Siluman Ular Putih 21 - Setan Haus Darah(2)


Siang di Desa Sumber Dalem terasa lengang. 
Matahari perlahan-lahan bergeser ke ufuk sebelah 
barat. Angkasa raya yang membiru tampak cerah, 
karena tak ada awan yang berarak. Sementara angin 
yang bertiup semilir seolah mati terbawa suasana 
sepi. 
Dari mulut desa sebelah timur, seorang pe-
muda gagah berjubah besar berwarna biru tengah 
melenggang santai memasuki jalan utama. Sesekali, 
diperhatikannya keadaan sekitarnya. Beberapa 
orang penduduk kampung yang memanggul cangkul 
di pundak tampak mulai pulang ke rumah masing-
masing, pertanda hari sebentar lagi akan berganti 
petang. Namun di halaman-halaman rumah pendu-
duk  tampak masih beberapa orang anak kecil ten-
gah asyik bermain. Tawanya yang ceria sesekali 
memecah kesunyian desa. 
Ketika pemuda berjubah biru yang bukan lain 
adalah Teguh Sayekti tiba di jalan simpang di tengah 
desa, matanya langsung tertuju pada sebuah kedai 
makan. Tanpa banyak pikir panjang Teguh Sayekti 
atau yang lebih dikenal dengan julukan Pembunuh 
Iblis segera melangkah menuju kedai. 
Empat orang lelaki berwatak kasar yang ten-
gah asyik makan-minum di dalam kedai tampak me-
lirik angkuh saat Pembunuh Iblis memasuki kedai, 
lalu kembali melanjutkan makan seolah-olah tak in-
gin diganggu siapa pun. Pemuda berjubah biru itu 
sendiri tak ingin mengganggu. 
Begitu Pembunuh Iblis menghenyakkan pan-
tatnya di sebuah bangku, seorang gadis pelayan ke-
dai makan buru-buru menyambutnya dengan se-
nyum terkembang di bibir.  
"Ada yang bisa aku bantu, Tuan?" tanya gadis 
pelayan yang berwajah manis itu penuh hormat. 
"Tolong sediakan makanan yang cukup dan 
sedikit arak wangi untukku!" ujar Pembunuh Iblis 
ramah. 
"Baik. Harap Tuan bersedia menunggu seben-
tar," sahut gadis pelayan itu lalu buru-buru masuk 
ke dalam. 
Namun baru beberapa langkah si gadis beran-
jak dari tempatnya, tiba-tiba tangannya yang halus 
telah ditarik seorang laki-laki kasar dan menariknya 
dalam pelukan. 
"Ooouuww...!" 
Sudah tentu gadis pelayan itu meronta minta 
dilepaskan. Dan dengan tertawa-tawa senang, laki-
laki kasar itu melepaskan tangan gadis pelayan. 
Namun tidak sepenuhnya ikhlas. Karena tangannya 
yang nakal tiba-tiba menowel pantat gadis pelayan 
itu seraya mengerling ke arah Teguh Sayekti. 
"Jangan begitu dong, Tuan! Malu kan dilihat 
orang," ucap si gadis tersipu malu kemudian buru-
buru menghilang ke dapur. 
Pembunuh Iblis muak sekali melihat tingkah 
laku laki-laki kasar di hadapannya. Hanya karena 
tak ingin membuat keributan saja terpaksa rasa 
amarahnya ditahan dalam dada. Ia yakin, gadis pe-
layan itu adalah gadis baik-baik. Cuma karena ingin 
melayani para tamunya dengan baik, sehingga 
membuatnya hanya bisa menegur halus. 
Tak begitu lama menunggu, gadis pelayan 
yang berwajah cantik itu kembali muncul membawa 
pesanan Pembunuh Iblis. Dengan ramah segera di-
hidangkannya pesanan itu ke meja si pemuda. 
"Silakan, Tuan!" ucap gadis pelayan seraya 
menggerakkan ibu jarinya. 
Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis terse-
nyum sekilas. Gadis pelayan itu pun buru-buru be-
ringsut dari tempatnya. 
"Hey, Pelayan! Cepat kemari!" bentak salah 
seorang laki-laki kasar itu galak.  
"Baik, Tuan." 
Dengan tergopoh-gopoh, buru-buru gadis pe-
layan itu mendekati laki-laki yang memanggilnya ba-
rusan. 
Pembunuh  Iblis yang hendak menyuapkan 
makanan ke mulutnya jadi menahan gerakan ketika 
melihat tangan kekar laki-laki kasar itu tahu-tahu 
merengkuh pinggang gadis pelayan ke dalam pelu-
kannya. 
"Jangan, Tuan! Jangan!" ratap gadis pelayan 
itu seraya menggelengkan kepala ke sana kemari 
menghindari mulut laki-laki berperangai kasar itu 
yang hendak menciumnya. 
"Sungguh sayang! Kenapa dunia ini selalu di-
warnai tindak kekerasan? Kenapa hanya untuk me-
lampiaskan nafsu harus memaksakan diri? Hm...! 
Aneh. Kalau semua laki-laki di muka bumi ini berla-
ku sewenang-wenang, bagaimana mungkin dunia ini 
akan nyaman? Memuakkan!" gumam Teguh Sayekti. 
Suaranya sengaja sedikit dikeraskan agar lelaki ka-
sar itu tak meneruskan maksud bejadnya. 
"Bangsat kecil! Apa kau bilang barusan, he?!" 
tiba-tiba laki-laki kasar itu melemparkan tubuh ga-
dis pelayan dengan kasar. Tanpa ampun tubuh si 
gadis menabrak meja di sampingnya. 
Braaakk! 
Beberapa tamu langganan yang sedang asyik 
makan-minum di meja itu kontan terperangah ka-
get. Namun manakala melihat siapa  yang menjadi 
biang onar, nyali mereka jadi ciut. 
Pembunuh Iblis sendiri berlaku angin-
anginan di tempatnya. Sesuap demi sesuap mulut-
nya terus mengunyah makanan. Tentu saja sikap-
nya makin membuat geram keempat laki-laki berpe-
rangai kasar itu. Sejak melihat Teguh Sayekti masuk 
ke dalam kedai makan, mereka memang sudah tak 
menyukai. Sekarang ketidaksenangan mereka makin 
tersulut manakala mendengar gumaman pemuda itu 
tadi. Ditambah lagi dengan sikap si pemuda yang 
angin-anginan. 
"Bajingan kecil! Apa kau tidak tahu tengah 
berhadapan dengan siapa, he?!" bentak lelaki berpe-
rangai kasar itu garang seraya bangkit berdiri. 
Selangkah demi selangkah, lelaki itu mende-
kati Pembunuh Iblis. Sedangkan ketiga orang te-
mannya yang tertawa-tawa senang melihat keonaran 
itu. Seolah merasa dikompori ketiga orang kawan-
nya, laki-laki berperangai kasar itu tiba-tiba men-
gangkat kaki di meja tempat makan Teguh Sayekti. 
Brakkk! 
"Ulangi lagi! Apa yang kau katakan tadi, he?!" 
hardik lelaki berperangai kasar itu garang. Meja ma-
kan yang terkena injakkan kakinya kontan hancur 
berantakan. Sedangkan semua yang berada di atas 
meja berhamburan ke mana-mana. 
Pembunuh Iblis memandang laki-laki kasar di 
hadapannya sekilas. Senyum dingin tersungging di 
bibirnya. 
"Telingamu tidak budek, bukan? Tentunya 
kau pun mendengar apa yang kukatakan tadi?" ba-
las Teguh Sayekti, kalem. 
"Bajingan? Apa kau belum pernah mendengar 
Pasukan Laskar Hijau, he?!" 
Teguh Sayekti terperangah. Kini baru disadari 
kalau keempat laki-laki kasar itu semuanya menge-
nakan pakaian hijau-hijau. Dan berarti mereka ada-
lah anggota Pasukan Laskar Hijau! Sungguh Pem-
bunuh Iblis tadi tidak begitu memperhatikan sejak 
datang ke kedai, pikirannya telah digayuti oleh 
bayangan Arum Sari. Kemudian ketika berada di da-
lam kedai, hatinya tersulut oleh tingkah laku keem-
pat lelaki kasar itu. 
"Hm...? Kebetulan sekali. Rupanya kalian 
yang sering mengganggu ketenteram penduduk-
penduduk kampung?" gumam Pembunuh Iblis se-
raya bangkit berdiri sambil mengangguk-angguk. 
"Bagus? Kalau kau sudah tahu kami, Bocah? 
Jadi  kau tak perlu menyesal kalau harus tewas di 
tanganku!" bentak lelaki kasar yang ternyata anak 
buah Pasukan Laskar Hijau seraya melayangkan bo-
gem mentah ke wajah Pembunuh Iblis.  
"Hap!" 
Enak sekali Pembunuh Iblis menggerakkan 
tangannya menangkis datangnya serangan. Tam-
paknya gerakan tangan itu tak bertenaga. Namun 
akibatnya.... 
Plakkk!  
"Aughhh...!" 
Laki-laki kasar itu mendadak meraung keras. 
Lengan tangannya yang membentur tangan Pembu-
nuh Iblis seolah membentur tembok baja. Sambil 
meringis kesakitan buru-buru tangannya yang tera-
sa ngilu segera ditarik mundur. 
Menyadari kalau orang yang tengah dihadapi 
memiliki kepandaian tinggi, ketiga orang teman laki-
laki berperangai kasar itu segera berlompatan men-
dekati meja Pembunuh Iblis. Tanpa banyak cakap, 
mereka segera menyerang garang. 
Pembunuh Iblis hanya tersenyum sekilas. Me-
lihat datangnya serangan tubuhnya sedikit diputar, 
lalu tahu-tahu kaki kanannya telah berkelebat cepat 
mendahului datangnya serangan. Dan.... 
Bukkk! Bukkk! 
"Ughh...!" 
Tiga kali kaki Pembunuh Iblis bergerak, maka 
saat itu juga tiga kali terdengar pekikan kesakitan 
dari mulut lawan-lawannya. Tubuh-tubuh anggota 
Pasukan Laskar Hijau yang terkena tendangan kon-
tan terlempar ke belakang, menabrak meja-meja 
makan di belakangnya. Beberapa orang pengunjung 
kedai makan yang melihat keributan buru-buru 
berhamburan keluar. Dan diam-diam, mereka me-
nonton jalannya pertarungan dari kejauhan. 
"Perampok-perampok hina! Kenapa tidak kau 
suruh sekalian pimpinan kalian! Enyahlah kalian 
dari hadapanku! Suruh pimpinan kalian Setan Haus 
Darah menghadapiku!" hardik Pembunuh Iblis. 
"Bedebah! Tak perlu ketua kami yang keluar. 
Kami berempat pun sanggup mematahkan batang 
lehermu!" dengus lelaki kasar yang pertama kali me-
nyerang Pembunuh Iblis. Suaranya bergetar penuh 
kemarahan. Dan tiba-tiba tangan kanannya berge-
rak ke belakang. 
Srat! 
Golok besar yang berkilauan kini tergenggam 
di tangan lelaki itu. Sementara ketiga orang kawan-
nya yang sudah bisa bangkit segera mencabut golok 
pula. 
Pembunuh Iblis hanya tersenyum. Sedikit 
pun tidak takut menghadapi keroyokan. 
"Majulah kalau kalian ingin merasakan bogem 
mentahku!" tantang Pembunuh Iblis. 
"Pemuda sombong! Makanlah golokku! Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, laki-laki kasar 
yang pertama menyerang segera menerjang Pembu-
nuh Iblis garang. Bersamaan dengan itu tiga golok 
lain segera berdatangan siap menghujam ke arah 
pemuda berjubah biru itu. 
"Ups!" 
