Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 1 - Jasa Susu Harimau(2)


Mungkinkah di tempat ini ada pula 
orang bertempat tinggal di luar 
pengetahuan Uwa Guru? 
Sritanjung menggeleng, jawabnya, 

Aku sendiri tak dapat memastikan. 
Tetapi kalau bukan takut kepada 
manusia, harimau ini takut kepada 
siapa lagi? Harimau merupakan binatang 
garang jarang tandingannya di dalam 
hutan.  
Lalu bagaimanakah pendapatmu 
sekarang? Lebih baik  kembali ataukah 
kita malah berusaha bertemu dengan 
orang yang membuat harimau ini takut? 

Huh, aku jadi penasaran! Aku 
tidak takut kepada siapapun. Hayo, 
kita terus maju dan biarlah harimau 
ini aku perintahkan pulang. 
Sritanjung segera memberi isyarat 
kepada Senggung dan Klentreng supaya 
pulang. Dan atas perintah ini dua ekor 
harimau itu menguik-nguik lagi seperti 
makin meratap. Dan malah Klentreng 
menarik lagi kain panjang Sritanjung. 
Klentreng! Senggung! Sudahlah, 
kamu jangan mengganggu aku. Lekas 
pulanglah kamu, aku dan Surya akan 
menghajar manusia yang membuat kamu 
ketakutan itu. 
Sambil memberi perintah, 
Sritanjung menghunus pedang. 
Sring.....dan dua harimau itu mendekam 
ketakutan. Sesaat kemudian dua harimau 
itu membalikkan tubuh dan hampir 
berbareng melompat jauh. Kemudian 
mereka hilang di semak belukar dan 
tinggal suaranya saja yang menguik-
nguik seperti meratap. Namun sejenak 
kemudian sudah berganti dengan auman 
panjang, tanda harimau itu kecewa. 
Hutan pada bagian ini memang lain 
dibanding hutan di mana Sritanjung 
bertempat tinggal. Di hutan ini banyak 
tumbuh pohon besar dan tua, hingga 
menjadi rimbun dan matahari sulit 
menerobos lebatnya daun. Akibatnya 
daun kering yang berjatuhan menumpuk, 
membusuk dan lembab. 
Tiba-tiba angin bertiup dari arah 
berlawanan. Sritanjung mengerutkan 
alis dan hatinya berdebar ketika 
mencium bau wengur bercampur anyir dan 
amis. Sebagai gadis yang sejak kecil 
hidup di belantara, tahulah akan arti 
bau khas ini. Sedang Surya Lelana yang 
berhidung tajampun, sudah menghirup 
pula bau tak enak ini dan cepat 
bertanya. 
Ahhh, bau apakah ini? 
Hemm, inilah yang menyebabkan 
harimau tadi ketakutan. Ternyata bukan 
manusia yang seperti aku duga. 
Sritanjung menerangkan sambil 
menebarkan pandangmata ke dahan-dahan 
pohon. 
Ehh, kalau bukan manusia, apa 
yang menyebarkan bau seperti ini ? 
Hemm, inilah bau khas ular besar. 
Agaknya harimau itu pernah hampir 
celaka oleh ular itu hingga ketakutan 
setengah mati. Maka bisa dibayangkan 
kalau mereka sebagai raja hutan saja 
ketakutan, ular itu tentu besar dan 
berbahaya. 
Huwaduh, sungguh kebetulan. Kalau 
benar ular itu besar, aku membutuhkan 
kulitnya. Betapa gembira guruku 
apabila aku dapat membawa buah tangan 
kulit ular besar. 
Bagus! Marilah kita cari dan kita 
bunuh.  
Bagi Sritanjung yang sudah biasa 
hidup di hutan, tidak ragu-ragu lagi 
melesat maju karena sudah dapat 
mengira-irakan di mana ular itu 
berada. Bau tidak sedap itu belum 
keras, pertanda jaraknya masih agak 
jauh. Sebaliknya Surya Lelana yang 
tidak mengerti, kaget dan khawatir. 
Tanjung, hati-hati. Teriaknya sambil 
mengejar. 
Dari arah depan Sritanjung 
menyahut, Jangan takut! Tempatnya 
masih jauh. 
Makin maju bau tak sedap itu 
semakin menyengat hidung. Gerakan 
mereka semakin hati-hati dan waspada. 
Lalu tibalah mereka pada bagian hutan 
perawan dan berhadapan dengan pohon 
beringin amat tua dan besar sekali. 
Tak jauh dari pohon ini terdapat 
sumber air yang amat jernih. Dari 
pohon ini sekarang terdengar suara 
mendesis agak keras. 
Ketika dua orang muda ini melihat 
ke atas mendadak saja mereka terpaku. 
Mereka kaget berbareng gentar, sebab 
ular itu memang besar bukan main dan 
ketika bergerak dahan pohon itu 
bergoyang keras. 
Sejak bayi Sritanjung sudah hidup 
di belantara. Namun demikian baru 
sekali ini saja dirinya bertemu dengan 
ular yang menakjubkan, saking 
besarnya. Ular itu tubuhnya sebesar 
pohon nyiur, melingkar dan membelit 
dahan pohon. Kulit ular yang mengkilap 
dengan warna aneka macam itu 
menyilaukan. Kepalanya besar, mulutnya 
terbuka dan lidah merah menjulur 
keluar. Kepalanya besar, mulutnya 
terbuka  dan lidah merah menjulur 
keluar. Melihat lebarnya mulut dan 
besarnya kepala ular itu, jangan lagi 
manusia, seekor harimaupun bila 
berhasil disambar dapat ditelan 
mentah-mentah. 
Kepala ular raksasa itu 
bergantung menjulur ke bawah dari 
dahan. Bergerak-gerak ke kanan dan ke 
kiri, bergoyang-goyang seakan sudah 
siap untuk menangkap korbannya. Sedang 
suara mendesis keras tidak pernah 
putus, dan uap tipis kehijauan 
menyebar sekitarnya. Kepala ular yang 
semula tergantung agak tinggi itu, 
sedikil demi sedikit sudah bergeser 
turun. 
Ketika itu Sritanjung sudah 
menghunus pedangnya yang bersinar 
kebiruan. Di tempat agak gelap ini, 
sinar kebiruan itu lebih tampak, ke-
mudian dilintangkan di depan dada. 
Sesungguhnya dalam menghadapi 
musuh Surya Lelana lebih pengalaman, 
dan ia tidak pernah gentar. Tetapi 
sekarang ini ia berhadapan dengan ular 
raksasa, hatinya menjadi tegang dan 
berdebar-debar. Ular itu bergantung di 
dahan dan dapat menyambar secara tidak 
terduga dan sebaliknya dirinya takkan 
gampang melakukan serangan balasan.  
 Kepala ular raksasa itu 
bergantung menjulur ke bawah dari 
dahan. Bergerak-gerak ke kanan dank e 
kiri, bergoyang-goyang seakan sudah 
siap untuk menagkap korbannya. 
Ia menjadi khawatir melihat 
Sritanjung dan memperingatkan, Tanjung 
hati-hatilah! Ular itu amat berbahaya! 
Sritanjung tertawa manis, 
sahutnya, Jangan khawatir. Aku sudah 
biasa berhadapan dengan segala macam 
binatang buas! 
Tiba-tiba tubuh gadis itu melesat 
tinggi. Sinar biru menyambar ke arah 
kepala ular.  
Siut.... wutt..,. sessss .... 
Sritanjung melayang turun dengan, mata 
terbelalak heran. Gerakannya tadi 
sudah cepat dan pedangnya menyambar. 
Namun ternyata ular itu dapat 
menghindar, kepalanya malah menyambar 
dan mulut terbuka diiringi desis 
panjang. Untung Sritanjung cukup 
waspada dan gesit, hingga sambaran 
moncong ular itu luput. 
Jahanam ular liar! bentak Surya 
Lelana sambil melesat tinggi dan 
pedangnya menyambar. 
Sekalipun gerakan Surya Lelana 
kalah gesit dibanding Sritanjung, 
tetapi dalam ilmu pedang lebih matang. 
Ia menggunakan tipu pancingan dan 
ketika kepala ular itu menghindar 
pedangnya menyambar secara tepat. 
Surya Lelana kaget setengah mati. 
Sabetannya tepat mengenai kepala ular 
raksasa. Tetapi pedangnya mental dan 
hampir saja dirinya celaka apabila 
tidak gesit menghindari sambaran mulut 
ular. 
Celaka! Dia kebal senjata! 
serunya sesudah mendarat. 
Jangan khawatir. Aku tahu caranya 
mengalahkan! ujar Sritanjung 
bersungguh-sungguh. Mari kita cari 
batu yang keras dan cukup besar. 
Masing-masing cukup sebutir dan nanti 
batu itu kita sambitkan pada saat dia 
menyambar. Watak ular, setiap benda 
yang menyerang akan disambar. Nah, di 
saat ular menelan batu, saat itu pula 
kita bertindak. Kita serang matanya, 
karena mata tak mungkin kebal! 
Bagus! Kau memang cerdik, 
Tanjung.  
Pujian itu menyebabkan Sritanjung 
senang sekali, Gadis ini tersenyum, 
lalu mendahului melangkah mencari batu 
keras. Tak lama kemudian mereka sudah 
memperoleh. Batu itu warnanya hitam 
sebesar kepala manusia, lalu mereka 
kembali ke dekat ular. 
Ular raksasa itu desisnya semakin 
keras. Lidahnya yang merah menjulur 
keluar dan mulutnya terbuka ingin 
menelan. Ular itu karena sudah tua 
menyebabkan kulitnya kebal. Tetapi 
sekalipun kebal ia merasakan sakit 
juga oleh babatan pedang. Karena itu 
si ular menjadi marah, ia merosot 
turun dan kepala ular itu sekarang 
sudah hampir menyentuh tanah. 
Ternyata tubuh ular itu disamping 
besar juga panjang sekali. Sekalipun 
kepala sudah hampir menyentuh tanah 
tetapi tubuhnya masih melilit dahan. 
Sritanjung memberi isyarat kepada 
Surya Lelana. Kemudian hampir 
berbareng dua butir batu menyambar. 
Ular raksasa itu dalam keadaan 
amat marah. Melihat melayangnya benda 
hitam, tidak takut. Ular itu juga 
tidak menghindar dan malah membuka 
mulut lebar-lebar, dan jelas tidak 
sadar akan bahaya. 
Blung blung... cap cap.... 
Hampir berbareng dengan masuknya 
dua butir batu ke dalam mulut itu, 
menyambarlah dua ujung pedang ke mata. 
Sambaran ujung pedang itu mengenai 
mata secara tepat, karena ular dalam 
kesakitan dan tidak bisa menghindar. 
Dan akibatnya sepasang mata ular itu 
pecah dan darah merah membanjir. 
Celakanya lagi pedang itu menembus 
otak, sehingga otak ular itupun 
mengalir bercampur darah. 
Lebih celaka lagi bagi si ular, 
setiap benda yang sudah masuk ke dalam 
mulut tidak bisa keluar lagi. Maka 
ular ini kesakitan luar biasa, tu-
buhnya merosot dan terbanting ke 
tanah, lalu kelabakan, berputaran dan 
kelojotan di tanah. Makin kuat gerakan 
ular itu, sekitarnya menjadi morat-
marit dan darahpun  mengucur  lebih 
banyak. 
