatkan selembar nyawa. Begitu duduk, mereka 
segera bersemadi. 
Melihat apa yang telah menimpa anak 
buahnya, Setan Haus Darah jadi mata gelap. Har-
ga dirinya merasa terinjak-injak melihat puluhan 
anak buahnya celaka di tangan Pendidik Ulung. 
Dengan menggeram penuh kemarahan, buru-
buru Pemimpin Laskar Hijau itu melompat ban-
gun. 
"Keparat! Kau celakakan semua anak bua-
hku! Demi Iblis, aku tak terima! Akan kuenyah-
kan kau saat ini juga! Terimalah kematianmu hari 
ini!" geram Setan Haus Darah, seraya memutar-
mutar kedua telapak tangannya. 
Seketika, kedua telapak tangan tokoh sesat 
Pimpinan Pasukan Laskar Hijau berubah jadi me-
rah menyala hingga pangkal siku, pertanda telah 
mengerahkan tenaga dalamnya dengan kekuatan 
penuh. 
"Pukulan 'Gemuruh Badai Api'...!" desis 
Pendidik Ulung dengan mata terbelalak lebar. Se-
tan Haus Darah tersenyum dingin. 
"Syukur kalau kau sudah mengenali puku-
lan mautku. Berarti, kau tak akan menyesal di 
akhirat nanti!" 
"Hm...! Kau pasti ada hubungannya dengan 
tua bangka yang bergelar Manusia Api." 
"Dia guruku. Kau mulai gentar, bukan?"  
"Bagus! Kalau begitu, kau dan gurumu 
memang patut dilenyapkan dari muka bumi ini!" 
"Jangan gegabah, Tua Bangka Keparat! Ju-
stru nyawamulah yang kini berada dalam geng-
gaman tanganku! Sekarang, rasakanlah pembala-
sanku!" 
Tiba-tiba Setan Haus Darah menarik kedua 
telapak tangannya ke belakang. Lalu dikawal te-
riakan nyaring, kedua telapak tangan yang telah 
berubah jadi merah menyala itu segera disentak-
kan ke depan. 
Werrr.... 
Seketika, terdengar suara badai yang 
menggemuruh memenuhi tempat pertarungan. Di 
samping itu, dari kedua telapak tangan Setan 
Haus Darah pun telah melesat lidah api yang ber-
kobar-kobar siap melabrak tubuh Pendidik Ulung. 
Wesss! Wesss! 
Pendidik Ulung bukannya tidak tahu akan 
datangnya bahaya maut. Meski tampak sikapnya 
seperti angin-anginan, sebenarnya tokoh sakti da-
ri Lembah Kalierang ini tengah mengerahkan ju-
rus pamungkasnya 'Tulisan Maut Dewa Kayan-
gan'. 
Kini, Pendidik Ulung pun menggurat-
guratkan telunjuk jari tangannya ke udara. Seke-
tika, terdengar bunyi mencicit yang teramat me-
mekakkan telinga akibat guratan-guratan telun-
juknya. Di samping itu guratan kedua telunjuk 
jarinya pun agak aneh. Telunjuk jari kanan 
menggurat dari kanan ke kiri, sedangkan telunjuk 
jari kiri menggurat dari kiri ke kanan. Pada saat 
kedua telunjuk jari itu menyatu, saat itu pula 
memancarkan sinar putih berkilauan yang cepat 
melesat ke depan memapak kobaran api Setan 
Haus Darah. 
Classs! 
Laksana baja panas yang dicelupkan dalam 
air, sinar putih dari kedua telunjuk jari tangan 
Pendidik Ulung mampu mematahkan serangan 
Setan Haus Darah. Seketika, lidah api yang ber-
kobar-kobar ambyar, memporak-porandakan apa 
saja yang ada di tempat pertarungan! 
Bersamaan dengan itu.... 
"Aaa...!" 
Terdengar teriakan menyayat dari beberapa 
orang anak buah Setan Haus Darah yang tengah 
duduk bersemadi dan juga beberapa orang gadis 
hasil jarahan. Tubuh mereka terbakar hebat begi-
tu terkena sambaran lidah api dari kedua telapak 
tangan Setan Haus Darah. 
Bukan main murkanya hati Setan Haus 
Darah melihat beberapa orang anak buahnya te-
was dengan cara amat mengerikan. Sedang saat 
itu parasnya pucat pasi akibat bentrokan tenaga 
dalam tadi. Dadanya terasa sesak. Pimpinan 
Laskar Hijau ini berusaha bertahan, namun do-
rongan dari dalam dada membuatnya mengeluh. 
Hingga.... 
"Huahhh!" 
Darah merah kehitaman kontan meluncur 
dari mulut Setan Haus Darah. Buru-buru Pimpi-
nan Pasukan Laskar Hijau itu menotok beberapa 
jalan darah di tubuhnya. Ketika dadanya sedikit 
lega,  ia segera memberi aba-aba pada beberapa 
orang anak buahnya dengan siulan. 
"Tunggulah pembalasanku, Tua Bangka 
Keparat!" 
Setan Haus Darah terseok-seok meninggal-
kan tempat pertarungan menuju kuda tunggan-
gannya. Beberapa anak buahnya yang selamat 
segera mengikuti tindakannya, hendak mening-
galkan tempat pertarungan. 
Pendidik Ulung yang sudah tahu gelagat 
segera bertindak. Seperti pertama kali tadi mem-
permainkan Setan Haus Darah, kedua telapak 
tangannya yang terentang ke depan segera ditarik 
ke belakang. 
"Hieekh...!" 
Laksana ada satu kekuatan gaib yang dah-
syat luar biasa, mendadak kuda tunggangan Se-
tan Haus Darah meringkik keras sambil melon-
jak-lonjak. Setan Haus Darah yang hendak me-
lompat ke punggung kudanya terpaksa mengge-
ram penuh kemarahan. Namun, ia tidak banyak 
bertingkah kali ini. 
"Hup!" 
Begitu melihat kuda tunggangannya jadi 
liar, kakinya segera menjejak tanah, melompat ke 
punggung kuda di sebelahnya. 
"Hea! Hea!" 
Begitu mendarat di atas punggung kuda, 
Setan Haus Darah segera menggebahnya. Bebe-
rapa orang anak buahnya yang sudah berada di 
atas punggung kuda segera menyusul. 
Pendidik Ulung menggeleng-gelengkan ke-
pala. 
"Kalau saja gadis-gadis itu tak perlu dis-
elamatkan, sudah pasti akan kupatahkan batang 
leher manusia biang rampok itu. Hm...! Tapi, 
memang baiknya aku mengurus gadis-gadis itu. 
Siapa tahu mereka masih da-pat terlolong...," gu-
mam Pendidik Ulung. 
Meski telah mengambil keputusan seperti 
itu, ekor mata si tua ini terus mengikuti kepergian 
Setan Haus Darah dan anak buahnya. Saat so-
sok-sosok mereka mengecil tepat di lingkaran bola 
matahari yang menembaga di ufuk barat, Pendi-
dik Ulung mengalihkan perhatian pada gadis-
gadis itu. 
Pendidik Ulung sejenak masih terpaku di 
tempatnya. Dadanya terasa sesak akibat adu te-
naga dalam tadi. Segera diambilnya sebutir obat 
pulung berwarna putih dari saku jubah hitamnya. 
Sejenak diperhatikannya obat itu, lalu ditelan. 
"Kalau saja banyak bertebaran tokoh sesat 
berkepandaian tinggi seperti manusia edan itu, 
bukan mustahil dunia persilatan akan kapiran. 
