Siluman Ular Putih 24 - Wasiat Kematian(1)


Langit di ufuk sebelah barat sana telah 
berwarna merah menembaga. Bulatan besar sang 
Raja Siang yang mengambang di kaki langit, men-
gisyaratkan kalau hari telah beranjak senja. Bin-
tang-bintang di angkasa mulai terlihat satu-dua. 
Sesekali, terdengar beberapa kicau burung liar di 
ranting-ranting pohon. 
Dari arah matahari  terbenam, dua sosok 
bayangan tengah berkelebat menuju sebuah hu-
tan kecil. Gerakan mereka cepat luar biasa, seo-
lah mengambang. Hingga dalam waktu yang tidak 
lama, mulai memasuki kawasan hutan. 
Srakkk! Srakkk! 
Dua sosok bayangan itu menghentikan 
langkah di jalan setapak di hutan kecil ini. Untuk 
sesaat, dua sosok yang ternyata sepasang anak 
muda itu mengedarkan pandang ke sekeliling. 
Tak ada sesuatu yang mencurigakan. Hanya de-
sau angin semilir sore yang terdengar. 
Sosok gadis yang berada di sebelah kanan 
menghela napasnya. Wajahnya cantik. Usianya 
kira-kira tujuh belas tahun. Tubuhnya yang 
ramping padat dibalut pakaian indah terbuat dari 
benang sutera warna merah. Rambutnya digelung 
ke atas dihiasi beberapa mutiara indah yang be-
raneka warna. Di pinggangnya tergantung sebilah 
pedang. 
Sosok di samping si gadis adalah seorang 
pemuda tampan. Wajahnya berbentuk lonjong 
dengan rahang-rahang keras. Rambutnya yang 
hitam panjang sengaja dibiarkan tergerai di bahu. 
Bentuk tubuhnya yang tinggi kekar dengan otot-
otot bertonjolan. Sebuah rajahan bergambar ular 
putih kecil tergambar di dada. Di pergelangan 
tangannya tampak gelang dari akar bahar me-
lingkar. Pakaiannya rompi dan celana bersisik 
warna putih keperakan. Sebuah senjata anak pa-
nah aneh yang dilengkapi dua buah cakra kembar 
tampak pula terselip di balik punggung. 
"Oh...! Hyang Widi...! Apa yang harus kula-
kukan? Belum sempat aku bertemu ayah kan-
dungku, kenapa kau tega pisahkan aku dengan 
kakak kandungku...?" desah si gadis cantik ber-
baju merah, perlahan sekali. 
Walau  gadis itu telah berusaha menahan 
hatinya, namun tetap saja sepasang mata berbulu 
lentik itu basah. Namun agaknya hal itu sengaja 
dibiarkan. Membiarkan perasaannya terombang-
ambing dalam kegelisahan yang tak menentu. 
Hanya dengan cara itu ia berharap agar kesedi-
han dalam hatinya sirna. 
Hingga untuk beberapa saat, si gadis 
hanya mampu terisak. Tak ada kata-kata yang 
keluar dari bibirnya yang bergetar. 
"Kulihat wajahmu pucat pasi. Ada apa, 
Yustika?" tanya si pemuda berbaju rompi dan ce-
lana putih keperakan. 
Gadis yang memang Yustika alias Ratu Adil 
tak langsung menjawab. Kepalanya hanya meno-
leh sekilas ke samping, melihat pemuda yang tak 
lain murid Eyang Begawan Kamasetyo yang ten-
gah memperhatikan dirinya seksama. Ratu Adil 
menghela napas sesak. Pandang matanya pun 
kembali dialihkan ke depan. 
"Aku menyayangkan sekali kenapa Kakang 
Teguh Sayekti harus menemui ajal secepat itu...?" 
sahut Ratu Adil, mendesah. 
"Jangan terlalu dirisaukan, Yustika. Yang 
sudah terjadi tak ada gunanya lagi diingat," hibur 
Soma.  (Untuk mengetahui siapa dan bagaimana 
Teguh Sayekti yang bergelar Pembunuh Iblis bisa 
terbunuh, silakan baca episode: "Warisan 
Agung"). 
"Kedengarannya memang mudah melaku-
kan apa yang kau ucapkan, Soma. Walau aku su-
dah berusaha tabah, aku tetap tak dapat me-
mungkiri  hatiku. Aku merasa kehilangan sekali 
dengan meninggalnya Kakang Pembunuh Iblis. 
Apalagi aku belum dapat menemukan Gendon 
Prakoso, ayahku." 
"Aku tahu kesulitanmu, Yustika. Aku mak-
lum. Tapi tidak bisakah kau memandang semua 
kejadian ini dengan senyum? Dengan hati lapang 
tanpa terbebani sesuatu?" 
"Itulah yang sulit kulakukan. Soma." 
"Kau harus tabah, Yustika." 
Ratu Adil menggeleng perlahan. Meski isak 
tangisnya sudah reda, namun tetap saja hatinya 
masih dililit kesedihan. Dan perasaannya kian tak 
menentu. 
"Aku sudah mencoba tabah, Soma. Tapi, 
tetap saja tak bisa. Bertahun-tahun aku merin-
dukan ayah kandungku. Tapi kenyataannya, aku 
malah kian terombang-ambing oleh berbagai ma-
cam urusan yang tak kuinginkan sama sekali. 
Aku sedih, Soma. Belum sempat aku bertemu 
ayah kandungku, harus sudah kehilangan kakak 
kandung yang baru saja kutemukan," tandas Ra-
tu  Adil dengan suara lembut menyembunyikan 
kesedihannya. 
"Kalau kenyataan sudah begitu, kita mau 
apa lagi? Tak mungkin kita menyesal maupun 
membantah sesuatu yang sudah menjadi kehen-
dak Yang Maha Kuasa," kata Soma, berusaha bi-
jak. 
"Kau belum pernah merasakan betapa se-
dihnya bila mengalami nasib sepertiku. Jadi, wa-
jar saja kalau kau bicara begitu," terabas Ratu 
Adil. Kali ini pandangan matanya kembali beralih 
ke arah Siluman Ular Putih. 
Siluman Ular Putih tersenyum samar. 
"Siapa bilang begitu, Yustika? Walau aku 
masih memiliki ibu kandung, tapi apa kau pikir, 
bisa enak-enakkan seperti orang lain? Tidak! Satu 
beban berat masih membebani pundakku. Aku 
belum puas kalau belum mampu menolong ibu 
yang sampai sekarang masih berwujud ular putih 
raksasa. Apa itu tidak menyakitkan hatiku?" tu-
kas Siluman Ular Putih tak dapat mengendalikan 
perasaan bila sudah teringat akan penderitaan 
ibunya. 
Ratu Adil yang mendengar penjelasan Si-
luman  Ular Putih tercekal. "Benarkah apa yang 
kau ucapkan tadi. Soma?" 
"Apa ada gunanya berdusta, Yustika. Sam-
pai sekarang ibuku masih menjelma menjadi ular 
putih raksasa. Sedang, ayah kandungku telah te-
was di tangan Manusia Rambut Merah. Sebenar-
nya, aku ingin sekali menemukan makam ayah 
kandungku. Tapi, rasanya mustahil. Sebab, se-
waktu ayahku tewas, Manusia Rambut Merah te-
lah membuang mayatnya ke jurang," jelas Soma 
lagi. (Untuk mengetahui siapa ayah kandung Si-
luman Ular Putih yang tewas di tangan Manusia 
Rambut Merah, juga untuk mengetahui kenapa 
ibu Siluman Ular Putih sampai menjelma menjadi 
ular putih raksasa, baca episode perdana : "Miste-
ri Bayi Ular"). 
"Oh...! Tak kusangka kau pun mengalami 
nasib serupa. Soma. Lalu, di manakah ibumu se-
karang berada?" tanya Ratu Adil ingin tahu. Pan-
dang matanya pun tak lagi melecehkan seperti 
tadi. 
"Demi mewujudkan keinginannya untuk 
menjelma kembali jadi manusia biasa, sampai se-
karang ibuku masih bertapa di puncak Gunung 
Bucu bersama eyang. Eyang Begawan Kama-
setyo." 
"Oh...! Kalau begitu, nasibmu pun tak jauh 
berbeda denganku. Soma. Maafkan sikapku tadi." 
"Sudahlah! Tak usah kau cemaskan hal 
itu!" ujar Siluman Ular Putih. "Sekarang, bagai-
mana? Apa kau masih ingin menemukan ayah 
kandungmu?" 
"Tak mungkin aku membatalkan niatku. 
Soma. Walau sampai kapan pun, aku akan terus 
mencarinya." 
"Tentunya kau tak keberatan kalau aku 
membantunya, bukan?" ujar Siluman Ular Putih 
disertai senyum manis. Padahal sewaktu tadi ber-
cerita mengenai keadaan ibunya, hati Soma sem-
pat dibaluri perasaan sedih. Namun dengan ce-
pat, kali ini perasaannya sudah dapat dikendali-
kan kembali. 
Ratu Adil tak menjawab. Mengangguk pun 
tidak. Namun menilik senyumnya yang samar 
terkembang di bibir, Siluman Ular Putih jadi kian 
memperlebar senyumnya. 
"Ayo, kita lanjutkan perjalanan!" ajak So-
ma. Tangannya segera meraih lengan Ratu Adil. 
Yustika tak keberatan. Diam-diam hatinya 
senang sekali diperlakukan lembut seperti itu. 
Namun baru saja mereka hendak meninggalkan 
tempat itu, tiba-tiba saja.... 
Siang berganti siang 
Malam berganti malam 
Langkahku tetap tertatih 
Tetap tertuju ke satu arah. 
Tak ada jemu yang membelenggu 
Sebab aku tahu, kesedihan hanya perasaan 
semu 
Kenapa aku harus terharu? 
Bukan itu sikap Penghamba Sejati 
Sebab Rahmat Ilahi  terpentang di depan 
mata 
Mari kita teguh 
Mari kita tegakkan dada 
Niscaya segalanya kan berlalu.... 
Ratu Adil dan Siluman Ular Putih sejenak 
termangu di tempat masing-masing begitu men-
dengar suara yang tengah mendendangkan bait-
bait syair. Apalagi mereka merasa tersindir oleh 
kata-kata dalam syair itu. Namun anehnya, me-
reka sulit sekali menangkap makna sesungguh-
nya. Tapi yang jelas, suara halus itu jelas milik 
seorang perempuan karena terdengar halus. 
Sementara suara merdu itu tak henti-
hentinya mendendangkan bait-bait syair. Lama 
kelamaan  suaranya terdengar jelas. Tak selang 
beberapa lama, terlihat sesosok bayangan hijau 
tengah melenggang santai di jalan setapak dengan 
payung yang juga berwarna hijau terkembang di 
tangan kanan. 
"Siapakah dia, Soma? Tampaknya bait-bait 
syairnya tadi seperti  menyindir kita," bisik Ratu 
Adil di telinga Soma. 
Siluman Ular Putih hanya menggeleng. En-
tah, apa makna gelengan kepalanya. Namun ma-
tanya terus ditujukan ke arah sosok bayangan hi-
jau yang tengah mendekati tempat itu. 
Kening Siluman Ular Putih dan  Ratu Adil 
kian berkerut melihat sosok bayangan hijau yang 
semakin dekat ternyata seorang gadis cantik. 