Namun makin lama gerakan ular ini 
semakin menjadi lemah, sedangkan bau 
anyir menyengat hidung dan tak lama 
kemudian tidak bergerak lagi. 
Surya Lelana dan Sritanjung 
gembira. Mereka membersihkan pedang 
masing-masing lalu disarungkan. 
Setelah pedang di dalam sarung, pemuda 
dan pemudi ini saling bersenyum dan 
saling pandang. Dua-duanya gembira 
sudah berhasil membunuh ular raksasa 
itu. 
Akan tetapi makin lama pandang 
mata dua orang muda ini berlainan 
dengan waktu sebelumnya. Ketika mereka 
bertemu pandang, mata mereka berkilat-
kilat. Disusul oleh getaran aneh, 
getaran yang tidak lagi dapat dilawan 
dan menggerakkan kaki masing-masing 
untuk saling menghampiri. 
Menurut pandang mata Surya 
Lelana, wajah Sritanjung semakin 
cantik dan mempesona. Pandang matanya 
redup seakan mengharapkan sesuatu yang 
tidak terucapkan. 
Sebaliknya menurut pandangmata 
Sritanjung, pemuda tampan bemama Surya 
Lelana itu menjadi semakin tambah 
tampan dan menarik hatinya. Lalu 
timbul pula perasaan aneh yang belum 
pernah ia rasakan dan mendorong gadis 
ini untuk mendekati. 
Dua orang muda ini seperti 
terkena pengaruh ajaib. Setelah saling 
mendekati lengan mereka terulur, dan 
tiba-tiba saja muda-mudi ini saling 
peluk dan berdekapan. Perawan yang 
galak dan liar ini entah sebabnya, 
tiba-tiba saja jinak  ketika hidung 
pemuda itu menyentuh pipi halus. 
Sritanjung tidak menolak dan 
memberontak, malah beberapa jenak 
kemudian bibir mereka saling bertemu 
dan berciuman, dan merupakan 
pengalaman pertama bagi Sritanjung. 
Namun tiba-tiba kaki mereka 
menggigil dan lemas, lalu tidak 
tercegah lagi dua orang muda ini roboh 
masih dalam keadaan berpelukan. Mereka 
tidak bergerak sama sekali, karena 
mereka sudah pingsan. 
Di luar tahu Sritanjung maupun 
Surya Lelana, racun uap yang 
disemburkan oleh ular raksasa tadi 
telah meracuni mereka. Kalau saja dua 
orang ini hanya orang biasa, tentu 
sudah roboh mati. 
Untung bagi dua orang muda ini, 
di dalam tubuh sudah mengalir hawa 
sakti. Hawa sakti yang melindungi 
tubuh itu dapat bergerak sendiri tanpa 
digerakkan. Dan oleh perlindungan hawa 
sakti ini mereka tidak mati keracunan. 
Namun karena mereka tidak sadar 
terpengaruh racun, mereka tidak 
berusaha mengusir racun itu dari dalam 
tubuh. Dan sebagai akibatnya tubuh 
menjadi panas, dan celakanya pula 
racun ular raksasa ini mempunyai 
pengaruh berbahaya terhadap rangsangan 
birahi. 
Baik Surya Lelana maupun 
Sritanjung tidak menyadari keadaan 
ini. Karena itu masing-masing 
terpesona, kemudian saling peluk dan 
berciuman. Masih untung pengaruh racun 
ular raksasa itu kuat, hingga 
menyebabkan mereka pingsan. Kalau saja 
tidak keburu pingsan, entah apa yang 
akan terjadi pada diri dua orang muda 
itu. 
Tak lama kemudian Surya Lelana 
sadar lebih dahulu. Ia kaget 
mendapatkan dirinya berpelukan dengan 
Sritanjung. Tetapi dasar nakal, ia 
tidak cepat berusaha melepaskan 
pelukannya dan malah dibiarkan lengan 
Sritanjung melingkar pada lehernya. 
Malah kemudian pemuda ini memejamkan 
matanya kembali, pura-pura masih 
pingsan. 
Kepalanya memang dirasakan masih 
agak pening dan disamping itu 
kehangatan tubuh Sritanjung dirasakan 
amat menyenangkan. Dada yang lembut 
menekan dadanya menyebabkan pikirannya 
melayang tidak karuan. Perasaan aneh 
yang selama ini belum pernah ia 
rasakan memenuhi dadanya. 
Sebenarnya Surya Lelana bukan 
pemuda mata keranjang dan suka main 
perempuan. Ia malah bisa dikatakan 
pemuda yang tak pernah mendekati 
wanita. Akan tetapi sekarang merasakan 
kehangatan ini, menyebabkan ia tak mau 
mengakhiri. 
Tetapi sekalipun demikian Surya 
Lelana pemuda sopan. Ia tidak mau 
menggunakan kesempatan sekalipun Dewi 
Sritanjung masih pingsan. Hanya samar-
samar ia ingat, ia tadi sudah 
berciuman mesra sekali dengan gadis 
ini. 
Ia menjadi heran sendiri. Apa 
saja yang sudah mendorong mereka 
hingga terjadi peristiwa aneh seperti 
ini? Kemudian ia teringat 
perkelahiannya tadi dengan ular 
raksasa. Dan tiba-tiba saja ia dapat 
menduga, mungkin sekali peristiwa aneh 
ini sebagai akibat racun ular itu. 
Pada saat Surya Lelana masih 
sibuk berpikir tentang apa yang 
dialami, ia merasakan adanya gerakan 
Sritanjung. Ia tahu gadis galak ini 
mulai sadar, namun ia tetap pura-pura 
masih pingsan dan ingin tahu apa yang 
akan dilakukan gadis ini kepada 
dirinya. 
Tetapi diam-diam ia memang merasa 
bersalah juga, kendati apa yang sudah 
terjadi diluar kesadarannya. Karena 
itu ia rela dipukul, disiksa maupun 
dibunuh oleh gadis ini. 
Plakk.... plakk.... 
Surya Lelana nanar seketika 
menerima tamparan dua kali. Ia 
melompat bangkit sambil mengucak 
sepasang matanya dan kemudian 
memandang Sritanjung dengan pandang 
mata pura-pura keheranan. Ia melihat 
jelas, wajah gadis itu sebentar merah 
dan sebentar pucat sambil berdiri 
berkacak pinggang. 
Dalam hati Surya Lelana tersenyum 
geli. Tamparan itu bukan apa-apa 
dibandingkan dengan kehangatan 
pelukannya. Kalau saja boleh, ia sedia 
dipukul duakali lagi asal boleh 
mencium lagi. 
Surya Lelana! Kenapa sekarang kau 
berubah menjadi mata keranjang? 
katanya dalam hati dan mencaci dirinya 
sendiri. Hem, ingatlah kau seorang 
ksatrya dan tidak dibenarkan berbuat 
tercela, lebih-lebih terhadap 
perempuan. Engkau harus pandai 
menghargai dan menempatkan wanita pada 
tempatnya. Tahukah engkau, apabila 
wanita sudah marah bisa 
menjungkirbalikkan dunia ini? 
Berdebar hatinya mendengar 
cacimaki hati sucinya itu. Kemudian 
sambil mengusap pipinya yang masih 
panas, ia bertanya, Apakah sebabnya 
kau memukul aku…? 
Surya! Engkau kurangajar. Apa 
yang sudah 
kaulakukan.....kaulakukan.... ? 
Kendati membentak marah namun 
Sritanjung tampak malu-malu juga, dan 
diam-diam Surya Lelana terpesona. 
Sebab walaupun sedang marah, 
kecantikan gadis ini tidak juga 
berkurang. 
Tanjung, sabarlah, jawabnya. Aku 
sendiri tidak mengerti apa yang 
terjadi. Aku roboh pingsan... ahh... 
celaka! Ular itu.... ya, kita sudah 
keracunan oleh ular keparat itu. 
Ahh... kepalaku pening... 
Surya Lelana tidak menipu. Ia 
memang merasakan pening dan kepalanya 
seperti tambah besar setelah berdiri. 
Menjadi jelas bahaya racun ular masih 
mengeram dalam tubuh. 
Tanjung! Aturlah pernapasan! 
terusnya. Usirlah racun ular itu 
sampai tuntas. 
Tanpa menunggu jawaban Surya 
Lelana sudah duduk bersila dan 
mengatur pernapasan. 
Dewi Sritanjung menjadi sadar. Ia 
merasakan pula kepalanya pening. Dan 
merupakan pertanda di dalam tubuhnya 
masih terdapat racun berbahaya. Maka 
tanpa membuka mulut lagi gadis inipun 
menjatuhkan diri duduk bersila, lalu 
menyalurkan hawa sakti dari pusar guna 
mendesak dan mendorong keluar racun 
ular yang masuk paru-paru. 
Untung sekali mereka sudah 
memiliki dasar kuat. Setelah mengatur 
pernapasan, sedikit demi sedikit racun 
ular tersebut dapat didesak dan 
didorong keluar dan kepala mereka 
sudah tidak pening lagi. 
Sebenarnya Surya Lelana sudah 
berhasil mengusir racun ular itu lebih 
dahulu. Namun pemuda ini tidak cepat 
mengakhiri semadhinya, karena sadar 
jangan sampai mendahului gadis galak 
ini. Maka sambil memejamkan mata ini 
ia justru dapat mengingat kembali, 
saat nikmat berpelukan dan berciuman 
tadi. 
Berbeda dengan Sritanjung. 
Setelah kepalanya tidak pening lagi ia 
melompat berdiri. Ia melihat Surya 
Lelana masih duduk bersila, dan 
mengamati penuh perhatian. Diam-diam 
ia mengakui Surya Lelana pemuda 
tampan, dan dalam hati mengakui pula 
apa yang terjadi merupakan kenangan 
yang menyenangkan juga. Dan teringat 
semua itu timbul rasa sesalnya, 
mengapa ia tadi sudah memukul pemuda 
itu. 
Menurut pendapatnya, bagaimanapun 
Surya Lelana tak bersalah. Secara 
jujur ia mengakui pula, segalanya 
takkan terjadi apabila dirinya tidak 
menanggapi. Dan samar-samar ia juga 
ingat, dirinya tadi juga memeluk Surya 
Lelana dan kemudian membalas ciuman 
pemuda itu. Dewi  Sritanjung menghela 
napas panjang. Ia sekarang sadar, 
ucapan Surya Lelana benar. Semua yang 
sudah terjadi akibat pengaruh racun 
ular. 
Karena Surya Lelana masih duduk 
tidak bergerak, Dewi Sritanjung tidak 
mengganggu dan gadis ini kemudian 
duduk diatas batu seraya mengamati 
bangkai ular yang tadi mereka bunuh. 
Ular itu luar biasa besar dan 
panjangnya, dan amat berbahaya bagi 
manusia maupun binatang hutan. Maka 
dengan terbunuh matinya ular ini, 
berarti dapat mengamankan hutan ini 
dari gangguan. 
Tiba-tiba ia mendengar suara 
gerakan Surya Lelana. Ketika 
memalingkan muka pemuda itu sudah 
berdiri. Sritanjung melihat pula pipi 
pemuda itu masih merah agak bengkak. 
Sritanjung segera meninggalkan batu 
dan menghampiri. 
Surya... maafkanlah aku.... 
Untuk sejenak Surya Lelana 
melengak. Tetapi kemudian ia tersenyum 
dan diam-diam memuji kejujuran dan 
keluguan gadis ini yang tidak segan 
minta maaf, sekalipun sebenarnya 
kurang perlu. 