Yahhh.... Untuk sementara aku dapat menghenti-
kan sepak terjangnya. Walau tidak sampai tuntas, 
namun sudah cukup memberi pelajaran pada me-
reka. Hm...," gumam Pendidik Ulung, kembali 
menggeleng-geleng. 
Entah, apa yang tengah berkecamuk dalam 
benak kakek renta dari Lembah Kalierang itu. 
Yang jelas begitu melihat mayat yang berserakan 
di tempat pertarungan, buru-buru ditelitinya den-
gan seksama. 
"Hm...! Tak kusangka akibat angin pukulan 
dari bentrokan tadi membuat anggota Pasukan 
Laskar Hijau ini menemui ajal. Juga, gadis-gadis 
malang itu. Hm...!" 
Pendidik Ulung kembali tercenung untuk 
beberapa saat. Menyaksikan puluhan mayat yang 
berserakan, tapi urung membuat tengkuknya 
bergidik. 
"Sontoloyo! Kalau tahu mereka semua su-
dah tewas, buat apa aku melepaskan biang ram-
pok itu kabur bersama anak buahnya. Huh! Bikin 
jengkel hatiku saja!" rutuknya. 
Pendidik Ulung menghentak-hentakkan 
kakinya kesal. Lalu si tua ini jalan mondar-
mandir sambil menyembunyikan tangan di balik 
pinggang. 
"Oh, ya? Baiknya aku menguburkan mayat 
mereka terlebih dulu, baru kemudian mengejar 
bajingan-bajingan itu," pikir Pendidik Ulung tiba-
tiba. 
Habis berpikir, Pendidik Ulung segera me-
raih sebuah dahan pohon yang berserakan di 
tempat itu. Setelah daun-daunnya dibersihkan, 
batang pohon digunakan untuk membuat lobang 
besar. Sebagai tokoh berkepandaian tinggi tak be-
gitu sulit bagi Pendidik Ulung membuat lobang 
untuk menguburkan mayat-mayat Pasukan 
Laskar Hijau dan gadis-gadis itu. Dengan penge-
rahan tenaga dalam, sebentar saja sudah tercipta 
sebuah lobang besar. Dan dengan gerakan cepat 
pula, dimasukkannya mayat-mayat itu ke dalam 
lobang. Namun baru saja hendak menimbun lo-
bang tiba-tiba... 
"Hoekhhh!" 
Terdengar seseorang tengah muntah-
muntah tak jauh di belakang Pendidik Ulung. Bu-
ru-buru lelaki tua ini membalikkan badan. Ter-
nyata di dekat sebuah batang pohon tampak seo-
rang gadis cantik berpakaian serba hijau tengah 
merintih menahan sakit. Wajahnya yang cantik 
tampak pucat pasi. Darah segar yang mengalir di 
sudut bibir menandakan kalau gadis cantik itu 
tengah menderita luka dalam cukup parah. 
"Siapakah gadis cantik itu?" gumam Pendi-
dik Ulung dengan kening berkerut. "Oh.... Dia tadi 
berada di atas punggung kuda Setan Haus Darah, 
lalu terlempar ketika kuda itu terkejut. Hm... me-
nilik pakaiannya, bisa jadi gadis itu juga anak 
buah Setan Haus Darah. Ah... baiknya kudekati 
saja...." 
Si tua ini segera melangkah mendekati si 
gadis. Sikapnya tetap waspada, meski melihat ga-
dis itu menderita akibat luka dalamnya. 
"Siapa kamu, Cah Ayu. Dan siapa pula 
yang membuatmu begini?" tanya Pendidik Ulung 
sesampainya di dekat gadis cantik yang bukan 
lain Arum Sari. Saat terlempar dari kuda tadi, un-
tungnya pengaruh totokan Setan Haus Darah te-
lah punah. Sehingga ketika berada di udara, ia 
bisa mematahkan daya lontaran hingga tak sam-
pai membentur pohon yang kini disandarinya. 
Namun demikian, gadis itu tak bisa berdiri lama-
lama ketika merasakan dadanya kian sesak saja. 
Maka untuk itu ia mencoba mengobati dirinya 
sendiri di bawah pohon dengan jalan bersemadi. 
Pendidik Ulung memperhatikan Arum Sari 
seksama. Terutama sekali pada pakaian hijau-
hijaunya yang sama persis dengan yang dikena-
kan anggota pasukan Laskar Hijau. 
Arum Sari tidak langsung menjawab. Tan-
gannya kini mengurut dada sebentar seraya men-
gedarkan pandangan mata ke sekeliling. Begitu 
pandang matanya berbentrokan dengan mayat-
mayat anggota Pasukan Laskar Hijau dan bebera-
pa orang gadis di dalam lobang yang baru digali, 
matanya langsung membeliak lebar. 
"Siapakah yang telah melakukan ini se-
mua?" Arum Sari malah balik bertanya. 
Pendidik Ulung makin curiga. 
"Aku. Memangnya kenapa?" jawabnya, 
tandas.  
"Lalu? Di manakah orang yang bergelar Se-
tan Haus Darah itu, Orang Tua?" 
"Huh...!" Pendidik Ulung mendengus. "Jadi 
kau mencari manusia biang rampok itu? Kau 
mencari ketuamu yang pongah itu?" 
Pendidik Ulung merasa yakin kalau gadis 
cantik di hadapannya adalah salah seorang ang-
gota Pasukan Laskar Hijau. 
"Maksudmu…?" 
"Jangan berpura-pura, Cah Ayu! Kau pasti 
salah seorang anak buah biang rampok yang ber-
gelar Setan Haus Darah!" 
Arum Sari membelalak liar.  
"Jangan  menuduh sembarangan, Orang 
Tua! Aku sama sekali tak ada hubungannya den-
gan mereka!" tukas Arum Sari tak senang. 
"He he he...! Cah Ayu! Kau ingin mengela-
bui tua bangka macam aku ini, ya? Jangan dikira 
aku dapat dikibuli!" 
"Orang tua! Aku bersungguh-sungguh. Ha-
rap jangan salah paham! Aku memang mencari 
Setan Haus Darah. Karena, manusia sesat itulah 
yang telah mencelakakanku hingga seperti ini. 
Mungkin juga teman-ku...." 
Arum Sari mendadak menghentikan uca-
pannya. Sepasang matanya yang indah dengan 
bulu-bulu mata yang lentik kembali beredar ke 
sekeliling. Setelah tidak menemukan orang yang 
dimaksud, si gadis mendesah lirih.  
"Hm...! Jangan-jangan Soma telah tewas di 
tangan Setan Haus Darah," gumam Arum Sari, 
nyaris tak kentara. 
"Siapa yang kau maksudkan, Cah Ayu?" 
tanya Pendidik Ulung dengan mata ikut jelalatan 
ke sana kemari mengikuti pandangan gadis cantik 
di hadapannya.      
"Temanku," jawab Arum Sari. 
"Siapa?" 
"Soma." 
"Maksudmu...? Siluman Ular Putih?" tebak 
Pendidik Ulung. 
"Benar! Apa kau tadi melihatnya, Orang 
Tua?" tanya Arum Sari harap-harap cemas. 
"Hm...! Tidak. Dari tadi aku tak melihat bo-
cah edan itu. Tapi, benarkah kau teman dari bo-
cah edan itu? Apa kau bukan anak buah Setan 
Haus Darah?" 
"Orang tua! Harap jangan main-main! Aku 
terluka karena kelicikan Setan Haus Darah. Dan 
mungkin Siluman Ular Putih terluka pula...." 
Kembali Arum Sari menelan kegelisahan 
dalam hati. Rasanya tak sanggup untuk menga-
takan kalau Siluman Ular Putih telah menemui 
ajal di tangan Setan Haus Darah. Saking cemas-
nya memikirkan keselamatan pemuda itu, tak 
henti-hentinya mulutnya menggumam. 