Usianya pun tak jauh berbeda dengan Ratu Adil. 
Lima depa di hadapan Soma, gadis itu menghen-
tikan langkah. Terlihat tubuhnya yang tinggi 
ramping terbalut  pakaian ketat warna hijau pu-
pus tampak demikian menggiurkan. Padat berisi 
dengan sepasang buah dada montok. Apalagi dari 
tubuhnya menebarkan aroma harum bunga mela-
ti. Sedang rambut panjangnya yang hitam dige-
lung ke atas dengan hiasan-hiasan permata hijau. 
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil makin 
kagum saja melihat kemunculan gadis itu. Bukan 
saja kagum pada kecantikannya, tapi juga pada 
kepandaiannya. Jarak di antara mereka tadi cu-
kup jauh. Namun dengan menggunakan langkah-
langkahnya yang aneh, ternyata gadis berpakaian 
serba hijau itu mampu berada di tempat ini dalam 
waktu singkat! Lebih dari itu, rasa-rasanya bait-
bait syair yang tadi didendangkannya pun tak se-
suai dengan usianya yang masih muda! 
Sambil memutar-mutar gagang payung hi-
jau yang disandarkan di pundak, gadis berpa-
kaian hijau itu terus memperhatikan Siluman 
Ular Putih dan Ratu Adil. Sementara senyumnya 
yang manis tak pernah hilang dari bibirnya. 
"Wahai, sahabat-sahabat mudaku! Aku tak 
tahu, apakah kalian benar-benar tak menyukai 
kehadiranku, atau justru tak menyukai bait-bait 
syairku yang kudendangkan tadi. Yang manakah 
yang benar?" 
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil sejenak 
saling berpandangan. Makin kagum saja mereka? 
Bagaimana mungkin suara pembicaraan mereka 
dapat didengar oleh gadis cantik itu. Padahal ja-
rak mereka tadi cukup jauh sebelum gadis itu 
mendendangkan bait-bait syair! 
"Maafkan kami, Sobat! Sebenarnya bukan 
maksud kami tak menyukai kehadiranmu di sini. 
Terus terang, kami hanya merasa tersindir oleh 
syair-syairmu tadi," ucap Soma, jujur. 
"Oh..., begitu...?" Si gadis mengangguk-
anggukkan kepala. "Kalau begitu, aku yang harus 
minta maaf. Syair-syairku tadi tak bermaksud 
menyindir kalian. Ada apakah sebenarnya? Kena-
pa sobatku yang cantik ini tampak murung?" 
"Begini...," Siluman Ular Putih mulai men-
jelaskan. "Tapi sebelumnya, perkenalkan dulu so-
batku yang cantik ini. Namanya Yustika. Ia lebih 
dikenal sebagai Ratu Adil. Sedang aku adalah 
Soma. Kau sendiri siapa, Kawan?" 
"Hm...! Kau tak menyebutkan gelarmu. 
Pasti kau menyembunyikan sesuatu. Tapi, tak 
mengapa. Cuma kalau boleh kunasihati, jangan-
lah kalian terlalu tenggelam dalam kesedihan. Te-
rutama sekali kau, wahai sobat baruku Ratu 
Adil!" Gadis berbaju hijau itu menudingkan telun-
juk jari ke arah murid Ratu Alit. 
"Tunggu! Boleh saja kau menasihati. Tapi, 
katakan dulu siapa kau! Masa' kami sudah mem-
perkenalkan diri, kau tak mau menyambut rasa 
persahabatan kami?" potong Siluman Ular Putih. 
Si gadis tersenyum. 
"Tampaknya kau bernafsu sekali mengenal 
siapa aku, wahai sobatku Siluman Ular Putih." 
"Hey...? Kau sudah tahu julukanku? Dari 
mana kau tahu? Rasa-rasanya baru kali ini aku 
mengenalmu?" Siluman Ular Putih terperangah. 
Lagi-lagi si gadis berbaju hanya menyung-
gingkan senyum. 
"Tak usah kau ributkan persoalan itu, wa-
hai sobatku Siluman Ular Putih! Rajahan kecil di 
dadamu itu semakin membuatku yakin kalau 
kaulah Siluman Ular Putih yang akhir-akhir ini 
membuat gempar dunia persilatan." 
"Ya ya ya...! Tapi, siapa kau sebenarnya?" 
putus Siluman Ular Putih tak sabar. 
"Diterangkan pun kau tak kan mengerti. 
Karena, aku sendiri juga tak tahu siapa namaku. 
Hanya kalau tak salah ingatanku, dulu banyak 
orang yang menyebutku dengan panggilan Putri 
Hijau." 
"Putri Hijau?!" 
Siluman Ular Putih kaget bukan main. 
Meski belum pernah bertemu, namun menurut 
cerita eyangnya di Gunung Bucu, Putri Hijau ada-
lah seorang tokoh papan atas dunia persilatan 
yang jarang sekali menemui lawan tanding. 
Usianya sebenarnya amat tua. Mungkin sudah se-
ratus tahun lebih. Namun berkat kepandaiannya 
yang amat tinggi, Putri Hijau mampu merubah 
keadaan dirinya sesuai dengan perhitungan tang-
galan bulan. Konon, banyak tokoh sakti dunia 
persilatan yang menyebarkan desas-desus kalau 
kemunculan Putri Hijau sering membawa kebe-
runtungan bagi orang yang ditemui. 
Kebetulan sekali sore itu bulan sabit terli-
hat menggantung di ufuk langit sebelah timur. 
Hal ini menandakan kalau perhitungan tanggal 
bulan masih muda. Maka sosok di hadapan Silu-
man Ular Putih dan Ratu Adil yang bergelar Putri 
Hijau itu berupa sosok seorang gadis cantik! 
Menyadari siapa tokoh di hadapannya, bu-
ru-buru Siluman Ular Putih menarik lengan Ratu 
Adil. Dan bersamaan, mereka berlutut di hadapan 
Putri Hijau. 
"Maafkan kelancangan kami, Orang Tua. 
Sungguh mata kami buta tak tahu tengah berha-
dapan dengan Putri Hijau yang sangat dihormati 
tokoh-tokoh dunia persilatan." 
Putri Hijau tersenyum-senyum, merasa lu-
cu mendengar ucapan Siluman Ular Putih. Se-
dang Ratu Adil yang belum tahu siapa Putri Hijau 
hanya mengerutkan kcningnya. Heran. 
"Hik hik hik...! Kulihat matamu masih me-
lek. Masa' aku yang masih muda belia begini di-
panggil orang tua? Pakai berlutut lagi. Ayo, ban-
gun! Masa' berlutut di hadapan seorang gadis? 
Memalukan saja!" ujar Putri Hijau. 
"Benar, Soma. Kenapa kita mesti berlutut? 
Toh, usianya tak jauh berbeda dengan kita?" 
tambah Ratu Adil. 
"Kau benar, wahai sobatku Ratu Adil. Ayo, 
bangun!" ujar Putri Hijau lagi, tetap tak dapat 
menyembunyikan geli dalam hati. 
Siluman Ular Putih sebenarnya ingin mem-
bantah. Namun karena lengan dan pundaknya 
keburu ditarik Ratu Adil dan Putri Hijau, akhir-
nya pemuda itu menurut saja. 
"Nah...! Kalau begini kan enak. Masa' pakai 
berlutut segala," kata Putri Hijau. 
Siluman Ular Putih kesal bukan main. Sak-
ing kesalnya ia hanya garuk-garuk kepala. 
"Sobatku Putri Hijau! Bolehkah aku ber-
tanya padamu?" kata Ratu Adil. 
"Boleh. Katakan saja! Jangan sungkan-
sungkan seperti pemuda gondrong itu!" tuding 
Putri Hijau ke arah murid Eyang Begawan Kama-
setyo. 
Siluman Ular Putih meringis. 
"Begini...," Ratu Adil menghela napasnya 
sebentar. "Terus terang, aku sedang mencari se-
seorang yang bernama Gendon Prakoso. Apa kau 
mengenal nama itu?" 
"Wahai, sobatku Ratu Adil! Sungguh satu 
pekerjaan sulit mencari tokoh dunia persilatan 
hanya dengan mengetahui namanya saja. Sebab, 
kau pun tahu, banyak tokoh dunia persilatan 
yang lebih senang disebut julukannya. Apa kau 
tidak tahu julukan orang yang kau maksud?" 
Ratu Adil menggeleng pelan. "Sayang sekali 
aku tak tahu, Putri Hijau." 
"Hm...! Kalau begitu, kau akan menemui 
banyak kesulitan." 
"Aku sudah menemui banyak kesulitan, 
Putri Hijau. Tapi sesulit apa pun, aku harus da-
pat menemukan ayah kandungku," tegas Ratu 
Adil. 
"Ya ya ya...! Tadi aku memang mendengar 
pembicaraan kalian. Dan kau menyebut-nyebut 
nama ayah kandungmu. Tapi, kalau tak salah 
dengar, tadi kau pun menyebut-nyebut nama 
Pembunuh Iblis? Siapakah dia?" 
"Dia kakak kandungku yang baru saja ku-
temukan. Tapi sayang, dia telah tewas di tangan 
Hantu Tangan Api," jelas Ratu Adil. Mendadak, 
wajahnya jadi murung. 
"Wahai, sobatku Ratu Adil! Tadi bukankah 
aku sudah menasihatimu? Jangan terlalu tengge-
lam dalam kesedihan. Ambillah sesuatu yang 
menguntungkan di balik semua kejadian itu!" 
"Mustahil! Mana mungkin aku mengambil 
keuntungan dari kejadian-kejadian yang menya-
kitkan hatiku itu?! Belum juga aku bertemu ayah 
kandungku, eh, malah Kakang Pembunuh Iblis 
tewas. Keuntungan apa yang bisa kuambil dari 
kejadian ini, Putri Hijau?" tukas Ratu Adil. 
"Wahai, sobatku Ratu Adil! Tenangkanlah 
hati dan pikiranmu, niscaya kabut yang menyeli-
muti hatimu akan sirna. Cobalah menarik hik-
mah yang tersembunyi di balik kejadian itu. Ten-
tu kau akan berpikir lain. Seandainya saja kakak 
kandungmu yang bergelar Pembunuh Iblis itu tak 
tewas di tangan Hantu Tangan Api, mungkin ka-
kak kandungmu akan tertimpa satu musibah 
yang melebihi dari kematian," papar Putri Hijau.  
"Maksudmu...?" 
"Yah...! Semua itu tergantung dari Hyang 
Widi. Sebab, aku yakin, sesungguhnya Hyang Wi-
di itu sedang menginginkan sesuatu yang baik 
darimu. Untung saja, hanya kakak kandungmu 
saja yang tewas di tangan Hantu Tangan Api. Tapi 
kalau kau dan juga pemuda gondrong itu tewas, 
apa itu bukan celaka namanya?" 
"Hm...! Ya ya ya...! Samar-samar aku mulai 
paham, Putri Hijau. Lalu, mengapa sampai seka-
rang aku belum menemukan siapa ayah kan-
dungku?" 
"Itu pun merupakan sebagian dari kehen-
dak-Nya. Kalau misalnya kau bertemu dengan 
ayah kandungmu sejak dulu, mustahil kau akan 
jadi gadis lembut seperti ini. Mungkin, malah se-
baliknya. Jadi, pintar-pintarlah mengambil hik-
mah dari kejadian-kejadian yang menimpa. Jan-
gan malah sebaliknya!" urai Putri Hijau. 