Terima kasih. Tetapi aku memang 
patut kau-pukul, sahut Surya Lelana 
menyesal. 
Sudahlah, apakah sebabnya kau 
jadi ngambek? kata gadis ini sambil 
tertawa lirih. Ular keparat itulah 
yang menjadi gara-gara. Tetapi ahh, 
sudahlah... mari kita cepat pulang, 
hari sudah sore. Amat berbahaya bagi 
kita apabila terlalu lama di sini. 
Sesungguhnya ingin sekali sang 
pemuda mengambil kulit ular itu untuk 
dibawa ke Majapahit. Namun teringat 
pengaruh racun ular yang dapat 
membangkitkan rangsangan birahi, ia 
membatalkan niatnya. Maka ia 
mengangguk lalu melangkah berdampingan 
menuju pulang. 
Untuk beberapa saat mereka tidak 
membuka mulut. Pengaruh kenangan yang 
baru saja mereka alami, sekarang agak 
mengganggu.  
Namun tiba-tiba mereka kaget 
mendengar aum harimau. Bagi Surya 
Lelana aum itu tidak ada artinya. 
Tetapi bagi Sritanjung tahu belaka 
apabila harimau itu kesakitan. 
Celaka! Harimauku diganggu orang! 
Serunya tertahan. 
Tubuhnya sudah melesat menuju 
arah aum harimau. Surya Lelana kaget 
dan gugup dan cepat melompat untuk 
memburu. 
Dugaan Dewi Sritanjung memang 
tepat. Auman nyaring tadi merupakan 
jerit kesakitan. 
Tadi setelah Klentreng dan 
Senggung diusir Sritanjung, dua ekor 
harimau tua ini menuju pondok. Namun 
binatang tetap binatang. Kendati 
jinak, tetap selewengan mencari 
mangsa. Setelah perut kenyang dua ekor 
harimau ini menuju sungai untuk 
mencari minum. 
Di saat menuju sungai ini dua 
ekor harimau itu kaget melihat 
berlabuhnya perahu ke tepi. Dari 
perahu itu kemudian berlompatlah 
sepuluh orang laki-laki. 
Sekalipun binatang Klentreng dan 
Senggung merupakan binatang yang 
terlatih. Dua ekor harimau ini bisa 
menduga orang-orang itu bukan orang 
baik. Maka dari tempat bersembunyi dua 
ekor harimau ini mengaum lalu 
menerjang dengan cakaran dan gigitan 
taring tajam. 
Sepuluh orang itu memang tidak 
menduga akan diserang harimau. Maka 
tidak mengherankan sekali terjang, dua 
orang sudah roboh kesakitan dan 
menderita luka parah. 
Delapan orang yang lain menjadi 
marah. Mereka cepat mencabut senjata 
dan mengeroyok. 
Jahanam harimau liar! teriak 
salah seorang. Kau sudah membunuh dua 
orang kawanku. Untuk membalaskan sakit 
hati, jantung dan hatimu akan aku 
makan mentah-mentah. 
Klentreng dan Senggung masing-
masing menghadapi empat orang. Dengan 
garang sambil menggeram dua ekor 
harimau itu mengamuk hebat sekali. 
Berkat latihan Kiageng Tunjung Biru 
dua ekor harimau ini dapat berkelahi 
tangkas. Sambaran senjata dapat 
dihindari, sedangkan balasannya amat 
berbahaya. 
Sebaliknya orang-orang itu bukan 
orang lemah. Maka walaupun sudah 
mendapat pelajaran berkelahi, dua ekor 
harimau itu sulit dapat merobohkan 
lawan. Kalau tadi sekali sergap dua 
orang roboh, adalah karena tidak 
pernah menduga. 
Dua ekor harimau ini mengamuk 
hebat sekali. Tetapi delapan orang 
yang mengeroyok itupun cukup hati-
hati. Dan lebih-lebih sesudah melihat 
dan merasakan, harimau ini berbeda 
dengan harimau lain dan luar biasa. 
Banyak kali serangan mereka dapat 
dihindari secara aneh. 
Setelah berkelahi dan mengeroyok 
cukup lama belum juga berhasil, maka 
salah seorang dari mereka, yang 
bertubuh tinggi besar sudah berteriak. 
Hai harimau siluman! Rasakan 
pisau terbangku ini! 
Enam buah sinar putih melesat dan 
menyebar ke arah Senggung. Sambaran 
itu kuat sekali dan dilepaskan dari 
jarak dekat. Tentu saja sulit bagi 
Senggung untuk menghindarkan diri. Dan 
jangan lagi seekor harimau seperti 
Senggung, manusia sekalipun kalau ilmu 
kepandaiannya belum tinggi kiranya 
takkan mudah dapat menyelamatkan diri. 
Senggung mengaum keras sekali 
karena kesakitan. Dua batang pisau 
telah menancap dalam perut dan leher, 
dan seketika itu juga roboh. 
Saking gembiranya salah seorang 
dari mereka melompat maju seraya 
mengangkat golok untuk memenggal 
leher. Tetapi orang ini terlalu 
sembrono dan kurang perhitungan, 
harimau itu belum mati. Harimau itu 
masih dalam kesakitan hebat, kebuasan 
dan kekuatannya bertambah. Maka 
sebelum golok berhasil memancung 
leher, orang itu malah kena terkam. 
Dua puluh kuku tajam menancap di 
tubuhnya. Orang itu roboh menjerit 
ngeri satu kali. Selanjutnya orang itu 
sudah mati karena kepalanya masuk ke 
dalam mulut harimau. 
Tiga orang kawannya kaget dan 
menerjang maju untuk menolong. Hujan 
bacokan dan tikaman melubangi sekujur 
tubuh Senggung. Tetapi walaupun 
Senggung mati, orang itu juga mati. 
Melihat si jantan mati, Klentreng 
mengaum keras sekali. Tanpa 
mempedulikan keselamatannya sendiri, 
Klentreng sudah mengamuk hebat, guna 
membalaskan sakit hati si jantan yang 
dicintainya. Tetapi justru dalam 
keadaan marah ini, Klentreng 
kehilangan perhitungan dan menyerang 
secara nekad. Hingga mempercepat 
kekalahannya menghadapi keroyokan 
tujuh orang. Sebagai akibatnya 
Klentreng pun mati dengan tubuh 
hancur. 
Di saat Klentreng roboh ini 
tibalah Sritanjung. Gadis ini marah 
bukan main melihat dua ekor harimau 
yang disayang itu tidak bernyawa lagi 
dengan tubuh mandi darah. Maka sambil 
melengking nyaring Sritanjung sudah 
menerjang dengan pedangnya. 
Tring cring.... tring.... trang 
... 
Sritanjung terhuyung, pedangnya 
tergetar dan telapak tangannya panas, 
ketika pedangnya ditangkis beberapa 
senjata lawan. Tetapi sebaliknya tiga 
di antara tujuh orang itu terbelalak 
pucat, ketika mengamati senjatanya 
tinggal separo. 
Dengan mata berapi saking marah, 
gadis ini sudah menghardik, Siapakah 
di antara kamu yang sudah membunuh 
harimauku? 
Laki-laki tinggi besar yang 
menjadi pemimpin itu maju sambil 
memandang Sritanjung dengan mata 
terbelalak. Kemudian dari mulutnya 
terdengar suara gagap, Kau... kau di 
sini...? 
Sritanjung memandang orang itu. 
Hardiknya, Siapakah kau? Dan apakah 
kau sudah kenal aku? 
Ahh.... ohhh... engkau mirip 
sekali. Tetapi kau masih terlalu 
muda.... 
Ucapan orang ini membingungkan 
Sritanjung. Lalu gadis ini membentak, 
Aku mirip siapa? Lekas katakanlah, 
jika tidak pedangku ini takkan mau 
memberi ampun lagi. 
Laki-laki tinggi besar itu 
terkekeh. Sahutnya, Uah.... galaknya. 
Ibarat bunga.... kau ini bunga melati. 
Mungil, tetapi menarik hati. Hemm.... 
katakanlah sekarang, apakah hubunganmu 
dengan Anwari? 
Siapakah Anwari ? 
Calon isteriku yang lari. Kau.... 
ohh.... kau mirip sekali dengan dia. 
Tidaklah mengherankan apabila 
laki-laki ini berhadapan dengan 
Sritanjung lalu menyebut nama Anwari. 
Sebab orang ini adalah Joyo Brewu yang 
dahulu melarikan diri ketakutan kepada 
Bupati Saradan dan Mpu Nala. Ketika 
itu Joyo Brewu yang sudah menawan Dewi 
Anwari, ibu Dewi Sritanjung ini, 
melarikan diri bersama Kresno dan 
Lontang, lewat jalan rahasia yang 
sudah dipersiapkan. 
Belasan tahun lalu Joyo Brewu 
memang kaya raya dan terkenal mata 
keranjang. Apabila sudah menginginkan 
perempuan, ia takkan berhenti berusaha 
baik dengan jalan halus maupun kasar. 
Itulah sebabnya waktu itu Dewi Anwari 
dia lawan, dan dengan paksa akan 
diperisteri. Untuk kemudian peristiwa 
ini diketahui oleh Mpu Nala yang 
kedudukannya sebagai pejabat tinggi 
Majapahit. Dan berkat pertolongan ini, 
kemudian Dewi Anwari kawin dengan Mpu 
Nala. 
Sepasang pengantin itu hidup 
bahagia, dan Nala sudah merencanakan 
memboyong ke kota Majapahit. Tetapi 
celakanya ketika itu Ibu angkatnya, 
Nyai Joyokretiko lancang mulut, 
menceritakan keadaan Dewi Anwati yang 
sebenarnya, ialah puteri Kuti yang 
memberontak. 
Mpu Nala kaget. Dirinya adalah 
seorang pejabat tinggi Majapahit. Maka 
apabila ia mengawini anak pemberontak 
Kuti, hal ini berarti bisa 
membahayakan kedudukannya. Sebagai 
akibatnya Mpu Nala lalu meninggalkan 
Dewi Anwari diam-diam. 
Waktu itu Dewi Anwari sudah hamil 
hampir tujuh bulan. Ia menjadi sedih 
sekali setelah Mpu Nala pergi hanya 
meninggalkan secarik surat Saking 
sedih dan menyesal perempuan ini 
hampir bunuh diri. Tetapi sekalipun 
urung bunuh diri, Dewi Anwari merasa 
selalu dirundung sedih. Akibatnya 
ketika melahirkan anaknya, ibu ini 
meninggal. 
Nyai Joyokretiko yang merasa 
bersalah membocorkan asal-usul Dewi 
Anwari terpukul batinnya dan gila. 
Maka kemudian sebagai hasil musyawarah 
penduduk  setempat, orok merah itu 
kemudian dihanyutkan ke sungai Widas, 
dan akhirnya ditemu dan diselamatkan 
oleh Kiageng Tunjung Biru. 
Itulah yang pernah terjadi 
belasan tahun lalu. 
Untuk menghindarkan dari bahaya, 
kemudian Joyo Brewu dan pembantunya 
melarikan diri ke Sadeng. Secara 
kebetulan di Sadeng sedang terjadi 
pergolakan dan Bupati Sadeng 
memberontak. Maka Joyo Brewu diterima 
dan membantu memberontak. 