Teguh Sayekti cepat melompat ke belakang, 
membuat serangan-serangan golok para anggota 
Laskar Hijau hanya mengenai angin kosong. Tentu 
saja hal ini membuat keempat orang kasar itu geram 
bukan main. Dengan kemarahan meluap mereka 
kembali meluruk ke arah Teguh Sayekti. 
"Hea! Hea!" 
Empat golok di tangan para anggota Pasukan 
Laskar Hijau kembali berkelebat mengancam tubuh 
Teguh Sayekti dengan gerakan cepat luar biasa. Na-
mun bagi Teguh Sayekti, gerakan tangan mereka tak 
ubahnya seperti gerakan orang menari. Begitu lam-
bat, nyaris tak bertenaga. 
"Jaga golok kalian!" teriak Teguh Sayekti ma-
sih sempat memberi peringatan. 
Dan tiba-tiba tubuh Pembunuh Iblis segera 
berkelebat cepat di antara gulungan-gulungan golok 
besar di tangan keempat orang pengeroyoknya. Se-
dang jari-jari tangannya yang terkembang bergerak 
cepat, menotok orang pengeroyoknya.  
Tukkk! Tukkk!  
Trang! Trang! 
Empat golok kontan beterbangan manakala 
pergelangan tangan para pengeroyok terkena toto-
kan tangan Teguh Sayekti. Di saat mereka terperan-
gah kaget, pemuda berjubah biru itu segera bertin-
dak. Jari-jari tangannya yang terkembang kembali 
bergerak cepat menotok. 
Tukkk! Tukkk! 
Keempat orang anggota Pasukan Laskar Hijau 
itu kontan membelalak lebar dengan tubuh kaku tak 
dapat digerakkan. 
"Katakan! Di mana pimpinan kalian yang ber-
gelar Setan Haus Darah bersembunyi! Cepat!" ben-
tak Teguh Sayekti, seraya mencengkeram leher laki-
laki kasar yang pertama menyerangnya tadi. 
Mata anggota Pasukan Laskar Hijau itu mem-
belalak ketakutan. Kedua bola matanya mengerling 
ke arah ketiga orang kawannya di samping. Namun 
anehnya, mereka diam tak mempedulikannya. Sikap 
mereka pun sama seperti orang yang tengah dito-
dong Teguh Sayekti. Takut. Entah takut pada siapa. 
"Kau tak mau mengatakannya, he?!" dengus 
Teguh Sayekti makin memperkeras cengkeraman di 
leher lelaki itu. 
Tetap saja lelaki itu tak mau membuka suara. 
Teguh Sayekti gusar bukan main. Disentakkannya 
tubuh laki-laki itu kasar, lalu kembali mendekati ke-
tiga orang anggota Laskar Hijau yang lain. 
"Apa kalian juga tak mau buka suara di mana 
Setan Haus Darah bersembunyi?!" hardik Teguh 
Sayekti, kian membuat wajah ketiga anggota Pasu-
kan Laskar Hijau itu pias. 
"Aku....  Aku tak berani. Kami pasti akan di-
bunuh bila sampai membocorkan rahasia tempat 
pimpinan kami bersembunyi," jelas salah seorang 
dari ketiga anggota Pasukan Laskar Hijau itu keta-
kutan. 
"Jadi kau lebih takut dengan pimpinanmu da-
ripada aku, he?! Apa kau tak takut kalau batang le-
hermu kupatahkan?!" ancam Teguh Sayekti tak 
main-main. 
"Lebih baik kau bunuh kami daripada dis-
uruh mengatakan pimpinan kami bersembunyi, 
Tuan!" tantang anggota Pasukan Laskar Hijau. 
Teguh Sayekti menggeram penuh kemarahan. 
Dikiranya orang itu hanya menggertak. Maka untuk 
memaksa tak ada pilihan lain kecuali makin mem-
perkeras cengkeraman tangannya di leher orang itu. 
Krak! Krakkk! 
"Augh...!" jerit orang itu kesakitan, namun be-
lum juga mau membuka suara. 
"Apa kau lebih senang nyawamu tanggal dari-
pada membuka suara?" ancam Pembunuh Iblis. 
"Bunuh saja aku, Tuan. Aku tak mungkin 
memberitahukan di mana pimpinan kami bersem-
bunyi!" teriak orang itu di antara erang kesakitan 
dan napasnya yang tersengal karena lehernya terce-
kik. 
"Baik. Kalau begitu, terimalah kematianmu!" 
bentak Teguh Sayekti hanya untuk menakut-nakuti. 
Cengkeraman tangannya di leher orang itu pun ma-
kin diperkeras. 
"Kekh.... Keekh...!" 
Anggota Pasukan Laskar Hijau itu  tetap tak 
mau buka suara kecuali suara lenguhan. Matanya 
malah mendelik-delik menahan sakit di tenggoro-
kan. Teguh Sayekti geram bukan main, ia tetap 
mengira kalau anggota Pasukan Laskar Hijau itu 
hanya menantang ancamannya belaka. Toh kalau 
sudah merasa sakit, akhirnya mau memberi tahu 
juga. 
Berpikir sampai di situ, Pembunuh Iblis ma-
lah jadi merasa tertantang. Maka tanpa ampun te-
naga dalamnya pun makin ditambah dalam cengke-
raman tangannya di leher anggota Pasukan Laskar 
Hijau.  
Krak! Krakkk!  
"Aakh...!" 
Tiba-tiba anggota Pasukan Laskar Hijau itu 
men-jerit tertahan. Sepasang matanya membelalak 
lebar. Lalu dari mulut dan hidungnya keluar cairan 
berwarna merah darah. Sementara tubuhnya tidak 
bergerak-gerak sama sekali. Mati! 
Pembunuh  Iblis  terperangah kaget. Tak dis-
angkanya golongan perampok ini lebih senang mati 
di tangan musuh daripada harus memberi tahu 
tempat persembunyian pimpinan mereka. 
Melihat orang yang tengah diancam telah me-
nemui ajal, Teguh Sayekti jadi bingung. Sekali 
menghentakkan tangannya, tubuh anggota Pasukan 
Laskar Hijau yang telah menjadi mayat itu segera 
terbanting ke samping. Dalam kebingungannya, pe-
muda berjubah biru itu kembali mondar-mandir ke 
sana kemari. 
"Walaupun kau menurunkan tangan maut, 
tak mungkin kami memberitahukan tempat persem-
bunyian pimpinan kami, Pendekar!" ejek salah seo-
rang anggota Pasukan Laskar Hijau. 
"Hm...!" Teguh Sayekti menggumam tak jelas. 
Tak mungkin ia menurunkan tangan mautnya, wa-
lau mereka adalah penjahat-penjahat keji. Sedang 
saat ini Pembunuh Iblis sangat menginginkan untuk 
segera bertemu Setan Haus Darah. Karena, pimpi-
nan itulah yang lebih utama baginya. Kalau hendak 
menumpas gerombolan perampok, tumpas mulai da-
ri pimpinan mereka. Begitu kata hati Teguh Sayekti. 
Tiba-tiba Pembunuh Iblis melangkah mende-
kati seorang anggota Pasukan Laskar Hijau lainnya. 
Lalu tangannya mengibas.  
Tuk! 
Sekali Teguh Sayekti menotok, maka bebaslah 
lelaki itu dari pengaruh totokan. 
"Pergilah! Suruh pimpinan kalian menemuiku 
di sini! Cepat!" bentak Pembunuh Iblis.  
Laki-laki anggota Pasukan Laskar Hijau itu 
ragu-ragu. Sejenak diperhatikannya kedua orang 
kawannya yang masih tegak tak dapat bergerak. 
"Jangan khawatir! Aku tak akan mencelaka-
kan mereka. Tapi kalau kau tak mau menyampaikan 
pesanku tadi, maka kedua orang kawanmu akan se-
gera mati. Cepat beri tahu pimpinan kalian! Aku, 
Pembunuh Iblis, menanti kedatangan ketua kalian 
di sini!" 
"Ba... baik!" 
Anggota Pasukan Laskar Hijau itu buru-buru 
meninggalkan kedai makan. Sambil berlari, sesekali 
kepalanya menoleh ke belakang. Dan akhirnya, so-
soknya yang tinggi besar menghilang di simpang ja-
lan desa. 
"Kenapa harus begini, Tuan Pendekar? Setan 
Haus Darah dan anak buahnya pasti akan kemari 
dan menghancurkan desa ini," jelas gadis pelayan. 
Tubuhnya menggigil ketakutan di pojok ruangan. 
"Jangan khawatir! Aku memang sedang men-
carinya. Doakan saja aku dapat mengatasi sepak 
terjangnya!" ujar Pembunuh Iblis dengan senyum 
terkembang di bibir. 
"Tapi...." 
"Sudahlah! Sekarang sediakan lagi makanan 
yang enak untukku! Ini untuk sekadar mengganti 
kerusakan kedaimu berikut harga makanan yang 
kupesan!" 
Pembunuh Iblis merogoh kantong kecil yang 
menggelantung di pinggang. Lalu diberikannya bebe-
rapa keping uang perak pada gadis pelayan itu. 
"Terimalah!" Pembunuh Iblis menyerahkan 
beberapa uang perak ke dalam genggaman tangan 
gadis pelayan. "Sekarang masuklah! Buatkan pesa-
nan makanku, ya!" 
Gadis pelayan itu segera beringsut ke dalam. 
Parasnya yang pucat pasi sesekali menoleh ke bela-
kang. Terus terang hatinya merasa heran sekali ka-
rena berani benar pemuda itu menantang Setan 
Haus Darah berikut anak buahnya. Sungguh ia tak 
habis pikir.  Bahkan kini, Pembunuh Iblis sendiri 
tampak tenang-tenang duduk di meja makan. 
"Pembunuh Iblis! Keluar! Aku Setan Haus Da-
rah datang memenuhi tantanganmu!" 
Seorang lelaki berperawakan tinggi kekar 
dengan pakaian ringkas warna hijau serta ikat kepa-
la juga berwarna hijau terbuat dari kain sutera ber-
diri gagah di atas punggung kuda. Beberapa orang 
penduduk Desa Sumber Dalem yang melihat ke-
munculan lelaki yang tak lain Pimpinan Pasukan 
Laskar Hijau ini buru-buru menyingkir. 
Dari dalam kedai orang yang dipanggil Pem-
bunuh Iblis hanya mengangguk-anggukkan kepala. 
"Bagus! Rupanya mereka sudah datang," gu-
mam Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis. 
Sekilas mata pemuda berjubah biru melirik ke 
arah dua orang anggota Pasukan Laskar Hijau yang 
tubuhnya masih kaku tak dapat bergerak. Lalu den-
gan mantap kakinya melangkah ke luar.  
Di halaman depan kedai makan Pembunuh 
Iblis melihat Setan Haus Darah duduk di atas pung-
gung kuda dikawal beberapa orang anak buahnya. 
Jumlah mereka cukup banyak, tak kurang dari dua 
puluh lima orang. 
"Kaukah yang bergelar Pembunuh Iblis, Bo-
cah?!" bentak Setan Haus Darah, manakala melihat 
Teguh Sayekti melangkah keluar. 
"Benar! Dan kau tentu ketua perampok yang 
bergelar Setan Haus Darah?!" balas Pembunuh Iblis. 
Setan Haus Darah tertawa bergelak. 
"Bocah bau kencur macam kau beraninya 
menantangku! Lekaslah bersujud di hadapanku ka-
lau tak ingin nyawamu lenyap dari raga!" ejek Setan 
Haus Darah pongah. 
"Jangan banyak bicara, Setan Haus Darah! 
Manusia pengacau macam kau memang patut di-
musnahkan dari muka bumi. Bersiap-siaplah me-
nemui malaikat maut, Manusia Pongah!" 