"Kalau mendengar bicaramu, rasanya aku 
jadi lega. Tapi, apakah aku bakal dapat menemu-
kan ayah kandungku, Putri Hijau?" cetus Ratu 
Adil, seperti kurang yakin. 
"Tentu. Semua itu tergantung usaha. Bu-
kankah begitu, wahai sobatku Siluman Ular Pu-
tih? Kenapa melongo saja?" tukas Putri Hijau, ti-
ba-tiba melemparkan pendapatnya pada Siluman 
Ular Putih. 
Soma yang memang sedang melongo men-
dengarkan pembicaraan Putri Hijau dan Ratu Adil 
jadi tersentak kaget. 
"Aku.... Aku...! Habis aku senang sekali 
mendengar caramu bicara tadi, Orang Tua." 
"Hush...! Jangan panggil aku orang tua!" 
semprot Putri Hijau. 
"Lalu, aku harus memanggil apa?" 
"Terserah! Asal jangan orang tua." 
"Baik. Aku akan memanggilmu seperti ka-
wanku memanggilmu, sobatku Putri Hijau," cetus 
Soma akhirnya. 
"Bagus! Memang itulah yang kuinginkan. 
Sekarang, silakan kalau kalian ingin melanjutkan 
perjalanan! Aku sendiri rasa-rasanya juga sudah 
terlalu lama berada di tempat ini. Selamat ting-
gal!" 
Saat itu juga Putri Hijau segera melangkah 
seperti waktu datangnya. Namun hebatnya, 
meskipun seperti  melangkah biasa, tiba-tiba so-
soknya telah melesat jauh di depan sana. Lalu se-
bentar saja tubuhnya telah menghilang ke arah 
barat. 
Siang itu panas matahari terasa terik me-
manggang bumi. Hamparan tanah di sekitar Hu-
tan Curug Muncar terlihat kering kerontang di 
sana sini. Sementara angin berhembus semilir, 
menggoyang-goyangkan pepohonan dan semak 
belukar di sekitarnya. 
Searah hembusan angin siang, seorang le-
laki bertubuh tinggi besar tengah tertatih-tatih 
menyeret langkahnya. Parasnya yang kasar tam-
pak pucat pasi. Sedang sepasang matanya yang 
jalang bergerak-gerak liar ke sana kemari, seperti 
ingin meminta bantuan seseorang. Namun di hu-
tan sesunyi itu rasanya sulit menemukan orang 
yang dimaksudkan. 
Lelaki berjubah kuning ini mengeluh beru-
lang-ulang. Tampak sekali kalau keadaannya su-
dah sangat payah. Rambutnya yang gondrong te-
lah kusut masai tak terurus. Bercak-bercak darah 
pun tampak masih membekas di jubah kuning-
nya, pertanda tengah menderita luka dalam yang 
cukup parah. 
"Sial! Gara-gara Dewa Kegelapan dan Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni, nasibku jadi 
begini. Sudah kehilangan kekuasaan di Hutan 
Kenjeran, masih pula menderita luka dalam oleh 
salah satu dari Empat Iblis Merah dari Hutan Se-
runi itu. Oh.... Ke mana lagi aku harus mencari 
pertolongan?" sambil merutuki nasibnya, sepa-
sang mata lelaki itu beredar ke sekeliling. Berha-
rap kalau ada orang yang sudi mengobati luka da-
lamnya. 
Memang, lelaki ini tak lain dari Gembong 
Kenjeran dari Hutan Kenjeran. Semula, ia adalah 
pimpinan rampok yang berkuasa di sekitar Hutan 
Kenjeran. Namun ketika tiba-tiba didatangi oleh 
Dewa Kegelapan yang hendak merebut daerah 
kekuasaannya, sekaligus ingin menjadikan anak 
buahnya, nasib telah merubah jadi pecundang. 
Pada awalnya, Gembong Kenjeran memang tidak 
sudi diperlakukan seperti itu. Sebagai seorang 
pimpinan rampok jelas hatinya sangat tersing-
gung. Maka, terjadilah pertarungan dahsyat. 
Akan tetapi Gembong Kenjeran yang dibantu pu-
luhan anak buahnya ternyata tak mampu mela-
deni sepak terjang Dewa Kegelapan. Banyak anak 
buahnya yang tewas di tangan murid Empat Iblis 
Merah dari Hutan Seruni itu. Bahkan Gembong 
Kenjeran sendiri pun tak luput dari pukulan maut 
'Darah Iblis' milik Dewa Kegelapan yang teramat 
keji. (Baca serial Siluman Ular Putih dalam  epi-
sode: "Titisan Alam Kegelapan"). 
Akhirnya Gembong Kenjeran dan anak 
buahnya pun dapat ditaklukkan oleh Dewa Kege-
lapan. Namun kekuasaan Dewa Kegelapan yang 
ingin menguasai dunia persilatan tak berlangsung 
lama, tatkala Siluman Ular Putih datang mengo-
brak-abrik. Dan sewaktu terjadi pertarungan sen-
git antara Dewa Kegelapan dan Siluman Ular Pu-
tih, Gembong Kenjeran yang berakal cerdik segera 
melarikan diri. Kemudian lelaki telengas ini mela-
porkan kejadian yang menimpa Dewa Kegelapan 
pada Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni. Na-
mun, apa  yang diharapkan dari jerih payahnya 
hanya menemui kesia-siaan. Malah dengan cara 
kasar Gembong Kenjeran diusir oleh Empat Iblis 
Merah dari Hutan Seruni. Bahkan salah seorang 
dari Empat Iblis Merah menghadiahi satu puku-
lan maut. Untung saja Gembong Kenjeran masih 
sanggup bertahan. Walau dengan menderita luka 
dalam cukup parah, akhirnya ditinggalkannya 
Hutan Seruni. (Untuk lebih jelasnya mengenai hal 
ini, harap baca pula episode: "Tapak Merah Da-
rah"). 
"Setan alas! Seumur hidupku belum per-
nah aku diperlakukan sehina ini. Tak mungkin 
aku membiarkan penghinaan ini begitu saja. 
Tunggulah pembalasanku, Empat Iblis Merah ke-
parat!" dengus Gembong Kenjeran seraya mena-
han amarahnya yang menggelegak. 
Sambil terus melangkah terseret, beberapa 
saat mata Gembong Kenjeran masih jelalatan ke 
sana kemari. Ternyata harapannya terpangkas. Di 
hutan itu ia tak menemukan seorang pun. 
Namun semakin melangkah masuk ke da-
lam hutan, tiba-tiba Gembong Kenjeran menden-
gar gemericik suara air. Dengan tertatih-tatih le-
laki ini melangkah ke arah sebatang pohon. Dan 
dengan napas memburu disandarkannya tubuh-
nya di situ. Karena terdorong rasa haus yang seo-
lah ingin membakar tenggorokan, diputuskan-nya 
untuk mendekati sumber air. 
Namun, Gembong Kenjeran tidak segera 
meneruskan niatnya. Sebentar  ia menenangkan 
diri dengan sedikit mengerahkan tenaga dalam. 
Sejurus kemudian kembali kakinya melangkah 
tertatih-tatih ke arah sumber air. 
Tiba di sumber air, mata Gembong Kenje-
ran kontan membelalak lebar. Di hadapannya kini 
terlihat sebuah sendang dengan air terjunnya ke-
biruan diapit oleh tebing-tebing terjal berlumut 
hijau. Sendang kecil itu terus bergolak, dan men-
galirkan airnya ke sungai di samping. 
Melihat air jernih kebiru-biruan yang me-
limpah di hadapannya, Gembong Kenjeran buru-
buru mendekati bibir  sendang. Di musim kema-
rau yang berkepanjangan ini, memang tak mudah 
bagi orang untuk menemukan sumber air sejernih 
itu. Maka begitu berada di dekat bibir sendang, 
Gembong Kenjeran segera meraup airnya dengan 
kedua telapak tangan. Langsung dihirupnya air 
jernih itu puas-puas. Tak puas dengan itu, segera 
dibasuhnya muka, tangan, dan kakinya. 
Terasa segar kini tubuh Gembong Kenje-
ran. Sebagian jubahnya yang besar dan rambut-
nya yang awut-awutan basah oleh air sendang. 
Sejenak lelaki ini mendongakkan kepala ke atas. 
Tebing-tebing terjal di hadapannya begitu kokoh 
menjulang ke angkasa, laksana raksasa-raksasa 
hijau yang tegak kaku menantang langit. 
Ketika Gembong Kenjeran tengah asyik 
menikmati pemandangan indah di hadapannya, 
tiba-tiba telinganya mendengar suara seruling 
yang ditiup sayup-sayup. Wajah Gembong Kenje-
ran pun kontan berseri. Harapannya yang tadi 
sirna kembali tumbuh. 
"Ah...! Siapakah orang yang meniup suling 
itu?" tanya Gembong Kenjeran dalam hati. 
Sejenak pandangan lelaki itu beredar ke 
sana kemari, mencari-cari sumber suara. Namun 
entah kenapa, sumber suara itu sulit sekali dica-
ri, karena seperti menggema di segenap penjuru. 
Nada tiupan seruling itu pun terasa semakin me-
nusuk ke dalam relung hatinya yang paling da-
lam. 
"Setan! Kenapa hatiku jadi gelisah begini? 
Sepertinya suara tiupan suling itu membuat hati-
ku gundah. Seolah ingin mengajak untuk mengu-
bur dendam yang berkarat, sekaligus meninggal-
kan jalan sesat yang selama ini kutempuh. Edan! 
Siapakah peniup suling keparat itu!" dengus 
Gembong Kenjeran  merasa kesal mendengar ti-
upan suling itu. Hatinya yang tengah diamuk api 
dendam, jelas merasa panas sekali mendengar ti-
upan-tiupan suling itu. 
Tanpa pikir panjang, Gembong Kenjeran 
segera keluar dari sendang. Bagian bawah tubuh-
nya sampai lutut tampak basah oleh air sendang. 
Namun semua itu tak dipedulikannya. Kakinya 
terus melangkah menuju sumber suara tiupan se-
ruling tadi. 
Dari balik semak belukar yang meranggas, 
Gembong Kenjeran dapat menemukan sumber 
suara yang dicari. Ternyata si peniup seruling 
adalah seorang lelaki tua yang umurnya sulit se-
kali ditafsir. Tubuhnya kurus kering seolah tak 
bertenaga dibalut kain putih yang diselempang-
kan begitu saja. Seperti warna pakaiannya, ram-
but orang tua itu pun berwarna putih digelung ke 
atas. 
Wajah si kakek tampak demikian teduh 
menyisakan sisa-sisa ketampanannya di waktu 
muda. Sepasang matanya pun mencorong laksa-
na sepasang mata rajawali. Sambil duduk di atas 
batu putih besar, kakek renta itu asyik sekali 
meniup serulingnya, seolah-olah tak ingin peduli 
terhadap keadaan sekitar. 
"Edan! Tak kusangka tua bangka jelek itu 
yang meniup suling. Hm...! Tapi, tak mengapa. 
Asal tua bangka itu sudi mengobati luka dalam-
ku...," kata Gembong Kenjeran, menindih rasa tak 
puasnya begitu melihat orang yang meniup serul-
ing. 