Akan tetapi kemudian ternyata 
cita-cita Bupati Sadeng ini 
berantakan, ketika pasukan Majapahit 
di bawah pimpinan Mpu Mada dan 
Adityawarman menyerbu. Pasukan Sadeng 
terpukul kocar-kacir dan bupatinya 
tewas dalam perang. Kemudian sisanya 
melarikan diri. 
Joyo Brewu juga mencari tempat 
persembunyian. Selama ini mereka 
selalu berpindah tempat dan sebagai 
penopang  hidup melakukan perampokan. 
Namun merampok ini makin lama menjadi 
sulit karena perlawanan penduduk dan 
bantuan pasukan keamanan. Oleh karena 
itu ia tadi menepi dengan maksud 
mendarat. 
Tidak terduga sama sekali, usaha 
pendaratannya ini harus mengorbankan 
tiga orang anak buahnya. Peristiwa ini 
membuat ia amat menyesal. Namun 
sekarang setelah berhadapan dengan 
gadis jelita yang mirip dengan Anwari, 
rasa sesal itu lenyap dan 
kejantanannya malah bangkit kembali. 
Menurut pikirannya, inilah kesempatan 
bagus. Gadis ini sekarang hanya 
seorang diri. 
Joyo Brewu menyeringai seperti 
iblis kelaparan. Sebagai laki-laki 
buaya sejak masih muda, ia menjadi 
lupa daratan. 
Engkau memang mirip dengan 
Anwari, istriku yang melarikan diri, 
katanya. Heh heh heh heh, kau mirip 
dengan  dia dan sekarang kau harus 
menggantikan Anwari. Kau.... kau harus 
menjadi istriku! 
Keparat! Setan alas! teriak 
Sritanjung yang tersinggung. Monyet 
tua macam kau, berani membuka mulut 
sembarangan di depanku? Huh, apakah 
kau sudah bosan hidup? 
Heh heh heh  heh, Joyo Brewu 
mengejek. Kau perempuan, apakah yang 
kau andalkan berani menantang aku? 
Manis, engkau jangan keras kepala. Heh 
heh heh heh, sekalipun sudah berumur, 
aku akan bisa membahagiakan engkau.... 
heiiiiit..... 
Joyo Brewu yang belum selesai 
bicara  ini terpaksa melompat 
menghindarkan diri seraya berteriak 
kaget, ketika seleret sinar biru 
menyambar dada. Ia mengebutkan tangan 
kanan untuk menghalau pedang, 
sedangkan tangan kiri menyambar cepat 
guna mencengkeram pergelangan tangan 
lawan. Tetapi Joyo Brewu kemudian 
berteriak kaget sambil melompat 
mundur. Sebab tahu-tahu pedang gadis 
itu telah membalik dan hampir menabas 
tangan kirinya. 
Walaupun dirinya seorang yang 
luas pengalaman, ia merasa kaget 
sekali menghadapi ilmu pedang gadis 
ini. Dalam satu gebrakan saja dirinya 
sudah hampir celaka. 
Pada saat itu tiba-tiba terdengar 
bentakan lantang, Bangsat tua! Engkau 
berani mengacau tempat ini? 
Bentakan itu kemudian disusul 
berkelebatnya Surya Lelana. Dua orang 
anak buah Joyo Brewu dengan golok 
menyambut berbareng. Tetapi Surya 
Lelana hanya tersenyum, tidak 
menghindarkan diri dan dengan 
menggunakan jari tangan menyentil 
golok dengan tangan kanan sekaligus 
melancarkan pukulan dengan tangan 
kiri. 
Tring cring plak bukk.... 
Aduhh...! 
Dua batang golok itu terpental 
oleh sentilan Surya Lelana. Kemudian 
dua penyerang itu memekik nyaring dan 
roboh dengan kepala pecah. Empat orang 
yang lain terbelalak dan tidak 
sembarangan berani maju. 
Surya Lelana dengan mata berapi-
api berteriak kepada Dewi Sritanjung, 
Tanjung! Berikan monyet tua itu 
kepadaku! 
Enak saja kau bicara! sahut gadis 
ini sambil menggerakkan pedangnya. 
Gerakan pedang itu menggetar 
sehingga pedang yang semula menyerang 
dada, kemudian mengancam pundak kanan 
dan leher Joyo Brewu. Serangan ini 
benar-benar mengejutkan Joyo Brewu dan 
terpaksa harus menghindarkan diri de-
ngan gugup. 
Sambil terus menyerang, 
Sritanjung berkata lagi, Surya! Aku 
masih sanggup menghajar monyet busuk 
ini! 
Surya Lelana tidak menjawab. Ia 
sudah berhadapan dengan  empat orang 
yang mengeroyok dan tidak berani 
sembrono lagi. Ia cepat mencabut 
pedang dan mengamuk. Pedangnya 
bergulung-gulung menyambar ke sana ke 
mari. Namun berkat kerjasama empat 
orang itu, mereka dapat mengeroyok 
rapi sekali. 
Joyo Brewu yang hampir celaka 
menjadi marah. Ia memang laki-laki 
yang tak pemah mau melepaskan 
perempuan cantik, lebih-lebih gadis 
muda dan cantik seperti Sritanjung 
ini. Namun demikian ia seorang kasar, 
berangasan dan kejam. Kalau sudah 
marah ia tidak peduli apapun lagi, dan 
bagi dirinya yang lebih penting adalah 
mempertahankan nyawa dari maut. Maka 
setelah merasa tak mampu melawan 
dengan tangan kosong, ia mencabut 
senjatanya sebatang tongkat baja. 
Tongkat itu memang aneh. Bisa 
berubah menjadi panjang dan pendek 
menurut kegunaan. Disamping itu bagian 
dalam tongkat itupun berlubang. 
Apabila alat rahasia ditekan akan 
segera menyambarlah puluhan batang 
jarum yang berbahaya karena beracun. 
Trang....! Joyo Brewu kaget 
ketika tongkatnya terpotong sedikit 
berbenturan dengan pedang lawan. Ia 
menjadi sadar pedang lawan merupakan 
pedang pusaka. Maka ia membentak 
marah, huh, bocah celaka. Engkau 
berani merusak senjataku? Mampuslah! 
Joyo Brewu menyodok ke arah dada, 
tetapi untung sekali Sritanjung dapat 
bergerak seperti burung walet. Ia 
menghindar sambil menyabetkan 
pedangnya, namun ahh gadis ini 
tertipu. 
Trang....! Dewi Sritanjung kaget 
dan wajahnya pucat. Sabetan tongkat 
hampir saja menyebabkan pedangnya 
lepas dan telapak tangannya panas 
seperti terbakar. Baru sadarlah gadis 
ini, gerakan menyodok tadi hanya 
tipuan belaka. Dewi Sritanjung seorang 
gadis yang belum berpengalaman. Karena 
belum berpengalaman ia tadi cepat 
berbesar hati, ketika pedangnya 
berhasil membabat ujung senjata lawan. 
Rasa besar hati ini merupakan musuh 
utama bagi orang berkelahi. Lalu 
timbul rasa merendahkan lawan dan 
akibatnya merugikan diri sendiri. 
Sritanjung amat marah dan segera 
mengerahkan kepandaian dengan maksud 
dapat merobohkan lawan. Tetapi 
sekarang Joyo Brewu amat ber-hati-hati 
hingga sulit untuk menabas senjata la-
wan. Joyo Brewu sudah membalas 
menyerang baik dari jarak dekat maupun 
jauh. Memang senjatanya memungkinkan 
untuk dapat menyerang dari segala 
jarak. Karena secara otomatis senjata 
itu bisa pendek maupun panjang. 
Dan karena melihat sekalipun 
gerakannya gesit dan dilindungi pedang 
pusaka, tetapi gerakannya masih agak 
canggung dan hijau, Joyo Brewu masih 
sempat ketawa dan mengejek. Hatinya 
gembira dan merasa pasti akan dapat 
menangkap gadis cantik ini. Sebagai 
laki-laki yang suka berburu perempuan, 
dalam  benaknya sudah terbayang 
nafsunya yang kotor. Maka kalau semula 
sudah marah dan akan membunuh lawan, 
sekarang berubah lagi. Ia berusaha 
agar dapat menangkap dan menawan 
hidup-hidup gadis ini. 
Gagasan Joyo Brewu yang 
menyeleweng ini justru menolong Dewi 
Sritanjung. Sebab serangan balasan 
yang dilancarkan Joyo Brewu sekarang 
berubah mengarah bagian tubuh yang 
tidak berbahaya. 
Di pihak lain Surya Lelana yang 
dikeroyok empat orang berkelahi dengan 
gelisah, mengkhawatirkan keselamatan 
Sritanjung. 
Mengingat bahaya yang sewaktu-
waktu bisa menimpa Dewi Sritanjung ini 
ia mengerahkan seluruh kepandaiannya 
untuk secepatnya mengalahkan lawan. 
Oleh gerakan cepat pedangnya, menyusul 
salah seorang pengeroyoknya menjerit 
ngeri dan dadanya berlubang. 
Makin berkurangnya jumlah yang 
mengeroyok, pemuda ini semakin garang. 
Empat orang pengeroyoknya ini yang dua 
orang sudah terluka darah mengucur 
dari luka, menyebabkan gerakannya 
kurang gesit. Tak lama kemudian 
terdengar jeritan ngeri, seorang lawan 
terkutung lengannya oleh sabetan 
pedang Surya Lelana. 
Akan tetapi justru penderitaan 
anak-buahnya itu kemudian 
membangkitkan kemarahan Joyo Brewu. 
Tiba-tiba saja tangan kiri bergerak 
dan menyambarlah beberapa batang pisau 
kecil. 
Sritanjung kaget dan berteriak, 
Surya.... 
Sambil berteriak gadis ini sudah 
kembali menerjang dengan pedangnya ke 
arah dada. Namun dengan terkekeh 
mengejek Joyo Brewu berhasil 
menghindar ke samping dan berbareng 
menyabetkan tongkat ke arah tangan. 
Disusul gerak tongkat yang diteruskan 
untuk menyerampang kaki. 
Sesungguhnya sekalipun tanpa 
diperingatkan, Surya Lelana sudah tahu 
serangan pisau itu. Karena itu pedang 
diputar cepat untuk melindungi tubuh. 
Tring... tring... tring pisau yang 
dilemparkan Joyo Brewu runtuh di 
tanah. 
Karena takut sisa anak buah Joyo 
Brewu melarikan diri. Pemuda ini tak 
mau memberi kesempatan. Orang yang 
terluka pahanya, lari terpincang-
pincang dan gerakannya lambat. Dalam 
waktu singkat punggungnya telah 
berlubang oleh tikaman pedang. 
Melihat anak buahnya berantakan 
Joyo Brewu tambah marah. Dengan 
menggunakan kesempatan baik di saat 
Sritanjung menghindari serangannya, ia 
melompat jauh. Secepat kilat ia 
menekan alat rahasia pada tongkatnya 
dan menyusul sinar berkeredep keluar 
dari lubang tongkat, menyambar Surya 
Lelana. 
Sritanjung kaget berbareng marah. 
Ia menerjang maju dan nekad menyerang 
Joyo Brewu sambil berteriak nyaring. 
Surya! Awas belakang....! 
Joyo Brewu terkekeh mengejek. 
Serangan jarum beracun seperti ini 
selama hidup belum pernah gagal. 
Karena itu ia sudah memastikan pemuda 
itu  akan segera roboh dan tanpa 
kesulitan lagi dirinya akan bisa 
menangkap gadis cantik yang galak ini. 