"Kau...!"  
Setan Haus Darah menudingkan telunjuknya 
ke arah Pembunuh Iblis. Lalu tawanya yang bergelak 
pun kembali meledak. Lagaknya jelas sangat me-
mandang remeh lawan. 
"Manusia perampok! Meski aku baru kemarin 
sore menginjakkan kaki di dunia persilatan, tapi 
jangan dikira akan gentar menghadapi manusia-
manusia bejat macam kau! Majulah! Aku menan-
tangmu bertarung!" ejek Pembunuh Iblis. 
"Biarkan kami yang menghajar bocah tak ta-
hu adat  ini, Ketua!" teriak lima lelaki berpakaian 
serba hijau seraya maju beberapa tindak ke depan. 
"Boleh! Hajarlah pemuda pongah itu, Surono!" 
Begitu mendapat persetujuan dari pimpinan 
mereka, kelima orang anggota Pasukan Laskar Hijau 
segera melompat dari punggung kuda, dan langsung 
mengurung Pembunuh Iblis dari lima arah. 
Pembunuh Iblis mengedarkan pandangan ke 
kanan kiri dengan senyum tersungging di bibir. Se-
dikit pun hatinya tidak gentar menghadapi keroyo-
kan lima orang anggota Pasukan Laskar Hijau. 
Meskipun,  dari cara melompat Teguh Sayekti tahu 
kalau kelima orang anggota Pasukan Laskar Hijau 
itu rata-rata memiliki kepandaian lumayan. 
"Majulah, Tikus-tikus Comberan!" tantang 
Pembunuh Iblis. 
Kelima orang anggota Pasukan Laskar Hijau 
menggeram penuh kemarahan. Sekali mereka meng-
gerakkan tangan, golok-golok telah tercabut dari 
pinggang. 
Srat! Srattt! 
Lima buah golok besar yang berkilauan ter-
timpa sinar matahari kini sudah tergenggam di tan-
gan kelima orang pengeroyok. Paras-paras mereka 
kini mulai memancarkan hawa membunuh. 
"Jangan banyak jual lagak, Tikus-tikus Com-
beran! Majulah!" 
"Setan alas! Justru kau yang banyak jual la-
gak! Terimalah kematianmu hari ini, Bocah!" dengus 
anggota Pasukan Laskar Hijau yang tadi dipanggil 
Surono seraya mengibaskan golok ke depan. 
Bersamaan dengan kibasan itu, kelima orang 
anggota Pasukan Laskar Hijau itu serempak mener-
jang. Golok di tangan mereka tampak berputaran 
mengurung pertahanan Pembunuh Iblis. 
Sementara Pembunuh Iblis tampak masih te-
nang-tenang di tempatnya dengan senyum tersungg-
ing. Begitu jarak serangan para pengeroyoknya 
hanya tinggal setengah tombak, Pembunuh Iblis 
menjejakkan kakinya ke tanah. Dan tahu-tahu tu-
buhnya yang tinggi kekar telah melenting tinggi ke 
udara. Setelah berjungkir balik beberapa kali di uda-
ra, tiba-tiba tubuhnya meluncur dengan totokan-
totokan jari tangan yang mengancam ubun-ubun 
kepala para pengeroyok. 
Begitu melihat bahaya mengancam, kelima 
orang pengeroyok Pembunuh Iblis itu segera memu-
tar golok sedemikian rupa. Mereka bermaksud me-
mangkas buntung sepasang tangan Pembunuh Iblis.  
Srat! Sratt! 
"Enak benar kalian ingin memotongku! Awas 
jaga nyawa kalian, Tikus-tikus Comberan!" ejek 
Pembunuh Iblis, langsung membuat gerakan yang 
sulit sekali ditebak. 
Tubuh pemuda itu yang tinggi kekar dengan 
lentur meliuk-liuk di udara. Dan begitu kakinya 
menjejak ke tanah, tahu-tahu telah dilontarkannya 
tendangan memutar dua kali. 
Bukkk! Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Telak sekali tendangan kaki kanan Pembunuh 
Iblis mendarat di dada dua orang pengeroyoknya 
hingga kontan terbanting keras dengan dada seakan 
mau pecah. Buktinya saja, dari mulut mereka me-
nyemburkan darah segar, pertanda telah menderita 
luka dalam cukup lumayan, 
Melihat dua orang dapat dijatuhkan dengan 
mudah, para anak buah Setan Haus Darah kembali 
meluruk menyerang. Maka pertarungan pun tak da-
pat dihindari lagi. 
* * * 
"Kau tak seharusnya berlaku kasar terhadap 
pemuda itu, Arum!" tegur Siluman Ular Putih. 
Saat itu Soma dan Arum Sari tengah berjalan 
menyusuri jalan setapak di sebuah hutan kecil den-
gan pohon-pohonnya yang besar berjajar di kanan 
kiri. Saking rapatnya pohon itu, membuat udara jadi 
lembab tak tersentuh sinar matahari yang tak mam-
pu menembus kelebatan hutan. Hanya kilauan-
kilauan sinar berwarna kuning keemasan saja yang 
sesekali terlihat di sana sini di antara gerak dedau-
nan yang tertiup angin. 
Arum Sari sedikit pun tak mau menggubris 
kata-kata pemuda itu. Hatinya memang sedang kes-
al sekali. Baru kali ini hatinya merasa kurang nya-
man melakukan perjalanan bersama Soma. Semua 
itu dikarenakan sikap Siluman Ular Putih yang an-
gin-anginan. Memang, pemuda itu lembut dan pe-
nuh perhatian terhadapnya. Namun, si gadis seperti 
merasa tak puas hanya mendapat kelembutan dan 
perhatian Soma seperti itu. 
"Aku tahu kau tentu kecewa atas sikapku ha-
ri-hari belakangan ini, Arum. Tapi, mengertilah. Se-
benarnya aku sama sekali tak ingin mengecewakan 
hatimu. Aku sendiri belum tahu, apa yang sebenar-
nya terbersit dalam hatiku. Tapi bukankah kita te-
tap masih bersahabat?" lanjut Soma tak berputus 
asa. 
Lagi-lagi Arum Sari hanya bungkam. Menu-
rutnya, tak ada gunanya bicara panjang lebar den-
gan pemuda di sampingnya kalau hanya akan me-
nemui kekecewaan semata. Si gadis justru lebih se-
nang membiarkan perasaannya yang seolah terbang 
oleh tiupan angin yang menerbangkan debu entah 
ke mana.  
"Arum. Aku sedih  sekali  kalau melihat kau 
murung terus. Ayo dong senyum! Masa' aku dibiar-
kan seperti patung hidup begini?" kata Siluman Ular 
Putih bermaksud menggoda. 
Hati Arum Sari makin gelisah. Selama dua 
hari belakangan ini, ia memang lebih banyak bung-
kam. Malas meladeni ucapan Siluman Ular Putih. 
"Sudahlah, Soma! Aku tahu kau memang baik 
padaku. Tapi terus terang, hatiku saat ini sedang ge-
lisah. Harap kau mau mengerti, Soma. Terus terang 
aku memang sedang berusaha membunuh perasaan 
dalam hatiku," ujar Arum Sari dengan suara serak. 
Siluman Ular Putih tersenyum getir. Entah 
kenapa Soma merasa bersalah melihat kemurungan 
wajah Arum Sari. 
"Kasihan sekali kau, Arum. Demi Tuhan aku 
tak bermaksud mempermainkan hatimu. All...! Ini 
semua gara-gara ucapan ibu...," desah Siluman Ular 
Putih dalam hati. 
Arum Sari melirik ke arah Siluman Ular Putih 
sejenak. Dilihatnya murid Eyang Begawan Kama-
setyo tengah menatap kosong ke depan. Tapi si gadis 
membiarkannya. 
Saat tiba di simpang jalan di pinggiran hutan 
kecil. Arum Sari mendadak menghentikan langkah-
nya. Sepasang matanya yang tajam menekuri rum-
put-rumput kering di bawah dengan seksama. 
"Soma, lihat! Tampaknya ada bekas beberapa 
telapak kaki kuda yang baru saja melewati tempat 
ini," tunjuk Arum Sari tanpa menoleh ke arah Silu-
man Ular Putih sedikit pun. 
Soma sendiri saat itu tengah berjongkok men-
gamati bekas-bekas tapak kaki kuda di atas rumput 
kering sambil sesekali menggumam. Lalu pandang 
matanya segera dialihkan ke jalan setapak yang me-
nuju ke timur. 
"Kau benar, Arum. Jejak-jejak kaki kuda yang 
banyak sekali menandakan kalau yang baru lewat 
adalah sepasukan orang berkuda. Dan kalau tak sa-
lah pengamatanku, mereka menuju ke timur," sahut 
Soma dengan tatapan ke arah timur. 
"Jangan-jangan mereka itu Pasukan Laskar 
Hijau, Soma?" 
"Hm...! Bisa jadi...." 
Di saat Siluman Ular Putih dan Arum Sari 
tengah sibuk mengamati jejak-jejak kaki kuda.... 
"Heaaaa...!"  
"Aaa...!" 
Samar-samar Siluman Ular Putih mendengar 
suara hiruk pikuk yang ditingkahi jerit-jerit kesaki-
tan di kejauhan sana. 
"Arum! Tampaknya di sebelah timur hutan ini 
tengah terjadi pertarungan. Ayo kita ke sana. Arum!" 
ajak Siluman Ular Putih seraya melirik ke arah 
Arum Sari sekilas 
Arum Sari mengangguk dan segera berkelebat 
mendahului. 
Siluman Ular Putih sendiri pun tak ingin ber-
lama-lama di tempat itu. Sekali menghentakkan ka-
kinya ke tanah, tubuhnya telah menjajari langkah 
Arum Sari. 
* * * 
"Percuma saja kau menyuruh tikus comberan 
itu mengeroyokku, Setan Haus Darah. Kenapa kau 
tak maju sekalian, biar aku tak terlalu banyak 
buang tenaga?" kata Pembunuh Iblis dengan tangan 
bersedekap, ketika kembali menjatuhkan beberapa 
anak buah Setan Haus Darah. 
Setan Haus Darah menggeram penuh kema-
rahan. Rahangnya yang mengembung tampak demi-
kian mengerikan dengan sepasang mata berkilat-
kilat. Namun, ia sengaja masih memberi kesempatan 
kepada para anak buahnya untuk memberi pelaja-
ran terhadap Pembunuh Iblis. 
"Bocah pongah! Mana pantas kau berhadapan 
dengan ketua kami! Menghadapi kami saja belum 
tentu kau becus!" geram Surono. 
Saat itu pula Surono segera memberi aba-aba 
pada teman-temannya yang masih segar bugar. Se-
dang empat orang temannya yang terkena tendan-
gan Pembunuh Iblis tadi masih ngejoprak tak mam-
pu bangun lagi. 
"Majulah kalau kalian tak sabar untuk berte-
mu malaikat maut, Tikus-tikus Comberan!" ejek 
Pembunuh Iblis. 
"Bajingan! Belum puas aku kalau belum me-
reguk darah busukmu, Bocah. Makanlah golokku! 
Hea!" 
Berbareng teriakannya yang nyaring, Surono 
yang dibantu dua orang temannya kembali mener-
jang Pembunuh Iblis. Mereka bertiga kini tidak se-
gan-segan lagi mengeluarkan jurus andalan Pasu-
kan Laskar Hijau. Begitu tubuh mereka berkelebat, 
yang terlihat hanyalah bayangan kehijauan dari ge-
rakan mereka yang cepat luar biasa. Sedang golok di 
tangan mereka sesekali menyelinap di antara keleba-
tan tubuh. 
Werrr! Werrr! 