Saat itu pula Gembong Kenjeran kembali 
melangkah mendekat. Namun anehnya, si kakek 
sedikit pun tak pedulikan oleh kedatangan Gem-
bong Kenjeran. Malah perasaannya semakin teng-
gelam oleh permainan serulingnya. 
"Tua bangka jelek! Apa kau tak mendengar 
kedatanganku, hah?!" bentak Gembong Kenjeran 
tiba-tiba. Kalau saja tak memerlukan pertolongan 
ingin rasanya lelaki telengas ini mengepruk han-
cur batok kepala kakek renta itu. Untung saja 
amarahnya masih dapat ditahan. 
Si kakek tak buru-buru menyahut. Perla-
han-lahan serulingnya diturunkan ke pangkuan. 
Namun perhatiannya masih belum juga dialihkan 
ke arah Gembong Kenjeran. 
"Setan! Kau jangan menjual lagak di hada-
pan Gembong Kenjeran, Tua Bangka Jelek!" maki 
Gembong Kenjeran lagi. 
"Bagi orang yang mengerti, perbuatan bu-
kanlah suatu jawaban pasti. Semua tak lepas dari 
hati dan niat suci yang terkandung dalam hati 
sanubari. Buat apa orang mengagungkan perbua-
tan kalau hanya ingin menipu diri sendiri? Sekali 
lagi, hanyalah niat suci dalam hati. Bukankah 
niat suci itu lebih mulia dibanding sabda raja 
yang lalim. Walau dipuji, namun sebenarnya di-
caci. Apa enaknya hidup menanggung caci maki, 
kalau sudah terbebani suatu tanggungan?"  
"Tua bangka jelek! Aku tak butuh khot-
bahmu! Aku tak butuh ocehanmu! Buat apa kau 
ngoceh ngalor-ngidul kalau tak jelas juntrung-
nya!" dengus Gembong Kenjeran kesal bukan 
main. 
"Begitulah kalau hati sanubari sudah tertu-
tup nafsu. Apa pun yang ada di depan selalu 
membuat hati jadi terpisah jauh dari keinginan 
yang sebenarnya. Semua serba gelap. Mengam-
bang!" 
"Tua  bangka budek! Aku tak butuh oce-
hanmu!" terabas Gembong Kenjeran kasar bukan 
main. 
Di akhir kalimatnya, kaki kanan Gembong 
Kenjeran menghentakkan kuat-kuat ke bawah. 
Seketika lobang besar kontan tercipta dari bekas 
pijakan kakinya. Sedang Gembong Kenjeran sen-
diri telah berpindah dua tombak di hadapan si 
kakek. Sementara, tanah dan bebatuan berpenta-
lan ke sana kemari, membuat tempat itu jadi ge-
lap. 
Namun anehnya kakek renta di hadapan 
Gembong Kenjeran malah menyunggingkan se-
nyum. Sedikit pun hatinya tidak tersinggung atas 
kekasaran sikap maupun omongan Gembong 
Kenjeran. 
"Anak manusia! Kulihat luka di tubuhmu 
masih belum seberapa bila dibanding luka hati-
mu. Buanglah semua yang membebani hatimu. 
Niscaya kau akan hidup tenang selama-lamanya," 
ujar kakek renta itu arif. Nada suaranya pun enak 
didengar telinga. 
Gembong Kenjeran yang tak dapat lagi 
mengendalikan amarah malah maju selangkah ke 
depan. Kedua telapak tangannya yang terkepal 
erat, siap meremukkan batok kepala orang tua 
itu. Namun belum sempat meneruskan niatnya.... 
"Anak manusia! Kulihat dalam tubuhmu 
mengeram satu hawa racun keji. Apakah kau ba-
ru saja terkena pukulan 'Darah Iblis' milik Peng-
huni Kubur?" tanya kakek itu kalem. 
Gembong Kenjeran tercekat tak melan-
jutkan niatnya. Untuk sesaat matanya hanya 
memandangi kakek renta di hadapannya terhe-
ran-heran. Lalu, perlahan-lahan kedua telapak 
tangannya yang terkepal erat pun diturunkan. 
"Edan! Kalau tua bangka ini sampai tahu 
bahwa aku terkena pukulan 'Darah Iblis', bukan 
mustahil kesaktiannya hebat. Kukira...." 
"Anak manusia! Kenapa diam? Kenapa tak 
menjawab pertanyaanku? Apa benar Penghuni 
Kubur yang telah mencelakakanmu?" tanya si ka-
kek membuyarkan kegusaran hati Gembong Ken-
jeran. 
"Bukan Penghuni Kubur. Tapi Dewa Kege-
lapan dan Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni-
lah yang telah mencelakakanku," sahut Gembong 
Kenjeran ketus. 
"Oh...! Pantas. Empat Iblis Merah adalah 
adik-adik seperguruan dari Penghuni Kubur. La-
lu, siapakah Dewa Kegelapan itu? Rasa-rasanya 
aku belum pernah mendengar namanya?" 
"Dia murid Empat Iblis Merah!"  
"Hm...! Jadi tetap saja ada hubungannya 
dengan Penghuni Kubur," gumam kakek renta itu 
seraya menganguk-angguk. (Untuk mengenal sia-
pa Penghuni Kubur lebih lanjut silakan ikuti: 
"Murka Penghuni Kubur"). 
Gembong Kenjeran diam tak menyahut. 
Kali ini sikapnya mulai lunak, enggan untuk ber-
laku kasar terhadap kakek renta di hadapannya. 
Sebab ia tahu, kakek renta di hadapannya pasti 
memiliki ilmu yang tinggi. "Tapi, siapakah sebe-
narnya tua bangka ini? Kalau ia mengenal Peng-
huni Kubur, bisa jadi tua bangka ini adalah salah 
seorang tokoh papan atas dunia persilatan. Tapi, 
siapa? Kalau melihat ciri-cirinya, jangan-jangan 
dia adalah...." 
Ketika otak Gembong Kenjeran mem-
bayangkan suatu nama, matanya langsung berbi-
nar. 
"Orang tua! Apakah kau yang bergelar 
Eyang Bromo?" tanya Gembong Kenjeran tiba-
tiba. Kali ini nada bicaranya berubah sangat lu-
nak, tak seperti tadi. 
"Nama hanyalah satu hiasan yang banyak 
bertebaran di muka bumi ini. Bernama maupun 
tak bernama, sebenarnya manusia itu sama saja. 
Semua tergantung dari hati nurani, akal pikiran, 
dan perilaku," kata lelaki tua yang sebenarnya 
memang Eyang Bromo. 
"Terserah kau mau ngomong apa, Orang 
Tua! Yang jelas, aku yakin kaulah yang bergelar 
Eyang Bromo yang merupakan seorang tokoh pa-
pan atas dunia persilatan nyaris tanpa tanding. 
Jika kau tadi tahu kalau dalam tubuhku menge-
ram satu hawa racun, harap sudilah menolongku, 
Orang Tua!" pinta Gembong Kenjeran. 
"Tolong menolong adalah ungkapan rasa 
manusiawi sebagai penghuni alam mayapada ini. 
Bila hati nurani bicara, semua akan terasa indah. 
Semua akan terasa sama. Tak peduli itu rakyat 
jelata, pengemis, saudagar, maupun raja sekali-
pun. Hati yang buta hanya akan menyebabkan 
rasa kasih yang terpangkas. Membeda-bedakan 
satu dengan lainnya. Padahal, di muka bumi ini 
semua manusia sama. Kenapa...." 
"Orang tua! Terus terang aku tak mengerti 
apa maksud ucapanmu! Aku hanya ingin kau 
mengobati lukaku. Tak lebih," potong Gembong 
Kenjeran tak sabar. 
Namun sebenarnya lelaki ini merasa heran. 
Sewaktu Eyang Bromo bicara tadi hatinya seperti 
merasakan satu hawa dingin. Ucapan-ucapan si 
kakek seolah menembus ke dalam relung hatinya 
yang paling dalam, sekaligus juga membuat hawa 
panas yang mengeram dalam tubuhnya sirna!  
"Seperti kukatakan tadi, sebenarnya hawa 
racun keji yang mengeram dalam tubuhmu masih 
kalah keji dibanding apa yang tersirat dalam hati 
nuranimu. Itulah sebenarnya yang harus kau ob-
ati, Anak Manusia! Jangan tanyakan aku bagai-
mana caranya? Melainkan, kaulah sendiri yang 
dapat mengobati luka hatimu," ungkap Eyang 
Bromo. 
Gembong Kenjeran bergetar. Hawa dingin 
yang keluar dari ucapan Eyang Brono kini dirasa-
kannya kian menindih hawa panas yang menga-
duk-aduk dalam hatinya. Hingga tanpa disadari, 
luka dalam yang diderita Gembong Kenjeran pun 
sembuh seperti sedia kala! 
"Orang tua!  Jangan memancingku untuk 
bertindak kasar padamu! Aku hanya ingin kau 
menyembuhkan luka dalamku. Tapi, kenapa kau 
malah bicara ngalor-ngidul tak ketahuan jun-
trungnya?!" hardik Gembong Kenjeran. 
Kali ini, kembali amarah Gembong Kenje-
ran tersulut. Padahal, tadi sempat padam begitu 
menyadari orang tua di hadapannya adalah 
Eyang Bromo. 
"Ucapan bukan berarti tinggal ucapan. Hati 
nurani yang bersih dapat memilah, mana kata-
kata yang benar dan mana yang salah." 
"Eyang Bromo! Tak ada gunanya kau me-
nasihatiku! Aku muak dengan kata-katamu! Se-
karang, tinggal pilih mau menyembuhkan luka 
dalamku atau tidak?!" ancam Gembong Kenjeran 
sengit. 
Kalau seandainya di hadapannya bukan 
Eyang Bromo, sudah pasti kepalan tangan Gem-
bong  Kenjeran sudah menebas sasaran. Namun 
bagaimanapun juga, lelaki telengas ini tak berani 
bertindak  gegabah. Ia cukup tahu, siapa Eyang 
Bromo yang sangat disegani. Baik di kalangan 
orang-orang golongan putih, maupun orang-orang 
golongan hitam. 
Melihat kemarahan Gembong Kenjeran, 
Eyang Bromo hanya tersenyum. Sepasang ma-
tanya yang tajam sempat melirik ke telapak tan-
gan Gembong Kenjeran yang sudah terkepal erat. 
"Aku yakin. Sepeninggal ku nanti, kau pas-
ti akan menyadari apa kekeliruanmu. Juga, me-
nyadari apa yang telah kulakukan padamu. Sela-
mat tinggal, Anak Manusia!" 
"Tunggu! Kau belum melakukan apa pun 
terhadapku!" cegah Gembong Kenjeran kesal bu-
kan main. 
Namun Eyang Bromo tak mau peduli. Ka-
rena hanya sekali menutulkan tangannya ke ba-
wah, tiba-tiba sosoknya telah melenting tinggi ke 
udara. Begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya 
pun telah berkelebat cepat luar biasa, mendaki 
tebing curam di hadapan Gembong Kenjeran. Se-
dikit pun ia tak merasa terganggu oleh licinnya 
tebing curam yang berlumut itu. Sebentar saja, 
sosoknya menghilang di balik mulut tebing hijau 
jauh di atasnya. 