Hatinya tidak menyesal sekalipun harus 
mengorbankan anak buahnya, karena 
dirinya akan mendapat ganti seorang 
gadis muda yang mirip dengan Anwari. 
Akan tetapi agaknya Dewata belum 
menghendaki Surya Lelana mati muda. 
Pada saat berbahaya itu berkelebatlah 
bayangan yang bergerak seperti kilat, 
menyusul angin dahsyat menyambar ke 
arah puluhan jarum beracun itu hingga 
runtuh ke tanah. 
Ahhh.... Kakek...! 
Uwa Guru....! 
Hampir berbareng Sritanjung dan 
Surya Lelana berteriak, melihat 
munculnya Kiageng Tunjung biru. Dan 
tentu saja munculnya kakek ini disaat 
berbahaya, amat menggembirakan dua 
orang muda itu. 
Joyo Brewu menjadi gentar dan 
kaget melihat munculnya seorang kakek, 
tetapi tubuhnya masih gagah dan kuat. 
Kalau dua orang muda itu saja cukup 
tangguh, apalagi kakek itu, tentu 
sulit dilawan. Maka secepat kilat ia 
sudah melarikan diri. 
Surya Lelana dan Sritanjung tak 
mau melepaskan begitu saja, dan cepat 
mengejar. Tetapi mendadak dua orang 
muda ini kaget ketika Kiageng Tunjung 
Biru sudah menghadang sambil men-egah. 
Jangan! Biarkan dia pergi! 
Kakek! protes Sritanjung. Mengapa 
orang jahat itu Kakek biarkan pergi ? 
Mereka datang dan mengacau, malah 
mereka sudah  membunuh Klentreng dan 
Senggung.... 
Hemm.... orang itu mempunyai 
senjata yang amat berbahaya. Kiageng 
Tunjung Biru memberikan alasannya. 

Kamu tak gampang mengalahkan dan 
salah-salah malah celaka. 
Tetapi toh ada Kakek. Kakek tentu 
dapat mengatasi dia! 
Heh heh heh heh. Kalau mengingat 
bahayanya orang itu dibiarkan hidup 
terus, memang pantas aku turun tangan. 
Tetapi orang itu sudah melarikan diri 
dan tidak berani melawan aku. Betapa 
dunia ini akan menertawakan aku 
sebagai seorang tua yang tak tahu diri 
nekad menghajar orang yang sudah tidak 
berani melawan. 
Sritanjung mengerutkan alis lalu 
bersungut-sungut. Katanya, Kek, engkau 
ini bagaimana? Jelas dia tadi mau 
membunuh Surya Lelana secara curang. 
Dan dia juga sudah membunuh Klentreng 
dan Senggung, malah juga bermaksud 
menangkap aku. Tetapi mengapa Kakek 
biarkan dia lari? 
Kiageng Tunjung Biru mengerti 
perasaan muridnya yang penasaran ini. 
Dan ia sadar juga, jalan pikiran 
Sritanjung bahwa orang yang sudah 
membuat kerugian harus dibalas dan 
kalau perlu dibunuh. Namun kakek ini 
jelas tidak mau dipengaruhi oleh nafsu 
seperti itu. 
Karena yang bunuh membunuh 
akhirnya akan menimbulkan balas dendam 
yang takkan ada habisnya. 
Ketika dirinya masih muda 
dirinyapun mempunyai pendirian dan 
pendapat seperti Sritanjung ini. 
Dengan dalih orang jahat dan banyak 
melakukan kejahatan dan pembunuhan. 
Namun setelah dirinya menjadi tua dan 
pikun, hal tersebut tinggal dalam 
penyesalan. 

Sesudah menghela napas kakek ini 
menjawab halus. Mereka telah membunuh 
Klentreng dan Senggung, itu tak bisa 
dipungkiri. Namun sebaliknya kamu 
telah membunuh tujuh manusia. Nah, dua 
ekor binatang sudah diganti dengan 
tujuh nyawa manusia. Apakah kamu belum 
juga puas? 
Sritanjung membantah, Tetapi 
bukan aku yang membunuh mereka. 
Tanjung, engkau atau orang  lain 
bukanlah soal. Surya telah membunuh 
tujuh orang, tidak lain karena membela 
dan membantu kerepotanmu, berarti 
Surya berdiri di pihakmu. Dengan 
demikian pihakmu telah berhasil 
membalaskan kematian Klentreng maupun 
Senggung. 
Dewi Sritanjung membantingkan 
kakinya ke tanah saking penasaran. 
Tetapi Joyo Brewu dan anak buahnya 
sudah mendayung perahu dan sudah jauh. 
Dengan demikian Sritanjung sudah tak 
dapat berbuat apa-apa lagi. 
Tiba-tiba Sritanjung menjerit 
nyaring lalu lari ke arah Klentreng 
dan yang sudah  tidak bergerak. Ia 
menubruk, memeluk sambil menangis. 
Gadis ini menangis sejadi-jadinya, 
menyebabkan Kiageng Tunjung Biru dan 
Surya Lelana terharu. 
Kiageng Tunjung Biru menatap 
Surya Lelana kemudian katanya halus, 
Surya, biarkan dia menangis sampai 
puas  dan jangan kauganggu. Sekarang 
aku minta tolong kepadamu, buatlah 
lubang kubur untuk tujuh orang ini. 
Sedang aku juga akan membuat lubang 
kubur untuk Klentreng dan Senggung. 
Surya Lelana menyanggupkan diri 
sambil membungkuk memberi hormat. 
Kemudian pemuda  ini sudah bekerja 
membuat lubang kubur dengan pedangnya. 
Kiageng Tunjung Biru masih 
berdiri dan diam-diam amat terharu 
melihat adegan dan tangis muridnya 
ini. Bagaimanapun antara Klentreng 
dengan Sritanjung mempunyai pertalian 
batin yang amat kuat. Dan kendati 
Klentreng hanya seekor harimau dan 
Sritanjung manusia, tetapi mereka itu 
tidak bedanya ibu dengan anak. Berkat 
air susu Klentreng maka Sritanjung 
bisa hidup terus dan tumbuh menjadi 
gadis cantik. 
Sekarang kalau Sritanjung 
menangis sambil memeluk bangkai 
harimau ini, kiranya sudah wajar. Ia 
percaya dalam tubuh Sritanjung 
terdapat getaran gaib yang tak dapat 
dilihat oleh mata manusia secara 
lahir. Menyadari hal tersebut, Kiageng 
Tunjung Biru tak mau mengganggu. 
Kemudian kakek ini menghela napas 
pendek. Diam-diam ia berterima kasih 
kepada Dewata, bahwa dirinya datang 
tepat pada saat Surya Lelana dan 
Sritanjung dalam bahaya. Sedikit 
terlambat saja tentu Surya Lelana 
sudah mati terbunuh dan Sritanjung 
diculik orang. 
Kenyataannya memang kakek ini 
menyadari, kedatangannya di tempat ini 
seperti dibimbing oleh tangan gaib, 
hingga tepat pada saat yang amat 
genting, ia dapat memberi pertolongan. 
Maka setelah menghela napas pendek, ia 
melangkah perlahan. Ia mematahkan 
sebatang dahan pohon sebesar lengan 
manusia  dewasa. Kemudian menggunakan 
kayu ini ia mulai menggali lubang. 
Apa yang kemudian terjadi sungguh 
mengagumkan. Surya Lelana yang sibuk 
pula menggali lubang berhenti menggali 
dan teraganga keheranan melihat apa 
yang tengah dilakukan kakek itu. 
Sekalipun hanya menggunakan kayu, 
ternyata setiap tusukan tidak kalah 
dengan sepuluh kali tusukan pedang 
yang ia lakukan. Tanah itu dengan 
cepat sudah tergali cukup dalam. 
Melihat itu Surya Lelana tidak 
berani bermalas-malas. Ia pun 
mengerahkan tenaga agar lubang kubur 
yang dibuat cepat selesai. 
Akhirnya selesai pula lubang 
kubur yang dibuat Surya Lelana. 
Ketika ia berhenti ternyata 
Kiageng Tunjung Biru sudah lebih 
dahulu selesai. 
Tak lama kemudian Sritanjung 
sudah puas menangis. Ia tampak 
menyesali sekali karena Klentreng dan 
Senggung mati. 
Kiageng Tunjung Biru memandang 
Surya Lelana. Ia kemudian berkata 
halus, Surya, sesuatu yang hidup di 
dunia ini tentu akan mati. Karena itu 
kematian tidak dapat dihindari 
siapapun, karena merupakan kodrat 
alam. Yang lama tumbang, yang tua mati 
dan yang baru muncul dan yang muda 
tumbuh. Jadi, kematian atau pungkasan 
(akhir) hidup itu merupakan permulaan 
bagi yang baru. Sebab di dunia ini 
tidak ada yang abadi dan yang abadi 
hanya yang di sana, sesudah manusia 
atau yang disebut hidup ini mati. 
Kakek itu berhenti sejenak, 
sesudah menghela napas pendek, 
terusnya, Surya, kalau demikian halnya 
yang sudah tentu terjadi di dunia ini, 
mengapa sesuatu yang sudah berakhir 
atau sampai pada pungkasannya harus 
disesalkan? Jika terjadi demikian 
jelas kau keliru. 
Kiageng Tunjung Biru berhenti 
lagi dan menghela napas pendek. Orang 
tua itu menggunakan sudut matanya 
mengerling ke arah Sritanjung, karena 
sesungguhnya ucapannya memang 
diiujukan kepada gadis ini. 
Surya Lelana berdiam diri dan 
menundukkan kepalanya. 
Sesudah mengangguk-angguk kakek 
ini meneruskan, Surya, di dunia ini 
berlaku yang serba berlawanan. Ada 
suka dan ada duka. Ada gelap dan ada 
terang. Karena itu ada kehidupan juga 
ada kematian. Jadi, semua itu wajar. 
Semua itu sudah semestinya, sesuai 
dengan kodrat alam. Nah, jika engkau 
sudah mengetahui hai ini, akan menjadi 
tebal keyakinanmu bahwa semua ini 
sudah ada yang mengatur, ialah Yang 
Maha Tinggi. Ya, sudah diatur oleh 
Dewata Agung. Jika semua ini sudah ada 
yang mengatur, maka engkau akan sadar 
bahwa apa yang terjadi atas dirimu tak 
mungkin dapat kauhindari. Malah 
kematian pun tak juga dapat kau tolak. 
Oleh karena itu engkau harus mau 
menerima hidup ini secara wajar. Apa 
adanya! 
Wajar dan apa adanya berarti 
engkau tidak mengadakan perbandingan 
dan penilaian. Maka apabila kau sudah 
dapat menerima hidup ini secara wajar, 
engkau akan memperoleh ketenangan 
batin yang sebenarnya, tanpa kau buat-
buat! Laksana air telaga yang amat 
dalam. 
Kakek ini berhenti  sejenak 
mencari kesan, baru kemudian 
meneruskan, Ya, laksana air telaga 
yang amat dalam. Walaupun orang 
mengganggu dengan memasukkan sesuatu 
benda ke dalam telaga, guncangannya 
hanya terjadi sesaat dan dipermukaan 
saja. Ada contoh lain, pohon nyiur. Ia 
selalu teguh baik di waktu banyak air 
maupun di saat kemarau, akan tetap 
hidup tanpa perubahan, namun selalu 
berbunga dan berbuah. 
Surya Lelana mengangguk-angguk 
dan amat memperhatikan. Pemuda ini 
sadar petunjuk ini benar-benar 
berharga. 