"Ah...! Bodoh benar aku ini!" ujar Pendidik 
Ulung seraya menepuk jidatnya sendiri manakala 
melihat sekujur tubuh Arum Sari yang dipenuhi 
bintik-bintik merah. 
"Ada apa, Orang Tua? Apakah kau melihat 
Siluman Ular Putih?" tanya Arum Sari, tak dapat 
menyembunyikan perasaannya. 
Pendidik Ulung menggeleng. 
"Ah...!" keluh Arum Sari sedih. 
"Sudahlah! Jangan cemaskan pemuda 
edan itu! Aku yakin, ia dapat mengatasi Setan 
Haus Darah. Tapi kalau kau tak keberatan, seka-
rang izinkan aku mengobati lukamu!  Kalau tak 
salah, kau tentu terluka akibat pukulan 
'Gemuruh Badai Api' milik Setan Haus Darah." 
"Benar, Orang Tua. Setan Haus Darahlah 
yang telah mencelakakanku. Tapi apa sekarang 
kau tak lagi mencurigaiku sebagai anak buah ba-
jingan itu?" 
Pendidik Ulung menggeleng. 
"Nah! Sekarang, kau boleh mengobati lu-
kaku, Orang Tua!" kata Arum Sari dengan napas 
sedikit tersengal. (Untuk mengetahui bagaimana 
Arum Sari sampai celaka di tangan Setan Haus 
Darah, baca episode sebelumnya: "Setan Haus 
Darah"). 
"Baik." 
Pendidik Ulung mengisyaratkan agar Arum 
Sari berbalik. Tanpa sedikit pun curiga. Arum Sa-
ri segera berbalik membelakangi Pendidik Ulung. 
Pendidik Ulung bersila di belakang Arum 
Sari. Segera kedua telapak tangannya ditempel-
kan di punggung si gadis. Perlahan-lahan, gadis 
ini merasakan hawa dingin yang bukan kepalang 
dari kedua telapak tangan Pendidik Ulung di 
punggungnya sambil menggigit bibirnya kuat-
kuat, matanya dipejamkan. Hingga, hawa panas 
yang mengaduk-aduk isi dadanya perlahan mulai 
sirna. 
"Nah, sekarang telanlah obat ini!" 
Arum Sari kembali berbalik menghadap 
Pendidik Ulung. Matanya sempat melihat dua bu-
tir obat pulung berwarna putih di telapak tangan 
kakek renta penolongnya. Tanpa ragu-ragu sedikit 
pun, segera diambilnya dua butir obat putih itu 
dan ditelannya. 
Selang beberapa saat, Arum Sari merasa-
kan hawa segar memasuki rongga mulutnya, dis-
usul hawa dingin yang terus mendesak hawa pa-
nas yang mengaduk-aduk dalam tubuh. Kendati 
tubuhnya masih lemah, namun hatinya merasa 
lega. Kini ia hanya tinggal membutuhkan waktu 
untuk memulihkan tenaga dalamnya. 
"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik sekali. 
Sebenarnya kalau boleh tahu, siapakah kau ini?" 
ucap Arum Sari seraya menelangkupkan kedua 
telapak tangan di depan hidung penuh hormat. 
Suaranya pun terdengar lembut menyentuh re-
lung hati. 
Pendidik Ulung tersenyum. Samar-samar 
dipandanginya Arum Sari. Dan hatinya makin ya-
kin akan kejujuran di balik ucapan Arum Sari ta-
di. Namun si tua ini tetap tidak mempercayainya 
begitu saja. Sebab,  Prameswara muridnya yang 
kedua juga selalu bertutur kata lembut seperti 
Arum Sari saat itu. Tapi betapa berangnya hati 
Pendidik Ulung, manakala mengetahui ternyata 
Prameswara yang bergelar Pelajar Agung malah 
mengkhianatinya! Itulah yang membuat hatinya 
harus bertindak hati-hati.  (Untuk mengetahui 
pengkhianatan Prameswara, silakan ikuti episode: 
"Persekutuan Maut" dan "Lukisan Darah"). 
"Jangan terlalu diungkit-ungkit kebaikan 
yang tidak seberapa, Cah Ayu!" tegur Pendidik 
Ulung enggan mengatakan siapa dirinya. 
"Kau keberatan mengatakan siapa dirimu, 
Orang Tua?" desak Arum Sari. 
"Apalah artinya sebuah nama kalau tidak 
ditunjang perilaku yang baik. Apalah artinya tu-
tur kata lembut, kalau tidak ditunjang dengan ha-
ti bersih," sindir Pendidik Ulung. 
Yang disindir malah tersenyum, 
"Memang benar, Orang Tua. Meski aku be-
lum lama mengenyam pahit getirnya dunia persi-
latan, namun setidaknya aku sudah dapat mera-
sakan kalau yang kau katakan itu benar. Kukira, 
aku harus lebih berhati-hati untuk mengarungi 
dunia persilatan. Aku tak ingin terpedaya hanya 
karena tutur kata, maupun kelembutan seseo-
rang sebelum mengenal siapa orang itu sebenar-
nya," balas si gadis. 
Pendidik Ulung jadi tak enak hati menda-
pat sindiran balik. 
"Kau menyindirku, Cah Ayu?"  
"Tak ada gunanya aku menyindir seseo-
rang. Apalagi, orang itu telah sangat berjasa pa-
daku. Kenapa kau tanyakan hal ini, Orang Tua?" 
Pendidik Ulung menelan ludahnya sendiri. 
"Siapa kau sebenarnya, Cah Ayu?" 
"Aku hanyalah seorang gadis yatim piatu. 
Namaku Arum Sari." 
"Satu nama yang indah. Tapi, benarkah 
kau yatim piatu?" 
"Benar." Arum Sari mengangguk.  
"Hm...? Sekarang setelah luka dalammu 
sembuh, kau hendak ke mana lagi. Arum?" 
"Sebenarnya tujuanku hanya satu. Setelah 
pembunuh kedua orang tuaku  tewas di tangan 
Raja Penyihir, sekarang aku ingin sekali mencari 
makam kedua orang tuaku. Apakah kau tahu, di 
mana makam kedua  orang tuaku  yang bergelar 
Sepasang Pendekar Garuda Emas, Orang Tua?" 
papar Arum Sari. 
"Apa? Jadi.... Kau putri dari Sepasang Pen-
dekar Garuda Emas?" Pendidik Ulung kaget bu-
kan kepalang. 
"Benar, Orang Tua. Kenapa kau demikian 
kaget?" 
"Hhhm...!" Pendidik Ulung menghela napas 
sebentar. "Tak kusangka hari ini aku akan berte-
mu putri sahabatku." 
"Apakah kau mengenal mendiang kedua 
orang tuaku, Orang Tua?" tanya Arum Sari gem-
bira. 
"Bukan saja mengenal. Tapi, Sepasang 
Pendekar Garuda Emas adalah kawan akrabku. 
Jadi mulai hari ini, kau boleh memanggilku pa-
man. Paman Pendidik Ulung." 
"Terima kasih. Or.... Eh, Paman Pendidik 
Ulung. Sekali lagi aku menghaturkan sembah un-
tukmu," ucap Arum Sari tak dapat mengendali-
kan perasaan gembira. Kemudian dengan penuh 
hormat kembali kedua telapak tangannya mene-
langkup di depan hidung. 
"Sudahlah! Jangan terlalu berbasa-basi! 
Aku paling tak senang melihat orang terlalu ber-
basa basi. Yang penting adalah sikap dan hati 
bersih. Buat apa orang terlalu banyak berbasa 
basi, kalau ternyata berhati busuk? Kau paham 
maksudku. Arum Sari?" 