Melihat kehebatan ilmu meringankan tu-
buh Eyang Bromo, mau tidak mau Gembong Ken-
jeran jadi berdecak kagum. Rasanya sulit masuk 
akal kalau orang tua renta yang tampaknya tak 
bertenaga itu mampu mendaki tebing terjal di ha-
dapannya dengan kecepatan luar biasa! 
"Edan! Benar-benar lihai, Tua Bangka Ke-
parat itu! Hm...! Tak heran kalau ia menduduki 
papan atas dunia persilatan. Tapi, sial! Ia tak 
mau menyembuhkan luka dalamku. Eh..., tung-
gu! Kenapa hawa panas yang mengaduk-aduk da-
lam tubuhku sirna? Kenapa tiba-tiba saja tubuh-
ku jadi segar begini? Apa yang telah dilakukannya 
padaku? Bukankah tadi ia tak melakukan apa-
apa selain bicara? Tapi, kenapa luka dalamku 
sembuh seperti sediakala? Ah...! Menyesal sekali 
aku telah memperlakukannya kasar. Hm.... Jelas! 
Secara diam-diam, Eyang Bromo pasti telah me-
nyembuhkan luka dalamku. Entah dengan cara 
apa luka dalamku bisa disembuhkan olehnya...." 
Gembong Kenjeran tak henti-hentinya ber-
decak kagum. Sebenarnya kalau lelaki ini mau 
berpikir, justru dari ucapan-ucapan Eyang Bromo 
yang bermakna tinggi itulah luka dalamnya bisa 
disembuhkan. Tapi sayang, memang otaknya ter-
lalu bebal. Ditambah, hatinya telah tersaput den-
dam. Sehingga ia tak mampu berpikir sejauh itu. 
Sejak meninggalkan Curug Muncar, Gem-
bong Kenjeran bertekad akan mencari seorang 
guru yang memiliki kesaktian tinggi. Rasa den-
damnya pada Siluman Ular Putih dan pada Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni yang sampai 
sekarang dikira masih hidup, tak mungkin dapat 
ditepiskan begitu saja. Bagaimanapun juga, sela-
ma nyawa masih di kandung badan, lelaki ini ber-
tekad akan menuntut balas. Malah kalau perlu 
ingin sekali menguasai dunia persilatan agar wi-
bawanya terangkat. 
Untuk itu, Gembong Kenjeran berjalan 
berhari-hari mencari tokoh-tokoh sakti untuk di-
jadikan guru. Sayang sudah sekian lama men-
gembara belum mampu juga mewujudkan keingi-
nannya. Namun Gembong Kenjeran tidak putus 
asa. Diiringi tekadnya yang amat membara, sam-
pailah lelaki ini di sebuah sendang kecil yang di-
apit pohon-pohon besar menjulang tinggi. 
Gembong Kenjeran menghentikan lang-
kahnya di dekat batang pohon beringin besar 
yang tumbuh rindang di tepian sendang. Matanya 
sejenak beredar ke sekeliling dan berakhir di 
permukaan air sendang yang tenang tak berge-
lombang. Hanya sesekali permukaan air sendang 
itu bergoyang manakala angin semilir siang itu 
berhembus, seolah-olah menyisir permukaan 
sendang. 
Gembong Kenjeran terpaku di tempatnya. 
Hawa sejuk di sekitar sendang terus mengelus-
elus kulit tubuh, namun lelaki ini tak peduli. Kini, 
pandang matanya terarah pada akar-akar gan-
tung pohon beringin yang luruh berjuntai me-
nembus permukaan sendang. 
Lama memperhatikan permukaan sendang, 
tiba-tiba Gembong Kenjeran merasa diserang kan-
tuk hebat luar biasa. Berkali-kali ia menguap le-
bar dengan mata memerah. 
"Ada apa ini? Kenapa aku jadi ngantuk be-
gini?" tanya Gembong Kenjeran, heran. 
Semakin lelaki itu menahan rasa kantuk, 
anehnya semakin hebat saja matanya terasa be-
rat. Gembong Kenjeran mengeluh. Meski hatinya 
diliputi keheranan, namun akhirnya tubuhnya 
disandarkan  juga ke batang pohon. Lalu perla-
han-lahan tubuhnya pun luruh ke tanah dan ter-
tidur pulas! 
Namun belum sepuluh hitungan tertidur, 
Gembong Kenjeran pun terjaga ketika sekujur tu-
buhnya terasa bergetar hebat. Dan tatkala kedua 
kelopak matanya membuka kontan membeliak le-
bar. Air sendang di hadapannya tiba-tiba bergo-
lak, seperti ada seekor naga besar tengah murka 
di dasarnya. 
"Kejadian aneh apa lagi ini? Tak mungkin 
air sendang bergolak sendiri," kata batin Gem-
bong Kenjeran. 
Tubuh lelaki ini pun kian bergetar hebat. 
Dicobanya untuk mengerahkan tenaga dalam. 
Namun, usaha tokoh sesat dari hutan Kenjeran 
itu hanya menemui kesia-siaan. Tubuhnya malah 
makin bergetar hebat. Sedang permukaan sen-
dang di hadapannya pun makin bergolak dahsyat 
sampai membuncah tinggi ke udara! 
Gembong Kenjeran cepat melompat bang-
kit. Sepasang matanya kian membelalak lebar. 
Terdorong rasa penasaran, membuatnya ingin 
melihat apa yang tengah terjadi di dasar sendang. 
Sejurus kemudian, apa yang membuatnya heran 
pun terjadi. Perlahan-lahan dari dasar sendang 
menyembul sesosok tubuh ke permukaan. 
Sosok tubuh itu adalah seorang kakek ren-
ta berpakaian serba hitam. Wajahnya tirus den-
gan rambut memutih digelung ke atas. Dan kini 
kakek renta yang memiliki tubuh kurus itu telah 
muncul ke permukaan sendang  dalam keadaan 
masih bersemadi! 
"Edan! Siapakah orang tua yang bersemadi 
di dasar sendang ini? Hm...! Siapa pun dia 
adanya, pasti memiliki kesaktian tinggi. Dan aku 
harus dapat membujuknya agar sudi menerimaku 
sebagai murid...," gumam Gembong Kenjeran da-
lam hati. 
Saat itu juga, Gembong Kenjeran segera 
berlutut di pinggir sendang. Kedua telapak tan-
gannya menelangkup di depan hidung. 
"Orang tua! Sungguh aku yang bodoh ini 
patut mengagumimu. Terimalah rasa hormatku!" 
Sosok kakek renta yang tubuhnya masih 
mengambang di permukaan air mulai membuka 
kelopak matanya. Sekilas matanya sempat melirik 
tajam ke arah Gembong Kenjeran yang masih du-
duk berlutut di pinggir sendang. Lalu entah den-
gan menggunakan ilmu apa, tiba-tiba tubuhnya 
pun mulai bergerak menuju tepian sendang. Keti-
ka berjarak satu tombak ia segera melompat ke-
luar dari sendang.  
"Hup!" 
Kaki-kaki kurus kakek renta itu mendarat 
mantap di samping Gembong Kenjeran tanpa me-
nimbulkan suara sedikit pun. Perlahan-lahan 
Gembong Kenjeran mendongakkan kepala ke 
atas. Aneh! Ternyata pakaian kakek renta itu ti-
dak basah! 
Gembong Kenjeran terpekik kagum dalam 
hati. Tekadnya untuk berguru dengan orang tua 
di hadapannya makin bulat saja. 
"Sungguh merupakan satu kehormatan be-
sar aku dapat bertemu seorang tokoh sakti ma-
cam kau, Orang Tua. Kalau boleh tahu, siapakah 
sebenarnya kau ini?" 
"Lancang! Kau tak pantas mendahului ber-
tanya! Aku tanya, siapa namamu, Anak Manu-
sia?" hardik lelaki renta berpakaian serba hitam 
itu ketus. Sepasang matanya yang mencorong 
tampak demikian dingin menyembunyikan watak 
keji. 
"Ak.... Aku Gembong Kenjeran, Orang Tua," 
jawab Gembong Kenjeran. 
"Bodoh! Aku tidak tanya siapa gelarmu! 
Aku tanya nama aslimu, tahu?' sergahnya galak. 
"Oh..., itu!" sahut Gembong Kenjeran gu-
gup. "Nama asliku..., Gendon Prakoso,  Orang 
Tua." 
"Huhh...!" Kakek renta itu mendengus ang-
kuh. "Ketahuilah, Gendon! Akulah yang bernama 
Eyang Pamekasan...." 
"Eyang Pamekasan...?!" 
Gembong Kenjeran yang ternyata bernama 
Gendon Prakoso terperangah seolah tak percaya. 
Lalu buru-buru kedua telapak tangannya kembali 
menelangkup di depan hidung penuh hormat. 
"Maafkan aku, Orang Tua! Sungguh aku 
tak tahu kalau hari ini tengah berhadapan den-
gan orang tua sakti yang bergelar Eyang Pameka-
san," lanjut Gembong Kenjeran. 
Sebagai seorang tokoh dunia persilatan, 
Gembong Kenjeran alias Gendon Prakoso tahu 
siapa Eyang Pamekasan. Dia tak lain adalah seo-
rang tokoh papan atas dunia persilatan yang me-
nempuh jalan sesat. Bahkan sepak terjangnya 
sering membuat tokoh-tokoh golongan putih jadi 
kecut. Hal ini tentu saja  disambut gembira oleh 
tokoh-tokoh golongan hitam. Namun sayangnya, 
Eyang Pamekasan lebih banyak menghabiskan 
waktunya dengan bertapa. 
Pernah sekali waktu Eyang Pamekasan ke-
luar dari tempatnya bertapa. Itu pun karena di-
panggil oleh cucunya yang bergelar Pangeran Pe-
mimpin. Demi membantu Pangeran Pemimpin 
yang bermaksud ingin merebut takhta Kadipaten 
Pleret, akhirnya tokoh itu keluar dari tempatnya 
bertapa. Namun sayang, sepak terjangnya dapat 
dihentikan Siluman Ular Putih yang dibantu pen-
dekar-pendekar sakti  seperti Penyair Sinting 
maupun Ki Rombeng. Bahkan dalam pertarungan 
besar-besaran, Pangeran Pemimpin tewas di tan-
gan Putri Sekartaji. Untung saja, Eyang Pameka-
san dapat meloloskan diri dari tangan Penyair 
Sinting. (Untuk mengetahui siapa Eyang Pameka-
san dan Pangeran Pemimpin, silakan baca epi-
sode : "Sengketa Takhta Leluhur"). 
"Ketahuilah, Gendon! Sesungguhnya kau 
sangat beruntung bertemu denganku. Jarang se-
kali aku keluar dari tempatku bertapa kalau tak 
ada satu keperluan yang mendesak," kata Eyang 
Pamekasan, dibaluri sifat jumawa. 
"Seandainya saja aku mampu, ingin ra-
sanya aku membantumu, Orang Tua. Bolehkah 
kiranya aku mencoba membantu apa yang men-
jadi urusanmu?" Gendon Prakoso menawarkan 
diri. 
Eyang Pamekasan tidak menyahut. Hanya 
matanya saja yang tajam memperhatikan Gem-
bong Kenjeran. 
"Aku yakin kau tidak akan mampu. Mereka 
bukanlah tandinganmu." 