Pembunuh Iblis tak mau kalah gertak. Meli-
hat datangnya serangan, tubuhnya pun berkelebat 
menyongsong. Meski hanya menggunakan tangan 
kosong, sedikit pun ia tak kewalahan menghadapi 
gempuran-gempuran ketiga orang pengeroyoknya. 
Malah mudah sekali tubuhnya berjumpalitan ke sa-
na kemari menghindari tebasan-tebasan golok. Bah-
kan sesekali balik membalas serangan. Kedua tela-
pak tangannya yang terkepal erat tiba-tiba menyeli-
nap di antara gulungan golok di tangan Surono. 
Dan.... 
Bukkk! Bukkk! 
"Augh...!" 
Pekik kesakitan kontan keluar dari mulut So-
rono yang juga tangan kanan Setan Haus Darah. 
Begitu terkena hantaman tubuhnya terjajar bebera-
pa langkah ke belakang. Menilik darah segar yang 
membasahi sudut-sudut bibir, jelas sekali kalau 
tangan kanan Setan Haus Darah itu telah menderita 
luka dalam. 
"Heaaa…!" 
Melihat Surono telah terluka, kedua orang 
pengeroyok Pembunuh Iblis makin meningkatkan 
serangan. Dikawal bentakan nyaring mereka mener-
jang ganas. 
Pembunuh Iblis menghadapi serangan, segera 
mengerahkan tenaga dalamnya ke kedua telapak 
tangan. Dan dengan satu gerak tipu yang sulit diter-
ka, tiba-tiba kedua telapak tangannya telah men-
gancam dada kedua orang pengeroyoknya. Namun 
sebelum serangan-serangannya mengenai sasaran, 
tiba-tiba terasa ada hawa dingin yang bukan kepa-
lang telah mengancam punggungnya. 
Wesss! 
"Hup!" 
Pembunuh Iblis cepat membuang tubuhnya 
jauh ke samping, sehingga serangan itu hanya men-
genai angin kosong. Dan begitu kakinya menjejak 
tanah, dilihatnya Setan Haus Darah telah turun dari 
punggung kuda.  Rupanya dialah yang melepas se-
rangan gelap tadi. 
"Kenapa tidak dari tadi kau turun tangan, Se-
tan Haus Darah? Sekarang setelah melihat anak 
buahmu kewalahan, kau baru turun tangan. Huh!" 
ejek Pembunuh Iblis. 
"Mundur!" bentak Setan Haus Darah pada pa-
ra anak buahnya yang bermaksud membantu. 
Tanpa diperintah sekali lagi, para anggota Pa-
sukan Laskar Hijau segera melompat ke belakang 
berkumpul bersama teman-teman lainnya. Namun 
mereka masih tetap siaga dengan golok di tangan. 
"Tak kusangka kau memiliki sedikit kepan-
daian, Bocah. Pantas kau berani menantangku. Tapi 
jangan harap dapat mengalahkanku. Percuma saja 
aku bergelar Setan Haus Darah kalau tak dapat me-
robohkanmu!" desis Pemimpin Laskar Hijau itu. 
"Buktikan saja, Setan Haus Darah. Kau atau 
aku yang terlebih dulu berkalang tanah!" tantang 
Pembunuh Iblis. 
"Bajingan! Bocah tak tahu diuntung. Sudah 
dikasih hati malah menginjak kepala. Kau memang 
layak modar di tanganku!" geram Setan Haus Darah 
tak dapat lagi menahan amarah. 
Setan Haus Darah segera menarik kedua te-
lapak tangannya ke belakang. Dan sekonyong-
konyong, dipukulkan ke arah Pembunuh Iblis. 
Bed! 
Wuss! 
Saat itu juga, tempat itu laksana disapu ge-
lombang angin panas menuju ke arah Pembunuh Ib-
lis yang melesat dari kedua telapak tangan Setan 
Haus Darah. Apa saja yang ada di sekitar tempat 
pertarungan seolah bagai terpanggang. Suasana pun 
berubah redup mengandung hawa kematian! 
Menyadari hawa kematian mengincar nya-
wanya, Pembunuh Iblis segera menggerakkan ba-
hunya setengah lingkaran. Sepasang mata pemuda 
berjubah biru itu kontan terpentang lebar! Lalu dis-
ertai gerengan kemarahan, tiba-tiba ujung jubahnya 
dikebutkan dengan kedua telapak tangan disentak-
kan ke depan! 
Wesss! Wesss! 
Yang melesat pertama kali dari serangan ba-
lasan Pembunuh Iblis adalah gelombang angin dah-
syat yang mampu mengeluarkan suara menggidik-
kan. Di saat berikutnya, menyusul asap putih yang 
langsung melesat turun naik diiringi hawa panas 
bukan kepalang! 
Blarr...! 
Gelombang angin pukulan Pembunuh Iblis 
kontan menyambut pukulan Setan Haus Darah, 
menimbulkan satu ledakan hebat! 
Tempat pertarungan kontan terguncang hebat 
laksana terjadi gempa! Tanah langsung-
berhamburan tinggi ke udara, meninggalkan lubang-
lubang yang menganga lebar! Pagar-pagar rumah 
penduduk bermentalan sebelum akhirnya hancur 
berkeping-keping di udara! Sementara beberapa 
orang anak buah Pasukan Laskar Hijau terlebih du-
lu membuang tubuh ke samping hingga luput dari 
sambaran angin akibat bentrokan pukulan tadi! 
Tubuh Pembunuh Iblis sendiri kontan terlem-
par jauh ke belakang. Parasnya pucat pasi dengan 
darah segar membasahi sudut-sudut bibir. Agaknya, 
pemuda berjubah biru itu telah menderita luka da-
lam. 
Agak jauh di depannya, Setan Haus Darah 
tampak terhuyung-huyung dengan tubuh bagian 
atas hampir tersiram pasir. Namun sebelum kepa-
lanya menghantam tanah, kedua telapak tangannya 
segera bergerak ke depan, sehingga keseimbangan 
tubuhnya dapat terkuasai. Keadaan ini sebenarnya 
masih jauh lebih menguntungkan dibanding kea-
daan Pembunuh Iblis. Setan Haus Darah tahu, mu-
suhnya telah menderita luka dalam. Maka cepat ia 
melompat bangun. 
"Bagus! Rupanya kau memiliki satu pukulan 
hebat juga, Bocah. Tapi tetap saja percuma mela-
wanku. Kau akan modar di tanganku! Sekarang, 
makanlah pukulan 'Gemuruh Badai'! Hea!" 
Dikawal bentakan keras, Setan Haus Darah 
kembali menghentakkan kedua telapak tangannya 
ke depan. Seketika meluncur angin kencang laksana 
amukan topan badai dari kedua telapak tangan Se-
tan Haus Darah siap melabrak tubuh Pembunuh Ib-
lis.  
Werrr! Werr! 
Pembunuh Iblis menggeram penuh kemara-
han. Ia merasakan, sebelum hawa pukulan Setan 
Haus Darah sempat mengenai tubuhnya, terlebih 
dahulu berkesiur hawa panas luar biasa yang me-
nyengat kulit tubuh!  
"Hiaaa...!" 
Tanpa buang-buang waktu, Pembunuh Iblis 
segera menghantamkan kedua telapak tangannya ke 
depan. Seketika meluruk dua larik sinar biru dari 
kedua telapak tangannya. Dan.... 
Blammm! Blammm! 
Tepat pada titik tengah, sinar-sinar biru dari 
tangan Pembunuh Iblis menghantam pukulan Setan 
Haus Darah. Seketika kembali terdengar dua leda-
kan dahsyat. Hebat bukan main bentrokan dua te-
naga dalam kali ini, sehingga menimbulkan kesiur 
angin yang memporak-porandakan apa saja yang 
ada di sekitar tempat pertarungan. Ranting-ranting 
pohon berderak dengan daun-daun hangus terba-
kar! Sedang beberapa orang anak buah Setan Haus 
Darah yang terlambat menghindar kontan menjerit 
dengan sekujur tubuh melepuh! 
Sewaktu terjadinya bentrokan tadi, tubuh 
Pembunuh Iblis melayang jauh ke belakang. Tubuh 
tinggi kekarnya berputar-putar, sebentar sebelum 
akhirnya terbanting keras. 
Bukkk! 
Pembunuh Iblis meringis kesakitan. Tulang 
punggungnya yang beradu dengan tanah terasa mau 
remuk. Sementara kedua telapak tangannya mele-
puh akibat bentrokan tadi. Luka dalamnya yang di-
derita kali ini benar-benar menyiksa. Kendati begitu, 
pemuda itu mencoba melompat bangun. Tapi, tu-
buhnya terasa lemah tak bertenaga, sehingga kem-
bali luruh ke tanah. 
"Ha ha ha...! Saat inilah kematianmu, Bocah 
Pongah! Jangan salahkan kalau aku terpaksa harus 
merenggut nyawa busukmu, Bocah! Sekarang teri-
malah hari kematianmu! Hea!" 
Setan Haus Darah cepat menarik kedua tela-
pak tangannya ke belakang. Dan dengan kekuatan 
tenaga dalam penuh, kedua telapak tangannya telah 
dihantamkan ke depan. Seketika itu juga meluruk 
dua gulungan bola api dari kedua telapak tangannya 
siap melabrak tubuh Pembunuh Iblis. 
Werrr! Werrr! 
Pembunuh Iblis mengeluh pasrah. Mengha-
dapi bahaya maut yang siap merenggut nyawanya, ia 
berniat memapak dengan kekuatan tenaga dalam 
penuh. Namun baru saja hendak melontarkan puku-
lan, mendadak melesat dua larik sinar putih terang 
yang datangnya dari samping. Dan tahu-tahu, dua 
sinar putih terang itu telah memapak pukulan Setan 
Haus Darah! 
Blammm! 
"Setan alas! Siapa yang berani gila dengan Se-
tan Haus Darah, he?!" 
Sepasang mata merah menyala Setan Haus 
Darah berkilat-kilat penuh kemarahan menatap se-
pasang anak muda-mudi yang berdiri tak jauh di 
depannya. Yang sebelah kanan adalah seorang pe-
muda tampan berambut gondrong sebahu. Pakaian-
nya rompi dan celana bersisik warna putih kepera-
kan. Sedang di sebelahnya seorang gadis cantik be-
rambut digelung ke atas, dihiasi untaian bunga me-
lati. Gadis ini mengenakan pakaian yang juga ber-
warna hijau. Menilik ciri-cirinya, mereka tak lain da-
ri Siluman Ular Putih dan Arum Sari. 
"Terima kasih, Sobat. Kali ini aku berhutang 
nyawa denganmu," ucap Pembunuh Iblis pada Silu-
man Ular Putih. 
Soma hanya menoleh sebentar ke arah Pem-
bunuh Iblis yang masih mengejoprak di tanah. Lalu 
dengan senyum tersungging di bibir kembali diha-
dapinya Pimpinan Pasukan Laskar Hijau. 
"Jadi, kaukah yang bergelar Setan Haus Da-
rah? Hm...! Kebetulan sekali. Aku memang sedang 
mencari-carimu berikut konco-koncomu," ancam Si-
luman Ular Putih, senang. 
"Jahanam! Bocah edan mana lagi yang berani 
pentang bacot demikian rupa di hadapan Setan 
Haus Darah?! Apa kau sudah bosan hidup, he?!" 
bentak Setan Haus Darah tak kalah gertak. 
"Sudahlah! Jangan banyak bacot, Biang Pe-
rampok! Aku sudah kebal segala macam gertak 
sambal. Sekarang kalau kau ingin mencabut nyawa-
ku, lakukanlah! Tapi, hati-hati! Jangan-jangan ma-
lah kau sendiri yang kena gebuk!" balas Siluman 
Ular Putih. 