"Paham, Paman. Tapi, apakah Paman tahu 
di mana makam kedua orang tuaku?"       
"Hm...! Sayang sekali aku tidak tahu. Tapi 
menurut kabar angin yang kudengar selama ini, 
mayat Sepasang Pendekar Garuda Emas masih 
tergolek di dasar sebuah jurang di Gunung Sla-
met, setelah dilemparkan oleh Penghuni Kubur. 
Aku sendiri tak begitu yakin. Bukan aku tak pe-
duli dengan mayat sahabatku. Tapi ketika aku 
mencari di beberapa dasar jurang, tak kutemu-
kan. Entah berada di jurang yang mana kedua 
mayat sahabatku itu. Pokoknya, di Gunung Sla-
met." 
"Oh...!" Arum Sari tercekat. Seketika pa-
rasnya yang cantik jadi kian pias. "Ja..., jadi 
mayat kedua orang tuaku masih berada di sebuah 
jurang di Gunung Slamet...?" 
Pendidik Ulung mengangguk. Hatinya kini 
jadi tambah gelisah setelah tahu kalau Arum Sari 
adalah putri tunggalnya Sepasang Pendekar Ga-
ruda Emas. 
"Sebenarnya aku tertarik sekali dengan ga-
dis ini untuk kujadikan murid. Tapi, aku harus 
berhati-hati. Aku harus menguji ketabahan ha-
tinya sebelum mengangkatnya sebagai murid. 
Aku tak ingin tertipu untuk yang ketiga kali," gu-
mam Pendidik Ulung dalam hati. 
"Kenapa kau pandangi aku seperti itu, Pa-
man?" kata Arum Sari menyentak lamunan Pen-
didik Ulung yang masih menatapnya. 
"Terus terang aku mulai tertarik untuk me-
latihmu. Arum. Tapi, sudahlah! Jangan terlalu 
kau risaukan. Sekarang, ayo ikut aku. Nanti ku-
bantu kau menemukan makam kedua orang tu-
amu," ajak Pendidik Ulung. 
"Baik, Paman." 
Pendidik Ulung cepat melompat bangun, 
diikuti Arum Sari yang mulai dapat bergerak lelu-
asa. Namun disaat hendak meninggalkan tempat 
itu, tiba-tiba.... 
"Ehem...! Syukur. Akhirnya kau kutemu-
kan juga di sini, Arum." 
Terdengar sebuah suara mengejutkan, se-
kaligus mcnggembirakan.... 
Pendidik Ulung terkesiap. Sebagai orang 
berkepandaian tinggi, telinganya tadi tak me-
nangkap suara sedikit pun kalau ternyata di tem-
pat itu telah berdiri seseorang tanpa diketahui. 
Untuk itulah buru-buru kepalanya cepat berpal-
ing ke arah datangnya suara. 
Ternyata tak jauh di sampingnya telah ber-
diri seorang pemuda berambut gondrong tergerai 
di bahu. Tubuhnya yang tinggi kekar dibalut pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih ke-
perakan. Wajahnya yang tampan berbentuk lon-
jong menyunggingkan senyum nakal sambil terus 
memondong satu sosok tubuh ramping. 
Sambil melangkah mendekati Pendidik 
Ulung dan Arum Sari, pemuda tampan itu terse-
nyum manis. Sementara kepala gadis cantik yang 
rambutnya digelung ke atas dengan hiasan  mu-
tiara-mutiara indah berwarna biru itu terantuk-
antuk seiring langkah si pemuda. Tubuhnya yang 
padat sintal terbungkus pakaian indah terbuat 
dari sutera warna merah. Sedang parasnya yang 
cantik tampak demikian pucat pasi. Malah, ada 
darah kering yang masih membersit di sudut bi-
birnya. 
"Siluman Ular Putih...!" sebut Pendidik 
Ulung, sedikit mendengus. "Ada keperluan apa 
sampai kau kemari, hah?!" 
"Jangan galak-galak, Orang tua! Aku ke-
mari memang tidak ada keperluan denganmu. 
Semula aku memang bermaksud menolong te-
manku. Tapi, ternyata kau sudah mendahului. 
Terima kasih. Lain kali budimu pasti aku balas," 
sahut pemuda itu yang memang murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih. 
Bagaimana Soma bisa sampai di tempat 
ini? Itu tak lain karena memang tekad Siluman 
Ular Putih yang harus mencari Arum Sari yang 
dibawa lari Setan Haus Darah dan pasukannya. 
Namun di tengah perjalanan si pemuda bertemu 
seorang gadis yang tengah kewalahan menghada-
pi Peramal Maut. Malah nyawa gadis itu nyaris te-
rancam kalau saja Siluman Ular Putih tidak cepat 
menolong. 
Melihat luka dalam yang diderita, akhirnya 
Siluman Ular Putih memilih menyelamatkan nya-
wa si gadis daripada meladeni Peramal Maut yang 
ingin menuntut balas atas kekalahannya. (Untuk 
mengetahui sakit hati Peramal Maut, baca epi-
sode: "Misteri Dewa Langit"). 
Siluman Ular Putih yang membawa gadis 
yang sebenarnya tak lain dari Yustika alias Ratu 
Adil ke tempat yang aman dari kejaran Peramal 
Maut, tanpa sengaja mendengar suara orang ber-
cakap-cakap. Ternyata begitu  didekati, hatinya 
langsung bersorak gembira. Karena di situ ia me-
lihat Arum Sari tengah diobati oleh Pendidik 
Ulung. 
Sementara itu Arum Sari diam memberen-
gut. Entah kenapa, hatinya jadi rusuh sekali begi-
tu melihat kedatangan Siluman Ular Putih. Bu-
kannya tidak senang melihat kemunculan si pe-
muda, melainkan risih melihat sosok gadis yang 
tengah dipondong. Harus diakui hatinya panas 
oleh api cemburu. 
"Arum...! Apa kau tak senang melihat keda-
tanganku? Kenapa diam saja?" tanya Siluman 
Ular Putih heran. 
Arum Sari malah menunduk dalam-dalam. 
Melihat kegalauan Arum Sari, Pendidik 
Ulung malah terkekeh senang. Lelaki ini terus 
berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan 
menyatu di belakang tubuhnya. Sesekali pula di-
perhatikannya wajah Siluman Ular Putih dan 
Arum Sari, lalu kembali terkekeh. 
"Ada apa ini? Tampaknya ada udang di ba-
lik batu. Hm...! Memang aneh kalau orang tengah 
kasmaran. Ck ck ck...!" goda Pendidik Ulung 
sambil menggeleng-geleng. "Bagaimana ini. Arum? 
Apa kau jadi pergi denganku?" 
"Jadi, Paman," sahut Arum Sari seraya me-
langkah. 
Si gadis memang tengah gusar sekali den-
gan sikap Siluman Ular Putih. Dan ia merasa tak 
ada gunanya lagi berlama-lama di tempat itu. Ha-
tinya terasa perih apalagi bila mengingat penola-
kan Siluman Ular Putih atas permintaan ibunya 
yang bermaksud menjodohkan dengan dirinya. 
"Tunggu, Arum!" 
Siluman Ular Putih cepat menghadang 
langkah Arum Sari dan Pendidik Ulung. Namun 
gadis itu malah kian menyembunyikan wajahnya 
dalam-dalam. 
"Ada apa. Arum? Kenapa kau tak menyukai 
kedatanganku?" cecar Siluman Ular Putih masih 
belum mengerti. 