Sritanjung yang masih duduk 
terisak mendengar pula apa yang 
diucapkan gurunya. Ibarat sebuah 
wadah, Sritanjung ini merupakan wadah 
yang masih kosong. Ia merupakan gadis 
yang belum berpengalaman oleh 
pergaulan yang gampang mempengaruhi 
jiwa muda dan bisa menyesatkan. Karena 
itu begitu mendengar nasihat kakek 
ini, ia cepat menjadi sadar. Tak ada 
gunanya menangis, kecewa dan menyesal 
oleh matinya dua ekor harimau itu. 
Ahh, Kakek benar. Yang hidup akan 
mati. Klentreng dan Senggung sudah 
mati, mengapa harus disesalkan? Mari, 
segera kita kuburkan, Surya. Tetapi 
manusia jahat itu biarkan saja geletak 
menjadi makanan burung gagak.  
Mendengar ucapan gadis ini kakek 
itu cepat menanggapi, Apapun yang 
sudah mati adalah mati. Yang mati itu 
suci, dan tidak dapat disangkut-
pautkan dengan hidup. Apapun yang 
pernah dilakukan ketika masih hidup 
tiada hubungannya sesudah mati. Karena 
itu lebih baik kita kubur saja. 
Pada mulanya Sritanjung cemberut 
mendengar ucapan kakeknya ini. Namun 
setelah dipikir dan dirasakan, ia tak 
dapat membantah lagi benarnya pendapat 
kakek itu. Sebagai gadis yang polos ia 
segera pula mengakui. 
Ahh, kakek benar lagi, katanya. 
Mari, sekarang kita kuburkan semuanya. 
Akan tetapi meskipun begitu kelak akan 
datang saatnya aku melakukan 
pembalasan. 
Balas membalas, dendam mendendam 
dan benci membenci, merupakan pangkal 
dari segala keributan dan tiada 
kerukunan manusia di dunia ini, ujar 
Kiageng Tunjung Biru halus. Sebaliknya 
sebagai akibatnya, manusia ini akan 
kejam melebihi binatang buas antara 
manusia sendiri. Tanjung, pikiran 
semacam itu akan menyebabkan orang 
menjadi mabuk, lupa bahwa di atas 
manusia ini masih ada Yang Maha 
Tinggi. Lupa bahwa apa yang terjadi 
sudah menjadi kehendakNya yang tak 
terbantahkan oleh manusia lagi. Akan 
tetapi secara wajar, justru akan 
merasakan sudah merupakan kehendak 
Dewata Agung. 
Kek, apakah sebabnya kau bilang 
begitu? Orang jahat itu sudah membunuh 
Klentreng dan Senggung. Mengapa harus 
kita biarkan saja tanpa pembalasan? 
Tanjung, apakah sangkamu 
Klentreng dan Senggung bisa mati 
apabila tidak dikehendaki Yang Maha 
Tinggi? Apapun yang dilakukan manusia 
di dunia ini, kalau belum dikehendaki 
oleh Dewata Agung semuanya akan gagal. 
Orang yang akan dibalas bisa 
menghindarkan diri dan akan hidup 
terus. Tetapi sebaliknya, tanpa 
dibalaspun kalau sudah kehendak Dewata 
Agung, tentu akan mati juga. Mungkin 
karena takdir dan mungkin dibunuh 
orang lain. Tanjung, yang sudah mati 
biarlah mati dan hadapilah tanpa 
penilaian dan perbandingan. Hadapilah 
secara wajar dan apa adanya. Dan 
jangan beranggapan bahwa Klentreng dan 
Senggung ini mati karena dibunuh 
orang. 
Kalau demikian Kakek menjadi 
pengecut dan akibatnya kita akan 
selalu dihina orang! bantah Sritanjung 
sambil bertolak pinggang. Hemm, aku 
tidak sudi menjadi pengecut dan dihina 
orang. 
Heh heh heh heh, Kiageng Tunjung 
Biru terkekeh. Tanjung, ternyata kau 
mencampur adukkan persoalan yang tidak 
ada hubungannya. Dengar baik-baik, 
Cucuku, bebas dari rasa benci, bebas 
dari mendendam dan balas-membalas, 
adalah kebesaran hati karena semua itu 
tidak baik. Jadi, bukan pengecut dan 
bukan pula mau dihina orang lain. 
Kakek ini berhenti dan memandang 
cucunya penuh kasih. Katanya lebih 
lanjut, Akan tetapi sebaliknya, 
apabila orang mau menyadari dan 
menghayati dengan wajar, takkan ada 
lagi apa yang engkau maksudkan itu. 
Hemm, apakah yang disebut pengecut dan 
apa pula yang disebut hina itu? 
Bukankah semua hanyalah anggapan 
belaka? Nah, kalau hanya anggapan dari 
orang berarti bukanlah ketentuan yang 
harus dianut. 
Nah, kalau memang tidak merasa 
sebagai pengecut, mengapa pula merasa 
terhina? lanjut kakek itu. Sebaliknya 
pula mengapa engkau menjadi gembira, 
bangga dan senang mendengar orang 
memuji dan menghormatimu? Inilah 
bahayanya manusia yang gampang 
diombang-ambingkan perasaan. Oleh 
pikiran! Akan tetapi sebaliknya kalau 
menghadapi dengan pikiranmu yang 
kosong, secara wajar, apa adanya, 
engkau takkan merasakan semua itu. 
Karena semua yang terjadi di dunia ini 
sumbernya bukan lain oleh permainan 
pikiran manusia sendiri. 
Surya Lelana yang umurnya lebih 
tua dan luas pengalaman lebih gampang 
menangkap apa yang dimaksud kakek ini. 
Sebaliknya Sritanjung yang belum dapat 
menangkap maksud gurunya masih belum 
puas. Namun karena cuaca sudah hampir 
gelap, ia tidak mau banyak mulut lagi. 
Dengan tangkas bangkai Klentreng dan 
Senggung dipondong ke liang kubur. 
Surya Lelana segera pula merawat 
orang-orang yang sudah mati oleh 
tangannya maupun oleh harimau. Tidak 
lama kemudian semuanya sudah terkubur. 
Keesokan paginya jadilah Surya 
Lelana meninggalkan hutan ini kembali 
ke Ibukota Majapahit. Sritanjung 
mengantar sampai tepi sungai. Untuk 
beberapa saat lamanya mereka saling 
pandang. Dua orang muda ini merasa 
berat untuk berpisah kendati baru 
berkenalan beberapa hari. 
Tanjung, entah mengapa sebabnya 
rasanya amat berat hatiku untuk 
berpisah dengan engkau, ujar pemuda 
itu sambil memegang lengan Sritanjung. 
Kapan kau pergi ke Ibukota Majapahit? 
Entahlah, sahut Sritanjung sambil 
menggeleng. Tetapi yang jelas  akan 
datang saatnya aku pergi ke sana. 
Hemm, Surya... engkau tidak tahu bahwa 
akupun... berat sekali rasanya 
berpisah dengan engkau.... 
Jawaban Sritanjung ini merupakan 
pencerminan hati. Jawaban yang jujur. 
Ia berat berpisah karena merasa cocok 
memperoleh  kawan sama-sama muda. 
Sekarang begitu Surya Lelana pergi ia 
merasa kehilangan. Ia tidak mempunyai 
kawan lagi kecuaii harimau yang 
tinggal dua ekor saja. Manusia satu-
satunya hanya kakeknya, akan tetapi 
kakek itu lebih banyak tenggelam dalam 
dunianya sendiri, sehingga apabila 
tidak saatnya memberi pelajaran dan 
melatih ia tidak memperoleh perhatian 
sama sekali. 
Akan tetapi ucapan Sritanjung ini 
diartikan secara salah oleh Surya 
Lelana. Pemuda yang sudah cukup dewasa 
ini menganggap bahwa Sritanjung 
mengucapkan kata-kata ini sebagai 
pernyataan yang tertarik dan jatuh 
cinta. 
Karena menduga salah Surya Lelana 
menjadi gembira. Lalu teringatlah 
pengalamannya kemarin ketika berciuman 
akibat pengaruh racun ular. Sekarang 
sebelum berpisah timbul keinginannya 
untuk  mencium gadis ayu ini. Karena 
menurut pendapatnya apakah salahnya, 
kalau gadis ini memang suka kepada 
dirinya? 
Tiba-tiba saja Surya memeluk 
erat. Sritanjung yang kaget meronta 
dan menjerit. Tetapi jeritannya tidak 
dapat keluar, karena bibirnya sudah 
tersumbat oleh bibir pemuda nekad ini. 
Maksud untuk merontapun menjadi gagal 
karena tiba-tiba tubuhnya menjadi 
gemetaran. Ada perasaan aneh yang 
menyebabkan hatinya bahagia 
mendapatkan ciuman ini. Sekarang 
seakan tubuhnya melayang di udara dan 
dibawa oleh perasaan. Dan tanpa 
sesadarnya, gadis inipun menanggapi 
apa yang dilakukan Surya Lelana. 
Akan tetapi beberapa saat 
kemudian Sritanjung, sadar akan 
dirinya. Ia meronta dan lepas, lalu 
tangan kanan bergerak seperti kilat 
menyambar dan menampar plak plak.... 
Dua kali pipi Surya Lelana 
ditampar Sritanjung, seperti yang 
sudah terjadi kemarin. Akan tetapi 
Surya Lelana tidak marah malah 
tersenyum. 
Pipi Sritanjung agak merah dan 
malah menambah kecantikannya. Warna 
merah pada pipinya ini terpengaruh 
oleh rasa malu berbareng marah. Ke-
mudian sambil mendelik gadis ini 
mendamprat,  
Surya! Mengapa engkau berani 
berbuat seperti ini kepada diriku? 
Apakah engkau sengaja menghina aku? 
Surya Lelana terkesiap. Melihat 
sikapnya, jelas gadis ini marah, dan 
kalau demikian bisa runyam. Menyadari 
keadaan ini ia cepat minta maaf. 
Tanjung.... ohh.... maafkan aku. 
Tetapi.... aku tidak main-main. Terus 
terang saja.... aku cinta padamu..... 
Makin tambah merah pipi 
Sritanjung mendengar pengakuan Surya 
Lelana yang blak-blakan mengaku cinta 
itu. Tiba-tiba saja jantungnya 
berdegup lebih cepat. Untuk menutupi 
perasaan ini ia membentak, Sudahlah, 
jangan banyak mulut lagi. Lekaslah 
engkau pergi dari tempat ini sebelum 
aku marah. 
Surya Lelana terbelalak kaget. 
Tetapi kemudian ia menghela napas, 
membungkuk dan berkata, Baiklah 
Tanjung, selamat tinggal. 
Tanpa menunggu jawaban Surya 
Lelana sudah lari ke tepi sungai lalu 
meloncat ke perahu kendaraannya. Surya 
Lelana mencoba menengok ketika sudah 
di tengah sungai, tetapi ah, gadis ayu 
itu sudah lenyap entah ke mana. 
* * * 
Akan tetapi beberapa saat 
kemudian Sritanjung, sadar akan 
dirinya. Ia meronta dan iepas, lalu 
tangan kanan bergerak seperti kilat 
menyambar dan menampar plak plak...... 