Setan Haus Darah menggeram murka. Ia ya-
kin sekali dapat mengatasi, walau tadi sebenarnya 
sudah merasakan kehebatan pukulan pemuda edan 
di depannya. 
"Tunggu!" ujar Setan Haus Darah. 
"Apa lagi yang hendak kau bicarakan,  Biang 
Perampok? Katanya kau ingin mencabut nyawaku?" 
tanya Soma. 
"Aku tak akan mencabut nyawa seseorang ka-
lau belum tahu siapa nama orang itu. Sekarang ka-
takan siapa nama dan gelarmu hingga membuatmu 
pongah, Bocah Gondrong!" 
"Ooo...! Rupanya kau penasaran  dengan na-
maku, ya? Aha...! Sayang sekali, namaku tak cukup 
baik. Soma! Tapi yang jelas, nama bukanlah jadi ja-
minan. Buktinya kau yang mengaku bergelar Setan 
Haus Darah malah jadi biang kerok. Suka meng-
ganggu rakyat tak mampu," sahut Soma asal jadi. 
"Bajingan! Katakan sekalian siapa gelarmu, 
Bocah!" 
"Itu tak penting. Pokoknya, asal bisa memberi 
pelajaran pada manusia pongah macam kau, itu su-
dah cukup penting bagiku." 
"Baik! Kalau kau keberatan menyebutkan ge-
larmu tak jadi soal. Asal jangan menyesal kalau 
nyawamu minggat dari raga!" 
"Aku tak mungkin menyesal. Malah aku se-
nang dapat berjumpa golongan perampok macam 
kalian. Tapi sayang, aku tak punya barang yang cu-
kup berharga untuk dirampok. Padahal, aku ingin 
sekali merasakan seperti apa sih enaknya diram-
pok?" 
"Setan alas! Makin diumbar malah makin ke-
lewatan! Kau akan menyesal telah bertemu dengan-
ku, Bocah! Sekarang rasakanlah akibatnya!" geram 
Setan Haus Darah. 
Saat itu juga, Setan Haus Darah segera me-
narik mundur kedua telapak tangannya ke bela-
kang. Lalu dengan kekuatan tenaga dalam penuh ti-
ba-tiba kedua telapak tangannya segera disentakkan 
ke depan. 
Wesss! Wesss! 
Seketika meluruk dua gulungan bola api dari 
kedua telunjuk tangan Setan Haus Darah, siap me-
labrak tubuh Siluman Ular Putih. Bahkan sebelum 
serangan-serangan itu sempat mengenai sasaran, 
terlebih dahulu telah berkesiur hawa panas bukan 
kepalang. 
Sementara di saat Setan Haus Darah melon-
tarkan pukulan maut, beberapa orang anak buah-
nya yang tak sabar untuk turun ke tempat perta-
rungan segera menerjang Siluman Ular Putih. Na-
mun baru saja mereka bertindak. Arum Sari telah 
menghadang dengan pedang di tangan. 
"Bagus, Arum! Hajar perampok-perampok ke-
cil itu biar tahu rasa!" celoteh Siluman Ular Putih. 
Padahal saat itu, dua gulungan bola api dari kedua 
telapak tangan Setan Haus Darah siap mengganyang 
tubuhnya. 
Begitu gulungan dua bola api itu hanya ting-
gal beberapa jengkal di hadapannya, Siluman Ular 
Putih pun segera bertindak. Segera kedua telapak 
tangannya menghantam ke depan, membuat dua la-
rik sinar putih terang melesat memapak pukulan Se-
tan Haus Darah. Itulah pukulan 'Tenaga Inti Bumi' 
yang cukup menggetarkan dunia persilatan. Dan....  
Blammm! 
Terdengar satu ledakan hebat di udara begitu 
terjadinya bentrokan dua tenaga dalam tingkat ting-
gi di udara. Seketika bumi laksana diguncang pra-
hara. Angin panas yang ditingkahi angin dingin 
langsung menebar ke segenap penjuru, memporak-
porandakan apa saja yang ada di sekitarnya. Pagar-
pagar rumah penduduk hancur berantakan. Seba-
gian beterbangan ke udara, menghantam tanah di 
sekitarnya! 
Tubuh Setan Haus Darah sendiri kontan me-
layang jauh ke belakang begitu terjadi bentrokan. 
Untung saja tubuhnya cepat membuat putaran dan 
hinggap di tanah tanpa terbanting keras. Meski de-
mikian tetap saja rasa nyeri dalam dadanya tak da-
pat disembunyikan dari parasnya yang pias dan mu-
lutnya yang meringis. 
Jauh di depan sana, sosok Siluman Ular Pu-
tih hanya bergoyang-goyang sebentar. Kedua ka-
kinya tersurut beberapa langkah ke belakang. Na-
mun sedikit pun tidak membahayakan keselama-
tannya. Malah murid Eyang Begawan Kamasetyo ini 
tersenyum nakal. 
"Ayo, bangun! Masa' baru begitu saja sudah 
loyo? Huh! Katanya biang perampok nomor wahid?" 
ejeknya. 
"Bajingan! Kuakui kau memang hebat, Bocah 
Edan! Tapi, jangan bangga dulu! Aku sama sekali 
belum kalah," dengus Pimpinan Laskar  Hijau itu. 
"Sekarang rasakanlah pukulan 'Gemuruh Badai 
Api'-ku!" 
Begitu melompat bangun, tak tanggung-
tanggung lagi Setan Haus Darah segera mengelua-
rkan pukulan andalan 'Gemuruh Badai Api'. Saat itu 
juga kedua tangannya yang telah berubah jadi me-
rah menyala hingga ke pangkal menghentak disertai 
bentakan nyaring. 
"Heaaa...!" 
Wusss...! 
Seketika meluruk dua gulungan api yang ber-
kobar-kobar dari kedua telapak tangan lelaki tinggi 
besar itu ditingkahi angin kencang berkesiur ke arah 
Siluman Ular Putih. 
"Hmmm...!" 
Siluman Ular Putih menggumam dalam hati. 
Dari berkesiurnya hawa panas yang menyentuh ku-
lit, disadarinya akan kehebatan pukulan 'Gemuruh 
Badai Api'. Untuk itu, pemuda ini tak berani main-
main lagi. Maka segera digabungkannya pukulan 
'Tenaga Inti Bumi' dan 'Tenaga Inti Api'. Lalu secepat 
itu kedua telapak tangannya mendorong ke depan.  
"Hea!" 
Bukan main! Dua larik sinar merah dan putih 
yang disertai berkesiurnya hawa panas dan dingin 
bukan kepalang saat itu pula meluncur dari kedua 
telapak tangan Siluman Ular Putih, memapak puku-
lan Setan Haus Darah. Dan.... 
Blammm! Blammm! 
"Aaakh...!" 
Setan Haus Darah kontan menjerit tertahan. 
Tubuhnya yang tinggi besar tanpa ampun kembali 
melayang jauh ke belakang dan terbanting keras di 
tanah. Sedang Siluman Ular Putih sendiri pun men-
galami nasib tak jauh berbeda. Begitu bentrokan ter-
jadi, tubuhnya terpental ke belakang. Cuma be-
danya, ia cepat mematahkan daya luncur tubuhnya 
dengan beberapa kali putaran di udara. Maka begitu 
mendarat, keseimbangan tubuhnya jadi terkendali. 
Sementara itu, Arum Sari yang tengah sibuk 
menghadapi keroyokan beberapa orang anak buah 
Setan Haus Darah tampak kewalahan bukan main. 
Meski memiliki kepandaian yang cukup lumayan, 
namun menghadapi keroyokan dari orang-orang 
yang juga memiliki kepandaian lumayan, tak urung 
membuatnya kewalahan. Apalagi jumlah pengeroyok 
cukup banyak. Meski demikian, Arum Sari tetap be-
rusaha membalas dengan menggunakan jurus anda-
lan 'Tongkat Penggebuk Iblis'. 
Namun keadaan ini tak urung membuat hati 
Siluman Ular Putih resah. Hatinya khawatir kalau-
kalau Arum Sari akan celaka di tangan para penge-
royoknya. Sedang pemuda berjubah biru yang kini 
bergelar Pembunuh Iblis pun hanya ngejoprak di ta-
nah, sehingga tak mungkin diharapkan bantuannya. 
Mau tak mau Siluman Ular Putih terpaksa harus 
membagi perhatiannya. 
"Biang rampok! Kukira kau harus segera me-
ninggalkan jalan yang kau tempuh selama ini! Kalau 
tidak, aku benar-benar ingin membuat perhitungan 
denganmu. Juga dengan anak buahmu. Terus te-
rang, aku paling benci  dengan kejahatan di muka 
bumi!" 
"Bocah bau kencur macam kau! Bisanya 
berkhotbah di depanku. Puahhh! Makan saja kata-
kata manismu tadi. Siapa mau peduli?!" dengus Se-
tan Haus Darah merasa muak sekali melihat tingkah 
Siluman Ular Putih. 
"Kalau begitu, kau memang patut dilenyapkan 
dari muka bumi ini, Biang Rampok!" 
"Lakukanlah kalau kau memang sanggup!" 
Siluman Ular Putih kembali bersiap melon-
tarkan pukulan andalan. Telapak tangan kanannya 
telah berubah jadi merah menyala hingga ke pangkal 
lengan. Sedang telapak tangan kirinya telah berubah 
jadi putih terang, juga sampai pangkal lengan. Itulah 
pukulan gabungan antara pukulan 'Tenaga Inti Bu-
mi' dan pukulan 'Tenaga Inti Api' yang dahsyat luar 
biasa. 
Seperti yang dilakukan Siluman Ular Putih, 
Setan Haus Darah pun tak mau kalah. Maka segera 
dikeluarkannya pukulan 'Gemuruh Badai Api' den-
gan kekuatan tenaga dalam penuh. 
Menilik kekuatan tenaga dalam yang dikelua-
rkan, rupanya mereka benar-benar ingin mengadu 
jiwa. Siapa yang tenaga dalamnya kendur, berarti 
kematianlah  yang akan ditemui. Tapi di saat Silu-
man Ular Putih dan Setan Haus Darah sama-sama 
hendak melontarkan pukulan maut.... 
"Aahh...!" 
Mendadak terdengar teriakan kesakitan dari 
samping. Selang beberapa saat, tampak tubuh Arum 
Sari terhuyung-huyung mendekati Setan Haus Da-
rah, akibat pukulan salah seorang pengeroyoknya. 
Pimpinan Laskar Hijau yang memang berwatak licik, 
diam-diam tersenyum gembira. Saat itu pula kedua 
telapak tangannya yang telah berubah jadi merah 
menyala hingga pangkal siku dihantamkan ke arah 
Arum Sari! 
"Tahan!" teriak Siluman Ular Putih kalap bu-
kan main. 
Namun sayang, teriakan Siluman Ular Putih 
terlambat. Karena....  
Desss...!  
"Aaakh...!" 
Begitu terkena pukulan Setan Haus Darah, 
seketika tubuh gadis cantik itu terlempar jauh ke 
samping disertai teriakan kesakitan. Tampak tubuh 
rampingnya berputar-putar sebentar di udara, sebe-
lum akhirnya terbanting keras. 
Bukkk! 
Tampak punggung Arum Sari menghantam 
keras ke tanah. Tubuhnya menggeliat-geliat seben-
tar, dan kembali luruh ke tanah. 
"Bajingan! Licik!  Kubunuh kau...!" pekik Si-
luman Ular Putih tak dapat mengendalikan hawa 
amarah yang menggelegak dalam dada. 