"Bocah tolol! Mana ada gadis yang suka 
melihat kekasihnya datang menemuinya bersama 
gadis lain!" tukas Pendidik Ulung. 
Siluman Ular Putih tercenung. Ia kini tahu 
maksud ucapan Pendidik Ulung, namun belum 
tahu bagaimana harus bersikap. Pemuda itu 
hanya menggaruk-garuk kepala. 
"Jangan hanya garuk-garuk kepala, Bocah 
Tolol! Sekarang cepat tentukan sikap!" 
"Sikap apa yang kau maksudkan, Kek?" 
"Huh...!" Pendidik Ulung membanting ka-
kinya kesal. "Sikap apa, ya? Aku sendiri kurang 
tahu. Mungkin kau harus cepat memilih." 
"Paman! Ayo, kita tinggalkan tempat ini!" 
ajak Arum Sari, seraya kembali melangkah. De-
mikian pula Pendidik Ulung. 
"Eh, tunggu!" buru-buru Siluman Ular Pu-
tih menghadang langkah Arum Sari dan Pendidik 
Ulung. 
"Ada apa lagi, Siluman Ular Putih?" tanya 
Pendidik Ulung. 
"Arum...!" kata Siluman Ular Putih, sama 
sekali tak menghiraukan ucapan Pendidik Ulung. 
"Kau jangan salah paham, Arum!" 
Arum Sari menggeleng lemah. 
"Ah, sudahlah! Kenapa bertele-tele begini? 
Sekarang aku dan Arum mau pergi. Kalau kau 
memang mencintai Arum, baiknya setelah kau 
menyembuhkan luka dalam gadis dalam pondon-
ganmu. Ayo, Arum! Kita tinggalkan tempat ini!" 
"Baik, Paman." 
Pendidik Ulung segera meraih lengan Arum 
Sari, lalu cepat berkelebat meninggalkan tempat 
itu. 
"Selamat tinggal, Bocah Tolol! Jangan lupa 
kuburkan mayat-mayat itu!" terdengar suara 
Pendidik Ulung di kejauhan sana. 
Siluman Ular Putih menggumam tak jelas. 
Ketika pandang matanya tertumbuk pada mayat 
yang telah berada di dalam lobang, pemuda itu 
mengerti. 
"Rupanya kakek itu telah menghajar Pasu-
kan Laskar Hijau. Tapi... hmm.... Kasihan sekali 
gadis-gadis yang telah menjadi mayat itu. Bisa ja-
di mereka penduduk kampung di sekitar sini yang 
menjadi jarahan Setan Haus Darah dan pasukan-
nya...." 
Siluman Ular Putih mengedarkan pandan-
gan matanya sejenak ke seputar tempat itu. 
"Sialan! Rupanya tua bangka itu menyisa-
kan pekerjaan untukku. Tapi tak apa-apalah! 
Nanti setelah aku selesai menyembuhkan luka 
dalam gadis ini, baru aku akan menguburkan 
mayat-mayat mereka...," gumam Siluman Ular 
Putih akhirnya. 
* * * 
"Siapa kau?" Ratu Adil yang baru disem-
buhkan Soma cepat membuang tubuhnya ke 
samping, begitu siuman. 
Siluman Ular Putih sengaja membiarkan-
nya. Malah bibirnya menyunggingkan senyum 
manis. 
"Kau.... Kau, ah! Terima kasih. Kau pasti 
yang telah menyelamatkan nyawaku dari tangan 
Peramal Maut," ucap si gadis akhirnya mengerti 
juga. 
"Syukur kalau akhirnya kau mengerti. Tapi 
ngomong-ngomong sebenarnya bukanlah aku 
yang menyelamatkan nyawamu. Melainkan, Dia," 
sergah Siluman Ular Putih sambil menuding ke 
atas. 
"Maaf atas kecurigaanku tadi!" 
"Sudahlah! Jangan terlalu banyak basa-
basi! Baiknya ceritakan saja bagaimana kau sam-
pai bersilang sengketa dengan Peramal Maut!" 
"Hm...!" 
Gadis itu menggumam tak jelas. Di saat ia 
hendak melompat bangun, Siluman Ular Putih te-
lah mengulurkan tangannya, bermaksud mem-
bantu bangun. 
"Terima kasih," ucap si gadis segera meraih 
tangan Siluman Ular Putih dan beranjak bangun. 
"Tapi sebelum kau cerita, bolehkah aku 
mengetahui namamu?" tanya Siluman Ular Putih. 
"Aku Yustika. Kau sendiri siapa?" 
"Aku Soma. Aku senang sekali dapat ber-
kenalan denganmu." 
Gadis cantik yang memang Yustika berge-
lar Ratu Adil, murid tunggal Ratu Alit hanya ter-
senyum. 
"Ayo, cerita! Kenapa malah senyum-
senyum?" bisik Siluman Ular Putih tak sabar. 
Sekali lagi Yustika tersenyum. 
"Sebenarnya, aku sedang mencari ayah 
kandungku, Soma. Tapi di tengah perjalanan aku 
melihat seorang kakek renta yang tengah beristi-
rahat di bawah sebuah pohon rindang. Aku lalu 
bertanya  padanya barangkali mengenal ayahku. 
Tapi kakek itu malah meramalku. Tentu saja aku 
tak bisa mempercayai ramalannya begitu saja. 
Lantas, kakek itu marah dan bermaksud membu-
nuhku. Untung saja kau segera datang meno-
long," papar Yustika. 
"Hm...! Ya ya ya...! Peramal Maut memang 
sering berlaku begitu. Siapa saja yang tak mau 
mempercayai ramalannya, pasti akan dibunuh," 
jelas Siluman Ular Putih membenarkan. 
"Sekarang aku mau tanya padamu, Soma. 
Apa kau mengenal orang yang bernama Gendon 
Prakoso?" lanjut Ratu Adil. 
"Diakah ayah kandungmu?"  
"Iya. Apakah kau mengenalnya?"  
Siluman Ular Putih menggeleng seraya 
menghela napas panjang. "Sayang sekali aku tak 
mengenalinya.... Tapi jangan khawatir! Sebagai 
sahabat, tentu aku akan membantu mencari ayah 
kandungmu. Tapi, yah...! Kalau kau tak kebera-
tan tentunya." 
"Aku tak keberatan sama sekali. Malah se-
baliknya."  
"Bagus! Kalau begitu, ayo kita cari ayah 
kandungmu itu!" ajak Siluman Ular Putih. 
"Tapi mayat-mayat itu? Apakah akan di-
biarkan begitu saja, Soma?" kata Ratu Adil men-
gingatkan. 
"Oh...! Ya, ampun! Kenapa aku jadi pikun 
begini?" Siluman Ular Putih memukul kepalanya 
sendiri. "Tentu saja aku tak mungkin membiar-
kan mayat-mayat itu, Yustika. Kau tunggu saja di 
sini, ya. Biar aku yang menguburkan." 
"Tapi, Soma." 
"Sudahlah! Kau duduk saja. Daripada kau 
membantuku, lebih baik bersemadi saja dulu biar 
tenaga dalammu pulih!" 
Yustika sebenarnya keberatan. Namun ka-
rena memang apa yang diucapkan Siluman Ular 
Putih benar, akhirnya hanya menurut. 
"Mayat-mayat siapakah mereka itu. Soma?" 
"Yang mengenakan pakaian hijau-hijau itu 
pasti mayat anak buah Setan Haus Darah. Se-
dang mayat gadis-gadis itu aku tidak tahu. 
Mungkin penduduk kampung di sekitar sini yang 
menjadi jarahan Setan Haus Darah dan pasukan-
nya." 
"Hm...!" Ratu Adil mengangguk-angguk. 