Tanpa terasa lagi, setahun sudah 
lewat. Sritanjung sekarang sudah 
berumur 17 tahun dan telah menjadi 
seorang dara remaja, bak bunga sedang 
mekar. Tubuhnya ramping tetapi padat 
berisi sedang wajahnya semakin cantik 
jelita dan raut wajahnya mirip sekali 
dengan ibunya, Dewi Anwari. Sayang 
sekali gadis jelita ini tidak pernah 
sempat merasakan kasih sayang ibunya 
maupun mengenal ayahnya. Demikian pula 
ayah, dan satu-satunya manusia di 
dunia ini yang mencurahkan kasih 
sayangnya kepada dirinya, hanyalah 
Kiageng Tunjung Biru seorang, yang 
menurut perasaannya  adalah kakeknya 
sendiri. Sedang mahluk lain dan 
memberi kasih sayang kepada dirinya 
adalah empat ekor harimau tutul, 
tetapi yang dua ekor sekarang sudah 
mati. 
Malam itu amat dingin. Hujan 
turun deras sekali dan guntur 
menggelegar, menyambar-nyambar di 
angkasa. Di luar pondok amat gelap, 
demikian pula di dalam pondok amat 
gelap. 
Pondok Kiageng Tunjung Biru tanpa 
penerangan. Sekalipun demikian setiap 
kilat menyambar akan tampaklah keadaan 
di dalam pondok secara sekilas. 
Kiageng Tunjung Biru duduk bersila di 
atas tikar beralas rumput kering, 
sedang Dewi Sritanjung sendiri duduk 
di depannya, dan bersila pula. 
Tidak seorangpun di antara mereka 
membuka mulut. Sebab di saat ini guru 
dan murid ini sedang tenggelam dalam 
semadinya. Adapun dua ekor harimau 
tutul piaraan yang bernama Tumpak dan 
Manis juga berdiam diri mendekam pada 
sudut pondok. Agaknya dua ekor harimau 
ini tahu majikannya sedang menghadapi 
saat-saat penting, maka tidak berani 
membuat keributan. 
Keadaan seperti ini memang sudah 
terjadi sejak dua hari lalu dimulai 
ketika sesudah senja. Dengan demikian 
berarti keadaan semacam ini sudah 
berlangsung dua hari dua malam. Waktu 
yang cukup panjang, namun guru dan 
murid ini belum juga menghentikan 
semadinya. Mereka berubah bagai 
patung. 
Memang sejak kakek ini menerima 
surat dari Mpu Mada, kakek ini 
menggembleng murid tunggalnya dengan 
latihan-latihan berat. Dewi Sritanjung 
hampir tidak mempunyai waktu lagi 
untuk bermain-main dengan Tumpak dan 
Manis. Latihan berat itu dimaksud agar 
apa yang diharapkan Kiageng  Tunjung 
Biru bisa terwujud. Agar kelak 
kemudian hari menjadi seorang dara 
perkasa. Menjadi pembela keadilan dan 
kebenaran. Latihan berat itu ternyata 
dapat dilampaui oleh Sritanjung dengan 
memuaskan dan membuat gurunya bangga. 
Bagi orang yang tidak terlatih 
betapa derita orang harus duduk 
bersila tidak bergerak, tidak dalam 
keadaan tidur dan perut kosong, selama 
dua hari dua malam. Tetapi bagi 
Sritanjung walaupun baru berumur 17 
tahun tidak pernah mengeluh setiap 
kali gurunya memerintahkan apa saja. 
Justru  ketekunannya dan sungguh-
sungguh dalam melaksanakan perintah 
gurunya ini, ia memperoleh kemajuan 
pesat dan amat mengagumkan. 
Malam ini telah lewat dan 
kemudian datanglah pagi. Namun guru 
dan murid ini masih tenggelam dalam 
semadinya. 
Dua ekor harimau tutul bernama 
Tumpak dan Manis itupun masih tetap 
mendekam pada sudut pondok, tidak mau 
meninggalkan pondok dan mencari 
mangsa. Matanya juga terpejam, seakan 
dua ekor harimau ini mengikuti yang 
dilakukan oleh majikan. Meniru 
bersemadi, meniru berpuasa sekalipun 
tidak tahu apa maksud majikannya. 
Sekalipun lambat waktu terus 
bergerak dan matahari bergeser secara 
tetap. Tanpa terasa matahari sudah 
tenggelam di barat dan Kiageng Tunjung 
Biru mendahului membuka mata. Pondok 
gelap dan diluar pondok pun gelap. 
Tetapi sekalipun gelap dari celah 
dinding kakek ini melihat langit cerah 
dan jutaan bintang menghias langit 
biru, sesudah semalam turun hujan 
dengan deras. Diam-diam kakek ini 
kagum melihat muridnya belum bergerak. 
Dan ketika memandang ke arah dua ekor 
harimau  itupun kakek ini manggut-
manggut dengan bibir tersenyum. 
Tanjung, sudah cukup. Hentikan 
semadimu! ujarnya. 
Akan tetapi Dewi Sritanjung yang 
ketika itu menutup, babahan hawa sanga 
(sembilan lubang pada tubuhnya) dan 
dalam keadaan mematikan rasa itu tidak 
mendengar suara gurunya. Setelah tiga 
kali kakek ini memanggil, barulah 
Sritanjung sadar dari semadinya. 
Apakah yang kau rasakan sekarang? 
Tubuh nyaman dan panca indera 
lebih tajam. Tetapi anehnya saya tidak 
merasa lapar dan haus sahut gadis ini. 
Bagus. Sekarang coba perhatikan 
apa yang terjadi dalam tubuhmu? 
Gadis ini tak cepat menjawab. Ia 
memperhatikan keadaan dalam tubuhnya, 
dan sejenak ia menyahut, Kek, ada 
semacam hawa yang hangat pada pusar, 
seperti gumpalan yang mendesak ke sana 
dan kemari. 
Bagus! Salurkanlah sekarang 
gumpalan hawa pada pusar itu. Jangan 
tergesa, perlahan saja tetapi pasti 
agar kemudian beredar di seluruh 
bagian tubuhmu. Itulah hawa sakti 
berkat latihan dan semadimu. Tetapi, 
hati-hati dan jangan kau paksakan. 
Jika mendapat kesulitan,  jelaskanlah. 
Mulai! Ayo mulai. 
Sesuai petunjuk gurunya gadis ini 
mulai menyalurkan dan menguasai 
gumpalan hawa sakti pada pusar yang 
mendesak-desak itu. Pada mulanya gadis 
ini dapat mendesak dan menyalurkan 
hawa sakti itu secara lancar dan 
merasakan pula badannya hangat dan 
nyaman. Namun ketika hawa sakti itu 
digiring naik ke atas, ke kepala, 
tiba-tiba gadis ini kaget dan 
berteriak. 
Kek, kepalaku berdenyut dan 
pening. 
Teruskan. Tetapi jangan kaupaksa. 
Sritanjung meneruskan perintah 
gurunya sekalipun kepala terasa 
berdenyutan seperti mau pecah. Di saat 
gadis ini hampir tak kuat menahan 
lagi, tengkuknya merasa diusap oleh 
tangan dengan perlahan dan didengar 
pula suara gurunya. 
Marilah aku bantu. 
Betapa heran gadis ini setelah 
diusap gurunya, rasa berdenyutan dan 
pening tadi menghilang lalu hawa sakti 
itu menyalur dengan lancar. 
Salurkan ke dada. Kemudian tarik 
kembali ke pusar. 
Perintah itu diturut. Dan setelah 
selesai dan membuka mata, gadis ini 
berkata. Kek, tubuhku lebih nyaman 
lagi rasaya. Pendengaran dan 
pandanganku lebih tajam dibanding 
sebelumnya. 
Kemudian pada suatu malam, Dewi 
Sritanjung duduk di depan kakeknya. 
Tiba-tiba saja persoalan yang selama 
ini menggoda hatinya timbul kembali. 
Maka gadis ini memandang gurunya, lalu 
berkata. 
Kek,  aku sudah cukup sabar 
menunggu jawaban Kakek. Bertahun-tahun 
setiap kakek kutanya tentang ayah-
bundaku, selalu menjawab agar sabar 
dan belum waktunya. 
Sritanjung berhenti lalu 
memandang kakeknya sejenak kemudian 
lanjutnya, Kek, sekarang aku sudah 
tujuh belas tahun. Sudah cukup dewasa 
dan cukup umur. Apakah Kakek masih 
akan beralasan lagi belum waktunya? 
Kiageng Tunjung Biru tersenyum, 
lalu jawabnya halus, Engkau benar. 
Memang sudah waktunya engkau tahu 
siapakah ayah dan bundamu. Baiklah 
Cucuku, esok pagi berangkatlah ke 
Ibukota Majapahit, cari dan temuilah 
dinda Gajah Mada sambil membawa 
suratku. Dari dialah engkau akan 
mendapat keterangan, siapakah orang 
tuamu. Dan yang perlu kau ketahui, 
engkau bukanlah puteri orang 
sembarangan. 
Berdebar hati gadis ini mendengar 
ucapan kakek sekaligus gurunya ini. 
Ada dua macam hal yang menyebabkan 
hatinya berdebar. Pertama datang 
kepada Gajah Mada berarti pula bertemu 
dengan Surya Lelana, pemuda tampan dan 
diam-diam menarik hatinya itu. Dan 
tiba-tiba saja wajahnya terasa panas, 
sebab segera teringatlah peristiwa 
setahun lalu. Saat mereka berpisah 
Surya Lelana mencium dirinya. 
Diam-diam ia merasa heran, 
mengapa tiada perasaan marah dan benci 
oleh kelancangan pemuda itu? Yang 
terkesan dalam dadanya hanyalah agak 
main. 
Kemudian yang kedua, benarkah 
dirinya bukan anak sembarangan? Lalu 
siapakah dirinya ini, apakah puteri 
Gajah Mada sendiri ? Tetapi pikiran 
ini dibantah sendiri. Manakah mungkin 
puteri Mahapatih Majapahit, diserahkan 
kepada gurunya ini dan hidup terasing 
di hutan? 
Kek, katakanlah terus-terang. 
Siapakah sebenarnya ayah dan bundaku? 
desaknya. 
Engkau akan segera tahu sendiri 
sesudah tiba di Majapahit, sahut kakek 
ini. 
Tapi... tapi ... bagaimanakah 
dengan Kakek setelah diriku pergi? 
Lalu siapakah yang mengurus Kakek? 
Kiageng Tunjung Biru ketawa 
perlahan, jawabnya, Apakah sebabnya 
kau merepotkan aku yang sudah tua ini? 
Tak ada yang perlu kau pikirkan 
tentang diriku. 
Tetapi kakek sudah tua maka aku 
tidak tega meninggalkan kau. Maka 
apakah tidak sebaiknya Kakek bersama 
pergi dengan aku saja? Dan kalau tidak 
eh... lebih baik aku tidak usah pergi 
saja. Biarlah aku terus menunggu dan 
melayani kebutuhanmu. 
Kakek itu terkekeh kemudian 
katanya, Cucuku, dahulu, sebelum 
engkau hidup bersama kakek di sini, 
kakekmu hidup seorang diri dan dapat 
pula memenuhi kebutuhan hidupnya. 
Karena itu dengan kepergianmu ini 
tidak akan menimbulkan akibat apa-apa 
bagiku. Engkau masih muda dan hari 
depanmu masih amat jauh. Dan apa yang 
akan kau peroleh jika kau hanya 
mengenal hutan yang sunyi ini? Maka 
engkau harus terjun ke dunia ramai, 
terjun ke masyarakat agar engkau 
mengenal corak dunia dan corak manusia 
hidup di dunia ini. Gunakan ilmu 
kepandaianmu untuk membela keadilan. 