Karena tidak kuat menahan amarahnya yang 
menggelegak, mendadak sekujur tubuh murid Eyang 
Begawan Kamasetyo dipenuhi asap putih tipis se-
hingga, akhirnya sosoknya tertutup asap putih! Dan 
saat asap putih yang menyelimuti sekujur tubuhnya 
itu hilang tertiup angin, maka saat itu juga… 
"Ggggeeerrr...!!!" 
"Si.... Siluman Ular Putih...!" pekik Setan 
Haus Darah dan semua yang berada di tempat per-
tarungan penuh takjub. Termasuk juga, Pembunuh 
Iblis yang saat itu tengah sibuk menyembuhkan lu-
ka dalamnya. 
Di hadapan Setan Haus Darah kini tampak 
seekor ular putih raksasa dengan ukuran tubuh luar 
biasa, hampir sebesar pohon kelapa! Taring-
taringnya yang runcing demikian mengerikan den-
gan sepasang mata yang mencorong beringas ber-
warna merah menyala! 
"Ggggeeerrr...!!!" 
Sosok Soma yang telah berwujud ular putih 
raksasa itu sejenak mengibas-ngibaskan ekornya ke 
sana kemari, membuat tempat pertarungan kontan 
bergetar hebat. Debu-debu membubung tinggi ke 
udara, menghalangi pandangan. 
"Hm...! Jadi kaukah yang bergelar Siluman 
Ular Putih, Bocah Keparat?! Bagus! Kebetulan sekali 
aku memang sudah lama ingin menjajal kehebatan 
Siluman Ular Putih yang akhir-akhir ini menggem-
parkan dunia persilatan. Majulah! Akan kulihat 
sampai di mana kehebatanmu, Ular Keparat!" ejek 
Setan Haus Darah. 
Diam-diam, Pimpinan Pasukan Laskar Hijau 
ini kembali mengerahkan pukulan andalannya, 
'Gemuruh Badai Api'. Seketika dua telapak tangan 
pentolan Pasukan Laskar Hijau ini kembali berubah 
merah menyala hingga ke pangkal.  
"Ggggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Suara 
gerengannya yang kasar dan berat seolah ingin 
menggetarkan nyali lawannya. Habis menggereng, 
mendadak ular putih raksasa ini sedikit menekuk 
ekornya ke samping. Dan.... 
Wesss! 
Sosok ular putih raksasa itu kini telah mele-
sat cepat, siap melabrak tubuh Setan Haus Darah. 
Kedua taringnya yang runcing berkilauan tertimpa 
sinar matahari. Belum lagi sepasang matanya yang 
berwarna merah menyala seolah-olah ingin melumat 
sosok lawannya. 
"Jangan gegabah, Ular Putih Keparat! Makan-
lah pukulan 'Gemuruh Badai Api'-ku! Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Setan 
Haus Darah menghentakkan kedua telapak tangan-
nya ke depan disertai tenaga dalam penuh. Saat itu 
juga meluruk dua gulungan api yang berkobar-kobar 
dari kedua telapak tangannya siap meluluhlantak-
kan tubuh ular putih raksasa. 
Besss! 
Serangan Siluman Ular Putih kontan terhenti 
di tengah jalan. Sementara, tak ada suara ledakan 
yang terdengar, kecuali gerengan ular putih raksasa 
itu saat sekujur tubuhnya terpanggang api. Tak hen-
ti-hentinya sosok ular putih raksasa itu menggeliat-
geliat hebat ke sana kemari. 
Setan Haus Darah tertawa bergelak seolah 
puas dengan hasil serangannya. Dengan paras me-
negang kekuatan tenaga dalamnya makin ditambah, 
hingga kobaran api yang membakar tubuh Siluman 
Ular Putih makin hebat. Namun anehnya, sosok ular 
putih raksasa itu sedikit pun tidak cedera! Jangan-
kan cedera, mengelupas kulit tubuhnya pun tidak! 
Malah begitu kobaran api yang membakar tubuhnya 
sirna, Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan 
ekornya liar ke sana kemari.  
"Gggeeerrr...!!!" 
Setan Haus Darah terkesiap. Keningnya ber-
kerut-kerut saking herannya. 
"Mustahil! Pukulan 'Gemuruh Badai Api'-ku 
tak mampu melukai tubuh ular putih raksasa ini!" 
geram Setan Haus Darah, hanya dalam hati. 
"Ggggeeeerrr...!" 
Sosok ular putih raksasa itu kembali mene-
kuk ekornya ke samping. Sesaat kemudian sosoknya 
yang besar dan panjang kembali melesat cepat ke 
arah Setan Haus Darah. Taring-taringnya yang runc-
ing siap melumat lawan. Pada saat yang sama, Setan 
Haus Darah masih ter-paku oleh keterkejutan meli-
hat kehebatan Siluman Ular Putih. Akibatnya saat 
menghindar gerakannya jadi lambat. Dan.... 
Bukkk! 
"Aaaakh...!" 
Setan Haus Darah kontan meraung setinggi 
langit. Tubuhnya yang tinggi besar tanpa ampun 
langsung terbanting keras dengan wajah pias. Pada 
bagian punggungnya yang terkena kibasan terasa 
mau remuk! Untung saja tubuhnya tadi telah terlin-
dungi tenaga dalam. Kalau tidak, bukan mustahil 
tubuhnya akan remuk! 
Begitu bangkit, Pimpinan Laskar Hijau itu 
menggeram murka. Kedua telapak tangannya kem-
bali berubah jadi merah menyala hingga ke pangkal 
lengan. Sementara, sosok ular putih raksasa di ha-
dapannya telah siap menerkam dirinya. Setan Haus 
Darah tentu saja tak ingin tubuhnya jadi sasaran 
empuk. Maka saat ular putih raksasa itu berada be-
berapa tombak lagi, langsung dikerahkannya tenaga 
dalam tinggi seraya melepas pukulan 'Gemuruh Ba-
dai Api'. 
"Hea...!"' 
Saat itu juga. Kembali dua gulungan api yang 
berkobar-kobar menghantam tubuh Siluman Ular 
Putih. Kali ini jauh lebih hebat dari pukulannya 
yang pertama. Sehingga, kobaran api yang menyeli-
muti sekujur tubuh Siluman Ular Putih makin 
menggila! 
"Ggggeeeerrr...!!!" 
Siluman Ular Putih serangannya berhasil di-
gagalkan menggereng liar. Ekornya dikibaskan ke 
sana kemari membuat debu dan pasir beterbangan 
memenuhi tempat pertarungan. Selang beberapa 
saat, kobaran api pun reda dengan sendirinya. 
"Edan! Tak mungkin ular putih raksasa itu 
kebal terhadap pukulan andalanku! Hm...? Benar-
benar tak dapat kupercaya. Kalau tak melihat den-
gan mata kepala sendiri, mustahil aku dapat mem-
percayainya. Hm...!" gumam Setan Haus Darah 
sambil mengangguk-angguk. 
"Hajar ular keparat itu!" perintah Setan Haus 
Darah kepada puluhan anak buahnya yang siap 
membantu. 
Habis memerintah, Pimpinan Laskar Hijau itu 
segera memungut golok salah seorang anak buahnya 
yang tergeletak di tanah. Kemudian dengan golok di 
tangan, kembali diserang ular putih raksasa itu, di-
bantu puluhan anak buahnya. 
Wesss! Wesss! 
Crakkk! Crakkk! 
"Gggeeerrr...!!!" 
Sosok ular putih raksasa itu hanya mengge-
liat-geliat sebentar ketika tubuhnya dicincang golok 
para pengeroyoknya. Namun hebatnya, sedikit pun 
tak mengalami cedera! Malah kibasan-kibasan ekor-
nya membuat beberapa orang anak buah Setan 
Haus Darah berpelantingan ke sana kemari dengan 
bagian tubuh remuk! 
Bukan main geramnya hati Setan Haus Darah 
melihat kehebatan ular putih raksasa di depannya. 
Ia sendiri sudah berkali-kali membacokkan golok ke 
tubuh Siluman Ular Putih dengan tenaga dalam pe-
nuh. Namun apa yang dialami tak jauh berbeda 
dengan puluhan anak buahnya. Sosok ular putih 
raksasa itu tetap utuh tanpa terluka sedikit pun. 
"Setan alas! Kalau begini terus, tak mungkin 
aku menghadapinya. Hm...!" 
Setan Haus Darah menggeram penuh kema-
rahan. Otaknya yang licik kini kembali memenuhi 
benaknya. Dan saat melihat tubuh Arum Sari masih 
terletak tak berdaya di luar pertarungan, bibirnya 
melepas senyum gembira. Apalagi saat itu Pembu-
nuh Iblis tampak sedang lengah. 
"Suuuitt...!" 
Berpikir demikian, Setan Haus Darah segera 
bersuit memberi aba-aba kepada anak buahnya un-
tuk segera meninggalkan tempat pertarungan. Se-
dang dirinya sendiri segera berkelebat cepat, lang-
sung menyambar tubuh Arum Sari setelah melepas 
totokan beberapa kali.  
"Berhenti!" teriak Pembunuh Iblis geram bu-
kan main. 
Saat itu, meski tengah menderita luka dalam 
yang cukup parah, pemuda berjubah biru ini me-
maksakan diri untuk melontarkan satu pukulan 
maut. Tapi sayang, dadanya terasa nyeri bukan 
main. Terpaksa niatnya diurungkan. Sedangkan Se-
tan Haus Darah telah berkelebat cepat ke atas 
punggung kudanya dengan tawa bergelak. 
"Hup!" 
Begitu mencapai punggung kudanya yang 
sempat menjadi liar manakala melihat sosok Silu-
man Ular Putih, Setan Haus Darah segera mengge-
bahnya keras-keras. Sejenak sepasang kaki depan 
kuda itu terangkat tinggi lalu melesat cepat mening-
galkan tempat pertarungan. Tindakannya pun diiku-
ti puluhan anak buahnya yang segera menyusul. 
Namun, masih ada juga beberapa orang anggota 
Laskar Hijau yang masih tergeletak tak berdaya. 
Melihat para pengeroyoknya melarikan diri, 
ular putih raksasa jelmaan murid Eyang Begawan 
Kamasetyo itu tak henti-hentinya menggereng hebat. 
Dalam keadaan masih berwujud ular, jelas tak 
mungkin Setan Haus Darah dan anak buahnya bisa 
dikejar. Maka untuk meneruskan niatnya, mau ti-
dak mau Siluman Ular Putih harus mengubah di-
rinya menjadi manusia biasa kembali. Dan ini pun 
memerlukan waktu! 
"Gggeeerr...!" 
Tak berapa lama, tampak sosok tubuh ular 
putih raksasa telah dipenuhi asap putih tipis. Se-
hingga sosoknya yang panjang memutih tak keliha-
tan sama sekali tertutup asap putih. 
Besss! 
Pembunuh Iblis dan beberapa orang pendu-
duk kampung yang menyaksikan kehebatan Silu-
man Ular Putih tak henti-hentinya berdecak penuh 
kagum. Selang beberapa saat setelah asap putih ti-
pis itu lenyap tertiup angin, maka yang tampak di 
tempat pertarungan adalah seorang pemuda tampan 
berambut gondrong sebahu. Pakaian rompi dan ce-
lananya bersisik warna putih keperakan! Itulah so-
sok murid Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar 
Siluman Ular Putih! 
* * * 
"Maaf, Soma! Sebagai seorang sahabat, aku 
benar-benar merasa tak berguna. Arum Sari lenyap 
dibawa kabur Setan Haus Darah tanpa dapat kuce-
gah," keluh Pembunuh Iblis penuh sesal. Akibat tadi 
memaksakan diri mengerahkan tenaga dalam, maka 
luka dalam tubuh pemuda itu pun makin menghe-
bat. 