"Siapakah Setan Haus Darah dan pasukannya 
itu. Soma?" 
"Mereka adalah rampok yang sering mem-
buat keresahan penduduk kampung di sekitar 
Pegunungan Perahu ini," sahut Soma seraya me-
langkah ke pinggir lobang. 
Sekali lagi Ratu Adil hanya mengangguk-
angguk. Manakala pemuda berpakaian rompi dan 
celana bersisik warna putih keperakan mulai me-
nimbun tanah dengan ranting pohon, gadis itu 
segera duduk bersemadi. 
Siluman Ular Putih hanya tersenyum. Se-
sekali dinikmatinya kecantikan Ratu Adil, dengan 
ekor matanya. 
Ketika bumi mulai dikungkung kegelapan 
malam, satu rombongan berkuda yang semuanya 
mengenakan pakaian serba hijau tengah memacu 
tunggangannya memasuki kawasan perbukitan 
terjal bebatuan. Bila dilihat dari atas bukit yang 
lebih tinggi lagi, maka permukaan bukit yang kini 
dilalui oleh rombongan berkuda itu akan tampak 
memanjang seperti pedang. Maka tak heran kalau 
bukit itu dinamakan Bukit Pedang. 
Derap kaki kuda yang ditunggangi orang-
orang berpakaian serba hijau itu terdengar men-
gusik keheningan malam. Dari kilauan sinar rem-
bulan yang menggantung di angkasa tampak ka-
lau para penunggang kuda itu semuanya lelaki 
bertampang kasar. 
Menilik pakaian yang dikenakan, jelas ka-
lau rombongan berkuda itu tak lain adalah Setan 
Haus Darah dan sisa-sisa anak buahnya. Mereka 
semua tergabung dalam Pasukan Laskar Hijau! 
Jalan setapak menuju Bukit Pedang me-
mang cukup curam. Berkelok-kelok, diapit ju-
rang-jurang yang menganga lebar. Di sebuah ti-
kungan tajam Setan Haus Darah terus memacu 
cepat kudanya. Beberapa orang  anak buahnya 
tampak agak ragu-ragu untuk memacu kuda 
masing-masing secepat itu. Namun mereka tak 
berani mengelak ketika sang Pemimpin memberi 
isyarat dengan tangan agar mereka memacu kuda 
lebih cepat lagi. 
Dari cahaya bulan yang berkilauan jelas 
kalau jurang-jurang itu begitu mengerikan. Kalau 
saja lengah memacu kuda, bukan mustahil kema-
tianlah yang akan menghadang. Dengan melipat-
gandakan keberanian anggota Pasukan Laskar 
Hijau yang kini hanya tinggal dua belas orang itu 
menggebah cepat kuda mereka mengikuti Setan 
Haus Darah yang tampak terus melesat cepat 
tanpa mendapat kesulitan apa pun. 
"Hea! Hea!" 
Setelah memacu kuda menyusuri jalan se-
tapak berdebu, tak selang berapa lama Setan 
Haus Darah menarik tali kekang. Kaki-kaki kuda 
tunggangannya seketika menggeruk tanah di ja-
lanan setapak, lalu kedua kaki depannya terang-
kat tinggi-tinggi ke udara disertai ringkikan keras. 
Debu-debu kontan mengepul menambah kepeka-
tan malam. 
Tepat ketika kedua belas orang anak 
buahnya juga menghentikan kuda, Setan Haus 
Darah melompat turun. Wajahnya yang beringas 
terlihat demikian tegang. Napasnya memburu ter-
bakar amarah yang menggelegak dalam dada. 
"Tunggu aku di sini!" perintah Setan Haus 
Darah dengan suara keras.  
"Baik, Ketua." 
Setan Haus Darah mendengus gusar. Tari-
kan-tarikan dagunya menyiratkan hawa membu-
nuh. Lalu dengan langkah kasar, segera diting-
galkannya para anak buahnya menuju ke sebuah 
bukit karang. Tubuhnya berkelebat cepat, menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh. 
Sesampainya di ujung jalan setapak yang 
menyimpang ke samping, Setan Haus Darah 
menghentikan kelebatannya. Kepalanya mendon-
gak ke atas, menatap se-buah bukit batu karang 
berdiri kokoh di hadapannya. Ia mengempos te-
naganya sebentar, lalu.... 
"Hup! Hup!" 
Dengan mengerahkan ilmu meringankan 
tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, tubuh 
tinggi besar Setan Haus Darah cepat berlompatan 
di antara tumpukan batu-batu terjal dan terus 
menuju atas. Sekilas, tubuhnya mirip capung 
raksasa yang tengah terbang membubung tinggi 
ke udara. Hanya seperlunya saja sepasang ka-
kinya yang kokoh menjejak tanah, kemudian 
kembali melesat ke atas dengan kecepatan luar 
biasa! 
"Hap!" 
Dengan satu putaran tubuh, Setan Haus 
Darah mendarat tegak di mulut sebuah goa sele-
bar setengah tombak. Sejenak lelaki tinggi besar 
ini memicingkan mata, berusaha  menembus ke-
pekatan goa yang tampak gelap dari luar. Lalu 
perlahan-lahan kakinya mulai melangkah masuk. 
Semakin Setan Haus Darah bergerak ma-
suk, ternyata lorong goa itu makin lebar. Di salah 
sebuah kelok-an, lelaki ini membelok. Hingga ak-
hirnya, sampailah di sebuah ruangan yang cukup 
lebar berukuran lima kali enam tombak. 
Ruangan ini hanya diterangi obor yang ter-
tancap di dinding-dinding. Sehingga, dinding-
dinding goa itu tampak seperti terbakar. Semua-
nya berwarna hitam kusam. Dan dari terangnya 
cahaya obor, tampak seorang kakek renta tengah 
bersemadi di atas sebuah batu putih pipih. 
Rambut dan pakaian yang dikenakannya 
semuanya berwarna merah menyala! 
"Guru! Murid datang menghadap," kata Se-
tan Haus Darah. Tubuhnya menjura, lalu bersim-
puh menghadap lelaki tua itu. 
Tak ada sahutan. Hanya tiba-tiba saja batu 
putih pipih tempat si tua berpakaian merah ber-
tapa itu bergerak memutar dengan amat perla-
han-lahan! Hal ini saja sudah membuktikan ka-
lau tenaga dalam si kakek yang sebenarnya berge-
lar Hantu Tangan Api ini sudah mencapai tingkat 
tinggi! 
Begitu membalikkan badan, tampaklah be-
tapa mengerikannya wajah tirus di hadapan Se-
tan Haus Darah. Sepasang mata si tua yang ber-
nama asli Ki Banaspati itu melesak ke dalam, ter-
tutup tulang-tulang pipinya yang menonjol ke-
luar. Baik rambut, bulu mata, alis mata, serta 
jenggot yang panjang semuanya berwarna merah 
menyala! 
"Ada apa kau datang menemuiku, Sing-
gih?" tanya Hantu Tangan Api langsung memang-
gil nama asli muridnya. 
"Aku ingin membicarakan sesuatu pada-
mu. Guru," sahut Singgih alias Setan Haus Da-
rah. 
"Apa?!" cecar Hantu Tangan Api tak sabar. 
Setan Haus Darah sempat melengak kaget 
mendengar suara gurunya. Namun ia cepat dapat 
mengendalikan perasaan. 
"Anu, Guru. Aku dan pasukan telah dika-
lahkan Pendidik Ulung, Guru." 
"Pendidik Ulung?! Hm...! Jadi tua bangka 
dari Lembah Kalierang itu telah mempermalu-
kanmu, Singgih?"  
"Benar, Guru." 