Untuk membela kebenaran. Cucuku, 
ketahuilah di dunia ini tidak 
terhitung jumlahnya manusia yang buruk 
watak dan mendekatkan diri dengan 
nafsu dan kejahatan. Selama keadaan 
manusia masih seperti sekarang ini, 
manusia-manusia seperti engkau 
dibutuhkan tenaganya oleh masyarakat. 
Kiageng Tunjung Biru berhenti dan 
menghela napas pendek. Sejenak 
kemudian kakek ini meneruskan, Tetapi 
Cucuku, untuk kepentinganmu, engkau 
harus hati-hati terjun ke dalam masya-
rakat. Karena engkau akan berhadapan 
dengan berbagai macam peristiwa yang 
selama ini belum pernah kau alami dan 
saksikan. Hemm, siapa tahu apabila 
dalam kepergianmu ke Ibukota Majapahit 
ini, secara tidak sengaja kau bertemu 
dengan orang berjuluk Si Tangan Iblis 
maupun cucu dan murid-muridnya... 
Kek, siapakah Si Tangan Iblis 
itu? Sritanjung tertarik. 
Orang yang berjuluk Si Tangan 
Iblis itu adalah seorang sakti 
mandraguna tetapi jahat dan kejam. 
Hindarkan diri jangan sampai kau 
terlibat urusan dengan orang itu 
maupun murid-muridnya. Itu amat 
berbahaya. 
Tetapi aku tidak takut. 
Aku mengerti. Namun lebih baik 
kau menghindarkan diri agar terhindar 
dari bahaya. 
Aku tak ingin berselisih dengan 
dia. Tetapi jika dia memulai, aku akan 
melawan. 
Heh heh heh heh, kakek ini 
terkekeh. Jangan takabur, Cucuku, 
karena akan merugikan dirimu sendiri. 
Dan kau juga jangan kecewa dan 
menyesal jika aku mengatakan 
sejujuraya, kau bukan lawan yang 
sebanding dengan Si Tangan Iblis. 
Ibarat buah semangka melawan durian, 
tidak mungkin menang dan lebih dekat 
dengan bahaya maut. Itulah sebabnya 
aku berpesan, agar engkau berusaha 
menghindarkan diri dengan kakek sakti 
itu. 
Baiklah Kek, aku perhatikan dan 
aku akan berusaha menghindarkan diri. 
Tetapi Kek, jelaskan padaku, siapakah 
Si Tangan Iblis itu? 
Baiklah aku jelaskan. Orang yang 
sudah kakek-kakek dan bernama Si 
Tangan Iblis itu, bertempat tinggal di 
Tosari. Ia inempuatyai bebe-rapa orang 
murid dan juga tiga orang cucu. Se-
karang ini keluarga Si Tangan Iblis 
sedang bersebaran dalam usaha mencari 
cucunya yang bungsu bernama Sentikno. 
Karena bocah itu meninggalkan rumah 
tanpa pamit, setelah mendengar cerita 
kakeknya. 
Cerita tentang apa, dan mengapa 
pula bocah bernama Sentiko itu pergi 
diam-diam ? Dan kepergian bocah itu 
mencari siapa? tanya Sritanjung. Dan 
aku juga heran, mengapa Kakek yang 
tidak pernah pergi, bisa tahu 
peristiwa itu? 
Kiageng Tunjung Biru tersenyum. 
Tidaklah mengherankan apabila muridnya 
ini bertanya seperti itu, karena jika 
ia pergi Sritanjung tidak pernah tahu. 
Ia selalu pergi diam-diam dalam usaha 
menyadap peristiwa-peristiwa yang 
terjadi maupun memantau segala sesuatu 
yang terjadi di dalam masyarakat. 
Itulah ia bisa menceritakan sesuatu 
yang baru bagi Sritanjung. 
Tanjung, kurang perlu kautanyakan 
mengapa aku tahu. Yang penting harus 
kau ketahui sekarang ini, kau harus 
hati-hati dalam perjalananmu ke 
Ibukota Majapahit agar tidak sampai 
tertipu orang yang tidak bertanggung 
jawab maupun terlibat dalam peristiwa 
Si Tangan Iblis itu. 
Kemudian diceritakan oleh Kiageng 
Tunjung Biru, bahwa nama sebenarnya 
adalah Taruno. Dan sesudah menetap di 
Tosari mengganti namanya dengan Si 
Tangan Iblis. Taruno dulunya prajurit 
Majapahit berpangkat Lurah. Akan 
tetapi karena melakukan penyelewengan 
dan merugikan nama baik pasukan 
Majapahit, Taruno dipecat. 
Karena sakit hati kemudian 
menjadi kepala bajak laut dan bajak 
sungai. Tetapi kemudian gerombolan ini 
hancur berantakan diserang oleh Mpu 
Nala dan pasukannya. Ia berhasil dan 
ketika tahun 1319 Kuti memberontak, ia 
menggabungkan diri. Namun sayang 
sekali pemberontakan Kuti gagal dan 
Taruno buron. Lalu di saat ia 
merantau, ia mendengar kabar dari 
seorang sahabatnya, anaknya yang 
menjadi prajurit Bhayangkara, Karimun 
dibunuh mati oleh Gajah Mada. 
Mendengar ini Taruno marah sekali 
karena menduga anaknya dilibatkan 
dalam perkaranya. 
Padahal yang benar dibunuhnya 
Karimun tiada hubungan dengan 
kesalahan Taruno, ujar kakek itu. 
Karimun dibunuh mati oleh Gajah Mada 
dalam usaha menjaga rahasia tempat 
persembunyian Raja Jayanegara yang 
meninggalkan keraton dan bersembunyi 
di Bedander. 
Sritanjung tidak membuka mulut 
dan mempe-hatikan. Sebab ia 
menganggap,  cerita ini besar 
kegunaannya dalam hubungan 
kepergiannya ke Majapahit. 
Sebagai akibat matinya Karimun, 
keluarga yang ditinggalkan berantakan. 
Isteri Karimun lalu menyerahkan dua 
orang anak perempuannya yang masih 
kecil kepada tetangga. Dan janda ini 
kemudian memadu kasih dengan seorang 
pemuda yang dicintai sejak Karimun 
masih hidup. 
Ahh.... jadi isteri itu berani 
menyeleweng? tanya Sritanjung. 
Kiageng Tunjung Biru mengangguk 
dan meneruskan ceritanya. Taruno 
menjadi penasaran. Kemudian menantu 
tidak setia itu dibunuh secara kejam, 
termasuk pula pemuda kekasihnya itu. 
Taruno masih belum puas, maka keluarga 
pemuda itupun semua dibantai. 
Ahh.... kejam sekali! seru 
Sritanjung. 
Taruno alias Si Tangan Iblis 
memang kejam dan ganas. Itulah 
sebabnya aku berpesan agar kau hati-
hati dan jangan mencampuri urusan 
kakek itu, sahut kakek ini. 
Diceritakan seterusnya, dua orang 
cucu itu lalu diboyong oleh Taruno. 
Yang besar bernama Sarindah berumur 
empat tahun dan yang kecil bernama 
Sarwiyah berumur tiga tahun. Si Tangan 
Iblis memilih Tosari sebagai tempat 
tinggalnya. Guna kepentingan dua 
cucunya ini agar ada yang merawat, 
kemudian Taruno merampas seorang gadis 
dari desa Gempol untuk diperisteri. 
Dari isteri yang belum 18 tahun ini 
kemudian lahirlah anak laki-laki 
diberi nama Sentiko. Lalu ketika 
Sentiko berumur tiga tahun, pada suatu 
malam Taruno menangkap basah isterinya 
sedang berzina dengan pemuda dari desa 
Gempol juga. Tak ampun lagi isteri dan 
pemuda itu kemudian dibunuh secara 
kejam. Namun ternyata Taruno belum 
puas,  Sentiko yang tidak berdosa itu 
diangkat untuk dibanting... 
Ahh.... kasihan bocah itu... 
Sritanjung pucat. 
Memang Sentiko tentu mati jika 
jadi dibanting, sahut Kiageng Tunjung 
Biru. Tetapi untung sekali Sarindah 
yang sudah berumur 9 tahun dan 
Sarwiyah yang sudah berumur 8 tahun, 
dapat menolong. Dua bocah ini terjaga 
dari tidurnya akibat terjadi 
keributan, kemudian memeluk lutut 
kakeknya ketika melihat Sentiko akan 
di banting. 
Demikianlah, untuk menghilangkan 
kenangan yang tidak menyenangkan itu 
maka Sentiko dibiasakan memanggil 
kakek dan bukan ayah. Dan karena 
umurnya paling muda, maka Sentiko se-
bagai cucu termuda. 
Tetapi apakah sebabnya Sentiko 
pergi? selidik Sritanjung. 
Itu adalah gara-gara Sarindah dan 
Sarwiyah yang mendesak kepada Si 
Tangan Iblis agar diberitahu siapakah 
ayah bundanya, dan siapa pula yang 
sudah membunuh, jelas Kiageng Tunjung 
Biru sambil menghela napas pendek. Dan 
celakanya Si Tangan Iblis memberikan 
keterangan salah. Ia memfitnah paman 
gurumu Gajah Mada. 
Apakah sebabnya memfitnah Paman 
Gajah Mada? 
Si Tangan Iblis memang licik. 
Oleh dendam kesumatnya, ia mendidik 
kepada cucu dan semua muridnya agar 
membenci dan memusuhi Gajah Mada. Maka 
setelah mendengar penjelasan itu, 
Sentiko pergi diam-diam dengan maksud 
akan membalas dendam dan membunuh 
Gajah Mada. 
Sekecil itu manakah Sentiko mampu 
melawan Gajah Mada? Sritanjung heran. 
Memang amat mustahil bisa 
terlaksana. Namun nyatanya bocah kecil 
itu sudah nekad dan akan membalas 
dendam. Itulah cucuku, cerita ringkas 
tentang Si Tangan Iblis. Maka dalam 
kepergianmu ke Ibukota Majapahit kau 
harus selalu berhati-hati. Jangan 
gampang terpancing oleh tipu muslihat 
orang, dan jangan mencampuri urusan 
orang sebelum jelas. Sudahlah, Cucuku, 
sekian dulu cerita tentang Si Tangan 
Iblis. Hari sudah malam dan 
mengasolah. 
Sekian dulu cerita ini kita 
akhiri. Tetapi cerita ini secara 
keseluruhan belum selesai. Perjalanan 
masih panjang dan Dewi Sritanjung akan 
mengalami berbagai peristiwa dalam 
perjalanannya menuju Ibukota 
Majapahit, dalam usaha bertemu dengan 
ayah kandungnya. Anda akan terharu, 
tergelitik dan berdebar kiranya dalam 
mengikuti kisah Dewi Sritanjung ini. 
Akan tetapi agar Anda dapat 
mengkuti kisah tentang Si Tangan 
Iblis, silakan membaca lanjutan buku 
Seri Dewi Sritanjung ini dengan judul 
"SI TANGAN IBLIS". Lebih menarik, seru 
dan mendebarkan. Mungkinkah Sentiko 
cucu Si Tangan Iblis yang sudah 
diceritakan oleh Kiageng Tunjung Biru 
ini dapat membunuh Gajah Mada? 
TAMAT 

Sala, awal tahun 1987