"Sudahlah! Lupakan! Aku maklum dengan 
keadaanmu," ujar Siluman Ular Putih, lalu buru-
buru mengambil sebutir obat yang tersimpan di kan-
tong kecil yang menggelantung di pinggang. "Minum-
lah obat ini! Luka dalammu pasti akan cepat sem-
buh." 
'Terima kasih. Soma," ucap Pembunuh Iblis, 
segera mengambil sebutir obat berwarna kuning dari 
telapak tangan Siluman Ular Putih dan menelannya. 
"Sekarang tolong urusi beberapa orang anak 
buah Setan Haus Darah yang tertinggal! Aku sendiri 
harus secepatnya menyelamatkan Arum Sari. Sela-
mat tinggal, Kawan!" 
Saat itu juga Siluman Ular Putih segera men-
jejakkan kakinya ke tanah, langsung berkelebat ce-
pat meninggalkan tempat itu. Tak tanggung-
tanggung, segera dikerahkannya ajian 'Menjangan 
Kencono' untuk mengejar Setan Haus Darah dan 
anak buahnya. Sehingga dalam beberapa kelebatan 
saja, sosoknya telah melesat jauh. 
10 
Dalam terpaan angin siang, seorang kakek 
renta berpakaian serba biru tengah terkantuk-
kantuk di bawah rindangnya sebuah pohon. Usianya 
kira-kira tujuh puluh tahun. Rambutnya awut-
awutan tak terawat. Saking kurusnya, membuat se-
pasang matanya mencekung ke dalam. 
Kakek renta ini terus bertelekan pada tong-
katnya. Kepalanya tertunduk, sehingga wajahnya 
yang kasar tertutup rambut putih. Dengkurnya pun 
mulai terdengar, pertanda mulai terlelap. 
Di saat kakek renta yang tengah menikmati 
semilirnya angin siang, mendadak.... 
Krakkk! 
Terdengar suara ranting kering terinjak, 
membuat si kakek terkejut. Saat itu pula hidungnya 
yang tajam menangkap bau harum. Seketika rasa 
kantuknya terbunuh oleh perasaan ingin tahunya. 
"Eh...! Bau apa ini?" 
Kakek berpakaian biru itu mengenduskan hi-
dungnya ke sana kemari. Bersamaan dengan gera-
kan hidung, kepalanya pun bergerak perlahan ke 
samping. Dan seketika matanya terbentur pada seo-
rang gadis cantik yang tengah berkelebat cepat ke 
arahnya di jalan setapak. Tubuhnya yang tinggi 
ramping dibalut pakaian indah warna merah. Se-
dang rambutnya yang hitam lebat digelung ke atas. 
Bentuk matanya bulat dihiasi bulu mata lentik. Be-
lum lagi bentuk hidung dan dagunya yang merunc-
ing. Benar-benar anggun dan menawan penampilan 
gadis cantik satu ini. Apalagi gelungan rambutnya 
dihiasi pula dengan mutiara beraneka warna sehing-
ga, penampilannya tak ubah seperti seorang ratu. 
"Maaf, Kek! Boleh aku menanyakan sesuatu?" 
kata si gadis begitu menghentikan langkahnya di 
depan kakek berpakaian biru. Suaranya begitu san-
tun.  
"Hm...!" 
Kakek renta itu tak langsung menjawab, ke-
cuali menggumam tak jelas. Matanya tajam menghu-
jam ke sekujur tubuh si gadis cantik. Namun pan-
dangannya bukanlah menunjukkan ketertarikan 
melihat penampilan gadis di hadapannya, melainkan 
sedang menaksir-naksir apa yang tersembunyi da-
lam diri gadis itu. 
"Maaf, Kek! Apakah Kakek mengenal seseo-
rang yang bernama Gendon Prakoso?" tanya gadis 
itu langsung saja. 
Si kakek menggeleng pelan. Namun sepasang 
matanya terus menghujam tajam ke arah gadis can-
tik di hadapannya. 
Melihat dirinya dipandangi demikian rupa, si 
gadis cantik jadi curiga. Bagaimana tidak curiga ka-
lau dirinya terus diperhatikan seperti itu? Walau 
yang memperhatikannya seorang kakek renta, na-
mun bagaimanapun juga adalah seorang lelaki. Dan 
naluri kewanitaannya mau tak mau harus mengi-
syaratkan lain. Karena bukan mustahil dunia persi-
latan yang banyak ditebari tokoh dunia hitam dan 
manusia berhati keji membuat dirinya celaka. 
"Kau tidak mengenalnya, Kek?" tanya si gadis 
lagi, tetap dengan suara santun. 
"Hm.... Siapa namamu?" Si kakek kali ini bu-
ka suara. 
"Yustika, Kek," sahut gadis yang ternyata 
Yustika alias Ratu Adil. 
"Hmmm.... Aku Peramal Maut. Mendekatlah 
Yustika. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan," ujar 
kakek renta yang ternyata bergelar Peramal Maut se-
raya melambaikan tangan. 
"Baik." 
Tanpa banyak cakap Yustika menurut. Si ga-
dis maju selangkah, hingga berada dua tombak di 
hadapan si kakek. Dalam hatinya berharap kalau 
kakek renta ini mau membantu dirinya untuk me-
nemukan ayah kandungnya yang bernama Gendon 
Prakoso. 
Memang, sejak diberi gelar Ratu Adil oleh gu-
runya, Yustika sengaja merubah penampilannya. 
Rambutnya yang biasanya dikuncir ke belakang kini 
digelung ke atas serta dihiasi mutiara-mutiara in-
dah. Demikian juga tutur sapanya. Yustika yang 
memang berwatak lembut merasa tidak kesulitan 
untuk menyesuaikan diri dengan gelar yang diberi-
kan gurunya. 
"Apa yang ingin kau katakan, Kek?" 
"Hhh...," Peramal Maut menghela napasnya 
sejenak. Pandang matanya pun tampak sayu kala 
menatap Yustika. 
"Katakanlah, Kek! Apa yang ingin Kakek bica-
rakan?" desak Yustika, tak sabar. 
"Begini, Yustika. Sewaktu kau lewat tadi, aku 
mencium bau harum yang luar biasa. Namun selang 
beberapa saat kemudian, aku pun mencium bau bu-
suk. Kau tahu pertanda apakah itu?" Yustika meng-
geleng. 
"Nah...! Seperti getaran dalam hatiku, aku ya-
kin kalau kau adalah seorang gadis berhati mulia. 
Dan bau busuk yang kucium, itu menandakan ka-
lau kau akan banyak mengalami rintangan untuk 
mencari orang yang bernama Gendon Prakoso. Di 
samping itu, kau pun akan resah bila sudah berte-
mu seorang pemuda. Dan pemuda itulah yang nan-
tinya akan membantumu menemukan  orang yang 
kau cari," papar Peramal Maut, sok pasti. 
Yustika diam terpekur. Entah percaya atau 
tidak pada ramalan itu. Tapi yang jelas, ia jadi per-
caya walau kakek di hadapannya memang Peramal 
Maut. Buktinya saja, belum-belum sudah meramal. 
"Bagaimana, Gadis? Apa kau mempercayai 
ramalanku tadi?" tanya si kakek dengan sepasang 
mata mencorong tajam memancarkan hawa mem-
bunuh. 
"Hhh...," Yustika menghela napas panjang. 
"Terus terang aku tidak tahu, Kek. Mungkin mem-
percayai ramalanmu, mungkin juga sebaliknya." 
"Maksudmu kau tak mempercayai ramalan-
ku?" terabas Peramal Maut dengan suara melengk-
ing tinggi. 
"Bisa dibilang begitu...." 
"Bagus! Siapa saja yang tidak mempercayai 
ramalan Peramal Maut, berarti harus mati di tan-
ganku!" tandas Peramal Maut. 
"Maksudmu...? Kau ingin membunuhku, 
Kek?" Ratu Adil terperangah dengan mata terbelalak. 
"Kau sudah mendengar keinginanku. Dan kau 
pun harus siap modar di tanganku! Heaaah...!" 
Yustika alias Ratu Adil kini benar-benar ter-
perangah. Apalagi ketika melihat Peramal Maut be-
nar-benar telah melaksanakan ancamannya. Kedua 
telapak tangannya yang mendadak jadi menghitam 
hingga sampai ke pangkal siku tahu-tahu telah di-
hentakkan ke depan. 
Wusss...! 
Sejenak Ratu Adil terkesiap. Namun begitu 
melihat dua larik sinar hitam melesat dari kedua te-
lapak tangan Peramal Maut, buru-buru tubuhnya 
dibuang ke samping. Sehingga, dua larik sinar hitam 
legam itu terus melesat ke belakang, langsung 
menghantam batang pohon. 
Brakkk! 
Batang pohon sebesar dua lingkaran tangan 
manusia dewasa tampak bergoyang-goyang. Selang 
beberapa saat terdengar suara menggemuruh dari 
pohon yang tumbang menghantam tanah. Seketika 
debu dan pasir di jalan setapak itu berhamburan 
tinggi ke udara. 
Peramal Maut yang merasa geram melihat se-
rangannya dapat dihindari dengan mudah segera 
melompat bangun. Kedua telapak tangannya yang 
berubah jadi hitam legam kembali dihantamkan ke 
depan. 
Bed! 
Wess! Wesss! 
Lagi-lagi dua larik sinar hitam legam meluruk 
dari kedua telapak tangan Peramal Maut yang diser-
tai hawa panas luar biasa. 
Ratu Adil menggerutu kesal. Baru pertama 
kali kakinya menginjak di dunia persilatan sudah 
harus berhadapan dengan orang tua aneh yang 
hanya karena sebab sepele lantas hendak membu-
nuh. Gadis ini benar-benar tak mengerti. Namun 
saat itu juga tenaga dalamnya dikerahkan setelah 
membuat kuda-kuda kokoh. Setombak lagi serangan 
itu mengancam kedua tangannya menghentak. 
Wesss! Wesss! 
Blammm! Blammm! 
Hebat sekali bentrokan dua tenaga dalam 
tingkat tinggi yang barusan terjadi. Seketika terden-
gar ledakan dahsyat yang bagai menggetarkan alam 
sekitarnya. Bahkan ranting-ranting pohon pun kon-
tan hangus terbakar terkena sambaran angin ben-
trokan itu! 
Sementara, Peramal Maut tampak terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Kedua tela-
pak tangannya saat ini terasa panas bukan main. 
Sedang Ratu Adil sendiri terpental jauh ke belakang. 
Tadi, tenaga dalam yang dikerahkan hanya sebagian 
saja. Maka tak heran kalau gadis ini menerima aki-
bat yang cukup lumayan. Darah segar kontan mem-
basahi sudut-sudut bibir, pertanda gadis murid Ra-
tu Alit dari Nusa Kambangan ini telah menderita lu-
ka dalam cukup lumayan. 
"Sungguh aku tak mengerti. Hanya karena 
aku tak mempercayai ramalanmu kau tega hendak 
membunuhku, Peramal Maut?" desis Ratu Adil se-
raya menggeleng-geleng. 
"Siapa pun juga yang tak mengakui kebena-
ran ramalanku berarti mati!" dengus Peramal Maut. 
"Sayang sekali, sebenarnya aku tak bernafsu 
bertarung. Tapi untuk menjajal ilmu yang kuperoleh 
dari Guru, tak ada salahnya kalau ku coba," gumam 
Ratu Adil dalam hati. 
Saat ini Peramal Maut mulai menggeser ka-
kinya dengan tongkat di tangan. Tubuhnya yang ku-
rus kering terseret-seret, mendekati Ratu Adil. Bu-
kannya karena terluka akibat bentrokan tenaga da-
lam tadi, melainkan karena tengah mempersiapkan 
pukulan andalan 'Gada Akhirat'. 