"Apakah kau sudah mengerahkan pukulan 
'Gemuruh Badai Api'?" tanya Hantu Tangan Api 
dengan suara parau. 
"Sudah, Guru. Tapi, tua bangka itu benar-
benar lihai. Meskipun aku telah mengerahkan 
pukulan 'Gemuruh Badai Api', aku tetap tidak 
sanggup menghadapi sepak terjangnya." 
"Bodoh!" bentak Hantu Tangan Api garang. 
Jari-jari tangannya yang mencengkeram batu pu-
lih pipih tempatnya bersemadi tampak kian men-
geras. Seketika, batu putih pipih itu hancur ber-
keping-keping dan mengepulkan asap tipis ber-
warna hitam! 
Melihat kemurkaan gurunya, Setan Haus 
Darah sedikit pun tidak berani mengangkat wa-
jah. Kepalanya tertunduk terus menekuri lantai. 
Namun dia tahu, dari napas  Ki Banaspati yang 
memburu jelas menandakan kalau gurunya ten-
gah diamuk hawa amarah. 
"Singgih! Apa hanya tua bangka Pendidik 
Ulung saja yang telah mempermalukanmu, he?!" 
"Bu.... Bukan, Guru." 
"Jadi?" Hantu Tangan Api mengernyitkan 
dahinya. "Apakah masih ada orang yang mampu 
mengalahkan pukulan 'Gemuruh Badai Api' cip-
taanku, he?!" 
"Be... benar, Guru. Malah orang yang men-
galahkanku kali ini masih berusia sangat muda. 
Namun anehnya, kepandaiannya telah tinggi," je-
las Singgih. 
"Setan alas! Percuma aku mendidikmu ber-
tahun-tahun kalau menghadapi bocah bau ken-
cur saja tidak becus. Memalukan! Kau tewas 
maupun kalah di tangan Pendidik Ulung aku ma-
sih bisa maklum. Tapi dikalahkan oleh seorang 
pemuda kemarin sore? Huh...! Murid macam apa 
kau ini, Singgih!" 
Bukan main marahnya Hantu Tangan Api 
mendengar laporan muridnya. 
Sementara Setan Haus Darah duduk 
menggigil di tempatnya. Ia khawatir kalau-kalau 
gurunya akan menurunkan tangan maut seperti 
yang biasa dilakukannya terhadap tokoh-tokoh 
putih. 
"Sekarang apa yang harus kau lakukan se-
telah dikalahkan banyak orang, he?! Apa kau in-
gin memperdalam ilmumu?" 
"Tid.... Tidak, Guru. Aku.... Aku ingin Guru 
membantuku," ucap Setan Haus Darah agak gu-
gup. Hatinya merasa lega bukan main karena gu-
runya tidak menurunkan tangan maut. Meski 
demikian, hati Singgih masih merasa belum ten-
teram bila gurunya belum sudi membantu dirinya 
untuk memberantas musuh-musuhnya. 
"Apa kau bilang? Kau ingin gurumu yang 
sudah tua bangka ini untuk turun tangan?!" sen-
tak Ki Banaspati. 
Setan Haus Darah cepat memutar otaknya. 
Rencananya tidak boleh gagal. Yang jelas, ia ha-
rus dapat menyeret gurunya untuk turun dalam 
kancah dunia persilatan. Sekaligus memberantas 
musuh-musuhnya. 
"Sebenarnya aku tidak bermaksud demi-
kian. Tapi berhubung Pendidik Ulung selalu men-
jelek-jelekkan nama Guru, terpaksa hal ini harus 
kulaporkan. Di samping itu, malah Pendidik 
Ulung bermaksud menantang Guru. Apa murid 
bisa tinggal diam mendengar Guru dihina demi-
kian rupa?! Tentu saja tidak, Guru! Namun 
sayang, murid dapat dikalahkan Pendidik Ulung. 
Juga oleh Siluman Ular Putih." 
"Keparat! Jadi Pendidik Ulung dan Siluman 
Ular Putih ingin menantang bertarung?" 
"Benar, Guru." 
"Bajingan! Kali ini aku memang terpaksa 
harus turun gunung. Akan kumusnahkan orang-
orang pongah yang kau sebut tadi. Sekarang tun-
jukkan, di mana mereka berada, Singgih?!" 
"Tepatnya murid kurang tahu. Guru. Na-
mun murid yakin, Pendidik Ulung dan Siluman 
Ular Putih masih berkeliaran di sekitar Pegunun-
gan Perahu ini, Guru." 
"Cukup! Bagiku semua keteranganmu su-
dah cukup, Singgih. Sekarang juga akan kucari 
Pendidik Ulung dan Siluman Ular Putih," sambar 
Hantu Tangan Api. 
Belum juga gema suaranya lenyap, Ki Ba-
naspati segera menghentakkan kedua telapak 
tangannya ke bawah. Seketika, tubuhnya yang 
tinggi kurus langsung me-lenting melampaui Se-
tan Haus Darah yang masih duduk bersimpuh di 
tempatnya. Dan begitu menjejakkan kakinya ke 
tanah, sosok Hantu Tangan Api pun segera berke-
lebat, lalu menghilang di balik dinding-dinding 
goa. 
Diam-diam Setan Haus Darah jadi gembira 
bukan main. Kini ia tak gentar lagi untuk kembali 
ke dunia persilatan. Dengan mendompleng nama 
besar gurunya, lelaki tinggi besar ini yakin akan 
banyak tokoh dunia persilatan yang kalang kabut. 
Lebih dari itu, tentu tenaga gurunya dapat diman-
faatkan untuk memberantas tokoh-tokoh putih 
yang memusuhinya. 
"Hm...! Sekarang apa lagi yang mesti dita-
kutkan? Guruku Hantu Tangan Api telah turun 
tangan. Siapa pun juga yang akan menentangku 
akan kulibas!" gumam Setan Haus Darah seraya 
mengepalkan tinjunya erat-erat. 
Matahari siang terasa panas memanggang 
bumi. Daun-daun kering bercampur debu-debu 
beterbangan manakala angin kering berhembus 
kencang. Di sebuah pohon besar, beberapa bu-
rung jalak terdengar riuh saling bersahutan di-
tingkahi beberapa burung lain yang tengah riuh 
berkelahi sambil beterbangan ke sana kemari. 
Di bawah pohon besar itu pula seorang 
pemuda gondrong berpakaian putih bersih yang 
ditutup jubah besar warna biru tengah terlelap. 
Suara-suara gaduh burung-burung jalak yang se-
dang bertengkar di atasnya sama sekali tidak 
mengganggu tidurnya. Hanya wajahnya yang ga-
gah saja tampak menegang. Entah mimpi apa 
pemuda berambut gondrong yang digelung ke 
atas itu. 
Di saat si pemuda tengah menikmati sua-
sana siang dengan mimpinya, tiba-tiba saja.... 
Breng! Gombreng-gombreng! Kenyataan 
memang menyakitkan. Apalah artinya cinta, kalau 
hanya akan menderita. 
Breng! Gombreng-gombreng! Kekasih ada-
lah tambatan hati. Tapi ke mana aku harus men-
cari. Bila hati hanya dusta. 
Dusta! Prol! Proolll! 
Terdengar seseorang tengah membacakan 
sajak ditingkahi suara cempreng, membuat si 
pemuda yang tengah terlelap bersandar batang 
pohon itu terbangun. Burung-burung jalak yang 
tengah riuh berkicau sejenak berhenti dengan 
mata memandang ke bawah. 
Di bawah sana, seorang kakek tua renta 
tengah berjalan santai dengan tongkat butut di 
tangan. Tubuhnya kurus kering terbalut jubah 
besar warna biru. Rambutnya awut-awutan tak 
terawat. Wajahnya kasar penuh tonjolan daging. 