"Siapakah orang-orang yang kau maksud-
kan itu, Orang Tua?" kejar Gendon Prakoso pena-
saran. 
"Huh...!" Eyang Pamekasan mendengus. 
"Mereka tak lain Siluman Ular Putih dan Penyair 
Sinting." 
"Siluman Ular putih dan Penyair Sinting?!" 
sentak Gembong Kenjeran, lagi-lagi terperangah 
kaget. "Kebetulan sekali. Aku pun sedikit punya 
silang sengketa dengan Siluman Ular Putih. Seca-
ra langsung maupun tidak, pemuda gondrong itu-
lah yang membuat hidupku jadi begini. Tanpa 
kau minta pun, aku pasti akan membunuh Silu-
man Ular Putih dan sahabat-sahabatnya. Terma-
suk, juga Penyair Sinting," tegas Gembong Kenje-
ran. 
"Bagus! Aku senang sekali mendengar uca-
panmu. Bila kau sanggup menjalankan Wasiat 
Kematian yang kututurkan tadi, aku sudah san-
gat senang sekali bertemu denganmu. Makanya 
tadi aku bilang, kau adalah manusia yang berun-
tung." 
"Maksudmu...?" 
"Kau tahu, lawan-lawan yang kau hadapi 
tidak bisa dianggap remeh. Mereka semua adalah 
pendekar-pendekar sakti. Maka untuk membekali 
dirimu mencari musuh-musuhku, aku akan men-
gangkatmu menjadi murid." 
"Hah?!" 
Benar-benar pucuk dicinta ulam tiba. 
Gembong Kenjeran sungguh tak menyangka ka-
lau Eyang Pamekasan tengah mencari murid un-
tuk membalaskan dendamnya. 
"Bagaimana? Kau keberatan?" tanya Eyang 
Pamekasan. 
"Sungguh merupakan karunia besar bagi-
ku. Tak mungkin aku menolak permintaanmu, 
Orang Tua," sahut Gendon Prakoso alias Gem-
bong Kenjeran. 
"Bagus! Tapi ingat! Sebelum kau kuangkat 
jadi murid, kau harus bersumpah setia padaku!" 
"Aku tidak keberatan melakukan sumpah, 
Orang Tua." 
"Jangan banyak omong! Bangun dan ber-
sumpahlah di hadapanku!" ujar Eyang Pameka-
san, kasar.  
"Baik." 
Gembong Kenjeran cepat melompat ban-
gun, dan berdiri sejenak menghadap Eyang Pa-
mekasan. Lalu segera digigitnya pergelangan tan-
gan hingga mengeluarkan darah. 
"Demi darah yang mengalir dari urat nadi-
ku! Juga, demi mewujudkan permintaan guruku 
Eyang Pamekasan, aku bersumpah akan selalu 
setia dan patuh pada semua perintah. Apa pun 
yang akan terjadi, walau nyawa taruhannya!" 
Setelah bersumpah dengan suara lantang, 
Gembong Kenjeran segera berlutut di hadapan 
Eyang Pamekasan. 
"Terimalah salam hormatku. Guru!" ucap 
Gembong Kenjeran sambil menelangkupkan ke-
dua telapak tangan di depan hidung. 
Eyang Pamekasan mengangguk-angguk 
angkuh. Dan tiba-tiba tawanya yang bergelak pun 
meledak. 
"Bagus-bagus! Aku senang sekali menden-
gar sumpahmu, Muridku. Tapi bila kau melang-
gar sumpah, jangan dikira aku tak tahu. Aku pas-
ti akan mencari dan membunuhmu!" 
"Tak mungkin aku berani melanggar sum-
pahku. Guru." 
"Bagus!" sambut Eyang Pamekasan cepat. 
Lalu kedua bibirnya pun kembali bergerak-gerak. 
"Kalau saja aku belum setua ini, ingin rasanya 
aku membunuh musuh-musuhku dengan tan-
ganku sendiri. Hm...! Tapi, sudahlah! Ayo, seka-
rang ikut aku!" 
Gembong Kenjeran tak berani membantah. 
Begitu melihat Eyang Pamekasan melangkah me-
nuju batu besar tak jauh dari tempat itu, lelaki ini 
segera menyusul. Maka sejak hari itulah Gem-
bong Kenjeran mulai mempelajari ilmu-ilmu an-
dalan Eyang Pamekasan. 
Waktu terus bergulir. Tak terasa tiga bulan 
terlewat sudah sejak Gendon Prakoso yang berju-
luk Gembong Kenjeran diangkat sebagai murid 
oleh Eyang Pamekasan. Di pinggir sendang tem-
pat Eyang Pamekasan bertapa, kini Gembong 
Kenjeran sibuk melatih jurus-jurus silat andalan. 
Banyak sudah ilmu tingkat tinggi andalan Eyang 
Pamekasan yang telah diserap Gembong Kenje-
ran. Di antaranya adalah pukulan 'Pelebur Bumi', 
aji 'Panglarut Banyu Putih', bahkan aji 'Setan Ko-
ber' yang dahsyat luar biasa. 
Kini Gembong Kenjeran bukanlah Gem-
bong Kenjeran tiga bulan lalu yang dengan mu-
dahnya dapat dipermainkan orang. Setelah men-
dapat gemblengan keras dari Eyang Pamekasan, 
kesaktiannya bertambah berlipat ganda. 
"Hea! Hea!" 
Dengan bentakan-bentakan keras, tubuh 
Gembong Kenjeran berkelebat cepat ke sana ke-
mari. Angin berkesiur keras manakala tendangan 
dan pukulan-pukulannya terlontar. Bahkan sebe-
lum batang-batang pohon di depannya sempat 
terkena tendangan dan pukulan, terlebih dulu te-
lah berderak-derak. 
Brakkk! 
Sebatang pohon sebesar dua lingkaran 
tangan manusia dewasa kontan tumbang begitu 
terkena pukulan 'Pelebur Bumi' milik Gembong 
Kenjeran. Bagian batang pohon yang terkena pu-
kulan langsung berubah hitam kusam dan men-
gepulkan asap kehitam-hitaman! 
Eyang Pamekasan yang duduk tak jauh da-
ri tempat berlatih hanya mengangguk-angguk se-
raya bertepuk tangan. 
"Bagus! Aku senang sekali melihat kema-
juanmu, Gendon," puji lelaki tua itu. 
Gembong Kenjeran berbalik. Kedua telapak 
tangannya ditelangkupkan sebentar di depan hi-
dung. 
"Ini semua tidak lepas dari bimbinganmu, 
Guru," ucap Gembong Kenjeran. 
Eyang Pamekasan tertawa bergelak. 
"Kau sungguh pintar menyenangkan hati-
ku, Gendon. Hayo, lekas keluarkan aji 'Panglarut 
Banyu Putih'! Aku ingin melihat, apa kau sudah 
mengalami kemajuan atau belum." 
"Baik, Guru." 
Gembong Kenjeran menghormat sebentar, 
lalu segera berbalik. Dicarinya sasaran serangan 
sejenak, baru kemudian mulai mengerahkan aji 
'Panglarut Banyu Putih'. Seketika kedua telapak 
tangannya telah berubah menjadi putih berki-
lauan hingga pangkal lengan, saat tenaga dalam-
nya dikerahkan. 
"Hea!" 
Bersamaan teriakannya yang mengguntur, 
tiba-tiba Gembong Kenjeran menyentakkan kedua 
telapak tangannya ke depan. Seketika dua gulun-
gan asap tebal berwarna putih berkilauan yang 
menebarkan hawa dingin bukan kepalang melu-
ruk ke depan! 
Pesss! 
Dua batang pohon besar di hadapan Gem-
bong Kenjeran langsung terbungkus dua gulun-
gan asap tebal dari kedua telapak tangan Gem-
bong Kenjeran. Seketika bumi terasa bergetar he-
bat diiringi suara gemeretak dari ranting-ranting 
pohon yang berjatuhan! Dan saat kedua telapak 
tangannya diturunkan kembali, dua batang po-
hon besar itu pun luruh ke tanah berubah men-
jadi kepingan-kepingan kecil berwarna putih ke-
pucatan! 
"Aji 'Setan Kober'!" terdengar Eyang Pame-
kasan memerintah. 
Gembong Kenjeran tidak menyahut, kecua-
li segera memusatkan pikirannya untuk menge-
rahkan apa yang diperintahkan Eyang Pemeka-
san. Begitu tenaga dalamnya dikerahkan, seketi-
ka dua telapak tangannya telah berubah menjadi 
hitam legam. Lebih hebatnya lagi, tiba-tiba dari 
kedua telapak tangannya menyembul dua sosok 
bayi hitam yang mengerikan. Lalu tangan-tangan 
bayi hitam itu pun menjulur-julur ke depan, 
menggapai-gapai dua batang pohon besar di ha-
dapannya. 
Krekkk! Krekkk! 
Batang-batang pohon dalam cengkeraman 
tangan-tangan bayi hitam itu bergetar hebat. Per-
lahan-lahan batang-batang pohon itu telah beru-
bah hitam legam. Tak lama kemudian batang-
batang pohon itu pun tumbang. Bagian-bagian 
batang yang terkena cengkeraman tangan-tangan 
bayi hitam itu tampak hangus terbakar! 
Plok! Plok! Plokkk! 
"Bukan main! Tak kusangka kau telah 
menguasai hampir semua ilmu simpananku da-
lam waktu singkat. Muridku," puji Eyang Pame-
kasan gembira bukan main. 
"Guru terlalu memuji. Padahal bila diband-
ing kehebatan Guru, aku masih belum seberapa." 
"Jangan membandingkanku denganmu, 
Gendon. Kau memang masih belum apa-apanya 
dibanding aku. Tapi setidaknya, kaulah wakilku 
untuk membasmi musuh-musuhku." 
"Aku mengerti. Dan aku pun tak mungkin 
akan mengecewakan apa yang diperintahkanmu. 
Guru," tandas Gendon Prakoso. 
"Ya ya ya...!" Eyang Pamekasan mengang-
guk-anggukkan kepala. 
Gembong Kenjeran melangkah mendekat. 
Kedua telapak tangannya ditelangkupkan seben-
tar di depan hidung, lalu duduk bersimpuh di ha-
dapan Eyang Pamekasan. 
"Muridku! Kau masih ingat apa yang telah 
kuwasiatkan padamu sebelum kau kuangkat 
menjadi murid?" tanya Eyang Pamekasan tajam. 
"Tak mungkin aku lupa dengan Wasiat 
Kematian yang kau perintahkan padaku, Guru. 
Apakah kau menghendaki aku bertindak seka-
rang?" jawab Gembong Kenjeran bersemangat. 
"Bekal ilmu yang kuberikan padamu sudah 
cukup untuk membasmi musuh-musuhku, Mu-
ridku. Aku ingin segera kau melaksanakan wasiat 
ku secepatnya. Hanya saja, hati-hatilah! Musuh-
musuhku bukanlah lawan sembarangan. Pergu-
nakanlah aji 'Panglarut Banyu Putih' untuk me-
lumpuhkan Siluman Ular Putih, dan aji 'Setan 
Kober' untuk melumpuhkan Penyair Sinting! Se-
lebihnya, terserah kau sendiri!" 
"Terima kasih atas nasihatmu, Guru. Nah, 
apakah aku sudah diizinkan berangkat seka-
rang?" 