Ratu Adil yang masih hijau dengan segala 
macam kelicikan yang selalu berlaku di dunia persi-
latan tak tahu dengan maksud tindakan Peramal 
Maut. Ia hanya mengira kalau Peramal Maut terluka 
akibat bentrokan tenaga dalam tadi. 
"Ah...! Kau terluka, Kek?" pekik Ratu Adil me-
rasa hiba sekali dengan keadaan Peramal Maut. 
Peramal Maut yang memang berwatak licik 
malah sengaja berpura-pura kalau dirinya tengah 
menderita luka dalam yang hebat. Sambil melang-
kah tangannya terus memegangi dada yang terasa 
sesak dengan mulut meringis. Licik sekali! 
"Ah...! Baiknya kuobati dulu luka dalammu, 
Kek!" Buru-buru Ratu Adil melangkah mendekati 
Peramal Maut. Namun manakala hendak mengambil 
kantong obat yang menggelantung di pinggang, 
mendadak terasa ada angin dingin bukan kepalang 
yang siap melabrak tubuhnya. Dan sepertinya tak 
percuma gadis itu mendapat gemblengan bertahun-
tahun dari Ratu Alit. 
Jelas, Ratu Adil dapat merasakan adanya ba-
haya maut mengancam dirinya.  
"Hup!" 
Seketika itu juga, Ratu Adil cepat membuang 
tubuhnya ke samping. Namun sayang, gerakannya 
kalah cepat. Maka tanpa ampun lagi.... 
Bukkk! Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Ratu Adil memekik tertahan begitu serangan 
Peramal Maut mendarat di sasaran. Tubuhnya seke-
tika melayang di udara. Berputaran sebentar, lalu 
terbanting keras. Ratu Adil menggeliat-geliat mena-
han sakit. Dadanya yang terkena hantaman tangan 
Peramal Maut terasa mau pecah! 
"Licik!" desis Ratu Adil penuh kemarahan. 
Peramal Maut hanya tertawa bergelak. 
"Untuk memenangkan pertarungan, apa pun 
yang akan kulakukan  tidak penting. Yang penting, 
lawan cepat modar di tanganku!" kata Peramal Maut 
pongah. 
"Tak kusangka kau tega berlaku licik terha-
dapku, Orang Tua. Sungguh menyesal sekali aku te-
lah berlaku baik terhadapmu. Rupanya, kau tak 
ubahnya anjing beludak! Dikasih hati malah balas 
menggigit!" dengus Ratu Adil, lalu buru-buru me-
lompat bangun. Meski agak susah payah, namun 
akhirnya toh tubuhnya dapat berdiri tegak juga. 
"Terserah kau mau ngomong apa! Bagiku, li-
cik atau tidak itu hanya tergantung dari penilaian," 
kilah Peramal Maut. 
"Tapi tindakanmu jelas-jelas licik, Orang Tua!" 
tukas Ratu Adil sengit. 
"Itulah watakku! Yang penting, setiap lawan-
ku harus cepat modar. Entah itu dengan cara licik 
maupun tidak. Ha ha ha...," kata Peramal Maut, lalu 
disusul tawa bergelak. 
Ratu Adil muak sekali. Sekarang baru disada-
ri, manusia macam apa kakek renta di hadapannya. 
"Jangan gegabah, Peramal Maut! Nyawa ma-
nusia bukanlah terletak pada tangan manusia. Tapi 
Yang Kuasa-lah yang menuntun setiap langkah ma-
nusia. Meski kau berkepandaian  tinggi, kalau aku 
belum ditakdirkan tewas di tanganmu, tetap saja 
kau tak mampu melaksanakan niat angkaramu!" ka-
ta Ratu Adil seraya menahan gejolak amarah. 
"Bocah bau kencur macam kau, tahu apa 
dengan segala macam filsafat! Pakai mengguruiku 
lagi!" 
"Umur  seseorang bukanlah jaminan untuk 
mengenal arti kehidupan yang sebenarnya. Melain-
kan, hati yang bersih sajalah yang mampu mema-
hami apa sebenarnya arti hidup ini. Untuk itu seba-
gai manusia, kenapa kau selalu membuat kerugian 
terhadap orang lain? Bukankah itu menyimpang da-
ri hakekat kebenaran?" 
"Puahhh! Pintar juga kau bersilat lidah! Aku 
jadi tak sabar apa kau juga pintar bermain silat?" 
"Sudahlah, Orang Tua! Kalau kau bersikeras 
ingin membunuhku, lakukanlah! Semoga Tuhan 
masih melindungiku. Juga, melindungi kebenaran 
yang sudah tercoreng moreng oleh ulah segelintir 
manusia." 
"Setan alas! Kau pikir aku senang mendengar 
khotbahmu, Bocah!" geram Peramal Maut penuh 
hawa membunuh. 
Saat itu juga, Peramal Maut segera menge-
rahkan pukulan andalan 'Gada Akhirat'. Maka seke-
tika kedua telapak tangan tokoh sesat dari Gunung 
Kembang kembali berubah jadi kuning berkilauan. 
Sebelum Peramal Maut melontarkan pukulan 
andalannya, terlebih dahulu Ratu Adil telah men-
cium bau amis yang bukan kepalang. Gadis itu ta-
hu, pukulan andalan  Peramal Maut jelas mengan-
dung hawa racun yang keji luar biasa. Untuk meng-
hadapi datangnya bahaya maut, diam-diam segera 
dikerahkannya pukulan andalan  'Cakar Naga Sa-
mudera'. 
"Sekaranglah saatnya kau menemui ajal, Ga-
dis Sok Pintar! Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, Peramal Maut 
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan. 
Seketika melesat dua larik sinar kuning berkilauan 
ke arah Ratu Adil. 
Yustika alias Ratu Adil sendiri telah memper-
siapkan diri dengan pukulan andalan  'Cakar Naga 
Samudera'. Maka begitu larik sinar kuning dari ke-
dua telapak tangan Peramal Maut melesat, kuku-
kuku jarinya yang telah berubah jadi biru pun sege-
ra digurat-guratkan ke udara. 
Werrr! Werrr! 
Saat itu pula meluruk lima larik sinar biru 
dari kedua telapak tangan Ratu Adil, memapak pu-
kulan Peramal Maut. 
Cesss! Cesss! 
Tak ada bunyi ledakan yang berarti akibat 
pertemuan dua ajian barusan. Namun terlihat jelas 
kalau tubuh Ratu Adil dan Peramal Maut sama-
sama berguncang hebat. Selang beberapa saat, 
langkah mereka tersurut beberapa tindak ke bela-
kang. Namun kedua orang itu tak ada yang mau 
mengalah. Malah mereka makin melipatgandakan 
tenaga dalam 
"Hea!" 
Tiba-tiba Peramal Maut menghentakkan ke-
dua telapak tangannya ke depan, membuat tubuh 
Ratu Adil jadi berguncang hebat. Darah segar mulai 
mengalir dari sudut-sudut bibirnya. Andai saja gadis 
ini tak menderita luka dalam akibat kelicikan Pe-
ramal Maut tadi, belum tentu ini mengalami gun-
cangan yang demikian hebat. 
Meski keadaannya amat mengkhawatirkan, 
namun bukan berarti Ratu Adil harus menyerah be-
gitu saja. Apa pun yang akan terjadi, tekadnya siap 
menghadapi pertarungan, walau selembar nyawa ta-
ruhannya. 
Melihat tubuh Ratu Adil makin berguncang 
hebat, diam-diam Peramal Maut tersenyum penuh 
kemenangan. Lelaki tua ini pun bertambah seman-
gat untuk merobohkan lawannya. Maka dengan se-
kali menghentakkan kembali kedua telapak tangan-
nya ke depan.... 
"Aughhh...!" 
Terdengar satu jeritan amat menyayat yang 
diiringi terpentalnya tubuh Ratu Adil jauh ke bela-
kang. Tampak tubuh murid Ratu Alit itu berputar-
putar sebentar di udara, lalu terbanting keras di ta-
nah. 
Brakkk! 
Sejenak Ratu Adil menggeliat, namun tetap 
berusaha untuk melompat bangun. Sayang, ia tak 
sanggup. Tangan kanannya yang menggapai-gapai 
ke udara luruh ke tanah. 
"Kepandaian hanya sebatas dengkul, kenapa 
harus nekat mencari penyakit dengan Peramal Maut. 
Hm.... Daripada kau menderita seperti ini, kenapa 
tidak menyerahkan nyawa sekalian? Tapi tak apa. 
Aku malah lebih senang mencabut nyawa seseorang, 
setelah terjadinya pertarungan. Sekarang apa kau 
sudah siap men-jemput datangnya maut, Cah 
Ayu...?" 
Gerakan Ratu Adil bergemeretak penuh ke-
marahan. Ingin sekali ia memaki kakek licik di ha-
dapannya. Namun sayang, pandangannya menjadi 
kabur. Ratu Adil menggigit bibirnya kuat. Samar-
samar matanya melihat Peramal Maut kembali 
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan. 
"Oh...! Mungkin memang sudah nasibku ha-
rus tewas di tangan bangkotan tua ini. Sayang seka-
li. Aku sendiri belum sempat melihat wajah ayah 
kandungku...," desah Ratu Adil dalam hati dengan 
mata terpejam. 
Wuutt! 
Tap! 
Dan di saat yang gawat baginya, Ratu Adil 
merasakan tubuhnya tersambar tangan halus. Gadis 
ini tak tahu, siapa penolongnya. Karena begitu tu-
buhnya melayang, saat itu juga kesadarannya telah 
lenyap. 
"Kau...! Lagi-lagi kau yang selalu menggagal-
kan rencanaku. Kunyuk Gondrong!" bentak Peramal 
Maut geram bukan main. 
Di hadapan lelaki tua itu kini telah berdiri 
seorang pemuda tampan dengan mengenakan pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Siapa lagi sang penolong Ratu Adil kalau bu-
kan Siluman Ular Putih? 
"Bangsat! Meski kau dulu pernah mengalah-
kanku, tapi jangan dikira kali ini dapat mengalah-
kanku, Siluman Ular Putih. Saat inilah waktunya 
aku menuntut balas!" hardik Peramal Maut penuh 
kebencian. (Untuk mengetahui betapa bencinya Pe-
ramal Maut terhadap Siluman Ular Putih, silakan 
baca episode : "Misteri Dewa Langit"). 
Siluman Ular Putih hanya menggeleng-geleng 
saja. Bukannya tak bernafsu untuk menghadapi to-
koh sesat di hadapannya, melainkan lebih 
mengkhawatirkan keadaan gadis cantik dalam pelu-
kannya. Itu sebabnya, Siluman Ular Putih jadi ber-
pikir lain. 
"Aku harus secepatnya menyelamatkan nya-
wa gadis ini. Tampaknya, lukanya cukup parah. Ter-
lambat sedikit saja bisa celaka gadis ini...," gumam 
Siluman Ular Putih. 
"Hm...! Sayang sekali aku tak ada waktu un-
tuk meladenimu, Peramal Maut! Selamat tinggal!" 
Selesai berkata begitu, Siluman Ular Putih 
cepat menjejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya saat 
itu juga berkelebat cepat meninggalkan tempat ini. 
Peramal Maut yang merasa gusar hanya 
menghentakkan kakinya keras ke tanah. 
Brolll!  
Seketika, tanah kontan berhamburan tinggi 
ke udara. Debu-debu membubung tinggi memenuhi 
sekitarnya itu. Dan ketika suasana tempat itu kem-
bali terang, ternyata sosok Peramal Maut pun sudah 
tak berada di tempat itu. 
SELESAI 
 
Segera menyusul:  
HANTU TANGAN API 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com