Sesampainya di dekat pemuda berpakaian 
biru, entah kenapa tiba-tiba saja kakek renta itu 
menghentikan langkah. Hidungnya yang pesek te-
rus mengendus-endus. Lalu dengan pandang ma-
ta seksama diperhatikannya pemuda yang tengah 
duduk bersandar di batang pohon. 
"Hm...! Aku mencium hawa kematian dari 
bau tubuhmu, Pemuda. Aku juga mencium kalau 
kau akan terlunta-lunta  karena cinta. Katakan! 
Siapa namamu, Pemuda!" kata si kakek, langsung 
saja. Nada suaranya terdengar galak, seolah-olah 
ingin meyakinkan kalau apa yang diucapkan itu 
benar. 
"Kau bertanya padaku, Orang Tua?" Pemu-
da berpakaian biru-biru itu balik bertanya. 
"Aku tanya padamu, Setan!" bentak si ka-
kek renta itu. 
"Hm...! Ya yaya...! Aku.... Teguh Sayekti. 
Ada apa?" sahut pemuda berpakaian biru yang 
memang Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis. Si-
kapnya terheran-heran melihat sikap kasar kakek 
renta yang tentu saja tak lain dari Peramal Maut. 
"Bagus! Kau harus ingat! Peramal Maut tak 
pernah luput meramal orang. Dan kau harus 
mengakuinya!" tegas Peramal Maut. 
"Ya ya ya...! Aku memang sedang gelisah 
karena memikirkan seorang gadis, Orang Tua. 
Sudah tiga hari ini aku mencarinya. Namun, be-
lum juga kutemukan batang hidungnya. Apakah 
kau dapat membantuku?" 
"Membantu apa? Maksudmu membantu 
untuk mendapat cinta gadis yang kau kejar-kejar 
itu?" 
"Hm...! Boleh kalau kau bisa." 
"Sayang. Aku hanya dapat memberitahumu 
kalau  kau akan terlunta-lunta bila memikirkan 
gadis itu. Tapi bukan mustahil kau akan menda-
patkan cintanya." 
"Jadi? Aku dapat memiliki gadis yang 
kuimpi-impikan itu, Orang Tua?" sambar Pembu-
nuh Iblis seraya melompat bangun dengan mata 
membuka lebar. Lenyap sudah rasa kantuknya. 
"Benar. Tapi yang lebih penting, kau harus 
hati-hati. Sekali lengah kau akan celaka. Kau 
akan modar, Bocah." 
"Terima kasih, Orang Tua! Aku pasti akan 
mengingat apa yang kau katakan barusan." 
"Kau sudah tahu nasib apa yang akan me-
nimpamu, bukan?" lanjut Peramal Maut tajam. 
"Ya." 
"Nah! Dengar, Bocah! Sekarang bayarlah 
apa yang telah kuramalkan tadi!" ujar Peramal 
Maut, menyodorkan telapak tangan kanan ke ha-
dapan Pembunuh Iblis. 
"Tapi.... Tapi aku tak mempunyai  uang, 
Orang Tua," sahut Pembunuh Iblis gelagapan. 
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya kau harus 
bayar. Mana ada ramalan cuma-cuma. Di mana-
mana juga harus bayar. Cepat, Bocah!" desak Pe-
ramal Maut. 
"Aku.... Aku tidak mempunyai uang, Orang 
Tua," sahut Teguh Sayekti meyakinkan. 
"Benar?" 
"Benar." 
"Bagus! Kalau begitu, nyawamulah sebagai 
bayarannya!" tukas Peramal Maut. Sepasang ma-
tanya yang melesak ke dalam mendadak jadi be-
ringas. Kaki kanannya pun sudah disurutkan ke 
belakang, membentuk kuda-kuda kokoh sambil 
memutar-mutar tongkat bututnya. 
"Kau benar-benar ingin membunuhku, 
Orang Tua?" perangah Pembunuh Iblis, seolah tak 
percaya melihat perubahan sikap Peramal Maut. 
"Ya!" 
"Tapi...? Bukankah aku tak menyuruhmu 
meramalku?" tukas Pembunuh Iblis, berusaha 
menenangkan Peramal Maut. 
"Ya. Tapi, bukan berarti kau tak harus 
membayar setelah mendengar ramalanku?" 
"Hm...! Benar-benar aneh watak orang tua 
ini. Belum pernah rasanya aku bertemu orang 
seaneh ini sejak turun ke dunia persilatan...," 
gumam Pembunuh Iblis dalam hati. Lalu bibirnya 
berdecak-decak penuh keheranan. 
"Jangan berlagak, Bocah! Cepat cabut sen-
jatamu!" bentak Peramal Maut, garang. 
Tanpa menunggu tanggapan Pembunuh Ib-
lis, tiba-tiba Peramal Maut telah menerjang serta-
merta tongkat di tangan kanannya diputar-putar 
sehingga menimbulkan angin menderu-deru. 
Werrr! Werrr! 
Tentu saja Pembunuh Iblis tak ingin tu-
buhnya jadi sasaran empuk serangan-serangan 
Peramal Maut. Tanpa banyak cakap segera pe-
dang yang menggantung di pinggang diloloskan 
keluar. Langsung dihadapinya serangan tongkat 
Peramal Maut. 
Trang! Trang! 
Terlihat bunga api berpijar saat tongkat di 
tangan kanan Peramal Maut berbenturan dengan 
pedang Pembunuh Iblis di udara. Keduanya sa-
ma-sama terjajar beberapa langkah ke belakang. 
Teguh Sayekti mengeluh dalam hati, merasakan 
tangan kanannya yang terasa kesemutan akibat 
bentrokan tadi. Hal ini saja sudah membuktikan 
kalau tenaga dalamnya masih kalah satu atau 
dua tingkat di banding Peramal Maut. 
Meski demikian, bukan berarti Pembunuh 
Iblis harus menyerah begitu saja. Dengan meng-
gunakan jurus-jurus  andalan, pedang di tangan 
kanannya segera diputar sedemikian rupa. Seke-
tika angin kencang kontan menderu-deru, hingga 
membuat jubah Peramal Maut berkibar-kibar. 
"Hm...! Bagus! Rupanya kau mempunyai 
ilmu pedang yang lumayan juga, Bocah. Tapi jan-
gan dikira ilmu tongkatku hanya pepesan kosong 
belaka! Majulah kalau ingin merasakan gebukan 
tongkatku!" ejek Peramal Maut. 
"Heaaat...!" 
Pembunuh Iblis yang merasa penasaran 
segera menerjang Peramal Maut. Pedang di tan-
gan kanannya sengaja diarahkan lurus ke dada 
lawan. Sedang telapak tangan kirinya yang telah 
berubah menjadi biru siap pula melontarkan pu-
kulan maut. 
Bed! Bed! 
Pedang di tangan Pembunuh Iblis terus 
bergerak cepat di antara gulungan tongkat di tan-
gan lawan. Namun Peramal Maut bukanlah tokoh 
kemarin sore. Dengan amat mudah si tua ini da-
pat membaca ke arah mana datangnya serangan. 
Setelah membuang tubuhnya ke samping, dengan 
satu gerakan cepat luar biasa tiba-tiba tongkat-
nya digerakkan dari atas ke bawah, bermaksud 
menggeprak kepala Pembunuh Iblis. 
Werrr! 
Pembunuh Iblis mendengus gusar. Begitu 
melihat datangnya serangan, tubuhnya ditarik ke 
belakang. Sementara pedangnya bergerak me-
nangkis tongkat di tangan Peramal Maut. 
Prakk! Prakkk! 
"Aakh...!"