"Pergilah! Tapi, awas! Jangan sekali-kali 
melanggar perintahku! Aku pasti akan membu-
nuhmu!" 
"Tak mungkin aku mengecewakanmu, 
Guru." 
"Aku tak butuh ucapanmu sekarang. Pergi-
lah!" ujar Eyang Pamekasan seraya mengibaskan 
tangan. 
Gembong Kenjeran menangkupkan kedua 
telapak tangannya di depan hidung sebentar. 
"Aku berangkat, Guru." 
Gembong Kenjeran segera melompat ban-
gun. Lalu tanpa menoleh ke arah Eyang Pameka-
san, kakinya segera menutul ke tanah. Maka se-
ketika tubuhnya pun melesat ringan meninggal-
kan tempat itu. 
Eyang Pamekasan memperhatikan sampai 
sosok muridnya menghilang di balik kerimbunan 
hutan depan sana. Kejap lain, tiba-tiba sosoknya 
yang masih duduk bersila telah bergerak memu-
tar. Perlahan-lahan tubuh Eyang Pamekasan mu-
lai bergerak ke tepian sendang. Gerakannya baru 
berhenti ketika  sampai di tengah-tengah permu-
kaan sendang. Sampai di sini, sosok serba hitam 
Eyang Pamekasan pun mulai amblas ke dasar 
sendang. 
Air sendang bergolak perlahan. Membentuk 
gelombang-gelombang kecil yang lama kelamaan 
membesar, lalu sirna di tepian. 
* * * 
Gembong Kenjeran terus berkelebat cepat. 
Tujuannya yang pertama ingin sekali mencari Si-
luman Ular Putih. Walau tanpa diperintah gu-
runya, lelaki ini memang ingin membunuh pemu-
da yang akhir-akhir ini menjadi penghalang sepak 
terjang kaum sesat. Apalagi, pemuda murid 
Eyang Begawan Kamasetyo itulah yang membuat 
hidupnya menderita seperti itu. Walaupun tidak 
terlibat permusuhan langsung dengan Siluman 
Ular Putih, namun entah kenapa kali ini ia ingin 
sekali menyatroninya. Mungkin juga Gembong 
Kenjeran iri mendengar nama besar Siluman Ular 
Putih yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan 
orang. 
Namun manakala berpikir panjang, Gen-
don Prakoso pun tersentak. Tiba-tiba pikirannya 
teringat akan Empat Iblis Merah dari Hutan Se-
runi. 
"Hm...! Sebenarnya aku ingin sekali menya-
troni Siluman Ular Putih. Namun bagaimanapun 
juga, tak mungkin aku melupakan penghinaan 
Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni. Seandainya 
saja Dewa Kegelapan tidak menemui ajal di tan-
gan Siluman Ular Putih, ia pun tak akan luput 
dari ancamanku!" 
Gembong Kenjeran menghentikan lang-
kahnya. Tampak hatinya masih bingung dengan 
keputusannya. 
"Tak ada pilihan lain. Aku memang harus 
secepatnya menuju Hutan Seruni. Yah...! Terpak-
sa aku harus menangguhkan perintah Guru un-
tuk sementara waktu. Tunggulah pembalasanku, 
Empat Iblis Merah keparat!" desis Gembong Ken-
jeran akhirnya. 
Gendon Prakoso pun segera menjejakkan 
kakinya ke tanah, lalu berkelebat cepat menuju 
utara. 
Tanpa mengenai lelah, Gembong Kenjeran 
terus berkelebat menuju Hutan Seruni. Memang 
cukup jauh perjalanan itu, namun itu tak mem-
buat niatnya kandas. Belum puas hatinya kalau 
belum membalas penghinaan Empat Iblis Merah 
dari Hutan Seruni. 
Di saat matahari mulai rebah di kaki langit 
sebelah barat, sosok Gembong Kenjeran mulai 
memasuki Hutan Seruni. Langkahnya dihentikan 
sebentar. Matanya beredar ke sekeliling, mencari-
cari tempat persembunyian Empat Iblis Merah. 
"Kalau tidak salah, gua tempat persembu-
nyian Empat Iblis Merah ada di sebelah sana...," 
kata batin Gembong Kenjeran. Tangannya pun 
ikut-ikutan menuding bagian hutan sebelah barat 
yang banyak ditumbuhi pohon besar menjulang 
tinggi. 
Mantap dengan keputusannya, Gembong 
Kenjeran segera melompat ke atas pohon. Dan 
dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah 
mencapai tingkat tinggi, tubuhnya segera berke-
lebat dari ranting pohon satu ke ranting pohon 
lain. Sebab, hanya dengan cara itulah ia dapat 
menghindar dari kubangan-kubangan lumpur hi-
dup yang banyak bertebaran di sekitar tempat 
persembunyian Empat Iblis Merah. 
Hupp! 
Gembong Kenjeran menghentikan keleba-
tannya di ranting pohon terakhir. Di hadapannya 
kini terbentang hamparan tanah rerumputan 
yang dikelilingi semak belukar. Lelaki itu menya-
pu keadaan sekitar dengan matanya. Dan men-
dadak bola matanya tertumpuk pada empat gun-
dukan tanah merah di bawahnya. 
"Kuburan?" gumam Gembong Kenjeran. 
"Kuburan siapakah itu? Mungkinkah kuburan 
Empat Iblis Merah. Atau...." 
Gembong Kenjeran tak meneruskan perta-
nyaan dalam hatinya. Ia segera melompat turun. 
Ditelitinya empat gundukan tanah merah di ha-
dapannya seksama. Ternyata di papan nisan itu 
tertulis.... 
Makam Bajingan-bajingan Merah dari Hutan 
Seruni 
Gembong Kenjeran melongo. Dibacanya se-
kali lagi tulisan di papan nisan itu. 
"Hm...! Jadi bajingan-bajingan merah itu 
sudah modar! Menilik gundukan tanah yang mu-
lai mengeras, aku yakin kuburan ini sudah cukup 
lama. Mungkin dua atau tiga bulan lalu. Tapi, 
siapakah yang melakukan ini semuanya?" tanya 
Gembong Kenjeran pada diri sendiri. Keningnya 
makin berkerut dalam. "Ah...! Siapa pun orang 
yang melakukan, aku tak mau peduli! Yang jelas 
Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni telah me-
nemui ajal. Sekaranglah, saatnya aku memenuhi 
perintah Eyang Pamekasan...." 
Gembong Kenjeran mengangguk-angguk. 
Puas hatinya memperhatikan gundukan tanah di 
hadapannya. Sejurus kemudian tubuhnya segera 
berkelebat cepat meninggalkan tempat ini. 
"Apa yang harus kita lakukan, Soma? Ba-
nyak sudah tempat yang kita jelajahi. Banyak ju-
ga tokoh persilatan  yang kita tanyai. Namun, 
Gendon Prakoso belum juga ditemukan," kata Ra-
tu Adil memecah kesunyian hutan itu. Suara 
ucapannya pun diiringi isak tangis tertahan. 
Siluman Ular Putih yang duduk di hadapan 
si gadis itu hanya menghela napas panjang. Ma-
tanya sempat menelusuri seraut wajah cantik di 
hadapannya. Tampak sepasang mata indah di 
hadapannya itu basah. Kedua bibirnya pun berge-
tar-getar. 
"Jangan putus asa, Yustika! Apa kau lupa 
nasihat Putri Hijau? Sesungguhnya Hyang Widi 
itu tengah menginginkan sesuatu yang baik ter-
hadapmu," hibur Siluman Ular Putih. 
"Sesungguhnya aku masih bingung. Soma. 
Kebaikan macam apakah yang sesungguhnya se-
dang dikehendaki Hyang Widi? Buktinya, aku be-
lum dapat menemukan ayah kandungku," kata 
Ratu Adil terisak memelaskan. Anak-anak ram-
butnya yang berjuntaian menutupi keningnya 
bergoyang-goyang tertiup angin. 
"Sabar, Yustika! Hanya dengan bersabarlah 
semua yang membebani hati kita jadi terasa la-
pang." 
"Kukira aku sudah cukup sabar. Tapi, apa 
hasilnya? Aku tetap saja belum menemukan ayah 
kandungku. Malah aku harus kehilangan Kakang 
Pembunuh Iblis yang tewas di tangan Hantu Tan-
gan Api. Inikah kebaikan yang diinginkan Hyang 
Widi?" cerocos Yustika, seolah hendak menggugat 
keadilan Tuhan. 
"Wah, gawat! Tampaknya kau mulai me-
nyalahkan Sang Hyang Widi. Jangan begitu, ah! 
Tak baik." 
Ratu Adil diam membisu. Berbagai rasa 
berkecamuk dalam dadanya. 
"Sabarlah, Yustika! Tuhan pasti akan 
membukakan jalan untuk kita. Tak mungkin Tu-
han memberikan cobaan di luar batas kemam-
puan kita. Kau paham, Yustika?" hibur Siluman 
Ular Putih lembut terdengar di telinga Ratu Adil. 
Ratu Adil mengangguk perlahan. Entah 
sudah paham, entah hanya sekadar ingin menye-
nangkan hati pemuda tampan di hadapannya. 
"Kukira kita sudah cukup lama beristirahat 
di sini. Ayo, kita lanjutkan perjalanan, Yustika!" 
Ratu Adil tampak masih bermalas-malasan 
di tempatnya. Wajahnya pun kian disembunyikan 
dalam-da1am. 
Soma mendekat. Direngkuhnya kedua ba-
hu gadis cantik di hadapannya lembut. Tampak 
kedua bahu itu bergetar-getar, diiringi isak tangis, 
membuat Siluman Ular Putih trenyuh sekali 
mendengarnya. Dengan lembut sekali lalu murid 
Eyang Begawan Kamasetyo meraih wajah cantik 
Ratu Adil untuk dihadapkan ke arahnya. Dan ke-
haruan Siluman Ular Putih pun makin bertam-
bah, melihat seraut wajah cantik di hadapannya 
mulai basah oleh airmata. 
"Soma...!" sebut Ratu Adil dengan bibir 
bergetar. Lalu, entah mendapat dorongan dari 
mana, tiba-tiba Ratu Adil telah menubruk ke da-
lam pelukan Siluman Ular Putih dan melam-
piaskan tangisnya di sana. 
Siluman Ular Putih membiarkan saja Yus-
tika yang bergelar Ratu Adil itu menumpahkan 
tangisnya dalam pelukannya. Sembari memeluk 
erat-erat, dibelainya rambut Ratu Adil lembut. 
"Soma...! Aku sedih sekali. Soma...," keluh 
Ratu Adil dengan suara bergetar. 
"Tenang, Ratu! Tenang! Aku pasti akan 
membantu...," hibur Siluman Ular Putih sembari 
terus membelai rambut si gadis. 
Entah kenapa Yustika sendiri merasa 
aman berada dalam pelukan Siluman Ular Putih. 
Malah dari kehangatan tubuh pemuda itu, mulai 
dirasakannya getaran-getaran aneh dalam da-
danya. Si gadis tak tahu getaran-getaran apa itu. 
Yang jelas, hatinya merasa aman dan tenteram 
berada dalam pelukan Soma. Bahkan kini mulai 
dibalasnya pelukan Siluman Ular Putih erat-erat. 
"Enak benar memadu kasih di hutan se-
sunyi ini. Aku jadi iri...." 
Tiba-tiba terdengar teguran seseorang yang 
sangat melecehkan. Buru-buru Siluman Ular Pu-
tih dan Ratu Adil melepaskan pelukan masing-
masing. Lalu dengan perasaan jengah, mereka se-
gera memalingkan kepala ke arah datangnya sua-
ra. Ternyata tak jauh di hadapannya telah berdiri 
seorang lelaki tua bertubuh kurus kering. Jubah 
besar warna biru yang dikenakannya kedodoran 
sampai lutut. Wajahnya agak tirus penuh gura-
tan-guratan. Sedang rambutnya yang putih di-
biarkan meriap tak terawat. 
"Haya...! Kenapa tidak diteruskan? Kenapa 
malah melongo? Ayo, teruskan! Biar orang tua 
bangka seperti ini jadi merinding," celoteh si ka-
kek, membuat Siluman Ular Putih dan Ratu Adil 
makin jengah. 
Sejenak kedua anak muda itu saling ber-
pandangan. Kalau Siluman Ular Putih segera da-
pat mengatasi rasa jengahnya dengan senyum, 
namun lain halnya Ratu Adil. Tampaknya wajah 
cantik si gadis makin dironai warna merah. 
Si kakek renta malah terkekeh senang. Ma-
lah kakinya dihentak-hentakkan ke tanah mirip 
anak kecil. 
"Orang tua! Harap jangan mengganggu! 
Kau tahu kan, kalau temanku ini sedang sedih?" 
tegur Siluman Ular Putih. 
"Masa' sedih? Berpeluk-pelukan begitu bisa 
membuat orang sedih? Aku tak percaya!" sergah 
si kakek renta sambil menggeleng-gelengkan ke-
pala. "Oh, ya? Tadi aku menyuruh apa?" lanjut-
nya kebingungan sendiri. Tangannya lalu mengu-
rut-urut pelipis. 
Sudah pasti Siluman Ular Putih tak sudi 
membantu mengingatkan. Hanya dipandanginya 
kakek renta di hadapannya terheran-heran. 
"Masa' baru saja diomongkan sudah lupa. 
Dasar pikun!" rutuk Soma dalam hati. Sedang Ra-
tu Adil makin menyembunyikan wajahnya dalam-
dalam. 
"Oh, ya? Aku ingat. Aku sedang mencari 
muridku. Apa kalian pernah melihat muridku?" 
Soma yang semula mengira kalau kakek 
renta itu akan menyuruh meneruskan adegan 
mesranya hanya melongo. 
"Kasihan sekali. Kenapa orang tua ini de-
mikian pikunnya? Baru saja ngomong soal pelu-
kan, sekarang sudah melantur bicara soal murid-
nya. Bagaimana, sih?" gumam Siluman Ular Putih 
dalam hati. 
"Ayo, jawab! Kenapa kalian malah melon-
go?" hardik si kakek renta. Matanya mendadak 
jadi berkilat-kilat galak. "Hey...! Kau, Bocah Gon-
drong! Apa kau pernah melihat muridku? Jauh-
jauh aku dari Gunung Slamet untuk mencari mu-
ridku, masa' kau tidak bisa membantu? Ayo, tun-
jukkan di mana muridku, Bocah Gondrong?" 
"Ya, ampun! Orang tua ini malah jadi me-
lantur tidak karuan. Pakai membentak-bentak la-
gi...." Soma mendesis dalam hati sebelum akhir-
nya berkata, "Kau ini bagaimana sih, Orang Tua? 
Mana aku tahu kalau kau tak mengatakan siapa 
nama muridmu?" 
"Oh, ya? Aku lupa. Maaf, ya! Seharusnya 
aku memang memberi tahu siapa nama murid-
ku," kata kakek renta itu sambil menepuk jidat-
nya. "Kau tahu. Muridku itu begini...." 
Kakek itu mengacungkan ibu jarinya ke 
atas. 
"Namanya...? Ah...! Siapa ya nama murid-
ku? Aduh! Kenapa aku jadi lupa?" si kakek kem-
bali menepuk jidatnya. 
"Waduh...! Gawat, nih! Masa' nama murid-
nya saja lupa. Wah...! Benar-benar pikun orang 
tua satu ini," batin Siluman Ular Putih tak habis 
pikir. 
Sejenak Soma menggeleng-geleng sambil 
tersenyum geli. Rasanya, baru kali ini Siluman 
Ular Putih menemukan orang aneh seperti itu. 
"Kau ini bagaimana sih, Orang Tua? Masa' 
sama murid sendiri  lupa. Jangan-jangan, nama-
mu sendiri pun kau tak ingat!" 
"Wah...! Kau benar, Bocah Gondrong. Aku 
memang lupa siapa namaku. Kalau tak salah, du-
lu aku sering dipanggil Kakek Pikun. Yah...! Ka-
kek Pikun dari Gunung Slamet." 
"Oh...! Pantas! Kau mendapat gelar Kakek 
Pikun, kenyataannya kau memang pikun. Kelewat 
pikup malah...." 
"Hey...! Kau malah bilang aku pikun, Bocah 
Gondrong? Apa kau minta digebuk, hah?!" hardik 
si kakek yang ternyata bergelar Kakek Pikun dari 
Gunung Slamet. Tangannya yang terkepal erat 
siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih. 
"Sabar! Sabar, Orang Tua! Aku tidak men-
gataimu pikun. Aku hanya mau ngomong...." 
"Nah...! Kau mengatai aku pikun lagi! Aku 
bukan saja ingin menggebukmu, tapi aku juga in-
gin merobek mulutmu!" 
Kakek Pikun dari Gunung Slamet  tak se-
gan-segan lagi melabrak Siluman Ular Putih. Se-
belum bogem mentahnya mendarat di tubuh Si-
luman Ular Putih, terlebih dulu telah berkesiur 
angin kencang menampar-nampar tubuh! 
"Wallah...! Kenapa urusannya jadi begini.... 
Uts!" 
Buru-buru Siluman Ular Putih membuang 
tubuhnya ke samping. Gerakannya lincah sekali, 
membuat serangan si kakek hanya menyambar 
angin kosong. 
"Bagus! Rupanya kau punya kepandaian 
juga, Bocah Gondrong," geram Kakek Pikun ber-
siap-siap melancarkan serangan berikut. 
"Sabar, Kek! Sabar!" kata Siluman Ular Pu-
tih mencoba menenangkan Kakek Pikun yang ka-
lap. Kedua telapak tangannya digerak-gerakkan 
ke bawah, mengisyaratkan agar lelaki tua itu un-
tuk tetap tenang. 
"Enak saja bilang sabar! Aku sedang pus-
ing mencari muridku, kau malah menggoda," 
sungut Kakek Pikun. 
"Habis kenapa kau sampai lupa pada nama 
muridmu?" tukas Soma. 
"Siapa yang lupa? Aku tidak lupa?" 
"Kalau tidak, siapa nama muridmu itu, 
hayo?" 
"Itulah yang sedang kuingat-ingat!" 
Kakek Pikun mengurut-ngurut pelipisnya 
lagi, seolah sedang mengingat nama muridnya. 
Siluman Ular Putih makin bengong tak 
mengerti. Lalu kepalanya pun digeleng-gelengkan 
heran. Namun hatinya merasa lega juga, melihat 
Kakek Pikun tak lagi uring-uringan seperti tadi. 
"Hm...! Benar-benar pikun orang tua satu 
ini...," gumam Siluman Ular Putih. 
"Ya ya ya...! Sekarang aku ingat! Aku ingat 
nama muridku," sorak Kakek Pikun tiba-tiba. 
"Muridku bernama Teguh Sayekti. Gelar julukan-
nya...? Aduh...! Siapa, ya?" 
Kembali Kakek Pikun jadi kewalahan sen-
diri. Tangannya pun kembali mengurut-ngurut 
pelipis. 
"Teguh Sayekti? Apakah muridmu yang 
bergelar Pembunuh Iblis, Kek?" sela Ratu Adil ti-
ba-tiba. Gadis yang dari tadi hanya membisu kon-
tan terperangah kaget begitu mendengar Kakek 
Pikun menyebut-nyebut mendiang kakak kan-
dungnya. 
"Ya ya ya...! Kau benar, Gadis! Kau pintar, 
tak seperti bocah gondrong itu!" tuding Kakek Pi-
kun ke arah Siluman Ular Putih. 
Siluman Ular Putih hanya menggaruk-
garuk kepala dengan senyum tersungging di bibir. 
"Jadi? Kakang Pembunuh Iblis itu murid-
mu, Kek?" 
"Iya. Kau sendiri siapa?" 
Ratu Adil tak menyahut, tapi segera berlu-
tut di hadapan Kakek Pikun dari Gunung Slamet. 
"Lho? Orang ditanya kok malah berlutut? 
Siapa namamu, Gadis? Kenapa kau menyebut 
muridku kakang? Apa dia saudaramu?" 
"Benar, Kek. Kakang Pembunuh Iblis me-
mang saudara kandungku. Tapi sayang, Kakang 
Pembunuh Iblis telah tewas...." 
"Apa?! Tewas?! Siapa yang membunuhnya, 
Gadis?! Siapa?" berondong Kakek Pikun kalap. 
"Hantu Tangan Api, Kek." 
"Keparat! Aku harus menuntut balas. Aku 
tak akan mungkin membiarkan muridku dibunuh 
orang begitu saja." 
"Percuma, Kek," kali ini Siluman Ular Putih 
yang membuka suara. 
"Apa? Kau bilang percuma? Apa kau mera-
gukan kepandaianku, Bocah Gondrong?!" semprot 
Kakek Pikun kasar. 
"Bukan begitu. Tapi manusia yang telah 
membunuh muridmu telah mati." 
"Mati? Siapa yang membunuh? Kenapa ti-
dak memberitahukanku?" tanya Kakek Pikun, 
mulai kambuh penyakitnya. 
"Ini mau diberi tahu!" 
"Ya ya ya...! Sekarang katakan, siapa yang 
telah membunuh Hantu Tangan Api, Bocah!" 
Siluman Ular Putih tak menjawab. Namun 
telunjuk jarinya ditudingkan ke dada. 
"Kau...?" perangah Kakek Pikun tak per-
caya. 
"Iya, Kek. Sahabatku Siluman Ular Putih 
itulah yang membunuh Hantu Tangan Api," kata 
Ratu Adil. 
Mata Kakek Pikun terbelalak tak percaya. 
Sebentar dipandanginya Ratu Adil, sebentar bera-
lih ke arah Siluman Ular Putih. Lalu kepalanya 
menggeleng-geleng seraya memperhatikan Silu-
man Ular Putih tajam. 
"Aku tak percaya. Aku tak percaya...." 
"Yah...! Dikasih tahu malah ngotot," desah 
Siluman Ular Putih menggoda. 
Namun rupanya Kakek Pikun tidak terusik 
oleh gurauan Siluman Ular Putih. Ia malah asyik 
mengurut-ngurut pelipisnya, seolah-olah dengan 
cara itu ingin meyakinkan diri sendiri. 
"Aku tak percaya! Aku tak percaya bocah 
gondrong ini dapat membunuh Hantu Tangan Api 
yang  menjadi momok dunia persilatan...," desis 
Kakek Pikun berulang-ulang. "Aku harus menye-
lidikinya sendiri. Mana sudi aku mempercayai 
omongan bocah gondrong itu?"